68. Singa Gurun Bromo
SATU
Warung nasi Mbok Sinem kecil. Tapi tamunya selalu penuh dari pagi sampai
malam. Lezat makanannya terkenal sampai ke mana-mana. Siang itu banyak orang
bersantap di sana. Para pengunjung begitu selesai makan cepa-cepat membayar dan
pergi. Mereka seperti mengawatirkan sesuatu. Tapi nyatanya mereka tidak pergi
begitu saja melainkan tegak di bawah pohon tak jauh dari warung. Orang-orang ini
sengaja berdiri di sini, memandang warung, sepertinya ada sesuatu yang mereka
tunggu dan hendak mereka saksikan.
“Kalau Singa Gurun Bromo berani muncul, dia tak bakal lolos!” berkata
seorang lelaki muda berbadan langsing. Setelah menyedot rokok kawungnya dalam-
dalam dia melanjutkan “Seharusnya dia tak perlu datang ke Kuto Inggil ini.
Ah, mengapa dia berlaku setolol itu.”
“Bagaimanapun Kuto Inggil adalah kampung halamannya. Tempat dilahirkan.
Walau ayah dan ibunya sudah tak ada, tak ada sanak tak ada kadang, mana mungkin
dia melupakan Kuto Inggil!” menyahuti kawan lelaki muda tadi.
Orang ketiga ikut bicara. “Enam tahun dia menghilang. Kalau dia berani
muncul pasti dia sudah membekal ilmu yang lebih tinggi. Ingat kejadian enam tahun
lalu? Waktu dia melumpuhkan para pengawal kadipaten, memberi malu Adipati
Dirgo Sampean?”
Orang pertama rangkapkan kedua lengannya di depan dada lalu berkata.
“Singa Gurun boleh punya segudang ilmu. Tapi kau lihat berapa orang yang ada di
dalam dan di luar warung itu. Lalu siapa-siapa saja mereka? Dulu kalau dia memang
tidak bersalah seharusnya dia tak usah melarikan diri!”
“Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Belum tentu dia kabur karena
bersalah. Bisa saja hanya untuk menghidari malapetaka yang lebih besar. Kau tahu
sendiri kedua orang tuanya menjadi korban dari masalah yang tidak pernah
terjelaskan itu…..”
“Yah ….. Kita lihat saja. Apa yang bakal terjadi kelak.”
Saat itu di dalam warung nasi Mbok Sinem yang ramai, di antara para tamu
yang duduk menikmati makan siang terdepat enam orang berpakaian petani. Yang
dua bertubuh tegap kekar serta memiliki pandangan mata liar. Mereka adalah dua
orang perwira tinggi kerajaan yang bersama perajurit manyamar sebagai petani. Di
balik baju-baju gombrrong yang mereka kenakan, tersembunyi golok. Di luar warung
masih ada delapan perajurit lagi yang menyamar sebagai penduduk biasa. Lalu agak
jauh dari warung, dekat serumpun pohon bambu berdiri dua orang berusia sekitar lima
puluh tahun. Sikat mereka tenang tapi pandangan mata keduanya tajam. Mereka
adalah tokoh-tokoh silat Istana. Yang pertama dikenal degnan nama Ki Bumi
Wirasulo dan satunya Mangku Sanggreng.
Kedua tokoh silat ini muncul di Kuto Inggil atas permintaan Adipati Dirgo
Sampean setelah salah seorang dari mata-mata yang disebar melaporkan bahwa Panji
Argomanik, pemuda yang lebih dikenal dengan julukan Singa Gurun Bromo itu akan
muncul di Kuto Inggil setelah menghilang selama enam tahun.
Saat itu udara panas sekali. Matahari bersinar terik. Sudah sejak lama hujan
tak pernah turun. Bumi Tuhan menjadi gersang. Kalau angin bertiup debu jalanan
beterbangan menyakitkan mata dan menyesakkan jalan nafas.
2 WIRO SABLENG
“Lihat! Singa Gurun datang!” Seorang berseru seraya menunjuk ke ujung
jalan. Semua mata serta merta memandang ke arah yang ditunjuk.
“Dia benar-benar berani mati!”
Di tikungan jalan saat itu muncul seprang penunggang kuda coklat berpakaian
dan berikat kepala putih. Debu beterbangan di belakang kuda tunggangannya. Dalam
waktu singkat dia sudah berada di depan warung Mbok Sinem. Selesai meanmbatkan
kudanya pada sebuah tiang bambu sambil bersiul-siul dia melangkah menuju pintu
warung. Masuk ke dalam warung dilihatnya hanya ada satu bangku yang masih
kosong, tepat di tengah ruangan.
Sesaat pemuda ini tegak mengusap-usap dagunya. Dalam hatinya dia berkata
“Aneh satu-satunya bangku kosong berada di tengah ruangan. Sepertinya ada yang
sengaja mengatur.”
Setelah melirik ke kiri dan ke kanan pemuda ini lalu melangkah ke arah
bangku kosong. Baru saja dia duduk di situ tiba-tiba beberapa orang di sekitar meja
berdiri dan terdengar suara-suara senjata dicabut dari sarungnya. Lalu menyusul suara
bentakan-bentakan.
“Singa Gurun Bromo! Jangan kau berani bergerak!”
“Berani melawan amblas nyawamu!”
Pemuda yang barusan duduk di bangku tentu saja menjadi kaget dan
memandang berkeliling. Enam orang lelaki tak dikenal mengurung dengan golok di
tangan. Yang dua dengan gerakan kilat menyergap ke arahnya. Satu menempelkan
ujung golok ke perut dan satunya lagi membelintangkan senjatanya di leher si pemuda.
Setelah sirap kagetnya, si pemuda tampak tenang, malah meyeringai. “Sobat!
Kalau kalian hendak merampokku, kalian salah mencari mangsa. Aku hanya seorang
manusia miskin! Apaku yang hendak kalian rampok?”
Enam orang yang mengurung tampak berubah kelam tampang mereka tanda
menahan amarah. Yang menghunuskan goloknya ke leher si pemuda tekankan
senjatanya hingga kulit leher pemuda itu teriris luka. Dia berkata dengan suara
bergetar. “Kami bukan perampok. Aku dan kawanku adalah perwira tinggi kerajaan.
Empat orang ini perajurit-perajurit kelas satu.”
“Eh, hebat! Lalu apa mau kalian? Hendak menyembelihku?! Aku bukan singa,
apalagi kambing!”
“Sebelum mampus memang tak ada salahnya kau bergurau dulu. Nanti kalau
sudah di liang kubur buronan Singa Gurun Bromo hanya bisa bergurau dengan setan-
setan kuburan!”
“Eh, kau menyebut aku buronan? Kau tadi menyebut namaku apa? Singa
Gurun…..?
“Panji Argomanik! Jangan kau berpura-pura!” bentak orang yang menodong
dengna ujung goloknya ke perut si pemuda.
“Nah, nah! Sekarang kau menyebut aku Panji Argomanik! Kalian ini aneh-
aneh saja! Sudah pergi sana! Aku ke sini mau mengisi perut bukan ikut-ikutan
sandiwara konyolmu ini!”
“Siapa yang konyol dan siapa yang main sandiwara!” bentak salah seorang
dari perwira tinggi itu. “Aku Kunto Areng. Perwira Kerajaan. Mengikuti amarah aku
bisa mencincangmu saat ini juga. Tapi Sri Baginda dan Adipati ingin melihat kau
mampus di tiang gantugnan!”
“Mencincangku? Memangnya aku daging perkedel?!” semprot si pemuda lalu
menyeringai lebar.
3 WIRO SABLENG
“Setan alas!” maki Kunto Areng. Lalu dua jari tangan kirinya bergerak cepat
menusuk ke arah dada si pemuda untuk menotok. Tapi dengan cepat si pemuda itu
angkat tangan kanannya. Sekali bergerak dia berhasil menangkap lengan Kunto Areng.
“Orang gila!” desis pemuda itu. “Siapapun kau adanya, aku muak melihat
tampangmu! Aku bukan Panji Argomanik, juga bukan singa Gurun Bromo! Pergi!” si
pemuda tahan tangan kanan Kunto Areng yang memegang golok dengan tangan
kirinya sedang tangan kanannya dengan cepat membuat gerakan aneh. Tahu-tahu
tubuh perwira tinggi kerajaan itu terlempar ke atas. Dari mulut Kunto Areng keluar
suara jerit kesakitan. Sambungan siku dan sambungan tulang bahunya berderak.
Melihat kejadian ini, Jalak Toga, perwira tinggi yang satu lagi segera tusukkan
goloknya ke perut si pemuda. Namun dia kalah cepat. Si pemuda sudah dapat
menerka apa yang bakal dilakukan orang itu. karenanya sebelum tusukan datang dia
sudah berkelit ke samping. Dari samping dia hantam tengkuk Jalak Toga dengan
pukulan tangan kiri. Rupanya perwira ini juga sudha maklum datangnya serangan
balasan itu. dia membungkuk sambil membabatkan goloknya.
“Bretttt!”
Pinggang baju putih si pemuda robek besar disamber golok Jalak Toga tapi
dirinya sendiri selamat. Warung nasi itu serta merta menjadi kacau balau. Kunto
Areng yang masih dalam keadaan kesakitan, pindahkan goloknya ke tangan kiri. Dia
memberi isyarat pada empat perajurit di dekatnya. Kini pemuda berpakaian puih itu
dikeroyok habis-habisan. Enam golok berkelebat menghantam dari berbagai penjuru.
Si pemuda yang meamang memiliki kepandaian tinggi dan saat itu hanya
mengandalkan tangan kosong menangkis dan mengelak dengan cekatan. Satu kali dia
berhasil menjotos keras muka salah seorang Prajurit yang mengeroyok. Perajurit ini
terpental dengan muka yang bersimbah darah karena hidung dan mulutnya pecah
dihantam tinju si pemuda.
Meskipun dikeroyok begitu rupa di mana serangan golok datang silih berganti,
namun si pemuda tampaknya seperti sengaja mempermainkan para penyerangnya.
Dia berkelebat kian kemari. Kadang-kadang naik ke ujung bangku panjang dengan
gerakan keras hingga ujung bangku yang lain mencuat naik menjadi perisainya.
Terkadang dia melompat ke atas meja yang masih dipenuhi makanan. Lalu enak saja
dia menendangi makanan-makanan itu hingga mencelat melumuri pakaian atau muka
para pengeroyok.
“Kawan-kawan!” Kunto Areng berteriak marah setelah sebutir telur bercabe
menghantam mata kirinya sehingga dia jadi kalang kabut kesakitan dan keperihan.
“Aku perintahkan kalian untuk mencincang manusia satu ini!” Lalu dia memberi
isyarat pada Jalak Toga. Melihat isyarat ini Jalak Toga segera robah permainan
goloknya, mengikuti gerakan-gerakan Kunto Areng. Memang kedua orang ini
memiliki ilmu golok hebat yang khusus dimainkan secara berpasangan. Serangan
mereka datang laksana curahan air hujan, membuat si pemudai kini tak berani lagi
petantang petenteng dan harus bertindak hati-hati kalau tak mau tubuhnya terkuntung-
kuntung. Selain itu masih ada serangan tiga perajurit lainnya yang menambah
beratnya tekanan para pengeroyok.
Dua jurus berlalu cepat. Lalu dua jurus lagi. Kunto Areng dan Jala Toga mulai
saling melirik. Keduanya sama-sama heran melihat kenyataan bahwa setelah
keluarkan ilmu golok andalan dan masih dibantu oleh tiga perajurit yang
berkepandaian tidak rendah, ternyata senjata-senjata mereka masih belum dapat
menyerntuh tubuh lawan, bahkan bajunyapun tidak!
“Kunto……” berkata jalak Toga. “Aku melihat satu keanehan! Ilmu silat yang
dimainkan pemuda ini bukan ilmu silat Singa Gurun. Jangan-jangan…….”
4 WIRO SABLENG
“Mengapa musti ragu!” balas Kunto Areng. “Enam tahun menghilang bukan
mustahil dia telah mendapatkan ilmu baru! Memang terus terang kita belum pernah
melihat jelas tampang pemuda ini di masa lalu! Tapi aku yakin kita tiak menghadapi
orang lain. Dia pasti Singa Gurun Bromo!”
Baru saja kedua orang itu selesai bicara tiba-tiba pemuda yang mereka
keroyok kembali melompat ke atas meja makan panjang. Di sini dia tegak tolak
pinggang sambil cengar cengir. Lalu seperti seorang gila dia melenggak lenggok kian
kemari. Sesekali tubuhnya terhuyung seperti orang mabok hendak jatuh. Sesekali dia
melompat sambil tertawa mengekeh lalu membuat gerakan seperti hendak jatuh
duduk. Dengan gemas para pengeroyok menyerbu karena mereka menyangka tengah
diejek dan melihat si pemuda kini merupakan sasaran empuk. Tetapi para pengeroyok
terutama dua perwira tinggi itu diam-diam jadi terkejut ketika mereka dapatkan justru
dengan membuat gerakan-gerakan aneh itu si pemuda semakin sulit untuk dirobohkan.
Malah dalam satu gebrakan hebat, kaki kiri lawan berhasil menghantam kepala
seorang perajurit hingga tak ampun lagi perajurit ini terpelanting, terkapar di atas
salah satu meja, tak berkutik lagi. Rahang kirinya remuk. Dua perajurit lainnya
menjadi ciut nyalinya masing-masing sementara dua perwira tinggi walaupun tercekat
melihat kejadian itu tetap harus terus menggempur.
“Para sahabat! Biar kami bantu kalian meringkus tikus comberan ini!” Satu
suara terdengar dari luar warung. Sesaat kemudian dua bayangan berkelebat masuk.
Mereka ternyata adalah dua tokoh silat istana yaitu Mangku sanggreng dan Ki Bumi
Wirasulo.
5 DUA
WIRO SABLENG
Sebenarnya baik Kunto Areng maupun Jalak Toga merasa agak malu menerima
bantuan itu karena hal ini menunjukkan ketidak mampuan mereka merobohkan atau
meringkus si pemuda. Namun dari pada urusan menjadi kapiran di mana mereka
mungkin akan mendapat malu lebih besar maka keduanya diam saja dan menerima
bantuan kedua tokoh silat itu. Agar tidak terlalu malu maka Mangku Sangreng
sengaja berkata dengan suara dikeraskan “Memang tugas kita semua untuk
membekuk cacing tanah ini! Tapi aku ingin dia dicincang di tempat ini juga!”
Ki Bumi Wirasulo menyeringai. “Sesuai pesan, dia justu harus ditangkap
hidup-hidup. Bukankah Sri Baginda dan Adipati Dirgo Sampean ingin menyaksikan
kematiannya d tiang gantungan?!”
“Perintah atasan, apalagi perintah raja memang harus dijalankan. Aku
mengikuti apa mau kalian berdua saja!” berkata Kunto Areng.
Dengan masuknya dua orang tokoh berkepandaian tinggi itu jalannya
perkelahian kini menjadi berat sebelah. Tapi konyolnya, pemdua yang dikeroyok
tetap saja cengar cengir. Memang sampai dua jurus di muka si pemuda masih belum
tersentuh tangan atau senjata lawan. Namun sedikit demi sedikit keadaanya semakin
terjepit. Di satu sudut warung dia harus bertahan mati-matian dengan hanya
mengandalkan sebuah kursi kayu. Dalam waktu singkat kursi kayu ini musnah
berantakan dibabat golok Kunto Areng dan Jalak Toga!
“Sialan!” maki si pemuda. Kedua tangannya segera diangkat.
Mangku Sanggreng dan Ki Bumi Wirasulo segera maklum kalau lawan
hendak menghantam dengan pukulan tangan kosong jarak jauh yang mengandung
kesaktian dan tenaga dalam. Kedua tokoh silat ini saling memberikan isyarat. Tangan
mereka tampak bergerak ke pinggang. Ketika diangkat ternyata mereka memegang
seutas tali halus berwarna putih. Si pemuda maklum kalau lawan hendak menjirat atau
mengikatnya. Maka dia segera lepaskan pukulan saktinya. Namun tiba-tiba ada asap
kelabu mengepul menutupi pemandangan. Di lain kejap dia merasakan ada sesuatu
yang menggelung kedua lengannya. Ketika asap kelabu sirna, si pemuda dapatkan
kedua tangannya telah terikat ketat oleh tali halus putih itu!
“Celaka!” keluh si pemuda. Dia kerahkan tenaga untuk meloloskan atau
memutuskan ikatan tali halus. Tapi sia-sia saja. Selagi dia sibuk berusaha
membebaskan diri, Mangku Sanggreng berkelebat menotok punggungnya dari
belakang. Tak ampun lagi pemuda itu menjadi kaku tegang tak bisa berkutik ataupun
bersuara!
“Gotong dia! Lemparkan ke dalam gerobak!” perintah Mangku Sanggreng.
Empat orang perajurit segera menggotong pemuda yang tertotok itu keluar lalu
melemparkannya ke dalam sebuah gerobak yang telah menunggu di halaman depan
warung. Orang-orang kerajaan dan dua tokoh silat Istana menyusul keluar. Sampai di
luar Kunto Areng mendekati Ki Bumi Wirasulo. “Sesuai pesan begitu tertangkap
Singa Gurun Bromo harus segera di bawa ke Kotaraja. Tapi kalau kita langsung
berangkat ke sana, rasanya menjelang pagi baru akan sampai. Bagaimana kalau kita
mampir dulu di kadipaten. Selain melapor bukankah Adipati juga ingin lebih dulu
menghajar pemuda keparat itu?”
Ki Bumi Wirasulo tak segera menjawab. Dia melirik pada Mangku Sanggreng
seolah minta pendapat. Mangku Sanggreng kemudian berkata “Tangkapan besar
sudah kita dapat. Rasa tegang kini jelas seudah berkurang. Di samping itu kita perlu
6 WIRO SABLENG
sedikit istirahat. Bagaimana kalau kita menuju ke kadipaten saja dulu. Menginap di
sana lalu pagi-pagi sekali melanjutkan perjalanan!” Habis berkata begitu mangku
Sanggreng mendekatkan mukanya ke muka Ki Bumi Wirasulo dan berbisik.
“Aku sudah beberapa bulan tidak melihat tubuh telanjang Ni Suri Arni,
perempuan penghibur di kadipaten itu. Kau tentu akan mencari kesempatan pula
menemui pacarmu si gemuk Larawati, bagaimana……?”
Ki Bumi Wirasulo tersenyum. Lalu dia berpaling pada dua perwira kerajaan
dan berkata. “Aku setuju kita mampir dan menginap di kadipaten. Besok pagi-pagi
sekali baru kita berangkat menuju Kotaraja.”
Tepat dengan turunnya malam rombongan yang membawa tawanan bernama
Panji Argomanik dan berjuluk Singa Gurun Bromo itu memasuki kawasan luar
Kadipaten Lumajang. Saat itu hujan yang sudah lama tidak turun tiba-tiba saja jatuh
rintik-rintik. Udara siang yang tadi panas membakar kulit kini berubah menjadi dingin.
Waktu rombongan berada di kaki sebuah bukit kecil. Di balik bukit itulah terletak
Lumajang yang menjadi tujuan.
“Percepat jalan! Aku tak mau basah kuyup kehujanan!” berteriak Mangku
Sanggreng.
Setiap anggota rombongan menggebrak kuda-kuda masing-masing. Sais
gerobak mencambuk dua kuda penarik gerobak agar binatang-binatang itu
menghambur lebih cepat. Kunto Areng yang berkuda di sebelah depan tiba-tiba
berseru.
“Lihat! Ada nyala api di dalam hutan sana!”
“Rombongan berhenti!” teriak Mangku Sanggreng. Lalu mereka sama
memperhatikan ke arah hutan kecil di tepi kiri jalan.
“Aneh,” kata Ki Bumi Wirasulo.
“Ya, memang aneh!” menyahuti Jalak Toga. “Setahuku hutan ini jarang
didatangi orang. Hari gerimis pula. Siapa yang menyalakan api itu? Kelihatannya
seperti api unggun.”
“Mungkin kelompok penjahat pimpinan Warok Keling!” ikut bicara Kunto
Areng.
Saat itu tercium bau daging panggang yang sedap dan harum sekali. Hal ini
membuat setiap anggota rombongan seolah baru menyadari bahwa perut mereka
memang minta diisi.
“Hemmmmm, dugaanmu kurasa betul, Kunto.” Kata Ki Bumi Wirasulo.
“Gembong penjahat itu justru sedang dicari-cari. Tidak ada salahnya kita saat ini
berbuat pahala untuk kerajaan. Kalau kita berhasil meangkapnya Sri Baginda tentu
sangat berbesar hati. Bagaimana kalau kita menyelidiki?”
Mangku Sanggreng menengadahkan kepalanya lalu menghirup udara malam
yang gerimis itu dalam-dalam. “Aku setuju kita melakukan penyelidikan. Tapi hati-
hati. Warok Keling memiliki kepandaian tidak lebih rendah dari Singa Gurun
Bromo!”
Sebenarnya Kunto Areng merasa segan untuk ikut menyelidiki karena saat itu
keadaan bahu dan sambungan sikunya masih terasa sakit akibat pelintiran Singa
Gurun Bromo waktu terjadi perkelahian di warung siang tadi. Namun takut dianggap
pengecut Kunto terpaksa menyetujui maksud pawan-kawannya itu.
Dua perwira tinggi dan dua tokoh silat Istana berunding. Kemudian mereka
turun dari kuda masing-masing mendekati nyala api dari jurusan yang berbeda. Dua
7 WIRO SABLENG
orang perajurit diajak serta, enam lainnya termasuk dua yang cidera sengaja ditinggal
untuk menjaga gerobak berisi Singa Gurun Bromo.
Semakin dekat ke nyala api di dalam hutan, semakin santar dan harum bau
daging panggang. Tak lama kemudian enam orang itu sudah mengurung perapian.
Mereka melihat ada binatang yang sudah dikuliti tengah dipanggang di atas nyala api.
Mungkin kelinci besar atau anak rusa. Tapi mereka tidak menemukan satu orangpun
di tempat itu. tak ada kuda, tak ada kantong-kantong perbekalan atau tikar untuk tidur.
“Aneh, daging itu sudah hampir hangus. Tapi tak ada siapapun di tempat ini!”
kata Ki Bumi Wirasulo.
“Mungkin orang yang memanggangnya sedang ke tempat lain…..” kata Jalak
Toga.
“Tak masuk akal,” sahut Mangku Sanggreng. “Sama sekali tidak ada tanda-
tanda orang berkemah di tempat ini!”
“Lalu bagaimana? Kita sembunyi menunggu sampai ada yang muncul? Kurasa
sabaiknya kita tinggalkan tempat ini!” berkata Kunto Areng yang memang ingin
cepat-cepat pergi saja.
“Kita tunggu sebentar. Kalau memang tidak ada yang muncul kita akan
pergi!” jawab Mangku Sanggreng. “Tapi daging panggang itu tak ada salahnya kita
sikat dulu untuk mengganjal perut!” lalu dia mendekati nyala api. Dengan sepotong
ranting dia mengorek daging panggang lalu menyantapnya. Beberapa orang lainnya
ikut mencicipi daging panggang itu. Hanya Kunto Areng dan dua orang perajurit yang
tidak ikut makan. Selesai menghabiskan daging panggang orang-orang itu lalu
bersembunyi di balik pohon atau semak belukar.
Waktu berjalan. Tunggu punya tunggu tetap tak ada yang muncul. Kunto
Areng berpaling pada Ki Bumi Wirasulo. “Bagaimana?” tanyanya.
Yang ditanya berpaling pada Mangku Sanggreng. “Ya sudah. Kita kembali
saja melanjutkan perjalanan ke Kadipaten.” Kata Mangku Sanggreng pula.
Orang-orang itu segera kembali ke tempat mereka meninggalkan kuda dan
gerobak. Begitu sampai di tempat semula semuanya menjadi terkejut dan berseru
tegang!
8 TIGA
WIRO SABLENG
Enam orang perajurit yang mengawal gerobak kelihatan terbujur malang melintang
di tanah. Dua di antaranya tersandar ke sebatang pohon dan roda gerobak. Empat
sudah tak bernyawa lagi. Mereka sudah menjadi mayat dengan kepala hancur. Yang
dua dalam keadaan sekarat. Kuda-kuda tunggangan tak seekorpun di tempat itu.
hanya dua kuda penarik gerobak yang masih tetap di tempatnya. Memeriksa ke dalam
gerobak ternyata Singa Gurun Bromo tak ada lagi di situ!
“Kita tertipu!” teriak Jalak Toga dengan muka berubah pucat.
Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggreng dan yang lain-lainnya ikut pucat
tampang mereka. Mereka sadar bahwa mereka telah tertipu.
“Celaka! Susah-susah kita menangkap manusia itu, tahu-tahu kini dia lenyap
begitu saja!” ujar Mangku Sanggreng.
Ki Bumi Wirasulo walaupun sangat terpukul dan tak mampu mengeluarkan
sepotong ucapanpun tapi otaknya coba berpikir bagaimana hal itu bisa terjadi. Singa
Gurun Bromo berada dalam keadaan tertotok. Jelas tak mungkin dia melarikan diri.
Pasti ada yang menolongnya. Lalu siapa si penolong itu? Orang yang menyalakan api
dan membakar daging hanya untuk sekedar menipu?
“Begitu mudahnya kita tertipu….!” Kunto Areng membuka mulut. “Kalau saja
kita tidak menyelidiki apa yang ada di sini, tidak akan pemuda buronan itu bisa
melarikan diri. Pasti ada orang pandai yang telah menolongnya!”
“Jelas memang begitu. Tapi siapa orangnya?!” tanya Mangku Sanggreng pula.
Tak ada yang bisa memberikan jawaban.
“Gara-gara ingin tahu beginilah jadinya!” gerutu Jalak Toga. “Apa yang akan
kita lakukan sekarang? Meneruskan perjalanan ke Kadipaten lalu ke Kotaraja.
Memberi laporan bahwa kita kebobolan? Kita semua pasti akan didamprat habis-
habisan. Aku akan kehilangan jabatan sebagai perwira. Kalian semua bakal
mengalami hal yang sama! Kalau sudah begitu…..”
“Tutup mulutmu Jalak!” bentak Ki Bumi Wirasulo tiba-tiba. “Tak ada
gunanya memaki dan menggerutu panjang lebar. Semua salah kita…..”
“Siapa tadi yang punya usul untuk melakukan penyelidikan?!” memotong
Kunto Areng. “Dia yang bertanggung jawab!”
Semua mata lantas ditujukan pada Ki Bumi Wirasulo. Memang dialah tadi
yang mula-mula mengajak untuk menyelidik nyala api di dalam hutan itu.
Paras tokoh silat Istana itu jadi berubah mengelam. “Jadi kalian menuduh aku
yang salah dan harus bertanggung jawab? Bangsat! Aku memang mengajak tapi
kalian semua ikut menyetujui! Jadi kalian juga harus ikut bertanggung jawab!”
“Sudah tak perlu kita bertengkar di tempat ini!” Mangku Sanggreng
menengahi. “Adipati dan Sri Baginda yang nanti akan menjatuhkan putusan. Kita
harus melanjutkan perjalanan. Aku dan Wirasulo akan mempergunakan dua ekor kuda
penarik gerobak itu agar bisa berangkat lebih dulu dan melapor dengan cepat! Kalian
agaknya terpaksa harus jalan kaki. Tapi kadipaten tak berapa jauh lagi…..”
“Kau memilih enakmu saja!” memotong Jalak Toga. “Kalau kami harus jalan
kaki semua harus jalan kaki!” Lalu dia cabut goloknya. Dengna senjata ini diputuskan
tali-tali pengikat dua ekor kuda ke gerobak. Lalu digebraknya binatang-binatang itu
hingga menghambur lari dalam kegelapan malam.
“Keparat kau Jalak Toga! Apa maksudmu melakukan hal itu?!” bentak Ki
Bumi Wirasulo seraya melompat ke hadapan perwira tinggi itu. Jalak Toga sudah siap
9 WIRO SABLENG
menyambuti sergapan orang dengan hantaman tinju kanan. Tapi Kunto Areng dengan
cepat menengahi.
“Kalian tolol semua! Mengapa bertengkar dan saling gebuk? Kita berangkat
sama-sama, sampai di tujuan harus sama-sama. Ayo semua jalan kaki!” lalu dengan
langkah terhuyung-huyung karena bahu dan sikunya masih sakit Kunto Areng
melangkah lebih dulu.
Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng masih memandang melotot pada
Jalak Toga. Terdengar Ki Bumi kemudian berkata dengan suara ketus. “Kalian
perwira-perwira kerajaan memang sejak dulu merasa iri melihat Sri Baginda lebih
memperhatikan kami tokoh-tokoh silat Istana. Itu semua karena ketololan kalian
sendiri yang mabuk pangkat…..”
Jalak Toga menyeringai. “Setelah kejadian ini, kita akan lihat Ki Bumi.
Apakah Sri Baginda akan tetap memanjakan kalian tokoh-tokoh silat yang kerjanya
lebih banyak petatang-peteteng menghabiskan uang kerajaan dan tahunya hanya bisa
main perempuan!”
“Kurang ajar kau Jalak! Jaga mulutmu!” teriak Mangku Sanggreng marah lalu
melompat ke hadapan Jalak Toga hendak menampar muka perwira tinggi Kerajaan itu.
Jalak Toga cepat cabut goloknya seraya mengancam. “Teruskan gerakanmu. Kutebas
putus tangan celakamu!”
Rahang Mangku Sanggreng menggembung. Ki Bumi Wirasulo memegang
bahunya. “Sudah Mangku. Sabarlah sedikit hatimu. Masih ada waktu untuk memberi
pelajaran sopan santun pada cacing tanah ini!”
“Aku bersumpah untuk menghajarmu agar kau bisa bicara lebih tahu
peradatan!” kata Mangku Sanggreng pula.
Jalak Toga menjawab dengan meludah ke tanah lalu memutar tubuh dan
melangkah menyusul kawannya Kunto Areng.
“Aku ingin membunuh bangsat itu malam ini juga!” kata Mangku Sanggreng
begitu Jalak Toga berlalu.
“Sama, aku juga!” jawab Ki Bumi Wirasulo. “Tapi jangan sekarang. Kita
harus mencari saat yang baik……”
Apa sebenarnya yang telah terjadi sewaktu Ki Bumi Wirasulo dan anggota
rombongan lainnya memasuki hutan untuk menyelidiki nyala api?
Hanya beberapa saat setelah orang-orang itu melangkah pergi masuk ke dalam
rimba belantara, dari balik sebuah pohon besar di tepi jalan keluar satu bayangan
putih. Sosok ini bergerak cepat menuju gerobak di mana tergeletak pemuda yang
dituduh sebagai Panji Argomanik alias Singa Gurun Bromo. Ketika dia hendak
melompat ke dalam gerobak, dua orang perajurit pengawal sempat melihatnya dan
berteriak. Bersama dua orang kawannya perajurit ini segera melompat dengan golok
di tanan. Orang yang hendak melompati gerobak itu ternyata seorang pemuda
berpakaian serba putih dengan ikat kepala merah. Rambutnya sepanjang bahu.
“Siapa kau?!” hardik salah seorang perajurit.
Baru saja dia membentak begitu, kaki kanan pemuda itu tiba-tiba melesat.
“Krak!” perajurit yang barusan membentak terpental dan roboh tanpa nyawa lagi.
Mukanya hancur dimakan tendangan!
10 WIRO SABLENG
Tentu saja tiga kawannya menjadi marah. Dua lainnya yang berada dalam
keadaan cidera juga tidak tinggal diam. Mereka cabut golok masing-masing dan ikut
membantu kawannya mengeroyok si pemuda.
Sehabis membunuh perajurit yang pertama, pemuda tak dikenal itu melompat
ke atas kereta. Lalu dari atas kereta tendangan-tendangannya berkelebat menebar
maut. Tiga perajurit menemui kematian dilanda tendangan kakinya yang memang luar
biasa. Dua perajurit lainnya masih untung hanya cidera muntah darah, namun agaknya
nyawa mereka pun tak bakal lama. Bagian tubuh mereka di sebelah dalam ada yang
pecah.
Setelah menghajar keenam perajurit itu, pemuda tadi berbalik ke arah Singa
Gurun Bromo yang tergeletak di lantai gerobak. Dia telah sempat menyaksikan
kehebatan pemuda tak dikenal ini menghajar enam perajurit tadi.
Si rambut coklat membungkuk. Dia memeriksa tubuh Singa Gurun Bromo
dengan cepat lalu membalikkannya. Dengan ujung-ujung jarinya dia kemudian
lepaskan totokan di punggung pemuda itu.
“Terima kasih! Kau siapa?!” tanya Singa Gurun Bromo seraya melompat.
“Nanti saja kujawab pertanyaanmu,” jawab si pemuda. “Kita tak ada waktu
banyak. Harus lekas pergi dari sini sebelum orang-orang itu kembali!”
“Sesudah kau tolong begini aku justru ingin mencari keparat-keparat itu. Ingin
aku menggebuk mereka satu persatu. Enak saja aku diperlakukannya seperti ini!”
Pemuda penolong tersenyum. “Kau mau ikut aku atau tidak?”
“Tidak! Kecuali kau terangkan siapa dirimu!”
“Baiklah. Aku Panji Argomanik orang yang mereka juluki Singa Gurun
Bromo!” kata pemuda itu pada akhirnya.
Si gondrong yang satu jadi melengak kaget, garuk kepala dan mendamprat.
“Sialan! Gara-gara kau aku jadi dibuat babak belur begini!”
“Aku sudah tahu apa ang terjadi dengan dirimu sejak awal. Itu sebabnya aku
menguntit perjalanan rombongan. Aku yang membuat nyala api di dalam hutan dan
memanggang seekor kelinci besar sebagai tipuan. Begitu mereka menyelidi masuk ke
dalam hutan aku segera keluar dari persembunyian!”
“Sialan! Lalu bagaimana orang-orang itu tidak bisa membedakan aku dengan
kau?!”
“Usia kita sebaya. Potongan tubuh agak serupa. Lagi pula orang-orang itu
tidak pernah mengenal jelas tampangku. Apalagi setelah enam tahun aku
menghilang!”
“Sialan!” maki si rambut gondrong sambil menggaruk kepalanya kembali.
“Dari tadi kau hanya memaki saja sobat. Coba katakan dulu siapa namamu!”
“Aku Wiro Sableng!”
“Namamu boleh juga. Kuharap kau tidak sableng beneran!” kata Panji
Argomanik alias Singa Gurun Bromo yang asli.
“Kenapa kau menolongku?” tanya Wiro.
“Aku tidak tega. Kau hanya korban ketololan orang-orang itu. Mereka
mencari aku tapi menyangka kaulah Singa Gurun Bromo itu. Masakan aku sampai
hati membiarkan kau digantung tanpa salah dan dosa!”
“Ah, kau orang baik. Aku ikut denganmu!” kata Wiro
“Bagus. Cepatlah. Orang-orang itu agaknya segera akan kembali ke tempat
ini!”
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk kepalanya. Sambil menggeleng dia berkata.
“Gila! Bagaimana aku bisa mendapat pengalaman pahit sepertii ini. Kalau tidak kau
tolong pasti aku akan jadi mayat di tiang gantungan!”
11 WIRO SABLENG
“Sudah jangan mengoceh juga. Mari!” Singa Gurun Bromo berrkelebat turun
dari atas gerobak. Murid Sinto Gendeng bergerak mengikuti. Di satu tempat Wiro
bertanya.
“Apa dosamu hingga ada Adipati bahkan Raja ingin menggantungmu?!”
“Kita cari tempat yang baik. Nanti kuceritakan semuanya padamu. Aku harus
menemui seseorang dulu di Kuto Inggil!”
“Orang tuamu?”
Singa Gurun Bromo menggeleng. “Mereka sudah meninggal.”
“Hemmmm….. Kalau begitu pasti kau menemui seorang perempuan.
Kekasihmu! Betul?!”
Sambil berlari Panji Argomanik berpaling “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Mudah saja. Jika dalam keadaan berbahaya seorang pemuda masih
memerlukan menemui orang lain, pasti yang ditemuinya itu adalah kekasihnya!”
“Rupanya dalam soal perempuan otakmu cerdik juga!” kata Panji Argomanik
pula yang disambut gelak tawa oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Astaga! Janagn kau tertawa keras-keras. Sekali terdengar oleh orang-orang
itu bisa berbahaya…..”
“Siapa takutkkan mereka? Terus terang aku penasaran hendak menjajal
kepandaian mereka. Sialan! Mereka menipuku dengan asap kelabu itu. Tahu-tahu
kedua tanganku sudah terikat!”
“Dua orang yang muncul kemudian itulah dua tokoh silat Istana. Ki Bumi
Wirasulo dan Mangku sanggreng. Mereka selalu berkelahi berpasangan. Mereka
berasal dari satu guru. Kepandaian mereka sebetulnya tidak seberapa tinggi. Namun
mereka memiliki kecerdikan luar biasa dan senjata-senjata aneh. Di antaranya Benang
Dewa yang sempat membuatmu tak berdaya itu!”
Diam-diam Wiro mengagumi ilmu lari yang dimiliki Singa Gurun Bromo.
Namun jika dia mengerahkan seluruh kepandaiannya pasti Singa Gurun Bromo itu
sanggup ditinggalkannya sampai sejauh seratus langkah di balakangnya. Tapi murid
Sinto Gendeng tidak ingin membuat pemuda itu kecewa. Lagi pula selain
menyukainya, Wiro juga ingin tahu mengapa dia sampai jadi buronan para penguasa.
Lalu karena dia yang menjadi pimpinan dalam pelarian itu maka Wiro biarkan
sahabat barunya itu berlari di sebelah depan.
12 EMPAT
WIRO SABLENG
Dua pemuda yang baru saling kenal itu lari ke arah Barat Kuto Inggil di mana
terletak sebuah kampung kecil bernama Telogosari.
“Hatiku tidak enak….” Kata Panji Argomanik begitu mereka memasuki
pinggiran kampung. “Lihat ada kepulan asap di sebelah sana…..?”
Wiro memandang ke arah yang ditunjuk Panji dan mengangguk. “Sepertinya
barusan saja ada kebakaran.” Kata murid Sinto Gendeng pula.
Panji Argomanik lari laksana terbang. Wiro mengikuti dari belakang. Mereka
masuk ke Telogosari lewat jalan kecil di sebelah Selatan. Beberapa buah rumah kayu
dalam keadaan gelap gulita mereka lewati. Di ujung jalan, dekat sebuah gubuk
kosong Panji hentikan larinya. Tangannya berpegang pada tiang bambu. Mukanya
yang merah karena berlari tampak berubah pucat.
“Ya Tuhan…..” Pemuda ini mengucap.
Murid Sinto Gendeng tak perlu bertanya. Dia memperhatikan ke arah yang
dipandang Panji. Di ujung jalan sebuah rumah kayu baru saja musnah dimakan api.
“Rumah kekasihmu….?”
Panji tak menjawab. Dia lari sambil berteriak. “Larasati…..!”
Panji Argomanik tegak dengan tubuh gemetar di depan puing-puing rumah
yang terbakar. Dia berteriak lagi. Tak ada yang menjawab. Sebuah palang kayu yang
dimakan api berderak patah lalu jatuh. Panji hendak melompat ke dalam rumah yang
masih dikobari api itu. Wiro cepat memegang tangannya.
“Jangan lakukan. Semua sudah musnah!”
“Aku kawatir Larasati ikut terbakar…..” kata Panji dan jatuh berlutut.
Wiro memandang berkeliling. “Aneh,” katanya dalam hati. “Rumah satu ini
terbakar. Tapi penduduknya yang diam di sekitar sini tak ada satupun yang keluar
untuk memberikan pertolongan ataupun sekedar melihat. Ini bukan kebiasaan orang
kampung!” Wiro lalu katakan rasa herannya itu pada Panji Argomanik.
“Aku yakin ini bukan kebakaran biasa!” kata pemuda berambut coklat itu.
“Rumah ini sengaja dibakar! Jika penduduk tak ada yang berani keluar untuk
menolong, pasti ada yang mereka takutkan!”
“Siapa menurutmu yang punya pekerjaan biadab ini Panji?”
“Tak dapat dipastikan. Tapi pangkal dari segala malapetaka ini hanya
disebabkan oleh satu orang!”
“Siapa?”
“Adipati Lumajang. Dirgo Sampean!”
“Kalau begitu kita bisa menyelidik ke Kadipaten.”
Panji mengangguk. “Aku memang sudah bersumpah untuk mematahkan
batang leher adipati keparat itu dengan tanganku sendiri. Dia yang membuatku harus
kabur dari Kuto Inggil. Juga dia penyebab kematian kedua orang tuaku. Pasti dia juga
yang menyuruh bakar rumah ini. Larasati….. Di mana kau Larasati…..? Keparat!
Jangan-jangan dia telah membakar kekasihku bersama rumah ini!” Panji Argomanik
melompat berdiri. Rahangnya menggembung. “Aku harus memastikan dulu!” katanya.
Lalu dia mengelilingi ruamh yang kobaran apinya mulai mengecil. Tiba-tiba
terdengar teriakan Panji Argomanik. Wiro cepat mendatangi.
“Ada apa……?”
“Lihat di balik gedek yan masih terbakar itu…..”
13 WIRO SABLENG
Wiro merasakan tengkuknya merinding. Di balik dinding kajang yang hampir
musnah menyembul sepasang kaki yang belum sempat dimakan api. Di atas kaki ada
sepotong hangusan kain panjang yang menyatakan si pemilik kaki adalah seorang
perempuan.
“Mereka membakar Larasati! Mereka membunuh kekasihku!” teriak Panji
Argomanik seperti gila. Dia hendak melompat ke dalam reruntuhan rumah yang
terbakar. Lagi-lagi Wiro mencegahnya dengan memegang tangan pemdua itu erat-erat.
“Kita bisa mengambil tubuh yang terbakar itu Panji. Tapi tidak perlu dengan
menyabung nyawa melompat masuk ke dalam api!” Wiro lalu ambil sebatang bambu
yang tersandar dekat sumur. Pada ujung bambu ini dikaitkannya seutas kawat yang
dibentuk berupa lingkaran. Lalu dengan galah berkawat itu dia coba menjirat salah
satu kaki yang terjulur di bawah dinding kajang. Bukan pekerjaan mudah, apalagi
nyala api yang menyengat panas. Dengan tubuh dan pakaian kuyup oleh keringat
Wiro berhasil memasukkan lingkaran kawat ke salah satu kaki di bawah kajang. Lalu
dengan tengkuk masih merinding, disaksikan dengan tegang oleh Panji Argomanik,
murid Eyang Sinto Gendeng ini mulai menarik kaki itu dengan hati-hati dan perlahan-
lahan.
Sedikit demi sedikit sosok tubuh yang berada di bawah kajang tertarik keluar.
Mula-mula kelihatan sepasang betis yang sudah hangus hitam. Lalu….. Wiro
mengerenyit. Panji pejamkan kedua matanya. Bagian tubuh di atas betis sampai ke
pinggang bahkan sampai ke dada hanya tinggal tulang belulang gosong yang tak
dapat dikenali lagi.
“Demi Tuhan….. Teruskan Wiro. Tarik lagi. Aku ingin memastikan. Aku
ingin melihat bagian kepalanya…..” kata Panji Argomanik dengan suara gemeteran.
Dengan hati-hati Wiro kembali menarik galah bambu itu. Bagian dagu sosok
yang terbakar mulai kelihatan. Tapi celakanya saat itu des! Lingkaran kawat yang
dipakai untuk mengait pergelangan kaki putus tak tahan panas. Wiro terduduk. Panji
Argomanik mengusap mukanya berulang kali.
“Wiro lakukan sesuatu! Aku harus melihat wajah orang itu!” teriak Panji
seperti mau gila.
“Kalau sebagian tubuhnya sudah gsong, apa kau masih bisa mengenali
tengkorak kepalanya yang mungkin sudah jadi debu?!”
“Tidak! Jangan ucapkan itu! Lakukan sesuatu! Demi Tuhan lakukan sesuatu
atau aku akan melompat ke dalam api itu!” teriak panji Argomanik lagi.
Wiro berdiri. Perlahan-lahan dijangkaunya galah bambu tadi lalu berdiri,
melangkah dan mencoba mendekati runtuhan rumah yang masih terbakar. Dengan
ujung bambu dicobanya mendorong dan membalikkan sisa-sisa dinding kajang.
Sekali, dua kali dan sampai tiga kali tidak berhasil. Wiro maju lagi beberapa langkah.
Panasnya api bukan alang kepalang. Wiro coba bertahan dengan segala kekuatan yang
ada dia coba lagi membalikkan dinding kajang itu. Kali ini berhasil. Dinding kajang
yang terbakar terbalik ke kiri membuat nyala api serta debu hitam menggebubu ke
atas. Di tanah, di antara puing-puing hitam reruntuhan yang terbakar tampak satu
kepala yang sudah hitam dan tak dapat dikenali lagi. Di atas kepala masih tersisa
sebagian rambut yang berwarna keputih-putihan.
“Ya Tuhan….. Ya Tuhan…..!” Nafas Panji Argomanik memburu dan dadanya
turun naik. “Bukan dia Wiro. Bukan Larasati. Mayat ini berambut putih….. aku yakin
itu mayat Bibi kanoman yang selama ini memelihara Larasati….”
Wiro menarik nafas lega. Kalau itu mayat orang lain, lalu di mana kekasih
sahabat barunya itu? Wiro tak berani mengucapkan hal itu.
“Kalau penjahat yang melakukan hal ini pasti Larasati diculik….”
14 WIRO SABLENG
“Mungkin kekasihmu tidak ada di rumah ketika rumah ini dibakar. Berarti dia
dalam keadaan selamat.”
“Tak dapat kupastikan Wiro…. Aku harus menyelidikinya. Aku harus
mendatangi gedung Adipati Dirgo Sampean! Biadab!”
Wiro memandang berkeliling. “Aku yakin ada satu atau dua tetangga di
sekitar sini yang mengetahui apa yang telah terjadi. Aku akan gedor dan tanyai
mereka!”
Pendekar 212 mendatangi sebuah rumah terdekat lalu mengetuk pintu rumah
itu dengan keras. Digedor berulang kali tak ada yang menjawab apalagi muncul
membuka pintu.
“Sialan!” Wiro memaki. Dia tendang pintu itu sampai jebol lalu pindah ke
rumah di sebelahnya. Setelah menggedor berulang kali akhirnya terdengar langkah
kaki di sebelah dalam. Lalu muncul seorang lelaki separuh baya dengan muka pucat
ketakutan.
“Kami…. Kami tidak punya apa-apa. Kami petani miskin. Tak ada barang
berharga yang bisa kuserahkan pada kalian…..”
“Sialan! Aku bukan perampok!” hardik Wiro seraya menjambak sarung orang
itu lalu menariknya keluar. “Tapi aku akan mematahkan batang lehermu kalau kau
tidak menceritakan apa yang terjadi. Siapa yang membakar rumah itu!”
“Saya……saya…..”
“Plak!” Wiro tampar orang itu dengan keras hingga dia terjajar nanar. Saat itu
Panji Argomanik sudah berdiri di samping Wiro. Begitu orang bersarung melihat
pemuda ini, kedua matanya menjadi besar. Rupanya dia mengenali siapa adanya
pemuda ini.
“Kau….. Panji…. Kaulah yang mereka cari! Di desa tersiar kabar bahwa kau
akan kembali ke Kuto Inggil. Mereka menyangka kau pasti akan datang ke sini. Tapi
begitu mereka tidak menemukan kau, mereka terus membakar rumah. Membunuh Ibu
Kanoman…..”
“Bagaimana dengan Larasati?!” tanya Panji memotong.
“Mereka menculiknya. Mereka membawa lari kekasihmu. Kami penduduk tak
berani menolong. Mereka berjumlah sekitar sepuluh orang….”
“Kau mengenali siapa mereka….?” Tanya Wiro.
Orang yang ditanya menggeleng.
“Gerombolan rampok Warok Keling?” tanya Panji Argomanik.
“Tidak bisa saya ketahui Panji. Mereka menutupi wajah dengan kain…..
Mereka menunggangi kuda. Mereka melarikan diri setelah mendapatkan Larasati…..”
Panji Argomanik mendengarkan keterangan itu dengan kedua tinju terkepal.
“Kalau…. Kalau tak ada lagi yang hendak ditanyakan, izinkan aku masuk. Di
dalam anak istriku setengah mati ketakutan….”
Wiro menarik tangan Panji Argomanik, mengajaknya meninggalkan tempat
itu. “Kita harus mencari petunjuk siapa orang-orang yang menculik kekasihmu,
Panji.”
“Kalau mereka bertopeng siapa yang bisa mengenali?!” ujar Panji hampir
putus asa.
“Apa silang sengketamu sebenarnya dengan kerajaan dan Adipati Lumajang?”
“Aku dituduh membunuh seorang putera Pangeran yang tergila-gila pada
Larasati dan ingin mengambilnya jadi istri. Adipati Lumajang yang paling marah atas
kejadian itu karena berlangsung di wilayah kekuasaannya. Dia sengaja memburuku
karena ingin berbuat pahala pada Kerajaan, sekalian menjilat pada sang Pangeran dan
Sri Baginda!”
15 WIRO SABLENG
“Aku ingat keterangan orang tadi. Katanya rombongan itu datang karena
menyangka kau ada di rumah kekasihmu. Berarti mereka adalah suruhan sang
Pangeran atau petugas-petugas Kerajaan. Berarti Sri baginda sendiri atau Adipati
Lumajang yang menyuruh mereka untuk turun tangan!”
“Mungkin begitu. Tetapi mengapa mereka harus menutupi muka dengan kain
segala? Berati mereka takut wajah masing-masing dikenal penduduk Telogosari!”
menjawab Panji.
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Matanya kemudian tertumpuk pada
sebuah benda yag tergeletak di tanah. Dia melangkah mendekati dan memungutnya
lalu memperlihatkannya pada Panji Argomanik. Benda itu ternyata adalah sebuah
ladam kuda.
“Mungkin ini bisa dijadikan bahan pengusutan…..” kata Wiro.
Panji tidak memberikan jawaban. Pemuda ini berkata. “Aku akan menyelidik
ke gedung Kadipaten lebih dulu. Jika berangkat sekarang menjelang pagi aku bisa
sampai ke sana.”
“Aku ikut bersamamu,” kata Wiro pula.
16 LIMA
WIRO SABLENG
Karena mampu berlari cepat menjelang dini hari Singa Gurun Bromo dan
Pendekar 212 Wiro Sableng sudah memasuki Kadipaten. Panji Argomanik langsung
menuju gedung Kadipaten yang terletak di depan sebuah alun-alun. Mereka sengaja
datang dari bagian belakang gedung agar tidak melewati lapangan terbuka di mana
mereka akan mudah terlihat oleh para pengawal.
Setelah memanjat halaman belakang kedua pemuda ini menyelinap di balik
jambangan-jambangan besar lalu menyusup ke halaman samping yang gelap. Saat itu
di dalam gedung ada cahaya terang lampu tanda penghuninya ada yang belum tidur.
Begitu Wiro dan Panji bergerak ke dekat jendela, di dalam gedung terdengar suara
orang bercakap-cakap lalu langkah-langkah kaki menuju ruang depan. Pintu depan
terbuka. Adipati Dirgo Sampean muncul diiringi oleh lima orang lelaki. Kelima orang
ini membungkuk hormat sebelum turun dari tangga gedung Kadipaten. Mereka
berjalan menemui lima orang lainnya yang rupanya tidak ikut masuk dan sengaja
menunggu di halaman depan. Tak lama kemudian kesepuluh orang itu tampak
meninggalkan kadipaten dan lenyap ditelah kegelapan malam.
“Hatiku berdetak, jangan-jangan rombongan sepuluh orang itu yang
membakar rumah dan menculik Larasati….” Kata Panji Argomanik pada Wiro.
“Dugaanmu mungkin betul. Di sebelah sana ada kandang kuda. Kita bisa
mengambil dua kuda tunggangan dan mengejar rombongan tadi….”
“Aku setuju. Kita harus bergerak cepat!” kata Panji pula.
Baru saja kedua pendekar ini endak meninggalkan halaman samping itu tiba-
tiba di halaman depan terlihat enam orang memasuki pintu gerbang kadipaten.
Seorang penjaga mendatangi. Begitu mengenali siapa yang datang dengan cepat
penjaga ini masuk ke dalam gedung. Tak lama kemudiaan penjaga tadi muncul
kembali dan mempersilahkan masuk empat dari enam orang yang datang. Keempat
orang yang masuk ini bukan lain adalah Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggreng lalu
Kunto Areng dan Jalak Toga.
Melihat kemunculan orang-orang ini yang datang tanpa kuda dan pakaian
serta tubuh basah oleh keringat, lalu muka dan rambut kusut masai Adipati Dirgo
Sampean yang baru saja hendak masuk ke dalam kamar tidurnya jadi terheran-heran.
Sesuatu pasti telah terjadi dengan orang-orang ini pikirnya. Maka tanpa
mempersilahkan keempat orang itu duduk dia langsung saja bertanya seraya menyapu
wajah keempat orang itu dengan pandangan tajam.
“Ada apa?!”
“Waktu hendak menuju kemari, di tengah jalan kami, kami berpapasan dengan
serombongan orang. Apaah mereka barusan datang dari sini?” yang membuka mulut
adalah Ki Bumi Wirasulo.
Rahang sang Adipati tampak menggembung. “Ki Bumi! Kau seperti orang
yang tidak tahu peradatan saja! Aku mengajukan pertanyaan. Kau bukannya
menjawab malah balik bertanya. Kalian datang kemari untuk melapor atau
menanyaiku!”
“Harap maafkan saya, Adipati,” jawab Ki Bumi Wirasulo dengan wajah
merah. “Bukan maksud kami berlaku kurang ajar. Tapi kami melihat orang-orang itu
rata-rata berwajah garang dan kami tidak mengenali mereka. Kami kawatir……”
17 WIRO SABLENG
“Siapa adanya orang-orang itu bukan urusan kalian. Ki Bumi, kau mewakili
kawan-kawanmu. Katakan saja apa yang telah terjadi! Aku mencium bau tak enak
saat ini!” kata Adipati Dirgo Sampean dengan suara keras.
Ki Bumi Wirasulo jadi panas hatinya. Dia berpaling pada Mangku Sanggreng
dan berkata. “Kau saja yang menerangkan apa yang telah terjadi.”
Mangku Sanggreng batuk-batuk dulu beberapa kali. Baru membuka mulut.
“Kami mengalami nasib apes Adipati. Sebenarnya kami telah berhasil
meringkus Singa Gurun Bromo di Kuto Inggil. Pemuda itu kami sergap di warung
nasi Mbok Sinten. Dalam perjalanan kemari kami melihat ada nyala api yang
mencurigakan dalam hutan belantara. Kami coba menyelidik karena bukan mustahil
gerombolan Warok Keling yang berkemah di tempat itu…..” Mangku Sanggreng
kemudian menuturkan apa yang terjadi selanjutnya.
Tampang Adipati Lumajang itu tampak kelam membesi begitu mendengar
seluruh keterangan yang disampaikan Mangku Sanggreng.
Sesaat sang Adipati tertegak tak bergerak, hanya sepasang matanya saja yang
memandang melotot dan beringas pada keempat orang itu. Perlahan-perlahan
kelihatan dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“C….c….c…! Bukan main!” kata Dirgo Sampean pula. “Dua orang tokoh
silat Istana berkepandaian tinggi. Dia orang perwira tinggi Kerajaan. Ditambah
delapan orang perajurit! Gila! Tolol dan menggelikan. Kalian sampai bisa ditipu
orang seperti itu! Aku tidak mau melaporkan kejadian ini pada Sri Baginda. Kalian
harus tanggung jawab sendiri dan berangkat sekarang juga ke Kotaraja!”
Keempat orang itu terdiam.
“Kalau begitu perintah Adipati, kami akan mematuhinya. Tapi harap jangan
bicara terlalu keras!” berkata mangku Sanggreng.
“Apa maksudmu?!” tanya Dirgo Sampean dengan mata kembali membeliak.
“Kami bekerja di bawah perintah Sri Baginda. Tidak layak Adipati
mengeluarkan kata-kata kasar begitu rupa. Terhadap dua orang perwira ini silahkan
saja. Menggebuk merekapun kami tidak mau tahu karena memang bekerja untuk
kerajaan dan berada di bawah pimpinan Adipati…..!”
Adipati Dirgo Sampean menyeringai. “Jika kalian berdua berkata begitu,
silahkan angkat kaki dari gedung ini saat ini juga!” Lalu Adipati Lumajang itu
bergegas ke pintu. Pintu depan dibukanya lebar-lebar dan dia memberi isyarat dengan
goyangkan kepala pada Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng agar segera keluar.
Sebelum keluar kedua tokoh silat Istana itu masih sempat melihat Jalak Toga
dan Kunto Areng lontarkan seringai sinis ke arah mereka.
Adipati Dirgo Sampean membantingkan pintu. Lalu berpaling pada dua
perwira tinggi yang tegak tak bergerak dengan wajah kuncup.
“Kalian berdua tidak usah takut. Aku tidak marah pada kalian. Aku hanya
melepaskan kebencianku pada dua orang tadi.”
Mendengar ucapan Adipati itu Kunto Areng dan Jalak Toga menjadi lega dan
berdarah kembali wajah masing-masing.
“Mereka sedikit bekerja tapi hidup enak. Mendapat kesenangan dari Istana.
Kita yang telah mengabdi pada kerajaan sekian puluh tahun malah tidak diperhatikan.
Kaum penjilat seperti mereka sekali-sekali memang harus diberi pelajaran!”
“Ah, rupanya bukan kami saja yang punya pendapat begitu. Syukur kalau
Adipati mengetahui hal itu….” kata Jalak Toga.
“Kalian boleh bermalam di sini. Besok ada tugas untuk kalian!”
“Terima kasih, Adipati masih mempercayai kami!” kata Kunto Areng seraya
membungkuk.
18 WIRO SABLENG
“Kita orang-orang satu kelompok harus saling menghormat dan bekerja
sama,” kata Adipati pula sambil menepuk bahu perwira tinggi itu.
Di halaman samping begitu melihat Ki Bumi Wirasulo dan Mangku
Sanggreng meninggalkan halaman Kadipaten, Pendekar 212 segera hendak bergerak.
“Itu mereka! Kurasa ini saat yang baik untuk menjajal kembali kehebatan keduanya!”
“Baik bagimu tidak bagiku sobat!” kata Panji seraa menarik celana sang
pendekar. “Apa yang hendak kau lakukan bisa merusak rencanaku untuk mengusut di
mana Larasati saat ini berada dan siapa yang telah menculiknya.”
“Ingat ladam kuda yang kita temui itu? ujar Wiro. “Tunggu saja sampai pagi .
Kau hanya tinggal menunjukkan padaku di mana orang biasa mengupah memperbaiki
atau memasang ladam kudanya…..”
“Cuma ada satu di Kuto Inggil. Bengkel kuda Karjo Lugu.” Jawab Panji.
“Bagus kalau cuma satu. Berarti kita tidak perlu menghabiskan waktu
menyelidik ke mana-mana.”
Kedua orang itu menunggu sampai seorang pengawal yang melakukan
penjagaan keliling lenyap di ujung gedung. Lalu cepat-cepat mereka menuju halaman
belakang, memanjat tembok dan lenyap ditelan kegelapan malan dan udara dingin
menjelang pagi itu.
19 ENAM
WIRO SABLENG
Di bengkel kuda milik Karjo Lugu para pemilik kuda dapat membeli segala
keperluan yang berhubungan dengan kuda. Misalnya kain keras penutup mata kuda,
tali kekang, pelana dan juga ladam. Di samping itu Karjo Lugu juga mengerjakan
perbaikan ladam atau tapal besi, perbaikan pelana maupun injakan kaki.
Pagi itu Wiro dan Panji sampai di sana Karjo Lugu sudah tampak sibuk di
bengkelnya. Karjo Lugu seorang lelaki berambut putih berusia hampir enam puluh
tahun. Walaupun berusia lanjut tapi otot-otot badannya masih tampak kukuh. Seperti
namanya, orang ini memang bersifat lugu dan murah senyum.
Karjo Lugu menyambut salam yang diucapkan Panji. Namun ketika dia
mengangkat kepalanya dan melihat siapa yang datang, berubahlah paras orang tua ini.
“Pak Lugu…..”kata Panji, begitu orang biasa memanggil Karjo Lugu. “Kau
kelihatan seperti terkejut melihatku. Apakah wajahku sudah berubah jadi setan?!”
“Anak muda, apa kau tak tahu dirimu dalam bahaya berani datang ke sini?”
“Rupanya kau sudah mendengar apa yang terjadi siang kemarin di warung
Mbok Sinem,” kata Panji pula dengan tersenyum.
“Tentu saja. Berita itu tersiar cepat. Kau dikabarkan sudah diringkus dan
dibawa ke Kotaraja. Bagaimana tahu-tahu kau bisa muncul di sini?”
“Kau tak usah merisaukan hal itu Pak Lugu. Aku baik-baik dan sehat-sehat
saja….”
“Siapa anak muda ini?” tanya Karjo Lugu pada Panji Argomanik.
“Sahabatku,” jawab Panji.
“Panji, sebaiknya kau cepat pergi dari sini. Kalau ada mata-mata yang melihat
dan melaporkan kau muncul serta berbincang-bincang denganku, aku bisa celaka…..”
“Ada hal penting yang hendak kami tanyakan padamu Pak Lugu.” Kata Wiro
pula.
“Eng…..” pemilik bengkel kuda itu tampak serba salah.
“Pak Lugu,” kata Panji. “Semasa hidupnya kau bersahabat baik dengan
ayahku. Sekarang kami butuh bantuanmu. Apa kau melupakan begitu saja
persahabatan dengan ayahku?”
“Tentu saja bukan begitu. Tapi kau adalah orang buronan. Jika ada yang….
Sudahlah. Ikuti aku. Kita bicara di dalam saja.” Orang tua itu menunjuk ke arah pintu.
Panji dan Wiro segea masuk ke dalam ruangan di balik pintu itu. Karjo Lugu
memandang dulu ke arah jalan, lalu pada beberapa bangunan di sekitarnya. Bila
dirasakannya aman maka orang tua ini segera masuk ke dalam rumahnya. Sampai di
dalam dia bertanya pada kedua pemuda itu.
“Hal penting apa yang hendak kalian tanyakan?”
Wiro yang menjawab. “Tadi malam rumah Larasati, kekasih sahabatku ini
dibakar orang. Seorang perempuan bernama Bibi kanoman ditemui sudah jadi mayat
terbakar hangus….”
“Ya Tuhan, belum kudengar berita itu…….” seru Karjo Lugu.
“Larasati lenyap diculik orang…..”
“Gusti Allah!” mengucap Karjo Lugu.
Wiro meneruskan. “Kami tidak tahu siapa manusia-manusia biadab yang
melakukan perbuatan laknat itu. Namun kami menemukan benda ini di dekat rumah
yang terbakar.”
20 Lugu.
itu?”
WIRO SABLENG
Wiro keluarkan ladam kuda yang ditemuinya dan diperlihatkannya pada Karjo
“Apa hubungan ladam ini dengan hal penting yang hendak kalian tanyakan
Yang menjawab kini adalah Panji Argomanik. “Kami yakin ladam kuda ini
adalah ladam salah seekor kuda tunggangan orang-orang yang membakar rumah dan
menculik Larasati. Malam tadi, atau pagi-pagi sebelum kami datang, apakah ada
seseorang yang datang membawa kudanya yang salah satu kakinya tidak berladam.
Lalu minta dipasangkan ladam baru…..”
Paras Karjo Lugu jadi berubah. Wiro dan Panji maklum sudah. Keduanya
menunggu.
“Pagi buta tadi….” Kata Karjo Lugu. “Ada orang menggedor bengkelku.
Ketika kubuka orang ini tenyata datang bersama dua orang temannya. Tampang-
tampang tak dapat kukenal karena tertutup kain menyerupai topeng. Salah seorang
dari mereka minta agar aku memasangkan ladam baru pada kaki kudanya sebelah kiri
belakang. Aku bilang besok saja kalau bengkel sudah buka. Tapi orang-orang itu
mengancam akan menggorok leherku kalau aku tidak melakukannya malam itu juga.
Masih dalam keadaan mengantuk aku terpaksa memenuhi permintaan mereka. Orang
yang punya kuda membayar cukup tinggi. Tapi sebelum dia pergi dia berpesan……”
“Berpesan? Pesan apa?” tanya Panji.
“Agar aku tidak mengaakan pada siapapun kedatangan mereka ke
bengkelku…..!”
“Hemmmmmm,” Wiro bergumam sambil garuk-garuk kepala. Kalau begitu
mereka merasa kawatir kau mengenali salah satu dari mereka. Walau mereka
menutupi wajah masing-masing dengan kain….. Coba kau ingat-ingat Pak Lugu.
Mungkin ada benda atau tanda-tanda pada ketiga orang itu, di tubuh mereka atau pada
kuda-kuda mereka. Tanda-tanda yang bisa mmberi petunjuk siapa mereka
sebenarnya.”
Karjo Lugu mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut-janggut pendek
berwarna putih. “Rasan-rasanya memang ada. Waktu itu aku tidak memperhatikan.
Tapi setelah kau mengatakannya aku teringat sesuatu. Salah seorang dari ketiga yang
datang itu mengenakan baju berlengan sangat pendek. Di tangannya sebelah atas,
dekat bahu ada sebuah rajah. Rajah itu bergambar seekor kelelawar yang tengah
mengembangkan sayapnya…..”
“Itu rajah tanda komplotan rampok Warok Keling” kata Paji hampir berteriak.
“Terima kasih Pak Lugu. Keteranganmu sangat berharga.” Pemuda bergelar Singa
Gurun Bromo itu menarik lengan Wiro, cepat-cepat mengajaknya meninggalkan
tempat itu.
“Aku tahu sarang penjahat keparat itu. Kita menuju ke sana sekarang juga!
Larasati pasti berada di tangan mereka!”
“Mendatangi sarang penjahat siang-siang begini apa tidak terlalu berbahaya,
Panji?”
“Aku sudah siap mati untuk menyelamatkan Larasati”! jawab Panji
Argomanik alian Singa Gurun Bromo pula. “Kalau kau takut kau boleh saja tidak ikut
dan kita berpisah sampai di sini.”
Wiro menyeringai. “Aku tidak bisa menjelaskannya. Tapi aku punya firasat
ada satu rahasia di balik semua kejadian ini. Dan aku ingin menyingkap rahasia ini!”
Hanya beberapa saat setelah kedua pemuda itu meninggalkan bengkel Karjo
Lugu, tiga orang penunggang kuda tiba-tiba muncul. Si orang tua terkejut ketika
memperhatikan. Ternyata mereka adalah tiga orang yang tadi malam mendatangi
21 WIRO SABLENG
untuk dipasangkan ladam baru. Wajah mereka masih ditutupi secarik kain. Karjo
Lugu mendadak merasa tidak enak. Namun dengan ramah orang tua ini menegur.
“Ah, kalian rupanya. Apa lagi yang bisa kubantu?’
Lelaki yang lengan sebelah atasnya memiliki rajah turun dari kudanya.
“Malam tadi kami lupa membayar harga ladam dan ongkos pemasangannya.
Kebetulan kami lewat lagi di sini. Saat ini kami hendak membayarnya.”
“Wah, kalian orang baik-baik rupanya. Tidak dibayarpun tidak jadi apa asal
kita bisa jadi langganan.” Kata Karjo Lugu pula.
Lelaki yang lengannya dirajah bergambar kelelawar tersenyum. Dia
menggerakkan tangan kirinya ke arah pinggang seperti layaknya orang hendak
mengambil uang. Tetapi ketika tangan itu keluar lagi dari balik pakaian, yang
kelihatan bukan kantong uang tetapi sebilah pisau berkilat yang panjang matanya
hampir dua jengkal. Sebelum Karjo Lugu menyadari apa yang akan dilakukan orang
itu, tiba-tiba pisau sudah menghujam dalam ke perutnya. Karjo Lugu menjerit tapi
lehernya cepat dicekik hingga suara teriakannya menjadi tertahan dan lenyap.
“Tua bangka keparat! Kau tidak menepati pesanku. Kau pasti telah
memberitahu sesuatu tentang kami pada kedua orang pemuda itu. Benar?!”
“Ha….h…ha….hu!” Karjo Lugu tidak bisa menjawab karena lehernya masih
dicekik sementara perutnya yang bersimbah darah terasa sakit bukan kepalang. Lelaki
berajah itu lemparkan tubuh Karjo Lugu ke atas meja tempat penempaan besi. Orang
tua itu mengeluh tingi. Dia berusaha manarik nafas panjang tapi nafasnya justru
putus!
22 TUJUH
WIRO SABLENG
Dua pendekar nekad itu memacu kuda masing-masing menuju ke Selatan kaki
Pegunungan Maha Meru. Selewatnya Candipuro mereka membelok memasuki sebuah
dataran tinggi. Di balik pedataran itu terbentang sebuah rimba belantara sarang segala
binatang buas dan manusia jahat. Dulunya terdapat beberapa kelompok penjahat
mendekam dan bersarang di tempat itu. namun setelah Warok Keling muncul, dia
menggabungkan semua kelompok gerombolan itu ke dalam kelompoknya. Siapa yang
tidak mau tunuduk padanya ditumpasnya sampai habis. Saat itu Warok Keling
menjadi raja di raja perampok yang memiliki anak buah hempir seratus orang.
Bersama kelompoknya dia mendirikan sebuah kawasan perumahan di dalam hutan itu.
walaupun hutan tapi keadaannya subur sekali. Air bersih mudah didapat. Begitu juga
buah serta binatang buruan yang bisa disantap.
Menjelang tengah hari mereka sampai di bagian hutan yang tanahnya
meninggi. Wiro dan Panji terus mendaki menuju puncak tertinggi. Begitu sampai di
puncak kelihatanlah belasan rumah kayu yang dipagar dengan tiang-tiang terbuat dari
batang-batang pohon yang ujungnya dibabat runding. Pada jarak-jarak tertentu di atas
pagar itu terdapat sebuah pondok tempat pengawal melakukan tugasnya berjaga-jaga
mengawasi daerah sekitarnya. Begitu Wiro dan Panji muncul mendekati pagar kayu
satu suitan nyaring terdengar dari sebelah Timur kawasan. Lalu sekitar sepuluh orang
muncul di atas pagar. Mereka memegang busur dan panah yang siap dibidikkan ke
arah kedua pemuda itu.
Di sebelah belakang Wiro dan Panji mendengar suara menggeresek. Ketika
berpaling mereka melihat ada kira-kira sepuluh orang meluncur dari atas pohon. Di
cabang-cabang terendah mereka berhenti dan dari sini mereka membidikkan pula
panah atau sumpritan ke arah Wiro dan Panji.
“Kita terkurung!” kata Wiro.
“Tenang saja. Jangan membuat gerakan-gerakan yang mencurigakan. Anak-
anak panah dan sumpritan itu beracun!” kata Panji. Lalu dia membawa kudanya
mendahului Wiro menuju satu tempat terbuka hingga semua orang di atas pagar kayu
meupun di atas pohon dapat melihatnya dengan jelas. Wiro menyusul bergerak ke
samping Panji.
Panji Argomanik kemudian mengangkat tangannya. Lalu dia berseru. “Aku
Panji Argomanik dan seorang sahabat ingin menemui pimpinan kalian!”
Dari atas rumah penjaggan terdengar jawaban. “Dua cacing tanah seperti
kalian mana cukup pantas menemui pimpinan kami!”
“Keparat!” maki Wiro.
“Diam saja!” tukas Panji. Lalu dia berseru lagi. “Kami memohon sekali lagi!
Ada hal penting yang hendak kami bicarakan!”
“Bicaralah dengan setan-setan rimba belantara ini! Harap kalian berdua segera
meninggalkan tempat ini atau tubuh kalian akan kami tambus dengan panah-panah
beracun!”
“Edan!” Kini Panji yang keluarkan suara makian. “Kalau kita tidak
diperbolehkan masuk menemui Warok Keling berarti kita terpaksa menyusup malam
hari. Atau mencegat orang itu jika dia keluar dari sarangnya. Tapi semua itu memakan
waktu. Sementara itu banyak hal bisa terjadi pada Larasati……”
“Agaknya kita tak ada pilihan lain. Mari…..” kata Wiro.
Kedua orang itu memutar kuda masing-masing.
23 WIRO SABLENG
Sementara itu di atas bangunan pagar, sorang bertubuh tinggi luar biasa,
berkulit sangat hitam dan mengenakan pakaian merah gelap serta memakai semacam
sorban berwarna merah di atas kepalanya muncul di atas salah satu rumah penjagaan.
“Aku mendengar suara suitan lalu suara orang berteriak-teriak. Apa yang
terjadi?” tanya orang berkulit hitam legam itu. Suaranya parau dan sember. Inilah
manusianya yang bernama Warok Keling, raja diraja komplotan penjahat di masa itu.
Seorang anak buahnya segera menerangkan.
“Ada dua pemuda tak dikenal muncul dan minta bertemu dengan Warok….”
“Ah, begitu lama aku jadi pemimpin kalian baru sekali terjadi hal seperti ini.
Dua pemuda itu rupanya punya nyali besar. Apa mereka menyebutkan nama atau
gelar?”
“Gelar tidak, tapi yang seorang memperkenalkan diri dangan nama Panji
Argomanik!”
“Panji Argomanik…..” mengulang Warok Keling samgil mengusap dagunya
yang klimis. Biasanya gembong penjahat selalu memelihara janggut atau berewok dan
kumis tebal melintang. Tapi Warok Keling justru memelihara wajah kelimis dan
wajahnya yang hitam cukup keren. “Panji Argomanik…. Aku rasa-rasa pernah
mendengar nama itu! Coba aku mengingat-ingat dulu….. Hem….. Jangan-jangan…..
Hai, coba kau tanyakan pada orang yang bernama Argomanik itu. apakah dia
orangnya yang bergealr Singa Gurun Bromo?”
“Keduanya sudah pergi Warok.”jawab si anak buah.
“Beri tanda pada kawan-kawanmu di luar pagar agar menyuruh kedua orang
itu kembali.”
Anggota penjahat itu keluarkan dua kali sutian berturut-turut, lalu dua kali lagi.
Di dalam rimba belantara di luar pagar empat anak buah Warok Keling
meluncur turun dari atas pohon. Mereka melompat ke tanah lalu mencegat Wiro dan
Panji sambil membidikkan panah-panah beracun.
“Pimpinan kami meminta kalian kembali!” kata salah seorang di antara
mereka.
Wiro dan Panji saling pandang.
“Ada apa kami disuruh kembali?!” bertanya Panji Argomanik.
“Apa kau orangnya yang bernama Panji Argomanik, bergelar Singa Gurun
Bromo?”
Panji mengangkat tangannya dan berteriak membenarkan ucapan itu.
“Kalau begitu kau boleh masuk. Tapi kawanmu tetap tinggal di tempat! Dia
tidak cukup layak menginjakkan kaki di tempat kami!”
“Sialan! Aku lagi yang dihinanya!” maki Wiro.
Saat itu pintu gerbang kayu tampak terbuka.
“Kau masuklah. Aku biar menunggu di sini,” kata Wiro.
Panji Argomanik mengangkat tangannya. “Aku tidak akan masuk kalau
temanku ini tidak diperbolehkan ikut serta!”
Dari atas rumah penjagaan terdengar orang bertanya. “Siapa nama kawanmu
itu. apa dia punya julukan?!”
“Namanya Wiro Sableng!” berteriak Panji.
Sunyi sejenak. Lalu dari atas rumah penjaggan terdengar suara orang berteriak,
bertanya. “Apa orang gila itu punya julukan?!”
Panji Argomanik berpaling pada Wiro. Murid Sinto Gendeng garuk-garuk
kepalanya. “Tidak! Dia tidak…..”
Wiro tekap mulut Panji Argomanik lalu dia sendiri berteriak. “Gelarku
!”
24 WIRO SABLENG
Kedua mata Panji Argomanik membeliak besar. Ketika Wiro menurunkan
tangannya pemuda bergelar Singa Gurun Bromo itu berseru. “Kau…..! Jadi kau
pendekar dari Gunung Gede yang terkenal itu?!”
“Aku tidak lebih hebat dari kau Singa Gurun Bromo!”
“Jangan merendah! Aku banyak mendengar riwayatmu yang hebat-hebat!”
Wiro tertawa. “Orang selalu menambah bumbu dalam setiap cerita…..”
katanya.
Dari atas rumah penjagaan tiba-tiba terdengar suaa teriakan. “Kalian berdua
boleh masuk!”
Pintu gerbang terbuka. Kaliini lebih besar. Wiro dan Panji masuk ke dalam.
Pintu menutup kembali. Begitu masuk ke dalam dua orang bertubuh besar
menghampiri mereka. Keduanya dipersilahkan turun dari kuda masing-masing lalu
binatang-binatang itu dibawa ke satu tempat untuk ditambatkan. Kemudian seorang
lelaki muncul, membawa mereka ke sebuah rumah besar dari kayu bertingkat dua.
Wiro melangkah sambil memandang kian kemari. Dia melihat banyak anak-anak
tengah bermain di halaman luas. Juga ada orang-orang perempuan yang duduk-duduk
di bawah pohon. Ada yang tengah merenda, ada yang tengah bercakap-cakap.
Keadaan di tempat itu bukan seperti di sarang perampok tapi tidak beda dengan
kampung biasa.
Wiro dan Panji dibawa ke tingkat rumah kayu besar. Lalu diminta duduk pada
dua buah kursi kayu. Di antara dua kursi itu terdapat sebuah kursi ketiga yang lebih
besar dan lebih tinggi. Keduanya diminta menunggu.
Tak lama kemudian muncullah Warok Keling. Dia masih mengenakan sorban
merahnya. Tapi dia kini telah berganti pakaian dengan sebuah jubah terbuat dari kain
sangat tebal yang beratnya hampir lima puluh kati. Bersamanya mengikuti empat
orang pengawal bertampang bengis dan membawa golok besar-besar.
Warok Keling duduk di kursi besar. Dia melambaikan tangan pada keempat
pengawalnya. Keempat orang ini tampak ragu untuk meninggalkna pimpinan mereka
sang Warok lantas berkata. “Kalian pergi saja. Mereka adalah teman-temanku!”
Mendengar ucapan itu keempat pengawal tadi segera berlalu. Wiro dan Panji
merasa heran karena tidak menyangka akan mendapat sambutan begitu rupa.
“Dua sahabat muda. Kuucapkan selamat daang di tempatku yang buruk ini.
seumur hidup baru kali ini ada dua orang tokoh silat yang punya nama besar
menyambangiku di sini. Kalian ingin kusuguhkan apa?”
“Kami orang biasa-biasa saja. Jangan Warok keliwat memuji,” kata Panji.
“Terus terang kami memang haus. Tapi kami tak ingin merepotkanmu.”
“Kau bagaimana?” tanya Warok Keling pada Wiro.
“Aku memang haus sekali. Aku tiak malu-malu minta minum apa saja.
Kawanku juga…..”
Warok Keling tertawa lebar.
“Kau orang jujur. Aku suka pada aorang yang terus terang dan polos!” Warok
Keling lalu bertepuk dua kali. Seorang gadis berwajah cantik muncul. “Ini puteriku,
Jayengsari…..” Warok Keling memberitahu.
Dalam hatinya Wiro berkata. “Sulit dipercaya. Manusia buruk hitam begini
rupa punya puteri secantik ini dan berkulit kuning langsat! Ibunya pasti seroang
bidadari yang tertangkap hidup-hidup dan tak dapat kembali ke dunianya!”
“Anakku. Ita kedatangan dua orang tamu penting. Harap sediakan tuak manis
dan jangan lupa talas rebus makanan utama kita yang paling lezat!”
Jayengsaru Mengangguk. Dia melirik ke arah Pendekar 212 sekilas lalu masuk
ke dalam dengan langkah-langkah lincah.
25 WIRO SABLENG
“Sobat-sobatku muda! Semetara menunggu hidangan dan minuman, sekarang
ceriakan apa hal penting yang hendak kau bicarakan denganku!” kata Warok Keling.
“Kami, maksudku aku mengalami kesulitan…..”
Warok Keling tersenyum “Aku pernah mendengar kesulitanmu. Enam tahun
kau menghilang gara-gara tuduhan membunuh putera Pangeran Sendoyo….”
“Bagaimana kau bisa tahu Warok?” tanya Panji heran.
“Aku dan anak buahku memang tinggal jauh di hutan. Tapi kami punya mata
dan telinga di mana-mana…. Nah, sekarang ceritakan apa kesulitanmu yang lain!”
“Kesulitanku, selain jadi buronan Sri Baginda dan Adipati Lumajang, saat ini
aku butuh bantuanmu dan kesediaanmu untuk mengembalikan kekasihku Larasati.
Rumahnya dibakar kemarin malam. Bibinya tewas dan Larasati diculik orang!”
“Larasati diculik orang. Lalu mengapa kau datang kemari? Eh, tadi kudengar
kau meminta aku agar bersedia mengembalikan anak gadis itu padamu. Apa kau
kira….”
“Maafkan aku Warok. Aku tidak menuduh kau menculik Larasati. Tetapi ada
orang memberi kesaksian bahwa salah seorang penjahat yang membakar dan
menculik gadis itu memiliki lengan dengan rajah burung kelelawar!”
Warok Keling menggulung lengan bajunya sebelah kiri sampai ke bahu. Lalu
dia memperlihatkan rajah kelelawar di bahunya itu. “Rajah seperti ini?”
“Kira-kira begitu Warok.”
“Seperti ini?” Sang Warok buka kancing bajunya. Di dadanya kelihatan lagi
sebuah rajah kelelawar yang lebih besar. Panji mengangguk.
Paras Warok Keling berubah semakin hitam. “Singa Gurun Bromo…..”
katanya dengan suara bergetar. “Jika tuduhanmu itu tidak benar, tubuhmu akan
kulempar ke luar pagar tanpa kepala!” Lalu sang Warok berpaling pada Wiro. “Kau
juga!” hardiknya sehingga pendekar 212 tersentak kaget. “Siapa yang memberikan
kesaksian padamu?”
“Karjo Lugu. Pemilik bengkel kuda di Kuto Inggil.”
“Aku akan perintahkan anak buahku untuk menyelidik. Tapi ada satu hal yang
perlu kuceritakan pada kalian!” Saat itu Jayengsari keluar membawakan minuman tak
dalam tabung bambu pendek serta rebusan talas yang diurap dengan kelapa parut.
“Aku tahu kalian pasti haus danjuga lapar….”
Wiro ulurkan tangan hendak mengambil tabung bambu. Tapi Warok Keling
segera mengepret tangannya.
“Aku tidak akan menyuruh kalian minum dan makan sebelum kalian
mendengar dulu keteranganku.” Kata Warok Keling dengn mata berkilat-kilat. “Aku
sudah tiga puluh tahun lebih jadi raja diraja penjahat di kawasan Timur ini. Selama
aku malang melintang ratusan orang telah menjadi korbanku. Kurampok habis-
habisan dan kubunuh jika mereka melawan. Tapi ada satu hal yang harus kalian ingat
baik-baik. Mereka yang jadi korbanku adalah orang-orang kaya yang tidak mau
memberi hartanya pada rakyat jelata. Atau pejabat-pejabat rakus yang kekayaannya
seabrek-abrek tapi tak pernah bersedekah pada orang-orang miskin. Padahal kekayaan
itu mereka dapatkan dari hasil menipu! Kaum pedagang yang terlalu rakus mencari
keuntungan juga kujadikan korban dan kuburu di manapun mereka berada. Tapi
dengar! Aku tidak pernah merampok dan membunuh rakyat jelata! Dengar lagi baik-
baik! Aku tidak pernah menculik dan melarikan anak istri orang! Waktu datang
kemari kalian lihat anak-anak dan orang-orang perempuan. Anak-anak bermain-main.
Orang-orang perempuan duduk merenda atau melakukan pekerjaan lain sambil
ngobrol sesama perempuan. Mereka adalah perempuan-perempuan yang dikawin sah
oleh anak-anak buahku. Dan anak-anak itu bukan anak-anak haram! Ini memang
26 WIRO SABLENG
perkampungan sarang perampok. Tetapi di sini kehidupan lebih baik dari pada di luar
sana! Jadi ingat! Kami bukan tukang culik apalagi tukang perkosa orang-orang
perempuan., jika anak buahku bertemu seorang perempuan yang disukainya, dia akan
mengajaknya baik-baik dan tinggal di sini. Jika mereka menolak, mreeka dilepas
dengan aman. Bahkan diantar pulang sampai ke kampung dan rumah mereka! Karena
cara-cara kami itulah maka tidak ada orang dari dunia persilatan yang memusuhi kami.
Tapi mereka juga sungkan untuk mendekati kami, tidak seperti yang saat ini kalian
lakukan. Kalian orang-orang muda sungguh bisa dibuat contoh. Lalu, pihak
kerajaanpun tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kami. Kami memang penjahat tapi
sebenarnya kami lebih cocok dikatakan sebagai tangan jahil yang merampas sedikit
harta benda yang berlebihan untuk disalurkan pada orang-orang miskin!”
Panji terdiam mendengar kata-kata Warok Keling itu sementara itu Wiro
hanya bisa garuk-garuk kepala!
“Aku tidak bisa percaya akan penjelasan bahwa ada anak buahku terlibat
penculikan Larasati. Tetapi aku berjanji akan menyelidik. Jika betul anak buahku dia
akan kuhukum berat dan Larasati akan kembali padamu dengan selamat! Sekarang
kalian boleh meneguk minuman dan mencicipi hidangan!”
Wiro dan Panji segera mengulurkan tangan untuk mengambil tabung tuak
masing-masing. Tapi ketika diangkat ternyata tabung-tabung bambu itu tidak
bergerak sedikitpun. Seolah-olah melekat ke kayu meja. Semakin dikerahkan tenaga
untuk mengangkatnya semakin melekat keras kedua tabung bambu itu. Wiro dan
Panji segera maklum bahwa tuan rumah tengah menjajal kekuatan mereka. Kalau tadi
mereka hanya mengerahkan tenaga kasar atau tenaga luar maka kini diam-diam
keduanya mengerahkan tenaga dalam. Di atas kursinya Warok Keling yang tadi
tampak duduk sambil menyeringai kini kelihatan mengernyit. Keningnya dipenuhi
percikan keringat. Tubuhnya yang besar tampak bergetar. “Hem…. Dua anak muda
ini memiliki kekuatan tenaga dalam yang bukan main-main!” kata sang Warok dalam
hati. Dia lalu kerahkan seluruh tenaga dalamnya pula.
Tuak di dalam tabung bambu itu beriak seperti mendidih. Wiro dan Panji
merasakan tangan mereka seperti diserang hawa panas. Tapi keduanya tetap bertahan.
Di samping mereka perlahan-lahan tubuh Warok Keling tampak terangkat ke atas
sampai setinggi tiga jengkal. Wiro kedipkan matanya ke arah Panji. Kedua pemuda
ini tiba-tiba secara serentak lepaskan pegangan mereka pada tabung bambu. Dan
terjadilah satu hal yang hebat tapi lucu.
Karena tenaga dalam wang Warok kini lepas menghantam tempat kosong
maka tak ampun lagi tubuhnya yang tadi terangkat dengan tiba-tiba dan keras luar
biasa terbanting jatuh ke atas kursi yang didudukinya.
“Brak!”
Kursi kayu yang kokoh itu patah keempat kakinya. Tak ampun lagi tubuh
tinggi besar Warok Keling jatuh ke lantai!
Empat orang pengawal keluar dari ruangan dalam sambil menghunus golok
dan siap untuk menyerang Wiro dan Panji. Tapi Warok Keling cepat bersiri dan
tertawa mengekeh. Dia melambaikan tangannya pada keempat pengawalnya itu.
“Pergi saja! Tak ada apa-apa di sini. Kami hanya bersendau gurau! Ambillah
aku kursi baru!”
Walau ragu-ragu keempat orang pengawal itu segera ke dalam lalu keluar lagi
membawa kursi baru. Kursi yang patah mereka singkirkan.
Warok Keling seka keringat yang membasahi mukanya.
27 WIRO SABLENG
“Kalian orang-orang muda yang hebat. Kalau kalian mau, tadi kalian bisa
mengirimku ke akhirat. Kini cukup jlas bagiku. Kalian datang bukan mencari silang
sengketa. Ayo, lekas minum tuaknya. Cicipi talas rebus yang lezat itu!”
Wiro dan Panji segear ulurkan tangan kembali untuk mengambil tabung berisi
tuak. Setealh meneguk minuman yang lezat sejuk itu mereka mencicipi talas rebus
yang dihidangkan. Hanya sesaat setelah sepotong besar talas amblas masuk ke dalam
perut mereka, kedua pemuda itu mendadak merasakan mulut mereka menjadi gatal.
Makin digaruk makin gatal.
“Bibirmu bengkak besar!” kata Panji seraya menunjuk ke mlut Wiro.
“Mulutmu juga bengkak!” ujar Wiro pula.
Kedua pemuda itu sama-sama memegangi mulut masing-masing. Dan
menggaruk tiada henti. Lalu sama memandang pada Warok Keling dengan rasa curiga.
Sebaliknya sng Warok tertawa gelak-gelak.
“Warok, apa yang kau perbuat terhadap kami?!” tanya Wiro sambil mengusap
lagi bibirnya yang semakin melendung.
Gelak sang Warok semakin keras. “Dulu, waktu aku dan anak buahku pertama
kali makan talas, bibir kami bengkak dan gatal-gatal seperti kalian. Tapi lama
kelamaan kami jadi kebal karena terbiasa! Maaf saja kalau saat ini kalian mengalami
nasib sama. Itu bukan disengaja. Ha….ha….ha! Kalian berdua jangan marah pada
siapapun!”
Panji berdiri dari duduknya. Wiro mengikuti.
“Warok, kami minta diri…..”
“Silahkan. Aku gembira mendapat kunjungan kalian. Satu hal agar kalian
ketahui. Jika suatu waktu kalian ingin bergabung dengan kami, pintu selalu terbuka!”
Kedua pemuda itu menyeringai. Karena mulut mereka pada bengkak, ketika
menyeringai tampang-tampang mereka menjadi lucu dan ini membuat sang Warok
jadi terpingkal-pingkal!
28 DELAPAN
WIRO SABLENG
Keluar dari rimba belantara hujan deras turun memaksa Wiro dan Panji mencari
tempat untuk berlindung. Untungnya mereka menemukan sebuah gubuk reyot tak
jauh dari situ. Keduanya segera berteduh di dalam gubuk tanpa dinding dan atapnya
penuh lobang itu.
“Sobat, kurasa sekarang saat yang baik kau menuturkan riwayatmu. Kau
bilang terpaksa kabur dari Kuto Inggil enam tahun lalu. Lalu punya silang sengketa
dengan kerajaan dan Adipati Lumajang. Apa betul kau membunuh putera Pangeran
Sendoyo?”
Panji meraba rambutnya yang coklat yang kejatuhan tirisan air hujan.
Digelengkannya kepalanya. “Tidak, tidak betul. Ada orang yang mengatur fitnah.
Menjebakku demikian rupa hingga tuduhan jatuhan padaku. Aku akan ceritakan
padamu awal malapetaka enam tahun yang lalu itu…..”
Larasati bunga Kuto Inggil baru berusia lima belas tahun. Kecantikannya yang
memang luar biasa telah dibawa angin keharuman sampai di Kotaraja. Seorang
pangeran bernama Sendoyo yang mendengar kecantikan Larasati itu telah sengaja
menyempatkan diri untuk datang ke Kuto Inggil. Dia menemui Bibi Kanoman untuk
melamar Larasati agar dapat dipersunting oleh puteranya yang bernama Tayu
jenggolo. Bibi Kanoman yang maklum akan kekuasaan sang Pangeran tentu saja tak
berani menolak walau dia tidak suka akan lamaran itu. dia sudah sejak lama
mendengar bahwa putera Pangeran Sendoyo itu suka berjudi, penyabung ayam, suka
mengganggu anak istri orang dan pantat botol alias suka minuman keras. Secara halus
dia menyerahkan persoalannya pada Larasati. Si gadis, yang sebenarnya telah
menjalin cinta dengan Panji Argomanik dengan tegas menolak lamaran itu.
Sang Pangeran kembali ke Kotaraja dengan perasaan malu, tersinggung dan
marah. Diam-diam dia berusaha mencari jalan untuk mendapatkan Larasati,
bagaimanapun caranya. Untuk itu dia meminta bantuan Dirgo Sampean, adipati
Lumajang yang membawahi Kuto Inggil. Dirgo Sampean mau membantu karena
dijanjikan akan diberikan satu kedudukan tinggi di Istana kelak.
Hari itu merupakan hari pasar di Kuto Inggil. Pasar raya yang berlangsung di
alun-alun ramai dikunjungi orang. Rumah makan dan tempat-tempat minum penuh
oleh manusia. Para perjaka dan para gadis mempergunakan hari ini sebagai
kesempatan untuk bertemu dan berhandai-handai.
Siang itu Panji memerlukan datang ke pasar untuk mencari seorang teman
karibnya. Belum sampai ke pasar di tengah jalan dia berpapasan degnan Tayub
Jenggolo diiringi oleh tiga orang temannya. Keempat pemuda itu sedang mabuk
sehabis menenggak banyak minuman di satu rumah minum. Tapi yang terparah
adalah putera Pangeran Sendoyo itu.
Begitu melihat Panji, Tayu Jenggolo seperti kemasukan setan dan berteriak
marah. Dia mencaci maki Panji dengan kata-kata kotor. Walau telinga dan hatinya
jadi panas mendengar caci maki itu namun karena tahu Tayub Jenggolo sedang
mabuk maka Panji tidak melayani. Dia terus saja melangkah menuju ke pasar. Tapi
begitu berhadap-hadapan tiba-tiba Tayub Jenggolo mencabut sebuah pisau besar dari
pinggangnya.
Panji Argomanik terkejut sekali ketika melihat pisau yang digenggam Tayub
Jenggolo adalah pisau miliknya yang diketahuinya telah hilang sejak tiga hari lalu.
29WIRO SABLENG
“Aneh, bagaimana pisau itu bisa berada di tangan putera Pangeran ini?” pikir
Panji. Tapi pemuda ini tidak bisa berrpikir lebih jauh karena saat itu Tayub sudah
menyerangnya. Dengan cepat Panji mengelak.
Tayub membalik, “Bangsat kau Panji! Kau yan hendak merampas Larasati
dari tanganku! Kau tak bakal dapat memperistrikannya! Kau akan kawin dengan
cacing-cacing tanah di liang kubur! Kau boleh bawa gelar besarmu Singa Gurun
Bromo itu ke liang kubur!”
Tayub Jenddolo kembali menyerbu. Karena saat itu dia sedang mabuk dan
Panji sendiri sudah menguasai ilmu silat dari seorang sakti yang diam di sebuah goa
di Gurun Bromo sehingga dia mendapat julukan Singa Gurun Bromo, dengan mudah
Panji menghadapi setiap serangan lawan. Sementara itu tiga orang kawan Tayub
Jenggolo yang juga dalam keadaan mabuk berteriak-teriak ketakutan. Ketiganya lalu
melarikan diri entah kemana.
Beberapa lama kemudian, seorang pedagang sayur yang tengah memikul
dagangannya ke pasar menemukan sosok Tayub Jenggolo tergeletak di tengah jalan
dalam keadaan mandi darah. Muka dan beberapa bagian tubuhnya penuh dengan
luka-luka. Sebuah pisau besar- pisau milik Panji Argomanik menancap di pertengahan
dadanya! Panji sendiri lenyap entah kemana!
Setelah kejadian itu serombongan pasukan dari kadipaten mendatangi rumah
kediaman Panji. Ketika mereka tidak menemukan si pemuda di sana maka mereka
menangkap ayah Panji Argomanik. Di sebuah rumah kayu mereka menyekap orang
tua itu, menyiksanya setiap hari. Di luar disebar kabar jika Panji tidak muncul
menyerahkan diri maka ayahnya akan dijadikan tumbal di tiang gantungan.
Suatu pagi Panji Argomanik akhirnya muncul di kadipaten untuk
menyerahkan diri. Ayahnya dilepas. Tapi dua hari kembali ke rumah, orang tua ini
menghembuskan nafas karena luka-luka dan cidera berat yang dideritanya. Kabar
kematian ayahnya itu disampaikan seorang kawan Panji di tempat dia disekap. Panji
seperti hendak gila. Apalagi ketika dia mendengar bahwa dirinya akan digantung
dalam dua hari mendatang. Kesalahannya telah terbukti pisau yang menancap di
tubuh Tayub Jenggolo adalah pisau miliknya. Lalu ada seorang pedagang di Kuto
Inggil bernama Janar Gandewo memberi kesaksian bahwa dia melihat memang Panji
Argomanik yang menusukkan pisau ke tubuh Tayub jenggolo….
Selama satu hari satu malam Panji bersemedi meminta petunjuk pada Yang
Kuasa. Suatu malam seperti mendapat kekuatan gaib, pemuda ini menghancurkan
dinding papan tebal dan kokoh ruang tahanannya. Dia menghantam roboh dua orang
pengawal di tempat itu. Lalu dengan seekor kuda curian dia melarikan diri menuju ke
Utara.
Larinya Panji Argomanik segera dilaporkan kepada Adipati Lumajang.
Rombongan pengejar yang terdiri dari dua puluh perajurit dipimpin langsung oleh
Adipati Dirgo Sampean. Karena mereka memiliki seorang ahli pencari jejak maka
larinya Singa Gurun Bromo segera dapat diketahui. Di pedataran pasir sebelah Utara,
rombongan pengejar berhasil mengejar pemuda itu. Di satu tempat Panji Argomanik
dikurung lalu dikeroyok. Panji mengamuk hebat untuk mempertahankan diri dan
kehormatannya. Tapi musuh terlalu banyak dan Adipati Dirgo ternyata memiliki
kepandaian tinggi pula. Meskipun berhasil merobohkan enam orang perajurit yang
mengeroyoknya namun dalam keadaan mandi darah pemuda itu akhirnya jatuh
tersungkur di tanah.
Adipati Dirgo Sampean menyambar tombak yang tersisip di leher kudanya
lalu melompat turun. Tombak itu dihujamkannya ke arah tenggorokan Panji
Argomanik yang berada dalam keadaan tak berdaya antara sadar dan tiada.
30 WIRO SABLENG
Sesaat lagi mata tombak akan menembus leher Panji tiba-tiba sebauh benda
bulat menghantam pertengahan batang tombak hingga senjata itu patah dua dan
terlepas mental dari genggaman Adipati Dirgo Sampean. Sang Adipati merasakan
tangannya seperti disengat api. Penuh rasa kejut dia memandang sekeliling. Hal sama
juga dilakukan oleh para perajurit yang ada di tempat itu. Mereka semua melihat ada
seorang tua berjubah putih berambut panjang putih yang melambai-lambai ditiup
angin. Orang tua itu duduk di atas punggung seekor kuda hitam. Tapi mereka hanya
melihat sekejapan saja. Karena ketika orang tua itu memukulkan kedua tangannya ke
depan, terdengar deru keras seperti munculnya topan prahara. Pasir gurun
beterbangan menutupi pemandangan Adipati Dirgo dan semua perajurit yang ada di
sana berusaha bertahan dengan susah payah agar tubuh mereka tidak roboh.
Pemandangan mereka tertutup oleh pasir-pasir yang beterbangan.
Ketika gelombang angin mereda dan pasir yang beterbangan luruh ke tanah
kembali semua orang terkejut. Tubuh Panji Argomanik yang tadi tergeletak di atas
pasir tak ada lagi di situ. Memandang ke arah kiri mereka dapatkan kakek
penunggang kuda hitampun sudah lenyap entah kemana!
Para perajurit yang ada di tempat itu jadi merinding. Adipati Dirgo Sampean
diam-diam ikut merasa takut. Dia memang tidak penah mendengar adanya setan atau
hantu gurun pasir. Tetapi kalau bukan setan mana mungkin orang tua itu bisa muncul
dan lenyap bersama hilangnya tubuh Panji.
“Pasukan! Kita kembali ke Lumajang!” seru Adipati itu pada para perajuritnya.
Ketika siuman, mula-mula Panji merasa heran dan bertanya-tanya dimana dia
berada saat itu. Secara perlahan-lahan begitu ingatannya pulih kembali dia segera
mengenali tempat itu dan ingat kalau dulu dia pernah berada di situ selama beberapa
tahun. Dengan mengumpulkan tenaga walau sekujur tubuh dan persendiannya terasa
sakit Panji berusaha bangkit. Dia memandang berkeliling. Dia hanya sendirian dalam
goa itu.
“Guru….?!” Suara Panji bergema dan memantul pada dinding-dinding goa.
Di ruang sebelah dalam goa batu yang terletak di gurun pasir Bromo itu
terdengar suara batuk-batuk. Lalu sesosok tubuh tua muncul.
“Kau sudah siuman Panji….?”
“Sudah guru. Saya tahu pasti. Guru yang telah menyelamatkan saya dari
orang-orang itu….. Saya berterima kasih padamu guru.”
“Berterima kasih pada Tuhan. Dia yang masih memanjangkan umurmu,” kata
orang tua sambil memegang bahu muridnya. Lalu dia bertanya. “Mengapa mereka
mengejar dan ingin membunuhmu?”
Panji lalu menceritakan apa yang terjadi.
Si orang tua menarik nafas panjang. “Ada orang atau orang-orang yang
sengaja menjebakmu muridku. Dan kau belum sanggup menghadapi mereka. Jika kau
berani muncul di Kuto Inggil, mereka akan membunuhmu!”
“Saya mohon petunjukmu guru.”
Si orang tua tersenyum kecut. “Itu sebabnya dulu kukatakan padamu, kalau
berguru jangan kepalang tanggung. Belum selesai semua kepandaia kuwariskan
padamu kau sudah seperti anak kecil minta-minta diizinkan pulang. Tenaga dalammu
masih rendah. Ilmu meringankan tubuhmu masih cetek. Kau memang telah
menyandang julukan hebat. Singa Gurun Bromo. Tapi kau hanya keberatan gelar
muridku!”
“Maafkan segala tindakan saya di masa lampau guru.” Kata Panji. “Kalau
guru tidak keberatan saya ingin menyambung pelajaran lagi di sini….”
31 WIRO SABLENG
“Pengalaman pahit itu rupanya menjadi guru terbaik bagimu. Mungkin kau
memang berjodoh untuk meneruskan pelajaran silatmu di sini. Kau akan kugembleng
selama enam tahun. Jika kau berani minta pergi hanya ada satu syarat dariku. Aku tak
akan mengajarkan apa-apa lagi padamu. Dan aku tidak ingin melihat mukamu lagi!”
“Saya berani mematuhi semua peraturan guru….” Jawab Panji.
“Kalau begitu kau teruskan dulu beristirahat. Besok pagi-pagi pelajaran
pertama akan dimulai.”
“Terima kasih guru,” kata Panji Argomanik. Dipegangnya tangan orang tua itu
lalu diciumnya penuh hormat dan terima kasih.
Hujan deras telah berhenti. Kini udara dingin luar biasa datang menyungkup.
Pendekar 212 Wiro Sabelng rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
“Nah, itu kisahku enam tahun lalu,” kata Panji menyudahi riwayatnya. “Kini
aku muncul untuk meluruskan segala tuduhan keji itu. Aku harus mencari tahu siapa
biang racun di balik semua kejadian ini. Aku curiga terhadap Pangeran Sendoyo.
Kematian ayahku perlu aku balaskan. Dan yang paling penting aku harus segera
menemukan Larasati kembali!”
“Kau tidak menceritakan tentang ibumu setelah ayahmu meninggal.” Kata
Wiro.
“Ah, itu satu sisi gelap lagi dari kehidupanku yang malang. Waktu aku masih
mengikuti guru, aku mendapat kabar dari seseorang. Beliau menyusul ayah sebulan
kemudian.”
Wiro terdiam sesaat. “Boleh aku tahu siapa nama gurumu itu?”
“Dia tidak pernah memberitahu namanya. Dia memiliki gelar sama denganku.
Singa Gurun Bromo. Ketika dia melepas aku enam tahun lalu, dia menyuruh aku
memakai gelar itu.”
Sunyi sesaat di dalam gubuk itu. “Kita harus berangkat sekarang Wiro.”
“Ya. Tapi kemana tujuan kita?”
“Aku akan mencari Janar Gandewo pedagang keliling yang memberi
kesaksian palsu itu.”
Pendekar 212 mengangguk. Kedua pemuda itu lalu naik ke atas kuda masing-
masing.
32 SEMBILAN
WIRO SABLENG
Hari hampir malam ketika mereka emmasuki Kuto Inggil dari arah Selatan.
Setelah melewati sebuah lereng bukit yang ditumbuhi pohon-pohon karet keduanya
menemui sebuah kali kecil. Sebelumnya kali ini merupakan parit kering akibat musim
panas yang panjang. Kini setelah hujan turun kali itu tampak berair kembali walaupun
sangat dangkal dan kotor.
Panji Argomanik menunggangi kudanya di sebelah depan diikuti oleh
Pendekar 212 dari belakang. Di kejauhan kelihatan nyala sebuah lampu minyak.
“Itu rumah Janar Gandewo,” kata Panji seraya menunjuk ke arah lampu. Lalu
dia mempercepat lari kudanya. Di satu tempat kira-kira lima puluh langkah dari
rumah kecil di daerah terpencil itu Panji turun dari kudanya. Dia memberi isyarat
pada Wiro agar terus mengikuti dengan jalan kaki. Tinggal beberapa belas langkah
lagi dari rumah yang dituju Wiro berbisik.
“Kau duluan saja Panji. Aku mau kencing dulu….. Dari tadi aku berusaha
menahan. Sekarang tak sanggup lagi!”
“Sialan! Ada-ada saja kelakuanmu!” maki Panji jengkel sekali. Dia tidak lagi
memperdulikan Wiro dan bergerak sendirian dalam rumah kecil yang lantainya
berkolong rendah.
“Ada nyala lampu berrarti ada orangnya,” kata Panji dalam hati. Dia
melangkah ke pintu depan lalu berseru. “Janar Gandewo! Aku mencarimu! Lekas
keluar!”
Tak ada jawaban dari dlam rumah itu.
“Janar!”
“Si…..siapa di luar?!” Tiba-tiba ada yang bertaya dari dalam rumah.
“Aku Panji Argomanik!”
“Tung…..tunggu sebentar…”
“Suaranya seperti gemetar dan gagap. Ada sesuatu yang ditakutinya,” kata
Panji dalam hati. Dia menunggu sesaat. Tiba-tiba nyala lampu dalam rumah padam.
Panji jadi curiga dan melompat ke balik sebatang pohon. Dia tak menunggu lama.
Pintu belakang rumah kecil kelihatan terbuka lalu seorang lelaki bertubuh tinggi
langsung melompat keluar, dengan cepat menyelinap hendak melarikan diri. Panji
segera mengejar dan menghadang. Sekali sergap saja dia berhasil membengbeng leher
pakaian orang itu.
“Mau kabur ke mana Janar?!”
“Si….siapa bilang aku mau kabur…..?” Janar Gandewo si pedagang keliling
menjawab tapi jelas dia berdusta dan sangat ketakutan.
Panji tarik leher pakaian orang itu lalu membantingkannya hingga
punggungnya terhempas ke dinding rumah. Janar Gandewo merintih kesakitan.
Tulang punggungnya seperti luluh. “Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini…..?”
“Ini belum seberapa!” kertak Panji. “Aku tak segan-segan menghancurkan
batok kepalamu!”
“A…..apa salahku?!”
“Keparat! Kau pandai berpura-pura!” Tangna kiri Panji bergerak meninju
muka Janar Gandewo hingga bibirnya pecah dan dua giginya rontok! Janar meraung
kesakitan. “Kau mau minta mampus sekarang juga?!” bentak Panji lalu kedua
tangannya dicekikkan ke leher orang itu.
“Jang….jangan….. Jangan bunuh aku. Apa salahku…..”
33 WIRO SABLENG
“Siapa yang menyuruhmu memberi kesaksian palsu enam tahun lalu. Kau
bersaksi melihat aku membunuh Tayub Jenggolo putera Pangeran Sendoyo!”
“Aku…..”
“Bangsat! Jawab cepat!” Panji angkat lagi tangan kanannya.
“Aku…. Aku terpaksa. Aku disuruh. Kalau tidak kemaluanku akan dipotong!
Aku akan dikebiri!”
“Siapa yang menyuruhmu? Siapa yang mau mengebirimu?!” teriak Panji.
“Walang Daksi…..”
“Walang Daksi….? Dukun Iblis di Lembah Waru?!”
Janar Gandewo mengangguk.
“Aku tidak percaya! Kau membual! Biar kupatahkan batang lehermu saat ini
juga!”
“Aku tidak dusta! Aku tidak berbohong Panji. Aku tahu Walang Daksi juga
disuruh orang lain….”
“Siapa?!”
“Su…..Sur……”
Belum sempat Janar Gandewo menyebutkan sabuah nama tiba-tiba terdengar
suara berdesing. Panji berpaling. Sebatang anak panah melesat dan menancap tepat di
mata kiri Janar Gandewo. Orang ini meraung setinggi langit. Lidahnya terjulur.
Mukanya kelihatan menjadi biru.
“Panah beracun!” desis Panji serta merta lepaskan cekikannya. Tubuh Janar
terkulai lalu roboh ke tanah tanpa nyawa lagi!
Dalam keadaan masih terkesiap Panji tidak menyadari bahwa saat itu sebuah
anak panah lagi melesat dan kali ini sasarannya adalah dirinya sendiri. Dia mendengar
suara berdesing namun perhatiannya masih tertuju pada kematian Janar hingga dia
bertindak lengah. Sesaat lagi anak panah itu akan menancap di punggungnya tiba-tiba
sebuah benda hitam melesat dalam kegelapan malam, memotong luncuran anak panah
dan trak! Anak panah mental patah dua. Panji melompat. Saat itulah dia baru sadar
kalau dirinya baru saja terlepas dari bahaya maut!
Sesosok tubuh melompat ke hadapan panji. Pemuda bergelar Singa Gurun
Bromo ini berkelebat dan siap untuk menghantam. Tapi dia cepat tarik serangannya
ketika dilihatnya yang datang adalah Wiro.
“Ada untungnya aku kencing tadi,” kata Pendekar 212. “Kalau tidak mungkin
kita berdua sudah jadi mayat. Yang dituju si pembokong adalah kau, bukan kunyuk
jangkung itu!” Lalu Wiro membungkuk mengambil sebuah benda yakni batu hitam
sakti yang merupakan pasangan kapak Maut Naga Geni 212.
Selain memungut batu hitamnya Wiro juga mengambil patahan anak panah
yang tadi dihantamnya dengan batu hitam itu.
“Aku mengenali mata panah ini. Bagaimana pendapatmu, Sobat?” tanya Wiro.
Panji memperhatikan anak panah itu. Dia juga segea mengenali “Sama dengan
anak panah milik orang-orangnya Warok Keling….” Katanya. “Berarti bangsat itu
memang terlibat dalam urusan ini! Keparat!” dalam amarahnya Panji kemudian ingat.
“Terima kasih. Kau telah menyelamatkan jiwaku.” Dia memandang ke arah
mayat Janar Gandewo. “Manusia sialan itu tadi menyebutkan nama seseorang. Orang
yang katanya menyuruh dia melakukan kesaksian palsu. Sur…… entah Sur siapa. Dia
juga menyebutkan nama seorang dukun di Lembah Waru. Aku akan mencari dukun
itu sekarang juga!”
“Kau dengar suara derap kaki kuda di kejauhan itu?”
“Ya…..”
“Apa maksudmu Wiro?”
34 WIRO SABLENG
“Itu derap kaki kuda si pembokong. Dia belum lari jauh. Kita masih punya
kesempatan untuk mengejarnya! Kau harus memilih satu di antara dua. Mengejar si
pembokong atau pergi ke Lembah Waru.”
“Si pembokong itu lebih dulu!” jawab Panji.
“Tepat!” sahut Wiro seraya acungkan ibu jari tangan kanannya. Kedua
pendekar ini segera berkelebat ke tepat di mana mereka meninggalkan kuda
sebelumnya.
Di malam yang gelap dan dingin itu memang tidak mudah untuk mengejar
seseorang yang melarikan diri dengan menunggang kuda. Satu-satunya petunjuk ke
arah mana larinya si pembokong adalah suara derap kaki kudanya. Tapi celakanya di
satu tempat suara derap kaki kuda orang yang dikejar itu lenyap!
“Keparat!” maki Panji. “Dia menghilang!”
Pendekar 212 tidak menjawab. Telinganya dipasang baik-baik. “Aku
mendengar suara kaki-kaki kuda di air….”
“Kau ingat kali kecil itu?!” ujar Panji.
“Dia pasti tengah menyebrangi kali dangkal itu! Pantas derap kaki kudanya
lenyap. Ayo kita kejar!”
Kedua pendekar ini memacu kuda masing-masing ke arah kiri. Tak lama
kemudian mereka sampai di satu tempat ketinggian. Di bawah sana keliahtan kali
kecil berair dangkal. Di seberang kali tampak seorang penunggang kuda baru saja
menyeberangi kali itu.
“Itu bangsatnya!” kertak Panji. “Aku akan memintas jalannya dari arah kiri.
Kau memotong dari arah kanan. Dia pasti tidak bisa lolos. Apalagi di seberang sana
merupakan kawasan terbuka!”
Panji membedal kudanya. Wiro menyentakkan tali kekang tunggangannya.
Kedua orang ini melesat dalam kegelapan malam. Selewatnya kali dangkal mereka
berpencar menggunting larinya orang yang mereka kejar dari dua arah. Tepat di
pertengahan pelataran terbuka, Panji telah berada di depan, Wiro menjepit dari
belakang.
Orang yang dikejar mengenakan pakaian ringkas warna gelap. Kepalanya
ditutupi sebuah topi berbentuk aneh dan wajahnya tersembunyi di balik sehelai cadar.
Tahu kalau ada dua orang mengejarnya si penunggang kuda tadi segera membelok ke
kiri dan memacu kudanya sepanjang lereng pedataran. Namun dia tidak bisa lari jauh
karena dalam waktu singkat Wiro dan Panji berhasil mengejarnya. Dari jarak sepuluh
langkah di sebelah kiri, Singa Gurun Bromo yang sudah tidak tahan lagi lepaskan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Yang diarah adalah
pinggang orang itu.
Selarik angin keras menderu. Membabat ke arah pinggang laksana sambaran
sebilah mata pedang. Inilah pukulan sakti yang disebut Kilat Manyapu Gurun Bromo.
Jangankan tubuh manusia, batang pohon pun akan terbabat putus bila kena hantaman
pukulan sakti ini!
Rupanya orang di atas kuda sudah tahu kalau dirinya terancam maut. Dari
balik cadarnya dia keluarkan suara mendengus. Lalu tubuhnya tiba-tiba melesat ke
atas. Serangan Singa Gurun Bromo lewat di bawah kedua kakinya. Hebatnya, karena
kedua tangannya masih memegang tali kekang kuda, ketika melompat turun kembali
dia membuat gerakan jungkir balik, di lain kejap dia sudah duduk kembali di atas
pelana kuda dan menghambur menjauhi kedua pengejarnya.
Pendekar 212 leletkan lidah mengagumi kehebatan orang itu. Sebaliknya Panji
Argomanik walaupun terkesiap tapi kemarahannya memuncak. Sebenarnya dia harus
dapat menangkap orang ini hidup-hidup untuk mendapatkan keterangan mengapa dia
35 WIRO SABLENG
memanah mati Janar Gandewo lalu hendak membunuh dirinya pula. Tetapi amarah
lebih mempengaruhi hingga Panji ingin membunuh orang ini saat itu juga!
Begitu serangan pertamanya gagal Singa Gurun Bromo menggebrak kudanya
dan mengejar kembali. Tapi sekali ini gerakannya tertahan karena sambil melarikan
diri orang yang dikejar lambaikan tangan kanannya. Puluhan benda sebessar-besar
pasir beterbangan di udara mengeluarkan kilauan aneh.
“Awas pasir beracun!” teriak Pendekar 212 yang mengenali apa adanya
benda-benda yang melesat ke arah sahabatnya itu.
Singa Gurun Bromo menggertak marah. Tangan kanannya diangkat.
“Wusss!” Satu gelombang sinar putih kebiruan menderu dahsyat. Pasir
beracun tersapu habis. Sinar serangan Panji Argomanik terus menerpa ke arah orang
bercadar. Orang ini cepat angkat tangan kanannya guna melepaskan pukulan tangan
kosong. Dua kekuatan dahsyat saling bentrokan di udara. Terdengar suara berdentum
disusul oleh suara ringkikan tiga ekor kuda!
Singa Gurun Bromo merasakan sekujur tubuhnya seperti tergontai-gontai
sedang kuda tunggangannya menjadi liar dan meringkik tiada henti. Pendekar 212
yang berada tak jauh dari Panji dan sempat tersapu angin serangan juga merasakan
getaran hebat menjalari tuuhnya. Kuda tunggangannya seperti sempoyongan dan
meringkik beberapa kali.
Yang bernasib buruk adalah orang yang dikejar tadi. Tubuhnya terhempas ke
samping lalu jatuh ke tanah. Kudanya meringkik keras dan lari meninggalkannya.
Puluhan langkah di depan sana baru binatang ini berhenti. Melihat orang buruannya
jatuh ke tanah, Singa Gurun Bromo segea melompat turun dari atas kuda dan
kirimkan tendangan ke arah dada orang itu. Yang diserang gerakkan tangan kanannya
ke pinggang.
“Wuut!”
Lalu sebilah golok menyambar tak terduga. Ujungnya menderu di perut Singa
Gurun Bromo membuat pendekar ini terkejut dan cepat melompat. Tak urung
sebagian bajunya di sebelah perut masih kena tersambar ujung senjata lawan hingga
robek.
Singa Gurun Bromo melompat mundur sambil pegangi perutnya. Parasnya
berubah mengelam tanda amarahnya sudah mencapai di puncaknya. Di depannya
orang bercadar tegak sambil putar-putar goloknya. Dalam gelapnya malam senjata itu
lenyap dari pemandangan hanya suaranya saja yang terdengar menderu-deru.
Selangkah demi selangkah, sambil terus memutar goloknya orang ini mendekati Singa
Gurun Bromo. Tiba-tiba dia menyergap ke depan. Goloknya berkiblat dalam satu
bacokan deras. Singa Gurun Bromo mundur satu langkah. Kedua lututnya menekuk.
Bersamaan dengan itu kedua tangannya menyusup ke atas. Begitu dia berhasil
mencekal lengan yang memegang golok itu secepat kilat dia jatuhkan dirinya ke tanah.
Kaki kanannya menendang ke arah perut lawan. Orang bercadar terangkat ke atas lalu
tertarik keras. Goloknya terlepas dan tubuhnya terbanting ke tanah. Dari balik cadar
terdengar suara pekikan. Suara pekik perempuan!
36 SEPULUH
WIRO SABLENG
Pendekar 212 dan Singa Gurun Bromo tentu saja tersentak kaget begitu mendengar
suara jeritan orang itu adalah suara perempuan. Sekali lompat saja Singa Gurun
Bromo sudah berdiri di samping tubuh yang tergeletak di tanah becek. Kaki kanannya
menginjak leher lalu dia membungkuk dan membetot lepas cadar yang menutupi
wajah orang itu.
“Kau!” keluar teriakan kaget dari mulut Panji Argomanik alias Singa Gurun
Bromo. Pendekar 212 sendiri tertegun dengan mulut ternganga seperti tak percaya
pada penglihatannya. Akhirnya dia hanya bisa garuk-garuk kepala.
“Jadi kau rupanya! Bapaknya perampok besar. Ternyata anaknya juga
penjahat keji! Mengapa kau hendak membunuhku?! Mengapa kau membunuh Janar
Gandewo! Pasti bapakmu yang menyuruh!”
“Mulutmu lancang! Belum tahu urusan sudah mendamprat! Jika kau ada
persoalan denganku jangan hina orang tuaku!” bentak perempuan yang tergeletak di
tanah dan lehernya masih diinjak oleh Singa Gurun Bromo. Dia bukan lain adalah
Jayengsari, puteri Warok Keling, raja diraja para perampok!
“Baik! Sekarang jawab dulu pertanyaanku tadi. Kalau kau tidak menjawab
kuinjak hancur batang lehermu!” ancam Singa Gurun Bromo.
“Siapa yang hendak membunuhmu? Siapa itu Janar Gandewo?” balik
membentak Jayengsari. Lalu dengan mata membelalang gadis ini berkata. “Aku itdak
takut mati! Kau mau bunuh aku saat ini juga silahkan! Ayo injak leherku!”
“Akalmu selicik akal bapak moyangmu!”
“Kurang ajar! Kalau kau punya nyali lepaskan injakanmu. Mari kita berkelahi
sampai seratus jurus! Buktikan bahwa kau yang punya gelar Singa Gurun Bromo
bukan seorang pendekar banci yang hanya berani melawan perempuan!”
Amarah Singa Gurun Bromo jadi mendidih lagi mendengar kata-kata
Jayengsari itu. “Manusia sepertimu tidak perlu dihormati! Matipun kau aku tak
merugi! Nah, mampuslah!”
Singa Gurun Bromo injakkan kaki kanannya kuat-kuat ke leher si gadis.
Namun sebelum hal itu terjadi, murid Eyang Sinto Gendeng cepat mendorongnya
hingga injakkannya lepas dan tubuhnya terhuyung-huyung.
“Wiro! Kau hendak membelanya?! Kau bersekutu dengan gadis iblis ini?!”
teriak Singa Gurun Bromo marah.
“Tenang Panji, sabar dulu sedikit,” kata Wiro. “Apa untungku membela gadis
cantik ini…..!”
“Gila! Kau masih bisa menyebut gadis yang hendak membunuh sahabatmu ini
dengan kata-kata gadis cantik!” semakin naik darah Singa Gurun Bromo mendengar
pujian Wiro itu.
“Aku tidak memujinya berlebihan sobat. Tapi memang kenyataannya dia
cantikkan?” Wiro berpaling pada si gadis sambil kedipkan matanya dia berkata.
“Jayeng, berdirilah….”
Puteri Warok Keling itu tampak merengut walau hatinya sempat berbunga-
bunga mendengar pujian Wiro atas kecantikan wajahnya.
“Wiro, katakan apa maumu?!” tanya Panji Argomanik dengan suara bergetar
menahan amarah.
“Dengar Panji, aku punya dugaan bukan dia yang membunuh janar Gandewo
dan juga bukan dia yang tadi hendak membunuhmu dengan panah beracun itu!”
37 WIRO SABLENG
“Hebat! Bagaimana kau bisa berkata begitu sobatku?!”
“Kau lihat sendiri. Dia tidak membawa busur ataupun kantong panah!”
“Aku sudah katakan. Gadis seperti dia sudah terdidik untuk berbuat jahat dan
mengandalkan tipu daya! Bisa saja dia membuang busur dan kantong panahnya di
tengah jalan!”
Jayengsari terdengar mendengus. Saat itu dia sudah berdiri di hadapan Wiro
dan Panji. “Aku memang tidak membawa panah dan busur!” katanya.
“Baik! Sekarang katakan bagaimana kau tahu-tahu muncul di tempat ini! Apa
keperluanmu! Kalau kau memang tidak berniat jahat mengapa melarikan diri ketika
kami kejar dan mengapa kau menyerang kami? Dengar, anak panah yang membunuh
Janar Gandewo jelas anak panah buatan komplotan ayahmu!”
“Soal panah memanah aku tidak menahu. Perduli setan! Aku tak mau
membicarakannya! Aku tidak tahu kalau kalian tadi yang mengejarku! Aku
menyerangmu karena menyangka kalian orang-orang jahat!”
“Kau dengar Wiro. Seorang anak penjahat enak saja mengatakan kita orang-
orang jahat!”
“Jangan tolol!” bentak Jayengsari. “Malam begini gelap dan kalian tahu-tahu
muncul di belakangku!”
“Kalau kau tidak bermaksud culas mengapa kau menutupi wajahmu dengan
cadar?!” sentak Singa Gurun Bromo.
“Hem…… Kau ingin tahu sebabnya? Jika kau punya saudara perempuan apa
kau merasa tenang mengetahui dia berjalan seorang diri dalam pakaian dan dandanan
perempuan?!”
Panji Argomanik terdiam.
“Jayeng,” Wiro menengahi. “Coba katakan saja mengapa kau ada di sini.
Kalau memang bukan kau yang membunuh Janar Gandewo, mungkin kau tau siapa
pelakunya?”
“Aku, aku ditugaskan ayah ke Kuto Inggil.” Jawab gadis itu. “Sebetulnya
bukan ditugaskan. Tapi aku sendiri yang minta…..”
“Apa keperluanmu ke Kuto Inggil?” tanya Wiro pula. Kelihatannya si gadis
mau dan lebih terbuka bicara dengannya. Hal ini membuat Panji Argomanik menjadi
tidak sabaran dan merasa sangat jengkel terhadap sahabatnya itu.
“Aku sebenarnya bermaksud menemui kalian guna menyampaikan pesan
ayah.” Jawab Jayengsari. “Jejak kalian berhasil kuketahui dan kuikuti sampai di
tempat kediaman Janar Gandewo. Aku sampai di situ ketika seorang penunggang
kuda berusaha melarikan diri. Kurasa dialah yang membunuh pedagang keliling itu
dan juga hendak membunuhmu….”
“Kau mengarang cerita!” potong Singa Gurun Bromo.
“Kalau kau berpendapat begitu boleh saja! Penjelasanku cukup sampai di sini.
Kau pendekar gagah bergelar hebat. Silahkan kau selesaikan sendiri urusanmu!”
Jayengsari segera membalikkan diri. Tapi Wiro cepat menghampirinya dan
memegang lengannya.
“Jangan pergi dulu. Kau jangan marah padaku…..” kata Wiro membujuk.
“Aku tidak marah padamu. Tapi jengkel pada manusia satu itu. Tidak tahu
ditolong orang malah memaki, menuduh dan mendamprat seenaknya!” jawab
Jayengsari.
“Maafkan dia. Pikirannya sedang kalut…..” Wiro enak saja menciumi jari-jari
tangan gadis itu. Jayengsari cepat menariknya sambil berseru. “Ihhhh!” Murid Eyang
Sinto Gendeng menyengir. Dia yakin kalau Panji tak ada di situ si gadis pasti akan
senang dipegang dan dicium.
38 WIRO SABLENG
“Kau sama saja kurang ajarnya dengan dia. Malah lebih kurang ajar!” bentak
Jayengsari.
Wiro menyengir lagi. “Aku hanya bergurau,” katanya. Lalu, “Sekarang coba
kau katakan apa pesan ayahmu itu. Pesan untuk sahabatku Panji atau untukku sendiri?
Ah, kalau pesan itu untukku aku berharap-harap ayahmu memanggilku mungkin
untuk membicarakan soal perjodohan kita!”
Jayengsari terpekik marah sedang Panji Argomanik segera membentak.
“Wiro! Tidak pantas dalam keadaan seperti ini kau masih bisa membanyol!”
Wiro senyum-senyum. “Banyolanku tadi memang tidak lucu,” katanya. Dia
berpaling kembali pada Jayengsari. “Kau mau meneruskan keteranganmu tadi?”
Jayengsari tampak merengut. Namun kemudian dia melanjutkan
keterangannya. “Aku berusaha mengejar orang yang membunuh dengan panah itu.
Tapi dia keburu melarikan diri. Kudanya kencang sekali. Tungganganku yang sudah
keletihan tidak berhasil mengejarnya. Di seberang kali kecil dia menghilang. Justru
begitu dia lenyap kalian berdua muncul mengejarku!”
“Sayang bangsat itu lolos. Tapi mungkin kau dapat mengenali sosok atau
perawakannya meskipun gelap?” tanya Wiro.
“Wajahnya memang tidak sempat kulihat. Tapi potongan tubuhnya aku
hampir yakin dia adalah Daruka…..”
“Siapa Daruka?” tanya Wiro.
“Salah seorang anak buah ayahku. Dialah yang dicurigai melakukan
penculikan atas diri Larasati. Tapi nyatanya nanti ceritanya jadi lain…..”
“Hemmmm…. Kalau begini jelas ada seseorang di belakang Daruka.” Kata
Wiro.
“Menurut Janar Gandewo sebelum mati, dia disuruh oleh Walang Daksi.
Walang Daksi disuruh oleh Suryaning. Lalu mengapa Daruka membunuh Janar dan
ingin membunuhku juga? Berarti bukan Suryaning yang menyuruh Daruka! Tapi
seorang lain. Mungkin Pangeran Sendoyo?” Panji memandang pada Wiro.
Wiro menggeleng. “Sang Pangeran punya kelompok sendiri. Dua tokoh silat
Istana dan dua perwira kerajaan itu. berarti ada orang lain Panji. Aku mulai mencium
baunya. Nanti saja kukatakan. Mungkin kau akan tahu dengan sendirinya. Sekarang
kita harus mencari tahu di mana Suryaning menyekap Larasati.” Wiro memandang
pada puteri Warok Keling itu. Kelihatannya si gadis masih jengkel. Maka Wiro
mengalihkan pembicaraan. “Kau masih meneruskan keteranganmu yang terputus
tadi?”
“Tak lama setelah kalian pergi ayah segera mengadakan pertemuan dengan
kepala-kepala kelompok untuk menyelidiki siapa di antara para anggota yang berada
di luar perkampungan. Kemudian segera diketahui bahwa seorang anak buah ayah
sejak beberapa waktu lalu tidak ada di kampung. Namanya Daruka. Dia berada di luar
tanpa setahu ayah ataupun pimpinan kelompok dan tanpa suatau tugas apapun.
Mungkin sekali dialah yang telah membunuh Karjo Lugu pemilik bengkel kuda di
Kuto Inggil itu. Ayah mengirim dua orang anak buahnya untuk menyelidik lebih jelas.
Seorang lain ditugaskan ayah untuk menemui kalian. Tapi aku meminta agar aku yang
pergi. Kami berhasil menemui Daruka di satu tempat. Setelah dipaksa dia mengaku
memang dia yang telah membakar dan membunuh perempuan bernama Bibi kanoman
dna Karjo Lugu. Celakanya Daruka sempat melarikan diri. Namun satu pengakuan
penting sudah diucapkannya. Yaitu bahwa bukan dia yang menculik Larasati. Gadis
itu telah diculik lebih dulu oleh seseorang…..”
“Siapa?!” tanya Panji cepat.
39 WIRO SABLENG
“Tunggu dulu!” ujar Jayengsari. “Apa hubunganmu dengan seorang dukun
perempuan bernama Walang Daksi?”
“Eh, mengapa kau bertanya begitu?!” balik bertanya Panji Argomanik.
“Dukun itu ditemui mati di rumahnya. Ada yang menggantungnya!”
Panji berpaling pada Wiro.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. “Berarti kita tidak bisa mencari tahu siapa
orang yang disebutkan Janar Gandewo. Kita hanya tahu sepotong nama depannya.
Sur….. Bisa Surga, bisa Susur….. bisa…..”
“Sudah! Kau jangan ngacok!” potong Panji dengan suara keras.
“Mungkin aku tahu kelengkapan sepotong nama yang barusan kau sebut itu.
tasa-rasanya orangnya sama dengan yang tadi hendak kuberitahukan….”
“Siapa?” tanya Wiro dan Panji hampir berbarengan.
“Suryaning…..” jawab Jayengsari.
“Suryaning?” ujar Panji dengan nada terkejut dan wajah berubah. “Hanya ada
satu orang bernama Suryaning. Dia adalah puteri Adipati Lumajang!”
“Justru dia yang menculik Larasati kekasihmu!”
“Hah?! Apa katamu?! Suryaning puteri Adipati Dirgo Sampean yang
menculik Larasati?!” sepasang mata Singa Gurun Bromo membeliak.
Jayengsari mengangguk.
“Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin!” kata Panji masih tidak berkedip.
“Perempuan menculik perempuan! Apa perlunya? Apa untungnya?!” ujar
Wiro pula. “Kalau aku menculikmu atau kau menculik aku, nah itu masih masuk
akal…..”
“Kurang ajar! Siapa mau menculikmu!” damprat Jayengsari denan mata
melotot sedang Wiro menutup mulut menahan tawa.
Panji mendekati Wiro lalu berbisik. “Aku punya dugaan gadis ini sengaja
menipu kita. Dia punya maksud buruk terhadap kita…… Larasati tidak punya silang
sengketa dengan puteri Adipati itu. Mengapa dia menculiknya?”
“Yang juga tidak jelas. Siapa yang membunuh dukun perempuan bernama
Walang Daksi itu.”
Panji memandang Jayengsari. Lalu dia bertanya. “Bagaimana kau tahu kalau
puteri Adipati itu yang menculik Larasati?”
Jayengsari menyeringai. “Aku bukan cuma tahu hal itu, aku malah juga tahu
di mana kekasihmu sekarang disekap!”
“Kalau begitu lekas kau beritahu padaku tempatnya!”
Kembali Jayengsari menyeringai. “Kau cari tahulah sendiri!” katanya.
Rupanya dia masih dendam atas perlakuan Panji sebelumnya. Habis berkata begitu
gadis ini segera hendak tinggalkan tempat itu. terpaksa Wiro kembali membujuknya.
“Sobatku cantik. Jika kau mau menolong orang jangan kepalang tanggung.
Ayo kita pergi sama-sama ke tempat Larasati disekap. Kau jalan duluan memberi
petunjuk biar kubawa kudamu kemari.” Sebelum gadis itu bisa menolak Wiro sudah
lari ke tempat di mana kuda tunggangan Jayengsari berada. Lalu membawa binatang
ini pada pemiliknya dan mengulurkan tali kekang pada si gadis. Dia memandang pada
Jayengsari sambil tersenyum. Mau tak mau hati si gadis jadi luluh dan lembut jgua.
Sebenarnya dia memang tertarik pada murid Eyang Sinto Gendeng ini sejak pertama
kali melihatnya di perkampungan. Gadis ini tundukkan kepala. Baru saat itu
disadarinya kalau seluruh pakaiannya basah dan kotor oleh tanah becek akibat jatuh
tadi. Wiro maklum apa yang dipikirkan gadis itu. Maka dia cepat berkata.
“Gadis secantikmu tentu saja tidak pantas berpakaian kotor basah begini. Aku
ada salinan di kantong perbekalan. Kau bisa ganti pakaian saat ini juga…..”
40 WIRO SABLENG
“Tak perlu,” jawab Jayengsari cept. “Aku tidak percaya pada manusia
macammu….”
“Eh, maksudmu apa?” tanya Wiro.
“Waktu aku ganti pakaian kau pasti mengintip!”
Pendekar 212 tertawa bergelak. Panji Argomanik mau tak mau juga jadi
tertawa. Jayengsari memandang pada pemuda bergelar Singa Gurun Bromo ini lalu
berkata sambil cemberut. “Ih….. Ikut-ikutan tertawa…..!” ucapan Jayengsari
membuat gelak tawa Wiro semakin menjadi.
41 SEBELAS
WIRO SABLENG
Walaupun malam gelap namun dari bibir lembah podnok kayu itu masih dapat
terlihat cukup jelas. Jayengsari hentikan kudanya lalu menunjuk ke arah pondok.
“Itu tempatnya.” Katanya dengan nada dingin.
“Aku masih belum percaya kalau tidak melihat sendiri!” berucap Singa Gurun
Bromo. Lalu disentakkannya tali kekang kuda. Dia mendahului Wiro dan Jayengsari
menuruni lembah. Dalam waktu singkat ketiga orang itu sudah berada di depan
pondok kayu. Singa Gurun Bromo di depan sekali dan lebih dulu melompat dari
kudanya.
Di dalam pondok yang hanya merupakan satu ruangan terbuka dan diterangi
oleh sebuah lampu minyak berkelap kelip karena kehabisan minyaknya, soerang gadis
yang kecantikannya terbungkus rasa takut duduk terikat di atas sebuah kursi kayu. Dia
mengenakan baju dan celana panjang warna biru muda. Kedua kaki celananya tampak
penuh robek sampai sebatas lutut. Dari robekan itu kelihatan sepasang kakinya yang
penuh dengan guratan-guratan luka. Gadis ini terduduk dengan muka pucat dan ada
air mata jatuh di atas pipinya.
Di hadapannya melangkah mundar mandir seorang gadis lain berpakaian serba
merah yang saat itu memegang seutas cambuk. Gadis satu ini menutupi kepalanya
dengan sehelai kain tipis hingga parasnya hanya kelihatan samar-samar.
“Jadi namamu Larasati huh?!” Mulut di bali kain tipis berucap dengan nada
ketus. Tiba-tiba dia angkat tangannya. Cambuk yang dipegangnya berkelebat.
Terdengar suara keras menggidikkan ketika cambuk itu menghantam kedua kaki
gadis yang duduk terikat di kursi. Si gadis menjerit kesakitan. Luka baru kelihatan
mengoyak kakinya.
Gadis yang melakukan cambukan tertawa mengekeh. “Sakit?
Hik….hik…hik….! Kau menjerit?! Kau menangis?! Gadis cengeng! Sakit yang kau
rasakan tidak ada artinya dibandin dengan sakit hati yang kualami selama ini!”
“Persetan dengan sakit hatimu! Mengapa kau menculik dan memperlakukan
aku seperti ini?! Kau manusia biadab!” teriak gadis di kursi.
“Diam!” Lalu cambuk itu menghantam kembali. Gadis di kursi kembali
menjerit. Kedua kakinya luka lagi. Darah semakin banyak mengucur.
“Namamu Larasati! Kau bakal benar-benar mengalami lara seumur hidup!
Jangan harap kau bakal mendapatkan pemuda itu! Jika aku tidak bisa mendapatkan
Panji Argomanik, kau juga tidak bakal bisa memiliki pemuda bergelar Singa Gurun
Bromo itu!”
“Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau menutupi wajahmu dengan cadar?! Kau
perempuan iblis….!”
Gadis yang memegang cambuk tertawa panjang. “Aku memang manusia iblis.
Bahkan biasa lebih buas dari iblis! Sebentar lagi pekerjaanku akan selesai. Setelah
wajahmu kurusak aku mau lihat apakah kekasihmu itu masih mencintaimu!
Hik…hik…hik….!”
“Manusia celaka! Apa yang hendak kau lakukan?!”
“Sabar, jangan banyak tanya dulu. Nanti kau akan tahu sendiri!” lalu gadis
yang kepalanya ditutup kain tipis memutar-mutar cambuknya. Dari mulutnya
kemudian terdengar suara teriakan keras. Bersamaan dengan itu cambuk di tangan
kanannya menghantam ke arah wajah gadis di atas kursi.
Larasati menjerit.
42 WIRO SABLENG
Saat itu pula pintu pondok hancur berantakan diterjang orang dari luar.
Seseorang bekelebat masuk dan melompat ke hadapan gadis bercadar. Sekali dia
mengulurkan tangan, dia berhasil menangkap ujung cambuk yang hendak
menghantam wajah Larasati!
Gadis yang memegang cambuk tampak terkejut. Dia segera menyentakkan
cambuk agar terlepas dari pegangan Singa Gurun Bromo. Tapi pegangan sang
pendekar begitu kuat hingga sekalipun dia mengerahkan tenaga sekuatnya, cambuk
itu tak bisa lepas. Sebaliknya dengan sekuat tenaga pula Singa Gurun Bromo menarik
cambuk hingga si gadis terbetot ke depan. Agar dirinya tidak tertarik lebih jauh gadis
ini mau tak mau harus lepaskan cambuk yang dipegangnya. Lalu dia melompat ke
dinding pondok, menajuhi Singa Gurun Bromo.
“Siapa kau?!” bentak Singa Gurun Bromo dengna mata membelalang.
“Mengapa kau menculik Larasati?!”
Gadis bercadar tertawa tinggi.
“Kau mana mau pernah mengenalku. Kau mana pernah mau mengingat-ingat
diriku. Dia kekasihmu, ya? Hik….hik…..hik!”
“Diam! Jawab pertanyaanku!” hardik Singa Gurun Bromo. Dia ingat pada
Larasati. Cambuk yang dipegangnya dibantingkannya ke lantai lalu dia segera
menghampiri Larasati, memeluk gadis itu sesaat.
Selagi Panji Argomanik membuka ikatan Larasati, kesempatan ini
dipergunakan oleh gadis bercadar untuk melarikan diri. Dia melompat ke pintu. Tapi
di pintu saat itu sudah menghadang Pendekar 212. Di belakangnya berdiri Jayengsari.
“Eh, kau mau pergi ke mana?” tegur Wiro. Tangan kanannya diulurkan untuk
menarik pinggang si gadis. Tapi tiba-tiba gadis bercadar ini keluarkan sebilah keris
dan menusukkannya ke dada Wiro. Dari caranya menikam serta gerakan serangan
yang tidak mengeluarkan angin Wiro tahu kalau orang itu sama sekali tidak memiliki
kepandaian silat, apalagi tenaga dalam. Karenanya dengan mudah Wiro dapat
meringkusnya. Gadis ini berteriak-teriak berusaha melepaskan diri.
“Wiro, lepaskan dia!” kata Panji Argomanik. “Aku akan menanyainya. Jika
dia tidak mau membuka mulut akan kupatahkan batang lehernya!” Lalu pemuda itu
melangkah ke hadapan si gadis bercadar yang saat itu bersurut dan baru berhenti
begitu punggungnya tertahan dinding pondok.
“Lekas katakan siapa dirimu! Mengapa kau menculik Larasati! Jawab! Buka
cadarmu!”
Gadis bercadar hanya menjawab dengan suara mendengus.
Panji Argomanik mulai hilang sabarnya. Dia mengambil cambuk yang tadi
dicampakkannya.
“Tadi kau hendak merusak muka kekasihku! Sekarang biar wajahmu dulu
yang akan kurusak!”
Anehnya si gadis bercadar malah keluarkan suara tertawa nyaring dan panjang.
“Kua hendak merusak mukaku?!” katanya menantang dan sambil maju
selangkah. “Lakukanlah!” tiba-tiba gadis ini merenggutkan cadar yang menutupi
kepalanya.
Larasati yang berada di sudut pondok terpekik ngeri. Jayengsari keluarkan
seruan tertahan. Panji Argomanik sendiri tampak mengernyit bergidik. Sedang Wiro
sipitkan kedua mata, memandang tak berkedip dengan kuduk terasa dingin.
Wajah yang tadi tersembunyi di balik cadar itu kini tersingkap jelas
mengerikan. Wajah itu bukan wajah seorang gadis tapi merupakan wajah yang sangat
seram. Hidungnya gerumpung. Mata kirinya menyembul membeliak. Kening dan
43 WIRO SABLENG
pipinya penuh guratan luka yang dalam. Bibirnya sebelah atas robek sedang yang
sebelah bawah menggelantung hampir copot!
“Mahluk bermuka setan! Siapa kau?!” teriak Panji Argomanik sambil mundur
satu langkah.
Orang itu keluarkan suara tertawa panjang. “Tentu saja kau tidak mengenali
diriku Panji. Tidak ada satu orangpun yang mau mengenalku. Bahkan ayah dan
ibukupun benci padaku! Aku adalah Suryaning, puteri dan anak tunggal Adipati
Dirgo Sampean dari Lumajang!”
Semua orang di dalam pondok itu tersentak kaget dan sekaligus juga
diselimuti rasa ngeri melihat wajah seram yang tidak pernah mereka sangkakan
sedikitpun.
“Kalian ngeri? Takut atau jijik melihatku?!” Suryaning membuka mulut dan
maju beberapa langkah hingga kini berada di tengah-tengah ruangan. Sebaliknya
Larasati dan Panji serta Wiro dan Jayengsari justru bergeser ke sudut-sudut pondok.
Puteri Adipati iu tertawa panjang. “Kalian, seperti juga semua orang tidak pernah
menyangka wajah seorang puteri Adipati seperti wajahku yang kalian lihat saat ini!
Nasibku memang malang! Ketika berusia delapan tahun ayah membawaku ke Hutan
Jatiroto, ikut berburu. Ketika berkemah, ayah dan para pengawal berlaku lengah.
Tiba-tiba ada seekor harimau menyerbu kemah pada saat aku terbaring tidur keletihan.
Binatang itu memang berhasil diusir tapi dia sempat mencakar wajahku hingga jadi
rusak begini. Semua orang mengira aku kaan mati. Bahkan ayah dan ibuku berharap
aku mati saja. Ternyata aku bertahan hidup. Tapi selama bertahun-tahun mereka
menyembunyikan diriku. Mereka mengurungku di sebuah kamar. Hanya karena
kabaikan para pengawal yang merasa iba terhadapku aku bisa menyelinap keluar pada
malam hari. Setiap kesempatan ada kupergunakan untuk mendekati rumah
kediamanmu Panji. Ketika kau menjadi buronan dan menghilang selama enam tahun,
aku seperti mau mati rasanya…..”
Semua orang yang ada di tempat itu jadi terdiam mendengar penuturan
Suryaning itu.
“Dengar…..” kata Panji Argomanik dengan suara gemetar. “Siapapun kau
adanya, mengapa kau menculik Larasati. Mengapa kau menganiaya dan hendak
merusak wajahnya? Karena kau iri? Karena parasnya cantik dan wajahmu seburuk
setan?!”
Dari mulut Suryaning keluar suara menggembor. “Kau betul Panji! Aku
memang iri! Aku cemburu! Aku ingin kau adalah milikku sendiri! Aku tidak ingin dia
merampasmu dari tanganku!”
“Apa maksudmu…..?” tanya Panji heran.
“Aku sudah lama mencintaimu Panji….. Tapi kau tak pernah membalasnya.
Tidak secara nyata, juga tidak dalam mimpi!”
Panji berpaling pada Larasati, lalu menoleh pada Wiro dan Jayengsari. “Gadis
ini pasti tidak waras! Bertemupun sebelumnya aku tidak pernah…..”
“Memang Panji, kita memang tidak pernah bertemu. Kau tak pernah
melihatku. Tapi aku sering melihatmu. Hampir setiap malam aku memimpikanmu.
Tapi aku tahu diri. Keadaanku yang begini tidak memungkinkan aku bisa
memperlihatkan rupa padamu. Apalagi mendapatkan cinta darimu! Karena itu aku
bersumpah. Kalau aku tidak bisa memilikimu, tidak seorang gadis lainpun boleh
memilikimu! Tidak juga gadis itu!” Suryaning menunjuk tepat-tepat ke arah Larasti
yang membuat Larasati seperti terbang nyawanya.
“Jadi karena itu kau menculiknya lalu hendak merusak tubuh dan wajahnya!”
kata Panji pula.
44 WIRO SABLENG
“Betul! Memang itu yang hendak kulakukan!” jawab Ssuryaning. “Tapi
ketahuilah, aku bukan hanya tak mau gadis itu jadi milikmu, tapi juga tidak ingin
melihat dia jadi istri muda ayahku!”
Terkejutlah semua orang yang ada di situ. Semua mata ditujukan pada Larasati.
Gadis ini sesaat menutupi wajahnya lalu terdengar suaranya di antara isakan. “Adipati
Lumajang memang pernah melamarku pada Bibi Kanoman. Waktu itu aku baru
berusia empat belas tahun. Kami menolak dengan halus. Kurasa hal itu telh berakhir
sampai di situ saja…….”
“Bagimu dan bagi bibimu mungkin begitu. Tapi bagi ayahku tidak. Dia sudah
tergila-gila padamu! Dia sudah bertekad apapun yang terjadi, jalan apapun akan
ditempuhnya untuk mendapatkanmu. Ketika Pangeran Sendoyo setahun kemudian
meminta ayahku untuk melamarmu guna dijadikan istri puteranya yang bernama
Tayub Jenggolo, ayahku melihat ada satu kesempatan untuk memanfaatkan keadaan.
Bibimu menolak pinangan sang Pangeran. Pngeran Sendoyo tersinggung. Ayahku
memperuncing keadaan dengan mengatakan bahwa sebenarnya pinangan itu ditolak
karena Larasati sudah mempunyai seorang kekasih bernama Panji Argomanik yang di
Kuto Inggil dikenal dengna julukan Singa Gurun Bromo. Ayah lalu membujuk
Pangeran agar melenyapkan Panji. Sekaligus dia akan mendapatkan keuntungan. Jika
Panji mati, dia bisa mengulang maksudnya untuk mengawinimu…..” Sampai di situ
Suryaning menatap ke arah Larasati. Yang ditatap hanya bisa tundukkan kepala.
“Apa yang kemudian dilakukan Adipati dan Pangeran Sendoyo?” tanya Panji.
“Ayah mengumpan putera sang Pangeran yaitu Tayub Jenggolo yang dalam
keadaan mabuk agar memancing keributan dengan Panji. Ayah sengaja membayar
tiga orang pemuda kawan-kawan tayub berpura-pura mabuk lalu mencegat Pnaji di
satu tempat. Begitu mereka berkelahi ketiga pemuda itu melarikan diri. Lalu sewaktu
tayub tergeletak di tengah jalan, seorang penjahat yang dibayar ayahku menusuk
putera Pangeran itu sampai mati. Mayatnya ditinggalkan di tengah jalan….”
Pelipis Panji Argomanik tampak bergeark-gerak. Rahangnya menggembung.
“Tayub ditemukan dengan pisau milikku menancap di tubuhnya. Kau tahu bagaimana
pisau itu berada di tangan Tayub yang kemudian dijadikan senjata pembunuhnya dan
dijadikan bukti bahwa akulah yang telah menghabisi putera Pangeran itu?!”
Suryaning berpaling pada Panji. Sambil menundukkan kepala gadis ini berkata.
“Itu juga sebagian dari siasat ayahku agar kau bisa ditangkap dan digantung. Pisau itu
disuruhnya curi ketika kau tidak ada di rumah!”
“Manusia keji!” rutuk Panji sambil kepalkan tinju. “Siapa yang melakukan
pencurian itu? Kau tahu juda siapa yang sebenarnya membunuh Tayub Jenggolo?”
“Orangnya sama…..”
“Aku sudah dapat memastikan siapa orangnya!” memotong Jayengsari. “Pasti
Daruka!”
Suryaning menoleh pada puteri Warok Kelin itu lalu menganggukkan
kepalanya.
“Kau tahu siapa yang membakar rumah dan membunuh Bibi Kanoman?”
tanya Larasati.
“Daruka juga. Adipati yang menyuruh dengan bayaran tinggi. Daruka
kemudian membawa beberapa orang penjahat dari Barat. Maksud semula adalah
untuk menculikmu. Ketika Daruka dan para penjahat itu tidak menemukan dirimu,
mereka membakar ruamhmu dan membunuh Bibi Kanoman……. Kemudian Daruka
juga….”
Belum sempat Suryaning melanjutkan ucapannya tiba-tiba di luar pondok
terdengar suara orang membentak.
45 WIRO SABLENG
“Anak tak tahu diri! Apa yang talah kau ceritakan pada manusia-manusia
keparat itu!”
Paras setan Suryaning tampak tercekat. “Ayahku…..” desisnya.
Lalu di atas atap ada nyala terang.
“Mereka membakar pondok!” teriak Jayengsari.
Semua orang lari berserabutan ke arah pintu. Tapi Pendekar 212 cepat
menghalangi.
“Jangan lari lewat pintu depan! Ikuti aku!” teiak Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng melompat ke bagian belakang pondok. Dengan
pukulan sakti Kunyuk Melempar Buah dia menghantam dinding belakang pondok
hingga hancur berantakan. Lewat dinding yang porak poranda itu semua orang lalu
menghambur keluar pondok.
Apa yang dilakukan Pendekar 212 Wiro Sableng memang sangat tepat. Jika
seandainya mereka keluar lewat satu-satunya pintu maka tubuh mereka akan disambut
oleh panah-panah beracun yang sudah disiapkan oleh Daruka dan delapan orang
kawan-kawannya!
46 DUA BELAS
WIRO SABLENG
Kelima orang itu bersembunyi di balik semak belukar lebat. Dalam waktu singkat
sebagian dari pondok kayu sudah musnah dimakan api. Beberapa orang penunggang
kuda mengitari pondok yang terbakar. Mereka adalah penjahat-penjahat dari Barat
yang dibawa serta oleh Daruka untuk membantunya. Saat itu mereka tidak lagi
mengenakan kain penutup muka. Daruka sendiri kelihatan di sebereang sana bersama
Adipati Dirgo dan beberapa orang anak buahnya serta sekelompok perajurit kadipaten.
Dalam gelap mereka juga melihat dua orang di bawah sebatang pohon. Wiro
segera mengenali keduanya dan berbisik pada Panji. “Kunto Areng dan Jalak Toga
ada di antaa mereka.”
Seorang anak buah Daruka memberitahu bahwa di dalam pondok tidak
kelihatan satu orangpun.
“Mereka pasti bersembunyi di sekitar sini. Mereka tidak bisa lari. Kuda-kuda
mereka sudah kita preteli…..” Yang bicara adalah Adipati Dirgo Sampean. “Pimpin
anak buahmu melakukan pencarian! Ingat tak ada satu orangpun yang boleh lolos.
Bunuh mereka semua. Termasuk anakku!”
“Orang tua bangsat!” terdengar Suryaning memaki dalam gelap. Lalu dia
bergerak. Wiro cepat memegang tangannya.
“Kau mau kemana?” tanya Wiro.
“Aku ingin membunuh ayahku dengan tanganku sendiri!” jawab Suryaning.
“Betapapun kesalahan ayahmu, dia tetap orang tuamu. Jangan jadi anak
durhaka. Ayahmu serahkan pada kami….”
Suryaning jadi terdiam. Tapi dari kedua matanya yang cacad samar-samar
tampak melelehkan air mata.
Saat itu Daruka dan tiga orang anak buahnya lewat di depan mereka,
memandang kian kemari. Terangnya nyala api yang membakar pondok kayu
memaksa Wiro dan empat orang lainnya itu menajuh dan mencari tempat terlindung
yang lebih gelap.
“Itu pasti Daruka…..” desis Singa Gurun Bromo. “Aku ingin mengorek
jantungnya saat ini juga!”
“Tidak bisa! Dia bagianku! Dia harus menerima hukuman dari ayah. Saat ini
aku yang mewakili ayahku Warok Keling!” kata Jayengsari. Kedua orang itu sama-
sama berdiri lalu sama-sama saling pandang. Sesaat wajah si gadis tampak merengut.
Lalu sekali tubuhnya berkelebat dia sudah menghambur dari balik semak belukar.
Daruka terkejut ketika melihat ada seseorang tiba-tiba berkelebat dari tempat
gelap dan berusaha membetot tali kekang kuda. Dia lebih terkejut lagi ketika
mengenali bahwa orang itu ternyata seroang gadis dan bukan lain adalah Jayengsari
puteri pimpinannya.
“Kau terkejut melihatku Daruka?!” seringai Jayengsari.
Saat itu Singa Gurun Bromo sudah melompat pula ke depan Daruka. Melihat
munculnya sang pendekar mau tak mau Daruka jadi bergeming juga nyalinya. Dia
berteriak “Adipati! Mereka di sini!” Lalu pada tiga orang anak buahnya dia
memerintahkan “Cincang orang berikat kepala merah ini! Aku ingin menyelesaikan
urusan lebih dulu dengan gadis ini!”
Tiga orang lelaki berbadan tegap dengan bersenjatakan golok segear
menggerakkan kuda masing-masing menyerbu Singa Gurun Bromo. Tiga golok
menderu dalam gelapnya malam.
47 WIRO SABLENG
Singa Gurun Bromo yang sudah sampai di puncak amarahnya tidak tinggal
diam. Jotosannya menghantam kepala kuda di sebelah kanan. Binatang ini meringkik
kesakitan dan melemparkan penunggangnya hingga jatuh terbanting ke tanah.
Serangan golok yang datang dari sebelah kiri dapat dielakkannya. Begitu golok
mendesing di atas kepalanya Singa Gurun Bromo melompat ke depan. Kedua
tangannya menyambar lengan anak buah Daruka yang ketiga. Orang ini terbetot ke
depan. Saat itu juga Singa Gurun Bromo lipat tangannya hingga golok yang
dipegangnya menghujam menembus perutnya sendiri!
“Jayengsari….. Bagaimana kau bisa berada di sini?!” tanya Daruka.
“Kau tak layak bertanya! Kau tahu kau sudah membuat banyak kesalahan.
Warok Keling menugaskanku untuk membawa kepalamu ke hadapannya!”
“Kau anak yang baik. Tapi aku yakin kau bisa jadi kekasih atau istri yang
baik!”
“Bangsat! Apa maksud mulut kotormu?!” hardik Jayengsari.
“Dengar gadis cantik. Aku sudah lama diam-diam menyukaimu. Bagaimana
kalau saat ini kau bergabung bersamaku. Kalau urusan sudah selesai kau ikut aku.
Kita bisa hidup sebagai sepasang kekasih!”
Paras Jayengsari kelihatan merah gelap. “Bagus! Kuterima usulmu! Aku
bersedia bergabung! Tapi terima dulu ini!”
Sebagai anak Warok Keling, Jayengsari memang telah mendapat gemblengan
berbagai ilmu langsung oleh ayahnya sendiri. Dibanding dengan Daruka,
kepandaiannya lebih tinggi dua tingkat. Karenanya sewaktu gadis ini melancarkan
satu jotosan keras ke pinggangnya Daruka cepat mengelak selamatkan diri. Walaupun
saat itu dia memegang sebilah golok namun rasa sukanya terhadap Jayengsari
membuat Daruka tidak tega untuk mengirimkan bacokan. Dengan tumit kirinya dia
coba menendang bahu Jayengsari. Justru inilah kesalahan besar yang akan merenggut
nyawanya.
Sambil membungkuk Jayengsari berhasil menangkap pergelangan kaki
Daruka lalu ditariknya kuat-kuat ke bawah hingga Daruka yang bertubuh tinggi besar
itu jatuh dari punggung kudanya. Belum lagi dia sampai di tanah jotosan tangan kiri
Jayengsari melabrak perutnya. Daruka mengeluarkan suara seperti mau muntah.
Selagi dia tegak terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya, dari samping kiri Singa
Gurun Bromo yang baru saja menghajar tiga orang pengeroyoknya ayunkan tinju
menghantam batok kepalanya.
“Praaaak!”
Batok kepala Daruka rengkah. Tubuhnya terhempas ke tanah, menggeliat
beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.
Beberapa orang berkuda menghambur datang ke tempat itu. di depan sekali
adalah Adipati Lumajang Dirgo Sampean. Di belakangnya enam penunggang kuda,
tiga di antaranya adalah anak buah Daruka, tiga lainnya perajurit kadipaten. Keenam
orang ini merentang busur menarik panah beracun yang ditujukan tepat-tepat pada
Jayengsari dan Singa Gurun Bromo.
“Jika kalian ingin segera mampus silahkan bergerak. Anak-anak panah itu
beracun!”
“Adipati keparat! Kau kira aku takut mati!” teriak Singa Gurun Bromo.
Adipati Dirgo Sampean menyeringai. Dia berpaling pada Jayengsari lalu
tersenyum lebar. “Bukan main! Puteri Warok Keling ternyata berkomplot dengan
manusia buronan ini! rejekiku besar sekali malam ini! mendapatkan buronan
pembunuh putera Pangeran Sendoyo, sekaligus mendapatkan puteri raja diraja kepala
48 WIRO SABLENG
rampok!” Adipati berpaling ke belakang. “Bunuh pemuda ini sekarang juga! Gadis ini
tangkap hidup-hidup!”
Tiga orang anak buah Daruka yang merentang busur serta merta menarik
anak-anak panah lebih ke belakang dan siap melepaskan ke arah Singa Gurun Bromo.
Pada saat itu, di tempat gelap di mana Wiro dan Suryaning bersembunyi
kelihatan sinar terang. Dua gadis itu sama berpaling ke arah Wiro dan terheran-heran
ketika melihat tangan kanan sang pendekar berubah putih menyilaukan.
“Apa yang hendak kau lakukan….?” Bertanya Larasati.
Sebagai jawaban Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan tangna kanannya ke
arah tiga orang anak buah Daruka yang siap melepaskan panah-panah beracun. Saat
itu juga terdengar suara menderu disertai berkiblatnya sinar terang menyilaukan.
Hawa panas menghampar di tempat itu. kuda-kuda yang ada di tempat itu meringkik
keras. Adipati Dirgo Sampean berteriak keras lalu melompat turun dari aas kudanya.
Sinar panas menyilaukan tadi lewat di atasnya. Lalu terdengar jeritan tiga orang di
belakangnya. Ketiganya mencelat ke udara sampai dua tombak. Begitu jatuh ke tanah
mereka sudah tak bernafas lagi. Mati dengan tubuh gosong!
Tiga perajurit yang juda tengah mengancam Jayengsari dengan panah-panah
beracun dan tadinya bersiap-siap untuk meringkus gadis itu berlompatan dari kuda
masing-masing begitu pukulan Sinar Matahari menyambar di udara. Mereka
bergulingan di tanah. Panah dan busur lepas entah kemana. Ketiganya menyangka
sudah selamat tapi selagi mencoba bangkit tendangan demi tendangan menghantam
kepala, dada dan perut mereka. Ketiganya bergelimpangan malang melintang. Yang
kena tendang kepalanya menemui ajal saat itu juga. Yang kena hantaman di bagian
dada muntah darah dan siap untuk sekarat. Satunya lagi terkapar mengerang dengan
perut pecah!
“Gadis Iblis! Tak dapat menggantung ayahmu, kau juga sudah cukup pantas!”
Dua penunggang kuda muncul di tempat itu. merka adalah Kunto Areng dan yang
berteriak adalah Jalak Toga. Keduanya bukan lain adalah perwira-perwira kerajaan
kaki tangan Adipati Dirgo Sampean. Mereka sama melompat turun dari kuda masing-
masing, lalu menyerbu Jayengsari dengna bersenjatakan golok.
“Bagus! Aku kenal siapa kalian!” teriak Jayengsari. “Perwira-perwira culas
macam kalian harus disingkirkan dari kerajaan!” dengan mengandalkan tangan
kosong puteri Warok Keling ini tanpa rasa jerih sama sekali menyongsong serangan
kedua lawannya yang berkepandaian tinggi itu.
Begitu jatuh di tanah dan berdiri, Adipati Dirgo Sampean langsung disergap
Singa Gurun Bromo. Keduanya sama-sama mengandalkan tangan kosong. Berarti
sama-sama mengerahkan pukulan-pukulan sakti dan tenaga dalam. Dengan
kepandaiannya yang masih rendah enam tahun lalu Singa Gurun Bromo berhasil
melarikan diri dari tempat sang Adipati menyekapnya. Kini setelah digembleng lagi
selama enam tahun, tingkat kepandaian Singa Gurun Bromo tentu saja semakin tinggi
dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Dirgo Sampean. Karenanya dalam waktu
singkat Adipati itu segera terdesak hebat. Beberapa pukulan Singa Gurun Bromo
berhasil mendarat di tubuhnya. Satu mampir di pinggiran matanya sebelah kiri hingga
robek dan mengucurkan darah.
Dengna menggertakkan rahang menahan sakit Adipati Dirgo Sampean
kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Asap hitam aneh tiba-tiba menggebubu
dari telapaknya disertai hawa busuk bukan main.
“Awas asap beracun!” satu teriakan perempuan keluar dari tempat gelap. Panji
Argomanik cepat tutup jalan pernafasannya. Kalau saja bukan karena teriakan tadi
mungkin sang Adipati akan meneruskan serangan asap beracunnya yang bisa
49 WIRO SABLENG
mencelakakan Singa Gurun Bromo. Namun dia terkejut sekali ketika mengenali suara
yang berteriak tadi adalah suara puterinya sendiri. Disamping terkejut dia juga jadi
sangat marah. Serta merta dia melompat ke balik semak belukar dari mana datangnya
teriakan tadi.
“Hemmmm, kalian berdua lengkap sudah berada di sini!” kata Adipati Dirgo
Sampean sambil memandang melotot pada puterinya dan Larasati.
“Bertiga dengan aku!” kata Wiro seraya melompat bangkit dan kirimkan satu
jotosan ke arah perut sang Adipati.
Karena masih mempelototi anaknya dan gadis yang digilainya itu ketika
serangan datang Adipati Dirg seperti tak acuh hanya menepis dengan tangan kirinya.
Tepi begitu lengan dengan lengan beradu, menjeritlah Adipati ini. Tulang lengannya
serasa patah. Selagi dia kesakitan setengah mati seperti ini puterinya berseru “Ayah,
sebaiknya kau menyerah saja! Itu lebih baik bagimu!”
“Anak setan! Kau berkomplot dengan keparat-keparat ini……”
Tadinya masih ada sedikit rasa kasihan dalam diri Suryaning terhadap
ayahnya. Tetapi setelah dimaki begitu rupa gadis bermuka cacat dan seram ini jadi
mendidih amarahnya.
“Kau keparat! Kau yang berkomplot dengan para panjahat untuk mendapatkan
gadis itu dan membunuh Janar Gandewo! Membunuh Bibi Kanoman…..”
“Anak sundal! Seharusnya dulu kubiarkan kau mati di rimba belantara itu!”
Suryaning menjawab tak kalah sengitnya. “Kau menyesal punya anak
seburukku! Aku juga menyesal punya ayah sejahatmu!”
Adipati Dirgo tak dapat lagi menahan amarahnya. Dia melompat ke hadapan
puterinya itu sambil menghantamkan tangan kanannya ke muka Suryaning. Namun
jotosannya itu tidak sampai di sasaran karena saat itu Pendekar 212 telah lebih dulu
menggebuknya dengan pukulan tangan kiri ke arah dadanya. Selagi Adipati ini
melintir kesakitan Singa Gurun Bromo yang tadi hampir celaka oleh semburan asap
hitamnya melompat dari samping. Dengan kedua tangannya dia hendak mematahkan
leher Adipati Dirgo. Begitu bernafsunya pendekar ini untuk dapat menghabisi musuh
besarnya saat itu juga, dia tidak lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya. Saat itu
jalak Toga dan Kunto Areng berhasil mendesak Jayengsari ke dekat sebuah pohon
besar. Tanpa sengaja jalak Toga melihat Singa Gurun Bromo tengah berlari untuk
menerkam Adipati Dirgo Sampean tanpa memperhatikan lagi keadaan sekeliling
ataupun dirinya sendiri. Jalak toga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. golok di
tangannya dilemparkannya ke arah Singa Gurun Bromo.
“Panji awas!” terdengar suara orang berteriak. Orangnya bukan lain adalah
Suryaning puteri sang Adipati.
Kesempatan bagi Singa Gurun Bromo untuk mengelak hampir tidak ada. Wiro
sendiri terhalang oleh tubuh Adipati Dirgo. Dalam saat yang sangat menentukan itu,
tanpa pikir panjang Suryaning melompat ke hadapan Singa Gurun Bromo, merangkul
tubuh pemuda ini. Kejap itu pula golok yang dilemparkan Jalak Toga sampai. Senjata
yang seharusnya menancap di pangkal leher Panji Argomanik itu kini menancap di
punggung kiri Suryaning, terus tembus sampai ke jantungnya! Dari mulut gadis
malang ini hanya keluar satu keluhan pendek. Nafasnya putus dalam keadaan masih
memeluk pendekar yang diam-diam sangat dicintainya itu!
Adipati Dirgo Sampean berteriak setinggi langit. Betapapun bencinya dia pada
Suryaning, namun kematian anak darah dagingnya sendiri di depan mata begitu rupa
sangat mengguncang dirinya. Dia meraung dan memegang tubuh anaknya yang
perlahan-lahan merosot jatuh dari tubuh Panji yang dirangkulnya.
50 WIRO SABLENG
Dengan tubuh bergetar Adipati Dirgo perlahan-lahan membaringkan jenazah
anak tunggalnya itu di tanah. Sesaat dia seperti hendak menangis. Tetapi yang keluar
dari mulutnya adalah satu raungan dahsyat. Kedua matanya tampak tiba-tiba berubah
merah. Dia memandang pada Panji Argomanik.
“Bangsat!” kertaknya. Seperti seekor harimau tubuhnya melompat ke hadapan
Panji. Singa Gurun Bromo menyongsong dengan menghantamkan kedua tangannya.
“Buk! Bukk!”
Tinju kiri kanan Singa Gurun Bromo mendarat di dada sang Adipati. Tak
ampun lagi tubuhnya terjengkang jatuh. Dari mulutnya keluar darah segar.
Seharusnya pukulan itu bisa membuatnya mati paling tidak pingsan. Namun dengan
segala tenaga yang ada Adipati Lumajang ini bangkit berdiri kembali dengan
terhuyung-huyung.
Singa Gurun Bromo siap menghantamkan tinjunya sekali lagi, namun saat itu
tiba-tiba muncul dua orang penuggang kuda disertai sesrombongan pasukan dari
Kotaraja. Orang di sebelah kiri berteriak keras.
“Atas nama kerajaan hentikan perkelahian!”
Singa Gurun Bromo batalkan serangannya. Adipati Dirgo tertegun lemas.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang hendak melabrak Jalak Toga juga hentikan
gerakannya. Hanya Kunto Areng yang sepertinya tidak mau perduli. Saat itu perwira
ini tengah mendesak Jayengsari habis-habisan dan siap untuk mengirimkan satu
bacokan maut. Dia sama sekali tidak mau menghentikan serangannya. Sebaliknya
Jayengsari hanya bisa tertegun diam seperti tidak menyadari kalau kematian
mengancam dirinya. Melihat hal ini Wiro dengan kecepatan luar biasa angkat tubuh
Jalak Toga lalu dilemparkannya ke arah Kunto Areng, tepat pada saat Kunto Areng
tengah membacokkan goloknya. Tak ampun lagi golok yang gseharusnya bersarang di
kepala Jayengsari itu kini menghantam rusuk kiri Jalak Toga. Perwira tinggi ini
menjerit setinggi langit. Tubuhnya terhempas ke tanah. Darah memebasahi
pakaiannya. Tapi nyawanya masih tertolong karena hanya bagian luar tubuhnya saja
yang terluka ditambah dua tulang iga terbabat putus!
Kunto Areng yang seperti tak percaya dengan apa yang terjadi untuk sesaat
lamanya tertegun terkesiap. Tubuhnya mendadak terasa lemas lalu akhirnya jatuh
terduduk di tanah.
“Hentikan perkelahian!” terdengar suara teriakan seperti tadi sekali lagi.
Semua mata dipalingkan. Dua penunggang kuda yag barusan muncul ternyata adalah
tokoh silat Istana yaitu Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng. Keduanya
memandang berkeliling dan pandangan mereka terhenti ketika melihat Penekar 212.
“Mangku, kunyuk gondrong itu ternyata ada di sini. Bagaimana pendapatmu?”
“Isi surat Sri Baginda tidak menyebut-nyebut namanya. Lagi pula kita sudah
mengetahui dia bukan Singa Gurun Bromo yang sebenarnya,” jawab Mangku
Sanggreng. “Lekas kau bacakan saja surat Sri Baginda.”
Ki Bumi Wirasulo lalu merentangkan gulungan surat yang dibawanya.
Dengan suara keras dia membaca. “Atas nama kerajaan dan keadilan Sri Baginda
memerintahkan untuk menangkap Adipati Lumajang Dirgo Sampean. Yang
bersangkutan terbukti menjadi perencana keji sehingga terbuhnya Tayub Jenggolo,
putera Pangeran Sendoyo. Dua orang perwira kerajaan masing-masing Kunto Areng
dan Jalak Toga juga dinyatakan ditangkap karena terbukti berkomplot membantu
Adipati Lumajang. Kepada pemuda yang bernama Panji Argomanik dikenal dengan
gelaran Singa Gurun Bromo dinyatakan bebas dari segala tuduhan dan kesalahan.
Tertanda Sri Baginda.
51 WIRO SABLENG
Ki Bumi Wirasulo menggulung surat itu kembali. Jalak Toga yang ketika surat
Sri Baginda dibacakan menguatkan diri untuk dapat bangun. Tapi begitu mendengar
isi surat langsung rebah kembali dan pingsan. Adipati Dirgo Sampean tampaknya
pasrah saja karena dia tidak bergeak sedikitpun dan hanya bisa memandang kuyu
pada Panji argomanik yang berdiri di depannya.
Lain halnya dengan Kunto Aeng. Begitu mendengar dirinya dinyatakan
ditangkap tiba-tiba dia melompat bangkit melarikan diri. Namun satu tangan tiba-tiba
menahan jidatnya. Bagaimanapun dia berusaha mengumpulkan tenaga untuk
melarikan diri, jidatnya tetap saja tertahan tangan itu.
“Bangsat keparat! Makan pisauku!” teriak Kunto Areng marah lalu mencabut
sebilah belati berkeluk dari pinggangnya. Senjata ini ditusakkannya sekuat tenaga ke
perut orang yang sejak tadi memegang jidatnya. Namun tangan yang menahan
jidatnya itu tiba-tiba melesat ke atas lalu turun lagi mengemplang ubun-ubunnya!
Kunto Areng mengeluh kesakitan. Kedua matanya mendelik jereng dan tubuhnya
berputar-putar. Pendekar 212 yang tadi memukul kepala perwira itu pergunakan tumit
kirinya untuk mendorong pinggul Kunto Areng. Orang ini roboh ke tanah, mukanya
jatuh tepat di atas pantat salah seorang perajurit kadipaten!
Panji Argomanik masih tertegak tak bergeak ketika Larasati berlari
mendatanginya lalu memeluk tubuhnya dan menangis tersedu-sedu.
“Hentikan tangismu Laras…. Semua sudah berakhir…..” bisik Panji.
Wiro sendiri celingak celinguk mencari seseorang. Yang dicarinya adalah
jayengsari. Puteri Warok Keling itu tiba-tiba lenyap begitu saja.
“Kau mencari aku, Wiro?” Satu suara menegur di belakangnya. Dia berpaling.
Astaga, ternyata gadis itu bersembunyi di balik punggungnya!
“Lihat mereka itu,” kata Wiro sambil menunjuk pada Panji dan Larasati.
“Tidakkah kau ingin merangkul aku seperti itu….?”
“Pemuda nakal bermulut usil! Tidak. Aku tidak akan mau memelukmu!” kata
Jayengsari.
Wiro tertawa lebar. “Maksudmu tidak, artinya tidak di sini kan? Kalau di
tempat lain ya mau? Begitu?”
Jeyangsari menjewer telinga kiri Pendekar 212. Lalu telinga itu ditariknya
keras-keras hingga Wiro mau tak mau terpaksa melangkah mangikuti gerakan kaki si
gadis. Sampai di tempat gelap jayengsari lepaskan jewerannya dan tiba-tiba saja dia
memeluk pemud aitu dengan penuh nafsu sehingga murid Eyang Sinto Gendeng itu
jadi kelagapan.
“Aku membawa pesan khusus dari ayah,” bisik Jayengsari. “Beliau ingin
bicara denganmu. Apa soal aku tidak tahu. Yang jelas kita berangkat sekarang
juga…..”
“Meninggalkan orang-orang itu begitu saja?!” ujar Wiro.
“Tahanan kerajaan itu sudah ada yang mengurus. Panji dan Larasati bisa
mengurus diri mereka berdua. Mereka pasti akan memeprhatikan jenazah Suryaning.
Mengenai mayat-mayat lain yang bergelimpangan itu peduli setan! Kau ikut aku atau
harus kujewer lagi?!”
Wiro tertawa lebar. Digelungkannya tangannya ke pinggang Jayengsari.
Kedua insan itu kemudian lenyap ditelan kegelapan dan dinginnya malam.
TAMAT
SATU
Warung nasi Mbok Sinem kecil. Tapi tamunya selalu penuh dari pagi sampai
malam. Lezat makanannya terkenal sampai ke mana-mana. Siang itu banyak orang
bersantap di sana. Para pengunjung begitu selesai makan cepa-cepat membayar dan
pergi. Mereka seperti mengawatirkan sesuatu. Tapi nyatanya mereka tidak pergi
begitu saja melainkan tegak di bawah pohon tak jauh dari warung. Orang-orang ini
sengaja berdiri di sini, memandang warung, sepertinya ada sesuatu yang mereka
tunggu dan hendak mereka saksikan.
“Kalau Singa Gurun Bromo berani muncul, dia tak bakal lolos!” berkata
seorang lelaki muda berbadan langsing. Setelah menyedot rokok kawungnya dalam-
dalam dia melanjutkan “Seharusnya dia tak perlu datang ke Kuto Inggil ini.
Ah, mengapa dia berlaku setolol itu.”
“Bagaimanapun Kuto Inggil adalah kampung halamannya. Tempat dilahirkan.
Walau ayah dan ibunya sudah tak ada, tak ada sanak tak ada kadang, mana mungkin
dia melupakan Kuto Inggil!” menyahuti kawan lelaki muda tadi.
Orang ketiga ikut bicara. “Enam tahun dia menghilang. Kalau dia berani
muncul pasti dia sudah membekal ilmu yang lebih tinggi. Ingat kejadian enam tahun
lalu? Waktu dia melumpuhkan para pengawal kadipaten, memberi malu Adipati
Dirgo Sampean?”
Orang pertama rangkapkan kedua lengannya di depan dada lalu berkata.
“Singa Gurun boleh punya segudang ilmu. Tapi kau lihat berapa orang yang ada di
dalam dan di luar warung itu. Lalu siapa-siapa saja mereka? Dulu kalau dia memang
tidak bersalah seharusnya dia tak usah melarikan diri!”
“Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Belum tentu dia kabur karena
bersalah. Bisa saja hanya untuk menghidari malapetaka yang lebih besar. Kau tahu
sendiri kedua orang tuanya menjadi korban dari masalah yang tidak pernah
terjelaskan itu…..”
“Yah ….. Kita lihat saja. Apa yang bakal terjadi kelak.”
Saat itu di dalam warung nasi Mbok Sinem yang ramai, di antara para tamu
yang duduk menikmati makan siang terdepat enam orang berpakaian petani. Yang
dua bertubuh tegap kekar serta memiliki pandangan mata liar. Mereka adalah dua
orang perwira tinggi kerajaan yang bersama perajurit manyamar sebagai petani. Di
balik baju-baju gombrrong yang mereka kenakan, tersembunyi golok. Di luar warung
masih ada delapan perajurit lagi yang menyamar sebagai penduduk biasa. Lalu agak
jauh dari warung, dekat serumpun pohon bambu berdiri dua orang berusia sekitar lima
puluh tahun. Sikat mereka tenang tapi pandangan mata keduanya tajam. Mereka
adalah tokoh-tokoh silat Istana. Yang pertama dikenal degnan nama Ki Bumi
Wirasulo dan satunya Mangku Sanggreng.
Kedua tokoh silat ini muncul di Kuto Inggil atas permintaan Adipati Dirgo
Sampean setelah salah seorang dari mata-mata yang disebar melaporkan bahwa Panji
Argomanik, pemuda yang lebih dikenal dengan julukan Singa Gurun Bromo itu akan
muncul di Kuto Inggil setelah menghilang selama enam tahun.
Saat itu udara panas sekali. Matahari bersinar terik. Sudah sejak lama hujan
tak pernah turun. Bumi Tuhan menjadi gersang. Kalau angin bertiup debu jalanan
beterbangan menyakitkan mata dan menyesakkan jalan nafas.
2 WIRO SABLENG
“Lihat! Singa Gurun datang!” Seorang berseru seraya menunjuk ke ujung
jalan. Semua mata serta merta memandang ke arah yang ditunjuk.
“Dia benar-benar berani mati!”
Di tikungan jalan saat itu muncul seprang penunggang kuda coklat berpakaian
dan berikat kepala putih. Debu beterbangan di belakang kuda tunggangannya. Dalam
waktu singkat dia sudah berada di depan warung Mbok Sinem. Selesai meanmbatkan
kudanya pada sebuah tiang bambu sambil bersiul-siul dia melangkah menuju pintu
warung. Masuk ke dalam warung dilihatnya hanya ada satu bangku yang masih
kosong, tepat di tengah ruangan.
Sesaat pemuda ini tegak mengusap-usap dagunya. Dalam hatinya dia berkata
“Aneh satu-satunya bangku kosong berada di tengah ruangan. Sepertinya ada yang
sengaja mengatur.”
Setelah melirik ke kiri dan ke kanan pemuda ini lalu melangkah ke arah
bangku kosong. Baru saja dia duduk di situ tiba-tiba beberapa orang di sekitar meja
berdiri dan terdengar suara-suara senjata dicabut dari sarungnya. Lalu menyusul suara
bentakan-bentakan.
“Singa Gurun Bromo! Jangan kau berani bergerak!”
“Berani melawan amblas nyawamu!”
Pemuda yang barusan duduk di bangku tentu saja menjadi kaget dan
memandang berkeliling. Enam orang lelaki tak dikenal mengurung dengan golok di
tangan. Yang dua dengan gerakan kilat menyergap ke arahnya. Satu menempelkan
ujung golok ke perut dan satunya lagi membelintangkan senjatanya di leher si pemuda.
Setelah sirap kagetnya, si pemuda tampak tenang, malah meyeringai. “Sobat!
Kalau kalian hendak merampokku, kalian salah mencari mangsa. Aku hanya seorang
manusia miskin! Apaku yang hendak kalian rampok?”
Enam orang yang mengurung tampak berubah kelam tampang mereka tanda
menahan amarah. Yang menghunuskan goloknya ke leher si pemuda tekankan
senjatanya hingga kulit leher pemuda itu teriris luka. Dia berkata dengan suara
bergetar. “Kami bukan perampok. Aku dan kawanku adalah perwira tinggi kerajaan.
Empat orang ini perajurit-perajurit kelas satu.”
“Eh, hebat! Lalu apa mau kalian? Hendak menyembelihku?! Aku bukan singa,
apalagi kambing!”
“Sebelum mampus memang tak ada salahnya kau bergurau dulu. Nanti kalau
sudah di liang kubur buronan Singa Gurun Bromo hanya bisa bergurau dengan setan-
setan kuburan!”
“Eh, kau menyebut aku buronan? Kau tadi menyebut namaku apa? Singa
Gurun…..?
“Panji Argomanik! Jangan kau berpura-pura!” bentak orang yang menodong
dengna ujung goloknya ke perut si pemuda.
“Nah, nah! Sekarang kau menyebut aku Panji Argomanik! Kalian ini aneh-
aneh saja! Sudah pergi sana! Aku ke sini mau mengisi perut bukan ikut-ikutan
sandiwara konyolmu ini!”
“Siapa yang konyol dan siapa yang main sandiwara!” bentak salah seorang
dari perwira tinggi itu. “Aku Kunto Areng. Perwira Kerajaan. Mengikuti amarah aku
bisa mencincangmu saat ini juga. Tapi Sri Baginda dan Adipati ingin melihat kau
mampus di tiang gantugnan!”
“Mencincangku? Memangnya aku daging perkedel?!” semprot si pemuda lalu
menyeringai lebar.
3 WIRO SABLENG
“Setan alas!” maki Kunto Areng. Lalu dua jari tangan kirinya bergerak cepat
menusuk ke arah dada si pemuda untuk menotok. Tapi dengan cepat si pemuda itu
angkat tangan kanannya. Sekali bergerak dia berhasil menangkap lengan Kunto Areng.
“Orang gila!” desis pemuda itu. “Siapapun kau adanya, aku muak melihat
tampangmu! Aku bukan Panji Argomanik, juga bukan singa Gurun Bromo! Pergi!” si
pemuda tahan tangan kanan Kunto Areng yang memegang golok dengan tangan
kirinya sedang tangan kanannya dengan cepat membuat gerakan aneh. Tahu-tahu
tubuh perwira tinggi kerajaan itu terlempar ke atas. Dari mulut Kunto Areng keluar
suara jerit kesakitan. Sambungan siku dan sambungan tulang bahunya berderak.
Melihat kejadian ini, Jalak Toga, perwira tinggi yang satu lagi segera tusukkan
goloknya ke perut si pemuda. Namun dia kalah cepat. Si pemuda sudah dapat
menerka apa yang bakal dilakukan orang itu. karenanya sebelum tusukan datang dia
sudah berkelit ke samping. Dari samping dia hantam tengkuk Jalak Toga dengan
pukulan tangan kiri. Rupanya perwira ini juga sudha maklum datangnya serangan
balasan itu. dia membungkuk sambil membabatkan goloknya.
“Bretttt!”
Pinggang baju putih si pemuda robek besar disamber golok Jalak Toga tapi
dirinya sendiri selamat. Warung nasi itu serta merta menjadi kacau balau. Kunto
Areng yang masih dalam keadaan kesakitan, pindahkan goloknya ke tangan kiri. Dia
memberi isyarat pada empat perajurit di dekatnya. Kini pemuda berpakaian puih itu
dikeroyok habis-habisan. Enam golok berkelebat menghantam dari berbagai penjuru.
Si pemuda yang meamang memiliki kepandaian tinggi dan saat itu hanya
mengandalkan tangan kosong menangkis dan mengelak dengan cekatan. Satu kali dia
berhasil menjotos keras muka salah seorang Prajurit yang mengeroyok. Perajurit ini
terpental dengan muka yang bersimbah darah karena hidung dan mulutnya pecah
dihantam tinju si pemuda.
Meskipun dikeroyok begitu rupa di mana serangan golok datang silih berganti,
namun si pemuda tampaknya seperti sengaja mempermainkan para penyerangnya.
Dia berkelebat kian kemari. Kadang-kadang naik ke ujung bangku panjang dengan
gerakan keras hingga ujung bangku yang lain mencuat naik menjadi perisainya.
Terkadang dia melompat ke atas meja yang masih dipenuhi makanan. Lalu enak saja
dia menendangi makanan-makanan itu hingga mencelat melumuri pakaian atau muka
para pengeroyok.
“Kawan-kawan!” Kunto Areng berteriak marah setelah sebutir telur bercabe
menghantam mata kirinya sehingga dia jadi kalang kabut kesakitan dan keperihan.
“Aku perintahkan kalian untuk mencincang manusia satu ini!” Lalu dia memberi
isyarat pada Jalak Toga. Melihat isyarat ini Jalak Toga segera robah permainan
goloknya, mengikuti gerakan-gerakan Kunto Areng. Memang kedua orang ini
memiliki ilmu golok hebat yang khusus dimainkan secara berpasangan. Serangan
mereka datang laksana curahan air hujan, membuat si pemudai kini tak berani lagi
petantang petenteng dan harus bertindak hati-hati kalau tak mau tubuhnya terkuntung-
kuntung. Selain itu masih ada serangan tiga perajurit lainnya yang menambah
beratnya tekanan para pengeroyok.
Dua jurus berlalu cepat. Lalu dua jurus lagi. Kunto Areng dan Jala Toga mulai
saling melirik. Keduanya sama-sama heran melihat kenyataan bahwa setelah
keluarkan ilmu golok andalan dan masih dibantu oleh tiga perajurit yang
berkepandaian tidak rendah, ternyata senjata-senjata mereka masih belum dapat
menyerntuh tubuh lawan, bahkan bajunyapun tidak!
“Kunto……” berkata jalak Toga. “Aku melihat satu keanehan! Ilmu silat yang
dimainkan pemuda ini bukan ilmu silat Singa Gurun. Jangan-jangan…….”
4 WIRO SABLENG
“Mengapa musti ragu!” balas Kunto Areng. “Enam tahun menghilang bukan
mustahil dia telah mendapatkan ilmu baru! Memang terus terang kita belum pernah
melihat jelas tampang pemuda ini di masa lalu! Tapi aku yakin kita tiak menghadapi
orang lain. Dia pasti Singa Gurun Bromo!”
Baru saja kedua orang itu selesai bicara tiba-tiba pemuda yang mereka
keroyok kembali melompat ke atas meja makan panjang. Di sini dia tegak tolak
pinggang sambil cengar cengir. Lalu seperti seorang gila dia melenggak lenggok kian
kemari. Sesekali tubuhnya terhuyung seperti orang mabok hendak jatuh. Sesekali dia
melompat sambil tertawa mengekeh lalu membuat gerakan seperti hendak jatuh
duduk. Dengan gemas para pengeroyok menyerbu karena mereka menyangka tengah
diejek dan melihat si pemuda kini merupakan sasaran empuk. Tetapi para pengeroyok
terutama dua perwira tinggi itu diam-diam jadi terkejut ketika mereka dapatkan justru
dengan membuat gerakan-gerakan aneh itu si pemuda semakin sulit untuk dirobohkan.
Malah dalam satu gebrakan hebat, kaki kiri lawan berhasil menghantam kepala
seorang perajurit hingga tak ampun lagi perajurit ini terpelanting, terkapar di atas
salah satu meja, tak berkutik lagi. Rahang kirinya remuk. Dua perajurit lainnya
menjadi ciut nyalinya masing-masing sementara dua perwira tinggi walaupun tercekat
melihat kejadian itu tetap harus terus menggempur.
“Para sahabat! Biar kami bantu kalian meringkus tikus comberan ini!” Satu
suara terdengar dari luar warung. Sesaat kemudian dua bayangan berkelebat masuk.
Mereka ternyata adalah dua tokoh silat istana yaitu Mangku sanggreng dan Ki Bumi
Wirasulo.
5 DUA
WIRO SABLENG
Sebenarnya baik Kunto Areng maupun Jalak Toga merasa agak malu menerima
bantuan itu karena hal ini menunjukkan ketidak mampuan mereka merobohkan atau
meringkus si pemuda. Namun dari pada urusan menjadi kapiran di mana mereka
mungkin akan mendapat malu lebih besar maka keduanya diam saja dan menerima
bantuan kedua tokoh silat itu. Agar tidak terlalu malu maka Mangku Sangreng
sengaja berkata dengan suara dikeraskan “Memang tugas kita semua untuk
membekuk cacing tanah ini! Tapi aku ingin dia dicincang di tempat ini juga!”
Ki Bumi Wirasulo menyeringai. “Sesuai pesan, dia justu harus ditangkap
hidup-hidup. Bukankah Sri Baginda dan Adipati Dirgo Sampean ingin menyaksikan
kematiannya d tiang gantungan?!”
“Perintah atasan, apalagi perintah raja memang harus dijalankan. Aku
mengikuti apa mau kalian berdua saja!” berkata Kunto Areng.
Dengan masuknya dua orang tokoh berkepandaian tinggi itu jalannya
perkelahian kini menjadi berat sebelah. Tapi konyolnya, pemdua yang dikeroyok
tetap saja cengar cengir. Memang sampai dua jurus di muka si pemuda masih belum
tersentuh tangan atau senjata lawan. Namun sedikit demi sedikit keadaanya semakin
terjepit. Di satu sudut warung dia harus bertahan mati-matian dengan hanya
mengandalkan sebuah kursi kayu. Dalam waktu singkat kursi kayu ini musnah
berantakan dibabat golok Kunto Areng dan Jalak Toga!
“Sialan!” maki si pemuda. Kedua tangannya segera diangkat.
Mangku Sanggreng dan Ki Bumi Wirasulo segera maklum kalau lawan
hendak menghantam dengan pukulan tangan kosong jarak jauh yang mengandung
kesaktian dan tenaga dalam. Kedua tokoh silat ini saling memberikan isyarat. Tangan
mereka tampak bergerak ke pinggang. Ketika diangkat ternyata mereka memegang
seutas tali halus berwarna putih. Si pemuda maklum kalau lawan hendak menjirat atau
mengikatnya. Maka dia segera lepaskan pukulan saktinya. Namun tiba-tiba ada asap
kelabu mengepul menutupi pemandangan. Di lain kejap dia merasakan ada sesuatu
yang menggelung kedua lengannya. Ketika asap kelabu sirna, si pemuda dapatkan
kedua tangannya telah terikat ketat oleh tali halus putih itu!
“Celaka!” keluh si pemuda. Dia kerahkan tenaga untuk meloloskan atau
memutuskan ikatan tali halus. Tapi sia-sia saja. Selagi dia sibuk berusaha
membebaskan diri, Mangku Sanggreng berkelebat menotok punggungnya dari
belakang. Tak ampun lagi pemuda itu menjadi kaku tegang tak bisa berkutik ataupun
bersuara!
“Gotong dia! Lemparkan ke dalam gerobak!” perintah Mangku Sanggreng.
Empat orang perajurit segera menggotong pemuda yang tertotok itu keluar lalu
melemparkannya ke dalam sebuah gerobak yang telah menunggu di halaman depan
warung. Orang-orang kerajaan dan dua tokoh silat Istana menyusul keluar. Sampai di
luar Kunto Areng mendekati Ki Bumi Wirasulo. “Sesuai pesan begitu tertangkap
Singa Gurun Bromo harus segera di bawa ke Kotaraja. Tapi kalau kita langsung
berangkat ke sana, rasanya menjelang pagi baru akan sampai. Bagaimana kalau kita
mampir dulu di kadipaten. Selain melapor bukankah Adipati juga ingin lebih dulu
menghajar pemuda keparat itu?”
Ki Bumi Wirasulo tak segera menjawab. Dia melirik pada Mangku Sanggreng
seolah minta pendapat. Mangku Sanggreng kemudian berkata “Tangkapan besar
sudah kita dapat. Rasa tegang kini jelas seudah berkurang. Di samping itu kita perlu
6 WIRO SABLENG
sedikit istirahat. Bagaimana kalau kita menuju ke kadipaten saja dulu. Menginap di
sana lalu pagi-pagi sekali melanjutkan perjalanan!” Habis berkata begitu mangku
Sanggreng mendekatkan mukanya ke muka Ki Bumi Wirasulo dan berbisik.
“Aku sudah beberapa bulan tidak melihat tubuh telanjang Ni Suri Arni,
perempuan penghibur di kadipaten itu. Kau tentu akan mencari kesempatan pula
menemui pacarmu si gemuk Larawati, bagaimana……?”
Ki Bumi Wirasulo tersenyum. Lalu dia berpaling pada dua perwira kerajaan
dan berkata. “Aku setuju kita mampir dan menginap di kadipaten. Besok pagi-pagi
sekali baru kita berangkat menuju Kotaraja.”
Tepat dengan turunnya malam rombongan yang membawa tawanan bernama
Panji Argomanik dan berjuluk Singa Gurun Bromo itu memasuki kawasan luar
Kadipaten Lumajang. Saat itu hujan yang sudah lama tidak turun tiba-tiba saja jatuh
rintik-rintik. Udara siang yang tadi panas membakar kulit kini berubah menjadi dingin.
Waktu rombongan berada di kaki sebuah bukit kecil. Di balik bukit itulah terletak
Lumajang yang menjadi tujuan.
“Percepat jalan! Aku tak mau basah kuyup kehujanan!” berteriak Mangku
Sanggreng.
Setiap anggota rombongan menggebrak kuda-kuda masing-masing. Sais
gerobak mencambuk dua kuda penarik gerobak agar binatang-binatang itu
menghambur lebih cepat. Kunto Areng yang berkuda di sebelah depan tiba-tiba
berseru.
“Lihat! Ada nyala api di dalam hutan sana!”
“Rombongan berhenti!” teriak Mangku Sanggreng. Lalu mereka sama
memperhatikan ke arah hutan kecil di tepi kiri jalan.
“Aneh,” kata Ki Bumi Wirasulo.
“Ya, memang aneh!” menyahuti Jalak Toga. “Setahuku hutan ini jarang
didatangi orang. Hari gerimis pula. Siapa yang menyalakan api itu? Kelihatannya
seperti api unggun.”
“Mungkin kelompok penjahat pimpinan Warok Keling!” ikut bicara Kunto
Areng.
Saat itu tercium bau daging panggang yang sedap dan harum sekali. Hal ini
membuat setiap anggota rombongan seolah baru menyadari bahwa perut mereka
memang minta diisi.
“Hemmmmm, dugaanmu kurasa betul, Kunto.” Kata Ki Bumi Wirasulo.
“Gembong penjahat itu justru sedang dicari-cari. Tidak ada salahnya kita saat ini
berbuat pahala untuk kerajaan. Kalau kita berhasil meangkapnya Sri Baginda tentu
sangat berbesar hati. Bagaimana kalau kita menyelidiki?”
Mangku Sanggreng menengadahkan kepalanya lalu menghirup udara malam
yang gerimis itu dalam-dalam. “Aku setuju kita melakukan penyelidikan. Tapi hati-
hati. Warok Keling memiliki kepandaian tidak lebih rendah dari Singa Gurun
Bromo!”
Sebenarnya Kunto Areng merasa segan untuk ikut menyelidiki karena saat itu
keadaan bahu dan sambungan sikunya masih terasa sakit akibat pelintiran Singa
Gurun Bromo waktu terjadi perkelahian di warung siang tadi. Namun takut dianggap
pengecut Kunto terpaksa menyetujui maksud pawan-kawannya itu.
Dua perwira tinggi dan dua tokoh silat Istana berunding. Kemudian mereka
turun dari kuda masing-masing mendekati nyala api dari jurusan yang berbeda. Dua
7 WIRO SABLENG
orang perajurit diajak serta, enam lainnya termasuk dua yang cidera sengaja ditinggal
untuk menjaga gerobak berisi Singa Gurun Bromo.
Semakin dekat ke nyala api di dalam hutan, semakin santar dan harum bau
daging panggang. Tak lama kemudian enam orang itu sudah mengurung perapian.
Mereka melihat ada binatang yang sudah dikuliti tengah dipanggang di atas nyala api.
Mungkin kelinci besar atau anak rusa. Tapi mereka tidak menemukan satu orangpun
di tempat itu. tak ada kuda, tak ada kantong-kantong perbekalan atau tikar untuk tidur.
“Aneh, daging itu sudah hampir hangus. Tapi tak ada siapapun di tempat ini!”
kata Ki Bumi Wirasulo.
“Mungkin orang yang memanggangnya sedang ke tempat lain…..” kata Jalak
Toga.
“Tak masuk akal,” sahut Mangku Sanggreng. “Sama sekali tidak ada tanda-
tanda orang berkemah di tempat ini!”
“Lalu bagaimana? Kita sembunyi menunggu sampai ada yang muncul? Kurasa
sabaiknya kita tinggalkan tempat ini!” berkata Kunto Areng yang memang ingin
cepat-cepat pergi saja.
“Kita tunggu sebentar. Kalau memang tidak ada yang muncul kita akan
pergi!” jawab Mangku Sanggreng. “Tapi daging panggang itu tak ada salahnya kita
sikat dulu untuk mengganjal perut!” lalu dia mendekati nyala api. Dengan sepotong
ranting dia mengorek daging panggang lalu menyantapnya. Beberapa orang lainnya
ikut mencicipi daging panggang itu. Hanya Kunto Areng dan dua orang perajurit yang
tidak ikut makan. Selesai menghabiskan daging panggang orang-orang itu lalu
bersembunyi di balik pohon atau semak belukar.
Waktu berjalan. Tunggu punya tunggu tetap tak ada yang muncul. Kunto
Areng berpaling pada Ki Bumi Wirasulo. “Bagaimana?” tanyanya.
Yang ditanya berpaling pada Mangku Sanggreng. “Ya sudah. Kita kembali
saja melanjutkan perjalanan ke Kadipaten.” Kata Mangku Sanggreng pula.
Orang-orang itu segera kembali ke tempat mereka meninggalkan kuda dan
gerobak. Begitu sampai di tempat semula semuanya menjadi terkejut dan berseru
tegang!
8 TIGA
WIRO SABLENG
Enam orang perajurit yang mengawal gerobak kelihatan terbujur malang melintang
di tanah. Dua di antaranya tersandar ke sebatang pohon dan roda gerobak. Empat
sudah tak bernyawa lagi. Mereka sudah menjadi mayat dengan kepala hancur. Yang
dua dalam keadaan sekarat. Kuda-kuda tunggangan tak seekorpun di tempat itu.
hanya dua kuda penarik gerobak yang masih tetap di tempatnya. Memeriksa ke dalam
gerobak ternyata Singa Gurun Bromo tak ada lagi di situ!
“Kita tertipu!” teriak Jalak Toga dengan muka berubah pucat.
Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggreng dan yang lain-lainnya ikut pucat
tampang mereka. Mereka sadar bahwa mereka telah tertipu.
“Celaka! Susah-susah kita menangkap manusia itu, tahu-tahu kini dia lenyap
begitu saja!” ujar Mangku Sanggreng.
Ki Bumi Wirasulo walaupun sangat terpukul dan tak mampu mengeluarkan
sepotong ucapanpun tapi otaknya coba berpikir bagaimana hal itu bisa terjadi. Singa
Gurun Bromo berada dalam keadaan tertotok. Jelas tak mungkin dia melarikan diri.
Pasti ada yang menolongnya. Lalu siapa si penolong itu? Orang yang menyalakan api
dan membakar daging hanya untuk sekedar menipu?
“Begitu mudahnya kita tertipu….!” Kunto Areng membuka mulut. “Kalau saja
kita tidak menyelidiki apa yang ada di sini, tidak akan pemuda buronan itu bisa
melarikan diri. Pasti ada orang pandai yang telah menolongnya!”
“Jelas memang begitu. Tapi siapa orangnya?!” tanya Mangku Sanggreng pula.
Tak ada yang bisa memberikan jawaban.
“Gara-gara ingin tahu beginilah jadinya!” gerutu Jalak Toga. “Apa yang akan
kita lakukan sekarang? Meneruskan perjalanan ke Kadipaten lalu ke Kotaraja.
Memberi laporan bahwa kita kebobolan? Kita semua pasti akan didamprat habis-
habisan. Aku akan kehilangan jabatan sebagai perwira. Kalian semua bakal
mengalami hal yang sama! Kalau sudah begitu…..”
“Tutup mulutmu Jalak!” bentak Ki Bumi Wirasulo tiba-tiba. “Tak ada
gunanya memaki dan menggerutu panjang lebar. Semua salah kita…..”
“Siapa tadi yang punya usul untuk melakukan penyelidikan?!” memotong
Kunto Areng. “Dia yang bertanggung jawab!”
Semua mata lantas ditujukan pada Ki Bumi Wirasulo. Memang dialah tadi
yang mula-mula mengajak untuk menyelidik nyala api di dalam hutan itu.
Paras tokoh silat Istana itu jadi berubah mengelam. “Jadi kalian menuduh aku
yang salah dan harus bertanggung jawab? Bangsat! Aku memang mengajak tapi
kalian semua ikut menyetujui! Jadi kalian juga harus ikut bertanggung jawab!”
“Sudah tak perlu kita bertengkar di tempat ini!” Mangku Sanggreng
menengahi. “Adipati dan Sri Baginda yang nanti akan menjatuhkan putusan. Kita
harus melanjutkan perjalanan. Aku dan Wirasulo akan mempergunakan dua ekor kuda
penarik gerobak itu agar bisa berangkat lebih dulu dan melapor dengan cepat! Kalian
agaknya terpaksa harus jalan kaki. Tapi kadipaten tak berapa jauh lagi…..”
“Kau memilih enakmu saja!” memotong Jalak Toga. “Kalau kami harus jalan
kaki semua harus jalan kaki!” Lalu dia cabut goloknya. Dengna senjata ini diputuskan
tali-tali pengikat dua ekor kuda ke gerobak. Lalu digebraknya binatang-binatang itu
hingga menghambur lari dalam kegelapan malam.
“Keparat kau Jalak Toga! Apa maksudmu melakukan hal itu?!” bentak Ki
Bumi Wirasulo seraya melompat ke hadapan perwira tinggi itu. Jalak Toga sudah siap
9 WIRO SABLENG
menyambuti sergapan orang dengan hantaman tinju kanan. Tapi Kunto Areng dengan
cepat menengahi.
“Kalian tolol semua! Mengapa bertengkar dan saling gebuk? Kita berangkat
sama-sama, sampai di tujuan harus sama-sama. Ayo semua jalan kaki!” lalu dengan
langkah terhuyung-huyung karena bahu dan sikunya masih sakit Kunto Areng
melangkah lebih dulu.
Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng masih memandang melotot pada
Jalak Toga. Terdengar Ki Bumi kemudian berkata dengan suara ketus. “Kalian
perwira-perwira kerajaan memang sejak dulu merasa iri melihat Sri Baginda lebih
memperhatikan kami tokoh-tokoh silat Istana. Itu semua karena ketololan kalian
sendiri yang mabuk pangkat…..”
Jalak Toga menyeringai. “Setelah kejadian ini, kita akan lihat Ki Bumi.
Apakah Sri Baginda akan tetap memanjakan kalian tokoh-tokoh silat yang kerjanya
lebih banyak petatang-peteteng menghabiskan uang kerajaan dan tahunya hanya bisa
main perempuan!”
“Kurang ajar kau Jalak! Jaga mulutmu!” teriak Mangku Sanggreng marah lalu
melompat ke hadapan Jalak Toga hendak menampar muka perwira tinggi Kerajaan itu.
Jalak Toga cepat cabut goloknya seraya mengancam. “Teruskan gerakanmu. Kutebas
putus tangan celakamu!”
Rahang Mangku Sanggreng menggembung. Ki Bumi Wirasulo memegang
bahunya. “Sudah Mangku. Sabarlah sedikit hatimu. Masih ada waktu untuk memberi
pelajaran sopan santun pada cacing tanah ini!”
“Aku bersumpah untuk menghajarmu agar kau bisa bicara lebih tahu
peradatan!” kata Mangku Sanggreng pula.
Jalak Toga menjawab dengan meludah ke tanah lalu memutar tubuh dan
melangkah menyusul kawannya Kunto Areng.
“Aku ingin membunuh bangsat itu malam ini juga!” kata Mangku Sanggreng
begitu Jalak Toga berlalu.
“Sama, aku juga!” jawab Ki Bumi Wirasulo. “Tapi jangan sekarang. Kita
harus mencari saat yang baik……”
Apa sebenarnya yang telah terjadi sewaktu Ki Bumi Wirasulo dan anggota
rombongan lainnya memasuki hutan untuk menyelidiki nyala api?
Hanya beberapa saat setelah orang-orang itu melangkah pergi masuk ke dalam
rimba belantara, dari balik sebuah pohon besar di tepi jalan keluar satu bayangan
putih. Sosok ini bergerak cepat menuju gerobak di mana tergeletak pemuda yang
dituduh sebagai Panji Argomanik alias Singa Gurun Bromo. Ketika dia hendak
melompat ke dalam gerobak, dua orang perajurit pengawal sempat melihatnya dan
berteriak. Bersama dua orang kawannya perajurit ini segera melompat dengan golok
di tanan. Orang yang hendak melompati gerobak itu ternyata seorang pemuda
berpakaian serba putih dengan ikat kepala merah. Rambutnya sepanjang bahu.
“Siapa kau?!” hardik salah seorang perajurit.
Baru saja dia membentak begitu, kaki kanan pemuda itu tiba-tiba melesat.
“Krak!” perajurit yang barusan membentak terpental dan roboh tanpa nyawa lagi.
Mukanya hancur dimakan tendangan!
10 WIRO SABLENG
Tentu saja tiga kawannya menjadi marah. Dua lainnya yang berada dalam
keadaan cidera juga tidak tinggal diam. Mereka cabut golok masing-masing dan ikut
membantu kawannya mengeroyok si pemuda.
Sehabis membunuh perajurit yang pertama, pemuda tak dikenal itu melompat
ke atas kereta. Lalu dari atas kereta tendangan-tendangannya berkelebat menebar
maut. Tiga perajurit menemui kematian dilanda tendangan kakinya yang memang luar
biasa. Dua perajurit lainnya masih untung hanya cidera muntah darah, namun agaknya
nyawa mereka pun tak bakal lama. Bagian tubuh mereka di sebelah dalam ada yang
pecah.
Setelah menghajar keenam perajurit itu, pemuda tadi berbalik ke arah Singa
Gurun Bromo yang tergeletak di lantai gerobak. Dia telah sempat menyaksikan
kehebatan pemuda tak dikenal ini menghajar enam perajurit tadi.
Si rambut coklat membungkuk. Dia memeriksa tubuh Singa Gurun Bromo
dengan cepat lalu membalikkannya. Dengan ujung-ujung jarinya dia kemudian
lepaskan totokan di punggung pemuda itu.
“Terima kasih! Kau siapa?!” tanya Singa Gurun Bromo seraya melompat.
“Nanti saja kujawab pertanyaanmu,” jawab si pemuda. “Kita tak ada waktu
banyak. Harus lekas pergi dari sini sebelum orang-orang itu kembali!”
“Sesudah kau tolong begini aku justru ingin mencari keparat-keparat itu. Ingin
aku menggebuk mereka satu persatu. Enak saja aku diperlakukannya seperti ini!”
Pemuda penolong tersenyum. “Kau mau ikut aku atau tidak?”
“Tidak! Kecuali kau terangkan siapa dirimu!”
“Baiklah. Aku Panji Argomanik orang yang mereka juluki Singa Gurun
Bromo!” kata pemuda itu pada akhirnya.
Si gondrong yang satu jadi melengak kaget, garuk kepala dan mendamprat.
“Sialan! Gara-gara kau aku jadi dibuat babak belur begini!”
“Aku sudah tahu apa ang terjadi dengan dirimu sejak awal. Itu sebabnya aku
menguntit perjalanan rombongan. Aku yang membuat nyala api di dalam hutan dan
memanggang seekor kelinci besar sebagai tipuan. Begitu mereka menyelidi masuk ke
dalam hutan aku segera keluar dari persembunyian!”
“Sialan! Lalu bagaimana orang-orang itu tidak bisa membedakan aku dengan
kau?!”
“Usia kita sebaya. Potongan tubuh agak serupa. Lagi pula orang-orang itu
tidak pernah mengenal jelas tampangku. Apalagi setelah enam tahun aku
menghilang!”
“Sialan!” maki si rambut gondrong sambil menggaruk kepalanya kembali.
“Dari tadi kau hanya memaki saja sobat. Coba katakan dulu siapa namamu!”
“Aku Wiro Sableng!”
“Namamu boleh juga. Kuharap kau tidak sableng beneran!” kata Panji
Argomanik alias Singa Gurun Bromo yang asli.
“Kenapa kau menolongku?” tanya Wiro.
“Aku tidak tega. Kau hanya korban ketololan orang-orang itu. Mereka
mencari aku tapi menyangka kaulah Singa Gurun Bromo itu. Masakan aku sampai
hati membiarkan kau digantung tanpa salah dan dosa!”
“Ah, kau orang baik. Aku ikut denganmu!” kata Wiro
“Bagus. Cepatlah. Orang-orang itu agaknya segera akan kembali ke tempat
ini!”
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk kepalanya. Sambil menggeleng dia berkata.
“Gila! Bagaimana aku bisa mendapat pengalaman pahit sepertii ini. Kalau tidak kau
tolong pasti aku akan jadi mayat di tiang gantungan!”
11 WIRO SABLENG
“Sudah jangan mengoceh juga. Mari!” Singa Gurun Bromo berrkelebat turun
dari atas gerobak. Murid Sinto Gendeng bergerak mengikuti. Di satu tempat Wiro
bertanya.
“Apa dosamu hingga ada Adipati bahkan Raja ingin menggantungmu?!”
“Kita cari tempat yang baik. Nanti kuceritakan semuanya padamu. Aku harus
menemui seseorang dulu di Kuto Inggil!”
“Orang tuamu?”
Singa Gurun Bromo menggeleng. “Mereka sudah meninggal.”
“Hemmmm….. Kalau begitu pasti kau menemui seorang perempuan.
Kekasihmu! Betul?!”
Sambil berlari Panji Argomanik berpaling “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Mudah saja. Jika dalam keadaan berbahaya seorang pemuda masih
memerlukan menemui orang lain, pasti yang ditemuinya itu adalah kekasihnya!”
“Rupanya dalam soal perempuan otakmu cerdik juga!” kata Panji Argomanik
pula yang disambut gelak tawa oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Astaga! Janagn kau tertawa keras-keras. Sekali terdengar oleh orang-orang
itu bisa berbahaya…..”
“Siapa takutkkan mereka? Terus terang aku penasaran hendak menjajal
kepandaian mereka. Sialan! Mereka menipuku dengan asap kelabu itu. Tahu-tahu
kedua tanganku sudah terikat!”
“Dua orang yang muncul kemudian itulah dua tokoh silat Istana. Ki Bumi
Wirasulo dan Mangku sanggreng. Mereka selalu berkelahi berpasangan. Mereka
berasal dari satu guru. Kepandaian mereka sebetulnya tidak seberapa tinggi. Namun
mereka memiliki kecerdikan luar biasa dan senjata-senjata aneh. Di antaranya Benang
Dewa yang sempat membuatmu tak berdaya itu!”
Diam-diam Wiro mengagumi ilmu lari yang dimiliki Singa Gurun Bromo.
Namun jika dia mengerahkan seluruh kepandaiannya pasti Singa Gurun Bromo itu
sanggup ditinggalkannya sampai sejauh seratus langkah di balakangnya. Tapi murid
Sinto Gendeng tidak ingin membuat pemuda itu kecewa. Lagi pula selain
menyukainya, Wiro juga ingin tahu mengapa dia sampai jadi buronan para penguasa.
Lalu karena dia yang menjadi pimpinan dalam pelarian itu maka Wiro biarkan
sahabat barunya itu berlari di sebelah depan.
12 EMPAT
WIRO SABLENG
Dua pemuda yang baru saling kenal itu lari ke arah Barat Kuto Inggil di mana
terletak sebuah kampung kecil bernama Telogosari.
“Hatiku tidak enak….” Kata Panji Argomanik begitu mereka memasuki
pinggiran kampung. “Lihat ada kepulan asap di sebelah sana…..?”
Wiro memandang ke arah yang ditunjuk Panji dan mengangguk. “Sepertinya
barusan saja ada kebakaran.” Kata murid Sinto Gendeng pula.
Panji Argomanik lari laksana terbang. Wiro mengikuti dari belakang. Mereka
masuk ke Telogosari lewat jalan kecil di sebelah Selatan. Beberapa buah rumah kayu
dalam keadaan gelap gulita mereka lewati. Di ujung jalan, dekat sebuah gubuk
kosong Panji hentikan larinya. Tangannya berpegang pada tiang bambu. Mukanya
yang merah karena berlari tampak berubah pucat.
“Ya Tuhan…..” Pemuda ini mengucap.
Murid Sinto Gendeng tak perlu bertanya. Dia memperhatikan ke arah yang
dipandang Panji. Di ujung jalan sebuah rumah kayu baru saja musnah dimakan api.
“Rumah kekasihmu….?”
Panji tak menjawab. Dia lari sambil berteriak. “Larasati…..!”
Panji Argomanik tegak dengan tubuh gemetar di depan puing-puing rumah
yang terbakar. Dia berteriak lagi. Tak ada yang menjawab. Sebuah palang kayu yang
dimakan api berderak patah lalu jatuh. Panji hendak melompat ke dalam rumah yang
masih dikobari api itu. Wiro cepat memegang tangannya.
“Jangan lakukan. Semua sudah musnah!”
“Aku kawatir Larasati ikut terbakar…..” kata Panji dan jatuh berlutut.
Wiro memandang berkeliling. “Aneh,” katanya dalam hati. “Rumah satu ini
terbakar. Tapi penduduknya yang diam di sekitar sini tak ada satupun yang keluar
untuk memberikan pertolongan ataupun sekedar melihat. Ini bukan kebiasaan orang
kampung!” Wiro lalu katakan rasa herannya itu pada Panji Argomanik.
“Aku yakin ini bukan kebakaran biasa!” kata pemuda berambut coklat itu.
“Rumah ini sengaja dibakar! Jika penduduk tak ada yang berani keluar untuk
menolong, pasti ada yang mereka takutkan!”
“Siapa menurutmu yang punya pekerjaan biadab ini Panji?”
“Tak dapat dipastikan. Tapi pangkal dari segala malapetaka ini hanya
disebabkan oleh satu orang!”
“Siapa?”
“Adipati Lumajang. Dirgo Sampean!”
“Kalau begitu kita bisa menyelidik ke Kadipaten.”
Panji mengangguk. “Aku memang sudah bersumpah untuk mematahkan
batang leher adipati keparat itu dengan tanganku sendiri. Dia yang membuatku harus
kabur dari Kuto Inggil. Juga dia penyebab kematian kedua orang tuaku. Pasti dia juga
yang menyuruh bakar rumah ini. Larasati….. Di mana kau Larasati…..? Keparat!
Jangan-jangan dia telah membakar kekasihku bersama rumah ini!” Panji Argomanik
melompat berdiri. Rahangnya menggembung. “Aku harus memastikan dulu!” katanya.
Lalu dia mengelilingi ruamh yang kobaran apinya mulai mengecil. Tiba-tiba
terdengar teriakan Panji Argomanik. Wiro cepat mendatangi.
“Ada apa……?”
“Lihat di balik gedek yan masih terbakar itu…..”
13 WIRO SABLENG
Wiro merasakan tengkuknya merinding. Di balik dinding kajang yang hampir
musnah menyembul sepasang kaki yang belum sempat dimakan api. Di atas kaki ada
sepotong hangusan kain panjang yang menyatakan si pemilik kaki adalah seorang
perempuan.
“Mereka membakar Larasati! Mereka membunuh kekasihku!” teriak Panji
Argomanik seperti gila. Dia hendak melompat ke dalam reruntuhan rumah yang
terbakar. Lagi-lagi Wiro mencegahnya dengan memegang tangan pemdua itu erat-erat.
“Kita bisa mengambil tubuh yang terbakar itu Panji. Tapi tidak perlu dengan
menyabung nyawa melompat masuk ke dalam api!” Wiro lalu ambil sebatang bambu
yang tersandar dekat sumur. Pada ujung bambu ini dikaitkannya seutas kawat yang
dibentuk berupa lingkaran. Lalu dengan galah berkawat itu dia coba menjirat salah
satu kaki yang terjulur di bawah dinding kajang. Bukan pekerjaan mudah, apalagi
nyala api yang menyengat panas. Dengan tubuh dan pakaian kuyup oleh keringat
Wiro berhasil memasukkan lingkaran kawat ke salah satu kaki di bawah kajang. Lalu
dengan tengkuk masih merinding, disaksikan dengan tegang oleh Panji Argomanik,
murid Eyang Sinto Gendeng ini mulai menarik kaki itu dengan hati-hati dan perlahan-
lahan.
Sedikit demi sedikit sosok tubuh yang berada di bawah kajang tertarik keluar.
Mula-mula kelihatan sepasang betis yang sudah hangus hitam. Lalu….. Wiro
mengerenyit. Panji pejamkan kedua matanya. Bagian tubuh di atas betis sampai ke
pinggang bahkan sampai ke dada hanya tinggal tulang belulang gosong yang tak
dapat dikenali lagi.
“Demi Tuhan….. Teruskan Wiro. Tarik lagi. Aku ingin memastikan. Aku
ingin melihat bagian kepalanya…..” kata Panji Argomanik dengan suara gemeteran.
Dengan hati-hati Wiro kembali menarik galah bambu itu. Bagian dagu sosok
yang terbakar mulai kelihatan. Tapi celakanya saat itu des! Lingkaran kawat yang
dipakai untuk mengait pergelangan kaki putus tak tahan panas. Wiro terduduk. Panji
Argomanik mengusap mukanya berulang kali.
“Wiro lakukan sesuatu! Aku harus melihat wajah orang itu!” teriak Panji
seperti mau gila.
“Kalau sebagian tubuhnya sudah gsong, apa kau masih bisa mengenali
tengkorak kepalanya yang mungkin sudah jadi debu?!”
“Tidak! Jangan ucapkan itu! Lakukan sesuatu! Demi Tuhan lakukan sesuatu
atau aku akan melompat ke dalam api itu!” teriak panji Argomanik lagi.
Wiro berdiri. Perlahan-lahan dijangkaunya galah bambu tadi lalu berdiri,
melangkah dan mencoba mendekati runtuhan rumah yang masih terbakar. Dengan
ujung bambu dicobanya mendorong dan membalikkan sisa-sisa dinding kajang.
Sekali, dua kali dan sampai tiga kali tidak berhasil. Wiro maju lagi beberapa langkah.
Panasnya api bukan alang kepalang. Wiro coba bertahan dengan segala kekuatan yang
ada dia coba lagi membalikkan dinding kajang itu. Kali ini berhasil. Dinding kajang
yang terbakar terbalik ke kiri membuat nyala api serta debu hitam menggebubu ke
atas. Di tanah, di antara puing-puing hitam reruntuhan yang terbakar tampak satu
kepala yang sudah hitam dan tak dapat dikenali lagi. Di atas kepala masih tersisa
sebagian rambut yang berwarna keputih-putihan.
“Ya Tuhan….. Ya Tuhan…..!” Nafas Panji Argomanik memburu dan dadanya
turun naik. “Bukan dia Wiro. Bukan Larasati. Mayat ini berambut putih….. aku yakin
itu mayat Bibi kanoman yang selama ini memelihara Larasati….”
Wiro menarik nafas lega. Kalau itu mayat orang lain, lalu di mana kekasih
sahabat barunya itu? Wiro tak berani mengucapkan hal itu.
“Kalau penjahat yang melakukan hal ini pasti Larasati diculik….”
14 WIRO SABLENG
“Mungkin kekasihmu tidak ada di rumah ketika rumah ini dibakar. Berarti dia
dalam keadaan selamat.”
“Tak dapat kupastikan Wiro…. Aku harus menyelidikinya. Aku harus
mendatangi gedung Adipati Dirgo Sampean! Biadab!”
Wiro memandang berkeliling. “Aku yakin ada satu atau dua tetangga di
sekitar sini yang mengetahui apa yang telah terjadi. Aku akan gedor dan tanyai
mereka!”
Pendekar 212 mendatangi sebuah rumah terdekat lalu mengetuk pintu rumah
itu dengan keras. Digedor berulang kali tak ada yang menjawab apalagi muncul
membuka pintu.
“Sialan!” Wiro memaki. Dia tendang pintu itu sampai jebol lalu pindah ke
rumah di sebelahnya. Setelah menggedor berulang kali akhirnya terdengar langkah
kaki di sebelah dalam. Lalu muncul seorang lelaki separuh baya dengan muka pucat
ketakutan.
“Kami…. Kami tidak punya apa-apa. Kami petani miskin. Tak ada barang
berharga yang bisa kuserahkan pada kalian…..”
“Sialan! Aku bukan perampok!” hardik Wiro seraya menjambak sarung orang
itu lalu menariknya keluar. “Tapi aku akan mematahkan batang lehermu kalau kau
tidak menceritakan apa yang terjadi. Siapa yang membakar rumah itu!”
“Saya……saya…..”
“Plak!” Wiro tampar orang itu dengan keras hingga dia terjajar nanar. Saat itu
Panji Argomanik sudah berdiri di samping Wiro. Begitu orang bersarung melihat
pemuda ini, kedua matanya menjadi besar. Rupanya dia mengenali siapa adanya
pemuda ini.
“Kau….. Panji…. Kaulah yang mereka cari! Di desa tersiar kabar bahwa kau
akan kembali ke Kuto Inggil. Mereka menyangka kau pasti akan datang ke sini. Tapi
begitu mereka tidak menemukan kau, mereka terus membakar rumah. Membunuh Ibu
Kanoman…..”
“Bagaimana dengan Larasati?!” tanya Panji memotong.
“Mereka menculiknya. Mereka membawa lari kekasihmu. Kami penduduk tak
berani menolong. Mereka berjumlah sekitar sepuluh orang….”
“Kau mengenali siapa mereka….?” Tanya Wiro.
Orang yang ditanya menggeleng.
“Gerombolan rampok Warok Keling?” tanya Panji Argomanik.
“Tidak bisa saya ketahui Panji. Mereka menutupi wajah dengan kain…..
Mereka menunggangi kuda. Mereka melarikan diri setelah mendapatkan Larasati…..”
Panji Argomanik mendengarkan keterangan itu dengan kedua tinju terkepal.
“Kalau…. Kalau tak ada lagi yang hendak ditanyakan, izinkan aku masuk. Di
dalam anak istriku setengah mati ketakutan….”
Wiro menarik tangan Panji Argomanik, mengajaknya meninggalkan tempat
itu. “Kita harus mencari petunjuk siapa orang-orang yang menculik kekasihmu,
Panji.”
“Kalau mereka bertopeng siapa yang bisa mengenali?!” ujar Panji hampir
putus asa.
“Apa silang sengketamu sebenarnya dengan kerajaan dan Adipati Lumajang?”
“Aku dituduh membunuh seorang putera Pangeran yang tergila-gila pada
Larasati dan ingin mengambilnya jadi istri. Adipati Lumajang yang paling marah atas
kejadian itu karena berlangsung di wilayah kekuasaannya. Dia sengaja memburuku
karena ingin berbuat pahala pada Kerajaan, sekalian menjilat pada sang Pangeran dan
Sri Baginda!”
15 WIRO SABLENG
“Aku ingat keterangan orang tadi. Katanya rombongan itu datang karena
menyangka kau ada di rumah kekasihmu. Berarti mereka adalah suruhan sang
Pangeran atau petugas-petugas Kerajaan. Berarti Sri baginda sendiri atau Adipati
Lumajang yang menyuruh mereka untuk turun tangan!”
“Mungkin begitu. Tetapi mengapa mereka harus menutupi muka dengan kain
segala? Berati mereka takut wajah masing-masing dikenal penduduk Telogosari!”
menjawab Panji.
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Matanya kemudian tertumpuk pada
sebuah benda yag tergeletak di tanah. Dia melangkah mendekati dan memungutnya
lalu memperlihatkannya pada Panji Argomanik. Benda itu ternyata adalah sebuah
ladam kuda.
“Mungkin ini bisa dijadikan bahan pengusutan…..” kata Wiro.
Panji tidak memberikan jawaban. Pemuda ini berkata. “Aku akan menyelidik
ke gedung Kadipaten lebih dulu. Jika berangkat sekarang menjelang pagi aku bisa
sampai ke sana.”
“Aku ikut bersamamu,” kata Wiro pula.
16 LIMA
WIRO SABLENG
Karena mampu berlari cepat menjelang dini hari Singa Gurun Bromo dan
Pendekar 212 Wiro Sableng sudah memasuki Kadipaten. Panji Argomanik langsung
menuju gedung Kadipaten yang terletak di depan sebuah alun-alun. Mereka sengaja
datang dari bagian belakang gedung agar tidak melewati lapangan terbuka di mana
mereka akan mudah terlihat oleh para pengawal.
Setelah memanjat halaman belakang kedua pemuda ini menyelinap di balik
jambangan-jambangan besar lalu menyusup ke halaman samping yang gelap. Saat itu
di dalam gedung ada cahaya terang lampu tanda penghuninya ada yang belum tidur.
Begitu Wiro dan Panji bergerak ke dekat jendela, di dalam gedung terdengar suara
orang bercakap-cakap lalu langkah-langkah kaki menuju ruang depan. Pintu depan
terbuka. Adipati Dirgo Sampean muncul diiringi oleh lima orang lelaki. Kelima orang
ini membungkuk hormat sebelum turun dari tangga gedung Kadipaten. Mereka
berjalan menemui lima orang lainnya yang rupanya tidak ikut masuk dan sengaja
menunggu di halaman depan. Tak lama kemudian kesepuluh orang itu tampak
meninggalkan kadipaten dan lenyap ditelah kegelapan malam.
“Hatiku berdetak, jangan-jangan rombongan sepuluh orang itu yang
membakar rumah dan menculik Larasati….” Kata Panji Argomanik pada Wiro.
“Dugaanmu mungkin betul. Di sebelah sana ada kandang kuda. Kita bisa
mengambil dua kuda tunggangan dan mengejar rombongan tadi….”
“Aku setuju. Kita harus bergerak cepat!” kata Panji pula.
Baru saja kedua pendekar ini endak meninggalkan halaman samping itu tiba-
tiba di halaman depan terlihat enam orang memasuki pintu gerbang kadipaten.
Seorang penjaga mendatangi. Begitu mengenali siapa yang datang dengan cepat
penjaga ini masuk ke dalam gedung. Tak lama kemudiaan penjaga tadi muncul
kembali dan mempersilahkan masuk empat dari enam orang yang datang. Keempat
orang yang masuk ini bukan lain adalah Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggreng lalu
Kunto Areng dan Jalak Toga.
Melihat kemunculan orang-orang ini yang datang tanpa kuda dan pakaian
serta tubuh basah oleh keringat, lalu muka dan rambut kusut masai Adipati Dirgo
Sampean yang baru saja hendak masuk ke dalam kamar tidurnya jadi terheran-heran.
Sesuatu pasti telah terjadi dengan orang-orang ini pikirnya. Maka tanpa
mempersilahkan keempat orang itu duduk dia langsung saja bertanya seraya menyapu
wajah keempat orang itu dengan pandangan tajam.
“Ada apa?!”
“Waktu hendak menuju kemari, di tengah jalan kami, kami berpapasan dengan
serombongan orang. Apaah mereka barusan datang dari sini?” yang membuka mulut
adalah Ki Bumi Wirasulo.
Rahang sang Adipati tampak menggembung. “Ki Bumi! Kau seperti orang
yang tidak tahu peradatan saja! Aku mengajukan pertanyaan. Kau bukannya
menjawab malah balik bertanya. Kalian datang kemari untuk melapor atau
menanyaiku!”
“Harap maafkan saya, Adipati,” jawab Ki Bumi Wirasulo dengan wajah
merah. “Bukan maksud kami berlaku kurang ajar. Tapi kami melihat orang-orang itu
rata-rata berwajah garang dan kami tidak mengenali mereka. Kami kawatir……”
17 WIRO SABLENG
“Siapa adanya orang-orang itu bukan urusan kalian. Ki Bumi, kau mewakili
kawan-kawanmu. Katakan saja apa yang telah terjadi! Aku mencium bau tak enak
saat ini!” kata Adipati Dirgo Sampean dengan suara keras.
Ki Bumi Wirasulo jadi panas hatinya. Dia berpaling pada Mangku Sanggreng
dan berkata. “Kau saja yang menerangkan apa yang telah terjadi.”
Mangku Sanggreng batuk-batuk dulu beberapa kali. Baru membuka mulut.
“Kami mengalami nasib apes Adipati. Sebenarnya kami telah berhasil
meringkus Singa Gurun Bromo di Kuto Inggil. Pemuda itu kami sergap di warung
nasi Mbok Sinten. Dalam perjalanan kemari kami melihat ada nyala api yang
mencurigakan dalam hutan belantara. Kami coba menyelidik karena bukan mustahil
gerombolan Warok Keling yang berkemah di tempat itu…..” Mangku Sanggreng
kemudian menuturkan apa yang terjadi selanjutnya.
Tampang Adipati Lumajang itu tampak kelam membesi begitu mendengar
seluruh keterangan yang disampaikan Mangku Sanggreng.
Sesaat sang Adipati tertegak tak bergerak, hanya sepasang matanya saja yang
memandang melotot dan beringas pada keempat orang itu. Perlahan-perlahan
kelihatan dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“C….c….c…! Bukan main!” kata Dirgo Sampean pula. “Dua orang tokoh
silat Istana berkepandaian tinggi. Dia orang perwira tinggi Kerajaan. Ditambah
delapan orang perajurit! Gila! Tolol dan menggelikan. Kalian sampai bisa ditipu
orang seperti itu! Aku tidak mau melaporkan kejadian ini pada Sri Baginda. Kalian
harus tanggung jawab sendiri dan berangkat sekarang juga ke Kotaraja!”
Keempat orang itu terdiam.
“Kalau begitu perintah Adipati, kami akan mematuhinya. Tapi harap jangan
bicara terlalu keras!” berkata mangku Sanggreng.
“Apa maksudmu?!” tanya Dirgo Sampean dengan mata kembali membeliak.
“Kami bekerja di bawah perintah Sri Baginda. Tidak layak Adipati
mengeluarkan kata-kata kasar begitu rupa. Terhadap dua orang perwira ini silahkan
saja. Menggebuk merekapun kami tidak mau tahu karena memang bekerja untuk
kerajaan dan berada di bawah pimpinan Adipati…..!”
Adipati Dirgo Sampean menyeringai. “Jika kalian berdua berkata begitu,
silahkan angkat kaki dari gedung ini saat ini juga!” Lalu Adipati Lumajang itu
bergegas ke pintu. Pintu depan dibukanya lebar-lebar dan dia memberi isyarat dengan
goyangkan kepala pada Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng agar segera keluar.
Sebelum keluar kedua tokoh silat Istana itu masih sempat melihat Jalak Toga
dan Kunto Areng lontarkan seringai sinis ke arah mereka.
Adipati Dirgo Sampean membantingkan pintu. Lalu berpaling pada dua
perwira tinggi yang tegak tak bergerak dengan wajah kuncup.
“Kalian berdua tidak usah takut. Aku tidak marah pada kalian. Aku hanya
melepaskan kebencianku pada dua orang tadi.”
Mendengar ucapan Adipati itu Kunto Areng dan Jalak Toga menjadi lega dan
berdarah kembali wajah masing-masing.
“Mereka sedikit bekerja tapi hidup enak. Mendapat kesenangan dari Istana.
Kita yang telah mengabdi pada kerajaan sekian puluh tahun malah tidak diperhatikan.
Kaum penjilat seperti mereka sekali-sekali memang harus diberi pelajaran!”
“Ah, rupanya bukan kami saja yang punya pendapat begitu. Syukur kalau
Adipati mengetahui hal itu….” kata Jalak Toga.
“Kalian boleh bermalam di sini. Besok ada tugas untuk kalian!”
“Terima kasih, Adipati masih mempercayai kami!” kata Kunto Areng seraya
membungkuk.
18 WIRO SABLENG
“Kita orang-orang satu kelompok harus saling menghormat dan bekerja
sama,” kata Adipati pula sambil menepuk bahu perwira tinggi itu.
Di halaman samping begitu melihat Ki Bumi Wirasulo dan Mangku
Sanggreng meninggalkan halaman Kadipaten, Pendekar 212 segera hendak bergerak.
“Itu mereka! Kurasa ini saat yang baik untuk menjajal kembali kehebatan keduanya!”
“Baik bagimu tidak bagiku sobat!” kata Panji seraa menarik celana sang
pendekar. “Apa yang hendak kau lakukan bisa merusak rencanaku untuk mengusut di
mana Larasati saat ini berada dan siapa yang telah menculiknya.”
“Ingat ladam kuda yang kita temui itu? ujar Wiro. “Tunggu saja sampai pagi .
Kau hanya tinggal menunjukkan padaku di mana orang biasa mengupah memperbaiki
atau memasang ladam kudanya…..”
“Cuma ada satu di Kuto Inggil. Bengkel kuda Karjo Lugu.” Jawab Panji.
“Bagus kalau cuma satu. Berarti kita tidak perlu menghabiskan waktu
menyelidik ke mana-mana.”
Kedua orang itu menunggu sampai seorang pengawal yang melakukan
penjagaan keliling lenyap di ujung gedung. Lalu cepat-cepat mereka menuju halaman
belakang, memanjat tembok dan lenyap ditelan kegelapan malan dan udara dingin
menjelang pagi itu.
19 ENAM
WIRO SABLENG
Di bengkel kuda milik Karjo Lugu para pemilik kuda dapat membeli segala
keperluan yang berhubungan dengan kuda. Misalnya kain keras penutup mata kuda,
tali kekang, pelana dan juga ladam. Di samping itu Karjo Lugu juga mengerjakan
perbaikan ladam atau tapal besi, perbaikan pelana maupun injakan kaki.
Pagi itu Wiro dan Panji sampai di sana Karjo Lugu sudah tampak sibuk di
bengkelnya. Karjo Lugu seorang lelaki berambut putih berusia hampir enam puluh
tahun. Walaupun berusia lanjut tapi otot-otot badannya masih tampak kukuh. Seperti
namanya, orang ini memang bersifat lugu dan murah senyum.
Karjo Lugu menyambut salam yang diucapkan Panji. Namun ketika dia
mengangkat kepalanya dan melihat siapa yang datang, berubahlah paras orang tua ini.
“Pak Lugu…..”kata Panji, begitu orang biasa memanggil Karjo Lugu. “Kau
kelihatan seperti terkejut melihatku. Apakah wajahku sudah berubah jadi setan?!”
“Anak muda, apa kau tak tahu dirimu dalam bahaya berani datang ke sini?”
“Rupanya kau sudah mendengar apa yang terjadi siang kemarin di warung
Mbok Sinem,” kata Panji pula dengan tersenyum.
“Tentu saja. Berita itu tersiar cepat. Kau dikabarkan sudah diringkus dan
dibawa ke Kotaraja. Bagaimana tahu-tahu kau bisa muncul di sini?”
“Kau tak usah merisaukan hal itu Pak Lugu. Aku baik-baik dan sehat-sehat
saja….”
“Siapa anak muda ini?” tanya Karjo Lugu pada Panji Argomanik.
“Sahabatku,” jawab Panji.
“Panji, sebaiknya kau cepat pergi dari sini. Kalau ada mata-mata yang melihat
dan melaporkan kau muncul serta berbincang-bincang denganku, aku bisa celaka…..”
“Ada hal penting yang hendak kami tanyakan padamu Pak Lugu.” Kata Wiro
pula.
“Eng…..” pemilik bengkel kuda itu tampak serba salah.
“Pak Lugu,” kata Panji. “Semasa hidupnya kau bersahabat baik dengan
ayahku. Sekarang kami butuh bantuanmu. Apa kau melupakan begitu saja
persahabatan dengan ayahku?”
“Tentu saja bukan begitu. Tapi kau adalah orang buronan. Jika ada yang….
Sudahlah. Ikuti aku. Kita bicara di dalam saja.” Orang tua itu menunjuk ke arah pintu.
Panji dan Wiro segea masuk ke dalam ruangan di balik pintu itu. Karjo Lugu
memandang dulu ke arah jalan, lalu pada beberapa bangunan di sekitarnya. Bila
dirasakannya aman maka orang tua ini segera masuk ke dalam rumahnya. Sampai di
dalam dia bertanya pada kedua pemuda itu.
“Hal penting apa yang hendak kalian tanyakan?”
Wiro yang menjawab. “Tadi malam rumah Larasati, kekasih sahabatku ini
dibakar orang. Seorang perempuan bernama Bibi kanoman ditemui sudah jadi mayat
terbakar hangus….”
“Ya Tuhan, belum kudengar berita itu…….” seru Karjo Lugu.
“Larasati lenyap diculik orang…..”
“Gusti Allah!” mengucap Karjo Lugu.
Wiro meneruskan. “Kami tidak tahu siapa manusia-manusia biadab yang
melakukan perbuatan laknat itu. Namun kami menemukan benda ini di dekat rumah
yang terbakar.”
20 Lugu.
itu?”
WIRO SABLENG
Wiro keluarkan ladam kuda yang ditemuinya dan diperlihatkannya pada Karjo
“Apa hubungan ladam ini dengan hal penting yang hendak kalian tanyakan
Yang menjawab kini adalah Panji Argomanik. “Kami yakin ladam kuda ini
adalah ladam salah seekor kuda tunggangan orang-orang yang membakar rumah dan
menculik Larasati. Malam tadi, atau pagi-pagi sebelum kami datang, apakah ada
seseorang yang datang membawa kudanya yang salah satu kakinya tidak berladam.
Lalu minta dipasangkan ladam baru…..”
Paras Karjo Lugu jadi berubah. Wiro dan Panji maklum sudah. Keduanya
menunggu.
“Pagi buta tadi….” Kata Karjo Lugu. “Ada orang menggedor bengkelku.
Ketika kubuka orang ini tenyata datang bersama dua orang temannya. Tampang-
tampang tak dapat kukenal karena tertutup kain menyerupai topeng. Salah seorang
dari mereka minta agar aku memasangkan ladam baru pada kaki kudanya sebelah kiri
belakang. Aku bilang besok saja kalau bengkel sudah buka. Tapi orang-orang itu
mengancam akan menggorok leherku kalau aku tidak melakukannya malam itu juga.
Masih dalam keadaan mengantuk aku terpaksa memenuhi permintaan mereka. Orang
yang punya kuda membayar cukup tinggi. Tapi sebelum dia pergi dia berpesan……”
“Berpesan? Pesan apa?” tanya Panji.
“Agar aku tidak mengaakan pada siapapun kedatangan mereka ke
bengkelku…..!”
“Hemmmmmm,” Wiro bergumam sambil garuk-garuk kepala. Kalau begitu
mereka merasa kawatir kau mengenali salah satu dari mereka. Walau mereka
menutupi wajah masing-masing dengan kain….. Coba kau ingat-ingat Pak Lugu.
Mungkin ada benda atau tanda-tanda pada ketiga orang itu, di tubuh mereka atau pada
kuda-kuda mereka. Tanda-tanda yang bisa mmberi petunjuk siapa mereka
sebenarnya.”
Karjo Lugu mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut-janggut pendek
berwarna putih. “Rasan-rasanya memang ada. Waktu itu aku tidak memperhatikan.
Tapi setelah kau mengatakannya aku teringat sesuatu. Salah seorang dari ketiga yang
datang itu mengenakan baju berlengan sangat pendek. Di tangannya sebelah atas,
dekat bahu ada sebuah rajah. Rajah itu bergambar seekor kelelawar yang tengah
mengembangkan sayapnya…..”
“Itu rajah tanda komplotan rampok Warok Keling” kata Paji hampir berteriak.
“Terima kasih Pak Lugu. Keteranganmu sangat berharga.” Pemuda bergelar Singa
Gurun Bromo itu menarik lengan Wiro, cepat-cepat mengajaknya meninggalkan
tempat itu.
“Aku tahu sarang penjahat keparat itu. Kita menuju ke sana sekarang juga!
Larasati pasti berada di tangan mereka!”
“Mendatangi sarang penjahat siang-siang begini apa tidak terlalu berbahaya,
Panji?”
“Aku sudah siap mati untuk menyelamatkan Larasati”! jawab Panji
Argomanik alian Singa Gurun Bromo pula. “Kalau kau takut kau boleh saja tidak ikut
dan kita berpisah sampai di sini.”
Wiro menyeringai. “Aku tidak bisa menjelaskannya. Tapi aku punya firasat
ada satu rahasia di balik semua kejadian ini. Dan aku ingin menyingkap rahasia ini!”
Hanya beberapa saat setelah kedua pemuda itu meninggalkan bengkel Karjo
Lugu, tiga orang penunggang kuda tiba-tiba muncul. Si orang tua terkejut ketika
memperhatikan. Ternyata mereka adalah tiga orang yang tadi malam mendatangi
21 WIRO SABLENG
untuk dipasangkan ladam baru. Wajah mereka masih ditutupi secarik kain. Karjo
Lugu mendadak merasa tidak enak. Namun dengan ramah orang tua ini menegur.
“Ah, kalian rupanya. Apa lagi yang bisa kubantu?’
Lelaki yang lengan sebelah atasnya memiliki rajah turun dari kudanya.
“Malam tadi kami lupa membayar harga ladam dan ongkos pemasangannya.
Kebetulan kami lewat lagi di sini. Saat ini kami hendak membayarnya.”
“Wah, kalian orang baik-baik rupanya. Tidak dibayarpun tidak jadi apa asal
kita bisa jadi langganan.” Kata Karjo Lugu pula.
Lelaki yang lengannya dirajah bergambar kelelawar tersenyum. Dia
menggerakkan tangan kirinya ke arah pinggang seperti layaknya orang hendak
mengambil uang. Tetapi ketika tangan itu keluar lagi dari balik pakaian, yang
kelihatan bukan kantong uang tetapi sebilah pisau berkilat yang panjang matanya
hampir dua jengkal. Sebelum Karjo Lugu menyadari apa yang akan dilakukan orang
itu, tiba-tiba pisau sudah menghujam dalam ke perutnya. Karjo Lugu menjerit tapi
lehernya cepat dicekik hingga suara teriakannya menjadi tertahan dan lenyap.
“Tua bangka keparat! Kau tidak menepati pesanku. Kau pasti telah
memberitahu sesuatu tentang kami pada kedua orang pemuda itu. Benar?!”
“Ha….h…ha….hu!” Karjo Lugu tidak bisa menjawab karena lehernya masih
dicekik sementara perutnya yang bersimbah darah terasa sakit bukan kepalang. Lelaki
berajah itu lemparkan tubuh Karjo Lugu ke atas meja tempat penempaan besi. Orang
tua itu mengeluh tingi. Dia berusaha manarik nafas panjang tapi nafasnya justru
putus!
22 TUJUH
WIRO SABLENG
Dua pendekar nekad itu memacu kuda masing-masing menuju ke Selatan kaki
Pegunungan Maha Meru. Selewatnya Candipuro mereka membelok memasuki sebuah
dataran tinggi. Di balik pedataran itu terbentang sebuah rimba belantara sarang segala
binatang buas dan manusia jahat. Dulunya terdapat beberapa kelompok penjahat
mendekam dan bersarang di tempat itu. namun setelah Warok Keling muncul, dia
menggabungkan semua kelompok gerombolan itu ke dalam kelompoknya. Siapa yang
tidak mau tunuduk padanya ditumpasnya sampai habis. Saat itu Warok Keling
menjadi raja di raja perampok yang memiliki anak buah hempir seratus orang.
Bersama kelompoknya dia mendirikan sebuah kawasan perumahan di dalam hutan itu.
walaupun hutan tapi keadaannya subur sekali. Air bersih mudah didapat. Begitu juga
buah serta binatang buruan yang bisa disantap.
Menjelang tengah hari mereka sampai di bagian hutan yang tanahnya
meninggi. Wiro dan Panji terus mendaki menuju puncak tertinggi. Begitu sampai di
puncak kelihatanlah belasan rumah kayu yang dipagar dengan tiang-tiang terbuat dari
batang-batang pohon yang ujungnya dibabat runding. Pada jarak-jarak tertentu di atas
pagar itu terdapat sebuah pondok tempat pengawal melakukan tugasnya berjaga-jaga
mengawasi daerah sekitarnya. Begitu Wiro dan Panji muncul mendekati pagar kayu
satu suitan nyaring terdengar dari sebelah Timur kawasan. Lalu sekitar sepuluh orang
muncul di atas pagar. Mereka memegang busur dan panah yang siap dibidikkan ke
arah kedua pemuda itu.
Di sebelah belakang Wiro dan Panji mendengar suara menggeresek. Ketika
berpaling mereka melihat ada kira-kira sepuluh orang meluncur dari atas pohon. Di
cabang-cabang terendah mereka berhenti dan dari sini mereka membidikkan pula
panah atau sumpritan ke arah Wiro dan Panji.
“Kita terkurung!” kata Wiro.
“Tenang saja. Jangan membuat gerakan-gerakan yang mencurigakan. Anak-
anak panah dan sumpritan itu beracun!” kata Panji. Lalu dia membawa kudanya
mendahului Wiro menuju satu tempat terbuka hingga semua orang di atas pagar kayu
meupun di atas pohon dapat melihatnya dengan jelas. Wiro menyusul bergerak ke
samping Panji.
Panji Argomanik kemudian mengangkat tangannya. Lalu dia berseru. “Aku
Panji Argomanik dan seorang sahabat ingin menemui pimpinan kalian!”
Dari atas rumah penjaggan terdengar jawaban. “Dua cacing tanah seperti
kalian mana cukup pantas menemui pimpinan kami!”
“Keparat!” maki Wiro.
“Diam saja!” tukas Panji. Lalu dia berseru lagi. “Kami memohon sekali lagi!
Ada hal penting yang hendak kami bicarakan!”
“Bicaralah dengan setan-setan rimba belantara ini! Harap kalian berdua segera
meninggalkan tempat ini atau tubuh kalian akan kami tambus dengan panah-panah
beracun!”
“Edan!” Kini Panji yang keluarkan suara makian. “Kalau kita tidak
diperbolehkan masuk menemui Warok Keling berarti kita terpaksa menyusup malam
hari. Atau mencegat orang itu jika dia keluar dari sarangnya. Tapi semua itu memakan
waktu. Sementara itu banyak hal bisa terjadi pada Larasati……”
“Agaknya kita tak ada pilihan lain. Mari…..” kata Wiro.
Kedua orang itu memutar kuda masing-masing.
23 WIRO SABLENG
Sementara itu di atas bangunan pagar, sorang bertubuh tinggi luar biasa,
berkulit sangat hitam dan mengenakan pakaian merah gelap serta memakai semacam
sorban berwarna merah di atas kepalanya muncul di atas salah satu rumah penjagaan.
“Aku mendengar suara suitan lalu suara orang berteriak-teriak. Apa yang
terjadi?” tanya orang berkulit hitam legam itu. Suaranya parau dan sember. Inilah
manusianya yang bernama Warok Keling, raja diraja komplotan penjahat di masa itu.
Seorang anak buahnya segera menerangkan.
“Ada dua pemuda tak dikenal muncul dan minta bertemu dengan Warok….”
“Ah, begitu lama aku jadi pemimpin kalian baru sekali terjadi hal seperti ini.
Dua pemuda itu rupanya punya nyali besar. Apa mereka menyebutkan nama atau
gelar?”
“Gelar tidak, tapi yang seorang memperkenalkan diri dangan nama Panji
Argomanik!”
“Panji Argomanik…..” mengulang Warok Keling samgil mengusap dagunya
yang klimis. Biasanya gembong penjahat selalu memelihara janggut atau berewok dan
kumis tebal melintang. Tapi Warok Keling justru memelihara wajah kelimis dan
wajahnya yang hitam cukup keren. “Panji Argomanik…. Aku rasa-rasa pernah
mendengar nama itu! Coba aku mengingat-ingat dulu….. Hem….. Jangan-jangan…..
Hai, coba kau tanyakan pada orang yang bernama Argomanik itu. apakah dia
orangnya yang bergealr Singa Gurun Bromo?”
“Keduanya sudah pergi Warok.”jawab si anak buah.
“Beri tanda pada kawan-kawanmu di luar pagar agar menyuruh kedua orang
itu kembali.”
Anggota penjahat itu keluarkan dua kali sutian berturut-turut, lalu dua kali lagi.
Di dalam rimba belantara di luar pagar empat anak buah Warok Keling
meluncur turun dari atas pohon. Mereka melompat ke tanah lalu mencegat Wiro dan
Panji sambil membidikkan panah-panah beracun.
“Pimpinan kami meminta kalian kembali!” kata salah seorang di antara
mereka.
Wiro dan Panji saling pandang.
“Ada apa kami disuruh kembali?!” bertanya Panji Argomanik.
“Apa kau orangnya yang bernama Panji Argomanik, bergelar Singa Gurun
Bromo?”
Panji mengangkat tangannya dan berteriak membenarkan ucapan itu.
“Kalau begitu kau boleh masuk. Tapi kawanmu tetap tinggal di tempat! Dia
tidak cukup layak menginjakkan kaki di tempat kami!”
“Sialan! Aku lagi yang dihinanya!” maki Wiro.
Saat itu pintu gerbang kayu tampak terbuka.
“Kau masuklah. Aku biar menunggu di sini,” kata Wiro.
Panji Argomanik mengangkat tangannya. “Aku tidak akan masuk kalau
temanku ini tidak diperbolehkan ikut serta!”
Dari atas rumah penjagaan terdengar orang bertanya. “Siapa nama kawanmu
itu. apa dia punya julukan?!”
“Namanya Wiro Sableng!” berteriak Panji.
Sunyi sejenak. Lalu dari atas rumah penjaggan terdengar suara orang berteriak,
bertanya. “Apa orang gila itu punya julukan?!”
Panji Argomanik berpaling pada Wiro. Murid Sinto Gendeng garuk-garuk
kepalanya. “Tidak! Dia tidak…..”
Wiro tekap mulut Panji Argomanik lalu dia sendiri berteriak. “Gelarku
!”
24 WIRO SABLENG
Kedua mata Panji Argomanik membeliak besar. Ketika Wiro menurunkan
tangannya pemuda bergelar Singa Gurun Bromo itu berseru. “Kau…..! Jadi kau
pendekar dari Gunung Gede yang terkenal itu?!”
“Aku tidak lebih hebat dari kau Singa Gurun Bromo!”
“Jangan merendah! Aku banyak mendengar riwayatmu yang hebat-hebat!”
Wiro tertawa. “Orang selalu menambah bumbu dalam setiap cerita…..”
katanya.
Dari atas rumah penjagaan tiba-tiba terdengar suaa teriakan. “Kalian berdua
boleh masuk!”
Pintu gerbang terbuka. Kaliini lebih besar. Wiro dan Panji masuk ke dalam.
Pintu menutup kembali. Begitu masuk ke dalam dua orang bertubuh besar
menghampiri mereka. Keduanya dipersilahkan turun dari kuda masing-masing lalu
binatang-binatang itu dibawa ke satu tempat untuk ditambatkan. Kemudian seorang
lelaki muncul, membawa mereka ke sebuah rumah besar dari kayu bertingkat dua.
Wiro melangkah sambil memandang kian kemari. Dia melihat banyak anak-anak
tengah bermain di halaman luas. Juga ada orang-orang perempuan yang duduk-duduk
di bawah pohon. Ada yang tengah merenda, ada yang tengah bercakap-cakap.
Keadaan di tempat itu bukan seperti di sarang perampok tapi tidak beda dengan
kampung biasa.
Wiro dan Panji dibawa ke tingkat rumah kayu besar. Lalu diminta duduk pada
dua buah kursi kayu. Di antara dua kursi itu terdapat sebuah kursi ketiga yang lebih
besar dan lebih tinggi. Keduanya diminta menunggu.
Tak lama kemudian muncullah Warok Keling. Dia masih mengenakan sorban
merahnya. Tapi dia kini telah berganti pakaian dengan sebuah jubah terbuat dari kain
sangat tebal yang beratnya hampir lima puluh kati. Bersamanya mengikuti empat
orang pengawal bertampang bengis dan membawa golok besar-besar.
Warok Keling duduk di kursi besar. Dia melambaikan tangan pada keempat
pengawalnya. Keempat orang ini tampak ragu untuk meninggalkna pimpinan mereka
sang Warok lantas berkata. “Kalian pergi saja. Mereka adalah teman-temanku!”
Mendengar ucapan itu keempat pengawal tadi segera berlalu. Wiro dan Panji
merasa heran karena tidak menyangka akan mendapat sambutan begitu rupa.
“Dua sahabat muda. Kuucapkan selamat daang di tempatku yang buruk ini.
seumur hidup baru kali ini ada dua orang tokoh silat yang punya nama besar
menyambangiku di sini. Kalian ingin kusuguhkan apa?”
“Kami orang biasa-biasa saja. Jangan Warok keliwat memuji,” kata Panji.
“Terus terang kami memang haus. Tapi kami tak ingin merepotkanmu.”
“Kau bagaimana?” tanya Warok Keling pada Wiro.
“Aku memang haus sekali. Aku tiak malu-malu minta minum apa saja.
Kawanku juga…..”
Warok Keling tertawa lebar.
“Kau orang jujur. Aku suka pada aorang yang terus terang dan polos!” Warok
Keling lalu bertepuk dua kali. Seorang gadis berwajah cantik muncul. “Ini puteriku,
Jayengsari…..” Warok Keling memberitahu.
Dalam hatinya Wiro berkata. “Sulit dipercaya. Manusia buruk hitam begini
rupa punya puteri secantik ini dan berkulit kuning langsat! Ibunya pasti seroang
bidadari yang tertangkap hidup-hidup dan tak dapat kembali ke dunianya!”
“Anakku. Ita kedatangan dua orang tamu penting. Harap sediakan tuak manis
dan jangan lupa talas rebus makanan utama kita yang paling lezat!”
Jayengsaru Mengangguk. Dia melirik ke arah Pendekar 212 sekilas lalu masuk
ke dalam dengan langkah-langkah lincah.
25 WIRO SABLENG
“Sobat-sobatku muda! Semetara menunggu hidangan dan minuman, sekarang
ceriakan apa hal penting yang hendak kau bicarakan denganku!” kata Warok Keling.
“Kami, maksudku aku mengalami kesulitan…..”
Warok Keling tersenyum “Aku pernah mendengar kesulitanmu. Enam tahun
kau menghilang gara-gara tuduhan membunuh putera Pangeran Sendoyo….”
“Bagaimana kau bisa tahu Warok?” tanya Panji heran.
“Aku dan anak buahku memang tinggal jauh di hutan. Tapi kami punya mata
dan telinga di mana-mana…. Nah, sekarang ceritakan apa kesulitanmu yang lain!”
“Kesulitanku, selain jadi buronan Sri Baginda dan Adipati Lumajang, saat ini
aku butuh bantuanmu dan kesediaanmu untuk mengembalikan kekasihku Larasati.
Rumahnya dibakar kemarin malam. Bibinya tewas dan Larasati diculik orang!”
“Larasati diculik orang. Lalu mengapa kau datang kemari? Eh, tadi kudengar
kau meminta aku agar bersedia mengembalikan anak gadis itu padamu. Apa kau
kira….”
“Maafkan aku Warok. Aku tidak menuduh kau menculik Larasati. Tetapi ada
orang memberi kesaksian bahwa salah seorang penjahat yang membakar dan
menculik gadis itu memiliki lengan dengan rajah burung kelelawar!”
Warok Keling menggulung lengan bajunya sebelah kiri sampai ke bahu. Lalu
dia memperlihatkan rajah kelelawar di bahunya itu. “Rajah seperti ini?”
“Kira-kira begitu Warok.”
“Seperti ini?” Sang Warok buka kancing bajunya. Di dadanya kelihatan lagi
sebuah rajah kelelawar yang lebih besar. Panji mengangguk.
Paras Warok Keling berubah semakin hitam. “Singa Gurun Bromo…..”
katanya dengan suara bergetar. “Jika tuduhanmu itu tidak benar, tubuhmu akan
kulempar ke luar pagar tanpa kepala!” Lalu sang Warok berpaling pada Wiro. “Kau
juga!” hardiknya sehingga pendekar 212 tersentak kaget. “Siapa yang memberikan
kesaksian padamu?”
“Karjo Lugu. Pemilik bengkel kuda di Kuto Inggil.”
“Aku akan perintahkan anak buahku untuk menyelidik. Tapi ada satu hal yang
perlu kuceritakan pada kalian!” Saat itu Jayengsari keluar membawakan minuman tak
dalam tabung bambu pendek serta rebusan talas yang diurap dengan kelapa parut.
“Aku tahu kalian pasti haus danjuga lapar….”
Wiro ulurkan tangan hendak mengambil tabung bambu. Tapi Warok Keling
segera mengepret tangannya.
“Aku tidak akan menyuruh kalian minum dan makan sebelum kalian
mendengar dulu keteranganku.” Kata Warok Keling dengn mata berkilat-kilat. “Aku
sudah tiga puluh tahun lebih jadi raja diraja penjahat di kawasan Timur ini. Selama
aku malang melintang ratusan orang telah menjadi korbanku. Kurampok habis-
habisan dan kubunuh jika mereka melawan. Tapi ada satu hal yang harus kalian ingat
baik-baik. Mereka yang jadi korbanku adalah orang-orang kaya yang tidak mau
memberi hartanya pada rakyat jelata. Atau pejabat-pejabat rakus yang kekayaannya
seabrek-abrek tapi tak pernah bersedekah pada orang-orang miskin. Padahal kekayaan
itu mereka dapatkan dari hasil menipu! Kaum pedagang yang terlalu rakus mencari
keuntungan juga kujadikan korban dan kuburu di manapun mereka berada. Tapi
dengar! Aku tidak pernah merampok dan membunuh rakyat jelata! Dengar lagi baik-
baik! Aku tidak pernah menculik dan melarikan anak istri orang! Waktu datang
kemari kalian lihat anak-anak dan orang-orang perempuan. Anak-anak bermain-main.
Orang-orang perempuan duduk merenda atau melakukan pekerjaan lain sambil
ngobrol sesama perempuan. Mereka adalah perempuan-perempuan yang dikawin sah
oleh anak-anak buahku. Dan anak-anak itu bukan anak-anak haram! Ini memang
26 WIRO SABLENG
perkampungan sarang perampok. Tetapi di sini kehidupan lebih baik dari pada di luar
sana! Jadi ingat! Kami bukan tukang culik apalagi tukang perkosa orang-orang
perempuan., jika anak buahku bertemu seorang perempuan yang disukainya, dia akan
mengajaknya baik-baik dan tinggal di sini. Jika mereka menolak, mreeka dilepas
dengan aman. Bahkan diantar pulang sampai ke kampung dan rumah mereka! Karena
cara-cara kami itulah maka tidak ada orang dari dunia persilatan yang memusuhi kami.
Tapi mereka juga sungkan untuk mendekati kami, tidak seperti yang saat ini kalian
lakukan. Kalian orang-orang muda sungguh bisa dibuat contoh. Lalu, pihak
kerajaanpun tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kami. Kami memang penjahat tapi
sebenarnya kami lebih cocok dikatakan sebagai tangan jahil yang merampas sedikit
harta benda yang berlebihan untuk disalurkan pada orang-orang miskin!”
Panji terdiam mendengar kata-kata Warok Keling itu sementara itu Wiro
hanya bisa garuk-garuk kepala!
“Aku tidak bisa percaya akan penjelasan bahwa ada anak buahku terlibat
penculikan Larasati. Tetapi aku berjanji akan menyelidik. Jika betul anak buahku dia
akan kuhukum berat dan Larasati akan kembali padamu dengan selamat! Sekarang
kalian boleh meneguk minuman dan mencicipi hidangan!”
Wiro dan Panji segera mengulurkan tangan untuk mengambil tabung tuak
masing-masing. Tapi ketika diangkat ternyata tabung-tabung bambu itu tidak
bergerak sedikitpun. Seolah-olah melekat ke kayu meja. Semakin dikerahkan tenaga
untuk mengangkatnya semakin melekat keras kedua tabung bambu itu. Wiro dan
Panji segera maklum bahwa tuan rumah tengah menjajal kekuatan mereka. Kalau tadi
mereka hanya mengerahkan tenaga kasar atau tenaga luar maka kini diam-diam
keduanya mengerahkan tenaga dalam. Di atas kursinya Warok Keling yang tadi
tampak duduk sambil menyeringai kini kelihatan mengernyit. Keningnya dipenuhi
percikan keringat. Tubuhnya yang besar tampak bergetar. “Hem…. Dua anak muda
ini memiliki kekuatan tenaga dalam yang bukan main-main!” kata sang Warok dalam
hati. Dia lalu kerahkan seluruh tenaga dalamnya pula.
Tuak di dalam tabung bambu itu beriak seperti mendidih. Wiro dan Panji
merasakan tangan mereka seperti diserang hawa panas. Tapi keduanya tetap bertahan.
Di samping mereka perlahan-lahan tubuh Warok Keling tampak terangkat ke atas
sampai setinggi tiga jengkal. Wiro kedipkan matanya ke arah Panji. Kedua pemuda
ini tiba-tiba secara serentak lepaskan pegangan mereka pada tabung bambu. Dan
terjadilah satu hal yang hebat tapi lucu.
Karena tenaga dalam wang Warok kini lepas menghantam tempat kosong
maka tak ampun lagi tubuhnya yang tadi terangkat dengan tiba-tiba dan keras luar
biasa terbanting jatuh ke atas kursi yang didudukinya.
“Brak!”
Kursi kayu yang kokoh itu patah keempat kakinya. Tak ampun lagi tubuh
tinggi besar Warok Keling jatuh ke lantai!
Empat orang pengawal keluar dari ruangan dalam sambil menghunus golok
dan siap untuk menyerang Wiro dan Panji. Tapi Warok Keling cepat bersiri dan
tertawa mengekeh. Dia melambaikan tangannya pada keempat pengawalnya itu.
“Pergi saja! Tak ada apa-apa di sini. Kami hanya bersendau gurau! Ambillah
aku kursi baru!”
Walau ragu-ragu keempat orang pengawal itu segera ke dalam lalu keluar lagi
membawa kursi baru. Kursi yang patah mereka singkirkan.
Warok Keling seka keringat yang membasahi mukanya.
27 WIRO SABLENG
“Kalian orang-orang muda yang hebat. Kalau kalian mau, tadi kalian bisa
mengirimku ke akhirat. Kini cukup jlas bagiku. Kalian datang bukan mencari silang
sengketa. Ayo, lekas minum tuaknya. Cicipi talas rebus yang lezat itu!”
Wiro dan Panji segear ulurkan tangan kembali untuk mengambil tabung berisi
tuak. Setealh meneguk minuman yang lezat sejuk itu mereka mencicipi talas rebus
yang dihidangkan. Hanya sesaat setelah sepotong besar talas amblas masuk ke dalam
perut mereka, kedua pemuda itu mendadak merasakan mulut mereka menjadi gatal.
Makin digaruk makin gatal.
“Bibirmu bengkak besar!” kata Panji seraya menunjuk ke mlut Wiro.
“Mulutmu juga bengkak!” ujar Wiro pula.
Kedua pemuda itu sama-sama memegangi mulut masing-masing. Dan
menggaruk tiada henti. Lalu sama memandang pada Warok Keling dengan rasa curiga.
Sebaliknya sng Warok tertawa gelak-gelak.
“Warok, apa yang kau perbuat terhadap kami?!” tanya Wiro sambil mengusap
lagi bibirnya yang semakin melendung.
Gelak sang Warok semakin keras. “Dulu, waktu aku dan anak buahku pertama
kali makan talas, bibir kami bengkak dan gatal-gatal seperti kalian. Tapi lama
kelamaan kami jadi kebal karena terbiasa! Maaf saja kalau saat ini kalian mengalami
nasib sama. Itu bukan disengaja. Ha….ha….ha! Kalian berdua jangan marah pada
siapapun!”
Panji berdiri dari duduknya. Wiro mengikuti.
“Warok, kami minta diri…..”
“Silahkan. Aku gembira mendapat kunjungan kalian. Satu hal agar kalian
ketahui. Jika suatu waktu kalian ingin bergabung dengan kami, pintu selalu terbuka!”
Kedua pemuda itu menyeringai. Karena mulut mereka pada bengkak, ketika
menyeringai tampang-tampang mereka menjadi lucu dan ini membuat sang Warok
jadi terpingkal-pingkal!
28 DELAPAN
WIRO SABLENG
Keluar dari rimba belantara hujan deras turun memaksa Wiro dan Panji mencari
tempat untuk berlindung. Untungnya mereka menemukan sebuah gubuk reyot tak
jauh dari situ. Keduanya segera berteduh di dalam gubuk tanpa dinding dan atapnya
penuh lobang itu.
“Sobat, kurasa sekarang saat yang baik kau menuturkan riwayatmu. Kau
bilang terpaksa kabur dari Kuto Inggil enam tahun lalu. Lalu punya silang sengketa
dengan kerajaan dan Adipati Lumajang. Apa betul kau membunuh putera Pangeran
Sendoyo?”
Panji meraba rambutnya yang coklat yang kejatuhan tirisan air hujan.
Digelengkannya kepalanya. “Tidak, tidak betul. Ada orang yang mengatur fitnah.
Menjebakku demikian rupa hingga tuduhan jatuhan padaku. Aku akan ceritakan
padamu awal malapetaka enam tahun yang lalu itu…..”
Larasati bunga Kuto Inggil baru berusia lima belas tahun. Kecantikannya yang
memang luar biasa telah dibawa angin keharuman sampai di Kotaraja. Seorang
pangeran bernama Sendoyo yang mendengar kecantikan Larasati itu telah sengaja
menyempatkan diri untuk datang ke Kuto Inggil. Dia menemui Bibi Kanoman untuk
melamar Larasati agar dapat dipersunting oleh puteranya yang bernama Tayu
jenggolo. Bibi Kanoman yang maklum akan kekuasaan sang Pangeran tentu saja tak
berani menolak walau dia tidak suka akan lamaran itu. dia sudah sejak lama
mendengar bahwa putera Pangeran Sendoyo itu suka berjudi, penyabung ayam, suka
mengganggu anak istri orang dan pantat botol alias suka minuman keras. Secara halus
dia menyerahkan persoalannya pada Larasati. Si gadis, yang sebenarnya telah
menjalin cinta dengan Panji Argomanik dengan tegas menolak lamaran itu.
Sang Pangeran kembali ke Kotaraja dengan perasaan malu, tersinggung dan
marah. Diam-diam dia berusaha mencari jalan untuk mendapatkan Larasati,
bagaimanapun caranya. Untuk itu dia meminta bantuan Dirgo Sampean, adipati
Lumajang yang membawahi Kuto Inggil. Dirgo Sampean mau membantu karena
dijanjikan akan diberikan satu kedudukan tinggi di Istana kelak.
Hari itu merupakan hari pasar di Kuto Inggil. Pasar raya yang berlangsung di
alun-alun ramai dikunjungi orang. Rumah makan dan tempat-tempat minum penuh
oleh manusia. Para perjaka dan para gadis mempergunakan hari ini sebagai
kesempatan untuk bertemu dan berhandai-handai.
Siang itu Panji memerlukan datang ke pasar untuk mencari seorang teman
karibnya. Belum sampai ke pasar di tengah jalan dia berpapasan degnan Tayub
Jenggolo diiringi oleh tiga orang temannya. Keempat pemuda itu sedang mabuk
sehabis menenggak banyak minuman di satu rumah minum. Tapi yang terparah
adalah putera Pangeran Sendoyo itu.
Begitu melihat Panji, Tayu Jenggolo seperti kemasukan setan dan berteriak
marah. Dia mencaci maki Panji dengan kata-kata kotor. Walau telinga dan hatinya
jadi panas mendengar caci maki itu namun karena tahu Tayub Jenggolo sedang
mabuk maka Panji tidak melayani. Dia terus saja melangkah menuju ke pasar. Tapi
begitu berhadap-hadapan tiba-tiba Tayub Jenggolo mencabut sebuah pisau besar dari
pinggangnya.
Panji Argomanik terkejut sekali ketika melihat pisau yang digenggam Tayub
Jenggolo adalah pisau miliknya yang diketahuinya telah hilang sejak tiga hari lalu.
29WIRO SABLENG
“Aneh, bagaimana pisau itu bisa berada di tangan putera Pangeran ini?” pikir
Panji. Tapi pemuda ini tidak bisa berrpikir lebih jauh karena saat itu Tayub sudah
menyerangnya. Dengan cepat Panji mengelak.
Tayub membalik, “Bangsat kau Panji! Kau yan hendak merampas Larasati
dari tanganku! Kau tak bakal dapat memperistrikannya! Kau akan kawin dengan
cacing-cacing tanah di liang kubur! Kau boleh bawa gelar besarmu Singa Gurun
Bromo itu ke liang kubur!”
Tayub Jenddolo kembali menyerbu. Karena saat itu dia sedang mabuk dan
Panji sendiri sudah menguasai ilmu silat dari seorang sakti yang diam di sebuah goa
di Gurun Bromo sehingga dia mendapat julukan Singa Gurun Bromo, dengan mudah
Panji menghadapi setiap serangan lawan. Sementara itu tiga orang kawan Tayub
Jenggolo yang juga dalam keadaan mabuk berteriak-teriak ketakutan. Ketiganya lalu
melarikan diri entah kemana.
Beberapa lama kemudian, seorang pedagang sayur yang tengah memikul
dagangannya ke pasar menemukan sosok Tayub Jenggolo tergeletak di tengah jalan
dalam keadaan mandi darah. Muka dan beberapa bagian tubuhnya penuh dengan
luka-luka. Sebuah pisau besar- pisau milik Panji Argomanik menancap di pertengahan
dadanya! Panji sendiri lenyap entah kemana!
Setelah kejadian itu serombongan pasukan dari kadipaten mendatangi rumah
kediaman Panji. Ketika mereka tidak menemukan si pemuda di sana maka mereka
menangkap ayah Panji Argomanik. Di sebuah rumah kayu mereka menyekap orang
tua itu, menyiksanya setiap hari. Di luar disebar kabar jika Panji tidak muncul
menyerahkan diri maka ayahnya akan dijadikan tumbal di tiang gantungan.
Suatu pagi Panji Argomanik akhirnya muncul di kadipaten untuk
menyerahkan diri. Ayahnya dilepas. Tapi dua hari kembali ke rumah, orang tua ini
menghembuskan nafas karena luka-luka dan cidera berat yang dideritanya. Kabar
kematian ayahnya itu disampaikan seorang kawan Panji di tempat dia disekap. Panji
seperti hendak gila. Apalagi ketika dia mendengar bahwa dirinya akan digantung
dalam dua hari mendatang. Kesalahannya telah terbukti pisau yang menancap di
tubuh Tayub Jenggolo adalah pisau miliknya. Lalu ada seorang pedagang di Kuto
Inggil bernama Janar Gandewo memberi kesaksian bahwa dia melihat memang Panji
Argomanik yang menusukkan pisau ke tubuh Tayub jenggolo….
Selama satu hari satu malam Panji bersemedi meminta petunjuk pada Yang
Kuasa. Suatu malam seperti mendapat kekuatan gaib, pemuda ini menghancurkan
dinding papan tebal dan kokoh ruang tahanannya. Dia menghantam roboh dua orang
pengawal di tempat itu. Lalu dengan seekor kuda curian dia melarikan diri menuju ke
Utara.
Larinya Panji Argomanik segera dilaporkan kepada Adipati Lumajang.
Rombongan pengejar yang terdiri dari dua puluh perajurit dipimpin langsung oleh
Adipati Dirgo Sampean. Karena mereka memiliki seorang ahli pencari jejak maka
larinya Singa Gurun Bromo segera dapat diketahui. Di pedataran pasir sebelah Utara,
rombongan pengejar berhasil mengejar pemuda itu. Di satu tempat Panji Argomanik
dikurung lalu dikeroyok. Panji mengamuk hebat untuk mempertahankan diri dan
kehormatannya. Tapi musuh terlalu banyak dan Adipati Dirgo ternyata memiliki
kepandaian tinggi pula. Meskipun berhasil merobohkan enam orang perajurit yang
mengeroyoknya namun dalam keadaan mandi darah pemuda itu akhirnya jatuh
tersungkur di tanah.
Adipati Dirgo Sampean menyambar tombak yang tersisip di leher kudanya
lalu melompat turun. Tombak itu dihujamkannya ke arah tenggorokan Panji
Argomanik yang berada dalam keadaan tak berdaya antara sadar dan tiada.
30 WIRO SABLENG
Sesaat lagi mata tombak akan menembus leher Panji tiba-tiba sebauh benda
bulat menghantam pertengahan batang tombak hingga senjata itu patah dua dan
terlepas mental dari genggaman Adipati Dirgo Sampean. Sang Adipati merasakan
tangannya seperti disengat api. Penuh rasa kejut dia memandang sekeliling. Hal sama
juga dilakukan oleh para perajurit yang ada di tempat itu. Mereka semua melihat ada
seorang tua berjubah putih berambut panjang putih yang melambai-lambai ditiup
angin. Orang tua itu duduk di atas punggung seekor kuda hitam. Tapi mereka hanya
melihat sekejapan saja. Karena ketika orang tua itu memukulkan kedua tangannya ke
depan, terdengar deru keras seperti munculnya topan prahara. Pasir gurun
beterbangan menutupi pemandangan Adipati Dirgo dan semua perajurit yang ada di
sana berusaha bertahan dengan susah payah agar tubuh mereka tidak roboh.
Pemandangan mereka tertutup oleh pasir-pasir yang beterbangan.
Ketika gelombang angin mereda dan pasir yang beterbangan luruh ke tanah
kembali semua orang terkejut. Tubuh Panji Argomanik yang tadi tergeletak di atas
pasir tak ada lagi di situ. Memandang ke arah kiri mereka dapatkan kakek
penunggang kuda hitampun sudah lenyap entah kemana!
Para perajurit yang ada di tempat itu jadi merinding. Adipati Dirgo Sampean
diam-diam ikut merasa takut. Dia memang tidak penah mendengar adanya setan atau
hantu gurun pasir. Tetapi kalau bukan setan mana mungkin orang tua itu bisa muncul
dan lenyap bersama hilangnya tubuh Panji.
“Pasukan! Kita kembali ke Lumajang!” seru Adipati itu pada para perajuritnya.
Ketika siuman, mula-mula Panji merasa heran dan bertanya-tanya dimana dia
berada saat itu. Secara perlahan-lahan begitu ingatannya pulih kembali dia segera
mengenali tempat itu dan ingat kalau dulu dia pernah berada di situ selama beberapa
tahun. Dengan mengumpulkan tenaga walau sekujur tubuh dan persendiannya terasa
sakit Panji berusaha bangkit. Dia memandang berkeliling. Dia hanya sendirian dalam
goa itu.
“Guru….?!” Suara Panji bergema dan memantul pada dinding-dinding goa.
Di ruang sebelah dalam goa batu yang terletak di gurun pasir Bromo itu
terdengar suara batuk-batuk. Lalu sesosok tubuh tua muncul.
“Kau sudah siuman Panji….?”
“Sudah guru. Saya tahu pasti. Guru yang telah menyelamatkan saya dari
orang-orang itu….. Saya berterima kasih padamu guru.”
“Berterima kasih pada Tuhan. Dia yang masih memanjangkan umurmu,” kata
orang tua sambil memegang bahu muridnya. Lalu dia bertanya. “Mengapa mereka
mengejar dan ingin membunuhmu?”
Panji lalu menceritakan apa yang terjadi.
Si orang tua menarik nafas panjang. “Ada orang atau orang-orang yang
sengaja menjebakmu muridku. Dan kau belum sanggup menghadapi mereka. Jika kau
berani muncul di Kuto Inggil, mereka akan membunuhmu!”
“Saya mohon petunjukmu guru.”
Si orang tua tersenyum kecut. “Itu sebabnya dulu kukatakan padamu, kalau
berguru jangan kepalang tanggung. Belum selesai semua kepandaia kuwariskan
padamu kau sudah seperti anak kecil minta-minta diizinkan pulang. Tenaga dalammu
masih rendah. Ilmu meringankan tubuhmu masih cetek. Kau memang telah
menyandang julukan hebat. Singa Gurun Bromo. Tapi kau hanya keberatan gelar
muridku!”
“Maafkan segala tindakan saya di masa lampau guru.” Kata Panji. “Kalau
guru tidak keberatan saya ingin menyambung pelajaran lagi di sini….”
31 WIRO SABLENG
“Pengalaman pahit itu rupanya menjadi guru terbaik bagimu. Mungkin kau
memang berjodoh untuk meneruskan pelajaran silatmu di sini. Kau akan kugembleng
selama enam tahun. Jika kau berani minta pergi hanya ada satu syarat dariku. Aku tak
akan mengajarkan apa-apa lagi padamu. Dan aku tidak ingin melihat mukamu lagi!”
“Saya berani mematuhi semua peraturan guru….” Jawab Panji.
“Kalau begitu kau teruskan dulu beristirahat. Besok pagi-pagi pelajaran
pertama akan dimulai.”
“Terima kasih guru,” kata Panji Argomanik. Dipegangnya tangan orang tua itu
lalu diciumnya penuh hormat dan terima kasih.
Hujan deras telah berhenti. Kini udara dingin luar biasa datang menyungkup.
Pendekar 212 Wiro Sabelng rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
“Nah, itu kisahku enam tahun lalu,” kata Panji menyudahi riwayatnya. “Kini
aku muncul untuk meluruskan segala tuduhan keji itu. Aku harus mencari tahu siapa
biang racun di balik semua kejadian ini. Aku curiga terhadap Pangeran Sendoyo.
Kematian ayahku perlu aku balaskan. Dan yang paling penting aku harus segera
menemukan Larasati kembali!”
“Kau tidak menceritakan tentang ibumu setelah ayahmu meninggal.” Kata
Wiro.
“Ah, itu satu sisi gelap lagi dari kehidupanku yang malang. Waktu aku masih
mengikuti guru, aku mendapat kabar dari seseorang. Beliau menyusul ayah sebulan
kemudian.”
Wiro terdiam sesaat. “Boleh aku tahu siapa nama gurumu itu?”
“Dia tidak pernah memberitahu namanya. Dia memiliki gelar sama denganku.
Singa Gurun Bromo. Ketika dia melepas aku enam tahun lalu, dia menyuruh aku
memakai gelar itu.”
Sunyi sesaat di dalam gubuk itu. “Kita harus berangkat sekarang Wiro.”
“Ya. Tapi kemana tujuan kita?”
“Aku akan mencari Janar Gandewo pedagang keliling yang memberi
kesaksian palsu itu.”
Pendekar 212 mengangguk. Kedua pemuda itu lalu naik ke atas kuda masing-
masing.
32 SEMBILAN
WIRO SABLENG
Hari hampir malam ketika mereka emmasuki Kuto Inggil dari arah Selatan.
Setelah melewati sebuah lereng bukit yang ditumbuhi pohon-pohon karet keduanya
menemui sebuah kali kecil. Sebelumnya kali ini merupakan parit kering akibat musim
panas yang panjang. Kini setelah hujan turun kali itu tampak berair kembali walaupun
sangat dangkal dan kotor.
Panji Argomanik menunggangi kudanya di sebelah depan diikuti oleh
Pendekar 212 dari belakang. Di kejauhan kelihatan nyala sebuah lampu minyak.
“Itu rumah Janar Gandewo,” kata Panji seraya menunjuk ke arah lampu. Lalu
dia mempercepat lari kudanya. Di satu tempat kira-kira lima puluh langkah dari
rumah kecil di daerah terpencil itu Panji turun dari kudanya. Dia memberi isyarat
pada Wiro agar terus mengikuti dengan jalan kaki. Tinggal beberapa belas langkah
lagi dari rumah yang dituju Wiro berbisik.
“Kau duluan saja Panji. Aku mau kencing dulu….. Dari tadi aku berusaha
menahan. Sekarang tak sanggup lagi!”
“Sialan! Ada-ada saja kelakuanmu!” maki Panji jengkel sekali. Dia tidak lagi
memperdulikan Wiro dan bergerak sendirian dalam rumah kecil yang lantainya
berkolong rendah.
“Ada nyala lampu berrarti ada orangnya,” kata Panji dalam hati. Dia
melangkah ke pintu depan lalu berseru. “Janar Gandewo! Aku mencarimu! Lekas
keluar!”
Tak ada jawaban dari dlam rumah itu.
“Janar!”
“Si…..siapa di luar?!” Tiba-tiba ada yang bertaya dari dalam rumah.
“Aku Panji Argomanik!”
“Tung…..tunggu sebentar…”
“Suaranya seperti gemetar dan gagap. Ada sesuatu yang ditakutinya,” kata
Panji dalam hati. Dia menunggu sesaat. Tiba-tiba nyala lampu dalam rumah padam.
Panji jadi curiga dan melompat ke balik sebatang pohon. Dia tak menunggu lama.
Pintu belakang rumah kecil kelihatan terbuka lalu seorang lelaki bertubuh tinggi
langsung melompat keluar, dengan cepat menyelinap hendak melarikan diri. Panji
segera mengejar dan menghadang. Sekali sergap saja dia berhasil membengbeng leher
pakaian orang itu.
“Mau kabur ke mana Janar?!”
“Si….siapa bilang aku mau kabur…..?” Janar Gandewo si pedagang keliling
menjawab tapi jelas dia berdusta dan sangat ketakutan.
Panji tarik leher pakaian orang itu lalu membantingkannya hingga
punggungnya terhempas ke dinding rumah. Janar Gandewo merintih kesakitan.
Tulang punggungnya seperti luluh. “Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini…..?”
“Ini belum seberapa!” kertak Panji. “Aku tak segan-segan menghancurkan
batok kepalamu!”
“A…..apa salahku?!”
“Keparat! Kau pandai berpura-pura!” Tangna kiri Panji bergerak meninju
muka Janar Gandewo hingga bibirnya pecah dan dua giginya rontok! Janar meraung
kesakitan. “Kau mau minta mampus sekarang juga?!” bentak Panji lalu kedua
tangannya dicekikkan ke leher orang itu.
“Jang….jangan….. Jangan bunuh aku. Apa salahku…..”
33 WIRO SABLENG
“Siapa yang menyuruhmu memberi kesaksian palsu enam tahun lalu. Kau
bersaksi melihat aku membunuh Tayub Jenggolo putera Pangeran Sendoyo!”
“Aku…..”
“Bangsat! Jawab cepat!” Panji angkat lagi tangan kanannya.
“Aku…. Aku terpaksa. Aku disuruh. Kalau tidak kemaluanku akan dipotong!
Aku akan dikebiri!”
“Siapa yang menyuruhmu? Siapa yang mau mengebirimu?!” teriak Panji.
“Walang Daksi…..”
“Walang Daksi….? Dukun Iblis di Lembah Waru?!”
Janar Gandewo mengangguk.
“Aku tidak percaya! Kau membual! Biar kupatahkan batang lehermu saat ini
juga!”
“Aku tidak dusta! Aku tidak berbohong Panji. Aku tahu Walang Daksi juga
disuruh orang lain….”
“Siapa?!”
“Su…..Sur……”
Belum sempat Janar Gandewo menyebutkan sabuah nama tiba-tiba terdengar
suara berdesing. Panji berpaling. Sebatang anak panah melesat dan menancap tepat di
mata kiri Janar Gandewo. Orang ini meraung setinggi langit. Lidahnya terjulur.
Mukanya kelihatan menjadi biru.
“Panah beracun!” desis Panji serta merta lepaskan cekikannya. Tubuh Janar
terkulai lalu roboh ke tanah tanpa nyawa lagi!
Dalam keadaan masih terkesiap Panji tidak menyadari bahwa saat itu sebuah
anak panah lagi melesat dan kali ini sasarannya adalah dirinya sendiri. Dia mendengar
suara berdesing namun perhatiannya masih tertuju pada kematian Janar hingga dia
bertindak lengah. Sesaat lagi anak panah itu akan menancap di punggungnya tiba-tiba
sebuah benda hitam melesat dalam kegelapan malam, memotong luncuran anak panah
dan trak! Anak panah mental patah dua. Panji melompat. Saat itulah dia baru sadar
kalau dirinya baru saja terlepas dari bahaya maut!
Sesosok tubuh melompat ke hadapan panji. Pemuda bergelar Singa Gurun
Bromo ini berkelebat dan siap untuk menghantam. Tapi dia cepat tarik serangannya
ketika dilihatnya yang datang adalah Wiro.
“Ada untungnya aku kencing tadi,” kata Pendekar 212. “Kalau tidak mungkin
kita berdua sudah jadi mayat. Yang dituju si pembokong adalah kau, bukan kunyuk
jangkung itu!” Lalu Wiro membungkuk mengambil sebuah benda yakni batu hitam
sakti yang merupakan pasangan kapak Maut Naga Geni 212.
Selain memungut batu hitamnya Wiro juga mengambil patahan anak panah
yang tadi dihantamnya dengan batu hitam itu.
“Aku mengenali mata panah ini. Bagaimana pendapatmu, Sobat?” tanya Wiro.
Panji memperhatikan anak panah itu. Dia juga segea mengenali “Sama dengan
anak panah milik orang-orangnya Warok Keling….” Katanya. “Berarti bangsat itu
memang terlibat dalam urusan ini! Keparat!” dalam amarahnya Panji kemudian ingat.
“Terima kasih. Kau telah menyelamatkan jiwaku.” Dia memandang ke arah
mayat Janar Gandewo. “Manusia sialan itu tadi menyebutkan nama seseorang. Orang
yang katanya menyuruh dia melakukan kesaksian palsu. Sur…… entah Sur siapa. Dia
juga menyebutkan nama seorang dukun di Lembah Waru. Aku akan mencari dukun
itu sekarang juga!”
“Kau dengar suara derap kaki kuda di kejauhan itu?”
“Ya…..”
“Apa maksudmu Wiro?”
34 WIRO SABLENG
“Itu derap kaki kuda si pembokong. Dia belum lari jauh. Kita masih punya
kesempatan untuk mengejarnya! Kau harus memilih satu di antara dua. Mengejar si
pembokong atau pergi ke Lembah Waru.”
“Si pembokong itu lebih dulu!” jawab Panji.
“Tepat!” sahut Wiro seraya acungkan ibu jari tangan kanannya. Kedua
pendekar ini segera berkelebat ke tepat di mana mereka meninggalkan kuda
sebelumnya.
Di malam yang gelap dan dingin itu memang tidak mudah untuk mengejar
seseorang yang melarikan diri dengan menunggang kuda. Satu-satunya petunjuk ke
arah mana larinya si pembokong adalah suara derap kaki kudanya. Tapi celakanya di
satu tempat suara derap kaki kuda orang yang dikejar itu lenyap!
“Keparat!” maki Panji. “Dia menghilang!”
Pendekar 212 tidak menjawab. Telinganya dipasang baik-baik. “Aku
mendengar suara kaki-kaki kuda di air….”
“Kau ingat kali kecil itu?!” ujar Panji.
“Dia pasti tengah menyebrangi kali dangkal itu! Pantas derap kaki kudanya
lenyap. Ayo kita kejar!”
Kedua pendekar ini memacu kuda masing-masing ke arah kiri. Tak lama
kemudian mereka sampai di satu tempat ketinggian. Di bawah sana keliahtan kali
kecil berair dangkal. Di seberang kali tampak seorang penunggang kuda baru saja
menyeberangi kali itu.
“Itu bangsatnya!” kertak Panji. “Aku akan memintas jalannya dari arah kiri.
Kau memotong dari arah kanan. Dia pasti tidak bisa lolos. Apalagi di seberang sana
merupakan kawasan terbuka!”
Panji membedal kudanya. Wiro menyentakkan tali kekang tunggangannya.
Kedua orang ini melesat dalam kegelapan malam. Selewatnya kali dangkal mereka
berpencar menggunting larinya orang yang mereka kejar dari dua arah. Tepat di
pertengahan pelataran terbuka, Panji telah berada di depan, Wiro menjepit dari
belakang.
Orang yang dikejar mengenakan pakaian ringkas warna gelap. Kepalanya
ditutupi sebuah topi berbentuk aneh dan wajahnya tersembunyi di balik sehelai cadar.
Tahu kalau ada dua orang mengejarnya si penunggang kuda tadi segera membelok ke
kiri dan memacu kudanya sepanjang lereng pedataran. Namun dia tidak bisa lari jauh
karena dalam waktu singkat Wiro dan Panji berhasil mengejarnya. Dari jarak sepuluh
langkah di sebelah kiri, Singa Gurun Bromo yang sudah tidak tahan lagi lepaskan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Yang diarah adalah
pinggang orang itu.
Selarik angin keras menderu. Membabat ke arah pinggang laksana sambaran
sebilah mata pedang. Inilah pukulan sakti yang disebut Kilat Manyapu Gurun Bromo.
Jangankan tubuh manusia, batang pohon pun akan terbabat putus bila kena hantaman
pukulan sakti ini!
Rupanya orang di atas kuda sudah tahu kalau dirinya terancam maut. Dari
balik cadarnya dia keluarkan suara mendengus. Lalu tubuhnya tiba-tiba melesat ke
atas. Serangan Singa Gurun Bromo lewat di bawah kedua kakinya. Hebatnya, karena
kedua tangannya masih memegang tali kekang kuda, ketika melompat turun kembali
dia membuat gerakan jungkir balik, di lain kejap dia sudah duduk kembali di atas
pelana kuda dan menghambur menjauhi kedua pengejarnya.
Pendekar 212 leletkan lidah mengagumi kehebatan orang itu. Sebaliknya Panji
Argomanik walaupun terkesiap tapi kemarahannya memuncak. Sebenarnya dia harus
dapat menangkap orang ini hidup-hidup untuk mendapatkan keterangan mengapa dia
35 WIRO SABLENG
memanah mati Janar Gandewo lalu hendak membunuh dirinya pula. Tetapi amarah
lebih mempengaruhi hingga Panji ingin membunuh orang ini saat itu juga!
Begitu serangan pertamanya gagal Singa Gurun Bromo menggebrak kudanya
dan mengejar kembali. Tapi sekali ini gerakannya tertahan karena sambil melarikan
diri orang yang dikejar lambaikan tangan kanannya. Puluhan benda sebessar-besar
pasir beterbangan di udara mengeluarkan kilauan aneh.
“Awas pasir beracun!” teriak Pendekar 212 yang mengenali apa adanya
benda-benda yang melesat ke arah sahabatnya itu.
Singa Gurun Bromo menggertak marah. Tangan kanannya diangkat.
“Wusss!” Satu gelombang sinar putih kebiruan menderu dahsyat. Pasir
beracun tersapu habis. Sinar serangan Panji Argomanik terus menerpa ke arah orang
bercadar. Orang ini cepat angkat tangan kanannya guna melepaskan pukulan tangan
kosong. Dua kekuatan dahsyat saling bentrokan di udara. Terdengar suara berdentum
disusul oleh suara ringkikan tiga ekor kuda!
Singa Gurun Bromo merasakan sekujur tubuhnya seperti tergontai-gontai
sedang kuda tunggangannya menjadi liar dan meringkik tiada henti. Pendekar 212
yang berada tak jauh dari Panji dan sempat tersapu angin serangan juga merasakan
getaran hebat menjalari tuuhnya. Kuda tunggangannya seperti sempoyongan dan
meringkik beberapa kali.
Yang bernasib buruk adalah orang yang dikejar tadi. Tubuhnya terhempas ke
samping lalu jatuh ke tanah. Kudanya meringkik keras dan lari meninggalkannya.
Puluhan langkah di depan sana baru binatang ini berhenti. Melihat orang buruannya
jatuh ke tanah, Singa Gurun Bromo segea melompat turun dari atas kuda dan
kirimkan tendangan ke arah dada orang itu. Yang diserang gerakkan tangan kanannya
ke pinggang.
“Wuut!”
Lalu sebilah golok menyambar tak terduga. Ujungnya menderu di perut Singa
Gurun Bromo membuat pendekar ini terkejut dan cepat melompat. Tak urung
sebagian bajunya di sebelah perut masih kena tersambar ujung senjata lawan hingga
robek.
Singa Gurun Bromo melompat mundur sambil pegangi perutnya. Parasnya
berubah mengelam tanda amarahnya sudah mencapai di puncaknya. Di depannya
orang bercadar tegak sambil putar-putar goloknya. Dalam gelapnya malam senjata itu
lenyap dari pemandangan hanya suaranya saja yang terdengar menderu-deru.
Selangkah demi selangkah, sambil terus memutar goloknya orang ini mendekati Singa
Gurun Bromo. Tiba-tiba dia menyergap ke depan. Goloknya berkiblat dalam satu
bacokan deras. Singa Gurun Bromo mundur satu langkah. Kedua lututnya menekuk.
Bersamaan dengan itu kedua tangannya menyusup ke atas. Begitu dia berhasil
mencekal lengan yang memegang golok itu secepat kilat dia jatuhkan dirinya ke tanah.
Kaki kanannya menendang ke arah perut lawan. Orang bercadar terangkat ke atas lalu
tertarik keras. Goloknya terlepas dan tubuhnya terbanting ke tanah. Dari balik cadar
terdengar suara pekikan. Suara pekik perempuan!
36 SEPULUH
WIRO SABLENG
Pendekar 212 dan Singa Gurun Bromo tentu saja tersentak kaget begitu mendengar
suara jeritan orang itu adalah suara perempuan. Sekali lompat saja Singa Gurun
Bromo sudah berdiri di samping tubuh yang tergeletak di tanah becek. Kaki kanannya
menginjak leher lalu dia membungkuk dan membetot lepas cadar yang menutupi
wajah orang itu.
“Kau!” keluar teriakan kaget dari mulut Panji Argomanik alias Singa Gurun
Bromo. Pendekar 212 sendiri tertegun dengan mulut ternganga seperti tak percaya
pada penglihatannya. Akhirnya dia hanya bisa garuk-garuk kepala.
“Jadi kau rupanya! Bapaknya perampok besar. Ternyata anaknya juga
penjahat keji! Mengapa kau hendak membunuhku?! Mengapa kau membunuh Janar
Gandewo! Pasti bapakmu yang menyuruh!”
“Mulutmu lancang! Belum tahu urusan sudah mendamprat! Jika kau ada
persoalan denganku jangan hina orang tuaku!” bentak perempuan yang tergeletak di
tanah dan lehernya masih diinjak oleh Singa Gurun Bromo. Dia bukan lain adalah
Jayengsari, puteri Warok Keling, raja diraja para perampok!
“Baik! Sekarang jawab dulu pertanyaanku tadi. Kalau kau tidak menjawab
kuinjak hancur batang lehermu!” ancam Singa Gurun Bromo.
“Siapa yang hendak membunuhmu? Siapa itu Janar Gandewo?” balik
membentak Jayengsari. Lalu dengan mata membelalang gadis ini berkata. “Aku itdak
takut mati! Kau mau bunuh aku saat ini juga silahkan! Ayo injak leherku!”
“Akalmu selicik akal bapak moyangmu!”
“Kurang ajar! Kalau kau punya nyali lepaskan injakanmu. Mari kita berkelahi
sampai seratus jurus! Buktikan bahwa kau yang punya gelar Singa Gurun Bromo
bukan seorang pendekar banci yang hanya berani melawan perempuan!”
Amarah Singa Gurun Bromo jadi mendidih lagi mendengar kata-kata
Jayengsari itu. “Manusia sepertimu tidak perlu dihormati! Matipun kau aku tak
merugi! Nah, mampuslah!”
Singa Gurun Bromo injakkan kaki kanannya kuat-kuat ke leher si gadis.
Namun sebelum hal itu terjadi, murid Eyang Sinto Gendeng cepat mendorongnya
hingga injakkannya lepas dan tubuhnya terhuyung-huyung.
“Wiro! Kau hendak membelanya?! Kau bersekutu dengan gadis iblis ini?!”
teriak Singa Gurun Bromo marah.
“Tenang Panji, sabar dulu sedikit,” kata Wiro. “Apa untungku membela gadis
cantik ini…..!”
“Gila! Kau masih bisa menyebut gadis yang hendak membunuh sahabatmu ini
dengan kata-kata gadis cantik!” semakin naik darah Singa Gurun Bromo mendengar
pujian Wiro itu.
“Aku tidak memujinya berlebihan sobat. Tapi memang kenyataannya dia
cantikkan?” Wiro berpaling pada si gadis sambil kedipkan matanya dia berkata.
“Jayeng, berdirilah….”
Puteri Warok Keling itu tampak merengut walau hatinya sempat berbunga-
bunga mendengar pujian Wiro atas kecantikan wajahnya.
“Wiro, katakan apa maumu?!” tanya Panji Argomanik dengan suara bergetar
menahan amarah.
“Dengar Panji, aku punya dugaan bukan dia yang membunuh janar Gandewo
dan juga bukan dia yang tadi hendak membunuhmu dengan panah beracun itu!”
37 WIRO SABLENG
“Hebat! Bagaimana kau bisa berkata begitu sobatku?!”
“Kau lihat sendiri. Dia tidak membawa busur ataupun kantong panah!”
“Aku sudah katakan. Gadis seperti dia sudah terdidik untuk berbuat jahat dan
mengandalkan tipu daya! Bisa saja dia membuang busur dan kantong panahnya di
tengah jalan!”
Jayengsari terdengar mendengus. Saat itu dia sudah berdiri di hadapan Wiro
dan Panji. “Aku memang tidak membawa panah dan busur!” katanya.
“Baik! Sekarang katakan bagaimana kau tahu-tahu muncul di tempat ini! Apa
keperluanmu! Kalau kau memang tidak berniat jahat mengapa melarikan diri ketika
kami kejar dan mengapa kau menyerang kami? Dengar, anak panah yang membunuh
Janar Gandewo jelas anak panah buatan komplotan ayahmu!”
“Soal panah memanah aku tidak menahu. Perduli setan! Aku tak mau
membicarakannya! Aku tidak tahu kalau kalian tadi yang mengejarku! Aku
menyerangmu karena menyangka kalian orang-orang jahat!”
“Kau dengar Wiro. Seorang anak penjahat enak saja mengatakan kita orang-
orang jahat!”
“Jangan tolol!” bentak Jayengsari. “Malam begini gelap dan kalian tahu-tahu
muncul di belakangku!”
“Kalau kau tidak bermaksud culas mengapa kau menutupi wajahmu dengan
cadar?!” sentak Singa Gurun Bromo.
“Hem…… Kau ingin tahu sebabnya? Jika kau punya saudara perempuan apa
kau merasa tenang mengetahui dia berjalan seorang diri dalam pakaian dan dandanan
perempuan?!”
Panji Argomanik terdiam.
“Jayeng,” Wiro menengahi. “Coba katakan saja mengapa kau ada di sini.
Kalau memang bukan kau yang membunuh Janar Gandewo, mungkin kau tau siapa
pelakunya?”
“Aku, aku ditugaskan ayah ke Kuto Inggil.” Jawab gadis itu. “Sebetulnya
bukan ditugaskan. Tapi aku sendiri yang minta…..”
“Apa keperluanmu ke Kuto Inggil?” tanya Wiro pula. Kelihatannya si gadis
mau dan lebih terbuka bicara dengannya. Hal ini membuat Panji Argomanik menjadi
tidak sabaran dan merasa sangat jengkel terhadap sahabatnya itu.
“Aku sebenarnya bermaksud menemui kalian guna menyampaikan pesan
ayah.” Jawab Jayengsari. “Jejak kalian berhasil kuketahui dan kuikuti sampai di
tempat kediaman Janar Gandewo. Aku sampai di situ ketika seorang penunggang
kuda berusaha melarikan diri. Kurasa dialah yang membunuh pedagang keliling itu
dan juga hendak membunuhmu….”
“Kau mengarang cerita!” potong Singa Gurun Bromo.
“Kalau kau berpendapat begitu boleh saja! Penjelasanku cukup sampai di sini.
Kau pendekar gagah bergelar hebat. Silahkan kau selesaikan sendiri urusanmu!”
Jayengsari segera membalikkan diri. Tapi Wiro cepat menghampirinya dan
memegang lengannya.
“Jangan pergi dulu. Kau jangan marah padaku…..” kata Wiro membujuk.
“Aku tidak marah padamu. Tapi jengkel pada manusia satu itu. Tidak tahu
ditolong orang malah memaki, menuduh dan mendamprat seenaknya!” jawab
Jayengsari.
“Maafkan dia. Pikirannya sedang kalut…..” Wiro enak saja menciumi jari-jari
tangan gadis itu. Jayengsari cepat menariknya sambil berseru. “Ihhhh!” Murid Eyang
Sinto Gendeng menyengir. Dia yakin kalau Panji tak ada di situ si gadis pasti akan
senang dipegang dan dicium.
38 WIRO SABLENG
“Kau sama saja kurang ajarnya dengan dia. Malah lebih kurang ajar!” bentak
Jayengsari.
Wiro menyengir lagi. “Aku hanya bergurau,” katanya. Lalu, “Sekarang coba
kau katakan apa pesan ayahmu itu. Pesan untuk sahabatku Panji atau untukku sendiri?
Ah, kalau pesan itu untukku aku berharap-harap ayahmu memanggilku mungkin
untuk membicarakan soal perjodohan kita!”
Jayengsari terpekik marah sedang Panji Argomanik segera membentak.
“Wiro! Tidak pantas dalam keadaan seperti ini kau masih bisa membanyol!”
Wiro senyum-senyum. “Banyolanku tadi memang tidak lucu,” katanya. Dia
berpaling kembali pada Jayengsari. “Kau mau meneruskan keteranganmu tadi?”
Jayengsari tampak merengut. Namun kemudian dia melanjutkan
keterangannya. “Aku berusaha mengejar orang yang membunuh dengan panah itu.
Tapi dia keburu melarikan diri. Kudanya kencang sekali. Tungganganku yang sudah
keletihan tidak berhasil mengejarnya. Di seberang kali kecil dia menghilang. Justru
begitu dia lenyap kalian berdua muncul mengejarku!”
“Sayang bangsat itu lolos. Tapi mungkin kau dapat mengenali sosok atau
perawakannya meskipun gelap?” tanya Wiro.
“Wajahnya memang tidak sempat kulihat. Tapi potongan tubuhnya aku
hampir yakin dia adalah Daruka…..”
“Siapa Daruka?” tanya Wiro.
“Salah seorang anak buah ayahku. Dialah yang dicurigai melakukan
penculikan atas diri Larasati. Tapi nyatanya nanti ceritanya jadi lain…..”
“Hemmmm…. Kalau begini jelas ada seseorang di belakang Daruka.” Kata
Wiro.
“Menurut Janar Gandewo sebelum mati, dia disuruh oleh Walang Daksi.
Walang Daksi disuruh oleh Suryaning. Lalu mengapa Daruka membunuh Janar dan
ingin membunuhku juga? Berarti bukan Suryaning yang menyuruh Daruka! Tapi
seorang lain. Mungkin Pangeran Sendoyo?” Panji memandang pada Wiro.
Wiro menggeleng. “Sang Pangeran punya kelompok sendiri. Dua tokoh silat
Istana dan dua perwira kerajaan itu. berarti ada orang lain Panji. Aku mulai mencium
baunya. Nanti saja kukatakan. Mungkin kau akan tahu dengan sendirinya. Sekarang
kita harus mencari tahu di mana Suryaning menyekap Larasati.” Wiro memandang
pada puteri Warok Keling itu. Kelihatannya si gadis masih jengkel. Maka Wiro
mengalihkan pembicaraan. “Kau masih meneruskan keteranganmu yang terputus
tadi?”
“Tak lama setelah kalian pergi ayah segera mengadakan pertemuan dengan
kepala-kepala kelompok untuk menyelidiki siapa di antara para anggota yang berada
di luar perkampungan. Kemudian segera diketahui bahwa seorang anak buah ayah
sejak beberapa waktu lalu tidak ada di kampung. Namanya Daruka. Dia berada di luar
tanpa setahu ayah ataupun pimpinan kelompok dan tanpa suatau tugas apapun.
Mungkin sekali dialah yang telah membunuh Karjo Lugu pemilik bengkel kuda di
Kuto Inggil itu. Ayah mengirim dua orang anak buahnya untuk menyelidik lebih jelas.
Seorang lain ditugaskan ayah untuk menemui kalian. Tapi aku meminta agar aku yang
pergi. Kami berhasil menemui Daruka di satu tempat. Setelah dipaksa dia mengaku
memang dia yang telah membakar dan membunuh perempuan bernama Bibi kanoman
dna Karjo Lugu. Celakanya Daruka sempat melarikan diri. Namun satu pengakuan
penting sudah diucapkannya. Yaitu bahwa bukan dia yang menculik Larasati. Gadis
itu telah diculik lebih dulu oleh seseorang…..”
“Siapa?!” tanya Panji cepat.
39 WIRO SABLENG
“Tunggu dulu!” ujar Jayengsari. “Apa hubunganmu dengan seorang dukun
perempuan bernama Walang Daksi?”
“Eh, mengapa kau bertanya begitu?!” balik bertanya Panji Argomanik.
“Dukun itu ditemui mati di rumahnya. Ada yang menggantungnya!”
Panji berpaling pada Wiro.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. “Berarti kita tidak bisa mencari tahu siapa
orang yang disebutkan Janar Gandewo. Kita hanya tahu sepotong nama depannya.
Sur….. Bisa Surga, bisa Susur….. bisa…..”
“Sudah! Kau jangan ngacok!” potong Panji dengan suara keras.
“Mungkin aku tahu kelengkapan sepotong nama yang barusan kau sebut itu.
tasa-rasanya orangnya sama dengan yang tadi hendak kuberitahukan….”
“Siapa?” tanya Wiro dan Panji hampir berbarengan.
“Suryaning…..” jawab Jayengsari.
“Suryaning?” ujar Panji dengan nada terkejut dan wajah berubah. “Hanya ada
satu orang bernama Suryaning. Dia adalah puteri Adipati Lumajang!”
“Justru dia yang menculik Larasati kekasihmu!”
“Hah?! Apa katamu?! Suryaning puteri Adipati Dirgo Sampean yang
menculik Larasati?!” sepasang mata Singa Gurun Bromo membeliak.
Jayengsari mengangguk.
“Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin!” kata Panji masih tidak berkedip.
“Perempuan menculik perempuan! Apa perlunya? Apa untungnya?!” ujar
Wiro pula. “Kalau aku menculikmu atau kau menculik aku, nah itu masih masuk
akal…..”
“Kurang ajar! Siapa mau menculikmu!” damprat Jayengsari denan mata
melotot sedang Wiro menutup mulut menahan tawa.
Panji mendekati Wiro lalu berbisik. “Aku punya dugaan gadis ini sengaja
menipu kita. Dia punya maksud buruk terhadap kita…… Larasati tidak punya silang
sengketa dengan puteri Adipati itu. Mengapa dia menculiknya?”
“Yang juga tidak jelas. Siapa yang membunuh dukun perempuan bernama
Walang Daksi itu.”
Panji memandang Jayengsari. Lalu dia bertanya. “Bagaimana kau tahu kalau
puteri Adipati itu yang menculik Larasati?”
Jayengsari menyeringai. “Aku bukan cuma tahu hal itu, aku malah juga tahu
di mana kekasihmu sekarang disekap!”
“Kalau begitu lekas kau beritahu padaku tempatnya!”
Kembali Jayengsari menyeringai. “Kau cari tahulah sendiri!” katanya.
Rupanya dia masih dendam atas perlakuan Panji sebelumnya. Habis berkata begitu
gadis ini segera hendak tinggalkan tempat itu. terpaksa Wiro kembali membujuknya.
“Sobatku cantik. Jika kau mau menolong orang jangan kepalang tanggung.
Ayo kita pergi sama-sama ke tempat Larasati disekap. Kau jalan duluan memberi
petunjuk biar kubawa kudamu kemari.” Sebelum gadis itu bisa menolak Wiro sudah
lari ke tempat di mana kuda tunggangan Jayengsari berada. Lalu membawa binatang
ini pada pemiliknya dan mengulurkan tali kekang pada si gadis. Dia memandang pada
Jayengsari sambil tersenyum. Mau tak mau hati si gadis jadi luluh dan lembut jgua.
Sebenarnya dia memang tertarik pada murid Eyang Sinto Gendeng ini sejak pertama
kali melihatnya di perkampungan. Gadis ini tundukkan kepala. Baru saat itu
disadarinya kalau seluruh pakaiannya basah dan kotor oleh tanah becek akibat jatuh
tadi. Wiro maklum apa yang dipikirkan gadis itu. Maka dia cepat berkata.
“Gadis secantikmu tentu saja tidak pantas berpakaian kotor basah begini. Aku
ada salinan di kantong perbekalan. Kau bisa ganti pakaian saat ini juga…..”
40 WIRO SABLENG
“Tak perlu,” jawab Jayengsari cept. “Aku tidak percaya pada manusia
macammu….”
“Eh, maksudmu apa?” tanya Wiro.
“Waktu aku ganti pakaian kau pasti mengintip!”
Pendekar 212 tertawa bergelak. Panji Argomanik mau tak mau juga jadi
tertawa. Jayengsari memandang pada pemuda bergelar Singa Gurun Bromo ini lalu
berkata sambil cemberut. “Ih….. Ikut-ikutan tertawa…..!” ucapan Jayengsari
membuat gelak tawa Wiro semakin menjadi.
41 SEBELAS
WIRO SABLENG
Walaupun malam gelap namun dari bibir lembah podnok kayu itu masih dapat
terlihat cukup jelas. Jayengsari hentikan kudanya lalu menunjuk ke arah pondok.
“Itu tempatnya.” Katanya dengan nada dingin.
“Aku masih belum percaya kalau tidak melihat sendiri!” berucap Singa Gurun
Bromo. Lalu disentakkannya tali kekang kuda. Dia mendahului Wiro dan Jayengsari
menuruni lembah. Dalam waktu singkat ketiga orang itu sudah berada di depan
pondok kayu. Singa Gurun Bromo di depan sekali dan lebih dulu melompat dari
kudanya.
Di dalam pondok yang hanya merupakan satu ruangan terbuka dan diterangi
oleh sebuah lampu minyak berkelap kelip karena kehabisan minyaknya, soerang gadis
yang kecantikannya terbungkus rasa takut duduk terikat di atas sebuah kursi kayu. Dia
mengenakan baju dan celana panjang warna biru muda. Kedua kaki celananya tampak
penuh robek sampai sebatas lutut. Dari robekan itu kelihatan sepasang kakinya yang
penuh dengan guratan-guratan luka. Gadis ini terduduk dengan muka pucat dan ada
air mata jatuh di atas pipinya.
Di hadapannya melangkah mundar mandir seorang gadis lain berpakaian serba
merah yang saat itu memegang seutas cambuk. Gadis satu ini menutupi kepalanya
dengan sehelai kain tipis hingga parasnya hanya kelihatan samar-samar.
“Jadi namamu Larasati huh?!” Mulut di bali kain tipis berucap dengan nada
ketus. Tiba-tiba dia angkat tangannya. Cambuk yang dipegangnya berkelebat.
Terdengar suara keras menggidikkan ketika cambuk itu menghantam kedua kaki
gadis yang duduk terikat di kursi. Si gadis menjerit kesakitan. Luka baru kelihatan
mengoyak kakinya.
Gadis yang melakukan cambukan tertawa mengekeh. “Sakit?
Hik….hik…hik….! Kau menjerit?! Kau menangis?! Gadis cengeng! Sakit yang kau
rasakan tidak ada artinya dibandin dengan sakit hati yang kualami selama ini!”
“Persetan dengan sakit hatimu! Mengapa kau menculik dan memperlakukan
aku seperti ini?! Kau manusia biadab!” teriak gadis di kursi.
“Diam!” Lalu cambuk itu menghantam kembali. Gadis di kursi kembali
menjerit. Kedua kakinya luka lagi. Darah semakin banyak mengucur.
“Namamu Larasati! Kau bakal benar-benar mengalami lara seumur hidup!
Jangan harap kau bakal mendapatkan pemuda itu! Jika aku tidak bisa mendapatkan
Panji Argomanik, kau juga tidak bakal bisa memiliki pemuda bergelar Singa Gurun
Bromo itu!”
“Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau menutupi wajahmu dengan cadar?! Kau
perempuan iblis….!”
Gadis yang memegang cambuk tertawa panjang. “Aku memang manusia iblis.
Bahkan biasa lebih buas dari iblis! Sebentar lagi pekerjaanku akan selesai. Setelah
wajahmu kurusak aku mau lihat apakah kekasihmu itu masih mencintaimu!
Hik…hik…hik….!”
“Manusia celaka! Apa yang hendak kau lakukan?!”
“Sabar, jangan banyak tanya dulu. Nanti kau akan tahu sendiri!” lalu gadis
yang kepalanya ditutup kain tipis memutar-mutar cambuknya. Dari mulutnya
kemudian terdengar suara teriakan keras. Bersamaan dengan itu cambuk di tangan
kanannya menghantam ke arah wajah gadis di atas kursi.
Larasati menjerit.
42 WIRO SABLENG
Saat itu pula pintu pondok hancur berantakan diterjang orang dari luar.
Seseorang bekelebat masuk dan melompat ke hadapan gadis bercadar. Sekali dia
mengulurkan tangan, dia berhasil menangkap ujung cambuk yang hendak
menghantam wajah Larasati!
Gadis yang memegang cambuk tampak terkejut. Dia segera menyentakkan
cambuk agar terlepas dari pegangan Singa Gurun Bromo. Tapi pegangan sang
pendekar begitu kuat hingga sekalipun dia mengerahkan tenaga sekuatnya, cambuk
itu tak bisa lepas. Sebaliknya dengan sekuat tenaga pula Singa Gurun Bromo menarik
cambuk hingga si gadis terbetot ke depan. Agar dirinya tidak tertarik lebih jauh gadis
ini mau tak mau harus lepaskan cambuk yang dipegangnya. Lalu dia melompat ke
dinding pondok, menajuhi Singa Gurun Bromo.
“Siapa kau?!” bentak Singa Gurun Bromo dengna mata membelalang.
“Mengapa kau menculik Larasati?!”
Gadis bercadar tertawa tinggi.
“Kau mana mau pernah mengenalku. Kau mana pernah mau mengingat-ingat
diriku. Dia kekasihmu, ya? Hik….hik…..hik!”
“Diam! Jawab pertanyaanku!” hardik Singa Gurun Bromo. Dia ingat pada
Larasati. Cambuk yang dipegangnya dibantingkannya ke lantai lalu dia segera
menghampiri Larasati, memeluk gadis itu sesaat.
Selagi Panji Argomanik membuka ikatan Larasati, kesempatan ini
dipergunakan oleh gadis bercadar untuk melarikan diri. Dia melompat ke pintu. Tapi
di pintu saat itu sudah menghadang Pendekar 212. Di belakangnya berdiri Jayengsari.
“Eh, kau mau pergi ke mana?” tegur Wiro. Tangan kanannya diulurkan untuk
menarik pinggang si gadis. Tapi tiba-tiba gadis bercadar ini keluarkan sebilah keris
dan menusukkannya ke dada Wiro. Dari caranya menikam serta gerakan serangan
yang tidak mengeluarkan angin Wiro tahu kalau orang itu sama sekali tidak memiliki
kepandaian silat, apalagi tenaga dalam. Karenanya dengan mudah Wiro dapat
meringkusnya. Gadis ini berteriak-teriak berusaha melepaskan diri.
“Wiro, lepaskan dia!” kata Panji Argomanik. “Aku akan menanyainya. Jika
dia tidak mau membuka mulut akan kupatahkan batang lehernya!” Lalu pemuda itu
melangkah ke hadapan si gadis bercadar yang saat itu bersurut dan baru berhenti
begitu punggungnya tertahan dinding pondok.
“Lekas katakan siapa dirimu! Mengapa kau menculik Larasati! Jawab! Buka
cadarmu!”
Gadis bercadar hanya menjawab dengan suara mendengus.
Panji Argomanik mulai hilang sabarnya. Dia mengambil cambuk yang tadi
dicampakkannya.
“Tadi kau hendak merusak muka kekasihku! Sekarang biar wajahmu dulu
yang akan kurusak!”
Anehnya si gadis bercadar malah keluarkan suara tertawa nyaring dan panjang.
“Kua hendak merusak mukaku?!” katanya menantang dan sambil maju
selangkah. “Lakukanlah!” tiba-tiba gadis ini merenggutkan cadar yang menutupi
kepalanya.
Larasati yang berada di sudut pondok terpekik ngeri. Jayengsari keluarkan
seruan tertahan. Panji Argomanik sendiri tampak mengernyit bergidik. Sedang Wiro
sipitkan kedua mata, memandang tak berkedip dengan kuduk terasa dingin.
Wajah yang tadi tersembunyi di balik cadar itu kini tersingkap jelas
mengerikan. Wajah itu bukan wajah seorang gadis tapi merupakan wajah yang sangat
seram. Hidungnya gerumpung. Mata kirinya menyembul membeliak. Kening dan
43 WIRO SABLENG
pipinya penuh guratan luka yang dalam. Bibirnya sebelah atas robek sedang yang
sebelah bawah menggelantung hampir copot!
“Mahluk bermuka setan! Siapa kau?!” teriak Panji Argomanik sambil mundur
satu langkah.
Orang itu keluarkan suara tertawa panjang. “Tentu saja kau tidak mengenali
diriku Panji. Tidak ada satu orangpun yang mau mengenalku. Bahkan ayah dan
ibukupun benci padaku! Aku adalah Suryaning, puteri dan anak tunggal Adipati
Dirgo Sampean dari Lumajang!”
Semua orang di dalam pondok itu tersentak kaget dan sekaligus juga
diselimuti rasa ngeri melihat wajah seram yang tidak pernah mereka sangkakan
sedikitpun.
“Kalian ngeri? Takut atau jijik melihatku?!” Suryaning membuka mulut dan
maju beberapa langkah hingga kini berada di tengah-tengah ruangan. Sebaliknya
Larasati dan Panji serta Wiro dan Jayengsari justru bergeser ke sudut-sudut pondok.
Puteri Adipati iu tertawa panjang. “Kalian, seperti juga semua orang tidak pernah
menyangka wajah seorang puteri Adipati seperti wajahku yang kalian lihat saat ini!
Nasibku memang malang! Ketika berusia delapan tahun ayah membawaku ke Hutan
Jatiroto, ikut berburu. Ketika berkemah, ayah dan para pengawal berlaku lengah.
Tiba-tiba ada seekor harimau menyerbu kemah pada saat aku terbaring tidur keletihan.
Binatang itu memang berhasil diusir tapi dia sempat mencakar wajahku hingga jadi
rusak begini. Semua orang mengira aku kaan mati. Bahkan ayah dan ibuku berharap
aku mati saja. Ternyata aku bertahan hidup. Tapi selama bertahun-tahun mereka
menyembunyikan diriku. Mereka mengurungku di sebuah kamar. Hanya karena
kabaikan para pengawal yang merasa iba terhadapku aku bisa menyelinap keluar pada
malam hari. Setiap kesempatan ada kupergunakan untuk mendekati rumah
kediamanmu Panji. Ketika kau menjadi buronan dan menghilang selama enam tahun,
aku seperti mau mati rasanya…..”
Semua orang yang ada di tempat itu jadi terdiam mendengar penuturan
Suryaning itu.
“Dengar…..” kata Panji Argomanik dengan suara gemetar. “Siapapun kau
adanya, mengapa kau menculik Larasati. Mengapa kau menganiaya dan hendak
merusak wajahnya? Karena kau iri? Karena parasnya cantik dan wajahmu seburuk
setan?!”
Dari mulut Suryaning keluar suara menggembor. “Kau betul Panji! Aku
memang iri! Aku cemburu! Aku ingin kau adalah milikku sendiri! Aku tidak ingin dia
merampasmu dari tanganku!”
“Apa maksudmu…..?” tanya Panji heran.
“Aku sudah lama mencintaimu Panji….. Tapi kau tak pernah membalasnya.
Tidak secara nyata, juga tidak dalam mimpi!”
Panji berpaling pada Larasati, lalu menoleh pada Wiro dan Jayengsari. “Gadis
ini pasti tidak waras! Bertemupun sebelumnya aku tidak pernah…..”
“Memang Panji, kita memang tidak pernah bertemu. Kau tak pernah
melihatku. Tapi aku sering melihatmu. Hampir setiap malam aku memimpikanmu.
Tapi aku tahu diri. Keadaanku yang begini tidak memungkinkan aku bisa
memperlihatkan rupa padamu. Apalagi mendapatkan cinta darimu! Karena itu aku
bersumpah. Kalau aku tidak bisa memilikimu, tidak seorang gadis lainpun boleh
memilikimu! Tidak juga gadis itu!” Suryaning menunjuk tepat-tepat ke arah Larasti
yang membuat Larasati seperti terbang nyawanya.
“Jadi karena itu kau menculiknya lalu hendak merusak tubuh dan wajahnya!”
kata Panji pula.
44 WIRO SABLENG
“Betul! Memang itu yang hendak kulakukan!” jawab Ssuryaning. “Tapi
ketahuilah, aku bukan hanya tak mau gadis itu jadi milikmu, tapi juga tidak ingin
melihat dia jadi istri muda ayahku!”
Terkejutlah semua orang yang ada di situ. Semua mata ditujukan pada Larasati.
Gadis ini sesaat menutupi wajahnya lalu terdengar suaranya di antara isakan. “Adipati
Lumajang memang pernah melamarku pada Bibi Kanoman. Waktu itu aku baru
berusia empat belas tahun. Kami menolak dengan halus. Kurasa hal itu telh berakhir
sampai di situ saja…….”
“Bagimu dan bagi bibimu mungkin begitu. Tapi bagi ayahku tidak. Dia sudah
tergila-gila padamu! Dia sudah bertekad apapun yang terjadi, jalan apapun akan
ditempuhnya untuk mendapatkanmu. Ketika Pangeran Sendoyo setahun kemudian
meminta ayahku untuk melamarmu guna dijadikan istri puteranya yang bernama
Tayub Jenggolo, ayahku melihat ada satu kesempatan untuk memanfaatkan keadaan.
Bibimu menolak pinangan sang Pangeran. Pngeran Sendoyo tersinggung. Ayahku
memperuncing keadaan dengan mengatakan bahwa sebenarnya pinangan itu ditolak
karena Larasati sudah mempunyai seorang kekasih bernama Panji Argomanik yang di
Kuto Inggil dikenal dengna julukan Singa Gurun Bromo. Ayah lalu membujuk
Pangeran agar melenyapkan Panji. Sekaligus dia akan mendapatkan keuntungan. Jika
Panji mati, dia bisa mengulang maksudnya untuk mengawinimu…..” Sampai di situ
Suryaning menatap ke arah Larasati. Yang ditatap hanya bisa tundukkan kepala.
“Apa yang kemudian dilakukan Adipati dan Pangeran Sendoyo?” tanya Panji.
“Ayah mengumpan putera sang Pangeran yaitu Tayub Jenggolo yang dalam
keadaan mabuk agar memancing keributan dengan Panji. Ayah sengaja membayar
tiga orang pemuda kawan-kawan tayub berpura-pura mabuk lalu mencegat Pnaji di
satu tempat. Begitu mereka berkelahi ketiga pemuda itu melarikan diri. Lalu sewaktu
tayub tergeletak di tengah jalan, seorang penjahat yang dibayar ayahku menusuk
putera Pangeran itu sampai mati. Mayatnya ditinggalkan di tengah jalan….”
Pelipis Panji Argomanik tampak bergeark-gerak. Rahangnya menggembung.
“Tayub ditemukan dengan pisau milikku menancap di tubuhnya. Kau tahu bagaimana
pisau itu berada di tangan Tayub yang kemudian dijadikan senjata pembunuhnya dan
dijadikan bukti bahwa akulah yang telah menghabisi putera Pangeran itu?!”
Suryaning berpaling pada Panji. Sambil menundukkan kepala gadis ini berkata.
“Itu juga sebagian dari siasat ayahku agar kau bisa ditangkap dan digantung. Pisau itu
disuruhnya curi ketika kau tidak ada di rumah!”
“Manusia keji!” rutuk Panji sambil kepalkan tinju. “Siapa yang melakukan
pencurian itu? Kau tahu juda siapa yang sebenarnya membunuh Tayub Jenggolo?”
“Orangnya sama…..”
“Aku sudah dapat memastikan siapa orangnya!” memotong Jayengsari. “Pasti
Daruka!”
Suryaning menoleh pada puteri Warok Kelin itu lalu menganggukkan
kepalanya.
“Kau tahu siapa yang membakar rumah dan membunuh Bibi Kanoman?”
tanya Larasati.
“Daruka juga. Adipati yang menyuruh dengan bayaran tinggi. Daruka
kemudian membawa beberapa orang penjahat dari Barat. Maksud semula adalah
untuk menculikmu. Ketika Daruka dan para penjahat itu tidak menemukan dirimu,
mereka membakar ruamhmu dan membunuh Bibi Kanoman……. Kemudian Daruka
juga….”
Belum sempat Suryaning melanjutkan ucapannya tiba-tiba di luar pondok
terdengar suara orang membentak.
45 WIRO SABLENG
“Anak tak tahu diri! Apa yang talah kau ceritakan pada manusia-manusia
keparat itu!”
Paras setan Suryaning tampak tercekat. “Ayahku…..” desisnya.
Lalu di atas atap ada nyala terang.
“Mereka membakar pondok!” teriak Jayengsari.
Semua orang lari berserabutan ke arah pintu. Tapi Pendekar 212 cepat
menghalangi.
“Jangan lari lewat pintu depan! Ikuti aku!” teiak Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng melompat ke bagian belakang pondok. Dengan
pukulan sakti Kunyuk Melempar Buah dia menghantam dinding belakang pondok
hingga hancur berantakan. Lewat dinding yang porak poranda itu semua orang lalu
menghambur keluar pondok.
Apa yang dilakukan Pendekar 212 Wiro Sableng memang sangat tepat. Jika
seandainya mereka keluar lewat satu-satunya pintu maka tubuh mereka akan disambut
oleh panah-panah beracun yang sudah disiapkan oleh Daruka dan delapan orang
kawan-kawannya!
46 DUA BELAS
WIRO SABLENG
Kelima orang itu bersembunyi di balik semak belukar lebat. Dalam waktu singkat
sebagian dari pondok kayu sudah musnah dimakan api. Beberapa orang penunggang
kuda mengitari pondok yang terbakar. Mereka adalah penjahat-penjahat dari Barat
yang dibawa serta oleh Daruka untuk membantunya. Saat itu mereka tidak lagi
mengenakan kain penutup muka. Daruka sendiri kelihatan di sebereang sana bersama
Adipati Dirgo dan beberapa orang anak buahnya serta sekelompok perajurit kadipaten.
Dalam gelap mereka juga melihat dua orang di bawah sebatang pohon. Wiro
segera mengenali keduanya dan berbisik pada Panji. “Kunto Areng dan Jalak Toga
ada di antaa mereka.”
Seorang anak buah Daruka memberitahu bahwa di dalam pondok tidak
kelihatan satu orangpun.
“Mereka pasti bersembunyi di sekitar sini. Mereka tidak bisa lari. Kuda-kuda
mereka sudah kita preteli…..” Yang bicara adalah Adipati Dirgo Sampean. “Pimpin
anak buahmu melakukan pencarian! Ingat tak ada satu orangpun yang boleh lolos.
Bunuh mereka semua. Termasuk anakku!”
“Orang tua bangsat!” terdengar Suryaning memaki dalam gelap. Lalu dia
bergerak. Wiro cepat memegang tangannya.
“Kau mau kemana?” tanya Wiro.
“Aku ingin membunuh ayahku dengan tanganku sendiri!” jawab Suryaning.
“Betapapun kesalahan ayahmu, dia tetap orang tuamu. Jangan jadi anak
durhaka. Ayahmu serahkan pada kami….”
Suryaning jadi terdiam. Tapi dari kedua matanya yang cacad samar-samar
tampak melelehkan air mata.
Saat itu Daruka dan tiga orang anak buahnya lewat di depan mereka,
memandang kian kemari. Terangnya nyala api yang membakar pondok kayu
memaksa Wiro dan empat orang lainnya itu menajuh dan mencari tempat terlindung
yang lebih gelap.
“Itu pasti Daruka…..” desis Singa Gurun Bromo. “Aku ingin mengorek
jantungnya saat ini juga!”
“Tidak bisa! Dia bagianku! Dia harus menerima hukuman dari ayah. Saat ini
aku yang mewakili ayahku Warok Keling!” kata Jayengsari. Kedua orang itu sama-
sama berdiri lalu sama-sama saling pandang. Sesaat wajah si gadis tampak merengut.
Lalu sekali tubuhnya berkelebat dia sudah menghambur dari balik semak belukar.
Daruka terkejut ketika melihat ada seseorang tiba-tiba berkelebat dari tempat
gelap dan berusaha membetot tali kekang kuda. Dia lebih terkejut lagi ketika
mengenali bahwa orang itu ternyata seroang gadis dan bukan lain adalah Jayengsari
puteri pimpinannya.
“Kau terkejut melihatku Daruka?!” seringai Jayengsari.
Saat itu Singa Gurun Bromo sudah melompat pula ke depan Daruka. Melihat
munculnya sang pendekar mau tak mau Daruka jadi bergeming juga nyalinya. Dia
berteriak “Adipati! Mereka di sini!” Lalu pada tiga orang anak buahnya dia
memerintahkan “Cincang orang berikat kepala merah ini! Aku ingin menyelesaikan
urusan lebih dulu dengan gadis ini!”
Tiga orang lelaki berbadan tegap dengan bersenjatakan golok segear
menggerakkan kuda masing-masing menyerbu Singa Gurun Bromo. Tiga golok
menderu dalam gelapnya malam.
47 WIRO SABLENG
Singa Gurun Bromo yang sudah sampai di puncak amarahnya tidak tinggal
diam. Jotosannya menghantam kepala kuda di sebelah kanan. Binatang ini meringkik
kesakitan dan melemparkan penunggangnya hingga jatuh terbanting ke tanah.
Serangan golok yang datang dari sebelah kiri dapat dielakkannya. Begitu golok
mendesing di atas kepalanya Singa Gurun Bromo melompat ke depan. Kedua
tangannya menyambar lengan anak buah Daruka yang ketiga. Orang ini terbetot ke
depan. Saat itu juga Singa Gurun Bromo lipat tangannya hingga golok yang
dipegangnya menghujam menembus perutnya sendiri!
“Jayengsari….. Bagaimana kau bisa berada di sini?!” tanya Daruka.
“Kau tak layak bertanya! Kau tahu kau sudah membuat banyak kesalahan.
Warok Keling menugaskanku untuk membawa kepalamu ke hadapannya!”
“Kau anak yang baik. Tapi aku yakin kau bisa jadi kekasih atau istri yang
baik!”
“Bangsat! Apa maksud mulut kotormu?!” hardik Jayengsari.
“Dengar gadis cantik. Aku sudah lama diam-diam menyukaimu. Bagaimana
kalau saat ini kau bergabung bersamaku. Kalau urusan sudah selesai kau ikut aku.
Kita bisa hidup sebagai sepasang kekasih!”
Paras Jayengsari kelihatan merah gelap. “Bagus! Kuterima usulmu! Aku
bersedia bergabung! Tapi terima dulu ini!”
Sebagai anak Warok Keling, Jayengsari memang telah mendapat gemblengan
berbagai ilmu langsung oleh ayahnya sendiri. Dibanding dengan Daruka,
kepandaiannya lebih tinggi dua tingkat. Karenanya sewaktu gadis ini melancarkan
satu jotosan keras ke pinggangnya Daruka cepat mengelak selamatkan diri. Walaupun
saat itu dia memegang sebilah golok namun rasa sukanya terhadap Jayengsari
membuat Daruka tidak tega untuk mengirimkan bacokan. Dengan tumit kirinya dia
coba menendang bahu Jayengsari. Justru inilah kesalahan besar yang akan merenggut
nyawanya.
Sambil membungkuk Jayengsari berhasil menangkap pergelangan kaki
Daruka lalu ditariknya kuat-kuat ke bawah hingga Daruka yang bertubuh tinggi besar
itu jatuh dari punggung kudanya. Belum lagi dia sampai di tanah jotosan tangan kiri
Jayengsari melabrak perutnya. Daruka mengeluarkan suara seperti mau muntah.
Selagi dia tegak terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya, dari samping kiri Singa
Gurun Bromo yang baru saja menghajar tiga orang pengeroyoknya ayunkan tinju
menghantam batok kepalanya.
“Praaaak!”
Batok kepala Daruka rengkah. Tubuhnya terhempas ke tanah, menggeliat
beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.
Beberapa orang berkuda menghambur datang ke tempat itu. di depan sekali
adalah Adipati Lumajang Dirgo Sampean. Di belakangnya enam penunggang kuda,
tiga di antaranya adalah anak buah Daruka, tiga lainnya perajurit kadipaten. Keenam
orang ini merentang busur menarik panah beracun yang ditujukan tepat-tepat pada
Jayengsari dan Singa Gurun Bromo.
“Jika kalian ingin segera mampus silahkan bergerak. Anak-anak panah itu
beracun!”
“Adipati keparat! Kau kira aku takut mati!” teriak Singa Gurun Bromo.
Adipati Dirgo Sampean menyeringai. Dia berpaling pada Jayengsari lalu
tersenyum lebar. “Bukan main! Puteri Warok Keling ternyata berkomplot dengan
manusia buronan ini! rejekiku besar sekali malam ini! mendapatkan buronan
pembunuh putera Pangeran Sendoyo, sekaligus mendapatkan puteri raja diraja kepala
48 WIRO SABLENG
rampok!” Adipati berpaling ke belakang. “Bunuh pemuda ini sekarang juga! Gadis ini
tangkap hidup-hidup!”
Tiga orang anak buah Daruka yang merentang busur serta merta menarik
anak-anak panah lebih ke belakang dan siap melepaskan ke arah Singa Gurun Bromo.
Pada saat itu, di tempat gelap di mana Wiro dan Suryaning bersembunyi
kelihatan sinar terang. Dua gadis itu sama berpaling ke arah Wiro dan terheran-heran
ketika melihat tangan kanan sang pendekar berubah putih menyilaukan.
“Apa yang hendak kau lakukan….?” Bertanya Larasati.
Sebagai jawaban Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan tangna kanannya ke
arah tiga orang anak buah Daruka yang siap melepaskan panah-panah beracun. Saat
itu juga terdengar suara menderu disertai berkiblatnya sinar terang menyilaukan.
Hawa panas menghampar di tempat itu. kuda-kuda yang ada di tempat itu meringkik
keras. Adipati Dirgo Sampean berteriak keras lalu melompat turun dari aas kudanya.
Sinar panas menyilaukan tadi lewat di atasnya. Lalu terdengar jeritan tiga orang di
belakangnya. Ketiganya mencelat ke udara sampai dua tombak. Begitu jatuh ke tanah
mereka sudah tak bernafas lagi. Mati dengan tubuh gosong!
Tiga perajurit yang juda tengah mengancam Jayengsari dengan panah-panah
beracun dan tadinya bersiap-siap untuk meringkus gadis itu berlompatan dari kuda
masing-masing begitu pukulan Sinar Matahari menyambar di udara. Mereka
bergulingan di tanah. Panah dan busur lepas entah kemana. Ketiganya menyangka
sudah selamat tapi selagi mencoba bangkit tendangan demi tendangan menghantam
kepala, dada dan perut mereka. Ketiganya bergelimpangan malang melintang. Yang
kena tendang kepalanya menemui ajal saat itu juga. Yang kena hantaman di bagian
dada muntah darah dan siap untuk sekarat. Satunya lagi terkapar mengerang dengan
perut pecah!
“Gadis Iblis! Tak dapat menggantung ayahmu, kau juga sudah cukup pantas!”
Dua penunggang kuda muncul di tempat itu. merka adalah Kunto Areng dan yang
berteriak adalah Jalak Toga. Keduanya bukan lain adalah perwira-perwira kerajaan
kaki tangan Adipati Dirgo Sampean. Mereka sama melompat turun dari kuda masing-
masing, lalu menyerbu Jayengsari dengna bersenjatakan golok.
“Bagus! Aku kenal siapa kalian!” teriak Jayengsari. “Perwira-perwira culas
macam kalian harus disingkirkan dari kerajaan!” dengan mengandalkan tangan
kosong puteri Warok Keling ini tanpa rasa jerih sama sekali menyongsong serangan
kedua lawannya yang berkepandaian tinggi itu.
Begitu jatuh di tanah dan berdiri, Adipati Dirgo Sampean langsung disergap
Singa Gurun Bromo. Keduanya sama-sama mengandalkan tangan kosong. Berarti
sama-sama mengerahkan pukulan-pukulan sakti dan tenaga dalam. Dengan
kepandaiannya yang masih rendah enam tahun lalu Singa Gurun Bromo berhasil
melarikan diri dari tempat sang Adipati menyekapnya. Kini setelah digembleng lagi
selama enam tahun, tingkat kepandaian Singa Gurun Bromo tentu saja semakin tinggi
dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Dirgo Sampean. Karenanya dalam waktu
singkat Adipati itu segera terdesak hebat. Beberapa pukulan Singa Gurun Bromo
berhasil mendarat di tubuhnya. Satu mampir di pinggiran matanya sebelah kiri hingga
robek dan mengucurkan darah.
Dengna menggertakkan rahang menahan sakit Adipati Dirgo Sampean
kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Asap hitam aneh tiba-tiba menggebubu
dari telapaknya disertai hawa busuk bukan main.
“Awas asap beracun!” satu teriakan perempuan keluar dari tempat gelap. Panji
Argomanik cepat tutup jalan pernafasannya. Kalau saja bukan karena teriakan tadi
mungkin sang Adipati akan meneruskan serangan asap beracunnya yang bisa
49 WIRO SABLENG
mencelakakan Singa Gurun Bromo. Namun dia terkejut sekali ketika mengenali suara
yang berteriak tadi adalah suara puterinya sendiri. Disamping terkejut dia juga jadi
sangat marah. Serta merta dia melompat ke balik semak belukar dari mana datangnya
teriakan tadi.
“Hemmmm, kalian berdua lengkap sudah berada di sini!” kata Adipati Dirgo
Sampean sambil memandang melotot pada puterinya dan Larasati.
“Bertiga dengan aku!” kata Wiro seraya melompat bangkit dan kirimkan satu
jotosan ke arah perut sang Adipati.
Karena masih mempelototi anaknya dan gadis yang digilainya itu ketika
serangan datang Adipati Dirg seperti tak acuh hanya menepis dengan tangan kirinya.
Tepi begitu lengan dengan lengan beradu, menjeritlah Adipati ini. Tulang lengannya
serasa patah. Selagi dia kesakitan setengah mati seperti ini puterinya berseru “Ayah,
sebaiknya kau menyerah saja! Itu lebih baik bagimu!”
“Anak setan! Kau berkomplot dengan keparat-keparat ini……”
Tadinya masih ada sedikit rasa kasihan dalam diri Suryaning terhadap
ayahnya. Tetapi setelah dimaki begitu rupa gadis bermuka cacat dan seram ini jadi
mendidih amarahnya.
“Kau keparat! Kau yang berkomplot dengan para panjahat untuk mendapatkan
gadis itu dan membunuh Janar Gandewo! Membunuh Bibi Kanoman…..”
“Anak sundal! Seharusnya dulu kubiarkan kau mati di rimba belantara itu!”
Suryaning menjawab tak kalah sengitnya. “Kau menyesal punya anak
seburukku! Aku juga menyesal punya ayah sejahatmu!”
Adipati Dirgo tak dapat lagi menahan amarahnya. Dia melompat ke hadapan
puterinya itu sambil menghantamkan tangan kanannya ke muka Suryaning. Namun
jotosannya itu tidak sampai di sasaran karena saat itu Pendekar 212 telah lebih dulu
menggebuknya dengan pukulan tangan kiri ke arah dadanya. Selagi Adipati ini
melintir kesakitan Singa Gurun Bromo yang tadi hampir celaka oleh semburan asap
hitamnya melompat dari samping. Dengan kedua tangannya dia hendak mematahkan
leher Adipati Dirgo. Begitu bernafsunya pendekar ini untuk dapat menghabisi musuh
besarnya saat itu juga, dia tidak lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya. Saat itu
jalak Toga dan Kunto Areng berhasil mendesak Jayengsari ke dekat sebuah pohon
besar. Tanpa sengaja jalak Toga melihat Singa Gurun Bromo tengah berlari untuk
menerkam Adipati Dirgo Sampean tanpa memperhatikan lagi keadaan sekeliling
ataupun dirinya sendiri. Jalak toga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. golok di
tangannya dilemparkannya ke arah Singa Gurun Bromo.
“Panji awas!” terdengar suara orang berteriak. Orangnya bukan lain adalah
Suryaning puteri sang Adipati.
Kesempatan bagi Singa Gurun Bromo untuk mengelak hampir tidak ada. Wiro
sendiri terhalang oleh tubuh Adipati Dirgo. Dalam saat yang sangat menentukan itu,
tanpa pikir panjang Suryaning melompat ke hadapan Singa Gurun Bromo, merangkul
tubuh pemuda ini. Kejap itu pula golok yang dilemparkan Jalak Toga sampai. Senjata
yang seharusnya menancap di pangkal leher Panji Argomanik itu kini menancap di
punggung kiri Suryaning, terus tembus sampai ke jantungnya! Dari mulut gadis
malang ini hanya keluar satu keluhan pendek. Nafasnya putus dalam keadaan masih
memeluk pendekar yang diam-diam sangat dicintainya itu!
Adipati Dirgo Sampean berteriak setinggi langit. Betapapun bencinya dia pada
Suryaning, namun kematian anak darah dagingnya sendiri di depan mata begitu rupa
sangat mengguncang dirinya. Dia meraung dan memegang tubuh anaknya yang
perlahan-lahan merosot jatuh dari tubuh Panji yang dirangkulnya.
50 WIRO SABLENG
Dengan tubuh bergetar Adipati Dirgo perlahan-lahan membaringkan jenazah
anak tunggalnya itu di tanah. Sesaat dia seperti hendak menangis. Tetapi yang keluar
dari mulutnya adalah satu raungan dahsyat. Kedua matanya tampak tiba-tiba berubah
merah. Dia memandang pada Panji Argomanik.
“Bangsat!” kertaknya. Seperti seekor harimau tubuhnya melompat ke hadapan
Panji. Singa Gurun Bromo menyongsong dengan menghantamkan kedua tangannya.
“Buk! Bukk!”
Tinju kiri kanan Singa Gurun Bromo mendarat di dada sang Adipati. Tak
ampun lagi tubuhnya terjengkang jatuh. Dari mulutnya keluar darah segar.
Seharusnya pukulan itu bisa membuatnya mati paling tidak pingsan. Namun dengan
segala tenaga yang ada Adipati Lumajang ini bangkit berdiri kembali dengan
terhuyung-huyung.
Singa Gurun Bromo siap menghantamkan tinjunya sekali lagi, namun saat itu
tiba-tiba muncul dua orang penuggang kuda disertai sesrombongan pasukan dari
Kotaraja. Orang di sebelah kiri berteriak keras.
“Atas nama kerajaan hentikan perkelahian!”
Singa Gurun Bromo batalkan serangannya. Adipati Dirgo tertegun lemas.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang hendak melabrak Jalak Toga juga hentikan
gerakannya. Hanya Kunto Areng yang sepertinya tidak mau perduli. Saat itu perwira
ini tengah mendesak Jayengsari habis-habisan dan siap untuk mengirimkan satu
bacokan maut. Dia sama sekali tidak mau menghentikan serangannya. Sebaliknya
Jayengsari hanya bisa tertegun diam seperti tidak menyadari kalau kematian
mengancam dirinya. Melihat hal ini Wiro dengan kecepatan luar biasa angkat tubuh
Jalak Toga lalu dilemparkannya ke arah Kunto Areng, tepat pada saat Kunto Areng
tengah membacokkan goloknya. Tak ampun lagi golok yang gseharusnya bersarang di
kepala Jayengsari itu kini menghantam rusuk kiri Jalak Toga. Perwira tinggi ini
menjerit setinggi langit. Tubuhnya terhempas ke tanah. Darah memebasahi
pakaiannya. Tapi nyawanya masih tertolong karena hanya bagian luar tubuhnya saja
yang terluka ditambah dua tulang iga terbabat putus!
Kunto Areng yang seperti tak percaya dengan apa yang terjadi untuk sesaat
lamanya tertegun terkesiap. Tubuhnya mendadak terasa lemas lalu akhirnya jatuh
terduduk di tanah.
“Hentikan perkelahian!” terdengar suara teriakan seperti tadi sekali lagi.
Semua mata dipalingkan. Dua penunggang kuda yag barusan muncul ternyata adalah
tokoh silat Istana yaitu Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng. Keduanya
memandang berkeliling dan pandangan mereka terhenti ketika melihat Penekar 212.
“Mangku, kunyuk gondrong itu ternyata ada di sini. Bagaimana pendapatmu?”
“Isi surat Sri Baginda tidak menyebut-nyebut namanya. Lagi pula kita sudah
mengetahui dia bukan Singa Gurun Bromo yang sebenarnya,” jawab Mangku
Sanggreng. “Lekas kau bacakan saja surat Sri Baginda.”
Ki Bumi Wirasulo lalu merentangkan gulungan surat yang dibawanya.
Dengan suara keras dia membaca. “Atas nama kerajaan dan keadilan Sri Baginda
memerintahkan untuk menangkap Adipati Lumajang Dirgo Sampean. Yang
bersangkutan terbukti menjadi perencana keji sehingga terbuhnya Tayub Jenggolo,
putera Pangeran Sendoyo. Dua orang perwira kerajaan masing-masing Kunto Areng
dan Jalak Toga juga dinyatakan ditangkap karena terbukti berkomplot membantu
Adipati Lumajang. Kepada pemuda yang bernama Panji Argomanik dikenal dengan
gelaran Singa Gurun Bromo dinyatakan bebas dari segala tuduhan dan kesalahan.
Tertanda Sri Baginda.
51 WIRO SABLENG
Ki Bumi Wirasulo menggulung surat itu kembali. Jalak Toga yang ketika surat
Sri Baginda dibacakan menguatkan diri untuk dapat bangun. Tapi begitu mendengar
isi surat langsung rebah kembali dan pingsan. Adipati Dirgo Sampean tampaknya
pasrah saja karena dia tidak bergeak sedikitpun dan hanya bisa memandang kuyu
pada Panji argomanik yang berdiri di depannya.
Lain halnya dengan Kunto Aeng. Begitu mendengar dirinya dinyatakan
ditangkap tiba-tiba dia melompat bangkit melarikan diri. Namun satu tangan tiba-tiba
menahan jidatnya. Bagaimanapun dia berusaha mengumpulkan tenaga untuk
melarikan diri, jidatnya tetap saja tertahan tangan itu.
“Bangsat keparat! Makan pisauku!” teriak Kunto Areng marah lalu mencabut
sebilah belati berkeluk dari pinggangnya. Senjata ini ditusakkannya sekuat tenaga ke
perut orang yang sejak tadi memegang jidatnya. Namun tangan yang menahan
jidatnya itu tiba-tiba melesat ke atas lalu turun lagi mengemplang ubun-ubunnya!
Kunto Areng mengeluh kesakitan. Kedua matanya mendelik jereng dan tubuhnya
berputar-putar. Pendekar 212 yang tadi memukul kepala perwira itu pergunakan tumit
kirinya untuk mendorong pinggul Kunto Areng. Orang ini roboh ke tanah, mukanya
jatuh tepat di atas pantat salah seorang perajurit kadipaten!
Panji Argomanik masih tertegak tak bergeak ketika Larasati berlari
mendatanginya lalu memeluk tubuhnya dan menangis tersedu-sedu.
“Hentikan tangismu Laras…. Semua sudah berakhir…..” bisik Panji.
Wiro sendiri celingak celinguk mencari seseorang. Yang dicarinya adalah
jayengsari. Puteri Warok Keling itu tiba-tiba lenyap begitu saja.
“Kau mencari aku, Wiro?” Satu suara menegur di belakangnya. Dia berpaling.
Astaga, ternyata gadis itu bersembunyi di balik punggungnya!
“Lihat mereka itu,” kata Wiro sambil menunjuk pada Panji dan Larasati.
“Tidakkah kau ingin merangkul aku seperti itu….?”
“Pemuda nakal bermulut usil! Tidak. Aku tidak akan mau memelukmu!” kata
Jayengsari.
Wiro tertawa lebar. “Maksudmu tidak, artinya tidak di sini kan? Kalau di
tempat lain ya mau? Begitu?”
Jeyangsari menjewer telinga kiri Pendekar 212. Lalu telinga itu ditariknya
keras-keras hingga Wiro mau tak mau terpaksa melangkah mangikuti gerakan kaki si
gadis. Sampai di tempat gelap jayengsari lepaskan jewerannya dan tiba-tiba saja dia
memeluk pemud aitu dengan penuh nafsu sehingga murid Eyang Sinto Gendeng itu
jadi kelagapan.
“Aku membawa pesan khusus dari ayah,” bisik Jayengsari. “Beliau ingin
bicara denganmu. Apa soal aku tidak tahu. Yang jelas kita berangkat sekarang
juga…..”
“Meninggalkan orang-orang itu begitu saja?!” ujar Wiro.
“Tahanan kerajaan itu sudah ada yang mengurus. Panji dan Larasati bisa
mengurus diri mereka berdua. Mereka pasti akan memeprhatikan jenazah Suryaning.
Mengenai mayat-mayat lain yang bergelimpangan itu peduli setan! Kau ikut aku atau
harus kujewer lagi?!”
Wiro tertawa lebar. Digelungkannya tangannya ke pinggang Jayengsari.
Kedua insan itu kemudian lenyap ditelan kegelapan dan dinginnya malam.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar