Rabu, 01 Februari 2012

070. PELANGI DI MAJAPAHIT

70. PELANGI DI MAJAPAHIT
BAB I
Kuda bernama Gruo yang ditunggangi Pendekar 212 dan Raden Ayu Gayatri
bergerak tidak terlalu cepat. Sebentar lagi mereka akan keluar dari kawasan hutan
belantara an langsung menuju pinggiran Timur Kotapraja. Disitu Wiro akan melepaskan
putri bungsu Prabu Singosari itu. Walau dia akan terlepas dari beban berat menjagakeselamatan sang dara namun perpisahan membuat hatinya agak haru.
Saat itu menjelang dini hari. Udara masih gelap dan hawa terasa dingin.
Mendekati dua buah pohon besar yang terletak mengapit kira-kira dua tombak di depan
jalan yang mereka tempuh murid Eyang Sinto Gendeng perlambat langkah Grudo. Dia
memandang tak berkesip ke arah dua pohon besar di kiri kanan jalan.
”Ada apa,” bisik Gayatri bertanya.
”Saya punya firasat tidak enak. Mungkin sekali ada seorang yang sembunyi di
balik pohon menghadang kita,” jawab Wiro.
”Gandita?”
”Mungkin, tapi bisa juga orang lain. Atau Gandita bersama orang lain.”
”Kalau begitu kita ambil jalan lain saja,” mengusulkan Gayatri.
Wiro mengangguk. Dia menarik tali kekang Grudo. Namun belum sempat dia
memutar kuda itu tiba-tiba di belakangnya terdengar suara desiran angin disertai
berkelebatnya satu bayangan hitam. Bersamaan dengan itu Gayatri yang duduk di
belakang Wiro terdengar menjerit.
Wiro membalik. Dan terkejut besar. Gayatri tak ada lagi di belakangnya!
Pendekar 212 melompat dari atas kuda. Begitu menjejak tanah dia langsung alirkan
tenaga dalam ke tangan kanan. Tapi dia tidak melihat bayangan siapapun. Tiba-tiba
terdengar suara kaleng berkerontangan dalam kegelapan malam. Suara kerontangan
lenyap, menyusul terdengar suara tawa bergelak di samping kiri. Wiro cepat berpaling ke
arah itu. Tiga tombak di hadapannya, dekat serumpun semak belukar dilihatnya Gandita
bertolak pinggang.
”Bangsat! Kau menculik…”
”Apa kau lihat kawanmu itu ada bersamaku?” ujar Gandita dengan seringai
mengejek.
Aneh, bangsat ini tampak biasa-biasa saja. Padahal sebelumnya dia jelas
menderita luka dalam parah! Pikir wiro. Pasti sesuatu terjadi dengan dirinya. Mungkin
ada orang pandai luar biasa yang menolong dan mengobatinya.
Gandita tak bergerak di tempatnya, juga tidak menunjukkan tanda-tanda hendak
menyerang. Dengan senyum mengejek dia berkata.
”Kau masih ingin mencari temanmu yang berkumis tapi punya suara seperti
perempuan itu?! Lihat apa yang terjadi di balik pohon besar sebelah kanan sana!”
Sesaat Wiro agak bimbang. Namun ketika dia menangkap suara seperti orang
sedang berkelahi dari arah pohon besar yang disebutkan Gandita maka murid Eyang
Sinto Gendeng segera berkelebat ke balik pohon itu.
Begitu sampai di balik pohon besar murid Eyang Sinto Gendeng jadi terkejut
menyaksikan apa yang terjadi.  
Di situ dilihatnya seorang kakek berkulit hitam dengan rambut di gelung ke atas
dan bertubuh tinggi dengan tampang kuyu sedih tengah mengepit tubuh Gayatri di tangan
kirinya. Orang tua berpakaian selempang kain putih ini keluarkan suara seperti orang
menangis sesenggukan terus menerus.
Astaga! Manusia ini adalah Dewa Sedih, kakak Dewa Ketawa, pentolan kaki
tangan pemberontak! Celaka! Membatin Wiro. Jangan-jangan dia yang telah mengobati
Gandita!
Gayatri sendiri yang saat itu berada dalam keadaan tak berdaya, tertotok dan
dikepit erat oleh kakek berkulit hitam.
Sambil mengepit Gayatri si kakek berkelahi menghadapi seorang lawan dan dari
mulutnya masih saja terus terdengar suara seperti menangis.
Yang dihadapi Dewa Sedih saat itu adalah seorang kakek aneh memakai caping
lebar di kepalanya. Dia memanggul sebuah buntalan besar. Di tangan kirinya dia
memegang sebuah tongkat kayu sedang di tangan kanannya ada sebuah kaleng rombeng
berisi batu-batu kerikil. Setiap saat kaleng rombeng ini digoyang-goyangkannya sehingga
mengeluarkan suara berkerontangan. Tangan kirinya yang memegang tongkat bergerak
kian kemari dalam gerakan aneh yang ternyata adalah serangan-serangan ganas yang
mengurung kakek hitam.
Bagaimanapun kakek hitam ini berusaha bertahan dan mencoba membalas namun
serangan tongakt itu sulit ditembusnya.
Masih untung dia belum sempat kena gebuk atau tertusuk ujung tongkat. Yang
sungguh luar biasanya lagi ialah bahwa kakek bercaping lebar dan berpakaian compang-
camping seperti pengemis itu ternyata kedua matanya tidak memiliki bagian hitam
barang sedikitpun. Sepasang mata kakek aneh ini putih semua dan tentu saja ini berarti
bahwa dia sebenarnya tidak dapat melihat alias buta!
”Kakek Segala Tahu!” seru Pendekar 212 ketika dia mengenali siapa adanya
kakek buta itu.
”Husss! Jangan berisik! Biar aku memberi pelajaran pada tua bangka cengeng
yang hendak menculik temanmu ini! Jika dia tidak mau melepaskan temanmu itu,
terpaksa aku menghentikan tangisnya! Menghentikan tangisnya berarti menghentikan
jalan nafasnya!” berkata si kakek buta lalu kembali dia goyang-goyangkan kaleng
rombengnya sambil tertawa mengekeh.
”Ah benar dugaanku…” kakek hitam yang mengepit Gayatri membatin sambil
terus saja sesenggukan. ”Memang dia rupanya. Tapi mengapa ilmunya setinggi ini. Aku
hanya tahu dia sebagai seorang pengemis yang pandai meramal. Ternyata aku tidak
sanggup keluar dari kurungan tongkatnya! Sudah kepalang! Lebih baik mati daripada
menerima malu besar!”
Kakek hitam itu menggerung keras. Saat itu ujung tongkat menyambar ke
mukanya lalu membabat pakaiannya. Breeet! Dada pakaiannya robek besar.
”Itu peringatan pertama dan terakhir!” kata Kakek Segala Tahu. ”Kalau kau masih
belum mau melepaskan orang itu, kali berikutnya tongkatku akan menyatai
tenggorokanmu!”
”Kau yang bakal mampus duluan pengemis busuk!” teriak kakek hitam lalu
kembali menggerung. ”Baiknya lekas kau beri tahu nama atau gelarmu agar setan-setan
rimba belantara ini mengantarmu dengan senang ke rimba kematian!”
Kakek bermata buta berpakaian seperti pengemis hanya sunggingkan tawa
mengejek. Kakek hitam jadi naik darah. Dia menggerung keras. Tangan kanannya
dipukulkan ke depan. Terjadilah satu keanehan dari telapak tangan kakek hitam itu
berputar keluar bola api yang langsung melesat ke arah kakek buta!
”Kakek Segala Tahu! Awas! Lawan menyerangmu dengan bola api!” berteriak
Wiro. Tangan kanannya sendiri sudah siap diangkat siap untuk memberi pertolongan.
Tapi Kakek Segala Tahu tetap tenang-tenang saja malah masih tertawa-tawa.
Wuss!
Bola api menyambar. Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya lalu
membungkuk. Tapi gerakannya agak terlambat. Bola api menyambar ganas menghantam
caping lebarnya. Caping ini langsung terbakar dibuntal bola api dan terpental jauh. Paras
Kakek Segala Tahu jadi berubah. Sebaliknya di depannya kakek hitam malah menangis
keras-keras. Mungkin begitu caranya dia menyatakan rasa puas melihat serangannya
berhasil walaupun yang menyambar dan membakar caping lawan.
” Dalam dunia persilatan hanya ada satu manusia yang bersenjatakan bola api!
Kau pasti adalah Dewa Sedih!”
Kakek hitam dongakkan kepala dan menggerung pilu sekali. ”Kau sudah tahu
siapa aku. Akupun sudah tahu siapa kau! Kita orang-orang persilatan akan saling
berbunuhan!
Salah satu dari kita akan menemui kematian. Betapa menyedihkan…Dewa
Bathara kasihani pengemis malang ini…” lalu orang tua ini yang sebenarnya memang
adalah Dewa Sedih menangis sejadi-jadinya.
”Manusia edan!” maki Wiro dalam hati. “Kakek Segala Tahu, biar aku yang
memberi pelajaran pada tua bangka cengeng ini!”
“Tetap di tempatmu Pendekar 212! Jangan campuri urusan kami dua tua bangka
keblinger!” Kakek Segala Tahu membentak, membuat Wiro terpaksa hentikan gerakan.
Hatinya berkebat-kebit apakah kakek buta ini sanggup menghadapi Dewa Sedih yang
punya senjata berupa bola api yang dahsyat itu. Selama ini Wiro hanya mengenal Kakek
Segala Tahu sebagai seorang jago ramal tiada duanya. Sekarang dia menyaksikan sendiri
bahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu silat yang bukan sembarangan. Dengan tongkat
bututnya dia sanggup membuat Dewa Sedih tidak berdaya. Tapi apakah tongkat buruk itu
bisa menghadapi bola api?! Selain hal itu yang dikhawatirkan Wiro adalah keselamatan
Gayatri yang saat itu masih berada di kepitan tangan kiri Dewa Sedih.
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit yang mulai kelihatan terang tanda
sebentar lagi pagi akan tiba. Tangan kanannya digoyang-goyangkan. Kaleng rombeng itu
mengeluarkan suara berisik memekakkan telinga. Tangan kirinya mengetuk-ngetukkan
tongkat kayunya ke tanah.
“Dewa Cengeng!” Kakek Segala Tahu sengaja menyebut nama Dewa Sedih
menjadi Dewa Cengeng. “Aku bertanya untuk penghabisan kali! Kau mau serahkan
pemuda yang hendak kau culik atau tidak!”
Suara gerung tangis Dewa Sedih terdengar perlahan. Lalu dia berucap. ”Malang
benar nasibmu pengemis jelek. Rupanya bukan hanya matamu yang buta, telingamupun
sudah tuli. Orang dalam kepitanku ini kau katakan pemuda. Padahal jelas dia menjerit
mengeluarkan suara perempuan!”
Wiro merasakan wajahnya menjadi pucat dan kuduknya menjadi dingin. Kakek
hitam itu ternyata sudah mengetahui bahwa orang yang tengah diculiknya itu adalah
seorang perempuan. Apakah dia juga sudah mengetahui siapa adanya orang itu?!
Gayatri harus cepat dirampas. Aku harus ikut turun tangan. Persetan sekalipun
Kakek Segala Tahu akan marah besar padaku!
Begitu Wiro bertekad dalam hati. Dia segera alirkan tenaga dalam ke tangan
kanan. Kalau tidak dapat merampas Gayatri tanpa menciderai,membunuh kakek cengeng
inipun aku tak perduli. Apalagi dia berkomplot dengan pemberontak bernama Gandita
itu! Namun gerakannya lagi-lagi berhenti ketika didengarnya Dewa Sedih berkata.
”Kau inginkan pemuda banci ini, pengemis buruk? Boleh saja. Akan kuberikan
padamu tapi telan dulu bola apiku ini!”
Habis berkata begitu Dewa Sedih kembali mengisak-isak lalu tangan kanannya
dipukulkan ke depan.
Dari telapak tangannya untuk kedua kalinya melesat keluar bola api, menderu
deras ke arah mulut Kakek Segala Tahu!
”Ah makanan enak! Aku suka sekali!” Kakek Segala Tahu berucap keras. Lalu
buka mulutnya lebar-lebar seperti siap untuk benar-benar menegak bola api yang disuruh
telan itu. Sedang tangan kanannya menggoyang-goyangkan kaleng rombegnya.
Pinggulnya digoyang-goyangkan seperti menari tapi tentu saja maksudnya mengejek
lawan.
Sudah gila tua bangka ini rupanya! Maki Wiro menyaksikan kelakuan Kakek
Segala Tahu. Serangan maut dihadapinya seperti itu! Mau tak mau murid nenek sakti
Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini segera angkat tangannya, hendak menghantam bola
api dengan pukulan ”Dewa topan menggusur gunung”
***
BAB II
”Makanan Enak! Aku suka sekali!” kembali terdengar Kakek Segala Tahu
berucap. ”Cuma sayang aku sedang berpuasa!”
Lalu mendahului gerakan Pendekar 212 Wiro Sableng, Kakek Segala Tahu
gerakkan tangan kirinya. Tongkat kayu butut melesat ke atas. Ujung tongkat menusuk
bola api.  
Seperti menusuk bola sungguhan, bola api itu tampak tidak bergerak lagi seolah
ditancap mati. Si kakek goyangkan tangannya sedikit. Bola api itu berputar seperti titiran.
”Sayang aku sedang berpuasa, kau saja yang makan kue enak ini!” seru Kakek
Segala Tahu. Lalu sekali tangan kirinya bergerak, bola api itu menderu, melesat ke arah
kepala Dewa Sedih.
Kakek berkulit hitam itu berseru keras lalu meratap dalam kagetnya. Dia tak
pernah menyangka senjata yang sangat diandalkannya bisa dikembalikan untuk
menyerang dirinya sedemikian rupa. Sambil menangis Dewa Sedih cepat jatuhkan diri
cari selamat. Pada saat itulah tongkat di tangan kiri Kakek Segala Tahu berkelebat
menggebuk bahu kirinya. Kali ini Dewa Sedih keluarkan jerit kesakitan.
Tulang bahunya serasa hancur. Tubuhnya terbanting ke tanah.
Kempitannya pada tubuh Gayatri terlepas. Melihat hal ini Wiro cepat pergunakan
kesempatan menyambar tubuh puteri bungsu Prabu Singosari itu dan membawanya ke
tempat yang aman.
Dewa Sedih mencoba bangun dan mulai menangis lagi. Namun saat itu ujung
tongkat kayu di tangan Kakek Segala Tahu sudah menusuk tenggorokannya.
“Menangis sepuas hatimu! Manusia biang kerok sepertimu tidak layak hidup lebih
lama!”
Tampang kakek muka hitam itu menjadi pucat.
Keringat mengucur di keningnya. Tapi dasar manusia aneh dalam ketakutan
seperti itu dia masih saja terus menangis. Sebenarnya Kakek Segala Tahu hanya
bermaksud menggertak. Dia tidak punya keinginan untuk membunuh Dewa Sedih.
Pandangan hidupnya ilmu silat dan segala macam ilmu kesaktian adalah untuk
melindungi diri sendiri, keluarga dan sahabat, bukan untuk membunuh orang, apapun
alasannya. Soal bunuh membunuh biar serahkan saja pada orang lain.
Sebaliknya merasa dirinya tidak mungkin akan selamat dari kematian Dewa Sedih
hanya bisa pasrah. Dia mulai meratap memilukan. Menyaksikan kejadian itu Wiro hanya
bisa garuk-garuk kepala. Lalu dia ingat pada keadaan Gayatri. Totokan yang membuat
kaku sekujur tubuh gadis ini segera dilepaskannya.
Tiba-tiba dari samping kiri pondok kayu berkelebat satu bayangan besar disertai
mengumandangnya suara tawa bergelak disusul suara seruan.
”Jangan bunuh saudaraku!”  
Selarik angin menyambar.
Wuttt!
Kakek Segala Tahu merasakan tangan kirinya bergetar. Tongkat yang
ditusukkannya ke leher Dewa Sedih bergoyang-goyang. Semula dia berusaha
mengerahkan tenaga untuk bertahan. Tapi memikir tak ada gunanya maka dia kendurkan
pegangannya dan tongkat itu terpelanting kiri namun tak sampai lepas dari pegangannya.
Di hadapan Kakek Segala Tahu kini berdiri seorang bertubuh gemuk luar biasa,
mengenakan baju dan celana yang kesempitan. Sepasang matanya sipit hampir berbentuk
garis, rambutnya disanggul ke atas. Dari mulutnya tiada hentinya keluar suara tertawa
gelak-gelak.
Gayatri yang tegak disamping Wiro dan sudah bebas dari totokan pegang lengan
Pendekar 212 dan berbisik.
”Manusia-manusia apa sebenarnya yang ada di depan kita ini? Sebaiknya kita
lekas pergi saja dari sini.”
Keadaan tidak berbahaya seperti tadi lagi Raden Ayu. Kalau tadi memang saya
yang menginginkan agar kau cepat pergi, kini tak ada yang perlu dikhawatirkan. Orang
gendut seperti kerbau bunting itu adalah Dewa Ketawa. Kalau aku tidak salah dia adalah
adik dari kakek hitam berjuluk Dewa Sedih itu…”
”Kalau begitu kita ketambahan seorang musuh.”
”Tidak. Walau bersaudara tapi Dewa Sedih dan Dewa Ketawa tidak sehaluan.
Dewa Ketawa selalu berpihak pada orang persilatan golongan putih…”
”Sungguh tidak masuk akal. Bagaimana ada manusia-manusia aneh seperti
mereka itu!”
”Dunia persilatan justru menjadi ramai oleh manusia-manusia semacam
mereka…Kita lihat saja apa yang akan terjadi.”
Mengenali siapa yangdatang Kakek Segala Tahu bermata buta itu tampak geleng-
gelengkan kepala. Dia goyang-goyangkan kaleng rombengnya dan ketuk-ketukkan
tongkat bututnya ke tanah.
”Tertawa sepanjang hari. Berbobot sebesar sapi. Siapa lagi kalau bukan Dewa
Ketawa? Ha..ha..ha! Kalau sudah tahu apa yang terjadi mengapa tidak meminta kakakmu
si Dewa Sedih agar segera meninggalkan tempat ini?”
Dewa Ketawa puaskan dulu gelaknya lalu mengangguk-angguk, kemudian
berpaling pada kakaknya.
”Kau sudah dengar ucapan orang! Sudah untung kau masih bisa bernafas saat ini.
Ayo lekas minggat dari sini!”
Sepasang mata Dewa Sedih tampak melotot memandang pada adiknya. Namun
sesaat kemudian terdengar kembali isak tangisnya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri
sambil pegangi bahu kirinya yang mendenyut sakit akibat pukulan tongkat Kakek Segala
Tahu tadi.
“Kau tidak pernah berubah,” Dewa Ketawa teruskan omelannya. “Masih saja
melibatkan “Masih saja melibatkan diri dengan orang-orang tidak baik. Apa untungmu
bergabung dengan orang-orang yang berniat jahat terhadap Singosari?!”
“Urusanmu urusanmu. Urusanku urusanku!“ jawab Dewa Sedih. Dia melangkah
mendapatkan Gandita.
Dewa Ketawa mengekeh mendengar ucapan kakaknya itu. Dia menyahuti dengan
suara keras. ”Bagus kalau begitu ucapanmu! Lain hari, jangan harap aku akan
menolongmu!”
”Aku tidak perlu segala macam pertolongan adik durhaka sepertimu!” teriak
Dewa Sedih lalu kembali terdengar suara isak tangisnya. ”Kita pasti akan bertemu lagi.
Kau akan menyesal! Pasti menyesal!”
Dewa Ketawa mencibir. ”Tua bangka tolol! Sudah bau tanah masih mau
melantur!” Si gendut ini perhatikan kepergian kakaknya bersama Gandita lalu berpaling
pada Kakek Segala Tahu. Dia mulai tertawa.
”Sahabatku pengemis yang turun dari Kahyangan, apa kabarmu?”
Kakek Segala Tahu tersenyum. ”Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan dirimu?
Kau kelihatan agak langsingan!”
Mendengar ucapan itu meledak tawa Dewa Ketawa hingga kedua matanya berair.
”Selama tiga bulan ini beratku telah bertambah dua puluh kilo. Bagaimana kau bisa
mengatakan aku agak langsing?! Ha..ha..ha..!” Dewa tertawa lalu melirik ke arah Wiro.
”Kampret Gondrong!” katanya menyebut Wiro dengan panggilan mengejek seenaknya
itu. ”Selamat bertemu kembali dengan orang yang kau juluki Kerbau Bunting!”
Gayatri menutup mulutnya agar suara tertawanya tidak membersit keluar. Wiro
garuk-garuk kepala tapi cepat menjawab, ”Aku si Kampret Gondrong baik-baik saja.
Kukira kau sudah beranak Kerbau Bunting, rupanya belum!”
Dewa Tertawa kembali meledak tawanya. Kakek Segala Tahu dan Gayatri ikut
tertawa gelak-gelak.
”Kalau aku beranak, siapa yang akan menolong! Tidak ada dukun beranak di
tempat ini!” kata Dewa Ketawa pula.
Kembali tempat ini menjadi riuh oleh suara tertawa.
Kakek Segala Tahu mengangkat tongkatnya dan meletakkan benda ini di atas
bahu Pendekar 212 Wiro Sableng.
”Anak muda, kau selalu saja mencari-cari penyakit!” berkata si kakek
”Saya tidak bermaksud berbuat begitu. Penyakit apakah yang kau maksudkan
Kakek Segala Tahu?”
Si kakek ketuk-ketukkan tongkatnya ke bahu Wiro sedang tangan kanannya
menggoyang-goyangkan kaleng rombeng.
”Kau tahu penyakit apa yang aku maksudkan Wiro. Yang jelas saat ini kau berada
berdua-duaan di dalam hutan bersama seorang puteri Kerajaan Singosari!”
”Astaga!” Wiro melengak.  
Dewa Ketawapun tampak keheranan. Siapa yang dimaksud kakek buta itu dengan
puteri Keraton Singosari? Dia hanya melihat seorang pemuda berkumis tipis disamping
Wiro.
”Kakek Segala Tahu, bagaimana kau…?”
Gayatri sendiri tidak kalah kagetnya. Diam-diam dia mulai merasa gelisah. Dia
hendak membisikkan sesuatu pada Wiro tapi tak jadi karena saat itu terdengar kakek buta
berkata.
“Tak usah teruskan pertanyaanmu itu. Aku mencium bau harum semerbak dari
pakaian dan tubuh orang yang tegak di sampingmu. Wewangian seperti itu hanya dimiliki
oleh permaisuri atau puteri-puteri Keraton Singosari! Apa salah dugaanku?”
”Kau..kau betul,” jawab Wiro sambil garuk-garuk kepala. Bertemu dengan Kakek
Segala Tahu belum tentu bisa sekali dalam tiga tahun. Maka murid Sinto Gendeng cepat
berkata.
”Kek, selagi kau ada di sini, aku mohon petunjukmu…”
”Petunjuk mengenai hubunganmu dengan gadis Keraton ini?” tanya Kakek Segala
Tahu lalu tertawa mengekeh. Dewa Ketawa ikut-ikutan tertawa. ”Jangan mimpi kau
bakal berjodoh dengannya, Pendekar 212!”
Paras Wiro dan wajah samaran Gayatri tampak kemerah-merahan. Wiro cepat
berkata. ”Maksudku bukan itu kek. Aku ingin kau meramal tentang Singosari di masa
mendatang. Hal ini kutanyakan karena saat ini ada komplotan jahat yang hendak
memberontak dan merebut tahta kerajaan dari tangan Sang Prabu.
”Kalau itu yang kau tanyakan sulit bagiku untuk menjawab,” sahut Kakek Segala
Tahu sambil mendongak lalu goyang-goyangkan kaleng rombeng berisi batu di tangan
kanannya.
Wiro tahu orang tua bermata putih dan buta itu berdusta. Dipegannya tangan
Kakek Segala Tahu. Sebelum dia berkata si kakek berpaling ke arah Gayatri lalu berkata.
”Sebentar lagi pagi akan datang. Apakah kau tidak bakal mengalami kesulitan jika
kembali ke Keraton kesiangan?”
Ucapan Kakek Segala Tahu itu membuat Gayatri sadar. Dia memandang ke
Timur. Langit di ufuk sana tampak mulai benderang. Puteri bungsu Prabu Singosari ini
memandang pada Wiro. Mungkin banyak yang ingin dikatakannya tapi dia hanya
mengucapkan: ”Jika kau ingin menemui saya di Keraton, carilah seorang abdi tua
bernama Damar…” Habis berkata Gayatri tinggalkan tempat itu. Dia menemukan
kudanya tak jauh dari situ lalu bersama tunggangannya ini berlalu dengan cepat.
“Nah, gadis itu sudah pergi. Sekarang baru aku bisa leluasa meramal. Aku tadi
tidak ingin dia mendengar ramalanku,” kata Kakek Segala Tahu. ”Rupanya dia sangat
menyukaimu Pendekar 212…”
”Lupakan dulu gadis itu. Ucapkan ramalanmu,” kata Wiro.
”Ya, ya…Aku juga ingin mendengar,” kata Dewa Ketawa lalu mengekeh panjang.  
Mulut Kakek Segala Tahu tampak komat-kamit. Dengan ujung tongkatnya dia
menggurat tanah di depannya membuat gambar segitiga.
”Akan kucoba meramal. Benar tidaknya ramalanku hanya kenyataan nanti yang
kelak akan membuktikan. Terus terang ini Cuma ramalan seorang tua bangka tolol. Jadi
jangan terlalu percaya!”
Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak mendengar ucapan orang tua itu. Kakek Segala
Tahu memulai ramalannya.
Kaleng rombeng di tangan kanannya digoyang keras-keras. ”Kejadian pertama.
Akan terjadi perang saudara antara Singosari dengan orang-orang Kediri. Singosari
runtuh tapi bukan tidak bisa diselamatkan. Seoarang kesatria akan muncul
menyelamatkan tahta baru.” Ujung tongkat di tangan kiri Kakek Segala Tahu bergeser ke
ujung segitiga sebelah kanan bawah. ”Kejadian kedua. Akan datang balatentara dari utara
menyerbu tanah Jawa. Siapa yang dapat mempergunakan kesempatan dalam kekalutan
akan mendapat pahala besar. Akan muncul lagi seorang kesatria baru. Dia bakal
mendapat bantuan dari kesatria pertama tadi.”
Kakek Segala Tahu kembali goyang-goyangkan kaleng bututnya. Lalu ujung
tongkat ditekankan ke arah ujung segitiga sebelah atas. ”Aku melihat sinar terang, tapi
tidak terlalu terang. Sinar ini bukan sinar matahari, juga bukan sinar rembulan atau
cahaya bintang-bintang. Ada tujuh warna bertabur memanjang. Mungkin ini yang
dinamakan pelangi. Ingat pelangi selalu muncul setelah hujan turun dan reda. Berarti ada
cahaya harapan memayungi bekas bumi Singosari…” Kakek Segala Tahu mengakhiri
ramalannya. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu menggoyang-goyangkan kalengnya.
”Terima kasih kau telah mau meramal. Hanya saja ada yang kurang jelas. Kek,
dapatkah kau menerangkan mengenai balatentara dari Utara dan cahaya pelangi itu…”
Kakek Segala Tahu mendongak lalu gelengkan kepalanya.
”Sayang waktuku terbatas. Aku harus pergi sebelum siang datang. Pendekar 212
ada satu hal yang perlu aku sampaikan padamu. Betapapun sukanya Puteri Raja itu
terhadapmu, jangan kau berani bermain cinta. Karena bagaimanapun kalian tidak
berjodoh…”
Wiro garuk-garuk kepala. Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak. Terdengar suara
kaleng berkerontangan. Ketika memandang ke depan astaga! Kakek Segala Tahu tidak
ada lagi di tempatnya. Hanya suara kaleng rombengnya yang terdengar di kejauhan.
Dewa Ketawa menepuk bahu Pendekar 212. ”Kampret Gondrong! Aku juga harus
pergi sekarang. Ingat pesan orang tua tadi. Kampret sepertimu jangan bercinta dengan
Puteri Raja! Ha..ha..ha..!”
”Kerbau Bunting sialan!” maki Wiro tapi hanya dikeluarkannya dalam hati.
Dewa Ketawa masukkandua jari tangan kirinya ke dalam mulut. Lalu terdengar
suara siutan nyaring sekali. Sambil terkekeh-kekeh dia memandang seekor keledai yang
keluardari balik semak-semak.
”Tungganganku sudah datang. Aku harus pergi sekarang. Lain kali kita ngobrol
lagi Kampret Gondrong! Ha..ha..ha..!”
Dewa Ketawa melompat ke punggung keledai kecil itu. Binatang ini melenguh
pendek lalu melangkah cepat. Seperti yang pernah disaksikannya sebelumnya Wiro
melihat Dewa Ketawa hanya menumpang duduk di atas punggung keledai sementara
kedua kakinya yang menjejak tanah melangkah cepat mengikuti langkah keledai.
***
BAB III
Malam itu hujan turun lebat sekali. Di bawah curahan hujan deras dan dinginnya
udara seorang penunggang kuda nampak memacu tunggangannya memasuki Singosari
dari pintu gerbang Utara. Busur dan kantong anak panah tersandang di bahunya. Sebilah
golok panjang tergantung pada ikat pinggang besar yang dikenakannya. Bahu kirinya
dibalut kain tebal untuk menutupi luka besar yang masih mengeluarkan darah. Ternyata
dia adalah seorang anggota pasukan Singosari berpangkat setinggi di bawah kepala
pasukan.
Luka di bahu kirinya membuat tubuhnya panas dingin. Tapi perajurit ini berusaha
menguatkan diri. Apapun yang kemudian terjadi atas dirinya dia tidak perduli. Yang
penting dia harus menyampaikan berita besar itu pada Patih Kerajaan. Seharusnya dia
melapor pada atasan tertinggi yaitu Panglima Perang Argajaya. Namun karena kediaman
sang Panglima terletak jauh di selatan sedangkan Patih Raganatha diam di kawasan
kraton yang lebih dekat sementara lukanya cukup parah, maka prajurit itu memutuskan
menghubungi Patih Kerajaan lebih dulu. Tetapi para pengawal di gedung Kepatihan tidak
satupun yang berani membangunkan Raganatha. Perajurit itu disarankan agar melapor
pada Panglima Argajaya saja.
Udara mulai terang-terang tanah ketika akhirnya prajurit itu sampai di tempat
kediaman Panglima Pasukan Singosari. Dia harus menunggu lama sampai seorang
pengawal keluar menanyakan keperluannya.
”Serombongan pasukan menyerang balatentara Singosari di Welirang… Perajurit
kita banyak yang menemui ajal akibat serangan mendadak ini. Kepala pasukan berusaha
bertahan. Aku diutus untuk melapor serta minta bala bantuan.”
”Tunggu di sini. Aku akan beritahu Panglima Argajaya,” kata pengawal itu.
Tak selang berapa lama Panglima Balatentara Singosari itu muncul di hadapan si
prajurit. Prajurit ini segera menghatur hormat.
”Saya Kijangat, Wakil Kepala Pasukan wilayah Porong di utara. Saya dikirim
Kepala Pasukan untuk menghadap dan melapor.”
”Pengawal mengatakan ada pasukan tak dikenal menyerang pasukanmu. Betul?”
Kijangat mengangguk. ”Jumlah mereka cukup banyak sedang kekuatan kita di
wilayah itu terbatas. Saat ini pasukan Singosari pasti berada dalam bahaya besar. Kepala
Pasukan minta saya mendapatkan bantuan dengan segera.”
”Kalian tahu kira-kira pasukan dari mana yang berani menyerbu bala tentara
Singosari itu?” tanya Panglima Argajaya.
”Besar dugaan mereka adalah orang-orang Kediri…”
”Orang-orang Kediri berani melakukan itu? Pasti Adikatwang yang punya
pekerjaan! Keparat!” Argajaya tampak berang besar.
”Ada satu hal lagi Panglima,” kata Kijagat.
”Apa?”
” Dalam rombongan penyerbu itu bercampur pula orang-orang Madura…”
Paras Panglima Argajaya yang tadi sudah merah kini jadi tambah merah
mengelam. ”Aku harus segera bertindak!” katanya. ”Tapi lukamu perlu diobati.”
Argajaya berteriak memanggil pengawal. Begitu pengawal muncul dia berkata. ”Rawat
lukanya. Kalau sudah biarkan dia istirahat di salah satu kamar belakang.”
Dalam keadaan letih karena perjalanan jauh dan karena banyak darah yang keluar
Kijangat dipapah oleh dua orang pengawal. Tapi dua pengawal ini ternyata tidak
melakukan seperti apa yang diperintahkan Argajaya. Kijangat dinaikkan ke atas sebuah
gerobak lalu dilarikan menuju ke Selatan. Pengawal yang satu bertindak sebagai kusir
gerobak sementara satunya lagi menduduki punggung Kijangat yang dipaksa
menelungkup di lantai kereta.
”Hai! Kalian mau bawa kemana aku?!” teriak Kijangat. ”Kalian diperintahkan
untuk mengobati lukaku!”
”Tutup mulutmu atau kubunuh kau saat ini juga!” bentak pengawal yang
menduduki punggung Kijangat hingga orang ini tidak berkutik. Sebilah golok pendek
disilangkannya di batang leher Kijangat.
Gerobak meluncur kencang di atas jalan tanah berbatu-batu menuju arah Selatan
Tumapel ibukota Singosari.
Di satu tempat yang sunyi dan ditumbuhi pepohonan lebat, pengawal di sebelah
depan hentikan gerobak. Dia memandang berkeliling. Keadaan di tempat itu sunyi
senyap. Udara pagi masih terasa dingin. Mereka berada di bibir timur Lembah Bulan
Sabit. Keadaan di situ diselimuti kesunyian.
”Kurasa ini tempat yang baik,” berbisik pengawal yang mengemudikan gerobak.
Dia memberi isyarat dengan anggukan kepala. Kawannya di sebelah belakang serta merta
angkat tangan kanannya yang memegang golok. Lalu sekuat tenaga senjata itu
dihunjamkannya ke punggung Kijangat.
Wakil Kepala Pasukan wilayah Porong itu meraung keras. Kepalanya mendongak
sesaat lalu terbanting ke atas lantai gerobak. Darah mengucur membasahi punggung
pakaiannya. Kedua kaki dan tangannya mengejang beberapa kali lalu diam tak berkutik
lagi. Dua pengawal menurunkan tubuh Kijangat dari atas gerobak. Lalu tubuh itu mereka
lemparkan ke lembah.
Tak lama setelah gerobak bersama dua pengawal itu berlalu, dari pusat Lembah
Bulan Sabit sayup-sayup terdengar suara orang bersiul menyanyikan lagu tak menentu.
Mendadak suara siulan itu berhenti. Menyusul terdengar satu seruan.
”Astaga! Binatang atau manusia yang melingkar di semak belukar itu!”
Orang yang bersiul menggaruk kepalanya. Dia bukan lain adalah Pendekar 212
Wiro Sableng yang tengah meninggalkan Lembah Bulan Sabit setelah pertemuan dengan
Gayatri, Dewa Ketawa, dan Kakek Segala Tahu. Wiro mendekati dengan cepat sosok
yang terbaring di tanah dengan pakaian penuh lumuran darah. Orang ini berseragam
prajurit Singosari. Sosok ini adalah Kijangat yang sebelumnya telah ditusuk oleh
pengawal Panglima Argajaya. Wiro memeriksa keadaan prajurit yang malang itu. ”Masih
hidup. Tapi tak bakal lama,” pikir Wiro. Bibir Kijangat tampak bergetar.
Dari sela bibir itu terdengar suara mengerang. Murid Eyang Sinto Gendeng segera
alirkan tenaga dalam untuk memberi kekuatan pada orang yang tengah sekarat itu.
”Prajurit Singosari, katakan apa yang terjadi,” Wiro menekan dada Kijangat
dengan telapak tangan kanannya. Mulut Kijangat terbuka sedikit. Namun bukan suara
yang keluar melainkan lelehan darah. Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Sepasang
mata Kijangat membuka, hanya putihya yang kelihatan.
Pas..pasukan musuh me.. menyerang di Utara…” Kijangat berucap dengan susah
payah. ”Aku…aku melapor pad Panglima…Dua peng.. pengawalnya membawaku ke sini.
Aku..aku ditusuk… Pengawal itu sengaja… membunuhku.
Beritahu Patih. Penyerang adalah orang-orang Kediri…orang-orang Madura.
Aku…” Kijangat megap-megap.
”Beritahu siapa namamu!” ujar Wiro.
”Aku…aku Kijangat. Aku…” kata-kata Kijangat terputus. Nyawanya lepas.
Wiro menghela napas panjang. Dia ingat ramalan Kakek Segala Tahu. ”Agaknya
ramalan orang tua itu akan segera menjadi kenyataan,” kata Wiro dalam hati.
***
Bagi Wiro yang merasa dirinya tidak lebih sebagai seorang buronan tidak mungki
untuk menemui Patih Singosari guna melaporkan apa yang diketahuinya. Sesuai dengan
petunjuk Gayatri, pagi itu dia berusaha untuk menyelinap di sekitar Keraton, mencari
seorang abdi tua bernama Damar.
Namun anehnya setiap orang yang ditanya mengatakan tidak ada orang bernama
Damar. Selagi kebingungan tiba-tiba ada seorang anak lelaki mendatangi dan sengaja
menabraknya.
Wiro yang sedang bingung hendak mendamprat anak itu. Tapi si anak berkata
tanpa berpaling, ”Ikuti saya. Saya tahu orang bernama Damar itu.”
Wiro cepat ikuti si anak. Dia dibawa ke tembok belakang Keraton, menuju
sederetan kandang kuda. Seorang lelaki tua bertubuh katai tampak tengah memaku ladam
kaki kiri belakang seekor kuda besar. Anak tadi menunjuk pada orang tua katai itu lalu
cepat-cepat bertindak pergi.
Murid Sinto Gendeng dekati orang tua bertubuh katai yang tengah memperbaiki
ladam di kaki seekor kuda. Abdi yang tingginya hanya sepinggang Wiro menatap
Pendekar 212 dengan pandangan dingin.
“Apa keperluanmu?” tanya orang tua katai ini. Ternyata suaranya besar sekali.
”Saya mencari seorang bernama Damar,” jawab Wiro.
”Dari mana kau tahu nama itu?” tanya lagi si katai.
Wiro jadi ragu untuk menjawab.
”Orang bertanya apakah kau tuli?!”
”Puteri bungsu Sang Prabu yang memberi tahu nama itu,” Wiro akhirnya
menjawab.
”Namamu sendiri siapa?!”
Dalam hati Wiro mulai mendumal. Si katai tua ini banyak sekali tanyanya. Tapi
karena perlu maka diapun menjawab juga. ”Saya Wiro. Sahabat Raden Ayu Gayatri.”
Si katai menyeringai sinis. ”Puteri Gayatri mana punya sahabat orang sepertimu!”
Habis berkata begitu acuh tak acuh si katai membalikkan tubuh. Dia mengambil sebuah
ladam besi dari dalam sebuah kotak kayu. Tangan kanannya yang memegang ladam itu
bergerak meremas. Kraaakkk! Ladam besi patah tiga!
Selagi Wiro mengagumi kehebatan orang ini, tiba-tiba si katai melemparkan tiga
besi potongan ladam tadi ke arahnya.
Tiga potongan besi itu menderu ke arah kepala, dada, dan perut Pendekar 212.
Kaget murid Sinto Gendeng bukan kepalang. Cepat dia menghantam lepaskan
pukulan sakti Tameng sakti menerpa hujan. Tiga kepingan ladam maut mental. Dua
menancap di atap kandang kuda, satu lagi menancap di tembok belakang Keraton. Angin
pukulan sakti itu terus menggebubu menyapu ke arah si katai. Dengan cekatan orang tua
ini melompat ke samping. Di lain kejap dia telah duduk seenaknya di atas punggung
seekor kuda. Wajahnya masih sedingin tadi walau kini tampak senyumnya yang sinis.
Ketika Wiro hendak menghantam dengan pukulan tangan kosong berikutnya, si katai
cepat mengangkat tangan tinggi-tinggi.
”Tahan!” katanya. ”Sekarang aku baru percaya kau pemuda yang bernama Wiro,
sahabat Raden Ayu Gayatri. Aku mendengar kehebatanmu darinya. Karena itu aku perlu
menguji lebih dahulu. Kau mampu melumpuhkan seranganku. Hanya orang yang
berkepandaian setinggi puncak Gunung Semeru yang dapat melakukan hal itu!”
”Orang tua, siapa kau sebenarnya?!” tanya Wiro.
Orang tua itu tidak menjawab. Dia membuat gerakan ringan dan sekali berkelebat
kini dia sudah berdiri di atas punggung kuda. Tangan kanannya diulurkan ke atas atap.
Wiro melihat ada sebuah bungkusan di atap kandang kuda itu.
Orang tua ini mengambil bungkusan itu, membukanya lalu melemparkan isinya
pada Wiro.
”Tukar pakaianmu dengan itu!” kata si katai.
Wiro perhatikan apa yang barusan dilemparkan orang tua katai itu. Ternyata
seperangkat pakaian prajurit Singosari.
”Kalau kau ingin menemui Raden Ayu Gayatri, lekas kenakan pakaian itu. Aku
tak punya waktu lama.”
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya.
”Kau pasti sudah lama tidak mandi. Sejak tadi kulihat sudah beberapa kali kau
menggaruk-garuk kepala!”
”Kurang ajar! Sialan!” maki Wiro dalam hati.
***
BAB IV
Patih Raganatha yang ditemani Pendeta Mayana untuk beberapa saat seperti tidak
bisa percaya atas apa yang barusan disampaikan Raden Ayu Gayatri.
”Kami akan sampaikan berita ini pada Panglima Argajaya agar dia segera
melakukan tindakan,” kata Patih Raganatha.
”Saya lebih suka kalau Paman Patih langsung menyampaikan pada Sang Prabu,”
kata Raden Ayu Gayatri.
”Jika itu keinginan Raden Ayu akan kami laksanakan,” jawab Pendeta Mayana.
”Lalu bagaiman dengan Panglima Argajaya? Apakah tidak dilakukan pengusutan
atas dirinya?”
Patih Raganatha tersenyum. ”Kita tidak tahu pasti apakah memang dia yang
menyuruh bunuh prajurit yang datang dari Porong itu. Atau kedua pengawalnya itu yang
sebenarnya telah menjadi kaki tangan orang-orang Kediri.”
”Kalau begitu kedua pengawal itu harus ditangkap, diperiksa!”
Patih Raganatha mengangguk. ”Serahkan semua urusan ini pada kami berdua.”
Patih Raganatha dan Pendeta Mayana mengantarkan Gayatri sampai di pintu. Di
situ berdiri seorang prajurit bertubuh tegap yang tadi ikut datang mengantar puteri Sang
Prabu itu dan menunggu di luar.
”Raden Ayu,” tiba-tiba Patih Raganatha ingat sesuatu.  
”Dari siapa sebenarnya Raden Ayu mendapat berita penyerangan itu. Bukankah
prajurit yang datang melaporkannya mati dibunuh?”
Gayatri tak bisa menjawab. Dia berpaling pada prajurit yang tegak di samping
pintu.
”Maafkan saya,” kata prajurit itu setelah menghaturkan sembah hormat. ”Pagi tadi
kebetulan saya melakukan perondaan di Lembah Bulan Sabit. Saya yang menemukan
prajurit itu. Dalam keadaan sekarat dia masih sempat menceritakan apa yang terjadi di
Utara.”
Patih Raganatha menatap paras prajurit itu sesaat.
”Jika kau yang menemukan prajurit itu, selayaknya kau melapor pada Panglima,
bukan pada Raden Ayu Gayatri…”
Pendeta Mayana melirik ke arah Gayatri. Dia melihat perubahan pada wajah
puteri sang Prabu ini ketika mendengar kata-kata Patih Raganatha.
”Terus terang…” kata prajurit itu. ”Seharusnya memang saya melapor pada
Panglima atau Kepala Pasukan dipindahkan. Tetapi setelah saya tahu ada yang tidak
beres dengan kematian prajurit itu maka saya merasa khawatir dan berpikir lebih baik
melapor pada Paduka Patih saja. Dalam perjalanan ke sini saya berpapasan dengan Raden
Ayu. Saya ceritakan padanya kejadian itu. Kami bersama-sama kemudian menghadap
Paduka Patih.”
Patih Raganatha mengangguk-angguk tapi kedua matanya tetap mengawasi
prajurit itu.
”Paman Patih, ingat. Kerajaan dalam bahaya besar. Sebaiknya segera saja
menemui Ayahanda,” kata Gayatri memotong karena mulai merasa tidak enak. Dia
membalikkan diri dan meninggalkan tempat itu dengan cepat. Si prajurit melangkah di
sampingnya.
”Tunggu!” tiba-tiba Patih Ragantha berseru dan memburu. Dia memotong jalan si
prajurit dan menghadang di depannya. Pendeta Mayana bergegas menyusul. ”Aku merasa
pernah melihatmu sebelumnya,” kata Patih Raganatha.
Tangannya diulurkan menarik rambut prajurit yang tergelung di atas kepala.
Ketika ikatan rambut itu terbuka dan rambut si prajurit menjulai gondrong sebahu,
ingatan Patih Raganatha pulih penuh. Dia mengenali siapa adanya prajurit itu.
”Kau…! Aku sudah duga dan curiga! Kau ternyata buronan bernama Wiro itu!
Serahkan dirimu!”
”Paman Patih! Siapa dia tidak penting!” Gayatri keluarkan suara keras seraya
menyeruak lalu tegak diantara Wiro dan Patih Raganatha. “Yang lebih penting adalah
menyelamatkan Kerajaan dari kaum penyerbu Kediri dan Madura!”
Paras Patih Singosari itu nampak membesi. “Manusia satu ini tak kalah
pentingnya Raden Ayu. Saya harus menangkapnya saat ini juga!”
Di saat itu pula Wiro tiba-tiba mendengar suara mengiang di telinga kirinya.
Seseorang mengirimkan suara tanpa berucap kepadanya, “Anak muda, lekas kau lakukan
sesuatu sebelum Patih Raganatha menangkapmu.”
Wiro maklum, yang mengirimkan ucapan itu adalah Pendeta Mayana, kekasih
gurunya di masa muda. Saat itu pula dilihatnya Patih Raganatha melompat ke
hadapannya.
Kedua tangannya diulurkan ke depan dan Wiro melihat kedua tangan itu berubah
panjang sekali, bercabang-cabang seperti gurita.
“Astaga!” Pendeta Mayana terkejut melihat apa yang dilakukan Patih Raganatha.
”Mapatih mengeluarkan ilmu Seratus gurita mengamuk. Murid Sinto Gendeng itu tak
mungkin bisa lolos!”
Diam-diam dari belakang dalam gerakan yang tidak kelihatan dan terlindung di
balik pakaiannya, Pendeta Mayana mengangkat tangan kanannya lalu menariknya ke
belakang.
Gerakan Patih Raganatha mendadak seperti tertahan. Dalam kejutnya Patih
Kerajaan ini lipat gandakan tenaga dalamnya.
Justru saat itu dari depan Wiro mendahului dengan mendorongkan tangan kiri ke
arah dada, mengirimkan pukulan tangan kosong kunyuk melempar buah. Raganatha
merasa seperti ada batu besar yang menghantam dadanya. Dia cepat berkelit ke samping.
Namun angin pukulan Wiro masih sempat menabrak bahunya. Patih Singosari ini
terpuntir keras dan terbanting ke lantai. Dua tangannya yang tadi berubah panjang
vercabang-cabang lenyap dan kembali ke bentuknya semula. Ketika dia mencoba bangkit
dengan mengerenyit kesakitan ditolong oleh Pendeta Mayana, Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 Wiro Sableng sudah tidak ada lagi di tempat itu.
Patih Ragantha memandang tak berkesip pada Raden Ayu Gayatri. Kalau saja
bukan puteri sang Prabu yang dihadapinya mungkin saat itu sudah ditamparnya. Dia
menoleh ke arah Pendeta Mayana, pandangan matanya tampak beringas.
Ah, dia tahu kalau aku tadi menahan gerakannya, membatin sang Pendeta. Lalu
dia cepat berkata: ”Mapatih, kita harus segera menghadap Sang Prabu.”
”Biarkan saya sendiri yang menghadap Sang Prabu,” kata Patih Raganatha. Lalu
dengan bergegas ditinggalkannya tempat itu. Pendeta Mayana dan Gayatri hanya bisa
saling pandang untuk beberapa saat lamanya. Sang Pendeta kemudian berkata. “Raden
Ayu, seperti Raden Ayu, saya merasa yakin bahwa saat ini Singosari benar-benar berada
dalam bahaya besar. Saya akan menghubungi Damar. Hati-hatilah bicara dan bertindak.
Bukan mustahil dalam Keraton ini ada musuh dalam selimut.”
Raden Ayu Gayatri mengangguk.
Ketika Patih Raganatha masuk ke ruangan dimana sang Prabu biasa menerima
kedatangan para pejabat dan petinggi Keraton, di tempat itu ternyata sudah ada Panglima
Argajaya tengah bicara dengan sang Prabu.
”Mungkin apa yang saya hendak sampaikan pada sang Prabu, sama dengan apa
yang tengah dibicarakan Panglima dengan sang Prabu saat ini,” kata Patih Raganatha.
Lalu dia menerangkan kabar penyerbuan orang-orang Kediri yang dibantu oleh orang-
orang Madura.
”Paman Patih benar,” kata Panglima Argajaya.
”Saya baru saja menyampaikan laporan itu pada sang Prabu. Bahkan saya sudah
mengirimkan satu kelompok kecil pasukan ke Utara.”
”Satu kelompok kecil?” ujar Patih Raganatha. ”Kaum penyerbu dikabarkan
berjumlah cukup besar dan pasukan kita di sekitar Porong saat ini terdesak hebat.”
”Ah, dari manakah sumber keterangan Paman Patih?” bertanya Argajaya.
Sesaat Patih Raganatha terdiam. Akhirnya dia memutuskan untuk bicara apa
adanya. Lalu diceritakannya kedatangan Raden Ayu Gayatri bersama pemuda bernama
Wiro itu.
Terkejutlah Sang Prabu mendengar keterangan Sang Patih. ”Pemuda kurang ajar
buronan itu berani masuk Keraton dan bersama puteriku! Paman Patih! Tugasmu
menagkapnya!”
”Saya sudah melakukannya Sang Prabu. Tapi pemuda itu sempat melarikan diri..”
jawab Patih Raganatha.
“Kalau memang dia yang jadi sumber keterangan, jangan-jangan kita sudah kena
ditipu!” berkata Argajaya.
”Berarti tepat tindakan saya hanya mengirimkan satu pasukan kecil ke Utara”
“Saya mencium hal yang mencurigakan,” menyahut Patih Raganatha. Ketika
bicara dia memandang pada Sri Baginda.
“Maksud Mapatih?” tanya Sang Prabu.
”Menurut keterangan yang saya terima, prajurit yang datang dari Utara membawa
laporan dan pesan, dibunuh oleh dua orang pengawal yang bertugas di tempat kediaman
Panglima…Hal ini perlu diusut!”
”Secara tidak langsung Paman Patih bermaksud mengatakan bahwa saya harus
dicurigai dan diusut!” Panglima Argajaya tidak dapat menyembunyikan rasa marahnya.
Suaranya bergetar.
“Saya tidak mengatakan demikian Panglima. Tapi jika keterangan itu benar, harus
dicari tahu mengapa hal itu terjadi,” jawab Patih Raganatha.
”Mencurigai sesama kita tidak baik,” ujar Sang Prabu.
”Saya setuju dengan ucapan Sang Prabu,” kata Panglima Argajaya. ”Lagi pula
saya suvah melakukan pengusutan sebelum Paman Patih mengemukakan. Prajurit yang
datang dari Utara berada dalam keadaan luka parah. Ketika hendak diobati dia berusaha
melarikan diri. Karena tidak mau menyerah, dua pengawal saya terpaksa menyerangnya.
Dia memang tewas.”
”Tapi mengapa mayatnya ditemukan dekat Lembah Bulan Sabit? Tidak di
Tumapel?”
Panglima Argajaya tampak merah wajahnya. Lalu didengarnya Patih Kerajaan
bertanya, ”Bisakah saya bicara dengan dua pengawal yang Panglima sebutkan tadi?”
”Bisa saja. Tapi keduanya sudah saya kirim ke Utara bersama kelompok pasukan
bantuan.” jawab Argajaya pula. Lalu dia berpaling pada Sri Baginda. “Sang Prabu, kta
berada di sini bukan untuk membicarakan kematian prajurit atau kecurigaan terhadap dua
pengawal saya ataupun diri saya sendiri. Yang harus kita lakukan adalah menumpas
kaum pemberontak itu. Saya telah mengirimkan sejumlah pasukan ke Utara. Seseorang
sudah saya minta untuk melihat situasi dan kembali memberikan laporan siang ini juga.
Bagaimanapun juga saya mohon petunjuk Sang Prabu lebih lanjut.”
”Kalian melaporkan adanya orang-orang Kediri dan pasukan dari Madura yang
bergabung dalam pasukan penyerbu itu,” berucap Sang Prabu. ”Sekali lagi saya katakan
tidak mungkin Adikatwang ataupun Wira Seta punya niat jahat terhadap Singosari. Saya
setuju dengan tindakan Panglima hanya mengirim serombongan pasukan kecil. Yang
penting seluruh pasukan disiapsiagakan untuk melindungi Tumapel.
Tapi ingat, satu lapis pasukan harus dikirim ke luar Kotapraja sebelah Utara untuk
menjaga segala kemungkinan.”
”Perintah Sang Prabu akan saya lakukan,” kata Panglima Argajaya pula. ”Jika
tidak ada hal-hal lain, saya minta diri untuk menjalankan perintah.”
”Kau boleh pergi Panglima. Beritahu setiap ada perkembangan baru pada saya.”
“Akan saya lakukan sang Prabu.” Kata Argajaya pula.
Lalu setelah melontarkan lirikan tajam ke arah Patih Raganatha diapun keluar dari
ruangan itu.
“Saya rasa sayapun bisa minta diri jika diizinkan,” kata Patih Singosari setelah
hanya dia saja yang berada di ruang itu bersama sang Prabu.
“Tolong panggilkan Pendeta Mayana. Minta dia datang ke ruangan berdoa. Saat-
saat seperti ini meminta perlindungan dari Yang Kuasa adalah sangat penting. Jika
Paman Patih suka bisa ikut mengadakan upacara pemanjatan doa bersama-sama.”
“Saya akan panggilkan Pendeta Mayana,” kata Patih Raganatha lalu
meninggalkan ruangan setelah terlebih dulu menjura hormat.
***
BAB V
Beberapa pengawal yang bertugas di halaman belakang Keraton meliha ada orang
lari segera mengejar. Di sebelah depan sempat menghadang empat orang prajurit
bersenjatakan tombak dan pedang. Namun keempatnya langsung terjengkang begitu kaki
dan tangan Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat menghantam.
Dengan gerakan ringan apalagi setelah menerima ilmu meringankan tubuh dari
Dewa Ketawa, Wiro Sableng melompati tembok belakang Kraton tanpa kesulitan. Para
pengawal tak mungkin mengejar. Begitu menjejakkan kaki di jalan belakang tembok
sesaat Wiro berpikir kemana dia harus pergi dan apa yang musti dilakukannya. Selagi dia
berpikir begitu di depannya dilihatnya seorang nenek berjubah merah muda berbelang-
belang merah tua melangkah ke arahnya. Semakin dekat perempuan tua ini mendatangi
tambah jelas keanehan pada wajahnya dilihat Wiro. Nenek ini memiliki mata semerah
buah saga. Telinganya dicantoli giwang panjang berwarna merah.
Tiupan angin dan langkah yang dibuatnya menyebabkan sepasang giwang itu
bergoyang-goyang dan mengeluarkan suara bergemerincing. Sesekali si nenek
mengulurkan lidah membasahi bibirnya. Lidah itu mengerikan sekali. Bukan saja karena
panjang tetapi juga warnanya yang merah seperti api.
Di belakang rambutnya yang berwarna merah lepas riap-riapan ada secarik pita
yang juga berwarna merah. Wajahnya yang angker tampak lebih mengerikan karena
sepasang alisnya yang panjang menjulai ternyata juga berwarna merah pekat!
Nenek aneh ini melangkah ke arah Wiro. Begitu sampai di hadapannya baru
murid Sinto Geneng ini menyadari betapa tingginya si nenek. Kepalanya hanya sampai di
dada perempuan tua itu.
Si nenek mengeluarkan tangan kanannya. “Minta sedekah!” katanya kasar.
Pandangan mukanya garang dan kedua matanya membara. Ketika bicara lidahnya
menjulur keluar seperti lidah api menyambar. Wiro merasa ada hawa panas keluar dari
mulut dan mungkin juga dari kedua mata perempuan tua ini.
Ah, pengemis dia rupanya, kata Wiro dalam hati.
Perasaannya yang tidak enak kini menjadi lega. Namun dia tidak bisa
memberikan apa-apa dan harus segera meninggalkan tempat itu sebelum ada yang
mengejar.
”Harap mafkan, saya tidak punya uang,” kata Wiro lalu cepat memutar diri
hendak tinggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba, sama sekali tidak terduga, tangan kanan
yang masih diulurkan itu meluncur ke arah dada Wiro Sableng. Pendekar ini merasakan
ada hawa panas menjalari sekujur tubuhnya. Saat itu juga dia tidak bisa bergerak tidak
bisa bersuara! Ternyata nenek pengemis itu telah menotoknya dengan ilmu totokan yang
aneh. Semakin lama Wiro merasakan tubuhnya semakin panas!
Celaka! Keluh Pendekar 212.
Di hadapannya si nenek tertawa mengekeh. Lidahnya terjulur-julur seperti lidah
api menyambar-nyambar. Kedua matanya bertambah merah. Dia membungkuk, siap
memanggul tubuh Wiro. Pada saat itulah ada angin menyambar disusul oleh satu letupan
halus. Segulung asap putih menggebubu menutupi jalan seluas lima tombak persegi.
Wiro merasa ada seseorang tiba-tiba memegang pinggangnya, tubuhnya dikempit
lalu dibawa lari laksana melayang. Di belakangnya terdengar suara nenek memaki marah
lalu ada suara menderu keras. Wiro memandang ke belakang. Dari gelungan asap putih
tebal dilihatnya ada lidah api mencuat mengerikan. Lidah api ini mengejar ke arahnya.
Panas dan ganas. Orang yang mengempitnya melompat ke kiri sambil mengebutkan
lengan jubah pakaiannya. Semburan lidah api tampak bergoyang-goyang.tubuh si
pengempit bergetar keras hampir jatuh. Tapi lidah api berhasil dibuat mental hingga Wiro
dan orang yang mengempitnya tidak sempat disambar lidah api itu. Dalam waktu beberap
kejapan saja si pengempit sudah membawa Wiro jauh dan tak mungkin dikejar oleh nenk
pengemis tadi.
Di satu tempat yang sunyi, orang yang mengempit menurunkan Wiro ke tanah.
Tegak berhadap-hadapan Wiro cepata memandang ke arah wajah orang yang telah
menolongnya itu. Ternyata orang itu mengenakan sehelai cadar hitam untuk menutupi
wajahnya. Tapi dari pakaiannya Pendekar 212 mulai menduga-duga.
Orang bercadar membuka dada pakaian Wiro lalu dari balik cadarnya dia meniupi
dada yang ditotok oleh nenek pengemis tadi. Wiro merasa ada hawa hangat sejuk
menembus kulit dan daging tubuhnya, terus menyusup ke seluruh peredaran darahnya.
Sesaat kemudian tubuhnya yang tadi serasa panas hingga dia kucurkan keringat sebesar-
besar butir jagung kini menjadi dingin dan saat itu pula dia bisa menggerakkan kaki
tangannya dan membuka suara.
”Terima kasih,” ucap  Wiro Sableng.
”Sahabat, siapakah kau yang telah menolongku? Dan siapa nenek pengemis tadi?
Mengapa dia menotok saya?”
“Dia bukan pengemis,” jawab orang bercadar. “Dia adalah Dewi Maha Geni,
seorang tokoh silat istana yang ilmu luar biasa tapi diragukan kesetiaannya.
Kemungkinan dia adalah kaki tangan orang-orang Kediri… Dia pasti bermaksud
menculikmu. Ada dua kemungkinan mengapa dia melakukan hal itu, pertama
membujukmu ikut dalam gerakan Adikatwang dan Wira Seta. Atau menyerahkan
kepalamu pada orang-orang Kediri!”
Wiro terkesiap mendengar ucapan orang itu. “Kau, kau sendiri belum mengatakan
siapa dirimu. Saya seperti mengenal suaramu tapi agak meragu. Bukankah kau…“
Orang di hadapan Wiro membuka cadar hitamnya. Wiro melihat satu wajah yang
bersih dan mata yang bening.
“Pendeta Mayana!” seru Wiro sementara orang di hadapannya hanya tersenyum
kecil. “Saya memang sudah menyangka tadi..”
“Waktuku tidak banyak. Aku perlu beberapa bantuan darimu,“ kata Pendeta
Mayana.
“Katakanlah, matipun aku mau mengingat budi besarmu” jawab Pendekar 212
tanpa ragu-ragu.
“Tidak, bantuan itu bukan untuk pribadiku. Tapi untuk Kerajaan. Untuk
Singosari,” kata Pendeta Mayana pula. ”Kita sudah sama tahu bahwa musuh mulai
menyerbu dari Utara.”
Wiro mengangguk. Sang Pendeta meneruskan. “Aku punya firasat bahwa
Singosari akan jatuh. Beberapa petunjuk Dewa mengatakan begitu. Sementara Sang
Prabu seperti tidak mau percaya pada kenyataan. Jika bahaya benar-benar tak dapat
dihindari, aku mohon kau menyelamatkan keempat puteri sang Prabu dan dua buah
pusaka Kerajaan yaitu Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa. Dua benda itu adalah
yang menentukan syah tidaknya seseorang menjadi Raja Singosari.”
”Saya akan lakukan hal itu pendeta. Namun saya butuh petunjukmu bagaimana
melakukannya.”
Pendeta Mayana mengangguk. “Bila saatnya sudah tiba, aku akan tunjukkan
dimana adanya kedua benda pusaka itu.”
”Bagaimana caranya saya menghubungi pendeta?” tanya Wiro.
”Seorang sahabat yang akan menghubungimu. Berusahalah agar tidak jauh-jauh
dari Keraton. Kalau perlu menyamar.”
”Akan saya lakukan,” jawab Wiro. Lalu dia bertanya.
”Siapa sahabat yang akan menghubungi saya itu?”
”Damar.”
”Damar? Orang katai perawat kuda-kuda Keraton itu?”
Pendeta Mayana tersenyum. “Itu pekerjaannya sehari-hari. Tapi sebenarnya dia
adalah orang kita yang disusupkan ke Keraton untuk membayangi tindak-tanduk Dewi
Maha Geni. Cuma aku khawatir tingkat kepandaiannya masih berada jauh di bawah
nenek bermata dan berlidah api itu. Aku harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik…”
“Sekali lagi terima kasih saya untukmu Pendeta. Kau juga harus berhati-hati. Saya
menduga Keraton telah disusupi musuh dalam selimut…”
Pendeta Mayana mengangguk segera tinggalkan tempat itu. Tiba-tiba Wiro ingat
pada pesan Eyang Sinto Gendeng, gurunya. Pendeta Mayana juga tahu sekali pesan itu
karena disampaikan lewat dirinya.
”Pendeta, tunggu dulu!” seru Wiro. Dia lari mengejar.
“Ada apa?” tanya Pendeta Mayana seraya hentikan larinya.
”Saya punya ganjalan dalam melakukan permintaanmu.
Ingat pesan Eyang Sinto Gendeng yang disampaikannya untukku melaluimu di
pondok Lembah Bulan Sabit tempo hari?”
Pendeta Mayana tersenyum. “Aku tidak lupa hal itu. Pesan orang tua dan guru
wajib diingat dan dihormati. Tetapi harus kau ketahui setiap pesan bisa saja tidak sesuai
lagi dengan keadaan dan kehendak waktu. Lebih dari itu berbuat satu kebajikan untuk
orang banyak apalagi Kerajaan lebih banyak hikmahnya daripada hanya mengikuti suatu
pesan yang tidak dapat lagi dipertahankan. Kau mengerti maksudku?”
“Saya mengerti Pendeta,” jawab Wiro.
“Apakah kau kini masih merasa ada ganjalan?”
”Tidak.”
“Bagus. Kalaupun nanti gurumu marah, biar aku yang menghadapinya. Aku yang
akan bertanggung jawab terhadap dirinya.”
“Kalau begitu sekarang saya benar-benar merasa lega.”
Pendeta Mayana mengangguk dan tinggalkan tempat itu.
***
Patih Raganatha tidak berhasil menemui Pendeta Mayana. Sang Pendeta saat itu
secara diam-diam hendak menemui Raden Ayu Gayatri di Kaputeran.
Di taman indah di samping Kaputeran Pendeta Mayana berpapasan dengan
seorang pemuda bertubuh tinggi langsing berparas cakap. Dia adalah Raden Juwana,
calon menantu sang Prabu yang kelak akan dinikahkan dengan puteri sulung Tribuana
Tunggadewi. Saat itu Raden Juwana tengah bercakap-cakap dengan calon istrinya yang
ditemani oleh seorang pengasuh. Melihat jalan Pendeta Mayana yang begitu bergegas,
Raden Juwana menegur hormat.
”Rupanya ada sesuatu yang penting hingga Pendeta tampak melangkah cepat.
Ada apakah hingga Pendeta mengambil jalan melintas menuju Kaputeran?”
“Syukur Raden ada disini. Mari kita sama-sama masuk Kaputeran. Ada hal
penting yang perlu kita bicarakan.”
Raden Juwana dan Pendeta Mayana melangkah di depan. Tribuana mengikuti dari
belakang diiringi pengasuh. Di dalam Kaputeran yang kemudian dihadiri juga oleh tiga
puteri Raja lainnya termasuk puteri bungsu Gayatri, Pendeta Mayana menjelaskan
tentang adanya serangan oleh musuh Kerajaan di sebelah Utara.
”Saya bukan seorang peramal. Tetapi dalam kehidupan ini segala sesuatunya
dapat kita hubungkan dengan petunjuk dari Dewata. Beberapa waktu lalu ada hal aneh
yang terjadi di candi Jago. Petir dahsyat menyambar di siang hari.
Getarannya terasa sampai di jantung. Ini satu pertanda dari para Dewa bahwa
sesuatu akan terjadi di Singosari. Jika hal itu adalah sesuatu yang baik, kita tidak perlu
membicarakannya. Tetapi bagaimana kalau kelak itu adalah pertanda akan terjadinya
sesuatu yang buruk, suatu malapetaka?”
“Maksud Pendeta Mayana?” tanya Raden Juwana.
”Orang-orang Kediri dibantu oleh orang-orang Madura mengirimkan pasukan,
menyerbu kedudukan pasukan kita di Utara sekitar Porong. Panglima telah mengirimkan
bala bantuan namun saya merasa khawatir pihak kita akan mengalami kekalahan.”
”Mana mungkin Singosari bisa dikalahkan. Kta mempunyai jumlah pasukan yang
lebih besar dan terlatih. Apakah Raden Adikatwang dan Wira Seta ikut terlibat dalam
gerakan penyerbuan itu?”
”Saya rasa begitu,” jawab Pendeta Mayana. Lalu dipegangnya bahu Raden
Juwana dan diajaknya berjalan agak menjauh dari Tribuana. ”Dengar…” kata Penveta
Mayana pula. ”Singosari memang punya bala tentara besar dan terlatih. Tetapi baik
Panglima maupun Mapatih serta sang Prabu merasa bahaya itu tidak perlu dikhawatirkan.
Lain dari itu, saya merasa kita telah disusupi oleh musuh-musuh dalam selimut.”
”Kalau Pendeta mengetahui siapa orangnya, mengapa tidak dilaporkan pada sang
Sri Baginda?” ujar Raden Juwana.
”Saya dan beberapa petinggi Kerajaan berada dalam kesulitan. Sang Prabu tidak
mau mendengar pandangan kami.”
”Menurut Pendeta apakah keadannya gawat sekali?”
“Saat ini mungkin belum. Tapi siapa tahu apa yang terjadi besok atau lusa…?”
Saat itu seorang prajurit Kraton muncul memberi tahu bahwa Pendeta Mayana
ditunggu Sang Prabu di Ruang Pemanjatan Doa.
”Kita akan bicara lagi nanti,” kata Pendeta Mayana lalu tinggalkan tempat itu
mengikuti prajurit tadi.
***
BAB VI
Malam itu Tumapel dilanda kehebohan. Deretan gudang panjang di selatan
Kotaraja dilanda kebakaran. Di bagian lain hampir dua ratus ekor kuda yang ketakutan
menjadi liar, mendobrak palang pembatas dan lari ke pelabagai arah sulit untuk dikejar.
Di halaman kandang kuda enam orang tidak dikenal menggeletak jadi mayat dengan
kepala pecah.
Orang tua katai bernama Damar memandangi mayat itu satu per satu. Tak
seorangpun yang dikenalinya.
Seharusnya tidak semua kubunuh, kata Damar dalam hati penuh penyesalan. Kini
dia tidak bisa mengetahui siapa adanya keenam orang yang dengan sengaja telah
melepaskan ratusan ekor kuda itu. Damar berlutut di samping salah satu mayat.
Dirabanya pakaian orang itu. Terasa tebal. Tangannya bergerak merobek dada pakaian
mayat.
Ah! Orang tua katai ini melengak. Di bawah pakaian yang barusan dirobeknya
terlihat sehelai pakaaian berwarna hitam bergaris-garis kuning. Itu adalah pakaian
seragam prajurit Kediri! Pasti mereka juga yang telah melakukan pembakaran atas
gudang senjata! Damar segera tinggalkan tempat itu, bergegas menuju gedung
Kepatihan.  
Sampai di depan gedung dilihatnya Patih Raganatha tegak di tangga depan,
memandang ke arah timur dimana langit tampak merah terbakar.
”Mohon maafmu, Mapatih Singosari,” kata Damar.
”Orang-orang Kediri berhasil menyusup dan melepas kuda-kuda milik kita. Saya
berusaha mengejar binatang-binatang itu. Tapi sia-sia saja. Enam penyusup berhasil saya
tewaskan…”
”Orang-orang Kediri rupanya tidak main-main,” kata Patih Raganatha. Hatinya
mulai merasa khawatir. Dia berpaling pada seorang pembantu kepercayaan yang tegak di
sampingnya. ”Apa sudah ada kabar dari Panglima mengenai keadaan di Utara?”
Yang ditanya menggeleng. ”Orang saya berusaha menemui Panglima. Namun
pengawal di sana mengatakan bahwa Panglima tengah melakukan pertemuan di Selatan
dengan beberapa Kepala Pasukan untuk membuat persiapan berjaga-jaga melindungi
Kotaraja.”
”Ada beberapa keanehan!” kata Patih Kerajaan pula.
”Orang-orang Kediri menyusup begitu mudah. Ratusan kuda yang bisa
diandalkan untuk perang dilepas orang! Panglima tidak ada di tempat. Lalu gudang
senjata dibakar orang! Tak ada yang bisa diselamatkan! Lalu tak ada sama sekali kabar
dari medan pertempuran di Utara.”
”Maaf Mapatih,” berkata pembantunya. ”Mungkin keterangan saya sebelumnya
kurang jelas. Mengenai gudang senjata yang terbakar, gudangnya memang musnah tetapi
sewaktu kebakaran terjadi tidak ada sepotong tombak atau pedang ataupun tameng di
dalamnya.”
”Berarti gudang itu memang sudah kosong sebelum terjadi kebakaran!” sepasang
mata Patih Raganatha membeliak.
”Mungkin memang begitu adanya, Mapatih,” jawab si pembantu.
”Aku segera menemui sang Prabu. Beliau masih berada di Ruang Pemanjatan Doa
saat ini.” Patih itu berpaling pada Damar lalu berkata.
”Lakukan apa yang bisa kau lakukan. Usahakan mengembalikan kuda-kuda yang
terlepas itu.”
Orang tua bertubuh katai itu mengangguk dan cepat-cepat tinggalkan tempat itu.
Tapi dia tidak  melakukan apa yang diperintahkan Patih Raganatha melainkan
mendahului Patih itu menuju Ruang Pemanjatan Doa.
Dalam Ruang Pemanjatan Doa, sang Prabu hanya ditemani oleh Pendeta Mayana.
Sang Prabu saat itu duduk di atas batu pualam putih yang mengeluarkan sinar terang
dalam ruangan yang redup itu. Keadaannya seperti orang yang kurang sadar. Kedua
matanya terpejam. Telapak tangan dirapatkan dan diluruskan di depan dada. Mulutnya
bregerak-gerak tapi tak ada suara yang keluar. Damar maklum sekali keadaan sang Prabu
seperti itu buakn karena dia tenggelam dalam kekhusyukan doa, melainkan karena
pengaruh minuman keras yang diteguknya terlalu banyak. Di atas lantai di sekitarnya
bertebaran tabung-tabung dari tanah tempat minuman keras yang telah kosong.
Di sebelah belakang duduk bersila Pendeta Mayana. Ada dua tabung minuman di
sampingnya yang masih berada dalam keadaan penuh karena dia sama sekali tidak
menyentuhnya walaupun dalam upacara pemanjatan doa seperti itu meneguk minuman
keras memang diperkenankan.
datang.
Walaupun tidak membuka mata namun Pendeta Mayana sudah tahu siapa yang
”Kau membawa kabar apa Damar?”
“Orang-orang Kediri membakar gudang senjata yang sebelumnya memang sudah
kosong. Mereka juga melepaskan kuda-kuda. Panglima…”
”Tunggu, saya mendengar langkah orang di luar sana. Ada yang datang,”
memotong Pendeta Mayana. Ketinggian ilmunya membuat dia mampu mendengar
langkah kaki orang yang masih jauh sekalipun.
”Pasti itu Patih Raganatha,” kata Damar. ”Saya tidak suka dia mengetahui kita
bicara di tempat ini.”
”Kalau begitu lekas kita menyelinap ke balik tirai besar di sebelah kiri sana,” kata
Pendeta Mayana.
Kedua orang itu cepat bersembunyi ke balik tirai biru muda tebal yang ada di
dinding sebela kiri ruangan. Tak lama kemudian seseorang memasuki Ruang Pemanjatan
Doa.
Dia memang adalah Patih Raganatha. Sang Patih agak heran mendapatkan Sri
Baginda hanya sendirian di ruangan. Apalagi dilihatnya Sang Prabu berada dalam
keadaan kurang sadar. Mau tak mau dia harus bicara dengan Sang Prabu. Patih
Raganatha berlutut di samping Raja. ”Sang Prabu, saya Patih Raganatha datang
menghadap…”
“Kau berani mengganggu Raja yang sedang melakukan upacara keagamaan?”
sepasang mata Sri Baginda membuka sedikit. Kelihatan matanya agak merah kurang
tidur.
”Mohon maafmu sang Prabu. Tapi ada berita penting yang harus saya sampaikan.
Gudang senjata dibakar dan ratusan kuda dilepaskan orang. Sama sekali tidak ada kabar
dari pasukan kita di Utara…”
”Semua laporan itu harus kau sampaikan pada Panglima, bukan padaku!”
”Saya tahu sang Prabu. Tapi Panglima tidak ada di Kotaraja saat ini. Dia berada di
Selatan tengah berembuk dengan beberapa Kepala Pasukan untuk menyusun rencana
perlindungan atas Kotaraja.”
”Adalah tolol kalau dia hanya memikirkan perlindungan bagi Tumapel. Dia harus
turun tangan menyerbu musuh, sebelum musuh mendekati Tumapel!”
Patih Raganatha merasa heran mendengar ucapan Rajanya itu. Sebelumnya sang
Prabu sendiri yang menyetujui tindakan yang diambil Panglima yaitu hanya mengirim
satu kelompok kecil pasukan ke Utara. Kini mengapa dia baru bisa berpikir lebih baik
seperti ini?
”Paman Patih, apakah kau masih di sini?”
”Saya masih di sini sang Prabu. Saya mohon petunjuk sang Prabu,” jawab Patih
Raganatha.
“Kau kuperintahkan untuk mengambil alih tugas dan tanggung jawab Panglima
Argajaya…”
“Saya siap kalau begitu perintah sang Prabu. Kita masih belum tahu sampai
seberapa besar bahaya yang dihadapi Singosari. Namun untuk berjaga-jaga saya mohon
sang Prabu meninggalkan tempat ini dan bersembunyi di satu tempat yang aman.”
“Bersembunyi?” sang Prabu tertawa panjang.
“Raja Singosari bersembunyi hanya karena ada gangguan dari serombongan
tikus-tikus Kediri dan Madura? Jangan kau hinakan Rajamu sendiri, Mapatih!”
”Maafkan saya sang Prabu. Kalau sang Prabu ada usul lain demi keselamatan
sang Prabu, saya akan lakukan..”
“Usulku lekas tinggalkan tempat ini. Aku tidak akan pernah meninggalkan
Ruangan Pemanjatan Doa ini apapun yang terjadi!”
”Sang Prabu, keadaan sewaktu-waktu bisa berubah genting!” kata Patih
Raganatha pula.
”Keluar dari tempat ini Paman Patih, lakukan apa yang tadi kuperintahkan! Aku
hanya minta agar seratus prajurit utama berjaga-jaga di luar.”
Patih Raganatha menarik napas panjang. Perlahan-lahan dia berdiri, menjura
hormat lalu tinggalkan tempat itu.
Di balik tirai tebal Pendeta Mayana berbisik, ”Damar, saya rasa keadaan sudah
mulai gawat. Saya tidak yakin Panglima Argajaya emnemui beberapa Kepala Pasukan di
Selatan untuk menyusun perlindungan atas Tumapel…”
”Saya juga merasa begitu Pendeta. Jika dia hendak melindungi Kotaraja, dia harus
memanggil semua Kepala Pasukan ke Kotaraja, bukannya dia yang harus pergi ke sana.
Sekarang apa yang harus kita lakukan?”
”Kau awasi gerak-gerik Dewi Maha Geni. Temui Raden Juwana, katakan agar dia
bersiap-siap mengungsikan empat puteri sang Prabu ke desa Tembang Sari dekat Kudadu
di percabangan Kali Brantas.” Dari balik jubahnya Pendeta Mayana mengeluarkan
secarik kertas. Kertas ini diserahkannya pada Damar. ”Berikan peta ini pada Raden
Juwana agar dia tidak tersesat.”
Damar menyimpan peta kecil itu di balik pinggang pakaiannya. ”Ada hal lain lagi
Pendeta?” tanya lelaki katai ini kemudian.
”Ya. Kau ingat pemuda gondrong bernama Wiro itu?”
”Saya ingat.”
”Saat ini dia berada di sekitar tembok luar Keraton. Temui dia dan katakan
padanya agar menyiapkan seekor kuda yang kuat, menyamar sebagai tukang rumput dan
supaya menunggu di persimpangan jalan. Jangan pergi sebelum saya muncul. Nah hanya
itu Damar. Cepat pergi. Sebentar lagi pagi segera datang.”
”Pendeta sendiri akan berada dimana dan akan berbuat apa?” tanya Damar.
”Ada sesuatu yang akan saya lakukan. Jika sudah selesai saya akan berada di
tempat ini menemani sang Prabu.”
Damar tampak bimbang sebentar. Lalu dia bertanya.
”Bagaimana dengan Sri Baginda sendiri? Apakah kita tidak akan
menyelamatkannya?”
”Keselamatan sang Prabu serahkan pada saya,” jawab Pendeta Mayana pula.
”Kalau begitu saya minta diri sekarang.”
”Pergilah. Hati-hati..”
***
BAB VII
Apa yang dikhawatirkan orang-orang seperti Pendeta Mayana dan Damar serta
Patih Raganatha walaupun kekhawatiran sang Patih ini datangnya agak terlambat
memang beralasan.
Pasukan musuh yang menyerbu di kawasan Utara jumlahnya memang tidak besar.
Tetapi mereka sempat memporak-porandakan pasukan Singosari di wilayah itu. Katika
bala bantuan yang dikirim Panglima Argajaya datang, pasukan musuh berhasil dihantam
hingga cerai berai di satu tempat tak jauh dari Candi Sanggariti.
Pasukan dalam jumlah besar yang kemudian dikirimkan oleh Patih Raganatha ke
Utara mambentuk tembok pertahanan guna melindungi Singosari. Namun satu hal tidak
pernah diduga oleh orang-orang Singosari. Serangan yang dilancarkan oleh orang-orang
Kediri yang dibantu oleh orang-orang Madura di kawasan Utara itu ternyata hanyalah
siasat tipu daya belaka. Selagi sebagian besar pasukan Singosari bergerak menuju Utara,
secara diam-diam satu gelombang gabungan pasukan Kediri dan Madura yang luar biasa
besarnya, bergerak menyusuri kaki Gunung Penanggungan sebelah timur, terus
menyusup ke kaki Gunung Welirang, melewati bagian timur kaki Gunung Anjasmoro
lalu mendekati Singosari dari arah Selatan. Gerakan pasukan yang besar ini telah
dilakukan jauh sebelum serbuan pancingan dilakukan di Utara. Sehingga ketika
pertempuran pecah di Utara, dua hari kemudian pasukan musuh di Selatan sudah berava
di pintu gerbang Selatan membuat kaget pasukan Singosari yan berada di situ. Lebih
mengejutkan lagi karena di kepala pasukan kelihatan memimpin panglima Perang
Argajaya. Lenyapnya Sang Panglima sejak beberapa hari ini rupanya karena memang dia
sudah menyusun rencana pengkhianatan, menggabungkan pasukan yang dapat ditariknya
dengan pasukan Kediri-Madura yang datang dari Utara!
Saat itu matahari masih belum menyembul dari ufuk timur. Rombongan pasukan
yang siap menggempur Singosari bergerak laksana gelombang air laut. Di lapis kedua
barisan terdapat serombongan penabuh genderang dan peniup terompet. Mereka bertugas
memberikan semangat pada seluruh balatentara.
Di barisan terdepan di belakan pasukan panah kelihatan Panglima Argajaya. Dia
tidak mengenakan seragam pasukan Singosari melainkan berpakaian merah dengan ikat
kepala merah. Dia dikelilingi oleh enam orang bekas Kepala Pasukan Singosari wilayah
Selatan yang berhasil dibujuknya untuk ikut bergabung dengan pasukan Kediri-Madura.
Dua puluh tombak di sebelah kiri Argajaya terlihat Adipati Wira Seta didampingi
pembantu utamanya yaitu pemuda berkepandaian tinggi bernama Gandita. Kedua orang
ini mengenakan pakaian perang lengkap dengan senjatanya. Seperti Argajaya keduanya
menunggangi kuda.
Penunggang kuda keempat yang bertindak selaku salah satu pimpinan pasukan
penyerang adalah Dewa Sedih. Orang tua ini seperti biasa selalu kelihatan murung dan
sesenggukan. Orang kelima yang menjadi tokoh di pihak penyerang adalah seorang
perempuan tua bertubuh jangkung, mengenakan jubah merah. Saosoknya hampir tidak
kelihatan karena terhalang oleh barisan berkuda yang ada di sebelah depan. Perempuan
tua ini bukan lain adalah Dewi Maha Geni yang seperti Panglima Argajaya melakukan
pengkhianatan, menyeberang ke pihak musuh. Yang tidak kelihatan justru adalah Raden
Adikatwang, pucuk pimnpinan tertinggi pasukan musuh, yang berambisi ingin menjadi
Raja di Raja penguasa Kediri dan Singosari.
Di pihak Singosari yang telah bersiap sedia menyambut serangan musuh di pintu
gerbang Selatan hanya dipimpin oleh beberapa Perwira Tinggi dan Perwira Muda.
Melihat pasukan musuh dipimpin oleh empat orang kawakan itu mau tak mau pihak
Singosari menjadi kendor nyali mereka. Namun apa mau dikata tugas mereka harus siap
mempertahankan kerajaan dengan darah dan nyawa.
Perlahan-lahan sang surya mulai muncul di Timur.
Genderang ditabuh keras. Terompet ditiup nyaring. Inilah satu pertanda bahwa
serangan segera dimulai. Laksana air bah pasukan Kediri-Madura bergerak cepat menuju
pintu gerbang Selatan. Pasukan panah sudah siap merentang busur. Saat itulah tiba-tiba
muncul seorang penunggang kuda berpakaian perang. Ternyata dia avalah Patih
Raganatha.
Kedatangan Raganatha memberi semangat pada pasukan Kerajaan. Orang tua ini
muncul di pintu gerbang, mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Argajaya. Patih
Singosari ini berusaha terus maju sampai ke luar pintu gerbang. Di satu tempat dia
hentikan kudanya.
Argajaya mengangkat tangan dan meneriakkan sesuatu.
Seluruh pasukan yang tengah bergerak itu berhenti dengan tiba-tiba.
“Argajaya! Aku tidak mengira serendah ini budimu terhadap Sri Baginda Prabu
dan Singosari. Namun aku memberikan kesempatan. Kau masih punya waktu untuk
kembali bersama pasukanmu!”
Argajaya menyeringai. Dia balas berteriak. “Patih Singosari! Saat ini tidak perlu
kita bicara menyangkut segala macam budi! Aku tawarkan padamu untuk bergabung
bersama kami. Atau kau akan ikut kami sama ratakan dengan bumi Singosari!”
”Pengkhianat busuk!” teriak Patih Raganatha marah. Tangan kirinya dihantamkan
ke depan. Selarik angin menderu menyambar ke arah Argajaya. Selagi Panglima
Singosari yang menyeberang ke pihak musuh itu menarik kudanya dan mengelak ke
samping, Raganatha angkat tangan kanannya. Tangan itu berubah menjadi panjang sekali
bercabang cabang. Inilah ilmu kesaktian seratus gurita amuk. Argajaya tahu betul
kehebatan ilmu ini. Maka cepat-cepat dia menyingkirkan kudanya ke kiri sambil balas
menghantam dengan pukulan tangan kosong. Argajaya berlaku cerdik. Yang
dihantamnya adalah kuda tunggangan Patih Singosari itu.
Saat itu pula Argajaya mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas. Genderang
ditabuh gegap gempita.
Terompet ditiup memekakkan telinga. Pasukan menyerbu untuk kedua kalinya.
Dan sekali ini seperti tidak ada lagi yang sanggup menahannya. Setelah menewaskan
ratusan prajurit Singosari, pertahanan di pintu gerbang Selatan bobol.
Pasukan musuh membanjir. Patih Raganatha berteriak memberi semangat. Tangan
kanannya kini memegang sebilah golok panjang sedang tangan kiri terus menerus
melancarkan serangan seratus gurita mengamuk. Balasan prajurit lawan menjadi
korbannya. Namun pasukan musuh datang laksana air bah, menggulung apa saja yang
ada di hadapannya. Patih Raganatha tidak mampu mendekati Argajaya. Bahkan kini dia
terpaksa mundur terus dan keselamatannya terancam.
Di tengah-tengah perang bersosoh itu terdengar teriakan Argajaya.“Patih
Singosari! Nyawamu akan selamat jika kau ikut dengan kami!”
Patih Raganatha menyambar sebilah tombak lalu dilemparkannya ke arah
Argajaya. Karena tidak menyangka akan diserang seperti itu, walau masih bisa berkelit
namun ujung tombak itu masih sempat menyambar kain merah ikatan kepalanya hingga
putus!
Meskipun marah namun Argajaya tahu kalau ilmunya masih setingkat di bawah
Patih Raganatha. Maka dengan cerdik dia menoleh pada Dewa Sedih.
”Dewa Sedih! Bantu aku melenyapkan tua bangka buruk ini!”
Dewa Sedih keluarkan suara terisak lalu didahului oleh suara menggerung keras
tubuhnya berkelebat ke arah Raganatha. Saat itu pula Argajaya cabut golok panjang yang
mencantel di ikat pinggang besarnya lalu menarik tali kekang kuda hingga binatang ini
melompat mendekati Patih Raganatha. Dikeroyok dua serta merta Patih Singosari ini
terdesak hebat, sekalipun ada dua Perwira Tinggi yang berusaha membantunya, Sang
Patih akhirnya tewas secara mengenaskan.
Di bagian lain, ketika pasukan gabungan Kediri-Madura mulai menyerbu, sambil
mengeluarkan pekik keras nenek berjubah merah yaitu Dewi Maha Geni berkelebat ke
depan.
Dia bukannya menyerang pasukan Singosari namun melompati tembok tinggi.
Begitu sampai di dalam dia menggebuk kepala seorang Perwira Muda hingga rengkah
dan jatuh dari kudanya. Si nenek rampas kudanya lalu menghambur menuju ke arah
Timur yaitu dimana terletak kawasan Keraton.
Pagi itu kabar penyerbuan besar-besaran pasukan musuh di pintu gerbang Selatan
telah sampai di Keraton Tumapel.
Di salah satu bangunan yang sangat rahasia Pendeta Mayana keluar dengan
tergopoh-gopoh. Di tangannya ava dua buah kotak kayu. Yang pertama berisi Mahkota
Narasinga yakni mahkota lambang dan syahnya seorang menjadi Raja Singosari.
Kotak kedua yang agak kecil dan pipih di dalamnya terdapat Keris Saktipalapa,
juga merupakan salah satu benda pusaka sangat berharga, pendamping Mahkota
Narasinga.
Pendeta ini mengambil jalan berputar dan muncul di sebuah pintu kecil di bagian
Barat tembok Keraton. Dua orang pengawal yang bertugas di situ memberi hormat dan
membiarkannya lewat. Di luar tembok Pendeta Mayana melangkah cepat menuju
persimpangan jalan. Dia mengharapkan pemuda itu sudah menunggu di sana. Tetapi
ketika dia sampai di persimpangan tak seorangpun dilihatnya di tempat itu. Sang Pendeta
mulai khawatir. Serombongan prajurit berkuda lewat di jalan dengan cepat. Pendeta
Mayana memandang berkeliling. Hatinya lega ketika di depan sana ada seorang
bercaping terbungkuk-bungkuk memikul dua keranjang berisi rumput. Di belakangnya
mengikuti seekor kuda coklat.
Pendeta Mayana cepat mendekati tukang pikul rumput itu. Dua buah kotak yang
dibawanya dimasukkan ke dalam keranjang seraya berkata.”Lekas tinggalkan Kotaraja.
Bergabung denganRaden Juwana dan empat puteri Sri Baginda di desa Tembang Sari.
Ingat, dua kotak berisi benda pusaka dalam keranjang itu adalah mati hidupnya Kerajaan
Singosari. Jaga baik-baik..”
”Akan saya pertahankan dengan darah nyawasaya,” jawab Pendekar 212 Wiro
Sableng.
”Saya harus kembali ke Keraton untuk menyelamatkan Sang Prabu,” kata Pendeta
Mayana lalu pergi meninggalkan Wiro.
Murid Sinto Gendeng cepat naik ke atas punggung kuda.  
Tapi belum sempat dia menarik tali kekang binatang itu tiba-tiba ada bayangan
merah berkelebat di depannya disertai menyambarnya hawa panas. Memandang ke depan
Wiro melihat nenek berjubah merah yang pernah ditemuinya sebelumnya dan
disangkanya adalah seorang pengemis. Dewi Maha Geni! Dari Pendeta Mayana Wiro
suvah mendapat keterangan siapa adanya nenek bermata dan berlidah api ini.
Dia bersikap berpura-pura ramah tapi penuh waspada.
“Ah, sobatku nenek canti jelita bermata seperti Bintang Timur. Apakah kali ini
kau muncul hendak mengemis lagi? Atau ingin menotokku sekali lagi?!”
Dewi Maha Geni menyeringai. Dari mulutnya keluar suara menggerendeng. Lalu
perempuan tua yang sakti ini berkata dengan suara keras.
”Jangan berlaku seperti pemuda merayu janda!”
Wiro Sableng batuk-batuk beberapa kali. ”Harap maafkan kelancanganku. Aku
tidak tahu kalau kau seorang janda!”
Sepasang mata Dewi Maha Geni menyorot marah laksana api. Lidahnya
dijulurkan membasahi bibirnya dan lagi-lagi Wiro melihat lidah itu seperti lidah api.
”Sebetulnya aku sudah bosan jadi pengemis. Tapi sekali ini tidak ada salahnya.
Lekas kau serahkan padaku keranjang berisi rumput yang kau cantelkan di leher kuda
itu!”
Ah, jadi dia sudah tahu apa isi keranjang ini, membatin Wiro. Kalau perempuan
tua beralis dan berambut merah ini suvah berkata begitu berarti dia tidak main-main.
Tahu betul tingkat kepandaian si nenek maka Wiro siapkan pukulan sinar
matahari di tangan kiri dan tangan kanan siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212
yang tersisip di pinggangnya. Namun selintas pikiran muncul dalam benaknya.
Kalau dia mampu menipu nenek ini mengapa tivak dicobanya?
Daripada harus melakukan baku hantam!
”Kalau kau tidak mau serahkan keranjang itu, kau bisa ganti dengan menyerahkan
jantungmu!” si nenek membentak marah.
Pendekar 212 pura-pura ketakutan tapi masih coba bergurau.
Nenek, aku tidak tahu kau senang rerumputan. Kalau kau memang doyan lalapan
rumput silahkan ambil keranjang ini!” lalu dengan tangan kirinya Wiro lepaskan
keranjang yang dicantelkannya pada tali di leher kuda. Namun tumit kaki kanannya yang
dialiri tenaga dalam tanpa terlihat oleh Dewi Maha Geni ditusukkannya ke tulang rusuk
kuda. Binatang ini meringkik kesakitan dan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-
tinggi. Wiro pura-pura jungkir balik jatuh ke tanah.
Keranjang rumput yang hendak diserahkannya jatuh bergelindingan dan
bertabrakan dengan keranjang rumput yang satu lagi yang masih ada di tepi jalan. Kedua
keranjang itu sama-sama terguling dan sama-sama bergelindingan. Wiro mengejar dan
menangkap salah satu dari dua keranjang itu.
Lalu dilemparkannya ke arah Dewi Maha Geni.
”Ini keranjang yang kau minta Nek! Ambillah!” ujar Wiro.
Nenek bermata api segera menyambuti keranjang yang dilemparkan. Merasa
bahwa keranjang itu memang keranjang yang tadi berada di atas kuda maka Dewi Maha
Geni cepat tinggalkan tempat itu. Setelah si nenek menghilang di kejauhan Wiro tertawa
gelak-gelak. Diambilnya keranjang yang masih tergeletak di tengah jalan dan cepat-cepat
dicantelkannya ke tali leher kuda. Lalu murid Eyang Sinto Gendeng ini menggebrak kuda
tunggangannya. Binatang ini menghambur ke depan. Di atasnya Wiro tak henti-hentinya
tertawa karena berhasil menipu nenek tadi, menyerahkan keranjang yang hanya berisi
rumput, tidak berisi dua buah kotak kayu benda pusaka Keraton Singosari itu!
Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 yang berhasil mengelabui Dewi Maha Geni.
Kita menuju ke dalam kawasan Keraton. Sesuai dengan nasihat Pendeta Mayana maka
Raden Juwana mengumpulkan keempat puteri Sang Prabu. Agar tidak mencurigakan
mereka dinaikkan ke atas empat kereta mayat. Sekitar seratus orang prajurit terpercaya
tanpa pakaian seragam mengawal empat kereta jenazah itu. Untuk mengelabui, enam
orang perempuan disewa mengikuti perjalanan. Tugas mereka adalah pura-pura menangis
bila berpapasan dengan orang lain. Sehingga orang menyangka bahwa rombongan yang
lewat itu adalah benar-benar rombongan duka yang membawa empat jenazah yang akan
disembahyangkan di satu tempat. Di sebelah muka menunggangi kuda Raden Juwana.
Dalam rombongan terdapat si katai Damar dan empat Perwira Muda. Mereka tidak
menempuh jalan umum tapi melewati perbukitan dan hutan belantara di Timur Laut
Tumapel. Meskipun jarak perjalanan menjadi tambah jauh namun terasa lebih aman. Di
satu tempat Raden Juwana yang merasa was-was atas keselamatan calon mertuanya yaitu
Sri Baginda berbalik kembali menuju Tumapel. Dia berpesan kepada Damar dan Perwira-
Perwira kepercayaan agar terus bergerak menuju Kudadu. Bila sang Prabu sudah
diselamatkan dia akan segera menyusul.  
Sementara itu di Ruang Pemanjatan Doa, Pendeta Mayana telah mendampingi
Sang Prabu melakukan upacara keagamaan. Di luar seratus pengawal berjaga-jaga. Bagi
Pendeta Mayana apalah artinya jumlah seratus prajurit itu jika nanti ribuan pasukan
musuh berhasil menerobos benteng pertahanan Singosari di Selatan lalu menyerbu
Keraton. Apalagi kalau orang-orang berkepandaian tinggi seperti si pengkhianat Argajaya
dan Dewi Maha Geni muncul di tempat itu, pasti keselamatan nyawa Sang Prabu tidak
akan tertolong.
Belum lama Pendeta Mayana berpikir seperti itu, seorang prajurit tiba-tiba masuk
ke dalam memberikan laporan. Prajurit ini jatuhkan diri ke lantai, bersujud beberapa
lamanya kemudian baru duduk bersila di hadapan Sang Prabu dan Pendeta Mayana
dengan wajah pucat.
“Ada apa Prajurit?” tanya Pendeta Mayana sedang Sang Prabu hanya memandang
dengan lirikan matanya. Raja Singosari ini masih berada dalam pengaruh minuman keras.
“Pasukan Singosari tidak sanggup mempertahankan pintu gerbang Selatan.
Balatentara musuh berhasil menjebol pintu gerbang dan saat ini tengah membanjir
memasuki Kotaraja! Panglima Argajaya ternyata berpihak pada mereka dan ikut
memimpin pasukan musuh!”
Pendeta Mayana mengelus dadanya sendiri. Musuh cukup cerdik. Mereka sengaja
mengirimkan pasukan kecil menyerbu kawasan Utara, padahal mereka sebenarnya
tengah menyelinapkan pasukan besar di bagian Selatan Tumapel!
Wajah sang Pendeta nampak muram. Sebenarnya dia sudah maklum bahwa suatu
saat orang-orang Kediri di bawah pimpinan Adikatwang yang sudah dianggap Raja oleh
pengikutnya, dibantu orang-orang Madura di bawah pimpinan Wira Seta akan melakukan
penyerbuan. Namun dia sama sekali tidak mengira hal itu terjadi demikian cepatnya.
“Prajurit,” kata Pendeta Mayana. “Lekas kembali ke induk pasukanmu…”
Prajurit itu merunduk khidmat. Lalu cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Dia
tidak pernah kembali ke induk pasukannya tetapi menghambur bersama kudanya menuju
ke Barat yaitu ke arah Jombang. Baginya kembali ke pasukan sama saja dengan
menyerahkan nyawa pada pemberontak.
Pendeta Mayana bangkit dari duduknya lalu melangkah ke tempat Prabu
Kertanegara duduk pejamkan mata. Dalam keadaan biasa tidak mungkin Pendeta Mayana
akan berani mengganggu sang Prabu. Namu saat itu keadaan sudah sangat gawat. Dia
harus memberi tahu Prabu Kertanegara. ”Sang Prabu…,” kata Pendeta Mayana.
Kertanegara tetap tak bergerak dalam duduknya. Mukanya tampak merah akibat
pengaruh minuman keras.
”Sang Prabu!” memanggil kembali Pendeta Mayana. Sekali ini dengan suara lebih
keras. Ketika dilihatnya kedua mata Kertanegara bergerak tanda dia mendengar
panggilan tadi maka Pendeta Mayana meneruskan ucapannya dengan suara keras. “Kita
harus meninggalkan tempat ini dengan segera Sang Prabu! Balatentara musuh telah
memasuki Tumapel…”
“Kau takut pada orang-orang Kediri dan orang-orang Madura itu, Pendeta
Mayana?”
“Tidak ada yang saya takutkan di dunia ini sang Prabu, kecuali terhadap para
Dewa…”
“Kalau begitu ikuti aku memuja dan berdoa pada Dewata.”
”Sang Prabu, maafkan saya. Doa bisa dilakukan kemudian. Yang penting saat ini
sang Prabu harus menyelamatkan diri. Ikuti saya. Saya tahu jalan rahasia yang bisa
membawa kita keluar dari kawasan Keraton dan sampai di sebuah rimba belantara.”
Sang Prabu berpaling, memandang menyeringai pada Pendeta Mayana.
”Lupakan apa yang ada dalam pikiranmu Pendeta Mayana. Lebih baik kau pimpin
upacara berdoa ini. Kita berada di tempat suci. Para Dewa akan melindungi kita.
Balatentara musuh tidak akan dapat menyerbu ke tempat ini!
Kita punya pasukan besar dan setia serta berani. Kita punya orang gagah seperti
Panglima Argajaya, Dewi Maha Geni, serta belasan Perwira.”
”Panglima Argajaya telah berkhianat. Dia menyeberang ke pihak penyerbu. Dewi
Maha Geni saya yakin juga melakukan hal yang sama,” mejelaskan Pendeta Mayana.
Kening sang Prabu tampak mengerenyit tapi dia tidak berkata apa-apa.
”Sang Prabu, waktu kita hanya tinggal sedikit. Lekas ikuti saya…!”
”Kalau kau mau pergi, pergilah sendiri. Aku akan tetap di sini. Jangan ganggu aku
lebih lama!” Sang Prabu lalu mencabut keris yang tersisip di pinggangnya dan
meletakkan senjata ini di atas meja kecil di hadapannya.
Keris itu adalah senjata sakti, termasuk salah satu pusaka Kerajaan.
Dalam keavaan sang Prabu seperti itu akan sulit bagi Pendeta Mayana untuk
membujuknya. Sementara itu di luar terdengar sorak sorai gegap gempita disusul suara
beradunya senjata. Pendeta Mayana mengintai dari balik kisi-kisi di dinding. Dia melihat
banyak sekali pasukan musuh mengurung dan menghantam seratus prajurit yang
melindungi Raja. Bagaimanapu seratus prajurit itu mempertahankan diri namun jumlah
lawan banyak sekali.
Pendeta  Mayana berpaling pada sang Prabu. Saat itu dilihatnya sang Prabu
tengah meneguk minuman keras dari dalam sebuah tabung bambu. Tak ada jalan lain.
Sang Pendeta segera mendekati Rajanya. Begitu berdekatan dengan cepat ditariknya lalu
dipanggulnya di bahu kiri.
Namun pertolongan yang dilakukan oleh Pendeta Mayana sia-sia saja. Saat itu
puluhan prajurit lawan telah menyerbu masuk ke ruangan itu. Kebanyakan dari mereka
segera mengenali sang Prabu dan Pendeta Mayana.
Tidak menunggu lebih lama puluhan prajurit segera memburu kedua orang itu
dengan senjata masing-masing. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara membentak.
”Tahan! Raja Singosari itu punya hutang padaku! Aku yang akan
menghabisinya!”
Lalu terdengar suara ringkikan kuda disusul ada suara angin menyambar dan
tahu-tahu seekor kuda hitam besar sudah berada dalam ruangan itu. Di atas punggungnya
duduk seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun berpakaian sederhana. Rambutnya
yang hitam digulung di atas kepala. Di pihak musuh, suara itu tidak asing lagi. Mereka
segera batalkan serangan lalu bergerak mundur tapi tetap dalam keadaan mengurung.
Melihat tidak ava jalan untuk lari, perlahan-lahan Pendeta Mayana turunkan tubuh
sang Prabu yang didukungnya. Raja Singosari ini tegak terhuyung-huyung setengah tidak
sadar, bersandar ke dinding. Di hadapannya saat itu Pendeta Mayana melihat Adikatwang
penguasa Gelang-Gelang di Kediri duduk di atas punggung kuda sambil memegang
sebilah pedang. Di bagian lain sang Pendeta melihat Panglima Argajaya berdiri diantara
para prajurit penyerbu.
”Sri Baginda yang mengakui sebagai Prabu dan Raja Singosari!” tiba-tiba suara
Adikatwang menggeledek di ruangan itu. ”Belasan tahun lalu kau membunuh ayahku.
Kini puteranya akan menuntut balas! Bersiaplah menerima kematianmu!”
Habis berkata keras begitu Adikatwang melompat dari kudanya. Namun
gerakannya disongsong oleh Pendeta Mayana.
”Adikatwang manusia tidak berbudi!” bentak Pendeta Mayana. ”Ini balasanmu
terhadap Sang Prabu yang telah mengampuni jiwamu dan memberikan kedudukan tinggi
di Gelang-Gelang…!”
”Pendeta Mayana! Kau tidak masuk dalam daftar manusia-manusia Singosari
yang harus disingkirkan. Tapi jika kau tidak segera minggat dari hadapanku, kau akan
kubunuh saat ini juga!”
Diancam seperti itu Pendeta Mayana ganti tertawa dan menjawab. ”Kau bodoh!
Seharusnya kau masukkan aku dalam daftar orang-orang yang harus kau bunuh! Aku
bukan penveta yang berpantang membunuh demi menyelamatkan Singosari dan Sang
Prabu Raja syah kerajaan ini!”
Pendeta Mayana tutup ucapannya vengan menghantamkan kedua tangannya ke
depan sekaligus! Dua gelombang angin menderu. Adikatwang tidak berlaku ayal. Dia
sudah lama tahu kalau Pendeta Mayana bukan Cuma seorang pendeta agama biasa, tetapi
seorang yang memiliki kesaktian tinggi. Cepat-cepat Adikatwang menyingkir dengan
melompat kek kiri. Dua gelombang angin menyambar lewat di sampingnya.
Saat itu juga terdengar pekik jerit kematian sembilan orang prajurit yang terkena
hantaman pukulan Pendeta Mayana.
Adikatwang cepat berpaling pada Panglima Argajaya dan berkata: ”Dimas
Argajaya! Aku tak ingin mengotorkan tangan membunuh manusia satu ini! Kau bereskan
dia!”
Adikatwang lalu melompat menjauhi Pendeta Mayana namun terus berkelebat ke
arah Sang Prabu yang masih tegak tersandar ke dinding. Pedangnya menyambar. Pendeta
Mayana berteriak marah dan coba memburu Adikatwang. Namun gerakannya dihadang
oleh Argajaya yang melompat ke hadapannya dengan golok besar terhunus.
”Pengkhianat busuk terkutu!” teriak Pendeta Mayana.
Dengan tangan terpentang dia menerjang. Argajaya babatkan goloknya tapi
serangannya luput. Sebaliknya serangan Pendeta Mayana pun dapat dihindari oleh
Argajaya yang kemudian berteriak pada beberapa Perwira dan puluhan prajurit yang ada
di sekitarnya. Pendeta Mayana tak dapat menghindarkan diri vari keroyokan begitu
banyak lawan. Dengan mengandalkan tangan kosong dan pukulan-pukulan sakti dia
mampu merobohkan belasan lawan. Namun lebih banyak yang datang. Selagi dia
terdesak dan bertahan mati-matian di bagian lain didengarnya suara jeritan Sang Prabu.
Pendeta Mayana yang telah menderita beberapa luka di tubuhnya berpaling ke
arah suara jeritan itu. Lalu terdengar Pendeta ini meraung ketika melihat apa yang terjadi.
Adikatwang tegak menyeringai memegang pedang yang berlumuran darah. Di depannya,
tersandar ke dinding sang Prabu berdiri megap-megam sambil pegangi perutnya yang
berlumuran darah akibat tusukan pedang Adikatwang.
”Manusia iblis! Biadab!” teriak Pendeta Mayana. Dia melompat ke arah
Adikatwang dan menghantam dengan seluruh tenaga dalamnya yang ada. Namun vari
samping Panglima Argajaya memotong gerakannya dengan sambaran golok besar.
Hantaman Pendeta Mayana memang berhasil membunuh seorang Perwira Kediri
dan delapan prajurit musuh. Namun tangannya tidak dapat diselamatkan dari tabasan
golok yang dibabatkan Argajaya. Tangan kanan itu putus. Darah memancur. Selagi
Pendeta Mayana terhuyung menahan sakit, golok di tangan Argajaya bergerak menusuk
lambung pendeta itu.
”Ananta!” tiba-tiba terdengar seseorang menjerit menyebut nama asli Pendeta
Mayana. Lalu terdengar suara berdesing. Tiga buah benda aneh memancarkan warna
berkilau melesat dalam Ruangan Pemanjatan Doa. Di lain kejap terdengar jeritan
Panglima Singosari yang berkhianat itu. Sebuah senjata berupa tusuk kundai terbuat dari
perak menancap di keningnya. Dua buah lainnya menancap di lehernya!
Sekujur tubuh Argajaya nampak bergetar. Dia seperti menahan rasa sakit yang
luar biasa. Lalu terdengar jeritannya sekali lagi. Tubuhnya kemudian terbanting ke lantai,
menggeliat beberapa kali akhirnya meregang nyawa dengan mata membeliak dan lidah
mencelet. Seluruh muka dan lehernya sampai ke dada tampak berubah menjadi seputih
kapur! Mengerikan untuk dipandang.
Selagi semua orang geger melihat apa yang terjadi, satu sosok berkelebat laksana
bayangan. Orang ini menyambar tubuh Pendeta Mayana lalu memanggulnya. Belasan
prajurit dan beberapa orang Perwira berusaha menangkap atau menghantamnya dengan
senjata. Orang yang memanggul tubuh Pendeta Mayana membuat dua kali gerakan.
Enam orang prajurit roboh, seorang Perwira langsung meregang nyawa dengan kepala
pecah. Lalu laksana ada kilat yang menyambar, di ruangan itu terdengar suara letusan
keras disertai menghamparnya hawa panas dari suatu sinar yang menyilaukan. Ruangan
Pemanjatan Doa tergoncang seperti dilanda gempa. Dinding, langit-langit dan lantai
ruangan berderak.
”Lekas tinggalkan tempat ini!” terdengar teriakan Adikatwang. Lalu pimpinan
pemberontak ini melompat ke arah pintu. Beberapa orang mengikutinya. Yang lain tidak
sempat menyelamatkan diri. Ruangan Pemanjatan Doa itu runtuh dengan suara
bergemuruh. Sekitar enam puluh orang terkubur hidup-hidup di dalamnya, belum
terhitung belasan mayat termasuk jenazah Sang Prabu dan Panglima pengkhianat yaitu
Argajaya.
Selamat dari tertimbun ruangan yang runtuh wajah Adikatwang nampak pucat di
balik debu reruntuhan bangunan.
Dia memandang berkeliling. Namun dia tidak melihat lagi bayangan orang yang
tadi melarikan tubuh Pendeta Mayana.
***
BAB VIII
Pendeta Mayana tahu kalau dirinya dipanggul dan dilarikan laksana kilat. Namun
dia tidak tahu siapa yang melarikannya itu. Dibukanya kedua matanya. Pemandangannya
berkunang dan kabur. Dia melihat wajah itu tapi sangat samar-samar. Lalu dia ingat
kejadian di Ruangan Pemanjatan Doa. Saat itu dia dalam keadaan luka. Tangan kanannya
buntung. Lalu perutnya ditembus golok Argajaya. Saat itu dia mendengar ava seseornag
berteriak menyebut namanya. Bukan memanggilnya sebagai Pendeta atau Mayana tapi
menyebut nama aslinya yaitu Ananta! Suara teriakan itu jelas suara perempuan. Jika ada
seorang perempuan yang tahu nama aslinya maka hanya satu orangnya yaitu nenek sakti
Sinto Gendeng alias Sinto Weni.
Dalam keadaan luka parah seperti itu Pendeta Mayana alisan Ananta Wirajaya
coba mengerahkan tenaga dalamnya. Lama dan perlahan sekali akhirnya dia mampu
memandang sedikit lebih jelas. Wajah itu. Wajah orang yang mendukungnya. Wajah
seorang nenek berkulit hitam keriput dan cekung. Memang dia!
”Sinto Weni, betul kakukah ini yang memanggul dan melarikanku…?”
terdengar suara menjawab tersendat. ”Jangan bicara dulu Ananta. Lukamu parah
sekali. Aku tidak yakin bisa menyelamatkanmu…”
”Kau telah menyelamatkanku. Aku berterima kasih. Bawa aku ke tempat yang
teduh Sinto. Aku ingin bicara banyak hal denganmu disana. Aku.. aku ingin mati bahagia
dalam pelukanmu.”
”Jangan bicara begitu Ananta! Jangan bicara lagi atau aku terpaksa menotok jalan
suaramu…”
Ananta diam tapi tersenyum. ”Bawalah aku kemana kau suka Sinto. Kali ini
jangan kau tinggalkan lagi diriku…”
Sinto Weni tidak dapat menahan air mata yang membuat kedua matanya berkaca-
kaca. Dia mendengar apa yang diminta Ananta Wirajaya. Dia tahu mungkin itu adalah
permintaannya yang terakhir. Karena itu Sinto Weni membawa Ananta Wirajaya yang
dipanggulnya menuju sebuah puncak bukit kecil yang teduh dimana tumbuh pepohonan
rindang dan kembang-kembang liar warna-warni.
Hati-hati sekali nenek sakti itu membaringkan Ananta di atas rerumputan. Pendeta
ini berusaha membuka kedua matanya lebih besar agar dia dapat melihat orang yang
dikasihinya itu lebih jelas. Lalu terdengar suaranya berbisik. ”Sinto…Aku ingin mati di
dalam pelukanmu. Peluk diriku Sinto…”
Betapapun kerasnya hati nenek sakti ini dia tetap seorang perempuan yang punya
hati dan sentuhan rasa. Dia membungkuk dan menangis terisak-isak lalu memeluk tubuh
Ananta.
”Boleh…boleh aku melihat wajahmu untuk terakhir kali Sinto…?”
Sinto Weni melepas kulit tipis yang selama puluhan tahun menutupi wajahnya.
Kelihatan kini satu wajah putih yang keriputan tapi masih membayangkan kecantikan di
masa muda.
Dengan tangan kirinya Ananta Wirajaya berusaha membelai wajah orang yang
dikasihinya itu tapi tangannya hilang kekuatan dan jatuh. Saat itu pula terdengar suara
tercekik halus di tenggorokannya. Kepala lelaki itu terkulai. Sinto Weni menjerit keras
dan memeluk tubuh yang sudah tidak bernapas itu. Air matanya membasahi wajah
Ananta ketika dia menciumi lelaki itu sejadi-jadinya. ”Aku mengasihimu Ananta. Hanya
kau seorang yang benar-benar mendapat tempat di hatiku. Aku ingin ikut bersamamu
Ananta…” Ratapan Sinto Weni yang menyayat hati itu hanya disambut oleh suara
hembusan angin di puncak bukit.
”Ananta! Aku bersumpah membalaskan kematianmu!” kata Sinto Weni diantara
suara isakannya.
***
Kejatuhan Kraton Tumapel dan runtuhnya Kerajaan Singosari tidak  dapat
dielakkan lagi. Apalagi kalau tewasnya Sri Baginda Prabu sudah tersebar luas. Di tengah
berkecamuknya pertempuran di sekitar Kotaraja, seorang mata-mata membawa kabar
kepada Adipati Sumenep Wira Seta. Kabar ini kemudian diteruskan Wira Seta kepada
pembantu utamanya yaitu pemuda berkepandaian tinggi bernama Gandita.
”Bawa tigaratus prajurit. Kejar rombongan itu! Ingat jika apa yang dikatakan
mata-mata memang benar jangan biarkan seorangpun hidup!”
Gandita mengangguk lalu cepat memisahkan diri keluar dari pertempuran. Tak
lama kemudian kelihatan dia membawa satu rombongan besar pasukan terdiri dari tiga
ratus prajurit gabungan Kediri-Madura. Rombongan berkuda ini bergerak meninggalkan
Kotaraja ke arah Timur Laut. Menjelang rembang petang, setelah melewati satu jalan
memintas Gandita dan pasukannya berhasil mencapai sebuah bukit kecil. Memandang ke
bawah mereka melihat satu rombongan sekitar seratus orang berkuda membawa empat
kereta jenazah. Rombongan ini bukan lain adalah rombongan yang telah berusaha
menyelamatkan empat puteri sang Prabu. Mereka tidak pernah menyangka kalau pihak
musuh telah mengetahui rahasia besar yang ada dalam rombongan itu. Yang lebih
mengenaskan ialah saat itu setelah ditinggalkan oleh Raden Juwana yang hendak
menyelamatkan rombongan tidak memiliki lagi seorang berkepandaian tinggi kecuali
lelaki katai bernama Damar.
Dari atas bukit Gandita membawa turun pasukannya ke sebuah jalan menikung.
Pasukan bergerak melebar dan begitu sampai di tikungan kembali merapat membentuk
japitan. Ketika rombongan yang membawa empat kereta jenazah sampai di tikungan jalan
serat merta mereka berada dalam kepungan rapat. Dari atas kudanya Gandita memanvang
berkeliling. Ada empat kereta jenazah. Dikawal oleh hampir seratus orang berpakaian
biasa. Di bagian depan kereta ada satu atau dua orang perempuan yang bermata merah
tanda banyak menangis.
”Siapa pimpinan rombongan ini?!” teriak Gandita sambil tekankan tangan kanan
ke hulu golok yang terselip di pinggangnya.
Orang tua bernama Damar mengangkat tangannya dan menjawab. ”Aku pimpinan
rombongan yang tengah berduka ini!”
”Hemmmm..manusia katai. Aku pernah melihatmu. Kau bekerja di Keraton.
Sebagai perawat kuda-kuda Kerajaan! Betul! Memang kau orangnya!”
”Dugaanmu tidak meleset!” jawab Damar.
”Rombonganmu ini dari mana dan mau kemana?”
“Ini adalah rombongan berduka. Empat orang kerabat kami menemui ajal karena
penyakit sampar. Kami akan mengurus upacara pemakaman mereka di muara Kali Mas.”
”Begitu?” ujar Gandita sambil menyeringai. ”Aku mau periksa kereta jenazah itu
satu per satu!”
”Kalian manusia-manusia tidak tahu peradatan! Berani mengganggu orang yang
sedang berduka! Kalau kalian adalah prajurit-prajurit pemberontak mengapa jauh-jauh
berada di sini menghadang kami? Bukankah kalian ingin merebut tahta Kerajaan Sang
Prabu? Pergialh ke Tumapel! Bertempur disana!”
”Manusia katai! Cakapmu banyak amat! Bawa rombonganmu meninggalkan
tempat ini. Empat kereta jenazah tetap di sini!”
”Aku meminta kaulah yang harus segera meninggalkan tempat ini! Pergilah
mencari mampus di Tumapel!”  
Kesabaran Gandita habis sudah. Dia memberi isyarat pada pasukannya. Tiga ratus
prajurit menyerbu seratus lawan yang telah terkurung rapat. Si katai Damar yang sadar
tidak bisa berbuat banyak menyelamatkan empat kereta jenazah berisi puteri-puteri sang
Prabu memutuskan untuk berjibaku. Tubuhnya melesat dari punggung kuda. Enam
prajurit yang berusaha menghantamnya dengan berbagai senjata terpental. Dua roboh tak
berkutik lagi, empat terjengkang jatuh ke tanah.
”Hemm… Si katai ini rupanya bukan tukang kuda biasa! Aku mau lihat sampai
dimana kehebatannya!” habis berkata begitu Gandita majukan kudanya lalu lepaskan
pukulan tangan kosong ke arah Damar. Orang tua ini memang memiliki kepandaian tidak
rendah. Tapi dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki Gandita, pemuda itu bukanlah
lawannya. Setelah berhasil mengelakkan serangan pemuda ini dia tampak mengeruk saku
pakaiannya. Lalu terdengar suara berdesing. Tiga buah senjata rahasia berbentuk paku
hitam melesat ke arah kepala, dada dan perut Gandita.
Yang diserang cabut golok besarnya. Sesaat kemudian senjata itu berkelebat di
udara. Terdengar tiga kali suara berdentangan. Tiga paku terbang yang dilemparkan
Damar runtuh ke tanah. Satu diantaranya menghantam leher seorang prajurit Kediri
hingga dia tewas saat itu juga!
Golok di tangan Gandita berkelebat ganas kian kemari. Namun ternyata tidak
gampang baginya untuk dapat membacok atau menusuk lawan pendek yang mampu
bergerak cepat kian kemari. Apalagi saat itu Gandita masih tetap berada di atas kuda
tunggangannya. Sebelum dia memutuskan untuk melompat turun, si katai Damar berhasil
menyelinap di bawah tubuh binatang itu dan memukul pecah kemaluan kuda jantan ini.
Diiringi ringkik setinggi langit kuda itu mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi,
membuat Gandita terpental. Meskipun dia sanggup jatuh ke tanah dengan kedua kaki
lebih dahulu namun amarah si pemuda sudah tak terkendalikan lagi. Tubuhnya berkelebat
ke depan. Goloknya berubah jadi bayang-bayang yang mengeluarkan suara bersiuran. Di
samping itu Gandita telah pula memberi isyarat pada anak buahnya. Sepuluh orang
prajurit bergabung dengannya menyerang Damar. Empat prajurit berhasil dirobohkan
Damar, namun lebih banyak lagi yang datang mengeroyok. Si katai tua ini hanya mampu
bertahan enam jurus. Dengan tubuh penuh luka dia bersandar ke roda salah satu kereta
jenazah. Dalam keadaan tak berdaya dia harus menerima tusukan golok Gandita di
perutnya!
Seratus prajurit yang setia pada Kerajaan bertahan mati-matian menyelamatkan
empat puteri Sang Prabu yang ada dalam empat kereta jenazah itu. Namun kekuatan
lawan yang tiga kali lebih besar tidak dapat dibendung. Apalagi setelah melihat matinya
Damar, mereka merasa tidak punya daya lagi. Dua belas prajurit dan seorang Perwira
yang masih hidup jatuhkan diri tanda menyerah. Tanpa ampun Gandita memerintahkan
pasukannya untuk memancung prajurit-prajurit dan Perwira yang menyerah ini! Lalu dia
melompat ke arah salah satu kereta jenazah. Dengan kasar didorongnya dua orang
perempuan yang duduk di depan kereta. Ketiga pintu kereta dibuka, sepasang mata
Gandita tampak membesar. Di dalam sana tampak puteri bungsu sang Prabu duduk
menyudut dengan wajah pucat pasi ketakutan. Di tangan kanannya puteri ini memegang
sebilah pisau.
“Kalau kau sentuh aku, aku akan bunuh diri!” mengancam Gayatri.
Gandita tersenyum. “Tidak ada seorangpun yang akan menyakitimu Raden Ayu
Gayatri.” Tanpa ada yang tahu sebenarnya Gandita sudah sejak lama secara diam-diam
jatuh cinta terhadap puteri bungsu sang Prabu ini. Namun ketika diketahuinya ava
semacam hubungan rahasia antara puteri Keraton Singosari ini dengan Pendekar 212
Wiro Sableng yang sangat dibencinya itu, maka rasa cinta sepihak pembantu utama
Adipati Sumenep ini kini dikobari rasa benci, dendam dan itikad untuk menguasai
Gayatri secara keji. Kesempatan itu kini sudah ada di depan mata, di dalam tangannya
karena Sang Puteri berada dalam kekuasaannya. Dan saat itu malam segera pula akan
tiba. Pucuk dicinta ulam tiba!
”Apa yang kalian lakukan terhadap kami? Prabu Singosari akan memancung
kepalamu jika berani berlaku kurang ajar terhadapku!”
Gandita mengulurkan tangannya memegang paha Gayatri. Puteri bungsu sang
Prabu ini hunjamkan pisaunya ke tangan Gandita. Tapi si pemuda sepat menarik pulang
tangannya. ”Raden Ayu Gayatri! Sejak saat ini tak perlu lagi menyebut-nyebut nama
Singosari. Kerajaan itu sudah runtuh! Musnah! Masih untung kalau Ayahandamu
dibiarkan hidup. Dengar, malam ini kau akan bersamaku. Kita akan berdua-dua…!”
”Mulutmu kotor! Otakmu keji!” teriak Gayatri marah sekali. Dia melompat dan
kembali menusukkan pisaunya ke arah Gandita. Tapi dengan cepat pemuda ini merangkul
pinggangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan menotok dada Gayatri hingga
puteri Kerajaan ini tersentak dan kaku tak bisa bergerak lagi. Gandita memanggul Gayatri
di bahu kirinya.
Sementara itu ketika tiga kereta jenazah lainnya diperiksa dalam masing-masing
kereta memang ditemui ketiga puteri Raja Singosari.
”Kumpulkan ketiga puteri ini di satu tempat,” perintah Gandita. ”Puteri Gayatri
biar aku yang mengurus. Kita berkemah malam ini di sini. Kalian semua boleh istirahat!”
”Tapi Raden,” berkata seorang Prajurit Kepala.
”Bukankah Adipati Wira Seta meminta kita segera kembali ke Kotaraja begitu
urusan di sini selesai?”
Sepasang mata Gandita membeliak. ”Aku yang mengambil segala putusan dan
mengeluarkan perintah di sini!” bentak Gandita dengan mata melotot. ”Jika kau ingin
pergi ke Kotaraja, lebih baik minggat sekarang-sekarang!”
Prajurit Kepala itu hanya bisa berdiam diri.
Gandita berpaling pada seorang pembantunya. ”Siapkan sebuah kemah untukku di
bawah pohon sana! Dan dengar baik-baik! Kalau aku berada dalam kemah itu, jangan ada
yang berani mengganggu!”
Si pembantu mengangguk lalu bersama beberapa orang lainnya dia segera
melakukan apa yang diperintahkan Gandita. Membangun sebuah kemah untuk atasan
mereka itu.
***
BAB IX
Ketika Raden Juwana bersama empat pengiringnya memasuki Kotaraja dan
sampai di Keraton Tumapel, saat itu Ruang Pemanjatan Doa baru saja runtuh menimbun
jenazah Prabu Singosari dan Panglima pengkhianat Argajaya. Raden Adikatwang masih
belum sirna kejut dan kecutnya. Wajahnya masih tampak memucat. Para pengawal dan
pembantunya mengelilinginya. Kalau saja dia terlambat keluar dari ruangan tadi, pasti dia
akan ikut tertimbun hidup-hidup. Dalam tegak seperti tertegun Adikatwang berpikir dan
menduga-duga siapa adanya nenek sakti yang mampu membunuh Argajaya dengan
senjatanya berupa tiga buah tusuk konde perak lalu menyambar dan menyelamatkan
tubuh Pendeta Mayana yang terluka parah.
Selagi dia berpikir-pikir begitu tiba-tiba Adikatwang melihat kemunculan Raden
Juwana bersama empat pengiringnya. Adikatwang mengenali siapa adanya Raden
Juwana. Lebih dari itu dia tahu kalau Raden Juwana adalah calon menantu mendiang
Prabu Singosari, pemuda gagah yang akan dinikahkan dengan puteri sulung sang Prabu
yaitu Tribuana Tunggadewi.
”Manusia ini harus dilenyapkan! Kalau tidak bisa berbahaya!” membatin
Adikatwang. Dia memberi isyarat pada Adipati Wira Seta. Melihat isyarat Adikatwang.
Adipati Sumenep itu cepat mendatangi.
”Saya tahu apa yang ada di benak Kangmas Adi,” kata Wira Seta pula.
”Kalau begitu kita bunuh dia sekarang juga!”
”Jangan, dia lebih berguna kalau dibiarkan hidup,” jawab Wira Seta.
”Apa gerangan maksud Dimas?” bertanya Adikatwang.
”Setelah sang Baginda dan Patih Raganatha tewas dia satu-satunya orang penting
dan berbobot di Singosari. Bukankah dia keturunan Raja besar Singosari pertama yaitu
Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa? Kalau dia tidak disingkirkan sekarang, di
kemudian hari bisa menjadi pangkal bahaya!”
”Apa yang Kangmas katakan itu betul. Tapi untuk sementara biar dia kita tangkap
hidup-hidup. Kita perlu beberapa keterangan penting dari dia.” Wira Seta lebih mendekat.
Lalu berbisik ke telinga Adikatwang. ”Orang kita memberi kabar bahwa dua pusaka
sangat berharga milik Keraton Singosari yaitu Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa
tidak ditemui di tempat penyimpanan rahasianya!”
“Kurang ajar! Padahal dua benda pusaka itu sangat diperlukan syahnya aku
menjadi penguasa Singosari dan Kediri!” kata Adikatwang sambil mengepalkan tinjunya.
“Di samping itu saya mendengar kabar bahwa keempat puteri Sang Prabu lenyap
tanpa bekas. Diduga dia kabur bersama Pendeta Mayana, tapi ternyata Pendeta itu berada
dalam Ruangan Pemanjatan Doa. Walaupun seorang tak dikenal melarikan dan
menyelamatkan dirinya namun saat ini dia pasti sudah tewas karena luka-lukanya. Nah,
kalau pemuda itu kita tangkap hidup-hidup, saya yakin dia bisa memberi keterangan
dimana beradanya dua benda pusaka Keraton Singosari serta dimana pula beradanya
empat puteri Sri Baginda.”
“Kalau begitu, saya setuju pada pendapat Dimas Wira Seta! Lekas gerakkan orang
kita untuk mengurung pemuda itu. Saya mendengar si Juwana ini membekal ilmu
kesaktian bernama geger guntur. Kita harus berhati-hati.”
Adipati Wira Seta menyeringai. “Dia boleh punya seribu ilmu. Namun dia tidak
lebih seorang pemuda hijau yang tak punya apa-apa. Lagi pula masakan kita berdua tidak
bisa meringkusnya?”
Di lain pihak Raden Juwana telah pula melihat kedua orang musuh besar
Singosari itu. Meskipun dia belum dapat memastikan nasib Sang Prabu Baginda Raja
namun melihat runtuhnya Ruangan Pemanjatan Doa pemuda ini merasa sangat khawatir
bahwa sesuatu telah terjadi dengan Raja Singosari itu. Ketika dia meninggalkan Keraton
sebelumnya, sang Prabu berada di dalam ruangan itu. Kini ruangan itu dilihatnya dalam
keadaan runtuh porak poranda. Jangan-jangan sang Prabu tertimbun di dalamnya! Walau
hatinya bersikeras ingin menyelidiki namun menyadari bahaya yang bakal dihadapinya
jika dia terus berada di situ maka Raden Juwana cepat mengajak para pengiringnya
meninggalkan tempat itu. Tapi terlambat. Puluhan prajurit telah mengurung mereka. Lalu
Adikatwang dan Wira Seta bergerak ke tengah lingkaran.
“Calon menantu sang Baginda yang malang!” menegur Adikatwang dengan
seringai pongah mengejek. “Calon mertuamu Prabu Singosari sudah jadi mayat di bawah
puing reruntuhan di sebelah sana! Patih Kerajaan sudah tewas! Kini tinggal kau seorang
diri. Jika kau mau menyerah secara baik-baik dan ikut bersama kami, tubuhmu akan tetap
utuh. Aku berjanji memberikan satu kedudukan yang lumayan untukmu. Tapi kalau kau
bertindak bodoh dan berani melawan, nyawamu tidak lebih berharga dari sampah busuk!
Nah, kau memilih madu atau minta racun?!”
“Manusia-manusia terkutuk! Pengkhianat busuk! Kalian menghidangkan racun!
Sekarang minumlah sendiri!” teriak Raden Juwana. Pemuda itu cabut pedangnya lalu
mendahului membuka serangan.
Ilmu pedang Raden Juwana memang hebat. Sekali dia membabatkan pedang, dua
prajurit yang mengurung roboh mandi darah. Empat prajurit musuh bergerak maju.
Keempatnya langsung tersungkur luka-luka. Sesaat para pengurung menjadi kecut.
Namun Adikatwang berteriak memberi semangat lalu bersama Wira Seta dia menyerbu
masuk ke kalangan pertempuran. Empat pengiring Raden Juwana merupakan korban
pertama kedua orang berkepandaian tinggi ini. Raden Juwana mengamuk dengan pedang
di tangan kanan sementara tangan kiri mulai melepas pukulan tangan kosong
mengandung aji kesaktian bernama geger guntur. Setiap tangan itu dihantamkan
terdengar suara dahsyat seperti suara guntur. Lalu menyusul satu gelombang angin panas
menyapu dengan ganas. Belasan prajurit pengurung mencelat mental dan roboh
berkaparan tanpa nyawa.
”Awas! Hati-hati Dimas!” teriak Adikatwang.
Bagaimanapun kehebatan ilmu pedang dan pukulan sakti yang dimiliki Raden
Juwana, dikurung ratusan prajurit serta menghadapi dua tokoh pemberontak
berkepandaian tinggi setelah mengamuk selama sebelas jurus, dalam satu gebrakan hebat
pedang di tangan Raden Juwana berhasil dibuat mental oleh hantaman golok
Adikatwang. Walau golok Adikatwang patah dua tapi jelas bahwa tingkat tenaga dalam
pimpinan pemberontak ini jauh lebih tinggi dari yang dimiliki Raden Juwana.
Dalam keadaan tanpa senjata begitu rupa, Raden Juwana kini pergunakan kedua
tangannya untuk menebar maut dengan melepaskan pukulan-pukulan geger guntur.
Semua serangannya diarahkan pada Adikatwang yang dianggapnya sebagai biang racun
malapetaka dan gembing utama kaum pemberontak. Adikatwang yang sejak tadi telah
berlaku waspada sambut serangan Raden Juwana dengan mengangkat kedua tangannya
pula. Dari telapak tangan orang ini kelihatan sinar cahaya kebiru-biruan. Inilah ilmu
kesaktian andalan Adikatwang yang didapatnya dari seorang Resi di pantai Selatan. Dia
harus berpuasa dan merendam diri dalam lautan selama 40 hari untuk mendapatkan ilmu
kesaktian yang bernama gelombang hantu itu. Berbarengan dengan terlihatnya sinar
kebiruan maka menggemuruh suara seperti ombak sambung-menyambung serta deru
angin seperti badai mengamuk. Suara seperti guntur yang menyertai ilmu pukulan yang
dilepaskan Raden Juwana tampak bergetar keras. Mukanya menjadi pucat dan keningnya
penuh dengan butir-butir keringat. Ketika dia berusaha bertahan, di depannya
Adikatwang dorongkan kedua tangannya. Sinar biru pukulan gelombang hantu kelihatan
berkilau terang. Saat itu pula Raden Juwana merasakan dadanya seperti dihantam batu
besar. Dari mulutnya meleleh darah. Sadar bahaya maut yang bakal dihadapinya jika dia
bersikeras melayani kekuatan lawan maka Raden Juwana cepat jatuhkan diri ke tanah.
Ketika dia berusaha tegak dengan sempoyongan, dari belakang Wira Seta mendatangi
lalu menotok punggungnya dengan cepat hingga pemuda ini kaku tegang tak berkutik
lagi.
Lima orang prajurit Kediri segera meringkusnya. Ketika hendak dinaikkan ke atas
seekor kuda Raden Juwana berpaling pada Adikatwang. ”Aku tidak takut mati! Mengapa
kau tidak membunuhku saat ini juga?!”
Adikatwang menyeringai. “Bersabarlah sedikit anak muda. Akan datang saatnya
aku mengorek jantung dan hatimu!”
”Manusia pengkhianat busuk! Sang Prabu telah mengampuni nyawamu dan masih
mau memberikan kedudukan tinggi di Gelang-Gelang. Sekarang ini balasanmu
terhadapnya. Kau bukan manusia tapi iblis laknat! Terkutuk kau dan keturunanmu!”  
Plaak!
Tamparan Adikatwang meledak di muka Raden Juwana. Pipi kiri pemuda ini
tampak bengkak merah kebiruan. Bibirnya pecah mengeluarkan darah. Tapi di wajahnya
sedikitpun tidak ada tampak rasa takut. Malah dengan menyeringai sinis dia mengangkat
kepalanya lalu meludahi muka Adikatwang!
”Keparat rendah!” teriak Adikatwang. Dia menyambar golok seorang prajurit.
Sewaktu senjata itu hendak dipancungkannya ke leher Raden Juwana, Adipati Wira Seta
cepat menghalangi seraya berbisik. ”Ingat rencana kita harus membiarkan nafasnya
berjalan.”
Tubuh Adikatwang nampak bergetar menahan amarah. Golok di tangannya
dibanting hingga terhunjam masuk ke tanah sampai ke gagangnya. Dalam hati dia
menyumpah. “Aku akan menentukan cara matimu yang paling sengsara Juwana!”
***
BAB X
Adikatwang duduk di singgasana milik Sri Baginda Singosari sambil tiada
hentinya tersenyum. Dia benar-benar telah mendapatkan apa yang diidamkannya,
menumbangkan Kerajaan Singosari, merebut tahta Sang Prabu, dan menjadi Raja di Raja
di Kediri dan Singosari.
Di samping singgasana berdiri Adipati Sumenep Wira Seta. Semuanya tidak kalah
dengan Adikatwang yang kini tengah mabuk kepayang. Di sekelilingnya berdiri para
pembantu kepercayaannya yang lain, yang telah membantu perjuangannya meruntuhkan
Singosari dan menjadikannya sekarang seorang Raja besar. Beberapa orang Pendeta
Istana juga kelihatan berada di tempat itu dengan wajah muram tanda mereka sebenarnya
mendekam perasaan tidak enak. Tetapi sebagai pemuka agama mereka hanya bisa pasrah.
Apa yang telah terjadi yaitu direbutnya tahta Kerajaan dan gugurnya sang Prabu mungkin
sudah menjadi suratan. “Saya sekarang menjadi Raja di seluruh kawasan ini, Dimas Wira
Seta!” kata Adikatwang sambil tertawa lebar.
“Memang itu tujuan kita Sri Baginda,” jawab Wira Seta. “Saya mengucapkan
selamat!”
“Kau boleh memilih jabatan apa yang kau inginkan, asalkan bukan jabatan Patih
Kerajaan…”
Paras Wira Seta berubah. “Kangmas Adikatwang, ” katanya dengan suara agak
tercekat. Rasa tercekat membuat dia tidak lagi menyebut Adikatwang dengan panggilan
Sri Baginda. “Kangmas, sesuai perjanjian kita dalam perundingan sebelum rencana ini
kita jalankan, bukankah kau sudah mengatakan dan menyetujui bahwa jabatan Patih
adalah menjadi bagianku kalau Singosari berhasil ditumbangkan. Apakah Kangmas lupa
hal itu?”
“Tidak, tentu saja tidak Dimas Wira Seta.”
“Kalau begitu mengapa…”
Adikatwang berdiri dari singgasana dan memegang bahu Wira Seta. ”Saya tidak
lupa janji itu Dimas. Cuma berikan saya waktu. Untuk sementara jabatan itu akan
serahkan pada Rana Trijaya…”
“Adik Kangmas?”
“Ya, adik kandung saya…”
Paras Wira Seta berubah mengelam. ”Jadi..”
”Dimas, jabatan Patih itu akan saya berikan pada Rana hanya untuk sementara.
Satu atau dua tahun saja. Setelah itu kau akan menggantikannya.”
”Itu tidak ada dalam perjanjian kita Kangmas.” Wira Seta semakin tidak enak.
”Memang benar. Maafkan kalau saat ini saya berubah pikiran. Bukan apa-apa.
Hanya sekadar untuk mengajar Rana dalam tatacara kehidupan berkerajaan. Sementara
itu Dimas bisa memilih jabatan apa saja. Panglima Balatentara misalnya. Itu bukan
jabatan rendah. Hampir setingkat dengan kedudukan Patih Kerajaan.” Adikatwang
tersenyum.
Wira Seta menggeleng. ”Saya tidak mengerti,” jawabnya.
”Saya tidak menginginkan jabatan Panglima Balatentara itu.”
”Kalau begitu masih tersedia jabatan lain. Kedudukan Dimas sebagai Adipati di
Madura tidak akan dikutik-kutik. Dimas tetap berkuasa di sana.”
”Maafkan saya Kangmas. Saya merasa kurang sehat. Saya akan kembali dulu ke
perkemahan di tapal batas…”
”Dimas Wira Seta, jangan pergi dulu. Nanti malam pembicaraan kita lanjutkan.
Kita akan mengadakan pesta besar-besaran. Lagi pula Dimas harus menyaksikan satu
acara sangat menarik yang sebentar lagi akan diadakan di halaman belakang Keraton.
Sesuai dengan usul Dimas sendiri… Ingat Raden Juwana yang sudah kita ringkus?”
Wira Seta mengangguk. Tapi dia sudah tidak tertarik lagi untuk bicara dengan
Adikatwang. Juga untuk menyaksikan apa yang bakal dilakukan Raja baru itu. Dia
merasa sangat terpukul dan sangat kecewa. Dia merasa tertipu ikut membantu
Adikatwang meruntuhkan Singosari, merebut tahta. Begitu tujuan tercapai Adikatwang
tidak menepati janjinya yaitu memberikan kedudukan Patih Kerajaan padanya.
“Maaf Kangmas, saya harus kembali ke tapal batas. Saya benar-benar merasa
kurang sehat…” kata Wira Seta. Lalu dia bergerak hendak melangkah.
”Tunggu dulu Dimas,” ujar Adikatwang pula. ”Saya tidak melihat Gandita
pembantu utamamu itu. Dimana dia?”
Semula Wira Seta hendak mengatakan bahwa dia telah memberikan tugas pada
Gandita untuk menguntit rombongan yang membawa empat kereta jenazah. Tetapi
setelah melihat keculasan Adikatwang, Wira Seta menjawab dengan angkat bahu. ”Dia
pasti masih berada di salah satu medan pertempuran. Saya akan beri tahu jika Kangmas
ingin bertemu dia.”
”Ya, malam ini dia harus menghadiri pesta. Dimas juga…”
Wira Seta tidak menyahut. Dia meninggalkan ruangan besar itu dengan langkah
cepat tetapi limbung.
Seorang pembantu menyodorkan sebuah tabung bambu berukir-ukir berisi
minuman keras pada Adikatwang. Penguasa baru Singosari ini meneguk seluruh isi
tabung sampai habis hingga wajahnya kelihatan merah padam.
Seorang Perwira Tinggi Kediri mendekatinya lalu membisikkan sesuatu. ”Bagus!
Mari kita sama-sama ke halaman belakang…” Adikatwang memberi isyarat agar semua
orang yang ava di tempat itu mengikutinya. Namun tiba-tiba dari pintu depan terdengar
seorang berseru.
”Sri Baginda Adikatwang! Lihat apa yang aku bawa!”
Satu bayangan merah berkelebat. Sesaat kemudian di depan Adikatwang tampak
berdiri Dewi Maha Geni, si nenek yang menjadi kaki tangan utama Adikatwang dalam
penggulingan sang Prabu. Seperti diketahui sebelumnya nenek sakti ini adalah pembantu
Raja Singosari, seorang tokoh silat Istana. Dia berdiri di hadapan Adikatwang membawa
sebuah keranjang berisi rumput. Keranjang ini adalah keranjang yang dirampasnya dari
Pendekar 212 Wiro Sableng. Dewi Maha Geni meletakkan keranjang di lantai. Lalu dia
membongkar dan mengeluarkan rumput yang ada dalam keranjang.
Paras si nenek jadi berubah ketika keseluruhan rumput dikeluarkan tetapi dua
kotak kayu yang dipastikannya ada dalam keranjang saat itu sama sekali tidak ditemukan.
Hal ini jelas karena sebelumnya dengan cerdik Wiro telah menukar keranjang rumput
berisi dua kotak kayu itu dengan keranjang rumput yang bentuk dan isinya sama, tetapi
tidak ada isinya selain rumput belaka.
Untuk beberapa lamanya Dewi Maha Geni tegak ternganga. Dia memandang pada
keranjang rumput di hadapannya dengan rasa tidak percaya lalu berpaling pada
Adikatwang.
”Nenek sakti, permainan apa yang hendak kau sajikan di depan Rajamu?!”
menegur Adikatwang.
Paras Dewi Maha Geni menjadi merah. ”Dalam keranjang ini seharusnya ada dua
kotak kayu itu…”
”Kotak kayu apa?” tanya Adikatwang.
”Kotak kayu berisi Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa!” sahut Dewi Maha
Geni lalu menggigit bibirnya sendiri.
Adikatwang tampak terkejut. Tapi hanya seketika. ”Saya lihat keranjang itu hanya
berisi rumput melulu! Atau mata Rajamu ini telah buta?”
”Maafkan saya Sri Baginda. Sesuatu telah terjadi. Pemuda itu telah menipu saya.”
Dewi Maha Geni nampak jengkel sekali.
”Pemuda siapa maksudmu?” Adikatwang mulai kehilangan kesabarannya.
”Pemuda bernama Wiro itu!”
”Lagi-lagi dia!” sungut Adikatwang. ”Semua orang-orangku seperti menjadi tolol
di hadapan pemuda itu! Jika kau ditipu dan pemuda itu berhasil membawa lari Mahkota
Narasinga dan Keris Saktipalapa, lalu apa lagi yang kau tunggu? Cari pemuda itu! Bawa
kepalanya ke hadapanku dan yang lebih penting dapatkan kedua benda pusaka Kerajaan
Singosari itu!”
Dewi Maha Geni merasa sangat tersinggung dianggap orang tolol. Tanpa banyak
bicara lagi dia berpaling dan tinggalkan tempat itu. Adikatwang tidak perdulikan lagi si
nenek. Dia melangkah ke halaman belakang diikuti oleh semua yang ada di ruangan itu.
Halaman belakang Keraton Tumapel yang sebagian merupakan sebuah taman luas
dijaga oleh hampir dua ratus pengawal bersenjata lengkap. Di bagian tengah halaman
terdapat dua buah tiang kayu besar dan di atas kedua tiang ini melintang sebuah balok. Di
sebelah atas balok ada seutas tambang besar yang salah satu ujungnya dipegang oleh tiga
orang prajurit bertubuh tegap kekar. Ujung lain dari tambang ini dihubungkan dengan
sebuah ikat pinggang besi. Dan ikat pinggang besi ini dikatupkan ke dada terus ke ketiak
Raden Juwana yang saat itu sudah dilepas totokannya tetapi berada dalam keadaan terikat
kedua tangan dan kakinya. Saat itu dia hanya mengenakan sehelai celana dalam saja. Di
punggung, dada, dan wajahnya kelihatan bekas-bekas penganiayaan.
Di bawah tubuh Raden Juwana yang tergantung itu sejarak dua tombak dari ujung
kedua kakinya ada sebuah kuali raksasa berisi minyak mendidih sementara di bawah
kuali api besar terus dipasang menyala. Sudah dapat dibayangkan malapetaka apa yang
bakal menimpa pemuda ini. Semua ini dilakukan atas perintah Adikatwang. Semua orang
menduga-duga apa tujuan Adikatwang melakukan hal itu.
Melihat segala persiapan telah dilakukan orang, Adikatwang nampak puas. Dia
melangkah dan berhenti sekitar sepuluh langkah dari hadapan kuali besar di atas mana
Raden Juwana tergantung.
”Juwana!” tiba-tiba Adikatwang berkata dengan suara lantang. ”Kau tahu bahaya
apa yang bakal kau hadapi saat ini?”
Mulut Raden Juwana nampak bergetar. Terdengar suaranya menjawab. ”Manusia
iblis! Siapa bilang aku takut mati!”
Adikatwang tertawa bergelak. ”Memang tidak ada yang bilang kalau kau takut
mati. Tapi coba kau perhatikan minyak yang mendidih di bawahmu. Sekali tubuhmu
masuk ke dalam kuali kau akan menjadi matang garing! Ha…ha…ha!”
”Kau boleh melakukannya sekarang juga pengkhianat busuk!” teriak Raden
Juwana tanpa rasa takut. Kedua matanya seperti dikobari api.
”Kau memang manusia hebat!” kata Adikatwang. Dia menjentikkan jari-jari
tangannya. Tiga orang lelaki di belakang tiang penggantungan mengulur tambang yang
mereka pegang. Tubuh Raden Juwana turun ke bawah sampai dua jengkal. Hawa panas
minyak mendidih yang ada di bawah kakinya mulai terasa.
”Juwana, aku akan mengajukan dua pertanyaan! Kalau kau mau menjawab dan
beri keterangan, nyawamu kuampuni!” kata Adikatwang. Raden Juwana diam saja.
Kedua matanya dipejamkan.
”Pertanyaan pertama! Siapa yang membawa Mahkota Narasinga dan Keris Sakti
Palapa. Dimana kedua barang pusaka Kerajaan itu disembunyikan! Kau mau memberikan
keterangan?!”
Sepasang mata Raden Juwana terbuka. Mulutnya juga terbuka. Lalu dari mulut itu
melesat ludah campur darah. ”Kau tanyalah pada setan-setan di neraka!”
Walaupun tampang Adikatwang menjadi mengelam merah namun sambil
menyeringai dia berkata. ”Pertanyaan kedua, dimana beradanya empat puteri Sang Prabu.
Kau pasti tahu! Nah, saatnya kau menjawab atau tubuhmu akan garing dalam kuali itu!”
”Manusia terkutuk! Kau tak bakal mendapat jawaban apa-apa dariku!” teriak
Raden Juwana.
Adikatwang menjentikkan jari-jari tangan kanannya. Tiga prajurit di belakang
tiang gantungan kembali mengulur tali yang mereka pegang. Hawa panas semakin keras
terasa pada kedua kaki dan tubuh bagian bawah Raden Juwana. Tapi pemuda ini tetap
tabah bahkan nekad.
”Kau mau menjawab atau memilih mampus?” bentak Adikatwang.
”Aku memilih mampus!” jawab Raden Juwana tanpa tedeng aling-aling.
”Bangsat tolol!” maki Adikatwang. Dia mengangkat tangan kirinya. Dua orang
pengawal muncul membawa seekor kambing. Binatang ini dilemparkan ke dalam kuali
berminyak mendidih. Terdengar suara mendesis panjang mengerikan. Kambing itu
terdengar mengembik pendek lalu tubuhnya telah berubah menjadi garing, mengambang
di atas permukaan minyak. Semua orang yang ada di tempat itu bergidik menyaksikan
kejadian itu. Di tali penggantungan Raden Juwana tetap tenang walau sekujur tubuhnya
kini kelihatan keringatan oleh hawa panas minyak mendidih.
”Bagaimana? Kau masih tetap menutup mulut dan memilih mati?” tanya
Adikatwang sementara dua pengawal tadi mengeluarkan kambing yang sudah matang
garing itu dari dalam kuali.
Raden Juwana tak menjawab. Diam-diam dia kerahkan tenaga dan mengukur
jarak antara dia dengan Adikatwang. Tiba-tiba tubuh itu berayun keras. Kaki kanan
Raden Juwana menyambar ke arah kepala Adikatwang. Kalu tendangan itu sempat
menyambar tidak dapat tidak akan pecahlah kepala Adikatwang. Namun dengan
menunduk sambil mundur satu langkah Adikatwang berhassil mengelakkan serangan
maut mendadak itu. Kedua matanya mendelik saking marah. Dia berteriak keras.
”Cemplungkan keparat itu ke dalam kuali!”
Mendengar perintah itu, ketiga orang di belakang tiang penggantungan langsung
lepaskan pegangan mereka pada tambang besar. Tubuh Raden Juwana melayang jatuh ke
bawah. Beberapa orang yang tidak tahan menyaksikan apa yang bakal terjadi, termasuk
para Pendeta Kerajaan, pejamkan mata masing-masing. Sebentar lagi pasti terdengar
suara mendesir keras begitu tubuh Raden Juwana menyentuh minyak mendidih di dalam
kuali besar!
Namun suara mendesir itu tidak terdengar. Justru saat itu meledak satu bentakan
dahsyat yang menggetarkan halaman luas, disusul oleh suara berdesing.
”Orang-orang Kediri! Pemberontak busuk! Kekejian dan dosa kalian sedalam laut
setinggi langit! Kalian rasakan pembalasanku!”
Di udara kelihatan dua buah benda putih melesat ke arah Adikatwang. Lalu
laksana petir menyambar, di tempat itu satu sinar putih seperti perak berkilat. Panas yang
seperti membakar tubuh menghampar! Suara pekikan terdengar dimana-mana. Asap putih
kemudian bergulung-gulung di seluruh halaman. Ketika asap itu pupus, kelihatanlah satu
pemandangan yang mengerikan.
Sekitar dua puluh orang prajurit Kediri berkaparan tewas di halaman belakang
Keraton Tumapel itu. Tubuh mereka kelihatan hitam seperti gosong. Kuali besar berisi
minyak mendidih hancur berantakan dan minyaknya menyiprat kian kemari
menimbulkan luka parah pada hampir selusin prajurit dan seorang Perwira. Rerumputan
dan tanaman yang ada di taman tampak hangus kehitaman. Bau daging manusia yang
seolah-olah dipanggang memenuhi udara di tempat itu, menegakkan bulu kuduk semua
orang!
Adikatwang sendiri tampak tegak terhuyung-huyung sambil memgangi sebuah
benda yang menancap di bahunya. Jari-jari tangannya berlumuran darah. Benda itu
adalah sebuah tusuk kundai terbuat dari perak. Apa yang telah terjadi?
Ketika tadi terdengar suara orang membentak di udara tampak berdesing dua buah
benda putih. Dua buah benda yang merupakan senjata terbang ini melesat ke arah batang
leher Adikatwang. Dalam kejutnya Adikatwang memberikan reaksi cepat. Sambil
miringkan tubuh dia menghantam ke depan. Salah satu dari benda putih itu berhasil
dipukulnya sampai mental tapi tangannya sendiri luka dan berlumuran darah. Benda
kedua walau sudah dielakkan ternyata masih sempat menancap di bahu kirinya! Dan
benda ini ternyata adalah sebuah tusuk kundai perak ini! Dalam dunia persilatan yang
memiliki tusuk kundai perak dan menjadikannya satu senjata maut hanyalah seorang
nenek sakti dari Gunung Gede, guru dari  Wiro
Sableng yaitu Sinto Weni alias Sinto Gendeng, manusia aneh yang dianggap Datuk dari
segala Datuk tokoh-tokoh persilatan.
Adikatwang telah menyaksikan ketika tiga buah tusuk kundai yang sama
menancap di tubuh Panglima Argajaya yang membuatnya mati seketika. Tanpa tunggu
lebih lama Adikatwang cepat cabut tusuk kundai perak yang menacap di bahunya, lalu
menotok jalan darahnya di bagian kiri tubuh. Saat itu dia merasakan bagaimana rasa
panas yang mengerikan merayapi hampir setiap bagian tubuhnya. Dari dalam saku
pakaiannya cepat dia mengeluarkan sebutir obat pemusnah racun lalu ditelannya cepat-
cepat. Sambil menelan obat dia memandang ke depan. Adikatwang masih sempat melihat
sosok tubuh Sinto Gendeng menyambar tubuh Raden Juwana yang melayang jatuh ke
bawah. Tali pengikat pinggangnya putus. Di lain kejap si nenek telah lenyap dari
pemandangan bersama Raden Juwana di atas dipanggulnya.
”Dia lagi…” desis Adikatwang. Lalu Raja pemberontak ini terkulai tak sadarkan
diri. Dua orang prajurit dan seorang Pendeta cepat menolongnya.
***
Raden Juwana merasakan nafasnya seperti terbang dibawa lari oleh nenek tak
dikenalnya itu. Saat itu mereka telah berada jauh di luar Kotaraja.
”Nek, kau mau bawa aku ke mana? Kau menolong jiwaku dari minyak mendidih
itu. Katakan apa kau seorang sahabat atau seorang penculik?!”
”Tutup mulutmu anak sambel!” membentak Sinto Gendeng. ”Kalau aku tidak
berpihak padamu perlu apa aku menghabiskan waktu dan tenaga mengurusi manusia
macammu!”
Di satu tempat si nenek turunkan tubuh Raden Juwana yang hanya mengenakan
sehelai kolor. Begitu menginjak tanah Raden Juwana langsung bersujud menghatur
sembah.
”Nek, aku berhutang nyawa padamu. Mohon kau sudi memberi tahu nama…”
Mendengar kata-kata Raden Juwana itu, Eyang Sinto Gendeng cemberut. ”Kau
pergilah mencari pakaian yang pantas. Kalau sudah lekas menuju ke arah Timur Laut dan
bergabung dengan pasukanmu kembali. Aku menaruh firasat empat puteri Sang Prabu
berada dalam bahaya besar.”
”Terima kasih Nek, aku sangat berterima kasih. Sekali lagi mohon kau sudi
memberi tahu nama…”
”Sudah, berdirilah anak muda. Aku tidak pantas mendapat kehormatan seperti
cara yang kau lakukan.”
Sekali lagi Raden Juwana menghatur sembah memberi penghormatan seraya
membungkuk dalam-dalam. Ketika dia bangkit kembali si nenek tak ada lagi di tempat
itu! Lalu dia sadar keadaan dirinya yang hanya mengenakan sehelai celana kolor begitu
rupa! Cepat-cepat Raden Juwana menyelinap di antara semak belukar. Dia harus segera
menyusul rombongan puteri-puteri Kerajaan yang sebelumnya telah ditinggalkannya.
Hatinya mendadak saja merasa tidak enak. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan
rombongan itu. Raden Juwana memutuskan untuk mengambil jalan memintas agar dapa
menyusul sebelum rombongan mencapai desa Tembang Sari dekat Kudadu. Namun dia
harus mencari rumah penduduk lebih dahulu agar dapat meminta sehelai pakaian.
***
Adikatwang dinaikkan ke atas sebuah tandu. Namun sebelum keburu diangkut dia
sudah keburu siuman. Dia minta diturunkan dari atas tandu dan melangkah sendiri
dengan sempoyongan menuju tangga belakang Keraton. Seperti merasakan sesuatu dia
hentikan langkah lalu memutar diri. Lama Adikatwang tegak tertegun. Sewaktu dia
mendongak ke atas, saat itulah dia baru menyadari bahwa langit di sore itu telah
dibungkus oleh awan mendung yang sangat tebal. Belum sempat Adikatwang kembali
meneruskan langkahnya memasuki Keraton tiba-tiba turunlah hujan sangat besar. Tapi
hanya sebentar. Begitu hujan berhenti langit tampak kembali cerah. Adikatwang terheran-
heran menyaksikan perubahan cuaca yang serba cepat ini. Ketika dia berpaling ke arah
Utara kedua matanya membesar dan hatinya tercekat. Di langit di kejauhan sana dia
melihat pelangi terpampang membelintang dari Barat ke Timur.
”Apa artinya ini…?” desis Adikatwang. Karena luka di bahunya mendenyut, dia
kembali memutar tubuh. Dua orang pembantu menolong memapahnya menaiki tangga
Keraton.
***
BAB XI
Di kawasan di mana pasukan pemberontak pimpinan Gandita berada sore itu
sama sekali tidak turun hujan. Cuaca terang benderang. Namun semua orang melihat
keanehan yang tampak di langit sebelah Utara. Sebuah pelangi membentang di langit.
“Aneh,” kata seorang Prajurit Kepala. “Tak ava hujan mengapa ada pelangi?
Mungkin ini suatu pertanda buruk?” dia berpaling pada kawannya. ”Haruskah hal ini kita
beri tahu pada pimpinan pasukan?”
Kawannya menjawab dengan gelengan kepala. ”Kurasa tidak usah saja. Pemuda
itu sedang dilanda nafsu. Dia sibuk memerintah agar kemahnya selesai sebelum malam
tiba. Aku tidak menyangka perang akan sekejam ini. Dia sama sekali tidak menaruh rasa
hormat kepada puteri Sri Baginda. Malah hendak….”
Prajurit Kepala memberi tanda agar kawannya tidak meneruskan ucapannya.
Keduanya meningglkan tempat itu, bergabung dengan kawan-kawannya yang lain yang
juga sudah melihat adanya pelangi di langit Utara.
Ketika langit di Barat mulai tampak merah tanda sang surya akan segera
tenggelam, Pendekar 212 Wiro Sableng yang memanggul keranjang rumput berisi dua
buah benda pusaka Keraton Singosari yang sangat berharga sampai di puncak bukit.
Menurut penjelasan yang pernah diterimanya rombongan puteri-puteri Kerajaan akan
melewati jalan kecil di bawah sana. Wiro memandang ke bawah. Dia melihat
serombongan pasukan di kaki bukit. Ada empat buah kereta dekat tikungan jalan. Lalu
tersiraplah darah murid Sinto Gendeng ini. Dia melihat puluhan manusia berkaparan di
bawah sana. Diperhatikannya lagi dengan seksama. Pasukan yang berada di tempat itu
berseragam balatentara Kediri dan Madura, bukan seragam Singosari.
Wiro menggaruk kepalanya. ”Jangan-jangan…” Dia tidak berani meneruskan kata
hatinya. Wiro memandang berkeliling. Tak jauh di sebelah kanannya dilihatnya
serumpunan semak belukar lebat. Wiro keluarkan dua buah kotak kayu dari dalam
keranjang rumput. Dia menggali sebuah lobang dangkal di kaki semak belukar lalu
memasukkan kedua kotak berisi benda pusaka Keraton Singosari itu ke dalam lobang dan
menimbunnya kembali. Tepat pada saat matahari tenggelam dan keadaan mulai gelap
Pendekar 212 sampai di kaki bukit. Kini dia bisa melihat lebih jelas, siapa adanya
kelompok besar pasukan yang berkemah di tempat itu dan pihak mana pula yang telah
menjadi korban tewas berkaparan di mana-mana.
Dari balik semak-semak Wiro perhatikan empat buah kereta di depannya. Jelas itu
adalah kereta milik Keraton Singosari. Keempat kereta itu dalam keadaan kosong.
Dimana keempat puteri Sri Baginda? Wiro menyelinap mendekati. Tubuhnya bergetar
ketika tiba-tiba matanya melihat sosok orang tua katai terkulai tak bernyawa pada salah
satu roda kereta. Sekujur tubuh dan mukanya penuh luka mengerikan. Wiro melompat ke
hadapan mayat yang dikenalinya itu. ”Damar…” dia menyebut orang tua katai itu dengan
suara tegang.
”Hai! Siapa kau?!” satu suara tiba-tiba membentak di belakang Pendekar 212
Wiro Sableng. Bersamaan dengan itu terdengar suara gesekan senjata dicabut. Lalu
sebilah golok menempel di lehernya!
Perlahan-lahan Wiro palingkan kepala. Di hadapannya berdiri seorang prajurit
Madura bertubuh tinggi besar dan berkumis melintang.
”Kau pasti orang Singosari!” prajurit Madura itu kembali membentak. Tangannya
bergerak siap untuk menusukkan golok.
Murid Sinto Gendeng menyeringai. ”Tahan, sabar dulu! Masakan kau lupa siapa
aku?!”
”Sialan! Lekas katakan siapa dirimu sebelum golok ini menembus lehermu!”
”Ah, kau benar-benar sudah lupa siapa diriku. Bukankah aku malaikat maut yang
datang hendak mengambil nyawamu?!”
”Setan alas…”
Makian prajurit Madura itu hanya sampai di situ. Wiro membuat gerakan cepat.
Kaki kanannya menedang tulang kering orang lalu bersamaan dengan itu dia menarik
tangan kanan lawan. Dalam keadaan kesakitan prajurit itu terbetot ke depan. Bersamaan
dengan itu tangan kanan Wiro kembali berkelebat.Bukk! prajurit itu langsung
terjengkang dengan muka remuk akibat jotosan mengandung tenaga dalam yang
dihantamkan Wiro ke hidungnya. Dengan cepat Wiro menyelinap meninggalkan tempat
itu. Dia harus segera mengetahui dimana adanya keempat puteri Sang Prabu. Yang paling
dicemaskannya adalah kesalamatan puteri bungsu yaitu Gayatri. Di samping itu dia juga
menduga-duga dimana Raden Juwana yang seharusnya berada bersama rombongan
puteri-puteri Kerajaan.
Menyadari kalau dia tidak bisa bergerak leluasa dalam pakaian seperti itu, Wiro
mendekati seorang prajurit yang tengah berjaga-jaga sambil menghisap sebatang rokok
kawung. Wiro sengaja berdiri di balik sebatang pohon, hanya memperlihatkan sebagian
tubuhnya lalu ”Ssstt…!” Dia mengeluarkan suara mendesis dari mulutnya.
Prajurit yang sedang merokok berpaling. Dia melihat ada seorang pemuda
gondrong tak dikenal tersenyum padanya serta melambaikan tangan memanggilnya dari
balik pohon. Orang ini buang rokok kawungnya ke tanah, meraba golok di pinggangnya
lalu melangkah cepat ke arah pohon.
”Siapa kau?!” si prajurit membentak. Dari balik pohon sepasang tangan yang
kokoh tiba-tiba berkelebat mencekik lehernya. Dia berusaha mencabut senjatanya. Tapi
tubuhnya keburu terangkat ke atas dan lehernya berderak patah. Wiro seret prajurit ini ke
balik pohon, menanggalkan pakaiannya lalu memakainya tanpa membuka pakaiannya
sendiri. Dengan mengenakan pakaian seragam prajurit Madura itu Pendekar 212 Wiro
Sableng bisa menyelinap ke setiap pelosok perkemahan tanpa dicurigai.
Dalam kegelapan, jauh di sebelah kiri Wiro melihat sebuah kemah. Dia segera
bergerak ke arah kemah ini. Sejarak tiga tombak dari kemah tiba-tiba ada dua orang
pengawal mendatangi.
”Kawan, kau hendak kemana?”
”Ah, kalian,,,” kata Wiro seraya senyum. ”Ada sesuatu hal penting hendak
kusampaikan pada orang di dalam kemah.”
”Kau tahu Gandita pemimpin kita tengah beristirahat. Apa kau berani mati hendak
mengganggunya?”
”Ini menyangkut puteri-puteri sang Prabu,” kata Wiro pula mengada-ada. Justru
ucapannya itu memancing jawaban yang mengejutkan.
”Semua puteri itu sudah ada yang mengurus. Salah satu diantaranya malah sudah
ada di dalam kemah sana bersama Gandita.” pengawal yang bicara keluarkan suara
tertawa pendek.
Wiro ikut-ikutan tertawa. Tapi dalam hati dia menyumpah. ”Wah, pasti Gandita
memilih puteri yang paling cantik. Siapa kira-kira yang beruntung dipaksa
melayaninya?”
”Yang paling muda dan yang paling cantik tentunya!” jawab pengawal satu lagi.
Gayatri! Wiro berteriak dalam hati. Saat itu ingin dia segera melompat ke arah
kemah. Tapi dia masih bisa menguasai diri. Pura-pura bersungut dia berkata, ”Enak juga
jadi pemimpin. Bisa bersenang-senang. Sedang kita berjaga-jaga di luar. Kedinginan dan
disantap nyamuk hutan!” Lalu Wiro memutar tubuhnya seperti hendak pergi. Tapi tiba-
tiba sekali kedua tangannya bergerak. Empat ujung jari bekerja. Kedua pengawal itu
langsung roboh dalam keadaan kaku tertotok! Pendekar 212 Wiro Sableng cepat bergerak
menuju kemah. Dia berhenti sesaat ketika dari dalam kemah didengarnya suara
perempuan membentak.
”Manusia iblis! Kau akan mendapat hukuman setimpal atas perbuatan kejimu
ini!”
Wiro kenal betul. Itu adalah suara Gayatri. Pendekar ini menggeram dan cabut
Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya. Senjata mustika sakti itu tampak berkilau
meskipun dalam kegelapan malam.
”Gayatri…” terdengar suara lelaki.
Bangsat! Itu suara Gandita si keparat! Wiro memaki dalam hati. Apa yang
hendak dilakukannya?! Kalau dia sampai berani berbuat kurang ajar aku bersumpah
memenggal kepalanya!
”Gayatri, kau tahu aku sejak lama menyukaimu. Kau seharusnya merasa
beruntung dan berterima kasih karena aku masih mau menyelamatkanmu. Menurut
perintah kau dan semua saudaramu harus dibunuh habis.”
”Aku lebih suka kau bunuh daripada kau jadikan mangsa nafsu bejatmu!”
Gandita terdengar ketawa, ”Dengar, jika kau mau berjanji kujadikan istri,
keselamatanmu akan kujamin. Tapi jika kau menolak kau tahu sendiri akibatnya.”
”Cis! Siapa sudi menjadi istrimu! Pemberontak busuk! Kau berkacalah lebih
dahulu!” Panas hati Gandita mendengar kata-kata itu bukan kepalang. Mukanya merah
membesi. Dia bergerak mendekati tubuh Gayatri yang terbaring di atas sehelai tikar.
Tangannya bergerak. Terdengar suara pakaian robek disusul oleh suara jeritan Gayatri.
Wiro merasakan tubuhnya bergetar. Gagang Kapak Maut Naga Geni 212
dipegangnya erat-erat. Ketika dia siap menerobos kemah tiba-tiba dia mendengar suara
aneh. Ada suara perempuan menangis keras. Dan itu bukanlah suara tangisan Raden Ayu
Gayatri!
***
BAB XII
Di dalam kemah Gandita terkesiap kaget. Dia memandang ke arah kemah sebelah
kanan dari arah mana, di luar sana terdengar suara orang menangis.
Cepat-cepat Gandita mengenakan pakaiannya kembali. Lalu dia membentak.
”Siapa di luar sana?”
Suara tangis di luar kemah semakin keras. Tampang Gandita berubah. Dia coba
berpikir dengan cepat. Mungkinkah dia? Tapi apa perlunya dia berada disini? Aku harus
menemui dan mengusirnya. Bangsat tua itu mengganggu saja!
Gandita membuka tali pengikat belahan kemah lalu melangkah keluar. Apa yang
diduganya memang benar. Di dekat kemah, duduk menjelepok tanah tampak duduk
seorang kakek berkulit hitam sekali. Dia duduk sambil menangis keras. Belasan
pengawal berdatangan tapi segera disuruh pergi oleh Gandita.
”Dewa Sediha! Apa yang kau lakukan disini?!” bertanya Gandita dengan suara
keras.
Orang tua sakti yang merupakan kakak dari Dewa Ketawa sesaat memandang
pada Gandita lalu mengusap kedua matanya. Perlahan-lahan dia berdiri dan memandang
sayu ke arah Gandita.
”Aku bersedia membantu kalian orang-orang Kediri dan orang-orang Madura
merebut tahta Kerajaan. Membunuh soal biasa bagiku. Tapi merusak kehormatan seorang
gadis, melakukan perkosaan sangat bertentangan dengan jiwaku! Aku bersumpah untuk
tidak membantu lagi manusia-manusia macammu! Kau akan mempertanggungjawabkan
perbuatan kotormu di hadapan para Dewa!” habis berkata begitu Dewa Sedih kembali
menggerung dan melangkah pergi.
”Dewa Sedih! Tunggu dulu! Jangan salah sangka….!” berseru Gandita. Tapi si
kakek sudah tidak kelihatan lagi di tempat itu. Sesaat Gandita tegak tertegun. Tapi bila
dia kemudian ingat pada tubuh Gayatri yang setengah telanjang di dalam kemah maka dia
tidak perdulikan lagi kakek sakti itu. Gandita menyibakkan kain penutup kemah dan
masuk ke dalam. Dua langkah masuk ke dalam kemah pemuda ini terbelalak besar dan
tegak laksana dipaku ke tanah!
Di hadapannya berdiri Pendekar 212 bertelanjang dada. Di tangan kanannya ada
sebuah senjata yang terasa aneh di mata Gandita yakni sebuah kapak bermata dua yang
memancarkan sinar angker menyilaukan. Pandangan mata pemuda itu membersitkan
maut. Di belakangnya berdiri Raden Ayu Gayatri, mengenakan sehelai baju putih. Pasti
itu adalah pakaian Wiro yang dikenakannya untuk menutupi bajunya yang robek-robek.
Di lantai kemah ada sehelai baju seragam prajurit Kediri. Wiro sendiri dilihatnya
mengenakan celana pasukan Kediri.
”Gandita! Dulu kau masih layak dihargai sebagai seorang musuh yang pantas
untuk dilawan. Tapi saat ini kau tak lebih dari seekor anjing buduk pembawa penyakit
kotor yang harus dibikin mampus!”
Pelipis dan rahang Gandita menggembung. Dia menyeringai. ”Keberanianmu
masuk ke sarang harimau patut dipuji. Apakah kau sanggup menembus kepungan tiga
ratus prajurit? Kau datang menghantar nyawa pemuda tolol!”
Wiro menyeringai. ”Umurmu tidak lama lagi! Keluarkan semua makian dalam
perutmu!”
Sebelumnya Gandita sudah dua kali berhadapan dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Kali terakhir di Lembah Bulan Sabit, dia dibuat muntah darah, menahan sakit
dan malu serta dendam bukan kepalang. Saat itu rasa dendam seperti membakar dirinya.
Tapi dia menyadari bahwa Wiro bukan lawannya. Maka dia cepat mengeluarkan suitan
keras dua kali berturut-turut. Saat itu juga di luar sana terdengar langkah bervatangan
banyak sekali. Gandita menarik sehelai tali sebagian kemah tersibak lebar sehingga kini
Wiro dapat melihat bagaimana sekitar seratus prajurit telah mengurung tempat itu.
Paras Gayatri tampak ketakutan. Sebaliknya murid Eyang Sinto Gendeng tenag-
tenag saja. Kalaupun dia mati di tempat itu dia akan merasa bahagia bisa mati bersama-
sama Gayatri.
“Kurang banyak Gandita! Panggil lagi yang lainnya! Aku tahu ada tiga ratus
prajurit di tempat ini. Yang muncul baru seratusan!”
”Manusia sombong takabur!” rutuk Gandita. Dia memberi isyarat pada
pasukannya. Belasan prajurit melompat ke arah Wiro dan Gayatri.
”Wiro…” terdengar suara Gayatri ketakutan.
”Kalian mau mampus? Majulah lebih dekat!” kata Wiro pula. Tangan kirinya
diangkat ke atas. Semua orang melihat tangan itu mulai dari siku sampai ke ujung jari
berubah menjadi putih seperti perak. Sementara itu dua mata kapak yang di tangan kanan
mengeluarkan cahaya lebih menyilaukan.
”Kalian mengapa diam saja?! Bunuh kedua orang itu!” teriak Gandita.
Puluhan prajurit kembali bergerak. Kali ini Wiro tidak ragu-ragu lagi. Tangan
kirinya dihantamkan. Terdengar suara menggelegar. Satu cahaya laksana kilat
menyambar berkiblat di tempat itu. Hanya luar biasa panas laksana matahari berada di
atas kepala! Belasan prajurit Kediri dan Madura berpekikan lalu berkaparan di tanah.
Semuanya tewas mengerikan dengan tubuh menghitam hangus. Belasan lainnya
bergelimpangan terkena sambaran hawa panas, menderita luka bakar tapi masih untung
tidak sampai meregang nyawa. Yang lain-lainnya serta merta melompat mundur dengan
muka pucat. Gandita jelas tampak kecut. Nyalinya sudah leleh.
Wiro sendiri saat itu merasakan dadanya berdenyut sakit. Seingatnya baru sekali
itu dia melepaskan pukulan sinar matahari dengan tenaga dalam penuh.
”Serang! Bunuh mereka!” teriak Gandita.
Tapi ratusan prajurit yang ada di tempat itu sudah putus nyali masing-masing.
Bukannya menyerang mereka malah mundur menjauh. Gandita menjadi salah kaprah.
Hendak melawan pasti dia tidak mampu. Untuk kabur melarikan diri dia masih punya
rasa malu. Ketika Wiro melangkah mendekatinya pemuda ini menjadi nekad. Dia
menyambar sebilah pedang yang dipegang oleh seorang prajurit. Dengan senjata ini di
tangan dia menyongsong gerakan Wiro. Pedang dibacokkan. Kapak Maut Naga Geni 212
berkelebat. Seperti memotong sebatang ranting, pedang di tangan Gandita dibabat putus.
Gandita sendiri merasakan tangannya bergetar keras dan panas. Patahan pedang yang
masih ada dalam genggamannya dilemparkannya ke arah Wiro lalu disusul pukulan
tangan kosong yang ganas.
Wiro cepat menghindar ketika ada dua gelombang angin menderu ke arahnya.
Kesempatan ini dipergunakan Gandita untuk mengambil sebilah keris yang tergantung di
tiang kemah. Tapi dia tak pernah sempat menyentuh senjata mustika pemberian gurunya
itu. Dari samping Kapak Maut Naga Geni 212 berkelebat ganas mengeluarkan deru
angker disertai sambaran sinar panas menyilaukan.
Puluhan mulut berseru tercekam. Puluhan pasang mata terbeliak ketika
menyaksikan bagaimana kepala Gandita menggelinding di lantai kemah. Tempat itu kini
diselimuti kesunyian seperti di pekuburan. Ketegangan menggantung. Tak ada yang
bergerak, tak ada yang bicara. Gayatri sendiri sampai beberapa lamanya menutup
matanya dengan kedua telapak tangan.
”Kalian lihat sendiri apa yang bisa aku lakukan! Kalian bisa bernasib seperti
manusia keji itu jika kalian memang menginginkan! Majulah siapa yang mau!”
semua mata memandang ke arah Wiro. Tak ada yang bergerak, apa lagi maju
menyambut tantangan yang diucapkan Pendekar 212. Merasa dia telah dapat
mempengaruhi orang-orang itu Wiro lantas berkata, ”Aku tahu kalian adalah prajurit-
prajurit gagah berhati polos. Aku tahu tiga orang puteri Raja Singosari yang terbunuh ada
di tempat ini. Aku meminta bantuan kalian. Lepaskan ketiga puteri itu dan masukkan ke
dalam kereta di sebelah sana!”
Para prajurit itu tampak saling berpandangan sesaat. Lalu sekelompok demi
sekelompok mereka bergerak ke satu tempat. Tak lama kemudian kelihatan mereka
mengiringi tiga kakak perempuan Gayatri dalam keadaan selamat tidak kurang suatu apa.
Gayatri lari menyongsong. Keempat puteri itu mendiang Sang Prabu itu saling
berangkulan dan bertangisan.
Khawatir pasukan musuh itu akan berubah pikiran Wiro berbisik pada Gayatri
agar membawa kakak-kakaknya naik ke sebuah kereta lalu dia sendiri melompat ke
bagian depan kereta, bertindak sebagai sais. Wiro memandang pada prajurit-prajurit itu.
”Kalian bebas pergi ke Tumapel. Kalian telah menang karena berhasil
meruntuhkan tahta Singosari. Tapi ingat, pengkhianatan dan pemberontakan yang kalian
lakukan itu kelak akan mendapat balasan yang sama pahitnya malah mungkin lebih pahit
di kemudian hari…”
Tidak seorangpun dari puluhan prajurit Kediri dan Madura itu yang bergerak dari
tempatnya. Banyak yang menundukkan kepala.
”Mengapa kalian tidak pergi?” tanya Wiro. Dia mulai was-was dan tangan
kanannya didekatkan ke pinggang dimana terselip Kapak Maut Naga Geni 212.
Seorang prajurit yang sudah agak lanjut usia tiba-tiba melangkah maju. Dia
menjura lalu berkata. ”Raden…”
Wiro hampir tertawa bergelak mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan
Raden! ”Ada apa…?”
”Kami semua di sini memutuskan untuk ikut bersama Raden saja. Mengabdikan
diri pada empat puteri mendiang Sang Prabu.”
”Apa?! Apa aku tidak salah dengar?” tanya Wiro.
”Tidak, Raden tidak salah dengar…”
”Kalian coba hendak menipu lalu nanti di tengah jalan membokong?!”
”Saya tidak menipu. Saya mewakili kawan-kawan berkata jujur…”
Murid Eyang Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Dia berpaling ke belakang
dan membuka jendela kereta. ”Semua Raden Ayu yang ada di dalam tentu sudah
mendengar kata-kata prajurit itu. Harap para Raden Ayu memberikan jawaban.”
Sesaat kemudian muncul kepala Raden Ayu Gayatri di jendela kereta. ”Saya
percaya mereka semua prajurit-prajurit gagah yang jujur dan tahu artinya kebenaran.
Saya dan kakak-kakak saya menyetujui mereka ikut bersama kita.”
Mendengar ucapan Raden Ayu Gayatri itu, ratusan prajurit Kediri dan Madura
mengangkat tangan dan bertempik sorak.
Seorang penunggang kuda muncul dalam kegelapan. Dia langsung menuju kereta
di atas mana Wiro dan empat puteri Singosari berada. ”Apa yang terjadi di sini?!” tanya
penunggang kuda itu.
Semua orang berpaling. ”Astaga!” seru Wiro. ”Raden Juwana, kau rupanya. Kami
semua sudah kebingungan memikirkan apa yang terjadi dengan dirimu! Hai, kau
memakai pakaian kecil kesempitan. Dari mana kau mencurinya? Kau yang harus
mengatakan apa yang terjadi dengan dirimu!”
Si penunggang kuda yang memang adalah Raden Juwana adanya memandang
berkeliling. Dia jelas melihat bahwa pasukan yang ada di tempat itu adalah prajurit-
prajurit Kediri dan Madura. Parasnya berubah.
Wiro cepat berkata. ”Raden tidak usah khawatir. Mereka adalah prajurit-prajurit
kita!”
”Dan Raden mulai saat ini adalah pimpinan kami!” prajurit tua yang tadi bicara
keluarkan seruan. Yang lain-lainnya mengangkat tangan. Kembali di malam hari itu
terdengar pekik sorak gegap gempita.
”Dewa Maha Besar…” kata Raden Juwana. Kedua matanya berkaca-kaca karena
gembira. Terlebih ketika dilihatnya empat puteri mendiang Sang Prabu semua berada vi
atas kereta dalam keadaan selamat.
Wiro ingat pada dua buah kotak kayu yang disembunyikannya vi puncak bukit.
Dia melompat turun dari atas kereta. ”Raden, kau lebih ahli menjadi kusir para puteri ini.
Aku pinjam kudamu sebentar…”
”Eh, kau hendak kemana sahabat?”
Wiro membisikkan sesuatu ke telinga Raden Juwana. Wajah pemuda itu nampak
berseri-seri. ”Kau luar biasa. Benar-benar luar biasa. Pergilah, tetap hati-hati. Susul kami
secepatnya…”
Wiro mengacungkan ibu jari tangan kanannya lalu melompat ke atas kuda yang
diberikan Raden Juwana padanya.
***
BAB XIII
Runtuhnya Kerajaan Singosari memang tidak dapat dihindari lagi. Sang Prabu
tewas di Ruangan Pemanjatan Doa. Keraton Singosari musnah. Putera-putera terbaik
Kerajaan seperti Patih Raganatha, Pendeta Mayana, Damar, dan si pengkhianat Argajaya
ikut menjadi korban. Belum terhitung para Perwira dan ratusan prajurit. Semua menemui
ajal karena ketamakan akan kekuasaan yang berpangkal pada dendam kesumat.
Adikatwang kembali ke Gelang-Gelang membawa kemenangang. Puluhan harta pusaka
dan kekayaan Singosari dibawanya ke Kediri. Dalam perjalanan dari daerah pertempuran
menuju Kediri dia sempat menderita demam panas akibat tusuk kundai perak beracun
milik Sinto Gendeng. Untung nyawanya masih bisa diselamatkan karena dia cepat
menelan obat penangkal racun. Di samping itu seorang tabib dari Banten telah pula
memberikan obat mujarab padanya hingga nyawanya tertolong.
Kini Singosari yang porak poranda itu berada di bawah kekuasaan Adikatwang
yang mengangkat dirinya menjadi Raja di Raja Kediri-Singosari. Walau tanpa tanda syah
yaitu adanya Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa. Gelang-gelang dijadikan pusat
Kerajaan, Kotaraja baru. Dalam kemelut berdarah itu Raden Juwana bersama empat
puteri Sang Prabu dan Pendekar 212 Wiro Sableng berhasil menyelinap meninggalkan
Singosari menuju ke Utara. Mereka bergerak mengikuti peta yang diberikan oleh
mendiang Pendeta Mayana. Dalam perjalanan menuju desa Tembang Sari di Kudadu
beberapa kali rombongan itu dicegat dan diserang oleh kelompok-kelompok pasukan
gabungan Kediri-Madura. Namun Raden Juwana berhasil mematahkan semua serangan
dibantu oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Kesetiaan prajurit-prajurit Kediri-Madura yang
ikut bersama Raden Juwana patut dipuji. Mereka berjuang mati-matian menyelamatkan
rombongan penting itu, terutama menjaga keselamatan empat puteri mendiang Sang
Prabu. Menjelang mencapai Kudadu, Dewa Ketawa muncul dan bergabung dengan
rombongan ini.
Beberapa tokoh penting yang diketahui berpihak pada Adikatwang lenyap secara
misterius. Mereka antara lain adalah nenek bermata api Dewi Maha Geni. Lalu Adipati
Wira Seta dan yang ketiga kakek sakti bergelar Dewa Sedih.
Seperti dituturkan Dewi Maha Geni meninggalkan Keraton Singosari karena sakit
hati dimaki tolol oleh Adikatwang di hadapan orang banyak. Nenek sakti ini kemudian
bergabung dengan rombongan Adipati Wira Seta yang dalam perjalanan ke Madura,
kembali ke Sumenep. Wira Seta termasuk salah seorang yang meninggalkan Adikatwang
karena dikecewakan mentah-mentah. Sebelumnya sudah ada perjanjian bila Singosari
jatuh maka dalam Kerajaan baru yang akan segera didirikan Wira Seta akan diangkat
sebagai Patih. Namun setelah mencapai kemenangan Adikatwang berubah pikiran. Dia
mengangkat adik kandungnya sendiri Rana Trijaya sebagai Patih.
Orang ketiga yang tadinya membantu Adikatwang kemudian melenyapkan diri
begitu saja adalah Dewa Sedih. Orang tua berkulit hitam yang aneh ini berbalik
membenci orang-orang Adikatwang ketika dia memergoki Gandita yang hendak merusak
kehormatan puteri bungsu sang Prabu. Bagaimanapun mungkin jahat hatinya, namun
Dewa Sedih sangat benci pada kekejian seperti itu. Dia mendengar kalau Dewi Maha
Geni bergabung dengan Wira Seta menuju Madura. Dewa Sedih memilih jalannya
sendiri, melenyapkan diri dalam rimba belantara dunia persilatan..
Ketika sampai di pedataran dimana Kali Brantas bercabang dua, rombongan
sempat berhenti dan tercengang melihat pemandangan aneh di langit di atas mereka. Ada
pelangi membentang jelas dengan segala keindahannya.
Dewa Ketawa mendongak sambil tertawa mengekeh. Wiro garuk-garuk kepala
sedang Raden Juwana memandang tak berkesip.
”Aneh,” kata Raden Juwana. ”Tak ada hujan, bagaimana mungkin ada pelangi
membentang di langit?”
Wiro lantas saja ingat pava ramalan Kakek Segala Tahu. Dia menoleh pada Dewa
Ketawa yang juga ikut mendengarkan ramalan itu. Keduanya saling pandang sesaat.
Dewa Ketawa kemudian mengekeh panjang.
Di desa Tembang Sari rombonganmembuka sebuah lahan di pinggiran desa, dekat
sebuah hutan kecil dimana mengalir sebuah anak sungai. Di sini mereka mendirikan
pondok-pondok kayu untuk tempat bermukim sementara.
Pada hari ketiga ratus Raden Juwana dan orang-orangnya bermukim disana,
Pendekar 212 Wiro Sableng yang selama ini menghilang sampai tiga bulan tiba-tiba
muncul membawa kabar besar.
”Belasan perahu besar berisi pasukan Cina mendarat di Tuban!” katanya pada
Raden Juwana.
”Sulit saya percaya hal ini. Apa maksud kedatangan mereka?”
”Saya coba menyirap kabar,” jawab Wiro. ”Pasukan Cina itu adalah pasukan Raja
Kubilai Khan. Ada tiga orang Perwira Tinggi bertindak sebagai pemimpin. Kalau saya
tidak salah sebut….” Wiro garuk-garuk kepala sebentar. ”Mereka masing-masing
bernama Shih Pie, Ike Mishe, dan Kau Sing. Kabarnya mereka datang untuk menghukum
sang Prabu. Tapi mereka tidak tahu kalau sang Prabu sudah tiada…”
Sepasang mata Raden Juwana tampak membesar. Demikian juga keempat puteri
mendiang sang Prabu. Gayatri tiba-tiba membuka mulut.
”Saya tahu mengapa mereka datang dengan maksud seperti itu. Ingat peristiwa
beberapa tahun lalu ketika utusan Kubilai Khan bernama Meng Chi datang ke Singosari
membawa perintah agar Singosari tunduk pada Kerajaan Cina? Ingat apa yang terjadi saat
itu?”
”Saya ingat,” sahut Raden Juwana. ”Sang Prabu menyuruh potong hidung utusan
bernama Meng Chi itu. Ini satu penghinaan luar biasa. Tidak salah kalau Kubilai Khan
menjadi marah.”
”Kini ribuan pasukan Cina mendarat di Tuban, tanpa tahu kalau Sang Prabu sudah
tidak ada lagi,” ikut bicara Wiro. Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ini memandang melotot
pada Raden Juwana.
”Sahabat, ada apa kau memandangku seperti melihat setan?”
gelak.
”Saya…saya punya satu rencana. Bagaimana kalau…” lalu Wiro tertawa gelak-
Saat itu pula terdengar suara tertawa mengekeh. Sesosok tubuh gendut luar biasa
muncul dari balik pohon besar menunggang seekor kuda kecil.
”Dewa Ketawa!” seru semua orang lalu mereka lari menyambut dan mengelilingi
kakek gemuk itu.
Dewa Ketawa berpaling pada Wiro. ”Sekilas tadi aku sudah sempat mendengar
pembicaraan kalian. Dan aku…. Ha..ha..ha..! Aku tahu apa yang ada dalam benakmu
Kampret Gondrong!”
Sialan! Dia masih ingat saja makian itu! Wiro mengomel dalam hati.
”Bukankah kau ingin menjalankan siasat meminjam nyawa untuk membunuh
nyawa?!  Ha..ha..ha..! Tampangmu tolol, wajahmu seperti kampret! Tapi siapa
menyangka otakmu boleh juga!”
”Dewa Ketawa, apakah yang tengah kau bicarakan ini?” tanya Gayatri.
”Tanyakan saja pada dia. Dia yang punya otak. Aku hanya menerka dan kebetulan
sangkaanku ini tidak meleset! Ha..ha..ha..!”
Gayatri memandang pada Wiro. Pandangannya ini di samping ingin tahu apa yang
ada dalam kepala sang pendekar juga menunjukkan rasa rindu karena sekian lama tidak
bertemu dengan pemuda yang diam-diam disukainya itu dan kepada siapa dia banyak
berhutang budi bahkan nyawa.
Cara memandang Gayatri ini membuat Raden Juwana merasa tidak enak. Maka
diapun cepat berkata.
”Agar semua jelas dan semua orang tahu sebaiknya sahabat Wiro menerangkan
saja kalau memang punya rencana atau sesuatu.”
Wiro menggaruk kepalanya dulu baru berkata. ”Saya tidak berani mengatakan
kalau ini adalah rencana saya. Terus terang sebenarnya apa yang akan saya sampaikan
adalah bersumber dari jalan pikiran Raden Juwana. Suatu malam kami mengobrol, Raden
Juwana sekali mengatakan. Kalau saja ada satu kekuatan besar yang bisa kita pergunakan
untuk menyerbu Gelang-Gelang, menghancurkan kekuasaan Adikatwang yang tidak
syah.”
Raden Juwana terdiam mendengar ucapan Wiro itu. Mungkin memang dia pernah
menyampaikan pendapat seperti itu namun tidak ingat lagi kapan dan dimana.
”Kalau hal itu memang bisa dilaksanakan mengapa tidak dicoba?” Gayatri
membuka mulut.
”Saya akan menemui pemimpin pasukan Cina yang baru datang itu!” kata Raden
Juwana pula.
”Tidak,” kata Wiro. ”Raden tetap disini mengatur segala sesuatunya. Saya yang
akan berangkat ke Tuban menemui tiga orang Perwira Kubilai Khan itu.”
”Saya ikut bersamamu,” kata Gayatri pula.
Raden Juwana tampak tidak senang mendengar ucapan Gayatri itu sebaliknya
Wiro tersenyum dan dengan lembut berkata. ”Saya hargai keberanian Raden Ayu
Gayatri. Tapi ini adalah urusan laki-laki. Biar saya sendiri yang akan pergi.”
”Ya, biar dia saja yang pergi,” kata Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.
”Tuban cukup jauh. Aku akan pinjamkan keledaiku padamu! Ha..ha..ha..!”
***
Pagi itu di langit kembali kelihatan pelangi yang membuat semua orang di
pemukiman di pinggiran desa Tembang Sari itu semakin merasa aneh. Selagi mereka
dicengkeram perasaan itu tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontangan. Lalu muncul
seorang kakek bercaping, berpakaian penuh tambalan seperti pengemis. Di tangan kirinya
ada sebatang tongkat sedang tangan kanannya memegang sebuah kaleng rombeng berisi
batu. Setiap saat kaleng ini digoyang-goyangkannya hingga mengeluarkan suara berisik
memekakkan telinga.
”Pengemis dari mana pagi-pagi kesasar ke sini?” ujar Raden Juwana. ”Beri dia
makanan lalu suruh pergi. Suara kalengnya menusuk gendang-gendang telinga!”
Raden Ayu Gayatri muncul dari balik pondok. Begitu dia melihat kakek
bercaping itu serta merta dia berseru. “Kakek! Bukankah kau Kakek Segala Tahu?!
Sahabat pemuda bernama Wiro itu?”
Orang bercaping memutar tubuhnya ke arah Gayatri yang mendatangi sementara
Raden Juwana jadi terheran-heran.
“AH, syukur kau masih mengenali tua bangka buruk dan buta ini! Aku ingat siapa
kau adanya. Puteri bungsu mendiang sang Prabu yang biasa dipanggil Raden Ayu
Gayatri. Benar?!”
”Benar,” sahut Gayatri. ”Saya senang Kakek masih ingat saya.”
”Mana sahabatku si Wiro Gendeng itu?”
”Dia tengah membawa pasukan besar dari Cina menuju kemari,” jawab Gayatri.
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. ”Pagi yang segar…” ucapnya perlahan.
”Katakan, apakah ada pelangi terpampang di langit?”
”Betul Kek, memang ada pelangi di langit,” menjelaskan Gayatri.
”Pelangi itu membentang di atas kawasan hutan maja yang luas di sebelah
Timur?”
”Saya tahu memang ada hutan pohon maja di sebelah Timur. Kau betul, Kek,”
kata Gayatri pula.
Wajah Kakek Segala Tahu tampak berseri.
”Pelangi…Pasukan besar dari Cina. Ah, rupanya ramalanku dahulu tidak terlalu
tolol! Satu raja baru akan muncul. Satu kerajaan baru akan berdiri. Maha Besar
kekuasaan Sang Pencipta. Maha Besar Kasih dan KeadilanNya.”
Kakek Segala Tahu menggoyangkan kaleng rombengnya berulang kali. Lalu dia
memutar tubuh tinggalkan tempat itu. Raden Juwana coba mengejar untuk menanyakan
apa maksud ucapan si kakek tadi. Tapi orang tua itu tidak berhenti ataupun berpaling.
Kaleng rombengnya terus saja digoyang-goyang sepanjang jalan hingga akhirnya lenyap
di kejauhan.
***
BAB XIV
Adikatwang tengah duduk di atas singgasana emas berbentuk segi empat, rambut
disanggul rapi ke atas,berpakaian sutera dan bersepatu kulit. Beberapa orang pembantu
dekat duduk mengelilinginya. Tiba-tiba muncul seorang pengawal dengan nafas terengah.
Pengawal ini jatuhkan diri. Begitu bangkit dia segera berkata:
”Mohon ampun daulat Sri Baginda Raja di Raja Kediri. Seorang prajurit di
perbatasan Timur dan seorang lagi di perbatasan Timur Laut memberi tahu bahwa ada
dua rombongan besar pasukan Cina berjumlah ribuan orang bergerak menuju Gelang-
Gelang…”
Adikatwang sampai tertegak dari duduknya mendengar ucapan si pengawal.
”Pasukan Cina katamu?!”
”Betul sekali daulat tuanku Sri Baginda Raja di Raja Kediri. Pasukan Cina
bergerak menuju Kotaraja. Ikut bersama dua gelombang pasukan itu sejumlah prajurit
berseragam tidak dikenal. Namun ada yang menyaksikan bahwa dalam pasukan itu
kelihatan Raden Juwana, seorang pemuda yang dikenal bernama Wiro Sableng, juga
seorang kakek gendut menunggang keledai sambil tertawa-tawa. Juga ada beberapa
kelompok prajurit Kediri dan Madura dalam pasukan besar itu.”
Paras Adikatwang berubah total. ”Raden Juwana…Wiro Sableng…Pasti dia
pemuda keparat murid nenek sundal yang bersenjatakan tusuk kundai itu! Lalu seorang
kakek gemuk menunggang keledai yang selalu tertawa-tawa. Siapa lagi kalau bukan
Dewa Ketawa! Tapi adalah aneh kalau diantara mereka ada prajurit-prajurit Kediri dan
Madura. Mungkin sisa-sisa pasukan Gandita yang dulu membelot? Atau mungkin Wira
Seta ikut ambil bagian pula!”
Adikatwang memandang berkeliling pada para pembantunya. Lalu kembali pada
pengawal yang masih duduk bersila di lantai. ”Ada keterangan lain yang akan kau
sampaikan?”
”Ada Sri Baginda Raja di Raja Kediri. Pasukan Cina terlihat membawa senjata
lengkap. Tongkat yang bisa meletus dan batang kelapa yang juga bisa meletus!”
“Tongkat dan batang kelapa! Prajurit tolol! Itu namanya bedil dan meriam! Sudah
pergi sana!”
Begitu si pengawal berlalu Adikatwang segera perintahkan para pembantunya
untuk memukul genta tanda bahaya yang ada di empat sudut Kotaraja. “Siapkan pasukan!
Siapa saja yang berani memasuki Kotaraja akan kita bantai!”
Saat itu di Kediri terdapat sekitar dua ribu prajurit berpengalaman yang siap
tempur. Namun balatentara Cina jumlahnya jauh lebih besar. Sementara itu di Keraton
Kediri tidak lagi memiliki tokoh-tokoh silat yang bisa diandalkan sedang di pihak musuh
kelihatan Pendekar 22 Wiro Sableng dan si kakek sakti Dewa Ketawa. Tiba-tiba saja
Adikatwang ingat mimpinya malam tadi. Dia melihat rembulan indah empat belas hari di
langit malam yang jernih. Tiba-tiba rembulan itu turun ke bumi, melayang ke arah
pangkuannya, tapi begitu sampai di pangkuannya rembulan itu tiba-tiba berubah menjadi
sebuah bola api yang meledak dan membakar sekujur tubuhnya.
”Raden Juwana keparat! Wira Seta tolol sialan! Kalau dulu-dulu aku membabat
lehernya…”
Adikatwang masuk ke dalam kamarnya. Ketika keluar dia sudah mengenakan
pakaian perang yang bagian depan dan punggungnya dilapisi besi tipis. Di tangan
kanannya dia mencekal sebilah pedang.
Pada seorang pembantu dia minta agar Patih Kerajaan segera datang menghadap.
Seperti diketahui Patih Kediri adalah Rana Trijaya adik kandung Adikatwang sendiri.
Tak lama kemudian pembantu tadi kembali membawa kabar yang membuat Adikatwang
marah besar.
”Patih Raden Rana Trijaya meninggalkan Kotaraja beberapa saat lalu bersama
keluarga dan para selir. Dia membawa serta seratus prajurit sebagai pengawal.” begitu
laporan si pembantu.
”Manusia keparat! Pengecut haram jadah!” kutuk serapah keluar dari mulut
Adikatwang. ”Beritahu Panglima Ganda Cula! Dia harus menyongsong serbuan musuh di
luar Kotaraja! Lipat gandakan pasukan berpanah!”
”Mohon maafmu Sri Baginda Raja di Raja Kediri,” berkata pembantu itu sambil
menjura beberapa kali. ”Panglima Ganda Cula juga sudah meninggalkan Kotaraja
bersama keluarganya tak lama setelah Patih Trijaya pergi…”
Meledaklah kemarahan Adikatwang. Dia berteriak-teriak memanggil beberapa
orang Perwira Tinggi Kerajaan. Namun tak ada yang datang. Malah di kejauhan
terdengar suara letusan-letusan bedil yang sekali-sekali diseling oleh dentuman meriam.
Sebuah peluru meriam menghantam dinding Keraton hingga ambruk dan berlubang
besar. Paras Adikatwang menjadi pucat. Dia lari keluar Keraton. Dua ratus prajurit siap
mendampinginya menuju medan pertempuran yang telah pecah di bagian Barat tembok
Kotaraja. Raja Kediri ini hanya sempat memacu kudanya sejarak seratus langkah.
Laksana air bah tiba-tiba saja pasukan musuh sudah berada didepan pintu gerbang
Keraton. Di sebelah depan tiga orang berkelebat ke arahnya. Dua larik sinar putih
menyilaukan menyambar ganas. Sembilan prajurit mencelat mental dan menemui ajal
dengan tubuh hangus hitam. Tiga ekor kuda terguling roboh. Itulah hantaman pukulan
sinar matahari yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng. Orang kedua bukan lain si
kakek gendut Dewa Ketawa. Sambil tertawa mengakak dia mengarahkan keledainya ke
barisan prajurit Keraton pendamping Adikatwang. Ketika kakek sakti ini menggerakkan
kedua tangannya terdengar suara seperti angin puting beliung disusul menyambarnya
sinar kebiruan. Pekik jerit seperti merobek langit. Delapan prajuri Kediri terkapar mati,
selusin lainnya berpelantingan. Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak. Dia terus merangsak
maju.  
Adikatwang untuk beberapa saat lamanya seperti tertegun di atas punggung
kudanya. Kemudian dilihatnya Raden Juwana di sebelah kiri.
”Budak keparat! Aku lawanmu!” teriak Adikatwang. Dia menggebrak kudanya ke
arah Raden Juwana. Namun sebutir peluru yang ditembakkan pasukan Cina menghantam
dadanya hingga dia terpelintir dan jatuh dari tunggangannya. Sebelum dia sempat bangkit
Raden Juwana sudah berada di depannya dan langsung menusukkan pedangnya tepat di
samping luka tertembus peluru. Adikatwang berteriak antara kesakitan dan kemarahan.
Kedua tangannya diulurkan dengan nekad mencabut pedang yang menancap di dadanya.
Begitu pedang tercabut dia meneruskan hendak merebutnya dari tangan Raden Juwana.
Namun saat itu, salah seorang Perwira Tinggi Balatentara Cina yaitu Kau Sing yang
berada di dekat sana merasa yakin bahwa Adikatwang adalah Sang Prabu, melepaskan
tembakan dengan bedil panjangnya.
Peluru bersarang tepat di kening Adikatwang. Tubuhnya terbanting. Raja di Raja
Kediri ini menghembuskan nafas dengan kepala hampir rengkah!
Secara keseluruhan Kediri bertekuk lutut hanya dalam tempo kurang dari
setengah hari. Selagi pasukan Cina bersuka ria merayakan kemenangannya, Raden
Juwana, Dewa Ketawa dan Pendekar 212 Wiro Sableng bersama tiga kelompok prajurit
Kediri-Madura serta sisa-sisa pasukan di masa Singosari dulu meninggalkan Gelang-
Gelang, kembali menuju pemukiman di pinggiran Desa Tembang Sari. Mereka sampai di
pemukiman pagi hari sama seperti ketika mereka meninggalkannya beberapa hari lalu.
Dan lagi-lagi mereka dicengangkan oleh bentangan pelangi di langit sebelah Utara, tepat
di atas hutan maja yang luas.
”Mungkin sekali ini petunjuk para Dewa. Kita harus pindah dan membuka lahan
baru di hutan maja itu.” kata Raden Juwana. Ucapan Raden Juwana ini ternyata nantinya
akan menjadi kenyataan. Kelak kemudian hari hutan maja itu akan berubah menjadi
Kotaraja dari Kerajaan Majapahit.
”Bagaimana pendapatmu Dewa Ketawa?” tanya Raden Juwana pada si kakek
gendut yang menunggang keledai.
”Selama di tempat yang baru itu orang tidak dilarang ketawa, aku pasti setuju dan
ikut kesana!” jawab Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.
”Dan kau sahabat Wiro?” tanya Raden Juwana.
“Dia pasti akan ikut bersama kita!” menjawab satu suara. Ketiga orang itu
berpaling. Yang menjawab ternyata adalah Raden Ayu Gayatri. Wiro sekilas cepat
melirik ke arah Raden Juwana. Seperti yang sudah-sudah dia melihat paras pemuda itu
berubah.
Wiro mengeluh dalam hati. Aku tidak bisa menipu diriku. Aku menyukai gadis itu.
Diapun menyukai diriku. Tapi seperti ucapan Kakek Segala Tahu adalah gila kalau aku
berharapkan bisa berjodoh dengan puteri Raja. Tempatku bukan di sini, ataupun di
lahan yang baru itu. Aku harus pergi.  
Wiro menggaruk kepalanya dan coba tersenyum. ”Kalian semua sahabat-sahabat,
mungkin malah bisa kukatakan saudara-saudaraku yang baik. Namun…”
”Kau tidak boleh membantah!” potong Gayatri.
”Maafkan saya… Saya harus pergi. Di lain waktu saya pasti akan menemui kalian
lagi. Semoga kalian mendapatkan perlindungan dan berkah Yang Kuasa. Selamat
tinggal…” Wiro memutar kudanya dan tinggalkan tempat itu.
Gayatri tak tinggal diam. Dia melompat ke atas punggung seekor kuda dan
mengejar hingga Wiro terpaksa berhenti di satu tempat.
”Raden Ayu…”
”Nama saya Gayatri..” sepasang mata gadis itu berkaca-kaca.
”Gayatri, kembalilah. Saya tidak mungkin menetap di sini.”
”Kau..Kau tidak mengetahui bagaimana perasaanku padamu Wiro. Dan kau tak
perlu mengatakan bagaimana perasaanmu padaku. Aku dapat merasakannya. Lalu
mengapa kau harus pergi?”
Wiro merasa tenggorokannya seperti kering. Untuk beberapa lamanya dia tidak
bisa berkata apa-apa.
“Gayatri, saya… Bagaimanapun juga dalam hidup ini kita harus melihat
kenyataan. Antara kita ada jurang yang maha luas. Kau adalah seorang puteri Raja. Saya
seorang gelandangan. Mana mungkin…”
Gayatri sesenggukan. Tubuhnya seperti limbung. Wiro cepat memegang bahu
gadis itu. ”Kuatkan hatimu Gayatri. Saya berjanji untuk datang lagi menemuimu suatu
ketika kelak.”
”Kau masih menyimpan peniti emas yang kuberikan dulu?”
Wiro mengangguk lalu keluarkan peniti emas yang pernah diberikan Gayatri.
Benda itu diperlihatkannya sambil tersenyum. Dari balik pakaiannya Gayatri
mengeluarkan selipatan kain. Benda itu adalah ikat kepala yang dulu diberikan Wiro
kepadanya sebagai balasan pemberian peniti. Dengan kain itu disekanya air mata yang
menggelinding di pipinya.
”Berjanjilah kau akan datang lagi Wiro…” bisik Gayatri.
”Saya berjanji Gayatri. Izinkanlah saya pergi sekarang.”
Gayatri mengangguk. Dia mendekatkan wajahnya ke muka Pendekar 212. kedua
matanya dipejamkan. Wiro merasa ragu-ragu sesaat. Namun dia tidak tega menolak
permintaan tanpa terucap itu. Diciumnya kedua pipi dan kening Gayatri. Lalu dengan
lembut dan mesra dikecupnya bibir gadis itu. Gayatri masih terduduk memejamkan kedua
mata dan tak bergerak di atas punggung kuda walau saat itu Pendekar 212 telah
meninggalkannya. Gadis ini seolah-olah terlena dan terbuai oleh kelembutan hangat
kecupan sang pendekar tadi.
”Pergilah sayang. Selamat jalan orang yang kucintai. Jaga dirimu baik-baik.
Datanglah kelak, aku akan selalu menantimu..” kata-kata itu terucap dan terukir di lubuk
hati Gayatri. Air mata kembali membasahi pipinya. Dia mendengar langkah-langkah kaki
di sampingnya. Dia tak mau membukakan matanya. Yang berjalan di sampingnya saat itu
adalah si gendut Dewa Ketawa bersama keledainya. Orang tua ini pandangi wajah cantik
yang tenggelam dalam kesedihan itu. Perlahan-lahan Dewa Ketawa teruskan langkahnya
sambil menggeleng-gelengkan kepala. ”Cinta…” desisnya. ”Kau datang begitu aneh.
Tidak memilih siapa yang dicintai, tidak mengenal batas derajat dan keturunan. Cinta
begitu indah, tetapi terkadang bisa kejam. Itulah sebabnya aku memilih terus saja jadi
bujangan!” untuk pertama kalinya Dewa Ketawa tidak mengeluarkan suara tawa bergelaknya.
TAMAT

Tidak ada komentar: