69.Halilintar di Singosari
ARUS Kali Brantas mengalun tenang di pagi yang cerah itu. Sebuah perahu
kecil meluncur perlahan melawan arus dari arah Trowulan. Di atasnya
Ada dua orang penumpang berpakaian seperti petani. Yang satu
berusia hampir setengah abad.Rambutnya yang disanggul di sebelah
atas sebaglan nampak putih. Raut wajahnya yang terlindung oleh
caping lebar jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Kumis dan janggutnya
lebat. Tetapi jika orang berada dekat-dekat padanya dan memperhatikan wajahnya
dengan seksama akan ketahuan bahwa kumis
dan janggut lebat itu adalah palsu.
Orang bercaping itu duduk di sebelah depan perahu. Kedua matanya memandang lurus-
lurus ke muka. Sesekali tangan kanannya meraba sebilah keris yang terselip di pinggang,
tersembunyi di balik pakaian hitamnya. Orang kedua adalah pemuda berbadan kekar.
Pakaiannya lecek dan basah oleh keringat. Sehelai kain putih terikat di keningnya. Rambutnya
yang panjang tidak disanggul di atas kepala, tapi dibiarkan terlepas menjela pundak.
“Gandita, aku sudah dapat melihat pohon cempedak miring di tepi kali di ujung sana,”
berkata lelaki yang lebih tua.
Gandita, pemuda yang mendayung perahu, meninggikan lehernya sedikit dan memandang
jauh ke muka, Memang diapun dapat melihat pohon cempedak yang dikatakan orang itu tadi.
Pohon cempedak itu tumbuh di tepi kali dalam keadaan miring. Lebih dari separuh batangnya
sampai ke puncak pohon membelintang di atas Kali Brantas.
2
“Saya juga dapat melihatnya dari sini Adipati,” ujar Gandita. “Sebentar lagi kita akan
sampai. Menurut Adipati apakah orang-orang Kedri itu akan datang?”
“Manusia bernama Adikatwang itu tidak pernah tidak menepati janji. Dia pasti datang.
Kalau dia tidak datang berarti dia telah bertindak tolol. Kesempatan hanya ada satu kali. Sekali
lewat jangan harap bakal muncul lagi.”
Gandita mendayung, perahu meluncur perlahan. Da1am hati dia berkata. Kalau orang-
orang Kediri tidak muncul, sungguh gila jauh-jauh datang dari Madura seperti ini!
Saat demi saat perahu semakin dekat ke pohon cempedak miring. Tepat di bawah
batangnya yang membelintang di atas kali Gandita merapatkan perahu ke tebing.
“Tidak kelihatan siapapun,” kata orang yang dipanggil dengan sebutan Adipati. Dia
bernama Wira Seta dan dia memang adalah seorang Adipati dari Madura.
“Saatnya kita mengeluarkan tanda rahasia,” kata Wira Seta.
Gandita mengangguk. Dia bangkit dan berdiri di atas perahu. Sesaat pemuda ini
memandang berkeliling. Lalu kedua tangannya dibulatkan dan diletakkan di depan bibir. Dari
mulut Gandita keluar suara seperti bunyi burung tekukur. Lalu sunyi. Kedua orang dalam
perahu menunggu dengan air muka tampak tegang.
“Aneh, tak ada sahutan…” kata Wira Seta. “Mungkin mereka belum sampai di sini?”
Gandita tidak menyahut.
“Coba sekali lagi,” kata Wira Seta.
Kembali pemuda itu menirukan suara burung tekukur. Lalu sunyi lagi. Tiba-tiba ada suara
suitan merobek kesunyian. Disusul oleh suara burung tekukur.
Wira Seta tampak lega. “Mereka sudah ada di sini. Sebaiknya kita naik ke darat.”
Kedua orang itu keluar dari perahu, melompat ke tebing kali lalu naik ke darat. Pada saat
itu rerumpunan semak belukar di sebelah kanan nampak tersibak. Dua orang berpakaian
perajurit Kediri muncul. Keduanya membawa panah dan saat itu keduanya telah merentang
busur, membidikkan anak panah ke arah Wira Seta dan Gandita.
Panah beracun, kata Gandita dalam hati begitu melihat ujung panah yang terbuat dari besi
berwarna sangat hitam. Baik dia maupun Wira Seta tetap berlaku tenang.
“Prajurit-prajurit Kediri, mana pemimpin kalian?” tanya Wira Seta.
Salah seorang perajurit menjawab. “Kami dipesan agar melihat benda tanda jatidiri lebih
3
dahulu sebelum membawa pada pemimpin kami.”
Gandita berpaling pada Wira Seta. Adipati ini keluarkan keris yang terselip di
pinggangnya lalu memperlihatkannya pada perajurit yang masih tegak dengan membidikkan
panah beracun tepat ke arah jantungnya. Keris ini gagang dan sarungnya terbuat dari perak
murni. Pada bagian-bagian tertentu dilapisi emas serta beberapa buah permata. Pada badan
sarung dan gagang keris terdapat ukiran kepala singa dengan badan berbentuk manusia. Inilah
keris Narasinga, salah satu senjata pusaka Keraton Kediri yang berasal dari sesepuh dan
pendiri Kerajaan yaitu Sang Prabu Kameswara.
Kedua perajurit Kediri itu segera mengenali keris Narasinga. Mereka mengangguk lalu
menurunkan busur masing-masing. Yang satu berkata, “Ikuti kami.”
Setelah melewati beberapa kelompok rerumpunan semak belukar, di satu tempat yang
agak terbuka kelihatan sepuluh orang perajurit berkuda. Salah seorang dari mereka, yang
bertindak sebagai pemimpin segera turun dari kuda. Beberapa saat dia memandangi lelaki
bercaping, berkumis dan berjanggut tebal itu seperti tengah meneliti. Kemudian cepat dia
memberi penghormatan seraya berkata,
“Harap maafkan, saya tidak mengenali Adipati dalam penyamaran ini!” perajurit-perajurit
lainnya segera pula memberi penghormatan.
Wira Seta membalas penghormatan itu dan memandang berkeliling lalu bertanya, “Mana
pemimpin kalian?”
“Beliau segera datang. Harap Adipati suka bersabar sesaat.” Jawab perajurit yang ditanya.
Tak lama kemudian seekor kuda nitam besar muncul ditunggangi seorang lelaki berusia
hampir enam puluh tahun, berpakaian sederhana. Rambutnya hitam tebal disanggul di atas
kepala. Orang ini turun dari kudanya, berjalan mendekati Wira Seta lalu tersenyum.
“Penyamaran Adimas Wira Seta rapi sekali. Bertemu di tempat lain sulit bagiku
mengenali.”
Di antara kedua orang sahabat itu Wira Seta memang beberapa tahun lebih muda. Karena
itulah orang dihadapannya memanggilnya dengan sebutan Adimas.
Wira Seta membuka capingnya. Kedua orang itu lalu saling berpelukan.
“Jauh-jauh dari Sumenep Dimas tentu letih sekali. Aku ingin membawa Dimas ke Gelang-
gelang. Tetapi keadaan kurang mengizinkan. Harap Dimas maklum.”
4
Adipati Wira Seta mengangguk. “Suatu ketika akan tiba saatnya kita dapat berkumpul
bersama-sama secara terbuka, tanpa rasa takut. Kangmas Adikatwang, apakah kau ada baik-
baik saja?”
“Para Dewa memberkahi serta melindungiku dan keluarga. Walau hidup di bawah
Singosari penuh tekanan tapi kita terpaksa pasrah. Sudah untung Sang Prabu masih mau
memberikan daerah Gelang-Gelang kepadaku.”
Adipati Wira Seta mernegang bahu Adikatwang, putera Sri Baginda Kertajaya yang
pemah berkuasa di Kediri sebelum Kerajaan itu diserbu dan ditunduk kan oleh Singosari
dibawah pimpinan Ken Arok yang bergelar Ranggah Rajasa belasan tahun yang silam,
“Siapa yang bisa hidup tenang dan leluasa saat ini Kangmas Adi,” kata Adipati Wira Seta
pula. “Lihat saja dengan diri saya. pengabdian dan jasa apa yang tidak saya lakukan untuk
Kerajaan. Saya tidak mengharapkan dianggap sebagai pahlawan besar. Jalan pikiran saya
dicurigai, perlakuan terhadap diri saya sungguh menyakitkan. Saya dipaksa menerima nasib
ditendang dari Kotaraja. Dikucilkan jadi Adipati di Madura yang gersang! Dengan kata lain
saya disuruh makan garam banyak-banyak agar cepat mati!” Wira Seta masih bisa tertawa
dalam mengutarakan uneg-unegnya.
“Aku mengerti kekecewaan Dimas Wira Seta,” kata Adikatwang.
“Kekecewaan, tekanan dan penghinaan yang kita terima tidak akan berjalan lama. Saya
percaya waktunya untuk Kangmas memegang tampok kekuasaan akan segera datang.”
Adikatwang memandang sejurus pada pemuda yang berdiri di samping Wira Seta lalu
bertanya, “Dimas, siapakah pemuda yang tampan ini?”
“Namanya Gandita. Dia murid seorang sakti di puncak Gunung Kelud. Dia orang
kepercayaan saya yang bakal banyak memberikan bantuan dalam rencana kita.”
Gandita memberi penghormatan pana Adikatwang lalu kembali tegak dengan sikap siap
seorang perajurit.
“Aku senang kau membantu Adipati Wira Seta. Pemuda-pemuda gagah sepertimu
memang bakal banyak diperlukan.”
“Terima kasih Adipati,” kata Gandita seraya membungkuk.
“Kangmas Adi, sekarang kita perlu bicara empat mata. Mari kita cari tempat yang baik.”
Raden Adikatwang mengangguk. “Kalian tetap di sini,” katanya pada para pengawalnya.
5
lalu kedua sahabat ini melangkah ke arah tepian Kali Brantas. Di balik serumpunan semak
belukar tak berapa jauh dari pohon cempedak hutan yang tumbuh miring, mereka memilih
tempat yang baik dan duduk di tanah meneruskan pembicaraan.
“Saya dan beberapa kawan telah siap menjalankan apa yang jadi rencana. Kami hanya
menunggu keputusan Kangmas saja.”
“Berapa kekuatan orang Adimas keseluruhannya?” tanya Adikatwang.
“Sekitar dua ribu orang. Semua mereka merupakan perajurit-perajurit terlatih dan
berpengalaman. Semangat mereka tinggi. Mereka rela mengorbankan darah dan nyawa demi
berdirinya kembali Kerajaan Kediri.”
Untuk beberapa lamanya Adikatwang berdiam diri seperti merenung. Dalam dirinya
terjadi pergolakan. Hati kecilnya menyuarakan hal yang berbeda dengan otaknya. Sebenarnya
aku sudah cukup pasrah menerima keadaan. Jika pecah lagi peperangan yang jadi korban
dan banyak menderita pastilah rakyat.
“Apa Yang Kangmas pikirkan?” bertanya Adipati Wira Seta.
“Kekuatan kita agaknya memang meyakinkan,” berkata Adikatwang,
“Belum terhitung orang-orang seperti Gandita. Lalu orang-orang dari dunia persilatan.
Para pemuka agamapun menyokong perjuangan kita mendirikan Kediri kembali.”
“Apakah aku harus memberi keputusan sekarang Dimas Wira Seta?”
“Bukankah untuk maksud itu saya datang jauh-jauh dari Madura?” sahut Wira Seta.
Kembali Adikatwang tampak termenung.
Melihat hal ini Wira Seta berusaha membakar hati sahabatnya itu dengan mengungkit
peristiwa lama.
“Kangmas, apakah kau akan melupakan begitu saja perbuatan jahat orang-orang
Singosari? Mereka menyerbu dan menghancurluluhkan negeri kita. Merampas harta kekayaan
rakyat kita. Membunuh ratusan rakyat. Salah satu korban mereka yang terbesar adalah Sang
Prabu Kertajaya, ayahanda Kangmas sendiri. Apakah perkiraan Kangmas arwah ayahanda
Kangmas akan berada dalam keadaan tenteram di swarga loka sebelum dia melihat kita
menuntut balas atas kejahatan dan kekejaman musuh? Mohon maafmu Kangmas, sebagai
seorang sahabat saya akan terpaksa berkata. Kalau Kangmas mundur dengan rencana ini, saya
dan kawan-kawan akan tetap melaksanakannya. Kediri harus bangun kembali. Tugas dan
6
tanggung jawab itu ada di pundak orang-orang seperti kita. Apalagi mengingat Kangmas
adalah pewaris tunggal dan syah dari tahta Kerajaan Kediril”
Raden Adikatwang menarik nafas panjang. Setelah berdiam diri sesaat akhirnya dia
berkata. “Kita tetap sama-sama menjalankan rencana besar ini Dimas. Bagaimana persiapan
pasukan?”
“Mereka sudah lama siap. Tindakan saya yang pertama dalam waktu dekat ini ialah
membawa mereka ke Canggu. Dari sini pasukan akan disebar dalam dua arah. Yang pertama
ke Utara Singosari, sebagian lagi ke arah Selatan sekitar Badud dan Jago.”
“Kalau begitu kita tentukan saja sekarang hari dan saat penyerangan agar pasukan dari
Gelang-Gelang bisa bergabung dalam waktu yang tepat,” kata Adikatwang.
“Itu satu hal yang sangat bagus. Saya mengusulkan agar pasukan Kangmas memperkuat
pasukan yang di Selatan. Saya sudah menyusun satu tipuan yang bakal menghancurkan
Singosari dalam waktu singkat.”
Lalu Adipati Wira Seta memberi tahu rencananya itu.
“Aku sangat setuju Dimas. Kau memang seorang Panglima Perang yang cerdik. Sang
Prabu kelak akan menyesal seumur hidup telah menyia-nyiakan dirimu.”
Wira Seta tersenyum. Tapi tiba-tiba Adikatwang melihat air muka sahabatnya itu berubah.
“Ada apa Dimas?” tanya Adikatwang.
“Saya mencium bau yang sangat tajam. Bau apa ini?” Wira Seta memandang berkeliling.
Adikatwang mendongak dan menghirup udara dalam-dalam. Dia mengenali bau yang
diciumnya itu. “Bau buah cempedak,” katanya. “Cempedak hutan!”
Wira Seta cepat berdiri lalu melangkah ke arah ka1i. Adikatwang mengikuti dari
belakang. Mereka bergerak ke jurusan pohon cempedak yang tumbang melintang di atas kali.
Di satu tempat Wira Seta yang berada di sebelah depan hentikan langkah, memberi tanda pada
Adikatwang lalu menunjuk ke arah pohon cempedak.
“Lihat…” bisiknya. “Ada orang di atas sana.”
Adikatwang memandang ke atas pohon. “Bukankah itu Gandita, pemuda
kepercayaanmu?” kata Adikatwang pula.
“Warna pakaiannya dan ikat kepalanya memang sama. Rambutnya juga sama panjang.
Tapi itu bukan Gandita,” jawab Adipati Wira Seta.
7
“Jangan-jangan kita telah kecolongan, Dimas. Bukan mustahil pemuda gondrong di atas
pohon itu adalah mata-mata Singosari. Celaka kita kalau dia telah mendengar semua
pembicaraan kita!”
“Saya meragukan hal itu Kangmas. Lihat caranya duduk berjuntai di batang pohon.
Makan cempedak sambil menggoyang-goyangkan kaki. Seorang mata-mata tidak akan
melakukan hal itu.”
“Siapapun dia kita harus menyelidiki. Aku akan memberi tahu para pengawal. Tempat ini
harus segera dikurung. Jangan orang itu sampai melarikan diri. Kau tunggu di sini. Awasi dia.
“Cepatlah!” kata Wira Seta. “Suruh Gandita kemari!”
***
8
2
ORANG yang duduk di batang pohon sambil memangku buah cempedak matang dan harum
sepertinya tidak tahu kalau dirinya diawasi. Dia terus saja menyantap buah itu sambil duduk
berjuntai goyang-goyangkan kedua kakinya. Kulit cempedak dan juga biji buah itu
dibuangnya seenaknya ke bawah. Beberapa potongan kulit dan biji malah ada yang jatuh ke
dalam perahu milik Wira Seta yang ditambatkan di tepi kali. Jengkelnya Adipati Sumenep itu
bukan kepalang. Namun dia tidak mau bertindak gegabah. Dia maklum, hanya orang-
berkepandaian tinggi yang kehadirannya tidak diduga seperti itu. Lalu bukan sembarang orang
bisa duduk berjuntai di batang pohon sambil menyantap buah dengan cara begitu.
Sambil menikmati buah cempedak yang harum itu si pemuda berambut gondrong sesekali
terdengar menyanyi-nyanyi kecil. Kadang-kadang tangan kirinya tampak mengusap-usap
perut seolah mengukur-ukur apakah dia sudah cukup kenyang. Sesekali tangannya yang
lengket oleh getah buah itu enak saja dipakai untuk menggaruk-garuk kepalanya yang
berambut gondrong.
Adikatwang dan para pengawal muncul di tempat itu bersama Gandita. Tanpa suara
mereka segera mengurung tempat tersebut. Di atas pohon si pemuda masih terus saja enak-
enakan menyantap buah cempedak. Wira Seta memberi isyarat pada Gandita. Pemuda ini
melangkah mendekati pohon cempedak lalu berseru.
“Ki sanak di atas pohon! Turunlah sebentar! Kami ingin bertanya!”
Pemuda di atas pohon menoleh ke bawah.
Wira Seta berbisik pada Adikatwang. “Lihat, dia tidak terkejut ketika diteriaki. Berarti
secara diam-diam sebenarnya dia sudah mengetahui kehadiran kita di sini. Tapi bersikap tidak
perduli.”
Setelah memandang ke arah Gandita sesaat, orang di atas pohon kembali meneruskan
makan buah cempedaknya tanpa menjawab seruan orang.
Gandita berteriak sekall lagi. Lebih keras. “Ki sanak! Aku yakin kau mendengar seruanku.
Harap turun sebentar. Kami ingin bertanya!”
9
Pemuda di atas cabang pohon muntahkan biji cempedak dari mulutnya. Biji cempedak ini
jatuh dan masuk ke dalam perahu. Gandita melirik. Ternyata perahu itu sudah penuh dikotori
biji dan kulit buah cempedak.
“Ki sanak!” teriak Gandita mulai berang. “Apa kau tuli? Tidak mendengar orang
memanggil?!”
“Tidak! Aku tidak tuli!” tiba-tiba orang di atas pohon menjawab. Suaranya parau karena
dia menjawab sambil mengunyah cempedak. Waktu menjawab kepalanya tidak dipalingkan ke
arah Gandita, membuat pembantu Wira Seta ini menjadi tambah jengkel.
“Kalau tidak tuli mengapa orang bertanya kau tidak menjawab?!” Teriak Gandita.
“Soalnya aku ingin tahu dulu siapa yang bertanya!”
Gandita hendak menyahuti. Tetapi Adikatwang cepat memegang bahunya dan
mendahului menjawab.
“Kami penguasa Kediri! Kau berada di wilayah kekuasaan kami! Jadi kami berhak
menyelidik siapa dirimu!”
“Yang jelas aku bukan penjahat! Tapi aku memang mencuri cempedak ini. Cempedak
dalam hutan tak bertuan, jika kuambil apakah itu namanya mencuri?”
“Ki sanak kami minta kau turun dulu baru bicara! Sikapmu seperti orang tidak tahu
aturan!” Gandita berteriak.
“Ki sanak, apakah kau orang yang tahu aturan? Mengganggu orang yang sedang makan?
Jika kau sedang enak-enakan makan apakah kau mau diganggu?”
Adikatwang memegang bahu Wira Seta. “Jangan-jangan pemuda di atas sana seorang
yang kurang waras. Lebih baik kita tinggalkan saja dia.”
“Tidak Kangmas. Saya berkeyaklnan pemuda itu bukan orang gila. Kita akan lihat!” Wira
Seta lalu ganti berteriak. “Orang muda, jika kau tidak mau turun untuk kami tanyai, jangan
menyesal kalau kami terpaksa menurunkan tangan keras!”
“Jika memang ada hal penting yang kalian ingin tanyakan, berteriak saja dari bawah. Apa
susahnya?”
Jawaban itu membuat marah Wira Seta. Dia memberi isyarat pada Gandita.
“Beri dia pelajaran!”
Gandita melangkah lebih dekat ke pohon yang lumbuh di tebing kali itu. Sekali dia
10
berkelebat tubuhnya melayang ke atas pohon dan kedua kakinya menjejak pada cabang, tepat
di mana pemuda berambut gondrong duduk uncang-uncang kaki sambil menikmati buah
cempedak.
“Hai! Kau mau cempedak?!” si gondrong menawari.
Plaaak!
Satu tamparan keras dilayangkan Gandita. Tepat mendarat di pipi kanan pemuda yang
tengah mengunyah cempedak. Buah berikut biji yang ada di dalam mulutnya menyembur
keluar bersama ludah ke muka Gandita!
“Kurang ajar!” Gandita marah sekali. Kalau tadi tamparan yang dilayangkannya kini satu
jotosan segera dihantamkannya. Saat si pemuda telah terbanting akibat tamparan keras tadi.
Tubuhnya tersentak dan jatuh ke belakang. Tapi kedua kakinya dengan cekatan menggelung
batang pohon hingga tubuhnya tidak jatuh ke bawah melainkan hanya berputar satu kali pada
batang cempedak. Meskipun pipinya sakit dan bertanda merah namun si gondrong itu
memandang menyeringai kepada Gandita.
Merasa seperti dipermainkan pembantu kepercayaan Adipati Wira Seta ini lepaskan satu
jotosan.
Bukk!
Jotosan keras itu mendarat di dada membuat tak ampun lagi yang dijotos terjengkang.
Buah cempedak besar yang tinggal setengah terlepas dari tangannya jatuh ke bawah.
Tubuhnya sendiri menyusul melayang jatuh!
Anehnya setelah ditunggu sekian lama tidak ada suara tubuh yang jatuh bergedebuk di
tebing sungai atau suara orang jatuh ke dalam air kali. Gandita memandang ke bawah. Wira
Seta dan Adikatwang serta beberapa orang perajurit melompat ke tepi kali. Apa yang mereka
saksikan?
Pemuda gondrong yang tadi kena jotosan Gandita enak-enak duduk setengah berbaring di
dalam perahu milik Wira Seta. Di atas perutnya dia memegang buah cempedak dan mulutnya
saat itu sudah mengunyah buah itu kembali!
Tentu saja semua orang terkejut melihat hal itu. Bagaimana tubuh seseorang bisa jatuh ke
atas perahu tanpa mengeluarkan suara, bahkan kelihatannya perahu itu hampir tidak
bergoyang. Air Kali Brantaspun tidak tampak beriak!
11
Di atas pohon Gandita marah bukan main. Dia benar-benar merasa dipermainkan di
hadapan orang banyak. Segera dia melompat ke bawah ke arah perahu. Sambil melayang turun
kaki kanannya ditendangkan ke kepala pemuda yang duduk di dalam perahu itu.
Sekali ini si gondrong rupanya jadi merasa jengkel juga diserang terus-terusan begitu
rupa. Kaki kanannya diinjakkan ke kayu pendayung di lantai perahu. Pendayung ini melesat
ke atas, melayang ke arah Gandita.
Gandita menggeram marah. Tendangannya yang seharusnya mengenai kepala pemuda itu,
kini terhalang oleh kayu pendayung.
Praakk!
Kayu pendayung patah dua, mencelat ke udara lalu jatuh ke dalam Kali Brantas. Gandita
membuat gerakan jungkir balik agar tubuhnya tidak salah jatuh ke dalam air. Sesaat kemudian
kedua kakinya sudah menginjak tepian kali. Ketika dia kembali hendak menyerang pemuda
yang masih duduk di atas perahu itu, Wira Seta cepat memegang bahunya. “Gandita, kau
mundurlah. Biar aku yang mengurus pemuda ini,” kata Adipati Sumenep itu. Sekali dia
bergerak tubuhnya melayang dan masuk ke dalam perahu, duduk berhadap-hadapan dengan si
pemuda.
“Anak muda, maafkan kalau orangku tadi bertindak tidak pada tempatnya. Ternyata kau
bukan pemuda biasa.”
Pemuda di hadapan Wira Seta angkat kepala. Dia menatap lelaki itu sesaat. “Ah, kau
ternyata lebih sopan sedikit dari sobat mudamu itu. Kau mau kubagi buah cempedak ini?”
“Terima kasih. Aku berpantang makan yang nnanis-manis,” jawab Wira Seta.
“Kepandaian seperti yang kau miliki membuat aku kagum. Pemuda sepertimu sangat
dibutuhkan oleh Kerajaan. Apakah kau mau berbakti pada Kerajaan?” Tanya Wira Seta
kemudian.
“Kerajaan yang mana? Kediri atau Singosari?”
Wira Seta sesaat terkesiap oleh pertanyaan itu. “Bukan Kediri bukan Singosari. Tapi satu
Kerajaan baru yang kelak akan muncul. Namanya Kediri baru.”
“Maafkan aku orang tua. Aku tidak tertarik,” jawab si pemuda lalu kelihatan dia senyum-
senyum.
“Kenapa kau tertawa?” tanya Adipati Sumenep itu kurang senang.
12
“Orang tua, apakah kau ini anggota wayang orang atau pemain sandiwara keliling?”
Paras Wira Seta menjadi merah.
“Aku jauh lebih tua darimu. Tidak pantas kau ajak bergurau!”
“Siapa bergurau? Aku tanya yang wajar-wajar saja. Kalau kau bukan seorang pemain
sandiwara mengapa memakai kumis dan janggut palsu?”
“Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu. Tapi kau harus menjawab pertanyaanku!
Katakan siapa dirimu dan apa yang kau kerjakan di tempat ini.”
“Pertanyaan mudah. Jawabnya juga mudah. Namaku Wiro. Aku di sini tengah makan
cempedak. Nah, kau puas orang tua?”
“Tidak, aku tidak puas.” Jawab Wira Seta. “Aku punya kecurigaan kau adalah seorang
mata-mata yang tengah mengintai kami.”
Si gondrong yang adalah Wiro Sableng murid nenek sakti Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede yang dalam dunia persilatan dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 menyeringai.
“Tuduhanmu tidak beralasan orang tua, tapi apa yang barusan kau ucapkan justru
menimbulkan kecurigaan dalam hatiku!”
“Adipati, biar saya menghajar orang ini. Mulutnya terlalu lancang dan sikapnya sangat
kurang ajar!” terdengar suara Gandita.
Wira Seta mengangkat tangan memberi tanda agar pembantunya itu tetap berada di
tempatnya. Lalu dia berpaling pada pemuda yang duduk dalam perahu di hadapannya.
“Apa maksudmu? Apa yang kau curigai dan siapa yang kau curigai?” suara Wira Seta
menyentak.
“Jika kau tidak menyimpan satu rahasia mengapa harus mencurigai orang dan menuduh
aku mata-mata!?”
“Lalu mengapa kau tahu-tahu muncul di tempat ini. Kau pasti sengaja mencuri dengar apa
yang kami bicarakan di sini!” sergah Wira Seta.
“Orang tua, kau memang kelewatan. Sebelum kau dan orang-orang itu muncul, aku sudah
sejak pagi berada di tempat ini. Bagaimana kalau kubalik. Justru kaulah sebenarnya yang
tengah memata-matai diriku!”
Raden Adiatwang maju ke tepi kali. “Dimas, pemuda ini membuat aku mual. Aku akan
13
perintahkan pengawal menangkapnya. Aku akan bawa dia ke Gelang-Gelang dan diperiksa di
sana! Kalau dia ternyata memang seorang pemuda kurang waras, aku akan lepaskan dia.”
“Aku punya dugaan dia sengaja bersikap dan bicara konyol seperti orang tidak waras
untuk menutupi sesuatu.” Wira Seta melompat keluar dari dalam perahu seraya berseru, “Para
pengawal! Tangkap orang ini!”
“Hajar kalau melawan!” menimpali Adikatwang.
Enam orang perajurit Kediri melompat ke dalam perahu. Dua lainnya turun ke dalam air,
mencegat di samping kiri perahu untuk mencegah si pemuda yang hendak ditangkap agar
jangan sampai melarikan diri.
Perahu kecil dijejali enam orang pengawal, tujuh dengan Wiro tentu saja tidak dapat
menampung orang sebanyak itu. Perahu ini langsung amblas terbalik. Semua orang yang ada
diatasnya jatuh masuk ke dalam air, tidak terkecuali Wiro.
Semua orang di tepi kali kemudian terkejut ketika mereka mendengar suara teriakan-
teriakan delapan perajurit yang ada di dalam kali. Satu demi satu tubuh mereka seperti ditarik
ke dalam air. Ketika mereka akhimya muncul kembali suasana di tepi Kali Brantas itu menjadi
heboh. Tidak satupun lagi dari ke delapan perajurit Kediri yang keluar dari kali itu kini
mengenakan celana! Dalam keadaan tubuh setengah telanjang pada bagian yang paling rawan
itu, mereka kalang kabut berusaha menutupi aurat!
Dalam keadaan seperti itu di seberang kali terdengar suara tertawa mengakak. Semua
orang di tepi Barat kali memandang ke seberang. Di tepi Timur Kali Brantas kelihatan pemuda
berambut gondrong itu tegak sambil tertawa terpingkal-pingkal. Di kedua tangannya dia
memegang delapan helai celana panjang yang sebelumnya dikenakan oleh delapan perajurit.
Satu demi satu celana itu dilemparkannya ke dalam kali, hanyut dibawa arus ke hilir.
“Penghinaannya sudah keterlaluan!” geram Adikatwang sambil mengepalkan tinju.
“Lepaskan panah beracun!” teriaknya. Tiga orang anak buahnya segera menyiapkan busur dan
panah beracun. Tetapi ketika tiga panah itu melesat ke seberang kali, Pendekar 212 Wiro
Sableng sudah lenyap. Hanya suara tertawanya yang masih kedengaran di kejauhan.
“Manasia itu tidak gila!” kata Adikatwang.
“Kalau dia memang sempat mendengar pembicaraan kita, keadaan bisa sangat
berbahaya,” ujar Wira Seta pula. Air mukanya tampak jadi gelisah.
14
“Aku akan sebar orang untuk mencari jejaknya.” Adikatwang juga tampak tidak tenang.
Yang paling terpukul adalah Gandita. Pemuda itu berulang kali kelihatan mengepalkan
kedua tinjunya bahkan membanting-banting kaki. Dia memisahkan diri dari orang-orang di
tepi kali itu. Dalam hatinya dia tidak habis pikir. Tamparanku seharusnya sudah cukup
membuat pemuda itu cedera berat. Tapi bahkan jotosanku seperti tidak ada apa-apanya! Aku
malu sekali! Dimana mukaku hendak kuletakkan. Apa kata Adipati Wira Seta nantinya. Juga
bagaimana pula pandangan Raden Adikatwang. Padahal dia baru saja memujiku. Aku murid
orang sakti dari Gunung Kelud. Digembleng selama bertahun-tahun. Tapi ternyata tidak
mampu menghadapi anak desa tadi. Wiro… Namanya Wiro. Belum pernah aku mendengar
seorang pendekar dengan nama itu. Siapa dia sebenarnya? Aku harus mencarinya. Aku harus
menantangnya. Berkelahi sampai seratus bahkan seribu jurus kalau perlu. Aku harus
menghajarnya dan membuatnya bertekuk lutut! Hanya itu satu-satunya cara untuk mengem-
balikan kepercayaan Adipati Wira Seta dan Raden Adikatwang.
Untuk melepaskan rasa geram dan amarah yang seperti membakar dadanya Gandita
memukul batang pohon yang ada di depannya.
Braaak!
Kulit pohon pecah, bagian dalamnya hancur. Terdengar suara bergemuruh ketika pohon
itu patah dan tumbang.
Satu tangan memegang bahu Gandita. Pemuda ini mengira orang itu adalah pemuda
gondrong yang telah mempermalukannya. Cepat dia membalik seraya menghantamkan tinju
dengan kekuatan tenaga dalam penuh! Angin pukulannya terdengar menggidikkan.
Tapi Gandita cepat menarik pulang tangannya ketika melihat siapa yang berdiri di
hadapannya. Pemuda ini jatuhkan diri dan berkata.
“Adipati, maafkan saya. Saya kira….”
Adipati Wira Seta mengangguk. “Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini Gandita.”
“Saya tidak berguna jadi pembantu Adipati,” berterus terang pemuda itu.
“Jangan berkata begitu anak muda. Hidup ini penuh cobaan dan tantangan. Apapun yang
telah terjadi hanya satu pengalaman agar dimasa mendatang kita harus belajar lebih banyak.
Aku tetap percaya kau adalah pembantuku yang terbaik. Berdirilah. Kita akan segera kembali
ke Sumenep.”
15
Sambil mengusap mukanya Gandita bangkit berdiri. Apapun yang dikatakan oleh sang
Adipati tidak membuat rasa sakit hatinya terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng jadi berkurang.
***
16
3
SEBATANG panah beracun yang dibidikkan dari seberang Kali Brantas menancap di batang
pohon. Kulit pohon ini kelihatan menghitam pertanda betapa jahat dan berbahayanya racun
panah. Pendekar 212 sendiri saat itu sudah jauh meninggalkan tepi Timur Kali Brantas tapi dia
masih saja tertawa terpingkal-pingkal. Ketika dadanya terasa agak sesak dan perutnya sakit
karena terus-terusan tertawa akhirnya dia duduk di gundukan akar sebuah pohon besar.
Tawanya sesaat berhenti. Dibukanya bajunya yang basah lalu diperasnya sampai sekering
mungkin. Ketika dia ingat lagi akan apa yang dilakukannya terhadap prajurit-prajurit Kediri
itu, Wiro tak dapat menahan diri. Kembali dia tertawa gelak-gelak. Tetapi saat itu ternyata dia
tidak tertawa sendirian. Ada orang lain yang ikut tertawa bersamanya.
Tertawa itu demikian keras dan hebatnya sehingga murid Eyang Sinto Gendeng
merasakan akar pohon yang didudukinya ikut bergetar. Wiro hentikan tawanya. Orang lain itu
masih terus tertawa. Akhirnya Wiro juga ikut-ikutan tertawa kembali.
Sambil tertawa dan garuk-garuk kepala dia memandang berkeliling. Mencari dimana dan
siapa gerangan orang yang tertawa itu. Suara tawanya keras tanda pasti orangnya berada di
dekat-dekat situ. Tiba-tiba ada air mengucur dari atas. Air yang terasa agak hangat ini jatuh di
pundak Wiro. Wiro mengusapnya lalu hidungnya membaui sesuatu.
“Kurang ajar! Air kencing!” teriak Pendekar 212 sewaktu dia membaui pesingnya air
yang jatuh di badannya. Dia melompat dari duduknya dan mendongak ke atas pohon. Mata
Wiro Sableng jadi mendelik.
Di atas pohon itu pada sebuah cabang yang tidak seberapa besar dilihatnya duduk seorang
lelaki bertubuh luar biasa gemuknya. Dia duduk sambil tertawa-tawa yang membuat tubuhnya
terguncang-guncang. Orang ini mengenakan celana hitam dan sehelai baju putih yang tak bisa
dikancingkan karena kesempitan. Rambutnya disanggul ke atas. Dadanya yang gembrot dan
perutnya yang berlemak tersembul.
Kedua matanya yang sangat sipit sampal basah karena tertawa. Tapi bukan matanya saja
yang basah. Ternyata bagian bawah perutnya juga ikut basah lalu tiris ke bawah. Air
17
kencingnya inilah yang mengucur jatuh menimpa Pendekar 212 yang saat itu duduk dibawah
pohon!
Wiro usap bahunya yang terkena air kencing dengan baju yang barusan diperasnya. Dia
hendak memaki habis-habisan, tetapi otaknya bekerja cepat.
Dalam hatinya dia berkata. Kerbau bunting di atas pohon itu bukan manusia
sembarangan. Beratnya pasti lebih dari dua ratus kati. Tapi lihat, dia bisa duduk di cabang
pohon yang begitu kecil! aku lngat pada sahabatku Raja Penidur yang luar biasa gemuknya.
Tapi kerbau bunting di atas pohon ini jauh lebih gemuk!
Wiro menunggu sampal orang itu berhenti tertawa. Tapi nyatanya si gemuk ini tawanya
semakin menjadi-jadi. Air kencingnya juga maslh terus tiris ke bawah membuat Wiro terpaksa
menjauh dari pohon.
Setelah ditunggu-tunggu dan tawanya tidak juga berhenti, Wiro jadi kesal. Dia berteriak.
“Kerbau Bunting di atas pohon! Berhenti tertawa! Kau telah mengencingiku!”
Suara tawa sirap. Di atas pohon orang gemuk itu tampak berpaling ke kiri dan ke kanan.
“Kerbau Bunting? Ada yang menyebut aku Kerbau Bunting? Lucu sekali! Hidup seratus lima
puluh tahun baru hari ini ada yang memanggil diriku Kerbau Bunting!
Ha…ha…ha…ha…haaaa!” Tubuh si gemuk berguncang-guncang dan suara tawanya kembali
menguncang.
“Sialan!” maki Wiro. Dia memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya melihat seekor Ular
Keket hijau besar menempel di atas sehelai daun dekat rumpunan semak belukar.
“Hemmmm….” Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Aku mau lihat apakah kau masih bisa tertawa kalau mulutmu kujejali binatang ini!”
Meskipun agak geli-geli Wiro mengangkat Ular Keket dari atas daun lalu dilemparkannya
ke atas pohon.
Si gemuk di atas pohon yang masih terus tertawa gelak-gelak tampak kaget ketika sebuah
benda hijau bergelung melesat ke arah mulutnya yang terbuka lebar. Cepat dia meniup ke
bawah. Ular Keket itu mental tetapi kini justru jatuh dan menempel di perutnya yang
tersembul di sela baju yang tidak terkancing!
“Wadauuuuw….! Ular! Ular Keket…! Tolong..!”
“Tolong!”
18
Sekujur tubuh si gemuk menggigil. Mukanya yang tadi merah karena tertawa terus-
terusan kini menjadi pucat pasi.
Ternyata dia takut sekali pada Ular Keket yang kini menempel di perutnya yang gendut
berlemak itu. Kedua kakinya digoyang-goyangkan. Kedua tangannya bergerak kian kemari
kalang kabut. Dia coba pergunakan tangan untuk menjentik binatang itu tepi tak jadi karena
merasa sangat jijik. Saking bingungnya dia melompat ke cabang pohon yang lain.
Bergelantungan sambil melejang-lejangkan kedua kakinya.
“Tolong! Wadauwww…. Ular…. Tolong!” teriak si gendut lagi.
Di bawah pohon Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa terpingkal- pingkal.
“Rasakan olehmu sekarang! Masih untung binatang itu tidak nyemplung ke dalam
mulutmu!
“Tolong! Aduh! Bagaimana ini! Tolongggg…. !” Dari atas pohon kini kelihatan makin
deras air kencing yang mengucur ke bawah.
“Gila! Berapa gentong air yang tersimpan dalam perut Kerbau Bunting itu. Kencingnya
tak habis-habis!”
“Tolong…! Aduh…! Ampunnnn! Tolong! Ada Ular Keket di perutku! Batara Dewa
Tolong diriku…. !” Lama-lama Wiro jadi kasihan juga melihat si gemuk itu.
Dia patahkan sebuah ranting lalu melompat melesat ke atas pohon tempat di mana si
gemuk bergelantung ketakutan setengah mati.
Dengan ujung ranting disingkirkannya Ular Kaket hijau besar yang menempel di perut si
gendut lalu dia melayang turun ke tanah kembali.
Di atas pohon jeritan ketakutan si gemuk langsung berhenti. Tubuhnya mandi keringat.
“Terima kasih…! Terima kasih! Heh, siapa yang menolongku?!” Si gendut memandang ke
kanan dan ke kiri.
“Hai! Aku di bawah sini!” terlak Wiro. “Kerbau Bunting itu pasti sudah tahu aku berada
di sini. Tapi dia berpura-pura saja!”
Si gendut memandang ke bawah. Dagunya tertahan oleh dadanya yang gembrot. Tapi dia
bias melihat Wiro di bawah sana.
“Ah, kau di situ rupanya!” Lalu si gendut lepaskan pegangannya pada cabang pohon.
Tubuhnya melayang jatuh ke bawah. Sebuah batu kecil saja kalau jatuh ke tanah pasti akan
19
mengeluarkan suara berdebuk. Tapi ketika kedua kaki si gendut yang beratnya lebih dari dua
ratus kali itu menginjak tanah Wiro memperhatikan dan tidak mendengar ada sedikit
suarapun! Kerbau Bunting ini benar-benar manusia luar biasa, kata Wiro dalam hati.
Di hadapan Wiro si gemuk menjura lucu seraya berkata, “Sobatku Muda. Terima kasih.
Kau telah menolong aku dari binatang celaka itu!”
Wiro tertawa gelak-gelak. Si gemuk ikut-ikutan tertawa. Tapi tiba-tiba dia hentikan
tawanya dan bertanya.
“Eh, Sobatku Muda. Mengapa kau tertawa? Apa Ada yang lucu pada diriku?”
“Jelas tubuhmu dari ujung rambut sampal ujung jempol sangat lucu!”
“Apakah kau tadi yang memanggil aku dengan sebutan Kerbau Bunting?”
“Betul.” sahut Wiro dan menyangka si gendut itu akan marah. Tapi justru orang di
depannya malah tertawa gelak-gelak sampai sekujur tubuhnya berguncang-guncang.
“Lucu… Lucu sekali sebutan itu. Seratus lima puluh tahun hidup malang-melintang
dimuka bumi, baru sekali ini ada yang memberikan nama lucu begitu padaku. Terima kasih
sobatku muda!”
Wiro jadi melongo mendengar kata-kata itu.
“Heh, tadi aku bertanya kenapa kau tertawa waktu aku bilang terima kasih. Bukankah kau
yang telah menolongku menyingkirkan Ular Keket celaka itu?”
“Benar Sobatku Gendut.”
“Sobatku Gendut? Ah, sekarang kau menyebut aku dengan nama itu! Kau seorang sahabat
yang benar-benar lucu!” Si gendut lalu tertawa gelak-gelak sampai ke dua matanya basah.
“Terima kasih. Kau telah menolongku. Aku benar-benar takut pada binatang seperti itu.
Cuma kenapa kau belum menjawab pertanyaanku. Mengapa kau tertawa waktu aku bilang
terima kasih?”
“Kau tidak tahu! Sebetulnya akulah yang tadi melemparkan binatang itu ke padamu!”
jawab Wiro polos.
Si gemuk tampak terkejut. “Kau… Kau yang melemparkannya?” tanyanya.
Wah, kali ini Kerbau Bunting ini pasti marah besar! Membatin Pendekar 212. Lalu dia
mengangguk. “Ya, aku yang melemparkannya!” Wiro lalu berjaga-jaga kalau-kalau si gendut
itu menjadi marah dan menghantamnya.
20
“Kau…?” Kening si gendut tampak mengerenyit.
Matanya yang sangat sipit seperti mau mendelik tapi tidak bisa dan tetap saja sipit. Tiba-
tiba dari mulutnya meledak keluar suara tawa mengakak.
Lucu, aku sangka dia bakalan marah. Ternyata tidak. Malah tertawa gelak-gelak. Mahluk
aneh macam apa dia ini sebenarnya!
Seperti tahu apa yang dipikirkan Wiro si gemuk hentikan tawanya dan berkata. “Aku
tertawa dan aku tidak marah. Karena kau orang jujur dan bicara polos!” Si gendut pegang
kedua bahu Wiro lalu mengguncang-guncangnya dengan keras hingga Pendekar 212 merasa
tubuhnya seperti diguncang gempa yang dahsyat. Tapi diam-diam dia merasakan ada hawa
aneh yang mengalir lewat kedua bahunya. lubuhnya mendadak terasa enteng!
Astaga! Orang ini seperti sengaja mengalirkan semoga aneh ke dalam tubuhku! Kata Wiro
dalam hati begitu menyadari tubuhnya menjadi lebih enteng.
“Sobatku muda, aku mau tanya,” berkata si gendut. “Mengapa kau tadi melemparkan Ular
Keket itu padaku?”
“Karena kau mengencingi aku!” jawab Wiro.
“Hah?! Aku mengencingimu?!” Si gendut bermata sipit itu seperti terkejut. “Bagaimana
mungkin?” Lalu dia memperhatikan bagian bawah celana hitamnya. Dipegangnya
selangkangan-nya. Terasa basah. Lalu tangannya yang tadi memegang celananya yang basah
disapukan di depan hidung. Bau pesing. “Gila! Aku memang kencing rupanya!” kata si gendut
ini. Dia diam sebentar lalu tertawa gelak-gelak.
“Kalau aku mengencingi itu bukan disengaja Sobatku Muda!” kata si gemuk itu sambil
mengusap kedua matanya yang basah. “Ada sebab yang membuatku terkencing-kencing. Aku
tadi tertawa terpingkal-pingkal dan kau kebetulan ada dibawah pohon! Walaupun begitu
kuharap kau sudi memaafkan diriku!”
Wiro diam saja. Sesaat kemudian dia bertanya.
“Apa yang membuatmu tertawa terpingkal-pingkal?” “Aku melihat satu kejadian lucu di
tepi Kali Brantas!”
“Kejadian apa?” Wiro menyambung pertanyaannya.
“Aku melihat…ha…ha…ha…” Si gendut belum sempat meneruskan ucapannya dia sudah
keburu tertawa. “Aku melihat… Ha… ha.., ha… ha… Ada…ada… ada delapan orang perajudt
21
Kediri dipreteli orang celananya hingga waktu mereka keluar darl air dalam keadaan bugil!
Anunya pada bergelantungan kemana-mana….! He…ha…ha! Apakah itu menurutmu tidak
lucu? Mereka kelabakan! Berusaha menutupi anu mereka! Lucu….! Ha…. he …ha…” Tiba-tiba
suara tawanya berhenti. Kedua matanya yang sipit memandang lekat-lekat kepada Wiro
Sableng.
Apa yang ada dalam pikiran si gendut ini, Wiro bertanya dalam hati.
“Heh?” Bukankah… Bukankah kau orangnya yang menelanjangi delapan perajurit Kediri
itu?!” Wiro tertawa lebar. Sambil garuk-garuk kepalanya dia mengangguk dan berkata.
“Memang. Aku yang menelanjangi mereka. Mereka hendak menangkapku!”
Si gemuk tertawa mengekeh. “Kau ternyata pemuda jahil! Lain kali kalau mau
menelanjangi orang, jangan orang lelaki, tapi cari orang perempuan! Ha… ha… ha… ha…!”
Wiro jadi ikut-ikutan tertawa.
“Mengapa mereka hendak menangkapmu?”
“Karena aku makan cempedak.” Jawab Wiro.
Lalu dia bertanya. “Apakah seseorang bisa ditangkap karena makan cempedak?”
“Mana ada pasalnya orang ditangkap makan cempedak. Kecuali kalau cempedak itu buah
curian. Atau kau makan sambil berpelukan dengan bini orang! Ha…ha…ha…ha…!”
Wiro geleng-geleng kepala. Seumur hidup belum pernah dia bertemu dengan orang
seperti ini. Gemuk luar biasa dan juga lucu luar biasa.
“Hari sudah siang! Aku masih punya keperluan lain. Sobatku Muda, aku mau pergi
sekarang.” berkata si gendut.
“Ke mana tujuanmu sebenarnya?”
“Ah, hal itu tidak bisa kukatakan padamu. Jangan marah. Ha…ha…ha…”
“Aku mengucapkan terima kasih padamu. Kau telah menanam budi baik padaku.”
“Eh, kau ini bicara apa Sobatku Muda?” tanya si gendut.
“Kau berpura-pura Sobatku Gendut. Waktu memegang kedua bahuku tadi, kau diam-diam
mengalirkan hawa aneh ke dalam tubuhku. Lalu aku merasa tubuhku lebih ringan dari
sebelumnya.”
Si gendut tertawa gelak-gelak. “Anggap saja itu sebagai pembayar dosaku
mengencingimu! Ha…. ha… ha…!” Habis berkata begitu dia masukkannya dua jari tangan
22
kanannya ke mulut. Lalu terdengar suara suitan. Dari balik semak belukar menyeruak keluar
seekor keledai, kecil pendek dan kurus.
“Tungganganku sudah datang menjemput. Aku pergi. Selamat tinggal Sobatku Muda!”
Wiro terkejut. “Kau… Kau hendak menunggangi keledai sekecil itu?” tanya Wiro heran.
“Memangnya kenapa?” balik bertanya si gendut.
“Tubuhmu besar dan berat! Baru berjalan lima langkah keledai itu akan jadi mejret!”
Si gendut tertawa gelak-gelak. “Kau saksikan saja nanti apakah binatang ini mejret atau
tidak!” Si gendut melompat. Sekali lompat saja dia sudah duduk di punggung keledai kurus
itu. “Ayo jalan!” seru si gendut seraya menepuk pinggul binatang tunggangannya. Keledai itu
melangkah. Ternyata jalannya cepat sekali. Setelah lewat sepuluh langkah si gendut berpaling.
“Apakah kau lihat keledai ini mejret?!” teriaknya. Lalu dia tertawa mengekeh.
Wiro garuk-garuk kepala. Kedua matanya memperhatikan. Lalu. Astaga! Keledai itu
ternyata berkaki enam. Yang dua adalah kaki si gendut sendiri! Kedua kakinya ternyata
menjejak tanah dana berjalan seperti biasa. Hanya pantatnya saja rupanya yang menumpang
duduk di punggung si keledai. Itupun tidak sampai menekan tubuh tunggangannya karena
sebenarnya dia berjalan kaki seperti biasa!
Wiro tertawa gelak-gelak. “Hai Sobat!” teriak Wiro. “Sebelum pergi kau mau memberi
tahu siapa namamu?!”
“Selama seratus lima puluh tahun hidup, aku tidak pernah memakai namaku. Kini aku jadi
lupa apakah aku punya nama atau tidak. Tapi orang- orang menggelariku Dewa Ketawa!
Gelaran lucu! Ha…ha..ha…! Tapi mungkin mereka betul! Mungkin gelar itu cocok bagiku!” Si
gendut lalu menepuk pinggul keledai kurusnya. Binatang ini melangkah lebih cepat. Kedua
kaki si gendut juga bergerak lebih cepat. Sesaat kemudian orang dan tunggangannya itu lenyap
di balik kerapatan pepohonan dan semak belukar.
Wiro masih tertegak di tempatnya semula. Dewa Ketawa. Belum pernah aku mendengar
nama itu sebelumnya. Dia mungkin seumur dengan Dewa Tuak. Aku tidak mengerti mengapa
dia mengalirkan hawa aneh ke dalam tubuhku. Sayang aku menyelidiki apakah dia orang
Kediri atau orang Singosari. Dia sendiri rupanya tidak kepingin tahu namaku. Kerbau
Bunting yang aneh… Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya lalu tinggalkan tempat itu.
***
23
4
SETELAH Adipati Wira Seta dan Gandita meninggalkan tempat pertemuan rahasia di tepi
Kali Brantas itu, Raden Adikatwang dan rombongannya segera kembali ke Gelang-gelang
yang dijadikan pusat Kerajaan Kediri pada masa itu. Rombongan ini sengaja menempuh rimba
belantara untuk menghindari pertemuan dengan pihak-pihak yang tidak diinginkan dan bisa
membocorkan rahasia.
Dalam perjalanan kembali ini Adikatwang lebih banyak berdiam diri. Suara hatinya
berkata tiada henti. Apakah memang dia harus mengangkat senjata bersama Wira Seta,
memberontak terhadap kekuasaan Singosari. Mustikah Sang Prabu dihabisi riwayatnya?
Haruskah semua itu dicapai dengan pertumpahan darah? Bukankah nantinya bakal banyak
rakyat yang menderita? Kalau aku menang apakah aku memang layak memegang tampuk
kekuasaan? Memerintah dikelilingi oleh orang-orang Singosari yang tentunya akan menanam
dendam sakit hati pula atas kekalahan mereka, atas kematian teman dan keluarga mereka?
Ketika suara hati Adikatwang berkata begitu, telinganya seperti mengiang suara jawaban
yang lebih keras dan menggetarkan.
Adikatwang kau adalah turunan dan pewaris syah singgasana Kediri. Dulu orang-orang
Singosari merebut kekuasaan dan merampas tahta Kerajaan Kediri dari moyangmu!
Sekarang saatnya untuk membalaskan segala sakit hati! Sekarang saatnya untuk mengangkat
senjata. Kau tidak sendirian. Dimana-mana orang akan mendukung perjuanganmu. Ada
ribuan perajurit yang bersedia mengorbankan darah dan jiwa raganya demi berdirinya
kembali Kerajaan Kediri. Kesempatan hanya datang satu kali. Kalau kau mengabaikannya
kau akan tetap menjadi hamba sahaya di bawah tekanan Singosari!
Adikativang mengusap wajahnya. Sikapnya yang berdiam diri Itu bukan tidak
diperhatikan oleh para perajurit yang mengawalnya. Namun tak ada satu orangpun dari
mereka yang berani mengatakan resuatu. Rombongan itu bergerak dalam kesunyian lanpa ada
yang bicara.
Di satu tempat telinga Adikatwang mendengar sesuatu. Dia hentikan kudanya dan
24
memandang berkeliling.
“Ada apakah Sri Baginda?” tanya seorang pengawal. Para pengikut Adikatwang yang
setia selalu memanggil Adikatwang dengan sebutan Sri Baginda. Walaupun pemimpin mereka
itu tidak lebih dari seorang raja kecil yang tiada berdaya di satu wilayah yang kecil pula,
namun mereka tetap menganggap Adikatwang adalah raja mereka, Raja Kediri.
“Aku mendengar sesuatu…” Jawab Adikatwang.
Sepuluh pengawal memasang telinga. Mereka saling pandang. Beberapa saat kemudian
salah seorang dari mereka” berkata. “Kami tidak, mendengar suara apa-apa.”
Tentu saja para perajurit itu tidak atau belum mampu mendengar suara yang datangnya
sangat sayup-sayup di kejauhan di dalam rimba belantar itu. Karena kesaktiannya Adikatwang
bisa mendengar suara itu yang tidak mampu didengar oleh para pengikutnya.
“Ikuti aku… Tapi harap kalian waspada. Tangan kalian jangan jauh di senjata.” kata
Adikatwang. Maka sepuluh perajurit itu segera menempelkan tangan pada senjata masing-
masing. Mereka bergerak mengikuti Adikatwang.
Tak selang berapa lama Adikatwang kembali hentikan kudanya dan berkata. “Suara itu
semakin jelas. Apakah kalian bisa mendengarnya sekarang?”
“Ya… Kami dapat mendengarnya sekarang,” jawab beberapa perajurit bersamaan.
“Apa yang kalian dengar?” Adikatwang mengulangi.
“Itu… suara…suara orang sesenggukan. Suara orang menangis.” jawab perajurit di
samping Adikatwang.
Adikatwang mengangguk. “Tidakkah aneh ada ingin menangis di dalam rimba belantara
seperti? Mari kita bergerak ke arah suara. Kita akan lihat siapa adanya orang yang menangis
itu.”
Kembali sepuluh perajurit mengikuti pimpinan mereka bergerak ke arah kanan yaitu dari
mana datangnya suara orang menangis terisak-isak. Berapa puluh langkah menunggangi kuda,
di suatu tempat yang agak terbuka, duduk di atas sebatang kayu yang sudah lapuk tampak
seorang kakek berkulit hitam tengah menangis. Tangisnya sedih sekali dan setiap saat dia
mengusap kedua matanya yang basah dengan ujung kaln putih yang diselempangkan di dada.
Melihat kepada rambutnya yang digelung di atas kepala serta pakaiannya, tampaknya kakek
hitam ini adalah seorang Resi. Tetapi Adikatwang yang mengenali orang tua itu tahu betul
25
kalau kakek itu bukanlah seorang Resi atau Brahmana.
“Dewa Sedih! Sungguh suatu rahmat dari para dewa kalau saat ini aku bisa menemuimu!
Aku memang sudah lama mencarimu. Dicari-cari tidak ketemu tahu-tahu muncul sendiri!”
Kakek yang dipanggil dengan julukan Dewa Sedih itu turunkan kedua tangannya. Melihat
wajahnya, sekalipun dia tidak menangis, orang akan menyaksikan satu wajah yang selalu
membayangkan kesedihan. Kedua alis matanya yang hitam menjulai bawah. Mulutnya
mengkerut. Sekalipun dia tersenyum maka mimik wajah itu tetap saja menunjukkan
kesedihan.
Begitu melihat Adikatwang, orang tua ini berkata perlahan, “Raden…” Lalu kembali dia
menangis terisak-isak. Siapa yang mendengarkan pasti akan merasa sedih.
Adikatwang yang sudah tahu sifat orang tua ini hanya bisa tersenyum. “Dewa Sedih, kau
berada jauh dalam hutan begini. Menangis sedih sekali. Apakah pasal sebabnya?”
Dewa Sedih geleng-geleng kepala. Dia mengusap muka dan wajahnya berulang kali.
“Aku… Aku melihat sesuatu di telapak tangan kiriku…” katanya lalu kemball menggerung
seperti anak kecil.
“Mana coba kulihat telapak tangan kirimu…” kata Adikatwang pula.
Orang tua itu kembangkan telapak tangan kirinya di hadapan Adikatwang.
“Lihat sendiri,” katanya. “Lihat, sesuatu akan terjadi sesuatu peristiwa besar yang sangat
menyedihkan…” Dewa Sedih meneruskan tangisnya.
“Aku tidak melihat apa-apa,” kata Adikatwang sambil tersenyum. Tapi diam-diam hatinya
berdetak. Walaupun bersifat aneh dan terkadang menjengkelkan, setiap ucapan orang tua ini
tidak boleh dianggap sepi. Dia mengatakan satu peristiwa besar yang sangat menyedihkan
akan terjadi. Apakah dia sudah punya firasat kalau…?
“Mata Raden buta rupanya!” terdengar Dewa Sedih berkata setengah memaki. “Masakan
gambar yang begini jelas di telapak tanganku Raden tidak melihat?”
“Kau betul Dewa Sedih. Mata orang tolol sepertiku mana punya kemampuan melihat
sehebat kedua mata yang kau miliki. Coba kau ceritakan dengan jelas, apa yang kau lihat di
telapak tanganmu.”
Sambil sesenggukan Dewa Sedih kembangkan talapak tangannya dan memperhatikan
lekat-lekat. Sesenggukannya berubah menjadi tangisan keras. Di antara tangisnya terdengar
26
ucapannya. “Perang… ada perang. Darah di mana-mana… Mayat di mana-mana. Sedih…
menyedihkan sekali. Dewa Batara kasihani mereka. Tolong mereka… Jauhkan malapetaka itu.
Hik…hik…hik…”
Paras Adikatwang jadi berubah. Begitu juga sepuluh orang prajurit yang ada di tempat itu.
Mereka saling pandaug bahkan ada yang mulai berbisik-bisik Orang tua ini sungguh luar biasa
kesaktiannya. Dia mampu melihat apa yang bakal terjadi dalam waktu dekat ini. Kalau apa
yang ditetahuinya itu diberitahukannya pada orang iain, bisa celaka…
“Dewa Sedih, dari pada kau menangis di rimba belantara ini, lebih baik ikut bersamaku ke
Gelang-gelang. Aku memerlukan bantuanmu. Ada pekerjaan besar menunggumu. Imbalannya
tentu saja besar pula.”
“Aku tak mau hidup terikat ikut dengan orang lain. Biarkan aku sendirian di sini.
Tangisku belum selesai.” Lalu kembali Dewa Sedih menangis tersedu-sedu.
“Dewa Sedih, jangan kau salah kira. Aku atau siapapun tidak ada yang akan mengikatmu.
Di Gelang-gelang kau bebas mau pergi kemana, mau melakukan apa. Bahkan menangis di
sana akan lebih nikmat…”
“Maksudmu?” tanya Dewa Sedih. Tangisnya terhenti.
“Di sana kau bisa menangis dengan diiringi gamelan. Apa tidak hebat?!”
“Menangis diiringi gamelan?”
“Betul.” Jawab Adikatwang sungguh-sungguh.
“Ah… Aku jadi lebih sedih. Kasihan pemain-pemain gamelan itu nantinya. Mereka tidak
akan mampu mengikuti suara orang menangis… Pergilah kalian. Aku mau menangis sampai
mati.”
“Kalau kau memang mau mati, tidak usah menunggu lama. Di hutan ini banyak binatang
buas dan binatang berbisa. Kau tinggal memilih mati cara bagaimana. Diterkam harimau. Atau
dipagut ular berbisa!”
Mendengar kata-kata Adikatwang itu paras Dewa Sedih berubah. Dia seperti ketakutan
tetapi anehnya air mukanya justru kelihatan kuyu sedih.
“Kalau begitu biar aku ikut bersama Raden,” kata Dewa Sedih dan cepat bangkit berdiri.
“Ikut aku itu sudah pasti Dewa Sedih. Tapi aku mau tahu di mana saudara mudamu yang
berjuluk Dewa Ketawa itu? Sebenarnya aku ingin dia ikut bergabung bersama kami.”
27
“Ah si kentut gendut Dewa Ketawa itu aku tidak mengaku saudara padanya. Aku selalu
diejeknya, dihina dan ditertawai.”
“Itu urusanku nanti kalau dia masih begitu terhadapmu. Yang penting kau tahu di mana
kita bias menemukannya?” tanya Adikatwang.
Dewa Sedih Menggeleng.
“Coba lihat di telapak tanganmu,” kata Adikatwang pula.
“Ah, kau betul Raden. Aku baru ingat…” Masih sesenggukan dan wajah menunjukkan
kesedihan mendalam Dewa Sedih kembangkan lebar-lebar telapak tangan kirinya. Lalu
memperhatikan tanpa berkesip. Beberapa saat kemudian dia mengangkat kepalanya,
memandang kepada Adikatwang.
“Gajah buduk itu sebelumnya berada di tepi Kali Brantas sebelah Tenggara. Kini kulihat
dia menunggangi keledai bobroknya menuju ke Barat. Jangan-jangan dia dalam perjalanan
menuju Tumapel di Singosari.”
Adikatwang merasa tidak enak mendengar ramalan Dewa Sedih itu. “Dewa Sedih, apakah
kau bisa memanggil adikmu itu lalu sama-sama membantu di Kediri.”
Dewa Sedih menggelengkan kepala. “Orang sedih dia mana bisa disatukan dengan orang
ketawa. Raden harus memilih. Percaya padaku atau lebih suka padanya. Yang jelas kami
berdua tidak bisa seiring sejalan.”
Adikatwang mengusap dagunya. “Baiklah,” katanya.
“Kalau begitu kau yang akan kuambil. Hentikan tangismu dan jangan terlalu cengeng.”
“Aku tidak cengeng! Aku hanya sedih!” kata Dewa Sedih hampir berteriak. Marah dia
rupanya. Tapi walaupun begitu tampangnya tetap saja murung.
“Aku tahu… Aku tahu…” kata Adikatwang. “Aku juga sedih.”
“Raden juga sedih? Jadi kita sama-sama sedih. Kalau begitu mari kita sama-sama
menangis!”
Manusia geblek! Maki Adikatwang dalam hati. Kalau bukan karena kesaktianmu jangan
harap aku mau membawa manusia gila sepertimu.
***
28
5
SIANG itu langit cerah. Diiringi oleh para pengawal, bersama-sama Patih Raganatha,
beberapa orang Pendeta dan Panglima Perang Kerajaan Aruajaya, Sang Prabu melangkah
menuruni tangga Candi Jago yang terletak di sebelah Selatan Tumapel. Raja Singosari itu baru
saja melakukan upacara keagamaan. Candi Jago sengaja didirikan oleh Sang Prabu sebagai
tempat pemujaan terhadap ayahandanya yaitu mendiang Wisnu Wardhana. Seorang hamba
sahaya membawa payung kuning berumbai-umbai merah untuk melindungi Sri Baginda dari
sengatan matahari.
Ketika kaki kiri Sang Prabu Singosari menginjak anak tangga terakhir di bagian depan
Candi, tiba-tiba di langit petir menyambar terang benderang. Bersamaan dengan itu
menggelegar suara guntur. Bumi berguncang, Langit laksana terbelah. Semua orang yang ada
di depan Candi Jago tampak terhuyung. Getaran yang dahsyat terasa sampai ke jantung
mereka. Wajah mereka termasuk Sang Prabu tampak berubah pucat oleh rasa kejut yang
bukan alang kepalang.
“Petir di tengah hari…” desis Sri Baginda seraya memandang pada Patih Raganatha
sementara para Pendeta tampak menundukkan kepala sambil merapal bacaan-bacaan suci.
“Apakah artinya ini Mamanda Patih?”
“Saya tidak dapat menjawabnya saat ini Sang Prabu. Sebaiknya kita kembali cepat-cepat
ke Tumapel.” Menjawab Patih Raganatha. “Memang kita perlu mengkaji apa arti petunjuk
para Dewa yang diberikan melalui kejadian tadi.”
Sri Baginda mengangguk. Wajahnya agak murung. Dia maklum petir dan guntur tadi
merupakan suatu pertanda yang tidak baik. Mungkin tidak baik bagi dirinya, mungkin sekali
bagi Kerajaan. Ya Dewa Bhatara, hal apakah yang akan terjadi di Singosari ini? Berucap Sri
Baginda dalam hatinya.
Sang Prabu naik ke atas kereta. Rombongan yang baru saja melakukan upacara
keagamaan itu bergerak cepat menuju Keraton Tumapel. Di tengah jalan, Patih Raganatha
yang duduk di samping Sri Baginda berkata. “Sang Prabu, jika saya boleh mengusulkan,
29
begitu sampai di Keraton sebaiknya kita mengadakan pertemuan. Sebenarnya hal ini sudah
agak lama kami inginkan. Pertanda di Candi Jago tadi membuat saya merasakan pertemuan itu
sebagai suatu yang mendesak.”
Sang Prabu termenung mendengar kata-kata patihnya itu. Namun akhirnya dia
menganggukkan kepala. “Beritahu yang lain-lain,” katanya.
Begitu sampai di Keraton Sang Prabu langsung masuk ke sebuah ruangan yang biasa
dipergunakan untuk pertemuan-pertemuan penting dan mendadak.
Patih dan Panglima serta beberapa Pendeta mengikuti.
Setelah semua orang duduk di tempat masing-masing berkatalah Sang Prabu.
“Mamanda Patih, sekarang coba Mamanda memberikan penjelasan, apakah kejadian di
Candi Jago siang tadi merupakan suatu pertanda? Jika benar pertanda apakah? Buruk atau
baik?”
Patih Rapanatha menghaturkan sembah terlebih dahulu baru menjawab.
“Daulat Sang Prabu. Saya hanya tahu sedikit soal tanda-tanda ciptaan para Dewa. Saya
takut mengemukakannya kalau-kalau keliru. Saya merasa sebaiknya kita meminta orang tertua
di antara kita saja yang bicara. Yaitu Pendeta Mayana.”
Semua orang menyetujui ucapan Patih KerajaaniItu. Sang Prabu berpaling pada orang tua
berambut sangat putih seperti kapas, bermata bening yang duduk di samping Panglima
Argajaya. Dialah Pendeta Mayana.
“Terima kasih kalau Sang Prabu mempercayai dan mau mendengar petunjuk dari kami,”
kata sang Pendeta pula setelah membungkuk terlebih dahulu. “Petir dan guntur di siang hari
ketika tidak ada hujan adalah suatu petunjuk jelas akan terjadi sesuatu besar di bumi Singosari.
Sesuatu itu mungkin mendatangkan kebaikan, namun sebaliknya bisa juga membawa
malapetaka…”
“Saya tidak percaya kalau kejadian tadi merupakan pertanda akan datangnya malapetaka,”
berkata Sang Prabu. “Kita orang-orang Singosari saat ini berada dalam keadaan berkecukupan.
Hasil sawah ladang dan ternak melimpah ruah. Keadaan Kerajaan aman tenteram. Semua
karena, perlindungan dan anugerah para Dewa. Kita orang-orang Singosari selalu taat pada
agama. Selalu mengingat dan menghaturkan doa sembah kepada para leluhur. Jadi tidak
mungkin Para Dewa akan menjatuhkan malapetaka di Kerajaan ini. Sulit bagi saya menerima
30
begitu saja artian yang Pendeta Mayana barusan sampaikan.”
“Mohon dimaafkan kalau ucapan kami tidak berkenan di hati Sang Prabu. Kita semua di
sini tentu saja memohon pada Dewata agar negeri kita dijauhi dari segala malapetaka maupun
bencana dalam bentuk apapun. Kami hanya sekedar mengingatkan bahwa yang buruk dan
yang baik itu bisa saja terjadi tanpa terduga. Namun apakah Sang Prabu berkenan
mendengarkan beberapa petunjuk lainnya yang berkaitan dengan kejadian siang tadi di Candi
Jago?”
“Beberapa petunjuk apa maksud Pendeta Mayana?” tanya Raja pula.
“Untuk itu biarlah kami minta Panglima Argajaya atau Patih Raganatha yang memberikan
penjelasan,” kata Pendeta Mayana.
Sang Prabu menganggukkan kepalanya ke arah Patih Raganatha. Sang Patih lalu
membuka mulut. “Orang kita di Madura melaporkan ada tanda-tanda hahwa Adipati Wira Seta
telah menambah kekuatan pasukan Kadipaten. Berkali-kali terlihat adanya latihan perang-
perangan. Setahu saya, kita tidak pernah meminta Sumenep untuk melakukan hal itu. Lalu
mengapa Adipati Wira Seta berbuat demikhian? Jawabnya hanya satu yaitu bahwa dia
mempunyai suatu rencana. Dan rencana itu tidak sulit untuk diterka. Dia tengah menyusun
kekuatan untuk memberontak pada Singosari.”
Alis mata Sang Prabu nampak naik ke atas. Keningnya berkerut. “Wira Seta hendak
memberontak? Tak masuk akal! Bukankah dia sekarang inenjadi Raja Kecil di Madura? Lebih
tinggi kedudukannya dari pada di Tumapel ini. Sikapnya selama ini tidak menunjukkan
perubahan sedikitpun. Dia mensyukuri jabatan dan tugas yang diberikan. Bagaimana sekarang
tahu-tahu Mamanda Patih mengatakan dia menyusun kekuatan hendak berontak? Bukankah
latihan perang-perangan suatu hal biasa saja bagi suatu Kerajaan sebesar Singosari ini?
Apalagi Madura dipisahkan oleh laut dengan tanah Jawa. Patut dia memperkuat diri untuk
berjaga-jaga terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Sesungguhnya apakah yang terjadi di
Keraton Tumapel ini? Saya mencium ada orang-orang yang tidak suka terhadap Adipati Wira
Seta.”
Paras Patih Raganatha tampak berubah merah. Dalam hati dia merasa sangat menyesal
telah mengeluarkan kata-kata tadi.
Padahal apa yang diucapkannya adalah sejujurnya tidak ada niatan memburukkan orang
31
lain apa lagi mengkhianati. Diam-diam sang patih menjadi sangat sedih.
Karenanya dia memutuskan untuk tidak membuka mulut lagi.
Sang Prabu berpaling pada Argajaya. “Panglima, apakah kau tidak akan mengatakan
sesuatu?”
Panglima Pasukan Kerajaan ini sesaat tampak meragu.
Dia melirik pada Patih Ragantha. Dia merasa hiba terhadap orang tua itu. Dengan maksud
hendak membelanya maka diapun berkata.
“Memang ada yang hendak saya laporkan, Sang Prabu. Itu jika Sang Prabu berkenan
mendengarnya…”
“Apakah ada sangkut pautnya dengan kejadian siang tadi?” tanya Raja pula.
“Saya tidak berani mengatakan begitu,” sahut Argajaya karena dia kawatir dirinya akan
ditempelak seperti Patih Raganatha “Yang ingin saya sampaikan ialah menyangkut keadaan
dan keamanan negeri. Sesuai dengan tugas dan kewajiban saya menjaga Kerajaan.”
“Kalau begitu katakanlah,” perintah Sang Prabu.
“Daulat Sang Prabu. Sang Prabu ingat sewaktu utusan Raja Cina keturunan Mongol
Kubilai Khan datang ke Singosari beberapa waktu lalu?”
“Saya ingat. Semua kita di sini pasti ingat hal itu.” jawab Sang Prabu pula.
“Kejadian dimana kita mengusir utusan itu setelah terlebih dahulu membuat cacat muka
pemimpin mereka tidak dapat tidak akan membuat murka Raja Cina. Saya kawatir kalau Raja
Cina sewaktu-waktu memerintahkan balatentaranya untuk menyerbu kemari.”
Sri Baginda tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Panglima Pasukannya itu.
“Orang asing kalau diberi hati, mereka akan menginjak kita. Apalagi kalau kita
memperlihatkan sikap takut! Ingat hal itu baik-baik bagi semua yang ada di sini!” Sri Baginda
memandang satu persatu wajah-wajah di hadapannya. “Mengenai penghinaan yang kita
lakukan terhadap pimpinan utusan Raja Cina itu, apakah kalian tidak melihat bahwa itu adalah
lebih ringan dibanding dengan penghinaan yang mereka lemparkan pada kita. Mereka
meminta agar kita tunduk kepada Kerajaan Cina!” Pelipis Sang prabu tampak bergerak-gerak
tanda dia menahan kemarahan besar. “Kubilai Khan boleh mengirim serdadunya kemari. Raja
Cina itu boleh menyerbu Singosari. Kita akan memukul mereka sampai hancur. Tidak ada satu
Kerajaanpun mampu menundukkan Kerajaan lain yang terpisah jauh. Mereka mungkin bisa
32
menang, tapi hanya sesaat. Begitu jalur perbekalan mereka putus, mereka akan jadi sasaran
hantu kelaparan atau senjata lawan!”
Panglima Argajaya dalam hati mengagumi kecerdikan jalan pikiran Sang Prabu.Tetapi
bagaimana kalau Adipati Wira Seta mempergunakan kesempatan. Bergabung dengan pasukan
Cina untuk menyerbu Singosari? Rasa-rasanya Singosari hanya akan sanggup bertahan satu
hari satu malam. Setelah itu…
Hal itulah yang dikawatirkan oleh Argajaya dan juga diketahui oleh Patih Raganatha.
Bahkan para Pendeta yang hadir di situ saat itu juga dapat meraba jalan pikiran kedua orang
tokoh Kerajaan tersebut. Namun tidak satupun yang berani mengemukakannya karena takut
dituduh yang bukan-bukan.
Melihat Argajaya diam saja Sang Prabu lantas bertanya.
“Masih ada lagi yang hendak mengemukakan sesuatu? Kalau tidak pertemuan ditutup
sampai di sini.”
Patih Raganatha melirik kepada Argajaya. Panglima Pasukan Singosari yang mengerti arti
lirikan ini membungkuk dalam-dalam dan berkata.
“Izinkan saya menyampaikan sesuatu Sang Prabu.”
Sang Prabu mengangguk.
“Ada seorang pelapor memberi tahu tentang pertemuan rahasia antara Adipati Wira Seta
dengan penguasa di Kediri.”
“Maksudmu Raden Adikatwang?”
“Betul sekali Sang Prabu.”
“Apa yang dilaporkan orang itu?” tanya Sang Prabu.
Lalu panglima Argajaya menceritakan pertemuan rahasia antara Adipati Wira Seta dengan
Adikatwang beberapa waktu lalu di sebuah hutan tak berapa jauh dari Kali Brantas.
“Ini cerita baru yang sungguh tidak enak didengar. Bahkan mengejutkan!” kata Raja pula.
“Tetapi saya lagi-lagi sulit mempercayainya. “Saya tahu betul selama ini Adikatwang
menghambakan dirinya penuh kejujuran dan kesetiaan pada Singosari. Itu sebabnya kita
memberikan kekuasaan di Gelang-gelang kepadanya. Upetinya tidak pernah putus. Apakah
orang sebaik itu bisa dipercaya akan melakukan pemberontakan? Dan kawan pemberontaknya
adalah Wira Seta yang juga mengabdi begitu baik terhadap Kerajaan?”
33
Orang-orang yang ada di tempat itu, terutama Patih Raganatha dan Panglima Argajaya
merasa putus asa dan sangat kecewa atas tanggapan yang diberikan oleh Raja mereka. Sang
Prabu rupanya memaklumi hal ini. Maka diapun bertanya.
“Siapa pelapor yang kau katakan itu Panglima?”
“Seorang pemuda bernama Wiro.”
“Dia orang Singosari?”
“Dia mengaku dari Barat. Dari Gunung Gede.” Jawab Argajaya.
“Ahhhh…Orang dari Barat!” ajar Sang Prabu sambil menarik napas panjang. “Bukan
mustahil dia adalah sisa-sisa turunan orang-orang Tarumanegara atau Pajajaran yang kita
semua tahu bahwa mereka tidak punya hubungan baik dengan Singosari sejak jaman nenek
moyang kita.”
Mendengar ucapan Raja mereka itu Argajaya apalagi Patih Raganatha tidak bisa berbuat
apa-apa selain berdiam diri.
“Orang bernama Wiro itu, di mana dia sekarang? Apakah kita bisa menanyainya secara
lebih seksama?”
Mendengar pertanyaan Sang Prabu itu Argajaya segera menjawab. “Jika Sang Prabu
berkenan menemuinya, saya bisa menyuruhnya panggil saat ini juga.”
“Bawa dia ke mari,” kata Sri Baginda.
Argajaya berdiri dan meninggalkan ruangan itu dengan cepat. Dia menemui dua orang
pengawal. Kedua pengawal itu lalu bergegas menuruni tangga Keraton, berjalan menuju ke
tembok bagian Timur di mana terletak sebuah bangunan yang dipergunakan sebagai tempat
bermalam para pengawal. Tak lama kemudian kedua pengawal itu muncul kembali bersama
sebrang pemuda berpakaian putih-putih dan berambut gondrong. Dia melangkah diapit dua
pengawal sambil senyum-senyum.
Ketika pemuda itu sampai di hadapan Sang Prabu, dia segera menjura memberi
penghormatan tetapi masih tetap sambil senyum-senyum. Hal ini mendatangkan rasa tidak
enak di hati Sang Prabu.
Sikapnya cukup hormat tapi rasanya ada sesuatu yang tidak beres dengan pemuda ini,
kata SriBaginda dalam hati.
“Orang muda, namamu Wiro?” tanya Raja.
34
“Betul Sang Prabu.”
“Kau keturunan orang-orang Tarumanegara atau Pajajaran?”
Wiro garuk-garuk kepalanya, kurang mengerti maksud pertanyaan itu. “Kalau soal
keturunan, saya kurang jelas. Saya dibesarkan di puncak Gunung Gede. Hanya itu yang saya
tahu.”
“Panglimaku melaporkan bahwa kau mengetahui adanya pertemuan rahasia antara Raden
Adikatwang dari Kediri dengan Adipati Wira Seta di Sumenep. Betul?”
“Betul sekali Sang Prabu,” jawab Wiro.
“Di mana pertemuan itu diadakan. Kapan?”
“Tiga hari lalu. Dekat Kali Brantas. Tak jauh dari pohon cempedak yang batangnya
melintang di atas kali. Waktu itu saya sedang enak-enak makan cempedak di atas pohon.
Lalu…”
“Hal itu tidak perlu diceritakan,” memotong Argajaya yang jadi risih mendengar Wiro
menccritakan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan Raja.
Sang Prabu melirik pada Panglima Argajaya lalu geleng-gelengkan kepala. Argajaya
seperti tak bisa bernafas melihat sikap dan cara Wiro memberi keterangan. Seolah-olah Sang
Prabu adalah temannya, bukan dianggap sebagai Raja.
“Laporanmu tidak bisa dipercaya. Kecuali kalau bisa memberikan bukti-bukti. Kau bisa
menunjukkan bukti-bukti tentang adanya pertemuan itu?” tanya Raja Sri Baginda.
Wiro jadi garuk-garuk kepala mendengar perfanyaan itu. Lalu dia ingat akan peristiwa di
kali. “Saya bisa memberikan bukti yang Sang Prabu minta,” berkata Wiro. “Bisa ditanyakan
pada delapan orang perajurit Kediri yang sempat saya telanjangi di sungai!”
Patih Raganatha dan Panglima Argajaya jadi berubah paras mereka. Para Pendeta
tundukkan kepala, beberapa di antaranya senyum-senyum.
“Cukup!” Sri Baginda berdiri dad duduknya. “Kau tidak bisa memberikan bukti. Malah
bicara ngawur!”
Wiro jadi jengkel.
“Sang Prabu, kewajiban saya hanya melapor. Karena saya merasa Singosari dalam
bahaya. Bukan tugas saya memberikan bukti-bukti. Itu adalah tugas orang-orang Singosari
sendiri untuk menyelidiki kebenarannya. Saya bicara apa adanya. Jika saya berkata dusta saya
35
bersedia dihukum!”
“Orang muda!” bentak Argajaya. “Kau tidak layak mengajari Sang Prabu!”
Wiro menatap wajah Panglima Singosari itu, sesaat lalu berkata, “Saya yang tolol mana
berani mengajari Raja. Jika tidak dipercaya sebaiknya saya pergi saja dari sini.”
Wiro hendak memutar tubuhnya.
“Kau kutuduh memberi keterangan palsu dan fitnah! Siapa dirimu harus diselidiki!”
Ucapan Raja Singosari itu membuat Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan langkahnya.
“Tangkap pemuda gondrong ini!” perintah Sang Prabu.
Wiro terkejut karena tak menyangka akan diperlakukan seperti itu. Enam perajurit
berbadan kukuh segera melompat dan mencekal kedua tangannya lalu ditelikungkan ke
punggung.
Wiro sampai mengerenyit karena kesakitan. Sebuah belenggu besi segera hendak
dikatupkan pada kedua pergelangannya.
Murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini menjadi kalap. Kaki kanan dan
kedua tangannya bergerak dengan cepat.
Tiga perajurit terpekik lalu terjengkang di lantai di hadapan Sang Prabu. Tiga lainnya
tegak memaing kaku dalam keadaan tertotok!
***
36
6
SEMUA orang yang ada di ruangan pertemuan terkejut sekali menyaksikan kejadian itu.
Tidak sembarang orang mampu melumpuhkan enam orang penyerang sekaligus dalam satu
gerakan kilat yang hampir tidak terlihat. Panglima Argajaya dalam hati harus mengakui bahwa
dia bahkan Patih Raganatha, mungkin tidak bakal mampu melakukan hal itu. Pemuda yang
mengaku bernama Wiro ini memiliki ilmu silat tinggi. Apakah dia juga mempunyai tenaga
dalam dan kesaktian yang hebat? Berpikir Argajaya dan juga Raganatha. Sementara para
Pendeta yang duduk tidak bergerak di tempat masing-masing dan tidak dapat
menyembunyikan air muka rasa kagum mereka.
Sri Baginda tidak ingin orang-orang yang ada di situ sempat terpengaruh oleh kehebatan
yang barusan diperlihatkan pemuda berambut gondrong itu. Maka diapun berkata dengan
suara keras.
“Kalian saksikan sendiri! Dia muncul dengan sikap berpura-pura seperti orang dungu.
Tapi nyatanya memiliki kepandaian tinggi. Jelas dia membekal maksud yang tidak baik. Apa
kalian masih be1um percaya kalau dia sebenarnya seorang mata-mata pihak yang mempunyai
maksud jahat terhadap Singosari?!”
Tidak ada yang membuka suara. Panglima Argaraya melangkah mendekati Sang Prabu
lalu berbisik. “Maafkan saya Sang Prabu. Jika dia memang nemiliki ilmu tinggi, bukankah
lebih baik memanfaatkannya untuk kepentingan Kerajaan?”
Sri Baginda memandang pada Panglimanya dengan wajah beringas. “Kenapa kau bicara
tolol Panglima? Kau ingin kita memelihara anak harimau. Kalau pada suatu hari dia akan
menerkam kita?!”
Argajaya terdiam, tak bisa berkata apa-apa lagi. Saat itu terdengar suara Raja keras sekali.
“Panglima Argajaya! Aku perintahkan kau meringkus pemuda itu!”
“Tapi Sang Prabu…”
“Kau berani menolak perintahku, Panglima?” Kedua mata Sri Baginda membelalak.
“Siap Sang Prabu!” jawab Argajaya. Lalu Panglima Kerajaan ini melompat ke hadapan
37
Wiro. “`Serahkan dirimu secara baik-baik. Kecuali kalau kau ingin kugasak sampai remuk!”
Wiro menatap wajah Panglima itu dengan sinis. “Panglima,” katanya. “Saya tahu kau
hanya menjalankan perintah walau hati kecilmu menentangnya.
Tetapi jika kau sampai menangkap diriku, itu adalah kesalahan yang keterlaluan. Kau tahu
aku tidak punya salah apa-apa…”
“Tutup mulutmu! Aku tidak segan-segan membunuhmu di hadapan Sang Prabu!” hardik
Panglima Argajaya.
Dada murid Eyang Sinto Gendeng seperti terbakar mendengar ucapan Argajaya itu.
Sebelumnya dia percaya penuh pada keterangan tentang pertemuan rahasia antar Raden
Adikatwang dan Wira Seta. Itu sebabnya aku mau disuruhnya menunggu sampai ada
kesempatan untuk menemui Raja. Kini dia berubah. Jangankan membela, membunuhpun dia
mau! Panglima tak bisa dipercaya. Panglima ular kepala dua!
“Kalau kau hendak menangkapku silakan. Aku, orang Gunung yang tidak punya daya!”
kata Wiro. Lalu dia tegak dengan kaki dikembangkan dan bahu merunduk. Tangan kanannya
bergetar karena ada tenaga dalam yang dialirkan ke situ.
Saat itu Wiro tiba-tiba mendengar ada suara mengiang di kedua telinganya.
“Anak muda, walau hatimu terbakar tapi jangan unjukkan kekuatan di tempat ini. Aku
percaya kau bisa merobohkan Panglima Argajaya dalam dua tiga kali gerakan. Tapi apakah itu
perlu? Serahkan saja dirimu baik-baik. Mengalah secara kesatria tidak ada celanya. Ada
saatnya kau bisa membebaskan diri. Itu harus kau lakukan pada saat yang tepat. Jika kau
melawan dan mempergunakan kekerasan semakin kuat dugaan Sang Prabu bahwa kau adalah
mata-mata musuh. Lagi pula betapapun kepandaian yang kau miliki, jika Raja mengerahkan
seluruh orang pandai dalam Istana kau pasti akan mengalami kesulitan.”
Wiro memandang pada orang-orang yang ada di ruangan itu. Sulit baginya untuk
menduga siapa yang barusan mengeluarkan ucapan itu dengan nempergunakan ilmu
mengirimkan suara yang tidak terdengar oleh orang lain, kecuali orang yang dituju. Yang
bicara pasti bukan Argajaya atau Patih Raganatha, apalagi Sang Prabu. Wiro memandang ke
jurusan para Pendeta. Mereka duduk dengan sikap tenang dan balas memandang dengan air
muka yang agak berubah.
Aku yakin salah seorang dari mereka yang barusan mengirimkan ucapan jarak jauh itu.
38
Tapi yang mana …? Wiro menatap wajah Pendeta Mayana. Pandangannya dipusatkan pada
kedua mata sang pendeta yang sangat bening. Hatinya berdetak, Pendeta satu inilah yang
diduganya mengeluarkan peringatan itu. Memikir bahwa petunjuk yang disampaikan lewat
suara tadi benar adanya maka Wiro batalkan niatnya untuk melakukan perlawanan. Dia
berpaling pada Panglima Argajaya.
“Saya tidak punya salah, tidak punya dosa. Jika setetes kebajikan yang hendak saya
berikan pada Singosari dianggap satu kesalahan besar, Panglima boleh saja menangkap saya.
Namun kelak Panglima in melihat kenyataan bahwa apa yang dilakukan adalah keliru. Saat ini
saya yakin ada beberapa orang dari yang hadir di sini mempunyai pendapat yang sama dengan
apa yang saya katakan. Tetapi mereka tidak bersedia mengatakan secara terus terang.”
Wiro tersenyum ketika melihat para Pendeta yang ada di ruangan itu sama menundukkan
kepala. Murid Sinto Gendeng itu lalu ulurkan kedua tangannya. Seorang perajurit cepat
membelenggu kedua pergelangan tangan Wiro dengan belenggu besi sementara beberapa
orang perajurit lainnya sibuk menolong enam kawan mereka yang cidera.
“Bawa tawanan ini ke penjara di tembok Timur Keraton. Jangan lepaskan belenggunya.
Dua orang harus selalu mengawal pintu penjara siang malam.” Kata Panglima Argajaya pada
bawahannya.
Sepuluh orang perajurit segera menggiring Wiro meninggalkan ruangan itu. Sebelum
melangkah pergi, Pendekar 212 berhenti di depan Argajaya. Dia keluarkan suara bersiul lalu
berkata, “Terimakasih atas perlakuan yang sangat mengesankan ini. Saya merasa sebagai
tahanan terhormat. Bukan maling bukan pencuri, juga bukan perampok. Kau tak usah kawatir
saya akan melarikan diri. Karena itu saya tidak memerlukan belenggu besi ini!”
Wiro salurkan tenaga dalam dan hawa panas dari perutnya. Kedua tangannya bergetar dan
tampak berubah warna menjadi putih seperti perak. Sang pendekar telah merapal aji kesaktian
ilmu pukulan matahari.
Belenggu besi tampak seperti leleh. Lalu traakk!
Belenggu itu terbelah dua. Selagi semua orang terkesiap menyaksikan kejadian itu Wiro
berpaling ke arah Sang Prabu. Dia menjura dengan sikap mengejek lalu melangkah ke arah
pintu. Ketika melewati Pendeta Mayana murid Sinto Gendeng ini tersenyum polos. Kedipkan
matanya dan berbisik, “Terima kasih atas petunjuk tadi…”
39
Pendeta Mayana hanya diam saja. Tidak mau memberikan reaksi apa-apa karena kawatir
sikapnya akan menimbulkan rasa curiga dalam diri Sang Prabu dan dapat memperburuk
suasana.
Pada saat Wiro mencapai pintu ruangan digiring oleh para pengawal tiba-tiba terdengar
satu suitan nyaring yang membuat semua orang terkesiap. Wiro hentikan langkahnya. Dia
mendengar suara berdering.
Entah dari mana munculnya sebuah benda melesat dan menancap di tiang kayu jati besar
di tengah ruangan. Ketika semua orang memperhatikan benda itu ternyata adalah sebuah tusuk
kundai yang terbuat dari perak. Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut etika dia mengenali benda
itu. Tusuk kundai tersebut adalah perhiasan yang biasa dipakai gurunya di kepala. Eyang,
katanya dalam hati. Kau ada di sini…
Pada ujung tusuk konde yang berbentuk gelungan, tersisip segulungan daun lontar kering.
Semua orang yang ada di situ memandang pada Sang Prabu, seolah menunggu isyarat atau
perintah apa yang harus mereka lakukan.
“Ada orang berkepandaian tinggi mengirimkan pesan. Punya ilmu tapi tidak punya nyali
untuk unjukkan diri!” kata Sang Prabu pula. Dia memandang berkeliling. Semua orang,
termasuk Wiro melakukan hal yang sama. Namun tidak satupun melihat orang yang
melemparkan tusuk kundai itu tadi. Bahkan bayangannya pun tidak.
Sang Prabu akhirnva memandang Panglima Argaraja.
“Panglima, ambil tusuk kindai itu!” perintah sang Prabu.
Panglima Argajaya segera melangkah ke tiang besar lalu mencabut tusuk kundai yang
menancap di situ. Tusuk kundai serta daun lontar yang tersisip diperhatikannya seketika lalu
diserahkannya pada Raja. Sri Baginda membuka gulungan daun lontar. Di situ ternyata ada
sederetan tulisan berbunyi :
Jika seseorang membuat muridku menderita tanpa salah, maka penderitaan akan
menimpa orang itu lebih parah.
Wiro merasa tidak enak ketika Sri Baginda memandang dengan wajah membesi ke
arahnya. Dilihatnya Sang Prabu menyerahkan daun lontar pada Panglima Argajaya. Argajaya
membaca apa yang tertulis di situ lalu memberikan daun itu pada Patih Raganatha.
40
“Kecurigaanku tidak melesetl Orang yang mengaku guru pemuda itu ternyata ada di sini.
Apa lagi yang mereka lakukan kalau bukan sama-sama berkomplot dengan musuh Singosari!
Murid dan guru sama saja kurang ajarnya. Berani dia memberi teguran dengan cara seperti
itu!” Sehabis berkata begitu Sri Baginda bantingkan tusuk kundai perak yang dipegangnya ke
lantai. Benda ini menancap sampai setengahnya ke dalam lantai batu yang keras. Lalu Raja
Singosari ini berpaling pada Patih Raganatha.
“Besok siapkan sidang pengadilan kilat bagi pemuda itu. Tapi satu hal sudah jelas. Dia
harus dijatuhi hukuman mati!”
“Daulat Sang Prabu,” jawab Patih Raganatha.
Paras Wiro jadi berubah mendengarkan kata-kata dari Baginda itu. Tak ada jalan 1ain. Dia
harus melarikan diri saat itu juga. Ketika dia siap hendak melakukan hal itu tiba-tiba ada
sambaran angin di belakangnya. Murid Eyang Sinto Gendeng cepat memutar tubuh seraya
menghantamkan tangan kanannya.
Bukk!
Jotosannya tepat menghantam dada orang. Orang yang menyerang ini terpental tiga
langkah dan jatuh tergelimpang di lantai. Dari mulutnya terdengar suara erang kesakitan. Di
saat yang sama ketika jotosannya mengenai orang Wiro sendiri merasakan satu totokan
melanda dadanya dengan telak hingga saat itu juga sekujur tubuhnya menjadi kaku tak bisa
bergerak tak bisa bersuara. Di dapannya Panglima Argajaya berusaha bangkit dengan tubuh
terhuyung-huyung. Di sela bibirnya ada lelehan darah. Pukulan Wiro telah membuat Panglima
Singosari ini terluka dalam yang cukup parah!
Wiro digotong empat orang prajurit menuju halaman belakang Keraton. Di tembok
sebelah Timur rombongan ini membelok ke kanan melewati arah pintu. Dari sini mereka akan
menyeberangi sebuah jalan besar yang mengelilingi Keraton. Di seberang jalan ada sebuah
bangunan batu berbentuk panjang. Ke bangunan inilah Pendekar 212 akan dibawa.
Ketika rombongan itu baru saja hendak menyeberangi jalan seorang penunggang kuda
melintas dengan cepat. Di belakangnya ada dua orang pengawal mengikuti. Tiba-tiba
penunggang kuda di sebelah depan membalik ke arah rombongan yang tengah menyeberang.
Orang di atas kuda itu ternyata adalah seorang gadis remaja berparas cantik sekali. Dia
mengenakan pakaian ringkas. Rambutnya yang panjang hitam dijalin satu lalu digelung di atas
41
kepala. Dua orang penunggang kuda yang bertindak sebagai pengawal segera bertanya.
“Raden Ayu Gayatri, mengapa kita berhenti?”
Gadis di atas kuda tidak perdulikan pertanyaan pengawalnya. Dia membawa kudanya ke
depan rombongan yang tengah menggotong Wiro. Empat orang perajurit yang menggotong
langsung meletakkan Wiro begitu saja di tanah. Bersama enam oran perajurit lainnya mereka
membungkuk menghatur sembah.
Dalam keadaan tertelentang di tanah Pendek. 212 Wiro Sableng jadi tercengang ketika
melihat semua perajurit yang mengawalnya memberi penghormatan seperti itu terhadap si
gadis. Dalam hati dia berkata. Ah, dia rupanya. Siapa gadis sebenarnya? Mengapa semua
perajurit menghormat seperti sikap menghormat seorang Raja? Dulu waktu kutanya dia tidak
mau memberi tahu nama, juga tidak di mana dia tinggal
Gadis cantik berpakaian ringkas tidak perdulikan pertanyaan pengawalnya tadi. Dia
memperhatikan Wiro yang tertelentang di tanah, tidak bergerak tidak bersuara. Hanya bola
matanya saja yang berputar-putar.
Apa yang terjadi dengan dirinya? Tangan dan kakinya tidak bergerak. Sekujur tubuhnya
seperti kaku. Bersuarapun dia tidak bisa. Keadaannya seperti orang ditotok. Gadis itu
melompat turun dari kudanya.
“Siapa pimpinan dalam rombongan ini?” Si gadis ajukan pertanyaan.
Seorang perajurit maju ke depan. “Hamba Den Ayu…”
“Mau dibawa kemana orang ini?”
“Atas perintah Sang Prabu tawanan ini hendak dijebloskan ke dalam penjara.”
“Tawanan? Hendak dijebloskan ke dalam penjara?!” Paras si gadis tampak berubah. Dia
memandang pada Wiro. Lalu kembali bertanya pada si pengawal. “Apa kesalahannya?”
Pengawal menjawab. “Dia mata-mata musuh.”
Si gadis kembali memandang ke arah Wiro. Dia mata-mata musuh? Benarkah? Tidak
mungkin. Aku tak percaya. Kalau bukan karena dia diriku…
“Dia bukan mata-mata. Aku tahu betul hal itu. Harap kalian segera melepaskan dirinya.
Biarkan dia pergi dari sini!”
Semua orang yang ada di jalanan itu tentu saja sangat terkejut mendengar ucapan si gadis
sementara Pendekar 212 hanya bisa menatap.
42
“Kami menghormati Raden Ayu dengan segala ucapannya,” kata perajurit yang jadi
pimpinan. “Tetapi mana mungkin kami menyalahi perintah Sang Prabu. Mohon Raden Ayu
mengerti dan memaafkan.”
“Katakan di mana Sang Prabu berada saat ini?” tanya gadis yang dipanggil dengan
sebutan Raden Ayu Gayatri itu.
“Sang Prabu ada di ruangan pertemuan Keraton bersama Patih dan Panglima serta para
Pendeta.”
Gadis cantik itu berpaling pada dua orang yang mengawalnya dan berkata. “Latihan
menunggang kuda cukup sampai di sini dulu.” Lalu gadis ini melompat ke atas kudanya dan
membedal binatang ini memasuki halaman Timur Keraton. Empat orang perajurit meneruskan
menyeberangi jalan, menggotong Wiro menuju bangunan penjara.
Pertemuan di dalam keraron segera akan berakhir ketika Raden Ayu Gayatri memasuki
ruangan. Kecuali Sang Prabu semua orang yang ada di situ menjura memberikan
penghormatan.
“Gayatri, kau tidak berlatih menunggang kud hari ini?” tanya Sri Baginda.
“Sudah tapi tidak sampai selesai. Ananda harap kedatangan Ananda tidak mengganggu
Ayahanda.” kata Gayatti pu1a. Ternyata dia adalah anak Sang Prabu. Gayatri bungsu dari
empat orang puteri bersaudara.
“Kau tidak mengganggu. Pertemuan baru saja selesai,” jawab Sang Prabu. Dia menatap
pada puterinya sesaat, lalu bertanya, “Ada apa Gayatri. Agaknya ada sesuatu yang penting?”
Gayatri menggangguk.
“Katakanlah. Atau kau ingin hanya kita berdua saj di ruangan ini? Jika itu maumu,
Ayahada akan minta semua orang yang ada di sini untuk pergi…”
“Tidak perlu. Biarkan semuanya tetap di sini agar bisa ikut mendengar,” jawab Puteri Raja
pula. Sang Prabu Singosari menjadi agak heran mendengar kata-kata puterinya itu. “Ada
apakah sebenarnya Gayatri?”
“Di jalan saya berpapasan depgan perajurit yang tengah menggotong seorang pemuda ke
penjara.”
“Hemmm, kau melihat rombongan itu rupanya.”
“Ananda minta agar pemuda itu dilepaskan.” Kalau ada ledakan keras yang
43
menghancurkan ruangan itu mungkin tidak sedemikian terkejutnya Sang Prabu, Patih dan
Panglima Singosari sementara para Pendeta tegak tak bergerak tanpa dapat menyembunyikan
air muka mereka yang menunjukkan rasa heran.
“Kau minta tawanan itu dilepaskan, Gayatri?” tanya Sang Prabu. Ketika puterinya
mengangguk, Raja Singosari ini lanjutkan pertanyaannya. “Katakan apa sebabnya.”
“Dia bukan mata-mata musuh. Bukan orang jahat.”
“Rupanya kau sudah mengenal pemuda asing itu sebelumnya. Anakku, katakan apa
hubunganmu dengani pemuda itu. Jangan kau berani memberi malu keluarga Istana
Singosari!”
“Kalau bukan karena dia ananda saat ini sudah tidak ada lagi.”
“Apa maksudmu Gayatri?” kejut Sang Prabu Singosari. “Apa yang telah terjadi dengan
dirimu?!”
“Tadinya Ananda sengaja merahasiakan apa yang telah terjadi sekitar sepuluh hari lalu.
Tapi saat ini Ananda harus memutuskan untuk rnenceritakannya. Agar Ayahanda bersedia
memenuhi permintaan Ananda membebaskan pemuda itu.” Lalu Raden Ayu Gayatri
menuturkan suatu peristiwa yang selama ini tidak diketahui oleh Sang Prabu maupun
Permaisuri.
***
44
7
PAGI itu ketika seorang pengasuh di Kaputren memberi tahu bahwa dua orang pengawal yang
biasa melatihnya menunggang kuda siap menunggu, puteri bungsu Sang Prabu mengatakan
bahwa dirinya kurang sehat. Latihan hari itu ditunda saja sampai besok. Sebenarnya Gayatri
punya rencana sendiri yang sudah sejak lama ingin dilakukannya.
Di sebuah hutan kecil di Timur Laut Singosari, tak berapa jauh dari Gunung Bromo sejak
lama diketahui orang banyak terdapat kupu-kupu dari berbagai jenis ukuran dan bentuk.
Warnanya juga macam-macam dan sangat menarik hati. Raden Ayu Ciayatri ingin sekali pergi
ke sana untuk melihat dan menangkap binatang-binatang itu lalu mengawetkannya dan
menjadikannya benda pajangan. Namun sebagai seorang puteri Raja hal itu tidak mungkin
dilakukannya. Paling tidak harus ada pengawal mendampinginya. Hal inilah yang tidak
disukai sang puteri. Dia merasa seperti terkekang dan dibatas gerak-geriknya kalau ke mana-
mana selalu dikawal, Karena itu secara diam-diam dia mempersiapkan tangguk dan kantong
besar untuk menangkap kupu kupu itu. Dia akan pergi seorang diri dengan menunggang kuda.
Dia merasa sudah cukup mahir menunggang kuda tanpa pengawal atau pelatih. Kini tinggal
menunggu kesempatan saja. Dan hari itu dirasakannya adalah hari yang paling tepat karena
diketahuinya Sang Prabu bersama Patih dan Panglima Kerajaan akan melakukan perjalanan ke
Selatan.
Setelah dua orang pelatih yang merangkap pengawal meninggalkan Kaputeran dan
pengasuh berlalu, Gayatri segera mengganti pakaiannya dengan celana dan baju ringkas.
Rambutnya diikat dengan sehelai sapu tangan kuning. Jaring dan tangguk penangkap kupu-
kupu diambilnya dari balik sebuah lemari besar. Sebilah golok pendek diselipkannya di
pinggang. Lalu tanpa setahu siapapun dia menyelinap ke kandang kuda di belakang Kaputren.
Tak lama kemudian puteri bungsu Raja Singosari ini tampak membalap kudanya
meninggalkan Tumapel ke arah Timur Laut.
Sebagai seorang Puteri Raja Gayatri tidak pernah pergi jauh meninggalkan Keraton.
Kalaupun pergi dia selalu dikawal. Hal ini menyebabkan dia tidak banyak tahu seluk beluk di
45
luar Keraton dan akibatnya dalam perjalanan menuju hutan yang banyak kupu-kupunya itu
gadis ini tersesat ke sebuah hutan lain yang juga terletak di Timur Laut, dipisahkan dengan
hutan kupu-kupu oleh sebuah kali dangkal.
Setelah cukup lama berada dalam hutan yang salah itu, Gayatri merasa heran karena dia
sama sekali tidak menemukan seekor kupu-kupupun. Keadaan hutan dilihatnya aneh.
Pepohonannya lebat dan tua tetapi di mana-mana terdapat bebatuan dan jurang-jurang kecil.
“Jangan-jangan kupu-kupu itu hanya cerita dusta aja,” membatin Gayatri. Dalam keadaan
letih gadis ini akhirnya memutuskan untuk kembali pulang saja. Malangnya dia tidak berhasil
mencari jalan pulang ialah berputar-putar dalam rimba itu sampai akhirnya matahari condong
ke Barat. Rasa takut dan menyesal telah melakukan perjalanan itu seorang itu mulai muncul
dalam dirinya. Sementara itu yang membuatnya tambah gelisah ialah karena kuda
tunggangannya sebentar-sebentar mengeluarkan suara meringkik. Seolah-olah ada sesuatu
yang ditakutkan binatang ini.
“Tenang…. Tenanglah Grudo,” kata Gayatri sambil mengelus kuduk kudanya. “Aku tahu
kau tentu letih. Tapi kita harus segera keluar dari hutan ini. Kita harus dapat mencari jalan
pulang. Ayo Grudo, jalan terus, kita harus pulang sebelum malam tiba…”
Tapi binatang dan tuannya itu tidak mampu keluar dari rimba belantara itu. Di sebuah
mata air kecil Gayatri membiarkan kudanya minum. Dia sendiri tidak berani meneguk mata air
itu. Tiba-tiba Grudo mengangkat kepalanya lalu meringkik keras-keras sambil menaikkan kaki
tinggi-tinggi, membuat Gayatri hampir jatuh terbanting ke tanah. Kuda itu kelihatan seperti
ketakutan.
“Grudo, tenang. Tak ada apa-apa…” kata Gayatri coba menenangkan kuda dan juga
dirinya sendiri. Baru saja gadis ini berkata begitu tiba-tiba di belakangnya terdengar suara
menggereng. Gayatri berpaling. Nyawanya seperti lepas ketika hanya sepuluh langkah di
belakangnya, dekat sebatang pohon besar tegak merunduk seekor harimau besar hitam belang
kuning.
Harimau sebesar anak sapi itu tiba-tiba mengaum. Aumannya laksana guntur. Jantung
Gayatri seperti mau copot. Grudo, kuda tunggangannya meringkik keras lalu menghambur lari
sekencang-kencangnya. Gayatri jatuhkan diri sama rata di atas punggung binatang itu,
memagut leher kudanya kuat-kuat. Sekali dia berpaling ke belakang. Wajah gadis ini menjadi
46
pucat pasi ketika ternyata dilihatnya harimau besar itu mengejar dan sangat dekat di
belakangnya.
“Lari yang kencang Grudo! Lari yang kencang!” teriak Gayatri sambil memukul terus
menerus pinggul kudanya dengan tangan kanan. Tiba-tiba di sebelah depan tidak terduga, di
antara kerapatan pepohonan menghadang sebuah batu besar Grudo coba menghindari dengan
membelok ke kiri. Tapi di belokan yang tajam dan sangat tiba-tiba itu membuat tubuh Gayatri
terbanting keras ke kanan. Pegangannya pada leher kuda terlepas. Tubuh gadis itu terlempar.
Masih untung dia jatuh di atas rerumpunan semak belukar hingga tidak mengalami cidera
berat. Hanya pakaiannya saja yang robek dan kulitnya tergurat di beberapa tempat.
Gayatri cepat turun dari semak-semak itu. Namun baru saja kakinya menginjak tanah
harimau besar itu tahu-tahu sudah berada tujuh langkah di hadapannya! Binatang ini
rundukkan tengkuknya tanda dia siap menerkam mangsanya. Ketakutan setengah mati Gayatri
gerakan tangan ke pinggang. Maksudnya hendak mengambil golok yang diselipkannya. Tapi
senjata itu tak ada lagi di pinggangnya. Telah mencelat mental entah ke mana sewaktu tadi dia
jatuh dari kuda.
Untuk melarikan did tidak mungkin. Melawanpun tebih tidak mungkin. Dalam keadaan
tidak berdaya begitu rupa yang bisa dilakukan Gayatri hanyalah berteriak minta tolong. Tapi
siapakah yang akan menolongnya dalam rimba belantara yang sunyi itu?
Harimau besar itu mengaum dahsyat. Tubuhnya menerkam ke depan. Dua kaki depannya
siap membeset ke arah dada sedang mulutnya yang terbuka lebar mencari sasaran di leher
Gayatri!
Hanya sesaat lagi binatang buas itu akan melahap mangsanya, tiba-tiba dari balik sebatang
pohon menderu satu sambaran angin yang sangat deras. Angin ini menghantam tubuh harimau
itu hingga terpental beberapa tombak, terkapar di tanah, bangun terhuyung-huyung. Kepalanya
digelenggelengkan. Lalu terdengar aumannya yang menggetarkan rimba belantara. Untuk
beberapa saat lamanya binatang ini hanya mengaum saja. Rupanya hantaman angin keras tadi
walau tidak mendatangkan cidera tapi cukup membuatnya nanar. Saat itu Gayatri terduduk di
tanah dengan muka pucat. Dia tidak mampu lagi berteriak, apalagi beranjak menyelamatkan
diri. Di saat gadis ini seperti pasrah menerima kematian di tangan harimau itu, tiba-tiba
sesosok tubuh berkelebat di depannya. Lalu dia melihat seorang pemuda berambut gondrong
47
tegak membelakangi antara dia dan harimau.
“Raja hutan!” terdengar pemuda itu berkata. “Aku tidak ingin membunuhmu. Tapi aku
juga tidak suka kau membunuh gadis ini. Lekas tinggalkan tempat ini!”
Harimau besar seperti mengerti ucapan orang keluarkan suara menggereng marah.
Tubuhnya merunduk tanda dia siap menerkam pemuda berambut gondrong itu.
“Ah, jadi kau tak mau diajak berunding….” Ucapan si pemuda terputus ketika harimau di
depannya melompat menerkam. Dengan cepat pemuda itu merunduk. Sambil merunduk
tangan kanannya menjotos ke atas.
Bukk!
Harimau besar itu terpental satu tombak ke kiri. Raungannya menggetarkan hutan. Dua
tulang iganya patah. Tapi begitu menjejakkan kaki di tanah binatang ini cepat berputar dan
kembali menerkam si pemuda.
“Binatang tolol! Dikasihani malah minta digebuk!” Dengan gerakan cepat pemuda itu
melompat ke samping menghindari serangan harimau. Begitu serangan lewat tangan kirinya
menghantam ke depan. Kembali terdengar suara bergedebuk. Harimau besar itu melintir di
udara lalu jatuh tergelimpang tanah. Pipinya remuk. Mata kanannya mengeluarkan darah.
Binatang ini meraung keras dan menggapai-gapaikan kedua kaki depannya lalu dengan tubuh
huyung dia mencoba berdiri. Si pemuda menghantam kalau binatang ini menyerang kembali.
Tapi ternyata harimau itu melangkah mundur lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan
tempat itu.
Sadar kalau dirinya baru raja terlepas bahaya maut Gayatri sandarkan diri ke batang
pohon lalu menangis keras sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Pemuda berambut gondrong melangkah mendekati seraya berkata.
“Gadis berani, harimau itu sudah kabur. Bahaya sudah berlalu….”
Gadis berani? Aku dikatakannya gadis berani, membatin Gayatri. Aku ketakutan
setengah mati, malah bilang aku gadis berani!
Perlahan-lahan gadis itu turunkan kedua tangan. Si pemuda terkesiap ketika melihat wajah
sang dara.
Wajahnya cantik sekali. Sepasang matanya bening kaca.
“Saya… saya bukan gadis berani. Tadi saya ketakutan setengah mati…” kata Gayatri
48
polos.
“Ah, ternyata kau bukan saja pemberani tapi juga jujur. Kau tahu hanya gadis yang berani
yang mau masuk ke dalam hutan seorang diri sepertimu.”
“Sebenarnya saya tersesat. Tujuan saya bukan hutan ini.”
“Apapun tujuanmu adalah sangat berbahaya mengadakan perjalanan seorang did. Apalagi
memasuki hutan. Apa yang kau lakukan dalam hutan ini?”
“Saya mencari kupu-kupu,” jawab Gayatri.
“Kupu-kupu? Ah, di sini mana ada kupu-kupu. Hutan yang banyak kupu-kupunya terletak
di sebelah Timur.”
“Itu sebabnya saya katakan saya tersesat. Kau tinggal di sekitar sini?”
“Agak jauh dari sini….”
“Saya Wiro. Kau siapa?”
“Saya….” Gayatri sadar dia tak mungkin memberi tahu namanya. “Maaf…. saya tidak bisa
memberi tahu nama.”
Wiro tersenyum. Berani masuk hutan tapi takut memberi tahu nama. Pasti ada satu rahasia
yang coba disembunyikannya.
“Saya berhutang nyawa padamu. Kau telah menyelamatkan saya dari raja hutan tadi…”
Wiro garuk-garuk kepala. “Hutang uang memang ada. Kalau hutang nyawa mana ada?”
katanya.
“Ucapan itu lebih pantas dari pada menyebut segala hutang nyawa,” kata Wiro pula.
“Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Kita harus meninggalkan hutan ini.”
“Ya, saya harus segera pulang. Tapi saya tak mungkin pulang tanpa Grudo.”
“Grudo? Siapa Grudo?” tanya Wiro.
“Kuda saya. Saya kehilangan binatang itu. Dia lenyap entah ke mana ketika dikejar
harimau.”
“Apakah kudamu seekor kuda betina. Berwarna coklat, ada warna putih di atas
mulutnya?”
“Benar, bagaimana kau tahu?”
“Saya sempat melihatnya. Saya akan memanggilnya agar datang kemari.”
“Kau bisa memanggil kuda? Kau bergurau…”
49
“Lihat saja!”
Wiro lalu mendongak ke atas. Dia mengerahkan sedikit tenaga dalamnya ke dada lalu ke
leher. Kedua iangannya diletakkan di samping kepala. Masing-masing ibu jari menutupi liang
telinga dan empat jari lainnya digerak-gerakkan. Gayatri hampir tak dapat menahan ketawa
melihat sikap pemuda ini. Dari mulut Wiro kemudian, terdengar suara keras seperti ringkikan
kuda jantan. Si gadis sampai menekap telinganya saking kerasnya ringkikan itu. Wiro
membuat suara meringkik itu tiga kali lalu diam sebentar. Sesaat kemudian dia mengulangnya
lagi. Begitu sampai empat kali berturut-turut.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara ringkikan kuda seolah membalas ringkikan yang
dibuat Wiro.
“Itu suara Grudo!” seru Gayatri. Dia memandang ke arah kejauhan dari arah mana
kemudian terdengar suara langkah-langkah kaki kuda mendatangi.
Wiro kembali meringkik.
Tak selang beberapa lama seekor kuda betina oklat muncul dari balik pepohonan.
“Grudo!” pekik Gayatri lalu lari dan memeluk kuda betina itu. Ketika Wiro datang
mendekat Gayatri bertanya. “Saya belum pernah bertemu dengan orang sepertimu. Mampu
berkelahi dengan harimau. Menyelamatkan nyawa saya dari bahaya naut. Lalu pandai
memanggil kuda….”
Wiro tertawa lebar mendengar kata-kata Gayatri itu. “Tidak ada yang hebat,” katanya.
“Aku hanya menirukan suara ringkikan kuda jantan. Kuda betinamu mendengar lalu
mendatangi. Kuda begitu rupanya. Betina mencari jantan. Manusia pemuda mencari gadis.
Ha… ha… ha….”
Diam-diam dalam hatinya Gayatri suka sekali pada pemuda ini. Tapi saat itu dia harus
segera pulang. Dia memandang pada Wiro lalu berkata. “Saya tidak tahu bagaimana membalas
budi baikmu. Saya benar-benar berterima kasih. Saya harus pergi sekarang….”
Wiro mengangguk. “Saya akan mengantar kanmu sampai ke tepi hutan.”
“Kau baik sekali. Tapi kita tidak bisa menunggangi kuda ini berdua.”
“Asal kau tidak memacu binatang itu secepat kau membedalnya sewaktu dikejar harimau,
saya pasti dapat mengikutimu,” kata Wiro pula.
Gayatri tertawa lepas. Ditepuknya pinggang Grudo. Kuda ini mulai bergerak. Mula-mula
50
perlahan. Wiro berlari mengikuti dari belakang sambil sekali-sekali memberi tahu arah mana
yang harus diambil. Gayatri mempercepat lari kudanya sambil sesekali melirik ke belakang.
Setiap dia berpaling dilihatnya pemuda itu tetap berada dalam jarak yang sama dari kudanya.
Dicobanya lebih mempercepat lari Grudo lalu dia melirik lagi. Tetap saja Wiro dilihatnya
berada dalam jarak yang sama.
Pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia pasti murid seorang sakti. Ah, kalau dia mau
membaktikan diri di Keraton, niscaya Ayahanda mau memberikan jabatan cukup tinggi
padanya. Begitu Gayatri berpikir sambil menunggangi kudanya.
Di tepi hutan gadis itu hentikan kudanya.
“Wiro, terima kasih kau telah mengantarkan saya sampai di sini. Saya akan pulang. Kita
berpisah di sini. Saya berharap bisa bertemu denganmu lagi!”
Wiro seka keringat yang membasahi keningnya.
“Saya juga berharap begitu. Hanya sayang kau tidak memberi tahu nama. Rumahmupun
saya tidak ahu.”
“Jangan berkecil hati Wiro. Kelak kau akan kuberi tahu. Atau ada orang yang akan
memberi tahu.” Gadis itu terdiam sesaat. Lalu tangannya bergerak menanggalkan sebuah
peniti di dada pakaiannya. Benda itu diserahkannya pada Wiro seraya berkata. “Saya berikan
dengan hati tulus. Terimalah Wiro tak berani menyambuti. Tapi si gadis nemaksa. Begitu
peniti berpindah tangan Gayatri segera memacu Grudo meninggalkan tempat Itu. Wiro
memperhatikan sampai si gadis lenyap di kejauhan. Lalu diperhatikannya benda yang ada
dalam genggamannya.
“Astaga, ini peniti emas. Pasti mahal sekali harganya!” kata Wiro. Pada bagian atas peniti
yang agak lebar terdapat tulisan dalam bahasa Jawa kuna yang tidak dimengerti Wiro. Sambil
memandang ke arah lenyapnya Gayatri tadi, Wiro masukkan peniti emas itu ke dalam saku
pakaiannya.
***
51
8
SEMUA orang yang ada di ruang pertemuan itu termasuk Sang Prabu terdiam mendengar
penuturan Raden Ayu Gayatri.
“Ada yang ingin menyampaikan sesuatu?” Sang Prabu akhirnya membuka mulut
bertanya.
“Kalau diperkenankan, saya ingin mengatakan sesuatu,” Patih Raganatha berkata. Ketika
Sang Prabu mengangguk diapun meneruskan bicaranya. Mohon maaf Sang Prabu, mungkin
saya salah. Turut apa yang diceritakan Puteri Sang Prabu saya menaruh kesimpulan bahwa
mungkin sekali pemuda dari Gunung Gede itu memang bukan mata-mata.”
“Hemm…” Raja bergumam. “Ada alasan kuat Mamanda Patih mengatakan begitu?”
“Jika dia berada di pihak yang menyeterui Singosari pasti dia telah menculik Puteri
Gayatri waktu di hutan itu,” jawab Patih Raganatha.
“Dia tidak melakukan itu karena saat berada di hutan dia tidak tahu siapa sebenarnya
Puteriku,” kata Sang Prabu pula mementahkan pendapat Sang Patih. Patih Kerajaan terdiam.
Tak ada yang bicara. Sang Prabu kemudian bertanya, “Ada lagi yang ingin menyampaikan
sesuatu? Saran, permintaan?”
Tak ada yang menjawab. Sang Prabu berpaling pada puterinya. “Ananda Gayatri, kau
tetap pada pendirianmu agar pemuda itu dibebaskan?”
Gayatri mengangguk. Maka Sang Prabupun berkata. “Gayatri, sesungguhnya kau telah
membuat beberapa kesalahan yang bisa mencemarkan nama baik keluarga Keraton Singosari.”
Puteri bungsu terkejut dan memandang tak mengerti pada Ayahandanya.
“Pertama, kau meninggalkan Keraton tanpa meminta izin atau memberi tahu siapapun.
Kedua kau pergi ke tempat yang berbahaya tanpa pengiring atau pengawal sama sekali. Ketiga
kau berada di hutan berdua-duaan dengan seorang pemuda asing yang dicurigai mempunyai
maksud jahat terhadap Singosari. Kesalahan keempat, kau malah meminta agar pemuda asing
itu dilepaskan!”
Untuk beberapa saat lamanya Gayatri tidak dapat berkata apa-apa mendengar ucapan
52
Ayahandanya itu. Semua orang memandang padanya. Para Pendeta diam-diam merasa hiba.
Sebetulnya Gayatri ingin segera berlalu dari tempat itu. Dia tahu kalau Ayahandanya
punya sifat tidak suka dibantah. Namun hati kecilnya merasa tidak enak kalau semua
kesalahan harus dituduhkan pada dirinya. Maka puteri bungsu ini akhirnya memutuskan untuk
bicara.
“Ayahanda, untuk hal pertama dan kedua Ananda mengaku salah dan bersedia menerima
hukuman. Namun untuk hal ketiga dan keempat sulit bagi Ananda menerimanya. Pertemuan
itu sama seka tidak direncanakan. Pemuda asing itu seolah-olah dimunculkan oleh Bathara
Agung ketika Ananda berada dalam bahaya maut. Siapapun dia adanya dia telah
menyelamatkan Ananda. Karena dia orang kebanyakan mungkin kita tidak perlu ingat apalagi
membalas budi jasanya itu. Tetapi jika kemudian kita menuduhnya sebagai orang yang punya
niat jahat terhadap Singosari, mata-mata musuh… entah tuduhan apa lagi, Ananda rasa itu
sungguh sangat bertentangan dengan pikiran bijaksana dan peri keadilan. Semoga para Dewa
mengampuni kekeliruan kita.”
Habis berkata begitu Gayatri haturkan sembah lalu melangkah cepat ke pintu.
Paras Sang Prabu tampak merah padam. “Gayatri!” teriaknya.
Puteri bungsu itu hentikan langkah dan berpaling.
“Sebagai anak kau tidak layak berkata seperti itu! Urusan Kerajaan aku yang
mengendalikan bersama tiga orang Maha Menteri yaitu Patih, Panglima dan Pendeta! Aku
terpaksa menjatuhkan hukuman padamu. Mulai saat ini kau tidak diperkenankan
meninggalkan Kaputeran. Berapa lamanya sampa ada keputusan lebih lanjut!”
Kedua mata Gayatri membesar. Ada air mata merebak di kedua matanya. Gadis ini cepat
menggigit bibirnya keras-keras hingga berdarah. Rasa sakit membuat dia mampu menahan
tangis. Dia melangkah meninggalkan ruangan itu dengan menguatkan diri, membusungkan
dada menegakkan kepala. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahan jiwa pada orang-orang
yang ada di situ, terutama Ayahandanya. Tapi di ambang pintu tiba-tiba Gayatri hentikan
langkahnya dan berpaling. Lalu terdengar gadis ini berkata.
“Saya ingat pada kisah yang ditulis dalam sebuah kitab kuna. Seekor pelanduk yang lari
ketakutan di tengah hutan ditangkap oleh Penguasa Rimba. Dituduh mencuri makanan.
Ternyata tuduhan itu kemudian tidak pernah terbukti. Karena tidak pernah diperiksa apa yang
53
sebenarnya menyebabkan si pelanduk melarikan diri. Padahal dia melarikan diri karena
ketakutan dikejar babi hutan dan srigala yang berlomba hendak memangsanya. Seorang
pemuda yang tidak diketahui kesalahannya ditangkap. Dijebloskan ke dalam penjara.
Mengapa tidak seorangpun yang memikirkan untuk menyelidiki Raden Adikatwang dan
Adipati Wira Seta? Saya tidak memerlukan jawaban karena karena saya tahu semua orang
yang ada disini adalah orang-orang pandai yang tidak layak diajari…”
“Gayatri!” hardik Sang Prabu dengan muka anerah padam dan marah sekali. “Keluar kau
dari ruangan ini!”
Puteri Sang Prabu haturkan sembah lalu membalik dan berlalu dari ambang pintu dengan
cepat.
Pendeta Mayana menarik nafas lalu berkata. “Sang Prabu, mohon maafmu. “Mungkin kita
memang perlu untuk mengusut langsung dua orang yang tadi disebutkan Puteri Gayatri yaitu
Raden Adikatwang dan Adipati Wira Seta.”
Kalau saja yang bicara itu bukan Pendeta Mayana orang tertua yang paling dihormati
Paduka, pastilah Raja Singosari ini akan membentaknya. Sang Prabu duduk kembali ke
tempatnya. Sambil mengusap-usap dagunya dia berkata perlahan.
“Saya akan pikirkan hal itu Mamanda Patih.”
Namun nyatanya Sang Prabu tidak pernah memikirkan hal itu, apalagi memerintahkan
melakukan penyelidikan. Kelak hal ini akan menjadikan penyesalan harus dibawanya bersama
ajalnya.
***
RUANGAN di mana Pendekar 212 Wiro Sableng dikurung adalah sebuah ruangan batu
yang terletak di bagian bawah bangunan panjang. Pintunya terbuat dari besi yang bagian
atasnya berbentuk jeruji-jeruji sebesar pergelangan tangan.
Di luar pintu yang digembok itu, dua orang pengawal melakukan penjagaan di bawah
penerangan sebuah obor yang dikaitkan di dinding. Ketika malam tiba keadaan di dalam dan
di luar bangunan sepi sekali. Angin malam sesekali bertiup dingin.
Dari arah tembok Keraton sebelah Utara kelihatan sesosok tubuh berjalan cepat dalam
54
kegelapan malam. Orang ini ternyata menuju ke arah bangunan berbentuk panjang. Dia
mengenakan jubah ahu-abu yang bagian lehernya di lengkapi sebuah topi berbentuk kerudung.
Bentuk kerudung ini menyembunyikan hampir keseluruhan wajahnya hingga mukanya tidak
dapat dilihat dan sulit dikenall.
Di pintu depan bangunan dua orang pengawal segera mendatangi. Orang berjubah
mengeluarkan secarik kertas. Begitu melihat kertas tersebut dua pengawal tampak menjura
lalu memberi jalan bagi orang berkerudung untuk masuk ke dalam bangunan.
Orang ini langsung menuju tangga yang membawanya ke sebuah lorong batu pendek. Di
ujung lorong ada sebuah pintu besi dijaga oleh dua orang pengawal. Seperti tadi orang
berkerudung ini keluarkan kertas dan memperlihatkannya pada kedua pengawal. Namun kali
ini dia mendapat kesulitan.
“Kami mendapat pesan, kalau bukan Patih atau Panglima Kerajaan yang datang, kami
tidak boleh membuka pintu ini.” berkata salah seorang pengawal.
Orang berkerudung tampak kurang senang mendengar ucapan pengawal pintu penjara.
Tapi dengan sabar dia berkata, “Kau lihat sendiri. Surat itu dibubuhi Cap Kerajaan. Berarti
adalah perintah Prabu Singosari.”
“Kami memang melihatnya, namun kami tetap berpegang pada perintah yang telah
diberikan.”
“Berarti kalian berani menyanggah perintah Raja?” orang berkerudung menggertak.
Tapi dua pengawal itu tidak mempan digertak. Yang satu berkata, “Mana kami berani
membangkang perintah Raja. Asalkan Panglima atau Patih Kerajaan bisa hadir di sini, kami
tentu akan membuka pintu penjara.”
Pengawal yang satu lagi malah menyambung dengan berucap, “Harap dimaatkan. Siapa di
situ sebenarnya kamipun tidak mengenali. Mengapa menutupi wajah dengan kerudung?”
“Kalian berdua telah melihat Cap Kerajaan. Tapi masih berani menolak perintah. Kalian
berdua akan mendapat hukuman berat!”
Baru saja orang berkerudung berkata begitu tiba-tiba di ujung lorong terdengar suara
orang berkata.
“Aku datang membawa Surat Perintah dengan Cap Kerajaan yang asli! Kalian harus
membebaskan tahanan itu!”
55
Dua pengawal dan orang berkerudung sama-sama terkejut. Ketiganya berpaling ke arah
ujung lorong. Semuanya lebih terkejut lagi ketika mengenali siapa yang datang.
***
56
9
BEGITU orang yang barusan bicara sampai di depan pintu ketiga orang itu segera
membungkuk memberi penghormatan. Lalu salah seorang pengawal cepat bertanya.
“Raden Ayu Gayatri, Putri Prabu Singosari, ada keperluan apakah hingga menyempatkan
diri dan sudi datang ke tempat ini?”
“Saya datang membawa Surat Perintah dari Sang Prabu untuk membebaskan tawanan
bernama Wiro,” jawab orang yang barusan datang yang ternyata adalah puteri bungsu Raja
Singosari sendiri yaitu Gayatri. Gadis ini mengenakan pakaian ringkas sderhana seperti
pakaian berlatih menunggang kua. Dengan tangan kirinya dia menyodorkan sehelai kertas
yang dibubuhi Stempel Kerajaan. Surat itu berisi atas perintah Raja Singosari, tahanan
bernama Wiro harus segera dibebaskan.
Pengawal pintu yang membaca surat tersebut membungkuk dua kali lalu berkata. “Raden
Ayu, mohon dimaafkan. Kami tidak bisa membebaskan tahanan. Tadipun orang ini
menunjukkan surat yang sama…”
“Aneh!” kata Gayatri sambil memandang tajam pada orang berkerudung. Dia tidak
mengenali siapa adanya orang ini. “Coba tunjukkan surat yang kau bawa!”
Orang berkerudung menyerahkan surat yang dipegangnya. Gayatri memperhatikannya
sebentar lalu berkata. “Palsu! Surat ini palsu! Yang aku bawa adalah yang asli! Lepaskan
tahanan itu, cepat!”
“Maaf Raden Ayu, asli atau tidaknya surat itu kami tidak bisa memenuhi permintaan
Raden Ayu.. Kecuali jika Panglima atau Patih Kerajaan sendiri ada di sini. Mohon maaf dari
Raden Ayu….”
Mendengar ucapan si pengawal puteri Raja Singosari itu menjadi marah. “Lalu apa kau
menganggap aku ini lebih rendah dari Panglima atau Patih Kerajaan?!” Gayatri membentak.
Dua perajurit tampak pucat dan cepat-cepat membungkuk.
“Maafkan kami Raden Ayu. Kami hanya perajurit-perajurit rendah yang menjalankan
perintah….”
57
“Kalian perajurit-perajurit dungu!”
Dua perajurit tundukkan kepala tidak berani menatap wajah puteri raja itu. Gayatri
berpaling pada orang berkerudung di sebelahnya.
“Siapa kau? Mengapa mereyeinbunyikan rupa di balik kerudung?”
Pertanyaan si gadis membuat orang berkerudung menjadi gugup dan tidak segera
menjawab. Dalam hati dia berkata. Aku tak perlu takut. Maksudku dan maksudnya sama.
Maka orang inipun segera membuka mulut untuk mengatakan siapa dirinya. Tapi tiba-tiba saat
itu ada satu bayangan berkelebat. Tahu-tahu seorang nenek bungkuk telah berdiri di depan ke
empat orang itu. Bentuk tubuh dan tampangnya yang angker membuat semua orang ada di situ
jadi terkesiap dan kecut.
Si nenek bertubuh tinggi kurus. Kulitnya sangat hitam, tipis keriputan seolah hanya
tinggal kulit pembalut tulang. Kedua pipi dan rongga matanya cekung hingga jika memandang
kelihatan menggidikkan. Sepasang alis dan rambutnya yang jarang berwarna putih. Pada
kepalanya ada lima buah tusuk kundai perak berkilat. Rambutnya yang jarang tidak
memungkinkan tusuk kundai itu disisipkan. Dan nyatanya kelima tusuk kundai itu disisipkan
pada kulit kepalanya! Nenek seram ini mengenakan kebaya lusuh gombrong dan sehelai kain
panjang dekil sebatas betis. Mulutnya yang perot kelihatan menyeringai.
“Orang-orang tolol meributkan Surat dan Cap Kerajaan. Padahal aku yang datang
membawa Cap yang asli! Ini!” Si nenek berkata sambil acungkan tinjunya.
“Nenek, kau siapa?” tanya salah seorang pengawal pintu memberanikan diri.
Sementara itu orang berkerudung memperhatikan perempuan tua ini dengan mata tidak
berkesiap. Melihat kepada tusuk kundainya, tak salah lagi pasti dia. Tapi apakah keadaannya
benar-benar sudah setua ini? Ah, apakah dia masih mengenaliku?
Orang berkerudung ini sesaat membayangkan masa beberapa puluh tahun yang silam.
Namun bayangan itu menjadi buyar ketika si nenek membentak perajurit di hadapannya.
“Kacoak macammu tidak perlu bertanya siapa diriku!” Lalu nenek ini melangkah ke
depan, pintu besi. Sekali tangannya mengantam gembok besar dari besi yang ada di pintu
tanggal berantakan.
Dua perajurit sampai tersurut mundur saking kagetnya. Gayatri dan orang berkerudung
terperangah. Tidak dapat dipercaya tangan yang kurus kering seperti tangan jerangkong itu
58
mamp memukul hancur gembok besi begitu rupa.
Dewa Bathara, kata orang berkerudung dalam hati. Aku yakin kini memang dia. Hanya
dia yang punya kesaktian melakukan hal itu!
Dua pengawal pintu yang tiba-tiba sadar akan tugas dan kewajiban mereka segera
melompat ke hadapan si nenek sambil menghunus senjata.
“Nenek tua! Kau berani melakukan perusakan! Kami terpaksa menangkapmu!”
“Baik!” jawab si nenek. Lalu, dia tertawa mengekeh. “Tapi kau coba dulu Cap Kerajaan
ini!”
Dua tangan si nenek melesat ke depan.
Bukk!
Bukk!
Dua pengawal jatuh ke lantai tak sadarkan diri lagi. Di kening masing-masing kelihatan
benjut sebesar telor ayam!
Nenek angker itu kembali perdengarkan suara tertawa menggidikkan. Lalu sekali kakinya
bergerak pintu besi ruangan penjara jebol terpentang lebar.
Di dalam ruangan batu itu tampak sosok Pendekar 212 Wiro Sableng terbujur
menelentang di lantai dalam keadaan tidak bergerak karena masih di bawah pengaruh totokan
yang dibuat oleh Argajaya.
“Anak bandel! Ini akibat kau tidak menuruti petunjukku! Di suruh ke Barat malah
ngeluyur ke Timur!” si nenek terdengar mengumpat. Lalu enak saja kakinya menendang.
Bukk!
Tubuh Wiro terpental. Ternyata tendangan itu bukan tendangan sembarangan. Karena
begitu ditendang totokan yang menguasai Wiro serta-merta buyar terlepas!
Dapatkan dirinya bebas dari totokan, bisa bergerak dan bicara kembali, Wiro Sableng
segera menjura menghormat pada si nenek lalu berkata.
“Eyang, murid mohon maafmu karena tidak mengikuti petunjuk. Murid tersesat ke
Singosari karena maksud baik hendak berbakti memberi tahu adanya bahaya yang mengancam
Kerajaan. Tapi….”
“Itulah ketololanmu! Berbakti bukan pada orang-orang yang tidak tahu berterima kasih.
Aku tahu kau tidak mengharapkan imbalan atau menyimpan rasa pamrih. Tapi apakah bukan
59
sialan namanya kalau maksudmu menolong malah kau kini yang digolong? Lekas keluar dari
tempat celaka ini. Ikuti aku!”
Jadi pemuda itu ternyata adalah muridnya. Berarti benar guru dan murid ini berada di
Singosari. Orang berkerudung hendak maju mendekati tapi Gayatri lebih cepat mendatangi.
“Pemuda itu tidak boleh kemana-mana. Dia harus ikut bersama saya!”
Si nenek menatap wajah Gayatri sejurus lalu menyeringai. “Kau rupanya naksir pada
muridku. Sampai-sampai membuat Surat Perintah palsu. Dari mana kau dapat Cap Kerajaan
itu, gadis jelita?”
Paras Gayatri tampak kemerahan.
Di saat yang sama orang berkerudung berkata. “Pemuda itu tidak akan ikut satupun di
antara kalian. Aku yang akan membawanya keluar dari tempat ini. Anak muda, ayo ikut aku!”
Si nenek tertawa cekikikan.
“Muridku laris rupanya. Banyak orang yang menginginkan dirinya. Manusia-manusia
keblinger! Aku gurunya lebih berhak dari pada kalian! Menyingkir dari sini atau terpaksa
kalian kugebuk satu persatu!
Gayatri menjadi bimbang. Kalau nenek ini memang guru pemuda yang hendak
dilepaskannya berarti maksudnya untuk menolong sudah kesampaian walau orang lain yang
melakukan. Lain halnya dengan lelaki berjubah dan berkerudung. Dia melangkah cepat
mendekati Wiro seraya berkata. “Sekarang bukan saatnya kau harus mengikuti gurumu. Cepat
ikuti aku! Apa kalian tidak tahu kalau diri kalian dalam bahaya?!”
Si nenek cepat bergerak memotong jalan orang berkerudung. Sepasang mata mereka
saling bentrokan. Ada satu perasaan aneh yang membuat kedua orang ini jadi bergetar hati
masing-masing.
“Orang berkerudung siapa kau ini? Harap buka kerudungmu. Perlihatkan wajahmu agar
kukenali, “kata Wiro.
“Waktu kita singkat sekali. Sebentar lagi pengawal-pengawal pengganti akan datang.
Kalau sampai ada yang melihat apa yang terjadi di sini, kau bias menemui kesulitan lebih
besar. Mungkin sebelum matahari terbit kau sudah digantung!”
“Aku mau lihat siapa yang berani menggantung muridku!” kata si nenek. Lalu ujung jari
telunjuk tangan kanannya diluruskan dan didorongkan ke arah dada orang berkerudung.
60
“Menyingkir dari hadapanku!”
Orang berkerudung terkejut ketika merasakan bagaimana jari yang kurus kecil si nenek
laksana sepotong besi mendorong dadanya dengan kuat. Dia berusaha bertahan tapi dadanya
jadi mendenyut sakit dan perlahan-lahan tubuhnya terdorong. Dia akan segera terjengkang
kalau tidak cepat mengerahkan tenaga dalam ke bagian dada. Tenaga dalam yang
dikerahkannya berbentuk satu tenaga lembut tetapi yang punya kesanggupan menahan tekanan
berat.
Si nenek terkesiap ketika merasakan bagaimana daya dorongnya yang kuat seolah-olah
amblas masuk ke dalam permukaan selembut kapas. Matanya cepat menatap mata orang
berkerudung di depannya. Aku seperti pernah melihat mata ini. Tapi lupa di mana dan kapan.
Aku tak punya waktu untuk memikirkannya saat ini. Si nenek tarik pulang tangannya dan
berpaling pada muridnya. Namun sebelum dia sempat mengatakan sesuatu pada Wiro tiba-tiba
di dengarnya orang berkerudung di depannya berkata perlahan hingga hanya dia saja yang
mendengar.
“Sinto Weni, lekas tinggalkan tempat ini. Aku tunggu kau di sebuah pondok di Lembah
Bulan Sabit….” Habis berkata begitu orang berkerudung putar tubuhnya dan cepat sekali dia
sudah berada di ujung lorong lalu lenyap di balik tembok batu.
Nenek kurus jangkung tampak berubah wajahnya yang angker. Kedua matanya seperti
hendak melompat oleh rasa terkejut. Selama puluhan tahun hidup hanya beberapa orang saja
yang tahu nama aslinya itu. Dia dikenal dengan sebutan nenek angker Sinto Gendeng dari
Gunung Gede.
Orang berkerudung itu! Siapa dia?! Bagaimana dia bisa tahu nama asliku?! Hanya ada
satu jawaban. Dia pasti salah satu dari orang-orang yang kukenal di masa muda! Aku harus
mengejarnya! Aku harus mencari tahu siapa dia adanya!
Sinto Gendeng berpaling pada muridnya “Anak gendeng, lekas kau pergi dari sini. Aku
tidak melarang kau melakukan kebaikan dan kebajikan. Tapi jika itu hanya akan menyulitkan
dirimu, jangan harap aku bakal menolongmu lagi!”
“Eyang, saya… ” Wiro tidak teruskan ucapannya. Sang guru sudah berkelebat dan lenyap
dari , hadapannya. Wiro garuk-garuk kepala lalu berpaling pada gadis di sebelahnya.
“Saya tidak menduga kalau kau adalah puteri Raja Singosari.” Lalu Wiro membungkuk
61
memberi penghormatan.
“Saya tidak perlu segala macam peradatan seperti itu.”
“Kau telah menolongku….”
“Bukan saya, tapi gurumu sendiri.” Jawab Gayatri.
“Paling tidak kau telah berusaha melakukan sesuatu untuk mengeluarkan diri saya dari
sini. Saya sangat berterima kasih…”
Gayatri tersenyum. “Budi pertolonganmu tempo hari belum dapat saya balas, Wiro…”
“Ah, hal itu tidak perlu disebut-sebut,” jawab murid Sinto Gendeng.
“Dengar, kita tidak bisa berada lama-lama di tempat ini. Saya harus pergi. Sebelum
matahari terbit pergilah ke Lembah Bulan Sabit di sebelah Selatan Kotaraja. Di situ ada
sebuah pondok papan. Tunggu sampai saya datang.”
Wiro hendak menanyakan sesuatu. Tetapi Gayatri sudah membalikkan tubuh
meninggalkan tempat itu.
***
62
10
LEMBAH Bulan Sabit terletak di sebelah Selatan Tumapel, di satu daerah yang jarang di
datangi orang karena kawasan ini sering dipergunakan oleh Prabu Singosari dan para petinggi
Kerajaan untuk berburu. Malam itu udara dingin sekali dan kesunyian yang mencekam
sesekali ditandai oleh suara siuran angin.
Di lembah yang berbentuk bulan sabit itu terdapat sebuah pondok papan. Pondok ini
biasanya dipakal sebagal tempat beristirahat oleh orang-orang Keraton Singosari yang berburu
di kawasan itu.
Di dalam gelap dan dinginnya malam menjelang dini hari itu seseorang tampak berkelebat
cepat dari arah Timur. Inilah sosok di nenek Sinto Gendeng, guru Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 Wiro Sableng.
Aku tidak melihat bayangan orang berkerudung itu. Kalau dia menempuh jalan memintas
itu tidak mengherankan. Tapi bilamana dia mengambil jalan yang sama yang aku tempuh.
Sungguh luar biasa kepandaiannya. Sinto Gendeng membatin sambil berlari menuruni
lembah. Di satu bagian lembah, dikelilingi oleh beberapa pohon besar pondok papan itu
dengan mudah terlihat walaupun malam gelap.
Si nenek berlari cepat ke arah bangunan ini. Tinggal beberapa belas langkah lagi dari
pondok itu, Sinto Gendeng telah dapat melihat sosok tubuh orang berkerudung tegak di bagian
depan bangunan. Pondok ini ternyata sebuah bangunan yang diberi dinding papan pada bagian
kiri kanan dan belakang sedang bagian depan dibiarkan terbuka. Sebuah balai-balai kayu
terletak di bagian kiri.
Ah, ternyata dia sudah sampai duluan, kata Sinto Gendeng ketika dia melihat orang itu.
Nenek ini naik ke baglan depan pondok papan. Untuk beberapa saat kedua orang ini hanya
saling pandang dari jarak tiga langkah.
Kegelapan tidak memungkinkan bagi Sinto Gendeng untuk melihat jelas apalagi
mengenali orang itu. Maka diapun berkata.
“Kau tahu namaku. Siapa kau sebenarnya? Kau menyuruh aku datang ke sini. Apa
63
perlunya?
Wajah di balik kerudung tersenyum.
“Kau tidak mengenaliku?
“Kau menyembunyikan wajahmu di balik kerudung. Mana mungkin aku mengenali.
Tetapi suaramu… suaramu mengingatkan aku pada seseorang yang aku pernah kenal sekitar
empat puluh tahun yang silam…” Sinto Gendeng hentikan ucapannya. Tiba-tiba saja dia
merasakan jantungnya berdebar keras.
“Empat puluh tahun bukan waktu yang singkat,” kata orang berkerudung disertai tarikan
nafas dalam. “Tapi perubahan kulihat sangat menyolok pada dirimu.” masih tegak
membelakangi Sinto Gendeng perlahan-lahan orang itu membuka jubahnya. Di balik jubah itu
dia mengenakan pakaian putih.
“Kau seorang Pendeta Tantrayana…” kata Sinto Gendeng.
“Kau… Katakan siapa dirimu sebenarnya. Apakah kau bukannya…. Ah, mustahil. Orang
yang pernah kukenal itu sudah meninggal empat puluh tahun yang lalu.”
Orang berpakaian pendeta membuka kerudungnya dan mencampakkannya ke lantai
pondok. Perlahan-lahan dia memutar tubuh menghadap ke ar. si nenek. Kedua mata Sinto
Gendeng terbuka lebar Merasa masih belum jelas dia melangkah mendekati tiba-tiba
langkahnya tertahan. Malah kini dia surut sampai dua langkah. Dia melihat wajah itu kini
dengan jelas. Dia mengenali orang itu.
“Ananta… Jadi benar kau rupanya!” Nenek itu merasakan sekujur tubuhnya bergetar.
“Atau aku salah lihat?”
Karena terlalu asyik dalam percakapan ke dua orang itu tidak mengetahui kalau sesosok
bayangan berkelebat di dekat pondok papan lalu mendekam di tempat gelap. Orang ini bukan
lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng. Sesuai dengan pesan
Gayatri malam itu sekeluarnya dari penjara Wiro segera menuju pondok di Lembah Bulan
Sabit itu. Baik Wiro maupun Gayatri tidak mengetahui kalau sebelumnya orang berkerudung
telah membuat janji pula dengan Sinto Gendeng untuk bertemu di tempat itu. Walaupun
hatinya jadi tidak enak namun diam-diam Wiro mendengarkan percakapan ke dua orang itu.
“Tidak, kau tidak salah lihat Sinto. Yang berdiri di hadapanmu ini memang Ananta
Wirajaya. Sahabatmu empat puluh tahun lalu! Sahabat yang pernah mencintaimu dan yang
64
juga pernah kau cinta! Hanya sayang perjalanan nasib tidak dapat menyatukan kita sebagai…”
Wiro jadi melongo mendengar kata-kata orang yang bicara dengan gurunya itu. Dari
tempatnya bersembunyi Wiro mengenali orang berpakaian Pendeta bukan lain adalah Pendeta
Mayana, salah seorang dari tiga Maha Menteri yang menjadi pembantu utama Prabu
Singosari. Kemudian kembali terdengar suara sang pendeta.
“Ananta…” kata Sinto Gendeng dengan suara sengaja dikeraskan untuk menyembunyikan
getaran hatinya. Namun tetap saja suara itu terdengar bergetar. “Masa empat puluh tahun lalu
tidak mungkin akan kembali. Apa yang terjadi dulu tidak perlu diungkit apalagi disesalkan.
Dulu kita orang-orang muda yang keras hati, sombong, tidak mau mengalah, terlalu
menyanjung ilmu dan kesaktian. Apa vang akhirnya kita dapat? Kini kita hanya jadi orang-
orang tua yang tidak lebih dari sebatang kayu yang sudah dimakan rayap!”
“Sinto Weni, apakah kau menyembunyikan sesuatu di balik keadaan tubuh dan
wajahmu?”
Sinto Gendeng tersentak. “Apa maksudmu Ananta?”
“Aku setuju kata-katamu tadi. Kita adalah orang-orang tua yang sudah jadi kayu dimakan
rayap, sudah bau tanah karena hampir masuk liang kubur. Tapi aku merasa pasti tidak
seharusnya kau seperti ini. Wajahmu tidak mungkin seperti yang aku lihat. Juga keadaan
tubuhmu…”
“Apa yang kau lihat adalah kenyataan Ananta. Tidak ada yang tidak berubah di dunia ini.”
“Aku tidak yakin,” jawab Ananta Wirajaya alias Pendeta Mayana. “Boleh aku melihat
wajahmu yang asli, Sinto?”
“Eh, kau kira apakah saat ini kepalaku adalah kepala palsu? Terbuat dari kayu?!” Sinto
Gendeng coba bergurau.
“Kepalamu tidak palsu. Hanya saja kau…Maafkan kalau dugaanku salah. Kau
menyembunyikan seluruh kepala dan wajahmu di balik sebuah topeng. Mungkin juga kau
mengenakan topeng tipis yang menutupi sekujur tubuhmu…”
Sinto Gendeng tertawa panjang. Dia menatap ke mata Sang Pendeta yang bening itu.
Nenek sakti yang keras hati ini tidak sanggup menatap kedua mata Ananta Wirajaya.
Kekerasan hatinya seperti mencari oleh kenangan masa lalu. Dadanya berdebar. Perlahan
terdengar Sinto Gendeng berkata. ‘”Aku tidak bisa berdusta padamu. Memang aku menutupi
65
kepala, wajah dan tubuhku dengan sesuatu.”
“Ah…” Pendeta Mayana berdesah.
Di dalam kegelapan Wiro Sableng jadi terkesiap mendengar pembicaraan gurunya dengan
Pendeta Mayana itu. Jika dia tidak mendengar sendiri rasanya tak akan pernah dia percaya
kalau wajah yang bertahun-tahun dilihatnya itu ternyata adalah bukan wajah asli si nenek.
Lalu didengarnya suara Sinto Gendeng.
“Aku tidak mungkin memperlihatkan wajahku yang asli padamu, Ananta. Tidak pada
siapapun. Bahkan muridku yang hidup bersamaku lebih dari sepuluh tahun tidak pernah
mengetahuinya. Aku merasa lebih tenteram dengan wajah dan tubuh seperti ini…”
“Ketenteraman hidup tidak terletak pada wajah, Sinto,” kata Ananta Wirajaya yang di
Keraton Singosari dikenal sebagai Pendeta Mayana itu. “Tapi di sini,” sambungnya sambil
menekapkan telapak tangan kirinya ke dada.
Untuk beberapa lamanya Sinto Gendeng tidak bisa berkata apa-apa. Pendeta Mayana
maju mendekatinya hingga jubah pendetanya hampir menyentuh pakaian si nenek.
Berada sangat dekat begitu rupa membuat Sinto Gendeng merasakan darahnya mengalir
lebih cepat dan jantungnya berdetak lebih keras.
“Ananta, aku harus pergi sekarang. Aku merasa senang setelah sekian puluh tahun bisa
bertemu denganmu lagi.”
“Sinto…” kata Ananta Wirajaya. Suaranya tercekat seperti lidahnya menjadi kelu saat itu.
“Aku tidak tahu kapan bisa bertemu denganmu lagi. Mungkin tidak akan pernah lagi. Selama
perpisahan empat puluh tahun lalu aku tidak pernah melupakan berjumpa mengapa kau ingin
berlalu secepat ini. Apakah kau masih menanam rasa sakit hati terhadapku…?”
Sinto Gendeng menggeleng. “Tidak, tidak ada rasa sakit hati. Semua yang terjadi di masa
lalu biarlah berlalu.”
Ananta Wirajaya menarik nafas panjang.
“Kalau kau memang ingin pergi aku tak dapat mencegah. Aku pasrah.” kata Ananta
Wirajaya. “Cuma aku mohon untuk terakhir kali, izinkan aku melihat wajahmu. Sekejappun
sudah cukup menjadi obat bagi penderitaan dan pelepas rindu selama empat puluh tahun.
Mungkin perlu kau ketahui. Aku merubah jalan hidup, meninggalkan dunia persilatan dan
menjadi seorang Pendeta Tantrayana sejak aku menyadari kesalahanku, mengecewakanmu.”
66
Jadi dia telah menjadi Pendeta sejak empa puluh tahu silam, kata Sinto Gendeng dalam
hati.
“Aku meminta Sinto, Bolehkah…?”
Hati nenek sakti dari Gunung Gede itu seperti leleh. Perlahan-lahan kedua tangannya
diangkat ke bagian bawah lehernya. Jari-jarinya menarik satu lapisan sangat tipis yang selama
ini menutupi wajahnya. Ketika lapisan itu tersingkap kelihatan satu wajah berkulit halus putih.
Wajah itu memang sudah tua dan ada keriputnya tetapi bekas-bekas kecantikan masih
membayang sangat menonjol.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia berkata. Gila! Tidak pernah aku
menyangka dia menyembunyikan wajahnya yang asli. Ternyata meskipun tua tapi cantik. Di
waktu muda pasti wajahnya membuat setiap lelaki blingsatan melihatnya!
Pendeta Mayana yang aslinya bernama Ananta Wirajaya untuk beberapa lamanya
menatap wajah di depannya dengan pandangan mesra. Semua yang pernah dialaminya empat
puluh tahun silam bersama perempuan yang dikenalnya dengan nama Sinto Weni itu seolah
terbayang kembali. Perlahan-lahan dia mengangkat tangan kanannya. Jari-jari tangannya
membelai pipi Sinto Weni.
Diperlakukan mesra seperti itu Sinto Weni merasakan dirinya tergetar. Sesaat dia
tenggelam dalam rasa bahagia. Tapi nenek sakti ini cepat sadar diri. Dia mundur dua langkah
sambil cepat-cepat menutup kembali lapisan tipis ke wajahnya yang asli,
“Aku harus pergi Ananta. Maafkan aku…”
Walau sedih Ananta Wirajaya tampaknya pasrah. Dia menganggukkan kepala. “Kau tak
ingin meninggalkan pesan apa-apa?” tanyanya.
“Ya, memang ada pesanku,” jawab Sinto Gendeng. “Jaga dirimu baik-baik. Aku mendapat
firasat ada sesuatu peristiwa besar akan terjadi di Singosari…”
“Firasatmu sama dengan firasatku,” sahut Ananta Wirajaya. “Hanya saja sayang aku
dalam posisi yang lemah untuk memberi ingat Sang Prabu.”
“Suatu ketika kiranya kita bisa bertemu lagi, Ananta.”
“Memang itu yang jadi harapanku.”
“Tolong kau perhatikan muridku yang bernama Wiro Sableng itu…”
“Sableng? Mengapa kau berikan nama aneh itu pada muridmu?” tanya Ananta Wirajaya
67
heran. Sampai saat itu dia mengira pemuda yang muncul di Keraton Tumapel itu bernama
Wiro saja. Ternyata ada Sablengnya!”
Sinto Gendeng tersenyum. “Dia anak baik, polos. Dia memang suka bicara ceplas-ceplos.
Tapi hatinya putih dan jujur. Ilmunya memang tinggi, tapi lebih suka mengikuti kemauan hati
dari pada kehendak otak. Tolong kau lihat-lihat dia dan beri teguran jika tindak tanduknya
salah. Aku menduga dia sedang berkeliaran di Singosari ini. Entah apa yang dicarinya…”
Di tempatnya bersembunyi di kegelapan Pendekar 212 Wiro Sableng kembali garuk-
garuk kepala mendengar ucapan gurunya itu.
Setelah memegang lengan Ananta Wirajaya sesaat yang membuat sang pendeta merasa
seribu bahagia Sinto Gendeng berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Wiro menarik nafas lega.
Dia berpikir-pikir apakah akan terus mendekam di situ atau keluar saja. Sementara Gayatri
masih juga belum kelihatan. Bagaimana kalau gadis itu muncul selagi Pendeta Mayana masih
berada di tempat itu? Selagi dia berpikir-pikir begitu tahu-tahu sang pendeta sudah berdiri di
hadapannya.
Wiro jadi kaget. Sambil garuk-garuk kepala dia berdiri dan membungkuk memberi
hormat pada orang tua di hadapannya.
Pendeta Mayana tersenyum.
“Orang yang kau tunggu rupanya belum datang?”
Pertanyaan itu membuat Wiro terkejut besar.
Dari mana dia tahu? Pikir Wiro.
Pendeta Mayana tersenyum. “Hidup ini terkadang aneh. Kita manusia tidak bisa
menentukan karena semuanya berada di tangan Yang Kuasa. Kau telah mendengar sendiri
bagaimana jalan hidupku bersama gurumu. Namun sebagai manusia kita perlu mawas diri. Ini
membuat kita paling tidak bisa menjadi tabah menghadapi apa yang bakal terjadi…”
“Saya tidak mengerti maksud Pendeta,” kata Wiro pula.
Kembali orang tua itu tersenyum.
“Gadis itu mencintaimu Wiro….”
“Hah?!” Pendekar 212 terkesiap kaget. Wajahnya tentu saja menunjukkan rasa tidak
percaya. “Pendeta pastilah bergurau…” katanya.
“Aku tidak bergurau atau mengada-ada, anak muda. Pertolongan dan budi baikmu, sikap
68
jujur polosmu membuat dia merasakan satu perasaan yang selama ini tidak pernah
dirasakannya. Kehidupannya selama ini terkungkung dalam Keraton. Kau adalah satu-satunya
pemuda yang datang dalam kehidupannya pada saat dia membutuhkan seseorang.
Kemunculanmu juga membuat dia melihat sesuatu yang selama ini tidak dilihat atau
didapatkannya didalam Keraton….”
“Taruh kata apa yang Pendeta katakan itu betul, lalu apa yang akan saya lakukan? Apa
yang musti saya perbuat?”
“Kau mencintai gadis itu?”
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepala.
“Pendeta tahu siapa adanya Raden Ayu Gayatri. Saya tahu siapa saya. Saya tak lebih dari
seekor kodok di bawah tempurung atau pungguk merindukan bulan… Jurang pemisah
perbedaan antara kami sangat luas. Saya lebih banyak menaruh hormat padanya dari pada
memendam perasaan yang bukan-bukan.”
“Anak muda, tahukah kau bahwa cinta melenyapkan segala perbedaan? Bahwa cinta
menyingkirkan segala pembatasan…”
“Di mata pendeta Mayana mungkin begitu. Tapi di mata Sang Prabu pasti lain. Kita orang
Jawa selalu akan melihat kepada bibit, bebet dan bobot. Saya tahu siapa bibit saya, apa bebet
dan bobot saya”
“Bibit, bebet dan bobot. Memang tiga hal itu harus menjadi bahan pertimbangan. Namun
terkadang di balik pengagungan terhadap tiga hal itu, manusia sering kali khilaf sehingga
karena terlalu mengharapkan akhirnya mendapatkan sesuatu yang lain dari yang diinginkan
Katakanlah bahwa kau tidak punya bibit, bebet ataupun bobot. Namun dengan pribadimu apa
adanya saat ini ditambah dengan apa yang kau miliki sekarang ini kau mempunyai peluang
untuk mendapatkan satu kedudukan dalam Keraton. Mengapa kau tidak mengabdikan diri
pada Kerajaan? Dengan kepandaianmu kau bisa mendapatkan kedudukan tinggi dalam jajaran
pasukan Kerajaan atau pengawal Keraton. Aku menaruh keyakinan, kepandaian yang kau
miliki saat ini tidak berada di bawah apa yang dimiliki Panglima Pasukan Kerajaan yang
sekarang. Bukan maksudku merendahkannya.”
“Lalu apa yang harus saya lakukan Pendeta Mayana?” tanya Wiro yang jadi pusing
mendengar tutur cakap Pendeta Mayana yang begitu panjang lebar.
69
“Aku tidak bisa memberi tahu apa yang harus kau lakukan, apalagi kalau sampai
menyuruhmu. Kau kajilah sendiri. Jika kau mencintai Gayatri dan menginginkannya sebagai
pendamping hidupmu, pergunakan kemampuanmu sebagai batu loncatan. Bilamana kau sudah
menduduki satu jabatan penting dalam Istana, rasanya tak ada alasan bagi Sang Prabu untuk
tidak memikirkan kau sebagai menantunya…”
“Pendeta Maya, saya dilahirkan sebagai orang persilatan, hidup saya selama ini dalam
rimba persilatan. Istana atau Keraton bukan tempat saya ”
Orang tua itu tersenyum dan geleng-gelengkan kepala. “Orang banyak berlomba-lomba
bahkan mungkin saling sikut untuk bisa mendapatkan satu kedudukan rendah saja. Kau justru
mempunyai peluang. Mengapa kau sia-siakan anak muda? Apa akan kau tunggu setelah kau
tua renta seperti aku ini?”
“Saya sangat menghargai semua ucapan dan dorongan yang kau berikan Pendeta Mayana.
Hanya mungkin saya terlalu bodoh untuk mampu berpikir ke arah itu. Terus terang saya sudah
cukup bahagia bisa jadi sahabat Raden Ayu Gayatri ” kata murid Eyang Sinto Gendeng pula.
‘Pendeta Mayana memegang bahu Pendekar 212 lalu berkata. “Dia sudah datang. Aku
harus pergi. Tidak pantas orang tua ikut mendengar pembicaraan orang-orang muda….”
Di kejauhan terdengar suara derap kaki kuda.
Pendeta Mayana yang di masa mudanya dikenal dengan nama Ananta Wirajaya itu
mengambil jubah dan kerudungnya yang tercampak di lantai pondok lalu bergerak pergi.
“Pendeta, tunggu dulu!” seru Wiro.
Tapi sekali berkelebat orang tua berambut putih itu sudah lenyap. Wiro hanya bisa garuk-
garuk kepala. Wiro berpaling ketika derap kaki kuda terdengar muncul di samping kanannya.
Seorang pemuda berpakaian ringkas warna biru gelap dengan kepala ditutup sehelai sapu
tangan lebar muncul menunggang kuda dari arah kegelapan. Di bawah hidungnya ada sebaris
kumis tipis. Jika sebelumnya tidak pernah bertemu, Pendekar 212 tentu tidak akan mengenali
orang ini. Dia bukan lain adalah Gayatri, puteri Prabu Singosari yang dalam keadaan
menyamar.
Pendekar 212 cepat menyongsong kedatangan gadis itu.
“Kau sudah lama berada di sini?” tanya Gayatri.
Wiro mengangguk. Gadis itu turun dari kudanya lalu melangkah ke pondok dan duduk di
70
atas balai-balai kayu.
“Maafkan kalau sebelumnya saya bersikap tidak pantas. Saya tidak tahu kalau Raden Ayu
adalah puteri Raja Singosari.”
Gayatri tersenyum mendengar ucapan Pendekar 212 itu.
Ah, gadis ini cantik sekali. Ada apa dia meminta aku datang ketempat ini.
“Bagaimana samaran saya?” bertanya Gayatri.
“Sangat bagus. Sukar orang lain mengenali Raden Ayu.”
“Ah! Tidak usah memanggil saya dengan sebutan itu, Wiro,” kata Gayatri.
“Saya tidak berani berlaku lancang. Bagaimana pun Raden Ayu harus saya hormati.”
Gayatri hendak membantah. Tapi Wiro cepat berkata dengan mengalihkan pada hal lain.
“Walau menyamar seperti ini tetapi keselamatan Raden Ayu tetap saja terancam. Apa lagi
tanpa pengiring atau pengawal sama sekali.”
“Saya mengerti. Kabarnya mata-mata musuh bertebaran di mana-mana.”
“Kalau saya boleh bertanya, mengapa Raden Ayu meminta saya datang ke pondok ini?”
“Tidak ada satu orangpun percaya pada keteranganmu. Saya telah berusaha meyakini
Ayahanda akan bahaya yang akan mengancam Singosari. Tapi percuma. Bagaimanapun dia
adalah ayah saya. Bila Kerajaan terancam berarti keselamatannya juga terancam. Saya ingin
kau melakukan sesuatu untuk saya. Untuk Kerajaan…”
“Kemampuan apa yang saya miliki hingga Raden Ayu mempercayai?” tanya Wiro.
“Saya kagum akan kesaktian gurumu. Dia sanggup menghancurkan gembok besi dengan
tangan kbsong. Jika gurunya sehebat itu muridnya tentu tidak seberapa beda.”
“Raden Ayu keliwat memuji. Saya cuma orang gunung ”
“Gadis itu tertawa lebar. Kemudian tampak wajahnya bersungguh-sungguh. “Wiro, saya
ingin kau menyelidiki gerak-gerik Adikatwang. Saya yakin dia sumber malapetaka yang akan
menghancurkan Singosari.” Ketika diperhatikannya Wiro masih saja berdiri, Gayatri berkata.
“Duduklah di sini, di samping saya ”
Wiro duduk di sebelah si gadis. Duduk berdekatan seperti itu sang pendekar dapat
mencium harumnya bau tubuh dan pakaian sang dara.
“Maafkan saya Raden Ayu. Saya tidak mungkin mencampuri urusan Kerajaan. Singosari
mempunyal seorang Patih, seorang Panglima. Bukankah mereka lebih punya kewajiban dan
71
tanggung jawab untuk menjaga keamanan Kerajaan?”
“Mereka sudah jadi dungu karena terlalu patuh pada Ayahanda. Saya yakin sebenarnya
mereka pasti sadar akan bahaya yang mengancam.” Gayatri tampak gelisah. Murid Eyang
Sinto Gendeng serasa terbang ketika Gayatri memegang tangannya seraya berkata. “Wiro,
saya tidak punya kakak laki-1aki. Saya menganggapmu sebagai kakak sendiri. Bahkan lebih
dari kakak. Itu sebabnya saya mempercayaimu!..”
Dia menganggap aku sebagai kakak, lebih dari kakak. Mengapa dia tidak terus terang
mengatakan aku sebagai kekasih? Gila! Wiro memaki sendiri dalam hati. Masakan aku si
sableng ini punya kekasih puteri Keraton Singosari? Bercinta dengan Puteri Raja?! Sudah
gila aku ini agaknya!
“Wiro,” Gayatri masih memegang tangan pemuda itu. “Kau tadi bilang tidak mungkin
mencampuri urusan Kerajaan. Karena Singosari punya Patih, punya Panglima. Saya
tambahkan juga punya Raja. Saya mengerti. Salah-salah kau bisa dituduh lagi sebagai orang
jahat yang bersekutu dengan kelompok yang ingin menumbangkan Sang Prabu. Tapi
bagaimana kalau ada orang-orang dari dunia persilatan ikut campur membela orang-orang
jahat itu. Apakah itu tidak bisa dipakal alasan bagimu untuk turun tangan membantu
Singosari?”
Gadis ini benar-benar cerdik! “Raden Ayu, kau ternyata cerdik sekali. Alasan itu
mungkin mengena.”
Gayatri tersenyum manis sekali. Kini tangannya bergerak menggenggam jari-jari pemuda
itu. “Hidup harus cerdik Wiro. Sebelum orang lain mempergunakan kecerdikannya untuk
menindas kita.”
Wiro mengangguk. “Raden Ayu,” katanya. “Jika suatu ketika kelak keturunan Raja
Singosari mempunyai Ratu maka saya yakin kaulah orangnya.”
Gayatri tertawa berderai. “Jangan dulu ingat-ingat Singosari di masa tahunan mendatang.
Kita bicara saja dulu bahwa kau mau membantu. Demi Singosari dan juga demi saya…”
“Apa yang Raden Ayu ingin saya lakukan?”
“Selidiki gerak-gerik Adikatwang di Gelang-Gelang. Usahakan mendapatkan bukti-bukti
nyata dan saksi atas maksud jahatnya yaitu bersekongkol dengan Adipati Wira Seta dari
Sumenep. Jika itu sudah kau dapat, hubungi saya. Kita bersama-sama akan menghadap
72
Ayahanda. Masakan nanti Ayahanda tidak akan mau percaya?”
“Saya mengenal sifat orang seperti Sang Prabu. Sulit diubah. Apa lagi saat ini saya tak
lebih dari seorang buronan. Bagaimana Sang Prabu bisa percaya?”
“Lupakan dulu sifat Sang Prabu. Kau bersedia mengabulkan permintaan saya Wiro?”
Wiro diam sesaat. Terbayang wajah gurunya. Apakah Eyang Sinto Gendeng tidak akan
mendampratnya habis-habisan, mungkin menggebuknya sampai babak belur jika nenek sakti
itu nanti mengetahui dia telah melanggar larangannya untuk tidak ikut campur urusan
Kerajaan?
“Baiklah. Saya akan melakukan apa yang saya bisa.” Meluncur ucapan itu dari mulut
Pendekar 212.
“Saya mengucapkan terima kasih yang sangat dalam Wiro.” Nada suara Gayatri jelas
terharu. “Yang Kuasa akan menolong dan memberkatimu Saya harus pergi sekarang. Takut
kesiangan. Apakah kau masih menyimpan peniti emas yang saya berikan tempo hari?”
Wiro mengangguk. “Apakah Raden Ayu hendak memintanya kembali?” Wiro meraba
pinggangnya di mana dia menyimpan peniti emas itu baik-balk.
Gayatrl tertawa lebar lalu menggeleng. “Tentu saja tidak,” kata puteri bungsu Prabu
Singosari itu. “Saya hanya ingin kau menyimpannya baik-baik…”
“Saya selalu menjaganya baik-baik. Jangan Raden Ayu kawatir.” Lalu enak saja murid
Sinto Gendeng meneruskan ucapannya begini. “Kalau saya rindu pada Raden Ayu saya akan
mengeluarkan peniti emas itu, memandanginya, membelainya dan menciumnya.” Wiro
melirik. Dalam gelap dilihatnya wajah gadis di sampingnya bersemu merah tapi bibirnya
tersenyum. “Saya tidak punya apa-apa yang dapat saya berikan sebagai pengganti peniti emas
itu. Kalau Raden Ayu sudi menerima hanya ini yang bisa saya berikan. “Lalu Wiro membuka
kain putih pengikat kepalanya dan menyerahkan benda ini pada Gayatri.
“Ah… Terima kasih,” kata Gayatri seraya mengambil kain pengikat kepala itu lalu
mengikatkannya ke kepalanya sendiri.
Hati Pendekar 212 berbunga-bunga. Gadis baik, katanya dalam hati. Kain ikat kepala
jelek begitu mau saja dia menerima. Malah langsung diikatkan ke kepalanya.
“Saya senang memakal ikat kepala ini,” kata Gayatri pula. “Kalau tidur, kain ini akan saya
letakkan di samping bantal saya “
73
Ala Mak! Jangan-jangan betul kata Pendeta Mayana bahwa dia mencintaiku!
Gayatri berdiri tapi jari-jari tangannya masih memegang dan saling bersilang dengan jari-
jari tangan Wiro.
Wiro ikut berdiri. Keduanya tegak berhadap-hadapan dekat sekali. Wiro dapat merasakan
hembusan nafas dan keharuman tubuh puteri Raja itu.
“Saya pergi sekarang Wiro….”
“Terima kasih atas semua yang telah Raden Ayu lakukan untuk saya,” ujar Wiro.
Dilihatnya gadis itu mengangkat kepalanya dan tersenyum padanya. Kedua matanya yang
sebening kaca tampak bercahaya. Wiro menundukkan kepalanya mencium kening Gayatri?.
Mencium kedua matanya yang indah itu. Kedua pipinya. Ketika Pendekar 212 mengecup bibir
Gayatri terasa kehangatan menjalari seluruh tubuhnya. Lalu dirasakannya kedua tangan gadis
itu merangkul.erat-erat seperti tidak akan dilepaskan lagi. Wiro balas memeluk. Dada mereka
bersatu erat. Wiro dapat merasakan detak jantung Gayatri. Kemudian pelukan gadis itu lepas.
“Aneh…” bisik Wiro sambil membelai pipi Gayatri.
“Aneh? Apa yang aneh?” tanya si gadis.
“Aku bermesraan dengan seorang gadis cantik tapi mempunyai kumis ”
Gayatri memekik kecil. Tangan kanannya meraba kumis palsunya lalu tiba-tiba tangan itu
bergerak ke dada Wiro dan habislah dada pendekar ini dicubitinya hingga Wiro terlonjak-
lonjak kesakitan.
“Sudah…. sudah!” kata Wiro sambil menjauhi dadanya.
“Saya harus pergi sekarang,.,,” kata Gayatri kemudian.
“Saya tahu. Hati-hati….” berbisik Pendekar 212.
“Kau juga hati-hati….” kata si gadis seraya tersenyum. Dia mundur beberapa langkah lalu
membalikkan tubuh dan berjalan ke arah kudanya.
Namun langkah gadis ini tertahan.
***
74
11
SATU bentakan menggeledek dalam kegelapan malam.
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Kita bertemu kembali! Apakah kau sudah siap
untuk menyambung peristiwa di tepi Kali Brantas tempo hari?!”
Murid Eyang Sinto Gendeng terkejut besar. Dia mengenali suara itu dan juga mengenali
siapa adanya orangnya. Bukan lain Gandita, pemuda kepercayaan pembantu Adipati Wira Seta
dari Sumenep.
Hemm, rupanya kadal satu ini masih menyimpan dendam terhadapku. Bagaimana dia
tahu gelarku. Jangan-jangan dia memang telah melakukan penyelidikan dan merencanakan
balas dendam.
Pendekar 212 sama sekali tidak takut apapun alasan kemunculan Gandita. Sudah pasti
untuk membalaskan sakit hati dipermainkan dan dipermalukan dulu itu. Yang dikawatirkan
Wiro saat itu justru adalah keselamatan Raden Ayu Gayatri, puteri bungsu Sang Prabu
Singosari. Kalau Gandita tahu siapa sebenarnya pemuda berkumis itu, urusan bisa jadi celaka.
Tadi aku seperti melihat ada bayangan di sebelah sana. Apakah pengkhianat ini datang
bersama seorang lain? Berpikir sampai di situ Wiro cepat melangkah mendekati gadis yang
menyamar itu. Dengan suara perlahan dia berkata. “Lekas naik ke atas kuda. Tinggalkan
tempat ini segera.”
“Siapa orang itu?” Gayatri bukannya pergi malah ajukan pertanyaan.
“Nanti saja saya terangkan. Sekarang lekas pergi…!”
Melihat air muka Wiro dan mendengar nada suaranya Gayatri segera melangkah menuju
kudanya. Pada saat yang bersamaan Gandita melompat ke hadapan Wiro, tegak bertolak
pinggang dengan seringai buruk tersungging di mulutnya.
“Penghinaan yang kau lakukan dulu, hari ini harus kau bayar dengan bunganya, Pendekar
212!”
Wiro tertawa lebar.
“Sebagai orang persilatan kau rupanya tidak berpikiran cerdas. Otakmu perlu diasah.
75
Hatimu perlu dikikir. Rupanya pelajaranku tempo hari tidak cukup, tidak membuatmu kapok
dan tahu diri. Itu sebabnya kau mencariku. Datang untuk minta pelajaran atau hajaran
tambahan! Katakan saja apa maumu pendekar sombong. Apa kau tidak sadar kau telah salah
jalan sesat?!”
“Keparat bermulut besar! Biar hari ini aku Gandita merobek mulutmu!” teriak Gandita
marah sekali. Tangan kanannya berkelebat. Lima jari tangannya menyambar ke mulut Wiro.
Pendekar 212 terkejut dan juga heran ketika menyaksikan gerakan lawan yang sangat
cepat. Padahal dulu ketika pertama kali berhadapan meskipun kepandaiannya tidak rendah tapi
gerakan Gandita termasuk lamban.
Murid Sinto Gendeng tentu saja tidak tinggal diam. Dari gerak bahu lawan dia sudah
dapat membaca apa yang hendak dilakukan orang. Dia menggeser kaki ke kiri sambil
memiringkan kepala. Barsamaan dengan itu tinju kanannya dihantamkan ke arah muka lawan
dalam kecepatan luar biasa.
Gandita menyadari bahwa serangan Wiro akan mengenai kepalanya sebelum dia sempat
merobek mulut lawannya itu. Dengan cepat dia tarik pulang serangannya lalu melompat
mundur dua langkah. Dari tempat dia berdiri dengan kuda-kuda baru Gandita lepaskan satu
pukulan tangan kosong yang mengeluarkan angin keras. Selagi angin pukulan yang disertai
tenaga dalam cukup tinggi itu menyambar pemuda ini gerakkan tangan kanannya ke pinggang
lalu dia melompat ke arah lawan. Tahu-tahu tangan kanannya sudah mencekal sebilah golok.
Senjata ini dibabatkannya ke perut Pendekar 212. Wiro merasakan adanya sambaran angin
dingin keluar dari golok pertanda golok itu bukan senjata biasa.
“Ha…. ha! Kau ternyata bukan saja sombong dalam ketidakcerdasanmu, tapi juga berlaku
pengecut. Adat seorang persilatan tangan kosong dilawan tangan kosong. Ternyata kau
berlaku licik memakai golok!”
“Jangan banyak cakap! Kalau kau punya senjata silahkan keluarkan!” bentak Gandita
menantang.
“Untuk menghadapi anak masih bau air tetek macammu buat apa pakai senjata segala!
Cukup nanti aku menjewer telingamu dengan tangan kosong saja!” sahut Wiro sambil
menyeringai mengejek.
Tampang Gandita tampak merah diejek seperti itu. Kemarahannya menggelegak. Terlebih
76
ketika serangan goloknya tadi tidak berhasil mencapai sasaran karena dengan cepat lawan
melompat ke belakang. Dia menyergap kembali dengan geram. Goloknya menderu ganas.
“Ganditai Tunggu dulu!” Wiro tiba-tiba berseru.
“Bangsat! Apa maumu?!” bentak Gandita.
“Hai! Di tempat angker seperti ini jangan bermulut kotor. Salah-salah kau bisa dicekik
dedemit!”
“Lekas katakan apa maumu!”
“Aku mau bicara…” kata Wiro.
“Kau mencari dalih karena takut?!”
Wiro tertawa bergelak. “Sekalipun kau punya delapan tangan, delapan kaki dan empat
kepala aku tidak bakal takut! Aku hanya ingin agar kau sadar. Apa untungnya jadi
pengkhianat jadi pemberontak. Bukan mustahil kau hanya dijadikan alat oleh Adikatwang dan
Adipati Wira Seta. Jika tujuan mereka sudah tercapai mungkin saja kau nanti akan
ditendangnya!”
“Mulutmu keji, memfitnah dan menghasut!” tukas Gandita. “Aku mengenal mereka dari
kecil. Mereka tidak sejahat yang kau katakana!”
“Kalau mereka bukan orang jahat lalu mengapa menyusun rencana gila, berkomplot
hendak menumbangkan singgasana Prabu Singosari?!”
“Kau orang kampong! Mana tahu segala urusan orang-orang besar!” jawab Gandita
sombong.
Wiro ganda tertawa. “Walau aku orang kampung, jelek jelek begini aku tidak pernah
berkhianat pada Kerajaan. Tidak seperti kau jadi puntung pemberontak! Harap kau mau
berpikir sekali lagi. Belum terlambat untuk insyaf. Apalagi kalau kau bisa menyadarkan
Adikatwang dan Wira Seta.”
“Jadi hanya itu yang hendak kau katakan?!” tanya Gandita.
“Masih ada,” jawab Wiro. “Kau lebih suka berbuat dosa dad pada mencari pahala!”
“Eh, apa pula maksudmu?!” tanya Gandita agak heran.
“Memberontak adalah pekerjaan sesat dan dosa besar. Berbakti pada Kerajaan adalah
pahala besar…”
“Siapa sudi berbakti pada Prabu Singosari anak cucu pembunuh Raja Kediri! Kau saja
77
yang sana pergi mencari pahala!”
“Dengar dulu Gandita. Kau bisa berbuat pahala pada Kerajaan dan sebagal imbalan pasti
kau akan mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi…”
“Hemmm… rupanya kau cecunguk Keraton Singosari yang dibayar untuk membujukku!”
“Tidak ada yang membayarku. Aku juga tidak membujukmu. Aku ingin agar kau sadar!
Jangan pergunakan kepandaianmu yang secuil untuk pekerjaan gila jadi pemberontak!”
“Setan! Aku tidak gila! Semua yang aku lakukan sudah kupikirkan masak-masak.”
“Mungkin keliwat masak hingga jadi busuk!” kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak.
“Setan! Kalau tidak kucincang kau belum puas rasanya!”
Gandita gerakkan tangan kanannya. Goloknya kembali berkelebat. Serangannya kali ini
adalah kepala lawan. Wiro cepat rundukkan kepala sambil melompat mundur satu langkah.
Begitu golok menyambar lewat murid Eyang Sinto Gendeng ini mencoba menyergap ke depan
dan kirimkan satu jotosan ke perut Gandita. Namun tiba-tiba golok pendekar dari Gunung
Kelud itu menyambar ke bawah. Jika Wiro tidak lekas menarik pulang serangannya,
lengannya pasti dibabat putus!
“Hebat juga kampret sialan ini!” maki Wiro dalam hati. Tengkuknya terasa dingin. Ilmu
golok Gandita memang tidak bisa dibuat main-main. Serangan-serangannya selain ganas juga
bisa berubah atau susul menyusul secara tidak terduga.
Memasuki jurus ke delapan Gandita berada di atas angin. Serangan goloknya datang
bergulung-gulung, bukan cuma dari satu penjuru, tetapi seolah-olah bertebar dari berbagai
arah dan semua itu dalam gerakan yang luar biasa cepatnya.
Raden Ayu Gayatri yang tegak di dekat kudanya merasa cemas melihat Pendekar 212
mulai terdesak hebat. Hendak membantu dia tidak punya kepandaian apa-apa. Diam-diam dia
berusaha mencari akal bagaimana caranya agar dapat menolong Wiro, pemuda kepada siapa
dia menaruh rasa suka kalau belum mau dikatakan cinta.
Sebaliknya Wiro yang semakin mengawatirkan keselamatan si gadis berulang kali
memberikan isyarat agar Gayatri segera pergi dari tempat itu. Gandita bukannya tidak melihat
isyarat yang diberikan Wiro itu namun karena perhatiannya ditujukan pada Wiro dan ingin
membunuh lawannya itu secepat yang bisa dilakukannya maka dia tidak begitu
memperdulikan Gayatri.
78
Setelah terdesak hebat terus menerus, murid Eyang Sinto Gendeng kerahkan ilmu
meringankan tubuhnya, merubah gerakan-gerakan ilmu silatnya dan dia sengaja berkelebat
lebih cepat. Sampai dua jurus di muka Wiro sepertinya kini sanggup mengimbangi serangan
lawan dan mulai melancarkan serangan-serangan balasan. Namun dua jurus selanjutnya
didahului oleh satu bentakan keras Gandita robah total permainan goloknya dan kini Pendekar
212 kembali terdesak hebat. Dalam satu gebrakan keras menegangkan golok di tangan Gandita
berkiblat membuat silangan-silangan aneh.
Breettt…brettt…brettt!
Pakaian Wiro robek di tiga tempat di makan ujung golok Gandita!
Kalau Wiro sempat keluarkan seruan tertahan dan tengkuknya menjadi dingin, maka
Gayatri tak dapat lagi menahan kecemasannya gadis ini terpekik. Habis memekik baru dia
sadar dan cepat-cepat menekap mulutnya. Tapi suaranya sudah kepalang terdengar oleh
Gandita.
Pemuda dari Gunung Kelud itu melintangkan goloknya di depan dada dan memandang ke
arah Gayatri. Untuk beberapa saat lamanya dia memperhatikan dengan tajam lalu tampak
sering di mulutnya.
“Pemuda berkumis! Jadi kau seorang perempuan rupanya! Melihat potongan tubuh dan
raut mukamu pasti kau seorang gadis yang cantik jelita. Kau berdiri saja di sana. Jangan ke
mana-mana! Sehabis membereskan manusia satu ini kita bakal punya kesempatan untuk
berbincang-bincang! Bermesraan kalau perlu!”
Karena tidak dapat menahan marahnya mendengar ucapan Gandita, Gayatri membuka
mulut dan mendamprat dengan suara keras. “Pemberontak busuk! Hatimu bukan saja jahat tapi
mulutmu juga kotor!”
Gandita tertawa. Dia berpaling pada Wiro dan berkata. “Ha …ha…! Rupanya Pendekar
212 habis berbuat mesum dalam pondok itu dengan seorang gadis yang sengaja menyamar
sebagai laki-laki. Hebat! Menyuruh orang berbuat pahala dirinya sendiri melakukan dosanya!”
“Setan alas! Kau kira aku ini manusia cabul!” teriak Wiro marah. Dia menerjang ke
depan. Gandita menyongsong dengan goloknya. Kembali terjadi perkelahian seru. Dan
kembali pula dalam waktu dekat murid Eyang Sinto Gendeng itu terdesak oleh serangan golok
yang benar-benar luar biasa. Belum pernah Wiro melihat ilmu golok sehebat itu. Dia mulai
79
berpikir-pikir apakah akan mengeluarkan pukulan-pukulan sakti atau mulai menghadapi
lawannya dengan ilmu silat orang gila yang didapatnya dari Tua Gila di Pulau Andalas atau
segera saja mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Selagi dia menimbang-nimbang
begitu rupa, sekali lagi golok lawan berkelebat dan kali ini leher bajunya yang kena disambar
robek. Ujung golok bahkan sempat mengiris samping kiri lehernya hingga terluka dan
mengeluarkan darah. Paras Gayatri menjadi pucat. Wiro keluarkan keringat dingin.
“Wiro! Lakukan sesuatu! Keluarkan senjatamu!” teriak Gayatri.
Murid Eyang Sinto Gendeng kini sadar dia memang harus melakukan sesuatu. Mungkin
juga mengeluarkan senjata seperti yang diteriakkan Gayatri tadi. Maka dia segera gerakkan
tangan kanannya ke pinggang di mana terselip senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212.
Namun belum sempat dia mencabut senjata itu tiba-tiba dari dalam gelap terdengar suara
tertawa gelak-gelak. Suatukan suara tawa biasa. Tanah terasa bergetar dan telinga mengiang
sakit.
Itu suara tawa si gendut Kerbau Bunting! Ada apa dia muncul di tempat ini. Hendak
menolongku? Pikir Wiro. Gandita sendiri yang kembali hendak menyerbu sesaat jadi tertegun.
Dari arah kegelapan di sebelah kirinya kelihatan muncul satu kepala yang aneh. Astaga!
Ternyata kepala seekor keledai!
Tak mungkin binatang ini yang tadi tertawa! Membatin Gandita. Dia tak menunggu lama.
Sesaat kemudian sosok keledai itu semakin jelas. Lalu tampak seorang bertubuh gemuk luar
biasa yang menjadi penunggang keledai kurus kecil itu.
Gila! Bagaimana mungkin keledai kecil kerempeng itu sanggup ditunggangi manusia
yang beratnya lebih dari dua ratus kati! Gandita semakin heran. Lalu dia melihat ternyata si
gendut itu hanya menempelkan pantatnya saja di atas punggung keledai karena kedua kakinya
menjejak tanah seperti orang berjalan biasa! Gandita mulai menduga-duga siapa adanya
manusia gemuk ini.
Si penunggang keledai masih tertawa-tawa sampai keluar air mata dari sepasang matanya
yang sipit. Baju dan celana hitamnya jelas kesempitan. Dadanya yang gembrot dan perutnya
yang melendung kelihatan berguncang-guncang kalau dia tertawa. Orang ini memandang pada
Wiro, berpaling pada Gandita lalu menoleh pada Gayatri. Setelah itu dia kembali tertawa
gelak-gelak.
80
“Hai! Kenapa kalian berhenti berkelahi! Padahal aku datang ke sini untuk menonton!”
kata si gendut. Dia melirik pada Gayatri lalu tertawa mengekeh hingga dia terpaksa mengusut
air mata yang keluar dari kedua matanya.
Manusia aneh. Pikir Gayatri. Apakah dia teman atau musuh Wiro. Kalau dia kelak
membantu pemuda pemberontak itu Wiro bisa celaka. Aku juga! Walaupun hatinya cemas tapi
sampai saat itu dia tetap saja tegak di tempat itu.
“Gendut gila!” tiba-tiba Gandita berteriak. “Hentikan tawamu! Pergi dari sini! Jangan
mengganggu urusanku!”
Dibentak seperti itu si Gendut tampak terkesiap. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian
kembali terdengar suara tawanya menggelegar.
“Mana ada aturannya orang tidak boleh ketawa! Ha… ha… ha! Tempat ini bukan milik
nenek moyangmu mengapa berani menyuruh aku pergi! Siapa yang mengganggu urusanmu?!
Jangan coba membanyol. Nanti aku bisa ketawa sampai ngompol! Kalau aku ngompol apakah
kau mau mencebokkan?! Ha… ha… ha …!”
Gandita marah sekali mendengar kata-kata si gendut itu. “Gendut gila! Kalau kau tidak
berhenti tertawa, kusumpal mulutmu dengan golok ini!”
“Eh!” si gendut tampak terkejut. Matanya yang sipit dicobanya membuka lebar-lebar tapi
tetap saja sipit! “Astaga! Benaran kau hendak menyumpal mulutku dengan golok itu?! Jangan!
Kalau kau mau menyumpal jangan dengan golok. Tapi dengan pisang goreng atau ubi rebus!
Baru sedap!”
Pendekar 212 garuk-garuk kepala melihat tingkah si gendut yang dikenalnya sebagai
Dewa Ketawa dan yang dulu biasa dipanggilnya dengan sebutan Kerbau Bunting!
Kalau menurutkan kemarahannya mau rasanya Gandita menyerang si Gendut di atas
keledai dengan goloknya saat itu juga. Namun dia berlaku cerdik. Mengapa menambah musuh
baru sedangkan urusan dengan Wiro belum terselesaikan? Di samping itu Gandita merasa
bahwa si gendut ini tidak berada di pihaknya. Dugaan Gandita tidak salah karena saat itu
didengarnya si gendut. berkata pada Wiro.
“Sobatku Muda, aku gembira bisa ketemu kau lagi! Ha.., ha… ha …!”
“Dewa Ketawa, aku juga gembira!” sahut Wiro. “Cuma sayang aku sedang ada urusan
dengan pemuda pemberontak ini!”
81
“Ah, dia pemberontak rupanya! Ha… ha…ha…!” Dewa Ketawa lalu berpaling pada
Gandita.
“Masih bau kencur sudah berani memberontak. Hal anak muda! Kau minum dulu
kencingku! Kalau sudah mampu minum kencingku baru boleh memberontak! Ha… ha…
ha…!”
Rahang Gandita menggembung tanda amarahnya menggelegak. Tapi dia pandai membaca
keadaan. Apalagi tadi dia mendengar Wiro menyebut nama si gendut ini. Siapa tidak kenal
dengan orang sakti bergelar Dewa Ketawa? Otak cerdiknya bekerja. Lalu mulutnya berkata.
“Orang tua gemuk, kalau kau betul Dewa Ketawa, aku minta maaf tadi tidak berlaku
hormat terhadapmu. Ketahuilah kakakmu si Dewa Sedih sudah bergabung dengan kami untuk
menumbangkan kekuasaan tidak syah Prabu Singosari! Sebagai adik tentu tidak ada salahnya
kau juga ikut kami!”
Wiro terkejut mendengar ucapan Gandita itu. Sebaliknya Dewa Ketawa tenang-tenang
saja, malah dia kembali perdengarkan suara tawanya. Mula-mula perlahan lalu makin keras
dan makin keras! Tiba-tiba clep! Tawanya dihentikan. Dewa Ketawa membentak.
“Siapa sudi mengaku kakak pada manusia sesat bernama Dewa Sedih itu! Dan kau mau,
kasih hadiah apa kalau aku bersedia bergabung dengan kalian kaum pemberontak?!”
“Dewa Ketawa! Kau hendak…”
Orang tua bertubuh gemuk itu memandang pada Wiro sambil memalangkan jari
telunjuknya di depan mulut. “Diam, jangan bersuara. Biar monyet ini memberi tahu apa hadiah
untukku!”
“Dengar Dewa Ketawa, Raja yang baru pasti akan memberimu harta dan uang berlimpah.
Kau pasti akan diberikannya jabatan tinggi di Istana!”
Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata Gandita itu. “Bocah geblek! Aku
Tanya hadiah apa yang bisa kau berikan padaku. Bukan hadiah dari Raja. Lagi pula siapa Raja
barumu itu?!”
Wajah Gandita tampak menjadi merah.
“Dengar anak muda,” kata Dewa Ketawa pula.
“Jika kau mau mengorek jantungmu sendiri lalu memberikannya padaku, baru aku mau
bergabung dengan kalian!”
82
Jika diturutkannya hawa amarahnya mau rasanya Gandita menyerang orang tua gendut itu
dengan goloknya. Tapi lagi-lagi dia berlaku cerdik. Jika dia melibatkan Dewa Ketawa dalam
perkelahian, berarti dia akan menghadapi dua lawan sekaligus yaitu Wiro dan Dewa Ketawa.
Maka dia berusaha menekan amarahnya terhadap si gemuk itu dan kini segala kemarahannya
ditumpahkan pada Pendekar 212 dalam bentuk serangan ganas. Kedua pendekar muda itu
kembali berkelahi.
Dewa Ketawa tertawa mengekeh melihat perkelahian itu tapi lama-lama dia tampak
seperti jemu.
“Perkelahian membosankan! Buat apa ditonton! Lebih baik aku pergi saja! Ha… ha…
ha….!” Dewa Ketawa putar keledainya.
“Orang tua, kau mau ke mana?” tiba-tiba satu suara menegurnya.
Dewa Ketawa berpaling ke arah datangnya suara itu. Dilihatnya yang barusan bicara
adalah pemuda berkumis tipis berwajah klimis. Sesaat dipandanginya wajah dan tubuh orang
itu lalu meledaklah ketawanya.
“Biasanya lelaki yang suka jadi banci! Baru hari ini aku lihat ada gadis yang mau jadi
banci! Ha… ha… ha!” Dewa Ketawa lambaikan tangannya dan mengedipkan matanya yang
sipit pada Gayatri.
“Orang tua! Tunggu!” kembali Gayatri berseru. “Apa kau tidak mau menolong sahabatmu
Wiro?”
“Ah! Siapa sudi menolong orang tolol! Ilmunya segudang kepandaiannya selangit.
Mengapa tidak dipergunakan?! Dia bisa menghadapi cecunguk pemberontak itu seorang diri.
Dia tidak butuh pertolonganku!” Habis berkata begitu Dewa Ketawa mengekeh. Lalu kedua
kakinya bergerak mengiringi empat kaki keledai kurus pendek itu. Wiro hendak berseru
memanggil namun saat itu Gandita kembali menyerbu dengan goloknya sedang si kakek
gendut telah lenyap dalam kegelapan malam.
Pendekar 212 sambut serangan Gandita dengan jurus dan pukulan “Kilat menyambar
puncak gunung.” Pukulan ini berupa satu tabasan tepi telapak tangan yang dahsyat, yang
dipelajarinya dari Tua Gila, seorang sakti di Pulau Andalas beberapa tahun lalu.
Mendengar deru pukulan lawan serta ada hawa panas yang menyambar, mau tak mau
Gandita berpikir dua kali untuk meneruskan serangannya. Tangan kanan Wiro menyambar di
83
samping golok terus melesat ke arah pergelangan tangannya. Gandita terpaksa tarik pulang
serangannya sambil. Tapi begitu tubuhnya terlontar ke kanan tiba-tiba sekali dia membuat
gerakan aneh. Lalu tangan kirinya menyambar dan berhasil menjambak rambut Wiro Sableng
yang gondrong. Sekali dia menjentakkan tangan kirinya maka tubuh Pendekar 212 dan
terbanting jatuh punggung ke tanah. Wiro merasakan tulang punggungnya seolah remuk.
Sedang kepalanya yang tadi sempat dijambak lawan masih mendenyut sakit. Meski
pemandangannya sedikit berkunang dia masih sempat berpikir. Gerakan orang ini jauh lebih
cepat dari dulu. Agaknya dia telah menimba ilmu baru. Aku harus berhati-hati pada kampret
satu ini! Selagi Pendekar 212 berusaha bangkit berdiri, tiba-tiba dari depan Gandita sudah
menyerbu kembali dengan goloknya!
Murid Sinto Gendeng dari gunung Gede ini menggeram. Dengan cepat dia alirkan tenaga
dalamnya ke tangan kanan lalu memukulkannya ke arah lawan.
Wuttt!
Segulung angin menggempur ke depan mengeluarkan suara menderu seperti ombak
mengamuk di tepi pantai. Inilah pukulan sakti bernama “Segulung ombak menerpa karang.”
Gandita merasakan serangannya tertahan oleh satu tembok yang tidak kelihatan.
Tangannya yang memegang senjata bergoyang-goyang sedang sekujur tubuhnya bergetar.
Semakin dia mengerahkan tenaga luar dalam untuk menerjang tembok gaib itu semakin sulit
keadaannya karena kekuatannya seperti membalik menggempur dirinya sendiri.
Wiro maklum walau gerakan lawan kini jauh lebih cepat dan tadi sempat menghajarnya
namun dalam kekuatan tenaga dia jauh lebih unggul dari Gandita.
Wiro maklum walau gerakan lawan kini jauh lebih cepat dan tadi sempat menghajarnya
namun dalam kekuatan tenaga dia jauh lebih unggul dari Gandita.
Wiro cepat tambah kekuatan tenaga dalam ke telapak tangan kanan. Tiba-tiba dia
dorongkan telapak tangan itu dan sekaligus membalikkannya.
Di saat itu pula ketika merasa datangnya tekanan tenaga dalam lawan, Gandita kerahkan
seluruh tenaga dalamnya. Justru disinilah kesalahannya. Tenaga dalamnya terhimpit telak di
bawah tenaga dalam Wiro!
Begitu dua kekuatan tenaga dalam saling bentrokan, tubuh Gandita tampak terpuntir keras
seperti ditabrak angin punting beliung, lalu terpental sampai enam langkah. Golok di
84
tangannya terlepas jatuh.
“Jahanam!” maki Gandita dalam hati. “Bangsat ini harus segera kubunuh!” Murid orang
sakti dari Gunung Kelud ini cepat berdiri. Namun dadanya terasa sakit sekali. Gerakannya
yang sudah setengah berdiri jatuh kembali. Dia jatuh berlutut sambil pegangi dada. Marah dan
sangat penasaran membuat pemuda ini berusaha bangkit kembali.
Karena dipaksakan sedang tubuh di bagian dalam terluka parah dia jadi terbatuk-batuk
beberapa kali. Tiba-tiba ada darah segar menyembur keluar dari mulutnya!
Tadinya murid Eyang Sinto Gendeng kembali hendak menyerbu. Tapi begitu lawan
dilihatnya terluka dalam cukup parah dia hanya berdiri berkacak pinggang.
“Syukur-syukur kau sudah kapok! Kalau belum silahkan menyerang lagi!” ejek Wiro.
Gandita meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah.
“Manusia keparat! Kau jangan merasa cepat-cepat menang. Aku punya niat untuk
menghabisi nyawamu malam ini juga. Niat itu harus terlaksana! Lihat keris!”
Tangan kanan Gandita bergerak ke balik pinggang pakaiannya. Lalu kelihatan pancaran
sinar kuning bercampur putih dalam kegelapan. Memandang ke depan Wiro melihat Gandita
telah menggenggam sebilah keris besar di tangan kanan dan sarungnya di tangan kiri. Senjata
ini terbuat dari perak murni bercampur paduan emas. Gagang dan sarungnya berhlas beberapa
butir batu permata. Inilah keris Narasinga yang merupakan salah satu senjata pusaka Keraton
Kediri dan berasal dari sesepuh serta pendiri Kerajaan yaitu Sang Prabu Kameswara. Senjata
yang sudah berusia puluhan tahun ini tentu saja merupakan senjata sakti mandraguna. Dari
sinarnya saja Wiro sudah maklum kalau Keris itu bukan merupakan senjata sembarangan dan
dia harus berhati-hati.
Sebagai puteri raja tentu saja Gayatri mengenali senjata itu. Gadis ini tidak mengerti
mengapa senjata pusaka Keraton bisa berada di tangan seorang pemberontak seperti Gandita.
Saat itu Gandita sendiri sudah menyerbu seraya menusukkan keris Narasinga. Wiro cepat
berkelit. Ujung keris lewat hanya setengah jengkal dari keningnya. Matanya terasa perih oleh
sambaran angin keris sakti itu. Ketika lawan menyerbu kembali Pendekar 212 kerahkan ilmu
meringankan tubuhnya dan siapkan did dengan melipatgandakan tenaga dalam. Untung saja
saat itu Gandita mengalami luka dalam yang cukup parah hingga gerakannya menjadi lamban
dan kadang-kadang rasa sakit pada dadanya membuat serangannya seperti tertahan-tahan.
85
Kalau tidak akan sulitlah bagi Wiro untuk menghadapinya dengan mengandalkan pukulan-
pukulan tangan kosong walaupun mengandung tenaga dalam dan aji kesaktian.
Setelah menggempur terus-terusan tanpa hasil sedang dadanya sendiri terasa semakin
sakit Gandita mulai berpikir sebaiknya dia tinggalkan saja tempat itu.
Justru saat itu terdengar Gayatri berteriak. “Wiro! Keris itu senjata pusaka milik Kerajaan!
Tidak layak berada di tangan seorang pengkhianat? Usahakan untuk merampasnya!”
Gandita terkejut mendengar seruan Gayatri. Perempuan yang menyamar dua tahu senjata
di tanganku ini. Siapa dia sebenarnya. Jangan-jangan… Gandita tak sempat berpikir lebih
jauh karena saat itu Wiro tiba-tiba menyergap dengan satu jotosan tangan kirinya menyambar
berusaha merampas keris.
Gandita yang mulai mencium bahaya dan takut kalau-kalau Wiro sempat merampas keris
Narasinga yang selama ini dipercayakan padanya untuk di simpan meloncat mundur beberapa
langkah.
“Pendekar 212! Sayang aku masih ada keperluan lalu yang lebih penting. Kalau saat ini
aku pergi jangan kira kau sudah merasa menang. Aku akan datang kembali untuk membedol
nyawa anjingmu! Kau tunggu saja saat kematianmu!” Habis berkata begitu Gandita sarungkan
keris Narasinga dan menyimpannya kembali di balik pinggang pakaiannya.
Wiro menyeringai. “Yang aku kawatir yang muncul nanti bukan tubuh kasarmu
sungguhan, tapi setanmu atau roh halusmu! Luka dalam yang kau derita tidak bisa dianggap
enteng! Mungkin kau duluan yang menemul ajal dari pada aku!”
Gandita meludah ke tanah sekali lagi. Dia lalu berputar seperti hendak meninggalkan
tempat itu. Namun tiba-tiba sekali dia membalik. Tangan kanannya bergerak. Lima buah
benda hitam yang merupakan senjata rahasia berupa paku-paku kecil halus beracun melesat di
udara, menyambar ke arah Pendekar 212.
“Laknat keparatI” teriak Wiro marah. Tangan kanannya bergerak menghantam dengan
pukulan “benteng topan melanda samudera.” Segulung angin dahsyat menyambar membuat
semua senjata rahasia yang dilepaskan Gandita mencelat mental. Pukulan sakti itu selanjutnya
menerpa ke arah Gandita. Namun pemuda ini sudah lebih dahulu berkelebat ke balik sebatang
pohon besar lalu menghilang ditelan kegelapan malam.
Braakkk!
86
Batang pohon kayu berderak keras dilanda pukulan sakti yang dilepaskan Wiro.
“Wiro! Kau tak apa-apa?!” terdengar Gayatri berseru lalu gadis ini setengah berlari
menghampiri Pendekar 212.
“Saya tak kurang suatu apa. Terima kasih,” jawab Wiro. “Seharusnya Raden Ayu cepat-
cepat pergi tadi…”
“Mana mungkin saya pergi sewaktu dirimu terancam bahaya.”
Ah, dia mengawatirkan keselamatanku, Pikir Wiro. Lalu dia teringat pada Pendeta
Mayana yang mengatakan bahwa gadis itu mencintainya.
“Kalau saja saya mempunyai kepandaian hebat, sudah saya bunuh pemuda pemberontak
itu tadi,” kata Gayatri pula.
“Dia akan menerima hukumannya. Luka dalam yang dideritanya cukup parah. Kalau dia
tidak segera mendapatkan obat nyawanya tak akan tertolong.”
“Saya menyumpah biar dia menemui ajal!” kata Gayatri.
“Sekarang saatnya Raden Ayu meninggalkan tempat ini.”
“Ya, cuma… Saya ingin kau mengantarkan saya sampai di pinggir Timur Kotaraja.”
“Saya tidak membawa kuda,” ujar Wiro walau sebenarnya dia bisa mengikuti kuda gadis
itu dengan berlari.
“Apa susahnya menunggang kuda berduaan. Kalau kau suka,” jawab Gayatri.
Pendekar 212 merasakan dadanya berdebar. Sambil senyum dan garuk-garuk kepala
dipeganginya pinggang puteri Prabu Singosari itu dengan kedua tangannya lalu dinaikkannya
ke atas kuda. Wiro sendiri kemudian hendak duduk di belakang si gadis.
“Eh, kau seharusnya duduk di sebelah depan Wiro!” ujar Gayatri pula.
“Di sebelah manapun tak jadi soal!” sahut Wiro seraya melompat ke atas punggung kuda,
duduk di depan Gayatri. Lalu perlahan-lahan kuda bernama Grudo itu mulai bergerak. Setelah
lewat beberapa lama Gayatri berkata.
“Kuda ini seperti sakit pinggang. Mengapa tidak kau pacu agar kita lekas sampai?”
“Maafkan saya Raden Ayu. Seumur hidup baru sekali ini saya menunggang kuda dengan
seorang gadis yang sangat cantik, puteri Raja pula. Mana saya mau menyia-nyiakan
kesempatan?”
“Eh, kau mulai bicara melantur. Apa maksudmu?”
87
Wiro tertawa lebar. “Maksud saya, biar lebih lama sampainya ke Kotaraja. Berarti saya
bisa lebih lama berdua-dua seperti ini dengan Raden Ayu…!”
“Tidak saya sangka kau ternyata seorang pemuda ceriwis!” kata Gayatri pula. Lalu
cubitannya mendarat berulang-ulang di punggung Pendekar 212 hingga pemuda ini tersentak-
sentak antara geli dan kesakitan.
“Kalau Raden Ayu terus mencubit, saya akan memacu kuda ini ke jurusan lain. Saya akan
menculik dan menyekap Raden Ayu di satu tempat!”
“Iih! Jika kau lakukan itu, aku bukan cuma mencubitmu Wiro. Tapi akan menggigitmu!”
kata Gayatri pula. Lalu dia membuat gerakan seperti hendak menggigit bahu kanan Pendekar
212.
“Digigit mungkin sakit. Tapi terus terang saya ingin juga merasakan gigitan Raden Ayu,”
sahut Wiro.
Karena gertakannya tidak mempan Gayatri jadi kehabisan akal. Digelungkannya kedua
tangannya ke pinggang Wiro. Sambil memeluk jari jari tangannya menggelitiki pinggang
pemuda itu hingga Wiro terpekik-pekik kegelian dan terpaksa memacu kudanya lebih cepat.
TAMAT
ARUS Kali Brantas mengalun tenang di pagi yang cerah itu. Sebuah perahu
kecil meluncur perlahan melawan arus dari arah Trowulan. Di atasnya
Ada dua orang penumpang berpakaian seperti petani. Yang satu
berusia hampir setengah abad.Rambutnya yang disanggul di sebelah
atas sebaglan nampak putih. Raut wajahnya yang terlindung oleh
caping lebar jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Kumis dan janggutnya
lebat. Tetapi jika orang berada dekat-dekat padanya dan memperhatikan wajahnya
dengan seksama akan ketahuan bahwa kumis
dan janggut lebat itu adalah palsu.
Orang bercaping itu duduk di sebelah depan perahu. Kedua matanya memandang lurus-
lurus ke muka. Sesekali tangan kanannya meraba sebilah keris yang terselip di pinggang,
tersembunyi di balik pakaian hitamnya. Orang kedua adalah pemuda berbadan kekar.
Pakaiannya lecek dan basah oleh keringat. Sehelai kain putih terikat di keningnya. Rambutnya
yang panjang tidak disanggul di atas kepala, tapi dibiarkan terlepas menjela pundak.
“Gandita, aku sudah dapat melihat pohon cempedak miring di tepi kali di ujung sana,”
berkata lelaki yang lebih tua.
Gandita, pemuda yang mendayung perahu, meninggikan lehernya sedikit dan memandang
jauh ke muka, Memang diapun dapat melihat pohon cempedak yang dikatakan orang itu tadi.
Pohon cempedak itu tumbuh di tepi kali dalam keadaan miring. Lebih dari separuh batangnya
sampai ke puncak pohon membelintang di atas Kali Brantas.
2
“Saya juga dapat melihatnya dari sini Adipati,” ujar Gandita. “Sebentar lagi kita akan
sampai. Menurut Adipati apakah orang-orang Kedri itu akan datang?”
“Manusia bernama Adikatwang itu tidak pernah tidak menepati janji. Dia pasti datang.
Kalau dia tidak datang berarti dia telah bertindak tolol. Kesempatan hanya ada satu kali. Sekali
lewat jangan harap bakal muncul lagi.”
Gandita mendayung, perahu meluncur perlahan. Da1am hati dia berkata. Kalau orang-
orang Kediri tidak muncul, sungguh gila jauh-jauh datang dari Madura seperti ini!
Saat demi saat perahu semakin dekat ke pohon cempedak miring. Tepat di bawah
batangnya yang membelintang di atas kali Gandita merapatkan perahu ke tebing.
“Tidak kelihatan siapapun,” kata orang yang dipanggil dengan sebutan Adipati. Dia
bernama Wira Seta dan dia memang adalah seorang Adipati dari Madura.
“Saatnya kita mengeluarkan tanda rahasia,” kata Wira Seta.
Gandita mengangguk. Dia bangkit dan berdiri di atas perahu. Sesaat pemuda ini
memandang berkeliling. Lalu kedua tangannya dibulatkan dan diletakkan di depan bibir. Dari
mulut Gandita keluar suara seperti bunyi burung tekukur. Lalu sunyi. Kedua orang dalam
perahu menunggu dengan air muka tampak tegang.
“Aneh, tak ada sahutan…” kata Wira Seta. “Mungkin mereka belum sampai di sini?”
Gandita tidak menyahut.
“Coba sekali lagi,” kata Wira Seta.
Kembali pemuda itu menirukan suara burung tekukur. Lalu sunyi lagi. Tiba-tiba ada suara
suitan merobek kesunyian. Disusul oleh suara burung tekukur.
Wira Seta tampak lega. “Mereka sudah ada di sini. Sebaiknya kita naik ke darat.”
Kedua orang itu keluar dari perahu, melompat ke tebing kali lalu naik ke darat. Pada saat
itu rerumpunan semak belukar di sebelah kanan nampak tersibak. Dua orang berpakaian
perajurit Kediri muncul. Keduanya membawa panah dan saat itu keduanya telah merentang
busur, membidikkan anak panah ke arah Wira Seta dan Gandita.
Panah beracun, kata Gandita dalam hati begitu melihat ujung panah yang terbuat dari besi
berwarna sangat hitam. Baik dia maupun Wira Seta tetap berlaku tenang.
“Prajurit-prajurit Kediri, mana pemimpin kalian?” tanya Wira Seta.
Salah seorang perajurit menjawab. “Kami dipesan agar melihat benda tanda jatidiri lebih
3
dahulu sebelum membawa pada pemimpin kami.”
Gandita berpaling pada Wira Seta. Adipati ini keluarkan keris yang terselip di
pinggangnya lalu memperlihatkannya pada perajurit yang masih tegak dengan membidikkan
panah beracun tepat ke arah jantungnya. Keris ini gagang dan sarungnya terbuat dari perak
murni. Pada bagian-bagian tertentu dilapisi emas serta beberapa buah permata. Pada badan
sarung dan gagang keris terdapat ukiran kepala singa dengan badan berbentuk manusia. Inilah
keris Narasinga, salah satu senjata pusaka Keraton Kediri yang berasal dari sesepuh dan
pendiri Kerajaan yaitu Sang Prabu Kameswara.
Kedua perajurit Kediri itu segera mengenali keris Narasinga. Mereka mengangguk lalu
menurunkan busur masing-masing. Yang satu berkata, “Ikuti kami.”
Setelah melewati beberapa kelompok rerumpunan semak belukar, di satu tempat yang
agak terbuka kelihatan sepuluh orang perajurit berkuda. Salah seorang dari mereka, yang
bertindak sebagai pemimpin segera turun dari kuda. Beberapa saat dia memandangi lelaki
bercaping, berkumis dan berjanggut tebal itu seperti tengah meneliti. Kemudian cepat dia
memberi penghormatan seraya berkata,
“Harap maafkan, saya tidak mengenali Adipati dalam penyamaran ini!” perajurit-perajurit
lainnya segera pula memberi penghormatan.
Wira Seta membalas penghormatan itu dan memandang berkeliling lalu bertanya, “Mana
pemimpin kalian?”
“Beliau segera datang. Harap Adipati suka bersabar sesaat.” Jawab perajurit yang ditanya.
Tak lama kemudian seekor kuda nitam besar muncul ditunggangi seorang lelaki berusia
hampir enam puluh tahun, berpakaian sederhana. Rambutnya hitam tebal disanggul di atas
kepala. Orang ini turun dari kudanya, berjalan mendekati Wira Seta lalu tersenyum.
“Penyamaran Adimas Wira Seta rapi sekali. Bertemu di tempat lain sulit bagiku
mengenali.”
Di antara kedua orang sahabat itu Wira Seta memang beberapa tahun lebih muda. Karena
itulah orang dihadapannya memanggilnya dengan sebutan Adimas.
Wira Seta membuka capingnya. Kedua orang itu lalu saling berpelukan.
“Jauh-jauh dari Sumenep Dimas tentu letih sekali. Aku ingin membawa Dimas ke Gelang-
gelang. Tetapi keadaan kurang mengizinkan. Harap Dimas maklum.”
4
Adipati Wira Seta mengangguk. “Suatu ketika akan tiba saatnya kita dapat berkumpul
bersama-sama secara terbuka, tanpa rasa takut. Kangmas Adikatwang, apakah kau ada baik-
baik saja?”
“Para Dewa memberkahi serta melindungiku dan keluarga. Walau hidup di bawah
Singosari penuh tekanan tapi kita terpaksa pasrah. Sudah untung Sang Prabu masih mau
memberikan daerah Gelang-Gelang kepadaku.”
Adipati Wira Seta mernegang bahu Adikatwang, putera Sri Baginda Kertajaya yang
pemah berkuasa di Kediri sebelum Kerajaan itu diserbu dan ditunduk kan oleh Singosari
dibawah pimpinan Ken Arok yang bergelar Ranggah Rajasa belasan tahun yang silam,
“Siapa yang bisa hidup tenang dan leluasa saat ini Kangmas Adi,” kata Adipati Wira Seta
pula. “Lihat saja dengan diri saya. pengabdian dan jasa apa yang tidak saya lakukan untuk
Kerajaan. Saya tidak mengharapkan dianggap sebagai pahlawan besar. Jalan pikiran saya
dicurigai, perlakuan terhadap diri saya sungguh menyakitkan. Saya dipaksa menerima nasib
ditendang dari Kotaraja. Dikucilkan jadi Adipati di Madura yang gersang! Dengan kata lain
saya disuruh makan garam banyak-banyak agar cepat mati!” Wira Seta masih bisa tertawa
dalam mengutarakan uneg-unegnya.
“Aku mengerti kekecewaan Dimas Wira Seta,” kata Adikatwang.
“Kekecewaan, tekanan dan penghinaan yang kita terima tidak akan berjalan lama. Saya
percaya waktunya untuk Kangmas memegang tampok kekuasaan akan segera datang.”
Adikatwang memandang sejurus pada pemuda yang berdiri di samping Wira Seta lalu
bertanya, “Dimas, siapakah pemuda yang tampan ini?”
“Namanya Gandita. Dia murid seorang sakti di puncak Gunung Kelud. Dia orang
kepercayaan saya yang bakal banyak memberikan bantuan dalam rencana kita.”
Gandita memberi penghormatan pana Adikatwang lalu kembali tegak dengan sikap siap
seorang perajurit.
“Aku senang kau membantu Adipati Wira Seta. Pemuda-pemuda gagah sepertimu
memang bakal banyak diperlukan.”
“Terima kasih Adipati,” kata Gandita seraya membungkuk.
“Kangmas Adi, sekarang kita perlu bicara empat mata. Mari kita cari tempat yang baik.”
Raden Adikatwang mengangguk. “Kalian tetap di sini,” katanya pada para pengawalnya.
5
lalu kedua sahabat ini melangkah ke arah tepian Kali Brantas. Di balik serumpunan semak
belukar tak berapa jauh dari pohon cempedak hutan yang tumbuh miring, mereka memilih
tempat yang baik dan duduk di tanah meneruskan pembicaraan.
“Saya dan beberapa kawan telah siap menjalankan apa yang jadi rencana. Kami hanya
menunggu keputusan Kangmas saja.”
“Berapa kekuatan orang Adimas keseluruhannya?” tanya Adikatwang.
“Sekitar dua ribu orang. Semua mereka merupakan perajurit-perajurit terlatih dan
berpengalaman. Semangat mereka tinggi. Mereka rela mengorbankan darah dan nyawa demi
berdirinya kembali Kerajaan Kediri.”
Untuk beberapa lamanya Adikatwang berdiam diri seperti merenung. Dalam dirinya
terjadi pergolakan. Hati kecilnya menyuarakan hal yang berbeda dengan otaknya. Sebenarnya
aku sudah cukup pasrah menerima keadaan. Jika pecah lagi peperangan yang jadi korban
dan banyak menderita pastilah rakyat.
“Apa Yang Kangmas pikirkan?” bertanya Adipati Wira Seta.
“Kekuatan kita agaknya memang meyakinkan,” berkata Adikatwang,
“Belum terhitung orang-orang seperti Gandita. Lalu orang-orang dari dunia persilatan.
Para pemuka agamapun menyokong perjuangan kita mendirikan Kediri kembali.”
“Apakah aku harus memberi keputusan sekarang Dimas Wira Seta?”
“Bukankah untuk maksud itu saya datang jauh-jauh dari Madura?” sahut Wira Seta.
Kembali Adikatwang tampak termenung.
Melihat hal ini Wira Seta berusaha membakar hati sahabatnya itu dengan mengungkit
peristiwa lama.
“Kangmas, apakah kau akan melupakan begitu saja perbuatan jahat orang-orang
Singosari? Mereka menyerbu dan menghancurluluhkan negeri kita. Merampas harta kekayaan
rakyat kita. Membunuh ratusan rakyat. Salah satu korban mereka yang terbesar adalah Sang
Prabu Kertajaya, ayahanda Kangmas sendiri. Apakah perkiraan Kangmas arwah ayahanda
Kangmas akan berada dalam keadaan tenteram di swarga loka sebelum dia melihat kita
menuntut balas atas kejahatan dan kekejaman musuh? Mohon maafmu Kangmas, sebagai
seorang sahabat saya akan terpaksa berkata. Kalau Kangmas mundur dengan rencana ini, saya
dan kawan-kawan akan tetap melaksanakannya. Kediri harus bangun kembali. Tugas dan
6
tanggung jawab itu ada di pundak orang-orang seperti kita. Apalagi mengingat Kangmas
adalah pewaris tunggal dan syah dari tahta Kerajaan Kediril”
Raden Adikatwang menarik nafas panjang. Setelah berdiam diri sesaat akhirnya dia
berkata. “Kita tetap sama-sama menjalankan rencana besar ini Dimas. Bagaimana persiapan
pasukan?”
“Mereka sudah lama siap. Tindakan saya yang pertama dalam waktu dekat ini ialah
membawa mereka ke Canggu. Dari sini pasukan akan disebar dalam dua arah. Yang pertama
ke Utara Singosari, sebagian lagi ke arah Selatan sekitar Badud dan Jago.”
“Kalau begitu kita tentukan saja sekarang hari dan saat penyerangan agar pasukan dari
Gelang-Gelang bisa bergabung dalam waktu yang tepat,” kata Adikatwang.
“Itu satu hal yang sangat bagus. Saya mengusulkan agar pasukan Kangmas memperkuat
pasukan yang di Selatan. Saya sudah menyusun satu tipuan yang bakal menghancurkan
Singosari dalam waktu singkat.”
Lalu Adipati Wira Seta memberi tahu rencananya itu.
“Aku sangat setuju Dimas. Kau memang seorang Panglima Perang yang cerdik. Sang
Prabu kelak akan menyesal seumur hidup telah menyia-nyiakan dirimu.”
Wira Seta tersenyum. Tapi tiba-tiba Adikatwang melihat air muka sahabatnya itu berubah.
“Ada apa Dimas?” tanya Adikatwang.
“Saya mencium bau yang sangat tajam. Bau apa ini?” Wira Seta memandang berkeliling.
Adikatwang mendongak dan menghirup udara dalam-dalam. Dia mengenali bau yang
diciumnya itu. “Bau buah cempedak,” katanya. “Cempedak hutan!”
Wira Seta cepat berdiri lalu melangkah ke arah ka1i. Adikatwang mengikuti dari
belakang. Mereka bergerak ke jurusan pohon cempedak yang tumbang melintang di atas kali.
Di satu tempat Wira Seta yang berada di sebelah depan hentikan langkah, memberi tanda pada
Adikatwang lalu menunjuk ke arah pohon cempedak.
“Lihat…” bisiknya. “Ada orang di atas sana.”
Adikatwang memandang ke atas pohon. “Bukankah itu Gandita, pemuda
kepercayaanmu?” kata Adikatwang pula.
“Warna pakaiannya dan ikat kepalanya memang sama. Rambutnya juga sama panjang.
Tapi itu bukan Gandita,” jawab Adipati Wira Seta.
7
“Jangan-jangan kita telah kecolongan, Dimas. Bukan mustahil pemuda gondrong di atas
pohon itu adalah mata-mata Singosari. Celaka kita kalau dia telah mendengar semua
pembicaraan kita!”
“Saya meragukan hal itu Kangmas. Lihat caranya duduk berjuntai di batang pohon.
Makan cempedak sambil menggoyang-goyangkan kaki. Seorang mata-mata tidak akan
melakukan hal itu.”
“Siapapun dia kita harus menyelidiki. Aku akan memberi tahu para pengawal. Tempat ini
harus segera dikurung. Jangan orang itu sampai melarikan diri. Kau tunggu di sini. Awasi dia.
“Cepatlah!” kata Wira Seta. “Suruh Gandita kemari!”
***
8
2
ORANG yang duduk di batang pohon sambil memangku buah cempedak matang dan harum
sepertinya tidak tahu kalau dirinya diawasi. Dia terus saja menyantap buah itu sambil duduk
berjuntai goyang-goyangkan kedua kakinya. Kulit cempedak dan juga biji buah itu
dibuangnya seenaknya ke bawah. Beberapa potongan kulit dan biji malah ada yang jatuh ke
dalam perahu milik Wira Seta yang ditambatkan di tepi kali. Jengkelnya Adipati Sumenep itu
bukan kepalang. Namun dia tidak mau bertindak gegabah. Dia maklum, hanya orang-
berkepandaian tinggi yang kehadirannya tidak diduga seperti itu. Lalu bukan sembarang orang
bisa duduk berjuntai di batang pohon sambil menyantap buah dengan cara begitu.
Sambil menikmati buah cempedak yang harum itu si pemuda berambut gondrong sesekali
terdengar menyanyi-nyanyi kecil. Kadang-kadang tangan kirinya tampak mengusap-usap
perut seolah mengukur-ukur apakah dia sudah cukup kenyang. Sesekali tangannya yang
lengket oleh getah buah itu enak saja dipakai untuk menggaruk-garuk kepalanya yang
berambut gondrong.
Adikatwang dan para pengawal muncul di tempat itu bersama Gandita. Tanpa suara
mereka segera mengurung tempat tersebut. Di atas pohon si pemuda masih terus saja enak-
enakan menyantap buah cempedak. Wira Seta memberi isyarat pada Gandita. Pemuda ini
melangkah mendekati pohon cempedak lalu berseru.
“Ki sanak di atas pohon! Turunlah sebentar! Kami ingin bertanya!”
Pemuda di atas pohon menoleh ke bawah.
Wira Seta berbisik pada Adikatwang. “Lihat, dia tidak terkejut ketika diteriaki. Berarti
secara diam-diam sebenarnya dia sudah mengetahui kehadiran kita di sini. Tapi bersikap tidak
perduli.”
Setelah memandang ke arah Gandita sesaat, orang di atas pohon kembali meneruskan
makan buah cempedaknya tanpa menjawab seruan orang.
Gandita berteriak sekall lagi. Lebih keras. “Ki sanak! Aku yakin kau mendengar seruanku.
Harap turun sebentar. Kami ingin bertanya!”
9
Pemuda di atas cabang pohon muntahkan biji cempedak dari mulutnya. Biji cempedak ini
jatuh dan masuk ke dalam perahu. Gandita melirik. Ternyata perahu itu sudah penuh dikotori
biji dan kulit buah cempedak.
“Ki sanak!” teriak Gandita mulai berang. “Apa kau tuli? Tidak mendengar orang
memanggil?!”
“Tidak! Aku tidak tuli!” tiba-tiba orang di atas pohon menjawab. Suaranya parau karena
dia menjawab sambil mengunyah cempedak. Waktu menjawab kepalanya tidak dipalingkan ke
arah Gandita, membuat pembantu Wira Seta ini menjadi tambah jengkel.
“Kalau tidak tuli mengapa orang bertanya kau tidak menjawab?!” Teriak Gandita.
“Soalnya aku ingin tahu dulu siapa yang bertanya!”
Gandita hendak menyahuti. Tetapi Adikatwang cepat memegang bahunya dan
mendahului menjawab.
“Kami penguasa Kediri! Kau berada di wilayah kekuasaan kami! Jadi kami berhak
menyelidik siapa dirimu!”
“Yang jelas aku bukan penjahat! Tapi aku memang mencuri cempedak ini. Cempedak
dalam hutan tak bertuan, jika kuambil apakah itu namanya mencuri?”
“Ki sanak kami minta kau turun dulu baru bicara! Sikapmu seperti orang tidak tahu
aturan!” Gandita berteriak.
“Ki sanak, apakah kau orang yang tahu aturan? Mengganggu orang yang sedang makan?
Jika kau sedang enak-enakan makan apakah kau mau diganggu?”
Adikatwang memegang bahu Wira Seta. “Jangan-jangan pemuda di atas sana seorang
yang kurang waras. Lebih baik kita tinggalkan saja dia.”
“Tidak Kangmas. Saya berkeyaklnan pemuda itu bukan orang gila. Kita akan lihat!” Wira
Seta lalu ganti berteriak. “Orang muda, jika kau tidak mau turun untuk kami tanyai, jangan
menyesal kalau kami terpaksa menurunkan tangan keras!”
“Jika memang ada hal penting yang kalian ingin tanyakan, berteriak saja dari bawah. Apa
susahnya?”
Jawaban itu membuat marah Wira Seta. Dia memberi isyarat pada Gandita.
“Beri dia pelajaran!”
Gandita melangkah lebih dekat ke pohon yang lumbuh di tebing kali itu. Sekali dia
10
berkelebat tubuhnya melayang ke atas pohon dan kedua kakinya menjejak pada cabang, tepat
di mana pemuda berambut gondrong duduk uncang-uncang kaki sambil menikmati buah
cempedak.
“Hai! Kau mau cempedak?!” si gondrong menawari.
Plaaak!
Satu tamparan keras dilayangkan Gandita. Tepat mendarat di pipi kanan pemuda yang
tengah mengunyah cempedak. Buah berikut biji yang ada di dalam mulutnya menyembur
keluar bersama ludah ke muka Gandita!
“Kurang ajar!” Gandita marah sekali. Kalau tadi tamparan yang dilayangkannya kini satu
jotosan segera dihantamkannya. Saat si pemuda telah terbanting akibat tamparan keras tadi.
Tubuhnya tersentak dan jatuh ke belakang. Tapi kedua kakinya dengan cekatan menggelung
batang pohon hingga tubuhnya tidak jatuh ke bawah melainkan hanya berputar satu kali pada
batang cempedak. Meskipun pipinya sakit dan bertanda merah namun si gondrong itu
memandang menyeringai kepada Gandita.
Merasa seperti dipermainkan pembantu kepercayaan Adipati Wira Seta ini lepaskan satu
jotosan.
Bukk!
Jotosan keras itu mendarat di dada membuat tak ampun lagi yang dijotos terjengkang.
Buah cempedak besar yang tinggal setengah terlepas dari tangannya jatuh ke bawah.
Tubuhnya sendiri menyusul melayang jatuh!
Anehnya setelah ditunggu sekian lama tidak ada suara tubuh yang jatuh bergedebuk di
tebing sungai atau suara orang jatuh ke dalam air kali. Gandita memandang ke bawah. Wira
Seta dan Adikatwang serta beberapa orang perajurit melompat ke tepi kali. Apa yang mereka
saksikan?
Pemuda gondrong yang tadi kena jotosan Gandita enak-enak duduk setengah berbaring di
dalam perahu milik Wira Seta. Di atas perutnya dia memegang buah cempedak dan mulutnya
saat itu sudah mengunyah buah itu kembali!
Tentu saja semua orang terkejut melihat hal itu. Bagaimana tubuh seseorang bisa jatuh ke
atas perahu tanpa mengeluarkan suara, bahkan kelihatannya perahu itu hampir tidak
bergoyang. Air Kali Brantaspun tidak tampak beriak!
11
Di atas pohon Gandita marah bukan main. Dia benar-benar merasa dipermainkan di
hadapan orang banyak. Segera dia melompat ke bawah ke arah perahu. Sambil melayang turun
kaki kanannya ditendangkan ke kepala pemuda yang duduk di dalam perahu itu.
Sekali ini si gondrong rupanya jadi merasa jengkel juga diserang terus-terusan begitu
rupa. Kaki kanannya diinjakkan ke kayu pendayung di lantai perahu. Pendayung ini melesat
ke atas, melayang ke arah Gandita.
Gandita menggeram marah. Tendangannya yang seharusnya mengenai kepala pemuda itu,
kini terhalang oleh kayu pendayung.
Praakk!
Kayu pendayung patah dua, mencelat ke udara lalu jatuh ke dalam Kali Brantas. Gandita
membuat gerakan jungkir balik agar tubuhnya tidak salah jatuh ke dalam air. Sesaat kemudian
kedua kakinya sudah menginjak tepian kali. Ketika dia kembali hendak menyerang pemuda
yang masih duduk di atas perahu itu, Wira Seta cepat memegang bahunya. “Gandita, kau
mundurlah. Biar aku yang mengurus pemuda ini,” kata Adipati Sumenep itu. Sekali dia
bergerak tubuhnya melayang dan masuk ke dalam perahu, duduk berhadap-hadapan dengan si
pemuda.
“Anak muda, maafkan kalau orangku tadi bertindak tidak pada tempatnya. Ternyata kau
bukan pemuda biasa.”
Pemuda di hadapan Wira Seta angkat kepala. Dia menatap lelaki itu sesaat. “Ah, kau
ternyata lebih sopan sedikit dari sobat mudamu itu. Kau mau kubagi buah cempedak ini?”
“Terima kasih. Aku berpantang makan yang nnanis-manis,” jawab Wira Seta.
“Kepandaian seperti yang kau miliki membuat aku kagum. Pemuda sepertimu sangat
dibutuhkan oleh Kerajaan. Apakah kau mau berbakti pada Kerajaan?” Tanya Wira Seta
kemudian.
“Kerajaan yang mana? Kediri atau Singosari?”
Wira Seta sesaat terkesiap oleh pertanyaan itu. “Bukan Kediri bukan Singosari. Tapi satu
Kerajaan baru yang kelak akan muncul. Namanya Kediri baru.”
“Maafkan aku orang tua. Aku tidak tertarik,” jawab si pemuda lalu kelihatan dia senyum-
senyum.
“Kenapa kau tertawa?” tanya Adipati Sumenep itu kurang senang.
12
“Orang tua, apakah kau ini anggota wayang orang atau pemain sandiwara keliling?”
Paras Wira Seta menjadi merah.
“Aku jauh lebih tua darimu. Tidak pantas kau ajak bergurau!”
“Siapa bergurau? Aku tanya yang wajar-wajar saja. Kalau kau bukan seorang pemain
sandiwara mengapa memakai kumis dan janggut palsu?”
“Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu. Tapi kau harus menjawab pertanyaanku!
Katakan siapa dirimu dan apa yang kau kerjakan di tempat ini.”
“Pertanyaan mudah. Jawabnya juga mudah. Namaku Wiro. Aku di sini tengah makan
cempedak. Nah, kau puas orang tua?”
“Tidak, aku tidak puas.” Jawab Wira Seta. “Aku punya kecurigaan kau adalah seorang
mata-mata yang tengah mengintai kami.”
Si gondrong yang adalah Wiro Sableng murid nenek sakti Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede yang dalam dunia persilatan dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 menyeringai.
“Tuduhanmu tidak beralasan orang tua, tapi apa yang barusan kau ucapkan justru
menimbulkan kecurigaan dalam hatiku!”
“Adipati, biar saya menghajar orang ini. Mulutnya terlalu lancang dan sikapnya sangat
kurang ajar!” terdengar suara Gandita.
Wira Seta mengangkat tangan memberi tanda agar pembantunya itu tetap berada di
tempatnya. Lalu dia berpaling pada pemuda yang duduk dalam perahu di hadapannya.
“Apa maksudmu? Apa yang kau curigai dan siapa yang kau curigai?” suara Wira Seta
menyentak.
“Jika kau tidak menyimpan satu rahasia mengapa harus mencurigai orang dan menuduh
aku mata-mata!?”
“Lalu mengapa kau tahu-tahu muncul di tempat ini. Kau pasti sengaja mencuri dengar apa
yang kami bicarakan di sini!” sergah Wira Seta.
“Orang tua, kau memang kelewatan. Sebelum kau dan orang-orang itu muncul, aku sudah
sejak pagi berada di tempat ini. Bagaimana kalau kubalik. Justru kaulah sebenarnya yang
tengah memata-matai diriku!”
Raden Adiatwang maju ke tepi kali. “Dimas, pemuda ini membuat aku mual. Aku akan
13
perintahkan pengawal menangkapnya. Aku akan bawa dia ke Gelang-Gelang dan diperiksa di
sana! Kalau dia ternyata memang seorang pemuda kurang waras, aku akan lepaskan dia.”
“Aku punya dugaan dia sengaja bersikap dan bicara konyol seperti orang tidak waras
untuk menutupi sesuatu.” Wira Seta melompat keluar dari dalam perahu seraya berseru, “Para
pengawal! Tangkap orang ini!”
“Hajar kalau melawan!” menimpali Adikatwang.
Enam orang perajurit Kediri melompat ke dalam perahu. Dua lainnya turun ke dalam air,
mencegat di samping kiri perahu untuk mencegah si pemuda yang hendak ditangkap agar
jangan sampai melarikan diri.
Perahu kecil dijejali enam orang pengawal, tujuh dengan Wiro tentu saja tidak dapat
menampung orang sebanyak itu. Perahu ini langsung amblas terbalik. Semua orang yang ada
diatasnya jatuh masuk ke dalam air, tidak terkecuali Wiro.
Semua orang di tepi kali kemudian terkejut ketika mereka mendengar suara teriakan-
teriakan delapan perajurit yang ada di dalam kali. Satu demi satu tubuh mereka seperti ditarik
ke dalam air. Ketika mereka akhimya muncul kembali suasana di tepi Kali Brantas itu menjadi
heboh. Tidak satupun lagi dari ke delapan perajurit Kediri yang keluar dari kali itu kini
mengenakan celana! Dalam keadaan tubuh setengah telanjang pada bagian yang paling rawan
itu, mereka kalang kabut berusaha menutupi aurat!
Dalam keadaan seperti itu di seberang kali terdengar suara tertawa mengakak. Semua
orang di tepi Barat kali memandang ke seberang. Di tepi Timur Kali Brantas kelihatan pemuda
berambut gondrong itu tegak sambil tertawa terpingkal-pingkal. Di kedua tangannya dia
memegang delapan helai celana panjang yang sebelumnya dikenakan oleh delapan perajurit.
Satu demi satu celana itu dilemparkannya ke dalam kali, hanyut dibawa arus ke hilir.
“Penghinaannya sudah keterlaluan!” geram Adikatwang sambil mengepalkan tinju.
“Lepaskan panah beracun!” teriaknya. Tiga orang anak buahnya segera menyiapkan busur dan
panah beracun. Tetapi ketika tiga panah itu melesat ke seberang kali, Pendekar 212 Wiro
Sableng sudah lenyap. Hanya suara tertawanya yang masih kedengaran di kejauhan.
“Manasia itu tidak gila!” kata Adikatwang.
“Kalau dia memang sempat mendengar pembicaraan kita, keadaan bisa sangat
berbahaya,” ujar Wira Seta pula. Air mukanya tampak jadi gelisah.
14
“Aku akan sebar orang untuk mencari jejaknya.” Adikatwang juga tampak tidak tenang.
Yang paling terpukul adalah Gandita. Pemuda itu berulang kali kelihatan mengepalkan
kedua tinjunya bahkan membanting-banting kaki. Dia memisahkan diri dari orang-orang di
tepi kali itu. Dalam hatinya dia tidak habis pikir. Tamparanku seharusnya sudah cukup
membuat pemuda itu cedera berat. Tapi bahkan jotosanku seperti tidak ada apa-apanya! Aku
malu sekali! Dimana mukaku hendak kuletakkan. Apa kata Adipati Wira Seta nantinya. Juga
bagaimana pula pandangan Raden Adikatwang. Padahal dia baru saja memujiku. Aku murid
orang sakti dari Gunung Kelud. Digembleng selama bertahun-tahun. Tapi ternyata tidak
mampu menghadapi anak desa tadi. Wiro… Namanya Wiro. Belum pernah aku mendengar
seorang pendekar dengan nama itu. Siapa dia sebenarnya? Aku harus mencarinya. Aku harus
menantangnya. Berkelahi sampai seratus bahkan seribu jurus kalau perlu. Aku harus
menghajarnya dan membuatnya bertekuk lutut! Hanya itu satu-satunya cara untuk mengem-
balikan kepercayaan Adipati Wira Seta dan Raden Adikatwang.
Untuk melepaskan rasa geram dan amarah yang seperti membakar dadanya Gandita
memukul batang pohon yang ada di depannya.
Braaak!
Kulit pohon pecah, bagian dalamnya hancur. Terdengar suara bergemuruh ketika pohon
itu patah dan tumbang.
Satu tangan memegang bahu Gandita. Pemuda ini mengira orang itu adalah pemuda
gondrong yang telah mempermalukannya. Cepat dia membalik seraya menghantamkan tinju
dengan kekuatan tenaga dalam penuh! Angin pukulannya terdengar menggidikkan.
Tapi Gandita cepat menarik pulang tangannya ketika melihat siapa yang berdiri di
hadapannya. Pemuda ini jatuhkan diri dan berkata.
“Adipati, maafkan saya. Saya kira….”
Adipati Wira Seta mengangguk. “Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini Gandita.”
“Saya tidak berguna jadi pembantu Adipati,” berterus terang pemuda itu.
“Jangan berkata begitu anak muda. Hidup ini penuh cobaan dan tantangan. Apapun yang
telah terjadi hanya satu pengalaman agar dimasa mendatang kita harus belajar lebih banyak.
Aku tetap percaya kau adalah pembantuku yang terbaik. Berdirilah. Kita akan segera kembali
ke Sumenep.”
15
Sambil mengusap mukanya Gandita bangkit berdiri. Apapun yang dikatakan oleh sang
Adipati tidak membuat rasa sakit hatinya terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng jadi berkurang.
***
16
3
SEBATANG panah beracun yang dibidikkan dari seberang Kali Brantas menancap di batang
pohon. Kulit pohon ini kelihatan menghitam pertanda betapa jahat dan berbahayanya racun
panah. Pendekar 212 sendiri saat itu sudah jauh meninggalkan tepi Timur Kali Brantas tapi dia
masih saja tertawa terpingkal-pingkal. Ketika dadanya terasa agak sesak dan perutnya sakit
karena terus-terusan tertawa akhirnya dia duduk di gundukan akar sebuah pohon besar.
Tawanya sesaat berhenti. Dibukanya bajunya yang basah lalu diperasnya sampai sekering
mungkin. Ketika dia ingat lagi akan apa yang dilakukannya terhadap prajurit-prajurit Kediri
itu, Wiro tak dapat menahan diri. Kembali dia tertawa gelak-gelak. Tetapi saat itu ternyata dia
tidak tertawa sendirian. Ada orang lain yang ikut tertawa bersamanya.
Tertawa itu demikian keras dan hebatnya sehingga murid Eyang Sinto Gendeng
merasakan akar pohon yang didudukinya ikut bergetar. Wiro hentikan tawanya. Orang lain itu
masih terus tertawa. Akhirnya Wiro juga ikut-ikutan tertawa kembali.
Sambil tertawa dan garuk-garuk kepala dia memandang berkeliling. Mencari dimana dan
siapa gerangan orang yang tertawa itu. Suara tawanya keras tanda pasti orangnya berada di
dekat-dekat situ. Tiba-tiba ada air mengucur dari atas. Air yang terasa agak hangat ini jatuh di
pundak Wiro. Wiro mengusapnya lalu hidungnya membaui sesuatu.
“Kurang ajar! Air kencing!” teriak Pendekar 212 sewaktu dia membaui pesingnya air
yang jatuh di badannya. Dia melompat dari duduknya dan mendongak ke atas pohon. Mata
Wiro Sableng jadi mendelik.
Di atas pohon itu pada sebuah cabang yang tidak seberapa besar dilihatnya duduk seorang
lelaki bertubuh luar biasa gemuknya. Dia duduk sambil tertawa-tawa yang membuat tubuhnya
terguncang-guncang. Orang ini mengenakan celana hitam dan sehelai baju putih yang tak bisa
dikancingkan karena kesempitan. Rambutnya disanggul ke atas. Dadanya yang gembrot dan
perutnya yang berlemak tersembul.
Kedua matanya yang sangat sipit sampal basah karena tertawa. Tapi bukan matanya saja
yang basah. Ternyata bagian bawah perutnya juga ikut basah lalu tiris ke bawah. Air
17
kencingnya inilah yang mengucur jatuh menimpa Pendekar 212 yang saat itu duduk dibawah
pohon!
Wiro usap bahunya yang terkena air kencing dengan baju yang barusan diperasnya. Dia
hendak memaki habis-habisan, tetapi otaknya bekerja cepat.
Dalam hatinya dia berkata. Kerbau bunting di atas pohon itu bukan manusia
sembarangan. Beratnya pasti lebih dari dua ratus kati. Tapi lihat, dia bisa duduk di cabang
pohon yang begitu kecil! aku lngat pada sahabatku Raja Penidur yang luar biasa gemuknya.
Tapi kerbau bunting di atas pohon ini jauh lebih gemuk!
Wiro menunggu sampal orang itu berhenti tertawa. Tapi nyatanya si gemuk ini tawanya
semakin menjadi-jadi. Air kencingnya juga maslh terus tiris ke bawah membuat Wiro terpaksa
menjauh dari pohon.
Setelah ditunggu-tunggu dan tawanya tidak juga berhenti, Wiro jadi kesal. Dia berteriak.
“Kerbau Bunting di atas pohon! Berhenti tertawa! Kau telah mengencingiku!”
Suara tawa sirap. Di atas pohon orang gemuk itu tampak berpaling ke kiri dan ke kanan.
“Kerbau Bunting? Ada yang menyebut aku Kerbau Bunting? Lucu sekali! Hidup seratus lima
puluh tahun baru hari ini ada yang memanggil diriku Kerbau Bunting!
Ha…ha…ha…ha…haaaa!” Tubuh si gemuk berguncang-guncang dan suara tawanya kembali
menguncang.
“Sialan!” maki Wiro. Dia memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya melihat seekor Ular
Keket hijau besar menempel di atas sehelai daun dekat rumpunan semak belukar.
“Hemmmm….” Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Aku mau lihat apakah kau masih bisa tertawa kalau mulutmu kujejali binatang ini!”
Meskipun agak geli-geli Wiro mengangkat Ular Keket dari atas daun lalu dilemparkannya
ke atas pohon.
Si gemuk di atas pohon yang masih terus tertawa gelak-gelak tampak kaget ketika sebuah
benda hijau bergelung melesat ke arah mulutnya yang terbuka lebar. Cepat dia meniup ke
bawah. Ular Keket itu mental tetapi kini justru jatuh dan menempel di perutnya yang
tersembul di sela baju yang tidak terkancing!
“Wadauuuuw….! Ular! Ular Keket…! Tolong..!”
“Tolong!”
18
Sekujur tubuh si gemuk menggigil. Mukanya yang tadi merah karena tertawa terus-
terusan kini menjadi pucat pasi.
Ternyata dia takut sekali pada Ular Keket yang kini menempel di perutnya yang gendut
berlemak itu. Kedua kakinya digoyang-goyangkan. Kedua tangannya bergerak kian kemari
kalang kabut. Dia coba pergunakan tangan untuk menjentik binatang itu tepi tak jadi karena
merasa sangat jijik. Saking bingungnya dia melompat ke cabang pohon yang lain.
Bergelantungan sambil melejang-lejangkan kedua kakinya.
“Tolong! Wadauwww…. Ular…. Tolong!” teriak si gendut lagi.
Di bawah pohon Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa terpingkal- pingkal.
“Rasakan olehmu sekarang! Masih untung binatang itu tidak nyemplung ke dalam
mulutmu!
“Tolong! Aduh! Bagaimana ini! Tolongggg…. !” Dari atas pohon kini kelihatan makin
deras air kencing yang mengucur ke bawah.
“Gila! Berapa gentong air yang tersimpan dalam perut Kerbau Bunting itu. Kencingnya
tak habis-habis!”
“Tolong…! Aduh…! Ampunnnn! Tolong! Ada Ular Keket di perutku! Batara Dewa
Tolong diriku…. !” Lama-lama Wiro jadi kasihan juga melihat si gemuk itu.
Dia patahkan sebuah ranting lalu melompat melesat ke atas pohon tempat di mana si
gemuk bergelantung ketakutan setengah mati.
Dengan ujung ranting disingkirkannya Ular Kaket hijau besar yang menempel di perut si
gendut lalu dia melayang turun ke tanah kembali.
Di atas pohon jeritan ketakutan si gemuk langsung berhenti. Tubuhnya mandi keringat.
“Terima kasih…! Terima kasih! Heh, siapa yang menolongku?!” Si gendut memandang ke
kanan dan ke kiri.
“Hai! Aku di bawah sini!” terlak Wiro. “Kerbau Bunting itu pasti sudah tahu aku berada
di sini. Tapi dia berpura-pura saja!”
Si gendut memandang ke bawah. Dagunya tertahan oleh dadanya yang gembrot. Tapi dia
bias melihat Wiro di bawah sana.
“Ah, kau di situ rupanya!” Lalu si gendut lepaskan pegangannya pada cabang pohon.
Tubuhnya melayang jatuh ke bawah. Sebuah batu kecil saja kalau jatuh ke tanah pasti akan
19
mengeluarkan suara berdebuk. Tapi ketika kedua kaki si gendut yang beratnya lebih dari dua
ratus kali itu menginjak tanah Wiro memperhatikan dan tidak mendengar ada sedikit
suarapun! Kerbau Bunting ini benar-benar manusia luar biasa, kata Wiro dalam hati.
Di hadapan Wiro si gemuk menjura lucu seraya berkata, “Sobatku Muda. Terima kasih.
Kau telah menolong aku dari binatang celaka itu!”
Wiro tertawa gelak-gelak. Si gemuk ikut-ikutan tertawa. Tapi tiba-tiba dia hentikan
tawanya dan bertanya.
“Eh, Sobatku Muda. Mengapa kau tertawa? Apa Ada yang lucu pada diriku?”
“Jelas tubuhmu dari ujung rambut sampal ujung jempol sangat lucu!”
“Apakah kau tadi yang memanggil aku dengan sebutan Kerbau Bunting?”
“Betul.” sahut Wiro dan menyangka si gendut itu akan marah. Tapi justru orang di
depannya malah tertawa gelak-gelak sampai sekujur tubuhnya berguncang-guncang.
“Lucu… Lucu sekali sebutan itu. Seratus lima puluh tahun hidup malang-melintang
dimuka bumi, baru sekali ini ada yang memberikan nama lucu begitu padaku. Terima kasih
sobatku muda!”
Wiro jadi melongo mendengar kata-kata itu.
“Heh, tadi aku bertanya kenapa kau tertawa waktu aku bilang terima kasih. Bukankah kau
yang telah menolongku menyingkirkan Ular Keket celaka itu?”
“Benar Sobatku Gendut.”
“Sobatku Gendut? Ah, sekarang kau menyebut aku dengan nama itu! Kau seorang sahabat
yang benar-benar lucu!” Si gendut lalu tertawa gelak-gelak sampai ke dua matanya basah.
“Terima kasih. Kau telah menolongku. Aku benar-benar takut pada binatang seperti itu.
Cuma kenapa kau belum menjawab pertanyaanku. Mengapa kau tertawa waktu aku bilang
terima kasih?”
“Kau tidak tahu! Sebetulnya akulah yang tadi melemparkan binatang itu ke padamu!”
jawab Wiro polos.
Si gemuk tampak terkejut. “Kau… Kau yang melemparkannya?” tanyanya.
Wah, kali ini Kerbau Bunting ini pasti marah besar! Membatin Pendekar 212. Lalu dia
mengangguk. “Ya, aku yang melemparkannya!” Wiro lalu berjaga-jaga kalau-kalau si gendut
itu menjadi marah dan menghantamnya.
20
“Kau…?” Kening si gendut tampak mengerenyit.
Matanya yang sangat sipit seperti mau mendelik tapi tidak bisa dan tetap saja sipit. Tiba-
tiba dari mulutnya meledak keluar suara tawa mengakak.
Lucu, aku sangka dia bakalan marah. Ternyata tidak. Malah tertawa gelak-gelak. Mahluk
aneh macam apa dia ini sebenarnya!
Seperti tahu apa yang dipikirkan Wiro si gemuk hentikan tawanya dan berkata. “Aku
tertawa dan aku tidak marah. Karena kau orang jujur dan bicara polos!” Si gendut pegang
kedua bahu Wiro lalu mengguncang-guncangnya dengan keras hingga Pendekar 212 merasa
tubuhnya seperti diguncang gempa yang dahsyat. Tapi diam-diam dia merasakan ada hawa
aneh yang mengalir lewat kedua bahunya. lubuhnya mendadak terasa enteng!
Astaga! Orang ini seperti sengaja mengalirkan semoga aneh ke dalam tubuhku! Kata Wiro
dalam hati begitu menyadari tubuhnya menjadi lebih enteng.
“Sobatku muda, aku mau tanya,” berkata si gendut. “Mengapa kau tadi melemparkan Ular
Keket itu padaku?”
“Karena kau mengencingi aku!” jawab Wiro.
“Hah?! Aku mengencingimu?!” Si gendut bermata sipit itu seperti terkejut. “Bagaimana
mungkin?” Lalu dia memperhatikan bagian bawah celana hitamnya. Dipegangnya
selangkangan-nya. Terasa basah. Lalu tangannya yang tadi memegang celananya yang basah
disapukan di depan hidung. Bau pesing. “Gila! Aku memang kencing rupanya!” kata si gendut
ini. Dia diam sebentar lalu tertawa gelak-gelak.
“Kalau aku mengencingi itu bukan disengaja Sobatku Muda!” kata si gemuk itu sambil
mengusap kedua matanya yang basah. “Ada sebab yang membuatku terkencing-kencing. Aku
tadi tertawa terpingkal-pingkal dan kau kebetulan ada dibawah pohon! Walaupun begitu
kuharap kau sudi memaafkan diriku!”
Wiro diam saja. Sesaat kemudian dia bertanya.
“Apa yang membuatmu tertawa terpingkal-pingkal?” “Aku melihat satu kejadian lucu di
tepi Kali Brantas!”
“Kejadian apa?” Wiro menyambung pertanyaannya.
“Aku melihat…ha…ha…ha…” Si gendut belum sempat meneruskan ucapannya dia sudah
keburu tertawa. “Aku melihat… Ha… ha.., ha… ha… Ada…ada… ada delapan orang perajudt
21
Kediri dipreteli orang celananya hingga waktu mereka keluar darl air dalam keadaan bugil!
Anunya pada bergelantungan kemana-mana….! He…ha…ha! Apakah itu menurutmu tidak
lucu? Mereka kelabakan! Berusaha menutupi anu mereka! Lucu….! Ha…. he …ha…” Tiba-tiba
suara tawanya berhenti. Kedua matanya yang sipit memandang lekat-lekat kepada Wiro
Sableng.
Apa yang ada dalam pikiran si gendut ini, Wiro bertanya dalam hati.
“Heh?” Bukankah… Bukankah kau orangnya yang menelanjangi delapan perajurit Kediri
itu?!” Wiro tertawa lebar. Sambil garuk-garuk kepalanya dia mengangguk dan berkata.
“Memang. Aku yang menelanjangi mereka. Mereka hendak menangkapku!”
Si gemuk tertawa mengekeh. “Kau ternyata pemuda jahil! Lain kali kalau mau
menelanjangi orang, jangan orang lelaki, tapi cari orang perempuan! Ha… ha… ha… ha…!”
Wiro jadi ikut-ikutan tertawa.
“Mengapa mereka hendak menangkapmu?”
“Karena aku makan cempedak.” Jawab Wiro.
Lalu dia bertanya. “Apakah seseorang bisa ditangkap karena makan cempedak?”
“Mana ada pasalnya orang ditangkap makan cempedak. Kecuali kalau cempedak itu buah
curian. Atau kau makan sambil berpelukan dengan bini orang! Ha…ha…ha…ha…!”
Wiro geleng-geleng kepala. Seumur hidup belum pernah dia bertemu dengan orang
seperti ini. Gemuk luar biasa dan juga lucu luar biasa.
“Hari sudah siang! Aku masih punya keperluan lain. Sobatku Muda, aku mau pergi
sekarang.” berkata si gendut.
“Ke mana tujuanmu sebenarnya?”
“Ah, hal itu tidak bisa kukatakan padamu. Jangan marah. Ha…ha…ha…”
“Aku mengucapkan terima kasih padamu. Kau telah menanam budi baik padaku.”
“Eh, kau ini bicara apa Sobatku Muda?” tanya si gendut.
“Kau berpura-pura Sobatku Gendut. Waktu memegang kedua bahuku tadi, kau diam-diam
mengalirkan hawa aneh ke dalam tubuhku. Lalu aku merasa tubuhku lebih ringan dari
sebelumnya.”
Si gendut tertawa gelak-gelak. “Anggap saja itu sebagai pembayar dosaku
mengencingimu! Ha…. ha… ha…!” Habis berkata begitu dia masukkannya dua jari tangan
22
kanannya ke mulut. Lalu terdengar suara suitan. Dari balik semak belukar menyeruak keluar
seekor keledai, kecil pendek dan kurus.
“Tungganganku sudah datang menjemput. Aku pergi. Selamat tinggal Sobatku Muda!”
Wiro terkejut. “Kau… Kau hendak menunggangi keledai sekecil itu?” tanya Wiro heran.
“Memangnya kenapa?” balik bertanya si gendut.
“Tubuhmu besar dan berat! Baru berjalan lima langkah keledai itu akan jadi mejret!”
Si gendut tertawa gelak-gelak. “Kau saksikan saja nanti apakah binatang ini mejret atau
tidak!” Si gendut melompat. Sekali lompat saja dia sudah duduk di punggung keledai kurus
itu. “Ayo jalan!” seru si gendut seraya menepuk pinggul binatang tunggangannya. Keledai itu
melangkah. Ternyata jalannya cepat sekali. Setelah lewat sepuluh langkah si gendut berpaling.
“Apakah kau lihat keledai ini mejret?!” teriaknya. Lalu dia tertawa mengekeh.
Wiro garuk-garuk kepala. Kedua matanya memperhatikan. Lalu. Astaga! Keledai itu
ternyata berkaki enam. Yang dua adalah kaki si gendut sendiri! Kedua kakinya ternyata
menjejak tanah dana berjalan seperti biasa. Hanya pantatnya saja rupanya yang menumpang
duduk di punggung si keledai. Itupun tidak sampai menekan tubuh tunggangannya karena
sebenarnya dia berjalan kaki seperti biasa!
Wiro tertawa gelak-gelak. “Hai Sobat!” teriak Wiro. “Sebelum pergi kau mau memberi
tahu siapa namamu?!”
“Selama seratus lima puluh tahun hidup, aku tidak pernah memakai namaku. Kini aku jadi
lupa apakah aku punya nama atau tidak. Tapi orang- orang menggelariku Dewa Ketawa!
Gelaran lucu! Ha…ha..ha…! Tapi mungkin mereka betul! Mungkin gelar itu cocok bagiku!” Si
gendut lalu menepuk pinggul keledai kurusnya. Binatang ini melangkah lebih cepat. Kedua
kaki si gendut juga bergerak lebih cepat. Sesaat kemudian orang dan tunggangannya itu lenyap
di balik kerapatan pepohonan dan semak belukar.
Wiro masih tertegak di tempatnya semula. Dewa Ketawa. Belum pernah aku mendengar
nama itu sebelumnya. Dia mungkin seumur dengan Dewa Tuak. Aku tidak mengerti mengapa
dia mengalirkan hawa aneh ke dalam tubuhku. Sayang aku menyelidiki apakah dia orang
Kediri atau orang Singosari. Dia sendiri rupanya tidak kepingin tahu namaku. Kerbau
Bunting yang aneh… Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya lalu tinggalkan tempat itu.
***
23
4
SETELAH Adipati Wira Seta dan Gandita meninggalkan tempat pertemuan rahasia di tepi
Kali Brantas itu, Raden Adikatwang dan rombongannya segera kembali ke Gelang-gelang
yang dijadikan pusat Kerajaan Kediri pada masa itu. Rombongan ini sengaja menempuh rimba
belantara untuk menghindari pertemuan dengan pihak-pihak yang tidak diinginkan dan bisa
membocorkan rahasia.
Dalam perjalanan kembali ini Adikatwang lebih banyak berdiam diri. Suara hatinya
berkata tiada henti. Apakah memang dia harus mengangkat senjata bersama Wira Seta,
memberontak terhadap kekuasaan Singosari. Mustikah Sang Prabu dihabisi riwayatnya?
Haruskah semua itu dicapai dengan pertumpahan darah? Bukankah nantinya bakal banyak
rakyat yang menderita? Kalau aku menang apakah aku memang layak memegang tampuk
kekuasaan? Memerintah dikelilingi oleh orang-orang Singosari yang tentunya akan menanam
dendam sakit hati pula atas kekalahan mereka, atas kematian teman dan keluarga mereka?
Ketika suara hati Adikatwang berkata begitu, telinganya seperti mengiang suara jawaban
yang lebih keras dan menggetarkan.
Adikatwang kau adalah turunan dan pewaris syah singgasana Kediri. Dulu orang-orang
Singosari merebut kekuasaan dan merampas tahta Kerajaan Kediri dari moyangmu!
Sekarang saatnya untuk membalaskan segala sakit hati! Sekarang saatnya untuk mengangkat
senjata. Kau tidak sendirian. Dimana-mana orang akan mendukung perjuanganmu. Ada
ribuan perajurit yang bersedia mengorbankan darah dan jiwa raganya demi berdirinya
kembali Kerajaan Kediri. Kesempatan hanya datang satu kali. Kalau kau mengabaikannya
kau akan tetap menjadi hamba sahaya di bawah tekanan Singosari!
Adikativang mengusap wajahnya. Sikapnya yang berdiam diri Itu bukan tidak
diperhatikan oleh para perajurit yang mengawalnya. Namun tak ada satu orangpun dari
mereka yang berani mengatakan resuatu. Rombongan itu bergerak dalam kesunyian lanpa ada
yang bicara.
Di satu tempat telinga Adikatwang mendengar sesuatu. Dia hentikan kudanya dan
24
memandang berkeliling.
“Ada apakah Sri Baginda?” tanya seorang pengawal. Para pengikut Adikatwang yang
setia selalu memanggil Adikatwang dengan sebutan Sri Baginda. Walaupun pemimpin mereka
itu tidak lebih dari seorang raja kecil yang tiada berdaya di satu wilayah yang kecil pula,
namun mereka tetap menganggap Adikatwang adalah raja mereka, Raja Kediri.
“Aku mendengar sesuatu…” Jawab Adikatwang.
Sepuluh pengawal memasang telinga. Mereka saling pandang. Beberapa saat kemudian
salah seorang dari mereka” berkata. “Kami tidak, mendengar suara apa-apa.”
Tentu saja para perajurit itu tidak atau belum mampu mendengar suara yang datangnya
sangat sayup-sayup di kejauhan di dalam rimba belantar itu. Karena kesaktiannya Adikatwang
bisa mendengar suara itu yang tidak mampu didengar oleh para pengikutnya.
“Ikuti aku… Tapi harap kalian waspada. Tangan kalian jangan jauh di senjata.” kata
Adikatwang. Maka sepuluh perajurit itu segera menempelkan tangan pada senjata masing-
masing. Mereka bergerak mengikuti Adikatwang.
Tak selang berapa lama Adikatwang kembali hentikan kudanya dan berkata. “Suara itu
semakin jelas. Apakah kalian bisa mendengarnya sekarang?”
“Ya… Kami dapat mendengarnya sekarang,” jawab beberapa perajurit bersamaan.
“Apa yang kalian dengar?” Adikatwang mengulangi.
“Itu… suara…suara orang sesenggukan. Suara orang menangis.” jawab perajurit di
samping Adikatwang.
Adikatwang mengangguk. “Tidakkah aneh ada ingin menangis di dalam rimba belantara
seperti? Mari kita bergerak ke arah suara. Kita akan lihat siapa adanya orang yang menangis
itu.”
Kembali sepuluh perajurit mengikuti pimpinan mereka bergerak ke arah kanan yaitu dari
mana datangnya suara orang menangis terisak-isak. Berapa puluh langkah menunggangi kuda,
di suatu tempat yang agak terbuka, duduk di atas sebatang kayu yang sudah lapuk tampak
seorang kakek berkulit hitam tengah menangis. Tangisnya sedih sekali dan setiap saat dia
mengusap kedua matanya yang basah dengan ujung kaln putih yang diselempangkan di dada.
Melihat kepada rambutnya yang digelung di atas kepala serta pakaiannya, tampaknya kakek
hitam ini adalah seorang Resi. Tetapi Adikatwang yang mengenali orang tua itu tahu betul
25
kalau kakek itu bukanlah seorang Resi atau Brahmana.
“Dewa Sedih! Sungguh suatu rahmat dari para dewa kalau saat ini aku bisa menemuimu!
Aku memang sudah lama mencarimu. Dicari-cari tidak ketemu tahu-tahu muncul sendiri!”
Kakek yang dipanggil dengan julukan Dewa Sedih itu turunkan kedua tangannya. Melihat
wajahnya, sekalipun dia tidak menangis, orang akan menyaksikan satu wajah yang selalu
membayangkan kesedihan. Kedua alis matanya yang hitam menjulai bawah. Mulutnya
mengkerut. Sekalipun dia tersenyum maka mimik wajah itu tetap saja menunjukkan
kesedihan.
Begitu melihat Adikatwang, orang tua ini berkata perlahan, “Raden…” Lalu kembali dia
menangis terisak-isak. Siapa yang mendengarkan pasti akan merasa sedih.
Adikatwang yang sudah tahu sifat orang tua ini hanya bisa tersenyum. “Dewa Sedih, kau
berada jauh dalam hutan begini. Menangis sedih sekali. Apakah pasal sebabnya?”
Dewa Sedih geleng-geleng kepala. Dia mengusap muka dan wajahnya berulang kali.
“Aku… Aku melihat sesuatu di telapak tangan kiriku…” katanya lalu kemball menggerung
seperti anak kecil.
“Mana coba kulihat telapak tangan kirimu…” kata Adikatwang pula.
Orang tua itu kembangkan telapak tangan kirinya di hadapan Adikatwang.
“Lihat sendiri,” katanya. “Lihat, sesuatu akan terjadi sesuatu peristiwa besar yang sangat
menyedihkan…” Dewa Sedih meneruskan tangisnya.
“Aku tidak melihat apa-apa,” kata Adikatwang sambil tersenyum. Tapi diam-diam hatinya
berdetak. Walaupun bersifat aneh dan terkadang menjengkelkan, setiap ucapan orang tua ini
tidak boleh dianggap sepi. Dia mengatakan satu peristiwa besar yang sangat menyedihkan
akan terjadi. Apakah dia sudah punya firasat kalau…?
“Mata Raden buta rupanya!” terdengar Dewa Sedih berkata setengah memaki. “Masakan
gambar yang begini jelas di telapak tanganku Raden tidak melihat?”
“Kau betul Dewa Sedih. Mata orang tolol sepertiku mana punya kemampuan melihat
sehebat kedua mata yang kau miliki. Coba kau ceritakan dengan jelas, apa yang kau lihat di
telapak tanganmu.”
Sambil sesenggukan Dewa Sedih kembangkan talapak tangannya dan memperhatikan
lekat-lekat. Sesenggukannya berubah menjadi tangisan keras. Di antara tangisnya terdengar
26
ucapannya. “Perang… ada perang. Darah di mana-mana… Mayat di mana-mana. Sedih…
menyedihkan sekali. Dewa Batara kasihani mereka. Tolong mereka… Jauhkan malapetaka itu.
Hik…hik…hik…”
Paras Adikatwang jadi berubah. Begitu juga sepuluh orang prajurit yang ada di tempat itu.
Mereka saling pandaug bahkan ada yang mulai berbisik-bisik Orang tua ini sungguh luar biasa
kesaktiannya. Dia mampu melihat apa yang bakal terjadi dalam waktu dekat ini. Kalau apa
yang ditetahuinya itu diberitahukannya pada orang iain, bisa celaka…
“Dewa Sedih, dari pada kau menangis di rimba belantara ini, lebih baik ikut bersamaku ke
Gelang-gelang. Aku memerlukan bantuanmu. Ada pekerjaan besar menunggumu. Imbalannya
tentu saja besar pula.”
“Aku tak mau hidup terikat ikut dengan orang lain. Biarkan aku sendirian di sini.
Tangisku belum selesai.” Lalu kembali Dewa Sedih menangis tersedu-sedu.
“Dewa Sedih, jangan kau salah kira. Aku atau siapapun tidak ada yang akan mengikatmu.
Di Gelang-gelang kau bebas mau pergi kemana, mau melakukan apa. Bahkan menangis di
sana akan lebih nikmat…”
“Maksudmu?” tanya Dewa Sedih. Tangisnya terhenti.
“Di sana kau bisa menangis dengan diiringi gamelan. Apa tidak hebat?!”
“Menangis diiringi gamelan?”
“Betul.” Jawab Adikatwang sungguh-sungguh.
“Ah… Aku jadi lebih sedih. Kasihan pemain-pemain gamelan itu nantinya. Mereka tidak
akan mampu mengikuti suara orang menangis… Pergilah kalian. Aku mau menangis sampai
mati.”
“Kalau kau memang mau mati, tidak usah menunggu lama. Di hutan ini banyak binatang
buas dan binatang berbisa. Kau tinggal memilih mati cara bagaimana. Diterkam harimau. Atau
dipagut ular berbisa!”
Mendengar kata-kata Adikatwang itu paras Dewa Sedih berubah. Dia seperti ketakutan
tetapi anehnya air mukanya justru kelihatan kuyu sedih.
“Kalau begitu biar aku ikut bersama Raden,” kata Dewa Sedih dan cepat bangkit berdiri.
“Ikut aku itu sudah pasti Dewa Sedih. Tapi aku mau tahu di mana saudara mudamu yang
berjuluk Dewa Ketawa itu? Sebenarnya aku ingin dia ikut bergabung bersama kami.”
27
“Ah si kentut gendut Dewa Ketawa itu aku tidak mengaku saudara padanya. Aku selalu
diejeknya, dihina dan ditertawai.”
“Itu urusanku nanti kalau dia masih begitu terhadapmu. Yang penting kau tahu di mana
kita bias menemukannya?” tanya Adikatwang.
Dewa Sedih Menggeleng.
“Coba lihat di telapak tanganmu,” kata Adikatwang pula.
“Ah, kau betul Raden. Aku baru ingat…” Masih sesenggukan dan wajah menunjukkan
kesedihan mendalam Dewa Sedih kembangkan lebar-lebar telapak tangan kirinya. Lalu
memperhatikan tanpa berkesip. Beberapa saat kemudian dia mengangkat kepalanya,
memandang kepada Adikatwang.
“Gajah buduk itu sebelumnya berada di tepi Kali Brantas sebelah Tenggara. Kini kulihat
dia menunggangi keledai bobroknya menuju ke Barat. Jangan-jangan dia dalam perjalanan
menuju Tumapel di Singosari.”
Adikatwang merasa tidak enak mendengar ramalan Dewa Sedih itu. “Dewa Sedih, apakah
kau bisa memanggil adikmu itu lalu sama-sama membantu di Kediri.”
Dewa Sedih menggelengkan kepala. “Orang sedih dia mana bisa disatukan dengan orang
ketawa. Raden harus memilih. Percaya padaku atau lebih suka padanya. Yang jelas kami
berdua tidak bisa seiring sejalan.”
Adikatwang mengusap dagunya. “Baiklah,” katanya.
“Kalau begitu kau yang akan kuambil. Hentikan tangismu dan jangan terlalu cengeng.”
“Aku tidak cengeng! Aku hanya sedih!” kata Dewa Sedih hampir berteriak. Marah dia
rupanya. Tapi walaupun begitu tampangnya tetap saja murung.
“Aku tahu… Aku tahu…” kata Adikatwang. “Aku juga sedih.”
“Raden juga sedih? Jadi kita sama-sama sedih. Kalau begitu mari kita sama-sama
menangis!”
Manusia geblek! Maki Adikatwang dalam hati. Kalau bukan karena kesaktianmu jangan
harap aku mau membawa manusia gila sepertimu.
***
28
5
SIANG itu langit cerah. Diiringi oleh para pengawal, bersama-sama Patih Raganatha,
beberapa orang Pendeta dan Panglima Perang Kerajaan Aruajaya, Sang Prabu melangkah
menuruni tangga Candi Jago yang terletak di sebelah Selatan Tumapel. Raja Singosari itu baru
saja melakukan upacara keagamaan. Candi Jago sengaja didirikan oleh Sang Prabu sebagai
tempat pemujaan terhadap ayahandanya yaitu mendiang Wisnu Wardhana. Seorang hamba
sahaya membawa payung kuning berumbai-umbai merah untuk melindungi Sri Baginda dari
sengatan matahari.
Ketika kaki kiri Sang Prabu Singosari menginjak anak tangga terakhir di bagian depan
Candi, tiba-tiba di langit petir menyambar terang benderang. Bersamaan dengan itu
menggelegar suara guntur. Bumi berguncang, Langit laksana terbelah. Semua orang yang ada
di depan Candi Jago tampak terhuyung. Getaran yang dahsyat terasa sampai ke jantung
mereka. Wajah mereka termasuk Sang Prabu tampak berubah pucat oleh rasa kejut yang
bukan alang kepalang.
“Petir di tengah hari…” desis Sri Baginda seraya memandang pada Patih Raganatha
sementara para Pendeta tampak menundukkan kepala sambil merapal bacaan-bacaan suci.
“Apakah artinya ini Mamanda Patih?”
“Saya tidak dapat menjawabnya saat ini Sang Prabu. Sebaiknya kita kembali cepat-cepat
ke Tumapel.” Menjawab Patih Raganatha. “Memang kita perlu mengkaji apa arti petunjuk
para Dewa yang diberikan melalui kejadian tadi.”
Sri Baginda mengangguk. Wajahnya agak murung. Dia maklum petir dan guntur tadi
merupakan suatu pertanda yang tidak baik. Mungkin tidak baik bagi dirinya, mungkin sekali
bagi Kerajaan. Ya Dewa Bhatara, hal apakah yang akan terjadi di Singosari ini? Berucap Sri
Baginda dalam hatinya.
Sang Prabu naik ke atas kereta. Rombongan yang baru saja melakukan upacara
keagamaan itu bergerak cepat menuju Keraton Tumapel. Di tengah jalan, Patih Raganatha
yang duduk di samping Sri Baginda berkata. “Sang Prabu, jika saya boleh mengusulkan,
29
begitu sampai di Keraton sebaiknya kita mengadakan pertemuan. Sebenarnya hal ini sudah
agak lama kami inginkan. Pertanda di Candi Jago tadi membuat saya merasakan pertemuan itu
sebagai suatu yang mendesak.”
Sang Prabu termenung mendengar kata-kata patihnya itu. Namun akhirnya dia
menganggukkan kepala. “Beritahu yang lain-lain,” katanya.
Begitu sampai di Keraton Sang Prabu langsung masuk ke sebuah ruangan yang biasa
dipergunakan untuk pertemuan-pertemuan penting dan mendadak.
Patih dan Panglima serta beberapa Pendeta mengikuti.
Setelah semua orang duduk di tempat masing-masing berkatalah Sang Prabu.
“Mamanda Patih, sekarang coba Mamanda memberikan penjelasan, apakah kejadian di
Candi Jago siang tadi merupakan suatu pertanda? Jika benar pertanda apakah? Buruk atau
baik?”
Patih Rapanatha menghaturkan sembah terlebih dahulu baru menjawab.
“Daulat Sang Prabu. Saya hanya tahu sedikit soal tanda-tanda ciptaan para Dewa. Saya
takut mengemukakannya kalau-kalau keliru. Saya merasa sebaiknya kita meminta orang tertua
di antara kita saja yang bicara. Yaitu Pendeta Mayana.”
Semua orang menyetujui ucapan Patih KerajaaniItu. Sang Prabu berpaling pada orang tua
berambut sangat putih seperti kapas, bermata bening yang duduk di samping Panglima
Argajaya. Dialah Pendeta Mayana.
“Terima kasih kalau Sang Prabu mempercayai dan mau mendengar petunjuk dari kami,”
kata sang Pendeta pula setelah membungkuk terlebih dahulu. “Petir dan guntur di siang hari
ketika tidak ada hujan adalah suatu petunjuk jelas akan terjadi sesuatu besar di bumi Singosari.
Sesuatu itu mungkin mendatangkan kebaikan, namun sebaliknya bisa juga membawa
malapetaka…”
“Saya tidak percaya kalau kejadian tadi merupakan pertanda akan datangnya malapetaka,”
berkata Sang Prabu. “Kita orang-orang Singosari saat ini berada dalam keadaan berkecukupan.
Hasil sawah ladang dan ternak melimpah ruah. Keadaan Kerajaan aman tenteram. Semua
karena, perlindungan dan anugerah para Dewa. Kita orang-orang Singosari selalu taat pada
agama. Selalu mengingat dan menghaturkan doa sembah kepada para leluhur. Jadi tidak
mungkin Para Dewa akan menjatuhkan malapetaka di Kerajaan ini. Sulit bagi saya menerima
30
begitu saja artian yang Pendeta Mayana barusan sampaikan.”
“Mohon dimaafkan kalau ucapan kami tidak berkenan di hati Sang Prabu. Kita semua di
sini tentu saja memohon pada Dewata agar negeri kita dijauhi dari segala malapetaka maupun
bencana dalam bentuk apapun. Kami hanya sekedar mengingatkan bahwa yang buruk dan
yang baik itu bisa saja terjadi tanpa terduga. Namun apakah Sang Prabu berkenan
mendengarkan beberapa petunjuk lainnya yang berkaitan dengan kejadian siang tadi di Candi
Jago?”
“Beberapa petunjuk apa maksud Pendeta Mayana?” tanya Raja pula.
“Untuk itu biarlah kami minta Panglima Argajaya atau Patih Raganatha yang memberikan
penjelasan,” kata Pendeta Mayana.
Sang Prabu menganggukkan kepalanya ke arah Patih Raganatha. Sang Patih lalu
membuka mulut. “Orang kita di Madura melaporkan ada tanda-tanda hahwa Adipati Wira Seta
telah menambah kekuatan pasukan Kadipaten. Berkali-kali terlihat adanya latihan perang-
perangan. Setahu saya, kita tidak pernah meminta Sumenep untuk melakukan hal itu. Lalu
mengapa Adipati Wira Seta berbuat demikhian? Jawabnya hanya satu yaitu bahwa dia
mempunyai suatu rencana. Dan rencana itu tidak sulit untuk diterka. Dia tengah menyusun
kekuatan untuk memberontak pada Singosari.”
Alis mata Sang Prabu nampak naik ke atas. Keningnya berkerut. “Wira Seta hendak
memberontak? Tak masuk akal! Bukankah dia sekarang inenjadi Raja Kecil di Madura? Lebih
tinggi kedudukannya dari pada di Tumapel ini. Sikapnya selama ini tidak menunjukkan
perubahan sedikitpun. Dia mensyukuri jabatan dan tugas yang diberikan. Bagaimana sekarang
tahu-tahu Mamanda Patih mengatakan dia menyusun kekuatan hendak berontak? Bukankah
latihan perang-perangan suatu hal biasa saja bagi suatu Kerajaan sebesar Singosari ini?
Apalagi Madura dipisahkan oleh laut dengan tanah Jawa. Patut dia memperkuat diri untuk
berjaga-jaga terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Sesungguhnya apakah yang terjadi di
Keraton Tumapel ini? Saya mencium ada orang-orang yang tidak suka terhadap Adipati Wira
Seta.”
Paras Patih Raganatha tampak berubah merah. Dalam hati dia merasa sangat menyesal
telah mengeluarkan kata-kata tadi.
Padahal apa yang diucapkannya adalah sejujurnya tidak ada niatan memburukkan orang
31
lain apa lagi mengkhianati. Diam-diam sang patih menjadi sangat sedih.
Karenanya dia memutuskan untuk tidak membuka mulut lagi.
Sang Prabu berpaling pada Argajaya. “Panglima, apakah kau tidak akan mengatakan
sesuatu?”
Panglima Pasukan Kerajaan ini sesaat tampak meragu.
Dia melirik pada Patih Ragantha. Dia merasa hiba terhadap orang tua itu. Dengan maksud
hendak membelanya maka diapun berkata.
“Memang ada yang hendak saya laporkan, Sang Prabu. Itu jika Sang Prabu berkenan
mendengarnya…”
“Apakah ada sangkut pautnya dengan kejadian siang tadi?” tanya Raja pula.
“Saya tidak berani mengatakan begitu,” sahut Argajaya karena dia kawatir dirinya akan
ditempelak seperti Patih Raganatha “Yang ingin saya sampaikan ialah menyangkut keadaan
dan keamanan negeri. Sesuai dengan tugas dan kewajiban saya menjaga Kerajaan.”
“Kalau begitu katakanlah,” perintah Sang Prabu.
“Daulat Sang Prabu. Sang Prabu ingat sewaktu utusan Raja Cina keturunan Mongol
Kubilai Khan datang ke Singosari beberapa waktu lalu?”
“Saya ingat. Semua kita di sini pasti ingat hal itu.” jawab Sang Prabu pula.
“Kejadian dimana kita mengusir utusan itu setelah terlebih dahulu membuat cacat muka
pemimpin mereka tidak dapat tidak akan membuat murka Raja Cina. Saya kawatir kalau Raja
Cina sewaktu-waktu memerintahkan balatentaranya untuk menyerbu kemari.”
Sri Baginda tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Panglima Pasukannya itu.
“Orang asing kalau diberi hati, mereka akan menginjak kita. Apalagi kalau kita
memperlihatkan sikap takut! Ingat hal itu baik-baik bagi semua yang ada di sini!” Sri Baginda
memandang satu persatu wajah-wajah di hadapannya. “Mengenai penghinaan yang kita
lakukan terhadap pimpinan utusan Raja Cina itu, apakah kalian tidak melihat bahwa itu adalah
lebih ringan dibanding dengan penghinaan yang mereka lemparkan pada kita. Mereka
meminta agar kita tunduk kepada Kerajaan Cina!” Pelipis Sang prabu tampak bergerak-gerak
tanda dia menahan kemarahan besar. “Kubilai Khan boleh mengirim serdadunya kemari. Raja
Cina itu boleh menyerbu Singosari. Kita akan memukul mereka sampai hancur. Tidak ada satu
Kerajaanpun mampu menundukkan Kerajaan lain yang terpisah jauh. Mereka mungkin bisa
32
menang, tapi hanya sesaat. Begitu jalur perbekalan mereka putus, mereka akan jadi sasaran
hantu kelaparan atau senjata lawan!”
Panglima Argajaya dalam hati mengagumi kecerdikan jalan pikiran Sang Prabu.Tetapi
bagaimana kalau Adipati Wira Seta mempergunakan kesempatan. Bergabung dengan pasukan
Cina untuk menyerbu Singosari? Rasa-rasanya Singosari hanya akan sanggup bertahan satu
hari satu malam. Setelah itu…
Hal itulah yang dikawatirkan oleh Argajaya dan juga diketahui oleh Patih Raganatha.
Bahkan para Pendeta yang hadir di situ saat itu juga dapat meraba jalan pikiran kedua orang
tokoh Kerajaan tersebut. Namun tidak satupun yang berani mengemukakannya karena takut
dituduh yang bukan-bukan.
Melihat Argajaya diam saja Sang Prabu lantas bertanya.
“Masih ada lagi yang hendak mengemukakan sesuatu? Kalau tidak pertemuan ditutup
sampai di sini.”
Patih Raganatha melirik kepada Argajaya. Panglima Pasukan Singosari yang mengerti arti
lirikan ini membungkuk dalam-dalam dan berkata.
“Izinkan saya menyampaikan sesuatu Sang Prabu.”
Sang Prabu mengangguk.
“Ada seorang pelapor memberi tahu tentang pertemuan rahasia antara Adipati Wira Seta
dengan penguasa di Kediri.”
“Maksudmu Raden Adikatwang?”
“Betul sekali Sang Prabu.”
“Apa yang dilaporkan orang itu?” tanya Sang Prabu.
Lalu panglima Argajaya menceritakan pertemuan rahasia antara Adipati Wira Seta dengan
Adikatwang beberapa waktu lalu di sebuah hutan tak berapa jauh dari Kali Brantas.
“Ini cerita baru yang sungguh tidak enak didengar. Bahkan mengejutkan!” kata Raja pula.
“Tetapi saya lagi-lagi sulit mempercayainya. “Saya tahu betul selama ini Adikatwang
menghambakan dirinya penuh kejujuran dan kesetiaan pada Singosari. Itu sebabnya kita
memberikan kekuasaan di Gelang-gelang kepadanya. Upetinya tidak pernah putus. Apakah
orang sebaik itu bisa dipercaya akan melakukan pemberontakan? Dan kawan pemberontaknya
adalah Wira Seta yang juga mengabdi begitu baik terhadap Kerajaan?”
33
Orang-orang yang ada di tempat itu, terutama Patih Raganatha dan Panglima Argajaya
merasa putus asa dan sangat kecewa atas tanggapan yang diberikan oleh Raja mereka. Sang
Prabu rupanya memaklumi hal ini. Maka diapun bertanya.
“Siapa pelapor yang kau katakan itu Panglima?”
“Seorang pemuda bernama Wiro.”
“Dia orang Singosari?”
“Dia mengaku dari Barat. Dari Gunung Gede.” Jawab Argajaya.
“Ahhhh…Orang dari Barat!” ajar Sang Prabu sambil menarik napas panjang. “Bukan
mustahil dia adalah sisa-sisa turunan orang-orang Tarumanegara atau Pajajaran yang kita
semua tahu bahwa mereka tidak punya hubungan baik dengan Singosari sejak jaman nenek
moyang kita.”
Mendengar ucapan Raja mereka itu Argajaya apalagi Patih Raganatha tidak bisa berbuat
apa-apa selain berdiam diri.
“Orang bernama Wiro itu, di mana dia sekarang? Apakah kita bisa menanyainya secara
lebih seksama?”
Mendengar pertanyaan Sang Prabu itu Argajaya segera menjawab. “Jika Sang Prabu
berkenan menemuinya, saya bisa menyuruhnya panggil saat ini juga.”
“Bawa dia ke mari,” kata Sri Baginda.
Argajaya berdiri dan meninggalkan ruangan itu dengan cepat. Dia menemui dua orang
pengawal. Kedua pengawal itu lalu bergegas menuruni tangga Keraton, berjalan menuju ke
tembok bagian Timur di mana terletak sebuah bangunan yang dipergunakan sebagai tempat
bermalam para pengawal. Tak lama kemudian kedua pengawal itu muncul kembali bersama
sebrang pemuda berpakaian putih-putih dan berambut gondrong. Dia melangkah diapit dua
pengawal sambil senyum-senyum.
Ketika pemuda itu sampai di hadapan Sang Prabu, dia segera menjura memberi
penghormatan tetapi masih tetap sambil senyum-senyum. Hal ini mendatangkan rasa tidak
enak di hati Sang Prabu.
Sikapnya cukup hormat tapi rasanya ada sesuatu yang tidak beres dengan pemuda ini,
kata SriBaginda dalam hati.
“Orang muda, namamu Wiro?” tanya Raja.
34
“Betul Sang Prabu.”
“Kau keturunan orang-orang Tarumanegara atau Pajajaran?”
Wiro garuk-garuk kepalanya, kurang mengerti maksud pertanyaan itu. “Kalau soal
keturunan, saya kurang jelas. Saya dibesarkan di puncak Gunung Gede. Hanya itu yang saya
tahu.”
“Panglimaku melaporkan bahwa kau mengetahui adanya pertemuan rahasia antara Raden
Adikatwang dari Kediri dengan Adipati Wira Seta di Sumenep. Betul?”
“Betul sekali Sang Prabu,” jawab Wiro.
“Di mana pertemuan itu diadakan. Kapan?”
“Tiga hari lalu. Dekat Kali Brantas. Tak jauh dari pohon cempedak yang batangnya
melintang di atas kali. Waktu itu saya sedang enak-enak makan cempedak di atas pohon.
Lalu…”
“Hal itu tidak perlu diceritakan,” memotong Argajaya yang jadi risih mendengar Wiro
menccritakan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan Raja.
Sang Prabu melirik pada Panglima Argajaya lalu geleng-gelengkan kepala. Argajaya
seperti tak bisa bernafas melihat sikap dan cara Wiro memberi keterangan. Seolah-olah Sang
Prabu adalah temannya, bukan dianggap sebagai Raja.
“Laporanmu tidak bisa dipercaya. Kecuali kalau bisa memberikan bukti-bukti. Kau bisa
menunjukkan bukti-bukti tentang adanya pertemuan itu?” tanya Raja Sri Baginda.
Wiro jadi garuk-garuk kepala mendengar perfanyaan itu. Lalu dia ingat akan peristiwa di
kali. “Saya bisa memberikan bukti yang Sang Prabu minta,” berkata Wiro. “Bisa ditanyakan
pada delapan orang perajurit Kediri yang sempat saya telanjangi di sungai!”
Patih Raganatha dan Panglima Argajaya jadi berubah paras mereka. Para Pendeta
tundukkan kepala, beberapa di antaranya senyum-senyum.
“Cukup!” Sri Baginda berdiri dad duduknya. “Kau tidak bisa memberikan bukti. Malah
bicara ngawur!”
Wiro jadi jengkel.
“Sang Prabu, kewajiban saya hanya melapor. Karena saya merasa Singosari dalam
bahaya. Bukan tugas saya memberikan bukti-bukti. Itu adalah tugas orang-orang Singosari
sendiri untuk menyelidiki kebenarannya. Saya bicara apa adanya. Jika saya berkata dusta saya
35
bersedia dihukum!”
“Orang muda!” bentak Argajaya. “Kau tidak layak mengajari Sang Prabu!”
Wiro menatap wajah Panglima Singosari itu, sesaat lalu berkata, “Saya yang tolol mana
berani mengajari Raja. Jika tidak dipercaya sebaiknya saya pergi saja dari sini.”
Wiro hendak memutar tubuhnya.
“Kau kutuduh memberi keterangan palsu dan fitnah! Siapa dirimu harus diselidiki!”
Ucapan Raja Singosari itu membuat Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan langkahnya.
“Tangkap pemuda gondrong ini!” perintah Sang Prabu.
Wiro terkejut karena tak menyangka akan diperlakukan seperti itu. Enam perajurit
berbadan kukuh segera melompat dan mencekal kedua tangannya lalu ditelikungkan ke
punggung.
Wiro sampai mengerenyit karena kesakitan. Sebuah belenggu besi segera hendak
dikatupkan pada kedua pergelangannya.
Murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini menjadi kalap. Kaki kanan dan
kedua tangannya bergerak dengan cepat.
Tiga perajurit terpekik lalu terjengkang di lantai di hadapan Sang Prabu. Tiga lainnya
tegak memaing kaku dalam keadaan tertotok!
***
36
6
SEMUA orang yang ada di ruangan pertemuan terkejut sekali menyaksikan kejadian itu.
Tidak sembarang orang mampu melumpuhkan enam orang penyerang sekaligus dalam satu
gerakan kilat yang hampir tidak terlihat. Panglima Argajaya dalam hati harus mengakui bahwa
dia bahkan Patih Raganatha, mungkin tidak bakal mampu melakukan hal itu. Pemuda yang
mengaku bernama Wiro ini memiliki ilmu silat tinggi. Apakah dia juga mempunyai tenaga
dalam dan kesaktian yang hebat? Berpikir Argajaya dan juga Raganatha. Sementara para
Pendeta yang duduk tidak bergerak di tempat masing-masing dan tidak dapat
menyembunyikan air muka rasa kagum mereka.
Sri Baginda tidak ingin orang-orang yang ada di situ sempat terpengaruh oleh kehebatan
yang barusan diperlihatkan pemuda berambut gondrong itu. Maka diapun berkata dengan
suara keras.
“Kalian saksikan sendiri! Dia muncul dengan sikap berpura-pura seperti orang dungu.
Tapi nyatanya memiliki kepandaian tinggi. Jelas dia membekal maksud yang tidak baik. Apa
kalian masih be1um percaya kalau dia sebenarnya seorang mata-mata pihak yang mempunyai
maksud jahat terhadap Singosari?!”
Tidak ada yang membuka suara. Panglima Argaraya melangkah mendekati Sang Prabu
lalu berbisik. “Maafkan saya Sang Prabu. Jika dia memang nemiliki ilmu tinggi, bukankah
lebih baik memanfaatkannya untuk kepentingan Kerajaan?”
Sri Baginda memandang pada Panglimanya dengan wajah beringas. “Kenapa kau bicara
tolol Panglima? Kau ingin kita memelihara anak harimau. Kalau pada suatu hari dia akan
menerkam kita?!”
Argajaya terdiam, tak bisa berkata apa-apa lagi. Saat itu terdengar suara Raja keras sekali.
“Panglima Argajaya! Aku perintahkan kau meringkus pemuda itu!”
“Tapi Sang Prabu…”
“Kau berani menolak perintahku, Panglima?” Kedua mata Sri Baginda membelalak.
“Siap Sang Prabu!” jawab Argajaya. Lalu Panglima Kerajaan ini melompat ke hadapan
37
Wiro. “`Serahkan dirimu secara baik-baik. Kecuali kalau kau ingin kugasak sampai remuk!”
Wiro menatap wajah Panglima itu dengan sinis. “Panglima,” katanya. “Saya tahu kau
hanya menjalankan perintah walau hati kecilmu menentangnya.
Tetapi jika kau sampai menangkap diriku, itu adalah kesalahan yang keterlaluan. Kau tahu
aku tidak punya salah apa-apa…”
“Tutup mulutmu! Aku tidak segan-segan membunuhmu di hadapan Sang Prabu!” hardik
Panglima Argajaya.
Dada murid Eyang Sinto Gendeng seperti terbakar mendengar ucapan Argajaya itu.
Sebelumnya dia percaya penuh pada keterangan tentang pertemuan rahasia antar Raden
Adikatwang dan Wira Seta. Itu sebabnya aku mau disuruhnya menunggu sampai ada
kesempatan untuk menemui Raja. Kini dia berubah. Jangankan membela, membunuhpun dia
mau! Panglima tak bisa dipercaya. Panglima ular kepala dua!
“Kalau kau hendak menangkapku silakan. Aku, orang Gunung yang tidak punya daya!”
kata Wiro. Lalu dia tegak dengan kaki dikembangkan dan bahu merunduk. Tangan kanannya
bergetar karena ada tenaga dalam yang dialirkan ke situ.
Saat itu Wiro tiba-tiba mendengar ada suara mengiang di kedua telinganya.
“Anak muda, walau hatimu terbakar tapi jangan unjukkan kekuatan di tempat ini. Aku
percaya kau bisa merobohkan Panglima Argajaya dalam dua tiga kali gerakan. Tapi apakah itu
perlu? Serahkan saja dirimu baik-baik. Mengalah secara kesatria tidak ada celanya. Ada
saatnya kau bisa membebaskan diri. Itu harus kau lakukan pada saat yang tepat. Jika kau
melawan dan mempergunakan kekerasan semakin kuat dugaan Sang Prabu bahwa kau adalah
mata-mata musuh. Lagi pula betapapun kepandaian yang kau miliki, jika Raja mengerahkan
seluruh orang pandai dalam Istana kau pasti akan mengalami kesulitan.”
Wiro memandang pada orang-orang yang ada di ruangan itu. Sulit baginya untuk
menduga siapa yang barusan mengeluarkan ucapan itu dengan nempergunakan ilmu
mengirimkan suara yang tidak terdengar oleh orang lain, kecuali orang yang dituju. Yang
bicara pasti bukan Argajaya atau Patih Raganatha, apalagi Sang Prabu. Wiro memandang ke
jurusan para Pendeta. Mereka duduk dengan sikap tenang dan balas memandang dengan air
muka yang agak berubah.
Aku yakin salah seorang dari mereka yang barusan mengirimkan ucapan jarak jauh itu.
38
Tapi yang mana …? Wiro menatap wajah Pendeta Mayana. Pandangannya dipusatkan pada
kedua mata sang pendeta yang sangat bening. Hatinya berdetak, Pendeta satu inilah yang
diduganya mengeluarkan peringatan itu. Memikir bahwa petunjuk yang disampaikan lewat
suara tadi benar adanya maka Wiro batalkan niatnya untuk melakukan perlawanan. Dia
berpaling pada Panglima Argajaya.
“Saya tidak punya salah, tidak punya dosa. Jika setetes kebajikan yang hendak saya
berikan pada Singosari dianggap satu kesalahan besar, Panglima boleh saja menangkap saya.
Namun kelak Panglima in melihat kenyataan bahwa apa yang dilakukan adalah keliru. Saat ini
saya yakin ada beberapa orang dari yang hadir di sini mempunyai pendapat yang sama dengan
apa yang saya katakan. Tetapi mereka tidak bersedia mengatakan secara terus terang.”
Wiro tersenyum ketika melihat para Pendeta yang ada di ruangan itu sama menundukkan
kepala. Murid Sinto Gendeng itu lalu ulurkan kedua tangannya. Seorang perajurit cepat
membelenggu kedua pergelangan tangan Wiro dengan belenggu besi sementara beberapa
orang perajurit lainnya sibuk menolong enam kawan mereka yang cidera.
“Bawa tawanan ini ke penjara di tembok Timur Keraton. Jangan lepaskan belenggunya.
Dua orang harus selalu mengawal pintu penjara siang malam.” Kata Panglima Argajaya pada
bawahannya.
Sepuluh orang perajurit segera menggiring Wiro meninggalkan ruangan itu. Sebelum
melangkah pergi, Pendekar 212 berhenti di depan Argajaya. Dia keluarkan suara bersiul lalu
berkata, “Terimakasih atas perlakuan yang sangat mengesankan ini. Saya merasa sebagai
tahanan terhormat. Bukan maling bukan pencuri, juga bukan perampok. Kau tak usah kawatir
saya akan melarikan diri. Karena itu saya tidak memerlukan belenggu besi ini!”
Wiro salurkan tenaga dalam dan hawa panas dari perutnya. Kedua tangannya bergetar dan
tampak berubah warna menjadi putih seperti perak. Sang pendekar telah merapal aji kesaktian
ilmu pukulan matahari.
Belenggu besi tampak seperti leleh. Lalu traakk!
Belenggu itu terbelah dua. Selagi semua orang terkesiap menyaksikan kejadian itu Wiro
berpaling ke arah Sang Prabu. Dia menjura dengan sikap mengejek lalu melangkah ke arah
pintu. Ketika melewati Pendeta Mayana murid Sinto Gendeng ini tersenyum polos. Kedipkan
matanya dan berbisik, “Terima kasih atas petunjuk tadi…”
39
Pendeta Mayana hanya diam saja. Tidak mau memberikan reaksi apa-apa karena kawatir
sikapnya akan menimbulkan rasa curiga dalam diri Sang Prabu dan dapat memperburuk
suasana.
Pada saat Wiro mencapai pintu ruangan digiring oleh para pengawal tiba-tiba terdengar
satu suitan nyaring yang membuat semua orang terkesiap. Wiro hentikan langkahnya. Dia
mendengar suara berdering.
Entah dari mana munculnya sebuah benda melesat dan menancap di tiang kayu jati besar
di tengah ruangan. Ketika semua orang memperhatikan benda itu ternyata adalah sebuah tusuk
kundai yang terbuat dari perak. Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut etika dia mengenali benda
itu. Tusuk kundai tersebut adalah perhiasan yang biasa dipakai gurunya di kepala. Eyang,
katanya dalam hati. Kau ada di sini…
Pada ujung tusuk konde yang berbentuk gelungan, tersisip segulungan daun lontar kering.
Semua orang yang ada di situ memandang pada Sang Prabu, seolah menunggu isyarat atau
perintah apa yang harus mereka lakukan.
“Ada orang berkepandaian tinggi mengirimkan pesan. Punya ilmu tapi tidak punya nyali
untuk unjukkan diri!” kata Sang Prabu pula. Dia memandang berkeliling. Semua orang,
termasuk Wiro melakukan hal yang sama. Namun tidak satupun melihat orang yang
melemparkan tusuk kundai itu tadi. Bahkan bayangannya pun tidak.
Sang Prabu akhirnva memandang Panglima Argaraja.
“Panglima, ambil tusuk kindai itu!” perintah sang Prabu.
Panglima Argajaya segera melangkah ke tiang besar lalu mencabut tusuk kundai yang
menancap di situ. Tusuk kundai serta daun lontar yang tersisip diperhatikannya seketika lalu
diserahkannya pada Raja. Sri Baginda membuka gulungan daun lontar. Di situ ternyata ada
sederetan tulisan berbunyi :
Jika seseorang membuat muridku menderita tanpa salah, maka penderitaan akan
menimpa orang itu lebih parah.
Wiro merasa tidak enak ketika Sri Baginda memandang dengan wajah membesi ke
arahnya. Dilihatnya Sang Prabu menyerahkan daun lontar pada Panglima Argajaya. Argajaya
membaca apa yang tertulis di situ lalu memberikan daun itu pada Patih Raganatha.
40
“Kecurigaanku tidak melesetl Orang yang mengaku guru pemuda itu ternyata ada di sini.
Apa lagi yang mereka lakukan kalau bukan sama-sama berkomplot dengan musuh Singosari!
Murid dan guru sama saja kurang ajarnya. Berani dia memberi teguran dengan cara seperti
itu!” Sehabis berkata begitu Sri Baginda bantingkan tusuk kundai perak yang dipegangnya ke
lantai. Benda ini menancap sampai setengahnya ke dalam lantai batu yang keras. Lalu Raja
Singosari ini berpaling pada Patih Raganatha.
“Besok siapkan sidang pengadilan kilat bagi pemuda itu. Tapi satu hal sudah jelas. Dia
harus dijatuhi hukuman mati!”
“Daulat Sang Prabu,” jawab Patih Raganatha.
Paras Wiro jadi berubah mendengarkan kata-kata dari Baginda itu. Tak ada jalan 1ain. Dia
harus melarikan diri saat itu juga. Ketika dia siap hendak melakukan hal itu tiba-tiba ada
sambaran angin di belakangnya. Murid Eyang Sinto Gendeng cepat memutar tubuh seraya
menghantamkan tangan kanannya.
Bukk!
Jotosannya tepat menghantam dada orang. Orang yang menyerang ini terpental tiga
langkah dan jatuh tergelimpang di lantai. Dari mulutnya terdengar suara erang kesakitan. Di
saat yang sama ketika jotosannya mengenai orang Wiro sendiri merasakan satu totokan
melanda dadanya dengan telak hingga saat itu juga sekujur tubuhnya menjadi kaku tak bisa
bergerak tak bisa bersuara. Di dapannya Panglima Argajaya berusaha bangkit dengan tubuh
terhuyung-huyung. Di sela bibirnya ada lelehan darah. Pukulan Wiro telah membuat Panglima
Singosari ini terluka dalam yang cukup parah!
Wiro digotong empat orang prajurit menuju halaman belakang Keraton. Di tembok
sebelah Timur rombongan ini membelok ke kanan melewati arah pintu. Dari sini mereka akan
menyeberangi sebuah jalan besar yang mengelilingi Keraton. Di seberang jalan ada sebuah
bangunan batu berbentuk panjang. Ke bangunan inilah Pendekar 212 akan dibawa.
Ketika rombongan itu baru saja hendak menyeberangi jalan seorang penunggang kuda
melintas dengan cepat. Di belakangnya ada dua orang pengawal mengikuti. Tiba-tiba
penunggang kuda di sebelah depan membalik ke arah rombongan yang tengah menyeberang.
Orang di atas kuda itu ternyata adalah seorang gadis remaja berparas cantik sekali. Dia
mengenakan pakaian ringkas. Rambutnya yang panjang hitam dijalin satu lalu digelung di atas
41
kepala. Dua orang penunggang kuda yang bertindak sebagai pengawal segera bertanya.
“Raden Ayu Gayatri, mengapa kita berhenti?”
Gadis di atas kuda tidak perdulikan pertanyaan pengawalnya. Dia membawa kudanya ke
depan rombongan yang tengah menggotong Wiro. Empat orang perajurit yang menggotong
langsung meletakkan Wiro begitu saja di tanah. Bersama enam oran perajurit lainnya mereka
membungkuk menghatur sembah.
Dalam keadaan tertelentang di tanah Pendek. 212 Wiro Sableng jadi tercengang ketika
melihat semua perajurit yang mengawalnya memberi penghormatan seperti itu terhadap si
gadis. Dalam hati dia berkata. Ah, dia rupanya. Siapa gadis sebenarnya? Mengapa semua
perajurit menghormat seperti sikap menghormat seorang Raja? Dulu waktu kutanya dia tidak
mau memberi tahu nama, juga tidak di mana dia tinggal
Gadis cantik berpakaian ringkas tidak perdulikan pertanyaan pengawalnya tadi. Dia
memperhatikan Wiro yang tertelentang di tanah, tidak bergerak tidak bersuara. Hanya bola
matanya saja yang berputar-putar.
Apa yang terjadi dengan dirinya? Tangan dan kakinya tidak bergerak. Sekujur tubuhnya
seperti kaku. Bersuarapun dia tidak bisa. Keadaannya seperti orang ditotok. Gadis itu
melompat turun dari kudanya.
“Siapa pimpinan dalam rombongan ini?” Si gadis ajukan pertanyaan.
Seorang perajurit maju ke depan. “Hamba Den Ayu…”
“Mau dibawa kemana orang ini?”
“Atas perintah Sang Prabu tawanan ini hendak dijebloskan ke dalam penjara.”
“Tawanan? Hendak dijebloskan ke dalam penjara?!” Paras si gadis tampak berubah. Dia
memandang pada Wiro. Lalu kembali bertanya pada si pengawal. “Apa kesalahannya?”
Pengawal menjawab. “Dia mata-mata musuh.”
Si gadis kembali memandang ke arah Wiro. Dia mata-mata musuh? Benarkah? Tidak
mungkin. Aku tak percaya. Kalau bukan karena dia diriku…
“Dia bukan mata-mata. Aku tahu betul hal itu. Harap kalian segera melepaskan dirinya.
Biarkan dia pergi dari sini!”
Semua orang yang ada di jalanan itu tentu saja sangat terkejut mendengar ucapan si gadis
sementara Pendekar 212 hanya bisa menatap.
42
“Kami menghormati Raden Ayu dengan segala ucapannya,” kata perajurit yang jadi
pimpinan. “Tetapi mana mungkin kami menyalahi perintah Sang Prabu. Mohon Raden Ayu
mengerti dan memaafkan.”
“Katakan di mana Sang Prabu berada saat ini?” tanya gadis yang dipanggil dengan
sebutan Raden Ayu Gayatri itu.
“Sang Prabu ada di ruangan pertemuan Keraton bersama Patih dan Panglima serta para
Pendeta.”
Gadis cantik itu berpaling pada dua orang yang mengawalnya dan berkata. “Latihan
menunggang kuda cukup sampai di sini dulu.” Lalu gadis ini melompat ke atas kudanya dan
membedal binatang ini memasuki halaman Timur Keraton. Empat orang perajurit meneruskan
menyeberangi jalan, menggotong Wiro menuju bangunan penjara.
Pertemuan di dalam keraron segera akan berakhir ketika Raden Ayu Gayatri memasuki
ruangan. Kecuali Sang Prabu semua orang yang ada di situ menjura memberikan
penghormatan.
“Gayatri, kau tidak berlatih menunggang kud hari ini?” tanya Sri Baginda.
“Sudah tapi tidak sampai selesai. Ananda harap kedatangan Ananda tidak mengganggu
Ayahanda.” kata Gayatti pu1a. Ternyata dia adalah anak Sang Prabu. Gayatri bungsu dari
empat orang puteri bersaudara.
“Kau tidak mengganggu. Pertemuan baru saja selesai,” jawab Sang Prabu. Dia menatap
pada puterinya sesaat, lalu bertanya, “Ada apa Gayatri. Agaknya ada sesuatu yang penting?”
Gayatri menggangguk.
“Katakanlah. Atau kau ingin hanya kita berdua saj di ruangan ini? Jika itu maumu,
Ayahada akan minta semua orang yang ada di sini untuk pergi…”
“Tidak perlu. Biarkan semuanya tetap di sini agar bisa ikut mendengar,” jawab Puteri Raja
pula. Sang Prabu Singosari menjadi agak heran mendengar kata-kata puterinya itu. “Ada
apakah sebenarnya Gayatri?”
“Di jalan saya berpapasan depgan perajurit yang tengah menggotong seorang pemuda ke
penjara.”
“Hemmm, kau melihat rombongan itu rupanya.”
“Ananda minta agar pemuda itu dilepaskan.” Kalau ada ledakan keras yang
43
menghancurkan ruangan itu mungkin tidak sedemikian terkejutnya Sang Prabu, Patih dan
Panglima Singosari sementara para Pendeta tegak tak bergerak tanpa dapat menyembunyikan
air muka mereka yang menunjukkan rasa heran.
“Kau minta tawanan itu dilepaskan, Gayatri?” tanya Sang Prabu. Ketika puterinya
mengangguk, Raja Singosari ini lanjutkan pertanyaannya. “Katakan apa sebabnya.”
“Dia bukan mata-mata musuh. Bukan orang jahat.”
“Rupanya kau sudah mengenal pemuda asing itu sebelumnya. Anakku, katakan apa
hubunganmu dengani pemuda itu. Jangan kau berani memberi malu keluarga Istana
Singosari!”
“Kalau bukan karena dia ananda saat ini sudah tidak ada lagi.”
“Apa maksudmu Gayatri?” kejut Sang Prabu Singosari. “Apa yang telah terjadi dengan
dirimu?!”
“Tadinya Ananda sengaja merahasiakan apa yang telah terjadi sekitar sepuluh hari lalu.
Tapi saat ini Ananda harus memutuskan untuk rnenceritakannya. Agar Ayahanda bersedia
memenuhi permintaan Ananda membebaskan pemuda itu.” Lalu Raden Ayu Gayatri
menuturkan suatu peristiwa yang selama ini tidak diketahui oleh Sang Prabu maupun
Permaisuri.
***
44
7
PAGI itu ketika seorang pengasuh di Kaputren memberi tahu bahwa dua orang pengawal yang
biasa melatihnya menunggang kuda siap menunggu, puteri bungsu Sang Prabu mengatakan
bahwa dirinya kurang sehat. Latihan hari itu ditunda saja sampai besok. Sebenarnya Gayatri
punya rencana sendiri yang sudah sejak lama ingin dilakukannya.
Di sebuah hutan kecil di Timur Laut Singosari, tak berapa jauh dari Gunung Bromo sejak
lama diketahui orang banyak terdapat kupu-kupu dari berbagai jenis ukuran dan bentuk.
Warnanya juga macam-macam dan sangat menarik hati. Raden Ayu Ciayatri ingin sekali pergi
ke sana untuk melihat dan menangkap binatang-binatang itu lalu mengawetkannya dan
menjadikannya benda pajangan. Namun sebagai seorang puteri Raja hal itu tidak mungkin
dilakukannya. Paling tidak harus ada pengawal mendampinginya. Hal inilah yang tidak
disukai sang puteri. Dia merasa seperti terkekang dan dibatas gerak-geriknya kalau ke mana-
mana selalu dikawal, Karena itu secara diam-diam dia mempersiapkan tangguk dan kantong
besar untuk menangkap kupu kupu itu. Dia akan pergi seorang diri dengan menunggang kuda.
Dia merasa sudah cukup mahir menunggang kuda tanpa pengawal atau pelatih. Kini tinggal
menunggu kesempatan saja. Dan hari itu dirasakannya adalah hari yang paling tepat karena
diketahuinya Sang Prabu bersama Patih dan Panglima Kerajaan akan melakukan perjalanan ke
Selatan.
Setelah dua orang pelatih yang merangkap pengawal meninggalkan Kaputeran dan
pengasuh berlalu, Gayatri segera mengganti pakaiannya dengan celana dan baju ringkas.
Rambutnya diikat dengan sehelai sapu tangan kuning. Jaring dan tangguk penangkap kupu-
kupu diambilnya dari balik sebuah lemari besar. Sebilah golok pendek diselipkannya di
pinggang. Lalu tanpa setahu siapapun dia menyelinap ke kandang kuda di belakang Kaputren.
Tak lama kemudian puteri bungsu Raja Singosari ini tampak membalap kudanya
meninggalkan Tumapel ke arah Timur Laut.
Sebagai seorang Puteri Raja Gayatri tidak pernah pergi jauh meninggalkan Keraton.
Kalaupun pergi dia selalu dikawal. Hal ini menyebabkan dia tidak banyak tahu seluk beluk di
45
luar Keraton dan akibatnya dalam perjalanan menuju hutan yang banyak kupu-kupunya itu
gadis ini tersesat ke sebuah hutan lain yang juga terletak di Timur Laut, dipisahkan dengan
hutan kupu-kupu oleh sebuah kali dangkal.
Setelah cukup lama berada dalam hutan yang salah itu, Gayatri merasa heran karena dia
sama sekali tidak menemukan seekor kupu-kupupun. Keadaan hutan dilihatnya aneh.
Pepohonannya lebat dan tua tetapi di mana-mana terdapat bebatuan dan jurang-jurang kecil.
“Jangan-jangan kupu-kupu itu hanya cerita dusta aja,” membatin Gayatri. Dalam keadaan
letih gadis ini akhirnya memutuskan untuk kembali pulang saja. Malangnya dia tidak berhasil
mencari jalan pulang ialah berputar-putar dalam rimba itu sampai akhirnya matahari condong
ke Barat. Rasa takut dan menyesal telah melakukan perjalanan itu seorang itu mulai muncul
dalam dirinya. Sementara itu yang membuatnya tambah gelisah ialah karena kuda
tunggangannya sebentar-sebentar mengeluarkan suara meringkik. Seolah-olah ada sesuatu
yang ditakutkan binatang ini.
“Tenang…. Tenanglah Grudo,” kata Gayatri sambil mengelus kuduk kudanya. “Aku tahu
kau tentu letih. Tapi kita harus segera keluar dari hutan ini. Kita harus dapat mencari jalan
pulang. Ayo Grudo, jalan terus, kita harus pulang sebelum malam tiba…”
Tapi binatang dan tuannya itu tidak mampu keluar dari rimba belantara itu. Di sebuah
mata air kecil Gayatri membiarkan kudanya minum. Dia sendiri tidak berani meneguk mata air
itu. Tiba-tiba Grudo mengangkat kepalanya lalu meringkik keras-keras sambil menaikkan kaki
tinggi-tinggi, membuat Gayatri hampir jatuh terbanting ke tanah. Kuda itu kelihatan seperti
ketakutan.
“Grudo, tenang. Tak ada apa-apa…” kata Gayatri coba menenangkan kuda dan juga
dirinya sendiri. Baru saja gadis ini berkata begitu tiba-tiba di belakangnya terdengar suara
menggereng. Gayatri berpaling. Nyawanya seperti lepas ketika hanya sepuluh langkah di
belakangnya, dekat sebatang pohon besar tegak merunduk seekor harimau besar hitam belang
kuning.
Harimau sebesar anak sapi itu tiba-tiba mengaum. Aumannya laksana guntur. Jantung
Gayatri seperti mau copot. Grudo, kuda tunggangannya meringkik keras lalu menghambur lari
sekencang-kencangnya. Gayatri jatuhkan diri sama rata di atas punggung binatang itu,
memagut leher kudanya kuat-kuat. Sekali dia berpaling ke belakang. Wajah gadis ini menjadi
46
pucat pasi ketika ternyata dilihatnya harimau besar itu mengejar dan sangat dekat di
belakangnya.
“Lari yang kencang Grudo! Lari yang kencang!” teriak Gayatri sambil memukul terus
menerus pinggul kudanya dengan tangan kanan. Tiba-tiba di sebelah depan tidak terduga, di
antara kerapatan pepohonan menghadang sebuah batu besar Grudo coba menghindari dengan
membelok ke kiri. Tapi di belokan yang tajam dan sangat tiba-tiba itu membuat tubuh Gayatri
terbanting keras ke kanan. Pegangannya pada leher kuda terlepas. Tubuh gadis itu terlempar.
Masih untung dia jatuh di atas rerumpunan semak belukar hingga tidak mengalami cidera
berat. Hanya pakaiannya saja yang robek dan kulitnya tergurat di beberapa tempat.
Gayatri cepat turun dari semak-semak itu. Namun baru saja kakinya menginjak tanah
harimau besar itu tahu-tahu sudah berada tujuh langkah di hadapannya! Binatang ini
rundukkan tengkuknya tanda dia siap menerkam mangsanya. Ketakutan setengah mati Gayatri
gerakan tangan ke pinggang. Maksudnya hendak mengambil golok yang diselipkannya. Tapi
senjata itu tak ada lagi di pinggangnya. Telah mencelat mental entah ke mana sewaktu tadi dia
jatuh dari kuda.
Untuk melarikan did tidak mungkin. Melawanpun tebih tidak mungkin. Dalam keadaan
tidak berdaya begitu rupa yang bisa dilakukan Gayatri hanyalah berteriak minta tolong. Tapi
siapakah yang akan menolongnya dalam rimba belantara yang sunyi itu?
Harimau besar itu mengaum dahsyat. Tubuhnya menerkam ke depan. Dua kaki depannya
siap membeset ke arah dada sedang mulutnya yang terbuka lebar mencari sasaran di leher
Gayatri!
Hanya sesaat lagi binatang buas itu akan melahap mangsanya, tiba-tiba dari balik sebatang
pohon menderu satu sambaran angin yang sangat deras. Angin ini menghantam tubuh harimau
itu hingga terpental beberapa tombak, terkapar di tanah, bangun terhuyung-huyung. Kepalanya
digelenggelengkan. Lalu terdengar aumannya yang menggetarkan rimba belantara. Untuk
beberapa saat lamanya binatang ini hanya mengaum saja. Rupanya hantaman angin keras tadi
walau tidak mendatangkan cidera tapi cukup membuatnya nanar. Saat itu Gayatri terduduk di
tanah dengan muka pucat. Dia tidak mampu lagi berteriak, apalagi beranjak menyelamatkan
diri. Di saat gadis ini seperti pasrah menerima kematian di tangan harimau itu, tiba-tiba
sesosok tubuh berkelebat di depannya. Lalu dia melihat seorang pemuda berambut gondrong
47
tegak membelakangi antara dia dan harimau.
“Raja hutan!” terdengar pemuda itu berkata. “Aku tidak ingin membunuhmu. Tapi aku
juga tidak suka kau membunuh gadis ini. Lekas tinggalkan tempat ini!”
Harimau besar seperti mengerti ucapan orang keluarkan suara menggereng marah.
Tubuhnya merunduk tanda dia siap menerkam pemuda berambut gondrong itu.
“Ah, jadi kau tak mau diajak berunding….” Ucapan si pemuda terputus ketika harimau di
depannya melompat menerkam. Dengan cepat pemuda itu merunduk. Sambil merunduk
tangan kanannya menjotos ke atas.
Bukk!
Harimau besar itu terpental satu tombak ke kiri. Raungannya menggetarkan hutan. Dua
tulang iganya patah. Tapi begitu menjejakkan kaki di tanah binatang ini cepat berputar dan
kembali menerkam si pemuda.
“Binatang tolol! Dikasihani malah minta digebuk!” Dengan gerakan cepat pemuda itu
melompat ke samping menghindari serangan harimau. Begitu serangan lewat tangan kirinya
menghantam ke depan. Kembali terdengar suara bergedebuk. Harimau besar itu melintir di
udara lalu jatuh tergelimpang tanah. Pipinya remuk. Mata kanannya mengeluarkan darah.
Binatang ini meraung keras dan menggapai-gapaikan kedua kaki depannya lalu dengan tubuh
huyung dia mencoba berdiri. Si pemuda menghantam kalau binatang ini menyerang kembali.
Tapi ternyata harimau itu melangkah mundur lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan
tempat itu.
Sadar kalau dirinya baru raja terlepas bahaya maut Gayatri sandarkan diri ke batang
pohon lalu menangis keras sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Pemuda berambut gondrong melangkah mendekati seraya berkata.
“Gadis berani, harimau itu sudah kabur. Bahaya sudah berlalu….”
Gadis berani? Aku dikatakannya gadis berani, membatin Gayatri. Aku ketakutan
setengah mati, malah bilang aku gadis berani!
Perlahan-lahan gadis itu turunkan kedua tangan. Si pemuda terkesiap ketika melihat wajah
sang dara.
Wajahnya cantik sekali. Sepasang matanya bening kaca.
“Saya… saya bukan gadis berani. Tadi saya ketakutan setengah mati…” kata Gayatri
48
polos.
“Ah, ternyata kau bukan saja pemberani tapi juga jujur. Kau tahu hanya gadis yang berani
yang mau masuk ke dalam hutan seorang diri sepertimu.”
“Sebenarnya saya tersesat. Tujuan saya bukan hutan ini.”
“Apapun tujuanmu adalah sangat berbahaya mengadakan perjalanan seorang did. Apalagi
memasuki hutan. Apa yang kau lakukan dalam hutan ini?”
“Saya mencari kupu-kupu,” jawab Gayatri.
“Kupu-kupu? Ah, di sini mana ada kupu-kupu. Hutan yang banyak kupu-kupunya terletak
di sebelah Timur.”
“Itu sebabnya saya katakan saya tersesat. Kau tinggal di sekitar sini?”
“Agak jauh dari sini….”
“Saya Wiro. Kau siapa?”
“Saya….” Gayatri sadar dia tak mungkin memberi tahu namanya. “Maaf…. saya tidak bisa
memberi tahu nama.”
Wiro tersenyum. Berani masuk hutan tapi takut memberi tahu nama. Pasti ada satu rahasia
yang coba disembunyikannya.
“Saya berhutang nyawa padamu. Kau telah menyelamatkan saya dari raja hutan tadi…”
Wiro garuk-garuk kepala. “Hutang uang memang ada. Kalau hutang nyawa mana ada?”
katanya.
“Ucapan itu lebih pantas dari pada menyebut segala hutang nyawa,” kata Wiro pula.
“Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Kita harus meninggalkan hutan ini.”
“Ya, saya harus segera pulang. Tapi saya tak mungkin pulang tanpa Grudo.”
“Grudo? Siapa Grudo?” tanya Wiro.
“Kuda saya. Saya kehilangan binatang itu. Dia lenyap entah ke mana ketika dikejar
harimau.”
“Apakah kudamu seekor kuda betina. Berwarna coklat, ada warna putih di atas
mulutnya?”
“Benar, bagaimana kau tahu?”
“Saya sempat melihatnya. Saya akan memanggilnya agar datang kemari.”
“Kau bisa memanggil kuda? Kau bergurau…”
49
“Lihat saja!”
Wiro lalu mendongak ke atas. Dia mengerahkan sedikit tenaga dalamnya ke dada lalu ke
leher. Kedua iangannya diletakkan di samping kepala. Masing-masing ibu jari menutupi liang
telinga dan empat jari lainnya digerak-gerakkan. Gayatri hampir tak dapat menahan ketawa
melihat sikap pemuda ini. Dari mulut Wiro kemudian, terdengar suara keras seperti ringkikan
kuda jantan. Si gadis sampai menekap telinganya saking kerasnya ringkikan itu. Wiro
membuat suara meringkik itu tiga kali lalu diam sebentar. Sesaat kemudian dia mengulangnya
lagi. Begitu sampai empat kali berturut-turut.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara ringkikan kuda seolah membalas ringkikan yang
dibuat Wiro.
“Itu suara Grudo!” seru Gayatri. Dia memandang ke arah kejauhan dari arah mana
kemudian terdengar suara langkah-langkah kaki kuda mendatangi.
Wiro kembali meringkik.
Tak selang beberapa lama seekor kuda betina oklat muncul dari balik pepohonan.
“Grudo!” pekik Gayatri lalu lari dan memeluk kuda betina itu. Ketika Wiro datang
mendekat Gayatri bertanya. “Saya belum pernah bertemu dengan orang sepertimu. Mampu
berkelahi dengan harimau. Menyelamatkan nyawa saya dari bahaya naut. Lalu pandai
memanggil kuda….”
Wiro tertawa lebar mendengar kata-kata Gayatri itu. “Tidak ada yang hebat,” katanya.
“Aku hanya menirukan suara ringkikan kuda jantan. Kuda betinamu mendengar lalu
mendatangi. Kuda begitu rupanya. Betina mencari jantan. Manusia pemuda mencari gadis.
Ha… ha… ha….”
Diam-diam dalam hatinya Gayatri suka sekali pada pemuda ini. Tapi saat itu dia harus
segera pulang. Dia memandang pada Wiro lalu berkata. “Saya tidak tahu bagaimana membalas
budi baikmu. Saya benar-benar berterima kasih. Saya harus pergi sekarang….”
Wiro mengangguk. “Saya akan mengantar kanmu sampai ke tepi hutan.”
“Kau baik sekali. Tapi kita tidak bisa menunggangi kuda ini berdua.”
“Asal kau tidak memacu binatang itu secepat kau membedalnya sewaktu dikejar harimau,
saya pasti dapat mengikutimu,” kata Wiro pula.
Gayatri tertawa lepas. Ditepuknya pinggang Grudo. Kuda ini mulai bergerak. Mula-mula
50
perlahan. Wiro berlari mengikuti dari belakang sambil sekali-sekali memberi tahu arah mana
yang harus diambil. Gayatri mempercepat lari kudanya sambil sesekali melirik ke belakang.
Setiap dia berpaling dilihatnya pemuda itu tetap berada dalam jarak yang sama dari kudanya.
Dicobanya lebih mempercepat lari Grudo lalu dia melirik lagi. Tetap saja Wiro dilihatnya
berada dalam jarak yang sama.
Pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia pasti murid seorang sakti. Ah, kalau dia mau
membaktikan diri di Keraton, niscaya Ayahanda mau memberikan jabatan cukup tinggi
padanya. Begitu Gayatri berpikir sambil menunggangi kudanya.
Di tepi hutan gadis itu hentikan kudanya.
“Wiro, terima kasih kau telah mengantarkan saya sampai di sini. Saya akan pulang. Kita
berpisah di sini. Saya berharap bisa bertemu denganmu lagi!”
Wiro seka keringat yang membasahi keningnya.
“Saya juga berharap begitu. Hanya sayang kau tidak memberi tahu nama. Rumahmupun
saya tidak ahu.”
“Jangan berkecil hati Wiro. Kelak kau akan kuberi tahu. Atau ada orang yang akan
memberi tahu.” Gadis itu terdiam sesaat. Lalu tangannya bergerak menanggalkan sebuah
peniti di dada pakaiannya. Benda itu diserahkannya pada Wiro seraya berkata. “Saya berikan
dengan hati tulus. Terimalah Wiro tak berani menyambuti. Tapi si gadis nemaksa. Begitu
peniti berpindah tangan Gayatri segera memacu Grudo meninggalkan tempat Itu. Wiro
memperhatikan sampai si gadis lenyap di kejauhan. Lalu diperhatikannya benda yang ada
dalam genggamannya.
“Astaga, ini peniti emas. Pasti mahal sekali harganya!” kata Wiro. Pada bagian atas peniti
yang agak lebar terdapat tulisan dalam bahasa Jawa kuna yang tidak dimengerti Wiro. Sambil
memandang ke arah lenyapnya Gayatri tadi, Wiro masukkan peniti emas itu ke dalam saku
pakaiannya.
***
51
8
SEMUA orang yang ada di ruang pertemuan itu termasuk Sang Prabu terdiam mendengar
penuturan Raden Ayu Gayatri.
“Ada yang ingin menyampaikan sesuatu?” Sang Prabu akhirnya membuka mulut
bertanya.
“Kalau diperkenankan, saya ingin mengatakan sesuatu,” Patih Raganatha berkata. Ketika
Sang Prabu mengangguk diapun meneruskan bicaranya. Mohon maaf Sang Prabu, mungkin
saya salah. Turut apa yang diceritakan Puteri Sang Prabu saya menaruh kesimpulan bahwa
mungkin sekali pemuda dari Gunung Gede itu memang bukan mata-mata.”
“Hemm…” Raja bergumam. “Ada alasan kuat Mamanda Patih mengatakan begitu?”
“Jika dia berada di pihak yang menyeterui Singosari pasti dia telah menculik Puteri
Gayatri waktu di hutan itu,” jawab Patih Raganatha.
“Dia tidak melakukan itu karena saat berada di hutan dia tidak tahu siapa sebenarnya
Puteriku,” kata Sang Prabu pula mementahkan pendapat Sang Patih. Patih Kerajaan terdiam.
Tak ada yang bicara. Sang Prabu kemudian bertanya, “Ada lagi yang ingin menyampaikan
sesuatu? Saran, permintaan?”
Tak ada yang menjawab. Sang Prabu berpaling pada puterinya. “Ananda Gayatri, kau
tetap pada pendirianmu agar pemuda itu dibebaskan?”
Gayatri mengangguk. Maka Sang Prabupun berkata. “Gayatri, sesungguhnya kau telah
membuat beberapa kesalahan yang bisa mencemarkan nama baik keluarga Keraton Singosari.”
Puteri bungsu terkejut dan memandang tak mengerti pada Ayahandanya.
“Pertama, kau meninggalkan Keraton tanpa meminta izin atau memberi tahu siapapun.
Kedua kau pergi ke tempat yang berbahaya tanpa pengiring atau pengawal sama sekali. Ketiga
kau berada di hutan berdua-duaan dengan seorang pemuda asing yang dicurigai mempunyai
maksud jahat terhadap Singosari. Kesalahan keempat, kau malah meminta agar pemuda asing
itu dilepaskan!”
Untuk beberapa saat lamanya Gayatri tidak dapat berkata apa-apa mendengar ucapan
52
Ayahandanya itu. Semua orang memandang padanya. Para Pendeta diam-diam merasa hiba.
Sebetulnya Gayatri ingin segera berlalu dari tempat itu. Dia tahu kalau Ayahandanya
punya sifat tidak suka dibantah. Namun hati kecilnya merasa tidak enak kalau semua
kesalahan harus dituduhkan pada dirinya. Maka puteri bungsu ini akhirnya memutuskan untuk
bicara.
“Ayahanda, untuk hal pertama dan kedua Ananda mengaku salah dan bersedia menerima
hukuman. Namun untuk hal ketiga dan keempat sulit bagi Ananda menerimanya. Pertemuan
itu sama seka tidak direncanakan. Pemuda asing itu seolah-olah dimunculkan oleh Bathara
Agung ketika Ananda berada dalam bahaya maut. Siapapun dia adanya dia telah
menyelamatkan Ananda. Karena dia orang kebanyakan mungkin kita tidak perlu ingat apalagi
membalas budi jasanya itu. Tetapi jika kemudian kita menuduhnya sebagai orang yang punya
niat jahat terhadap Singosari, mata-mata musuh… entah tuduhan apa lagi, Ananda rasa itu
sungguh sangat bertentangan dengan pikiran bijaksana dan peri keadilan. Semoga para Dewa
mengampuni kekeliruan kita.”
Habis berkata begitu Gayatri haturkan sembah lalu melangkah cepat ke pintu.
Paras Sang Prabu tampak merah padam. “Gayatri!” teriaknya.
Puteri bungsu itu hentikan langkah dan berpaling.
“Sebagai anak kau tidak layak berkata seperti itu! Urusan Kerajaan aku yang
mengendalikan bersama tiga orang Maha Menteri yaitu Patih, Panglima dan Pendeta! Aku
terpaksa menjatuhkan hukuman padamu. Mulai saat ini kau tidak diperkenankan
meninggalkan Kaputeran. Berapa lamanya sampa ada keputusan lebih lanjut!”
Kedua mata Gayatri membesar. Ada air mata merebak di kedua matanya. Gadis ini cepat
menggigit bibirnya keras-keras hingga berdarah. Rasa sakit membuat dia mampu menahan
tangis. Dia melangkah meninggalkan ruangan itu dengan menguatkan diri, membusungkan
dada menegakkan kepala. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahan jiwa pada orang-orang
yang ada di situ, terutama Ayahandanya. Tapi di ambang pintu tiba-tiba Gayatri hentikan
langkahnya dan berpaling. Lalu terdengar gadis ini berkata.
“Saya ingat pada kisah yang ditulis dalam sebuah kitab kuna. Seekor pelanduk yang lari
ketakutan di tengah hutan ditangkap oleh Penguasa Rimba. Dituduh mencuri makanan.
Ternyata tuduhan itu kemudian tidak pernah terbukti. Karena tidak pernah diperiksa apa yang
53
sebenarnya menyebabkan si pelanduk melarikan diri. Padahal dia melarikan diri karena
ketakutan dikejar babi hutan dan srigala yang berlomba hendak memangsanya. Seorang
pemuda yang tidak diketahui kesalahannya ditangkap. Dijebloskan ke dalam penjara.
Mengapa tidak seorangpun yang memikirkan untuk menyelidiki Raden Adikatwang dan
Adipati Wira Seta? Saya tidak memerlukan jawaban karena karena saya tahu semua orang
yang ada disini adalah orang-orang pandai yang tidak layak diajari…”
“Gayatri!” hardik Sang Prabu dengan muka anerah padam dan marah sekali. “Keluar kau
dari ruangan ini!”
Puteri Sang Prabu haturkan sembah lalu membalik dan berlalu dari ambang pintu dengan
cepat.
Pendeta Mayana menarik nafas lalu berkata. “Sang Prabu, mohon maafmu. “Mungkin kita
memang perlu untuk mengusut langsung dua orang yang tadi disebutkan Puteri Gayatri yaitu
Raden Adikatwang dan Adipati Wira Seta.”
Kalau saja yang bicara itu bukan Pendeta Mayana orang tertua yang paling dihormati
Paduka, pastilah Raja Singosari ini akan membentaknya. Sang Prabu duduk kembali ke
tempatnya. Sambil mengusap-usap dagunya dia berkata perlahan.
“Saya akan pikirkan hal itu Mamanda Patih.”
Namun nyatanya Sang Prabu tidak pernah memikirkan hal itu, apalagi memerintahkan
melakukan penyelidikan. Kelak hal ini akan menjadikan penyesalan harus dibawanya bersama
ajalnya.
***
RUANGAN di mana Pendekar 212 Wiro Sableng dikurung adalah sebuah ruangan batu
yang terletak di bagian bawah bangunan panjang. Pintunya terbuat dari besi yang bagian
atasnya berbentuk jeruji-jeruji sebesar pergelangan tangan.
Di luar pintu yang digembok itu, dua orang pengawal melakukan penjagaan di bawah
penerangan sebuah obor yang dikaitkan di dinding. Ketika malam tiba keadaan di dalam dan
di luar bangunan sepi sekali. Angin malam sesekali bertiup dingin.
Dari arah tembok Keraton sebelah Utara kelihatan sesosok tubuh berjalan cepat dalam
54
kegelapan malam. Orang ini ternyata menuju ke arah bangunan berbentuk panjang. Dia
mengenakan jubah ahu-abu yang bagian lehernya di lengkapi sebuah topi berbentuk kerudung.
Bentuk kerudung ini menyembunyikan hampir keseluruhan wajahnya hingga mukanya tidak
dapat dilihat dan sulit dikenall.
Di pintu depan bangunan dua orang pengawal segera mendatangi. Orang berjubah
mengeluarkan secarik kertas. Begitu melihat kertas tersebut dua pengawal tampak menjura
lalu memberi jalan bagi orang berkerudung untuk masuk ke dalam bangunan.
Orang ini langsung menuju tangga yang membawanya ke sebuah lorong batu pendek. Di
ujung lorong ada sebuah pintu besi dijaga oleh dua orang pengawal. Seperti tadi orang
berkerudung ini keluarkan kertas dan memperlihatkannya pada kedua pengawal. Namun kali
ini dia mendapat kesulitan.
“Kami mendapat pesan, kalau bukan Patih atau Panglima Kerajaan yang datang, kami
tidak boleh membuka pintu ini.” berkata salah seorang pengawal.
Orang berkerudung tampak kurang senang mendengar ucapan pengawal pintu penjara.
Tapi dengan sabar dia berkata, “Kau lihat sendiri. Surat itu dibubuhi Cap Kerajaan. Berarti
adalah perintah Prabu Singosari.”
“Kami memang melihatnya, namun kami tetap berpegang pada perintah yang telah
diberikan.”
“Berarti kalian berani menyanggah perintah Raja?” orang berkerudung menggertak.
Tapi dua pengawal itu tidak mempan digertak. Yang satu berkata, “Mana kami berani
membangkang perintah Raja. Asalkan Panglima atau Patih Kerajaan bisa hadir di sini, kami
tentu akan membuka pintu penjara.”
Pengawal yang satu lagi malah menyambung dengan berucap, “Harap dimaatkan. Siapa di
situ sebenarnya kamipun tidak mengenali. Mengapa menutupi wajah dengan kerudung?”
“Kalian berdua telah melihat Cap Kerajaan. Tapi masih berani menolak perintah. Kalian
berdua akan mendapat hukuman berat!”
Baru saja orang berkerudung berkata begitu tiba-tiba di ujung lorong terdengar suara
orang berkata.
“Aku datang membawa Surat Perintah dengan Cap Kerajaan yang asli! Kalian harus
membebaskan tahanan itu!”
55
Dua pengawal dan orang berkerudung sama-sama terkejut. Ketiganya berpaling ke arah
ujung lorong. Semuanya lebih terkejut lagi ketika mengenali siapa yang datang.
***
56
9
BEGITU orang yang barusan bicara sampai di depan pintu ketiga orang itu segera
membungkuk memberi penghormatan. Lalu salah seorang pengawal cepat bertanya.
“Raden Ayu Gayatri, Putri Prabu Singosari, ada keperluan apakah hingga menyempatkan
diri dan sudi datang ke tempat ini?”
“Saya datang membawa Surat Perintah dari Sang Prabu untuk membebaskan tawanan
bernama Wiro,” jawab orang yang barusan datang yang ternyata adalah puteri bungsu Raja
Singosari sendiri yaitu Gayatri. Gadis ini mengenakan pakaian ringkas sderhana seperti
pakaian berlatih menunggang kua. Dengan tangan kirinya dia menyodorkan sehelai kertas
yang dibubuhi Stempel Kerajaan. Surat itu berisi atas perintah Raja Singosari, tahanan
bernama Wiro harus segera dibebaskan.
Pengawal pintu yang membaca surat tersebut membungkuk dua kali lalu berkata. “Raden
Ayu, mohon dimaafkan. Kami tidak bisa membebaskan tahanan. Tadipun orang ini
menunjukkan surat yang sama…”
“Aneh!” kata Gayatri sambil memandang tajam pada orang berkerudung. Dia tidak
mengenali siapa adanya orang ini. “Coba tunjukkan surat yang kau bawa!”
Orang berkerudung menyerahkan surat yang dipegangnya. Gayatri memperhatikannya
sebentar lalu berkata. “Palsu! Surat ini palsu! Yang aku bawa adalah yang asli! Lepaskan
tahanan itu, cepat!”
“Maaf Raden Ayu, asli atau tidaknya surat itu kami tidak bisa memenuhi permintaan
Raden Ayu.. Kecuali jika Panglima atau Patih Kerajaan sendiri ada di sini. Mohon maaf dari
Raden Ayu….”
Mendengar ucapan si pengawal puteri Raja Singosari itu menjadi marah. “Lalu apa kau
menganggap aku ini lebih rendah dari Panglima atau Patih Kerajaan?!” Gayatri membentak.
Dua perajurit tampak pucat dan cepat-cepat membungkuk.
“Maafkan kami Raden Ayu. Kami hanya perajurit-perajurit rendah yang menjalankan
perintah….”
57
“Kalian perajurit-perajurit dungu!”
Dua perajurit tundukkan kepala tidak berani menatap wajah puteri raja itu. Gayatri
berpaling pada orang berkerudung di sebelahnya.
“Siapa kau? Mengapa mereyeinbunyikan rupa di balik kerudung?”
Pertanyaan si gadis membuat orang berkerudung menjadi gugup dan tidak segera
menjawab. Dalam hati dia berkata. Aku tak perlu takut. Maksudku dan maksudnya sama.
Maka orang inipun segera membuka mulut untuk mengatakan siapa dirinya. Tapi tiba-tiba saat
itu ada satu bayangan berkelebat. Tahu-tahu seorang nenek bungkuk telah berdiri di depan ke
empat orang itu. Bentuk tubuh dan tampangnya yang angker membuat semua orang ada di situ
jadi terkesiap dan kecut.
Si nenek bertubuh tinggi kurus. Kulitnya sangat hitam, tipis keriputan seolah hanya
tinggal kulit pembalut tulang. Kedua pipi dan rongga matanya cekung hingga jika memandang
kelihatan menggidikkan. Sepasang alis dan rambutnya yang jarang berwarna putih. Pada
kepalanya ada lima buah tusuk kundai perak berkilat. Rambutnya yang jarang tidak
memungkinkan tusuk kundai itu disisipkan. Dan nyatanya kelima tusuk kundai itu disisipkan
pada kulit kepalanya! Nenek seram ini mengenakan kebaya lusuh gombrong dan sehelai kain
panjang dekil sebatas betis. Mulutnya yang perot kelihatan menyeringai.
“Orang-orang tolol meributkan Surat dan Cap Kerajaan. Padahal aku yang datang
membawa Cap yang asli! Ini!” Si nenek berkata sambil acungkan tinjunya.
“Nenek, kau siapa?” tanya salah seorang pengawal pintu memberanikan diri.
Sementara itu orang berkerudung memperhatikan perempuan tua ini dengan mata tidak
berkesiap. Melihat kepada tusuk kundainya, tak salah lagi pasti dia. Tapi apakah keadaannya
benar-benar sudah setua ini? Ah, apakah dia masih mengenaliku?
Orang berkerudung ini sesaat membayangkan masa beberapa puluh tahun yang silam.
Namun bayangan itu menjadi buyar ketika si nenek membentak perajurit di hadapannya.
“Kacoak macammu tidak perlu bertanya siapa diriku!” Lalu nenek ini melangkah ke
depan, pintu besi. Sekali tangannya mengantam gembok besar dari besi yang ada di pintu
tanggal berantakan.
Dua perajurit sampai tersurut mundur saking kagetnya. Gayatri dan orang berkerudung
terperangah. Tidak dapat dipercaya tangan yang kurus kering seperti tangan jerangkong itu
58
mamp memukul hancur gembok besi begitu rupa.
Dewa Bathara, kata orang berkerudung dalam hati. Aku yakin kini memang dia. Hanya
dia yang punya kesaktian melakukan hal itu!
Dua pengawal pintu yang tiba-tiba sadar akan tugas dan kewajiban mereka segera
melompat ke hadapan si nenek sambil menghunus senjata.
“Nenek tua! Kau berani melakukan perusakan! Kami terpaksa menangkapmu!”
“Baik!” jawab si nenek. Lalu, dia tertawa mengekeh. “Tapi kau coba dulu Cap Kerajaan
ini!”
Dua tangan si nenek melesat ke depan.
Bukk!
Bukk!
Dua pengawal jatuh ke lantai tak sadarkan diri lagi. Di kening masing-masing kelihatan
benjut sebesar telor ayam!
Nenek angker itu kembali perdengarkan suara tertawa menggidikkan. Lalu sekali kakinya
bergerak pintu besi ruangan penjara jebol terpentang lebar.
Di dalam ruangan batu itu tampak sosok Pendekar 212 Wiro Sableng terbujur
menelentang di lantai dalam keadaan tidak bergerak karena masih di bawah pengaruh totokan
yang dibuat oleh Argajaya.
“Anak bandel! Ini akibat kau tidak menuruti petunjukku! Di suruh ke Barat malah
ngeluyur ke Timur!” si nenek terdengar mengumpat. Lalu enak saja kakinya menendang.
Bukk!
Tubuh Wiro terpental. Ternyata tendangan itu bukan tendangan sembarangan. Karena
begitu ditendang totokan yang menguasai Wiro serta-merta buyar terlepas!
Dapatkan dirinya bebas dari totokan, bisa bergerak dan bicara kembali, Wiro Sableng
segera menjura menghormat pada si nenek lalu berkata.
“Eyang, murid mohon maafmu karena tidak mengikuti petunjuk. Murid tersesat ke
Singosari karena maksud baik hendak berbakti memberi tahu adanya bahaya yang mengancam
Kerajaan. Tapi….”
“Itulah ketololanmu! Berbakti bukan pada orang-orang yang tidak tahu berterima kasih.
Aku tahu kau tidak mengharapkan imbalan atau menyimpan rasa pamrih. Tapi apakah bukan
59
sialan namanya kalau maksudmu menolong malah kau kini yang digolong? Lekas keluar dari
tempat celaka ini. Ikuti aku!”
Jadi pemuda itu ternyata adalah muridnya. Berarti benar guru dan murid ini berada di
Singosari. Orang berkerudung hendak maju mendekati tapi Gayatri lebih cepat mendatangi.
“Pemuda itu tidak boleh kemana-mana. Dia harus ikut bersama saya!”
Si nenek menatap wajah Gayatri sejurus lalu menyeringai. “Kau rupanya naksir pada
muridku. Sampai-sampai membuat Surat Perintah palsu. Dari mana kau dapat Cap Kerajaan
itu, gadis jelita?”
Paras Gayatri tampak kemerahan.
Di saat yang sama orang berkerudung berkata. “Pemuda itu tidak akan ikut satupun di
antara kalian. Aku yang akan membawanya keluar dari tempat ini. Anak muda, ayo ikut aku!”
Si nenek tertawa cekikikan.
“Muridku laris rupanya. Banyak orang yang menginginkan dirinya. Manusia-manusia
keblinger! Aku gurunya lebih berhak dari pada kalian! Menyingkir dari sini atau terpaksa
kalian kugebuk satu persatu!
Gayatri menjadi bimbang. Kalau nenek ini memang guru pemuda yang hendak
dilepaskannya berarti maksudnya untuk menolong sudah kesampaian walau orang lain yang
melakukan. Lain halnya dengan lelaki berjubah dan berkerudung. Dia melangkah cepat
mendekati Wiro seraya berkata. “Sekarang bukan saatnya kau harus mengikuti gurumu. Cepat
ikuti aku! Apa kalian tidak tahu kalau diri kalian dalam bahaya?!”
Si nenek cepat bergerak memotong jalan orang berkerudung. Sepasang mata mereka
saling bentrokan. Ada satu perasaan aneh yang membuat kedua orang ini jadi bergetar hati
masing-masing.
“Orang berkerudung siapa kau ini? Harap buka kerudungmu. Perlihatkan wajahmu agar
kukenali, “kata Wiro.
“Waktu kita singkat sekali. Sebentar lagi pengawal-pengawal pengganti akan datang.
Kalau sampai ada yang melihat apa yang terjadi di sini, kau bias menemui kesulitan lebih
besar. Mungkin sebelum matahari terbit kau sudah digantung!”
“Aku mau lihat siapa yang berani menggantung muridku!” kata si nenek. Lalu ujung jari
telunjuk tangan kanannya diluruskan dan didorongkan ke arah dada orang berkerudung.
60
“Menyingkir dari hadapanku!”
Orang berkerudung terkejut ketika merasakan bagaimana jari yang kurus kecil si nenek
laksana sepotong besi mendorong dadanya dengan kuat. Dia berusaha bertahan tapi dadanya
jadi mendenyut sakit dan perlahan-lahan tubuhnya terdorong. Dia akan segera terjengkang
kalau tidak cepat mengerahkan tenaga dalam ke bagian dada. Tenaga dalam yang
dikerahkannya berbentuk satu tenaga lembut tetapi yang punya kesanggupan menahan tekanan
berat.
Si nenek terkesiap ketika merasakan bagaimana daya dorongnya yang kuat seolah-olah
amblas masuk ke dalam permukaan selembut kapas. Matanya cepat menatap mata orang
berkerudung di depannya. Aku seperti pernah melihat mata ini. Tapi lupa di mana dan kapan.
Aku tak punya waktu untuk memikirkannya saat ini. Si nenek tarik pulang tangannya dan
berpaling pada muridnya. Namun sebelum dia sempat mengatakan sesuatu pada Wiro tiba-tiba
di dengarnya orang berkerudung di depannya berkata perlahan hingga hanya dia saja yang
mendengar.
“Sinto Weni, lekas tinggalkan tempat ini. Aku tunggu kau di sebuah pondok di Lembah
Bulan Sabit….” Habis berkata begitu orang berkerudung putar tubuhnya dan cepat sekali dia
sudah berada di ujung lorong lalu lenyap di balik tembok batu.
Nenek kurus jangkung tampak berubah wajahnya yang angker. Kedua matanya seperti
hendak melompat oleh rasa terkejut. Selama puluhan tahun hidup hanya beberapa orang saja
yang tahu nama aslinya itu. Dia dikenal dengan sebutan nenek angker Sinto Gendeng dari
Gunung Gede.
Orang berkerudung itu! Siapa dia?! Bagaimana dia bisa tahu nama asliku?! Hanya ada
satu jawaban. Dia pasti salah satu dari orang-orang yang kukenal di masa muda! Aku harus
mengejarnya! Aku harus mencari tahu siapa dia adanya!
Sinto Gendeng berpaling pada muridnya “Anak gendeng, lekas kau pergi dari sini. Aku
tidak melarang kau melakukan kebaikan dan kebajikan. Tapi jika itu hanya akan menyulitkan
dirimu, jangan harap aku bakal menolongmu lagi!”
“Eyang, saya… ” Wiro tidak teruskan ucapannya. Sang guru sudah berkelebat dan lenyap
dari , hadapannya. Wiro garuk-garuk kepala lalu berpaling pada gadis di sebelahnya.
“Saya tidak menduga kalau kau adalah puteri Raja Singosari.” Lalu Wiro membungkuk
61
memberi penghormatan.
“Saya tidak perlu segala macam peradatan seperti itu.”
“Kau telah menolongku….”
“Bukan saya, tapi gurumu sendiri.” Jawab Gayatri.
“Paling tidak kau telah berusaha melakukan sesuatu untuk mengeluarkan diri saya dari
sini. Saya sangat berterima kasih…”
Gayatri tersenyum. “Budi pertolonganmu tempo hari belum dapat saya balas, Wiro…”
“Ah, hal itu tidak perlu disebut-sebut,” jawab murid Sinto Gendeng.
“Dengar, kita tidak bisa berada lama-lama di tempat ini. Saya harus pergi. Sebelum
matahari terbit pergilah ke Lembah Bulan Sabit di sebelah Selatan Kotaraja. Di situ ada
sebuah pondok papan. Tunggu sampai saya datang.”
Wiro hendak menanyakan sesuatu. Tetapi Gayatri sudah membalikkan tubuh
meninggalkan tempat itu.
***
62
10
LEMBAH Bulan Sabit terletak di sebelah Selatan Tumapel, di satu daerah yang jarang di
datangi orang karena kawasan ini sering dipergunakan oleh Prabu Singosari dan para petinggi
Kerajaan untuk berburu. Malam itu udara dingin sekali dan kesunyian yang mencekam
sesekali ditandai oleh suara siuran angin.
Di lembah yang berbentuk bulan sabit itu terdapat sebuah pondok papan. Pondok ini
biasanya dipakal sebagal tempat beristirahat oleh orang-orang Keraton Singosari yang berburu
di kawasan itu.
Di dalam gelap dan dinginnya malam menjelang dini hari itu seseorang tampak berkelebat
cepat dari arah Timur. Inilah sosok di nenek Sinto Gendeng, guru Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 Wiro Sableng.
Aku tidak melihat bayangan orang berkerudung itu. Kalau dia menempuh jalan memintas
itu tidak mengherankan. Tapi bilamana dia mengambil jalan yang sama yang aku tempuh.
Sungguh luar biasa kepandaiannya. Sinto Gendeng membatin sambil berlari menuruni
lembah. Di satu bagian lembah, dikelilingi oleh beberapa pohon besar pondok papan itu
dengan mudah terlihat walaupun malam gelap.
Si nenek berlari cepat ke arah bangunan ini. Tinggal beberapa belas langkah lagi dari
pondok itu, Sinto Gendeng telah dapat melihat sosok tubuh orang berkerudung tegak di bagian
depan bangunan. Pondok ini ternyata sebuah bangunan yang diberi dinding papan pada bagian
kiri kanan dan belakang sedang bagian depan dibiarkan terbuka. Sebuah balai-balai kayu
terletak di bagian kiri.
Ah, ternyata dia sudah sampai duluan, kata Sinto Gendeng ketika dia melihat orang itu.
Nenek ini naik ke baglan depan pondok papan. Untuk beberapa saat kedua orang ini hanya
saling pandang dari jarak tiga langkah.
Kegelapan tidak memungkinkan bagi Sinto Gendeng untuk melihat jelas apalagi
mengenali orang itu. Maka diapun berkata.
“Kau tahu namaku. Siapa kau sebenarnya? Kau menyuruh aku datang ke sini. Apa
63
perlunya?
Wajah di balik kerudung tersenyum.
“Kau tidak mengenaliku?
“Kau menyembunyikan wajahmu di balik kerudung. Mana mungkin aku mengenali.
Tetapi suaramu… suaramu mengingatkan aku pada seseorang yang aku pernah kenal sekitar
empat puluh tahun yang silam…” Sinto Gendeng hentikan ucapannya. Tiba-tiba saja dia
merasakan jantungnya berdebar keras.
“Empat puluh tahun bukan waktu yang singkat,” kata orang berkerudung disertai tarikan
nafas dalam. “Tapi perubahan kulihat sangat menyolok pada dirimu.” masih tegak
membelakangi Sinto Gendeng perlahan-lahan orang itu membuka jubahnya. Di balik jubah itu
dia mengenakan pakaian putih.
“Kau seorang Pendeta Tantrayana…” kata Sinto Gendeng.
“Kau… Katakan siapa dirimu sebenarnya. Apakah kau bukannya…. Ah, mustahil. Orang
yang pernah kukenal itu sudah meninggal empat puluh tahun yang lalu.”
Orang berpakaian pendeta membuka kerudungnya dan mencampakkannya ke lantai
pondok. Perlahan-lahan dia memutar tubuh menghadap ke ar. si nenek. Kedua mata Sinto
Gendeng terbuka lebar Merasa masih belum jelas dia melangkah mendekati tiba-tiba
langkahnya tertahan. Malah kini dia surut sampai dua langkah. Dia melihat wajah itu kini
dengan jelas. Dia mengenali orang itu.
“Ananta… Jadi benar kau rupanya!” Nenek itu merasakan sekujur tubuhnya bergetar.
“Atau aku salah lihat?”
Karena terlalu asyik dalam percakapan ke dua orang itu tidak mengetahui kalau sesosok
bayangan berkelebat di dekat pondok papan lalu mendekam di tempat gelap. Orang ini bukan
lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng. Sesuai dengan pesan
Gayatri malam itu sekeluarnya dari penjara Wiro segera menuju pondok di Lembah Bulan
Sabit itu. Baik Wiro maupun Gayatri tidak mengetahui kalau sebelumnya orang berkerudung
telah membuat janji pula dengan Sinto Gendeng untuk bertemu di tempat itu. Walaupun
hatinya jadi tidak enak namun diam-diam Wiro mendengarkan percakapan ke dua orang itu.
“Tidak, kau tidak salah lihat Sinto. Yang berdiri di hadapanmu ini memang Ananta
Wirajaya. Sahabatmu empat puluh tahun lalu! Sahabat yang pernah mencintaimu dan yang
64
juga pernah kau cinta! Hanya sayang perjalanan nasib tidak dapat menyatukan kita sebagai…”
Wiro jadi melongo mendengar kata-kata orang yang bicara dengan gurunya itu. Dari
tempatnya bersembunyi Wiro mengenali orang berpakaian Pendeta bukan lain adalah Pendeta
Mayana, salah seorang dari tiga Maha Menteri yang menjadi pembantu utama Prabu
Singosari. Kemudian kembali terdengar suara sang pendeta.
“Ananta…” kata Sinto Gendeng dengan suara sengaja dikeraskan untuk menyembunyikan
getaran hatinya. Namun tetap saja suara itu terdengar bergetar. “Masa empat puluh tahun lalu
tidak mungkin akan kembali. Apa yang terjadi dulu tidak perlu diungkit apalagi disesalkan.
Dulu kita orang-orang muda yang keras hati, sombong, tidak mau mengalah, terlalu
menyanjung ilmu dan kesaktian. Apa vang akhirnya kita dapat? Kini kita hanya jadi orang-
orang tua yang tidak lebih dari sebatang kayu yang sudah dimakan rayap!”
“Sinto Weni, apakah kau menyembunyikan sesuatu di balik keadaan tubuh dan
wajahmu?”
Sinto Gendeng tersentak. “Apa maksudmu Ananta?”
“Aku setuju kata-katamu tadi. Kita adalah orang-orang tua yang sudah jadi kayu dimakan
rayap, sudah bau tanah karena hampir masuk liang kubur. Tapi aku merasa pasti tidak
seharusnya kau seperti ini. Wajahmu tidak mungkin seperti yang aku lihat. Juga keadaan
tubuhmu…”
“Apa yang kau lihat adalah kenyataan Ananta. Tidak ada yang tidak berubah di dunia ini.”
“Aku tidak yakin,” jawab Ananta Wirajaya alias Pendeta Mayana. “Boleh aku melihat
wajahmu yang asli, Sinto?”
“Eh, kau kira apakah saat ini kepalaku adalah kepala palsu? Terbuat dari kayu?!” Sinto
Gendeng coba bergurau.
“Kepalamu tidak palsu. Hanya saja kau…Maafkan kalau dugaanku salah. Kau
menyembunyikan seluruh kepala dan wajahmu di balik sebuah topeng. Mungkin juga kau
mengenakan topeng tipis yang menutupi sekujur tubuhmu…”
Sinto Gendeng tertawa panjang. Dia menatap ke mata Sang Pendeta yang bening itu.
Nenek sakti yang keras hati ini tidak sanggup menatap kedua mata Ananta Wirajaya.
Kekerasan hatinya seperti mencari oleh kenangan masa lalu. Dadanya berdebar. Perlahan
terdengar Sinto Gendeng berkata. ‘”Aku tidak bisa berdusta padamu. Memang aku menutupi
65
kepala, wajah dan tubuhku dengan sesuatu.”
“Ah…” Pendeta Mayana berdesah.
Di dalam kegelapan Wiro Sableng jadi terkesiap mendengar pembicaraan gurunya dengan
Pendeta Mayana itu. Jika dia tidak mendengar sendiri rasanya tak akan pernah dia percaya
kalau wajah yang bertahun-tahun dilihatnya itu ternyata adalah bukan wajah asli si nenek.
Lalu didengarnya suara Sinto Gendeng.
“Aku tidak mungkin memperlihatkan wajahku yang asli padamu, Ananta. Tidak pada
siapapun. Bahkan muridku yang hidup bersamaku lebih dari sepuluh tahun tidak pernah
mengetahuinya. Aku merasa lebih tenteram dengan wajah dan tubuh seperti ini…”
“Ketenteraman hidup tidak terletak pada wajah, Sinto,” kata Ananta Wirajaya yang di
Keraton Singosari dikenal sebagai Pendeta Mayana itu. “Tapi di sini,” sambungnya sambil
menekapkan telapak tangan kirinya ke dada.
Untuk beberapa lamanya Sinto Gendeng tidak bisa berkata apa-apa. Pendeta Mayana
maju mendekatinya hingga jubah pendetanya hampir menyentuh pakaian si nenek.
Berada sangat dekat begitu rupa membuat Sinto Gendeng merasakan darahnya mengalir
lebih cepat dan jantungnya berdetak lebih keras.
“Ananta, aku harus pergi sekarang. Aku merasa senang setelah sekian puluh tahun bisa
bertemu denganmu lagi.”
“Sinto…” kata Ananta Wirajaya. Suaranya tercekat seperti lidahnya menjadi kelu saat itu.
“Aku tidak tahu kapan bisa bertemu denganmu lagi. Mungkin tidak akan pernah lagi. Selama
perpisahan empat puluh tahun lalu aku tidak pernah melupakan berjumpa mengapa kau ingin
berlalu secepat ini. Apakah kau masih menanam rasa sakit hati terhadapku…?”
Sinto Gendeng menggeleng. “Tidak, tidak ada rasa sakit hati. Semua yang terjadi di masa
lalu biarlah berlalu.”
Ananta Wirajaya menarik nafas panjang.
“Kalau kau memang ingin pergi aku tak dapat mencegah. Aku pasrah.” kata Ananta
Wirajaya. “Cuma aku mohon untuk terakhir kali, izinkan aku melihat wajahmu. Sekejappun
sudah cukup menjadi obat bagi penderitaan dan pelepas rindu selama empat puluh tahun.
Mungkin perlu kau ketahui. Aku merubah jalan hidup, meninggalkan dunia persilatan dan
menjadi seorang Pendeta Tantrayana sejak aku menyadari kesalahanku, mengecewakanmu.”
66
Jadi dia telah menjadi Pendeta sejak empa puluh tahu silam, kata Sinto Gendeng dalam
hati.
“Aku meminta Sinto, Bolehkah…?”
Hati nenek sakti dari Gunung Gede itu seperti leleh. Perlahan-lahan kedua tangannya
diangkat ke bagian bawah lehernya. Jari-jarinya menarik satu lapisan sangat tipis yang selama
ini menutupi wajahnya. Ketika lapisan itu tersingkap kelihatan satu wajah berkulit halus putih.
Wajah itu memang sudah tua dan ada keriputnya tetapi bekas-bekas kecantikan masih
membayang sangat menonjol.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia berkata. Gila! Tidak pernah aku
menyangka dia menyembunyikan wajahnya yang asli. Ternyata meskipun tua tapi cantik. Di
waktu muda pasti wajahnya membuat setiap lelaki blingsatan melihatnya!
Pendeta Mayana yang aslinya bernama Ananta Wirajaya untuk beberapa lamanya
menatap wajah di depannya dengan pandangan mesra. Semua yang pernah dialaminya empat
puluh tahun silam bersama perempuan yang dikenalnya dengan nama Sinto Weni itu seolah
terbayang kembali. Perlahan-lahan dia mengangkat tangan kanannya. Jari-jari tangannya
membelai pipi Sinto Weni.
Diperlakukan mesra seperti itu Sinto Weni merasakan dirinya tergetar. Sesaat dia
tenggelam dalam rasa bahagia. Tapi nenek sakti ini cepat sadar diri. Dia mundur dua langkah
sambil cepat-cepat menutup kembali lapisan tipis ke wajahnya yang asli,
“Aku harus pergi Ananta. Maafkan aku…”
Walau sedih Ananta Wirajaya tampaknya pasrah. Dia menganggukkan kepala. “Kau tak
ingin meninggalkan pesan apa-apa?” tanyanya.
“Ya, memang ada pesanku,” jawab Sinto Gendeng. “Jaga dirimu baik-baik. Aku mendapat
firasat ada sesuatu peristiwa besar akan terjadi di Singosari…”
“Firasatmu sama dengan firasatku,” sahut Ananta Wirajaya. “Hanya saja sayang aku
dalam posisi yang lemah untuk memberi ingat Sang Prabu.”
“Suatu ketika kiranya kita bisa bertemu lagi, Ananta.”
“Memang itu yang jadi harapanku.”
“Tolong kau perhatikan muridku yang bernama Wiro Sableng itu…”
“Sableng? Mengapa kau berikan nama aneh itu pada muridmu?” tanya Ananta Wirajaya
67
heran. Sampai saat itu dia mengira pemuda yang muncul di Keraton Tumapel itu bernama
Wiro saja. Ternyata ada Sablengnya!”
Sinto Gendeng tersenyum. “Dia anak baik, polos. Dia memang suka bicara ceplas-ceplos.
Tapi hatinya putih dan jujur. Ilmunya memang tinggi, tapi lebih suka mengikuti kemauan hati
dari pada kehendak otak. Tolong kau lihat-lihat dia dan beri teguran jika tindak tanduknya
salah. Aku menduga dia sedang berkeliaran di Singosari ini. Entah apa yang dicarinya…”
Di tempatnya bersembunyi di kegelapan Pendekar 212 Wiro Sableng kembali garuk-
garuk kepala mendengar ucapan gurunya itu.
Setelah memegang lengan Ananta Wirajaya sesaat yang membuat sang pendeta merasa
seribu bahagia Sinto Gendeng berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Wiro menarik nafas lega.
Dia berpikir-pikir apakah akan terus mendekam di situ atau keluar saja. Sementara Gayatri
masih juga belum kelihatan. Bagaimana kalau gadis itu muncul selagi Pendeta Mayana masih
berada di tempat itu? Selagi dia berpikir-pikir begitu tahu-tahu sang pendeta sudah berdiri di
hadapannya.
Wiro jadi kaget. Sambil garuk-garuk kepala dia berdiri dan membungkuk memberi
hormat pada orang tua di hadapannya.
Pendeta Mayana tersenyum.
“Orang yang kau tunggu rupanya belum datang?”
Pertanyaan itu membuat Wiro terkejut besar.
Dari mana dia tahu? Pikir Wiro.
Pendeta Mayana tersenyum. “Hidup ini terkadang aneh. Kita manusia tidak bisa
menentukan karena semuanya berada di tangan Yang Kuasa. Kau telah mendengar sendiri
bagaimana jalan hidupku bersama gurumu. Namun sebagai manusia kita perlu mawas diri. Ini
membuat kita paling tidak bisa menjadi tabah menghadapi apa yang bakal terjadi…”
“Saya tidak mengerti maksud Pendeta,” kata Wiro pula.
Kembali orang tua itu tersenyum.
“Gadis itu mencintaimu Wiro….”
“Hah?!” Pendekar 212 terkesiap kaget. Wajahnya tentu saja menunjukkan rasa tidak
percaya. “Pendeta pastilah bergurau…” katanya.
“Aku tidak bergurau atau mengada-ada, anak muda. Pertolongan dan budi baikmu, sikap
68
jujur polosmu membuat dia merasakan satu perasaan yang selama ini tidak pernah
dirasakannya. Kehidupannya selama ini terkungkung dalam Keraton. Kau adalah satu-satunya
pemuda yang datang dalam kehidupannya pada saat dia membutuhkan seseorang.
Kemunculanmu juga membuat dia melihat sesuatu yang selama ini tidak dilihat atau
didapatkannya didalam Keraton….”
“Taruh kata apa yang Pendeta katakan itu betul, lalu apa yang akan saya lakukan? Apa
yang musti saya perbuat?”
“Kau mencintai gadis itu?”
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepala.
“Pendeta tahu siapa adanya Raden Ayu Gayatri. Saya tahu siapa saya. Saya tak lebih dari
seekor kodok di bawah tempurung atau pungguk merindukan bulan… Jurang pemisah
perbedaan antara kami sangat luas. Saya lebih banyak menaruh hormat padanya dari pada
memendam perasaan yang bukan-bukan.”
“Anak muda, tahukah kau bahwa cinta melenyapkan segala perbedaan? Bahwa cinta
menyingkirkan segala pembatasan…”
“Di mata pendeta Mayana mungkin begitu. Tapi di mata Sang Prabu pasti lain. Kita orang
Jawa selalu akan melihat kepada bibit, bebet dan bobot. Saya tahu siapa bibit saya, apa bebet
dan bobot saya”
“Bibit, bebet dan bobot. Memang tiga hal itu harus menjadi bahan pertimbangan. Namun
terkadang di balik pengagungan terhadap tiga hal itu, manusia sering kali khilaf sehingga
karena terlalu mengharapkan akhirnya mendapatkan sesuatu yang lain dari yang diinginkan
Katakanlah bahwa kau tidak punya bibit, bebet ataupun bobot. Namun dengan pribadimu apa
adanya saat ini ditambah dengan apa yang kau miliki sekarang ini kau mempunyai peluang
untuk mendapatkan satu kedudukan dalam Keraton. Mengapa kau tidak mengabdikan diri
pada Kerajaan? Dengan kepandaianmu kau bisa mendapatkan kedudukan tinggi dalam jajaran
pasukan Kerajaan atau pengawal Keraton. Aku menaruh keyakinan, kepandaian yang kau
miliki saat ini tidak berada di bawah apa yang dimiliki Panglima Pasukan Kerajaan yang
sekarang. Bukan maksudku merendahkannya.”
“Lalu apa yang harus saya lakukan Pendeta Mayana?” tanya Wiro yang jadi pusing
mendengar tutur cakap Pendeta Mayana yang begitu panjang lebar.
69
“Aku tidak bisa memberi tahu apa yang harus kau lakukan, apalagi kalau sampai
menyuruhmu. Kau kajilah sendiri. Jika kau mencintai Gayatri dan menginginkannya sebagai
pendamping hidupmu, pergunakan kemampuanmu sebagai batu loncatan. Bilamana kau sudah
menduduki satu jabatan penting dalam Istana, rasanya tak ada alasan bagi Sang Prabu untuk
tidak memikirkan kau sebagai menantunya…”
“Pendeta Maya, saya dilahirkan sebagai orang persilatan, hidup saya selama ini dalam
rimba persilatan. Istana atau Keraton bukan tempat saya ”
Orang tua itu tersenyum dan geleng-gelengkan kepala. “Orang banyak berlomba-lomba
bahkan mungkin saling sikut untuk bisa mendapatkan satu kedudukan rendah saja. Kau justru
mempunyai peluang. Mengapa kau sia-siakan anak muda? Apa akan kau tunggu setelah kau
tua renta seperti aku ini?”
“Saya sangat menghargai semua ucapan dan dorongan yang kau berikan Pendeta Mayana.
Hanya mungkin saya terlalu bodoh untuk mampu berpikir ke arah itu. Terus terang saya sudah
cukup bahagia bisa jadi sahabat Raden Ayu Gayatri ” kata murid Eyang Sinto Gendeng pula.
‘Pendeta Mayana memegang bahu Pendekar 212 lalu berkata. “Dia sudah datang. Aku
harus pergi. Tidak pantas orang tua ikut mendengar pembicaraan orang-orang muda….”
Di kejauhan terdengar suara derap kaki kuda.
Pendeta Mayana yang di masa mudanya dikenal dengan nama Ananta Wirajaya itu
mengambil jubah dan kerudungnya yang tercampak di lantai pondok lalu bergerak pergi.
“Pendeta, tunggu dulu!” seru Wiro.
Tapi sekali berkelebat orang tua berambut putih itu sudah lenyap. Wiro hanya bisa garuk-
garuk kepala. Wiro berpaling ketika derap kaki kuda terdengar muncul di samping kanannya.
Seorang pemuda berpakaian ringkas warna biru gelap dengan kepala ditutup sehelai sapu
tangan lebar muncul menunggang kuda dari arah kegelapan. Di bawah hidungnya ada sebaris
kumis tipis. Jika sebelumnya tidak pernah bertemu, Pendekar 212 tentu tidak akan mengenali
orang ini. Dia bukan lain adalah Gayatri, puteri Prabu Singosari yang dalam keadaan
menyamar.
Pendekar 212 cepat menyongsong kedatangan gadis itu.
“Kau sudah lama berada di sini?” tanya Gayatri.
Wiro mengangguk. Gadis itu turun dari kudanya lalu melangkah ke pondok dan duduk di
70
atas balai-balai kayu.
“Maafkan kalau sebelumnya saya bersikap tidak pantas. Saya tidak tahu kalau Raden Ayu
adalah puteri Raja Singosari.”
Gayatri tersenyum mendengar ucapan Pendekar 212 itu.
Ah, gadis ini cantik sekali. Ada apa dia meminta aku datang ketempat ini.
“Bagaimana samaran saya?” bertanya Gayatri.
“Sangat bagus. Sukar orang lain mengenali Raden Ayu.”
“Ah! Tidak usah memanggil saya dengan sebutan itu, Wiro,” kata Gayatri.
“Saya tidak berani berlaku lancang. Bagaimana pun Raden Ayu harus saya hormati.”
Gayatri hendak membantah. Tapi Wiro cepat berkata dengan mengalihkan pada hal lain.
“Walau menyamar seperti ini tetapi keselamatan Raden Ayu tetap saja terancam. Apa lagi
tanpa pengiring atau pengawal sama sekali.”
“Saya mengerti. Kabarnya mata-mata musuh bertebaran di mana-mana.”
“Kalau saya boleh bertanya, mengapa Raden Ayu meminta saya datang ke pondok ini?”
“Tidak ada satu orangpun percaya pada keteranganmu. Saya telah berusaha meyakini
Ayahanda akan bahaya yang akan mengancam Singosari. Tapi percuma. Bagaimanapun dia
adalah ayah saya. Bila Kerajaan terancam berarti keselamatannya juga terancam. Saya ingin
kau melakukan sesuatu untuk saya. Untuk Kerajaan…”
“Kemampuan apa yang saya miliki hingga Raden Ayu mempercayai?” tanya Wiro.
“Saya kagum akan kesaktian gurumu. Dia sanggup menghancurkan gembok besi dengan
tangan kbsong. Jika gurunya sehebat itu muridnya tentu tidak seberapa beda.”
“Raden Ayu keliwat memuji. Saya cuma orang gunung ”
“Gadis itu tertawa lebar. Kemudian tampak wajahnya bersungguh-sungguh. “Wiro, saya
ingin kau menyelidiki gerak-gerik Adikatwang. Saya yakin dia sumber malapetaka yang akan
menghancurkan Singosari.” Ketika diperhatikannya Wiro masih saja berdiri, Gayatri berkata.
“Duduklah di sini, di samping saya ”
Wiro duduk di sebelah si gadis. Duduk berdekatan seperti itu sang pendekar dapat
mencium harumnya bau tubuh dan pakaian sang dara.
“Maafkan saya Raden Ayu. Saya tidak mungkin mencampuri urusan Kerajaan. Singosari
mempunyal seorang Patih, seorang Panglima. Bukankah mereka lebih punya kewajiban dan
71
tanggung jawab untuk menjaga keamanan Kerajaan?”
“Mereka sudah jadi dungu karena terlalu patuh pada Ayahanda. Saya yakin sebenarnya
mereka pasti sadar akan bahaya yang mengancam.” Gayatri tampak gelisah. Murid Eyang
Sinto Gendeng serasa terbang ketika Gayatri memegang tangannya seraya berkata. “Wiro,
saya tidak punya kakak laki-1aki. Saya menganggapmu sebagai kakak sendiri. Bahkan lebih
dari kakak. Itu sebabnya saya mempercayaimu!..”
Dia menganggap aku sebagai kakak, lebih dari kakak. Mengapa dia tidak terus terang
mengatakan aku sebagai kekasih? Gila! Wiro memaki sendiri dalam hati. Masakan aku si
sableng ini punya kekasih puteri Keraton Singosari? Bercinta dengan Puteri Raja?! Sudah
gila aku ini agaknya!
“Wiro,” Gayatri masih memegang tangan pemuda itu. “Kau tadi bilang tidak mungkin
mencampuri urusan Kerajaan. Karena Singosari punya Patih, punya Panglima. Saya
tambahkan juga punya Raja. Saya mengerti. Salah-salah kau bisa dituduh lagi sebagai orang
jahat yang bersekutu dengan kelompok yang ingin menumbangkan Sang Prabu. Tapi
bagaimana kalau ada orang-orang dari dunia persilatan ikut campur membela orang-orang
jahat itu. Apakah itu tidak bisa dipakal alasan bagimu untuk turun tangan membantu
Singosari?”
Gadis ini benar-benar cerdik! “Raden Ayu, kau ternyata cerdik sekali. Alasan itu
mungkin mengena.”
Gayatri tersenyum manis sekali. Kini tangannya bergerak menggenggam jari-jari pemuda
itu. “Hidup harus cerdik Wiro. Sebelum orang lain mempergunakan kecerdikannya untuk
menindas kita.”
Wiro mengangguk. “Raden Ayu,” katanya. “Jika suatu ketika kelak keturunan Raja
Singosari mempunyai Ratu maka saya yakin kaulah orangnya.”
Gayatri tertawa berderai. “Jangan dulu ingat-ingat Singosari di masa tahunan mendatang.
Kita bicara saja dulu bahwa kau mau membantu. Demi Singosari dan juga demi saya…”
“Apa yang Raden Ayu ingin saya lakukan?”
“Selidiki gerak-gerik Adikatwang di Gelang-Gelang. Usahakan mendapatkan bukti-bukti
nyata dan saksi atas maksud jahatnya yaitu bersekongkol dengan Adipati Wira Seta dari
Sumenep. Jika itu sudah kau dapat, hubungi saya. Kita bersama-sama akan menghadap
72
Ayahanda. Masakan nanti Ayahanda tidak akan mau percaya?”
“Saya mengenal sifat orang seperti Sang Prabu. Sulit diubah. Apa lagi saat ini saya tak
lebih dari seorang buronan. Bagaimana Sang Prabu bisa percaya?”
“Lupakan dulu sifat Sang Prabu. Kau bersedia mengabulkan permintaan saya Wiro?”
Wiro diam sesaat. Terbayang wajah gurunya. Apakah Eyang Sinto Gendeng tidak akan
mendampratnya habis-habisan, mungkin menggebuknya sampai babak belur jika nenek sakti
itu nanti mengetahui dia telah melanggar larangannya untuk tidak ikut campur urusan
Kerajaan?
“Baiklah. Saya akan melakukan apa yang saya bisa.” Meluncur ucapan itu dari mulut
Pendekar 212.
“Saya mengucapkan terima kasih yang sangat dalam Wiro.” Nada suara Gayatri jelas
terharu. “Yang Kuasa akan menolong dan memberkatimu Saya harus pergi sekarang. Takut
kesiangan. Apakah kau masih menyimpan peniti emas yang saya berikan tempo hari?”
Wiro mengangguk. “Apakah Raden Ayu hendak memintanya kembali?” Wiro meraba
pinggangnya di mana dia menyimpan peniti emas itu baik-balk.
Gayatrl tertawa lebar lalu menggeleng. “Tentu saja tidak,” kata puteri bungsu Prabu
Singosari itu. “Saya hanya ingin kau menyimpannya baik-baik…”
“Saya selalu menjaganya baik-baik. Jangan Raden Ayu kawatir.” Lalu enak saja murid
Sinto Gendeng meneruskan ucapannya begini. “Kalau saya rindu pada Raden Ayu saya akan
mengeluarkan peniti emas itu, memandanginya, membelainya dan menciumnya.” Wiro
melirik. Dalam gelap dilihatnya wajah gadis di sampingnya bersemu merah tapi bibirnya
tersenyum. “Saya tidak punya apa-apa yang dapat saya berikan sebagai pengganti peniti emas
itu. Kalau Raden Ayu sudi menerima hanya ini yang bisa saya berikan. “Lalu Wiro membuka
kain putih pengikat kepalanya dan menyerahkan benda ini pada Gayatri.
“Ah… Terima kasih,” kata Gayatri seraya mengambil kain pengikat kepala itu lalu
mengikatkannya ke kepalanya sendiri.
Hati Pendekar 212 berbunga-bunga. Gadis baik, katanya dalam hati. Kain ikat kepala
jelek begitu mau saja dia menerima. Malah langsung diikatkan ke kepalanya.
“Saya senang memakal ikat kepala ini,” kata Gayatri pula. “Kalau tidur, kain ini akan saya
letakkan di samping bantal saya “
73
Ala Mak! Jangan-jangan betul kata Pendeta Mayana bahwa dia mencintaiku!
Gayatri berdiri tapi jari-jari tangannya masih memegang dan saling bersilang dengan jari-
jari tangan Wiro.
Wiro ikut berdiri. Keduanya tegak berhadap-hadapan dekat sekali. Wiro dapat merasakan
hembusan nafas dan keharuman tubuh puteri Raja itu.
“Saya pergi sekarang Wiro….”
“Terima kasih atas semua yang telah Raden Ayu lakukan untuk saya,” ujar Wiro.
Dilihatnya gadis itu mengangkat kepalanya dan tersenyum padanya. Kedua matanya yang
sebening kaca tampak bercahaya. Wiro menundukkan kepalanya mencium kening Gayatri?.
Mencium kedua matanya yang indah itu. Kedua pipinya. Ketika Pendekar 212 mengecup bibir
Gayatri terasa kehangatan menjalari seluruh tubuhnya. Lalu dirasakannya kedua tangan gadis
itu merangkul.erat-erat seperti tidak akan dilepaskan lagi. Wiro balas memeluk. Dada mereka
bersatu erat. Wiro dapat merasakan detak jantung Gayatri. Kemudian pelukan gadis itu lepas.
“Aneh…” bisik Wiro sambil membelai pipi Gayatri.
“Aneh? Apa yang aneh?” tanya si gadis.
“Aku bermesraan dengan seorang gadis cantik tapi mempunyai kumis ”
Gayatri memekik kecil. Tangan kanannya meraba kumis palsunya lalu tiba-tiba tangan itu
bergerak ke dada Wiro dan habislah dada pendekar ini dicubitinya hingga Wiro terlonjak-
lonjak kesakitan.
“Sudah…. sudah!” kata Wiro sambil menjauhi dadanya.
“Saya harus pergi sekarang,.,,” kata Gayatri kemudian.
“Saya tahu. Hati-hati….” berbisik Pendekar 212.
“Kau juga hati-hati….” kata si gadis seraya tersenyum. Dia mundur beberapa langkah lalu
membalikkan tubuh dan berjalan ke arah kudanya.
Namun langkah gadis ini tertahan.
***
74
11
SATU bentakan menggeledek dalam kegelapan malam.
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Kita bertemu kembali! Apakah kau sudah siap
untuk menyambung peristiwa di tepi Kali Brantas tempo hari?!”
Murid Eyang Sinto Gendeng terkejut besar. Dia mengenali suara itu dan juga mengenali
siapa adanya orangnya. Bukan lain Gandita, pemuda kepercayaan pembantu Adipati Wira Seta
dari Sumenep.
Hemm, rupanya kadal satu ini masih menyimpan dendam terhadapku. Bagaimana dia
tahu gelarku. Jangan-jangan dia memang telah melakukan penyelidikan dan merencanakan
balas dendam.
Pendekar 212 sama sekali tidak takut apapun alasan kemunculan Gandita. Sudah pasti
untuk membalaskan sakit hati dipermainkan dan dipermalukan dulu itu. Yang dikawatirkan
Wiro saat itu justru adalah keselamatan Raden Ayu Gayatri, puteri bungsu Sang Prabu
Singosari. Kalau Gandita tahu siapa sebenarnya pemuda berkumis itu, urusan bisa jadi celaka.
Tadi aku seperti melihat ada bayangan di sebelah sana. Apakah pengkhianat ini datang
bersama seorang lain? Berpikir sampai di situ Wiro cepat melangkah mendekati gadis yang
menyamar itu. Dengan suara perlahan dia berkata. “Lekas naik ke atas kuda. Tinggalkan
tempat ini segera.”
“Siapa orang itu?” Gayatri bukannya pergi malah ajukan pertanyaan.
“Nanti saja saya terangkan. Sekarang lekas pergi…!”
Melihat air muka Wiro dan mendengar nada suaranya Gayatri segera melangkah menuju
kudanya. Pada saat yang bersamaan Gandita melompat ke hadapan Wiro, tegak bertolak
pinggang dengan seringai buruk tersungging di mulutnya.
“Penghinaan yang kau lakukan dulu, hari ini harus kau bayar dengan bunganya, Pendekar
212!”
Wiro tertawa lebar.
“Sebagai orang persilatan kau rupanya tidak berpikiran cerdas. Otakmu perlu diasah.
75
Hatimu perlu dikikir. Rupanya pelajaranku tempo hari tidak cukup, tidak membuatmu kapok
dan tahu diri. Itu sebabnya kau mencariku. Datang untuk minta pelajaran atau hajaran
tambahan! Katakan saja apa maumu pendekar sombong. Apa kau tidak sadar kau telah salah
jalan sesat?!”
“Keparat bermulut besar! Biar hari ini aku Gandita merobek mulutmu!” teriak Gandita
marah sekali. Tangan kanannya berkelebat. Lima jari tangannya menyambar ke mulut Wiro.
Pendekar 212 terkejut dan juga heran ketika menyaksikan gerakan lawan yang sangat
cepat. Padahal dulu ketika pertama kali berhadapan meskipun kepandaiannya tidak rendah tapi
gerakan Gandita termasuk lamban.
Murid Sinto Gendeng tentu saja tidak tinggal diam. Dari gerak bahu lawan dia sudah
dapat membaca apa yang hendak dilakukan orang. Dia menggeser kaki ke kiri sambil
memiringkan kepala. Barsamaan dengan itu tinju kanannya dihantamkan ke arah muka lawan
dalam kecepatan luar biasa.
Gandita menyadari bahwa serangan Wiro akan mengenai kepalanya sebelum dia sempat
merobek mulut lawannya itu. Dengan cepat dia tarik pulang serangannya lalu melompat
mundur dua langkah. Dari tempat dia berdiri dengan kuda-kuda baru Gandita lepaskan satu
pukulan tangan kosong yang mengeluarkan angin keras. Selagi angin pukulan yang disertai
tenaga dalam cukup tinggi itu menyambar pemuda ini gerakkan tangan kanannya ke pinggang
lalu dia melompat ke arah lawan. Tahu-tahu tangan kanannya sudah mencekal sebilah golok.
Senjata ini dibabatkannya ke perut Pendekar 212. Wiro merasakan adanya sambaran angin
dingin keluar dari golok pertanda golok itu bukan senjata biasa.
“Ha…. ha! Kau ternyata bukan saja sombong dalam ketidakcerdasanmu, tapi juga berlaku
pengecut. Adat seorang persilatan tangan kosong dilawan tangan kosong. Ternyata kau
berlaku licik memakai golok!”
“Jangan banyak cakap! Kalau kau punya senjata silahkan keluarkan!” bentak Gandita
menantang.
“Untuk menghadapi anak masih bau air tetek macammu buat apa pakai senjata segala!
Cukup nanti aku menjewer telingamu dengan tangan kosong saja!” sahut Wiro sambil
menyeringai mengejek.
Tampang Gandita tampak merah diejek seperti itu. Kemarahannya menggelegak. Terlebih
76
ketika serangan goloknya tadi tidak berhasil mencapai sasaran karena dengan cepat lawan
melompat ke belakang. Dia menyergap kembali dengan geram. Goloknya menderu ganas.
“Ganditai Tunggu dulu!” Wiro tiba-tiba berseru.
“Bangsat! Apa maumu?!” bentak Gandita.
“Hai! Di tempat angker seperti ini jangan bermulut kotor. Salah-salah kau bisa dicekik
dedemit!”
“Lekas katakan apa maumu!”
“Aku mau bicara…” kata Wiro.
“Kau mencari dalih karena takut?!”
Wiro tertawa bergelak. “Sekalipun kau punya delapan tangan, delapan kaki dan empat
kepala aku tidak bakal takut! Aku hanya ingin agar kau sadar. Apa untungnya jadi
pengkhianat jadi pemberontak. Bukan mustahil kau hanya dijadikan alat oleh Adikatwang dan
Adipati Wira Seta. Jika tujuan mereka sudah tercapai mungkin saja kau nanti akan
ditendangnya!”
“Mulutmu keji, memfitnah dan menghasut!” tukas Gandita. “Aku mengenal mereka dari
kecil. Mereka tidak sejahat yang kau katakana!”
“Kalau mereka bukan orang jahat lalu mengapa menyusun rencana gila, berkomplot
hendak menumbangkan singgasana Prabu Singosari?!”
“Kau orang kampong! Mana tahu segala urusan orang-orang besar!” jawab Gandita
sombong.
Wiro ganda tertawa. “Walau aku orang kampung, jelek jelek begini aku tidak pernah
berkhianat pada Kerajaan. Tidak seperti kau jadi puntung pemberontak! Harap kau mau
berpikir sekali lagi. Belum terlambat untuk insyaf. Apalagi kalau kau bisa menyadarkan
Adikatwang dan Wira Seta.”
“Jadi hanya itu yang hendak kau katakan?!” tanya Gandita.
“Masih ada,” jawab Wiro. “Kau lebih suka berbuat dosa dad pada mencari pahala!”
“Eh, apa pula maksudmu?!” tanya Gandita agak heran.
“Memberontak adalah pekerjaan sesat dan dosa besar. Berbakti pada Kerajaan adalah
pahala besar…”
“Siapa sudi berbakti pada Prabu Singosari anak cucu pembunuh Raja Kediri! Kau saja
77
yang sana pergi mencari pahala!”
“Dengar dulu Gandita. Kau bisa berbuat pahala pada Kerajaan dan sebagal imbalan pasti
kau akan mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi…”
“Hemmm… rupanya kau cecunguk Keraton Singosari yang dibayar untuk membujukku!”
“Tidak ada yang membayarku. Aku juga tidak membujukmu. Aku ingin agar kau sadar!
Jangan pergunakan kepandaianmu yang secuil untuk pekerjaan gila jadi pemberontak!”
“Setan! Aku tidak gila! Semua yang aku lakukan sudah kupikirkan masak-masak.”
“Mungkin keliwat masak hingga jadi busuk!” kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak.
“Setan! Kalau tidak kucincang kau belum puas rasanya!”
Gandita gerakkan tangan kanannya. Goloknya kembali berkelebat. Serangannya kali ini
adalah kepala lawan. Wiro cepat rundukkan kepala sambil melompat mundur satu langkah.
Begitu golok menyambar lewat murid Eyang Sinto Gendeng ini mencoba menyergap ke depan
dan kirimkan satu jotosan ke perut Gandita. Namun tiba-tiba golok pendekar dari Gunung
Kelud itu menyambar ke bawah. Jika Wiro tidak lekas menarik pulang serangannya,
lengannya pasti dibabat putus!
“Hebat juga kampret sialan ini!” maki Wiro dalam hati. Tengkuknya terasa dingin. Ilmu
golok Gandita memang tidak bisa dibuat main-main. Serangan-serangannya selain ganas juga
bisa berubah atau susul menyusul secara tidak terduga.
Memasuki jurus ke delapan Gandita berada di atas angin. Serangan goloknya datang
bergulung-gulung, bukan cuma dari satu penjuru, tetapi seolah-olah bertebar dari berbagai
arah dan semua itu dalam gerakan yang luar biasa cepatnya.
Raden Ayu Gayatri yang tegak di dekat kudanya merasa cemas melihat Pendekar 212
mulai terdesak hebat. Hendak membantu dia tidak punya kepandaian apa-apa. Diam-diam dia
berusaha mencari akal bagaimana caranya agar dapat menolong Wiro, pemuda kepada siapa
dia menaruh rasa suka kalau belum mau dikatakan cinta.
Sebaliknya Wiro yang semakin mengawatirkan keselamatan si gadis berulang kali
memberikan isyarat agar Gayatri segera pergi dari tempat itu. Gandita bukannya tidak melihat
isyarat yang diberikan Wiro itu namun karena perhatiannya ditujukan pada Wiro dan ingin
membunuh lawannya itu secepat yang bisa dilakukannya maka dia tidak begitu
memperdulikan Gayatri.
78
Setelah terdesak hebat terus menerus, murid Eyang Sinto Gendeng kerahkan ilmu
meringankan tubuhnya, merubah gerakan-gerakan ilmu silatnya dan dia sengaja berkelebat
lebih cepat. Sampai dua jurus di muka Wiro sepertinya kini sanggup mengimbangi serangan
lawan dan mulai melancarkan serangan-serangan balasan. Namun dua jurus selanjutnya
didahului oleh satu bentakan keras Gandita robah total permainan goloknya dan kini Pendekar
212 kembali terdesak hebat. Dalam satu gebrakan keras menegangkan golok di tangan Gandita
berkiblat membuat silangan-silangan aneh.
Breettt…brettt…brettt!
Pakaian Wiro robek di tiga tempat di makan ujung golok Gandita!
Kalau Wiro sempat keluarkan seruan tertahan dan tengkuknya menjadi dingin, maka
Gayatri tak dapat lagi menahan kecemasannya gadis ini terpekik. Habis memekik baru dia
sadar dan cepat-cepat menekap mulutnya. Tapi suaranya sudah kepalang terdengar oleh
Gandita.
Pemuda dari Gunung Kelud itu melintangkan goloknya di depan dada dan memandang ke
arah Gayatri. Untuk beberapa saat lamanya dia memperhatikan dengan tajam lalu tampak
sering di mulutnya.
“Pemuda berkumis! Jadi kau seorang perempuan rupanya! Melihat potongan tubuh dan
raut mukamu pasti kau seorang gadis yang cantik jelita. Kau berdiri saja di sana. Jangan ke
mana-mana! Sehabis membereskan manusia satu ini kita bakal punya kesempatan untuk
berbincang-bincang! Bermesraan kalau perlu!”
Karena tidak dapat menahan marahnya mendengar ucapan Gandita, Gayatri membuka
mulut dan mendamprat dengan suara keras. “Pemberontak busuk! Hatimu bukan saja jahat tapi
mulutmu juga kotor!”
Gandita tertawa. Dia berpaling pada Wiro dan berkata. “Ha …ha…! Rupanya Pendekar
212 habis berbuat mesum dalam pondok itu dengan seorang gadis yang sengaja menyamar
sebagai laki-laki. Hebat! Menyuruh orang berbuat pahala dirinya sendiri melakukan dosanya!”
“Setan alas! Kau kira aku ini manusia cabul!” teriak Wiro marah. Dia menerjang ke
depan. Gandita menyongsong dengan goloknya. Kembali terjadi perkelahian seru. Dan
kembali pula dalam waktu dekat murid Eyang Sinto Gendeng itu terdesak oleh serangan golok
yang benar-benar luar biasa. Belum pernah Wiro melihat ilmu golok sehebat itu. Dia mulai
79
berpikir-pikir apakah akan mengeluarkan pukulan-pukulan sakti atau mulai menghadapi
lawannya dengan ilmu silat orang gila yang didapatnya dari Tua Gila di Pulau Andalas atau
segera saja mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Selagi dia menimbang-nimbang
begitu rupa, sekali lagi golok lawan berkelebat dan kali ini leher bajunya yang kena disambar
robek. Ujung golok bahkan sempat mengiris samping kiri lehernya hingga terluka dan
mengeluarkan darah. Paras Gayatri menjadi pucat. Wiro keluarkan keringat dingin.
“Wiro! Lakukan sesuatu! Keluarkan senjatamu!” teriak Gayatri.
Murid Eyang Sinto Gendeng kini sadar dia memang harus melakukan sesuatu. Mungkin
juga mengeluarkan senjata seperti yang diteriakkan Gayatri tadi. Maka dia segera gerakkan
tangan kanannya ke pinggang di mana terselip senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212.
Namun belum sempat dia mencabut senjata itu tiba-tiba dari dalam gelap terdengar suara
tertawa gelak-gelak. Suatukan suara tawa biasa. Tanah terasa bergetar dan telinga mengiang
sakit.
Itu suara tawa si gendut Kerbau Bunting! Ada apa dia muncul di tempat ini. Hendak
menolongku? Pikir Wiro. Gandita sendiri yang kembali hendak menyerbu sesaat jadi tertegun.
Dari arah kegelapan di sebelah kirinya kelihatan muncul satu kepala yang aneh. Astaga!
Ternyata kepala seekor keledai!
Tak mungkin binatang ini yang tadi tertawa! Membatin Gandita. Dia tak menunggu lama.
Sesaat kemudian sosok keledai itu semakin jelas. Lalu tampak seorang bertubuh gemuk luar
biasa yang menjadi penunggang keledai kurus kecil itu.
Gila! Bagaimana mungkin keledai kecil kerempeng itu sanggup ditunggangi manusia
yang beratnya lebih dari dua ratus kati! Gandita semakin heran. Lalu dia melihat ternyata si
gendut itu hanya menempelkan pantatnya saja di atas punggung keledai karena kedua kakinya
menjejak tanah seperti orang berjalan biasa! Gandita mulai menduga-duga siapa adanya
manusia gemuk ini.
Si penunggang keledai masih tertawa-tawa sampai keluar air mata dari sepasang matanya
yang sipit. Baju dan celana hitamnya jelas kesempitan. Dadanya yang gembrot dan perutnya
yang melendung kelihatan berguncang-guncang kalau dia tertawa. Orang ini memandang pada
Wiro, berpaling pada Gandita lalu menoleh pada Gayatri. Setelah itu dia kembali tertawa
gelak-gelak.
80
“Hai! Kenapa kalian berhenti berkelahi! Padahal aku datang ke sini untuk menonton!”
kata si gendut. Dia melirik pada Gayatri lalu tertawa mengekeh hingga dia terpaksa mengusut
air mata yang keluar dari kedua matanya.
Manusia aneh. Pikir Gayatri. Apakah dia teman atau musuh Wiro. Kalau dia kelak
membantu pemuda pemberontak itu Wiro bisa celaka. Aku juga! Walaupun hatinya cemas tapi
sampai saat itu dia tetap saja tegak di tempat itu.
“Gendut gila!” tiba-tiba Gandita berteriak. “Hentikan tawamu! Pergi dari sini! Jangan
mengganggu urusanku!”
Dibentak seperti itu si Gendut tampak terkesiap. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian
kembali terdengar suara tawanya menggelegar.
“Mana ada aturannya orang tidak boleh ketawa! Ha… ha… ha! Tempat ini bukan milik
nenek moyangmu mengapa berani menyuruh aku pergi! Siapa yang mengganggu urusanmu?!
Jangan coba membanyol. Nanti aku bisa ketawa sampai ngompol! Kalau aku ngompol apakah
kau mau mencebokkan?! Ha… ha… ha …!”
Gandita marah sekali mendengar kata-kata si gendut itu. “Gendut gila! Kalau kau tidak
berhenti tertawa, kusumpal mulutmu dengan golok ini!”
“Eh!” si gendut tampak terkejut. Matanya yang sipit dicobanya membuka lebar-lebar tapi
tetap saja sipit! “Astaga! Benaran kau hendak menyumpal mulutku dengan golok itu?! Jangan!
Kalau kau mau menyumpal jangan dengan golok. Tapi dengan pisang goreng atau ubi rebus!
Baru sedap!”
Pendekar 212 garuk-garuk kepala melihat tingkah si gendut yang dikenalnya sebagai
Dewa Ketawa dan yang dulu biasa dipanggilnya dengan sebutan Kerbau Bunting!
Kalau menurutkan kemarahannya mau rasanya Gandita menyerang si Gendut di atas
keledai dengan goloknya saat itu juga. Namun dia berlaku cerdik. Mengapa menambah musuh
baru sedangkan urusan dengan Wiro belum terselesaikan? Di samping itu Gandita merasa
bahwa si gendut ini tidak berada di pihaknya. Dugaan Gandita tidak salah karena saat itu
didengarnya si gendut. berkata pada Wiro.
“Sobatku Muda, aku gembira bisa ketemu kau lagi! Ha.., ha… ha …!”
“Dewa Ketawa, aku juga gembira!” sahut Wiro. “Cuma sayang aku sedang ada urusan
dengan pemuda pemberontak ini!”
81
“Ah, dia pemberontak rupanya! Ha… ha…ha…!” Dewa Ketawa lalu berpaling pada
Gandita.
“Masih bau kencur sudah berani memberontak. Hal anak muda! Kau minum dulu
kencingku! Kalau sudah mampu minum kencingku baru boleh memberontak! Ha… ha…
ha…!”
Rahang Gandita menggembung tanda amarahnya menggelegak. Tapi dia pandai membaca
keadaan. Apalagi tadi dia mendengar Wiro menyebut nama si gendut ini. Siapa tidak kenal
dengan orang sakti bergelar Dewa Ketawa? Otak cerdiknya bekerja. Lalu mulutnya berkata.
“Orang tua gemuk, kalau kau betul Dewa Ketawa, aku minta maaf tadi tidak berlaku
hormat terhadapmu. Ketahuilah kakakmu si Dewa Sedih sudah bergabung dengan kami untuk
menumbangkan kekuasaan tidak syah Prabu Singosari! Sebagai adik tentu tidak ada salahnya
kau juga ikut kami!”
Wiro terkejut mendengar ucapan Gandita itu. Sebaliknya Dewa Ketawa tenang-tenang
saja, malah dia kembali perdengarkan suara tawanya. Mula-mula perlahan lalu makin keras
dan makin keras! Tiba-tiba clep! Tawanya dihentikan. Dewa Ketawa membentak.
“Siapa sudi mengaku kakak pada manusia sesat bernama Dewa Sedih itu! Dan kau mau,
kasih hadiah apa kalau aku bersedia bergabung dengan kalian kaum pemberontak?!”
“Dewa Ketawa! Kau hendak…”
Orang tua bertubuh gemuk itu memandang pada Wiro sambil memalangkan jari
telunjuknya di depan mulut. “Diam, jangan bersuara. Biar monyet ini memberi tahu apa hadiah
untukku!”
“Dengar Dewa Ketawa, Raja yang baru pasti akan memberimu harta dan uang berlimpah.
Kau pasti akan diberikannya jabatan tinggi di Istana!”
Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata Gandita itu. “Bocah geblek! Aku
Tanya hadiah apa yang bisa kau berikan padaku. Bukan hadiah dari Raja. Lagi pula siapa Raja
barumu itu?!”
Wajah Gandita tampak menjadi merah.
“Dengar anak muda,” kata Dewa Ketawa pula.
“Jika kau mau mengorek jantungmu sendiri lalu memberikannya padaku, baru aku mau
bergabung dengan kalian!”
82
Jika diturutkannya hawa amarahnya mau rasanya Gandita menyerang orang tua gendut itu
dengan goloknya. Tapi lagi-lagi dia berlaku cerdik. Jika dia melibatkan Dewa Ketawa dalam
perkelahian, berarti dia akan menghadapi dua lawan sekaligus yaitu Wiro dan Dewa Ketawa.
Maka dia berusaha menekan amarahnya terhadap si gemuk itu dan kini segala kemarahannya
ditumpahkan pada Pendekar 212 dalam bentuk serangan ganas. Kedua pendekar muda itu
kembali berkelahi.
Dewa Ketawa tertawa mengekeh melihat perkelahian itu tapi lama-lama dia tampak
seperti jemu.
“Perkelahian membosankan! Buat apa ditonton! Lebih baik aku pergi saja! Ha… ha…
ha….!” Dewa Ketawa putar keledainya.
“Orang tua, kau mau ke mana?” tiba-tiba satu suara menegurnya.
Dewa Ketawa berpaling ke arah datangnya suara itu. Dilihatnya yang barusan bicara
adalah pemuda berkumis tipis berwajah klimis. Sesaat dipandanginya wajah dan tubuh orang
itu lalu meledaklah ketawanya.
“Biasanya lelaki yang suka jadi banci! Baru hari ini aku lihat ada gadis yang mau jadi
banci! Ha… ha… ha!” Dewa Ketawa lambaikan tangannya dan mengedipkan matanya yang
sipit pada Gayatri.
“Orang tua! Tunggu!” kembali Gayatri berseru. “Apa kau tidak mau menolong sahabatmu
Wiro?”
“Ah! Siapa sudi menolong orang tolol! Ilmunya segudang kepandaiannya selangit.
Mengapa tidak dipergunakan?! Dia bisa menghadapi cecunguk pemberontak itu seorang diri.
Dia tidak butuh pertolonganku!” Habis berkata begitu Dewa Ketawa mengekeh. Lalu kedua
kakinya bergerak mengiringi empat kaki keledai kurus pendek itu. Wiro hendak berseru
memanggil namun saat itu Gandita kembali menyerbu dengan goloknya sedang si kakek
gendut telah lenyap dalam kegelapan malam.
Pendekar 212 sambut serangan Gandita dengan jurus dan pukulan “Kilat menyambar
puncak gunung.” Pukulan ini berupa satu tabasan tepi telapak tangan yang dahsyat, yang
dipelajarinya dari Tua Gila, seorang sakti di Pulau Andalas beberapa tahun lalu.
Mendengar deru pukulan lawan serta ada hawa panas yang menyambar, mau tak mau
Gandita berpikir dua kali untuk meneruskan serangannya. Tangan kanan Wiro menyambar di
83
samping golok terus melesat ke arah pergelangan tangannya. Gandita terpaksa tarik pulang
serangannya sambil. Tapi begitu tubuhnya terlontar ke kanan tiba-tiba sekali dia membuat
gerakan aneh. Lalu tangan kirinya menyambar dan berhasil menjambak rambut Wiro Sableng
yang gondrong. Sekali dia menjentakkan tangan kirinya maka tubuh Pendekar 212 dan
terbanting jatuh punggung ke tanah. Wiro merasakan tulang punggungnya seolah remuk.
Sedang kepalanya yang tadi sempat dijambak lawan masih mendenyut sakit. Meski
pemandangannya sedikit berkunang dia masih sempat berpikir. Gerakan orang ini jauh lebih
cepat dari dulu. Agaknya dia telah menimba ilmu baru. Aku harus berhati-hati pada kampret
satu ini! Selagi Pendekar 212 berusaha bangkit berdiri, tiba-tiba dari depan Gandita sudah
menyerbu kembali dengan goloknya!
Murid Sinto Gendeng dari gunung Gede ini menggeram. Dengan cepat dia alirkan tenaga
dalamnya ke tangan kanan lalu memukulkannya ke arah lawan.
Wuttt!
Segulung angin menggempur ke depan mengeluarkan suara menderu seperti ombak
mengamuk di tepi pantai. Inilah pukulan sakti bernama “Segulung ombak menerpa karang.”
Gandita merasakan serangannya tertahan oleh satu tembok yang tidak kelihatan.
Tangannya yang memegang senjata bergoyang-goyang sedang sekujur tubuhnya bergetar.
Semakin dia mengerahkan tenaga luar dalam untuk menerjang tembok gaib itu semakin sulit
keadaannya karena kekuatannya seperti membalik menggempur dirinya sendiri.
Wiro maklum walau gerakan lawan kini jauh lebih cepat dan tadi sempat menghajarnya
namun dalam kekuatan tenaga dia jauh lebih unggul dari Gandita.
Wiro maklum walau gerakan lawan kini jauh lebih cepat dan tadi sempat menghajarnya
namun dalam kekuatan tenaga dia jauh lebih unggul dari Gandita.
Wiro cepat tambah kekuatan tenaga dalam ke telapak tangan kanan. Tiba-tiba dia
dorongkan telapak tangan itu dan sekaligus membalikkannya.
Di saat itu pula ketika merasa datangnya tekanan tenaga dalam lawan, Gandita kerahkan
seluruh tenaga dalamnya. Justru disinilah kesalahannya. Tenaga dalamnya terhimpit telak di
bawah tenaga dalam Wiro!
Begitu dua kekuatan tenaga dalam saling bentrokan, tubuh Gandita tampak terpuntir keras
seperti ditabrak angin punting beliung, lalu terpental sampai enam langkah. Golok di
84
tangannya terlepas jatuh.
“Jahanam!” maki Gandita dalam hati. “Bangsat ini harus segera kubunuh!” Murid orang
sakti dari Gunung Kelud ini cepat berdiri. Namun dadanya terasa sakit sekali. Gerakannya
yang sudah setengah berdiri jatuh kembali. Dia jatuh berlutut sambil pegangi dada. Marah dan
sangat penasaran membuat pemuda ini berusaha bangkit kembali.
Karena dipaksakan sedang tubuh di bagian dalam terluka parah dia jadi terbatuk-batuk
beberapa kali. Tiba-tiba ada darah segar menyembur keluar dari mulutnya!
Tadinya murid Eyang Sinto Gendeng kembali hendak menyerbu. Tapi begitu lawan
dilihatnya terluka dalam cukup parah dia hanya berdiri berkacak pinggang.
“Syukur-syukur kau sudah kapok! Kalau belum silahkan menyerang lagi!” ejek Wiro.
Gandita meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah.
“Manusia keparat! Kau jangan merasa cepat-cepat menang. Aku punya niat untuk
menghabisi nyawamu malam ini juga. Niat itu harus terlaksana! Lihat keris!”
Tangan kanan Gandita bergerak ke balik pinggang pakaiannya. Lalu kelihatan pancaran
sinar kuning bercampur putih dalam kegelapan. Memandang ke depan Wiro melihat Gandita
telah menggenggam sebilah keris besar di tangan kanan dan sarungnya di tangan kiri. Senjata
ini terbuat dari perak murni bercampur paduan emas. Gagang dan sarungnya berhlas beberapa
butir batu permata. Inilah keris Narasinga yang merupakan salah satu senjata pusaka Keraton
Kediri dan berasal dari sesepuh serta pendiri Kerajaan yaitu Sang Prabu Kameswara. Senjata
yang sudah berusia puluhan tahun ini tentu saja merupakan senjata sakti mandraguna. Dari
sinarnya saja Wiro sudah maklum kalau Keris itu bukan merupakan senjata sembarangan dan
dia harus berhati-hati.
Sebagai puteri raja tentu saja Gayatri mengenali senjata itu. Gadis ini tidak mengerti
mengapa senjata pusaka Keraton bisa berada di tangan seorang pemberontak seperti Gandita.
Saat itu Gandita sendiri sudah menyerbu seraya menusukkan keris Narasinga. Wiro cepat
berkelit. Ujung keris lewat hanya setengah jengkal dari keningnya. Matanya terasa perih oleh
sambaran angin keris sakti itu. Ketika lawan menyerbu kembali Pendekar 212 kerahkan ilmu
meringankan tubuhnya dan siapkan did dengan melipatgandakan tenaga dalam. Untung saja
saat itu Gandita mengalami luka dalam yang cukup parah hingga gerakannya menjadi lamban
dan kadang-kadang rasa sakit pada dadanya membuat serangannya seperti tertahan-tahan.
85
Kalau tidak akan sulitlah bagi Wiro untuk menghadapinya dengan mengandalkan pukulan-
pukulan tangan kosong walaupun mengandung tenaga dalam dan aji kesaktian.
Setelah menggempur terus-terusan tanpa hasil sedang dadanya sendiri terasa semakin
sakit Gandita mulai berpikir sebaiknya dia tinggalkan saja tempat itu.
Justru saat itu terdengar Gayatri berteriak. “Wiro! Keris itu senjata pusaka milik Kerajaan!
Tidak layak berada di tangan seorang pengkhianat? Usahakan untuk merampasnya!”
Gandita terkejut mendengar seruan Gayatri. Perempuan yang menyamar dua tahu senjata
di tanganku ini. Siapa dia sebenarnya. Jangan-jangan… Gandita tak sempat berpikir lebih
jauh karena saat itu Wiro tiba-tiba menyergap dengan satu jotosan tangan kirinya menyambar
berusaha merampas keris.
Gandita yang mulai mencium bahaya dan takut kalau-kalau Wiro sempat merampas keris
Narasinga yang selama ini dipercayakan padanya untuk di simpan meloncat mundur beberapa
langkah.
“Pendekar 212! Sayang aku masih ada keperluan lalu yang lebih penting. Kalau saat ini
aku pergi jangan kira kau sudah merasa menang. Aku akan datang kembali untuk membedol
nyawa anjingmu! Kau tunggu saja saat kematianmu!” Habis berkata begitu Gandita sarungkan
keris Narasinga dan menyimpannya kembali di balik pinggang pakaiannya.
Wiro menyeringai. “Yang aku kawatir yang muncul nanti bukan tubuh kasarmu
sungguhan, tapi setanmu atau roh halusmu! Luka dalam yang kau derita tidak bisa dianggap
enteng! Mungkin kau duluan yang menemul ajal dari pada aku!”
Gandita meludah ke tanah sekali lagi. Dia lalu berputar seperti hendak meninggalkan
tempat itu. Namun tiba-tiba sekali dia membalik. Tangan kanannya bergerak. Lima buah
benda hitam yang merupakan senjata rahasia berupa paku-paku kecil halus beracun melesat di
udara, menyambar ke arah Pendekar 212.
“Laknat keparatI” teriak Wiro marah. Tangan kanannya bergerak menghantam dengan
pukulan “benteng topan melanda samudera.” Segulung angin dahsyat menyambar membuat
semua senjata rahasia yang dilepaskan Gandita mencelat mental. Pukulan sakti itu selanjutnya
menerpa ke arah Gandita. Namun pemuda ini sudah lebih dahulu berkelebat ke balik sebatang
pohon besar lalu menghilang ditelan kegelapan malam.
Braakkk!
86
Batang pohon kayu berderak keras dilanda pukulan sakti yang dilepaskan Wiro.
“Wiro! Kau tak apa-apa?!” terdengar Gayatri berseru lalu gadis ini setengah berlari
menghampiri Pendekar 212.
“Saya tak kurang suatu apa. Terima kasih,” jawab Wiro. “Seharusnya Raden Ayu cepat-
cepat pergi tadi…”
“Mana mungkin saya pergi sewaktu dirimu terancam bahaya.”
Ah, dia mengawatirkan keselamatanku, Pikir Wiro. Lalu dia teringat pada Pendeta
Mayana yang mengatakan bahwa gadis itu mencintainya.
“Kalau saja saya mempunyai kepandaian hebat, sudah saya bunuh pemuda pemberontak
itu tadi,” kata Gayatri pula.
“Dia akan menerima hukumannya. Luka dalam yang dideritanya cukup parah. Kalau dia
tidak segera mendapatkan obat nyawanya tak akan tertolong.”
“Saya menyumpah biar dia menemui ajal!” kata Gayatri.
“Sekarang saatnya Raden Ayu meninggalkan tempat ini.”
“Ya, cuma… Saya ingin kau mengantarkan saya sampai di pinggir Timur Kotaraja.”
“Saya tidak membawa kuda,” ujar Wiro walau sebenarnya dia bisa mengikuti kuda gadis
itu dengan berlari.
“Apa susahnya menunggang kuda berduaan. Kalau kau suka,” jawab Gayatri.
Pendekar 212 merasakan dadanya berdebar. Sambil senyum dan garuk-garuk kepala
dipeganginya pinggang puteri Prabu Singosari itu dengan kedua tangannya lalu dinaikkannya
ke atas kuda. Wiro sendiri kemudian hendak duduk di belakang si gadis.
“Eh, kau seharusnya duduk di sebelah depan Wiro!” ujar Gayatri pula.
“Di sebelah manapun tak jadi soal!” sahut Wiro seraya melompat ke atas punggung kuda,
duduk di depan Gayatri. Lalu perlahan-lahan kuda bernama Grudo itu mulai bergerak. Setelah
lewat beberapa lama Gayatri berkata.
“Kuda ini seperti sakit pinggang. Mengapa tidak kau pacu agar kita lekas sampai?”
“Maafkan saya Raden Ayu. Seumur hidup baru sekali ini saya menunggang kuda dengan
seorang gadis yang sangat cantik, puteri Raja pula. Mana saya mau menyia-nyiakan
kesempatan?”
“Eh, kau mulai bicara melantur. Apa maksudmu?”
87
Wiro tertawa lebar. “Maksud saya, biar lebih lama sampainya ke Kotaraja. Berarti saya
bisa lebih lama berdua-dua seperti ini dengan Raden Ayu…!”
“Tidak saya sangka kau ternyata seorang pemuda ceriwis!” kata Gayatri pula. Lalu
cubitannya mendarat berulang-ulang di punggung Pendekar 212 hingga pemuda ini tersentak-
sentak antara geli dan kesakitan.
“Kalau Raden Ayu terus mencubit, saya akan memacu kuda ini ke jurusan lain. Saya akan
menculik dan menyekap Raden Ayu di satu tempat!”
“Iih! Jika kau lakukan itu, aku bukan cuma mencubitmu Wiro. Tapi akan menggigitmu!”
kata Gayatri pula. Lalu dia membuat gerakan seperti hendak menggigit bahu kanan Pendekar
212.
“Digigit mungkin sakit. Tapi terus terang saya ingin juga merasakan gigitan Raden Ayu,”
sahut Wiro.
Karena gertakannya tidak mempan Gayatri jadi kehabisan akal. Digelungkannya kedua
tangannya ke pinggang Wiro. Sambil memeluk jari jari tangannya menggelitiki pinggang
pemuda itu hingga Wiro terpekik-pekik kegelian dan terpaksa memacu kudanya lebih cepat.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar