WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 2
76. Harimau Singgalang
SATU
Hari itu hari ketiga di bulan kedelapan merupakan hari besar bagi penduduk
Pagaralam dan sekitarnya. Suara talempong, rabab dan saluang terdengar tiada putusputusnya.
Sejak pagi halaman rumah gadang tempat kediaman Datuk Gampo Alam
telah dipenuhi oleh para tetamu yang berdatangan dari berbagai penjuru.
Di barisan kursi sebelah depan, dinaungi oleh payung-payung besar berwarna
warni duduklah sang Datuk didampingi keempat istrinya di sebelah kiri sedang di
sebelah kanan duduk seorang pemuda tampan kemenakan Datuk Gampo Alam,
bernama Andana.
Begitu banyaknya tamu yang datang hingga di antara mereka ada yang tidak
kebagian tempat duduk. Namun semuanya dengan senang hati tegak di sekeliling
halaman menunggu dimulainya acara perhelatan besar itu.
Perhelatan besar ini diadakan sebgaai ungkapan rasa syukur atas kembalinya
sang kemenakan setelah beberapa tahu menghilang di negeri orang. Pada kesempatan
yang sama perhelatan ini juga sebagai ungkapan rasa duka cita dalam mengenang
berpulangnya Datuk Bandaro Sati, ayah dari Andana dan kakak dari Daruk Gampo
Alam. Sesuai dengan berita yang telah didengar orang dari mulut ke mulut, Datuk
Bandaro Sati mati dibunuh orang di sekitar Ngarai Sianok beberapa waktu lalu. Siapa
pembunuhnya masih belum diketahui. Sementara itu jenazah Datuk Bandaro Sati
telah dimakamkan di puncak gunung Singgalang di mana berdiam kakak perempuan
almarhum bernama Uning Ramalah. Kabarnya perempuan yang sudah tua ini
merupakan seorang nenek sakti mandraguna yang mempunyai pantangan membunuh.
Itu sebabnya dia tidak turun gunung guna menuntut balas atas kematian adiknya.
Andana selain tampan dan bertubuh kekar diketahui orang sebagai seorang
pandeka (pendekar) berilmu silat tinggi, memiliki tenaga dalam tinggi dan kesaktian
yang sulit dicari tandingannya.
Belakangan tersiar kabar bahwa konon pemuda itu telah dijuluki orang
sebagai Harimau Singgalang.
Di belakang deretan kursi yang diduduki Datuk Gampo Alam dan keluarganya,
duduk orang-orang terpandang yang datang dari Pagaruyung dan Batusangkar serta
Bukittinggi. Bahkan ada yang datang dari pesisir Pariaman.
Tumenggung Rajo Langit, tokoh besar di Pagaruyung sebenarnya juga
diundang tetapi tidak kelihatan hadir. Mungkin ada sangkut pautnya dengan dua
kejadian di Pagaralam beberapa waktu lalu antara Tumenggung Rajo Langit dan
orang-orangnya di satu pihak dengan Andana dan Pendekar 212 Wiro Sableng di lain
pihak.
Di antara orang banyak yang tegak mengelilingi halan rumah gadang kelihatan
seorang pemuda mengenakan saluak (kopiah khas Minang), berpakaian bagus
berwarna biru. Dia tegak sambil rangkapkan kedua tangan di depan dada.
Memandang berkeliling. Jika pandangannya bertemu dengan Andana maka diapun
tersenyu lebar dan mengacungkan jari jempolnya. Orang-orang di sekitar tempat dia
berdiri terheran-heran melihat pemuda ini. Mereka tidak mengenali siapa dia. Dan
anehnya pemuda ini memiliki potongan badan serta wajah yang mirip dengan Andana
kemenakan Datuk Gampo Alam itu.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 3
“Tak mungkin saudaranya Andana,” kata seorang tamu setengah berbisik.
“Setahu waden si Andana itu tak punya kakak tak punya adik….” (waden = aku)
Sementara itu di salah satu bagian rumah gadang, Bunga sedang didandani
oleh seorang juru solek. Di ruangan sebelah yang dipisahkan dengan batas sehelai
hordeng terletak brebagai perlengakapan untuk menari termasuk seperangkat carano
berisi sirih yang akan dipersembahkan pada Andana selaku tamu kehormatan dalam
perhelatan itu.
Sewaktu juru rias tengah membentuk dan mempertebal alis mata Bunga, tak
sengaja gadis ini mengerling ke arah ruangan sebelah. Dia melihat seorang
perempuan tinggi besar mengenakan baju kurung kuning dan berselendang
melangkah mendekati cerana berisi susunan daun sirih yang sudah diisi gambir dan
kapur. Karena tidak pernah melihat perempuan sebesar dan setinggi itu sebelumnya,
diam-diam Bunga memperhatikan terus orang ini. Dalam hati dia merasa aneh
mengapa justru orang-orang di sekitarnya seolah tidak memperhatikan perempuan
tinggi besar ini?
Dari dalam sehelai sapu tangan orang itu mengeluarkan sebuah botol kecil. Isi
botol kecil ini berbentuk cairan, ditebarkan di atas sirih. Tampak asap tipis mengepul.
Lalu orang ini cepat-cepat meninggalkan tempat itu tanpa bunga sempat melihat
wajahnya.
Selesai didandani dengan penuh rasa ingin tahu Bunga pergi ke ruangan
sebelah. Diperhatikannya tiga susunan sirih yang ada di atas cerana. Warnanya yang
seharusnya hijau segar telah berubah agak kehitaman. Bunga mendekatkan hidungnya
ke susunan sirih itu. Gadis ini merasa hidungnya seperti hendak tanggal. Dia batukbatuk
berulang kali. Wajahnya tampak agak pucat. Racun kala hutan….. kata Bunga
dalam hati. Mengapa perempuan tinggi besar tak dikenal tadi meracuni daun-daun
sirih itu? Siapa yang hendak diracuninya? Andana? Pasti Andana karena sesuai
kebiasaan sirih itu nanti akan dipersembahkan pada pemuda tersebut.
Andana akan mengunyahnya! Apa yang harus dilakukannya? Membuang
semua sirih itu lalu menggantikannya dengan yang baru? Tak ada jalan lain. Memang
hanya itu yang segera dan harus dilakukannya. Karena kalau Andana sampai
mengunyah dan memakan daun sirih persembahan yang telah disiram dengan racun
kala hutan itu maka nyawanya tidak akan tertolong lagi. Racun kala hutan adalah
racun paling jahat yang tidak ada obat pemusnahnya.
Seorang perempuan separuh baya muncul dari balik hordeng. “Bunga, saatmu
keluar. Lekas bawa cerana dan turun ke bawah. Para penari lainnya sudah
menunggu.”
Dengan agak gugup gadis itu berdiri lalu mengambil cerana di atas meja.
Bersamaan dengan itu dia cepat mengambil selembar daun sirih yang masih segar dari
atas meja, lalu diberinya gambir dan kapur sirih dan dilipatnya. Sebelum diletakkan di
atas cerana Bunga mengambil lagi sehelai daun sirih. Daun kedua ini dipergunakan
sabagai alas untuk meletakkan daun sirih yang tadi dilipatnya.
Meskipun sirih yang satu itu terlindung dari racun yang sudah melekat pada
sirih-sirih lainnya namun hati Bunga tetap saja merasa kawatir kalau-kalau racun kala
hutan bisa merambas menembus daun sirih yang dijadikan alas.
“Hai cepatlah Bunga! Apa yang kau lakukan itu?!” tegur perempuan tadi.
“Saya segera turun, Etek….” kata Bunga pula. (Etek = panggilan terhadap
perempuan lebih tua dan biasanya telah bersuami).
Perhelatan besar dan meriah itu dibuka dengan sambutan pendek yang tak lupa
dibumbui dengan pepatah pepitih di samping memuji-muji Datuk Gampo Alam dan
kemenakannya.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 4
Selesai sambutan perhelatan dilanjutkan dengan pergelaran Tari Piring. Tarian
ini dibawakan oleh dua pasang muda mudi diiringi bunyi-bunyian. Masing-masing
penari membawa sebuah piring kaca di tangan kiri kanan. Mereka menari meliuk-liuk
terkadang bergerak cepat menghnetak-hentak. Kemudian keempat menari bergerak
mengelilingi tumpukan pecahan kaca yang ditebarkan di atas tanah. Pada puncaknya
keempar penari itu menari dengan menjejakkan kaki mereka di atas pecahan kaca
tersebut. Kemudain mereka menari sambil bergulingan beberapa kali di atas kaca!
Setelah Tari Piring selesai masuklah rombongan debus memperlihatkan
kebolehan mereka dalam ilmu kebal. Ada yang menusuk perut dan dadanya dengan
berbagai senjata tajam. Mulai dari pisau sampai keris dan golok bahkan tombak. Ada
pula yang mencelupkan kedua tangannya dalam minyak mendidih kemudian
membasuh wajahnya dengan minyak panas itu. Seorang perempuan memperlihatkan
kemampuannya memakan kaca dan minum air mendidih. Pertunjukan diakhiri dengan
pergaan seorang lelaki muda melompat-lompat dia atas paku sambil memotongmotong
lidahnya dengan sebilah pisau. Pertunjukan debus ini disaksikan orang
banyak dengan perasaan berdebar. Orang-orang perempuan acap kali terpaksa
memalingkan muka mereka karena ngeri.
Pertunjukan puncak adalah penampilan rombongan muda mudi membawakan
Tari Gelombang. Di sebelah depan bergerak sembilan orang pemuda berpakaian
galembong dan destar hitam. Di sebelah belakang bergerak lima orang penari
perempuan yang kesemuanya adalah gadis-gadis cantik berbaju kurung berkain
songket. Rambut mereka dihias dengan sunting berwarna kuning emas. Yang paling
cantik di antara semua gadis penari itu adalah yang di depan sebelah tengah. Dia
memakai tengkuluk tanduk kerbau di atas kepalanya serta membawa cerana berisi
sirih. Gadis ini tentu saja adalah Bunga.
Sejak rombongan penari muncul sepasang mata Datuk Gampo Alam boleh
dikatakan tidak berkesip dari memperhatikan wajah dan tubuh Bunga. Duduknya
tampak tidak tenang. Lehernya berulang kali disentakkan. Tenggorokannya tampak
turun naik beberapa kali kelihatan dia membasahi bibirnya dengan ujung lidah.
Sesekali dia memandang berkeliling seperti mencari-cari seseorang. Zainab
istri tua sang Datuk sampai berkata “Dari tadi saya perhatikan Datuk seperti gelisah,
Siapa yang Datuk cari…. ?”
Datuk Gampo Alam tidak menjawab. Dia memandang berkeliling. Tiba-tiba
matanya membentur sosok Pendekar 212 Wiro Sableng yang tegak di tepi halaman di
antara orang banyak.
Datuk Gampo alam berpaling pada Andana. “Itu pemuda sahabatmu bernama
Wiro….?”
“Betul Paman…”
“Perlu apa dia berada di sini?”
“Dia orang asing di sini. Perhelatan ini tentu saja sangat menarik perhatiannya.
Sebagai seorang sahabat apa salahnya dia berada di sini menonton pesta. Saya yang
mengundangnya datang.”
“Dari mana dia dapat saluak dan pakaian bagus itu?” tanya Datuk Gampo
Alam lagi.
“Saya yang meminjamkannya,” jawab Andana.
Tampang Datuk Gampo Alam tampak berkerut dan masam. Dia memandang
berkeliling. Orang yang dicarinya akhirnya dilihatnya juga. Palindih. Sang Datuk
memberi isyarat agar Palindih mendekatinya. Begitu Palindih sampai di hadapannya
Datuk Gampo Alam segera berbisik. “Gadis yang membawa cerana itu, siapa dia?”
Astaga sudah bangkit pula gatal urang gaek ini! Kata Palindih dalam hati.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 5
“Namanya Bunga,” memberi tahu Palindih juga dengan berbisik. Lelaki ini
melihat harapan mencari untung. Untuk urusan beginian dia pasti akan mendapat
upah atau hadiah besar.
“Agaknya Datuk berhasrat ?” tanya Palindih kembali berbisik.
“Hemmm….” Datuk Gampo Alam usap-usap dagunya. Kedua matanya tak
lepas dari memandang wajah dan gerakan tubuh Bunga yang tengah menari. Lehernya
disentak-sentakkan berulang kali. “Nama bagus, orangnya cantik secantik bidadari….”
kata Datuk Gampo Alam agak keras diluar sadar. Tiba-tiba saja satu cubitan
menyambar pahanya hinga sang Datuk terlonjak di tempat duduknya.
Yang mencubit adalah Rukiah, istri Datuk Gampo Alam yang paling muda
dan duduk tepat di samping sang Datuk.
“Di saat-saat seperti ini sepantasnya Datuk menjaga mata dan mulut!” hardik
Rukiah tapi dengan suara sangat perlahan.
“Ah kau orang perempuan mau tahu saja urusan lelaki!” kata Datuk Gampo
Alam dengan muka cemberut.
Rukiah tak kalah cemberutnya malah dengan membelalakkan mata pada
Palindih dia berkata “Pergi kau dari sini! Berani kau menjadi comblang, kusuruh
potong burung tekukurmu!”
Palindih memandang pada Datuk Gampo Alam. Dia ragu sesaat. Akhirnya
Datuk berkata, “Sudah, pergi sajalah. Aku hanya sekedar bertanya, tak ada maksud
apa-apa. Lekas pergi Palindih. Kalau tidak habis aku bengkak-bengkak. Ada
kalajengking betina di sini! Aduah….!” Paha Datuk Gampo Alam kembali disambar
cubitan. Sakit dan pedas bukan main.
“Ada apa Mamak…..” tanya Andana terheran-heran.
“Tak ada apa-apa. Si Rukiah sudah tak sabar mau segera bersantap siang
makan besar! Dasar perempuan urusan perut saja yang diingatnya!” jawab Datuk
Gamp Alam berdusta.
Para pemuda yang menarikan Tari Gelombang yang berada di sebelah depan
bersibak ke kiri dan ke kanan memberi jalan pada gadis pembawa cerana. Dengan
lemah gemulai Bunga maju ke arah Andana selangkah demi selangkah. Kalau Andana
mengagumi kepandaian gadis itu menari, maka sebaliknya saat itu Bunga berada
dalam keadaan bingung serta takut. Kalau dia bergerak lebih dekat dan memberi tahu
bahaya yang mengancam pada si pemuda, jelas Datuk Gampo Alam dan orang-orang
di sekitarnya akan mendengar.
Maka sebisa-bisa yang dilakukan Bunga adalah membuat gerakan-gerakan
berupa isyarat tangan dan goyangan kepala agar Andana bangkit berdiri lalu
melangkah menghampirinya. Hal ini sebenarnya tidak pernah kejadian karena
seharusnya sang penarilah yang menghaturkan dan mempersembahkan sirih
persembahan kepada orang yang dihormati. Namun agaknya Bunga tak punya jalan
atau cara lain.
Sambil terus menari Bunga menggoyangkan kepalanya ke belakang. Kedua
matanya menatap lurus pada pemuda itu. Lalu tangan kanannya digerak-gerakkan
agar lebih jelas bagi Andana akan isyarat yang diberikannya. Mula-mula Andana
tidak memperhatikan. Namun setelah berulang kali Bunga membuat gerakan yang
sama dan menatap padanya, pemuda ini mulai menduga-duga agaknya ada sesuatu
yang hendak disampaikan gadis ini lewat isyarat goyangan kepala, tatapan mata dan
gerakan tanagn itu.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 6
DUA
Datuk Gampo Alam yang duduk di sebelah Andana dan banyak orang lainnya
juga sama merasa heran mengapa gadis pembawa sirih persembahan itu belum juga
bergerak maju mendekati tamu kehormatan guna memberikan persembahan sekapur
sirih. Bunga jadi tambah bingung. Keringat mengucur di kening dan kuduknya.
Andana sendiri perlahan-lahan mulai menangkap isyarat yang dibuat Bunga. Namun
hatinya masih meragu. Dia melirik pada Datuk Gampo Alam. Tampaknya sang
Paman mulai mencium adanya sesuatu yang tidak beres. Andana kemudian
memandang ke jurusan di mana sahabatnya Wiro Sableng berdiri. Sebenarnya
Wiropun berharap Andana melihat kepadanya karena sejak tadi dia sudah maklum
ada sesuatu. Dia ingin pula memberikan isyarat pada Andana agar mengikuti apa yang
diinginkan Bunga di balik isyarat yang diberikannya. Bagitu Andana memandang ke
padanya, Wiro serta merta menengadahkan telapak tangan kanannya lalu menggerakgerakkan
tangan itu ke atas. Sehabis membuat gerakan itu Wiro susul dengan gerakan
tudingan ibu jari berulang kali.
Akhirnya Andana menangkap juga apa maksud Bunga dengan isyarat
goyangan kepala serta gerakan tangan. Perlahan-lahan pemuda ini berdiri. Datuk
Gampo Alam hendak menegur tapi sang kemenakan sudah melangkah mendekati
penari yang membawa cerana berisi sirih persembahan. Bunga cepat menyongsong.
Cerana dipegangnya dengan kedua tangannya. Kedua kakinya ditekuk sedikit dan
kepalanya ditengadahkan. Dia memandang tersenyum pada si pemuda. Gemas sekali
Datuk Gampo Alam melihat apa yang dilakukan Bunga itu. Rasa cemburu membakar
dadanya.
“Ambil sirih paling atas. Yang lainnya mengandung racun!” bisik Bunga
seraya mengangsurkan cerana lebih tinggi.
Andana tentu saja terkesiap kaget mendengat bisikan gadis itu. Namun dia
cepat menguasai keadaan. Wajahnya yang tadi tampak berubah dihiasnya dengan
senyum yang dibalas pula dengan senyum oleh Bunga. Pemuda ini ulurkan tangannya
ke arah cerana. Sesuai dengan apa yang tadi dibisikkan Bunga dia mengambil lipatan
sirih segar hijau yang paling atas yang terletak begitu rupa di atas selembar daun sirih.
Sepintas dia dapat melihat bagaimana sirih-sirih lainnya berwarna aneh, hijau
kehitaman.
Dengan sirih di tangan kanannya Andana melangkah mundur, kembali ke
tempat duduknya.
“Makanlah sirih persembahan itu, Andana. Sengaja diberikan bukan saja
sebagai penghormatan tapi juga sebagai ungakapan syukur bahwa kau akhirnya
kembali ke Pagaralam dengan selamat.” Yang berkata adalah Datuk Gampo Alam
dengan senyum aneh bermain di mulutnya.
Andana memperhatikan sejenak sirih di tangannya.
“Apa lagi yang kau tunggu Andana? Makanlah….”
Andana menganggukkan kepalanya. Tanpa ragu-ragu sirih itu dimasukkannya
ke dalam mulutnya. Perlahan-lahan mulai dikunyahnya. Dia berpaling pada Datuk
Gampo Alam. Sang Paman dilihatnya angguk-anggukkan kepala dan masih
tersenyum.
Orang banyak bertepuk tangan dan ada yang bersorak sorai. Sementara itu
muda mudi yang menarikan Tari Gelombang tampak terus melenggang meliuk-liuk
mengikuti alunan tetabuhan. Datuk Gampo Alam yang tidak habis-habisnya
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 7
memperhatikan Bunga berkata pada istri mudanya “Rukiah, aku lihat tadi mulut
penari pembawa cerana itu bergerak seperti mengatakn sesuatu. Kau dengar apa yang
diucapkannya?’
“Mana mungkin telinga saya mendengar. Suara talempong keras sekali. Suara
gendang tak kalah kerasnya. Gadis itu mungkin suka pada kemenakan Datuk.
Barangkali mereka sudah saling kenal sebelumnya. Lagi pula perduli apa saya akan
segala yang diucapkannya?”
Datuk Gampo Alam terdiam. Ingatannya melayang pada beberapa kejadian di
masa lalu. Hemmmm…. dulu kedua anak ini memang pernah digunjingkan orang.
Pernah terlihat bercinta-cintaan di tengah jalan. Kalau begini aku harus bertindak
cepat!
Datuk Gampo Alam berpaling ke samping. Dilihatnya kemenakannya itu
mengunyah sirih dengan tenang. Sementara itu di atas rumah gadang sepi karena
semua orang turun ke bawah untuk melihat dari dekat keramaian itu. Seorang
perempuan tinggi besar berbaju kurung kuning dengan selendang yang hampir
menutupi seluruh wajah hingga mata kanannya seja yang kelihatan, mengintai dari
balik jendela. Anehnya mata orang ini besar dan merah tidak pantas untuk mata
seorang wanita. Satu kali angin bertiup agak kencang. Selendang yang menutupi
wajah itu tersingkap lebar hingga kelihatanlah begian besar wajah perempuan ini.
Astaga! Wajah ini ternyata wajah seorang lelaki yang menyeramkan. Mata kirinya
buta picak. Kumis dan cambang baeuknya meranggas kasar! Tangan kanannya yang
memegang pinggiran selendang tampak merah kehitaman seperti pernah terbakar.
Orang yang menyamar sebagai perempuan inilah tadi yang telah mengguyurkan racun
kala hutan di atas daun-daun sirih dalam cerana. Wajahnya yang angker tampak
tegang sewaktu menyaksikan bagaimana Andana masih tetap duduk dengan tenang di
kursinya, malah beberapa kali melayangkan senyum pada penari pembawa cerana.
Apa yang terjadi. Orang di balik jendela bertanya pada diri sendiri. Jelas dia
sudah memakan sirih beracun itu. Mengapa masih belum mati terjengkang?! Apa
benar dia memiliki kesaktian luar biasa hingga tak mempan racun? Celaka!
Orang ini pergunakan kedua tangannya untuk memegang selendang. Dengan
bergegas dia segera meninggalkan tempat itu.
Di bawah rumah gerak gerik orang yang tadi mengintai di balik jendela
ternyata sempat terlihat oleh Andana. Dia berbisik pada Datuk Gampo Alam.
“Mamak, ada seseorang di atas rumah gadang. Gerak geriknya mencurigakan.
Saya akan coba menyelidik dan mengejar!” (Mamak di sini artinya Paman)
Datuk Gampo Alam menoleh ke arah rumah gadang. Dia masih sempat
melihat punggung orang yang dikatakan Andana itu. Sesaat parasnya berubah. Lalu
cepat dia berkata. “Tetap saja di sini Andana. Tak ada yang perlu dikawatirkan. Orang
berbaju kurung kuning tadi kurasa pastilah salah satu dari juru masak. Lupakan hal itu
Andana. Tak sedap pula makan kita nanti.”
Hati Andana tetap tidak tentram. Dia tidak pernah melihat perempuan dengan
ukuran badan sebesar dan setinggi orang tadi. Maka diapun berpaling ke arah Wiro
berdiri. Namun sahabatnya itu dilihatnya tak ada lagi di situ.
Kemana pula sahabatku orang Jawa itu? Pikir Andana.
Dari tempatnya berdiri Wiro Sableng dapat melihat orang yang ada di jendela
rumah gadang. Walau wajahnya tidak jelas karena terus-terusan ditutup dengan
selendang namun bentuk tubuhnya yang tinggi besar menarik perhatian murid Eyang
Sinto Gendeng ini.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 8
Bukan main! Kata Wiro dalam hati. Baru kali ini aku melihat perempuan
begini besar dan tinggi. Gerak geriknya terasa aneh. Sebaiknya aku menyelidik ke
atas rumah sana. Siapa tahu nasibku mujur. Bertemu perawan cantik….. Selagi dia
berpikir seperti itu, perempuan berbaju kurung kuning di jendela rumah sudah lenyap.
Tanpa pikir panjang lagi Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu,
menyeruak di antara orang banyak. Dia terpaksa mengambil jalan berputar untuk
dapat sampai ke tangga di sisi kiri rumah gadang. Ketika Wiro sampai di dekat
bangunan lumbung padi, perempuan berbaju kurung kuning itu dilihatnya menuruni
anak tangga terakhir lalu berkelebat ke arah barisan pohon-pohon pisang.
Cepat sekali langkah perempuan itu. Eh, malah dia sekarang berlari.
Nah…..nah, dia berpaling ke arahku. Tak jelas wajahnya. Tapi astaga! Mengapa dia
melepas kain panjangnya.
Dua mata Wiro membesar ketika melihat di balik kain panjang yang dibuka
olrh perempuan tinggi besar itu sambil berlari ternyata dia mengenakan celana
galembong hitam. Kedua kakinya kini terlihat jelas.Besar berbulu dan dililiti gelang
akar bahar!
Laki-laki! Ternyata dia laki-laki! Eh, banci atau bagaimana?! Janganjangan….
Kalau dia bukan orang jahat apa perlunya menyelinap ke atas rumah
gadang, menyamar seperti perempuan!
Wiro berteriak. Tahu kalau dirinya sudah terlihat dan dikejar orang
“perempuan” berbaju kurung kuning itu mempercepat larinya. Wiro segera mengejar.
Yang dikejar lenyap di jalan kecil menurun. Lalu terdengar suara kuda digebrak orang
ke arah Timur.
Sialan! Gerutu Wiro. Dia memandang berkeliling, mencari-cari kalau-kalau
ada kuda di sekitar situ. Pendekar ini hanya bisa banting-banting kaki karena tak
seekor kudapun yang kelihatan. Tiba-tiba telinganya menangkap derap kaki kuda.
Yang satu ini justru mendatangi ke arahnya. Wiro cepat menyongsong. Seorang lelaki
tua muncul di atas punggung seekor kuda. Orang ini berpakaian dan berdestar putih.
Di tangan kirinya dia memegang sebuah saluang. Kedua mata Wiro jadi terbelalak
ketika dia mengenali orang ini (Saluang = suling khas Minang terbuat dari bambu)
Astaga! Si kakek ini adalah orang tua aneh berilmu tinggi yang dulu
menghadang jalanku sewaktu bersama Andana. Dia mencelakai diriku hingga
selangkangan celanaku robek besar. Lalu kutelanjangi dirinya, kurampas celananya!
Sesaat Wiro agak bimbang. Tapi dia perlu kuda tunggangan orang tua itu.
Dlam keadaan seperti itu si orang tua hentikan kudanya. Kedua matanya menatap
tajam ke arah Pendekar 212. Suling di tangan kanan dimelintangkan di depan dada.
Ah, pasti dia marah sekali padaku!
“Pencuri calana! Hari ini kita bertemu lagi! Mana celanaku yang kau rampas
tempo hari?!” orang tua itu membentak.
“Sabar, tenang…..”
“Sabar! Tenang! Enak betul cakapmu! Kau telanjangi diriku! Kau permalukan
aku! Apa sekarang kau hendak menelanjangi aku lagi huh?! Apa kau kira kini aku
bisa sabar dan tenang melihat tampangmu?!”
“Saya minta maaf atas kejadian tempo hari! Saya terpaksa melakukannya.
Itupun gara-gara kau membuat robek celanaku….”
“Apapun alasanmu kau tetap maling perampas calana! Dan kau tidak bisa
mengembalikan celana itu!”
“Akan aku kembalikan nanti. Aku berjanji!”
Orang tua di atas kuda tertawa sinis. Dia keluarkan suara mendengus lalu
berkata. “Kulihat kau berpakai dan mengenakan saluak bagus! Hemmm…. Pasti hasil
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 9
rampasan pula! Siapa pula yang telah kau telanjangi? Kali ini pasti tidak tanggungtanggung.
Kau rampas seluruh pakaiannya! Kau telanjangi orang sampai bugil!”
“Orang tua dengar….”
“Kau yang harus mendengar padaku! Bukan aku!” hardik si orang tua. “Dan
kali ini aku tidak Cuma bicara dengan mulut ! Tapi juga dengan ini !”
Wiro hendak menggaruk kepalanya karena tak tahu mau bicara apa lagi.
Selain itu dia merasa sangat risau karena orang yang dikejarnya tentu sudah semakin
jauh. Di hadapannya saat itu sehabis berkata begitu si orang tua lantas ayunkan suling
bambunya ke arah kepala Pendekar 212.
Wuuuttt!!
“Pecah kepalamu!” teriak si orang tua.
Wiro berseru keras. Tengkuknya menjadi dingin sewaktu suling bambu di
tangan orang tua itu memapas topi kain songket di kepalanya. Padahal dia sudah
merunduk dengan gerakan cepat. Topi itu mental dan robek menjadi beberapa
potongan!
Ketika orang tua itu membelikkan kudanya dan kembali hendak
menghantamkan suling bambunya Pendekar 212 membuat gerakan aneh. Dia
menyusup ke bawah perut kuda tunggangan lawan. Tadi dia telah memperhatikan
kalau kuda itu adalah seekor kuda jantan. Begitu berada di bawah perut kuda murid
Sinto Gendeng ini dengan cepat menyodok biji kemaluan binatang itu. Tidak terlalu
keras tapi cukup membuat kuda ini meringkik tinggi, emngangkat kedua kaki
depannya ke atas setelah itu menghentak-hentakkan kedua kaki belakangnya!
“Kurang ajar! Kau apakan kudaku!” teriak si orang tua kaget dan cepat
berusaha mengimbangi diri. Namun terlambat. Kuda yang kesakitan itu kembali
melejangkan kaki belakangnya. Tak ampun lagi penunggangnya terperosok ke
samping lalu jatuh ke tanah. Di saat yang sama dengan kecepata kilat Wiro melompat
ke atas punggung kuda lalu menggebrak binatang ini hingga dalam sakitnya
menghambur lebih kencang dari selama ini bisa dilakukannya.
Pendekar 212 hanya senyum-senyum mendengar di belakangnya orang tua itu
memaki panjang pendek. Lalu dia mendengar ada suara pepohonan tumbang dan
semak belukar rambas di belakangnya. Pasti orang tua itu telah melepaskan satu
pukulan sakti. Wiro menelungkup serata mungkin di atas punggung kuda.
Sekeluarnya dari jalan kecil yang berkelok-kelok Wiro sampai ke sebuah
lembah kecil menurun. Sesaat dia dapat melihat keadaan di depannya. Di kejauhan
dia melihat seorang penunggang kuda berbaju kuning.
Jarakku begitu jauh. Tak mungkin mengejarnya jika terus menempuh jalan
kecil ini pikir Wiro. Di sebelah kanannya ada sebuah hutan kecil. Jika dia memasuki
hutan itu mungkin dia masih mampu memotong jalan orang yang dikejarnya. Tanpa
berpikir panjang lagi Wiro segera memasuki hutan itu. Tak lama kemudian dia
berhasil mencapai lereng lembah. Di satu tempat dia berhenti. Orang yang dikejarnya
tidak kelihatan tapi telinganya lapat-lapat dapat menangkap suara derap kaki kuda di
arah Selatan lembah. Secepat kilat Wiro mengerahkan kudanya ke jurusan itu. Namun
anehnya suara derap kuda yang dikejarnya lenyap dengan tiba-tiba.
Tak mungkin orang itu lenyap begitu saja. Wiro memandang berkeliling. Eh!
Di sebelah sana dia melihat sehelai pakaian berwarna kuning menyangsang di antara
semak belukar. Wiro segera mendatangi. Dipegangnya ujung pakaian itu. Ini baju
kurung si manusia banci itu! Pasti dia beraa di sekitar sini! Wiro memandang
berkeliling. Sunyi, tak ada suara tak ada gerakan.
Tiba-tiba suara tawa bergelak menggeledek di belakang Pendekar 212 sampai
sang pendekar tergagau karena terkejut.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 10
“Orang asing! Berani kau mengejarku?! Ini ada hadiah untukmu! Keparat!”
Wiro berpaling dengan cepat.
Saat itu pula dua buah pisau terbang melesat ke arahnya. Satu mengarah ke
dada, satunya mengarah perut!
“Banci edan!” teriak Wiro marah. Dia tidak sempat melihat jelas orang yang
menyerangnya dengan dua bilah pisau terbang itu. Sambil melompat turun dari kuda
Wiro lepaskan pukulan “Tameng Sakti Menerpa Hujan”.
Pisau yang mengarah dada mencelat mental, patah dua. Salah satu patahannya
menancap di sebatang pohon. Pisau kedua siap dibikin mental oleh pukulan sakti itu
namun tiba-tiba terjadi hal luar biasa. Pisau satu ini membuat gerakan aneh. Meliuk
ke kiri dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ular!
“Ha….ha….ha….!” Orang di depan sana tertawa bergelak lalu berkelebat
lenyap.
“Kurang ajar!” damprat Wiro. Dia cepat menyingkir sambil lepaskan lagi satu
pukulan sakti ke arah pisau yang kini berubah menjadi ular dan mematuk secepat
setan berkelebat! Bagaimanapun cepatnya Wiro menghindar, serangan tak terduga itu
tak dapat dielakkannya. Ular mematuk dan menancap di bahu kirinya! Sehabis
mematuk binatang jejadian ini menggelepar lalu jatuh ke tanah, berubah menjadi
bubuk hitam yang mengepulkan asap.
Pendekar 212 cepat menotok beberapa bagian tubuhnya begitu dia merasa ada
hawa panas menjalar. Selain panas bahunya seperti ditusuk puluhan jarum.
Dirobeknya bajung pada bagian bahu kiri. Dengan tangan kanannya dia memencet
bagian bahu sekitar patukan ular. Darah mengucur keluar. Bukan berwarna merah
tetapi hitam! Paras sang pendekar menjadi pucat! Cepat-cepat dia keluarkan Kapak
Maut Naga Geni 212 dari balik pakaian merahnya. Setelah merapal satu mantera
pendek dalam keadaan tubuh panas dingin salah satu mata kapak ditempelkannya
pada luka bekas patukan ular di bahu kirinya.
Wiro menjerit keras sewaktu asap kelabu mengepul keluar dari bahu yang
ditempel senjata mustika sakti itu. Sekujur tubuhnya laksana dirajam. Sesaat mata
kapak yang tadinya berwarna putih perak menyilaukan berubah manjadi sangat hitam
lalu perlahan-lahan puith kembali ke warna asalnya. Ketika senjata itu diangkat dari
bahunya darah hitam masih mengucur terus malah tambah banyak.
Celaka! Racun jahat sekali. Lukaku tak mau berhenti ! Murid Sinto Gendeng
jadi bingung dan takut. Namun sesaat kemudian hawa panas yang menyungkup
tubuhnya mulai reda. Darah yang tersedot keluar oleh kekuatan Kapak Maut Naga
Geni 212 perlahan-lahan tampak berubah dari hitam menjadi merah segar.
Murid Eyang Snito Gendeng menarik nafas lega. Dia terduduk di tanah. Dia
baru saja selamat dari satu racun maha jahat. Ketika dia teringat pada orang tadi serta
merta Wiro melompat bangkit. Dia memandang berkeliling.
Bagaimanapun saktinya manusia tadi tak mungkin dia lenyap amblas ke
dalam bumi! Pikir Wiro. Lalu bagaimana dia bisa raib begitu rupa?! Pendekar ini
segera memeriksa semak belukan di tempat itu. Hemmmm….. ini rahasianya! Kata
Wiro. Di balik serumpunan semak belukar lebat, di belakang dua pokok keladi hutan
berdaun lebar tampak sebuah lobang besar. Dengan membungkuk Wiro memasuki
lobang itu. Hati-hati dia bergerak maju. Kapak Naga Geni 212 tetap berada dalam
genggamannya. Baru berjalan sekitar sepuluh langkah, lobang itu bercabang dua.
Setelah meragu sejenak Wiro memasuki lobang sebelah kanan. Sepuluh lobang lagi
bergerak ke dapan kembali lobang itu bercabang. Kini bukan Cuma dua tapi tiga.
Wiro memandang berkeliling. Keadaan di tempat itu semakin gelap. Bau busuk
menusuk hidung. Sadar akan bahaya tak terduga yang mungkin bisa membokongnya
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 11
sewaktu-waktu secara tidak terduga murid Eyang Sinto Gendeng akhirnya memutar
tubuh, keluar dari lobang itu.
Di belakangnya mendadak terdengar suara tawa bergelak. Lalu satu suara
mengejek. “Orang asing! Ternyata nyalimu rendah! Kalau jiwamu pengecut mengapa
berani merantau sejauh ini? Ha…ha…ha…!”
“Bangsat!” maki Wiro. Bagitu keluar dari lobang dengan penuh kemarahan
murid Sinto Gendeng ini menghantamkan pukulan “dewa topan menggusur gunung”
kearah lobang itu tiga kali berturut-turut. Lembah itu laksana mau amblas ke perut
bumi. Bukit kecil di mana lobang tadi berada longsor dengan suara bergemuruh.
Lobang jalan masuk tertimbun tanah tak kelihatan lagi.
Wiro memasukkan Kapak Mau Naga Geni 212 ke balik pakaiannya. Manusia
banci! Aku mau lihat apa kau bisa keluar hidup-hidup dari dalam lobang celaka itu!
Habis berkata begitu Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu dengan berjalan kaki
karena kuda si orang tua yang tadi dirampasnya tak ada lagi di tempat itu. Meskipun
dirinya telah selamat dari racun ular yang sangat jahat tadi namun saat itu dia merasa
tubuhnya lemas sekali.
Hanya beberapa saat Wiro teinggalkan tempat itu satu bayangan putih
berkelebat. Orang ini memandang berkeliling. Sambil gelengkan kepala dia berkata.
Pukulan “dewa topan menggusur gunung.” Hemm…. anak itu rupanya masih terus
mengamalkan ilmu kesktian itu. Kekuatan tenaga dalamnya sudah jauh lebih tinggi.
Gunung Merapipun bisa dibobolnya! Orang ini yang ternyata seorang tua usap
mukanya beberapa kali. Tiba-tiba dia membuat gerakan menarik pada bagian
belakang kepalanya. Selembar topeng tipis dan rambut palsu tanggal dari kepalanya.
Astaga! Di balik topeng itu kelihatan wajahnya yang asli. Cekung hanya tinggal kulit
pembalut tulang. Rambut putih di kepalanya tampak jarang. Tapi kumis dan
janggutnya kelihatan tebal seputih kapas.
Ketika Wiro sampai ke tempat perhelatan kembali tidak mudah baginya
menemui Andana karena saat itu Andana sedang bercakap-cakap dengan Datuk
Gampo Alam dana keduanya berada dalam rumah gadang tengah makan. Kali ini
Andana berlaku cerdik. Setiap gulai atau ikan dan daging yang dimakan sang Datuk
itu pula yang diambilnya. Paling tidak dia berusaha menghindari akan diracuni orang
untuk kedua kalinya.
Ketika Atun, datang membawakan minuman tambahan untuk Andana,
pembantu itu membisikkan sesuatu padanya.
“Eh, kenapa kau jadi makan terburu-buru Andana?” tanya Datuk Gampo Alam
ketika dilihatnya kemenakannya itu menyuap dan mengunyah makanannya lebih
cepat dari sebelumnya.
“Perut saya tiba-tiba saja tidak enak. Mungkin saya masuk angin karena
kurang tidur malam tadi…. Paman, izinkan saya ke belakang dulu….” Andana
membasuh tangan kanannya lalu cepat-cepat dia meninggalkan tempat itu menuju ke
pancuran di belakang rumah gadang. Namun di satu tempat dia membelok ke jurusan
lain, melangkah cepat hingga akhirnya sampai di balik barisan pohon-pohon pisang
tak jauh dari lumbung padi.
Di situ menunggu Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Ada apa Wiro? Mengapa kau meminta aku datang kemari. Eh, pakainmu
robek di bahu. Kulihat mukamu agak pucat…..”
Dengan cepat Wiro menceritakan apa yang telah dialaminya.
“Saya memang sudah curiga melihat orang itu waktu dia muncul di jendela
rumah gadang. Tapi saya tak mungkin melakukan sesuatu. Ternyata kau bertindak
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 12
cepat. Kau sempat melihat wajahnya? Yang penting kau benar-benar sudah aman dari
racun jahat itu?”
“Saya aman, tak usah kawatir. Mengapa tampang orang itu saya hanya sempat
melihatnya sekilas sebelum dia menyelinap masuk ke dalam lobang. Orangnya
berkumis dan berewokan. Salah satu matanya kalau aku tak salah ingat yang sebelah
kiri buta…..”
Andana berpikir-pikir. Lalu pemuda ini gelengkan kepala. “Kau tahu, sekitar
tiga tahu aku meninggalkan Pagaralam. Orang jahat datang dan pergi berganti-ganti.
Aku tak tahu siapa yang satu ini. Ilmunya tak bisa dibuat main. Nanti akan
kutanyakan pada Datuk. Aku merasa yakin ini masih pekerjaannya Tumenggung Rajo
Langit….”
Wiro usap-usap dagunya lalu berkata. “Untuk sementara sebaiknya kejadian
ini dirahasiakan antara kita berdua…..”
“Hem…. Kelihatannya kau kurang percaya pada Pamanku Datuk Gampo
Alam?”
“Saya tidak mengatakan begitu, sahabat.” Jawab Wiro. “Tapi coba kau
pikirkan sendiri dalam-dalam.”
“Aku harus meninggalkan tempat ini sekarang….”
“Kau harus makan dulu. Gulai kambing, rendang pedas menunggumu….”
Wiro tertawa. “Seleraku jadi hilang dengan kejadian ini,” katanya.
Ketika Pendekar 212 meninggalkan tempat itu, di sebuah jendela dekat
anjungan rumah gadang Datuk Gampo Alam yang sempat menyaksikan pertemuan
antara kemenakannya dengan Wiro bergerak menjauhi jendela. Lehernya disentaksentakkan
dua kali lalu dia kembali ke tempat duduknya semula. Menggulung
sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 13
TIGA
Palindih masuk ke dalam rumah itu sambil tersenyum-senyum. Sesaat dia
memandang pada Mamak Rabiah dan Bunga. Lalu bungkusan yang dibawanya
diletakkannya di atas meja.
“Apa itu Palindih?” tanya Mak Rabiah.
“Hadiah dari Datuk Gampo Alam buat anak Etek,,Bunga. Cita halus dari
negeri Cina, kain songket berbenang emas dari Palembang, sehelai selendang sutera
lalu sejumlah uang! Besar nian rejeki abak Etek.”
Mamak Rabiah sesaat saling pandang dengan Bunga.
“Kami tidak meminta. Mengapa Datuk memberikan?” tanya Mamak Rabiah
pula.
“Itu tandanya beliau puas. Datuk memuji kepandaian Bunga menari. Bukan itu
saja, kecantikan anak Etek itupun disebut-sebutnya terus menerus.”
“Kalau Datuk Gampo Alam memberikan dengan ikhlas, kami menerima
dengan ikhlas pula. Sampaikan ucapan terima kasih kami pada Datuk….” Mamak
Rabiah mengira Palindih akan segera pergi namun lelaki itu masih tegak di
hadapannya. Mamak Rabiah lalu membuka bungkus yang dibawa Palindih. Di situ
memang ada cita, kain songket serta sehelai selendang dan uang dalam kantong kain.
“Banyak sekali uang yang diberikan Datuk Gampo Alam. Kau ambillah
sebagian Palindih.” Mamak Rabiah mengangsurkan sejumlah uang pada pembantu
Datuk Gampo Alam itu.
“Ah tak usahlah Etek. Saya menolong juga dengan ikhlas…..” katanya tapi
kedua matanya melirik ke tangan kanan Mamak Rubiah.
“Ambillah….”
“Etek ini ada-ada saja,” kata Palindih. Lalu diambilnya juga uang dan
dimasukkan ke dalam sakunya. “Etek Rabiah, ketahuilah selain disuruh
menyampaikan hadiah ini, saya juga membawa pesan dari Datuk Gampo Alam.”
“Pesan apa geranagn?” tanya Mamak Rabiah pula.
“Datuk mengundang Etek datang ke rumahnya sore ini juga setelah ba’dal
Asar. Kalau Etek suka kita bisa pergi bersama-sama.
“Datukmu mengundang saya datang ke rumah gadang? Agak aneh
kedengarannya Palindih. Baru sekali ini kejadain begini. Apa gerangan maksudanya?”
tanya Mamak Rabiah pula seraya memandang pada Bunga.
“Saya tidak tahu Etek. Tentu maksud baik semata. Karena itu jangan ditolak
undangannya.”
Mamak Rabiah berpikir sejenak lalu berkata. “Kau pergilah lebih dahulu. Biar
aku menyusul sendiri kemudian.” Kata perempuan itu seraya membetulkan letak
selendangnya.
Begitu Palindih pergi Mamak Rabiah cepat menutupkan pintu lalu dia tegak
bersandar pada daun pintu seraya memejamkan matanya.
Bunga segera mendekati perempuan ini. “Ada apa Mak? Mamak kurang
sehat?”
Tanpa membuka matanya perempuan itu menjawab. “Mamak rasa telah
membuat kesalahan besar anakku. Menyetujuimu menjadi gadis penari pembawa sirih
persembahan itu….”
“Kalau begitu Mamak tak usah saja datang….” kata Bunga tanpa mau bertanya
apa yang membuat Mamak Rabiah berkata begitu.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 14
“Kalau tidak datang salah pula nanti…..” jawab Mamak Rabiah lalu menarik
nafas panjang.
Datuk Gampo Alam menyambut kedatangan Mamak Rabiah dengan tawa
lebar penuh gembira. Perempuan itu dibawanya ke anjungan rumah gadang lalu
mereka duduk berhadap-hadapan.
“Istri-istri Datuk kemana….?” tanya Mamak Rabiah ketika melihat hanya sang
Datuk saja sebagai tuan rumah yang menemaninya hingga mau tak mau dia merasa
kikuk.
“Mereka sibuk semua Mak Rabiah. Terima kasih kau mau datang…..”
“Datuk, saya dan Bunga mengucapkan terima kasih atas pemberian Datuk tadi
siang….”
“Ah, itu hanya hadiah kecil saja. Tak usah disebut-sebut,” kata Datuk Gampo
Alam. Setelah menyentakkan lehernya beberapa kali sang Datuk berkata. “Aku tak
pernah tahu kalau kau menyimpan burung bagus luar biasa di sangkar emas….”
“Saya tidak paham maksud Datuk…”
Lelaki itu tertawa lebar. “Maksudku anakmu yang cantik dan pandai menari
itu. Bunga….. Betul itu namanya?”
“Bunga gadis buruk, keturunan orang tak punya. Maklum saja gadis kampung.
Apa yang Datuk kagumi?”
Datuk Gampo Alam kembali tertawa dan menyentak-nyentakkan lehernya.
“Kau pandai merendah Rabiah. Kalau Bunga tak jadi penari siang tadi tak pernah aku
tahu bahwa ada seorang bidadari di Pagaralam ini!”
Mamak Rabiah terdiam.
Datuk Gampo Alam menggeser duduknya. Dengar Rabiah, gadis secantik
Bunga tidak pantas tinggal di rumahmu yang sekarang…..”
“Mengapa Datuk berkata begitu? Lalu kemana kami hendak pergi? Kami
orang miskin…..”
“Aku punya beberapa rumah di Pagaralam ini, juga di Pagaruyung. Kau boleh
memilih mana yang kau suka. Atau di sini di rumah gadang ini. Masih ada satu kamar
tersisa…..”
Berdebarlah dada Mamak Rabiah mendengar kata-kata Datuk Gampo Alam
itu. Sudah terbayang olehnya kini apa tujuan laki-laki ini menyuruhnya datang.
“Rabiah…. Kau faham maksudku bukan?”
“Maafkan, saya tidak mengerti Daruk.” Jawab Rubiah dan dadanya tambah
menggemuruh. Mukanya tampak memucat.
“Begini, maksudku anakmu itu. Aku ingin mengambilnya jadi istri….”
Ya Tuhan, benar rupanya dugaanku! Kata Mamak Rabiah dalam hati.
“Datuk, saya….”
“Kau setuju? Bagus!”
“Maksud saya bukan begitu Datuk. Bunga masih kecil. Belum pantas
bersuami. Lagi pula, maakan saya Datuk. Bukankah Datuk sudah punya empat orang
istri? Agama dan adat tidak mengijinkan lebih dari itu….”
Datuk Gampo Alam tertawa lebar. “Kalau itu yang kau takutkan, setiap saat
aku bisa menceraikan salah seorang dari istriku. Kau sebut saja yang mana. Empat
kurang satu ditambah satu kan empat juga jadinya. Ha….ha…..ha…..!”
Mamak Rubiah tundukkan kepala. Dadanya seperti siap untuk meledak.
“Datuk, saya kurang sehat. Izinkan saya pulang…..”
“Tentu, tentu. Palindih akan saya suruh mengantar dengan kereta…..”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 15
“Terima kasih. Saya masih mampu berjalan.”
“Baik kalau begitu.Tapi dengar. Besok Jum’at. Pagi-pagi sekali kau harus
datang memberikan jawaban. Dan kau tahu jawaban apa yang aku ingin bukan?”
Rabiah tidak menyahut. Dituruninya tangga rumah besar bergonjong itu
dengan langkah gontai sempoyongan. Dunia seperti berputar di matanya. Dalam
hatinya dia berseru pada Yang Kuasa. Tuhan, beri saya kekuatan. Sampaikan langkah
saya ke rumah. Yang lebih penting janganlah semua ini terjadi menurut keinginan
manusia yang satu itu……
Begitu Bunga membukakan pintu, Mamak Rabiah langsung memeluk dan
menciumi anak itu. Kedua matanya basah.
Mamak, ada apakah? Tanya Bunga heran seraya membimbing perempuan itu
duduk ke sebuah tempat tidur kayu.
Nasib kita memang belum lepas dari sengsara Nak. Datuk Gampo alam…..”
Mamak Rabiah tak dapat meneruskan kata-katanya.
“Datuk Gampo Alam? Mengapa dia Amak?”
“Tak sampai hati Mamak mengatakannya padamu Bunga.”
“Saya sudah bisa menduga walau Mamak tak mau mengatakannya. Tua
bangka tak tahu diuntung itu pasti meminta saya jadi istrinya. Bukan begitu Mak?”
Mamak Rabiah mengangguk dan tangisnya mengeras.
“Apa yang Mamak katakan padanya?”
“Tidak ada. Mamak tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia meminta Mamak
datang lagi memberi kabar. Besok hari Jum’at pagi.”
Bunga berdiri, melangkah ke meja dimana masih terletak bungkusan hadiah
dari Datuk Gampo Alam.
“Jadi itu sebabnya dia memberi hadiah sebanyak ini! Tua bangka gila! Tak
sudi aku menerima pemberiannya ini!” Bunga lalu melemparkan bungkusan itu ke
dinding. Bunga sendiri seprti tak kuasa lagi berdiri, jatuh berlutut dan menutupi
wajahnya dengan kedua tangan. Lalu terdengar isak tangisnya.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 16
EMPAT
Di rumah gadang sesaat setelah Mamak Rabiah pergi, Rukiah istri termuda Daruk
Gampo Alam keluar dari balik pintu. Dia melangkah menemui suaminya dengan
muka cemberut.
“Eh, termakan nasi basi atau kacang busuk sampai mukamu asam seperti itu
Rukiah! Atau ada hantu gunung Sitoli merasuk ke dalam tubuhmu!”
Rukiah tersenyum pencong. “Saya sudah dengar semua pembiacaraan Datuk
dengan Mamak Rabiah tadi….”
Tampang Datuk Gampo Alam berubah. Merah membesi. “Perempuan kurang
ajar! Jadi berani kau mencuri dengar pembicaraanku! Setan kau!” Datuk Gampo
Alam sentakkan lehernya sempai empat kali sedang kedua matanya memandang
membeliak pada istri mudanya itu. Kalau saja yang ada di hadapannya itu bukan
Rukiah yang memang sangat disayanginya tetapi salah satu dari tiga istrinya yang lain,
pasti sang Datuk sudah menjambak rambutnya.
“Bukan saya yang setan!” menjawab Rukiah dengan beraninya. “Tapi Datuk!”
Ucapan itu membuat Datuk Gampo Alam bergeletar selurh tubuhnya. “Ku
tampar mulutmu nanti Rukiah!” mengancam sang Datuk.
Sang istri muda tenang-tenang saja. Malah menyahuti. “Saya sudah bicara
dengan kakak-kakak di sini. Kalau Datuk memang mau mengawini Bunga, silahkan.
Datuk boleh menceraikan salah satu dari kami berempat. Tapi saya minta Datuk
menceraikan saya!”
“Aha! Kau cemburu Rukiah!” kata Datuk sambil tertawa. Diantara keempat
istrinya Rukiah sebagai istri muda tentu saja merupakan istri yang paling
disayanginya. “Aku tidak akan menceraikan mu apapun yang terjadi!”
“Kalau Datuk tidak mau menceraikan saya, biar saya yang minta cerai dan
pergi dari sini! Kami semua tidak suka Datuk mengambil gadis itu sebagai istri. Gadis
yang pantas jadi anak Datuk itu akan bernasib buruk dan menderita batin seperti
kami-kami di sini!”
“Perempuan setan! Cakapmu benar-benar membuatku marah! Menyingkir dari
hadapanku!” kata Datuk Gampo Alam setengah berteriak lalu menyentakkan lehernya.
“Jadi Datuk tetap mau mengawini Bunga?” tanya Rukiah dengan beraninya.
“Setan manapun tak bisa menghalangiku!” jawab Datuk Gampo Alam.
“Kalau begitu saya minta cerai sekarang juga!”
Plaak!
Tamparan Datuk Gampo Alam membuat Rukiah terpekik. Perempuan muda
ini hampir terjatuh nanar. Sambil pegangi pipinya menahan sakit dia berkata. “Lakilaki
gila! Umur hanya tinggal sejengkal dari liang kubur masih saja ingin kawin!
Kambing tua tidak tahu diri. Kerjanya melahap daun muda saja!”
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya beberapa kali. Pipinya yang
cekung tampak menggembung sampai ke rahang.
“Perempuan tak tahu diuntung! Kau minta cerai! Baik! Kujatuhkan talak satu
padamu! Sekarang angkat kaki dari rumah gadang ini!”
“Talak satu?! Huh! Kenapa Cuma talak satu? Kenapa tidak sekalian talak
tiga?!” sentak Rukiah.
“Kalau itu maumu Baik! Kujatuhkan talag tiga! Nah, puas kau sekarang? Ayo
cepat lindang dari rumahku ini!” Suata Datuk Gampo Alam demikian kerasnya
hingga terdengar oleh orang-orang yang ada di halaman, termasuk Andana. (lindang =
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 17
angkat kaki). Kau datang ke sini hanya membawa sehelai pakaian buruk lekat di
badan! Kalau kau pergi jangan harap akan kuperbolehkan membawa lebih dari pada
baju yang melekat di tubuhmu itu!”
“Saya tidak tamak harta! Saya tidak akan membawa apa-apa kecuali pakaian
ini!” jawab Rukiah. Lalu ditanggalkannya cincin, gelang dan kalung emasnya.
Perhiasan ini kemudian dilemparkannya ke muka Datuk Gampo Alam hingga sang
Datuk tersurut kaget tapi juga marah sekali. Sebelum dia sempat menyemprotkan caci
maki atau melayangkan tangannya, Rukiah sudah melangkah ke pintu lalu menuruni
tangga rumah gadang dengan cepat. Di halaman rumah gadang Andana detang
menyongsongnya.
“Saya mendengar suara ribut-ribut tadi. Kini saya lihat Etek seperti terburuburu.
Etek mau kemana?” Sambil bertanya Andana memperhatikan wajah istri
Pamannya yang usidanya jauh lebih muda dari dirinya. “Astaga, ada apa pipi Etek
kelihatan merah?”
Rukiah coba tersenyum. “Andana, jika kau punya kesempatan aku harap kau
mau menemuiku di simpang tiga jalan ke sawah. Ada sesuatu yang sangat penting
ingin kukatakan.” Setelah berkata begitu Rukiah cepat-cepat berlalu.
Sementara itu dari atas rumah Datuk Gampo Alam menuruni tangga dengan
cepat. “Apa yang dikatakan perempuan setan itu padamu?!” tanya Datuk Gampo
Alam pada Andana.
“Tidak begitu jelas. Dia bicara terburu-buru. Katanya dia mau pergi…..”
“Pergi kemana?!” tanya sang Datuk lagi.
“Saya tidak tahu Paman. Dia hanya bicara sebentar lalu cepat-cepat pergi.”
Andana diam sejenak sambil mengusap-usap dagunya. “Mamak, saya sudah
menginap malam tadi di rumah gadang. Saya sudah pula menerima kehormatan besar
yaitu sebgai penerima sirih persembahan. Samua itu tidak mungkin terjadi kalau
bukan Paman yang mempersiapkan dan mengaturnya. Saya mengucapkan ribuan
terima kasih Paman. Tiba saatnya hari ini saya minta diri. Mulai hari ini saya akan
tinggal di surau.”
“Kau tidak berbasa-basi, Andana?”
Pemuda itu menggeleng.
“Bagaimana kalau Tumenggung Rajo Langit mengirimkan orang-orangnya
untuk menangkapmu. Kau tidak takut? Jika kau tidak ada di dekatku, aku tak bisa
melindungimu.”
“Saya tidak takut pada siapapun Paman. Kecuali pada Yang Satu di atas
sana,” jawab Andana sambil menunjuk ke langit. “Lagi pula sebelumnya
Tumenggung itu memang sudah mengirim orang-orangnya untuk menangkap saya.
Tuhan masih melindungi saya. Pemuda sahabat saya yang menghajar habis semua
monyet-monyet Tumenggung Rajo Langit. Tumenggung itu sendiri kalau tidak cepatcepat
lari pasti babak belur untuk kedua kalinya…..”
“Untuk kedua kalinya katamu? Jadi sebelumnya dia pernah menghajar Rajo
Langit?’
“Betul. Waktu tua bangka itu mencoba mengganggu anak gadis orang…”
Eh, jangan-jangan anak ini menyindirku, pikir Datuk Gampo Alam.
“Andana, pemuda kawanmu yang bernama Wiro itu, apa dia memang seorang
pendekar berkepandaian tinggi?” bertanya Datuk Gampo Alam.
Yang ditanya mengangguk. “Bagi saya kalau seorang bisa menghadapi lebih
dari tiga orang lawan hanya dengan tangan kosong, apalagi lawan bersenjata pula, dia
sudah saya anggap sebagai seorang pendeka besar….”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 18
Datuk Gampo Alam terdiam. Dalam hati dia berkata. Orang Jawa ini jelas
akan membuatku susah dan rencanaku berantakan. Kalau tidak diambil tindakan dari
sekarang urusan bisa tidak karuan. Lalu anak yang di hadapanku ini sendiri sampai
dimana pula kehebatannya. Dia sempat berguru dengan Datuk Alis Merah.
“Andana aku yakin kau bisa menghadapi semua kesukaran ini. Sekalipun
tanpa pertolongan sahabatmu bernama Wiro itu. Kabarnya kau sudah diberi orang
gelar Harimau Singgalang.”
Andana coba tersenyum dan berkata. “Itu hanya cakap gurau orang saja
Paman. Mana berani saya memakai gelar sehebat itu….”
“Jadi, kau sungguhan hendak pergi?”
Andana mengangguk.
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya dua kali. “Baiklah, aku tak bisa
melarang. Namun sebelum pergi naiklah dulu ke atas. Ada beberapa hal yang perlu
kubicarakan denganmu.”
“Perihal apakah Paman?” tanya Andana.
“Perihal rumah gadang dan segala isinya. Aku bermaksud menjualnya.”
Terkejut Andana mendengar kata-kata Pamannya itu. Dengan perasaan tidak
enak dia menaiki tangga mengikuti Datuk Gampo Alam naik ke atas rumah gadang.
Begitu sampai di atas rumah gadang Datuk Gampo Alam masuk ke dalam
kamarnya. Ketika keluar dia membawa segulung kertas. Setelah duduk di hadapan
kemenakannya dibukanya gulungan kertas itu seraya berkata. “Andana ini adalah
Surat Wasiat peninggalan Ayahmu. Isinya bisa kau lihat sendiri nanti. Sekarang biar
kubacakan dulu.”
Surat Wasit. Hari Kamis hari ke dua belas bulan Muharram. Saya Datuk
Bandaro Sati, dengan ini berwasiat. Jika terjadi sesuatu apa dengan diri saya yang
menyebabkan kematian saya, maka semua harta kekayaan yang tertinggal termasuk
rumah gadang yang di Pagaralam dan segala harta pusaka yang ada di dalamnya,
ternak dan sawah ladang akan saya wariskan pada dan menjadi hak syah Datuk
Gampo Alam, satu-satunya adik kandung saya. Segala urusan selanjutnya dialah
yang bertanggung jawab penuh untuk menentukan. Tertanda Datuk Bandaro Sati.
Mengetahui Penguasa di Pagaruyung Tumenggung Rajo Langit.
Sehabis membacakan Surat Wasiat itu Datuk Gampo Alam menatap wajah
kemenakannya. Anak ini kelihatan tenang saja membatin sang Datuk. Tak ada
perubahan pada air mukanya. Datuk Gampo Alam akhirnya menyerahkan Surat
Wasiat itu pada Andana. “Kau baca sendirilah,” katanya.
Andana membaca Surat Wasiat itu. Sesaat kemudian diserahkannya kembali
pada pamannya.
“Kau tidak akan mengatakan atau menanyakan sesuatu Andana?”
“Memang ada Paman,” jawab si pemuda. “Pertama kapan Surat Wasiat itu
Paman terima dari almarhum Ayahanda?”
“Beberapa waktu lalu. Kalau aku tak salah ingat hanya sekitar tida empat
minggu sebelum dia meninggal. Itulah, seperti yang aku katakan tempo hari. Dia
seolah-olah sudah mendapat firasat. Membuat Surat Wasiat ini lalu memberikannya
padaku. Bisa kufahami. Kau tak ada di Pagaralam, entah berada dimana. Lalu kakak
kami Uning Ramalah seperti kau ketahui tidak mau mengurusi hal-hal seperti ini
lagi.”
“Paman, pengetahuan saya sangat dangkal tentang hal-hal yang menyangkut
warisan. Tetapi ada sesuatu yang saya ketahui dengan jelas sekali.”
“Hemmm, apakah itu Andana?” tanya Datuk Gampo Alam sambil
menyentakkan lehernya dua kali.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 19
“Warisan yang ditinggalkan Ayah saya bukanlah termasuk Pusaka Tinggi.
Yaitu pusaka turun temurun dari nenek moyang kita yang tidak boleh dijual atau
dibagi-bagikan. Tetapi tetap akan menjadi pusaka untuk bisa dimanfaatkan oleh
keturunan sedarah sedaging. Contoh Pusaka Tinggi itu ialah rumah gadang yang di
Batusangkar. Tetapi rumah gadang yang ini adalah Pusaka Rendah. Rumah dan segala
isinya adalah milik Ayahanda langsung. Hasil pencaharian dan pembeliannya sendiri.
Dari keringatnya sendiri. Bukan harta turun temurun. Dengan kata lain sebagai anak
kandung satu-satunya maka sayalah yang secara syah menerimanya sebagai warisan,
wajib menjaga dan memeliharanya. Secara hukum dan secara adat Surat Wasiat itu
adalah keliru….. Mungkin yang dimaksudkan Ayahanda adalah rumah gadang pusaka
keluarga di Batusangkar.”
“Mana mungkin keliru Andana. Di sini jelas disebutkan rumah gadang di
Pagaralam. Rumah gadang dimana aku dan kau saat ini duduk berhadap-hadapan.
Jelas di sini dikatakan aku yang ditunjuknya sebagai pewaris dengan segala isi di
dalamnya.”
“Paman , saya yakin ada sesuatu yang keliru…..” kata Andana lagi.
Datuk Gampo Alam tersenyum. “Andana, kau lihat sendiri tanda tangan
Tumenggung Rajo Langit yang mengesahkan SuratWasiat ini. Apakah kau ingin
mengatakan aku memalsukan dan membuat-buat Surat Warisan ini?”
“Saya tidak mengatakan begitu Paman. Jangan Paman salah sangka. Apa yang
saya maksudkan cukup jelas. Semua harta pusaka milik Ayah adalah hasil pembelian
ayah dari keringatnya sendiri. Bukan berasal dai kakek atau nenek moyangnya. Bukan
berasal dari pusaka turun-temurun.Hanya itu saja yang ingin saya katakan. Apa
artinya terserah Paman untuk mengkajinya.”
“Ah, aku mengerti sekarang! Jelas kau tidak suka rumah dan harta Ayahmu
diberikan kepadaku! Walau jelas-jelas di dalam Surat Wasiat ini Ayahmu mengatakan
begitu. Jelas dan ikhlas. Ada saksinya pula. Saksi bukan orang sembarangan. Tapi
seorang berpangkat. Seorang Tumenggung penguasa negeri!” Datuk Gampo Alam
menyentakkan lehernya dulu baru meneruskan. “Andana, jika aku pikir-pikir
mengapa Ayahmu membuat Surat Waisat begini rupa pasti ada sebab musababnya.
Mungkin ada sesuatu yang tidak berkenan di hatinya atas dirimu hingga Surat Wasiat
ini ditujukannya padaku bukan padamu. Mungkin kau dianggapnya melakukan satu
kesalahan besar karena telah meninggalkan Pagaralam sampai bertahun-tahun tanpa
kabar berita. Ini rupanya sangat menyakitkan hatinya….”
“Paman biar saya katakan terus terang sekarang. Saya kembali ke Pagaralam
ini mengikuti pesan Ayahanda yang saya terima secara gaib. Pesan beliau selamatkan
rumah gadang dan harta pusaka di dalamnya…..”
“Aneh sekali kedengarannya,” kata Datuk Gampo Alam sambil memandang
ke halaman lewat pintu rumah gadang.
“Betul Paman, memang aneh kedengarannya kalau tidak melihat sendiri. Tapi
kejadian itu saya alami sendiri, disaksikan oleh guru saya Datuk Alis Merah. Waktu
itu kami berada di dekat air terjun kecil di kawasan tempat kediaman Datuk Alis
Merah. Ayah tiba-tiba saja muncul dikawal oleh seekor harimau besar. Ayah tegak di
atas batu. Berpakaian hijau yang penuh lubang-lubang bekas tusukan. Sekujur
tubuhnya berlumuran darah. Saat itulah Ayah memberi tahu agar saya segera pulang
ke Pagaralam. Rumah gadang dalam bahaya…..”
Untuk beberapa lamanya Datuk Gampo Alam berdiam diri. Terbayang
kembali olehnya kejadian di Ngarai Sianok. Ketika dia bersama Hantu Mata Picak
mengeroyok Datuk Bandaro Sati lalu membunuh kakanknya itu dengan cara
menikamnya bertubi-tubi dengan keris miliknya sendiri yaitu Keris Tuanku Ameh
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 20
Nan Sabatang. Anak ini mengatakan keris sakti bertuah itu tak ada padanya. Dia
berdusta. Keris itu kutemukan di bawah bantal dalam kamarnya. Kalau dia banyak
ulah dengan senjata itu pula akan kuhabiskan riwayatnya!
“Paman, saya minta diri. Kalau memang Paman yakin Ayah benar-benar
mewariskan rumah gadang beserta isinya, termasuk sawah ladang dan ternak
peliharaan, berbahagialah Datuk. Saya tidak akan mengungkit atau menuntut. Saya
malah berterima kasih Paman mau merawat rumah serta semua peninggalan Ayah….”
Mulutnya berkata begitu tapi siapa tahu isi hatinya, pikir Datuk Gampo Alam.
“Begini sajalah Andana. Urusanku akan terlalu banyak nanti. Bagaimana
kalau semua sawah ladang dan ternak kuberikan saja padamu.”
“Terima kasih Paman. Ketahuilah, saya datang ke Pagaralam ini bukan untuk
mendapatkan segala macam harta warisan. Tujuan saya Cuma satu…..”
Andana bangkit dari duduknya. Sebelum menuruni tangga diteruskanna dulu
ucapannya yang tergantung tadi. “Tujuan saya ke Pagaralam ini adalah mencari
pembunuh Ayah saya. Dan saya yakin saya akan menemukan orangnya!”
Tampang Datuk Gampo Alam berubah. Andana tidak lagi memperdulikan
Pamannya itu. Dibalikkannya tubuhnya lalu dia menuruni tangga rumah gadang
dengan cepat. Dari jendela Datuk Gampo Alam dapat melihat kemenakannya itu
menunggangi kuda ke arah Timur yaitu arah yang ditempuh Rukiah waktu pergi tadi.
Sang Datuk menyentakkan lehernya lalu berteriak memanggil tiga orang
pengawalnya. “Ikuti dan selidiki kemana perginya anak itu. Laporkan padaku apa
yang kau ketahui!”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 21
LIMA
Simpang tiga itu terletak di kaki bukit kecil yang menurun. Tak jauh dari sana
terbentang daerah pesawahan. Sore itu suasana di sekitar tempat itu tampak sepi.
Sesekali terdengar kicau burung. Ketika Andana sampai di simpang tiga itu dia tidak
melihat Rukiah atau siapapun di situ.
Jangan-jangan perempuan itu mendustaiku. Pikir Andana. Baru saja dia
berpikir begitu telinganya menangkap detak suara roda. Dari balik pepohonan dan
semak belukar muncul sebuah pedati ditarik dua ekor sapi. Di depannya di sebelah
seorang sais tua duduk Rukiah. Perempuan ini menyuruh sais menghentikan pedati
lalu dia turun. Dia melambaikan tangan pada Andana agar pemuda itu masuk ke
kawasan pepohonan, terlindung dari pemandangan orang yang mungkin lewat di
tempat itu.
“Etek, hal penting apakah yang hendak Etek sampaikan pada saya?” tanya
Andanan begitu turun dari kudanya.
“Jangan panggil saya dengan sebutan Etek itu. Sudah saya katakan saya muak
mendengarnya. Panggil saja nama saya. Rukiah. Bukankah usia kita tak jauh beda?
Kau pasti lebih tua dari saya.”
“Baiklah. Nah sekarang saya ingin dengar apa yang hendak kau sampaikan,”
kata Andana pula.
“Saya tahu Datuk Gampo Alam talah membuat Surat Wasiat palsu. Dia ingin
menguasai rumah gadang serta semua harta pusaka peninggalan mendiang
Ayahmu….”
“Saya tidak terkejut…..” kata Andana. “Tadi Datuk memperlihatkan pada saya
Surat Wasiat itu. Surat itu ditanda tangani oleh Tumenggung Rajo Langit. Tanda
tangan itu tidak palsu….”
“Memang tidak palsu. Karena Datuk Gampo Alam berkomplot dengan
Tumenggung Rajo Langit. Saya dengar rumah gadang itu berikut isinya akan
dijualnya pada si Tumenggung. Lalu tumenggung Rajo Langit kabarnya akan menjual
lagi pada seorang utusan yang datang dari tanah Jawa…”
“Ini hal baru bagi saya Rukiah,” kata Andana. “Tidak seberapa aneh kalau
Datuk Gampo Alam mau menjual rumah gadang guna mendapatkan uang.
Belakangan ini dagangnya merugi terus. Hutangnya di mana-mana. Biaya rumah
tangganya dengan empat istri….”
“Sekarang tinggal tiga. Karena saya sudah minta cerai. Tapi segera akan
menjadi empat lagi.”
“Maksudmu?”
“Gaek busuk itu hendak mengambil Bunga menjadi istrinya!”
“Apa?” kejut Andana dengan wajah berubah tegang.
“Mamak Rabiah datang dipanggil Datuk. Saya dengar dia meminta Bunga
pada perempuan itu…..”
“Apa jawab Mamak Rabiah?”
“Saya intip dan saya lihat air muka perempuan itu. Dia jelas tergoncang. Dia
tak bisa memberikan jawaban apa-apa. Datuk minta dia datang hari Jum’at besok
untuk memberikan jawaban….”
“Kambing tua bangka yang sudah bau tanah itu masih saja ingin menyantap
daun muda!” kertak Andana sambil mengepalkan tinju kanannya. Dia menatap wajah
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 22
Rukiah sesaat lalu bertanya. “Dari mana kau tahu ihwal rencana penjualan rumah
itu?”
“Dari seorang tangan kanan Tumenggung Rajo Langit. Orang ini tergila-gila
pada saya sebelum saya diambil istri oleh Datuk Gampo Alam. Dia menceritakannya
waktu merayu saya agar mau jadi istrinya. Ketika saya kawin dengan Datuk Gampo
alam, orang ini sangat marah. Dia pergi dari Pagaruyung, tak tahu entah berada di
mana sekarang. Namanya Rusli…..”
Andana tegak termangu beberapa saat lamanya.
“Kau harus menolong Bunga, Andana. Selamatkan dia dari cengkeraman
Datuk Gampo Alam. Saya tahu dia mencintaimu. Saya dapat melihat dari sinar
matanya sewaktu dia membawakan Tari Gelombang. Saya juga tahu dia telah
menyelamatkan dirimu dari sirih yang diracun orang.”
“Saya tahu hal itu Rukiah. Saya akan segera menemuinya untuk mengucapkan
terima kasih. Jelas saya berhutang nyawa padanya. Lebih dari itu saya tentu akan
menyelamatkannya dari tangan Paman saya yang gila istri itu. Tapi Rukiah, apakah
kau tahu siapa yang menaruh racun di sirih dalam cerana itu?”
“Hanya satu orang dugaan saya Andana. Manusia jahat bergelar Hantu Mata
Picak. Dia adalah orang kepercayaan Datuk Gampo Alam. Saya yakin dia juga atau
anak buahnya yang berusaha membunuhmu dengan ular berbisa tempo hari!”
“Kurang ajar benar!” kata Andana sambil meninju-ninju tapak tangan kirinya
dengan tangan kanan. “Berarti Datuk Gampo Alam ada di belakang semua ini!”
“Saya kira begitu! Tapi kau harus menyelidiki dan membuktikannya dulu….”
“Mengenai orang yang berjuluk Hantu Mata Picak ini, di mana sarangnya.
Kau tahu di mana saya bisa mencarinya?”
“Mencarinya sama dengan mencari hantu. Dicari susah. Tidak dicari kadangkadang
dia muncul begitu saja. Saya hanya bisa memberitahu ciri-cirinya. Orangnya
tinggi besar. Berkumis dan berjanggut tebal. Mata kirinya buta. Kulitnya hitam, dia
berkalung dan bergelang akar bahar….”
“Terima kasih. Saya sangat berterima kasih padamu Rukiah. Sekarang kau
hendak ke mana?”
“Saya akan kembali ke gubuk orang tua saya di Bonjol.”
“Mau saya antarkan?”
Rukiah tertawa. Dipegangnya jari-jari tangan pemuda itu. “Saya tidak bisa
berdusta bahwa saya menyukai dirimu. Tapi saya sendiri saat ini tak lebih dari
seorang janda. Jangan kecewakan Bunga. Jangan buat dia cemburu…..”
Paras Andana sesaat menjadi merah.
Rukiah tertawa lebar. “Ingat peristiwa malam lalu, ketika saya mengajakmu
tidur di kamar?”
Wajah Andana semakin memerah.
“Saya masih berharap kau mau memenuhinya. Kalau begitu carilah nanti saya
di Bonjol….” Rukiah berjingkat lalu diciumnya pipi kiri pemuda itu.
Andana merangkul punggung janda itu dan bertanya. “Ada sesuatu yang ingin
saya tanyakan. Ayah saya mati dibunuh orang. Kau mungkin pernah menyirap kabar
apa sesungguhnya yang terjadi. Siapa pelaku pemubunhnya.”
“Sayang sekali yang satu ini saya tidak tahu apa-apa Andana.” Jawab Rukiah.
“Tapi mungkin kau bisa bertanya pada Sati.”
“Siapa Sati?”
“Dia pedagang cita keliling. Banyak punya hubungan dengan siapa saja.
Terakhir sekali saya dengar dia digebuk setengah mati oleh tukang-tukang pukul
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 23
Datuk Gampo Alam. Dia pasti mendendam dan mencari seribu cara untuk
membalaskan sakit hatinya.”
“Di mana saya bisa menemukan orang itu?”
“Pergi saja ke Pasar Gombak. Orang sepasar pasti tahu di mana bisa
mencarinya.”
“Saya akan cari orang itu. Sekali lagi saya sangat berterima kasih padamu
Rukiah.”
Janda Datuk Gampo Alam mengangguk. Sekali lagi diciumnya pemuda itu
lalu bergegas dia kembali ke pedati yang menunggunya.
Ketika pedati mulai bergerak mendadak di belakangnya Andana mendengar
suara bergemerisik. Dia cepat membalik dan sempat melihat tiga orang berpakaian
seragam hitam berlari menuju tiga ekor kuda yang ditambatkan di kejauhan.
“Anak buah Datuk Gampo Alam….” desis Andana. “Mereka tidak melakukan
apa-apap terhadapku tapi mungkin akan mencelakai Rukiah…..” Pasti mereka telah
mendengar apa yang dikatakan Rukiah tadi. Ada dua jiwa terancam. Rukiah dan
Sati!” Andana cepat melompat ke atas kudanya dan mengejar pedati yang ditumpangi
Rukiah.
“Ada apa?” tanya Rukiah ketika dilihatnya Andana memacu kudanya
mendatangi.
“Tiga orang anak buah Datuk Gampo Alam ternyata menyelinap mendengar
pembicaraan kita. Keselamatanmu terancam Rukiah…. Apa ada jalan lain menuju
Bonjol? Atau sebaiknya kau jangan ke Bonjol. Mereka pasti mengejarmu. Tidak
ditemuinya di jalan akan dicarinya ke rumahmu di Bonjol!”
Rukiah tampak berpikir. Dia berpaling pada sais tua di sebelahnya. “Putar arah.
Kita ke Koto Tangah saja. Batal ke Bonjol!” Lalu Rukiah berpaling pada Andana.
“Terima kasih. Kau telah menyelamatkan orang buruk ini. Walau sekarang hanya
seorang janda tapi saya tetap ingin hidup lebih lama…. Punya suami lagi. Tapi tidak
dengan lelaki seperti Datuk itu. Tobat rasanya!”
Andana geleng-gelengkan kepalanya. Dia mengangkat tangannya membalas
lambaian Rukiah.
Tiga orang anak buah Datuk Gampo Alam yang sempat terlihat Andana
memang meninggalkan tempat itu dengan cepat. Namun di satu tempat lelaki sebelah
depan membelok ke kiri lalu menghentikan kudanya di antara kelebatan pepohonan.
“Kenapa kau berhenti di sini Luhak?” tanya salah satu temannya.
Orang yang bernama Luhak yang bergigi tonggos dan mulutnya tak pernah
terkatup itu memberi isyarat agar kawan-kawannya jangan bicara. Dia juga memberi
isyarat agar mereka segera turun dari atas kuda masing-masing lalu bersembunyi di
balik semak-semak. Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda. Andana lewat di
depan mereka.
“Apa yang ada di benakmu Luhak? Bukankah kita harus segera melapor pada
Datuk? Dia pasti senang mendengar laporan hebat dari kita. Kita bakal diberinya
hadiah besar!”
“Dari dulu otakmu tetap saja bodoh Ayub!” jawab Luhak. “Soal lapor melapor
bisa menyusul kemudian. Soal hadiah tak akan kemana larinya. Ada rezeki besar di
depan mata apa akan dibiarkan lewat begitu saja?”
“Eh kawan, apa pula maksudmu?” tanya orang ketiga yang bernama Kairudin.
Luhak si tonggos tertawa lebar hingga seluruh giginya atas bawah seperti
hendak keluar dari mulutnya. “Yang kumaksud dengan rejeki itu adalah si Rukiah itu.
Kini dia bukan lagi istri Datuk. Sudah minta cerai dan sudah lari. Dia hanya berteman
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 24
sais tua itu. Daerah sekitar sini sunyi senyap. Nah, apakah perlu lagi aku jelaskan
pada kalian yang bodoh-bodoh ini?”
Sepasang mata kedua orang itu sama-sama membesar. “Kau benar-benar
cerdik Luhak!” memuji Kairudin sementara Ayub tampak berulang kali membasahi
bibirnya dengan ujung lidah tanda dia juga sudah menangkap apa yang dimaksudkan
oleh Luhak tadi. Tanpa banyak cerita lagi ketiga orang ini segera melompat ke atas
punggung kuda masing-masing. Mereka bergerak ke arah simpang tiga di mana
mereka sebelumnya mengintai pertemuan Andana dengan janda Datuk Gampo alam
itu. Dari sini ketiganya mengambil jalan yang menuju ke Bonjol. Tapi belum jauh
meninggalkan simpang tiga Luhak yang berada di depan melihat jejak-jejak roda
pedati di tanah. Dia segera menghentikan kudanya.
“Jelas pedati yang ditumpangi janda Datuk itu berbalik arah di sini….” kata
Luhak.
“Tidak sulit mengetahui kemana mereka pergi. Jejak roda pedati yang begini
jelas akan menjadi petunjuk bagi kita. Ayo….” Luhak sentakkan tali kekang kudanya.
Pedati yang ditarik dua ekor sapi itu bergerak kencang karena menempuh jalan
yang menurun. Namun tiga orang penunggang kuda di belakang mereka bergerak
jauh lebih cepat hingga ketika pedati sampai di ujung penurunan, ketiganya sampai
pula di sana, langsung mengurung pedati.
Sais tua di samping Rukiah berbisik, “Agaknya mereka muncul bukan dengan
maksud baik. Kalau terjadi apa-apa lekas turun dari pedati dan lari selamatkan diri….”
Rukiah memandang pada ketiga orang itu lalu menegur. “Luhak, ada apa kau
menyusul kemari.”
“Begini, saya dan kawan-kawan….” Luhak tidak meneruskan kata-katanya
melainkan tertawa lebar hingga Rukiah jijik melihat berisan gigi-giginya yang besarbesar
kuning dan menjorok ke depan itu. “Tadinya kami kira Etek pergi ke Bonjol,
ternyata kini berubah arah….”
“Kemana aku mau pergi apa urusan kalian? Apa Datukmu yang menyuruh
memata-mataiku? Katakan padanya aku tidak akan mau kembali ke rumahnya!”
Rukiah berpaling pada sais tua di sebelahnya. “Jalankan pedati….”
“Bapak tua, tak perlu cepat-cepat pergi. Perjalananmu cukup sampai di sini.
Kami yang akan mengantarkan janda Datuk Gampo Alam ini ke tujuannya…..” Luhak
mendekati sais tua itu. Sekali dia merengutkan leher pakaiannya, orang tua ini jatuh
dari pedati dan terhantar di tanah. Anak buah Datuk Gampo Alam yang bernama
Ayub langsung melompat ke atas pedati dan memegang tali kekang dua ekor sapi.
“Saya tidak percaya padamu. Kalian pasti akan berbuat jahat terhadap
perempuan muda ini!” kata sais tua seraya mencoba bangkit. “Lari…..! Larilah
rangkayo!” (Rangkayo = panggilan kehormatan )
Bukkk!
Satu tendangan yang keras mendarat di dada sais tua itu. Tak ampun lagi
tubuhnya rebah ke tanah. Tak berkutik. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah
mengucur.
“Manusia jahat! Di mana peri kemanusiaanmu!” teriak Rukiah marah sekali.
Dia melompat dari atas pedati. Bukan untuk melarikan diri tapi memukuli pinggang
Luhak dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menarik pakaian laki-laki
itu. Karena kehilangan keseimbangan Luhak jatuh ke bawah. Tapi sambil jatuh lelaki
ini merangkul bahu Rukiah hingga keduanya jatuh bersamaan ke tanah dan saling
tindih!
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 25
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Luhak. Langsung saja dia merangkul
dan menciumi janda muda itu dengan penuh nafsu hingga Rukiah menjerit-jerit dan
berusaha melepaskan dirinya.
“Luhak! Jangan kau makan sendiri!” berseru Kairudin. Lalu diapun melompat
turun daru kudanya. Ikut bergulingan di tanah sambil tangannya meraba kian kemari.
Ayub tak mau ketinggalan. Tiga lelaki itu berebutan menggagahi Rukiah. Yang satu
meraba dan menciumi. Yang lain meraba sambil berusaha menanggalkan kain yang
dikenakan Rukiah. Lalu yang ketiga seperti kemasukan setan merobeki kebaya janda
muda itu. Dalam waktu singkat keadaan Rukiah boleh dikatakan hampir bugil. Dia
menjerit tiada henti sambil berusaha memukul dan menendang. Namun mana sanggup
dia menghadapi tiga lelaki sekaligus. Semakin keras jerit, pukulan dan tendangannya
semakin bernafsu Luhak dan kawan-kawannya. Jelas Rukiah tak akan dapat
mempertahankan kehormatannya.
“Manusia-manusia bajingan! Hebat juga kelakuan kalian!” tiba-tiba satu
bentakan menggeledek di tempat itu.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 26
ENAM
Luhak dan dua kawannya tentu saja terkejut. Ketiga orang ini cepat berpaling.
“Andana…..!” desis Luhak tapi kini keterkejutannya bercampur dengan rasa
heran. Sebelumnya dia telah melihat pemuda itu meninggalkan kawasan simpang tiga.
Kini mengapa tiba-tiba muncul dan berganti pakaian.
“Bukan dia Luhak…..” bisik Ayub. “Kalau tak salah aku dia adalah pemuda
Jawa kawan kemenakan Datuk….”
“Hendak kalian apakan perempuan itu?!” pemuda yang datang bertanya
sambil bertolak pinggang.
“Hendak kami apakan bukan urusanmu?!” kata Luhak seraya melompat tapi
dia lupa kalau tadi dia telah sempat membuka celana hitamnya hingga pakaian itu
hampir jatuh ke bawah menelanjangi dirinya sendiri.
“Jangan-jangan dia hendak minta bagian pula Luhak,” berkata Kairudin seraya
berdiri lalu tegak di samping kawannya.
Ayub yang masih menindih Rukiah agaknya masih belum mau melepaskan
perempuan tiu. Dia merasa lebih banyak mendapat kesempatan tanpa menyadari
bahwa sesungguhnya bahaya besar mengancam dirinya saat itu.
“Ah, kalau kalian memang berbaik hati mau membagi-bagi rejeki denganku,
itu bagus sekali. Coba kusingkirkan dulu orang hutan yang satu ini!”
Habis berkata begitu pemuda berpakaian serba putih yang tahu-tahu saja
muncul di tempat itu melompat ke arah Ayub. Sesaat kemudian terdengar suara
bergedebuk menyusul raungan Ayub. Tubuh lelaki ini terpental jauh. Dalam keadaan
nungging tadi tendangan pemuda berpakaian putih mendarat telak di selangkangannya.
Kantong kemaluannya remuk. Untuk beberapa lamanya Ayub berguling-guling di
tanah, melejang-lejangkan kedua kakinya dan memegang bawah perutnya sambil
tiada hentinya berteriak. Dia berusaha berdiri tapi jatuh dan jatuh lagi. Tiba-tiba
teriakannya lenyap. Tubuhnya terlentang di tanah. Kedua matanya mendelik.
Kairudin mendekati kawannya ini.
“Dia mati! Luhak, Ayub mati!” teriak Kariaudin pada Luhak.
“Bedebah jahanam! Berani kau membunuh kawanku!” teriak Luhak marah
besar. Dihunusnya golok yang terletak di tanah. Kairudin juga tidak tinggal diam. Dia
melakukan hal yang sama. Keduanya lalu mendekati si pemuda dari samping kiri dan
kanan. Sementara Rukiah dengan cepat berusaha bangkit. Sambil membenahi
pakaiannya yang robek di sana sini janda ini lari ke balik sebatang pohon besar.
“Bagus! Kalian punya nyali! Majulah!”
“Nyali! Apa itu nyali!” sentak Kairudin yang tak mengerti kata yang barusan
diucapkan pemuda berambut gondrong di hadapannya.
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa geli. “Kalau kau mau tahu artinya nyali
majulah! Ayunkan golokmu!”
“Manusia sombong! Laidangku ini akan memisahkan kepalamu dari badan!”
teriak Kairudin. Lalu anak buah Datuk Gampo Alam ini melompat sambil
membabatkan goloknya ke leher Wiro. (ladiang = golok)
Serangan orang ini boleh juga. Deru sambaran senjatanya deras dan
gerakannya cepat sekali. Namun yang dilawannya bukan sembarang pendekar.
Akan halnya Luhak melihat kawannya berulang kali hanya membacok tempat
kosong, tidak menunggu lebih lama segera pula melompat membantu. Dua golok
berkelebat kian kemari dalam gerakan-gerakan silat yang selama ini tidak pernah
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 27
dilihat Wiro. Sepasang senjata lawan bergulung-gulung menyerang tubuhnya dari
kepala sampai ke pinggang.
Hemmmm…..Ilmu silat mereka cuma main atas. Pinggang ke bawah terbuka.
Murid Sinto Gendeng tiba-tiba keluarkan bentakan keras. Tubuhnya
dijatuhkan ke tanah. Sambil bergulingan dia menendang ke arah kedua kaki Kairudin.
Yang ditendang cepat melompat tinggi-tinggi. Ini yang dimaui Wiro. Dari bawah dia
lepaskan pukulan tanagn kosong “kunyuk melempar buah” dengan mengandalkan
sedikit saja dari tenaga dalamnya. Apa yang terjadi kemudain membuat Luhak
terkejut. Kairudin menjerit keras. Selagi tubuhnya melayang di udara, satu gelombang
angin laksana sebuah batu besar melesat ke arah selangkangannya.
“Astaga! Apa ini?!” kata Kairudin. Di lain kejap terdengar jeritannya.
Tubuhnya terlempar sampai dua tombak. Ketika jatuh ke tanah, tubuh itu tidak
berkutik lagi. Selangkangannya kelihatan robek dan ada genangan darah mengalir
sampai ke tanah.
Putuslah nyali Luhak. Dia mengambil keputusan untuk kabur melarikan diri.
Sebelum kabur dia lebih dulu mendesak Wiro dengan dua serangan berantai.
“Tonggos! Aku pinjam dulu golokmu!” seru Wiro. Lalu dengan gerakan cepat
dia menyelinap di bawah bacokan senjata lawan. Tangan kanannya menyambar ke
atas.
Kraaak!!
Sambungan siku tangan kanan Luhak tanggal dan remuk. Jerit orang ini
setinggi langit. Wiro cepat menangkap goloknya yang terlepas dan mental ke udara.
“Ampun! Jangan dibunuh waden! Jangan dibunuh waden!” teriak Luhak
berulang kali seraya mundur. Mukanya pucat. Tangan kirinya diangkat sambil
digoyang-goyangkan.
“Siapa mau membunuhmu. Nyawamu cukup diwakili kedua orang kawanmu
itu….” kata Wiro. Golok di tangan kanannya bergerak. Gagangnya menghantam keras
ke mulut Luhak.
Luhak menjerit keras sekali. Darah muncrat dari mulutnya. Lima giginya yang
tonggos di bagian atas dan empat di sebelah bawah rontok. Sebagian terlempar masuk
ke dalam mulutnya. Sebagian lagi mental keluar. Luhak terus meraung kesakitan
sambil pegangi mulutnya yang berdarah dengan tangan kiri. Lututnya goyah. Dia
berlutut terbungkuk-bungkuk. Darah masih terus mengucur dari mulutnya yang pecah
serta gusinya yang hancur.
Wiro melangkah ke balik pohon di mana Rukiah bersembunyi ketakutan.
Sesaat Wiro terkesiap juga melihat tubuh yang hampir bugil itu.
“Maafkan saya,” kata Wiro. “Adik tak apa-apa…..”
“Saya…..saya tidak apa-apa. Terima kasih kakak sudah menolong saya….”
Wiro mengangguk lalu dia membalik.
“Tunggu, jangan tinggalkan saya….” kata Rukiah menyangka Wiro hendak
pergi.
“Tetap saja di situ. Saya akan menyelesaikan urusan dengan anak buah Datuk
Gampo Alam ini….” kata Wiro pula. Lalu mayat Ayub dan Kairudin dinaikkannnya
ke atas kuda masing-masing. Kini dia mendekati Luhak. Sekali menarik leher pakaian
lelaki ini Luhak tertegak dan ketakutan setengah mati.
“Kau boleh kembali ke Pagaralam. Bawa kedua mayat kawanmu itu. Katakan
semua yang terjadi di sini pada Datukmu. Sebelum kau naik ke atas kudamu,
tanggalkan dulu celanamu!”
“A…..apa maksudmu….?” tanya Luhak tergagap dalam ketakutannya.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 28
“Maksudku begini setan!” kata Wiro. Lalu direnggutnya celana hitam laki-laki
itu. Tubuh Luhak kemudian ditunggingkannya kepala di bawah kaki di atas. Celana
Luhak ditariknya sampai tanggal. Ketika lelaki ini ditegakkannya kembali dengan
sendirinya Luhak hanya mengenakan baju saja alias telanjang di sebelah bawah!
Barang antiknya gundal-gandil kian kemari!”
“Naik ke kudamu!” perintah Wiro.
“Onde mak! Jangan! Jangan diperlakukan saya seperti ini! Berikan celana
saya…..!”
“Boleh! Kau memilih celana atau nyawa?” ujar Wiro pula seraya pura-pura
hendak mencekik leher Luhak. Orang ini kembali ketakutan setengah mati.
“Sa…..saya memilih hidup saya…..” katanya. Lalu naik ke atas kudanya. Wiro
memukul pinggul dua ekor kuda lainnya yang membawa mayat Ayub dan Kairudin.
Sesaat setelah orang-orang itu lenyap di kejauhan Wiro kembali ke balik
pohon.
“Mereka sudah pergi. Kau aman sekarang….”
“Terima kasih. Pertolonganmu tidak akan saya lupakan. Bukankah kau
sahabat Andana?” kata Rukiah dari balik pohon.
“Betul…. Nama saya Wiro.”
“Wajah kalian hampir mirip satu sama lain,” kata Rukiah pula. “Tapi kau
lebih….” Janda ini tidak meneruskan ucapannya.
“Lebih apa? Lebih kurang ajar?!”
“Maksud saya buka begitu…..” jawab Rukiah. Dalam hati dia berkata. Kau
lebih jantan dari Andana.
“Apalagi yang bisa saya tolong sekarang?” bertanya Wiro.
“Di atas pedati ada sebuah peti kayu. Dalam peti itu ada beberapa potong
pakaian. Tolong ambilkan petinya kemari. Saya nyaris telanjang. Saya harus berganti
pakaian….”
“Saya lebih suka melihat adik seperti sekarang ini…..”
“A….apa kata kakak?!” tanya Rukiah hampir tak percaya dengan
pendengarannya. Wiro hanya tertawa sambil garuk-garuk kepala. “tak pernah saya
mendengar orang baik-baik seperti kakak tega-teganya berkata seperti itu.”
“Saya bukan orang baik-baik,” jawab Wiro pula.
“Ah! Tolonglah ambilkan peti itu. Kalau tidak ambilkan sehelai kain dan
sehelai kebaya yang ada di dalamnya.”
Wiro tersenyum. Dia melangkah juga ke pedati. Di dalam sebuah peti kayu di
temukannya beberapa potong pakaian. Wiro mengambil sehelai kebaya dan sehelai
kain lalu membawanya ke balik pohon.
“Ulurkan saja dari belakang pohon. Jangan melangkah ke sini!” kata Rukiah.
Wiro tertawa. Dilemparkannya kain panjang yang diambilnya dari dalam peti.
Tidak ke belakang pohon tetapi beberapa langkah di sebelah depan.
“Mana pakaiannya?” tanya Rukiah.
“Sudah saya lemparkan di depan pohon….”
Rukiah menjulurkan kepalanya dari balik pohon. Lalu terdengar dia
mengomel. “Ini bukan saatnya bergurau!”
Wiro membungkuk mengambil kain. Bersama-sama dengan kebaya kain itu
dilemparkannya ke belakang pohon. Rukiah segera sibuk berpakaian. Tak lama
kemudian janda muda ini keluar dari pohon itu. Yang dilakukannya pertama sekali
adalah melihat keadaan sais tua yang menggeletak di tanah.
“Jangan kawatir, orang tua itu belum mati. Cuma pingsan. Tapi dia tidak akan
mungkin membawa pedati meneruskan perjalanan….”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 29
“Saya bisa pergi sendiri. Tolong naikkan dia ke atas pedati.”
Wiro menaikkan sais yang masih pingsan dan cidera cukup berat itu ke atas
pedati.
“Senja hampir datang. Sebentar lagi malam akan turun. Apakah adik berani
melakukan perjalanan sorang diri?” bertanya Wiro.
Rukiah tidak menjawab. Dalam hatinya dia bertanya-tanya apakah pemuda itu
hanya sekedar bertanya atau bermaksud mengantarkannya.
“Koto Tangah tidak seberapa jauh dari sini….”
“Saya tidak tahu jauh dekatnya,” kata Wiro pula lalu mengikatkan kudanya di
belakang pedati.
“Eh, mengapa pula kakak mengikatkan kuda itu ke pedati?” tanya Rukiah.
Wiro tidak menjawab melainkan naik ke atas pedati dan duduk di samping
Rukiah.
“Saya senang kakak mau mengantarkan. Tapi apakah saya bisa mempercayai
kakak?”
Wiro tertawa lebar. “Sudah saya bilang tadi. Saya bukan orang baik-baik. Tapi
dibandingkan dengan Datuk Gampo Alam saya sedikit lebih baik. Dan jauh lebih
muda….”
Pemuda satu ini konyol. Sepertinya juga keras kepala. Tapi apa yang
dikatakannya betul. Kalau aku tidak bisa mendapatkan Andana, tak ada ruginya
mendapatkan yang satu ini. Lagi pula wajah mereka begitu mirip. Dan dia lebih
berani, lebih jantan.
Rukiah meletakkan tangan kanannya di atas ribaan Pendekar 212.
“Saya percaya pada kakak,” katanya.
Wiro mengambil tali kekang dua ekor sapi penarik pedati. Sesaat kemudian
pedati itupun bergerak meninggalkan tempat itu. Di Barat sang surya mulai tenggelam.
Di atas pedati Rukiah masih meletakkan tangan kanannya di atas paha Wiro.
Tak dapat dibayangkan begaimana kehebohan yang terjadi di Pagaralam
ketika Luhak yang setengah telanjang itu muncul membawa mayat dua orang
kawannya. Datuk Gampo Alam seperti orang kemasukan setan saking marahnya.
Bukannya dicarikan kain atau apa saja untuk menutupi aurat anak buahnya itu malah
sambil menyentak-nyentakkan lehernya dia berteriak.
“Setan bodoh kau Luhak! Biar kutelanjangi sekalian dirimu!” Lalu
breet….brettt! Tangan kirinya merobek baju hitam Luhak dengan tangan kanannya
menampari muka anak buahnya itu dengan kalap.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 30
TUJUH
Pasar sudah agak lenggang ketika Andana sampai di situ. Tapi di tempat orang
main Kim suasana masih ramai. (Kim = semacam permainan judi memakai nomornomor.
Siapa yang nomornya paling banyak keluar jadi pemenang) Setelah bertanya
beberapa kali akhirnya seseorang menunjuk pada lelaki berkopiah hitam dan
berpakaian putih yang sedang asyik main Kim sambil menggoyang-goyangkan
kepalanya mengikuti lagu yang dinyanyikan oleh pemberi tahu nomor. Di sela
bibirnya terselip sebatang rokok yang apinya sering mati dan sebentar-sebentar
dinyalakannya.
Angku mudo pai ka pasa
Mambao itiak duo-duo
Barangkek kapa di muaro
Maratok suliang limo kali
(Engku muda pergi ke pasar
Membawa itik dua-dua
Berangkat kapal di muara
Meratap suling lima kali)
Mendengar pantun yang dinyanyikan dengan iringan tetabuhan itu lelaki
berkopiah hitam mencoret angka 22 dan angka 5 yang ada di kertas Kimnya dengan
arang. Kemudaian dia menyedot rokoknya dalam-dalam. Ternyata api rokok itu sudah
mati pula. Ketika dia sibuk mencari korek api di saku pakaiannya, tahu-tahu
seseorang yang tegak di sebelahnya membantu menyalakan rokok itu. Orang
berkopiah menghisap rokoknya dalam-dalam lalu sekilas melirik pada orang yang
tegak di sampingnya.
“Sati….?” tanya orang tadi yang bukan lain adalah Andana seraya duduk di
sebelah si kopiah hitam.
Yang ditegur memang Sati. Pedagang cita keliling ini melirik kembali. Kedua
matanya membesar. Dia menatap lekat-lekat. “Kau siapa? Astaga bukankah kau
kemenakan Datuk Gampo Alam yang baru kembali ke Pagaralam? Yang kabarnya
sudah digelari orang dengan julukan Harimau Singgalang? Yang dinobatkan sebagai
tamu terhormat dan dipersembahkan sekapur sirih oleh gadis tercantik di Pagaralam?”
Andana tersenyum. “Perlahan kalau bicara. Karena mungkin tidak semua yang
kau katakan itu benar sobat.” Lalu Andana mengambil potongan arang dan mencoret
angka di kertas Kim milik Sati yang kebetulan keluar. “Ada yang ingin saya tanya
Sati. Saya sangat memerlukan bantuanmu.”
“Saya sudah maklum. Sebenarnya saya pernah mencari Angku Mudo. Tapi
sekarang Angku Mudo sendiri yang datang. Saya sedang asyik main Kim. Bisa
Angku Mudo datang malam nanti ke rumah saya?” (Angku Mudo = Angku Muda,
panggilan kehormatan)
Sebenarnya Andana ingin mendapat keterangan saat itu juga. Tapi dia tidak
mau memaksa. Apalagi dilihatnya hari segera memasuki senja. Jadi dia tak akan lama
menunggu.
“Beri tahu saya letak rumahmu….”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 31
Sati memberi tahu letak rumahnya. Lalu berkata “Saya orang dagang. Berarti
mata duitan. Segala urusan dengan saya harus ada uangnya…..” Sati lalu tertawa
mengekeh tapi hampir tanpa suara.
“Jangan takut Sati. Setiap kata yang kau sebutkan, jika memang merupakan
keterangan berharga pasti akan saya bayar,” jawab Andana pula.
“Jangan kawatir Angku Mudo. Sekali ini saya keluar dari aturan itu. Angku
Mudo tak perlu membayar sepeserpun. Sampai nanti malam. Saya tunggu di rumah.
“Dengar sobat,” bisik Andana seraya memegang bahu pedagang cita keliling
itu. “Saya punya firasat nyawamu terancam.”
Paras Sati berubah. “Apa maksud Angku Mudo?”
“Jangan terus pulang ke rumah. Tunggu saya sampai datang di tempat gelap di
ujung Utara jembatan batang kelapa.”
Andann berdiri. Sebelum pergi dia masih sempat mencoret angka ke lima
yang ada di kertas Kim di depan Sati.
“Sudah lima angka Sati. Kau menang.”
“Hah, apa?!” Sati memperhatikan kertasnya lalu berteriak gembira. Dia
setengah berlari membawa kertas itu ke tempat juru bayar Kim duduk.
Lelaki tinggi besar berwajah seram itu berdiri gelisah di bawah bayangbayang
pohon. Suasananya sekitarnya gelap dan sunyi. Sesekali terdengar suara
binatang hutan di kejauhan. Orang ini memelihara kumis dan cambang bawuk lebat
menutupi lebih dari sebagian wajahnya. Mata kirinya picak buta sedang telinga
kanannya sumplung. Tampangnya yang seram itu dalam kegelapan kelihatan lebih
angker. Pakaiannya serba hitam. Keningnya dililit dengan kain hitam dan rambutnya
yang kasar acak-acakan menjulur gondrong sampai ke bahu. Leher dan setiap
pergelangan kaki serta tangannya dilingkari kalung dan gelang terbuat dari akar bahar.
Agaknya orang ini yang bukan lain adalah Hantu Mata Picak tengah
menunggu kedatangan seseorang. Dalam gelap beberapa kali dia terdengar
menggerutu sambil menepuki nyamuk yang banyak berkeliaran dan menyengat
kulitnya.
Tak selang berapa lama terdengar suara langkah-langkah kaki kuda
mendatangi. Hantu Mata Picak mengusap mukanya beberapa kali. Seorang
penunggang kuda muncul dari kegelapan.
“Sudah lama saya menunggu Datuk di sini…” kata orang tinggi besar di bawah
pohon dengan nada seperti mengomel.
“Setan! Tutup mulutmu!” hardik penunggang kuda. “Bukan kau yang harus
bicara lebih dulu tapi aku!”
“Kalau begitu saya menunggu apa yang hendak Datuk katakan….”
“Kau sadar telah beberapa kali membuat kesalahan?!”
“Saya tahu. Tapi semua itu terjadi secara tidak terduga Datuk…”
“Setan kau Daud! Jangan banyak mulut! Jangan mencari-cari alasan! Kurobek
mulutmu nanti baru tahu dirasa!”
Orang tinggi besar bertampang angker terpaksa berdiam diri.
“Pertama! Kau memang berhasil membunuh Udin Burik. Tapi tololnya kau
meninggalkan bukti! Mengapa kau bunuh orang itu dengan pisau terbang yang
hulunya ada ukiran tengkorak?! Apa kau tidak sadar itu berarti meninggalkan jejak?!”
“Saya terpaksa Datuk. Saya bersumpah! Waktu itu Udin Burik siap membuka
mulut hendak memberi tahu siapa yang menyogoknya untuk memberi kesaksian palsu
di depan Tumenggung Rajo Langit. Jarak saya dengan dia terpaut jauh! Tak ada jalan
lain. Dia saya habisi dengan pisau terbang….”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 32
Orang di atas kuda meludah ke tanah. “Untung aku bisa mencuri pisau
bergagang tengkorak itu dari Andana. Walaupun begitu dia sudah terlanjur melihat,
menyimpan dan mengetahui!”
Daud alias Hantu Mata Picak masih berdiam diri. Orang yang dipanggil Datuk
kembali mengeluarkan kemarahannya.
“Ketololanmu yang kedua setan! Kau tidak berhasil membunuh anak itu
dengan racun kala hutan. Lekas kau terangkan kenapa sampai bisa begitu. Atau
kupuntir kepalamu sampai tanggal sekarang juga!”
“Terus terang saya juga heran Datuk. Saya yakin betul dia telah mengunyah
sirih beracun dalam cerana. Hanya ada satu kemungkinan? Pemuda yang bergelar
Harimau Singgalang itu kebal racun?”
“Kanciang kau Daud!” maki orang di atas kuda. “Sudah gagal pandai pula kau
mencari dalih hendak cuci tangan! Dari jaman nenek moyangku sampai sekarang
belum pernah kudengar ada anak manusia yang kebal racun kala hutan! Jangankan
manusia, setan sekalipun akan mampus oleh racun jaha itu!” (kanciang = makian
kotor seperti sundal, pantat) “Kalau kau merasa tidak mampu menjadi pembantuku,
katakn saja! Biar saat ini juga kau kupecat! Tapi mukamu akan kutendang lebih dulu.
Hidungmu akan kubikin melesak dan matamu yang satu lagi kubikin picak!”
Sepasang mata Datuk Gampo Alam membeliak seperti hendak keluar dari
rongganya saking marahnya. “Ingat baik-baik Daud! Jangan sekali lagi kau berani
menyebut anak itu dengan gelar keparat sialan itu! Dia tidak punya gelar! Dia tidak
berhak menyandang julukan Harimau Singgalang!”
“Tapi di luaran orang banyak kini menyebutnya dengan gelar itu Datuk….”
“Persetan! Kau rupanya memang minta kupecat Daud!”
“Datuk, saya rasa saya sudah berusaha menjalankan tugas yang Datuk berikan
sebaik-baiknya. Hanya saja kita tidak mengira bahwa keadaan lain dari yang diduga.
Dimulai waktu kita menghadang Datuk Bandaro Sati di tepi Ngarai Sianok. Tiga
tulang iga saya sempat patah dan kini agaknya masih belum bertaut utuh. Kalau saya
bernafas panjang-panjang ngilu rasanya dada ini. Lalu lihat tangan kanan saya. Masih
gembung merah. Akibat pukulan sakti telunjuk penembus raga yang dilepaskan Datuk
itu….”
Orang di atas kuda yang bukan lain adalah Datuk Gampo Alam adanya
menyeringai. “Menjadi pembantuku berarti siap mengorbankan raga bahkan jiwa!
Jika kau tidak suka menyingkirlah dari hadapanku!”
“Saya tidak berkata tidak suka, Datuk. Kalau saja Datuk jauh-jauh hari dulu
sudah mengajarkan ilmu belut putih itu pada saya mungkin sudah saya bereskan anak
itu. Paling tidak saya tidak akan mengalami nasib sengsara seperti ini….”
Datuk Gampo Alam meludah ke tanah. Lalu menyentakkan lehernya tiga kali.
“Kau manusia tidak tahu diri! Jasa baru seujung kuku sudah meminta imbalan sebesar
gunung Merapi!”
Daud alias Hantu Mata Picak terdiam sebentar lalu dia berkata. “Ada satu lagi
yang ingin saya katakan Datuk. Waktu saya turun dari rumah gadang pada hari
perhelatan itu, pemuda Jawa bernama Wiro Sableng itu mengikuti saya. Di satu
tempat saya menghadangnya. Menghantamnya dengan dua pisau terbang sekaligus.
Serangan saya gagal. Saya susul dengan ilmu hitam ular Bira Satu dai dua pisau itu
berubah menjadi ular dan berhasil mematuknya. Tapi pemuda itu juga berhasil
membuat musnah ular jejadian itu. Untung saya masih sempat melarikan diri masuk
ke dalam terowongan Si Nago-Nago. Celakanya, entah dengan ilmu pukulan apa dia
menghantam selah satu bagian lorong hingga amblas dan menutup jalan masuk.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 33
Untung saya bisa menyelamatkan diri lewat lorong rahasia di sebelah Timur. Pemuda
itu berbahaya Datuk. Mungkin lebih bahaya dari kemenakan Datuk sendiri……”
“Berbahaya atau tidak, itu termasuk salah satu tugasmu untuk
menyingkirkannya.”
“Baik kalau begitu kata Datuk. Apa saya boleh minta diri sekarang.?”
“Setan! Aku belum menyuruhmu pergi. Ada satu tugas untukmu….?’
“Saya tahu. Datuk akan memerintahkan saya untuk mencari dan membunuh
Andana kembali….”
“Orang tolol macammu tak akan bisa menjalankan tugas itu. Kau sudah
membuktikan ketidak mampuanmu. Biar orang lain yang melaksanakan hal itu. Kau
cukup kusuruh menjalankan tugas mudah saja…..”
Meski dai merasa kini disepelekan dan dianggap randah namun Hantu Mata
Picak masih bertanya. “Tugas apa itu Datuk?”
“Cari Sati. Datangi rumahnya dan bunuh dia pada kejap pertama kau
melihatnya. Mengerti?”
“Maksud Datuk Sati pedagang cita keliling itu?”
“Setan! Apa ada dua orang bernama Sati di Pagaralam ini?! Dasar tolol!
Dungu! Pandir!” Datuk Gampo Alam sentakkan lehernya lalu membedal tali kekang
kuda tunggangannya.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 34
DELAPAN
Seorang tamu berpakaian bagus, didampingi oleh seorang pengawal menunggu
Datuk Gampo Alam di rumah gadang. Dia ternyata adalah Tumenggung Rajo Langit
penguasa di wilayah Batusangkar yang membawahi Pagaruyung, Pagaralam dan
sekitarnya.
“Harap maafkan saya Tumenggung. Kebetulan ada urusan penting di waktu
hampir bersamaan. Sudah lama Tumenggung datang?”
Tumenggung Rajo Langit menekuk mukanya yang sejak tadi tampak asam.
Dia senyum terpaksa lalu menjawab berbasa basi. “Belum berapa lama….”
“Rencana Tumenggung jadi dijalankan?”
“Orang-orang sudah saya kirim, mereka tahu di mana mencari anak itu.
Sekarang kalau Datuk tidak keberatan saya akan membicarakan hal lain….”
“Tentu saja. Kita bisa bicara panjang lebar sambil menunggu kabar. Namun
sebaiknya saya menyuruh orang di dalam menghidangkan kopi panas. Juga penganan
kesukaan Tumenggung.”
Tumenggung Rajo Langit mengangguk lalu dia memberi isyarat pada
pengawal yang duduk di sebelahnya dan berkata “kau boleh pergi. Tunggu aku di
bawah tangga….”
Tak lama kemudian dua cangkir besar kopi dihidangkan bersama sepiring
pisang goreng yang masih panas. Setelah meneguk kopi dan mencicipi goreng pisang
Tumenggung Rajo Langit membuka pembicaraan.
“Apakah masih ada persoalan yang menghambat rencana jual beli rumah
gadang ini Datuk……?”
“Dari pihak saya tidak. Tapi bagaimana dengan rencana Tumenggung tempo
hari?”
“Malam ini saya sudah mengirim selusin orang untuk menangkapnya. Mereka
bukan orang sembarangan. Empat diantaranya adalah pasukan dari Bukittinggi. Dua
dari mereka membawa senjata panjang bernama bedil yang didatangkan dari Jawa….
Selain itu ada seorang gagah berkepandaian tinggi dari Selatan yang dikenal dengan
julukan Anduang Mata Api.”
“Saya yakin sekali ini kita bisa menangkapnya. Begitu tertangkap malam ini
juga dia akan dibawa ke Batusangkar.”
“Penjara yang kuat sudah disiapkan untuknya. Dia tidak akan bisa lolos lagi!”
“Saya merasa lega Tumenggung mau bersusah payah….” kata Datuk Gampo
Alam pula. “Namun ada satu hal yang mungkin sudah Tumenggung ketahui….” kata
Datuk Gampo Alam pula. “Kemenakan saya itu darang kemari membawa seorang
teman dari Jawa. Ilmu silatnya tinggi. Salah seorang pembantu kepercayaan saya
hampir menemui ajal di tangannya.”
Mulut Tumenggung Rajo Langit tampak komat-kamit. “Pemuda keparat
itu….” katanya. “Dua kali dia berani mencari perkara dengan saya. Saya bersumpah
untuk menangkapnya juga! Membunuhnyapun tidak ada urusan!”
“Ah, jadi benar rupanya kabar yang saya dengar. Dia berani menyerang
Tumenggung….”
“Sampai dua kali. Pertama tak jauh dari telaga. Yang kedua di pekuburan.
Sewaktu saya menangkap tangan kemenakan Datuk bercinta-cinta dengan anak gadis
Mamak Rabiah…. Habis anak buah saya dihajarinya. Kalau tidak lekas saya
menyingkir……”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 35
“Maksud Tumenggung Bunga?” tanya Datuk Gampo Alam memotong katakata
sang Tumenggung dengan wajah berubah.
“Betul… Eh, saya lihat wajah Datuk berubah mendengar ucapan saya….”
“Sebetulnya saya sudah bertemu dengan Mamak Rabiah. Saya meminta agar
anaknya itu saya jadikan istri…. Dulu memang ada pergunjingan mengenai hubungan
gelap antara Bunga dan Andana. Tapi waktu itu mereka masih bisa dianggap anakanak.
Kini Bunga sudah dewasa. Saya tidak ingin ada laki-laki berani mengganggu
calon istri saya itu….”
Kini paras Tumenggung Rajo Langitlah yang berubah. Dalam hati
Tumenggung ini berkata Gila! Siapa menyangka tua bangka yang sudah punya empat
istri ini menginginkan gadis itu. Kalau aku tidak lekas bertindak, salah-salah aku
bisa kedahuluan!
Setelah mendehem beberapa kali sang Tumenggung berkata. “Rupanya kita
terpaut pada kembang yang sama Datuk.”
“Apa maksud Tumenggung?”
“Saya tidak tahu kalau Datuk jatuh hati pada gadis itu. Saya sendiri
sebenarnya sudah lama tertarik padanya. Tapi kini setelah tahu Datuk suka padanya ,
saya tidak berani bersaing. Saya hanya ingin mengajukan penawaran….”
Lama Datuk Gampo Alam menatap wajah Tumenggung Rajo Langit dengan
mulut setengah ternganga. Seperti orang yang di hadapannya tadi, sang Datuk juga
membatin. Mentang-mentang orang berpangkat enak saja dia berkata terangterangan
tertarik pada gadis itu. Apa dia menyangka kekuasaannya bisa
mendapatkan apa saja yang diinginkannya? Berbunuhanpun aku tak segan dengan
kambing buruk ini.
“Datuk, saya katakan saya ingin mengajukan penawaran,” mengulang
Tumenggung Rajo Langit.
“Penawaran apa?” tanya Datuk Gampo Alam.
“Biarkan saya mengawini Bunga. Sebagai ganti rugi akan saya tambah harga
jual beli rumah gadang berikut isinya ini…..”
Datuk Gampo Alam tersenyum pencong. Tumenggung setan! Kau mencari
perkara!
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya beberapa kali lalu berkata. “Kita
sudah lama bersahabat. Apalagi mengingat Tumenggung penguasa tertinggi di
wilayah ini. Saya tidak berani menolak keinginan Tumenggung memperistri Bunga.
Itu adalah urusan pribadi Tumenggung. Saya berterima kasih Tumenggung mau
membeli lebih dari yang sudah kita setujui…..” Manusia tak tahu diuntung. Habis kau
bayar harga rumah gadang ini akan kau rasakan apa yang bakal terjadi atas dirimu.
Tumenggung Rajo Langit angguk-anggukkan kepalanya. Lalu diteguknya
kopi sampai habis. Dia tidak menolak sewaktu Datuk Gampo Alam menawarkan
secangkir kopi lagi.
“Saya akan mempersiapkan uang pembayarang itu. Paling lambat dalam
waktu dua tiga hari di muka Datuk sudah mendengar kabar dari saya.”
Datuk Gampo Alam mengangguk.
Andana tengah melakukan sujud akhir sembahyang Maghrib ketika di luar
tiba-tiba menggemuruh suara kaki-kaki kuda. Ada tiga belas orang membanjiri
halaman di samping kiri surau. Dua belas orang turun dengan cepat. Sebagian dari
mereka langusng menuju pintu surau. Dua diantaranya membawa senjata panjang
yakini bedil kocok yang sudah diisi sebutir peluru. Beberapa lainnya mengurung
bangunan itu. Hanya satu orang saja yang turun dari kudanya dengan gerakan tidak
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 36
terburu-buru. Sikapnya tenang tapi kedua matanya mengawasi setiap sudut dengan
penuh waspada. Orang ketiga belas ini ternyata adalah seorang nenek berpakaian
galembong hitam yang biasanya dikenakan laki-laki. Mukanya lancip, kedua matanya
menonjol merah keluar. Sepintas tampang si nenek tiada beda dengan seekor
binyawak! Dialah orang yang dijuluki Anduang Mata Api itu! Sementara yang lainlain
bergerak sibuk, si nenek hanya tegak di bawah sebatang pohon seraya
merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.
Lima orang memasuki surau dengan cepat. Di saat itu Andana tengah
melakukan duduk tahajud akhir. Kekhusukannya bersembahyang membuat dia tidak
perduli dengan langkah-langkah berat yang menginjak lantai papan surau. Seolah
tidak apa-apa dia terus saja sembahyang. Lalu dia merasakan ada dua buah benda
keras dan dingin ditempelkan pada pelipisnya kiri kanan.
“Asyhadu Allah illa ha illallah….” Andana terus dengan sembahyangnya.
Telunjuk kanannya yang terletak di paha kanan diluruskannya. Ketika dia
mengucapkan salam dia tidak bisa memutar kepalanya ke arah kanan ataupun kiri
karena kepala itu tertahan oleh dua pucuk moncong bedil! Andana hanya bisa
mengucapkan salam tanpa dapat menoleh ke kanan dan ke kiri. Dengan tangan
kirinya diusapnya wajahnya. Kedua matanya dengan cepat membaca situasi. Lalu dia
menegur dengan sikap tenang.
“Manusia-manusia dari mana yang telah berubah menjadi iblis durhaka!
Mengganggu orang dalam sembahyang?!”
“Jangan banyak mulut! Kami mendapat perintah menangkapmu hidup atau
mati!” Orang yang memegang bedil di sebelah kanan membentak. Kawannya yang
sebelah kiri mengeluarkan sebuah rantai besi yang ada gemboknya. Benda itu
dilepmparkannya ke lantai di depan Andana lalu memerintahkan pada selah seorang
di dekatnya. “Ikat kedua tangannya! Kalau dia berani bergerak kutabur otak dalam
kepalanya!”
Orang yang diperintah masukkan goloknya ke sarung lalu cepat mengambil
rantai besi itu. Andana belum pernah melihat orang ditembak bedil. Namun dia
pernah mendengar bahwa senjata panjang itu bisa mengoyak dada, merobek perut dan
merengkahkan kepala! Dalam keadaan seperti itu yaitu dua moncong bedil sekaligus
menempel di kepalanya kiri kanan Andana tak berani berlaku ceroboh.
“Kalian orang-orang Tumenggung Rajo Langit?” bertanya Andana.
“Kambui wa-ang! Kalau sudah tahu siapa kami mengapa masih bertanya!”
bentak orang yang memegang bedil di sebelah kanan.
“Jangan banyak cakap. Ulurkan saja kedua tanganmu. Atau otakmu akan
bertaburan di lantai surau ini!”
Andana tampak seperti tersenyum. “Rupanya Tumenggung kalian itu masih
belum puas. Semua orang di Pagaralam ini tahu bahwa tuduhan pembunuhan atas
diriku dulu hanya fitnah busuk belaka….”
Dengan tenang Andana mengulurkan kedua tangannya. Sewaktu rantai besi
hendak diikatkan pada kedua lengannya, dalam hati Andana berkata. Kalian hanya
menjalankan perintah. Tapi kalau aku tidak memberi pelajaran pada kalian, kalian
bisa jadi keras kepala dan sewenang-wenang!
Rantai besi mulai dilingkarkan di kedua tangan Andana. Pada saat itulah tibatiba
terdengar suara siulan.
Menyusul bentakan keras.
“Manusia-manusia gila! Kalian seperti tidak ber-Tuhan! Menangkap orang di
rumah suci!”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 37
Atap surau yang terbuat dari ijuk berderik halus. Lalu tiba-tiba sekali lampu
minyak yang tergantung dekat pintu surau padam. Dalam keadaan yang gelap gulita
itu Andana serta merta jatuhkan tubuhnya ke lantai papan. Dua letusan menggelegar.
Andana merasakan sesuatu yang panas robek bahu kirinya. Dia menghantam sambil
menahan sakit. Terdengar suara orang menjerit di susul suara bergedebuk jathunya
satu dodok tubuh. Di sebelah atas suara seseorang menerobos masuk lewat celah
antara atap dan dinding lalu melayang ke bawah.
Setelah itu terlihat satu bayangan putih berkelebat kian kemari. Setiap kaki
atau tangannya bergerak satu korban roboh ke lantai.
Meski tidak dapat melihat jelas siapa adanya orang yang masuk ke dalam
surau itu nemun dari gerakannya yang sebat dan mengeluarkan suara menderu serta
bentuk potongan tubuhnya Andana sudah dapat menduga siapa adanya orang ini. Dia
segera menyambar sebuah bedil yang tercampak di lantai. Senjata ini dipegangnya di
bagian selongosng besinya. Dengan popor senapan itu lalu dia menghantam para
penyerang dalam kegelapan.
Tak lama kemudian suara hiruk pikuk perkelahian di dalam surau itu berhenti.
Kesunyian mencengkam. Di luar surau nenek berjuluk Anduang Mata Api
pencongkan mulutnya beberapa kali. Kedua tangannya masih dilipat di depan dada.
Tiba-tiba dari pintu surau melayang keluar satu sosok tubuh. Lalu satu lagi, satu lagi
sampai akhirnya kelihatan lima orang bergeletakan di halaman surau tanpa berkutik
lagi. Tiga orang pingsan berat. Satu mengerang dengan kening berlumuran darah.
Yang kelima agaknya tengah meregang nyawa. Di dalam surau tadi ketika dia
membabatkan goloknya menyerang orang berpakaian putih, tiba-tiba orang itu
mendahului dengan satu tendangan yang tepat mengenai lengannya. Golok yang
digenggamnya berbalik menghantam perutnya sendiri. Ususnya berbusaian!
Tujuh orang ang berada di halaman surau cepat mendatangi kelima kawan
mereka yang dalam keadaan babak belur itu. Mereka bergidik melihat kawan yang
tengah meregang nyawa dengan usus menjela-jela.
Sementara itu perempuan berjuluk Anduang Mata Api masih tetap tak
bergerak di tempatnya di bawah pohon. Hanya kedua alis matanya saja yang tampak
bergerak-gerak naik ke atas. Lalu dia berkata dengan suara keras.
“Apakah kalian ingin menjadi kucing buta dan bisu? Empat kawan kalian
dihajar orang sampai tak sadarkan diri. Yang satu malah dibunuhi! Kalian hanya
berdiri menonton! Jika kalian tidak berbuat sesuatu rasanya lebih baik aku mengepruk
kepala kalian satu persatu!”
Mendengar kata-kata si nenek, tujuh orang yang berada di halaman surau serta
merta bergerak. Mereka berserabutan menuju pintu surau. Siap menyerang Andana
yang ada di dalam sana. Namun tiba-tiba sekali dari dalam surau terdengar suara
menderu. Si nenek Anduang Mata Api mengerenyit. Tujuh orang yang coba
memasuki surau terlempar ke hadapannya sebelum mereka sempat mencapai pintu
seolah-olah disambar angin topan dahsyat! Ketujuhnya kemudian malang melintang
berkaparan di tanah. Meskipun banyak diantara mereka yang cidera namun nasib
mereka jauh lebih baik dari lima kawan mereka terdahulu. Yang tujuh ini hanya
babak belur tapi tak ada yang sampai menemui ajal!
Anduang Mata Api batuk-batuk beberapa kali ketika dari dalam surau
dilihatnya Andana keluar sambil memegang bahu kirinya. Bajunya nampak sobek di
bahu dan ada warna merah tanda tubuhnya terluka. Sewaktu menjatuhkan firi
menyelamatkan kepalanya dari ancaman dua buah bedil kocok, peluru salah satu bedil
itu masih sempat menghajar bahu kirinya. Walaupun meleset tapi peluru senjata itu
telah merobek baju dan daging bahunya.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 38
Anduang Mata Api menggigit-gigit bibirnya sendiri sewaktu melihat ternyata
ada dua orang pemuda yang keluar dari dalam surau. Sebelumnya dia tidak pernah
melihat Andana. Sesaat dia jadi bingung sendiri.
Eh, dua pemuda itu punya wajah mirip satu sama lain. Perawakan mereka
juga serupa. Sialan kenapa Tumenggung tidak mengatakan kalau ada dua lawan
bukan cuma satu! Aku harus minta bayaran lebih besar kalau begini. Tapi…..ada
juga senangnya aku ikut campur urusan ini. Dua pemuda di hadapanku ini samasama
punya tampang gagah. Badan mereka sama-sama kukuh.
“Hemmmm…… hasrat mudaku kembali berkobar. Kalau aku dapat salah satu
saja di antara mereka….” Begitu si nenek membatin.
Sementara itu Wiro berbisik pada Andana. “Ada perempuan tua bermuka
binyawak di depan kita. Hati-hati sahabat. Gerak geriknya menyataka dia seorang
berkepandaian tinggi. Dia pasti dedengkot penyerangan ini!”
“Firasatmu sama denganku. Cuma belum jelas apa dia kaki tangan
Tumenggung Rajo Langit atau Pamanku Datuk Gampo Alam.”
“Mungkin dua-duanya,” kata Wiro pula.
Si nenek maju beberapa langkah. Andana dan Wiro lakukan hal yang sama.
Mereka sama-sama tegak saling tatap terpisah dalam jarak lebih dari sepuluh langkah.
Untuk beberapa saat lamanya suasana di halaman surau yang agak gelap itu
dicengkram kesunyian. Tapi ini tidak berjalan lama. Setelah puas memperhatikan dua
pemuda gagah itu si nenek tiba-tiba bertanya dengan suara keras.
“Yang mana di antara kalian bernama Andana, kemenakan Datuk Gampo
Alam?! Dan punya gelar sombong, menganggap diri bergelar Harimau Singgalang!”
Belum sempat Andana menjawab, Wiro sudah angkat tangan kirinya.
“Menurutmu siapa di antara kami yang pantas jadi Harimau Singgalang?!”
Anduang Mata Api melirik pada Wiro lalu tersenyum. “Kau pasti bukan sang
kemenakan. Lidahmu seolah terbuat dari seng. Logat bicaramu seperti orang yang
tengah makan galamai!” (galamai = dodol)
Wiro tertawa. “Nenek, mulutmu pandai bicara dan ternyata otakmu cerdik
juga. Kau yang berwajah saperti galamai, jadi kau orangnya yang bertindak sebagai
pemimpin dari baruak-baruak yang dua belas orang ini! Siapa yang membayarmu
melakukan perbuatan keji ini?!” (baruak = monyet)
Anduang Mata Api tentu saja marah sekali wajahnya dikatakan seperti dodol.
Tapi si nenek tidak segera mendamprat melainkan mendongakkan kepalanya.
Dari mulutnya keluat suara tawa mengekeh disusul ucapan “Orang banyak
mulut kabarnya lama matinya. Tapi sekali lagi kau berani bicara kurang ajar, umurmu
kulipat jadi pendek! Kau dengar itu anak muda?!”
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya dan balas tertawa. Ketika
dia hendak membuka mulut di sampingnya Andana mendatangi dan berbisik.
“Sahabat, saya ada urusan sangata penting yang harus dikerjakan.” Rupanya
Andana baru ingat akan perjanjiannya dengan Sati. “Saya harap kau tidak keberatan
mengurus binyawak perempuan ini. Saya harus pergi sekarang….. Hati-hati. Tua
bangka ini agaknya bukan galamai atau dodol yang empuk.”
Bisikan Andana itu rupanya terdengar oleh Anduang Mata Api. “Kemenakan
Datuk Gampo Alam!” katanya cepat. “Aku mendapat perintah untuk menagkapmu
hidup atau mati! Aku masih punya rasa belas kasihan menangkapmu hidup-hidup!
Tapi jika kau berani bergerak satu langkah saja, kuhabisi kau kejap ini juga!”
“Siapa yang memberimu perintah?!” tanya Andana tenang.
“Berapa kau dibayar nenek galamai?!” ikut menukas Wiro Sableng sambil
menyeringai.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 39
Rahang dan pipi si nenek tampak menggelembung. Kedua matanya menjadi
merah laksana bara api di malam gelap.
“Siapa memberiku perintah atau berapa aku dibayar bukan urusan kalian! Kau
kemenakan Datuk Gampo Alam jelas-jelas manusia buronan yang harus ditangkap
dan dijebloskan dalam penjara!”
Wiro keluarkan suara berdecak berulang kali. “Nek, lagakmu sudah
keterlaluan. Kau hanya disuruh orang. Tidak mengetahui apakah sahabatku ini benar
pembunuh atau bukan!”
Murid Sinto Gendeng ini kemudian berpaling pada Andana.
“Pergilah cepat. Jika dia berani menghalangi akan kita lihat apa yang hendak
dilakukannya!”
Mendengar ucapan sahabatnya itu tanpa menunggu lagi Andana segera
berkelebat namun si nenek dengan kecepatan luar biasa melesat memotong gerakan
pendekar bergelar Harimau Singgalang itu.
Wiro tak tinggal diam. Dia segera melompat memapas gerakan si nenek
sambil mendorongkan dua tangannya ke depan, Anduang Mata Api mendengar deru
halus. Dia berseru kaget ketika satu gelombang angin melanda dirinya, membuat dia
sempoyongan.
Astaga, anak celaka ini ternyata memiliki tenaga dalam luar biasa! Keluh
Anduang Mata Api. Sebelum tubuhnya tersapu pukulan “benteng topan melanda
samudera” yang dilepaskan Wiro perempuan tua ini cepat menyingkir dengan
membuat lompatan ke samping. Dari samping dengan gerakan kilat dia kirimkan satu
serangan ke arah Pendekar 212. Tapi sewaktu dilihatnya Andana berkelebat pergi, dia
memutuskan membereskan pemuda buruannya itu lebih dulu. Dari tenggorokannya
terdengar suara menggembor. Kedua matanya yang merah membara diarahkan pada
Andana. Kepalanya digoyangkan.
Wuuuttttt! Wuuuuuuut!
Dua buah cahaya lurus berwarna merah kebiruan melesat dari sepasang mata
si nenek, menyambar ke arah punggung Anadana.
“Andana! Awas! Teriak Wiro.
Tanpa diperingatkanpun sebenarnya putera Datuk Bandaro Sati itu sudah
mengetahui bahaya yang mengancam.
Sambil melompat ke balik sebatang pohon besar Andana tusukkan telunjuk
tangan kanannya ke depan. Dalam gelap terdengar suara menderu dahsyat disertai
berkiblatnya satu sinar biru.
Sinar biru ini melesat menyongsong dua larik sinar merah yang keluar dari
sepasang mata Anduang Mata Api.
Wiro yang sudah gatal tangan tak tinggal diam. Dia hantamkan tangan
kanannya ke arah titik pertemuan sinar-sinar sakti itu. Cahaya putih menyilaukan
yang disertai hawa panas menderu menggidikkan. Itulah pukulan “sinar matahari”!
Dentuman dahsyat laksana kepundan meledak menggelegar di tempat itu.
Andana terdengar berseru keras lalu tubuhnya lenyap dari balik batang pohon besar.
Anduang Mata Api menekapkan kedua tangannya pada kedua matanya yang terasa
ditusuk-tusuk. Wiro sendiri berdiri tergontai-gontai.
Daun-daun pepohonan runtuhan berguguran. Ranting dan cabang pohon patah
berjatuhan. Pada batang pohon di balik mana tadi Andana berlindung kelihatan dua
buah lobang hitam.
Lobang-lobang itu terjadi akibat hantaman dua larik sinar merah kebiruan
yang keluar dari mata Anduang Mata Api. Dapat dibayangkan kalau sinar itu
mendarat di tubuh manusia!
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 40
Sadar kalau Andana tak dapat dihalanginya lagi, si nenek menumpahkan
seluruh kemarahannya pada Pendekar 212 Wiro Sableng!
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 41
SEPULUH
Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah menghadapi kemarahan nenek
bermuka binyawak bernama Anduang Mata Api itu. Mari kita ikuti kepergian Andana
menemui pedagang cita keliling bernama Sati dari siapa dia mengharap dapat
mengetahui orang yang telah membunuh Ayahnya.
Begitu Andana muncul di ujung jembatan batang kelapa, Sati segera ekluar
dari tempat gelap. “Sudah habis saya dimakan nyamuk. Mengapa lama benar Angku
Mudo datang?”
“Orang-orang suruhan Tumenggung Rajo Langit menyerbu saya di surau.
Mereka berusaha menangkap saya. Tak perduli hidup atau mati!”
Sati tempak terkejut. “Keji sekali tindakan mereka. Berani berbuat huru hara
dalam rumah suci! Astaga, saya lihat bahumu terlukan Angku Mudo….”
“Disambar pelor……”
“Pelor? Hampir tak percaya saya…..!”
“Ada dua penyerbu membawa bedil yang kabarnya didatangkan dari Jawa.”
Andana terdiam sebentar. “Sudahlah, sekarang kita segera ke rumahmu. Saya akan
buktikan bahwa benar-benar ada orang yang menginginkan kematianmu.”
Malam merayap perlahan. Dingin dan sunyi. Dalam kegelapan yang
menghitam, diantar oleh hembusan angin malam, empat bayangan berkelebat menuju
sebuah rumah yang terletak di lembah kelam sunyi. Empat orang ini bergerak tanpa
suara seolah menyatu dengan kegelapan malam. Di depan sekali bergerak orang
tinggi besar bermuka garang dan hanya puna satu mata serta satu daun telinga. Dia
bukan lain adalah Daud alias Hantu Mata Picak, tangan kanan dan kepercayaan Eatuk
Gampo Alam. Tiga orang di belakangnya adalah anak buahnya.
Beberapa belas langkah dari rumah di dalam lembah Hantu Mata Picak
memberi isyarat. Tiga anak buahnya berhenti. Dia cepat berbisik “Ada nyala lampu
minyak di dalam rumah. Berarti ada orangnya. Kelian bertiga lekas menyebar. Aku
akan masuk dan menabas leher manusia itu. Beri tanda dengan suitan jika ada orang
yang datang…..”
Tiga anak buah Hantu Mata Picak mengangguk lalu mereka cepat menyebar.
Hantu Mata Picak melangkah ke pintu belakang rumah. Lewat celah-celah dinding
dia melihat lampu minyak menyala di ruangan tengah. Selain dari itu rumah di tengah
lembah itu berada dalam keadaan sunyi senyap. Hantu Mata Picak terus mengintai. Di
salah satu sudut rumah ada sebuah balai-balai. Di atas balai-balai ini samar-samar
tampak sesosok tubuh tengah tidur nyenyak.
Hantu Mata Picak tak menunggu lebih lama. Dikeluarkannya sebilah golok
dari balik pinggangnya. Dengan benda ini, tanpa suara sama sekali dia mencongkel
pintu belakang lalu menyelinap masuk dengan cepat. Dia langusng menuju balai-balai
dimana terbujur sosok tubuh berselubung selimut. Tangan kanannya yang memegang
golok diangkat tinggi-tinggi. Senjata itu lalu dibacokkan dengan deras. Yang diarah
adalah bagian batang leher.
Crassss!
Tubuh di bawah selimut tak bergerak. Tak ada darah yang muncrat
membasahi selimut atau mengucuri tempat tidur. Hantu Mata Picak mengeluarkan
seruan heran. Dengan tangan kirinya diangkatnya selimut itu. Yang dilihatnya bukan
leher manusia yang luka parah apa lagi terbabat putus, melainkan hanya sebuah bantal
guling yang robek besar dan ketika diangkat kapuknya berhamburan kian kemari.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 42
“Kurang ajar! Aku kena tertipu!” Hantu Mata Picak memaki marah.
Digeledahnya seluruh rumah. Namun di rumah itu memang tidak ada siapapun.
Saking marahnya Hantu Mata Picak menghantami apa saja yang ada di dalam rumah
dengan goloknya. Mendengar ribut-ribut tiga orang anak buahnya segera masuk dan
bertanya apa yang terjadi.
“Bangsat itu tidak ada di sini! Dia menipu dengan guling yang diselimuti!”
“Berarti dia sudah tahu bahaya mengancam dirinya Daud,” kata salah seorang
anak buah Hantu Mata Picak menyebut nama pimpinan mereka itu.
“Kelihatannya ini bukan kerja satu orang,” berkata teman di sebelahnya.
“Aku tidak yakin Sati punya akal dan keberanian berbuat begini! Kita bakar
saja rumah ini!”kata yang satunya lagi. Lalu diambilnya lampu minyak yang
tergantugn di dinding. Ketika minyak hendak diguyurkan ke lantai papan, tiba-tiba
entah dari mana munculnya satu tangan yang kokoh menarik lengannya. Di lain kejap
anak buah Hantu Mata Picak merasakan tubuhnya dibetot ke samping baru terlempar
ke luar rumah lewat jendela yang jebol dan hancur berantakan. Lampu minyak yang
tadi dipegangnya, sebelum terlempar jatuh mengguyur pakaiannya. Celakanya ketika
lampu kemudaian terlepas nyala apinya jatuh di bagian pakaian yang telah basah oleh
minyak itu. Tak ampun lagi apipun berkobar menyulut pakaian dan tubuh orang itu.
Dia berteriak-teriak sambil bergulingan di tanah coba memadamkan api. Namun perut,
dada dan pangkal lehernya sedah keburu terbakar sebelum api padam!
Hantu Mata Picak dan dua orang anak buahnya yang masih ada di dalam
rumah dan kini dalam keadaan gelap gulita tentu saja terkejut bukan alang kepalang.
Sang pemimpin cepat menyadari bahayanya kalau berada di tempat gelap sementara
ada seorang musuh mengintai di tempat yang sama serta merta dia menghambur
keluar rumah lewat pintu belakang, diikuti salah seorang anak buahnya. Anak
buahnya yang satu lagi melompat lewat jendela. Ketiganya sampai di halaman
samping berbarengan. Kaget ketiga orang ini semakin memuncak ketika di halaman
itu tahu-tahu mereka berhadapan dengan seorang pemuda berpakaian serba putih,
berambut gondrong dan tegak sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. Di
mulutnya tersungging senyum mengejek.
“Harimau Singgalang!” kata salah seorang anak buah Hantu Mata Picak.
Hantu Mata Picak tertawa mengejek. “Anak-anak, gelar tidak pantas bagi
seorang pembunuh dan buronan penjara Batusangkar seperti dia!”
Andana menyeringai. “Jadi kau rupanya yang selama ini gentayangan
berusaha hendak membunuhku. Mulai dari ular berbisa, picau beracun, lalu sirih yang
diberi racun kala hutan! Siapa yang memperbudakmu?!”
“Bangsat! Aku tidak merasa diperbudak siapapun! Manusia seprtimu patut
dilenyapkan dari muka bumi. Kehadiranmu di Pagaralam hanya mendatangkan
keonaran!”
Andana tertawa pendek mendengar kata-kata Hantu Mata Picak itu. “Dulu
kabarnya kau pernah berdandan seperti perempuan, memakai selendang dan baju
kurung warna kuning. Apa sekarang kau sudah berhenti jadi banci? Masih untung kau
selamat dari tanah bukit yang diruntuhkan kawanku tempo hari. Tapi dasar manusia
tak tahu diri. Diberi selamat oleh Tuhan malah kini makin semena-mena! Aku tahu
kau adalah kaki tangan Datuk Gampo Alam!”
Hantu Mata Picak mendengus. “Apa yang kau ketahui cukup hanya sampai
malam ini Andana! Besok kau boleh bicara banyak di alam barzah!” Habis berkata
begitu Hantu Mata Picak lalu melompat sembari membabatkan goloknya.
Serangannya memiliki kuda-kuda yang kuat dan ayunan goloknya mengeluarkan
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 43
suara menderus serta tebaran angin dingin. Terlambat saja Andana mengelak niscaya
bahi kirinya bisa putus dihantam sambaran senjata itu.
Geram melihat serangannya bisa dielakkan lawan, didahului dengan bentakan
garang untuk kedua kalinya Hantu Mata Picak melancarkan serangan. Dua orang anak
buahnya kini juga tak tinggal diam.
Yang satu menghunus sebilah parang berkeluk, yang kedua mengeluarkan
sebatang tongkat besi yang ujungnya bercabang dua berbentuk pipih seperti mata
pisau. Tiga serangan yang datang dari tiga jurusan menggempur Harimau Singgalang
laksana curahan air hujan. Dua orang lelaki yang iktu mengeroyok memang
merupakan orang-orang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya di antara sekian
banyak anak buah Hantu Mata Picak. Disamping itu Hantu Mata Picak sendiri juga
menguasai ilmu golok tingkat tinggi dan gerakannya sangat sebat. Mau tak mau murid
Datuk Alis Merah dari Asahan ini dipaksa harus berhati-hati. Pakaian bahkan rambut
di kepalanya sesekali berkibar-kibar disapu angin tiga senjata lawan.
Breettt!
Breettt!
Memasuki jurus ke tujuh golok di tangan Hantu Mata Picak merobek baju
putih Andana di bagian lambung. Robekan kedua terjadi di dekat ketiak kirinya akibat
tusukan tongkat besi bermata dua anak buah Hantu Mata Picak.
Andana merasa tengkuknya dingin. Terlambat saja dia membuat gerakan
mengelak, salah satu serangan itu pasti sudah merobek tubuhnya! Menyadari keadaan
yang sangat berbahaya ini Andana segera keluarkan ilmu silat yang dipelajari dari
gurunya Datuk Alis Merah di tanah Asahan. Ilmu silat ini bernama ilmu silat
Kumango Tujuh Serangkai. Ilmu silat Kumango merupakan ilmu silat yang mendasar
dan banyak dikuasai para pendekar di tanah Minang bahkan sampai ke pesisir Selatan
dan Timur. Demikian mendasarnya ilmu silat Kumango hingga segala kekuatan
maupun kelemahannya banyak diketahui orang. Akibatnya ilmu silat ini dianggap tak
banyak berguna dan kemampuannya lagi hingga jarang yang mau mempelajarinya.
Tetapi seorang Datuk di Utara yaitu Datuk Alis Merah justru berusaha menegakkan
kehebatan ilmu silat ini dengan menciptakan ilmu silat baru yang mendasarkan
gerakannya pada ilmu silat Kumango lama. Dia menyusun tujuh jurus aneh. Dari
tujuh jurus ini bisa dikembangkan masing-masing tiga jurus baru hingga keseluruhan
jurus berjumlah dua puluh satu. Setiap jurus diolah begitu rupa hingga dasar
gerakannya berlawanan dengan dasar gerakan ilmu silat Kumango lama, diberi
tambahan dasar kuda-kuda yang kokoh serta gerakan tangan yang disertai tenaga
dalam.
Andana memainkan jurus demi jurus menghadapi tiga lawannya yang
bersenjata sementara dia sendiri masih mengandalkan tangan kosong. Memasuki jurus
keenam belas pemuda ini merasakan serangan lawan mulai dapat ditahannya. Dua
anak buah Hantu Mata Picak kelihatan seperti berlomba untuk dapat menyarangkan
senjata mereka di tubuh atau kepala Andana. Namun gerakan mereka sudah
dipengaruhi kemarahan berlebihan hingga tidak memakai perhitungan lagi. Hal ini
terjadi karena sekian lama menggempur mereka tak sanggup untuk mendekati lawan,
apalagi melukainya. Sebaliknya kaki dan tangan Andana acap kali menyusup
menembus pertahanan mereka hingga serangan mereka sering menjadi mentah dan
gerakan keduanya menjadi kacau. Hantu Mata Picak yang juga merasakan
mengendurnya daya serangannya akibat ilmu silat si pemuda yang sulit diterkanya
kini mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya hingga tubuhnya yang besar itu
laksana seekor alap-alap, berkelebat kian kemari. Golok di tangannya menyambar
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 44
menderu-deru. Kelihatannya dia mulai dapat menggoyahkan pertahanan Andana.
Namun Hantu Mata Picak salah menduga.
Putera Almarhum Datuk Bandaro Sati itu dengan cerdik mengarahkan
serangan-serangan gencarnya pada anak buah Hantu Mata Picak yang memegang
tongkat besi bercabang dua. Senjata ini merupakan senjata terpanjang diantara tiga
senjata para pengeroyok, jadi merupakan senjata paling berbahaya karena mampu
mencapai dirinya dari jarak jauh sekalipun. Begitu lawan terdesak hebat, Andana
susupkan satu tendangan ke perutnya. Selagi lawan terjajar ke belakang sambil
meraung kesakitan dan tak berani lagi memasuki kalangan perkelahian, Andana
merampas tongkat besinya. Dengan senjata ini kini Andana menghadapi Hantu Mata
Picak dan seorang anak buahnya. Pemuda ini mengamuk laksana kesetanan. Dua
jurus menggempur parang berkeluk di tangan anak buah Hantu Mata Picak mentak ke
udara. Selagi lawan tampak kebingungan Andana hujamkan ujung tongkat yang
berbentuk dua bilah pisau itu ke arah perutnya! Orang ini membuka mulutnya lebarlebar
seperti hendak berteriak. Kedua matanya mendelik. Mimik mukanya
mengerikan. Namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ketika tusukan tongkat
besi dilepaskan tubuhnya langsung roboh. Perutnya robek besar dan usus besarnya
tampak menggelembung mengerikan.
Anak buah Hantu Mata Picak yang tongkat besinya kena dirampas kini berada
di tangan Andana terbungkuk-bungkuk berusaha memungut parang berkeluk milik
kawannya yang terlepas mental dan tergeletak di tanah. Tapi gerakannya tidak lepas
dari perhatian Andana. Begitu jari-jarinya menyentuh gagang parang, tumit kaki
kanan Harimau Singgalang menghantam keningnya dengan telak. Orang ini
terjengkang ke tanah. Sesaat kedua tangannya melejang-lejang lalu tubuhnya tak
berkutik lagi. Kepalanya rengkah. Darah menggelimangi wajah bercampur lelehan
cairan otak!
Harimau Singgalang putar tubuhnya dengan cepat sambil melintangkan
tongkat besi di atas kepalanya ketika dia mendengar di belakangnya ada suara
menderu. Betul seperti dugaannya. Hantu Mata Picak kirimkan serangan membokong
dengan golok besarnya. Dua senjata yang sama-sama terbuat dari besi itu saling
bentrokan di udara, mengleluarkan suara keras serta percikan bunga api yang terang
di dalam kegelapan malam.
Golok di tangan Hantu Mata Picak patah dua dan terlepas mental dari
genggamannya. Sebaliknya tongkat besi yang dipegang Andana hanya gompal sedikit.
Andana adalah seorang pendekar sejati. Melihat lawan tidak lagi bersenjata dia segera
membuang tongkat besi berujung sepasang pisau itu. Namun ayunan dari bentrokan
tadi masih sempat menghantam ke bawah sesaat setelah dia melepaskan senjata ini.
Hantaman ini justru mengarah kepala Hantu Mata Picak. Andana jadi terkesiap dan
tidak sempat berbuat apa-apa. Namun di hadapannya Hantu Mata Picak tampak
tenang saja. Kedua tangannya diangkat ke atas untuk menangkap tongkat besi itu.
Astaga! Ilmu apa yang dimiliki manusia jahat ini! Kedua tangannya merah
membara sampai sebatas pergelangan! Andana menyaksikan perubahan kedua
tangan manusia bermata satu itu dengan terkejut. Ketika tongkat besi itu ditangkapnya
terdengar suara mendesis panjang. Hantu Mata Picak menyeringai. Tongkat besi yang
dipegangnya ikut membara mengepulkan asap. Sekali dia menggerakkan kedua
tangannya yang merah membara itu, tongkat besi melengkung membentuk setengah
lingkaran.
Hantu Mata Picak tertawa mengekeh. Tongkat besi dicampakkannya ke tanah.
Lalu dia melompat menyerang Andana. Kedua tangannya yang telah berubah menjadi
bara panas itu berkelebat ke arah leher Harimau Singgalang.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 45
SEBELAS
Kalau besi saja bisa dibuat membara dan leleh, dapat dibayangkan apa yang
terjadi dengan batang leher Andana kalau sampai kena cengkeram sepasang tangan
Hantu Mata Picak!
Ilmu Bara Neraka! Kata Andana dalam hati. Kedua tangan lawannya berubah
menjadi merah membara dan panas luar biasa. Dari mana manusia celaka ini
mendapatkan ilmu itu? Namun Harimau Singgalang tidak dapat berpikir panjang. Dia
harus menyelamatkan diri. Dua tangan Hantu Mata Picak berkelebat ganas. Andana
cepat melompat mundur ke dekat sebatang pohon. Lawan memburu dengan menebaw
telapak tangan kanannya. Sekali lagi Andana mengelak. Tabasan tangan melabrak
pohon.
Wusss!
Kraaak!
Batang pohon itu bukan saja terbakar dikobari api tapi juga patah lalu
tumbang dengan suara menggemuruh.
“Pemuda keparat!” maki Hantu Mata Picak penuh geram karena lawan untuk
kedua kalinya berhasil mengelakkan serangannya. “Apa kau kira bakal bisa lolos dari
tanganku? Kau akan mampus dengan tubuh lumat sampai ke tulang belulangmu!”
Hantu Mata Picak menutup makiannya sambil mendorongkan kedua tangannya yang
membara ke depan.
Wusss! Wusss!
Dua larik sinar merah menderu ke arah Andana.
Di seberang sana Andana memasang kuda-kuda. Lututnya membengkok
sedang tubuhnya agak membungkuk. Tiba-tiba pemuda ini tusukkan jari tangan kiri
kanan ke arah datangnya serangan dua larik sinar merah. Dua gelombang lidah api
menderu dahsyat mengjutkan Hantu Mata Picak. Matanya yang Cuma satu mendelik
besar ketika melihat bagaimana dua gelombang lidah api dari pukulan sakti Inti Api
yang dilepaskan Andana menghantam buyar dua larik sinar merah panas pukulan
Bara Neraka yang dihantamkannya pada pemuda itu. Hantu Mata Picak kerahkan
habis-habisan seluruh tenaga dalamnya agar pukulan Bara Nerakanya bisa bertahan
dan menghantam lawan kembali. Namun dia kalah kekuatan. Ketika Andana
mendorongkan dua jari telunjuknya ke depan, dua lidah api menggemuruh.
Hantu Mata Picak menjerit keras. Sekujur tubuhnya dikobari api. Dia berusaha
memadamkan api yang membakar badannya itu dengan menjatuhkan diri di tanah lalu
bergulingan. Namsibnya masih untung karena di dekat sana ada sebuah parit dangkal.
Tanpa pikir panjang Hantu Mata Picak mencemplungkan dirinya ke dalam parit.
Begitu api oadam dia cepat berdiri lalu melarikan diri dari tempat itu. Andana
mengejar. Telunjuk tangan kanannya di arahkan ke punggung orang. Namun pukulan
Inti Api tak jadi dilepaskannya. Dia merasa tidak enak membokong seperti itu. Dia
pasti mati! Dia tidak bakal bisa selamat dari luka bakar yang dahsyat itu! Kata
Andana dalam hati. Dia membungkuk memungut sebuah benda yang tadi jatuh ke
tanah sewaktu Hantu Mata Picak bergulingan sambil menjerit-jerit. Benda itu ternyata
adalah sebilah pisau yang gagangnya berbentuk ukiran tengkoran manusia.
Hemmm…… Kini kudapatkan buktinya. Jadi memang dia yang membunuh
Udin Burik orang yang bersaksi palsu di hadapan Tumenggung bahwa akulah yang
telah membunuh Sarkam! Dia juga yang memasang senjata rahasia ini di rumah
gadang untuk membunuhku!
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 46
“Angku Mudo,” tiba-tiba terdengar suara Sati si pedagang cita keliling di
samping Andana. “Kenapa tidak Angku Mudo bunuh sekalian manusia setan itu!
Membiarkannya hidup sangat berbahaya!”
“Luka bakar yang parah itu akan merengut nyawanya. Kalaupun dia bisa
hidup dia akan cacat seumur-umur. Siksaan itu lebih ganas dari kematian…..”
“Tapi Angku Mudo, justru manusia jahanam itulah yang ikut membantu
membunuh Ayah Angku Mudo!” kata Sati pula.
Andana membalikkan tubuhnya. Dia seperti mendengar petir di liang
telinganya.
“Apa katamu Sati?! Saya mencarimu justru untuk meminta keterangan
menyangkut rahasia kematian Ayah saya! Kalau barusan kau katakan Hantu Mata
Picak ikut membantu membunuh Ayah saya, lalu siapa yang dibantunya? Siapa
sebenarnya yang membunuh Ayah saya? Tumenggung Rajo Langit?!”
Andana terbeliak heran ketika melihat Sati gelengkan kepalanya. Tidak
sabaran dipegangnya kedua bahu Sati, digoyang-goyangkannya hingga Sati berteriak
kesakitan.
“Lekas katakan siapa pembunuh Ayah saya!”
“Datuk Gampo Alam. Mamak Angku Mudo sendiri!” jawab Sati.
Mulut Andana tampak ternganga. “Saya sudah menduganya tapi saya
berusaha untuk tidak mempercayainya! Ternyata kini…. Sati, kau melihat sendiri
kejadian itu? Ceritak pada saya!” kata Harimau Singgalan hampir berteriak. Kembali
tubuh pedagang cita keliling yang kerempeng itu diguncangnya.
“Saya menyaksikan sendiri Angku Mudo. Saat itu saya dalam perjalanan ke
Bukittinggi. Terjadinya di tepi Ngarai Sianok. Saya saksikan Ayah Angku Mudo
dikeroyok oleh Hantu Mata Picak dan Datuk Gampo Alam. Satu saat Hantu Mata
Picak berhasil menyergap Ayah Angku Mudo dari belakang. Dalam keadaan tidak
berdaya seperti itu Datuk Gampo alam datang dari depan. Diambilnya keris Tuanku
Ameh Nan Sabatang. Dengan senjata itu ditikamnya tubuh Ayah Angku Mudo
bertubi-tubi secara biadab. Darah mengucur mengerikan dari belasan luka menganga.
Saya lihat Ayah Angku Mudo roboh ke tanah dengan keris masih menancap di dada
Datuk Bandaro Sati…. Sementara itu Datuk Gampo Alam dan Hantu Mata Picak
sudah melarikan diri.”
“Jahanam! Manusia-manusia biadab itu akan kuhabisi! Tak ada ampunan bagi
mereka! Aku bersedia masuk neraka atas dosa membunuh keduanya!” Suara Andana
bergetar keras. Tubuhnya seperti menggigil dan wajahnya yang tampan tampak
mengelam.
Sati untuk beberapa lamanya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala.
“Setelah itu saya melihat satu kejadian aneh Angku Mudo,” katanya kemudian.
“Kejadian aneh? Kejadian aneh macam mana maksudmu?” tanya Andana.
“Dari dasar Ngarai Sianok tiba-tiba saya melihat berkelebat satu sosok
berpakaian putih ke arah tubuh Datuk Bandaro Sati yang tergeletak di tanah. Tak
dapat saya pastikan siapa adanya sosok tubuh ini. Entah malaikan entah setan.
Mahluk ini membelakangi saya. Sesaat kemudia dia memandangi tubuh Ayah Angku
Mudo. Lalu saya lihat dia membungkuk, mencabut keris yang menancap di dada
Ayah Angku Mudo. Juga memungut sarung keris yang tercampak di tanah. Setelah itu
seperti terbang dia melesat ke langit. Ke arah matahari. Saya berusaha mengikuti
gerakannya. Tapi sinar matahari menyilaukan mata saya. Orang itu lenyap entah
kemana. Saya sendiri sudah tidak dapat lagi menahan takut lalu lari dari tempat itu….”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 47
Kedua rahang Andana tampak menggembung. Terbayang kembali di matanya
kejadian sewaktu ayahnya muncul di atas batu besar di tempat kediaman Datuk Alis
Merah.
“Sati, ada satu hal yang ingin saya tanyakan,” kata Andana setelah berdiam
diri beberapa ketika. “Soal rumah gadang. Saya mendapat keterangan bahwa Mamak
saya akan menjual rumah itu pada Tumenggung Rajo Langit….”
“Saya tahu hal itu. Semua orang di Pagaralam ini tahu.”
“Menurut Rukiah, istri termuda Datuk Gampo Alam, rumah itu kabarnya akan
dijual pada seseorang dari Jawa. Kau tahu juga hal itu Sati?”
Sati mengangguk.
“Saya tidak mengerti. Mengapa Mamak saya tidak langsung saja menjualnya
pada orang Jawa itu.”
“Karena Paman Angku Mudo itu tidak tahu tahasia yang ada di balik semua
itu,” kata Sati pula.
“Rahasia? Rahasia apa maksudmu Sati?” tanya Andana heran.
“Saya mendengar kabar angin. Betul tidaknya walahualam. Kabar itu
mengatakan bahwa tepat di bawah rumah gadang, terkubur dalam tanah, terdapat
sejumlah harta karun berupa potongan-potongan emas….”
“Sulit saya mempercayainya!” ujar Andana.
“Orang dari Jawa itu kabarnya memiliki sebuah peta mengenai letak kuburan
harta karun itu. Dalam peta ternyata letaknya tepat pada titik dimana rumah gadang
berdiri.”
Andana hampir tertawa mendengar keterangan itu. “Dari mana pula asal
muasalnya harta karun berupa emas itu Sati?”
“Kabarnya, beberapa puluh tahun yang silam ada keluarga Istana di tanah
Jawa yang melarikan diri dari pengejaran kaum pemberontak. Mereka datang ke
pulau ini, tersesat di Pagaralam dengan membawa berbagai harta kekayaan yang bisa
mereka bawa. Diantaranya potonga-potongan emas itu yang kemudian mereka kubur.
Orang-orang dari tanah Jawa itu kemudain lenyap satu persatu secara aneh. Ketika
rumah gadang milik Ayah Angku Mudo didirikan, rumah itu dibangun tepat di atas
kubur harta karun.”
Andana ternganga dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sulit saya percaya Sati. Benar-benar tidak masuk akal….”
“Dunia jaman sekarang ini Angku Mudo, banyak yang tidak masuk akal. Tapi
justru itulah kenyataan…..” jawab Sati pula.
Tumenggung Rajo Langit bersiap-siap hendak berpamitan ketika tiba-tiba dari
arah halaman terdengar suara gaduh. Menyusul pekik perempuan. Lalu ada seseorang
berlari menaiki tangga leksana terbang. Orang ini adalah pengawal sang Tumenggung
yang sebelumnya disuruh menunggu di bawah tanga rumah gadang. Mukanya pucat
dan dadanya turun naik.
“Astaga! Ada apa pengawal?!” tanya Tumenggung pula sambil berdiri, diikuti
oleh Datuk Gampo Alam. Sang Datuk langsung melompat ke arah tangga lalu
tergesa-gesa menuruninya. Pekik perempuan tadi dikenalinya sebagai suara salah
seorang istrinya. Begitu dia sampai di bawah tangga dilihatnya Zainab, istri tuanya
tegak gemetaran dengan muka seputih kafan. Di halaman, tepat di bawah tangga
kelihatan tertelungkup sesosok tubuh yang bentuk dan keadaannya sangat mengerikan.
Pakaian hitam yang sebelumnya melekat di tubuhnya kini tak berbentuk pakaian lagi.
Robek dan hangus. Lalu kulit dan daging tubuhnya tampak merah mengerikan serta
membersitkan bau daging yang terpanggang. Mukanya tidak beda dengan muka setan.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 48
Rudak mengerikan. Salah satu matanya mencelet ke luar dan mengucurkan darah.
Hidungnya hampir gerumpung!
“Astaghfirullah!” mengucap Datuk Gampo Alam. “Kau Daud? Benar kau
Daud?!”
Saat itu Tumenggung Rajo Langit sudah berada pula di tempat itu,
memandang penuh ngeri pada sosok tubuh orang yang penuh luka bakar.
Orang yang disebut dengan nama Daud alias hantu Mata Picak berusaha
bangkit hendak merangkang. Tapi begitu tegak seperti binatang kaki empat langsung
ambruk ke tanah.
“Demi Tuhan! Katakan apa yang terjadi denganmu Daud?!” tanya Datuk
Gampo Alam setengah berteriak. Lehernya disentak-sentakkan sampai tiga kali.
“Sa….saya ti….tidak berhasil…..” ucapan itu terpotong oleh suara seperti
tercekik. Orang yang berkelukuran luka bakar itu tak bergerak lagi.
“Daud!” teriak Datuk Gampo Alam.
“Saya yakin dia sudah mati Datuk,” kata Tumenggung Rajo Langit. Dia
menarik nafas panjang. “Buruk sekali pengalaman saya hari ini. Lebih baik saya
minta diri saja.” Lalu sang Tumenggung memberi isyarat pada pengawalnya.
Keduanya segera meninggalkan halaman rumah gadang.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 49
DUA BELAS
Kita kembali ke halaman surau di mana Wiro dan nenek bernama Anduang Mata
Api saling berhadap-hadapan.
Perginya Andana dari tempat itu membuat si nenek bernama Anduang Mata
Api menjadi marah luar biasa. Sepasang matanya yang merah menyala seperti bara
api. Kini seluruh kemarahannya ditumpahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kau membuat dia lolos dari tanganku! Sekarang kau yang bertanggung
jawab! Aku minta nyawamu! Dengar?!”
Wiro tersenyum sinis. “Nyawaku Cuma satu! Buat apa nyawaku untukmu?
Lagi pula kalau kau minta nyawaku, pasti aku akan mati! Kalau aku mati di tempat ini
pasti kau tidak mau menguburku. Lalu karena jenazahku tidak terurus, rohku akan
gentayangan jadi setan. Kalau sudah begitu kau yang akan kucari pertama sekali!”
Habis berkata begitu Wiro tertawa gelak-gelak.
“Anak kanciang! Jangan kau berani bergurau padaku!” bentak Anduang Mata
Api marah sekali.
“Siapa suka bergurau dengan perempuan tua bangka bermuka seperti
binyawak kali!” jawab Wiro. “Kau lihat sendiri apa yang terjadi dengan semua anak
buahmu. Apa kau mau menyusul mereka?!”
“Mandeang! Kau keliwat menghina! Sombong! Kau bakal tahu rasa dan tahu
siapa diriku!” bentak Anduang Mata Api. Kedua matanya menatap garang ke arah
Wiro. Lalu kepalanya digoyangkan. Dua larik sinar merah menderu ke arah Wiro.
Yang satu ke jurusan kepala, satunya lagi mengarah dada. Murid Eyang Sinto
Gendeng sudah menyaksikan kehebatan kesaktian si nenek.Karenanya segera saja dia
balas menghantam dengan pukulan Sinar Matahari di tangan kanan den pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera di tangan kiri.
Dentuman keras untuk kesekian kalinya melanda tempat itu. Daun-daun
pepohonan luruh kering, banyak yang terbakar. Begitu juga ranting-rantingnya. Atap
surau seperti terbongkar. Salah satu dindingnya jebol dan hangus. Pendekar 212 Wiro
Sableng tersurut sampai empat langkah. Sedang si nenek hampir terjengkang kalau
tidak lekas membuat lompatan. Namun waktu dia berdiri kembali tubuhnya tampak
terhuyung. Saat itulah pukulan Benteng Topan Melanda Samudera menerpanya. Tak
ampu lagi perempuan tua ini terpental sampai dua tombak. Tubuhnya menyangsrang
di serumpunan semak belukar. Dari mulutnya kelihatan darah mengucur. Walau dia
jelas-jelas menderita luka di dalam namun tidak kelihatan bayangan rasa sakit di
wajahnya. Malah dia tampak bertambah garang.
Perlahan-lahan dia membebaskan dirinya dari semak belukar. Sepasang
matanya yang merah memandang tak berkesiap.
“Cukup aku melayani orang gila seperti kau! Saatnya kau harus mendekam di
penjara kembali. Kau harus bersyukur aku tidak membunuhmu, tapi menyerahkanmu
hidup-hidup pada penguasa negeri di Batusangkar!”
Ucapan si nenek itu ditanggapi dengan seringai oleh Wiro bahkan sambil
garuk-garuk kepala. Namun seringainya mendadak lenyap dan tangannya yang
menggaruk kepala cepat diturunkan. Di tangan si nenek kelihatan sebuah gulungan
benda berwarna putih halus.
Eh, aku seperti pernah melihat benda ini, pikir Wiro.
Di hadapannya tiba-tiba si nenek berseru. “Lihat benang!”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 50
Benda yang dipegangnya di tangan kanan melesat ke depan. Ternyata
segulungan benang yang dengan cepat melesat dan sebelum murid Eyang Sinto
Gendeng bisa berbuat apa-apa, benang putih halus itu telah melibat sekujur tubuhnya
mulai dari dada sampai ke pergelangan kaki! Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga
untuk memutus atau lolos dari gulungan benang itu tetap saja sia-sia.
“Benang Kayangan!” seru Wiro ketika dia tiba-tiba ingat dan mengenali benda
yang menggulung sekujur tubuhnya, membuatnya tak berdaya. Kalau ini benar
Benang Kayangan jangan-jangan…..
“Nenek muka binyawak! Apa hubunganmu dengan Tua Gila!” Wiro ajukan
pertanyaan.
Eh, bagaimana anak celaka ini kenal dengan si tua bangka itu? Membatin
Anduang Mata Api. Lalu dia berkata. “Dengar anak muda. Kau cukup berharga untuk
membuatku bersenang-senang. Sebelum aku serahkan kau pada penguasa negeri di
Batusangkar, apa salahnya aku menikmati kehebatan dirimu. Kulihat tubuhmu tegap,
ototmu kukuh. Kau tentu dapat menyenangkan diriku. Hik….hik….hik!
“Tua bangka sinting! Apa yang hendak kau lakukan padaku?!” bentak Wiro.
“Apa yang ada dalam otakmu?!”
Si nenek semakin keras tawanya. “Lihat saja nanti. Lihat saja nanti….!”
katanya. “Jika kau memang hebat, mungkin kau akan kubiarkan hidup. Mungkin juga
tidak akan kuserahkan pada penguasa di Batusangkar. Hik…hik…hik. mudahmudahan
rejekiku benar-benar besar kali ini. Hilang harimau singa gantinya!
Hik…hik…hik! aku senang engkau nikmat!” Si nenek mengumbar tawa panjang.
Kedua matanya merah berkilat-kilat. Kilatan itu terasa aneh di mata Wiro. Bukan
kilatan karena marah tapi oleh sesuatu yang lain. Rangsangan nafsu!
Setelah tertawa panjang dan puas Anduang MataApi memanggul tubuh
Pendekar 212 di bahu kirinya. Lalu dengan cepat dia berkelebat meninggalkan tempat
itu.
Udara malam terasa semakin dingin walau saat itu tubuh Wiro hampir kuyup
oleh keringat. Apa yang hendak dilakukan manusia ini. Dia punya satu maksud kotor.
Dia tidak akan segera membunuhku tapi….
Si nenek berlari kencang sekali. Dalam waktu singkat dia sudah berada di tepi
sebuah hutan kecil. Di satu tempat dia membelok ke kiri. Walau dalam hutan sangat
gelap namun perempuan tua itu mampu berlari cepat seolah matanya bisa melihat
dalam gelap. Tak lama memasuki hutan si nenek berhenti. Wiro merasakan tubuhnya
diturunkan. Memandang berkeliling ternyata dia dibaringkan di lantai papan sebuah
gubuk tanpa dinding.
“Kita sudah sampai anak muda!” berkata Anduang Mata Api. “Saatnya kau
menunjukkan kejantananmu!” Si nenek susupkan tangannya kian kemari di sela-sela
benang yang menggulung dan mengikat sekujur tubuh Wiro. Nafasnya memburu.
Warna merah pada kedua matanya semakin berkilat.
“Hai! Tua bangka gila! Apa-apaan ini?!” teriak Wiro ketika dilihatnya si
nenek membuka celananya lalu menariknya sampai ke lutut. “Kurang ajar! Tua
bangka mesum!”
Anduang Mata Api tertawa perlahan. “Memakilah terus! Berteriaklah! Makian
dan teriakanmu membuat aku tambah terangsang!” kata perempuan tua itu.
“Aku bersumpah akan membunuhmu kalau kau berani berlaku keji!”
“Ssssstttt….soal mati biar kita atur kemudian. Yang penting sekarang kita
bersenang-senang dulu….” kata si nenek pula. Lalu dengan cepat ditanggalkannya
semua pakaian yang melekat di badannya. Pendekar 212 kini seolah-olah benar-benar
melihat seekor binyawak hitam tegak di depannya. Dia berteriak dan mengerahkan
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 51
seluruh tenaga dalamnya tapi sia-sia saja. Ikatan Benang Kayangan tak mampu
diputusnya, dibuat kendurpun tidak bisa.
“Anak muda….” si nenek duduk di atas paha Wiro. “Aku tahu kau tidak akan
bernafsu. Tidak akan terangsang melihat wajahku yang buruk dan tubuhku yang kurus
peot. Jangan kawatir anak muda. Aku akan membuatmu bernafsu dan terangsang!
Lihat saja….!” Anduang Mata Api terdengar seperti merapal sesuatu. Lalu kedua
telapk tangannya disapukan ke wajah serta sekujur badannya sampai ke kaki.
Astaga! Bagaimana mungkin dia bisa berubah seperti ini?! Ujar Wiro sewaktu
dilihatnya muka buruk si nenek telah berubah menjadi wajah seorang perempuan
muda yang cantik. Lalu tubuh yang tadi kurus kering dan hitam bugil itu kini berganti
dengan sebentuk tubuh bagus, putih berisi. Dua buah payudara besar dan kencang
terpentang di depan mata Pendekar 212.
“Kekasihku, bagaimana sekarang…..?” tanya si nenek yang telah berubah
menjadi seorang perempuan muda cantik jelita, bertubuh bagus mulus dan dalam
keadaan bugil! Kedua tangannya merayap ke bawah perut Pendekar 212.
“Hik….hik…hik apa kataku. Kau mulai terangsang! Bagus!” Anduang Mata
Api menggeser duduknya ke atas.
“Kurang ajar, kurang ajar kau!”
“Sudahlah, jangan pura-pura memaki. Jangan pura-pura tidak suka. Buktinya
kulihat kau sudah siap….!”
Wiro tak berdaya menolak. Bagaimanapun dia harus mengakui bahwa dalam
keadaan sepreti itu dirinya telah dibuat terangsang oelh nenek-nenek yang kini
berubah menjadi perempuan muda cantik itu. Nafas Anduang Mata Api semakin
keras laksana orang mengorok. Tubuh bagus itu bergoyang-goyang di atas tubuh
Wiro.
“Seharusnya aku lepaskan kedua tanganmu.” Berkata Anduang Mata Api.
“Agar kau bisa memelukku, meraba sekujur tubuhku. Tapi aku kawatir kalau
kulepaskan kau akan memukulku dan melarikan diri….”
Pendekar 212 pejamkan kedua matanya.
Anduang Mata Api tertawa. “Ah, kau memejamkan mata. Berarti kau juga
merasa enak. Nikmat….Kau suka ini. Kau suka!”
Tiba-tiba suara tawa Anduang Mata Api ada yang menimpali. Suara tawa lakilaki!
“Dajal perempuan! Berpuas-puaslah sekenyangmu. Aku bisa menunggu. Kali
ini kau tak bakal bisa kabur lagi!”
Kagetnya Anduang Mata Api bukan alang kepalang. Keadaan ini membuat
keampuhan ilmunya merubah diri menjadi rontok. Saat itu juga sekujur tubuhnya
berubah kembali menjadi satu sosok kurus kering menjijikkan. Sedang mukanya
kembali pada ujud aslinya yakni seperti muka binyawak! Wiro kerenyitkan kening
bergidik dan berteriak melihat keadaan orang yang duduk di atas perutnya itu.
“Tua bangka jahanam! Berani kau membuntuti aku sampai ke sini!” bentak
Anduang Mata Api. Tanpa berusaha mengambil pakaiannya untuk menutupi auratnya
perempuan tua ini melompat. Sambil membentak dia putar kepalanya ke arah
datangnya suara tadi. Sekali dia menggoyangkan kepalanya dua larik sinar merah
menderu dahsyat.
“Ilmu Sepasang Mata Api apa hebatnya!” terdengar suara berseru disertai
berkelebatnya satu bayangan putih.
Dua larik sinar merah api menghantam sebuah pohon besar. Tak ampun lagi
pohon itu hancur berlobang lalu tumbang dengan suara menggemuruh.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 52
“Apa kataku!” orang tadi kembali berseru. Wiro masih belum dapat melihat
wajahnya dan sosok tubuhnya karena baik si nenek maupun orang yang bicara berada
di belakang kepalanya sementara dia tetap tak berdaya terlentang di tanah dalam
keadaan terikat dan celananya merosot sampai ke bawah!. “Ilmumu tidak berguna.
Buktinya tidak mau menyentuh diriku! Ha….ha….ha….!”
“Manusia sombong! Lihat serangan!” teriak Anduang Mata Api merah
sekali.kepalanya digoyangnya berulang kali. Larikan sinar merah melesat bertubi-tubi
seolah tidak putus-putusnya. Orang yang diserang mengelak dengan berkelebat cepat
kian kemari. Si nenek berputar-putar tanda dia mengikuti ke arah mana lawannya
berada. Saat itu akhirnya Wiro dapat melihat siapa adanya orang itu.
Astaga! Dia rupanya!
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 53
TIGA BELAS
Pendekar 212 Wiro Sableng kini dapat melihat siapa adanya orang yang berkelahi
melawan si nenek bermuka binyawak yang saat itu berada dalam keadaan bugil. Dia
bukan lain adalah kakek aneh yang dulu pernah menghadang perjalannya dengan
Andana. Dan kakek ini pula yang pernah ditelanjangi dicurinya celananya.
Serangn api yang menyembur keluar dari sepasang mata Anduang Mata Api
dielakkan oleh si kakek dengan gerakan-gerakan aneh. Kedua kakinya terkadang
tampak melompat, sesekali seperti menendang ke kiri dan ke kanan. Di lain saat
kedua kakinya itu seperti menari lalu berjingkrak-jingkrak. Tubuhnya gerabakgerubuk,
terhuyung-huyung kian kemari seperti orang mabok sementara kedua
tangannya digerakkan demikian rupa seolah-olah orang yang berusaha bertahan agar
tidak jatuh.
Ya Tuhan! Aku tidak buta! Gerakan orang tua itu adalah jurus-jurus ilmu silat
Orang Gila. Hanya kakek sakti Tua Gila yang memilikinya dan pernah
mengajarkannya padaku. Tapi dia jelas bukan Tua Gila!
Wiro seperti mendapat semangat. Dia percaya orang tua itu akan menolongnya.
Sementara pertolongan belum datang dia berusaha melepaskan diri dari lilitan Benang
Kayangan. Tapi tetap tidak berhasil.
Sambil menghadapi serangan maut si nenek , sesekali si kakek berpaling pada
Wiro yang tergeletak di tanah dalam keadaan terikat dan juga setengah talanjang
karena celananya masih seperti tadi yaitu merosot sampai ke paha! Setiap kali dia
berpaling pada Wiro, setiap kali pula dia menyeringai lali mencibir.
Ah, jangan-jangan dia masih mendendam padaku atas kejadian tempo hari.
Kutelanjangi dirinya lalu pernah pula kurampas kudanya!
“Anak muda, kau tenang-tenang saja di situ. Giliranmu untuk menerima
hukuman bakal datang!” si kakek berseru lalu kembali menghadapi lawannya.
Gerakannya yang gerabak gerubuk kini sambil melepaskan pukulan tangan kosong
jarak jauh membuat si nenek tampak bergoyang-goyang tanda sang kakek memiliki
tenaga dalam luar biasa.
“Betina mesum, saatnya kau mengembalikan barang yang kau curi dariku! Di
mana barang itu kau sembunyikan?!” si kakek berseru.
Anduang Mata Api menyeringai. “Kau mau barangmu, cari sendiri!”
“Ah! Kau memang kurang ajar!” si kakek berpaling sebentar pada Wiro,
mencibir lalu kembali dia menghadapi si nenek. “aku terpaksa tak akan memberi
ampun padamu! Kau bukan cuma pembunuh keji tapi juga pencuri tengik!”
“Ah, aku juga memberikan kenikmatan pada setiap lelaki….. hik….hik….hik.
pemuda itu barusan merasakannya! Hik…..hik….hik!”
“Tua bangka sialan!” teriak Wiro.
“Anak muda! Kau bisa jadi kekasihku! Jadi tutup mulut dan tunggu sampai
nanti kita bersenang-senang lagi. Biar kubereskan dulu kurcaci rongsokan ini!” kata
Anduang Mata Api pula. Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Serangannya kini bukan saja api yang keluar dari kedua matanya, tetapi juga pukulanpukulan
tangan kosong yang tak kalah hebatnya dengan yang dilancarkan lawannya,.
Walaupun demikian si nenek tetap saja tidak mampu menyentuh atau membuat cidera
si kakek. Malah ketika lawannya membuat gerakan-gerakan cepat dan berputar-putar,
dia seperti kena sirap ikut pula berputar-putar. Si kakek keluarkan suara tertawa
panjang. Tubuhnya tiba-tiba melesat ke udara. Lawan berusaha menghantam tapi
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 54
luput. Kedua kaki si kakek dengan kecepatan luar biasa, dua kaki itu menendang ke
arah pipi si nenek dengan keras.
Raungan setinggi langit melesat keluar dari mulut perempuan tua itu.
Tubuhnya terhuyung-huyung lalu jatuh berlutut. Daun telinganya hancur dan darah
mengucur dari kedua liangnya. Rahangnya rengkah kiri kanan, tulang pelipisnya
remuk! Dia megap-megap beberapa kali lalu tersungkur dan menggeletak di tanah tak
berkutik lagi!
“Kek…. Hai!” Wiro memanggil. Tapi yang dipanggil seperti tidak mendengar.
Kedua mata kakek itu memperhatikan ujung benang yang mengikat tubuh Pendekar
212. Benang ini lenyap di balik seonggok pakaian, yaitu pakaian milik Anduang Mata
Api.
Dengan ujung kakinya si kakek mengungkit dan melemparkan pakaian itu. Di
tanah, sebelumnya tertutup oleh pakaian kelihatan sebuah benda. Inilah yang
dicarinya. Dengan cepat si kakek mengambilnya. Lalu dia berpaling ke arah Wiro.
“Kek, tolong lepaskan libatan benang ini!” kata Wiro.
Si kakek mendengus. Tiba-tiba dia gerakkan tangannya menyentakkan benang
yang menjulai di tanah. Dua kali sentak tubuh Pendekar 212 terbetot keras. Lalu
tubuh itu berputar laksana gasing. Benang putih yang menggulung di tubuh Wiro
terbuka lepas. Begitu lepas tak ampun lagi Wiro berdebam ke tanah. Hidungnya
menyentuh tanah lebih dulu. Murid Eyang Sinto Gendeng menjerit keras. Hidungnya
serasa remuk. Darah mengucur.
Dalam keadaan sakit dan mengomel Wiro masih bisa ingat diri. Cepat-cepat
dia berdiri sambil menarik celananya.
Lalu dia mendekati orang tua itu. “Kek, walau kau menyakitiku aku berterima
kasih. Kau telah menolongku membebaskan ikatan benang keparat itu….”
“Benang keparat katamu? Sialan! Enak saja kau bicara! Lagi pula siapa yang
menolongmu! Aku hanya mengambil benang milikku! Perempuan jahat itu
mencurinya dariku beberapa waktu yang lalu….”
“Hemmmmm……” Wiro garuk-garukkan kepalanya. “Kek, kau bilang benang
itu milikmu? Mana mungkin?!”
“Apa yang mana mungkin?!” hardik si kakek.
“Aku tahu betul, benang itu adalah Benang Kayangan. Cuma ada satu
pemiliknya. Seorang kakek sakti menyandang dua julukan yaitu Pendekar Gila Patah
Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Namun dia lebih dikenal dengan sebutan Tua
Gila!”
“Kau bisa bicara begitu tentu kau kenal padanya!”
“Aku…..aku adalah….” Wiro tak meneruskan kata-katanya.
Si kakek menyeringai. “Kau bicara terlalu banyak. Aku tahu itu hanya untuk
mengalihkan perhatianku! Kau kira aku sudah lupa perbuatan kurang ajarmu tempo
hari?! Kau telanjangi diriku. Kau curi celanaku. Lalu kau juga merampas kudaku!
Malam ini setelah kau bersenang-senang dengan betina busuk itu, tiba saatnya kau
menerima hukuman dariku! Aku akan mematahkan lima jari tangan kananmu karena
mencuri celana dan menelanjangi diriku. Lalu aku akan mencopot satu kakimu karena
telah merampas kudaku….”
“Kek,dengar! Aku akan ganti celana dan kudamu itu!” si kakek menyeringai.
“Celana dan kuda itu tidak seberapa nilainya. Tapi sakit hatiku atas kekurang
ajaranmu tak bisa impas dengan apapun!”
Habis berkata begitu si orang tua melompat ke arah Pendekar 212. Tangan
kanannya membuat gerakan mencengkeram ke arah jari-jari tangan kanan Wiro
sedang kaki kirinya menndang ke pangkal paha!
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 55
Tentu saja murid Sinto Gendeng tidak mau menjadi bulan-bulanan serangan.
Secepat kilat dia mengelak. Diluar sadar tak sengaja dia mengeluarkan jurus-jurus
ilmu silat Orang Gila. Sekali bergerak dia berhasil mengelakkan dua serangan itu.
“Eh! Anak setan! Kau memainkan ilmu silat apa?! Siapa yang mengajarkan
gerakan itu padamu?!” bertanya si kakek.
“Aku akan katakan. Jawabannya ada di telapak tangan kananku,” jawab Wiro.
Si orang tua mengernyit lalu mendekat. “Coba kulihat telapak tanganmu itu!”
Wiro ulurkan tangan kanannya. Si kakek tundukkan kepala. Tiba-tiba tangan
Wiro bergerak laksana kilat ke arah wajah si orang tua. Sebelum kakek ini sempat
menjauhkan kepalanya, Wiro telah berhasil menarik lepas topeng tipis yang
dikenakan orang tua itu. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Mukanya pucat. Pipi
dan mata cekung besar, memelihara kumis serta janggut putih. Kepalanya nyaris
botak karena rambutnya sangat jarang. Begitu mengenali wajah orang itu pucatlah
paras Pendekar 212. buru-buru dia jatuhkan diri, berlutut di tanah seraya berseru.
“Kek! Maafkan muridmu ini! Aku terlanjur berlaku kurang ajar padamu karena tidak
tahu kau adalah guru sendiri! Sekarang aku siap menerima hukuman!”
Orang tua di hadapan Wiro menatap tak berkesip. Wajahnya semakin pucat.
Wiro menjadi tegang.
“Kek….”
Orang bermuka pucat itu yang bukan lain adalah Tua Gila si kakek sakti
paling ditakuti di Pulau Andalas sedikit demi sedikit menyunggingkan senyum.
“Anak setan! Kelakuanmu seharusnya memang tidak bisa diampuni. Kalau
saja kau bukan muridku…. Hemmm, mau kuapakan kau ini!” tangan kiri Tua Gila
hinggap di telinga Pendekar 212 lalu diputar-putarnya ke depan dan ke belakang
sambil tertawa mengekeh. Walau sakitnya jeweran itu setengah mati Wiro tak berani
bersuara. Si kakek menarik tangannya ke atas hingga Wiro terangkat dan berdiri.
“Ada apa kau jauh-jauh datang kemari?!” bertanya Tua Gila.
“Saya kangen padamu kek. Ingin menyambangimu. Sekalian membawa pesan
dan salam Eyang Sinto Gendeng di Gunung Gede….”
“Hemmm… apakah gurumu di nenek bawel itu ada baik-baik saja/”
“Beliau ada baik-baik dan sehat-sehat.”
“Perjalananmu sekali ini agaknya menemui banyak hal yang tidak
menyenangkan, kecuali tadi waktu kau diajak bersuka-suka oleh si nenek itu…..” Si
kakek lalu terkekeh.
Paras Pendekar 212 jadi merah. Sambil menggaruk-garuk kepala dia berkata.
“Tak sengaja saya terlibat dalam satu persoalan yang menimpa sahabat saya bernama
Andana. Dia keponakan Datuk Gampo Alam…. Yang punya hubungan dekat dengan
Tumenggung Rajo Langit di Batusangkar.”
“Tumenggung Rajo Langit punya kekausaan tapi tak punya ilmu kepandaian
berarti. Tak usah takut padanya. Yang harus diperhitungkan justru Datuk Gampo
Alam. Dia punya beberapa ilmu kesaktian. Dia memiliki ilmu kepandaian yang
disebut ilmu Belut Putih. Lalu ilmu Raja Sebumi. Ilmu ini membuat dia tidak bisa
mati selama tubuhnya masih menginjak bumi. Di samping itu dia juga masih punya
satu ilmu yang hebat. Dalam keadaan terdesak dia sanggup masuk ke perut bumi….
Beri tahu hal itu pada sahabatmu Andana….”
Wiro mengangguk. “Terima kasih atas petunjukmu Kek…. Apakah kau mau
memaafkan perlakuan saya tempo hari?” Wiro bertanya karena merasa masih ada
ganjalan.
“Sudahlah! Malam begini larut. Tubuh rongsokan ini tak sanggup lama-lama
berada di luaran. Kalau urusanmu sudah selesai datang ke tempatku….”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 56
“Saya pasti datang Kek….”
Tua Gila memasukkan gulungan Benang Kayangannya ke balik pakaian. Dia
hendak melangkah pergi. Tapi tiba-tiba berbalik kembali sambil tersenyum.
“Bagaimana pendapatmu tentang janda Datuk Gampo Alam itu….?”
Paras Pendekar 212 untuk kesekian kalinya menjadi merah. Sambil garukgaruk
kepala dia berkata. “Saya….saya baru satu kali menemuinya Kek….”
Tua Gila mengekeh. “Baru satu kali menemuinya atau baru sekali
menidurinya……?!”
Wiro menahan nafas. “Anak setan hati-hati kalau berbuat. Sampai anak orang
kau hamili, kau tak bakal kembali ke tanah Jawa…….”
Tua Gila tertawa lagi lalu berkelebat pergi. Murid Eyang Sinto Gendeng
kembali hanya bisa garuk-garuk kepala. “Untung orang tua itu tidak marah. Kalau
tidak pasti habis aku dikerjainya!”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 57
EMPAT BELAS
Malam itu Datuk Gampo Alam hampir tak bisa memicingkan mata. Kematian
Daud alias Hantu Mata Picak yang diandalkannya benar-benar mengenaskan dan
merusak semua rencananya. Agaknya kini dia memang harus turun tangan sendiri, tak
mungkin meminjam tangan orang lain. Ditambah dengan ucapan Tumenggung Rajo
Langit bahwa dia ingin mengambil Bunga jadi istrinya membuat sang Datuk jadi
tambah gelisah, mengkal, benci dan marah.
Kalau selesai pembayaran penjualan rumah gadang akan kuhabisi tua
bangka keparat itu! Lalu sang Datuk teringat pada Sati. Manusia itu tak bisa
dibiarkan hidup lebih lama. Tentu dia akan berceloteh menebar cerita yang bukanbukan!
Mungkin dia mendendam padaku gara-gara dihajar para pembantuku sampai
babak belur di Batusangkar tempo hari. Setan!
Hanya ada satu hal yang membuat sang datuk agak terhibur. Yaitu besok pagi
dia akan mendengar kabar dari Mamak Rabiah mengenai lamarannya untuk
memperistrikan Bunga. Dia tersenyum-senyum seniri di atas tempat tidur.
Tak ada yang pernah menolak lamaran Datuk Gampo Alam. Semua gadis di
Pagaralam ini ingin kuperistrikan! Termasuk Bunga tentunya.
Menjelang pagi akhirnya Datuk Gampo Alam tertidur juga walau Cuma
sebentar. Paginya dia sudah duduk di ruang tengah rumah gadang. Tak lama
kemudian perempuan itu tampak di ujung halaman, melangkah menuju rumah gadang,
menaiki tangga dan samapi di atasnya.
“Rabiah, kau benar-benar memenuhi janji. Duduklah. Aku ingin sekali cepatcepat
mendengar kabar baik darimu….”
Saat itu Rabiah merasakan tubuhnya lemah dan gontai. Kalau saja dia tidak
menguatkan hati mungkin watu menaiki tangga tadi dia sudah terguling ke bawah.
“Kau ingin minum apa Rabiah? Teh manis? Kopi hangat?”
“Terima kasih Datuk. Saya baru saja minum,” jawab Mamak Rabiah.
“Hemmm…. kalau begitu kita segera bisa bicara. Kau membawa kabar baik
pasti. Bunga bersedia menjadi istriku bukan?”
Sesaat Rabiah tertunduk tak bisa membuka mulut.
“Eh, Rabiah. Ada sesuatu yang perlu kukatakan padamu. Kau maupun Bunga
tidak perlu merasa takut akan melanggar adat atau agama. Rukiah telah kuceraikan.
Jadi kalau Bunga menjadi istriku, jumlah istriku tetap empat. Tidak lima seperti yang
mungkin kalian takutkan. Ha …..ha…..ha…..!”
“Datuk, sebenarnya saya….”
“Apakah kau sudah mereka-reka hari dan tanggal serta bulan baik perkawinan
anakmu dengan aku Datuk Gampo Alam, bengsawan terpandang di Pagaralam ini?”
“Datuk, sebenarnya….. Sebenarnya saya ini bukan Ibu kandung Bunga,”
ucapan itu keluar dari mulut Mamak Rabiah.
“Ah, kau ini hendak bergurau atau bagaimana. Semua orang di Pagaralam ini
tahu kalau kau adalah ibunya Bunga. Ibu kandung. Aneh kalau sekarang kau tidak
mengakuinya.”
“Saya tidak berdusta Datuk. Saya memang bukan Ibunya. Saya tidak pernah
melahirkannya.”
Datuk Gampo Alam menatap wajah perempuan itu beberapa saat. “Sudahlah
Rabiah. Apakah kau Ibunya atau bukan tidak penting bagiku. Yang penting Bunga
sudah setuju kujadikan istri. Begitu?”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 58
“Tidak Datuk. Maafkan saya. Saya sudah menyampaikan maksud Datuk pada
gadis itu. Tapi maaf sekali lagi. Bunga menolak karena dia merasa belum cukup
umur…..”
“Belum cukup umur? Alasan buta!” belalak Datuk Gampo Alam sambil
menyentakkan lehernya dua kali. Coba kau katakan berapa umur anak itu sekarang?”
“Belum lagi dua puluh…..”
“Belum lagi dua puluh. Anak orang lain umur sembilan belas sudah jadi
janda! Rabiah, apa aku harus menunggu sampai gadis itu jadi seorang nenek?!” Datuk
Gampo Alam sentakkan lehernya.
Mamak Rabiah tidak bisa menjawab. Kepalanya tertunduk namun dadanya
seperti menggemuruh.
“Dengar Rabiah. Penghulu sudah kuhubungi. Pasumandan pengiring
pengantin sudah disiapkan. Juru masak dan juru rias sudah diberi tahu. Kau dan
Bunga tinggal tahu beres saja! Apa lagi? Apa tidak senang menjadi istri Datuk Gampo
Alam?!”
Perlahan-lahan Rabiah mengangkat kepalanya. Kedua matanya tampak basah.
Air mata bercucuran di kedua pipinya.
“Gila! Apa pula ini Rabiah?! Mengapa kau menangis?!” Datuk Gampo Alam
terheran-heran tapi juga mulai jengkel.
“Datuk…. Ingin saya menyampaikan satu rahasia yang selama ini mungkin
tidak Datuk ketahui. Sebenarnya Bunga itu adalah…..”
Ucapan Mamak Rabiah terputus ketika di tengah halaman rumah gadang
terdengar suara orang berteriak.
“Datuk Gampo Alam! Turunlah ke halaman! Aku ingin bicara denganmu!”
Eh, itu suara si Andana, ada apa dia berteriak seperti itu. Kurang ajar! Setan!
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya lalu berdiri dan melangkah cepat ke
jendela. Dari jendela dia melihat Andana duduk di atas seekor kuda. Mukanya tampak
sangar. Di sebelahnya juga duduk di atas kuda adalah pemuda Jawa bernama Wiro
Sableng itu. Sesuatu telah terjadi. Jangan-jangan Sati sudah membuka mulut! Rahang
Datuk Gampo Alam menggembung. Dadanya berdebar keras. Namun dia cepat
menguasai diri.
“Kemenakanku Andana, mengapa tidak naik ke atas rumah gadang kalau ingin
bicara denganku?”
“Aku ingin kau datang kemari. Kita bicara di halaman sini!” jawab Andana.
Kurang ajar. Berani dia bicara beraku-aku denganku!
Datuk Gampo Alam tidak dapat menahan amarahnya. Dia melompat menuruni
tangga. Begitu sampai di hadapan Andana dia membentak.
“Apapun yang ada di benakmu aku tidak suka melihat kau bicara kurang ajar
padaku! Turun dari kuda dan bicara di dalam rumah! Setan apa yang tiba-tiba
merasuk dirimu hingga adat sopan santunmu menjadi hilang lenyap?!”
Andana menyeringai sementara Wiro tampak cengar-cengir. “Datuk setan!”
bentak Andana tak kalak keras. “Apa masih pantas aku bicara hormat dengan manusia
yang telah membunuh Ayahku? Ayo jawab!”
Tampang Datuk Gampo Alam sesaat tampak memutih namun di lain saat
berubah menjadi kelam merah. Dia merasa seolah kepalanya menjadi dua. Rahangnya
menggembung. Nafasnya seperti meledak-ledak.
“Anak setan! Ayahmu mati jauh dari sini! Dikubur jauh di puncak Singgalang.
Sungguh kurang ajar kalau kau berani menuduh aku sebagai pembunuh Ayahmu!
Kemenakan keparat! Kau sudah gila rupanya!”
“Kau yang gila!” teriak Andana.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 59
Sang Datuk tersentak seperti dihenyakkan.
“Kau bukan saja membunuh Ayahku. Tapi juga berusaha membunuh diriku
dengan menyuruh kaki tanganmu. Aku tahu semua perbuatanmu. Mulai dari pisau
terbang beracun itu. Ular berbisa dan sirih dalam cerana! Semua kau yang
merencanakan! Kau membunuh Ayahku! Kini giliranmu sudah tiba! Kau ingat
dimana kau membunuh Ayahku, Datuk?!”
“Otakmu benar-benar tidak waras! Bicara gila apa ini?!” teriak Datuk Gampo
Alam. “Kalau tidak memandang kau anak kakak kandungku, sudah kupecahkan
kepalamu sejak tadi-tadi!”
Wiro Sableng batuk-batuk beberapa kali. Suaranya membuat Datuk Gampo
alam berpaling padanya dan lantas saja berteriak marah. “Kau juga bangsat! Kau pasti
sudah mempengaruhi kemenakanku dengan hasutan-hasutan gila! Kau bakal dapat
bagian dariku!”
Wiro tertawa lebar. “Boleh saja kau bilang aku bangsat. Jika aku bangsat
maka kau adalah bapak moyangnya bangsat. Kan begitu! Jangan berlagak yang tidaktidak
Datuk! Sahabatku ini ada bukti, ada saksi hidup yang mengatakan bahwa
kaulah yang telah membunuh Ayahnya!”
“Anak setan! Kau berani mencampuri urusan aku dan kemenakanku! Rasakan
tanganku!” Datuk Gampo Alam melompat dan melancarkan satu jotosan ke arah
pinggang Pendekar 212. Wiro cepat geser kuda tunggangannya lalu palangkan lengan
kanannya menangkis serangan Datuk Gampo Alam.
Dua lengan beradu. Wiro serasa seperti dihantam pentungan keras sebaliknya
sang Datuk seolah digebuk dengan besi. Lengan masing-masing kelihatan merah.
Kalau Wiro terhuyung ke kiri maka Datuk Gampo Alam terpental sampai dua
langkah! Ketika sang Datuk dengan penasaran hendak menyerang kembali, Andana
cepat menyorongkan kudanya hingga gerakan Datuk Gampo Alam terhalang.
“Kau masih ingat dimana kau membunuh Ayahku?!” ujar Andana sambil
menatap tajam pada Mamak atau Pamannya itu. “Di situ pula nyawamu akan kau
lepas. Kutunggu kau besok di Ngarai Sianok! Jangan mencoba lari! Selama Merapi
dan Singgalang masih tegak menjaga nagari, selama Batang Anai masih mengalir ke
laut dan selama air Danau Singkarak masih tetap biru, selama itu pula aku akan
mencarimu!”
“Andana! Jangan kau terpancing hasutan orang! Otakmu sedang kacau. Setan
mana yang mengatakan padamu bahwa aku yang membunuh Ayahmu! Gila! Aku
Datuk Gampo Alam tega membunuh kakak kandung sendiri!”
“Datuk culas! Hatimu lebih jahat dari iblis! Tak ada setan, tak ada hasutan!
Tapi ada seorang saksi hidup yang melihat kejadian waktu kau dan Hantu Mata Picak
membunuh Ayahku!”
“Ah! Mana mungkin! Ini pasti fitnah belaka! Jangan sampai kau terjebak
Andana!” ujar Datuk Gampo Alam sambil mengurut-urut lengannya yang masih
terasa sakit.
Rahang Andana menggembung. Dia berpaling ke arah sebatang pohon besar
di ujung halaman. Lalu berteriak. “Sati! Keluarlah! Berikan kesaksianmu pada
Mamak jahanam ini!”
Dari balik pohon keluarlah Sati sambil mengangkat tangannya. Sejarak
sepuluh langkah dari orang-orang itu dia berkata keras-keras.
“Demi Allah aku bersumpah! Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri
Hantu Mata Picak mencekal Datuk Bandaro Sati dari belakang. Lalu Datuk Gampo
Alam merampas keris milik kakaknya. Dengan keris itu dia kemudian menusuk
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 60
sekujur tubuh Datuk Bandaro Sati bertubi-tubi sampai akhirnya menemui ajal di tepi
Ngarai Sianok!”
Datuk Gampo Alam seperti mendengar halilintar.
Saat itu terdengar pula dampratan Andana.
“Hanya untuk mendapatkan dan menjual rumah gadang milik Ayahku, kau
membuat Surat Wasiat palsu! Kau bunuh Ayahku, kau coba membunuh aku! Datuk
keparat! Kelak kau akan jadi puntung neraka!”
“Dusta! Fitnah! Kubunuh kau Sati! Kau mendendam padaku karena pernah
dihajar oleh anak buahku! Dan kau Andana menjatuhkan tuduhan palsu karena kau
tidak suka aku memperistri Bunga! Kalau kau merasa benar mengapa tidak melapor
dan mengadu pada Tumenggung di Batusangkar?!”
Wiro keluarkan suara tertawa. “Tumenggung itu sama saja bengsatnya dengan
kau! Bukankah dia yang memenjarakan sahabatku ini sesuai dengan rencana kalian
berdua?! Seharusnya kau tidak perlu banyak bicara Datuk. Makin banyak kau bicara
makin terungkap kelicikanmu!”
Pelipis Datuk Gampo Alam bergerak-gerak. Dia memandang pada Andana
dan berkata. “Andana kemenakanku….”
“Jangan sebut aku kemenekanmu!” sergah Harimau Singgalang. “Hari ini
putus hubungan mamak dengan kemenakan! Ingat! Aku tunggu kau di Ngarai Sianok
petang ini sebelum matahari tenggelam. Arwah Ayahku akan menyaksikan
kematianmu di tempat kau membunuhnya dulu!”
“Anak keparat! Setan haram jadah!” carut Datuk Gampo Alam lalu
menyentakkan lehernya dan meludah ke tanah.
Andana memberi isyarat pada Wiro. Keduanya segera meninggalkan tempat
itu.
Ketika Datuk Gampo Alam naik kembali ke atas rumah gadang, Mamak
Rabiah tak ada lagi di situ. Meledaklah kemarahan sang Datuk. Apa saja yang ada di
dekatnya langsung ditendang dan dipukulnya!
Tiga orang istrinya tentu saja terkejut dan keluar dari kamar masing-masing.
“Ada apa Datuk? Mengapa mengamuk seperti ini?” tanya Zainab istri paling tua.
Plaakkk! Jawaban berupa tamparan keras yang dilayangkan Datuk Gampo
Alam ke pipi istrinya itu membuat Zaenab terpekik dan tersandar ke dinding.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 61
LIMA BELAS
Mamak Rabiah tidak lagi hanya melangkah tetapi kini berlari secepat yang bisa
dilakukannya. Bunga yang sedang menyisir rambut di dalam rumah sangat terkejut
ketika di pintu terdengar ketukan beruntun disertai suara memanggil-manggil.
“Bunga! Bunga! Lekas buka pintu Naaakk!”
Bunga melemparkan sisir ke atas sebuar rak lalu bergegas membuka pintu.
“Ada apa Mak? Orang Datuk Gampo Alam menyakiti Mamak karena menolak
pinangannya?!”
“Tidak Bunga. Bukan….. Ada hal lain yang lebih gawat dari itu. Malapetaka
besar akan terjadi kau harus mencegahnya Nak. Hanya kau yang bisa
mencegahnya….!”
“Apa yang harus saya cegah Mak? Malapetaka apa maksud Mamak?” tanya
Bunga tak mengerti. “Minum dulu Mak, biar Mamak bisa tenang dan bicara jelas….”
lalu gadis itu mengambil segelas air putih. Setelah meneguk sampai setengahnya dia
berkata. “Nah, sekarang Mamak bisa bicara lebih jelas. Apa melapetaka yang Mamak
katakan tadi itu. Lalu apa pula yang harus saya cegah….”
“Kakakmu….. Harimau Singgalang… Datuk Gampo Alam….” ucapan
perempuan itu tersendat dan terputus-putus.
“Harimau Singgalang? Maksud Mamak Andana? Datuk Gampo Alam? Ada
apa dengan mereka Mak?”
“Mereka akan saling berbunuhan. Sore ini! Di Ngarai Sianok. Di situ mereka
akan saling berbunuhan sampai salah satu dari mereka mati! Kau harus mencegah hal
itu Bunga!”
“Aneh, apa pasal Mamak dan Kemenakan itu saling berbunuhan? Kalau itu
betul lalu bagaimana pula saya bisa mencegahnya?”
“Datuk Gampo Alam…. Ternyata dia yang membunuh Datuk Bandaro Sati
Ayah Andana. Adiknya itu dibunuhnya di Ngarai Sianok. Kini Andana akan menuntut
balas. Saat ini mereka tentu sudah berada dalam perjalanan….”
Bunga termenung beberapa lamanya. Dengan suara perlahan dia kemudian
berkata. “Jika mereka memang maunya saling bunuh membunuh biarkan saja Mak.
Bukan urusan kita. Lagi pula saya yakin kakak Andana akan menang karena dia
berada di pihak yang benar….”
“Justru karena itulah Bunga. Kau harus mencegah agar mereka tidak saling
bunuh. Kau harus mencegah kakakmu itu tidak membunuh Datuk Gampo Alam.
Karena Datuk itu adalah….”
“Karena Datuk itu adalah apa Mak?” tanya Bunga ketika Mamak Rabiah tidak
meneruskan kata-katanya.
Mamak Rabiah tersengguk-sengguk. Air mata bercucuran deras ke pipinya.
Diulurkannya kedua tangannya merangkul Bunga. Lalu diantara sedu sedannya dia
berkata. “Karena Datuk Gampo Alam sebenarnya Ayah kandungmu sendiri Bunga….”
Si gadis meronta melepaskan diri. Melangkah mundur dan memekik keras.
Gelas yang masih dipegangnya lepas terjatuh, pecah berantakan di lantai. Wajahnya
tampak pucat sekali.bahunya bergetar menahan goncangan. Dia memandang pada
Mamak Rabiah seperti melihat hantu.
“Mamak….. Mamak tidak bicara dusta?”
Mamak Rabiah menggelengkan kepala. “Datuk Gampo Alam memang
sebenarnya Ayah kandungmu Nak…..”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 62
Bunga merasakan seperti tulang belulangnya menjadi luluh. Gadis ini jatuh
terduduk di lantai. Mamak Rabiah duduk pula di hadapannya.
“Maafkan Mamak Bunga. Selama ini Mamak selalu merahasiakan hal itu
karena Mamak patuh pada pesan Ibumu….”
“Pesan Ibu saya?” kedua mata Bunga membesar. “Pesan apa Mak?” Bunga
mengulurkan kedua tangannya lalu menggocang bahu Mamak Rabiah. Tangis Mamak
Rabiah semakin keras. Tidak tahan akhirnya dia memeluk Bunga erat-erat.
“Kejadiannya sekitar dua puluh tahun lalu. Waktu itu Datuk Gampo Alam
sedang berburu di rimba. Dia tersesat dan terpisah dari teman-temannya. Saat itu
dalam keadaan terluka di salah satu kakinya, dia terpesat ke pondok tempat kediaman
Ibumu. Selama Datuk sakit terserang demam panas. Ibumulah yang merawatnya.
Ketika dia sembuh, Datuk Gampo Alam merasa berhutang budi. Lalu dia mengawini
Ibumu. Selama Ibumu mengandung Datuk Gampo Alam tak pernah datang lagi.
Ibumu melahirkanmu dalam keadaan sangat menderita. Mamak yang waktu itu
bertindak sebagai dukun beranak menolong Ibumu. Hanya sayang Ibumu telah
kehabisan daya. Dia banyak mengeluarkan darah dan menghembuskan nafas ketika
kau keluar dari rahimnya. Namun sebelum meninggal Ibumu sempat berpesan agar
Mamak jangan memberi tahu kepadamu siapa Ayahmu. Juga dia berpesan agar aku
mengambilmu sebagai anak sendiri dan merawatmu baik-baik….”
Bunga menjatuhkan dirinya ke dalam pangkuan Mamak Rabiah dan menangis
keras-keras. Ketika tangisnya mulai reda, dengan suara parau gadis ini berkata.
“Seharusnya saya ikut mati bersama Ibu saat itu…”
“Jangan berkata seperti itu Nak….”
“Mamak, orang seperti Datuk Gampo Alam itu sepantasnya dibiarkan mati
dibunuh orang….”
“Jangan berpikiran seperti itu Bunga. Baik atau buruknya dia, bagaimanapun
dia adalah Ayah kandungmu. Kau berasal dari tetesan darahnya Nak….”
Bunga menjerit lalu meratap. “Saya tidak perduli pada Datuk Gampo Alam.
Saya kini menangisi nasib diri yang hina ini. Kalau Datuk Gampo Alam ayah saya
dan Datuk Bandaro Sati Ayah Andana berarti kami saudara sebapak. Berarti kami
tidak akan pernah bisa…..” Bunga meraung keras.
“Bunga, Mamak dapat merasakan apa yang ada di hatimu. Kini kau menyadari
bahwa kau tak akan pernah bisa bersatu dengan pemuda yang kau cintai itu. Pertalian
darah antara Ayahmu dan Ayah Andana terlalu kuat….. Sekarang kau tahu mengapa
Mamak meminta agar kau mencegah mereka saling bunuh. Lakukan sesuatu Bunga…..
Selamatkan Ayahmu dan juga pemuda yang kau kasihi itu….”
Harimau Singgalang dan Pendekar 212 Wiro Sableng tidak bodoh untuk
meninggalkan Datuk Gampo Alam begitu saja. Bukan mustahil Datuk yang licik itu
akan melarikan diri. Karena itu kedua pemuda ini bersembunyi di satu tempat
kelindungan, memperhatikan rumah gadang dari kejauhan. Dua pendekar ini tidak
menunggu lama. Seorang pelayan kelihatan menuntun seekor kuda hitam ke dekat
tangga rumah gadang. Tak lama kemudian kelihatan Datuk Gampo Alam menuruni
rumah. Dia mengenakan pakaian galembong serba hitam. Keninngnya diikat dengan
sehelai kain hitam pula. Di pinggangsebilah keris terselip sebilah keris emas yang
bukan lain adalah keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang dicurinya dari Andana. Di
pinggang kanan terselip sebuah saluang (suling khas Minang)
“Datuk keparat itu sudah siap hendak berangkat. Tapi aneh mengapa dia
membawa saluang segala?” membuka mulut Andana di tempat yang kelindungan.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 63
“Bukan mustahil itu bukan suling biasa Andana. Pasti ada tuah
kesaktiannya….” menyahuti Wiro.
Saat Datuk Gampo Alam naik ke atas kuda hitamnya, tiga istrinya berada di
belakang jendela tengah rumah gadang. Zainab istri tua berkata pada dua madunya.
“Saya punya firasat, Datuk Gampo Alam tak akan pernah kembali lagi ke rumah
gadang ini.”
Begitu Datuk Gampo Alam memacu kudanya meninggalkan Pagaralam,
Andana dan Wiro segera menguntit dari kejauhan. Sementara itu dari jurusan lain
sebuah kereta tua ditarik oleh seekor kuda besar meluncur kencang ke arah Barat Laut
di mana berdiri tegak Gunung Merapi. Saisnya seorang pemuda berkopiah hitam
kupluk sedang di sebelahnya duduk seorang gadis cantik yang menutupi wajahnya
dengan sehelai selendang. Dia bukan lain adalah Bunga anak kandung Datuk Gampo
Alam.
Ngarai Sianok diselimuti kesunyian. Sesekali angin bertiup kencang. Di Timur
langit tampak kemerahan tanda sang surya berisap-siap untuk masuk ke ufuk
tenggelamnya. Datuk Gampo Alam turun dari kudanya, membiarkan binatang itu
merumput. Dia memandang berkeliling lalu melangkah ke tepi Ngarai. Sunyi, tak ada
siapa-siapa di tempat itu. Sesaat dia memeprhatikan keadaan di sekelilingnya dengan
rasa tegang.
Anak keparat itu masih belum muncul rupanya. Atau dia memang tak akan
muncul?!
Baru saja dia membatin begitu tiba-tiba dari balik tanah yang ketinggian
muncul dua orang penunggang kuda yang sama-sama mengenakan pakaian putih.
“Kurang ajar!” rutuk Datuk Gampo Alam. “Pemuda Jawa itu apa-apaan dia
ikut bersama anak setan ini!”
Begitu Andana dan Wiro sampai di hadapannya Datuk Gampo Alam langsung
menegur sinis sambil bertolak pinggang.
“Rupanya kau tidak punya nyali untuk datang sendirian!”
Andana hendak menjawab. Tapi Wiro cepat mendahului. “Kami memang
datang berdua, tapi yang punya urusan dengan manusia jelek licik sepertimu ini Cuma
satu. Kemenakanmu sendiri. Apa kau merasa ngeri menghadapainya….?”
Tampang Datuk Gampo Alam kelihatan kelam kemerahan. Dia berpaling pada
Andana. “Kau inginkan nyawaku. Mengapa masih ongkang-ongkang di atas kuda?
Turunlah untuk membuktikan mulut besarmu bahwa kau memang punya kemampuan
membunuhku
Andana tersenyum. Dia melirik pada Wiro. Murid Sinto Gendeng langsung
membuka mulut. “Rupanya Datuk kita ini ingin cepat-cepat menemui kematiannya.
Apa pendapatmu sobat?”
“Aku masih mau memberi kesempatan padanya untuk bertobat dan minta
ampun pada Tuhan sebelum meregang nyawa menghadap Penguasa Akhirat!”
Muka Datuk Gampo Alam seperti udang direbus. Lehernya disentakkan.
“Anak setan! Kau yang akan jadi cacing tanah lebih dulu!” hardik Datuk Gampo
Alam. Begitu Andana meloncat turun dari kudanya langsung saja dia menyerang
dengan jotosan keras ke arah pinggang. Andana tidak tinggal diam. Masih melayang
di udara kaki kanannya melesat ke arah kepala Pamannya itu. Mau tak mau Datuk
Gampo Alam terpaksa tarik pulang serangannya. Dia membalik ke kiri dengan cepat.
Begitu tendangan Andana lewat sang Datuk balas menghantam dengan kaki kanan.
Andana berseru kaget. Kaki sang Datuk menyambar begitu cepat dan tak terduga.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 64
Sedang dari mulutnya terdengar suara aneh seperti binatang mencicit. Selanjutnya
tubuhnya tampak bergerak kian kemari, melenting-lenting seperti bola, tangan dan
kakinya berkelebat aneh dalam gerakan-gerakan yang tidak terduga, menggapai
merobek ganas. Inilah ilmu silat “tupai pesisir” yang sangat berbahaya. Baru dua
jurus mengeluarkan ilmu silat aneh itu terdengar suara pakaian robek. Andana
melompat mundur. Pakaian putihnya robek di bagian dada dan kulit dadanya
kelihatan tergurat cukup dalam hingga tampak darah mengambang.
“Anak setan! Itu peringatan pertama untukmu!” kata Datuk Gampo Alam.
“Sebentar lagi akan kuputus urat lehermu! Kini aku yang memberi kesempatan
padamu untuk bertobat sebelum mampus!”
Andana ganda tertawa. Tubuhnya membuat gerakan seperti merunduk. Tibatiba
kakinya melest ke atas lalu menderu ke bawah. Datul Gampo Alam tersentak
kaget melihat gerakan silat yang aneh ini. Namun dia tidak berkesempatan
memperhatikan lebih lama karena saat itu serangan-serangan si pemuda datang
bertubi-tubi. Inilah ilmu silat Kumango Tujuh Serangkai yang dipelajari Andana dari
gurunya Datuk Alis Merah di Asahan.
Dalam ilmu silat Datuk Gampo Alam punya pengetahuan dan pengalaman
luas. Dia tahu betul kehebtan dan kelemahan masing-masing ilmu silat. Namun sekali
ini dia dibuat tak berdaya dan tak mampu menerka ilmu silat apa yang dimainkan
Andana untuk menyerangnya. Saat demi saat dia merasa tekanan yang berat dan
membuatnya terdesak. Satu kali ketika dia terlambat mengelak, pukulan tepi telapak
tangan kanan Andana bersarang di bahunya. Sang Datu mengeluh tinggi. Tulang
bahunya seperti remuk. Dalam keadaan termiring-miring Datuk Gampo Alam cabut
saluang di pinggangnnya.
“Sobatku, jika saluang itu ditiupnya kau boleh menyanyi dan aku akan
menari!” Pendekar 212 yang berada di tepi kalangan perkelahian. Sementara itu udara
di atas Ngarai Sianok tiba-tiba saja berubah mendung.
“Anak-anak setan!” kata Datuk Gampo Alam. “Kalian boleh menegjek! Lihat
saja apa yang akan terjadi dengan diri kalian! Aku sudah mencium kematian kalian!”
Lalu Datuk Gampo Alammeniup saluangya kuat-kuat. Bersamaan dengan
terdengarnya suara lengkingan saluang tiba-tiba dari lobang sebelah bawah seruling
bambu itu keluar dua buah gelembung yang saat demi saat semakin besar, semakin
besar dan akhirnya berubah bentuk menjadi dua mahluk katai berkulit merah dan
hanya mengenakan cawat. Kepala botak sedang gigi-gigi serta taring-taring yang
runcing panjang kelihatan mengerikan. Jari-jari tangannya pendek-pendek tetapi
berkuku panjang berwarna hitam legam!
“Anak-anak, kalian sudah lama tidak menghisap darah. Lekas serang pemuda
yang sebelah depan. Jika kawannya berusaha membantu, bunuh keduanya!”
Mahluk katai aneh itu berteriak hingar bingar lalu melesat ke depan,
mengeroyok Andana. Gerakan dua mahluk katai ini cepat bukan main. Sepuluh kuku
jari mereka berkelebat ganas. Setiap menyerang, mereka berusaha mendekatkan mulut
pada perut atau dada dan leher Andana. Jelas mahluk ini memang ingin menyedot
darah si pemuda. Dikeroyok dua begitu rupa Andana kembali mainkan jurus-jurus
ilmu silat Kumango Tujuh Serangkai.
Dengan ilmu silatnya ini Andana berhasil menggebuk, menjotos dan
menendang dua mahluk itu. Tapi anehnya seperti tidak merasa, keduanya tertawatawa
dan berjingkrak-jingkrak setiap kali kena hantaman!
Ilmu iblis! Rutuk Andana dalam hati. Jari tangannya diarahkan lurus-lurus
pada dua mahluk katai itu. Ketika didorongkan ke depan, satu larik sinar merah panas
menderu ganas ke arah mahluk katai di sebelah kanan. Pohon bahkan batu sekalipun
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 65
akan hancur berantakan terkena pukulan “inti api” yang barusan dilepaskan Andana.
Namun yang diserang kelihatan tertawa-tawa. Begitu sinar merah menyambar di
depan mukanya, dia membuka mulutnya lebar-lebar. Lalu seperti seorang melahap
makanan yang enak begitulah dia menelan sinar api panas pukulan sakti itu.
Sementara itu kawannya sambil berjingkrak-jingkrak sesekali bergelantungan pada
jalus sinar merah panas seolah benda itu adalah seutas tali! Di sebelah sana Datuk
Gampo Alam terus saja tiup saluangnya.
Celaka, aku tak bisa bertahan lebih lama! Keluh Andana dalam hati. Berarti
bahaya besar mengancamnya kini. Pemuda ini melirik ke arah Wiro seolah minta
dibantu. Dalam keadaan seperti itu Pendekar 212 tidak mau turun tangan dan
melakukan pengeroyokan. Setelah berpikir keras murid Sinto Gendeng ini berkata.
“Sobatku Harimau Singgalang. Jika ekornya tak bisa dihancurkan, mengapa
tidak kembali ke asalnya?”
Mula-mula Andana tidak mengerti ucapan itu. Namun begitu dia paham maka
langsung saja dia melompat ke udara. Dua mahluk katai ikut melompat. Dari atas
Andana lepaskan lagi pukulan sakti “inti api” Sekali ini bukan diarahkan pada dua
mahluk katai berkepala botak yang matian-matian berusaha menancapkan taringtaringnya
ke bagian tubuh Andana untuk kemudian disedot darahnya. Kini yang
menjadi sasaran Andana adalah saluang yang ditiup Datuk Gampo Alam, sari mana
dua mahluk tadi keluar secara aneh.
Wussss!!!
Braaak!!
Saluang yang ditiup sang Datuk hancur berantakan. Datuk Gampo Alam
sendiri terlempar dua langkah dan terduduk di tanah. Salah satu jarinya tampak
mengucurkan darah!
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 66
ENAM BELAS
Bersamaan dengan hancurnya saluang di tangan Datuk Gampo Alam dua mahluk
katai terdengar menjerit keras. Tubuh mereka perlahan-lahan menciut hingga
akhirnya hanya tinggal seujung jari kelingking untuk kemudian lenyap tanpa bekas!
Datuk Gampo Alam cepat bangkit berdiri. Mukanya kelam membesi
sementara huja mulai turun rintik-rintik di kawasan itu. Dari arah Timur saat itu
sebuah kereta meluncur cepat menuju Ngarai Sianok.
“Anak setan!” tiba-tiba Datuk Gampo Alam membentak, tangan kanannya
bergerak mencabut keris Tuanku Ameh Nan Sabatang. “Dulu dengan keris sakti
bertuah ini kuhabisi Bapakmu! Rupanya sudah menjadi takdir, kaupun akan
menemui ajal di tanganku, dengan keris ini!” begitu senjata itu digerakkan sinar
kuning berkiblat. Andana merasa ada hawa dingin menyambar. Cepat-cepat dia
kerahkan tenaga dalam dan lepaskan satu pukulan tangan kosong. Sang Datuk merasa
seolah didorong oleh satu tembok besar. Karenanya dia kerahkan tenaga dalamnya
sampai tangannya yang memegang keris bergetar hebat. Pada puncak bentrokan
tenaga dalam dengan cerdik Datuk Gampo Alam membuat gerakan menyusup dari
samping. Sinar kuning kembali berkiblat. Andana merasakan ada hawa dingin
menyambar wajahnya. Secepat kilat dia melomapt ke kiri dan balas menyerang.
Seperti sudah diketahui dalam ilmu silat meskipun memiliki pengalaman luas,
namun Datuk Gampo Alam masih kalah jauh dengan kemenakannya itu. Karena
untuk mempergunakan keris sebagai senjata harus didasari dengan ilmu silat juga
maka walau senjata itu sakti bertuah tetap saja Datuk Gampo Alam tak bakal mampu
mempecundangi lawannya. Malah dalam satu gebrakan hebat Andana berhasil
mennendang lengan kanan Datuk Gampo Alam. Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang
mencelat ke udara. Andana melompat menyambuti selagi keris itu jatuh ke bawah.
“Saatmu menerima kematian Datuk keparat!” teriak Andana. Smbil melayang
turun dia tusukkan keris di tangan kanannya ke arah Datuk Gampo Alam. Keris
menyambar dari arah kiri. Datuk Gampo Alam mengelak ke kanan. Mendadak
Andana menggebrak ke kanan. Keris sakti bertuah kembali menusuk.
Breettt!
Baju Datuk Gampo Alam di bagian bahu kanan robek besar. Namun tubuhnya
lolos dari tusukan keris emas itu. Tiba-tiba Datuk Gampo Alam keluarkan suara
seperti anjing melolong. Bersamaan dengan itu kedua tangannya mencekal
pergelangan tangan kanan Andana lalu ditarik kuat-kuat. Terjadilah satu hal yang
tidak bisa diterima akal. Tubuh Datuk Gampo Alam lenyap amblas ke dalam tanah.
Andana berteriak kesakitan sewaktu tangannya yang memegang keris terseret di atas
permukaan tanah. Tubuhnya berguling jungkir balik. Dia berusaha melepaskan
tangannya namun sia-sia.
Pendekar 212 berseru kaget melihat kejadian itu. Ilmu iblis apa yang dimiliki
Datuk keparat itu. Bagaimana dia bisa masuk ke dalam tanah dan menarik tangan
Andana.
Pekik Andana semakin keras. Dengan tangan kirinya dia berusaha memukul
gunjulan tanah yang bergerak yang rupanya adalah tubuh atau kepala Datuk Gampo
Alam. Tapi tidak ada hasilnya. Sementara itu jari-jari tangan dan daging di bagian
belakang telapak tangannya telah mengelupas. Dari langit hujan turun mulai lebat.
Anak Datuk Bandaro Sati itu tak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya guna
melepaskan tangannya.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 67
Wiro yang juga dalam keadaan bingung karena tidak tahu harus menolong
bagaimana, untuk beberapa saat hanya bisa berlari di samping Andana. Sambil lari
akhirnya Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Dengan senjata ini
dihantamnya bagian tanah yang menggunjul dan bergerak. Cahaya putih menyilaukan
yang disertai hamparan hawa panas luar biasa dan dibarengi suara seperti tawon
mengamuk menggema di tempat itu.
Tanah dan pasir serta batu-batu kerikil muncrat berterbangan. Di tanah
kelihatan lobang sedalam satu jengkal. Ternyata hantaman Kapak Maut Naga Geni
212 tidak menolong walau sudah dipukulkan beberapa kali. Tangan kanan Andana
semakin parah. Darah mulai mengucur sedang lapisan kulit dan daging sudah
terkelupas dalam. Satu hal yang masih bisa dilakukannya, keris Tuanku Ameh Nan
Sabatang tidak mau dilepaskannya dari genggamannya. Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara mengaum dahsyat. Dalam udara yang semakin gelap itu sementara
hujan bertambah lebat tiba-tiba muncul seekor harimau besar.
Pendekar 212 sampai tersurut saking kagetnya. Andana tidak kalah kejutnya.
Namun entah mengapa pemuda ini tiba-tiba saja menjadi tenang. Saling bertatapan
begitu dekat Andana membatin.
Binatang ini, aku yakin adalah harimau yang muncul mengawal Ayahku
waktu di Asahan dulu. Ayah, apakah kau mengirimkannya untuk menolongku?
Binatang jejadian itu mengaum sekali lagi. Lalu tubuhnya menukik ke bawah
dan astaga! Harimau besar amblas lenyap ke dalam tanah.
Saat itu pula cekalan pada lengan Andana terlepas. Lalu terjadilah hal luar
biasa. Di dalam perut bumi terdengar bentakan-bentakan manusia dan auman harimau
berulang kali. Seolah tengah terjadi perkelahian antara manusia dengan seekor
harimau. Hal itu tidak berlangsung lama. Didahului oleh satu lolongan panjang dan
auman yang menggetarkan tanah, tiba-tiba dari dalam tanah melesat sosok tubuh
Datuk Gampo Alam. Tubuh dan kepalanya sampai ke muka penuh berselomotan
tanah hingga kelihatan menyeramkan. Di samping itu pada bahu kiri, pangkal leher
dan bawah dagu ada luka panjang seperti dicakar.
Untuk kedua kalinya dari dalam tanah melesat keluar harimau besar itu.
Telinga kirinya kelihatan mengucurkan darah. Binatang ini memandang Datuk
Gampo Alam sesaat, mengaum keras membuat sang datuk tersurut gentar lalu
berputar-putar beberapa kali mengelilingi Andana, mengaum sekali lagi dan lenyap!
Pendekar 212 gelengkan kepala dan leletkan lidah.
Kawatir kalau musuh besar pembunuh Ayahnya itu akan masuk kembali ke
perut bumi Andana yang masih memegang keris Tuanku Ameh Nan Sabatang cepat
menyerbu dan kirimkan satu tikaman ke arah batang leher Datuk Gampo Alam.
Perkelahian seru terjadi sampai delapan jurus. Walaupun belum dapat melukai
lawannya dengan senjata sakti bertuah itu namun Andana lagi-lagi membuat sang
Datuk terdesak hebat.
Jahanam, ilmu silat apa yang dimiliki anak setan ini hingga aku tidak bisa
memecahkan kelemahannya! Maki sang Datuk. Sebelum Andana menyerbunya
kembali dia melompat mundur.
“Kau kira kau bisa lari dari kematianmu Datuk celaka!” teriak Andana.
Datuk Gampo Alam menyeringai. “Siapa yang lari,” jawab Datuk Gampo
Alam sambil menyentakkan leher dua kali. Kedua tangannya disilangkan di depan
dada. Mulutnya berkomat-kamit. Kedua matanya dikejapkan. Wutt….wuuuttt! Dari
kedua mata itu tiba-tiba melesat sebuah benda putih panjang, meliuk-liuk seperti ular.
Selagi Andana dan Wiro terperangah melihat hal itu sang Datuk goyangkan kepalanya.
Dua binatang putih lagi melesat keluar. Kini dari telinga kiri kanan. Ketika dia
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 68
mendengus, maka sepasang berikutnya melesat keluar dari hidung. Datuk Gampo
Alam membuka mulutnya lebar-lebar. Benda yang sama dalam ukuran lebih besar
menderu keluar dari mulutnya. Benar-benar mengerikan!
“Gila! Ilmu apa ini?!” ujar Wiro sementara Andana memasang kuda-kuda dan
menyiapkan pukulan “inti api” di tangan kiri.
Ternyata masih ada lagi dua benda putih panjang keluar dari tubuh sangDatuk.
Satu dari anusnya dan satu lagi dari lobang kemaluannya. Ternyata binatang-binatang
itu keluar dari setiap lobang yang ada di tubuhnya!
“Kau takut anak setan?!” ujar Datuk Gampo Alam seraya melangkah
mendekati Andana. “Ilmu Belut Putih hanya aku yang memiliki di dunia! Kau
merupakan korbannya yang pertama!” Habis berkata begitu Datuk Gampo Alam
keluarkan suara mendengus dari hidungnya. Dua ekor belut putih yang ada di dua
lobang hidungnya melesat ke arah Andana.
Harimau Singgalang berteriak keras. Tangan kirinya dihantamkan. Pukulan
“inti api” menyambar belut putih yang di kiri tapi luput. Belut putih yang kedua
dibabatnya degnan keris Tuank Ameh Nan Sabatang.
Crasss! Belut itu terkutung dua. Tapi begitu jatuh ke tanah hidup kembali dan
menjadi ddua ekor, terus menyerang Andana. Datuk Gampo Alam tertawa mengekeh.
Belut putih besar dimulutnya meluncur semakin panjang dengan kepala tegak siap
untuk mematuk.
Belut putih pertama yang lolos dari pukulan “inti api” melesat ke muka
Andana. Sebelum pemuda ini sempat mengelak binatang ini telah menyusup masuk
ke dalam lobang hidung kiri Andana! Pemuda ini jadi gelagapan dan berusaha
menarik keluar belut yang masuk ke dalam hidungnya itu. Tapi semakin ditarik
semakin dalam masuknya binatang ini. Darah mulai mengucur.
“Celaka!” seru Pendekar 212. tanpa menunggu lebih lama dia segera cabut
Kapak Maut Naga Geni 212 dan melompat ke hadapan Andana. Sinar ternag
menyilaukan berkiblat di bawah udara gelap dan curahan hujan.
Crass! Belut putih di hidung Andana putus dua, jatuh ke tanah dan hidup lagi!
Dua binatang ini kini menyerang Wiro!
“Keparat sialan! Apa yang harus kulakukan!” saat itu salah seekor dari belut
putih itu berhasil menancapkan mulutnya di betis kiri Pendekar 212. Wiro hendak
merambasnya dengan senjata mustikanya. Tapi percuma saja pikirnya karena itu
hanya akan menambah banyaknya jumlah binatang-binatang jejadian itu! Dengan
menggeram Wiro berpaling pada Datuk Gampo Alam. Dia ingat sesuatu. Hatinya
meragu. Tadi Andana telah menghantam belut putih itu dengan pukulan “inti api”.
Jika dia menghantam dengan batu apinya, apakah akan mempan? Tak ada jalan lain.
Dia harus mencoba. Kalau tidak dia akan menemui ajal bersama Andana di tempat
itu!
Dari balik pakaiannya murid Sinto Gendeng keluarkan sebuah batu hitam
empat persegi yang merupakan pasangan Kapak Maut Naga Geni 212. Batu ini
digosokkannya kuat-kuat ke mata kapak dan diarahkan pada Datuk Gampo Alam.
Disaat yang sama sang Datuk buka mulutnya lebar-lebar. Belut putih paling besar
yang bergelantungan di mulutnya melesat menyambar ke leher Pendekar 212.
Wusss!
Lidah api yang luar biasa panasnya menyambar. Belut putih besar yang
menyerang Wiro mencelat mental, hancur cerai berai di udara. Ketika jatuh ke tanah
ternyata binatang jejadian ini tidak berkembang biak menjadi banyak. Potonganpotongan
tubuhnya berubah menjadi asap dan akhirnya sirna.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 69
Datuk Gampo Alam tersentak kaget. Kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro
untuk menghantam lagi dengan gosokan kapak dan batu. Sekali ini dia mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya sementara andana berusaha melepaskan diri dari gigitan dua
ekor belut putih yang menancap di pahanya kiri kanan!
Datuk Gampo Alam berteriak keras ketika satu gelombang api sebesar rumah
mengggebubu ke arahnya. Di lain kejap tubuhnya tenggelam dalam kobaran api.
Semua belut putih yang ada di tubuhnya hancur cerai berai. Anehnya yang ada di
tempat lain seperti yang menancap di kaki Wiro dan Andana ikut-ikutan leleh,
berubah jadi asap lalu lenyap!
Dalam kobaran api kelihatan sosok Datuk Gampo Alam melesat ke atas.
Begitu kobaran api lenyap kelihatan orang ini tegak menyeringai sambil bertolak
pinggang. Tubuhnya tidak cidera sedikitpun. Bahkan pakaiannya sama sekali tidak
hangus! Sarung keris emas bertuah yang ada di pinggangnya juga kelihatan tidak
mengalami kerusakan. Hanya ilmu “belut putih”-nya saja yang musnah!
Luar biasa! Bagaimana ada manusia sehebat bangsat satu ini! Kertak Wiro. Di
sampingnya Andana keluarkan suara menggeram.
“Anak setan! Kau telah ikut campur urusanku! Berarti kau memilih mampus
bersama kemenakan durhaka itu!” Datuk Gampo Alam berkata dengan mimik bengis.
“Kalian berdua silahkan maju bersamaan agar waktuku tidak terbuang percuma!”
Wiro tertawa gelak-gelak. “Lagakmu hebat amat Datuk! Kau akan mati jadi
setan penasaran karena tak dapat mengawini Bunga! Ha….ha…..ha…..!”
Mendengar kata-kata Wiro itu mendidihlah amarah Datuk Gampo Alam.
Kepalanya disentakkan dua kali lalu didahului bentakan keras dia melompat ke arah
Wiro dan Andana.
“Sahabat,” kata Wiro pada Andana. “Kau pergunakan kapak ini. Kerahkan
tenaga dalammu setiap kau melakukan serangan!”
Wiro melemparkan Kapak Maut Naga Geni 212 pada Andana.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 70
TUJUH BELAS
Harimau Singgalang ini tak sempat berpikir banyak dan cepat menyambuti senjata
mustika itu. Ketika Datuk Gampo Alam melompat ke hadapannya sambil
melancarkan satu pukulan tangan kosong, Andana segera menyambut dengan salah
satu jurus terhebat ilmu silat Kumango Tujuh Sarangkai, membuat sang Datuk
terpaksa bersurut.
Dua jurus menggebrak Kapak Maut Naga Geni 212 berhasil membabat bahu
kiri lawan. Datuk Gampo Alam berteriak setinggi langit. Darah muncrat. Bahu kirinya
putus dan jatuh ke tanah. Tapi begitu potongan tangan itu menyentuh tanah, tiba-tiba
potongan itu melesat kembali ke tempatnya semula di pangkal bahu sang Datuk.
Bersamaan dengan itu Datuk Gampo Alam tertawa mengekeh.
“Kalian bermimpi kalau menduga bisa membunuh Datuk Gampo Alam!”
Habis berkata begitu sang Datuk sorongkan kepalanya ke depan. “Kau boleh menabas
batang leherku! Aku tidak akan melawan! Ha…ha….ha….”
“Kurang ajar!” kertak Andana. Sekali berkelebat dia babatkan Kapak Maut
Naga Geni 212. sinar putih menyilaukan berkiblat panas disertai suara keras seperti
ratusan tawon mengamuk. Yang dituju Andana benar-benar batang leher Pamannya
itu.
Craaaas!
Lagi-lagi darah menyembur begitu leher Datuk Gampo Alam putus.
Kepalanya jatuh dan menggelinding ke tanah. Dan pada saat kepala itu pula kepala ini
melesat kembali ke tempatnya semula! Leher yang putus bersambung kembali tanpa
kelihatan sedikit ciderapun!
Datuk Gampo Alam tertawa bergealk sementara Andana dan Wiro Sableng
tertegun saling pandang dengan muka pucat. Wiro tiba-tiba ingat pada keterangan
kakek sakti Tua Gila. Yaitu bahwa walau ditabas jadi berapa potonganpun Datuk
Gampo Alam tidak akan bisa mati selama tubuhnya atau kedua kakinya masih
menginjak bumi!
Hujan turun makin lebat. Udara mulai gelap karena di Barat sang surya siapi
tenggelam. Sementara itu dari arah Selatan Ngarai Sianok sebuah kereta meluncur
cepat ke arah tempat di mana Andana dan Wiro serta Datuk Gampo Alam berada.
“Apa yang harus kita lakukan?” Andana mendekati Wiro dan berbisik.
Murid Eyang Sinto Gendeng usap mukanya yang basah oleh air hujan.
“Seseorang pernah memberi tahu kelemahan ilmu manusia iblis ini. Kita harus
memancingnya….” Lalu Wiro berpaling pada Datuk Gampo Alam.
“Datuk ilmumu memang tinggi. Tapi sayang cuma sulapan belaka. Apa kau
berani untuk ditabas lehernya sekali lagi?!”
Datuk Gampo Alam menyeringai. “Kalian akan segera mampus di tanganku.
Tak ada salahnya mengikuti apa kemauan kalian barang sebentar. Silahkan kau mau
membacok dan menabas di bagian mana saja yang kau sukai!” Sambil tertawa
memandang enteng dengan sombongnya Datuk Gampo Alam sorongkan kepalanya ke
depan. Wiro berpaling pada Andana dan anggukkan kepalanya.
Tangan kanan Harimau Singgalang bergerak. Kapak Maut Naga Geni 212
berkelebat. Sinar menyilaukan berkiblat disertai deru keras dab hawa panas.
Crassss!
Untuk kedua kalinya leher Datuk Gampo Alam putus. Darah muncrat dan
kepalanya menggelinding jatuh di tanah. Saat itu pula Wiro melompat dan
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 71
menyambar pinggang sang Datuk. Tubuh orang ini kemudian dipanggulnya hingga
kedua kakinya tidak menginjak bumi!
Dari kepala yang tercampak di tanah terdengar suara Datuk Gampo Alam.
“Turunkan tubuhku! Turunkan aku ke tanah!” Tubuh yang dipanggul Wiro melejanglejangkan
kaki dan tangannya namun tidak berdaya untuk melancarkan serangan
karena gerakannya makin lama makin lemah.
Dalam ngeri dan tidak percayanya melihat apa yang terjadi Andana hanya bisa
tertegak diam. Suara teriakan Datuk Gampo Alam semakin perlahan dan mendelik.
Pada saat itulah sebuah kereta meluncur cepat dan berhenti di tempat itu. Dari atas
kereta terdengar jeritan perempuan.
“Bunga!” seru Andana.
Wiro berpaling. Bunga hampir pingsan melihat kepala ayahnya menggeletak
di tanah sedang tubuhnya yang lain dipanggul oleh Wiro. Dari kutungan leher
kelihatan darah mengucur.
“Demi Tuhan! Ya Allah! Apa yang terjadi! Jangan bunuh! Jangan bunuh dia!
Dia Ayah saya…..” Habis berteriak begitu Bunga tersungkur jatuh di tanah yang becek.
Dua mata Datuk Gampo Alam yang mendelik berputar ke arah Bunga dan menatap
gadis itu dengan pandangan aneh. Mulutnya terbuka. Tapi tak terdengar apa yang
diucapkannya.
Akan halnya Wiro, begitu melihat Bunga dan mendengar ucapan gadis tiu,
tubuh Datuk Gampo Alam yang dipanggulnya terjatuh lepas. Pada saat dua kaki sang
Datuk menyentuh tanah, tiba-tiba kutungan kepalanya melesat menuju lehernya! Sang
Datuk hidup kembali!
“Celaka!” seru Wiro. Andana bersurut mundur. Datuk Gampo Alam
memandang berkeliling lalu melangkah ke arah Bunga.
“Jangan dekati gadis itu!” teriak Andana.
Datuk Gampo Alam tidak perduli. Dia melangkah terus. Ada rasa takut di hati
Bunga ketika melihat Datuk Gampo Alam mendekatinya. Dia cepat berdiri.
“Bunga….. Tadi kau mengatakan aku…..aku….ini Ayahmu…..? Atau telingaku
salah mendengar?” Ucapan itu keluar dari mulut Datuk Gampo Alam.
“Manusia jahat sepertimu tidak mungkin menjadi Ayah gadis itu!” teriak
Andana seraya mendatangi. Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang ditusukkannya ke
dada sang Datuk.
“Kakak…. Demi Tuhan! Jangan bunuh dia! Sudahi semua permusuhan ini!
Datuk Gampo Alam adalah Ayah kandung saya……”
Pendekar 212 jadi garuk-garuk kepala. Andana ternganga dan membeliak tak
berkesip. Datuk Gampo Alam keluarkan jeritan keras. Lalu putar tubuhnya dan lari ke
arah sebuah bukit kecil di ujung Ngarai Sianok.
“Ayah! Kau mau kemana?!” teriak Bunga memanggil. Ketika dia hendak
mengejar Andana cepat memegang lengan gadis itu. “Ayah…..!”
Datuk Gampo Alam tidak perdulikan teriakan Bunga. Dia lari terus sampai
akhirnya tiba di atas bukit kecil. Pada saat itu terdengar guntur menggelegar. Langit
terang benderang. Petir tampak menyambar di puncak bukit. Bunga terpekik keras
ketika melihat bagaimana petir menghantam tubuh Ayahnya. Tubuh Datuk Gampo
Alam kelihatan mengepulkan asap lalu terbanting roboh ke tanah bukit.
“Ayah!” teriak Bunga. Kali ini Andana tak kuasa lagi menahan gadis itu. Dia
mengikuti lari Bunga dari belakang. Begitu juga Wiro. Mereka menuju ke puncak
bukit.
“Jangan!” kata Andana ketika Bunga hendak menjatuhkan diri memeluk tubuh
Datuk Gampo Alam yang masih sangat panas dan mengepulkan asap serta tak karuan
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 72
bentuknya itu. Anehnya sarung keris Tuanku Ameh Nan Sabatang tampak tergeletak
tak jauh dari mayat Datuk Gampo Alam. Ketika Bunga mendudukkan dirinya di tanah
dan menangis keras. Andana melangkah mengambil sarung keris itu. Lalu dia kembali
mendekati Bunga. Beberapa lamanya dipandanginya gadis itu. Lalu terdengar dia
berkata.
“Bunga….”
Bunga menurunkan kedua tangannya yang dipakai menutupi wajahnya.
“Saya harus pergi sekarang. Sahabat saya Wiro akan mengantarkanmu pulang.
Dia juga akan mengurusi jenazah Datuk Gampo Alam kalau dia memang Ayahmu….”
“Kakak hendak kemana?” tanya Bunga dengan lidah kelu.
“Saya belum tahu mau pergi kemana. Saya titipkan rumah gadang dan isinya
padamu…..”
Gadis itu berusaha berdiri hendak merangkul tubuh Andana. Tapi Harimau
Singgalang memutar tubuh dengan cepat dan meninggalkan bukit di tepi Ngarai
Sianok itu menuju ke Timur.
Tak ada perubahan pada telaga di Asahan itu. Suasana sejuk terasa
menyegarkan. Tiupan angin seolah memberikan kekuatan yang ajaib. Di ujung jalan
yang menurun Harimau Singgalang sudah dapat melihat gadis itu duduk
membelakanginya, menghadap ke telaga yang jernih. Seperti punya firasat kalau ada
seseorang tegak memperhatikannya dari kejauhan, Halidah berpaling.
Sesaat gadis itu tercengang. Bibirnya yang merah segar terbuka dan terdengar
suaranya berkata antara percaya dan tidak.
“Betul Abang yang saya lihat ini….?”
Andana tertawa lebar. Dia melangkah cepat-cepat sambil mengembangkan
kedua tangannya. Halidah tak dapat menahan hatinya lagi. Gadis ini berteriak lalu
tenggelam ke dalam pelukan hangat Andana.
“Jangan pergi lagi Bang. Jangan tinggalkan saya lagi untuk selamaselamanya….”
bisik Halidah. Air matanya terasa hangat di dada Andana.
“Abang tak akan pergi lagi Halidah. Tak akan Abang tinggalkan lagi kau untuk selama-lamanya,” bisik Andana lalu mencium dalam-dalam rambut hitam Halidah.
TAMAT
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 2
76. Harimau Singgalang
SATU
Hari itu hari ketiga di bulan kedelapan merupakan hari besar bagi penduduk
Pagaralam dan sekitarnya. Suara talempong, rabab dan saluang terdengar tiada putusputusnya.
Sejak pagi halaman rumah gadang tempat kediaman Datuk Gampo Alam
telah dipenuhi oleh para tetamu yang berdatangan dari berbagai penjuru.
Di barisan kursi sebelah depan, dinaungi oleh payung-payung besar berwarna
warni duduklah sang Datuk didampingi keempat istrinya di sebelah kiri sedang di
sebelah kanan duduk seorang pemuda tampan kemenakan Datuk Gampo Alam,
bernama Andana.
Begitu banyaknya tamu yang datang hingga di antara mereka ada yang tidak
kebagian tempat duduk. Namun semuanya dengan senang hati tegak di sekeliling
halaman menunggu dimulainya acara perhelatan besar itu.
Perhelatan besar ini diadakan sebgaai ungkapan rasa syukur atas kembalinya
sang kemenakan setelah beberapa tahu menghilang di negeri orang. Pada kesempatan
yang sama perhelatan ini juga sebagai ungkapan rasa duka cita dalam mengenang
berpulangnya Datuk Bandaro Sati, ayah dari Andana dan kakak dari Daruk Gampo
Alam. Sesuai dengan berita yang telah didengar orang dari mulut ke mulut, Datuk
Bandaro Sati mati dibunuh orang di sekitar Ngarai Sianok beberapa waktu lalu. Siapa
pembunuhnya masih belum diketahui. Sementara itu jenazah Datuk Bandaro Sati
telah dimakamkan di puncak gunung Singgalang di mana berdiam kakak perempuan
almarhum bernama Uning Ramalah. Kabarnya perempuan yang sudah tua ini
merupakan seorang nenek sakti mandraguna yang mempunyai pantangan membunuh.
Itu sebabnya dia tidak turun gunung guna menuntut balas atas kematian adiknya.
Andana selain tampan dan bertubuh kekar diketahui orang sebagai seorang
pandeka (pendekar) berilmu silat tinggi, memiliki tenaga dalam tinggi dan kesaktian
yang sulit dicari tandingannya.
Belakangan tersiar kabar bahwa konon pemuda itu telah dijuluki orang
sebagai Harimau Singgalang.
Di belakang deretan kursi yang diduduki Datuk Gampo Alam dan keluarganya,
duduk orang-orang terpandang yang datang dari Pagaruyung dan Batusangkar serta
Bukittinggi. Bahkan ada yang datang dari pesisir Pariaman.
Tumenggung Rajo Langit, tokoh besar di Pagaruyung sebenarnya juga
diundang tetapi tidak kelihatan hadir. Mungkin ada sangkut pautnya dengan dua
kejadian di Pagaralam beberapa waktu lalu antara Tumenggung Rajo Langit dan
orang-orangnya di satu pihak dengan Andana dan Pendekar 212 Wiro Sableng di lain
pihak.
Di antara orang banyak yang tegak mengelilingi halan rumah gadang kelihatan
seorang pemuda mengenakan saluak (kopiah khas Minang), berpakaian bagus
berwarna biru. Dia tegak sambil rangkapkan kedua tangan di depan dada.
Memandang berkeliling. Jika pandangannya bertemu dengan Andana maka diapun
tersenyu lebar dan mengacungkan jari jempolnya. Orang-orang di sekitar tempat dia
berdiri terheran-heran melihat pemuda ini. Mereka tidak mengenali siapa dia. Dan
anehnya pemuda ini memiliki potongan badan serta wajah yang mirip dengan Andana
kemenakan Datuk Gampo Alam itu.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 3
“Tak mungkin saudaranya Andana,” kata seorang tamu setengah berbisik.
“Setahu waden si Andana itu tak punya kakak tak punya adik….” (waden = aku)
Sementara itu di salah satu bagian rumah gadang, Bunga sedang didandani
oleh seorang juru solek. Di ruangan sebelah yang dipisahkan dengan batas sehelai
hordeng terletak brebagai perlengakapan untuk menari termasuk seperangkat carano
berisi sirih yang akan dipersembahkan pada Andana selaku tamu kehormatan dalam
perhelatan itu.
Sewaktu juru rias tengah membentuk dan mempertebal alis mata Bunga, tak
sengaja gadis ini mengerling ke arah ruangan sebelah. Dia melihat seorang
perempuan tinggi besar mengenakan baju kurung kuning dan berselendang
melangkah mendekati cerana berisi susunan daun sirih yang sudah diisi gambir dan
kapur. Karena tidak pernah melihat perempuan sebesar dan setinggi itu sebelumnya,
diam-diam Bunga memperhatikan terus orang ini. Dalam hati dia merasa aneh
mengapa justru orang-orang di sekitarnya seolah tidak memperhatikan perempuan
tinggi besar ini?
Dari dalam sehelai sapu tangan orang itu mengeluarkan sebuah botol kecil. Isi
botol kecil ini berbentuk cairan, ditebarkan di atas sirih. Tampak asap tipis mengepul.
Lalu orang ini cepat-cepat meninggalkan tempat itu tanpa bunga sempat melihat
wajahnya.
Selesai didandani dengan penuh rasa ingin tahu Bunga pergi ke ruangan
sebelah. Diperhatikannya tiga susunan sirih yang ada di atas cerana. Warnanya yang
seharusnya hijau segar telah berubah agak kehitaman. Bunga mendekatkan hidungnya
ke susunan sirih itu. Gadis ini merasa hidungnya seperti hendak tanggal. Dia batukbatuk
berulang kali. Wajahnya tampak agak pucat. Racun kala hutan….. kata Bunga
dalam hati. Mengapa perempuan tinggi besar tak dikenal tadi meracuni daun-daun
sirih itu? Siapa yang hendak diracuninya? Andana? Pasti Andana karena sesuai
kebiasaan sirih itu nanti akan dipersembahkan pada pemuda tersebut.
Andana akan mengunyahnya! Apa yang harus dilakukannya? Membuang
semua sirih itu lalu menggantikannya dengan yang baru? Tak ada jalan lain. Memang
hanya itu yang segera dan harus dilakukannya. Karena kalau Andana sampai
mengunyah dan memakan daun sirih persembahan yang telah disiram dengan racun
kala hutan itu maka nyawanya tidak akan tertolong lagi. Racun kala hutan adalah
racun paling jahat yang tidak ada obat pemusnahnya.
Seorang perempuan separuh baya muncul dari balik hordeng. “Bunga, saatmu
keluar. Lekas bawa cerana dan turun ke bawah. Para penari lainnya sudah
menunggu.”
Dengan agak gugup gadis itu berdiri lalu mengambil cerana di atas meja.
Bersamaan dengan itu dia cepat mengambil selembar daun sirih yang masih segar dari
atas meja, lalu diberinya gambir dan kapur sirih dan dilipatnya. Sebelum diletakkan di
atas cerana Bunga mengambil lagi sehelai daun sirih. Daun kedua ini dipergunakan
sabagai alas untuk meletakkan daun sirih yang tadi dilipatnya.
Meskipun sirih yang satu itu terlindung dari racun yang sudah melekat pada
sirih-sirih lainnya namun hati Bunga tetap saja merasa kawatir kalau-kalau racun kala
hutan bisa merambas menembus daun sirih yang dijadikan alas.
“Hai cepatlah Bunga! Apa yang kau lakukan itu?!” tegur perempuan tadi.
“Saya segera turun, Etek….” kata Bunga pula. (Etek = panggilan terhadap
perempuan lebih tua dan biasanya telah bersuami).
Perhelatan besar dan meriah itu dibuka dengan sambutan pendek yang tak lupa
dibumbui dengan pepatah pepitih di samping memuji-muji Datuk Gampo Alam dan
kemenakannya.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 4
Selesai sambutan perhelatan dilanjutkan dengan pergelaran Tari Piring. Tarian
ini dibawakan oleh dua pasang muda mudi diiringi bunyi-bunyian. Masing-masing
penari membawa sebuah piring kaca di tangan kiri kanan. Mereka menari meliuk-liuk
terkadang bergerak cepat menghnetak-hentak. Kemudian keempat menari bergerak
mengelilingi tumpukan pecahan kaca yang ditebarkan di atas tanah. Pada puncaknya
keempar penari itu menari dengan menjejakkan kaki mereka di atas pecahan kaca
tersebut. Kemudain mereka menari sambil bergulingan beberapa kali di atas kaca!
Setelah Tari Piring selesai masuklah rombongan debus memperlihatkan
kebolehan mereka dalam ilmu kebal. Ada yang menusuk perut dan dadanya dengan
berbagai senjata tajam. Mulai dari pisau sampai keris dan golok bahkan tombak. Ada
pula yang mencelupkan kedua tangannya dalam minyak mendidih kemudian
membasuh wajahnya dengan minyak panas itu. Seorang perempuan memperlihatkan
kemampuannya memakan kaca dan minum air mendidih. Pertunjukan diakhiri dengan
pergaan seorang lelaki muda melompat-lompat dia atas paku sambil memotongmotong
lidahnya dengan sebilah pisau. Pertunjukan debus ini disaksikan orang
banyak dengan perasaan berdebar. Orang-orang perempuan acap kali terpaksa
memalingkan muka mereka karena ngeri.
Pertunjukan puncak adalah penampilan rombongan muda mudi membawakan
Tari Gelombang. Di sebelah depan bergerak sembilan orang pemuda berpakaian
galembong dan destar hitam. Di sebelah belakang bergerak lima orang penari
perempuan yang kesemuanya adalah gadis-gadis cantik berbaju kurung berkain
songket. Rambut mereka dihias dengan sunting berwarna kuning emas. Yang paling
cantik di antara semua gadis penari itu adalah yang di depan sebelah tengah. Dia
memakai tengkuluk tanduk kerbau di atas kepalanya serta membawa cerana berisi
sirih. Gadis ini tentu saja adalah Bunga.
Sejak rombongan penari muncul sepasang mata Datuk Gampo Alam boleh
dikatakan tidak berkesip dari memperhatikan wajah dan tubuh Bunga. Duduknya
tampak tidak tenang. Lehernya berulang kali disentakkan. Tenggorokannya tampak
turun naik beberapa kali kelihatan dia membasahi bibirnya dengan ujung lidah.
Sesekali dia memandang berkeliling seperti mencari-cari seseorang. Zainab
istri tua sang Datuk sampai berkata “Dari tadi saya perhatikan Datuk seperti gelisah,
Siapa yang Datuk cari…. ?”
Datuk Gampo Alam tidak menjawab. Dia memandang berkeliling. Tiba-tiba
matanya membentur sosok Pendekar 212 Wiro Sableng yang tegak di tepi halaman di
antara orang banyak.
Datuk Gampo alam berpaling pada Andana. “Itu pemuda sahabatmu bernama
Wiro….?”
“Betul Paman…”
“Perlu apa dia berada di sini?”
“Dia orang asing di sini. Perhelatan ini tentu saja sangat menarik perhatiannya.
Sebagai seorang sahabat apa salahnya dia berada di sini menonton pesta. Saya yang
mengundangnya datang.”
“Dari mana dia dapat saluak dan pakaian bagus itu?” tanya Datuk Gampo
Alam lagi.
“Saya yang meminjamkannya,” jawab Andana.
Tampang Datuk Gampo Alam tampak berkerut dan masam. Dia memandang
berkeliling. Orang yang dicarinya akhirnya dilihatnya juga. Palindih. Sang Datuk
memberi isyarat agar Palindih mendekatinya. Begitu Palindih sampai di hadapannya
Datuk Gampo Alam segera berbisik. “Gadis yang membawa cerana itu, siapa dia?”
Astaga sudah bangkit pula gatal urang gaek ini! Kata Palindih dalam hati.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 5
“Namanya Bunga,” memberi tahu Palindih juga dengan berbisik. Lelaki ini
melihat harapan mencari untung. Untuk urusan beginian dia pasti akan mendapat
upah atau hadiah besar.
“Agaknya Datuk berhasrat ?” tanya Palindih kembali berbisik.
“Hemmm….” Datuk Gampo Alam usap-usap dagunya. Kedua matanya tak
lepas dari memandang wajah dan gerakan tubuh Bunga yang tengah menari. Lehernya
disentak-sentakkan berulang kali. “Nama bagus, orangnya cantik secantik bidadari….”
kata Datuk Gampo Alam agak keras diluar sadar. Tiba-tiba saja satu cubitan
menyambar pahanya hinga sang Datuk terlonjak di tempat duduknya.
Yang mencubit adalah Rukiah, istri Datuk Gampo Alam yang paling muda
dan duduk tepat di samping sang Datuk.
“Di saat-saat seperti ini sepantasnya Datuk menjaga mata dan mulut!” hardik
Rukiah tapi dengan suara sangat perlahan.
“Ah kau orang perempuan mau tahu saja urusan lelaki!” kata Datuk Gampo
Alam dengan muka cemberut.
Rukiah tak kalah cemberutnya malah dengan membelalakkan mata pada
Palindih dia berkata “Pergi kau dari sini! Berani kau menjadi comblang, kusuruh
potong burung tekukurmu!”
Palindih memandang pada Datuk Gampo Alam. Dia ragu sesaat. Akhirnya
Datuk berkata, “Sudah, pergi sajalah. Aku hanya sekedar bertanya, tak ada maksud
apa-apa. Lekas pergi Palindih. Kalau tidak habis aku bengkak-bengkak. Ada
kalajengking betina di sini! Aduah….!” Paha Datuk Gampo Alam kembali disambar
cubitan. Sakit dan pedas bukan main.
“Ada apa Mamak…..” tanya Andana terheran-heran.
“Tak ada apa-apa. Si Rukiah sudah tak sabar mau segera bersantap siang
makan besar! Dasar perempuan urusan perut saja yang diingatnya!” jawab Datuk
Gamp Alam berdusta.
Para pemuda yang menarikan Tari Gelombang yang berada di sebelah depan
bersibak ke kiri dan ke kanan memberi jalan pada gadis pembawa cerana. Dengan
lemah gemulai Bunga maju ke arah Andana selangkah demi selangkah. Kalau Andana
mengagumi kepandaian gadis itu menari, maka sebaliknya saat itu Bunga berada
dalam keadaan bingung serta takut. Kalau dia bergerak lebih dekat dan memberi tahu
bahaya yang mengancam pada si pemuda, jelas Datuk Gampo Alam dan orang-orang
di sekitarnya akan mendengar.
Maka sebisa-bisa yang dilakukan Bunga adalah membuat gerakan-gerakan
berupa isyarat tangan dan goyangan kepala agar Andana bangkit berdiri lalu
melangkah menghampirinya. Hal ini sebenarnya tidak pernah kejadian karena
seharusnya sang penarilah yang menghaturkan dan mempersembahkan sirih
persembahan kepada orang yang dihormati. Namun agaknya Bunga tak punya jalan
atau cara lain.
Sambil terus menari Bunga menggoyangkan kepalanya ke belakang. Kedua
matanya menatap lurus pada pemuda itu. Lalu tangan kanannya digerak-gerakkan
agar lebih jelas bagi Andana akan isyarat yang diberikannya. Mula-mula Andana
tidak memperhatikan. Namun setelah berulang kali Bunga membuat gerakan yang
sama dan menatap padanya, pemuda ini mulai menduga-duga agaknya ada sesuatu
yang hendak disampaikan gadis ini lewat isyarat goyangan kepala, tatapan mata dan
gerakan tanagn itu.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 6
DUA
Datuk Gampo Alam yang duduk di sebelah Andana dan banyak orang lainnya
juga sama merasa heran mengapa gadis pembawa sirih persembahan itu belum juga
bergerak maju mendekati tamu kehormatan guna memberikan persembahan sekapur
sirih. Bunga jadi tambah bingung. Keringat mengucur di kening dan kuduknya.
Andana sendiri perlahan-lahan mulai menangkap isyarat yang dibuat Bunga. Namun
hatinya masih meragu. Dia melirik pada Datuk Gampo Alam. Tampaknya sang
Paman mulai mencium adanya sesuatu yang tidak beres. Andana kemudian
memandang ke jurusan di mana sahabatnya Wiro Sableng berdiri. Sebenarnya
Wiropun berharap Andana melihat kepadanya karena sejak tadi dia sudah maklum
ada sesuatu. Dia ingin pula memberikan isyarat pada Andana agar mengikuti apa yang
diinginkan Bunga di balik isyarat yang diberikannya. Bagitu Andana memandang ke
padanya, Wiro serta merta menengadahkan telapak tangan kanannya lalu menggerakgerakkan
tangan itu ke atas. Sehabis membuat gerakan itu Wiro susul dengan gerakan
tudingan ibu jari berulang kali.
Akhirnya Andana menangkap juga apa maksud Bunga dengan isyarat
goyangan kepala serta gerakan tangan. Perlahan-lahan pemuda ini berdiri. Datuk
Gampo Alam hendak menegur tapi sang kemenakan sudah melangkah mendekati
penari yang membawa cerana berisi sirih persembahan. Bunga cepat menyongsong.
Cerana dipegangnya dengan kedua tangannya. Kedua kakinya ditekuk sedikit dan
kepalanya ditengadahkan. Dia memandang tersenyum pada si pemuda. Gemas sekali
Datuk Gampo Alam melihat apa yang dilakukan Bunga itu. Rasa cemburu membakar
dadanya.
“Ambil sirih paling atas. Yang lainnya mengandung racun!” bisik Bunga
seraya mengangsurkan cerana lebih tinggi.
Andana tentu saja terkesiap kaget mendengat bisikan gadis itu. Namun dia
cepat menguasai keadaan. Wajahnya yang tadi tampak berubah dihiasnya dengan
senyum yang dibalas pula dengan senyum oleh Bunga. Pemuda ini ulurkan tangannya
ke arah cerana. Sesuai dengan apa yang tadi dibisikkan Bunga dia mengambil lipatan
sirih segar hijau yang paling atas yang terletak begitu rupa di atas selembar daun sirih.
Sepintas dia dapat melihat bagaimana sirih-sirih lainnya berwarna aneh, hijau
kehitaman.
Dengan sirih di tangan kanannya Andana melangkah mundur, kembali ke
tempat duduknya.
“Makanlah sirih persembahan itu, Andana. Sengaja diberikan bukan saja
sebagai penghormatan tapi juga sebagai ungakapan syukur bahwa kau akhirnya
kembali ke Pagaralam dengan selamat.” Yang berkata adalah Datuk Gampo Alam
dengan senyum aneh bermain di mulutnya.
Andana memperhatikan sejenak sirih di tangannya.
“Apa lagi yang kau tunggu Andana? Makanlah….”
Andana menganggukkan kepalanya. Tanpa ragu-ragu sirih itu dimasukkannya
ke dalam mulutnya. Perlahan-lahan mulai dikunyahnya. Dia berpaling pada Datuk
Gampo Alam. Sang Paman dilihatnya angguk-anggukkan kepala dan masih
tersenyum.
Orang banyak bertepuk tangan dan ada yang bersorak sorai. Sementara itu
muda mudi yang menarikan Tari Gelombang tampak terus melenggang meliuk-liuk
mengikuti alunan tetabuhan. Datuk Gampo Alam yang tidak habis-habisnya
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 7
memperhatikan Bunga berkata pada istri mudanya “Rukiah, aku lihat tadi mulut
penari pembawa cerana itu bergerak seperti mengatakn sesuatu. Kau dengar apa yang
diucapkannya?’
“Mana mungkin telinga saya mendengar. Suara talempong keras sekali. Suara
gendang tak kalah kerasnya. Gadis itu mungkin suka pada kemenakan Datuk.
Barangkali mereka sudah saling kenal sebelumnya. Lagi pula perduli apa saya akan
segala yang diucapkannya?”
Datuk Gampo Alam terdiam. Ingatannya melayang pada beberapa kejadian di
masa lalu. Hemmmm…. dulu kedua anak ini memang pernah digunjingkan orang.
Pernah terlihat bercinta-cintaan di tengah jalan. Kalau begini aku harus bertindak
cepat!
Datuk Gampo Alam berpaling ke samping. Dilihatnya kemenakannya itu
mengunyah sirih dengan tenang. Sementara itu di atas rumah gadang sepi karena
semua orang turun ke bawah untuk melihat dari dekat keramaian itu. Seorang
perempuan tinggi besar berbaju kurung kuning dengan selendang yang hampir
menutupi seluruh wajah hingga mata kanannya seja yang kelihatan, mengintai dari
balik jendela. Anehnya mata orang ini besar dan merah tidak pantas untuk mata
seorang wanita. Satu kali angin bertiup agak kencang. Selendang yang menutupi
wajah itu tersingkap lebar hingga kelihatanlah begian besar wajah perempuan ini.
Astaga! Wajah ini ternyata wajah seorang lelaki yang menyeramkan. Mata kirinya
buta picak. Kumis dan cambang baeuknya meranggas kasar! Tangan kanannya yang
memegang pinggiran selendang tampak merah kehitaman seperti pernah terbakar.
Orang yang menyamar sebagai perempuan inilah tadi yang telah mengguyurkan racun
kala hutan di atas daun-daun sirih dalam cerana. Wajahnya yang angker tampak
tegang sewaktu menyaksikan bagaimana Andana masih tetap duduk dengan tenang di
kursinya, malah beberapa kali melayangkan senyum pada penari pembawa cerana.
Apa yang terjadi. Orang di balik jendela bertanya pada diri sendiri. Jelas dia
sudah memakan sirih beracun itu. Mengapa masih belum mati terjengkang?! Apa
benar dia memiliki kesaktian luar biasa hingga tak mempan racun? Celaka!
Orang ini pergunakan kedua tangannya untuk memegang selendang. Dengan
bergegas dia segera meninggalkan tempat itu.
Di bawah rumah gerak gerik orang yang tadi mengintai di balik jendela
ternyata sempat terlihat oleh Andana. Dia berbisik pada Datuk Gampo Alam.
“Mamak, ada seseorang di atas rumah gadang. Gerak geriknya mencurigakan.
Saya akan coba menyelidik dan mengejar!” (Mamak di sini artinya Paman)
Datuk Gampo Alam menoleh ke arah rumah gadang. Dia masih sempat
melihat punggung orang yang dikatakan Andana itu. Sesaat parasnya berubah. Lalu
cepat dia berkata. “Tetap saja di sini Andana. Tak ada yang perlu dikawatirkan. Orang
berbaju kurung kuning tadi kurasa pastilah salah satu dari juru masak. Lupakan hal itu
Andana. Tak sedap pula makan kita nanti.”
Hati Andana tetap tidak tentram. Dia tidak pernah melihat perempuan dengan
ukuran badan sebesar dan setinggi orang tadi. Maka diapun berpaling ke arah Wiro
berdiri. Namun sahabatnya itu dilihatnya tak ada lagi di situ.
Kemana pula sahabatku orang Jawa itu? Pikir Andana.
Dari tempatnya berdiri Wiro Sableng dapat melihat orang yang ada di jendela
rumah gadang. Walau wajahnya tidak jelas karena terus-terusan ditutup dengan
selendang namun bentuk tubuhnya yang tinggi besar menarik perhatian murid Eyang
Sinto Gendeng ini.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 8
Bukan main! Kata Wiro dalam hati. Baru kali ini aku melihat perempuan
begini besar dan tinggi. Gerak geriknya terasa aneh. Sebaiknya aku menyelidik ke
atas rumah sana. Siapa tahu nasibku mujur. Bertemu perawan cantik….. Selagi dia
berpikir seperti itu, perempuan berbaju kurung kuning di jendela rumah sudah lenyap.
Tanpa pikir panjang lagi Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu,
menyeruak di antara orang banyak. Dia terpaksa mengambil jalan berputar untuk
dapat sampai ke tangga di sisi kiri rumah gadang. Ketika Wiro sampai di dekat
bangunan lumbung padi, perempuan berbaju kurung kuning itu dilihatnya menuruni
anak tangga terakhir lalu berkelebat ke arah barisan pohon-pohon pisang.
Cepat sekali langkah perempuan itu. Eh, malah dia sekarang berlari.
Nah…..nah, dia berpaling ke arahku. Tak jelas wajahnya. Tapi astaga! Mengapa dia
melepas kain panjangnya.
Dua mata Wiro membesar ketika melihat di balik kain panjang yang dibuka
olrh perempuan tinggi besar itu sambil berlari ternyata dia mengenakan celana
galembong hitam. Kedua kakinya kini terlihat jelas.Besar berbulu dan dililiti gelang
akar bahar!
Laki-laki! Ternyata dia laki-laki! Eh, banci atau bagaimana?! Janganjangan….
Kalau dia bukan orang jahat apa perlunya menyelinap ke atas rumah
gadang, menyamar seperti perempuan!
Wiro berteriak. Tahu kalau dirinya sudah terlihat dan dikejar orang
“perempuan” berbaju kurung kuning itu mempercepat larinya. Wiro segera mengejar.
Yang dikejar lenyap di jalan kecil menurun. Lalu terdengar suara kuda digebrak orang
ke arah Timur.
Sialan! Gerutu Wiro. Dia memandang berkeliling, mencari-cari kalau-kalau
ada kuda di sekitar situ. Pendekar ini hanya bisa banting-banting kaki karena tak
seekor kudapun yang kelihatan. Tiba-tiba telinganya menangkap derap kaki kuda.
Yang satu ini justru mendatangi ke arahnya. Wiro cepat menyongsong. Seorang lelaki
tua muncul di atas punggung seekor kuda. Orang ini berpakaian dan berdestar putih.
Di tangan kirinya dia memegang sebuah saluang. Kedua mata Wiro jadi terbelalak
ketika dia mengenali orang ini (Saluang = suling khas Minang terbuat dari bambu)
Astaga! Si kakek ini adalah orang tua aneh berilmu tinggi yang dulu
menghadang jalanku sewaktu bersama Andana. Dia mencelakai diriku hingga
selangkangan celanaku robek besar. Lalu kutelanjangi dirinya, kurampas celananya!
Sesaat Wiro agak bimbang. Tapi dia perlu kuda tunggangan orang tua itu.
Dlam keadaan seperti itu si orang tua hentikan kudanya. Kedua matanya menatap
tajam ke arah Pendekar 212. Suling di tangan kanan dimelintangkan di depan dada.
Ah, pasti dia marah sekali padaku!
“Pencuri calana! Hari ini kita bertemu lagi! Mana celanaku yang kau rampas
tempo hari?!” orang tua itu membentak.
“Sabar, tenang…..”
“Sabar! Tenang! Enak betul cakapmu! Kau telanjangi diriku! Kau permalukan
aku! Apa sekarang kau hendak menelanjangi aku lagi huh?! Apa kau kira kini aku
bisa sabar dan tenang melihat tampangmu?!”
“Saya minta maaf atas kejadian tempo hari! Saya terpaksa melakukannya.
Itupun gara-gara kau membuat robek celanaku….”
“Apapun alasanmu kau tetap maling perampas calana! Dan kau tidak bisa
mengembalikan celana itu!”
“Akan aku kembalikan nanti. Aku berjanji!”
Orang tua di atas kuda tertawa sinis. Dia keluarkan suara mendengus lalu
berkata. “Kulihat kau berpakai dan mengenakan saluak bagus! Hemmm…. Pasti hasil
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 9
rampasan pula! Siapa pula yang telah kau telanjangi? Kali ini pasti tidak tanggungtanggung.
Kau rampas seluruh pakaiannya! Kau telanjangi orang sampai bugil!”
“Orang tua dengar….”
“Kau yang harus mendengar padaku! Bukan aku!” hardik si orang tua. “Dan
kali ini aku tidak Cuma bicara dengan mulut ! Tapi juga dengan ini !”
Wiro hendak menggaruk kepalanya karena tak tahu mau bicara apa lagi.
Selain itu dia merasa sangat risau karena orang yang dikejarnya tentu sudah semakin
jauh. Di hadapannya saat itu sehabis berkata begitu si orang tua lantas ayunkan suling
bambunya ke arah kepala Pendekar 212.
Wuuuttt!!
“Pecah kepalamu!” teriak si orang tua.
Wiro berseru keras. Tengkuknya menjadi dingin sewaktu suling bambu di
tangan orang tua itu memapas topi kain songket di kepalanya. Padahal dia sudah
merunduk dengan gerakan cepat. Topi itu mental dan robek menjadi beberapa
potongan!
Ketika orang tua itu membelikkan kudanya dan kembali hendak
menghantamkan suling bambunya Pendekar 212 membuat gerakan aneh. Dia
menyusup ke bawah perut kuda tunggangan lawan. Tadi dia telah memperhatikan
kalau kuda itu adalah seekor kuda jantan. Begitu berada di bawah perut kuda murid
Sinto Gendeng ini dengan cepat menyodok biji kemaluan binatang itu. Tidak terlalu
keras tapi cukup membuat kuda ini meringkik tinggi, emngangkat kedua kaki
depannya ke atas setelah itu menghentak-hentakkan kedua kaki belakangnya!
“Kurang ajar! Kau apakan kudaku!” teriak si orang tua kaget dan cepat
berusaha mengimbangi diri. Namun terlambat. Kuda yang kesakitan itu kembali
melejangkan kaki belakangnya. Tak ampun lagi penunggangnya terperosok ke
samping lalu jatuh ke tanah. Di saat yang sama dengan kecepata kilat Wiro melompat
ke atas punggung kuda lalu menggebrak binatang ini hingga dalam sakitnya
menghambur lebih kencang dari selama ini bisa dilakukannya.
Pendekar 212 hanya senyum-senyum mendengar di belakangnya orang tua itu
memaki panjang pendek. Lalu dia mendengar ada suara pepohonan tumbang dan
semak belukar rambas di belakangnya. Pasti orang tua itu telah melepaskan satu
pukulan sakti. Wiro menelungkup serata mungkin di atas punggung kuda.
Sekeluarnya dari jalan kecil yang berkelok-kelok Wiro sampai ke sebuah
lembah kecil menurun. Sesaat dia dapat melihat keadaan di depannya. Di kejauhan
dia melihat seorang penunggang kuda berbaju kuning.
Jarakku begitu jauh. Tak mungkin mengejarnya jika terus menempuh jalan
kecil ini pikir Wiro. Di sebelah kanannya ada sebuah hutan kecil. Jika dia memasuki
hutan itu mungkin dia masih mampu memotong jalan orang yang dikejarnya. Tanpa
berpikir panjang lagi Wiro segera memasuki hutan itu. Tak lama kemudian dia
berhasil mencapai lereng lembah. Di satu tempat dia berhenti. Orang yang dikejarnya
tidak kelihatan tapi telinganya lapat-lapat dapat menangkap suara derap kaki kuda di
arah Selatan lembah. Secepat kilat Wiro mengerahkan kudanya ke jurusan itu. Namun
anehnya suara derap kuda yang dikejarnya lenyap dengan tiba-tiba.
Tak mungkin orang itu lenyap begitu saja. Wiro memandang berkeliling. Eh!
Di sebelah sana dia melihat sehelai pakaian berwarna kuning menyangsang di antara
semak belukar. Wiro segera mendatangi. Dipegangnya ujung pakaian itu. Ini baju
kurung si manusia banci itu! Pasti dia beraa di sekitar sini! Wiro memandang
berkeliling. Sunyi, tak ada suara tak ada gerakan.
Tiba-tiba suara tawa bergelak menggeledek di belakang Pendekar 212 sampai
sang pendekar tergagau karena terkejut.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 10
“Orang asing! Berani kau mengejarku?! Ini ada hadiah untukmu! Keparat!”
Wiro berpaling dengan cepat.
Saat itu pula dua buah pisau terbang melesat ke arahnya. Satu mengarah ke
dada, satunya mengarah perut!
“Banci edan!” teriak Wiro marah. Dia tidak sempat melihat jelas orang yang
menyerangnya dengan dua bilah pisau terbang itu. Sambil melompat turun dari kuda
Wiro lepaskan pukulan “Tameng Sakti Menerpa Hujan”.
Pisau yang mengarah dada mencelat mental, patah dua. Salah satu patahannya
menancap di sebatang pohon. Pisau kedua siap dibikin mental oleh pukulan sakti itu
namun tiba-tiba terjadi hal luar biasa. Pisau satu ini membuat gerakan aneh. Meliuk
ke kiri dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ular!
“Ha….ha….ha….!” Orang di depan sana tertawa bergelak lalu berkelebat
lenyap.
“Kurang ajar!” damprat Wiro. Dia cepat menyingkir sambil lepaskan lagi satu
pukulan sakti ke arah pisau yang kini berubah menjadi ular dan mematuk secepat
setan berkelebat! Bagaimanapun cepatnya Wiro menghindar, serangan tak terduga itu
tak dapat dielakkannya. Ular mematuk dan menancap di bahu kirinya! Sehabis
mematuk binatang jejadian ini menggelepar lalu jatuh ke tanah, berubah menjadi
bubuk hitam yang mengepulkan asap.
Pendekar 212 cepat menotok beberapa bagian tubuhnya begitu dia merasa ada
hawa panas menjalar. Selain panas bahunya seperti ditusuk puluhan jarum.
Dirobeknya bajung pada bagian bahu kiri. Dengan tangan kanannya dia memencet
bagian bahu sekitar patukan ular. Darah mengucur keluar. Bukan berwarna merah
tetapi hitam! Paras sang pendekar menjadi pucat! Cepat-cepat dia keluarkan Kapak
Maut Naga Geni 212 dari balik pakaian merahnya. Setelah merapal satu mantera
pendek dalam keadaan tubuh panas dingin salah satu mata kapak ditempelkannya
pada luka bekas patukan ular di bahu kirinya.
Wiro menjerit keras sewaktu asap kelabu mengepul keluar dari bahu yang
ditempel senjata mustika sakti itu. Sekujur tubuhnya laksana dirajam. Sesaat mata
kapak yang tadinya berwarna putih perak menyilaukan berubah manjadi sangat hitam
lalu perlahan-lahan puith kembali ke warna asalnya. Ketika senjata itu diangkat dari
bahunya darah hitam masih mengucur terus malah tambah banyak.
Celaka! Racun jahat sekali. Lukaku tak mau berhenti ! Murid Sinto Gendeng
jadi bingung dan takut. Namun sesaat kemudian hawa panas yang menyungkup
tubuhnya mulai reda. Darah yang tersedot keluar oleh kekuatan Kapak Maut Naga
Geni 212 perlahan-lahan tampak berubah dari hitam menjadi merah segar.
Murid Eyang Snito Gendeng menarik nafas lega. Dia terduduk di tanah. Dia
baru saja selamat dari satu racun maha jahat. Ketika dia teringat pada orang tadi serta
merta Wiro melompat bangkit. Dia memandang berkeliling.
Bagaimanapun saktinya manusia tadi tak mungkin dia lenyap amblas ke
dalam bumi! Pikir Wiro. Lalu bagaimana dia bisa raib begitu rupa?! Pendekar ini
segera memeriksa semak belukan di tempat itu. Hemmmm….. ini rahasianya! Kata
Wiro. Di balik serumpunan semak belukar lebat, di belakang dua pokok keladi hutan
berdaun lebar tampak sebuah lobang besar. Dengan membungkuk Wiro memasuki
lobang itu. Hati-hati dia bergerak maju. Kapak Naga Geni 212 tetap berada dalam
genggamannya. Baru berjalan sekitar sepuluh langkah, lobang itu bercabang dua.
Setelah meragu sejenak Wiro memasuki lobang sebelah kanan. Sepuluh lobang lagi
bergerak ke dapan kembali lobang itu bercabang. Kini bukan Cuma dua tapi tiga.
Wiro memandang berkeliling. Keadaan di tempat itu semakin gelap. Bau busuk
menusuk hidung. Sadar akan bahaya tak terduga yang mungkin bisa membokongnya
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 11
sewaktu-waktu secara tidak terduga murid Eyang Sinto Gendeng akhirnya memutar
tubuh, keluar dari lobang itu.
Di belakangnya mendadak terdengar suara tawa bergelak. Lalu satu suara
mengejek. “Orang asing! Ternyata nyalimu rendah! Kalau jiwamu pengecut mengapa
berani merantau sejauh ini? Ha…ha…ha…!”
“Bangsat!” maki Wiro. Bagitu keluar dari lobang dengan penuh kemarahan
murid Sinto Gendeng ini menghantamkan pukulan “dewa topan menggusur gunung”
kearah lobang itu tiga kali berturut-turut. Lembah itu laksana mau amblas ke perut
bumi. Bukit kecil di mana lobang tadi berada longsor dengan suara bergemuruh.
Lobang jalan masuk tertimbun tanah tak kelihatan lagi.
Wiro memasukkan Kapak Mau Naga Geni 212 ke balik pakaiannya. Manusia
banci! Aku mau lihat apa kau bisa keluar hidup-hidup dari dalam lobang celaka itu!
Habis berkata begitu Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu dengan berjalan kaki
karena kuda si orang tua yang tadi dirampasnya tak ada lagi di tempat itu. Meskipun
dirinya telah selamat dari racun ular yang sangat jahat tadi namun saat itu dia merasa
tubuhnya lemas sekali.
Hanya beberapa saat Wiro teinggalkan tempat itu satu bayangan putih
berkelebat. Orang ini memandang berkeliling. Sambil gelengkan kepala dia berkata.
Pukulan “dewa topan menggusur gunung.” Hemm…. anak itu rupanya masih terus
mengamalkan ilmu kesktian itu. Kekuatan tenaga dalamnya sudah jauh lebih tinggi.
Gunung Merapipun bisa dibobolnya! Orang ini yang ternyata seorang tua usap
mukanya beberapa kali. Tiba-tiba dia membuat gerakan menarik pada bagian
belakang kepalanya. Selembar topeng tipis dan rambut palsu tanggal dari kepalanya.
Astaga! Di balik topeng itu kelihatan wajahnya yang asli. Cekung hanya tinggal kulit
pembalut tulang. Rambut putih di kepalanya tampak jarang. Tapi kumis dan
janggutnya kelihatan tebal seputih kapas.
Ketika Wiro sampai ke tempat perhelatan kembali tidak mudah baginya
menemui Andana karena saat itu Andana sedang bercakap-cakap dengan Datuk
Gampo Alam dana keduanya berada dalam rumah gadang tengah makan. Kali ini
Andana berlaku cerdik. Setiap gulai atau ikan dan daging yang dimakan sang Datuk
itu pula yang diambilnya. Paling tidak dia berusaha menghindari akan diracuni orang
untuk kedua kalinya.
Ketika Atun, datang membawakan minuman tambahan untuk Andana,
pembantu itu membisikkan sesuatu padanya.
“Eh, kenapa kau jadi makan terburu-buru Andana?” tanya Datuk Gampo Alam
ketika dilihatnya kemenakannya itu menyuap dan mengunyah makanannya lebih
cepat dari sebelumnya.
“Perut saya tiba-tiba saja tidak enak. Mungkin saya masuk angin karena
kurang tidur malam tadi…. Paman, izinkan saya ke belakang dulu….” Andana
membasuh tangan kanannya lalu cepat-cepat dia meninggalkan tempat itu menuju ke
pancuran di belakang rumah gadang. Namun di satu tempat dia membelok ke jurusan
lain, melangkah cepat hingga akhirnya sampai di balik barisan pohon-pohon pisang
tak jauh dari lumbung padi.
Di situ menunggu Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Ada apa Wiro? Mengapa kau meminta aku datang kemari. Eh, pakainmu
robek di bahu. Kulihat mukamu agak pucat…..”
Dengan cepat Wiro menceritakan apa yang telah dialaminya.
“Saya memang sudah curiga melihat orang itu waktu dia muncul di jendela
rumah gadang. Tapi saya tak mungkin melakukan sesuatu. Ternyata kau bertindak
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 12
cepat. Kau sempat melihat wajahnya? Yang penting kau benar-benar sudah aman dari
racun jahat itu?”
“Saya aman, tak usah kawatir. Mengapa tampang orang itu saya hanya sempat
melihatnya sekilas sebelum dia menyelinap masuk ke dalam lobang. Orangnya
berkumis dan berewokan. Salah satu matanya kalau aku tak salah ingat yang sebelah
kiri buta…..”
Andana berpikir-pikir. Lalu pemuda ini gelengkan kepala. “Kau tahu, sekitar
tiga tahu aku meninggalkan Pagaralam. Orang jahat datang dan pergi berganti-ganti.
Aku tak tahu siapa yang satu ini. Ilmunya tak bisa dibuat main. Nanti akan
kutanyakan pada Datuk. Aku merasa yakin ini masih pekerjaannya Tumenggung Rajo
Langit….”
Wiro usap-usap dagunya lalu berkata. “Untuk sementara sebaiknya kejadian
ini dirahasiakan antara kita berdua…..”
“Hem…. Kelihatannya kau kurang percaya pada Pamanku Datuk Gampo
Alam?”
“Saya tidak mengatakan begitu, sahabat.” Jawab Wiro. “Tapi coba kau
pikirkan sendiri dalam-dalam.”
“Aku harus meninggalkan tempat ini sekarang….”
“Kau harus makan dulu. Gulai kambing, rendang pedas menunggumu….”
Wiro tertawa. “Seleraku jadi hilang dengan kejadian ini,” katanya.
Ketika Pendekar 212 meninggalkan tempat itu, di sebuah jendela dekat
anjungan rumah gadang Datuk Gampo Alam yang sempat menyaksikan pertemuan
antara kemenakannya dengan Wiro bergerak menjauhi jendela. Lehernya disentaksentakkan
dua kali lalu dia kembali ke tempat duduknya semula. Menggulung
sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 13
TIGA
Palindih masuk ke dalam rumah itu sambil tersenyum-senyum. Sesaat dia
memandang pada Mamak Rabiah dan Bunga. Lalu bungkusan yang dibawanya
diletakkannya di atas meja.
“Apa itu Palindih?” tanya Mak Rabiah.
“Hadiah dari Datuk Gampo Alam buat anak Etek,,Bunga. Cita halus dari
negeri Cina, kain songket berbenang emas dari Palembang, sehelai selendang sutera
lalu sejumlah uang! Besar nian rejeki abak Etek.”
Mamak Rabiah sesaat saling pandang dengan Bunga.
“Kami tidak meminta. Mengapa Datuk memberikan?” tanya Mamak Rabiah
pula.
“Itu tandanya beliau puas. Datuk memuji kepandaian Bunga menari. Bukan itu
saja, kecantikan anak Etek itupun disebut-sebutnya terus menerus.”
“Kalau Datuk Gampo Alam memberikan dengan ikhlas, kami menerima
dengan ikhlas pula. Sampaikan ucapan terima kasih kami pada Datuk….” Mamak
Rabiah mengira Palindih akan segera pergi namun lelaki itu masih tegak di
hadapannya. Mamak Rabiah lalu membuka bungkus yang dibawa Palindih. Di situ
memang ada cita, kain songket serta sehelai selendang dan uang dalam kantong kain.
“Banyak sekali uang yang diberikan Datuk Gampo Alam. Kau ambillah
sebagian Palindih.” Mamak Rabiah mengangsurkan sejumlah uang pada pembantu
Datuk Gampo Alam itu.
“Ah tak usahlah Etek. Saya menolong juga dengan ikhlas…..” katanya tapi
kedua matanya melirik ke tangan kanan Mamak Rubiah.
“Ambillah….”
“Etek ini ada-ada saja,” kata Palindih. Lalu diambilnya juga uang dan
dimasukkan ke dalam sakunya. “Etek Rabiah, ketahuilah selain disuruh
menyampaikan hadiah ini, saya juga membawa pesan dari Datuk Gampo Alam.”
“Pesan apa geranagn?” tanya Mamak Rabiah pula.
“Datuk mengundang Etek datang ke rumahnya sore ini juga setelah ba’dal
Asar. Kalau Etek suka kita bisa pergi bersama-sama.
“Datukmu mengundang saya datang ke rumah gadang? Agak aneh
kedengarannya Palindih. Baru sekali ini kejadain begini. Apa gerangan maksudanya?”
tanya Mamak Rabiah pula seraya memandang pada Bunga.
“Saya tidak tahu Etek. Tentu maksud baik semata. Karena itu jangan ditolak
undangannya.”
Mamak Rabiah berpikir sejenak lalu berkata. “Kau pergilah lebih dahulu. Biar
aku menyusul sendiri kemudian.” Kata perempuan itu seraya membetulkan letak
selendangnya.
Begitu Palindih pergi Mamak Rabiah cepat menutupkan pintu lalu dia tegak
bersandar pada daun pintu seraya memejamkan matanya.
Bunga segera mendekati perempuan ini. “Ada apa Mak? Mamak kurang
sehat?”
Tanpa membuka matanya perempuan itu menjawab. “Mamak rasa telah
membuat kesalahan besar anakku. Menyetujuimu menjadi gadis penari pembawa sirih
persembahan itu….”
“Kalau begitu Mamak tak usah saja datang….” kata Bunga tanpa mau bertanya
apa yang membuat Mamak Rabiah berkata begitu.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 14
“Kalau tidak datang salah pula nanti…..” jawab Mamak Rabiah lalu menarik
nafas panjang.
Datuk Gampo Alam menyambut kedatangan Mamak Rabiah dengan tawa
lebar penuh gembira. Perempuan itu dibawanya ke anjungan rumah gadang lalu
mereka duduk berhadap-hadapan.
“Istri-istri Datuk kemana….?” tanya Mamak Rabiah ketika melihat hanya sang
Datuk saja sebagai tuan rumah yang menemaninya hingga mau tak mau dia merasa
kikuk.
“Mereka sibuk semua Mak Rabiah. Terima kasih kau mau datang…..”
“Datuk, saya dan Bunga mengucapkan terima kasih atas pemberian Datuk tadi
siang….”
“Ah, itu hanya hadiah kecil saja. Tak usah disebut-sebut,” kata Datuk Gampo
Alam. Setelah menyentakkan lehernya beberapa kali sang Datuk berkata. “Aku tak
pernah tahu kalau kau menyimpan burung bagus luar biasa di sangkar emas….”
“Saya tidak paham maksud Datuk…”
Lelaki itu tertawa lebar. “Maksudku anakmu yang cantik dan pandai menari
itu. Bunga….. Betul itu namanya?”
“Bunga gadis buruk, keturunan orang tak punya. Maklum saja gadis kampung.
Apa yang Datuk kagumi?”
Datuk Gampo Alam kembali tertawa dan menyentak-nyentakkan lehernya.
“Kau pandai merendah Rabiah. Kalau Bunga tak jadi penari siang tadi tak pernah aku
tahu bahwa ada seorang bidadari di Pagaralam ini!”
Mamak Rabiah terdiam.
Datuk Gampo Alam menggeser duduknya. Dengar Rabiah, gadis secantik
Bunga tidak pantas tinggal di rumahmu yang sekarang…..”
“Mengapa Datuk berkata begitu? Lalu kemana kami hendak pergi? Kami
orang miskin…..”
“Aku punya beberapa rumah di Pagaralam ini, juga di Pagaruyung. Kau boleh
memilih mana yang kau suka. Atau di sini di rumah gadang ini. Masih ada satu kamar
tersisa…..”
Berdebarlah dada Mamak Rabiah mendengar kata-kata Datuk Gampo Alam
itu. Sudah terbayang olehnya kini apa tujuan laki-laki ini menyuruhnya datang.
“Rabiah…. Kau faham maksudku bukan?”
“Maafkan, saya tidak mengerti Daruk.” Jawab Rubiah dan dadanya tambah
menggemuruh. Mukanya tampak memucat.
“Begini, maksudku anakmu itu. Aku ingin mengambilnya jadi istri….”
Ya Tuhan, benar rupanya dugaanku! Kata Mamak Rabiah dalam hati.
“Datuk, saya….”
“Kau setuju? Bagus!”
“Maksud saya bukan begitu Datuk. Bunga masih kecil. Belum pantas
bersuami. Lagi pula, maakan saya Datuk. Bukankah Datuk sudah punya empat orang
istri? Agama dan adat tidak mengijinkan lebih dari itu….”
Datuk Gampo Alam tertawa lebar. “Kalau itu yang kau takutkan, setiap saat
aku bisa menceraikan salah seorang dari istriku. Kau sebut saja yang mana. Empat
kurang satu ditambah satu kan empat juga jadinya. Ha….ha…..ha…..!”
Mamak Rubiah tundukkan kepala. Dadanya seperti siap untuk meledak.
“Datuk, saya kurang sehat. Izinkan saya pulang…..”
“Tentu, tentu. Palindih akan saya suruh mengantar dengan kereta…..”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 15
“Terima kasih. Saya masih mampu berjalan.”
“Baik kalau begitu.Tapi dengar. Besok Jum’at. Pagi-pagi sekali kau harus
datang memberikan jawaban. Dan kau tahu jawaban apa yang aku ingin bukan?”
Rabiah tidak menyahut. Dituruninya tangga rumah besar bergonjong itu
dengan langkah gontai sempoyongan. Dunia seperti berputar di matanya. Dalam
hatinya dia berseru pada Yang Kuasa. Tuhan, beri saya kekuatan. Sampaikan langkah
saya ke rumah. Yang lebih penting janganlah semua ini terjadi menurut keinginan
manusia yang satu itu……
Begitu Bunga membukakan pintu, Mamak Rabiah langsung memeluk dan
menciumi anak itu. Kedua matanya basah.
Mamak, ada apakah? Tanya Bunga heran seraya membimbing perempuan itu
duduk ke sebuah tempat tidur kayu.
Nasib kita memang belum lepas dari sengsara Nak. Datuk Gampo alam…..”
Mamak Rabiah tak dapat meneruskan kata-katanya.
“Datuk Gampo Alam? Mengapa dia Amak?”
“Tak sampai hati Mamak mengatakannya padamu Bunga.”
“Saya sudah bisa menduga walau Mamak tak mau mengatakannya. Tua
bangka tak tahu diuntung itu pasti meminta saya jadi istrinya. Bukan begitu Mak?”
Mamak Rabiah mengangguk dan tangisnya mengeras.
“Apa yang Mamak katakan padanya?”
“Tidak ada. Mamak tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia meminta Mamak
datang lagi memberi kabar. Besok hari Jum’at pagi.”
Bunga berdiri, melangkah ke meja dimana masih terletak bungkusan hadiah
dari Datuk Gampo Alam.
“Jadi itu sebabnya dia memberi hadiah sebanyak ini! Tua bangka gila! Tak
sudi aku menerima pemberiannya ini!” Bunga lalu melemparkan bungkusan itu ke
dinding. Bunga sendiri seprti tak kuasa lagi berdiri, jatuh berlutut dan menutupi
wajahnya dengan kedua tangan. Lalu terdengar isak tangisnya.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 16
EMPAT
Di rumah gadang sesaat setelah Mamak Rabiah pergi, Rukiah istri termuda Daruk
Gampo Alam keluar dari balik pintu. Dia melangkah menemui suaminya dengan
muka cemberut.
“Eh, termakan nasi basi atau kacang busuk sampai mukamu asam seperti itu
Rukiah! Atau ada hantu gunung Sitoli merasuk ke dalam tubuhmu!”
Rukiah tersenyum pencong. “Saya sudah dengar semua pembiacaraan Datuk
dengan Mamak Rabiah tadi….”
Tampang Datuk Gampo Alam berubah. Merah membesi. “Perempuan kurang
ajar! Jadi berani kau mencuri dengar pembicaraanku! Setan kau!” Datuk Gampo
Alam sentakkan lehernya sempai empat kali sedang kedua matanya memandang
membeliak pada istri mudanya itu. Kalau saja yang ada di hadapannya itu bukan
Rukiah yang memang sangat disayanginya tetapi salah satu dari tiga istrinya yang lain,
pasti sang Datuk sudah menjambak rambutnya.
“Bukan saya yang setan!” menjawab Rukiah dengan beraninya. “Tapi Datuk!”
Ucapan itu membuat Datuk Gampo Alam bergeletar selurh tubuhnya. “Ku
tampar mulutmu nanti Rukiah!” mengancam sang Datuk.
Sang istri muda tenang-tenang saja. Malah menyahuti. “Saya sudah bicara
dengan kakak-kakak di sini. Kalau Datuk memang mau mengawini Bunga, silahkan.
Datuk boleh menceraikan salah satu dari kami berempat. Tapi saya minta Datuk
menceraikan saya!”
“Aha! Kau cemburu Rukiah!” kata Datuk sambil tertawa. Diantara keempat
istrinya Rukiah sebagai istri muda tentu saja merupakan istri yang paling
disayanginya. “Aku tidak akan menceraikan mu apapun yang terjadi!”
“Kalau Datuk tidak mau menceraikan saya, biar saya yang minta cerai dan
pergi dari sini! Kami semua tidak suka Datuk mengambil gadis itu sebagai istri. Gadis
yang pantas jadi anak Datuk itu akan bernasib buruk dan menderita batin seperti
kami-kami di sini!”
“Perempuan setan! Cakapmu benar-benar membuatku marah! Menyingkir dari
hadapanku!” kata Datuk Gampo Alam setengah berteriak lalu menyentakkan lehernya.
“Jadi Datuk tetap mau mengawini Bunga?” tanya Rukiah dengan beraninya.
“Setan manapun tak bisa menghalangiku!” jawab Datuk Gampo Alam.
“Kalau begitu saya minta cerai sekarang juga!”
Plaak!
Tamparan Datuk Gampo Alam membuat Rukiah terpekik. Perempuan muda
ini hampir terjatuh nanar. Sambil pegangi pipinya menahan sakit dia berkata. “Lakilaki
gila! Umur hanya tinggal sejengkal dari liang kubur masih saja ingin kawin!
Kambing tua tidak tahu diri. Kerjanya melahap daun muda saja!”
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya beberapa kali. Pipinya yang
cekung tampak menggembung sampai ke rahang.
“Perempuan tak tahu diuntung! Kau minta cerai! Baik! Kujatuhkan talak satu
padamu! Sekarang angkat kaki dari rumah gadang ini!”
“Talak satu?! Huh! Kenapa Cuma talak satu? Kenapa tidak sekalian talak
tiga?!” sentak Rukiah.
“Kalau itu maumu Baik! Kujatuhkan talag tiga! Nah, puas kau sekarang? Ayo
cepat lindang dari rumahku ini!” Suata Datuk Gampo Alam demikian kerasnya
hingga terdengar oleh orang-orang yang ada di halaman, termasuk Andana. (lindang =
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 17
angkat kaki). Kau datang ke sini hanya membawa sehelai pakaian buruk lekat di
badan! Kalau kau pergi jangan harap akan kuperbolehkan membawa lebih dari pada
baju yang melekat di tubuhmu itu!”
“Saya tidak tamak harta! Saya tidak akan membawa apa-apa kecuali pakaian
ini!” jawab Rukiah. Lalu ditanggalkannya cincin, gelang dan kalung emasnya.
Perhiasan ini kemudian dilemparkannya ke muka Datuk Gampo Alam hingga sang
Datuk tersurut kaget tapi juga marah sekali. Sebelum dia sempat menyemprotkan caci
maki atau melayangkan tangannya, Rukiah sudah melangkah ke pintu lalu menuruni
tangga rumah gadang dengan cepat. Di halaman rumah gadang Andana detang
menyongsongnya.
“Saya mendengar suara ribut-ribut tadi. Kini saya lihat Etek seperti terburuburu.
Etek mau kemana?” Sambil bertanya Andana memperhatikan wajah istri
Pamannya yang usidanya jauh lebih muda dari dirinya. “Astaga, ada apa pipi Etek
kelihatan merah?”
Rukiah coba tersenyum. “Andana, jika kau punya kesempatan aku harap kau
mau menemuiku di simpang tiga jalan ke sawah. Ada sesuatu yang sangat penting
ingin kukatakan.” Setelah berkata begitu Rukiah cepat-cepat berlalu.
Sementara itu dari atas rumah Datuk Gampo Alam menuruni tangga dengan
cepat. “Apa yang dikatakan perempuan setan itu padamu?!” tanya Datuk Gampo
Alam pada Andana.
“Tidak begitu jelas. Dia bicara terburu-buru. Katanya dia mau pergi…..”
“Pergi kemana?!” tanya sang Datuk lagi.
“Saya tidak tahu Paman. Dia hanya bicara sebentar lalu cepat-cepat pergi.”
Andana diam sejenak sambil mengusap-usap dagunya. “Mamak, saya sudah
menginap malam tadi di rumah gadang. Saya sudah pula menerima kehormatan besar
yaitu sebgai penerima sirih persembahan. Samua itu tidak mungkin terjadi kalau
bukan Paman yang mempersiapkan dan mengaturnya. Saya mengucapkan ribuan
terima kasih Paman. Tiba saatnya hari ini saya minta diri. Mulai hari ini saya akan
tinggal di surau.”
“Kau tidak berbasa-basi, Andana?”
Pemuda itu menggeleng.
“Bagaimana kalau Tumenggung Rajo Langit mengirimkan orang-orangnya
untuk menangkapmu. Kau tidak takut? Jika kau tidak ada di dekatku, aku tak bisa
melindungimu.”
“Saya tidak takut pada siapapun Paman. Kecuali pada Yang Satu di atas
sana,” jawab Andana sambil menunjuk ke langit. “Lagi pula sebelumnya
Tumenggung itu memang sudah mengirim orang-orangnya untuk menangkap saya.
Tuhan masih melindungi saya. Pemuda sahabat saya yang menghajar habis semua
monyet-monyet Tumenggung Rajo Langit. Tumenggung itu sendiri kalau tidak cepatcepat
lari pasti babak belur untuk kedua kalinya…..”
“Untuk kedua kalinya katamu? Jadi sebelumnya dia pernah menghajar Rajo
Langit?’
“Betul. Waktu tua bangka itu mencoba mengganggu anak gadis orang…”
Eh, jangan-jangan anak ini menyindirku, pikir Datuk Gampo Alam.
“Andana, pemuda kawanmu yang bernama Wiro itu, apa dia memang seorang
pendekar berkepandaian tinggi?” bertanya Datuk Gampo Alam.
Yang ditanya mengangguk. “Bagi saya kalau seorang bisa menghadapi lebih
dari tiga orang lawan hanya dengan tangan kosong, apalagi lawan bersenjata pula, dia
sudah saya anggap sebagai seorang pendeka besar….”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 18
Datuk Gampo Alam terdiam. Dalam hati dia berkata. Orang Jawa ini jelas
akan membuatku susah dan rencanaku berantakan. Kalau tidak diambil tindakan dari
sekarang urusan bisa tidak karuan. Lalu anak yang di hadapanku ini sendiri sampai
dimana pula kehebatannya. Dia sempat berguru dengan Datuk Alis Merah.
“Andana aku yakin kau bisa menghadapi semua kesukaran ini. Sekalipun
tanpa pertolongan sahabatmu bernama Wiro itu. Kabarnya kau sudah diberi orang
gelar Harimau Singgalang.”
Andana coba tersenyum dan berkata. “Itu hanya cakap gurau orang saja
Paman. Mana berani saya memakai gelar sehebat itu….”
“Jadi, kau sungguhan hendak pergi?”
Andana mengangguk.
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya dua kali. “Baiklah, aku tak bisa
melarang. Namun sebelum pergi naiklah dulu ke atas. Ada beberapa hal yang perlu
kubicarakan denganmu.”
“Perihal apakah Paman?” tanya Andana.
“Perihal rumah gadang dan segala isinya. Aku bermaksud menjualnya.”
Terkejut Andana mendengar kata-kata Pamannya itu. Dengan perasaan tidak
enak dia menaiki tangga mengikuti Datuk Gampo Alam naik ke atas rumah gadang.
Begitu sampai di atas rumah gadang Datuk Gampo Alam masuk ke dalam
kamarnya. Ketika keluar dia membawa segulung kertas. Setelah duduk di hadapan
kemenakannya dibukanya gulungan kertas itu seraya berkata. “Andana ini adalah
Surat Wasiat peninggalan Ayahmu. Isinya bisa kau lihat sendiri nanti. Sekarang biar
kubacakan dulu.”
Surat Wasit. Hari Kamis hari ke dua belas bulan Muharram. Saya Datuk
Bandaro Sati, dengan ini berwasiat. Jika terjadi sesuatu apa dengan diri saya yang
menyebabkan kematian saya, maka semua harta kekayaan yang tertinggal termasuk
rumah gadang yang di Pagaralam dan segala harta pusaka yang ada di dalamnya,
ternak dan sawah ladang akan saya wariskan pada dan menjadi hak syah Datuk
Gampo Alam, satu-satunya adik kandung saya. Segala urusan selanjutnya dialah
yang bertanggung jawab penuh untuk menentukan. Tertanda Datuk Bandaro Sati.
Mengetahui Penguasa di Pagaruyung Tumenggung Rajo Langit.
Sehabis membacakan Surat Wasiat itu Datuk Gampo Alam menatap wajah
kemenakannya. Anak ini kelihatan tenang saja membatin sang Datuk. Tak ada
perubahan pada air mukanya. Datuk Gampo Alam akhirnya menyerahkan Surat
Wasiat itu pada Andana. “Kau baca sendirilah,” katanya.
Andana membaca Surat Wasiat itu. Sesaat kemudian diserahkannya kembali
pada pamannya.
“Kau tidak akan mengatakan atau menanyakan sesuatu Andana?”
“Memang ada Paman,” jawab si pemuda. “Pertama kapan Surat Wasiat itu
Paman terima dari almarhum Ayahanda?”
“Beberapa waktu lalu. Kalau aku tak salah ingat hanya sekitar tida empat
minggu sebelum dia meninggal. Itulah, seperti yang aku katakan tempo hari. Dia
seolah-olah sudah mendapat firasat. Membuat Surat Wasiat ini lalu memberikannya
padaku. Bisa kufahami. Kau tak ada di Pagaralam, entah berada dimana. Lalu kakak
kami Uning Ramalah seperti kau ketahui tidak mau mengurusi hal-hal seperti ini
lagi.”
“Paman, pengetahuan saya sangat dangkal tentang hal-hal yang menyangkut
warisan. Tetapi ada sesuatu yang saya ketahui dengan jelas sekali.”
“Hemmm, apakah itu Andana?” tanya Datuk Gampo Alam sambil
menyentakkan lehernya dua kali.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 19
“Warisan yang ditinggalkan Ayah saya bukanlah termasuk Pusaka Tinggi.
Yaitu pusaka turun temurun dari nenek moyang kita yang tidak boleh dijual atau
dibagi-bagikan. Tetapi tetap akan menjadi pusaka untuk bisa dimanfaatkan oleh
keturunan sedarah sedaging. Contoh Pusaka Tinggi itu ialah rumah gadang yang di
Batusangkar. Tetapi rumah gadang yang ini adalah Pusaka Rendah. Rumah dan segala
isinya adalah milik Ayahanda langsung. Hasil pencaharian dan pembeliannya sendiri.
Dari keringatnya sendiri. Bukan harta turun temurun. Dengan kata lain sebagai anak
kandung satu-satunya maka sayalah yang secara syah menerimanya sebagai warisan,
wajib menjaga dan memeliharanya. Secara hukum dan secara adat Surat Wasiat itu
adalah keliru….. Mungkin yang dimaksudkan Ayahanda adalah rumah gadang pusaka
keluarga di Batusangkar.”
“Mana mungkin keliru Andana. Di sini jelas disebutkan rumah gadang di
Pagaralam. Rumah gadang dimana aku dan kau saat ini duduk berhadap-hadapan.
Jelas di sini dikatakan aku yang ditunjuknya sebagai pewaris dengan segala isi di
dalamnya.”
“Paman , saya yakin ada sesuatu yang keliru…..” kata Andana lagi.
Datuk Gampo Alam tersenyum. “Andana, kau lihat sendiri tanda tangan
Tumenggung Rajo Langit yang mengesahkan SuratWasiat ini. Apakah kau ingin
mengatakan aku memalsukan dan membuat-buat Surat Warisan ini?”
“Saya tidak mengatakan begitu Paman. Jangan Paman salah sangka. Apa yang
saya maksudkan cukup jelas. Semua harta pusaka milik Ayah adalah hasil pembelian
ayah dari keringatnya sendiri. Bukan berasal dai kakek atau nenek moyangnya. Bukan
berasal dari pusaka turun-temurun.Hanya itu saja yang ingin saya katakan. Apa
artinya terserah Paman untuk mengkajinya.”
“Ah, aku mengerti sekarang! Jelas kau tidak suka rumah dan harta Ayahmu
diberikan kepadaku! Walau jelas-jelas di dalam Surat Wasiat ini Ayahmu mengatakan
begitu. Jelas dan ikhlas. Ada saksinya pula. Saksi bukan orang sembarangan. Tapi
seorang berpangkat. Seorang Tumenggung penguasa negeri!” Datuk Gampo Alam
menyentakkan lehernya dulu baru meneruskan. “Andana, jika aku pikir-pikir
mengapa Ayahmu membuat Surat Waisat begini rupa pasti ada sebab musababnya.
Mungkin ada sesuatu yang tidak berkenan di hatinya atas dirimu hingga Surat Wasiat
ini ditujukannya padaku bukan padamu. Mungkin kau dianggapnya melakukan satu
kesalahan besar karena telah meninggalkan Pagaralam sampai bertahun-tahun tanpa
kabar berita. Ini rupanya sangat menyakitkan hatinya….”
“Paman biar saya katakan terus terang sekarang. Saya kembali ke Pagaralam
ini mengikuti pesan Ayahanda yang saya terima secara gaib. Pesan beliau selamatkan
rumah gadang dan harta pusaka di dalamnya…..”
“Aneh sekali kedengarannya,” kata Datuk Gampo Alam sambil memandang
ke halaman lewat pintu rumah gadang.
“Betul Paman, memang aneh kedengarannya kalau tidak melihat sendiri. Tapi
kejadian itu saya alami sendiri, disaksikan oleh guru saya Datuk Alis Merah. Waktu
itu kami berada di dekat air terjun kecil di kawasan tempat kediaman Datuk Alis
Merah. Ayah tiba-tiba saja muncul dikawal oleh seekor harimau besar. Ayah tegak di
atas batu. Berpakaian hijau yang penuh lubang-lubang bekas tusukan. Sekujur
tubuhnya berlumuran darah. Saat itulah Ayah memberi tahu agar saya segera pulang
ke Pagaralam. Rumah gadang dalam bahaya…..”
Untuk beberapa lamanya Datuk Gampo Alam berdiam diri. Terbayang
kembali olehnya kejadian di Ngarai Sianok. Ketika dia bersama Hantu Mata Picak
mengeroyok Datuk Bandaro Sati lalu membunuh kakanknya itu dengan cara
menikamnya bertubi-tubi dengan keris miliknya sendiri yaitu Keris Tuanku Ameh
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 20
Nan Sabatang. Anak ini mengatakan keris sakti bertuah itu tak ada padanya. Dia
berdusta. Keris itu kutemukan di bawah bantal dalam kamarnya. Kalau dia banyak
ulah dengan senjata itu pula akan kuhabiskan riwayatnya!
“Paman, saya minta diri. Kalau memang Paman yakin Ayah benar-benar
mewariskan rumah gadang beserta isinya, termasuk sawah ladang dan ternak
peliharaan, berbahagialah Datuk. Saya tidak akan mengungkit atau menuntut. Saya
malah berterima kasih Paman mau merawat rumah serta semua peninggalan Ayah….”
Mulutnya berkata begitu tapi siapa tahu isi hatinya, pikir Datuk Gampo Alam.
“Begini sajalah Andana. Urusanku akan terlalu banyak nanti. Bagaimana
kalau semua sawah ladang dan ternak kuberikan saja padamu.”
“Terima kasih Paman. Ketahuilah, saya datang ke Pagaralam ini bukan untuk
mendapatkan segala macam harta warisan. Tujuan saya Cuma satu…..”
Andana bangkit dari duduknya. Sebelum menuruni tangga diteruskanna dulu
ucapannya yang tergantung tadi. “Tujuan saya ke Pagaralam ini adalah mencari
pembunuh Ayah saya. Dan saya yakin saya akan menemukan orangnya!”
Tampang Datuk Gampo Alam berubah. Andana tidak lagi memperdulikan
Pamannya itu. Dibalikkannya tubuhnya lalu dia menuruni tangga rumah gadang
dengan cepat. Dari jendela Datuk Gampo Alam dapat melihat kemenakannya itu
menunggangi kuda ke arah Timur yaitu arah yang ditempuh Rukiah waktu pergi tadi.
Sang Datuk menyentakkan lehernya lalu berteriak memanggil tiga orang
pengawalnya. “Ikuti dan selidiki kemana perginya anak itu. Laporkan padaku apa
yang kau ketahui!”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 21
LIMA
Simpang tiga itu terletak di kaki bukit kecil yang menurun. Tak jauh dari sana
terbentang daerah pesawahan. Sore itu suasana di sekitar tempat itu tampak sepi.
Sesekali terdengar kicau burung. Ketika Andana sampai di simpang tiga itu dia tidak
melihat Rukiah atau siapapun di situ.
Jangan-jangan perempuan itu mendustaiku. Pikir Andana. Baru saja dia
berpikir begitu telinganya menangkap detak suara roda. Dari balik pepohonan dan
semak belukar muncul sebuah pedati ditarik dua ekor sapi. Di depannya di sebelah
seorang sais tua duduk Rukiah. Perempuan ini menyuruh sais menghentikan pedati
lalu dia turun. Dia melambaikan tangan pada Andana agar pemuda itu masuk ke
kawasan pepohonan, terlindung dari pemandangan orang yang mungkin lewat di
tempat itu.
“Etek, hal penting apakah yang hendak Etek sampaikan pada saya?” tanya
Andanan begitu turun dari kudanya.
“Jangan panggil saya dengan sebutan Etek itu. Sudah saya katakan saya muak
mendengarnya. Panggil saja nama saya. Rukiah. Bukankah usia kita tak jauh beda?
Kau pasti lebih tua dari saya.”
“Baiklah. Nah sekarang saya ingin dengar apa yang hendak kau sampaikan,”
kata Andana pula.
“Saya tahu Datuk Gampo Alam talah membuat Surat Wasiat palsu. Dia ingin
menguasai rumah gadang serta semua harta pusaka peninggalan mendiang
Ayahmu….”
“Saya tidak terkejut…..” kata Andana. “Tadi Datuk memperlihatkan pada saya
Surat Wasiat itu. Surat itu ditanda tangani oleh Tumenggung Rajo Langit. Tanda
tangan itu tidak palsu….”
“Memang tidak palsu. Karena Datuk Gampo Alam berkomplot dengan
Tumenggung Rajo Langit. Saya dengar rumah gadang itu berikut isinya akan
dijualnya pada si Tumenggung. Lalu tumenggung Rajo Langit kabarnya akan menjual
lagi pada seorang utusan yang datang dari tanah Jawa…”
“Ini hal baru bagi saya Rukiah,” kata Andana. “Tidak seberapa aneh kalau
Datuk Gampo Alam mau menjual rumah gadang guna mendapatkan uang.
Belakangan ini dagangnya merugi terus. Hutangnya di mana-mana. Biaya rumah
tangganya dengan empat istri….”
“Sekarang tinggal tiga. Karena saya sudah minta cerai. Tapi segera akan
menjadi empat lagi.”
“Maksudmu?”
“Gaek busuk itu hendak mengambil Bunga menjadi istrinya!”
“Apa?” kejut Andana dengan wajah berubah tegang.
“Mamak Rabiah datang dipanggil Datuk. Saya dengar dia meminta Bunga
pada perempuan itu…..”
“Apa jawab Mamak Rabiah?”
“Saya intip dan saya lihat air muka perempuan itu. Dia jelas tergoncang. Dia
tak bisa memberikan jawaban apa-apa. Datuk minta dia datang hari Jum’at besok
untuk memberikan jawaban….”
“Kambing tua bangka yang sudah bau tanah itu masih saja ingin menyantap
daun muda!” kertak Andana sambil mengepalkan tinju kanannya. Dia menatap wajah
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 22
Rukiah sesaat lalu bertanya. “Dari mana kau tahu ihwal rencana penjualan rumah
itu?”
“Dari seorang tangan kanan Tumenggung Rajo Langit. Orang ini tergila-gila
pada saya sebelum saya diambil istri oleh Datuk Gampo Alam. Dia menceritakannya
waktu merayu saya agar mau jadi istrinya. Ketika saya kawin dengan Datuk Gampo
alam, orang ini sangat marah. Dia pergi dari Pagaruyung, tak tahu entah berada di
mana sekarang. Namanya Rusli…..”
Andana tegak termangu beberapa saat lamanya.
“Kau harus menolong Bunga, Andana. Selamatkan dia dari cengkeraman
Datuk Gampo Alam. Saya tahu dia mencintaimu. Saya dapat melihat dari sinar
matanya sewaktu dia membawakan Tari Gelombang. Saya juga tahu dia telah
menyelamatkan dirimu dari sirih yang diracun orang.”
“Saya tahu hal itu Rukiah. Saya akan segera menemuinya untuk mengucapkan
terima kasih. Jelas saya berhutang nyawa padanya. Lebih dari itu saya tentu akan
menyelamatkannya dari tangan Paman saya yang gila istri itu. Tapi Rukiah, apakah
kau tahu siapa yang menaruh racun di sirih dalam cerana itu?”
“Hanya satu orang dugaan saya Andana. Manusia jahat bergelar Hantu Mata
Picak. Dia adalah orang kepercayaan Datuk Gampo Alam. Saya yakin dia juga atau
anak buahnya yang berusaha membunuhmu dengan ular berbisa tempo hari!”
“Kurang ajar benar!” kata Andana sambil meninju-ninju tapak tangan kirinya
dengan tangan kanan. “Berarti Datuk Gampo Alam ada di belakang semua ini!”
“Saya kira begitu! Tapi kau harus menyelidiki dan membuktikannya dulu….”
“Mengenai orang yang berjuluk Hantu Mata Picak ini, di mana sarangnya.
Kau tahu di mana saya bisa mencarinya?”
“Mencarinya sama dengan mencari hantu. Dicari susah. Tidak dicari kadangkadang
dia muncul begitu saja. Saya hanya bisa memberitahu ciri-cirinya. Orangnya
tinggi besar. Berkumis dan berjanggut tebal. Mata kirinya buta. Kulitnya hitam, dia
berkalung dan bergelang akar bahar….”
“Terima kasih. Saya sangat berterima kasih padamu Rukiah. Sekarang kau
hendak ke mana?”
“Saya akan kembali ke gubuk orang tua saya di Bonjol.”
“Mau saya antarkan?”
Rukiah tertawa. Dipegangnya jari-jari tangan pemuda itu. “Saya tidak bisa
berdusta bahwa saya menyukai dirimu. Tapi saya sendiri saat ini tak lebih dari
seorang janda. Jangan kecewakan Bunga. Jangan buat dia cemburu…..”
Paras Andana sesaat menjadi merah.
Rukiah tertawa lebar. “Ingat peristiwa malam lalu, ketika saya mengajakmu
tidur di kamar?”
Wajah Andana semakin memerah.
“Saya masih berharap kau mau memenuhinya. Kalau begitu carilah nanti saya
di Bonjol….” Rukiah berjingkat lalu diciumnya pipi kiri pemuda itu.
Andana merangkul punggung janda itu dan bertanya. “Ada sesuatu yang ingin
saya tanyakan. Ayah saya mati dibunuh orang. Kau mungkin pernah menyirap kabar
apa sesungguhnya yang terjadi. Siapa pelaku pemubunhnya.”
“Sayang sekali yang satu ini saya tidak tahu apa-apa Andana.” Jawab Rukiah.
“Tapi mungkin kau bisa bertanya pada Sati.”
“Siapa Sati?”
“Dia pedagang cita keliling. Banyak punya hubungan dengan siapa saja.
Terakhir sekali saya dengar dia digebuk setengah mati oleh tukang-tukang pukul
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 23
Datuk Gampo Alam. Dia pasti mendendam dan mencari seribu cara untuk
membalaskan sakit hatinya.”
“Di mana saya bisa menemukan orang itu?”
“Pergi saja ke Pasar Gombak. Orang sepasar pasti tahu di mana bisa
mencarinya.”
“Saya akan cari orang itu. Sekali lagi saya sangat berterima kasih padamu
Rukiah.”
Janda Datuk Gampo Alam mengangguk. Sekali lagi diciumnya pemuda itu
lalu bergegas dia kembali ke pedati yang menunggunya.
Ketika pedati mulai bergerak mendadak di belakangnya Andana mendengar
suara bergemerisik. Dia cepat membalik dan sempat melihat tiga orang berpakaian
seragam hitam berlari menuju tiga ekor kuda yang ditambatkan di kejauhan.
“Anak buah Datuk Gampo Alam….” desis Andana. “Mereka tidak melakukan
apa-apap terhadapku tapi mungkin akan mencelakai Rukiah…..” Pasti mereka telah
mendengar apa yang dikatakan Rukiah tadi. Ada dua jiwa terancam. Rukiah dan
Sati!” Andana cepat melompat ke atas kudanya dan mengejar pedati yang ditumpangi
Rukiah.
“Ada apa?” tanya Rukiah ketika dilihatnya Andana memacu kudanya
mendatangi.
“Tiga orang anak buah Datuk Gampo Alam ternyata menyelinap mendengar
pembicaraan kita. Keselamatanmu terancam Rukiah…. Apa ada jalan lain menuju
Bonjol? Atau sebaiknya kau jangan ke Bonjol. Mereka pasti mengejarmu. Tidak
ditemuinya di jalan akan dicarinya ke rumahmu di Bonjol!”
Rukiah tampak berpikir. Dia berpaling pada sais tua di sebelahnya. “Putar arah.
Kita ke Koto Tangah saja. Batal ke Bonjol!” Lalu Rukiah berpaling pada Andana.
“Terima kasih. Kau telah menyelamatkan orang buruk ini. Walau sekarang hanya
seorang janda tapi saya tetap ingin hidup lebih lama…. Punya suami lagi. Tapi tidak
dengan lelaki seperti Datuk itu. Tobat rasanya!”
Andana geleng-gelengkan kepalanya. Dia mengangkat tangannya membalas
lambaian Rukiah.
Tiga orang anak buah Datuk Gampo Alam yang sempat terlihat Andana
memang meninggalkan tempat itu dengan cepat. Namun di satu tempat lelaki sebelah
depan membelok ke kiri lalu menghentikan kudanya di antara kelebatan pepohonan.
“Kenapa kau berhenti di sini Luhak?” tanya salah satu temannya.
Orang yang bernama Luhak yang bergigi tonggos dan mulutnya tak pernah
terkatup itu memberi isyarat agar kawan-kawannya jangan bicara. Dia juga memberi
isyarat agar mereka segera turun dari atas kuda masing-masing lalu bersembunyi di
balik semak-semak. Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda. Andana lewat di
depan mereka.
“Apa yang ada di benakmu Luhak? Bukankah kita harus segera melapor pada
Datuk? Dia pasti senang mendengar laporan hebat dari kita. Kita bakal diberinya
hadiah besar!”
“Dari dulu otakmu tetap saja bodoh Ayub!” jawab Luhak. “Soal lapor melapor
bisa menyusul kemudian. Soal hadiah tak akan kemana larinya. Ada rezeki besar di
depan mata apa akan dibiarkan lewat begitu saja?”
“Eh kawan, apa pula maksudmu?” tanya orang ketiga yang bernama Kairudin.
Luhak si tonggos tertawa lebar hingga seluruh giginya atas bawah seperti
hendak keluar dari mulutnya. “Yang kumaksud dengan rejeki itu adalah si Rukiah itu.
Kini dia bukan lagi istri Datuk. Sudah minta cerai dan sudah lari. Dia hanya berteman
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 24
sais tua itu. Daerah sekitar sini sunyi senyap. Nah, apakah perlu lagi aku jelaskan
pada kalian yang bodoh-bodoh ini?”
Sepasang mata kedua orang itu sama-sama membesar. “Kau benar-benar
cerdik Luhak!” memuji Kairudin sementara Ayub tampak berulang kali membasahi
bibirnya dengan ujung lidah tanda dia juga sudah menangkap apa yang dimaksudkan
oleh Luhak tadi. Tanpa banyak cerita lagi ketiga orang ini segera melompat ke atas
punggung kuda masing-masing. Mereka bergerak ke arah simpang tiga di mana
mereka sebelumnya mengintai pertemuan Andana dengan janda Datuk Gampo alam
itu. Dari sini ketiganya mengambil jalan yang menuju ke Bonjol. Tapi belum jauh
meninggalkan simpang tiga Luhak yang berada di depan melihat jejak-jejak roda
pedati di tanah. Dia segera menghentikan kudanya.
“Jelas pedati yang ditumpangi janda Datuk itu berbalik arah di sini….” kata
Luhak.
“Tidak sulit mengetahui kemana mereka pergi. Jejak roda pedati yang begini
jelas akan menjadi petunjuk bagi kita. Ayo….” Luhak sentakkan tali kekang kudanya.
Pedati yang ditarik dua ekor sapi itu bergerak kencang karena menempuh jalan
yang menurun. Namun tiga orang penunggang kuda di belakang mereka bergerak
jauh lebih cepat hingga ketika pedati sampai di ujung penurunan, ketiganya sampai
pula di sana, langsung mengurung pedati.
Sais tua di samping Rukiah berbisik, “Agaknya mereka muncul bukan dengan
maksud baik. Kalau terjadi apa-apa lekas turun dari pedati dan lari selamatkan diri….”
Rukiah memandang pada ketiga orang itu lalu menegur. “Luhak, ada apa kau
menyusul kemari.”
“Begini, saya dan kawan-kawan….” Luhak tidak meneruskan kata-katanya
melainkan tertawa lebar hingga Rukiah jijik melihat berisan gigi-giginya yang besarbesar
kuning dan menjorok ke depan itu. “Tadinya kami kira Etek pergi ke Bonjol,
ternyata kini berubah arah….”
“Kemana aku mau pergi apa urusan kalian? Apa Datukmu yang menyuruh
memata-mataiku? Katakan padanya aku tidak akan mau kembali ke rumahnya!”
Rukiah berpaling pada sais tua di sebelahnya. “Jalankan pedati….”
“Bapak tua, tak perlu cepat-cepat pergi. Perjalananmu cukup sampai di sini.
Kami yang akan mengantarkan janda Datuk Gampo Alam ini ke tujuannya…..” Luhak
mendekati sais tua itu. Sekali dia merengutkan leher pakaiannya, orang tua ini jatuh
dari pedati dan terhantar di tanah. Anak buah Datuk Gampo Alam yang bernama
Ayub langsung melompat ke atas pedati dan memegang tali kekang dua ekor sapi.
“Saya tidak percaya padamu. Kalian pasti akan berbuat jahat terhadap
perempuan muda ini!” kata sais tua seraya mencoba bangkit. “Lari…..! Larilah
rangkayo!” (Rangkayo = panggilan kehormatan )
Bukkk!
Satu tendangan yang keras mendarat di dada sais tua itu. Tak ampun lagi
tubuhnya rebah ke tanah. Tak berkutik. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah
mengucur.
“Manusia jahat! Di mana peri kemanusiaanmu!” teriak Rukiah marah sekali.
Dia melompat dari atas pedati. Bukan untuk melarikan diri tapi memukuli pinggang
Luhak dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menarik pakaian laki-laki
itu. Karena kehilangan keseimbangan Luhak jatuh ke bawah. Tapi sambil jatuh lelaki
ini merangkul bahu Rukiah hingga keduanya jatuh bersamaan ke tanah dan saling
tindih!
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 25
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Luhak. Langsung saja dia merangkul
dan menciumi janda muda itu dengan penuh nafsu hingga Rukiah menjerit-jerit dan
berusaha melepaskan dirinya.
“Luhak! Jangan kau makan sendiri!” berseru Kairudin. Lalu diapun melompat
turun daru kudanya. Ikut bergulingan di tanah sambil tangannya meraba kian kemari.
Ayub tak mau ketinggalan. Tiga lelaki itu berebutan menggagahi Rukiah. Yang satu
meraba dan menciumi. Yang lain meraba sambil berusaha menanggalkan kain yang
dikenakan Rukiah. Lalu yang ketiga seperti kemasukan setan merobeki kebaya janda
muda itu. Dalam waktu singkat keadaan Rukiah boleh dikatakan hampir bugil. Dia
menjerit tiada henti sambil berusaha memukul dan menendang. Namun mana sanggup
dia menghadapi tiga lelaki sekaligus. Semakin keras jerit, pukulan dan tendangannya
semakin bernafsu Luhak dan kawan-kawannya. Jelas Rukiah tak akan dapat
mempertahankan kehormatannya.
“Manusia-manusia bajingan! Hebat juga kelakuan kalian!” tiba-tiba satu
bentakan menggeledek di tempat itu.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 26
ENAM
Luhak dan dua kawannya tentu saja terkejut. Ketiga orang ini cepat berpaling.
“Andana…..!” desis Luhak tapi kini keterkejutannya bercampur dengan rasa
heran. Sebelumnya dia telah melihat pemuda itu meninggalkan kawasan simpang tiga.
Kini mengapa tiba-tiba muncul dan berganti pakaian.
“Bukan dia Luhak…..” bisik Ayub. “Kalau tak salah aku dia adalah pemuda
Jawa kawan kemenakan Datuk….”
“Hendak kalian apakan perempuan itu?!” pemuda yang datang bertanya
sambil bertolak pinggang.
“Hendak kami apakan bukan urusanmu?!” kata Luhak seraya melompat tapi
dia lupa kalau tadi dia telah sempat membuka celana hitamnya hingga pakaian itu
hampir jatuh ke bawah menelanjangi dirinya sendiri.
“Jangan-jangan dia hendak minta bagian pula Luhak,” berkata Kairudin seraya
berdiri lalu tegak di samping kawannya.
Ayub yang masih menindih Rukiah agaknya masih belum mau melepaskan
perempuan tiu. Dia merasa lebih banyak mendapat kesempatan tanpa menyadari
bahwa sesungguhnya bahaya besar mengancam dirinya saat itu.
“Ah, kalau kalian memang berbaik hati mau membagi-bagi rejeki denganku,
itu bagus sekali. Coba kusingkirkan dulu orang hutan yang satu ini!”
Habis berkata begitu pemuda berpakaian serba putih yang tahu-tahu saja
muncul di tempat itu melompat ke arah Ayub. Sesaat kemudian terdengar suara
bergedebuk menyusul raungan Ayub. Tubuh lelaki ini terpental jauh. Dalam keadaan
nungging tadi tendangan pemuda berpakaian putih mendarat telak di selangkangannya.
Kantong kemaluannya remuk. Untuk beberapa lamanya Ayub berguling-guling di
tanah, melejang-lejangkan kedua kakinya dan memegang bawah perutnya sambil
tiada hentinya berteriak. Dia berusaha berdiri tapi jatuh dan jatuh lagi. Tiba-tiba
teriakannya lenyap. Tubuhnya terlentang di tanah. Kedua matanya mendelik.
Kairudin mendekati kawannya ini.
“Dia mati! Luhak, Ayub mati!” teriak Kariaudin pada Luhak.
“Bedebah jahanam! Berani kau membunuh kawanku!” teriak Luhak marah
besar. Dihunusnya golok yang terletak di tanah. Kairudin juga tidak tinggal diam. Dia
melakukan hal yang sama. Keduanya lalu mendekati si pemuda dari samping kiri dan
kanan. Sementara Rukiah dengan cepat berusaha bangkit. Sambil membenahi
pakaiannya yang robek di sana sini janda ini lari ke balik sebatang pohon besar.
“Bagus! Kalian punya nyali! Majulah!”
“Nyali! Apa itu nyali!” sentak Kairudin yang tak mengerti kata yang barusan
diucapkan pemuda berambut gondrong di hadapannya.
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa geli. “Kalau kau mau tahu artinya nyali
majulah! Ayunkan golokmu!”
“Manusia sombong! Laidangku ini akan memisahkan kepalamu dari badan!”
teriak Kairudin. Lalu anak buah Datuk Gampo Alam ini melompat sambil
membabatkan goloknya ke leher Wiro. (ladiang = golok)
Serangan orang ini boleh juga. Deru sambaran senjatanya deras dan
gerakannya cepat sekali. Namun yang dilawannya bukan sembarang pendekar.
Akan halnya Luhak melihat kawannya berulang kali hanya membacok tempat
kosong, tidak menunggu lebih lama segera pula melompat membantu. Dua golok
berkelebat kian kemari dalam gerakan-gerakan silat yang selama ini tidak pernah
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 27
dilihat Wiro. Sepasang senjata lawan bergulung-gulung menyerang tubuhnya dari
kepala sampai ke pinggang.
Hemmmm…..Ilmu silat mereka cuma main atas. Pinggang ke bawah terbuka.
Murid Sinto Gendeng tiba-tiba keluarkan bentakan keras. Tubuhnya
dijatuhkan ke tanah. Sambil bergulingan dia menendang ke arah kedua kaki Kairudin.
Yang ditendang cepat melompat tinggi-tinggi. Ini yang dimaui Wiro. Dari bawah dia
lepaskan pukulan tanagn kosong “kunyuk melempar buah” dengan mengandalkan
sedikit saja dari tenaga dalamnya. Apa yang terjadi kemudain membuat Luhak
terkejut. Kairudin menjerit keras. Selagi tubuhnya melayang di udara, satu gelombang
angin laksana sebuah batu besar melesat ke arah selangkangannya.
“Astaga! Apa ini?!” kata Kairudin. Di lain kejap terdengar jeritannya.
Tubuhnya terlempar sampai dua tombak. Ketika jatuh ke tanah, tubuh itu tidak
berkutik lagi. Selangkangannya kelihatan robek dan ada genangan darah mengalir
sampai ke tanah.
Putuslah nyali Luhak. Dia mengambil keputusan untuk kabur melarikan diri.
Sebelum kabur dia lebih dulu mendesak Wiro dengan dua serangan berantai.
“Tonggos! Aku pinjam dulu golokmu!” seru Wiro. Lalu dengan gerakan cepat
dia menyelinap di bawah bacokan senjata lawan. Tangan kanannya menyambar ke
atas.
Kraaak!!
Sambungan siku tangan kanan Luhak tanggal dan remuk. Jerit orang ini
setinggi langit. Wiro cepat menangkap goloknya yang terlepas dan mental ke udara.
“Ampun! Jangan dibunuh waden! Jangan dibunuh waden!” teriak Luhak
berulang kali seraya mundur. Mukanya pucat. Tangan kirinya diangkat sambil
digoyang-goyangkan.
“Siapa mau membunuhmu. Nyawamu cukup diwakili kedua orang kawanmu
itu….” kata Wiro. Golok di tangan kanannya bergerak. Gagangnya menghantam keras
ke mulut Luhak.
Luhak menjerit keras sekali. Darah muncrat dari mulutnya. Lima giginya yang
tonggos di bagian atas dan empat di sebelah bawah rontok. Sebagian terlempar masuk
ke dalam mulutnya. Sebagian lagi mental keluar. Luhak terus meraung kesakitan
sambil pegangi mulutnya yang berdarah dengan tangan kiri. Lututnya goyah. Dia
berlutut terbungkuk-bungkuk. Darah masih terus mengucur dari mulutnya yang pecah
serta gusinya yang hancur.
Wiro melangkah ke balik pohon di mana Rukiah bersembunyi ketakutan.
Sesaat Wiro terkesiap juga melihat tubuh yang hampir bugil itu.
“Maafkan saya,” kata Wiro. “Adik tak apa-apa…..”
“Saya…..saya tidak apa-apa. Terima kasih kakak sudah menolong saya….”
Wiro mengangguk lalu dia membalik.
“Tunggu, jangan tinggalkan saya….” kata Rukiah menyangka Wiro hendak
pergi.
“Tetap saja di situ. Saya akan menyelesaikan urusan dengan anak buah Datuk
Gampo Alam ini….” kata Wiro pula. Lalu mayat Ayub dan Kairudin dinaikkannnya
ke atas kuda masing-masing. Kini dia mendekati Luhak. Sekali menarik leher pakaian
lelaki ini Luhak tertegak dan ketakutan setengah mati.
“Kau boleh kembali ke Pagaralam. Bawa kedua mayat kawanmu itu. Katakan
semua yang terjadi di sini pada Datukmu. Sebelum kau naik ke atas kudamu,
tanggalkan dulu celanamu!”
“A…..apa maksudmu….?” tanya Luhak tergagap dalam ketakutannya.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 28
“Maksudku begini setan!” kata Wiro. Lalu direnggutnya celana hitam laki-laki
itu. Tubuh Luhak kemudian ditunggingkannya kepala di bawah kaki di atas. Celana
Luhak ditariknya sampai tanggal. Ketika lelaki ini ditegakkannya kembali dengan
sendirinya Luhak hanya mengenakan baju saja alias telanjang di sebelah bawah!
Barang antiknya gundal-gandil kian kemari!”
“Naik ke kudamu!” perintah Wiro.
“Onde mak! Jangan! Jangan diperlakukan saya seperti ini! Berikan celana
saya…..!”
“Boleh! Kau memilih celana atau nyawa?” ujar Wiro pula seraya pura-pura
hendak mencekik leher Luhak. Orang ini kembali ketakutan setengah mati.
“Sa…..saya memilih hidup saya…..” katanya. Lalu naik ke atas kudanya. Wiro
memukul pinggul dua ekor kuda lainnya yang membawa mayat Ayub dan Kairudin.
Sesaat setelah orang-orang itu lenyap di kejauhan Wiro kembali ke balik
pohon.
“Mereka sudah pergi. Kau aman sekarang….”
“Terima kasih. Pertolonganmu tidak akan saya lupakan. Bukankah kau
sahabat Andana?” kata Rukiah dari balik pohon.
“Betul…. Nama saya Wiro.”
“Wajah kalian hampir mirip satu sama lain,” kata Rukiah pula. “Tapi kau
lebih….” Janda ini tidak meneruskan ucapannya.
“Lebih apa? Lebih kurang ajar?!”
“Maksud saya buka begitu…..” jawab Rukiah. Dalam hati dia berkata. Kau
lebih jantan dari Andana.
“Apalagi yang bisa saya tolong sekarang?” bertanya Wiro.
“Di atas pedati ada sebuah peti kayu. Dalam peti itu ada beberapa potong
pakaian. Tolong ambilkan petinya kemari. Saya nyaris telanjang. Saya harus berganti
pakaian….”
“Saya lebih suka melihat adik seperti sekarang ini…..”
“A….apa kata kakak?!” tanya Rukiah hampir tak percaya dengan
pendengarannya. Wiro hanya tertawa sambil garuk-garuk kepala. “tak pernah saya
mendengar orang baik-baik seperti kakak tega-teganya berkata seperti itu.”
“Saya bukan orang baik-baik,” jawab Wiro pula.
“Ah! Tolonglah ambilkan peti itu. Kalau tidak ambilkan sehelai kain dan
sehelai kebaya yang ada di dalamnya.”
Wiro tersenyum. Dia melangkah juga ke pedati. Di dalam sebuah peti kayu di
temukannya beberapa potong pakaian. Wiro mengambil sehelai kebaya dan sehelai
kain lalu membawanya ke balik pohon.
“Ulurkan saja dari belakang pohon. Jangan melangkah ke sini!” kata Rukiah.
Wiro tertawa. Dilemparkannya kain panjang yang diambilnya dari dalam peti.
Tidak ke belakang pohon tetapi beberapa langkah di sebelah depan.
“Mana pakaiannya?” tanya Rukiah.
“Sudah saya lemparkan di depan pohon….”
Rukiah menjulurkan kepalanya dari balik pohon. Lalu terdengar dia
mengomel. “Ini bukan saatnya bergurau!”
Wiro membungkuk mengambil kain. Bersama-sama dengan kebaya kain itu
dilemparkannya ke belakang pohon. Rukiah segera sibuk berpakaian. Tak lama
kemudian janda muda ini keluar dari pohon itu. Yang dilakukannya pertama sekali
adalah melihat keadaan sais tua yang menggeletak di tanah.
“Jangan kawatir, orang tua itu belum mati. Cuma pingsan. Tapi dia tidak akan
mungkin membawa pedati meneruskan perjalanan….”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 29
“Saya bisa pergi sendiri. Tolong naikkan dia ke atas pedati.”
Wiro menaikkan sais yang masih pingsan dan cidera cukup berat itu ke atas
pedati.
“Senja hampir datang. Sebentar lagi malam akan turun. Apakah adik berani
melakukan perjalanan sorang diri?” bertanya Wiro.
Rukiah tidak menjawab. Dalam hatinya dia bertanya-tanya apakah pemuda itu
hanya sekedar bertanya atau bermaksud mengantarkannya.
“Koto Tangah tidak seberapa jauh dari sini….”
“Saya tidak tahu jauh dekatnya,” kata Wiro pula lalu mengikatkan kudanya di
belakang pedati.
“Eh, mengapa pula kakak mengikatkan kuda itu ke pedati?” tanya Rukiah.
Wiro tidak menjawab melainkan naik ke atas pedati dan duduk di samping
Rukiah.
“Saya senang kakak mau mengantarkan. Tapi apakah saya bisa mempercayai
kakak?”
Wiro tertawa lebar. “Sudah saya bilang tadi. Saya bukan orang baik-baik. Tapi
dibandingkan dengan Datuk Gampo Alam saya sedikit lebih baik. Dan jauh lebih
muda….”
Pemuda satu ini konyol. Sepertinya juga keras kepala. Tapi apa yang
dikatakannya betul. Kalau aku tidak bisa mendapatkan Andana, tak ada ruginya
mendapatkan yang satu ini. Lagi pula wajah mereka begitu mirip. Dan dia lebih
berani, lebih jantan.
Rukiah meletakkan tangan kanannya di atas ribaan Pendekar 212.
“Saya percaya pada kakak,” katanya.
Wiro mengambil tali kekang dua ekor sapi penarik pedati. Sesaat kemudian
pedati itupun bergerak meninggalkan tempat itu. Di Barat sang surya mulai tenggelam.
Di atas pedati Rukiah masih meletakkan tangan kanannya di atas paha Wiro.
Tak dapat dibayangkan begaimana kehebohan yang terjadi di Pagaralam
ketika Luhak yang setengah telanjang itu muncul membawa mayat dua orang
kawannya. Datuk Gampo Alam seperti orang kemasukan setan saking marahnya.
Bukannya dicarikan kain atau apa saja untuk menutupi aurat anak buahnya itu malah
sambil menyentak-nyentakkan lehernya dia berteriak.
“Setan bodoh kau Luhak! Biar kutelanjangi sekalian dirimu!” Lalu
breet….brettt! Tangan kirinya merobek baju hitam Luhak dengan tangan kanannya
menampari muka anak buahnya itu dengan kalap.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 30
TUJUH
Pasar sudah agak lenggang ketika Andana sampai di situ. Tapi di tempat orang
main Kim suasana masih ramai. (Kim = semacam permainan judi memakai nomornomor.
Siapa yang nomornya paling banyak keluar jadi pemenang) Setelah bertanya
beberapa kali akhirnya seseorang menunjuk pada lelaki berkopiah hitam dan
berpakaian putih yang sedang asyik main Kim sambil menggoyang-goyangkan
kepalanya mengikuti lagu yang dinyanyikan oleh pemberi tahu nomor. Di sela
bibirnya terselip sebatang rokok yang apinya sering mati dan sebentar-sebentar
dinyalakannya.
Angku mudo pai ka pasa
Mambao itiak duo-duo
Barangkek kapa di muaro
Maratok suliang limo kali
(Engku muda pergi ke pasar
Membawa itik dua-dua
Berangkat kapal di muara
Meratap suling lima kali)
Mendengar pantun yang dinyanyikan dengan iringan tetabuhan itu lelaki
berkopiah hitam mencoret angka 22 dan angka 5 yang ada di kertas Kimnya dengan
arang. Kemudaian dia menyedot rokoknya dalam-dalam. Ternyata api rokok itu sudah
mati pula. Ketika dia sibuk mencari korek api di saku pakaiannya, tahu-tahu
seseorang yang tegak di sebelahnya membantu menyalakan rokok itu. Orang
berkopiah menghisap rokoknya dalam-dalam lalu sekilas melirik pada orang yang
tegak di sampingnya.
“Sati….?” tanya orang tadi yang bukan lain adalah Andana seraya duduk di
sebelah si kopiah hitam.
Yang ditegur memang Sati. Pedagang cita keliling ini melirik kembali. Kedua
matanya membesar. Dia menatap lekat-lekat. “Kau siapa? Astaga bukankah kau
kemenakan Datuk Gampo Alam yang baru kembali ke Pagaralam? Yang kabarnya
sudah digelari orang dengan julukan Harimau Singgalang? Yang dinobatkan sebagai
tamu terhormat dan dipersembahkan sekapur sirih oleh gadis tercantik di Pagaralam?”
Andana tersenyum. “Perlahan kalau bicara. Karena mungkin tidak semua yang
kau katakan itu benar sobat.” Lalu Andana mengambil potongan arang dan mencoret
angka di kertas Kim milik Sati yang kebetulan keluar. “Ada yang ingin saya tanya
Sati. Saya sangat memerlukan bantuanmu.”
“Saya sudah maklum. Sebenarnya saya pernah mencari Angku Mudo. Tapi
sekarang Angku Mudo sendiri yang datang. Saya sedang asyik main Kim. Bisa
Angku Mudo datang malam nanti ke rumah saya?” (Angku Mudo = Angku Muda,
panggilan kehormatan)
Sebenarnya Andana ingin mendapat keterangan saat itu juga. Tapi dia tidak
mau memaksa. Apalagi dilihatnya hari segera memasuki senja. Jadi dia tak akan lama
menunggu.
“Beri tahu saya letak rumahmu….”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 31
Sati memberi tahu letak rumahnya. Lalu berkata “Saya orang dagang. Berarti
mata duitan. Segala urusan dengan saya harus ada uangnya…..” Sati lalu tertawa
mengekeh tapi hampir tanpa suara.
“Jangan takut Sati. Setiap kata yang kau sebutkan, jika memang merupakan
keterangan berharga pasti akan saya bayar,” jawab Andana pula.
“Jangan kawatir Angku Mudo. Sekali ini saya keluar dari aturan itu. Angku
Mudo tak perlu membayar sepeserpun. Sampai nanti malam. Saya tunggu di rumah.
“Dengar sobat,” bisik Andana seraya memegang bahu pedagang cita keliling
itu. “Saya punya firasat nyawamu terancam.”
Paras Sati berubah. “Apa maksud Angku Mudo?”
“Jangan terus pulang ke rumah. Tunggu saya sampai datang di tempat gelap di
ujung Utara jembatan batang kelapa.”
Andann berdiri. Sebelum pergi dia masih sempat mencoret angka ke lima
yang ada di kertas Kim di depan Sati.
“Sudah lima angka Sati. Kau menang.”
“Hah, apa?!” Sati memperhatikan kertasnya lalu berteriak gembira. Dia
setengah berlari membawa kertas itu ke tempat juru bayar Kim duduk.
Lelaki tinggi besar berwajah seram itu berdiri gelisah di bawah bayangbayang
pohon. Suasananya sekitarnya gelap dan sunyi. Sesekali terdengar suara
binatang hutan di kejauhan. Orang ini memelihara kumis dan cambang bawuk lebat
menutupi lebih dari sebagian wajahnya. Mata kirinya picak buta sedang telinga
kanannya sumplung. Tampangnya yang seram itu dalam kegelapan kelihatan lebih
angker. Pakaiannya serba hitam. Keningnya dililit dengan kain hitam dan rambutnya
yang kasar acak-acakan menjulur gondrong sampai ke bahu. Leher dan setiap
pergelangan kaki serta tangannya dilingkari kalung dan gelang terbuat dari akar bahar.
Agaknya orang ini yang bukan lain adalah Hantu Mata Picak tengah
menunggu kedatangan seseorang. Dalam gelap beberapa kali dia terdengar
menggerutu sambil menepuki nyamuk yang banyak berkeliaran dan menyengat
kulitnya.
Tak selang berapa lama terdengar suara langkah-langkah kaki kuda
mendatangi. Hantu Mata Picak mengusap mukanya beberapa kali. Seorang
penunggang kuda muncul dari kegelapan.
“Sudah lama saya menunggu Datuk di sini…” kata orang tinggi besar di bawah
pohon dengan nada seperti mengomel.
“Setan! Tutup mulutmu!” hardik penunggang kuda. “Bukan kau yang harus
bicara lebih dulu tapi aku!”
“Kalau begitu saya menunggu apa yang hendak Datuk katakan….”
“Kau sadar telah beberapa kali membuat kesalahan?!”
“Saya tahu. Tapi semua itu terjadi secara tidak terduga Datuk…”
“Setan kau Daud! Jangan banyak mulut! Jangan mencari-cari alasan! Kurobek
mulutmu nanti baru tahu dirasa!”
Orang tinggi besar bertampang angker terpaksa berdiam diri.
“Pertama! Kau memang berhasil membunuh Udin Burik. Tapi tololnya kau
meninggalkan bukti! Mengapa kau bunuh orang itu dengan pisau terbang yang
hulunya ada ukiran tengkorak?! Apa kau tidak sadar itu berarti meninggalkan jejak?!”
“Saya terpaksa Datuk. Saya bersumpah! Waktu itu Udin Burik siap membuka
mulut hendak memberi tahu siapa yang menyogoknya untuk memberi kesaksian palsu
di depan Tumenggung Rajo Langit. Jarak saya dengan dia terpaut jauh! Tak ada jalan
lain. Dia saya habisi dengan pisau terbang….”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 32
Orang di atas kuda meludah ke tanah. “Untung aku bisa mencuri pisau
bergagang tengkorak itu dari Andana. Walaupun begitu dia sudah terlanjur melihat,
menyimpan dan mengetahui!”
Daud alias Hantu Mata Picak masih berdiam diri. Orang yang dipanggil Datuk
kembali mengeluarkan kemarahannya.
“Ketololanmu yang kedua setan! Kau tidak berhasil membunuh anak itu
dengan racun kala hutan. Lekas kau terangkan kenapa sampai bisa begitu. Atau
kupuntir kepalamu sampai tanggal sekarang juga!”
“Terus terang saya juga heran Datuk. Saya yakin betul dia telah mengunyah
sirih beracun dalam cerana. Hanya ada satu kemungkinan? Pemuda yang bergelar
Harimau Singgalang itu kebal racun?”
“Kanciang kau Daud!” maki orang di atas kuda. “Sudah gagal pandai pula kau
mencari dalih hendak cuci tangan! Dari jaman nenek moyangku sampai sekarang
belum pernah kudengar ada anak manusia yang kebal racun kala hutan! Jangankan
manusia, setan sekalipun akan mampus oleh racun jaha itu!” (kanciang = makian
kotor seperti sundal, pantat) “Kalau kau merasa tidak mampu menjadi pembantuku,
katakn saja! Biar saat ini juga kau kupecat! Tapi mukamu akan kutendang lebih dulu.
Hidungmu akan kubikin melesak dan matamu yang satu lagi kubikin picak!”
Sepasang mata Datuk Gampo Alam membeliak seperti hendak keluar dari
rongganya saking marahnya. “Ingat baik-baik Daud! Jangan sekali lagi kau berani
menyebut anak itu dengan gelar keparat sialan itu! Dia tidak punya gelar! Dia tidak
berhak menyandang julukan Harimau Singgalang!”
“Tapi di luaran orang banyak kini menyebutnya dengan gelar itu Datuk….”
“Persetan! Kau rupanya memang minta kupecat Daud!”
“Datuk, saya rasa saya sudah berusaha menjalankan tugas yang Datuk berikan
sebaik-baiknya. Hanya saja kita tidak mengira bahwa keadaan lain dari yang diduga.
Dimulai waktu kita menghadang Datuk Bandaro Sati di tepi Ngarai Sianok. Tiga
tulang iga saya sempat patah dan kini agaknya masih belum bertaut utuh. Kalau saya
bernafas panjang-panjang ngilu rasanya dada ini. Lalu lihat tangan kanan saya. Masih
gembung merah. Akibat pukulan sakti telunjuk penembus raga yang dilepaskan Datuk
itu….”
Orang di atas kuda yang bukan lain adalah Datuk Gampo Alam adanya
menyeringai. “Menjadi pembantuku berarti siap mengorbankan raga bahkan jiwa!
Jika kau tidak suka menyingkirlah dari hadapanku!”
“Saya tidak berkata tidak suka, Datuk. Kalau saja Datuk jauh-jauh hari dulu
sudah mengajarkan ilmu belut putih itu pada saya mungkin sudah saya bereskan anak
itu. Paling tidak saya tidak akan mengalami nasib sengsara seperti ini….”
Datuk Gampo Alam meludah ke tanah. Lalu menyentakkan lehernya tiga kali.
“Kau manusia tidak tahu diri! Jasa baru seujung kuku sudah meminta imbalan sebesar
gunung Merapi!”
Daud alias Hantu Mata Picak terdiam sebentar lalu dia berkata. “Ada satu lagi
yang ingin saya katakan Datuk. Waktu saya turun dari rumah gadang pada hari
perhelatan itu, pemuda Jawa bernama Wiro Sableng itu mengikuti saya. Di satu
tempat saya menghadangnya. Menghantamnya dengan dua pisau terbang sekaligus.
Serangan saya gagal. Saya susul dengan ilmu hitam ular Bira Satu dai dua pisau itu
berubah menjadi ular dan berhasil mematuknya. Tapi pemuda itu juga berhasil
membuat musnah ular jejadian itu. Untung saya masih sempat melarikan diri masuk
ke dalam terowongan Si Nago-Nago. Celakanya, entah dengan ilmu pukulan apa dia
menghantam selah satu bagian lorong hingga amblas dan menutup jalan masuk.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 33
Untung saya bisa menyelamatkan diri lewat lorong rahasia di sebelah Timur. Pemuda
itu berbahaya Datuk. Mungkin lebih bahaya dari kemenakan Datuk sendiri……”
“Berbahaya atau tidak, itu termasuk salah satu tugasmu untuk
menyingkirkannya.”
“Baik kalau begitu kata Datuk. Apa saya boleh minta diri sekarang.?”
“Setan! Aku belum menyuruhmu pergi. Ada satu tugas untukmu….?’
“Saya tahu. Datuk akan memerintahkan saya untuk mencari dan membunuh
Andana kembali….”
“Orang tolol macammu tak akan bisa menjalankan tugas itu. Kau sudah
membuktikan ketidak mampuanmu. Biar orang lain yang melaksanakan hal itu. Kau
cukup kusuruh menjalankan tugas mudah saja…..”
Meski dai merasa kini disepelekan dan dianggap randah namun Hantu Mata
Picak masih bertanya. “Tugas apa itu Datuk?”
“Cari Sati. Datangi rumahnya dan bunuh dia pada kejap pertama kau
melihatnya. Mengerti?”
“Maksud Datuk Sati pedagang cita keliling itu?”
“Setan! Apa ada dua orang bernama Sati di Pagaralam ini?! Dasar tolol!
Dungu! Pandir!” Datuk Gampo Alam sentakkan lehernya lalu membedal tali kekang
kuda tunggangannya.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 34
DELAPAN
Seorang tamu berpakaian bagus, didampingi oleh seorang pengawal menunggu
Datuk Gampo Alam di rumah gadang. Dia ternyata adalah Tumenggung Rajo Langit
penguasa di wilayah Batusangkar yang membawahi Pagaruyung, Pagaralam dan
sekitarnya.
“Harap maafkan saya Tumenggung. Kebetulan ada urusan penting di waktu
hampir bersamaan. Sudah lama Tumenggung datang?”
Tumenggung Rajo Langit menekuk mukanya yang sejak tadi tampak asam.
Dia senyum terpaksa lalu menjawab berbasa basi. “Belum berapa lama….”
“Rencana Tumenggung jadi dijalankan?”
“Orang-orang sudah saya kirim, mereka tahu di mana mencari anak itu.
Sekarang kalau Datuk tidak keberatan saya akan membicarakan hal lain….”
“Tentu saja. Kita bisa bicara panjang lebar sambil menunggu kabar. Namun
sebaiknya saya menyuruh orang di dalam menghidangkan kopi panas. Juga penganan
kesukaan Tumenggung.”
Tumenggung Rajo Langit mengangguk lalu dia memberi isyarat pada
pengawal yang duduk di sebelahnya dan berkata “kau boleh pergi. Tunggu aku di
bawah tangga….”
Tak lama kemudian dua cangkir besar kopi dihidangkan bersama sepiring
pisang goreng yang masih panas. Setelah meneguk kopi dan mencicipi goreng pisang
Tumenggung Rajo Langit membuka pembicaraan.
“Apakah masih ada persoalan yang menghambat rencana jual beli rumah
gadang ini Datuk……?”
“Dari pihak saya tidak. Tapi bagaimana dengan rencana Tumenggung tempo
hari?”
“Malam ini saya sudah mengirim selusin orang untuk menangkapnya. Mereka
bukan orang sembarangan. Empat diantaranya adalah pasukan dari Bukittinggi. Dua
dari mereka membawa senjata panjang bernama bedil yang didatangkan dari Jawa….
Selain itu ada seorang gagah berkepandaian tinggi dari Selatan yang dikenal dengan
julukan Anduang Mata Api.”
“Saya yakin sekali ini kita bisa menangkapnya. Begitu tertangkap malam ini
juga dia akan dibawa ke Batusangkar.”
“Penjara yang kuat sudah disiapkan untuknya. Dia tidak akan bisa lolos lagi!”
“Saya merasa lega Tumenggung mau bersusah payah….” kata Datuk Gampo
Alam pula. “Namun ada satu hal yang mungkin sudah Tumenggung ketahui….” kata
Datuk Gampo Alam pula. “Kemenakan saya itu darang kemari membawa seorang
teman dari Jawa. Ilmu silatnya tinggi. Salah seorang pembantu kepercayaan saya
hampir menemui ajal di tangannya.”
Mulut Tumenggung Rajo Langit tampak komat-kamit. “Pemuda keparat
itu….” katanya. “Dua kali dia berani mencari perkara dengan saya. Saya bersumpah
untuk menangkapnya juga! Membunuhnyapun tidak ada urusan!”
“Ah, jadi benar rupanya kabar yang saya dengar. Dia berani menyerang
Tumenggung….”
“Sampai dua kali. Pertama tak jauh dari telaga. Yang kedua di pekuburan.
Sewaktu saya menangkap tangan kemenakan Datuk bercinta-cinta dengan anak gadis
Mamak Rabiah…. Habis anak buah saya dihajarinya. Kalau tidak lekas saya
menyingkir……”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 35
“Maksud Tumenggung Bunga?” tanya Datuk Gampo Alam memotong katakata
sang Tumenggung dengan wajah berubah.
“Betul… Eh, saya lihat wajah Datuk berubah mendengar ucapan saya….”
“Sebetulnya saya sudah bertemu dengan Mamak Rabiah. Saya meminta agar
anaknya itu saya jadikan istri…. Dulu memang ada pergunjingan mengenai hubungan
gelap antara Bunga dan Andana. Tapi waktu itu mereka masih bisa dianggap anakanak.
Kini Bunga sudah dewasa. Saya tidak ingin ada laki-laki berani mengganggu
calon istri saya itu….”
Kini paras Tumenggung Rajo Langitlah yang berubah. Dalam hati
Tumenggung ini berkata Gila! Siapa menyangka tua bangka yang sudah punya empat
istri ini menginginkan gadis itu. Kalau aku tidak lekas bertindak, salah-salah aku
bisa kedahuluan!
Setelah mendehem beberapa kali sang Tumenggung berkata. “Rupanya kita
terpaut pada kembang yang sama Datuk.”
“Apa maksud Tumenggung?”
“Saya tidak tahu kalau Datuk jatuh hati pada gadis itu. Saya sendiri
sebenarnya sudah lama tertarik padanya. Tapi kini setelah tahu Datuk suka padanya ,
saya tidak berani bersaing. Saya hanya ingin mengajukan penawaran….”
Lama Datuk Gampo Alam menatap wajah Tumenggung Rajo Langit dengan
mulut setengah ternganga. Seperti orang yang di hadapannya tadi, sang Datuk juga
membatin. Mentang-mentang orang berpangkat enak saja dia berkata terangterangan
tertarik pada gadis itu. Apa dia menyangka kekuasaannya bisa
mendapatkan apa saja yang diinginkannya? Berbunuhanpun aku tak segan dengan
kambing buruk ini.
“Datuk, saya katakan saya ingin mengajukan penawaran,” mengulang
Tumenggung Rajo Langit.
“Penawaran apa?” tanya Datuk Gampo Alam.
“Biarkan saya mengawini Bunga. Sebagai ganti rugi akan saya tambah harga
jual beli rumah gadang berikut isinya ini…..”
Datuk Gampo Alam tersenyum pencong. Tumenggung setan! Kau mencari
perkara!
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya beberapa kali lalu berkata. “Kita
sudah lama bersahabat. Apalagi mengingat Tumenggung penguasa tertinggi di
wilayah ini. Saya tidak berani menolak keinginan Tumenggung memperistri Bunga.
Itu adalah urusan pribadi Tumenggung. Saya berterima kasih Tumenggung mau
membeli lebih dari yang sudah kita setujui…..” Manusia tak tahu diuntung. Habis kau
bayar harga rumah gadang ini akan kau rasakan apa yang bakal terjadi atas dirimu.
Tumenggung Rajo Langit angguk-anggukkan kepalanya. Lalu diteguknya
kopi sampai habis. Dia tidak menolak sewaktu Datuk Gampo Alam menawarkan
secangkir kopi lagi.
“Saya akan mempersiapkan uang pembayarang itu. Paling lambat dalam
waktu dua tiga hari di muka Datuk sudah mendengar kabar dari saya.”
Datuk Gampo Alam mengangguk.
Andana tengah melakukan sujud akhir sembahyang Maghrib ketika di luar
tiba-tiba menggemuruh suara kaki-kaki kuda. Ada tiga belas orang membanjiri
halaman di samping kiri surau. Dua belas orang turun dengan cepat. Sebagian dari
mereka langusng menuju pintu surau. Dua diantaranya membawa senjata panjang
yakini bedil kocok yang sudah diisi sebutir peluru. Beberapa lainnya mengurung
bangunan itu. Hanya satu orang saja yang turun dari kudanya dengan gerakan tidak
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 36
terburu-buru. Sikapnya tenang tapi kedua matanya mengawasi setiap sudut dengan
penuh waspada. Orang ketiga belas ini ternyata adalah seorang nenek berpakaian
galembong hitam yang biasanya dikenakan laki-laki. Mukanya lancip, kedua matanya
menonjol merah keluar. Sepintas tampang si nenek tiada beda dengan seekor
binyawak! Dialah orang yang dijuluki Anduang Mata Api itu! Sementara yang lainlain
bergerak sibuk, si nenek hanya tegak di bawah sebatang pohon seraya
merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.
Lima orang memasuki surau dengan cepat. Di saat itu Andana tengah
melakukan duduk tahajud akhir. Kekhusukannya bersembahyang membuat dia tidak
perduli dengan langkah-langkah berat yang menginjak lantai papan surau. Seolah
tidak apa-apa dia terus saja sembahyang. Lalu dia merasakan ada dua buah benda
keras dan dingin ditempelkan pada pelipisnya kiri kanan.
“Asyhadu Allah illa ha illallah….” Andana terus dengan sembahyangnya.
Telunjuk kanannya yang terletak di paha kanan diluruskannya. Ketika dia
mengucapkan salam dia tidak bisa memutar kepalanya ke arah kanan ataupun kiri
karena kepala itu tertahan oleh dua pucuk moncong bedil! Andana hanya bisa
mengucapkan salam tanpa dapat menoleh ke kanan dan ke kiri. Dengan tangan
kirinya diusapnya wajahnya. Kedua matanya dengan cepat membaca situasi. Lalu dia
menegur dengan sikap tenang.
“Manusia-manusia dari mana yang telah berubah menjadi iblis durhaka!
Mengganggu orang dalam sembahyang?!”
“Jangan banyak mulut! Kami mendapat perintah menangkapmu hidup atau
mati!” Orang yang memegang bedil di sebelah kanan membentak. Kawannya yang
sebelah kiri mengeluarkan sebuah rantai besi yang ada gemboknya. Benda itu
dilepmparkannya ke lantai di depan Andana lalu memerintahkan pada selah seorang
di dekatnya. “Ikat kedua tangannya! Kalau dia berani bergerak kutabur otak dalam
kepalanya!”
Orang yang diperintah masukkan goloknya ke sarung lalu cepat mengambil
rantai besi itu. Andana belum pernah melihat orang ditembak bedil. Namun dia
pernah mendengar bahwa senjata panjang itu bisa mengoyak dada, merobek perut dan
merengkahkan kepala! Dalam keadaan seperti itu yaitu dua moncong bedil sekaligus
menempel di kepalanya kiri kanan Andana tak berani berlaku ceroboh.
“Kalian orang-orang Tumenggung Rajo Langit?” bertanya Andana.
“Kambui wa-ang! Kalau sudah tahu siapa kami mengapa masih bertanya!”
bentak orang yang memegang bedil di sebelah kanan.
“Jangan banyak cakap. Ulurkan saja kedua tanganmu. Atau otakmu akan
bertaburan di lantai surau ini!”
Andana tampak seperti tersenyum. “Rupanya Tumenggung kalian itu masih
belum puas. Semua orang di Pagaralam ini tahu bahwa tuduhan pembunuhan atas
diriku dulu hanya fitnah busuk belaka….”
Dengan tenang Andana mengulurkan kedua tangannya. Sewaktu rantai besi
hendak diikatkan pada kedua lengannya, dalam hati Andana berkata. Kalian hanya
menjalankan perintah. Tapi kalau aku tidak memberi pelajaran pada kalian, kalian
bisa jadi keras kepala dan sewenang-wenang!
Rantai besi mulai dilingkarkan di kedua tangan Andana. Pada saat itulah tibatiba
terdengar suara siulan.
Menyusul bentakan keras.
“Manusia-manusia gila! Kalian seperti tidak ber-Tuhan! Menangkap orang di
rumah suci!”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 37
Atap surau yang terbuat dari ijuk berderik halus. Lalu tiba-tiba sekali lampu
minyak yang tergantung dekat pintu surau padam. Dalam keadaan yang gelap gulita
itu Andana serta merta jatuhkan tubuhnya ke lantai papan. Dua letusan menggelegar.
Andana merasakan sesuatu yang panas robek bahu kirinya. Dia menghantam sambil
menahan sakit. Terdengar suara orang menjerit di susul suara bergedebuk jathunya
satu dodok tubuh. Di sebelah atas suara seseorang menerobos masuk lewat celah
antara atap dan dinding lalu melayang ke bawah.
Setelah itu terlihat satu bayangan putih berkelebat kian kemari. Setiap kaki
atau tangannya bergerak satu korban roboh ke lantai.
Meski tidak dapat melihat jelas siapa adanya orang yang masuk ke dalam
surau itu nemun dari gerakannya yang sebat dan mengeluarkan suara menderu serta
bentuk potongan tubuhnya Andana sudah dapat menduga siapa adanya orang ini. Dia
segera menyambar sebuah bedil yang tercampak di lantai. Senjata ini dipegangnya di
bagian selongosng besinya. Dengan popor senapan itu lalu dia menghantam para
penyerang dalam kegelapan.
Tak lama kemudian suara hiruk pikuk perkelahian di dalam surau itu berhenti.
Kesunyian mencengkam. Di luar surau nenek berjuluk Anduang Mata Api
pencongkan mulutnya beberapa kali. Kedua tangannya masih dilipat di depan dada.
Tiba-tiba dari pintu surau melayang keluar satu sosok tubuh. Lalu satu lagi, satu lagi
sampai akhirnya kelihatan lima orang bergeletakan di halaman surau tanpa berkutik
lagi. Tiga orang pingsan berat. Satu mengerang dengan kening berlumuran darah.
Yang kelima agaknya tengah meregang nyawa. Di dalam surau tadi ketika dia
membabatkan goloknya menyerang orang berpakaian putih, tiba-tiba orang itu
mendahului dengan satu tendangan yang tepat mengenai lengannya. Golok yang
digenggamnya berbalik menghantam perutnya sendiri. Ususnya berbusaian!
Tujuh orang ang berada di halaman surau cepat mendatangi kelima kawan
mereka yang dalam keadaan babak belur itu. Mereka bergidik melihat kawan yang
tengah meregang nyawa dengan usus menjela-jela.
Sementara itu perempuan berjuluk Anduang Mata Api masih tetap tak
bergerak di tempatnya di bawah pohon. Hanya kedua alis matanya saja yang tampak
bergerak-gerak naik ke atas. Lalu dia berkata dengan suara keras.
“Apakah kalian ingin menjadi kucing buta dan bisu? Empat kawan kalian
dihajar orang sampai tak sadarkan diri. Yang satu malah dibunuhi! Kalian hanya
berdiri menonton! Jika kalian tidak berbuat sesuatu rasanya lebih baik aku mengepruk
kepala kalian satu persatu!”
Mendengar kata-kata si nenek, tujuh orang yang berada di halaman surau serta
merta bergerak. Mereka berserabutan menuju pintu surau. Siap menyerang Andana
yang ada di dalam sana. Namun tiba-tiba sekali dari dalam surau terdengar suara
menderu. Si nenek Anduang Mata Api mengerenyit. Tujuh orang yang coba
memasuki surau terlempar ke hadapannya sebelum mereka sempat mencapai pintu
seolah-olah disambar angin topan dahsyat! Ketujuhnya kemudian malang melintang
berkaparan di tanah. Meskipun banyak diantara mereka yang cidera namun nasib
mereka jauh lebih baik dari lima kawan mereka terdahulu. Yang tujuh ini hanya
babak belur tapi tak ada yang sampai menemui ajal!
Anduang Mata Api batuk-batuk beberapa kali ketika dari dalam surau
dilihatnya Andana keluar sambil memegang bahu kirinya. Bajunya nampak sobek di
bahu dan ada warna merah tanda tubuhnya terluka. Sewaktu menjatuhkan firi
menyelamatkan kepalanya dari ancaman dua buah bedil kocok, peluru salah satu bedil
itu masih sempat menghajar bahu kirinya. Walaupun meleset tapi peluru senjata itu
telah merobek baju dan daging bahunya.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 38
Anduang Mata Api menggigit-gigit bibirnya sendiri sewaktu melihat ternyata
ada dua orang pemuda yang keluar dari dalam surau. Sebelumnya dia tidak pernah
melihat Andana. Sesaat dia jadi bingung sendiri.
Eh, dua pemuda itu punya wajah mirip satu sama lain. Perawakan mereka
juga serupa. Sialan kenapa Tumenggung tidak mengatakan kalau ada dua lawan
bukan cuma satu! Aku harus minta bayaran lebih besar kalau begini. Tapi…..ada
juga senangnya aku ikut campur urusan ini. Dua pemuda di hadapanku ini samasama
punya tampang gagah. Badan mereka sama-sama kukuh.
“Hemmmm…… hasrat mudaku kembali berkobar. Kalau aku dapat salah satu
saja di antara mereka….” Begitu si nenek membatin.
Sementara itu Wiro berbisik pada Andana. “Ada perempuan tua bermuka
binyawak di depan kita. Hati-hati sahabat. Gerak geriknya menyataka dia seorang
berkepandaian tinggi. Dia pasti dedengkot penyerangan ini!”
“Firasatmu sama denganku. Cuma belum jelas apa dia kaki tangan
Tumenggung Rajo Langit atau Pamanku Datuk Gampo Alam.”
“Mungkin dua-duanya,” kata Wiro pula.
Si nenek maju beberapa langkah. Andana dan Wiro lakukan hal yang sama.
Mereka sama-sama tegak saling tatap terpisah dalam jarak lebih dari sepuluh langkah.
Untuk beberapa saat lamanya suasana di halaman surau yang agak gelap itu
dicengkram kesunyian. Tapi ini tidak berjalan lama. Setelah puas memperhatikan dua
pemuda gagah itu si nenek tiba-tiba bertanya dengan suara keras.
“Yang mana di antara kalian bernama Andana, kemenakan Datuk Gampo
Alam?! Dan punya gelar sombong, menganggap diri bergelar Harimau Singgalang!”
Belum sempat Andana menjawab, Wiro sudah angkat tangan kirinya.
“Menurutmu siapa di antara kami yang pantas jadi Harimau Singgalang?!”
Anduang Mata Api melirik pada Wiro lalu tersenyum. “Kau pasti bukan sang
kemenakan. Lidahmu seolah terbuat dari seng. Logat bicaramu seperti orang yang
tengah makan galamai!” (galamai = dodol)
Wiro tertawa. “Nenek, mulutmu pandai bicara dan ternyata otakmu cerdik
juga. Kau yang berwajah saperti galamai, jadi kau orangnya yang bertindak sebagai
pemimpin dari baruak-baruak yang dua belas orang ini! Siapa yang membayarmu
melakukan perbuatan keji ini?!” (baruak = monyet)
Anduang Mata Api tentu saja marah sekali wajahnya dikatakan seperti dodol.
Tapi si nenek tidak segera mendamprat melainkan mendongakkan kepalanya.
Dari mulutnya keluat suara tawa mengekeh disusul ucapan “Orang banyak
mulut kabarnya lama matinya. Tapi sekali lagi kau berani bicara kurang ajar, umurmu
kulipat jadi pendek! Kau dengar itu anak muda?!”
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya dan balas tertawa. Ketika
dia hendak membuka mulut di sampingnya Andana mendatangi dan berbisik.
“Sahabat, saya ada urusan sangata penting yang harus dikerjakan.” Rupanya
Andana baru ingat akan perjanjiannya dengan Sati. “Saya harap kau tidak keberatan
mengurus binyawak perempuan ini. Saya harus pergi sekarang….. Hati-hati. Tua
bangka ini agaknya bukan galamai atau dodol yang empuk.”
Bisikan Andana itu rupanya terdengar oleh Anduang Mata Api. “Kemenakan
Datuk Gampo Alam!” katanya cepat. “Aku mendapat perintah untuk menagkapmu
hidup atau mati! Aku masih punya rasa belas kasihan menangkapmu hidup-hidup!
Tapi jika kau berani bergerak satu langkah saja, kuhabisi kau kejap ini juga!”
“Siapa yang memberimu perintah?!” tanya Andana tenang.
“Berapa kau dibayar nenek galamai?!” ikut menukas Wiro Sableng sambil
menyeringai.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 39
Rahang dan pipi si nenek tampak menggelembung. Kedua matanya menjadi
merah laksana bara api di malam gelap.
“Siapa memberiku perintah atau berapa aku dibayar bukan urusan kalian! Kau
kemenakan Datuk Gampo Alam jelas-jelas manusia buronan yang harus ditangkap
dan dijebloskan dalam penjara!”
Wiro keluarkan suara berdecak berulang kali. “Nek, lagakmu sudah
keterlaluan. Kau hanya disuruh orang. Tidak mengetahui apakah sahabatku ini benar
pembunuh atau bukan!”
Murid Sinto Gendeng ini kemudian berpaling pada Andana.
“Pergilah cepat. Jika dia berani menghalangi akan kita lihat apa yang hendak
dilakukannya!”
Mendengar ucapan sahabatnya itu tanpa menunggu lagi Andana segera
berkelebat namun si nenek dengan kecepatan luar biasa melesat memotong gerakan
pendekar bergelar Harimau Singgalang itu.
Wiro tak tinggal diam. Dia segera melompat memapas gerakan si nenek
sambil mendorongkan dua tangannya ke depan, Anduang Mata Api mendengar deru
halus. Dia berseru kaget ketika satu gelombang angin melanda dirinya, membuat dia
sempoyongan.
Astaga, anak celaka ini ternyata memiliki tenaga dalam luar biasa! Keluh
Anduang Mata Api. Sebelum tubuhnya tersapu pukulan “benteng topan melanda
samudera” yang dilepaskan Wiro perempuan tua ini cepat menyingkir dengan
membuat lompatan ke samping. Dari samping dengan gerakan kilat dia kirimkan satu
serangan ke arah Pendekar 212. Tapi sewaktu dilihatnya Andana berkelebat pergi, dia
memutuskan membereskan pemuda buruannya itu lebih dulu. Dari tenggorokannya
terdengar suara menggembor. Kedua matanya yang merah membara diarahkan pada
Andana. Kepalanya digoyangkan.
Wuuuttttt! Wuuuuuuut!
Dua buah cahaya lurus berwarna merah kebiruan melesat dari sepasang mata
si nenek, menyambar ke arah punggung Anadana.
“Andana! Awas! Teriak Wiro.
Tanpa diperingatkanpun sebenarnya putera Datuk Bandaro Sati itu sudah
mengetahui bahaya yang mengancam.
Sambil melompat ke balik sebatang pohon besar Andana tusukkan telunjuk
tangan kanannya ke depan. Dalam gelap terdengar suara menderu dahsyat disertai
berkiblatnya satu sinar biru.
Sinar biru ini melesat menyongsong dua larik sinar merah yang keluar dari
sepasang mata Anduang Mata Api.
Wiro yang sudah gatal tangan tak tinggal diam. Dia hantamkan tangan
kanannya ke arah titik pertemuan sinar-sinar sakti itu. Cahaya putih menyilaukan
yang disertai hawa panas menderu menggidikkan. Itulah pukulan “sinar matahari”!
Dentuman dahsyat laksana kepundan meledak menggelegar di tempat itu.
Andana terdengar berseru keras lalu tubuhnya lenyap dari balik batang pohon besar.
Anduang Mata Api menekapkan kedua tangannya pada kedua matanya yang terasa
ditusuk-tusuk. Wiro sendiri berdiri tergontai-gontai.
Daun-daun pepohonan runtuhan berguguran. Ranting dan cabang pohon patah
berjatuhan. Pada batang pohon di balik mana tadi Andana berlindung kelihatan dua
buah lobang hitam.
Lobang-lobang itu terjadi akibat hantaman dua larik sinar merah kebiruan
yang keluar dari mata Anduang Mata Api. Dapat dibayangkan kalau sinar itu
mendarat di tubuh manusia!
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 40
Sadar kalau Andana tak dapat dihalanginya lagi, si nenek menumpahkan
seluruh kemarahannya pada Pendekar 212 Wiro Sableng!
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 41
SEPULUH
Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah menghadapi kemarahan nenek
bermuka binyawak bernama Anduang Mata Api itu. Mari kita ikuti kepergian Andana
menemui pedagang cita keliling bernama Sati dari siapa dia mengharap dapat
mengetahui orang yang telah membunuh Ayahnya.
Begitu Andana muncul di ujung jembatan batang kelapa, Sati segera ekluar
dari tempat gelap. “Sudah habis saya dimakan nyamuk. Mengapa lama benar Angku
Mudo datang?”
“Orang-orang suruhan Tumenggung Rajo Langit menyerbu saya di surau.
Mereka berusaha menangkap saya. Tak perduli hidup atau mati!”
Sati tempak terkejut. “Keji sekali tindakan mereka. Berani berbuat huru hara
dalam rumah suci! Astaga, saya lihat bahumu terlukan Angku Mudo….”
“Disambar pelor……”
“Pelor? Hampir tak percaya saya…..!”
“Ada dua penyerbu membawa bedil yang kabarnya didatangkan dari Jawa.”
Andana terdiam sebentar. “Sudahlah, sekarang kita segera ke rumahmu. Saya akan
buktikan bahwa benar-benar ada orang yang menginginkan kematianmu.”
Malam merayap perlahan. Dingin dan sunyi. Dalam kegelapan yang
menghitam, diantar oleh hembusan angin malam, empat bayangan berkelebat menuju
sebuah rumah yang terletak di lembah kelam sunyi. Empat orang ini bergerak tanpa
suara seolah menyatu dengan kegelapan malam. Di depan sekali bergerak orang
tinggi besar bermuka garang dan hanya puna satu mata serta satu daun telinga. Dia
bukan lain adalah Daud alias Hantu Mata Picak, tangan kanan dan kepercayaan Eatuk
Gampo Alam. Tiga orang di belakangnya adalah anak buahnya.
Beberapa belas langkah dari rumah di dalam lembah Hantu Mata Picak
memberi isyarat. Tiga anak buahnya berhenti. Dia cepat berbisik “Ada nyala lampu
minyak di dalam rumah. Berarti ada orangnya. Kelian bertiga lekas menyebar. Aku
akan masuk dan menabas leher manusia itu. Beri tanda dengan suitan jika ada orang
yang datang…..”
Tiga anak buah Hantu Mata Picak mengangguk lalu mereka cepat menyebar.
Hantu Mata Picak melangkah ke pintu belakang rumah. Lewat celah-celah dinding
dia melihat lampu minyak menyala di ruangan tengah. Selain dari itu rumah di tengah
lembah itu berada dalam keadaan sunyi senyap. Hantu Mata Picak terus mengintai. Di
salah satu sudut rumah ada sebuah balai-balai. Di atas balai-balai ini samar-samar
tampak sesosok tubuh tengah tidur nyenyak.
Hantu Mata Picak tak menunggu lebih lama. Dikeluarkannya sebilah golok
dari balik pinggangnya. Dengan benda ini, tanpa suara sama sekali dia mencongkel
pintu belakang lalu menyelinap masuk dengan cepat. Dia langusng menuju balai-balai
dimana terbujur sosok tubuh berselubung selimut. Tangan kanannya yang memegang
golok diangkat tinggi-tinggi. Senjata itu lalu dibacokkan dengan deras. Yang diarah
adalah bagian batang leher.
Crassss!
Tubuh di bawah selimut tak bergerak. Tak ada darah yang muncrat
membasahi selimut atau mengucuri tempat tidur. Hantu Mata Picak mengeluarkan
seruan heran. Dengan tangan kirinya diangkatnya selimut itu. Yang dilihatnya bukan
leher manusia yang luka parah apa lagi terbabat putus, melainkan hanya sebuah bantal
guling yang robek besar dan ketika diangkat kapuknya berhamburan kian kemari.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 42
“Kurang ajar! Aku kena tertipu!” Hantu Mata Picak memaki marah.
Digeledahnya seluruh rumah. Namun di rumah itu memang tidak ada siapapun.
Saking marahnya Hantu Mata Picak menghantami apa saja yang ada di dalam rumah
dengan goloknya. Mendengar ribut-ribut tiga orang anak buahnya segera masuk dan
bertanya apa yang terjadi.
“Bangsat itu tidak ada di sini! Dia menipu dengan guling yang diselimuti!”
“Berarti dia sudah tahu bahaya mengancam dirinya Daud,” kata salah seorang
anak buah Hantu Mata Picak menyebut nama pimpinan mereka itu.
“Kelihatannya ini bukan kerja satu orang,” berkata teman di sebelahnya.
“Aku tidak yakin Sati punya akal dan keberanian berbuat begini! Kita bakar
saja rumah ini!”kata yang satunya lagi. Lalu diambilnya lampu minyak yang
tergantugn di dinding. Ketika minyak hendak diguyurkan ke lantai papan, tiba-tiba
entah dari mana munculnya satu tangan yang kokoh menarik lengannya. Di lain kejap
anak buah Hantu Mata Picak merasakan tubuhnya dibetot ke samping baru terlempar
ke luar rumah lewat jendela yang jebol dan hancur berantakan. Lampu minyak yang
tadi dipegangnya, sebelum terlempar jatuh mengguyur pakaiannya. Celakanya ketika
lampu kemudaian terlepas nyala apinya jatuh di bagian pakaian yang telah basah oleh
minyak itu. Tak ampun lagi apipun berkobar menyulut pakaian dan tubuh orang itu.
Dia berteriak-teriak sambil bergulingan di tanah coba memadamkan api. Namun perut,
dada dan pangkal lehernya sedah keburu terbakar sebelum api padam!
Hantu Mata Picak dan dua orang anak buahnya yang masih ada di dalam
rumah dan kini dalam keadaan gelap gulita tentu saja terkejut bukan alang kepalang.
Sang pemimpin cepat menyadari bahayanya kalau berada di tempat gelap sementara
ada seorang musuh mengintai di tempat yang sama serta merta dia menghambur
keluar rumah lewat pintu belakang, diikuti salah seorang anak buahnya. Anak
buahnya yang satu lagi melompat lewat jendela. Ketiganya sampai di halaman
samping berbarengan. Kaget ketiga orang ini semakin memuncak ketika di halaman
itu tahu-tahu mereka berhadapan dengan seorang pemuda berpakaian serba putih,
berambut gondrong dan tegak sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. Di
mulutnya tersungging senyum mengejek.
“Harimau Singgalang!” kata salah seorang anak buah Hantu Mata Picak.
Hantu Mata Picak tertawa mengejek. “Anak-anak, gelar tidak pantas bagi
seorang pembunuh dan buronan penjara Batusangkar seperti dia!”
Andana menyeringai. “Jadi kau rupanya yang selama ini gentayangan
berusaha hendak membunuhku. Mulai dari ular berbisa, picau beracun, lalu sirih yang
diberi racun kala hutan! Siapa yang memperbudakmu?!”
“Bangsat! Aku tidak merasa diperbudak siapapun! Manusia seprtimu patut
dilenyapkan dari muka bumi. Kehadiranmu di Pagaralam hanya mendatangkan
keonaran!”
Andana tertawa pendek mendengar kata-kata Hantu Mata Picak itu. “Dulu
kabarnya kau pernah berdandan seperti perempuan, memakai selendang dan baju
kurung warna kuning. Apa sekarang kau sudah berhenti jadi banci? Masih untung kau
selamat dari tanah bukit yang diruntuhkan kawanku tempo hari. Tapi dasar manusia
tak tahu diri. Diberi selamat oleh Tuhan malah kini makin semena-mena! Aku tahu
kau adalah kaki tangan Datuk Gampo Alam!”
Hantu Mata Picak mendengus. “Apa yang kau ketahui cukup hanya sampai
malam ini Andana! Besok kau boleh bicara banyak di alam barzah!” Habis berkata
begitu Hantu Mata Picak lalu melompat sembari membabatkan goloknya.
Serangannya memiliki kuda-kuda yang kuat dan ayunan goloknya mengeluarkan
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 43
suara menderus serta tebaran angin dingin. Terlambat saja Andana mengelak niscaya
bahi kirinya bisa putus dihantam sambaran senjata itu.
Geram melihat serangannya bisa dielakkan lawan, didahului dengan bentakan
garang untuk kedua kalinya Hantu Mata Picak melancarkan serangan. Dua orang anak
buahnya kini juga tak tinggal diam.
Yang satu menghunus sebilah parang berkeluk, yang kedua mengeluarkan
sebatang tongkat besi yang ujungnya bercabang dua berbentuk pipih seperti mata
pisau. Tiga serangan yang datang dari tiga jurusan menggempur Harimau Singgalang
laksana curahan air hujan. Dua orang lelaki yang iktu mengeroyok memang
merupakan orang-orang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya di antara sekian
banyak anak buah Hantu Mata Picak. Disamping itu Hantu Mata Picak sendiri juga
menguasai ilmu golok tingkat tinggi dan gerakannya sangat sebat. Mau tak mau murid
Datuk Alis Merah dari Asahan ini dipaksa harus berhati-hati. Pakaian bahkan rambut
di kepalanya sesekali berkibar-kibar disapu angin tiga senjata lawan.
Breettt!
Breettt!
Memasuki jurus ke tujuh golok di tangan Hantu Mata Picak merobek baju
putih Andana di bagian lambung. Robekan kedua terjadi di dekat ketiak kirinya akibat
tusukan tongkat besi bermata dua anak buah Hantu Mata Picak.
Andana merasa tengkuknya dingin. Terlambat saja dia membuat gerakan
mengelak, salah satu serangan itu pasti sudah merobek tubuhnya! Menyadari keadaan
yang sangat berbahaya ini Andana segera keluarkan ilmu silat yang dipelajari dari
gurunya Datuk Alis Merah di tanah Asahan. Ilmu silat ini bernama ilmu silat
Kumango Tujuh Serangkai. Ilmu silat Kumango merupakan ilmu silat yang mendasar
dan banyak dikuasai para pendekar di tanah Minang bahkan sampai ke pesisir Selatan
dan Timur. Demikian mendasarnya ilmu silat Kumango hingga segala kekuatan
maupun kelemahannya banyak diketahui orang. Akibatnya ilmu silat ini dianggap tak
banyak berguna dan kemampuannya lagi hingga jarang yang mau mempelajarinya.
Tetapi seorang Datuk di Utara yaitu Datuk Alis Merah justru berusaha menegakkan
kehebatan ilmu silat ini dengan menciptakan ilmu silat baru yang mendasarkan
gerakannya pada ilmu silat Kumango lama. Dia menyusun tujuh jurus aneh. Dari
tujuh jurus ini bisa dikembangkan masing-masing tiga jurus baru hingga keseluruhan
jurus berjumlah dua puluh satu. Setiap jurus diolah begitu rupa hingga dasar
gerakannya berlawanan dengan dasar gerakan ilmu silat Kumango lama, diberi
tambahan dasar kuda-kuda yang kokoh serta gerakan tangan yang disertai tenaga
dalam.
Andana memainkan jurus demi jurus menghadapi tiga lawannya yang
bersenjata sementara dia sendiri masih mengandalkan tangan kosong. Memasuki jurus
keenam belas pemuda ini merasakan serangan lawan mulai dapat ditahannya. Dua
anak buah Hantu Mata Picak kelihatan seperti berlomba untuk dapat menyarangkan
senjata mereka di tubuh atau kepala Andana. Namun gerakan mereka sudah
dipengaruhi kemarahan berlebihan hingga tidak memakai perhitungan lagi. Hal ini
terjadi karena sekian lama menggempur mereka tak sanggup untuk mendekati lawan,
apalagi melukainya. Sebaliknya kaki dan tangan Andana acap kali menyusup
menembus pertahanan mereka hingga serangan mereka sering menjadi mentah dan
gerakan keduanya menjadi kacau. Hantu Mata Picak yang juga merasakan
mengendurnya daya serangannya akibat ilmu silat si pemuda yang sulit diterkanya
kini mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya hingga tubuhnya yang besar itu
laksana seekor alap-alap, berkelebat kian kemari. Golok di tangannya menyambar
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 44
menderu-deru. Kelihatannya dia mulai dapat menggoyahkan pertahanan Andana.
Namun Hantu Mata Picak salah menduga.
Putera Almarhum Datuk Bandaro Sati itu dengan cerdik mengarahkan
serangan-serangan gencarnya pada anak buah Hantu Mata Picak yang memegang
tongkat besi bercabang dua. Senjata ini merupakan senjata terpanjang diantara tiga
senjata para pengeroyok, jadi merupakan senjata paling berbahaya karena mampu
mencapai dirinya dari jarak jauh sekalipun. Begitu lawan terdesak hebat, Andana
susupkan satu tendangan ke perutnya. Selagi lawan terjajar ke belakang sambil
meraung kesakitan dan tak berani lagi memasuki kalangan perkelahian, Andana
merampas tongkat besinya. Dengan senjata ini kini Andana menghadapi Hantu Mata
Picak dan seorang anak buahnya. Pemuda ini mengamuk laksana kesetanan. Dua
jurus menggempur parang berkeluk di tangan anak buah Hantu Mata Picak mentak ke
udara. Selagi lawan tampak kebingungan Andana hujamkan ujung tongkat yang
berbentuk dua bilah pisau itu ke arah perutnya! Orang ini membuka mulutnya lebarlebar
seperti hendak berteriak. Kedua matanya mendelik. Mimik mukanya
mengerikan. Namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ketika tusukan tongkat
besi dilepaskan tubuhnya langsung roboh. Perutnya robek besar dan usus besarnya
tampak menggelembung mengerikan.
Anak buah Hantu Mata Picak yang tongkat besinya kena dirampas kini berada
di tangan Andana terbungkuk-bungkuk berusaha memungut parang berkeluk milik
kawannya yang terlepas mental dan tergeletak di tanah. Tapi gerakannya tidak lepas
dari perhatian Andana. Begitu jari-jarinya menyentuh gagang parang, tumit kaki
kanan Harimau Singgalang menghantam keningnya dengan telak. Orang ini
terjengkang ke tanah. Sesaat kedua tangannya melejang-lejang lalu tubuhnya tak
berkutik lagi. Kepalanya rengkah. Darah menggelimangi wajah bercampur lelehan
cairan otak!
Harimau Singgalang putar tubuhnya dengan cepat sambil melintangkan
tongkat besi di atas kepalanya ketika dia mendengar di belakangnya ada suara
menderu. Betul seperti dugaannya. Hantu Mata Picak kirimkan serangan membokong
dengan golok besarnya. Dua senjata yang sama-sama terbuat dari besi itu saling
bentrokan di udara, mengleluarkan suara keras serta percikan bunga api yang terang
di dalam kegelapan malam.
Golok di tangan Hantu Mata Picak patah dua dan terlepas mental dari
genggamannya. Sebaliknya tongkat besi yang dipegang Andana hanya gompal sedikit.
Andana adalah seorang pendekar sejati. Melihat lawan tidak lagi bersenjata dia segera
membuang tongkat besi berujung sepasang pisau itu. Namun ayunan dari bentrokan
tadi masih sempat menghantam ke bawah sesaat setelah dia melepaskan senjata ini.
Hantaman ini justru mengarah kepala Hantu Mata Picak. Andana jadi terkesiap dan
tidak sempat berbuat apa-apa. Namun di hadapannya Hantu Mata Picak tampak
tenang saja. Kedua tangannya diangkat ke atas untuk menangkap tongkat besi itu.
Astaga! Ilmu apa yang dimiliki manusia jahat ini! Kedua tangannya merah
membara sampai sebatas pergelangan! Andana menyaksikan perubahan kedua
tangan manusia bermata satu itu dengan terkejut. Ketika tongkat besi itu ditangkapnya
terdengar suara mendesis panjang. Hantu Mata Picak menyeringai. Tongkat besi yang
dipegangnya ikut membara mengepulkan asap. Sekali dia menggerakkan kedua
tangannya yang merah membara itu, tongkat besi melengkung membentuk setengah
lingkaran.
Hantu Mata Picak tertawa mengekeh. Tongkat besi dicampakkannya ke tanah.
Lalu dia melompat menyerang Andana. Kedua tangannya yang telah berubah menjadi
bara panas itu berkelebat ke arah leher Harimau Singgalang.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 45
SEBELAS
Kalau besi saja bisa dibuat membara dan leleh, dapat dibayangkan apa yang
terjadi dengan batang leher Andana kalau sampai kena cengkeram sepasang tangan
Hantu Mata Picak!
Ilmu Bara Neraka! Kata Andana dalam hati. Kedua tangan lawannya berubah
menjadi merah membara dan panas luar biasa. Dari mana manusia celaka ini
mendapatkan ilmu itu? Namun Harimau Singgalang tidak dapat berpikir panjang. Dia
harus menyelamatkan diri. Dua tangan Hantu Mata Picak berkelebat ganas. Andana
cepat melompat mundur ke dekat sebatang pohon. Lawan memburu dengan menebaw
telapak tangan kanannya. Sekali lagi Andana mengelak. Tabasan tangan melabrak
pohon.
Wusss!
Kraaak!
Batang pohon itu bukan saja terbakar dikobari api tapi juga patah lalu
tumbang dengan suara menggemuruh.
“Pemuda keparat!” maki Hantu Mata Picak penuh geram karena lawan untuk
kedua kalinya berhasil mengelakkan serangannya. “Apa kau kira bakal bisa lolos dari
tanganku? Kau akan mampus dengan tubuh lumat sampai ke tulang belulangmu!”
Hantu Mata Picak menutup makiannya sambil mendorongkan kedua tangannya yang
membara ke depan.
Wusss! Wusss!
Dua larik sinar merah menderu ke arah Andana.
Di seberang sana Andana memasang kuda-kuda. Lututnya membengkok
sedang tubuhnya agak membungkuk. Tiba-tiba pemuda ini tusukkan jari tangan kiri
kanan ke arah datangnya serangan dua larik sinar merah. Dua gelombang lidah api
menderu dahsyat mengjutkan Hantu Mata Picak. Matanya yang Cuma satu mendelik
besar ketika melihat bagaimana dua gelombang lidah api dari pukulan sakti Inti Api
yang dilepaskan Andana menghantam buyar dua larik sinar merah panas pukulan
Bara Neraka yang dihantamkannya pada pemuda itu. Hantu Mata Picak kerahkan
habis-habisan seluruh tenaga dalamnya agar pukulan Bara Nerakanya bisa bertahan
dan menghantam lawan kembali. Namun dia kalah kekuatan. Ketika Andana
mendorongkan dua jari telunjuknya ke depan, dua lidah api menggemuruh.
Hantu Mata Picak menjerit keras. Sekujur tubuhnya dikobari api. Dia berusaha
memadamkan api yang membakar badannya itu dengan menjatuhkan diri di tanah lalu
bergulingan. Namsibnya masih untung karena di dekat sana ada sebuah parit dangkal.
Tanpa pikir panjang Hantu Mata Picak mencemplungkan dirinya ke dalam parit.
Begitu api oadam dia cepat berdiri lalu melarikan diri dari tempat itu. Andana
mengejar. Telunjuk tangan kanannya di arahkan ke punggung orang. Namun pukulan
Inti Api tak jadi dilepaskannya. Dia merasa tidak enak membokong seperti itu. Dia
pasti mati! Dia tidak bakal bisa selamat dari luka bakar yang dahsyat itu! Kata
Andana dalam hati. Dia membungkuk memungut sebuah benda yang tadi jatuh ke
tanah sewaktu Hantu Mata Picak bergulingan sambil menjerit-jerit. Benda itu ternyata
adalah sebilah pisau yang gagangnya berbentuk ukiran tengkoran manusia.
Hemmm…… Kini kudapatkan buktinya. Jadi memang dia yang membunuh
Udin Burik orang yang bersaksi palsu di hadapan Tumenggung bahwa akulah yang
telah membunuh Sarkam! Dia juga yang memasang senjata rahasia ini di rumah
gadang untuk membunuhku!
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 46
“Angku Mudo,” tiba-tiba terdengar suara Sati si pedagang cita keliling di
samping Andana. “Kenapa tidak Angku Mudo bunuh sekalian manusia setan itu!
Membiarkannya hidup sangat berbahaya!”
“Luka bakar yang parah itu akan merengut nyawanya. Kalaupun dia bisa
hidup dia akan cacat seumur-umur. Siksaan itu lebih ganas dari kematian…..”
“Tapi Angku Mudo, justru manusia jahanam itulah yang ikut membantu
membunuh Ayah Angku Mudo!” kata Sati pula.
Andana membalikkan tubuhnya. Dia seperti mendengar petir di liang
telinganya.
“Apa katamu Sati?! Saya mencarimu justru untuk meminta keterangan
menyangkut rahasia kematian Ayah saya! Kalau barusan kau katakan Hantu Mata
Picak ikut membantu membunuh Ayah saya, lalu siapa yang dibantunya? Siapa
sebenarnya yang membunuh Ayah saya? Tumenggung Rajo Langit?!”
Andana terbeliak heran ketika melihat Sati gelengkan kepalanya. Tidak
sabaran dipegangnya kedua bahu Sati, digoyang-goyangkannya hingga Sati berteriak
kesakitan.
“Lekas katakan siapa pembunuh Ayah saya!”
“Datuk Gampo Alam. Mamak Angku Mudo sendiri!” jawab Sati.
Mulut Andana tampak ternganga. “Saya sudah menduganya tapi saya
berusaha untuk tidak mempercayainya! Ternyata kini…. Sati, kau melihat sendiri
kejadian itu? Ceritak pada saya!” kata Harimau Singgalan hampir berteriak. Kembali
tubuh pedagang cita keliling yang kerempeng itu diguncangnya.
“Saya menyaksikan sendiri Angku Mudo. Saat itu saya dalam perjalanan ke
Bukittinggi. Terjadinya di tepi Ngarai Sianok. Saya saksikan Ayah Angku Mudo
dikeroyok oleh Hantu Mata Picak dan Datuk Gampo Alam. Satu saat Hantu Mata
Picak berhasil menyergap Ayah Angku Mudo dari belakang. Dalam keadaan tidak
berdaya seperti itu Datuk Gampo alam datang dari depan. Diambilnya keris Tuanku
Ameh Nan Sabatang. Dengan senjata itu ditikamnya tubuh Ayah Angku Mudo
bertubi-tubi secara biadab. Darah mengucur mengerikan dari belasan luka menganga.
Saya lihat Ayah Angku Mudo roboh ke tanah dengan keris masih menancap di dada
Datuk Bandaro Sati…. Sementara itu Datuk Gampo Alam dan Hantu Mata Picak
sudah melarikan diri.”
“Jahanam! Manusia-manusia biadab itu akan kuhabisi! Tak ada ampunan bagi
mereka! Aku bersedia masuk neraka atas dosa membunuh keduanya!” Suara Andana
bergetar keras. Tubuhnya seperti menggigil dan wajahnya yang tampan tampak
mengelam.
Sati untuk beberapa lamanya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala.
“Setelah itu saya melihat satu kejadian aneh Angku Mudo,” katanya kemudian.
“Kejadian aneh? Kejadian aneh macam mana maksudmu?” tanya Andana.
“Dari dasar Ngarai Sianok tiba-tiba saya melihat berkelebat satu sosok
berpakaian putih ke arah tubuh Datuk Bandaro Sati yang tergeletak di tanah. Tak
dapat saya pastikan siapa adanya sosok tubuh ini. Entah malaikan entah setan.
Mahluk ini membelakangi saya. Sesaat kemudia dia memandangi tubuh Ayah Angku
Mudo. Lalu saya lihat dia membungkuk, mencabut keris yang menancap di dada
Ayah Angku Mudo. Juga memungut sarung keris yang tercampak di tanah. Setelah itu
seperti terbang dia melesat ke langit. Ke arah matahari. Saya berusaha mengikuti
gerakannya. Tapi sinar matahari menyilaukan mata saya. Orang itu lenyap entah
kemana. Saya sendiri sudah tidak dapat lagi menahan takut lalu lari dari tempat itu….”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 47
Kedua rahang Andana tampak menggembung. Terbayang kembali di matanya
kejadian sewaktu ayahnya muncul di atas batu besar di tempat kediaman Datuk Alis
Merah.
“Sati, ada satu hal yang ingin saya tanyakan,” kata Andana setelah berdiam
diri beberapa ketika. “Soal rumah gadang. Saya mendapat keterangan bahwa Mamak
saya akan menjual rumah itu pada Tumenggung Rajo Langit….”
“Saya tahu hal itu. Semua orang di Pagaralam ini tahu.”
“Menurut Rukiah, istri termuda Datuk Gampo Alam, rumah itu kabarnya akan
dijual pada seseorang dari Jawa. Kau tahu juga hal itu Sati?”
Sati mengangguk.
“Saya tidak mengerti. Mengapa Mamak saya tidak langsung saja menjualnya
pada orang Jawa itu.”
“Karena Paman Angku Mudo itu tidak tahu tahasia yang ada di balik semua
itu,” kata Sati pula.
“Rahasia? Rahasia apa maksudmu Sati?” tanya Andana heran.
“Saya mendengar kabar angin. Betul tidaknya walahualam. Kabar itu
mengatakan bahwa tepat di bawah rumah gadang, terkubur dalam tanah, terdapat
sejumlah harta karun berupa potongan-potongan emas….”
“Sulit saya mempercayainya!” ujar Andana.
“Orang dari Jawa itu kabarnya memiliki sebuah peta mengenai letak kuburan
harta karun itu. Dalam peta ternyata letaknya tepat pada titik dimana rumah gadang
berdiri.”
Andana hampir tertawa mendengar keterangan itu. “Dari mana pula asal
muasalnya harta karun berupa emas itu Sati?”
“Kabarnya, beberapa puluh tahun yang silam ada keluarga Istana di tanah
Jawa yang melarikan diri dari pengejaran kaum pemberontak. Mereka datang ke
pulau ini, tersesat di Pagaralam dengan membawa berbagai harta kekayaan yang bisa
mereka bawa. Diantaranya potonga-potongan emas itu yang kemudian mereka kubur.
Orang-orang dari tanah Jawa itu kemudain lenyap satu persatu secara aneh. Ketika
rumah gadang milik Ayah Angku Mudo didirikan, rumah itu dibangun tepat di atas
kubur harta karun.”
Andana ternganga dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sulit saya percaya Sati. Benar-benar tidak masuk akal….”
“Dunia jaman sekarang ini Angku Mudo, banyak yang tidak masuk akal. Tapi
justru itulah kenyataan…..” jawab Sati pula.
Tumenggung Rajo Langit bersiap-siap hendak berpamitan ketika tiba-tiba dari
arah halaman terdengar suara gaduh. Menyusul pekik perempuan. Lalu ada seseorang
berlari menaiki tangga leksana terbang. Orang ini adalah pengawal sang Tumenggung
yang sebelumnya disuruh menunggu di bawah tanga rumah gadang. Mukanya pucat
dan dadanya turun naik.
“Astaga! Ada apa pengawal?!” tanya Tumenggung pula sambil berdiri, diikuti
oleh Datuk Gampo Alam. Sang Datuk langsung melompat ke arah tangga lalu
tergesa-gesa menuruninya. Pekik perempuan tadi dikenalinya sebagai suara salah
seorang istrinya. Begitu dia sampai di bawah tangga dilihatnya Zainab, istri tuanya
tegak gemetaran dengan muka seputih kafan. Di halaman, tepat di bawah tangga
kelihatan tertelungkup sesosok tubuh yang bentuk dan keadaannya sangat mengerikan.
Pakaian hitam yang sebelumnya melekat di tubuhnya kini tak berbentuk pakaian lagi.
Robek dan hangus. Lalu kulit dan daging tubuhnya tampak merah mengerikan serta
membersitkan bau daging yang terpanggang. Mukanya tidak beda dengan muka setan.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 48
Rudak mengerikan. Salah satu matanya mencelet ke luar dan mengucurkan darah.
Hidungnya hampir gerumpung!
“Astaghfirullah!” mengucap Datuk Gampo Alam. “Kau Daud? Benar kau
Daud?!”
Saat itu Tumenggung Rajo Langit sudah berada pula di tempat itu,
memandang penuh ngeri pada sosok tubuh orang yang penuh luka bakar.
Orang yang disebut dengan nama Daud alias hantu Mata Picak berusaha
bangkit hendak merangkang. Tapi begitu tegak seperti binatang kaki empat langsung
ambruk ke tanah.
“Demi Tuhan! Katakan apa yang terjadi denganmu Daud?!” tanya Datuk
Gampo Alam setengah berteriak. Lehernya disentak-sentakkan sampai tiga kali.
“Sa….saya ti….tidak berhasil…..” ucapan itu terpotong oleh suara seperti
tercekik. Orang yang berkelukuran luka bakar itu tak bergerak lagi.
“Daud!” teriak Datuk Gampo Alam.
“Saya yakin dia sudah mati Datuk,” kata Tumenggung Rajo Langit. Dia
menarik nafas panjang. “Buruk sekali pengalaman saya hari ini. Lebih baik saya
minta diri saja.” Lalu sang Tumenggung memberi isyarat pada pengawalnya.
Keduanya segera meninggalkan halaman rumah gadang.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 49
DUA BELAS
Kita kembali ke halaman surau di mana Wiro dan nenek bernama Anduang Mata
Api saling berhadap-hadapan.
Perginya Andana dari tempat itu membuat si nenek bernama Anduang Mata
Api menjadi marah luar biasa. Sepasang matanya yang merah menyala seperti bara
api. Kini seluruh kemarahannya ditumpahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kau membuat dia lolos dari tanganku! Sekarang kau yang bertanggung
jawab! Aku minta nyawamu! Dengar?!”
Wiro tersenyum sinis. “Nyawaku Cuma satu! Buat apa nyawaku untukmu?
Lagi pula kalau kau minta nyawaku, pasti aku akan mati! Kalau aku mati di tempat ini
pasti kau tidak mau menguburku. Lalu karena jenazahku tidak terurus, rohku akan
gentayangan jadi setan. Kalau sudah begitu kau yang akan kucari pertama sekali!”
Habis berkata begitu Wiro tertawa gelak-gelak.
“Anak kanciang! Jangan kau berani bergurau padaku!” bentak Anduang Mata
Api marah sekali.
“Siapa suka bergurau dengan perempuan tua bangka bermuka seperti
binyawak kali!” jawab Wiro. “Kau lihat sendiri apa yang terjadi dengan semua anak
buahmu. Apa kau mau menyusul mereka?!”
“Mandeang! Kau keliwat menghina! Sombong! Kau bakal tahu rasa dan tahu
siapa diriku!” bentak Anduang Mata Api. Kedua matanya menatap garang ke arah
Wiro. Lalu kepalanya digoyangkan. Dua larik sinar merah menderu ke arah Wiro.
Yang satu ke jurusan kepala, satunya lagi mengarah dada. Murid Eyang Sinto
Gendeng sudah menyaksikan kehebatan kesaktian si nenek.Karenanya segera saja dia
balas menghantam dengan pukulan Sinar Matahari di tangan kanan den pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera di tangan kiri.
Dentuman keras untuk kesekian kalinya melanda tempat itu. Daun-daun
pepohonan luruh kering, banyak yang terbakar. Begitu juga ranting-rantingnya. Atap
surau seperti terbongkar. Salah satu dindingnya jebol dan hangus. Pendekar 212 Wiro
Sableng tersurut sampai empat langkah. Sedang si nenek hampir terjengkang kalau
tidak lekas membuat lompatan. Namun waktu dia berdiri kembali tubuhnya tampak
terhuyung. Saat itulah pukulan Benteng Topan Melanda Samudera menerpanya. Tak
ampu lagi perempuan tua ini terpental sampai dua tombak. Tubuhnya menyangsrang
di serumpunan semak belukar. Dari mulutnya kelihatan darah mengucur. Walau dia
jelas-jelas menderita luka di dalam namun tidak kelihatan bayangan rasa sakit di
wajahnya. Malah dia tampak bertambah garang.
Perlahan-lahan dia membebaskan dirinya dari semak belukar. Sepasang
matanya yang merah memandang tak berkesiap.
“Cukup aku melayani orang gila seperti kau! Saatnya kau harus mendekam di
penjara kembali. Kau harus bersyukur aku tidak membunuhmu, tapi menyerahkanmu
hidup-hidup pada penguasa negeri di Batusangkar!”
Ucapan si nenek itu ditanggapi dengan seringai oleh Wiro bahkan sambil
garuk-garuk kepala. Namun seringainya mendadak lenyap dan tangannya yang
menggaruk kepala cepat diturunkan. Di tangan si nenek kelihatan sebuah gulungan
benda berwarna putih halus.
Eh, aku seperti pernah melihat benda ini, pikir Wiro.
Di hadapannya tiba-tiba si nenek berseru. “Lihat benang!”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 50
Benda yang dipegangnya di tangan kanan melesat ke depan. Ternyata
segulungan benang yang dengan cepat melesat dan sebelum murid Eyang Sinto
Gendeng bisa berbuat apa-apa, benang putih halus itu telah melibat sekujur tubuhnya
mulai dari dada sampai ke pergelangan kaki! Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga
untuk memutus atau lolos dari gulungan benang itu tetap saja sia-sia.
“Benang Kayangan!” seru Wiro ketika dia tiba-tiba ingat dan mengenali benda
yang menggulung sekujur tubuhnya, membuatnya tak berdaya. Kalau ini benar
Benang Kayangan jangan-jangan…..
“Nenek muka binyawak! Apa hubunganmu dengan Tua Gila!” Wiro ajukan
pertanyaan.
Eh, bagaimana anak celaka ini kenal dengan si tua bangka itu? Membatin
Anduang Mata Api. Lalu dia berkata. “Dengar anak muda. Kau cukup berharga untuk
membuatku bersenang-senang. Sebelum aku serahkan kau pada penguasa negeri di
Batusangkar, apa salahnya aku menikmati kehebatan dirimu. Kulihat tubuhmu tegap,
ototmu kukuh. Kau tentu dapat menyenangkan diriku. Hik….hik….hik!
“Tua bangka sinting! Apa yang hendak kau lakukan padaku?!” bentak Wiro.
“Apa yang ada dalam otakmu?!”
Si nenek semakin keras tawanya. “Lihat saja nanti. Lihat saja nanti….!”
katanya. “Jika kau memang hebat, mungkin kau akan kubiarkan hidup. Mungkin juga
tidak akan kuserahkan pada penguasa di Batusangkar. Hik…hik…hik. mudahmudahan
rejekiku benar-benar besar kali ini. Hilang harimau singa gantinya!
Hik…hik…hik! aku senang engkau nikmat!” Si nenek mengumbar tawa panjang.
Kedua matanya merah berkilat-kilat. Kilatan itu terasa aneh di mata Wiro. Bukan
kilatan karena marah tapi oleh sesuatu yang lain. Rangsangan nafsu!
Setelah tertawa panjang dan puas Anduang MataApi memanggul tubuh
Pendekar 212 di bahu kirinya. Lalu dengan cepat dia berkelebat meninggalkan tempat
itu.
Udara malam terasa semakin dingin walau saat itu tubuh Wiro hampir kuyup
oleh keringat. Apa yang hendak dilakukan manusia ini. Dia punya satu maksud kotor.
Dia tidak akan segera membunuhku tapi….
Si nenek berlari kencang sekali. Dalam waktu singkat dia sudah berada di tepi
sebuah hutan kecil. Di satu tempat dia membelok ke kiri. Walau dalam hutan sangat
gelap namun perempuan tua itu mampu berlari cepat seolah matanya bisa melihat
dalam gelap. Tak lama memasuki hutan si nenek berhenti. Wiro merasakan tubuhnya
diturunkan. Memandang berkeliling ternyata dia dibaringkan di lantai papan sebuah
gubuk tanpa dinding.
“Kita sudah sampai anak muda!” berkata Anduang Mata Api. “Saatnya kau
menunjukkan kejantananmu!” Si nenek susupkan tangannya kian kemari di sela-sela
benang yang menggulung dan mengikat sekujur tubuh Wiro. Nafasnya memburu.
Warna merah pada kedua matanya semakin berkilat.
“Hai! Tua bangka gila! Apa-apaan ini?!” teriak Wiro ketika dilihatnya si
nenek membuka celananya lalu menariknya sampai ke lutut. “Kurang ajar! Tua
bangka mesum!”
Anduang Mata Api tertawa perlahan. “Memakilah terus! Berteriaklah! Makian
dan teriakanmu membuat aku tambah terangsang!” kata perempuan tua itu.
“Aku bersumpah akan membunuhmu kalau kau berani berlaku keji!”
“Ssssstttt….soal mati biar kita atur kemudian. Yang penting sekarang kita
bersenang-senang dulu….” kata si nenek pula. Lalu dengan cepat ditanggalkannya
semua pakaian yang melekat di badannya. Pendekar 212 kini seolah-olah benar-benar
melihat seekor binyawak hitam tegak di depannya. Dia berteriak dan mengerahkan
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 51
seluruh tenaga dalamnya tapi sia-sia saja. Ikatan Benang Kayangan tak mampu
diputusnya, dibuat kendurpun tidak bisa.
“Anak muda….” si nenek duduk di atas paha Wiro. “Aku tahu kau tidak akan
bernafsu. Tidak akan terangsang melihat wajahku yang buruk dan tubuhku yang kurus
peot. Jangan kawatir anak muda. Aku akan membuatmu bernafsu dan terangsang!
Lihat saja….!” Anduang Mata Api terdengar seperti merapal sesuatu. Lalu kedua
telapk tangannya disapukan ke wajah serta sekujur badannya sampai ke kaki.
Astaga! Bagaimana mungkin dia bisa berubah seperti ini?! Ujar Wiro sewaktu
dilihatnya muka buruk si nenek telah berubah menjadi wajah seorang perempuan
muda yang cantik. Lalu tubuh yang tadi kurus kering dan hitam bugil itu kini berganti
dengan sebentuk tubuh bagus, putih berisi. Dua buah payudara besar dan kencang
terpentang di depan mata Pendekar 212.
“Kekasihku, bagaimana sekarang…..?” tanya si nenek yang telah berubah
menjadi seorang perempuan muda cantik jelita, bertubuh bagus mulus dan dalam
keadaan bugil! Kedua tangannya merayap ke bawah perut Pendekar 212.
“Hik….hik…hik apa kataku. Kau mulai terangsang! Bagus!” Anduang Mata
Api menggeser duduknya ke atas.
“Kurang ajar, kurang ajar kau!”
“Sudahlah, jangan pura-pura memaki. Jangan pura-pura tidak suka. Buktinya
kulihat kau sudah siap….!”
Wiro tak berdaya menolak. Bagaimanapun dia harus mengakui bahwa dalam
keadaan sepreti itu dirinya telah dibuat terangsang oelh nenek-nenek yang kini
berubah menjadi perempuan muda cantik itu. Nafas Anduang Mata Api semakin
keras laksana orang mengorok. Tubuh bagus itu bergoyang-goyang di atas tubuh
Wiro.
“Seharusnya aku lepaskan kedua tanganmu.” Berkata Anduang Mata Api.
“Agar kau bisa memelukku, meraba sekujur tubuhku. Tapi aku kawatir kalau
kulepaskan kau akan memukulku dan melarikan diri….”
Pendekar 212 pejamkan kedua matanya.
Anduang Mata Api tertawa. “Ah, kau memejamkan mata. Berarti kau juga
merasa enak. Nikmat….Kau suka ini. Kau suka!”
Tiba-tiba suara tawa Anduang Mata Api ada yang menimpali. Suara tawa lakilaki!
“Dajal perempuan! Berpuas-puaslah sekenyangmu. Aku bisa menunggu. Kali
ini kau tak bakal bisa kabur lagi!”
Kagetnya Anduang Mata Api bukan alang kepalang. Keadaan ini membuat
keampuhan ilmunya merubah diri menjadi rontok. Saat itu juga sekujur tubuhnya
berubah kembali menjadi satu sosok kurus kering menjijikkan. Sedang mukanya
kembali pada ujud aslinya yakni seperti muka binyawak! Wiro kerenyitkan kening
bergidik dan berteriak melihat keadaan orang yang duduk di atas perutnya itu.
“Tua bangka jahanam! Berani kau membuntuti aku sampai ke sini!” bentak
Anduang Mata Api. Tanpa berusaha mengambil pakaiannya untuk menutupi auratnya
perempuan tua ini melompat. Sambil membentak dia putar kepalanya ke arah
datangnya suara tadi. Sekali dia menggoyangkan kepalanya dua larik sinar merah
menderu dahsyat.
“Ilmu Sepasang Mata Api apa hebatnya!” terdengar suara berseru disertai
berkelebatnya satu bayangan putih.
Dua larik sinar merah api menghantam sebuah pohon besar. Tak ampun lagi
pohon itu hancur berlobang lalu tumbang dengan suara menggemuruh.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 52
“Apa kataku!” orang tadi kembali berseru. Wiro masih belum dapat melihat
wajahnya dan sosok tubuhnya karena baik si nenek maupun orang yang bicara berada
di belakang kepalanya sementara dia tetap tak berdaya terlentang di tanah dalam
keadaan terikat dan celananya merosot sampai ke bawah!. “Ilmumu tidak berguna.
Buktinya tidak mau menyentuh diriku! Ha….ha….ha….!”
“Manusia sombong! Lihat serangan!” teriak Anduang Mata Api merah
sekali.kepalanya digoyangnya berulang kali. Larikan sinar merah melesat bertubi-tubi
seolah tidak putus-putusnya. Orang yang diserang mengelak dengan berkelebat cepat
kian kemari. Si nenek berputar-putar tanda dia mengikuti ke arah mana lawannya
berada. Saat itu akhirnya Wiro dapat melihat siapa adanya orang itu.
Astaga! Dia rupanya!
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 53
TIGA BELAS
Pendekar 212 Wiro Sableng kini dapat melihat siapa adanya orang yang berkelahi
melawan si nenek bermuka binyawak yang saat itu berada dalam keadaan bugil. Dia
bukan lain adalah kakek aneh yang dulu pernah menghadang perjalannya dengan
Andana. Dan kakek ini pula yang pernah ditelanjangi dicurinya celananya.
Serangn api yang menyembur keluar dari sepasang mata Anduang Mata Api
dielakkan oleh si kakek dengan gerakan-gerakan aneh. Kedua kakinya terkadang
tampak melompat, sesekali seperti menendang ke kiri dan ke kanan. Di lain saat
kedua kakinya itu seperti menari lalu berjingkrak-jingkrak. Tubuhnya gerabakgerubuk,
terhuyung-huyung kian kemari seperti orang mabok sementara kedua
tangannya digerakkan demikian rupa seolah-olah orang yang berusaha bertahan agar
tidak jatuh.
Ya Tuhan! Aku tidak buta! Gerakan orang tua itu adalah jurus-jurus ilmu silat
Orang Gila. Hanya kakek sakti Tua Gila yang memilikinya dan pernah
mengajarkannya padaku. Tapi dia jelas bukan Tua Gila!
Wiro seperti mendapat semangat. Dia percaya orang tua itu akan menolongnya.
Sementara pertolongan belum datang dia berusaha melepaskan diri dari lilitan Benang
Kayangan. Tapi tetap tidak berhasil.
Sambil menghadapi serangan maut si nenek , sesekali si kakek berpaling pada
Wiro yang tergeletak di tanah dalam keadaan terikat dan juga setengah talanjang
karena celananya masih seperti tadi yaitu merosot sampai ke paha! Setiap kali dia
berpaling pada Wiro, setiap kali pula dia menyeringai lali mencibir.
Ah, jangan-jangan dia masih mendendam padaku atas kejadian tempo hari.
Kutelanjangi dirinya lalu pernah pula kurampas kudanya!
“Anak muda, kau tenang-tenang saja di situ. Giliranmu untuk menerima
hukuman bakal datang!” si kakek berseru lalu kembali menghadapi lawannya.
Gerakannya yang gerabak gerubuk kini sambil melepaskan pukulan tangan kosong
jarak jauh membuat si nenek tampak bergoyang-goyang tanda sang kakek memiliki
tenaga dalam luar biasa.
“Betina mesum, saatnya kau mengembalikan barang yang kau curi dariku! Di
mana barang itu kau sembunyikan?!” si kakek berseru.
Anduang Mata Api menyeringai. “Kau mau barangmu, cari sendiri!”
“Ah! Kau memang kurang ajar!” si kakek berpaling sebentar pada Wiro,
mencibir lalu kembali dia menghadapi si nenek. “aku terpaksa tak akan memberi
ampun padamu! Kau bukan cuma pembunuh keji tapi juga pencuri tengik!”
“Ah, aku juga memberikan kenikmatan pada setiap lelaki….. hik….hik….hik.
pemuda itu barusan merasakannya! Hik…..hik….hik!”
“Tua bangka sialan!” teriak Wiro.
“Anak muda! Kau bisa jadi kekasihku! Jadi tutup mulut dan tunggu sampai
nanti kita bersenang-senang lagi. Biar kubereskan dulu kurcaci rongsokan ini!” kata
Anduang Mata Api pula. Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Serangannya kini bukan saja api yang keluar dari kedua matanya, tetapi juga pukulanpukulan
tangan kosong yang tak kalah hebatnya dengan yang dilancarkan lawannya,.
Walaupun demikian si nenek tetap saja tidak mampu menyentuh atau membuat cidera
si kakek. Malah ketika lawannya membuat gerakan-gerakan cepat dan berputar-putar,
dia seperti kena sirap ikut pula berputar-putar. Si kakek keluarkan suara tertawa
panjang. Tubuhnya tiba-tiba melesat ke udara. Lawan berusaha menghantam tapi
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 54
luput. Kedua kaki si kakek dengan kecepatan luar biasa, dua kaki itu menendang ke
arah pipi si nenek dengan keras.
Raungan setinggi langit melesat keluar dari mulut perempuan tua itu.
Tubuhnya terhuyung-huyung lalu jatuh berlutut. Daun telinganya hancur dan darah
mengucur dari kedua liangnya. Rahangnya rengkah kiri kanan, tulang pelipisnya
remuk! Dia megap-megap beberapa kali lalu tersungkur dan menggeletak di tanah tak
berkutik lagi!
“Kek…. Hai!” Wiro memanggil. Tapi yang dipanggil seperti tidak mendengar.
Kedua mata kakek itu memperhatikan ujung benang yang mengikat tubuh Pendekar
212. Benang ini lenyap di balik seonggok pakaian, yaitu pakaian milik Anduang Mata
Api.
Dengan ujung kakinya si kakek mengungkit dan melemparkan pakaian itu. Di
tanah, sebelumnya tertutup oleh pakaian kelihatan sebuah benda. Inilah yang
dicarinya. Dengan cepat si kakek mengambilnya. Lalu dia berpaling ke arah Wiro.
“Kek, tolong lepaskan libatan benang ini!” kata Wiro.
Si kakek mendengus. Tiba-tiba dia gerakkan tangannya menyentakkan benang
yang menjulai di tanah. Dua kali sentak tubuh Pendekar 212 terbetot keras. Lalu
tubuh itu berputar laksana gasing. Benang putih yang menggulung di tubuh Wiro
terbuka lepas. Begitu lepas tak ampun lagi Wiro berdebam ke tanah. Hidungnya
menyentuh tanah lebih dulu. Murid Eyang Sinto Gendeng menjerit keras. Hidungnya
serasa remuk. Darah mengucur.
Dalam keadaan sakit dan mengomel Wiro masih bisa ingat diri. Cepat-cepat
dia berdiri sambil menarik celananya.
Lalu dia mendekati orang tua itu. “Kek, walau kau menyakitiku aku berterima
kasih. Kau telah menolongku membebaskan ikatan benang keparat itu….”
“Benang keparat katamu? Sialan! Enak saja kau bicara! Lagi pula siapa yang
menolongmu! Aku hanya mengambil benang milikku! Perempuan jahat itu
mencurinya dariku beberapa waktu yang lalu….”
“Hemmmmm……” Wiro garuk-garukkan kepalanya. “Kek, kau bilang benang
itu milikmu? Mana mungkin?!”
“Apa yang mana mungkin?!” hardik si kakek.
“Aku tahu betul, benang itu adalah Benang Kayangan. Cuma ada satu
pemiliknya. Seorang kakek sakti menyandang dua julukan yaitu Pendekar Gila Patah
Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Namun dia lebih dikenal dengan sebutan Tua
Gila!”
“Kau bisa bicara begitu tentu kau kenal padanya!”
“Aku…..aku adalah….” Wiro tak meneruskan kata-katanya.
Si kakek menyeringai. “Kau bicara terlalu banyak. Aku tahu itu hanya untuk
mengalihkan perhatianku! Kau kira aku sudah lupa perbuatan kurang ajarmu tempo
hari?! Kau telanjangi diriku. Kau curi celanaku. Lalu kau juga merampas kudaku!
Malam ini setelah kau bersenang-senang dengan betina busuk itu, tiba saatnya kau
menerima hukuman dariku! Aku akan mematahkan lima jari tangan kananmu karena
mencuri celana dan menelanjangi diriku. Lalu aku akan mencopot satu kakimu karena
telah merampas kudaku….”
“Kek,dengar! Aku akan ganti celana dan kudamu itu!” si kakek menyeringai.
“Celana dan kuda itu tidak seberapa nilainya. Tapi sakit hatiku atas kekurang
ajaranmu tak bisa impas dengan apapun!”
Habis berkata begitu si orang tua melompat ke arah Pendekar 212. Tangan
kanannya membuat gerakan mencengkeram ke arah jari-jari tangan kanan Wiro
sedang kaki kirinya menndang ke pangkal paha!
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 55
Tentu saja murid Sinto Gendeng tidak mau menjadi bulan-bulanan serangan.
Secepat kilat dia mengelak. Diluar sadar tak sengaja dia mengeluarkan jurus-jurus
ilmu silat Orang Gila. Sekali bergerak dia berhasil mengelakkan dua serangan itu.
“Eh! Anak setan! Kau memainkan ilmu silat apa?! Siapa yang mengajarkan
gerakan itu padamu?!” bertanya si kakek.
“Aku akan katakan. Jawabannya ada di telapak tangan kananku,” jawab Wiro.
Si orang tua mengernyit lalu mendekat. “Coba kulihat telapak tanganmu itu!”
Wiro ulurkan tangan kanannya. Si kakek tundukkan kepala. Tiba-tiba tangan
Wiro bergerak laksana kilat ke arah wajah si orang tua. Sebelum kakek ini sempat
menjauhkan kepalanya, Wiro telah berhasil menarik lepas topeng tipis yang
dikenakan orang tua itu. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Mukanya pucat. Pipi
dan mata cekung besar, memelihara kumis serta janggut putih. Kepalanya nyaris
botak karena rambutnya sangat jarang. Begitu mengenali wajah orang itu pucatlah
paras Pendekar 212. buru-buru dia jatuhkan diri, berlutut di tanah seraya berseru.
“Kek! Maafkan muridmu ini! Aku terlanjur berlaku kurang ajar padamu karena tidak
tahu kau adalah guru sendiri! Sekarang aku siap menerima hukuman!”
Orang tua di hadapan Wiro menatap tak berkesip. Wajahnya semakin pucat.
Wiro menjadi tegang.
“Kek….”
Orang bermuka pucat itu yang bukan lain adalah Tua Gila si kakek sakti
paling ditakuti di Pulau Andalas sedikit demi sedikit menyunggingkan senyum.
“Anak setan! Kelakuanmu seharusnya memang tidak bisa diampuni. Kalau
saja kau bukan muridku…. Hemmm, mau kuapakan kau ini!” tangan kiri Tua Gila
hinggap di telinga Pendekar 212 lalu diputar-putarnya ke depan dan ke belakang
sambil tertawa mengekeh. Walau sakitnya jeweran itu setengah mati Wiro tak berani
bersuara. Si kakek menarik tangannya ke atas hingga Wiro terangkat dan berdiri.
“Ada apa kau jauh-jauh datang kemari?!” bertanya Tua Gila.
“Saya kangen padamu kek. Ingin menyambangimu. Sekalian membawa pesan
dan salam Eyang Sinto Gendeng di Gunung Gede….”
“Hemmm… apakah gurumu di nenek bawel itu ada baik-baik saja/”
“Beliau ada baik-baik dan sehat-sehat.”
“Perjalananmu sekali ini agaknya menemui banyak hal yang tidak
menyenangkan, kecuali tadi waktu kau diajak bersuka-suka oleh si nenek itu…..” Si
kakek lalu terkekeh.
Paras Pendekar 212 jadi merah. Sambil menggaruk-garuk kepala dia berkata.
“Tak sengaja saya terlibat dalam satu persoalan yang menimpa sahabat saya bernama
Andana. Dia keponakan Datuk Gampo Alam…. Yang punya hubungan dekat dengan
Tumenggung Rajo Langit di Batusangkar.”
“Tumenggung Rajo Langit punya kekausaan tapi tak punya ilmu kepandaian
berarti. Tak usah takut padanya. Yang harus diperhitungkan justru Datuk Gampo
Alam. Dia punya beberapa ilmu kesaktian. Dia memiliki ilmu kepandaian yang
disebut ilmu Belut Putih. Lalu ilmu Raja Sebumi. Ilmu ini membuat dia tidak bisa
mati selama tubuhnya masih menginjak bumi. Di samping itu dia juga masih punya
satu ilmu yang hebat. Dalam keadaan terdesak dia sanggup masuk ke perut bumi….
Beri tahu hal itu pada sahabatmu Andana….”
Wiro mengangguk. “Terima kasih atas petunjukmu Kek…. Apakah kau mau
memaafkan perlakuan saya tempo hari?” Wiro bertanya karena merasa masih ada
ganjalan.
“Sudahlah! Malam begini larut. Tubuh rongsokan ini tak sanggup lama-lama
berada di luaran. Kalau urusanmu sudah selesai datang ke tempatku….”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 56
“Saya pasti datang Kek….”
Tua Gila memasukkan gulungan Benang Kayangannya ke balik pakaian. Dia
hendak melangkah pergi. Tapi tiba-tiba berbalik kembali sambil tersenyum.
“Bagaimana pendapatmu tentang janda Datuk Gampo Alam itu….?”
Paras Pendekar 212 untuk kesekian kalinya menjadi merah. Sambil garukgaruk
kepala dia berkata. “Saya….saya baru satu kali menemuinya Kek….”
Tua Gila mengekeh. “Baru satu kali menemuinya atau baru sekali
menidurinya……?!”
Wiro menahan nafas. “Anak setan hati-hati kalau berbuat. Sampai anak orang
kau hamili, kau tak bakal kembali ke tanah Jawa…….”
Tua Gila tertawa lagi lalu berkelebat pergi. Murid Eyang Sinto Gendeng
kembali hanya bisa garuk-garuk kepala. “Untung orang tua itu tidak marah. Kalau
tidak pasti habis aku dikerjainya!”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 57
EMPAT BELAS
Malam itu Datuk Gampo Alam hampir tak bisa memicingkan mata. Kematian
Daud alias Hantu Mata Picak yang diandalkannya benar-benar mengenaskan dan
merusak semua rencananya. Agaknya kini dia memang harus turun tangan sendiri, tak
mungkin meminjam tangan orang lain. Ditambah dengan ucapan Tumenggung Rajo
Langit bahwa dia ingin mengambil Bunga jadi istrinya membuat sang Datuk jadi
tambah gelisah, mengkal, benci dan marah.
Kalau selesai pembayaran penjualan rumah gadang akan kuhabisi tua
bangka keparat itu! Lalu sang Datuk teringat pada Sati. Manusia itu tak bisa
dibiarkan hidup lebih lama. Tentu dia akan berceloteh menebar cerita yang bukanbukan!
Mungkin dia mendendam padaku gara-gara dihajar para pembantuku sampai
babak belur di Batusangkar tempo hari. Setan!
Hanya ada satu hal yang membuat sang datuk agak terhibur. Yaitu besok pagi
dia akan mendengar kabar dari Mamak Rabiah mengenai lamarannya untuk
memperistrikan Bunga. Dia tersenyum-senyum seniri di atas tempat tidur.
Tak ada yang pernah menolak lamaran Datuk Gampo Alam. Semua gadis di
Pagaralam ini ingin kuperistrikan! Termasuk Bunga tentunya.
Menjelang pagi akhirnya Datuk Gampo Alam tertidur juga walau Cuma
sebentar. Paginya dia sudah duduk di ruang tengah rumah gadang. Tak lama
kemudian perempuan itu tampak di ujung halaman, melangkah menuju rumah gadang,
menaiki tangga dan samapi di atasnya.
“Rabiah, kau benar-benar memenuhi janji. Duduklah. Aku ingin sekali cepatcepat
mendengar kabar baik darimu….”
Saat itu Rabiah merasakan tubuhnya lemah dan gontai. Kalau saja dia tidak
menguatkan hati mungkin watu menaiki tangga tadi dia sudah terguling ke bawah.
“Kau ingin minum apa Rabiah? Teh manis? Kopi hangat?”
“Terima kasih Datuk. Saya baru saja minum,” jawab Mamak Rabiah.
“Hemmm…. kalau begitu kita segera bisa bicara. Kau membawa kabar baik
pasti. Bunga bersedia menjadi istriku bukan?”
Sesaat Rabiah tertunduk tak bisa membuka mulut.
“Eh, Rabiah. Ada sesuatu yang perlu kukatakan padamu. Kau maupun Bunga
tidak perlu merasa takut akan melanggar adat atau agama. Rukiah telah kuceraikan.
Jadi kalau Bunga menjadi istriku, jumlah istriku tetap empat. Tidak lima seperti yang
mungkin kalian takutkan. Ha …..ha…..ha…..!”
“Datuk, sebenarnya saya….”
“Apakah kau sudah mereka-reka hari dan tanggal serta bulan baik perkawinan
anakmu dengan aku Datuk Gampo Alam, bengsawan terpandang di Pagaralam ini?”
“Datuk, sebenarnya….. Sebenarnya saya ini bukan Ibu kandung Bunga,”
ucapan itu keluar dari mulut Mamak Rabiah.
“Ah, kau ini hendak bergurau atau bagaimana. Semua orang di Pagaralam ini
tahu kalau kau adalah ibunya Bunga. Ibu kandung. Aneh kalau sekarang kau tidak
mengakuinya.”
“Saya tidak berdusta Datuk. Saya memang bukan Ibunya. Saya tidak pernah
melahirkannya.”
Datuk Gampo Alam menatap wajah perempuan itu beberapa saat. “Sudahlah
Rabiah. Apakah kau Ibunya atau bukan tidak penting bagiku. Yang penting Bunga
sudah setuju kujadikan istri. Begitu?”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 58
“Tidak Datuk. Maafkan saya. Saya sudah menyampaikan maksud Datuk pada
gadis itu. Tapi maaf sekali lagi. Bunga menolak karena dia merasa belum cukup
umur…..”
“Belum cukup umur? Alasan buta!” belalak Datuk Gampo Alam sambil
menyentakkan lehernya dua kali. Coba kau katakan berapa umur anak itu sekarang?”
“Belum lagi dua puluh…..”
“Belum lagi dua puluh. Anak orang lain umur sembilan belas sudah jadi
janda! Rabiah, apa aku harus menunggu sampai gadis itu jadi seorang nenek?!” Datuk
Gampo Alam sentakkan lehernya.
Mamak Rabiah tidak bisa menjawab. Kepalanya tertunduk namun dadanya
seperti menggemuruh.
“Dengar Rabiah. Penghulu sudah kuhubungi. Pasumandan pengiring
pengantin sudah disiapkan. Juru masak dan juru rias sudah diberi tahu. Kau dan
Bunga tinggal tahu beres saja! Apa lagi? Apa tidak senang menjadi istri Datuk Gampo
Alam?!”
Perlahan-lahan Rabiah mengangkat kepalanya. Kedua matanya tampak basah.
Air mata bercucuran di kedua pipinya.
“Gila! Apa pula ini Rabiah?! Mengapa kau menangis?!” Datuk Gampo Alam
terheran-heran tapi juga mulai jengkel.
“Datuk…. Ingin saya menyampaikan satu rahasia yang selama ini mungkin
tidak Datuk ketahui. Sebenarnya Bunga itu adalah…..”
Ucapan Mamak Rabiah terputus ketika di tengah halaman rumah gadang
terdengar suara orang berteriak.
“Datuk Gampo Alam! Turunlah ke halaman! Aku ingin bicara denganmu!”
Eh, itu suara si Andana, ada apa dia berteriak seperti itu. Kurang ajar! Setan!
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya lalu berdiri dan melangkah cepat ke
jendela. Dari jendela dia melihat Andana duduk di atas seekor kuda. Mukanya tampak
sangar. Di sebelahnya juga duduk di atas kuda adalah pemuda Jawa bernama Wiro
Sableng itu. Sesuatu telah terjadi. Jangan-jangan Sati sudah membuka mulut! Rahang
Datuk Gampo Alam menggembung. Dadanya berdebar keras. Namun dia cepat
menguasai diri.
“Kemenakanku Andana, mengapa tidak naik ke atas rumah gadang kalau ingin
bicara denganku?”
“Aku ingin kau datang kemari. Kita bicara di halaman sini!” jawab Andana.
Kurang ajar. Berani dia bicara beraku-aku denganku!
Datuk Gampo Alam tidak dapat menahan amarahnya. Dia melompat menuruni
tangga. Begitu sampai di hadapan Andana dia membentak.
“Apapun yang ada di benakmu aku tidak suka melihat kau bicara kurang ajar
padaku! Turun dari kuda dan bicara di dalam rumah! Setan apa yang tiba-tiba
merasuk dirimu hingga adat sopan santunmu menjadi hilang lenyap?!”
Andana menyeringai sementara Wiro tampak cengar-cengir. “Datuk setan!”
bentak Andana tak kalak keras. “Apa masih pantas aku bicara hormat dengan manusia
yang telah membunuh Ayahku? Ayo jawab!”
Tampang Datuk Gampo Alam sesaat tampak memutih namun di lain saat
berubah menjadi kelam merah. Dia merasa seolah kepalanya menjadi dua. Rahangnya
menggembung. Nafasnya seperti meledak-ledak.
“Anak setan! Ayahmu mati jauh dari sini! Dikubur jauh di puncak Singgalang.
Sungguh kurang ajar kalau kau berani menuduh aku sebagai pembunuh Ayahmu!
Kemenakan keparat! Kau sudah gila rupanya!”
“Kau yang gila!” teriak Andana.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 59
Sang Datuk tersentak seperti dihenyakkan.
“Kau bukan saja membunuh Ayahku. Tapi juga berusaha membunuh diriku
dengan menyuruh kaki tanganmu. Aku tahu semua perbuatanmu. Mulai dari pisau
terbang beracun itu. Ular berbisa dan sirih dalam cerana! Semua kau yang
merencanakan! Kau membunuh Ayahku! Kini giliranmu sudah tiba! Kau ingat
dimana kau membunuh Ayahku, Datuk?!”
“Otakmu benar-benar tidak waras! Bicara gila apa ini?!” teriak Datuk Gampo
Alam. “Kalau tidak memandang kau anak kakak kandungku, sudah kupecahkan
kepalamu sejak tadi-tadi!”
Wiro Sableng batuk-batuk beberapa kali. Suaranya membuat Datuk Gampo
alam berpaling padanya dan lantas saja berteriak marah. “Kau juga bangsat! Kau pasti
sudah mempengaruhi kemenakanku dengan hasutan-hasutan gila! Kau bakal dapat
bagian dariku!”
Wiro tertawa lebar. “Boleh saja kau bilang aku bangsat. Jika aku bangsat
maka kau adalah bapak moyangnya bangsat. Kan begitu! Jangan berlagak yang tidaktidak
Datuk! Sahabatku ini ada bukti, ada saksi hidup yang mengatakan bahwa
kaulah yang telah membunuh Ayahnya!”
“Anak setan! Kau berani mencampuri urusan aku dan kemenakanku! Rasakan
tanganku!” Datuk Gampo Alam melompat dan melancarkan satu jotosan ke arah
pinggang Pendekar 212. Wiro cepat geser kuda tunggangannya lalu palangkan lengan
kanannya menangkis serangan Datuk Gampo Alam.
Dua lengan beradu. Wiro serasa seperti dihantam pentungan keras sebaliknya
sang Datuk seolah digebuk dengan besi. Lengan masing-masing kelihatan merah.
Kalau Wiro terhuyung ke kiri maka Datuk Gampo Alam terpental sampai dua
langkah! Ketika sang Datuk dengan penasaran hendak menyerang kembali, Andana
cepat menyorongkan kudanya hingga gerakan Datuk Gampo Alam terhalang.
“Kau masih ingat dimana kau membunuh Ayahku?!” ujar Andana sambil
menatap tajam pada Mamak atau Pamannya itu. “Di situ pula nyawamu akan kau
lepas. Kutunggu kau besok di Ngarai Sianok! Jangan mencoba lari! Selama Merapi
dan Singgalang masih tegak menjaga nagari, selama Batang Anai masih mengalir ke
laut dan selama air Danau Singkarak masih tetap biru, selama itu pula aku akan
mencarimu!”
“Andana! Jangan kau terpancing hasutan orang! Otakmu sedang kacau. Setan
mana yang mengatakan padamu bahwa aku yang membunuh Ayahmu! Gila! Aku
Datuk Gampo Alam tega membunuh kakak kandung sendiri!”
“Datuk culas! Hatimu lebih jahat dari iblis! Tak ada setan, tak ada hasutan!
Tapi ada seorang saksi hidup yang melihat kejadian waktu kau dan Hantu Mata Picak
membunuh Ayahku!”
“Ah! Mana mungkin! Ini pasti fitnah belaka! Jangan sampai kau terjebak
Andana!” ujar Datuk Gampo Alam sambil mengurut-urut lengannya yang masih
terasa sakit.
Rahang Andana menggembung. Dia berpaling ke arah sebatang pohon besar
di ujung halaman. Lalu berteriak. “Sati! Keluarlah! Berikan kesaksianmu pada
Mamak jahanam ini!”
Dari balik pohon keluarlah Sati sambil mengangkat tangannya. Sejarak
sepuluh langkah dari orang-orang itu dia berkata keras-keras.
“Demi Allah aku bersumpah! Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri
Hantu Mata Picak mencekal Datuk Bandaro Sati dari belakang. Lalu Datuk Gampo
Alam merampas keris milik kakaknya. Dengan keris itu dia kemudian menusuk
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 60
sekujur tubuh Datuk Bandaro Sati bertubi-tubi sampai akhirnya menemui ajal di tepi
Ngarai Sianok!”
Datuk Gampo Alam seperti mendengar halilintar.
Saat itu terdengar pula dampratan Andana.
“Hanya untuk mendapatkan dan menjual rumah gadang milik Ayahku, kau
membuat Surat Wasiat palsu! Kau bunuh Ayahku, kau coba membunuh aku! Datuk
keparat! Kelak kau akan jadi puntung neraka!”
“Dusta! Fitnah! Kubunuh kau Sati! Kau mendendam padaku karena pernah
dihajar oleh anak buahku! Dan kau Andana menjatuhkan tuduhan palsu karena kau
tidak suka aku memperistri Bunga! Kalau kau merasa benar mengapa tidak melapor
dan mengadu pada Tumenggung di Batusangkar?!”
Wiro keluarkan suara tertawa. “Tumenggung itu sama saja bengsatnya dengan
kau! Bukankah dia yang memenjarakan sahabatku ini sesuai dengan rencana kalian
berdua?! Seharusnya kau tidak perlu banyak bicara Datuk. Makin banyak kau bicara
makin terungkap kelicikanmu!”
Pelipis Datuk Gampo Alam bergerak-gerak. Dia memandang pada Andana
dan berkata. “Andana kemenakanku….”
“Jangan sebut aku kemenekanmu!” sergah Harimau Singgalang. “Hari ini
putus hubungan mamak dengan kemenakan! Ingat! Aku tunggu kau di Ngarai Sianok
petang ini sebelum matahari tenggelam. Arwah Ayahku akan menyaksikan
kematianmu di tempat kau membunuhnya dulu!”
“Anak keparat! Setan haram jadah!” carut Datuk Gampo Alam lalu
menyentakkan lehernya dan meludah ke tanah.
Andana memberi isyarat pada Wiro. Keduanya segera meninggalkan tempat
itu.
Ketika Datuk Gampo Alam naik kembali ke atas rumah gadang, Mamak
Rabiah tak ada lagi di situ. Meledaklah kemarahan sang Datuk. Apa saja yang ada di
dekatnya langsung ditendang dan dipukulnya!
Tiga orang istrinya tentu saja terkejut dan keluar dari kamar masing-masing.
“Ada apa Datuk? Mengapa mengamuk seperti ini?” tanya Zainab istri paling tua.
Plaakkk! Jawaban berupa tamparan keras yang dilayangkan Datuk Gampo
Alam ke pipi istrinya itu membuat Zaenab terpekik dan tersandar ke dinding.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 61
LIMA BELAS
Mamak Rabiah tidak lagi hanya melangkah tetapi kini berlari secepat yang bisa
dilakukannya. Bunga yang sedang menyisir rambut di dalam rumah sangat terkejut
ketika di pintu terdengar ketukan beruntun disertai suara memanggil-manggil.
“Bunga! Bunga! Lekas buka pintu Naaakk!”
Bunga melemparkan sisir ke atas sebuar rak lalu bergegas membuka pintu.
“Ada apa Mak? Orang Datuk Gampo Alam menyakiti Mamak karena menolak
pinangannya?!”
“Tidak Bunga. Bukan….. Ada hal lain yang lebih gawat dari itu. Malapetaka
besar akan terjadi kau harus mencegahnya Nak. Hanya kau yang bisa
mencegahnya….!”
“Apa yang harus saya cegah Mak? Malapetaka apa maksud Mamak?” tanya
Bunga tak mengerti. “Minum dulu Mak, biar Mamak bisa tenang dan bicara jelas….”
lalu gadis itu mengambil segelas air putih. Setelah meneguk sampai setengahnya dia
berkata. “Nah, sekarang Mamak bisa bicara lebih jelas. Apa melapetaka yang Mamak
katakan tadi itu. Lalu apa pula yang harus saya cegah….”
“Kakakmu….. Harimau Singgalang… Datuk Gampo Alam….” ucapan
perempuan itu tersendat dan terputus-putus.
“Harimau Singgalang? Maksud Mamak Andana? Datuk Gampo Alam? Ada
apa dengan mereka Mak?”
“Mereka akan saling berbunuhan. Sore ini! Di Ngarai Sianok. Di situ mereka
akan saling berbunuhan sampai salah satu dari mereka mati! Kau harus mencegah hal
itu Bunga!”
“Aneh, apa pasal Mamak dan Kemenakan itu saling berbunuhan? Kalau itu
betul lalu bagaimana pula saya bisa mencegahnya?”
“Datuk Gampo Alam…. Ternyata dia yang membunuh Datuk Bandaro Sati
Ayah Andana. Adiknya itu dibunuhnya di Ngarai Sianok. Kini Andana akan menuntut
balas. Saat ini mereka tentu sudah berada dalam perjalanan….”
Bunga termenung beberapa lamanya. Dengan suara perlahan dia kemudian
berkata. “Jika mereka memang maunya saling bunuh membunuh biarkan saja Mak.
Bukan urusan kita. Lagi pula saya yakin kakak Andana akan menang karena dia
berada di pihak yang benar….”
“Justru karena itulah Bunga. Kau harus mencegah agar mereka tidak saling
bunuh. Kau harus mencegah kakakmu itu tidak membunuh Datuk Gampo Alam.
Karena Datuk itu adalah….”
“Karena Datuk itu adalah apa Mak?” tanya Bunga ketika Mamak Rabiah tidak
meneruskan kata-katanya.
Mamak Rabiah tersengguk-sengguk. Air mata bercucuran deras ke pipinya.
Diulurkannya kedua tangannya merangkul Bunga. Lalu diantara sedu sedannya dia
berkata. “Karena Datuk Gampo Alam sebenarnya Ayah kandungmu sendiri Bunga….”
Si gadis meronta melepaskan diri. Melangkah mundur dan memekik keras.
Gelas yang masih dipegangnya lepas terjatuh, pecah berantakan di lantai. Wajahnya
tampak pucat sekali.bahunya bergetar menahan goncangan. Dia memandang pada
Mamak Rabiah seperti melihat hantu.
“Mamak….. Mamak tidak bicara dusta?”
Mamak Rabiah menggelengkan kepala. “Datuk Gampo Alam memang
sebenarnya Ayah kandungmu Nak…..”
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 62
Bunga merasakan seperti tulang belulangnya menjadi luluh. Gadis ini jatuh
terduduk di lantai. Mamak Rabiah duduk pula di hadapannya.
“Maafkan Mamak Bunga. Selama ini Mamak selalu merahasiakan hal itu
karena Mamak patuh pada pesan Ibumu….”
“Pesan Ibu saya?” kedua mata Bunga membesar. “Pesan apa Mak?” Bunga
mengulurkan kedua tangannya lalu menggocang bahu Mamak Rabiah. Tangis Mamak
Rabiah semakin keras. Tidak tahan akhirnya dia memeluk Bunga erat-erat.
“Kejadiannya sekitar dua puluh tahun lalu. Waktu itu Datuk Gampo Alam
sedang berburu di rimba. Dia tersesat dan terpisah dari teman-temannya. Saat itu
dalam keadaan terluka di salah satu kakinya, dia terpesat ke pondok tempat kediaman
Ibumu. Selama Datuk sakit terserang demam panas. Ibumulah yang merawatnya.
Ketika dia sembuh, Datuk Gampo Alam merasa berhutang budi. Lalu dia mengawini
Ibumu. Selama Ibumu mengandung Datuk Gampo Alam tak pernah datang lagi.
Ibumu melahirkanmu dalam keadaan sangat menderita. Mamak yang waktu itu
bertindak sebagai dukun beranak menolong Ibumu. Hanya sayang Ibumu telah
kehabisan daya. Dia banyak mengeluarkan darah dan menghembuskan nafas ketika
kau keluar dari rahimnya. Namun sebelum meninggal Ibumu sempat berpesan agar
Mamak jangan memberi tahu kepadamu siapa Ayahmu. Juga dia berpesan agar aku
mengambilmu sebagai anak sendiri dan merawatmu baik-baik….”
Bunga menjatuhkan dirinya ke dalam pangkuan Mamak Rabiah dan menangis
keras-keras. Ketika tangisnya mulai reda, dengan suara parau gadis ini berkata.
“Seharusnya saya ikut mati bersama Ibu saat itu…”
“Jangan berkata seperti itu Nak….”
“Mamak, orang seperti Datuk Gampo Alam itu sepantasnya dibiarkan mati
dibunuh orang….”
“Jangan berpikiran seperti itu Bunga. Baik atau buruknya dia, bagaimanapun
dia adalah Ayah kandungmu. Kau berasal dari tetesan darahnya Nak….”
Bunga menjerit lalu meratap. “Saya tidak perduli pada Datuk Gampo Alam.
Saya kini menangisi nasib diri yang hina ini. Kalau Datuk Gampo Alam ayah saya
dan Datuk Bandaro Sati Ayah Andana berarti kami saudara sebapak. Berarti kami
tidak akan pernah bisa…..” Bunga meraung keras.
“Bunga, Mamak dapat merasakan apa yang ada di hatimu. Kini kau menyadari
bahwa kau tak akan pernah bisa bersatu dengan pemuda yang kau cintai itu. Pertalian
darah antara Ayahmu dan Ayah Andana terlalu kuat….. Sekarang kau tahu mengapa
Mamak meminta agar kau mencegah mereka saling bunuh. Lakukan sesuatu Bunga…..
Selamatkan Ayahmu dan juga pemuda yang kau kasihi itu….”
Harimau Singgalang dan Pendekar 212 Wiro Sableng tidak bodoh untuk
meninggalkan Datuk Gampo Alam begitu saja. Bukan mustahil Datuk yang licik itu
akan melarikan diri. Karena itu kedua pemuda ini bersembunyi di satu tempat
kelindungan, memperhatikan rumah gadang dari kejauhan. Dua pendekar ini tidak
menunggu lama. Seorang pelayan kelihatan menuntun seekor kuda hitam ke dekat
tangga rumah gadang. Tak lama kemudian kelihatan Datuk Gampo Alam menuruni
rumah. Dia mengenakan pakaian galembong serba hitam. Keninngnya diikat dengan
sehelai kain hitam pula. Di pinggangsebilah keris terselip sebilah keris emas yang
bukan lain adalah keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang dicurinya dari Andana. Di
pinggang kanan terselip sebuah saluang (suling khas Minang)
“Datuk keparat itu sudah siap hendak berangkat. Tapi aneh mengapa dia
membawa saluang segala?” membuka mulut Andana di tempat yang kelindungan.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 63
“Bukan mustahil itu bukan suling biasa Andana. Pasti ada tuah
kesaktiannya….” menyahuti Wiro.
Saat Datuk Gampo Alam naik ke atas kuda hitamnya, tiga istrinya berada di
belakang jendela tengah rumah gadang. Zainab istri tua berkata pada dua madunya.
“Saya punya firasat, Datuk Gampo Alam tak akan pernah kembali lagi ke rumah
gadang ini.”
Begitu Datuk Gampo Alam memacu kudanya meninggalkan Pagaralam,
Andana dan Wiro segera menguntit dari kejauhan. Sementara itu dari jurusan lain
sebuah kereta tua ditarik oleh seekor kuda besar meluncur kencang ke arah Barat Laut
di mana berdiri tegak Gunung Merapi. Saisnya seorang pemuda berkopiah hitam
kupluk sedang di sebelahnya duduk seorang gadis cantik yang menutupi wajahnya
dengan sehelai selendang. Dia bukan lain adalah Bunga anak kandung Datuk Gampo
Alam.
Ngarai Sianok diselimuti kesunyian. Sesekali angin bertiup kencang. Di Timur
langit tampak kemerahan tanda sang surya berisap-siap untuk masuk ke ufuk
tenggelamnya. Datuk Gampo Alam turun dari kudanya, membiarkan binatang itu
merumput. Dia memandang berkeliling lalu melangkah ke tepi Ngarai. Sunyi, tak ada
siapa-siapa di tempat itu. Sesaat dia memeprhatikan keadaan di sekelilingnya dengan
rasa tegang.
Anak keparat itu masih belum muncul rupanya. Atau dia memang tak akan
muncul?!
Baru saja dia membatin begitu tiba-tiba dari balik tanah yang ketinggian
muncul dua orang penunggang kuda yang sama-sama mengenakan pakaian putih.
“Kurang ajar!” rutuk Datuk Gampo Alam. “Pemuda Jawa itu apa-apaan dia
ikut bersama anak setan ini!”
Begitu Andana dan Wiro sampai di hadapannya Datuk Gampo Alam langsung
menegur sinis sambil bertolak pinggang.
“Rupanya kau tidak punya nyali untuk datang sendirian!”
Andana hendak menjawab. Tapi Wiro cepat mendahului. “Kami memang
datang berdua, tapi yang punya urusan dengan manusia jelek licik sepertimu ini Cuma
satu. Kemenakanmu sendiri. Apa kau merasa ngeri menghadapainya….?”
Tampang Datuk Gampo Alam kelihatan kelam kemerahan. Dia berpaling pada
Andana. “Kau inginkan nyawaku. Mengapa masih ongkang-ongkang di atas kuda?
Turunlah untuk membuktikan mulut besarmu bahwa kau memang punya kemampuan
membunuhku
Andana tersenyum. Dia melirik pada Wiro. Murid Sinto Gendeng langsung
membuka mulut. “Rupanya Datuk kita ini ingin cepat-cepat menemui kematiannya.
Apa pendapatmu sobat?”
“Aku masih mau memberi kesempatan padanya untuk bertobat dan minta
ampun pada Tuhan sebelum meregang nyawa menghadap Penguasa Akhirat!”
Muka Datuk Gampo Alam seperti udang direbus. Lehernya disentakkan.
“Anak setan! Kau yang akan jadi cacing tanah lebih dulu!” hardik Datuk Gampo
Alam. Begitu Andana meloncat turun dari kudanya langsung saja dia menyerang
dengan jotosan keras ke arah pinggang. Andana tidak tinggal diam. Masih melayang
di udara kaki kanannya melesat ke arah kepala Pamannya itu. Mau tak mau Datuk
Gampo Alam terpaksa tarik pulang serangannya. Dia membalik ke kiri dengan cepat.
Begitu tendangan Andana lewat sang Datuk balas menghantam dengan kaki kanan.
Andana berseru kaget. Kaki sang Datuk menyambar begitu cepat dan tak terduga.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 64
Sedang dari mulutnya terdengar suara aneh seperti binatang mencicit. Selanjutnya
tubuhnya tampak bergerak kian kemari, melenting-lenting seperti bola, tangan dan
kakinya berkelebat aneh dalam gerakan-gerakan yang tidak terduga, menggapai
merobek ganas. Inilah ilmu silat “tupai pesisir” yang sangat berbahaya. Baru dua
jurus mengeluarkan ilmu silat aneh itu terdengar suara pakaian robek. Andana
melompat mundur. Pakaian putihnya robek di bagian dada dan kulit dadanya
kelihatan tergurat cukup dalam hingga tampak darah mengambang.
“Anak setan! Itu peringatan pertama untukmu!” kata Datuk Gampo Alam.
“Sebentar lagi akan kuputus urat lehermu! Kini aku yang memberi kesempatan
padamu untuk bertobat sebelum mampus!”
Andana ganda tertawa. Tubuhnya membuat gerakan seperti merunduk. Tibatiba
kakinya melest ke atas lalu menderu ke bawah. Datul Gampo Alam tersentak
kaget melihat gerakan silat yang aneh ini. Namun dia tidak berkesempatan
memperhatikan lebih lama karena saat itu serangan-serangan si pemuda datang
bertubi-tubi. Inilah ilmu silat Kumango Tujuh Serangkai yang dipelajari Andana dari
gurunya Datuk Alis Merah di Asahan.
Dalam ilmu silat Datuk Gampo Alam punya pengetahuan dan pengalaman
luas. Dia tahu betul kehebtan dan kelemahan masing-masing ilmu silat. Namun sekali
ini dia dibuat tak berdaya dan tak mampu menerka ilmu silat apa yang dimainkan
Andana untuk menyerangnya. Saat demi saat dia merasa tekanan yang berat dan
membuatnya terdesak. Satu kali ketika dia terlambat mengelak, pukulan tepi telapak
tangan kanan Andana bersarang di bahunya. Sang Datu mengeluh tinggi. Tulang
bahunya seperti remuk. Dalam keadaan termiring-miring Datuk Gampo Alam cabut
saluang di pinggangnnya.
“Sobatku, jika saluang itu ditiupnya kau boleh menyanyi dan aku akan
menari!” Pendekar 212 yang berada di tepi kalangan perkelahian. Sementara itu udara
di atas Ngarai Sianok tiba-tiba saja berubah mendung.
“Anak-anak setan!” kata Datuk Gampo Alam. “Kalian boleh menegjek! Lihat
saja apa yang akan terjadi dengan diri kalian! Aku sudah mencium kematian kalian!”
Lalu Datuk Gampo Alammeniup saluangya kuat-kuat. Bersamaan dengan
terdengarnya suara lengkingan saluang tiba-tiba dari lobang sebelah bawah seruling
bambu itu keluar dua buah gelembung yang saat demi saat semakin besar, semakin
besar dan akhirnya berubah bentuk menjadi dua mahluk katai berkulit merah dan
hanya mengenakan cawat. Kepala botak sedang gigi-gigi serta taring-taring yang
runcing panjang kelihatan mengerikan. Jari-jari tangannya pendek-pendek tetapi
berkuku panjang berwarna hitam legam!
“Anak-anak, kalian sudah lama tidak menghisap darah. Lekas serang pemuda
yang sebelah depan. Jika kawannya berusaha membantu, bunuh keduanya!”
Mahluk katai aneh itu berteriak hingar bingar lalu melesat ke depan,
mengeroyok Andana. Gerakan dua mahluk katai ini cepat bukan main. Sepuluh kuku
jari mereka berkelebat ganas. Setiap menyerang, mereka berusaha mendekatkan mulut
pada perut atau dada dan leher Andana. Jelas mahluk ini memang ingin menyedot
darah si pemuda. Dikeroyok dua begitu rupa Andana kembali mainkan jurus-jurus
ilmu silat Kumango Tujuh Serangkai.
Dengan ilmu silatnya ini Andana berhasil menggebuk, menjotos dan
menendang dua mahluk itu. Tapi anehnya seperti tidak merasa, keduanya tertawatawa
dan berjingkrak-jingkrak setiap kali kena hantaman!
Ilmu iblis! Rutuk Andana dalam hati. Jari tangannya diarahkan lurus-lurus
pada dua mahluk katai itu. Ketika didorongkan ke depan, satu larik sinar merah panas
menderu ganas ke arah mahluk katai di sebelah kanan. Pohon bahkan batu sekalipun
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 65
akan hancur berantakan terkena pukulan “inti api” yang barusan dilepaskan Andana.
Namun yang diserang kelihatan tertawa-tawa. Begitu sinar merah menyambar di
depan mukanya, dia membuka mulutnya lebar-lebar. Lalu seperti seorang melahap
makanan yang enak begitulah dia menelan sinar api panas pukulan sakti itu.
Sementara itu kawannya sambil berjingkrak-jingkrak sesekali bergelantungan pada
jalus sinar merah panas seolah benda itu adalah seutas tali! Di sebelah sana Datuk
Gampo Alam terus saja tiup saluangnya.
Celaka, aku tak bisa bertahan lebih lama! Keluh Andana dalam hati. Berarti
bahaya besar mengancamnya kini. Pemuda ini melirik ke arah Wiro seolah minta
dibantu. Dalam keadaan seperti itu Pendekar 212 tidak mau turun tangan dan
melakukan pengeroyokan. Setelah berpikir keras murid Sinto Gendeng ini berkata.
“Sobatku Harimau Singgalang. Jika ekornya tak bisa dihancurkan, mengapa
tidak kembali ke asalnya?”
Mula-mula Andana tidak mengerti ucapan itu. Namun begitu dia paham maka
langsung saja dia melompat ke udara. Dua mahluk katai ikut melompat. Dari atas
Andana lepaskan lagi pukulan sakti “inti api” Sekali ini bukan diarahkan pada dua
mahluk katai berkepala botak yang matian-matian berusaha menancapkan taringtaringnya
ke bagian tubuh Andana untuk kemudian disedot darahnya. Kini yang
menjadi sasaran Andana adalah saluang yang ditiup Datuk Gampo Alam, sari mana
dua mahluk tadi keluar secara aneh.
Wussss!!!
Braaak!!
Saluang yang ditiup sang Datuk hancur berantakan. Datuk Gampo Alam
sendiri terlempar dua langkah dan terduduk di tanah. Salah satu jarinya tampak
mengucurkan darah!
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 66
ENAM BELAS
Bersamaan dengan hancurnya saluang di tangan Datuk Gampo Alam dua mahluk
katai terdengar menjerit keras. Tubuh mereka perlahan-lahan menciut hingga
akhirnya hanya tinggal seujung jari kelingking untuk kemudian lenyap tanpa bekas!
Datuk Gampo Alam cepat bangkit berdiri. Mukanya kelam membesi
sementara huja mulai turun rintik-rintik di kawasan itu. Dari arah Timur saat itu
sebuah kereta meluncur cepat menuju Ngarai Sianok.
“Anak setan!” tiba-tiba Datuk Gampo Alam membentak, tangan kanannya
bergerak mencabut keris Tuanku Ameh Nan Sabatang. “Dulu dengan keris sakti
bertuah ini kuhabisi Bapakmu! Rupanya sudah menjadi takdir, kaupun akan
menemui ajal di tanganku, dengan keris ini!” begitu senjata itu digerakkan sinar
kuning berkiblat. Andana merasa ada hawa dingin menyambar. Cepat-cepat dia
kerahkan tenaga dalam dan lepaskan satu pukulan tangan kosong. Sang Datuk merasa
seolah didorong oleh satu tembok besar. Karenanya dia kerahkan tenaga dalamnya
sampai tangannya yang memegang keris bergetar hebat. Pada puncak bentrokan
tenaga dalam dengan cerdik Datuk Gampo Alam membuat gerakan menyusup dari
samping. Sinar kuning kembali berkiblat. Andana merasakan ada hawa dingin
menyambar wajahnya. Secepat kilat dia melomapt ke kiri dan balas menyerang.
Seperti sudah diketahui dalam ilmu silat meskipun memiliki pengalaman luas,
namun Datuk Gampo Alam masih kalah jauh dengan kemenakannya itu. Karena
untuk mempergunakan keris sebagai senjata harus didasari dengan ilmu silat juga
maka walau senjata itu sakti bertuah tetap saja Datuk Gampo Alam tak bakal mampu
mempecundangi lawannya. Malah dalam satu gebrakan hebat Andana berhasil
mennendang lengan kanan Datuk Gampo Alam. Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang
mencelat ke udara. Andana melompat menyambuti selagi keris itu jatuh ke bawah.
“Saatmu menerima kematian Datuk keparat!” teriak Andana. Smbil melayang
turun dia tusukkan keris di tangan kanannya ke arah Datuk Gampo Alam. Keris
menyambar dari arah kiri. Datuk Gampo Alam mengelak ke kanan. Mendadak
Andana menggebrak ke kanan. Keris sakti bertuah kembali menusuk.
Breettt!
Baju Datuk Gampo Alam di bagian bahu kanan robek besar. Namun tubuhnya
lolos dari tusukan keris emas itu. Tiba-tiba Datuk Gampo Alam keluarkan suara
seperti anjing melolong. Bersamaan dengan itu kedua tangannya mencekal
pergelangan tangan kanan Andana lalu ditarik kuat-kuat. Terjadilah satu hal yang
tidak bisa diterima akal. Tubuh Datuk Gampo Alam lenyap amblas ke dalam tanah.
Andana berteriak kesakitan sewaktu tangannya yang memegang keris terseret di atas
permukaan tanah. Tubuhnya berguling jungkir balik. Dia berusaha melepaskan
tangannya namun sia-sia.
Pendekar 212 berseru kaget melihat kejadian itu. Ilmu iblis apa yang dimiliki
Datuk keparat itu. Bagaimana dia bisa masuk ke dalam tanah dan menarik tangan
Andana.
Pekik Andana semakin keras. Dengan tangan kirinya dia berusaha memukul
gunjulan tanah yang bergerak yang rupanya adalah tubuh atau kepala Datuk Gampo
Alam. Tapi tidak ada hasilnya. Sementara itu jari-jari tangan dan daging di bagian
belakang telapak tangannya telah mengelupas. Dari langit hujan turun mulai lebat.
Anak Datuk Bandaro Sati itu tak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya guna
melepaskan tangannya.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 67
Wiro yang juga dalam keadaan bingung karena tidak tahu harus menolong
bagaimana, untuk beberapa saat hanya bisa berlari di samping Andana. Sambil lari
akhirnya Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Dengan senjata ini
dihantamnya bagian tanah yang menggunjul dan bergerak. Cahaya putih menyilaukan
yang disertai hamparan hawa panas luar biasa dan dibarengi suara seperti tawon
mengamuk menggema di tempat itu.
Tanah dan pasir serta batu-batu kerikil muncrat berterbangan. Di tanah
kelihatan lobang sedalam satu jengkal. Ternyata hantaman Kapak Maut Naga Geni
212 tidak menolong walau sudah dipukulkan beberapa kali. Tangan kanan Andana
semakin parah. Darah mulai mengucur sedang lapisan kulit dan daging sudah
terkelupas dalam. Satu hal yang masih bisa dilakukannya, keris Tuanku Ameh Nan
Sabatang tidak mau dilepaskannya dari genggamannya. Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara mengaum dahsyat. Dalam udara yang semakin gelap itu sementara
hujan bertambah lebat tiba-tiba muncul seekor harimau besar.
Pendekar 212 sampai tersurut saking kagetnya. Andana tidak kalah kejutnya.
Namun entah mengapa pemuda ini tiba-tiba saja menjadi tenang. Saling bertatapan
begitu dekat Andana membatin.
Binatang ini, aku yakin adalah harimau yang muncul mengawal Ayahku
waktu di Asahan dulu. Ayah, apakah kau mengirimkannya untuk menolongku?
Binatang jejadian itu mengaum sekali lagi. Lalu tubuhnya menukik ke bawah
dan astaga! Harimau besar amblas lenyap ke dalam tanah.
Saat itu pula cekalan pada lengan Andana terlepas. Lalu terjadilah hal luar
biasa. Di dalam perut bumi terdengar bentakan-bentakan manusia dan auman harimau
berulang kali. Seolah tengah terjadi perkelahian antara manusia dengan seekor
harimau. Hal itu tidak berlangsung lama. Didahului oleh satu lolongan panjang dan
auman yang menggetarkan tanah, tiba-tiba dari dalam tanah melesat sosok tubuh
Datuk Gampo Alam. Tubuh dan kepalanya sampai ke muka penuh berselomotan
tanah hingga kelihatan menyeramkan. Di samping itu pada bahu kiri, pangkal leher
dan bawah dagu ada luka panjang seperti dicakar.
Untuk kedua kalinya dari dalam tanah melesat keluar harimau besar itu.
Telinga kirinya kelihatan mengucurkan darah. Binatang ini memandang Datuk
Gampo Alam sesaat, mengaum keras membuat sang datuk tersurut gentar lalu
berputar-putar beberapa kali mengelilingi Andana, mengaum sekali lagi dan lenyap!
Pendekar 212 gelengkan kepala dan leletkan lidah.
Kawatir kalau musuh besar pembunuh Ayahnya itu akan masuk kembali ke
perut bumi Andana yang masih memegang keris Tuanku Ameh Nan Sabatang cepat
menyerbu dan kirimkan satu tikaman ke arah batang leher Datuk Gampo Alam.
Perkelahian seru terjadi sampai delapan jurus. Walaupun belum dapat melukai
lawannya dengan senjata sakti bertuah itu namun Andana lagi-lagi membuat sang
Datuk terdesak hebat.
Jahanam, ilmu silat apa yang dimiliki anak setan ini hingga aku tidak bisa
memecahkan kelemahannya! Maki sang Datuk. Sebelum Andana menyerbunya
kembali dia melompat mundur.
“Kau kira kau bisa lari dari kematianmu Datuk celaka!” teriak Andana.
Datuk Gampo Alam menyeringai. “Siapa yang lari,” jawab Datuk Gampo
Alam sambil menyentakkan leher dua kali. Kedua tangannya disilangkan di depan
dada. Mulutnya berkomat-kamit. Kedua matanya dikejapkan. Wutt….wuuuttt! Dari
kedua mata itu tiba-tiba melesat sebuah benda putih panjang, meliuk-liuk seperti ular.
Selagi Andana dan Wiro terperangah melihat hal itu sang Datuk goyangkan kepalanya.
Dua binatang putih lagi melesat keluar. Kini dari telinga kiri kanan. Ketika dia
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 68
mendengus, maka sepasang berikutnya melesat keluar dari hidung. Datuk Gampo
Alam membuka mulutnya lebar-lebar. Benda yang sama dalam ukuran lebih besar
menderu keluar dari mulutnya. Benar-benar mengerikan!
“Gila! Ilmu apa ini?!” ujar Wiro sementara Andana memasang kuda-kuda dan
menyiapkan pukulan “inti api” di tangan kiri.
Ternyata masih ada lagi dua benda putih panjang keluar dari tubuh sangDatuk.
Satu dari anusnya dan satu lagi dari lobang kemaluannya. Ternyata binatang-binatang
itu keluar dari setiap lobang yang ada di tubuhnya!
“Kau takut anak setan?!” ujar Datuk Gampo Alam seraya melangkah
mendekati Andana. “Ilmu Belut Putih hanya aku yang memiliki di dunia! Kau
merupakan korbannya yang pertama!” Habis berkata begitu Datuk Gampo Alam
keluarkan suara mendengus dari hidungnya. Dua ekor belut putih yang ada di dua
lobang hidungnya melesat ke arah Andana.
Harimau Singgalang berteriak keras. Tangan kirinya dihantamkan. Pukulan
“inti api” menyambar belut putih yang di kiri tapi luput. Belut putih yang kedua
dibabatnya degnan keris Tuank Ameh Nan Sabatang.
Crasss! Belut itu terkutung dua. Tapi begitu jatuh ke tanah hidup kembali dan
menjadi ddua ekor, terus menyerang Andana. Datuk Gampo Alam tertawa mengekeh.
Belut putih besar dimulutnya meluncur semakin panjang dengan kepala tegak siap
untuk mematuk.
Belut putih pertama yang lolos dari pukulan “inti api” melesat ke muka
Andana. Sebelum pemuda ini sempat mengelak binatang ini telah menyusup masuk
ke dalam lobang hidung kiri Andana! Pemuda ini jadi gelagapan dan berusaha
menarik keluar belut yang masuk ke dalam hidungnya itu. Tapi semakin ditarik
semakin dalam masuknya binatang ini. Darah mulai mengucur.
“Celaka!” seru Pendekar 212. tanpa menunggu lebih lama dia segera cabut
Kapak Maut Naga Geni 212 dan melompat ke hadapan Andana. Sinar ternag
menyilaukan berkiblat di bawah udara gelap dan curahan hujan.
Crass! Belut putih di hidung Andana putus dua, jatuh ke tanah dan hidup lagi!
Dua binatang ini kini menyerang Wiro!
“Keparat sialan! Apa yang harus kulakukan!” saat itu salah seekor dari belut
putih itu berhasil menancapkan mulutnya di betis kiri Pendekar 212. Wiro hendak
merambasnya dengan senjata mustikanya. Tapi percuma saja pikirnya karena itu
hanya akan menambah banyaknya jumlah binatang-binatang jejadian itu! Dengan
menggeram Wiro berpaling pada Datuk Gampo Alam. Dia ingat sesuatu. Hatinya
meragu. Tadi Andana telah menghantam belut putih itu dengan pukulan “inti api”.
Jika dia menghantam dengan batu apinya, apakah akan mempan? Tak ada jalan lain.
Dia harus mencoba. Kalau tidak dia akan menemui ajal bersama Andana di tempat
itu!
Dari balik pakaiannya murid Sinto Gendeng keluarkan sebuah batu hitam
empat persegi yang merupakan pasangan Kapak Maut Naga Geni 212. Batu ini
digosokkannya kuat-kuat ke mata kapak dan diarahkan pada Datuk Gampo Alam.
Disaat yang sama sang Datuk buka mulutnya lebar-lebar. Belut putih paling besar
yang bergelantungan di mulutnya melesat menyambar ke leher Pendekar 212.
Wusss!
Lidah api yang luar biasa panasnya menyambar. Belut putih besar yang
menyerang Wiro mencelat mental, hancur cerai berai di udara. Ketika jatuh ke tanah
ternyata binatang jejadian ini tidak berkembang biak menjadi banyak. Potonganpotongan
tubuhnya berubah menjadi asap dan akhirnya sirna.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 69
Datuk Gampo Alam tersentak kaget. Kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro
untuk menghantam lagi dengan gosokan kapak dan batu. Sekali ini dia mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya sementara andana berusaha melepaskan diri dari gigitan dua
ekor belut putih yang menancap di pahanya kiri kanan!
Datuk Gampo Alam berteriak keras ketika satu gelombang api sebesar rumah
mengggebubu ke arahnya. Di lain kejap tubuhnya tenggelam dalam kobaran api.
Semua belut putih yang ada di tubuhnya hancur cerai berai. Anehnya yang ada di
tempat lain seperti yang menancap di kaki Wiro dan Andana ikut-ikutan leleh,
berubah jadi asap lalu lenyap!
Dalam kobaran api kelihatan sosok Datuk Gampo Alam melesat ke atas.
Begitu kobaran api lenyap kelihatan orang ini tegak menyeringai sambil bertolak
pinggang. Tubuhnya tidak cidera sedikitpun. Bahkan pakaiannya sama sekali tidak
hangus! Sarung keris emas bertuah yang ada di pinggangnya juga kelihatan tidak
mengalami kerusakan. Hanya ilmu “belut putih”-nya saja yang musnah!
Luar biasa! Bagaimana ada manusia sehebat bangsat satu ini! Kertak Wiro. Di
sampingnya Andana keluarkan suara menggeram.
“Anak setan! Kau telah ikut campur urusanku! Berarti kau memilih mampus
bersama kemenakan durhaka itu!” Datuk Gampo Alam berkata dengan mimik bengis.
“Kalian berdua silahkan maju bersamaan agar waktuku tidak terbuang percuma!”
Wiro tertawa gelak-gelak. “Lagakmu hebat amat Datuk! Kau akan mati jadi
setan penasaran karena tak dapat mengawini Bunga! Ha….ha…..ha…..!”
Mendengar kata-kata Wiro itu mendidihlah amarah Datuk Gampo Alam.
Kepalanya disentakkan dua kali lalu didahului bentakan keras dia melompat ke arah
Wiro dan Andana.
“Sahabat,” kata Wiro pada Andana. “Kau pergunakan kapak ini. Kerahkan
tenaga dalammu setiap kau melakukan serangan!”
Wiro melemparkan Kapak Maut Naga Geni 212 pada Andana.
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 70
TUJUH BELAS
Harimau Singgalang ini tak sempat berpikir banyak dan cepat menyambuti senjata
mustika itu. Ketika Datuk Gampo Alam melompat ke hadapannya sambil
melancarkan satu pukulan tangan kosong, Andana segera menyambut dengan salah
satu jurus terhebat ilmu silat Kumango Tujuh Sarangkai, membuat sang Datuk
terpaksa bersurut.
Dua jurus menggebrak Kapak Maut Naga Geni 212 berhasil membabat bahu
kiri lawan. Datuk Gampo Alam berteriak setinggi langit. Darah muncrat. Bahu kirinya
putus dan jatuh ke tanah. Tapi begitu potongan tangan itu menyentuh tanah, tiba-tiba
potongan itu melesat kembali ke tempatnya semula di pangkal bahu sang Datuk.
Bersamaan dengan itu Datuk Gampo Alam tertawa mengekeh.
“Kalian bermimpi kalau menduga bisa membunuh Datuk Gampo Alam!”
Habis berkata begitu sang Datuk sorongkan kepalanya ke depan. “Kau boleh menabas
batang leherku! Aku tidak akan melawan! Ha…ha….ha….”
“Kurang ajar!” kertak Andana. Sekali berkelebat dia babatkan Kapak Maut
Naga Geni 212. sinar putih menyilaukan berkiblat panas disertai suara keras seperti
ratusan tawon mengamuk. Yang dituju Andana benar-benar batang leher Pamannya
itu.
Craaaas!
Lagi-lagi darah menyembur begitu leher Datuk Gampo Alam putus.
Kepalanya jatuh dan menggelinding ke tanah. Dan pada saat kepala itu pula kepala ini
melesat kembali ke tempatnya semula! Leher yang putus bersambung kembali tanpa
kelihatan sedikit ciderapun!
Datuk Gampo Alam tertawa bergealk sementara Andana dan Wiro Sableng
tertegun saling pandang dengan muka pucat. Wiro tiba-tiba ingat pada keterangan
kakek sakti Tua Gila. Yaitu bahwa walau ditabas jadi berapa potonganpun Datuk
Gampo Alam tidak akan bisa mati selama tubuhnya atau kedua kakinya masih
menginjak bumi!
Hujan turun makin lebat. Udara mulai gelap karena di Barat sang surya siapi
tenggelam. Sementara itu dari arah Selatan Ngarai Sianok sebuah kereta meluncur
cepat ke arah tempat di mana Andana dan Wiro serta Datuk Gampo Alam berada.
“Apa yang harus kita lakukan?” Andana mendekati Wiro dan berbisik.
Murid Eyang Sinto Gendeng usap mukanya yang basah oleh air hujan.
“Seseorang pernah memberi tahu kelemahan ilmu manusia iblis ini. Kita harus
memancingnya….” Lalu Wiro berpaling pada Datuk Gampo Alam.
“Datuk ilmumu memang tinggi. Tapi sayang cuma sulapan belaka. Apa kau
berani untuk ditabas lehernya sekali lagi?!”
Datuk Gampo Alam menyeringai. “Kalian akan segera mampus di tanganku.
Tak ada salahnya mengikuti apa kemauan kalian barang sebentar. Silahkan kau mau
membacok dan menabas di bagian mana saja yang kau sukai!” Sambil tertawa
memandang enteng dengan sombongnya Datuk Gampo Alam sorongkan kepalanya ke
depan. Wiro berpaling pada Andana dan anggukkan kepalanya.
Tangan kanan Harimau Singgalang bergerak. Kapak Maut Naga Geni 212
berkelebat. Sinar menyilaukan berkiblat disertai deru keras dab hawa panas.
Crassss!
Untuk kedua kalinya leher Datuk Gampo Alam putus. Darah muncrat dan
kepalanya menggelinding jatuh di tanah. Saat itu pula Wiro melompat dan
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 71
menyambar pinggang sang Datuk. Tubuh orang ini kemudian dipanggulnya hingga
kedua kakinya tidak menginjak bumi!
Dari kepala yang tercampak di tanah terdengar suara Datuk Gampo Alam.
“Turunkan tubuhku! Turunkan aku ke tanah!” Tubuh yang dipanggul Wiro melejanglejangkan
kaki dan tangannya namun tidak berdaya untuk melancarkan serangan
karena gerakannya makin lama makin lemah.
Dalam ngeri dan tidak percayanya melihat apa yang terjadi Andana hanya bisa
tertegak diam. Suara teriakan Datuk Gampo Alam semakin perlahan dan mendelik.
Pada saat itulah sebuah kereta meluncur cepat dan berhenti di tempat itu. Dari atas
kereta terdengar jeritan perempuan.
“Bunga!” seru Andana.
Wiro berpaling. Bunga hampir pingsan melihat kepala ayahnya menggeletak
di tanah sedang tubuhnya yang lain dipanggul oleh Wiro. Dari kutungan leher
kelihatan darah mengucur.
“Demi Tuhan! Ya Allah! Apa yang terjadi! Jangan bunuh! Jangan bunuh dia!
Dia Ayah saya…..” Habis berteriak begitu Bunga tersungkur jatuh di tanah yang becek.
Dua mata Datuk Gampo Alam yang mendelik berputar ke arah Bunga dan menatap
gadis itu dengan pandangan aneh. Mulutnya terbuka. Tapi tak terdengar apa yang
diucapkannya.
Akan halnya Wiro, begitu melihat Bunga dan mendengar ucapan gadis tiu,
tubuh Datuk Gampo Alam yang dipanggulnya terjatuh lepas. Pada saat dua kaki sang
Datuk menyentuh tanah, tiba-tiba kutungan kepalanya melesat menuju lehernya! Sang
Datuk hidup kembali!
“Celaka!” seru Wiro. Andana bersurut mundur. Datuk Gampo Alam
memandang berkeliling lalu melangkah ke arah Bunga.
“Jangan dekati gadis itu!” teriak Andana.
Datuk Gampo Alam tidak perduli. Dia melangkah terus. Ada rasa takut di hati
Bunga ketika melihat Datuk Gampo Alam mendekatinya. Dia cepat berdiri.
“Bunga….. Tadi kau mengatakan aku…..aku….ini Ayahmu…..? Atau telingaku
salah mendengar?” Ucapan itu keluar dari mulut Datuk Gampo Alam.
“Manusia jahat sepertimu tidak mungkin menjadi Ayah gadis itu!” teriak
Andana seraya mendatangi. Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang ditusukkannya ke
dada sang Datuk.
“Kakak…. Demi Tuhan! Jangan bunuh dia! Sudahi semua permusuhan ini!
Datuk Gampo Alam adalah Ayah kandung saya……”
Pendekar 212 jadi garuk-garuk kepala. Andana ternganga dan membeliak tak
berkesip. Datuk Gampo Alam keluarkan jeritan keras. Lalu putar tubuhnya dan lari ke
arah sebuah bukit kecil di ujung Ngarai Sianok.
“Ayah! Kau mau kemana?!” teriak Bunga memanggil. Ketika dia hendak
mengejar Andana cepat memegang lengan gadis itu. “Ayah…..!”
Datuk Gampo Alam tidak perdulikan teriakan Bunga. Dia lari terus sampai
akhirnya tiba di atas bukit kecil. Pada saat itu terdengar guntur menggelegar. Langit
terang benderang. Petir tampak menyambar di puncak bukit. Bunga terpekik keras
ketika melihat bagaimana petir menghantam tubuh Ayahnya. Tubuh Datuk Gampo
Alam kelihatan mengepulkan asap lalu terbanting roboh ke tanah bukit.
“Ayah!” teriak Bunga. Kali ini Andana tak kuasa lagi menahan gadis itu. Dia
mengikuti lari Bunga dari belakang. Begitu juga Wiro. Mereka menuju ke puncak
bukit.
“Jangan!” kata Andana ketika Bunga hendak menjatuhkan diri memeluk tubuh
Datuk Gampo Alam yang masih sangat panas dan mengepulkan asap serta tak karuan
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 72
bentuknya itu. Anehnya sarung keris Tuanku Ameh Nan Sabatang tampak tergeletak
tak jauh dari mayat Datuk Gampo Alam. Ketika Bunga mendudukkan dirinya di tanah
dan menangis keras. Andana melangkah mengambil sarung keris itu. Lalu dia kembali
mendekati Bunga. Beberapa lamanya dipandanginya gadis itu. Lalu terdengar dia
berkata.
“Bunga….”
Bunga menurunkan kedua tangannya yang dipakai menutupi wajahnya.
“Saya harus pergi sekarang. Sahabat saya Wiro akan mengantarkanmu pulang.
Dia juga akan mengurusi jenazah Datuk Gampo Alam kalau dia memang Ayahmu….”
“Kakak hendak kemana?” tanya Bunga dengan lidah kelu.
“Saya belum tahu mau pergi kemana. Saya titipkan rumah gadang dan isinya
padamu…..”
Gadis itu berusaha berdiri hendak merangkul tubuh Andana. Tapi Harimau
Singgalang memutar tubuh dengan cepat dan meninggalkan bukit di tepi Ngarai
Sianok itu menuju ke Timur.
Tak ada perubahan pada telaga di Asahan itu. Suasana sejuk terasa
menyegarkan. Tiupan angin seolah memberikan kekuatan yang ajaib. Di ujung jalan
yang menurun Harimau Singgalang sudah dapat melihat gadis itu duduk
membelakanginya, menghadap ke telaga yang jernih. Seperti punya firasat kalau ada
seseorang tegak memperhatikannya dari kejauhan, Halidah berpaling.
Sesaat gadis itu tercengang. Bibirnya yang merah segar terbuka dan terdengar
suaranya berkata antara percaya dan tidak.
“Betul Abang yang saya lihat ini….?”
Andana tertawa lebar. Dia melangkah cepat-cepat sambil mengembangkan
kedua tangannya. Halidah tak dapat menahan hatinya lagi. Gadis ini berteriak lalu
tenggelam ke dalam pelukan hangat Andana.
“Jangan pergi lagi Bang. Jangan tinggalkan saya lagi untuk selamaselamanya….”
bisik Halidah. Air matanya terasa hangat di dada Andana.
“Abang tak akan pergi lagi Halidah. Tak akan Abang tinggalkan lagi kau untuk selama-lamanya,” bisik Andana lalu mencium dalam-dalam rambut hitam Halidah.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar