Rabu, 01 Februari 2012

074. Guci Setan

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
74. Guci Setan
SATU 
Lereng  gunung  Merbabu  di  satu  malam  buta  tanpa  bulan  tanpa  bintang.
Udara  dingin  bukan  kepalang.  Kegelapan  menghitam  di  mana-mana.  Di  beberapa  tempat  bahkan  sulit  ditembus  pandangan  mata.  Di  kejauhan  lapat-lapat   terdengar suara  lolongan  anjing.  Ketika  angin  malam bertiup  segala  sesuatunya   laksana membeku dalam dingin yang luar biasa.
Sekali  terdengar  lolongan  anjing  di  kejauhan.  Tiba-tiba  di  selatan  lereng  gunung  kelihatan  ada  yala  api  bergerak  cepat  sekali  menuju  ke  timur. 
Bersamaan dengan  itu  terdengar  suara  menderu  tak  berkeputusan  seperti  ada   sesuatu  yang menggerus menjalar perut gunung.  
Dalam kegelapan yang kini mendapat cahaya terang dari nyala api ternyata  ada  empat  sosok  tinggi  besar  bergerak  menuju  ke  timur.  Sosok  pertama  adalah  seorang  laki-laki  berpakaian  serba  hitam.  Baujnya  tidak  berkancing.  Dadanya  kelihatan  penuh  ditumbuhi  bulu  lebat.  Bulu  ini  juga  tampak  di  sepanjang  kedua  lengan dan kakinya. Tampangnya yang sangar dan buas hampir tertutup oleh rambut  gondrong  awut-awutan,  kumis  lebat  riap-riapan  menjuntai  bibir  serta  brewok  cambang  bawuk  yang  meranggas  liar.  Sepasang  matanya  kelihatan    merah  dan  berkilat-kilat  oleh  nyala  api.  Sebenarnya  orang  ini  belum  mencapai  usia  empat  puluhan namun keadaan dirinya yang seperti itu membuat dia seperti sudah berumur  hampir setengah abad.
Ada beberapa keanehan yang membuat orang bergidik pada manusia satu ini,  yang  berlari di  sebelah  depan.  Di  bahu  kirinya  dia  memanggul  sesosok  tubuh  perempuan yang sudah tidak bernafas lagi alias sudah jadi mayat sejak dua minggu  lalu. Mayat ini tidak sampai rusak atau membusuk karena sebelumnya telah disiram  dengan sejsnis obat pengawet. Mayat yang didukung dan dibawanya berlari itu adalah  mayat  seorang  perempuan  muda  berwajah  cantik.  Namun  sepasang  matanya  yang  membeliak menghapus kecantikannya dan kini kelihatan sangat menyeramkan denga  rambut  panjang  riap-riapan.  Apalagi  pada  lehernya  terlihat  sebuah  luka  dalam  melintang.  
 Lelaki tinggi besar ini ternyata buntung kaki kirinya. Kaki yang buntung itu  disambung dengan sebatang besi. Pada batangan besi sebelah bawah terdapat sebuah  roda bergerigi. Dengan roda gerigi inilah dia meluncur di sepanjang lereng gunung  dalam kecepatan sungguh luar biasa hingga tiga orang di belakangnya sering-sering  
tertinggal jauh.  
Dalam pelukan tangan kanannya orang berpakaian serba hitam ini membawa  sebuah guci yang bagian luarnya berukir wajah-wajah setan seram, berselang seling  dengan gambar tengkorak manusia. Dari dalam guci keluar kepulan asap putih serta  lidah api. Nyala api inilah yang terlihat di kejauhan, menerangi tempat-tempat yang  dilalui dan terutama sekali menerangi tampang seram orang itu.  
Di sebelah belakang lelaki yang memanggul mayat perempuan dan membawa  guci berapi berlari cepat tiga orang berpakaian serba merah. Tampang masing-masing  tak kalah seram dan buas. Yang satu memiliki wajah berwarna hitam. Satunya lagi  bertampang  hijau  sedang  yang  ketiga  bermuka  biru  gelap.  Masing-masing  mereka  memanggul  sebuah  pikulan  di  bahu  kanan.  Pada  ujung  pikulan  di  atas  bahu  tergantung sebuah keranjang yang terbuat dari rotan.  
  “Ramada!”  seru  salah  satu  dari  ketiga  lelaki  yang  berlari  di  belakang  dan  berwajah hitam pada orang yang membawa mayat dan guci. “Kita sudah berlari serasa  seabad. Kuharap saja kita tidak pergi kea rah yang salah!”    “Betul  sekali  Ramada!”  ikut  membuka  mulut  lelkai  bermuka  hijau.  “Kalau  sampai tersesat di gunung ini celakalah kita!”    “Tenggorokanku sudah kering! Nafasku seperti mau keluar dari ubun-ubun.  
Apakah  kita  tidak  bisa  berhenti  barang  sebentar?!”  berkata  lelaki  berpakain   merah ketiga yaitu yang mukanya berwana biru gelap.  
Sepertinya orang yang di sebelah depan tidak akan menjawab. Namun sesaat  kemudian terdengar suaranya keras dan membuat tiga orang di belakangnya menjadi  terdiam kecut.  
  “Kalian  bertiga  kurcaci-kurcaci  tolol!  Dengar  baik-baik  apa  yang  akan  kukatakan! Aku Ramada tidak akan tersessat di gunung ini. Aku tahu setiap sudut  gunung merbabu ini seperti aku mengenali kedua telapak tanganku! Siapa di antara  kalian yang merasa haus atau lapar, minum saja air kencingmu sambil berlari. Makan  kotoranmu sambil berlari!”    Tiga lelaki berpakai merah jadi terbungkam kecut.  
  “Aku ingin mendengar jawaban kalian!” Orang bernama Ramada berteriak.  
  “Maafkan kami Ramada!” kata ketiga orang itu berbarengan.  
  Ramada  meludah  ke  tanah.  Dia  terus  meluncur  di  atas  roda  besinya.  Tiga  orang anak buahnya itu mengikuti tanpa ada yang berani lagi membuka mulut.  
Berlari  sekitar  sepenanakan  nasi  di  sebelah  depan  kelihatan  kedip-kedip  nyala   api kecil. Ramada segera melihat nyala api itu. Begitu juga tiga orang di belakangnya.  Mereka berlari lebih kencang menuju nyala api itu. Ketika didekati ternyata adalah  nyala sebuah obor kecil yang berkalp kelip pertanda minyaknya hampir habis. Obor  ini  tergantung  pada  sebuah  tiang  besi  sebuah  bangunan  beratap  seng  yang  sekelilingnya  dibatasi  dengan  pagar  besi  setinggi  tubuh  manusia  dan  pintunya  
digembok sampai tiga buah. Di bawah atap seng itu berjnutai banyak sekali sarang  labah-labah. Ada enam ekor labah-labah besar kelihtan mendekam dalam dinginya  udara malam.  
  Sebuah makam terbuat dari batu tampak menghitam angker dalam bangunan  beratap seng itu. Di atas makam ada taburan bunga yang sudah layu. Di samping kiri  makam  di  atas  sebuah  batu  rendah  panjang  tampak  duduk  bersila  seorang  lelaki  berjanggut dan berkumis putih. Wajahnya yang tertunduk tidak begitu jelas terlihat.  Blangkon  dan  pakaian  hitam  yang  dikenakannya  sudah  tua  dan  lusuh.  Orang  ini  duduk bersila memejamkan mata. Kedua tangan ditumpangkan di atas bahu. Kalau  dia tengah bersemedi maka ini adalah cara bersemedi yang aneh.  
  Ramada  menggerakkan  kepalanya  hingga  keringat  yang  membasahi  tambutnya berlesatan ke udara. Dia berpaling pada tiga orang di belakangnya.    “Kita  tidak  salah  datang  ke  tempat  tujuan.  Ini  pastilah  makam  Pangeran  Banowo dan orang yang bersemedi itu pasti kuncen penjaga makam. Namanya Ki  Ageng Lentut.”  
Tiga  orang  lelaki  berpakaian  merah  hanya  menganggukkan  kepala.  Sejak  dibentak tadi meraka belum berani membuka mulut lagi. Takur salah berucap.  Ramada maju mendekati pintu besi yang digembok tiga. Dia mendehem keras-keras lalu berkata dengan suara keras.  
“Ki Ageng Lentut, salam bagimu. Salam juga bagi penghuni makam. Sesuai  petunjuk  aku  datang  untuk  meminta  penjelasan  atas  beberapa  hal  yang  tidak   aku ketahui!”  Orang  yang  duduk  di  samping  makam  tidak  bergerak.  Kepalanya  masih  tertunduk dan tangannya masih terletak di atas bahu.  
Ramada  menunggu  sebentar.  Ketika  tak  kunjung  ada  gerakan  atau  jawaban  dari  orang  di  samping  makam  maka  diapun  berteriak  lebih  keras,  mengulang  ucapannya tadi. Tapi orang di samping makam tetap saja tidak bergerak dan tidak  memberikan jawaban.  
Ramada mulai jengkel. “Sialan! Tidur lelap atau mungkin tuli dia agaknya!”  
Dia berpaling pada salah seorang anak buahnya dan berkata “Jalak Item. Amil batu  itu dan lemparkan pada si kuncen. Arah kepalanya biar dia tahu rasa!”  Orang  yang  bernama  Jalak  Item  yang  mukanya  memang  berwarna  hitam  sesaat tampak bimbang. “Ramada….” Katanya setengah berbisik, “aku kawatir kita  berlaku kurang ajar dan menyalahi aturan. Kuncen itu….”  “Setan! Kataku ambil batu di dekat kakimu itu dan lempar kuncen penjaga  kuburan itu!” bentak Ramada.  
Jalak Item terpaksa membungkuk. Begitu menggenggam batu dia tidak segera  melempar.  Hatinya  berdebar.  Dia  memandang  pada  kedua  temannya  Jalak  Ijo   dan Jalak  Biru.  Kedua  orang  ini  hanya  bisa  dia  tak  berani  memberi  isyarat   ataupun mengeluarkan ucapan.  
“Jalak Item! Kau tunggu apa lagi!” bentak Ramada.  
Jalak Item akhirnya garakkan tangannya yang memegang batu. Batu sebesar  kepalan itu dilemparkannya kea rah kepala kuncen yang tengah bersemedi di samping  
makam.  Jalak  Ijo  dan  Jalak  Biru  menahan  nafas  sementara  Ramada  tampak  menyeringai.  
Sejengkal lagi batu besar itu akan menghantam kepala kuncen tiba-tiba secara  aneh batu itu berbalik mencelat kencang kea rah Jalak Item.  
“Jalak Item! Awas kepalamu!” teriak Jalak ijo.  
Jalak  Item  cepat  melompat  mundur  sambil  menundukkan  kepalanya.  Tapi  terlambat. Batu itu datangnya secepat setan berkelebat. Lalu menghantam mata kiri  Jalak Item dengan telak.  
Crrooootttt!  
Batu  besar  menghancurkan mata  kiri  Jalak  Item.  Darah  dan  hancuran  mata  muncrat keluar. Jeritan Jalak Item setinggi langit. Dia jatuh terduduk di tanah dan  berguling-guling beberapa kali. Ramada cepta mendatangi. Dia menotok salah satu  bagian leher anak buahnya itu. Rasa sakit serta merta lenyap tapi darah masih terus  mengucur  dari  matanya  yang  hancur,  menutupi  sebagian  muka  Jalak  Item  hingga  tampak mengerikan.  
Dari arah makam tiba-tiba terdengar suara tertawa mengekeh.. Disusul suara  orang menegur.  
“Tamu-tamuku  yang  terhormat,  apakah  kalian  mendapatkan  kesulitan?  
Mungkin aku isa membantu?!”  
Jalak Ijo dan Jalak Biru melengak. Jalak Item cepat duduk sambil mendekap  mata kirinya sementara tangan kanannya menjangkau pikulannya.  
Ramada  memalingkan  kep[ala  kea  rah  makam.  Kuncen  berkumis  dan  berjanggut putih itu dilihatnya masih seperti tadi. Duduk tak bergerak dengan kepala  tertunduk.  
“Hemmm….  Kalau  bukan  dia  tadi  yang  bicara  siapa  lagi?”  kata  Ramada  dalam hati. “Jika saja aku tidak sangat membutuhkan dirinya akan kulumat sekujur  tubuhnya anjing keparat ini saat ini juga!” Setelah memaki begitu Ramada keluarkan  tawa panjang lalu berkata.  
“Ki Ageng Lentut, ternyata nama besarmu bukan hisapan jempol belaka!”  
“Tamu-tamu yang datang dari jauh, mengapa tidak masuk ke sini!” Kuncen  dekat makam berkata. Kepalanya terangkat sedikit. “Cepatlah masuk. Aku tidak akan  menerima tamu pada saat obor di tiang timur habis minyaknya dan padam!”  “Terima kasih. Kami berempat akan segera masuk. Tapi bagaimana ini. Pintu  pagar  makam  terkunci.  Ada  tiga  gembok  besar  menghalangi.  Apakah  harus  kuremukkan dulu dengan tangan kosong?!” ujar Ramada.
DUA  
Dari arah makam terdengar suara mengekeh sang kuncen yang bernama Ki  
Ageng Lentut itu. Kembali kepalanya tengakat sedikit.  
“Aku  tahu  kehebatan  tangan  dan  kesaktianmu.    Siapa  yang  tidak  kenal  Ramada Suro Jelantik, raja di raja tokoh persilatan darai timur. Aku yakin kau bisa  
menghancurkan  tiga buah gembok besar itu dengan tangan kosong. Tapi apakah ada  gunanya? Merusak itu tidak ada manfaatnya! Lagi pula tiga buah gembok itu adalah  benda-benda pusaka yang usianya hampir dua kali usiamu!”    Dalam hatinya Ramada jadi tercekat. “Kenalpun sebelumnya tidak. Dari tadi  dia hanya menundukkan kepala, tidak mungkin melihat tampangku dengan jelas. Tapi  bagaimana dia tahu nama dan diriku? Benar-benar manusia berkepandaian tinggi!”    “Kuncen  makam  Pangeran  Banowo  bernama Ki  Ageng  Lentut.  Bagaimana  kau bisa tahu bahwa yang datang ini aku Ramada Suro Jelantik?” Ramada tak dapat  menahan rasa ingin tahunya.  
Sang kuncen di samping makam tertawa perlahan.  
“Di dunia ini siapa manusianya yang berjalan laksana angin di atas roda besi  yang hebat kalau bukannya Ramda Suro Jelantik? Dari jauh kudenar suara alat yang  mampu membuatmu berlari dengan kecepatan setan! Lalu kucocokkan dengan bau  badanmu! Tidak salah lagi. Kau memang Ramada Suro Jelantik!”    Ramada  memaki  lagi  dalam  hati  lalu  menarik  nafas  dalam  dan  akhirnya  menyeringai.  
  “Ki  Ageng  Lentut,  kuncen  makam  Pangeran  Banowo.  Kami  ingin  masuk,  harap kau suka membuka tiga buah gembok!” Akhirnya Ramada  berkata.  
“Baiklah, aku akan bukakan pintu pagar!” Kuncen di samping makam angkat tangan  kanannya lalu digerakkan tiga kali.  
  Trekk….terkk…..treekkkk!  
  Terdengar suara berkereketan tiga kali berturut-turut. Tiga buah gembok besar  di pintu pagar makam tampak tersentak-sentak lalu terbuka secara aneh. Bersamaan  dengan  itu  pintu  besi  yang  berat  bergeser  membuka  dengan  mengeluarkan  suara  berkereketan.  
  “Para tamu dari jauh silakan masuk….” Terdengar kuncen makam berkata.  
  Tanpa ragu-ragu Ramada melangkah melewati pintu. Jalak Ijo dan Jalak Biru  mengikuti dari belakang. Jalak Item yang masih terduduk di tanah berkata “Aku tidak  ikut masuk. Kuncen keparat itu telah menghancurkan dan membutakan mata kiriku!”    Dari  arah  makam  sang  kuncen  menyahuti.  “Setiap  amal  perbuatan  ada  ganjarannya.  Kalau  baik  akan  mendapatkan  ganjaran  yang  baik.  Kalau  jahat  akan  mendapatkan balasan yang jahat. Tinggal manusia mau memilih yang mana. Kalau  sampeyan tidak mau diajak masuk, siapa mau memaksa…?”    “Sudah! Kau tinggal saja di luar sana Jalak Item!” kata Ramada pada anak  buahnya itu lalu meneruskan langkah masuk ke dalam makam.  
  Ki  Ageng  Lentut  mengangkat  kepalanya  tinggi-tinggi.  Kini  kelihatan  wajahnya lebih jelas. Satu wajah tua kelimis dengan janggut dan kumis putih yang  terpelihara rapi. Keningnya tinggi dan rahangnya tampak kokoh.  
  “Ramada, aku tak mengira banyak sekali bawaanmu,” kata Ki Ageng Lentut.  
Pandangannya menyambar ke arah guci batu yang ada dalam dekapan tangan kanan  
Ramada.  “Dan  bukan  Ramada  namanya  kalau  tidak  membawa  benda-benda  aneh.  
Kau boleh meletakkan jenazah yang diawetkan itu di atas makam dan letakkan guci  itu dekat batu tempat dudukku!”  
  “Maafkan aku Ki Ageng Lentut. Jenazah ini bias kuletakkan di atas makam.  
Tapi guci ini biar tetap kupegang di tangan kanan….!” Kata Ramada Suro Jelantik.  
  Sang kuncen tersenyum.  
  “Ah, rupanya guci itu jauh lebih berharga dari jenazah perempuan muda dan  cantik yang kau bawa.”  “Kira-kira begitu Ki Ageng Lentut,” jawab Ramada.  
Sang kuncen usap janggut putihnya sambil menatap ke arah guci yang ada  dalam  dekapan  tangan  kanan  Ramada.  Pandangannya  beralih  ke  arah  mayat  yang  terbujur di atas makam. Lalu dia bertanya “Ramada, mayat siapakah yang kau bawa  ini?”  “Mayat istriku Ki Ageng….”  Ki Ageng Lentut keluarkan seruan tertahan disertai pandangan mata seperti  tidak percaya. Lalu digeleng-gelengkannya kepalanya.  
“Ah,  rupanya  tokoh  besar  dunia  persilatan  dating  membawa  nasib  malang.  
Aku  turut  berduka  Ramada.  Namun  apakah  sebenarnya  yang  telah  terjadi?  Aku  melihat istrimu mati dengan sepasang mata mendelik. Lalu ada luka besar di dekat  lehernya.  Setahuku  istrimu  menguasai  ilmu  silat  dan  kesaktian  yang  tidak rendah.  
Bagaimana mungkin dia bisa menemui ajal seperti ini? Bebanmu berat amat Ramada.  
Membawa mayat istrimu kemana-mana…..”  “Aku  akan  membawanya  sampai  ke  neraka  sekalipun.  Aku  tidak  akan  menguburnya sebelum menemukan pembunuhnya!”  
“Jadi istrimu mati dibunuh orang!”  
“Betul  sekali  Ki  Ageng.  Aku  berusaha  mencari  tahu  siapa  orangnya.  Tapi  sampai saat ini masih gelap. Itu sebabnya aku datang dari jauh untuk menemuimu  guna mendapat petunjuk! Itu pula sebebnya aku membawa guc keramat yang bernama  Guci Setan ini. Menurut banyak orang hanya kau yang bisa melihat kealam ghaib  lewat guci ini.”  Kuncen  makam  Pangeran  Banowo  itu  memandangi  guci  di  tangan  Ramada  dengan sepasang mata berkilat-kilat.  
“Guci Setan…..” desisnya. “Sudah lama aku mendengar nama benda ini. Guci  misterius yang bisa mendatangkan sejuta kebajikan tapi juga bisa menimbulkan sejuta  angkara murka! Guci yang selama ratusan tahun gentayangan dari satu tangan orang  pandai  ke  tangan  orang  pandai  lainnya.  Menjadi  rebutan  dalam  dunia  persilatan.  
Bagaimana benda keramat ini sampai berada di tanganu Ramada?”  “Panjang  ceritanya  Ki  Ageng.  Harap  dimaafkan,  aku  datang  kemari  bukan  untuk menuturkan riwayat Guci Setan ini, tapi untuk minta bantuanmu, tolong melihat  lewat guci, siapa kiranya manusia keparat yang telah membunuh istriku.”  “Jika itu maksud tujuanmu, aku akan membantu. Mudah saja melakukannya.  
Memang hanya aku yang mampu untuk melihat dan menembus kea lam gaib lewat  guci sakti itu. Letakkan guci itu di hadapanku Ramada.”  “Tidak Ki Ageng. Apapun yang akan kau lakukan guci ini tetap harus berada  dalam dekapanku,” jawa Ramada Suro Jelantik.  
Kuncen tua itu tersenyum. “Kau tidak percaya padaku rupanya Ramada?”  
“Kepercayaan  di  atas  dunia  ini  kini  hanya  setipis  embun  pagi  Ki  Ageng.  Terserah, kau mau menolongku dengan cara begini ataau aku akan pergi saja.”  “Baiklah,  jika  kau  memang  lebih  suka  begitu  aku  tidak  akan  membantah.  
Sekarang  katakana  berapa  banyak  harta  dan  uang  yang  akan  kau  berikan  padaku  sebagai upah melakukan permintaanmu?”  Ramada  Suro  Jelantik  menyeringai.  Dirabanya  janggut  dan  cambang  bawuknya yang meranggas kasar.  
“Kau lupa Ki Ageng. Aku sudah membayarnya tadi!”  
“Eh, apa maksudmu Ramada?” tanya kuncen makam terheran-heran.  
“Aku sudah membayar dengan mata kiri anak buahku yang kau bikin hancur  hingga kini dia menjadi cacat buta seumur hidup! Apa itu belum cukup?!”  Berubahlah  paras  Ki  Ageng  Lentut.  Mulutnya  terbuka  hendak  mengatakan  sesuatu tapi cepat dipotong oleh Ramada. “Aku tahu, kau akan berkata kejadian itu  akibat salah anak buahku sendiri! Tapi ketahuilah bukan begitu cara mengingatkan  sahabat dalam dunia persilatan! Batu yang dilemparkannya bisa saja kau buat mental  ke jurusan lain! Bukan utnuk menghantam matanya hingga cidera seperti itu!”  Ki Ageng Lentut terdiam. Lalu dia berkata “Kurasa aku….”  
Ramada Suro Jelantik menjentikkan jari-jari tangannya pada Jalak Ijo. “Jalak  Ijo, kurasa binatang peliharaanmu sudah cukup lapar. Ada enam labah-labah gemuk  di  atas  atap  makam.  Mengapa  kau  tidak  menyuruhnya  menyantap  tiga  dari  enam  labah-labah itu?”  Jalak Ijo menyeringai. Pikulan di atas bahunya diturunkan. Keranjang yang  ada  di  ujung  pikulan  diletakkannya  di  atas  pangkuannya.  Perlahan-lahan  penutup  keranjang  rotan  itu dibukanya.  Begitu  penutup  keranjang  terbuka  tiba-tiba   melesat sebuah benda panjang berkepala lebar pipih, berwarna hijau disertai suara  mendesis.  
“Ular Kobra!” seru Ki Ageng Lentut dengan muka pucat dan bersurut jauh di  atas batu yang didudukinya. “Ramada, jangan main-main. Binatang itu sangat beracun.  Sekali patuk saja jangankan manusia. Gajah saja pasti mati! Jauhkan binatang celaka  itu dariku! Aku sangat bendi pada segala macam ular!”  Ramada tersenyum lebar. Dia melirik pada Jalak Ijo.  
“Ayo tunggu apa lagi. Beri makan ular kobramu. Walau cuma tiga ekor labah-labah. Lebih baik dari pada harus mematuk kepala kuncen makam ini!”  Jalak Ijo yang memegang keranjang rotan berisi ular kobra betina mengetuk  keranjang itu tiga kali seraya berkata “Ratu hijau. Lihat tiga ekor labah-labah gemuk  di atas atap sana. Itu rejekimu saat ini. Santaplah!”  Kobra hijau di dalam keranjang menaikkan kepalanya lurus-lurus. Tiba-tiba  binatang ini melesat ke atas. Ketika kemudian dia kembali masuk ke dalam keranjang,  di bawah atap seng tiga ekor labah-labah gemuk lenyap dari tempatnya semula!  Jalak Ijo Menyeringai. Perlahan-lahan penutup keranjang rotan ditutupkannya  kembali.  
Kuncen makam Pangeran Banowo tak berani bergerak. Berkesippun hampir  tidak dilakukannya. “Ular beracun itu kecepatannya seperti setan. Aku harus berhati-
hati. Mungkin belum saatnya aku menjalankan rencana….”  Selagi kuncen berpikir begitu terdengar Ramada Suro Jelantik berkata pada  anak  buahnya  yang  seorang  lagi.  “Jalak  Biru,  kukira  binatang  peliharaanmu  juga  sudah  lapar.  Sayang  hanya  tingal  tiga  ekor  labah-labah  di  atas  sana.  Bagaiman  pendapatmu?”  “Biar  mereka  berebut  rejeki  sendiri-dendiri.  Siapa  yang  lebih  cepat  akan  mendapat  santapan  enak,”  jawab  Jalak  Biru.  Lalu  dengan  hati-hati  diturunkannya  pikulannya  dari  bahu.  Keranjang  rotan  yang  tesangkut  di  ujung  pikulan  itu  diletakkannya di lantai makam. Perlahan-lahan dibukanya penutup keranjang. Begitu  penutup  terbuka  menjalar  keluar  tujuh  ekor  kelabang  berwarna  biru.  Kepala,   kaki-kaki dan ekornya bergerak kian kemari.  
Kembali  Ki  Ageng  Lentut  bergidik  dan  bersurut  mundur  di  atas  batu  yang  didudukinya.  Ramada  tersenyum  dan  berkata  “Ki  Ageng,  kebuasan  dan  jahatnya  racun tujuh Kelabang Biru itu tidak kalah dengan Ratu Hijau tadi. Jangan sampai kau  membuat erakan yang keliru. Salah-salah kau bisa mereka serang!”  “Kalian  membawa  binatang-binatang  celaka!”  kaata  Ki  Ageng  Lentut  tak  berani keras-keras.  
“Jalak Biru. Beri makan binatang peliharaanmu!” kata Ramada pula.  
Jalak Biru mengetuk penutup keranjang rotan tiga kali lalu berkata “Sarapan  malam cuma ada tiga. Terserah bagaimana kalian mau merebutkannya!” Lalu Jalak  BIru  meniup  kea rah  keranjang. Tujuh  ekor  kelabang  biru  itu  mengeluarkan  suara  aneh  lalu  ketujuhnya  melesat  ke  atas.  Tiga  yang  melesat  lebih  cepat  berhasil  menyambar  tiga  ekor  labah-labah.  Yang  keempet  jatuhkan  diri  kembali  ke  dalam  keranjang rotan. Selesai menelan mangsanya, tiga kelabang biru tadi baru turun pula  ke dalam keranjang. Jalak Biru cepat menutup keranjang rotan itu kembali.  Ki Ageg Lentut menarik nafas lega. Nyawanya yan gtadi terasa terbang kini  seperti kembali lagi.  
“Ki  Ageng  Lentut,  apakah  kau  masih  ingin  meminta  bayaran?”  bertanya  Ramada pada sang kuncen. Orang tua berjanggut dan berkumis putih itu gelengkan  kepalanya berulang kali dengan wajah pucat.  
“Nah sekarang pergunakan kepandaianmu untuk melihat kea lam gaib. Siapa  yang telah membunuh istriku.” Kata Ramada pula.  
“Baik, baik. Akan kulakukan,” kata si kuncen ketakutan. Dia trun dari batu  tempatnya  duduk  lalu  berdiri  di  hadapan  Ramada  yang  mendekap  guci  berapi  itu  dalam gelungan tangan kanannya.  
Mula-mula  Ki  Ageng  Lentut  meletakkan  kedua  telapak  tangannya  di  atas  mulut guci yang mengepulkan asap putih dan ada jilatan apinya. Lalu kedua matanya  dipejamkan.  Multunya  berkomat  kamit.  Beberaa  saat  kemudian  kelihatan  sekujur  tubuh kuncen itu bergetar keras. Kedua telapak tangannya yang ada di atas mulut guci  ikut bergetar. Lalu dari mulutnya meluncur ucapan-ucapan “Guci Setan guci keramat.  
Petunjuk bumi petunjuk langit. Lenyap asap padamlah api. Muncullah air keramat.  
Ada orang ingin minta pertolongan. Sudi kiranya penguasa guci memberi jawaban  memberi petunjuk.”  
Beberapa  saat  berlalu.  Tiba-tiba  Ramada,  Jalak  Ijo  dan  Jalak  Biru  melihat  begaimana sekujur tubuh Ki Ageng Lentut berubah menjadi sangat hitam. Kulitnya  tampak mengeriput dan wajahnya jadi sangat mengerikan. Hidung dn kedua matanya  membesar. Telinganya mencuat panjang ke atas dan gigi-giginya menyembul panjang  besar. Lalu dari multunya keluar suara aneh. Bukan suaranya. Tapi suara lain, halus  menggeletar.  
“Aku penghuni dan penguasa Guci Setan. Anak manusia apa yang ingin ka  tanyakan? Tapi katakan dulu siapa namamu.”  Sesaat Ramada memandang tercekat pada perubahan yang terdiri atas wajah  dan  keadaan  tubuh  kuncen  penjaga  makam  itu.  Demikian  juga  dengan  dua  anak  buahnya yaitu Jalak Ijo dan Jalak Biru.  
“Penghuni dan penguasa Guci Seetan. Namaku Ramada Suro Jelantik….”  
“Apa keperluanmu Ramada?” tanya sang kuncen yang kini punya bentuk dan suara lain.  
“Aku ingin mengetahui siapa pembunuh istriku,” jawab Ramada.  
Terdengar suara mengekeh.  
“Setahuku  kau  punya  empat  istri  Ramada.  Istrimu  yang  mana  yang  dibunuh  orang?”  Sesaat  paras  Ramada  nampak  berubah.  Dia  berdehem  beberapa  kali  lalu  menjawab.  “Istri  tua  dan  istri  keduaku  minggat  entah  kemana.  Istri  ketiga   sudah kucerai karena main gila dengan orang lain…”  
“Ah, jadi istri mudamu rupanya yang dibunuh orang!” kata si penghuni Guci Setan.  
“Siapa nama istrimu yang malang itu?”  
“Namanya Dardini….”  
“Hemm….jadi kau ingin tahu siapa nembunuhnya?”  
“Betul. Siapa orangnya dan dimana aku bisa mencarinya!” jawab Ramada.  
Kuncen  itu  melangkah lebih  dekat  pada  Ramada.  Kedua  telapak  tangannya  diletakkan  di  atas  mulut  guci  dimana  kepulan  asap  dan  jilatan  lidah  api.  Kalau  Ramada  telah  membuktikan  kehebatannya  sanggup  memegang  dan  mendekap  guci  yang panas tanpa cidera, maka kuncen makam memperlihatkan kesaktiannya dimana  kedua tangannya sama sekali tidak apa-apa walaupun dijilati api.  
“Api di dalam guci, penghuni dan penguasa guci meminta kau untuk pergi.  
Air di alam gaib. Masuk dan isilah Guci Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak  melihat ke dalam alam gaib…… Ada anak manusia membutuhkan pertolongan.”  Baru saja kuncen itu berkata begitu perlahan-lahan api di dalam guci mengecil.  
Bersamaan dengan itu kepulan asap putih menghilang.  
Lalu  dari  dalam  guci  terdengar  suara  seperti  ada  air  dicurahkan.  Ramada  merasa guci yang dipegangnya itu menjadi lebih berat. Dia membuka matanya lebar-lebar dn memandang ke dalam guci. Astaga! Di dalam guci itu kini kelihatan ada air  yang tingginya sampai setengah badan guci. Air ini secara anh berputar-putar dena  bersamaan dengan itu terdengar suara aneh seperti tiupan angin halus di dalam guci.  
TIGA  
Ki  Ageng  Lentut  mendorong  kepala  Ramada  yang  menghalangi pemandangannya.  
Lalu memandang ke dalam guci.  
“Air keramat dan angin sakti telah muncul. Penguasa guci telah melihat dan mendengar.  Sekarang perlihatkan mukjizatmu. Ada seorang anak manusia bernama Ramada  Suro   Jelantik  kematian  iatri  bernama  Dardini.  Perempuan  muda  itu  mati dibunuh   orang.  Perlihatakan  kesaktianmu  padaku.  Tunjukkan  padaku  siapa  sang pembunuh!”  Putaran air aneh di dalam guci semakin keras begitu juga tiupan angin halus.  
Guci  bergoncnag  keras.  Ramada  terpaksa  memegang  Guci  Setan  itu  erat-erat   agar tidak terlepas dari dekapannya.  
Perlahan-lahan  putaran  air  dalam  guci  mulai  surut.  Bersamaan  dengan  itu  suara tiuapan angin halus mulai lenyap. Kuncen Ki Ageng Lentut pejamkan kedua  matanya. Ketika mata itu dibuka kembali dan menatap ke dalam guci, kelihatan air  dalam guci tak bergereak lagi. Bibir sang kuncen  kelihtan bergerak-gerak. Dia tengah  melafazkan sesuatu agaknya. Lalu terdengar dia berucap.  
“Aku  penghuni  dan  penguasa  Guci  Setan.  Aku  mulai  melihat  bayangan seseorang   di  permukaan  air  dalam  guci.  Jauh  samar-samar.  Mendekat  mulai  jelas. Makin  jelas….tambah jelas. Ah…..ternyata seorang pemuda…..”  “Kuncen,  kau  mengenali  siapa  pemuda  itu?!”  tanya  Ramada  Suro  Jelantik yang  rupanya sudah tidak sabar utnuk mengetahui siapa adanya orang yang membunuh  istrinya.  
Sang  kuncen  yang  wajahnya  dan  kulitnya  telah  berubah  hitam  mengerikan  menggeram pendek. “Manusia anjing!” meluncur makina dari mulutnya. “Sekali lagi  kau berani menyelak bicara, kupevahkan kepalamu!”  “Bangsat sialan!” maki Ramada Suro Jelantik, tapi hanya dalam hati. Ingin dia  merobek mulut kuncen tua itu.  
“Maafkan aku….” Ujar Ramada dengan suara bergetar menahan marah lalu  mengusap mukanya yang keringatan.  
Ki Ageng Lentut menurunkan kepalanya, memandang kembali ke dalam guci.  
“Betul…..memang seorang pemuda. Berambut gondrong sebahu….. Keningnya diikat  setangan warna putih. Dia juga mengenakan pakaian putih…. Hemmmm…..lagaknya  sombong sekali. Cengar-cengir seperti orang kurang waras….”  Ki  Ageng  Lentut  mengangkat  kepalanya.  “Ramada,  itu  yang  aku  lihat  di  permukaan  air  dalam  guci.  Pembunuh  istrimu  adalah  seorang  pemuda  berambut  gondrong, mengenakan pakaian putih….”  “Jauh-jauh  aku  datang  menempuh  hujan  dan  teriknya  matahari.  Kau  hanya  bisa memberi tahu seperti itu! Sama sekali tidak ada gunanya bagiku! Persetan! Ada  ratusan  orang  berpakaian  putih!  Ada  ratusan  orang  berambut  gondrong!  Kuncen  makam  Pangeran  Banowo,  kau  benar-benar  mengeewakan  aku.  Ilmu  kesaktianmu  yang pandai mengetahui seribu satu macam kejadian yang sudah lalu maupun yang  akan datang ternyata omong kosong belaka!”  Kuncen tua itu tertawa. “Manusia Anjing! Ucapanku belum selesai. Kau sudah  
memotong! Katakan aku yang salah atau kau yang tolol tidak tahu peradatan?!”  “Lalu apa lagi yang hendak kau katakan? Apakah kau tidak bisa mengenali siapa adanya  pemuda itu?!”  
Ki  Ageng  Lentut  usap-usap  janggutnya  lalu  rapikan  blangkon  hitamnya. Sesaat  setelah dia menatap lekat-lekat pada Ramada, kuncen ini kembali melihat ke dalam  guci.  
“Hemmm….angin meniup baju pemuda yang tak terkancing. Dada penuh otot,  tanda  kekuatan  yang  hebat.  Eh,  apa  itu…..  Aku  melihat  sesutau  di  pertengahan  dadanya. Ada rajah tiga buah angka di dada itu. Angka 2….1….2….! 212!” Paras Ki  Ageng  Lentut  berubah  keras  membesi.  Dia  mengangkat  kepala,  menatap  manusia  bernama Ramada Suro Jelantik. “Anak manusia bernama Ramada. Aku sudah tahu  siapa pembunuh istrimu…. Tak pelak lagi. Rajah tiga angka itu! Dia adalah Wiro  Sableng. Tokoh silat muda yang dikenal dengan gelaran Pendekar Kapak Maut Naga  Geni  212!  Benar-benar  tidak  disangka!  Pendekar  yang  begitu  diagung-agungkan  ternyata adalah seorang pemerkosa dan pembunuh keji biadab!”  Tampang angker Ramada Suro Jelantik tampak seganas harimau lapar yang  terluka. Sekujur tubuhnya bergeletar.  
“Pendekar  212  keparat!Akan  kutebas  batang  lehermu!  Kuminum  darahmu!  
Kulumat sekujur tubuh dan tulang-tulangmu!” teriak Ramada. Dalam amarah yang  mendidih tidak terkendali lagi tangan kirinya bererak memukul ke samping.  
Tiang besi penyanggah atap seng bangunan makam putus dihantam pukulan Ramada.   
Atap  di  atasnya  langsung  jatuh  miring.  Kuncen  makam  hendak  memaki marah tapi  
Ramada lebih dahulu membentak garang hingga mulut sang kuncen seperti terkancing.  
“Jadi  dia  pembunuhnya!  Kuncen!  Lihat  lagi  k  edalam  guci!  Pergunakan  kepandaianmu untuk melihat dimana pemuda keparat itu saat ini berada!”  Perlahan-lahan Ki Ageng Lentut kembali melihat ke dalam guci. “Aku lihat  pemandangan seperti ada laut. Pantai…. Pemuda pembunuh itu berada di pantai. Tapi  tak dapa kupastikan apakah dia berada di pantai Utara atau di pantai Selatan…..”  
“Kuncen!”  
“Tunggu  dulu!  Dalam  guci  aku  melihat  gambaran  apa  yang  telah  terjadi  dengan istrimu. Aku melihat satu bangunan kayu di sebuah lembah yang ada danau  kecil di depannya….”  
“Itu tempat kediamanku!!” kata Ramada pula.  
“Gelap…..  PErtanda  saat  itu  malam  hari.  Ada  bayangan  putih  berkelebat.  
Orang  ini  menerobos  masuk  ke  dalam  sebuah  kamar  lewat  jendela.  Ada  seorang  perempuan berbaring  tidur di atas ranjang…”  “Itu pasti istriku Dardini!” kata Ramada tegang. Kedua tangannya dikepalkan.  
Ki Ageng Lentut memandang kembali ke dalam guci. “Istrimu terbangun…..  
Terjadi  perkelahian  tapi  singkat  sekali.  Orang  yang  masuk  berhasil  menotok  perempuan itu. Dalam keadaan tak berdaya dia dibaringkan di atas ranjang. Seluruh  pakaiannya  dibuka  dengan  paksa.  Lalu…..  Ya  ampun…..  Orang  itu  memperkosa  istrimu Ramada…..”  
“Jahanam!”  teriak  Ramada  sambil  tegak  berdiri.  Dia  seperti  hendak mengamuk.  
Tapi Ki Ageng Lentut cepat berkata.  
“Duduk  kembali  Ramada.  Apa  yang  kulihat  di  dalam  guci  ini  belum selesai….”  Untuk  beberapa  saat  lamanya  Ramada  masih  tetap  berdiri  dengan  sekujur  tubuh  bergetar  dan  keringatan.  Kemudian  akhirnya  dia  duduk  kembali  di   hadapan kuncen itu. Sang kuncen melihat lagi ke dalam guci. “Betul Ramada dia  memperkosa istrimu.  Tapi  lihat!  Istrimu  tiba-tiba  bisa  melepaskan  totokannya.   
Hebat  sekali!  
Kembali terjadi perkelahian. Istrimu berhasil mendesak pemuda itu. Eh, apa itu? Aku  melihat  ada  cahaya  menyilaukan  berkiblat.  Hemmm,  si  pemuda  ternyata  mengeluarkan  sebuah  senjata.  Sebuah  kapak  bermata  dua!  Jelas  ini  adalah   Kapak Maut Naga Geni 212! Istrimu tidak berdaya menghadapi senjata sakti itu  Ramada. Satu  bacokan  mendarat  dekat  pangkal  lehernya…..  Istrimu  roboh.   
Pemuda  itu melarikan diri….”  
Geraham Ramada  terdengar bergemeletukan. “Bangsat itu tak akan bisa lari  terus.  Aku  akan  segera  menemukannya.  Coba  kau  lihat  ke  dalam  guci  Ki  Ageng!  
Bantu aku menemukan pendekar jahanam itu!”  “Sudah kubilang tadi Ramada. Dia saat ini berada di daerah pantai. Mungkin  di Selatan, mungkin juga di Utara. Ad satu cara untuk memancing kemunculannya.  
Pergi ke puncak gunung Gede kediaman gurunya. Seorang nenek sakti bernama Sinto  Gendeng.  Bunuh  tua  bangka  itu.  Masakan  Pendekar  212  tidak  akan  keluar  dari  sarangnya  mengunjukkan  diri  untuk  mencarimu?!  Aku  sudah  letih  Ramada.  Aku  penghuni dan penguasa Guci Setan segera akan kembali ke alam gaib. Kapan saja kau  ingin petunjukku lebih lanjut kau boleh menghubungiku…”  “Tunggu dulu!” kata Ramada setengah berteriak.  
Ki Ageng Lentut yang kemasukan roh aneh itu tidak perdulikan teriakan orang.  
Kedua  tangannya  diletakkan  di  atas  mulut  guci.  Mulutnya  komat  kamit.  Kulitnya  yang  tadi  hitam  pekat  dan  berkeriput  kini  berubah  kembali  ke  warna  asalnya.  Wajahnya yang mengerikan juga kembali ke rupa aslinya. Hidung dan kedua matanya  yang tadi membesar kini mengecil lagi. Begitu juga telingnya yang mencuat dan gigi-giginya yang menyembul besar, kembali ke bentuk semula.  
Dari dalam guci kelihatan asap putih mengepul. Bersamaan dengan itu tampak  lidah api menjilat keluar. Perlahan-lahan kuncen itu melangkah mundur, lalu duduk di  atas  batu.  Sekujur  tubuhnya  basah  oleh  keringat.  Suaranya  yang  tadi  halus  menggeletar kini terdengar seperti semula.  
“Ramada…. Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Tubuhku letih, aku ingin  bersemedi dan tidur dalam semediku. Kuharap kau dan anak buahmu segera angkat  kaki dari tempat ini.”  “Ki Ageng Lentut, aku…..”  Ramada  Suro  Jelantik  hentikan  ucapannya.  Dilihatnya  sang  kuncen  saat  itu  pejamkan kedua mata, kaki disilangkan di atas batu dan kedua tangannya diletakkan  di atas bahu.  
“Sialan!” maki Ramada. Dia meludah ke lantai makam lalu berdiri. Dengan bantuan Jalak  Ijo dan Jalak Biru mayat kaku istri mudanya dinaikkan ke atas bahu  kirinya.  Di  tangan  kanannya  Ramada  memegang  guci  erat-erat.  “Sialan!”  makinya  lagi.  “Kita  harus  segera  pergi  dari  sini.  Kalian  harus  mencari  kuda  tunggangan.  
Gunung Gede jauh di sebelah Barat.”  “Kita pasti akan mendapatkan kuda begitu sampai di kaki Gunung Merbabu,”  kata Jalak Ijo.  
Di depan makam Jalak Item masih terduduk di tanah. Meski darah tidak lagi  mengucur dari mata kirinya yag hancur namun rasa sakit membuat dia mengerang  terus-terusan.  
“Kau mau ikut atau tinggal di sini?!” betnak Jalak Biru pada temannya itu.  
Perlahan-lahan  Jalak  Item  berdiri.  Dia  tidak  segera  mengikuti  Ramada  dan  kawan-kawannya melainkan melangkah dulu kea rah bangunan makam.  
“Kuncen keparat! Matamu boelh kau pejamkan. Aku tahu telingamu tidak tuli.  
Kau dengar baik-baik. Satu hari aku pasti datang mencarimu untuk membalas apa  yang kau lakukan padaku. Aku akan menagih hutang berikut bunganya. Aku akan  mengorek kedua matamu sekaligus!”  Di  atas  batu  kuncen  Ki  Ageng  Lentut  teidak  bergerak.  “Kuncen  bangsat!”  rutuk Jalak Item. Dia meludah makam batu di depannya lalu berpaling dan tingalkan  tempat itu sambil tangan kirinya menekap matanya yang pecah dan buta.  
EMPAT  
  Meski  di  langit  matahari  bersinar  terik  namun  di  puncak  Gunung  
Merbabu  itu  udara  tetap  saja  terasa  dingin.  Satu  bayangan  putih  berkelebat   cepat.  
Mula-mula gerakannya terlihat di lerang sebelah Timur. Lalu lenyap dan tahu-tahu  muncul lagi di ketinggian yang hampir mencapai puncak. Orang yang berlari dengan  gerakan  sebat  ini  ternyata  adalah  Pendekar  212 Wiro  Sableng,  murid  Eyang   Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Di puncak gunung, dia membutuhkan waktu cukup  lama sebelum akhirnya menemui makam Pangeran Banowo.    Makam Itu kosong, diselimuti kesunyian dan udara dingin.  
  “Aku datang terlambat! Sebelumnya dia pasti berada di sini,” kata Pendekar  212 dalam hati lalu memandang berkeliling. Di atas makam tampak tebaran bunga-bunga yang sudah layu. Di salah satu tiang makam tergantung sebuah obor yang telah  lama padam. Satu tiang lainnya tampak bengkok dan patah hingga atap makam yang terbuat dari seng kelihatan miring. Murid Sinto Gendeng ini kernyitkan kening ketika  di lantai dilihatnya banyak jejak-jejak kaki. “Agaknya dia tidak sendirian di sini. Siapa  bersama dia? Kemana mereka sekarang?”    Wiro memperrhatikan halaman liar sekitar makam. Lalu matanya membentur  bercak-bercak hitam di tanah. Lalu mengorek bagian tanah yang ada bercak-bercak  kehitaman itu. “Bekas-bekas darah yang sudah mengering….” Katanya dalam hati.  
“Sesuatu  telah  terjadi  di  tempat  ini.”  Perlahan-lahan  Wiro  berdiri  lalu   melangkah kembali  ke arah  makam.  Baru  saja  sampai  di  depan  pintu  pagar   makam  yang bergembok tiga tiba-tiba dia mendengar suara derap kaki kuda. Murid  Eyang Sinto Gendeng berpaling ke jurusan datangnya suara itu. Tapi derap kaki kuda  tadi serta merta lenyap. Wiro garuk-garuk kepala. “Mungkin aku salah dengar,”  katanya sambil garuk-garuk  kepala.  Di  puncak  gunung  seperti  ini  siapa  orangnya   yang  mampu menunggang kuda begitu cepat!” Karena tak mau merusak pintu pagar  makam, Wiro memanjat pintu itu lalu masuk ke dalam. Selagi dia memperhatikan  keadaan makam, beberapa tombak dari sana, terlindung di balik semak belukar liar  yang lebat, seorang dara berpakaian ringkas warna biru dan berikat kepala kain merah  berkata pada orang di sebelahnya sambil mengepalkan tangan.  
  “Paman,lihat! Pemuda tak dikenal itu memanjat pintu pagar makam. Kurang  ajar…..!” Tangannya bergerak menurunkan sebuah busur dari bahunya.  
  “Jangan-jangan dia pula yang telah merusak salah satu tiang atap makam….!”  Menyahuti lelaki berambut putih di sebelah sang dara.  
  “Kurang  ajar!  Lihat!  Dia  kini  bahkan  berani  membaringkan  diri,  tidur  menelentang di atas makam ayahanda! Saya tidak bisa berdiam diri lebih lama. Saya  akan tambus tubhnya dengan lima anak panah sekaligus!” Lali si gadis berpakaian  biru  itu  menarik  lima  anak  panah  dari  tabung  bambu  di  punggungnya.  Begitu  disusupkan ke tali busur dia segera membidik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng  yang  karena  keletihan  enak  saja  merebahkan  diri  di  atas  makam  batu  Pangeran  Banowo.  
  “Tunggu  dulu  Dewi….  Aku  punya  firasat  pemuda  itu  bukan  orang  sembarangan…..”    “Paman! Bagaiman kau ini! Oarng telah mengotori bahkan merusak makam  ayahanda kau masih bilang tunggu! Siapapun adanya pemuda itu dia harus kita hajar!  
Lagi pula ini saatnya kau menyaksikan sendiri kehebatan ilmu panah warisanmu!”    “Dengar Dewi. Aku akan kelur dair semak-semak ini. Aku akan bicara dengan  orang itu. Kau tetap berada di sini. Bukan mustahil dia datang tidak sendirian….”    Dewi Santiastri si gadis tak menjawab. Namun begitu pamannya melangkah  ke  arah  makam  dia  segera  melompat  dari  semak  belukar.  Lima  anak  panah  yang  terpentang  di  busurnya  dibidikkan  ke  arah  Pendekar  212  yag  masih  asyik-asyikan berbaring-baring  di  atas  batu  makam  bahkan  sambil  bersiul-siul  perlahan!   
Murid Sinto  Gendeng  ini  baru  melompa  tbangun  ketika  sepasang  telinganya   menangkap suara langkah-langkah kaki.  
  “Astaga! Ada orang mendatangi. Sudah dekat baru aku dengar langkahnya.  
Pasti dia memiliki ilmu kepandaian tinggi!” kata Wiro dalam hati dan memperhatikan  ke depan. Dia melihaat seorang lelaki berpakaian putih bagus, berusia sekitar enam  puluh tahun tetapi berwajah segar dan klimis melangkah dan berhenti di pagar makam.  
Yang membuatnya tercekat adalah ketika melihat di belakang lelaki berambut putih  itu ada seorang dara berpakaian serba biru. Parasnya cantik tampak beringas pertanda  bahwa setiap saat dia benar-benar akan melepaskan lima anak panah yang dibidikkan  ke arahnya. Wiro mencoba tersenyum dan garuk-garuk kepala! Sang dara membentak  
dengan keras.  
  “Pemuda  kurang  ajar!  Jangan  senyum-senyum  cengengesan!  Berani  kau  bergerak kutambus sekujur tubuhmu dengan panah-panah ini!”    “Astaga….! Eh, apa-apaan ini! Enak saja kau mengatakan aku pemuda kurang  ajar?  Di  mana?  Kapan?  Kenalpun  tidak.  Melihatmupun  baru  sekali  ini!”  Wiro  berpaling  pada  lelaki  berambut  putih  yang  tegak  di  pagar  makam.  Dengan  mimik  keheranan  dia  bertanya  “Bapak,  dapatkah  kau  menjelaskan  apa  masalahnya?  Dan  siapa kalian bedua? Gadis cantik itu puterimu?”    “Anak muda, seperti yang dikatakan keponakanku. Kau telah berlaku kurang ajar!”  
  “Aku telah berlaku kurang ajar?!”  
  “Kau telah memasuki makam salah seorang leluhur Kerajaan secara kurang ajar!  
Dengan cara memanjat”    “Ah….!”  Wiro  memandang  berkeliling  sambil  garuk-garuk  kepala.  Lalu  kembali menatap lelaki di hadapannya. “Mungkin benar aku telah berlaku kurang ajar.  
Tapi kau lihat sendiri. Pintu pagar digembok. Jadi terpaksa aku memanjat….”    “Memanjat seperti monyet!” mendamprat gadis berbaju biru. “Kau bukan saja  melompati pagar. Malah berani tidur di atas makam ayahku!”    “Ah, bagaimana ini! Harap maafkan! Aku tidak tahu. Benar-benar tidak tahu  kalau  ini  adalah  makam  ayahmu.  Apalagi  tadi  pamanmu  bilang ini  adalah  makam  salah  seorang  leluhur  Kerajaan.  Aku  mana  bisa  menduga  begitu?  Setahuku   orang-orang penting Kerajaan dimakamkan di satu tempat khusus di pinggiran kota….”    “Bcaramu  banyak  amaat!  Paman,  menyingkir  kekiri  edikit.  Biar  kuhantam  manusia kurang ajar ini!”    Sang paman mengangkat tangannya memberi tanda agar keponakannya jangan  melepas anak-anak panahnya.  
  “Anak muda, sekalipun kau tidak tahu itu makam atau kubur siapa, tapi yang  namanya manusia beradab dan berbudi serta beradat tidak akan pernah  memasuki  makam seseorang tanpa izi keluarganya, apalagi dengan cara melompati pagar lalu  tidur-tiduran!”    “Aku memang salah besar!” Wiro berkata sejujurnya. “Aku ke sini mencari  seseorang. Tapi yang kucari sudah lenyap. Karena keletiha lalu membaringkan diri di  atas  batu  makam  yang  dingin  sejuk  itu….  Aku  memang  salah  besar.  Mohon  aku  diberi maaf…”    “Karena  tertangkap  basah  kau  lalu  berdalih  tengah  mencari  seseorang  dan  keletihan! Enak saja becaramu! Paman, menyingkirlah….”  
  “Tunggu Dewi. Biar aku bicara dulu dengan pemuda ini,” kata sang paman.  
“Orang muda, tahukah kau saat ini berada di makam siapa?”  
  “Aku tidak tahu,” jawab Wiro Sableng.  
  Makam  yang  barusan  kau  panjat  pagarnya  dan  kau  tiduri  adalah  makam  
Pangeran Banowo. Aku adalah adiknya dan gadis ini adalah puteri Pangeran Banowo.  
Aku sendiri adalah Pangean Banuarto.”  
  Sepasang  mata  Pendekar  212  jadi  terbelalak. Lalu  dia  cepat-cepat  menjura.  “Mohon maafmu. Aku tidak tahu tengah berhadapan dengan seorang Pangeran. Aku  
juga tidak tahu kalau ini adalah makam pangeran Banowo yan dalam hidupnya pernah  menolong diriku.”    “Paman! Jangan dengarkan ucapannya. Siapa percaya dirinya. Setelah sadar  berbuat  salah  kini  malah  bilang  ayahanda  pernah  menolongnya!  Kadal  ini  pandai  bicara paman. Hati-hatilah! Jangan sampai kita dikelabi.”    “Anak muda, katakan siapa namamu dan siapa orang yang kau cari di tempat  ini. Aneh rasanya kalau ada seseorang di puncak Gunung Merbabu.”    “Namaku  Wiro….  Aku  memang  benar  mencari  seseorang  di  tempat  ini. Hanya  saja mohon dimaafkan aku tidak dapat memberi tahu siapa orangnya ataupun namanya.”    “Paman!  Kau  lihat  bagaimana  dia  melakukan  kebohongan!”  kata  Dewi Santiastri.  
  Pangeran Banuarto tidak begitu memperdulikan kata-kata keponakannya. Dia  mencoba  mengingat-ingat  apakah  pernah  mendengar  nama  Wiro  itu  sebelumnya.  
Akhirnya dia berkata.  
  “Anak muda, melihat ada obor yang sudah padam di salah satu tiang makam,  berarti kau sejak malam tadi  telah berada di tempat ini.”    Wiro menggeleng. “Aku barusan saja datang. Waktu datang obor itu sudah  ada di sini dalam keadaan padam.”    “Lalu mengapa kau merusak salah satu tiang atap makam?!” tanya Pangeran  Banuarto pula.  
“Bukan  aku  yang  merusaknya.  Tiang  itu  sudah  berada  dalam  keadaan  seperti  itu  ketika aku datang.”    “Bohong! Pendusta besar!” teriak Dewi Santiastri. Gadis ini tidak dapat lagi  menahan kesabaran dan kemarahannya. Dia melompat ke kanan sambil merentangkan  busur  lebih  dalam.  Ketika  tangan  kanannya  bergerak  melepas,  lima  anak  panah  melesat dengan mengeluarkan suara berdesing. Lima senjata itu laksana kilat terbang  ke arah lima baigan tubuh Pendekar 212. Pangeran Banowo berseru kaget tapi tak  bisa berbuat apa.  
  Murid nenek sakti dari Gunung Gede itupun sempat terkesiap. Sekalipun dia  bisa melompat secepat kilat tak mungkin dia sanggup menghindari sekaligus kelima  anak panah yang menyerang lima bagian tubuhnya yang berbeda.  
  “Celaka!” keluh Wiro. “Seumur hidup belum pernah aku melihat kepandaian  memanah seperti  ini! Setan sekalipun takakan bisa lolos dari bidikkannya!”    Sadar kalau dia tidak akan dapat menyelamatkan diri dengan cara melompat  maka Pendekar 212 segera lepaskan pukulan sakti “benteng topan melanda samudra”  Serangkum  angin  deras    menderu.  Pangeran  Banuarto  berseru  kaget  dan  cepat  menyingkir.  Tapi  badannya  sebelah  kanan  masih  sempat  disambar  angin  pukulan  sakti  itu  hingga  melintir  dan terhempas  keras.  Kalau  saja  dia  tidak  memiliki  ilmu  meringankan  tubuh  pasti  dia  akan  jatuh  terhenyak  ke  tanah.  Sementara  itu   Dewi Santiastri  juga  berteriak  kaget.  Karena  dia  tegak  dengan  kaki  terkembang   tepat  di tengah jalur hantaman pukulan sakti Pendekar 212 maka tak ampun lagi  tubuhnyapun terpental jauh, mencelat ke udara.  
  Di udara gadis puteri mendiang Pangeran Banowo ini membuat gerakan aneh.  
Tubuhnya yang kena hantaman angin serangan berjungkir balik duakali berturut-turut  
lalu tubuh itu tampak melayang dan seperti seekor burung kedua kakinya hinggap di  cabang  sebuah  pohon  besar.  Meskipun  gadis  ini  memiliki  kepandaian  tinggi  dan  mampu meredam pukulan sakti yang dilepaskan Wiro, tapi jelas wajahnya kelihatan  pucat tanda ada bagian dalam tubuhnya yang cidera. Ketika dia melompat turun, si  gadis merasakan dadanya berdenyut sakit. Kedua kakinya tertekuk. Sebelum dia jatuh  berlutut pamannya ceat mendatangi dan merangkul tubuhnya.  
  “Dewi… Kau tak apa-apa…?”  
  “Saya tidak apa-apa paman. Hanya ada sedikit rasa ngilu di bagian dada…..”    Pangeran  Banuaro  memapah  keponakannya  itu ke  dekat  sebuah  pohon  lalu  mendudukkannya di akar pohon itu. Sementara itu dari arah makam terdengar suara  orang mengeluh. Ketika Pangeran Banuarto dan Dewi Santiastri memandang ke arah  makam  mereka  melihat  pemuda  berambut  gondrong  itu  tersandar  ke  paga   makam sebelah dalam sambil memegangi paha kanannya. Sebatang panah tampak  menancap di  paha  itu.  Celana  putihnya  berlumuran  darah.  Rupanya  waktu  lima   anak  panah menyerbunya  dihantam  dengan  pukulan  “benteng  topan  melanda   samudra”  hanya empat panah yang sanggup dibuat mental. Satu anak panah masih  sempat menyusup menghantam pahanya.  
  Rahang  Pendekar  212  tampak  menggembung  menahan  sakit.  Wajah  dan  tubuhnya basah oleh keringat. Dia berteriak keras ketika secara nekad mencabut anak  panah yang mennancap di pahanya. Dengan geram anak panah itu dipatahkannya lalu  dibatingkannya  ke  lantai  makam.  Lalu  dengan  satu  geakan  dia  melompati  pagar  makam dan berdiri di hadapan Pangeran Banuarto serta keponakannya.  
  Sepasang mata Pendekar 212 memandang berkilat-kilat pada Dewi Santiastri.  
“Dengan melukaiku seperti ini, apakah kini kau dan pamanmu sudah puas?!”    Si  gadis  hanya  bisa  diam  dan  terbelalak.  Mukanya  masih  sangat  pucat.  
Sementara Pangeran Banuarto terdengar menarik nafas dalam tapi juga tidak berkata  apa-apa.  
  Dari  balik  pakaiannya  Wiro  mengeluarkan  sebuah  bungkusan  kecil  lalu  melemparkannya dekat kaki Dewi Santiastri.  
  “Apa ini?” tanya Pangeran Banuarto.  
  “Gadis keponakanmu itu mengalami luka dalam. Akan sangat berbahaya kalau  tidak segera minum obat itu,” Habis berkata begitu Pendekar 212 memutar tubuhnya  dan melangkah pergi.  
  Pangeran  Banuarto  memandang  pada  Dewi  Santiastri.  “Kalau  dia  manusia  jahat,  dia  tidak  akan  memberikan  obat  ini  untukmu….”  Si  gadis  hanya  bisa  mengangguk.  Melihat  orang  begitu  baik  dan  polos  terhadapnya  ada  bayangan   rasa menyesal di wajahnya yang pucat. Pangeran Banuarto cepat berdiri dan berseru.  
  “Anak muda! Tunggu! Jangan pergi dulu!”    Wiro  hentikan  langkahnya  dan  berpaling.  Pangeran  Banuarto  berlari  mendatanginya.  “Aku  menyesalkan  ada  kesalah  pahaman  antara  kita  bertiga.  Tujuanku dan Dewi ke puncak gunung ini adalah untuk  menziarahi makam Pangeran  Banowo….”    “Ada  yang  aku  tidak  mengerti.  Sebagai  seorang  Pangeran  seharusnya  dia  
dimakamkan di pekuburan keluarga stana. Nyatanya dia dimakamkan di tempat ini.  
Jauh dari Kotaraja. Jauh dari keluarga Istana.”    “Apa yang kau katakan betul. Namun sebelum meninggal Pangeran Banowo  pernah berpesan pada istrinya. Aku mendengar sendiri. Jika ajalnya sampai dia ingin  dimakamkan di puncak Gunung Merbabu ini. kami keluarga yang ditinggalkan tidak  berani  menyalahi  pesan  itu.  Sultan  sendiri  juga  tidak  mau  melarang.  Pangeran  Banowo akhirnya dimakamkan di puncak Gunung Merbabu ini tiga tahun yang lalu.  
Pemakamannya dengan upacara kebesaran Kerajaan….”  
  Saat  itu  Dewi  Santiastri  telah  datang  pula  ke  tampat  itu.  Pamannya  cepat  memegang bahunya. Wajah si gadis tampak kemerahan dan dia berkata “Paman tak  usah kawatirkan saya. Obat yang tadi diberikannya sudah saya telan walaupun tanpa  air. Saya merasa lebih sehat sekarang.” Lalu gadis ini berpaling pada Pandekar 212.  
Dia hendak mengatakan sesuatu namun Wiro mendahului.  
  “Aku kagum dengan kepandaianmu memainkan panah. Dari manakah den ayu belajar?”  
  “Namaku Dewi Santiastri. Panggil aku dengan nama itu. Tidak usah dengan  sebutan den ayu segala….” Lalu pandangan matanya tertuju pada paha Wiro yang  berlumuran darah. “Aku tidak tahu harus meminta maaf bagaimana…. Aku benar-benar menyesal….”    Wiro  tertawa.  Dia  berkata  pada  Pangeran  Banuarto.  “Pangeran,”  katanya,  “Keponakanmu  memberikan  sau  pelajaran  baik  padaku.  Aku  harus  lebih  banyak  belajar  dan  berlatih  silat  agar  gerakanku  lebih  cepa  hingga  kelak  akan  sanggup  berkelit dari serangan panahnya. Aku harap saja panah itu tidak beracun….”    “Tidak,  panah  itu  tidak  beracun,”  kata  Dewi  Santiastri.  “Aku  ingin  menanyakan sesuatu.”    “Menyangkut hal apa?” tanya Wiro.  
  “Ketika masih hidup ayah memang pernah bercerita tentang seorang pendekar  besar  muda  usia.  Bergelar  Pendekar  Kapak  Maut  Naga  Geni  212.  Apakah  kau  orangnya?”    Wiro tertawa. “Nama kami bisa saja sama. Tapi gelar sehebat itu mana orang  setoloku ini bisa menyandangnya?”    Si gadis jadi terdiam beberapa saat lamanya. Sebelum dia sempat mengatakan  sesuatu pamannya sudah bicara duluan.  
  “Anak  muda,  terus  terang  selain  berziarah  ke  makam  Pangeran  Banowo,  perjalanan kami ke sini sebenarnya juga tengah menyirap kabar.”    “Menyirap kabar? Kabar apakah?” tanya Wiro.  
  “Sebuah  benda  keramat  milik  Kerajaan  yang  selama  ini  disimpan  secara  rahaia, lenyap dari tempat penyimpanannya sekita empat tahun lalu. Padahal benda itu  jika  disalah  gunakan  bisa  mendatangkan  malapetaka.”  Menerangkan  Pangeran  Banuarto.  “Kebetulan  aku  yang  bertanggung  jawab  atas  benda  itu.  Sebenarnya  beberapa tahun lalu aku sudah mengusulkan pada Sultan agar benda itu dimusnahkan  saja karena lebih banyak bahayanya dari pada manfaatnya.”    “Kalau  aku  boleh  tahu,  benda  apakah  itu  gerangan,  Pangeran?”  bertanya  Pendekar 212.  
  “Sebuah  guci  keramat.  Bernama  Guci  Setan.  Orang  bisa  meminta  sesuatu  yang baik tetapi juga sesuatu yang jahat pada Guci Setan itu. Sekarang karena aku  tahu  bahwa  kau  seorang  dari  dunia  persilatan  maka  aku  minta  bantuanmu  untuk  mencari tahu dan menyirap kabar di mana adanya Guci Setan itu dan siapa pencurinya.  Kami mendengar selentingan yaitu setelah empat tahun tidak diketahui jejaknya tiba-tiba satu bulan yang lalu Guci Setan itu pernah terlihat di daerah selatan dan tengah  dibawa e daerah sekitar sini. Tapi keterangan yang aku dapat sengat sedikit sehingga  tidak bisa dipakai untuk bahan pengusutan.”    “Pangeran  Banuarto,  aku  tidak  bisa  menjanjikan  apa-apa.  Tapi  aku  akan  berusaha membantumu. Kita berpisah di sini….”    “Saudara,” Dewi Santiastri berkata “Dalam keadaan terluka seperti itu tentu  sulit bagimu berjalan kaki, apalagi berlari. Kau bisa memakai kudaku….”    Pendekar  212  tersenyum  lebar.  “Terima  kasih.  Kebaikan  hatimu  telah  membuat lukaku sembuh! Lihat!” lalu Wiro angkat paha kanannya yang tadi tertancap  panah.  Dengan  tangan  kanannya  dia  memukul-mukul  paha  yang  luka  itu.  “Sama  sekali tidak sakit. Sudah sembuh!” Padahal sebenarnya waktu memukul tad Pendekar 212  manahan  sakit  yang  amat  sangat.  Hal  ini  diketahui  oleh  Dewi  Santiastri  dan  pamannya.  
  “Kau harus memakai kudanya,” kata Pangeran Banuarto.  
  “Saya  masih  sanggup  berjalan.  Bahkan  berlari!”  kata  Wiro.  Lalu  dia  berkelebat  tinggalkan  tempat  itu.  Tapi  larinya  terpincang-pincang.  Padahal  ini  disengaja. Pangeran Banuarto dan Dewi Santiastri sama-sama tersenyum.  
  “Entah  mengapa  aku  justru  punya  firasat,  pemuda  itu  tadi  memang  adalah  Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.”  “Saya justru sudah tahu kalau dia memang Pendekar 212 dari Gunung Gede.  
Waktu tadi dia mengeluarkan bungkusan obat dari balik pakaiannya, bagian depan  bajunya yang tidak dikancing tersingkap lebar. Saya melihat ada rajah angka 212 di  dadanya yang bidang dan berotot….”    “Keponakanku!”  kata  Pangeran  Banuarto  sambil  memegang  kedua  bahu Dewi Satniastri. “Mengapa tidak dari tadi-tadi kau katakan?”  Si  gadis  tidak  menjawab.  Hanya  di  dalam  hatinya  tiba-tiba  saja  dia  sangat  ingin bertemu lagi dengan pemuda berambut gondrong itu. Paman dan keponakan itu  kemudian  melangkah  ke  arah  bangunan  makam.  Tiba-tiba  si  gadis  berseru  seraya  menunjuk ke arah makam.  
“Paman! Lihat! Tiang atap yang patah sudah tersambung kembali!”  Pangeran  Banuarto  berlari  mendekati  makam.  Apa  yang  dikatakan keponakannya  memang betul. Tiang yang patah kini kelihatan dalam ke adaa lurus. Bagian patahan  sebelah atas bertumpu pada bagian bawah. Atap makam kini tidak miring lagi.  “Siapa yang telah memperbaikinya? Sungguh aneh!” kata Pangeran Banuarto.  
“Hanya  kita  bertiga  tadi  di  tempat  ini.  Dia,  saya  paman.  Saya  jelas  tidak  melakukannya. Paman juga. Berarti….”  “Berarti dia yang melakukannya!” kata Pangeran Banuarto pula. Orang tua ini  mengusap  rambutnya  yang  putih  berulang  kali.  “Bagaimana  dia  melakukannya?  
Dlamkeadaan terluka pula!”  
Diam-diam Dewi Santiastri semakin merasakan penyesalan yang mendalam di  lubuk hatinya. “Kalau saja aku dapat segera menemuinya akan kuminta maaf beribu  maaf padanya. Bisakah aku menemuinya lagi?”  
LIMA  
Di cabang paling atas pohon setinggi empat puluh kaki itu tampak seorang kakek  duduk berjuntai sambil uncang-uncang kakinya. Dari mulutnya terdengar suara aneh,  entah dia sedang meracau entah menggerutu atau sedang menyanyi. Janggut putihnya  yang  sepanjang  dada  melambai-lambai  tertiup  angin.  Suara  dari  mulutnya  baru  berhenti  bilamana  dia  meneguk   dengan  lahap  tuak  murni  yang  ada  dalam  tabung  bambu  dan  diletakkannya  di  pangkuan.  Sebuah  tabung  bambu  lagi  tergantung  di  belakang punggungnya. Kedua mata orang tua ini tampak kemerahan akibat pengaruh  minuman keras itu.  
  Untuk kesekian kalinya dia meneguk tuak dari dalam atabung bambu. Lalu dia  memandang ke arah pepohonan di sekelilingnya.  
  “Panas  terik  menggila!  Tak  ada  burung  tak  ad  angin!”  si  kakek  seperti  menggerutu pada dirinya sendiri. “Aneh, mengapa aku berada di puncak pohon ini?  Astaga,  jangan-jangan  aku  sudah  mabuk.  Betul  mabuk?  Tidak!  Aku  masih  bisa  menghitung  jari-jari  tanganku  sebelah  kiri  ini.  Satu,  dua,  tiga,  empat,  lima,  enam….Eh! Apa ada jari tangan manusia enam buah? Jangan-jangan benar aku sudah  mabuk!”    Walau  jalan  pikirannya  seperti  itu  tapi  enak  saja  dia  kembali  mendekatkan  bibir  tabung  bambu  ke  mulutnya.  Lalu  gluk….  Gluk….gluk  tuak  dalam  bambu  ditenggaknya dengan lahap. Puas meneguk tuak murni yang menebar bau harum itu si  kakek  seka  mulutnya  dengan  kain  biru  yang  terselempang  di  dadanya.  Setelah   itu sambil kembali uncang-uncang kaki seperti anak kecil yang kesenangan dia menyanyi  lagi.  Tapi  tiba-tiba  orang  tua  ini  hentikan  nyanyiannya.  Kepalanya  ditinggikan.  
Telinganya  dipasang  baik-baik.  Dia  mendengar  suara  menderu  aneh  di  kejauhan  disertai suara-suara kaki berlari.  
  Orang tua itu mendongak ke langit. “Aku tak melihat apa-apa!” katanya. Lalu  dia memaki sendiri. “gila! Kalau orang berlari tentu saja bukan di langit sana tapi di  bawah  situ!”  Lalu  si  kakke  memandang  ke  bawah  pohon.  “nah,  apa  kataku!  Ada  empat  bayangan  berkelebat.  Aduh,  cepat  sekali.  Terutama  yang  di  depan  itu.  Heh…..aneh. Dia seperti memiliki sebuah roda di ujung kaki kirinya. Dia lari di atas  roda  yang  berputar  menggelinding!  Apa  yang  dibawanya  di  tangan  kanan?  Eh,  di  bahu  kirinya  dia  memanggul  sosok  tubuh  perempuan.  Siapa  orang  ini?  
Hemmm….ada tiga orang berlari di belakangnya. Muka mereka berwarna aneh-aneh.  
Apa isi keranjang rotan yang mereka pikul itu heh? Jelas mereka bukan pedagang  sayuran.  Hik…hik…hik!  Mereka  berlari  cepat  di  siang  bolong  di  lereng  Gunung  Gede!  Sepertinya  mereka  punya  satu  keperluan penting!  Ah,  perduli  setan  dengan  
mereka. Selama mereka tidak mengganggu diriku, aku tak perlu mengurusi mereka.  Eh, kenapa yang di depan itu tiba-tiba berhenti? Tiga tannya juga berhenti berlari.  
Hemmmm  tampang-tampang  mereka  kumal  dekil  dan  angker.  Bau  tubuh  mereka  tercium sampai kemari!”    Di bawah pohon keempat orang itu bukan lain adalah Ramada Suro Jelantik  dan  tiga orang  anak  buahnya  yaitu  Jalak Item  yang  kini  mata  picak  sebelah. Lalu  Jalak Ijo dan Jalak Biru.  
  “Ada apa kau berhenti Ramada?” tanya Jalak Ijo.  
  “Aku  mencium  bau  sesuatu.  Sesuatu  yang  harum!  Aneh  di  tengah  hutan  belantara di lereng gunung begini ada bau seperti ini!”    Tiga  orang  anak  buah  Ramada  sama  meninggikan  kepala  lalu  mengendus  dalam-dalam.  “Kau  betul  Ramada,”  kata  Jalak  Ijo.  “Aku  juga  dapat  mencium  bau  aneh itu. Pasti ada seseorang di sekitar sini. Jangan-jangan tua bangka bernama Sinto  Gendeng itu tempat kediamannya di sekitar sini.”    “Bagus! Kalau begitu coba kalian periksa pada  tiga jurusan sampai sejarak  seratus tombak! Aku menunggu di sini!”    Jalak  Ijo  dan  kawan-kawannya  segera  melakukan  apa  yang  diperintah  oleh  Ramada. Tak lama kemudian ketiganya muncul satu persatu.    “Aku tidak menemukan apa-apa, Ramada,” kata Jalak Item.  
  “Aku  juga.  Tak  ada  bangunan  atau  tempat  kediaman  di  sekitar  sini,”  menerangkan Jalak Ijo    “Sama, tak ada orang tak ada rumah,” kata Jalak Biru pula.  
  Di atas pohon kakek berjanggut putih menyeringai lebar. “Empat ekor monyet  itu mancari kian kemari. Tidak tahunya yang mereka cari ada di atas pohon ini. Bau  yang mereka cium sudah pasti bau arak kayanganku ini!”    “Ramada,” di bawah pohon Jalak Ijo berkata “apakah kita akan meneruskan  perjalanan  atau  kau  tetap  menginginkan  mencari  sumber  bau  harum  itu  sampai  dapat?”    “Sudah, kita teruskan saja perjalanan! Puncak gunung tak seberapa jauh lagi.”  Jawab Ramada Suro Jelantik. “Tua bangka guru Pendekar 212 itu harus kita temui  dan  bereskan  secepatnya!”  Ramada  lalu  memutar  tubuhnya.  Kaki  kirinya  yang  disambung dengan sebuah roda besi bergerigi menderu lalu meluncur deras menebar  pasir dan tanah di sebelah belakang. Tiga orang anak buahnya segera menyusul.    Ketika sang surya mulai condong ke Barat, keempat orang itu akhirnya sampai  di puncak Gunung Gede. Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan  kediaman Sinto Gendeng, nenek sakti guru Pendekar 212 Wiro Sableng.  
  Ramada  dan  tiga  anak  buahnya  berdiri  di  hadapan  gubuk  tua  tapi  masih  tampak kokoh. Pintu gubuk tertutup, begitu juga jendela. Rumah di puncak gunung  itu benar-benar diselimuti kesunyian.  
  ‘”Sinto  Gendeng!  Kami  datang  dari  jauh  untuk  menemuimu!  Mengapa  bersembunyi di dalam gubuk?!” Ramada berteriak.  
  Tak ada jawaban atau suara apapun dari dalam gubuk. Ramada berteriak sekali lagi.  
  Tetap saja tak ada jawaban.  
  “Mungkin tua bangka itu tak ada di sini, Ramada,” kata Jalak Ijo.  
  “Untuk memastikan coba kau dan kawan-kawanmu memeriksa!” kata Ramada  
Suro Jelantik pula.  
  Jalak Ijo dan dua temannya meletakkan pikulan masing-masing di tanah. Lalu  lewat pintu depan yang ternyata tidak dikunci ketiganya masuk ke dalam gubuk.    Di  depan rumah  Ramada  menunggu  dengan  rasa  tidak  sabar.  Dia  mencoba  menghibur  diri  dengan  mengelus-elus  tubuh  istri  mudanya  yang  telah  jadi  mayat  seraya  berkata  perlahan  “Tenang  Dardini,  tenang.  Lewat  kematiian  tua  bangka  keparat itu kita pasti bisa memancing kemunculan pembunuhmu! Sekali dia unjukkan  diri  akan  kutabas  batang  lehernya.  Kuminum  darahnya  lalu  kulumat  daging  dan  tulang belulangnya! Setelah itu kau akan kusemayamkan di satu tempat yang indah.  Kau akan tidur dengan tenang. Sabar istriku. Sabar….. Aku akan membuatkan makam  yang sangat bagus untukmu. Aku akan….”    Ucapan  Ramada  Suro  Jelantik  terputus.  Dari  dalam  rumah  terdengar  suara  jeritan tiga kali berturut-turut. Ramada kenal benar. Itu adalah suara teriakan ketiga  anak bauhnya.  
  “Jalak Ijo! Jalak Item! Jalak Biru!” teriak Ramada “Apa yang terjadi dengan kalian?!”    Baru  saja  Ramada  Suro  Jelantik  berteriak  begitu  tiba-tiba  tiga  buah  benda  melesat keluar dari dinding-dinding gubuk yang jebol. Satu dari sebelah depan, dua  dari samping kiri.  
  Ramada mendelik besar ketika menyaksikan tiga benda yang terlempar lewat  dinding  gubuk  lalu  bergulingan  di  tanah  ternyata  adalah  Jalak  Ijo,  Jalak  Item   dan Jalak Biru!  
  “Anjing kurap! Apa yang terjadi?!” teriak Ramada marah sekali.  
  Tiga anak buahnya berusaha bangkit dengan terhuyung-huyung. Pada kening  
Jalak  Ijo  dan  Jalak  Biru  kelihatan  benjut  sebesar  telur  ayam.  Sedang  Jalak   Item megap-megap  sambil  pegangi  perutnya.  Ketiganya  lalu  berusaha  secepat   mungkin mengambil pikulan masing-masing yang tadi ditinggal dan diletakkan di tanah.  
Begitu mereka memegang keranjang rotan tampang mereka tampak beringas.    “Kalau aku tidak bisa membunuh tua bangka keparat itu lebih baik aku bunuh  diri!” teriak Jalak Item.  
  “Aku juga!” menyahuti Jalak Ijo.  
  “Sama dengan aku!” kata Jalak Biru sambil pegangi keningnya yang benjut.  
  Tiba-tiba pintu gubuk yang tadi setengah terbuka kini terpentang lebar. Dari  dalam gubuk muncul satu sosok tubuh terbungkuk-bungkuk diiringi gelak tawa tinggi  serta panjang. Suara tawa ini bukan saja membuat telinga Ramada dan anak buahnya  mengiang sakit tetapi juga membuat keempatnya tercekat. Mamandang ke arah pintu  mereka malah tambah terkesiap karena tidak pernah menyangka kalau perempuan tua  penghuni gubuk di puncak Gunung Gede itu begini angkernya!  
ENAM  
Orang yang keluar dari dalam gubuk adalah seorang nenk berkulit sangat hitam.  
Kulitnya  ini  tidak  lebih  dari  selaput  tipis  pembalut  tulang.  Kalau  saja  dia  tidak  bungkuk  pasti  terlihat  bagaimana  sosok  tubuhnya  yang  jangkung  sekali.  Mukanya cekung di bagian mata dan kedua pipi. Alisnya berwarna putih, begitu juga rambutnya  yang hanya tinggal elasan lembar saja. Di kepalanya yang nyaris sulah itu menancap  lima buah tusuk kundai terbuat dari perak. Tusuk kundai tidak mungkin disisipkan  pada rambutnya yang jarang. Lima perhiasan dari perak itu justru langsung menancap  di  kulit  dan  batok  kepalanya!  Sepasang  matanya  yang  hitam  gelap  memandang  berputar  ke  arah  empat  orang  yang  ada  di  halaman  gubuk.  Lalu  dari  mulutnya  meledak lagi suara keras dan tinggi. Dari mulunya yang ompong mengucur keluar air  liur. Ketika dia menyemburkan air liur itu melesat ke arah pohon di seberang halaman.  
Terdengar suara berderik sewaktu kulit batang pohon menjadi remuk lalu jatuh ke  tanah.  Hal  itu  membuat  Ramada  dan  tiga  anak  buahnya  mau  tak  mau  menjadi  terkesima. Namun orang-orang ini mana mengenal rasa takut.  
  “Ramada,  biar  kubunuh  nenek  keparat  itu  sekarang  juga!”  kata  Jalak  Ijo  seraya  tangannya  bergerak  hendak  membuka  penutup  keranjang  rotannya  di   mana tersimpan ular kobra beracun yang diberi nama Ratu Hijau.  
  “Sabar sedikit Jalak Ijo. Maut tak bakal lepas dari dirinya. Biar aku bicara  dulu padanya….”    Di ambang pintu si nenek masih tertawa. Tiba-tiba tawanya lenyap dan dair  mulutnya terdengar suara membentak.  
  “Puluhan tahun hidup di puncak Gunung Gede, baru hari ini aku kedatangan  tamu aneh dan kurang ajar. Berani masuk ke dalam gubuk tanpa izin. Kalian mau  mencuri atau memang munta mati?!”   “Tua  bangka  edan!  Kami  datang  memang  untuk  mencuri.  Bukan  mencuri  harta  bendamu  karena  pasti  dalam  gubukmu  hanya  ada  barang-barang  rombengan  yang tidak ada harganya!”    Si nenek tertawa cekikikan. “Manusia bermuka setan alas dan bertuuh sebusuk  comberan!  Mulutmu  pandai  bicara.  Coba  jelaskan  apa  yang  hendak  kau  curi  dari  tempat ini!”  “Aku kemari untuk mencuri nyawa anjingmu!” jawab Ramada lantang.  
Sepasang  mata  cekung  dan  hitam  si  nenek  tampak  seperti  mengeluarkan  kilatan aneh. Lalu mulutnya kembali tertawa panjang.  
“Kalau  kau  hendak  mencuri  nyawaku,  apa  kau  kira  aku  tak  bisa  mencuri  jantungmu?!” Hik…hik…hik…!”  “Nenek iblis!” teriak Ramada. Agar aku tidak kesalahan tangan lekas katakan apakah   kau  manusianya  yang  bernama  Sinto  Gendeng  guru  Pendekar  212  Wiro Sableng?!”  “Kalau  aku  memang  Sinto  Gendeng  lalu  kenapa?  Kalau  aku  bukan  Sinto  Gendeng lantas bagaimana?!” si nenek bertanya.  
“Iblis  ngacok!”  hardik  Ramada  mulai  marah.  Perlahan-lahan  nayat  kaku  Dardini  diturunkannya  lalu  dibaringkannya  dengan  sangat  hati-hati  dekat  akar  sebatang  pohon.  “Muridmu  si  Wiro  Sableng  itu  telah  memperkosa  istriku!  Lalu  membunuhnya!  Apa  kau  kira  bakal  ada  pengampunan  bagi  dirinya  dan  juga  bagi  kau?!”  
Si  nenek  hentikan  tawanya.  Dia  dongakkan  kepala  beberapa  saat  lalu  memandang dengan mata berkilat-kilat pada Ramada Suro Jelantik. “ini adalah fitnah  paling keji yang pernah didengar telinga tua ini!”  “Ini bukan fitnah!” teriak Jalak Ijo. “Kami bertiga jadi saksi perbuatan murid  celakamu itu!”  “Betul!” menyahuti Jalak Biru. “Muridmu membunuh perempuan itu dengan  Kapak Naga Geni 212-nya. Lihat sendiri luka besar di pangkal leher jenazah!”  
Si nenek terdiam.  
“Tua bangka jahanam. Kau terdiam tak bisa bicara. Berarti memang benar kau  Sinto Gendeng guru Pendekar 212. Sekarang bersiaplah untuk mati!”  
Si nenek menyeringai seperti setan. Lalu gelengkan kepalanya. “Murid Sinto  
Gendeng tidak akan melakukan kekejian seperti itu. Kalian pergi saja sebelum aku  menjadi  muak  melihat  tampang-tampang  kalian.  Angkat  mayat  itu  dari  halaman  gubukku! Kalian semua adalah orang-orang gila kesasar pembawa mayat dan guci!  
Bermuka berwarna-warna! Lekas minggat dari sini!”  
Ramada  mendengus  keras.  Didahului  dengan  suara  teriakan  keras  dia  menerkam ke arah si nenek yang memang adalah Sinto Gendeng. Kaki kirinya yang  ada roda besi bergerigi mencelat ke depan.  
Rrrrrrrr!  
Gigi-gigi roda besi yang berputar itu menggerus ke arah pinggang si nenek.  
Seumur  hidupnya  Sinto  Gendeng  belum  pernah  melihat  senjata  seperti  ini.  Dia  berteriak nyaring. Tubuhnya yang bungkuk melesat ke samping. Roda besi menderu  menghantam  tangga  batu  di  depan  gubuk.  Tangga  batu  itu  tebongkar  berkeping-keping!  
Ramada menyeringai. “Sebentar lagi tubuhmu akan kubuat seperti itu!”  “Betul begitu? Aku malah ingin sekali merasakan bagaimana enaknya!” kata  Sinto Gendeng. Lalu dia tertawa cekikikan.  
Seperti terbakar Ramada Suro Jelantik kembali menyerbu dengan roda besinya.  
Tangan kirinya ikut melepaskan pukulan tangan kosong sementara tangan kanan tetap  tidak melepaskan Guci Setan.  
Tubuh bungkuk Sinto Gendeng berkelebat kian kemari. Selama enam jurus  diserang  terus-terusan  dia  hanya  membuat  gerakan  menghindar.  Baru  pada  jurus  ketujuh  si  nenek  mulai  balas  melancarkan  serangan-serangan.  Gerakannya  seperti  main-main saja tetapi Ramada merasa seolah-olah ada satu gelombang raksasa yang  menghantamnya. Sadar kalau lawan memiliki kepandaian tinggi maka Ramada Suro  Jelantik  segera  keluarkan  jurus-jurus  simpanannya.  Tubuhnya  berputar  kencang  sementara roda besinya mencuat kian kemari, menyerang si nenek dari segala jurusan.  
Eyang Sinto Gendeng walaupun kini berada dalam keadaan terdesak tetap saja  dia  berlaku  tenang.  Malah  dia  tiba-tiba  mendapat  satu  akal  guna  melumpuhkan  serangan lawan. Jika Ramada berkelahi dengan terus membawa-bawa guci di tangan  kanannya pastilah benda iu sangat berharga bagi dirinya dibanding dengan jenazah  istrinya yang diletakkannya begitu saja di tanah. Memikir sampai di situ, si nenek lalu  
mengarahkan setiap serangannya pada guci yang ada dalam dekapan tangan kanan    lawan.  
“Bangsat  sialan!”  maki  Ramada  Suro  Jelantik.  Kini  dia  terpaksa  bertahan  habis-habisan  untuk  menyelamatkan  Guci  Setan  dari  hantaman  si  nenek.  Merasa  ttidak sanggup, pada jurus ke 28 lelakiini berteriak keras lalu lemparkan Guci Setan  ke atas. Guci ini melesat ke udara, melayang tinggi lalu jatuh dan menyangsang di  antara kelebatan daun-daun sebatang pohon. Kini dengan kedua tangan bebas Ramada  menghadapi Sinto Gendeng. Setelah menggempur selama lima jurus kembali si nenek  kelihatan terdesak.  
“Manusia bau! Ilmu silatmu boleh juga!” memuji si nenek. “Tapi coba kau  hadapi jurus seranganku ini!” Dua tangan si nenek berkelebat ke kiri dan ke kanan  seolah  hndak  memukul  sisi  tubuh  lawannya.  Bersamaan  dengan  itu  ujung-ujung  jarinya disatukan ke depan. Tiba-tiba kedua tangan itu melesat ke atas.  
“Sepasang naga menyusup awan!” teriak Sinto Gendeng menyebutkan jurus  serangannya.  Lalu  dia  tertawa  gelak-gelak.  Kedua  tangannya  dengan  sepuluh  jari  kuncup lurus ke depan dan seolah berobah keras seperti besi menusuk ke arah jantung  dan tenggorokan Ramada Suro Jelantik.  
Kejut  manusia  berkaki  buntung  ini  bukan  alang  kepalang.  Dia  cepat  menyingkir dengan membuang diri ke samping kiri. Tusukan pada tenggorokannya  lewat tapi yang mengarah jantung terus melesat.  
“Haram  jadah!  Aku  terpaksa  berjibaku!”  rutuk  Ramada.  Kaki  kirinya  ditendangkan  ke  depan,  mengarah  perut  Sinto  Gendeng.  Roda  besi  bergerigi  menggerus  ganas.  Si  nenek  tidak  mau  ambil  celaka  .  Tapi  dia  juga  tidak  mau  melepaskan  musuhnya  dari  sasaran.  Dengan  menggeser  kakinya  dua  langkah  ke  kanan,  Sinto  Gendeng  teruskan  hantamannya  walaupun  kini  dia  tidak  bisa  menghantam secara telak.  
Bukkk!  
Lima jari tangan si nenek mendarat di dada kiri Ramada. Lelaki ini menjerit  keras. Tubuhnya terbanting ke tanah. Sebelum jatuh kaki kirinya ditendangkan lebih  tinggi.  Rrrrrrr  
Sinto  Gendeng  terpekik  sewaktu  roda  besi  Ramada  Suro  Jelantik  merobek  pakaiannya di bagian perut!  
Tampang si nenek menkjadi kelam membesi.  
“Kurang ajar!” si nenek geram sekali. Dia melompat ke hadaan Ramada yang  masih tertelentang di tanah dengan mulut mengucurkan darah akibat luka dalam di  dekat jantungnya setelah terkena hantaman si nenek tadi.  
“Manusia setan! Apakah kau pernah melihat pukulan sinar matahari?!” kata si nenek  sambil angkat tangan kanannya yang saat itu tampak berkilat-kilat seperti perak.  
Ramada Suro Jelantik memang pernah mendengar kehebatan dan keganasan  pukulan  sakti  itu.  Dia  tak  mau  berlaku  ayal.  Dia  segera  melafatkan  satu   mantera kesaktian.  Roda  besi  di  ujung  kaki  kirinya  tiba-tiba  mengeluarkan  sinar   hitam menggidikkan.  Ketika  Sinto  Gendeng  lepaskan  pukulan  “sinar  matahari”   
dengan tangan kanannya. Ramada tendangkan kaki kirinya ke atas menyambuti  serangan lalu dengan cerdik menggulingkan diri di tanah.  
Cahaya  putih  berkiblat  disambut  oleh  sinar  hitam.  Sinar  hitam  yang  keluar  dari  roda  besi  Ramada  berusaha  menggelung  cahaya  putih  panas  pukulan  “sinar  matahari” yang dilepaskan si nenek. Lalu terdengar dentuman yang ketiga yang lebih  dahsyat dari dua dentuman sebelumnya.  
Puncak Gunung Gede laksana dilanda gempa. Iga orang anak buah Ramada  hampir terduduk di tanah. Sinto Gendeng masih tampak tegak walau dengan tubuh  bergoyang-goyang.  Mukanya  yang  hitam  tampak  semakin  hitam.  Jantungnya  berdegup  keras.  Di  seberangnya  tubuh  Ramada  Suro  Jelantik  nampak   menggeliat-geliat  dekat  tangga  batu.  Bahu  kanannya  tampak  hangus  dihantam   pukulan  “sinar matahari”. Tapi rupanya orang ini mempunyai kekautan luar biasa. Dalam  keadaan terluka  parah  begitu  dia  melompat  tegak.  Darah  semakin  banyak   mengucur  dari mulutnya tapi dia tidak perduli. Sepasang matanya yang merah  memandang laksana bara api pada Sinto Gendeng. Tiba-tiba dari mulunya terdengar  teriakan keras.  
“Anak-anak!  Keluarkan  binatang  peliharaan  kalian!”  Bunuh  tua  bangka  keparat ini!”  “Eh, apa yang hendak dilakukan manusia-manuisa jahanam ini?!” pikir Sinto  Gendeng. Dia berputar, menghadap ke arah Jalak Item, Jalak Ijo dan Jalak Biru yang  berada di halaman, terpisah di tiga tempat. Begitu berputar dia masih sempat melihat  tiga orang bermuka hijau, hitam dan biru itu embuka penutup keranjang rotan masing-masing. Lalu terdengar suara berdesir aneh. Dilain kejap lima belas binatang berbisa  melesat ke arah si nenek!  
“Edan!” teriak Sinto Gendeng.  
Dia  cepat  mengangkat  kedua  tangannya.  Satu  melepaskan  pukulan  “sinar  matahari” satu lagi menghantamkan pukulan “segulung ombak menerpa karang”!  
TUJUH  
Dari  keranjang  rotan  Jalak  Biru  melesat  keluar  tujuh  ekor  kelabang  biru,  menyerbu ke arah Sinto Gendeng dari jurusan kiri. Dari arah depannya seekor ular  kobra hijau melesat keluar dari dalam keranjang rotan yang dibuka Jalak Ijo. Lalu dari  sebelah kanan Jalak Item melepaskan keluar tujuh ekor kalajengking berwarna hitam.  
Lima belas binatang beracun ganas ini serentak menyerbu si nenek!  
  Seumur  hidupnya  Sinto  Gendeng  belum  pernah  mendapat  serangan  begini  banyak dan ganas. Dalam pada itu telinganya menangkap suara menderu dari arah  belakang.  Berarti  Ramada  Suro  Jelantik  dalam  waktu  bersamaan  telah   menyerang pula dengan roda bergerigiinya dari belakang!  
  “Edan!  Gila!  Teriak  si  nenek.  Kedua  tangannya  dipukulkan  ke  depan.  
Bersamaan dengan itu dia jatuhkan diri ke tanah guna menghindari serangan Ramada.  
  Putaran roda besi bergerigi membeset di udara. Melabrak ke arah kepala Sinto  
Gendeng.  
Trang…..trang!  
  Terdengar  suara  beradunya  benda-benda  keras  disertai  percikan  bunga  api.  
Roda besi Ramada ternyata telah menghantam dua buah tusuk kundai perak di kepala  Sinto  Gendeng  hingga  hancur  dan  kepingannya  bertaburanjatuh  kian  kemari.  Tiga  buah gerigi roda besi di kaki kiri Ramada somplak. Ramada sendiri menjerit keras  kesakitan. Kakinya laksana dihantam pentungan besi. Tubuhnya terpental sampai dua  tombak!  
  Walau selamat dari roda maut Ramada, namun Sinto Gendeng belum lepas  dari  bahaya.  Pukulan  sinar  matahari  yang  dilepaskannya  ke  depan  berhasil  menghantam  ular  kobra  besar  yang  dilepaskan  Jalak  Ijo.  Tapi  hebatnya  sebelum  terkena  hantaman  pukulan  sakti  yang  mematikan  itu,  ular  kobra  ini  seolah  tahu  bahaya yang mengancamnya. Melesat tinggi ke udara. Yang celaka adalah pemiliknya  yaitu Jalak Ijo. Manusia bermuka hijau ini yang sama sekali tidak menyangka bahwa  serangannya  bakal  gagal,  terlambat  menghindar.  Pukulan  “sinar  matahari”  menghantamnya dengan telak. Jalak Ijo menjerit setinggi langit. Tubuhnya terlempar  jauh. Hangus leleh laksana dipanggang. Nyawanya putus!  
  Pukulan  “segulung  ombak  menerpa  karang”  yang  dilepas  Sinto  Gendeng  dengan tenaga dalam penuh membuat hancur luluh tiga ekor kalajengking hitam dan  enam ekor kelabang biru yang dilepaskan Jalak Item dan Jalak Biru. Namun seekor  kala hitam dan kelabang biru masih sempat lolos. Dua binatang beracun ini menancap  di tubuh si nenek. Kalajengking hitam menancap di leher dekat telinga kirinya sedang  kelabang biru menenmbus bahu kanannya! Si nenek menjerit keras. Tubuhnya rubuh  ke tanah.  
  Ramada Suro Jelantik cepat mendekati tubuh si nenek sambil menyorongkan  roda besinya ke arah leher Sinto Gendeng. Sekali roda besi itu menggerus leher si  nenek pasti lehernya akan putus dan nyawanya tidak tertolong lagi.  
  Pada saat yang genting itu tiba-tiba ada suara berseru    “Sahabatku  Sinto  Gendeng!  Siapa  yang  berani  mencelakaimu  akan  kuhancurkan batok kepalanya!”    Bersamaan dengan suara seruan itu tampak satu bayangan biru berkelebat dari  arah  kanan.  Lalu  ada  cairan  harum  menyembur  keras.  Ramada  Suro  Jelantik   tahu datangnya bahaya cepat tari kakinya lalu jatuhkan diri bergulingan.  
  Brettt! Breetttt!  
  Baju  hitam  Ramada  robek  besar  di  bagian  punggung.  Kulit  punggungnya  mengepulkan asap laksana ditempel besi panas.  
  “Anak-anak! Ada orang datang! Lekas tinggalkan tempat ini!” teriak Ramada  lalu dia melesat ke atas pohon di mana Gcui Setan menyangsrang. Dengan kecepatan  kilat disambarnya benda itu. Lalu dia turun lagi ke tanah untuk mengambil jenazah  istrinya.  Sekali  lagi  dia  berkelebat  tubuhnyapun  lenyap.  Hanya  suara  deru  roda  
besinya  yang  menggerus  tanah  terdengar  di  kejauhan.  Jalak  Item  dan  Jalak   Biru segera berlari mengejar pimpinan mereka sambil memikul keranjang rotan masing-masing. Mayat Jalak Ijo mereka tinggalkan begitu saja.  
Sebelum  Ramada  dan  tiga  anak  buahnya  sampai  de  tempat  kediaman  Sinto  Gendeng,  orang  tua  berjanggut  putih  dan  berpakaian  selempang  kain  biru  di   atas pohon kembali meracau seorang diri.  
  “Empat manusia aneh tadi. Yang satu membawa mayat dan guci. Tiga lainnya  memikul  keranjang.  Masing-masing  memiliki  muka  berwarna  warni.  Eh,  ada  keperluan apa mereka berada di gunung ini? Apa yang mereka cari….? Ah, sulit aku  menerkaya.” Di kakek lalu teguk tuaknya beberapa kali. “Hemmm….enaknya  tauk  ini”  kata  si  kakek.  “Eh,  pikir-pikir  aku  sendiri  mengapa  sampai  berada  di  sini?  
Astaga! Aku sampai lupa. Aku datang kemari untuk menyambangi seorang sahabat.  
Jangan-jangan empat orang tadi juga ingin menenmuinya. Tapi gerak-gerik mereka  jelas keempatnya bukan orang baik-baik. Di puncak gunung tinggal sahabatku Sinto  Gendeng. Jangan-jangan keempat orang tadi punya maksud jahat terhadap si nenek.  
Baiknya aku segera berangkat ke sana. Tapi biar kusumpal lagi perutku dengan tuak  kayangan ini!” Si kakek teguk lagi tuak dalam tabung bambu sampai minuman ini meler berjatuhan di bibirnya. Setelah puas, dengan gerakan aneh dan sangat enteng,  dia melompat dari cabang pohon tempat dia duduk berjuntai. Tubuhnya laksana kapas  melayang turun ke tanah tanpa suara sama sekali. Begitu menginjak tanah dia segera  hendak berkelebat pergi namun langkahnya tertahan.  
  “Eh,  aku  ke  sini  seharusnya  tidak  sendirian.  Anak  itu  belum  juga  muncul!  
Kalau  dia  sampai  tidak  datang  akan  kupecat  dia  sebagai  murid.  Apa  ini   dikiranya urusan ain-main?!” Si kakek  memandang jauh-jauh kian kemari. Namun dia  tidak melihat seorangpun di sekitar situ. Dia memasang telinganya baik-baik. Tak  terdengar suara  apapun.  Akhirnya  dia  tinggalkan  tempat  itu.,  menghambur  menuju   puncak Gunung Gede.  
  Dia datang tepat pada saat Sinto Gendeng roboh ke tanah dan Ramada siap  untuk menjagal lehernya dengan roda bergerigi di ujung kaki kirinya.  
  Si  kakek  segera  teguk  tuaknya  lalu  minuman  ini  disemburkannya  ke  arah  Ramada Suro Jelantik. Tuak kayangan bukan saja merupakan minuman sedap tetapi  di  tangan  si  kakek  bisa  berubah  menjadi  senjata  yang  sangat  berbahaya.   
Dengan minuman itu dia telah menjadi seorang tokoh silat tingakt atas yang ditakuti  lawan dan  disegani  kawan.  Dialah  tadi  yang  menyembur  Ramada  dengan  tuak   saktinya hingga Sinto Gendeng selamat dari roda maut yang siap memutus lehernya.  
  Sebetulnya  si  kakek  ingin  mengejar  Ramada  namun  lebih  penting  baginya  menyelamatkan  Sinto  Gendeng.  Karenanya  begitu  Ramada  dan  dua  anak  buahnya  kabur orang tua ini cepat mendatangi Sinto Gendeng. Menyangka si kakek  adalah  salah seorang musuhnya Sinto Gendeng yang tengah breusaha bangkit berdiri angkat  tangan kanannya, siap untuk menghantam.  
  “Sinto!  Kau  mau  membunuhku  degan  pukulan  saktimu?!”  sikakek  cepat  berseru.  
  “Eh!”  sinto  Gendeng  jadi  terkesiap.  “Aku  rasa-rasa  mengenal  suaramu.  
Bukankah kau….?”    “Sudah! Jangan banyak bicara dulu. Ada dua binatang beracun menancap di  tubuhmu! Biar aku singkirkan lebih dulu!”    Kakek berjanggut putih yang membekal dua buah tabung bambu berisi tuak  itu mencabut kalajengking hitam yang menancap di leher Sinto Gendeng lalu dengan  jari-jari tangannya diremasnya binatang itu hingga hancur luluh. Kedua mata si kakek  kelihatan  membesar  sewaktu  dia  melihat  bahwa  leher  Sitno  Gendeng  yang  bekas  ditancapi kala hitam tadi tampak menggembung.  
  “Racun jahat,” kata si kakek dalam hati. “Pasti sudah menjalar ke dalam aliran  darahnya.  Tubuhnya  terasa  panas.  Kalau  tidak  segera  ditolong  sahabatku  ini   pasti akan  celaka.  Ah,  agaknya  aku  tak  akan  bisa  mengajaknya  membicarakan  hal   itu.  
Muridku celaka itu mana dia! Masih juga belum kelihatan batang hidungnya!”  
  Sinto Gendeng yang sedang ditolong menangkap ucapan-ucapan perlahan si  kakek. “Eh apakah kau sedang mengomeli diriku?!” tanyanya.  
  “Jangan  bicara  Sinto!  Keadaanmu  berbahaya.  Masih  ada  satu  binatang  beracun  di  tubuhmu!”  kata  si  kakek.  Lalu  kelabang  biru  yang  menempel  di  bahu  kanan Sinto Gendeng dicabutnya dan seperti kala hitam tadi binatang ini diremasnya  sampai lumat.Ketika diperhatikan bahu kanan Sinto Gendeng ternyata juga bengkak  besar tanda racun sudah memasuki tubuhnya.  
  “Sinto, keadaanmu berbahaya. Ubuhmu panas…..”  
  “Panas? Aku malah merasa kedinginan. Bawa aku masuk ke dalam gubukku!”  kata Sinto Gendeng.  
  “Tunggu,  aku  mau  melakukan  apa  yang  bisa  membendung  racun  yang  ada  dalam  tubuhmu,”  kata  si  kakek.  Lalu  degnan  sebuah  pisau  kecil  ditorehnya  luka  bengkak pada leher dan bahu kanan Sinto Gendeng. Darah mengucur berwarna hitam.  Si  kakek  pergunakan  mulutnya  untuk  menyedot  darah  lewat  kedua  luka.  Lalu  dia  meneguk tuaknya. Dengan tuak itu dia kemudian menyembur luka di leher dan bahu  Sinto Gendeng. Tidak sampai di situ diapun membuat beberapa totokan d tubuh si  nenek.  
  “Sobatku  Dewa  Tuak,”  Sinto  Gendeng  menyebut  nama  si  kakek.  “Aku  bersyukur dan berterima kasih kau menolongku. Kemunculanmu tidak terduga….”    “sudah, jangan bicara banyak dulu. Biar aku dukung kau ke dalam rumah,”  ujar si kakek yang ternyata adalah tokoh silat berusia lebih dari 80 tahun yang sejak  beberapa tahun ini jarang memunculkan diri dalam rimba persilatan.  
  “Kedatanganku tadinya untuk membicarakan satu masalah penting denganmu.  
Tapi melihat keadaanmu seperti ini kurasa sebaiknya aku menunda dulu pembicaraan  itu.” Dewa Tuak lalu mendukung tubuh Sinto Gendeng.  
  “Gila!  Tubuhmu  kurus  kering  begini  tapi  berat  bukan  main!”  Dewa  Tuak  seperti  mengeluh.  Sinto  Gendeng  didukungnya  masuk  ke  dalam  rumah  lalu  dibaringkannya pada sebuah tempat tidur kayu. “Sinto, racun dalam tubuhmu jahat  sekali. Aku tidak bisa menjamin kau bisa bertahan lebih dari dua minggu. Aku harus  
mencari seorang tabib ulung dan membawamu turun gunung.”    Sinto Gendeng batuk-batuk beberapa kali. “Buat apa kau menyusahkan diri.  
Kalau nyawaku mau minggat dari tubuh keropos ini ya biar saja! Hik…hik…hik!”  
Sinto Gendeng masih bisa tertawa cekikikan.  
  Dewa Tuak geleng-gelengkan kepala.  
  “Tubuhku  terasa  dingin.  Mana  tuak  keparatmu  itu?  Aku  minta  barang  beberapa teguk biar tubuhku dan darahku jadi hangat!”    Dewa  Tuak  menurunkan  tabung  tuaknya  dari  punggung  lalu  mendekatkan  mulut tabung ke mulut Sinto Gendeng. Gluk…gluk…gluk! Si nenek meneguk tuak  itu dengan lahap.  
  “Sinto, kau dengar baik-baik. Aku harus meninggalkanmu saat ini juga untuk  menemui tabib yang kukatakan itu. Kalau kau tak mau dibawa turun gunung, biar  tabib itu saja yang aku bawa ke sini. Sebelum pergi perlu kuberitahu bahwa muridku  Anggini mungkin sekali akan muncul di sini. Kami berjanji akan bertemu di puncak  Gunung Gede ini….”  
  Sinto Gendeng tersenyum. “Aku tahu. Aku tahu mengapa kalian mengadakan  pertemuan di sini. Pasti urusan yang itu juga….”    “Keadaanmu membuat aku terpaksa membatalkan pembicaraan itu Sinto. Lain  kali saja kita bicarakan lagi….”    “Kalau umurku masih panjang,” kata Sinto Gendeng.  
  “Jangan bicara bagitu Sinto….”  
  “Kalau  saja  Kapak  Naga  Geni  212  ada  di  sini  segala  macam  racun  yang  mendekam dalam tubuhku pasti bisa disedot….” Kata Sinto Gendeng pula.  
  “Kalau  begitu,  bagaimana  jika  aku  mencari muridmu  dan  membawanya  ke  sini?” minta pendapat Dewa Tuak.  
  “Dalam waktu seribu hari belum tentu kau bakal dapat menemuinya.”    Dewa Tuak maklum apa yang dikatakan sahabatnya itu memang betul. Tidak  mudah mencari Wiro Sableng.  
  “Sinto,  sebenarnya  siapa  orang-orang  yang  mencelakaimu  itu?”  bertanya  
Dewa Tuak.  
  “Aku  tak  kenal  mereka.  Sebelumnya  juga  tak  pernah  melihat.  Yang  jadi  pimpinan dipanggil oleh anak buahnya dengan nama Ramada….” Menerangkan Sinto  Gendeng.  
  “Ramada….Ramada…..”  Dewa  Tuak  mengulang-ulang  nama  itu.  “Rasanya  aku pernah tahu manusia keparat satu itu. Dia berasal dari Timur. Kalau tak salah  nama lengkapnya Ramada…..Ramada Suro Jelantik. Sebetulnya dia bukan manusia  jahat tapi juga bukan orang baik-baik. Dia tidak diterima dalam golongan hitam dan  tidak diperdulikan dalam golongan putih. Cuma memang belakangan ini, sejak dia  punya  beberapa  orang  anak  buah,  kelakuannya  berubah.  Dia  banyak  berbuat  kejahatan. Kau yakin tidak punya silang sengketa denga orang-orang itu?”    Sinto  Gendeng  menggeleng.  “Ramada  datang  membawa  tuduhan  bahwa  muridku Wiro Sableng telah memperkosa dan membunuh istrinya….”    “Jadi yang dibawa-bawanya itu adalah mayat istriya?! Gila betul! Cuma ada  
hal  yang  kurasa  aneh.  Sekalipun  muridku  berbuat  jahat  seperti  yang  dituduhkan,  mengapa dia dan anak buahnya nekad hendak membunuhku?!”    “Ada  sesuatu  yang  tidak  beres  Sinto,”  kata  Dewa  Tuak  pula.  “Bagaimana  kalau aku menghubungi sahabat kita Kakek Segala Tahu. Siapa tahu dia bisa memberi  petunjuk.”    “Terserah padamu Dewa Tuak. Tapi kau juga tahu mencari orang seperti dia  tidak  mudah.”  Jawab  Sinto  Gendeng.  Dia  menarik  nafas  dalam  lalu  melanjtukan  ucapannya.  
  “Aku  melihat  Ramada  membawa  sebuah  benda.  Sebuah  guci.  Aku  yakin  pernah  melihat  benda  itu  di  masa  mudaku.  Sebuah  guci  keramat  milik  Kerajaan  berasal  dari  zaman  Singosari.  Guci  itu  sangat  berbahaya  jika  sampai  jatuh   dalam tangan orang-orang jahat….”    Dewa Tuak terdiam sesaat. Akhirnya orang tua ini berkata “Sinto, aku harus  pergi  sekarang.  Kalau  muridmu  datang  dia  tentu  akan  merawatmu  sampai  aku  kembali.”    Sinto Gendeng menarik nafas dalam. Tubuhnya semakin panas tapi dia sendiri  merasa  dingin.  Dewa  Tuak  memegang  lengan  sahabatnya  itu.  Didengarnya  sinto berbisik “Tinggalkan satu tabung tuak untukku.”    “Tentu Sinto. Kau boleh minum tuka ini sepuas hatimu.” Dewa Tuak turunkan  tabung tuaknya yang masih penuh lalu menyandarkan tabung bambu itu di tepi tempat  tidur, dekat kepala Sinto Gendeng.  
DELAPAN
Menjelang  petang  dua  penunggang  kuda  nampak  menuruni  puncak  Gunung  
Merbabu. Keduanya bukan lain adalah Pangeran Banuarto dan keponakannya Dewi  Santiastri  yang  baru  saja  menziarahi  makam  Pangeran  Banowo,  ayahanda  si   gadis yang juga merupakan kakak Pangeran Banuarto.  
   Setelah  berdiam  diri  beberapa  lamanya,  Dewi  Santiastri  membuka  pembicaraan  di  antara  mereka.  “Paman,  sebenarnya  kalau  tidak  ada  pesan  dari  almarhum  ayahanda  ingin  saya  memindahkan  makam  beliau  ke  pinggiran  Kotaraja…”    “Maksudmu memang baik. Tapi pesan orang yang meninggal harus dihormati.  
Aku takut kalau-kalau nanti ada akibatnya yang tidak baik bagi kita….”  
  Si gadis terdiam. Lalu dia mengalihkan pembicaraan. “Pemuda yang bernama  
Wiro  itu,  apakah  benar  dia  seorang  pendekar  sakti  mandraguna  yang  punya   nama besar di delapan penjuru angin?”    “Begitu kabar yang aku dengar….”  
  “Tapi mengapa salah satu anak panah saya mempu melukainya?”    Pangeran  Banuarto  tersenyum.  “Mungkin  kehebatannya  telah  menurun  atau  bisa saja ilmu panahmu sudah meningkat jauh!”    Dewi Santiastri tersenyum. Belum pupus senyum dari wajahnya yang jelita itu  
tiba-tiba  di  lereng  gunung  yang  menurun  itu  muncul  seorang  tua  berpakaian  dan  berblangkon  hitam.  Janggut  dan  kumisnya  putih  tak  terurus.  Pandangan  matanya  dingin angker. Dari caranya berdiri di jalan jelas dia sengaja menghadang perjalanan  kedua orang yang berkuda itu.  
  “Orang tua, siapa kau?” bertanya Pngeran Banuarto dengan rasa heran. Tentu  saja dia tak akan menyangka kalau akan bertemu dengan seseorang tak dikenal di  tempat itu.  
  Orang  yang  ditegur  menyeringai.  “Kau  tak  kenal  aku  sungguh  keterlaluan  Pangeran Banuarto,” orang itu berkata.  
  “Eh, kau tahu siapa aku!” Pangeran Banuarto semakin heran.  
  Orang berblangkon hitam kembali menyeringai. “Namaku Ki Ageng Lentut.  
Bertahun-tahun aku menjadi kuncen penjaga makam Pangeran Banowo tanpa dibayar  barang sepeserpun! Apa salah kalau hari ini aku muncul untuk menagih segala hutang  piutang?!”    Pangeran Banuarto dan keponakannya jadi saling pandang mendengar kata-kata orang yang tidak mereka kenal itu. Si gadis membuka mulut.  
  “Kami  tidak  pernah  merasa  mempunyai  kuncen  untuk  mengurus  makam  ayahanda….”    “Ah kalau begitu kau seorang anak yang sangat tidak berbakti!”  
  “Jaga mulutmu!” bentak Pangeran Banuarto.  
  Dibentak begitu orang yang mengaku kuncen makam Pangeran Banowo itu  hanya  menyeringai.  “Aku  sudah  menghitung-hitung  berapa  bayaran  yang  harus  kuterima. Semuanya sekitar sepuluh tail emas ditambah lima puluh tail perak! Aku  mohon kalian jangan segera membayarnya saat ini!”    “Orang gila! Kami tidak membawa apa yang kamu minta itu. Sekalipun ada  tidak akan kami berikan! Antara kita tidak ada sangkut paut apa-apa!”    “Pangeran, jangan berkata begitu. Aku telah merawat….”  
  “Tunggu  dulu!”  sentak  Dewi  Santiastri.  “Kalau kau  benar  merawat  makam  ayahandaku, mengapa makam begitu kotor dan ada tiangnya yang patah?!”    “Soal  tiang  patah  itu  karena  ada  seorang  gila  datang  mengamuk.  Tapi  aku  telah mengusirnya hingga makam tidak lebih rusak….”    “Kau dusta! Aku tahu kau dusta!” kata Dewi Santiastri pula.  
  “Jadi kalian tidak mau membayar?” bertanya kuncen Ki Ageng Lentut.  
  “Siapa sudi!” teriak Dewi Santiastri.  
  “Baiklah,  kalau  kalian  tidak  mau  membayar  tidak  jadi  apa.  Kalian  yang  merugi, bukan aku. Namun jika kalian mau berunding rasanya itu lebih baik…”    “Apa maksudmu?!” tanya Pangeran Banuarto.  
  “Usiaku  memang  sudah  agak  lanjut.  Tapi  kejantananku  tidak  kalah  dengan  seorang  pemuda  dua  puluh  tahun.  Kulihat  keponakanmu  itu  berparas  cantik.  
Bagaimana kalau dirinya saja yang kuambil sebagai pembayar hutang kalian!”    “Manusia rendah bermulut kurang ajar!” teriak Pangeran Banuarto marah.  
  Dewi  Santiastri  tidak  kalah  marahnya.  Gadis  ini  menyentakkan  tali  kekang  kudanya. Begitu tunggangannya melompat ke hadapan orang berpakaian hitam, kaki  
kanannya langsung ditendangkan ke kepala orang itu.  
  “Ah,  tidak  dikira  putrid  almarhum  Pangeran  Banowo  memiliki  ilmu  silat,”  kata si kuncen sambil tersenyum.. Sekali tangannya bergerak dia berhasil menangkap  pergelangan  kaki  kanan  si  gadis.  Lalu  sekali  putar  saja  tubuh  Dewi  Santiastri  dibuatnya mencelat ke atas.  
  Sambil memekik marah puteri mendiang Pangeran Banowo itu jungkir balik  di udara. Kedua tangannya bergerak menyambar busur dan tiga anak panah. Masih  dalam  keadaan  melayang  di  udara  si  gadis  lepaskan  tiga  anak  panah  kea  rah    si  kuncen.  Yang  diserang  berseru  kaget.  Untung  dia  bisa  berlaku  cepat  melompat  menghindari  tiga  serangan  anak  panah  itu  walau  satu  anak  panah  masih  sempat  menyerempet blangkonnya hingga blangkon itu robek besar.  
  “Hem,  gadis  ini  berbahaya.  Dia  harus  ditangani  lebuh  dulu,”  membatin  Ki  Ageng  Lentut  yangwajahnya  sempat  pucat  akibat  keganasan  ilmu  panah  Dewi  Santiastri tadi. Pada saat itu Pangeran Banuarto telah melompat turun dari kudanya.  
Dengan  tangan  kosong  dia  menyerang  Ki  Ageng  Lentut.  Sang  kuncen  menangkis  dengan  melintangkan  lengan  kiri  di  depan  kepalanya.  Bukkk!  Dua  tangan  saling  baradu.  Pangeran  Banuarto  mengernyit  kesakitan.  Tubuhnya  terjajar  beberapa  langkah ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan si kuncen untuk menyergap kea  rah Dewi Santiastri yang saat itu sudah berdiri di tanah dan siap melepaskan lima  anak panah. Namun sebelum dia mampu melakukan hal itu, orang berpakaian hitam ini telah menyergap si gadis. Dewi coba menghantam kepala lawan dengan busurnya.  
Dia berhasil.  
  Trakkk!  
  Busur patah dua begitu menghantam kepala Ki Ageng Lentut. Dari keningnya  yang terluka mengucur darah. Tapi seolah tidak merasakan sakit orang ini kembali  menyergap bagian pertengahan dada Dewi Santiasri hingga gadis ini tertegak kaku  tidak bisa bergerak lagi.  
  “Keparat  jahanam!  Apa  yang  kau  lakukan  pada  keponakanku?!”  teriak  Pangeran  Banuarto.Tangan  kanannya  yang  masih  sakit  akibat  bentrokan  tadi  dipukulkannya ke perut sang kuncen.  
  Bukkk!  
  Jotosan itu tepat mengenai ulu hati Ki Ageng Lentut!  
  “Mampus!”  teriak  Pangeran  Banuarto  karena  dia  sudah  memastikan  perut  orang tua itu akan jebol dan hancur di sebelah dalam. Pukulan yang dilepaskannya  tadi  bukan  pukulan  sembarangan.  Selain  mengandung  tenaga  dalam  tinggi  juga  disertai aji “wesi kuning” yang sanggup mematahkan pohon menjebol dinding.  
  Tapi  sang  pangeran  jadi  terbelalak  ketika  melihat,  jangankan  jebol  atau  muntah  darah  bergeming  sedikitpun  tubuh  sang  kuncen  tidak!  Malah  dia  tampak  menyeringai dan berkata mengejek.  
  “Aji  wesi  kuning  tidak  ada  gunanya  di  hadapanku,  pangeran!  Sekarang  gilirankmu  menerima  pukulanku!”  Habis  berkata  begitu  Ki  Ageng  Lentut  angkat  tangan kanannya ke atas. Telapak tangan membuka. Mulutnya berkomat kamit. Lalu  telapak tangan yang diarahkan pada Pangeran Banuarto itu didorongkannya. Perlahan  
saja. Apa yang terjadi membuat Dewi Santiastri terpekik.  
  Dari telapak tangan Ki Ageng Lentut menyembur keluar suara mendesis keras  disertai  hawa  panas  luar  biasa.  Pangeran  Banuarto  cepat  menyingkir  sambil  menghantam degnan kedua tangan.  
  Bummmm!  
  Lereng Gunung Merbabu itu terasa bergetar. Ki Ageng Lentut tampak tertegak  dengan lutut menekuk sedang tubuh sebelah atas bergoyang-goyang. Wajah tuanya  kelihatan sedikit pucat. Tapi dia berhasil menguasai diri. Kedua kakinya melurus dan  tampangnya tampak berdarah lagi.  
  Lain  halnya  dengan  Pangeran  Banuarto.  Begitu  pukulan  tangan  kosongnya  saling  bentrokan  dengan  hawa  panas  yang  keluar  dari  telapak  tanagn  si  kuncen,  tubuhnya  langsung  mencelat  mental.  Ambruk  di  tanah  berguling-guling  sampai  beberapa tombak.  Ketika gulingannya tertahan oleh akar semak belukar, kelihatan  pakaian dan sebagian kulit tubuhnya laksana dipanggang! Tubuh itu tidak berkutik  lagi dan Dewi Santiastri tahu kalau pamannya sudah jadi mayat! Untuk kedua kalinya  gadis ini berteriak.  
  Ki Ageng Lentut menyeringai sambil usap-usap janggutnya. Lalu terdengar  dia  tertawa  mengekeh.  Perlahan-lahan  dia  melangkah  mendekati  mayat  Pangeran  Banuarto. Di satu tempat dia mematahkan sebatang ranting kayu yang keras. Dengan  ranting  yang  ujungnya  tajam  ini  dia  lalu  menoreh  angka  212  di  kening  Pangeran  Banuarto.  Ranting  dicampakkan  dan  Ki  Ageng  Lentut  kembali  tertawa  mengekeh.  
Tubuh Pangeran Banuarto didukungnya lalu dinaikkan ke atas kuda. “Bawa kembali  tuanmu  ke  Kotaraja!”  Lalu  Ki  Ageng  Lentut  menepuk  pinggul  kuda  itu  kuat-kuat  hingga binatang ini menaikkan kedua kakinya lalu lari menghambur.  
  Ki Ageng Lentut menyeringai dan berpaling kea rah Dewi Santiastri.  
  “Manusia durjana! Pergi! Pergi!” teriak si gadis ketika si kuncen melangkah  ke arahnya.  
  “Tenang kekasihku, tenang. Kau akan kubawa bersenang-senang. Kau akan  merasakan satu kenikmatan dunia yang belum pernah kau ketahui salama ini!”    “Manusia iblis! Setan! Pergi!” teriak Dewi Santiastri.  
  Ki  Ageng  Lentut  sampai  di  hadapan  si  gadis.  Tanpa  pedulikan  teriakan  di  Dewi, tangan kanannya enak saja secara kurang ajar mengusap permukaan dada gadis  itu. Jeritan dan makian si gadis terdengar berkepanjangan.  
  “Kekasihku, apakah kau pernah ditiduri laki-laki?” Ki Ageng Lentut ajukan  pertanyaan  seraya  menyusupkan  tangan  kanannya  ke  balik  dada  pakaian  Dewi  Santiastri.  
  “Manusia jahanam! Kau bunuh saja aku daripada menodai begini tupa!” teriak  
Dewi Santiastri.  
  “Jangan bilang begitu kekasihku. Mari ikut aku ke makam ayahmu. Di situ  kita  akan  bersenang-senang  biar  roh  ayahmu  menyaksikannya  sendiri.  Setelah  itu  kalau kau memang mau mati boleh-boleh saja….”    “Jahanam! Lepaskan!” teriak Dewi. “Lepaskan!”    Ki Ageng Lentut tertawa mengekeh. Tubuh gadis dipanggulnya di bahu kiri  
lalu dilarikannya kea rah puncak Gunung Merbabu. Tapi baru berlari beberapa belas   langkah tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring. Bersamaan dengan itu ada semburan  angin di samping kiri. Ki Ageng Lentut terkejut ketika merasakan tubuh gadis yang  ada  di  bahunya  terlepas  dari  panggulannya.  Secepat  kilat  dia  hentikan  larinya   dan berpaling.  
  “Keparat….. Dia rupanya!” Ki Ageng Lentut jadi terperangah ketika melihat  siapa yang ada di depannya. “Rasanya mau aku nekad-nekadan menghadapinya saat  ini juga. Tapi tak ada gunanya. Biar orang lain saja yang membereskannya. Perlu apa  menyusahkan diri!” Berpikir begitu Ki Ageng Lentut keluarkan sebuah benda dari  saku pakaian hitamnya. Benda ini kemudian dilemparkan kea rah pemuda gondrong  yang kini mendukung Dewi Santiastri.  
  Blusssss!  
  Benda yang dilemparkan meletus di udara. Asap pekat kelabu membumbung  membungkus tempat itu. Pemuda yang mendukung Dewi SAntiastri melepaskan satu  pukulan tangan kosong yang sangat dahsyat. Tapi tak ada gunanya. Ki Ageng Lentut  telah  lebih  dulu  menghambur  pergi  diblik  kepulan  asap  kelabu.  Di  sebelah  sana  pohon-pohon dan semak belukar patah tumbang dan mencelat kian kemari dihantam  pukulan “dewa topan menggusur gunung.”    Pendekar 212 Wiro Sableng baringkan tubuh Dewi Santiastri di tanah yang  rata lalu melepaskan totokannya. Gadis ini menangis keras dan tanpa sadar memeluki  tubuh si pemuda.  
  “Wiro, syukur kau datang. Kalau tidak entah apa jadinya dengan diriku. Tapi  orang jahat itu telah membunuh paman Pangeran Banuarto….”    Wiro terkejut sekali. Dia memandang berkeliling.  
  “Mayat paman dinaikkannya ke atas kuda, lalu kuda digebraknya. Binatang itu  kini  telah  dalam  perjalanan  ke  Kotaraja. Sebelum  mayat  paman  dinaikkan  ke  atas  kuda dia telah menoreh angka 212 pada kening mayat…..”    “Apa!” sepasang mata Pendekar 212 sampai melotot ketika mendengar ucapan  di gadis. Dewi Santiastri lalu menerangkan lebih rinci.  
  “Kurang  ajar!  Apa  maksud  orang  itu….?!”  Pendekar  212  berpikir-pikir.  
“Hemmmmm…. Jelas dia berusaha memfitnah diriku! Gila! Begitu kuda pembawa  mayat  pamanmu  sampai  di  Kotaraja  semua  orang  akan  segera  tahu  bahwa  akulah  pembunuh Pangeran Banuarto.”    “Tapi aku bisa menjadi saksi bahwa bukan kau yang melakukan hal itu,” kata  Dewi pula.  
  “Memang bisa, tapi namaku  sempat tercemar lebih dulu. Kita tak mungkin  mengejar  kuda  yang membawa  jenazah  pamanmu.  Begitu  aku  muncul  di  Kotaraja  pasti  aku  akan  segera  ditangkap.  Kurang  ajar  betul!  Kau  tahu  siapa  orang  tua  berkumis dan berjanggut putih tadi itu?”    “Dia  mengaku  kuncen  makam  ayahandaku.  Padahal  kami  tidak  pernah  membayar seorang kuncenpun….”    “Kau pernah melihat orang itu sebelumnya? Atau mungkin tahu nama serta  asalnya?” tanya Wiro.  
  “Baru sekali ini aku melihatnya. Tak tahu darimana dia berasal. Hanya tadi dia  mengaku bernama Ki Ageng Lentut.”    Pendekar  212  garuk-garuk  kepala.  “Ki  Ageng  Lentut….Ki  Ageng  
Lentut….Aku pernah dengar nama itu. Aku ingat! Dia seorang pengukir patung kayu  di  Pangadegan.  Rasanya  tak  mungkin  dia  yang  melakukan.  Tapi  aku  pernah  mendengar bahwa dia menguasai semacam ilm hitam….. Bagaimana cirri-cirinya?”    “Tua,  kumis  dan  janggutnya  sudah  putih.  Blangkon  dan  pakaiannya  serba  hitam….”    “Tepat  sama  dengan  cirri-ciri  juru  ukir  itu!  Kurang  ajar!  Jika  memang  dia  akan kupecahkan kepalanya!” Wiro kepalkan kedua tinjunya walaupun hatinya masih  agak meragu.  
  “Kita harus pergi dari sini. Aku akan antarkan kau sampai di pintu gerbang  luar Kotaraja. Begitu sampai di Kotaraja kau harus segera menemui pejabat Istana  yang  kau  kenal  baik  dan  menceritakan  apa  yang  sebenarnya  terjadi  atas  diri  pamanmu.”    “Aku akan melakukan itu Wiro. Jangan kawatir. Namun bagaiman kalau kita  bersama-sama  menemui  pejabat  itu?  Aku  kenal  seorang  Tumenggung  yang  punya  hubungan baik dengan Sultan”    “Terlalu besar bahayanya. Sebelum persoalannya jelas bagi kalangan Keraton,  aku tak mungkin masuk ke dalam Kotaraja.”    “Aku mengerti. Jadi kau antarkan saja aku sampai di pintu gerbang Kotaraja,”  kata Dewi Santiastri.  
  Pendekar 212 memapah gadis itu lalu menaikkannya ke atas punggung kuda.  
  “Kuda kita cuma satu? Bagaimana dengan kau?”    Wiro tersenyum. “Asal kau tidak memacunya terlalu cepat aku bisa mengikuti  dari belakang.”    “Kalau  begitu….”  Si  gadis  meragu  sesaat.  “Kau  naik  saja  di  belakangku  Wiro.”  
  Tanpa disuruh dua kali Wiro Sableng langsung naik punggung kuda besar itu.  
  Apa  yang  diperkirakan  Pendekar  212  Wiro  Sableng  memang  benar.  Begitu  mayat Pangeran Banuarto sampai di Kotaraj, suasana menjadi geger. Pendekar 212  Wiro Sableng segera dicap sebagai pembunuh. Walaupun keumudian Dewi Santiastri  menemui pejabat yang dikenalnya lalu menerangkan apa yang terjadi namun pihak  Istana tidak begitu saja mempercayainya. Malah tersebar desas desus bahwa gadis itu  mungkin saja berkomplot dengan Pendekar 212 untuk membunuh Pangeran Banuarto  karena kini hanya dialah pewaris tunggal harta kekayaan milik ayah dan  sang paman.  
SEMBILAN  
Malam yang gelap di pinggiran timur Kotaraja. Di desa pengadegan terasa dingin  setelah hujan turun cukup lebat. Di mana-mana terdengar suara jangkrik yang sesekali  ditimpali suara kodok.  
  Di dalam rumah kayu, orang tua berjanggut dan berkumis putih itu duduk di  atas  tikar  tengah  asyik  memperhalus  ukiran  kepala  seekor  burung  garuda  besar.  Sebenarnya matanya sudah sangat mengantuk, tapi ukiran itu harus selesai malam itu  juga karena esok pagi pemesanna, seorang hartawan dari Kudus akan mengambilnya.  Sesekali orang tua ini menghentikan pekerjaannya sekedar untuk mengipas-ngipaskan  blangkon hitamnya. Walaupun di luar udara dingin namun dalam rumahnya Ki Ageng  Lentut merasa panas dan sekujur pakaian hitamnya basah oleh keringat.  
  Tengah  dia  asyik  menekuni  pekerjaannya  tiba-tiba  telinganya  menangkap  suara kaki di depan rumah. Sesaat kemudian pintu rumah terpentang lebar dan tangga  ditendang orang dari luar.  
  “Hai!  Setan  dari  mana  yang  datang  mengamuk  malam-malam  buta  di  rumahku?!” teriak Ki Ageng Lentut marah sekali.  
  Baru saja dia berteriak begitu tiba-tiba di hadapannya tegak bertolak pinggang  seorang  pemuda  berambut  gondrong  dengan  tampang  beringas  seolah  siap  untuk  melumat juru ukir itu.  
  “Orang gila! Siapa kau?! Kau merusak pintu rumahku! Masuk tanpa izinku?”  Ki Ageng Lentut letakkan ukiran burung garuda ke atas tikar lalu berdiri dengan cepat.  
Pahat kecil yang tajam luar biasa tepentang di tanagnnya.  
  “Benar kau orangnya yang bernama Ki Ageng Lentut?!” bertanya si pemuda.  
  “Eh setan sialan! Ditanya malah kembali menanya! Kau sendiri siapa orang  gila?”    “Namku Wiro. Aku ingin jawabanmu benar kau orangnya yang bernama Ki  Ageng Lentut?!”    “Kalau kau sudah tahu siapa aku lekas minggat dari sini. Tapi bertulkan dulu  pintu rumahku. Kalau tidak wajahmu akan kuukir seburuk setan dengan pahat ini!”    “Orang tua, kau telah membunuh Pangeran Banuarto. Kini aku jadi buronan  karena perbuatanmu menoreh angka 212 di kening jenazah pangeran itu!”    “Eh…..eh…! Tunggu dulu! Kau benar-benar orang gila kesasar. Kal kaupun  aku tidak! Enak saja menuduh….”    “Di mana kau sekitar empat hari lalu?!”  
  “Orang  gila  seharusnya  aku  tidak  perlu  menjawab  pertanyaanmu. Tapi  biar  aku  membuat  pengecualian.  Sejak  satu  minggu  terakhir  ini  aku  tidak  pernah  meninggalkan rumah ini !”    “Dusta!”  
  “Anjing edan! Lihat pahat!” teriak Ki Ageng Lentut. Pahat runcing berkilat di  tangannya berkelebat.  
  Pendekar 212 Wiro Sableng cepat menghindar dan terkejut melihat kecepatan  gerakan orang tua itu. Pipinya terasa dingin sewaktu ujung pahat menyambar dekat  sekali ke wajahnya.  
  Jengkel  melihat  serangannya  hanya  mengenai  tempat  kosong,  si  orang  tua  membuat gerakan berputar. Ketika tubuhnya membalik tiba-tiba saja kaki kanannya  mencuat ke udara.  
  Bukkkk!  
  Murid  Eyang  Sinto  Gendeng  terpelanting  begitu  tendangan  kaki  kanan  Ki  Ageng Lentut mendarat di rahang kirinya. Untuk beberapa saat lamanya kepalanya  terasa pening. Kehebatan ilmu silat si kakek membuat Wiro semakin yakin bahwa  memang dialah yang telah membunuh Pangeran Banuarto dan hendak menculik Dewi  Santiastri.  
  “Tua bangka berkedok pengukir suci! Perbuatan bejatmu sudah aku ketahui!  
Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!” teriak Wiro. Lalu dia lancarkan serangan  bertubi-tubi.  Mula-mula  Ki  Ageng  Lentut  memang  mampu  membuat  gerakan  menghindar bahkan balas menyerang. Namun begitu nafasnya sesak dan gerakannya  menjadi lamban maka tubuh dan mukanya menjadi bulan-bulanan jotosan Pendekar  212. Darah mengucur dari hidung dan bibirnya yang pecah. Sewaktu orang tua ini  berusaha  berlindung  di  belakang  ukiran  patung  garuda  besar  tanpa  ampun  Wiro  melabrak patung itu dengan tendangan kaki kanan hingga hancur berkeping-keping.  
  Ki  Ageng  Lentut  meraung  keras.  Dia  lebih  baik  kehilangan  nyawanya  dari  pada melihat ukiran burung garuda itu hancur begitu rupa. Seperti orang kemasukan  setan  dia  bergulingan  di  lantai  sambil  memegangi  beberapa  bagian  ukiran  yang  hancur. Wiro tidak menunggu lebih lama. Kaki kanannya bergerak ke arah kepala Ki  Aggeng  Lentut.  Si  orang  tua  malah  tidak  perdulikan  kepalanya  bakal  pecah  dan  nyawanya melayang. Dia menggerung sambil memegangi hancuran patung garuda.    Sesaat  lagi  kaki  kanan  Pendekar  212  akan  menghantam  kepala  Ki  Ageng  Lentut  tiba-tiba  atap  rumah  yang  terbuat  dari  rumbia  itu  jebol  di  dua  bagian.  
Bersamaan dengan itu terdengar dua suara keras. Yang pertama suara lelaki berseru  “Pendekar 212! Tarik pulang seranganmu! Jangan sampai kesalahan turun tangan!”    Suara  kedua  adalah  suara  perempuan.  “Kalau  otak  ditelan  perasaan  begini  jadinya. Tarik pulang tendangan atau kuhancurkan kakimu!”    Lalu dari atas atap sebelah kanan menyembur cairan berbau harum sedang dari  atap sebelah kiri menyambar satu cahaya biru laksana tebasan pedang panjang yang  mengeluarkan  hawa  sangat  dingin  hingga  murid  Eyang  Sinto  Gendeng  merasa  tengkuknya  jadi  merinding!  Bagaimanapun  nekadnya  dia  hendak  membunuh  Ki  Ageng Lentut yang dicapnya sebagai pembunuh Pangeran Banuarto dan yang hendak  menculik dan memperkosa Dewi Santiastri tapi pikiran sehat membuat sang pendekar  menarik tendangannya dengan cepat.  
  Byuuuuurrrrr!  
  Craaaaatttt!  
  Lantai papan berlobang di enam tempat akibat semburan cairan aneh berbau  harum. Lalu di bagian lain lantai yang sama robek seperti ditembus benda tajam yaitu  akibat hantaman sinar biru tadi!  
  Pendekar 212 leletkan lidah dan garuk-garuk kepala. Sesaat nyawanya serasa  terbang. Kalau tadi dia tidak segera menarik tendangannya jelas kakinya akan hancur  dan  terbabat  putus!  Wiro  angkat  kepala  memandang  ke  dapan.  Dia  melihat  dua  pemandangan yang kontras sementara Ki Ageng Lentut masih menelungkup di lantai  menangisi patungnya yang hancur.  
  Di  sebelah  depan  kanan  Wiro  saat  itu  berdiri  seorang  kakek  berpakaian  
selempang kain biru. Di punggungnya tergantung sebuah tabung bambu. Janggutnya  yang  putih  menjela  sampai  ke  bahu.  Di  bawah  penerangan  lampu  minyak  yang  tergantung di dinding kanan rumah dia segera mengenali sapa adanya kakek-kakek itu.  
Dia hendak berseru memanggil nama “Dewa Tuak” namun mulutnya tersekat ketika  dia melihat sosok kedua yang berdiri di samping kiri ruangan.  
  Di  situ  tegak  seorang  dara  berpakain  biru.  Begitu  tipisnya  pakaian  yang  dikenakannya sehingga walaupun nyala lampu minyak di ruangan itu tidak seberapa  terang namun Wiro masih dapat melihat menembus ke balik pakaian itu bentuk tubuh  yang luar biasa bagusnya. Murid Sinto Gendeng merasakan nafasnya seperti berhenti.  
Wajah  dara  itu  ternyata  cantik  bukan  kepalang.  Rambutnya  yang  panjang   tergerai sampai di dada berwarna coklat kepirangan.  
  “Gila,  mengapa  di  saat  seperti  ini  ada  bidadari  yang  turun  ke  bumi!”  kata  Pendekar 212 dalam hati. Untuk beberapa saat lamanya dia tak bisa berkata apa-apa  selan tegak tertegun.  
  Kakek  berjanggut  putih  yang  memang  adalah  Dewa  Tuak  betuk-betuk  beberapa kali. Pendeka 212 segera sadar. Dia cepat maju ke hadapan si kakek dan  menjura dalam-dalam memberikan penghhormatan.  
  “Dewa Tuak, harap maafkan kalau aku tidak cepat menyalamimu. Semuanya  terjadi begitu mendadak dan membuatku agak bingung.”    Dewa Tuak tertawa lebar. “Hidup ini sesekali memang harus dibuat bingung,  anak muda. Bagaimana aku bisa muncul di sini dan bagaimana aku dapat menemuimu  di sini satu mukjizat yang membingungkan. Aku mendengar kabar tentang seorang  kuncen bernama Ki Ageng Lentut. Beberapa hari lalu  aku berada di puncak Gunung  Gede.  Gurumu  dalam  bahaya  besar.  Ada  empat  tokoh  silat  dari  Timur  bernama  Ramada Suro Jelantik. Orang ini memberi tahu bahea kau telah memperkosa istrinya  lalu membunuh perempuan itu. Kemana dia pergi dia membawa jenazah istrinya yang  sudah diawet. Agaknya dia tidak akan menghentikan kegilaan itu sebelum berhasil  membunuhmu! Apa yang hendak kau katakan Pendekar 212?”    Untuk  beberapa  saat  lamanya  Wiro  tampak  ternganga  mendengar  kata-kata  Dewa Tuak itu. “Dewa Tuak, kau kenal diriku sejak aku masih kecil. Tidak meungkin  aku melakukan kejahatan keji seperti itu….”    “Tiga  orang  anak  buah  Ramada  memberi  kesaksian  bahwa  kau  yang  memperkosa dan membunuh istri pimpinan mereka!”    Wiro geleng-geleng kepala. “Aku harus mencari mereka. Urusan gila ini harus  dijernihkan!”    “Bagus kalau kau mau bertindak begitu. Jangan harap aku akan membantumu.  
Aku  punya  urusan  yang  lebih  penting.  Menyelamatkan  nyawa  gurumu.  Sinto  Gendeng  dikeroyok  dan  diserang  dengan  binatang-binatang  berbisa.  Tubuhnya  digerayangi  racun  yang  mematikan.  Hanya  Kapak  Naga  Geni  212  yang  mampu  menyesot  racun  ganas  itu  dari  tubuhnya.  Ddia  hanya  punya  waktu  dua  minggu.  
Berikan senjata mustika itu padaku bihar segera kubawa ke Gunung Gede….”    “Dewa Tuak, sebagai muridnya bihar aku sendiri yang akan membawa Kapak  Maut Naga Geni 212 ke sana….”  
  “Tidak  Wiro!”  jawab  Dewa  Tuak  sambil  menggelengkan  kepala.  Dia  mengambil tabung bambu berisi tak. Setelah meneguk minuman itu beberapa kali dan  menyeka bibirnya dengan belakang telapak tangan orang tua ini melanjutkan kata-katanya.  “Urusanmu  menyelamatkan  gurumu  serahkan  padaku.  Kau  bereskan  urusanmu dengan Ramada dan anak buahnya…..”    “Dewa Tuak kau tadi mengatakan aku salah turun tangan. Maksudmu….?’    Dewa  Tuak  belum  sempat menjawab.  Dara  berpakaian  tipis  di  sebelah  kiri  membuka  mulut.  “Juru  ukir  bernama  Ki  Ageng  Lentut  itu  bukan  orang  yang  kau  cari….”    “Lalu….?” Wiro bertanya heran.  
  “Kau harus memecahkan sendiri teka teki ini? Hidup sebagai pendekar banyak  tantangannya. Kau harus memecahkan setiap tantangan atau kepalamu sendiri yang  akan dipecahkan orang!” jawab sang daa.  
  Wiro hanya bisa tegak ternganga dan memandang tak berkedip pada sang dara.  
Tiba-tiba  Dewa Tuak  membuat  gerakan.  Cepat sekali  gerakannya  itu  hingga  Wiro  merasakan seperti dia dihembus angin dan tahu-tahu Kapak Maut Naa Geni 12 yang  terselip di pinggangnya lenyap.  
  “Dewa Tuak! Tunggu dulu!” seru Wiro. Saat itu si kakek berjanggut putih  sudah melompat ke atas. Dia menerobos lenyap lewa atap yang jebol. Wiro hendak  mengejar  tapi  langkahnya  tertahan  karena  dara  berbaju  biru  tipis  cepat  sekali  menghadangnya. Berdiri begitu dekat Wiro dapat melihat wajah cantik yang benar-benar sempurna. Hidungnya mencium bau harum yang keluar dari tubuh dan rambut  si gadis.  
  “Orang  hendak  menyelamatkan  gurumu,  mengapa  kau  masih  banyak  cerewet?!” sang dara tiba-tiba menegur.  
  “Aku  tidak  cerewet!”  jawab  Wiro  sambil  garuk-garuk  kepala.  “Eh,  kau ini  siapa sebenarnya?”  
  “Aku  orang  yang  tadi  hendak  membuat  buntung  kaki  kananmu  dengan  
“pedang kilat biru”. Untung kau tidak berlaku nekad. Kalau tidak saat ini kau sudah  jadi seorang pendekar buntung seperti Ramada itu!”    “Eh,kau  kenal  Ramada  yang  memfitnah  aku  memperkosa  dan  membunuh  istrinya?”    “Kenal atau tidak itu bukan urusanmu. Siapa tahu mungkin memang kau yang  memperkosa lalu membunuh istrinya….”    “Kau!”  Wiro  hendak  mendamprat  marah  tapi  kemarahannya  leleh  melihat  kecantikan gadis di depannya.
  Si  gadis  kemudian  berkata  lagi.  “Coba  kau  lihat  juru  ukir  itu!  Kau  telah  menghancurkan barang yang sangat berharga dalam hidupnya. Apakah kau mampu  memperbaiki ukiran burung garuda itu kembali?”    “Aku tak mampu melakukannya,” kata Wiro perlahan sambil memandangi si  pengukir yang menelungkup di lantai menagnisi pecahan ukiran burung garudanya.  
“Aku harus mengakui aku menyesal melakukannya. Semua gara-gara….”  
  “Jangan  salahkan  orang  lain.  Kau  yang  punya  perbuatan  kau  yang  harus  
bertanggung jawab.”  
  Ucapan  itu  membuat  mulut  Wiro  Sableng  terkancing.  “Kau,  kau  seperti  sedang menghakimiku. Apakah kau juga akan menjatuhi hukuman padaku?”    Wajah cantik itu menyeringai sinis. “Kau sendiri yang harus menghakimi dan  menghukum dirimu!”    “Aku sudah bilang menyesal!” kata Wiro hampir berteriak dan menunjukkan  tangan kanannya ke dalam telapak tangan kirinya.  
  Wiro  mengeruk  saku  bajunya.  Semua  uang  dan  beberapa  tail  perak  yang  dimilikinya diletakkan di atas tikar. “Hanya itu yang bisa kulakukan. Ki Ageng Lentut  ku harap kau bersedia menerimanya sebagai ganti rugi….”    Dara di depan Pendekar 212 tertawa panjang. “Uang dan perak itu tidak akan  mengembalikan ukiran burung garudanya yang telah kau hancurkan!”   “Lalu….lalu aku harus berbuat apa?!”    Sang  dara  tak  menjawab.  Tiba-tiba  tubuhnya  bergerak.  Pendekar  212  keluarkan  seruan  tertahan.  Tubuh  si  gadis  lenyap.  Dia  melihat  gerakan-gerakan  laksana kilat serta cahaya biru berkelebat kian kemari. Pecahan-pecahan kayu ukiran  burung garuda yang bertebaran di lantai satu persatu lenyap dari tempatnya. Begitu  juga  yang  sedang  dipegang  oleh  si  pengukir.  Di  lain  kejap  tahu-tahu  di  atas   tikar pecahan  ukiran  kayu  itu  telah  menyatu  kembali  membentuk  burung  garuda,   utuh seperti semula.  
  Wiro bersurut mundur. Ki Ageng Lentut ternganga dan matanya mendelik tak  percaya.  
  “Itu yang diinginkan orang tua ini. Bukan penyesalan ataupun uang dan harta  benda!”    Wiro  palingkan  kepalanya  memandang  pada  gadis  di  hadapannya.  Untuk  beberapa lamanya sepasang mata mereka saling beradu. Wiro kalah. Dia menunduk  lebih dulu. Ini yang membuatnya sangat jengkel. Ketika si baju biru itu melesat ke  atas  menerobos  atap  yang  jrbol  tanpa  meunggu  lebih  lama  murid  Eyang  Sinto  Gendeng segera mengejarnya. Berlari sejauh beberapa puluh langkah, di satu tempat  gadis itu hentikan langkahnya dan berbalik. Begitu Wiro sampai di hadapannya dia  membentak.  
  “Perlu apa kau mengikutiku?!”
  “Aku tidak mengikutimu. Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya. Kalau  kau punya nama harap memberi tahu.”    “Untuk apa?!”  
  “Bukan untuk apa-apa. Kau tadi telah memberikan satu pelajaran sangat baik  padaku….”    Si gadis tertawa. Wiro seperti terpana ketika melihat ada lesing pipit muncul  di pipi kiri kanan si gadis.  
  “Bagi seorang pendekar, pelajaran paling baik bukan datang dari orang lain.  
Tapi  dari  dalam  dirinya  sendiri. Sanggup  dan  maukah  dia  belajar?  Hanya  itu   saja persoalannya. Sederhana bukan?”    Untuk pertama kalinya dalam hidupnya Pendekar 212 merasa seolah seperti  
seekor kodok dalam tempurung.  
  “Kau  tak  mau  memberi  nama  tak  jadi  apa.  Kepandaianmu  luar  biasa.  
Gerakanmu  cepat  tak  terlihat  mata  laksana  angin.  Bihar  aku  panggil  kau   
Bidadari Angin Timur. Terma kasih. Kau telah menanamkan sesuatu yang berarti dalam  diriku. Yang  tidak  akan  aku  lupakan  seumur  hidupku.  Terima  kasih….”  Perlahan-lahan Pendekar  212  memutar  tubuhnya.  Dua  langkah  dia  berjalan  tiba-tiba   dilihatnya  si gadis sudah ada sejarak dua tombak di depannya. Wiro berpaling ke  belakang. Gadis itu tak ada di tempatnya semula. Wiro memandang lagi ke depan. Di  situ tak terlihat lagi si baju biru itu.  
  Saat itu sebenarnya Wiro ingin sekali kencing. Namun karena diselimuti rasa  jengkel,  malu  dan  rasa  bersalah  bahkan  bercampur  pula  dengan  amarah  akhirnya  seperti tidak perduli diri lagi Wiro kencing begitu saja tanpa membuka celana dan  sambil melangkah.  
  “Sialan!” katanya memaki entah memaki dirinya sendiri entah memaki gadis  cantik berpakaian biru tipis tadi.  
  Saat  itu  tiba-tiba  terdengar  suara  orang  tertawa  di  sebelah  atas.  Wiro  mendogak ke atas pohon di depannya. Gadis berbaju biru itu tampak berdiri di salah  satu cabang pohon.  
  “Hanya  orang  tolol  yang  mau  ngompol  di  celana!”  kata  si  gadis  sambil  melambaikan tangannya.  
  “Astaga!  Bagaimana  dia  tahu  aku  kencing  di  celana?!”  kata  Wiro  sambil  memegangi bagian bawah perutnya yang basah. Ketika dia menoleh ke atas pohon  sang  dara  tak  ada  lagi  di  tempat  itu.  Hanya  suara  tawanya  saja  yang  terdengar   di kejauhan.  
  “Mungkin dia benar-benar bidadari. Mungkin juga malaikat. Tapi bagaimana  kalau dia hantu jejadian? Sayang tadi aku tidak melihat bagian belakang tubuhnya.  Jangan-jangan dia kuntilanak!” Memikir sampai di situ Wiro jadi merinding sendiri.  
SEPULUH  
Orang tua berjanggut putih panjang dan mengenakan jubah putih itu memandang  pada Ramada dan dua orang anak buahnya.  
  “Hari  ini  aku  bukan  lagi  kuncen  penjaga  makam  Pangeran  Banowo.  
Namakupun bukan lagi Ki Ageng Lentut.”  
  Rahang  Ramada  Suro  Jelantik  menggembung  tanda  ada  hawa  amarah  di  rongga dadanya. “Tunggu dulu!” katanya memotong. “Aku merasa curiga! Mengapa  kau kini berubah rupa dan pakaian?!”    Orang  tua  itu  tertawa  perlahan.  “Hidup  harus  punya  ragam.  Bagaimana  tampangku  dan  bagaimana  caraku  berpakaian  itu  urusanku.  Yang  jelas  aku  adalah  satu-satunya manusia yang mampu menguasai dan memanfaatkan kekuatan gaib yang  ada dalam Guci Setan itu. Jika kau masih perlu aku kira boleh bicara. Kalau tidak  silahkan angkat kaki dari hadapanku!”    Ramada mencekal leher jubah orang tua berambut putih panjang itu. “Dengar  
baik-baik! Salah seorang anak buahku yang bernama Jalak Ijo mati konyol di tangan  Sinto Gendeng. Petunjukmu ternyata membawa celaka!”    “Dan kau telah membuat sebelah mataku buta!” berteriak Jalak Item tak kalah  marahnya.  
  “Kalian bicara seperti orang tolol!” sentak si orang tua. “Kau hendak mencari  pembunuh  istrimu.  Apa  kau  kira  begitu  gampang  tanpa  pengorbanan?  Ingat!  Aku  hanya memberi petunjuk. Apa kau mau melakukannya atau tidak aku tidak perduli!  
Apa akibatnya pada kalian aku tidak mau tahu!”  
  Kalau diperuntukkan kemarahannya saat itu mau rasanya Ramada mencekik  orang  tua  itu  sampai  mati.  Dengan  suara  bergetar  dia  bertanya  “Lalu  kami   harus memanggilmu apa sekarang?!”    “Diriku sekarang adalah seorang juru ramal. Panggil aku juru ramal Sangkolo  Bumi,” jawab orang tua berambut putih panjang. “Dekatkan Guci Setan itu padaku!”    Ramada Suro Jelantik memandang pada kedua anak buahnya yitu Jalak Item  dan Jalak Biru. “Binatang-binatang peliharaan kalian sudah lengkap semua?”    Jalak Biru dan Jalak Item sama-sama anggukkan kepala. Sejak kelabang dan  kalajengking  mereka  terbunuh  di  tangan  Sinto  Gendeng  beberapa  waktu  lalu,  keduanya telah mendapatkan kala dan kelabag baru.  
  “Kalau  dia  menipu  kita,  aku  tak  akan  memberi ampun  lagi  padanya!”  kata  Jalak  Item  yang  menaruh  dendam  kesumat  pada  si  kakek.  Dia  membuka  penutup  keranjang  rotannya  yang  berisi  tujuh  ekor  kala  hitam  beracun.  Hal  yang  sama  dilakukan oleh Jalak Biru yang keranjang rotannya berisi tujuh ekor kelabang biru.  
  “Tak  ada  yang  menipu  kalian.  Hanya  kalian  saja  yang  bertindak  bodoh!”  jawab orang tua yang minta dipanggil dengan sebutan juru ramal Sangkolo Bumi itu.  “Kalau  kalian  memang  tidak  perlu  diriku  dan  ingin  membunuhku  mengapa  tidak  dilakukan dari tadi?”    Ramada dan dua anak buahnya terdiam. Perlahan-lahan mayat Dardini yang  sejak tadi dipanggul diturunkan lalu dibaringkan di atas rumput liar di dalam hutan  kecil yang terletak di satu kawasan sunyi di Selatan Kotaraja. Dalam hati dia berkata  “Kalau pembunuh istriku sudah kuhabisi aku bersumpah akan membunuh tua bangka  keparat ini!”    Tiba-tiba orang tua yang duduk bersila di tanah itu mengangkat kepalanya dan  menatap Ramada lekat-lekat hingga Ramada jadi tercekat dan bertanya-tanya apakah  orang tua itu mengetahui apa yang berusan diucapkannya dalam hati. “Turunkan Guci  Setan itu ke tanah dan dekatkan padaku!” si orang tua berkata.  
  Ramada berjongkok di hadapan orang tau yang dulu dikenal engan nama Ki  
Ageng  Lentut  dan  mengaku  sebagai  kuncen  makam  Pangeran  Banowo  itu  lalu  mendekatkan Guci Setan ke hadapannya tanpa melepaskan benda itu dari pegangan  kedua tangannya.  
  Seperti dulu, sewaktu masih memakai nama Ki Ageng Lentut dan mengaku  sebagai kuncen makam Pangeran Banowo, orang tua ini letakkan kedua tangannya di  atas mulut guci yang mengeluarkan kepulan asap dan lidah api. Mulutnya berkomati  kamit.  Perlahan-lahan  matanya  dipejamkan.  Beberapa  saat  kemudian  kelihatan  
sekujur tubuh Sangkolo Bumi bergetar. Dari mulutnya meluncur ucapan    “Guci  Setan  guci  keramat.  Petunjuk  bumi  petunjuk  langit.  Lenyap  asap  padamkan  api.  Munculkan  air  keramat.  Ada  orang  meminta  tolong.  Sudi  kiranya  penguasa guci memberi jawaban memeberi petunjuk!”    Bersamaan dengan akhir ucapan itu tubuh Sangkolo Bumi berubah menjadi  sangat hitam dan berkeriput. Tampangnya menyeramkan sekali. Hidung dan kedua  matanya  membesar,  begitu  juga  gigi-giginya.  Kedua  telinganya  mencuat  panjang.  
Dari mulutnya keluar pertanyaan. Namun suaranya berubah aneh.  
  “Aku  penghuni  dan  penguasa  Guci  Setan.  Apa  yang  ingin  kau  tanyakan?”  Matanya memandang tak berkedip pada Ramada Suro Jelantik.  
  “Aku  Ramada.  Aku  ingin  mengetahui  dimana  Pendekar  212  Wiro  Sableng  saat ini berada…. Dimana aku bisa membunuhnya!”    “Api di dalam guci, penghuni dna penguasa guci minta kau pergi. Air di alam  gaib. Masuk dan isilah Guci Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak melihat ke  dalam alam gaib….”    Perlahan-lahan api di dalam guci mengecil. Kepulan asap iktu sirna. Di dalam  guci  terdengar  seperti  ada  air  mencurah  disertai  hembusan  angin.  Guci  itu  kini  bergoyang keras hingga Ramada harus menggenggamnya erat-erat. Sangkolo Bumi  mendekatkan kepalanya ke mulut guci.  
  “Penguasa  guci  telah  elihat  air  dan  mendengar  tiupan  angin.  Ada  seorang  bernama  Ramada  ingin  mengetahui  dimana  pembunuh  istrinya  berada.  Namanya  Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”  
  Guci  yang  dipegang  Ramada  kembali  berguncang  keras.  Sangkolo  Bumi  melafatkan sesuatu lalu terdengar suaranya berkata. “Orang bernama Wiro Sableng  bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu berada dekat sekali. Pergilah ke  Timur. Masuk ke Girimulyo pada saat hari pasar. Kau akan menemui pemuda yang  kau cari tepat pada saat sang surya berada di titik tertingginya.”    Mendengar  kata-kata  dari  alam  gaib  itu  Ramada  segera  mengangkat  Guci  Setan dari hadapan Sangkolo Bumi. Dia cepat mendukung jenazah istrinya kembali  lalu memberi isyarat pada kadua anak buahnya. Tanpa banyak bicara lagi ketiga orang  itu tinggalkan si juru ramal begitu saja.  
  “Manusia-manusia tidak tahu peradatan,” kata si orang tua perlahan. “Kalian  lihat sendiri apa yang bakal terjadi.”     
Hari pasar di Girimulyo jatuh pada hari Sabtu. Dejak pagi kota kecil itu ramai oleh  para  pedagang  dan  para  pembeli  yang  berdatangan  dari  berbagai  penjuru.  Di   pagi yang sama seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun mendatangi pengawal di pintu  gerbang  gedung  Kepatihan.  Pada  pengawal  itu  si  anak  menyerahkan  satu  lipatan  kertas    “Apa ini?” bertanya pengawal.  
  “Ada  seorang  meminta  saya  menyerahkannya  kemari,”  jawab  si  anak  lalu  cepat-cepat pergi dari situ.  
  Pengawal tadi membuka lipatan kertas. Di situ tertera tulisan berbunyi : Wiro  
Sableng  alias  Pendekar  212  pembunuh  Pangeran  Banuarto  akan  berada  di  pasar  Girimulyo siang ini. Saat yang baik untuk menangkapnya.  
Menjelang tengah hari pasar sedang ramai-ramainya. Orang bukan hanya berjual  beli tapi banyak juga yang asyik melihat-melihat keramaian berupa tontonan. Antara  lain adu ayam, permainan judi dadu, ada pula semacam tontonan akrobat. Di salah sat  pusat keramaian tampak seorang tua berambtu putih panjang yang mengaku sebagai  ahli  meramal  tegal  di  tangah-tengah  lingkaran  orang  banyak.  Lalu  dia  melangkah  mundar mandir. Di tangannya orang tua ini memegang sebuah gong kecil. Setiap kali  sehabis dia memukul gong kecil itu, dia berseru.  
  “Aku Sangkolo Bumi, juru ramal yang mampu meramal di delapan penjuru  angin.  Siapa  yang  ingin  diramal  nasibnya  silahkan  maju  dan  masuk  ke  dalam  kalangan. Ulurkan telapak tangan kanan kalian. Jangan malu-malu. Di tempat lain aku  memungut bayaran. Tapi di Girimulyo ini semua aku berikan cuma-cuma. Aku tidak  memungut  bayaran!  Kepandaianku  merupakan  sedekah  bagi  siapa  yang  suka  kutolong!”    Sekalipun dipungut bayaran akan banyak orang yang minta diramal nasibnya.  
Apalagi tidak perlu merogoh kocek. Masa itu ilmu mereamal merupakan kepandaian  langka.  Jarang  ada  peramal  yang  memanfaatkan  kepandaiannya  secara  terbuka  di  tempat  umum  seperti  yang  dilakukan  orang  tua  berambut  dan  berjubah  putih   itu.  
Orang  banyak  berdesak-desakan  minta  diramal  nasibnya.  Si  orang  tua  melayani  mereka  satu  persatu  sampai  akhirnya  sepasang  matanya  melihat  ada  tiga  orang  penunggang kuda di kejauhan. Yang di depan sekali memanggul sesosok mayat dan  memegang sebuah guci. Di belakangnya menyusul lelaki angker berwajah hitam dan  biru. Ketiganya tentu saja adalah Ramada Suro Jelantik bersama Jalak Item dan Jalak  Biru.  
  Juru ramal Sangkolo Bumi menyeringai. Matanya mengerling ke jurusan lain.  
Di  antara  orang  banyak  yang  membentuk  lingkaran  dia  melihat  soran  gpemuda  berambut  gondrong.  Dengan  gerakan  cepat  dia  mendekati  pemuda  ini.  Sambil  tersenyum dan berkata.  
  “Anak muda, wajahmu tampan, tubuhmu perkasa. Apakah kau tak ingin aku  ramalkan?”    “Terima kasih juru ramal. Lain kali saja,” jawab si pemuda.  
  “Ah  jangan  malu  apalagi  takut.  Aku  datang  ke  Girimulyo  ini  hanya  sekali  dalam sepuluh tahun. Mari ulurkan tangan sebelah kanan. Biar kuramal nasibmu di  masa depan. Aiapa tahu kau bernasib baik…”    Walaupun tidak mau namun karena si orang tua tiba-tiba saja menarik tangan  kanannya dan membawanya ke tengah lingakaran orang banyak, pemuda tadi terpaksa  mengikuti saja. Padahal tadi diam-diam dia telah mengerahkan tenaga. Tetapi juru  ramal itu ternyata memiliki kekuatan aneh. Semula si pemuda hendak lipat gandakan  tenaganya namun dari pada bersitegang dia memilih mengalah dan membiarkan saja  dirinya ditarik ke tengah kalangan.  
  Sampai  di  tengah  lingkaran  orang  banyak  sang  juru  ramal  menarik  tangan  
kanan si pemuda lalu membalikkan telapak tangannya. Sepasang matanya menatap  tak  berkesip  pada  telapak  tangan  pemuda  itu.  Keningnya  kemudian  tampak  mengernyit.  Tiba-tiba  kelihatan  wajah  sang  juru  ramal  Sangkolo  Bumi  berubah  seperti orang terkejut besar. Kedua matanya memandang mendelik pada si pemuda.  
  “anak muda, tidak kusangka kau rupanya!” kata Sangkolo Bumi keras-keras  hingga  semua  orang  memandang  ke  arah  mereka.  “Kau!  Garis  tanganmu  berbau  darah! Kau seorang pembunuh! Astaga! Aku kenal tampangmu! Kau adalah Pendekar  212 Wiro Sableng. Kau pembunuh dan pemerkosa istri Ramada Suro Jelantik! Kau  juga  yang  membunuh  Pangeran  Banuarto!  Demi  Tuhan!  Orang  banyak!  Tangkap  pemuda ini!”    Orang banyak yang ada di tempat itu tentu saja terkejut dan heran mendengar  teriakan  si  juru  ramal.  Tidak  heran  kalau  tidak  satupun  di  antara  mereka  yang  bergerak atau melakukan sesuatu.  
  Saat  itu  dari  arah  Timur  tiga  orang  penunggang  kuda  yaitu  Ramada  Suro  Jelantik, Jalak Item dan Jalak Biru mendatangi dengan cepat. Di saat yang hampir  bersamaan dari jurusan Selatan muncul serombongan pasuan di pimpin oleh seorang  Perwira Tinggi  yang  ada  parut  di  bawah  mata  kirinya  hingga  tampangnya  tampak  angker.  
  “sialan! Apa-apaan ini?!” teriakpemuda yang tangannya masih di cekal oleh  juru ramal Sangkolo Bumi.  
  “Pendekar  212!  Kali  ini  kau  tak  akan  lolos  dari  kematian!”  kata  Sangkolo  
Bumi.  
  Si pemuda berusaha menarik tangannya yang dicekal. Tapi pegangan si orang  tua laksana jepitan besi.  
  “Kurang  ajar!  Orang  ini  pasti  bermaksud  jahat.  Agaknya  dia  sengaja  menjebakku.”  Begitu  si  pemuda  berkata  dalam  hati.  Lalu  dengan  marah  dia  membentak.  
  “Juru ramal keparat! Siapa kau sebenarnya!” Sambil membentak tangan kiri  pemuda ini berkelebat mengirimkan hantaman ke muka Sangkolo Bumi.  
  Sambil  tertawa  mengekeh  juru  ramal  berambut  putih  panjang  itu  gerakkan  tangan kanannya menangkis.  
  Bukkk!  
  Dua lengan beradu keras.  
  Baik  si  pemuda  maupun  si  orang  tua  sama-sama  terlempar  satu tombak  ke  belakang dan terjengkang di tanah. Kadaan di tempat itu manjadi hiruk pikuk. Orang  banyak  berlarian  menjauh.  Tapi  yang  ingin  melihat  perkelahian  dari  dekat  hanya  beranjak beberapa langkah.  
SEBELAS  
Pendekar 212 Wiro Sableng sudah jelas melihat adanya gelagat yang tidak baik.  
Sepasang  matanya  menatap  tajam  pada  orang  tua  yang  terhantar  di  tanah  di  
hadapannya. Dia tidak kenal siapa adanya orang yang mengaku juru ramal itu. Tidak  pernah melihatnya sebelumnya. Namun sepasang mata yang menyorot dingin rasa-rasanya dia pernah melihatnya tapi kapan dan entah dimana.    
  “Astaga! Sepasang mata orang ini bukan mata orang tua!” kata Wiro dalam  hati begitu dia manyadari adanya kelaianan pada kedua mata sang juru ramal. Saat itu  lengan kirinya berdenyut sakit. Bentrokan pukulan dengan si orang tua telah membuat  lengannya tampak bengkak kebiruan. Ternyata lengan juru ramal tua itupun tampak  menggembung kemerahan. “Aku mencium bahaya besar!” kata Wiro dalam hati. Dia  cepat  melompat  tegak.  Saat  yang  bersamaan  juru  ramal  berjanggut  putih  itu   juga membuat gerakan kilat dan berdiri sambil melempar seringai ke arahnya.  
Keduanya saling  berpandangan.  Kalau  Pendekar  212  memandang  dengan  marah   bercampur heran maka sang juru ramal tampak memandang kepadanya penuh geram.  
Keduanya matanya menyorotkan sinar pembunuhan!  
  “Juru ramal! Katakan siapa kau sebenarnya! Aku tak pernah membunuh istri  seorang bernama Ramada! Malah aku memang sedang mencarinya karena dia telah  mencelakai guruku! Juga bukan aku yang membunuh Pengeran Banuarto!”    Juru ramal berjubah putih dongakkan kepalanya lalu tertawa panjang.  
  “Caranya  mendongakkan  kepala!  Aku  yakin  pernah  melihat  orang  ini  sebelumnya! Lalu suara tawanya! Rasa-rasanya pernah kudengar. Dan sepasang mata  itu!  Dia  menagku  bernama  Sangkolo  Bumi.  Mungkin  nama  palsu!”  Selagi  Wiro  berpikir dan mengingat-ingat seperti itu sang juru ramal berkata    “Katamu  kau  tidak  pernah membunuh  istri  orang  bernama  Ramada!  Malah  kau  mengatakan  orang  itu  mencelakai  gurumu!  Bagus!  Coba  kau  katakan  hal  itu  langusng  pada  orangnya  sendiri!  Dia  sengaja  datang  ke  tempat  ini  untuk   menabas batang lehermu dan meneguk darahmu! Lihat ke sana!” Habis berkata begitu  si juru ramal mengangkat tangan kanannya ke arah kanan. Saat itu terdengar ringkikan  kuda keras sekali. Orang banyak berlompatan menjauh. Tiga penunggang kuda berhenti  di tempat itu. Ramada, Jalak Item an Jalak Biru.  
  “Ada orang membawa mayat!” beberapa orang berteriak. Lalu cepat menjauh.  
Yang lain-lain mengikuti dengan air muka membayangkan rasa ngeri.  
  Murid  Eyang  Sinto  Gendeng  kerenyitkan  kening.  Dia  sama  sekali  tidak  mengenal  tiga  penunggang  kuda  yang  aneh-aneh  dan  angker  itu.  “Satu  membawa  mayat  perempuan  yang  sudah  kaku  tapi  tidak  busuk  dan  ada  sebuah  guci  mengepulkan asap serta menjulurkan lidah api di tangan kanannya. Apakah dia yang  bernama  Ramada  Suro  Jelantik?  Tokoh  silat  dari  Timur?  Dua  kawannya  memikul  keranjang  rotan,  bertampang  hitam  legam  dan  biru  gelap….”  Selagi  Wiro  berkata  dalam hati begitu rupa kembali terdengar suara si juru ramal. “Pendekar 212! Katamu  bukan  kau  yang  membunuh  Pangeran  Banuarto!  Coba  kau  jelaskan  sendiri  pada  rombongan pasukan dari Kotaraja itu!” Sangkolo Bumi menunjuk ke arah kiri. Wiro  mengikuti arah yang ditunjuk si juru ramal. Dari arah Timur tampak serombongan  penunggang kuda berseragam pasukan Kerajaan berjumlah sekitar dua puluh orang.  
Di depan sekali memimpin seorang Perwira Tinggi bermuka garang.  
  Ramada  yang  memanggul  mayat  istrinya  di  bahu  kiri  dan  memegang  Guci  
Setan  di  tangan  kanan,  dengan  gerakan  enteng  dan  cepat  melompat  turun  dari  kudanya. Malihat cara orang bergerak Pendekar 212 segera maklum kalau manusia  bertampang  seram  ini  memiliki  kepandaian  tinggi.  “Gerakannya  sangat  cepat  dan  enteng.  Kaki  kiri  buntung,  dipasangi  roda  besi  bergerigi.  Jangan-jangan  benda   ini menjadi senjatanya,” pikir Wiro.  
  Begitu berdiri di tanah Ramada segera meluncur di atas roda besi kaki kirinya  mengelilingi  Pendekar  212.  Lalu  dia  berhenti  empat  langkah  di  hadapan  sang  pendekar.  
  Saat  itu  terdengar  juru  ramal  Sangkolo  Bumi  berkata  “Ramada !  Tak  perlu  ragu! Pemuda itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang kau cari selama ini! Dia  yang memperkosa istrimu lalu membunuhnya! Guci Setan tidak berdusta!”    “Setan  alas  juru  ramal  keparat!  Jangan  kau  berani  menuduh  sembarangan  kalau tak mau kusobek mulutmu!” teriak Wiro marah sekali.  
  Di hadapannya Ramada mendengus keras.  
  “Jadi  ini  jahanamnya  yang  bernama  Wiro  Sableng.  Pemuda  keji  berjuluk  Pendekar  212!”  Ramada  meludah  ke  tanah.  “Hari  ini  kau  akan  menerima  pembalasanku! Pembunuh terkutuk! Aku telah bersumpah untuk meneguk darahmu!”  Habis berkata begitu Ramada turunkan mayat istrinya dari bahu kirinya. Lalu mayat  yang kaku menyeramkan ini disandarkannya pada sebuah gerobak hingga merupakan  satu  pemandangan  yang mengerikan  di  mata  semua  orang  yang  ada  di  tempat   itu.  
Perlahan-lahan Ramada putar tubuhnya. Guci Setan dipindahkannya ke tangan kiri.  
Lalu  dia  memberi  isyarat  pada  Jalak Item  dan  Jalak  Biru.  Kedua  orang  ini   segera melompat turun dari kuda masing-masing. Tak lupa membawa pikulan yang  ujungnya tergantung  keranjang  rotan  berisi  tujuh  ekor  kalajengkinghitam  dan   tujuh  ekor kelabang biru. Kedua orang ini sengaja mengambil tempat di kiri kanan  Ramada agak ke  belakang.  Mereka  sama-sama  jongkok  di  tanah  dan  tangan   masing-masing  siap membuka penutup keranjang rotan!  
  Ketika Ramada hendak bergerak meluncur di atas roda besinya ke arah Wiro,  murid Sinto Gendeng ini cepat berseru. “Tunggu! Kalau kau tidak keliru pasti otakmu  tidak waras! Aku bersumpah tidak pernah membunuh istrimu! Mana aku pernah kenal  dengan  tukang  akrobat  sepertimu!  Aku  mendapat  keterangan  bahwa  kau  dan   anak buahmu telah mencelakai guruku! Jangan harap hari ini kau dan monyet-monyetmu  itu bisa bebas dari hukumanku!”    Ramada Suro Jelantik menyeringai dan mendengus berulang kali.  
  “Ramada! Jangan percaya omongannya!” tiba-tiba si juru ramal berseru. “Dia  bisa  berdusta  begitu  karena  istrimu  sudah  jadi  mayat  dan  tak  mungkin  memberi  kesaksian!”    Murid Sinto Gendeng memandang ke arah orang tua berjubah putih itu. “Aneh,  kenalpun tidak. Mengapa orang tua keparat itu sangat membenci diriku?”    “Kau  boleh  bersumpah  mati  di  depan  pintu  neraka!”  membentak  Ramada.  
Rahangnya menggembung. Marah sekali dia dikatakan sebagai tukang akrobat oleh  
Pendekar  212  tadi.  Lalu  dari  balik  baju  hitamnya  dia  mengeluarkan  sebuah  golok  
besar  berbentuk  empat  persegi  dengan  bagian  tajam  pada  kedua  sisinya  Golok   ini berwarna putih berkilat tetapi anwhnya memancarkan cahaya berwarna hitam! Pada  ujung gagangnya ada seuntai rantai yang digantungi besi pipih berbentuk pisau tajam  luar biasa.  
  Pendekar 212 belum pernah melihat senjata seperti yang di tangan Ramada itu.  
Ketika Ramad memutar senjata ini di udara, cahaya golok yang putih bertabur dengan  sinar hitam. Lalu pisau di ujung rantai berkiblat dengan mengeluarkan suara bersuit.  
  Murid Eyang Sinto Gendeng mundur dua langkah. Justru Ramada meluncur  maju  tiga langkah.  Golok  besar  membabat  ke  leher  sedang  pisau  di  ujung  gagang  golok menusuk ke arah dada! Pendekar 212 cepat berkelebat hindarkan dua serangan  sangat berbahaya itu sambil hantamkan tangan kanannya, lepaskan pukulan “kunyuk  melempar  buah”  yang  kehebatannya  tidak  beda  dengan  sebuah  batu  besar  yang  menggelundung dahsyat ke arah Ramada.  
  Dia jelas melihat bagaimana tubuh Ramada terangkat ke atas akibat hantaman  pukulan saktinya. Tapi bukan alang kepalang terkejutnya murid Sinto Gendeng ini  ketika tiba-tiba saja kaki kiri Ramada menendang ke depan. Roda besi bergerigi yang  berputar hebat menyambar ke arah perut. Wiro cepat menghindar dengan melompat  ke  samping  kiri.  Tapi  tidak  terduga  tiba-tiba  golok  empat  persegi  bermata  dua   di tangan kanan Ramada memapas bagian atas kepalanya hingga sejumput rambutnya  terbabat putus! Murid Sinto gendeng seperti hendak terkencing saking kagetnya.  
  Ramada  keluarkan  suara  menggereng  dari  tenggorokannya.  “Sebentar  lagi  lehermu akan ku babat putus!” kertaknya. Dia berpaling pada kedua anak bauhnya.  Lalu memberi isyarat dengan anggukan kepala. Jalak Item dan Jalak Biru yang tahu  arti  isyarat  ini  segera  membuka  tutup  keranjang  rotan  masing-masing.  Didahului  teriakan Ramada Suro Jelantik melompat ke arah Wiro.  
  Goloknya kembali berkelebat. Kaki kirinya diangkat  dan sewkatu-waktu bisa  melancarkan serangan roda bergigi yang sanggup memutus kantung tubuh lawannya.  Di saat yang bersamaan dua anak buahnya menggerakkan tangan ke arah keranjang  rotan.  
  Dalam keadaan seperti itu murid Sinto Gendeng masih dapat berpikir bahwa  guci di tangan kiri Ramada pastilah satu benda yang sangat berharga baginya. Kalau  tidak  benda  itu  tak  akan  didepaknya  terus  sambil  melancarkan  serangan.  Maka  Pendekar  212  mulai  mengincar  guci  dalam  dekapan  tangan  kiri  lawannya, namun  matanya yang tajam juga sempat melihat isyarat Ramada yang tadi diberikan pada  dua anak buahnya. Dia juga melihat bagaimana dua manusia bermuka hitam dan biru  itu  menggerakkan  tanan  ke  arah  keranjang  rotan  masing-masing.  Karenanya   tanpa menunggu lebih lama Wiro siapkan dua pukulan sakti. Yang pertama pukulan  “sinar matahari”  di  tangan  kanan  yang  siap  dihantamkan  ke  arah  Ramada  Suro   Jelantik.  
Sedang tangan kiri aji pukulan “benteng topan melanda samudra” ditujukan kepada  Jalak Biru. Karena Jalak Biru terpisah cukup jauh dari Jalak Item, Penekar 212 tak  mungkin menghantam sekaligus. Berarti bahaya bisa datang dari lawan yang bermuka  hitam  ini.  Untuk  menghindarkan  serangan  Jalak  Item  maka  Wiro  terpaksa  harus  
merubah kedudukannya. Dia melompat ke kiri hingga berada di satu garis lurus di  depan  Ramada  dan  Jalak  Item.  Begitu  Ramda  melancarkan  serangan,  tanan   kanan Wiro yang sudah berubah menjadi  putih menyilaukan itu menghantam ke depan.  
  Wuuuuussss!  
  Sinar  putih  menyilaukan  dan  sangat  panas  berkiblat.  “Ramada,  awas!  Itu  pukulan  “sinar  matahari!”  Yang  berteriak  memberi  ingat  adalah  si  juru  ramal  Sangkolo  Bumi. Selagi  Wiro  merasa  heran  mengapa  orang  tua itu  bisa  tahu  nama  pukulan saktinya yang dilepaskannya, orang yang diserang malah berteriak lantang.  
  “Siapa  takut?!”  teriak  Ramada.  Roda  besi  di  ujung  kaki  kirinya  menderu  semakin deras. Golok empat persegi di tanagn kanannya diputar semakin sebat hingga  sinar  hitamnya  tampak  berbuntal-buntal  angker. Wiro  sudah  siap  melepas  pukulan  “benteng topan melanda samudra” dengan tangan kiri ketika dia menyadari bahwa hal  itu tidak bisa diakukannya kecuali dia mau celaka dihantam serangan balasan Ramada  Suro Jelantik.  
  Serangan  Ramada  memang  bukan  alang  kepalang  hebatnya.  Begitu  cahaya  putih pukulan sakti yang dilepaskan Pendekar 21 menyapu ke arahnya. Dia tekuk kaki  kananny. Bersamaan dengan itu kaki kirinya disapukan ke depan. Roda besi bergerigi  yang ada di ujung kaki kirinya menderu keras memancarkan sinar aneh. Begitu sinar  roda besi beradu dengan sinar cahaya putih pukulan “sinar matahari” terdengar suara  keras berkereketan enam kali berturut-turut. Ramada Suro Jelantik berteriak keras.  
Di ujung  kakinya  cahaya  putih  menyilaukan  dan  panas  ini  sanggup  disapunya   hingga mencuat ke samping kiri. Lalu terdengarlah pekik jerit orang banyak yang  berada jauh di  ujung  kalangan  perkelahian.  Sembilan  orang  tak  berdosa   berkaparan  di  tanah.  
Tubuh mereka hangus hitam mengepulkan asap akibat terpanggang pukulan “sinar  matahari” yang berhasil dilencengkan ke jurusan lain oleh Ramada!  
  Tubuh  Ramada  sendiri  tampak  melesat  sampai  dua  tombak  ke  udara  lalu  dengan dua kali jungkir balik dia mendarat di tanah kembali. Mukanya yang hitam  legam dan tertutup kumis serta cambang bawuk liar tampak seperti tidak berdarah.  Dua matanya mendelik besar ketika melihat bagaimana enam dari empat puluh gigi-gigi roda besinya somplak! Wiro sendiri juga melengak ketika melihat pukulan “sinar  Matahari” yang mengadung hawa panas luar biasa tak sanggup membuat cidera lawan  bahkan tidak bisa membuat leleh roda besi itu!  
  Apa  yang  terjadi  membuat  Pendekar  212  terlambat  menggerakkan  tangan  kirinya untuk melepaskan pukulan “benteng topan melanda samudra” ke arah Jalak  Biru. DI saat itu Jalak Biru telah membuka penutup keranjang rotannya. Lima ekor  kelabang beracun berwarna biru melesat membeset udara, menyerbu ke arah Wiro.  Celakanya  pula  di  saat  yang  sama  dengan  penuh  amarah  Ramada  Suro  Jelantik  kembali  menyerbu  dengan  roda  bergeriginya  sedang  golok  di  tangan  kanannya  diputar  dengan  sebat,  membuntal  dalam  serangan  ganas  mengarah  bagian  dada   ke atas!  
  Murid Eyang Sinto Gendeng berteriak keras. Tangan kanannya menyusup ke  balik  pinggang,  maksudnya  hendak  mencabut  Kapak  Maut  Naga  Geni  212.  Tapi  
mendadak  mukanya  jadi  pucat.  Astaga!  Dia  baru  sadar.  Senjata  mustika  itu   telah dibawa oleh Dewa Tuak ke Gunung Gede untuk mengobati Eyang Sinto Gendeng  yang keracunan akibat serangan binatang-binatang berbisa anak buah Ramada Suro  Jelantik!  
  “Celaka!”  keluh  Wiro.  Pendekar  ini  cepat  melompat  mundur.  Tapi  lima  kelabang  berwarna  biru  beracun  dan  sambaran  roda  besi  bergerigi  seta  golok  di  tangan kanan Ramada datang lebih cepat.  
  Di saat yang sangat genting itu tiba-tiba terdengar lima buah benda melesat di  udara. Bersamaan dengan itu ada satu bayangan merah berkelebat luar biasa cepatnya  dan tahu-tahu kaki kiri Ramada terangkat ke atas. Di lain kejap manusia tinggi besar  ini jatuh ke tanah!  
  Ramada Suro Jelantik menggereng marah. Dia cepat berdiri. Di lain bagian  sang juru ramal tua Sangkolo Bumi merasa tidak enak. Dia cepat membaca situasi.  Dalam hati orang tua ini berkata “Ada orang-orang baru muncul! Keadaan bisa jadi  kisruh tak karuan. Saatnya Guci Setan di tangan Ramada berpindah tangan!”  
DUA BELAS  
Di udara lima buah anak panah melesat deras. Jalak Biaru tersentak kaget dan  berseru tegang ketika melihat bagaimana lima ekor kelabang birunya yang tadi siap  untuk menancapi tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng kini runtuh cerai berai dihantam  lima buah panah itu!  
  Wiro Sableng berpaling ke belakang. Di atas punggung seekor kuda coklat  dilihatnya Dewi Santiastri, puteri mendiang Pangeran Banowo duduk merentang lima  buah anak panah lagi siap dilepaskan ke arah Jalak Biru yang saat itu terduduk di  tanah dengan mulut ternganga dan muka pucat tanpa darah.  
  “Terima kasih Dewi……” kata Wiro.  
  Si gadis lemparkan senyum kecil padanya. Lalu anak panah diputar ke arah  
Jalak Item ketika dilihatnya anak buah Ramada itu diam-diam hendak melepaskan  binatang-binatang beracun peliharaannya dari dalam keranjang rotan yaitu tujuh ekor  kelajengking hitam.  
  Dewi lepaskan sartu dari lima buah anak panah yang direntang. Jalak Item  terpekik.  Telapak  tangan  kanannya  tembus  ditancapi  panah.  Darah  mengucur.  Penutup  keranjang  dijatuhkannya.  Katika  dilihatnya  Dewi  hendak  melepas  anak  panah kedua, Jalak Item cepat bersurut mundur menjauhi keranjang sementara darah  mengucur deras ke pangkuannya.  
  Ramada Suro Jelantik begitu berdiri baru menyadari kalau golok besar empat  persegi bermata dua yang tadi dipegangnya di tangan kanan kini tak ada lagi dalam  gengamannya.  Memandang  ke  depan  dia  jadi  beringas  ketika  melihat  bagaimana  senjata  yang  sangat  diandalkannya  itu  kini  berada  dalam  tangan  seorang  gadis  berpakaian ringkas serba merah dengan rambut pirang teruarai panjang. Dia tidak bisa  mengerti bagaimana gadis itu memiliki gerakan laksana angin dan bukan saja dia bisa  
mendorong  tubuhnya  sampai  jatuh  terjengkang,  tapi  bahkan  sanggup  merampas  goloknya tanpa dia sempat merasakannya.  
  Meski  gadis  itu  tidak  mengenakan  pakaian  warna  biru  seperti  pertama  kali  Wiro melihatnya, namun murid Eyang Sinto Gendeng ini masih bisa mengenalinya  dengan cepat.  
  “Bidadari Angin Timur….” desis Wiro perlahan. “Dua orang gadis cantik telah  menyelamatkan nyawaku hari ini!” katanya lagi dalam hati sambil garuk-garuk kepala.  
  Sang dara memang adalah gadis cantik berambut pirang dan dulu berpakaian  serba  biru  yang  pada  pertemuan  pertamanya  dengan  Wiro  telah  diberikan  nama  Bidadari Angin Timur oleh sang pendekar.  
  “Perempuan-perempuan  dajal!  Siapa  kalian  yang  berani  mencampuri  urusanku?!” teriak Ramada Suro Jelantik.  
  Dara berpakaian serba merah tidak menyahut. Hanya sepasang matanya saja  yang  memandang  tak  berkesip  ke  arah  tokoh  silat  dari  Timur  itu.  Merasa   seperti dipandang rendah Ramada berkata “Gadis baju merah berambut pirang! Kau  jangan kemana-mana!  Tetap  di  tempatmu  sampai  aku  menyelesaikan  urusan   dengan pemerkosa dan pembunuh istriku itu!” Dengan tangan kanannya Ramada  menuding ke arah Wiro.  
  “Setan! Apa kau punya bukti menuduhku sembarangan!”  
  “Aku tidak perlu bukti! Guci Setan ini yang memberi tahu!”  
  “Dan Guci Setan tak pernah berdusta!” berkata si peramal tua Sangkolo Bumi.  
  “Bangsat setan alas!” maki Wiro dalam hati sambil memandang berang pada  orang tua itu yang sebaliknya melempar seringai buruk padanya.  
  Tiba-tiba terdengar suara menderu keras. Saat itu Ramada Suro Jelantik telah  melompat dan menyerbu ke arah Wiro.  
  Di saat yang sama terdengar deru suara kaki-kaki kuda banyak sekali. Tak  lama kemudian ada orang membentak.  
  “Atas nama Kerajaan hentikan perkelahian!”    Semua orang berpaling. Seorang bermuka garang dengan seragam dan tanda  pangkat Perwira Tinggi Kerajaan muncul diiringi sekitar dua puluh orang perajurit.  
  “Bagus! Orang-orang yang dicari Kerajaan ternyata ada di tempat ini!” kata si  Perwira  Tinggi  sambil  memandang  ganti  berganti  pada  Ramada  Suro  Jelantik  dan  Pendekar 212.  
  “Kau!” bentak sang perwira sambil menuding dengan telunjuk tangan kirinya  tepat-tepat pada Ramada. “Kau pasti manusianya yang bernama Ramada Suro Jelantik.  Kerajaan  telah  mencarimu  selama  dua  tahun.  Kau  mencuri  Guci  Setan  yang  ada  dalam  dekapan  tangan  kirimu  itu!  Jangan  berdalih.  Serahkan  guci  itu  padaku  lalu  serahkan dirimu untuk menerima hukuman!”    Ramada menyeringai. “Perwira,” katanya setelah lebih dulu meludah ke tanah.  
“Aku  muak  mendengar  segala  ucapan  kentut  busukmu!  Lekas  minggat  dari  sini!  
Jangan lupa membawa anak –anak buahmu!”  
  Perwira Tinggi Kerajaan itu tertawa bergelak.  
  “Bagus! Aku suka pada orang yang punya nyali besar sepertimu! Kita akan  
lihat nanti apakah kau masih punya nyali waktu dirangket dan kulitmu dikupas di  ruang penyiksaan!”    Sang  Perwira  berpaling  pada  Wiro.  “Kau!”  bentaknya.  “Kau  pasti  pemuda  gondrong  bernama  Wiro  Sableng,  berjuluk  pendekar  212  yang  telah  membunuh  Pangeran Banuarto!”    “Aku tidak pernah membunuh Pangeran itu!” jawab Wiro.  
  Perwira Tinggi tadi mendengus. “para penjahat memang pintar berdalih! Aku  mau lihat apa kau masih bisa bicara banak setelah lidahmu kusuruh potong!”    Tiba-tiba  ada  satu  suara  berkata.  “Perwira,  saya  bersaksi  pemuda  itu  bukan  orang yang membunuh paman saya Pangeran Banuarto….”    Perwira Tinggi dan semua orang yang ada di tempat itu sama memalingkan  kepala.  
  “Ah, den Ayu Dewi Santiastri, putri mendiang Pangeran Banowo, keponakan  mendiang Pangeran Banuarto rupanya! Aku kurang memperhatikan kalau kau ada di  sini.  Apa  kepentinganmu  membela  pemuda  asing  yang  telah  membunuh  pamanmu  itu?”    ‘Sudah saya katakan! Bukan dia pembunuh paman Pangean Banuarto. Tapi  seorang yang mengaku kuncen makam ayahanda. Kuncen palsu bernama Ki Ageng  Lentut!”  
  Sementara juru ramal Sangkolo Bumi yang sudah memperkirakan ke adaan  akan  sangat  buruk  bagi  Ramada  segera  berkata  “Ramada,  keadaan  tidak  menguntungkan bagimu. Lekas serahkan guci itu padaku. Biar aku selamatkan dulu.  
Kau  bisa  mengambilnya  di  tempat  terakhir  kita  bertemu  dulu.  Aku  hanya  ingin  menolongmu. Lekas…..!”    Ramada sesaat terdiam dan berpikir cepat. Apa yang dikatakan juru ramal itu  mungkin sangat benar. Saat itu dia bukan saja menghadapi Pendekar 212, tetapi juga  Perwira  Tinggi  Kerajaan  dan  duapuluh  orang  perajuritnya.  Lalu  gadis  berpakaian  merah itu jelas bukan berada di pihaknya. Ditambah lagi dengan keponakan Pangeran  Banuarto  yang  pasti  telah  menjadi  lawannya  sejak  dia  muncul  dengan  memperlihatkan ilmu panahnya yang menakjubkan, menghancurkan bintang beracun  milik Jalak Biru serta melukai Jalak Item.  
  Tanpa pikir panjang Ramada Suro Jelantik segera lemparkan Guci Setan ke  arah si juru ramal.  
  “Tangkap! Lekas pergi dari sini!” kata Ramada pula. Guci Setan yang sejak  tadi  dikepitnya  di lengan  kiri  dilemparkannya  pada  Sangkolo  Bumi. Saat  itu  jarak  antara Ramada dan si orang tua terpisah sekitar delapan langkah. Selagi Guci Setan  itu melayang di udara dan siap ditangkap oleh Sangkolo Bumi tiba-tiba empat anak  panah  melesat  ke  udara.  Dua  berjajar  di  sisi  kiri,  dua  lagi  di  sebelah  kanan.   
Lalu terjadilah satu hal yang luar biasa. Dua pasang anak panah itu memotong jalannya  Guci yang melayang di udara. Dalam keadaan terjepit, Guci Setan kemudian dibawa  melesat  ke  kiri  hingga  Sangkolo  Bumi  menangkap  angin.  Empat  anak  panah  kemudian menancap di sebatang pohon. Guci Setan yang besar dan berat itu terjepit  tak bergerak di antara empat batang panah itu. Dengan kertakkan rahang si juru ramal  
tua itu cepat melompat ke udara guna mengambil guci. Namun saat yang bersamaan,  satu  sosok  berpakaian  hitam  melompat  pula  ke  udara.  Orang  ini  bukannya  menyambar  Guci  Setan  melainkan  menelikung  pinggang  sang  juru  ramal  lalu  menyeretnya ke bawah hingga keduanya jatuh terhentak di tanah.  
  “Keparat!”  maki  Sangkolo  Bumi  marah  sekali  ketika  mengetahui  yang  merangkul tubuhnya ternyata adalah Jalak Item, anak buah Ramada Suro Jelantik. Dia  mencoba melepaskan diri sambil menghantamkan siku kanannya ke belakang.  
  Bukkkk!  
  Traaaakkkk!  
  Jalak Item menjerit keras. Dua tulang iga di sisi kanannya melesak patah.  
  Sementara Ramada Suro Jelantik dan Perwira Tinggi Kerajaan yang melihat  guci  yang  tadi  dilemparkan  kini  terselip  di  antara  empat  buah  anak  panah  yang  menancap di batang pohon segera memburu untuk mengambilnya, khawatir benda itu  jatuh ke tanah dan pecah berantakan. Namun sebelum keduanya mampu menyentuh  benda itu tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat laksana angin, luar biasa  cepatnya.  
Ramada dan si perwira tinggi jadi kecele tetapi juga marah ketika menyadari mereka  telah keduluan oleh gadis berambut pirang yang tidak dikenal itu.  
  Sang perwira hendak menyerang si gadis tapi gerakannya tertahan ketika di  sebelah sana Jalak Item yang berada dalam keadaan cidera telapak tangan dan tulang  iganya berteriak sambil masih memegangi pinggang sang juru ramal.    “Perwira! Yang membunuh Pangeran Banuarto adalah orang tua ini!”    Sangkolo  Bumi  berteriak  marah.  Sekali  dia  menggerakkan  tubuhnya  Jalak  Item terhempas ke tanah.  
  “Keparat! Kau mencari kematian berani memfitnahku!” bentak Sangkolo Bumi.  
  “Ki  Ageng  Lentut!  Sangkolo  Bumi!  Siapapun  namamu!  Apakah  kau  benar  kuncen makam Pangeran Banowo atau juru ramal aku tidak perduli! Tapi kaulah yang  membunuh  Pangeran  Banuarto!”  Rupanya  dendam  kesumat  Jalak  Item  akibat  perbuatan Ki Ageng Lentut yang kini menyamar menjadi juru ramal tua bernama  Sangkolo Bumi itu tidak bisa dipendam lagi. Meledak saat itu juga.  
  “Keparat! Tutup mulutmu!” teriak juru ramal. Tangan kanannya bergerak.  
  Praaaaakk!  
  Jalak  Item  tergelimpang  roboh  di  tanah.  Kepalanya  pecah!  Ramada  Suro  Jelantik sesaat terkesiap melihat apa yang terjadi. Mengikuti kemarahannya ingin dia  menghajar  juru  ramal  tua  itu  saat  itu  juga.  Namun  Guci  Setan  lebih  penting.   
Dia berkelebat ke arah gadis berpakaian erah. Namun gerakannya dihadang oleh  
Pendekar 212.  
  Sementara itu Perwira Tinggi Kerajaan telah berteriak memberi perintah pada  dua  puluh  anak  buah  agar  mereka  segera  mengurung  dan  menangkap  juru  ramal  berjubah putih itu yang oleh Jalak Item dibuka kedoknya sebagai pembunuh Pangeran  banuarto.  Namun  begitu  mereka  bergerak,  Sangkolo  Bumi  menyongsong  dengan  serangan-serangan ganas.  
  “Bidadari  Angin  Timur…….”  Kata  Wiro  sambil  mendekati  gadis  berbaju  
merah  itu.  “Kau  mau  menolongku?  Biar  kunyuk  berewokan  ini  aku  yang  menghadapinya. Aku menaruh curiga pada juru ramal tu. Rambut putih dan jubah  panjangnya  aku  yakin  hanya  samaran  belaka.  Lakukan  sesuatu  hingga  kau  bisa  membuka kedok siapa dia sebenarnya.  
  “Kau  takut  menghadapi  orang  tua  jelek  itu?”  tanya  gadis  berambut  pirang  yang membuat wajah Pendekar 212 jadi bersemu merah.  
  “Aku tidak pernah takut pada siapapun,” jawab Wiro. “Dengan orang tua itu  aku tidak punya perselisihan langsung. Tapi dengan setan satu ini aku punya alasan  untuk menghajarnya. Kau sendiri tahu dia dan anak buahnya telah melukai guruku!”    Gadis  yang  oleh  Wiro  diberi  julukan  Bidadari  Angin  Timur  itu  tersenyum  kecil.  “Tampangmu  tolol,  tapi  otakmu  cerdik  juga.  Ambil  senjata  ini  untuk  menghadapi Ramada!” Lalu si gadis menyerahkan golok besar empat persegi panjang  itu ke tangan Pendekar 212. Baru saja Wiro memegang senjata, si gadis telah lenyap  dari  hadapannya.  Sebelum  masuk  ke  kalangan  perkelahian  Bidadari  Angin  Timur  melayang ke atas pohon. Guci Setan yang telah dipegangnya diletakkannya di antara  ranting-ranting  pohon  berdaun  lebat.  Begitu  melayang  turun  dia  cepat  mendekati  Perwira Tinggi Kerajaan dan berkata    “Naik ke atas pohon. Jaga guci itu!”    Meskipun merasa tersinggung diperintah begitu rupa namun si perwira sadar  bahwa  menyelamatkan  guci  di  atas  pohon  adalah  jauh  lebih  penting  dari  pada  melakukan  hal-hal  lain.  Terlebih  ketika  gadis  di  hadapannya  berkata  “Serahkan  pembunuh  Pangeran  Banuarto  itu  padaku.  Kita  akan  segera  tahu  siapa  dia  sebenarnya!”    Tanpa banyak bicara lagi Perwira Tinggi Kerajaan itu melompat naik ke atas pohon.  
Dari atas pohon dia dapat menyaksikan seluruh kejadian di bawahnya walau tangannya  sudah gatal untuk turun tangan sendiri.  
  Ternyata juru ramal itu memiliki kepandaian sangat tinggi. Dengan mudah dia  menghajar perajurit-perajurit Kerajaan yang menyerangnya hingga mereka menemui  ajal sekelompok demi sekelompok.  
  Melihat anak buahnya menemui kematian mengenaskan begitu rupa, Perwira  
Tinggi  di  atas  pohon  jadi  mendidih  amarahnya.  Lupa  bahwa  dia  harus  menjaga  keselamatan Guci Setan milik Kerajaan, perwira itu melompat turun. Selagi tubuhnya  melayang  dia  lepaskan  beberapa  senjata  rahasia  berbebuk  paku  ke  arah Sangkolo  Bumi.  
  Sang  juru  ramal  ganda  tertawa.  Sekali  tangannya  dihantamkan  ke  udara belasan  paku yang menyerangnya mental cerai berai.  
  “Manusia keparat! Jadi kau yang membunuh Pangeran Banuarto!” teriak sang  perwira marah. Masih di udara kaki kanannya ditendangkan ke arah kepala orang tua  itu.  
  Praaaakkkkk!  
  Kepala itu pecah tapi bukan kepala si juru ramal yang rengkah. Melainkan kepala salah  seorang anak buahnya sendiri. Apa yang terjadi? Ketika sesaat lagi kaki kanan Perwira  Tinggi itu akan menghantam kepalanya, si juru ramal melompat ke samping lalu menarik  
tubuh seorang perajurit yang menyerangnya. Kepala perajurit ini disentakkannya ke  atas melindungi kepalanya sendiri. Ketika tendangan datang, kepala perajurit itulah  yang kena hantam tendangan sang perwira!  
  “Keparat!” maki Perwira Tinggi sambil mengejar juru ramal. Tapi orang tua ini   melemparkan  tubuh  perajurit  yang  kepalanya  pecah itu  kepadanya  hingga  sang  perwira jatuh terduduk di tanah. Kesempatan ini dipergunakan oleh si orang tua untuk  keluar dari keroyokan sisa-sisa perajurit Kerajaan lalu melompat ke atas pohon.    “Sangkolo  Bumi,  juru  ramal  keparat!  Sekali  ini  jangan  katakan  kau  tidak  menipuku! Aku tahu sejak lama sebenarnya kau mengincar Guci Setan itu!” teriak  Ramada  Suro  Jelantik  ketika  melihat  si  juru  ramal  berada  di  atas  pohon  sambil  memegang Guci Setan.  
  Di atas pohon Sangkolo Bumi tertawa gelak-gelak. “Dasar orang tolol tetap saja  tolol!” katanya.  
  “Lekas  turun  dan  serahkan  guci  itu  padaku!  Aku  bersumpah  akan membunuhmu  kalau kau tidak menyerahkannya padaku!” teriak Ramada.  
  “Dulu kau pernah bersumpah hendak membunuh Pendekar 212. Pemerkosa dan  pembunuh istrimu itu sudah ada di hadapanmu, mengapa kini justru kau hendak  mencari  urusan  denganku?  Apa  kau  takut  menghadapi  Pendekar  212?  
Ha….ha…ha….!”    “Setan  alas!”  teriak  Ramada.  Dia  melomapt  sambil  menyorongkan  roda besinya.  Roda ini menderu keras menggerus bagian bawah batang pohon besar hingga akhirnya  putus. Pohon itu tumbang dengan suara bergemuruh tetapi Sangkolo Bumi alias Ki  Ageng Lentut itu sudah lebih dahulu melayang turun.  
  Wuuuuttttt…..wuuuuutt…..wuuuuuutttttt……wuuuuutttt……wuuuuuuttttt.  
  Lima anak panah melayang pesat ke udara. Si orang tua berseru kaget ketika  mengetahui lima anak panah itu menyerang ke arahnya. Secepat kilat dia hantamkan  tangan kirinya ke bawah. Lima anak panah yang menyerangnya mental dan jatuh ke  tanah. Lalu tubuhnya tampak melesat ke kiri. Di lain kejap laksana seekor burung  alap-alap orang tua ini menukik ke arah Dewi Santiatri. Kaki kanannya berkelebat.  
  Praaaakkkk!  
  Dewi Santiastri menjerit keras.  
  Kepala  kuda  tunggangannya  pecah.  Suara  ringkikan  binatang  ini  merobek  langit. Si gadis sendiri cepat melompat ke tanah. Sambil melompat secara luar biasa  dia  masih  sempat  mencabut  tiga  buah  anak  panah  lalu merentangnya  di  tali   busur untuk kemudian melepasnya ke arah sang juru ramal. Salah satu anak panah  sempat menyerempet jubah putih orang tua itu di bagian bahu. Walau cuma mengiris  kulit bahunya namun ini sudah cukup membuat sang juru ramal ini menjadi sangat  marah.  
Tangan kanannya diangkat untuk melepaskan satu pukulan tangan kosong. Namun  dari  samping  Ramada  Suro  Jelantik  datang  menyerangnya.  Satu  jotosan  yang  dilepaskan orang ini menghantam dagu si orang tua dengan keras dan telak hingga  
juru  ramal  ini  terpuntir  keras.  Selagi  tubuhnya  sempoyongan  begitu  rupa   Ramada tendangkan kaki kirinya ke arah bawah perut. Roda besi bergerigi itu  menggerus ke arah selangkangan si orang tua.   
  “Ki Ageng Lentut! Sangkolo Bumi! Saatmu untuk mampus!” teriak Ramada Suro  Jelantik. Tapi dugaannya bahwa dia bakal dapat menematkan riwayat orang tua  itu tidak menjadi kenyataan. Dengan satu gerakan yang aneh dan cepat sekali, juru  ramal tua itu berhasil menangkap betis Ramada. Lalu kaki kiri itu ditariknya kuat-kuat  dan dihunjamkannya ke tanah hingga menggerus dalam dan menancap sampai dua  jengkal. Tanah dan pasir bermuncratan ke udara. Selagi Ramada berusaha menarik  kakinya keluar dari tanah tangan kanan juru ramal itu menderu ke depan.  
  Bukkkk!  
  Ramada merasakan dadanya seperti mau meledak.  
  Selagi  tubuhnya  terlempar  ke  belakang  dan  ada  darah  menyembur  dari  mulutnya,  Sangkolo  Bumi  kirimkan  tendangan  ke  bawah  perut  Ramada.  Teriakan   laksana  ledakan  keras  keluar  dari  mulut  Ramada.  Tubuhnya  mencelat  jauh  dan  tergelimpang  di  tanah  tak  berkutik  lagi.  Dendam  kesumatnya  untuk  membalaskan  kematian  istrinya  tidak  pernah  kesampaian.  Lebih  dari  itu  Ramada  tidak  pernah  mengetahui siapa pemerkosa dan pembunuh Dardini sebenarnya.  
  Sangkolo  Bumi  tegak  menyeringai.  Dia  melirik  pada  Pendekar  212  Wiro Sableng.  
Lalu  pada Dewi Santiastri. Di saat yang sama dia melihat gerakan yang dibuat  oleh   jalak  Biru.  Anak  buah  Ramada  Suro  Jelantik  ini  dengan  cepat melemparkannya  keranjang rotan yang tutupnya terbuka itu ke arahnya. Beberapa ekor kelabang biru  yang masih ada dalam keranjang  itu melesat menyerangnya. Dua ekor ditangkisnya  dengan Guci Setan yang dibuatnya menjadi tameng. Tiga ekor lainnya dihantamnya  dengan kebutan lengan kanan jubah putihnya. Sambil tertawa mengekeh dia menangkap  kelabang yang keenam lalu melemparkannya ke aah Jalak Biru. Anak buah  Ramada   yang  tidak  menyangka  akan  mendapat  serangan  binatang  berbisa miliknya  sendiri   itu  dalam  kejutnya  terlambat  menghindarkan  diri  cari  selamat.  
Kelabang Biru itu menancap tembus masuk ke dalam mata kanannya. Jeritan Jalak  Biru  terdengar  mengerikan.  Sambil  menekap  mukanya  dia  menghambur  meninggalkan tempat itu.  
  Ki Ageng Lentut alias Sangkolo Bumi tertawa mengekeh lalu memutar tubuh.  
Sebelum berkelebat pergi dia memandang kepada Pendekar 212 Wiro Sableng lalu  berkata    “Pendekar  212,  kau  masih  bodoh  seperti  dulu  juga!  Tidak  mampu  melihat  langit  di  atas  langit!  Tidak  mengerti  tingginya  puncak  gunung  dan  dalamnya   dasar laut!”    “Apa maksudmu? Siapa kau sebenarnya?!” bentak Wiro. Tanpa terlihat oleh si  orang tua dia memberi isyarat pada gadis berbaju merah.    
  “Kau akan menemukan jawaban pertanyaanmu dalam ketololanmu sendiri!” kata si  orang tua pula. Dia menggeser kakinya.  
  Dari  samping  kiri  tiba-tiba  Dewi  Santiastri  mendatangi  sambil  merentang  busur dengan lima anak panah terpasang. “Kalau kau memang kuncen palsu bernama  
Ki Ageng Lentut itu, berarti kau yang membunuh pamanku Pangeran Banuarto! Tetap  di tempatmu! Sedikit saja kau berani bergerak lima anak panah ini akan amblas ke  dalam tubuhmu!”    “Kau  dengar  ucapan  gadis  itu!  Apakah  kau  tidak  mau  menyerahkan  diri?!  
Serahkan Guci Setan itu padaku!” kata Perwira Tinggi Kerajaan yang kini tegak di  samping Dewi Santiastri.  
  Si orang tua ganda tertawa.  
 “Puteri  Pangeran  Banowa,  jika  aku  mengajakmu  ikut  bersamaku  untuk mencari  kesenangan, apakah kau masih hendak memanahku?!”    “Tua bangka bermulut kotor!” hardik Dewi Santiastri sambil merentang tali busurnya  lebih dalam.  
  “Perwira,  kau  inginkan  guci  ini?  Apa  kau  punya  kemampuan  untuk mengambil  sendiri?!”    “Keparat! Saatnya aku mematahkan batang lehermu!” berntak Perwira Tinggi  Kerajaan.  
  Si orang tua kembali tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba ia melihat ada bayangan  merah  berkelebat.  Dengan  tangan  kirinya  dia  menghantam  ke  samping.  Tapi  terlambat.  Tubuhnya  seperti  digulung  ombak.  Lalu  terdengar  suara breeeetttt …..breeeettttt beberapa kali berturut-turut. Jubah putihnya bukan saja robek  tapi tanggal lepas dari tubuhnya. Bagitu juga rambutnya yang putih panjang tampak  tercampak  ke  tanah.  Selembar  topeng  tipis  yang  selama  ini  menutupi  wajah  dan  sebagian kepalanya jatuh di depan kakinya.  
  Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Wajah seorang pemuda berambut tebal hitam   dengan  kening  menonjol.  Rahang  dan  dagunya  tampak  kokoh.  Keseluruhan  wajahnya membayangkan rasa angkuh. Di balik jubah putihnya yang telah tanggal itu  kini terlihat pakaian hitam. Di bagian dada pakaiannya terpampang gambar puncak  gunung berwarna biru, berlatar belakang sang surya berwarna merah dan sinar-sinar  mentari berupa garis-garis merah.  
  Apa  yang  telah  dilakukan  Bidadari  Angin  Timur  terhadap  dirinya  sungguh  tidak diduga oleh orang itu. Semuanya berlangsung begitu cepat hingga dia merasa  seperti  diusap  beberapa  kali.  Ketika  Sangkolo  Bumi  hendak  menyergap  gadis  itu,  Pendekar 212 cepat memotong gerakannya.  
  Pendekar 212 menggeram “Aku sudah duga, ternyata memang dia!” katanya dalam  hati. Lalu murid Sinto Gendeng ini berteriak keras.  
  “Pangean  Matahari!  Kelicikanmu  dengan  memperalat  Ramada  tidak kesampaian!   
Aku  yakin  kau  iblisnya  yang  memperkosa  istri  Ramada  lalu membunuhnya! Keparat!  
Apa lagi sekarang yang ada dalam otak busukmu?!”  
  Pangeran Matahari menyeringai. “Tak ada alasan bagiku untuk mengatakan tidak.  
Tuduhanmu benar! Sayang maksudku tidak kesampaian. Nyawamu masih betah  berada dalam tubuhmu! Pendekar 212! Duia ini terlalu sempit untuk kita berdua! Kali  ini  kau  lolos  lagi  dari  lobang  jarum  kematian! Tapi  Ingat!  Aku  Pangeran  Matahri  tidak akan berhenti sampai akhirnya kau berlutut di hadapanku dan menggali liang  kuburmu sendiri!”  
  Habis  berkata  begitu  manusia  yang  sebelumnya menyamar  menjadi  kuncen  makam Pangeran Banowo dengan nama Ki Ageng Lentut dan juga pura-pura menjadi  juru ramal tua bernama Sangkolo Bumi ini memutar tubuhnya siap berkelebat pergi.  
  Pendekar 212, Perwira Tinggi Kerajaan dan Dewi Santiastri cepat bergerak.  
Lima  anak  panah  melesat  mendahului  serangan.  Selagi  Pangeran  Matahari  sibuk  menyelamakan  diri  Perwira  Tinggi  Kerajaan  coba  merampas  Guci  Setan  dari  tangannya  namun  lagi-lagi  dia  gagal  karena  tendangan  Pangeran  Matahari  menghantam perutnya lebih dulu hingga dia terpental dan pingsan.  
  Jotosan  Pendekar  212  berhasil  menyusup  le  sisi  kiri  Pangeran  Matahari.  
Walaupun tidak telak tapi cukup membuatnya berputar. Sekali lagi Wiro menghantam.  
Namun  kali  ini  Pangeran  Matahari  berhasil  menangkis  pukulannya  dan  membalas  menghantam.  Pukul  memukul  jarak  dekat  itu  tidak  menguntungkan  Pangeran  Matahari karena saat itu dia memegang Guci Setan di tangan kirinya. Hal ini disadari  oleh Pangeran Matahari maka dengan segala kelicikannya dia berkata    “Pendekar 212! Lain kali kita bertemu lagi! Kau inginkan guci ini ambillah!” lalu Pangean  Matahari membuat geakan seperti hendak melemparkan Guci Setan itu. namun apa  yang dilakukannya adalah tiba-tiba melemparkan sebuah benda hitam.  
  “Awas! Asap menutup pandangan!” teriak Wiro.  
  Ketika terdengar letusan dan asap hitam membumbung ke udara Pendekar 212  dan Bidadari Angin Timur telah lebih dahulu berkelebat menjauhi. Satu ke arah kanan,  satunya lagi ke arah kiri. Keduanya sama-sama melihat Pangeran Matahari melarikan  diri ke arah selatan dan dengan cepat mengejar. Gadis berpakain merah yang  punya  kecepatan laksana kilat itu dapat mengejar Pangeran Matahari lebih dahulu. Dengan  satu gerakan cepat dia berhasil merampas Guci Setan dari tangan Pangeran Matahri.  
  “Betina keparat! Aku lebih suka kau hancur lebur bersama guci itu!” teriak  Pangeran Matahari marah. Dia angkat tangan kanannya ke atas. Udara di tempat itu  mendadak  sontak  manjadi  redup.  Dari  telapak  tangan  kanan  orang  yang  dijuluki  pengeran segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak ini  melesat keluar sinar kuning, hitam dan merah.  
  “Pukulan  Gerhana  Matahari!”  teriak  Wiro.  “Bidadari  Angin  Timur  lekas  menyingkir!” Murid Eyang Sinto Gendeng dengan cepat hantamkan tangan kanannya,  melepaskan  pukulan  “sinar  matahari”  Terdengar  saru  dentuman  keras.  Si  gadis  berbaju merah cepat menyingkir ketika sinar putih berkilau dan sinar hitam, merah  dan kuning mencuat ke udara laksana hendak menyapu langit. Tubuhnya tergoncang  keras. Guci Setan terlepas dari pegangannya. Dia coba untuk menjangkaunya tapi satu  letusan lagi membuat tubuhnya tebah ke tanah. Lalu ada satu tubuh yang jatuh tepat  di sampingnya!  
  Ketika sinar putih, hitam, merah dan kuning  lenyap dan pasir serta tanah yang  bermentalan  ke  udara  luruh  kembali  ke  tanah  Pangeran  Matahari  telah  lenyap   dan Pendekar  212  dapatkan  dirinya  jatuh  terelungkup  di  tanah,  hampir   berdempetan dengan gadis berpakain merah itu. Wajah mereka bertempelan dan  hidung mereka saling beradu satu sama lain.    “Kau tak apa-apa……?” tanya Pendekar 212.  
  Si  gadis  hanya  menjawab  dengan  kedipkan  mata  lalu  cepat-cepat  hendak  berdiri. Tapi Wiro lekas menahan punggungnya seraya berkata. “Kalau aku bisa mati  berdempetan seperti ini alangkah bahagianya.”    “Mudah-mudahan malaikat maut mendengar permintaanmu itu,” kata si gadis  seraya menarik tangan Wiro dan berdiri. Wiro segera pula berdiri. Keduanya tertegun  ketika  melihat  beberapa  langkah  di  hadapan  mereka  Guci  Setan  hanya  tinggal  merupakan kepingan-kepingan belaka.  
  Dua orang terdengar mendatangi. Mereka adalah Perwira Tinggi Kerajaan dan  
Dewi Santiastri.  
  “Kalian tidak apa-apa?” tanya puteri mendiang Pangeran Banowo itu.  
  “Berkat bantuan sahabatku  berpakaian merah ini, aku tak kurang suatu apa.  
Hanya sayang manusia jahat berjuluk Pangeran Matahari itu lolos!” jawab Wiro.  
  Dewi Santiastri memandang pada Guci Setan yang pecah berserakan di tanah.  
“Sayang guci pusaka itu kini hanya tinggal kepingan-kepingan tak berguna…..”  
  “Mungkin  itu  lebih  baik!  Hancurnya  Guci  Setan  berarti  lenyapnya  segala  masalah yang sering mendatangkan malapetaka bagi dunia persilatan dan Kerajaan,”  menyahuti Perwira Tinggi Kerajaan. “Den Ayu, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini.  
Aku harus segera melapor pada Patih.”  
  Dewi Santiastri mengangguk. Dia memandang pada Pendekar 212. “Wiro, kau  ikut bersama kami?’    “Aku  ingin  sekali.  Tapi  ada  hal  penting  yang  harus  kulakukan.  Aku  harus  segera  pergi  ke  puncak  Gunung  gede  untuk  menjenguk  guruku  yang  sedang  sakit  keras….. Aku berjanji akan menemuimu sepulang dari sana….”    Dewi  Santiastri  mengangguk.  “Kau  kecewa  karena  dulu  aku  pernah  mencideriamu?’    “Aku sudah melupakan hal itu,” jawab Wiro.  
  Dewi Santiastri memandang pada gadis berpakaian merah di samping Wiro.  
Diam-diam dia mengagumi kecantikan gadis yang tak dikenalnya itu. Tadi dia sempat  mendengar Wiro menyebutnya dengan nama Bidadari Angin Timur. “Dia benar-benar  bidadari. Aku hanya gadis biasa…..” kata Dewi Santiasti dalam hati. Dia memberi  isyarat pada Perwira Tinggi di sebelahnya.  
  Setelah kedua orang itu pergi Wiro berpaling pada si baju merah dan bertanya.  “Aku ingat pertama kali aku melihatmu di rumah Ki Ageng Lentut si juru ukir. Kau  mengenakan pakaian biru yang sangat tipis….”    “Saatku  untuk  pergi….”  Kata  gadis  berpakaian  merah  seolah  tidak  acuh  dengan ucapan si pemuda.  
  “tunggu  dulu,  ada  satu  hal  yan  hendak  kutanyakan….”  Kata  Wiro.  Namun  sekali berkelebat gadis itu telah lenyap dari hadapannya.  
  Pendekar 212 hanya bisa tertegun. “Kecepatannya benar-benar laksana angin.  
Tidak salah kalau kuberi nama Bidadari Angin Timur. Sayang dia pergi begitu saja,  padahal  banyak  yang  ingin  aku  tanyakan  padanya.  Ilmunya  luar  biasa.  Ilmu  apa  namanya?!”    Dengan  langkah  berat  Pendekar  212  tinggalkan  tempat  itu.  Namun  satu  
bayangan  biru  yang  berkelebat  beberapa  langkah  di  hadapannya  membuat  murid  Eyang  Sinto  Gendeng  ini  menjadi  terkesiap  kaget  dan  cepat-cepat  menyelinap   ke balik  sebatang  pohon  besar  untuk  menjaga  segala  kemungkinan.  Di  depan  dan   di sekitarnya tidak terdengar suara apa, juga tidak kelihatan satu gerakanpun.  
 Ketika  Wiro  berpaling  ke  belakang  nyawanya  laksana  terbang.  Di belakangnya  di   balik  pohon  itu  tahu-tahu  telah  tegak  gadis  cantik  jelita  yang disebutnya dengan  panggilan Bidadari angin Timur itu. Dan kali ini si gadis ternyata tidak lagi mengenakan  pakaian merah, melainkan sudah berganti dengan pakaian biru tipis  seperti  yang   dikenakan  pada  pertama  kali  Wiro  melihatnya!  Pendekar  212 leletkan lidah. Kedua  matanya membesar. “Bukan main…..” kata Wiro pula.  
  “Apanya yang bukan main?” tanya si gadis.  
  “Aku tak habis pikir, bagaimana kau bisa berganti pakaian secepat ini?”    Si gadis tersenyum. “Aku juga tak habis pikir,” katanya.  
  “Tentang apa?”  
  “Tentang dirimu! Bagaimana kau bisa membuka pakaian secepat ini?”   Wiro memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Tiba-tiba dia merasa seperti  disapu angin. Tubuhnya berputar tiga kali. Ketika dia bisa berdiri lagi seperti biasa,  murid Sinto Gendeng ini berseru kaget. Saat itu dia tidak lagi mengenakan baju dan  celana  panjang  putihnya.  Dia  berdiri  hanya  mengenakan  celana  bagian  dalam!  
Pakaiannya kelihatan bertebaran di depan kakinya.  
  “Gila!  Bagaimana  bisa  jadi  begini?  Ilmu  aneh  apa  yang  dimiliki  gadis  ini?  
Untung  aku  tidak  ditelanjanginya  sampai  bugil!”  teriak  Wiro.  Dia  memandang  berkeliling.  Di  depannya  terdengar  suara  tawa  cekikikan.  Memandang  ke  depan  dilihatnya  gadis  berbaju  biru  tipis  itu  tegak  di  samping  semak  belukar  sambil  melambaikan tangannya seolah memberi isyarat agar Wiro mengejarnya.  
  “Gadis  nakal!  Kau  berani  mempermainkanku!  Jangan  kira  aku  tidak  bisa  menjahilimu!”  teriak  Wiro.  Lalu  enak  saja  dia  membuat  gerakan  seperti  hendak  menanggalkan celana dalamnya.  
  Di depan sana Bidadari Angin Timur keluarkan suara terpekik lalu memutar  tubuh  melarikan  diri.  Wiro  cepat  tarik  kembali  celana  dlamnya  ke  atas  lalu  mengambil baju dan celana panjangnya yang tercampakan di tanah, sekali lompat saja  dia segera mengejar gadis itu.  
Beberapa hari kemudian ketika Pendekar 212 dan Bidadari Angin Timur muncul  di puncak Gunung Gede, sepasang kakek nenek tampak duduk di tangga batu sambil  tertawa-tawa dan masing-masing memegang sebuah tabung bambu berisi tuak.    Kakek  nenek  ini  bukan  lain  adalah  Dewa  Tuak  dan  Sinto  Gendeng  yang  berhasil diselamatkan dari racun binatang berbisa oleh kesaktian Kapak Maut Naga  Geni 212.
Tamat 

Tidak ada komentar: