WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
74. Guci Setan
SATU
Lereng gunung Merbabu di satu malam buta tanpa bulan tanpa bintang.
Udara dingin bukan kepalang. Kegelapan menghitam di mana-mana. Di beberapa tempat bahkan sulit ditembus pandangan mata. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara lolongan anjing. Ketika angin malam bertiup segala sesuatunya laksana membeku dalam dingin yang luar biasa.
Sekali terdengar lolongan anjing di kejauhan. Tiba-tiba di selatan lereng gunung kelihatan ada yala api bergerak cepat sekali menuju ke timur.
Bersamaan dengan itu terdengar suara menderu tak berkeputusan seperti ada sesuatu yang menggerus menjalar perut gunung.
Lereng gunung Merbabu di satu malam buta tanpa bulan tanpa bintang.
Udara dingin bukan kepalang. Kegelapan menghitam di mana-mana. Di beberapa tempat bahkan sulit ditembus pandangan mata. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara lolongan anjing. Ketika angin malam bertiup segala sesuatunya laksana membeku dalam dingin yang luar biasa.
Sekali terdengar lolongan anjing di kejauhan. Tiba-tiba di selatan lereng gunung kelihatan ada yala api bergerak cepat sekali menuju ke timur.
Bersamaan dengan itu terdengar suara menderu tak berkeputusan seperti ada sesuatu yang menggerus menjalar perut gunung.
Dalam kegelapan yang kini mendapat
cahaya terang dari nyala api ternyata ada empat sosok tinggi besar
bergerak menuju ke timur. Sosok pertama adalah seorang
laki-laki berpakaian serba hitam. Baujnya tidak berkancing.
Dadanya kelihatan penuh ditumbuhi bulu lebat. Bulu ini juga
tampak di sepanjang kedua lengan dan kakinya. Tampangnya yang sangar
dan buas hampir tertutup oleh rambut gondrong awut-awutan, kumis
lebat riap-riapan menjuntai bibir serta brewok cambang bawuk
yang meranggas liar. Sepasang matanya kelihatan merah dan
berkilat-kilat oleh nyala api. Sebenarnya orang ini belum
mencapai usia empat puluhan namun keadaan dirinya yang seperti itu
membuat dia seperti sudah berumur hampir setengah abad.
Ada beberapa keanehan yang membuat
orang bergidik pada manusia satu ini, yang berlari di sebelah
depan. Di bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh perempuan
yang sudah tidak bernafas lagi alias sudah jadi mayat sejak dua minggu
lalu. Mayat ini tidak sampai rusak atau membusuk karena sebelumnya telah
disiram dengan sejsnis obat pengawet. Mayat yang didukung dan
dibawanya berlari itu adalah mayat seorang perempuan muda berwajah
cantik. Namun sepasang matanya yang membeliak menghapus
kecantikannya dan kini kelihatan sangat menyeramkan denga rambut
panjang riap-riapan. Apalagi pada lehernya terlihat sebuah luka
dalam melintang.
Lelaki tinggi besar ini ternyata
buntung kaki kirinya. Kaki yang buntung itu disambung dengan sebatang
besi. Pada batangan besi sebelah bawah terdapat sebuah roda bergerigi.
Dengan roda gerigi inilah dia meluncur di sepanjang lereng gunung dalam
kecepatan sungguh luar biasa hingga tiga orang di belakangnya
sering-sering
tertinggal jauh.
Dalam pelukan tangan kanannya orang
berpakaian serba hitam ini membawa sebuah guci yang bagian luarnya
berukir wajah-wajah setan seram, berselang seling dengan gambar
tengkorak manusia. Dari dalam guci keluar kepulan asap putih serta
lidah api. Nyala api inilah yang terlihat di kejauhan, menerangi
tempat-tempat yang dilalui dan terutama sekali menerangi tampang seram
orang itu.
Di sebelah belakang lelaki yang
memanggul mayat perempuan dan membawa guci berapi berlari cepat tiga
orang berpakaian serba merah. Tampang masing-masing tak kalah seram dan
buas. Yang satu memiliki wajah berwarna hitam. Satunya lagi
bertampang hijau sedang yang ketiga bermuka biru gelap.
Masing-masing mereka memanggul sebuah pikulan di bahu kanan.
Pada ujung pikulan di atas bahu tergantung sebuah keranjang yang
terbuat dari rotan.
“Ramada!” seru salah satu dari
ketiga lelaki yang berlari di belakang dan berwajah hitam pada
orang yang membawa mayat dan guci. “Kita sudah berlari serasa seabad.
Kuharap saja kita tidak pergi kea rah yang salah!” “Betul sekali
Ramada!” ikut membuka mulut lelkai bermuka hijau. “Kalau sampai
tersesat di gunung ini celakalah kita!” “Tenggorokanku sudah kering!
Nafasku seperti mau keluar dari ubun-ubun.
Apakah kita tidak bisa berhenti
barang sebentar?!” berkata lelaki berpakain merah ketiga yaitu
yang mukanya berwana biru gelap.
Sepertinya orang yang di sebelah depan
tidak akan menjawab. Namun sesaat kemudian terdengar suaranya keras dan
membuat tiga orang di belakangnya menjadi terdiam kecut.
“Kalian bertiga kurcaci-kurcaci
tolol! Dengar baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku Ramada tidak
akan tersessat di gunung ini. Aku tahu setiap sudut gunung merbabu ini
seperti aku mengenali kedua telapak tanganku! Siapa di antara kalian
yang merasa haus atau lapar, minum saja air kencingmu sambil berlari.
Makan kotoranmu sambil berlari!” Tiga lelaki berpakai merah jadi
terbungkam kecut.
“Aku ingin mendengar jawaban kalian!” Orang bernama Ramada berteriak.
“Maafkan kami Ramada!” kata ketiga orang itu berbarengan.
Ramada meludah ke tanah. Dia
terus meluncur di atas roda besinya. Tiga orang anak buahnya itu
mengikuti tanpa ada yang berani lagi membuka mulut.
Berlari sekitar sepenanakan nasi
di sebelah depan kelihatan kedip-kedip nyala api kecil. Ramada
segera melihat nyala api itu. Begitu juga tiga orang di belakangnya.
Mereka berlari lebih kencang menuju nyala api itu. Ketika didekati
ternyata adalah nyala sebuah obor kecil yang berkalp kelip pertanda
minyaknya hampir habis. Obor ini tergantung pada sebuah tiang
besi sebuah bangunan beratap seng yang sekelilingnya dibatasi
dengan pagar besi setinggi tubuh manusia dan pintunya
digembok sampai tiga buah. Di bawah
atap seng itu berjnutai banyak sekali sarang labah-labah. Ada enam ekor
labah-labah besar kelihtan mendekam dalam dinginya udara malam.
Sebuah makam terbuat dari batu tampak
menghitam angker dalam bangunan beratap seng itu. Di atas makam ada
taburan bunga yang sudah layu. Di samping kiri makam di atas sebuah
batu rendah panjang tampak duduk bersila seorang lelaki
berjanggut dan berkumis putih. Wajahnya yang tertunduk tidak begitu
jelas terlihat. Blangkon dan pakaian hitam yang dikenakannya
sudah tua dan lusuh. Orang ini duduk bersila memejamkan mata.
Kedua tangan ditumpangkan di atas bahu. Kalau dia tengah bersemedi maka
ini adalah cara bersemedi yang aneh.
Ramada menggerakkan kepalanya
hingga keringat yang membasahi tambutnya berlesatan ke udara. Dia
berpaling pada tiga orang di belakangnya. “Kita tidak salah
datang ke tempat tujuan. Ini pastilah makam Pangeran Banowo dan
orang yang bersemedi itu pasti kuncen penjaga makam. Namanya Ki Ageng
Lentut.”
Tiga orang lelaki berpakaian merah
hanya menganggukkan kepala. Sejak dibentak tadi meraka belum berani
membuka mulut lagi. Takur salah berucap. Ramada maju mendekati pintu
besi yang digembok tiga. Dia mendehem keras-keras lalu berkata dengan
suara keras.
“Ki Ageng Lentut, salam bagimu. Salam
juga bagi penghuni makam. Sesuai petunjuk aku datang untuk meminta
penjelasan atas beberapa hal yang tidak aku ketahui!” Orang
yang duduk di samping makam tidak bergerak. Kepalanya masih
tertunduk dan tangannya masih terletak di atas bahu.
Ramada menunggu sebentar. Ketika
tak kunjung ada gerakan atau jawaban dari orang di samping
makam maka diapun berteriak lebih keras, mengulang ucapannya
tadi. Tapi orang di samping makam tetap saja tidak bergerak dan tidak
memberikan jawaban.
Ramada mulai jengkel. “Sialan! Tidur lelap atau mungkin tuli dia agaknya!”
Dia berpaling pada salah seorang anak
buahnya dan berkata “Jalak Item. Amil batu itu dan lemparkan pada si
kuncen. Arah kepalanya biar dia tahu rasa!” Orang yang bernama
Jalak Item yang mukanya memang berwarna hitam sesaat tampak
bimbang. “Ramada….” Katanya setengah berbisik, “aku kawatir kita
berlaku kurang ajar dan menyalahi aturan. Kuncen itu….” “Setan! Kataku
ambil batu di dekat kakimu itu dan lempar kuncen penjaga kuburan itu!”
bentak Ramada.
Jalak Item terpaksa membungkuk. Begitu
menggenggam batu dia tidak segera melempar. Hatinya berdebar. Dia
memandang pada kedua temannya Jalak Ijo dan Jalak Biru. Kedua
orang ini hanya bisa dia tak berani memberi isyarat ataupun
mengeluarkan ucapan.
“Jalak Item! Kau tunggu apa lagi!” bentak Ramada.
Jalak Item akhirnya garakkan tangannya
yang memegang batu. Batu sebesar kepalan itu dilemparkannya kea rah
kepala kuncen yang tengah bersemedi di samping
makam. Jalak Ijo dan Jalak Biru menahan nafas sementara Ramada tampak menyeringai.
Sejengkal lagi batu besar itu akan
menghantam kepala kuncen tiba-tiba secara aneh batu itu berbalik
mencelat kencang kea rah Jalak Item.
“Jalak Item! Awas kepalamu!” teriak Jalak ijo.
Jalak Item cepat melompat mundur
sambil menundukkan kepalanya. Tapi terlambat. Batu itu datangnya
secepat setan berkelebat. Lalu menghantam mata kiri Jalak Item dengan
telak.
Crrooootttt!
Batu besar menghancurkan mata kiri
Jalak Item. Darah dan hancuran mata muncrat keluar. Jeritan Jalak
Item setinggi langit. Dia jatuh terduduk di tanah dan berguling-guling
beberapa kali. Ramada cepta mendatangi. Dia menotok salah satu bagian
leher anak buahnya itu. Rasa sakit serta merta lenyap tapi darah masih
terus mengucur dari matanya yang hancur, menutupi sebagian muka
Jalak Item hingga tampak mengerikan.
Dari arah makam tiba-tiba terdengar suara tertawa mengekeh.. Disusul suara orang menegur.
“Tamu-tamuku yang terhormat, apakah kalian mendapatkan kesulitan?
Mungkin aku isa membantu?!”
Jalak Ijo dan Jalak Biru melengak.
Jalak Item cepat duduk sambil mendekap mata kirinya sementara tangan
kanannya menjangkau pikulannya.
Ramada memalingkan kep[ala kea rah
makam. Kuncen berkumis dan berjanggut putih itu dilihatnya masih
seperti tadi. Duduk tak bergerak dengan kepala tertunduk.
“Hemmm…. Kalau bukan dia
tadi yang bicara siapa lagi?” kata Ramada dalam hati. “Jika saja
aku tidak sangat membutuhkan dirinya akan kulumat sekujur tubuhnya
anjing keparat ini saat ini juga!” Setelah memaki begitu Ramada
keluarkan tawa panjang lalu berkata.
“Ki Ageng Lentut, ternyata nama besarmu bukan hisapan jempol belaka!”
“Tamu-tamu yang datang dari
jauh, mengapa tidak masuk ke sini!” Kuncen dekat makam berkata.
Kepalanya terangkat sedikit. “Cepatlah masuk. Aku tidak akan menerima
tamu pada saat obor di tiang timur habis minyaknya dan padam!” “Terima
kasih. Kami berempat akan segera masuk. Tapi bagaimana ini. Pintu
pagar makam terkunci. Ada tiga gembok besar menghalangi. Apakah
harus kuremukkan dulu dengan tangan kosong?!” ujar Ramada.
DUA
Dari arah makam terdengar suara mengekeh sang kuncen yang bernama Ki
Ageng Lentut itu. Kembali kepalanya tengakat sedikit.
“Aku tahu kehebatan tangan dan kesaktianmu. Siapa yang tidak kenal Ramada Suro Jelantik, raja di raja tokoh persilatan darai timur. Aku yakin kau bisa
Dari arah makam terdengar suara mengekeh sang kuncen yang bernama Ki
Ageng Lentut itu. Kembali kepalanya tengakat sedikit.
“Aku tahu kehebatan tangan dan kesaktianmu. Siapa yang tidak kenal Ramada Suro Jelantik, raja di raja tokoh persilatan darai timur. Aku yakin kau bisa
menghancurkan tiga buah
gembok besar itu dengan tangan kosong. Tapi apakah ada gunanya? Merusak
itu tidak ada manfaatnya! Lagi pula tiga buah gembok itu adalah
benda-benda pusaka yang usianya hampir dua kali usiamu!” Dalam
hatinya Ramada jadi tercekat. “Kenalpun sebelumnya tidak. Dari tadi dia
hanya menundukkan kepala, tidak mungkin melihat tampangku dengan jelas.
Tapi bagaimana dia tahu nama dan diriku? Benar-benar manusia
berkepandaian tinggi!” “Kuncen makam Pangeran Banowo bernama Ki
Ageng Lentut. Bagaimana kau bisa tahu bahwa yang datang ini aku
Ramada Suro Jelantik?” Ramada tak dapat menahan rasa ingin tahunya.
Sang kuncen di samping makam tertawa perlahan.
Sang kuncen di samping makam tertawa perlahan.
“Di dunia ini siapa
manusianya yang berjalan laksana angin di atas roda besi yang hebat
kalau bukannya Ramda Suro Jelantik? Dari jauh kudenar suara alat yang
mampu membuatmu berlari dengan kecepatan setan! Lalu kucocokkan dengan
bau badanmu! Tidak salah lagi. Kau memang Ramada Suro Jelantik!”
Ramada memaki lagi dalam hati lalu menarik nafas dalam dan
akhirnya menyeringai.
“Ki Ageng Lentut,
kuncen makam Pangeran Banowo. Kami ingin masuk, harap kau suka
membuka tiga buah gembok!” Akhirnya Ramada berkata.
“Baiklah, aku akan bukakan pintu pagar!” Kuncen di samping makam angkat tangan kanannya lalu digerakkan tiga kali.
Trekk….terkk…..treekkkk!
Terdengar suara
berkereketan tiga kali berturut-turut. Tiga buah gembok besar di pintu
pagar makam tampak tersentak-sentak lalu terbuka secara aneh. Bersamaan
dengan itu pintu besi yang berat bergeser membuka dengan
mengeluarkan suara berkereketan.
“Para tamu dari jauh silakan masuk….” Terdengar kuncen makam berkata.
Tanpa ragu-ragu Ramada
melangkah melewati pintu. Jalak Ijo dan Jalak Biru mengikuti dari
belakang. Jalak Item yang masih terduduk di tanah berkata “Aku tidak
ikut masuk. Kuncen keparat itu telah menghancurkan dan membutakan mata
kiriku!” Dari arah makam sang kuncen menyahuti. “Setiap amal
perbuatan ada ganjarannya. Kalau baik akan mendapatkan ganjaran
yang baik. Kalau jahat akan mendapatkan balasan yang jahat. Tinggal
manusia mau memilih yang mana. Kalau sampeyan tidak mau diajak masuk,
siapa mau memaksa…?” “Sudah! Kau tinggal saja di luar sana Jalak
Item!” kata Ramada pada anak buahnya itu lalu meneruskan langkah masuk
ke dalam makam.
Ki Ageng Lentut
mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Kini kelihatan wajahnya lebih
jelas. Satu wajah tua kelimis dengan janggut dan kumis putih yang
terpelihara rapi. Keningnya tinggi dan rahangnya tampak kokoh.
“Ramada, aku tak mengira banyak sekali bawaanmu,” kata Ki Ageng Lentut.
Pandangannya menyambar ke arah guci batu yang ada dalam dekapan tangan kanan
Ramada. “Dan bukan Ramada namanya kalau tidak membawa benda-benda aneh.
Kau boleh meletakkan jenazah yang diawetkan itu di atas makam dan letakkan guci itu dekat batu tempat dudukku!”
“Maafkan aku Ki Ageng Lentut. Jenazah ini bias kuletakkan di atas makam.
Tapi guci ini biar tetap kupegang di tangan kanan….!” Kata Ramada Suro Jelantik.
Sang kuncen tersenyum.
“Ah, rupanya guci itu jauh
lebih berharga dari jenazah perempuan muda dan cantik yang kau bawa.”
“Kira-kira begitu Ki Ageng Lentut,” jawab Ramada.
Sang kuncen usap janggut
putihnya sambil menatap ke arah guci yang ada dalam dekapan tangan
kanan Ramada. Pandangannya beralih ke arah mayat yang terbujur
di atas makam. Lalu dia bertanya “Ramada, mayat siapakah yang kau bawa
ini?” “Mayat istriku Ki Ageng….” Ki Ageng Lentut keluarkan seruan
tertahan disertai pandangan mata seperti tidak percaya. Lalu
digeleng-gelengkannya kepalanya.
“Ah, rupanya tokoh besar dunia persilatan dating membawa nasib malang.
Aku turut berduka
Ramada. Namun apakah sebenarnya yang telah terjadi? Aku melihat
istrimu mati dengan sepasang mata mendelik. Lalu ada luka besar di
dekat lehernya. Setahuku istrimu menguasai ilmu silat dan
kesaktian yang tidak rendah.
Bagaimana mungkin dia bisa menemui ajal seperti ini? Bebanmu berat amat Ramada.
Membawa mayat istrimu
kemana-mana…..” “Aku akan membawanya sampai ke neraka sekalipun.
Aku tidak akan menguburnya sebelum menemukan pembunuhnya!”
“Jadi istrimu mati dibunuh orang!”
“Betul sekali Ki Ageng.
Aku berusaha mencari tahu siapa orangnya. Tapi sampai saat ini
masih gelap. Itu sebabnya aku datang dari jauh untuk menemuimu guna
mendapat petunjuk! Itu pula sebebnya aku membawa guc keramat yang
bernama Guci Setan ini. Menurut banyak orang hanya kau yang bisa
melihat kealam ghaib lewat guci ini.” Kuncen makam Pangeran Banowo
itu memandangi guci di tangan Ramada dengan sepasang mata
berkilat-kilat.
“Guci Setan…..” desisnya.
“Sudah lama aku mendengar nama benda ini. Guci misterius yang bisa
mendatangkan sejuta kebajikan tapi juga bisa menimbulkan sejuta angkara
murka! Guci yang selama ratusan tahun gentayangan dari satu tangan
orang pandai ke tangan orang pandai lainnya. Menjadi rebutan
dalam dunia persilatan.
Bagaimana benda keramat ini
sampai berada di tanganu Ramada?” “Panjang ceritanya Ki Ageng.
Harap dimaafkan, aku datang kemari bukan untuk menuturkan riwayat
Guci Setan ini, tapi untuk minta bantuanmu, tolong melihat lewat guci,
siapa kiranya manusia keparat yang telah membunuh istriku.” “Jika itu
maksud tujuanmu, aku akan membantu. Mudah saja melakukannya.
Memang hanya aku yang mampu
untuk melihat dan menembus kea lam gaib lewat guci sakti itu. Letakkan
guci itu di hadapanku Ramada.” “Tidak Ki Ageng. Apapun yang akan kau
lakukan guci ini tetap harus berada dalam dekapanku,” jawa Ramada Suro
Jelantik.
Kuncen tua itu tersenyum. “Kau tidak percaya padaku rupanya Ramada?”
“Kepercayaan di atas
dunia ini kini hanya setipis embun pagi Ki Ageng. Terserah, kau
mau menolongku dengan cara begini ataau aku akan pergi saja.”
“Baiklah, jika kau memang lebih suka begitu aku tidak akan
membantah.
Sekarang katakana berapa
banyak harta dan uang yang akan kau berikan padaku sebagai upah
melakukan permintaanmu?” Ramada Suro Jelantik menyeringai.
Dirabanya janggut dan cambang bawuknya yang meranggas kasar.
“Kau lupa Ki Ageng. Aku sudah membayarnya tadi!”
“Eh, apa maksudmu Ramada?” tanya kuncen makam terheran-heran.
“Aku sudah membayar dengan
mata kiri anak buahku yang kau bikin hancur hingga kini dia menjadi
cacat buta seumur hidup! Apa itu belum cukup?!” Berubahlah paras Ki
Ageng Lentut. Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu tapi
cepat dipotong oleh Ramada. “Aku tahu, kau akan berkata kejadian itu
akibat salah anak buahku sendiri! Tapi ketahuilah bukan begitu cara
mengingatkan sahabat dalam dunia persilatan! Batu yang dilemparkannya
bisa saja kau buat mental ke jurusan lain! Bukan utnuk menghantam
matanya hingga cidera seperti itu!” Ki Ageng Lentut terdiam. Lalu dia
berkata “Kurasa aku….”
Ramada Suro Jelantik
menjentikkan jari-jari tangannya pada Jalak Ijo. “Jalak Ijo, kurasa
binatang peliharaanmu sudah cukup lapar. Ada enam labah-labah gemuk di
atas atap makam. Mengapa kau tidak menyuruhnya menyantap tiga
dari enam labah-labah itu?” Jalak Ijo menyeringai. Pikulan di atas
bahunya diturunkan. Keranjang yang ada di ujung pikulan
diletakkannya di atas pangkuannya. Perlahan-lahan penutup
keranjang rotan itu dibukanya. Begitu penutup keranjang terbuka
tiba-tiba melesat sebuah benda panjang berkepala lebar pipih, berwarna
hijau disertai suara mendesis.
“Ular Kobra!” seru Ki Ageng
Lentut dengan muka pucat dan bersurut jauh di atas batu yang
didudukinya. “Ramada, jangan main-main. Binatang itu sangat beracun.
Sekali patuk saja jangankan manusia. Gajah saja pasti mati! Jauhkan
binatang celaka itu dariku! Aku sangat bendi pada segala macam ular!”
Ramada tersenyum lebar. Dia melirik pada Jalak Ijo.
“Ayo tunggu apa lagi. Beri
makan ular kobramu. Walau cuma tiga ekor labah-labah. Lebih baik dari
pada harus mematuk kepala kuncen makam ini!” Jalak Ijo yang memegang
keranjang rotan berisi ular kobra betina mengetuk keranjang itu tiga
kali seraya berkata “Ratu hijau. Lihat tiga ekor labah-labah gemuk di
atas atap sana. Itu rejekimu saat ini. Santaplah!” Kobra hijau di dalam
keranjang menaikkan kepalanya lurus-lurus. Tiba-tiba binatang ini
melesat ke atas. Ketika kemudian dia kembali masuk ke dalam keranjang,
di bawah atap seng tiga ekor labah-labah gemuk lenyap dari tempatnya
semula! Jalak Ijo Menyeringai. Perlahan-lahan penutup keranjang rotan
ditutupkannya kembali.
Kuncen makam Pangeran Banowo
tak berani bergerak. Berkesippun hampir tidak dilakukannya. “Ular
beracun itu kecepatannya seperti setan. Aku harus berhati-
hati. Mungkin belum saatnya
aku menjalankan rencana….” Selagi kuncen berpikir begitu terdengar
Ramada Suro Jelantik berkata pada anak buahnya yang seorang lagi.
“Jalak Biru, kukira binatang peliharaanmu juga sudah lapar.
Sayang hanya tingal tiga ekor labah-labah di atas sana.
Bagaiman pendapatmu?” “Biar mereka berebut rejeki
sendiri-dendiri. Siapa yang lebih cepat akan mendapat santapan
enak,” jawab Jalak Biru. Lalu dengan hati-hati diturunkannya
pikulannya dari bahu. Keranjang rotan yang tesangkut di ujung
pikulan itu diletakkannya di lantai makam. Perlahan-lahan dibukanya
penutup keranjang. Begitu penutup terbuka menjalar keluar tujuh
ekor kelabang berwarna biru. Kepala, kaki-kaki dan ekornya
bergerak kian kemari.
Kembali Ki Ageng Lentut
bergidik dan bersurut mundur di atas batu yang didudukinya.
Ramada tersenyum dan berkata “Ki Ageng, kebuasan dan jahatnya
racun tujuh Kelabang Biru itu tidak kalah dengan Ratu Hijau tadi. Jangan
sampai kau membuat erakan yang keliru. Salah-salah kau bisa mereka
serang!” “Kalian membawa binatang-binatang celaka!” kaata Ki
Ageng Lentut tak berani keras-keras.
“Jalak Biru. Beri makan binatang peliharaanmu!” kata Ramada pula.
Jalak Biru mengetuk penutup
keranjang rotan tiga kali lalu berkata “Sarapan malam cuma ada tiga.
Terserah bagaimana kalian mau merebutkannya!” Lalu Jalak BIru meniup
kea rah keranjang. Tujuh ekor kelabang biru itu mengeluarkan
suara aneh lalu ketujuhnya melesat ke atas. Tiga yang melesat
lebih cepat berhasil menyambar tiga ekor labah-labah. Yang
keempet jatuhkan diri kembali ke dalam keranjang rotan. Selesai
menelan mangsanya, tiga kelabang biru tadi baru turun pula ke dalam
keranjang. Jalak Biru cepat menutup keranjang rotan itu kembali. Ki
Ageg Lentut menarik nafas lega. Nyawanya yan gtadi terasa terbang kini
seperti kembali lagi.
“Ki Ageng Lentut, apakah
kau masih ingin meminta bayaran?” bertanya Ramada pada sang
kuncen. Orang tua berjanggut dan berkumis putih itu gelengkan kepalanya
berulang kali dengan wajah pucat.
“Nah sekarang pergunakan kepandaianmu untuk melihat kea lam gaib. Siapa yang telah membunuh istriku.” Kata Ramada pula.
“Baik, baik. Akan
kulakukan,” kata si kuncen ketakutan. Dia trun dari batu tempatnya
duduk lalu berdiri di hadapan Ramada yang mendekap guci berapi
itu dalam gelungan tangan kanannya.
Mula-mula Ki Ageng
Lentut meletakkan kedua telapak tangannya di atas mulut guci yang
mengepulkan asap putih dan ada jilatan apinya. Lalu kedua matanya
dipejamkan. Multunya berkomat kamit. Beberaa saat kemudian
kelihatan sekujur tubuh kuncen itu bergetar keras. Kedua telapak
tangannya yang ada di atas mulut guci ikut bergetar. Lalu dari mulutnya
meluncur ucapan-ucapan “Guci Setan guci keramat.
Petunjuk bumi petunjuk langit. Lenyap asap padamlah api. Muncullah air keramat.
Ada orang ingin minta pertolongan. Sudi kiranya penguasa guci memberi jawaban memberi petunjuk.”
Beberapa saat berlalu.
Tiba-tiba Ramada, Jalak Ijo dan Jalak Biru melihat begaimana
sekujur tubuh Ki Ageng Lentut berubah menjadi sangat hitam. Kulitnya
tampak mengeriput dan wajahnya jadi sangat mengerikan. Hidung dn kedua
matanya membesar. Telinganya mencuat panjang ke atas dan gigi-giginya
menyembul panjang besar. Lalu dari multunya keluar suara aneh. Bukan
suaranya. Tapi suara lain, halus menggeletar.
“Aku penghuni dan penguasa
Guci Setan. Anak manusia apa yang ingin ka tanyakan? Tapi katakan dulu
siapa namamu.” Sesaat Ramada memandang tercekat pada perubahan yang
terdiri atas wajah dan keadaan tubuh kuncen penjaga makam itu.
Demikian juga dengan dua anak buahnya yaitu Jalak Ijo dan Jalak
Biru.
“Penghuni dan penguasa Guci Seetan. Namaku Ramada Suro Jelantik….”
“Apa keperluanmu Ramada?” tanya sang kuncen yang kini punya bentuk dan suara lain.
“Aku ingin mengetahui siapa pembunuh istriku,” jawab Ramada.
Terdengar suara mengekeh.
“Setahuku kau punya
empat istri Ramada. Istrimu yang mana yang dibunuh orang?”
Sesaat paras Ramada nampak berubah. Dia berdehem beberapa kali
lalu menjawab. “Istri tua dan istri keduaku minggat entah
kemana. Istri ketiga sudah kucerai karena main gila dengan orang
lain…”
“Ah, jadi istri mudamu rupanya yang dibunuh orang!” kata si penghuni Guci Setan.
“Siapa nama istrimu yang malang itu?”
“Namanya Dardini….”
“Hemm….jadi kau ingin tahu siapa nembunuhnya?”
“Betul. Siapa orangnya dan dimana aku bisa mencarinya!” jawab Ramada.
Kuncen itu melangkah
lebih dekat pada Ramada. Kedua telapak tangannya diletakkan di
atas mulut guci dimana kepulan asap dan jilatan lidah api.
Kalau Ramada telah membuktikan kehebatannya sanggup memegang dan
mendekap guci yang panas tanpa cidera, maka kuncen makam
memperlihatkan kesaktiannya dimana kedua tangannya sama sekali tidak
apa-apa walaupun dijilati api.
“Api di dalam guci, penghuni dan penguasa guci meminta kau untuk pergi.
Air di alam gaib. Masuk dan
isilah Guci Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak melihat ke dalam
alam gaib…… Ada anak manusia membutuhkan pertolongan.” Baru saja kuncen
itu berkata begitu perlahan-lahan api di dalam guci mengecil.
Bersamaan dengan itu kepulan asap putih menghilang.
Lalu dari dalam guci
terdengar suara seperti ada air dicurahkan. Ramada merasa guci
yang dipegangnya itu menjadi lebih berat. Dia membuka matanya
lebar-lebar dn memandang ke dalam guci. Astaga! Di dalam guci itu kini
kelihatan ada air yang tingginya sampai setengah badan guci. Air ini
secara anh berputar-putar dena bersamaan dengan itu terdengar suara
aneh seperti tiupan angin halus di dalam guci.
TIGA
Ki Ageng Lentut mendorong kepala Ramada yang menghalangi pemandangannya.
Lalu memandang ke dalam guci.
“Air keramat dan angin sakti
telah muncul. Penguasa guci telah melihat dan mendengar. Sekarang
perlihatkan mukjizatmu. Ada seorang anak manusia bernama Ramada Suro
Jelantik kematian iatri bernama Dardini. Perempuan muda itu mati
dibunuh orang. Perlihatakan kesaktianmu padaku. Tunjukkan
padaku siapa sang pembunuh!” Putaran air aneh di dalam guci semakin
keras begitu juga tiupan angin halus.
Guci bergoncnag keras. Ramada terpaksa memegang Guci Setan itu erat-erat agar tidak terlepas dari dekapannya.
Perlahan-lahan putaran
air dalam guci mulai surut. Bersamaan dengan itu suara tiuapan
angin halus mulai lenyap. Kuncen Ki Ageng Lentut pejamkan kedua
matanya. Ketika mata itu dibuka kembali dan menatap ke dalam guci,
kelihatan air dalam guci tak bergereak lagi. Bibir sang kuncen
kelihtan bergerak-gerak. Dia tengah melafazkan sesuatu agaknya. Lalu
terdengar dia berucap.
“Aku penghuni dan
penguasa Guci Setan. Aku mulai melihat bayangan seseorang di
permukaan air dalam guci. Jauh samar-samar. Mendekat mulai
jelas. Makin jelas….tambah jelas. Ah…..ternyata seorang pemuda…..”
“Kuncen, kau mengenali siapa pemuda itu?!” tanya Ramada Suro
Jelantik yang rupanya sudah tidak sabar utnuk mengetahui siapa adanya
orang yang membunuh istrinya.
Sang kuncen yang
wajahnya dan kulitnya telah berubah hitam mengerikan menggeram
pendek. “Manusia anjing!” meluncur makina dari mulutnya. “Sekali lagi
kau berani menyelak bicara, kupevahkan kepalamu!” “Bangsat sialan!”
maki Ramada Suro Jelantik, tapi hanya dalam hati. Ingin dia merobek
mulut kuncen tua itu.
“Maafkan aku….” Ujar Ramada dengan suara bergetar menahan marah lalu mengusap mukanya yang keringatan.
Ki Ageng Lentut menurunkan kepalanya, memandang kembali ke dalam guci.
“Betul…..memang seorang
pemuda. Berambut gondrong sebahu….. Keningnya diikat setangan warna
putih. Dia juga mengenakan pakaian putih…. Hemmmm…..lagaknya sombong
sekali. Cengar-cengir seperti orang kurang waras….” Ki Ageng Lentut
mengangkat kepalanya. “Ramada, itu yang aku lihat di permukaan
air dalam guci. Pembunuh istrimu adalah seorang pemuda berambut
gondrong, mengenakan pakaian putih….” “Jauh-jauh aku datang
menempuh hujan dan teriknya matahari. Kau hanya bisa memberi tahu
seperti itu! Sama sekali tidak ada gunanya bagiku! Persetan! Ada
ratusan orang berpakaian putih! Ada ratusan orang berambut
gondrong! Kuncen makam Pangeran Banowo, kau benar-benar
mengeewakan aku. Ilmu kesaktianmu yang pandai mengetahui seribu satu
macam kejadian yang sudah lalu maupun yang akan datang ternyata omong
kosong belaka!” Kuncen tua itu tertawa. “Manusia Anjing! Ucapanku belum
selesai. Kau sudah
memotong! Katakan aku yang
salah atau kau yang tolol tidak tahu peradatan?!” “Lalu apa lagi yang
hendak kau katakan? Apakah kau tidak bisa mengenali siapa adanya pemuda
itu?!”
Ki Ageng Lentut
usap-usap janggutnya lalu rapikan blangkon hitamnya. Sesaat
setelah dia menatap lekat-lekat pada Ramada, kuncen ini kembali melihat
ke dalam guci.
“Hemmm….angin meniup baju
pemuda yang tak terkancing. Dada penuh otot, tanda kekuatan yang
hebat. Eh, apa itu….. Aku melihat sesutau di pertengahan
dadanya. Ada rajah tiga buah angka di dada itu. Angka 2….1….2….! 212!”
Paras Ki Ageng Lentut berubah keras membesi. Dia mengangkat
kepala, menatap manusia bernama Ramada Suro Jelantik. “Anak manusia
bernama Ramada. Aku sudah tahu siapa pembunuh istrimu…. Tak pelak lagi.
Rajah tiga angka itu! Dia adalah Wiro Sableng. Tokoh silat muda yang
dikenal dengan gelaran Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!
Benar-benar tidak disangka! Pendekar yang begitu diagung-agungkan
ternyata adalah seorang pemerkosa dan pembunuh keji biadab!” Tampang
angker Ramada Suro Jelantik tampak seganas harimau lapar yang terluka.
Sekujur tubuhnya bergeletar.
“Pendekar 212 keparat!Akan kutebas batang lehermu! Kuminum darahmu!
Kulumat sekujur tubuh dan
tulang-tulangmu!” teriak Ramada. Dalam amarah yang mendidih tidak
terkendali lagi tangan kirinya bererak memukul ke samping.
Tiang besi penyanggah atap seng bangunan makam putus dihantam pukulan Ramada.
Atap di atasnya langsung jatuh miring. Kuncen makam hendak memaki marah tapi
Ramada lebih dahulu membentak garang hingga mulut sang kuncen seperti terkancing.
“Jadi dia pembunuhnya!
Kuncen! Lihat lagi k edalam guci! Pergunakan kepandaianmu untuk
melihat dimana pemuda keparat itu saat ini berada!” Perlahan-lahan Ki
Ageng Lentut kembali melihat ke dalam guci. “Aku lihat pemandangan
seperti ada laut. Pantai…. Pemuda pembunuh itu berada di pantai. Tapi
tak dapa kupastikan apakah dia berada di pantai Utara atau di pantai
Selatan…..”
“Kuncen!”
“Tunggu dulu! Dalam guci
aku melihat gambaran apa yang telah terjadi dengan istrimu. Aku
melihat satu bangunan kayu di sebuah lembah yang ada danau kecil di
depannya….”
“Itu tempat kediamanku!!” kata Ramada pula.
“Gelap….. PErtanda saat itu malam hari. Ada bayangan putih berkelebat.
Orang ini menerobos
masuk ke dalam sebuah kamar lewat jendela. Ada seorang
perempuan berbaring tidur di atas ranjang…” “Itu pasti istriku
Dardini!” kata Ramada tegang. Kedua tangannya dikepalkan.
Ki Ageng Lentut memandang kembali ke dalam guci. “Istrimu terbangun…..
Terjadi perkelahian tapi
singkat sekali. Orang yang masuk berhasil menotok perempuan itu.
Dalam keadaan tak berdaya dia dibaringkan di atas ranjang. Seluruh
pakaiannya dibuka dengan paksa. Lalu….. Ya ampun….. Orang itu
memperkosa istrimu Ramada…..”
“Jahanam!” teriak Ramada sambil tegak berdiri. Dia seperti hendak mengamuk.
Tapi Ki Ageng Lentut cepat berkata.
“Duduk kembali Ramada.
Apa yang kulihat di dalam guci ini belum selesai….” Untuk
beberapa saat lamanya Ramada masih tetap berdiri dengan sekujur
tubuh bergetar dan keringatan. Kemudian akhirnya dia duduk
kembali di hadapan kuncen itu. Sang kuncen melihat lagi ke dalam
guci. “Betul Ramada dia memperkosa istrimu. Tapi lihat! Istrimu
tiba-tiba bisa melepaskan totokannya.
Hebat sekali!
Kembali terjadi perkelahian.
Istrimu berhasil mendesak pemuda itu. Eh, apa itu? Aku melihat ada
cahaya menyilaukan berkiblat. Hemmm, si pemuda ternyata
mengeluarkan sebuah senjata. Sebuah kapak bermata dua! Jelas
ini adalah Kapak Maut Naga Geni 212! Istrimu tidak berdaya menghadapi
senjata sakti itu Ramada. Satu bacokan mendarat dekat pangkal
lehernya….. Istrimu roboh.
Pemuda itu melarikan diri….”
Geraham Ramada terdengar
bergemeletukan. “Bangsat itu tak akan bisa lari terus. Aku akan
segera menemukannya. Coba kau lihat ke dalam guci Ki Ageng!
Bantu aku menemukan pendekar
jahanam itu!” “Sudah kubilang tadi Ramada. Dia saat ini berada di
daerah pantai. Mungkin di Selatan, mungkin juga di Utara. Ad satu cara
untuk memancing kemunculannya.
Pergi ke puncak gunung Gede
kediaman gurunya. Seorang nenek sakti bernama Sinto Gendeng. Bunuh
tua bangka itu. Masakan Pendekar 212 tidak akan keluar dari
sarangnya mengunjukkan diri untuk mencarimu?! Aku sudah letih
Ramada. Aku penghuni dan penguasa Guci Setan segera akan kembali ke
alam gaib. Kapan saja kau ingin petunjukku lebih lanjut kau boleh
menghubungiku…” “Tunggu dulu!” kata Ramada setengah berteriak.
Ki Ageng Lentut yang kemasukan roh aneh itu tidak perdulikan teriakan orang.
Kedua tangannya
diletakkan di atas mulut guci. Mulutnya komat kamit. Kulitnya
yang tadi hitam pekat dan berkeriput kini berubah kembali ke
warna asalnya. Wajahnya yang mengerikan juga kembali ke rupa aslinya.
Hidung dan kedua matanya yang tadi membesar kini mengecil lagi. Begitu
juga telingnya yang mencuat dan gigi-giginya yang menyembul besar,
kembali ke bentuk semula.
Dari dalam guci kelihatan
asap putih mengepul. Bersamaan dengan itu tampak lidah api menjilat
keluar. Perlahan-lahan kuncen itu melangkah mundur, lalu duduk di atas
batu. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Suaranya yang tadi
halus menggeletar kini terdengar seperti semula.
“Ramada…. Kau sudah
mendapatkan apa yang kau inginkan. Tubuhku letih, aku ingin bersemedi
dan tidur dalam semediku. Kuharap kau dan anak buahmu segera angkat
kaki dari tempat ini.” “Ki Ageng Lentut, aku…..” Ramada Suro
Jelantik hentikan ucapannya. Dilihatnya sang kuncen saat itu
pejamkan kedua mata, kaki disilangkan di atas batu dan kedua tangannya
diletakkan di atas bahu.
“Sialan!” maki Ramada. Dia
meludah ke lantai makam lalu berdiri. Dengan bantuan Jalak Ijo dan
Jalak Biru mayat kaku istri mudanya dinaikkan ke atas bahu kirinya.
Di tangan kanannya Ramada memegang guci erat-erat. “Sialan!”
makinya lagi. “Kita harus segera pergi dari sini. Kalian harus
mencari kuda tunggangan.
Gunung Gede jauh di sebelah Barat.” “Kita pasti akan mendapatkan kuda begitu sampai di kaki Gunung Merbabu,” kata Jalak Ijo.
Di depan makam Jalak Item
masih terduduk di tanah. Meski darah tidak lagi mengucur dari mata
kirinya yag hancur namun rasa sakit membuat dia mengerang
terus-terusan.
“Kau mau ikut atau tinggal di sini?!” betnak Jalak Biru pada temannya itu.
Perlahan-lahan Jalak Item
berdiri. Dia tidak segera mengikuti Ramada dan kawan-kawannya
melainkan melangkah dulu kea rah bangunan makam.
“Kuncen keparat! Matamu boelh kau pejamkan. Aku tahu telingamu tidak tuli.
Kau dengar baik-baik. Satu
hari aku pasti datang mencarimu untuk membalas apa yang kau lakukan
padaku. Aku akan menagih hutang berikut bunganya. Aku akan mengorek
kedua matamu sekaligus!” Di atas batu kuncen Ki Ageng Lentut
teidak bergerak. “Kuncen bangsat!” rutuk Jalak Item. Dia meludah
makam batu di depannya lalu berpaling dan tingalkan tempat itu sambil
tangan kirinya menekap matanya yang pecah dan buta.
EMPAT
Meski di langit matahari bersinar terik namun di puncak Gunung
Merbabu itu udara tetap saja terasa dingin. Satu bayangan putih berkelebat cepat.
Mula-mula gerakannya
terlihat di lerang sebelah Timur. Lalu lenyap dan tahu-tahu muncul lagi
di ketinggian yang hampir mencapai puncak. Orang yang berlari dengan
gerakan sebat ini ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng,
murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Di puncak gunung, dia
membutuhkan waktu cukup lama sebelum akhirnya menemui makam Pangeran
Banowo. Makam Itu kosong, diselimuti kesunyian dan udara dingin.
“Aku datang terlambat!
Sebelumnya dia pasti berada di sini,” kata Pendekar 212 dalam hati lalu
memandang berkeliling. Di atas makam tampak tebaran bunga-bunga yang
sudah layu. Di salah satu tiang makam tergantung sebuah obor yang telah
lama padam. Satu tiang lainnya tampak bengkok dan patah hingga atap
makam yang terbuat dari seng kelihatan miring. Murid Sinto Gendeng ini
kernyitkan kening ketika di lantai dilihatnya banyak jejak-jejak kaki.
“Agaknya dia tidak sendirian di sini. Siapa bersama dia? Kemana mereka
sekarang?” Wiro memperrhatikan halaman liar sekitar makam. Lalu
matanya membentur bercak-bercak hitam di tanah. Lalu mengorek bagian
tanah yang ada bercak-bercak kehitaman itu. “Bekas-bekas darah yang
sudah mengering….” Katanya dalam hati.
“Sesuatu telah terjadi
di tempat ini.” Perlahan-lahan Wiro berdiri lalu melangkah
kembali ke arah makam. Baru saja sampai di depan pintu pagar
makam yang bergembok tiga tiba-tiba dia mendengar suara derap kaki
kuda. Murid Eyang Sinto Gendeng berpaling ke jurusan datangnya suara
itu. Tapi derap kaki kuda tadi serta merta lenyap. Wiro garuk-garuk
kepala. “Mungkin aku salah dengar,” katanya sambil garuk-garuk
kepala. Di puncak gunung seperti ini siapa orangnya yang mampu
menunggang kuda begitu cepat!” Karena tak mau merusak pintu pagar
makam, Wiro memanjat pintu itu lalu masuk ke dalam. Selagi dia
memperhatikan keadaan makam, beberapa tombak dari sana, terlindung di
balik semak belukar liar yang lebat, seorang dara berpakaian ringkas
warna biru dan berikat kepala kain merah berkata pada orang di
sebelahnya sambil mengepalkan tangan.
“Paman,lihat! Pemuda tak
dikenal itu memanjat pintu pagar makam. Kurang ajar…..!” Tangannya
bergerak menurunkan sebuah busur dari bahunya.
“Jangan-jangan dia pula
yang telah merusak salah satu tiang atap makam….!” Menyahuti lelaki
berambut putih di sebelah sang dara.
“Kurang ajar! Lihat!
Dia kini bahkan berani membaringkan diri, tidur menelentang di
atas makam ayahanda! Saya tidak bisa berdiam diri lebih lama. Saya akan
tambus tubhnya dengan lima anak panah sekaligus!” Lali si gadis
berpakaian biru itu menarik lima anak panah dari tabung bambu
di punggungnya. Begitu disusupkan ke tali busur dia segera membidik
ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang karena keletihan enak saja
merebahkan diri di atas makam batu Pangeran Banowo.
“Tunggu dulu Dewi….
Aku punya firasat pemuda itu bukan orang sembarangan…..”
“Paman! Bagaiman kau ini! Oarng telah mengotori bahkan merusak makam
ayahanda kau masih bilang tunggu! Siapapun adanya pemuda itu dia harus
kita hajar!
Lagi pula ini saatnya kau
menyaksikan sendiri kehebatan ilmu panah warisanmu!” “Dengar Dewi.
Aku akan kelur dair semak-semak ini. Aku akan bicara dengan orang itu.
Kau tetap berada di sini. Bukan mustahil dia datang tidak
sendirian….” Dewi Santiastri si gadis tak menjawab. Namun begitu
pamannya melangkah ke arah makam dia segera melompat dari semak
belukar. Lima anak panah yang terpentang di busurnya
dibidikkan ke arah Pendekar 212 yag masih asyik-asyikan
berbaring-baring di atas batu makam bahkan sambil bersiul-siul
perlahan!
Murid Sinto Gendeng ini baru melompa tbangun ketika sepasang telinganya menangkap suara langkah-langkah kaki.
“Astaga! Ada orang mendatangi. Sudah dekat baru aku dengar langkahnya.
Pasti dia memiliki ilmu
kepandaian tinggi!” kata Wiro dalam hati dan memperhatikan ke depan.
Dia melihaat seorang lelaki berpakaian putih bagus, berusia sekitar
enam puluh tahun tetapi berwajah segar dan klimis melangkah dan
berhenti di pagar makam.
Yang membuatnya tercekat
adalah ketika melihat di belakang lelaki berambut putih itu ada seorang
dara berpakaian serba biru. Parasnya cantik tampak beringas pertanda
bahwa setiap saat dia benar-benar akan melepaskan lima anak panah yang
dibidikkan ke arahnya. Wiro mencoba tersenyum dan garuk-garuk kepala!
Sang dara membentak
dengan keras.
“Pemuda kurang ajar!
Jangan senyum-senyum cengengesan! Berani kau bergerak kutambus
sekujur tubuhmu dengan panah-panah ini!” “Astaga….! Eh, apa-apaan
ini! Enak saja kau mengatakan aku pemuda kurang ajar? Di mana?
Kapan? Kenalpun tidak. Melihatmupun baru sekali ini!” Wiro
berpaling pada lelaki berambut putih yang tegak di pagar
makam. Dengan mimik keheranan dia bertanya “Bapak, dapatkah kau
menjelaskan apa masalahnya? Dan siapa kalian bedua? Gadis cantik
itu puterimu?” “Anak muda, seperti yang dikatakan keponakanku. Kau
telah berlaku kurang ajar!”
“Aku telah berlaku kurang ajar?!”
“Kau telah memasuki makam salah seorang leluhur Kerajaan secara kurang ajar!
Dengan cara memanjat”
“Ah….!” Wiro memandang berkeliling sambil garuk-garuk kepala.
Lalu kembali menatap lelaki di hadapannya. “Mungkin benar aku telah
berlaku kurang ajar.
Tapi kau lihat sendiri.
Pintu pagar digembok. Jadi terpaksa aku memanjat….” “Memanjat seperti
monyet!” mendamprat gadis berbaju biru. “Kau bukan saja melompati
pagar. Malah berani tidur di atas makam ayahku!” “Ah, bagaimana ini!
Harap maafkan! Aku tidak tahu. Benar-benar tidak tahu kalau ini
adalah makam ayahmu. Apalagi tadi pamanmu bilang ini adalah
makam salah seorang leluhur Kerajaan. Aku mana bisa menduga
begitu? Setahuku orang-orang penting Kerajaan dimakamkan di satu
tempat khusus di pinggiran kota….” “Bcaramu banyak amaat! Paman,
menyingkir kekiri edikit. Biar kuhantam manusia kurang ajar
ini!” Sang paman mengangkat tangannya memberi tanda agar keponakannya
jangan melepas anak-anak panahnya.
“Anak muda, sekalipun kau
tidak tahu itu makam atau kubur siapa, tapi yang namanya manusia
beradab dan berbudi serta beradat tidak akan pernah memasuki makam
seseorang tanpa izi keluarganya, apalagi dengan cara melompati pagar
lalu tidur-tiduran!” “Aku memang salah besar!” Wiro berkata
sejujurnya. “Aku ke sini mencari seseorang. Tapi yang kucari sudah
lenyap. Karena keletiha lalu membaringkan diri di atas batu makam
yang dingin sejuk itu…. Aku memang salah besar. Mohon aku
diberi maaf…” “Karena tertangkap basah kau lalu berdalih
tengah mencari seseorang dan keletihan! Enak saja becaramu! Paman,
menyingkirlah….”
“Tunggu Dewi. Biar aku bicara dulu dengan pemuda ini,” kata sang paman.
“Orang muda, tahukah kau saat ini berada di makam siapa?”
“Aku tidak tahu,” jawab Wiro Sableng.
Makam yang barusan kau panjat pagarnya dan kau tiduri adalah makam
Pangeran Banowo. Aku adalah adiknya dan gadis ini adalah puteri Pangeran Banowo.
Aku sendiri adalah Pangean Banuarto.”
Sepasang mata Pendekar
212 jadi terbelalak. Lalu dia cepat-cepat menjura. “Mohon maafmu.
Aku tidak tahu tengah berhadapan dengan seorang Pangeran. Aku
juga tidak tahu kalau ini
adalah makam pangeran Banowo yan dalam hidupnya pernah menolong
diriku.” “Paman! Jangan dengarkan ucapannya. Siapa percaya dirinya.
Setelah sadar berbuat salah kini malah bilang ayahanda pernah
menolongnya! Kadal ini pandai bicara paman. Hati-hatilah! Jangan
sampai kita dikelabi.” “Anak muda, katakan siapa namamu dan siapa
orang yang kau cari di tempat ini. Aneh rasanya kalau ada seseorang di
puncak Gunung Merbabu.” “Namaku Wiro…. Aku memang benar mencari
seseorang di tempat ini. Hanya saja mohon dimaafkan aku tidak dapat
memberi tahu siapa orangnya ataupun namanya.” “Paman! Kau lihat
bagaimana dia melakukan kebohongan!” kata Dewi Santiastri.
Pangeran Banuarto tidak
begitu memperdulikan kata-kata keponakannya. Dia mencoba
mengingat-ingat apakah pernah mendengar nama Wiro itu sebelumnya.
Akhirnya dia berkata.
“Anak muda, melihat ada
obor yang sudah padam di salah satu tiang makam, berarti kau sejak
malam tadi telah berada di tempat ini.” Wiro menggeleng. “Aku
barusan saja datang. Waktu datang obor itu sudah ada di sini dalam
keadaan padam.” “Lalu mengapa kau merusak salah satu tiang atap
makam?!” tanya Pangeran Banuarto pula.
“Bukan aku yang
merusaknya. Tiang itu sudah berada dalam keadaan seperti itu
ketika aku datang.” “Bohong! Pendusta besar!” teriak Dewi Santiastri.
Gadis ini tidak dapat lagi menahan kesabaran dan kemarahannya. Dia
melompat ke kanan sambil merentangkan busur lebih dalam. Ketika
tangan kanannya bergerak melepas, lima anak panah melesat dengan
mengeluarkan suara berdesing. Lima senjata itu laksana kilat terbang ke
arah lima baigan tubuh Pendekar 212. Pangeran Banowo berseru kaget tapi
tak bisa berbuat apa.
Murid nenek sakti dari
Gunung Gede itupun sempat terkesiap. Sekalipun dia bisa melompat
secepat kilat tak mungkin dia sanggup menghindari sekaligus kelima anak
panah yang menyerang lima bagian tubuhnya yang berbeda.
“Celaka!” keluh Wiro.
“Seumur hidup belum pernah aku melihat kepandaian memanah seperti ini!
Setan sekalipun takakan bisa lolos dari bidikkannya!” Sadar kalau
dia tidak akan dapat menyelamatkan diri dengan cara melompat maka
Pendekar 212 segera lepaskan pukulan sakti “benteng topan melanda
samudra” Serangkum angin deras menderu. Pangeran Banuarto
berseru kaget dan cepat menyingkir. Tapi badannya sebelah kanan
masih sempat disambar angin pukulan sakti itu hingga melintir
dan terhempas keras. Kalau saja dia tidak memiliki ilmu
meringankan tubuh pasti dia akan jatuh terhenyak ke tanah.
Sementara itu Dewi Santiastri juga berteriak kaget. Karena dia
tegak dengan kaki terkembang tepat di tengah jalur hantaman
pukulan sakti Pendekar 212 maka tak ampun lagi tubuhnyapun terpental
jauh, mencelat ke udara.
Di udara gadis puteri mendiang Pangeran Banowo ini membuat gerakan aneh.
Tubuhnya yang kena hantaman angin serangan berjungkir balik duakali berturut-turut
lalu tubuh itu tampak
melayang dan seperti seekor burung kedua kakinya hinggap di cabang
sebuah pohon besar. Meskipun gadis ini memiliki kepandaian
tinggi dan mampu meredam pukulan sakti yang dilepaskan Wiro, tapi
jelas wajahnya kelihatan pucat tanda ada bagian dalam tubuhnya yang
cidera. Ketika dia melompat turun, si gadis merasakan dadanya berdenyut
sakit. Kedua kakinya tertekuk. Sebelum dia jatuh berlutut pamannya
ceat mendatangi dan merangkul tubuhnya.
“Dewi… Kau tak apa-apa…?”
“Saya tidak apa-apa paman.
Hanya ada sedikit rasa ngilu di bagian dada…..” Pangeran Banuaro
memapah keponakannya itu ke dekat sebuah pohon lalu
mendudukkannya di akar pohon itu. Sementara itu dari arah makam
terdengar suara orang mengeluh. Ketika Pangeran Banuarto dan Dewi
Santiastri memandang ke arah makam mereka melihat pemuda berambut
gondrong itu tersandar ke paga makam sebelah dalam sambil
memegangi paha kanannya. Sebatang panah tampak menancap di paha itu.
Celana putihnya berlumuran darah. Rupanya waktu lima anak
panah menyerbunya dihantam dengan pukulan “benteng topan melanda
samudra” hanya empat panah yang sanggup dibuat mental. Satu anak panah
masih sempat menyusup menghantam pahanya.
Rahang Pendekar 212
tampak menggembung menahan sakit. Wajah dan tubuhnya basah oleh
keringat. Dia berteriak keras ketika secara nekad mencabut anak panah
yang mennancap di pahanya. Dengan geram anak panah itu dipatahkannya
lalu dibatingkannya ke lantai makam. Lalu dengan satu geakan
dia melompati pagar makam dan berdiri di hadapan Pangeran Banuarto
serta keponakannya.
Sepasang mata Pendekar 212 memandang berkilat-kilat pada Dewi Santiastri.
“Dengan melukaiku seperti
ini, apakah kini kau dan pamanmu sudah puas?!” Si gadis hanya
bisa diam dan terbelalak. Mukanya masih sangat pucat.
Sementara Pangeran Banuarto terdengar menarik nafas dalam tapi juga tidak berkata apa-apa.
Dari balik pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah bungkusan kecil lalu melemparkannya dekat kaki Dewi Santiastri.
“Apa ini?” tanya Pangeran Banuarto.
“Gadis keponakanmu itu
mengalami luka dalam. Akan sangat berbahaya kalau tidak segera minum
obat itu,” Habis berkata begitu Pendekar 212 memutar tubuhnya dan
melangkah pergi.
Pangeran Banuarto
memandang pada Dewi Santiastri. “Kalau dia manusia jahat, dia
tidak akan memberikan obat ini untukmu….” Si gadis hanya bisa
mengangguk. Melihat orang begitu baik dan polos terhadapnya ada
bayangan rasa menyesal di wajahnya yang pucat. Pangeran Banuarto
cepat berdiri dan berseru.
“Anak muda! Tunggu! Jangan
pergi dulu!” Wiro hentikan langkahnya dan berpaling. Pangeran
Banuarto berlari mendatanginya. “Aku menyesalkan ada kesalah
pahaman antara kita bertiga. Tujuanku dan Dewi ke puncak gunung ini
adalah untuk menziarahi makam Pangeran Banowo….” “Ada yang aku
tidak mengerti. Sebagai seorang Pangeran seharusnya dia
dimakamkan di pekuburan keluarga stana. Nyatanya dia dimakamkan di tempat ini.
Jauh dari Kotaraja. Jauh
dari keluarga Istana.” “Apa yang kau katakan betul. Namun sebelum
meninggal Pangeran Banowo pernah berpesan pada istrinya. Aku mendengar
sendiri. Jika ajalnya sampai dia ingin dimakamkan di puncak Gunung
Merbabu ini. kami keluarga yang ditinggalkan tidak berani menyalahi
pesan itu. Sultan sendiri juga tidak mau melarang. Pangeran
Banowo akhirnya dimakamkan di puncak Gunung Merbabu ini tiga tahun yang
lalu.
Pemakamannya dengan upacara kebesaran Kerajaan….”
Saat itu Dewi
Santiastri telah datang pula ke tampat itu. Pamannya cepat
memegang bahunya. Wajah si gadis tampak kemerahan dan dia berkata “Paman
tak usah kawatirkan saya. Obat yang tadi diberikannya sudah saya telan
walaupun tanpa air. Saya merasa lebih sehat sekarang.” Lalu gadis ini
berpaling pada Pandekar 212.
Dia hendak mengatakan sesuatu namun Wiro mendahului.
“Aku kagum dengan kepandaianmu memainkan panah. Dari manakah den ayu belajar?”
“Namaku Dewi Santiastri.
Panggil aku dengan nama itu. Tidak usah dengan sebutan den ayu
segala….” Lalu pandangan matanya tertuju pada paha Wiro yang berlumuran
darah. “Aku tidak tahu harus meminta maaf bagaimana…. Aku benar-benar
menyesal….” Wiro tertawa. Dia berkata pada Pangeran Banuarto.
“Pangeran,” katanya, “Keponakanmu memberikan sau pelajaran baik
padaku. Aku harus lebih banyak belajar dan berlatih silat agar
gerakanku lebih cepa hingga kelak akan sanggup berkelit dari
serangan panahnya. Aku harap saja panah itu tidak beracun….” “Tidak,
panah itu tidak beracun,” kata Dewi Santiastri. “Aku ingin
menanyakan sesuatu.” “Menyangkut hal apa?” tanya Wiro.
“Ketika masih hidup ayah
memang pernah bercerita tentang seorang pendekar besar muda usia.
Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Apakah kau
orangnya?” Wiro tertawa. “Nama kami bisa saja sama. Tapi gelar
sehebat itu mana orang setoloku ini bisa menyandangnya?” Si gadis
jadi terdiam beberapa saat lamanya. Sebelum dia sempat mengatakan
sesuatu pamannya sudah bicara duluan.
“Anak muda, terus
terang selain berziarah ke makam Pangeran Banowo, perjalanan kami
ke sini sebenarnya juga tengah menyirap kabar.” “Menyirap kabar?
Kabar apakah?” tanya Wiro.
“Sebuah benda keramat
milik Kerajaan yang selama ini disimpan secara rahaia, lenyap
dari tempat penyimpanannya sekita empat tahun lalu. Padahal benda itu
jika disalah gunakan bisa mendatangkan malapetaka.” Menerangkan
Pangeran Banuarto. “Kebetulan aku yang bertanggung jawab atas
benda itu. Sebenarnya beberapa tahun lalu aku sudah mengusulkan pada
Sultan agar benda itu dimusnahkan saja karena lebih banyak bahayanya
dari pada manfaatnya.” “Kalau aku boleh tahu, benda apakah itu
gerangan, Pangeran?” bertanya Pendekar 212.
“Sebuah guci keramat.
Bernama Guci Setan. Orang bisa meminta sesuatu yang baik tetapi
juga sesuatu yang jahat pada Guci Setan itu. Sekarang karena aku tahu
bahwa kau seorang dari dunia persilatan maka aku minta
bantuanmu untuk mencari tahu dan menyirap kabar di mana adanya Guci
Setan itu dan siapa pencurinya. Kami mendengar selentingan yaitu
setelah empat tahun tidak diketahui jejaknya tiba-tiba satu bulan yang
lalu Guci Setan itu pernah terlihat di daerah selatan dan tengah dibawa
e daerah sekitar sini. Tapi keterangan yang aku dapat sengat sedikit
sehingga tidak bisa dipakai untuk bahan pengusutan.” “Pangeran
Banuarto, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi aku akan
berusaha membantumu. Kita berpisah di sini….” “Saudara,” Dewi
Santiastri berkata “Dalam keadaan terluka seperti itu tentu sulit
bagimu berjalan kaki, apalagi berlari. Kau bisa memakai kudaku….”
Pendekar 212 tersenyum lebar. “Terima kasih. Kebaikan hatimu
telah membuat lukaku sembuh! Lihat!” lalu Wiro angkat paha kanannya
yang tadi tertancap panah. Dengan tangan kanannya dia
memukul-mukul paha yang luka itu. “Sama sekali tidak sakit. Sudah
sembuh!” Padahal sebenarnya waktu memukul tad Pendekar 212 manahan
sakit yang amat sangat. Hal ini diketahui oleh Dewi Santiastri
dan pamannya.
“Kau harus memakai kudanya,” kata Pangeran Banuarto.
“Saya masih sanggup
berjalan. Bahkan berlari!” kata Wiro. Lalu dia berkelebat
tinggalkan tempat itu. Tapi larinya terpincang-pincang. Padahal
ini disengaja. Pangeran Banuarto dan Dewi Santiastri sama-sama
tersenyum.
“Entah mengapa aku
justru punya firasat, pemuda itu tadi memang adalah Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212.” “Saya justru sudah tahu kalau dia memang
Pendekar 212 dari Gunung Gede.
Waktu tadi dia mengeluarkan
bungkusan obat dari balik pakaiannya, bagian depan bajunya yang tidak
dikancing tersingkap lebar. Saya melihat ada rajah angka 212 di dadanya
yang bidang dan berotot….” “Keponakanku!” kata Pangeran Banuarto
sambil memegang kedua bahu Dewi Satniastri. “Mengapa tidak dari
tadi-tadi kau katakan?” Si gadis tidak menjawab. Hanya di dalam
hatinya tiba-tiba saja dia sangat ingin bertemu lagi dengan pemuda
berambut gondrong itu. Paman dan keponakan itu kemudian melangkah ke
arah bangunan makam. Tiba-tiba si gadis berseru seraya menunjuk
ke arah makam.
“Paman! Lihat! Tiang atap
yang patah sudah tersambung kembali!” Pangeran Banuarto berlari
mendekati makam. Apa yang dikatakan keponakannya memang betul.
Tiang yang patah kini kelihatan dalam ke adaa lurus. Bagian patahan
sebelah atas bertumpu pada bagian bawah. Atap makam kini tidak miring
lagi. “Siapa yang telah memperbaikinya? Sungguh aneh!” kata Pangeran
Banuarto.
“Hanya kita bertiga tadi
di tempat ini. Dia, saya paman. Saya jelas tidak melakukannya.
Paman juga. Berarti….” “Berarti dia yang melakukannya!” kata Pangeran
Banuarto pula. Orang tua ini mengusap rambutnya yang putih
berulang kali. “Bagaimana dia melakukannya?
Dlamkeadaan terluka pula!”
Diam-diam Dewi Santiastri
semakin merasakan penyesalan yang mendalam di lubuk hatinya. “Kalau
saja aku dapat segera menemuinya akan kuminta maaf beribu maaf padanya.
Bisakah aku menemuinya lagi?”
LIMA
Di cabang paling atas pohon
setinggi empat puluh kaki itu tampak seorang kakek duduk berjuntai
sambil uncang-uncang kakinya. Dari mulutnya terdengar suara aneh, entah
dia sedang meracau entah menggerutu atau sedang menyanyi. Janggut
putihnya yang sepanjang dada melambai-lambai tertiup angin.
Suara dari mulutnya baru berhenti bilamana dia meneguk dengan
lahap tuak murni yang ada dalam tabung bambu dan diletakkannya
di pangkuan. Sebuah tabung bambu lagi tergantung di belakang
punggungnya. Kedua mata orang tua ini tampak kemerahan akibat pengaruh
minuman keras itu.
Untuk kesekian kalinya dia meneguk tuak dari dalam atabung bambu. Lalu dia memandang ke arah pepohonan di sekelilingnya.
“Panas terik menggila!
Tak ada burung tak ad angin!” si kakek seperti menggerutu pada
dirinya sendiri. “Aneh, mengapa aku berada di puncak pohon ini?
Astaga, jangan-jangan aku sudah mabuk. Betul mabuk? Tidak! Aku
masih bisa menghitung jari-jari tanganku sebelah kiri ini.
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam….Eh! Apa ada jari tangan manusia
enam buah? Jangan-jangan benar aku sudah mabuk!” Walau jalan
pikirannya seperti itu tapi enak saja dia kembali mendekatkan
bibir tabung bambu ke mulutnya. Lalu gluk…. Gluk….gluk tuak
dalam bambu ditenggaknya dengan lahap. Puas meneguk tuak murni yang
menebar bau harum itu si kakek seka mulutnya dengan kain biru
yang terselempang di dadanya. Setelah itu sambil kembali
uncang-uncang kaki seperti anak kecil yang kesenangan dia menyanyi
lagi. Tapi tiba-tiba orang tua ini hentikan nyanyiannya.
Kepalanya ditinggikan.
Telinganya dipasang baik-baik. Dia mendengar suara menderu aneh di kejauhan disertai suara-suara kaki berlari.
Orang tua itu mendongak ke
langit. “Aku tak melihat apa-apa!” katanya. Lalu dia memaki sendiri.
“gila! Kalau orang berlari tentu saja bukan di langit sana tapi di
bawah situ!” Lalu si kakke memandang ke bawah pohon. “nah,
apa kataku! Ada empat bayangan berkelebat. Aduh, cepat sekali.
Terutama yang di depan itu. Heh…..aneh. Dia seperti memiliki sebuah
roda di ujung kaki kirinya. Dia lari di atas roda yang berputar
menggelinding! Apa yang dibawanya di tangan kanan? Eh, di bahu
kirinya dia memanggul sosok tubuh perempuan. Siapa orang ini?
Hemmm….ada tiga orang berlari di belakangnya. Muka mereka berwarna aneh-aneh.
Apa isi keranjang rotan yang
mereka pikul itu heh? Jelas mereka bukan pedagang sayuran.
Hik…hik…hik! Mereka berlari cepat di siang bolong di lereng
Gunung Gede! Sepertinya mereka punya satu keperluan penting! Ah,
perduli setan dengan
mereka. Selama mereka tidak
mengganggu diriku, aku tak perlu mengurusi mereka. Eh, kenapa yang di
depan itu tiba-tiba berhenti? Tiga tannya juga berhenti berlari.
Hemmmm tampang-tampang
mereka kumal dekil dan angker. Bau tubuh mereka tercium sampai
kemari!” Di bawah pohon keempat orang itu bukan lain adalah Ramada
Suro Jelantik dan tiga orang anak buahnya yaitu Jalak Item yang
kini mata picak sebelah. Lalu Jalak Ijo dan Jalak Biru.
“Ada apa kau berhenti Ramada?” tanya Jalak Ijo.
“Aku mencium bau
sesuatu. Sesuatu yang harum! Aneh di tengah hutan belantara di
lereng gunung begini ada bau seperti ini!” Tiga orang anak buah
Ramada sama meninggikan kepala lalu mengendus dalam-dalam. “Kau
betul Ramada,” kata Jalak Ijo. “Aku juga dapat mencium bau
aneh itu. Pasti ada seseorang di sekitar sini. Jangan-jangan tua bangka
bernama Sinto Gendeng itu tempat kediamannya di sekitar sini.”
“Bagus! Kalau begitu coba kalian periksa pada tiga jurusan sampai
sejarak seratus tombak! Aku menunggu di sini!” Jalak Ijo dan
kawan-kawannya segera melakukan apa yang diperintah oleh Ramada.
Tak lama kemudian ketiganya muncul satu persatu. “Aku tidak menemukan
apa-apa, Ramada,” kata Jalak Item.
“Aku juga. Tak ada
bangunan atau tempat kediaman di sekitar sini,” menerangkan Jalak
Ijo “Sama, tak ada orang tak ada rumah,” kata Jalak Biru pula.
Di atas pohon kakek
berjanggut putih menyeringai lebar. “Empat ekor monyet itu mancari kian
kemari. Tidak tahunya yang mereka cari ada di atas pohon ini. Bau yang
mereka cium sudah pasti bau arak kayanganku ini!” “Ramada,” di bawah
pohon Jalak Ijo berkata “apakah kita akan meneruskan perjalanan atau
kau tetap menginginkan mencari sumber bau harum itu sampai
dapat?” “Sudah, kita teruskan saja perjalanan! Puncak gunung tak
seberapa jauh lagi.” Jawab Ramada Suro Jelantik. “Tua bangka guru
Pendekar 212 itu harus kita temui dan bereskan secepatnya!” Ramada
lalu memutar tubuhnya. Kaki kirinya yang disambung dengan sebuah
roda besi bergerigi menderu lalu meluncur deras menebar pasir dan tanah
di sebelah belakang. Tiga orang anak buahnya segera menyusul. Ketika
sang surya mulai condong ke Barat, keempat orang itu akhirnya sampai
di puncak Gunung Gede. Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk
menemukan kediaman Sinto Gendeng, nenek sakti guru Pendekar 212 Wiro
Sableng.
Ramada dan tiga anak
buahnya berdiri di hadapan gubuk tua tapi masih tampak kokoh.
Pintu gubuk tertutup, begitu juga jendela. Rumah di puncak gunung itu
benar-benar diselimuti kesunyian.
‘”Sinto Gendeng! Kami datang dari jauh untuk menemuimu! Mengapa bersembunyi di dalam gubuk?!” Ramada berteriak.
Tak ada jawaban atau suara apapun dari dalam gubuk. Ramada berteriak sekali lagi.
Tetap saja tak ada jawaban.
“Mungkin tua bangka itu tak ada di sini, Ramada,” kata Jalak Ijo.
“Untuk memastikan coba kau dan kawan-kawanmu memeriksa!” kata Ramada
Suro Jelantik pula.
Jalak Ijo dan dua temannya
meletakkan pikulan masing-masing di tanah. Lalu lewat pintu depan yang
ternyata tidak dikunci ketiganya masuk ke dalam gubuk. Di depan
rumah Ramada menunggu dengan rasa tidak sabar. Dia mencoba
menghibur diri dengan mengelus-elus tubuh istri mudanya yang
telah jadi mayat seraya berkata perlahan “Tenang Dardini,
tenang. Lewat kematiian tua bangka keparat itu kita pasti bisa
memancing kemunculan pembunuhmu! Sekali dia unjukkan diri akan
kutabas batang lehernya. Kuminum darahnya lalu kulumat daging
dan tulang belulangnya! Setelah itu kau akan kusemayamkan di satu
tempat yang indah. Kau akan tidur dengan tenang. Sabar istriku.
Sabar….. Aku akan membuatkan makam yang sangat bagus untukmu. Aku
akan….” Ucapan Ramada Suro Jelantik terputus. Dari dalam
rumah terdengar suara jeritan tiga kali berturut-turut. Ramada kenal
benar. Itu adalah suara teriakan ketiga anak bauhnya.
“Jalak Ijo! Jalak Item!
Jalak Biru!” teriak Ramada “Apa yang terjadi dengan kalian?!” Baru
saja Ramada Suro Jelantik berteriak begitu tiba-tiba tiga buah
benda melesat keluar dari dinding-dinding gubuk yang jebol. Satu dari
sebelah depan, dua dari samping kiri.
Ramada mendelik besar
ketika menyaksikan tiga benda yang terlempar lewat dinding gubuk
lalu bergulingan di tanah ternyata adalah Jalak Ijo, Jalak
Item dan Jalak Biru!
“Anjing kurap! Apa yang terjadi?!” teriak Ramada marah sekali.
Tiga anak buahnya berusaha bangkit dengan terhuyung-huyung. Pada kening
Jalak Ijo dan Jalak
Biru kelihatan benjut sebesar telur ayam. Sedang Jalak Item
megap-megap sambil pegangi perutnya. Ketiganya lalu berusaha
secepat mungkin mengambil pikulan masing-masing yang tadi ditinggal
dan diletakkan di tanah.
Begitu mereka memegang
keranjang rotan tampang mereka tampak beringas. “Kalau aku tidak bisa
membunuh tua bangka keparat itu lebih baik aku bunuh diri!” teriak
Jalak Item.
“Aku juga!” menyahuti Jalak Ijo.
“Sama dengan aku!” kata Jalak Biru sambil pegangi keningnya yang benjut.
Tiba-tiba pintu gubuk yang
tadi setengah terbuka kini terpentang lebar. Dari dalam gubuk muncul
satu sosok tubuh terbungkuk-bungkuk diiringi gelak tawa tinggi serta
panjang. Suara tawa ini bukan saja membuat telinga Ramada dan anak
buahnya mengiang sakit tetapi juga membuat keempatnya tercekat.
Mamandang ke arah pintu mereka malah tambah terkesiap karena tidak
pernah menyangka kalau perempuan tua penghuni gubuk di puncak Gunung
Gede itu begini angkernya!
ENAM
Orang yang keluar dari dalam gubuk adalah seorang nenk berkulit sangat hitam.
Kulitnya ini tidak lebih
dari selaput tipis pembalut tulang. Kalau saja dia tidak
bungkuk pasti terlihat bagaimana sosok tubuhnya yang jangkung
sekali. Mukanya cekung di bagian mata dan kedua pipi. Alisnya berwarna
putih, begitu juga rambutnya yang hanya tinggal elasan lembar saja. Di
kepalanya yang nyaris sulah itu menancap lima buah tusuk kundai terbuat
dari perak. Tusuk kundai tidak mungkin disisipkan pada rambutnya yang
jarang. Lima perhiasan dari perak itu justru langsung menancap di
kulit dan batok kepalanya! Sepasang matanya yang hitam gelap
memandang berputar ke arah empat orang yang ada di halaman
gubuk. Lalu dari mulutnya meledak lagi suara keras dan tinggi. Dari
mulunya yang ompong mengucur keluar air liur. Ketika dia menyemburkan
air liur itu melesat ke arah pohon di seberang halaman.
Terdengar suara berderik
sewaktu kulit batang pohon menjadi remuk lalu jatuh ke tanah. Hal
itu membuat Ramada dan tiga anak buahnya mau tak mau menjadi
terkesima. Namun orang-orang ini mana mengenal rasa takut.
“Ramada, biar kubunuh
nenek keparat itu sekarang juga!” kata Jalak Ijo seraya
tangannya bergerak hendak membuka penutup keranjang rotannya di
mana tersimpan ular kobra beracun yang diberi nama Ratu Hijau.
“Sabar sedikit Jalak Ijo.
Maut tak bakal lepas dari dirinya. Biar aku bicara dulu padanya….”
Di ambang pintu si nenek masih tertawa. Tiba-tiba tawanya lenyap dan
dair mulutnya terdengar suara membentak.
“Puluhan tahun hidup di
puncak Gunung Gede, baru hari ini aku kedatangan tamu aneh dan kurang
ajar. Berani masuk ke dalam gubuk tanpa izin. Kalian mau mencuri atau
memang munta mati?!” “Tua bangka edan! Kami datang memang untuk
mencuri. Bukan mencuri harta bendamu karena pasti dalam
gubukmu hanya ada barang-barang rombengan yang tidak ada
harganya!” Si nenek tertawa cekikikan. “Manusia bermuka setan alas
dan bertuuh sebusuk comberan! Mulutmu pandai bicara. Coba
jelaskan apa yang hendak kau curi dari tempat ini!” “Aku kemari
untuk mencuri nyawa anjingmu!” jawab Ramada lantang.
Sepasang mata cekung dan
hitam si nenek tampak seperti mengeluarkan kilatan aneh. Lalu
mulutnya kembali tertawa panjang.
“Kalau kau hendak
mencuri nyawaku, apa kau kira aku tak bisa mencuri jantungmu?!”
Hik…hik…hik…!” “Nenek iblis!” teriak Ramada. Agar aku tidak kesalahan
tangan lekas katakan apakah kau manusianya yang bernama Sinto
Gendeng guru Pendekar 212 Wiro Sableng?!” “Kalau aku memang
Sinto Gendeng lalu kenapa? Kalau aku bukan Sinto Gendeng lantas
bagaimana?!” si nenek bertanya.
“Iblis ngacok!” hardik
Ramada mulai marah. Perlahan-lahan nayat kaku Dardini
diturunkannya lalu dibaringkannya dengan sangat hati-hati dekat
akar sebatang pohon. “Muridmu si Wiro Sableng itu telah
memperkosa istriku! Lalu membunuhnya! Apa kau kira bakal ada
pengampunan bagi dirinya dan juga bagi kau?!”
Si nenek hentikan
tawanya. Dia dongakkan kepala beberapa saat lalu memandang dengan
mata berkilat-kilat pada Ramada Suro Jelantik. “ini adalah fitnah
paling keji yang pernah didengar telinga tua ini!” “Ini bukan fitnah!”
teriak Jalak Ijo. “Kami bertiga jadi saksi perbuatan murid celakamu
itu!” “Betul!” menyahuti Jalak Biru. “Muridmu membunuh perempuan itu
dengan Kapak Naga Geni 212-nya. Lihat sendiri luka besar di pangkal
leher jenazah!”
Si nenek terdiam.
“Tua bangka jahanam. Kau
terdiam tak bisa bicara. Berarti memang benar kau Sinto Gendeng guru
Pendekar 212. Sekarang bersiaplah untuk mati!”
Si nenek menyeringai seperti setan. Lalu gelengkan kepalanya. “Murid Sinto
Gendeng tidak akan melakukan
kekejian seperti itu. Kalian pergi saja sebelum aku menjadi muak
melihat tampang-tampang kalian. Angkat mayat itu dari halaman
gubukku! Kalian semua adalah orang-orang gila kesasar pembawa mayat dan
guci!
Bermuka berwarna-warna! Lekas minggat dari sini!”
Ramada mendengus keras.
Didahului dengan suara teriakan keras dia menerkam ke arah si
nenek yang memang adalah Sinto Gendeng. Kaki kirinya yang ada roda besi
bergerigi mencelat ke depan.
Rrrrrrrr!
Gigi-gigi roda besi yang berputar itu menggerus ke arah pinggang si nenek.
Seumur hidupnya Sinto
Gendeng belum pernah melihat senjata seperti ini. Dia berteriak
nyaring. Tubuhnya yang bungkuk melesat ke samping. Roda besi menderu
menghantam tangga batu di depan gubuk. Tangga batu itu
tebongkar berkeping-keping!
Ramada menyeringai.
“Sebentar lagi tubuhmu akan kubuat seperti itu!” “Betul begitu? Aku
malah ingin sekali merasakan bagaimana enaknya!” kata Sinto Gendeng.
Lalu dia tertawa cekikikan.
Seperti terbakar Ramada Suro Jelantik kembali menyerbu dengan roda besinya.
Tangan kirinya ikut melepaskan pukulan tangan kosong sementara tangan kanan tetap tidak melepaskan Guci Setan.
Tubuh bungkuk Sinto Gendeng
berkelebat kian kemari. Selama enam jurus diserang terus-terusan dia
hanya membuat gerakan menghindar. Baru pada jurus ketujuh si
nenek mulai balas melancarkan serangan-serangan. Gerakannya
seperti main-main saja tetapi Ramada merasa seolah-olah ada satu
gelombang raksasa yang menghantamnya. Sadar kalau lawan memiliki
kepandaian tinggi maka Ramada Suro Jelantik segera keluarkan
jurus-jurus simpanannya. Tubuhnya berputar kencang sementara roda
besinya mencuat kian kemari, menyerang si nenek dari segala jurusan.
Eyang Sinto Gendeng walaupun
kini berada dalam keadaan terdesak tetap saja dia berlaku tenang.
Malah dia tiba-tiba mendapat satu akal guna melumpuhkan serangan
lawan. Jika Ramada berkelahi dengan terus membawa-bawa guci di tangan
kanannya pastilah benda iu sangat berharga bagi dirinya dibanding dengan
jenazah istrinya yang diletakkannya begitu saja di tanah. Memikir
sampai di situ, si nenek lalu
mengarahkan setiap serangannya pada guci yang ada dalam dekapan tangan kanan lawan.
“Bangsat sialan!” maki
Ramada Suro Jelantik. Kini dia terpaksa bertahan habis-habisan
untuk menyelamatkan Guci Setan dari hantaman si nenek. Merasa
ttidak sanggup, pada jurus ke 28 lelakiini berteriak keras lalu
lemparkan Guci Setan ke atas. Guci ini melesat ke udara, melayang
tinggi lalu jatuh dan menyangsang di antara kelebatan daun-daun
sebatang pohon. Kini dengan kedua tangan bebas Ramada menghadapi Sinto
Gendeng. Setelah menggempur selama lima jurus kembali si nenek
kelihatan terdesak.
“Manusia bau! Ilmu silatmu
boleh juga!” memuji si nenek. “Tapi coba kau hadapi jurus seranganku
ini!” Dua tangan si nenek berkelebat ke kiri dan ke kanan seolah
hndak memukul sisi tubuh lawannya. Bersamaan dengan itu
ujung-ujung jarinya disatukan ke depan. Tiba-tiba kedua tangan itu
melesat ke atas.
“Sepasang naga menyusup
awan!” teriak Sinto Gendeng menyebutkan jurus serangannya. Lalu dia
tertawa gelak-gelak. Kedua tangannya dengan sepuluh jari kuncup
lurus ke depan dan seolah berobah keras seperti besi menusuk ke arah
jantung dan tenggorokan Ramada Suro Jelantik.
Kejut manusia berkaki
buntung ini bukan alang kepalang. Dia cepat menyingkir dengan
membuang diri ke samping kiri. Tusukan pada tenggorokannya lewat tapi
yang mengarah jantung terus melesat.
“Haram jadah! Aku
terpaksa berjibaku!” rutuk Ramada. Kaki kirinya ditendangkan ke
depan, mengarah perut Sinto Gendeng. Roda besi bergerigi
menggerus ganas. Si nenek tidak mau ambil celaka . Tapi dia
juga tidak mau melepaskan musuhnya dari sasaran. Dengan
menggeser kakinya dua langkah ke kanan, Sinto Gendeng teruskan
hantamannya walaupun kini dia tidak bisa menghantam secara telak.
Bukkk!
Lima jari tangan si nenek
mendarat di dada kiri Ramada. Lelaki ini menjerit keras. Tubuhnya
terbanting ke tanah. Sebelum jatuh kaki kirinya ditendangkan lebih
tinggi. Rrrrrrr
Sinto Gendeng terpekik sewaktu roda besi Ramada Suro Jelantik merobek pakaiannya di bagian perut!
Tampang si nenek menkjadi kelam membesi.
“Kurang ajar!” si nenek
geram sekali. Dia melompat ke hadaan Ramada yang masih tertelentang di
tanah dengan mulut mengucurkan darah akibat luka dalam di dekat
jantungnya setelah terkena hantaman si nenek tadi.
“Manusia setan! Apakah kau
pernah melihat pukulan sinar matahari?!” kata si nenek sambil angkat
tangan kanannya yang saat itu tampak berkilat-kilat seperti perak.
Ramada Suro Jelantik memang
pernah mendengar kehebatan dan keganasan pukulan sakti itu. Dia
tak mau berlaku ayal. Dia segera melafatkan satu mantera
kesaktian. Roda besi di ujung kaki kirinya tiba-tiba
mengeluarkan sinar hitam menggidikkan. Ketika Sinto Gendeng
lepaskan pukulan “sinar matahari”
dengan tangan kanannya.
Ramada tendangkan kaki kirinya ke atas menyambuti serangan lalu dengan
cerdik menggulingkan diri di tanah.
Cahaya putih berkiblat disambut oleh sinar hitam. Sinar hitam yang keluar dari roda besi Ramada berusaha menggelung cahaya putih panas pukulan “sinar matahari” yang dilepaskan si nenek. Lalu terdengar dentuman yang ketiga yang lebih dahsyat dari dua dentuman sebelumnya.
Cahaya putih berkiblat disambut oleh sinar hitam. Sinar hitam yang keluar dari roda besi Ramada berusaha menggelung cahaya putih panas pukulan “sinar matahari” yang dilepaskan si nenek. Lalu terdengar dentuman yang ketiga yang lebih dahsyat dari dua dentuman sebelumnya.
Puncak Gunung Gede laksana
dilanda gempa. Iga orang anak buah Ramada hampir terduduk di tanah.
Sinto Gendeng masih tampak tegak walau dengan tubuh bergoyang-goyang.
Mukanya yang hitam tampak semakin hitam. Jantungnya berdegup
keras. Di seberangnya tubuh Ramada Suro Jelantik nampak
menggeliat-geliat dekat tangga batu. Bahu kanannya tampak hangus
dihantam pukulan “sinar matahari”. Tapi rupanya orang ini mempunyai
kekautan luar biasa. Dalam keadaan terluka parah begitu dia
melompat tegak. Darah semakin banyak mengucur dari mulutnya tapi
dia tidak perduli. Sepasang matanya yang merah memandang laksana bara
api pada Sinto Gendeng. Tiba-tiba dari mulunya terdengar teriakan
keras.
“Anak-anak! Keluarkan
binatang peliharaan kalian!” Bunuh tua bangka keparat ini!” “Eh,
apa yang hendak dilakukan manusia-manuisa jahanam ini?!” pikir Sinto
Gendeng. Dia berputar, menghadap ke arah Jalak Item, Jalak Ijo dan Jalak
Biru yang berada di halaman, terpisah di tiga tempat. Begitu berputar
dia masih sempat melihat tiga orang bermuka hijau, hitam dan biru itu
embuka penutup keranjang rotan masing-masing. Lalu terdengar suara
berdesir aneh. Dilain kejap lima belas binatang berbisa melesat ke arah
si nenek!
“Edan!” teriak Sinto Gendeng.
Dia cepat mengangkat
kedua tangannya. Satu melepaskan pukulan “sinar matahari” satu
lagi menghantamkan pukulan “segulung ombak menerpa karang”!
TUJUH
Dari keranjang rotan
Jalak Biru melesat keluar tujuh ekor kelabang biru, menyerbu ke
arah Sinto Gendeng dari jurusan kiri. Dari arah depannya seekor ular
kobra hijau melesat keluar dari dalam keranjang rotan yang dibuka Jalak
Ijo. Lalu dari sebelah kanan Jalak Item melepaskan keluar tujuh ekor
kalajengking berwarna hitam.
Lima belas binatang beracun ganas ini serentak menyerbu si nenek!
Seumur hidupnya Sinto
Gendeng belum pernah mendapat serangan begini banyak dan ganas.
Dalam pada itu telinganya menangkap suara menderu dari arah belakang.
Berarti Ramada Suro Jelantik dalam waktu bersamaan telah
menyerang pula dengan roda bergerigiinya dari belakang!
“Edan! Gila! Teriak si nenek. Kedua tangannya dipukulkan ke depan.
Bersamaan dengan itu dia jatuhkan diri ke tanah guna menghindari serangan Ramada.
Putaran roda besi bergerigi membeset di udara. Melabrak ke arah kepala Sinto
Gendeng.
Trang…..trang!
Terdengar suara beradunya benda-benda keras disertai percikan bunga api.
Roda besi Ramada ternyata
telah menghantam dua buah tusuk kundai perak di kepala Sinto Gendeng
hingga hancur dan kepingannya bertaburanjatuh kian kemari. Tiga
buah gerigi roda besi di kaki kiri Ramada somplak. Ramada sendiri
menjerit keras kesakitan. Kakinya laksana dihantam pentungan besi.
Tubuhnya terpental sampai dua tombak!
Walau selamat dari roda
maut Ramada, namun Sinto Gendeng belum lepas dari bahaya. Pukulan
sinar matahari yang dilepaskannya ke depan berhasil menghantam
ular kobra besar yang dilepaskan Jalak Ijo. Tapi hebatnya
sebelum terkena hantaman pukulan sakti yang mematikan itu, ular
kobra ini seolah tahu bahaya yang mengancamnya. Melesat tinggi ke
udara. Yang celaka adalah pemiliknya yaitu Jalak Ijo. Manusia bermuka
hijau ini yang sama sekali tidak menyangka bahwa serangannya bakal
gagal, terlambat menghindar. Pukulan “sinar matahari”
menghantamnya dengan telak. Jalak Ijo menjerit setinggi langit. Tubuhnya
terlempar jauh. Hangus leleh laksana dipanggang. Nyawanya putus!
Pukulan “segulung ombak
menerpa karang” yang dilepas Sinto Gendeng dengan tenaga dalam
penuh membuat hancur luluh tiga ekor kalajengking hitam dan enam ekor
kelabang biru yang dilepaskan Jalak Item dan Jalak Biru. Namun seekor
kala hitam dan kelabang biru masih sempat lolos. Dua binatang beracun
ini menancap di tubuh si nenek. Kalajengking hitam menancap di leher
dekat telinga kirinya sedang kelabang biru menenmbus bahu kanannya! Si
nenek menjerit keras. Tubuhnya rubuh ke tanah.
Ramada Suro Jelantik cepat
mendekati tubuh si nenek sambil menyorongkan roda besinya ke arah
leher Sinto Gendeng. Sekali roda besi itu menggerus leher si nenek
pasti lehernya akan putus dan nyawanya tidak tertolong lagi.
Pada saat yang genting itu
tiba-tiba ada suara berseru “Sahabatku Sinto Gendeng! Siapa
yang berani mencelakaimu akan kuhancurkan batok kepalanya!”
Bersamaan dengan suara seruan itu tampak satu bayangan biru berkelebat
dari arah kanan. Lalu ada cairan harum menyembur keras. Ramada
Suro Jelantik tahu datangnya bahaya cepat tari kakinya lalu jatuhkan
diri bergulingan.
Brettt! Breetttt!
Baju hitam Ramada robek besar di bagian punggung. Kulit punggungnya mengepulkan asap laksana ditempel besi panas.
“Anak-anak! Ada orang
datang! Lekas tinggalkan tempat ini!” teriak Ramada lalu dia melesat ke
atas pohon di mana Gcui Setan menyangsrang. Dengan kecepatan kilat
disambarnya benda itu. Lalu dia turun lagi ke tanah untuk mengambil
jenazah istrinya. Sekali lagi dia berkelebat tubuhnyapun lenyap.
Hanya suara deru roda
besinya yang menggerus
tanah terdengar di kejauhan. Jalak Item dan Jalak Biru segera
berlari mengejar pimpinan mereka sambil memikul keranjang rotan
masing-masing. Mayat Jalak Ijo mereka tinggalkan begitu saja.
Sebelum Ramada dan tiga
anak buahnya sampai de tempat kediaman Sinto Gendeng, orang
tua berjanggut putih dan berpakaian selempang kain biru di
atas pohon kembali meracau seorang diri.
“Empat manusia aneh tadi.
Yang satu membawa mayat dan guci. Tiga lainnya memikul keranjang.
Masing-masing memiliki muka berwarna warni. Eh, ada keperluan apa
mereka berada di gunung ini? Apa yang mereka cari….? Ah, sulit aku
menerkaya.” Di kakek lalu teguk tuaknya beberapa kali. “Hemmm….enaknya
tauk ini” kata si kakek. “Eh, pikir-pikir aku sendiri mengapa
sampai berada di sini?
Astaga! Aku sampai lupa. Aku datang kemari untuk menyambangi seorang sahabat.
Jangan-jangan empat orang
tadi juga ingin menenmuinya. Tapi gerak-gerik mereka jelas keempatnya
bukan orang baik-baik. Di puncak gunung tinggal sahabatku Sinto
Gendeng. Jangan-jangan keempat orang tadi punya maksud jahat terhadap si
nenek.
Baiknya aku segera berangkat
ke sana. Tapi biar kusumpal lagi perutku dengan tuak kayangan ini!” Si
kakek teguk lagi tuak dalam tabung bambu sampai minuman ini meler
berjatuhan di bibirnya. Setelah puas, dengan gerakan aneh dan sangat
enteng, dia melompat dari cabang pohon tempat dia duduk berjuntai.
Tubuhnya laksana kapas melayang turun ke tanah tanpa suara sama sekali.
Begitu menginjak tanah dia segera hendak berkelebat pergi namun
langkahnya tertahan.
“Eh, aku ke sini seharusnya tidak sendirian. Anak itu belum juga muncul!
Kalau dia sampai tidak
datang akan kupecat dia sebagai murid. Apa ini dikiranya urusan
ain-main?!” Si kakek memandang jauh-jauh kian kemari. Namun dia tidak
melihat seorangpun di sekitar situ. Dia memasang telinganya baik-baik.
Tak terdengar suara apapun. Akhirnya dia tinggalkan tempat itu.,
menghambur menuju puncak Gunung Gede.
Dia datang tepat pada saat
Sinto Gendeng roboh ke tanah dan Ramada siap untuk menjagal lehernya
dengan roda bergerigi di ujung kaki kirinya.
Si kakek segera teguk
tuaknya lalu minuman ini disemburkannya ke arah Ramada Suro
Jelantik. Tuak kayangan bukan saja merupakan minuman sedap tetapi di
tangan si kakek bisa berubah menjadi senjata yang sangat
berbahaya.
Dengan minuman itu dia telah
menjadi seorang tokoh silat tingakt atas yang ditakuti lawan dan
disegani kawan. Dialah tadi yang menyembur Ramada dengan tuak
saktinya hingga Sinto Gendeng selamat dari roda maut yang siap memutus
lehernya.
Sebetulnya si kakek
ingin mengejar Ramada namun lebih penting baginya menyelamatkan
Sinto Gendeng. Karenanya begitu Ramada dan dua anak buahnya
kabur orang tua ini cepat mendatangi Sinto Gendeng. Menyangka si kakek
adalah salah seorang musuhnya Sinto Gendeng yang tengah breusaha
bangkit berdiri angkat tangan kanannya, siap untuk menghantam.
“Sinto! Kau mau membunuhku degan pukulan saktimu?!” sikakek cepat berseru.
“Eh!” sinto Gendeng jadi terkesiap. “Aku rasa-rasa mengenal suaramu.
Bukankah kau….?” “Sudah!
Jangan banyak bicara dulu. Ada dua binatang beracun menancap di
tubuhmu! Biar aku singkirkan lebih dulu!” Kakek berjanggut putih yang
membekal dua buah tabung bambu berisi tuak itu mencabut kalajengking
hitam yang menancap di leher Sinto Gendeng lalu dengan jari-jari
tangannya diremasnya binatang itu hingga hancur luluh. Kedua mata si
kakek kelihatan membesar sewaktu dia melihat bahwa leher Sitno
Gendeng yang bekas ditancapi kala hitam tadi tampak menggembung.
“Racun jahat,” kata si
kakek dalam hati. “Pasti sudah menjalar ke dalam aliran darahnya.
Tubuhnya terasa panas. Kalau tidak segera ditolong sahabatku
ini pasti akan celaka. Ah, agaknya aku tak akan bisa
mengajaknya membicarakan hal itu.
Muridku celaka itu mana dia! Masih juga belum kelihatan batang hidungnya!”
Sinto Gendeng yang sedang
ditolong menangkap ucapan-ucapan perlahan si kakek. “Eh apakah kau
sedang mengomeli diriku?!” tanyanya.
“Jangan bicara Sinto!
Keadaanmu berbahaya. Masih ada satu binatang beracun di
tubuhmu!” kata si kakek. Lalu kelabang biru yang menempel di
bahu kanan Sinto Gendeng dicabutnya dan seperti kala hitam tadi
binatang ini diremasnya sampai lumat.Ketika diperhatikan bahu kanan
Sinto Gendeng ternyata juga bengkak besar tanda racun sudah memasuki
tubuhnya.
“Sinto, keadaanmu berbahaya. Ubuhmu panas…..”
“Panas? Aku malah merasa kedinginan. Bawa aku masuk ke dalam gubukku!” kata Sinto Gendeng.
“Tunggu, aku mau
melakukan apa yang bisa membendung racun yang ada dalam
tubuhmu,” kata si kakek. Lalu degnan sebuah pisau kecil
ditorehnya luka bengkak pada leher dan bahu kanan Sinto Gendeng. Darah
mengucur berwarna hitam. Si kakek pergunakan mulutnya untuk
menyedot darah lewat kedua luka. Lalu dia meneguk tuaknya. Dengan
tuak itu dia kemudian menyembur luka di leher dan bahu Sinto Gendeng.
Tidak sampai di situ diapun membuat beberapa totokan d tubuh si nenek.
“Sobatku Dewa Tuak,”
Sinto Gendeng menyebut nama si kakek. “Aku bersyukur dan
berterima kasih kau menolongku. Kemunculanmu tidak terduga….” “sudah,
jangan bicara banyak dulu. Biar aku dukung kau ke dalam rumah,” ujar
si kakek yang ternyata adalah tokoh silat berusia lebih dari 80 tahun
yang sejak beberapa tahun ini jarang memunculkan diri dalam rimba
persilatan.
“Kedatanganku tadinya untuk membicarakan satu masalah penting denganmu.
Tapi melihat keadaanmu
seperti ini kurasa sebaiknya aku menunda dulu pembicaraan itu.” Dewa
Tuak lalu mendukung tubuh Sinto Gendeng.
“Gila! Tubuhmu kurus
kering begini tapi berat bukan main!” Dewa Tuak seperti
mengeluh. Sinto Gendeng didukungnya masuk ke dalam rumah lalu
dibaringkannya pada sebuah tempat tidur kayu. “Sinto, racun dalam
tubuhmu jahat sekali. Aku tidak bisa menjamin kau bisa bertahan lebih
dari dua minggu. Aku harus
mencari seorang tabib ulung
dan membawamu turun gunung.” Sinto Gendeng batuk-batuk beberapa kali.
“Buat apa kau menyusahkan diri.
Kalau nyawaku mau minggat dari tubuh keropos ini ya biar saja! Hik…hik…hik!”
Sinto Gendeng masih bisa tertawa cekikikan.
Dewa Tuak geleng-gelengkan kepala.
“Tubuhku terasa dingin.
Mana tuak keparatmu itu? Aku minta barang beberapa teguk biar
tubuhku dan darahku jadi hangat!” Dewa Tuak menurunkan tabung
tuaknya dari punggung lalu mendekatkan mulut tabung ke mulut Sinto
Gendeng. Gluk…gluk…gluk! Si nenek meneguk tuak itu dengan lahap.
“Sinto, kau dengar
baik-baik. Aku harus meninggalkanmu saat ini juga untuk menemui tabib
yang kukatakan itu. Kalau kau tak mau dibawa turun gunung, biar tabib
itu saja yang aku bawa ke sini. Sebelum pergi perlu kuberitahu bahwa
muridku Anggini mungkin sekali akan muncul di sini. Kami berjanji akan
bertemu di puncak Gunung Gede ini….”
Sinto Gendeng tersenyum.
“Aku tahu. Aku tahu mengapa kalian mengadakan pertemuan di sini. Pasti
urusan yang itu juga….” “Keadaanmu membuat aku terpaksa membatalkan
pembicaraan itu Sinto. Lain kali saja kita bicarakan lagi….” “Kalau
umurku masih panjang,” kata Sinto Gendeng.
“Jangan bicara bagitu Sinto….”
“Kalau saja Kapak Naga
Geni 212 ada di sini segala macam racun yang mendekam dalam
tubuhku pasti bisa disedot….” Kata Sinto Gendeng pula.
“Kalau begitu, bagaimana jika aku mencari muridmu dan membawanya ke sini?” minta pendapat Dewa Tuak.
“Dalam waktu seribu hari
belum tentu kau bakal dapat menemuinya.” Dewa Tuak maklum apa yang
dikatakan sahabatnya itu memang betul. Tidak mudah mencari Wiro
Sableng.
“Sinto, sebenarnya siapa orang-orang yang mencelakaimu itu?” bertanya
Dewa Tuak.
“Aku tak kenal mereka.
Sebelumnya juga tak pernah melihat. Yang jadi pimpinan dipanggil
oleh anak buahnya dengan nama Ramada….” Menerangkan Sinto Gendeng.
“Ramada….Ramada…..” Dewa
Tuak mengulang-ulang nama itu. “Rasanya aku pernah tahu manusia
keparat satu itu. Dia berasal dari Timur. Kalau tak salah nama
lengkapnya Ramada…..Ramada Suro Jelantik. Sebetulnya dia bukan manusia
jahat tapi juga bukan orang baik-baik. Dia tidak diterima dalam golongan
hitam dan tidak diperdulikan dalam golongan putih. Cuma memang
belakangan ini, sejak dia punya beberapa orang anak buah,
kelakuannya berubah. Dia banyak berbuat kejahatan. Kau yakin tidak
punya silang sengketa denga orang-orang itu?” Sinto Gendeng
menggeleng. “Ramada datang membawa tuduhan bahwa muridku Wiro
Sableng telah memperkosa dan membunuh istrinya….” “Jadi yang
dibawa-bawanya itu adalah mayat istriya?! Gila betul! Cuma ada
hal yang kurasa aneh.
Sekalipun muridku berbuat jahat seperti yang dituduhkan, mengapa
dia dan anak buahnya nekad hendak membunuhku?!” “Ada sesuatu yang
tidak beres Sinto,” kata Dewa Tuak pula. “Bagaimana kalau aku
menghubungi sahabat kita Kakek Segala Tahu. Siapa tahu dia bisa memberi
petunjuk.” “Terserah padamu Dewa Tuak. Tapi kau juga tahu mencari
orang seperti dia tidak mudah.” Jawab Sinto Gendeng. Dia menarik
nafas dalam lalu melanjtukan ucapannya.
“Aku melihat Ramada
membawa sebuah benda. Sebuah guci. Aku yakin pernah melihat
benda itu di masa mudaku. Sebuah guci keramat milik Kerajaan
berasal dari zaman Singosari. Guci itu sangat berbahaya jika
sampai jatuh dalam tangan orang-orang jahat….” Dewa Tuak terdiam
sesaat. Akhirnya orang tua ini berkata “Sinto, aku harus pergi
sekarang. Kalau muridmu datang dia tentu akan merawatmu sampai
aku kembali.” Sinto Gendeng menarik nafas dalam. Tubuhnya semakin
panas tapi dia sendiri merasa dingin. Dewa Tuak memegang lengan
sahabatnya itu. Didengarnya sinto berbisik “Tinggalkan satu tabung
tuak untukku.” “Tentu Sinto. Kau boleh minum tuka ini sepuas hatimu.”
Dewa Tuak turunkan tabung tuaknya yang masih penuh lalu menyandarkan
tabung bambu itu di tepi tempat tidur, dekat kepala Sinto Gendeng.
DELAPAN
Menjelang petang dua penunggang kuda nampak menuruni puncak Gunung
Merbabu. Keduanya bukan lain
adalah Pangeran Banuarto dan keponakannya Dewi Santiastri yang baru
saja menziarahi makam Pangeran Banowo, ayahanda si gadis yang
juga merupakan kakak Pangeran Banuarto.
Setelah berdiam diri
beberapa lamanya, Dewi Santiastri membuka pembicaraan di antara
mereka. “Paman, sebenarnya kalau tidak ada pesan dari almarhum
ayahanda ingin saya memindahkan makam beliau ke pinggiran
Kotaraja…” “Maksudmu memang baik. Tapi pesan orang yang meninggal
harus dihormati.
Aku takut kalau-kalau nanti ada akibatnya yang tidak baik bagi kita….”
Si gadis terdiam. Lalu dia mengalihkan pembicaraan. “Pemuda yang bernama
Wiro itu, apakah benar
dia seorang pendekar sakti mandraguna yang punya nama besar di
delapan penjuru angin?” “Begitu kabar yang aku dengar….”
“Tapi mengapa salah satu
anak panah saya mempu melukainya?” Pangeran Banuarto tersenyum.
“Mungkin kehebatannya telah menurun atau bisa saja ilmu panahmu
sudah meningkat jauh!” Dewi Santiastri tersenyum. Belum pupus senyum
dari wajahnya yang jelita itu
tiba-tiba di lereng
gunung yang menurun itu muncul seorang tua berpakaian dan
berblangkon hitam. Janggut dan kumisnya putih tak terurus.
Pandangan matanya dingin angker. Dari caranya berdiri di jalan jelas
dia sengaja menghadang perjalanan kedua orang yang berkuda itu.
“Orang tua, siapa kau?”
bertanya Pngeran Banuarto dengan rasa heran. Tentu saja dia tak akan
menyangka kalau akan bertemu dengan seseorang tak dikenal di tempat
itu.
Orang yang ditegur menyeringai. “Kau tak kenal aku sungguh keterlaluan Pangeran Banuarto,” orang itu berkata.
“Eh, kau tahu siapa aku!” Pangeran Banuarto semakin heran.
Orang berblangkon hitam kembali menyeringai. “Namaku Ki Ageng Lentut.
Bertahun-tahun aku menjadi
kuncen penjaga makam Pangeran Banowo tanpa dibayar barang sepeserpun!
Apa salah kalau hari ini aku muncul untuk menagih segala hutang
piutang?!” Pangeran Banuarto dan keponakannya jadi saling pandang
mendengar kata-kata orang yang tidak mereka kenal itu. Si gadis membuka
mulut.
“Kami tidak pernah
merasa mempunyai kuncen untuk mengurus makam ayahanda….” “Ah
kalau begitu kau seorang anak yang sangat tidak berbakti!”
“Jaga mulutmu!” bentak Pangeran Banuarto.
Dibentak begitu orang yang
mengaku kuncen makam Pangeran Banowo itu hanya menyeringai. “Aku
sudah menghitung-hitung berapa bayaran yang harus kuterima.
Semuanya sekitar sepuluh tail emas ditambah lima puluh tail perak! Aku
mohon kalian jangan segera membayarnya saat ini!” “Orang gila! Kami
tidak membawa apa yang kamu minta itu. Sekalipun ada tidak akan kami
berikan! Antara kita tidak ada sangkut paut apa-apa!” “Pangeran,
jangan berkata begitu. Aku telah merawat….”
“Tunggu dulu!” sentak
Dewi Santiastri. “Kalau kau benar merawat makam ayahandaku,
mengapa makam begitu kotor dan ada tiangnya yang patah?!” “Soal
tiang patah itu karena ada seorang gila datang mengamuk. Tapi
aku telah mengusirnya hingga makam tidak lebih rusak….” “Kau dusta!
Aku tahu kau dusta!” kata Dewi Santiastri pula.
“Jadi kalian tidak mau membayar?” bertanya kuncen Ki Ageng Lentut.
“Siapa sudi!” teriak Dewi Santiastri.
“Baiklah, kalau kalian
tidak mau membayar tidak jadi apa. Kalian yang merugi, bukan
aku. Namun jika kalian mau berunding rasanya itu lebih baik…” “Apa
maksudmu?!” tanya Pangeran Banuarto.
“Usiaku memang sudah
agak lanjut. Tapi kejantananku tidak kalah dengan seorang
pemuda dua puluh tahun. Kulihat keponakanmu itu berparas cantik.
Bagaimana kalau dirinya saja
yang kuambil sebagai pembayar hutang kalian!” “Manusia rendah
bermulut kurang ajar!” teriak Pangeran Banuarto marah.
Dewi Santiastri tidak
kalah marahnya. Gadis ini menyentakkan tali kekang kudanya.
Begitu tunggangannya melompat ke hadapan orang berpakaian hitam, kaki
kanannya langsung ditendangkan ke kepala orang itu.
“Ah, tidak dikira
putrid almarhum Pangeran Banowo memiliki ilmu silat,” kata si
kuncen sambil tersenyum.. Sekali tangannya bergerak dia berhasil
menangkap pergelangan kaki kanan si gadis. Lalu sekali putar
saja tubuh Dewi Santiastri dibuatnya mencelat ke atas.
Sambil memekik marah
puteri mendiang Pangeran Banowo itu jungkir balik di udara. Kedua
tangannya bergerak menyambar busur dan tiga anak panah. Masih dalam
keadaan melayang di udara si gadis lepaskan tiga anak panah
kea rah si kuncen. Yang diserang berseru kaget. Untung dia
bisa berlaku cepat melompat menghindari tiga serangan anak
panah itu walau satu anak panah masih sempat menyerempet
blangkonnya hingga blangkon itu robek besar.
“Hem, gadis ini
berbahaya. Dia harus ditangani lebuh dulu,” membatin Ki Ageng
Lentut yangwajahnya sempat pucat akibat keganasan ilmu panah
Dewi Santiastri tadi. Pada saat itu Pangeran Banuarto telah melompat
turun dari kudanya.
Dengan tangan kosong dia
menyerang Ki Ageng Lentut. Sang kuncen menangkis dengan
melintangkan lengan kiri di depan kepalanya. Bukkk! Dua tangan
saling baradu. Pangeran Banuarto mengernyit kesakitan. Tubuhnya
terjajar beberapa langkah ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan si
kuncen untuk menyergap kea rah Dewi Santiastri yang saat itu sudah
berdiri di tanah dan siap melepaskan lima anak panah. Namun sebelum dia
mampu melakukan hal itu, orang berpakaian hitam ini telah menyergap si
gadis. Dewi coba menghantam kepala lawan dengan busurnya.
Dia berhasil.
Trakkk!
Busur patah dua begitu
menghantam kepala Ki Ageng Lentut. Dari keningnya yang terluka mengucur
darah. Tapi seolah tidak merasakan sakit orang ini kembali menyergap
bagian pertengahan dada Dewi Santiasri hingga gadis ini tertegak kaku
tidak bisa bergerak lagi.
“Keparat jahanam! Apa
yang kau lakukan pada keponakanku?!” teriak Pangeran
Banuarto.Tangan kanannya yang masih sakit akibat bentrokan tadi
dipukulkannya ke perut sang kuncen.
Bukkk!
Jotosan itu tepat mengenai ulu hati Ki Ageng Lentut!
“Mampus!” teriak
Pangeran Banuarto karena dia sudah memastikan perut orang tua itu
akan jebol dan hancur di sebelah dalam. Pukulan yang dilepaskannya
tadi bukan pukulan sembarangan. Selain mengandung tenaga dalam
tinggi juga disertai aji “wesi kuning” yang sanggup mematahkan pohon
menjebol dinding.
Tapi sang pangeran
jadi terbelalak ketika melihat, jangankan jebol atau muntah
darah bergeming sedikitpun tubuh sang kuncen tidak! Malah dia
tampak menyeringai dan berkata mengejek.
“Aji wesi kuning tidak
ada gunanya di hadapanku, pangeran! Sekarang gilirankmu
menerima pukulanku!” Habis berkata begitu Ki Ageng Lentut
angkat tangan kanannya ke atas. Telapak tangan membuka. Mulutnya
berkomat kamit. Lalu telapak tangan yang diarahkan pada Pangeran
Banuarto itu didorongkannya. Perlahan
saja. Apa yang terjadi membuat Dewi Santiastri terpekik.
Dari telapak tangan Ki
Ageng Lentut menyembur keluar suara mendesis keras disertai hawa
panas luar biasa. Pangeran Banuarto cepat menyingkir sambil
menghantam degnan kedua tangan.
Bummmm!
Lereng Gunung Merbabu itu
terasa bergetar. Ki Ageng Lentut tampak tertegak dengan lutut menekuk
sedang tubuh sebelah atas bergoyang-goyang. Wajah tuanya kelihatan
sedikit pucat. Tapi dia berhasil menguasai diri. Kedua kakinya melurus
dan tampangnya tampak berdarah lagi.
Lain halnya dengan
Pangeran Banuarto. Begitu pukulan tangan kosongnya saling
bentrokan dengan hawa panas yang keluar dari telapak tanagn si
kuncen, tubuhnya langsung mencelat mental. Ambruk di tanah
berguling-guling sampai beberapa tombak. Ketika gulingannya tertahan
oleh akar semak belukar, kelihatan pakaian dan sebagian kulit tubuhnya
laksana dipanggang! Tubuh itu tidak berkutik lagi dan Dewi Santiastri
tahu kalau pamannya sudah jadi mayat! Untuk kedua kalinya gadis ini
berteriak.
Ki Ageng Lentut
menyeringai sambil usap-usap janggutnya. Lalu terdengar dia tertawa
mengekeh. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati mayat Pangeran
Banuarto. Di satu tempat dia mematahkan sebatang ranting kayu yang
keras. Dengan ranting yang ujungnya tajam ini dia lalu menoreh
angka 212 di kening Pangeran Banuarto. Ranting dicampakkan dan
Ki Ageng Lentut kembali tertawa mengekeh.
Tubuh Pangeran Banuarto
didukungnya lalu dinaikkan ke atas kuda. “Bawa kembali tuanmu ke
Kotaraja!” Lalu Ki Ageng Lentut menepuk pinggul kuda itu
kuat-kuat hingga binatang ini menaikkan kedua kakinya lalu lari
menghambur.
Ki Ageng Lentut menyeringai dan berpaling kea rah Dewi Santiastri.
“Manusia durjana! Pergi! Pergi!” teriak si gadis ketika si kuncen melangkah ke arahnya.
“Tenang kekasihku, tenang.
Kau akan kubawa bersenang-senang. Kau akan merasakan satu kenikmatan
dunia yang belum pernah kau ketahui salama ini!” “Manusia iblis!
Setan! Pergi!” teriak Dewi Santiastri.
Ki Ageng Lentut sampai
di hadapan si gadis. Tanpa pedulikan teriakan di Dewi, tangan
kanannya enak saja secara kurang ajar mengusap permukaan dada gadis
itu. Jeritan dan makian si gadis terdengar berkepanjangan.
“Kekasihku, apakah kau
pernah ditiduri laki-laki?” Ki Ageng Lentut ajukan pertanyaan seraya
menyusupkan tangan kanannya ke balik dada pakaian Dewi
Santiastri.
“Manusia jahanam! Kau bunuh saja aku daripada menodai begini tupa!” teriak
Dewi Santiastri.
“Jangan bilang begitu
kekasihku. Mari ikut aku ke makam ayahmu. Di situ kita akan
bersenang-senang biar roh ayahmu menyaksikannya sendiri. Setelah
itu kalau kau memang mau mati boleh-boleh saja….” “Jahanam!
Lepaskan!” teriak Dewi. “Lepaskan!” Ki Ageng Lentut tertawa mengekeh.
Tubuh gadis dipanggulnya di bahu kiri
lalu dilarikannya kea rah
puncak Gunung Merbabu. Tapi baru berlari beberapa belas langkah
tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring. Bersamaan dengan itu ada
semburan angin di samping kiri. Ki Ageng Lentut terkejut ketika
merasakan tubuh gadis yang ada di bahunya terlepas dari
panggulannya. Secepat kilat dia hentikan larinya dan berpaling.
“Keparat….. Dia rupanya!”
Ki Ageng Lentut jadi terperangah ketika melihat siapa yang ada di
depannya. “Rasanya mau aku nekad-nekadan menghadapinya saat ini juga.
Tapi tak ada gunanya. Biar orang lain saja yang membereskannya. Perlu
apa menyusahkan diri!” Berpikir begitu Ki Ageng Lentut keluarkan sebuah
benda dari saku pakaian hitamnya. Benda ini kemudian dilemparkan kea
rah pemuda gondrong yang kini mendukung Dewi Santiastri.
Blusssss!
Benda yang dilemparkan
meletus di udara. Asap pekat kelabu membumbung membungkus tempat itu.
Pemuda yang mendukung Dewi SAntiastri melepaskan satu pukulan tangan
kosong yang sangat dahsyat. Tapi tak ada gunanya. Ki Ageng Lentut
telah lebih dulu menghambur pergi diblik kepulan asap kelabu.
Di sebelah sana pohon-pohon dan semak belukar patah tumbang dan
mencelat kian kemari dihantam pukulan “dewa topan menggusur gunung.”
Pendekar 212 Wiro Sableng baringkan tubuh Dewi Santiastri di tanah
yang rata lalu melepaskan totokannya. Gadis ini menangis keras dan
tanpa sadar memeluki tubuh si pemuda.
“Wiro, syukur kau datang.
Kalau tidak entah apa jadinya dengan diriku. Tapi orang jahat itu telah
membunuh paman Pangeran Banuarto….” Wiro terkejut sekali. Dia
memandang berkeliling.
“Mayat paman dinaikkannya
ke atas kuda, lalu kuda digebraknya. Binatang itu kini telah dalam
perjalanan ke Kotaraja. Sebelum mayat paman dinaikkan ke atas
kuda dia telah menoreh angka 212 pada kening mayat…..” “Apa!”
sepasang mata Pendekar 212 sampai melotot ketika mendengar ucapan di
gadis. Dewi Santiastri lalu menerangkan lebih rinci.
“Kurang ajar! Apa maksud orang itu….?!” Pendekar 212 berpikir-pikir.
“Hemmmmm…. Jelas dia
berusaha memfitnah diriku! Gila! Begitu kuda pembawa mayat pamanmu
sampai di Kotaraja semua orang akan segera tahu bahwa akulah
pembunuh Pangeran Banuarto.” “Tapi aku bisa menjadi saksi bahwa bukan
kau yang melakukan hal itu,” kata Dewi pula.
“Memang bisa, tapi namaku
sempat tercemar lebih dulu. Kita tak mungkin mengejar kuda yang
membawa jenazah pamanmu. Begitu aku muncul di Kotaraja pasti
aku akan segera ditangkap. Kurang ajar betul! Kau tahu siapa
orang tua berkumis dan berjanggut putih tadi itu?” “Dia mengaku
kuncen makam ayahandaku. Padahal kami tidak pernah membayar
seorang kuncenpun….” “Kau pernah melihat orang itu sebelumnya? Atau
mungkin tahu nama serta asalnya?” tanya Wiro.
“Baru sekali ini aku
melihatnya. Tak tahu darimana dia berasal. Hanya tadi dia mengaku
bernama Ki Ageng Lentut.” Pendekar 212 garuk-garuk kepala. “Ki
Ageng Lentut….Ki Ageng
Lentut….Aku pernah dengar
nama itu. Aku ingat! Dia seorang pengukir patung kayu di Pangadegan.
Rasanya tak mungkin dia yang melakukan. Tapi aku pernah
mendengar bahwa dia menguasai semacam ilm hitam….. Bagaimana
cirri-cirinya?” “Tua, kumis dan janggutnya sudah putih.
Blangkon dan pakaiannya serba hitam….” “Tepat sama dengan
cirri-ciri juru ukir itu! Kurang ajar! Jika memang dia akan
kupecahkan kepalanya!” Wiro kepalkan kedua tinjunya walaupun hatinya
masih agak meragu.
“Kita harus pergi dari
sini. Aku akan antarkan kau sampai di pintu gerbang luar Kotaraja.
Begitu sampai di Kotaraja kau harus segera menemui pejabat Istana yang
kau kenal baik dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi
atas diri pamanmu.” “Aku akan melakukan itu Wiro. Jangan kawatir.
Namun bagaiman kalau kita bersama-sama menemui pejabat itu? Aku
kenal seorang Tumenggung yang punya hubungan baik dengan Sultan”
“Terlalu besar bahayanya. Sebelum persoalannya jelas bagi kalangan
Keraton, aku tak mungkin masuk ke dalam Kotaraja.” “Aku mengerti.
Jadi kau antarkan saja aku sampai di pintu gerbang Kotaraja,” kata Dewi
Santiastri.
Pendekar 212 memapah gadis itu lalu menaikkannya ke atas punggung kuda.
“Kuda kita cuma satu?
Bagaimana dengan kau?” Wiro tersenyum. “Asal kau tidak memacunya
terlalu cepat aku bisa mengikuti dari belakang.” “Kalau begitu….”
Si gadis meragu sesaat. “Kau naik saja di belakangku Wiro.”
Tanpa disuruh dua kali Wiro Sableng langsung naik punggung kuda besar itu.
Apa yang diperkirakan
Pendekar 212 Wiro Sableng memang benar. Begitu mayat Pangeran
Banuarto sampai di Kotaraj, suasana menjadi geger. Pendekar 212 Wiro
Sableng segera dicap sebagai pembunuh. Walaupun keumudian Dewi
Santiastri menemui pejabat yang dikenalnya lalu menerangkan apa yang
terjadi namun pihak Istana tidak begitu saja mempercayainya. Malah
tersebar desas desus bahwa gadis itu mungkin saja berkomplot dengan
Pendekar 212 untuk membunuh Pangeran Banuarto karena kini hanya dialah
pewaris tunggal harta kekayaan milik ayah dan sang paman.
SEMBILAN
Malam yang gelap di
pinggiran timur Kotaraja. Di desa pengadegan terasa dingin setelah
hujan turun cukup lebat. Di mana-mana terdengar suara jangkrik yang
sesekali ditimpali suara kodok.
Di dalam rumah kayu, orang
tua berjanggut dan berkumis putih itu duduk di atas tikar tengah
asyik memperhalus ukiran kepala seekor burung garuda besar.
Sebenarnya matanya sudah sangat mengantuk, tapi ukiran itu harus selesai
malam itu juga karena esok pagi pemesanna, seorang hartawan dari Kudus
akan mengambilnya. Sesekali orang tua ini menghentikan pekerjaannya
sekedar untuk mengipas-ngipaskan blangkon hitamnya. Walaupun di luar
udara dingin namun dalam rumahnya Ki Ageng Lentut merasa panas dan
sekujur pakaian hitamnya basah oleh keringat.
Tengah dia asyik
menekuni pekerjaannya tiba-tiba telinganya menangkap suara kaki di
depan rumah. Sesaat kemudian pintu rumah terpentang lebar dan tangga
ditendang orang dari luar.
“Hai! Setan dari mana yang datang mengamuk malam-malam buta di rumahku?!” teriak Ki Ageng Lentut marah sekali.
Baru saja dia berteriak
begitu tiba-tiba di hadapannya tegak bertolak pinggang seorang pemuda
berambut gondrong dengan tampang beringas seolah siap untuk
melumat juru ukir itu.
“Orang gila! Siapa kau?!
Kau merusak pintu rumahku! Masuk tanpa izinku?” Ki Ageng Lentut
letakkan ukiran burung garuda ke atas tikar lalu berdiri dengan cepat.
Pahat kecil yang tajam luar biasa tepentang di tanagnnya.
“Benar kau orangnya yang bernama Ki Ageng Lentut?!” bertanya si pemuda.
“Eh setan sialan! Ditanya
malah kembali menanya! Kau sendiri siapa orang gila?” “Namku Wiro.
Aku ingin jawabanmu benar kau orangnya yang bernama Ki Ageng
Lentut?!” “Kalau kau sudah tahu siapa aku lekas minggat dari sini.
Tapi bertulkan dulu pintu rumahku. Kalau tidak wajahmu akan kuukir
seburuk setan dengan pahat ini!” “Orang tua, kau telah membunuh
Pangeran Banuarto. Kini aku jadi buronan karena perbuatanmu menoreh
angka 212 di kening jenazah pangeran itu!” “Eh…..eh…! Tunggu dulu!
Kau benar-benar orang gila kesasar. Kal kaupun aku tidak! Enak saja
menuduh….” “Di mana kau sekitar empat hari lalu?!”
“Orang gila seharusnya
aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu. Tapi biar aku membuat
pengecualian. Sejak satu minggu terakhir ini aku tidak pernah
meninggalkan rumah ini !” “Dusta!”
“Anjing edan! Lihat pahat!” teriak Ki Ageng Lentut. Pahat runcing berkilat di tangannya berkelebat.
Pendekar 212 Wiro Sableng
cepat menghindar dan terkejut melihat kecepatan gerakan orang tua itu.
Pipinya terasa dingin sewaktu ujung pahat menyambar dekat sekali ke
wajahnya.
Jengkel melihat
serangannya hanya mengenai tempat kosong, si orang tua membuat
gerakan berputar. Ketika tubuhnya membalik tiba-tiba saja kaki kanannya
mencuat ke udara.
Bukkkk!
Murid Eyang Sinto
Gendeng terpelanting begitu tendangan kaki kanan Ki Ageng Lentut
mendarat di rahang kirinya. Untuk beberapa saat lamanya kepalanya
terasa pening. Kehebatan ilmu silat si kakek membuat Wiro semakin yakin
bahwa memang dialah yang telah membunuh Pangeran Banuarto dan hendak
menculik Dewi Santiastri.
“Tua bangka berkedok pengukir suci! Perbuatan bejatmu sudah aku ketahui!
Jangan harap kau bisa lolos
dari tanganku!” teriak Wiro. Lalu dia lancarkan serangan bertubi-tubi.
Mula-mula Ki Ageng Lentut memang mampu membuat gerakan
menghindar bahkan balas menyerang. Namun begitu nafasnya sesak dan
gerakannya menjadi lamban maka tubuh dan mukanya menjadi bulan-bulanan
jotosan Pendekar 212. Darah mengucur dari hidung dan bibirnya yang
pecah. Sewaktu orang tua ini berusaha berlindung di belakang
ukiran patung garuda besar tanpa ampun Wiro melabrak patung itu
dengan tendangan kaki kanan hingga hancur berkeping-keping.
Ki Ageng Lentut
meraung keras. Dia lebih baik kehilangan nyawanya dari pada
melihat ukiran burung garuda itu hancur begitu rupa. Seperti orang
kemasukan setan dia bergulingan di lantai sambil memegangi
beberapa bagian ukiran yang hancur. Wiro tidak menunggu lebih lama.
Kaki kanannya bergerak ke arah kepala Ki Aggeng Lentut. Si orang
tua malah tidak perdulikan kepalanya bakal pecah dan nyawanya
melayang. Dia menggerung sambil memegangi hancuran patung garuda.
Sesaat lagi kaki kanan Pendekar 212 akan menghantam kepala Ki
Ageng Lentut tiba-tiba atap rumah yang terbuat dari rumbia itu
jebol di dua bagian.
Bersamaan dengan itu
terdengar dua suara keras. Yang pertama suara lelaki berseru “Pendekar
212! Tarik pulang seranganmu! Jangan sampai kesalahan turun tangan!”
Suara kedua adalah suara perempuan. “Kalau otak ditelan
perasaan begini jadinya. Tarik pulang tendangan atau kuhancurkan
kakimu!” Lalu dari atas atap sebelah kanan menyembur cairan berbau
harum sedang dari atap sebelah kiri menyambar satu cahaya biru laksana
tebasan pedang panjang yang mengeluarkan hawa sangat dingin hingga
murid Eyang Sinto Gendeng merasa tengkuknya jadi merinding!
Bagaimanapun nekadnya dia hendak membunuh Ki Ageng Lentut yang
dicapnya sebagai pembunuh Pangeran Banuarto dan yang hendak menculik
dan memperkosa Dewi Santiastri tapi pikiran sehat membuat sang pendekar
menarik tendangannya dengan cepat.
Byuuuuurrrrr!
Craaaaatttt!
Lantai papan berlobang di
enam tempat akibat semburan cairan aneh berbau harum. Lalu di bagian
lain lantai yang sama robek seperti ditembus benda tajam yaitu akibat
hantaman sinar biru tadi!
Pendekar 212 leletkan
lidah dan garuk-garuk kepala. Sesaat nyawanya serasa terbang. Kalau
tadi dia tidak segera menarik tendangannya jelas kakinya akan hancur
dan terbabat putus! Wiro angkat kepala memandang ke dapan. Dia
melihat dua pemandangan yang kontras sementara Ki Ageng Lentut masih
menelungkup di lantai menangisi patungnya yang hancur.
Di sebelah depan kanan Wiro saat itu berdiri seorang kakek berpakaian
selempang kain biru. Di
punggungnya tergantung sebuah tabung bambu. Janggutnya yang putih
menjela sampai ke bahu. Di bawah penerangan lampu minyak yang
tergantung di dinding kanan rumah dia segera mengenali sapa adanya
kakek-kakek itu.
Dia hendak berseru memanggil
nama “Dewa Tuak” namun mulutnya tersekat ketika dia melihat sosok
kedua yang berdiri di samping kiri ruangan.
Di situ tegak seorang
dara berpakain biru. Begitu tipisnya pakaian yang dikenakannya
sehingga walaupun nyala lampu minyak di ruangan itu tidak seberapa
terang namun Wiro masih dapat melihat menembus ke balik pakaian itu
bentuk tubuh yang luar biasa bagusnya. Murid Sinto Gendeng merasakan
nafasnya seperti berhenti.
Wajah dara itu ternyata
cantik bukan kepalang. Rambutnya yang panjang tergerai sampai di
dada berwarna coklat kepirangan.
“Gila, mengapa di saat
seperti ini ada bidadari yang turun ke bumi!” kata Pendekar
212 dalam hati. Untuk beberapa saat lamanya dia tak bisa berkata
apa-apa selan tegak tertegun.
Kakek berjanggut putih
yang memang adalah Dewa Tuak betuk-betuk beberapa kali. Pendeka
212 segera sadar. Dia cepat maju ke hadapan si kakek dan menjura
dalam-dalam memberikan penghhormatan.
“Dewa Tuak, harap maafkan
kalau aku tidak cepat menyalamimu. Semuanya terjadi begitu mendadak dan
membuatku agak bingung.” Dewa Tuak tertawa lebar. “Hidup ini
sesekali memang harus dibuat bingung, anak muda. Bagaimana aku bisa
muncul di sini dan bagaimana aku dapat menemuimu di sini satu mukjizat
yang membingungkan. Aku mendengar kabar tentang seorang kuncen bernama
Ki Ageng Lentut. Beberapa hari lalu aku berada di puncak Gunung Gede.
Gurumu dalam bahaya besar. Ada empat tokoh silat dari Timur
bernama Ramada Suro Jelantik. Orang ini memberi tahu bahea kau telah
memperkosa istrinya lalu membunuh perempuan itu. Kemana dia pergi dia
membawa jenazah istrinya yang sudah diawet. Agaknya dia tidak akan
menghentikan kegilaan itu sebelum berhasil membunuhmu! Apa yang hendak
kau katakan Pendekar 212?” Untuk beberapa saat lamanya Wiro
tampak ternganga mendengar kata-kata Dewa Tuak itu. “Dewa Tuak, kau
kenal diriku sejak aku masih kecil. Tidak meungkin aku melakukan
kejahatan keji seperti itu….” “Tiga orang anak buah Ramada
memberi kesaksian bahwa kau yang memperkosa dan membunuh istri
pimpinan mereka!” Wiro geleng-geleng kepala. “Aku harus mencari
mereka. Urusan gila ini harus dijernihkan!” “Bagus kalau kau mau
bertindak begitu. Jangan harap aku akan membantumu.
Aku punya urusan yang
lebih penting. Menyelamatkan nyawa gurumu. Sinto Gendeng
dikeroyok dan diserang dengan binatang-binatang berbisa. Tubuhnya
digerayangi racun yang mematikan. Hanya Kapak Naga Geni 212
yang mampu menyesot racun ganas itu dari tubuhnya. Ddia hanya
punya waktu dua minggu.
Berikan senjata mustika itu
padaku bihar segera kubawa ke Gunung Gede….” “Dewa Tuak, sebagai
muridnya bihar aku sendiri yang akan membawa Kapak Maut Naga Geni 212
ke sana….”
“Tidak Wiro!” jawab
Dewa Tuak sambil menggelengkan kepala. Dia mengambil tabung bambu
berisi tak. Setelah meneguk minuman itu beberapa kali dan menyeka
bibirnya dengan belakang telapak tangan orang tua ini melanjutkan
kata-katanya. “Urusanmu menyelamatkan gurumu serahkan padaku. Kau
bereskan urusanmu dengan Ramada dan anak buahnya…..” “Dewa Tuak kau
tadi mengatakan aku salah turun tangan. Maksudmu….?’ Dewa Tuak
belum sempat menjawab. Dara berpakaian tipis di sebelah kiri
membuka mulut. “Juru ukir bernama Ki Ageng Lentut itu bukan
orang yang kau cari….” “Lalu….?” Wiro bertanya heran.
“Kau harus memecahkan
sendiri teka teki ini? Hidup sebagai pendekar banyak tantangannya. Kau
harus memecahkan setiap tantangan atau kepalamu sendiri yang akan
dipecahkan orang!” jawab sang daa.
Wiro hanya bisa tegak ternganga dan memandang tak berkedip pada sang dara.
Tiba-tiba Dewa Tuak
membuat gerakan. Cepat sekali gerakannya itu hingga Wiro
merasakan seperti dia dihembus angin dan tahu-tahu Kapak Maut Naa Geni
12 yang terselip di pinggangnya lenyap.
“Dewa Tuak! Tunggu dulu!”
seru Wiro. Saat itu si kakek berjanggut putih sudah melompat ke atas.
Dia menerobos lenyap lewa atap yang jebol. Wiro hendak mengejar tapi
langkahnya tertahan karena dara berbaju biru tipis cepat sekali
menghadangnya. Berdiri begitu dekat Wiro dapat melihat wajah cantik
yang benar-benar sempurna. Hidungnya mencium bau harum yang keluar dari
tubuh dan rambut si gadis.
“Orang hendak menyelamatkan gurumu, mengapa kau masih banyak cerewet?!” sang dara tiba-tiba menegur.
“Aku tidak cerewet!” jawab Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Eh, kau ini siapa sebenarnya?”
“Aku orang yang tadi hendak membuat buntung kaki kananmu dengan
“pedang kilat biru”. Untung
kau tidak berlaku nekad. Kalau tidak saat ini kau sudah jadi seorang
pendekar buntung seperti Ramada itu!” “Eh,kau kenal Ramada yang
memfitnah aku memperkosa dan membunuh istrinya?” “Kenal atau
tidak itu bukan urusanmu. Siapa tahu mungkin memang kau yang memperkosa
lalu membunuh istrinya….” “Kau!” Wiro hendak mendamprat marah
tapi kemarahannya leleh melihat kecantikan gadis di depannya.
Si gadis kemudian
berkata lagi. “Coba kau lihat juru ukir itu! Kau telah
menghancurkan barang yang sangat berharga dalam hidupnya. Apakah kau
mampu memperbaiki ukiran burung garuda itu kembali?” “Aku tak mampu
melakukannya,” kata Wiro perlahan sambil memandangi si pengukir yang
menelungkup di lantai menagnisi pecahan ukiran burung garudanya.
“Aku harus mengakui aku menyesal melakukannya. Semua gara-gara….”
“Jangan salahkan orang lain. Kau yang punya perbuatan kau yang harus
bertanggung jawab.”
Ucapan itu membuat
mulut Wiro Sableng terkancing. “Kau, kau seperti sedang
menghakimiku. Apakah kau juga akan menjatuhi hukuman padaku?” Wajah
cantik itu menyeringai sinis. “Kau sendiri yang harus menghakimi dan
menghukum dirimu!” “Aku sudah bilang menyesal!” kata Wiro hampir
berteriak dan menunjukkan tangan kanannya ke dalam telapak tangan
kirinya.
Wiro mengeruk saku
bajunya. Semua uang dan beberapa tail perak yang dimilikinya
diletakkan di atas tikar. “Hanya itu yang bisa kulakukan. Ki Ageng
Lentut ku harap kau bersedia menerimanya sebagai ganti rugi….” Dara
di depan Pendekar 212 tertawa panjang. “Uang dan perak itu tidak akan
mengembalikan ukiran burung garudanya yang telah kau hancurkan!”
“Lalu….lalu aku harus berbuat apa?!” Sang dara tak menjawab.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak. Pendekar 212 keluarkan seruan
tertahan. Tubuh si gadis lenyap. Dia melihat gerakan-gerakan
laksana kilat serta cahaya biru berkelebat kian kemari. Pecahan-pecahan
kayu ukiran burung garuda yang bertebaran di lantai satu persatu lenyap
dari tempatnya. Begitu juga yang sedang dipegang oleh si
pengukir. Di lain kejap tahu-tahu di atas tikar pecahan ukiran
kayu itu telah menyatu kembali membentuk burung garuda, utuh
seperti semula.
Wiro bersurut mundur. Ki Ageng Lentut ternganga dan matanya mendelik tak percaya.
“Itu yang diinginkan orang
tua ini. Bukan penyesalan ataupun uang dan harta benda!” Wiro
palingkan kepalanya memandang pada gadis di hadapannya. Untuk
beberapa lamanya sepasang mata mereka saling beradu. Wiro kalah. Dia
menunduk lebih dulu. Ini yang membuatnya sangat jengkel. Ketika si baju
biru itu melesat ke atas menerobos atap yang jrbol tanpa
meunggu lebih lama murid Eyang Sinto Gendeng segera mengejarnya.
Berlari sejauh beberapa puluh langkah, di satu tempat gadis itu
hentikan langkahnya dan berbalik. Begitu Wiro sampai di hadapannya dia
membentak.
“Perlu apa kau mengikutiku?!”
“Aku tidak mengikutimu.
Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya. Kalau kau punya nama harap
memberi tahu.” “Untuk apa?!”
“Bukan untuk apa-apa. Kau
tadi telah memberikan satu pelajaran sangat baik padaku….” Si gadis
tertawa. Wiro seperti terpana ketika melihat ada lesing pipit muncul di
pipi kiri kanan si gadis.
“Bagi seorang pendekar, pelajaran paling baik bukan datang dari orang lain.
Tapi dari dalam dirinya
sendiri. Sanggup dan maukah dia belajar? Hanya itu saja
persoalannya. Sederhana bukan?” Untuk pertama kalinya dalam hidupnya
Pendekar 212 merasa seolah seperti
seekor kodok dalam tempurung.
“Kau tak mau memberi nama tak jadi apa. Kepandaianmu luar biasa.
Gerakanmu cepat tak terlihat mata laksana angin. Bihar aku panggil kau
Bidadari Angin Timur. Terma
kasih. Kau telah menanamkan sesuatu yang berarti dalam diriku. Yang
tidak akan aku lupakan seumur hidupku. Terima kasih….”
Perlahan-lahan Pendekar 212 memutar tubuhnya. Dua langkah dia
berjalan tiba-tiba dilihatnya si gadis sudah ada sejarak dua tombak
di depannya. Wiro berpaling ke belakang. Gadis itu tak ada di tempatnya
semula. Wiro memandang lagi ke depan. Di situ tak terlihat lagi si
baju biru itu.
Saat itu sebenarnya Wiro
ingin sekali kencing. Namun karena diselimuti rasa jengkel, malu dan
rasa bersalah bahkan bercampur pula dengan amarah akhirnya
seperti tidak perduli diri lagi Wiro kencing begitu saja tanpa membuka
celana dan sambil melangkah.
“Sialan!” katanya memaki entah memaki dirinya sendiri entah memaki gadis cantik berpakaian biru tipis tadi.
Saat itu tiba-tiba
terdengar suara orang tertawa di sebelah atas. Wiro mendogak ke
atas pohon di depannya. Gadis berbaju biru itu tampak berdiri di salah
satu cabang pohon.
“Hanya orang tolol yang mau ngompol di celana!” kata si gadis sambil melambaikan tangannya.
“Astaga! Bagaimana dia
tahu aku kencing di celana?!” kata Wiro sambil memegangi bagian
bawah perutnya yang basah. Ketika dia menoleh ke atas pohon sang dara
tak ada lagi di tempat itu. Hanya suara tawanya saja yang
terdengar di kejauhan.
“Mungkin dia benar-benar
bidadari. Mungkin juga malaikat. Tapi bagaimana kalau dia hantu
jejadian? Sayang tadi aku tidak melihat bagian belakang tubuhnya.
Jangan-jangan dia kuntilanak!” Memikir sampai di situ Wiro jadi
merinding sendiri.
SEPULUH
Orang tua berjanggut putih panjang dan mengenakan jubah putih itu memandang pada Ramada dan dua orang anak buahnya.
“Hari ini aku bukan lagi kuncen penjaga makam Pangeran Banowo.
Namakupun bukan lagi Ki Ageng Lentut.”
Rahang Ramada Suro
Jelantik menggembung tanda ada hawa amarah di rongga dadanya.
“Tunggu dulu!” katanya memotong. “Aku merasa curiga! Mengapa kau kini
berubah rupa dan pakaian?!” Orang tua itu tertawa perlahan.
“Hidup harus punya ragam. Bagaimana tampangku dan bagaimana
caraku berpakaian itu urusanku. Yang jelas aku adalah
satu-satunya manusia yang mampu menguasai dan memanfaatkan kekuatan gaib
yang ada dalam Guci Setan itu. Jika kau masih perlu aku kira boleh
bicara. Kalau tidak silahkan angkat kaki dari hadapanku!” Ramada
mencekal leher jubah orang tua berambut putih panjang itu. “Dengar
baik-baik! Salah seorang
anak buahku yang bernama Jalak Ijo mati konyol di tangan Sinto Gendeng.
Petunjukmu ternyata membawa celaka!” “Dan kau telah membuat sebelah
mataku buta!” berteriak Jalak Item tak kalah marahnya.
“Kalian bicara seperti
orang tolol!” sentak si orang tua. “Kau hendak mencari pembunuh
istrimu. Apa kau kira begitu gampang tanpa pengorbanan? Ingat!
Aku hanya memberi petunjuk. Apa kau mau melakukannya atau tidak aku
tidak perduli!
Apa akibatnya pada kalian aku tidak mau tahu!”
Kalau diperuntukkan
kemarahannya saat itu mau rasanya Ramada mencekik orang tua itu
sampai mati. Dengan suara bergetar dia bertanya “Lalu kami
harus memanggilmu apa sekarang?!” “Diriku sekarang adalah seorang
juru ramal. Panggil aku juru ramal Sangkolo Bumi,” jawab orang tua
berambut putih panjang. “Dekatkan Guci Setan itu padaku!” Ramada Suro
Jelantik memandang pada kedua anak buahnya yitu Jalak Item dan Jalak
Biru. “Binatang-binatang peliharaan kalian sudah lengkap semua?”
Jalak Biru dan Jalak Item sama-sama anggukkan kepala. Sejak kelabang
dan kalajengking mereka terbunuh di tangan Sinto Gendeng
beberapa waktu lalu, keduanya telah mendapatkan kala dan kelabag
baru.
“Kalau dia menipu
kita, aku tak akan memberi ampun lagi padanya!” kata Jalak
Item yang menaruh dendam kesumat pada si kakek. Dia membuka
penutup keranjang rotannya yang berisi tujuh ekor kala hitam
beracun. Hal yang sama dilakukan oleh Jalak Biru yang keranjang
rotannya berisi tujuh ekor kelabang biru.
“Tak ada yang menipu
kalian. Hanya kalian saja yang bertindak bodoh!” jawab orang tua
yang minta dipanggil dengan sebutan juru ramal Sangkolo Bumi itu.
“Kalau kalian memang tidak perlu diriku dan ingin membunuhku
mengapa tidak dilakukan dari tadi?” Ramada dan dua anak buahnya
terdiam. Perlahan-lahan mayat Dardini yang sejak tadi dipanggul
diturunkan lalu dibaringkan di atas rumput liar di dalam hutan kecil
yang terletak di satu kawasan sunyi di Selatan Kotaraja. Dalam hati dia
berkata “Kalau pembunuh istriku sudah kuhabisi aku bersumpah akan
membunuh tua bangka keparat ini!” Tiba-tiba orang tua yang duduk
bersila di tanah itu mengangkat kepalanya dan menatap Ramada
lekat-lekat hingga Ramada jadi tercekat dan bertanya-tanya apakah orang
tua itu mengetahui apa yang berusan diucapkannya dalam hati. “Turunkan
Guci Setan itu ke tanah dan dekatkan padaku!” si orang tua berkata.
Ramada berjongkok di hadapan orang tau yang dulu dikenal engan nama Ki
Ageng Lentut dan mengaku
sebagai kuncen makam Pangeran Banowo itu lalu mendekatkan Guci
Setan ke hadapannya tanpa melepaskan benda itu dari pegangan kedua
tangannya.
Seperti dulu, sewaktu
masih memakai nama Ki Ageng Lentut dan mengaku sebagai kuncen makam
Pangeran Banowo, orang tua ini letakkan kedua tangannya di atas mulut
guci yang mengeluarkan kepulan asap dan lidah api. Mulutnya berkomati
kamit. Perlahan-lahan matanya dipejamkan. Beberapa saat kemudian
kelihatan
sekujur tubuh Sangkolo Bumi
bergetar. Dari mulutnya meluncur ucapan “Guci Setan guci keramat.
Petunjuk bumi petunjuk langit. Lenyap asap padamkan api.
Munculkan air keramat. Ada orang meminta tolong. Sudi kiranya
penguasa guci memberi jawaban memeberi petunjuk!” Bersamaan dengan
akhir ucapan itu tubuh Sangkolo Bumi berubah menjadi sangat hitam dan
berkeriput. Tampangnya menyeramkan sekali. Hidung dan kedua matanya
membesar, begitu juga gigi-giginya. Kedua telinganya mencuat
panjang.
Dari mulutnya keluar pertanyaan. Namun suaranya berubah aneh.
“Aku penghuni dan
penguasa Guci Setan. Apa yang ingin kau tanyakan?” Matanya
memandang tak berkedip pada Ramada Suro Jelantik.
“Aku Ramada. Aku ingin
mengetahui dimana Pendekar 212 Wiro Sableng saat ini berada….
Dimana aku bisa membunuhnya!” “Api di dalam guci, penghuni dna
penguasa guci minta kau pergi. Air di alam gaib. Masuk dan isilah Guci
Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak melihat ke dalam alam
gaib….” Perlahan-lahan api di dalam guci mengecil. Kepulan asap iktu
sirna. Di dalam guci terdengar seperti ada air mencurah disertai
hembusan angin. Guci itu kini bergoyang keras hingga Ramada harus
menggenggamnya erat-erat. Sangkolo Bumi mendekatkan kepalanya ke mulut
guci.
“Penguasa guci telah
elihat air dan mendengar tiupan angin. Ada seorang bernama
Ramada ingin mengetahui dimana pembunuh istrinya berada. Namanya
Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
Guci yang dipegang
Ramada kembali berguncang keras. Sangkolo Bumi melafatkan sesuatu
lalu terdengar suaranya berkata. “Orang bernama Wiro Sableng bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu berada dekat sekali. Pergilah ke
Timur. Masuk ke Girimulyo pada saat hari pasar. Kau akan menemui pemuda
yang kau cari tepat pada saat sang surya berada di titik
tertingginya.” Mendengar kata-kata dari alam gaib itu Ramada
segera mengangkat Guci Setan dari hadapan Sangkolo Bumi. Dia cepat
mendukung jenazah istrinya kembali lalu memberi isyarat pada kadua anak
buahnya. Tanpa banyak bicara lagi ketiga orang itu tinggalkan si juru
ramal begitu saja.
“Manusia-manusia tidak tahu peradatan,” kata si orang tua perlahan. “Kalian lihat sendiri apa yang bakal terjadi.”
Hari pasar di Girimulyo
jatuh pada hari Sabtu. Dejak pagi kota kecil itu ramai oleh para
pedagang dan para pembeli yang berdatangan dari berbagai
penjuru. Di pagi yang sama seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun
mendatangi pengawal di pintu gerbang gedung Kepatihan. Pada
pengawal itu si anak menyerahkan satu lipatan kertas “Apa
ini?” bertanya pengawal.
“Ada seorang meminta saya menyerahkannya kemari,” jawab si anak lalu cepat-cepat pergi dari situ.
Pengawal tadi membuka lipatan kertas. Di situ tertera tulisan berbunyi : Wiro
Sableng alias Pendekar
212 pembunuh Pangeran Banuarto akan berada di pasar Girimulyo
siang ini. Saat yang baik untuk menangkapnya.
Menjelang tengah hari pasar
sedang ramai-ramainya. Orang bukan hanya berjual beli tapi banyak juga
yang asyik melihat-melihat keramaian berupa tontonan. Antara lain adu
ayam, permainan judi dadu, ada pula semacam tontonan akrobat. Di salah
sat pusat keramaian tampak seorang tua berambtu putih panjang yang
mengaku sebagai ahli meramal tegal di tangah-tengah lingkaran
orang banyak. Lalu dia melangkah mundar mandir. Di tangannya orang
tua ini memegang sebuah gong kecil. Setiap kali sehabis dia memukul
gong kecil itu, dia berseru.
“Aku Sangkolo Bumi, juru
ramal yang mampu meramal di delapan penjuru angin. Siapa yang ingin
diramal nasibnya silahkan maju dan masuk ke dalam kalangan.
Ulurkan telapak tangan kanan kalian. Jangan malu-malu. Di tempat lain
aku memungut bayaran. Tapi di Girimulyo ini semua aku berikan
cuma-cuma. Aku tidak memungut bayaran! Kepandaianku merupakan
sedekah bagi siapa yang suka kutolong!” Sekalipun dipungut
bayaran akan banyak orang yang minta diramal nasibnya.
Apalagi tidak perlu merogoh
kocek. Masa itu ilmu mereamal merupakan kepandaian langka. Jarang
ada peramal yang memanfaatkan kepandaiannya secara terbuka di
tempat umum seperti yang dilakukan orang tua berambut dan
berjubah putih itu.
Orang banyak
berdesak-desakan minta diramal nasibnya. Si orang tua melayani
mereka satu persatu sampai akhirnya sepasang matanya melihat
ada tiga orang penunggang kuda di kejauhan. Yang di depan sekali
memanggul sesosok mayat dan memegang sebuah guci. Di belakangnya
menyusul lelaki angker berwajah hitam dan biru. Ketiganya tentu saja
adalah Ramada Suro Jelantik bersama Jalak Item dan Jalak Biru.
Juru ramal Sangkolo Bumi menyeringai. Matanya mengerling ke jurusan lain.
Di antara orang banyak
yang membentuk lingkaran dia melihat soran gpemuda berambut
gondrong. Dengan gerakan cepat dia mendekati pemuda ini. Sambil
tersenyum dan berkata.
“Anak muda, wajahmu
tampan, tubuhmu perkasa. Apakah kau tak ingin aku ramalkan?” “Terima
kasih juru ramal. Lain kali saja,” jawab si pemuda.
“Ah jangan malu
apalagi takut. Aku datang ke Girimulyo ini hanya sekali dalam
sepuluh tahun. Mari ulurkan tangan sebelah kanan. Biar kuramal nasibmu
di masa depan. Aiapa tahu kau bernasib baik…” Walaupun tidak mau
namun karena si orang tua tiba-tiba saja menarik tangan kanannya dan
membawanya ke tengah lingakaran orang banyak, pemuda tadi terpaksa
mengikuti saja. Padahal tadi diam-diam dia telah mengerahkan tenaga.
Tetapi juru ramal itu ternyata memiliki kekuatan aneh. Semula si pemuda
hendak lipat gandakan tenaganya namun dari pada bersitegang dia
memilih mengalah dan membiarkan saja dirinya ditarik ke tengah
kalangan.
Sampai di tengah lingkaran orang banyak sang juru ramal menarik tangan
kanan si pemuda lalu
membalikkan telapak tangannya. Sepasang matanya menatap tak berkesip
pada telapak tangan pemuda itu. Keningnya kemudian tampak
mengernyit. Tiba-tiba kelihatan wajah sang juru ramal Sangkolo
Bumi berubah seperti orang terkejut besar. Kedua matanya memandang
mendelik pada si pemuda.
“anak muda, tidak kusangka
kau rupanya!” kata Sangkolo Bumi keras-keras hingga semua orang
memandang ke arah mereka. “Kau! Garis tanganmu berbau darah! Kau
seorang pembunuh! Astaga! Aku kenal tampangmu! Kau adalah Pendekar 212
Wiro Sableng. Kau pembunuh dan pemerkosa istri Ramada Suro Jelantik!
Kau juga yang membunuh Pangeran Banuarto! Demi Tuhan! Orang
banyak! Tangkap pemuda ini!” Orang banyak yang ada di tempat itu
tentu saja terkejut dan heran mendengar teriakan si juru ramal.
Tidak heran kalau tidak satupun di antara mereka yang bergerak
atau melakukan sesuatu.
Saat itu dari arah
Timur tiga orang penunggang kuda yaitu Ramada Suro Jelantik,
Jalak Item dan Jalak Biru mendatangi dengan cepat. Di saat yang hampir
bersamaan dari jurusan Selatan muncul serombongan pasuan di pimpin oleh
seorang Perwira Tinggi yang ada parut di bawah mata kirinya
hingga tampangnya tampak angker.
“sialan! Apa-apaan ini?!” teriakpemuda yang tangannya masih di cekal oleh juru ramal Sangkolo Bumi.
“Pendekar 212! Kali ini kau tak akan lolos dari kematian!” kata Sangkolo
Bumi.
Si pemuda berusaha menarik tangannya yang dicekal. Tapi pegangan si orang tua laksana jepitan besi.
“Kurang ajar! Orang
ini pasti bermaksud jahat. Agaknya dia sengaja menjebakku.”
Begitu si pemuda berkata dalam hati. Lalu dengan marah dia
membentak.
“Juru ramal keparat! Siapa
kau sebenarnya!” Sambil membentak tangan kiri pemuda ini berkelebat
mengirimkan hantaman ke muka Sangkolo Bumi.
Sambil tertawa mengekeh juru ramal berambut putih panjang itu gerakkan tangan kanannya menangkis.
Bukkk!
Dua lengan beradu keras.
Baik si pemuda maupun
si orang tua sama-sama terlempar satu tombak ke belakang dan
terjengkang di tanah. Kadaan di tempat itu manjadi hiruk pikuk. Orang
banyak berlarian menjauh. Tapi yang ingin melihat perkelahian
dari dekat hanya beranjak beberapa langkah.
SEBELAS
Pendekar 212 Wiro Sableng sudah jelas melihat adanya gelagat yang tidak baik.
Sepasang matanya menatap tajam pada orang tua yang terhantar di tanah di
hadapannya. Dia tidak kenal
siapa adanya orang yang mengaku juru ramal itu. Tidak pernah melihatnya
sebelumnya. Namun sepasang mata yang menyorot dingin rasa-rasanya dia
pernah melihatnya tapi kapan dan entah dimana.
“Astaga! Sepasang mata
orang ini bukan mata orang tua!” kata Wiro dalam hati begitu dia
manyadari adanya kelaianan pada kedua mata sang juru ramal. Saat itu
lengan kirinya berdenyut sakit. Bentrokan pukulan dengan si orang tua
telah membuat lengannya tampak bengkak kebiruan. Ternyata lengan juru
ramal tua itupun tampak menggembung kemerahan. “Aku mencium bahaya
besar!” kata Wiro dalam hati. Dia cepat melompat tegak. Saat yang
bersamaan juru ramal berjanggut putih itu juga membuat gerakan
kilat dan berdiri sambil melempar seringai ke arahnya.
Keduanya saling
berpandangan. Kalau Pendekar 212 memandang dengan marah
bercampur heran maka sang juru ramal tampak memandang kepadanya penuh
geram.
Keduanya matanya menyorotkan sinar pembunuhan!
“Juru ramal! Katakan siapa
kau sebenarnya! Aku tak pernah membunuh istri seorang bernama Ramada!
Malah aku memang sedang mencarinya karena dia telah mencelakai guruku!
Juga bukan aku yang membunuh Pengeran Banuarto!” Juru ramal berjubah
putih dongakkan kepalanya lalu tertawa panjang.
“Caranya mendongakkan
kepala! Aku yakin pernah melihat orang ini sebelumnya! Lalu suara
tawanya! Rasa-rasanya pernah kudengar. Dan sepasang mata itu! Dia
menagku bernama Sangkolo Bumi. Mungkin nama palsu!” Selagi Wiro
berpikir dan mengingat-ingat seperti itu sang juru ramal berkata
“Katamu kau tidak pernah membunuh istri orang bernama Ramada!
Malah kau mengatakan orang itu mencelakai gurumu! Bagus! Coba
kau katakan hal itu langusng pada orangnya sendiri! Dia
sengaja datang ke tempat ini untuk menabas batang lehermu dan
meneguk darahmu! Lihat ke sana!” Habis berkata begitu si juru ramal
mengangkat tangan kanannya ke arah kanan. Saat itu terdengar ringkikan
kuda keras sekali. Orang banyak berlompatan menjauh. Tiga penunggang
kuda berhenti di tempat itu. Ramada, Jalak Item an Jalak Biru.
“Ada orang membawa mayat!” beberapa orang berteriak. Lalu cepat menjauh.
Yang lain-lain mengikuti dengan air muka membayangkan rasa ngeri.
Murid Eyang Sinto
Gendeng kerenyitkan kening. Dia sama sekali tidak mengenal tiga
penunggang kuda yang aneh-aneh dan angker itu. “Satu membawa
mayat perempuan yang sudah kaku tapi tidak busuk dan ada
sebuah guci mengepulkan asap serta menjulurkan lidah api di tangan
kanannya. Apakah dia yang bernama Ramada Suro Jelantik? Tokoh
silat dari Timur? Dua kawannya memikul keranjang rotan,
bertampang hitam legam dan biru gelap….” Selagi Wiro berkata
dalam hati begitu rupa kembali terdengar suara si juru ramal. “Pendekar
212! Katamu bukan kau yang membunuh Pangeran Banuarto! Coba kau
jelaskan sendiri pada rombongan pasukan dari Kotaraja itu!” Sangkolo
Bumi menunjuk ke arah kiri. Wiro mengikuti arah yang ditunjuk si juru
ramal. Dari arah Timur tampak serombongan penunggang kuda berseragam
pasukan Kerajaan berjumlah sekitar dua puluh orang.
Di depan sekali memimpin seorang Perwira Tinggi bermuka garang.
Ramada yang memanggul mayat istrinya di bahu kiri dan memegang Guci
Setan di tangan kanan,
dengan gerakan enteng dan cepat melompat turun dari kudanya.
Malihat cara orang bergerak Pendekar 212 segera maklum kalau manusia
bertampang seram ini memiliki kepandaian tinggi. “Gerakannya
sangat cepat dan enteng. Kaki kiri buntung, dipasangi roda
besi bergerigi. Jangan-jangan benda ini menjadi senjatanya,” pikir
Wiro.
Begitu berdiri di tanah
Ramada segera meluncur di atas roda besi kaki kirinya mengelilingi
Pendekar 212. Lalu dia berhenti empat langkah di hadapan sang
pendekar.
Saat itu terdengar
juru ramal Sangkolo Bumi berkata “Ramada ! Tak perlu ragu!
Pemuda itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang kau cari selama ini!
Dia yang memperkosa istrimu lalu membunuhnya! Guci Setan tidak
berdusta!” “Setan alas juru ramal keparat! Jangan kau berani
menuduh sembarangan kalau tak mau kusobek mulutmu!” teriak Wiro marah
sekali.
Di hadapannya Ramada mendengus keras.
“Jadi ini jahanamnya
yang bernama Wiro Sableng. Pemuda keji berjuluk Pendekar 212!”
Ramada meludah ke tanah. “Hari ini kau akan menerima
pembalasanku! Pembunuh terkutuk! Aku telah bersumpah untuk meneguk
darahmu!” Habis berkata begitu Ramada turunkan mayat istrinya dari bahu
kirinya. Lalu mayat yang kaku menyeramkan ini disandarkannya pada
sebuah gerobak hingga merupakan satu pemandangan yang mengerikan di
mata semua orang yang ada di tempat itu.
Perlahan-lahan Ramada putar tubuhnya. Guci Setan dipindahkannya ke tangan kiri.
Lalu dia memberi isyarat
pada Jalak Item dan Jalak Biru. Kedua orang ini segera
melompat turun dari kuda masing-masing. Tak lupa membawa pikulan yang
ujungnya tergantung keranjang rotan berisi tujuh ekor
kalajengkinghitam dan tujuh ekor kelabang biru. Kedua orang ini
sengaja mengambil tempat di kiri kanan Ramada agak ke belakang.
Mereka sama-sama jongkok di tanah dan tangan masing-masing siap
membuka penutup keranjang rotan!
Ketika Ramada hendak
bergerak meluncur di atas roda besinya ke arah Wiro, murid Sinto
Gendeng ini cepat berseru. “Tunggu! Kalau kau tidak keliru pasti otakmu
tidak waras! Aku bersumpah tidak pernah membunuh istrimu! Mana aku
pernah kenal dengan tukang akrobat sepertimu! Aku mendapat
keterangan bahwa kau dan anak buahmu telah mencelakai guruku!
Jangan harap hari ini kau dan monyet-monyetmu itu bisa bebas dari
hukumanku!” Ramada Suro Jelantik menyeringai dan mendengus berulang
kali.
“Ramada! Jangan percaya
omongannya!” tiba-tiba si juru ramal berseru. “Dia bisa berdusta
begitu karena istrimu sudah jadi mayat dan tak mungkin memberi
kesaksian!” Murid Sinto Gendeng memandang ke arah orang tua berjubah
putih itu. “Aneh, kenalpun tidak. Mengapa orang tua keparat itu sangat
membenci diriku?” “Kau boleh bersumpah mati di depan pintu
neraka!” membentak Ramada.
Rahangnya menggembung. Marah sekali dia dikatakan sebagai tukang akrobat oleh
Pendekar 212 tadi. Lalu dari balik baju hitamnya dia mengeluarkan sebuah golok
besar berbentuk empat
persegi dengan bagian tajam pada kedua sisinya Golok ini
berwarna putih berkilat tetapi anwhnya memancarkan cahaya berwarna
hitam! Pada ujung gagangnya ada seuntai rantai yang digantungi besi
pipih berbentuk pisau tajam luar biasa.
Pendekar 212 belum pernah melihat senjata seperti yang di tangan Ramada itu.
Ketika Ramad memutar senjata
ini di udara, cahaya golok yang putih bertabur dengan sinar hitam.
Lalu pisau di ujung rantai berkiblat dengan mengeluarkan suara bersuit.
Murid Eyang Sinto Gendeng
mundur dua langkah. Justru Ramada meluncur maju tiga langkah. Golok
besar membabat ke leher sedang pisau di ujung gagang golok
menusuk ke arah dada! Pendekar 212 cepat berkelebat hindarkan dua
serangan sangat berbahaya itu sambil hantamkan tangan kanannya,
lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah” yang kehebatannya tidak
beda dengan sebuah batu besar yang menggelundung dahsyat ke arah
Ramada.
Dia jelas melihat
bagaimana tubuh Ramada terangkat ke atas akibat hantaman pukulan
saktinya. Tapi bukan alang kepalang terkejutnya murid Sinto Gendeng ini
ketika tiba-tiba saja kaki kiri Ramada menendang ke depan. Roda besi
bergerigi yang berputar hebat menyambar ke arah perut. Wiro cepat
menghindar dengan melompat ke samping kiri. Tapi tidak terduga
tiba-tiba golok empat persegi bermata dua di tangan kanan Ramada
memapas bagian atas kepalanya hingga sejumput rambutnya terbabat putus!
Murid Sinto gendeng seperti hendak terkencing saking kagetnya.
Ramada keluarkan suara
menggereng dari tenggorokannya. “Sebentar lagi lehermu akan ku
babat putus!” kertaknya. Dia berpaling pada kedua anak bauhnya. Lalu
memberi isyarat dengan anggukan kepala. Jalak Item dan Jalak Biru yang
tahu arti isyarat ini segera membuka tutup keranjang rotan
masing-masing. Didahului teriakan Ramada Suro Jelantik melompat ke
arah Wiro.
Goloknya kembali
berkelebat. Kaki kirinya diangkat dan sewkatu-waktu bisa melancarkan
serangan roda bergigi yang sanggup memutus kantung tubuh lawannya. Di
saat yang bersamaan dua anak buahnya menggerakkan tangan ke arah
keranjang rotan.
Dalam keadaan seperti itu
murid Sinto Gendeng masih dapat berpikir bahwa guci di tangan kiri
Ramada pastilah satu benda yang sangat berharga baginya. Kalau tidak
benda itu tak akan didepaknya terus sambil melancarkan
serangan. Maka Pendekar 212 mulai mengincar guci dalam dekapan
tangan kiri lawannya, namun matanya yang tajam juga sempat melihat
isyarat Ramada yang tadi diberikan pada dua anak buahnya. Dia juga
melihat bagaimana dua manusia bermuka hitam dan biru itu menggerakkan
tanan ke arah keranjang rotan masing-masing. Karenanya tanpa
menunggu lebih lama Wiro siapkan dua pukulan sakti. Yang pertama
pukulan “sinar matahari” di tangan kanan yang siap dihantamkan
ke arah Ramada Suro Jelantik.
Sedang tangan kiri aji
pukulan “benteng topan melanda samudra” ditujukan kepada Jalak Biru.
Karena Jalak Biru terpisah cukup jauh dari Jalak Item, Penekar 212 tak
mungkin menghantam sekaligus. Berarti bahaya bisa datang dari lawan yang
bermuka hitam ini. Untuk menghindarkan serangan Jalak Item
maka Wiro terpaksa harus
merubah kedudukannya. Dia
melompat ke kiri hingga berada di satu garis lurus di depan Ramada
dan Jalak Item. Begitu Ramda melancarkan serangan, tanan kanan
Wiro yang sudah berubah menjadi putih menyilaukan itu menghantam ke
depan.
Wuuuuussss!
Sinar putih menyilaukan
dan sangat panas berkiblat. “Ramada, awas! Itu pukulan “sinar
matahari!” Yang berteriak memberi ingat adalah si juru ramal
Sangkolo Bumi. Selagi Wiro merasa heran mengapa orang tua itu
bisa tahu nama pukulan saktinya yang dilepaskannya, orang yang
diserang malah berteriak lantang.
“Siapa takut?!” teriak
Ramada. Roda besi di ujung kaki kirinya menderu semakin deras.
Golok empat persegi di tanagn kanannya diputar semakin sebat hingga
sinar hitamnya tampak berbuntal-buntal angker. Wiro sudah siap
melepas pukulan “benteng topan melanda samudra” dengan tangan kiri
ketika dia menyadari bahwa hal itu tidak bisa diakukannya kecuali dia
mau celaka dihantam serangan balasan Ramada Suro Jelantik.
Serangan Ramada memang
bukan alang kepalang hebatnya. Begitu cahaya putih pukulan sakti
yang dilepaskan Pendekar 21 menyapu ke arahnya. Dia tekuk kaki kananny.
Bersamaan dengan itu kaki kirinya disapukan ke depan. Roda besi
bergerigi yang ada di ujung kaki kirinya menderu keras memancarkan
sinar aneh. Begitu sinar roda besi beradu dengan sinar cahaya putih
pukulan “sinar matahari” terdengar suara keras berkereketan enam kali
berturut-turut. Ramada Suro Jelantik berteriak keras.
Di ujung kakinya cahaya
putih menyilaukan dan panas ini sanggup disapunya hingga mencuat
ke samping kiri. Lalu terdengarlah pekik jerit orang banyak yang
berada jauh di ujung kalangan perkelahian. Sembilan orang tak
berdosa berkaparan di tanah.
Tubuh mereka hangus hitam
mengepulkan asap akibat terpanggang pukulan “sinar matahari” yang
berhasil dilencengkan ke jurusan lain oleh Ramada!
Tubuh Ramada sendiri
tampak melesat sampai dua tombak ke udara lalu dengan dua kali
jungkir balik dia mendarat di tanah kembali. Mukanya yang hitam legam
dan tertutup kumis serta cambang bawuk liar tampak seperti tidak
berdarah. Dua matanya mendelik besar ketika melihat bagaimana enam dari
empat puluh gigi-gigi roda besinya somplak! Wiro sendiri juga melengak
ketika melihat pukulan “sinar Matahari” yang mengadung hawa panas luar
biasa tak sanggup membuat cidera lawan bahkan tidak bisa membuat leleh
roda besi itu!
Apa yang terjadi
membuat Pendekar 212 terlambat menggerakkan tangan kirinya untuk
melepaskan pukulan “benteng topan melanda samudra” ke arah Jalak Biru.
DI saat itu Jalak Biru telah membuka penutup keranjang rotannya. Lima
ekor kelabang beracun berwarna biru melesat membeset udara, menyerbu ke
arah Wiro. Celakanya pula di saat yang sama dengan penuh
amarah Ramada Suro Jelantik kembali menyerbu dengan roda
bergeriginya sedang golok di tangan kanannya diputar dengan
sebat, membuntal dalam serangan ganas mengarah bagian dada ke
atas!
Murid Eyang Sinto Gendeng
berteriak keras. Tangan kanannya menyusup ke balik pinggang,
maksudnya hendak mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi
mendadak mukanya jadi
pucat. Astaga! Dia baru sadar. Senjata mustika itu telah dibawa
oleh Dewa Tuak ke Gunung Gede untuk mengobati Eyang Sinto Gendeng yang
keracunan akibat serangan binatang-binatang berbisa anak buah Ramada
Suro Jelantik!
“Celaka!” keluh Wiro.
Pendekar ini cepat melompat mundur. Tapi lima kelabang berwarna
biru beracun dan sambaran roda besi bergerigi seta golok di
tangan kanan Ramada datang lebih cepat.
Di saat yang sangat
genting itu tiba-tiba terdengar lima buah benda melesat di udara.
Bersamaan dengan itu ada satu bayangan merah berkelebat luar biasa
cepatnya dan tahu-tahu kaki kiri Ramada terangkat ke atas. Di lain
kejap manusia tinggi besar ini jatuh ke tanah!
Ramada Suro Jelantik
menggereng marah. Dia cepat berdiri. Di lain bagian sang juru ramal tua
Sangkolo Bumi merasa tidak enak. Dia cepat membaca situasi. Dalam hati
orang tua ini berkata “Ada orang-orang baru muncul! Keadaan bisa jadi
kisruh tak karuan. Saatnya Guci Setan di tangan Ramada berpindah
tangan!”
DUA BELAS
Di udara lima buah anak
panah melesat deras. Jalak Biaru tersentak kaget dan berseru tegang
ketika melihat bagaimana lima ekor kelabang birunya yang tadi siap
untuk menancapi tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng kini runtuh cerai berai
dihantam lima buah panah itu!
Wiro Sableng berpaling ke
belakang. Di atas punggung seekor kuda coklat dilihatnya Dewi
Santiastri, puteri mendiang Pangeran Banowo duduk merentang lima buah
anak panah lagi siap dilepaskan ke arah Jalak Biru yang saat itu
terduduk di tanah dengan mulut ternganga dan muka pucat tanpa darah.
“Terima kasih Dewi……” kata Wiro.
Si gadis lemparkan senyum kecil padanya. Lalu anak panah diputar ke arah
Jalak Item ketika dilihatnya
anak buah Ramada itu diam-diam hendak melepaskan binatang-binatang
beracun peliharaannya dari dalam keranjang rotan yaitu tujuh ekor
kelajengking hitam.
Dewi lepaskan sartu dari
lima buah anak panah yang direntang. Jalak Item terpekik. Telapak
tangan kanannya tembus ditancapi panah. Darah mengucur. Penutup
keranjang dijatuhkannya. Katika dilihatnya Dewi hendak melepas
anak panah kedua, Jalak Item cepat bersurut mundur menjauhi keranjang
sementara darah mengucur deras ke pangkuannya.
Ramada Suro Jelantik
begitu berdiri baru menyadari kalau golok besar empat persegi bermata
dua yang tadi dipegangnya di tangan kanan kini tak ada lagi dalam
gengamannya. Memandang ke depan dia jadi beringas ketika
melihat bagaimana senjata yang sangat diandalkannya itu kini
berada dalam tangan seorang gadis berpakaian ringkas serba merah
dengan rambut pirang teruarai panjang. Dia tidak bisa mengerti
bagaimana gadis itu memiliki gerakan laksana angin dan bukan saja dia
bisa
mendorong tubuhnya sampai jatuh terjengkang, tapi bahkan sanggup merampas goloknya tanpa dia sempat merasakannya.
Meski gadis itu tidak
mengenakan pakaian warna biru seperti pertama kali Wiro
melihatnya, namun murid Eyang Sinto Gendeng ini masih bisa mengenalinya
dengan cepat.
“Bidadari Angin Timur….”
desis Wiro perlahan. “Dua orang gadis cantik telah menyelamatkan
nyawaku hari ini!” katanya lagi dalam hati sambil garuk-garuk kepala.
Sang dara memang adalah
gadis cantik berambut pirang dan dulu berpakaian serba biru yang
pada pertemuan pertamanya dengan Wiro telah diberikan nama
Bidadari Angin Timur oleh sang pendekar.
“Perempuan-perempuan dajal! Siapa kalian yang berani mencampuri urusanku?!” teriak Ramada Suro Jelantik.
Dara berpakaian serba
merah tidak menyahut. Hanya sepasang matanya saja yang memandang tak
berkesip ke arah tokoh silat dari Timur itu. Merasa seperti
dipandang rendah Ramada berkata “Gadis baju merah berambut pirang! Kau
jangan kemana-mana! Tetap di tempatmu sampai aku menyelesaikan
urusan dengan pemerkosa dan pembunuh istriku itu!” Dengan tangan
kanannya Ramada menuding ke arah Wiro.
“Setan! Apa kau punya bukti menuduhku sembarangan!”
“Aku tidak perlu bukti! Guci Setan ini yang memberi tahu!”
“Dan Guci Setan tak pernah berdusta!” berkata si peramal tua Sangkolo Bumi.
“Bangsat setan alas!” maki
Wiro dalam hati sambil memandang berang pada orang tua itu yang
sebaliknya melempar seringai buruk padanya.
Tiba-tiba terdengar suara menderu keras. Saat itu Ramada Suro Jelantik telah melompat dan menyerbu ke arah Wiro.
Di saat yang sama terdengar deru suara kaki-kaki kuda banyak sekali. Tak lama kemudian ada orang membentak.
“Atas nama Kerajaan
hentikan perkelahian!” Semua orang berpaling. Seorang bermuka garang
dengan seragam dan tanda pangkat Perwira Tinggi Kerajaan muncul
diiringi sekitar dua puluh orang perajurit.
“Bagus! Orang-orang yang
dicari Kerajaan ternyata ada di tempat ini!” kata si Perwira Tinggi
sambil memandang ganti berganti pada Ramada Suro Jelantik dan
Pendekar 212.
“Kau!” bentak sang perwira
sambil menuding dengan telunjuk tangan kirinya tepat-tepat pada
Ramada. “Kau pasti manusianya yang bernama Ramada Suro Jelantik.
Kerajaan telah mencarimu selama dua tahun. Kau mencuri Guci
Setan yang ada dalam dekapan tangan kirimu itu! Jangan
berdalih. Serahkan guci itu padaku lalu serahkan dirimu untuk
menerima hukuman!” Ramada menyeringai. “Perwira,” katanya setelah
lebih dulu meludah ke tanah.
“Aku muak mendengar segala ucapan kentut busukmu! Lekas minggat dari sini!
Jangan lupa membawa anak –anak buahmu!”
Perwira Tinggi Kerajaan itu tertawa bergelak.
“Bagus! Aku suka pada orang yang punya nyali besar sepertimu! Kita akan
lihat nanti apakah kau masih
punya nyali waktu dirangket dan kulitmu dikupas di ruang
penyiksaan!” Sang Perwira berpaling pada Wiro. “Kau!”
bentaknya. “Kau pasti pemuda gondrong bernama Wiro Sableng,
berjuluk pendekar 212 yang telah membunuh Pangeran Banuarto!”
“Aku tidak pernah membunuh Pangeran itu!” jawab Wiro.
Perwira Tinggi tadi
mendengus. “para penjahat memang pintar berdalih! Aku mau lihat apa kau
masih bisa bicara banak setelah lidahmu kusuruh potong!” Tiba-tiba
ada satu suara berkata. “Perwira, saya bersaksi pemuda itu
bukan orang yang membunuh paman saya Pangeran Banuarto….” Perwira
Tinggi dan semua orang yang ada di tempat itu sama memalingkan kepala.
“Ah, den Ayu Dewi
Santiastri, putri mendiang Pangeran Banowo, keponakan mendiang Pangeran
Banuarto rupanya! Aku kurang memperhatikan kalau kau ada di sini.
Apa kepentinganmu membela pemuda asing yang telah membunuh
pamanmu itu?” ‘Sudah saya katakan! Bukan dia pembunuh paman Pangean
Banuarto. Tapi seorang yang mengaku kuncen makam ayahanda. Kuncen palsu
bernama Ki Ageng Lentut!”
Sementara juru ramal
Sangkolo Bumi yang sudah memperkirakan ke adaan akan sangat buruk
bagi Ramada segera berkata “Ramada, keadaan tidak menguntungkan
bagimu. Lekas serahkan guci itu padaku. Biar aku selamatkan dulu.
Kau bisa mengambilnya di
tempat terakhir kita bertemu dulu. Aku hanya ingin menolongmu.
Lekas…..!” Ramada sesaat terdiam dan berpikir cepat. Apa yang
dikatakan juru ramal itu mungkin sangat benar. Saat itu dia bukan saja
menghadapi Pendekar 212, tetapi juga Perwira Tinggi Kerajaan dan
duapuluh orang perajuritnya. Lalu gadis berpakaian merah itu jelas
bukan berada di pihaknya. Ditambah lagi dengan keponakan Pangeran
Banuarto yang pasti telah menjadi lawannya sejak dia muncul
dengan memperlihatkan ilmu panahnya yang menakjubkan, menghancurkan
bintang beracun milik Jalak Biru serta melukai Jalak Item.
Tanpa pikir panjang Ramada Suro Jelantik segera lemparkan Guci Setan ke arah si juru ramal.
“Tangkap! Lekas pergi dari
sini!” kata Ramada pula. Guci Setan yang sejak tadi dikepitnya di
lengan kiri dilemparkannya pada Sangkolo Bumi. Saat itu jarak
antara Ramada dan si orang tua terpisah sekitar delapan langkah. Selagi
Guci Setan itu melayang di udara dan siap ditangkap oleh Sangkolo Bumi
tiba-tiba empat anak panah melesat ke udara. Dua berjajar di
sisi kiri, dua lagi di sebelah kanan.
Lalu terjadilah satu hal
yang luar biasa. Dua pasang anak panah itu memotong jalannya Guci yang
melayang di udara. Dalam keadaan terjepit, Guci Setan kemudian dibawa
melesat ke kiri hingga Sangkolo Bumi menangkap angin. Empat
anak panah kemudian menancap di sebatang pohon. Guci Setan yang besar
dan berat itu terjepit tak bergerak di antara empat batang panah itu.
Dengan kertakkan rahang si juru ramal
tua itu cepat melompat ke
udara guna mengambil guci. Namun saat yang bersamaan, satu sosok
berpakaian hitam melompat pula ke udara. Orang ini bukannya
menyambar Guci Setan melainkan menelikung pinggang sang juru
ramal lalu menyeretnya ke bawah hingga keduanya jatuh terhentak di
tanah.
“Keparat!” maki
Sangkolo Bumi marah sekali ketika mengetahui yang merangkul
tubuhnya ternyata adalah Jalak Item, anak buah Ramada Suro Jelantik.
Dia mencoba melepaskan diri sambil menghantamkan siku kanannya ke
belakang.
Bukkkk!
Traaaakkkk!
Jalak Item menjerit keras. Dua tulang iga di sisi kanannya melesak patah.
Sementara Ramada Suro
Jelantik dan Perwira Tinggi Kerajaan yang melihat guci yang tadi
dilemparkan kini terselip di antara empat buah anak panah yang
menancap di batang pohon segera memburu untuk mengambilnya, khawatir
benda itu jatuh ke tanah dan pecah berantakan. Namun sebelum keduanya
mampu menyentuh benda itu tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat
laksana angin, luar biasa cepatnya.
Ramada dan si perwira tinggi
jadi kecele tetapi juga marah ketika menyadari mereka telah keduluan
oleh gadis berambut pirang yang tidak dikenal itu.
Sang perwira hendak
menyerang si gadis tapi gerakannya tertahan ketika di sebelah sana
Jalak Item yang berada dalam keadaan cidera telapak tangan dan tulang
iganya berteriak sambil masih memegangi pinggang sang juru ramal.
“Perwira! Yang membunuh Pangeran Banuarto adalah orang tua ini!”
Sangkolo Bumi berteriak marah. Sekali dia menggerakkan tubuhnya
Jalak Item terhempas ke tanah.
“Keparat! Kau mencari kematian berani memfitnahku!” bentak Sangkolo Bumi.
“Ki Ageng Lentut!
Sangkolo Bumi! Siapapun namamu! Apakah kau benar kuncen makam
Pangeran Banowo atau juru ramal aku tidak perduli! Tapi kaulah yang
membunuh Pangeran Banuarto!” Rupanya dendam kesumat Jalak Item
akibat perbuatan Ki Ageng Lentut yang kini menyamar menjadi juru ramal
tua bernama Sangkolo Bumi itu tidak bisa dipendam lagi. Meledak saat
itu juga.
“Keparat! Tutup mulutmu!” teriak juru ramal. Tangan kanannya bergerak.
Praaaaakk!
Jalak Item tergelimpang
roboh di tanah. Kepalanya pecah! Ramada Suro Jelantik sesaat
terkesiap melihat apa yang terjadi. Mengikuti kemarahannya ingin dia
menghajar juru ramal tua itu saat itu juga. Namun Guci Setan
lebih penting.
Dia berkelebat ke arah gadis berpakaian erah. Namun gerakannya dihadang oleh
Pendekar 212.
Sementara itu Perwira
Tinggi Kerajaan telah berteriak memberi perintah pada dua puluh anak
buah agar mereka segera mengurung dan menangkap juru ramal
berjubah putih itu yang oleh Jalak Item dibuka kedoknya sebagai pembunuh
Pangeran banuarto. Namun begitu mereka bergerak, Sangkolo Bumi
menyongsong dengan serangan-serangan ganas.
“Bidadari Angin Timur…….” Kata Wiro sambil mendekati gadis berbaju
merah itu. “Kau mau
menolongku? Biar kunyuk berewokan ini aku yang menghadapinya. Aku
menaruh curiga pada juru ramal tu. Rambut putih dan jubah panjangnya
aku yakin hanya samaran belaka. Lakukan sesuatu hingga kau
bisa membuka kedok siapa dia sebenarnya.
“Kau takut menghadapi
orang tua jelek itu?” tanya gadis berambut pirang yang membuat
wajah Pendekar 212 jadi bersemu merah.
“Aku tidak pernah takut
pada siapapun,” jawab Wiro. “Dengan orang tua itu aku tidak punya
perselisihan langsung. Tapi dengan setan satu ini aku punya alasan
untuk menghajarnya. Kau sendiri tahu dia dan anak buahnya telah melukai
guruku!” Gadis yang oleh Wiro diberi julukan Bidadari Angin
Timur itu tersenyum kecil. “Tampangmu tolol, tapi otakmu cerdik
juga. Ambil senjata ini untuk menghadapi Ramada!” Lalu si gadis
menyerahkan golok besar empat persegi panjang itu ke tangan Pendekar
212. Baru saja Wiro memegang senjata, si gadis telah lenyap dari
hadapannya. Sebelum masuk ke kalangan perkelahian Bidadari Angin
Timur melayang ke atas pohon. Guci Setan yang telah dipegangnya
diletakkannya di antara ranting-ranting pohon berdaun lebat.
Begitu melayang turun dia cepat mendekati Perwira Tinggi Kerajaan
dan berkata “Naik ke atas pohon. Jaga guci itu!” Meskipun merasa
tersinggung diperintah begitu rupa namun si perwira sadar bahwa
menyelamatkan guci di atas pohon adalah jauh lebih penting
dari pada melakukan hal-hal lain. Terlebih ketika gadis di
hadapannya berkata “Serahkan pembunuh Pangeran Banuarto itu
padaku. Kita akan segera tahu siapa dia sebenarnya!” Tanpa
banyak bicara lagi Perwira Tinggi Kerajaan itu melompat naik ke atas
pohon.
Dari atas pohon dia dapat menyaksikan seluruh kejadian di bawahnya walau tangannya sudah gatal untuk turun tangan sendiri.
Ternyata juru ramal itu
memiliki kepandaian sangat tinggi. Dengan mudah dia menghajar
perajurit-perajurit Kerajaan yang menyerangnya hingga mereka menemui
ajal sekelompok demi sekelompok.
Melihat anak buahnya menemui kematian mengenaskan begitu rupa, Perwira
Tinggi di atas pohon
jadi mendidih amarahnya. Lupa bahwa dia harus menjaga
keselamatan Guci Setan milik Kerajaan, perwira itu melompat turun.
Selagi tubuhnya melayang dia lepaskan beberapa senjata rahasia
berbebuk paku ke arah Sangkolo Bumi.
Sang juru ramal ganda
tertawa. Sekali tangannya dihantamkan ke udara belasan paku yang
menyerangnya mental cerai berai.
“Manusia keparat! Jadi kau
yang membunuh Pangeran Banuarto!” teriak sang perwira marah. Masih di
udara kaki kanannya ditendangkan ke arah kepala orang tua itu.
Praaaakkkkk!
Kepala itu pecah tapi
bukan kepala si juru ramal yang rengkah. Melainkan kepala salah seorang
anak buahnya sendiri. Apa yang terjadi? Ketika sesaat lagi kaki kanan
Perwira Tinggi itu akan menghantam kepalanya, si juru ramal melompat ke
samping lalu menarik
tubuh seorang perajurit yang
menyerangnya. Kepala perajurit ini disentakkannya ke atas melindungi
kepalanya sendiri. Ketika tendangan datang, kepala perajurit itulah
yang kena hantam tendangan sang perwira!
“Keparat!” maki Perwira
Tinggi sambil mengejar juru ramal. Tapi orang tua ini melemparkan
tubuh perajurit yang kepalanya pecah itu kepadanya hingga sang
perwira jatuh terduduk di tanah. Kesempatan ini dipergunakan oleh si
orang tua untuk keluar dari keroyokan sisa-sisa perajurit Kerajaan lalu
melompat ke atas pohon. “Sangkolo Bumi, juru ramal keparat!
Sekali ini jangan katakan kau tidak menipuku! Aku tahu sejak lama
sebenarnya kau mengincar Guci Setan itu!” teriak Ramada Suro
Jelantik ketika melihat si juru ramal berada di atas pohon
sambil memegang Guci Setan.
Di atas pohon Sangkolo Bumi tertawa gelak-gelak. “Dasar orang tolol tetap saja tolol!” katanya.
“Lekas turun dan
serahkan guci itu padaku! Aku bersumpah akan membunuhmu kalau kau
tidak menyerahkannya padaku!” teriak Ramada.
“Dulu kau pernah bersumpah
hendak membunuh Pendekar 212. Pemerkosa dan pembunuh istrimu itu sudah
ada di hadapanmu, mengapa kini justru kau hendak mencari urusan
denganku? Apa kau takut menghadapi Pendekar 212?
Ha….ha…ha….!” “Setan
alas!” teriak Ramada. Dia melomapt sambil menyorongkan roda
besinya. Roda ini menderu keras menggerus bagian bawah batang pohon
besar hingga akhirnya putus. Pohon itu tumbang dengan suara bergemuruh
tetapi Sangkolo Bumi alias Ki Ageng Lentut itu sudah lebih dahulu
melayang turun.
Wuuuuttttt…..wuuuuutt…..wuuuuuutttttt……wuuuuutttt……wuuuuuuttttt.
Lima anak panah melayang
pesat ke udara. Si orang tua berseru kaget ketika mengetahui lima anak
panah itu menyerang ke arahnya. Secepat kilat dia hantamkan tangan
kirinya ke bawah. Lima anak panah yang menyerangnya mental dan jatuh ke
tanah. Lalu tubuhnya tampak melesat ke kiri. Di lain kejap laksana
seekor burung alap-alap orang tua ini menukik ke arah Dewi Santiatri.
Kaki kanannya berkelebat.
Praaaakkkk!
Dewi Santiastri menjerit keras.
Kepala kuda
tunggangannya pecah. Suara ringkikan binatang ini merobek langit.
Si gadis sendiri cepat melompat ke tanah. Sambil melompat secara luar
biasa dia masih sempat mencabut tiga buah anak panah lalu
merentangnya di tali busur untuk kemudian melepasnya ke arah sang
juru ramal. Salah satu anak panah sempat menyerempet jubah putih orang
tua itu di bagian bahu. Walau cuma mengiris kulit bahunya namun ini
sudah cukup membuat sang juru ramal ini menjadi sangat marah.
Tangan kanannya diangkat
untuk melepaskan satu pukulan tangan kosong. Namun dari samping
Ramada Suro Jelantik datang menyerangnya. Satu jotosan yang
dilepaskan orang ini menghantam dagu si orang tua dengan keras dan telak
hingga
juru ramal ini terpuntir
keras. Selagi tubuhnya sempoyongan begitu rupa Ramada tendangkan
kaki kirinya ke arah bawah perut. Roda besi bergerigi itu menggerus ke
arah selangkangan si orang tua.
“Ki Ageng Lentut! Sangkolo
Bumi! Saatmu untuk mampus!” teriak Ramada Suro Jelantik. Tapi
dugaannya bahwa dia bakal dapat menematkan riwayat orang tua itu tidak
menjadi kenyataan. Dengan satu gerakan yang aneh dan cepat sekali, juru
ramal tua itu berhasil menangkap betis Ramada. Lalu kaki kiri itu
ditariknya kuat-kuat dan dihunjamkannya ke tanah hingga menggerus dalam
dan menancap sampai dua jengkal. Tanah dan pasir bermuncratan ke
udara. Selagi Ramada berusaha menarik kakinya keluar dari tanah tangan
kanan juru ramal itu menderu ke depan.
Bukkkk!
Ramada merasakan dadanya seperti mau meledak.
Selagi tubuhnya
terlempar ke belakang dan ada darah menyembur dari mulutnya,
Sangkolo Bumi kirimkan tendangan ke bawah perut Ramada.
Teriakan laksana ledakan keras keluar dari mulut Ramada.
Tubuhnya mencelat jauh dan tergelimpang di tanah tak berkutik
lagi. Dendam kesumatnya untuk membalaskan kematian istrinya
tidak pernah kesampaian. Lebih dari itu Ramada tidak pernah
mengetahui siapa pemerkosa dan pembunuh Dardini sebenarnya.
Sangkolo Bumi tegak menyeringai. Dia melirik pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Lalu pada Dewi Santiastri.
Di saat yang sama dia melihat gerakan yang dibuat oleh jalak Biru.
Anak buah Ramada Suro Jelantik ini dengan cepat melemparkannya
keranjang rotan yang tutupnya terbuka itu ke arahnya. Beberapa ekor
kelabang biru yang masih ada dalam keranjang itu melesat menyerangnya.
Dua ekor ditangkisnya dengan Guci Setan yang dibuatnya menjadi tameng.
Tiga ekor lainnya dihantamnya dengan kebutan lengan kanan jubah
putihnya. Sambil tertawa mengekeh dia menangkap kelabang yang keenam
lalu melemparkannya ke aah Jalak Biru. Anak buah Ramada yang tidak
menyangka akan mendapat serangan binatang berbisa miliknya
sendiri itu dalam kejutnya terlambat menghindarkan diri cari
selamat.
Kelabang Biru itu menancap
tembus masuk ke dalam mata kanannya. Jeritan Jalak Biru terdengar
mengerikan. Sambil menekap mukanya dia menghambur meninggalkan
tempat itu.
Ki Ageng Lentut alias Sangkolo Bumi tertawa mengekeh lalu memutar tubuh.
Sebelum berkelebat pergi dia
memandang kepada Pendekar 212 Wiro Sableng lalu berkata “Pendekar
212, kau masih bodoh seperti dulu juga! Tidak mampu melihat
langit di atas langit! Tidak mengerti tingginya puncak gunung
dan dalamnya dasar laut!” “Apa maksudmu? Siapa kau sebenarnya?!”
bentak Wiro. Tanpa terlihat oleh si orang tua dia memberi isyarat pada
gadis berbaju merah.
“Kau akan menemukan jawaban pertanyaanmu dalam ketololanmu sendiri!” kata si orang tua pula. Dia menggeser kakinya.
Dari samping kiri
tiba-tiba Dewi Santiastri mendatangi sambil merentang busur dengan
lima anak panah terpasang. “Kalau kau memang kuncen palsu bernama
Ki Ageng Lentut itu, berarti
kau yang membunuh pamanku Pangeran Banuarto! Tetap di tempatmu!
Sedikit saja kau berani bergerak lima anak panah ini akan amblas ke
dalam tubuhmu!” “Kau dengar ucapan gadis itu! Apakah kau
tidak mau menyerahkan diri?!
Serahkan Guci Setan itu padaku!” kata Perwira Tinggi Kerajaan yang kini tegak di samping Dewi Santiastri.
Si orang tua ganda tertawa.
“Puteri Pangeran Banowa,
jika aku mengajakmu ikut bersamaku untuk mencari kesenangan,
apakah kau masih hendak memanahku?!” “Tua bangka bermulut kotor!”
hardik Dewi Santiastri sambil merentang tali busurnya lebih dalam.
“Perwira, kau inginkan
guci ini? Apa kau punya kemampuan untuk mengambil sendiri?!”
“Keparat! Saatnya aku mematahkan batang lehermu!” berntak Perwira
Tinggi Kerajaan.
Si orang tua kembali
tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba ia melihat ada bayangan merah
berkelebat. Dengan tangan kirinya dia menghantam ke samping.
Tapi terlambat. Tubuhnya seperti digulung ombak. Lalu terdengar
suara breeeetttt …..breeeettttt beberapa kali berturut-turut. Jubah
putihnya bukan saja robek tapi tanggal lepas dari tubuhnya. Bagitu juga
rambutnya yang putih panjang tampak tercampak ke tanah. Selembar
topeng tipis yang selama ini menutupi wajah dan sebagian
kepalanya jatuh di depan kakinya.
Kini kelihatanlah wajahnya
yang asli. Wajah seorang pemuda berambut tebal hitam dengan kening
menonjol. Rahang dan dagunya tampak kokoh. Keseluruhan wajahnya
membayangkan rasa angkuh. Di balik jubah putihnya yang telah tanggal
itu kini terlihat pakaian hitam. Di bagian dada pakaiannya terpampang
gambar puncak gunung berwarna biru, berlatar belakang sang surya
berwarna merah dan sinar-sinar mentari berupa garis-garis merah.
Apa yang telah
dilakukan Bidadari Angin Timur terhadap dirinya sungguh tidak
diduga oleh orang itu. Semuanya berlangsung begitu cepat hingga dia
merasa seperti diusap beberapa kali. Ketika Sangkolo Bumi
hendak menyergap gadis itu, Pendekar 212 cepat memotong gerakannya.
Pendekar 212 menggeram
“Aku sudah duga, ternyata memang dia!” katanya dalam hati. Lalu murid
Sinto Gendeng ini berteriak keras.
“Pangean Matahari! Kelicikanmu dengan memperalat Ramada tidak kesampaian!
Aku yakin kau iblisnya yang memperkosa istri Ramada lalu membunuhnya! Keparat!
Apa lagi sekarang yang ada dalam otak busukmu?!”
Pangeran Matahari menyeringai. “Tak ada alasan bagiku untuk mengatakan tidak.
Tuduhanmu benar! Sayang
maksudku tidak kesampaian. Nyawamu masih betah berada dalam tubuhmu!
Pendekar 212! Duia ini terlalu sempit untuk kita berdua! Kali ini kau
lolos lagi dari lobang jarum kematian! Tapi Ingat! Aku
Pangeran Matahri tidak akan berhenti sampai akhirnya kau berlutut di
hadapanku dan menggali liang kuburmu sendiri!”
Habis berkata begitu
manusia yang sebelumnya menyamar menjadi kuncen makam Pangeran
Banowo dengan nama Ki Ageng Lentut dan juga pura-pura menjadi juru
ramal tua bernama Sangkolo Bumi ini memutar tubuhnya siap berkelebat
pergi.
Pendekar 212, Perwira Tinggi Kerajaan dan Dewi Santiastri cepat bergerak.
Lima anak panah melesat
mendahului serangan. Selagi Pangeran Matahari sibuk menyelamakan
diri Perwira Tinggi Kerajaan coba merampas Guci Setan dari
tangannya namun lagi-lagi dia gagal karena tendangan Pangeran
Matahari menghantam perutnya lebih dulu hingga dia terpental dan
pingsan.
Jotosan Pendekar 212 berhasil menyusup le sisi kiri Pangeran Matahari.
Walaupun tidak telak tapi cukup membuatnya berputar. Sekali lagi Wiro menghantam.
Namun kali ini Pangeran
Matahari berhasil menangkis pukulannya dan membalas menghantam.
Pukul memukul jarak dekat itu tidak menguntungkan Pangeran
Matahari karena saat itu dia memegang Guci Setan di tangan kirinya. Hal
ini disadari oleh Pangeran Matahari maka dengan segala kelicikannya dia
berkata “Pendekar 212! Lain kali kita bertemu lagi! Kau inginkan
guci ini ambillah!” lalu Pangean Matahari membuat geakan seperti hendak
melemparkan Guci Setan itu. namun apa yang dilakukannya adalah
tiba-tiba melemparkan sebuah benda hitam.
“Awas! Asap menutup pandangan!” teriak Wiro.
Ketika terdengar letusan
dan asap hitam membumbung ke udara Pendekar 212 dan Bidadari Angin
Timur telah lebih dahulu berkelebat menjauhi. Satu ke arah kanan,
satunya lagi ke arah kiri. Keduanya sama-sama melihat Pangeran Matahari
melarikan diri ke arah selatan dan dengan cepat mengejar. Gadis
berpakain merah yang punya kecepatan laksana kilat itu dapat mengejar
Pangeran Matahari lebih dahulu. Dengan satu gerakan cepat dia berhasil
merampas Guci Setan dari tangan Pangeran Matahri.
“Betina keparat! Aku lebih
suka kau hancur lebur bersama guci itu!” teriak Pangeran Matahari
marah. Dia angkat tangan kanannya ke atas. Udara di tempat itu
mendadak sontak manjadi redup. Dari telapak tangan kanan orang
yang dijuluki pengeran segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala
licik dan segala congkak ini melesat keluar sinar kuning, hitam dan
merah.
“Pukulan Gerhana
Matahari!” teriak Wiro. “Bidadari Angin Timur lekas menyingkir!”
Murid Eyang Sinto Gendeng dengan cepat hantamkan tangan kanannya,
melepaskan pukulan “sinar matahari” Terdengar saru dentuman
keras. Si gadis berbaju merah cepat menyingkir ketika sinar putih
berkilau dan sinar hitam, merah dan kuning mencuat ke udara laksana
hendak menyapu langit. Tubuhnya tergoncang keras. Guci Setan terlepas
dari pegangannya. Dia coba untuk menjangkaunya tapi satu letusan lagi
membuat tubuhnya tebah ke tanah. Lalu ada satu tubuh yang jatuh tepat
di sampingnya!
Ketika sinar putih, hitam,
merah dan kuning lenyap dan pasir serta tanah yang bermentalan ke
udara luruh kembali ke tanah Pangeran Matahari telah lenyap
dan Pendekar 212 dapatkan dirinya jatuh terelungkup di tanah,
hampir berdempetan dengan gadis berpakain merah itu. Wajah mereka
bertempelan dan hidung mereka saling beradu satu sama lain. “Kau tak
apa-apa……?” tanya Pendekar 212.
Si gadis hanya
menjawab dengan kedipkan mata lalu cepat-cepat hendak berdiri.
Tapi Wiro lekas menahan punggungnya seraya berkata. “Kalau aku bisa
mati berdempetan seperti ini alangkah bahagianya.” “Mudah-mudahan
malaikat maut mendengar permintaanmu itu,” kata si gadis seraya menarik
tangan Wiro dan berdiri. Wiro segera pula berdiri. Keduanya tertegun
ketika melihat beberapa langkah di hadapan mereka Guci Setan
hanya tinggal merupakan kepingan-kepingan belaka.
Dua orang terdengar mendatangi. Mereka adalah Perwira Tinggi Kerajaan dan
Dewi Santiastri.
“Kalian tidak apa-apa?” tanya puteri mendiang Pangeran Banowo itu.
“Berkat bantuan sahabatku berpakaian merah ini, aku tak kurang suatu apa.
Hanya sayang manusia jahat berjuluk Pangeran Matahari itu lolos!” jawab Wiro.
Dewi Santiastri memandang pada Guci Setan yang pecah berserakan di tanah.
“Sayang guci pusaka itu kini hanya tinggal kepingan-kepingan tak berguna…..”
“Mungkin itu lebih
baik! Hancurnya Guci Setan berarti lenyapnya segala masalah yang
sering mendatangkan malapetaka bagi dunia persilatan dan Kerajaan,”
menyahuti Perwira Tinggi Kerajaan. “Den Ayu, sebaiknya kita tinggalkan
tempat ini.
Aku harus segera melapor pada Patih.”
Dewi Santiastri
mengangguk. Dia memandang pada Pendekar 212. “Wiro, kau ikut bersama
kami?’ “Aku ingin sekali. Tapi ada hal penting yang harus
kulakukan. Aku harus segera pergi ke puncak Gunung gede untuk
menjenguk guruku yang sedang sakit keras….. Aku berjanji akan
menemuimu sepulang dari sana….” Dewi Santiastri mengangguk. “Kau
kecewa karena dulu aku pernah mencideriamu?’ “Aku sudah
melupakan hal itu,” jawab Wiro.
Dewi Santiastri memandang pada gadis berpakaian merah di samping Wiro.
Diam-diam dia mengagumi
kecantikan gadis yang tak dikenalnya itu. Tadi dia sempat mendengar
Wiro menyebutnya dengan nama Bidadari Angin Timur. “Dia benar-benar
bidadari. Aku hanya gadis biasa…..” kata Dewi Santiasti dalam hati. Dia
memberi isyarat pada Perwira Tinggi di sebelahnya.
Setelah kedua orang itu
pergi Wiro berpaling pada si baju merah dan bertanya. “Aku ingat
pertama kali aku melihatmu di rumah Ki Ageng Lentut si juru ukir. Kau
mengenakan pakaian biru yang sangat tipis….” “Saatku untuk
pergi….” Kata gadis berpakaian merah seolah tidak acuh dengan
ucapan si pemuda.
“tunggu dulu, ada satu
hal yan hendak kutanyakan….” Kata Wiro. Namun sekali berkelebat
gadis itu telah lenyap dari hadapannya.
Pendekar 212 hanya bisa tertegun. “Kecepatannya benar-benar laksana angin.
Tidak salah kalau kuberi
nama Bidadari Angin Timur. Sayang dia pergi begitu saja, padahal
banyak yang ingin aku tanyakan padanya. Ilmunya luar biasa.
Ilmu apa namanya?!” Dengan langkah berat Pendekar 212
tinggalkan tempat itu. Namun satu
bayangan biru yang
berkelebat beberapa langkah di hadapannya membuat murid Eyang
Sinto Gendeng ini menjadi terkesiap kaget dan cepat-cepat
menyelinap ke balik sebatang pohon besar untuk menjaga segala
kemungkinan. Di depan dan di sekitarnya tidak terdengar suara apa,
juga tidak kelihatan satu gerakanpun.
Ketika Wiro berpaling
ke belakang nyawanya laksana terbang. Di belakangnya di balik
pohon itu tahu-tahu telah tegak gadis cantik jelita yang
disebutnya dengan panggilan Bidadari angin Timur itu. Dan kali ini si
gadis ternyata tidak lagi mengenakan pakaian merah, melainkan sudah
berganti dengan pakaian biru tipis seperti yang dikenakan pada
pertama kali Wiro melihatnya! Pendekar 212 leletkan lidah. Kedua
matanya membesar. “Bukan main…..” kata Wiro pula.
“Apanya yang bukan main?” tanya si gadis.
“Aku tak habis pikir,
bagaimana kau bisa berganti pakaian secepat ini?” Si gadis tersenyum.
“Aku juga tak habis pikir,” katanya.
“Tentang apa?”
“Tentang dirimu! Bagaimana
kau bisa membuka pakaian secepat ini?” Wiro memperhatikan pakaian
yang dikenakannya. Tiba-tiba dia merasa seperti disapu angin. Tubuhnya
berputar tiga kali. Ketika dia bisa berdiri lagi seperti biasa, murid
Sinto Gendeng ini berseru kaget. Saat itu dia tidak lagi mengenakan baju
dan celana panjang putihnya. Dia berdiri hanya mengenakan
celana bagian dalam!
Pakaiannya kelihatan bertebaran di depan kakinya.
“Gila! Bagaimana bisa jadi begini? Ilmu aneh apa yang dimiliki gadis ini?
Untung aku tidak
ditelanjanginya sampai bugil!” teriak Wiro. Dia memandang
berkeliling. Di depannya terdengar suara tawa cekikikan.
Memandang ke depan dilihatnya gadis berbaju biru tipis itu
tegak di samping semak belukar sambil melambaikan tangannya seolah
memberi isyarat agar Wiro mengejarnya.
“Gadis nakal! Kau
berani mempermainkanku! Jangan kira aku tidak bisa menjahilimu!”
teriak Wiro. Lalu enak saja dia membuat gerakan seperti
hendak menanggalkan celana dalamnya.
Di depan sana Bidadari
Angin Timur keluarkan suara terpekik lalu memutar tubuh melarikan
diri. Wiro cepat tarik kembali celana dlamnya ke atas lalu
mengambil baju dan celana panjangnya yang tercampakan di tanah, sekali
lompat saja dia segera mengejar gadis itu.
Beberapa hari kemudian
ketika Pendekar 212 dan Bidadari Angin Timur muncul di puncak Gunung
Gede, sepasang kakek nenek tampak duduk di tangga batu sambil
tertawa-tawa dan masing-masing memegang sebuah tabung bambu berisi
tuak. Kakek nenek ini bukan lain adalah Dewa Tuak dan Sinto
Gendeng yang berhasil diselamatkan dari racun binatang berbisa oleh
kesaktian Kapak Maut Naga Geni 212.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar