Rabu, 01 Februari 2012

075. Dendam Di Puncak Singgalang

75. Dendam Di Puncak Singgalang
SATU
DUA gunung tinggi menjulang menyapu awan, terlihat jelas dari kejauhan di bawah langit yang biru
bersih.
Kehadiran gunung Singgalang dan Merapi di daratan tengah pulau Andalas seperti yang selalu
diperumpamakan oleh penduduk memang benar yaitu seolah dua raksasa penjaga negeri.
Saat itu menjelang tengah hari. Dari arah danau Maninjau di jurusan kaki gunung Singgalang tampak
seorang penunggang kuda memacu tunggangannya menuju ke timur.
Orang ini berusia sekitar setengah abad, berkumis tipis rapi, mengenakan destar tinggi berwarna hitam
yang pinggirannya dirajut dengan benang emas. Pakaiannya terbuat dari kain bludru warna hijau yang juga ada
renda benang emasnya. Di pinggangnya, di balik ikat pinggang besar terselip sebilah keris. Baik gagang
maupun sarung senjata ini terbuat dari emas sedang badannya terbuat dari sejenis besi putih yang dilapisi
emas. Setiap sinar matahari jatuh pada gagang dan sarung senjata itu, kelihatan cahaya kuning memantul
menyilaukan.
Pada waktu yang hampir bersamaan dari arah kaki gunung Merapi meluncur cepat sebuah kereta
terbuka ditarik dua ekor kuda besar. Di sebelah kanan duduk sais kereta, seorang lelaki, bertampang seram.
Wajahnya tertutup oleh kumis dan cambang bawuk lebat. Rambutnya yang gondrong di ikat menjulai ke
belakang. Matanya yang sebelah kiri picak sedang telinganya sebelah kanan sumplung. Di lehernya yang
mengenakan pakaian serba hitam ini melingkar sebuah kalung terbuat dari akar bahar. Pada kedua lengannya
juga kelihatan melingkar dua gelang hitam dari akar bahar.
“Kenapa Datuk tidak membawa senjata?” bertanya sais kereta pada orang yang duduk di sampingnya.
Orang ini mengenakan pakaian bagus berwarna merah penuh dengan sulaman-sulaman benang emas.
Destarnya juga merah. Wajahnya klimis pucat dan agak cekung di bagian pipi. Dagunya nyaris berbentuk
empat persegi sedang bibirnya tipis dan selalu terkancing rapat. Sekali lihat saja wajah orang yang dipanggil
dengan sebutan Datuk ini membayangkan sifat angkuh dingin kalau tidak mau dikatakan kejam. Orang ini
mempunyai kebiasaan aneh. Yaitu sebentar-sebentar menyentak-nyentakan lehernya ke kiri atau ke kanan
seperti ayam tertelan karet.
“Mengapa kita tidak membawa senjata katamu, Daud?” orang berpakaian merah membuka mulutnya
yang sejak tadi tertutup. Lalu terdengar dia mendengus. Menyusul kemudian suara tawanya bergelak.
Sais kereta sesaat jadi terdiam. Lalu dia ikut-ikutan tertawa.
“Setan! Kenapa kau tertawa?!” sang Datuk membentak.
Sais kereta bernama Daud itu cepat tutup mulutnya. “Maafkan saya Datuk,” katanya. “Saya cuma
ikut-ikutan saja. Bukankah Datuk sering berkata agar saya lebih banyak mengikuti sifat dan kebiasaan Datuk?”
“Aku tidak suka kau tertawa lebar-lebar di hadapanku! Mulutmu bau! Tahu?”
“Maafkan saya Datuk,” kata Daud sekali lagi. Lalu dengan suara perlahan dia menyambung. “Saya
masih ingin tahu mengapa Datuk tidak membawa senjata.”
“Kau takut?”
“Tentu saja tidak Datuk,” jawab Daud.      
“Mulutmu berkata tidak tapi suaramu bergetar. Percuma kau dijuluki orang Daud si Hantu Mata
Picak! Momok nomor satu di seluruh nagari!”
“Maafkan saya. Kalau begitu saya tidak akan bertanya lagi!” Lelaki bermuka angker yang mata
kirinya buta picak itu mencambuk kuda-kuda penarik kereta keras-keras seolah melampiaskan rasa kesalnya
pada kedua binatang itu. Dicambuk bertubi-tubi demikian rupa, kedua kuda berlari kencang seperti kesetanan.
“Bangsat kau Daud!” bentak lelaki bermuka cekung. Kalau bicara sang Datuk biasa memaki dan
menyebut orang dengan kata-kata kasar seperti setan atau bangsat.
“Apa lagi salah saya Datuk?”
“Kau melarikan kereta seperti dikejar iblis! Kau hendak membuat aku celaka huh?!”
Daud menahan tali kekang dua ekor kuda.
Binatang-binatang itu mengangkat kepalanya ke atas dan serta merta memperlambat larinya.
“Nah sekencang begini saja sudah cukup. Kenapa harus terburu-buru….?”
“Bukankah kita hendak menemui….”
Sang Datuk cepat memotong kata-kata Daud. “Kita tidak menemui siapapun. Tapi justru dia yang
mendatangi kita untuk mengantar nyawa anjingnya!” Untuk pertama kalinya orang ini berpaling pada sais
kereta. “Aku melihat bayangan rasa takut di wajahmu yang buruk. Kalau betul begitu hentikan kereta. Biar aku
melanjutkan perjalanan seorang diri. Dan kau boleh kembali ke Silungkang! Jalan kaki!”
“Saya bersumpah saya tidak takut Datuk. Tapi apa yang hendak kita lakukan ini bukan pekerjaan
main-main. Datuk Bandaro Sati sudah dikenal di tujuh penjuru angin nagari sebagai Pandekar kelas wahid!”
“Dia boleh punya nama besar. Tapi usianya pendek. Lagi pula ilmu kepandaian apa yang dimilikinya?
Apa setinggi gunung Merapi sedalam danau Maninjau? Kau khawatir aku akan kalah olehnya? Kalau
seandainya aku terdesak, lalu apakah kau akan berpangku tangan saja? Duduk di atas kereta sambil
mencungkil hidungmu?!”
“Tentu saja saya tidak akan tinggal diam Datuk. Saya pasti akan membantu Datuk. Kalau tidak apa
perlunya kita pergi bersama-sama,” jawab Daud si Hantu Mata Picak. “Cuma saya ada sedikit rasa waswas
Datuk. Bukankah Datuk Bandaro Sati memiliki Tuanku Ameh Nan Sabatang,… ?”
Orang di sebelah Daud si Hantu Mata Picak menyeringai. Setelah mengusap dagunya yang licin dan
menyentakkan lehernya dua kali ke kiri dia berkata.
“Tuanku Ameh Nan Sabatang memang merupakan sebilah keris langka. Mengandung kesaktian dan
tuah luar biasa. Kata orang kalau sudah keluar dari sarungnya harus ada nyawa yang melayang! Itu kata orang!
Sampai dimana kehebatan keris itu perlu kita saksikan sendiri Daud!”
“Seorang pandekar sesat di Bukit Siguntang yang kabarnya kebal segala macam senjata, dua bulan
lalu menemui ajalnya di ujung keris itu ketika coba menantang Datuk Bandaro Sati. Kejadiannya di pesisir
Pariaman.”
“Aku memang mendengar cerita itu. Lalu apakah aku manusia yang bergelar Datuk Gampo Alam
harus menjadi ciut nyalinya menghadapi seorang calon bangkai bergerak Datuk Bandaro Sati itu?!” Habis
bicara begitu orang ini meludah ke tanah. “Setan!”
“Saya yakin bagaimanapun juga Datuk lebih hebat dari Bandaro Sati…”      
“Yakin bukan hanya sekedar yakin, Daud. Tapi yakin yang hakkul yakin!” kata Datuk Gampo Alam
pula. Lehernya disentakkannya ke kanan.
Kereta itu meluncur terus menempuh kawasan sunyi berbukit-bukit. Setelah melewati sebuah desa
kecil, dari jalan yang kini menurun, di kejauhan kelihatan sebuah lembah yang keindahan merupakan seolah
satu keajaiban dipandang mata.
“Ngarai Sianok sudah kelihatan di bawah sana Datuk,” memberi tahu Daud alias Hantu Mata Picak.
Datuk Gampo Alam yang sejak tadi terkantuk-kantuk membuka kedua matanya lebar-lebar. Sepasang
mata orang ini kelihatan nyalang besar dan ada kilatan menggidikkan.
“Kita sampai lebih cepat Daud. Berarti apa yang akan kita lakukan akan lebih cepat pula selesainya.”
“Kalau Datuk Bandaro Sati benar-benar datang memenuhi janjinya,” sahut Daud.
“Setan! Sialan kau Daud!” bentak Datuk Gampo Alam tiba-tiba.
“Astaga! Apa lagi salah saya kali ini?” tanya Daud. Nada suaranya menyatakan rasa takut namun
ketakutan itu tidak terbayang di tampangnya yang angker.
“Pada saat-saat tegang kau selalu mengeluarkan ucapan yang membuat aku tidak enak! Keparat itu
pasti datang Daud! Pasti! Jangan kau berani berucap yang membuat aku jadi ikut was-was!”
Hantu Mata Picak tidak menyahut. Dalam hatinya timbul rasa jengkel terhadap Datuk Gampo Alam.
“Manusia satu ini begitu bernafsu agar cepat bisa melaksanakan niatnya. Tapi segala kemungkinan tidak
diperhitungnkannya!”
Ngarai Sianok terbentang dengan segala keindahannya. Di langit sebelah timur sekawanan burung
terbang di langit biru.
Mata kanan Hantu Mata Picak memandang jauh ke depan. Lalu dia berdiri di atas kereta. “Datuk, saya
melihat ada penunggang kuda datang dari arah barat!” katanya lalu kembali duduk.
Datuk Gampo Alam menyeringai. “Calon bangkai itu datang memenuhi janjinya! Coba perhatikan.
Apa memang betul dia yang datang?!”
Hantu Mata Picak kembali berdiri lalu duduk lagi dan berpaling pada Datuk Gampo Alam. “Kudanya
kuda coklat. Destarnya hitam dan pakaiannya hijau. Siapa lagi kalau bukan Datuk Bandaro Sati!”
“Hentikan kereta!” perintah Datuk Gampo Alam. “Aku berbaik hati memberi kesempatan padanya
untuk meregang nyawa di tempat yang indah ini.”
Hantu Mata Picak hentikan kereta.
Sementara itu dari arah barat penunggang kuda coklat berpakaian hijau datang semakin dekat. Tak
lama kemudian orang inipun sampai di hadapan kereta. Dia membawa kudanya ke samping hingga
bersisi-sisian dengan bagian depan dimana Datuk Gampo Alam duduk.
“Datuk Gampo Alam, kau datang tepat pada waktunya. Malah lebih dulu dari aku!”Orang di atas kuda
coklat menyapa.
Datuk Gampo Alam menyeringai. “Aku Datuk Gampo Alam selalu tepat waktu. Apalagi untuk urusan
penting seperti ini!”
“Urusan penting katamu. Apakah tidak bisa kita bicarakan di rumah gadang? Mengapa harus memilih
tempat ini seperti orang menagih hutang piutang saja?!”      
Mendengar kata-kata Datuk Bandaro Sati itu, Datuk Gampo Alam tertawa mengekeh. Disentakkannya
lehernya beberapa kali lalu dia berkata. “Coba kau lihat berkeliling. Bukankah tempat ini sangat indah
pemandangannya? Jadi tak ada buruknya kita bicara di sini!”
Datuk Bandaro Sati memandang berkeliling lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku setuju
dengan ucapanmu. Ngarai Sianok memang indah. Lalu urusan penting apakah yang kau maksudkan itu, Datuk
Gampo Alam?”
“Ah! Setan ini berpura-pura tidak tahu rupanya!” Maki Datuk Gampo Alam dalam hati. Lalu dia
menjawab. “Ini menyangkut urusan rumah gadang warisan nenek moyang kita. Jangan kau berpura-pura
Datuk Bandaro Sati!”
Wajah Datuk di atas kuda coklat itu sesaat tampak berubah. “Kalau itu masalahnya aku tak akan mau
membicarakan. Bukankah hal ini sudah aku tegaskan berulang kali padamu? Soal rumah gadang tidak ada
tawar-menawar!”
Datuk Gampo Alam menyeringai lalu menyetakkan lehernya. “Kau selalu bersikap seperti ini Datuk.
Keras kepala dan tolol!”
“Terserah padamu! Terserah kau mau mengatakan apa diriku! Banyak urusan penting lain
menungguku di Batusangkar! Aku harus pergi sekarang!”
“Tunggu!” seru Datuk Gampo Alam lalu berdiri di atas kereta. Kedua tangannya berkacak pinggang
sedang sepasang matanya memandang berapi-api pada orang yang duduk di atas kuda di hadapannya.
“Apapun alasanmu aku tidak mau tahu. Urusan rumah gadang harus selesai saat ini juga, di tempat ini juga!”
“Kau sudah gila Datuk Gampo Alam!” bentak Datuk Bandaro Sati.
“Kau membuat aku marah Datuk Bandaro Sati!” bafas membentak Datuk Gampo Alam.
“Kau rupanya sengaja mencari lantai terjungkat!”
“Setan kau!” teriak Datuk Gampo Alam.
“Eh, iblis apa yang masuk ke dalam tubuhmu hingga kau berani berucap sekasar itu pada kakak
kandungmu sendiri? Aku ingatkan padamu! Sekali lagi kau bicara kotor dihadapanku kupatahkan batang
lehermu!”
* * *      
DUA
DI ATAS kereta Datuk Gampo Alam yang masih tegak bertolak pinggang tertawa bergelak. “Soal
patah mematahkan batang leher bisa nanti kita lakukan!” katanya. “Aku hanya ingin memberi kesempatan
padamu sekali lagi. Apakah kau tetap tidak mau menjual rumah gadang berikut isinya pada Tumenggung
Rajo Langit?!”
“Satu kali kubilang tidak, sampai matipun tetap tidak!” jawab Datuk Bandaro Sati tegas dan dengan
mimik wajah menjadi garang.
Datuk Gampo Alam menyeringai. Lehernya disentakkan dua kali berturut-turut. Dari balik pakaian
merahnya dikeluarkannya segulung kertas. Perlahan-lahan gulungan kertas itu dibukanya lalu disodorkannya
pada    kakaknya.
“Aku telah menandatangani persetujuan penjualan rumah gadang itu. Kau juga harus menyetujui dan
menandatanganinya.
Tak usah sekarang. Kuberi waktu dua hari. Antarkan sendiri kerumahku! Atau kau kirimkan saja
orang suruhanmu!”
Datuk Bandaro Sati jadi mengkelap. Kertas yang disodorkan adiknya diambilnya dengan sebat lalu
tanpa membaca apa yang tertulis di atas kertas itu langsung saja dirobek-robeknya.
“Rumah gadang adalah rumah pusaka nenek moyang turun-temurun. Tidak boleh dijual sekalipun
dunia ini akan terbalik!” kata Datuk Bandaro Sati dengan rahang menggembung dan pelipis bergerak-gerak.
“Setan jahanam!” teriak Datuk Gampo Alam marah bukan main. Setelah menyentakkan lehernya,
didahului oleh suara menggembor seperti harimau lapar tubuh Datuk ini melesat ke depan. Kaki kanannya
berkelebat menendang ke arah dada kakaknya.
Datuk Bandaro Sati balas berteriak marah. Dengan satu gerakan cepat luar biasa dia melompat turun
dari punggung kuda. Bersamaan dengan itu tangan kanannya dipukulkan ke atas.
Wuuuttt!
Gagal menyerang dada kakaknya, Datuk Gampo Alam menyambar tangan kanan yang berusaha
memukul ke arah selangkangannya. Tapi luput karena Datuk Bandaro Sati cepat merunduk sambil tarik pulang
serangannya.
“Datuk Bandaro Sati pandekar tujuh nagari! Kau memilih mati dari pada mendapatkan rejeki. Otakmu
yang konon cerdik bijaksana ternyata kosong melompong! Kau kemari hanya mencari mati!”
“Hemm, rupanya niat jahat itu sudah ada dalam hati dan darahmu sejak lama! Aku tahu kau yang
memfitnah anakku. Kini kau hendak bersutan di mata beraja di hati terhadapku huh! Dengar, bukan aku yang
akan mati tapi kau yang akan berkubur di Ngarai Sianok ini! Itupun kalau masih ada orang yang mau
menguburmu. Kalau tidak bangkaimu akan jadi santapan anjing-anjing ngarai!”
“Datuk setan! Bicaramu sombong sekali. Boleh kau berkata begitu kalau kau punya dua nyawa!” kata
Datuk Gampo Alam dengan pandangan mata berkilat-kilat. “Nama besarmu bagiku hanya kentut busuk
belaka! Atau kau mengandalkan keberanianmu pada keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang tersepi di
pinggangmu itu? Ha… ha… ha…! Keris itu sendiri yang akan kupakai menghabisi dirimu!”      
“Datuk keparat manusia jahat!” bentak Datuk Bandaro Sati. “Hari ini putus hubungan darah antara
kita! Aku tidak akan berdosa membunuh manusia sepertimu!”
“Bagus! Kalau begitu kau makanlah bekas tanganku ini!” kata Datuk Gampo Alam. Dia menyergap
dengan satu lompatan garang. Tinju kirinya menghunjam ke dada sedang dua jari tangan kirinya laksana dua
potong besi menusuk ke arah sepasang mata Datuk Bandaro Sati.
“Ilmu silat picisan tidak laku di hadapanku Datuk!” ejek Datuk Bandaro Sati. Tangannya kiri kanan
bergerak laksana silangan gunting.
Bukkk!
Dukkk!
Tubuh Datuk Bandaro Sati tergontai-gontai sesaat ketika lengan kirinya beradu dengan lengan kanan
Datuk Gampo Alam. Di saat yang sama, sambil memiringkan kepalanya untuk menghindari tusukan dua jari
lawan pada kedua matanya sang Datuk susupkan tinju kanannya ke dada Datuk Gampo Alam. Orang ini cepat
mengelak namun jotosan kakaknya masih sempat mampir di bahu kirinya hingga Datuk Gampo Alam
terpelanting dan pasti jatuh kalau tubuhnya tidak tertahan gerobak.
“Setan alas setan keparat!” rutuk Datuk Gampo Alam menahan sakit dan marah. Kepala dan lehernya
digoyang-goyangkan beberapa kali. Mukanya yang pucat tampak semakin tidak berdarah. Tapi dia cepat tegak
memasang kuda-kuda.
Di atas kereta, Daud alias Hantu Mata Picak berseru. “Datuk Gampo Alam, biar saya yang menghajar
manusia keparat itu!” Habis berseru begitu dengan satu gerakan enteng dia melompat turun dan tahu-tahu
sudah berada di samping kiri Datuk Bandaro Sati.
“Aku masih sanggup mempersiangi setan alas ini Daud! Tetap di tempatmu!” bentak Datuk Gampo
Alam. Lalu dia menerjang. Kini terjadi perkelahian seru antara kakak dan adik sedarah sekandung itu.
Masing-masing bukan saja mengeluarkan kekuatan luar tetapi juga mengandalkan tenaga dalam mengandung
hawa sakti yang mengeluarkan siuran angin dan sesekali sinar menggidikkan.
Meskipun Datuk Gampo Alam memiliki kegesitan luar biasa namun karena dirinya diselimuti nafsu
membunuh yang tidak terkendalikan maka beberapa kali serangan mautnya luput. Sebaliknya dua kali
serangan Datuk Bandaro Sati berhasil menemui sasarannya. Yang pertama berupa satu jotosan yang mendarat
dengan telak di ulu hati lawannya hingga Datuk Gampo Alam terlipat ke depan dan mengeluarkan suara seperti
orang mau muntah. Serangan kedua berupa hantaman telapak tangan pada pangkal lengan yang mendarat
keras di dagunya.
Inilah ilmu Pukulan Sterlak yang sanggup membuat hidung tanggal atau daging muka terkelupas.
Pukulan Sterlak yang menghantam dagunya terasa seperti menanggalkan kepalanya dari leher. Datuk Gampo
Alam terpelanting keras lalu terjengkang di tanah. Pemandangannya sesaat berkunang-kunang.
“Datuk Gampo Alam, pulanglah! Saat ini dengan ikhlas aku bersedia mengampuni segala kesalahan
dan perbuatanmu!” kata Datuk Bandaro Sati yang jadi tidak tega dan hiba melihat keadaan adiknya
menjepelok di tanah seperti itu.
Perlahan-lahan Datuk Gampo Alam berdiri. Mulutnya dibuka dan dikatupkannya beberapa kali. Ra-
hangnya seperti tanggal akibat Pukulan Sterlak tadi.      
“Terima kasih, kau berbaik hati menyuruh aku pulang. Ketahuilah aku akan pulang setelah kau jadi
bangkai di tempat ini! Setan!” Datuk Gempo Alam menutup kata-katanya dengan makian. Kedua kakinya
dikembang. Kedua lutut menekuk. Sepasang tangannya diacungkan ke atas dengan jari-jari tangan menekuk
seperti hendak meremas. Dari tenggorokannya keluar suara mencicit halus.
Datuk Bandaro Sati terkejut,  Ilmu Silat Tupai Pesisir. Dari mana dan kapan dia mempelajarinya?
Begitu Datuk Bandaro Sati membatin dalam hati. Baru saja dia bersiap-siap menghadapi serangan lawan tubuh
Datuk Gampo Alam melompat ke depan. Selanjutnya tubuhnya tampak bergerak sebat kian kemari,
melenting-lenting seperti bola. Tangan dan kakinya berkelebat aneh dalam gerakan-gerakan yang tidak
terduga. Inilah ilmu silat “tupai pesisir” yang kabarnya diciptakan seorang sakti puluhan tahun silam
kemudian lenyap tanpa bekas. Kalau kini ilmu itu muncul dan dapat dikenali oleh Datuk Bandaro Sati, tidak
heran dia merasa terkejut.
Untuk mengimbangi serangan lawan yang datang bertubi-tubi, Datuk Bandaro Sati terpaksa membuat
gerakan-gerakan cepat. Dengan pengalamannya yang segudang dia bertahan dan sesekali memotong serangan
lawan lalu melancarkan serangan balasan. Setelah menghadapi lawannya lebih dari sepuluh jurus ternyata ilmu
silat tupai pesisir itu tak bisa ditembus. Tekanan-tekanan dahsyat mulai dialami Datuk Bandaro Sati. Orang ini
mulai kacau pertahanannya ketika destar hitam dikepalanya berhasil disambar tangan lawan. Kalau tidak cepat
dia membungkuk pasti rambutnya kena dijambak Datuk Gampo Alam.
“Agaknya aku terpaksa mengeluarkan pukulan sakti andalanku. Tuhan, ampuni diriku kalau pukulan
ini akan membunuh adikku sendiri!” Datuk Bandaro Sati angkat tangan kanannya lurus-lurus ke atas. Jari
telunjuk menunjuk ke atas lagit.
“Telunjuk penembus raga!” teriak Datuk Gampo Alam ketika dia mengenali ilmu pukulan sakti yang
hendak dikeluarkan kakaknya. Parasnya menjadi tambah pucat. Dia memberi isyarat dengan gerakan tangan
pada Hantu Mata Picak yang saat itu berada tepat di belakang Datuk Bandaro Sati.
Melihat isyarat ini Hantu Mata Picak segera melompat. Lengan kirinya yang kokoh memiting leher
Datuk Bandaro Sati dengan keras sedang tangan kanannya mencekal pergelangan tangan sang Datuk.
“Pengecut kurang ajar! Menyerang dari belakang!” teriak Datuk Bandaro Sati marah. Siku tangan
kirinya dihantamkan ke belakang sekuat yang biasa dilakukannya.
Kraaakkk!
Terdengar suara tulang iga patah.
Si Hantu Mata Picak menjerit keras. Walau sakit setengah mati tapi orang bertubuh tinggi besar dan
bertampang angker ini tidak melepaskan cekalannya dari leher Datuk Bandaro Sati malah seperti dibantu setan
kekuatannya jadi berlipat ganda hingga Datuk Bandaro Sati sulit bernafas sementara tangan kanannya yang
hendak melepas pukulan telunjuk penembus raga tak dapat dibebaskannya. Dengan tersengal-sengal Datuk
Bandaro Sati mengerahkan seluruh kekuatannya. Justru pada saat itu dari depan datang Datuk Gampo Alam
menyergap. Dengan gerakan kilat dia menyambar keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang tersisip di pinggang
Datuk Bandaro Sati.      
Begitu senjata itu berada di tangannya segera dicabut lalu seperti kesetanan keris bertuah itu
dihunjamkannya keperut dan dada Datuk Bandaro Sati berulang-ulang. Setiap keris itu menusuk tubuh Datuk
Bandaro Sati kelihatan asap mengepul. Darah membasahi pakaian hijaunya.
Datuk Bandaro Sati meraung keras. Dengan sisa kekuatan yang ada dia kerahkan tenaga dalam.
Tangan kanannya bergetar keras. Satu sinar biru melesat menjulang ke langit. Hantu Mata Picak berteriak dan
lepaskan cekalannya pada lengan kanan sang Datuk. Tangannya terasa panas. Ketika dilihatnya ternyata
tangan itu menjadi hitam laksana hangus. Sakitnya bukan kepalang.
Di sebelah depan Datuk Gampo Alam masih terus menghujani tubuh kakak kandungnya dengan
tusukan-tusukan keris Tuanku Ameh Nan Sabatang. Terakhir sekati keris itu ditusukkannya dan dibiarkannya
menancap dipertengahan dada Datuk Bandaro Sati.
Hantu Mata Picak lepaskan pitingannya di leher Datuk Bandaro Sati. Tak ampun lagi Datuk ini segera
jatuh tertelentang di tepi Ngarai Sianok.
“Biar saya tendang bangsat ini ke dalam ngarai!” kata Hantu Mata Picak, sambil meringis menahan
sakit pada tulang iganya.
“Tak usah Daud! Biarkan saja! Lekas tinggalkan tempat ini sebelum ada orang datang dan melihat kita
disini!” kata Datuk Gampo Alam sambil membuang sarung keris emas ke tanah.
Mendengar hal itu Daud alias Hantu Mata Picak segera naik ke atas kereta. Datuk Gampo Alam
melompat pula ke atas kereta dan sesaat kemudian kereta itu berputar lalu meluncur kencang ke arah kaki
gunung Merapi tanpa satupun dari kedua penumpangnya mengetahui kalau saat itu, di balik sebuah batu besar
di antara kerapatan semak belukar sepasang mata menyaksikan apa yang telah terjadi di tempat itu dengan
tubuh menggigil. Karena tak sanggup menahan takut, orang ini segera hendak melarikan diri namun satu
keajaiban yang hampir tak dapat dipercayanya membuat kedua kakinya seolah dipaku ke tanah. Mulutnya
terkancing, wajahnya pucat. Hanya kedua matanya saja membeliak menyaksikan apa yang terjadi.
Dari dasar Ngarai Sianok tiba-tiba melesat satu bayangan putih ke arah tubuh Datuk Bandaro Sati
yang tergeletak di tanah. Sulit dipastikan apakah sosok tubuh ini sosok manusia atau setan. Sosok itu lebih
merupakan satu bayangan orang berjubah tembus pandang. Sosok ini sesaat tegak di samping tubuh Datuk
Bandaro Sati lalu membungkuk. Tangannya bergerak mencabut keris yang menancap di dada Datuk Bandaro
Sati. Kemudian bayangan ini memungut sarung keris yang tercampak di tanah. Sesaat setelah itu bayangan ini
melesat ke udara. Seolah terbang ke arah matahari. Silaunya cahaya matahari membuat orang di balik batu tak
dapat lagi melihat bagaimana lenyapnya bayangan aneh itu. Rasa takut yang tak dapat ditahannya lagi
menyebabkan orang ini segera menghambur lari meninggalkan tempat itu.
* * *      
TIGA
HANYA beberapa saat setelah orang yang tadi lari lenyap di kejauhan, seorang penunggang kuda
berpakaian dan berikat kepala putih-putih tampak mendatangi dari arah barat. Rambutnya gondrong menjela
bahu melambai-lambai ditiup angin. Sambil memacu kuda tunggangannya orang ini yang ternyata masih muda
dan bertubuh kekar memperhatikan pemandangan yang sangat indah di sekitarnya.
“Luar biasa, belum pernah aku melihat lembah seindah ini,” kata pemuda ini dalam hati. Baru saja dia
membatin begitu tiba-tiba kuda tunggangannya meringkik keras, menaikkan kedua kaki depannya
tinggi-tinggi dan tak mau lagi berlari.
“Heh… ada apa sobatku? Ada sesuatu yang mengganggumu?” Pemuda itu mengusap-usap leher
kudanya sambil kedua matanya memandang berkeliling. Di kejauhan, di tepi Ngarai Sianok sebelah timur di
lihatnya ada seekor kuda melangkah mondar-mandir. Tiba-tiba  binatang  di  kejauhan itu meringkik keras
seolah membalas ringkikan kuda yang ditunggangi si pemuda.
“Hemmm… Kau menemukan seorang sahabat. Baik, larilah ke arah sahabatmu disebelah sana!”
Seperti mengerti kuda tunggangan si pemuda berlari cepat ke arah kuda coklat di tepi ngarai.
“Ada kuda tak ada penunggang adalah mustahil!” kata pemuda gondrong begitu sampai di samping
kuda coklat. Kepala binatang itu dibelainya beberapa kali. Gerakan tangannya terhenti ketika kedua matanya
melihat sesosok tubuh bergelimang darah tergeletak di tanah. Pemuda ini serta merta melompat turun dan
mendekati sosok tubuh itu. Dengan sangat hati-hati tubuh itu dibalikannya. Wajah si pemuda mengerenyit
melihat begitu banyak luka di sekujur tubuh orang berpakaian hijau itu. Kedua mata orang ini terpejam. Si
pemuda memegang lengannya. Masih terasa hangat.
“Tubuhnya masih hangat. Berarti kejadiannya belum lama….” Pemuda itu lalu membungkuk,
meletakkan telinganya di dada orang “Ada detakan jantung. Perlahan sekali. Semoga Tuhan mengizinkan aku
menolongnya….” Lalu si pemuda menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada orang yang sekarat itu.
Perlahan-lahan dia mengalirkan tenaga dalam yang mengandung hawa sakti dingin. Orang yang ditolong tidak
memberikan reaksi apa-apa. Kedua matanya masih terpejam sedang tubuhnya tidak bergerak sedikitpun.
Pemuda itu mencoba sekali lagi. Kali ini dia mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang
dimilikinya.
Tenggorokan orang yang sekarat tampak bergerak turun naik. Lalu perlahan-lahan kedua matanya
yang sejak tadi tertutup membuka. Tiba-tiba seperti mendapat satu kekuatan, dalam keadaan seperti itu orang
ini berusaha bangkit namun hal itu tak mampu dilakukannya. Punggungnya terbanting ke tanah. Kedua
matanya kembali terpejam namun sebelumnya dia sempat melihat wajah orang yang menolongnya itu.
“Andana…. Tuhan Maha Besar. Syukur kau datang nak. Sebelum ajal datang menjemput… bawa aku
ke puncak Singgalang. Aku… aku ingin mati di sana. Di hadapan kakakku…. Uning Ramalah….”
“Andana, siapa yang dimaksudkannya dengan Andana? Diriku? Kasihan, Pandangan matanya pasti
sudah kabur. Umurnya tak akan lama.” Pemuda berambut gondrong itu berdiri, memandang ke arah kejauhan
dimana tampak berdiri gunung Singgalang.      
“Andana… Jangan kau tinggalkan aku di sini. Jangan biarkan aku menemui ajal di tempat ini. Bawa
aku ke puncak Singgalang. Andana anakku….” Suara orang yang tubuhnya penuh tusukan dan gelimang darah
itu terputus. Si pemuda cepat memeriksa. Lalu gelengkan kepala.  “Nyawanya putus sudah. Kini aku
menyandang kewajiban yang tak bisa kutolak.” Sesaat si pemuda menatap wajah orang yang malang itu lalu
menghela nafas panjang dan garuk-garuk kepala.
SEPERTI biasanya keadaan di setiap gunung, jalan mencapai puncaknya tidak mudah untuk dicapai.
Demikian juga dengan gunung Singgalang. Demikian yang dialami oleh pemuda berambut gondrong itu.
Hanya saja dia merasa beruntung karena kuda coklat yang membawa mayat lelaki berpakaian hijau seolah
sudah mengetahui seluk beluk gunung itu. Binatang ini berjalan di sebelah depan, bergerak dengan cepat
menuju puncak gunung. Si pemuda hanya tinggal mengikuti dari belakang.
Ketika sang surya tenggelam puncak gunung Singgalang masih jauh di atas sana. Waktu malam turun
keadaan jadi gelap gulita, tangan di depan mata pun tidak kelihatan. Pemuda berambut gondrong memutuskan
untuk menghentikan perjalanan. Dia mencari tempat yang haik lalu bermalam di situ dalam dinginnya udara
yang bukan olah-olah.
Tengah malam dalam keadaan susah memicingkan mata pemuda ini tiba-tiba melihat ada sesosok
bayangan berkelebat dalam gelap. Dia cepat berdiri dan bertanya. “Siapa di sana?!”
Tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Dan bayangan yang tadi terlihat mendadak sontak lenyap ditelan
kegelapan. Pemuda itu menggosok-gosok kedua matanya. “Aneh, tangan di depan mata tidak kelihatan tapi
mengapa bayangan tadi biasa terlihat? Jangan-jangan aku bermimpi! Tapi tidurpun aku belum masakan bisa
mimpi?!” Diam-diam pemuda itu merasa merinding. Dengan perasaan tidak enak dia kembali ke tempatnya
semula.
Kicau burung dan sinar matahari pagi yang menembus lewat kerimbunan daun-daun pepohonan
membuat pemuda yang baru bisa lelap menjelang dini hari itu terbangun. Begitu bangun yang dilakukannya
pertama kali adalah memandang berkeliling, Astaga. Terkejutlah pemuda ini. Sosok mayat orang berpakaian
hijau yang sebelumnya berada di atas kuda coklat kini tak kelihatan lagi. Pemuda itu memeriksa kian kemari.
Tetap saja dia tak berhasil menemukan mayat itu.
“Jangan-jangan dilarikan binatang buas.” Berpikir si pemuda.  “Tapi tak mungkin aku tidak
mengetahuinya. Lagi puia tak ada tanda-tanda bekas seretan di tanah. Tak ada semak belukar yang rambas.”
Pemuda ini berpikir keras. Tetap saja dia tidak dapat menduga apa yang telah terjadi dengan mayat itu. Pemuda
ini akhirnya duduk di akar pohon. Tiba-tiba dia ingat kejadian malam tadi. Ada satu bayangan yang muncul
secara mendadak dan lenyap secara aneh. “Jangan-jangan tempat ini banyak dedemitnya!” Katanya dalam
hati. Memikir sampai di situ dia segera berdiri. Tapi sesaat dia termangu. Apakah akan meneruskan perjalan
menuju puncak Singgalang atau berbalik menuju kaki gunung. Setelah menimbang-nimbang dalam hati
beberapa lama akhirnya pemuda ini mengambil keputusan untuk meneruskan perjalanan menuju puncak
gunung.
“Aku ketitipan kewajiban untuk membawa mayat itu kepuncak gunung dan menyerahkannya pada
seorang bernama Uning Ramalah. Jika ada seseorang tinggal di puncak gunung pastilah dia bukan orang
sembarangan. Ada baiknya aku menemui orang itu. Siapa tahu dia bisa memberi petunjuk tentang lenyapnya       
mayat itu. Juga siapa tahu dia kenal dengan Tua Gila yang tengah kucari-cari dan belum bertemu sampai saat
ini.”
Maka dengan menunggangi kuda coklat pemuda gondrong itu melanjutkan perjalanan menuju puncak
gunung Singgalang. Kudanya sendiri mengikuti dari belakang.
* * *      
EMPAT
EMUDA berambut gondrong itu hentikan kudanya di bawah sebatang pohon besar di puncak
Singgalang. Di hadapannya ada sebuah gubuk kayu beratap rumbia. Di halaman gubuk terhampar halaman
luas yang sebagiannya tertutup oleh batu-batu merah. Di tengah halaman inilah, di bawah siraman sinar
matahari pagi, di atas sehelai tikar kulit berbentuk bulat duduk seorang berjubah putih. Kepalanya yang
tertutup selendang kain sutera putih menunduk hingga si pemuda tidak dapat melihat wajahnya. Rambutnya
yang tersembul keluar tampak putih semua.
Di hadapan orang berselendang, di atas sehelai tikar jerami tebal terbujur tubuh manusia yang ditutupi
dengan kain putih mulai dari kepala sampai ke kaki hingga pemuda itu tidak dapat mengetahui siapa adanya
manusia yang berada di bawah kain itu. Namun hatinya menaruh syak wasangka bahwa itu adalah mayat orang
berbaju hijau yang ditolongnya yang lenyap secara aneh tadi malam.
Bau kemenyan memenuhi tempat itu yang keluar dari sebuah perasapan tanah dan terletak di samping
kiri orang berjubah putih.
Perlahan-lahan pemuda di atas kuda turun ke tanah. Dia tidak segera melangkah mendekati halaman
berbatu merah namun tetap berdiri di situ karena tidak berani menganggu orang berselendang yang diduganya
mungkin tengah melakukan semedi.
Setelah menunggu cukup lama akhirnya perlahan-lahan kelihatan orang berjubah dan berselendang
putih mengangkat kepalanya. Si pemuda melihat satu wajah perempuan tua berkulit putih keriputan.
Pandangan mata yang dingin dan seperti menembus dari perempuan tua itu membuat pemuda berambut
gondrong tercekat. Dia hendak menegur namun entah mengapa mulutnya seolah terkancing.
“Wajah pemuda ini mirip-mirip wajah murid saudaraku.” Perempuan tua itu membatin. Lalu dia
menegur.
“Siapa kau? Apa keperluanmu berada di tempat ini?” Tiba-tiba perempuan itu bertanya. Suaranya
perlahan dan penuh kelembutan tetapi mengandung wibawa yang sangat tinggi.
“Maafkan saya. Saya tidak bermaksud menganggu….”
“Jawab saja pertanyaanku!” memotong perempuan tua itu.
Sorotan mata dan ucapan orang membuat si gondrong menjawab seperti yang tidak dimintakan.
“Saya… saya kehilangan sesuatu,” katanya.
“Uang, harta benda….?” tanya perempuan yang duduk bersimpuh di atas tikar kulit.
“Bukan, bukan uang atau harta benda. Saya kehilangan sesosok mayat. Saya rasa….”
“Itu sebabnya kau datang kemari karena menyangka mayat itu ada di sini?”
“Tidak sepenuhnya seperti itu. Saya punya kewajiban untuk mengantarkan jenazah itu ke puncak
Singgalang. Untuk diserahkan pada seorang….”
“Siapa yang meminta kau melakukan itu?!”
“Mayat itu….” jawab si gondrong.
Kedua mata perempuan yang duduk di atas tikar kulit tampak mengeluarkan kilatan aneh, membuat si
gondrong jadi kembali tercekat!”
P      
“Mayat mana bisa bicara. Apalagi memberikan perintah!”
Si gondrong garuk-garuk kepalanya. “Maksud saya, orang itu meminta saya menolongnya sebelum
dia menghembuskan nafas terakhir. Malam tadi dia lenyap begitu saja. Tanggung jawab saya untuk
menemukannya dan menyerahkannya pada orang yang disebutnya.”
Kedua mata perempuan itu bergerak aneh. Tiba-tiba saja pandangan matanya dapat menembus
pakaian yang dikenakan pemuda di hadapannya. Dia bisa melihat semua benda yang terlindung di balik
pakaian itu. Dia mampu melihat sebuah kapak bermata dua di pinggang kiri. Lalu sebuah batu hitam di
pinggang kanan dan sekuntum bunga kering pada saku baju sebelah kiri. “Dia bersenjatakan kapak. Jadi bukan
dia yang membunuh saudaraku.” Kata perempuan tua berwajah putih itu.
“Jadi sebelum mati orang itu meminta kau mengantarkan dirinya pada seseorang di puncak gunung
ini?”
“Betul sekali.”
“Orang itu menyebutkan nama?”
“Benar. Dia menyebut nama Uning Ramalah….”
“Aku Uning Ramalah!” kata perempuan berselendang putih dengan sepasang mata tak berkesip.
Si gondrong cepat membungkuk. “Maafkan saya. Saya tidak tahu kalau Uning Ramalah adalah
seorang perempuan.”
“Kau bukan orang sini?!” perempuan tua itu bertanya penuh selidik.
“Saya datang dari tanah Jawa,” jawab si gondrong.
“Siapa namamu?”
“Saya Wiro. Wiro Sableng….”
“Apa tujuanmu datang kemari?”
“Saya dalam perjalanan mencari seorang tua bernama Tua Gila….”
“Apa hubunganmu dengan orang itu?”
“Dia… dia sudah menganggap diri saya seperti anak sendiri. Saya pernah mendapatkan pelajaran silat
sejurus dua jurus dari dia….”
“Kalau kau mencari orang bernama Tua Gila itu, lalu bagaimana kemudian kau bilang punya
kewajiban untuk mengantarkan sesosok mayat ke puncak Singgalang?”
“Saya menemukan orang itu di tepi Ngarai Sianok. Dalam keadaan sekarat dia meminta saya
mengantarkannya ke sini. Hanya saja malam tadi mayat itu lenyap. Saya tidak dapat memastikan apakah dicuri
setan atau dilarikan binatang buas.”
Perempuan tua bernama Uning Ramatah itu memandang ke arah sosok tubuh yang terbujur di bawah
kain putih. Lalu dia berpaling pada Wiro. “Coba kau singkapkan kain putih itu. Apa dia orang yang kau
maksudkan?”
Wiro melangkah mendekati sosok yang tertutup kain putih. Dia berjongkok lalu perlahan-lahan
menyingkapkan kain putih di bagian kepala. Wiro mengenali wajah itu lalu memandang pada Uning Ramalah
seraya berkata.  “Memang dia orangnya.”      
“Dia adalah Datuk Bandaro Sati. Adik kandungku. Dia mati dibunuh orang. Kau tahu siapa
pembunuhnya?”
Wiro menggeleng. “Ketika saya menemukannya dia hanya sendirian dalam keadaan sekarat. Tapi di
tanah saya melihat jejak-jejak kaki kuda banyak sekali dan bekas gilasan roda kereta.”
“Setahuku adikku memiliki sebilah keris sakti bertuah. Senjata itu tidak ada padanya. Kau melihat
keris itu? Terbuat dari emas….”
Wiro menggeleng.
Mata perempuan tua itu mengeluarkan kilatan aneh. Kembali dia mampu melihat menembus ke balik
pakaian Wiro. Dia tidak melihat benda yang dimaksudkannya.  “Pemuda ini tidak berdusta. Dia tidak
mengambil dan menyembunyikan keris itu.”
“Malam tadi, aku sengaja menjemput jenazah adikku. Aku tak ingin dia lama-lama tersiksa….”
“Ah. jadi dia rupanya yang membawa lari mayat orang ini,” kata Wiro dalam hati.
“Jenazah itu harus dikubur. Saya bersedia menolong menggalikan kuburnya,” kata Wiro kemudian.
“Tidak sekarang anak muda. Paling cepat dua hari lagi. Ada seseorang yang harus melihatnya sebelum
dimakamkan.”
“Tapi kalau menunggu sampai dua hari, jenazah ini bisa busuk.”
“Aku sudah mengawetkannya dengan sejenis bubuk.”
Wiro hanya bisa mengangguk-angguk mendengar ucapan orang. “Saya rasa, kewajiban saya sudah
saya jalankan walau tidak dengan baik. Saya mohon diri meninggalkan tempat ini.”
“Aku belum sepenuhnya yakin kalau kau tidak ada sangkut pautnya dengan kematian adikku. Karena
itu kau tidak boleh meninggalkan tempat ini sampai orang yang kutunggu datang.”
Pendekar 212 Wiro Sableng tentu saja jadi terkejut mendengar kata-kata itu. Tentu saja dia merasa
keberatan. Namun pandangan mata perempuan di hadapannya membuat hatinya tergetar. Maka murid Eyang
Sinto Gendeng dari gunung Gede inipun berkata. “Menunggu dua hari rasanya tidak mungkin bagi saya.
Apalagi kalau orang itu ternyata datang seminggu atau dua minggu kemudian….”
“Aku lebih tahu dirimu anak muda…!”
“Saya menyesalkan mengapa kau seperti mencurigai diriku!” kata Wiro. “Semula saya hanya punya
maksud menolong semata. Mengapa kini seolah hendak dijadikan kambing hitam?”
Perempuan tua bernama Uning Ramalah itu tidak menyahut apa-apa. Wajahnyapun tampak tidak
berubah. Perlahan-lahan kepalanya ditundukkan kembali. Melihat hal ini Wiro Sableng segera putar tubuhnya
dan melangkah meninggalkan tempat itu. Namun dia hanya mampu bergerak satu langkah.
* * *      
LIMA
PENDEKAR 212 Wiro Sableng merasakan kedua kakinya seperti dipantek ke tanah. Bagaimanapun
dia mengerahkan tenaga luarnya dia tak mampu menggerakkan kakinya. Wiro menoleh ke belakang.
Dilihatnya perempuan bernama Uning Ramalah itu masih tetap duduk di tempatnya dengan mendudukkan
kepala.
“Apa sebenarnya maunya orang ini? Aku tidak mengharapkan dia berterima kasih. Tapi kalau begini
balas budinya kurasa keterlaluan!” Wiro lalu salurkan tenaga dalam pada kedua kakinya. Lututnya sampai
bergetar karena dia sengaja mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang ada. Tanah gunung yang
dipijaknya ikut bergetar lalu tampak tanah di sekitar situ retak merengkah. Bahkan tiba-tiba ada kepulan asap
keluar dari celah tanah yang retak itu.
Wiro kembali berpaling. Dilihatnya Uning Ramalah masih bersimpuh di atas tikar kulit itu. Kepalanya
masih tertunduk namun kini kelihatan ada getaran-getaran yang menjalari tubuhnya. Ini satu pertanda adanya
kekuatan yang mencoba menerobos memasuki tubuhnya untuk menantang kekuatan tenaga dalamnya.
Menyadari apa yang terjadi perempuan tua itu perlahan-lahan gerakkan tangan kanannya ke samping.
Jari telunjuk dan jari tengah diluruskan. Lalu kedua jari itu ditusukannya ke dalam tanah hingga amblas sampai
ke pangkalnya. Bersamaan dengan itu Wiro merasakan seolah ada benda panas menusuk kedua telapak
kakinya dengan keras hingga dia berteriak akibat kejut dan kesakitan.
“Orang tua! Aku tidak mengira kau berhati culas!” kata Wiro dengan suara keras mulai kasar.
Uning Ramalah yang ditegur tetap saja diam membisu.
Wiro sendiri meski kedua kakinya terpaku ke tanah namun dia masih bisa menggerakkan auratnya
yang lain. Murid Sinto Gendeng ini keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212-nya. Sinar menyilaukan
menghampar di tempat itu. Uning Ramalah tetap saja tidak bergerak. Perlahan-lahan Wiro membungkuk.
Dengan salah satu mata kapak dia menggurat tanah di sekitar kakinya dalam bentuk lingkaran. Senjata mustika
itu kemudian disimpannya kembali.
Di tempatnya bersimpuh Uning Ramalah cabut kedua jarinya yang menancap di tanah. Lalu kedua jari
itu dihujamkannya kembali ke bagian tanah yang lain. Di tempatnya terpaku Pendekar 212 tidak merasakan
apa-apa.
Guratan Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata mampu melindunginya, tidak bisa ditembus lagi oleh
ilmu kesaktian Uning Ramalah. Perlahan-lahan perempuan berwajah putih itu cabut kedua jarinya dari dalam
tanah. Dia terkejut ketika melihat dua jarinya itu berwarna kemerahan dan mengepulkan asap. Dalam hatinya
perempuan ini membatin.  “Ilmunya ternyata tinggi sekali, pasti dia mampu membantu anak adikku. Itu
sebabnya aku ingin dia berada di sini sampai anak itu datang. Sayangnya dia salah sangka.”
Di atas tikar kulit di halaman berbatu-batu merah itu kembali Uning Ramalah duduk menundukkan
kepala seperti orang tengah merenung. Tiba-tiba dia mendengar pemuda di seberang sana berseru.
“Orang tua, saya mohon sekali lagi agar kau melepaskkan kedua kakiku!”
Uning Ramalah diam saja.
Wiro menggerendeng dalam hati.      
“Kau tak mau menjawab baik! Kau tak mau membebaskan kedua kakiku bagus! Jangan salahkan
kalau aku terpaksa berlaku kurang ajar! Lihat saja apa yang akan kulakukan!”
“Eh, apa yang hendak dilakukan pemuda Jawa ini?” Tanya Uning Ramalah dalam hati. Kepalanya
diangkat sedikit. Kedua matanya memperhatikan apa yang hendak diperbuat pemuda bernama Wiro Sableng
itu. Mendadak sontak kedua mata perempuan tua itu jadi mendelik. Wajahnya yang putih berubah merah
laksana saga.
Di tempatnya terpantek ke tanah, Pendekar 212 membuka tali pengikat pinggang celananya. Lalu enak
saja celana itu dimerosotkannya ke bawah hingga jatuh tergulung di tanah di kedua kakinya. Kini dia berdiri
membelakangi Uning Ramalah dengan tubuh sebatas pinggang ke bawah melompong bugil.
Sambil menyeringai Pendekar 212 berkata.  “Rasakan olehmu sekarang!” Lalu tidak
tanggung-tanggung dia membalikkan badannya. Berarti auratnya sebelah bawah yang telanjang itu akan
menghadap Uning Ramalah.
Tetapi ketika dia berpaling, ternyata dilihatnya perempuan tua itu tak ada lagi ditempatnya semula.
Wiro memandang ke arah pintu gubuk. Dia masih sempat melihat Uning Ramalah membantingkan pintu
gubuk dengan keras.
“Sialan dia malah pergi. Tapi apa tadi dia sempat melihat bokongku?”Wiro bertanya dalam hati. Wiro
mengomel dalam hati. Kalau mengikuti amarahnya mau saja dia saat itu menghantam gubuk itu dengan
pukulan “sinar matahari”.
Di dalam gubuk Uning Ramalah tertegun beberapa saat. Dia coba menenteramkan degup jantung dan
aliran darahnya. Bagaimanapun tadi dia cepat-cepat memalingkan kepala dan berdiri pergi namun kedua
matanya masih sempat melihat apa yang dilakukan pemuda bernama Wiro Sableng itu.
Untuk lebih menenangkan hatinya Uning Ramalah mengambil mukenah lalu membentang selembar
tikar di lantai gubuk yang terbuat dari papan dan sangat bersih itu.
Dengan kekhusukan penuh perempuan ini lalu melakukan sembahyang hajat. Selesai sembahyang dia
tetap duduk di tikar itu, memejamkan kedua matanya, mengambil sikap seperti orang tengah mengheningkan
cipta rasa. Sesaat kemudian, perlahan-lahan dalam pelupuk matanya muncul bayangan dari suatu tempat yang
terletak jauh di sebelah utara pulau Andalas. Dia melihat sebuah bangunan kecil. Lalu sebuah air terjun. Lalu
muncul satu wajah lelaki tua bersorban hitam yang memiliki sepasang alis berwarna merah.
Dari mulut Uning Ramalah kemudian terdengar suara perlahan. “Sahabatku Datuk Alis Merah
masuklah ke dalam alamku. Aku perlu bertemu denganmu….”
* * *      
ENAM
SANG SURYA belum lama menyembul di ufuk timur. Udara masih terasa dingin. Angin pagi
berhembus kencang. Namun desaunya dan suara daun-daun pepohonan yang bergemerisik terkena sapuannya
tidak terdengar karena lenyap ditelan oleh suara air terjun yang mencurah pada ketinggian dua puluh kaki. Air
terjun ini terletak di dasar sebuah lembah batu cadas, tak berapa jauh dari aliran anak sungai Asahan.
Di atas batu cadas hitam, di bawah curahan air terjun tampak sesosok tubuh tinggi kekar bergerak
bergerak gesit-gesit kian kemari. Sepasang tangan dan kedua kakinya melesat membuat pukulan dan
tendangan yang sesaat mampu menyibak curahan air terjun. Dari gerakan yang dibuat pemuda ini jelas dia
tengah melakukan gerak jurus-jurus ilmu silat.
Tak jauh dari situ, di lamping sebuah bukit batu, tanpa diketahui oleh pemuda tadi, berdiri seorang tua
berjubah putih mengenakan sorban berwarna hitam. Kedua alis matanya berwarna sangat merah laksana darah.
Janggutnya yang putih panjang melambai-lambai ditiup angin pagi. Di tangan kanannya orang bersorban
hitam ini memegang sebatang tongkat kayu yang ujungnya dilapisi besi tajam hampir menyerupai sebuah
lembing.
Sesekali tampak kening orang tua ini berkerut. Di lain saat ada sesungging senyum muncul di
bibirnya. Tak jarang pula dia menggangguk-anggukkan kepala sambil mengusap janggut putihnya. Di bawah
air terjun pemuda yang berlatih silat kelihatan membuat gerakan memukul dan menendang. Gerakannya
demikian cepat hingga tubuhnya seolah-olah satu bayangan yang berkelebat di bawah curahan air terjun.
Tiba-tiba gerakan itu berubah lambat seperti gerakan orang menari. Di pertengahan batu cadas hitam yang
dipijaknya pemuda itu hentikan gerakan lalu kedua kakinya membentuk kuda-kuda yang kokoh. Rahangnya
mengembung, mulutnya terkatup rapat. Perlahan-lahan perutnya yang berotot tampak mengempis. Sebaliknya
dadanya membusung. Otot-ototnya bertonjolan. Bersamaan dengan itu pemuda ini angkat kedua tangannya ke
atas. Masing-masing telapak tangan dikembangkan. Tubuhnya bergetar tanda dia mengerahkan tenaga dalam
yang hebat. Hawa panas membungkus seluruh permukaan kulitnya, membuat keluarnya asap tipis ketika
tubuhnya tersentuh air terjun.
Ketika dua telapak tangan yang diangkat melewati bahu tiba-tiba terjadilah satu hal yang sulit
dipercaya. Air terjun yang jatuh ke bawah dengan deras itu mendadak terhenti curahnya laksana ditahan oleh
satu tembok batu yang tidak kelihatan. Keanehan ini bukan sampai di situ saja. Ketika si pemuda membuat
gerakan mendorong ke atas, curahan air terjun kelihatan ikut naik, terdorong ke atas sampai sejauh satu tombak
lebih.
Di lamping bukit orang tua bersorban hitam sesaat tampak tercekat menyaksikan kejadian itu. Hatinya
berkata. “Selama dunia terkembang baru ada dua orang yang sanggup menahan dan mendorong curahan air
terjun seperti itu. Guruku dan aku. Kini dia menjadi orang ke tiga yang sanggup melakukannya!”
Di bawah curahan air terjun, si pemuda keluarkan teriakan keras lalu perlahan-lahan turunkan kedua
tangannya. Air terjun kembali mencurah ke bawah. Diam-diam si pemuda merasa puas. Sebelumnya dia telah
mencoba beberapa kali melakukan hal itu. Baru sekarang dia sanggup membuat gerakan sempurna hingga
mampu menahan bahkan mendorong curahan air terjun ke atas.      
Penuh rasa bangga dan percaya diri si pemuda kembali melanjutkan gerakan-gerakan silatnya di
bawah curahan air terjun. Pada saat itulah mendadak tampak melayang sebuah lembing. Benda ini melesat ke
arah belakang kepala si pemuda. Sekali lembing itu menancap di batok kepalanya sebelah belakang jangan
harap dia bisa lolos dari maut.
Si pemuda memang sama sekali tidak melihat datangnya lembing maut tersebut. Namun sepasang
telinganya yang tajam tidak bisa ditipu walau curahan air terjun begitu keras. Hanya dua jengkal ujung
lembing akan menembus batok kepalanya, pemuda ini tiba-tiba sekali merunduk sambil membuat gerakan
berputar. Bersamaan dengan itu dari mulutnya keluar bentakan keras. Tangan kanannya menghantam ke atas.
Kraakk!
Lembing yang lewat di atas kepalanya mental setelah terlebih dulu patah dua dihantam pukulannya.
Baru saja dia lolos dari bokongan tadi tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Satu tendangan menderu ke
arah perutnya.
Si pemuda berteriak keras. Dia cepat menyingkir ke samping sambil menepis kaki yang menendang.
Namun saat itu pula satu gebukan menghantam ke arah kepalanya. Mau tak mau terpaksa pemuda ini batalkan
niat memukul kaki lawan lalu dengan cepat jatuhkan diri ke bawah. Begitu serangan lawan gelap itu lewat dia
cepat menghantam ke atas dengan tangan kanan. Inilah jurus yang dinamakan “membantai matahari”.
Selain gerakan memukul dilakukan secara kilat, pukulan itu juga disertai aliran tenaga dalam. Tapi
ternyata tidak mudah untuk menghajar si penyerang yang rupanya juga memiliki gerakan cepat laksana
berkelebatnya setan. Malah satu jotosan balasan tiba-tiba menderu lagi ke arah kepala si pemuda. Meski agak
terperangah namun pemuda ini masih sempat mengelak. Jotosan lawan menghantam dinding batu di
belakangnya. Dinding ini retak besar bahkan bagian yang kena hantaman langsung kelihatan hancur
berlobang.
Belum sempat pemuda ini menarik nafas lega mendadak datang lagi satu serangan. Lima jari tangan
kanan yang ditekuk ke dalam mencari sasaran di batang lehernya. Si pemuda berteriak keras. Kedua lututnya
menekuk tajam. Kedua tangan laksana kilat menyambar lengan yang melancarkan pukulan. Si penyerang
berseru kaget ketika lengannya kena dicekal. Selagi dia berusaha melepaskan cekalan itu, si pemuda telah
lebih dulu menarik lengan itu kuat-kuat ke bawah hingga lawan ikut terseret dengan keras. Pada saat tubuh
lawan terjerembab si pemuda susupkan kaki kanannya ke perut orang lalu dibarengi bentakan keras tubuh
lawan dilemparkan ke dinding batu cadas di belakangnya.
Saat itulah terdengar suara tawa bergelak. Tubuh yang dilempar mental tadi sesaat mengapung di
udara lalu membalik turun dengan cepat. Sambil melayang ke bawah orang ini gerakkan tangan kanannya.
Dari tangan yang dimiringkan itu tiba-tiba berkiblat sinar merah laksana sambaran lidah api disertai suara deru
yang menggidikkan.
“Pukulan Inti Api!” teriak si pemuda begitu dia mengenali pukulan sakti itu. Si penyerang masih
tampak samar-samar dalam gerakannya yang laksana kilat, namun kini si pemuda sudah dapat menduga siapa
adanya orang itu. Dengan cepat dia menjatuhkan diri, bergulingan di atas batu cadas terus menceburkan diri ke
dalam air. Ujung lidah api menyambar batu cadas sejarak lima langkah di depan pemuda itu. Batu itu hancur
berantakan. Si pemuda merasakan kuduknya sedingin es. Kalau terlambat sedikit saja tadi dia menyelamatkan       
diri, pasti nyawanya tidak tertolong.
Dengan cepat si pemuda keluar dari dalam air. Begitu sampai di hadapan si penyerang dia langsung
jatuhkan diri, berlutut seraya berseru. “Guru!”
Si penyerang tanpa ampun tadi ternyata adalah orang tua bersorban hitam berjubah putih yang punya
sepasang alis mata berwarna semerah darah. Orang tua ini pegang rambut gondrong muridnya yang basah
kuyup lalu berkata. “Kepandaianmu telah maju pesat muridku. Aku gembira. Berarti kalau aku mati sudah ada
seseorang yang mewarisi seluruh kepandaianku. Sekarang kembalilah ke pondok. Tukar pakaianmu. Tunggu
aku di sana. Ada sesuatu yang akan kubicarakan denganmu Andana.”
Sang murid yang bernama Andana itu anggukkan kepala. Ketika dia baru bergerak satu langkah
tiba-tiba terdengar seruan sang guru. “Andana, tunggu! Aku melihat satu keanehan di tempat ini!”
Andana cepat berpaling. “Apa maksud Datuk Alis Merah?”
“Lihat ke depan sana,” jawab orang tua yang dipanggil dengan nama Datuk Alis Merah seraya
menunjuk ke arah ketinggian dimana terletak sebuah batu cadas besar rata sejarak dua puluh langkah di depan
mereka. “Puluhan tahun aku hidup di tempat ini. Tak pernah kejadian ada kabut di sini!”
Andana memandang ke jurusan yang ditunjuk gurunya. Memang benar. Di depan sana dia melihat
kabut menutupi bagian lembah seluas seratus kaki persegi, tetapi di atas batu cadas besar dan rata itu.
“Agaknya itu bukan kabut biasa Datuk. Coba perhatikan,” kata Andana pula.
“Demi Tuhan kau benar muridku! Itu memang bukan kabut biasa!” kata Datuk Alis Merah dengan air
muka berubah. Baru saja orang tua ini berkata begitu tiba-tiba terdengar suara mengaum yang dahsyat. Batu
yang mereka injak terasa bergerak. Air yang tergenang di antara bebatuan tampak bergelombang. Memandang
ke depan tanpa berkesip guru dan murid melihat samar-samar munculnya satu sosok seekor harimau besar di
balik ketebalan kabut. Binatang ini memandang lurus-lurus ke arah Datuk Alis Merah dan Andana. Ekornya
bergerak-gerak. Binatang ini mengaum sekali lagi, membuat lembah batu itu kembali bergetar.
“Hemmmm. Tunggangannya telah muncul. Tapi tamunya sendiri belum kelihatan.” Terdengar Datuk
Alis Merah berkata perlahan seolah-olah pada dirinya sendiri.
“Datuk, siapa gerangan tamu yang Datuk maksudkan?” bertanya Ananda.
“Yang aku tahu hanya ada satu orang yang memiliki tunggangan seekor harimau. Ayahmu, Datuk
Bandaro Sati.”
Paras Andana berubah. “Ayah saya Datuk …? Tak biasanya, bahkan tak pernah beliau muncul seperti
ini. Kecuali kalau beliau….” Andana tidak meneruskan ucapannya. Hatinya berdetak tidak enak.
“Aku tidak tahu keajaiban apa yang tengah terjadi di hadapan kita saat ini Andana. Kita harus
bersiap-siap. Agaknya ada satu hal luar biasa telah atau akan terjadi di luar kemampuan kita untuk
mencegahnya….”
Samar-samar di dalam kabut tiba-tiba tampak menyeruak sosok tubuh lelaki berwajah gagah dihiasi
kumis tipis, berusia sekitar setengah abad. Dia mengenakan destar hitam dan pakaian hijau. Pakaiannya ini
tampak penuh dengan lobang-lobang bekas tusukan dan darah membasahi hampir sekujur pakaian itu. Di
pinggangnya tersisip sebilah keris terbuat dari emas.
Datuk Alis Merah ternganga melihat kemunculan sosok tubuh yang laksana bayang-bayang itu.       
Bibirnya bergetar ketika dia berkata. “Sahabatku Datuk Bandoro Sati. Kau muncul seperti ini…. Apakah yang
telah terjadi?”
Andana sendiri yang tegak di samping Datuk Alis Merah sudah sejak tadi terkesiap dengan mata
melotot. Sosok samar-samar di dalam kabut itu dikenalinya memang sosok ayahnya. Tapi mengapa dia bisa
muncul seperti ini dan dengan pakaian berlumuran darah begitu rupa? Dipenuhi oleh rasa tidak percaya dia
menjatuhkan diri berlutut. Lidahnya kelu ketika dia memanggil. “Ayah….”
Lelaki di dalam kabut yang merupakan penjelmaan Datuk Bandoro Sati menyapu wajah kedua orang
di depan air terjun itu dengan pandangan matanya yang aneh. Lalu terdengar suaranya berucap seolah datang
dari dasar lobang yang jauh namun jelas dan bergema.
“Sahabatku Datuk Alis Merah, anakku Andana. Hanya kuasa Tuhan yang membuat hal ini bisa terjadi.
Aku datang hanya sebentar. Untuk menyampaikan pesan. Andana, kembalilah segera ke Pagaralam tanah
kelahiranmu di Pagaruyung. Selamatkan rumah gadang milik kita yang hendak dirampas oleh manusia culas
berotak kotor serakah. Selamatkan semua harta pusaka yang ada di situ. Harta pusaka itu adalah warisan
leluhur kita sejak zaman Yang Dipertuan Sri Baginda Adityawarman. Selamatkan tanah kelahiranmu dari
manusia tamak serakah yang hendak menguasai negeri, menghancurkan budaya kita…. Namun sebelum kau
pergi ke Pagaralam, naiklah dulu ke puncak Singgalang. Temui adikku Uning Ramalah. Aku juga akan
menunggumu di sana.”
Habis berkata begitu bayangan orang di balik kabut menggerakkan tangannya ke pinggang. Lalu
tampak dia membungkuk meletakkan sesuatu di atas batu cadas. Benda itu memancarkan sinar kuning
berkilauan terkena sinar matahari pagi.
“Aku pergi sekarang. Selamat tinggal anakku. Selamat tinggal sahabatku Datuk Alis Merah. Tuhan
Maha Besar. Kalian akan mendapatkan perlindungan dari-Nya.”
“Ayah!” seru Andana seraya berdiri dan hendak mengejar. Namun auman harimau di atas batu sana
membuat dia terperangah dan seolah terpaku di tempatnya.
Perlahan-lahan sosok binatang buas ini, disusul sosok Datuk Bandoro Sati menjadi pudar dan samar.
Akhirnya keduanya lenyap sama sekali. Tapi lama kemudian kabut yang tadi muncul secara aneh juga ikut
sirna.
“Datuk, apakah kita tidak bermimpi?” bertanya Andana pada Datuk Alis Merah.
“Kita tidak bermimpi muridku. Yang datang tadi benar-benar bayangan ayahmu. Hanya saja ada
keanehan yang tidak bisa kupecahkan. Dia datang dengan pakaian berlumuran darah. Sekujur tubuhnya penuh
lobang-lobang bekas tusukan.”
“Lalu apakah saya harus mengikuti apa yang tadi dikatakan beliau?” tanya Andana. “Kembali ke
Pa-garalam di Pagaruyung?”
“Mari kita kembali ke pondok. Kita bicara di sana. Tapi kita periksa dulu apa yang tadi diletakkan
Ayahmu di atas batu sana.”
Datuk Alis Merah berkelebat ke atas batu cadas. Andana mengikuti. Guru dan murid itu sampai di atas
batu cadas hitam di tempat ketinggian. Di sini mereka menemukan sebilah keris berhulu dan bersarung emas.
“Tuhan Maha Besar!” seru Datuk Alis Merah. “Andana, ambillah keris itu. Itu adalah senjata sakti       
bertuah, bernama Tuanku Ameh Nan Sabatang. Keris itu adalah salah satu senjata dari sekian banyak pusaka
warisan nenek moyangmu. Ayahmu sengaja meninggalkannya untukmu….”
“Aneh guru. Kalau Ayah memang hendak memberikannya pada saya mengapa harus dengan cara ini?
Mengapa tidak menunggu sampai saya berada di Pagaruyung?”
Datuk Alis Merah tidak menjawab. Di balik semua keanehan ini, si orang tua yang arif telah punya
firasat bahwa sesuatu telah terjadi dengan diri Datuk Bandaro Sati. Namun takut kesalahan dia tak mau
mengatakan apa-apa pada muridnya selain berucap. “Ambil keris itu Andana. Pelihara baik-baik….”
Sesaat Andana tampak meragu. Dia memandang pada Datuk Alis Merah. Orang tua ini anggukkan
kepala. Akhirnya Andana membungkuk mengambil keris emas itu dengan tangan gemetar. Begitu dia
menyentuh senjata bertuah ini ada hawa aneh keluar dari keris, mengalir masuk ke dalam lengannya terus ke
sekujur tubuhnya. Saat itu juga dia merasa satu kelainan terjadi pada dirinya. Tubuhnya terasa jadi lebih
ringan. Andana mengulurkan keris itu pada gurunya. Datuk Alis Merah menyambuti. Sesaat
ditimbang-timbangnya keris itu sambil memperhatikan dengan seksama. “Keris bagus ukiran indah,” kata
sang Datuk. Lalu dia menggerakkan tangan hendak mencabutnya. Ketika ditarik hulu dan badan keris ternyata
tidak bisa dipisahkan dari sarungnya. Datuk Alis Merah kerahkan tenaganya dan mencoba sekali lagi. Tetap
saja keris itu tidak bisa tercabut dari sarungnya. Penasaran orang tua ini kerahkan tenaga dalam lalu kembali
berusaha mencabut senjata itu dari sarungnya. Sampai sekujur tubuhnya gemetaran dan keringat memericik di
wajahnya Datuk Alis Merah masih tidak dapat mencabut keris sakti bertuah itu.
“Aneh,” kata Datuk Alis Merah sambil mengembalikan keris Tuanku Ameh Nan Sabatang pada
Andana. “Muridku, coba kau yang mencabutnya.”
Andana mengambil senjata itu kembali. Tangan kiri memegang sarung dan tangan kanan memegang
hulu. Mulutnya mengucapkan Bismillahir rohma nir-rohim. Dua tangan bergerak ke arah yang berlawanan.
Sret! Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang tercabut dari sarungnya. Sinar kuning menyilaukan memancar dari
badan senjata yang juga terbuat dari lapisan emas berukir huruf-huruf Arab.
“Tuhan Maha Besar. Senjata itu memang berjodoh denganmu Andana. Rupanya hanya orang-orang
yang bertali darah dengan nenek moyangmu yang bisa mencabut senjata sakti ini dari sarungnya.”
Andana memperhatikan senjata itu dengan penuh kagum lalu dengan hati-hati dimasukkannya
kembali ke dalam sarungnya.
* * *      
TUJUH
DI PINTU pondok Datuk Alis Merah memegang bahu muridnya. “Kau pergi bersama doaku, Andana.
Jaga dirimu baik-baik. Ingat segala pelajaran yang telah kau terima dariku walau hanya kau dapat seumur
jagung. Ilmu kepandaian bukan untuk menyusahkan orang lain. Apalagi kalau sampai digunakan untuk
mencelakai dan bunuh membunuh.”
“Terima kasih atas petuah itu Datuk. Sebenarnya kalau tidak menimbang pesan Ayah, saya tidak akan
meninggalkan Datuk. Datuk memang sahabat Ayah saya. Tapi bagi saya Datuk sudah saya anggap sebagai
orang tua sendiri.” Andana membungkuk lalu menyalami tangan orang tua itu dan menciumnya.
“Ingat baik-baik Andana. Perjalanan ke kampung halamanmu di Pagaruyung mungkin bukan satu
perjalanan pulang kampung yang menyenangkan. Pasti banyak orang yang suka padamu, tetapi banyak pula
yang dengki dan jahat. Masih banyak orang yang akan terus melancarkan fitnah keji padamu. Apalagi kau
telah dicap sebagai pelarian. Buronan dari penjara Batusangkar. Karenanya hati-hatilah dalam setiap tindak
dan langkahmu. Walau kau asli orang Minang namun tetap harus kau ingat pada kata-kata bertubah. Dimana
bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
Dengan tangan kirinya orang tua itu mengusap kepala Andana lalu berkata. “Jika kau sampai di
puncak Singgalang sampaikan salamku pada adik ayahmu Uning Ramalah. Katakan bahwa aku ada baik-baik
saja. Aku berharap dia begitu juga.”
“Salam dan kata-kata guru akan saya sampaikan.”
Datuk Alis Merah mengangguk. “Sebelum kau pergi temui dulu adikmu. Hibur hatinya. Dia tampak
gelisah sejak dia tahu kau akan meninggalkan tanah Asahan ini.”
“Saya memang akan menemuinya guru,” kata Andana pula.
Tak berapa jauh dari pondok ada sebuah jalan menurun di antara semak belukar dan pepohonan.
Andana melangkah mengikuti jalan ini yang pada akhirnya membawanya pada sebuah telaga kecil. Begitu
jernihnya air telaga hingga dasar telaga yang dangkal dan penuh dengan batu-batu dapat terlihat dengan jelas.
Di sebelah kiri telaga ada sebuah pancuran. Di bagian kanan terdapat saluran yang mengalirkan air telaga ke
pedataran rendah.
Sejarak enam langkah dari telaga itu terdapat sebuah batu rata. Di atas batu inilah duduk
membelakangi sosok seorang dara berbaju kurung. Sehelai selendang putih tergulung di atas kepalanya.
Di atas batu di samping sang dara terletak satu bungkusan kecil. Tangannya memegang beberapa batu
kecil. Satu demi satu batu itu dilemparkannya ke dalam telaga. Ketika dia hendak melemparkan batu terakhir,
dari belakang seseorang tiba-tiba memegang lengannya. Gadis ini tergagu dan cepat berpaling. Dia melihat
satu wajah gagah yang tersenyum padanya.
“Kau terkejut Halidah?”
“Abang rupanya. Saya kira siapa….” kata gadis itu sambil balas tersenyum. Namun di balik senyum itu
tersembunyi rasa pedih. Kedua matanya dengan sayu menatap wajah Andana, memperhatikan kain mereka
yang dikenakan pemuda itu.
“Gagah sekali Abang berpakaian seperti ini. Rupanya jadi juga Abang pergi meninggalkan Asahan,       
kembali ke Pagaruyung?”
“Kalau diturut kata hati mana mau Abang pergi dari sini. Datuk sudah Abang anggap sebagai Ayah
sendiri. Kau saya sayangi sebagai Adik sendiri. Namun saya terpaksa pergi Halidah….”
Gadis di atas batu itu menundukkan kepalanya. Jari-jari tangannya mempermainkan batu kecil yang
dipegangnya. Angin bertiup lembut. Dalam hatinya gadis ini berkata. “Dia menyayangiku sebagai adik sendiri.
Ya Tuhan. Apakah dia tidak tahu bagaimana sebenarnya perasaanku terhadapnya?”
“Kenapa kau diam saja Halidah? Tak senang rupanya melihat Abang pergi?”
“Gadis mana yang tidak sedih ditinggal pemuda yang dicintainya?” Kata-kata itu hanya menggema
dalam hati Halidah.
“Abang tahu perasaanmu terhadap Abang. Tapi Abang sangat menghormati Ayahmu. Dia guru
Abang. Dia menolong Abang di kala susah. Banyak budi yang sudah Abang terima dari beliau. Abang tidak
mau dianggap sebagai seorang yang menggunting dalam lipatan….”
“Kalau Abang tahu perasaan saya mengapa Abang…” Halidah tidak meneruskan ucapannya itu. Dia
mengalihkan pembicaraan dengan bertanya. “Akan lamakah Abang di Pagaruyung? Apakah akan kembali ke
sini?”
“Abang tidak tahu berapa lama Abang di sana. Sebelum Abang harus menjenguk adik perempuan
Abang di Singgalang. Perihal kembali ke sini tentu saja dengan izin Tuhan Abang akan kembali lagi kemari.”
“Saya dengar gadis-gadis di tanah Minang cantik-cantik. Berkulit halus, bagus tutur katanya, elok budi
perangainya….”
Andana tertawa lebar mendengar kata-kata si gadis. Dipegangnya bahu Halidah lalu berkata. “Di
negeri Asahan ini tak kalah banyak gadis yang cantik-cantik, elok budi perangainya. Salah seorang yang
Abang kenal adalah Adik sendiri…”
“Ah, Abang terlalu memuji,” paras Halidah kelihatan kemerahan. “Jadi benar Abang nanti akan
kembali lagi kesini?”
“Abang berjanji. Selama gunung masih biru, selama air sungai masih mengalir ke laut Abang pasti
akan kembali.”
“Senang saya mendengar kata-kata bersajak itu. Ingatlah selalu, ada seorang gadis buruk di negeri
Asahan ini yang mengharapkan Abang cepat kembali.”
“Abang akan selalu ingat padamu Halidah. Selama Abang pergi jaga dirimu baik-baik….” Andana
membungkuk lalu mencium kening Halidah.
“Doa saya akan ikut kemana Abang pergi…” bisik Halidah seraya mengusap pipi pemuda itu dengan
penuh cinta kasih. Lalu diambilnya bungkusan kecil di atas batu. “Ini saya bungkuskan nasi dan sedikit lauk
untuk bekal Abang di jalan.”
Andana menerima pemberian itu dengan hati terharu biru. “Saya tidak tahu harus mengatakan apa lagi
Halidah. Kau baik sekali….”
Si gadis melepas selendang putih yang menutupi kepalanya lalu diserahkannya pada Andana. “Hanya
ini yang bisa saya berikan sebagai pengganti diri saya.”
Andana bimbang sesaat. Akhirnya diambilnya juga selendang putih itu. Dari dalam sakunya       
dikeluarkannya sehelai sapu tangan lalu diserahkannya pada Halidah seraya berkata. “Jika kau rindu pada
Abang, letakkan sapu tangan ini di dadamu. Kalau malam kau tidur, letakkan di bawah bantalmu. Abang pergi
sekarang. Jaga dirimu baik-baik….”
Halidah memegang wajah pemuda itu dengan kedua tangannya. Lalu dia berjingkat untuk dapat
mengecup Andana. Sepasang matanya berkaca-kaca. Andana merangkul gadis itu erat-erat ke tubuhnya seolah
tidak akan dilepaskannya lagi.
* * *      
DELAPAN
DUA HARI dua malam diazab berdiri seperti itu membuat bagaimanapun sabarnya seseorang
lama-lama akan meledak kemarahannya. Demikian juga dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Walaupun setiap
malam ketika dia tak dapat lagi menahan kantuk Uning Ramalah selalu meletakkan bungkusan makanan
secara diam-diam di dekatnya namun kejengkelannya tidak dapat dikendalikan lagi. Anehnya selama dua hari
ini perempuan tua itu tidak pernah keluar dari dalam gubuknya.
Pagi hari ke tiga ketika sang surya mulai naik, Wiro sudah siap untuk mengambil keputusan.
Bagaimana kalau aku pura-pura mengancam hendak menghantam hancur jenazah Datuk Bandaro Sati
kakaknya itu. Mungkin dia mau membebaskan diriku. Tapi mayat itu tidak berdosa. Lebih baik aku hantam
saja gubuknya hingga hancur berantakan. Gila seumur hidup baru kali ini aku disiksa orang begini rupa.
Tidak tanggung-tanggung murid Sinto Gendeng ini siapkan pukulan “Sinar matahari” pada kedua
tangannya kiri kanan. Cahaya putih berkilauan seolah memapas sinar matahari pagi memancar dari kedua
tangan sang pendekar. Tepat pada saat dia menggerakkan kedua tangan untuk menghantam ke arah gubuk,
tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Seorang pemuda berpakaian merah bercelana hitam dan ada sapu tangan
merah terikat di keningnya muncul menunggang kuda. Dia sama sekali tidak memperdulikan Wiro ataupun
sesuatu yang terbujur tertutup kain putih di halaman gubuk. Kudanya dipacu ke arah gubuk seraya berseru.
“Uning Ramalah, saya datang!”
Pintu gubuk terbuka. Perempuan tua berselendang kain putih itu keluar menyongsong si pemuda.
Pemuda ini cepat turun dari kudanya lalu menyalami dan mencium tangan perempuan itu.
“Tuhan Maha Besar. Syukur kau datang anakku. Terlambat sedikit saja mungkin keadaan sudah
berubah!” Diam-diam rupanya Uning Ramalah sudah mengetahui maksud Pendekar 212 yang hendak
menghancur leburkan gubuknya.
“Uning, sepanjang perjalanan dari Asahan saya merasa tidak enak. Ada firasat buruk yang saya tidak
tahu artinya. Menurut Datuk Alis Merah, dua kali dia bermimpi bertemu dengan Uning. Apakah Uning ada
baik-baik saja?”
“Andana, aku memang baik-baik saja anakku. Tapi….”
Perempuan tua ini segera saja berubah air mukanya. Wajah keriputan itu mendadak menjadi kuyu
sedih. Dan kedua matanya tampak berkaca-kaca.
“Uning, ada apakah?” tanya Andana. Pemuda ini memandang ke halaman. Dilihatnya seorang pemuda
berdiri di ujung sana. Agaknya dia tidak bisa beranjak sama sekali dari tempatnya berdiri. Memandang pada
wajah pemuda berambut gondrong itu Andana seolah melihat bayangannya di dalam kaca. “Pemuda tak
dikenal itu. Mengapa wajahnya mirip wajahku. Apa yang dilakukannya di tempat ini?” Lalu mata Andana ber-
pindah pada sosok yang terbujur di halaman berbatu merah.
“Uning, saya melihat pemandangan aneh. Siapa pemuda itu. Lalu apa pula yang terbujur di halaman
sana?”
“Itu jenazah ayahmu Andana. Ayahmu mati dibunuh orang….” Kalau ada petir menyambar di depan
hidungnya saat itu tidak demikian terkejutnya Andana mendengar kata-kata Uning Ramalah.      
“Ayah mati dibunuh orang?” suara Andana menyentak. Matanya memandang membeliak pada sosok
tubuh yang terbujur dan tertutup kain putih itu. Dari mulut pemuda ini kemudian keluar suara teriakan dahsyat.
Lalu dia melompat ke halaman berbatu merah. Sekali tarik saja disingkapkannya kain putih penutup jenazah
Datuk Bandaro Sati.
“Ayah!” teriak Andana lalu menubruk dan memeluki jenazah ayahnya. Di tempatnya berdiri di depan
gubuk Uning Ramalah tegak tertunduk dengan mata berkaca-kaca.
“Ya Tuhan! Jadi ini arti firasat itu! Ini arti hatiku yang tidak enak itu! Ayahhh!” Seperti anak kecil
Andana menggerung menangisi jenazah ayahnya. Sampai satu tangan memegang bahunya dan terdengar suara
Uning Ramalah.
“Siapa yang melakukan ini Uning? Siapa yang membunuh Ayah?!” tanya Andana pada Uning Ra-
malah.
Perempuan tua itu hanya menjawab dengan gelengan kepala dan air mata yang jatuh meleleh ke
pipinya.
“Pasti dia!” teriak Andana seraya menunjuk ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang memperhatikan
dirinya. “Jahanam! Kuhabisi kau sekarang juga!”
Pemuda murid Datuk Alis Merah itu melompat ke arah Wiro. Beberapa langkah dari hadapan
Pendekar 212 Andana angkat tangan kanannya. Tangan ini dimiringkan sedikit lalu dihantamkannya ke arah
Wiro.
Satu lidah api yang dahsyat menderu ke arah Pendekar 212. Inilah pukulan “inti api” yang dipelajari
selama dua tahun dari Datuk Alis Merah. Kehebatannya luar biasa. Jangankan manusia, batu karang pun akan
hangus dan hancur berantakan kena hantamannya.
Murid Eyang Sinto Gendeng yang sejak tadi memang sudah mengkal malah sudah siap-siap untuk
melepas pukulan “sinar matahari”melihat pemuda di hadapannya menyerangnya dengan pukulan maut begitu
rupa, tanpa banyak pikir lagi serta merta hantamkan tangan kanannya menyambuti pukulan lawan.
Lidah api yang merah legam dan panas saling beradu dengan sinar putih perak menyilaukan.
Bummm!
Satu ledakan keras seperti hendak meruntuhkan puncak gunung Singgalang dan merobek langit.
Tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng terguncang hebat tapi kedua kakinya tetap saja terpaku ke tanah. Mukanya
tampak pucat dan di sela bibirnya ada sebersit darah keluar.
Di pihak lain Andana terpental satu tombak lalu terbanting keras ke halaman berbatu merah. Dia
merasakan dadanya seperti remuk dan kepalanya seperti tanggal. Kedua matanya untuk beberapa saat lamanya
seperti buta. Darah mengucur dari mulutnya. Menyangka pemuda itu telah menemui ajalnya Uning Ramalah
menjerit keras lalu memburu dan menubruk tubuh Andana.
“Saya masih hidup Uning….” kata Andana perlahan.
“Siapa pemuda yang punya tampang sama dengan saya itu? Ilmunya tinggi sekali….” Ternyata dalam
keadaan seperti itu Andana masih bisa bicara polos dan jujur. “Saya mengira dia pembunuh ayah. Mungkin
saya kurang menyelidik dan ketelepasan tangan!”
“Dia bukan pembunuh Ayahmu Andana. Justru dia yang membawa jenazah ayahmu ke mari. Hanya       
saja aku belum sepenuhnya yakin bahwa dia tidak terlibat dalam kematian Ayahmu. Dia mengaku bernama
Wiro Sableng. Berasal dari tanah Jawa….”’
“Jauh-jauh datang kemari apa keperluannya? Agaknya dia patut dicurigai.”
“Katanya dia mencari seorang bernama Tua Gila….”
“Tua Gila….? Bukankah itu kakek sakti mandraguna yang masih sahabat para sesepuh kita?” Ujar
Andana pula.
“Dia berkata begitu tapi bagaimana bisa mempercayainya?” jawab Uning Ramalah. “Waktu jenazah
ayahmu sampai di sini, keris sakti bertuah Tuanku Ameh Nan Sabatang tidak ada pada Ayahmu. Aku coba
menyelidik dengan ilmu “tembus pandang”. Ternyata dia memang tidak menyembunyikan keris itu….”
“Tuanku Ameh Nan Sabatang ada pada saya Uning,” menerangkan Andana. Lalu diceritakannya
kejadian aneh di tempat kediaman Datuk Alis Merah.
Uning Ramalah jadi terperangah. “Kalau bukan kau yang mengatakan mana mungkin aku bisa percaya
ada kejadian seaneh itu.” Lalu dia memandang Wiro. “Walaupun kini kecurigaanku pada pemuda itu semakin
berkurang namun tetap saja aku belum bisa mempercayainya sepenuhnya. Itu sebabnya aku menjeratnya
dengan ilmu “paku bumi” hingga dia tidak bisa lari kemana-mana sebelum kau datang.
“Sebaiknya kita bebaskan saja dia Uning. Saya punya dugaan dia tidak bersalah. Dia bukan orang
jahat….”
“Kau meminta aku melepaskan ilmu paku bumi itu Andana?” tanya Uning Ramalah.
“Kalau Uning tidak keberatan….”
“Baiklah. Kalau nanti dia ternyata memang manusia jahat, aku tidak akan memberinya ampun!”
Perlahan-lahan perempuan tua itu berdiri. Kedua matanya memandang tepat-tepat ke arah Wiro. Kaki
kanannya diajukan satu langkah.
“Apa lagi yang hendak dilakukan perempuan tua ini?” Pikir Wiro seraya balas memperhatikan Uning
Ramalah.
“Mau mengajak aku menari?” Memikir sampai di situ Wiro jadi senyum-senyum sendiri. Tentu saja
sikapnya ini menimbulkan rasa heran dan tanda tanya pada Uning Ramalah dan Andana. Lalu tanpa perdulikan
lagi sikap Wiro Uning Ramalah membuat guratan tanda x di atas tanah dengan ujung ibu jari kaki kanannya.
Begitu tanda silang itu diinjaknya maka Wiro serta merta merasakan kekuatan yang selama ini memaku kedua
kakinya ke tanah menjadi punah. Dia sanggup menggerakkan kakinya kiri dan kanan.
“Orang tua, terima kasih kau bersedia membebaskan diriku!” kata Wiro. Dari dalam sakunya
dikeluarkannya sebuah benda berbentuk bulat sebesar kuku ibu jari. Benda ini dipotesnya hingga patah dua.
Sepotong segera ditelannya, sisanya dilemparkannya ke arah Andana.
“Apa ini?!” tanya murid Datuk Alis Merah dengan curiga walaupun dia menyambuti juga benda yang
dilemparkan Wiro itu.
“Obat untuk luka dalam. Bentrokan tadi telah membuat kita sama-sama cidera. Terserah kau mau
menelannya atau tidak. Yang jelas aku tidak punya kepentingan apa-apa lagi di sini….”
“Tunggu! Jangan pergi dulu!” kata Andana seraya bangkit berdiri. Obat yang dalam tangannya
dimasukkannya ke dalam mulut. Dikunyahnya lalu ditelannya. Dia merasakan ada hawa hangat menjalar di       
dadanya sampai ke perut.
“Mungkin ada sedikit salah paham di antara kita. Kurasa itu wajar saja karena kita tidak saling
mengenal. Uning Ramalah mengatakan kau yang membawa jenazah ayahku ke sini….”’
“Aku menemukannya di tepi Ngarai Sianok.”
“Kau tidak melihat orang lain di tempat itu? Atau mungkin juga kau tahu siapa pembunuhnya?”
Pendekar 212 gelengkan kepala.
“Ada satu pertanyaan lagi….”
Wiro memotong ucapan Andana. “Dari pada bicara panjang lebar lebih baik kau menyiapkan kubur
untuk Ayahmu. Mengapa dia dibiarkan tersiksa seperti itu?”
Andana memandang pada sosok tubuh Datuk Bandaro Sati.
“Kau betul. Aku akan menggali kuburnya, memandikannya lalu menyembahyanginya. Setelah itu
memakamkannya.”
“Aku akan membantu!” jawab Wiro.
Uning Ramalah memperhatikan kedua pemuda itu yang kemudian saling berjabatan tangan. “Wajah
mereka begitu sama satu dengan lainnya. Mudah-mudahan mereka bisa menjadi dua orang sahabat.”
Ketika sang surya menggelincir ke barat di puncak gunung Singgalang kini tampak satu pemandangan
baru. Sebuah makam terlihat di depan halaman berbatu merah. Inilah kuburan Datuk Bandaro Sati, Ayah
kandung Andana. Untuk beberapa saat lamanya tiga orang itu yakni Uning Ramalah, Andana dan Wiro
Sableng tegak di depan makam tanpa ada satupun yang berkata-kata.
Akhirnya Uning Ramalah memecah kesunyian dengan mengajukan pertanyaan pada Andana.
“Anakku, apakah yang akan kau lakukan sesudah ini?” Sesaat Andana masih menatapi tanah merah
makam Ayahnya. Dalam hati dia berkata. “Apakah hal itu masih perlu dipertanyakan? Ayahku mati dibunuh
orang. Jelas aku harus mencari siapa pembunuhnya dan membuat perhitungan!”
Andana berpaling pada adik Ayahnya itu. “Saya mohon petunjuk Uning,” katanya.
Perempuan tua berwajah putih itu betulkan letak selendangnya lalu berkata. “Ketahuilah anakku,
kebencian melahirkan kebencian. Dendam menurunkan dendam. Lalu nyawa manusia tidak ada harganya lagi.
Membunuh bukan lagi dianggap sebagai satu dosa besar yang neraka tantangannya.
Kalau sudah begitu rasanya tidak ada lagi gunanya hidup di dunia ini….”
Andana terdiam mendengar kata-kata Uning Ramalah itu. Dia melirik pada sahabat barunya Wiro
Sableng. Sang sahabat dilihatnya justru sedang menggaruk-garuk kepala, memandang padanya dengan
menyeringai. “Apa yang ditertawakan anak ini!” Kata Ananda dalam hati setengah jengkel.
“Uning, apakah Uning bermaksud bahwa saya tidak boleh membalas dendam kematian Ayah?”
Tiba-tiba Andana ajukan pertanyaan pada perempuan tua di sebelahnya.
“Aku tidak mengatakan demikian anakku. Kalau kita sudah melangkah, apapun yang terjadi langkah
itu harus diteruskan tanpa ragu, dengan semangat dan jiwa besar. Kita namanya manusia yang hidup di dunia
tidak pernah terlepas dari pada pengaruh hati. Kalau saja aku tidak mempunyai pantangan membunuh, saat ini
aku sudah turun gunung mencari pembunuh Datuk Bandaro Sati!”
“Kewajiban itu ada di pundak saya Uning,” kata Andana tegas.      
Perempuan tua itu mengangguk. “Tapi kau harus berhati-hati Andana. Aku punya firasat kematian
Ayahmu ada sangkut pautnya dengan kejadian-kejadian di masa lalu. Antaranya yang menyebabkan sampai
terpaksa melarikan diri dari penjara di Batusangkar.”
“Saya sudah tahu siapa orang yang memfitnah saya itu. Namanya Udin Burik. Hanya tinggal mencari
siapa dalangnya saja…”
“Hati-hati dengan Tumenggung Rajo Langit. Dia mati-matian untuk dapat memenjarakanmu kembali.
Bahkan membunuhmu kalau bisa!”
“Saya sudah perhitungkan semua itu Uning. Saya hanya minta doa Uning agar saya selamat dalam
menjalankan tugas berat ini. Mencari pembunuh Ayah dan sesuai dengan pesannya menyelamatkan rumah
gadang kita.”
“Doaku akan selalu bersamaanmu, nak!” kata Uning Ramalah pula.
Andana maju selangkah ke hadapan makam Ayahnya.
Suaranya tersendat ketika berkata. “Ayah, saya anakmu Andana bersumpah dihadapan makammu
bahwa saya akan mencari pembunuh Ayah. Dunia ini terlalu sesak untuk manusia keji itu dan saya. Dendam
ini tak akan lunas sebelum saya dapat membunuhnya dengan tangan saya sendiri! Tuhan mendengar sumpah
saya ini dan gunung Singgalang menjadi saksi!”
Pendekar 212 yang tegak termangu di samping Andana teringat pula pada kejadian belasan tahun lalu.
Ketika Ayahnya menemui kematian di tangan musuh-musuhnya. “Kau masih beruntung Andana. Kau pernah
melihat Ayahmu, pernah dibesarkan olehnya. Aku bernasib lebih malang. Ayahku dibunuh orang ketika aku
masih bayi…”
Andana memegang bahu Pendekar 212 dan berkata. “Nasib kita tidak jauh berbeda Wiro. Karena itu
kita pantas menjadi dua sahabat….”
Wiro menganggukkan kepalanya. Matanya memandang sesaat pada kedua kakinya. Lalu melirik pada
Uning Ramalah. Perempuan tua ini tahu apa yang ada di benak Pendekar 212. Maka diapun berkata. “Kalau
tidak kupaku kakimu ke tanah, kau tak akan pernah bertemu dengan sahabat barumu ini.”
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Uning, mungkin suatu saat saya perlu mempelajari ilmu memaku kaki
orang itu….”
“Aku khawatir anak muda. Yang kau paku ke tanah bukan cuma orang-orang jahat tetapi juga
gadis-gadis cantik!”
Tanpa sadar bahwa mereka masih menghadapi saat-saat berkabung, ketiga orang itu sama-sama
tertawa bergelak.
* * *      
SEMBILAN
TELAGA dan pancuran berair jernih itu terletak di tanah rendah berbentuk lembah kecil.
Pohon-pohon besar yang mengelilinginya membuat udara di situ terasa sejuk jauh dari sengatan sinar matahari
musim panas. Selain tempat mandi telaga itu dipergunakan juga sebagai tempat mencuci pakaian sekaligus
tempat bertemu dan bersenda gurau di kalangan gadis-gadis remaja di Pagaralam.
Pagi itu seperti biasanya di telaga kelihatan beberapa orang anak gadis mencuci pakaian sambil
bercakap-cakap. Sesekali terdengar gelak tawa mereka. Yang jahil menyemburkan air kepada kawannya
hingga terjadi berbalas sembur. Selain itu, umumnya kalau para gadis sudah berkumpul seperti itu yang masuk
dalam bahan pembicaraan mereka antara lain pastilah membicarakan ihwal pemuda.
“Hai, sudahkah kalian mendengar berita yang dibawakan angin dari jauh?” berkata salah seorang di
antara para gadis itu.
“Berita apa?” kawan di sebelahnya bertanya.
“Kabarnya pemuda gagah bernama Andana itu akan kembali ke Pagaralam.”
“Dari mana kau dengar kabar burung itu Saleha?”
“Dari mana saya dapat berita tak usah jadi persoalan. Saya tahu itu bukan kabar burung.” Jawab anak
perempuan bernama Saleha.
“Pemuda itu hebat dan gagah. Ingat cerita waktu dia menjebol penjara di Batusangkar lalu menghajar
dua pengawal penjara bahkan menggebuk Kepala Penjara kaki tangan Tumenggung Rajo Langit?!”
“Dia seorang pemuda pemberani, seorang pandeka!” kata gadis yang lain. “Buktinya dia tidak takut
kembali ke Pagaralam. Padahal kalau Tumenggung Rajo Langit di Pagaruyung sampai tahu pasti dia akan
ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman lebih berat!”
“Waktu Andana pergi tiga tahun lalu, dia masih bujangan. Apakah kini dia masih juga bujangan?” ujar
seorang gadis bernama Sariatun.
“Jangan-jangan, kalau dia kembali membawa anak dan istri, semua gadis di Pagaralam sampai di
Pagaruyung akan menggigit jari!” menyahuti gadis lain hingga suasana di telaga itu menjadi ramai.
“Saya berharap dia masih bujangan. Hingga salah seorang di antara kita kelak bisa beruntung menjadi
jodohnya!”
Semua gadis itu kembali tertawa riuh.
“Kawan! Hati-hati kalau bicara. Nanti ada yang marah!” kata Saleha setengah berseru. Dia lalu
menggoyangkan kepalanya ke arah seorang gadis yang duduk di sebuah batu datar. Kelihatannya dia sibuk
mencuci padahal sebenarnya apa yang dibicarakan kawan-kawannya tidak luput dari perhatian dan
pendengarannya, gadis yang satu ini berkulit putih bersih. Kecantikan alami yang dimilikinya jauh melebihi
kecantikan kawan-kawannya. Melihat Saleha menggoyangkan kepala pada gadis itu, seorang anak perempuan
lalu bertanya pada gadis tersebut.
“Sahabatku Bunga, apakah kau tidak senang mendengar Andana kembali ke kampung kita ini?”
Gadis cantik yang bernama Bunga mengangkat kepalanya.
“Saya tidak tahu. Saya rasa tentu banyak yang senang, tapi pasti ada juga yang tidak senang.”      
“Kau di pihak yang mana?” tanya Saleha pula. Ketika Bunga tak bisa menjawab dan wajahnya tampak
kemerahan kawan-kawannya kembali tertawa.
BUNGA ingat, terakhir sekali dia bertemu dengan Andana sebelum pemuda itu dijebloskan masuk
penjara. Waktu itu siang hari sehabis ba’dal Zuhur. Dia baru saja pulang dari telaga mengambil air bersih untuk
minum. Di persimpangan jalan dia bertemu dengan Andana yang baru saja pulang sembahyang di surau.
Mereka bertegur sapa bertukar senyuman. Tiada kata terucapkan dan tahu-tahu mereka sudah seiring sejalan.
Bunga merasakan dadanya berdebar oleh rasa suka cita berjalan berduaan seperti itu. Lalu tiba-tiba saja langit
menjadi gelap. Awan hitam menutupi bumi dan hujan turun dengan derasnya. Andana cepat mencarikan daun
pisang yang lebar, memayungi Bunga dengan daun itu tanpa memperhatikan dirinya sendiri basah tidak
terlindung.
“Kakak memayungi saya tapi pakaian Kakak sendiri basah kuyup,” kata Bunga saat itu.
“Tidak mengapa. Adik yang lebih penting. Jangan sampai kebasahan. Kata orang hujan
kadang-kadang membawa penyakit. Saya tidak ingin Adik menjadi sakit….”
Suara pemuda itu terdengar begitu merdu di telinga Bunga. Lalu dilihatnya Andana tersenyum dan
bahunya dipegang lembut, menariknya ke bawah daun pisang agar tidak kejatuhan air hujan. Debaran jantung
Bunga semakin keras. Hangatnya tangan pemuda itu ketika memegang bahunya seolah tak pernah pupus, tak
pernah dilupakannya.
Seorang pemuda tiba-tiba melintas cepat di hadapan mereka. Dia memperhatikan sepasang muda mudi
itu sesaat lalu bergegas pergi.
Andana mengantarkan Bunga sampai ke depan tangga rumahnya. Keesokan harinya tersebar kabar di
Pagaralam bahwa Andana dan Bunga diam-diam rupanya telah menjalin hubungan asmara. Mereka
berkasih-kasihan. Ada orang yang melihat mereka berpayung daun pisang berdua-duaan di bawah hujan lebat.
Dan seperti biasanya yang namanya gunjingan itu dari satu mulut ke lain mulut selalu bertambah dengan
hal-hal yang tidak benar. Bunga dan Andana berpayung bersama sambil berdekapan, berpelukan dan
berciuman.
“Bunga! Hai Bunga!”
“Bunga!”
Suara yang memanggil-manggil itu menyadarkan Bunga dari lamunannya. Dia memandang
berkeliling dan coba tersenyum. Dilihatnya semua kawan-kawannya berdiri di tepi telaga. Masing-masing me-
megang bakul berisi cucian, siap untuk meninggalkan telaga. Mereka masih menunggu kalau-kalau Bunga
hendak pulang bersama-sama.
“Kami sudah selesai mencuci dan mandi!” berseru Saleha. “Matahari sudah tinggi. Kami tak bisa
menunggumu!”
“Tak apa. Pergilah lebih dahulu. Sebentar lagi cucian saya selesai,” jawab Bunga.
“Jadi kami pulang saja duluan?”
“Ya, pulang sajalah!”
“Tidak takut awak sendirian?” tanya salah seorang teman Bunga.
“Mengapa musti takut? Tak ada hantu di telaga ini!” jawab Bunga pula.      
“Kalau Andana yang jadi hantunya kamipun tidak takut!” teriak Saleha yang membuat kembali
kawan-kawannya bersorak riuh.
Bunga meneruskan mencuci. Tiba-tiba dalam kesepian itu dia mendengar suara langkah kaki-kaki
kuda mendatangi. Bunga mengangkat kepalanya ke arah jalan menurun. Wajah gadis ini menjadi pucat.
“Dia lagi…,” katanya dengan lidah kelu karena takut. Diambilnya kebayanya dari dalam bakul lalu
cepat-cepat dikenakannya.
Seorang lelaki tua berpakaian bagus menghentikan kudanya tak jauh dari tepi telaga. Rambutnya yang
putih tersembul dari destar kuning emas di kepalanya. Kumis di atas bibirnya juga sudah berwarna putih. Dia
berpaling pada seorang lelaki berkuda di belakangnya yang agaknya jadi pengawalnya.
“Tinggalkan aku di sini. Kalau tidak kupanggil jangan berani datang!”
Orang yang diperintah mengangguk lalu cepat-cepat berlalu. Sambil tersenyum-senyum lelaki
berpakaian bagus tadi turun dari kudanya.
Bunga bergegas mencapai tepian telaga tapi langkahnya segera terhadang oleh lelaki tadi.
“Bunga… Bunga… Dunia terasa sepi jika tidak melihatmu sehari saja. Apakah kau ada baik-baik saja
Bunga?” Orang lelaki itu menegur dengan sikap ramah dan tak pupus senyum di bibirnya. Namun justru
sikapnya ini membuat Bunga muak di samping takut.
“Hai, mengapa begitu terburu-buru Bunga? Apakah tidak ada waktu bagi kita untuk bercengkrama
barang sebentar?”
“Maafkan saya. Saya harus segera pulang. Hari sudah siang. Matahari sudah tinggi.” Sehabis berkata
begitu Bunga cepat-cepat melangkah pergi.
Lelaki tadi mendongak ke langit. “Masih pagi begini dikatakan sudah siang. Tak usah terburu-buru
Bunga. Urusan rumah tangga di rumah tak ada habisnya. Lagi pula saya merasa kasihan kalau dirimu yang
cantik, tubuhmu yang bagus terlalu banyak bekerja….”
“Maafkan saya Tumenggung. Saya harus segera pulang.”
“Jangan begitu Bunga. Kau tahu betapa aku menyukai dirimu. Bukan sekedar suka. Tapi cinta!”
Ingin sekali Bunga meludahi muka lelaki gaek yang dianggapnya tidak tahu diri itu. Gadis ini memutar
langkahnya. Tapi orang yang dipanggilkan dengan sebutan tumenggung itu kembali menghadangnya.
“Dengar Bunga, gadis cantik sepertimu.tidak layak tinggal di kampung sunyi dan kotor ini. Kau lebih
pantas tinggal di Pangaruyung atau di Batusangkar. Aku ada rumah di dua kota itu yang bisa kau tempati. Jika
kau takut tinggal sendirian, Robiah boleh kau ajak serta….”
“Maafkan saya Tumenggung. Beri saya jalan….”
“Ah, kalau kau memang hendak pulang, kau boleh naik kudaku. Akan kuantar kau sampai ke rumah.
Tapi jika kau suka ikut aku barang sebentar akan kuberikan hadiah kain cita yang bagus. Kau tentu mau
bukan?” Sambil berkata begitu Tumenggung itu ulurkan tangannya hendak memegang lengan si gadis. Bunga
cepat menghindar. Sang Tumenggung jadi kalap. Dengan nekad dilompatinya gadis itu lalu dipeluknya
kuat-kuat. Bunga menjerit keras berusaha melepaskan diri sambil memukuli dada Tumenggung itu sekuat
yang bisa dilakukannya.
Tubuh tua itu rupanya kesakitan juga kena dihantam pukulan. Selagi sang Tumenggung terjajar ke       
belakang Bunga pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Tapi lelaki itu masih sempat menggapai
pinggang kebayanya. Ketika dia hendak merangkul Bunga sekali lagi gadis ini mendorong tubuh sang
Tumenggung kuat-kuat. Tubuh tua itu terjajar. Kakinya terpeleset di batu licin. Tak ampun lagi tubuhnya jatuh
masuk ke dalam telaga. Bunga segera berlari meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya tertahan ketika di
depannya melintas seorang pemuda berpakaian serba putih, berambut menjela bahu.
“Andana…”. kata Bunga begitu dia mengenali wajah pemuda itu.
Orang yang ditegur berpaling padanya. “Adik memanggil saya?” Bunga merasa terkejut sekali.
“Hanya berpisah tiga tahun dia sudah lupa pada diriku?”
“Kau… kau tidak mengenali saya lagi Andana?”
“Ah, adik salah sangka. Saya bukan Andana. Saya kebetulan cuma sahabatnya. Nama saya Wiro…”
Bunga jadi terperangah. Wajah sama, potongan badan sama. Tapi suara dan logat bicara pemuda ini
menunjukkan bahwa dia memang bukan Andana pemuda Pagaralam yang meninggalkan kampung tiga tahun
lalu.
“Tapi… saya mendengar kabar Andana sudah kembali ke sini. Maafkan kalau saya mengira….”
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa lebar. “Kata orang wajah kami memang mirip. Tidak salah kalau
adik sampai keliru.”
“Kalau kakak sahabatnya, apa kakak tahu dimana Andana sekarang berada?”
“Kami berpisah di satu tempat. Katanya dia ada satu keperluan. Tak lama lagi tentu dia akan muncul di
sini,” menjelaskan Wiro.
Tiba-tiba Wiro melihat ada seorang lelaki tua berpakaian basah kuyup melangkah cepat ke arah
mereka.
“Bunga! Perbuatanmu sudah keterlaluan. Kalau kau tidak suka aku, masih ada seribu cara untuk
mendapatkanmu! Tapi mendorong aku hingga masuk ke dalam telaga adalah perbuatan kurang ajar yang tidak
bisa kumaafkan!”
Bunga berpaling. Wajahnya ketakutan. Dia cepat hendak tinggalkan tempat itu.
“Kemana kau hendak lari hah? Perawan tak tahu diuntung!” Tumenggung yang basah kuyup itu cepat
mencekal lengan Bunga. Tapi belum kesampaian Wiro Sableng sudah menahan dadanya seraya menegur.
“Apa-apaan ini Bapak tua?!”
“Kerbau sialan! Jangan campuri urusanku!” bentak Tumenggung itu seraya hendak memukul Wiro.
Tiba-tiba dilihatnya paras pemuda itu. “Kurang ajar! Kau rupanya Andana!”
“Aku bukan Andana!” jawab Wiro.
“Bangsat! Hendak kau sembunyikan ke mana mukamu manusia buronan?! Pelarian buronan penjara
Batusangkar! Nyalimu sungguh besar berani muncul lagi di tempat ini! Lekas serahkan dirimu untuk
kutangkap!”
“Eh, kau rupanya habis kecebur orang tua? Mungkin otakmu tiba-tiba menjadi gendeng akibat kecebur
itu!”
“Pemuda keparat! Dulu aku yang menjebloskanmu ke dalam penjara! Kini akan kuulangi lagi! Aku
bersumpah sekali ini kau tak bakal keluar lagi! Kau akan meringkuk sampai mampus dalam penjara itu!”      
Selagi kedua orang itu berperang mulut kesempatan dipergunakan oleh Bunga untuk melarikan diri.
Lelaki di hadapan Wiro tiba-tiba menggerakkan kedua tangannya ke arah leher. Wiro tidak menduga
kalau gerakan orang tua ini bisa secepat itu. Lehernya seperti dijapit. Percuma berontak untuk melepaskan diri.
Karena Pendekar 212 hantamkan kedua tinjunya bertubi-tubi ke perut dan dada orang yang mencekiknya itu.
Sang Tumenggung berteriak setinggi langit. Cekikannya di leher Wiro terlepas. Tubuhnya terjengkang di
tanah, menggeliat-geliat beberapa kali sebelum dia muntah darah dan jatuh pingsan.
Sementara itu Bunga yang tengah melarikan diri dengan nafas sesak sampai di tangga rumahnya.
Bakul berisi kain cucian dibuangnya begitu saja. Lalu diterjangnya pintu rumah dan menghambur masuk ke
dalam seraya berteriak memanggil-manggil.
Seorang perempuan berambut putih berlari dari dapur. “Astagfirullah! Bungat Ada apa nak?! Apa
yang terjadi?!”
Bunga tak bisa menjawab. Dadanya turun naik. Perempuan tua itu segera mengambil segelas air putih.
Setelah meneguk air si gadis agak tenang sedikit. “Saya diganggu orang Mak. Dia lagi… Dia lagi!”
“Kau diganggu orang. Dia lagi?! Maksudmu Tumenggung Rajo Langit?!” tanya Mamak Rabiah, ibu
asuh si gadis.
Bunga anggukkan kepalanya berulang kali.
“Manusia jahanam. Tua bangka tak tahu diri itu! Tak habis-habisnya dia mengganggumu! Ya Tuhan,
kapan kau akan memberi hukuman pada tua bangka itu?!” Mamak Rabiah seperti hendak menangis. Sambil
membelai kepala anaknya dia berkata. “Kalau begitu mulai hari ini kau tak usah pergi mencuci ke telaga. Biar
Mamak yang kesana.”
“Mamak sudah tua. Tubuh Mamak tak tahan dengan air dan udara dingin. Bunga tidak mau melihat
Mamak jatuh sakit.”
Kedua mata Mamak Rabiah tampak berkaca-kaca.
“Mak, tadi saya bertemu dengan seorang anak muda. Wajahnya mirip sekali dengan Andana. Ternyata
dia bukan Andana….”
“Dimana dia sekarang?”
“Saya tak tahu lagi Mak. Waktu saya tinggalkan dia tengah bertengkar dengan Tumenggung Rajo
Langit. Lalu sayup-sayup saya dengar jeritan Tumenggung itu….” Sampai di situ Bunga menghentikan
kata-katanya. Gadis ini memegang kepalanya. “Sakit kepala saya datang lagi Mak. Izinkan saya masuk ke
dalam. Saya ingin tidur….”
“Masuklah nak, masuklah…” kata Mamak Rabiah pula. Ketika gadis itu masuk ke dalam kamarnya
Mamak Rabiah terduduk di sebuah kursi. Sambil menutupi wajahnya dengan sehelai selendang, dalam hati
perempuan tua ini berkata. “Ya Tuhan, beri saya petunjuk apa yang harus saya lakukan. Saya kasihan pada
anak itu. Sembilan belas tahun saya mengasuhnya seperti anak sendiri. Saya tidak tega, tak sampai hati saya
melihat penderitaannya. Hati dan jiwa ini tak sanggup lagi menahan rahasia ini. Tapi kau tahu Tuhan, saya
harus telah berjanji dengan ibunya. Ya Tuhan, tolong saya. Tolong kami orang-orang yang malang ini.”
* * *      
SEPULUH
PACUAN kuda di Batusangkar kali ini jauh lebih ramai dari yang sudah-sudah. Hal ini antara lain
disebabkan ada beberapa ekor kuda datang dari jauh untuk ikut berpacu. Di barisan penonton sebelah depan
tampak duduk orang-orang penting dari Pagaruyung, Batusangkar, Kota Gadang dan kota-kota besar lainnya.
Di barisan depan itu juga duduk para tokoh masyarakat setempat yang terdiri dari pada para Datuk serta
Penghulu. Seperti biasanya di tempat-tempat seperti itu mereka yang suka berjudi tidak mau ketinggalan.
Mereka datang bukan sekedar menonton saja tetapi juga bertaruh, terkadang dalam jumlah yang besar.
Pekik sorak penonton terdengar gegap gempita menyambut kemenangan kuda bernama Panah Agam
yang keluar sebagai juara pertama dalam perlombaan kedua.
“Panah Agam menang! Panah Agam menang!” teriak orang banyak. Yang menang bertaruh
melompat-lompat sambil mengacung-acungkan tangannya.
Pada saat itu seorang lelaki berpakaian kuning, berdestar hitam melangkah mendekati seorang
penonton yang duduk di barisan depan. Penonton ini berusia sekitar setengah abad, berpakaian bagus termasuk
saluak  atau destar yang ada di kepalanya dan kain songket yang terselempang di pinggangnya.
Sebentar-sebentar dia tampak menyentak-nyentakkan lehernya ke kiri atau ke kakan. Mukanya yang cekung
serta dagunya yang persegi senantiasa membentuk air muka yang kaku dingin. Orang ini bukan lain adalah
Datuk Gampo Alam, tokoh terkemuka yang disegani orang se-Pagaruyung. Konon dia mempunyai hubungan
dekat dengan para pejabat tinggi dan orang-orang penting di Batusangkar serta Pagaruyung.
Orang lelaki berpakaian kuning tadi menyerahkan sebuah kantong kain pada Datuk Gampo Alam
seraya berkata. “Tak salah Datuk memegang Panah Agam. Lihat kini bagaimana dia mendatangkan rejeki
kemenangan pada Datuk.” Sang Datuk tidak menjawab. Kantong kain berisi uang itu amblas dimasukkannya
ke balik kain songket yang melilit pinggangnya.
Dia berpaling pada pesuruhnya lelaki berpakaian kuning tadi ketika dilihatnya orang ini masih berdiri
di sampingnya.
“Palindih! Ada apa kau masih tegak di sini?! Jangan harapkan upah bagian dariku, setan!”
“Maafkan saya Datuk, mana berani saya mengharapkan upah,” jawab orang bernama Palindih.
Mukanya cekung dan tubuhnya tinggi kurus. Dia memelihara kumis jarang meranggas.
“Kalau kau tidak mengharapkan sesuatu lalu mengapa tidak segera lindang dari hadapanku?!” bentak
Datuk Gampo Alam. (lindang = minggat)
Palindih membungkuk sedikit. Mukanya didekatkan ke telinga Datuk Gampo Alam. Dia hendak
mengatakan sesuatu tetapi sang Datuk sudah menyemprot.
“Setan! Kalau bicara jangan dekat-dekat ke mukaku! Mulutmu bau jariang tahu!” (jariang = jengkol).
Terpaksa Palindih menjauhkan mukanya. Setengah berbisik dia berkata. “Kabar angin yang Datuk
dengar itu sudah saya selidiki. Ternyata benar.”
“Kabar angin yang mana? Kentut juga angin! Bicara langsung pada pokoknya! Jangan membuat aku
marah di tempat ini!” bentak Datuk Gampo Alam. Lalu kembali lehernya disentakkan dua kali berturut-turut.
“Dua hari lalu, Andana anak Datuk Bandaro Sati terlihat di sebuah kedai di pesisir.”      
Sepasang mata Datuk Gampo Alam tampak membesar. Bibirnya membentuk senyum tapi keseluruhan
wajahnya tidak menunjukkan rasa senang walaupun kemudian dia berkata. “Aku gembira! Kemenakanku itu
akhirnya ingat pulang juga. Katakan siapa yang melihat anak itu?”
“Sati, pedagang keliling itu. Dia ada di belakang sana. Kalau Datuk mau bicara sendiri akan saya suruh
dia kemari.”
Datuk Gampo Alam berdiri. “Biar aku sendiri yang akan menemuinya,” kata Datuk Gampo Alam lalu
dia melangkah mengikuti Palindih.
Orang bernama Sati rupanya memang sudah menunggu di belakang barisan penonton pacuan kuda itu.
Dia mengenakan baju putih model gunting Cina dan mengenakan kopiah hitam. Dia berdiri sambil mengunyah
jagung rebus.
“Kau yang bernama Sati?!” tanya Datuk Gampo Alam.
Yang ditanya angguk-anggukkan kepala sambil terus mengunyah jagung rebus dalam mulutnya.
“Betul kau melihat anak Datuk Bandaro Sati di pesisir?” tanya Datuk Gampo Alam lagi.
Kembali Sati menganggukkan kepalanya. Melihat kelakukan orang ini marahlah Datuk Gampo Alam.
Dirampasnya jagung yang ada di tangan Sati lalu di bantingkannya ke tanah.
“Setan! Sopan kalau bicara padaku! Jangan sambil makan!” bentak Datuk Gampo Alam marah sekali
lalu menyentakkan lehernya ke kiri. “Jawab pertanyaanku tadi!”
Yang ditanya menyeringai lalu ulurkan tangannya. “Kalau Datuk mau keterangan, saya minta upah
satu ringgit perak!”’
“Kurang ajar!! Berani kau memeras aku! Benar-benar setan kau!”’ hardik Datuk Gampo Alam.
“Saya orang dagang Datuk. Segala urusan saya ukur dengan uang. Satu ringgit perak tak ada artinya
bagi Datuk. Apalagi barusan Datuk menang bertaruh. Tapi keterangan yang saya berikan nilainya jauh lebih
tinggi dari satu ringgit perak itu!”
“Mandeang! Sialan kau Sati! Setan!” maki Datuk Gampo Alam. Lehernya disentakkan. Dia tampak
marah sekali. Tapi tiba-tiba tampak senyum tersungging di mulutnya. Dari dalam sakunya dikeluarkannya
uang yang diminta Sati tadi lalu langsung dimasukkannya ke kantong baju putih Sati. “Sekarang lekas berikan
keterangan!” (Mandeang = moyangmu)
“Andana anak Datuk Bandaro Sati saya lihat dua hari lalu di sebuah kedai di pesisir. Dari arah yang
ditempuhnya jelas dia akan datang ke Pagaralam. Gerak geriknya tidak seperti dulu lagi. Agaknya dia kini
membekal ilmu yang lebih tinggi dari dulu.”
“Dia datang seorang diri?” tanya Datuk Gampo Alam.
“Berdua. Kawannya memiliki perawakan dan wajah yang sama. Jangan-jangan pemuda satu itu
kembarannya!”
“Setan! Andana adalah anak tunggal! Ceritamu bohong!”
“Keterangan saya sudah cukup. Saya harus pergi sekarang!” kata Sati pula.
“Keteranganmu tidak senilai uang yang kuberikan. Kembalikan uang itu atau akan kukeluarkan
larangan bahwa kau tidak boleh berdagang di Pagaruyung!”
Wajah Sati jadi berubah. Jengkel dan juga takut. “Kalau Datuk tidak ikhlas dengan uang satu ringgit       
ini ambillah kembali!” Ringgit perak yang ada di saku bajunya itu dikeluarkannya lalu dibantingkannya ke
tanah. Uang itu jatuh dua langkah di depan kaki sang Datuk. Marahnya Datuk Gampo Alam bukan kepalang.
Belum pernah dia dihina orang seperti itu. Jangankan menghina, menatap wajahnya saja tak ada orang yang
berani.
“Setan! Kau akan menyesal seumur hidup!” kata Datuk Gampo Alam sambil mengepalkan tinjunya.
Dia berpaling pada Palindih. “Temui anak buahku. Suruh mereka menghajar Sati sampai setengah mati! Biar
dia tahu rasa! Setan!”
Palindih cepat berlalu. Empat orang anak buah Datuk Gampo Alam ditemuinya di sebuah kedai
minuman.
Di sebuah tikungan Sati yang merasa dirinya diikuti berpaling ke belakang. Ada empat orang
berseragam hitam mendekatinya dengan cepat. Dia tahu siapa keempat orang itu. Anak buah merangkap
tukang pukul Datuk Gampo Alam. Tanpa pikir panjang lagi Sati segera melarikan diri. Tapi percuma saja.
Empat orang berpakaian hitam itu lebih kencang larinya hingga dalam waktu dekat Sati segera terkejar. Lalu
terjadilah penganiayaan itu. Sati terjelapak di tanah dalam keadaan tidak sadarkan diri, mukanya babak belur.
Beberapa giginya tanggal. Mata kirinya bengkak lebam. Bibirnya pecah dan dua tulang iganya patah kena
tendangan.
* * *      
SEBELAS
SUASANA di pekuburan itu diselimuti kesunyian. Hal ini mendatangkan rasa tenteram di hati Bunga
yang saat itu tengah duduk bersimpuh di hadapan sebuah makam. Kedua matanya untuk beberapa lama tidak
berkesip memandangi makam itu sampai akhirnya kedua matanya tampak berkaca-kaca. Diambilnya
selendang yang tergelung di atas kepala lalu ditutupkannya ke wajahnya yang cantik. Di antara isak
sesenggukannya terdengar ucapan gadis ini terputus-putus.
“Bunda. Bunga datang Bunda… Saat-saat seperti ini… Bunga ingin dekat dan satu dengan Bunda.
Bunda… adakah Bunda mendengar ratap hati anakmu ini? Adakah Bunda tahu derita sengsara Ananda, anak
yang tidak pernah melihat wajah Bunda, anak yang tidak pernah… menunjukkan bakti pada Bunda. Anak yang
tidak tahu siapa dan dimana Ayahnya. Kalau masih hidup dimana dia gerangan, kalau sudah mati dimana
kuburnya….”
Sampai di situ tangis si gadis mengeras. Bahunya bergetar. Selendang yang didekapkan ke wajahnya
terlepas jatuh ke pangkuannya. Direbahkan tubuhnya ke atas makam. Salah satu pipinya diletakkan di atas
tanah kubur.
“Bunda… siapa tempat Bunga bertanya. Siapa tempat Bunga mencari tahu dimana dan siapa Ayah.
Gunung diam membisu. Lembah sepi tak mau bercerita. Sungai berdiam diri. Angin tak mau memberi tahu.
Kincir air mendesau tanpa petunjuk. Kicau burungpun hanya mendatangkan keraguan. Bunda… mengapa
malang benar nasib anakmu ini…”
Bunga menyeka air mata yang berderai membasahi pipinya dengan jari-jari tangannya yang halus.
“Bunda… kata orang Bunda berpulang ketika melahirkan Bunga. Bunda oh Bunda… Mengapa tidak Bunda
bawa serta Bunga saat itu… Kalau saja Bunga bisa ikut bersamamu, tak akan ada derita ini. Tak akan ada air
mata. Bunda… adakah Bunda mendengar ratap hati anakmu ini Bunda…?” Suara tangis si gadis meninggi.
Tiba-tiba ada suara langkah kaki-kaki kuda mendatangi.
Tersirap darah Bunga. Suara isak dan rapat tangis gadis malang ini serta meria lenyap. Dia berpaling
ke arah datangnya suara derap kaki kuda. Wajahnya yang tadi merah karena menangis kini tampak pucat.
“Bunga,” satu suara memanggil namanya. “Aneh, kau terkejut melihat saya. Mukamu pucat. Apa saya
telah menjadi mahluk yang menakutkanmu Bunga?”
Kedua mata Bunga membesar. Rasa takut pada wajahnya lenyap, perlahan-lahan berganti dengan
senyuman secerah mentari pagi.
“Astaga, maafkan saya Kak. Saya kira Kakak ini….”
“Kau kira saya ini siapa Bunga?” tanya Andana lalu melompat turun dari kudanya.
Ketika Bunga tak menjawab, Andana berkata. “Saya tahu, pasti yang kau maksudkan adalah
Tumenggung mata keranjang itu. Jadi dia masih mengganggumu terus rupanya. Disusunnya fitnah untuk dapat
memenjarakanku. Sekaligus mencari peluang bisa mendekatimu…”
“Sudahlah Kak. Tak perlu kita bicarakan orang itu. Saya senang melihat Kakak kembali…”
“Saya juga gembira melihatmu lagi Bunga,” kata Andana. Diluruskannya papan nisan kuburan yang
agak miring lalu berkata. “Kalau Kakak tidak salah, Ibumu meninggal sama lamanya dengan usiamu. Saya       
lihat kau habis menangis. Apakah masih harus ditangisi juga makam tua ini Bunga?”
Bunga merunduk. “Yang saya tangisi bukan mendiang Ibu. Tapi saya menangis nasib buruk diri ini.
Saya lahir ke dunia tanpa mengenal Ibu. Tidak mengetahui siapa Ayah saya….”
“Hidup tak boleh dijalani dengan penyesalan Bunga. Nasib diri Kakak jauh lebih menyedihkan. Ibu
tak ada, Ayahpun baru saja berpulang…”
“Kak, maksud Kakak Ayah Kakak meninggal dunia?”
“Beliau tewas dibunuh orang!” Lalu Andana menceritakan apa yang telah terjadi dengan Ayahnya.
Andana mengakhiri penuturannya dengan menarik nafas dalam. “Nasib peruntungan kita boleh dikatakan
tidak berbeda…”
“Kakak, kemarin saja bertemu dengan seorang pemuda. Wajahnya mirip benar dengan Kakak. Dia
mengakui bernama Wiro. Katanya dia sahabat Kakak. Betulkah?”
Andana mengangguk. “Saya tidak tahu dimana dia sekarang…”
“Dia yang menolong saya dari kekurang ajaran Tumenggung Rajo Langit…”
Andana tampak terkejut. “Ada sesuatu yang terjadi rupanya Bunga?”
Bunga lalu menceritakan kejadian kemarin pagi sehabis dia pulang mencuci di telaga.
“Tua bangka hidung belang! Jadi manusia gaek tak tahu diri itu masih saja mengganggumu. Saya akan
membuat perhitungan dengannya. Dendam saya terhadap fitnah yang diaturnya hingga saya masuk penjara
masih berakar di dada ini. Dia akan menerima bagian dari saya…”
“Orang berpangkat seperti dia sebaiknya jangan dilawan Kak. Nanti Kakak ditangkapnya lagi…”
Setelah terdiam sesaat Andana akhirnya berkata. “Saya mau menjenguk makam Ibu sebentar. Kalau
kau mau menunggu nanti kita pulang sama-sama…”
Bunga tampak bimbang. “Kalau kita jalan berduaan lagi seperti dulu, saya khawatir kita akan jadi
pergunjingan orang sekampung. Biar saya pulang saja lebih dulu.”
Andana mengangkat bahu. “Saya mencintai kampung ini. Tapi mulut orang-orang di sini,
pergunjingan mereka terkadang melewati batas. Kalau kau ingin pulang lebih dulu terserah. Kakak tidak bisa
memaksa…”
Andana memegang tangan Bunga, membantu gadis itu bangkit berdiri.
Pada saat itulah tiba-tiba datang enam orang penunggang kuda. Orang ke tujuh yang rupanya menjadi
pimpinan mereka berada di sebelah depan. Dia bukan lain adalah Tumenggung Rajo Langit, lelaki gaek yang
tergila-gila dan ingin memperistrikan Bunga.
“Ha… ha! Anak Datuk Bandaro Sati bercinta-cinta dengan seorang gadis baik-baik di pekuburanl!
Sungguh satu hal yang tidak pantas dan memalukan! Apa kau anggap sudah tak ada lagi adat istiadat di negeri
ini?!”
Andana meskipun kaget masih bisa berlaku tenang. Sebaliknya Bunga tampak ketakutan sekali. “Apa
yang hendak dilakukannya Kak? Pasti dia hendak menangkap Kakak…”
“Bunga! Menjauh dari pembunuh itu!” berkata Tumenggung Rajo Langit sementara enam orang anak
buahnya yang rata-rata bertampang kasar beringas memperhatikan Bunga seperti hendak menelanjangi gadis
ini dengan mata mereka. Ketika Bunga tidak beranjak malah sengaja merapatkan tubuhnya kepada Andana,       
Tumenggung Rajo Langit jadi mendidih amarahnya. “Manusia buronan! Kau kutangkap saat ini juga! Kau
ingin menyerahkan diri secara baik-baik atau hendak melawan. Aku sarankan agar kau melawan saja hingga
aku punya alasan untuk menambas batang lehermu!”
“Hebat sekali!” tiba-tiba ada satu suara keras menimpali ucapan Tumenggung Rajo Langit tadi.
Rajo Langit berpaling. Begitu juga enam anak buahnya. Tak ketinggalan Andana dan Bunga.
Langsung saja Rajo Langit dan orang-orangnya jadi terperangah. Di sebelah sana di atas sebuah tumbangan
batang pohon yang sudah mengering dan tercampak di tanah tegak seorang pemuda. Kecuali pakaian dan ikat
kepalanya yang serba putih, wajah, warna kulit dan potongan tubuhnya mirip sekali dengan Andana.
“Eh, kenapa jadi dua?” Kata Tumenggung Rajo Langit terheran-heran dalam hati. “Benar rupanya
yang dikatakan Sati pedagang keliling itu. Tapi aku tahu betul anak Datuk Bandaro Sati itu tidak punya adik
tidak punya kakak, saudara kembar. Apapun namanya! Tidak bisa tidak dia pasti pemuda yang kemarin pagi
memukulku tak jauh dari telaga!”
“Kakak…” bisik Bunga. “Ini pemuda yang menolong saya itu…”
“Siapa kau berani mencampuri urusan orang?!” sentak Tumenggung Rajo Langit.
“Aku sahabat anak muda yang hendak kau tabas batang lehernya itu. Kalau aku boleh meminta, tolong
tabas sekalian leherku. Ingin aku merasakan bagaimana rasanya kepala terpisah dengan badan. Ha… ha…
ha…!”
“Kakak,” bisik Bunga. “Dalam keadaan seperti ini bagaimana orang itu masih bisa bergurau
seenaknya…”
Andana menahan senyumnya. “Tenang saja Bunga. Sifat pemuda Jawa ini memang begitu. Itu yang
membuat saya suka bersahabat dengannya….”
Seorang anak buah Tumenggung Rajo Langit menyentakkan tali kekang kudanya, melompat ke
hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng yang tegak di atas batang kayu kering.
“Bangsat! Apa tak tahu kau berhadapan dengan Tumenggung Rajo Langit?! Kau orang asing rupanya
nah?!” bentak anak buah sang Tumenggung dengan suara keras dan tampang ganas.
“Ah… ah! Aku berhadapan dengan seorang Tumenggung dan enam ekor pengawalnya rupanya!”
“Keparat busuk!” anak buah Tumenggung yang ada di hadapan Wiro mencabut goloknya. “Biar
kubelah batok kepalamu! Ingin kulihat apa isi otakmu!”
Wiro tertawa gelak-gelak. “Kawan….” katanya pada orang di depannya itu. Lalu enak saja dia
mengarang. “Kau tahu, di kampungku Tumenggung itu artinya biji kemaluan yang peot! Ha… ha… ha…!”
Wuuuttt!
Anak buah Tumenggung Rajo Langit melompat dari kudanya seraya membacokkan golok besarnya ke
batok kepala Pendekar 212. Gerakannya boleh juga dan jika goloknya mencapai sasaran pasti apa yang
dikatakannya yaitu membelah kepala pemuda itu benar- benar bisa terjadi.
Semua orang yang ada di tempat itu, kecuali Andana dan Tumenggung Rajo Langit tidak melihat jelas
apa yang terjadi. Tahu-tahu tubuh si penyerang berputar di udara, di lain kejap tubuh itu terbanting keras
tertelungkup di tanah. Tangannya masih memegang golok tapi tubuhnya tak berkutik lagi. Ketika dagunya
menghantam tanah dengan keras, orang ini langsung pingsan dengan mata mendelik. Hebatnya ketika       
menangkap lengan dan membanting orang itu ke tanah Pendekar 212 sedikit pun tidak beranjak dari atas
batang pohon kering yang diinjaknya.
“Kurang ajar! Anak-anak! Lekas tangkap bangsat itu!” teriak Tumenggung Rajo Langit memerintah.
Lima anak buahnya serta meria melompat turun dari kuda masing-masing. “Jangan ragu-ragu mencincang
tubuhnya!” teriak sang Tumenggung lagi. Mendengar ucapan itu lima orang melompat dari punggung kuda
masing-masing, begitu menjejakkan kaki di tanah langsung menghunus senjata. Dua mencekal parang
berkeluk, tiga membekal golok berkilat.
Melihat hal ini Andana cepat bergerak. Tapi, sambil turun dari atas batang kayu tempatnya berdiri,
Pendekar 212 mengangkat tangan seraya berkata. “Sahabat, kalau aku perlu bantuanmu nanti aku bilang! Lagi
pula kau harus melindungi gadis itu. Aku lihat ada kucing dapur berhidung belang tapi bisa naik kuda dan
berpakaian bagus di sini!” Mau tak mau Andana terpaksa tak beranjak dari tempatnya. “Sahabat aneh! Dalam
keadaan seperti ini dia masih juga sempat melawak!” Kata Andana dalam hati.
Saat itu lima anak buah Tumenggung Rajo Langit sudah menyerbu ke arah Wiro. Dengan tenang
murid Sinto Gendeng dari gunung Gede ini menyorongkan kaki kanannya ke bawah lekukan batang pohon
kering. Begitu lima lawan melompat ke arahnya, dengan cepat Pendekar 212 angkat kakinya. Batang pohon
kering yang besar itu melesat ke depan. Lima anak buah Tumenggung Rajo Langit berseru kaget. Hanya dua
yang mampu menyelamatkan diri. Tiga kawan mereka menggeletak roboh begitu batang kayu menghantam
kepala mereka dengan keras.
Amarah Tumenggung Rajo Langit bukan alang kepalang. Apalagi kemarin diapun sudah lebih dulu
kena dihajar oleh Wiro. Namun otaknya masih bisa bekerja menyadari bahwa dengan ilmunya yang begitu
tinggi, pemuda berambut gondrong itu bukan lawan mudah untuk dihadapi. Apalagi saat itu Andana belum
ikut turun tangan. Memikir sampai di situ Tumenggung Rajo Langit tarik tali kekang kudanya. Matanya
memandang garang ke arah Andana. “Aku memberi kesempatan tiga hari padamu. Jika kau tidak datang ke
Pagaruyung untuk menyerahkan diri, aku akan membawa pasukan dari Batusangkar untuk menangkapmu!”
“Tua bangka buruk!” balas Andana. “Jika kau berani lagi muncul di Pagaralam ini, apalagi berani
mengganggu gadis ini, aku bersumpah untuk membunuhmu!”
“Ah!” Tumenggung Rajo langit menggoyang-goyangkan tangan kanannya. “Soal gadis itu jangan kau
jadikan satu dengan urusan dirimu yang pelarian penjara! Kau dengar baik-baik ucapanku ini anak muda
pembunuh! Bunga tak akan pernah kau miliki…. Aku sudah ditakdirkan untuk mendapatkannya,
menjadikannya sebagai istriku! Ha… ha… ha…!”
“Siapa sudi jadi istrimu! Tua bangka tak tahu diuntung!” teriak Bunga.
Sang Tumenggung terus mengumbar tawa dan kembali dia goyang-goyangkan tangan kanannya.
“Kau belum tahu siapa Tumenggung Rajo Langit. Aku memang sudah gaek. Tapi sekali kau tidur denganku,
seumur hidup kau akan menjadi hamba sahaya minta kulayani siang malam!”
“Manusia mesum bermulut kotori” teriak Andana. Sekali lompat saja dia berhasil menarik pinggang
pakaian Tumenggung itu lalu membetotnya kuat-kuat. Kuda sang Tumenggung meringkik keras. Tumenggung
itu sendiri jatuh berdebam ke tanah. Begitu dia mencoba bangkit Andana siap melayangkan jotosan keras ke
mukanya. Tapi tiba-tiba sekali lelaki tua itu menyorokan sebilah pisau berkeluk ke perut si pemuda. Bunga       
berteriak. Andana masih sempat melihat serangan itu. Kaki kirinya bergerak. Sekali tendang saja pisau
berbentuk aneh itu mencelat mental dan menancap di batang pohon Kemboja.
Tumenggung Rajo Langit berteriak kesakitan sambil pegangi lengan kanannya yang serasa hancur
kena tendangan. Lelaki tua ini cepat berdiri ketika dilihatnya Andana mendatangi, siap menghajarnya kembali.
Tanpa pikir panjang lagi dia segera ambil langkah seribu. Dua orang anak buahnya segera pula menghambur
lari, meninggalkan empat kawan mereka yang pingsan berkaparan.
Wiro melangkah ke arah pohon Kemboja. Batang pohon yang ditancapi pisau berkeluk milik
Tumenggung Rajo Langit tadi tampak menghitam. Warna hitam ini dalam waktu singkat menjalar ke seluruh
cabang dan ranting. Daun-daun pohon yang tadinya hijau juga tampak menghitam. Lalu bunga-bunga
Kemboja yang kuning putih itu kelihatan layu berubah warna menjadi kelabu.
“Racun jahat luar biasa! Tak pernah aku melihat racun senjata sedahsyat ini!” kata Pendekar 212 lalu
dicabutnya pisau berkeluk dari batang pohon dan diperlihatkannya pada Andana yang saat itu melangkah
bersama Bunga ke arahnya.
Andana memperhatikan senjata itu sejenak lalu berkata. “Aku menaruh syak sasangka. Jangan-jangan
Tumenggung keparat itu yang telah membunuh Ayahku!”
“Bisa jadi. Cuma saja kita harus mendapatkan bukti-bukti. Hati-hati terhadapnya sahabat.
Ancamannya akan mendatangkan pasukan dari Batusangkar tadi kurasa tidak main-main… Kudengar di sana
ada senjata panjang yang bisa meletus. Aku tak tahu namanya…”
“Senapan…” kata Andana.
“Bedil!” ucap Bunga.
Pendekar 212 tersenyum. “Kalian berdua seperti pinang dibelah dua. Yang seorang kuntum Bunga
indah dan harum di seluruh negeri. Yang satunya Harimau Singgalang…”
“Harimau Singgalang…? Kak, dari mana kau dapat julukan itu?” tanya Bunga seraya berpaling pada
Andana.
“Aku sendiri tidak tahu. Itu pasti bisa-bisanya saja mengarang!” jawab Andana.
Sewaktu dua remaja itu memandang ke samping, Pendekar 212 tak ada lagi di tempat itu. Dia sudah
berada jauh di depan sana. Melangkah cepat sambil sekali-sekali menoleh ke belakang dan
melambai-lambaikan tangannya.
* * *      
DUA BELAS
HARI memasuki senja kita Andana sampai di depan rumah kayu yang terletak di kawasan kebun yang
tak begitu terpelihara. Dari celah-celah dinding papan menyeruak cahaya lampu minyak tanda penghuninya
ada di dalam. Kesunyian yang hanya dibisingi suara jengkerik membuat Andana merasa kurang enak. Setiap
gerakan yang dilakukannya penuh kewaspadaan. Di satu tempat pemuda ini turun dari kudanya. Dia
melangkah cepat namun hati-hati menuju bagian depan rumah kayu. Tak lama kemudian dia mulai mengetuk.
Pada ketukan ke empat terdengar suara orang bertanya dari dalam. Suara perempuan. “Siapa di luar?”
“Seorang sahabat ingin bertemu dengan Udin Burik,” jawab Andana.
Diam sesaat. Lalu terdengar suara perempuan tadi bertanya. “Tamu baik-baik tentu mempunyai nama.
Harap memberitahu.”
“Nama saya, Andana. Katakan pada Udin Burik agar keluar menemui saya.”
Tak ada jawaban dari dalam. Malah tiba-tiba lampu minyak di dalam rumah dipadamkan orang. Tak
lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki di lantai papan. Telinga tajam Andana tahu betul ada dua
orang yang melangkah di dalam rumah. Yang pertama bergerak ke arah belakang sedang yang kedua menuju
pintu depan. Benar saja, tak lama kemudian pintu depan terbuka. Seorang perempuan gemuk yang mukanya
berbedak tebal, alis dan gincu bercelemotan muncul di ambang pintu.
“Ya…?”
“Saya sahabat Udin Burik. Saya ingin bertemu dengannya. Dia tentu ada di dalam.”
“Saya istrinya. Suami saya sedang ke Batusangkar. Mungkin Besok baru pulang.”
Andana tahu kalau si gemuk yang mengaku istri Udin Burik ini berdusta padanya. Dusta bahwa lelaki
itu tidak ada di rumah dan mungkin juga dusta dia adalah istrinya.
“Maaf, saya tidak percaya pada Uni. Boleh saya masuk memeriksa?” (Uni = sebutan untuk perempuan
yang lebih tua).
“Saya seorang perempuan. Seorang diri di rumah ini. Hari malam pula. Tamu tak saya kenal ingin
masuk. Tahu diri dan tahu adatlah sedikit…” kata perempuan gemuk itu. Tapi anehnya dia berkata begitu
sambil tersenyum dan mengedipkan mata kirinya.
“Maafkan saya. Kalau begitu biar besok siang saja saya kembali ke sini…”
“Tunggu,” kata si gemuk setengah berbisik. “Hari sudah malam. Uda ini tentu datang dari jauh. Kalau
suka masuklah sebentar. Biar saya buatkan kopi manis…” Habis berkata begitu perempuan itu memandang ke
kiri dan ke kanan. “Tak ada orang. Jadi tak ada yang melihat kita. Asal Uda tidak lama-lama bereslah….”
katanya sambil tersenyum dan lagi-lagi mengedipkan matanya. (Uda = panggilan terhadap lelaki yang lebih
tua).
“Terima kasih. Saya masih ada keperluan lain,” jawab Andana lalu memutar tubuh dengan cepat.
Perempuan gemuk di ambang pintu nampak kecewa. Ditutupkannya pintu dengan kesal.
Di dalam gelap Andana bergerak cepat menuju bagian belakang rumah. Disini dia mengendap di balik
serumpun belukar.
Dia tidak menunggu lama. Dari balik sebuah sumur keluar satu sosok tubuh, melangkah cepat menuju       
pintu belakang rumah. Orang ini bukan lain adalah Udin Burik. Lelaki bermuka bopeng yang beberapa tahun
lalu memberi kesaksian di hadapan Tumenggung Rajo Langit bahwa dia melihat Andana membunuh Sarkam,
seorang pemuda sekampung di Pagaralam setelah terjadi satu perkelahian. Tentu saja Udin Burik tergagau
kaget ketika Andana tiba-tiba muncul menghadang di depannya. Wajahnya yang bopeng berubah sepucat
kertas. “An… Andana…”
Andana cepat mencekal leher pakaian Udin Burik. “Perempuan gemuk di dalam rumah mengatakan
kau pergi ke Batusangkar. Baru besok pulang. Rupanya kau kembali lebih cepat!” Andana mendorong Udin
Burik hingga tersandar ke dinding belakang rumah.
“A… apa maumu Andana?”
“Ingat tiga tahun lalu waktu kau muncul di hadapan pengadilan nagari di Pagaruyung. Di hadapan
Tumenggung Rajo Langit kau memberi kesaksian bahwa kau menyaksikan aku membunuh Sarkam, pemuda
yang menurutmu sudah sejak lama punya silang sengketa dengan diriku!”
“Dengar…. aku…. aku…”
“Siapa yang menyuruhmu memberikan kesaksian palsu? Siapa yang membayarmu?! Tumenggung
Rajo Langit sendiri?!”
“Aku… aku memang melihatmu membunuh….”
Plaakk!
Andana tampar muka Udin Burik sekeras-kerasnya hingga sudut bibir orang ini pecah dan
mengucurkan darah. “Jangan kira aku tidak tega meremukkan kepalamu, bopeng! Bicara yang benar!” sentak
Andana seraya menjambak rambut Udin Burik dengan tangan kirinya kuat-kuat. Tangan kanannya dikepalkan
lalu dihantamkan ke dinding kayu di samping kepala Udin Burik.
Braaakk!
Dinding yang.terbuat dari kayu keras itu hancur berantakan. Di dalam rumah terdengar pekik
perempuan gemuk sedang Udin Burik sendiri menggigil sekujur tubuhnya. Kedua matanya terbuka lebar tanda
dia dilanda rasa takut yang amat sangat.
Andana meletakkan tinju kanannya di depan hidung lelaki bermuka bopeng itu. “Mau bicara atau
kuhancurkan kepalamu saat ini juga!” Mengancam Andana.
Udin Burik putus nyalinya. “Jangan….Jangan pukul ambo. Saya akan bicara. Saya disuruh orang. Saya
dipaksa. Kalau tidak mau saya….” (ambo = saya)
“Katakan siapa orangnya!” bentak Andana.
“Di… dia…”
Andana mendengar daun bergemerisik di belakangnya, menyusul ada suara berdesing. Secepat kilat
pemuda ini merunduk sambil membuang diri ke kiri. Saat itu terdengar Udin Burik mengeluarkan suara seperti
orang tercekik. Ketika Andana memandang ke depan dilihatnya sebilah pisau menancap dalam di leher Udin
Burik. Gagang senjata ini berukir tengkorak manusia. Kedua mata Udin Burik terbeliak besar. Dia mengerang
pendek lalu tubuhnya melosoh jatuh. Terduduk sebentar akhirnya terguling roboh tanpa nyawa lagi.
Ketika mendengar suara semak belukar bergemerisik di belakangnya, serta merta Andana berbalik dan
lepaskan pukulan “inti api”. Sinar merah menderu menebar hawa panas. Lidah api menggebubu. Semak       
belukar di depan sana hancur berantakan berubah bentuk menjadi puntungan-puntungan kayu yang terbakar.
Lapat-lapat terdengar suara orang mengeluh kesakitan. Andana cepat mengejar. Tapi terlambat. Di kejauhan
terdengar suara derap kaki kuda dipacu meninggalkan tempat itu.
“Hemmm… siapapun orang yang kabur itu, pukulanku pasti sempat menciderai dirinya.” Kata Andana
dalam hati. Pemuda ini membalik cepat ketika dari arah rumah didengarnya suara jeritan perempuan. Pemuda
ini bergegas ke tempat Udin Burik tadi terkapar. Di situ dilihatnya perempuan gemuk itu duduk terhantar dekat
sosok mayat Udin Burik. Begitu melihat Andana langsung saja dia berteriak.
“Pembunuh! Pembunuh!”
“Bukan saya yang membunuh Uni,” kata Andana. Dengan cepat dicabutnya pisau yang menancap di
leher Udin Burik.
Darah menyembur. Perempuan gemuk itu kembali menjerit keras lalu roboh pingsan. Andana sendiri
cepat-cepat kembali ke tempat dia meninggalkan kudanya.
* * *      
TIGA BELAS
DATUK Gampo Alam duduk di anjungan rumah gadang menikmati kopi dan juadah ditemani oleh
dua dari empat orang istrinya. Ketika dia hendak meneguk kopinya kembali, telinganya mendengar suara di
kejauhan. Sang Datuk memang memiliki ilmu kepandaian tinggi hingga tidak seperti orang biasa dia sanggup
mendengar suara yang datang dari tempat jauh.
“Pasti dia. Tamu yang ditunggu sudah datang!” kata Datuk Gampo Alam dengan senyum dikulum
sambil mengusap-usap dagunya. “Kemenakanmu, putra Datuk Bandaro Sati sebentar lagi akan menginjakkan
kakinya di rumah gadang ini!” Sang Datuk geleng-gelengkan kepalanya. Dia berpaling pada kedua istrinya.
“Kalian berdua masuklah. Suruh si Atun menyiapkan minuman dan juadah tambahan untuk keponakanku
Andana.”
Zubaidah, istri tertua Datuk Gampo Alam dan Rukiah istri keempat yang paling muda sama-sama
berdiri. Di ruang dalam dua istri yang saling akur di antara empat istri Datuk Gampo Alam bicara
perlahan-lahan.
“Saya banyak mendengar cerita tentang kemenakan Datuk yang.bernama Andana itu.” kata Rukiah
sang istri paling muda.
“Tapi saya belum pernah melihat orangnya. Kata orang dia masih muda, gagah dan kekar potongan
tubuhnya. Biar saya mengintai sejenak.”
“Kalau sampai Datuk tahu perbuatanmu, mati kau dilecutnya!” kata Zubaidah pula.
Datuk Gampo Alam bangkit dari duduknya. Dia melangkah ke ruangan tengah dan tegak di belakang
jendela. Seekor kuda besar memasuki halaman rumah gadang dan berhenti di bawah tangga. Penunggangnya
seorang pemuda berikat kepala kain merah, berbaju merah dan celana hitam.
“Tuhan Maha Besar. Sampai juga akhirnya anak ini dengan selamat ke sini!” kata sang Datuk, lalu
bergegas menuruni tangga rumah gadang. Di depan tangga paman dan kemenakan ini saling berpandangan
sejenak lalu sama-sama berangkulan erat.
“Kedatanganmu memang sangat Mamak harapkan. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Paman lihat
kau sudah jauh lebih dewasa…. Tambah gagah! Pasti banyak gadis yang akan jatuh hati padamu!” Datuk
Gampo Alam tertawa bergelak. “Kemana saja kau menghilang selama ini, Andana?”
“Nasib membuat saya terdampar di negeri Asahan,” jawab Andana.
“Negeri Asahan! Ah, itu negeri indah bertanah subur. Tunggu! Kalau kau tidak salah di situ ada
seorang saleh berkepandaian tinggi bernama Datuk Alis Merah.”
“Betul Paman. Saya beruntung diambil jadi muridnya,” jawab Andana polos.
Sepasang mata Datuk Gampo Alam membesar. Kalau benar dia telah berguru dengan orang sakti itu
“Pasti dia sudah menguasai ilmu pukulan Inti api yang hebat itu,” membatin Datuk Gampo Alam. Lalu dia
menepuk-nepuk bahu Andana dan mengajak kemenakannya ini naik ke atas rumah gadang.
Di atas rumah gadang mamak dan kemenakan ini duduk berhadap-hadapan. Datuk Gampo Alam
berteriak memanggil pembantu. “Atun! Tamu sudah datang! Mana minuman?!”
Kening Datuk Gampo Alam berkerut ketika yang keluar membawa baki berisi kopi dan juadah       
bukannya Atun perawan tua pembantu di rumah gadang, melainkan Rukiah, istrinya paling muda dan paling
cantik.
“Mana si Atun?” sentak Datuk Gampo Alam.
Rukiah meletakkan baki di lantai. Sekilas dia mengerling pada Andana baru menjawab pertanyaan
suaminya. “Atun sedang ke air Datuk….”
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya dua kali. “Seharusnya Zubaidah yang membawakan kopi
dan juadah ini. Mengapa harus kau? Mana perempuan itu?!” Nada suara sang Datuk jelas menunjukkan rasa
cemburu.
“Saya atau kak Zubaidah sama saja Datuk. Saya hanya tak mau membuat tamu kita ini menunggu
terlalu lama. Nanti Datuk marah pula pada saya.”
“Ah… kau memang pandai bicara!” kata Datuk Gampo Alam. “Lekas masuk ke dalam!”
Sang Datuk mempersilahkan kemenakannya mencicipi hidangan. Setelah Andana meneguk kopinya
sang Datuk berkata. “Tadi itu Rukiah. Istriku paling muda. Jadi ibumu juga….”
Dalam hati Andana berkata. “Bagaimana aku akan memanggil Ibu padanya, Usianya saja pasti
beberapa tahun lebih muda dariku!”
“Mamak mendengar kalau kau sudah berada di Pagaralam ini kemarin. Lalu dimana saja kau
menginap malam tadi, Andana?” bertanya Datuk Gampo Alam.
“Mamak betul. Saya memang datang kemarin. Maafkan kalau saya tidak segera menemui Paman.
Saya bermalam di surau….”
“Di surau?” ujar Datuk Gampo Alam, lalu dia tertawa panjang. “Andana, rumah gadang ini adalah
rumah warisan nenek moyang kita, warisan Ayahmu, jadi rumahmu juga. Selayaknya kau menginap di rumah
ini. Bukankah di sini kau dilahirkan dan dibesarkan….? Aku hanya menjadi penghuni sementara atas
persetujuan Ayahmu karena sejak Ibumu meninggal dia lebih suka mengelana ke berbagai negeri.”
Andana tak menjawab. Pemuda ini menundukkan kepala.
“Ada apa Andana?” tanya Datuk Gampo Alam.
“Ayah sudah tak ada lagi Paman….”
Dua bola mata Datuk Gampo Alam membesar. Dia tampak sangat terkejut mendengar kata-kata
kemenakannya itu. Manusia satu ini sungguh pintar berpura-pura. “Apa katamu Andana?”
“Ayah saya Datuk Bandaro Sati mati dibunuh orang secara gelap. Dalam keadaan sekarat tubuhnya
ditemukan seseorang di tepi Ngarai Sianok.” Andana lalu menceritakan apa yang telah terjadi dengan diri
Ayahnya.
“Pembunuh jahanam! Setan!” Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya dua kali. “Siapa yang
nekad membunuh kakakku begitu keji?! Setahuku ayahmu tak pernah punya musuh!”
“Saya curiga pada Tumenggung Rajo Langit….-
“Hati-hati kalau bicara Andana. Apa alasanmu curiga pada Tumenggung itu….?”
“Saya tahu, dia yang mengatur rencana memfitnah saya hingga dijebloskan dalam penjara. Saya tak
tahu apa yang ditujunya…”
“Kalau kau bisa mendapatkan bukti-bukti perbuatan busuknya, aku akan membantumu membuat       
perhitungan dengan Tumenggung itu. Tapi ingat kita harus hati-hati. Tumenggung Rajo Langit bukan orang
berilmu, tapi dia punya kekuasaan dan sanggup menghimpun kekuatan besar untuk mencelakaimu. Sekali lagi
kau sampai tertangkap olehnya tak bakal ampun Andana. Ingat itu baik-baik…”
“Terima kasih Mamak,” kata Andana pula.
Datuk Gampo Alam mengangguk. “Ayahmu seperti orang yang sudah punya firasat, Kali terakhir dia
bertemu dengan Paman, dia menyerahkan sebuah Surat Wasiat…”
“Surat Wasiat?” ulang Andana. “Surat Wasiat apa Paman?”
“Sudah, nanti saja kita bicarakan hal itu. Kau tahu, aku sudah menyuruh orang di belakang untuk
memotong lima ekor ayam sekaligus. Kita makan besar siang ini. Selain itu kamar tidurmu juga sudah
disiapkan. Lantainya diberi permadani dari Turki. Tempat tidurnya besar. Bantal dan gulingnya empuk.
Tilamnya ditaburi bunga melati hingga kamar tidur itu selalu harum siang dan malam. Ayo, aku ingin
perlihatkan kamar tidur itu padamu….”
Sebenarnya Andana segan mengikuti Pamannya itu. Tapi sang Paman seperti memaksa. Akhirnya
pemuda ini berdiri juga dan melangkah mengikuti Datuk Gampo Alam menuju sebuah kamar di ujung kiri
yang pintunya tertutup. Perlahan-lahan Datuk Gampo Alam mendorong daun pintu. Kamar di balik pintu itu
tampak agak gelap karena tak satu jendelapun yang terbuka. Datuk Gampo Alam melangkah masuk sambil
memberi isyarat pada Andana agar mengikutinya.
Andana memandang sekeliling kamar. Semua serba bersih. Ini dulu memang kamar tidurnya. Namun
sekarang keadaannya jauh berbeda. Di lantai ada permadani tebal.
“Ini kamarmu. Kau harus tidur di sini malam ini,” kata Datuk Gampo Alam.
“Saya sudah dewasa Paman. Tidak pantas lagi tidur di rumah gadang. Biar saja saya tidur di surau.”
Datuk Gampo Alam tertawa lebar. “Adat kita orang Minang memang harus dijunjung. Tapi kalau
hanya untuk semalam dua apa salahnya? Itu tandanya kau cinta pada rumah gadang tempat kau dilahirkan dan
dibesarkan.”
Andana tak menjawab.
“Agak gelap kamar ini. Andana, tolong kau bukakan jendela-jendela di samping kanan itu. Agar udara
segar bisa masuk dan cahaya matahari dapat menerangi….”
Andana melangkah ke deretan jendela di samping kanan kamar. Ada tiga buah jendela besar di situ.
Dua langkah lagi akan sampai di jendela Andana merasakan ada getaran aneh pada lantai di bawah permadani
yang dipijaknya. Meskipun hatinya mendadak tidak enak namun pemuda ini meneruskan langkahnya juga. Dia
membuka jendela sebelah tengah. Begitu daun jendela terbuka tiba-tiba ada suara seperti benda ditarik.
Menyusul suara berdesing dari arah belakang.
“Andana! Awas pisau terbang!” teriak Datuk Gampo Alam.
Tanpa diberi ingatpun Andana sudah mengetahui adanya bahaya mengancam. Secepat kilat dia
melompati jendela dan terjun ke halaman bawah pada ketinggian hampir dua tombak.
Sebilah pisau yang panjangnya sekitar dua jengkal menancap di kayu sanding jendela. Untuk beberapa
saat lamanya dari bawah sana Andana memperhatikan gagang pisau yang bergetar. Wajah pemuda ini tampak
berubah tegang. Otaknya bekerja. Pisau terbang itu melesat sesaat setelah dia menginjak bagian lantai dekat       
jendela kamar.
“Ada orang memasang peralatan rahasia hendak membunuhku.” Kata Andana dalam hati. “Tapi
siapa? Pamanku sendiri?”
Datuk Gampo Alam bergegas menuruni tangga. “Kau tak apa-apa Andana?”
“Saya tak kurang suatu apa Paman. Ada orang hendak membunuh saya secara pengecut… Saya yakin
jika saya memeriksa lantai di bawah sana, saya akan menemukan peralatan itu.”
Wajah Datuk Gampo Alam tampak mengelam. “Ada musuh gelap di rumah gadang ini! Kemenakanku
sendiri hendak dibunuh bulat-bulat di hadapanku! Setan! Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya sampai
empat kali. Lalu dia melangkah cepat ke kolong rumah gadang. Tepat di lantai kamar dia memeriksa. “Kurang
ajar! Memang ada peralatan jahanam disusupkan orang di sini!” teriak sang Datuk marah. Lalu tangannya
merenggutkan beberapa potong kayu dan tali serta kawat. Kemarilah! Kau lihat sendiri benda-benda keparat
ini!” teriak Datuk Gampo Alam. Tapi sang kemenakan sudah melompat ke atas kudanya. Datuk Gampo Alam
cepat mengejar.
“Andana aku bersumpah akan mencari siapa yang memasang peralatan rahasia ini! Aku akan
bersihkan seluruh rumah gadang ini! Dengar Andana, kalau malam ini kau tak mau menginap di sini, tapi hari
rabu tiga hari lagi kau harus bermalam di sini. Esok paginya hari kamis aku sudah merencanakan untuk
melakukan pesta besar menyambut kedatanganmu….”
“Apa perlu hal itu diadakan Mamak?” tanya Andana.
“Perlu! Perlu sekali. Pertama karena aku bahagia kau kembali ke Pagaralam ini. Kedua aku ingin
menunjukkan pada Tumenggung di Pagaruyung bahwa kau adalah kemenakanku. Tidak satu orangpun yang
layak mengganggumu, termasuk dia!”
Andana tak berkata apa-apa. Disentakkannya tali kekang kudanya hendak meninggalkan tempat itu.
“Tunggu dulu Andana,” kata Datuk Gampo Alam sambil memegang tali kekang kuda. “Ada satu hal
yang hendak aku tanyakan. Setahuku Ayahmu memiliki sebilah keris sakti bertuah. Tuanku Ameh Nan
Sabatang. Sewaktu mayatnya dibawa pemuda yang sekarang menjadi sahabatmu itu, apakah senjata itu ada
pada sosok Ayahmu?”
Andana menggeleng. “Keris itu lenyap.”
“Pasti pemuda Jawa itu yang mengambilnya!”
“Tidak, saya dan Uning Ramalah telah menyelidiki.
Keris itu tak ada pada sahabat saya Wiro…” kata Andana pula tanpa menceritakan bahwa senjata
tersebut sekarang berada padanya, muncul secara aneh di tempat gurunya di Asahan.
“Kakakku Uning Ramalah, apakah dia ada memesankan sesuatu padamu?” tanya Datuk Gampo Alam
lagi. “Misalnya mengenai urusan rumah gadang ini?”
“Tidak ada pesan apa-apa. Seingat saya dia sudah tidak mau mencampuri urusan dunia lagi. Termasuk
rumah gadang ini walau sebagai anak perempuan dia mempunyai hak yang terbesar….”
Datuk Gampo Alam usap-usap dagunya. Dia tidak berusaha menahan lagi ketika Andana bergerak
meninggalkan tempat itu. Sesaat setelah Andana pergi Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya. Kaki
kanannya dibantingkan ke tanah. Tinjunya dikepalkan.      
“Jahanam! Mengapa bisa gagal! Setan betul! Tapi tunggu saja. Masih ada seribu cara untuk
menyingkirkan anak itu!”
* * *      
EMPAT BELAS
PINTU depan terdengar diketuk orang. Mamak Rabiah dan Bunga sesaat saling berpandangan.
“Siapa?” bertanya Mamak Rabiah. “Ambo Etek Rabiah,” terdengar jawaban orang laki-laki. (Etek = panggilan
untuk perempuan yang jauh lebih tua).
“Ambo siapa?” “Ambo Palindih!
Bunga memandang pada Mak Rabiah. “Pembantu Datuk Gampo Alam,” kata Mak Rabiah. “Perlu apa
dia datang kemari?” Perempuan ini melangkah ke pintu dan membukanya. Di ambang pintu orang bernama
Palindih membuka destar hitamnya lalu membungkuk memberi hormat.
“Sudah lama kau tidak kelihatan Palindih. Sudah jadi orang besar awak sekarang ya? Masuklah….”
Palindih masuk ke dalam seraya melirik pada Bunga. “Mujur sekali saya hari ini. Kalian berdua ada di
rumah….”
“Ceritakan maksud kujunganmu ini Palindih,” kata Mamak Rabiah.
“Kalau pembantu Datuk Gampo Alam datang pasti  ado barito gadang  yang membawa
keberuntungan!” Palindih tertawa mengekeh.
“Keberuntungan bagimu belum tentu keberuntungan bagi kami,” kata Mamak Rabiah pula. “Lagi
siapa orangnya di Pagaralam ini yang tidak tahu kalau Datuk itu sangat kikirnya!”
“Ah, jangan begitu. Datuk memang kikir pada orang-orang yang malas. Tidak pada orang-orang
seperti kita ini.” Palindih melirik pada Bunga. Setelah membasahi bibirnya dia melanjutkan kata-katanya.
“Begini Etek Rabiah. Etek dan Bunga tentu sudah mendengar kabar bahwa Andana, kemenakan kontan Datuk
Gampo Alam telah pulang dari rantau. Kegembiraan Datuk bukan alang-kepalang. Dia berniat
menyelenggarakan pesta besar untuk menyambut kepulangan si anak hilang itu. Saya dipercayai untuk
mengatur dan menyusun acara. Lima kambing dan seekor sapi rebah. Belum terhitung ayam dan itik….
Beberapa juru masak terkenal sengaja didatangkan dari Batusangkar.”
“Wah, tentu besar sekali pukulanmu sekali ini Palindih,” kata Mamak Rabiah sementara Bunga tetap
berdiam diri.
“Urusan macam begini memang Palindih ahlinya,” kata Palindih sambil tertawa lebar. “Kita tak boleh
mengecewakan Datuk. Di samping itu saya rasa sudah lama Pagaralam tidak disemarak oleh keramaian.
Karenanya sengaja saya merencanakan pertunjukan yang bagus-bagus. Tari piring di atas kaca. Debus. Lalu
yang paling meriah tentunya Tari Gelombang tari persembahan. Nah, untuk Tari Gelombang itu siapa lagi
pembawa sirihnya yang dapat dan pantas ditampilkan kalau bukan anak Mamak yang cantik jelita ini…”
“Mengapa musti saya?” tanya Bunga untuk pertama kalinya bersuara.
Palindih tertawa. “Katakanlah, apa ada gadis lain yang lebih cantik dari anak Mamak ini di
Pagaralam? Pagaruyung bahkan Batusangkar sekalipun putus tembus oleh kecantikannya!”
“Palindih, apakah Datuk Gampo Alam sendiri yang menyuruh kau memilih Bunga?”
“Ketahuilah Etek Rabiah. Sudah sejak lama Datuk tidak banyak tahu tentang keadaan negeri ini. Apa
lagi sejak dia menikahi Rukiah, istri ke empatnya yang patut jadi anak bahkan cucunya. Tapi kecantikan
Rukiah tidak dapat dibandingkan dengan kecantikan Adik saya ini. Bukan Mak, bukan Datuk yang memilih       
Bunga, tapi saya Palindih yang cerdik ini yang tahu dan pandai memilih!”
Mamak Rabiah dan Bunga untuk beberapa saat lamanya saling pandang tak berkata apa-apa.
“Hai! Palindih tak punya waktu lama. Orang penting seperti saya ini banyak urusannya! Bagaimana
jawaban Mamak Rabiah?”
“Lagakmu Palindih, hebat sekali. Kau tanyakan sendirilah pada anak ini.”
Palindih berpaling pada Bunga. Gadis itu justru menunduk. Namun sesaat kemudian terdengar dia
berkata. “Terserah pada Mamak Rabiah. Baik kata Mamak baik pula bagi saya.”
Mamak Rabiah menatap paras Bunga sesaat. Dia melihat bayangan keinginan pada wajah gadis itu
untuk memenuhi permintaan Datuk Gampo Alam. Namun sekilas perempuan ini juga melihat adanya rasa
kekhawatiran. Mamak Rabiah merenung sejenak. Kemudian dia berpaling pada Palindih. “Baiklah. Kami
menerima permintaan itu.”
Palindih berseru gembira dan melompat-lompat.
“Palindih! Jangan melompat-lompat. Lantai rumahku sudah lapuk. Bisa roboh rumah ini nanti!”
“Saya gembira Etek. Benar-benar gembira….”
“Tapi ada satu hal yang harus kau ketahui Palindih…”
“Eh, apa itu Etek? Soal hadiah? Jangan khawatir!”
“Bukan. Bukan soal itu. Kami tidak mengharap hadiah apa lagi meminta bayaran. Kami hanya ingin
kau tahu bahwa kami menerima permintaan itu bukan memandang muka Datuk Gampo Alam, apalagi
mukamu yang buruk ini!”
Palindih mengusap-usap mukanya yang memang beruntusan lalu tertawa perlahan. “Lalu apa alasan
Etek dan bunga menerimanya? Saya jadi binggung..”
“Semata-mata karena memandang pemuda bernasib malang bernama Andana itu. Yang menurut
seorang sahabatnya mempunyai julukan Harimau Singgalang.”
“Harimau Singgalang? Baru sekali ini saya dengar hal itu. Tapi sudahlah… Yang penting saya sudah
tahu anak Mamak mau jadi pembawa sirih dalam Tari Gelombang nanti. Saya minta diri sekarang…” Dengan
sikap lucu Palindih membungkuk di hadapan kedua perempuan itu. Lalu dia melangkah mundur. Sampai di
pintu langsung melompat. Tapi kakinya terpeleset. Akibatnya dia jatuh terduduk dan terbanting punggung di
tanah yang agak becek. Bunga dan Mamak Rabiah tertawa gelak-gelak. Setengah merintih Palindih mencoba
bangkit dan melangkah pergi terbungkuk-bungkuk sambil memegangi celananya.
* * *      
LIMA BELAS
KESUNYIAN malam dirobek oleh suara derap kaki dua ekor kuda yang berlari cepat beriringan
menuju ke timur. Dua pemuda yang menunggangi binatang itu tak bisa memacu lebih cepat karena jalan yang
ditempuh hanya merupakan jalan setapak. Kiri kanan jalan ditumbuhi semak belukar lebat dan gelapnya
malam bukan kepalang.
Tiba-tiba jauh di ujung jalan terdengar suara tiupan saluang yang sesekali ditimpali suara nyanyian.
Andana memperlambat lari kudanya. Dia berpaling ke belakang pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Tak lama
kemudian dalam gelapnya malam Andana dan Wiro menyaksikan satu pemandangan aneh. (saluang = sejenis
suling berukuran besar)
Di tengah jalan setapak yang hendak mereka lewati tampak seorang kakek duduk menjelepok di tanah,
asyik meniup saluang. Orang tua mi mengenakan destar dan pakaian serba putih.
“Orang aneh,” kata Andana berbisik pada Wiro. Yang diajak bicara anggukkan kepala sambil
memandang tak berkesip pada orang tua yang duduk di tengah jalan itu. Dia tak dapat jelas melihat wajah si
orang tua. Selain gelap orang tua ini selalu menundukkan kepala.
Orang tua hentikan tiupan saluangnya lalu terdengar dia menyanyi.
Orang Kurai pergi berlayar
Mengarung ombak ke tanah Jawa
Jangan percaya manusia ular
Mulut manis mengandung bisa
Kalau tua menanam Melur
Gali tanah tancap akarnya
Orang pandai kalau tidur
Mata nyalang telinga terbuka
“Nyanyiannya enak juga,” kata Wiro. “Coba kau tanyakan mengapa malam-malam begini dia
nongkrong di sini, bernyanyi dan meniup suling. Sepertinya dia sengaja menghadang jalan kita. Bertanyalah
dengan sopan. Dia bisa saja seorang musuh, bisa pula seorang sahabat.”
Andana turun dari kudanya lalu bertanya. “Orang tua di tengah jalan. Maafkan kami berdua. Kami
hendak lewat, mohon diberi jalan. Suara nyanyianmu bagus. Kami ingin mendengar lebih lama. Tapi kami ada
urusan di tempat lain. Kalau boleh bertanya mengapa kau justru menyanyi di tengah jalan dan malam-malam
seperti ini?”
Orang yang ditegur menyahut tidak, angkat kepalapun tidak. Malah dia enak saja meniup saluangnya
lalu kembali menyanyi.
Keris emas keris pusaka bertuah
Senjata ampuh sakti mandraguna
Kalau mau selamat hidup di dunia
Pasang mata pasang telinga       
Pintu hati harap dibuka
Andana jadi terkesiap mendengar bunyi pantun dalam nyanyian orang tua itu yang menyebut-nyebut
keris emas keris pusaka bertuah. Bagaimanakah tidak karena saat itu dia membekal keris Tuanku Amen Nan
Sabatang. Senjata warisan Ayahnya yang didapatnya secara gaib di Asahan tempo hari.
“Apakah orang tua ini tahu perihal keris emas yang kubawa?” Tanya Andana dalam hati. Lalu untuk
kedua kalinya pemuda ini meminta jalan.
Orang tua itu turunkan tangannya yang memegang saluang. Mulutnya terdengar berucap. “Telinga tua
ini sudah tuli hingga tak mendengar orang meminta jalan.” Dengan ujung saluangnya dia lalu membuat
guratan di tanah, menggaris tanah dari tepi kiri sampai ke tepi kanan. “Dua anak muda. Kalian minta jalan.
Silahkan lewat…” Lalu orang tua itu menggeser duduknya ke tepi jalan.
“Terima kasih…” kata Andana. Dituntunnya kudanya lalu dia melangkah. Tetapi begitu kaki kanannya
hendak melewati guratan di tanah tiba-tiba terdengar letusan keras. Dari garis di tanah meletup keluar
sambaran api dan kapulan asap. Andana terkejut lalu cepat-cepat menarik kakinya sementara kuda yang
dituntunnya mengangkat kedua kaki depannya ke atas dan meringkik keras. Kuda yang ditunggangi Wiro juga
ikut meringkik. Pemuda, ini cepat melompat turun menjaga segala kemungkinan.
Orang tua yang duduk di tengah jalan tertawa mengekeh.
Andana yang menjadi jengkel berpaling pada Wiro seolah ingin minta pendapat apa yang harus
dilakukannya. Murid Eyang Sinto Gendeng maju mendekat lalu berucap. “Orang tua, kami kagum dengan
kepandaianmu menggurat tanah yang bisa mengeluarkan letusan, api dan asap. Tapi kami lebih kagum lagi dan
sangat berterima kasih kalau kau mau memberi jalan agar aku dan kawanku ini bisa lewat. Kami tidak
bermaksud mengganggumu, apalagi berlaku kurang ajar…”
“Walalah…! Kalian minta jalan. Sudah kupersilahkan. Soal letusan, api dan asap tak ada sangkut
pautnya dengan diriku! Mau lewat, lewat saja…!”
Wiro jadi kesal juga mendengar kata-kata orang tua itu. Dipegangnya tali kekang kudanya lalu dia
menggerakkan kaki kanan melangkahi guratan di tanah. Kaki kanannya lewat. Aman. Tak ada letusan, tak ada
semburan api dan asap. Wiro berpaling pada Andana. “Aman,” katanya sambil senyum-senyum.
Tapi ketika kaki kirinya menyusul melangkah tiba-tiba terdengar suara letusan keras. Api dan asap
kembali menyembur. Pendekar 212 terlempar ke atas. Selangkangannya terasa panas. Ketika dia
memperhatikan pendekar ini berseru kaget. Selangkangan celananya robek dan hangus besar hingga auratnya
tersingkap lebar. Cepat-cepat Wiro pergunakan kedua tangannya untuk menutupi diri. Dari mulutnya tak
tertahankan lagi caci maki.
“Andana, orang tua tak dikenal ini punya maksud yang tak baik pada kita…” Tapi ucapannya itu
terhenti karena dilihatnya Andana setengah mati menahan tawa. Wiro jadi menggerendeng panjang pendek.
“Orang tua! tindakanmu sungguh keterlaluan. Bagaimana aku akan melanjutkan perjalanan dalam
keadaan seperti ini?”
Sebagai jawaban orang tua itu tiup saluangnya keras-keras hingga Wiro dan Andana terpaksa menutup
telinga masing-masing dengan kedua tangan karena suara saluang itu seolah hendak merobek
gendang-gendang telinga mereka. Setelah tertawa panjang orang tua itu kembali bernyanyi.      
Lancar jalan karena ditempuh
Lancar kaji karena diulang
Bagaimana tahu tingginya ilmu
Kalau tidak turun ke gelanggang
“Ah, orang tua ini hendak menguji kita rupanya,” kata Andana pada Wiro.
“Kurasa begitu,” jawab Pendekar 212.
“Kalau begitu kau mintalah sedikit pelajaran padanya!”
“Mengapa aku! Kau saja!” jawab Wiro.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Lalu dia berpaling pada orang tua itu dan berkata. “Ilmuku cuma
tinggi sejengkal dalam secupak. Mana saya berani menyombongkan diri di hadapanmu. Tapi karena saya dan
kawan ini perlu cepat-cepat ke Pagaralam, maka saya tak berani berlaku tidak sopan selain meminta petunjuk
darimu!”
“Ah, ternyata orang Jawa pandai juga berbasa-basi seperti orang Minang!” tiba-tiba orang tua
berdestar putih itu menyahuti.
“Sialan! Jadi dia tahu kalau aku datang dari Jawa,” maki Wiro.
Wiro tidak menunggu lebih lama. Dia kerahkan tenaga dalam lalu meniup ke tanah. Guratan di tanah
serta merta lenyap. Pada saat itu tiba-tiga saluang yang tadi dipegang si orang tua melayang ke atas,
mengemplang ke arah kepala Wiro. Pendekar ini terpaksa selamatkan kepala dengan jalan menghindar karena
kalau dia pergunakan kedua tangannya berarti dia tak dapat lagi melindungi auratnya. Lama-lama Wiro
mengalami kesulitan juga karena serangan saluang itu semakin cepat dan bertubi-tubi. Akhirnya terpaksa dia
pergunakan kedua tangan untuk menangkis dan balas memukul. Aneh. Setiap dia berhasil menangkis atau
memukul saluang yang menyerangnya itu, dia bukan merasa membentur sebuah benda keras, melainkan
seperti mengelus sebuah benda yang terbuat dari kapas lembut. Padahal dia sudah memperhitungkan sekali
hantam saja saluang yang terbuat dari bambu itu pasti akan hancur berantakan.
Penasaran tak dapat memukul hancur saluang itu Wiro akhirnya pergunakan kedua tangannya
menangkap benda itu. Begitu kedua tangannya memegang saluang tiba-tiba secara aneh suling yang terbuat
dari bambu itu berubah menjadi sepotong besi panas membara. Hampir Wiro berteriak kesakitan. Namun
otaknya cepat bekerja. Ilmu seperti itu hanyalah ilmu tipuan belaka jika seseorang bisa mempercayainya.
Dia kerahkan tenaga dalam lalu berteriak. “Asal bambu kembali kepada bambu!”
Terdengar letusan kecil. Saluang bambu yang tadi tampak membara kembali berubah ke bentuknya
semula. Begitu saluang kembali ke bentuk aslinya, Pendekar 212 segera meniupnya sambil mengerahkan
tenaga dalam penuh.
Dua ekor kuda meringkik keras. Andana melompat jauh sambil menekap kedua telinganya. Orang tua
yang duduk menjelepok di tanah berseru tegang, sambil menutupkan kedua tangannya ke telinga kiri kanan dia
coba kerahkan tenaga dalam. Wiro meniup sekali lagi. Tubuh orang tua itu melesat ke atas, jungkir balik di
udara. Ketika turun tahu-tahu dia melayang dan hinggap di atas serumpun semak belukar sambil tertawa
mengekeh. Di tangannya ada sebatang saluang. Ketika Wiro memperhatikan kedua tangannya astaga. Dia
tidak memegang apa-apa lagi.      
“Gila! Bagaimana dan kapan dia merampas suling bambu itu dari tanganku. Aku sama sekali tidak
merasa apa-apa!” Kata Wiro terheran-heran dalam hati.
“Orang tua. Ilmumu tinggi. Aku merasa malu untuk melanjutkan main-main ini…”
“Aku juga tak punya kepandaian apa-apa,” kata Andana. “Sekarang kau mau berbaik hati membiarkan
kami pergi…”
“Orang tua, kami tengah dalam perjalanan ke sebuah tempat yang kabarnya dihuni oleh peri-peri
cantik. Jika sapu tangan ini disapukan ke bagian tubuh mereka, mereka akan tunduk dan mau menjadi istri kita.
Di samping itu segala ilmu kepandaian mereka yang aneh-aneh akan diberikan pada kita…”
Si orang tua tertawa mengekeh. “Tak dapat kudengar ada tempat yang seperti kau katakan itu…”
“Kalau kau tak percaya silahkan ikut kami berdua. Saat ini biar kutunjukkan saja sapu tangan itu
padamu…” Lalu dari saku celananya yang robek Wiro mengeluarkan sehelai sapu tangan. Dia melangkah
mendekati orang tua di atas semak belukar itu dan memperlihatkan sapu tangan yang dipegangnya.
“Uh! Hanya sehelai sapu tangan butut! Apa hebatnya?” ujar si orang tua.
“Butut ya memang butut. Tapi coba lihat dulu ini…” kata Wiro puia sambil mengangsurkan sapu
tangan itu lebih dekat. Tiba-tiba dua jari tangannya meluncur cepat ke arah dada si orang tua. Saat itu juga
orang tua itu tak dapat lagi bergerak. Sekujur tubuhnya telah kaku ditotok Pendekar 212. Sadar kalau dirinya
sudah kena ditipu orang kini hanya carut makinya saja yang terdengar memenuhi malam buta.
Wiro Sableng tertawa bergelak.
“Orang tua, aku terpaksa melakukan hal ini!” katanya. Lalu orang tua itu diturunkannya ke tanah.
“Kurang ajar! Apa yang kau lakukan ini?!” teriak si orang tua ketika Wiro dengan paksa melepaskan
celana putih yang dipakainya.
“Tenang saja,” sahut Wiro seenaknya. “Aku mana mungkin bisa kemana-mana dengan celana robek
melompong begini. Aku pinjam dulu celanamu!”
Kini orang tua itu terbujur di tanah dalam keadaan setengah bugil. Wiro cepat mengenakan celana
putih milik orang tua itu. “Ah, pinggangnya pas tapi kakinya agak kependekan. Tak apa dari pada telanjang!”
kata Wiro. Dia melambaikan tangan pada si orang tua. “Selamat tinggal sobatku. Kalau ketemu lagi pasti
celanamu akan kukembalikan!”
Wiro melompat ke atas kudanya. Andana melakukan hal yang sama. Kedua pemuda ini lalu
menghambur meninggalkan tempat itu.
“Pendekar 212! Kau rasakan nanti pembalasanku!” teriak si orang tua.
Di atas kuda Wiro jadi tersentak kaget.
“Dia menyebut aku Pendekar 212. Tidak satu orangpun di pulau Andalas ini tahu siapa diriku, apalagi
gelarku. Aneh! Jangan-jangan dia seorang yang kukenal.” Memikir sampai kesitu Wiro putar kudanya.
“Hai! Kau mau kemana Wiro?” tanya Andana.
“Kau tunggu sebentar di sini. Saya segera kembali!” sahut Wiro lalu membedal kudanya ke tempat
tadi dia meninggalkan orang tua itu di pinggir jalan dalam keadaan setengah telanjang. Tetapi sampai di tempat
itu, si orang tua tak ada lagi di situ!
“Orang tua aneh. Siapa dia sebenarnya?” Tanya Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala.      
ENAM BELAS
MALAM itu sulit bagi Andana untuk memicingkan mata. Wiro sahabatnya itu tak mau bermalam di
rumah gadang. Kalau dia ada di situ paling tidak waktunya bisa dihabiskan dengan bercakap-cakap bertukar
pengalaman. Ingatannya sesaat kembali pada pertemuannya dengan orang tua aneh yang ditelanjangi Wiro.
Dia tak dapat menyalahkan sahabatnya itu. Karena tak mungkin bagi Wiro melanjutkan perjalanan dalam
keadaan setengah telanjang. Dia tak dapat membayangkan keadaan si orang tua sendiri yang ditinggalkan
kemudian lenyap dalam keadaan bertelanjang seperti itu. Kemudian ingatan pemuda ini sampai pada Halidah,
gadis anak gurunya, Datuk Alis Merah di Asahan. Bayangan wajah Halidah pupus dengan kemunculan
bayangan wajah Bunga. Dia seperti coba membanding-bandingkan Halidah dengan Bunga. Sukar baginya
untuk mencari kelebihan masing-masing. Seolah-olah dua gadis itu seperti sepasang rembulan yang sama
indahnya atau sepasang berlian yang sama bercahaya.
Dari bawah bantal Andana mengeluarkan dua buah benda. Yang pertama adalah keris Tuanku Ameh
Nan Sabatang yang terbuat dari emas. Dielus-elusnya senjata itu. Hal ini membuat hatinya tenteram.
Terbayang kembali olehnya kejadian di dekat air terjun di Asahan itu. Ketika Ayahnya secara aneh muncul
memperlihatkan diri padahal jelas sang Ayah telah tewas beberapa saat sebelumnya.
Benda kedua adalah sebilah pisau tanpa sarung yang gagangnya ada ukiran tengkorak manusia. Sesaat
ditimang-timangnya pisau itu. Senjata inilah yang telah menghabisi nyawa Udin Burik. Satu-satunya orang
yang sampai saat itu mengetahui siapa orang yang telah memfitnahnya hingga dia dijebloskan dalam penjara.
Pisau dan keris kemudian dimasukkannya kembali ke bawah bantal. Andana mengeluarkan sehelai selendang
putih, selendang pemberian Halidah ketika dia hendak meninggalkan Asahan. Diletakkannya selendang itu di
dada. Diciumnya beberapa kali. Dia menelentang dan coba memejamkan mata. Entah timbul firasat apa
Andana kemudian mengambil keris Tuanku Ameh Nan Sabatang dari bawah bantal lalu menyisipkannya di
balik pinggang celana di atas perutnya. Sebelum tertidur pemuda ini masih sempat memikirkan apa sebabnya
Pamannya Datuk Gampo Alam sengaja mengadakan pesta besar besok sebagai penyambutan kembalinya
dirinya. Dia merasa hal itu tak perlu diada-adakan. Perlahan-lahan pemuda ini akhirnya tertidur juga.
Di luar rumah gadang udara malam terasa dingin. Suasana sunyi senyap sesekali diusik oleh suara
hembusan angin serta gemerisik daun-daun pepohonan. Rumah gadang tampak berdiri kokoh dalam kegelapan
malam. Satu-satunya cahaya terang adalah cahaya yang datang dari lampu minyak yang terletak di bagian
pertengahan rumah.
Sekali lagi angin bertiup agak keras. Pada saat itu dari arah selatan berkelebat cepat dua sosok orang
berpakaian hitam. Salah seorang dari mereka membawa kurungan kawat. Dengan cepat-cepat mereka
mendekati rumah gadang. Lalu dengan gerakan-gerakan luar biasa mereka naik ke sebuah pohon besar yang
salah satu cabangnya menjuntai di atas gonjong terendah atap rumah gadang. Tanpa mengeluarkan suara
sedikitpun kedua orang itu berjalan di atas cabang pohon tadi lalu turun ke gonjong rumah gadang. Di salah
satu bagian atap orang di sebelah depan berhenti sesaat, berpaling pada kawannya lalu menunjuk pada atap
yang dipijaknya. Kawannya yang membawa kurungan kawat mengangguk. Kurungan kawat itu ternyata berisi
seekor ular hijau dari jenis yang sangat berbisa dengan panjang hampir tujuh kaki. Ekor binatang ini diikat       
dengan seutas tali sepanjang sepuluh kaki. Dengan hati-hati kurungan diletakkan di atas atap rumah gadang
yang terbuat dari ijuk. Lalu orang di sebelah depan mengeluarkan sebilah pisau yang sangat tajam. Dengan
cekatan dan tanpa suara dia mulai merobek ijuk atap, membuat sebuah lobang.
“Cukup. Coba kau Intai dulu…” kata orang yang membawa kurungan ular. Kawannya menyibakkan
ijuk atap yang sudah terpotong dan membentuk sebuah lobang sebesar lingkaran paha. Dia mengintai ke
bawah. Dari lobang itu dia dapat melihat tempat tidur serta sosok tubuh Andana yang tengah terbaring miring
dalam keadaan pulas.
“Tepat benar di atas tempat tidurnya,” bisik lelaki yang membuat lobang di atap.
“Coba kulihat” kata kawannya yang membawa ular. Dia mengintip dan tampak puas. “Kita bisa segera
mulai.” Lalu dia menggeser kurungan kawat ke atas lobang. Dia memberi isyarat agar temannya memegang
ujung tali pengikat ekor ular berbisa itu. Lalu dengan hati-hati dia menggeser alas kurungan kawat. Dengan
sepotong lidi ular di dalam kurungan ditusuk-tusuknya. Binatang ini membuka mulut dan mendesis marah.
Karena ditusuk terus menerus ular ini jadi bergerak, berusaha mencari jalan keluar. Satu-satunya jalan keluar
ialah lewat alas kurungan yang telah terbuka terus ke dalam lobang di atap rumah. Setelah meliuk-liukkan
badannya beberapa kali binatang ini akhirnya meloloskan diri ke dalam lubang, meluncur turun ke bawah.
Namun gerakannya tak bisa semaunya karena ikatan tali yang kukuh pada ekornya mengendalikan dirinya.
Sedikit demi sedikit orang di atas atap mengulur tali yang dipegangnya hingga ular hijau itu meluncur
turun semakin jauh ke bawah. Binatang ini membuka mulutnya lebar-lebar begitu mencium bau tubuh manusia
di bawahnya. Taring dan deretan gigi-giginya kelihatan mengerikan. Lidah dan mulutnya yang penuh bisa
bergerak-gerak siap mematuk.
Ketika binatang itu hendak mematuk leher Andana dari ketinggian dua jengkal, kedua mata pemuda
ini terbuka. Sesaat dia mengira bermimpi melihat kepala ular dekat sekali di depannya. Ketika dia mendengar
suara mendesis secepat kilat Andana menggulingkan diri ke samping. Patukan ular datang. Tapi hanya
mengenai bantal. Ular berbisa ini meliukkan badannya. Kepalanya mengejar ke arah Andana. Saat itu pula satu
sinar kuning berkelebat dalam kamar.
Craaasss!
Kepala ular berbisa itu terpisah dari badannya. Kepala yang putus tercampak di atas tempat tidur
sedang tubuhnya yang menggelantung bergelung-gelung kian kemari, meneteskan darah dengan deras.
Andana berlutut pucat di atas permadani. Dalam hatinya dia mengucap. “Terima kasih Tuhan. Untuk
kesekian kalinya Kau masih melindungi Hamba-Mu ini.”
Dua orang di atas atap tahu kalau rencana keji mereka hendak membunuh Andana dengan ular berbisa
itu gagal, yang satu segera melepaskan ujung tali yang dipegangnya. Akibatnya tubuh ular itu jatuh berdebam
di atas tempat tidur. Bersama kawannya dia segera berkelebat pergi. Suara langkah-langkah kaki mereka kali
ini sempat terdengar oleh Andana. Dia segera bangkit berdiri dan lari ke jendela. Dari sini dia akan melompat
ke bawah lalu menunggu orang-orang itu di bawah. Namun saat itu pintu kamar terdengar diketuk orang
keras-keras. Lalu terdengar suara Datuk Gampo Alam.
“Andana! Lekas buka pintu! Ada apa di dalam sana! Aku mendengar suara ribut-ribut!”
Andana cepat menyarungkan keris Tuanku Amen Nan Sabatang lalu menyembunyikannya di bawah       
bantal. Begitu pintu dibuka Datuk Gampo Alam menghambur masuk membawa sebuah lampu minyak.
Ternyata dia tidak sendirian. Dia diikuti oleh dua orang istrinya, salah satu diantaranya adalah Rukiah. Di
belakang mereka menyusul tiga orang lelaki pembantu merangkap pengawal di rumah gadang itu.
Cahaya lampu yang dibawa Datuk Gampo Alam cukup terang menyinari seluruh kamar. Ketika
melihat apa yang menggeletak di atas tempat tidur serta darah yang berpercikan di mana-mana, Datuk Gampo
Alam berseru kaget. Kedua istrinya menjerit keras. Semua orang kecuali Andana mundur ke pintu.
Datuk Gampo Alam berpaling. Matanya membeliak dan lehernya disentakkan. “Kalian!” bentaknya
pada kedua istrinya. “Mengapa ikut-ikutan masuk ke sini?”
“Kami… kami takut Datuk…” jawab Rukiah.
“Setan! Keluar dari kamar ini! Cepat!”
Kedua orang perempuan itu segera meninggalkan kamar. Kini Datuk Gampo Alam memelototi ke tiga
pembantunya. “Kalian setan semua! Apa saja kerja kalian di sini hingga kamar kemenakanku kemasukan
ular!”
“Bukan kemasukan ular Mamak,” kata Andana. “Tapi ada orang yang sengaja memasukkan ular lewat
atap sana. Sengaja hendak membunuh saya!”
Datuk Gampo Alam mendongak ke atas ke arah yang ditunjuk Andana.
“Setan kurang ajar! Berani-beraninya! Siapa pula yang punya pekerjaan ini! Akan kupatahkan batang
lehernya!” lalu pada ke tiga pembantunya Datuk Gampo Alam membentak marah, menyuruh mereka keluar
semua.
Andana menarik nafas dalam. Kamar itu terasa sesak. Dibukanya daun jendela. Di luar serba gelap.
Pohon-pohon tampak seperti hantu berbaris. Diam-diam Andana ingat pada nyanyian orang tua aneh yang
ditemuinya di tengah jalan.
Orang pandai kalau tidur, Mata nyalang telinga terbuKa
Andana mengusap wajahnya yang keringatan dua kali. “Rupanya orang tua itu sudah tahu apa yang
akan terjadi terhadap diriku. Dia berusaha memberi tahu. Tetapi mengapa tidak terus terang. Manusia aneh!”
Ketika dua orang di atas atap meniti cabang pohon lalu turun ke tanah dan melarikan diri dalam gelap,
salah satu diantara mereka menoleh ke belakang.
“Celaka Somat, ada orang mengejar kita!”
Kawan yang di sebelah depan menoleh. “Kita harus memencar Rojali! Siapkan pisau beracunmu!
Kalau kita sampai tertangkap kau sudah tahu apa yang harus kita lakukan!”
Laki-laki bernama Somat menghambur ke kiri lenyap di balik semak belukar dan gelapnya malam.
Yang bernama Rojali melompat ke kanan. Namun orang yang mengejarnya ternyata lebih cepat. Sebelum dia
lari lebih jauh tahu-tahu lehernya sudah dicekal orang dan tubuhnya diangkat tinggi-tinggi. Sambil
meronta-ronta Rojali tendangkan kakinya ke arah orang yang mebembengnya seperti seekor kucing. Namun
dia tak mampu menendang orang itu. Dia mencabut pisau beracun yang ada di pinggangnya. Dengan kalap dia
membabatkan pisau itu ke belakang. Tetap saja dia tak berhasil mengenai orang itu. Malah tiba-tiba tubuhnya
terasa diangkat lebih tinggi lalu dilemparkan ke arah sebatang pohon besar. Kepala Rojali menghantam batang
pohon lebih dulu. Tubuhnya jatuh bergedebukan ke tanah. Orang yang melemparkannya cepat mendatangi dan       
memeriksa.
Orang ini garuk-garuk kepala. “Sialan! Terlalu keras aku melemparkannya. Kepalanya rengkah!”
Wiro memandang berkeliling. Di tanah dalam gelap dilihatnya menggeletak pisau yang tadi
dipergunakan orang itu untuk menyerangnya. Dipungutnya senjata ini. Dari warna pisau jelas senjata itu
dilapisi racun jahat. Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan gagang pisau itu. Ada ukiran tengkoraknya.
“Pisau ini sama bentuknya dengan pisau yang diperlihatkan Andana. Berarti pelakunya berasal dari komplotan
yang sama. Dan setiap komplotan orang-orang jahat pasti ada dalangnya!”
Tiba-tiba satu banyangan berkelebat. Orang ini langsung menghantam ke arah Pendekar 212.
Terlambat saja Wiro mengelak pasti lehernya patah dihajar pukulan tepi telapak tangan. Serangan yang lolos
itu menghantam sebatang pohon yang batangnya sebesar paha. Tak ampun lagi pohon ini patah dan tumbang.
“Penyerang gelap keparat!” Maki Wiro orang ini kembali menyerbunya dari samping dengan cepat
Wiro menangkis. Dua lengan beradu keras. Keduanya sama-sama terpental dan jatuh duduk di tanah. Wiro
melompat lebih dulu. Kaki kanannya melesat mengirimkan tendangan. Hampir tendangannya akan menemui
sasaran, orang yang terduduk di tanah tiba-tiba berteriak.
“Tahan! Wiro ini aku Andana!”
Pendekar 212 berseru kaget. “Walah! Apa-apaan ini.”
Dengan cepat dia melompat tinggi ke atas hingga tendangannya lewat di atas kepala orang.
“Kukira kau siapa membokongku secara gelap!” kata Wiro. “Untung pisau beracun ini tak sampai
melukai dirimu!”
“Kau sendiri kukira orang yang hendak membunuhku dengan ular itu…” kata Andana. Pemuda ini lalu
menuturkan apa yang barusan dialaminya di rumah gadang. “Aku tak senang hati kalau tak dapat menyingkap
tabir perbuatan keji ini. Itu sebabnya setelah Datuk Gampo Alam masuk ke kamarnya aku turun ke bawah dan
menyelidiki. Kebetulan kulihat kau. Kukira kau salah seorang dari manusia-manusia keparat itu…”
“Aku sendiri kebetulan lewat karena merasa tak enak seolah ada firasat sesuatu akan terjadi di rumah
gadang. Ketika aku sampai di ujung halaman kulihat ada dua orang turun dari atas pohon lalu lari ke arah
timur. Aku segera mengejar mereka. Di tengah jalan mereka menyebar. Aku mengikuti yang kabur ke kanan.
Aku berhasil menangkapnya tapi tindakanku terlalu keras. Orang itu pecah kepalanya ketika kubantingkan ke
pohon!”
“Coba kulihat pisau itu,” kata Andana seraya mengulurkan tangannya meminta pisau yang dipegang
Wiro. Ketika melihat gagang yang ada ukiran tengkoraknya Andana berkata. “Pisau  ini  sama  dengan  pisau  
yang  membunuh Udin Burik. Berarti komplotan yang sama juga yang hendak membunuhku!”
“Kelihatannya memang begitu, Andana. Kau harus lebih berhati-hati…”
“Itu sebabnya aku mengajakmu bermalam bersama di rumah gadang. Paling tidak kita bisa saling
berjaga-jaga…”
“Aku mau saja. Tapi Mamakmu itu rasa rasanya tidak senang padaku…”
“Jangankan padamu. Padakupun dia tidak suka. Ada sesuatu yang membuat dia bersikap manis…”
“Ah, jangan kau terlalu curiga padanya, kalau dia tidak senang padamu masakan dia mau membuat
selamatan besar menyambut kepulanganmu…”      
“Justru ini yang jadi kecurigaanku Wiro.”
“Sudahlah. Malam ini kukira kau harus tidur nyenyak. Besok kau akan jadi bintang perhelatan besar.
Kalau aku jadi kau aku akan minta pada Pamanmu itu sekaligus saja membuat pesta pernikahanku dengan
Bunga!”
“Kau bisa saja. Kau tak mau menemaniku ke rumah gadang?”
“Terima kasih. Besok saja aku hadir di pestamu. Pasti banyak gadis-gadis cantik yang hadir. Pasti aku
akan puas mencuci mata.”
Ketika Wiro hendak berlalu Andana bertanya. “Eh, kau menginap di mana sahabat?”
“Di surau,” jawab Wiro. “Aku hanya mengikuti adat orang di sini. Kalau sudah dewasa dan belum
kawin harus tidur di surau…”
Andana tertawa. Ditepuknya bahu sahabatnya itu lalu keduanya berpisah. Ketika Andana kembali ke
kamarnya di rumah gadang, pemuda ini terkejut. Didapatinya keris Tuanku Ameh Nan Sabatang serta pisau
yang gagangnya berukiran tengkorak lenyap dari bawah bantal. Berarti ada orang yang masuk dan mengambil
kedua benda itu selagi dia turun ke bawah tadi.
“Kurasa aku sudah mengambil keputusan yang salah menginap di rumah gadang ini!” Kata Andana
dalam hati. Tiba-tiba dia mendengar suara orang berlari menaiki tangga rumah. Andana cepat keluar. Yang
muncul ternyata adalah Datuk Gampo Alam. Orang ini kelihatan turun naik dadanya.
“Ada apa Mamak? Dari mana Mamak barusan?” bertanya Andana.
Aku masuk ke kamar dengan perasaan was-was. Lalu aku keluar. Saat itu aku melihat seseorang
menyelinap keluar dari kamarmu. Aku tak bisa melihat wajahnya karena ditutup dengan kain hitam. Aku
membentak dan mengejarnya. Ternyata orang ini memiliki ilmu lari yang hebat. Aku tak sanggup
mengejarnya. Aku kembali dengan sia-sia. Kujenguk ke kamar ternyata kaupun tidak ada. Ada
barang-barangmu yang hilang?”
“Tidak ada. Saya memang tidak punya barang yang berharga,” jawab Andana berdusta.
“Kalau begitu tidurlah kembali. Periksa semua jendela apakah sudah terkunci. Besok pagi kau akan
jadi raja kecil dalam pesta besar itu.”
Andana mengangguk lalu masuk ke dalam kamarnya. Tapi bagaimana mungkin dia bisa tidur di kamar
yang tilamnya penuh darah serta bangkai ular berbisa itu? Pemuda ini akhirnya keluar dari kamar dan tidur di
ruang tengah rumah gadang. Hampir matanya terpicing tiba-tiba dia merasa lantai papan rumah gadang
bergerak-gerak dan telinganya mendengar langkah-langkah kaki mendekati. Andana bersiap-siap. Begitu
orang itu sampai dihadapannya Andana melompat bangkit siap untuk menggebuk. Tetapi ketika menyadari
siapa yang tegak di depannya pemuda ini cepat menarik pulang pukulannya.
“Ibu…. saya kira siapa…” kata Andana seraya menurunkan tangannya!
“Walau saya istri Mamakmu, jangan panggil saya Ibu…” kata perempuan di hadapan Andana. “Kau
tak apa-apa?”
“Tidak Ibu… tidak. Saya baik-baik saja.”
“Banyak keanehan di rumah gadang ini. Manusianya, suasananya! Terus terang saja saya sudah tidak
betah tinggal di sini.”      
“Ibu…”
“Panggil saya Rukiah…”
“Malam sudah larut. Kalau Datuk melihat kau berada di sini dia bisa salah sangka. Sebaiknya kau
masuk ke dalam kamar kembali.”
Rukiah, istri paling muda Datuk Gampo Alam yang baru berusia 19 tahun itu menggeleng. “Saya
sengaja keluar untuk memberi tahu bahwa kau tak pantas tidur di ruangan ini. Pakailah kamar saya.”
“Terima kasih. Saya tidak bisa melakukan hal itu. Saya lebih suka tidur di sini…”
Rukiah memegang lengan pemuda itu. Jari-jari tanggannya yang halus terasa hangat. Sesaat Andana
merasakan tubuhnya bergetar. Mendadak muncul bayangan Halidah di depannya. Lalu bayangan Bunga.
“Kau sungguh tak mau masuk ke kamar saya?” tanya Rukiah.
“Terima kasih. Biar saya tidur di sini saja…”
“Baik kalau begitu. Besok pagi-pagi sekali akan saya suruh orang membersihkan kamarmu…”
Andana hanya bisa mengangguk. Perempuan muda itu tersenyum dan masih berharap Andana akan
mau menerima ajakannya masuk ke dalam kamar. Namun dari sinar mata si pemuda Rukiah maklum kalau
Andana tak mudah untuk ditundukkan. Perlahan-lahan Rukiah memutar tubuhnya lalu masuk kembali ke
dalam kamarnya.
Andana menghela nafas dalam. Lalu dibaringkannya kembali tubuhnya di tempat semula. Lama sekali
baru dia bisa memicingkan mata. Andana tak tahu berapa lama dia tertidur. Pemuda ini terbangun ketika di
kejauhan terdengar suara kokok ayam bersahut-sahutan. Lalu dari arah selatan terdengar suara orang azan
tanda saat sembahyang Subuh sudah datang. Andana segera bangun lalu turun ke bawah. Agak bergegas dia
melangkah menuju surau. Bukan saja untuk melakukan sholat Subuh di sana tetapi juga ingin menemui
sahabatnya Wiro guna menceritakan apa yang telah terjadi.
Selesai sembahyang Subuh kedua pemuda itu duduk di tangga surau. Kesempatan ini dipergunakan
Andana untuk menceritakan hilangnya keris Tuanku Amen Nan Sabatang serta pisau berhulu kepala tengkorak
itu.
“Nasib buruk masih saja mengikutimu sahabatku,” kata Wiro. “Saya pasti membantumu untuk
mencari dan mendapatkan keris bertuah itu kembali. Mengenai pisau dengan gagang yang ada ukiran kepala
tengkoraknya itu kau tak usah khawatir. Kita masih ada satu lagi.” Lalu Wiro mengeluarkan pisau milik orang
yang hendak membunuh sahabatnya itu dengan ular berbisa.
“Sebentar lagi pagi akan tiba. Perhelatan besar akan berjalan dengan segala kemeriahannya.” Wiro
lalu berdiri di hadapan Andana. “Menurutmu apakah pantas aku hadir dengan baju kusut dekil serta celana
kekecilan dan cekak kedua kakinya ini? Kau bayangkan bagaimana nanti gadis-gadis cantik akan
memandangku dengan perasaan geli. Bisa-bisa mereka mengira aku ini pemuda asing yang kurang waras!”
Andana tertawa lebar “Jangan takut sahabatku. Aku akan menyuruh orang mengantarkan seperangkat
pakaian bagus lengkap dengan saluaknya untukmu.”
“Terima kasih. Terima kasih sahabatku…” kata Wiro dengan perasaan gembira.
TAMAT

Tidak ada komentar: