Rabu, 01 Februari 2012

068. Singa Gurun Bromo

68. Singa Gurun Bromo
SATU
Warung nasi  Mbok Sinem  kecil.  Tapi  tamunya  selalu penuh dari  pagi  sampai
malam.  Lezat  makanannya  terkenal  sampai  ke  mana-mana.  Siang itu  banyak orang
bersantap di  sana.  Para  pengunjung begitu selesai  makan cepa-cepat  membayar  dan
pergi.  Mereka  seperti  mengawatirkan sesuatu.  Tapi  nyatanya  mereka  tidak pergi
begitu saja  melainkan tegak  di  bawah  pohon tak jauh dari  warung.  Orang-orang ini
sengaja  berdiri  di  sini,  memandang warung,  sepertinya  ada  sesuatu yang mereka
tunggu dan hendak mereka saksikan.
“Kalau Singa  Gurun Bromo  berani  muncul,  dia  tak bakal  lolos!”  berkata
seorang lelaki muda berbadan langsing. Setelah menyedot rokok kawungnya dalam-
dalam  dia  melanjutkan “Seharusnya  dia  tak  perlu datang ke  Kuto  Inggil  ini.  
Ah, mengapa dia berlaku setolol itu.”
“Bagaimanapun Kuto Inggil adalah kampung halamannya. Tempat dilahirkan.
Walau ayah dan ibunya sudah tak ada, tak ada sanak tak ada kadang, mana mungkin
dia melupakan Kuto Inggil!” menyahuti kawan lelaki muda tadi.   
Orang ketiga  ikut  bicara.  “Enam  tahun dia  menghilang.  Kalau dia  berani
muncul pasti dia sudah membekal ilmu yang lebih tinggi. Ingat kejadian enam tahun
lalu?  Waktu dia  melumpuhkan para  pengawal  kadipaten,  memberi  malu  Adipati
Dirgo Sampean?”
Orang pertama  rangkapkan kedua  lengannya  di  depan dada  lalu berkata.
“Singa Gurun boleh punya segudang ilmu. Tapi kau lihat berapa orang yang ada di
dalam dan di luar warung itu. Lalu siapa-siapa saja mereka? Dulu kalau dia memang
tidak bersalah seharusnya dia tak usah melarikan diri!”
“Kita  tidak tahu  apa  yang  sebenarnya  terjadi.  Belum  tentu  dia  kabur  karena
bersalah.  Bisa  saja  hanya  untuk  menghidari  malapetaka  yang lebih  besar.  Kau  tahu
sendiri  kedua  orang tuanya  menjadi  korban  dari  masalah yang  tidak  pernah
terjelaskan itu…..”
“Yah ….. Kita lihat saja. Apa yang bakal terjadi kelak.”
Saat itu di dalam warung nasi Mbok Sinem yang ramai, di antara para tamu
yang duduk menikmati  makan siang terdepat  enam  orang berpakaian petani.  Yang
dua  bertubuh tegap kekar  serta  memiliki  pandangan mata  liar.  Mereka  adalah dua
orang perwira  tinggi  kerajaan yang bersama  perajurit  manyamar  sebagai  petani.  Di
balik baju-baju gombrrong yang mereka kenakan, tersembunyi golok. Di luar warung
masih ada delapan perajurit lagi yang menyamar sebagai penduduk biasa. Lalu agak
jauh dari warung, dekat serumpun pohon bambu berdiri dua orang berusia sekitar lima
puluh tahun.  Sikat  mereka  tenang  tapi  pandangan mata  keduanya  tajam.  Mereka
adalah tokoh-tokoh silat  Istana.  Yang pertama  dikenal  degnan nama  Ki  Bumi
Wirasulo dan satunya Mangku Sanggreng.
Kedua  tokoh silat  ini  muncul  di  Kuto  Inggil  atas  permintaan   Adipati  Dirgo
Sampean setelah salah seorang dari mata-mata yang disebar melaporkan bahwa Panji
Argomanik, pemuda yang lebih dikenal dengan julukan Singa Gurun Bromo itu akan
muncul di Kuto Inggil setelah menghilang  selama enam tahun.
Saat  itu udara  panas  sekali.  Matahari  bersinar  terik.  Sudah sejak lama  hujan
tak pernah  turun.  Bumi  Tuhan  menjadi  gersang.  Kalau angin  bertiup  debu jalanan
beterbangan menyakitkan mata dan menyesakkan jalan nafas.
  2 WIRO SABLENG
“Lihat!  Singa  Gurun  datang!”  Seorang    berseru seraya  menunjuk  ke  ujung
jalan. Semua mata serta merta memandang ke arah yang ditunjuk.
“Dia benar-benar berani mati!”
Di tikungan jalan saat itu muncul seprang penunggang kuda coklat berpakaian
dan berikat kepala putih. Debu beterbangan di belakang kuda tunggangannya. Dalam
waktu singkat dia sudah berada di depan warung Mbok Sinem. Selesai meanmbatkan
kudanya  pada  sebuah tiang bambu sambil  bersiul-siul  dia  melangkah menuju pintu
warung.  Masuk ke  dalam  warung  dilihatnya  hanya  ada  satu bangku  yang masih
kosong, tepat di tengah ruangan.
Sesaat pemuda ini tegak mengusap-usap dagunya. Dalam hatinya dia berkata
“Aneh satu-satunya  bangku kosong berada  di  tengah ruangan.  Sepertinya  ada  yang
sengaja mengatur.”   
Setelah melirik  ke  kiri  dan ke  kanan pemuda  ini  lalu melangkah ke  arah
bangku kosong. Baru saja dia duduk di situ tiba-tiba beberapa orang di sekitar meja
berdiri dan terdengar suara-suara senjata dicabut dari sarungnya. Lalu menyusul suara
bentakan-bentakan.
“Singa Gurun Bromo! Jangan kau berani bergerak!”
“Berani melawan amblas nyawamu!”
Pemuda  yang barusan duduk di  bangku tentu saja  menjadi  kaget  dan
memandang berkeliling. Enam  orang  lelaki  tak  dikenal  mengurung  dengan golok di
tangan.  Yang  dua  dengan  gerakan kilat  menyergap ke  arahnya.  Satu menempelkan
ujung golok ke perut dan satunya lagi membelintangkan senjatanya di leher si pemuda.
Setelah sirap kagetnya, si pemuda tampak tenang, malah meyeringai. “Sobat!
Kalau kalian hendak merampokku, kalian salah mencari mangsa. Aku hanya seorang
manusia miskin! Apaku yang hendak kalian rampok?”
Enam  orang  yang mengurung  tampak  berubah kelam  tampang mereka  tanda
menahan amarah.  Yang  menghunuskan goloknya  ke  leher  si  pemuda  tekankan
senjatanya  hingga  kulit  leher  pemuda  itu teriris  luka.  Dia  berkata  dengan suara
bergetar. “Kami bukan perampok. Aku dan kawanku adalah perwira tinggi kerajaan.
Empat orang ini perajurit-perajurit kelas satu.”
“Eh, hebat! Lalu apa mau kalian? Hendak menyembelihku?! Aku bukan singa,
apalagi kambing!”
“Sebelum mampus memang tak ada salahnya kau bergurau dulu. Nanti kalau
sudah di liang kubur buronan Singa Gurun Bromo hanya bisa bergurau dengan setan-
setan kuburan!”
“Eh,  kau menyebut  aku buronan?  Kau  tadi  menyebut  namaku apa?  Singa
Gurun…..?
“Panji  Argomanik!  Jangan kau  berpura-pura!”  bentak orang  yang menodong
dengna ujung goloknya ke perut si pemuda.
“Nah,  nah!  Sekarang  kau  menyebut  aku  Panji  Argomanik!  Kalian ini  aneh-
aneh saja!  Sudah  pergi  sana!  Aku  ke  sini  mau  mengisi  perut  bukan  ikut-ikutan
sandiwara konyolmu ini!”
“Siapa  yang konyol  dan  siapa  yang main  sandiwara!”  bentak salah seorang
dari perwira tinggi itu. “Aku Kunto Areng. Perwira Kerajaan. Mengikuti amarah aku
bisa  mencincangmu saat  ini  juga.  Tapi  Sri  Baginda  dan Adipati    ingin  melihat  kau
mampus di tiang gantugnan!”
“Mencincangku? Memangnya aku daging perkedel?!” semprot si pemuda lalu
menyeringai lebar.
  3 WIRO SABLENG
“Setan alas!” maki Kunto Areng. Lalu dua jari tangan kirinya bergerak cepat
menusuk ke  arah dada  si  pemuda  untuk menotok.  Tapi  dengan cepat  si  pemuda  itu
angkat tangan kanannya. Sekali bergerak dia berhasil menangkap lengan Kunto Areng.
“Orang gila!”  desis  pemuda  itu.  “Siapapun kau  adanya,  aku muak melihat
tampangmu! Aku bukan Panji Argomanik, juga bukan singa Gurun Bromo! Pergi!” si
pemuda  tahan tangan  kanan Kunto  Areng  yang  memegang golok  dengan  tangan
kirinya  sedang tangan  kanannya  dengan  cepat  membuat  gerakan  aneh.  Tahu-tahu
tubuh perwira tinggi kerajaan itu terlempar ke atas. Dari mulut Kunto Areng keluar
suara jerit kesakitan. Sambungan siku dan sambungan tulang bahunya berderak.
Melihat kejadian ini, Jalak Toga, perwira tinggi yang satu lagi segera tusukkan
goloknya  ke  perut  si  pemuda.  Namun dia  kalah cepat.  Si  pemuda  sudah dapat
menerka apa yang bakal dilakukan orang itu. karenanya sebelum tusukan datang dia
sudah berkelit  ke  samping.  Dari  samping dia  hantam  tengkuk Jalak Toga  dengan
pukulan tangan kiri.  Rupanya  perwira  ini  juga  sudha  maklum  datangnya  serangan
balasan itu. dia membungkuk sambil membabatkan goloknya.
“Bretttt!”
Pinggang baju putih si  pemuda  robek  besar  disamber  golok  Jalak Toga  tapi
dirinya  sendiri  selamat.  Warung  nasi  itu serta  merta  menjadi  kacau balau.  Kunto
Areng yang masih dalam keadaan kesakitan, pindahkan goloknya ke tangan kiri. Dia
memberi isyarat pada empat perajurit di dekatnya. Kini pemuda berpakaian puih itu
dikeroyok habis-habisan. Enam golok berkelebat menghantam dari berbagai penjuru.
Si  pemuda  yang  meamang memiliki  kepandaian tinggi  dan  saat  itu  hanya
mengandalkan tangan kosong menangkis dan mengelak dengan cekatan. Satu kali dia
berhasil menjotos keras muka salah seorang Prajurit yang mengeroyok. Perajurit ini
terpental  dengan muka  yang  bersimbah darah  karena  hidung dan  mulutnya  pecah
dihantam tinju si pemuda.
Meskipun dikeroyok begitu rupa di mana serangan golok datang silih berganti,
namun si  pemuda  tampaknya  seperti  sengaja  mempermainkan para  penyerangnya.
Dia  berkelebat  kian kemari.  Kadang-kadang naik  ke  ujung bangku panjang dengan
gerakan keras  hingga  ujung  bangku  yang lain  mencuat  naik menjadi  perisainya.
Terkadang dia melompat ke atas meja yang masih dipenuhi makanan. Lalu enak saja
dia menendangi makanan-makanan itu hingga mencelat melumuri pakaian atau muka
para pengeroyok.
“Kawan-kawan!”  Kunto Areng berteriak marah setelah sebutir  telur  bercabe
menghantam  mata  kirinya  sehingga  dia  jadi  kalang kabut  kesakitan dan  keperihan.
“Aku perintahkan kalian untuk mencincang manusia  satu ini!”  Lalu dia  memberi
isyarat  pada  Jalak Toga.  Melihat  isyarat  ini  Jalak Toga  segera  robah permainan
goloknya,  mengikuti  gerakan-gerakan Kunto  Areng.  Memang kedua  orang  ini
memiliki  ilmu golok  hebat  yang khusus  dimainkan secara  berpasangan.  Serangan
mereka  datang laksana  curahan air  hujan,  membuat  si  pemudai  kini  tak berani  lagi
petantang petenteng dan harus bertindak hati-hati kalau tak mau tubuhnya terkuntung-
kuntung.  Selain  itu  masih ada  serangan tiga  perajurit  lainnya  yang  menambah
beratnya tekanan para pengeroyok.
Dua jurus berlalu cepat. Lalu dua jurus lagi. Kunto Areng dan Jala Toga mulai
saling melirik.  Keduanya  sama-sama  heran melihat  kenyataan bahwa  setelah
keluarkan ilmu  golok  andalan dan  masih dibantu oleh  tiga  perajurit  yang
berkepandaian tidak rendah,  ternyata  senjata-senjata  mereka  masih  belum  dapat
menyerntuh tubuh lawan, bahkan bajunyapun tidak!
“Kunto……” berkata jalak Toga. “Aku melihat satu keanehan! Ilmu silat yang
dimainkan pemuda ini bukan ilmu silat Singa Gurun. Jangan-jangan…….”
  4 WIRO SABLENG
“Mengapa musti ragu!” balas Kunto Areng. “Enam tahun menghilang bukan
mustahil  dia  telah mendapatkan  ilmu  baru!  Memang terus terang kita  belum  pernah
melihat jelas tampang pemuda ini di masa lalu! Tapi aku yakin kita tiak menghadapi
orang lain. Dia pasti Singa Gurun Bromo!”
Baru saja  kedua  orang  itu selesai  bicara  tiba-tiba  pemuda  yang  mereka
keroyok kembali  melompat  ke  atas  meja  makan panjang.  Di  sini  dia  tegak tolak
pinggang sambil cengar cengir. Lalu seperti seorang gila dia melenggak lenggok kian
kemari. Sesekali tubuhnya terhuyung seperti orang mabok hendak jatuh. Sesekali dia  
melompat  sambil  tertawa  mengekeh lalu  membuat  gerakan seperti  hendak  jatuh
duduk. Dengan gemas para pengeroyok menyerbu karena mereka menyangka tengah
diejek dan melihat si pemuda kini merupakan sasaran empuk. Tetapi para pengeroyok
terutama dua perwira tinggi itu diam-diam jadi terkejut ketika mereka dapatkan justru
dengan membuat gerakan-gerakan aneh itu si pemuda semakin sulit untuk dirobohkan.
Malah dalam  satu gebrakan hebat,  kaki  kiri  lawan berhasil  menghantam  kepala
seorang perajurit  hingga  tak ampun lagi  perajurit  ini  terpelanting,  terkapar  di  atas
salah satu meja,  tak  berkutik  lagi.  Rahang kirinya  remuk.  Dua  perajurit  lainnya
menjadi ciut nyalinya masing-masing sementara dua perwira tinggi walaupun tercekat
melihat kejadian itu tetap harus terus menggempur.
“Para  sahabat!  Biar  kami  bantu kalian  meringkus  tikus  comberan ini!”  Satu
suara terdengar dari luar warung. Sesaat kemudian dua bayangan berkelebat masuk.
Mereka ternyata adalah dua tokoh silat istana yaitu Mangku sanggreng dan Ki Bumi
Wirasulo.
  5 DUA
WIRO SABLENG
Sebenarnya  baik Kunto  Areng  maupun Jalak Toga  merasa  agak  malu  menerima
bantuan itu karena hal ini menunjukkan ketidak mampuan mereka merobohkan atau
meringkus  si  pemuda.  Namun  dari  pada  urusan  menjadi  kapiran di  mana  mereka
mungkin akan mendapat  malu lebih besar  maka  keduanya  diam  saja  dan menerima
bantuan kedua  tokoh  silat  itu.  Agar  tidak  terlalu malu  maka  Mangku Sangreng
sengaja  berkata  dengan suara  dikeraskan “Memang tugas  kita  semua  untuk
membekuk cacing tanah ini! Tapi aku ingin dia dicincang di tempat ini juga!”
Ki  Bumi  Wirasulo menyeringai.  “Sesuai  pesan,  dia  justu harus  ditangkap
hidup-hidup. Bukankah Sri Baginda dan Adipati Dirgo Sampean ingin menyaksikan
kematiannya d tiang gantungan?!”
“Perintah atasan,  apalagi  perintah  raja  memang harus  dijalankan.  Aku
mengikuti apa mau kalian berdua saja!” berkata Kunto Areng.
Dengan masuknya  dua  orang  tokoh berkepandaian tinggi  itu jalannya
perkelahian kini  menjadi  berat  sebelah.  Tapi  konyolnya,  pemdua  yang dikeroyok
tetap saja cengar cengir. Memang sampai dua jurus di muka si pemuda masih belum
tersentuh tangan atau senjata lawan. Namun sedikit demi sedikit keadaanya semakin
terjepit.  Di  satu sudut  warung dia  harus  bertahan mati-matian dengan hanya
mengandalkan sebuah kursi  kayu.  Dalam  waktu singkat  kursi  kayu ini  musnah
berantakan dibabat golok Kunto Areng dan Jalak Toga!
“Sialan!” maki si pemuda. Kedua tangannya segera diangkat.
Mangku Sanggreng dan  Ki  Bumi  Wirasulo segera  maklum  kalau lawan
hendak menghantam  dengan pukulan tangan kosong jarak jauh  yang mengandung
kesaktian dan tenaga dalam. Kedua tokoh silat ini saling memberikan isyarat. Tangan
mereka  tampak  bergerak  ke  pinggang.  Ketika  diangkat  ternyata  mereka  memegang
seutas tali halus berwarna putih. Si pemuda maklum kalau lawan hendak menjirat atau
mengikatnya. Maka dia segera lepaskan pukulan saktinya. Namun tiba-tiba ada asap
kelabu mengepul  menutupi  pemandangan.  Di  lain kejap dia  merasakan ada  sesuatu
yang menggelung  kedua  lengannya.  Ketika  asap kelabu  sirna,  si  pemuda  dapatkan
kedua tangannya telah terikat ketat oleh tali halus putih itu!  
“Celaka!”  keluh si  pemuda.  Dia  kerahkan tenaga  untuk meloloskan atau
memutuskan ikatan tali  halus.  Tapi  sia-sia  saja.  Selagi  dia  sibuk berusaha
membebaskan diri,  Mangku Sanggreng berkelebat  menotok punggungnya  dari
belakang. Tak ampun lagi pemuda itu menjadi kaku tegang tak bisa berkutik ataupun
bersuara!
“Gotong dia!  Lemparkan ke  dalam  gerobak!”  perintah Mangku Sanggreng.
Empat  orang  perajurit  segera  menggotong  pemuda  yang tertotok  itu  keluar  lalu
melemparkannya ke dalam sebuah gerobak yang telah menunggu  di halaman depan
warung. Orang-orang kerajaan dan dua tokoh silat Istana menyusul keluar. Sampai di
luar  Kunto  Areng mendekati  Ki  Bumi  Wirasulo.  “Sesuai  pesan begitu  tertangkap
Singa  Gurun  Bromo harus  segera  di  bawa  ke  Kotaraja.  Tapi  kalau kita  langsung
berangkat ke sana, rasanya menjelang pagi baru akan sampai. Bagaimana kalau kita
mampir  dulu di  kadipaten.  Selain melapor  bukankah Adipati  juga  ingin lebih dulu
menghajar pemuda keparat itu?”
Ki Bumi Wirasulo tak segera menjawab. Dia melirik pada Mangku Sanggreng
seolah minta  pendapat.  Mangku Sanggreng  kemudian berkata  “Tangkapan besar
sudah kita dapat. Rasa tegang kini jelas seudah berkurang. Di samping itu kita perlu
  6 WIRO SABLENG
sedikit  istirahat.  Bagaimana  kalau kita menuju ke  kadipaten saja  dulu.  Menginap di
sana  lalu pagi-pagi  sekali  melanjutkan perjalanan!”  Habis  berkata  begitu mangku
Sanggreng mendekatkan mukanya ke muka Ki Bumi Wirasulo dan berbisik.
“Aku sudah beberapa  bulan tidak melihat  tubuh telanjang Ni  Suri  Arni,
perempuan penghibur  di  kadipaten itu.  Kau  tentu akan mencari  kesempatan pula
menemui pacarmu si gemuk Larawati, bagaimana……?”
Ki  Bumi  Wirasulo  tersenyum. Lalu dia  berpaling  pada  dua  perwira  kerajaan
dan berkata.  “Aku  setuju kita  mampir  dan menginap di  kadipaten.  Besok pagi-pagi
sekali baru kita berangkat menuju Kotaraja.”
Tepat dengan turunnya malam rombongan yang membawa tawanan bernama
Panji  Argomanik  dan  berjuluk  Singa  Gurun  Bromo itu  memasuki  kawasan luar
Kadipaten Lumajang. Saat itu hujan yang sudah lama tidak turun tiba-tiba saja jatuh
rintik-rintik. Udara siang yang tadi panas membakar kulit kini berubah menjadi dingin.
Waktu rombongan  berada  di  kaki  sebuah bukit  kecil.  Di  balik  bukit  itulah  terletak
Lumajang yang menjadi tujuan.
“Percepat  jalan!  Aku  tak mau  basah kuyup  kehujanan!”  berteriak  Mangku
Sanggreng.
Setiap anggota  rombongan menggebrak kuda-kuda  masing-masing.  Sais
gerobak mencambuk dua  kuda  penarik gerobak agar  binatang-binatang itu
menghambur  lebih cepat.  Kunto  Areng yang  berkuda  di  sebelah depan tiba-tiba
berseru.
“Lihat! Ada nyala api di dalam hutan sana!”
“Rombongan berhenti!”  teriak  Mangku Sanggreng.  Lalu mereka  sama
memperhatikan ke arah hutan kecil di tepi kiri jalan.
“Aneh,” kata Ki Bumi Wirasulo.
“Ya,  memang aneh!”  menyahuti  Jalak Toga.  “Setahuku hutan ini  jarang
didatangi  orang.  Hari  gerimis  pula.  Siapa  yang menyalakan api  itu?  Kelihatannya
seperti api unggun.”
“Mungkin kelompok penjahat  pimpinan  Warok Keling!”  ikut  bicara  Kunto
Areng.
Saat  itu  tercium  bau daging  panggang yang  sedap dan harum  sekali.  Hal  ini
membuat  setiap anggota  rombongan seolah baru menyadari  bahwa  perut  mereka
memang minta diisi.
“Hemmmmm,  dugaanmu kurasa  betul,  Kunto.”  Kata  Ki  Bumi  Wirasulo.
“Gembong penjahat  itu justru sedang dicari-cari.  Tidak ada  salahnya  kita  saat  ini
berbuat  pahala  untuk kerajaan.  Kalau kita  berhasil  meangkapnya  Sri  Baginda  tentu
sangat berbesar hati. Bagaimana kalau kita menyelidiki?”
Mangku Sanggreng menengadahkan kepalanya  lalu menghirup udara  malam
yang gerimis itu dalam-dalam. “Aku setuju kita melakukan penyelidikan. Tapi hati-
hati.  Warok Keling memiliki    kepandaian tidak lebih rendah dari  Singa  Gurun
Bromo!”
Sebenarnya Kunto Areng merasa segan untuk ikut menyelidiki karena saat itu
keadaan bahu dan sambungan sikunya  masih terasa  sakit  akibat  pelintiran Singa
Gurun Bromo waktu terjadi perkelahian di warung siang tadi. Namun takut dianggap
pengecut Kunto terpaksa menyetujui maksud pawan-kawannya itu.
Dua  perwira  tinggi  dan dua  tokoh silat  Istana  berunding.  Kemudian mereka
turun dari kuda masing-masing mendekati nyala api dari jurusan yang berbeda. Dua
  7 WIRO SABLENG
orang perajurit diajak serta, enam lainnya termasuk dua yang cidera sengaja ditinggal
untuk menjaga gerobak berisi Singa Gurun Bromo.
Semakin dekat  ke  nyala  api  di  dalam  hutan,  semakin santar  dan harum  bau
daging panggang.  Tak lama  kemudian enam  orang itu sudah mengurung perapian.
Mereka melihat ada binatang  yang sudah dikuliti tengah dipanggang di atas nyala api.
Mungkin kelinci besar atau anak rusa. Tapi mereka tidak menemukan satu orangpun
di tempat itu. tak ada kuda, tak ada kantong-kantong perbekalan atau tikar untuk tidur.
“Aneh, daging itu sudah hampir hangus. Tapi tak ada siapapun di tempat ini!”
kata Ki Bumi Wirasulo.
“Mungkin orang yang memanggangnya sedang ke tempat lain…..” kata Jalak
Toga.
“Tak masuk akal,”  sahut  Mangku Sanggreng.  “Sama  sekali  tidak ada  tanda-
tanda orang berkemah di tempat ini!”
“Lalu bagaimana? Kita sembunyi menunggu sampai ada yang muncul? Kurasa
sabaiknya  kita  tinggalkan tempat  ini!”  berkata  Kunto Areng yang memang ingin
cepat-cepat pergi saja.
“Kita  tunggu sebentar.  Kalau memang  tidak ada  yang muncul  kita  akan
pergi!” jawab Mangku Sanggreng. “Tapi daging panggang itu tak ada salahnya kita
sikat dulu untuk mengganjal perut!” lalu dia mendekati nyala api. Dengan sepotong
ranting dia  mengorek  daging panggang lalu  menyantapnya.  Beberapa  orang lainnya
ikut mencicipi daging panggang itu. Hanya Kunto Areng dan dua orang perajurit yang
tidak ikut  makan.  Selesai  menghabiskan daging panggang orang-orang  itu  lalu
bersembunyi di balik pohon atau semak belukar.
Waktu berjalan.  Tunggu  punya  tunggu  tetap  tak ada  yang muncul.  Kunto
Areng berpaling pada Ki Bumi Wirasulo. “Bagaimana?” tanyanya.
Yang  ditanya  berpaling  pada  Mangku Sanggreng.  “Ya  sudah.  Kita  kembali
saja melanjutkan perjalanan ke Kadipaten.” Kata Mangku Sanggreng pula.
Orang-orang itu  segera  kembali  ke  tempat  mereka  meninggalkan kuda  dan
gerobak.  Begitu  sampai  di  tempat  semula  semuanya  menjadi  terkejut  dan berseru
tegang!
  8 TIGA
WIRO SABLENG
Enam orang perajurit yang mengawal gerobak kelihatan terbujur malang melintang
di  tanah.  Dua  di  antaranya  tersandar  ke  sebatang pohon dan  roda  gerobak.  Empat
sudah tak bernyawa lagi. Mereka sudah menjadi mayat dengan kepala hancur. Yang
dua  dalam  keadaan sekarat.  Kuda-kuda  tunggangan tak seekorpun di  tempat  itu.
hanya dua kuda penarik gerobak yang masih tetap di tempatnya. Memeriksa ke dalam
gerobak ternyata Singa Gurun Bromo tak ada lagi di situ!
“Kita tertipu!” teriak Jalak Toga dengan muka berubah pucat.
Ki  Bumi  Wirasulo,  Mangku Sanggreng dan  yang lain-lainnya  ikut  pucat
tampang mereka. Mereka sadar bahwa mereka telah tertipu.
“Celaka! Susah-susah kita menangkap manusia itu, tahu-tahu kini dia lenyap
begitu saja!” ujar Mangku Sanggreng.
Ki  Bumi  Wirasulo walaupun sangat  terpukul  dan tak mampu mengeluarkan
sepotong ucapanpun tapi otaknya coba berpikir bagaimana hal itu bisa terjadi. Singa
Gurun Bromo berada dalam keadaan tertotok. Jelas tak mungkin dia melarikan diri.
Pasti ada yang menolongnya. Lalu siapa si penolong itu? Orang yang menyalakan api
dan membakar daging hanya untuk sekedar menipu?
“Begitu mudahnya kita tertipu….!” Kunto Areng membuka mulut. “Kalau saja
kita  tidak menyelidiki  apa  yang ada  di  sini,  tidak akan pemuda  buronan itu bisa
melarikan diri. Pasti ada orang pandai yang telah menolongnya!”
“Jelas memang begitu. Tapi siapa orangnya?!” tanya Mangku Sanggreng pula.
Tak ada yang bisa memberikan jawaban.
“Gara-gara ingin tahu beginilah jadinya!” gerutu Jalak Toga. “Apa yang akan
kita  lakukan sekarang?  Meneruskan perjalanan  ke  Kadipaten  lalu  ke  Kotaraja.
Memberi  laporan bahwa  kita  kebobolan?  Kita  semua  pasti  akan didamprat  habis-
habisan.  Aku akan  kehilangan jabatan  sebagai  perwira.  Kalian  semua  bakal
mengalami hal yang sama! Kalau sudah begitu…..”
“Tutup mulutmu  Jalak!”  bentak  Ki  Bumi  Wirasulo tiba-tiba.  “Tak ada
gunanya memaki dan menggerutu panjang lebar. Semua salah kita…..”
“Siapa  tadi  yang  punya  usul  untuk  melakukan  penyelidikan?!”  memotong
Kunto Areng. “Dia yang bertanggung jawab!”
Semua  mata  lantas  ditujukan  pada  Ki  Bumi  Wirasulo.  Memang dialah tadi
yang mula-mula mengajak untuk menyelidik nyala api di dalam hutan itu.
Paras tokoh silat Istana itu jadi berubah mengelam. “Jadi kalian menuduh aku
yang salah dan harus  bertanggung  jawab?  Bangsat!  Aku memang mengajak  tapi
kalian semua ikut menyetujui! Jadi kalian juga harus ikut bertanggung jawab!”
“Sudah tak perlu kita  bertengkar  di  tempat  ini!”  Mangku Sanggreng
menengahi.  “Adipati  dan  Sri  Baginda  yang nanti  akan menjatuhkan putusan.  Kita
harus melanjutkan perjalanan. Aku dan Wirasulo akan mempergunakan dua ekor kuda
penarik gerobak itu agar bisa berangkat lebih dulu dan melapor dengan cepat! Kalian
agaknya terpaksa harus jalan kaki. Tapi kadipaten tak berapa jauh lagi…..”
“Kau memilih enakmu saja!” memotong Jalak Toga. “Kalau kami harus jalan
kaki semua harus jalan kaki!” Lalu dia cabut goloknya. Dengna senjata ini diputuskan
tali-tali  pengikat  dua  ekor  kuda  ke  gerobak.  Lalu  digebraknya  binatang-binatang  itu
hingga menghambur lari dalam kegelapan malam.
“Keparat  kau Jalak Toga!  Apa  maksudmu melakukan hal  itu?!”  bentak Ki
Bumi Wirasulo seraya melompat ke hadapan perwira tinggi itu. Jalak Toga sudah siap
 9 WIRO SABLENG
menyambuti sergapan orang dengan hantaman tinju kanan. Tapi Kunto Areng dengan
cepat menengahi.
“Kalian tolol  semua!  Mengapa  bertengkar  dan saling gebuk?  Kita  berangkat
sama-sama, sampai di tujuan harus sama-sama. Ayo semua jalan kaki!” lalu dengan
langkah terhuyung-huyung  karena  bahu  dan  sikunya  masih sakit  Kunto  Areng
melangkah lebih dulu.
Ki  Bumi  Wirasulo dan Mangku Sanggreng masih memandang melotot  pada
Jalak Toga.  Terdengar  Ki  Bumi  kemudian berkata  dengan suara  ketus.  “Kalian
perwira-perwira  kerajaan memang  sejak dulu  merasa  iri  melihat  Sri  Baginda  lebih
memperhatikan kami  tokoh-tokoh silat  Istana.  Itu semua  karena  ketololan kalian
sendiri yang mabuk pangkat…..”
Jalak Toga  menyeringai.  “Setelah kejadian ini,  kita  akan lihat  Ki  Bumi.
Apakah Sri  Baginda  akan tetap  memanjakan kalian tokoh-tokoh  silat  yang  kerjanya
lebih banyak petatang-peteteng menghabiskan uang kerajaan dan tahunya hanya bisa
main perempuan!”
“Kurang ajar kau Jalak! Jaga mulutmu!” teriak Mangku Sanggreng marah lalu
melompat ke hadapan Jalak Toga hendak menampar muka perwira tinggi Kerajaan itu.
Jalak Toga cepat cabut goloknya seraya mengancam. “Teruskan gerakanmu. Kutebas
putus tangan celakamu!”
Rahang Mangku Sanggreng menggembung.  Ki  Bumi  Wirasulo memegang
bahunya. “Sudah Mangku. Sabarlah sedikit hatimu. Masih ada waktu untuk memberi
pelajaran sopan santun pada cacing tanah ini!”
“Aku bersumpah untuk  menghajarmu  agar  kau bisa  bicara  lebih  tahu
peradatan!” kata Mangku Sanggreng pula.
Jalak Toga  menjawab dengan meludah ke  tanah lalu memutar  tubuh  dan
melangkah menyusul kawannya Kunto Areng.
“Aku ingin membunuh bangsat itu malam ini juga!” kata Mangku Sanggreng
begitu Jalak Toga berlalu.
“Sama,  aku juga!”  jawab Ki  Bumi  Wirasulo.  “Tapi  jangan sekarang.  Kita
harus mencari saat yang baik……”
Apa  sebenarnya  yang telah terjadi  sewaktu Ki  Bumi  Wirasulo dan anggota
rombongan lainnya memasuki hutan untuk menyelidiki nyala api?
Hanya beberapa saat setelah orang-orang itu melangkah pergi masuk ke dalam
rimba  belantara,  dari  balik sebuah pohon besar  di  tepi  jalan keluar  satu bayangan
putih.  Sosok ini  bergerak cepat  menuju gerobak di  mana  tergeletak pemuda  yang
dituduh sebagai  Panji  Argomanik  alias  Singa  Gurun Bromo.  Ketika  dia  hendak
melompat  ke  dalam  gerobak,  dua  orang perajurit  pengawal  sempat  melihatnya  dan
berteriak. Bersama dua orang kawannya perajurit ini segera melompat dengan golok
di  tanan.  Orang yang  hendak  melompati  gerobak itu  ternyata  seorang pemuda
berpakaian serba putih dengan ikat kepala merah. Rambutnya sepanjang bahu.
“Siapa kau?!” hardik salah seorang perajurit.
Baru saja  dia  membentak begitu,  kaki  kanan pemuda  itu tiba-tiba  melesat.
“Krak!”  perajurit  yang  barusan membentak terpental  dan roboh tanpa  nyawa  lagi.
Mukanya hancur dimakan tendangan!
  10 WIRO SABLENG
Tentu saja  tiga  kawannya  menjadi  marah.  Dua  lainnya  yang berada  dalam
keadaan cidera juga tidak tinggal diam. Mereka cabut golok masing-masing dan ikut
membantu kawannya mengeroyok si pemuda.
Sehabis membunuh perajurit yang pertama, pemuda tak dikenal itu melompat
ke  atas  kereta.  Lalu dari  atas  kereta  tendangan-tendangannya  berkelebat  menebar
maut. Tiga perajurit menemui kematian dilanda tendangan kakinya yang memang luar
biasa. Dua perajurit lainnya masih untung hanya cidera muntah darah, namun agaknya
nyawa mereka pun tak bakal lama. Bagian tubuh mereka di sebelah dalam ada yang
pecah.
Setelah menghajar  keenam  perajurit itu,  pemuda tadi  berbalik ke  arah Singa
Gurun Bromo yang tergeletak di  lantai  gerobak.  Dia  telah sempat  menyaksikan
kehebatan pemuda tak dikenal ini menghajar enam perajurit tadi.
Si  rambut  coklat  membungkuk.  Dia  memeriksa  tubuh Singa  Gurun  Bromo
dengan cepat  lalu membalikkannya.  Dengan  ujung-ujung jarinya  dia  kemudian
lepaskan totokan di punggung pemuda itu.
“Terima kasih! Kau siapa?!” tanya Singa Gurun Bromo seraya melompat.
“Nanti  saja  kujawab pertanyaanmu,”  jawab si  pemuda.  “Kita  tak ada  waktu
banyak. Harus lekas pergi dari sini sebelum orang-orang itu kembali!”
“Sesudah kau tolong begini aku justru ingin mencari keparat-keparat itu. Ingin
aku menggebuk mereka satu persatu. Enak saja aku diperlakukannya seperti ini!”
Pemuda penolong tersenyum. “Kau mau ikut aku atau tidak?”
“Tidak! Kecuali kau terangkan siapa dirimu!”
“Baiklah.  Aku Panji  Argomanik  orang yang  mereka  juluki  Singa  Gurun
Bromo!” kata pemuda itu pada akhirnya.
Si  gondrong yang satu jadi  melengak kaget,  garuk kepala  dan mendamprat.
“Sialan! Gara-gara kau aku jadi dibuat babak belur begini!”
“Aku sudah tahu apa ang terjadi dengan dirimu sejak awal. Itu sebabnya aku
menguntit perjalanan rombongan. Aku yang membuat nyala api di dalam hutan dan
memanggang seekor kelinci besar sebagai tipuan. Begitu mereka menyelidi masuk ke
dalam hutan aku segera keluar dari persembunyian!”
“Sialan! Lalu bagaimana orang-orang itu tidak bisa membedakan aku dengan
kau?!”
“Usia  kita  sebaya.  Potongan tubuh agak serupa.  Lagi  pula  orang-orang itu
tidak pernah mengenal  jelas  tampangku.  Apalagi  setelah enam  tahun aku
menghilang!”
“Sialan!” maki si rambut gondrong sambil menggaruk kepalanya kembali.
“Dari tadi  kau hanya memaki saja sobat. Coba katakan dulu siapa namamu!”
“Aku Wiro Sableng!”
“Namamu boleh juga.  Kuharap  kau tidak  sableng beneran!”  kata  Panji
Argomanik alias Singa Gurun Bromo yang asli.
“Kenapa kau menolongku?” tanya Wiro.
“Aku tidak tega.  Kau hanya  korban  ketololan  orang-orang itu.  Mereka
mencari  aku tapi  menyangka  kaulah Singa  Gurun Bromo itu.  Masakan aku sampai
hati membiarkan kau digantung tanpa salah dan dosa!”
“Ah, kau orang baik. Aku ikut denganmu!” kata Wiro
“Bagus.  Cepatlah.  Orang-orang itu agaknya  segera  akan kembali  ke  tempat
ini!”
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk kepalanya. Sambil menggeleng dia berkata.
“Gila! Bagaimana aku bisa mendapat pengalaman pahit sepertii ini. Kalau tidak kau
tolong pasti aku akan jadi mayat di tiang gantungan!”
  11 WIRO SABLENG
“Sudah jangan mengoceh juga. Mari!” Singa Gurun Bromo berrkelebat turun
dari  atas  gerobak.  Murid Sinto Gendeng bergerak mengikuti.  Di  satu tempat  Wiro
bertanya.
“Apa dosamu hingga ada Adipati bahkan Raja ingin menggantungmu?!”
“Kita cari tempat yang baik. Nanti kuceritakan semuanya padamu. Aku harus
menemui seseorang dulu di Kuto Inggil!”
“Orang tuamu?”
Singa Gurun Bromo menggeleng. “Mereka sudah meninggal.”
“Hemmmm…..  Kalau begitu  pasti  kau  menemui  seorang perempuan.
Kekasihmu! Betul?!”
Sambil berlari Panji Argomanik berpaling “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Mudah saja.  Jika  dalam  keadaan berbahaya  seorang pemuda  masih
memerlukan  menemui orang lain, pasti yang ditemuinya itu adalah kekasihnya!”
“Rupanya dalam soal perempuan otakmu cerdik juga!” kata Panji Argomanik
pula yang disambut gelak tawa oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Astaga!  Janagn kau tertawa  keras-keras.  Sekali  terdengar  oleh orang-orang
itu bisa berbahaya…..”
“Siapa  takutkkan mereka?  Terus  terang aku  penasaran hendak menjajal
kepandaian mereka.  Sialan!  Mereka  menipuku  dengan asap kelabu itu.  Tahu-tahu
kedua tanganku sudah terikat!”
“Dua  orang yang muncul  kemudian itulah dua  tokoh silat  Istana.  Ki  Bumi
Wirasulo dan Mangku sanggreng.  Mereka  selalu berkelahi  berpasangan.  Mereka
berasal dari satu guru. Kepandaian mereka sebetulnya tidak seberapa tinggi. Namun
mereka memiliki kecerdikan luar biasa dan senjata-senjata aneh. Di antaranya Benang
Dewa yang sempat membuatmu tak berdaya itu!”
Diam-diam  Wiro mengagumi  ilmu  lari  yang dimiliki  Singa  Gurun Bromo.
Namun jika  dia  mengerahkan  seluruh  kepandaiannya  pasti  Singa  Gurun  Bromo  itu
sanggup ditinggalkannya sampai sejauh seratus langkah di balakangnya. Tapi murid
Sinto Gendeng tidak ingin  membuat  pemuda  itu kecewa.  Lagi  pula  selain
menyukainya, Wiro juga ingin tahu mengapa dia sampai jadi buronan para penguasa.
Lalu karena  dia  yang menjadi  pimpinan  dalam  pelarian  itu  maka  Wiro biarkan
sahabat barunya itu berlari di sebelah depan.
  12 EMPAT
WIRO SABLENG
Dua  pemuda  yang baru saling kenal  itu  lari  ke  arah Barat  Kuto Inggil  di  mana
terletak sebuah kampung kecil bernama Telogosari.
“Hatiku tidak enak….”  Kata  Panji  Argomanik begitu mereka  memasuki
pinggiran kampung. “Lihat ada kepulan asap di sebelah sana…..?”
Wiro memandang ke arah yang ditunjuk Panji dan mengangguk. “Sepertinya
barusan saja ada kebakaran.” Kata murid Sinto Gendeng pula.
Panji Argomanik lari laksana terbang. Wiro mengikuti dari belakang. Mereka
masuk ke Telogosari lewat jalan kecil di sebelah Selatan. Beberapa buah rumah kayu
dalam  keadaan gelap gulita  mereka  lewati.  Di  ujung  jalan,  dekat  sebuah gubuk
kosong Panji  hentikan larinya.  Tangannya  berpegang pada  tiang bambu.  Mukanya
yang merah karena berlari tampak berubah pucat.
“Ya Tuhan…..” Pemuda ini mengucap.
Murid Sinto Gendeng tak  perlu bertanya.  Dia  memperhatikan ke  arah yang
dipandang Panji. Di ujung jalan sebuah rumah kayu baru saja musnah dimakan api.
“Rumah kekasihmu….?”
Panji tak menjawab. Dia lari sambil berteriak. “Larasati…..!”
Panji  Argomanik  tegak  dengan tubuh  gemetar  di  depan puing-puing  rumah
yang terbakar. Dia berteriak lagi. Tak ada yang menjawab. Sebuah palang kayu yang
dimakan api berderak patah lalu jatuh. Panji hendak melompat ke dalam rumah yang
masih dikobari api itu. Wiro cepat memegang tangannya.
“Jangan lakukan. Semua sudah musnah!”
“Aku kawatir Larasati ikut terbakar…..” kata Panji dan jatuh berlutut.
Wiro memandang  berkeliling.  “Aneh,”  katanya  dalam  hati.  “Rumah satu  ini
terbakar.  Tapi  penduduknya  yang  diam  di  sekitar  sini  tak  ada  satupun yang  keluar
untuk memberikan  pertolongan  ataupun sekedar melihat. Ini  bukan kebiasaan orang
kampung!” Wiro lalu katakan rasa herannya itu pada Panji Argomanik.
“Aku yakin ini  bukan kebakaran biasa!”  kata  pemuda  berambut  coklat  itu.
“Rumah ini  sengaja  dibakar!  Jika  penduduk  tak ada  yang berani  keluar  untuk
menolong, pasti ada yang mereka takutkan!”
“Siapa menurutmu yang punya pekerjaan biadab ini Panji?”
“Tak dapat  dipastikan.  Tapi  pangkal  dari  segala  malapetaka  ini  hanya
disebabkan oleh satu orang!”
“Siapa?”
“Adipati Lumajang. Dirgo Sampean!”
“Kalau begitu kita bisa menyelidik ke Kadipaten.”
Panji  mengangguk.  “Aku memang  sudah bersumpah untuk mematahkan
batang leher adipati keparat itu dengan tanganku sendiri. Dia yang membuatku harus
kabur dari Kuto Inggil. Juga dia penyebab kematian kedua orang tuaku. Pasti dia juga
yang menyuruh bakar  rumah ini.  Larasati…..  Di  mana  kau Larasati…..?  Keparat!
Jangan-jangan dia telah membakar kekasihku bersama rumah ini!” Panji Argomanik
melompat berdiri. Rahangnya menggembung. “Aku harus memastikan dulu!” katanya.
Lalu dia  mengelilingi  ruamh  yang kobaran apinya  mulai  mengecil.  Tiba-tiba
terdengar teriakan Panji Argomanik. Wiro cepat mendatangi.
“Ada apa……?”
“Lihat di balik gedek yan masih terbakar itu…..”
  13 WIRO SABLENG
Wiro merasakan tengkuknya merinding. Di balik dinding kajang yang hampir
musnah menyembul sepasang kaki yang belum sempat dimakan api. Di atas kaki ada
sepotong hangusan kain panjang yang menyatakan si  pemilik kaki  adalah seorang
perempuan.
“Mereka  membakar  Larasati!  Mereka  membunuh kekasihku!”  teriak Panji
Argomanik seperti  gila.  Dia  hendak  melompat  ke  dalam  reruntuhan rumah yang
terbakar. Lagi-lagi Wiro mencegahnya dengan memegang tangan pemdua itu erat-erat.
“Kita bisa mengambil tubuh yang terbakar itu Panji. Tapi tidak perlu dengan
menyabung nyawa melompat masuk ke dalam api!” Wiro lalu ambil sebatang bambu
yang tersandar  dekat  sumur.  Pada  ujung  bambu ini  dikaitkannya  seutas  kawat  yang
dibentuk berupa  lingkaran.  Lalu dengan  galah berkawat  itu  dia  coba  menjirat  salah
satu kaki  yang  terjulur  di  bawah dinding  kajang.  Bukan  pekerjaan mudah,  apalagi
nyala  api  yang  menyengat  panas.  Dengan tubuh  dan pakaian  kuyup oleh keringat
Wiro berhasil memasukkan lingkaran kawat ke salah satu kaki di bawah kajang. Lalu
dengan tengkuk masih merinding,  disaksikan dengan tegang oleh Panji  Argomanik,
murid Eyang Sinto Gendeng ini mulai menarik kaki itu dengan hati-hati dan perlahan-
lahan.
Sedikit demi sedikit sosok tubuh yang berada di bawah kajang tertarik keluar.
Mula-mula  kelihatan  sepasang betis  yang sudah hangus  hitam.  Lalu…..  Wiro
mengerenyit.  Panji  pejamkan kedua  matanya.  Bagian tubuh di  atas  betis  sampai  ke
pinggang bahkan sampai  ke  dada  hanya  tinggal  tulang belulang  gosong yang tak
dapat dikenali lagi.
“Demi  Tuhan…..  Teruskan  Wiro.  Tarik  lagi.  Aku ingin  memastikan.  Aku
ingin melihat bagian kepalanya…..” kata Panji Argomanik dengan suara gemeteran.
Dengan hati-hati Wiro kembali menarik galah bambu itu. Bagian dagu sosok
yang terbakar  mulai  kelihatan.  Tapi  celakanya  saat  itu  des!  Lingkaran  kawat  yang
dipakai untuk mengait pergelangan kaki putus tak tahan panas. Wiro terduduk. Panji
Argomanik mengusap mukanya berulang kali.
“Wiro lakukan sesuatu!  Aku harus  melihat  wajah orang itu!”  teriak Panji
seperti mau gila.
“Kalau sebagian tubuhnya  sudah gsong,  apa  kau masih bisa  mengenali
tengkorak kepalanya yang mungkin sudah jadi debu?!”
“Tidak!  Jangan ucapkan itu! Lakukan sesuatu!  Demi  Tuhan  lakukan sesuatu
atau aku akan melompat ke dalam api itu!” teriak panji Argomanik lagi.
Wiro berdiri.  Perlahan-lahan dijangkaunya  galah bambu tadi  lalu berdiri,
melangkah dan mencoba  mendekati  runtuhan rumah yang masih terbakar.  Dengan
ujung bambu dicobanya  mendorong  dan membalikkan sisa-sisa  dinding kajang.
Sekali, dua kali dan sampai tiga kali tidak berhasil. Wiro maju lagi beberapa langkah.
Panasnya api bukan alang kepalang. Wiro coba bertahan dengan segala kekuatan yang
ada dia coba lagi membalikkan dinding kajang itu. Kali ini berhasil. Dinding kajang
yang terbakar  terbalik ke  kiri  membuat  nyala  api  serta  debu hitam  menggebubu  ke
atas.  Di  tanah,  di  antara  puing-puing  hitam  reruntuhan yang  terbakar  tampak satu
kepala  yang sudah hitam  dan  tak  dapat  dikenali  lagi.  Di  atas  kepala  masih tersisa
sebagian rambut yang berwarna keputih-putihan.
“Ya Tuhan….. Ya Tuhan…..!” Nafas Panji Argomanik memburu dan dadanya
turun naik. “Bukan dia Wiro. Bukan Larasati. Mayat ini berambut putih….. aku yakin
itu mayat Bibi kanoman yang selama ini memelihara  Larasati….”
Wiro menarik  nafas  lega.  Kalau  itu  mayat  orang  lain,  lalu di  mana  kekasih
sahabat barunya itu? Wiro tak berani mengucapkan hal itu.
“Kalau penjahat yang melakukan hal  ini pasti Larasati diculik….”
  14 WIRO SABLENG
“Mungkin kekasihmu tidak ada di rumah ketika rumah ini dibakar. Berarti dia
dalam keadaan selamat.”
“Tak dapat  kupastikan Wiro….  Aku harus  menyelidikinya.  Aku harus
mendatangi gedung Adipati Dirgo Sampean! Biadab!”
Wiro memandang berkeliling.  “Aku yakin ada  satu atau dua  tetangga  di
sekitar  sini  yang  mengetahui  apa  yang telah terjadi.  Aku  akan gedor  dan  tanyai
mereka!”
Pendekar 212 mendatangi sebuah rumah terdekat lalu mengetuk pintu rumah
itu dengan keras.  Digedor  berulang kali  tak ada  yang menjawab apalagi  muncul
membuka pintu.
“Sialan!”  Wiro memaki.  Dia  tendang pintu itu sampai  jebol  lalu pindah ke
rumah di  sebelahnya.  Setelah menggedor  berulang kali  akhirnya  terdengar  langkah
kaki di sebelah dalam. Lalu muncul seorang lelaki separuh baya dengan muka pucat
ketakutan.
“Kami….  Kami  tidak punya  apa-apa.  Kami  petani  miskin.  Tak ada  barang
berharga yang bisa kuserahkan pada kalian…..”
“Sialan! Aku bukan perampok!” hardik Wiro seraya menjambak sarung orang
itu lalu menariknya  keluar.  “Tapi  aku akan mematahkan batang lehermu kalau kau
tidak menceritakan apa yang terjadi. Siapa yang membakar rumah itu!”
“Saya……saya…..”
“Plak!” Wiro tampar orang itu dengan keras hingga dia terjajar nanar. Saat itu
Panji  Argomanik sudah  berdiri  di  samping  Wiro.  Begitu  orang  bersarung  melihat
pemuda  ini,  kedua  matanya  menjadi  besar.  Rupanya  dia  mengenali  siapa  adanya
pemuda ini.
“Kau….. Panji…. Kaulah yang mereka cari! Di desa tersiar kabar bahwa kau
akan kembali ke Kuto Inggil. Mereka menyangka kau pasti akan datang ke sini. Tapi
begitu mereka tidak menemukan kau, mereka terus membakar rumah. Membunuh Ibu
Kanoman…..”
“Bagaimana dengan Larasati?!” tanya Panji memotong.
“Mereka menculiknya. Mereka membawa lari kekasihmu. Kami penduduk tak
berani menolong. Mereka berjumlah sekitar sepuluh orang….”
“Kau mengenali siapa mereka….?” Tanya Wiro.
Orang yang ditanya menggeleng.
“Gerombolan rampok Warok Keling?” tanya Panji Argomanik.
“Tidak  bisa  saya  ketahui  Panji.  Mereka  menutupi  wajah dengan kain…..
Mereka menunggangi kuda. Mereka melarikan diri setelah mendapatkan Larasati…..”
Panji Argomanik mendengarkan keterangan itu dengan kedua tinju terkepal.
“Kalau…. Kalau tak ada lagi yang hendak ditanyakan, izinkan aku masuk. Di
dalam anak istriku setengah mati ketakutan….”
Wiro menarik  tangan Panji  Argomanik,  mengajaknya  meninggalkan tempat
itu.  “Kita  harus  mencari  petunjuk siapa  orang-orang yang menculik kekasihmu,
Panji.”
“Kalau mereka  bertopeng  siapa  yang bisa  mengenali?!”  ujar  Panji  hampir
putus asa.
“Apa silang sengketamu sebenarnya dengan kerajaan dan Adipati Lumajang?”
“Aku dituduh membunuh seorang putera  Pangeran yang tergila-gila  pada
Larasati dan ingin mengambilnya jadi istri. Adipati Lumajang yang paling marah atas
kejadian itu karena  berlangsung di  wilayah kekuasaannya.  Dia  sengaja  memburuku
karena ingin berbuat pahala pada Kerajaan, sekalian menjilat pada sang Pangeran dan
Sri Baginda!”
  15 WIRO SABLENG
“Aku ingat  keterangan  orang  tadi.  Katanya  rombongan itu  datang karena
menyangka  kau ada  di  rumah kekasihmu.  Berarti  mereka  adalah suruhan  sang
Pangeran atau petugas-petugas  Kerajaan.  Berarti  Sri  baginda  sendiri  atau Adipati
Lumajang yang menyuruh mereka untuk turun tangan!”
“Mungkin begitu. Tetapi mengapa mereka harus menutupi muka dengan kain
segala?  Berati  mereka  takut  wajah masing-masing dikenal  penduduk Telogosari!”
menjawab Panji.
Pendekar  212 garuk-garuk  kepalanya.  Matanya  kemudian tertumpuk pada
sebuah benda  yag tergeletak di  tanah.  Dia  melangkah mendekati  dan memungutnya
lalu memperlihatkannya  pada  Panji  Argomanik.  Benda  itu  ternyata  adalah sebuah
ladam kuda.
“Mungkin ini bisa dijadikan bahan pengusutan…..” kata Wiro.
Panji tidak memberikan jawaban. Pemuda ini berkata. “Aku akan menyelidik
ke  gedung Kadipaten lebih dulu.  Jika  berangkat  sekarang menjelang pagi  aku bisa
sampai ke sana.”
“Aku ikut bersamamu,” kata Wiro pula.
  16 LIMA
WIRO SABLENG
Karena  mampu berlari  cepat  menjelang dini  hari  Singa  Gurun Bromo dan
Pendekar 212 Wiro Sableng sudah memasuki Kadipaten. Panji Argomanik langsung
menuju gedung Kadipaten yang terletak di depan sebuah alun-alun. Mereka sengaja
datang dari  bagian belakang  gedung  agar  tidak melewati  lapangan terbuka  di  mana
mereka akan mudah terlihat oleh para pengawal.
Setelah memanjat  halaman  belakang kedua  pemuda  ini  menyelinap di  balik
jambangan-jambangan besar lalu menyusup ke halaman samping yang gelap. Saat itu
di dalam gedung ada cahaya terang lampu tanda penghuninya ada yang belum tidur.
Begitu Wiro  dan  Panji  bergerak  ke  dekat  jendela,  di  dalam  gedung  terdengar  suara
orang bercakap-cakap lalu langkah-langkah kaki  menuju ruang depan.  Pintu depan
terbuka. Adipati Dirgo Sampean muncul diiringi oleh lima orang lelaki. Kelima orang
ini  membungkuk  hormat  sebelum  turun dari  tangga  gedung Kadipaten.  Mereka
berjalan menemui  lima  orang  lainnya  yang rupanya  tidak  ikut  masuk dan  sengaja
menunggu di  halaman depan.  Tak lama  kemudian kesepuluh orang itu tampak
meninggalkan kadipaten dan lenyap ditelah kegelapan malam.
“Hatiku berdetak,  jangan-jangan rombongan  sepuluh orang itu yang
membakar rumah dan menculik Larasati….” Kata Panji Argomanik pada Wiro.
“Dugaanmu mungkin betul.  Di  sebelah sana  ada  kandang kuda.  Kita  bisa
mengambil dua kuda tunggangan dan mengejar rombongan tadi….”
“Aku setuju. Kita harus bergerak cepat!” kata Panji pula.
Baru saja kedua pendekar ini endak meninggalkan halaman samping itu tiba-
tiba  di  halaman depan terlihat  enam  orang memasuki  pintu gerbang kadipaten.
Seorang penjaga  mendatangi.  Begitu mengenali  siapa  yang datang dengan cepat
penjaga  ini  masuk ke  dalam  gedung.  Tak lama  kemudiaan penjaga  tadi  muncul
kembali  dan mempersilahkan masuk empat  dari  enam  orang yang datang.  Keempat
orang yang masuk ini bukan lain adalah Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggreng lalu
Kunto Areng dan Jalak Toga.
Melihat  kemunculan orang-orang ini  yang  datang tanpa  kuda  dan pakaian
serta  tubuh  basah oleh  keringat,  lalu  muka  dan  rambut  kusut  masai  Adipati  Dirgo
Sampean yang baru saja hendak masuk ke dalam kamar tidurnya jadi terheran-heran.
Sesuatu pasti  telah terjadi  dengan orang-orang ini  pikirnya.  Maka  tanpa
mempersilahkan keempat orang itu duduk dia langsung saja bertanya seraya menyapu
wajah keempat orang itu dengan pandangan tajam.
“Ada apa?!”
“Waktu hendak menuju kemari, di tengah jalan kami, kami berpapasan dengan
serombongan orang. Apaah mereka barusan datang dari sini?” yang membuka mulut
adalah Ki Bumi Wirasulo.
Rahang sang Adipati  tampak menggembung.  “Ki  Bumi!  Kau seperti  orang
yang tidak tahu peradatan  saja!  Aku  mengajukan pertanyaan.  Kau bukannya
menjawab malah balik bertanya.  Kalian datang kemari  untuk melapor  atau
menanyaiku!”
“Harap maafkan saya,  Adipati,”  jawab Ki  Bumi  Wirasulo dengan wajah
merah. “Bukan maksud kami berlaku kurang ajar. Tapi kami melihat orang-orang itu
rata-rata berwajah garang dan kami tidak mengenali mereka. Kami kawatir……”
 17 WIRO SABLENG
“Siapa  adanya  orang-orang itu bukan urusan kalian.  Ki  Bumi,  kau  mewakili
kawan-kawanmu.  Katakan saja  apa  yang  telah  terjadi!  Aku  mencium  bau tak enak
saat ini!” kata Adipati Dirgo Sampean dengan suara keras.
Ki Bumi Wirasulo jadi panas hatinya. Dia berpaling pada Mangku Sanggreng
dan berkata. “Kau saja yang menerangkan apa yang telah terjadi.”
Mangku Sanggreng batuk-batuk dulu beberapa kali. Baru membuka mulut.
“Kami  mengalami  nasib apes  Adipati.  Sebenarnya  kami  telah berhasil
meringkus Singa Gurun Bromo di Kuto Inggil. Pemuda itu  kami sergap di warung
nasi  Mbok Sinten.  Dalam  perjalanan kemari  kami  melihat  ada  nyala  api  yang
mencurigakan dalam hutan belantara. Kami coba menyelidik karena bukan mustahil
gerombolan Warok  Keling yang  berkemah  di  tempat  itu…..”  Mangku  Sanggreng
kemudian menuturkan apa yang terjadi selanjutnya.
Tampang Adipati  Lumajang itu  tampak kelam  membesi  begitu mendengar
seluruh keterangan yang disampaikan Mangku Sanggreng.
Sesaat sang Adipati tertegak tak bergerak, hanya sepasang matanya saja yang
memandang melotot  dan beringas  pada  keempat  orang itu.  Perlahan-perlahan
kelihatan dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“C….c….c…!  Bukan main!”  kata  Dirgo Sampean pula.  “Dua  orang  tokoh
silat  Istana  berkepandaian tinggi.  Dia  orang perwira  tinggi  Kerajaan.  Ditambah
delapan orang perajurit!  Gila!  Tolol  dan menggelikan.  Kalian sampai  bisa  ditipu
orang seperti  itu!  Aku  tidak  mau  melaporkan  kejadian ini  pada Sri  Baginda.  Kalian
harus tanggung jawab sendiri dan berangkat sekarang juga ke Kotaraja!”
Keempat orang itu terdiam.
“Kalau begitu perintah  Adipati,  kami  akan  mematuhinya.  Tapi  harap  jangan
bicara terlalu keras!” berkata mangku Sanggreng.
“Apa maksudmu?!” tanya Dirgo Sampean dengan mata kembali membeliak.
“Kami  bekerja  di  bawah perintah Sri  Baginda.  Tidak layak  Adipati
mengeluarkan kata-kata kasar begitu rupa. Terhadap dua orang perwira ini  silahkan
saja.  Menggebuk merekapun kami  tidak mau tahu karena  memang bekerja  untuk
kerajaan dan berada di bawah pimpinan Adipati…..!”
Adipati  Dirgo Sampean menyeringai.  “Jika  kalian berdua  berkata  begitu,
silahkan angkat  kaki  dari  gedung  ini  saat  ini  juga!”  Lalu  Adipati  Lumajang  itu
bergegas ke pintu. Pintu depan dibukanya lebar-lebar dan dia memberi isyarat dengan
goyangkan kepala pada Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng agar segera keluar.
Sebelum keluar kedua tokoh silat Istana itu masih sempat melihat Jalak Toga
dan Kunto Areng lontarkan seringai sinis ke arah mereka.
Adipati  Dirgo Sampean membantingkan pintu.  Lalu berpaling  pada  dua
perwira tinggi yang tegak tak bergerak dengan wajah kuncup.
“Kalian berdua  tidak usah takut.  Aku  tidak marah pada  kalian.  Aku hanya
melepaskan kebencianku pada dua orang tadi.”
Mendengar ucapan Adipati itu Kunto Areng dan Jalak Toga menjadi lega dan
berdarah kembali wajah masing-masing.
“Mereka  sedikit  bekerja  tapi  hidup enak.  Mendapat  kesenangan dari  Istana.
Kita yang telah mengabdi pada kerajaan sekian puluh tahun malah tidak diperhatikan.
Kaum penjilat seperti mereka sekali-sekali memang harus diberi pelajaran!”
“Ah,  rupanya  bukan kami  saja  yang  punya  pendapat  begitu.  Syukur  kalau
Adipati mengetahui hal itu….” kata Jalak Toga.
“Kalian boleh bermalam di sini. Besok ada tugas untuk kalian!”
“Terima kasih, Adipati masih mempercayai kami!” kata Kunto Areng seraya
membungkuk.
  18 WIRO SABLENG
“Kita  orang-orang  satu kelompok  harus  saling    menghormat  dan  bekerja
sama,” kata Adipati pula sambil menepuk bahu perwira tinggi itu.
Di  halaman samping begitu melihat  Ki  Bumi  Wirasulo dan Mangku
Sanggreng meninggalkan halaman Kadipaten, Pendekar 212 segera hendak bergerak.
“Itu mereka! Kurasa ini saat yang baik untuk menjajal kembali kehebatan keduanya!”
“Baik bagimu tidak bagiku sobat!”  kata  Panji  seraa  menarik celana  sang
pendekar. “Apa yang hendak kau lakukan bisa merusak rencanaku untuk mengusut di
mana Larasati saat ini berada dan siapa yang telah menculiknya.”
“Ingat ladam kuda yang kita temui itu? ujar Wiro. “Tunggu saja sampai pagi .
Kau hanya tinggal menunjukkan padaku di mana orang biasa mengupah memperbaiki
atau memasang ladam kudanya…..”
“Cuma ada satu di Kuto Inggil. Bengkel kuda Karjo Lugu.” Jawab Panji.
“Bagus  kalau cuma  satu.  Berarti  kita  tidak perlu menghabiskan waktu
menyelidik ke mana-mana.”
Kedua  orang itu menunggu  sampai  seorang  pengawal  yang melakukan
penjagaan keliling lenyap di ujung gedung. Lalu cepat-cepat mereka menuju halaman
belakang,  memanjat  tembok  dan lenyap  ditelan  kegelapan malan dan  udara  dingin
menjelang pagi itu.
  19 ENAM
WIRO SABLENG
Di  bengkel  kuda  milik Karjo  Lugu  para  pemilik kuda  dapat  membeli  segala
keperluan yang berhubungan dengan kuda. Misalnya kain keras penutup mata kuda,
tali  kekang,  pelana  dan juga  ladam.  Di  samping itu Karjo  Lugu juga  mengerjakan
perbaikan ladam atau tapal besi, perbaikan pelana maupun injakan kaki.
Pagi  itu Wiro dan Panji  sampai  di  sana  Karjo Lugu sudah tampak sibuk di
bengkelnya.  Karjo  Lugu  seorang lelaki  berambut  putih  berusia  hampir  enam  puluh
tahun. Walaupun berusia lanjut tapi otot-otot badannya masih tampak kukuh. Seperti
namanya, orang ini memang bersifat lugu dan murah senyum.
Karjo Lugu menyambut  salam  yang diucapkan  Panji.  Namun ketika  dia
mengangkat kepalanya dan melihat siapa yang datang, berubahlah paras orang tua ini.
“Pak Lugu…..”kata  Panji,  begitu orang biasa  memanggil  Karjo Lugu.  “Kau
kelihatan seperti terkejut melihatku. Apakah wajahku sudah berubah jadi setan?!”
“Anak muda, apa kau tak tahu dirimu dalam bahaya berani datang ke sini?”
“Rupanya  kau sudah mendengar  apa  yang terjadi  siang kemarin di  warung
Mbok Sinem,” kata Panji pula dengan tersenyum.
“Tentu saja.  Berita  itu tersiar  cepat.  Kau dikabarkan sudah diringkus  dan
dibawa ke Kotaraja. Bagaimana tahu-tahu kau bisa muncul di sini?”
“Kau tak usah merisaukan hal  itu  Pak Lugu.  Aku baik-baik dan  sehat-sehat
saja….”
“Siapa anak muda ini?” tanya Karjo Lugu pada Panji Argomanik.
“Sahabatku,” jawab Panji.
“Panji, sebaiknya kau cepat pergi dari sini. Kalau ada mata-mata yang melihat
dan melaporkan kau muncul serta berbincang-bincang denganku, aku bisa celaka…..”
“Ada hal penting yang hendak kami tanyakan padamu Pak Lugu.” Kata Wiro
pula.
“Eng…..” pemilik bengkel kuda itu tampak serba salah.
“Pak Lugu,”  kata  Panji.  “Semasa  hidupnya  kau bersahabat  baik dengan
ayahku.  Sekarang kami  butuh bantuanmu.  Apa  kau melupakan begitu saja
persahabatan dengan ayahku?”
“Tentu saja  bukan begitu.  Tapi  kau adalah orang buronan.  Jika  ada  yang….
Sudahlah. Ikuti aku. Kita bicara di dalam saja.” Orang tua itu menunjuk ke arah pintu.
Panji  dan  Wiro  segea  masuk ke  dalam  ruangan di  balik  pintu  itu.  Karjo Lugu
memandang dulu ke  arah jalan,  lalu  pada  beberapa  bangunan di  sekitarnya.  Bila
dirasakannya aman maka orang tua ini segera masuk ke dalam rumahnya. Sampai di
dalam dia bertanya pada kedua pemuda itu.
“Hal penting apa yang hendak kalian tanyakan?”
Wiro yang menjawab.  “Tadi  malam  rumah Larasati,  kekasih sahabatku ini
dibakar orang. Seorang perempuan bernama Bibi  kanoman ditemui sudah jadi mayat
terbakar hangus….”
“Ya Tuhan, belum kudengar berita itu…….” seru Karjo Lugu.
“Larasati lenyap diculik orang…..”
“Gusti Allah!” mengucap Karjo Lugu.
Wiro meneruskan.  “Kami  tidak tahu  siapa  manusia-manusia  biadab yang
melakukan perbuatan laknat itu. Namun kami menemukan benda ini di dekat rumah
yang terbakar.”
  20 Lugu.
itu?”
WIRO SABLENG
Wiro keluarkan ladam kuda yang ditemuinya dan diperlihatkannya pada Karjo
“Apa  hubungan ladam  ini  dengan hal  penting  yang hendak kalian  tanyakan
Yang menjawab kini  adalah Panji  Argomanik.  “Kami  yakin ladam  kuda  ini
adalah ladam salah seekor kuda tunggangan orang-orang yang membakar rumah dan
menculik Larasati.  Malam  tadi,  atau  pagi-pagi  sebelum  kami  datang,  apakah ada
seseorang yang datang membawa  kudanya  yang salah satu kakinya  tidak berladam.
Lalu minta dipasangkan ladam baru…..”
Paras  Karjo Lugu jadi  berubah.  Wiro dan Panji  maklum  sudah.  Keduanya
menunggu.
“Pagi  buta  tadi….”  Kata  Karjo  Lugu.  “Ada  orang menggedor  bengkelku.
Ketika  kubuka  orang ini  tenyata  datang bersama  dua  orang temannya.  Tampang-
tampang tak dapat  kukenal  karena  tertutup  kain menyerupai  topeng.  Salah seorang
dari mereka minta agar aku memasangkan ladam baru pada kaki kudanya sebelah kiri
belakang.  Aku bilang besok saja  kalau bengkel  sudah buka.  Tapi  orang-orang itu
mengancam akan menggorok leherku kalau aku tidak melakukannya malam itu juga.
Masih dalam keadaan mengantuk aku terpaksa memenuhi permintaan mereka. Orang
yang punya kuda membayar cukup tinggi. Tapi sebelum dia pergi dia berpesan……”
“Berpesan? Pesan apa?” tanya Panji.
“Agar  aku tidak  mengaakan pada  siapapun kedatangan mereka  ke
bengkelku…..!”
“Hemmmmmm,”  Wiro bergumam  sambil  garuk-garuk kepala.  Kalau begitu
mereka  merasa  kawatir  kau  mengenali  salah satu dari  mereka.  Walau mereka
menutupi  wajah masing-masing dengan kain…..  Coba  kau ingat-ingat  Pak Lugu.
Mungkin ada benda atau tanda-tanda pada ketiga orang itu, di tubuh mereka atau pada
kuda-kuda  mereka.  Tanda-tanda  yang bisa  mmberi  petunjuk siapa  mereka
sebenarnya.”
Karjo Lugu mengusap dagunya  yang ditumbuhi  janggut-janggut  pendek
berwarna  putih.  “Rasan-rasanya  memang ada.  Waktu itu aku tidak memperhatikan.
Tapi setelah kau mengatakannya aku teringat sesuatu. Salah seorang dari ketiga yang
datang itu mengenakan baju berlengan sangat  pendek.  Di  tangannya  sebelah atas,
dekat  bahu  ada  sebuah rajah.  Rajah itu  bergambar  seekor  kelelawar  yang  tengah
mengembangkan sayapnya…..”
“Itu rajah tanda komplotan rampok Warok Keling” kata Paji hampir berteriak.
“Terima  kasih Pak Lugu.  Keteranganmu sangat  berharga.”  Pemuda  bergelar  Singa
Gurun Bromo itu menarik  lengan Wiro,  cepat-cepat  mengajaknya  meninggalkan
tempat itu.
“Aku tahu sarang penjahat  keparat  itu.  Kita  menuju ke  sana  sekarang juga!
Larasati pasti berada di tangan mereka!”
“Mendatangi  sarang penjahat  siang-siang begini  apa  tidak terlalu berbahaya,
Panji?”
“Aku sudah siap mati  untuk menyelamatkan Larasati”!  jawab Panji
Argomanik alian Singa Gurun Bromo pula. “Kalau kau takut kau boleh saja tidak ikut
dan kita  berpisah sampai di sini.”
Wiro menyeringai.  “Aku tidak bisa  menjelaskannya.  Tapi  aku punya  firasat
ada satu rahasia di balik semua kejadian ini. Dan aku ingin menyingkap rahasia ini!”
Hanya  beberapa  saat  setelah kedua  pemuda  itu meninggalkan bengkel  Karjo
Lugu,  tiga  orang penunggang kuda  tiba-tiba  muncul.  Si  orang tua  terkejut  ketika
memperhatikan.  Ternyata  mereka  adalah tiga  orang yang tadi  malam  mendatangi
  21 WIRO SABLENG
untuk dipasangkan ladam  baru.  Wajah mereka  masih ditutupi  secarik kain.  Karjo
Lugu mendadak merasa tidak enak. Namun dengan ramah orang tua ini menegur.
“Ah, kalian rupanya. Apa lagi yang bisa kubantu?’
Lelaki  yang lengan sebelah atasnya  memiliki  rajah turun dari  kudanya.
“Malam  tadi  kami  lupa  membayar  harga  ladam  dan ongkos  pemasangannya.
Kebetulan kami lewat lagi di sini. Saat ini kami hendak membayarnya.”
“Wah,  kalian orang baik-baik rupanya.  Tidak dibayarpun tidak jadi  apa  asal
kita bisa jadi langganan.” Kata Karjo Lugu pula.
Lelaki  yang  lengannya  dirajah  bergambar  kelelawar  tersenyum.  Dia
menggerakkan tangan kirinya  ke  arah pinggang seperti  layaknya  orang hendak
mengambil  uang.  Tetapi  ketika  tangan itu keluar  lagi  dari  balik  pakaian,  yang
kelihatan bukan kantong uang tetapi  sebilah pisau berkilat  yang panjang matanya
hampir dua jengkal. Sebelum Karjo Lugu menyadari apa yang akan dilakukan orang
itu,  tiba-tiba  pisau sudah  menghujam  dalam  ke  perutnya.  Karjo  Lugu  menjerit  tapi
lehernya cepat dicekik hingga suara teriakannya menjadi tertahan dan lenyap.
“Tua  bangka  keparat!  Kau  tidak  menepati  pesanku.  Kau pasti  telah
memberitahu sesuatu tentang kami pada kedua orang pemuda itu. Benar?!”
“Ha….h…ha….hu!” Karjo Lugu tidak bisa menjawab karena lehernya masih
dicekik sementara perutnya yang bersimbah darah terasa sakit bukan kepalang. Lelaki
berajah itu lemparkan tubuh Karjo Lugu ke atas meja tempat penempaan besi. Orang
tua  itu mengeluh tingi.  Dia  berusaha  manarik  nafas  panjang tapi  nafasnya  justru
putus!
  22 TUJUH
WIRO SABLENG
Dua  pendekar  nekad itu memacu kuda  masing-masing menuju ke  Selatan kaki
Pegunungan Maha Meru. Selewatnya Candipuro mereka membelok memasuki sebuah
dataran tinggi. Di balik pedataran itu terbentang sebuah rimba belantara sarang segala
binatang buas  dan manusia  jahat.  Dulunya  terdapat  beberapa  kelompok penjahat
mendekam  dan bersarang  di  tempat  itu.  namun  setelah Warok Keling  muncul,  dia
menggabungkan semua kelompok gerombolan itu ke dalam kelompoknya. Siapa yang
tidak mau tunuduk padanya  ditumpasnya  sampai  habis.  Saat  itu  Warok Keling
menjadi  raja  di  raja  perampok  yang memiliki  anak buah hempir  seratus  orang.
Bersama kelompoknya dia mendirikan sebuah kawasan perumahan di dalam hutan itu.
walaupun hutan tapi keadaannya subur sekali. Air bersih mudah didapat. Begitu juga
buah serta binatang buruan yang bisa disantap.
Menjelang tengah hari  mereka  sampai  di  bagian hutan yang tanahnya
meninggi. Wiro dan Panji terus mendaki menuju puncak tertinggi. Begitu sampai di
puncak kelihatanlah belasan rumah kayu yang dipagar dengan tiang-tiang terbuat dari
batang-batang pohon yang ujungnya dibabat runding. Pada jarak-jarak tertentu di atas
pagar itu terdapat sebuah pondok tempat pengawal melakukan tugasnya berjaga-jaga
mengawasi daerah sekitarnya. Begitu Wiro dan Panji muncul mendekati pagar kayu
satu suitan nyaring terdengar dari sebelah Timur kawasan. Lalu sekitar sepuluh orang
muncul  di  atas  pagar.  Mereka  memegang busur  dan panah yang siap dibidikkan ke
arah kedua pemuda itu.
Di  sebelah belakang Wiro dan  Panji  mendengar  suara  menggeresek.  Ketika
berpaling mereka  melihat  ada  kira-kira  sepuluh orang meluncur  dari  atas  pohon.  Di
cabang-cabang terendah mereka  berhenti  dan dari  sini  mereka  membidikkan pula
panah atau sumpritan ke arah Wiro dan Panji.
“Kita terkurung!” kata Wiro.
“Tenang saja.  Jangan  membuat  gerakan-gerakan yang mencurigakan.  Anak-
anak panah dan sumpritan itu  beracun!”  kata  Panji.  Lalu dia  membawa  kudanya
mendahului Wiro menuju satu tempat terbuka hingga semua orang di atas pagar kayu
meupun di  atas  pohon dapat  melihatnya  dengan jelas.  Wiro menyusul  bergerak ke
samping Panji.
Panji  Argomanik kemudian mengangkat  tangannya.  Lalu  dia  berseru.  “Aku
Panji Argomanik dan seorang sahabat ingin menemui pimpinan kalian!”
Dari  atas  rumah penjaggan terdengar  jawaban.  “Dua  cacing tanah seperti
kalian mana cukup pantas menemui pimpinan kami!”
“Keparat!” maki Wiro.
“Diam saja!” tukas Panji. Lalu dia berseru lagi. “Kami memohon sekali lagi!
Ada hal penting yang hendak kami bicarakan!”
“Bicaralah dengan setan-setan rimba belantara ini! Harap kalian berdua segera
meninggalkan tempat  ini  atau tubuh kalian akan kami  tambus  dengan panah-panah
beracun!”
“Edan!”  Kini  Panji  yang keluarkan suara  makian.  “Kalau kita  tidak
diperbolehkan masuk menemui Warok Keling berarti kita terpaksa menyusup malam
hari. Atau mencegat orang itu jika dia keluar dari sarangnya. Tapi semua itu memakan
waktu. Sementara itu banyak hal bisa terjadi pada Larasati……”
“Agaknya kita tak ada pilihan lain. Mari…..” kata Wiro.
Kedua orang itu memutar kuda masing-masing.
  23 WIRO SABLENG
Sementara  itu di  atas  bangunan pagar,  sorang bertubuh tinggi  luar  biasa,
berkulit sangat hitam dan mengenakan pakaian merah gelap serta memakai semacam
sorban berwarna merah di atas kepalanya muncul di atas salah satu rumah penjagaan.
“Aku mendengar  suara  suitan lalu  suara  orang berteriak-teriak.  Apa  yang
terjadi?”  tanya  orang  berkulit  hitam  legam  itu.  Suaranya  parau dan  sember.  Inilah
manusianya yang bernama Warok Keling, raja diraja komplotan penjahat di masa itu.
Seorang anak buahnya segera menerangkan.
“Ada dua pemuda tak dikenal muncul dan minta bertemu dengan Warok….”
“Ah, begitu lama aku jadi pemimpin kalian baru sekali terjadi hal seperti ini.
Dua  pemuda  itu  rupanya  punya  nyali  besar.  Apa  mereka  menyebutkan nama  atau
gelar?”
“Gelar  tidak,  tapi  yang seorang memperkenalkan diri  dangan nama  Panji
Argomanik!”
“Panji  Argomanik…..”  mengulang  Warok Keling  samgil  mengusap dagunya
yang klimis. Biasanya gembong penjahat selalu memelihara janggut atau berewok dan
kumis  tebal  melintang.  Tapi  Warok Keling  justru memelihara  wajah  kelimis  dan
wajahnya  yang hitam  cukup keren.  “Panji  Argomanik….  Aku rasa-rasa  pernah
mendengar nama itu! Coba aku mengingat-ingat dulu….. Hem….. Jangan-jangan…..
Hai,  coba  kau tanyakan pada  orang yang  bernama  Argomanik itu.  apakah dia
orangnya yang bergealr Singa Gurun Bromo?”
“Keduanya sudah pergi Warok.”jawab si anak buah.
“Beri tanda pada kawan-kawanmu di luar pagar agar menyuruh kedua orang
itu kembali.”
Anggota penjahat itu keluarkan dua kali sutian berturut-turut, lalu dua kali lagi.
Di  dalam  rimba  belantara  di  luar  pagar  empat  anak buah Warok Keling
meluncur turun dari atas pohon. Mereka melompat ke tanah lalu mencegat Wiro dan
Panji sambil membidikkan panah-panah beracun.
“Pimpinan kami  meminta  kalian kembali!”  kata  salah seorang di  antara
mereka.
Wiro dan Panji saling pandang.
“Ada apa kami disuruh kembali?!” bertanya Panji Argomanik.
“Apa  kau orangnya  yang bernama  Panji  Argomanik,  bergelar  Singa  Gurun
Bromo?”
Panji mengangkat tangannya dan berteriak membenarkan ucapan itu.
“Kalau begitu kau  boleh masuk. Tapi  kawanmu  tetap tinggal  di tempat!  Dia
tidak cukup layak menginjakkan kaki di tempat kami!”
“Sialan! Aku lagi yang dihinanya!” maki Wiro.
Saat itu pintu gerbang kayu tampak terbuka.
“Kau masuklah. Aku biar menunggu di sini,” kata Wiro.
Panji  Argomanik mengangkat  tangannya.  “Aku  tidak akan masuk kalau
temanku ini tidak diperbolehkan ikut serta!”
Dari atas rumah penjagaan terdengar orang bertanya. “Siapa nama kawanmu
itu. apa dia punya julukan?!”
“Namanya Wiro Sableng!” berteriak Panji.
Sunyi sejenak. Lalu dari atas rumah penjaggan terdengar suara orang berteriak,
bertanya. “Apa orang gila itu punya julukan?!”
Panji  Argomanik  berpaling  pada  Wiro.  Murid Sinto Gendeng garuk-garuk
kepalanya. “Tidak! Dia tidak…..”
Wiro tekap mulut  Panji  Argomanik lalu dia  sendiri  berteriak.  “Gelarku
!”
  24 WIRO SABLENG
Kedua  mata  Panji  Argomanik  membeliak besar.  Ketika  Wiro  menurunkan
tangannya  pemuda  bergelar  Singa  Gurun Bromo itu berseru.  “Kau…..!  Jadi  kau
pendekar dari Gunung Gede yang terkenal itu?!”
“Aku tidak lebih hebat dari kau Singa Gurun Bromo!”
“Jangan merendah! Aku banyak mendengar riwayatmu yang hebat-hebat!”
Wiro tertawa.  “Orang selalu menambah bumbu dalam  setiap cerita…..”
katanya.
Dari  atas  rumah penjagaan tiba-tiba  terdengar  suaa  teriakan.  “Kalian berdua
boleh masuk!”
Pintu gerbang  terbuka.  Kaliini  lebih  besar.  Wiro dan Panji  masuk ke  dalam.
Pintu menutup  kembali.  Begitu  masuk ke  dalam  dua  orang bertubuh  besar
menghampiri  mereka.  Keduanya  dipersilahkan turun dari  kuda  masing-masing lalu
binatang-binatang itu dibawa  ke  satu tempat  untuk ditambatkan.  Kemudian seorang
lelaki  muncul,  membawa  mereka  ke  sebuah rumah besar  dari  kayu  bertingkat  dua.
Wiro melangkah sambil  memandang kian kemari.  Dia  melihat  banyak anak-anak
tengah bermain di halaman luas. Juga ada orang-orang perempuan yang duduk-duduk
di  bawah pohon.  Ada  yang  tengah merenda,  ada  yang tengah bercakap-cakap.
Keadaan di  tempat  itu bukan seperti  di  sarang perampok tapi  tidak beda  dengan
kampung biasa.
Wiro dan Panji dibawa ke tingkat rumah kayu besar. Lalu diminta duduk pada
dua buah kursi kayu. Di antara dua kursi itu terdapat sebuah kursi ketiga yang lebih
besar dan lebih tinggi. Keduanya diminta menunggu.
Tak lama kemudian muncullah Warok Keling. Dia masih mengenakan sorban
merahnya. Tapi dia kini telah berganti pakaian dengan sebuah jubah terbuat dari kain
sangat  tebal  yang  beratnya  hampir  lima  puluh  kati.  Bersamanya  mengikuti  empat
orang pengawal bertampang bengis dan membawa golok besar-besar.
Warok Keling duduk di  kursi  besar.  Dia melambaikan tangan pada  keempat
pengawalnya. Keempat orang ini tampak ragu untuk meninggalkna pimpinan mereka
sang Warok lantas berkata. “Kalian pergi saja. Mereka adalah teman-temanku!”
Mendengar ucapan itu keempat pengawal tadi segera berlalu. Wiro dan Panji
merasa heran karena tidak menyangka akan mendapat sambutan begitu rupa.
“Dua  sahabat  muda.  Kuucapkan selamat  daang di  tempatku yang buruk  ini.
seumur  hidup  baru  kali  ini  ada  dua  orang  tokoh silat  yang  punya  nama  besar
menyambangiku di sini. Kalian ingin kusuguhkan apa?”
“Kami  orang biasa-biasa  saja.  Jangan Warok keliwat  memuji,”  kata  Panji.
“Terus terang kami memang haus. Tapi kami tak ingin merepotkanmu.”
“Kau bagaimana?” tanya Warok Keling pada Wiro.
“Aku memang haus  sekali.  Aku tiak malu-malu minta  minum  apa  saja.
Kawanku juga…..”
Warok Keling tertawa lebar.
“Kau orang jujur. Aku suka pada aorang yang terus terang dan polos!” Warok
Keling lalu bertepuk dua kali. Seorang gadis berwajah cantik muncul. “Ini puteriku,
Jayengsari…..” Warok Keling memberitahu.
Dalam  hatinya  Wiro berkata.  “Sulit  dipercaya.  Manusia  buruk hitam  begini
rupa  punya  puteri  secantik ini  dan berkulit  kuning langsat!  Ibunya  pasti  seroang
bidadari yang tertangkap hidup-hidup dan tak dapat kembali ke dunianya!”
“Anakku. Ita kedatangan dua orang tamu penting. Harap sediakan tuak manis
dan jangan lupa talas rebus makanan utama kita yang paling lezat!”
Jayengsaru Mengangguk. Dia melirik ke arah Pendekar 212 sekilas lalu masuk
ke dalam dengan langkah-langkah lincah.
  25 WIRO SABLENG
“Sobat-sobatku muda! Semetara menunggu hidangan dan minuman, sekarang
ceriakan apa hal penting yang hendak kau bicarakan denganku!” kata Warok Keling.
“Kami, maksudku aku mengalami kesulitan…..”
Warok Keling tersenyum  “Aku  pernah mendengar  kesulitanmu.  Enam  tahun
kau menghilang gara-gara tuduhan membunuh putera Pangeran Sendoyo….”
“Bagaimana kau bisa tahu Warok?” tanya Panji heran.
“Aku dan anak buahku memang tinggal jauh di hutan. Tapi kami punya mata
dan telinga di mana-mana…. Nah, sekarang ceritakan apa kesulitanmu yang lain!”
“Kesulitanku, selain jadi buronan Sri Baginda dan Adipati Lumajang, saat ini
aku butuh bantuanmu  dan  kesediaanmu untuk mengembalikan kekasihku Larasati.
Rumahnya dibakar kemarin malam. Bibinya tewas dan Larasati diculik orang!”
“Larasati diculik orang. Lalu mengapa kau datang kemari? Eh, tadi kudengar
kau meminta  aku agar  bersedia  mengembalikan anak gadis  itu padamu.  Apa  kau
kira….”
“Maafkan aku Warok. Aku tidak menuduh kau menculik Larasati. Tetapi ada
orang memberi  kesaksian bahwa  salah seorang penjahat  yang membakar  dan
menculik gadis itu memiliki lengan dengan rajah burung kelelawar!”
Warok Keling menggulung lengan bajunya sebelah kiri sampai ke bahu. Lalu
dia memperlihatkan rajah kelelawar di bahunya itu. “Rajah seperti ini?”
“Kira-kira begitu Warok.”
“Seperti  ini?”  Sang  Warok  buka  kancing  bajunya.  Di  dadanya  kelihatan lagi
sebuah rajah kelelawar yang lebih besar. Panji mengangguk.
Paras  Warok Keling berubah semakin hitam.  “Singa  Gurun Bromo…..”
katanya  dengan suara  bergetar.  “Jika  tuduhanmu itu  tidak  benar,  tubuhmu akan
kulempar ke luar pagar tanpa kepala!” Lalu sang Warok berpaling pada Wiro. “Kau
juga!”  hardiknya  sehingga  pendekar  212 tersentak kaget.  “Siapa  yang memberikan
kesaksian padamu?”
“Karjo Lugu. Pemilik bengkel kuda di Kuto Inggil.”
“Aku akan perintahkan anak buahku untuk menyelidik. Tapi ada satu hal yang
perlu kuceritakan pada kalian!” Saat itu Jayengsari keluar membawakan minuman tak
dalam tabung bambu pendek serta rebusan talas yang diurap dengan kelapa parut.  
“Aku tahu kalian pasti haus danjuga lapar….”
Wiro ulurkan tangan  hendak mengambil  tabung  bambu.  Tapi  Warok Keling
segera mengepret tangannya.
“Aku tidak  akan menyuruh kalian minum  dan makan sebelum  kalian
mendengar dulu keteranganku.” Kata Warok Keling dengn mata berkilat-kilat. “Aku
sudah tiga puluh tahun lebih jadi raja diraja penjahat di kawasan Timur ini. Selama
aku malang melintang  ratusan orang telah menjadi  korbanku.  Kurampok  habis-
habisan dan kubunuh jika mereka melawan. Tapi ada satu hal yang harus kalian ingat
baik-baik.  Mereka  yang jadi  korbanku adalah  orang-orang  kaya  yang  tidak  mau
memberi  hartanya  pada  rakyat  jelata.  Atau pejabat-pejabat  rakus  yang kekayaannya
seabrek-abrek tapi tak pernah bersedekah pada orang-orang miskin. Padahal kekayaan
itu mereka  dapatkan  dari  hasil  menipu!  Kaum  pedagang yang terlalu  rakus  mencari
keuntungan juga  kujadikan  korban dan  kuburu  di  manapun mereka  berada.  Tapi
dengar! Aku tidak pernah merampok dan membunuh rakyat jelata! Dengar lagi baik-
baik!  Aku  tidak  pernah  menculik dan  melarikan anak istri  orang!  Waktu datang
kemari kalian lihat anak-anak dan orang-orang perempuan. Anak-anak bermain-main.
Orang-orang perempuan duduk  merenda  atau  melakukan pekerjaan lain  sambil
ngobrol sesama perempuan. Mereka adalah perempuan-perempuan yang dikawin sah
oleh anak-anak buahku.  Dan anak-anak itu bukan anak-anak haram!  Ini  memang
  26 WIRO SABLENG
perkampungan sarang perampok. Tetapi di sini kehidupan lebih baik dari pada di luar
sana!  Jadi  ingat!  Kami  bukan tukang culik apalagi  tukang perkosa  orang-orang
perempuan., jika anak buahku bertemu seorang perempuan yang disukainya, dia akan
mengajaknya  baik-baik dan tinggal  di  sini.  Jika  mereka  menolak,  mreeka  dilepas
dengan aman. Bahkan diantar pulang sampai ke kampung dan rumah mereka! Karena
cara-cara kami itulah maka tidak ada orang dari dunia persilatan yang memusuhi kami.
Tapi  mereka  juga  sungkan untuk  mendekati  kami,  tidak  seperti  yang  saat  ini  kalian
lakukan.  Kalian orang-orang muda  sungguh bisa  dibuat  contoh.  Lalu,  pihak
kerajaanpun tidak bisa  berbuat  apa-apa  terhadap kami.  Kami  memang penjahat  tapi
sebenarnya  kami  lebih  cocok dikatakan sebagai  tangan jahil  yang  merampas  sedikit
harta benda yang berlebihan untuk disalurkan pada orang-orang miskin!”
Panji  terdiam  mendengar  kata-kata  Warok  Keling itu  sementara  itu  Wiro
hanya bisa garuk-garuk kepala!
“Aku tidak bisa  percaya  akan penjelasan bahwa  ada  anak buahku terlibat
penculikan Larasati. Tetapi aku berjanji akan menyelidik. Jika betul anak buahku dia
akan kuhukum  berat  dan Larasati  akan kembali  padamu dengan selamat!  Sekarang
kalian boleh meneguk minuman dan mencicipi hidangan!”
Wiro dan Panji  segera  mengulurkan tangan untuk mengambil  tabung tuak
masing-masing.  Tapi  ketika  diangkat  ternyata  tabung-tabung bambu itu tidak
bergerak sedikitpun. Seolah-olah melekat ke kayu meja. Semakin dikerahkan tenaga
untuk mengangkatnya  semakin melekat  keras  kedua  tabung bambu itu.  Wiro dan
Panji segera maklum bahwa tuan rumah tengah menjajal kekuatan mereka. Kalau tadi
mereka  hanya  mengerahkan tenaga  kasar  atau tenaga  luar  maka  kini  diam-diam
keduanya  mengerahkan tenaga  dalam.  Di  atas  kursinya  Warok Keling yang tadi
tampak duduk sambil  menyeringai  kini  kelihatan mengernyit.  Keningnya  dipenuhi
percikan keringat. Tubuhnya  yang besar  tampak bergetar.  “Hem….  Dua  anak  muda
ini memiliki kekuatan tenaga dalam yang bukan main-main!” kata sang Warok dalam
hati. Dia lalu kerahkan seluruh tenaga dalamnya pula.
Tuak di  dalam  tabung bambu itu beriak seperti  mendidih.  Wiro dan Panji
merasakan tangan mereka seperti diserang hawa panas. Tapi keduanya tetap bertahan.
Di  samping mereka  perlahan-lahan tubuh  Warok Keling  tampak terangkat  ke  atas
sampai  setinggi  tiga  jengkal.  Wiro  kedipkan  matanya  ke  arah Panji.  Kedua  pemuda
ini  tiba-tiba  secara  serentak lepaskan pegangan mereka  pada  tabung  bambu.  Dan
terjadilah satu hal yang hebat tapi lucu.
Karena  tenaga  dalam  wang  Warok kini  lepas  menghantam  tempat  kosong
maka  tak ampun lagi  tubuhnya  yang tadi  terangkat  dengan tiba-tiba  dan keras  luar
biasa terbanting jatuh ke atas kursi yang didudukinya.
“Brak!”
Kursi  kayu yang  kokoh  itu  patah keempat  kakinya.  Tak ampun  lagi  tubuh
tinggi besar Warok Keling jatuh ke lantai!
Empat  orang pengawal  keluar  dari  ruangan dalam  sambil  menghunus  golok
dan siap untuk menyerang  Wiro  dan Panji.  Tapi  Warok Keling  cepat  bersiri  dan
tertawa mengekeh. Dia melambaikan tangannya pada keempat pengawalnya itu.
“Pergi saja! Tak ada apa-apa di sini. Kami hanya bersendau gurau! Ambillah
aku kursi baru!”
Walau ragu-ragu keempat orang pengawal itu segera ke dalam lalu keluar lagi
membawa kursi baru. Kursi yang patah mereka singkirkan.
Warok Keling seka keringat yang membasahi mukanya.
  27 WIRO SABLENG
“Kalian orang-orang  muda  yang hebat.  Kalau  kalian mau,  tadi  kalian bisa
mengirimku ke akhirat. Kini cukup jlas bagiku. Kalian datang bukan mencari silang
sengketa. Ayo, lekas minum tuaknya. Cicipi talas rebus yang lezat itu!”
Wiro dan Panji segear ulurkan tangan kembali untuk mengambil tabung berisi
tuak.  Setealh meneguk minuman yang lezat  sejuk itu mereka  mencicipi  talas  rebus
yang dihidangkan. Hanya sesaat setelah sepotong besar talas amblas masuk ke dalam
perut  mereka,  kedua  pemuda  itu  mendadak merasakan mulut  mereka  menjadi  gatal.
Makin digaruk makin gatal.
“Bibirmu bengkak besar!” kata Panji seraya menunjuk ke mlut Wiro.
“Mulutmu juga bengkak!” ujar Wiro pula.
Kedua  pemuda  itu sama-sama  memegangi  mulut  masing-masing.  Dan
menggaruk tiada henti. Lalu sama memandang pada Warok Keling dengan rasa curiga.
Sebaliknya sng Warok tertawa gelak-gelak.
“Warok, apa yang kau perbuat terhadap kami?!” tanya Wiro sambil mengusap
lagi bibirnya yang semakin melendung.
Gelak sang Warok semakin keras. “Dulu, waktu aku dan anak buahku pertama
kali  makan talas,  bibir  kami  bengkak dan  gatal-gatal  seperti  kalian.  Tapi  lama
kelamaan kami jadi kebal karena terbiasa! Maaf saja kalau saat ini kalian mengalami
nasib sama.  Itu  bukan disengaja.  Ha….ha….ha!  Kalian berdua  jangan  marah pada
siapapun!”
Panji berdiri dari duduknya. Wiro mengikuti.
“Warok, kami minta diri…..”
“Silahkan.  Aku gembira  mendapat  kunjungan kalian.  Satu hal  agar  kalian
ketahui. Jika suatu waktu kalian ingin bergabung dengan kami, pintu selalu terbuka!”
Kedua  pemuda  itu menyeringai.  Karena  mulut  mereka  pada  bengkak,  ketika
menyeringai  tampang-tampang mereka  menjadi  lucu dan ini  membuat  sang Warok
jadi terpingkal-pingkal!
  28 DELAPAN
WIRO SABLENG
Keluar dari rimba belantara hujan deras turun memaksa Wiro dan Panji mencari
tempat  untuk  berlindung.  Untungnya  mereka  menemukan sebuah gubuk reyot  tak
jauh dari situ. Keduanya segera berteduh di dalam gubuk tanpa dinding dan atapnya
penuh lobang itu.
“Sobat,  kurasa  sekarang saat  yang baik kau menuturkan riwayatmu.  Kau
bilang terpaksa kabur dari Kuto Inggil enam tahun lalu. Lalu punya silang sengketa
dengan kerajaan dan Adipati  Lumajang.  Apa  betul  kau membunuh putera  Pangeran
Sendoyo?”
Panji  meraba  rambutnya  yang  coklat  yang kejatuhan tirisan air  hujan.
Digelengkannya  kepalanya.  “Tidak,  tidak  betul.  Ada  orang yang  mengatur  fitnah.
Menjebakku demikian rupa  hingga  tuduhan jatuhan padaku.  Aku akan ceritakan
padamu awal malapetaka enam tahun yang lalu itu…..”
Larasati bunga Kuto Inggil baru berusia lima belas tahun. Kecantikannya yang
memang luar  biasa  telah dibawa  angin keharuman sampai  di  Kotaraja.  Seorang
pangeran bernama  Sendoyo yang  mendengar  kecantikan Larasati  itu  telah sengaja
menyempatkan diri untuk datang ke Kuto Inggil. Dia menemui Bibi Kanoman untuk
melamar  Larasati  agar  dapat  dipersunting oleh puteranya  yang bernama  Tayu
jenggolo. Bibi Kanoman yang maklum akan kekuasaan sang Pangeran tentu saja tak
berani  menolak  walau dia  tidak  suka  akan  lamaran itu.  dia  sudah  sejak lama
mendengar bahwa putera Pangeran Sendoyo itu suka berjudi, penyabung ayam, suka
mengganggu anak istri orang dan pantat botol alias suka minuman keras. Secara halus
dia  menyerahkan persoalannya  pada  Larasati.  Si  gadis,  yang sebenarnya  telah
menjalin cinta dengan Panji Argomanik dengan tegas menolak lamaran itu.
Sang Pangeran  kembali  ke  Kotaraja  dengan perasaan malu,  tersinggung dan
marah.  Diam-diam  dia  berusaha  mencari  jalan untuk  mendapatkan Larasati,
bagaimanapun caranya.  Untuk itu dia  meminta  bantuan Dirgo Sampean,  adipati
Lumajang yang membawahi  Kuto Inggil.  Dirgo  Sampean mau membantu karena
dijanjikan akan diberikan satu kedudukan tinggi di Istana kelak.
Hari itu merupakan hari pasar di Kuto Inggil. Pasar raya yang berlangsung di
alun-alun ramai  dikunjungi  orang.  Rumah  makan dan  tempat-tempat  minum  penuh
oleh manusia.  Para  perjaka  dan  para  gadis  mempergunakan hari  ini  sebagai
kesempatan untuk bertemu dan berhandai-handai.
Siang itu  Panji  memerlukan datang  ke  pasar  untuk mencari  seorang teman
karibnya.  Belum  sampai  ke  pasar  di  tengah  jalan dia  berpapasan degnan Tayub
Jenggolo diiringi  oleh tiga  orang  temannya.  Keempat  pemuda  itu  sedang mabuk
sehabis  menenggak banyak minuman di  satu rumah minum.  Tapi  yang terparah
adalah putera Pangeran Sendoyo itu.
Begitu melihat  Panji,  Tayu Jenggolo seperti  kemasukan setan dan berteriak
marah.  Dia  mencaci  maki  Panji  dengan kata-kata  kotor.  Walau telinga  dan hatinya
jadi  panas  mendengar  caci  maki  itu namun karena  tahu Tayub Jenggolo sedang
mabuk maka Panji tidak melayani. Dia terus saja melangkah menuju ke pasar. Tapi
begitu berhadap-hadapan tiba-tiba Tayub Jenggolo mencabut sebuah pisau besar dari
pinggangnya.
Panji Argomanik terkejut sekali ketika melihat pisau yang digenggam Tayub
Jenggolo adalah pisau miliknya yang diketahuinya telah hilang sejak tiga hari lalu.
  29WIRO SABLENG
“Aneh, bagaimana pisau itu bisa berada di tangan putera Pangeran ini?” pikir
Panji.  Tapi  pemuda  ini  tidak  bisa  berrpikir  lebih  jauh  karena  saat  itu  Tayub  sudah
menyerangnya. Dengan cepat Panji mengelak.
Tayub membalik,  “Bangsat  kau Panji!  Kau yan hendak merampas  Larasati
dari  tanganku!  Kau tak  bakal  dapat  memperistrikannya!  Kau akan kawin  dengan
cacing-cacing tanah di  liang kubur!  Kau boleh bawa  gelar  besarmu Singa  Gurun
Bromo itu ke liang kubur!”
Tayub Jenddolo kembali  menyerbu.  Karena  saat  itu dia  sedang mabuk dan
Panji sendiri sudah menguasai ilmu silat dari seorang sakti yang diam di sebuah goa
di Gurun Bromo sehingga dia mendapat julukan Singa Gurun Bromo, dengan mudah
Panji  menghadapi  setiap serangan lawan.  Sementara  itu tiga  orang  kawan Tayub
Jenggolo yang juga dalam keadaan mabuk berteriak-teriak ketakutan. Ketiganya lalu
melarikan diri entah kemana.
Beberapa  lama  kemudian,  seorang pedagang sayur  yang tengah  memikul
dagangannya ke pasar menemukan sosok Tayub Jenggolo tergeletak di tengah jalan
dalam  keadaan mandi  darah.  Muka  dan beberapa  bagian tubuhnya  penuh dengan
luka-luka. Sebuah pisau besar- pisau milik Panji Argomanik menancap di pertengahan
dadanya! Panji sendiri lenyap entah kemana!
Setelah kejadian itu serombongan pasukan dari kadipaten mendatangi rumah
kediaman Panji.  Ketika  mereka  tidak menemukan si  pemuda  di  sana  maka  mereka
menangkap ayah Panji  Argomanik.  Di  sebuah rumah kayu  mereka menyekap orang
tua  itu,  menyiksanya  setiap hari.  Di  luar  disebar  kabar  jika  Panji  tidak muncul
menyerahkan diri maka ayahnya akan dijadikan tumbal di tiang gantungan.
Suatu pagi  Panji  Argomanik akhirnya  muncul  di  kadipaten  untuk
menyerahkan diri.  Ayahnya  dilepas. Tapi  dua  hari  kembali  ke  rumah,  orang  tua ini
menghembuskan nafas  karena  luka-luka  dan cidera  berat  yang dideritanya.  Kabar
kematian  ayahnya itu disampaikan seorang kawan Panji di tempat dia disekap. Panji
seperti  hendak gila.  Apalagi  ketika  dia  mendengar  bahwa  dirinya  akan digantung
dalam  dua  hari  mendatang.  Kesalahannya  telah terbukti  pisau yang menancap di
tubuh Tayub  Jenggolo adalah  pisau miliknya.  Lalu ada  seorang pedagang  di  Kuto
Inggil bernama Janar Gandewo memberi kesaksian bahwa dia melihat memang Panji
Argomanik yang menusukkan pisau ke tubuh Tayub jenggolo….
Selama  satu hari  satu malam  Panji  bersemedi  meminta  petunjuk pada  Yang
Kuasa.  Suatu malam  seperti  mendapat  kekuatan gaib,  pemuda  ini  menghancurkan
dinding papan tebal dan kokoh ruang tahanannya. Dia menghantam roboh dua orang
pengawal di tempat itu. Lalu dengan seekor kuda curian dia melarikan diri menuju ke
Utara.
Larinya  Panji  Argomanik segera  dilaporkan kepada  Adipati  Lumajang.
Rombongan pengejar  yang  terdiri  dari  dua  puluh perajurit  dipimpin langsung  oleh
Adipati  Dirgo  Sampean.  Karena  mereka  memiliki  seorang ahli  pencari  jejak  maka
larinya Singa Gurun Bromo segera dapat diketahui. Di pedataran pasir sebelah Utara,
rombongan pengejar berhasil mengejar pemuda itu. Di satu tempat Panji Argomanik
dikurung lalu dikeroyok.  Panji  mengamuk hebat  untuk  mempertahankan diri  dan
kehormatannya.  Tapi  musuh terlalu banyak dan  Adipati  Dirgo ternyata  memiliki
kepandaian tinggi  pula.  Meskipun berhasil  merobohkan enam  orang  perajurit  yang
mengeroyoknya  namun dalam  keadaan mandi  darah pemuda  itu  akhirnya  jatuh
tersungkur di tanah.
Adipati  Dirgo Sampean menyambar  tombak yang tersisip di  leher  kudanya
lalu melompat  turun.  Tombak itu  dihujamkannya  ke  arah tenggorokan Panji
Argomanik yang berada dalam keadaan tak berdaya antara sadar dan tiada.
  30 WIRO SABLENG
Sesaat  lagi  mata  tombak  akan  menembus  leher  Panji  tiba-tiba  sebauh benda
bulat  menghantam  pertengahan batang tombak  hingga  senjata  itu  patah dua  dan
terlepas  mental  dari  genggaman Adipati  Dirgo Sampean.  Sang Adipati  merasakan
tangannya seperti disengat api. Penuh rasa kejut dia memandang sekeliling. Hal sama
juga dilakukan oleh para perajurit yang ada di tempat itu. Mereka semua melihat ada
seorang tua  berjubah putih  berambut  panjang putih yang melambai-lambai  ditiup
angin. Orang tua itu duduk di atas punggung seekor kuda hitam. Tapi mereka hanya
melihat sekejapan saja. Karena ketika orang tua itu memukulkan kedua tangannya ke
depan,  terdengar  deru keras  seperti  munculnya  topan prahara.  Pasir  gurun
beterbangan menutupi pemandangan Adipati Dirgo dan semua perajurit yang ada di
sana  berusaha  bertahan dengan susah payah agar  tubuh mereka  tidak roboh.
Pemandangan mereka tertutup oleh pasir-pasir yang beterbangan.
Ketika  gelombang angin  mereda  dan  pasir  yang  beterbangan luruh  ke  tanah
kembali  semua  orang terkejut.  Tubuh Panji  Argomanik yang tadi  tergeletak di  atas
pasir  tak ada  lagi  di  situ.  Memandang ke  arah kiri  mereka  dapatkan kakek
penunggang  kuda hitampun sudah lenyap entah kemana!
Para perajurit yang ada di tempat itu jadi merinding. Adipati Dirgo Sampean
diam-diam ikut merasa takut. Dia memang tidak penah mendengar adanya setan atau
hantu gurun pasir. Tetapi kalau bukan setan mana mungkin orang tua itu bisa muncul
dan lenyap bersama hilangnya tubuh Panji.
“Pasukan! Kita kembali ke Lumajang!” seru Adipati itu pada para perajuritnya.
Ketika siuman, mula-mula Panji merasa heran dan bertanya-tanya dimana dia
berada  saat  itu.  Secara  perlahan-lahan begitu ingatannya  pulih kembali  dia  segera
mengenali tempat itu dan ingat kalau dulu dia pernah berada di situ selama beberapa
tahun. Dengan mengumpulkan tenaga walau sekujur tubuh dan persendiannya terasa
sakit Panji berusaha bangkit. Dia memandang berkeliling. Dia hanya sendirian dalam
goa itu.
“Guru….?!” Suara Panji bergema dan memantul pada dinding-dinding goa.
Di  ruang sebelah dalam  goa  batu yang  terletak  di  gurun pasir  Bromo itu
terdengar suara batuk-batuk. Lalu sesosok tubuh tua muncul.
“Kau sudah siuman Panji….?”
“Sudah guru.  Saya  tahu  pasti.  Guru yang  telah menyelamatkan saya  dari
orang-orang itu….. Saya berterima kasih padamu guru.”
“Berterima kasih pada Tuhan. Dia yang masih memanjangkan umurmu,” kata
orang tua  sambil  memegang bahu muridnya.  Lalu dia  bertanya.  “Mengapa  mereka
mengejar dan ingin membunuhmu?”
Panji lalu menceritakan apa yang terjadi.
Si  orang tua  menarik nafas  panjang.  “Ada  orang atau orang-orang yang
sengaja menjebakmu muridku. Dan kau belum sanggup menghadapi mereka. Jika kau
berani muncul di Kuto Inggil, mereka akan membunuhmu!”
“Saya mohon petunjukmu guru.”
Si  orang tua  tersenyum  kecut.  “Itu sebabnya  dulu kukatakan padamu,  kalau
berguru jangan  kepalang tanggung.  Belum  selesai  semua  kepandaia  kuwariskan
padamu kau sudah seperti anak kecil minta-minta diizinkan pulang. Tenaga dalammu
masih rendah.  Ilmu meringankan  tubuhmu masih cetek.  Kau  memang telah
menyandang julukan hebat.  Singa  Gurun  Bromo.  Tapi  kau  hanya  keberatan  gelar
muridku!”
“Maafkan segala  tindakan saya  di  masa  lampau guru.”  Kata  Panji.  “Kalau
guru tidak keberatan saya ingin menyambung pelajaran lagi di sini….”
  31 WIRO SABLENG
“Pengalaman pahit  itu rupanya  menjadi  guru  terbaik bagimu.  Mungkin  kau
memang berjodoh untuk meneruskan pelajaran silatmu di sini. Kau akan kugembleng
selama enam tahun. Jika kau berani minta pergi hanya ada satu syarat dariku. Aku tak
akan mengajarkan apa-apa lagi padamu. Dan aku tidak ingin melihat mukamu lagi!”
“Saya berani mematuhi semua peraturan guru….” Jawab Panji.
“Kalau begitu kau teruskan dulu beristirahat.  Besok pagi-pagi  pelajaran
pertama akan dimulai.”
“Terima kasih guru,” kata Panji Argomanik. Dipegangnya tangan orang tua itu
lalu diciumnya penuh hormat dan terima kasih.
Hujan deras telah berhenti. Kini udara dingin luar biasa datang menyungkup.
Pendekar 212 Wiro Sabelng rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
“Nah, itu kisahku enam tahun lalu,” kata Panji menyudahi riwayatnya. “Kini
aku muncul untuk meluruskan segala tuduhan keji itu. Aku harus mencari tahu siapa
biang racun di  balik  semua  kejadian ini.  Aku  curiga  terhadap Pangeran Sendoyo.
Kematian ayahku perlu  aku balaskan.  Dan  yang paling  penting  aku  harus  segera
menemukan Larasati kembali!”
“Kau tidak menceritakan tentang ibumu setelah  ayahmu meninggal.”  Kata
Wiro.
“Ah, itu satu sisi gelap lagi dari kehidupanku yang malang. Waktu aku masih
mengikuti  guru,  aku mendapat  kabar  dari  seseorang.  Beliau menyusul  ayah sebulan
kemudian.”
Wiro terdiam sesaat. “Boleh aku tahu siapa nama gurumu itu?”
“Dia tidak pernah memberitahu namanya. Dia memiliki gelar sama denganku.
Singa  Gurun Bromo.  Ketika  dia  melepas  aku enam  tahun lalu,  dia  menyuruh aku
memakai gelar itu.”
Sunyi sesaat di dalam gubuk itu. “Kita harus berangkat sekarang Wiro.”
“Ya. Tapi kemana tujuan kita?”
“Aku akan mencari  Janar  Gandewo  pedagang keliling  yang memberi
kesaksian palsu itu.”
Pendekar 212 mengangguk. Kedua pemuda itu lalu naik ke atas kuda masing-
masing.
  32 SEMBILAN
WIRO SABLENG
Hari  hampir  malam  ketika  mereka  emmasuki  Kuto  Inggil  dari  arah  Selatan.
Setelah melewati  sebuah lereng  bukit  yang  ditumbuhi  pohon-pohon  karet  keduanya
menemui sebuah kali kecil. Sebelumnya kali ini merupakan parit kering akibat musim
panas yang panjang. Kini setelah hujan turun kali itu tampak berair kembali walaupun
sangat dangkal dan kotor.
Panji  Argomanik  menunggangi  kudanya  di  sebelah depan diikuti  oleh
Pendekar 212 dari belakang. Di kejauhan kelihatan nyala sebuah lampu minyak.
“Itu rumah Janar Gandewo,” kata Panji seraya menunjuk ke arah lampu. Lalu
dia  mempercepat  lari  kudanya.  Di  satu tempat  kira-kira  lima  puluh langkah dari
rumah kecil  di  daerah  terpencil  itu  Panji  turun  dari  kudanya.  Dia  memberi  isyarat
pada  Wiro agar  terus  mengikuti  dengan jalan kaki.  Tinggal  beberapa  belas  langkah
lagi dari rumah yang dituju Wiro berbisik.
“Kau duluan saja  Panji.  Aku mau kencing  dulu…..  Dari  tadi  aku berusaha
menahan. Sekarang tak sanggup lagi!”
“Sialan! Ada-ada saja kelakuanmu!” maki Panji jengkel sekali. Dia tidak lagi
memperdulikan Wiro  dan  bergerak sendirian  dalam  rumah  kecil  yang  lantainya
berkolong rendah.
“Ada  nyala  lampu berrarti  ada  orangnya,”  kata  Panji  dalam  hati.  Dia
melangkah ke  pintu  depan lalu  berseru.  “Janar  Gandewo!  Aku mencarimu!  Lekas
keluar!”
Tak ada jawaban dari dlam rumah itu.
“Janar!”
“Si…..siapa di luar?!” Tiba-tiba ada yang bertaya dari dalam rumah.
“Aku Panji Argomanik!”
“Tung…..tunggu sebentar…”
“Suaranya  seperti  gemetar  dan  gagap.  Ada  sesuatu yang ditakutinya,”  kata
Panji dalam hati. Dia menunggu sesaat. Tiba-tiba nyala lampu dalam rumah padam.
Panji  jadi  curiga  dan  melompat  ke  balik  sebatang pohon.  Dia  tak  menunggu  lama.
Pintu belakang rumah kecil  kelihatan terbuka  lalu seorang lelaki  bertubuh tinggi
langsung melompat  keluar,  dengan cepat  menyelinap hendak melarikan  diri.  Panji
segera mengejar dan menghadang. Sekali sergap saja dia berhasil membengbeng leher
pakaian orang itu.
“Mau kabur ke mana Janar?!”
“Si….siapa bilang aku mau kabur…..?” Janar Gandewo si pedagang keliling
menjawab tapi jelas dia berdusta dan sangat ketakutan.
Panji  tarik leher  pakaian orang itu  lalu membantingkannya  hingga
punggungnya  terhempas  ke  dinding  rumah.  Janar  Gandewo merintih  kesakitan.
Tulang punggungnya seperti luluh. “Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini…..?”
“Ini  belum  seberapa!”  kertak Panji.  “Aku tak segan-segan menghancurkan
batok kepalamu!”
“A…..apa salahku?!”
“Keparat!  Kau pandai  berpura-pura!”  Tangna  kiri  Panji  bergerak meninju
muka Janar Gandewo hingga bibirnya pecah dan dua giginya rontok! Janar meraung
kesakitan.  “Kau mau minta  mampus  sekarang juga?!”  bentak Panji  lalu kedua
tangannya dicekikkan ke leher orang itu.
“Jang….jangan….. Jangan bunuh aku. Apa salahku…..”
  33 WIRO SABLENG
“Siapa  yang menyuruhmu memberi  kesaksian palsu enam  tahun lalu.  Kau
bersaksi melihat aku membunuh Tayub Jenggolo putera Pangeran Sendoyo!”
“Aku…..”
“Bangsat! Jawab cepat!” Panji angkat lagi tangan kanannya.
“Aku…. Aku terpaksa. Aku disuruh. Kalau tidak kemaluanku akan dipotong!
Aku akan dikebiri!”
“Siapa yang menyuruhmu? Siapa yang mau mengebirimu?!” teriak Panji.
“Walang Daksi…..”
“Walang Daksi….? Dukun Iblis di Lembah Waru?!”
Janar Gandewo mengangguk.
“Aku tidak percaya! Kau membual! Biar kupatahkan batang lehermu saat ini
juga!”
“Aku tidak dusta!  Aku  tidak berbohong Panji.  Aku tahu Walang Daksi  juga
disuruh orang lain….”
“Siapa?!”
“Su…..Sur……”
Belum sempat Janar Gandewo menyebutkan sabuah nama tiba-tiba terdengar
suara berdesing. Panji berpaling. Sebatang anak panah melesat dan menancap tepat di
mata  kiri  Janar  Gandewo.  Orang  ini  meraung setinggi  langit.  Lidahnya  terjulur.
Mukanya kelihatan menjadi biru.
“Panah beracun!”  desis  Panji  serta  merta  lepaskan cekikannya.  Tubuh  Janar
terkulai lalu roboh ke tanah tanpa nyawa lagi!
Dalam keadaan masih terkesiap Panji tidak menyadari bahwa saat itu sebuah
anak panah lagi melesat dan kali ini sasarannya adalah dirinya sendiri. Dia mendengar
suara  berdesing namun perhatiannya  masih tertuju pada  kematian Janar  hingga  dia
bertindak lengah. Sesaat lagi anak panah itu akan menancap di punggungnya tiba-tiba
sebuah benda hitam melesat dalam kegelapan malam, memotong luncuran anak panah
dan trak!  Anak  panah mental  patah  dua.  Panji melompat. Saat  itulah dia  baru  sadar
kalau dirinya baru saja terlepas dari bahaya maut!
Sesosok tubuh melompat  ke  hadapan panji.  Pemuda  bergelar  Singa  Gurun
Bromo ini berkelebat dan siap untuk menghantam. Tapi dia cepat tarik serangannya
ketika dilihatnya yang datang adalah Wiro.   
“Ada untungnya aku kencing tadi,” kata Pendekar 212. “Kalau tidak mungkin
kita berdua sudah jadi mayat. Yang dituju si pembokong adalah kau, bukan kunyuk
jangkung itu!”  Lalu Wiro membungkuk mengambil sebuah benda yakni batu hitam
sakti yang merupakan pasangan kapak Maut Naga Geni 212.
Selain memungut  batu  hitamnya  Wiro  juga  mengambil  patahan anak panah
yang tadi dihantamnya dengan batu hitam itu.
“Aku mengenali mata panah ini. Bagaimana pendapatmu, Sobat?” tanya Wiro.
Panji memperhatikan anak panah itu. Dia juga segea mengenali “Sama dengan
anak panah milik  orang-orangnya  Warok Keling….”  Katanya.  “Berarti  bangsat  itu
memang terlibat dalam urusan ini! Keparat!” dalam amarahnya Panji kemudian ingat.
“Terima  kasih.  Kau telah menyelamatkan jiwaku.”  Dia  memandang ke  arah
mayat Janar Gandewo. “Manusia sialan itu tadi menyebutkan nama seseorang. Orang
yang katanya menyuruh dia melakukan kesaksian palsu. Sur…… entah Sur siapa. Dia
juga menyebutkan nama seorang dukun di Lembah Waru. Aku akan mencari dukun
itu sekarang juga!”
“Kau dengar suara derap kaki kuda di kejauhan itu?”
“Ya…..”
“Apa maksudmu Wiro?”
  34 WIRO SABLENG
“Itu derap kaki  kuda  si  pembokong.  Dia  belum  lari  jauh.  Kita  masih punya
kesempatan untuk mengejarnya! Kau harus memilih satu di antara dua. Mengejar si
pembokong atau pergi ke Lembah Waru.”
“Si pembokong itu lebih dulu!” jawab Panji.
“Tepat!”  sahut  Wiro seraya  acungkan ibu jari  tangan kanannya.  Kedua
pendekar  ini  segera  berkelebat  ke  tepat  di  mana  mereka  meninggalkan kuda
sebelumnya.
Di  malam  yang gelap dan dingin itu  memang tidak mudah untuk mengejar
seseorang yang melarikan diri  dengan menunggang kuda.  Satu-satunya  petunjuk ke
arah mana larinya si pembokong adalah suara derap kaki kudanya. Tapi celakanya di
satu tempat suara derap kaki kuda orang yang dikejar itu lenyap!
“Keparat!” maki Panji. “Dia menghilang!”
Pendekar  212  tidak  menjawab.  Telinganya  dipasang baik-baik.  “Aku
mendengar suara kaki-kaki kuda di air….”
“Kau ingat kali kecil itu?!” ujar Panji.
“Dia  pasti  tengah menyebrangi  kali  dangkal  itu!  Pantas  derap kaki  kudanya
lenyap. Ayo kita kejar!”
Kedua  pendekar  ini  memacu kuda  masing-masing ke  arah  kiri.  Tak  lama
kemudian mereka  sampai  di  satu tempat  ketinggian.  Di  bawah sana  keliahtan kali
kecil  berair  dangkal.  Di  seberang kali  tampak seorang penunggang kuda  baru saja
menyeberangi kali itu.
“Itu bangsatnya!”  kertak Panji.  “Aku  akan memintas  jalannya  dari  arah kiri.
Kau memotong dari arah kanan. Dia pasti tidak bisa lolos. Apalagi di seberang sana
merupakan kawasan terbuka!”
Panji  membedal  kudanya.  Wiro  menyentakkan tali  kekang tunggangannya.
Kedua  orang ini  melesat  dalam  kegelapan malam.  Selewatnya  kali  dangkal  mereka
berpencar  menggunting larinya  orang yang  mereka  kejar  dari  dua  arah.  Tepat  di
pertengahan pelataran terbuka,  Panji  telah berada  di  depan,  Wiro menjepit  dari
belakang.
Orang yang dikejar  mengenakan pakaian ringkas  warna  gelap.  Kepalanya
ditutupi sebuah topi berbentuk aneh dan wajahnya tersembunyi di balik sehelai cadar.
Tahu kalau ada dua orang mengejarnya si penunggang kuda tadi segera membelok ke
kiri dan memacu kudanya sepanjang lereng pedataran. Namun dia tidak bisa lari jauh
karena dalam waktu singkat Wiro dan Panji berhasil mengejarnya. Dari jarak sepuluh
langkah di sebelah kiri, Singa Gurun Bromo yang sudah tidak tahan lagi lepaskan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga  dalam  tinggi.  Yang diarah adalah
pinggang orang itu.
Selarik angin keras menderu. Membabat ke arah pinggang laksana sambaran
sebilah mata pedang. Inilah pukulan sakti yang disebut Kilat Manyapu Gurun Bromo.
Jangankan tubuh manusia, batang pohon pun akan terbabat putus bila kena hantaman
pukulan sakti ini!
Rupanya  orang di  atas  kuda  sudah tahu  kalau dirinya  terancam  maut.  Dari
balik cadarnya  dia  keluarkan suara  mendengus.  Lalu tubuhnya  tiba-tiba  melesat  ke
atas. Serangan Singa Gurun Bromo lewat di bawah kedua kakinya. Hebatnya, karena
kedua tangannya masih memegang tali kekang kuda, ketika melompat turun kembali
dia  membuat  gerakan  jungkir  balik,  di  lain  kejap dia  sudah duduk  kembali  di  atas
pelana kuda dan menghambur menjauhi kedua pengejarnya.
Pendekar 212 leletkan lidah mengagumi kehebatan orang itu. Sebaliknya Panji
Argomanik walaupun terkesiap tapi kemarahannya memuncak. Sebenarnya dia harus
dapat menangkap orang ini hidup-hidup untuk mendapatkan keterangan mengapa dia
  35 WIRO SABLENG
memanah mati  Janar  Gandewo lalu hendak membunuh dirinya  pula. Tetapi  amarah
lebih mempengaruhi hingga Panji ingin membunuh orang ini saat itu juga!
Begitu serangan pertamanya gagal Singa Gurun Bromo menggebrak kudanya
dan mengejar kembali. Tapi sekali ini gerakannya tertahan karena sambil melarikan
diri  orang yang  dikejar  lambaikan tangan kanannya.  Puluhan  benda  sebessar-besar
pasir beterbangan di udara mengeluarkan kilauan aneh.
“Awas  pasir  beracun!”  teriak Pendekar  212 yang mengenali  apa  adanya
benda-benda yang melesat ke arah sahabatnya itu.
Singa Gurun Bromo menggertak marah. Tangan kanannya diangkat.
“Wusss!”  Satu gelombang sinar  putih kebiruan menderu dahsyat.  Pasir
beracun tersapu habis. Sinar serangan Panji Argomanik terus menerpa ke arah orang
bercadar. Orang ini cepat angkat tangan kanannya guna melepaskan pukulan tangan
kosong. Dua kekuatan dahsyat saling bentrokan di udara. Terdengar suara berdentum
disusul oleh suara ringkikan tiga ekor kuda!
Singa  Gurun  Bromo merasakan sekujur  tubuhnya  seperti  tergontai-gontai
sedang kuda  tunggangannya  menjadi  liar  dan  meringkik tiada  henti.  Pendekar  212
yang berada  tak jauh dari Panji  dan sempat  tersapu angin serangan juga  merasakan
getaran hebat  menjalari  tuuhnya.  Kuda  tunggangannya  seperti  sempoyongan dan
meringkik beberapa kali.
Yang bernasib buruk adalah orang yang dikejar tadi. Tubuhnya terhempas ke
samping lalu jatuh ke  tanah.  Kudanya  meringkik keras  dan lari  meninggalkannya.
Puluhan langkah di depan sana baru binatang ini berhenti. Melihat orang buruannya
jatuh ke  tanah,  Singa  Gurun  Bromo  segea  melompat  turun  dari  atas  kuda  dan
kirimkan tendangan ke arah dada orang itu. Yang diserang gerakkan tangan kanannya
ke pinggang.
“Wuut!”
Lalu sebilah golok menyambar tak terduga. Ujungnya menderu di perut Singa
Gurun Bromo  membuat  pendekar  ini  terkejut  dan cepat  melompat.  Tak urung
sebagian bajunya di sebelah perut masih kena tersambar ujung senjata lawan hingga
robek.
Singa  Gurun Bromo melompat  mundur  sambil  pegangi  perutnya.  Parasnya
berubah mengelam  tanda  amarahnya  sudah mencapai  di  puncaknya.  Di  depannya
orang bercadar tegak sambil putar-putar goloknya. Dalam gelapnya malam senjata itu
lenyap dari  pemandangan hanya  suaranya  saja  yang terdengar  menderu-deru.
Selangkah demi selangkah, sambil terus memutar goloknya orang ini mendekati Singa
Gurun Bromo.  Tiba-tiba  dia  menyergap ke  depan.  Goloknya  berkiblat  dalam  satu
bacokan deras. Singa Gurun Bromo mundur satu langkah. Kedua lututnya menekuk.
Bersamaan dengan itu kedua  tangannya  menyusup ke  atas.  Begitu dia  berhasil
mencekal lengan yang memegang golok itu secepat kilat dia jatuhkan dirinya ke tanah.
Kaki kanannya menendang ke arah perut lawan. Orang bercadar terangkat ke atas lalu
tertarik keras. Goloknya terlepas dan tubuhnya terbanting ke tanah. Dari balik cadar
terdengar suara pekikan. Suara pekik perempuan!
  36 SEPULUH
WIRO SABLENG
Pendekar 212 dan Singa Gurun Bromo tentu saja tersentak kaget begitu mendengar
suara  jeritan  orang  itu  adalah  suara  perempuan.  Sekali  lompat  saja  Singa  Gurun
Bromo sudah berdiri di samping tubuh yang tergeletak di tanah becek. Kaki kanannya
menginjak leher  lalu dia  membungkuk dan membetot  lepas  cadar  yang menutupi
wajah orang itu.
“Kau!”  keluar  teriakan kaget  dari  mulut  Panji  Argomanik alias  Singa  Gurun
Bromo.  Pendekar  212 sendiri  tertegun dengan mulut  ternganga  seperti  tak percaya
pada penglihatannya. Akhirnya dia hanya bisa garuk-garuk kepala.
“Jadi  kau rupanya!  Bapaknya  perampok besar.  Ternyata  anaknya  juga
penjahat  keji!  Mengapa  kau hendak  membunuhku?!  Mengapa  kau  membunuh  Janar
Gandewo! Pasti bapakmu yang menyuruh!”
“Mulutmu lancang!  Belum  tahu urusan sudah mendamprat!  Jika  kau ada
persoalan denganku jangan hina orang tuaku!” bentak perempuan yang tergeletak di
tanah dan lehernya  masih diinjak oleh Singa  Gurun Bromo.  Dia  bukan lain adalah
Jayengsari, puteri Warok Keling, raja diraja para perampok!
“Baik!  Sekarang jawab dulu pertanyaanku tadi.  Kalau kau tidak menjawab
kuinjak hancur batang lehermu!” ancam Singa Gurun Bromo.
“Siapa  yang hendak membunuhmu?  Siapa    itu Janar  Gandewo?”  balik
membentak Jayengsari. Lalu dengan mata membelalang gadis ini berkata. “Aku itdak
takut mati! Kau mau bunuh aku saat ini juga silahkan! Ayo injak leherku!”
“Akalmu selicik akal bapak moyangmu!”
“Kurang ajar! Kalau kau punya nyali lepaskan injakanmu. Mari kita berkelahi
sampai  seratus  jurus!  Buktikan bahwa  kau  yang  punya  gelar  Singa  Gurun  Bromo
bukan seorang pendekar banci yang hanya berani melawan perempuan!”
Amarah Singa  Gurun Bromo jadi  mendidih  lagi  mendengar  kata-kata
Jayengsari  itu.  “Manusia  sepertimu tidak  perlu  dihormati!  Matipun kau aku  tak
merugi! Nah, mampuslah!”
Singa  Gurun  Bromo  injakkan  kaki  kanannya  kuat-kuat  ke  leher  si  gadis.
Namun sebelum  hal  itu terjadi,  murid Eyang Sinto Gendeng cepat  mendorongnya
hingga injakkannya lepas dan tubuhnya terhuyung-huyung.
“Wiro!  Kau hendak membelanya?!  Kau bersekutu dengan gadis  iblis  ini?!”
teriak Singa Gurun Bromo marah.
“Tenang Panji, sabar dulu sedikit,” kata Wiro. “Apa untungku membela gadis
cantik ini…..!”
“Gila! Kau masih bisa menyebut gadis yang hendak membunuh sahabatmu ini
dengan kata-kata gadis cantik!” semakin naik darah Singa Gurun Bromo mendengar
pujian Wiro itu.
“Aku tidak  memujinya  berlebihan sobat.  Tapi  memang kenyataannya  dia
cantikkan?”  Wiro berpaling pada  si  gadis  sambil  kedipkan matanya  dia  berkata.
“Jayeng, berdirilah….”
Puteri  Warok Keling itu tampak merengut  walau hatinya  sempat  berbunga-
bunga mendengar pujian Wiro atas kecantikan wajahnya.
“Wiro, katakan apa maumu?!” tanya Panji Argomanik dengan suara bergetar
menahan amarah.
“Dengar Panji, aku punya dugaan bukan dia yang membunuh janar Gandewo
dan juga bukan dia yang tadi hendak membunuhmu dengan panah beracun itu!”
  37 WIRO SABLENG
“Hebat! Bagaimana kau bisa berkata begitu sobatku?!”
“Kau lihat sendiri. Dia tidak membawa busur ataupun kantong panah!”
“Aku sudah katakan. Gadis seperti dia sudah terdidik untuk berbuat jahat dan
mengandalkan tipu daya!  Bisa  saja  dia  membuang busur  dan  kantong panahnya  di
tengah jalan!”
Jayengsari  terdengar  mendengus.  Saat  itu  dia  sudah berdiri  di  hadapan  Wiro
dan Panji. “Aku memang tidak membawa panah dan busur!” katanya.
“Baik! Sekarang katakan bagaimana kau tahu-tahu muncul di tempat ini! Apa
keperluanmu! Kalau kau memang tidak berniat jahat mengapa melarikan diri ketika
kami kejar dan mengapa kau menyerang kami? Dengar, anak panah yang membunuh
Janar Gandewo jelas anak panah buatan komplotan ayahmu!”
“Soal  panah memanah aku tidak menahu.  Perduli  setan!  Aku  tak mau
membicarakannya!  Aku tidak tahu kalau kalian tadi  yang mengejarku!  Aku
menyerangmu karena menyangka kalian orang-orang jahat!”
“Kau dengar Wiro. Seorang anak penjahat enak saja mengatakan kita orang-
orang jahat!”
“Jangan tolol!” bentak Jayengsari. “Malam begini gelap dan kalian tahu-tahu
muncul di belakangku!”
“Kalau kau tidak bermaksud  culas  mengapa  kau  menutupi  wajahmu dengan
cadar?!” sentak Singa Gurun Bromo.
“Hem…… Kau ingin tahu sebabnya? Jika kau punya saudara perempuan apa
kau merasa tenang mengetahui dia berjalan seorang diri dalam pakaian dan dandanan
perempuan?!”
Panji Argomanik terdiam.
“Jayeng,”  Wiro menengahi.  “Coba  katakan  saja  mengapa  kau  ada  di  sini.
Kalau memang bukan kau yang membunuh Janar Gandewo, mungkin kau tau siapa
pelakunya?”
“Aku,  aku ditugaskan ayah ke  Kuto  Inggil.”  Jawab gadis  itu.  “Sebetulnya
bukan ditugaskan. Tapi aku sendiri yang minta…..”
“Apa  keperluanmu ke  Kuto Inggil?” tanya  Wiro pula.  Kelihatannya  si  gadis
mau dan lebih terbuka bicara dengannya. Hal ini membuat Panji Argomanik menjadi
tidak sabaran dan merasa sangat jengkel terhadap sahabatnya itu.
“Aku sebenarnya  bermaksud menemui  kalian guna  menyampaikan pesan
ayah.”  Jawab Jayengsari.  “Jejak kalian berhasil  kuketahui  dan kuikuti  sampai  di
tempat  kediaman Janar  Gandewo.  Aku sampai  di  situ ketika  seorang penunggang
kuda  berusaha  melarikan diri.  Kurasa  dialah yang membunuh pedagang keliling itu
dan juga hendak membunuhmu….”
“Kau mengarang cerita!” potong Singa Gurun Bromo.
“Kalau kau berpendapat begitu boleh saja! Penjelasanku cukup sampai di sini.
Kau pendekar  gagah bergelar  hebat.  Silahkan kau selesaikan sendiri  urusanmu!”
Jayengsari    segera  membalikkan  diri.  Tapi  Wiro cepat  menghampirinya  dan
memegang lengannya.
“Jangan pergi dulu. Kau jangan marah padaku…..” kata Wiro membujuk.
“Aku tidak marah padamu.  Tapi  jengkel  pada  manusia  satu itu.  Tidak tahu
ditolong orang malah memaki,  menuduh dan  mendamprat  seenaknya!”  jawab
Jayengsari.
“Maafkan dia. Pikirannya sedang kalut…..” Wiro enak saja menciumi jari-jari
tangan gadis itu. Jayengsari cepat menariknya sambil berseru. “Ihhhh!” Murid Eyang
Sinto Gendeng  menyengir.  Dia  yakin  kalau  Panji  tak  ada  di  situ  si  gadis  pasti  akan
senang dipegang dan dicium.
  38 WIRO SABLENG
“Kau sama saja kurang ajarnya dengan dia. Malah lebih kurang ajar!” bentak
Jayengsari.
Wiro menyengir lagi. “Aku hanya bergurau,” katanya. Lalu, “Sekarang coba
kau katakan apa pesan ayahmu itu. Pesan untuk sahabatku Panji atau untukku sendiri?
Ah,  kalau pesan itu untukku aku  berharap-harap ayahmu memanggilku mungkin
untuk membicarakan soal perjodohan kita!”
Jayengsari  terpekik marah sedang Panji  Argomanik segera  membentak.
“Wiro! Tidak pantas dalam keadaan seperti ini kau masih bisa membanyol!”
Wiro senyum-senyum.  “Banyolanku tadi  memang tidak lucu,”  katanya.  Dia
berpaling kembali pada Jayengsari. “Kau mau meneruskan keteranganmu tadi?”
Jayengsari  tampak merengut.  Namun  kemudian dia  melanjutkan
keterangannya.  “Aku berusaha  mengejar  orang yang membunuh dengan panah itu.
Tapi dia keburu melarikan diri. Kudanya kencang sekali. Tungganganku yang sudah
keletihan tidak berhasil  mengejarnya.  Di  seberang kali  kecil  dia  menghilang.  Justru
begitu dia lenyap kalian berdua muncul mengejarku!”
“Sayang bangsat  itu lolos.  Tapi  mungkin kau dapat  mengenali  sosok atau
perawakannya meskipun gelap?” tanya Wiro.
“Wajahnya  memang tidak sempat  kulihat.  Tapi  potongan tubuhnya  aku
hampir yakin dia adalah Daruka…..”  
“Siapa Daruka?” tanya Wiro.
“Salah seorang anak buah  ayahku.  Dialah yang dicurigai  melakukan
penculikan atas diri Larasati. Tapi nyatanya nanti ceritanya jadi lain…..”
“Hemmmm….  Kalau  begini  jelas  ada  seseorang di  belakang Daruka.”  Kata
Wiro.
“Menurut  Janar  Gandewo sebelum  mati,  dia  disuruh oleh Walang Daksi.
Walang Daksi  disuruh  oleh  Suryaning. Lalu  mengapa  Daruka  membunuh  Janar  dan
ingin membunuhku juga?  Berarti  bukan Suryaning yang menyuruh  Daruka!  Tapi
seorang lain. Mungkin Pangeran Sendoyo?” Panji memandang pada Wiro.
Wiro menggeleng. “Sang Pangeran punya kelompok sendiri. Dua tokoh silat
Istana dan dua perwira kerajaan itu. berarti ada orang lain Panji. Aku mulai mencium
baunya. Nanti saja kukatakan. Mungkin kau akan tahu dengan sendirinya. Sekarang
kita  harus  mencari  tahu di  mana  Suryaning menyekap Larasati.”  Wiro memandang
pada  puteri  Warok  Keling itu.  Kelihatannya  si  gadis  masih jengkel.  Maka  Wiro
mengalihkan pembicaraan.  “Kau masih meneruskan keteranganmu  yang terputus
tadi?”
“Tak lama  setelah kalian pergi  ayah segera  mengadakan pertemuan dengan
kepala-kepala kelompok untuk menyelidiki siapa di antara para anggota yang berada
di  luar  perkampungan.  Kemudian segera  diketahui  bahwa  seorang anak buah ayah
sejak beberapa waktu lalu tidak ada di kampung. Namanya Daruka. Dia berada di luar
tanpa  setahu ayah ataupun  pimpinan  kelompok  dan  tanpa  suatau  tugas  apapun.
Mungkin sekali  dialah  yang telah membunuh  Karjo Lugu  pemilik  bengkel  kuda  di
Kuto Inggil itu. Ayah mengirim dua orang anak buahnya untuk menyelidik lebih jelas.
Seorang lain ditugaskan ayah untuk menemui kalian. Tapi aku meminta agar aku yang
pergi.  Kami  berhasil  menemui  Daruka  di  satu tempat. Setelah dipaksa  dia  mengaku
memang dia yang telah membakar dan membunuh perempuan bernama Bibi kanoman
dna  Karjo Lugu.  Celakanya  Daruka  sempat  melarikan diri.  Namun satu pengakuan
penting sudah diucapkannya. Yaitu bahwa bukan dia yang menculik Larasati. Gadis
itu telah diculik lebih dulu oleh seseorang…..”
“Siapa?!” tanya Panji cepat.
  39 WIRO SABLENG
“Tunggu dulu!”  ujar  Jayengsari.  “Apa  hubunganmu dengan seorang dukun
perempuan bernama Walang Daksi?”
“Eh, mengapa kau bertanya begitu?!” balik bertanya Panji Argomanik.
“Dukun itu ditemui mati di rumahnya. Ada yang menggantungnya!”
Panji berpaling pada Wiro.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. “Berarti kita tidak bisa mencari tahu siapa
orang yang disebutkan Janar  Gandewo.  Kita  hanya  tahu sepotong nama  depannya.
Sur….. Bisa Surga, bisa Susur….. bisa…..”
“Sudah! Kau jangan ngacok!” potong Panji dengan suara keras.
“Mungkin aku tahu kelengkapan sepotong nama  yang barusan kau sebut itu.
tasa-rasanya orangnya sama dengan yang tadi hendak kuberitahukan….”
“Siapa?” tanya Wiro dan Panji hampir berbarengan.
“Suryaning…..” jawab Jayengsari.
“Suryaning?” ujar Panji dengan nada terkejut dan wajah berubah. “Hanya ada
satu orang bernama Suryaning. Dia adalah puteri Adipati Lumajang!”
“Justru dia yang menculik Larasati kekasihmu!”
“Hah?!  Apa  katamu?!  Suryaning  puteri  Adipati  Dirgo  Sampean yang
menculik Larasati?!” sepasang mata Singa Gurun Bromo membeliak.
Jayengsari mengangguk.
“Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin!” kata Panji masih tidak berkedip.
“Perempuan menculik perempuan!  Apa  perlunya?  Apa  untungnya?!”  ujar
Wiro pula.  “Kalau aku menculikmu atau kau menculik aku,  nah itu masih masuk
akal…..”
“Kurang ajar!  Siapa  mau menculikmu!”  damprat  Jayengsari  denan mata
melotot sedang Wiro menutup mulut menahan tawa.
Panji  mendekati  Wiro lalu  berbisik.  “Aku punya  dugaan gadis  ini  sengaja
menipu kita. Dia punya maksud buruk terhadap kita…… Larasati tidak punya silang
sengketa dengan puteri Adipati itu. Mengapa dia menculiknya?”
“Yang juga  tidak jelas.  Siapa  yang  membunuh dukun perempuan   bernama
Walang Daksi itu.”
Panji memandang Jayengsari. Lalu dia bertanya. “Bagaimana kau tahu kalau
puteri Adipati itu yang menculik Larasati?”
Jayengsari menyeringai. “Aku bukan cuma tahu hal itu, aku malah juga tahu
di mana kekasihmu sekarang disekap!”
“Kalau begitu lekas kau beritahu padaku tempatnya!”
Kembali  Jayengsari  menyeringai.  “Kau cari  tahulah sendiri!”  katanya.
Rupanya  dia  masih dendam  atas  perlakuan Panji  sebelumnya.  Habis  berkata  begitu
gadis ini segera hendak tinggalkan tempat itu. terpaksa Wiro kembali membujuknya.
“Sobatku cantik.  Jika  kau  mau menolong  orang  jangan kepalang tanggung.
Ayo kita  pergi  sama-sama  ke  tempat  Larasati  disekap.  Kau jalan duluan memberi
petunjuk biar kubawa kudamu kemari.”  Sebelum gadis itu bisa menolak Wiro sudah
lari ke tempat di mana kuda tunggangan Jayengsari berada. Lalu membawa binatang
ini pada pemiliknya dan mengulurkan tali kekang pada si gadis. Dia memandang pada
Jayengsari sambil tersenyum. Mau tak mau hati si gadis jadi luluh dan lembut jgua.
Sebenarnya dia memang tertarik pada murid Eyang Sinto Gendeng ini sejak pertama
kali  melihatnya  di  perkampungan.  Gadis  ini  tundukkan kepala.  Baru saat  itu
disadarinya kalau seluruh pakaiannya basah dan kotor oleh tanah becek akibat jatuh
tadi. Wiro maklum apa yang dipikirkan gadis itu. Maka dia cepat berkata.
“Gadis secantikmu tentu saja tidak pantas berpakaian kotor basah begini. Aku
ada salinan di kantong perbekalan. Kau bisa ganti pakaian saat ini juga…..”
  40 WIRO SABLENG
“Tak perlu,”  jawab Jayengsari  cept.  “Aku tidak percaya  pada  manusia
macammu….”
“Eh, maksudmu apa?” tanya Wiro.
“Waktu aku ganti pakaian kau pasti mengintip!”
Pendekar  212  tertawa  bergelak.  Panji  Argomanik mau  tak  mau juga  jadi
tertawa.  Jayengsari  memandang pada  pemuda  bergelar  Singa  Gurun Bromo ini  lalu
berkata  sambil  cemberut.  “Ih…..  Ikut-ikutan  tertawa…..!”  ucapan  Jayengsari
membuat gelak tawa Wiro semakin menjadi.
  41 SEBELAS
WIRO SABLENG
Walaupun malam  gelap  namun  dari  bibir  lembah podnok kayu  itu  masih dapat
terlihat cukup jelas. Jayengsari hentikan kudanya lalu menunjuk ke arah pondok.
“Itu tempatnya.” Katanya dengan nada dingin.
“Aku masih belum percaya kalau tidak melihat sendiri!” berucap Singa Gurun
Bromo. Lalu disentakkannya tali kekang kuda. Dia mendahului Wiro dan Jayengsari
menuruni  lembah.  Dalam  waktu singkat  ketiga  orang itu  sudah berada  di  depan
pondok kayu.  Singa  Gurun Bromo di  depan sekali  dan lebih dulu melompat  dari
kudanya.
Di dalam pondok yang hanya merupakan satu ruangan terbuka dan diterangi
oleh sebuah lampu minyak berkelap kelip karena kehabisan minyaknya, soerang gadis
yang kecantikannya terbungkus rasa takut duduk terikat di atas sebuah kursi kayu. Dia
mengenakan baju dan celana panjang warna biru muda. Kedua kaki celananya tampak
penuh robek sampai sebatas lutut. Dari robekan itu kelihatan sepasang kakinya yang
penuh dengan guratan-guratan luka. Gadis ini terduduk dengan muka pucat dan ada
air mata jatuh di atas pipinya.
Di hadapannya melangkah mundar mandir seorang gadis lain berpakaian serba
merah yang saat  itu  memegang seutas  cambuk.  Gadis  satu ini  menutupi  kepalanya
dengan sehelai kain tipis hingga parasnya hanya kelihatan samar-samar.
“Jadi  namamu Larasati  huh?!”  Mulut  di  bali  kain  tipis  berucap  dengan nada
ketus.  Tiba-tiba  dia  angkat  tangannya.  Cambuk yang  dipegangnya  berkelebat.
Terdengar  suara  keras  menggidikkan  ketika  cambuk itu menghantam  kedua  kaki
gadis  yang duduk terikat  di  kursi.  Si  gadis  menjerit  kesakitan.  Luka  baru kelihatan
mengoyak kakinya.
Gadis  yang melakukan cambukan tertawa  mengekeh.  “Sakit?
Hik….hik…hik….! Kau menjerit?! Kau menangis?!  Gadis cengeng! Sakit yang kau
rasakan tidak ada artinya dibandin dengan sakit hati yang kualami selama ini!”
“Persetan dengan sakit  hatimu!  Mengapa  kau menculik dan memperlakukan
aku seperti ini?! Kau manusia biadab!” teriak gadis di kursi.
“Diam!”  Lalu cambuk  itu  menghantam  kembali.  Gadis  di  kursi  kembali
menjerit. Kedua kakinya luka lagi. Darah semakin banyak mengucur.
“Namamu Larasati!  Kau bakal  benar-benar  mengalami  lara  seumur  hidup!
Jangan harap kau bakal  mendapatkan pemuda  itu!  Jika  aku tidak bisa  mendapatkan
Panji Argomanik, kau juga tidak bakal bisa memiliki pemuda bergelar Singa Gurun
Bromo itu!”
“Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau menutupi wajahmu dengan cadar?! Kau
perempuan iblis….!”
Gadis yang memegang cambuk tertawa panjang. “Aku memang manusia iblis.
Bahkan biasa  lebih buas  dari  iblis!  Sebentar  lagi  pekerjaanku akan selesai.  Setelah
wajahmu kurusak aku mau lihat  apakah kekasihmu itu masih mencintaimu!
Hik…hik…hik….!”
“Manusia celaka! Apa yang hendak kau lakukan?!”
“Sabar,  jangan banyak  tanya  dulu.  Nanti  kau  akan tahu sendiri!”  lalu gadis
yang kepalanya  ditutup kain  tipis  memutar-mutar  cambuknya.  Dari  mulutnya
kemudian terdengar  suara  teriakan keras.  Bersamaan dengan itu cambuk di  tangan
kanannya menghantam ke arah wajah gadis di atas kursi.
Larasati menjerit.
  42 WIRO SABLENG
Saat  itu pula  pintu  pondok hancur  berantakan diterjang orang  dari  luar.
Seseorang bekelebat  masuk dan melompat  ke  hadapan gadis  bercadar.  Sekali  dia
mengulurkan tangan,  dia  berhasil  menangkap ujung cambuk yang  hendak
menghantam wajah Larasati!
Gadis  yang memegang cambuk tampak terkejut.  Dia  segera  menyentakkan
cambuk agar  terlepas  dari  pegangan Singa  Gurun Bromo.  Tapi  pegangan sang
pendekar  begitu kuat  hingga  sekalipun dia  mengerahkan tenaga  sekuatnya,  cambuk
itu tak bisa lepas. Sebaliknya dengan sekuat tenaga pula Singa Gurun Bromo menarik
cambuk hingga si gadis terbetot ke depan. Agar dirinya tidak tertarik lebih jauh gadis
ini  mau tak mau harus  lepaskan cambuk yang dipegangnya.  Lalu dia  melompat  ke
dinding pondok, menajuhi Singa Gurun Bromo.
“Siapa  kau?!”  bentak Singa  Gurun  Bromo dengna  mata  membelalang.
“Mengapa kau menculik Larasati?!”
Gadis bercadar tertawa tinggi.
“Kau mana mau pernah mengenalku. Kau mana pernah mau mengingat-ingat
diriku. Dia kekasihmu, ya? Hik….hik…..hik!”
“Diam!  Jawab pertanyaanku!”  hardik  Singa  Gurun Bromo.  Dia  ingat  pada
Larasati.  Cambuk yang dipegangnya  dibantingkannya  ke  lantai  lalu dia  segera
menghampiri Larasati, memeluk gadis itu sesaat.
Selagi  Panji  Argomanik membuka  ikatan Larasati,  kesempatan ini
dipergunakan oleh gadis bercadar untuk melarikan diri. Dia melompat ke pintu. Tapi
di pintu saat itu sudah menghadang Pendekar 212. Di belakangnya berdiri Jayengsari.
“Eh, kau mau pergi ke mana?” tegur Wiro. Tangan kanannya diulurkan untuk
menarik pinggang si  gadis.  Tapi  tiba-tiba  gadis  bercadar  ini  keluarkan  sebilah keris
dan menusukkannya  ke  dada  Wiro.  Dari  caranya  menikam  serta  gerakan serangan
yang tidak mengeluarkan angin Wiro tahu kalau orang itu sama sekali tidak memiliki
kepandaian silat,  apalagi  tenaga  dalam.  Karenanya  dengan mudah Wiro dapat
meringkusnya. Gadis ini berteriak-teriak berusaha melepaskan diri.
“Wiro,  lepaskan dia!”  kata  Panji  Argomanik.  “Aku akan menanyainya.  Jika
dia tidak mau membuka mulut akan kupatahkan batang lehernya!” Lalu pemuda itu
melangkah ke  hadapan si  gadis  bercadar  yang saat  itu bersurut  dan baru berhenti
begitu punggungnya tertahan dinding pondok.
“Lekas katakan siapa dirimu! Mengapa kau menculik Larasati! Jawab! Buka
cadarmu!”
Gadis bercadar hanya menjawab dengan suara mendengus.
Panji  Argomanik  mulai  hilang sabarnya.  Dia  mengambil  cambuk yang  tadi
dicampakkannya.
“Tadi  kau hendak merusak muka  kekasihku!  Sekarang biar  wajahmu dulu
yang akan kurusak!”
Anehnya si gadis bercadar malah keluarkan suara tertawa nyaring dan panjang.
“Kua  hendak merusak mukaku?!”  katanya  menantang dan sambil  maju
selangkah.  “Lakukanlah!”  tiba-tiba  gadis  ini  merenggutkan cadar  yang menutupi
kepalanya.
Larasati  yang berada  di  sudut  pondok terpekik  ngeri.  Jayengsari  keluarkan
seruan tertahan. Panji Argomanik sendiri tampak mengernyit bergidik. Sedang Wiro
sipitkan kedua mata, memandang tak berkedip dengan kuduk terasa dingin.
Wajah yang tadi  tersembunyi  di  balik  cadar  itu  kini  tersingkap  jelas
mengerikan. Wajah itu bukan wajah seorang gadis tapi merupakan wajah  yang sangat
seram.  Hidungnya  gerumpung.  Mata  kirinya  menyembul  membeliak.  Kening  dan
  43 WIRO SABLENG
pipinya  penuh guratan  luka  yang dalam.  Bibirnya  sebelah atas  robek sedang yang
sebelah bawah menggelantung hampir copot!
“Mahluk bermuka setan! Siapa kau?!” teriak Panji Argomanik sambil mundur
satu langkah.
Orang itu  keluarkan suara  tertawa  panjang.  “Tentu saja  kau tidak  mengenali
diriku Panji.  Tidak  ada  satu orangpun  yang mau mengenalku.  Bahkan ayah dan
ibukupun benci  padaku!  Aku  adalah Suryaning,  puteri  dan anak  tunggal  Adipati
Dirgo Sampean dari Lumajang!”
Semua  orang  di  dalam  pondok  itu  tersentak  kaget  dan  sekaligus  juga
diselimuti  rasa  ngeri  melihat  wajah seram  yang tidak pernah mereka  sangkakan
sedikitpun.
“Kalian ngeri?  Takut  atau jijik melihatku?!”  Suryaning membuka  mulut  dan
maju beberapa  langkah hingga  kini  berada  di  tengah-tengah ruangan.  Sebaliknya
Larasati dan Panji serta Wiro dan Jayengsari justru bergeser ke sudut-sudut pondok.
Puteri  Adipati  iu tertawa  panjang.  “Kalian,  seperti  juga  semua  orang tidak pernah
menyangka  wajah seorang puteri  Adipati  seperti wajahku yang kalian  lihat  saat  ini!
Nasibku memang malang! Ketika berusia delapan tahun ayah membawaku ke Hutan
Jatiroto,  ikut  berburu.  Ketika  berkemah,  ayah dan para  pengawal  berlaku lengah.
Tiba-tiba ada seekor harimau menyerbu kemah pada saat aku terbaring tidur keletihan.
Binatang itu  memang berhasil  diusir  tapi  dia  sempat  mencakar  wajahku  hingga  jadi
rusak begini. Semua orang mengira aku kaan mati. Bahkan ayah dan ibuku berharap
aku mati  saja.  Ternyata  aku bertahan hidup.  Tapi  selama  bertahun-tahun mereka
menyembunyikan diriku.  Mereka  mengurungku di  sebuah kamar.  Hanya  karena
kabaikan para pengawal yang merasa iba terhadapku aku bisa menyelinap keluar pada
malam  hari.  Setiap  kesempatan ada  kupergunakan untuk mendekati  rumah
kediamanmu Panji. Ketika kau menjadi buronan dan menghilang selama enam tahun,
aku seperti mau mati rasanya…..”
Semua  orang yang ada  di  tempat  itu jadi  terdiam  mendengar  penuturan
Suryaning itu.
“Dengar…..”  kata  Panji  Argomanik dengan  suara  gemetar.  “Siapapun kau
adanya,  mengapa  kau menculik Larasati.  Mengapa  kau   menganiaya  dan hendak
merusak wajahnya?  Karena  kau iri?  Karena  parasnya  cantik dan wajahmu seburuk
setan?!”
Dari  mulut  Suryaning keluar  suara  menggembor.  “Kau betul  Panji!  Aku
memang iri! Aku cemburu! Aku ingin kau adalah milikku sendiri! Aku tidak ingin dia
merampasmu dari tanganku!”
“Apa maksudmu…..?” tanya Panji heran.
“Aku sudah lama  mencintaimu Panji…..  Tapi  kau tak pernah membalasnya.
Tidak secara nyata, juga tidak dalam mimpi!”
Panji berpaling pada Larasati, lalu menoleh pada Wiro dan Jayengsari. “Gadis
ini pasti tidak waras! Bertemupun sebelumnya aku tidak pernah…..”
“Memang Panji,  kita  memang tidak pernah bertemu.  Kau tak pernah
melihatku.  Tapi  aku sering melihatmu.  Hampir  setiap malam  aku memimpikanmu.
Tapi  aku tahu diri.  Keadaanku yang begini  tidak memungkinkan aku bisa
memperlihatkan rupa  padamu.  Apalagi  mendapatkan cinta  darimu!  Karena  itu aku
bersumpah.  Kalau aku tidak bisa  memilikimu,  tidak seorang gadis  lainpun boleh
memilikimu! Tidak juga gadis itu!” Suryaning menunjuk tepat-tepat ke arah Larasti
yang membuat Larasati seperti terbang nyawanya.
“Jadi karena itu kau menculiknya lalu hendak merusak tubuh dan wajahnya!”
kata Panji pula.
  44 WIRO SABLENG
“Betul!  Memang itu  yang hendak  kulakukan!”  jawab Ssuryaning.  “Tapi
ketahuilah,  aku bukan hanya  tak mau  gadis  itu jadi  milikmu,  tapi  juga  tidak ingin
melihat dia jadi istri muda ayahku!”
Terkejutlah semua orang yang ada di situ. Semua mata ditujukan pada Larasati.
Gadis ini sesaat menutupi wajahnya lalu terdengar suaranya di antara isakan. “Adipati
Lumajang memang pernah melamarku pada  Bibi  Kanoman.  Waktu itu aku baru
berusia empat belas tahun. Kami menolak dengan halus. Kurasa hal itu telh berakhir
sampai di situ saja…….”
“Bagimu dan bagi bibimu mungkin begitu. Tapi bagi ayahku tidak. Dia sudah
tergila-gila  padamu!  Dia  sudah bertekad apapun yang terjadi,  jalan apapun akan
ditempuhnya  untuk mendapatkanmu.  Ketika  Pangeran Sendoyo setahun kemudian
meminta  ayahku untuk melamarmu guna  dijadikan istri  puteranya  yang  bernama
Tayub Jenggolo, ayahku melihat ada satu kesempatan untuk memanfaatkan keadaan.
Bibimu menolak pinangan sang Pangeran.  Pngeran Sendoyo tersinggung.  Ayahku
memperuncing keadaan dengan mengatakan bahwa  sebenarnya  pinangan itu ditolak
karena Larasati sudah mempunyai seorang kekasih bernama Panji Argomanik yang di
Kuto Inggil  dikenal  dengna  julukan Singa  Gurun Bromo.  Ayah lalu membujuk
Pangeran agar melenyapkan Panji. Sekaligus dia akan mendapatkan keuntungan. Jika
Panji mati, dia bisa mengulang maksudnya untuk mengawinimu…..” Sampai di situ
Suryaning menatap ke arah Larasati. Yang ditatap hanya bisa tundukkan kepala.
“Apa yang kemudian dilakukan Adipati dan Pangeran Sendoyo?” tanya Panji.
“Ayah mengumpan putera  sang  Pangeran  yaitu  Tayub Jenggolo  yang  dalam
keadaan mabuk agar  memancing  keributan dengan Panji.  Ayah sengaja  membayar
tiga  orang  pemuda  kawan-kawan tayub  berpura-pura  mabuk  lalu  mencegat  Pnaji  di
satu tempat. Begitu mereka berkelahi ketiga pemuda itu melarikan diri. Lalu sewaktu
tayub tergeletak di  tengah jalan,  seorang penjahat  yang dibayar  ayahku  menusuk
putera Pangeran itu sampai mati. Mayatnya ditinggalkan di tengah jalan….”
Pelipis  Panji  Argomanik  tampak bergeark-gerak.  Rahangnya  menggembung.
“Tayub ditemukan dengan pisau milikku menancap di tubuhnya. Kau tahu bagaimana
pisau itu berada di tangan Tayub yang kemudian dijadikan senjata pembunuhnya dan
dijadikan bukti bahwa akulah yang telah menghabisi putera Pangeran itu?!”
Suryaning berpaling pada Panji. Sambil menundukkan kepala gadis ini berkata.
“Itu juga sebagian dari siasat ayahku agar kau bisa ditangkap dan digantung. Pisau itu
disuruhnya curi ketika kau tidak ada di rumah!”
“Manusia  keji!”  rutuk Panji  sambil  kepalkan tinju.  “Siapa  yang melakukan
pencurian itu? Kau tahu juda siapa yang sebenarnya membunuh Tayub Jenggolo?”
“Orangnya sama…..”
“Aku sudah dapat memastikan siapa orangnya!” memotong Jayengsari. “Pasti
Daruka!”
Suryaning menoleh pada  puteri  Warok Kelin  itu lalu menganggukkan
kepalanya.
“Kau tahu siapa  yang  membakar  rumah  dan membunuh Bibi  Kanoman?”
tanya Larasati.
“Daruka  juga.  Adipati  yang  menyuruh  dengan bayaran tinggi.  Daruka
kemudian membawa  beberapa  orang penjahat  dari  Barat.  Maksud semula  adalah
untuk menculikmu.  Ketika  Daruka  dan para  penjahat  itu  tidak  menemukan dirimu,
mereka membakar ruamhmu dan membunuh Bibi Kanoman……. Kemudian Daruka
juga….”
Belum  sempat  Suryaning melanjutkan ucapannya  tiba-tiba  di  luar  pondok
terdengar suara orang membentak.
  45 WIRO SABLENG
“Anak tak tahu diri!  Apa  yang talah kau ceritakan pada  manusia-manusia
keparat itu!”
Paras setan Suryaning tampak tercekat. “Ayahku…..” desisnya.
Lalu di atas atap ada nyala terang.
“Mereka membakar pondok!” teriak Jayengsari.
Semua  orang  lari  berserabutan ke  arah  pintu.  Tapi  Pendekar  212  cepat
menghalangi.
“Jangan lari lewat pintu depan! Ikuti aku!” teiak Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng melompat ke bagian belakang pondok. Dengan
pukulan sakti  Kunyuk  Melempar  Buah dia  menghantam  dinding  belakang pondok
hingga  hancur  berantakan.  Lewat  dinding yang porak poranda  itu semua  orang lalu
menghambur keluar pondok.
Apa  yang dilakukan Pendekar  212 Wiro Sableng  memang sangat  tepat.  Jika
seandainya mereka keluar lewat satu-satunya pintu maka tubuh mereka akan disambut
oleh panah-panah beracun yang sudah disiapkan oleh Daruka  dan delapan orang
kawan-kawannya!
  46 DUA BELAS
WIRO SABLENG
Kelima orang itu bersembunyi di balik semak belukar lebat. Dalam waktu singkat
sebagian dari pondok kayu sudah musnah dimakan api. Beberapa orang penunggang
kuda  mengitari  pondok yang  terbakar.  Mereka  adalah penjahat-penjahat  dari  Barat
yang dibawa  serta  oleh  Daruka  untuk membantunya.  Saat  itu  mereka  tidak lagi
mengenakan kain penutup muka. Daruka sendiri kelihatan di sebereang sana bersama
Adipati Dirgo dan beberapa orang anak buahnya serta sekelompok perajurit kadipaten.
Dalam gelap mereka juga melihat dua orang di bawah sebatang pohon. Wiro
segera  mengenali  keduanya  dan berbisik pada  Panji.  “Kunto Areng dan Jalak Toga
ada di antaa mereka.”
Seorang anak  buah Daruka  memberitahu  bahwa  di  dalam  pondok  tidak
kelihatan satu orangpun.
“Mereka pasti bersembunyi di sekitar sini. Mereka tidak bisa lari. Kuda-kuda
mereka sudah kita preteli…..” Yang bicara adalah Adipati Dirgo Sampean. “Pimpin
anak buahmu melakukan  pencarian!  Ingat  tak ada  satu orangpun  yang boleh  lolos.
Bunuh mereka semua. Termasuk anakku!”
“Orang tua  bangsat!”  terdengar  Suryaning memaki  dalam  gelap.  Lalu  dia
bergerak. Wiro cepat memegang tangannya.
“Kau mau kemana?” tanya Wiro.
“Aku ingin membunuh ayahku dengan tanganku sendiri!” jawab Suryaning.
“Betapapun kesalahan ayahmu,  dia  tetap orang  tuamu.  Jangan jadi  anak
durhaka. Ayahmu serahkan pada kami….”
Suryaning jadi  terdiam.  Tapi  dari  kedua  matanya  yang cacad  samar-samar
tampak melelehkan air mata.
Saat  itu  Daruka  dan  tiga  orang  anak buahnya  lewat  di  depan  mereka,
memandang kian kemari.  Terangnya  nyala  api  yang membakar  pondok  kayu
memaksa Wiro dan empat orang lainnya itu menajuh dan mencari tempat terlindung
yang lebih gelap.
“Itu pasti  Daruka…..”  desis  Singa  Gurun  Bromo.  “Aku ingin mengorek
jantungnya saat ini juga!”
“Tidak bisa! Dia bagianku! Dia harus menerima hukuman dari ayah. Saat ini
aku yang mewakili ayahku Warok Keling!” kata Jayengsari. Kedua orang itu sama-
sama berdiri lalu sama-sama saling pandang. Sesaat wajah si gadis tampak merengut.
Lalu sekali tubuhnya berkelebat dia sudah menghambur dari balik  semak belukar.
Daruka terkejut ketika melihat ada seseorang tiba-tiba berkelebat dari tempat
gelap dan berusaha  membetot  tali  kekang kuda.  Dia  lebih  terkejut  lagi  ketika
mengenali bahwa orang itu ternyata seroang gadis dan bukan lain adalah Jayengsari
puteri pimpinannya.
“Kau terkejut melihatku Daruka?!” seringai Jayengsari.
Saat itu Singa Gurun Bromo sudah melompat pula ke depan Daruka. Melihat
munculnya  sang pendekar  mau tak mau Daruka  jadi  bergeming juga  nyalinya.  Dia
berteriak “Adipati!  Mereka  di  sini!”  Lalu pada  tiga  orang anak buahnya  dia
memerintahkan “Cincang orang berikat  kepala  merah ini!  Aku ingin  menyelesaikan
urusan lebih dulu dengan gadis ini!”
Tiga  orang lelaki  berbadan tegap dengan bersenjatakan golok segear
menggerakkan kuda  masing-masing  menyerbu Singa  Gurun  Bromo.  Tiga  golok
menderu dalam gelapnya malam.
  47 WIRO SABLENG
Singa  Gurun  Bromo  yang  sudah sampai  di  puncak amarahnya  tidak  tinggal
diam. Jotosannya menghantam kepala kuda di sebelah kanan. Binatang ini meringkik
kesakitan dan melemparkan  penunggangnya  hingga  jatuh  terbanting  ke  tanah.
Serangan golok yang datang dari  sebelah kiri  dapat  dielakkannya.  Begitu golok
mendesing di  atas  kepalanya  Singa  Gurun  Bromo melompat  ke  depan.  Kedua
tangannya  menyambar  lengan anak buah Daruka  yang ketiga.  Orang ini  terbetot  ke
depan.  Saat  itu juga  Singa  Gurun  Bromo lipat  tangannya  hingga  golok yang
dipegangnya menghujam menembus perutnya sendiri!
“Jayengsari….. Bagaimana kau bisa berada di sini?!” tanya Daruka.
“Kau tak layak bertanya!  Kau tahu kau sudah membuat  banyak kesalahan.
Warok Keling menugaskanku untuk membawa kepalamu ke hadapannya!”
“Kau anak yang  baik.  Tapi  aku yakin kau bisa  jadi  kekasih atau istri  yang
baik!”
“Bangsat! Apa maksud mulut kotormu?!” hardik Jayengsari.
“Dengar  gadis  cantik.  Aku sudah lama  diam-diam  menyukaimu.  Bagaimana
kalau saat  ini  kau  bergabung  bersamaku.  Kalau urusan sudah selesai  kau ikut  aku.
Kita bisa hidup sebagai sepasang kekasih!”
Paras  Jayengsari  kelihatan merah gelap.  “Bagus!  Kuterima  usulmu!  Aku
bersedia bergabung! Tapi terima dulu ini!”
Sebagai anak Warok Keling, Jayengsari memang telah mendapat gemblengan
berbagai  ilmu  langsung  oleh  ayahnya  sendiri.  Dibanding  dengan  Daruka,
kepandaiannya  lebih tinggi  dua  tingkat.  Karenanya  sewaktu gadis  ini  melancarkan
satu jotosan keras ke pinggangnya Daruka cepat mengelak selamatkan diri. Walaupun
saat  itu dia  memegang sebilah golok namun rasa  sukanya  terhadap Jayengsari
membuat  Daruka  tidak tega  untuk mengirimkan bacokan.  Dengan tumit  kirinya  dia
coba menendang bahu Jayengsari. Justru inilah kesalahan besar yang akan merenggut
nyawanya.
Sambil  membungkuk Jayengsari  berhasil  menangkap pergelangan kaki
Daruka lalu ditariknya kuat-kuat ke bawah hingga Daruka yang bertubuh tinggi besar
itu jatuh dari punggung kudanya. Belum lagi dia sampai di tanah jotosan tangan kiri
Jayengsari  melabrak perutnya.  Daruka  mengeluarkan suara  seperti  mau  muntah.
Selagi dia tegak terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya, dari samping kiri Singa
Gurun Bromo yang baru saja  menghajar  tiga  orang pengeroyoknya  ayunkan tinju
menghantam batok kepalanya.
“Praaaak!”
Batok kepala  Daruka  rengkah.  Tubuhnya  terhempas  ke  tanah,  menggeliat
beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.
Beberapa  orang berkuda  menghambur  datang ke  tempat  itu.  di  depan sekali
adalah Adipati  Lumajang Dirgo Sampean.  Di  belakangnya  enam  penunggang kuda,
tiga di antaranya adalah anak buah Daruka, tiga lainnya perajurit kadipaten. Keenam
orang ini  merentang busur  menarik panah beracun yang ditujukan tepat-tepat  pada
Jayengsari dan Singa Gurun Bromo.
“Jika  kalian ingin  segera  mampus  silahkan  bergerak.  Anak-anak  panah itu
beracun!”
“Adipati keparat! Kau kira aku takut mati!” teriak Singa Gurun Bromo.
Adipati  Dirgo  Sampean  menyeringai.  Dia  berpaling pada  Jayengsari  lalu
tersenyum  lebar.  “Bukan main!  Puteri  Warok  Keling ternyata  berkomplot  dengan
manusia  buronan ini!  rejekiku  besar  sekali  malam  ini!  mendapatkan  buronan
pembunuh putera Pangeran Sendoyo, sekaligus mendapatkan puteri raja diraja kepala
  48 WIRO SABLENG
rampok!” Adipati berpaling ke belakang. “Bunuh pemuda ini sekarang juga! Gadis ini
tangkap hidup-hidup!”
Tiga  orang  anak buah  Daruka  yang  merentang busur  serta  merta  menarik
anak-anak panah lebih ke belakang dan siap melepaskan ke arah Singa Gurun Bromo.
Pada  saat  itu,  di  tempat  gelap  di  mana  Wiro dan Suryaning bersembunyi
kelihatan sinar terang. Dua gadis itu sama berpaling ke arah Wiro dan terheran-heran
ketika melihat tangan kanan sang pendekar berubah putih menyilaukan.
“Apa yang hendak kau lakukan….?” Bertanya Larasati.
Sebagai jawaban Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan tangna kanannya ke
arah tiga orang anak buah Daruka yang siap melepaskan panah-panah beracun. Saat
itu juga  terdengar  suara  menderu  disertai  berkiblatnya  sinar  terang menyilaukan.
Hawa panas menghampar di tempat itu. kuda-kuda yang ada di tempat itu meringkik
keras. Adipati Dirgo Sampean berteriak keras lalu melompat turun dari aas kudanya.
Sinar  panas  menyilaukan  tadi  lewat  di  atasnya.  Lalu terdengar  jeritan tiga  orang  di
belakangnya. Ketiganya mencelat ke udara sampai dua tombak. Begitu jatuh ke tanah
mereka sudah tak bernafas lagi. Mati dengan tubuh gosong!
Tiga  perajurit  yang juda  tengah mengancam  Jayengsari  dengan panah-panah
beracun dan tadinya  bersiap-siap untuk  meringkus  gadis  itu  berlompatan  dari  kuda
masing-masing begitu pukulan Sinar  Matahari  menyambar  di  udara.  Mereka
bergulingan di  tanah.  Panah dan  busur  lepas  entah kemana.  Ketiganya  menyangka
sudah selamat  tapi  selagi  mencoba  bangkit  tendangan demi  tendangan menghantam
kepala, dada dan perut mereka. Ketiganya bergelimpangan malang melintang. Yang
kena  tendang kepalanya menemui  ajal  saat  itu juga.  Yang  kena  hantaman  di  bagian
dada muntah darah dan siap untuk sekarat. Satunya lagi terkapar mengerang dengan
perut pecah!
“Gadis Iblis! Tak dapat menggantung ayahmu, kau juga sudah cukup pantas!”
Dua  penunggang kuda  muncul  di  tempat  itu.  merka  adalah Kunto Areng dan yang
berteriak adalah  Jalak Toga.  Keduanya  bukan lain adalah perwira-perwira  kerajaan
kaki tangan Adipati Dirgo Sampean. Mereka sama melompat turun dari kuda masing-
masing, lalu menyerbu Jayengsari dengna bersenjatakan golok.
“Bagus!  Aku kenal  siapa  kalian!”  teriak  Jayengsari.  “Perwira-perwira  culas
macam  kalian harus  disingkirkan  dari  kerajaan!”  dengan  mengandalkan tangan
kosong puteri Warok Keling ini tanpa rasa jerih sama sekali menyongsong serangan
kedua lawannya yang berkepandaian tinggi itu.
Begitu jatuh  di  tanah dan  berdiri,  Adipati  Dirgo Sampean langsung disergap
Singa  Gurun Bromo.  Keduanya  sama-sama  mengandalkan tangan kosong.  Berarti
sama-sama  mengerahkan pukulan-pukulan sakti  dan tenaga  dalam.  Dengan
kepandaiannya  yang masih rendah enam  tahun lalu Singa  Gurun Bromo berhasil
melarikan diri dari tempat sang Adipati menyekapnya. Kini setelah digembleng lagi
selama enam tahun, tingkat kepandaian Singa Gurun Bromo tentu saja semakin tinggi
dibandingkan dengan yang dimiliki  oleh Dirgo Sampean.  Karenanya  dalam  waktu
singkat  Adipati  itu segera  terdesak hebat.  Beberapa  pukulan Singa  Gurun Bromo
berhasil mendarat di tubuhnya. Satu mampir di pinggiran matanya sebelah kiri hingga
robek dan mengucurkan darah.
Dengna  menggertakkan rahang menahan  sakit  Adipati  Dirgo Sampean
kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Asap hitam aneh tiba-tiba menggebubu
dari telapaknya disertai hawa busuk bukan main.
“Awas asap beracun!” satu teriakan perempuan keluar dari tempat gelap. Panji
Argomanik cepat  tutup jalan  pernafasannya.  Kalau  saja  bukan karena  teriakan tadi
mungkin sang Adipati  akan meneruskan serangan asap beracunnya  yang  bisa
  49 WIRO SABLENG
mencelakakan Singa Gurun Bromo. Namun dia terkejut sekali ketika mengenali suara
yang berteriak  tadi  adalah suara  puterinya  sendiri.  Disamping  terkejut  dia  juga  jadi
sangat marah. Serta merta dia melompat ke balik semak belukar dari mana datangnya
teriakan tadi.
“Hemmmm, kalian berdua lengkap sudah berada di sini!” kata Adipati Dirgo
Sampean sambil memandang melotot pada puterinya dan Larasati.
“Bertiga dengan aku!” kata Wiro seraya melompat bangkit dan kirimkan satu
jotosan ke arah perut sang Adipati.
Karena  masih mempelototi  anaknya  dan gadis  yang digilainya  itu  ketika
serangan datang Adipati Dirg seperti tak acuh hanya menepis dengan tangan kirinya.
Tepi begitu lengan dengan lengan beradu, menjeritlah Adipati ini. Tulang lengannya
serasa patah. Selagi dia kesakitan setengah mati seperti ini puterinya berseru “Ayah,
sebaiknya kau menyerah saja! Itu lebih baik bagimu!”
“Anak setan! Kau berkomplot dengan keparat-keparat ini……”
Tadinya  masih ada  sedikit  rasa  kasihan dalam  diri  Suryaning terhadap
ayahnya.  Tetapi  setelah dimaki  begitu  rupa  gadis  bermuka  cacat  dan  seram  ini  jadi
mendidih amarahnya.
“Kau keparat! Kau yang berkomplot dengan para panjahat untuk mendapatkan
gadis itu dan membunuh Janar Gandewo! Membunuh Bibi Kanoman…..”
“Anak sundal! Seharusnya dulu kubiarkan kau mati di rimba belantara itu!”
Suryaning menjawab tak  kalah sengitnya.  “Kau menyesal  punya  anak
seburukku! Aku juga menyesal punya ayah sejahatmu!”
Adipati Dirgo tak dapat lagi menahan amarahnya. Dia melompat ke hadapan
puterinya  itu  sambil  menghantamkan tangan kanannya  ke  muka  Suryaning.  Namun
jotosannya itu tidak sampai di sasaran karena saat itu Pendekar 212 telah lebih dulu
menggebuknya  dengan pukulan tangan kiri  ke  arah dadanya.  Selagi  Adipati  ini
melintir kesakitan Singa Gurun Bromo yang tadi hampir celaka oleh semburan asap
hitamnya melompat dari samping. Dengan kedua tangannya dia hendak mematahkan
leher Adipati Dirgo. Begitu bernafsunya pendekar ini untuk dapat menghabisi musuh
besarnya saat itu juga, dia tidak lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya. Saat itu
jalak Toga  dan Kunto Areng berhasil  mendesak Jayengsari  ke  dekat  sebuah pohon
besar.  Tanpa  sengaja  jalak Toga  melihat  Singa  Gurun Bromo tengah berlari  untuk
menerkam  Adipati  Dirgo Sampean tanpa  memperhatikan lagi  keadaan sekeliling
ataupun dirinya  sendiri.  Jalak toga  tidak  menyia-nyiakan kesempatan ini.  golok  di
tangannya dilemparkannya ke arah Singa Gurun Bromo.
“Panji  awas!”  terdengar  suara  orang berteriak.  Orangnya  bukan lain  adalah
Suryaning puteri sang Adipati.
Kesempatan bagi Singa Gurun Bromo untuk mengelak hampir tidak ada. Wiro
sendiri terhalang oleh tubuh Adipati Dirgo. Dalam saat yang sangat menentukan itu,
tanpa pikir panjang Suryaning melompat ke hadapan Singa Gurun Bromo, merangkul
tubuh pemuda ini. Kejap itu pula golok yang dilemparkan Jalak Toga sampai. Senjata
yang seharusnya  menancap di  pangkal  leher  Panji  Argomanik itu kini  menancap di
punggung kiri  Suryaning,  terus  tembus  sampai  ke  jantungnya!  Dari  mulut  gadis
malang ini hanya keluar satu keluhan pendek. Nafasnya putus dalam keadaan masih
memeluk pendekar yang diam-diam sangat dicintainya itu!   
Adipati Dirgo Sampean berteriak setinggi langit. Betapapun bencinya dia pada
Suryaning, namun kematian anak darah dagingnya sendiri di depan mata begitu rupa
sangat  mengguncang dirinya.  Dia  meraung dan memegang tubuh anaknya  yang
perlahan-lahan merosot jatuh dari tubuh Panji yang dirangkulnya.
  50 WIRO SABLENG
Dengan tubuh bergetar  Adipati  Dirgo  perlahan-lahan membaringkan jenazah
anak tunggalnya itu di tanah. Sesaat dia seperti hendak menangis. Tetapi yang keluar
dari mulutnya adalah satu raungan dahsyat. Kedua matanya tampak tiba-tiba berubah
merah. Dia memandang pada Panji Argomanik.
“Bangsat!” kertaknya. Seperti seekor harimau tubuhnya melompat ke hadapan
Panji. Singa Gurun Bromo menyongsong dengan menghantamkan kedua tangannya.
“Buk! Bukk!”
  Tinju kiri  kanan  Singa  Gurun  Bromo  mendarat  di  dada  sang Adipati.  Tak
ampun lagi  tubuhnya  terjengkang  jatuh.  Dari  mulutnya  keluar  darah  segar.
Seharusnya pukulan itu bisa membuatnya mati paling tidak pingsan. Namun dengan
segala  tenaga  yang ada  Adipati  Lumajang  ini  bangkit  berdiri  kembali  dengan
terhuyung-huyung.
Singa Gurun Bromo siap menghantamkan tinjunya sekali lagi, namun saat itu
tiba-tiba  muncul  dua  orang penuggang kuda  disertai  sesrombongan pasukan dari
Kotaraja. Orang di sebelah kiri berteriak keras.
“Atas nama kerajaan hentikan perkelahian!”
Singa  Gurun Bromo batalkan serangannya.  Adipati  Dirgo tertegun lemas.
Pendekar  212 Wiro Sableng yang  hendak melabrak Jalak Toga  juga  hentikan
gerakannya. Hanya Kunto Areng yang sepertinya tidak mau perduli. Saat itu perwira
ini  tengah  mendesak Jayengsari  habis-habisan dan siap untuk  mengirimkan  satu
bacokan maut.  Dia  sama  sekali  tidak mau menghentikan serangannya.  Sebaliknya
Jayengsari  hanya  bisa  tertegun diam  seperti  tidak menyadari  kalau  kematian
mengancam dirinya. Melihat hal ini Wiro dengan kecepatan luar biasa angkat tubuh
Jalak Toga lalu dilemparkannya ke arah Kunto Areng, tepat pada saat Kunto Areng
tengah membacokkan goloknya. Tak ampun lagi golok yang gseharusnya bersarang di
kepala  Jayengsari  itu  kini  menghantam  rusuk  kiri  Jalak Toga.  Perwira  tinggi  ini
menjerit  setinggi  langit.  Tubuhnya  terhempas  ke  tanah.  Darah  memebasahi
pakaiannya. Tapi nyawanya masih tertolong karena hanya bagian luar tubuhnya saja
yang terluka ditambah dua tulang iga terbabat putus!
Kunto Areng  yang  seperti  tak  percaya  dengan apa  yang terjadi  untuk  sesaat
lamanya  tertegun terkesiap.  Tubuhnya  mendadak terasa  lemas  lalu akhirnya  jatuh
terduduk di tanah.
“Hentikan perkelahian!”  terdengar  suara  teriakan seperti  tadi  sekali  lagi.
Semua mata dipalingkan. Dua penunggang kuda yag barusan muncul ternyata adalah
tokoh silat  Istana  yaitu  Ki  Bumi  Wirasulo dan Mangku Sanggreng.  Keduanya
memandang berkeliling dan pandangan mereka terhenti ketika melihat Penekar 212.
“Mangku, kunyuk gondrong itu ternyata ada di sini. Bagaimana pendapatmu?”
“Isi surat Sri Baginda tidak menyebut-nyebut namanya. Lagi pula kita sudah
mengetahui  dia  bukan  Singa  Gurun  Bromo  yang sebenarnya,”  jawab  Mangku
Sanggreng. “Lekas kau bacakan saja surat Sri Baginda.”
Ki  Bumi  Wirasulo  lalu merentangkan gulungan surat  yang dibawanya.
Dengan suara  keras  dia  membaca.  “Atas  nama  kerajaan dan keadilan Sri  Baginda
memerintahkan untuk menangkap Adipati  Lumajang Dirgo Sampean.  Yang
bersangkutan terbukti  menjadi  perencana  keji  sehingga  terbuhnya  Tayub  Jenggolo,
putera Pangeran Sendoyo. Dua orang perwira kerajaan masing-masing Kunto Areng
dan Jalak Toga  juga  dinyatakan  ditangkap karena  terbukti  berkomplot  membantu
Adipati Lumajang. Kepada pemuda yang bernama Panji Argomanik dikenal dengan
gelaran Singa  Gurun  Bromo dinyatakan bebas  dari  segala  tuduhan  dan kesalahan.
Tertanda Sri Baginda.
  51 WIRO SABLENG
Ki Bumi Wirasulo menggulung surat itu kembali. Jalak Toga yang ketika surat
Sri Baginda dibacakan menguatkan diri untuk dapat bangun. Tapi begitu mendengar
isi  surat  langsung rebah kembali  dan pingsan.  Adipati  Dirgo  Sampean tampaknya
pasrah saja  karena  dia  tidak  bergeak  sedikitpun dan  hanya  bisa  memandang kuyu
pada Panji argomanik yang berdiri di depannya.
Lain halnya  dengan Kunto Aeng.  Begitu mendengar  dirinya  dinyatakan
ditangkap tiba-tiba dia melompat bangkit melarikan diri. Namun satu tangan tiba-tiba
menahan jidatnya.  Bagaimanapun dia  berusaha  mengumpulkan  tenaga  untuk
melarikan diri, jidatnya tetap saja tertahan tangan itu.
“Bangsat keparat! Makan pisauku!” teriak Kunto Areng marah lalu mencabut
sebilah belati berkeluk dari pinggangnya. Senjata ini ditusakkannya sekuat tenaga ke
perut  orang yang sejak tadi  memegang jidatnya.  Namun tangan yang menahan
jidatnya  itu tiba-tiba  melesat  ke  atas  lalu turun lagi  mengemplang ubun-ubunnya!
Kunto Areng mengeluh  kesakitan.  Kedua  matanya  mendelik jereng dan  tubuhnya
berputar-putar. Pendekar 212 yang tadi memukul kepala perwira itu pergunakan tumit
kirinya untuk mendorong pinggul Kunto Areng. Orang ini roboh ke tanah, mukanya
jatuh tepat di atas pantat salah seorang perajurit kadipaten!
Panji  Argomanik masih tertegak tak bergeak ketika  Larasati  berlari
mendatanginya lalu memeluk tubuhnya dan menangis tersedu-sedu.
“Hentikan tangismu Laras…. Semua sudah berakhir…..” bisik Panji.
Wiro sendiri  celingak  celinguk mencari  seseorang.  Yang dicarinya  adalah
jayengsari. Puteri Warok Keling itu tiba-tiba lenyap begitu saja.
“Kau mencari aku, Wiro?” Satu suara menegur di belakangnya. Dia berpaling.
Astaga, ternyata gadis itu bersembunyi di balik punggungnya!
“Lihat  mereka  itu,”  kata  Wiro  sambil  menunjuk pada  Panji  dan Larasati.
“Tidakkah kau ingin merangkul aku seperti itu….?”
“Pemuda nakal bermulut usil! Tidak. Aku tidak akan mau memelukmu!” kata
Jayengsari.
Wiro tertawa  lebar.  “Maksudmu tidak,  artinya  tidak di  sini  kan?  Kalau di
tempat lain ya mau? Begitu?”
Jeyangsari  menjewer  telinga  kiri  Pendekar  212.  Lalu  telinga  itu  ditariknya
keras-keras hingga Wiro mau tak mau terpaksa melangkah mangikuti gerakan kaki si
gadis. Sampai di tempat gelap jayengsari lepaskan jewerannya dan tiba-tiba saja dia
memeluk pemud aitu dengan penuh nafsu sehingga murid Eyang Sinto Gendeng itu
jadi kelagapan.
“Aku membawa  pesan khusus  dari  ayah,”  bisik  Jayengsari.  “Beliau ingin
bicara  denganmu.  Apa  soal  aku tidak  tahu.  Yang jelas  kita  berangkat  sekarang
juga…..”
“Meninggalkan orang-orang itu begitu saja?!” ujar Wiro.
“Tahanan kerajaan itu  sudah ada  yang  mengurus.  Panji  dan Larasati  bisa
mengurus diri mereka berdua. Mereka pasti akan memeprhatikan jenazah Suryaning.
Mengenai mayat-mayat lain yang bergelimpangan itu peduli setan! Kau ikut aku atau
harus kujewer lagi?!”
Wiro tertawa  lebar.  Digelungkannya  tangannya  ke  pinggang Jayengsari.
Kedua insan itu kemudian lenyap ditelan kegelapan dan dinginnya malam.
TAMAT

Tidak ada komentar: