65. Neraka Krakatau
SATU
Mata manusia biasa akan melihatnya sebagai suatu hal yang tidak dapat
dipercaya. Namun ini adalah kenyataan. Sebuah perahu kecil meluncur deras seolah
membelah air laut di selat Sunda menuju ke arah Barat Laut. Saat itu tengah hari tepat.
Sang surya memancarkan sinarnya yang paling panas pada puncak ketinggiannya.
Di atas perahu tampak duduk seorang nenek berwajah angker. Tubuhnya
kurus kering. Mukanya seperti tengkorak karena hanya tinggal kulit pembalut tulang.
Dia mengenakan pakaian warna hijau tua.
Perempuan tua ini memeang sebuah pendayung di tangan kirinya. Sikapnya
mendayung acuh tak acuh saja. Tetapi kekuatan dayungannya membuat perahu yang
ditumpanginya melesat deras di permukaan air laut yang bergelombang.
Rambutnya yang putih panjang riap-riapan ditiup angin.
Sambil mendayung mulutnya yang perot terdengar menyanyi.
Syair nyanyiannya terasa aneh.
Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Ketika matahari muali bergeser ke Barat di kejauhan mulai kelihatan pantai
Pulau Rakata. Lebih jauh lagi ke pedalaman menjulang Gunung Krakatau. Agaknya
pulau inilah yang menjadi tujuan nenek angker itu. Si nenek menyeringai. Aneh!
Meski sudah berusia hampr 70 tahun tapi dia memiliki deretan gigi yang masih
lengkap atas bawah. Hanya saja dua taringnya sebelah atas tampak lebih panjang
seperti taring srigala hutan dan membuat tampangnya tambah mengerikan.
Nenek itu kembali tampak menyeringai. Dia memandang ke lantai perahu.
Astaga! Ternyata di atas perahu itu dia tidak sendirian. Sesosok tubuh lelaki berusia
sekitar 40 tahun tergeletak tak bergerak. Wajah dan dadanya yang tidak tertutup baju
kelihatan penuh dngan guratan-guratan luka yang dalam dan mengerikan. Tidak dapat
dipastikan apakah lelaki ini masih hidup atau sudah mati. Rupanya dia hanya pingsan.
Sesaat terdengar orang ini siuman dan mengerang.
“Air….tolong….” terdengar suaranya meminta, sangat perlahan.
“Apa? Kau haus? Minta minum? Baik! Akan kuberi minum!”
Dari lantai perahu nenek ini mengambil sebuah batok kelapa. Dengan batok
ini diciduknya air laut. “Ini! Minumlah!” Lalu isi batok diguyurkan ke dalam mulut
orang yang terbuka setengah mati menderita haus itu!
BASTIAN TITO 1
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Air laut asin itu tentu saja tidak akan melepas dahaga orang yang meminta.
Sebaliknya orang ini malah keluarkan suara tercekik. Kedua matanya sejak tadi
terpejam kini terbuka mendelik. Suara cekikan disusul dengan suara erangan tertahan.
Air asin seolah mencekik tenggorokannya. Lalu sepasang mata itu tidak bergerak lagi
dan hanya bagian putihnya saja yang kelihatan. Mati! Orang yang menggeletak di
lantai perahu itu telah menemui ajalnya!
Anehnya si nenek tertawa mengekeh mengetahui orang itu mati. Seolah dia
sangat membenci orang tua itu dan sama sekali tidak perduli akan kematiannya.
“Kau akhirnya mampus juga Sampan! Aku sebenarnya kasihan padamu. Kau
hanya anak yang menerima celaka karena dosa orang tuamu! Tapi tidak usah khawatir.
Masih ada lima orang manusia lagi yang punya pertalian darah sangat dekat
denganmu yang bakal menerima kematiannya! Hik….hik….hik! Kau tak usah cemas
Sampan. Bukankah kau bakal berkumpul dengan kau punya ibu walau tidak satu liang
kubur?! Hik…hik…hik!”
Si nenek mengayuh lagi perahunya acuh tak acuh. Pantai Pulau Rakata
semakin dekat. Dari mulutnya kembali terdengar suara nyanyian tadi.
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Serombongan burung camar tampak terbang cerai berai ketika seekor elang
besar tiba-tiba muncul dan menyerbu. Pada saat itulah perahu si nenek angker
mencapai tepi pantai Pulau Rakata pada sebuah teluk yang sempit. Perempuan ini
melompat turun ke darat. Masih sambil menyanyi-nyanyi dia menarik perahu ke
bawah sebatang pohon kelapa di tepi pasir.
Beberapa lama sebelum nenek dan perahunya mendarat di Pulau Rakata, dua
orang leleaki berpakaian serba merah berlari cepat dari arah gunung.
“Kita sudah memeriksa hampir seluruh tepian kawah!” berkata orang yang di
sebelah kanan. Namanya Supit Jagal. Di pinggangnya ada sebuah golok besar
berbentuk segi empat seperti golok tukang jagal. “Jangan-jangan ceita tentang batu
mustika itu hanya tipuan belaka!”
Kawannya berhenti berlari. “Coba kita lihat lagi peta rahasia itu!” katanya lalu
mengeluarkan satu lipatan kertas dari kantong baju merahnya. Lipatan kertas
dibukanya kemudian dibentangkannya di atas pasir. Pada kertas yang terkembang itu
terlihat gambar kasar Pulau Rakata lengkap dengan Gunung Krakatau. Di sekitar
kawah ada tanda-tanda silang. Tanda silang itu juga terlihat pada beberapa bagian
peta yang menghadap ke Selat Sunda. “Tanda silang di sebelah ujung kawah sini
merupakan bagian pulau yang belum kita selidiki. Bagaimana kalau kita menyelidik
ke bagian tanda silang sebelah kanan. Tampatnya tak berapa jauh dari sini….”
“Aku setuju Tubagus Singagarang. Agaknya kita tadi terlalu jauh mendarat ke
sebelah utara. Ini gara-gara angin keras di selat tadi….”
Tubagus Singagarang melipat peta itu kembali dan menyimpannya di dalam
saku. Bersama Supit Jagal dia bergerak ke arah tenggara Pulau Rakata. Angin laut
bertiup kencang memapas arah lari mereka. Di satu tempat Tubagus Singagarang
hentikan larinya. Dia menunjuk ke arah deretan bagian kawah paling gersang dan
agak mendaki di bagian Timur.
“Supit, kau lihat benda-benda aneh yang bersusun di sebelah sana?”
“Ya, aku melihat. Aneh. Benda apa itu? Berbebtuk seperti perahu-perahu kecil.
Tampaknya terbuat dari potongan pohon-pohon kelapa.”
“Ada tujuh semuanya…..” kata Supit pula.
BASTIAN TITO 2
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Bukan mustahil di sana tersembunyinya batu mustika yang kita cari. Mari
kita periksa!”
“Mari!” sahut Supit Jagal.
Kedua orang ini segera lari ke arah deretan benda yang mereka lihat. Begitu
samapi di tempat yang dituju ternyata yang mereka lihat dari kejauhan tadi adalah
gabungan-gabungan dua batang kelapa yang tengahnya dilubang seperti perahu.
“Apa ini?” ujar Tubagus Sungagarang. “Kotak bukan perahu bukan” Lalu dia
melangkah mengikuti jejeran batang-batang kelapa itu sambil menghitung.
“Satu…dua…tiga…empat…lima…enam…” Memasuki hitungan ketujuh
yaitu di hadapan batang kelapa yang ketujuh hitungan Tubagus Singagarang terhenti.
Langkahnya justru kini tersurut. Mukanya yang garang mendadak menjadi pucat.
Supit Jagal mendatangi dari belakang seraya bertanya.
“Ada apa Tubagus? Kau seperti melihat setan!”
“Lihat….” Suara Tubagus Singagarang agak bergetar dan jarinya menunjuk ke
dalam lobang pada gabungan batang kelapa ke tujuh.
Supit Jagal maju mendekat beberapa langkah.
“Astaga!” Orang inipun tampak terkejut dan berubah air mukanya!
BASTIAN TITO 3
DUA
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Di dalam lubang batang kelapa yang terletak paling ujung itu terbaring satu sosok
tubuh perempuan tua mengenakan baju kebaya putih dan kain panjang. Kedua
matanya terpejam. Keadaannya demikian rupa hingga kalau tidak diperiksa tidak
diketahui apakah dia dalam keadaan tidur nyenyak, pingsan atau sudah jadi mayat!
Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai ke ujung kaki diselimuti oleh sejenis
minyak. Batang kelapa dimana dia tebaring penuh dengan kerumunan semut. Tetapi
binatang-binatang ini tidak satupun yang menyentuh tubuhnya. Kedua orang lelaki itu
memperkirakan minyak pada tubuh perempuan tua itulah yang menyebabkan semut
tidak berani menyentuhnya.
“Coba kau periksa denyut jantungnya,” kata Tubagus Singagarang.
“Kau saja,” jawab Supit Jagal menolak. Diam-diam dia merasa ngeri.
Dari kedua bersahabat itu Tubagus Singagarang memang lebih berani. Dia
melangkah mendekati batang kelapa lalu mengulurkan tangan memegang lengan kiri
perempuan tua di dalam lubang kelapa.
“Tak ada denyut ndi….” Berucap Tubagus Singagarang setelah memegang
dan merasa-rasa beberapa ketika. Dilepaskannya pegangannya. Fia membungkuk lalu
meletakkan telinga kanannya setengah kuku di atas dada orang dalam lunbang.
Kemudian dia menggeleng dan melirik pada Supit Jagal. “Detak jantungnyapun tidak
kudengar”
“Berarti orang ini memang sudah mati!” kata Supit Jagal.
Tubagus Singagarang ingin memastikan. Diulurkannya tangan kanannya. Jarijari
tangannya membalikkan kelopak mata kiri orang dalam lubang. Tak ada hitamnya.
Keseluruhan matanya hanya putih belaka.
“Yang kita lihat memang mayat!” kata Tubagus Singagarang. Tangannya yang
basah oleh minyak yang menyelimuti tubuh orang dalam lubang digosok-gosokkan
pada pakaiannya. Lalu dia coba mencium tangannya itu. Dia mencium sesuatu.
“Minyak serai bercampur jelaga kayu besi,” katanya. “Jelas mayat ini sengaja
diberi minyak itu untuk diawetkan!”
Supit Jagal tentu saja heran mendengar ucapan kawannya itu. “Benar-benar
aneh. Kita mencari batu mustika. Yang kita temui di Krakatau ini mayat perempuan
tua yang diawetkan. Untuk apa? Siapa yang punya pekerjaan?” Dia bertanya sambil
memandang ke bwah, ke arah kawah Gunung Krakatau yang mengepulkan asap
berkepanjangan.
“Pertanyaan lain siapa adanya perempuan tua ini?” sambung Tubagus
Singagarang. “Memang aneh…”
“Kau lihat sendiri Tubagus. Ada tujuh batang kelapa berlubang di tempat ini.
Satu berisi mayat. Berarti bakal ada emnam mayat lagi yang akan dimasukkan pada
enam batang kelapa ini!”
“Dugaanmu mungkin benar….” Sahut Tubagus Singagarang. Dua sahabat ini
saling pandang. Di balik rasa heran mereka jelas ada bayangan rasa ngeri. “Apa yang
akan kita lakukan sekarang?”
“Lebih baik lekas-lekas meninggalkan kawasan kawah unung Krakatau ini…”
jawab Supit Jagal.
“Lalu bagaimana dengan usaha kita mencari batu mustika itu?” tanya Tubagus
Singagarang dan hendak mengeluarkan kembali peta yang ada dalam saku pakaiannya.
Tapi tak jadi ketika mendengar sahabatnya berkata.
BASTIAN TITO 4
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Lupakan saja hal itu. Aku merasa tidak enak. Ada yang tidak beres di tempat
ini Tubagus. Aku mencium bahaya. Bahaya maut!”
“Aku juga merasakan begiut,” sahut Tubagus Singagarang. “Tapi kau lihat
sendiri. Pulau ini sepi-sepi saja. Tak ada orang selain kita. Kecuali mayat perempuan
tua ini”
“Tidak mungkin Tubagus! Aku yakin sekali pasti ada orang lain di sini. Mayat
itu tidak mungkin berjalan sendiri sampai kemari! Ada orang yang membawanya.
Mengawetkannya dengan minyak serai bercampur jelaga….”
“Tapi untuk apa? Pekerjaan apa ini sebenarnya?” ujar Tubagus Singagarang
pula. “Bagaimana kalau kita bersembunyi dan menginati?”
“Terus terang nyaliku mulai leleh. Kau silahkan saja mengintai, aku biar turun
ke bawah terus ke pantai. Aku akan menunggumu di perahu. Jika sampai rembang
petang kau tak muncul terpaksa aku meninggalkan kau dan menyeberang kembali ke
Jawa seorang diri!”
Tubagus Singagarang jadi berpikir mendengar kata-kata kawannya itu. Lalu
dia berkata “Kita sahabat dan saudara seperguruan. Jika senang sama senang. Kalau
susah sama susah. Berarti matipun harus sama-sama! Aku mengalah. Aku ikut
bersamamu. Memang sebaiknya kita pulang saja. Bukan mustahil cerita dan peta
tentang batu mustika itu hanya dibuat-buat orang saja. Hendak mengacau dunia
persilatan!”
Setelah memandang sekali ke arah sosok mayat dalam lubang pohon kelapa,
Tubagus Singagarang dan Supit Jagal segera hendak berkelebat tinggalkan tepi kawah
Gunung Krakatau itu. Tapi baru saja mereka bergerak tiba-tiba terdengar suara orang
menyanyi di kejauhan.
Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Tubagus Singagarang dan Supit Jagal jadi terkesiap saling pandang.
“Ada orang menyanyi. Apa kataku. Ternyata memang ada orang lain di pulau
ini!” berbisik Supit Jagal.
Lalu di kejauhan kembali terdengar suara nyanyian orang tadi
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
“Siapa yang menyanyi…?” bisik Supit Jagal. “Syair lagunya aneh mengerikan.
Berbau maut!”
“Suaranya suara perempuan. Dari puncak sini kita belum dapat melihatnya.
Kalau tidak memiliki tenaga dalam tinggi tidak mungkin suaranya terdengar sampai
ke sini….”
“Mungkin sekali….Jangan-jangan orang itu tengah menuju ke sini….” Ujar
Supit Jagal pula.
“Bagaimana kalau kita menyingkir saja dari sini?”
“Baik! Dari pada mencari urusan….!” Jawab Supit Jagal. Lalu saudara
seperguruan itu segera hendak berkelebat. Namun dari bawah kaki gunung telah lebih
dulu kelihatan seorang berpakaian hijau tua berlari sangat kencang menuju puncak
BASTIAN TITO 5
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Gunung Krakatau. Di bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh. Tidak mudah
memanggul orang naik ke puncak kawah gunung. Apalagi berlari dan sambil
membawa beban berat seperti itu.
“Kita berhadapan dengan orang pandai, Tubagus. Kita tak punya kesempatan
untuk kabur. Ayo lekas sembunyi di balik batang kelapa di ujung kiri sana”
Baru saja kedua bersahabat itu menjatuhkan diri sama rata dengan tanah
gunung hingga terlindung oleh batang kelapa berlubang, dari bawah gunung muncul
orang berbaju hijau tadi. Tubagus dan Supit Jagal yang coba mengintai sama terkejut
ketika menyaksikan bahwa yang muncul adalah seorang nenek berwajah angker
seperti tengkorak dengan rambut putih panjang riap-riapan. Di bahu kirinya ada
seorang lelaki yang menurut dugaan Tubagus dan Supit sudah tidak bernyawa lagi.
Mereka memperhatikan terus. Si nenek angker melangkah mendekati batangan
berlubang di sebelah kiri batang kelapa yang ada mayatnya.Seperti melempar
bungkusan atau kayu, nenek berambut putih lemparkan sosok tubuh lelaki yang
dipanggulnya ke dalam lubang batang kelapa. Dipandangnya sosok tubuh itu sesaat
lalu dia tertawa terkekeh-kekeh. Disusul dengan nyanyian.
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Habis bernyanyi si nenek kembali tertawa panjang. “Anak dan ibu sudah
kudapat. Hik…hik…hik. Masih ada lima nyawa lagi. Masih ada lima mayat lagi
pengisi lobang neraka itu! Ha…ha…ha! Awas kalian! Awas kau jahanam Giri
Arsana! Kau berada dalam daftar kematian yang terakhir. Agar kau bisa menyaksikan
dan merasakan pahit perihnya melihat kematian orang-orang yang kau cintai! Bila
sudah lengkap kau akan kuundang ke tempat ini! Hik…hik…hik! Lalu kau akan
kujadikan korban terakhir pengisi liang neraka batang kelapa! Hik…hik…hik!”
Dari dalam sebuah kantong yang ada di pinggang dan selalu dibawanya
kemana-mana nenek angker itu keluarkan sebuah tabung bambu. Dia membuka
penutup tabung lalu melangkah lebih dekat ke batang kelapa tempat tadi dia
melemparkan orang yang dipanggulnya. Dari tabung itu diguyurkannya sejenis cairan
ke seluruh bagian tubuh dalam batang kelapa.
“Kau lihat,” bisik Tubagus Singagarang. “Dia mengguyurkan minyak
pengawet. Berarti orang yang barusan dicampakannya ke dalam lubang memang
sudah tidak bernyawa lagi!”
“Hemmm…Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya Supit Jagal.
“Kita tunggu saja sampai nenk itu pergi,” sahut Tubagus Singagarang.
“Kalau dia tidak pergi-pergi dan berada di sini samapi besok…?”
“Tidak mungkin. Dia tidak mungkin bermalam di sini. Tidak ada tempat untuk
menginap….” jawab Tubagus Singagarang.
“Jangan terlalu yakin. Kita harus waspada. Kita bukan berhadapan dengan
seorang tua bangka biasa. Sepertinya dia mendekam dendam kesumat yang amat
besar. Turut nyanyiannya tadi, ada lima orang lagi yang bakal dibunuhnya!”
Tubagus Singagarang jadi gelisah. Bersama sahabatnya untuk beberapap lama
dia hanya bisa berdiam diri. Di nenek rupanya sudah selesai menuangkan cairan
pengawet di tubuh mayat. Tabung bambu disimpannya kembali. Tiba-tiba, tidak
terduga oleh dua orang yang bersembunyi si nenek di ujung keluarkan bentakan
menggeledek.
“Permainan kalian sudah selesai! Aku menunggu sudah cukup lama! Lekas
keluar dari balik batang kelapa dan berlutut di hadapanku!”
BASTIAN TITO 6
TIGA
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tubagus Singagarang dan Supit Jagal sama-sama tersentak kaget.
“Dia sudah tahu kita di sini, bagaimana sekarang?” berbisik Supit Jagal.
“Tak ada jalan lain. Kita keluar saja,” jawab Tubagus Singagarang. Lalu dia
mendahului berdiri. Dengan hati agak kecut Supit Jagal mengikuti.
“Hemmm… Dua ekor monyet berpakaian merah yang tidak aku kenal! Lekas
datang ke hadapanku dan berlutut!” bentak si nenek sambil tolak pinggang dan
memandang mendelik ke arah dua orang saudara seperguruan itu.
Tubagus Singagarang dan Supit Jagal memang melangkah mendekati nenek
angker itu. Tapi untuk berlutut mana mereka mau! Jelas si nenek menunjukkan
tampang dan sosok angker. Namun sebagai orang-orang persilatan, dua lelaki
berpakaian merah itu mampu menguasai diri, menekan perasaan takut dan akhirnya
muncul keberanian.
“Eh! Mengapa masih belum berlutut?! Apa kalian tuli tidak mendengar
perintahku?!”
“Nenek tua,” kata Tubagus Singagarang. “Kami tidak kenal kau, kau tidak
kenal kami. Mengapa bersikap begitu keras?!”
“Ah monyet jelek! Rupanya kau tidak tuli dan juga tidak bisu. Siapa aku kau
tidak perlu tahu. Kalian telah melakukan kesalahan! Apa kalian masih tidak
mengerti?!”
“Tentu saja! Kesalahan apa yang telah kami lakukan?!” sahut Tubagus
Singagarang.
“Seluruh kawasan Gunung Krakatau ini adalah daerah kekuasaanku! Siapa
saja yang berada di sini tanpa izinku berarti mampus! Dan kalian berdua jelas-jelas
tadi mengintai apa yang telah aku lakukan! Dosa kalian tidak bisa diampunkan! Lekas
berlutut untuk menerima kematian!”
Tubagus Singagarang dan Supit Jagal jadi saling pandang. Sambil menekan
gagang golok empat persegi yang terselip di pinggangnya Supit Jagal membuka mulut
untuk pertama kali.
“Kami berdua sudah lima puluh tahun hidup. Belum pernah mendengar bahwa
Gunung Krakatau ini ada penguasanya. Turut yang kami tahu daerah ini daerah bebas
yang bisa didatangi siapa saja!”
“Itu turut pengetahuanmu, monyet busuk! Tapi turut kekuasaanku kau yang
akan mati lebih dulu!” membentak si nenek.
Dihina seperti itu Supit Jagal jadi kalap. Dia mendengus lalu menyahuti “Mati
hidup di tangan Tuhan! Kalau ada makhluk yang hampir jadi bangkai hendak
membunuh kami, masakan kami hanya bertumpang dagu?!”
Si nenek mendongak ke langit lalu tertawa panjang.
“Daerah ini harus bebas dari mayat siapapun. Kecuali tujuh mayat yang sudah
ditakdirkan berkubur di sini. Kalian berdua hanya cukup pantas untuk jadi umpan
kawah Krakatau!”
Si nenek turunkan kepalanya. Bersamaan dengan itu di ulurkan kedua
tangannya ke depan. Tubagus Singagarang dan Supit Jagal tersirap darah mereka
ketika menyaksikan bagaimana dari sepuluh jari tangan si nenek yang kurus kering itu
mencuat keluar sepuluh kuku panjang hitam dan runcing!
“Sepuluh Kuku Iblis!” teriak dua lelaki berpakaian merah itu berbarengan.
Keduanya sama tersurut mundur denga paras berubah!
BASTIAN TITO 7
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Si nenek tertawa mengekeh. “Sekarang kalian sudah tahu siapa aku!” katanya
“Hik…hik…hik!”
Suara tawa si nenek lenyap. Dari mulutnya keluar suara deperti lolongan
srigala. Tubuhnya melesat ke arah Supit Jagal. Tangan kanannya berkelebat. Lima
garis hitam berkiblat di udara. Supit Jagal berseru tegang. Dia melompat mundur dan
cepat cabut golok besarnya. Dengan senjata itu dia memapaki serangan lima kuku.
Traakk….tarakk…traaakk!
Golok besar itu berhasil membabat tiga dari lima kuku tangan kanan si nenek.
Tapi apa yang terjadi? Si nenek hanya ganda tertawa. Mata golok yang dipegang
Supit Jagal tampak somplak besar di tiga bagian!
Selagi Supti Jagal tertegun ketakutan, tangan kiri si nenek menderu dari
samping. Terdengar jeritan Supit Jagal. Mukanya sebelah kiri sampai leher koyak
besar. Dari lehernya menyembur darah karena salah satu urat besarnya tersambar
putus oleh cakaran kuku iblis si nenek! Nyawanya tak tertolong lagi. Belum puas si
neenk lantas tendang tubuh Supit Jagal hingga terpental dan melayang jatuh ke dalam
kawah!
Bagaimanapun ngerinya Tubagus Singagarang melihat kejadian itu namun apa
yang terjadi dengan sahabatnya membuat dia kalap. Tubuhnya melayang di udara.
Kaki kanannya menderu ke tubuh si nenek dan dengan telak menghantam perutnya!
Si nenek terlempar empat langakh, tersandar pada batang kelapa yang keempat.
Tapi dia tidak tampak kesakitan malah tertawa-tawa dan usap-usap perutnya dengan
sikap mengejek.
“Monyet jelek! Kau barusan menendangku atau cuma menggelitik!”
Kejut Tubagus Singagarang bukan kepalang. Orang lain pasti sudah hancur
perutnya dihantam tendangannya tadi. Si nenek bukan saja tidak merasa apa-apa
malah masih sanggup mempermainkannya!
“Dia bukan lawanku. Aku harus cari selamat!” membatin Tubagus
Singagarang. Dia melirik ke arah Supit Jagal. Sahabatnya tampak menggeliat-geliat di
tanah sambil pegangi mukanya yang koyak dan mengucurkan darah. Lukanya
kelihatan mulai menghitam tanda mengandung racun jaha. Nyawanya pasti tidak
tertolong lagi.
Rupanya si nenek yang bergelar Sepuluh Kuku Iblis dapat membaca apa yang
ada di pikiran Tubagus Singagarang. Karena baru saja dia bergerak hendak melarikan
diri, perempuan tua ini sudah melompat menghadang langakhnya.
“Monyet jelek! Kau mau lari kemana?!” bentak si nenek. Kedua tangannya
dihantamkan ke depan. Tubagus Singagarang cepat memn=bungkuk. Sepuluh larik
sinar hitam menderu di atas kepalanya. Dengan tenaga dalam penuh Tubagsu
lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Satu sinar
kemerahan menggebubu ke arah dada si nenek. Begitu dadanya terkena pukulan sakti
tersebut, Sepuluh Kuku Iblis tertawa mengekeh. Dia melangkah maju. Dengan
kesaktian yang dimilikinya dia mendorong sinr pukulan lawan, membuat Tubagus
Singagarang merasa tangannya tergetar hebat dan tubuhnya kini terdorong.
Si nenek tiba-tiba membentak dan hentakkan kaki kanannya ke tanah.
Tanah tebing kawah Gunung Krakatau itu bergetar hebat. Tubuh Tubagus
Singagarang terlempar dua kaki ke atas. Orang ini berteriak keras ketika menyadari
dirinya jatuh tidak lagi di atas tebing yang sama, tetapi masuk ke bagisn kawah. Dia
berusaha membuat lompatan jungkir balik. Namun terlambat. Tubuhnya sudah keburu
jatuh ke bawah, lalu berguling deras menuju kawah panas di bawah sana!
Si nenek tertawa melengking. Dia melangakh mendekati tubuh Supit Jagal.
BASTIAN TITO 8
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Susul temanmu sana!” bentak perempuan tua ini. Lalu ditendangnya tubuh
yang sudah tak bernafas itu hingga mencelat mental dan terlempar jatuh ke dalam
kawah Gunung Krakatau.
BASTIAN TITO 9
EMPAT
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Perguruan Silat Melati Putih pada masa itu merupakan salah satu perguruan yang
besar di kawasan Barat Pulau Jawa. Sejak didirikan sekitar delapan tahun lalu
perguruan ini diketuai oleh Sampan Gayana, putera seorang tokoh silat bernama Giri
Arsana yang bergelar Dewa Berpaung Hitam berusia hampir 70 tahun. Sejak beebrapa
bulan belakangan ini Giri Arsana seolah lenyap dari rimba persilatan. Dimana dia
berada atau apa yang dilakukannya tidak seorangpun tahu. Sampan Gayana sendiri
tidak berusaha menyelidiki. Selain kesibukannya mengurus lebih dari dua ratus murid
perguruan, dia juga tahu kalau ayanhnya suka-suka berlaku aneh. Dan tingkah laku
aneh seorang toko silat bukan merupakan hal yang luar biasa.
Malam itu udara terasa dingin, lebih dingin dari biasanya. Dua puluh orang
anak murid perguruan kelas dua tengah berlatih silat di halaman. Tanah tempat latihan
ini cukup luas dan dikelilingi oleh empat bangunan panjang yang menjadi tempat
tinggal semua murid. Tak jauh dari empat bangunan panjang itu terdapat sebuah
rumah papan. Di sinilah sang Ketua Perguruan tinggal seorang diri karena sampai saat
itu usianya yang 45 tahun Sampan Gayana masih belum mempunyai istri.
Selagi dua puluh murid itu berlatih di bawah penerangan lampu-lampu minayk
yang tergantung di bawah cucuran atap empat bangunan panjang, tiba-tiba terdengar
suara nyanyian mengumandang di seantero lapangan latihan.
Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Suara nyanyian sirap. Mendadak ada bayangan berkelebat. Lalu tahu-tahu di
tengah kalangan latihan telah berdiri seorang nenek bertubuh tinggi kurus, berwajah
seperti tengkorak, berambut putih riap-riapan.
Dua puluh murid peruruan sesaat tercekam, lalu mencium sesuatu yang tidak
beres, mereka bergerak menyebar sehingga si nenek terkurung di tengah-tengah.
Si nenek memandang berkeliling. Wajah tengkoraknya tampak menyeringai.
“Apa benar ini Perguruan Silat Melati Putih?!” si nenek tiba-tiba ajukan
pertanyaan.
Mula-mula tak ada yang mau menjawab. Namun salah seorang murid akhirnya
menyahut membenarkan.
“Apa benar Ketua Perguruan seorang bernama Sampan Gayana?!” si nenek
bertanya lagi.
“Betul. Ketua kami memang Sampan Gayana,” jawab murid peruguran tadi.
BASTIAN TITO 10
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Lalu seorang murid lain bertanya. “Orang tua harap bari tahu kau siapa dan
ada keperluan apa datang kemari?!”
“Siapa aku bukan urusanmu budak jembel!” si muka tengkorak membentak
yang membuat semua anak murid perguruan jadi terkejut. “Aku datang mencari Ketua
kalian! Panggil dia! Suruh datang ke hadapanku!”
“Ketua kami sedang beristirahat. Jika memang ada keperluan besok pagi saja
datang kemari”
“Hemmmm…. Jadi kalian tak mau turut perintahku. Tidak mau memanggil
Sampan Gayana! Bagus! Aku mau lihat apa kalian benar-benar tidak perduli!”
Habis berkata begitu tubuh si nenek berkelebat. Empat pekikan terdengar
serentak merobek kesunyian dan langit gelap. Empat anak murid perguruan terpental.
Begitu jatuh ke tanah keempatnya tidak berkutik lagi. Semua telah putus nyawa
dengan kepala pecah!
Serta merta kegemparan melanda tempat itu. Beberapa orang murid perguruan
yang menjadi marah melihat kematian empat teman mereka segera hendak menyerbu.
Tapi gerakan mereka terhenti ketika si nenek keluarkan suara tawa melengking.
“Hanya orang-orang bodoh yang ingin mampus lebih cepat!” ujar si nenek
sambil tegak bertolak pinggang. Kedua matanya memandang angker. Membuat para
murid yang tadi hendak nekad menyerang kini hanya bisa tertegun di tempat masingmasing.
Mereka sama maklum kalau tamu tidak diundang ini memiliki kepandaian
sangat tinggi dan bukan tandingan mereka. Lalu terdengar seseorang berteriak.
“Lekas panggil Ketua!”
Dua orang murid berkelebat tinggalkan tempat itu.
Si neenk menyeringai. “Dasar manusia-manusia tolol!” katanya. “Kalau taditadi
saja kalian turuti perintahku tak akan ada nyawa melayang! Goblok!”
Sampan Gayana yang tengah tertidur lelap tersentak kaget ketika dibangunkan.
Ketua Perguruan ini tambah kaget sewaktu diberitahu apa yang terjadi. Cepat dia
berganti pakaian lalu keluar dari rumah papan mendahului dua orang murid yang
melapor. Sementara itu seluruh murid perguruan dari tingkat terendah sampai tingkat
tertinggi kini telah terbangun dan mereka semua menghambur ke tanah lapang. Para
murid memberi jalan begitu Ketua mereka muncul. Sesaat kemudian Sampan Gayana
telah berada di tengah lapangan. Sesaat dia memperhatikan empat orang muridnya
yang bergeletak mati di tanah. Lalu dia memandang ke arah si nenek.
“Nenek, aku tidak kenal dirimu. Pasal apa membuat kau membunuh empat
murid Perguruan?”
Si nenek tidak segera menjawab. Dia memperhatikan lelaki di hadapannya
mulai dari ujung rambut sampai ke kaki baru membuka mulut.
“Apa benar kau orangnya yang bernama Sampang Gayana, anak dari Giri
Arsana?”
“Kau tidak salah. Aku memang Sampan Gayana, putera Giri Arsana. Sekarang
harap kau memberitahu siapa dirimu.”
Si nenek tidak menjawab. Dia mendongak lalu keluarkan suara tawa panjang.
Sampan Gayana yang merasa dianggap rendah maju satu langkah. “Nenek,
kau muncul malam buta. Membunuh murid-muridku tanpa diketahui apa dosa dan
kesalahannya. Tidak ada silang sengketa di antara kita….”
“Apa yang kau ucapkan itu benar! Tak ada dosa, tak ada kesalahan dan tidak
ada silang sengketa. Tapi aku beri tahu padamu anak manusia. Kau menanggung dosa
turunan! Dosa keji yang pernah dibuat ayahmu!”
Kening Ketua Perguruan Silat Melati Putih itu tampak berkerut. “Aku tidak
mengerti maksud kata-katamu!”
BASTIAN TITO 11
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Aku kemari memang tidak membuat kau mengerti! Kau tidak perlu mengerti.
Aku hanya ingin satu orang mengerti. Keluar dari sarang persembunyiannya untuk
menerima pembalasan sakit hati. Selama dia masih bersembunyi secara pengecut,
selama itu pula aku akan mengambil korban satu demi satu orang-orang yang terdekat
dengan dia!”
“Siapa yang kau maksudkan dengan dia itu?!” bentak Sampan Gayana.
Si nenek menyeringai lalu menjawab. “Giri Arsana! Bapak moyangmu!”
“Aku makin tidak mengerti dengan juntrunganmu ini!” kata Sampan Gayana.
“Kesabaranku sudah hilang! Aku terpaksa menangkapmu karena telah membunuh
empat murid perguruan!”
Si nenek tertawa. “Sebelum kau menangkapku lekas kau beri tahu dulu di
mana bapak moyangmu itu bersembunyi! Enam bulan aku sudah mencarinya. Sampai
saat ini dia berlaku pengecut tidak mau memunculkan diri dalam dunia persilatan.”
“Ada urusan apa kau mencari ayahku?” tanya Sampan Gayana.
“Sudah aku bilang, kau punya dosa turunan. Berarti bapak moyangmu itu
punya kesalahan besar. Sangat besar! Nah sekarang cepat beritahu di mana dia
berada!”
“Kalaupun aku tahu, tidak akan kukatakan padamu!” jawab Sampan ayana
hilang kesabaran.
“Kalau begitu terpaksa aku membunuh anak ular untuk memancing keluar
bapak ular. Rupanya sudah jadi takdir seluruh keluargamu harus kuhabisi lebih dulu
baru giliran bapak moyangnu itu!” si nenek tertawa panjang.
Sampan Gayana tidak dapat mengendalikan amarahnya lagi. Kesabarannya
habis. Didahului dengan bentakan keras dia menghantam ke arah muak si nenek.
Yang diserang ganda tertawa. Tangan kanannya diangkat.
Wuuuttt!
Sampan Gayana terkejut ketika merasakan angin dingin yang menyambar
keluar dari tangan si nenek. Serta merta dia sadar bahwa lawan memiliki tenaga
dalam yang jauh lebih tinggi. Maka cepat-cepat dia menghindarkan terjadinya
bentrokan puklan. Sampan berkelit ke samping. Dari samping dia kirimkan pukulan
berupa sodokan ke leher si nenek. Rupanya Ketua Perguruan Silat Melati Putih ini
sengaja mengeluarkan jurus-jurus andalan dan mengandung maut agar dapat
menghantam lawannya dengan cepat.
Si nenek masih tampak tertawa-tawa. Lima jurus dia sengaja membiarkan
dirinya diserang habis-habisan. Jurus keenam Sampan Gayana berhasil memukul
bahu perempuan tua ini. Orang lain pasti akan terpenatl paling tidak akan melintir
tubuhnya dihantam pukulan yang berkekuatan hampir liam puluh kati itu! Tapi si
nenek sedikitpun tidak bergeming. Malah Sampan Gayana merasakan tangannya yang
memukul menjadi pedas.
“Sudah saatnya kau menyusul ibumu Sampan Gayana!” berkata si nenek
sambil mundur dan pentang tangan kanannya ke depan.
Ketua Perguruan Silat Melati Putih itu tentu saja terkejut mendengar ucapan si
nenek. Tapi sekaligus dia juga tidak mengerti.
“Apa maksudmu?!” tanyanya membentak.
Si nenek tertawa. “Ibumu sudah lebih dulu mampus di tanganku! Kau
korbanku yang kedua. Jika bapak moyangmu masih belum mau keluar dari
persembunyiannya untuk mempertanggung jawabkan dosa, korban selanjutnya akan
jatuh! Begitu seterusnya sampai bapak moyangmu muncul!”
“Manusia keparat! Jadi kau telah membunuh ibuku!” teriak Sampan Gayana.
BASTIAN TITO 12
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Si nenek balas dengan tawa cekikikan. “Jangan kawatir. Aku akan bawa kau
ke tempat maya ibumu tergeletak. Kalian masih bisa berjumpa dalam alam roh!
Hik…hik…hik!”
“Perempuan iblis!” teriak Sampan Gayana. Tangan kanannya mengeruk ke
saku pakaian. Dari dalam saku itu dia mengeluarkan segenggam benda putih. Benda
ini bukan lain adalah bunga melati putih yang telah mengering. Bunga melati kering
ini merupakan senjata rahasia andalan terakhir sang ketua perguruan. Sekali dia
menggerakkan tangannya, dua belas bunga melati melesat mengeluarkan suara
berdesing.
Nenek muka tengkorak angkat tangan kirinya. Delapan bunga melati kering
mental dan hancur berantakan. Tapi empat lainnya masih sempat menyambar
tubuhnya.
Des! Des! Des! Des!
Baju hijau tua yang dikenakan si nenek kelihatan berlubang di empat bagian.
Namun tubuhnya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu sedikitpun tidak cidera!
Berubahlah paras Sampan Gayana. Puluhan murid perguruan yang
menyaksikan kejadian itu juga ikut melengak kaget. Mereka semua tahu jangankan
tubuh manusia, batang pohonpun akan tembus dihantam senjata rahasia ketua mereka.
Namun nyatanya si nenek tidak cidera sedikitpun!
Didahului suara tertawa melengking tinggi nenek muka tengkorak ajukan
tangannya ke depan. Lima buah kuku panjang runcing berwarna hitam mencuat
secara aneh dari kelima ujung jarinya yang kurus kering!
Sampan Gayan terkejut besar. Dia mundur satu langakh. Di depannya si nenek
datang memburu cepat sekali. Dia tidak mampu menangkis ataupun mengelak ketika
lima kuku jari itu berkelebat mencakar muka dan dadanya. Ketua Perguruan Silat
Melati Putih ini menjerit mengerikan. Darah menyembur dari guratan luka yang
sangat dalam di muka dan dadanya. Kedua tangannya ditekapkan ke wajahnya namun
belum kesampaian lututnya telah goyah. Sebelum roboh ke tanah nyawanya sudah
lepas. Dan sebelum di ajatuh teregelimpang si nenek sambut tubhnya dengan bahunya.
Di lain saat perempuan tua itu sudah memanggul mayat Sampan Gayana di bahu
kirinya.
Puluhan anak murid perguruan tentu saja tidak tinggal diam. Mereka berteriak
marah dan serempak maju. Ada yang hanya mengandalkan tangan kosong, ada pula
yang menghunus berbagai senjata.
“Kalian murid-murid setia. Bersedia membela pimpinan. Tapi apa ada
gunanya membela manusia yang sudah jadi mayat?! Apa kalian hendak membayar
kebodohan kalian dengan nyawa?!”
“Perempuan iblis! Kami bersedia mengorbankan darah dan nyawa asal kau
bisa kami bunuh!” teriak seorang murid dari tingkat paling tinggi.
“Bagus! Kalau begitu lekas maju agar cepat aku membereskan kalian” kata si
nenek pula.
Puluhan murid perguruan yang tidak takut mati demi membela ketua mereka
benar-benar maju. Si nenek tertawa keras.Tangan kanannya digerakkan. Lima larik
sinar hitam berkelebat mengerikan. Lalu terdengar jeritan susul menyusul. Sembilan
anak murid perguruan roboh dengan muka atau tubuh hangus seperti dipanggang.
Puluhan murid lainnya jadi tercekat. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian kembali
mereka menyerbu dengan nekad. Namun si nenek sudah berkelebat. Tiga murid
perguruan yang coba mengejar mental dihantam tendangan dan pukulannya. Si nenek
lenyap. Hanya suara tawanya saja yang masih terdengar dalam gelapnya malam di
kejauhan. Lapat-lapat kembali terdengar suara nyanyiannya di kejauhan
BASTIAN TITO 13
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Si nenek lari laksana hantu malam. Seperti dituturkan sebelumnya mayat
Sampan Gayana inilah yang dibawanya ke tepi kawah Gunung Krakatau lalu
dimasukkan ke dalam lubang lebih dahulu dibunuh dan dibawa ke tempat itu.
Suasana gempar masih melanda Perguruan Silat Melati Putih ketika seorang
pemuda berpakaian putih berambut gondrong menjela bahu muncul. Puluhan murid
perguruan yang tidak mengenal dirinya dan menaruh curiga langsung mengurungnya
“Mana Ketua kalian? Aku datang membawa pesan penting!” kata pemuda
yang baru datang sambil menunjukkan sepucuk lipatan surat. Kedua matanya
memandang berkeliling. Tadi dia sempat melihat beberapa mayat yang digotong ke
arah rumah panjang.
Seorang murid dari tingkat atas yang mengenal pemuda itu menyeruak di
antara para murid. “Pendekar 212. Kau datang terlambat…..”
“Eh, apa yang terjadi?” tanya tamu muda yang datang yang bukan lain
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng dari Gunung Gede.
“Ketua dibunuh orang tak dikenal. Mayatnya diculik. Entah dilarikan
kemana….”
“Astaga!” Wiro tentu saja terkejut dan garuk-garuk kepala. “Isi surat dari
guruku ini justru hendak memeberi tahu ada bahaya yang mengancam. Ternyata aku
terlambat!” Wiro serahkan lipatan surat pada murid perguruan di depannya. Si murid
membacanya sebentar lalu melipat surat itu kembali.
“Dalam surat Eyang Sinto Gendeng memberi peringatan ada bahaya bagi
anak-anak dan keturunan Giri Arsana. Diminta agar berhati-hati. Tapi kini tak ada
gunanya. Ketua kami sudah menemui kematian….”
“Coba kau terangakn ciri-ciri pembunuh itu,” kata Wiro.
Murid perguruan menerangakan ciri-ciri nenek angker yang membunuh dan
menculik mayat Sampan Gayana.
“Kuku hitam mencuat dari jari-jari tangan….. Hemmmmmmmmmm….” Wiro
bergumam dan lagi-lagi hanya bisa garuk-garuk kepala. “Aku akan coba mencari tahu
siapa adanya tua bangak itu,” kata Pendekar 212 pula. “Namun saat ini aku perlu
keterangan siapa dan dimana saja saudara-saudara kandung Ketua kalian berada…”
“Selama ini Ketua selalu tertutup. Dia tidak pernah menceritakan siapa kakak
dan adiknya. Juga tidak pernah menerangkan dimana mereka berada. Kami hanya
tahu beliau berayahkan orang sakti berjuluk Dewa Berpayung Hitam.”
“Tapi orang itupun tiba-tiba saja lenyap dari dunia persilatan!” kata Wiro. Dia
diam sesaat akhirnya berkata “Aku harus pergi sekarang. Mungkin ada sesuatu yang
hendak kalian sampaikan?”
“Kami hanya berharap agar kau bisa membantu mencari pembunuh Ketua
kami. Kabarnya nenek angker itu juga telah membunuh ibunda Ketua kami…” jawab
murid perguruan tadi.
“Akan aku lakukan sebisa dayaku. Karena istri Giri Arsana masih ada
pertalian darah dengan guruku Eyang Sinto Gendeng. Hanya ada sesuatu yang
mengherankan. Mayat istri Giri Arsana tidak pernah ditemukan. Kalau mayat Ketua
kalian diculik si nenek, berarti dia juga yang menculik myat si ibu. Untuk apa…?”
Wiro garuk-garuk kepala. Kalian bisa memberi tahu ke arah mana larinya nenek
pembunuh itu?”
BASTIAN TITO 14
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Beberapa orang menunjuk ke arah kanan. Pendekar 212 tanpa menunggu lebih
lama berkelebat ke arah itu.
BASTIAN TITO 15
LIMA
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Rumah kecil itu terletak di pinggiran timur Kotaraja. Lima orang bertubuh kekar
dan bersenjata tombak serta golok di pinggang berjaga-jaga di pintu masuk. Lalu di
tempat gelap, ttidak kelihatan oleh pandangan mata menebar lebih dari sepuluh orang
yang juga berperawakan kekar dan menggenggam kelewang atau golok.
Seorang penunggang kuda yagn mukanya ditutup kain hitam sebatas mata
memasuki halaman rumah. Kudanya ditambatkan pada sebuah palang bambu. Lalu
dia melangkah cepat menuju ke pintu. Di depan pintu lima lelaki yang berjaga-jaga
cepat menghadang. Yang empat langsung mengangkat tangan dan mengarahkan
tombak pada orang yang barusan datang ini. Yang satu lagi maju mendekat sambil
menghunus golok.
“Harap sebutkan kata rahasia yang sudah ditentukan!”
Orang bercadar segera menjawab. “Malam gelap tak ada bintang tak ada
bulan.”
Empat tombak diturunkan. Golok dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Lima orang di depan pintu menjura. Salah seorang dari mereka cepat membuka pintu.
Orang bercadar segera masuk ke dalam rumah. Lima penjaga tadi kembali berjagajaga.
Mereka kini tinggal satu orang lagi yang harus ditunggu.
Tak selang berapa lama satu bayangan putih berkelebat. Belum sempat lima
pengawal di pintu memperhatikan dengan jelas tahu-tahu orangnya sudah berdiri di
depan mereka sambil garuk-garuk kepala.
Lima penjaga memperhatikan orang ini. Masih muda dan berambut gondrong.
Tidak seperti dua tamu terdahulu, yang satu ini datang tanpa memakai kain cadar dan
sikapnya tampak konyol urakan.
Empat tombak segera diangkat dan siap menambus pemuda berpakaian putih
yang barusan datang ini.
“Harap ucapkan kata rahasia yang sudah ditentukan!” kata pengawal yang
tegak menghunus golok besar.
Tamu yang datang tidak segera menjawab. Dia perhatikan si tinggi kekar di
depannya lalu malirik pada empat kawannya yang tegak sambil mementang tombak.
“Saya akan bertanya sekali lagi! Kalau tidak bisa menjawab kau akan kami
bunuh!” kata pengawal di hadapan tamu muda yang barusan datang.
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. Dia mengingat-ingat.
“Ah, sialan benar. Aku lupa sandi yang harus dikatakan itu….”
“Kalau begitu bersiaplah utnuk mati! Kau penyusup yang tidak diundang!”
Pengawal di sebelah depan angkat tangannya yang memegang golok. Dia juga
memberi isyarat pada empat temannya. Maka empat tombak segera hendak
dilemparkan ke arah tubuh pemuda itu.
“Tunggu dulu! Sabar sedikit. Aku sedang coba mengingat! Nah, aku ingat
sekarang! Kata rahasia itu Malam gelap.Tak ada bintang tak ada bulan! Betul
begitu?!”
Lima tangan yang mencekal senjata diturunkan. Si pemuda tertawa lebar lalu
garuk-garuk lagi kepalanya. Ditepuk-tepuknya bahu pengawal di depannya seraya
berkata. “Kau dan kawan-kawanmu bekerja baik. Aku akan beritahu pada atasanmu di
dalam agar memberikan gaji tambahan.”
“Terima kasih, terima kasih….” Kata lima pengawal sambil menjura lalu
mereka menepi memberi jalan. Yang satu membuka pintu lalu mempersilahkan
BASTIAN TITO 16
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
pemuda gondrong itu masuk. Yang dipersilahkan langsung saja nyelonong ke dalam
rumah.
Di dalam rumah kecil, mengelilingi sebuah meja yang di atasnya ada sebuah
lampu minyak ampak duduk tiga orang lelaki. Yang pertama bertubuh tinggi kurus
dengan rambut putih keseluruhannya. Wajah dan sikapnya memancarkan wibawa
yang tinggi. Orang ini adalah Ganda Ariawisesa, Patih Kerajaan. Di samping kirinya
seorang lelaki berkumis tebal, berwajah agak garang. Dialah tadi yang datang dengan
memakai cadar. Namanya Cemani Tanduwisoka. Dia dikenal sebagai orang penting
dalam kerajaan dan menduduki jabatan Wakil Kepala Pasukan Kerajaan. Orang ketiga
yang duduk di sebelah kanan Patih Ganda Ariawisesa adalah salah seorang tangan
kanan sang Patih tanpa ada jabatan dalam Kerajaan. Usinya hampir setengah abad.
Dia mempuyai hubungan baik dengan semua pejabat Istana dan juga dikerahui
berhubungan dekat dengan para tokoh rimba persilatan di kawasan Barat pulau Jawa.
Namanya Brambang Santika.
Ketiga orang itu tampak bebas dari rasa gelisah mereka ketika melihat orang
terakhir yang mereka tunggu telah muncul dan seperti biasanya dengan sikap
konyolnya. Setelah memberi hormat pada orang-orang yang duduk di sekeliling meja,
tamu paling muda ini mengambil tempat duduk di depan Patih Ganda Ariawisesa.
“Kami gembira melihat kau datang, Pendekar 212.”
Tamu yang terahir datang mengangguk lalu menjawab. “Saya hanya mewakili
guru Eyang Sinto Gendeng. Semua di sini sudah tahu bahwa beliau berhalangan
datang dan minta disampaikan salam maaf.”
Patih Ganda Ariawisesa balas mengangguk.
“Waktu kita tidak banyak. Karena kita sudah berkumpul semua maka saya
kira kita bisa segera mulai pertemuan rahasia ini.” Patih Kerajaan membuka
pembicaraan. “Seperti diketahui sudah bocor rahasia bahwa Kepala Pasukan Kerajaan
dibantu oleh beberapa orang culas tengah menyusun rencana keji hendak merampas
tahta Kerajaan dari tangan Sang Prabu. Raja sendiri saat ini masih belum tahu. Kita,
sebagai orang-orang yang setia pada Sang Prabu dan Kerajaan harus menggagalkan
rencana busuk itu. Namun Kepala Pasukan yang hendak berkhianat itu memiliki
kekuatan dan pendukung yang cukup kuat. Kaenanya dalam bertindak kita harus
sangat berhati-hati. Yang terutama harus dihindari ialah terjadinya pertumpahan darah
sesama kita. Saya sudah menugaskan Cemani Tanduwisoka untuk terus
memperhatikan gerak-gerik Kepala Pasukan Kerajaan. Kelompok-kelompok yang
diketahui membantunya harus dipindah atau dipecah hingga kekuaan mereka menjadi
berkurang. Lalu sahabat saya Brambang Santika telah pula meminta bantuan beberapa
tokoh silat, baik di dalam maupun di luar Istana untuk membantu menyelamatkan
Sang Prabu dan Kerajaan. Kami bertiga disini sudah sama setuju untuk minta batuan
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Dan kami bersyukur bahwa orang sakti itu
telah bersedia mengutus murid tunggalnya. Sahabat Brambang Santika dan kau
Pendekar 212, kalian kebagian tugas paling berat. Yaitu mengawasi gerak gerik para
tokoh silat di dalam dan di luar Istana yang sudah diketahui jelas membantu gerakan
Kepala Pasukan Kerajaan. Kalian berdua diberi wewenang untuk turun tangan sampai
pada kewenangan utnuk menangkap bahkan membunuh mereka. Saya yakin kita akan
dapat menggagalkan kelompok orang-orang khianat itu. Namun saat ini terus terang
ada satu hal yang mengganggu pikiran saya….”
“Coba dikatakan saja Patih. Siapa tahu kami dapat membantu,” kata
Brambang Santika.
“Seperti kalian tahu, putera tunggal saya kawin dengan Wini Kantili, putri dari
Giri Arsana, tokoh silat Jawa Barat yang bergelar Dewa Berpayung Hitam. Besan
BASTIAN TITO 17
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
saya ini sejak beberapa bulan lalu tiba-tiba saja lenyap. Tak seorangpun tahu dimana
dia berada. Sesuatu pasti telah terjadi dengan dirinya. Kalau dia memang sudah
meninggal tentu ada kuburnya. Saya dan atas permintaan anak menantu saya sudah
menebar orang menyirap kabar dan menyelidiki. Namun dimana tokoh silat itu berada
masih gelap. Kabar yang disirap oleh orang-orang saya ialah bahwa seorang nenek
sakti juga tangah mencari-cari Giri Arsana. Tampaknya seperti ada silang sengketa
besar antara besan saya dengan perempuan tua itu. Konon dia telah membunuh istri
Giri Arsana dan menculiknya….”
“Tambahan berita buruk, Paman Patih,” memotong Pendekar 212. “Orang
yang sama belum lama ini telah membunuh dan menculik Ketua Perguruan Silat
Melati Putih yaitu Sampan Gayana yang adalah putera ke empat Giri Arsana, kaka
kandung menantu Paman Patih….”
Paras Patih Kerajaan jadi berubah. “Kalau begitu berarti seluruh keluarga dan
turunan Giri Arsana berada dalam bahaya besar. Bahaya maut! Dari mana kau
mendapat berita itu Pendekar 212?” tanya sang Patih.
Wiro lantas menuturkan kisah kedatangannya ke Perguruan Silat Melati Putih.
“Pembunuhnya seorang nenek berwajah tengkorak. Lima jari tangannya bisa
mengeluarkan kuku hitam panjang….”
Patih Ganda Ariawisesa berdiri dari tempat duduknya. “Berarti nenek
pembunuh itu adalah Sriti Gandili alias Sepuluh Kuku Iblis!” katanya hampir
berteriak.
“Tapi bukankah perempuan itu sudah lama diketahui mati?” ujar Brambang
Santika yang tahu banyak tentang dunia persilatan.
Cemani Tanduwisoka menyeling. “Jangan-jangan dia hanya melenyapkan diri
untuk sementara. Mungkin membekal suatu maksud tertentu.”
“Boleh jadi,” kata Patih Kerajaan. “Namun yang saya tidak mengerti, ada
sebab musabab apa Sepuluh Kuku Iblis membunuhi anak keturunan Giri Arsana?”
“Setahu saya di masa muda dulu antara Giri Arsana dan Sriti Gandini ada
hubungan percintaan,” kata Brambang Santika.
Pendekar 212 lantas ikut bicara. “Soal perempuan tua itu jika semua disini
setuju biar saya dan Paman Brambang Santika yang mengurus. Hanya yang perlu
dipikirkan ialah keselamatan menantu perempuan Paman Patih yaitu Wini Kantili.”
“Kau betul Pendekar 212,” kata Patih Kerajaan. “Saya akan menaruh
pengawalan ketat atas dirinya….”
Wiro mengangguk. “Tapi harap jangan lupa ungkapan Belum dapat anak ular
kandangnyapun kalau perlu dirusak”
“Apa maksudmu Pendekar 212?” tanya Patih Kerajaan pula.
“Jika pembunuh tidak dapat menembus tembok pengawalan puteri Paman
Patih, bukan mustahil dia akan membunuh putera Paman Patih lebih dulu….”
Patih Ganda Ariawisesa mengangguk-angguk “Terma kasih, kau mempunyai
pikiran sedalam dan sejauh itu.”
“Untuk saat sekarang ini saya usulkan agar anak dan menantu Paman Patih
diungsikan ke satu tempat yang aman. Dan tentunya dalam penyamaran hingga sulti
diketahui orang.”
“Saya akan mengatur hal itu sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya,” kata
Ganda Ariawisesa. “Sekarang mari kita kembali pada penanganan orang-orang
khianat yang hendak memberontak.
BASTIAN TITO 18
ENAM
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Suami istri petani muda itu duduk bercakap-cakap di bawah pohon di depan kebun
sayur mereka yang luas. Saat itu menjelang sore. Keduanya tampak gembira karena
sesekali pembicaraan diseling dengan gelak tawa.
“Lucu juga kita berpura-pura jadi petani begini,” kata yang lelaki.
Sang istri menjawab. “Yang jadi pertanyaan sampai berapa lama kita harus
menyamar seperti ini?”
“Mudah-mudahan saja nenek jahat itu lekas dibekuk,” sahut sang suami.
Kedua suami istri petani ini bukan lain adalah Wini Kantili puteri Patih Ganda
Ariawisesa dengan suaminya Raden Sabrang Winata. Seperti telah direncanakan,
guna menyelamatkan kedua orang ini dari Sepuluh Kuku Iblis maka mereka
diungsikan ke pinggiran Kotaraja, menyamar sebagai suami istri petani. Selain itu
tentu saja penjagaan tersamar dilakukan. Belasan prajurit Kepatihan serta beberapa
tokoh silat siang malam bergantian menjaga kesalamatan kedua orang itu. Brambang
Santika sewaktu-waktu muncul utnuk memeriksa keadaan. Sementara itu Patih Ganda
Ariawisesa dan Wakil Kepala Pasukan Kerajaan Cemani Tanduwisoka telah berhasil
memecah kekuatan mereka yang berniat melakukan pemberontakan. Beberapa
kelompok besar pasukan yang dapat dipengaruhi kaum pemberontak dipindahkan
jauh ke pinggiran Kotaraja lalu diganti dengan pasukan-pasukan yang setia pada Sang
Prabu.
Tindakan ini rupanya tercium oleh Pagar Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan
yang merencanakan perebutan tahta. Maka diam-diam dia segera mengatur siasat.
Satu demi satu direncanakannya untuk membunuh para pejabat dan tokoh Kerajaan
yang setia pada Sang Prabu. Dalam daftar yang akan dibunuh tentu saja termasuk
nama Patih Kerajaan, Wakil Kepala Istana.
Gerakan kaum pemberontak rupanya mulai berhasil. Dua hari kemudian Istana
dilanda kegegeran karena dua orang tokoh silat ditemukan mati keracunan!
Kembali pada Raden Sabrang Winata dan Wini Kantili. Kedua suami istri ini
bersiap-siap meninggalkan kebun ketika langit sebelah Timur kelihatan tertutup asap
kelabu. Diantara warna kelabu itu kelihatan warna merah sesekali menjulang ke langit.
“Ada kebakaran di arah Kotaraja,” kata Raden Sabrang dengan perasaan
kawatir. Istrinya juga tampak gelisah. Pada saat itu dua orang pengawal muncul,
disusul oleh seorang tua berpakaian berbentuk jubah hitam. Orang ini adalah salah
satu dari tiga tokoh silat Istana yang ditugaskan untuk mengawal kedua suami istri itu.
“Raden Sabrang, saya mendapat kabar sedang terjadi kebakaran dekat istana.
Saya dan beberapa pengawal akan segera menuju Kotaraja. Yang lain-lain tetap
berjaga-jaga di sini. Harap Raden berdua jagan kemana-kemana. Masuk saja ke dalam.
“Pergilah dan kembali dengan cepat,” jawab Raden Sabrang Winata. Dia
membimbing istrinya menuju ke rumah. Namun baru beberapa langkah berjalan tibatiba
terdengar suara tawa mengekeh, disusul dengan nyanyian
Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Begitu juga anak ke empat
BASTIAN TITO 19
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Hari ini menyusul anak yang bungsu
Kubur di Pulau sudah menunggu
Belum habis kejut Raden Sabrang dan Wini Kantili, tiba-tiba sesosok tubuh
nenek berwajah angker sudah tegak di depan mereka.
“Hik…hik…hik! Kalian pandai menyamar. Tapi jangan kira aku bisa ditipu!
Sumpah sudah jatuh! Seluruh turunan Giri Arsana harus mati di tanganku! Kecuali
manusia biang racun itu muncul unjukkan diri menerima kematian!”
Raden Sabrang cepat memegang bahu istrinya dan menyuruh Wini Kantili
berdiri di depannya. Dia lalu menghadapi si nenek. Lelaki ini sudah dapat menduga
siapa adanya nenek bermuka tengkorak di hadapannya itu.
“Kau pasti manusia yang berjuluk Sepuluh Kuku Iblis! Si pembunuh kejam
orang-orang tak berdosa! Kau telah membunuh kakak Sampan Gayana dan ibu
mertuaku! Sekarang kau menginginkan jiwa istriku! Sungguh keji! Apa salah kami
semua?!”
Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis kembali tertawa panjang. “Kalian
memang tidak punya dosa. Tapi kalian menanggung dosa turunan! Dosa bapak
moyangny yang bernama Giri Arsana itu!”
Dua bayangan berkelebat. Disusul dengan gerakan-gerakan cepat. Lebih dari
sepuluh orang pengawal mengurung si nenek dan di kiri kanannya tegak dua orang
tokoh silat Istana. Salah seorang dari tokoh ini membentak.
“Perempuan sedeng! Lekas minggat dari sini atau kupatahkan batang lehermu
saat ini juga!”
Sepuluh Kuku Iblis mendongak lalu kembali tertawa panjang. Perlahan-lahan
bersamaan dengan sirapnya suara tawanya dia palingkan kepala pada orang yang
barusan menghardiknya. Telunjuk kirinya ditudingkan tepat-tepat ke muka tokoh silat
itu.
“Lelaki jelek! Aku tahu siapa dirimu! Bukankah kau kunyuk yang bernama
Camar Wungu, manusia sombong bergelar Si Tanagn Besi?! Hi…hik…hik. Aku mau
lihat bagaimana sepasang tangan besimu hendak mematahkan batang leherku!”
Lalu si nenek melangkah ke hadapan tokoh silat Istana itu sambil sorongkan
kepalanya. Camar Wungu jadi kaget sekaligus merasa marah ditantang begitu rupa.
Kedua tangannya seta merta tampak berubah menjadi kecoklat-coklatan dan keras
laksana batang besi.
“Manusia keparat! Kau memang minta mampus!” Dua tangan Camar Wungu
bergerak laksana kilat. Dalam sekejapan saja sepuluh jari tangannya sudah
mencengkeram batang leher si nenek dan mematahkannya!
Yang terdengar kemudian bukan jeritan si nenek melainkan jeritan Camar
Wungu. Cekikannya terlepas. Kedua matanya mendelik dan tubuhnya terhuyunghuyung.
Wini kantili menjerit sewaktu menyaksikan apa yang terjadi dengan tokoh
silat Istana itu. Perutnya robek besar. Darah muncrat dan ususnya membusai
mengerikan. Nyawanya tidak tertolong lagi!
“Manusia jahanam!” teriak tokoh silat yang satu lagi. Dia hunus senjatanya
yaitu sebilah pedang pendek. Lalu menyerang. Beberapa orang pengawal ikut
melompat dengan senjata di tangan.
Si nenek menyambut serangan itu dengan tawa melengking. Tubuhnya
berkelebat. Lima jari tangannya melesat ke depan. Lalu pekik terdengar susul
menyusul. Lima orang berkapar di tanah. Salah satu diantaranya tokoh silat tadi.
Mereka yang masih hidup menjadi leleh nyalinya dan tertegun tak berani bergerak.
BASTIAN TITO 20
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kesempatan ini dipergunakan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis
berkelebat menyambar tubuh Wini Kantili. Suaminya coba menghalangi dengan
berusaha menjambak rambut nenek itu. Tapi satu pukulan pada perutnya membuat dia
terlipat lalu roboh ke tanah. Di lain saat terdengar jeritan Wini Kantili. Muka dan
dadanya berlumuran darah oleh lima guratan luka yang dalam!
Raden Sabrang cepat bangkit dan berusaha mengejar ketika dilihatnya si
nenek hendak melarikan istrinya. Tapi lagi-lagi hantaman si nenek memebuatnya
jatuh tergelimpang ke tanah. Kali ini tak bangkit lagi karena tulang dadanya melesat
remuk dan dia mengalami kesulitan bernafas.
“Win…. Wini….!” Memanggil Raden Sabrang. Dia berusaha berdiri mengejar
tapi roboh lagi.
Sepuluh Kuku Iblis tertawa melengking. Tubuh Wini Kantili yang berada
dalam keadaan luka parah dan sekarat dipanggulnya di bahu kiri. Dia memandang
berkeliling lalu melompat ke arah matahari tenggelam. Namun gerakannya tertahan.
Ada dorongan angin dahsyat datang dari depan yang membuat tubuhnya terhuyunghuyung.
Tubuh Wini Kantili yang ada di panggulannya hampir terlepas. Si neenk
berseru marah sambil melompat ke kiri. Dia balas menghantam. Tapi ketika meliha
wajah orang yang menghadangnya, kedua matanya jadi terbeliak, hatinya berdenyut
penuh rasa tidak percaya. Dia membatin. “Apakah ini hanya satu kebetulan atau
manusia keparat itu memang hidup kembali? Tapi bagaimana bisa semuda ini?!”
“Perempuan jahat! Jangan harap kali ini kau bisa membunuh dan kabur
seenaknya! Turunkan puteri Patih itu cepat!” Pemuda di depan si nenek membentak.
“Siapa kau?!” si nenek balas menghardik.
“Aku utusan dari neraka yang datang untuk mengambil nyawa busukmu!”
jawab si pemuda.
“Gila!” kata si nenek lagi dalam hati. “Ucap dan lagaknya persis sama dengan
si keparat itu! Bagaimana ada dua menusia bisa mirip satu sama lain?!”
“Jangan kau berani bergurau di hadapan nenek moyangmu! Lekas menyingkir
atau kau jadi korbanku berikutnya saat ini juga!”
Yang diancam garuk-garuk kepala dan menyeringai lalu maju selangkah. Si
nenek angkat tangan kanannya siap untuk menghantam. Tapi entah mengapa tiba-tiba
saja ada rasa tidak enak dalam hatinya. Tangannya diturunkan kembali. Kesempatan
ini dipergunakan si pemuda untuk melompat coba merampas tubuh Wini Kantili. Kali
ini si nenek tidak bisa berbuat lain. Dia cepat mengelak ke kiri lalu kirimkan
tendangan kaki kanan. Tapi luput karena yang diserang sudah lebih dulu mengelak
dan membalas dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Sepuluh Kuku Iblis keluarkan pekik melengking. Tubuhnya lenyap. Tangan
kanannya mencakar ke depan. Namun aneh, sekali ini dia tidak keluarkan kuku-kuku
iblisnya. Hanya saja serangannya ini kini mengerahkan lebih dari separuh tenaga
dalamnya. Akibatnya si pemuda merasa seperti disambar angin topan. Tubuhnya
terpental. Dada pakaiannya robek. Selagi dia mencoba mengimbangi diri agar tidak
jatuh, nenek berwajah tengkorak itu kembali menyerbu dengan cakaran ke wajah
lawan, tapi lagi-lagi dia tidak keluarkan kuku-kuku iblisnya.
Dalam keadaan terdesak si pemuda menghantam sambil kerahkan tenaga
dalam. Terdengar suara angin menderu dahsyat. Si nenek terkejut dan berseru. “Jurus
dibalik gunung memukul halilintar!” Lalu dia cepat batalkan serangannya dan
menyingkir mundur dengan mata mendelik.
Si pemuda yang tentunya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terkejut
ketika mendengar lawan menyebut dengan tepat jurus ukulan yang dilancarkannya.
BASTIAN TITO 21
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Jadi kau….. Jadi kau manusia yang berjuluk Pendekar 212 itu!” kata si nenek
dengan mata masih melotot. Dalam hati dia lagi-lagi membatin. “Ah, mengapa
wajahnya begitu sama. Kepandaiannyapun tak kusangka begini hebat! Dia bisa
berbahaya. Tapi bagaimana ini! Aku tidak tega mencelakainya! Lebih baik aku lekas
pergi dari sini!”
Si nenek keruk saku pakaiannya mengeluarkan sebuah benda berwarna hitam.
Murid Eyang Sinto Gendeng yang sudah punya banyak pengalaman segera tahu
benda apa yang ada di tangan si nenek. Dia coba merampas tapi terlambat. Benda itu
telah lebih dulu dibantingkan Sepuluh Kuku Iblis ke tanah. Terdengar letupan halus.
Lalu asap tebal menggebubu menutup pemandangan sejarak tiga tombak persegi.
Wiro batuk-batuk dan cepat menyingkir. Ketika asap tebal lenyap, si nenek bersama
sosok Wini Kantili yang dipanggulnya tidak kelihatan lagi di tempat itu!
Pendekar 212 cepat mendatangi sosok Raden Sabrang yang sedang sekarat
terkapar di tanah.
“Raden….”
“Kejar….. Kejar perempuan iblis itu. Dia melarikan Wini. Tolong istriku…..”
“Terlambat. Tak mungkin dikejar. Kecuali ada yang tahu kemana perempuan
itu membawa istri Raden,” jawab Wiro lalu dia menotok tubuh Raden Sabrang di
beberapa tempat. Totokan ini tak mungkin menyelamatkan jiwa putra Patih Kerajaan
itu. Namun paling tidak dapat mengurangi rasa sakit yang dideritanya.
“Aku…aku mendengar dia menyebut-nyebut Pulau…..” kata Raden Sabrang.
Pemandangannya mulai berkunang dan gelap.
“Pulau apa…? Pulau apa Raden? Katakan cepat!”
“Dia hanya menyebut Pulau. Tidak tahu….” Ucapan Raden Sabrang terputus.
Kepalanya terkulai. Nyawa lepas sudah.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Dia memandang ke arah matahari yang
akan segera tenggelam. “Pulau….? Pulau apa? Ada banyak pulau di pantai Utara. Sau
yang terbesar Pulau Rakata. Mungkin nenek itu membawa korbannya ke sana? Tapi
untuk apa…?
Selagi Pendekar 212 berpikir-pikir tiba-tiba dari arah Barat terdengar gemuruh
suara derap kaki kuda banyak sekali. Murid Eyang Sinto Gendeng cepat palingkan
kepala. Lalu dia melihat rombongan orang-orang itu. Di sebelah depan adalah Patih
Ganda Ariawisesa. Di sebelahnya Cemani Tanduwisoka. Di sebelah belakang
menyusul Brambang Santika bersama dua orang tokoh silat Istana. Lalu di sebelah
belakang lagi puluhan perajurit Kerajaan.
Zmelihat Wiro berdiri di tempat itu Patih Kerajaan mengangkat tangan
memberi tanda agar rombaongan berhenti. Dia hendak mengaakan sesuatau pada
Wiro namun berteriak keras ketika melihat mayat-mayat yang berkaparan, dua
diantaranya adalah tokoh silat Istana yang ditugaskan untuk mengawal putera dan
menantunya. Di sebelah sana malah tampak pula sosok tubuh Raden Sabrang terkapar
tak bergerak lagi.
“Gusti Allah! Apa yang terjadi?!” teiak Patih Ganda Araiwisesa lalu
melompat turun dari kuda.
Tubuh Patih Kerajaan ini bergetar keras menyaksikan kematian puteranya itu.
Dia duduk bersimpuh di tanah dan meletakkan kepala Raden Sabrang dia tas
pangkuannya sambil menangis terisak.
“Mana Wini menantuku?!” teriaknya Sang Patih kemudian.
“Perempuan berjuluk Sepuluh Kuku Iblis yang menculiknya,” menerangkan
Wiro.
BASTIAN TITO 22
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Ya Tuhan…” Patih Ganda Ariawisesa merasakan sekujur tubuhnya menjadi
lemas. Tubuhnya terhuyung-huyung dan hampir jatuh kalau tidak lekas dipegang oleh
Wiro.
“Wini… Ya Tuhan…. Tolong dia. Selamatkan dia…”
Brambang Santika saat itu telah pula turun dari kudanya. Sambil memegang
bahu sang Patih dia berkata “Ada pengkhianat di antara kita. Kalau tidak bagaimana
mungkin Sepuluh Kuku Iblis mengetahui menantu dan puteramu berada di tempat
ini!”
Sang Patih turunkan kedua tangannya. Sepasang matanya tampak merah.
“Kau benar sahabatku. Ada pengkhianat di antara kia. Tapi siapa?!”
“Kelak musuh dalam selimut itu akan kita ketahui juga. Dia tidak bakalan
lolos! Saya berjanji akan mengorek jantungnya dengan tangan saya sendiri!” kata
Brambang Santika pula sambil mengepalkan tinju kanan.
Wakil Kepala Pasukan Kerajaan yang masih tetap berada di atas punggung
kudanya berkata untuk pertama kali. “Paman Patih, kau harap di sini saja. Biar kami
yang meneruskan pengejaran terhadap Pagar Paregreg selagi dia masih belum jauh.”
“Tidak! Aku tetap akan mengejar si Pengkhianat itu!” jawab Patih Ganda
Ariawisesa lalu berpaling pada Wiro. “Pendekar 212. Harap kau suka membantu
mengurus jenazah puteraku dan yang lain-lainnya.”
Wiro garuk-garuk kepala lalu mengangguk.
BASTIAN TITO 23
TUJUH
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis duduk termenung di tepi kawah
Gunung Krakatau. Di atasnya tujuh buah batang kelapa kini tiga di antaranya telah
berisi mayat yang diawetkan. Yang pertama istri Giri Arsana. Yang kedua mayat anak
lelakinya yaitu anak yang keempat dan yang ketiga anak bungsunya yaitu Wini
Kantili.
Yang dipikirkan si nenek kini bukan meneruskan rencananya mencari turunan
Giri Arsana yang lain guna memancing orang yang paling dibencinya itu keluar dari
persembunyiannya. Pikiran dan ingatan serta kenangan si nenek kini justru pada
murid Eyang Sinto Gendeng Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Sulit! Gila dan tidak dapat dipercaya!” katanya brulang kali dalam hati.
“Bagaimana ada kenyataan bahwa wajah pemuda itu persisi sama dengan wajah Giri
Arsana sewaktu dia masih muda? Bukan cuma wajah, lagak dan cara dia bicarapun
begitu mirip. Kalau saja aku masih muda….” Sesaat wajah si nenek tampak menjadi
merah. Dia mengusap muka tengkoraknya berulang kali. Menyadari keadaan dirinya
kedua matanya tampak berkaca-kaca. “Gila!” dia memaki lagi dalam hati. “Tak
mungkin aku harus jatuh cinta pada pemuda itu! Usiaku paling tidak tiga kali usianya.
Lalu wajahku yang begini angker! Tubuhku yang kurus kering rongsokan! Tapi gila!
Mengapa aku terus teringat padanya! Ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya
membahayakan diriku! Bisa-bisa aku celaka di tangannya sebelum sempat menuntut
balas terhadap Giri Arsana! Dan lebih celaka lagi mengapa aku seperti tidak tega
menjatuhkan tangan keras terhadapnya. Apa lagi membunuhnya! Aku harus
menghindari pemuda itu. Lain halnya kalau Giri Arsana sudah mampus di tanganku.
Mungkin aku bisa mencari seseorang yang bisa merubah raut wajah dan keadaan
tubuhku. Lalu kucari pemuda itu. Akan kucintai dia seperti ketika aku mencintai Giri
Arsana di waktu muda! Gila! Tidak! Aku tidak akan menyamakan dirinya dengan
Giri Arsana. Pemuda ini pasti jauh lebih baik. Buktinya dia berusaha menyelamatkan
anak dan menantu Giri Arsana. Ah, mengapa aku dilahirkan terlalu cepat ke dunia
ini….”
Sepanjang malam itu si nenek duduk merenung di tepi kawah Gunung
Krakatau. Dia bahkan tertidur di situ sampai pagi. Ketika sinar sang surya
menghangati wajah dan tubuhnya baru dia terbangun. Begitu bangun ingatannya
kembali tertuju pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Perlahan-lahan si nenek melangkah
mendaki lereng kawah, naik ke atas. Sinar matahari pagi tepat jatuh di kedua matanya
sehingga pemandangannya silau terganggu. Namun ketika dia mencapai bagian atas
kawah, meskipun dalam keadaan silau kedua matanya masih dapat melihat ada
seseorang tegak di hadapan deretan tujuh batang kelapa berlubang. Si nenek lindungi
matanya dengan telapak tangan menghindari silaunya sinar matahari. Kini dia dapat
melihat siapa adanya orang itu dan dia jadi terkejut hingga berseru.
“Kau!”
Orang yang tegak di depan deretan batang kelapa itu tampak tenang-tenang
saja. Sesaat kemudian baru dia menjawab.
“Akhirnya kutemui juga kau! Tidak meleset dugaanku kalau kau memang
berada di Pulau Rakata ini. Yang aku cuma heran mengapa kau melakukan semua
kegilaan ini?!”
“Pendekar 212, apapun yang kulakukan adalah urusanku sendiri. Bukan
urusanmu ataupun urusan orang lain!”
BASTIAN TITO 24
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Murid Eyang Sinto Gendeng gelengkan kepala. “Jika pembunuhan terjadi atas
diri orang-orang tak berdosa, apalagi sampai menyangkut kematian menantu dan
putera Patih Kerajaan maka urusan menjadi urusan semua orang. Menjadi urusan
orang-orang rimba persilatan!”
“Kentut busuk!” teriak si nenek muka tengkorak. “Apakah kalian orang-orang
persilatan juga mau tahu apa yang dilakukan orang terhadap diriku? Derita sengsara
apa yang kualami selama hidupku!”
“Harap maafkan. Kalau kau menyebut hal itu aku mana tahu. Orang lain juga
tidak mau tahu menyangkut urusan pribadimu…”
Si nenek tersenyum. “Pasti…Memang selalu begitu akan kudengar ucapan
orang! Munafik! Semua munafik!”
“Nenek….Coba kau terangkan mengapa kau membunuh ke tiga orang ini, lalu
menculiknya. Mengawetkan tubuh mereka lalu memasukkannya ke dalam lobanglobang
batang kelapa ini!” bertanya Wiro.
“apa perdulimu! Justru kau yang harus menjawab pertanyaanku! Ada perlu
apa kau datang ke tempat ini? Menyelidik dan mengejarku?! Kau tahu Gunung
Krakatau adalah daerah kekuasaanku. Neraka bagi siapa saja yang berani datana
kemari. Menginjakkan kaki di sini berarti mati! Termasuk aku!”
Wiro menatap wajah tengkorak sesaat. Hal ini membuat dada si nenek jadi
berdebar. Kenangan lama di masa muda membuat dirinya seolah terbakar. Perlahanlahan
dia alihkan pandangan matanya ke tempat lain. Seperti dia tidak kuasa balas
menatap pandangan mata pemuda di hadapannya itu.
“Terus terang aku memang menyelidik dan mengejarmu. Penyelidikan dan
pengejaranku berakhir sampai di tepi kawah ini. Sekarang aku meminta padamu agar
menghentikan semua kegilaan ini! Jika kau punya dendam kesumat terhadap
seseorang, bukan begini caranya membalas sakit hati!”
“Hemm… ucapanmu terdengarnya bagus sekali. Kau punya hati kemanusiaan
yang tinggi! Tapi dengan caramu itu kau membela orang lain dan mencelakai diriku!”
“Aku tidak mencelakakan siapa-siapa. Aku akan segera meninggalkan tempat
ini tapi dengan membawa ketiga mayat ini. Kau harus menolongku menggotongnya
ke pantai dan memasukkannya ke dalam perahu.”
Si nenek melongo lalu tertawa mengekek. “Aku bukan kacungmu! Jika kau
inginkan ketiga mayat itu silahkan ambil! Tapi jangan lupa. Tinggalkan dulu
nyawamu di Pulau Rakata ini!”
“Ini pembicaraan dan urusan gila tidak akan habis-habisnya!” kata Wiro masih
bisa menyeringai. “Kau mau menolongku membawa mayat-mayat ini ke pantai?
Cukup dengan menyeret batang kelapanya saja”
“Aku ingin membunuhmu!” jawab si nenek. Kata-kata itu diucapkannya
dengan hati perih karena di lubuk hatinya dia tidak tega membunuh pemuda ini.
Wiro yang sadar bahwa perkelahian tak mungkin dihindari lagi segera
memasang kuda-kuda. Begitu si nenek menyerbu dia menghantam dengan pukulan
“segulung ombak menerpa karang”
Si nenek yang sudah tahu kehebatan lawannya tidak mau kalah. Dia
dorongkan kedua tangannya ke arah Wiro. Dua gulung angin melesat didahului oleh
suara keras. Sedang dari mulutnya nenek muka tengkorak itu keluarkan suara seperti
lolongan srigala yang menggidikkan.
Pendekar 212 tersentak kaget ketika melihat bagaimana pukulan saktinya
musnah dihantam dua gelombang angin serangan lawan. Pemuda ini cepat
menghantam dengan dua serangan sekaligus.Tangan kiri melepas pukulan “kunyuk
BASTIAN TITO 25
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
melempar buah” sedang tangan kanan menghantamkan pukulan “kilat menyambar
puncak gunung!”
Sepuluh Kuku Iblis berteriak keras. Tubuhnya lenyap dari pemandangan. Di
lain saat Wiro melihat ada lima larik sinar hitam membabat ke arahnya! Si nenek
rupanya sudah keluarkan ilmu kesaktian yang paling diandalkannya yaitu kuku-kuku
iblis!
Wiro cepat menyingkir. Tapi breeeettt! Baju putihnya masih sempat disambar
hingga robek besar di bagian dadanya. Selagi dia terkesiap kaget begitu rupa si nenek
kembali menyambar dengan lima kuku mautnya. Kali ini Wiro tidak berkesempatan
untuk menghindar. Sesaat lagi lima kuku itu akan merobek muka Pendekar 212 si
nenek tiba-tiba tarik pulang tangannya. Rasa cintanya yang aneh membuat dai tidak
tega meneruskan serangannya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng cepat melompat ke depan dan susupkan satu
pukulan keras ke dada si nenek. Sepuluh Kuku Iblis menjerit setinggi langit. Salah
satu tulang iganya remuk. Tubuhnya terpental ke tepi kawah. Darah kelihatan
mengucur di sela bibirnya. Tapi hebatnya perempuan tua ini bangkit berdiri dengan
cepat. Sepasang matanya seperti menyala.
“Bodoh! Terlalu bodoh aku menenmkan rasa suka terhadap pemuda ini! Aku
menyukainya tapi dia inginkan nyawaku! Lebih baik mati sama-sama!” kata Sepuluh
Kuku Iblis dalam hati. Dia ulurkan kedua tangannya. Sepuluh kuku ini tampak
mencuat mengerikan ke arah Wiro. Perlahan-lahan si nenek melangkah mendekati
Wiro. Mulutnya komati kamit membaca mantera. Tiba-tiba dia menghantam ke depan.
Sepuluh larik cahaya hitam menyambar. Wiro yang sudah menunggu membalas
serangan lawan dengan “pukulan sinar matahari.” Cahaya putih panas dan
menyilaukan berkiblat.
Si nenek terdengar elengking tinggi. Tubuhnya lenyap. Pukulan sinar
matahari menghantam pinggiran kawah hingga tanah kawah hancur terbang sampai
setinggi lima tombak. Wiro merasakan ada angin menyambar di belakangnya. Dia
cepa berpaling. Tapi terlambat. Satu dorongan angin yang sangat deras menghantam
dadanya. Tak ampun lagi tubuhnya erpental dan jatuh ke dalam kawah!
Si nenek berseru kaget. Menyesal menyaksikan bagaimana pukulan sakti yang
dilepaskannya tadi dengan mengandalkan seluruh tenaga dalamnya itu membuat
mental si pemuda begitu rupa. Dia melompat memburu sambil ulurkan tangan
kanannya. Berusaha menangkap pergelangan kaki kiri Wiro. Namun terlambat tak ada
gunanya. Tubuh murid Eyang Sinto Gendeng itu telah melayang jatuh menuju kawah
Gunung Krakatau yang mendidih!
Si nenek hanya bisa tertegun di tepi kawah. Tubuhnya lemas. Kedua matanya
dipejamkan. Perlahan-lahan dia terduduk di tepi kawah dengan sepasang mata
berkaca-kaca.
“Aku begitu menyukainya. Tapi dia keliwat memaksa. Menyesal aku
menurunkan tangan keras padanya. Lebih baik aku mati saja menysulnya!” Sriti
Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis tiba-tiba berdiri dan siap hendak melompat
menghambur kawah Gunung Krakatau. Namun seperti ada suara yang mengiang di
telinganya. “Tak ada gunanya mati bagimu! Kematianmu hanya akan memberi
peluang bagi orang yang sangat kau benci itu bisa kembali hidaup bebeas di dunia ini!
Jangan jadi orang tolol!”
“Keparat!” si nenek memaki. “Hampir aku tertipu oleh kebodohanku sendiri!”
Dia menatap ke arah kawah di kejauhan sana. Lalu perlahan-lahan diputarnya tubunya.
“Tiga nyawa sudah kukirim ke neraka. Menyusul kini nyawa ke empat, kelima dan
BASTIAN TITO 26
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ketujuh! Masakan keparat itu tidak akan keluar dari persembunyiannya! Manusia
busuk! Lalaki pengecut!”
BASTIAN TITO 27
DELAPAN
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Goa itu terletak di kaki timur Gunung Karang. Bagi orang yang tidak
tahu seluk beluk daerah sunyi dan jarang didatangi manusia itu pasti tidak akan
mengetahui kalau di situ terdapat sebuah goa. Apalagi goa ini terlindung oleh
sederetan pohon jati tua dan mulutnya tertutup oleh semak belukar lebat.
Di kawasan kaki gunung yang sunyi senyap itu tiba-tiba menggelegar suara
auman binatang buas. Seekor harimau raksasa berwarna kuning belang hitam,
mendekam di tanah. Tengkuknya merunduk, mulutnya terbuka lebar memperlihatkan
gigi dan taring-taringnya yang besar runcing mengerikan. Binatang ini siap melompati
sesosok tubuh yang tegak di hadapannya. Orang yang bakal menjadi mangsa raja
rimba itu adalah seorang nenek bertubuh kurus dan berkulit sangat hitam. Sekujur
daging tubuhnya hanya tinggal kulit pembalut tulang. Termasuk kulit mukanya
hingga wajahnya tidak beda seperti tengkorak hidup. Sepintas dia kelihatan seperti
Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis. Tapi jika diperhatikan banyak kelainannya.
Nenek satu yang ada di rimba belantara ini menghiasi kepalanya dengan lima buah
tusuk kundai dari perak. Kelima tusuk kundai itu tidak mungkin disisipkan pada
rambut putihnya yang sangat jarang. Karenanya benda-benda itu disusupkan oada
kulit kepalanya! Sepasang alisnya berwarna putih. Ongga mata dan kedua pipinya
sangat cekung hingga wajahnya jelas jauh lebih angker dari nenek yang bergelar
Sepuluh Kuku Iblis!
Menghadapi harimau raksasa yang siap menerkamnya si nenek tegak
tenang-tenang saja. Malah sambil menyeringai dia bolang balingkan tongkat kayu di
tangan kanannya. Gerakan tongkat ini diikuti dengan pandangan mata liar harimau
besar di hadapannya. Binatang ini menggereng lalu mengaum keras membuat rimba
belantara itu seperti bergetar.
Si nenek bukannya takut malah tertawa mengekeh.
“Raja rimab!” katanya berseru. “Apa untungnya menerkam diri tua bangka
ini! Tubuhku tak berdaging lagi! Tulangku keras dan a lot! Kau cari saja mangsa yang
lain!”
Raja hutan kembali mengaum seolah tahu apa ang diucapkan si nenek.
Kedua kaki depannya dicakar-cakarkan ke tanah. Mulutnya dibuka lebar-lebar.
“Kalau kau tidak mau mendengar ucapanku, kau bakal menyesal!” seru si
nenek lagi. Lalu tonglat yang dipegangnya dilemparkan ke arah binatang buas itu.
Aneh, begitu dilempar tongkat ini langsung memukul ke arah kepala harimau besar.
Pukulan yang cukup keras itu membuat sang harimau kesakitan dan mangaum marah.
Sesaat dia jadi bingung apakah akan terus menrkam si nenek atau menerkam tongkat.
Selagi dia kebingungan seperti itu tongkat kembali menghantam kepalanya berulang
kali. Pinggiran matanya sebelah kiri robek dan mengucurkan darah. Tak tahan
menderita sakit apalagi tidak mempu berbuat apa terhadap tongkat itu harimau besar
ini akhirnya melarikan diri masuk ke dalam rimba belantara.
Si nenek ulurkan tangannya.tongkat melayang masuk ke dalam
genggamannya. Sambil meneyeringai dia memandang berkeliling. Lama dia
memperhatikan deretan pohon-pohon jati yang berusia puluhan tahun di sekelilingnya.
“Goa itu seharusnya berada di sekitar sini. Aneh….kenapa tidak kelihatan
lagi? Tak mungkin lenyap begitu saja!” si nenek berkata dalam hati. Kesal mencaricari
dan apa yang dicari tidak bertemu akhirnya kembali perempuan tua ini
pergunakan tongkatnya untuk melakukan hal yang mustahil mampu diperbuat oleh
BASTIAN TITO 28
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
orang lain. Tongkat di tangannya perlahan-lahan berubah jadi lebih panjang. Dengan
benda ini dia menerabas kian kemari. Dalam sekejapan mata saja semak belukar di
sekitar itu habis rambas dibuatnya. Tak lama kemudian terdengar suaranya berrseru.
“Ooooooo…ooo! Itu dia! Ternyata memang tidak lenyap!” Si nenek
melompat kehadapan mulut goa yang kini kelihatan jelas setelah semak belukar yang
menutupinya dibabat habis dengan tongkatnya tadi.
Sesaat si nenek tegak di depan mulut goa. Kepalanya didongakkan sedikit
lalu dia menghirup dalam-dalam. Mulutnya menyeringai. Kemudian terdengar
tawanya mengekeh.
“Aku mencium baumu tua bangka jelek!” si nenek berteriak. “Dewa
Berpayung Hitam! Aku tahu kau ada di dalam!”
Suara teriakan si nenek bergema masuk ke dalam goa lalu muncul lagi di
mulut goa secara aneh dan keras disertai deru angin membuat si nenek tersentak.
“Kau tak mau menjawab! Jangan coba menipuku! Kalau ku sulut api ke
dalam goa kau bakal jadi tulang belulang gosong! Beginikah sambutanmu menerima
tamu yang datang dari jauh?!”
Dari dalam goa tiba-tiba terdengar gema suara tawa mengekeh.
“Tamu yang banyak mulut! Aku belum melihat tampangmu, belum tahu
siapa kamu! Tapi silahkan masuk! Sudah enam bulan lebih memang aku tidak pernah
melihat manusia!”
Nenek di mulut goa batuk-batuk lalu menerobos masuk ke dalam. Goa ini
ternyata cukup dalam dan berkelok-kelok. Tapi anehnya semakin ke dalam semakin
terang. Akhirnya dia sampai di sebuah mata air.
“Aneh, bagaimana bisa ada mata air dalam goa ini!” kata si nenek. Dia
menengadah ke atas. Di langit-langit goa ada sebuah celah kecil. Dari sinilah cahaya
matahari masuk menerangi bagian dalam goa!
Nenek itu turunkan kepalanya kembali. Pandangannya langsung tertuju ke
seberang mata air dimana kelihatan sebuah payung hitam lebar dan keadaan terbuka,
terletak di lantai batu.
“Konyol!” si nenek memaki. “Sudah diketahui orang kau berada di sini
masih saja coba sembunyi di balik payung! Kalau tidak lekas kau singkirkan payung
itu jangan menyesal kalau kurobek-robek!” Si nenek lalu angkat tangannya yang
memegang tongkat.
Dari balik payung terdengar suara tawa mengekeh. Payung hitam lebar itu
perlahan-lahan menciut kuncup.
BASTIAN TITO 29
SEMBILAN
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Di balik payung itu kini tampak duduk bersila seorang kakek berwajah
putih klimis, bermata cekung dan berpipi kempot. Dia mengenakan jubah putih dan di
bahu serta dadanya diselempangkan sehelai kain hitam, sehitam warna payungnya.
Orang ini memandang tersenyum pada si nenek. Tangannya bergerak menyandarkan
payung hitam yang baru ditutupnya ke dinding goa.
“Ternyata kau tidak kalah jelek dengan diriku!” kata si nenek lalu tertawa
mengekeh. Kakek di seberang mata air ikut-ikutan tertawa hingga goa itu jadi bising
dan bergetar oleh suara tertawa kakek nenek ini.
“Giri Arsana! Kau….”
“Tunggu dulu!” si kakek memotong ucapan si nenek. “Sebagai tuan rumah
aku mungkin tidak bisa bersikap ramah. Juah-jauh datang kemari kau tentu haus! Jika
ingin minum silahkan ambil sendiri! Maksudku minum dari telaga itu!”
“Sialan kau!” memaki si nenek. “Nyawamu terancam dan kau masih saja
bisa bicara ngacok!”
“Sinto Gendeng, ada apa kau datang jauh-jauh dari gunung gede ke goaku
ini?!” bertanya si kakek.
Ternyata si nenek adalah Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro
Sableng sedang si kakek bukan lain adalah Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam
yang selama enam bulan terakhir ini melenyapkan diri dari dunia persilatan tak
tahunya sembunyi di dalam goa di kaki Gunung Karang.
“Kau melakukan tindakan pengecut yang memalukan tokoh-tokoh silat
seangkatan! Apa kau sada melakukan hal itu!”
“Tentu saja aku sadar Sinto. Tapi tindakanku bukan pengecut!”
Sinti Gendeng tertawa membahak. “Kau bersembunyi di sini! Kau bilang
bukan pengecut! Kau tahu apa yang terjadi di luar sana? Istrimu telah dibunuh oleh
Sriti Gandini. Anak lelakimu yang keempat juga mati di tangannya. Belum lama
berselang puterimu yang kawin dengan putera Paih Kerajaan juga telah dibunuh!
Ketiga mayat mereka tidak ditemukan!”
Kakek berwajah klimis tundukkan kepala. Lalu terdengar dia menghela
nafas panjang. “Aku tahu kemana Sriti Gandini membawa mayat-mayat anak
istriku….”
“Kalau kau sudah tahu apa yang terjadi mengapa masih tega-teganya
sembunyi di goa ini?!” sentak Sinto Gendeng. “Apa kau ingin melihat seluruh
turunanmu dihabisi orang?!”
“Mungkin sudah saatnya aku keluar goa ini dan berhadapan dengan
perempuan sesat itu!”
“Enak saja mulutmu berkata begitu! Lelaki selalu menuduh perempuan
sesat! Aku tanya kau atau dia yang sesat?” bentak Sinto Gendeng sambil melototkan
mata.
“Yah…. Mungkin aku yang sesat….”
“Bukan mungkin. Tapi jelas-jelas kau memang sesat!”
“Ya….ya! Kami berdua sama sesatnya!”
“Nah itu lebih baik dan lebih adil!” ujar Sinto Gendeng pula. ‘Lebih cepat
kau keluar dari sini lebih baik! Lebih cepat kau membuat perhitungan dengan
perempuan itu akan lebih baik hingga kami orang-orang di dunia persilatan bisa
BASTIAN TITO 30
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
terhindar dari rasa memihak. Eh, kakek peot, apa yang menyebabkan kau sampai
kabur dan mendekam ke tempat ini?”
Giri Arsana tak mau menjawab.
“Kau merahasiakan sesuatu?”
“Tadinya memang. Tapi biarlah aku katakan padamu. Aku tengah
mengamalkan ilmu baru. Guna dapat menghadapi Sriti Gandini…”
“Ilmu apa? Sudah tua bangka dan hampir masuk liang kubur ini kau masih
hendak menciptakan ilmu baru? Luar biasa! Aku kagum padamu. Tapi apa tidak
terlambat?”
“Memang terlambat! Rasanya aku tidak siap. Ku tidak bakal mampu
menghadapi perempuan itu. Dia telah mengetahui kelemahan dan cara mengalahkan
diriku. Aku tangah berusaha mencari penangkalnya, tapi rasanya tidak bakalan
dapat….” Wajah si kakek sesaat tampak sedih.
“Giri….Giri….Itulah akibat kalau diwaktu muda terlalu mengumbar nafsu.
Perempuan mana yang tidak bakal jadi nekad dan ingin membunuhmu. Selagi muda
kau jadikan Sriti Gandini sebagai kekasihmu. Pasti kau sudah tidur-tidur dengan dia!”
Sinto Gendeng melihat wajah si kakek merah sesaat. Lalu dia meneruskan ucapannya.
“Setelah kau berpuas-puas dengan dirinya lalu kau cari kekasih lain. Kau tinggalkan
dia. Tapi kemudian tiba-tiba kau muncul lagi menemuinya. Merayunya dan berjanji
akan mengawininya. Hal itu terjadi berulang kali. Yang paling menyakitkan hatinya
adalah ketika akhirnya kau mengawini adiknya. Tapi selagi perempuan itu
menghamili anaknya yang pertama kau tinggal kabur. Syukur si anak mati ketika lahir
hingga dia tidak ikut menerima malu dan derita hidup karena kelakuan bapaknya yang
gila sepertimu! Ketika istrimu itu meninggal karena sakit, kau kembali menemui Sriti
Gandini. Perempuan itu karena cintanya padamu masih mau berbuat ketololan
menerimamu. Tapi kemudian lagi-lagi kau tingalkan dirinya. Kau pergi ke seberang
memboyong seorang perempuan lain yang kau jadikan istri hingga kau mendapatkan
lima orang anak. Dua anakmu sudah mati di tangan Sriti Gandini. Juga istrimu!
Sekarang kau rasakan sendiri pembalasan sakit hatinya.”
“Yang aku sayangkan…” kata Giri Arsana pula. “mengapa dia
melakukannya ketika kita sudah tua bangka begini rupa? Kenapa dia tidak
membunuhku saja sejak dulu-dulu!”
Sinto Gendeng mendengus. “Dendam kesumat tidak mengenal waktu Giri.
Aku yakin perempuan itu sengaja menunggu sampai mengetahui dimana letak
kelemahanmu…”
“Kau benar,” kata Giri Arsana. Dia tampak termenung. Lalu terdengar dia
berucap. “Di usia setua ini seharusnya hidupku dalam ketentraman. Tapi apa mau
dikata…”
“Apa mau dikata,” menyambung Sinto Gendeng, “Nasi sudah menjadi bubur.
Sekarang silahkan kau makan sendiri buburnya.” Sinto Gendeng lalu tertawa gelakgelak.
Dia bolang-balingkan tongkatnya beberapa kali. “Aku pergi duluan Giri. Aku
menyesal tidak dapat membantumu….. Hanya kau sendiri yang bisa menyelamatkan
tiga orang anakmu yang masih hidup dan memebersihkan dirimu dari lumpur
dendam.”
“Bagaimanapun kau telah melakukan sesuatu yang sangat berharga bagiku,
Sinto. Mungkin kita tidak akan berjmupa lagi….”
Sinto Gendeng sesaat tampak terharu. Sebelum dia lebih jauh tenggelam
dalan perasaannya cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Tak lama setelah si nenek
pergi, Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam berkelebat pula
meninggalkan goa.Dia tahu dia bakal menghadapi kematian cepat atau lambat. Dulu
BASTIAN TITO 31
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dia merasa takut memikirkan hal itu. Namun kini ada rasa tegar dalam dadanya untuk
menghadapi kenyataan yang bakal terjadi dengan tabah.
BASTIAN TITO 32
SEPULUH
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Patih Ganda Ariawisesa memimpin sendiri pengejaran terhadap gembonggembong
pemberontak yang dipimpin oleh Pager Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan.
Sebelumnya para pemberontak dengan sengaja telah menimbulkan kebakaran di
Kotaraja dengan maksud mengalihkan perhatian orang-orang Istana. Namun gelagat
yang tidak baik ini sudah tercium oleh Patih Ganda Ariawisesa. Sang Prabu bersama
permaisuri dan putera-puteri mereka yang masih kecil-kecil segera diungsikan ke satu
tempat rahasia. Di Istana terjadi pertempuran seru antaa pemberontak dengan mereka
yang setia pada Kerajaan. Pertempuran ini hanya berlangsung sebentar karena setelah
diberi aba-aba oleh Pagar Paregreg, pihak pemberontak segera kabur meniggalkan
Istana. Langsung saja Patih dan Wakil Kepala Pasukan serta Brambang Santika dan
puluhan perajurit melakukan pengejaran. Dalam pengejaran inilah Patih Kerajaan
mendapat pukulan berat atas kematian putera dan lenyapnya menantunya akibat ulah
jahat Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis.
Setelah mempercayakan jenazah pada Pendekar 212 Wiro Sableng, Patih
Kerajaan bersama rombongannya meneruskan melanjutkan pengejaran.
Pihak yang dikejar melarikan diri ke arah Barat menyusuri rimba belantara di
sebuah kaki bukit.
“Paman Patih,” berkata Cemani Tanduwisoka yaitu Wakil Kepala Pasukan
Kerajaan dengan suara keras-keras agar terdengar di antara derap kaki kuda yang
bergemuruh. “Di depan sana adalah salah satu daerah pemusatan pasukan
pemberontak. Jika kita terus mengejar jangan-jangan mereka sengaja menjebak kita!”
Patih Ganda Ariawisesa yang masih dipengaruhi hawa amarah akibat
kematian putera yang kehilangan menantunya tanpa terpikir menjawab dengan suara
lantang. “Percepat saja lari kudamu!” Sebentar lagi kita akan berhasil mengejar
mereka!”
Saat itu memang jarak antara pihak yang melarikan diri dengan yang mengejar
hanya terpisah sekitar dua puluh tombak. Di jalan yang agak mendaki Patih Kerajaan
mengharapkan akan dapat mengejar Pagar Paregreg dan kawan-kawannya. Namun
baru saja Patih Ganda Ariawisesa mengeluarkan ucapan tadi, tiba-tiba dua batang
pohon di kiri kanan jalan tumbang bergemuruh. Bersamaan dengan itu dari manamana
berlesatan berbagai macam senjata rahasia. Dalam keadaan seperti itu tanah di
depan pihak pengejar mendadak bergerak secara aneh. Rupanya tanah ini sebelumnya
ditutupi dengan papan-papan tebal yang bisa ditarik ke pinggir jalan dan kini
terbentang sebuah lobang besar yang bagian dalamnya ditancapi bambu-bambu
runcing sedang di dasarnya belasan ekor ular berbisa tampak bekeliaran kian kemari!
Terjadilah neraka bagi pihak pengejar.
Belasan perajurit menemui ajalnya. Ada yang tertimpa pohon yang sebelumna
telah ditebang dan sengaja ditumbangkan. Ada yang ditembus berbagai senjata
rahasia dan banyak pula yang menemui kematian tertancap bambu-bambu runcing
yang mencuat di dalam lobang! Pekik jerit kematian dan suara ringkikan kuda
bergabung jadi satu terdengar mengerikan.
Dua tokoh silat Istana yang ikut melakukan pengejaran berhasil
menyelamatkan diri dari hantaman tumbangan pohon, namun keduanya menderita
luka-luka cukup parah disambar beberapa senjata rahasia. Salah seorang dari mereka
berhasil melompat menghindar dari jatuh ke dalam lobang maut. Namun ketika dia
berusaha menolong kawannya yang telah lebih dulu terbanting jatuh ke dalam lobang,
BASTIAN TITO 33
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
satu tendangan menghantam punggungnya, membuat orang ini tak ampun lagi
bersama kawan yang hendak ditolongnya jatuh masuk ke dalam lobang. Yang satu
menemui ajal begitu perutnya ditembus batangan bambu runcing. Satunya lagi hanya
bisa menjerit-jerit diserang dan dipatuki ular berbisa.
Siapakah yang tadi telah menendang tokoh silat Istana? Tidak seorangpun
sempat memperhatikan.
Patih Ganda Ariawisesa dan Cemani Tanduwisoka dengan kepandaian
masing-masing berhasil menghindar dan menangkis serangan belasan senjata rahasia.
Mereka juga selamat dari tertimpa tumbangan dua buah pohon besar. Akan tetapi
tubuh mereka yang terpental dari atas kuda celakanya jatuh terlempar ke arah lobang
jebakan yang penuh dengan tancapan bambu-bambu runcing serta ada belasan ular
berbisanya!
Kuda tunggangan Cemani terjerumus jatuh masuk ke dalam lobang, meringkik
keras kelojotan ketika bambu-bambu runcing menembus tubuhnya. Naisb baik bagi
Waki Kepala Pasukan Kerajaan ini karena dia bisa jatuh berdiri tepat di atas tubuh
kuda yang tengah sekarat, tegak diantara tiga batang bambu.
Sebaliknya Patih Ganda Ariawisesa bernasib lebih malang. Dirinya terjerumus
ke dasar lobang, terjepit di antara batang bambu. Begitu kakinya menempel di tana
lobang, belasan ular berbisa segera menyerbu. Patih ini keluarkan kesaktiannya,
menghantam dengan pukulan-pukulan mengandung hawa panas. Beberapa ekor ular
mati berkaparan seperti kena panggang. Namun lebih banyak lagi yang datang,
membuat Sang Patih terpaksa memanjat bambu untuk selamatkan diri.
Selagi Ganda Ariawisesa berjuang selamatkan nyawanya dia melihat satu hal
yang tidak bisa dipercaya dan membuatnya marah luar biasa!
Saat itu Cemani Tanduwisoka tengah berusaha mencapai tepi lobang untuk
selamatkan diri. Ketika dilihatnya Brambang Santika berdiri di tepi lobang, dia segera
mengulurkan tangan minta bantuan. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh tidak
terduga. Brambang Santika yang merupakan tangan kanan kepercayaan Patih Ganda
Ariawisesa bukan menolong Wakil Kepala Pasukan Kerajaan itu melainkan malah
menendang dadanya dengan keras sehingga Cemani terpental. Dia berusaha bergayut
pada salah satu bambu namun pegangannya terlepas. Tak ampun lagi tubuhnya
terjerumus masuk ke dasar lobang. Saat itu juga belasan ular menyerangnya. Suara
jeritan Cemani Tanduwisoka sungguh menggidikkan!
“Dimas Brambang!” teriak Patih Ganda Ariawisesa melihat kejadian itu. Saat
itu dia sampai terlupa meneruskan memanjat bambu untuk selamatkan diri. “Apa
yang telah kau lakukan?!”
Tambah terkejut Sang Patih ketika dilihatnya pembantu yang sangat
dipercayanya itu tertawa bergelak. “Patih Kerajaan! Kau terlalu picik untuk melihat
kenyataan!”
“Apa maksudmu?!” bentak Sang Patih. Saat itu seekor ular menjalar di bambu
dimana dia berada, berusaha mematuknya. Ganda Ariawisesa memukul ke bawah.
Ular itu terpental jatuh dan mati tetapi bambu tempat dia bergantung patah. Secepat
kilat Ganda melompat ke bambu di sebelahnya.
“Sobatku Brambang Santika! Biar aku yang menjawab pertanyaan Patih tolo
itu!” satu suara terdengar. Diiringi beberapa tokoh silat Istana dan puluhan perajurit,
di tepi jalan muncul Pagar Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan pengkhianat yang jadi
pucuk pimpinan kaum pemberontak.
Tentu saja kejut Patih Ganda Ariawisesa bukan alang kepalang. Matanya
memandang melotot berganti-ganti ke arah Pagar Paregreg dan Brambang Santika.
BASTIAN TITO 34
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pagar Paregreg maju selangkah ke tepi lobang. “Patih Kerajaan, sahabatmu
Brambang Santika adalah orangku. Apa itu masih belum jelas bagimu?!”
“Manusia pengkhianat terkutuk!” teriak Patih Ganda Ariawisesa. “Berarti kau
juga yang bocorkan rahasia penyamaran anak dan menantuku! Manusia kotor!”
Sambil bergantung ke bambu dengan tangn kirinya, patih menghantam ke arah
Brambang Santika dengan tangan kanannya.
Wuuttt!
Selarik angin deras mengandung hawa panas menyambar ke arah Brambang
Santika. Orang ini cepat menunduk lalu balas lepaskan pukulan tangan kosong yang
tak kalah dahsyatnya. Dalam keadaan seperti itu tak ada kemungkinan bagi Ganda
Ariawisesa untuk mengelak. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah
menangkis pukulan lawan dengan pukulan pula.
Dalam hal tenaga dalam memang Sang Patih mempunyai kemampuan lebih
tinggi dari Brambang Santika. Namun dia kalah cepat dalam bergerak. Pukulan lawan
sampai lebih dulu hingga tubuhnya bergetar hebat sementara batang bambu
tempatnya bergantung berderak-derak lalu pecah! Tak ampun lagi Ganda Ariawisesa
jatuh terjerumus ke dalam lobang. Di bawahnya enam ekor ular sama-sama
meluruskan kepala menunggu jatuhnya tubuh Patih Kerajaan itu. Dengan susah payah
Ganda Ariawisesa berusaha menggapai tiang bambu terdekat. Namun saat itu Pagar
Paregreg tampak mengangkat mayat seorang perajurit Kerajaan, lalu sosok mayat itu
dilemparkannya ke arah Ganda Ariawisesa. Diberati timpaan tubuh seperti itu jelas
Patih Kerajaan tak akan mempu menyelamatkan diri. Tubuhnya akan terjatuh ke dasar
lobang, diambut oleh belasan ular berbisa!
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. Sebuah tongkat
menyusup ke bawah ketiak kanan Patih Ganda Ariawisesa. Sebelum dia tahu apa
yang terjadi, tubuhnya terangkat dengan keras ke atas. Lalu seperti sebuah benda
membal yang disentakkan ke atas tubuh Patih Kerajaan itu melayang ke udara, untuk
kemudian jatuh sekitar tiga tombak dari tepi lobang maut. Dalam keadaan seperti itu
Sang Patih masih mampu jatuh ke tanah dengan kedua kaki menjejak lebih dulu. Dia
cepat membalik, tepat pada saat semua orang yang ada di situ sama-sama dilanda rasa
kejut.
Di tepi lobang sebelah kiri, berdiri seorang nenek hitam tinggi. Mukanya
seangker setan dan kepalanya ada lima tusuk kundai perak. Tangan kanannya
memegang sebuah tongkat kayu buruk. Dengan benda inilah tadi dia mengait ketiak
Patih Kerajaan dan menyelamatkannya.
“Eyang Sinto Gendeng!” seru Patih Ganda Ariawisesa begitu dia mengenali si
nenek.
Yang dipanggil namanya tidak berpaling ataupun menjawab. Sinto Gendeng
tegak tak bergerak. Hanya kedua matanya yang menyeramkan memandang tak
berkesip ke arah Kepala Pasukan Kerajaan yang berkhianat, lalu pada Brambang
Santika. Ketika dia melihat pada beberapa tokoh silat sesat yang mau-mauan iktu
membantu pihak pemberontak, Sinto Gendeng unjukkan tampang angker dan berkata
“Dunia persilatan sedang kisruh. Kalian bukannya ambil bagian untuk mencari
perbaikan, malah kini masuk ke dalam kubangan lumpur, mengotori diri dengan jadi
kaki tangan pemberontak! Pangkat dan bayaran berapa yang dijanjikan untuk
kalian?!”
Jika saja yang bicara itu bukan Sinto Gendeng beberapa tokoh silat Istana
yang bergabung dengan Pagar Paregreg pasti sudah menyerbu dab menghantam
habis-habisan. Namun karena tahu siapa adanya nenek tinggi hitam ini, mereka
BASTIAN TITO 35
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
terpaksa menahan diri dan menunggu sampai Pagar Paregreg bergerak atau
memberikan perintah.
Lain halnya dengan Brambang Santika. Orang ini memang tahu betul
kehebatan Sinto Gendeng. Tapi jika dia bersama Pagar Paregreg dan beberapa tokoh
silat itu mengeroyok si nenek, mana mungkin mereka akan kalah. Maka diapun
keluarkan ucapan mengejek.
“Perempuan tua! Apakah yang kau ketahui tentang urusan Kerajaan. Jangan
campur adukkan soal Kerajaan dengan soal dunia persilatan. Kau sebaiknya bertapa
saja di Gunung Gede!”
Darah Sinto Gendeng seperti mendidih mendengar kata-kata Brambang
Santika itu. Namun si nenek masih bisa sunggingkan senyum malah tertawa
melengking.
“Bocah jelek! Kau tentu dijanjikan jabatan tinggi oleh para pengkhianat!
Selama ini kau banyak berhubungan dengan orang-orang persilatan. Namun ternyaa
kau tidak banyak mengenal kehidupan kami. Dalam rimba persilatan manusia ular
kepala dua sepertimu dihabisi lebih dulu!”
Habis berkata begitu Sinto Gendeng lemparkan tongkatnya ke arah Brambang
Santika. Benda ini kelihatan menjadi tambah panjang dan lentur hingga tak obahnya
seperti seutas tali yang siap menjirat leher Brambang. Melihat orang telah mulai
menyerang Pagar Paregreg cepat angkat tangannya. Kepala Pasukan Kerajaan yang
berkhianat itu tahu betul kehebatan Sinto Gendeng segera angkat tangan kanannya
memberi tanda.
Melihat isyarat ini tiga orang tokoh silat Istana yang ikut memberontak segera
menerjang masuk ke dalam kalangan pertempuran terus menyerbuke arah Sinto
Gendeng. Menghadapi keroyokan tiga musuh ini si nenek dengan memaki terpaksa
tarik pulang serangan tongkatnya yang hampir dapat menjirat batang leher Brambang
Santika. Dengan geram Sinto Gendeng sabatkan tongkatnya sedang tangan kiri
lepaskan satu pukulan sakti.
Dua tokoh silat yang mengeroyok berhasil menghindar dari hantaman pukulan
dan sambaran tongkat. Tapi tokoh silat ketiga berlaku ayal. Jeritannya menggidikkan
ketika tongkat Sinto Gendeng menggebuk batok kepalanya dengan keras hingga
tubuhnya terbanting ke tanah dan mati di situ juga!
Brambang Santika dan dua tokoh silat menjadi marah besar melihat kematian
kawan mereka. Sama-sama membentak kaetiganya kembali menggempur si nenek.
Diperlakukan seperti itu si nenek justru malah jadi nekad. Tangan kanannya
membabatkan tongkat di depan dada, menahan serangan lawan yang datang laksana
gelombang. Bersamaan dengan itu tangan kirinya mencabut tusuk kundai perk di
kepalanya lalu secepat kilat dilemparkannya ke arah lawan di ujung kanan yakni
tokoh silat Istana yang kedua. Demikian cepatnya lemparan tusuk kundai orang yang
diserang tidak mampu selamatkan diri. Jeritannya terdengar menggidikkan sewaktu
tusuk kundai perak itu menancap dan menmbus lehernya!
Mau tak mau Pagar Paregreg jadi tercekat juga melihat dua korban telah jatuh
di pihaknya. Brambang Santika dan tokoh silat yang masih hidup tidak akan mampu
menghadapi Sinto Gendeng, maka dia keluarkan suitan keras. Dari dalam rimba di
tepi jalan muncul tiga orang bertubuh tinggi besar bertampang garang dan
bersenjatakan golok. Ketiga orang ini adalah tiga pimpinan rampok berkepandaian
tinggi yang menguasai tiga wilayah di Jawa Barat. Mereka terkenal kejam dan
memiliki kepandaian tinggi. Tanpa banyak cerita lagi ketiga langsung menyerbu
masuk ke dalam kalangan pertempuran! Berarti kini lima orang yang mengeroyok si
nenek sakti.
BASTIAN TITO 36
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Melihat hal ini Patih Ganda Aiawisesa cepat menyambar sebilah golok yang
tergeletak di tanah lalu melompat ke samping Sinto Gendeng.
Si nenek menyeringai. “Patih Kerajaan mari kita berebut pahala mencabut
nyawa manusia-manusia pengkhianat ini!”
Dua orang itu menyambut serangan lima pengeroyok. Pertempuran
berlangsung dengan seru. Sementara itu Pagar Paregreg diam-diam mengeruk saku
pakaiannya mengeluarkan jarum-jarum halus beracun. Jika melesat di udara senjata
ini sulit dilihat. Hanya orang berkepandaian tinggi saja yang mampu merasakan
sambaran anginnya!
Dari tempatnya berdiri Pagar Paregreg sengaja mencari kesempatan untuk
dapat melepaskan senjata rahasianya secara licik yaitu ketika Sinto Gendeng dalam
kedudukan membelakangi dirinya.
“Awas, pukulan dinar matahari!” Brambang Santika berteriak keras ketika
dilihatnya tangan kiri Sinto Gendeng berubah menjadi putih perak menyilaukan.
Sianr putih panas luar biasa berkiblat.
Bummm!
Dua lelaki tinggi besar bersenjata golok menjerit. Tubuhnya mereka terguling
jauh dalam keadaan hangus. Brambang Santika dan lain-lainnya masih sempat
menyingkir walau jantung mereka terasa bergetar keras. Sinto Gendeng tertawa
mengekeh tanpa menyadari saat itu dua puluh jarum halus beracun yang dilepaskan
Pagar Paregreg melesat ke arah punggung dan kepalanya sebelah belakang!
“Sinto! Awas senjata rahasia di belakangmu!” Satu teriakan keras
memperingatkan menyusul berkelebatnya satu benda hitam lebar berputar dan
des…des…des… Puluhan jarum beracun amblas tertahan benda itu yang bukan lain
adalah sebuah payung hitam terkembang!
BASTIAN TITO 37
SEBELAS
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ah, Giri Arsana! Kau rupanya! Terima kasih kau telah menyelamatkan
jiwaku! Menolong kepalang tanggung, mengapa tidak terus menghajar si pembokong
licik itu?!” ujar Sinto Gendeng ketika melihat siapa yang muncul dan berdiri di
sebelahnya.
Patih Ganda Ariawisesa terkejut sekali ketika melihat siapa yang muncul di
tempat itu. Orang ini adalah Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam dan
bukan lain adalah besannya sendiri yaitu ayah mertua dari Raden Sabrang puteranya
yang terbunuh di tangan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis!
Dewa Berpayung Hitam tertawa mengekeh. “Langka pertemuan memang
tidak bisa diduga!” katanya. Lalu dia menyambung. “Sinto, urusanku sendiri belum
selesai. Kalau tidak memandang dirimu yang jelek tidak akan aku ikut-ikutan
mencemplungkan diri dalam pertempuran gila ini!”
Si nenek balas tertawa. “Dua orang kakek nenek jelek ditambah seorang Patih
Kerajaan menumpas manusia-manusia keji pemberontak! Apakah itu bukan berarti
mencari pahala? Paling tidak hitung-hitung bisa mengurangi dosa kita selama hidup di
dunia celaka ini!”
Dua kakek nenek itu lalu sama-sama tertawa terpingkal-pingkal sedang Patih
Ganda Ariawisesa hanya bisa tertegak seperti orang bengong.
Di lain pihak Pagar Paregreg telah saling memberi isyarat dengan Brambang
Santika. Kedua orang gembong pemberontak ini sudah sama maklum bahwa keadaan
kini sangat sulit bagi mereka. Menghadapi Sinto Gendeng dan Patih Kerajaan saja
mereka belum tentu menang sekalipun masih dibantu oleh beberapa orang
berkepandaian tinggi dan puluhan perajurit. Apalagi kini muncul pula kakek berjuluk
Dewa Berpayung Hitam itu. Sebelum mendapat celaka lebh baik mereka menyingkir.
Pagar Paregreg kembali lemparkan puluhan jarum putihnya ke arah tiga
lawannya. Di saat yang sama dia memberi perintah agar para pengikutnya menyerbu.
Lalu bersamaan dengan itu Brambang Santika lemparkan sebuah benda berbentuk
bola hitam ke udara. Begitu melayang jauh bola ini meletus keras dan asap hitam
yang sangat tebal menyungkupi daerah itu!
“Keparat licik!” teriak Sinto Gendeng.
“Kalian mau lari kemana?!” ikut berteriak Dewa Berpayung Hitam. Dia
menangkis dengan payung terkembangnya. Puluhan jarum putih lagi-lagi terbendung
oleh payung sakti itu. Begitu jarum menancap amblas di kain payung, si kakek pukul
pegangan payung, puluhan jarum yang menancap di payung serta merta melesat ke
depan, kearah Brambang Santika dan Pagar Paregreg yang saat itu sudah tidak
kelihatan lagi dari pemandangan karena terlindung oleh tebalnya asap hitam. Sempat
terdengar satu jeritan tanda salah seorang dari mereka terkena serangan balik jarumjarum
beracun itu. Namun sewaktu asap musnah, kedua orang itu telah lenyap. Para
pengikut mereka yang tahu kalau kedua pemimpin mereka sudah kabur, tanpa pikir
panjang lagi segera pula lari berserabutan!
“Maafkan, saya harus mengejar kedua orang itu!” kata Patih Ganda
Ariawisesa pada besannya. Lalu dia melompat ke punggung seekor kuda yang ada di
dekatnya. Sebelum pergi Sang Patih masih sempat memerintahkan pada sisa-sisa
perajurit Kerajaan yang ada di situ agar mengurus jenazah Cemani Tanduwisoka yang
ada dalam lobang.
BASTIAN TITO 38
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dewa Berpayung Hitam berpaling pada Sinto Gendeng. Si nenek yang
maklum arti pandangan ini gelengkan kepala lalu berkata. “Sekali ini aku tidak akan
ikut mengejar mereka. Kau dan besanmu itu selesaikan urusan sendiri!”
Giri Arsana tampak cemberut. Namun dia tidak bisa berbuat apa. Payung
hitamnya dikuncupkan. Beberapa langkah di samping kirinya ada seekor kuda besar
bekas tunggangan Cemani Tanduwisoka. Sebelum kakek ini berlalu Sinto Gendeng
berkata. “Ada satu hal yang ingin aku beritahupadamu Giri. Wajahmu di waktu muda
mirip sekali dengan muridku Wiro Sableng.”
Si kakek terdiam sesaat. “Syukur kalau begitu. Berarti tampang jelek ini bukan
cuma satu di dunia. Kalau saja aku dapat bertemu dengan muridmu itu tentu aku
merasa senang melihat keanehan ini!”
“Kau pasti akan bertemu dengan dia,” jawab Sinto Gendeng pula.
Dewa Berpayung Hitam tarik tali kekang kudanya. Sesaa kemudian dia telah
lenyap dari tempat itu.
Satu hari satu malam melakukan pengejaran, dari jejak-jejak yang dilihat
Ganda Ariawisesa kedua orang buronannya melarikan diri ke tepi pantai. Patih
Kerajaan ini memang mempunyai keahlian dalam menyimak jejak. Tak beberapa jauh
di sebelah belakang Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam semula hendak
memutuskan tidak mengikuti apa yang dilakukan Patih itu. Namun ketika dilihatnya
pengejaran itu berlangsung ke arah pantai dia seperti mendapat dorongan untuk
bergabung saja dengan Ganda Ariawisesa. Dalam hati dia berkata “Sulit mencari tahu
dimana perempuan itu berada kalau dia lagi berkeliaran. Tapi yang pasti suatu saat dia
akan berada di Krakatau. Aku ingat. Sepuluh tahun silam dia pernah mengumbar
sumpah akan menjadikan Krakatau neraka bagiku dan anak istri. Lalu dia lenyap
begitu saja. Kini tahu-tahu muncul melakukan pembalasan sakit hati secara nekad!”
Begitulah kakek sakti itu lalu bergabung bersama Patih Kerajaan melakukan
pengejaran terhadap Pagar Paregreg dan Brambang Santika. Keduanya akhirnya
mencapai tepi pantai, tak berapa jauh dari sebuah desa nelayan. Di situ ditemui dua
ekor kuda yang berkeliaran tanpa pemilik.
“Pasti itu kuda-kuda bekas tunggangan keua manusia keparat itu!” kata Patih
Ganda Ariawisesa pula. Lalu dia menunjuk ke tepi pasir dimana jelas terlihat bekasbekas
kaki manusia. Di tepi pantai ditemui dua buah biduk dan sebuah perahu. Dua
biduk dan perahu ini berada dalam keadaan hancur bernatakan.
“Mereka sengaja merusak biduk dan perahu ini agar kita tidak dapat
mengejar!” kata Giri Arsana pula dengan geram. “Tak ada jalan lain, kita harus
memperbaiki perahu ini. Paling tidak akan makan waktu setengah hari.”
Kedua orang itu lalu memperbaiki perahu yang rusak. Menjelang rembang
petang mereka berhasil melakukannya lalu turun ke laut.
“Tujuan ki Pulau Rakata. Kedua orang itu pasti kabur ke sana…..” berkata
Patih Kerajaan.
“Saya juga sudah menduga mereka pasti kabur ke sana. Kebetulan! Saya juga
punya urusan yang harus diselesaikan di Gunung Krakatau sebelum tempat itu
menjadi neraka. Atau ah….. Mungkin tempat itu memang sudah jadi neraka bagi
turunannku. Termasuk diriku sendiri….”
“Apa maksudmu besan yang terhormat?” tanya Patih Ganda Ariawisesa.
“Kawah Gunung Krakatau tempat mendekamnya Sriti Gandini alias Sepuluh
Kuku Iblis. Nenek yang telah membunuh anak istriku dan menculik mayat-mayat
mereka!”
BASTIAN TITO 39
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Kalau begitu dua urusan besar bisa diselesaikan sekaligus! Tapi ingat, nenek
keparat itu adalah bagianku!”
“Tidak bisa! Dia membunuh istri dan dua anakku! Dia harus mampus di
tanganku!” jawab Dewa Berpayung Hitam.
“Si keparat itu membunuh puteraku dan juga menantuku!” menukas Patih
Kerajaan. “Dia harus mati di tanganku!”
Kedua orang itu saling melotot dan hampir bertengkar. Akhirnya Giri Arsana
mengalah.”Kita belum sampai ke sana, mengapa berlaku tolol saling ngotot. Mari kita
berangkat sekarang juga!”
Begitulah keduanya mulai melayari Selata Sunda. Kalau Sang Patih
pergunakan pendayung untuk mengayuh perahu maka si kakek sambil tertawa-tawa
duduk di bagian belakang perahu dan putar payung hitamnya. Gelombang angin yang
ditimbulkan oleh putaran payung membuat perahu terdorong ke depan dan melesat
membelah air laut hingga dalam waktu cepat kedua orang itu telah melihat Pulau
Rakata dengan Gunung Krakataunya.
BASTIAN TITO 40
DUA BELAS
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Perkara mati memang bukan kuasanya manusia. Hal ini dialami oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti telah dituturkan sebelumnya dalam perkelahian
dengan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis, satu hantaman yang berkekuatan
tenaga dalam penuh yang dilancarkan si nenek telah membuat murid Eyang Sinto
Gendeng itu terpental lalu melayang jatuh ke bawah Gunung Krakatau.
Wiro sendiri hanya sempat menyadari keadaan dirinya sekejapan saja. Dia tak
bisa menolong dirinya dari kematian dan juga tidak ada manusia lain yang mampu
menyelamatkannya. Dalam keadaan seperti itu dia keluarkan satu jeritan keras yang
mengumandang di seantero kawah. Lalu pemuda ini jatuh pingsan dan tubuhnya
melayang cepat menuju kawah!
Hanya beberapa saat lagi tubuh Wiro akan amblas masuk ke dalam kawah
yang mendidih, tiba-tiba dari lamping kawah sebelah timur, dari baliksebuah
gundukan batu melesat keluar sebuah benda halus bewarna putih berkilauan. Benda
yang melesat ternyata adalah untaian panjang benang aneh yang dengan cepat
menggulung kedua kaki Wiro, terus ke pinggang dan baru berhenti melibat di batas
dada. Sesaar tubuh Pendekar 212 masih ampak melesat deras ke bawah. Tinggal tiga
jengkal lagi dari permukaan kawah tiba-tiba benang aneh itu menyentak keras. Tubuh
Wiro terbetot ke samping lalu melayang berputar beberapa kali sampai daya berat
jatuh ke bawah diredam lenyap. Perlahan-lahan, seperti sebuah layang-layang yang
siap diturunkan dari udara, tubuh Wiro tertarik ke arah lamping kawah, lenyap di
balik gundukan batu.
Sang pendekar siuman dari pingsannya beberapa saat kemudian ketika ada
suara tawa mengekeh menusuk telinganya. Perlahan-lahan dibukanya kedua matanya.
Apa yang dilihatnya sungguh aneh. Yang tampak di depannya adalah seorang gadis
berwajah cantik berambut panjang sebahu. Gadis ini mengenakan baju hitam
membuat wajahnya yang putih lebih menonjol kejelitaannya. Si gadis menatapnya
dan sama sekali tidak kelihatan tertawa. Kalaupun dia memang tertawa tak mungkin
suara tawanya seperti orang tua. Mana ada orang tertawa mengekeh tanpa kelihatan
mulutnya terbuka. Lalu siapa yang barusan didengarnya tertawa bergelak itu?
Saat itu didapatinya dirinya duduk tersandar ke dinding batu. Jauh di
bawahnya kelihatan kawah Gunung Krakatau. Wiro kembali memandang paras cantik
itu sambil membayangi apa yang telah dialaminya. Dia berkelahi dengan Sepuluh
Kuku Iblis. Tubuhnya dihantam mental dan melayang jatuh ke dalam kawah. Dia
berteriak lalu tak ingat apa-apa lagi. Kenapa kini dia berada di tempat itu?
“Saudari, kau siapa?” Wiro bertanya. Yang ditanya tidak menjawab.
Berkedippun tidak. “Eh, apakah aku ini berada di alam kematian atau kalau aku masih
hidup apakah kau bidadarinya yang telah menyelamatkan diriku?” Wiro perhatikan
dirinya sendiri. Keadaan tubuhnya utuh tak kurang suatu apa. Hanya pakaiannya saja
yang tampak kotor dan robek serta ada noda darah di bagian dada. Lalu terasa
dadanya mendenyut sakit. Bekas hantaman si nenek berjuluk Sepuluh Kuku Iblis
rupanya telah membuat dadanya sakit di sebelah dalam dan sewaktu pingsan rupanya
dia sempat mengeluarkan darah dari mulut. Wiro memandang lagi ke depan. Jelas
dilihatnya kawah Gunung Krakatau. Si gadis di dekatnya tak kunjung membuka
mulut. Sang pendekar angkat tangan kirinya, mulai menggaruk kepalanya. Saat itulah
didengarnya ada suara orang batuk-batuk. Wiro cepat berpaling ke kiri. Astaga!
BASTIAN TITO 41
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Hanya lima langkah di samping kirinya, di atas sebuah batu duduk seorang
kakek berpakaian putih. Rambutnya yang putih terliaht jarang. Kumis dan janggutnya
juga berwarna putih. Matanya lebar tapi cekung. Wajahnya hanya berupa kulit tipis
pemutup tengkorak dan berwarna sangat pucat.
Begitu melihat dan mengenali orang tua ini Pendekar 212 Wiro Sableng
segera bangkit lalu jatuhkan diri berlutut.
“Kakek Tua Gila! Jadi kau rupanya yang menolong saya. Saya sangat
berterima kasih padamu. Hutnag jiwa yang dulu-dulu belum sempat saya bayar.
Kini…..”
Si kakek tertawa gelak-gelak. “Berterima kasih pada Tuhan. Dia yang
menyelamatkan dirimu Wiro. Kulihat kau ada urusan sulit sampai tersesat ke kawah
Gunung Krakatau ini. Apakah kau sengaja bunuh diri hendak emncebur masuk ke
dalam kawah?”
“Siapa yang mau bunuh diri kek?!! Tukas Wiro. “Seorang menghantam saya
hingga terpental dan melayang jatuh ke dalam kawah. Heh, pasti kakek menolong
saya dengan benang kayangan!”
Kembali kakek itu tertawa gelak-gelak. Siapakah sebenarnya orang ini?
Namanya Tua Gila. Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Iblis Gila
Pencabut Jiwa. Ada juga yang memberinya gelar Pendekar Gila Patah Hati. Puluhan
tahun lau, dalam usia muda dia pernah jatuh cinta pada Sinto Gendeng. Ketika
cintanya ditolak dia menjadi sangat terpukul dan patah hati. Demikian paahnya
keadaannya hingga dia seperti kurang waras dadn malang melintang di rimba
persilatan membunuh siapa saja seenak perutnya. Di usia tua, sifat kejamnya berubah.
Malah dia pernah memperlakukan Wiro sebagai murid dan mengajarkan ilmu silat
langka kepada pemuda itu.
“Kek, saya tidak menyangka bakal bertemu denganmu di sini. Sapa yang
tengah kakek lakukan di tempat ini? Dan siapa gadis ini…?”
“Ah pertanyaanmu banyak amat. Biar kujawab satu persatu dulu,”jawab Tua
Gila. “Pertama aku berada si sini ingin mengasingkan diri sambil menyempurnakan
ilmu-ilmu yang kumiliki. Kedua tentang gadis ini, dia bernama Minaratih. Dia adalah
calon muridu. Aku tengah mengujinya di tempat ini apakah dia cukup pantas untuk
kujadikan murid. Bagaimana penglihatanmu, apakah kau naksir padanya?”
Wiro garuk-garuk kepala sebaliknya si gadis kelihatan merah rona wajahnya.
Tua Gila lagi-lagi tertawa mengekeh.
“Urusan taksir menaksir ini biar kita bicarakan nanti,” jawab Wiro sambil
garuk kepla dan membuat Minaratih semakin merah wajahnya. “Saya harus
meninggalkan tempat ini dengan segera. Ada urusan besar di atas kawan sana.
Seorang nenek gila melakukan pembunuhan atas istri dan anak-anak kakek sakti
berjuluk Dewa Berpayung Hitam. Korban-korban yang sudah dibunuh dijejerkannya
mayatnya dalam lobang pohon kelapa. Diberi cairan pengawet!”
Tua Gila usap janggutnya. “Aku memang sudah lama mendengar. Urusan di
kala muda itu rupanya delum jua terselesaikan. Kalau memang begitu kau pergilah
cepat ke atas sana. Aku dan muridku biar tetap di sini. Aku sudah tidak begitu senang
mengurusi masalah dunia. Apalagi masalah orang-orang tolol seperti urusan Sepuluh
Kuku Iblis dengan Dewa Berpayung Hitam itu!”
Wiro menjura da;lam-dalam lalu menyalami Tua Gila dan mencium tangan
orang tua itu. Pada Minaratih dia tersenyum mengangguk seraya berkata “Saya
senang bertemu denganmu. Saya berharap bisa bertemu lagi….”
Si gadis tak menjawab. Tapi ketika Wiro melangkah pergi dia bangkit dari
duduknya dan mengikuti kepergian si pemuda memnajat tebing kawah dengan
BASTIAN TITO 42
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
pandangan matanya sampai akhirnya lenyap di kejauhan. Di belakangnya terdengar
suara Tua Gila batuk-batuk
“Rupanya kau menaksir juga pada pemuda itu Mina…”
Si gadis berpaling pada Tua Gila.
“Tapi hati-hati nak,” kata si kakek pula. “Dia emmang orang baik cuma
sering-sering dia bertindak dan beruacp konyol seperti orang ini!” Lalu Tua Gila
menggaris keningnya dengan telunjuk kiri. Si gadis hanya bisa tersenyum.
BASTIAN TITO 43
TIGA BELAS
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis duduk di atas batang kelapa berisi
mayat Wini Kantili. Kedua matanya memandang jauh ke aah pantai. Saat itu dia
masih saja mengingat-ingat pemuda yang dipukulnya jatuh masuk ke dalam kawah.
Hatinya tiada henti dirundung penyesalan. “Mengapa aku harus memukulnya begitu
keras. Ah…..Kalau dia masih hidup mungkin dirinya bisa mwmbuat aku menjadi
orang baik. Tidak nekad tidak gila membunuhi orang….” Ingatan si nenek lalu tertuju
pada Giri Arsana, manusia yang paling dibencinya.
Selagi dia duduk termemung-menung dan mengingat-ingat seperti itu, tibatiba
di pantai dilihatnya mendarat sebuah perahu. Fua orang penumpang turun ke
pasir.
“Hemmmm….” Sriti Gandini bangkit dari duduknya. Kedua matanya
membesar. “Ada lagi dua orang yang minta mampus. Berani menginjakkan kaki di
Pulau Rakata daerah kekuasaanku!”
Si nenek membungkuk mangambil sekaligus diu buah pecahan batu gunung.
Sekali melempar kedua batu itu melesat ke arah pantai. Jarak antara tempat si nenek
berada dengan pantai jauh sekali. Namun lemparan batu itu melesat membelah udara
dan meluncur ke arah dua orang yang barusan turun dari perahu. Dari hal ini saja
sudah dapat dilihat bagaimana ketinggian ilmu Sriti Gnadini.
Di tepi pantai dua orang yang barusan mendarat adalah Pagar Paregreg, bekas
Kepala Pasukan Kerajaan yang melarika diri bersama Brambang Santika. Pagar yang
melihat datanya dua buah benda melayang ke arah mereka segera berteriak memberi
tahu.
“Awas! Ada benda menghantam ke arah kita!” Pagar Paregreg jatuhkan diri ke
pasir sedang Brambang Santika yang kurang cepat bergerak, ketika melompat
kesamping bahu kirinya masih sempat disambar benda yang melayang dari puncak
kawah itu. Bajunya robek. Daging bahunya yang terserempet sakit bukan main karena
sebelumnya di bagian itu pula salah satu jarum putih milik Pagar Paregreg yang
dibuat mental oleh payung Giri Arsana sempat membalik menancap di bahunya.
Pagar Paregreg waktu itu cepat mencabut jarum tersebut dan memberikan obat
penangkal racun pada kawannya tiu. Kalau tidak nyawa Brambang Santika mungkin
tak bisa diselamatkan dari kematian akibat racun jarum yang jahat.
Sambil meringis kasakitan Brambang Santika memandang ke arah puncak
kawah Gunung Krakatau. “Aku melihat ada seseorang di puncak sana! Agaknya kita
datang ke tempat yang salah, Pagar…..”
“Sebelumnya kau sudah bilang sebaiknya kita tidak melarikan diri ke pulau
celaka ini! Padahal banyak pulau-pulau lain di Selat yang lebih dekat…”
“Sekarang sudah terlambat!” kata Brambang Santika. “Tak ada gunanya
menggerutu.”
“Lihat! Ada satu orang lagi muncul di atas sana!” kat Brambang Santika.
Paga Paregreg memandang ke arah puncak kawah. Betul, memang saat itu
dilihatnya ada satu orang lagi tiba-tiba muncul di tebing puncak kawah Gunung
Krakatau.
“Bagaimana kalau kita kembali naik ke perahu, cari pulau lain yang ebih
aman…” mengusulkan Brambang Santika.
BASTIAN TITO 44
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Aku setuju!” jawab Pagar Paregreg. “Aku punya firasat tidak enak. Aku ingat
sesuatu. Bukankah Sepuluh Kuku Iblis yang punya dendam kesumat terhadap Dewa
Berpayung Hitam kabarnya telah menjadikan pulau ini sebagai markasnya?”
Paras Brambang Santika menjadi berubah. “Astaga. Berarti kita mencari
bencana baru pergi ke tempat ini! Mari cepat…. Tak lama lagi matahari akan
tenggelam. Mungkin gelapnya malam bisa membantu kita melarikan diri!”
Kedua orang itu segera memutar tubuh dan lari ke arah tempat mereka
meninggalkan perahu. Naumn terlambat. Dari atas puncak kawah salah satu dari dua
orang di atas sana tiba-tiba lari ke bawah. Begitu cepatnya dia berlari hingga debu dan
pasir berterbangan di belakangnya. Dan dalam waktu beberapa kejapan saja orang ini
sudah berada di tepi pasir, mencegat tepat di depan perahu yang hendak dicapai Pagar
Paregreg dan Brambang Santika.
Orang ini adalah seorang nenek berwajah angker dan tegak memandang
bengis sambil bertolak pinggang.
“Kau benar Pagar,” bisik Brambang. “Orang di depan kita ini adalah Sepuluh
Kuku Iblis!”
Sebelum dituturkan apa yang segera akan terjadi di tempat itu mari kita
ketahui dulu apa sebelumnya yang terjadi di peuncak kawah.
Sehabis melemparkan dua buah pecahan batu Sritit Gandini sebenarnya segera
hendak lari menuruni puncak kawah guna mendatangi dua orang yang barusan
mendarat di pantai. Namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba sebuah kepala, di
susul satu sosok tubuh muncul dari balik tebing kawah. Lalu pemuda itu tahu-tahu
sudah tegak di hadapannya.
“Kau!” teriak si nenek muka tengkorak begitu mengenali siapa adanya
pemuda di depannya yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Hatinya
gembira sekali melihat kemunculan pemuda yang sejak satu hari belakangan ini
selalu diingat-ingatnya. Namun rasa kejut dan herannya saat itu mengalahi rasa
gembira.
“Kau…. Bukankah kau sudah mati jatuh ke dalam kawah mendidih di bawah
sana?!” tanya si nenek.
Wiro menyeringai.
“Urusan mati, urusan nyawa manusia adalah kekuasaannya Tuhan Yang Maha
Kuasa…”
“Kentut busuk!” teriak si nenek. “Aku bisa membikin mati siapa saja setiap
saat!”
“Kaau begitu Tuhanmu dan Tuhanku berbeda. Atau kau merasa sudah jadi
Tuhan?” ujar Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Si nenek sesaat terdiam. “Jangan-jangan kau bukan pemuda itu sungguhan.
Tapi setannya yang keluar dari dalam kawah!” Lalu Sepuluh Kuku Iblis melangkah
mengelilingi Wiro, memperhatikannya dengan seksama pemuda itu mulai dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki.
“Naah apa kau lihat kedua kakiku tidak menginjak tanah atau punggungku ada
lobang?” ujar Wiro.
Si nenek hentikan langkahnya. “Tunggu dulu, mungkin kau memang bukan
setan atau hantu. Tapi…. Biar aku periksa sekali lagi!”
“Kau boleh periksa asal jangan suruh aku tanggalkan pakaian bertelanjang!”
ujar Wiro mulai konyol padahal yang dihadapinya adalah seorang manusia yang
setiap saat bisa membunuh manusia lainnya semudah dia membalikkan telapak tangan.
BASTIAN TITO 45
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sepuluh Kuku Iblis melangkah kembali memutari tubuh Wiro. Ketika dia
sampai di belakang pemuda itu, tiba-tiba secepat kilat dua jari tangan kanannya
melesat ke depan.
Dess!
Wiro tersentak kaget dan cepat membalik sambil memukul. Tapoi tangannya
tak bisa digerakkan. Sekujur tubuhnya kaku!
“Keparat licik!” teriak Wiro begitu menyadari bahwa dirinya kena tertipu dan
kini berada dalam keadaan tertotok.
Sepuluh Kuku Iblis tertawa gelak-gelak.
“Anak muda! Kau masih harus banyak belajar tentang kelicikan manusia dan
dunia ini! Untung saja aku ada rasa suka terhadapmu! Kalau tidak sudah ku bunuh
kau sejak tadi!”
“Rasa suka padaku? Sialan!” maki Wiro dalam hati.
“Tua bangka genit! Sudah bau tanah masih mau bicara bersuka-suka! Pantas
Dewa Berpayung Hitam tidak sudi kawin denganmu!”
Plaaakkk!
Si nenek tampar muka Pendekar 212 hingga salah satu pinggiran bibir pemuda
ini luka dan mengeluarkan darah.
“Ah… Maafkan aku….” Kata si nenek lalu cepat-cepat menyeka darah di
mulut Wiro. Dengan belakang telapak tangannya dia mengusap luka di mulut. Aneh.
Begitu diusap luka itu segera sembuh dan tidak berbekas sama sekali.
“Pendekar 212, kau tunggulah di sini. Aku akan turun ke pantai mengurusi
dua ekor monyet di bawah sana. Seperti aku bilang, Krakatau adalah kawasan
kekuasaanku. Siapa saja yang berani menginjakkan kaki di sini pasti kubunuh!”
Wiro hendak mengatakan bahwa sebenarnya sudah ada dua orang lain
mendekam di tebing kawah yaitu Tua Gila dan Minaratih. Namun pemuda ini
memutuskan untuk diam saja. Si nenek berkelebat lalu lari menyususri lereng kawah
menuju ke pantai.
Dalam waktu singkat si nenek sudah sampai di pantai dan langsung
menghadang Pagar Paregreg serta Brambang Santika di depan perahu mereka. Dua
bola mata si neenk berputar angker.
“Hemmm… Yang satu ini kalau aku tidak salah adalah Kepala Pasukan
Kerajaan. Namamu Pagar Paregeg. Betul hah!”
“Kau betul nek, aku memang Pagar Paregreg.”
“Tampangmu sembrawuran! Pakaianmu lecak! Ada apa Kepala Pasukan
Kerajaan sampai menginjakkan kaki di Pulau Rakata ini?!”
‘Kami ada urusan di tempat lain. Karena cuaca di laut buruk terpaksa
mendarat dulu di sini…” jawab Pagar Paregreg.
S nenek tertawa. “Aku tahu kau berdusta! Tapi tidak jadi apa! Berdusta
sebelum mati masih bisa dimaafkan. Dan kau!” Si nenek menunjuk tepat-tepat ke
hidung Brambang Santika. “Aku lupa namamu! Kau manusianya yang bekerja di
Istana, punya banyak hubungan dengan orang-orang persilatan!”
“Nama saya Brambang Santika, nek. Nenek sendiri bukankah orang sakti yang
berjuluk Sepuluh Kuku Iblis itu? Kami gembira dengan pertemuan yang tidak diduga
ini. Kami tidak ingin mengganggu lebih lama. Izinkan kami minta diri…”
“Minta diri…?” Sepuluh Kuku Iblis tertawa mengekeh.
“Ada semacam kutukan di pulau ini! Siapa yang berani menginjakkan kakinya
di sini berarti sudah siap menerima kematian!”
Berubahlah paras Pagar Paregreg dan Brambang Santika.
BASTIAN TITO 46
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Berberapa hari lalu ada dua penyusup muncul di sini. Keduanya tokoh silat
bernama Tubagus Singagarang dan Supit Jagal…”
“Kami kebetulan kenal mereka,” kata Brambang Santika.
“Ah, bagus sekali! Apakah kalian berdua tahu kalau orang-orang itu memang
sudah lama menunggu-nunggu kalian?”
“Menunggu kami? Untuk keperluan apa?” tanya Pagar Paregreg pula.
“Unutk duajak bergabung jadi mayat!” jawab si nenek lalu tertawa aneh
seperti lolongan srigala.
Pagar Paregreg memberi isyarat pada kawannya. “Nek, kami tidak punya
waktu lama. Kami minta diri sekarang juga!” katanya. Lalu Pagar Paregreg dan
Brambang Santika cepat berbalik hendak tinggalkan tempat itu. Namun si nenek
membentak.
“Neraka Krakatau adalah bagian kalian berdua!” Lalu tanpa banyak cerita lagi
Sepuluh Kuku Iblis segera menyerang dua orang di hadapannya.
Melarikan diri tidak mungkin. Tak ada jalan lain. Pagar Paregreg dan
Brambang Santika terpaksa menyabut serangan si nenek. Perkelaihan seru segera
pecah di tempat itu.
Seperti diketahui baik Pagar Paregreg maupun Brambang Santika adalah
orang-orang berkepandaian tinggi. Namun mereka menyadari bahwa si nenek bukan
seorang yang mudah untuk dikalahkan sekalipun dikeroyok dua. Karenanya begitu
memasuki jurus pertama kedua orang itu langsung menghanam dengan pukulanpukulan
sakti, menyerang dengan jurus-jurus terhebat ilmu silat yang mereka miliki.
Lima jurus berkelahi si nenek tampak tenang-tenang saja. Malah berkelahi
sambil tertawa-tawa walaupun saat itu dirinya agak terdesak.
Meskipun mampu mendesak lawan namun sampai jurus kesepuluh baik Pagar
Paregeg dan Brambang Santika masih belum mampu menggebuk si nenek. Beberapa
kali lengan mereka saling beradu. Setiap terjadi bentrokan tangan kedua lelaki itu
merasakan lengan mereka sakit bukan main. Memasuki jurus ke dua belas akhirnya
kedua orang ini keluarkan senjata. Pagar Paregreg hunus sebuah golok besar yang
bagian tajamnya bergerigi sedang Brambang Santika mencabut sepasang belati besar
berwarna hijau!
Melihat lawan keluarkan senjata si nenek seperti kesetanan. Dia berteriak tiada
henti dan hadapi serangan senjata lawan dengan gerakan-gerakan kilat disusul dengan
serangan balasan tidak terduga.
Breeettt!
Ujung golok di tangan Pagar Paregreg berhasil merobek baju hijau yang
dikenakan si nenek. Marahlah Sepuluh Kuku Iblis. Dari mulutnya keluar suara
lolongan seperti lolongan srigala. Kedua tangannya diulurkan ke depan. Sepuluh kuku
hitam mencua keluar dari ujung-ujung jarinya, runcing panjang mengerikan!
Pagar Paregreg dan Brambang Santika terkesiap bergidik. Tapi hanya sesaat.
Mereka kemusian kembali menyerbu. Serangan senjata mereka kini ditujukan pada
kedua tangan si nenek.
Trang…..trak!
Golok di tangan Pagar Paregreg beradu keras dengan jari-jari berkuku panjang.
Senjata itu mental patah dua! Membuat Pagar Paregreg terkejut dan melompat
mundur.
Di sebelahnya Brambang Santika keluarkan seruan tertahan sewaktu pisau
belatinya di sebelah kiri mental dipukul tangan si nenek. Dia menusuk dengan pisau
belati besar di tangan kanan. Si nenek tahan tusukan itu dengan elapak tangan kirinya
lalu secepat kilat tangan itu berputar tahu-tahu senjata Brambang Santika sudah
BASTIAN TITO 47
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dirampas. Belum lagi habis kejut lelaki ini, si nenek sudah lemparkan pisau hijau itu
ke arah pemiliknya!
Brambang Santika menjerit keras. Pisau miliknya sendiri amblas masuk ke
perutnya sampai sebatas gagang! Selagi dia terhuyung-huyung pegangi perutnya yang
bobol si nenek melompat ke hadapannya sambil mencakar dengan tangan kanan.
Untuk kedua kalinya Brambang Santika menjerit. Mukanya robek mengerikan.
Kedua kakinya hanya sanggup bertahahn singkat. Lalu tubuhnya tergelimpang roboh
tak berkutik lagi!
Pagar Paregreg tidak kuasa menahan rasa takutnya. Nyalinya telah leleh.
Secepat kilat dia memutar tubuh melarikan diri. Tapi dari belakang, dengan sekali
lompat saja si nenek mengejar. Lima jari tangan kirinya mencakar ke arah punggung
bekas Kepala Pasukan Kerajaan itu. Kini ganti raungan Pagar Paregreg yang
terdengar. Sekujur daging punggungnya tergurat robek. Darah mengucur deras.
Dalam takut dan sakit yang amat sangat bekas Kepala Pasukan Kerajaan ini
menghambur masuk ke dalam laut tanpa ingat bahwa dia tidak bisa berenang.
Tubuhnya mulai di seret ombak…. Dia menjerit minta tolong namun perlahan-lahan
tubuhnya mulai tenggelam ditelan laut dan tubuh Pagar Paregreg tidak kelihatan lagi!
Sepuluh Kuku Iblis menyeringai angker. Dia melangkah ke tempat Brambang
Santika tergeletak. Sekali tendang saja sosok tubuh orang itu lenyap pula digulung
ombak, diseret air ke dasar laut!
BASTIAN TITO 48
EMPAT BELAS
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Begitu si nenek sampai ke hadapannya Pendekar 212 Wiro Sableng ajukan
pertanyaan.
“Siapa yang barusan kau bunuh di pantai sana?” Wiro kawatir yang jadi
korban kini adalah tokoh-tokoh silat sahabatnya atau orang lain yang tidak berdosa.
Sepuluh Kuku Iblis menyeringai. “Rupanya kau memperhatikan juga. Ada dua
orang yang ku kirim ke dasar laut. Yang pertama adalah Pagar Paregreg…”
“Kepala Pasukan Kerajaan?” tanya Wiro.
“Siapa lagi kalau bukan dia! Eh, kau menyesal mengetahui kematiannya?”
“Tidak,” sahut Wiro. “Dia memberontak pada kerajaan. Kematiannya seperti
itu sudah cukup pantas baginya!”
Si nenek tertawa dan tepuk-tepuk bahu Wiro. “Jadi kau juga benci padanya
eh?”
“Siapa korbanmu satu lagi?” tanya Wiro masih kurang enak.
“Brambang Santika. Orang kepercayaan Patih Kerajaan yang selama ini
menjadi penghubung antara Istana dengan rimba persilatan….”
“Hemmm…. Pengkhianat satu itu mampus juga akhirnya,” kata Wiro
perlahan.”
“Jadi aku tidak membunuh sahabatmu bukan?” ujar si nenek.
“Dua orang itu memang bukan, tapi bagaimana dengan mayat-mayat dalam
lobang kelapa itu? Mereka tidak punya dosa kesalahan apapun. Kau telah
membunuhnya secara kejam dan memperlakukan jenazah mereka secara biadab!”
“Anak muda, apakah di dunia ini masih ada apa yang disebut biadab itu?
Tunjukkan padaku siapa manusia-manusianya yang kau anggap tidak beradab!”
Wiro memaki dalam hati. Dia tidak bisa menjawab.
“Pendekar 212, kematian ketiga orang itu tidak ada sangkut pautnya dengan
dirimu. Mereka bukan sanak bukan kadangmu! Nah mulai saat ini mari kita
bersahabat!”
“Siapa sudi bersahabt denganmu!”
“Karena aku jelek, sudah tua keriput?” tanya si nenek.
“Aku bersahabat dengan siapa saja. Aku tidak memilih-milih untuk bersahabat.
Tapi manusia-manusia jahat yang beraja di hati dan bersutan di mata sepertimu ini
apakah pantas dijadikan sahabat?”
“Kalau kulepaskan totokanku apakah kau mau bersahabat denganku?”
Wiro memaki panjang pendek si nenek. Namun akhirnya dia hanya ajukan
pertanyaan. “Mengapa kau ingin bersahabat denganku?”
“Karena wajahmu sama dengan seorang lelaki yang pernah kucintai di musa
mudaku!” jawab Sriti Gandini polos tanpa malu-malu. Sebaliknya paras murid Eyang
Sinto Gendeng tampak menjadi merah.
“Jadi saat ini kau berniat hendak bercinta denganku? Mengambilku jadi
kekasihku?” tanya Wiro dengan mata mendelik. “Kalau tua bangka peot ini menjawab
ya, mati aku!” kata Wiro dalam hati. “Aku berada dalam kekuasaannya.
Ditelanjanginya pun aku tidak bisa berbuat apa-apa!”
Si nenek tampak termenung sesaat. Wajahnya yang angker kelihatan redup.
Lalu terdenga suaranya perlahan, agak sendu. “Aku cukup tahu diri. Kita tak mungkin
bercinta. Hanya kalau kau mau bersahabat dan aku dapat sering-sering melihatmu itu
sudah cukup. Itu mungkin juga bisa membantuku untuk keluar dari kesesatan. Aku
BASTIAN TITO 49
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
hanya manusia biasa tidak luput dari kekhilafan…” Nenek ini terdiam sesaat. Wiro
melihat kedua matanya yang angker itu kini berkaca-kaca basah oleh air mata. Lalu si
nenek melangkah mendekatinya. “Aku telah memukulmu hingga jatuh ke dalam
kawah. Tapi kau ternyata masih hidup. Aku tak perlu bertanya bagaimana hal itu bisa
terjadi. Pasti ada seorang sakti menolongmu. aKu tahu kini kalau di tempat ini, yang
kuanggap menjadi kekuasaanku ada orang lain telah lebih dulu berada di sini. Kau
tentu mendendam terhadapku. Tidak jadi apa. Aku akan melepaskan totokan di
punggungmu. Kalau kau sudah bebas kau mau menghukumku aku sudah pasrah!”
Lalu Sepuluh Kuku Iblis melangkah ke belakang Wiro dan menekan
punggung pemuda ini. Serta merta totokan yang membuat kaku tubuh Pendekar 212
punah. Wiro berbalik. Kini dia berhadap-hadapan denga si nenek itu. Entah mengapa
hati sang pendekar menjadi kasihan melihat si nenek. Untuk beberapa lamanya Wiro
pandangi orang tua itu yang tegak menundukkan kepala.
“Kau ingin membunuhku, aku tak akan melawan. Aku merasa bahagia kalau
dapat mati di tanganmu, anak muda,” terdengar si nenek berujar.
Wiro tarik nafas dalam dan garuk-garuk kepalanya.
“Tuhanpun tidak akan menghukum orang yang sudah bertobat. Kadal jelek
semacamku apa mau melebihi Tuhan….?”
Ucapan murid Eyang Sinto Gendeng itu membuat Sriti Gandini perlahanlahan
angkat kepalanya. Mukanya tampak pilu sekali. Susah payah dia berusaha
menahan tangis tapi tidak bisa. Suara isakannya mengharukan.
“Nek, kau lebih biaik cepat-cepat pergi dari sini. Sebelum muncul orang-orang
yang hendak meminta pertanggung jawabmu. Tiga mayat dalam lobang kelapa itu
biar aku yang mengurus.”
“Ah… Kau baik sekali, anak muda. Beruntung gadis yang bisa menjadi
istrimu. Dia dulu juga segagah dan sebaikmu ini. Tapi dia banyak tergoda oleh dunia
dan nafsunya sendiri.”
“Maksudmu Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam?” tanya Wiro.
“Ah, jadi kau sudah tahu ceritanya…?” balik bertanya si nenek.
Wiro mengangguk. “Dari guruku….” Jawabnya. “Nah, apakah kau belum mau
pergi dari sini…?”
“Aku menykaimu, aku akan menurut apa yang kau kaakan. Sekalipun kau
suruh aku menghambur masuk ke dalam kawah sana…” kata Sriiti Gandini pula.
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya.
“Pergilah cepat….” Kata Wiro.
“Ya, aku segera pergi. Selamat tinggal Wiro. Aku akan mengenang dirimu
selama sisa hidupku…” Si nenek memegang jari-jari tangan pemuda itu.
“Kau nenek cantik yang pernah aku lihat…” kata Wiro pula.
Sriti Gandini tersipu-sipu. Lalu dia membalikkan diri hendak pergi. Namun
dua orang yang tiba-tiba muncul di ujung kawah sebelah timur membuat dia hentikan
langkahnya. Kedua matanya terbuka lebar. Wiro yang juga sudah melihat kedatangan
kedua orang itu juga sama terkejut. “Ah,, si nenek ini terlambat….” Keluhnya dalam
hati.
Sesaat kemudian kedua orang itu sudah berdiri di hadapan Sriti Gandini. Tiga
pasang mata saling memandang seperti dikobari nyala api. Dendam kesumat
menggantung di udara. Di sebelah Barat sang surya kelihatan laksana bola api, siap
tenggelam.
BASTIAN TITO 50
LIMA BELAS
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sepasang mata Sriti Gandini memandang membara pada Giri Arsana alias
Dewa Berpayung Hitam. Dia melirik sesaat pada Patih Ganda Ariawisesa lalu
kembali berpaling pada orang yang paling dibencinya itu.
“Dicari-cari bersembunyi. Sekarang malah unjukkan diri!” kata si nenek.
“Sriti! Apa yang telah kau lakukan terhadap anak istriku?!” bentak Giri
Arsana sambil tancapkan payung hitamnya ke tanah.
Si nenek menyeringai. “Lihat saja sendiri!” jawabnya. “Mereka ada di sebelah
sana. Mereka aku rawat baik-baik…!” Lalu si nenek tertawa panjang.
Giri Arsana berpaling ke belakang. Dia melihat ada deretan tujuh buah batangbatang
kelapa. Tiga yang paling ujung berisi sesuatu. Darahnya tersirap. Dua kali
lompat saja Dewa Berpayung Hitam sudah berdiri di depan deretan batang-batang
kelapa itu. Ketika melihat apa yang ada di dalam tiga lonbang batang kelapa maka
meraunglah kakek itu. Tubuhnya melosoh ke tanah. Sambil bergayut pada batang
kelapa di mana terbaring jenazah istrinya kakek ini berkata disela isak tangisnya.
Saat itu Patih Kerajaan sudah tegak pula di samping Giri Arsana. Sang
Patihpun tak kuasa menahan diri melihat mayat menantunya terbujur dalam lobang
batang kelapa itu. Sekujur tubuhnya bergetar. Amarahnya mendidih. Apalagi kalau
dia ingat kematian puteranya.
“Istriku…. Anak-anakku… Aku akan membalaskan sakit hati kematian kalian.
Akan kucincang manusia jahanam itu!” Sekali lagi Giri Arsana berteriak. Lalu dia
bangkit dengan gerakan cepat. Dia memandang sesaat pada Sriti Gandini.
Gerahamnya terdengar bergemeletukan.
“Sriti! Aku tidak terima perbuatan biadabmu ini! Kau harus mampus saat ini
juga!” tariak Giri Arsana. Lalu dia melompat ke hadapan si nenek sambil tusukkan
ujung payungnya yang runcing.
Si nenek mendengus. Dia melompat ke samping sambil tendang badan payung.
Giri Arsana tidak tinggal diam. Payungnya diangkat ke atas dan kini dipakai untuk
menggebuk pinggang lawan.
Saat itu pula Patih Kerajaan melompat ke dalam kalangan perkelahian seraya
berteriak.
“Sahabatku Giri Arsana! Harap kau mundur! Aku yang berhak membunuh
perempuan celaka ini! Dia telah membunuh Sabrang putera tunggalku!” Sang Patih
lalu dorong tubuh Giri Arsana hingga terhuyung lalu masuk ke dalam kelangan
perkelahian dan langsung menyerang si nenek dengan pukulan tangan kosong yang
mematikan.
“Patih! Jangan kau berani macam-macam! Aku lebih berhak membunuh
bangsat tua ini! Dia telah membunuh istri dan dua anakku! Apa kau masih merasa
lebih berhak dariku?!” Giri Arsana balas mendorong tubuh Patih Kerajaan hingga
terjajar beberapa langkah. Kedua orang ini jadi bertengkar perang mulut dan saling
dorong mendorong.
“Hentikan ketololan ini!” teriak Giri Arsana tiba-tiba. “Jika kita sama-sama
merasa berhak membunuhnya, mari kita menghajarnya. Kita hanya berebut cepat!
Siapa yang sanggup membunuhnya lebih dulu itu lebih baik!”
Ucapan si kakek ada benarnya juga terasa oleh Ganda Ariawisesa. Maka tanpa
banyak bicara lagi diapun menyerbu bersama si kakek. Diserang dua lawan berat
BASTIAN TITO 51
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
seperti itu Sriti Gandini tidak merasa jerih. Dia sudah bertekad bulat untuk membunuh
Giri Arsana lebih dulu. Soal Patih Kerajaan itu bisa diselesaikannya kemudian.
Payung di tangan Giri Arsana tiba-tiba berkembang. Satu sambaran angin
menerpa membuat serangan si nenek jadi terbendung. Betapapun dia coba merangsak
ke depan tetap saja dia tidak bisa menembus pertahanan lawan yang dibentengi
dengan payung sakti itu. Ketika Giri Arsana mulai memutar-mutar payung hitamnya
si nenek merasakan tubuhnya seperti digulung ombak yang dahsyat. Dia kerahkan
tenaga dalam sepenuhnya dan acungkan kedua tangannya ke depan. Sepuluh kuku
hitam mencuat. Giri Arsana jadi bergeming. Dia pegang payung kaitnya kuat-kuat dan
memutar lebih sebat. Sementara itu Ganda Ariawisesa melancarkan serangan dari
samping bertubi-tubi hingga si nenek merasa sangat terganggu dan tidak bisa
memusatkan perhatiannya pada Giri Arsana.
“Patih keparat! Kau mengasohlah dulu!” teriak si nenek. Lalu mulutnya
menyembur. Segulung asap kelabu keluar membuntal.
“Patih, lekas tutup penciumanmu!” teriak Giri Arsana. Tapi terlambat. Patih
Kerajaan keburu mencium asap kelabu yang menyembur dari mulut si nenek.
Akibatnya dia merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas sedang pemandangannya
berkunag-kunang. Jika lawannya menghantam saat seperti itu celakalah dirinya.
Memikir begitu Patih ini cepat jauhkan diri dari kalangan perkelahian. Dia segera
mengatur jalan nafas dan peredaran darah. Sesaat kemudian dia tampak muntahmuntah.
Muntahnya bercampur darah. Namun setelah muntah keadaannya jadi
membaik.
Sriti Gandini kini lebih dapat memusatkan serangannya pada Giri Arsana.
Tubuhnya berkelebat capat laksana bayang-bayang. Sepuluh kuku jarinya
mengeluarkan sinar hitam menggaris udara dalam sepuluh larik yang mengerikan.
Dengan gigih di nenek kirimkan serangan susul menyusul. Namun payung hitam di
tangan lawan benar-benar membuatnya mati kutu. Satu kali dia sempat menghantam
payung itu dengan lima cakaran ganas. Tapi kain payung jangankan robek, tergurat
sajapun tidak! Giri Arsana pukul gagang payung dengan tangan kiri. Angin dahsya
menggebubu. Si nenek coba bertahan tapi gagal. Tubuhnya tersungkur jatuh duduk!
Sambil memaki panjang pendek si nenek bangkit berdiri. Tangan kanannya
menyusup ke balik pakaian hijaunya. Ketika keluar tampak di tangan itu tergenggam
sebatang ranting sirih lengkap dengan tiga helai daunnya. Melihat daun sirih itu,
berubahlah paras Giri Arsana.
“Benar rupanya dia telah mengetahui kelemahanku!” kata si kakek dalam hati.
“Sekarang aku hanya tinggal pasrah!”
“Kau lihat benda ini, Giri Arsana?” tanya si nenek lalu tertawa panjang seperti
lolongan srigala. Dia mendongak ke langit. Dari mulutnya kemudian terdengar suara
nyanyian.
Sang istri sudah kudapat
Begitu juga anak bungsu dan anak ke empat
Menyusul sekarang Bapak yang culas
Dendam kesumat segera terbalas
“Tua bangka gila! Kau telah menyanyikan lagu pengiring kematianmu
sendiri!” teriak Patih Kerajaan. Rupanya keadaannya sudah pulih. Habis membentak
begitu dia segera menyerbu. Namun dari samping Wiro yang sejak tadi diam saja
menghadang serangannya.
“Biarkan mereka menyelesaikan urusan…. Biar kita menjadi penonton yang
baik saja, paman Patih.”
“Pendekar 212! Kau!” teriak Patih Ganda Ariawisesa.
BASTIAN TITO 52
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Kau kini berbalik membela perempuan itu? Kau sudah gila rupanya!”
“Dunia ini memang banyak orang gilanya, Patih. Tapi sekali ini saya belum
gila. Saya bilang biarkan kakek-nenek itu menyelesaikan urusan mereka!”
“Kurang ajar! Kau telah bersekutu dengan perempuan iblis itu!” teriak Patih
Ganda Ariawisesa. Dengan marah dia langsung menyerang Wiro. Perkelahian seri
terjadi hanya lima jurus. Di jurus keenam Wiro berhasil menotok tubuh Sang Patih
hingga terguling jatuh di tanah dan tak bisa bergerak lagi. Hanya mulutnya saja yang
berteriak memaki tiada henti.
Begitu Sang Patih jatuh ke tanah, Wiro cepat melompat ke tempat perkelahian
antara Sriti Gandini dan Gairi Arsana. Saat itu dengan setangkai daun sirih di tangan
si nenek melancarkan serangan. Giri Arsana muncur terus sambil melepaskan
serangan-serangan balasan dengan payungnya. Tapi nyatanya kini setiap serangan
ataupun angin pukulan sakti yang keluar dari payung, hanya dengan melambaikan
daun sirih saja, semau serangan si kakek dapat dimusnahkan oleh si nenek!
“Celaka!” keluh Giri Arsana. Mukanya tampak pucat.
“Ajalmu sudah dekat Giri!” kata si nenek sambil lontarkan seringai maut.
Daun sirih di tangannya dihantamkan ke depan. Giri Arsana kembali membentengi
dirinya dengan payung saktinya. Namun kali ini kekebalan payung hitam itu tidak
sanggup bertahan terhadap setangkai daun sirih.
Breeettt…!
Trakk! Trakk!
Kain payung robek besar. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu berpatahan.
Giri Arsana merasakan seperti ada aliran panas menjalar ke tubuhnya. Cepat-cepat
orang tua ini buang payungnya lalu melangkah mundur.
“Jangan harap kau bisa lari Giri! Hanya nyawamu yang bisa membalas segala
sakit hati dendam berkarat!”
“Aku tidak bakalan lari Sriti! Kau ingin membunuhku dilahkan! Lakukan
cepat! Aku memang orang berdosa!” kata Giri Arsana pula.
Si nenek tertawa.”Akhirnya kau menyadari kesalahanmu manusia budak nafsu.
Penyesalanmu datang terlambat…!” Si nenek melompat dan pukulan sirih yang
dipegangnya ke kepala Giri Arsana. Inilah kelemahan Dewa Berpayung Hitam.
Kesaktian, kekebalan dan semua ilmu yang dimilikinya akan musnah oleh pukulan
daun sirih. Hal ini rupanya diketahui Sriti Gandini setelah puluhan tahun berusaha
membongkar rahasia kehebatan si kakek.
Sesaar lagi setangkai daun sirih itu akan mempu menghancurkan batok kepala
Giri Arsana, tiba-tiba dari samping berkelebat satu bayangan dan srettt! Tahu-tahu
tangkai dan daun sirih di tangan si nenek terbetot lepas.
Sriti Gandini menjerit keras.
“Pemuda kurang ajar!” teriak si nenek ketika dilihatnya Pendekar 212 Wiro
Sableng berdiri tegak sambil senyum-senyum dan kipas-kipaskan daun-daun sirih itu
di depan dadanya. “Kembalikan daun sirih itu padaku! Cepat!”
“Pendekar 212….!” Seru Giri Arsana. Lalu dia terdiam. Baru dia menyadari
bahwa memang betul wajah pemuda itu memang mirip sekali dengan parasnya
sewaktu muda! Namun saat itu dia tidak bisa memikirkan hal itu lebih lama. Dia
berkata “Pendekar 212, serahkan daun sirih itu padanya. Aku sudah pasrah mati.
Dosaku terlalu besar padanya….”
“Kalian berdua sama-sama tua, seharusnya bisa bersabar. Jika silang sengketa
antara kalian bisa diselesaikan dengan damai mengapa tidak berusaha
melakukannya?”
BASTIAN TITO 53
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Damai?!” sentak Sriti Gandini. “Puluhan tahun dia menyakiti diriku. Datang
pergi datang pergi dan kawin! Saudara perempuanku ikut jadi korbannya…”
“Sudah Sriti, kau mau membunuh aku lakukan saja. Jangan sebut-sebut lagi
kejadian di masa lampau itu…” kata si kakek dengan hati pilu. Lalu perlahan-lahan
dia duduk di tepi kawah, bersila pejamkan mata. Menunggu dirinya untuk dibunuh.
Si nenek melangkah. Tapi Pendekar 212 cepat menghadang jalannya.
“Apa yang hendak kau lakukan?” tanya Wiro pada si nenek sambil menatap
dengan tajam.
“Apa perlu kau tanya lagi?!” membentak Sriti Gandini. “Berikan sirih itu
padaku!”
“Baik! Sirih ini akan aku berikan padamu1 Kau bisa membunuhnya dengan
mudah! Tapi apakah setelah dia mati kau akan merasa lepas dari segala dendam
kesumat?! Istri dan dua anaknya sudah kau bunuh! Apa itu belum cukup!”
“Tentu saja belum! Dendam sakit hatiku selama puluhan tahun tidak akan
terkikis sebelum dia kuhabisi!”
Wiro ulurkan tangannya yang memegang daun sirih. “Kakek itu sudah
mengakui dosanya. Sudah pasrah menerima kematian dalam penyesalan yang
mendalam. Jika kau hendak membunuhnya silahkan. Tapi ingat, jangan harap aku
mau bersahabat lagi denganmu!”
Si nenek tersurut.
Giri Arsana terheran-heran mendengar ucapan Pendekar 212 yang membua si
nenek seperti ketakutan.
“Kau manusia jahat!” jerit Sriti Gandini. Lalu dirampasnya setangkai daun
sirih itu dari tangan Pendekar 212. Tapi dia tidak menghantamkan daun sirih itu pada
Giri Arsana. Dari mulutnya terdengar suara memelas perlahan. “Mungkin memang
sudah begini takdir jalan hidupku. Kalau saja aku bisa mati lebih cepat itu akan lebih
baik. Apa artinya lagi hidup ini…”
Sriti Gandini campakkan setangkai daun sirih itu ke tanah. Lalu tiba-tiba
sekali tanpa satu orangpun bisa mencegahnya nenek ini membuang dirinya ke dalam
kawah.
“Sriti!” teriak Giri Arsana. Dia coba mengejar tapi terlambat. Tubuh si nenek
sudha jauh melayang ke arah kawah. Giri Arsana terduduk di tebing kawah. Kakek ini
mulai manangis sesenggukan.
Saat itu matahari mulai tergelincir tenggelam seolah-olah meluncur masik ke
dalam laut. Di bawah sinar mentari yang merah keemasan itu, dari bawah kawah
kelihatan ada dua orang bergerak mendaki ke atas. Yang satu seorang kakek
berpakaian putih, mendaki sambil memanggul sesosok tubuh berpakaian hijau. Di
sebelahnya berjalan seorang gadis berwajah jelita. Rambutnya yang hitam sebahu
melambai-lambai tertiup angin.
Makin tinggi keua orang ini naik ke atas tebing kawah. Semakin melotot
kedua mata Wiro dan Giri Arsana. Begitu kedua orang itu sampai di depan mereka,
Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Tuhan Maha Besar!” seru Pendekar 212. “Kakek Tua Gila, lagi-lagi kau
menyelamatkan orang dari kematian!”
Tua Gila yang memanggul tubuh Sriti Gandini yang saat itu mulai siuman,
menurunkan tubuh si nenek lalu membaringkannya di tanah di hadapan Giri Arsana.
Si kakek menjerit keras lalu merangkul tubuh orang yang pernah jadi
kekasihnya itu. Dia tidak malu-malu membisikkan ratapan. “Sriti, jika kau mau
memaafkan aku. Aku berjanji akan memeliharamu baik-baik di sisa usiaku yang tidak
seberapa lama lagi ini….”
BASTIAN TITO 54
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Si nenek tidak menjawab. Kedua matanya yang sempat hendak dibuka kini
dipejamkannya kembali.
Pendekar 212 tersenyum dan berkata. “Hai nek! Ayo jawab ucapan orang!
Apa kau tidak mendengar apa yang tadi dikatakan si kakek?!”
Si nenek yang sadar kalau orang sudah tahu bahwa dia berpura-pura pingsan
terus akhirnya buka kedua matanya dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Sesaat dia
memandang dengan mata melotot pada Wiro. Wiro membalas dengan senyum
dikulum sambil kedipkan mata dan goyangkan kepalanya ke arah Giri Arsana.
“Kakek itu akan duduk bersila di situ sampai jadi batu. Kecuali kalau kau mau
menolongnyaa berdiri! Tolong dia. Fia akan ikut kemana kau pergi. Kalian berdua
akan bahagia selama-lamanya!”
Diperlakukan seperti itu Sriti Gandini jadi serba salah. Akhirnya diulurkannya
juga tangan kanannya. Si kakek menatap paras nenek itu dengan air mata bercucuran.
Si nenekpun mulai menangis sesenggukan. Keduanya saling berpegangan tangan dan
perlahan-lahan Giri Arsana bangkit berdiri. Saat itu juga tempat itu dipenuhi tepuk
bersorak Wiro, Tua Gila dan Mirantih.
“Sebaiknya kita yang tak punya kepentingan tidak perlu berlama-lama di
tempat ini…..” kata Wiro pula.
Tua Gila batuk-batuk. “Kau betul Pendekar 212. Mari kita pergi.”
Wiro mendekati Patih Ganda Ariawisesa terlebih dulu untuk melepaskan
totokan di tubuh orang itu. Semula dia menyangka Sang Patih akan menghantamnya,
paling tidak mencaci makinya. Ternyata tidak. Sang Patih menarik nafas dalam dan
terdengar berucap. “Aku sudah saksikan semua yang terjadi. Mungkin ini semua
sudah takdir dari Yang Kuasa. Kita manusia hanya bisa menerima kenyataan…”
“Saya merasa bersyukur Paman Patih berkata begitu….” Kata Wiro girang.
Lalu dia memberi isyarat pada Tua Gila dan Mirantih. “Mari kita pergi. Jenazah di
dalam batang kelapa serahkan saja pada mereka untuk mengurusi.” Ketiga orang itu
segera hendak melangkah pergi. Tiba-tiba terdengar Patih Kerajaan berkata
“tunggu dulu! Apakah kalian melihat dua orang berada di pulau ini?”
“Maksud Paman Patih Pagar Paregreg Kepala Pasukan Kerajaan yang jadi
pimpinan pemberontak itu dan cecunguk kawannya yang bernama Brambang
Santika?!” ujar Wiro.
“Ah, jadi kau sudah melihat mereka!”
“Keduanya tak perlu diurusi. Sudah ada yang mengurus sendiri. Ikan-ikan di
dalam laut sana!” kata Wiro seraya menunjuk ke tengah laut. Selagi Patih Kerajaan
terheran-heran tak mengerti Pendekar 212 melanjutkan keterangannya. “Kedua orang
itu sudah dihajar habis-habisan oleh nenek itu. Mayatnya ditendang mental dan
masuk ke dalam laut!”
Patih Kerajaan meepaskan nafas legaa. Wiro, Tua Gila dan Minaratih
melangkah pergi. Namun lagi-lagi ada suara menahannya pergi. Kali ini seruan Sriti
Gandini.
“Pendekar 212! Aku tahu sekarang! Kau sudah dapat sahabat baru gadis cantik
itu! Pantas kau tidak mau bersahabat denganku!”
Wiro tertawa gelak-gelak. “Siapa bilang saya tidak suka bersahabat dengamu
Nek. Bukankah sudah saya katakan kau ini nenek paling cantik di dunia?!” Lalu pada
Giri Arsana dia berkata. “Kek, kau jaga baik-baik sahaba yang cantik itu!”
Semua orang yang ada di puncak kawah Gunung Krakatau itu termasuk Giri
Arsana tertawa gelak-gelak. Si nenek tampak cemberut. Tapi cuma sebentar Sesaat
kemudian terdengar pula suara tawanya. Malah lebih keras dari tawa yang lain
TAMAT
SATU
Mata manusia biasa akan melihatnya sebagai suatu hal yang tidak dapat
dipercaya. Namun ini adalah kenyataan. Sebuah perahu kecil meluncur deras seolah
membelah air laut di selat Sunda menuju ke arah Barat Laut. Saat itu tengah hari tepat.
Sang surya memancarkan sinarnya yang paling panas pada puncak ketinggiannya.
Di atas perahu tampak duduk seorang nenek berwajah angker. Tubuhnya
kurus kering. Mukanya seperti tengkorak karena hanya tinggal kulit pembalut tulang.
Dia mengenakan pakaian warna hijau tua.
Perempuan tua ini memeang sebuah pendayung di tangan kirinya. Sikapnya
mendayung acuh tak acuh saja. Tetapi kekuatan dayungannya membuat perahu yang
ditumpanginya melesat deras di permukaan air laut yang bergelombang.
Rambutnya yang putih panjang riap-riapan ditiup angin.
Sambil mendayung mulutnya yang perot terdengar menyanyi.
Syair nyanyiannya terasa aneh.
Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Ketika matahari muali bergeser ke Barat di kejauhan mulai kelihatan pantai
Pulau Rakata. Lebih jauh lagi ke pedalaman menjulang Gunung Krakatau. Agaknya
pulau inilah yang menjadi tujuan nenek angker itu. Si nenek menyeringai. Aneh!
Meski sudah berusia hampr 70 tahun tapi dia memiliki deretan gigi yang masih
lengkap atas bawah. Hanya saja dua taringnya sebelah atas tampak lebih panjang
seperti taring srigala hutan dan membuat tampangnya tambah mengerikan.
Nenek itu kembali tampak menyeringai. Dia memandang ke lantai perahu.
Astaga! Ternyata di atas perahu itu dia tidak sendirian. Sesosok tubuh lelaki berusia
sekitar 40 tahun tergeletak tak bergerak. Wajah dan dadanya yang tidak tertutup baju
kelihatan penuh dngan guratan-guratan luka yang dalam dan mengerikan. Tidak dapat
dipastikan apakah lelaki ini masih hidup atau sudah mati. Rupanya dia hanya pingsan.
Sesaat terdengar orang ini siuman dan mengerang.
“Air….tolong….” terdengar suaranya meminta, sangat perlahan.
“Apa? Kau haus? Minta minum? Baik! Akan kuberi minum!”
Dari lantai perahu nenek ini mengambil sebuah batok kelapa. Dengan batok
ini diciduknya air laut. “Ini! Minumlah!” Lalu isi batok diguyurkan ke dalam mulut
orang yang terbuka setengah mati menderita haus itu!
BASTIAN TITO 1
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Air laut asin itu tentu saja tidak akan melepas dahaga orang yang meminta.
Sebaliknya orang ini malah keluarkan suara tercekik. Kedua matanya sejak tadi
terpejam kini terbuka mendelik. Suara cekikan disusul dengan suara erangan tertahan.
Air asin seolah mencekik tenggorokannya. Lalu sepasang mata itu tidak bergerak lagi
dan hanya bagian putihnya saja yang kelihatan. Mati! Orang yang menggeletak di
lantai perahu itu telah menemui ajalnya!
Anehnya si nenek tertawa mengekeh mengetahui orang itu mati. Seolah dia
sangat membenci orang tua itu dan sama sekali tidak perduli akan kematiannya.
“Kau akhirnya mampus juga Sampan! Aku sebenarnya kasihan padamu. Kau
hanya anak yang menerima celaka karena dosa orang tuamu! Tapi tidak usah khawatir.
Masih ada lima orang manusia lagi yang punya pertalian darah sangat dekat
denganmu yang bakal menerima kematiannya! Hik….hik….hik! Kau tak usah cemas
Sampan. Bukankah kau bakal berkumpul dengan kau punya ibu walau tidak satu liang
kubur?! Hik…hik…hik!”
Si nenek mengayuh lagi perahunya acuh tak acuh. Pantai Pulau Rakata
semakin dekat. Dari mulutnya kembali terdengar suara nyanyian tadi.
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Serombongan burung camar tampak terbang cerai berai ketika seekor elang
besar tiba-tiba muncul dan menyerbu. Pada saat itulah perahu si nenek angker
mencapai tepi pantai Pulau Rakata pada sebuah teluk yang sempit. Perempuan ini
melompat turun ke darat. Masih sambil menyanyi-nyanyi dia menarik perahu ke
bawah sebatang pohon kelapa di tepi pasir.
Beberapa lama sebelum nenek dan perahunya mendarat di Pulau Rakata, dua
orang leleaki berpakaian serba merah berlari cepat dari arah gunung.
“Kita sudah memeriksa hampir seluruh tepian kawah!” berkata orang yang di
sebelah kanan. Namanya Supit Jagal. Di pinggangnya ada sebuah golok besar
berbentuk segi empat seperti golok tukang jagal. “Jangan-jangan ceita tentang batu
mustika itu hanya tipuan belaka!”
Kawannya berhenti berlari. “Coba kita lihat lagi peta rahasia itu!” katanya lalu
mengeluarkan satu lipatan kertas dari kantong baju merahnya. Lipatan kertas
dibukanya kemudian dibentangkannya di atas pasir. Pada kertas yang terkembang itu
terlihat gambar kasar Pulau Rakata lengkap dengan Gunung Krakatau. Di sekitar
kawah ada tanda-tanda silang. Tanda silang itu juga terlihat pada beberapa bagian
peta yang menghadap ke Selat Sunda. “Tanda silang di sebelah ujung kawah sini
merupakan bagian pulau yang belum kita selidiki. Bagaimana kalau kita menyelidik
ke bagian tanda silang sebelah kanan. Tampatnya tak berapa jauh dari sini….”
“Aku setuju Tubagus Singagarang. Agaknya kita tadi terlalu jauh mendarat ke
sebelah utara. Ini gara-gara angin keras di selat tadi….”
Tubagus Singagarang melipat peta itu kembali dan menyimpannya di dalam
saku. Bersama Supit Jagal dia bergerak ke arah tenggara Pulau Rakata. Angin laut
bertiup kencang memapas arah lari mereka. Di satu tempat Tubagus Singagarang
hentikan larinya. Dia menunjuk ke arah deretan bagian kawah paling gersang dan
agak mendaki di bagian Timur.
“Supit, kau lihat benda-benda aneh yang bersusun di sebelah sana?”
“Ya, aku melihat. Aneh. Benda apa itu? Berbebtuk seperti perahu-perahu kecil.
Tampaknya terbuat dari potongan pohon-pohon kelapa.”
“Ada tujuh semuanya…..” kata Supit pula.
BASTIAN TITO 2
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Bukan mustahil di sana tersembunyinya batu mustika yang kita cari. Mari
kita periksa!”
“Mari!” sahut Supit Jagal.
Kedua orang ini segera lari ke arah deretan benda yang mereka lihat. Begitu
samapi di tempat yang dituju ternyata yang mereka lihat dari kejauhan tadi adalah
gabungan-gabungan dua batang kelapa yang tengahnya dilubang seperti perahu.
“Apa ini?” ujar Tubagus Sungagarang. “Kotak bukan perahu bukan” Lalu dia
melangkah mengikuti jejeran batang-batang kelapa itu sambil menghitung.
“Satu…dua…tiga…empat…lima…enam…” Memasuki hitungan ketujuh
yaitu di hadapan batang kelapa yang ketujuh hitungan Tubagus Singagarang terhenti.
Langkahnya justru kini tersurut. Mukanya yang garang mendadak menjadi pucat.
Supit Jagal mendatangi dari belakang seraya bertanya.
“Ada apa Tubagus? Kau seperti melihat setan!”
“Lihat….” Suara Tubagus Singagarang agak bergetar dan jarinya menunjuk ke
dalam lobang pada gabungan batang kelapa ke tujuh.
Supit Jagal maju mendekat beberapa langkah.
“Astaga!” Orang inipun tampak terkejut dan berubah air mukanya!
BASTIAN TITO 3
DUA
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Di dalam lubang batang kelapa yang terletak paling ujung itu terbaring satu sosok
tubuh perempuan tua mengenakan baju kebaya putih dan kain panjang. Kedua
matanya terpejam. Keadaannya demikian rupa hingga kalau tidak diperiksa tidak
diketahui apakah dia dalam keadaan tidur nyenyak, pingsan atau sudah jadi mayat!
Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai ke ujung kaki diselimuti oleh sejenis
minyak. Batang kelapa dimana dia tebaring penuh dengan kerumunan semut. Tetapi
binatang-binatang ini tidak satupun yang menyentuh tubuhnya. Kedua orang lelaki itu
memperkirakan minyak pada tubuh perempuan tua itulah yang menyebabkan semut
tidak berani menyentuhnya.
“Coba kau periksa denyut jantungnya,” kata Tubagus Singagarang.
“Kau saja,” jawab Supit Jagal menolak. Diam-diam dia merasa ngeri.
Dari kedua bersahabat itu Tubagus Singagarang memang lebih berani. Dia
melangkah mendekati batang kelapa lalu mengulurkan tangan memegang lengan kiri
perempuan tua di dalam lubang kelapa.
“Tak ada denyut ndi….” Berucap Tubagus Singagarang setelah memegang
dan merasa-rasa beberapa ketika. Dilepaskannya pegangannya. Fia membungkuk lalu
meletakkan telinga kanannya setengah kuku di atas dada orang dalam lunbang.
Kemudian dia menggeleng dan melirik pada Supit Jagal. “Detak jantungnyapun tidak
kudengar”
“Berarti orang ini memang sudah mati!” kata Supit Jagal.
Tubagus Singagarang ingin memastikan. Diulurkannya tangan kanannya. Jarijari
tangannya membalikkan kelopak mata kiri orang dalam lubang. Tak ada hitamnya.
Keseluruhan matanya hanya putih belaka.
“Yang kita lihat memang mayat!” kata Tubagus Singagarang. Tangannya yang
basah oleh minyak yang menyelimuti tubuh orang dalam lubang digosok-gosokkan
pada pakaiannya. Lalu dia coba mencium tangannya itu. Dia mencium sesuatu.
“Minyak serai bercampur jelaga kayu besi,” katanya. “Jelas mayat ini sengaja
diberi minyak itu untuk diawetkan!”
Supit Jagal tentu saja heran mendengar ucapan kawannya itu. “Benar-benar
aneh. Kita mencari batu mustika. Yang kita temui di Krakatau ini mayat perempuan
tua yang diawetkan. Untuk apa? Siapa yang punya pekerjaan?” Dia bertanya sambil
memandang ke bwah, ke arah kawah Gunung Krakatau yang mengepulkan asap
berkepanjangan.
“Pertanyaan lain siapa adanya perempuan tua ini?” sambung Tubagus
Singagarang. “Memang aneh…”
“Kau lihat sendiri Tubagus. Ada tujuh batang kelapa berlubang di tempat ini.
Satu berisi mayat. Berarti bakal ada emnam mayat lagi yang akan dimasukkan pada
enam batang kelapa ini!”
“Dugaanmu mungkin benar….” Sahut Tubagus Singagarang. Dua sahabat ini
saling pandang. Di balik rasa heran mereka jelas ada bayangan rasa ngeri. “Apa yang
akan kita lakukan sekarang?”
“Lebih baik lekas-lekas meninggalkan kawasan kawah unung Krakatau ini…”
jawab Supit Jagal.
“Lalu bagaimana dengan usaha kita mencari batu mustika itu?” tanya Tubagus
Singagarang dan hendak mengeluarkan kembali peta yang ada dalam saku pakaiannya.
Tapi tak jadi ketika mendengar sahabatnya berkata.
BASTIAN TITO 4
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Lupakan saja hal itu. Aku merasa tidak enak. Ada yang tidak beres di tempat
ini Tubagus. Aku mencium bahaya. Bahaya maut!”
“Aku juga merasakan begiut,” sahut Tubagus Singagarang. “Tapi kau lihat
sendiri. Pulau ini sepi-sepi saja. Tak ada orang selain kita. Kecuali mayat perempuan
tua ini”
“Tidak mungkin Tubagus! Aku yakin sekali pasti ada orang lain di sini. Mayat
itu tidak mungkin berjalan sendiri sampai kemari! Ada orang yang membawanya.
Mengawetkannya dengan minyak serai bercampur jelaga….”
“Tapi untuk apa? Pekerjaan apa ini sebenarnya?” ujar Tubagus Singagarang
pula. “Bagaimana kalau kita bersembunyi dan menginati?”
“Terus terang nyaliku mulai leleh. Kau silahkan saja mengintai, aku biar turun
ke bawah terus ke pantai. Aku akan menunggumu di perahu. Jika sampai rembang
petang kau tak muncul terpaksa aku meninggalkan kau dan menyeberang kembali ke
Jawa seorang diri!”
Tubagus Singagarang jadi berpikir mendengar kata-kata kawannya itu. Lalu
dia berkata “Kita sahabat dan saudara seperguruan. Jika senang sama senang. Kalau
susah sama susah. Berarti matipun harus sama-sama! Aku mengalah. Aku ikut
bersamamu. Memang sebaiknya kita pulang saja. Bukan mustahil cerita dan peta
tentang batu mustika itu hanya dibuat-buat orang saja. Hendak mengacau dunia
persilatan!”
Setelah memandang sekali ke arah sosok mayat dalam lubang pohon kelapa,
Tubagus Singagarang dan Supit Jagal segera hendak berkelebat tinggalkan tepi kawah
Gunung Krakatau itu. Tapi baru saja mereka bergerak tiba-tiba terdengar suara orang
menyanyi di kejauhan.
Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Tubagus Singagarang dan Supit Jagal jadi terkesiap saling pandang.
“Ada orang menyanyi. Apa kataku. Ternyata memang ada orang lain di pulau
ini!” berbisik Supit Jagal.
Lalu di kejauhan kembali terdengar suara nyanyian orang tadi
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
“Siapa yang menyanyi…?” bisik Supit Jagal. “Syair lagunya aneh mengerikan.
Berbau maut!”
“Suaranya suara perempuan. Dari puncak sini kita belum dapat melihatnya.
Kalau tidak memiliki tenaga dalam tinggi tidak mungkin suaranya terdengar sampai
ke sini….”
“Mungkin sekali….Jangan-jangan orang itu tengah menuju ke sini….” Ujar
Supit Jagal pula.
“Bagaimana kalau kita menyingkir saja dari sini?”
“Baik! Dari pada mencari urusan….!” Jawab Supit Jagal. Lalu saudara
seperguruan itu segera hendak berkelebat. Namun dari bawah kaki gunung telah lebih
dulu kelihatan seorang berpakaian hijau tua berlari sangat kencang menuju puncak
BASTIAN TITO 5
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Gunung Krakatau. Di bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh. Tidak mudah
memanggul orang naik ke puncak kawah gunung. Apalagi berlari dan sambil
membawa beban berat seperti itu.
“Kita berhadapan dengan orang pandai, Tubagus. Kita tak punya kesempatan
untuk kabur. Ayo lekas sembunyi di balik batang kelapa di ujung kiri sana”
Baru saja kedua bersahabat itu menjatuhkan diri sama rata dengan tanah
gunung hingga terlindung oleh batang kelapa berlubang, dari bawah gunung muncul
orang berbaju hijau tadi. Tubagus dan Supit Jagal yang coba mengintai sama terkejut
ketika menyaksikan bahwa yang muncul adalah seorang nenek berwajah angker
seperti tengkorak dengan rambut putih panjang riap-riapan. Di bahu kirinya ada
seorang lelaki yang menurut dugaan Tubagus dan Supit sudah tidak bernyawa lagi.
Mereka memperhatikan terus. Si nenek angker melangkah mendekati batangan
berlubang di sebelah kiri batang kelapa yang ada mayatnya.Seperti melempar
bungkusan atau kayu, nenek berambut putih lemparkan sosok tubuh lelaki yang
dipanggulnya ke dalam lubang batang kelapa. Dipandangnya sosok tubuh itu sesaat
lalu dia tertawa terkekeh-kekeh. Disusul dengan nyanyian.
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Habis bernyanyi si nenek kembali tertawa panjang. “Anak dan ibu sudah
kudapat. Hik…hik…hik. Masih ada lima nyawa lagi. Masih ada lima mayat lagi
pengisi lobang neraka itu! Ha…ha…ha! Awas kalian! Awas kau jahanam Giri
Arsana! Kau berada dalam daftar kematian yang terakhir. Agar kau bisa menyaksikan
dan merasakan pahit perihnya melihat kematian orang-orang yang kau cintai! Bila
sudah lengkap kau akan kuundang ke tempat ini! Hik…hik…hik! Lalu kau akan
kujadikan korban terakhir pengisi liang neraka batang kelapa! Hik…hik…hik!”
Dari dalam sebuah kantong yang ada di pinggang dan selalu dibawanya
kemana-mana nenek angker itu keluarkan sebuah tabung bambu. Dia membuka
penutup tabung lalu melangkah lebih dekat ke batang kelapa tempat tadi dia
melemparkan orang yang dipanggulnya. Dari tabung itu diguyurkannya sejenis cairan
ke seluruh bagian tubuh dalam batang kelapa.
“Kau lihat,” bisik Tubagus Singagarang. “Dia mengguyurkan minyak
pengawet. Berarti orang yang barusan dicampakannya ke dalam lubang memang
sudah tidak bernyawa lagi!”
“Hemmm…Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya Supit Jagal.
“Kita tunggu saja sampai nenk itu pergi,” sahut Tubagus Singagarang.
“Kalau dia tidak pergi-pergi dan berada di sini samapi besok…?”
“Tidak mungkin. Dia tidak mungkin bermalam di sini. Tidak ada tempat untuk
menginap….” jawab Tubagus Singagarang.
“Jangan terlalu yakin. Kita harus waspada. Kita bukan berhadapan dengan
seorang tua bangka biasa. Sepertinya dia mendekam dendam kesumat yang amat
besar. Turut nyanyiannya tadi, ada lima orang lagi yang bakal dibunuhnya!”
Tubagus Singagarang jadi gelisah. Bersama sahabatnya untuk beberapap lama
dia hanya bisa berdiam diri. Di nenek rupanya sudah selesai menuangkan cairan
pengawet di tubuh mayat. Tabung bambu disimpannya kembali. Tiba-tiba, tidak
terduga oleh dua orang yang bersembunyi si nenek di ujung keluarkan bentakan
menggeledek.
“Permainan kalian sudah selesai! Aku menunggu sudah cukup lama! Lekas
keluar dari balik batang kelapa dan berlutut di hadapanku!”
BASTIAN TITO 6
TIGA
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tubagus Singagarang dan Supit Jagal sama-sama tersentak kaget.
“Dia sudah tahu kita di sini, bagaimana sekarang?” berbisik Supit Jagal.
“Tak ada jalan lain. Kita keluar saja,” jawab Tubagus Singagarang. Lalu dia
mendahului berdiri. Dengan hati agak kecut Supit Jagal mengikuti.
“Hemmm… Dua ekor monyet berpakaian merah yang tidak aku kenal! Lekas
datang ke hadapanku dan berlutut!” bentak si nenek sambil tolak pinggang dan
memandang mendelik ke arah dua orang saudara seperguruan itu.
Tubagus Singagarang dan Supit Jagal memang melangkah mendekati nenek
angker itu. Tapi untuk berlutut mana mereka mau! Jelas si nenek menunjukkan
tampang dan sosok angker. Namun sebagai orang-orang persilatan, dua lelaki
berpakaian merah itu mampu menguasai diri, menekan perasaan takut dan akhirnya
muncul keberanian.
“Eh! Mengapa masih belum berlutut?! Apa kalian tuli tidak mendengar
perintahku?!”
“Nenek tua,” kata Tubagus Singagarang. “Kami tidak kenal kau, kau tidak
kenal kami. Mengapa bersikap begitu keras?!”
“Ah monyet jelek! Rupanya kau tidak tuli dan juga tidak bisu. Siapa aku kau
tidak perlu tahu. Kalian telah melakukan kesalahan! Apa kalian masih tidak
mengerti?!”
“Tentu saja! Kesalahan apa yang telah kami lakukan?!” sahut Tubagus
Singagarang.
“Seluruh kawasan Gunung Krakatau ini adalah daerah kekuasaanku! Siapa
saja yang berada di sini tanpa izinku berarti mampus! Dan kalian berdua jelas-jelas
tadi mengintai apa yang telah aku lakukan! Dosa kalian tidak bisa diampunkan! Lekas
berlutut untuk menerima kematian!”
Tubagus Singagarang dan Supit Jagal jadi saling pandang. Sambil menekan
gagang golok empat persegi yang terselip di pinggangnya Supit Jagal membuka mulut
untuk pertama kali.
“Kami berdua sudah lima puluh tahun hidup. Belum pernah mendengar bahwa
Gunung Krakatau ini ada penguasanya. Turut yang kami tahu daerah ini daerah bebas
yang bisa didatangi siapa saja!”
“Itu turut pengetahuanmu, monyet busuk! Tapi turut kekuasaanku kau yang
akan mati lebih dulu!” membentak si nenek.
Dihina seperti itu Supit Jagal jadi kalap. Dia mendengus lalu menyahuti “Mati
hidup di tangan Tuhan! Kalau ada makhluk yang hampir jadi bangkai hendak
membunuh kami, masakan kami hanya bertumpang dagu?!”
Si nenek mendongak ke langit lalu tertawa panjang.
“Daerah ini harus bebas dari mayat siapapun. Kecuali tujuh mayat yang sudah
ditakdirkan berkubur di sini. Kalian berdua hanya cukup pantas untuk jadi umpan
kawah Krakatau!”
Si nenek turunkan kepalanya. Bersamaan dengan itu di ulurkan kedua
tangannya ke depan. Tubagus Singagarang dan Supit Jagal tersirap darah mereka
ketika menyaksikan bagaimana dari sepuluh jari tangan si nenek yang kurus kering itu
mencuat keluar sepuluh kuku panjang hitam dan runcing!
“Sepuluh Kuku Iblis!” teriak dua lelaki berpakaian merah itu berbarengan.
Keduanya sama tersurut mundur denga paras berubah!
BASTIAN TITO 7
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Si nenek tertawa mengekeh. “Sekarang kalian sudah tahu siapa aku!” katanya
“Hik…hik…hik!”
Suara tawa si nenek lenyap. Dari mulutnya keluar suara deperti lolongan
srigala. Tubuhnya melesat ke arah Supit Jagal. Tangan kanannya berkelebat. Lima
garis hitam berkiblat di udara. Supit Jagal berseru tegang. Dia melompat mundur dan
cepat cabut golok besarnya. Dengan senjata itu dia memapaki serangan lima kuku.
Traakk….tarakk…traaakk!
Golok besar itu berhasil membabat tiga dari lima kuku tangan kanan si nenek.
Tapi apa yang terjadi? Si nenek hanya ganda tertawa. Mata golok yang dipegang
Supit Jagal tampak somplak besar di tiga bagian!
Selagi Supti Jagal tertegun ketakutan, tangan kiri si nenek menderu dari
samping. Terdengar jeritan Supit Jagal. Mukanya sebelah kiri sampai leher koyak
besar. Dari lehernya menyembur darah karena salah satu urat besarnya tersambar
putus oleh cakaran kuku iblis si nenek! Nyawanya tak tertolong lagi. Belum puas si
neenk lantas tendang tubuh Supit Jagal hingga terpental dan melayang jatuh ke dalam
kawah!
Bagaimanapun ngerinya Tubagus Singagarang melihat kejadian itu namun apa
yang terjadi dengan sahabatnya membuat dia kalap. Tubuhnya melayang di udara.
Kaki kanannya menderu ke tubuh si nenek dan dengan telak menghantam perutnya!
Si nenek terlempar empat langakh, tersandar pada batang kelapa yang keempat.
Tapi dia tidak tampak kesakitan malah tertawa-tawa dan usap-usap perutnya dengan
sikap mengejek.
“Monyet jelek! Kau barusan menendangku atau cuma menggelitik!”
Kejut Tubagus Singagarang bukan kepalang. Orang lain pasti sudah hancur
perutnya dihantam tendangannya tadi. Si nenek bukan saja tidak merasa apa-apa
malah masih sanggup mempermainkannya!
“Dia bukan lawanku. Aku harus cari selamat!” membatin Tubagus
Singagarang. Dia melirik ke arah Supit Jagal. Sahabatnya tampak menggeliat-geliat di
tanah sambil pegangi mukanya yang koyak dan mengucurkan darah. Lukanya
kelihatan mulai menghitam tanda mengandung racun jaha. Nyawanya pasti tidak
tertolong lagi.
Rupanya si nenek yang bergelar Sepuluh Kuku Iblis dapat membaca apa yang
ada di pikiran Tubagus Singagarang. Karena baru saja dia bergerak hendak melarikan
diri, perempuan tua ini sudah melompat menghadang langakhnya.
“Monyet jelek! Kau mau lari kemana?!” bentak si nenek. Kedua tangannya
dihantamkan ke depan. Tubagus Singagarang cepat memn=bungkuk. Sepuluh larik
sinar hitam menderu di atas kepalanya. Dengan tenaga dalam penuh Tubagsu
lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Satu sinar
kemerahan menggebubu ke arah dada si nenek. Begitu dadanya terkena pukulan sakti
tersebut, Sepuluh Kuku Iblis tertawa mengekeh. Dia melangkah maju. Dengan
kesaktian yang dimilikinya dia mendorong sinr pukulan lawan, membuat Tubagus
Singagarang merasa tangannya tergetar hebat dan tubuhnya kini terdorong.
Si nenek tiba-tiba membentak dan hentakkan kaki kanannya ke tanah.
Tanah tebing kawah Gunung Krakatau itu bergetar hebat. Tubuh Tubagus
Singagarang terlempar dua kaki ke atas. Orang ini berteriak keras ketika menyadari
dirinya jatuh tidak lagi di atas tebing yang sama, tetapi masuk ke bagisn kawah. Dia
berusaha membuat lompatan jungkir balik. Namun terlambat. Tubuhnya sudah keburu
jatuh ke bawah, lalu berguling deras menuju kawah panas di bawah sana!
Si nenek tertawa melengking. Dia melangakh mendekati tubuh Supit Jagal.
BASTIAN TITO 8
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Susul temanmu sana!” bentak perempuan tua ini. Lalu ditendangnya tubuh
yang sudah tak bernafas itu hingga mencelat mental dan terlempar jatuh ke dalam
kawah Gunung Krakatau.
BASTIAN TITO 9
EMPAT
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Perguruan Silat Melati Putih pada masa itu merupakan salah satu perguruan yang
besar di kawasan Barat Pulau Jawa. Sejak didirikan sekitar delapan tahun lalu
perguruan ini diketuai oleh Sampan Gayana, putera seorang tokoh silat bernama Giri
Arsana yang bergelar Dewa Berpaung Hitam berusia hampir 70 tahun. Sejak beebrapa
bulan belakangan ini Giri Arsana seolah lenyap dari rimba persilatan. Dimana dia
berada atau apa yang dilakukannya tidak seorangpun tahu. Sampan Gayana sendiri
tidak berusaha menyelidiki. Selain kesibukannya mengurus lebih dari dua ratus murid
perguruan, dia juga tahu kalau ayanhnya suka-suka berlaku aneh. Dan tingkah laku
aneh seorang toko silat bukan merupakan hal yang luar biasa.
Malam itu udara terasa dingin, lebih dingin dari biasanya. Dua puluh orang
anak murid perguruan kelas dua tengah berlatih silat di halaman. Tanah tempat latihan
ini cukup luas dan dikelilingi oleh empat bangunan panjang yang menjadi tempat
tinggal semua murid. Tak jauh dari empat bangunan panjang itu terdapat sebuah
rumah papan. Di sinilah sang Ketua Perguruan tinggal seorang diri karena sampai saat
itu usianya yang 45 tahun Sampan Gayana masih belum mempunyai istri.
Selagi dua puluh murid itu berlatih di bawah penerangan lampu-lampu minayk
yang tergantung di bawah cucuran atap empat bangunan panjang, tiba-tiba terdengar
suara nyanyian mengumandang di seantero lapangan latihan.
Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Suara nyanyian sirap. Mendadak ada bayangan berkelebat. Lalu tahu-tahu di
tengah kalangan latihan telah berdiri seorang nenek bertubuh tinggi kurus, berwajah
seperti tengkorak, berambut putih riap-riapan.
Dua puluh murid peruruan sesaat tercekam, lalu mencium sesuatu yang tidak
beres, mereka bergerak menyebar sehingga si nenek terkurung di tengah-tengah.
Si nenek memandang berkeliling. Wajah tengkoraknya tampak menyeringai.
“Apa benar ini Perguruan Silat Melati Putih?!” si nenek tiba-tiba ajukan
pertanyaan.
Mula-mula tak ada yang mau menjawab. Namun salah seorang murid akhirnya
menyahut membenarkan.
“Apa benar Ketua Perguruan seorang bernama Sampan Gayana?!” si nenek
bertanya lagi.
“Betul. Ketua kami memang Sampan Gayana,” jawab murid peruguran tadi.
BASTIAN TITO 10
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Lalu seorang murid lain bertanya. “Orang tua harap bari tahu kau siapa dan
ada keperluan apa datang kemari?!”
“Siapa aku bukan urusanmu budak jembel!” si muka tengkorak membentak
yang membuat semua anak murid perguruan jadi terkejut. “Aku datang mencari Ketua
kalian! Panggil dia! Suruh datang ke hadapanku!”
“Ketua kami sedang beristirahat. Jika memang ada keperluan besok pagi saja
datang kemari”
“Hemmmm…. Jadi kalian tak mau turut perintahku. Tidak mau memanggil
Sampan Gayana! Bagus! Aku mau lihat apa kalian benar-benar tidak perduli!”
Habis berkata begitu tubuh si nenek berkelebat. Empat pekikan terdengar
serentak merobek kesunyian dan langit gelap. Empat anak murid perguruan terpental.
Begitu jatuh ke tanah keempatnya tidak berkutik lagi. Semua telah putus nyawa
dengan kepala pecah!
Serta merta kegemparan melanda tempat itu. Beberapa orang murid perguruan
yang menjadi marah melihat kematian empat teman mereka segera hendak menyerbu.
Tapi gerakan mereka terhenti ketika si nenek keluarkan suara tawa melengking.
“Hanya orang-orang bodoh yang ingin mampus lebih cepat!” ujar si nenek
sambil tegak bertolak pinggang. Kedua matanya memandang angker. Membuat para
murid yang tadi hendak nekad menyerang kini hanya bisa tertegun di tempat masingmasing.
Mereka sama maklum kalau tamu tidak diundang ini memiliki kepandaian
sangat tinggi dan bukan tandingan mereka. Lalu terdengar seseorang berteriak.
“Lekas panggil Ketua!”
Dua orang murid berkelebat tinggalkan tempat itu.
Si neenk menyeringai. “Dasar manusia-manusia tolol!” katanya. “Kalau taditadi
saja kalian turuti perintahku tak akan ada nyawa melayang! Goblok!”
Sampan Gayana yang tengah tertidur lelap tersentak kaget ketika dibangunkan.
Ketua Perguruan ini tambah kaget sewaktu diberitahu apa yang terjadi. Cepat dia
berganti pakaian lalu keluar dari rumah papan mendahului dua orang murid yang
melapor. Sementara itu seluruh murid perguruan dari tingkat terendah sampai tingkat
tertinggi kini telah terbangun dan mereka semua menghambur ke tanah lapang. Para
murid memberi jalan begitu Ketua mereka muncul. Sesaat kemudian Sampan Gayana
telah berada di tengah lapangan. Sesaat dia memperhatikan empat orang muridnya
yang bergeletak mati di tanah. Lalu dia memandang ke arah si nenek.
“Nenek, aku tidak kenal dirimu. Pasal apa membuat kau membunuh empat
murid Perguruan?”
Si nenek tidak segera menjawab. Dia memperhatikan lelaki di hadapannya
mulai dari ujung rambut sampai ke kaki baru membuka mulut.
“Apa benar kau orangnya yang bernama Sampang Gayana, anak dari Giri
Arsana?”
“Kau tidak salah. Aku memang Sampan Gayana, putera Giri Arsana. Sekarang
harap kau memberitahu siapa dirimu.”
Si nenek tidak menjawab. Dia mendongak lalu keluarkan suara tawa panjang.
Sampan Gayana yang merasa dianggap rendah maju satu langkah. “Nenek,
kau muncul malam buta. Membunuh murid-muridku tanpa diketahui apa dosa dan
kesalahannya. Tidak ada silang sengketa di antara kita….”
“Apa yang kau ucapkan itu benar! Tak ada dosa, tak ada kesalahan dan tidak
ada silang sengketa. Tapi aku beri tahu padamu anak manusia. Kau menanggung dosa
turunan! Dosa keji yang pernah dibuat ayahmu!”
Kening Ketua Perguruan Silat Melati Putih itu tampak berkerut. “Aku tidak
mengerti maksud kata-katamu!”
BASTIAN TITO 11
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Aku kemari memang tidak membuat kau mengerti! Kau tidak perlu mengerti.
Aku hanya ingin satu orang mengerti. Keluar dari sarang persembunyiannya untuk
menerima pembalasan sakit hati. Selama dia masih bersembunyi secara pengecut,
selama itu pula aku akan mengambil korban satu demi satu orang-orang yang terdekat
dengan dia!”
“Siapa yang kau maksudkan dengan dia itu?!” bentak Sampan Gayana.
Si nenek menyeringai lalu menjawab. “Giri Arsana! Bapak moyangmu!”
“Aku makin tidak mengerti dengan juntrunganmu ini!” kata Sampan Gayana.
“Kesabaranku sudah hilang! Aku terpaksa menangkapmu karena telah membunuh
empat murid perguruan!”
Si nenek tertawa. “Sebelum kau menangkapku lekas kau beri tahu dulu di
mana bapak moyangmu itu bersembunyi! Enam bulan aku sudah mencarinya. Sampai
saat ini dia berlaku pengecut tidak mau memunculkan diri dalam dunia persilatan.”
“Ada urusan apa kau mencari ayahku?” tanya Sampan Gayana.
“Sudah aku bilang, kau punya dosa turunan. Berarti bapak moyangmu itu
punya kesalahan besar. Sangat besar! Nah sekarang cepat beritahu di mana dia
berada!”
“Kalaupun aku tahu, tidak akan kukatakan padamu!” jawab Sampan ayana
hilang kesabaran.
“Kalau begitu terpaksa aku membunuh anak ular untuk memancing keluar
bapak ular. Rupanya sudah jadi takdir seluruh keluargamu harus kuhabisi lebih dulu
baru giliran bapak moyangnu itu!” si nenek tertawa panjang.
Sampan Gayana tidak dapat mengendalikan amarahnya lagi. Kesabarannya
habis. Didahului dengan bentakan keras dia menghantam ke arah muak si nenek.
Yang diserang ganda tertawa. Tangan kanannya diangkat.
Wuuuttt!
Sampan Gayana terkejut ketika merasakan angin dingin yang menyambar
keluar dari tangan si nenek. Serta merta dia sadar bahwa lawan memiliki tenaga
dalam yang jauh lebih tinggi. Maka cepat-cepat dia menghindarkan terjadinya
bentrokan puklan. Sampan berkelit ke samping. Dari samping dia kirimkan pukulan
berupa sodokan ke leher si nenek. Rupanya Ketua Perguruan Silat Melati Putih ini
sengaja mengeluarkan jurus-jurus andalan dan mengandung maut agar dapat
menghantam lawannya dengan cepat.
Si nenek masih tampak tertawa-tawa. Lima jurus dia sengaja membiarkan
dirinya diserang habis-habisan. Jurus keenam Sampan Gayana berhasil memukul
bahu perempuan tua ini. Orang lain pasti akan terpenatl paling tidak akan melintir
tubuhnya dihantam pukulan yang berkekuatan hampir liam puluh kati itu! Tapi si
nenek sedikitpun tidak bergeming. Malah Sampan Gayana merasakan tangannya yang
memukul menjadi pedas.
“Sudah saatnya kau menyusul ibumu Sampan Gayana!” berkata si nenek
sambil mundur dan pentang tangan kanannya ke depan.
Ketua Perguruan Silat Melati Putih itu tentu saja terkejut mendengar ucapan si
nenek. Tapi sekaligus dia juga tidak mengerti.
“Apa maksudmu?!” tanyanya membentak.
Si nenek tertawa. “Ibumu sudah lebih dulu mampus di tanganku! Kau
korbanku yang kedua. Jika bapak moyangmu masih belum mau keluar dari
persembunyiannya untuk mempertanggung jawabkan dosa, korban selanjutnya akan
jatuh! Begitu seterusnya sampai bapak moyangmu muncul!”
“Manusia keparat! Jadi kau telah membunuh ibuku!” teriak Sampan Gayana.
BASTIAN TITO 12
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Si nenek balas dengan tawa cekikikan. “Jangan kawatir. Aku akan bawa kau
ke tempat maya ibumu tergeletak. Kalian masih bisa berjumpa dalam alam roh!
Hik…hik…hik!”
“Perempuan iblis!” teriak Sampan Gayana. Tangan kanannya mengeruk ke
saku pakaian. Dari dalam saku itu dia mengeluarkan segenggam benda putih. Benda
ini bukan lain adalah bunga melati putih yang telah mengering. Bunga melati kering
ini merupakan senjata rahasia andalan terakhir sang ketua perguruan. Sekali dia
menggerakkan tangannya, dua belas bunga melati melesat mengeluarkan suara
berdesing.
Nenek muka tengkorak angkat tangan kirinya. Delapan bunga melati kering
mental dan hancur berantakan. Tapi empat lainnya masih sempat menyambar
tubuhnya.
Des! Des! Des! Des!
Baju hijau tua yang dikenakan si nenek kelihatan berlubang di empat bagian.
Namun tubuhnya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu sedikitpun tidak cidera!
Berubahlah paras Sampan Gayana. Puluhan murid perguruan yang
menyaksikan kejadian itu juga ikut melengak kaget. Mereka semua tahu jangankan
tubuh manusia, batang pohonpun akan tembus dihantam senjata rahasia ketua mereka.
Namun nyatanya si nenek tidak cidera sedikitpun!
Didahului suara tertawa melengking tinggi nenek muka tengkorak ajukan
tangannya ke depan. Lima buah kuku panjang runcing berwarna hitam mencuat
secara aneh dari kelima ujung jarinya yang kurus kering!
Sampan Gayan terkejut besar. Dia mundur satu langakh. Di depannya si nenek
datang memburu cepat sekali. Dia tidak mampu menangkis ataupun mengelak ketika
lima kuku jari itu berkelebat mencakar muka dan dadanya. Ketua Perguruan Silat
Melati Putih ini menjerit mengerikan. Darah menyembur dari guratan luka yang
sangat dalam di muka dan dadanya. Kedua tangannya ditekapkan ke wajahnya namun
belum kesampaian lututnya telah goyah. Sebelum roboh ke tanah nyawanya sudah
lepas. Dan sebelum di ajatuh teregelimpang si nenek sambut tubhnya dengan bahunya.
Di lain saat perempuan tua itu sudah memanggul mayat Sampan Gayana di bahu
kirinya.
Puluhan anak murid perguruan tentu saja tidak tinggal diam. Mereka berteriak
marah dan serempak maju. Ada yang hanya mengandalkan tangan kosong, ada pula
yang menghunus berbagai senjata.
“Kalian murid-murid setia. Bersedia membela pimpinan. Tapi apa ada
gunanya membela manusia yang sudah jadi mayat?! Apa kalian hendak membayar
kebodohan kalian dengan nyawa?!”
“Perempuan iblis! Kami bersedia mengorbankan darah dan nyawa asal kau
bisa kami bunuh!” teriak seorang murid dari tingkat paling tinggi.
“Bagus! Kalau begitu lekas maju agar cepat aku membereskan kalian” kata si
nenek pula.
Puluhan murid perguruan yang tidak takut mati demi membela ketua mereka
benar-benar maju. Si nenek tertawa keras.Tangan kanannya digerakkan. Lima larik
sinar hitam berkelebat mengerikan. Lalu terdengar jeritan susul menyusul. Sembilan
anak murid perguruan roboh dengan muka atau tubuh hangus seperti dipanggang.
Puluhan murid lainnya jadi tercekat. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian kembali
mereka menyerbu dengan nekad. Namun si nenek sudah berkelebat. Tiga murid
perguruan yang coba mengejar mental dihantam tendangan dan pukulannya. Si nenek
lenyap. Hanya suara tawanya saja yang masih terdengar dalam gelapnya malam di
kejauhan. Lapat-lapat kembali terdengar suara nyanyiannya di kejauhan
BASTIAN TITO 13
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Si nenek lari laksana hantu malam. Seperti dituturkan sebelumnya mayat
Sampan Gayana inilah yang dibawanya ke tepi kawah Gunung Krakatau lalu
dimasukkan ke dalam lubang lebih dahulu dibunuh dan dibawa ke tempat itu.
Suasana gempar masih melanda Perguruan Silat Melati Putih ketika seorang
pemuda berpakaian putih berambut gondrong menjela bahu muncul. Puluhan murid
perguruan yang tidak mengenal dirinya dan menaruh curiga langsung mengurungnya
“Mana Ketua kalian? Aku datang membawa pesan penting!” kata pemuda
yang baru datang sambil menunjukkan sepucuk lipatan surat. Kedua matanya
memandang berkeliling. Tadi dia sempat melihat beberapa mayat yang digotong ke
arah rumah panjang.
Seorang murid dari tingkat atas yang mengenal pemuda itu menyeruak di
antara para murid. “Pendekar 212. Kau datang terlambat…..”
“Eh, apa yang terjadi?” tanya tamu muda yang datang yang bukan lain
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng dari Gunung Gede.
“Ketua dibunuh orang tak dikenal. Mayatnya diculik. Entah dilarikan
kemana….”
“Astaga!” Wiro tentu saja terkejut dan garuk-garuk kepala. “Isi surat dari
guruku ini justru hendak memeberi tahu ada bahaya yang mengancam. Ternyata aku
terlambat!” Wiro serahkan lipatan surat pada murid perguruan di depannya. Si murid
membacanya sebentar lalu melipat surat itu kembali.
“Dalam surat Eyang Sinto Gendeng memberi peringatan ada bahaya bagi
anak-anak dan keturunan Giri Arsana. Diminta agar berhati-hati. Tapi kini tak ada
gunanya. Ketua kami sudah menemui kematian….”
“Coba kau terangakn ciri-ciri pembunuh itu,” kata Wiro.
Murid perguruan menerangakan ciri-ciri nenek angker yang membunuh dan
menculik mayat Sampan Gayana.
“Kuku hitam mencuat dari jari-jari tangan….. Hemmmmmmmmmm….” Wiro
bergumam dan lagi-lagi hanya bisa garuk-garuk kepala. “Aku akan coba mencari tahu
siapa adanya tua bangak itu,” kata Pendekar 212 pula. “Namun saat ini aku perlu
keterangan siapa dan dimana saja saudara-saudara kandung Ketua kalian berada…”
“Selama ini Ketua selalu tertutup. Dia tidak pernah menceritakan siapa kakak
dan adiknya. Juga tidak pernah menerangkan dimana mereka berada. Kami hanya
tahu beliau berayahkan orang sakti berjuluk Dewa Berpayung Hitam.”
“Tapi orang itupun tiba-tiba saja lenyap dari dunia persilatan!” kata Wiro. Dia
diam sesaat akhirnya berkata “Aku harus pergi sekarang. Mungkin ada sesuatu yang
hendak kalian sampaikan?”
“Kami hanya berharap agar kau bisa membantu mencari pembunuh Ketua
kami. Kabarnya nenek angker itu juga telah membunuh ibunda Ketua kami…” jawab
murid perguruan tadi.
“Akan aku lakukan sebisa dayaku. Karena istri Giri Arsana masih ada
pertalian darah dengan guruku Eyang Sinto Gendeng. Hanya ada sesuatu yang
mengherankan. Mayat istri Giri Arsana tidak pernah ditemukan. Kalau mayat Ketua
kalian diculik si nenek, berarti dia juga yang menculik myat si ibu. Untuk apa…?”
Wiro garuk-garuk kepala. Kalian bisa memberi tahu ke arah mana larinya nenek
pembunuh itu?”
BASTIAN TITO 14
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Beberapa orang menunjuk ke arah kanan. Pendekar 212 tanpa menunggu lebih
lama berkelebat ke arah itu.
BASTIAN TITO 15
LIMA
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Rumah kecil itu terletak di pinggiran timur Kotaraja. Lima orang bertubuh kekar
dan bersenjata tombak serta golok di pinggang berjaga-jaga di pintu masuk. Lalu di
tempat gelap, ttidak kelihatan oleh pandangan mata menebar lebih dari sepuluh orang
yang juga berperawakan kekar dan menggenggam kelewang atau golok.
Seorang penunggang kuda yagn mukanya ditutup kain hitam sebatas mata
memasuki halaman rumah. Kudanya ditambatkan pada sebuah palang bambu. Lalu
dia melangkah cepat menuju ke pintu. Di depan pintu lima lelaki yang berjaga-jaga
cepat menghadang. Yang empat langsung mengangkat tangan dan mengarahkan
tombak pada orang yang barusan datang ini. Yang satu lagi maju mendekat sambil
menghunus golok.
“Harap sebutkan kata rahasia yang sudah ditentukan!”
Orang bercadar segera menjawab. “Malam gelap tak ada bintang tak ada
bulan.”
Empat tombak diturunkan. Golok dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Lima orang di depan pintu menjura. Salah seorang dari mereka cepat membuka pintu.
Orang bercadar segera masuk ke dalam rumah. Lima penjaga tadi kembali berjagajaga.
Mereka kini tinggal satu orang lagi yang harus ditunggu.
Tak selang berapa lama satu bayangan putih berkelebat. Belum sempat lima
pengawal di pintu memperhatikan dengan jelas tahu-tahu orangnya sudah berdiri di
depan mereka sambil garuk-garuk kepala.
Lima penjaga memperhatikan orang ini. Masih muda dan berambut gondrong.
Tidak seperti dua tamu terdahulu, yang satu ini datang tanpa memakai kain cadar dan
sikapnya tampak konyol urakan.
Empat tombak segera diangkat dan siap menambus pemuda berpakaian putih
yang barusan datang ini.
“Harap ucapkan kata rahasia yang sudah ditentukan!” kata pengawal yang
tegak menghunus golok besar.
Tamu yang datang tidak segera menjawab. Dia perhatikan si tinggi kekar di
depannya lalu malirik pada empat kawannya yang tegak sambil mementang tombak.
“Saya akan bertanya sekali lagi! Kalau tidak bisa menjawab kau akan kami
bunuh!” kata pengawal di hadapan tamu muda yang barusan datang.
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. Dia mengingat-ingat.
“Ah, sialan benar. Aku lupa sandi yang harus dikatakan itu….”
“Kalau begitu bersiaplah utnuk mati! Kau penyusup yang tidak diundang!”
Pengawal di sebelah depan angkat tangannya yang memegang golok. Dia juga
memberi isyarat pada empat temannya. Maka empat tombak segera hendak
dilemparkan ke arah tubuh pemuda itu.
“Tunggu dulu! Sabar sedikit. Aku sedang coba mengingat! Nah, aku ingat
sekarang! Kata rahasia itu Malam gelap.Tak ada bintang tak ada bulan! Betul
begitu?!”
Lima tangan yang mencekal senjata diturunkan. Si pemuda tertawa lebar lalu
garuk-garuk lagi kepalanya. Ditepuk-tepuknya bahu pengawal di depannya seraya
berkata. “Kau dan kawan-kawanmu bekerja baik. Aku akan beritahu pada atasanmu di
dalam agar memberikan gaji tambahan.”
“Terima kasih, terima kasih….” Kata lima pengawal sambil menjura lalu
mereka menepi memberi jalan. Yang satu membuka pintu lalu mempersilahkan
BASTIAN TITO 16
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
pemuda gondrong itu masuk. Yang dipersilahkan langsung saja nyelonong ke dalam
rumah.
Di dalam rumah kecil, mengelilingi sebuah meja yang di atasnya ada sebuah
lampu minyak ampak duduk tiga orang lelaki. Yang pertama bertubuh tinggi kurus
dengan rambut putih keseluruhannya. Wajah dan sikapnya memancarkan wibawa
yang tinggi. Orang ini adalah Ganda Ariawisesa, Patih Kerajaan. Di samping kirinya
seorang lelaki berkumis tebal, berwajah agak garang. Dialah tadi yang datang dengan
memakai cadar. Namanya Cemani Tanduwisoka. Dia dikenal sebagai orang penting
dalam kerajaan dan menduduki jabatan Wakil Kepala Pasukan Kerajaan. Orang ketiga
yang duduk di sebelah kanan Patih Ganda Ariawisesa adalah salah seorang tangan
kanan sang Patih tanpa ada jabatan dalam Kerajaan. Usinya hampir setengah abad.
Dia mempuyai hubungan baik dengan semua pejabat Istana dan juga dikerahui
berhubungan dekat dengan para tokoh rimba persilatan di kawasan Barat pulau Jawa.
Namanya Brambang Santika.
Ketiga orang itu tampak bebas dari rasa gelisah mereka ketika melihat orang
terakhir yang mereka tunggu telah muncul dan seperti biasanya dengan sikap
konyolnya. Setelah memberi hormat pada orang-orang yang duduk di sekeliling meja,
tamu paling muda ini mengambil tempat duduk di depan Patih Ganda Ariawisesa.
“Kami gembira melihat kau datang, Pendekar 212.”
Tamu yang terahir datang mengangguk lalu menjawab. “Saya hanya mewakili
guru Eyang Sinto Gendeng. Semua di sini sudah tahu bahwa beliau berhalangan
datang dan minta disampaikan salam maaf.”
Patih Ganda Ariawisesa balas mengangguk.
“Waktu kita tidak banyak. Karena kita sudah berkumpul semua maka saya
kira kita bisa segera mulai pertemuan rahasia ini.” Patih Kerajaan membuka
pembicaraan. “Seperti diketahui sudah bocor rahasia bahwa Kepala Pasukan Kerajaan
dibantu oleh beberapa orang culas tengah menyusun rencana keji hendak merampas
tahta Kerajaan dari tangan Sang Prabu. Raja sendiri saat ini masih belum tahu. Kita,
sebagai orang-orang yang setia pada Sang Prabu dan Kerajaan harus menggagalkan
rencana busuk itu. Namun Kepala Pasukan yang hendak berkhianat itu memiliki
kekuatan dan pendukung yang cukup kuat. Kaenanya dalam bertindak kita harus
sangat berhati-hati. Yang terutama harus dihindari ialah terjadinya pertumpahan darah
sesama kita. Saya sudah menugaskan Cemani Tanduwisoka untuk terus
memperhatikan gerak-gerik Kepala Pasukan Kerajaan. Kelompok-kelompok yang
diketahui membantunya harus dipindah atau dipecah hingga kekuaan mereka menjadi
berkurang. Lalu sahabat saya Brambang Santika telah pula meminta bantuan beberapa
tokoh silat, baik di dalam maupun di luar Istana untuk membantu menyelamatkan
Sang Prabu dan Kerajaan. Kami bertiga disini sudah sama setuju untuk minta batuan
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Dan kami bersyukur bahwa orang sakti itu
telah bersedia mengutus murid tunggalnya. Sahabat Brambang Santika dan kau
Pendekar 212, kalian kebagian tugas paling berat. Yaitu mengawasi gerak gerik para
tokoh silat di dalam dan di luar Istana yang sudah diketahui jelas membantu gerakan
Kepala Pasukan Kerajaan. Kalian berdua diberi wewenang untuk turun tangan sampai
pada kewenangan utnuk menangkap bahkan membunuh mereka. Saya yakin kita akan
dapat menggagalkan kelompok orang-orang khianat itu. Namun saat ini terus terang
ada satu hal yang mengganggu pikiran saya….”
“Coba dikatakan saja Patih. Siapa tahu kami dapat membantu,” kata
Brambang Santika.
“Seperti kalian tahu, putera tunggal saya kawin dengan Wini Kantili, putri dari
Giri Arsana, tokoh silat Jawa Barat yang bergelar Dewa Berpayung Hitam. Besan
BASTIAN TITO 17
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
saya ini sejak beberapa bulan lalu tiba-tiba saja lenyap. Tak seorangpun tahu dimana
dia berada. Sesuatu pasti telah terjadi dengan dirinya. Kalau dia memang sudah
meninggal tentu ada kuburnya. Saya dan atas permintaan anak menantu saya sudah
menebar orang menyirap kabar dan menyelidiki. Namun dimana tokoh silat itu berada
masih gelap. Kabar yang disirap oleh orang-orang saya ialah bahwa seorang nenek
sakti juga tangah mencari-cari Giri Arsana. Tampaknya seperti ada silang sengketa
besar antara besan saya dengan perempuan tua itu. Konon dia telah membunuh istri
Giri Arsana dan menculiknya….”
“Tambahan berita buruk, Paman Patih,” memotong Pendekar 212. “Orang
yang sama belum lama ini telah membunuh dan menculik Ketua Perguruan Silat
Melati Putih yaitu Sampan Gayana yang adalah putera ke empat Giri Arsana, kaka
kandung menantu Paman Patih….”
Paras Patih Kerajaan jadi berubah. “Kalau begitu berarti seluruh keluarga dan
turunan Giri Arsana berada dalam bahaya besar. Bahaya maut! Dari mana kau
mendapat berita itu Pendekar 212?” tanya sang Patih.
Wiro lantas menuturkan kisah kedatangannya ke Perguruan Silat Melati Putih.
“Pembunuhnya seorang nenek berwajah tengkorak. Lima jari tangannya bisa
mengeluarkan kuku hitam panjang….”
Patih Ganda Ariawisesa berdiri dari tempat duduknya. “Berarti nenek
pembunuh itu adalah Sriti Gandili alias Sepuluh Kuku Iblis!” katanya hampir
berteriak.
“Tapi bukankah perempuan itu sudah lama diketahui mati?” ujar Brambang
Santika yang tahu banyak tentang dunia persilatan.
Cemani Tanduwisoka menyeling. “Jangan-jangan dia hanya melenyapkan diri
untuk sementara. Mungkin membekal suatu maksud tertentu.”
“Boleh jadi,” kata Patih Kerajaan. “Namun yang saya tidak mengerti, ada
sebab musabab apa Sepuluh Kuku Iblis membunuhi anak keturunan Giri Arsana?”
“Setahu saya di masa muda dulu antara Giri Arsana dan Sriti Gandini ada
hubungan percintaan,” kata Brambang Santika.
Pendekar 212 lantas ikut bicara. “Soal perempuan tua itu jika semua disini
setuju biar saya dan Paman Brambang Santika yang mengurus. Hanya yang perlu
dipikirkan ialah keselamatan menantu perempuan Paman Patih yaitu Wini Kantili.”
“Kau betul Pendekar 212,” kata Patih Kerajaan. “Saya akan menaruh
pengawalan ketat atas dirinya….”
Wiro mengangguk. “Tapi harap jangan lupa ungkapan Belum dapat anak ular
kandangnyapun kalau perlu dirusak”
“Apa maksudmu Pendekar 212?” tanya Patih Kerajaan pula.
“Jika pembunuh tidak dapat menembus tembok pengawalan puteri Paman
Patih, bukan mustahil dia akan membunuh putera Paman Patih lebih dulu….”
Patih Ganda Ariawisesa mengangguk-angguk “Terma kasih, kau mempunyai
pikiran sedalam dan sejauh itu.”
“Untuk saat sekarang ini saya usulkan agar anak dan menantu Paman Patih
diungsikan ke satu tempat yang aman. Dan tentunya dalam penyamaran hingga sulti
diketahui orang.”
“Saya akan mengatur hal itu sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya,” kata
Ganda Ariawisesa. “Sekarang mari kita kembali pada penanganan orang-orang
khianat yang hendak memberontak.
BASTIAN TITO 18
ENAM
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Suami istri petani muda itu duduk bercakap-cakap di bawah pohon di depan kebun
sayur mereka yang luas. Saat itu menjelang sore. Keduanya tampak gembira karena
sesekali pembicaraan diseling dengan gelak tawa.
“Lucu juga kita berpura-pura jadi petani begini,” kata yang lelaki.
Sang istri menjawab. “Yang jadi pertanyaan sampai berapa lama kita harus
menyamar seperti ini?”
“Mudah-mudahan saja nenek jahat itu lekas dibekuk,” sahut sang suami.
Kedua suami istri petani ini bukan lain adalah Wini Kantili puteri Patih Ganda
Ariawisesa dengan suaminya Raden Sabrang Winata. Seperti telah direncanakan,
guna menyelamatkan kedua orang ini dari Sepuluh Kuku Iblis maka mereka
diungsikan ke pinggiran Kotaraja, menyamar sebagai suami istri petani. Selain itu
tentu saja penjagaan tersamar dilakukan. Belasan prajurit Kepatihan serta beberapa
tokoh silat siang malam bergantian menjaga kesalamatan kedua orang itu. Brambang
Santika sewaktu-waktu muncul utnuk memeriksa keadaan. Sementara itu Patih Ganda
Ariawisesa dan Wakil Kepala Pasukan Kerajaan Cemani Tanduwisoka telah berhasil
memecah kekuatan mereka yang berniat melakukan pemberontakan. Beberapa
kelompok besar pasukan yang dapat dipengaruhi kaum pemberontak dipindahkan
jauh ke pinggiran Kotaraja lalu diganti dengan pasukan-pasukan yang setia pada Sang
Prabu.
Tindakan ini rupanya tercium oleh Pagar Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan
yang merencanakan perebutan tahta. Maka diam-diam dia segera mengatur siasat.
Satu demi satu direncanakannya untuk membunuh para pejabat dan tokoh Kerajaan
yang setia pada Sang Prabu. Dalam daftar yang akan dibunuh tentu saja termasuk
nama Patih Kerajaan, Wakil Kepala Istana.
Gerakan kaum pemberontak rupanya mulai berhasil. Dua hari kemudian Istana
dilanda kegegeran karena dua orang tokoh silat ditemukan mati keracunan!
Kembali pada Raden Sabrang Winata dan Wini Kantili. Kedua suami istri ini
bersiap-siap meninggalkan kebun ketika langit sebelah Timur kelihatan tertutup asap
kelabu. Diantara warna kelabu itu kelihatan warna merah sesekali menjulang ke langit.
“Ada kebakaran di arah Kotaraja,” kata Raden Sabrang dengan perasaan
kawatir. Istrinya juga tampak gelisah. Pada saat itu dua orang pengawal muncul,
disusul oleh seorang tua berpakaian berbentuk jubah hitam. Orang ini adalah salah
satu dari tiga tokoh silat Istana yang ditugaskan untuk mengawal kedua suami istri itu.
“Raden Sabrang, saya mendapat kabar sedang terjadi kebakaran dekat istana.
Saya dan beberapa pengawal akan segera menuju Kotaraja. Yang lain-lain tetap
berjaga-jaga di sini. Harap Raden berdua jagan kemana-kemana. Masuk saja ke dalam.
“Pergilah dan kembali dengan cepat,” jawab Raden Sabrang Winata. Dia
membimbing istrinya menuju ke rumah. Namun baru beberapa langkah berjalan tibatiba
terdengar suara tawa mengekeh, disusul dengan nyanyian
Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Begitu juga anak ke empat
BASTIAN TITO 19
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Hari ini menyusul anak yang bungsu
Kubur di Pulau sudah menunggu
Belum habis kejut Raden Sabrang dan Wini Kantili, tiba-tiba sesosok tubuh
nenek berwajah angker sudah tegak di depan mereka.
“Hik…hik…hik! Kalian pandai menyamar. Tapi jangan kira aku bisa ditipu!
Sumpah sudah jatuh! Seluruh turunan Giri Arsana harus mati di tanganku! Kecuali
manusia biang racun itu muncul unjukkan diri menerima kematian!”
Raden Sabrang cepat memegang bahu istrinya dan menyuruh Wini Kantili
berdiri di depannya. Dia lalu menghadapi si nenek. Lelaki ini sudah dapat menduga
siapa adanya nenek bermuka tengkorak di hadapannya itu.
“Kau pasti manusia yang berjuluk Sepuluh Kuku Iblis! Si pembunuh kejam
orang-orang tak berdosa! Kau telah membunuh kakak Sampan Gayana dan ibu
mertuaku! Sekarang kau menginginkan jiwa istriku! Sungguh keji! Apa salah kami
semua?!”
Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis kembali tertawa panjang. “Kalian
memang tidak punya dosa. Tapi kalian menanggung dosa turunan! Dosa bapak
moyangny yang bernama Giri Arsana itu!”
Dua bayangan berkelebat. Disusul dengan gerakan-gerakan cepat. Lebih dari
sepuluh orang pengawal mengurung si nenek dan di kiri kanannya tegak dua orang
tokoh silat Istana. Salah seorang dari tokoh ini membentak.
“Perempuan sedeng! Lekas minggat dari sini atau kupatahkan batang lehermu
saat ini juga!”
Sepuluh Kuku Iblis mendongak lalu kembali tertawa panjang. Perlahan-lahan
bersamaan dengan sirapnya suara tawanya dia palingkan kepala pada orang yang
barusan menghardiknya. Telunjuk kirinya ditudingkan tepat-tepat ke muka tokoh silat
itu.
“Lelaki jelek! Aku tahu siapa dirimu! Bukankah kau kunyuk yang bernama
Camar Wungu, manusia sombong bergelar Si Tanagn Besi?! Hi…hik…hik. Aku mau
lihat bagaimana sepasang tangan besimu hendak mematahkan batang leherku!”
Lalu si nenek melangkah ke hadapan tokoh silat Istana itu sambil sorongkan
kepalanya. Camar Wungu jadi kaget sekaligus merasa marah ditantang begitu rupa.
Kedua tangannya seta merta tampak berubah menjadi kecoklat-coklatan dan keras
laksana batang besi.
“Manusia keparat! Kau memang minta mampus!” Dua tangan Camar Wungu
bergerak laksana kilat. Dalam sekejapan saja sepuluh jari tangannya sudah
mencengkeram batang leher si nenek dan mematahkannya!
Yang terdengar kemudian bukan jeritan si nenek melainkan jeritan Camar
Wungu. Cekikannya terlepas. Kedua matanya mendelik dan tubuhnya terhuyunghuyung.
Wini kantili menjerit sewaktu menyaksikan apa yang terjadi dengan tokoh
silat Istana itu. Perutnya robek besar. Darah muncrat dan ususnya membusai
mengerikan. Nyawanya tidak tertolong lagi!
“Manusia jahanam!” teriak tokoh silat yang satu lagi. Dia hunus senjatanya
yaitu sebilah pedang pendek. Lalu menyerang. Beberapa orang pengawal ikut
melompat dengan senjata di tangan.
Si nenek menyambut serangan itu dengan tawa melengking. Tubuhnya
berkelebat. Lima jari tangannya melesat ke depan. Lalu pekik terdengar susul
menyusul. Lima orang berkapar di tanah. Salah satu diantaranya tokoh silat tadi.
Mereka yang masih hidup menjadi leleh nyalinya dan tertegun tak berani bergerak.
BASTIAN TITO 20
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kesempatan ini dipergunakan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis
berkelebat menyambar tubuh Wini Kantili. Suaminya coba menghalangi dengan
berusaha menjambak rambut nenek itu. Tapi satu pukulan pada perutnya membuat dia
terlipat lalu roboh ke tanah. Di lain saat terdengar jeritan Wini Kantili. Muka dan
dadanya berlumuran darah oleh lima guratan luka yang dalam!
Raden Sabrang cepat bangkit dan berusaha mengejar ketika dilihatnya si
nenek hendak melarikan istrinya. Tapi lagi-lagi hantaman si nenek memebuatnya
jatuh tergelimpang ke tanah. Kali ini tak bangkit lagi karena tulang dadanya melesat
remuk dan dia mengalami kesulitan bernafas.
“Win…. Wini….!” Memanggil Raden Sabrang. Dia berusaha berdiri mengejar
tapi roboh lagi.
Sepuluh Kuku Iblis tertawa melengking. Tubuh Wini Kantili yang berada
dalam keadaan luka parah dan sekarat dipanggulnya di bahu kiri. Dia memandang
berkeliling lalu melompat ke arah matahari tenggelam. Namun gerakannya tertahan.
Ada dorongan angin dahsyat datang dari depan yang membuat tubuhnya terhuyunghuyung.
Tubuh Wini Kantili yang ada di panggulannya hampir terlepas. Si neenk
berseru marah sambil melompat ke kiri. Dia balas menghantam. Tapi ketika meliha
wajah orang yang menghadangnya, kedua matanya jadi terbeliak, hatinya berdenyut
penuh rasa tidak percaya. Dia membatin. “Apakah ini hanya satu kebetulan atau
manusia keparat itu memang hidup kembali? Tapi bagaimana bisa semuda ini?!”
“Perempuan jahat! Jangan harap kali ini kau bisa membunuh dan kabur
seenaknya! Turunkan puteri Patih itu cepat!” Pemuda di depan si nenek membentak.
“Siapa kau?!” si nenek balas menghardik.
“Aku utusan dari neraka yang datang untuk mengambil nyawa busukmu!”
jawab si pemuda.
“Gila!” kata si nenek lagi dalam hati. “Ucap dan lagaknya persis sama dengan
si keparat itu! Bagaimana ada dua menusia bisa mirip satu sama lain?!”
“Jangan kau berani bergurau di hadapan nenek moyangmu! Lekas menyingkir
atau kau jadi korbanku berikutnya saat ini juga!”
Yang diancam garuk-garuk kepala dan menyeringai lalu maju selangkah. Si
nenek angkat tangan kanannya siap untuk menghantam. Tapi entah mengapa tiba-tiba
saja ada rasa tidak enak dalam hatinya. Tangannya diturunkan kembali. Kesempatan
ini dipergunakan si pemuda untuk melompat coba merampas tubuh Wini Kantili. Kali
ini si nenek tidak bisa berbuat lain. Dia cepat mengelak ke kiri lalu kirimkan
tendangan kaki kanan. Tapi luput karena yang diserang sudah lebih dulu mengelak
dan membalas dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Sepuluh Kuku Iblis keluarkan pekik melengking. Tubuhnya lenyap. Tangan
kanannya mencakar ke depan. Namun aneh, sekali ini dia tidak keluarkan kuku-kuku
iblisnya. Hanya saja serangannya ini kini mengerahkan lebih dari separuh tenaga
dalamnya. Akibatnya si pemuda merasa seperti disambar angin topan. Tubuhnya
terpental. Dada pakaiannya robek. Selagi dia mencoba mengimbangi diri agar tidak
jatuh, nenek berwajah tengkorak itu kembali menyerbu dengan cakaran ke wajah
lawan, tapi lagi-lagi dia tidak keluarkan kuku-kuku iblisnya.
Dalam keadaan terdesak si pemuda menghantam sambil kerahkan tenaga
dalam. Terdengar suara angin menderu dahsyat. Si nenek terkejut dan berseru. “Jurus
dibalik gunung memukul halilintar!” Lalu dia cepat batalkan serangannya dan
menyingkir mundur dengan mata mendelik.
Si pemuda yang tentunya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terkejut
ketika mendengar lawan menyebut dengan tepat jurus ukulan yang dilancarkannya.
BASTIAN TITO 21
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Jadi kau….. Jadi kau manusia yang berjuluk Pendekar 212 itu!” kata si nenek
dengan mata masih melotot. Dalam hati dia lagi-lagi membatin. “Ah, mengapa
wajahnya begitu sama. Kepandaiannyapun tak kusangka begini hebat! Dia bisa
berbahaya. Tapi bagaimana ini! Aku tidak tega mencelakainya! Lebih baik aku lekas
pergi dari sini!”
Si nenek keruk saku pakaiannya mengeluarkan sebuah benda berwarna hitam.
Murid Eyang Sinto Gendeng yang sudah punya banyak pengalaman segera tahu
benda apa yang ada di tangan si nenek. Dia coba merampas tapi terlambat. Benda itu
telah lebih dulu dibantingkan Sepuluh Kuku Iblis ke tanah. Terdengar letupan halus.
Lalu asap tebal menggebubu menutup pemandangan sejarak tiga tombak persegi.
Wiro batuk-batuk dan cepat menyingkir. Ketika asap tebal lenyap, si nenek bersama
sosok Wini Kantili yang dipanggulnya tidak kelihatan lagi di tempat itu!
Pendekar 212 cepat mendatangi sosok Raden Sabrang yang sedang sekarat
terkapar di tanah.
“Raden….”
“Kejar….. Kejar perempuan iblis itu. Dia melarikan Wini. Tolong istriku…..”
“Terlambat. Tak mungkin dikejar. Kecuali ada yang tahu kemana perempuan
itu membawa istri Raden,” jawab Wiro lalu dia menotok tubuh Raden Sabrang di
beberapa tempat. Totokan ini tak mungkin menyelamatkan jiwa putra Patih Kerajaan
itu. Namun paling tidak dapat mengurangi rasa sakit yang dideritanya.
“Aku…aku mendengar dia menyebut-nyebut Pulau…..” kata Raden Sabrang.
Pemandangannya mulai berkunang dan gelap.
“Pulau apa…? Pulau apa Raden? Katakan cepat!”
“Dia hanya menyebut Pulau. Tidak tahu….” Ucapan Raden Sabrang terputus.
Kepalanya terkulai. Nyawa lepas sudah.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Dia memandang ke arah matahari yang
akan segera tenggelam. “Pulau….? Pulau apa? Ada banyak pulau di pantai Utara. Sau
yang terbesar Pulau Rakata. Mungkin nenek itu membawa korbannya ke sana? Tapi
untuk apa…?
Selagi Pendekar 212 berpikir-pikir tiba-tiba dari arah Barat terdengar gemuruh
suara derap kaki kuda banyak sekali. Murid Eyang Sinto Gendeng cepat palingkan
kepala. Lalu dia melihat rombongan orang-orang itu. Di sebelah depan adalah Patih
Ganda Ariawisesa. Di sebelahnya Cemani Tanduwisoka. Di sebelah belakang
menyusul Brambang Santika bersama dua orang tokoh silat Istana. Lalu di sebelah
belakang lagi puluhan perajurit Kerajaan.
Zmelihat Wiro berdiri di tempat itu Patih Kerajaan mengangkat tangan
memberi tanda agar rombaongan berhenti. Dia hendak mengaakan sesuatau pada
Wiro namun berteriak keras ketika melihat mayat-mayat yang berkaparan, dua
diantaranya adalah tokoh silat Istana yang ditugaskan untuk mengawal putera dan
menantunya. Di sebelah sana malah tampak pula sosok tubuh Raden Sabrang terkapar
tak bergerak lagi.
“Gusti Allah! Apa yang terjadi?!” teiak Patih Ganda Araiwisesa lalu
melompat turun dari kuda.
Tubuh Patih Kerajaan ini bergetar keras menyaksikan kematian puteranya itu.
Dia duduk bersimpuh di tanah dan meletakkan kepala Raden Sabrang dia tas
pangkuannya sambil menangis terisak.
“Mana Wini menantuku?!” teriaknya Sang Patih kemudian.
“Perempuan berjuluk Sepuluh Kuku Iblis yang menculiknya,” menerangkan
Wiro.
BASTIAN TITO 22
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Ya Tuhan…” Patih Ganda Ariawisesa merasakan sekujur tubuhnya menjadi
lemas. Tubuhnya terhuyung-huyung dan hampir jatuh kalau tidak lekas dipegang oleh
Wiro.
“Wini… Ya Tuhan…. Tolong dia. Selamatkan dia…”
Brambang Santika saat itu telah pula turun dari kudanya. Sambil memegang
bahu sang Patih dia berkata “Ada pengkhianat di antara kita. Kalau tidak bagaimana
mungkin Sepuluh Kuku Iblis mengetahui menantu dan puteramu berada di tempat
ini!”
Sang Patih turunkan kedua tangannya. Sepasang matanya tampak merah.
“Kau benar sahabatku. Ada pengkhianat di antara kia. Tapi siapa?!”
“Kelak musuh dalam selimut itu akan kita ketahui juga. Dia tidak bakalan
lolos! Saya berjanji akan mengorek jantungnya dengan tangan saya sendiri!” kata
Brambang Santika pula sambil mengepalkan tinju kanan.
Wakil Kepala Pasukan Kerajaan yang masih tetap berada di atas punggung
kudanya berkata untuk pertama kali. “Paman Patih, kau harap di sini saja. Biar kami
yang meneruskan pengejaran terhadap Pagar Paregreg selagi dia masih belum jauh.”
“Tidak! Aku tetap akan mengejar si Pengkhianat itu!” jawab Patih Ganda
Ariawisesa lalu berpaling pada Wiro. “Pendekar 212. Harap kau suka membantu
mengurus jenazah puteraku dan yang lain-lainnya.”
Wiro garuk-garuk kepala lalu mengangguk.
BASTIAN TITO 23
TUJUH
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis duduk termenung di tepi kawah
Gunung Krakatau. Di atasnya tujuh buah batang kelapa kini tiga di antaranya telah
berisi mayat yang diawetkan. Yang pertama istri Giri Arsana. Yang kedua mayat anak
lelakinya yaitu anak yang keempat dan yang ketiga anak bungsunya yaitu Wini
Kantili.
Yang dipikirkan si nenek kini bukan meneruskan rencananya mencari turunan
Giri Arsana yang lain guna memancing orang yang paling dibencinya itu keluar dari
persembunyiannya. Pikiran dan ingatan serta kenangan si nenek kini justru pada
murid Eyang Sinto Gendeng Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Sulit! Gila dan tidak dapat dipercaya!” katanya brulang kali dalam hati.
“Bagaimana ada kenyataan bahwa wajah pemuda itu persisi sama dengan wajah Giri
Arsana sewaktu dia masih muda? Bukan cuma wajah, lagak dan cara dia bicarapun
begitu mirip. Kalau saja aku masih muda….” Sesaat wajah si nenek tampak menjadi
merah. Dia mengusap muka tengkoraknya berulang kali. Menyadari keadaan dirinya
kedua matanya tampak berkaca-kaca. “Gila!” dia memaki lagi dalam hati. “Tak
mungkin aku harus jatuh cinta pada pemuda itu! Usiaku paling tidak tiga kali usianya.
Lalu wajahku yang begini angker! Tubuhku yang kurus kering rongsokan! Tapi gila!
Mengapa aku terus teringat padanya! Ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya
membahayakan diriku! Bisa-bisa aku celaka di tangannya sebelum sempat menuntut
balas terhadap Giri Arsana! Dan lebih celaka lagi mengapa aku seperti tidak tega
menjatuhkan tangan keras terhadapnya. Apa lagi membunuhnya! Aku harus
menghindari pemuda itu. Lain halnya kalau Giri Arsana sudah mampus di tanganku.
Mungkin aku bisa mencari seseorang yang bisa merubah raut wajah dan keadaan
tubuhku. Lalu kucari pemuda itu. Akan kucintai dia seperti ketika aku mencintai Giri
Arsana di waktu muda! Gila! Tidak! Aku tidak akan menyamakan dirinya dengan
Giri Arsana. Pemuda ini pasti jauh lebih baik. Buktinya dia berusaha menyelamatkan
anak dan menantu Giri Arsana. Ah, mengapa aku dilahirkan terlalu cepat ke dunia
ini….”
Sepanjang malam itu si nenek duduk merenung di tepi kawah Gunung
Krakatau. Dia bahkan tertidur di situ sampai pagi. Ketika sinar sang surya
menghangati wajah dan tubuhnya baru dia terbangun. Begitu bangun ingatannya
kembali tertuju pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Perlahan-lahan si nenek melangkah
mendaki lereng kawah, naik ke atas. Sinar matahari pagi tepat jatuh di kedua matanya
sehingga pemandangannya silau terganggu. Namun ketika dia mencapai bagian atas
kawah, meskipun dalam keadaan silau kedua matanya masih dapat melihat ada
seseorang tegak di hadapan deretan tujuh batang kelapa berlubang. Si nenek lindungi
matanya dengan telapak tangan menghindari silaunya sinar matahari. Kini dia dapat
melihat siapa adanya orang itu dan dia jadi terkejut hingga berseru.
“Kau!”
Orang yang tegak di depan deretan batang kelapa itu tampak tenang-tenang
saja. Sesaat kemudian baru dia menjawab.
“Akhirnya kutemui juga kau! Tidak meleset dugaanku kalau kau memang
berada di Pulau Rakata ini. Yang aku cuma heran mengapa kau melakukan semua
kegilaan ini?!”
“Pendekar 212, apapun yang kulakukan adalah urusanku sendiri. Bukan
urusanmu ataupun urusan orang lain!”
BASTIAN TITO 24
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Murid Eyang Sinto Gendeng gelengkan kepala. “Jika pembunuhan terjadi atas
diri orang-orang tak berdosa, apalagi sampai menyangkut kematian menantu dan
putera Patih Kerajaan maka urusan menjadi urusan semua orang. Menjadi urusan
orang-orang rimba persilatan!”
“Kentut busuk!” teriak si nenek muka tengkorak. “Apakah kalian orang-orang
persilatan juga mau tahu apa yang dilakukan orang terhadap diriku? Derita sengsara
apa yang kualami selama hidupku!”
“Harap maafkan. Kalau kau menyebut hal itu aku mana tahu. Orang lain juga
tidak mau tahu menyangkut urusan pribadimu…”
Si nenek tersenyum. “Pasti…Memang selalu begitu akan kudengar ucapan
orang! Munafik! Semua munafik!”
“Nenek….Coba kau terangkan mengapa kau membunuh ke tiga orang ini, lalu
menculiknya. Mengawetkan tubuh mereka lalu memasukkannya ke dalam lobanglobang
batang kelapa ini!” bertanya Wiro.
“apa perdulimu! Justru kau yang harus menjawab pertanyaanku! Ada perlu
apa kau datang ke tempat ini? Menyelidik dan mengejarku?! Kau tahu Gunung
Krakatau adalah daerah kekuasaanku. Neraka bagi siapa saja yang berani datana
kemari. Menginjakkan kaki di sini berarti mati! Termasuk aku!”
Wiro menatap wajah tengkorak sesaat. Hal ini membuat dada si nenek jadi
berdebar. Kenangan lama di masa muda membuat dirinya seolah terbakar. Perlahanlahan
dia alihkan pandangan matanya ke tempat lain. Seperti dia tidak kuasa balas
menatap pandangan mata pemuda di hadapannya itu.
“Terus terang aku memang menyelidik dan mengejarmu. Penyelidikan dan
pengejaranku berakhir sampai di tepi kawah ini. Sekarang aku meminta padamu agar
menghentikan semua kegilaan ini! Jika kau punya dendam kesumat terhadap
seseorang, bukan begini caranya membalas sakit hati!”
“Hemm… ucapanmu terdengarnya bagus sekali. Kau punya hati kemanusiaan
yang tinggi! Tapi dengan caramu itu kau membela orang lain dan mencelakai diriku!”
“Aku tidak mencelakakan siapa-siapa. Aku akan segera meninggalkan tempat
ini tapi dengan membawa ketiga mayat ini. Kau harus menolongku menggotongnya
ke pantai dan memasukkannya ke dalam perahu.”
Si nenek melongo lalu tertawa mengekek. “Aku bukan kacungmu! Jika kau
inginkan ketiga mayat itu silahkan ambil! Tapi jangan lupa. Tinggalkan dulu
nyawamu di Pulau Rakata ini!”
“Ini pembicaraan dan urusan gila tidak akan habis-habisnya!” kata Wiro masih
bisa menyeringai. “Kau mau menolongku membawa mayat-mayat ini ke pantai?
Cukup dengan menyeret batang kelapanya saja”
“Aku ingin membunuhmu!” jawab si nenek. Kata-kata itu diucapkannya
dengan hati perih karena di lubuk hatinya dia tidak tega membunuh pemuda ini.
Wiro yang sadar bahwa perkelahian tak mungkin dihindari lagi segera
memasang kuda-kuda. Begitu si nenek menyerbu dia menghantam dengan pukulan
“segulung ombak menerpa karang”
Si nenek yang sudah tahu kehebatan lawannya tidak mau kalah. Dia
dorongkan kedua tangannya ke arah Wiro. Dua gulung angin melesat didahului oleh
suara keras. Sedang dari mulutnya nenek muka tengkorak itu keluarkan suara seperti
lolongan srigala yang menggidikkan.
Pendekar 212 tersentak kaget ketika melihat bagaimana pukulan saktinya
musnah dihantam dua gelombang angin serangan lawan. Pemuda ini cepat
menghantam dengan dua serangan sekaligus.Tangan kiri melepas pukulan “kunyuk
BASTIAN TITO 25
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
melempar buah” sedang tangan kanan menghantamkan pukulan “kilat menyambar
puncak gunung!”
Sepuluh Kuku Iblis berteriak keras. Tubuhnya lenyap dari pemandangan. Di
lain saat Wiro melihat ada lima larik sinar hitam membabat ke arahnya! Si nenek
rupanya sudah keluarkan ilmu kesaktian yang paling diandalkannya yaitu kuku-kuku
iblis!
Wiro cepat menyingkir. Tapi breeeettt! Baju putihnya masih sempat disambar
hingga robek besar di bagian dadanya. Selagi dia terkesiap kaget begitu rupa si nenek
kembali menyambar dengan lima kuku mautnya. Kali ini Wiro tidak berkesempatan
untuk menghindar. Sesaat lagi lima kuku itu akan merobek muka Pendekar 212 si
nenek tiba-tiba tarik pulang tangannya. Rasa cintanya yang aneh membuat dai tidak
tega meneruskan serangannya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng cepat melompat ke depan dan susupkan satu
pukulan keras ke dada si nenek. Sepuluh Kuku Iblis menjerit setinggi langit. Salah
satu tulang iganya remuk. Tubuhnya terpental ke tepi kawah. Darah kelihatan
mengucur di sela bibirnya. Tapi hebatnya perempuan tua ini bangkit berdiri dengan
cepat. Sepasang matanya seperti menyala.
“Bodoh! Terlalu bodoh aku menenmkan rasa suka terhadap pemuda ini! Aku
menyukainya tapi dia inginkan nyawaku! Lebih baik mati sama-sama!” kata Sepuluh
Kuku Iblis dalam hati. Dia ulurkan kedua tangannya. Sepuluh kuku ini tampak
mencuat mengerikan ke arah Wiro. Perlahan-lahan si nenek melangkah mendekati
Wiro. Mulutnya komati kamit membaca mantera. Tiba-tiba dia menghantam ke depan.
Sepuluh larik cahaya hitam menyambar. Wiro yang sudah menunggu membalas
serangan lawan dengan “pukulan sinar matahari.” Cahaya putih panas dan
menyilaukan berkiblat.
Si nenek terdengar elengking tinggi. Tubuhnya lenyap. Pukulan sinar
matahari menghantam pinggiran kawah hingga tanah kawah hancur terbang sampai
setinggi lima tombak. Wiro merasakan ada angin menyambar di belakangnya. Dia
cepa berpaling. Tapi terlambat. Satu dorongan angin yang sangat deras menghantam
dadanya. Tak ampun lagi tubuhnya erpental dan jatuh ke dalam kawah!
Si nenek berseru kaget. Menyesal menyaksikan bagaimana pukulan sakti yang
dilepaskannya tadi dengan mengandalkan seluruh tenaga dalamnya itu membuat
mental si pemuda begitu rupa. Dia melompat memburu sambil ulurkan tangan
kanannya. Berusaha menangkap pergelangan kaki kiri Wiro. Namun terlambat tak ada
gunanya. Tubuh murid Eyang Sinto Gendeng itu telah melayang jatuh menuju kawah
Gunung Krakatau yang mendidih!
Si nenek hanya bisa tertegun di tepi kawah. Tubuhnya lemas. Kedua matanya
dipejamkan. Perlahan-lahan dia terduduk di tepi kawah dengan sepasang mata
berkaca-kaca.
“Aku begitu menyukainya. Tapi dia keliwat memaksa. Menyesal aku
menurunkan tangan keras padanya. Lebih baik aku mati saja menysulnya!” Sriti
Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis tiba-tiba berdiri dan siap hendak melompat
menghambur kawah Gunung Krakatau. Namun seperti ada suara yang mengiang di
telinganya. “Tak ada gunanya mati bagimu! Kematianmu hanya akan memberi
peluang bagi orang yang sangat kau benci itu bisa kembali hidaup bebeas di dunia ini!
Jangan jadi orang tolol!”
“Keparat!” si nenek memaki. “Hampir aku tertipu oleh kebodohanku sendiri!”
Dia menatap ke arah kawah di kejauhan sana. Lalu perlahan-lahan diputarnya tubunya.
“Tiga nyawa sudah kukirim ke neraka. Menyusul kini nyawa ke empat, kelima dan
BASTIAN TITO 26
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ketujuh! Masakan keparat itu tidak akan keluar dari persembunyiannya! Manusia
busuk! Lalaki pengecut!”
BASTIAN TITO 27
DELAPAN
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Goa itu terletak di kaki timur Gunung Karang. Bagi orang yang tidak
tahu seluk beluk daerah sunyi dan jarang didatangi manusia itu pasti tidak akan
mengetahui kalau di situ terdapat sebuah goa. Apalagi goa ini terlindung oleh
sederetan pohon jati tua dan mulutnya tertutup oleh semak belukar lebat.
Di kawasan kaki gunung yang sunyi senyap itu tiba-tiba menggelegar suara
auman binatang buas. Seekor harimau raksasa berwarna kuning belang hitam,
mendekam di tanah. Tengkuknya merunduk, mulutnya terbuka lebar memperlihatkan
gigi dan taring-taringnya yang besar runcing mengerikan. Binatang ini siap melompati
sesosok tubuh yang tegak di hadapannya. Orang yang bakal menjadi mangsa raja
rimba itu adalah seorang nenek bertubuh kurus dan berkulit sangat hitam. Sekujur
daging tubuhnya hanya tinggal kulit pembalut tulang. Termasuk kulit mukanya
hingga wajahnya tidak beda seperti tengkorak hidup. Sepintas dia kelihatan seperti
Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis. Tapi jika diperhatikan banyak kelainannya.
Nenek satu yang ada di rimba belantara ini menghiasi kepalanya dengan lima buah
tusuk kundai dari perak. Kelima tusuk kundai itu tidak mungkin disisipkan pada
rambut putihnya yang sangat jarang. Karenanya benda-benda itu disusupkan oada
kulit kepalanya! Sepasang alisnya berwarna putih. Ongga mata dan kedua pipinya
sangat cekung hingga wajahnya jelas jauh lebih angker dari nenek yang bergelar
Sepuluh Kuku Iblis!
Menghadapi harimau raksasa yang siap menerkamnya si nenek tegak
tenang-tenang saja. Malah sambil menyeringai dia bolang balingkan tongkat kayu di
tangan kanannya. Gerakan tongkat ini diikuti dengan pandangan mata liar harimau
besar di hadapannya. Binatang ini menggereng lalu mengaum keras membuat rimba
belantara itu seperti bergetar.
Si nenek bukannya takut malah tertawa mengekeh.
“Raja rimab!” katanya berseru. “Apa untungnya menerkam diri tua bangka
ini! Tubuhku tak berdaging lagi! Tulangku keras dan a lot! Kau cari saja mangsa yang
lain!”
Raja hutan kembali mengaum seolah tahu apa ang diucapkan si nenek.
Kedua kaki depannya dicakar-cakarkan ke tanah. Mulutnya dibuka lebar-lebar.
“Kalau kau tidak mau mendengar ucapanku, kau bakal menyesal!” seru si
nenek lagi. Lalu tonglat yang dipegangnya dilemparkan ke arah binatang buas itu.
Aneh, begitu dilempar tongkat ini langsung memukul ke arah kepala harimau besar.
Pukulan yang cukup keras itu membuat sang harimau kesakitan dan mangaum marah.
Sesaat dia jadi bingung apakah akan terus menrkam si nenek atau menerkam tongkat.
Selagi dia kebingungan seperti itu tongkat kembali menghantam kepalanya berulang
kali. Pinggiran matanya sebelah kiri robek dan mengucurkan darah. Tak tahan
menderita sakit apalagi tidak mempu berbuat apa terhadap tongkat itu harimau besar
ini akhirnya melarikan diri masuk ke dalam rimba belantara.
Si nenek ulurkan tangannya.tongkat melayang masuk ke dalam
genggamannya. Sambil meneyeringai dia memandang berkeliling. Lama dia
memperhatikan deretan pohon-pohon jati yang berusia puluhan tahun di sekelilingnya.
“Goa itu seharusnya berada di sekitar sini. Aneh….kenapa tidak kelihatan
lagi? Tak mungkin lenyap begitu saja!” si nenek berkata dalam hati. Kesal mencaricari
dan apa yang dicari tidak bertemu akhirnya kembali perempuan tua ini
pergunakan tongkatnya untuk melakukan hal yang mustahil mampu diperbuat oleh
BASTIAN TITO 28
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
orang lain. Tongkat di tangannya perlahan-lahan berubah jadi lebih panjang. Dengan
benda ini dia menerabas kian kemari. Dalam sekejapan mata saja semak belukar di
sekitar itu habis rambas dibuatnya. Tak lama kemudian terdengar suaranya berrseru.
“Ooooooo…ooo! Itu dia! Ternyata memang tidak lenyap!” Si nenek
melompat kehadapan mulut goa yang kini kelihatan jelas setelah semak belukar yang
menutupinya dibabat habis dengan tongkatnya tadi.
Sesaat si nenek tegak di depan mulut goa. Kepalanya didongakkan sedikit
lalu dia menghirup dalam-dalam. Mulutnya menyeringai. Kemudian terdengar
tawanya mengekeh.
“Aku mencium baumu tua bangka jelek!” si nenek berteriak. “Dewa
Berpayung Hitam! Aku tahu kau ada di dalam!”
Suara teriakan si nenek bergema masuk ke dalam goa lalu muncul lagi di
mulut goa secara aneh dan keras disertai deru angin membuat si nenek tersentak.
“Kau tak mau menjawab! Jangan coba menipuku! Kalau ku sulut api ke
dalam goa kau bakal jadi tulang belulang gosong! Beginikah sambutanmu menerima
tamu yang datang dari jauh?!”
Dari dalam goa tiba-tiba terdengar gema suara tawa mengekeh.
“Tamu yang banyak mulut! Aku belum melihat tampangmu, belum tahu
siapa kamu! Tapi silahkan masuk! Sudah enam bulan lebih memang aku tidak pernah
melihat manusia!”
Nenek di mulut goa batuk-batuk lalu menerobos masuk ke dalam. Goa ini
ternyata cukup dalam dan berkelok-kelok. Tapi anehnya semakin ke dalam semakin
terang. Akhirnya dia sampai di sebuah mata air.
“Aneh, bagaimana bisa ada mata air dalam goa ini!” kata si nenek. Dia
menengadah ke atas. Di langit-langit goa ada sebuah celah kecil. Dari sinilah cahaya
matahari masuk menerangi bagian dalam goa!
Nenek itu turunkan kepalanya kembali. Pandangannya langsung tertuju ke
seberang mata air dimana kelihatan sebuah payung hitam lebar dan keadaan terbuka,
terletak di lantai batu.
“Konyol!” si nenek memaki. “Sudah diketahui orang kau berada di sini
masih saja coba sembunyi di balik payung! Kalau tidak lekas kau singkirkan payung
itu jangan menyesal kalau kurobek-robek!” Si nenek lalu angkat tangannya yang
memegang tongkat.
Dari balik payung terdengar suara tawa mengekeh. Payung hitam lebar itu
perlahan-lahan menciut kuncup.
BASTIAN TITO 29
SEMBILAN
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Di balik payung itu kini tampak duduk bersila seorang kakek berwajah
putih klimis, bermata cekung dan berpipi kempot. Dia mengenakan jubah putih dan di
bahu serta dadanya diselempangkan sehelai kain hitam, sehitam warna payungnya.
Orang ini memandang tersenyum pada si nenek. Tangannya bergerak menyandarkan
payung hitam yang baru ditutupnya ke dinding goa.
“Ternyata kau tidak kalah jelek dengan diriku!” kata si nenek lalu tertawa
mengekeh. Kakek di seberang mata air ikut-ikutan tertawa hingga goa itu jadi bising
dan bergetar oleh suara tertawa kakek nenek ini.
“Giri Arsana! Kau….”
“Tunggu dulu!” si kakek memotong ucapan si nenek. “Sebagai tuan rumah
aku mungkin tidak bisa bersikap ramah. Juah-jauh datang kemari kau tentu haus! Jika
ingin minum silahkan ambil sendiri! Maksudku minum dari telaga itu!”
“Sialan kau!” memaki si nenek. “Nyawamu terancam dan kau masih saja
bisa bicara ngacok!”
“Sinto Gendeng, ada apa kau datang jauh-jauh dari gunung gede ke goaku
ini?!” bertanya si kakek.
Ternyata si nenek adalah Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro
Sableng sedang si kakek bukan lain adalah Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam
yang selama enam bulan terakhir ini melenyapkan diri dari dunia persilatan tak
tahunya sembunyi di dalam goa di kaki Gunung Karang.
“Kau melakukan tindakan pengecut yang memalukan tokoh-tokoh silat
seangkatan! Apa kau sada melakukan hal itu!”
“Tentu saja aku sadar Sinto. Tapi tindakanku bukan pengecut!”
Sinti Gendeng tertawa membahak. “Kau bersembunyi di sini! Kau bilang
bukan pengecut! Kau tahu apa yang terjadi di luar sana? Istrimu telah dibunuh oleh
Sriti Gandini. Anak lelakimu yang keempat juga mati di tangannya. Belum lama
berselang puterimu yang kawin dengan putera Paih Kerajaan juga telah dibunuh!
Ketiga mayat mereka tidak ditemukan!”
Kakek berwajah klimis tundukkan kepala. Lalu terdengar dia menghela
nafas panjang. “Aku tahu kemana Sriti Gandini membawa mayat-mayat anak
istriku….”
“Kalau kau sudah tahu apa yang terjadi mengapa masih tega-teganya
sembunyi di goa ini?!” sentak Sinto Gendeng. “Apa kau ingin melihat seluruh
turunanmu dihabisi orang?!”
“Mungkin sudah saatnya aku keluar goa ini dan berhadapan dengan
perempuan sesat itu!”
“Enak saja mulutmu berkata begitu! Lelaki selalu menuduh perempuan
sesat! Aku tanya kau atau dia yang sesat?” bentak Sinto Gendeng sambil melototkan
mata.
“Yah…. Mungkin aku yang sesat….”
“Bukan mungkin. Tapi jelas-jelas kau memang sesat!”
“Ya….ya! Kami berdua sama sesatnya!”
“Nah itu lebih baik dan lebih adil!” ujar Sinto Gendeng pula. ‘Lebih cepat
kau keluar dari sini lebih baik! Lebih cepat kau membuat perhitungan dengan
perempuan itu akan lebih baik hingga kami orang-orang di dunia persilatan bisa
BASTIAN TITO 30
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
terhindar dari rasa memihak. Eh, kakek peot, apa yang menyebabkan kau sampai
kabur dan mendekam ke tempat ini?”
Giri Arsana tak mau menjawab.
“Kau merahasiakan sesuatu?”
“Tadinya memang. Tapi biarlah aku katakan padamu. Aku tengah
mengamalkan ilmu baru. Guna dapat menghadapi Sriti Gandini…”
“Ilmu apa? Sudah tua bangka dan hampir masuk liang kubur ini kau masih
hendak menciptakan ilmu baru? Luar biasa! Aku kagum padamu. Tapi apa tidak
terlambat?”
“Memang terlambat! Rasanya aku tidak siap. Ku tidak bakal mampu
menghadapi perempuan itu. Dia telah mengetahui kelemahan dan cara mengalahkan
diriku. Aku tangah berusaha mencari penangkalnya, tapi rasanya tidak bakalan
dapat….” Wajah si kakek sesaat tampak sedih.
“Giri….Giri….Itulah akibat kalau diwaktu muda terlalu mengumbar nafsu.
Perempuan mana yang tidak bakal jadi nekad dan ingin membunuhmu. Selagi muda
kau jadikan Sriti Gandini sebagai kekasihmu. Pasti kau sudah tidur-tidur dengan dia!”
Sinto Gendeng melihat wajah si kakek merah sesaat. Lalu dia meneruskan ucapannya.
“Setelah kau berpuas-puas dengan dirinya lalu kau cari kekasih lain. Kau tinggalkan
dia. Tapi kemudian tiba-tiba kau muncul lagi menemuinya. Merayunya dan berjanji
akan mengawininya. Hal itu terjadi berulang kali. Yang paling menyakitkan hatinya
adalah ketika akhirnya kau mengawini adiknya. Tapi selagi perempuan itu
menghamili anaknya yang pertama kau tinggal kabur. Syukur si anak mati ketika lahir
hingga dia tidak ikut menerima malu dan derita hidup karena kelakuan bapaknya yang
gila sepertimu! Ketika istrimu itu meninggal karena sakit, kau kembali menemui Sriti
Gandini. Perempuan itu karena cintanya padamu masih mau berbuat ketololan
menerimamu. Tapi kemudian lagi-lagi kau tingalkan dirinya. Kau pergi ke seberang
memboyong seorang perempuan lain yang kau jadikan istri hingga kau mendapatkan
lima orang anak. Dua anakmu sudah mati di tangan Sriti Gandini. Juga istrimu!
Sekarang kau rasakan sendiri pembalasan sakit hatinya.”
“Yang aku sayangkan…” kata Giri Arsana pula. “mengapa dia
melakukannya ketika kita sudah tua bangka begini rupa? Kenapa dia tidak
membunuhku saja sejak dulu-dulu!”
Sinto Gendeng mendengus. “Dendam kesumat tidak mengenal waktu Giri.
Aku yakin perempuan itu sengaja menunggu sampai mengetahui dimana letak
kelemahanmu…”
“Kau benar,” kata Giri Arsana. Dia tampak termenung. Lalu terdengar dia
berucap. “Di usia setua ini seharusnya hidupku dalam ketentraman. Tapi apa mau
dikata…”
“Apa mau dikata,” menyambung Sinto Gendeng, “Nasi sudah menjadi bubur.
Sekarang silahkan kau makan sendiri buburnya.” Sinto Gendeng lalu tertawa gelakgelak.
Dia bolang-balingkan tongkatnya beberapa kali. “Aku pergi duluan Giri. Aku
menyesal tidak dapat membantumu….. Hanya kau sendiri yang bisa menyelamatkan
tiga orang anakmu yang masih hidup dan memebersihkan dirimu dari lumpur
dendam.”
“Bagaimanapun kau telah melakukan sesuatu yang sangat berharga bagiku,
Sinto. Mungkin kita tidak akan berjmupa lagi….”
Sinto Gendeng sesaat tampak terharu. Sebelum dia lebih jauh tenggelam
dalan perasaannya cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Tak lama setelah si nenek
pergi, Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam berkelebat pula
meninggalkan goa.Dia tahu dia bakal menghadapi kematian cepat atau lambat. Dulu
BASTIAN TITO 31
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dia merasa takut memikirkan hal itu. Namun kini ada rasa tegar dalam dadanya untuk
menghadapi kenyataan yang bakal terjadi dengan tabah.
BASTIAN TITO 32
SEPULUH
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Patih Ganda Ariawisesa memimpin sendiri pengejaran terhadap gembonggembong
pemberontak yang dipimpin oleh Pager Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan.
Sebelumnya para pemberontak dengan sengaja telah menimbulkan kebakaran di
Kotaraja dengan maksud mengalihkan perhatian orang-orang Istana. Namun gelagat
yang tidak baik ini sudah tercium oleh Patih Ganda Ariawisesa. Sang Prabu bersama
permaisuri dan putera-puteri mereka yang masih kecil-kecil segera diungsikan ke satu
tempat rahasia. Di Istana terjadi pertempuran seru antaa pemberontak dengan mereka
yang setia pada Kerajaan. Pertempuran ini hanya berlangsung sebentar karena setelah
diberi aba-aba oleh Pagar Paregreg, pihak pemberontak segera kabur meniggalkan
Istana. Langsung saja Patih dan Wakil Kepala Pasukan serta Brambang Santika dan
puluhan perajurit melakukan pengejaran. Dalam pengejaran inilah Patih Kerajaan
mendapat pukulan berat atas kematian putera dan lenyapnya menantunya akibat ulah
jahat Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis.
Setelah mempercayakan jenazah pada Pendekar 212 Wiro Sableng, Patih
Kerajaan bersama rombongannya meneruskan melanjutkan pengejaran.
Pihak yang dikejar melarikan diri ke arah Barat menyusuri rimba belantara di
sebuah kaki bukit.
“Paman Patih,” berkata Cemani Tanduwisoka yaitu Wakil Kepala Pasukan
Kerajaan dengan suara keras-keras agar terdengar di antara derap kaki kuda yang
bergemuruh. “Di depan sana adalah salah satu daerah pemusatan pasukan
pemberontak. Jika kita terus mengejar jangan-jangan mereka sengaja menjebak kita!”
Patih Ganda Ariawisesa yang masih dipengaruhi hawa amarah akibat
kematian putera yang kehilangan menantunya tanpa terpikir menjawab dengan suara
lantang. “Percepat saja lari kudamu!” Sebentar lagi kita akan berhasil mengejar
mereka!”
Saat itu memang jarak antara pihak yang melarikan diri dengan yang mengejar
hanya terpisah sekitar dua puluh tombak. Di jalan yang agak mendaki Patih Kerajaan
mengharapkan akan dapat mengejar Pagar Paregreg dan kawan-kawannya. Namun
baru saja Patih Ganda Ariawisesa mengeluarkan ucapan tadi, tiba-tiba dua batang
pohon di kiri kanan jalan tumbang bergemuruh. Bersamaan dengan itu dari manamana
berlesatan berbagai macam senjata rahasia. Dalam keadaan seperti itu tanah di
depan pihak pengejar mendadak bergerak secara aneh. Rupanya tanah ini sebelumnya
ditutupi dengan papan-papan tebal yang bisa ditarik ke pinggir jalan dan kini
terbentang sebuah lobang besar yang bagian dalamnya ditancapi bambu-bambu
runcing sedang di dasarnya belasan ekor ular berbisa tampak bekeliaran kian kemari!
Terjadilah neraka bagi pihak pengejar.
Belasan perajurit menemui ajalnya. Ada yang tertimpa pohon yang sebelumna
telah ditebang dan sengaja ditumbangkan. Ada yang ditembus berbagai senjata
rahasia dan banyak pula yang menemui kematian tertancap bambu-bambu runcing
yang mencuat di dalam lobang! Pekik jerit kematian dan suara ringkikan kuda
bergabung jadi satu terdengar mengerikan.
Dua tokoh silat Istana yang ikut melakukan pengejaran berhasil
menyelamatkan diri dari hantaman tumbangan pohon, namun keduanya menderita
luka-luka cukup parah disambar beberapa senjata rahasia. Salah seorang dari mereka
berhasil melompat menghindar dari jatuh ke dalam lobang maut. Namun ketika dia
berusaha menolong kawannya yang telah lebih dulu terbanting jatuh ke dalam lobang,
BASTIAN TITO 33
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
satu tendangan menghantam punggungnya, membuat orang ini tak ampun lagi
bersama kawan yang hendak ditolongnya jatuh masuk ke dalam lobang. Yang satu
menemui ajal begitu perutnya ditembus batangan bambu runcing. Satunya lagi hanya
bisa menjerit-jerit diserang dan dipatuki ular berbisa.
Siapakah yang tadi telah menendang tokoh silat Istana? Tidak seorangpun
sempat memperhatikan.
Patih Ganda Ariawisesa dan Cemani Tanduwisoka dengan kepandaian
masing-masing berhasil menghindar dan menangkis serangan belasan senjata rahasia.
Mereka juga selamat dari tertimpa tumbangan dua buah pohon besar. Akan tetapi
tubuh mereka yang terpental dari atas kuda celakanya jatuh terlempar ke arah lobang
jebakan yang penuh dengan tancapan bambu-bambu runcing serta ada belasan ular
berbisanya!
Kuda tunggangan Cemani terjerumus jatuh masuk ke dalam lobang, meringkik
keras kelojotan ketika bambu-bambu runcing menembus tubuhnya. Naisb baik bagi
Waki Kepala Pasukan Kerajaan ini karena dia bisa jatuh berdiri tepat di atas tubuh
kuda yang tengah sekarat, tegak diantara tiga batang bambu.
Sebaliknya Patih Ganda Ariawisesa bernasib lebih malang. Dirinya terjerumus
ke dasar lobang, terjepit di antara batang bambu. Begitu kakinya menempel di tana
lobang, belasan ular berbisa segera menyerbu. Patih ini keluarkan kesaktiannya,
menghantam dengan pukulan-pukulan mengandung hawa panas. Beberapa ekor ular
mati berkaparan seperti kena panggang. Namun lebih banyak lagi yang datang,
membuat Sang Patih terpaksa memanjat bambu untuk selamatkan diri.
Selagi Ganda Ariawisesa berjuang selamatkan nyawanya dia melihat satu hal
yang tidak bisa dipercaya dan membuatnya marah luar biasa!
Saat itu Cemani Tanduwisoka tengah berusaha mencapai tepi lobang untuk
selamatkan diri. Ketika dilihatnya Brambang Santika berdiri di tepi lobang, dia segera
mengulurkan tangan minta bantuan. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh tidak
terduga. Brambang Santika yang merupakan tangan kanan kepercayaan Patih Ganda
Ariawisesa bukan menolong Wakil Kepala Pasukan Kerajaan itu melainkan malah
menendang dadanya dengan keras sehingga Cemani terpental. Dia berusaha bergayut
pada salah satu bambu namun pegangannya terlepas. Tak ampun lagi tubuhnya
terjerumus masuk ke dasar lobang. Saat itu juga belasan ular menyerangnya. Suara
jeritan Cemani Tanduwisoka sungguh menggidikkan!
“Dimas Brambang!” teriak Patih Ganda Ariawisesa melihat kejadian itu. Saat
itu dia sampai terlupa meneruskan memanjat bambu untuk selamatkan diri. “Apa
yang telah kau lakukan?!”
Tambah terkejut Sang Patih ketika dilihatnya pembantu yang sangat
dipercayanya itu tertawa bergelak. “Patih Kerajaan! Kau terlalu picik untuk melihat
kenyataan!”
“Apa maksudmu?!” bentak Sang Patih. Saat itu seekor ular menjalar di bambu
dimana dia berada, berusaha mematuknya. Ganda Ariawisesa memukul ke bawah.
Ular itu terpental jatuh dan mati tetapi bambu tempat dia bergantung patah. Secepat
kilat Ganda melompat ke bambu di sebelahnya.
“Sobatku Brambang Santika! Biar aku yang menjawab pertanyaan Patih tolo
itu!” satu suara terdengar. Diiringi beberapa tokoh silat Istana dan puluhan perajurit,
di tepi jalan muncul Pagar Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan pengkhianat yang jadi
pucuk pimpinan kaum pemberontak.
Tentu saja kejut Patih Ganda Ariawisesa bukan alang kepalang. Matanya
memandang melotot berganti-ganti ke arah Pagar Paregreg dan Brambang Santika.
BASTIAN TITO 34
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pagar Paregreg maju selangkah ke tepi lobang. “Patih Kerajaan, sahabatmu
Brambang Santika adalah orangku. Apa itu masih belum jelas bagimu?!”
“Manusia pengkhianat terkutuk!” teriak Patih Ganda Ariawisesa. “Berarti kau
juga yang bocorkan rahasia penyamaran anak dan menantuku! Manusia kotor!”
Sambil bergantung ke bambu dengan tangn kirinya, patih menghantam ke arah
Brambang Santika dengan tangan kanannya.
Wuuttt!
Selarik angin deras mengandung hawa panas menyambar ke arah Brambang
Santika. Orang ini cepat menunduk lalu balas lepaskan pukulan tangan kosong yang
tak kalah dahsyatnya. Dalam keadaan seperti itu tak ada kemungkinan bagi Ganda
Ariawisesa untuk mengelak. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah
menangkis pukulan lawan dengan pukulan pula.
Dalam hal tenaga dalam memang Sang Patih mempunyai kemampuan lebih
tinggi dari Brambang Santika. Namun dia kalah cepat dalam bergerak. Pukulan lawan
sampai lebih dulu hingga tubuhnya bergetar hebat sementara batang bambu
tempatnya bergantung berderak-derak lalu pecah! Tak ampun lagi Ganda Ariawisesa
jatuh terjerumus ke dalam lobang. Di bawahnya enam ekor ular sama-sama
meluruskan kepala menunggu jatuhnya tubuh Patih Kerajaan itu. Dengan susah payah
Ganda Ariawisesa berusaha menggapai tiang bambu terdekat. Namun saat itu Pagar
Paregreg tampak mengangkat mayat seorang perajurit Kerajaan, lalu sosok mayat itu
dilemparkannya ke arah Ganda Ariawisesa. Diberati timpaan tubuh seperti itu jelas
Patih Kerajaan tak akan mempu menyelamatkan diri. Tubuhnya akan terjatuh ke dasar
lobang, diambut oleh belasan ular berbisa!
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. Sebuah tongkat
menyusup ke bawah ketiak kanan Patih Ganda Ariawisesa. Sebelum dia tahu apa
yang terjadi, tubuhnya terangkat dengan keras ke atas. Lalu seperti sebuah benda
membal yang disentakkan ke atas tubuh Patih Kerajaan itu melayang ke udara, untuk
kemudian jatuh sekitar tiga tombak dari tepi lobang maut. Dalam keadaan seperti itu
Sang Patih masih mampu jatuh ke tanah dengan kedua kaki menjejak lebih dulu. Dia
cepat membalik, tepat pada saat semua orang yang ada di situ sama-sama dilanda rasa
kejut.
Di tepi lobang sebelah kiri, berdiri seorang nenek hitam tinggi. Mukanya
seangker setan dan kepalanya ada lima tusuk kundai perak. Tangan kanannya
memegang sebuah tongkat kayu buruk. Dengan benda inilah tadi dia mengait ketiak
Patih Kerajaan dan menyelamatkannya.
“Eyang Sinto Gendeng!” seru Patih Ganda Ariawisesa begitu dia mengenali si
nenek.
Yang dipanggil namanya tidak berpaling ataupun menjawab. Sinto Gendeng
tegak tak bergerak. Hanya kedua matanya yang menyeramkan memandang tak
berkesip ke arah Kepala Pasukan Kerajaan yang berkhianat, lalu pada Brambang
Santika. Ketika dia melihat pada beberapa tokoh silat sesat yang mau-mauan iktu
membantu pihak pemberontak, Sinto Gendeng unjukkan tampang angker dan berkata
“Dunia persilatan sedang kisruh. Kalian bukannya ambil bagian untuk mencari
perbaikan, malah kini masuk ke dalam kubangan lumpur, mengotori diri dengan jadi
kaki tangan pemberontak! Pangkat dan bayaran berapa yang dijanjikan untuk
kalian?!”
Jika saja yang bicara itu bukan Sinto Gendeng beberapa tokoh silat Istana
yang bergabung dengan Pagar Paregreg pasti sudah menyerbu dab menghantam
habis-habisan. Namun karena tahu siapa adanya nenek tinggi hitam ini, mereka
BASTIAN TITO 35
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
terpaksa menahan diri dan menunggu sampai Pagar Paregreg bergerak atau
memberikan perintah.
Lain halnya dengan Brambang Santika. Orang ini memang tahu betul
kehebatan Sinto Gendeng. Tapi jika dia bersama Pagar Paregreg dan beberapa tokoh
silat itu mengeroyok si nenek, mana mungkin mereka akan kalah. Maka diapun
keluarkan ucapan mengejek.
“Perempuan tua! Apakah yang kau ketahui tentang urusan Kerajaan. Jangan
campur adukkan soal Kerajaan dengan soal dunia persilatan. Kau sebaiknya bertapa
saja di Gunung Gede!”
Darah Sinto Gendeng seperti mendidih mendengar kata-kata Brambang
Santika itu. Namun si nenek masih bisa sunggingkan senyum malah tertawa
melengking.
“Bocah jelek! Kau tentu dijanjikan jabatan tinggi oleh para pengkhianat!
Selama ini kau banyak berhubungan dengan orang-orang persilatan. Namun ternyaa
kau tidak banyak mengenal kehidupan kami. Dalam rimba persilatan manusia ular
kepala dua sepertimu dihabisi lebih dulu!”
Habis berkata begitu Sinto Gendeng lemparkan tongkatnya ke arah Brambang
Santika. Benda ini kelihatan menjadi tambah panjang dan lentur hingga tak obahnya
seperti seutas tali yang siap menjirat leher Brambang. Melihat orang telah mulai
menyerang Pagar Paregreg cepat angkat tangannya. Kepala Pasukan Kerajaan yang
berkhianat itu tahu betul kehebatan Sinto Gendeng segera angkat tangan kanannya
memberi tanda.
Melihat isyarat ini tiga orang tokoh silat Istana yang ikut memberontak segera
menerjang masuk ke dalam kalangan pertempuran terus menyerbuke arah Sinto
Gendeng. Menghadapi keroyokan tiga musuh ini si nenek dengan memaki terpaksa
tarik pulang serangan tongkatnya yang hampir dapat menjirat batang leher Brambang
Santika. Dengan geram Sinto Gendeng sabatkan tongkatnya sedang tangan kiri
lepaskan satu pukulan sakti.
Dua tokoh silat yang mengeroyok berhasil menghindar dari hantaman pukulan
dan sambaran tongkat. Tapi tokoh silat ketiga berlaku ayal. Jeritannya menggidikkan
ketika tongkat Sinto Gendeng menggebuk batok kepalanya dengan keras hingga
tubuhnya terbanting ke tanah dan mati di situ juga!
Brambang Santika dan dua tokoh silat menjadi marah besar melihat kematian
kawan mereka. Sama-sama membentak kaetiganya kembali menggempur si nenek.
Diperlakukan seperti itu si nenek justru malah jadi nekad. Tangan kanannya
membabatkan tongkat di depan dada, menahan serangan lawan yang datang laksana
gelombang. Bersamaan dengan itu tangan kirinya mencabut tusuk kundai perk di
kepalanya lalu secepat kilat dilemparkannya ke arah lawan di ujung kanan yakni
tokoh silat Istana yang kedua. Demikian cepatnya lemparan tusuk kundai orang yang
diserang tidak mampu selamatkan diri. Jeritannya terdengar menggidikkan sewaktu
tusuk kundai perak itu menancap dan menmbus lehernya!
Mau tak mau Pagar Paregreg jadi tercekat juga melihat dua korban telah jatuh
di pihaknya. Brambang Santika dan tokoh silat yang masih hidup tidak akan mampu
menghadapi Sinto Gendeng, maka dia keluarkan suitan keras. Dari dalam rimba di
tepi jalan muncul tiga orang bertubuh tinggi besar bertampang garang dan
bersenjatakan golok. Ketiga orang ini adalah tiga pimpinan rampok berkepandaian
tinggi yang menguasai tiga wilayah di Jawa Barat. Mereka terkenal kejam dan
memiliki kepandaian tinggi. Tanpa banyak cerita lagi ketiga langsung menyerbu
masuk ke dalam kalangan pertempuran! Berarti kini lima orang yang mengeroyok si
nenek sakti.
BASTIAN TITO 36
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Melihat hal ini Patih Ganda Aiawisesa cepat menyambar sebilah golok yang
tergeletak di tanah lalu melompat ke samping Sinto Gendeng.
Si nenek menyeringai. “Patih Kerajaan mari kita berebut pahala mencabut
nyawa manusia-manusia pengkhianat ini!”
Dua orang itu menyambut serangan lima pengeroyok. Pertempuran
berlangsung dengan seru. Sementara itu Pagar Paregreg diam-diam mengeruk saku
pakaiannya mengeluarkan jarum-jarum halus beracun. Jika melesat di udara senjata
ini sulit dilihat. Hanya orang berkepandaian tinggi saja yang mampu merasakan
sambaran anginnya!
Dari tempatnya berdiri Pagar Paregreg sengaja mencari kesempatan untuk
dapat melepaskan senjata rahasianya secara licik yaitu ketika Sinto Gendeng dalam
kedudukan membelakangi dirinya.
“Awas, pukulan dinar matahari!” Brambang Santika berteriak keras ketika
dilihatnya tangan kiri Sinto Gendeng berubah menjadi putih perak menyilaukan.
Sianr putih panas luar biasa berkiblat.
Bummm!
Dua lelaki tinggi besar bersenjata golok menjerit. Tubuhnya mereka terguling
jauh dalam keadaan hangus. Brambang Santika dan lain-lainnya masih sempat
menyingkir walau jantung mereka terasa bergetar keras. Sinto Gendeng tertawa
mengekeh tanpa menyadari saat itu dua puluh jarum halus beracun yang dilepaskan
Pagar Paregreg melesat ke arah punggung dan kepalanya sebelah belakang!
“Sinto! Awas senjata rahasia di belakangmu!” Satu teriakan keras
memperingatkan menyusul berkelebatnya satu benda hitam lebar berputar dan
des…des…des… Puluhan jarum beracun amblas tertahan benda itu yang bukan lain
adalah sebuah payung hitam terkembang!
BASTIAN TITO 37
SEBELAS
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ah, Giri Arsana! Kau rupanya! Terima kasih kau telah menyelamatkan
jiwaku! Menolong kepalang tanggung, mengapa tidak terus menghajar si pembokong
licik itu?!” ujar Sinto Gendeng ketika melihat siapa yang muncul dan berdiri di
sebelahnya.
Patih Ganda Ariawisesa terkejut sekali ketika melihat siapa yang muncul di
tempat itu. Orang ini adalah Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam dan
bukan lain adalah besannya sendiri yaitu ayah mertua dari Raden Sabrang puteranya
yang terbunuh di tangan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis!
Dewa Berpayung Hitam tertawa mengekeh. “Langka pertemuan memang
tidak bisa diduga!” katanya. Lalu dia menyambung. “Sinto, urusanku sendiri belum
selesai. Kalau tidak memandang dirimu yang jelek tidak akan aku ikut-ikutan
mencemplungkan diri dalam pertempuran gila ini!”
Si nenek balas tertawa. “Dua orang kakek nenek jelek ditambah seorang Patih
Kerajaan menumpas manusia-manusia keji pemberontak! Apakah itu bukan berarti
mencari pahala? Paling tidak hitung-hitung bisa mengurangi dosa kita selama hidup di
dunia celaka ini!”
Dua kakek nenek itu lalu sama-sama tertawa terpingkal-pingkal sedang Patih
Ganda Ariawisesa hanya bisa tertegak seperti orang bengong.
Di lain pihak Pagar Paregreg telah saling memberi isyarat dengan Brambang
Santika. Kedua orang gembong pemberontak ini sudah sama maklum bahwa keadaan
kini sangat sulit bagi mereka. Menghadapi Sinto Gendeng dan Patih Kerajaan saja
mereka belum tentu menang sekalipun masih dibantu oleh beberapa orang
berkepandaian tinggi dan puluhan perajurit. Apalagi kini muncul pula kakek berjuluk
Dewa Berpayung Hitam itu. Sebelum mendapat celaka lebh baik mereka menyingkir.
Pagar Paregreg kembali lemparkan puluhan jarum putihnya ke arah tiga
lawannya. Di saat yang sama dia memberi perintah agar para pengikutnya menyerbu.
Lalu bersamaan dengan itu Brambang Santika lemparkan sebuah benda berbentuk
bola hitam ke udara. Begitu melayang jauh bola ini meletus keras dan asap hitam
yang sangat tebal menyungkupi daerah itu!
“Keparat licik!” teriak Sinto Gendeng.
“Kalian mau lari kemana?!” ikut berteriak Dewa Berpayung Hitam. Dia
menangkis dengan payung terkembangnya. Puluhan jarum putih lagi-lagi terbendung
oleh payung sakti itu. Begitu jarum menancap amblas di kain payung, si kakek pukul
pegangan payung, puluhan jarum yang menancap di payung serta merta melesat ke
depan, kearah Brambang Santika dan Pagar Paregreg yang saat itu sudah tidak
kelihatan lagi dari pemandangan karena terlindung oleh tebalnya asap hitam. Sempat
terdengar satu jeritan tanda salah seorang dari mereka terkena serangan balik jarumjarum
beracun itu. Namun sewaktu asap musnah, kedua orang itu telah lenyap. Para
pengikut mereka yang tahu kalau kedua pemimpin mereka sudah kabur, tanpa pikir
panjang lagi segera pula lari berserabutan!
“Maafkan, saya harus mengejar kedua orang itu!” kata Patih Ganda
Ariawisesa pada besannya. Lalu dia melompat ke punggung seekor kuda yang ada di
dekatnya. Sebelum pergi Sang Patih masih sempat memerintahkan pada sisa-sisa
perajurit Kerajaan yang ada di situ agar mengurus jenazah Cemani Tanduwisoka yang
ada dalam lobang.
BASTIAN TITO 38
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dewa Berpayung Hitam berpaling pada Sinto Gendeng. Si nenek yang
maklum arti pandangan ini gelengkan kepala lalu berkata. “Sekali ini aku tidak akan
ikut mengejar mereka. Kau dan besanmu itu selesaikan urusan sendiri!”
Giri Arsana tampak cemberut. Namun dia tidak bisa berbuat apa. Payung
hitamnya dikuncupkan. Beberapa langkah di samping kirinya ada seekor kuda besar
bekas tunggangan Cemani Tanduwisoka. Sebelum kakek ini berlalu Sinto Gendeng
berkata. “Ada satu hal yang ingin aku beritahupadamu Giri. Wajahmu di waktu muda
mirip sekali dengan muridku Wiro Sableng.”
Si kakek terdiam sesaat. “Syukur kalau begitu. Berarti tampang jelek ini bukan
cuma satu di dunia. Kalau saja aku dapat bertemu dengan muridmu itu tentu aku
merasa senang melihat keanehan ini!”
“Kau pasti akan bertemu dengan dia,” jawab Sinto Gendeng pula.
Dewa Berpayung Hitam tarik tali kekang kudanya. Sesaa kemudian dia telah
lenyap dari tempat itu.
Satu hari satu malam melakukan pengejaran, dari jejak-jejak yang dilihat
Ganda Ariawisesa kedua orang buronannya melarikan diri ke tepi pantai. Patih
Kerajaan ini memang mempunyai keahlian dalam menyimak jejak. Tak beberapa jauh
di sebelah belakang Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam semula hendak
memutuskan tidak mengikuti apa yang dilakukan Patih itu. Namun ketika dilihatnya
pengejaran itu berlangsung ke arah pantai dia seperti mendapat dorongan untuk
bergabung saja dengan Ganda Ariawisesa. Dalam hati dia berkata “Sulit mencari tahu
dimana perempuan itu berada kalau dia lagi berkeliaran. Tapi yang pasti suatu saat dia
akan berada di Krakatau. Aku ingat. Sepuluh tahun silam dia pernah mengumbar
sumpah akan menjadikan Krakatau neraka bagiku dan anak istri. Lalu dia lenyap
begitu saja. Kini tahu-tahu muncul melakukan pembalasan sakit hati secara nekad!”
Begitulah kakek sakti itu lalu bergabung bersama Patih Kerajaan melakukan
pengejaran terhadap Pagar Paregreg dan Brambang Santika. Keduanya akhirnya
mencapai tepi pantai, tak berapa jauh dari sebuah desa nelayan. Di situ ditemui dua
ekor kuda yang berkeliaran tanpa pemilik.
“Pasti itu kuda-kuda bekas tunggangan keua manusia keparat itu!” kata Patih
Ganda Ariawisesa pula. Lalu dia menunjuk ke tepi pasir dimana jelas terlihat bekasbekas
kaki manusia. Di tepi pantai ditemui dua buah biduk dan sebuah perahu. Dua
biduk dan perahu ini berada dalam keadaan hancur bernatakan.
“Mereka sengaja merusak biduk dan perahu ini agar kita tidak dapat
mengejar!” kata Giri Arsana pula dengan geram. “Tak ada jalan lain, kita harus
memperbaiki perahu ini. Paling tidak akan makan waktu setengah hari.”
Kedua orang itu lalu memperbaiki perahu yang rusak. Menjelang rembang
petang mereka berhasil melakukannya lalu turun ke laut.
“Tujuan ki Pulau Rakata. Kedua orang itu pasti kabur ke sana…..” berkata
Patih Kerajaan.
“Saya juga sudah menduga mereka pasti kabur ke sana. Kebetulan! Saya juga
punya urusan yang harus diselesaikan di Gunung Krakatau sebelum tempat itu
menjadi neraka. Atau ah….. Mungkin tempat itu memang sudah jadi neraka bagi
turunannku. Termasuk diriku sendiri….”
“Apa maksudmu besan yang terhormat?” tanya Patih Ganda Ariawisesa.
“Kawah Gunung Krakatau tempat mendekamnya Sriti Gandini alias Sepuluh
Kuku Iblis. Nenek yang telah membunuh anak istriku dan menculik mayat-mayat
mereka!”
BASTIAN TITO 39
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Kalau begitu dua urusan besar bisa diselesaikan sekaligus! Tapi ingat, nenek
keparat itu adalah bagianku!”
“Tidak bisa! Dia membunuh istri dan dua anakku! Dia harus mampus di
tanganku!” jawab Dewa Berpayung Hitam.
“Si keparat itu membunuh puteraku dan juga menantuku!” menukas Patih
Kerajaan. “Dia harus mati di tanganku!”
Kedua orang itu saling melotot dan hampir bertengkar. Akhirnya Giri Arsana
mengalah.”Kita belum sampai ke sana, mengapa berlaku tolol saling ngotot. Mari kita
berangkat sekarang juga!”
Begitulah keduanya mulai melayari Selata Sunda. Kalau Sang Patih
pergunakan pendayung untuk mengayuh perahu maka si kakek sambil tertawa-tawa
duduk di bagian belakang perahu dan putar payung hitamnya. Gelombang angin yang
ditimbulkan oleh putaran payung membuat perahu terdorong ke depan dan melesat
membelah air laut hingga dalam waktu cepat kedua orang itu telah melihat Pulau
Rakata dengan Gunung Krakataunya.
BASTIAN TITO 40
DUA BELAS
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Perkara mati memang bukan kuasanya manusia. Hal ini dialami oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti telah dituturkan sebelumnya dalam perkelahian
dengan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis, satu hantaman yang berkekuatan
tenaga dalam penuh yang dilancarkan si nenek telah membuat murid Eyang Sinto
Gendeng itu terpental lalu melayang jatuh ke bawah Gunung Krakatau.
Wiro sendiri hanya sempat menyadari keadaan dirinya sekejapan saja. Dia tak
bisa menolong dirinya dari kematian dan juga tidak ada manusia lain yang mampu
menyelamatkannya. Dalam keadaan seperti itu dia keluarkan satu jeritan keras yang
mengumandang di seantero kawah. Lalu pemuda ini jatuh pingsan dan tubuhnya
melayang cepat menuju kawah!
Hanya beberapa saat lagi tubuh Wiro akan amblas masuk ke dalam kawah
yang mendidih, tiba-tiba dari lamping kawah sebelah timur, dari baliksebuah
gundukan batu melesat keluar sebuah benda halus bewarna putih berkilauan. Benda
yang melesat ternyata adalah untaian panjang benang aneh yang dengan cepat
menggulung kedua kaki Wiro, terus ke pinggang dan baru berhenti melibat di batas
dada. Sesaar tubuh Pendekar 212 masih ampak melesat deras ke bawah. Tinggal tiga
jengkal lagi dari permukaan kawah tiba-tiba benang aneh itu menyentak keras. Tubuh
Wiro terbetot ke samping lalu melayang berputar beberapa kali sampai daya berat
jatuh ke bawah diredam lenyap. Perlahan-lahan, seperti sebuah layang-layang yang
siap diturunkan dari udara, tubuh Wiro tertarik ke arah lamping kawah, lenyap di
balik gundukan batu.
Sang pendekar siuman dari pingsannya beberapa saat kemudian ketika ada
suara tawa mengekeh menusuk telinganya. Perlahan-lahan dibukanya kedua matanya.
Apa yang dilihatnya sungguh aneh. Yang tampak di depannya adalah seorang gadis
berwajah cantik berambut panjang sebahu. Gadis ini mengenakan baju hitam
membuat wajahnya yang putih lebih menonjol kejelitaannya. Si gadis menatapnya
dan sama sekali tidak kelihatan tertawa. Kalaupun dia memang tertawa tak mungkin
suara tawanya seperti orang tua. Mana ada orang tertawa mengekeh tanpa kelihatan
mulutnya terbuka. Lalu siapa yang barusan didengarnya tertawa bergelak itu?
Saat itu didapatinya dirinya duduk tersandar ke dinding batu. Jauh di
bawahnya kelihatan kawah Gunung Krakatau. Wiro kembali memandang paras cantik
itu sambil membayangi apa yang telah dialaminya. Dia berkelahi dengan Sepuluh
Kuku Iblis. Tubuhnya dihantam mental dan melayang jatuh ke dalam kawah. Dia
berteriak lalu tak ingat apa-apa lagi. Kenapa kini dia berada di tempat itu?
“Saudari, kau siapa?” Wiro bertanya. Yang ditanya tidak menjawab.
Berkedippun tidak. “Eh, apakah aku ini berada di alam kematian atau kalau aku masih
hidup apakah kau bidadarinya yang telah menyelamatkan diriku?” Wiro perhatikan
dirinya sendiri. Keadaan tubuhnya utuh tak kurang suatu apa. Hanya pakaiannya saja
yang tampak kotor dan robek serta ada noda darah di bagian dada. Lalu terasa
dadanya mendenyut sakit. Bekas hantaman si nenek berjuluk Sepuluh Kuku Iblis
rupanya telah membuat dadanya sakit di sebelah dalam dan sewaktu pingsan rupanya
dia sempat mengeluarkan darah dari mulut. Wiro memandang lagi ke depan. Jelas
dilihatnya kawah Gunung Krakatau. Si gadis di dekatnya tak kunjung membuka
mulut. Sang pendekar angkat tangan kirinya, mulai menggaruk kepalanya. Saat itulah
didengarnya ada suara orang batuk-batuk. Wiro cepat berpaling ke kiri. Astaga!
BASTIAN TITO 41
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Hanya lima langkah di samping kirinya, di atas sebuah batu duduk seorang
kakek berpakaian putih. Rambutnya yang putih terliaht jarang. Kumis dan janggutnya
juga berwarna putih. Matanya lebar tapi cekung. Wajahnya hanya berupa kulit tipis
pemutup tengkorak dan berwarna sangat pucat.
Begitu melihat dan mengenali orang tua ini Pendekar 212 Wiro Sableng
segera bangkit lalu jatuhkan diri berlutut.
“Kakek Tua Gila! Jadi kau rupanya yang menolong saya. Saya sangat
berterima kasih padamu. Hutnag jiwa yang dulu-dulu belum sempat saya bayar.
Kini…..”
Si kakek tertawa gelak-gelak. “Berterima kasih pada Tuhan. Dia yang
menyelamatkan dirimu Wiro. Kulihat kau ada urusan sulit sampai tersesat ke kawah
Gunung Krakatau ini. Apakah kau sengaja bunuh diri hendak emncebur masuk ke
dalam kawah?”
“Siapa yang mau bunuh diri kek?!! Tukas Wiro. “Seorang menghantam saya
hingga terpental dan melayang jatuh ke dalam kawah. Heh, pasti kakek menolong
saya dengan benang kayangan!”
Kembali kakek itu tertawa gelak-gelak. Siapakah sebenarnya orang ini?
Namanya Tua Gila. Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Iblis Gila
Pencabut Jiwa. Ada juga yang memberinya gelar Pendekar Gila Patah Hati. Puluhan
tahun lau, dalam usia muda dia pernah jatuh cinta pada Sinto Gendeng. Ketika
cintanya ditolak dia menjadi sangat terpukul dan patah hati. Demikian paahnya
keadaannya hingga dia seperti kurang waras dadn malang melintang di rimba
persilatan membunuh siapa saja seenak perutnya. Di usia tua, sifat kejamnya berubah.
Malah dia pernah memperlakukan Wiro sebagai murid dan mengajarkan ilmu silat
langka kepada pemuda itu.
“Kek, saya tidak menyangka bakal bertemu denganmu di sini. Sapa yang
tengah kakek lakukan di tempat ini? Dan siapa gadis ini…?”
“Ah pertanyaanmu banyak amat. Biar kujawab satu persatu dulu,”jawab Tua
Gila. “Pertama aku berada si sini ingin mengasingkan diri sambil menyempurnakan
ilmu-ilmu yang kumiliki. Kedua tentang gadis ini, dia bernama Minaratih. Dia adalah
calon muridu. Aku tengah mengujinya di tempat ini apakah dia cukup pantas untuk
kujadikan murid. Bagaimana penglihatanmu, apakah kau naksir padanya?”
Wiro garuk-garuk kepala sebaliknya si gadis kelihatan merah rona wajahnya.
Tua Gila lagi-lagi tertawa mengekeh.
“Urusan taksir menaksir ini biar kita bicarakan nanti,” jawab Wiro sambil
garuk kepla dan membuat Minaratih semakin merah wajahnya. “Saya harus
meninggalkan tempat ini dengan segera. Ada urusan besar di atas kawan sana.
Seorang nenek gila melakukan pembunuhan atas istri dan anak-anak kakek sakti
berjuluk Dewa Berpayung Hitam. Korban-korban yang sudah dibunuh dijejerkannya
mayatnya dalam lobang pohon kelapa. Diberi cairan pengawet!”
Tua Gila usap janggutnya. “Aku memang sudah lama mendengar. Urusan di
kala muda itu rupanya delum jua terselesaikan. Kalau memang begitu kau pergilah
cepat ke atas sana. Aku dan muridku biar tetap di sini. Aku sudah tidak begitu senang
mengurusi masalah dunia. Apalagi masalah orang-orang tolol seperti urusan Sepuluh
Kuku Iblis dengan Dewa Berpayung Hitam itu!”
Wiro menjura da;lam-dalam lalu menyalami Tua Gila dan mencium tangan
orang tua itu. Pada Minaratih dia tersenyum mengangguk seraya berkata “Saya
senang bertemu denganmu. Saya berharap bisa bertemu lagi….”
Si gadis tak menjawab. Tapi ketika Wiro melangkah pergi dia bangkit dari
duduknya dan mengikuti kepergian si pemuda memnajat tebing kawah dengan
BASTIAN TITO 42
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
pandangan matanya sampai akhirnya lenyap di kejauhan. Di belakangnya terdengar
suara Tua Gila batuk-batuk
“Rupanya kau menaksir juga pada pemuda itu Mina…”
Si gadis berpaling pada Tua Gila.
“Tapi hati-hati nak,” kata si kakek pula. “Dia emmang orang baik cuma
sering-sering dia bertindak dan beruacp konyol seperti orang ini!” Lalu Tua Gila
menggaris keningnya dengan telunjuk kiri. Si gadis hanya bisa tersenyum.
BASTIAN TITO 43
TIGA BELAS
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis duduk di atas batang kelapa berisi
mayat Wini Kantili. Kedua matanya memandang jauh ke aah pantai. Saat itu dia
masih saja mengingat-ingat pemuda yang dipukulnya jatuh masuk ke dalam kawah.
Hatinya tiada henti dirundung penyesalan. “Mengapa aku harus memukulnya begitu
keras. Ah…..Kalau dia masih hidup mungkin dirinya bisa mwmbuat aku menjadi
orang baik. Tidak nekad tidak gila membunuhi orang….” Ingatan si nenek lalu tertuju
pada Giri Arsana, manusia yang paling dibencinya.
Selagi dia duduk termemung-menung dan mengingat-ingat seperti itu, tibatiba
di pantai dilihatnya mendarat sebuah perahu. Fua orang penumpang turun ke
pasir.
“Hemmmm….” Sriti Gandini bangkit dari duduknya. Kedua matanya
membesar. “Ada lagi dua orang yang minta mampus. Berani menginjakkan kaki di
Pulau Rakata daerah kekuasaanku!”
Si nenek membungkuk mangambil sekaligus diu buah pecahan batu gunung.
Sekali melempar kedua batu itu melesat ke arah pantai. Jarak antara tempat si nenek
berada dengan pantai jauh sekali. Namun lemparan batu itu melesat membelah udara
dan meluncur ke arah dua orang yang barusan turun dari perahu. Dari hal ini saja
sudah dapat dilihat bagaimana ketinggian ilmu Sriti Gnadini.
Di tepi pantai dua orang yang barusan mendarat adalah Pagar Paregreg, bekas
Kepala Pasukan Kerajaan yang melarika diri bersama Brambang Santika. Pagar yang
melihat datanya dua buah benda melayang ke arah mereka segera berteriak memberi
tahu.
“Awas! Ada benda menghantam ke arah kita!” Pagar Paregreg jatuhkan diri ke
pasir sedang Brambang Santika yang kurang cepat bergerak, ketika melompat
kesamping bahu kirinya masih sempat disambar benda yang melayang dari puncak
kawah itu. Bajunya robek. Daging bahunya yang terserempet sakit bukan main karena
sebelumnya di bagian itu pula salah satu jarum putih milik Pagar Paregreg yang
dibuat mental oleh payung Giri Arsana sempat membalik menancap di bahunya.
Pagar Paregreg waktu itu cepat mencabut jarum tersebut dan memberikan obat
penangkal racun pada kawannya tiu. Kalau tidak nyawa Brambang Santika mungkin
tak bisa diselamatkan dari kematian akibat racun jarum yang jahat.
Sambil meringis kasakitan Brambang Santika memandang ke arah puncak
kawah Gunung Krakatau. “Aku melihat ada seseorang di puncak sana! Agaknya kita
datang ke tempat yang salah, Pagar…..”
“Sebelumnya kau sudah bilang sebaiknya kita tidak melarikan diri ke pulau
celaka ini! Padahal banyak pulau-pulau lain di Selat yang lebih dekat…”
“Sekarang sudah terlambat!” kata Brambang Santika. “Tak ada gunanya
menggerutu.”
“Lihat! Ada satu orang lagi muncul di atas sana!” kat Brambang Santika.
Paga Paregreg memandang ke arah puncak kawah. Betul, memang saat itu
dilihatnya ada satu orang lagi tiba-tiba muncul di tebing puncak kawah Gunung
Krakatau.
“Bagaimana kalau kita kembali naik ke perahu, cari pulau lain yang ebih
aman…” mengusulkan Brambang Santika.
BASTIAN TITO 44
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Aku setuju!” jawab Pagar Paregreg. “Aku punya firasat tidak enak. Aku ingat
sesuatu. Bukankah Sepuluh Kuku Iblis yang punya dendam kesumat terhadap Dewa
Berpayung Hitam kabarnya telah menjadikan pulau ini sebagai markasnya?”
Paras Brambang Santika menjadi berubah. “Astaga. Berarti kita mencari
bencana baru pergi ke tempat ini! Mari cepat…. Tak lama lagi matahari akan
tenggelam. Mungkin gelapnya malam bisa membantu kita melarikan diri!”
Kedua orang itu segera memutar tubuh dan lari ke arah tempat mereka
meninggalkan perahu. Naumn terlambat. Dari atas puncak kawah salah satu dari dua
orang di atas sana tiba-tiba lari ke bawah. Begitu cepatnya dia berlari hingga debu dan
pasir berterbangan di belakangnya. Dan dalam waktu beberapa kejapan saja orang ini
sudah berada di tepi pasir, mencegat tepat di depan perahu yang hendak dicapai Pagar
Paregreg dan Brambang Santika.
Orang ini adalah seorang nenek berwajah angker dan tegak memandang
bengis sambil bertolak pinggang.
“Kau benar Pagar,” bisik Brambang. “Orang di depan kita ini adalah Sepuluh
Kuku Iblis!”
Sebelum dituturkan apa yang segera akan terjadi di tempat itu mari kita
ketahui dulu apa sebelumnya yang terjadi di peuncak kawah.
Sehabis melemparkan dua buah pecahan batu Sritit Gandini sebenarnya segera
hendak lari menuruni puncak kawah guna mendatangi dua orang yang barusan
mendarat di pantai. Namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba sebuah kepala, di
susul satu sosok tubuh muncul dari balik tebing kawah. Lalu pemuda itu tahu-tahu
sudah tegak di hadapannya.
“Kau!” teriak si nenek muka tengkorak begitu mengenali siapa adanya
pemuda di depannya yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Hatinya
gembira sekali melihat kemunculan pemuda yang sejak satu hari belakangan ini
selalu diingat-ingatnya. Namun rasa kejut dan herannya saat itu mengalahi rasa
gembira.
“Kau…. Bukankah kau sudah mati jatuh ke dalam kawah mendidih di bawah
sana?!” tanya si nenek.
Wiro menyeringai.
“Urusan mati, urusan nyawa manusia adalah kekuasaannya Tuhan Yang Maha
Kuasa…”
“Kentut busuk!” teriak si nenek. “Aku bisa membikin mati siapa saja setiap
saat!”
“Kaau begitu Tuhanmu dan Tuhanku berbeda. Atau kau merasa sudah jadi
Tuhan?” ujar Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Si nenek sesaat terdiam. “Jangan-jangan kau bukan pemuda itu sungguhan.
Tapi setannya yang keluar dari dalam kawah!” Lalu Sepuluh Kuku Iblis melangkah
mengelilingi Wiro, memperhatikannya dengan seksama pemuda itu mulai dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki.
“Naah apa kau lihat kedua kakiku tidak menginjak tanah atau punggungku ada
lobang?” ujar Wiro.
Si nenek hentikan langkahnya. “Tunggu dulu, mungkin kau memang bukan
setan atau hantu. Tapi…. Biar aku periksa sekali lagi!”
“Kau boleh periksa asal jangan suruh aku tanggalkan pakaian bertelanjang!”
ujar Wiro mulai konyol padahal yang dihadapinya adalah seorang manusia yang
setiap saat bisa membunuh manusia lainnya semudah dia membalikkan telapak tangan.
BASTIAN TITO 45
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sepuluh Kuku Iblis melangkah kembali memutari tubuh Wiro. Ketika dia
sampai di belakang pemuda itu, tiba-tiba secepat kilat dua jari tangan kanannya
melesat ke depan.
Dess!
Wiro tersentak kaget dan cepat membalik sambil memukul. Tapoi tangannya
tak bisa digerakkan. Sekujur tubuhnya kaku!
“Keparat licik!” teriak Wiro begitu menyadari bahwa dirinya kena tertipu dan
kini berada dalam keadaan tertotok.
Sepuluh Kuku Iblis tertawa gelak-gelak.
“Anak muda! Kau masih harus banyak belajar tentang kelicikan manusia dan
dunia ini! Untung saja aku ada rasa suka terhadapmu! Kalau tidak sudah ku bunuh
kau sejak tadi!”
“Rasa suka padaku? Sialan!” maki Wiro dalam hati.
“Tua bangka genit! Sudah bau tanah masih mau bicara bersuka-suka! Pantas
Dewa Berpayung Hitam tidak sudi kawin denganmu!”
Plaaakkk!
Si nenek tampar muka Pendekar 212 hingga salah satu pinggiran bibir pemuda
ini luka dan mengeluarkan darah.
“Ah… Maafkan aku….” Kata si nenek lalu cepat-cepat menyeka darah di
mulut Wiro. Dengan belakang telapak tangannya dia mengusap luka di mulut. Aneh.
Begitu diusap luka itu segera sembuh dan tidak berbekas sama sekali.
“Pendekar 212, kau tunggulah di sini. Aku akan turun ke pantai mengurusi
dua ekor monyet di bawah sana. Seperti aku bilang, Krakatau adalah kawasan
kekuasaanku. Siapa saja yang berani menginjakkan kaki di sini pasti kubunuh!”
Wiro hendak mengatakan bahwa sebenarnya sudah ada dua orang lain
mendekam di tebing kawah yaitu Tua Gila dan Minaratih. Namun pemuda ini
memutuskan untuk diam saja. Si nenek berkelebat lalu lari menyususri lereng kawah
menuju ke pantai.
Dalam waktu singkat si nenek sudah sampai di pantai dan langsung
menghadang Pagar Paregreg serta Brambang Santika di depan perahu mereka. Dua
bola mata si neenk berputar angker.
“Hemmm… Yang satu ini kalau aku tidak salah adalah Kepala Pasukan
Kerajaan. Namamu Pagar Paregeg. Betul hah!”
“Kau betul nek, aku memang Pagar Paregreg.”
“Tampangmu sembrawuran! Pakaianmu lecak! Ada apa Kepala Pasukan
Kerajaan sampai menginjakkan kaki di Pulau Rakata ini?!”
‘Kami ada urusan di tempat lain. Karena cuaca di laut buruk terpaksa
mendarat dulu di sini…” jawab Pagar Paregreg.
S nenek tertawa. “Aku tahu kau berdusta! Tapi tidak jadi apa! Berdusta
sebelum mati masih bisa dimaafkan. Dan kau!” Si nenek menunjuk tepat-tepat ke
hidung Brambang Santika. “Aku lupa namamu! Kau manusianya yang bekerja di
Istana, punya banyak hubungan dengan orang-orang persilatan!”
“Nama saya Brambang Santika, nek. Nenek sendiri bukankah orang sakti yang
berjuluk Sepuluh Kuku Iblis itu? Kami gembira dengan pertemuan yang tidak diduga
ini. Kami tidak ingin mengganggu lebih lama. Izinkan kami minta diri…”
“Minta diri…?” Sepuluh Kuku Iblis tertawa mengekeh.
“Ada semacam kutukan di pulau ini! Siapa yang berani menginjakkan kakinya
di sini berarti sudah siap menerima kematian!”
Berubahlah paras Pagar Paregreg dan Brambang Santika.
BASTIAN TITO 46
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Berberapa hari lalu ada dua penyusup muncul di sini. Keduanya tokoh silat
bernama Tubagus Singagarang dan Supit Jagal…”
“Kami kebetulan kenal mereka,” kata Brambang Santika.
“Ah, bagus sekali! Apakah kalian berdua tahu kalau orang-orang itu memang
sudah lama menunggu-nunggu kalian?”
“Menunggu kami? Untuk keperluan apa?” tanya Pagar Paregreg pula.
“Unutk duajak bergabung jadi mayat!” jawab si nenek lalu tertawa aneh
seperti lolongan srigala.
Pagar Paregreg memberi isyarat pada kawannya. “Nek, kami tidak punya
waktu lama. Kami minta diri sekarang juga!” katanya. Lalu Pagar Paregreg dan
Brambang Santika cepat berbalik hendak tinggalkan tempat itu. Namun si nenek
membentak.
“Neraka Krakatau adalah bagian kalian berdua!” Lalu tanpa banyak cerita lagi
Sepuluh Kuku Iblis segera menyerang dua orang di hadapannya.
Melarikan diri tidak mungkin. Tak ada jalan lain. Pagar Paregreg dan
Brambang Santika terpaksa menyabut serangan si nenek. Perkelaihan seru segera
pecah di tempat itu.
Seperti diketahui baik Pagar Paregreg maupun Brambang Santika adalah
orang-orang berkepandaian tinggi. Namun mereka menyadari bahwa si nenek bukan
seorang yang mudah untuk dikalahkan sekalipun dikeroyok dua. Karenanya begitu
memasuki jurus pertama kedua orang itu langsung menghanam dengan pukulanpukulan
sakti, menyerang dengan jurus-jurus terhebat ilmu silat yang mereka miliki.
Lima jurus berkelahi si nenek tampak tenang-tenang saja. Malah berkelahi
sambil tertawa-tawa walaupun saat itu dirinya agak terdesak.
Meskipun mampu mendesak lawan namun sampai jurus kesepuluh baik Pagar
Paregeg dan Brambang Santika masih belum mampu menggebuk si nenek. Beberapa
kali lengan mereka saling beradu. Setiap terjadi bentrokan tangan kedua lelaki itu
merasakan lengan mereka sakit bukan main. Memasuki jurus ke dua belas akhirnya
kedua orang ini keluarkan senjata. Pagar Paregreg hunus sebuah golok besar yang
bagian tajamnya bergerigi sedang Brambang Santika mencabut sepasang belati besar
berwarna hijau!
Melihat lawan keluarkan senjata si nenek seperti kesetanan. Dia berteriak tiada
henti dan hadapi serangan senjata lawan dengan gerakan-gerakan kilat disusul dengan
serangan balasan tidak terduga.
Breeettt!
Ujung golok di tangan Pagar Paregreg berhasil merobek baju hijau yang
dikenakan si nenek. Marahlah Sepuluh Kuku Iblis. Dari mulutnya keluar suara
lolongan seperti lolongan srigala. Kedua tangannya diulurkan ke depan. Sepuluh kuku
hitam mencua keluar dari ujung-ujung jarinya, runcing panjang mengerikan!
Pagar Paregreg dan Brambang Santika terkesiap bergidik. Tapi hanya sesaat.
Mereka kemusian kembali menyerbu. Serangan senjata mereka kini ditujukan pada
kedua tangan si nenek.
Trang…..trak!
Golok di tangan Pagar Paregreg beradu keras dengan jari-jari berkuku panjang.
Senjata itu mental patah dua! Membuat Pagar Paregreg terkejut dan melompat
mundur.
Di sebelahnya Brambang Santika keluarkan seruan tertahan sewaktu pisau
belatinya di sebelah kiri mental dipukul tangan si nenek. Dia menusuk dengan pisau
belati besar di tangan kanan. Si nenek tahan tusukan itu dengan elapak tangan kirinya
lalu secepat kilat tangan itu berputar tahu-tahu senjata Brambang Santika sudah
BASTIAN TITO 47
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dirampas. Belum lagi habis kejut lelaki ini, si nenek sudah lemparkan pisau hijau itu
ke arah pemiliknya!
Brambang Santika menjerit keras. Pisau miliknya sendiri amblas masuk ke
perutnya sampai sebatas gagang! Selagi dia terhuyung-huyung pegangi perutnya yang
bobol si nenek melompat ke hadapannya sambil mencakar dengan tangan kanan.
Untuk kedua kalinya Brambang Santika menjerit. Mukanya robek mengerikan.
Kedua kakinya hanya sanggup bertahahn singkat. Lalu tubuhnya tergelimpang roboh
tak berkutik lagi!
Pagar Paregreg tidak kuasa menahan rasa takutnya. Nyalinya telah leleh.
Secepat kilat dia memutar tubuh melarikan diri. Tapi dari belakang, dengan sekali
lompat saja si nenek mengejar. Lima jari tangan kirinya mencakar ke arah punggung
bekas Kepala Pasukan Kerajaan itu. Kini ganti raungan Pagar Paregreg yang
terdengar. Sekujur daging punggungnya tergurat robek. Darah mengucur deras.
Dalam takut dan sakit yang amat sangat bekas Kepala Pasukan Kerajaan ini
menghambur masuk ke dalam laut tanpa ingat bahwa dia tidak bisa berenang.
Tubuhnya mulai di seret ombak…. Dia menjerit minta tolong namun perlahan-lahan
tubuhnya mulai tenggelam ditelan laut dan tubuh Pagar Paregreg tidak kelihatan lagi!
Sepuluh Kuku Iblis menyeringai angker. Dia melangkah ke tempat Brambang
Santika tergeletak. Sekali tendang saja sosok tubuh orang itu lenyap pula digulung
ombak, diseret air ke dasar laut!
BASTIAN TITO 48
EMPAT BELAS
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Begitu si nenek sampai ke hadapannya Pendekar 212 Wiro Sableng ajukan
pertanyaan.
“Siapa yang barusan kau bunuh di pantai sana?” Wiro kawatir yang jadi
korban kini adalah tokoh-tokoh silat sahabatnya atau orang lain yang tidak berdosa.
Sepuluh Kuku Iblis menyeringai. “Rupanya kau memperhatikan juga. Ada dua
orang yang ku kirim ke dasar laut. Yang pertama adalah Pagar Paregreg…”
“Kepala Pasukan Kerajaan?” tanya Wiro.
“Siapa lagi kalau bukan dia! Eh, kau menyesal mengetahui kematiannya?”
“Tidak,” sahut Wiro. “Dia memberontak pada kerajaan. Kematiannya seperti
itu sudah cukup pantas baginya!”
Si nenek tertawa dan tepuk-tepuk bahu Wiro. “Jadi kau juga benci padanya
eh?”
“Siapa korbanmu satu lagi?” tanya Wiro masih kurang enak.
“Brambang Santika. Orang kepercayaan Patih Kerajaan yang selama ini
menjadi penghubung antara Istana dengan rimba persilatan….”
“Hemmm…. Pengkhianat satu itu mampus juga akhirnya,” kata Wiro
perlahan.”
“Jadi aku tidak membunuh sahabatmu bukan?” ujar si nenek.
“Dua orang itu memang bukan, tapi bagaimana dengan mayat-mayat dalam
lobang kelapa itu? Mereka tidak punya dosa kesalahan apapun. Kau telah
membunuhnya secara kejam dan memperlakukan jenazah mereka secara biadab!”
“Anak muda, apakah di dunia ini masih ada apa yang disebut biadab itu?
Tunjukkan padaku siapa manusia-manusianya yang kau anggap tidak beradab!”
Wiro memaki dalam hati. Dia tidak bisa menjawab.
“Pendekar 212, kematian ketiga orang itu tidak ada sangkut pautnya dengan
dirimu. Mereka bukan sanak bukan kadangmu! Nah mulai saat ini mari kita
bersahabat!”
“Siapa sudi bersahabt denganmu!”
“Karena aku jelek, sudah tua keriput?” tanya si nenek.
“Aku bersahabat dengan siapa saja. Aku tidak memilih-milih untuk bersahabat.
Tapi manusia-manusia jahat yang beraja di hati dan bersutan di mata sepertimu ini
apakah pantas dijadikan sahabat?”
“Kalau kulepaskan totokanku apakah kau mau bersahabat denganku?”
Wiro memaki panjang pendek si nenek. Namun akhirnya dia hanya ajukan
pertanyaan. “Mengapa kau ingin bersahabat denganku?”
“Karena wajahmu sama dengan seorang lelaki yang pernah kucintai di musa
mudaku!” jawab Sriti Gandini polos tanpa malu-malu. Sebaliknya paras murid Eyang
Sinto Gendeng tampak menjadi merah.
“Jadi saat ini kau berniat hendak bercinta denganku? Mengambilku jadi
kekasihku?” tanya Wiro dengan mata mendelik. “Kalau tua bangka peot ini menjawab
ya, mati aku!” kata Wiro dalam hati. “Aku berada dalam kekuasaannya.
Ditelanjanginya pun aku tidak bisa berbuat apa-apa!”
Si nenek tampak termenung sesaat. Wajahnya yang angker kelihatan redup.
Lalu terdenga suaranya perlahan, agak sendu. “Aku cukup tahu diri. Kita tak mungkin
bercinta. Hanya kalau kau mau bersahabat dan aku dapat sering-sering melihatmu itu
sudah cukup. Itu mungkin juga bisa membantuku untuk keluar dari kesesatan. Aku
BASTIAN TITO 49
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
hanya manusia biasa tidak luput dari kekhilafan…” Nenek ini terdiam sesaat. Wiro
melihat kedua matanya yang angker itu kini berkaca-kaca basah oleh air mata. Lalu si
nenek melangkah mendekatinya. “Aku telah memukulmu hingga jatuh ke dalam
kawah. Tapi kau ternyata masih hidup. Aku tak perlu bertanya bagaimana hal itu bisa
terjadi. Pasti ada seorang sakti menolongmu. aKu tahu kini kalau di tempat ini, yang
kuanggap menjadi kekuasaanku ada orang lain telah lebih dulu berada di sini. Kau
tentu mendendam terhadapku. Tidak jadi apa. Aku akan melepaskan totokan di
punggungmu. Kalau kau sudah bebas kau mau menghukumku aku sudah pasrah!”
Lalu Sepuluh Kuku Iblis melangkah ke belakang Wiro dan menekan
punggung pemuda ini. Serta merta totokan yang membuat kaku tubuh Pendekar 212
punah. Wiro berbalik. Kini dia berhadap-hadapan denga si nenek itu. Entah mengapa
hati sang pendekar menjadi kasihan melihat si nenek. Untuk beberapa lamanya Wiro
pandangi orang tua itu yang tegak menundukkan kepala.
“Kau ingin membunuhku, aku tak akan melawan. Aku merasa bahagia kalau
dapat mati di tanganmu, anak muda,” terdengar si nenek berujar.
Wiro tarik nafas dalam dan garuk-garuk kepalanya.
“Tuhanpun tidak akan menghukum orang yang sudah bertobat. Kadal jelek
semacamku apa mau melebihi Tuhan….?”
Ucapan murid Eyang Sinto Gendeng itu membuat Sriti Gandini perlahanlahan
angkat kepalanya. Mukanya tampak pilu sekali. Susah payah dia berusaha
menahan tangis tapi tidak bisa. Suara isakannya mengharukan.
“Nek, kau lebih biaik cepat-cepat pergi dari sini. Sebelum muncul orang-orang
yang hendak meminta pertanggung jawabmu. Tiga mayat dalam lobang kelapa itu
biar aku yang mengurus.”
“Ah… Kau baik sekali, anak muda. Beruntung gadis yang bisa menjadi
istrimu. Dia dulu juga segagah dan sebaikmu ini. Tapi dia banyak tergoda oleh dunia
dan nafsunya sendiri.”
“Maksudmu Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam?” tanya Wiro.
“Ah, jadi kau sudah tahu ceritanya…?” balik bertanya si nenek.
Wiro mengangguk. “Dari guruku….” Jawabnya. “Nah, apakah kau belum mau
pergi dari sini…?”
“Aku menykaimu, aku akan menurut apa yang kau kaakan. Sekalipun kau
suruh aku menghambur masuk ke dalam kawah sana…” kata Sriiti Gandini pula.
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya.
“Pergilah cepat….” Kata Wiro.
“Ya, aku segera pergi. Selamat tinggal Wiro. Aku akan mengenang dirimu
selama sisa hidupku…” Si nenek memegang jari-jari tangan pemuda itu.
“Kau nenek cantik yang pernah aku lihat…” kata Wiro pula.
Sriti Gandini tersipu-sipu. Lalu dia membalikkan diri hendak pergi. Namun
dua orang yang tiba-tiba muncul di ujung kawah sebelah timur membuat dia hentikan
langkahnya. Kedua matanya terbuka lebar. Wiro yang juga sudah melihat kedatangan
kedua orang itu juga sama terkejut. “Ah,, si nenek ini terlambat….” Keluhnya dalam
hati.
Sesaat kemudian kedua orang itu sudah berdiri di hadapan Sriti Gandini. Tiga
pasang mata saling memandang seperti dikobari nyala api. Dendam kesumat
menggantung di udara. Di sebelah Barat sang surya kelihatan laksana bola api, siap
tenggelam.
BASTIAN TITO 50
LIMA BELAS
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sepasang mata Sriti Gandini memandang membara pada Giri Arsana alias
Dewa Berpayung Hitam. Dia melirik sesaat pada Patih Ganda Ariawisesa lalu
kembali berpaling pada orang yang paling dibencinya itu.
“Dicari-cari bersembunyi. Sekarang malah unjukkan diri!” kata si nenek.
“Sriti! Apa yang telah kau lakukan terhadap anak istriku?!” bentak Giri
Arsana sambil tancapkan payung hitamnya ke tanah.
Si nenek menyeringai. “Lihat saja sendiri!” jawabnya. “Mereka ada di sebelah
sana. Mereka aku rawat baik-baik…!” Lalu si nenek tertawa panjang.
Giri Arsana berpaling ke belakang. Dia melihat ada deretan tujuh buah batangbatang
kelapa. Tiga yang paling ujung berisi sesuatu. Darahnya tersirap. Dua kali
lompat saja Dewa Berpayung Hitam sudah berdiri di depan deretan batang-batang
kelapa itu. Ketika melihat apa yang ada di dalam tiga lonbang batang kelapa maka
meraunglah kakek itu. Tubuhnya melosoh ke tanah. Sambil bergayut pada batang
kelapa di mana terbaring jenazah istrinya kakek ini berkata disela isak tangisnya.
Saat itu Patih Kerajaan sudah tegak pula di samping Giri Arsana. Sang
Patihpun tak kuasa menahan diri melihat mayat menantunya terbujur dalam lobang
batang kelapa itu. Sekujur tubuhnya bergetar. Amarahnya mendidih. Apalagi kalau
dia ingat kematian puteranya.
“Istriku…. Anak-anakku… Aku akan membalaskan sakit hati kematian kalian.
Akan kucincang manusia jahanam itu!” Sekali lagi Giri Arsana berteriak. Lalu dia
bangkit dengan gerakan cepat. Dia memandang sesaat pada Sriti Gandini.
Gerahamnya terdengar bergemeletukan.
“Sriti! Aku tidak terima perbuatan biadabmu ini! Kau harus mampus saat ini
juga!” tariak Giri Arsana. Lalu dia melompat ke hadapan si nenek sambil tusukkan
ujung payungnya yang runcing.
Si nenek mendengus. Dia melompat ke samping sambil tendang badan payung.
Giri Arsana tidak tinggal diam. Payungnya diangkat ke atas dan kini dipakai untuk
menggebuk pinggang lawan.
Saat itu pula Patih Kerajaan melompat ke dalam kalangan perkelahian seraya
berteriak.
“Sahabatku Giri Arsana! Harap kau mundur! Aku yang berhak membunuh
perempuan celaka ini! Dia telah membunuh Sabrang putera tunggalku!” Sang Patih
lalu dorong tubuh Giri Arsana hingga terhuyung lalu masuk ke dalam kelangan
perkelahian dan langsung menyerang si nenek dengan pukulan tangan kosong yang
mematikan.
“Patih! Jangan kau berani macam-macam! Aku lebih berhak membunuh
bangsat tua ini! Dia telah membunuh istri dan dua anakku! Apa kau masih merasa
lebih berhak dariku?!” Giri Arsana balas mendorong tubuh Patih Kerajaan hingga
terjajar beberapa langkah. Kedua orang ini jadi bertengkar perang mulut dan saling
dorong mendorong.
“Hentikan ketololan ini!” teriak Giri Arsana tiba-tiba. “Jika kita sama-sama
merasa berhak membunuhnya, mari kita menghajarnya. Kita hanya berebut cepat!
Siapa yang sanggup membunuhnya lebih dulu itu lebih baik!”
Ucapan si kakek ada benarnya juga terasa oleh Ganda Ariawisesa. Maka tanpa
banyak bicara lagi diapun menyerbu bersama si kakek. Diserang dua lawan berat
BASTIAN TITO 51
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
seperti itu Sriti Gandini tidak merasa jerih. Dia sudah bertekad bulat untuk membunuh
Giri Arsana lebih dulu. Soal Patih Kerajaan itu bisa diselesaikannya kemudian.
Payung di tangan Giri Arsana tiba-tiba berkembang. Satu sambaran angin
menerpa membuat serangan si nenek jadi terbendung. Betapapun dia coba merangsak
ke depan tetap saja dia tidak bisa menembus pertahanan lawan yang dibentengi
dengan payung sakti itu. Ketika Giri Arsana mulai memutar-mutar payung hitamnya
si nenek merasakan tubuhnya seperti digulung ombak yang dahsyat. Dia kerahkan
tenaga dalam sepenuhnya dan acungkan kedua tangannya ke depan. Sepuluh kuku
hitam mencuat. Giri Arsana jadi bergeming. Dia pegang payung kaitnya kuat-kuat dan
memutar lebih sebat. Sementara itu Ganda Ariawisesa melancarkan serangan dari
samping bertubi-tubi hingga si nenek merasa sangat terganggu dan tidak bisa
memusatkan perhatiannya pada Giri Arsana.
“Patih keparat! Kau mengasohlah dulu!” teriak si nenek. Lalu mulutnya
menyembur. Segulung asap kelabu keluar membuntal.
“Patih, lekas tutup penciumanmu!” teriak Giri Arsana. Tapi terlambat. Patih
Kerajaan keburu mencium asap kelabu yang menyembur dari mulut si nenek.
Akibatnya dia merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas sedang pemandangannya
berkunag-kunang. Jika lawannya menghantam saat seperti itu celakalah dirinya.
Memikir begitu Patih ini cepat jauhkan diri dari kalangan perkelahian. Dia segera
mengatur jalan nafas dan peredaran darah. Sesaat kemudian dia tampak muntahmuntah.
Muntahnya bercampur darah. Namun setelah muntah keadaannya jadi
membaik.
Sriti Gandini kini lebih dapat memusatkan serangannya pada Giri Arsana.
Tubuhnya berkelebat capat laksana bayang-bayang. Sepuluh kuku jarinya
mengeluarkan sinar hitam menggaris udara dalam sepuluh larik yang mengerikan.
Dengan gigih di nenek kirimkan serangan susul menyusul. Namun payung hitam di
tangan lawan benar-benar membuatnya mati kutu. Satu kali dia sempat menghantam
payung itu dengan lima cakaran ganas. Tapi kain payung jangankan robek, tergurat
sajapun tidak! Giri Arsana pukul gagang payung dengan tangan kiri. Angin dahsya
menggebubu. Si nenek coba bertahan tapi gagal. Tubuhnya tersungkur jatuh duduk!
Sambil memaki panjang pendek si nenek bangkit berdiri. Tangan kanannya
menyusup ke balik pakaian hijaunya. Ketika keluar tampak di tangan itu tergenggam
sebatang ranting sirih lengkap dengan tiga helai daunnya. Melihat daun sirih itu,
berubahlah paras Giri Arsana.
“Benar rupanya dia telah mengetahui kelemahanku!” kata si kakek dalam hati.
“Sekarang aku hanya tinggal pasrah!”
“Kau lihat benda ini, Giri Arsana?” tanya si nenek lalu tertawa panjang seperti
lolongan srigala. Dia mendongak ke langit. Dari mulutnya kemudian terdengar suara
nyanyian.
Sang istri sudah kudapat
Begitu juga anak bungsu dan anak ke empat
Menyusul sekarang Bapak yang culas
Dendam kesumat segera terbalas
“Tua bangka gila! Kau telah menyanyikan lagu pengiring kematianmu
sendiri!” teriak Patih Kerajaan. Rupanya keadaannya sudah pulih. Habis membentak
begitu dia segera menyerbu. Namun dari samping Wiro yang sejak tadi diam saja
menghadang serangannya.
“Biarkan mereka menyelesaikan urusan…. Biar kita menjadi penonton yang
baik saja, paman Patih.”
“Pendekar 212! Kau!” teriak Patih Ganda Ariawisesa.
BASTIAN TITO 52
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Kau kini berbalik membela perempuan itu? Kau sudah gila rupanya!”
“Dunia ini memang banyak orang gilanya, Patih. Tapi sekali ini saya belum
gila. Saya bilang biarkan kakek-nenek itu menyelesaikan urusan mereka!”
“Kurang ajar! Kau telah bersekutu dengan perempuan iblis itu!” teriak Patih
Ganda Ariawisesa. Dengan marah dia langsung menyerang Wiro. Perkelahian seri
terjadi hanya lima jurus. Di jurus keenam Wiro berhasil menotok tubuh Sang Patih
hingga terguling jatuh di tanah dan tak bisa bergerak lagi. Hanya mulutnya saja yang
berteriak memaki tiada henti.
Begitu Sang Patih jatuh ke tanah, Wiro cepat melompat ke tempat perkelahian
antara Sriti Gandini dan Gairi Arsana. Saat itu dengan setangkai daun sirih di tangan
si nenek melancarkan serangan. Giri Arsana muncur terus sambil melepaskan
serangan-serangan balasan dengan payungnya. Tapi nyatanya kini setiap serangan
ataupun angin pukulan sakti yang keluar dari payung, hanya dengan melambaikan
daun sirih saja, semau serangan si kakek dapat dimusnahkan oleh si nenek!
“Celaka!” keluh Giri Arsana. Mukanya tampak pucat.
“Ajalmu sudah dekat Giri!” kata si nenek sambil lontarkan seringai maut.
Daun sirih di tangannya dihantamkan ke depan. Giri Arsana kembali membentengi
dirinya dengan payung saktinya. Namun kali ini kekebalan payung hitam itu tidak
sanggup bertahan terhadap setangkai daun sirih.
Breeettt…!
Trakk! Trakk!
Kain payung robek besar. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu berpatahan.
Giri Arsana merasakan seperti ada aliran panas menjalar ke tubuhnya. Cepat-cepat
orang tua ini buang payungnya lalu melangkah mundur.
“Jangan harap kau bisa lari Giri! Hanya nyawamu yang bisa membalas segala
sakit hati dendam berkarat!”
“Aku tidak bakalan lari Sriti! Kau ingin membunuhku dilahkan! Lakukan
cepat! Aku memang orang berdosa!” kata Giri Arsana pula.
Si nenek tertawa.”Akhirnya kau menyadari kesalahanmu manusia budak nafsu.
Penyesalanmu datang terlambat…!” Si nenek melompat dan pukulan sirih yang
dipegangnya ke kepala Giri Arsana. Inilah kelemahan Dewa Berpayung Hitam.
Kesaktian, kekebalan dan semua ilmu yang dimilikinya akan musnah oleh pukulan
daun sirih. Hal ini rupanya diketahui Sriti Gandini setelah puluhan tahun berusaha
membongkar rahasia kehebatan si kakek.
Sesaar lagi setangkai daun sirih itu akan mempu menghancurkan batok kepala
Giri Arsana, tiba-tiba dari samping berkelebat satu bayangan dan srettt! Tahu-tahu
tangkai dan daun sirih di tangan si nenek terbetot lepas.
Sriti Gandini menjerit keras.
“Pemuda kurang ajar!” teriak si nenek ketika dilihatnya Pendekar 212 Wiro
Sableng berdiri tegak sambil senyum-senyum dan kipas-kipaskan daun-daun sirih itu
di depan dadanya. “Kembalikan daun sirih itu padaku! Cepat!”
“Pendekar 212….!” Seru Giri Arsana. Lalu dia terdiam. Baru dia menyadari
bahwa memang betul wajah pemuda itu memang mirip sekali dengan parasnya
sewaktu muda! Namun saat itu dia tidak bisa memikirkan hal itu lebih lama. Dia
berkata “Pendekar 212, serahkan daun sirih itu padanya. Aku sudah pasrah mati.
Dosaku terlalu besar padanya….”
“Kalian berdua sama-sama tua, seharusnya bisa bersabar. Jika silang sengketa
antara kalian bisa diselesaikan dengan damai mengapa tidak berusaha
melakukannya?”
BASTIAN TITO 53
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Damai?!” sentak Sriti Gandini. “Puluhan tahun dia menyakiti diriku. Datang
pergi datang pergi dan kawin! Saudara perempuanku ikut jadi korbannya…”
“Sudah Sriti, kau mau membunuh aku lakukan saja. Jangan sebut-sebut lagi
kejadian di masa lampau itu…” kata si kakek dengan hati pilu. Lalu perlahan-lahan
dia duduk di tepi kawah, bersila pejamkan mata. Menunggu dirinya untuk dibunuh.
Si nenek melangkah. Tapi Pendekar 212 cepat menghadang jalannya.
“Apa yang hendak kau lakukan?” tanya Wiro pada si nenek sambil menatap
dengan tajam.
“Apa perlu kau tanya lagi?!” membentak Sriti Gandini. “Berikan sirih itu
padaku!”
“Baik! Sirih ini akan aku berikan padamu1 Kau bisa membunuhnya dengan
mudah! Tapi apakah setelah dia mati kau akan merasa lepas dari segala dendam
kesumat?! Istri dan dua anaknya sudah kau bunuh! Apa itu belum cukup!”
“Tentu saja belum! Dendam sakit hatiku selama puluhan tahun tidak akan
terkikis sebelum dia kuhabisi!”
Wiro ulurkan tangannya yang memegang daun sirih. “Kakek itu sudah
mengakui dosanya. Sudah pasrah menerima kematian dalam penyesalan yang
mendalam. Jika kau hendak membunuhnya silahkan. Tapi ingat, jangan harap aku
mau bersahabat lagi denganmu!”
Si nenek tersurut.
Giri Arsana terheran-heran mendengar ucapan Pendekar 212 yang membua si
nenek seperti ketakutan.
“Kau manusia jahat!” jerit Sriti Gandini. Lalu dirampasnya setangkai daun
sirih itu dari tangan Pendekar 212. Tapi dia tidak menghantamkan daun sirih itu pada
Giri Arsana. Dari mulutnya terdengar suara memelas perlahan. “Mungkin memang
sudah begini takdir jalan hidupku. Kalau saja aku bisa mati lebih cepat itu akan lebih
baik. Apa artinya lagi hidup ini…”
Sriti Gandini campakkan setangkai daun sirih itu ke tanah. Lalu tiba-tiba
sekali tanpa satu orangpun bisa mencegahnya nenek ini membuang dirinya ke dalam
kawah.
“Sriti!” teriak Giri Arsana. Dia coba mengejar tapi terlambat. Tubuh si nenek
sudha jauh melayang ke arah kawah. Giri Arsana terduduk di tebing kawah. Kakek ini
mulai manangis sesenggukan.
Saat itu matahari mulai tergelincir tenggelam seolah-olah meluncur masik ke
dalam laut. Di bawah sinar mentari yang merah keemasan itu, dari bawah kawah
kelihatan ada dua orang bergerak mendaki ke atas. Yang satu seorang kakek
berpakaian putih, mendaki sambil memanggul sesosok tubuh berpakaian hijau. Di
sebelahnya berjalan seorang gadis berwajah jelita. Rambutnya yang hitam sebahu
melambai-lambai tertiup angin.
Makin tinggi keua orang ini naik ke atas tebing kawah. Semakin melotot
kedua mata Wiro dan Giri Arsana. Begitu kedua orang itu sampai di depan mereka,
Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Tuhan Maha Besar!” seru Pendekar 212. “Kakek Tua Gila, lagi-lagi kau
menyelamatkan orang dari kematian!”
Tua Gila yang memanggul tubuh Sriti Gandini yang saat itu mulai siuman,
menurunkan tubuh si nenek lalu membaringkannya di tanah di hadapan Giri Arsana.
Si kakek menjerit keras lalu merangkul tubuh orang yang pernah jadi
kekasihnya itu. Dia tidak malu-malu membisikkan ratapan. “Sriti, jika kau mau
memaafkan aku. Aku berjanji akan memeliharamu baik-baik di sisa usiaku yang tidak
seberapa lama lagi ini….”
BASTIAN TITO 54
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Si nenek tidak menjawab. Kedua matanya yang sempat hendak dibuka kini
dipejamkannya kembali.
Pendekar 212 tersenyum dan berkata. “Hai nek! Ayo jawab ucapan orang!
Apa kau tidak mendengar apa yang tadi dikatakan si kakek?!”
Si nenek yang sadar kalau orang sudah tahu bahwa dia berpura-pura pingsan
terus akhirnya buka kedua matanya dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Sesaat dia
memandang dengan mata melotot pada Wiro. Wiro membalas dengan senyum
dikulum sambil kedipkan mata dan goyangkan kepalanya ke arah Giri Arsana.
“Kakek itu akan duduk bersila di situ sampai jadi batu. Kecuali kalau kau mau
menolongnyaa berdiri! Tolong dia. Fia akan ikut kemana kau pergi. Kalian berdua
akan bahagia selama-lamanya!”
Diperlakukan seperti itu Sriti Gandini jadi serba salah. Akhirnya diulurkannya
juga tangan kanannya. Si kakek menatap paras nenek itu dengan air mata bercucuran.
Si nenekpun mulai menangis sesenggukan. Keduanya saling berpegangan tangan dan
perlahan-lahan Giri Arsana bangkit berdiri. Saat itu juga tempat itu dipenuhi tepuk
bersorak Wiro, Tua Gila dan Mirantih.
“Sebaiknya kita yang tak punya kepentingan tidak perlu berlama-lama di
tempat ini…..” kata Wiro pula.
Tua Gila batuk-batuk. “Kau betul Pendekar 212. Mari kita pergi.”
Wiro mendekati Patih Ganda Ariawisesa terlebih dulu untuk melepaskan
totokan di tubuh orang itu. Semula dia menyangka Sang Patih akan menghantamnya,
paling tidak mencaci makinya. Ternyata tidak. Sang Patih menarik nafas dalam dan
terdengar berucap. “Aku sudah saksikan semua yang terjadi. Mungkin ini semua
sudah takdir dari Yang Kuasa. Kita manusia hanya bisa menerima kenyataan…”
“Saya merasa bersyukur Paman Patih berkata begitu….” Kata Wiro girang.
Lalu dia memberi isyarat pada Tua Gila dan Mirantih. “Mari kita pergi. Jenazah di
dalam batang kelapa serahkan saja pada mereka untuk mengurusi.” Ketiga orang itu
segera hendak melangkah pergi. Tiba-tiba terdengar Patih Kerajaan berkata
“tunggu dulu! Apakah kalian melihat dua orang berada di pulau ini?”
“Maksud Paman Patih Pagar Paregreg Kepala Pasukan Kerajaan yang jadi
pimpinan pemberontak itu dan cecunguk kawannya yang bernama Brambang
Santika?!” ujar Wiro.
“Ah, jadi kau sudah melihat mereka!”
“Keduanya tak perlu diurusi. Sudah ada yang mengurus sendiri. Ikan-ikan di
dalam laut sana!” kata Wiro seraya menunjuk ke tengah laut. Selagi Patih Kerajaan
terheran-heran tak mengerti Pendekar 212 melanjutkan keterangannya. “Kedua orang
itu sudah dihajar habis-habisan oleh nenek itu. Mayatnya ditendang mental dan
masuk ke dalam laut!”
Patih Kerajaan meepaskan nafas legaa. Wiro, Tua Gila dan Minaratih
melangkah pergi. Namun lagi-lagi ada suara menahannya pergi. Kali ini seruan Sriti
Gandini.
“Pendekar 212! Aku tahu sekarang! Kau sudah dapat sahabat baru gadis cantik
itu! Pantas kau tidak mau bersahabat denganku!”
Wiro tertawa gelak-gelak. “Siapa bilang saya tidak suka bersahabat dengamu
Nek. Bukankah sudah saya katakan kau ini nenek paling cantik di dunia?!” Lalu pada
Giri Arsana dia berkata. “Kek, kau jaga baik-baik sahaba yang cantik itu!”
Semua orang yang ada di puncak kawah Gunung Krakatau itu termasuk Giri
Arsana tertawa gelak-gelak. Si nenek tampak cemberut. Tapi cuma sebentar Sesaat
kemudian terdengar pula suara tawanya. Malah lebih keras dari tawa yang lain
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar