Rabu, 01 Februari 2012

066. Betina Penghisap Darah

DUA ORANG penunggang kuda itu menuruni lembah Batusilang dengan cepat. Di sebelah
depan adalah seorang lelaki berdestar hitam, berpakaian sederhana dan berusia sekitar 40 tahun.
Di belakangnya mengikuti lelaki muda berpakaian bagus  yang di kepalanya ada topi tinggi
berwarna merah dengan pinggiran kuning, emas, pertanda dia adalah seorang berpangkat.
Dua kuda tunggangan melewati sebuah telaga kecil dan akhirnya sampai di hadapan sebuah
rumah berdinding kayu beratap rumbia.
“Ini tempatnya,” kata lelaki berdestar hitam seraya hentikan kudanya. Lalu dia melompat
turun sementara yang satu lagi memandang berkeliling dan tetap di atas punggung kudanya.
Orang berdestar melangkah menuju pintu rumah dan mendorong daun pintu yang ternyata tidak
dikunci. Terdengar suara berkereketan. Orang itu masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar
lagi.
“Rumah ini kosong. Dia masih belum datang rupanya.”
Orang berpakaian bagus di atas kuda mengangguk. Dia memandang lagi berkeliling. “Kalau
memang belum datang aku bisa menunggu, Turangga. Sekalian kita bisa istirahat. Yang aku
kawatirkan dia benar-benar tidak datang. Kau tertipu, aku tertipu!”
“Saya yakin dia pasti datang Tumenggung Purboyo. Silahkan Tumenggung turun dan masuk
ke dalam. Menunggu sambil istirahat.”
Orang yang dipanggil dengan sebutan Tumenggung itu turun dari kudanya. Dia melangkah
ke pintu hendak masuk ke dalam rumah. Namun langkahnya tertahan karena saat itu di bibir
lembah terdengar suara ringkik kuda. Tumnggung Purboyo dan Turangga berpaling, memandang
ke arah Timur lembah Batusilang. Di kejauhan kelihatan seekor kuda putih berlari menuruni
lembah. Penunggarignya seorang berpakaian ungu.
“Ia datang Tumenggung.” kata Turangga gembira.                                      
3
“Hemm…” bergumam Tumenggung Purboyo. Wajahnya juga tampak berseri. “Dia
menepati janji. Tidak sia-sia kita meninggalkan Kotaraja jauh-jauh sampai di sini.”
“Tadipun saya sudah bilang. Dia pasti datang.”
“Sekali lagi aku ingatkan padamu Turangga. Jaga rahasia ini baik-baik. Tidak satu orangpun
boleh tahu. Kedua orang tuaku. Orang-orang Istana, apalagi tunangan dan calon mertuaku! Kalau
kejadiari ini sampai bocor, aku cuma ingin membunuh satu orang. Kau!”
Turangga menyeringai. “Saya sudah mengabdi lebih dari dua puluh tahun pada keluarga
Tumenggung. Masakan saya hendak membocorkan rahasia? Dulupun saya pernah muda
Tumenggung.”
Penunggang kuda yang datang dari arah Timur lembah itu semakin dekat. Tumenggung
Purboyo mengangkat kepalanya sedikit.  “Hemm… Orangnya masih jauh. Tapi bau
wewangiannya sudah tercium sampai ke sini.”
Turangga ikut-ikutan menengadahkan kepala dan menghirup dalam-dalam. Memang benar.
Dia juga dapat mencium wanginya tubuh orang yang datang itu.
Kuda putih akhirnya sampai di depan rumah dan berhenti di hadapan kedua lelaki itu.
Tumenggung Purboyo terkesiap untuk beberapa saat lamanya. “Turangga tidak berdusta. Gadis
ini benar-benar luar biasa. Tak pernah aku melihat dara secantik ini. Ah, kalau saja aku belum
bertunangan pasti aku tak akan ragu mengambilnya sebagai istri!” begitu Tumenggung ini
membatin.
Di sana, di atas kuda putih duduk seorang dara berwajah cantik sekali. Tubuhnya yang putih
mulus terbungkus oleh pakaian berwarna ungu. Rambutnya yang panjang berhias sebuah pita
juga berwarna ungu. Lalu pada lehernya melingkar sehelai selendang lagi-lagi berwarna ungu.
Sepasang mata sang Tumenggung tak berkesip memperhatikan dara itu mulai dari kepala sampai
ke kaki.
Sadar kalau dia membuat orang menunggu lama, Tumenggung Purboyo membuka topinya
dan memberi penghormatan dengan menganggukkan kepala.
“Maafkan, saya sampai lupa mempersilahkan turun dan masuk ke dalam rumah.”                                      
4
Dara di atas kuda tersenyum. Senyumannya seperti panah asmara yang datang menyambar
membuat Tumenggung Purboyo tambah blingsatan sementara Turangga tertegak sambil
membasahi bibirnya dengan ujung lidah berulang kali. Lalu Turangga cepat-cepat membuka
pintu sementara dara berbaju ungu turun dari kudanya dibantu oleh Tumenggung Purboyo.
“Perjalanan yang begini jauh pasti tidak menyenangkan. Ditambah dengan keadaan di sini.
Rumah kayu buruk ini tidak pantas untuk seorang cantik jelita seperti… Ah, maafkan saya. Saya
belum tahu namanya.”
Dara itu kembali tersenyum.
“Saya datang tidak bernama. Dan akan pergi tidak bernama…”
Dalam herannya Tumenggung Purboyo cepat-cepat berkata. “Kalau begitu biar saya panggil
Dewi saja? Boleh…?”
“Kalau itu memang cukup pantas mengapa tidak boleh?” Suara sang dara seindah bulu
perindu, menyejukkan hati Tumenggung Purboyo tapi sekaligus juga membakar panas darah di
tubuhnya. Dia mengikuti gadis itu melangkah  menuju ke pintu. Di ambang pintu si gadis
berhenti dan memandang ke dalam.
Rumah papan itu berlantai kayu hitam dan sangat bersih. Di sebelah kiri ada sebuah meja
diapit dua buah kursi. Di atas meja terdapat seperangkat tempat minum. Lalu di bagian tengah
terletak sebuah ranjang dengan tilamnya yang  indah dan bantal-bantal yang empuk. Semua ini
telah disiapkan Turangga sehari sebelumnya.
“Maafkan kalau keadaan dan isi rumafi ini tidak berkenan di hall Dewi,” kata Tumenggung
Purboyo. Hidungnya mencium dalam-dalam. Bau wangi tubuh dan pakaian si gadis membuatnya
ingin menerkam gadis itu saat itu juga.
“Saya suka semua yang ada di sini…” kata si gadis seraya melangkah masuk ke dalam.
“Saya gembira mendengar hal itu,” kata Tumenggung Purboyo dan mengikut masuk.
Gadis berbaju ungu sesaat masih memandang sekeliling kamar lalu dia duduk di tepi ranjang.
Jantung Tumenggung Purboyo seperti berhenti berdetak.
“Dewi tentu haus. Biar saya ambilkan minuman.”                                      
5
“Tidak usah. Saya tidak punya waktu banyak. Tapi saya berjanji akan memberikan kepuasan
pada Tumenggung. Siapa tahu lain kali Tumenggung mau lagi bertemu dengan saya…”
“Melihat keadaan Dewi, terus  terang tiap haripun saya ingin bertemu. Hanya saja keadaan
memaksa saya harus mengatur waktu sebaik-baiknya.
“Saya mengerti,” kata Dewi. “Apakah Tumenggung tidak akan menutupkan pintu?”
“Ah, saya lupa.” Tumenggung Purboyo cepatcepat menutup pintu.
“Apakah pembantu Tumenggung di luar sana bisa dipercaya?”
“Dewi tak usah takut. Turangga bersedia mati jika saya suruh. Dia sangat setia…”
“Sekarang hanya kita berdua di kamar ini. Tidakkah Tumenggung hendak memeluk saya?”
tanya gadis berpakaian serba ungu. Senyumnya  membuat sang Tumenggung seperti dibuai
ayunan sorga. Segera saja dia melangkah ke hadapan si gadis. Kedua tangannya merangkul erat
punggung gadis itu. Hidungnya menyelusur di lehernya yang putih jenjang dan harum.
“Saya tidak menyangka kalau orang yang bernama Tumenggung Purboyo ini masih begini
muda dan gagah. Tadinya saya mengira pasti sudah tua renta tapi masih genit dan suka daun
muda…” Si gadis terdengar tertawa perlahan. Lalu balas merangkul tubuh lelaki itu.
“Saya tidak cukup pantas untuk gadis secantik Dewi,” kata Tumenggung Purboyo pula.
“Tolong bukakan pakaian saya,” bisik si gadis.
Tumenggung Purboyo merasakan sekujur tubuhnya bergetar panas. Cepat-cepat kedua
tangannya meluncur ke bagian depan tubuh sang dara. Tidak terlihat oleh Tumenggung Purboyo
gadis itu tampak tersenyum aneh. Lalu kedua tangannya yang merangkul perlahan-lahan bergerak
ke atas. Bersarnaan dengan itu terjadi perubahan aneh pada sepuluh jari tangannya yang halus
bersih. Dari ujung-ujung jari mencuat keluar kuku-kuku panjang berwarna merah. Pada ujung-
ujung kuku terdapat sebuah lobang kecil sebesar lobang jarum.
Sepuluh jari tangan itu terus bergerak ke atas, mencapai bahu dan kini bergeser ke arah leher
Tumenggung Purboyo pada saat dia tengah sibuk membuka kancing-kancing pakaian ungu sang
dara.
Mendadak ada suara tertawa aneh menggidikkan. Gerakan tangan Tumenggung Purboyo                                      
6
tiba-tiba terhenti. Bukan oleh suara tawa itu. Tapi oleh sepuluh kuku panjang berlubang yang
mencengkeram dan menusuk dalam di batang  lehernya. Darah muncrat! Kedua mata sang
Tumenggung mendelik. Dia merasa darah di sekujur tubuhnya seperti disedot. Satu jeritan keras
menggeledek keluar dari mulut Tumenggmg ini. Lalu tubuhnya mendadak sontak lemas seperti
tidak bertulang lagi. Ketika cengkeraman pada lehernya lepas, tubuhnya tak ampun lagi jatuh
terbanting ke lantai kayu hitam!
Di luar rumah, begitu mendengar teriakan tumenggung Purboyo kagetnya Turangga bukan
kepalang. Tanpa pikir panjang  lagi dia segera melabrak dan menjebol pintu. Begitu pintu
terpentang segera dia melompat masuk. Begitu masuk begitu kedua kakinya seperti dipantek ke
lantai. Sekujur tubuhnya bergetar ketakutan. Mata melotot dan muka seputih kertas.
Di lantai di hadapannya tergeletak sosok tubuh Tumenggung Purboyo. Pada lehernya yang
berlumuran darah kelihatan lobang-lobang mengerikan. Kedua matanya terbeliak. Di dekat
ranjang tegak gadis cantik berbaju ungu itu yang sekarang di mata Turangga seperti telah berobah
menjadi setan yang mengerikan!
Gadis itu tegak dengan baju tersingkap hingga payudaranya kelihatan menyembul. Dia
berdiri sambil menyeringai dan menjilati jari-jari tangannya kanan kiri yang bersimbah darah.
Wajahnya yang cantik penuh noda darah terutama di bagian mulut. Ketika menyeringai gigi-
giginya yang sebelumnya putih kini tampak merah oleh lapisan darah! “Ya Tuhan, apa yang
terjadi! Manusia atau ibliskah yang berdiri di depanku ini?” kata Turangga dalam hati.
“Kacung Tumenggung yang setia. Apa yang kau saksikan?”
Tentu saja Turangga tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Ketika dilihatnya gadis berbaju
ungu itu bergerak mendekatinya tanpa pikir panjang lagi Turangga segera putar tubuh dan meng-
hambur ke luar kamar. Di belakangnya terdengar sang dara keluarkan suara tertawa melengking
lalu melompat mengejar.
Turangga lari ke kudanya. Dia berlaku cerdik. Dia tidak lari mendaki ke arah tebing lembah
yang terbuka melainkan menyusup ke bagian  lembah yang ditumbuhi pepohonan dan semak
belukar lebat yaitu di sebelah belakang rumah kayu.                                     
7
“Lolos…” desis berbaju ungu. Walaupun bisa tapi dia tidak berusaha mengejar. Dia
melangkah ke arah kuda putihnya. Dari mulutnya masih terdengar suara tertawa melengking
tinggi mengerikan.
8
MINUM air jahe hangat dan manis malam-malam dingin begitu terasa nikmat sekali. Sementara
menunggu datangnya minuman itu Wiro menyantap singkong rebus. Sambil mengunyah dia
memandang berkeliling. Saat itu di kedai kecil di pinggiran desa itu hanya ada tiga orang tamu.
Pertama dirinya sendiri lalu seorang lelaki separuh baya yang duduk sambil mengangkat kaki
seenaknya, lalu seorang tamu lagi yang duduk menunduk, mengenakan pakaian seperti jubah. Di
kepalanya ada semacam kerudung hingga wajahnya tidak kelihatan.
Pemilik kedai yang merangkap pelayan datang membawakan air jahe hangat dan meletakkan
minuman itu di atas meja di depan Wiro. Tak sabar menunggu dinginnya minuman Wiro
menuangkan air jahe itu di atas tadah. Ketika dia hendak memegang tadah murid Eyang Sinto
Gendeng ini jadi kaget. Tadah itu bergerak dan bergeser ke kiri hingga tak terpegang.
“Ah, mungkin mataku yang sudah lamur!”  kata Wiro menyalahi dirinya sendiri.
Diulurkannya tangannya kembali untuk memegang tadah berisi jahe itu. Hampir tersentuh tiba-
tiba kembali tadah itu bergerak. Kali ini berpindah ke kanan. Gerakan tadah ini berpindah cukup
cepat namun air jahe di atasnya sama sekali tidak bergoyang apalagi tumpah!
Wiro mernandang berkeliling. Pandangannya kemudian tertuju pada pemilik kedai.
“Ada apa ‘Den?” tanya pemilik kedai itu melihat tamunya seperti bingung.
“Tidak. Tidak ada apa-apa…” jawab Wiro. Dia memandang lagi berkeliling.
Diperhatikannya tamu yang duduk angkat kaki di sebelahnya. Orang ini asyik menghirup kopi
dan mengunyah pisang goreng. Wiro berpaling  ke kanan. Tamu berkerudung itu juga tampak
asyik menyantap makanannya lalu menghirup kopinya kuat-kuat hingga mengeluarkan suara.
“Brengsek! Apa sebenarnya yang terjadi di tempat ini? Ada setan yang jahil mengganggu
tamu?” Karena jengkel merasa dipermainkan Wiro keluarkan ucapan. “Setan konyol, aku makan
dan minum membayar. Jadi jangan berani  mempermainkan. Jika mau ikut minum silahkan-                                     
9
duduk unjukkan diri. Jangan mengganggu seperti ini!”
“Eh, Raden bicara apa dan sama siapa?” tanya pemilik kedai.
Wiro garuk-garuk kepala. “Tidak… Saya tidak bicara apa-apa…” jawab Wiro.
Pemilik kedai jadi heran. “Jangan-jangan tamu  satu ini otaknya kurang beres. Sejak masuk
tadi dia sudah cengar-cengir cengengesan. Sebentar-sebentar garuk-garuk kepala. Kini malah
ngomong sendirian!”
Wiro duduk tak berkesip memandangi tadah berisi air jahe itu. Dia melirik pada minuman
dalam gelas. “Coba kupegang gelasnya. Apa bisa bergerak juga,” kata pemuda ini dalam hati. Lalu
tangan kanannya diulurkan. Hanya sedikit saja lagi jari-jarinya akan menyentuh badan gelas, tiba-
tiba gelas berisi air jahe hangat itu bergerak menjauh! Berubahlah paras Pendekar 212.
“Ada orang pandai mempermainkanku. Tapi siapa…?” Dua tamu yang ada di situ jelas tidak
bergerak asyik dengan makanan dan minuman masing-masing. Si pemilik kedai juga tengah
mengangkat gorengan pisang dari kuali besar.  “Setan… Jangan-jangan benar-benar ada setan di
kedai ini!” Wiro gigit bibirnya. Dia memandang  lagi pada air jahe di atas tadah. “Coba kutipu,”
katanya dalam hati. Kedua tangannya pura-pura diturunkan ke bawah.  Tapi baru sampai di
pinggang dengan cepat diangkatnya kembali. Sekaligus bergerak ke arah tadah di atas meja. “Biar
kupecahkan sekalianl” kata Wiro dalam hati saking jengkelnya.
Namun tiba-tiba sekali tadah itu melayang ke atas mengarah muka Wiro. Air jahe hangat di
atasnya menyiprat membasahi seluruh wajah sang pendekarl Mata disiram air jahe hangat tentu
saja sakitnya bukan kepalang! Wiro sampai terpekik dan terlompat dari duduknya. Dua tamu di
samping kirinya sampai ternganga karena kaget sedang tamu satunya lagi hanya menoleh sedikit
lalu meneruskan meneguk kopinya.
“Ada apa Raden?” tanya pemilik kedai. Ketika dilihatnya muka Wiro basah dan pemuda ini
menggosok-gosok kedua matanya tiada henti. Sedang di lantai tadah gelas pecah berantakan. “Ah,
itulah Raden. Minuman masih panas sudah mau  diminum. Mbok ya sabar ditunggu sampai
dingin…”
“Mbok sabar… Mbok sabar!” gerutu Wiro dalam hati. “Mukaku serasa tebal, mataku pedas                                      
10
enak saja bicara mbok… mbok.”
Pemilik kedai itu tidak memperhatikan Wiro karena salah satu tamunya telah berdiri dan
membayar. Selesai melayani tamunya pemilik kedai bertanya. “Mau tadah baru lagi Den”
“Tidak usah!” jawab Wiro. “Biar panas-panas  aku sanggup menenggak air jahe ini!” Lalu
saking jengkelnya Wiro teguk air jahe dalam gelas yang masih panas. Mulutnya sampai ternganga
kepedasan dan lidahnya terjulur-julur. Dari dalam sakunya dikeluarkannya uang pembayar
makanan dan minuman lalu diulurkannya. Tapi orang kedai tidak mau menerimanya. Wiro jadi
tambah mengkal.
“Tidak mau dibayar?” bentaknye sambil mengusap mata kirinya yang masih terasa perih.
“Anu Den…”
“Anu… anu! Anumu nanti aku guyur sama air jahe panas baru tahu! Ayo ambil uangnya!”
“Anu Den. Tidak perlu. Sudah dibayar.”
“Sudah dibayar? Siapa yang membayar? Jangan main-main!” kata Wiro dengan keras.
“Itu, tamu berjubah tadi…” menjawab pemilik kedai.
Wiro berpaling ke kanan. Tamu yang duduk  di situ sudah tidak ada lagi. “Berjubah dan
pakai kerudung itu?”
“Betul Den.”
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Wajahnya tak  sempat kulihat. Kenalpun rasanya aku tidak.
Mengapa dia membayarkan makanan dan minumanku? Aneh!”
“Tamu tadi, kau kenal padanya? Sering mampir ke kedai ini?” tanya Wiro.
Orang kedai menggeleng. “Baru sekali ini saya melihatnya Den.”
“Situ tadi sempat lihat wajahnya?” tanya Wiro pula.
“Hanya sekilas. Wajahnya seram amat…”  
“Seram bagaimana?”
“Mukanya seperti tengkorak dan sangat hitam. Kedua matanya sangat cekung…”
“Jangan-jangan dia memang setan!” kata Wiro.
“Apa kata Raden, Setan? Puluhan tahun berjualan di sini belum pernah ada setan di sekitar                                      
11
sini Den. Tapi… Raden mungkin betul. Orang tadi mungkin setan… atau hantu…”
“Coba perlihatkan uang bayarannya tadi,” kata Wiro.
Orang kedai keruk saku pakaiannya. Ketika tangannya diulurkan dan genggamannya dibuka,
pucatlah wajahnya melihat apa yang ada ditangannya. Bukan sekeping uang logam. Tapi sebuah
batu kecil!
Tubuh pemilik kedai itu kini tampak gemetaran.
Jelas dia sangat ketakutan. Dengan suara terputus-putus dia berkata.  “Maafkan, saya tidak
menerima tamu lagi. Saya harus menutup kedai ini cepatcepat sebelum setan tadi kembali lagi!”
Wiro geleng-geleng kepala. “Kalau begitu ambil saja uang ini. Sekalian bayaran makanan dan
minuman orang berjubaah tadi. Sialan! Malah kini aku yang membayarkan! Dasar setan!”
Wiro meletakkan uangnya di atas meja lalu cepat-cepat setengah berlari dia berkelebat ke
jurusan perginya orang berjubah tadi. Tak lama  berlari Wiro berhasil mengejar orang berjubah
itu. Tapi aneh, tinggal dalam jarak sekitar lima tombak, bagaimanapun dia mempercepat larinya
mengejar tetap saja dia tidak  dapat mendekati orang itu. Wiro kerahkan tenaga dalam, ilmu
meringankan tubuh serta ilmu larinya. Dia hanya mampu maju mendekat sekitar empat tombak
setelah itu tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
“Saudara berjubah! Hai! Tunggu dulu! Berhenti!” Wiro berteriak  memanggil. Matanya
memperhatikan kedua kaki orang di depannya. Ternyata kedua kaki itu menjejak tanah. Bergerak
seperti melangkah tapi memiliki  kecepatan seperti orang berlari! “Ah dia manusia biasa juga.
Bukan setan!” kata Wiro melihat kenyataan itu.
Orang yang dipanggil acuh saja. Jangankan berhenti, berpalingpun tidak.
“Sialan!” maki Wiro dalam hati. Dia mempercepat larinya. Tetap saja dia tidak dapat
memperpendek jarak. Dia mencari akal. “Biar kubuat marah dia!” Lalu kembali Wiro berteriak.
“Manusia jahat penipu! Membayar dengan batu! Mengapa pergunakan ilmu untuk menipu orang
kecil!”
Orang di depan Wiro keluarkan suara tawa mengekeh. Lalu tubuhnya lenyap. Wiro hentikan
lari. Memandang berkeliling. Hatinya mulai was-was. “Kalau benar tadi itu bukan manusia tapi                                      
12
setan, mati aku dicekiknya di tempat sunyi ini!” Lalu Wiro bersiap membentengi diri dengan
pukulan sakti.
Baru saja kumandang suara tawa itu lenyap  dalam kegelapan malam, tiba-tiba satu benda
melayang turun dari atas cabang sebuah pohon. Wiro menyingkir namun benda yang jatuh itu
cepat sekali mendekap leher dan dagunya. Dia merasa seperti ada satu sosok tubuh yang
menduduki bahunya. Wiro membungkuk, berusaha membantingkan sosok tubuh yang
menduduki bahu dan memagut lehernya itu. Namun tubuh itu laksana lengket jadi satu dengan
tubuhnya.
“Keparat sialan!” maki Pendekar 212. Dia kerahkan tenaga dalam lalu menggebuk ke
belakang. Dia sengaja lepaskan pukulan sakti  dalam jurus yang bernama “dibalik gunung
memukul halilintar.”
***                                      
13
3
PUKULAN ukulan yang bisa menghancurkan tembok batu itu mengeluarkan suara menderu.
Namun bukan saja pukulan itu tidak mengenai sasaran orang yang mendekam dibahunya, malah
lengan kanannya kena ditangkap. Belum sempat Wiro, membuat gerakan susulan untuk
melepaskan cekalan orang samb,il menghantam dengan tangan kiri, mendadak lengannya ditarik
keras ke depan. Tubuhnya ikut terseret. Kalau dia tidak ikuti daya tarik seretan itu dan jatuhkan
diri di tanah lalu bergulingan, niscaya Wiro akan terbanting dada atau muka lebih dulu mencium
tanah!
Dengan cepat Wiro bangkit berdiri. Begitu berdiri satu sosok tubuh tahu-tahu sudah tegak di
depannya. Serta merta dia hendak menghantam. Orang didepannya keluarkan suara tertawa
mengekeh. Seperti mengenali suara tawa itu, Wiro tarik pulang tangannya yang barusan hendak
memukul. Kakinya menyurut satu langkah.
“Siapa kau!” bentak Pendekar 212.
“Anak goblok! Kalau musuh beneran yang membokongmu, pasti kau sudah mampus dari
tadi!” Orang di depannya menanggalkan jubah di tubuhnya. Di balik jubah itu kini kelihatan satu
tubuh kurus tinggi mengenakan kebaya dalam dan panjang dekil. Wiro keluarkan seruan tertahan.
Tapi dia belum pasti. Tempat itu gelap sekali. Ketika orang di hadapannya melemparkan
kerudung yang menutupi wajahnya baru sang pendekar benarbenar mengenali dan berteriak.
“Eyang Sinto Gendeng!”
Ternyata orang itu adalah guru Pendekar  212 sendiri. Nenek sakti dari Gunung Gede
bernama Sinto Gendeng. Wiro cepat hendak jatuhkan diri memberi penghormatan. Si nenek
tertawa dan tarik pemuda itu hingga dia kembali berdiri.
“Guru, maafkan murid. Says tidak tahu kalau…”
“Anak setan! Dirimu sudah kumaafkan!”                                       
14
“Jadi Eyang rupanya yang tadi mempermainkan tadah minuman di kedai itu!”
Si nenek menyeringai.
“Nek, kau muncul secara mendadak lengkap  dengan segala keanehanmu. Tentu ada
sesuatu…”
“Nah otakmu ternyata masih jalan. Dengar,  memang ads satu hal penting yang ingin
kubicarakan denganmu. Kau sudah dengar kegegeran yang terjadi dalam rimba persilatan sejak
tiga bulan terakhir ini?”
“Banyak yang terjadi Eyang. Kegegeran yang mans maksud Eyang?” tanya Wiro.
“Sompret! Kau masih bisa bertanya. Apa saja  yang kau lakukan selama ini? Bertualang
mencari anak perempuan orang?!” Sepasang mata Sinto Gendeng tampak berkilat-kilat.
Wiro garuk-garuk kapalanya. Kalau tidak benarbenar ads satu peristiwa besar pasti gurunya
tidak semarah itu. Untuk beberapa saat lamanya pemuda ini hanya bisa tertegak dengan mulut
terkancing.
“Kau masih ingat kakek konyol peminum tuak yang bergelar Dewa Tuak?”
“Tentu saya ingat kakek satu Itu Eyang. Ada apa dengan dirinya. Apakah dia sudah
mendahului kita?” tanya Wiro.
“Anak setan! Enak saja kau menyebut orang  sudah mati!” bentak Eyang Sinto Gendeng
marah.
“Orang tua itu bakal mengalami kesulitan dan malu besar. Gara-gara perbuatan murid
tunggalnya. Gadis Anggini itu!”
Pares Wiro jadi berubah. “Kesulitan dan malu besar. Ah… Agaknya sesuatu sudah terjadi atas
diri gadis itu. Eyang, maafkan saya … Apakah, maksud Eyang apakah gadis itu tahu-tahu
bunting?’
Hampir si nenek hendak menampar muka muridnya itu.
“Kau benar-benar anak setan! Dari mana kau punya pikiran murid Dews Tuak bunting! Kau
yang membuatnya bunting? Edan!”
“Lalu, lalu apa yang sebenarnya telah terjadi Eyang?’                                      
15
“Anggini telah menjadi iblis doyan darah!  Dia membunuh dimana-mana lalu menghisap
darah korbannya!”
“Ya Tuhan!” mengucap Wiro. “Saya memang mendengar tentang munculnya seorang gadis
yang dijuluki Betina Penghisap Darah. Saya tengah menyelidiki manusia satu itu. Murid tidak
tahu kalau Betina penghisap Darah adalah Anggini, murid Dews  Tuak! Bagaimana saya bisa
mempercayai hal ini?!”
“Kau tak perlu mempercayainya. Bukti-bukti sudah lebih dari  cukup. Banyak orang yang
mengenali dirinya. Sekarang yang kau lakukan  adalah mencarinya lalu menyeretnya ke hadapan
Dewa Tuak untuk menerima hukuman. Kalau sampai orang-orang rimba persilatan yang turun
tangan kau tahu sendiri akibatnya. Mereka akan membunuh gadis itu sampai lumat daging dan
tulang-tulangnya.
Sesaat Wiro terdiam. “Saya tidak habis pikir. Gadis yang begitu baik. Murid yang sangat
cerdas dan periang. Bagaimana tahu-tahu berubah menjadi mahluk haus darah?
“Banyak hal yang bisa membuat manusia berubah. Aku akan menemui Dewa Tuak. Kau
pergi mencari gadis itu…”
Wiro tegak termangu-mangu.
“Anak setan! Kau dengar ucapanku tidak?”  
“Saya dengar Eyang. Saya akan mencarinya sampai dapat.” Jawab Wiro.
“Tapi ingat satu hal! Jangan kau main gila!”  
“Main gila bagaimana maksud Eyang?” tanya Wiro pula.
“Aku tahu gadis itu punya hati terhadapmu dan cantik. Dan kau sendiri… He… he… he…
Coba katakan bagaimana perasaanmu terhadapnya!”
Wiro jadi salah tingkah.  
“Saya sudah sangat lama tidak bertemu. Dia memang cantik. Saya sangat menghormat Dewa
Tuak. Bagaimana mungkin…”
“Anak pandir! Selama laut masih biru dan gunung masih hijau tak ada yang tidak mungkin
di dunia ini! Karena itu aku ingatkan padamu. Jika kau mengambil keputusan terhadap gadis itu                                      
16
jangan sampal hatimu mendua. Apalagi sampai kau sempat dirayunya. Sekali kau bisa dikuasainya
berarti ajalmu sudah di mata. Kau dengar itu!”
“Saya dengar Eyang,” jawab Wiro.
“Sudah! Aku pergi sekarang. Aku akan menemui tua bangka peminum tuak itu!”
“Eyang, saya ada usul…” Wiro berkata cepat ketika dilihatnya si nenek hendak berkelebat
pergi.
“Kalau usulmu masuk akal coba katakana!”
“Bagaimana kalau saya yang pergi menemul Dewa Tuak dan Eyang yang mencari Anggini.”
Kedua mata Sinto Gendeng membeliak seperti hendak melompat dari rongga matanya yang
sangat cekung. Wajahnya yang angker seperti tengkorak itu kelihatan tambah menggidikkan.
“Usulmu usul kurang ajar!” kata si nenek.  Tangannya bergerak hendak menampar muka
muridnya itu.
Wiro tak berusaha menghindari tamparan itu. Dia tetap tegak tak bergerak, hanya air
mukanya saja yang kelihatan tersenyum.  
“Maafkan saya Eyang. Bukan maksud saya mengajari…” katanya.
Si nenek tarik tangannya, tak jadi menampar. “Sudah, pergi sana! Makin lama kau petatang-
peteteng di hadapanku, makin gatal tanganku hendak menamparmu!”
“Saya pergi Eyang…” kata Wiro sambil membungkuk.  
Ketika dia hendak melangkah pergi terdengar si nenek memanggil.  
“Ada apa Eyang…?”  
“Kau punya duit?”
“Maksud Eyang?”
“Maksudku kau punya bekal uang…?”
“Engg… ada Eyang.”  
“Anak sombong! kalau kau tak punya uang bilang saja! Jangan sok!” Dari balik pakaian
dekilnya si nenek keluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari kain. Kantong itu dilemparkannya
ke arah Wiro. Terdengar suara berdering. Mau tak mau Wiro segera menanggapi kantong itu.                                      
17
Ketika kantong berada dalam genggamannya, sang guru sudah tak ada lagi di tempat itu!
“Mulutnya konyol, tapi hatinya baik dan polos…” kata Wiro. Sambil menimang-nimang
kantong berisi uang itu pendekar 212 berpikir. Apa betul Anggini murid Dewa Tuak yang cantik
dan yang dikenalnya sangat baik itu tiba-tiba telah berubah menjadi makhluk doyan darah hingga
dijuluki Betina Penghisap Darah? Kalau bukan gurunya yang memberi tahu, sulit baginya
mempercayai. Wiro menarik nafas panjang. Malam mulai dingin. Pendekar ini akhirnya
tinggalkan tempat itu.
***
18
4
RIMBA belantara itu sunyi senyap, redup menggidikkan. Mencari seorang manusia di tempat
seperti itu sama saja dengan mencari seekor  semut di rerumputan. Setelah setengah harian
berkeliaran dalam rimba akhirnya wajah seram Eyang Sinto Gendeng yang tegang menggidikkan
kelihatan menyeringai. Dia mendongakkan kepala beberapa lama, mencium dalam-dalam lalu
tertawa mengekeh.
“Dewa Tuak! Aku sudah dapat mencium  harumnya bau tuakmu. Buat apa masih
berseMbunyi? Hik…hik…. hik!”
Belum habis si nenek tertawa tiba-tiba dari atas sebatang pohon besar melayang jatuh sebuah
benda bulat panjang. Ternyata benda ini adalah sebuah tabung bambu sepanjang tiga kaki.
Tabung bambu ini jatuh demikian rupa dengan bagian bawahnya melesat ke arah batok kepala si
nenek. Jelas ini merupakan satu serangan yang mematikan!
Di dalam tabung bambu itu menebar bau sangat harum dari tuak yang memenuhi tabung
sampai ujung teratas. Walau penuh tapi ketika melayang jatuh isinya tidak sedikitpun muncrat
atau tumpah ke luar. Berarti orang yang melemparkan tabung bambu berisi tuak itu benar-benar
memiliki kepandaian luar biasa!
“Walah! Belasan tahun tidak bertemu malah kini mau menghancurkan kepalaku! Sungguh
keterlaluan!” berteriak Sinto Gendeng. Dia miringkan kepala serta bahunya sedikit. Begitu tabung
lewat disampingnya segera ditangkapnya. Kepala ditengadahkan sambil menempel ujung bambu
sebelah atas ke bibirnya. Lalu cegluk… cegluk si nenek meneguk tuak dalam bambu berlelehan
membasahi dagu dan pakalannya.
“Ah, tuak setan ini makin nikmat saja dari tahun ke tahun! Pasti diramu dengan daun ganja!”
Sinto Gendeng teguk lagi tuak dalam bambu  sampai mukanya yang menyeramkan seperti
tengkorak itu kelihatan menjadi merah. Tubuhnya terasa panas dan kedua lututnya mulai                                      
19
bergetar.
“Gila! Masakan aku bisa mabuk hanya minum beberapa teguk minuman setan ini?!” kata si
nenek. Lalu dia memandang berkeliling. “Dewa Tuak! Kalau belum juga kau menampakkan diri
kupecahkan tabung bambu keparat ini!” Sinto Gendeng berteriak mengancam.
Saat itu di atas pohon meledak suara tawa bergelak.
“Tua bangka bodoh! Sudah tahu tidak tahan minuman keras mengapa kau meneguknya
dengan rakus?!”
Suara itu juga datang dari atas pohon. Lalu terdengar suara dedaunan pohon berkeresek. Ber-
samaan dengan itu sesosok tubuh melayang turun sambil terus mengumbar suara tawa.
Di lain kejab sosok tubuh itu sudah berdiri terbungkuk-bungkuk di hadapan Sinto Gendeng.
Dia ternyata seorang kakek-kakek berjanggut putih sepanjang dada. Pakaiannya kain biru yang di-
selempangkan seperti pakaian seorang Biksu. Dipunggungnya tergantung sebuah tabung bambu
berisi tuak yang bentuknya sama dengan tabung bambu yang saat itu dipegang Sinto Gendeng.
“Sinto, lama tidak bertemu ternyata kau tambah jelek saja!” si kakek yang bukan lain adalah
tokoh sakti bergelar Dewa Tuak itu angkat bicara lalu tertawa mengekeh.
“Nasibmu tidak lebih baik, Dewa Tuak!” menyahuti Sinto Gendeng. “Tubuhmu semakin
reot dan tampangmu tambah peot! Tua bangka sepertimu ini seharusnya sudah dijadikan umpan
cacing di liang kubur! Hik…hik….hik….”
Kakek nenek tokoh dunia persilatan itu sama-sama tertawa. Si kakek hentikan tawanya lebih
dulu. “Sebaiknya kau jangan terlalu banyak minum tuak kayangan itu. Aku tidak kawatir kalau
kau sampai mabuk Sinto. Tapi yang aku takutkan nanti kau bisa ngompol terus-terusan tujuh
hari tujuh malam!” Dewa Tuak ulurkan tangannya mengambil tabung bambu.
“Ala, minuman busuk begini saja, siapa yang mau minum terlalu banyak!” Sinto Gendeng
lemparkan tabung bambu yang dipegangnya. Tabung itu melesat melintang ke arah si kakek,
kedua kakinya agak tersurut sedikit. Tapi dadanya selamat dari hantaman tabung bambu miliknya
sendiri.
Kalau ada orang pandai ke tiga yang menyaksikan kejadian itu, maka dia akan segera memak-                                     
20
lumi bahwa tenaga dalam dan kepandaian si nenek tidak berada di bawah Dewa Tuak, malah
mungkin sedikit lebih tinggi. Kalau sebelumnya Dewa Tuak melemparkan tabung bambu dari
atas pohon dalam keadaan membujur ke bawah maka tadi si nenek melemparkan tabung bambu
yang sama dalam keadaan melintang dan tuak di dalamnya sedikipun tidak tumpah!
Dewa Tuak tancapkan ujung tabung bambu sebelah bawah ke tanah, lalu dia melompat dan
duduk di ujung tabung bambu sebelah atas. Begitu duduk terdengar bagian bawah perutnya
berbunyi! Buuttttt! Si kakek kentut!
“Sekarang mari kita bicara. Ada keperluan apa kau mencariku Sinto?” bertanya Dewa Tuak.
“Tunggu!” Sepasang mata Sinto Gendeng melotot tak berkesip memandang Dewa Tuak.
Kakek ini seperti hendak ditelannya. “Kau barusan kentut di mulut tabung berisi tuak itu.
Sebelumnya aku sudah meneguk minuman celaka itu. Apakah sebelumnya kau juga sering kentut
di mulut tabung?!”
Dewa Tuak tertawa bergelak. “Apa perlu kujawab?!” katanya menyahuti.
“Kurang ajar! Kakek setan! Kau memberi aku minum tuak yang sudah kau kentuti!” Marah
Sinto Gendeng bukan alang kepalang. Dia menyumpah-nyumpah sambil meludah berulang kali.
Lalu tubuhnya berkelebat seraya kirimkan satu hantaman ke arah Dewa Tuak. Angin hantaman
itu dahsyatnya bukan main. Dewa Tuak tahu betul kalau si nenek kini benar-benar marah. Dia
cepat menyingkir sambil cepat-cepat mencabut tabung bambu menyambut serangan Sinto
Gendeng.
Si nenek ternyata hanya melakukan serangan tipuan. Karena begitu lawan berkelit,
serangannya berubah dan kini menjarah ke arah perut Dewa Tuak.
Bukkk!
Byuuur!
Dewa Tuak terpental dan jatuh duduk di tanah, tersandar ke sebatang pohon. Sebaliknya
Sinto Gendeng tegak terhuyung-huyung sambil mengusapi muka tengkoraknya yang basah kuyup
oleh semburan tuak kayangan yang tadi disemburkan si kakek.
Dewa Tuak tahu betul. Jika tadi si nenek benar-benar menyerangnya saat itu pasti perutnya                                      
21
sudah bobol dihantam pukulan dan nyawanya tak akan tertolong. Sebaliknya Sinto Gendeng juga
menyadari. Kalau si kakek sungguhan membalas serangannya dengan semburan tuak, saat itu pasti
mukanya sudah hancur dan nyawanya putus!
Dewa Tuak tarik nafas panjang lalu tertawa gelak-gelak. Sehabis tertawa dia teguk tuaknya
dan memandang pada Sinto Gendeng. “Dua tua bangka edan bercanda dalam rimba belantara.
Padahal mungkin ada satu perkara besar yang harus dihadapi!”
“Syukur kita sama-sama tahu diri!” kata Sinto Gendeng sambil terus mengeringkan mukanya
yang basah kuyup. “Apa yang kau ucapkan tadi memang betul. Ada satu perkara besar yang
sedang aku hadapi!”
“Ah!” Dewa Tuak menggeser duduknya hingga  lebih enak bersandar ke batang pohon di
belakangnya. “Katakan apa perkara besar itu sahabatku!”
“Sebelum aku menyampaikan aku ingin bertanya lebih dulu. Aku tidak melihat Anggini
muridmu. Bagaimana keadaannya dan dimana dia saat ini?”
“Anak itu, dia kuharap baik-baik saja…”
“Kuharap katamu? Berarti dia tidak ada bersamamu?”
“Betul Sinto, dia pergi sekitar empat bulan lalu….”
“Kau tahu pergi ke mana?”
“Katanya ingin menyambangi beberapa sahabatnya. Siapa tahu mungkin juga dia tengah
mencari muridmu yang sableng itu!”
“Tidak… Dia tidak mencari Wiro. Tapi tengah melakukan sesuatu yang telah menggegerkan
rimba persilatan. Empat bulan lalu dia meninggalkanmu. Jika dihitung-hitung memang cocok
waktunya dengan semua apa yang terjadi!”
“Eh, kau bicara apa ini Sinto? Apa yang telah dilakukan muridku Anggini?”
“Kau pernah mendengar manusia berjuluk Betina Penghisap Darah yang gentayangan sejak
tiga bulan lalu di mana-mana? Melakukan pembunuhan lalu menghisap darah korbannya secara
keji!”
“Aku memang sudah mendengar kemunculan manusia biadab itu. Lalu apa hubungan                                      
22
keparat itu dengan muridku Anggini?” bertanya Dewa Tuak.
“Betina Penghisap Darah ternyata adalah Anggini! Muridmu sendiri!”
Terbeliak mata Dewa Tuak. Kalau saat itu ada petir menyambar di depan hidungnya
mungkin tidak akan seperti itu dia terkejut.
“Kau tidak sedang sinting Sinto?”
“Sialan! Siapa yang sinting!”
“Kau juga tidak ngaco atau bicara dusta?!”
“Edan! Aku tidak mabok! Mana mungkin ngaco dan dusta!”
“Kau tidak memfitnah?!”
“Sompret kau Dewa Tuak!”
“Lalu bagaimana kau bisa mengatakan Betina Penghisap Darah itu adalah muridku?”
“Beberapa tokoh silat mengatakan begitu. Dua diantaranya melihat sendiri. Yang terakhir
seorang pembantu Tumenggung di Kotaraja menceritakan ciri-ciri Betina Penghisap Darah itu.
Semua cocok dengan ciri-ciri muridmu. Wajahnya, pakaiannya. Semuanya! Nah kau mau bilang
apa lagi?!”
Dewa Tuak seperti dihenyakkan ke tanah. Untuk beberapa lamanya dia duduk terdiam.
“Kalau bukan kau sendiri yang datang membawa berita ini dan mengatakannya padaku, aku tak
bakalan percaya,” berucap Dewa Tuak. Suaranya perlahan dan bergetar. “Apa yang terjadi dengan
anak itu…?”
“Aku kawatir dia telah terperangkap dalam satu ilmu sesat. Ilmu yang mewajibkannya harus
membunuh dan menghisap darah manusia. Setahuku korban-korbannya hanya orang-orang
tertentu. Para bangsawan, para pejabat, tokoh-tokoh silat. Umumnya semua mereka itu masih
muda-muda. Lelaki atau perempuan…”
“Gusti Allah…” Dewa Tuak mengucap. Dia memandang pada Sinto Gendeng. “Apa yang
harus kulakukan Sinto? Dunia persilatan pasti mengutukku  habis-habisan. Maluku hendak
disembunyikan kemana?”
“Kau harus mencari anak itu. Membuatnya bertobat lalu menghukumnya. Kalau tidak kau                                      
23
sendiri yang turun tangan, maka pembalasan orang-orang persilatan akan sangat mengerikan. Aku
tak bisa membantumu Dewa Tuak.”
“Apakah dia demikian saktinya hingga tak seorangpun selama tiga bulan ini sanggup menga-
lahkannya?”
“Bekal ilmu silat dan kesaktian yang kau berikan padanya sudah cukup membuat dia menjadi
seorang tokoh muda yang disegani. Apalagi kalau dia mendapat tambahan ilmu setan yang sulit
dipercaya kehebatannya! Lihat saja, mengapa dia harus minum darah setiap korban yang dibunuh-
nya? Pasti itu menjadi salah satu keharusan jika dia ingin menguasai terus ilmu yang climilikinya!”
“Anggini…” Dewa Tuak menyenut nama murianya dengan nada penuh penyesalan.
Perlahan-lahan kakek ini berdiri. Dari balik pakaian birunya dikeluarkannya sebuah benda lalu dia
berkata pada Sinto Gendeng.
“Sahabatku, kau menjadi saksi tunggal. Aku bersumpah akan mencari anak itu dan
membunuhnya. Jika dalam tempo empat puluh hari aku tidak berhasil melakukannya atau aku
sampai dikalahkannya, aku lebih baik memilih mati dari pada harus menanggung malu yang
menyengsarakan!”
Habis berkata begitu Dewa Tuak masukkan benda yang dipegangnya ke dalam mulut. Sinto
Gendeng hendak mencegah tapi terlambat.
“Dewa Tuak! Apa yang kau telan itu?!”
“Racun kematian!” jawab Dewa Tuak dengan tegar, “Racun itu akan bekerja pada hari ke
empat puluh satu dari sekarang. Jika aku tidak berhasil mencari anak itu. Atau berhasil tapi tak
sanggup meringkus dan membunuhnya, maka pada hari ke empat puluh satu aku sudah pasrah
menemui kematian.”
“Jangan tolol! Aku tahu kau  pasti memiliki obat penangkal  racun itu di balik pakaianmu.
Ayo lekas kau telan obat penangkal itu!”
Dewa Tuak menggeleng.
“Aku sudah memutuskan lebih baik mati di  hari ke empat puluh satu itu. Dari pada
menanggung malu besar!”                                      
24
“Tua bangka bodoh! Mengapa kau jadi begini tolol dan ikut-ikutan sesat?”
“Terus terang aku sudah terlalu lama hidup di dunia ini. Usiaku sudah lebih dari delapan
puluh tahun. Buat apa menghabiskan sisa hidup dengan menanggung malu? Lebih baik mati
berkalang tanah!”
Sinto Gendeng terdiam. Dia tidak bisa menyalahkan Dewa Tuak kalau sampai berbuat
seperti itu.
“Kau sendiri apa yang hendak kau lakukan Sinto? Sebagai salah seorang sesepuh dunia per-
silatan yang ikut menentukan hitam putihnya masa depan dunia persilatan, apakah kau tidak akan
turun tangan?”
“Aku lebih banyak memandang pada persahabatan kita. Lagi pula tua bangka sepertiku ini
sepantasnya tidak boleh terlalu banyak mengurusi masalah dunia. Aku sudah minta muridku
Wiro Sableng untuk mencarinya lalu membawanya padamu. Hanya itu yang bisa kulakukan…”
“Terima kasih sahabat….” kata Dewa Tuak. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. “Di ujung
usiaku ini, sebetulnya aku ingin menghabiskan  sisa hidupku dengan tinggal di satu tempat yang
sunyi dan tenang. Namun nasibku mengatakan lain…” Dewa Tuak menarik nafas dalam.
Sinto Gendeng mengangguk-angguk. “Kita memang hidup di dunia ini,” katanya. “Tapi
kehendak Tuhan lebih banyak menentukan dari kemauan kita sendiri!”
Dewa Tuak ambil tabung bambu yang dipangkuannya. Isi tabung itu diteguknya sampai
habis. Seperti belum puas diambilnya tabung satu lagi yang tergantung di punggungnya. Lalu isi
tabung inipun ditenggaknya sampai habis. Perutnya tampak melembung. Sekujur tubuh terutama
mukanya kelihatan merah seperti udang rebus.  Kedua matanya juga tampak merah sekali.
Perlahan-lahan kakek ini berdiri.
“Kita berpisah di sini Sinto. Kalau umur sama panjang aku merasa senang dapat bertemu de-
nganmu lagi…”
“Itu juga menjadi keinginanku. Selesaikan urusanmu dengan baik.”
Dewa Tuak mengangguk. Sekali dia berkelebat dirinyapun lenyap dari tempat itu.
***                                      
25
5
ROMBONGAN orang-orang yang berburu itu memacu kuda masing-masing menuju ke Timur.
Di satu tempat, sebelum memasuki hutan sasaran, Kepik  Kuntolo hentikan kuda seraya
mengangkat tangan memberi tanda.
Pangeran Panji Kenanga dan orang-orang yang  ada di belakang penunjuk jalan itu segera
hentikan kuda.
“Ada apa Kepik?” tanya Pangeran Panji Kenanga seraya membetulkan letak busur dan
kantong panah di pinggangnya.
“Saya mengusulkan sebaiknya kita tidak memasuki hutan ini. Tapi mencari hutan lain saja
Pangeran.”
“Heh?!” Pangeran Panji merasa heran mendengar ucapan pembantunya itu. “Alasan apa kau
berkata begitu Kepik?”
“Saya baru ingat Pangeran. Pihak Istana telah  menetapkan kawasan hutan Kemikir ini
sebagai daerah berbahaya tingkat tiga.”
“Daerah berbahaya tingkat tiga. Hemm…Aku baru mendengarnya. Apa yang telah terjadi?
Ada bahaya apa dalam rimba belantara ini yang membuat wajahmu kulihat jadi berubah pucat!”
“Hutan Kemikir diketahui sebagai salah satu daerah gentayangannya mahluk yang dijuluki
Betina Penghisap Darah!”
“Ah…! Itu rupanya yang ada dalam benakmu! Cerita isapan jempol begitu siapa yang mau
percaya?” Pangeran Panji lalu tertawa gelak-gelak. Anggota rombongan lain yang terdiri dari tiga
orang pengawal dan tiga orang kawan-kawan sebaya sang Pangeran ikut-ikutan tertawa.
Salah seorang kawan Pangeran Panji berkata. “Akan kita lihat! Kalau benar ada mahluk itu
dalam hutan sana, apakah dia sanggup menahan panah dan tombak Pangeran Panji Kenanga!”
“Kudengar…” kata salah seorang kawan sang Pangeran yang lain, “Makhluk berjuluk seram                                      
26
itu adalahseorang gadis cantik jelita. Nah, kita muda-muda dan gagah semua. Masakan tidak
satupun yang akan ditaksirnya?”
Kembali tempat itu menjadi ramai oleh gelak tawa semua orang kecuali Kepik Kuntolo yang
kelihatan tetap tegang.
“Kepik,” kata Pangeran Panji Kenanga pula. “Hutan Kemikir diketahui paling banyak babi
hutannya. Nah apa bukan ini hanya siasat para pejabat tertentu di Istana yang tidak mau orang
lain masuk kemari dan menghabisi babi-babi hutan itu hingga mereka takut nanti tidak kebagian
lagi?!”
Kepik Kuntolo tidak menjawab. Yang menyahuti malah Jaka Dolok, salah seorang pemuda
sahabat sang Pangeran. “Apa yang Pangeran katakan itu mungkin benar. Sudahlah, mengapa kita
harus berlama-lama di tempat ini. Biar aku yang duluan masuk ke dalam hutan. Kalau bertemu
gadis jelita itu akan aku suruh dia tolong memasakkan hasil buruan kita!”
Pangeran Panji tertawa. Digebraknya kudanya mengikuti Jaka Dolok. Yang lain-lain segera
pula bergerak. Kepik Kuntolo sesaat merasa bimbang. Akhirnya diapun mengikuti rombongan itu
masuk ke dalam hutan.
Setelah beberapa lama jauh masuk ke dalam hutan dan masih belum menemui binatang
buruan, Pangeran Panji berkata. “Aneh, pada kemana semua babi di hutan ini? Satupun tak
kelihatan mata hidungnya…”
Baru saja sang Pangeran berkata begitu tibatiba lapat-lapat terdengar suara perempuan me-
nyanyikan pantun.  
Hutan Kemikir banyak babinya  
Babi diburu diambil dagingnya  
Kasihan babi mahluk tak berdosa  
Hendak melawan tak punya daya
Kalau dibiarkan pemburu bersuka-suka
Pesta mereka tak akan pernah berhenti
Kutolong babi dari derita
Biarlah pemburu kuhukum mati                                      
27
“Eh, nyanyian itu seperti ditujukan pada kita?” ujar Pangeran Panji seraya memandang pada
orang-orang dalam rombongannya. Yang dipandangi tenang-tenang saja malah ada yang
tersenyum sementara Kepik Kuntolo tampak gelisah. “Kita harus mencari tahu siapa perempuan
yang menyanyi itu.”
“Suaranya merdu. Orangnya pasti ayu!” kata Jaka Dolok. “Ayo kita mencarinya.”
Joko Dolok kembali memimpin rombongan memasuki hutan lebih jauh ke dalam. Kini
rombongan itu bergerak ke arah datangnya suara nyanyian tadi. Kepik Kuntolo yang mati
ketakutan menunggangi kudanya paling belakang. Sekali-sekali dia menoleh ke belakang, merasa
seolah-olah ada orang atau pandangan mata yang mengikuti gerak gerik rombongan itu.
Tujuh ekor kuda tunggangan mendadak menunjukkan sikap aneh. Binatang-binatang ini
seperti tak mau melangkah maju. Dari mulut mereka keluar suara mendesis. Lalu. satu demi satu
mereka mulai meringkik.
“Tenang! Tenang…!” kata Pangeran Panji menenangkan kudanya sambil mengusap leher
binatang Itu. Yang lain-lain melakukan hal yang sama hingga tujuh ekor kuda tunggangan itu
kembali tenang dan berhenti meringkik tetapi tetap saja tak mau bergerak.
Tiba-tiba terdengar Jaka Dolok berseru sambil menunjuk ke depan dan hentikan kudanya.
“Lihat!”
Semua anggota rombongan sama hentikan kuda dan memandang ke arah yang ditunjuk. Di
atas cabang terpendek sebatang pohon kelihatan duduk seorang gadis berwajah cantik sekali
mengenakan pakaian ungu. Sehelai selendang yang juga berwarna ungu tergelung di lehernya. Dia
duduk bersandar ke batang pohon sedang kedua kakinya dilunjurkan sepanjang cabang yang
didudukinya. Suara nyanyiannya sirap dan kedua matanya memandang ke arah lain seolah tidak
mau memperhatikan ke datangan rombongan Pangeran Panji. Yang mengherankan Pangeran
Panji dan kawan-kawannya ialah ketika melihat  di bawah cabang pohon di mana sang dara
duduk, berkeliaran lebih dari selusin babi hutan dan anak-anaknya yang gemukgemuk. Binatang
ini berkerumun di bawah pohon seolah-olah binatang peliharaan yang menunggu tuannya.
“Kepik Kuntolo!” kata Pangeran Panji pada penunjuk jalan. “Ini orangnya yang kau sebut                                      
28
Betina Penghisap Darah itu?”
“Saya… Saya tidak dapat memastikan Pangeran.” jawab Kepik Kuntolo karena melihat
kecantikan si gadis seperti itu hatinya tentu  saja bimbang untuk memastikan bahwa gadis itu
adalah mahluk jahat penghisap darah yang selama ini dikabarkan gentayangan di hutan Kemikir.
Pangeran Panji tersenyum. Dia memandang pada Jaka Dolok dan berkata dengan suara per-
lahan. “Memang terasa aneh kalau ada gadis secantik ini berada dalam rimba belantara. Lalu babi-
babi hutan itu seperti binatang peliharaannya. Berkeliaran di bawah pohon tempat dia duduk.
Apa pendapatmu Jaka?”
“Saat ini yang ingin kulakukan ialah menyapa  dirinya lalu berkenalan. Setelah itu… He….
he… he. Kalau aku yang mendapatkannya lebih dulu jangan kalian mengiri.” Jaka Dolok
kedipkan matanya. Kudanya dimajukan sampai ke bawah pohon. Binatang ini tidak mau
bergerak. Dengan susah payah akhirnya Jaka Dolok berhasil juga  membuat kuda ini maju
beberapa langkah. Kini kepala Jaka Dolok tepat berada di depan cabang pohon tempat dara
berbaju ungu duduk.
“Gadis cantik di atas pohon. Namaku Jaka Dolok. Katakan siapa namamu, mengapa berada
di rimba ini. Apakah babi-babi hutan ini peliharaanmu. Lalu yang paling penting apakah aku
boleh berkenalan denganmu?”
Si gadis yang sejak tadi memandang ke arah kejauhan palingkan kepalanya. Dia memandang
ke bawah. Jaka Dolok kini dapat melihat wajah itu sepenuhnya. Benar-benar cantik sekali hingga
dia jadi terkesiap. Namun dalam terpesona begitu pemuda ini melihat ada kilatan sinar aneh pada
sepasang mata sang dara.
“Hai…!” kata Jaka Dolok. Dia coba tersenyum. Tangan kanannya diulurkan ke atas hendak
meraba betis si gadis yang tersembul putih dan mulus. Si gadis angkat kakinya hingga tangan Jaka
Dolok hanya meraba cabang pohon.
“Para pemburu telah tiba. Saat hukuman dijatuhkan!” Gadis di atas pohon terdengar berkata.
“Eh, aku bertanya. Kau malah bicara apa?” kembali Jaka Dolok membuka mulut.
“Pertanyaanmu banyak sekali! Gerakan tanganmu tidak sopan! Pergilah!” kata gadis                                      
29
berpakaian ungu di atas cabang pohon. Tiba- tiba kaki kanannya borgerak cepat sekali.
Wuuut!
“Jaka awas!”teriakPanji Kenanga yang melihat apa yang terjadi dari kejauhan.
Bukkk!
Teriakan itu terlambat sebagaimana terlambatnya Jaka Dolok menghindarkan kepalanya dari
tendangan kaki gadis di atas pohon. Tubuhnya terpental sewaktu kepalanya dihantam tendangan
dan terkapar jatuh satu langkah dari hadapan  rombongan Pangeran Panji. Tujuh ekor kuda
meringkik keras. Tubuh Jaka Dolok tidak berkutik lagi. Kepalanya  sebelah kanan hancur
mengerikan!
“Gadis keparat! Apa yang kau lakukan terhadap temanku?!” teriak Panji Kenanga marah.
“Kau sudah melihat sendiri, mengapa masih bertanya?” menyahuti si gadis di atas pohon.
Mendengar jawaban itu kemarahan Pangeran Panji jadi menggelegak. Dicabutnya tombak
besi yang tersisip di kantong pada leher kudanya. Seniata ini kemudian digebukkannya ke arah si
gadis.
Traakk!
Hantaman tombak besi hanya mengenai cabang pohon hingga berderak patah. Sedang si
gadis sendiri saat itu sudah melompat dari duduknya. Tubuhnya melayang ke atas. Begitu turun
kakinya menendang lagi. Kali ini tombak di tangan Pangeran Panji yang jadi sasaran hingga
senjata itu mental. Selagi sang Pangeran merasakan pedas pada telapak dan jari-jari tangan
kanannya, dari atas tiba-tiba dara berbaju ungu  itu melayang turun. Kedua tangannya meluncur
ke arah batang leher Pangeran Panji.
“Pangeran awas!” teriak tiga pengawal dan dua temannya berbarengan.
“Astaga! Lihat! Sepuluh jarinya mengeluarkan kuku panjang merah!” salah seorang anggota
rombongan kembali berteriak.
Saat itu Pangeran Panji telah siap mencabut golok yang tersisip di pinggangnya. Namun dia
hanya sempat memegang gagang senjata ini.  Sepuluh kuku merah yang ada lobang-lobangnya
menancap di tenggorokannya. Tubuhnya terangkat ke atas. Pangeran Panji berteriak keras.                                      
30
Matanya membeliak. Lidahnya terjulur. Darah mengucur deras dari sepuluh lobang pada lehernya
yang ditembus sepuluh kuku merah. Tapi lebih banyak lagi darah yang tersedot lewat ujung-
ujung kuku berlubang itu!
Pangeran Panji hanya mampu menggeliat-geliat beberapa saat. Tubuh itu kemudian tampak
terkulai. Ketika cengkeraman dilepas, tubuh  Pangeran Panji jatuh ke bawah dan menyangsang
diatas serumpunan semak belukar. Untuk  kesekian kalinya kuda-kuda yang ada disitu
mengeluarkan suara ringkikan keras.
“Dia… dia benar-benar mahluk berjuluk Betina Penghisap Darah itu…” kata Kepik Kuntolo,
dengan suara gemetar dan muka pucat. Karena tidak dapat lagi menahan rasa takutnya penunjuk
jalan ini putar kudanya dan menghambur lari dari tempat itu.
Dua orang pemuda kawan Pangeran Panji yang ada dalam rombongan sebenarnya juga
sudah dilanda rasa takut. Namun salah seorang dari mereka masih berusaha berteriak pada tiga
orang pengawal agar segera membunuh gadis  berpakaian ungu itu.  Tiga pengawal segera
menghunus senjata. Dua mencabut golok, satu menyiapkan tombak. Mereka melompat turun
dari kuda masing-masing.
Gadis berbaju ungu berdiri dengan kaki terkembang. Mulutnya dan lidahnya sibuk menjilaii
kedua tangannya yang berlumuran darah.
Dua golok dan satu tombak berkelebat. Si gadis keluarkan suara tertawa panjang. Tubuhnya
berputar membelakangi ke tiga penyerang. Tiga orang pengawal menyangka gadis itu hendak
melarikan diri. Tapi mereka tersentak kaget  begitu laksana kilat kaki kanan lawan melesat
menghantam kepala mereka satu persatu. Ketiganya mencelat dan terhempas di tanah saling
tindih. Masing-masing mengeluarkan suara erangan pendek. Tangan atau kaki mereka menggeliat
sesaat setelah itu ketiganya tak bergeming lagi!
Dua orang pemuda yang ada di  tempat itu putus nyali mereka. Tidak  tunggu lebih lama
keduanya sepera memutar kuda untuk melarikan diri. Gadis berpakaian ungu tertawa melengking.
“Kalian mau lari kemana?!” teriaknya. Tubuhnya melesat ke atas cabang pohon. Tepat paaa
saat aua pemuda berkuda lewat di bawahnya,  dia melompat turun. Kaki kanan menendang,                                      
31
tangan kiri memukul.
Bukkk!
Pemuda di sebelah kanan hancur dadanya dan  remuk jantungnya. Darah membersit keluar
dari tubuhnya yang melayang terpental. Pemuda  kedua siap menerima kematian begitu jotosan
tangan kanan gadis berbaju ungu menderu ke arah batok kepalanya. Tiba-tiba terdengar suara
orang berteriak.
“Anggini! Jangan!”
Sebutan nama itu tidak mengejutkan si gadis. Yang membuat dia kaget adalah keras dan
membahananya suara teriakan tadi pertanda orang yang berteriak memiliki tenaga dalam sangat
tinggi. Suara teriakan itu membuat gadis berpakaian ungu tarik pulang  serangannya. Pemuda di
atas kuda sadar kalau dirinya diselamatkan oleh teriakan yang tiba-tiba tadi, secepat kilat
menggebrak kudanya dan lari dari tempat itu.
Seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala  putih berkelebat muncul di antara tebaran
mayat. Dia memandang pada gadis berbaju ungu dengan rasa tidak percaya. Tengkuknya bergidik
ketika melihat kedua tangan gadis itu berlumuran darah. Darah juga kelihatan menempel di
mulut dan wajahnya
“Anggini! Kenapa kau lakukan ini semua?!”
“Siapa kau!” bentak gadis berbaju ungu. Kedua matanya memandang tak berkesip.
“Ah, kau tak mengenali diriku  lagi? Aku Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung
Gede. Gurumu Dewa Tuak dan guruku saling bersahabat. Kita memang sudah sangat lama tidak
pemah bertemu!”
Mulut yang berlumuran darah itu kelihatan menyeringai. “Untung kau datang sekarang.
Kalau tadi-tadi selagi aku masih haus pasti  darahmu akan kuminum! Tapi  lain kali, jika kau
berani muncul lagi di hadapanku akan kuhisap seluruh darah yang ada ditubuhmu!”
Habis berkata begitu gadis berbaju ungu ini  berpaling pada belasan ekor babi hutan dan
anak-anaknya yang masih berkerumun di bawah pohon, Aneh, binatang-binatang itu sama sekali
seperti tidak terusik oleh apa yang terjadi di tempat itu.                                      
32
“Kalian sudah selamat! Pergilah!” berkata gadis berbaju ungu lalu lambaikan tangannya. Ada
satu gelombang angin menyapu tubuh babi-babi hutan itu. Serentak, seperti tersadar binatang-
binatang itu keluarkan suara melenguh lalu lari  beriringan masuk ke dalam bagian hutan yang
lebih lebat.
Si gadis melirik ke arah pemuda di sampingnya. Tubuhnya bergerak dan tahu-tahu dia sudah
berkelebat dari tempat itu.
“Anggini! Tunggu!” teriak Wiro sambil mengejar.
Satu gelombang angin sedingin es menghantam Pendekar 212. Wiro berseru kaget dan cepat
menyingkir. Sambaran angin dingin yang masih sempat menyapu tubuhnya sebelah kanan mem-
buat dia menjadi kaku beberapa saat dan tidak mampu meneruskan mengejar!
***                                      
33
6
PENDEKAR 212 kerahkan tenaga dalam yang mengandung hawa panas ke bagian tubuhnya
yang kaku dilanda pukulan hawa dingin tadi.
“Luar biasa!” katanya dalam hati. “Eyang mewariskan pukulan angin es padaku. Tapi untuk
menundukkan musuh dengan pukulan itu membutuhkan waktu. Sebaliknya Anggini mampu
melakukannya dengan sangat cepat. Dewa Tuak setahuku tidak memiliki ilmu pukulan hawa
dingin seperti itu. Pasti gadis ini mempelajarinya dari orang lain!” Wiro garuk-garuk kepala. Dia
menghela nafas ketika memperhatikan mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah. “Heran,
kenapa gadis itu berubah menjadi ganas dan jahat? Apa yang dialaminya?” Wiro melangkah
mendekati mayat pengawal yang saling tumpang tindih.Kembali dia memperhatikan mayat sang
Pangeran. “Yang satu ini kelihatannya bukan pemuda sembarangan.” Wiro membungkuk dan
menarik kalung yang masih melingkar di leher yang hancur mengerikan itu. Ketika diperhatikan-
nya kalung itu terkejutlah murid Sinto Gendeng.  
Dia mengenali kalung seperti itu hanya dimiliki dan dipakai oleh putera-putera Istana.
“Pemuda satu ini pasti seorang Pangeran….” kata Wiro. “Sri Baginda tentu tidak akan tinggal
diam. Anggini pasti akan dikejar sampai ke ujung dunia sekalipun. Dan Dewa Tuak akan terseret-
seret…. Apa yang yang sekarang harus kulakukan? Mengurusi mayat-mayat sebegini banyak? Biar
setan-setan hutan saja yang mengurus mereka!” kata Wiro lalu tinggalkan tempat itu. Rasa
penasaran membuat dia bergerak ke arah lenyapnya Anggini tadi. Dia mencoba untuk mengejar
gadis itu walau sadar kalau saat itu si gadis sudah berada jauh.
***
34
BERITA yang disampaikan Kepik Kuntolo dan  pemuda kawan Pangeran Panji yang selamat
membuat geger Istana. Sri Baginda langsung memanggil beberapa Perwira Tinggi. Dua orang
tokoh silat Istana yang kebetulan sedang mengadakan pertemuan di Istana ikut mendampingi
para Perwira Itu. Mereka adalah Ki Ageng Timur yang dikenal dengan gelar Si Gelang Setan dan
Ki Sambar Tringpali berjuluk Si Cangklong Maut. Kedua tokoh silat Istana  ini sama berusia di
atas 70 tahun dan telah mengabdi lebih dari 40 tahun hingga mereka sangat disegani baik di
dalam maupun di luar Istana.
Abdi Jalakdiri, pemuda teman Pangeran Panji yang berhasil lolos dari tangan Betina
Penghisap Darah, melaporkan bahwa dia sempat menyaksikan munculnya seorang pemuda
berambut gondrong, berpakaian dan berikat  kepala putih. Pemuda ini memanggil Betina
Penghisap Darah dengan nama Anggini. Sedang si pemuda sempat didengarnya memperkenalkan
diri sebagai Wiro. Jelas kedua orang itu saling mengenal.
“Satu bernama Anggini. Satunya lagi Wiro,” mengulang Sri baginda lalu berpaling pada dua
orang tokoh silat Istana. “Kalian pernah mendengar nama-nama itu?”
“Dalam dunia persilatan hanya ada satu orang  bernama Wiro,” kata Ki Sambar Tringgali.
Dia digelari Pendekar Kapak Maut Naga  Geni 212. Murid tunggal seorang nenek sakti di
Gunung. Gede. Setahu saya dia tidak termasuk  kelompok orang jahat. Tapi manusia bisa saja
berubah.”
“Aku minta kalian menangkap orang itu. Tangkap hidup-hidup. Seret ke hadapanku. Bunuh
di tempat kalau dia melawan!”
“Akan kami lakukan Sri Baginda,” kata Ki Sambar Tringgali alias Si Cangklong Maut. Lalu
disedotnya cangklongnya (pipa) dalam-dalam.
“Bagaimana dengan si pembunuh sendiri. Gadis dajal berjuluk Betina Penghisap Darah itu!
Namanya sudah diketahui. Anggini. Apa diantara kalian ada yang kenal atau tahu menahu
tentang dirinya?”
“Saya tidak berani memastikan. Tapi dari ciri-ciri warna pakaian yang dikenakannya saya bisa
menduga. Saya harap tidak meleset,” menjawab Ki Ageng Timur alias Si Gelang Setan. Di                                      
35
pinggangnya tergantung lima buah besi pipih tajam berbentuk gelang yang menjadi andalannya
dan membuat dia menyandang gelar yang angker itu. “Sri Baginda ingat pada seorang tokoh silat
disegani bernama Dewa Tuak?”
“Tentu saja. Orang tua itu pernah beberapa kali membantu Kerajaan menghadapi kaum
pemberontak dan para penyerang dari seberang. Apa hubungan Dewa Tuak dengan Anggini?”
“Gadis penghisap darah itu adalah murid Dewa Tuak,” jawab Ki Ageng Timur.
Terkejutlah Sri Baginda mendengar hal itu. “Dunia benar-benar telah berubah!” katanya.
“Yang putih dan baik bisa berubah menjadi hitam dan jahatl Kalian harus mencari gadis itu.
Memandang diri Dewa Tuak kita seharusnya tidak boleh bertindak keras. Tapi mengingat nyawa
puteraku telah direnggutnya secara keji, aku perintahkan kalian mencari dan membunuh gadis itu!
Kemudian cari Dewa Tuak dan perintahkan dia menghadapku!”
Atas kehendak Sri baginda tiga kelompok  besar dibentuk. Kelompok pertama yang
ditugaskan untuk mengambil mayat Pangeran  Panji Kenanga dan kawan-kawannya serta
pengawal hutan Kemikir. Kelompok ini cukup dipimpin oleh seorang Perwira Muda.
Kelompok kedua dipimpin oleh Ki Ageng  Timur dan Ki Sambar Tringgali. Mereka
ditugaskan untuk mencari Anggini dan Pendekar 212. Dalam kelompok ini ikut serta Kepik
Kuntolo si penunjuk jalan dan abdi Jalakdiri kawan Pangeran Panji. Kelompok ke tiga dikepalai
oleh seorang Perwira Tinggi dengan tugas mencari Dewa Tuak.
Karena Anggini dan Pendekar 212 sebelumnya diketahui berada di hutan Kemikir maka
Kelompok pertama dan kelompok kedua secara bersamaan segera berangkat menuju rimba
belantara itu.
Setelah mayat-mayat yang ditemukan dalam hutan dimasukkan ke dalam beberapa peti mati,  
rombongan yang dipimpin Ki Sambar Tringgali dan Ki Ageng Timur segera melanjutkan
perjalanan menembus lebih jauh ke dalam hutan Kemikir. Kepik Kuntolo, menunjuk jalan yang
sebelumnya menemani Pangeran Panji berburu  ikut dalam rombongan ini ditunjuk sebagai
petunjuk jalan karena dia yang mengetahui seluk beluk hutan tersebut.
Saat itu matahari mulai menggelincir ke titik tenggelamnya.  Setelah berunding beberapa                                      
36
ketika rombongan memutuskan untuk meneruskan perjalanan dan baru berhenti kalau kegelapan
benar-benar tidak memungkinkan untuk ditembus pandangan mata. Tepat ketika matahari
lenyap di ufuk Barat, rombongan mendengar suara gemercik air di kejauhan.
“Kita berada dekat aliran anak sungai Opak Kemikir,” menerangkan Kepik Kuntolo.
“Kalau begitu kita berkemah di dekat anak sungai itu,” kata Ki Sambar Tringgali.
Kepik Kuntolo mengangguk dan meneruskan bergerak di depan rombongan. Tak berapa
lama kemudian di kegelapan yang temaram kelihatan sebuah jeram pendek. Air sungai yang jatuh
dari bagian atas jeram inilah yang tadi mereka dengar suara gemericiknya.
“Ah, ternyata kita sudah keduluan orang,” kata Kepik Kuntolo.
“Betul, memang kelihatan ada seseorang di dekat jeram sana,” berkata Ki Ageng Timur
sambil menatap jauh ke arah jeram anak sungai Opak Kemikir yang mulai gelap.
“Astaga!” terdengar Abdi Jalakdiri berucap.
“Ada apa?” tanya Ki Sambar Tringgali cepat.
“Orang di dekat jeram itu! Dia adalah pemuda yang saya terangkan. Yang mengaku bernama
Wiro dan memanggil gadis berpakaian ungu itu sebagai Anggini!”
“Kau tidak salah lihat anak muda?” tanya Ki Ageng Timur.
“Tidak. Itu memang dia. Saya mengenali rambutnya yang gondrong!” jawab Abdi Jalakdiri.
“Kalau begitu lekas kurung daerah sekitar jeram!” perintah Ki Ageng Timur.
Dua puluh orang perajurit yang ikut dalam rombongan itu, dibawah seorang Perwira Muda
segera bergerak dalam kegelapan. Mereka sudah terlatih baik hingga dalam waktu singkat, tanpa
mengeluarkan suara daerah sekitar jeram dimana pemuda berambut gondrong itu berada sudah
dikurung rapat. Masing-masing perajurit mencekal golok panjang atau pedang berkeluk. Ki Ageng
Timur dan Ki Sambar Tringgali melompat turun dari kuda masing-masing. Kepik Kunolo dan
Abdi Jalakdiri juga turun dari tunggangan mereka. Namun kedua orang ini tetap di tempat, tidak
bergerak mengikuti langkah dua tokoh silat Istana yang berjalan cepat menuju jeram anak sungai
Opak Kemikir.
***                                      
37
7
PENDEKAR 212 bukan tidak tahu kalau saat itu dia tidak sendiri lagi di sekitar jeram. Semula
dia menyangka gerakan-gerakan yang didengarnya didalam gelap adalah gerakan Anggini yang
tengah dikejarnya dan mungkin kembali menemuinya. Namun ketika diketahuinya bahwa tidak
hanya ada satu orang berada di tempat itu, melainkan lebih dari dari dua puluh orang, murid
Sinto Gendeng segera bersiap-siap penuh  waspada. Dia membatalkan membasuh mukanya
dengan air sungai.
“Harap berikan jawaban. Apakah kami berhadapan dengan Pendekar 212 murid Sinto
Gendeng dari Gunung Gede?!” Satu suara menegur. Wiro berpaling. Diam-diam dia terkejut
karena ternyata orang yang bertanya itu sudah berada demikian dekat dengan dia. Hanya terpisah
sekitar tujuh langkah dan ternyata seorang tua berjubah kelabu, berikat pinggang merah. Pada ikat
pinggangnya mencantel lima buah gelang pipih terbuat dari besi. Orang tua ini tidak sendirian.
Disampingnya tegak pula seorang tua lainnya, mengenakan baju hitam. Kedua tangan
dirangkapkan di depan dada sedang dimulutnya terselip sebuah cangklong yang mengepulkan
asap terus-terusan. Wiro melirik. Paling tidak sekitar dua puluh orang dilihatnya mendekam
dalam gelap, mengurung tempat itu.
“Orang tua, harap beri tahu dulu siapa yang bertanya dan ada keperluan apa mengajukan
pertanyaan?”
Semula Ki Ageng Timur hendak marah melihat orang tidak menjawab pertanyaannya tapi
malah balik mengajukan pertanyaan. Namun kawan di sebelahnya cepat menyahuti.
“Kawanku ini bernama Ki Ageng Timur, bergelar Si Gelang Setan. Aku sendiri Ki Sambar
Tringgali berjuluk Si Cangklong Maut. Kami  adalah utusan Istana dengan tugas menangkap
dirimu jika kau benar Pendekar 212 Wiro Sableng!”
“Saya memang bernama Wiro. Mengenai gelaran Pendekar 212 itu  tidak perlu dibesar-                                     
38
besarkan. Ada persoalan apa Istana mengutus kalian orang-orang tua yang gagah menangkap
diriku? Kesalahan apa yang telah saya lakukan terhadap kerajaan?”
“Kawanmu gadis berbaju ungu bernama Anggini itu telah membunuh Pangeran Panji
Kenanga, putera Sri baginda!” Terdengar jawaban dari belakang kedua orang tua itu. Yang bicara
ternyata adalah Abdi Jalakdiri, sahabat Pangeran Panji.
“Hemmmm… Begitu!” Wiro garuk-garuk kepala sambil memandangi dua wajah orang tua di
depannya. “Kalau memang kawanku yang membunuh Pangeran Panji, kenapa aku yang hendak
kalian tangkap?”
“Satu orang berbuat jahat, kawannya patut diamankan!” sahut Ki Ageng Timur.
Wiro menyeringai. “Aturan dari mana yang menogatakan begitu Ki Ageng Timur. Jika
kawanmu Ki Sambar Tringgali berbuat jahat, apakah kau mau juga ikut-ikutan ditangkap?l”
Paras Ki Ageng Timur menjadi merah dalam gelapnya malam. “Sudah! Kau jangan banyak
mulut. Sebelum kami tangkap katakan dulu di mana teman perempuanmu yang telah membunuh
putera Sri Baginda itu?!”
“Mana saya tahu! Sayapun sedang dalam mengejarnya!”
“Kalau kau mengejarnya, kau pasti tahu kemana dia melarikan diri!” sentak Ki Ageng Timur.
Wiro kembali menyeringai. “Saya seperti bertanya jawab dengan anak kecil. Saya tahu
sahabat saya itu telah melakukan pembunuhan-pembunuhan keji. Sayapun mendapat tugas untuk
menangkapnya. Tapi tidak untuk menghadapkannya pada Sri baginda, melainkan membawanya
ke hadapan gurunyal”
“Kau tidak akan berhasil melakukan hal itu, Pendekar 212. Karena saat ini juga kau harus
menyerahkan diri. Jika kau mau menyerah secara  tanpa perlawanan, aku berjanji tidak akan ada
segores lukapun diderita tubuhmu!”
“Kalau saya melawan?” tanya Wiro pada Ki Ageng Timur.
“Tubuhmu akan kami cincang sampai lumat!”
“Ah! Mengerikan sekali!” ujar Wiro sambil sunggingkan senyum dan garuk-garuk kepalanya.
“Kalau kalian minta keterangan tentang sahabat saya itu, saya rasa itu adalah satu hal yang wajar.                                      
39
Tapi kalau kalian menyuruh saya menyerah dan  mencincang jika melawan…” Wiro hentikan
ucapannya lalu tertawa gelak-gelak. “Hutan ini memang banyak hantu dan setannya. Saya kawatir
kalian semua sudah pada kena kesambat hingga meracau dan hendak melakukan tindakan yang
bukan-bukan!”
“Pendekar bermulut lancangl” bentak Ki  Ageng Timur. “Rupanya kau memang minta
dicincang!” Lalu orang tua bergelar Si Gelang Setan ini loloskan lima gelang besi pipih dari ikat
pinggangnya. Tanpa banyak cerita lagi sebuah dari senjata itu dilemparkannya ke arah Pendekar
212!
Besi hitam pipih berbentuk gelang itu menoeru dalam gelapnya malam, hampir tak terlihat.
Suaranya menderu seperti angin punting beliung dan mengarah ke leher Wiro.
Pendekar 212 jatuhkan diri. Karena dia berada  di bagian anak sungai yang dangkal maka
waktu jatuh sekaligus dia memukulkan telapak tangan kanannya ke atas air. Air sungai muncrat
melesat ke arah Ki Ageng Timur. Orang tua ini tak menyangka akan diberi perlawanan seperti itu
tidak sempat menghindar. Akibatnya muka dan jubah kelabunya basah terkena cipratan air. Ki
Ageng Timur memaki habis-habisan. Dia mengangkat tangan kanannya. Gelang besi yang tadi
tidak mengenai sasarannya secara aneh berputar membalik ke arah Wiro, kini menyerang dari
belakang. Inilah kshebatan senjata gelang besi pipih itu hingga tidak percuma Ki Ageng Timur
dijuluki Si Gelang Setan. Sulit bagi lawan untuk mencari selamat dari senjata anehnya ini.
Selagi gelang besi pertama menderu dari belakang, Ki Ageng Timur lepaskan gelang kedua.
Kini Pendekar 212 diserang dari belakang dan dari depan. Saat itu Wiro tengah bangkit berdiri.
Gelang besi pertama yaitu yang datang dari belakang melesat ke arah batok kepalanya. Sedang
yang di sebelah depan menyambaf ke arah perutnya.
Satu-satunya jalan bagi Wiro untuk mencari selamat adalah dengan membuang diri ke sam-
ping. Akibataya tubuhnya tercebur masuk ke dalam sungail Tapi adalah lebih baik basah kuyup
dari pada ditambus gelang besi pipih itu dari belakang dan dari depan.
Begitu serangannya lagi-lagi luput, Ki Ageng Timur angkat kedua tangannya. Seperti tadi
secara aneh dua gelang maut itu membalik kembali dan untuk beberapa lamanya berputar-putar                                      
40
diatas permukaan air. Hal ini membuat Pendekar 212 tidak bisa mengeluarkan dirinya dari dalam
air sungai! Kecuali kalau dia mau ditabas oleh dua gelang pipih yang luar biasa tajamnya itu.
“Sialan!” maki Wiro. Dia kerahkan tenaga  dalam ke tangan kanan. Lalu dalam keadaan
menelentang di dalam air dia lepaskan pukulan “Segulung ombak menerpa karang” dengan
pengerahan tenaga dalem tinggi!
Byuur!
Air sungai muncrat disambar angin pukulan.
Dua buah gelang di atas permukaan air tampak  bergetar keras lalu terpental. Wiro cepat
melompat ke luar dari dalam air. Masih dalam keadaan setengah membungkuk dia lepaskan lagi
satu pukulan tangan kosong yaitu pukulan ‘kilat menyambar puncak gunung.”
Ki Ageng Timur berseru kaget ketika melihat dua buah gelang besi pipihnya sanggup dibuat
mental. Tapi dia tidak kawatir karena begitu mental, dua buah gelang maut itu berputar di udara
laiu melesat ke arah Wiro kembali! Yang membuat dia terkejut adalah ketika menerima pukulan
kedua yang laksana petir menyambar panas ke arah dirinya. Oranq tua ini lekas melompat setinggi
dua tombak untuk selamatkan diri.
Wiro sendiri terkejut bukan kepalang ketika  dilihatnya dua buah senjata lawan dengan
dahsyat kembali menyerang dirinya.
“Setan!” maki Wro. Terpaksa dia jatuhkan diri  dan kembali tercebur ke dalam air. Tidak
menunggu lebih lama murid Sinto Gendeng ini segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari
pinggangnya. Begitu senjata mustika sakti ini dibabatkan ke atas, semua orang yang ada di tempat
itu jadi terkejut ketika mendengar suara menderu seperti ribuan tawon mengamuk. Air sungai
kembali muncrat dan kali ini membasahi hampir semua orang yang ada di tempat itu.
Traang! Traang!
Kapak Maut Naga Geni 212 membentur dua gelang maut. Wiro merasakan tangannya yang  
memegang kapak tergetar keras. Gagang senjata itu hampir terlepas dari tangannya. Sebaliknya
dua buah gelang besi milik Ki Ageng Timur patah dua dan bermentalan di udara!
Ki Ageng Timur sendiri sampai berseru kaget saking tidak percaya melihat apa yang terjadi                                      
41
dengan kedua senjata yang sangat diandalkannya itu. Selama ini kalaupun ada lawan yang
sanggup menangkis serangan gelang mautnya maka senjata itu hanya bisa dibuat mental tapi tidak
dapat dibuat patah berantakan seperti yang kini disaksikannya , sendiri. Selain marah; tokoh silat
Istana itu juga merasa malu. Maka sekaligus dia loloskan tiga gelang maut yang masih mencantel
di pinggangnya. Tiga gelang ini kemudian dilemparkan ke arah Wiro yang saat itu sudah
melompat ke tepi anak sungai. Suara deru tiga buah gelang maut itu laksana topan yang datang
menggila dari laut.
Ternyata saat itu Wiro bukan hanya menghadapi serangan tiga buah gelang maut, tetapi Ki  
Sambar Tringgali rupanya telah mulai turun tangan membantu kawannya. Orang tua satu ini
berpandangan tajam. Melihat apa yang barusan  terjadi dia cukup sadar kalau Ki Ageng Timur
tidak akan begitu mudah untuk mengalahkan  Pendekar 212. Maka dia sedot cangklongnya
dalam-dalam. Asap yang terkumpul di mulut dan leher serta dadanya dihembuskan ke depan, ke
arah Wiro. Terjadilah hal yang luar biasa.
Asap berwarna kelabu itu bergulung membuntal-buntal, menyungkup ke arah kepalanya
hingga pemandangannya tertutup padahal saat  itu pula tiga buah gelang besi pipih yang
dilepaskan Ki Ageng Timur melesat ke arah kepala, dada dan kakinya! Di samping itu asap ini
mengeluarkan hawa aneh yang bukan saja  memerihkan mata dan kulit tetapi jika sempat
memasuki jalan napas akan menyerbu masuk ke dalam paru-paru dan membuat tubuh menjadi
lemas dengan seketika!
Wiro yang sudah maklum kalau asap caklong orang tua berbaju hitam itu sama berbahayanya
dengan serangan tiga buah gelang besi dengan cepat putar Kapak Maut Geni 212 di sekeliling
tubuhnya.
Ki Ageng Timur yang tadi sudah melihat kedahsyatan senjata di tangan Pendekar 212 tentu
saja tidak mau kehilangan gelang besinya yang kini hanya tinggal tiga. Segera orang tua ini angkat
ke dua tangannya. Tiga buah gelang besi yang melesat di udara bergeser bertebaran hingga selamat
dari sapuan Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan Wiro. Walau Wiro terhindar dari serangan
gelanggelang besi itu namun asap cangklong yang dihembuskan Ki Sambar Tringgali ternyata                                      
42
berhasil menyusup lolos dari terpaan senjata saktinya. Matanya terasa perih. Kulit muka dan kulit
tubuhnya laksana dicucuki oleh puluhan jarum-jarum halus.
“Celaka!” keluh murid Eyang Sinto Gendeng. Dia melompat menjauhi serangan asap.
Namun terlambat. Walaupun hanya sedikit dia telah sempat menghirup hawa aneh asap kelabu
itu. Tubuhnya mendadak terasa lemas. Dengan  nekad dia kerahkan tenaga dalamnya sebaryak
mungkin ke tangan kiri lalu lepaskan pukulan “sinar matahari” ke arah Ki Sambar Tringgali.
Orang tua ini berseru kaget. Karena menyangka asap cangklongnya pasti akan merobohkan
lawan maka dia berlaku sedikit ayal dan wuutt! Sinar menyilaukan dan panas luar biasa menyam-
bar ke arahnya. Ki Sambar Tringgali cabut cangklongnya dari mulut. Sambil melompat ke
belakang dia pukulkan pipanya itu. Angin keras menggebubu dari mulut cangklong disertai
melesatnya ratusan serpihan-serpihan tembakau bernyala. Benda-benda panas yang sanggup
menembus daging tubuh dan menyusup sampai ke tulang ini musnah berantakan dihantam
gelombang putih panas pukulan sinar matahari. Tangan Ki Sambar Tringgali yang memegang
cangklong tergetar keras. Sambil berteriak  marah orang tua itu melompat tinggi-tinggi. Dia
seperti melayang di atas jalur panas pukulan sinar matahari danhantamkan kepala cangklongnya
ke arah kepala Pendekar 212. Saat itu Wiro sendiri pandangannya masih terhalang oleh kepulan
asap kelabu sedang tubuhnya terasa semakin lemas. Selagi dia berusaha mengatur jalan nafas dan
peredaran darah saat itu pula hantaman cangklong datang. Di saat yang sama tiga buah gelang
besi maut milik Ki Ageng Timur kembali gentayangan mencari sasaran di tiga bagian tubuhnyal
“Celaka! Mati aku sekarang!” jerit Wiro dalam hati. Dengan sisa tenaganya yang ada
diangkatnya Kapak Naga Geni 212 ke atas  lalu disapukannya. Bersamaan dengan itu dia
rundukkan kepala berusaha menghindari hantaman cangklong di tangan ki Sambar Tringgali.
Trang!  
Sebuah dari tiga gelang besi berhasil ditangkis, dibuat mental berpatahan. Tapi yang dua lagi
terus melesat ke arah kepala dan kakinya. Pada saat Wiro kehabisan daya untuk menyelamatkan
jiwanya tiba-tiba dari arah belakangnya berkelebat satu bayangan ungu. Lalu terdengar suara pekik
dahsyat seolah membelah gelapnya langit malam. Bersamaan dengan itu di udara melesat banyak                                      
43
sekali benda-benda panjang berwarna hitam disertai menebarnya bau amis. Di lain kejap
terdengar jeritan Ki Ageng Timur disusul oleh leritan Ki Sambar Tringgali, menyusul pula jeritan-
jeritan lainnya hingga tempat itu hiruk pikuk oleh suara jeritan. Ringkikan kudapun kemudian
terdeiiyar tiada henti!
Wiro jatuh terduduk di tanah. Kapak Naga Geni 212 tergeletak di pangkuannya. Kedua
matanya terbuka besar-besar untuk dapat menyaksikan apa gerangan yang terjadi. Tengkuk murid
Sinto Gendeng ini menjadi sedingin es ketika diketahuinya bahwa benda-benda panjang yang tadi
lewat di atas kepala dan di kiri kanannya adalah ular-ular  berwarna hitam sepanjang satu tombak,
Binatang-binatang yang tidak  diketahui dari mana datangnya ini melesat menyerang dan
mematuk semua lawan-lawannya. Tak satu orangpun bisa lolos dari patukan berbisa ular-ular itu.
Ki Ageng Timur dan Ki Sambar Tringgali dipagut dan dipatuk oleh lima ekor ular. Keduanya
menjerit-jerit tiada henti sam pai akhirnya roboh ke tanah dan tewas! Puluhan perajurit yang ikut
dalam rombongan itu juga termasuk Kepik Kuntolo serta Abdi Jalakdiri ikut menjadi korban
serangan ular. Tak satupun yang lolos dari maut yang datang secara mendadak tidak terduga ini.
“Ya Tuhan, apapun yang terjadi seseorang telah menolongku!” kata Wiro. Dia berpaling ke
belakang dan masih sempat melihat berkelebatnya satu sosok tubuh berpakaian ungu.
“Anggini!” seru Wiro. Namun sosok tubuh itu telah lenyap di kegelapan. Ketika Wiro
memandang ke depan kembali matanya jadi mendelak. Puluhan ular yang tadi menyerbu lawan-
lawannya kini tidak kelihatan iagi sementara dua puluh lima  mayat manusia bergeletak di
hadapannya penuh mengerikan! Saking lemasnya Wiro rebahkan diri menelentang. Kapak Naga
Geni 212 diletakkannya di depan hidungnya guna menyedot hawa jahat atau racun yang sempat
masuk ke,dalam tubuhnya.
***                                      
44
8
SUARA-SUARA jeritan kematian yang terdengar susul menyusul serta suara ringkikan kuda yang
menggetarkan rimba belantara di permulaan malam yang gelap itu membuat seorang tua ber-
janggut putih dan membawa dua buah tabung bambu berisi tuak terkesiap sesaat. Dia berada di
pinggiran hutan Kemikir.
“Kalau tidak kuselidiki tidak puas hatiku!” kata orang tua ini dalam hati. Dia berkelebat
masuk ke dalam hutan. Meskipun gelapnya hutan bukan alang kepalang, ditambah beban dua
buah tabung tuak yang dibawanya, namun orang tua ini sanggup bergerak cepat diantara
pepohonan dan semak belukar hingga akhirnya dia sampai di dekat jeram anak sungai Opak
Kemikir.
Dalam kegelapan dilihatnya banyak sekali sosok tubuh berkaparan di tanah. Ketika dia
hendak mendekati, telinganya menangkap suara hembusan angin. Orang tua ini berpaling.
Darahnya tersirap. Dia melihat berkelebat dan lenyapnya cepat sekali satu sosok tubuh. Namun
meskipun hanya sesaat matanya yang tajam masih sempat mengenali sosok tubuh dan warna
pakaian orang itu.
“Anggini!” seru si orang tua yang bukan lain adalah Dewa Tuak. Dia mengejar ke arah
lenyapnya sosok tubuh tadi. Mengejar kira-kira hampir sepeminuman teh di dalam rimba
belantara yang gelap itu akhirnya Dewa Tuak berhasil mengejar orang di depannya.
“Ah! Benar kau rupanya Anggini!” kata Dewa Tuak begitu berdiri menghadang di depan
gadis berbaju ungu dengan nafas terengah-engah.
“Orang tua buruk! Kau bicara dengan siapa?” gadis di depannya membentak, membuat si
orang tua tersirap. Dengan mata mendelik Dewa Tua berkata.
“Muridku, hutan ini memang gelap. Tapi  mustahil kau tidak mengenali aku gurumu
sendiri!’                                      
45
Anggini tertawa tinggi.
“Di dunia ini memang banyak orang gila.  Tapi tidak ada yang segilamu. Muncul dan
mengigau mengatakan aku muridmu!. Hik… hik…hik… Pergilah, jangan membuat aku marah.
Biar kuanggap saja kau sudah pikun dan matamu  sudah lamur. Hingga tidak mengenali dan
menganggap aku muridmu!”
Dewa Tuak jadi penasaran. Dia melangkah mendekati muridnya. Si gadis justru bersurut
mundur menjauhi orang tua itu. Dalam jarak terpisah delapan langkah dia membentak. “Kalau
kau berani datang lebih dekat, kuputus nyawamu!’
Dewa Tuak hentikan langkahnya.
“Anggini, apa yang terjadi denganmu muridku? Setan mana yang masuk dan menguasai
dirimu!’
“Tua bangka keparat! Kau minta mati roasih belum beranjak dari hadapanku!”
“Anggini! Aku yakin ada sesuatu yang t:dak beres dalam dirimu! Di dekat jeram aku
menemus puluhan manusia berkaparan jadi mayat! Pasti kau yang membunuh mereka! Kau juga
yang membunuhi beberapa tokoh silat dan menghisap darahnya. Kau juga yang membunuh
Tumenggung Purboyo. Di Kotaraja aku menyirap kabar kematian Pangeran Panji. Pasti kau yang
punya pekerjaan!”
“Tua bangka buruk! Kalau kau sudah tahu apa yang hendak kau lakukan?!”
“Kau layak menerima hukuman atas dosa-dosa beratmu itu!”
Anggini kembali perdengarkan suara tertawa panjang.
“Orang tual Aku tidak kenal siapa kau…”
“Setan membalikkan matamu dan iblis mengacaukan otakmu!” sergah Dewa Tuak.
“Dengar tua bangka keparat! Kalau kau  segera menyingkir dari hadapanku kuampuni
selembar jiwa busukmu. Tapi kalau kau masih  berdiri di depanku sampai hitungan ketiga,
terpaksa akan kuhisap darahmu sampai habis!”
“Ah! Jadi benar rupanya apa yang aku dengar. Kau telah berubah menjadi seorang gadis iblis
penghisap darah!”                                      
46
“Satu!” teriak Anggini.
Dewa Tuak tidak bergerak di tempatnya.
“Dua!”
“Dewa Tuak menyeringai, masih tak beranjak.
“Tiga!” Anggini meneriakkan hitungan terakhir.
Orang tua itu mendelik dan menggembor.
Anggini berkelebat ke arah Dewa Tuak. Tangan kanannya dipukulkan. Angin sedingin es
menyapu tubuh orang tua itu dan terkejutlah Dewa Tuak. Sekujur tubuhnya mendadak menjadi
dingin kaku!
Cepat-cepat orang tua ini ambil salah satu bumbung bambunya dan teguk tuak di dalamnya
sampai tubuhnya terasa panas dan dia bisa mengusir hawa dingin yang membungkus dirinya. Rasa
kaku yang menguasai dirinya serta merta lenyap.
“Eh, tua bangka ini ternyata memiliki kepandaian tinggi. Kalau kuhisap darahnya pasti
tenaga dalamku akan berlipat ganda!” Anggini membatin dalam hati. Lalu didahului teriakan
nyaring gadis ini kembali menyerbu.
Dewa Tuak tidak tinggal diam. Tuak yang masih bersisa di dalam mulutnya disemburkan ke
arah muridnya. Anggini terkejut dan cepat menghindar. Salah satu lengan bajunya masih sempat
tersambar beberapa tetes tuak hingga kelihatan berlubang-lubang.
“Tua bangka kurang ajar! Terima kematianmu!” teriak Anggini marah. Sepuluh jari
tangannya dipentang ke depan dan sepuluh kuku merah panjang mencuat keluar dari ujung-
ujung jarinya. Menyambar ke arah batang leher Dewa Tuak.
Karena keliwat bernafsu untuk membunuh dan menyedot darah orang tua itu, Anggini tidak
sempat melihat bagaimana Dewa Tuak memutar tabung bambunya lalu menyodokkan benda itu
ke perutnya!
Dukkk!
Anggini menjerit. Tubuhnya terpental dan jatuh duduk di tanah. Tapi didahului oleh suara
bentakan menggidikkan dia melompat bangkit dan menyerang ke arah orang tua itu kembali.                                      
47
Dewa Tuak terkejut bukan main. Hantaman  ujung bumbung bambunya tadi seharusnya
membuat Anggini luka parah dan patah tulang serta menjadikannya tidak berdaya. Tapi nyatanya
gadis itu sanggup melompat bangkit dan menyerangnya dengan ganas kembali. Dewa tuak cepat
melompat ketika lima jari tangan Anggini menyambar ke arah lehernya. Tapi gerakannya agak
terlambat.
Brett!
Pakaian birunya sempat terenggut dan robek besar di bagian leher. Kulit lehernya bahkan
ikut tergaris luka dan mengucurkan darah. Sepasang mata Anggini berkilat-kilat melihat cucuran
darah itu. Lidahnya terjulur beberapa kali membasahi bibir. Tenggorokannya terasa kering.
Hasrat untuk meneguk darah orang tua itu jadi berkobar-kobar. Didahului oleh suara jeritan
keras kembali gadis ini menyerang dengan kedua tangan dipentang ke depan.
“Sepasang tangan anak ini sangat berbahaya!” kata Dewa Tuak dalam hati. Tangannya
bergerak ke pinggang. Ketika tangan itu digerakkan untuk kedua kalinya, didalam gelap meluncur
selarik benda aneh, membuntal dan bergulung menyambar ke arah ke dua tangan Anggini. Benda
ini bukan lain adalah benang sutera halus yang merupakan salah satu senjata andalan si orang tua.
Benang ini melesat dalam kecepatan luar biasa dan segera menggulung mengikat kedua
pergeiangan tangan Anggini. Dewa Tuak menggerakkan lagi tangannya. Benang sutera terulur
semakin panjang dan terus melibat sampai ke  bahu, terus lagi sampai ke tubuh Angginit
Membuat gadis itu terikat tak berdaya!
Dewa Tuak menarik nafas lega. Akhirnya berhasil juga dia meringkus murid yang telah
menebarkan mala petaka besar itu. Dia melangkah maju. Tapi tiba-tiba di depannya Anggini
keluarkan suara tertawa panjang. Di saat yang sama sebuah benda panjang hitam melesat seolah-
olah melayang jatuh dari langit. Anggini tertawa  lagi. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Benda yang
melayang ke bawah itu masuk ke dalam mulutnya dan lenyap!
Uewa tuak tidak dapat memastikan benda apa  yang masuk ke dalam mulut muridnya itu.
Die juga tidak bisa menduga ilmu apa sebenarnya kini yang dimiliki Anggini.
Lalu dilihatnya sang murid membuka mulutnya lebar-lebar. Dari dalam mulut itu                                      
48
menyeruak keluar kepala dan tubuh seekor ular hitam.
“Ya Tuhan! Jadi ular rupanya yang masuk ke dalam mulutnya tadi!” kata Dewa Tuak dengan
mata melotot!
Anggini tertawa. Ketika tawanya lenyap terdengar dia berkata. “Dewi lepaskan ikatanku!”
Ular hitam didalam mulut meluncur keluar lalu kepalanya bergerak cepat. Mulutnya mematuk
kian kemari. Dalam waktu cepat sekali seluruh ikatan benang sutera sakti yang membuat Anggini
tidak berdaya berputusan. Kedua tangan dan sekujur badannya  kini bebas dari ikatan benang
sutera itu.
Dewa Tuak sampai ternganga dan mendelik besar saking tidak percayanya melihat apa yang
terjadi. Kedua kakinya menyurut mundur.
“Saatmu untuk mati tua bangka keparat!” kata Anggini. Dia mengusap tubuh ular hitam
yang sebagian badannya masih  berada di dalam mulut dan lehernya. “Dewi! Bunuh orang tua
itu!” perintahnya pada sang ular. Binatang ini menegakkan kepalanya. Dari mulutnya terdengar
suara mendesis. Lidahnya yang berwarna merah berkelebatan mengerikan. “Dewi! Kau tunggu apa
lagi?!” bentak Anggini.
Ular dalam mulutnya meluncur keluar.
“Anggini! Jangan!” tiba-tiba ada satu teriakkan menggeledek.
Mulut si gadis terkancing, menahan gerakan tubuh ular hitam yang hendak melesat ke arah
Dewa Tuak. Gadis ini berpaling ke arah datangnya suara teriakan tadi., Dari dalam gelap
dilihatnya muncul pemuda berpakaian putih dan berambut gondrong itu.
“Kurang ajar! Dia muncul lagi!” kata Anggini dalam hati. Dia memutar tubuh menghadapi
pemuda itu. Dielusnya tubuh ular yang ada dalam m,ilutnya. “Dewi! Sasaranmu berubah. Bunuh
pemuda itu!”
Ular hitam didalam mulut kembali tegakkan  kepalanya. Begitu dia melesat, pemuda
berambut gondrong mendahului menghantam. Dari tangan kanannya berkiblat sinar putih
menyilaukan. Hawa panas seperti hendak membakar tempat itu.
Bummm!                                      
49
Rimba berlantara berguncang keras.
Si pemuda cepat menyambar tubuh Dews tuak dan melarikinnya dalam gelap. Orang tua ini
berusaha melepaskan diri sambil memaki panjang pendek.  
“Aku belum mau jadi pengecut! Mengapa kau larikan aku?!”
“Jangan jadi orang tolol Dewa Tuak!”
“Murid sesat itu harus diringkus dan dihukum!” teriak Dews Tuak.
“Saat ini kita belum sanggup melawannya! Dia memiliki senjata ular-ular hitam yang lebih
ganas dari iblis!”
“Sialan! Tuak murniku pasti akan menghancurkan binatang-binatang celaka itu”
“Bagaimana kalau tidak? Tubuhmu yang tua rongsokan ini akan dipatuknya—jadi saringan!”
“Sialan! Enak saja kau mengatakan aku orang tua rongsokan!” Dewa Tuak memukul bahu
pemuda yang melarikannya itu. “Heh, kau mau melarikan aku sampai sejauh mana Pendekar
212?”
“Sabar saja. Kita harus mencari tempat yang aman. Jauh dari muridmu yang doyan darah
itu!”
“Aku tidak mengerti bagaimana Anggini bisa jadi begitu!”
“Sama. Sayapun tidak mengerti. Sebelumnya dia juga hendak membunuh saya … ”
“Ya Tuhan…” mengucap Dews Tuak. “Semoga kau mengampuni dosa muridku itu.”
“Tuhan pasti mehgampuni dosa muridmu Dewa Tuak. Tapi dunia persilatan dan Raja tidak
akan mengampuninya. Anggini telah membunuh Pangeran Panji, salah seorang putera Sri
baginda yang paling dikasihi!”
“Celaka muridku. Celaka tua bangka ini. Ah, mungkin umpama tadi betul, Wiro. Aku
memang tua bangka rongsokan yang lebih bagus mampus saja saat ini!”
Wiro tertawa bergelak. Dia turunkan tubuh Dewa Tuak dari panggulannya.
“Walau rongsokan tubuhmu ternyata berat juga Dewa Tuak. Berlari jauh memanggulmu
membuat saya haus. Saya minta tuakmu!” Lalu tanpa  banyak cerita lagi Wiro ambil salah satu
tabung berisi tuak milik orang  tua itu. Cegluk… cegluk… cegluk. Tuak itu disikatnya sampai                                      
50
mukanya jadi merah. Tangannya gemetaran ketika mengembalikan bumbung bambu.
Dews Tuak mengekeh. “Anak sok jago! Aku  saja tidak berani meneguk tuak sekaligus
sebanyak yang kau lakukan!”
“Aku mabok!” kata Wiro seraya menyandarkan diri ke sebatang pohon.
“Kau bukan cuma mabok! Kau juga sudah ngompol terkencing- kencing!”
“Apa?!” Wiro turunkan tangannya dan meraba ke bawah perutnya. Bagian bawah celananya
ternyata memang terasa hangat dan basah! “Sialan!” makinya.
“Dewa Tuak kembali tertawa mengekeh.
“Dewa Tuak! Jangan tertawa keliwat keras. Kalau muridmu sempat mendengar pasti dia akan
muncul di sini membawa ularnya dan mernbunuh kita berdua!”
Cup! Dewa Tuak tutup mulutnya dengan telapak tangan kanan. Suara tawanya serta merta
lenyap. Rimba belantara itu kini tenggelam dalam kegelapan dan kesunyisenyapan.
Sesaat kemudian terdengar suara Dewa Tuak berbisik.
“Pendekar 212, aku tidak betah di tempat gelap begini. Rasanya seperti tikus dalam tanah
saja. Aku harus pergi dari sini. Akan kucari lagi anak itu.”
“Jangan tolol. Sebelum tahu kelemahannya kau tak bakal bisa meringkusnya,” kata Wiro.
“Jika ditunggu sampai kita tahu kelemahannya dan baru turun tangan, rasanya sampai
kiamat belum tentu diketahui rahasia kelemahannya. Modalku sekarang hanya nekad saja.
Mukaku sudah dicelemongnya dengan lumpur busuk. Aku malu besar menghadapi dunia
persilatan. Aku harus pergi, tapi sebelum pergi ada satu hal yang hendak kutanyakan padamu.”  
“Hal apa?” tanya Wiro.
“Kau tahu, hal ini dulu pernah aku bicarakan dengan gurumu Sinto Gendeng. Tapi nenek
konyol itu tidak mau menjawab secara terus terang. Katanya terserah pada dirimu…”
Wiro merasa dadanya berdebar. Diam-diam dia sudah dapat menduga hal apa yang hendak
dikatakan oleh Dewa Tuak.
“Dengar, ini menyangkut perjodohanmu dengan Anggini. Setelah kejadian ini rasanya aku
tidak terlalu mau mendesak. Bagaimana dengan dirimu? Apakah kau masih menyukai muridku                                      
51
yang telah sesat itu?”
Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Kalaupun suka atau tidak suka, rasanya hal itu tidak pada tempatnya kita bicarakan sekarang
Dewa Tuak. Usaha kita paling penting adalah menyelamatkan dunia persilatan. Lalu kalau masih
ada kesempatan mungkin kita masih bisa menolong Anggini. Jika dia selamat ada satu hal yang
bakal jadi hukumannya seumur-umur. Dia harus menyendiri. Dia akan dikucilkan oleh dunia
persilatan. Lalu bahaya balas dendam dari keluarga atau karib kerabat orang-orang yang pernah
dibunuhnya akan membayanginya seumur hidup. Belum terpikirkan apa  yang bakal dilakukan
pihak Kerajaan!”
Dewa Tuak menarik nafas dalam. Akhirnya dia berkata. “Aku harus pergi sekarang…”
Karena tak mungkin mencegah, Pendekar 212  terpaksa diam saja. Dewa Tuak menepuk
bahu Wiro. Sekali dia berkelebat sosok :tbuhnyapun lenyap dalam kegelapan.
Beberapa lamanya Pendekar 212 masih duduk tersandar di batang pohon itu. Bayangan
wajah Anggini menyeruak dipelupuk matanya. Dalam hati dia berkata. “Memang sulit mencari
gadis secantik dirinya. Tapi apa lagi artinya kecantikan itu kalau dirinya tiba-tiba telah berubah
menjadi mahluk ibis penghisap darah!” Wiro terdiam sesaat. “Heh, kalau mencari kelemahannya
tidak mungkin, apakah juga tidak mungkin mencari penyebab mengapa Anggini berubah menjadi
manusia jahat penghisap darah? Rasanya mungkin penyelidikan bisa dimulai dari situ. Tapi
berapa lama baru bisa diketahui sementara banyak korban lagi yang jatuh ditangannya!” Wiro
garuk-garuk kepala kembali. Dengan Wiro huyung-huyung dia bangkit berdiri.
***                                     
52
9
PERTUNJUKAN reog Ponorogo itu selesai. Semua penonton satu demi satu meninggalkan tanah
lapang luas. Saat itu hari telah rembang petang. Sinar sang surya tidak lagi terik panas seperti
sebelumnya. Pendekar 212 masih duduk dibangku kecil penjual kopi manis pikulan. Dia hendak
mengulurkan tangan mengambil sebuah pisang rebus ketika tiba-tiba pandangannya membentur
sosok tubuh seorang gadis berpakaian ungu yang berada di ujung lapangan sana. Gadis ini tengah
melepaskan ikatan seekor kuda yang ditambatkan pada sebatang pohon. “Anggini,” desis Wiro.
Dia segera berdiri. Meletakkan uang di atas bangku yang tadi didudukinya lalu lari ke ujung
lapangan. Dia sampai di tempat itu sesaat setelah gadis berbaju ungu itu memacu kudanya. Wiro
memandang berkeliling. Seorang pemuda dilihatnya  tengah mengiring seekor kuda. Cepat Wiro
mendekati orang ini. Dia langsung melompat ke atas punggung kuda itu.
“Hai! Apa-apaan ini?!” teriak pemuda pemilik kuda.
“Kupinjam sebentar kudamu! Nanti juga aku  kembalikan!” Lalu Wiro menepuk tangan si
pemuda yang memegang tali kekang. Begitu tali kekang terlepas murid Sinto Gendeng segera
memacu binatang ini ke jurusan lenyapnya gadis berbaju ungu tadi. Di belakangnya pemuda
pemilik kuda berteriak tiada henti.
“Pencuri kuda!! Pencuri kuda!”
Di pinggiran kota Pendekar 212 kehilangan  jejak orang yang dikejarnya. Terpaksa dia
memacu kudanya ke tempat ketinggian. Di sebuah lereng bukit Wiro memandang berkeliling.
Jauh di sebelah Timur kelihatan seorang penunggang kuda bergerak menyusuri sebuah kali kecil.
Wiro segera menuruni bukit, mengambil jalan memotong hingga akhirnya dia berhasil berada di
belakang si gadis.
“Anggini!” teriak Wiro.                                      
53
Penunggang kuda berpakaian ungu di sebelah depan berpaling lalu hentikan kudanya. Wiro
sampai di hadapan gadis itu.
“Wiro…” si gadis menyebut nama pemuda itu.
Pendekar 212 tersenyum. Dipandanginya wajah sang dara sesaat. Mata yang selama ini
dilihatnya selalu menyorotkan sinar menggidikkan kini tampak memandang lembut kepadanya.
“Anggini, kita harus bicara. Turun dari kudamu. Kita cari tempat yang baik untuk bicara.”
Anggini gelengkan kepalanya.
“Aku tidak mau bicara…”
“Kenapa? Kau tahu bahaya yang mengancam dirimu?”
“Bahaya apa?” tanya si gadis.
“Jangan pura-pura. Semua orang sudah tahu siapa dirimu sejak tiga bulan terakhir ini! Semua
orang ingin membunuhmu! Gurumu Dewa Tuak mencarimu ingin menghukummu. Orang-
orang Kerajaan juga mencarimu dan mungkin akan menggantungmu!”
Anggini menatap dalam-dalam ke mata Pendekar 212 hingga membuat pemuda itu sesaat
jadi terdiam.
“Lama tidak bertemu, kukira tadinya kau ingin membicarakan urusan perjodohan itu. Tahu-
tahu kini kau membicarakan hal-hal yang tidak kumengerti!”
“Kau ini benar-benar aneh Anggini…”
“Kau yang aneh Wiro!”
“Dengar, kita harus bicara!’
“Tidak!”
Wiro garuk-garuk kepalanya. Ditatapnya wajah gadis itu. Dipandanginya sekujur tubuh
Anggini. Dia tidak melihat selendang ungu tergulung di leher si  gadis. Dulu, pada salah satu
ujung selendang cutera ungu itu, Wiro telah menggurat dengan ujung jarinya angka 212 sebelum
mereka berpisah.
“Mana selendang ungumu Anggini?” tanya Wiro.
Si gadis meraba dadanya. “Hilang,” jawab si gadis.                                      
54
“Hilang? Berarti kau tidak menjaganya baikbaik…”
“Buat apa menjaga selendang itu? Orang yang pernah mengguratkan angka kenangan tidak
pernah memperdulikan aku!”
Wiro jadi ternganga. “Ah, rupanya dia memang ada hati terhadapku. Dan kini kelihatan
marahnya.
“Anggini, dengar. Hal itu bisa kita bicarakan kemudian. Sekarang ketahuilah. Aku mendapat
tugas untuk membawamu pada gurumu Dewa Tuak!”
“Membawaku pada guruku? Memangnya ada apa?!”
“Anggini, jangan berpura-pura terus-terusan. Dirimu dalam bahaya! Kembali pada gurumu
berarti kau masih bisa selamat…”
“Diriku dalam bahaya…?” Anggini bertanya sambil tertawa.
“Ada banyak orang-orang persilatan yang ingin membunuhmu! Pihak Kerajaan juga
mencarimu! Apa kau masih hendak berpura-pura?!”
“Kasihan…” tiba-tiba Anggini berkata.
“Kasihan… Apa yang kasihan.” tanya Wiro heran.
“Aku tidak menyangka, lama tidak bertemu begitu bertemu kulihat ada sesuatu yang tidak
beres dengan otakmu! Bicaramu tidak karuan!”
Tampang Pendekar 212 tampak menjadi merah. “Aku…” Dia tidak bisa meneruskan
ucapannya. Dalam hatinya berkata. “Mungkin benar ada ajaran  ilmu sesat yang merasuk dalam
tubuh gadis ini. Pada saat dia kumat dia berubah menjadi gadis iblis penghisap darah. Pada saat
dia kembali pada dirinya yang asli, dia akan jadi seperti ini.”
“Aku akan pergi dan jangan coba mengejarku! Kalau kau bertemu dengan guruku, katakan
pada orang tua itu tidak perlu mencariku! Bukankah dulu aku pergi dengan seizinnya?”
“Betul! Mungkin itu betul! Tetapi sesuatu  telah terjadi dengan dirimu. Kau telah
terjerumus… Kau telah melakukan satu perbuatan sesat yang memalukan!”
“Wiro! Kau menuduhku telah berbuat aib?!”  bentak Anggini. Dalam marahnya gadis ini
tangsung menampar Wiro hingga pinggiran bibir Pendekar 212 luka dan berclarah!                                      
55
Dari air muka Anggini yang kelihatan berubah jelas terlihat  ada tanda penyesalan atas apa
yang telah dilakukannya. Namun sesaat kemudian gadis ini telah menyentakkan tali kekang
kudanya dan menghambur pergi  dari tempat itu. Wiro mana  mau tinggal diam. Dia segera
mengejar. Keduanya memacu kuda masing-masing  saling bersisian. Di sebuah jembatan bambu
yang melintasi sungai, Wiro terpaksa memberi jalan lebih dulu pada kuda Anggini, karena
jembatan yang kecil itu tidak mungkin dilalui secara berdampingan.
“Aku sudah bilang jangan mengejarku Wiro!” teriak Anggini.
“Aku juga sudah bilang akan membawamu ke pada gurumu Anggini! Aku tidak ingin sesuatu
terjadi atas dirimu!”
“Pemuda keras kepala!” teriak si gadis marah. Tangan kanannya mengeruk ke saku pakaian
ungunya. Dari tangan itu kemudian melesat dua buah senjata rahasia berupa paku perak
sepanjang setengah jengkal. Senjata rahasia ini mendarat tepat pada lutut depan kiri kanan kuda
yang ditunggangi Wiro. Binatang ini meringkik keras lalu jatuh terjerambab ke depan. Pendekar
212 cepat melompat. Dia jungkir balik di udara. Ketika kedua kakinya menyentuh tanah kembali
Anggini sudah lenyap!
Wiro hanya bisa geleng-geleng kepala. Digaruknya rambutnya dengan kesal berulang kali.
“Masih untung kudaku yang dihantamnya dergan senjata rahasia itu. Kalau dia sempat
mengeluarkan ular-ular peliharaannya itu celakalah diriku!”
***                                      
56
10
LEBIH dari tiga bulan sebelumnya,  suatu peristiwa aneh telah terjadi. Saat itu hujan turun luar
biasa lebatnya. Sesekali kilat menyambar dan guntur menggelegar.
Air sungai menimbulkan arus deras. Bagianbagian tanah yang leguk terendam air. Beberapa
rumah yang terlalu dekat dengan sungai tak ampun lagi roboh dan diseret arus ke hilir.
Dalam derasnya curahan hujan dan gelapnya cuaca malam serta dinginnya udara yang seperti
mencucuk sampai ke tulang sungsum, sebuah benda bulat dan panjang berwarna hitam berkilat
meluncur sepanjang sungai yang tengah banjir.  Sulit untuk memastikan benda apa adanya ini.
Tetapi ketika kilat menyambar sekali lagi dan tanah menjadi terang benderang, walaupun sekilas
telah terlihat apa adanya benda  yang meluncur itu. Ternyata seekor ular besar berwarna hitam.
Namun ada keanehan luar biasa yang membuat orang akan bergidik dan lari ketakutan setengah
mati jika melihat kepala ular ini. Ternyata binatang ini tidak memiliki kepala sebagai seekor ular
melainkan berbentuk kepala manusia! Kepala seorang nenek tua berwajah cekung keriput dengan
rambut putih riapriapan basah oleh air hujan!
Di sebuah tikungan binatang aneh ini berhenti melata. Kepalanya ditegakkan. Dia
memandang ke tengah sungai seperti menembus pemandangan yang gelap dan tertutup curahan
hujan lebat. Sesaat kemudian binatang ini meluncur ke tepi sungai yang banjir besar lalu masuk
ke dalam sungal dan meluncur menuju ke seberang. Luar biasa! Tubuhnya yang besar berat itu
tidak tenggelam ke dalam air. Kepalanya tegak  dan arus air sungai yang deras tidak mampu
menyeretnya ke hilir.
Sampai di seberang sungai ular berkepala manusia ini melata cepat memasuki sebuah hutan
belantara dan menghilang di kegelapan. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara lolongan srigala  
hutan. Serombongan srigala hutan yang terdiri dan tiga srigala jantan dan seekor srigala betina lari
dalam kegelapan malam. Tujuan mereka adalah arah sungai, berlawanan dengan arah yang dilalui                                      
57
oleh ular berkepala manusia tadi. Di suatu tempat srigala-srigala hutan ini saling bertemu dengan
ular berkepala manusia tadi. Keempat srigala itu segera menyalak terus menerus dan mengelilingi
ular berkepala manusia. Tiba-tiba serentak keempat srigala itu menerkam ke depan. Kepala ular  
yang berbentuk kepala nenek angker itu keluarkan  suara berdesis. Lidahnya terjulur. Bersamaan
dengan itu ekornya melesat berputar.
Plaak! Plaak! Plaak! Plaak!
Empat ekor srigala hutan meraung panjang.  Tubuh mereka terlempar jauh berkaparan jatuh
di tanah yang becek. Tak satupun diantara mereka yang masih bergerak atau berkutik. Keempat
binatang ini mati dengan kepala hancur dihantam ekor ular berkepala manusia itu.
Seperti tidak ada kejadian apa-apa, ular hitam besar itu kembali melata cepat memasuki
rimba belantara sementara hujan perlahan-lahan mulai mereda. Di sebuah lobang dekat akar
sebatang pohon besar ular berkepala manusia ini meluncur masuk dan lenyap. Tak lama
kemudian dia sudah berada di sebuah goa tanah yang besar dan ter letak di bagian hutan yang
tanahnya agak tinggi. Di lantai goa bertebaran banyak sekali berbagai macam bunga-bungaan dan
ruangan dalam goa itu berbau harum semerbak.
Ular hitam berkepala nenek berambut putih meluncur ke dinding sebelah kiri lalu meluncur
dengan sebagian tubuhnya tersandar ke dinding goa.
Mulut si nenek tampak komat-kamit entah melafatkan apa. Kemudian perlahan-lahan kedua
matanya dipejamkan. Lalu terdengar mulutnya berkata.
“Maha Ratu, saya sudah siap…”
Di luar goa kilat kembali menyambar dan guntur menggelegar: Dinding-dinding dan lantai
goa bergetar. Beberapa bagian tanah berjatuhan ke bawah. Pada saat itulah ada cahaya terang
datang dari arah mulut goa. Si nenek buka kedua matanya. Dia mengernyit silau. Dia tidak dapat
melihat dengan jelas. Apa yang kemudian muncul dilihatnya secara samar-samar.
Yang muncul adalah seekor ular yang luar biasa besarnya. Lingkaran tubuhnya lebih dari
sepemelukan tangan. Binatang ini berwarna hitam pekat berbintik-bintik kuning. Ada beberapa
keanehan pada diri binatang ini. Dia tidak melata atau meluncur di tanah melainkan berjalan                                      
58
karena dia memiliki sebentuk anggota seperti sepasang kaki kecil. Di bagian dadanya ada dua
anggota tubuh serupa sepasang tangan. Pada tangan sebelah kanan mahluk ini memegang sebuah
tongkat kaca yang mengeluarkan cahaya. Cahaya inilah yang menerangi goa dan menyilaukan
pandangan mata si nenek ular. Bagian kepala dari ular besar hitam berbintik kuning ternyata juga
berupa kepala seorang perempuan. Kalau ular hitam yang tersandar ke dinding goa memiliki
kepala berupa seorang nenek buruk berambut hitam riap-riapan maka ular yang datang membawa
tongkat kaca bercahaya itu memiliki kepala berupa seorang perempuan muda cantik luar biasa.
Kulit wajahnya putih halus. Sepasang alisnya hitam melengkung seperti bulan sabit. Hidungnya
mancung, pipinya kemerah-merahan sedang bibirnya merah seperti delima merekah. Di atas
kepalanya yang berambut hitam, terletak sebuah mahkota kecil.
Pada wajah yang cantik itu juga terlihat bayangan wibawa dan keagungan yang tinggi. Kalau
tidak melihat pada bentuk tubuhnya setiap lelaki yang memandang pastilah akan terperangah dan
bisa jatuh cinta! Inilah mahluk yang dipanggil si nenek bertubuh ular dengan nama Maha Ratu.
“Gintani Aruranti, benar kau sudah siap?”
Nenek bertubuh ular bungkukkan kepalanya  hingga dagunya menempel ke dada ularnya.
“Saya sudah siap Maha Ratu,” katanya.
“Aku gembira mendengar hal itu. Tapi aku juga bersedih karena sebentar lagi kita akan
berpisah. Selama empat puluh tahun lebih kau mengabdi padaku tanpa cacat dan kesalahan. Aku
menjanjikan padamu bahwa dihari kemudian kau akan kuberikan tempat yang baik…”
“Terima kasih Maha Ratu…” kata Gintani Aruranti lalu kembali dia membungkuk.
“Sebelum kita berpisah, sesuai ketentuan dan sumpah yang mengikat dirimu sejak empat
puluh tahun silam, kau harus memberi tahu dan menyebut nama seorang gadis yang kelak akan
meneruskan pengabdianmu. Kau tahu sesuai ketentuan gadis itu haruslah anak atau orang yang
ada pertalian darahnya dengan dirimu.”
Di luar kilat menyambar dan geledek menggetarkan goa itu. Tanah di bagian atas goa
kembali berguguran!
“Mengenai hal yang satu ini Maha Ratu, harap maafkan saya. Maha Ratu tahu sendiri kalau                                      
59
saya tidak pernah bersuami, tidak mempunyai anak. Maha Ratu juga tahu kalau saya tidak punya
sanak tidak punya kadang dan saudara. Saya hidup sebatang kara…”
Goa itu sunyi sesaat.
“Aku memang tahu semua keadaan diri dan pribadimu Gintani Aruranti. Kalau memang
sudah begitu keadaannya terpaksa  aku menurut ketentuan para  sesepuh untuk mencari sendiri
seorang gadis yang pantas meneruskan pengabdianmu. Mungkin kau bisa memberi suatu nama
atau mengatakan siapa gadisnya?”
“Maafkan saya Maha Ratu. Saya serahkan bagaimana baiknya saja pada Maha Ratu…”
Maha Ratu bertubuh ular tetapi berwajah cantik selangit itu pejamkan kedua matanya dan
merenung sejenak. Dalam sikap seperti itu wajahnya kelihatan tambah cantik. Perlahan-lahan
kedua mata yang dipejamkan terbuka kembali.
“Kita mendapat petunjuk dari para sesepuh, Gintani. Kau hanya menyebutkan, satu warna
yang sangat kau sukai. Urusan selanjutnya para sesepuh dan aku yang akan mengatur.”
“Sebuah warna, Maha Ratu?”
“Ya, kau katakan sebuah warna yang sangat kau sukai. Mungkin merah, biru, atau mungkin
putih…”
“Saya… Sejak kecil saya suka dengan warna ungu Maha Ratu,” kata Gintani Aruranti, si
nenek bertubuh ular.
“Bagus. Itu sudah cukup. Sekarang bersiaplah untuk berpisah. Pejamkan matamu.”
Sesuai perintah Maha Ratu nenek bertubuh  ular itu pejamkan kedua matanya. Perlahan-
lahan Maha Ratu angkat tangan kanannya yang memegang tongkat kaca. Bibirnya yang merah
bagus bergetar. Sepertinya dia tengah melafatkan sesuatu. Lalu tangan yang memegang tongkat
kaca itu diputar secara tiba-tiba ke kanan. Saat  itu juga satu larik sinar putih dan sangat panas
melesat ke arah tubuh nenek Gintani Aruranti. Dimulai dari kepala terus ke bagian badan dan
terus ke perut lalu terus lagi ke bagian ekor, sosok si nenek perlahan-lahan mencair leleh. Sesaat
kemudian kepala dan tubuh itu berubah menjadi seonggok debu. Memanjang membujur dilantai
goa. Lalu perlahan-lahan onggokan debu kelabu itu saling bergeser dan menyatu hingga menjadi                                      
60
satu tumpukan di tengah goa. Setelah bersatu  onggokan debu kelabu itu kemudian mengepul
menjadi asap untuk kemudian semuanya lenyap tidak berbekas.
Maha Ratu putar tongkat kacanya ke kiri. Sinar putih panas meredup lalu sirna. Perlahan-
lahan pula Maha Ratu memutar tubuhnya. Sosok tubuhnya kemudian lenyap tanpa bekas.
***
GADIS berwajah cantik itu merasa heran. Menurut perhitungannya sudah cukup lama dia ber-
jalan tetapi aneh mengapa belum sampai-sampai juga ke rumahnya. Akhirnya dia berhenti di tepi
jalan dan memandang berkeliling.
“Heran, dimana aku berada saat ini. Segaia sesuatunya serba asing…”
Selagi dia kebingungan di tepi jalan seperti  itu sementara sebentar  lagi hari akan segera
malam di kejauhan terlihat sebuah kereta. Begitu dekat ternyata saisnya adalah seorang gadis
berwajah luar biasa cantiknya dan mengenakan pakaian warna ungu. Pada lehernya tergelung
sehelai selendang yang juga berwarna ungu. Sais  kereta hentikan kudanya di depan gadis yang
duduk di tepi jalan.
“Gadis bunga desa yang cantik, kau kelihatan seperti orang bingung. Ada apakah maka
duduk termenung di tepi jalan. Sebentar lagi hari akan malam. Tidakkah kau takut berada
sendirian di tempat yang sepi ini?”
Gadis di tepi jalan berdiri. Sesaat dipandanginya gadis di atas kereta dengan penuh rasa
kagum. “Kau cantik sekali… Pakaianmu sangat  bagus. Juga selendangmu. Siapakah kau ini
sahabat?”
Gadis di atas kereta tertawa lebar. “Kau memanggilku sahabat. Aku gembira mendengarnya.
Kau juga seorang gadis cantik. Kau suka pakaianku ini?”
“Tentu saja suka. Tapi orang miskin sepertiku  ini entah kapan bakal  bisa punya pakaian
sebagusmu itu. Mungkin hanya tinggal mimpi seumur hidup …”
Sais cantik jelita itu tersenyum.                                      
61
“Kau akan mendapatkan baju seperti ini. Jika kau memang mau naiklah ke alas kereta.
Dudun di sampingku. Aku akan mengantarkan kau pulang ke rumahmu…”
“Terima kasih. Kau baik sokali.” Ditawari sebaik itu si gadis di tepi jalan segera naik ke atas
kereta dan duduk di samping sais yang cantik  itu. Tanpa disadarinya gadis ini duduk tersandar
dan akhirnya pejamkan mata tertidur. Dia tidak tahu berapa lama dia telah tertidur. Ketika dia
bangun didapatinya dirinya berada disebuah lembah sunyi, tergeletak diatas lantai reruntuhan
sebuah candi tua. Di sekitarnya bertebaran berbagai macam bunga yang menebar bau harum. Saat
itu sang surya baru saja terbit di sebelah Timur.
“Di mana aku ini…?” tanya si gadis pada  dirinya sendiri sambil memandang berkeliling.
Ketika dia mencoba bangkit terkejutlah dia. Kedua tangannya cepat menutupi auratnya di.bagian
dada. Astaga! Ternyata dia dapatkan dirinya berada dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali!
“Ya Tuhan! Apa yang terjadi dengan diriku!” kata si gadis setengah menjerit dan juga kela-
bakan. “Bagaimana aku akan pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini?!”
Tiba-tiba satu suara terdengar seolah menjawab ucapan gadis itu.
“Tidak, kau tidak akan pernah pulang ke rumah seumur hidupmu Anggini!”
***                                      
62
11
GADIS di bekas reruntuhan candi itu terkejut dan memandang  berkeliling. Tidak dilihatnya
seorang lainpun di tempat itu. Tapi jelas tadi dia mendengar suara. Suara perempuan!
“Siapa yang bicara…” tanya si gadis ketakutan.
“Aku Maha Ratu. Aku sahabat dan pemimpinmu. Hanya padaku  kau harus menurut
perintah. Hanya padaku kau harus mengabdi… Kau mengerti Anggini?”
Si gadis tidak menjawab. Lalu ada satu sambaran angin menyapu wajahnya. Sesaat peman-
dangannya berkunang lalu mendadak dia merasakan satu kesegaran luar biasa dalam dirinya.
“Kau sekarang mengerti Anggini?”
“Saya mengerti Maha Ratu,” jawab gadis itu.
“Kalau begitu sebagai tanda tunduk dan pengabdian membungkuklah tiga kali!” kata suara
tanpa rupa.
Anggini membungkuk tiga kali. Ketika berdiri lurus-lurus kembali dia ingat sesuatu. Suara
itu!
“Maha Ratu… Saya mengenali suararrtu. Bukankah kau gadis yang mengajakku naik kereta
bersama?”
Terdengar suara tertawa perlahan. “Kau cerdik dan daya ingatmu tajam. Yang kau lihat
sebagai sais kereta itu memang penjelmaan  diriku. Sekarang kita bersahabat. Tapi sebagai
pemimpin ada jarak antara kita. Kau harus tunduk pada diriku. Karena kau hanya bisa hidup
sesuai dengan petunjuk dan perintahku!”
Angin di penghujung sore memasuki malam  itu bertiup keras. Anggini tampak gemetaran
kedinginan.
“Kau kedinginan Anggini. Sudah saatnya mengenakan pakaian…”
“Tapi saya mengalami hal aneh Maha Ratu. Sebelumnya saya yakin sekali saya mengenakan                                      
63
pakaian. Tahu-tahu kini mengapa saya berada dalam keadaan seperti ini!”
“Tak usah kawatir… Melangkahlah ke reruntuhan tangga depan candi. Di undakan sebelah
tengah kau akan menemukan sehelai baju dan celana ungu. Juga sebuah selendang berwarna
ungu…”
“Baju, celana dan selendang. Terima kasih. Tapi Maha Ratu…”
“Tetapi apa Anggini?’°
“Apakah tidak ada pakaian dalamnya…?”
Maha Ratu yang tidak kelihatan terdengar tertawa panjang. “Aku juga perempuan sepertimu
Anggini. Jadi tahu apa kebutuhanmu. Jangan takut. Dalam lipatan pakaian itu kau akan
menemukan pakaian dalam…”
“Terima kasih kalau begitu Maha Ratu.”
“Nah sekarang pergilah ke reruntuhan tangga. Kenakan pakaian ungu itu cepat.”
Mengendap-endap sambil menutupi auratnya dengan kedua tangan Anggini melangkah ke
tempat yang dikatakan.
Betul saja. Di undakan tangga ke lima dia melihat pakaian ungu terlipat rapi. Ketika lipatan
dibuka memang ditemuinya pula pakaian dalam seperti yang dikatakan Maha Ratu. Cepat-cepat
Anggini mengenakan semuanya itu. Selesai berpakaian dia tegak sambil memegangi selendang.
“Cantik sekali kau dalam pakaian ungu itu Anggini. Lingkarkan selendang itu di lehermu.
Jangan dipegang saja…”
Anggini melingkarkan selendang ungu dilehernya.
“Dengar baik-baik Anggini. Pakaian ungu itu bukan pakaian biasa. Kau tidak perlu mencuci
atau menggantinya seumur hidup. Pakaian itu  akan selalu berbau wangi. Wewangian itu akan
melekat pula pada dirimu. Kau akan mampu hidup tanpa makan atau minum selama kau
kehendaki…”
Anggini terheran-heran mendengar kata-kata itu. “Maha Ratu, setahu saya setiap yang hidup
harus dan butuh makan atau minum.”
“Kau benar Anggini. Tapi dirimu sekarang mahluk hidup yang luar biasa. Kau hanya akan                                      
64
hidup dengan minum darah manusia lainnya. Kau mampu hidup lebih dari seratus tahun! Tanpa
minum darah manusia kau akan menjadi tua keriputan dan akan menemui kematian!”
“Maha Ratu, mana mungkin says melakukan hal itu. Mana mungkin saya minum darah
manusia!”
“Ingat Anggini. Jika kau mau hidup terus hal itu harus kau lakukan. Di samping itu jangan
lupa aku adalah pemimpinmu yang harus kau ikuti tanpa berani membantah! Kau dengar hal itu
Anggini?!”
“Saya dengar Maha Ratu… Tapi bagaimana caranya saya minum darah manusia?” tanya
Anggini dengan suara gemetar.
“Mudah saja sahabatku. Coba kau luruskan sepuluh jari tanganmu!”
Anggini luruskan sepuluh jari tangannya.
”Perhatikan baik-baik ke sepuluh jari tanganmu itu!”
Anggini memperhatikan jari-jarinya sendiri dengan dada berdebar. Tiba-tiba dia melihat hal
yang aneh. Dari ujung-ujung jarinya seperti tumbuh mencuat keluar kuku yang lancip itu
kelihatan sebentuk lobang sebesar lobang jarum.
“Maha Ratu… Apa yang terjadi?” Anggini bertanya ketakutan.
“Aku akan terangkan sahabatku. Setiap kau  meluruskan semua jari-jari tanganmu, maka
kukukuku merah panjang itu akan tumbuh keluar. Orang yang akan kau hisap darahnya tinggal
kau cengkeram saja bagian tubuhnya. Yang paling cepat adalah di bagian leher. Begitu kuku-
kukumu menancap, darah orang itu akan terhisap dengan sendirinya sampai akhirnya dia
menggelepar mati!”
“Saya merasa ngeri Maha Ratu. Saya takut!”
“Kau sahabatku! Kau tidak boleh takut…”
“Maha Ratu, bagaimana says melenyapkan kuku-kuku merah ini?”
“Sangat mudah Anggini. Kau cukup menekukkan jari-jari tanganmu sedikit saja. Sepuluh
kuku itu akan menghilang. Kau cobalah!”
Anggini menekukkan jari-jari tangannya. Benar saja. Kesepuluh kuku merah panjang runcing                                      
65
yang ada di ujung jarinya serta merta lenyap!
“Ada satu hal yang harus kau ingat Anggini. Korban yang harus kau hisap darahnya hanya
terdiri dari dua jenis manusia, laki atau perempuan. Jenis pertama adalah orang-orang muda
berwajah gagah. Dengan minum darahnya kau akan menjadi kuat dan awet muda sepanjang
usiamu. Jenis kedua ialah orang-orang atau tokoh-tokoh persilatan. Jika  kau berhasil menyedot
darah mereka maka kau akan menjadi seorang  berkekuatan luar biasa, memiliki tenaga dalam
tinggi yang tidak bisa dikalahkan oleh siapapun. Selain itu selendang yang ada di lehermu bisa kau
pergunakan sebagai satu senjata yang hebat. Kau bisa menggebuk hancur kepala seekor kerbau
atau membobolkan tembok dengan selendang itu. Selain itu dalam tubuhmu saat ini sudah ada
satu ilmu kesaktian bernama salju pusaka dewa. Dengan ilmu itu sekali kau memukul lawanmu
akan menjadi kaku tegang dan akhirnya mati kedinginan. Jika kau ingin mengeluarkan ilmu itu,
kau cukup hanya mengucapkan kata-kata “salju pusaka dewa.”
“Terima kasih Maha Ratu. Saya berterima kasih kau telah memberi saya ilmu yang hebat…”
“Masih ada ilmu lain yang jauh lebih hebat sahabatku. Dan kau akan memilikinya!”
“Ilmu apakah itu Maha Ratu?” tanya Anggini.
“Kau lihat saja dan jangan merasa takutl” Maha Ratu mengangkat tangannya yang
memegang tongkat kaca lalu meniup ke depan. Terdengar suara berdesir ramai sekali. Sesaat
kemudian Anggini melihat belasan ekor ular hitam gentayangan laksana terbang berputar-putar
disertai bau amis di dalam goa itu. Tubuh gadis ini mulai menggigil dan wajahnya sepucat kertas.
“Kataku tidak usah takut. Ular-ular itu adalah sahabat-sahabatmu…”
“Sahabat-saha…bat saya Maha Ratu?”
“Betul! Mereka akan muncul jika kau memanggil. Memanggilnya cukup dalam hati saja
dengan berucap. Para Dewi datanglah! Maka mereka akan datang. Sekarang coba kau ucapkan
panggilan itu dalam hati.”
Anggini ragu sesaat. Kemudian dalam hati dia berkata juga. “Para Dewi datanglah!”
Kembali terdengar riuh. Ular-ular yang melayang di dalam goa itu tiba-tiba melesat dan
menempel ke tubuh Anggini. Tak ampun lagi gadis ini menjerit ketakutan dan berusaha                                      
66
melemparkan binatang-binatang yang bergayut di sekujur tubuhnya mulai di leher, dada,
pinggang dan sampai ke kaki. Malah ada satu yang bertengger dan bergelung di atas kepalanya!
“Jangan lakukan itu Anggini. Tenang saja. Mereka tidak akan menyakitimu!”
Anggini berdiri dengan tubuh gemetaran.  
“Sekarang dengar baik-baik,” kata Maha Ratu pula. “Jika kau berada dalam bahaya yang
tidak bisa kau hadapi, panggil para Dewi itu.  Jika kau menyebut para Dewi maka mereka akan
datang dalam jumlah banyak. Jika kau memanggil Dewi saja maka yang muncul adalah salah
seekor dari mereka. Begitu mereka dipanggil, ular-ular itu akan  melesat dan bergayutan
ditubuhmu. Kemudian jika kau  suruh mereka menyerang musuhmusuhmu maka mereka akan
melesat mematuk siapa saja sampai mati! Kau mengerti Anggini?”
“Saya mengerti Maha Ratu. Tapi bagaimana caranya menyuruh mereka pergi saat ini? Saya
masih takut. Sangat takut.”
“Katakan begini: Para Dewi silahkan pergi! Cukup dalam hati saja.”
“Para Dewi silahkan pergi…” kata Anggini dalam hati.
Belasan ular yang bergelung di tubuh gadis berpakaian ungu  itu serta merta menggeliat lalu
melesat lenyap entah kemana!
Anggini menarik nafas lega. Sekujur tubuh dan pakaiannya basah oleh keringat.
“Anggini aku segera akan pergi. Ada yang ingin kau katakan atau kau tanyakan?”
”Saat ini saya ingin melihat wajah Maha Ratu,” jawab Anggini.
Sang Maha Ratu tertawa. “Kita akan sering  bertemu seperti ini Anggini. Namun untuk
melihatku kau hanya punya kesempatan sekali dalam sepuluh tahun! Kalau tidak ada pertanyaan
lain aku akan pergi sekarang juga!”
“Tunggu, ada satu pertanyaan lagi Maha Ratu. Mengapa saya harus hidup dengan cara
seperti ini? Membunuh orang lalu menghisap darahnya!”
“Jawabannya adalah bahwa kau sudah ditakdirkan menerima nasib seperti itu!”
“Masih ada satu pertanyaan lagi Maha Ratu…”
“Katakan lekas!”                                      
67
“Apakah saya boleh berumah tangga? Maksud saya mempunyai seorang suami?!”
“Tentu saja Anggini. Tapi ada satu perjanjian. Pertama kau tidak boleh punya anak. sebelum
kau mempunyai tiga suami. Kedua pada tahun ketiga setiap perkawinanmu kau harus membunuh
suamimu dan menghisap darahnya! Jika kau ingin kau boleh kawin lagi sesukamu. Tapi harus
selalu ingat akan perjanjian yang sudah ditentukan itul”
“Maha Ratu…”
“Aku tidak ingin mendengar pertanyaanmu lagi. Membungkuk tiga kali jika aku pergi. Nah
aku pergi sekarang!”
Anggini membungkuk tiga kali berturut-turut. Di kejauhan terdengar suara lolongan anjing
panjang menggidikkan. Perlahan-lahan gadis itu  melangkah. Astaga. Dia merasakan gerakan
tubuh dan langkahnya ringan sekali!
***                                      
68
12
PERTEMUAN rahasia itu berlangsung di kaki Gunung Merbabu. Dihadiri oleh sepuluh tokoh
silat termasuk Dewa Tuak dan  Pendekar 212 Wiro Sableng. Ikut  hadir utusan Kerajaan dari
kotaraja.
“Sri Baginda memerintahkan agar kita melakukan segala daya untuk dapat menangkap gadis
iblis berjuluk Betina Penghisap Darah itu, hidup atau mati!” kata utusan Istana dalam pertemuan
itu.
“Aku mengiusulkan agar dibuat jebakan-jebakan hingga gadis iblis itu terpancing dan keluar.
Selama ini kita memburunya di mana-mana tapi  ia lenyap tanpa jejak. Tahu-tahu dia sudah
muncul di tempat lain melakukan pembunuhan!” kata seorang tokoh silat dari Selatan. Dia
melirik pada Dewa Tuak dengan pandangan penuh kebencian.
“Aku setuju. Tapi harus diingat. Bahayanya sangat besar,” kata Dewa Tuak lalu meneguk
tuaknya dari dalam tabung bambu hingga berlelehan di dagunya.
“Kau gurunya! Kau yang bertanggung jawab! Kau sendiri yang harus menghadapi muridmu
celaka itu!”
Dewa Tuak mengelus janggutnya dan tidak berkata apa-apa.
Maka mereka yang hadir kemudian sibuk mengatur cara-cara menjebak penjahat tunggal
berjuluk Betina Penghisap Darah itu. Ketika pertemuan rahasia berakhir dan mereka yang hadir
siap meninggalkan tempat itu setelah menerima tugas masing-masing, tiba-tiba di luar terdengar
suara berkerontangan beberapa kali berturut-turut.
“Suara apa itu?” tanya seorang tokoh silat.
“Aku curiga. Jangan-jangan itu tipu daya yang dilakukan oleh Betina Penghisap Darah!” kata
utusan Kerajaan. Semua yang hadir saling berpandangan. Langsung tempat itu menjadi sunyi.
Ketegangan menggantung di udara.                                      
69
Dewa Tuak memandang pada Wiro. Orang tua ini kedipkan matanya. Wiro balas mengedip.
Di luar sana kembali terdengar suara berkerontangan. Suasana dalam ruangan itu semakin tegang.
Ketegangan ini tiba-tiba dirobek oleh suara Dewa Tuak dan Wiro Sableng. Keduanya sudah tahu
siapa yang ada di luar sana. Tawa Dewa Tuak dan Wiro Sableng karuan saja membuat semua
orang menjadi gusar dan mendelik memandang ke arah kedua orang ini!
Utusan dari Istana menggebrak meja seraya membentak. “Apa yang lucu! Sebetulnya kalian
berdua tidak pantas berada di tempat ini! Aku curiga kalian berkomplot dengan gadis iblis itu!”
Dewa Tuak dan Wiro bangkit dari kursi masing-masing. Dewa Tuak memandang pada
utusan Kerajaan itu lalu berkata perlahan. “Kau hanya seorang utusan. Kita semua disini
berunding mencari cara untuk dapat menangkap muridku hidup atau mati!”
“Betul! Jika kau tidak pernan mengambil gadis itu jadi murid, bencana seperti ini tidak akan
pernah terjadi!” ujar utusan kerajaan pula dengan mata mendelik.
Dewa Tuak tersehyum. Dia teguk tuaknya beberapa kali sebelum menjawrab. “Kau merasa
tidak perlu kehadiran kami berdua tidak jadi apa!” Lalu Dewa Tuak memberi isyarat pada
Pendekar 212. Kedua orang itu melangkah ke pintu. Saat itu di luar sana kembali terdengar-suara
berkerontangan. Keras sekali tanda suara itu blerada tepat di depan pintu.
Sewaktu pintu dibuka, di luar kelihatan tegak seorang tua berpakaian compang-camping.
Wajahnya tidak kelihatan karena tertutup caping bambu yang lebar. Di tangan kanannya ada
sebuah kaleng rombeng berisi batu. Kaleng inilah yang mengeluarkan suara berkerontang berisik
ketika si orang tua menggoyang-goyangkannya. Di tangan kirinya orang bercaping ini memegang
sebatang tongkat kayu sedang dibahunya dia menyandan? sebuah kantong butut.
“Sahabatku Kakek Segala Tahu, kau datang di waktu yang sangat tepat!” berkata Dewa Tuak.
“Tapi saat ini kau tidak beruntung. Di dalam sana tidak ada yang akan menyediakan kopi hangat
untukmu! Mari kita cari kedai saja. Kita minum di sana sambil ngobrol!”
“Sahabatku Dewa Tuak! Belasan tahun kita tidak bertemu! Apa kau baik-baik saja?” bertanya
si caping lebar. Ternyata uia auaiah tokoh silat tingkat tinggi yang memiliki segala macam ilmu
pengetahuan dan punya keahlian meramal yang biasa dipanggil dengan sebutan Kakek Segala                                      
70
Tahu.
“Aku sedang ditimpa musibah!”
“Musibah apa gerangan?”
“Sudah nantilah aku ceritakan.” Jawab Dewa Tuak.
“Aku kemari memang tidak mencari kopi  hangat. Harumnya bau tuakmu menyambar
hidungku dari jauh. Itu sebabnya aku kemari! Aku minta tuakmu barang sedikit!”
Kakek Segala Tahu pergunakan tongkat kecilnya untuk memukul bumbung bambu yang
dipegang Dewa Tuak di tangan kiri. Luar biasa sekali. Bumbung bambu itu melayang ke atas
dengan bagian mulutnya menungging ke bawah. Dengan ujung tongkatnya Kakek Segala Tahu
menahan bibir tabung. Sementara tuak mengucur ke bawah Dewa Tuak berseru keget. Tentu saja
dia tak mau tuaknya tumpah percuma. Tapi apa  yang terjadi kemudian membuat dia tertawa
gelak-gelak!
Bagitu tuak mengucur jatuh Kakek Segala Tahu tanggalkan caping bambunya. Curahan tuak
ditampungnya dengan caping bambu itu. Setelah penuh, ujung tongkat ditangan kirinya
disentakkan. Bumbung bambu melayang ke arah Dewa Tuak. Kakek berjanggut putih ini cepat
menyambuti tabungnya. Memandang ke depan dilihatnya Kakek Segala  Tahu asyik meneguk
tuak harum itu dari pinggiran caping.
Karena kepala dan mukanya tidak terlindung lagi dari caping lebar, semua orang yang ada
disitu kecuali Dewa Tuak dan Pendekar 212 Wiro  Sableng terkesiap kaget. Ternyata si kakek
berpakaian compang camping itu bermata buta!
“Sahabat, sudah habis hausmu?!” tanya Dewa Tuak ketika dilihatnya tuak secaping sudah
habis diteguknya.
“Sudah… sudah. Enak sekali rasanya!” jawab Kakek Segala Tahu lalu enak saja capingnya
yang masih basah itu disungkupkannya kembali ke atas kepalanya. Kemudian dipegangnya lengan
Dewa Tuak seraya berkata.
“Aku mendengar kau dan anak sableng ini tidak dibutuhkan kehadirannya disini. Apalagi
aku kakek-kakek berbaju rombeng, bau dan buta! Ah, lebih baik aku buru-buru pergi sebelum                                      
71
kena usir pula.”
Wiro garuk-garuk kepala lalu memegang lengan Kakek Segala Tahu. “Kita pergi sama-sama,
Kek!” kata sang pendekar.
“Ya, ya kita, ngobrol di kedai saja. Akan  kuramalkan pada kalian di mana bisa menemui
Betina Penghisap Dajah itu. Lalu  akan kuceritakan pada kalian siapa dia sebenarnyal Ayo, mari
kita berangkat!”
Ketigar orang itu, Dewa Tuak, Wiro dan si Kakek Segala Tahu segera tinggalkan tempat itu.
Kakek Segala Tahu melangkah sambil menggoyang-goyangkan kalengnya.
“Tunggu!”
Utusan dari Istana berseru lalu mengejar.  Dia menghadang langkah Kakek Segala Tahu.
“Orang tua, aku minta kau mengatakan semua apa yang kau ketahui tentang gadis iblis itu
sekarang jugal Sekaligus harap terangkan apa maksudmu dengan ucapan hendak menerangkan
siapa dia sebenarnya!”
Kakek Segala Tahu menyeringai. Dengan  ujung tongkatnya dia naikkan pinggiran depan
caping di kepalanya. Lalu ujung tongkat itu ditudingkannya tepat-tepat ke muka Utusan Kerajaan
itu hingga hampir menyentuh hidungnya.
“Kau tidak membutuhkan dua  orang sahabatku ini. Berarti kau tidak membutuhkan aku
sahabat mereka! Menyingkirlah! Masakan tega menghadang langkah orang buta sepertiku!”
“Kalau kau tidak mau memberi keterangan, aku anggap kau berserikat dengan gadis iblis itu!
teriak sang utusan.
“Baik, aku akan bicara. Tapi kau bicara duluan. Aku mau dengar!” kata Kakek Segala Tahu
seraya menggoyangkan tongkatnya sedikit.
Sang utusan membuka mulutnya. Tapi tak ada suara yang keluar. Astaga! Dia tiba-tiba saja
menjadi gagu. Dia coba gerakkan kedua tangannya. Kedua Kakinya. Gila sekujur tubuhnya
ternyata telah kaku. Ternyata Kakek Segala Tahu telah menotoknya dengan satu gerakan kilat
yang tidak terlihat!
“Anak sableng!” kata Kakek Segala Tahu pada Wiro. “Sebutkan siapa nama orang sombong                                      
72
ini biar aku ingat kesombongannya seumur hidup!”  
“Namanya Raden Mas Pertolo Sembito, Kek!” jawab Wiro.
“Oooo… Raden Mas rupanya dia. Kukira Ikan Mas…!” Kakek Segala Tahu tertawa gelak-
gelak lalu melangkah pergi digandeng oleh Wiro dan Dewa Tuak. Orang-orang yang ada di situ
tidak berani menghalangi. Mereka hanya menyesali mengapa hal yang tidak enak itu terjadi. Dan
mereka semua diam-diam menyalahi utusan Kerajaan, yang bertindak  terlalu gegabah terhadap
tokoh-tokoh silat tingkat tinggi yang biasanya memang suka bersifat aneh!
***                                      
73
13
K AKEK Segala Tahu berjalan di tengah diapit oleh Dewa Tuak dan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Si Kakek goyang-goyangkan terus kaleng rombengnya sedang Dewa Tuak tidak habis-habisnya
tertawa dan sesekali sambil jalan dia meneguk tuaknya. Pendekar 212 melangkah mengiringi dua
orang tua itu sambit cengar-cengir.
Tiba-tiba Kakek Segala Tahu hentikan menggoyang kelengnya.
“Ada apa sahabatku?” tanya Dewa Tuak sementara Wiro juga memasang telinga.
“Aku mendengar suara derap kaki kuda di kejauhan. Mungkin masih di sebelah Utara sana,
di kaki bukit,” menerangkan Kakek Segala Tahu.
Saat itu Wiro dan Dewa Tuak memang sudah mendengar suara derap kaki kuda itu, namun
antara terdengar dan tidak. Berarti jelas bahwa kakek berpakaian compang-camping itu
mempunyai pendengaran jauh lebih tajam dari kedua orang tersebut.  
“Sebaiknya kita bersembunyi di balik semak-semak. Mengintai siapa yang bakal lewat di
tempat in!” kata Wiro.
“Aku setuju usul anak sableng ini,” menyahuti Kakek Segala Tahu. “Sambil menunggu yang
lewat mungkin aku bisa menerangkan sedikit apa yang ku ketahui mengenai diri gadis berjuluk
Betina Penghisap Darah itu.”
Dewa Tuak dan Wiro lalu membimbing Kakek Segala Tahu ke balik semak belukar rapat di
tepi jalan.
“Kek, sekarang coba kau ceritakan apa yang  kau ketahui tentang Betina Penghisap Darah
itu.” kata Wiro begitu mereka duduk menjelepok di tanah, mendekam di balik semak belukar.
“Yang aku ingin tahu apa betul gadis iblis itu adalah muridku si Anggini!” kata Dewa Tuak
yang duduk bersila sambil memangku tabung bambu berisi tuak.
“Tenang, jangan kesusu bertanya,” jawab Kakek Segala Tahu. “Sebetulnya gadis itu bukan                                      
74
manusia jahat…”
“Heh!!” Dewa Tuak dan Wiro sama-sama keluarkan seruan heran. “Apa katamu?” bertanya
Dewa Tuak.  
“Tunggu dulu. Bicaraku belum habis kalian sudah memotong!”
“Kami heran. Nyata-nyata gadis itu menebar maut. Membunuh dan menghisap darah
korbannya. Bagaimana kau bisa bilang dia bukan manusia jahat?!” ujar Dewa Tuak.
“Dengar dulu. Dia memang bukan manusia jahat. Dia hanya kejatuhan nasib sengsara.
Terkena sumpah turunan yang dibuat oleh orang lain…”
Wiro garuk-garuk kepala dan menyeringai. “Ini baru cerita!” katanya. “Teruskan Kek!”
“Kejahatan seperti itu biasanya dilakukan oleh orang yang makan sumpah. Mungkin dulu
kakek atau neneknya memiliki semacam ilmu hitam. Untuk memelihara ilmu itu biasanya ada
ketentuan berupa sumpah yaitu dia harus membunuh dan menghisap darah manusia tertentu.
Kemudian jika batas waktu kehidupannya habis maka dia harus menurunkan ilmu tersebut pada
anaknya. Jika dia tidak punya anak pada saudaranya. Jika dia tidak punya saudara maka harus ada
seorang lain yang dijadikan pewaris…”
“Aku mengerti sekarang!” kata Dewa Tuak dengan nada masgul. “Orang yang punya ilmu
itu tidak punya anak tidak punya saudara.  Sumpahnya dijatuhkan pada  diri muridku Anggini
yang tidak tahu apa-apa! Kurang ajar! Setan keparat!” Dewa Tuak tampak marah sekali.
“Dewa Tuak,” kata Wiro. “Sekarang baru saya mau bicara denganmu. Sebenarnya beberapa
waktu lalu saya telah bertemu dengan muridmu itu. Memang saya melihat keanehan pada dirinya.
Tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa  dia benar-benar telah menjadi gadis momok
penghisap darah. Dia kelihatannya seperti tidak  sadar siapa dirinya. Dia malah tidak tahu apa
yang terjadi dalam rimba persilatan. Dia seolah-olah tidak merasa pernah melakukan kejahatan
yang sangat mengerikan itu. Saya coba bicara dengannya tapi dia malah mendamprat saya.
Mengatakan otak saya tidak beres. Ketika dia begitu saja hendak pergi, saya berusaha mencegah.
Tapi dia menciderai-kaki-kaki kuda tunggangan saya dengan senjata rahasianya dan lenyap!”
“Aneh, apa sebenarnya yang terjadi dengan muridku itu!” kata Dewa Tuak sambil geleng-                                     
75
geleng kepala.
“Ada satu hat lagi. Saya tidak melihat dia membawa selendang ungu yang merupakan salah
satu senjata andalannya. Menurut Anggini selendang itu hilang. Aneh! Sebelumnya saya melihat
selendang itu ada padanya. Yaitu sehabis dia  melakukan pembantaian terhadap Ki Sambar
Tringgali dan Ki Ageng Timur. Kau sendiri juga ada di situ dan sempat hendak dibunuhnya,
Dewa Tuak!”
“Bukan main. Keanehan apa yang tengah menyengsarakan diriku ini sebenarnya…” keluh
Dewa Tuak.
“Kalian akan segera mendapat jawabnya sobat-sobatku!” kata Kakek Segala Tahu sambil
membuka capingnya dan mengibas-kipaskan topi bambu lebar itu kemukanya. “Dugaanmu
hampir betul. Sebelum aku sampai pada diri muridmu akan kukatakan dulu bahwa yang jadi
biang kerok semua ini adalah seorang manusia yang sudah sejak lama mati tetapi hidup dalam
penjelmaan seekor ular berkepala manusia. Dia dikenal dengan papggilan Maha Ratu. Sebenarnya
dia adalah bekas kekasihmu di masa muda yang pernah kau kecewakan! Rohnya muncul untuk
membalaskan sakit hati terhadapmu, sahabatku Dewa Tuak.”
Dewa Tuak terlonjak melihat mendengar katakata Kakek Segala Tahu itu. Sementara Wiro
ternganga dan memandang berganti-ganti pada kedua orang tua yang duduk di hadapannya.
“Bekas kekasihku…?” ujar Dewa Tuak.  “Yang mana? Yang namanya siapa? Aku punya
banyak kekasih di masa muda!” kata Dewa Tuak blak-blakan.
“Yang aku maksud adalah Juminten Dorojalu,” jawab Kakek Segala Tahu.
“Juminten Dorojalu!” seru Dewa Tuak. Kembali tubuhnya terlonjak.
“Maha Ratu memang berusaha mencari muridmu. Tapi yang didapatnya gadis lain. Gadis itu
kemudian…” Ucapan Kakek Segala Tahu terpotong. Suara derap kaki kuda yang tadi terdengar di
kejauhan kini menderu keras tanda sudah dekat. Tak lama kemudian serombongan orang berkuda
berjumlah lebih dua puluh orang muncul. Di depan sekali adalah seorang yang mengenakan topi
tinggi berwajah garang dengan kumis melintang dan janggut meranggas. Dia adalah Tumage
Jarandiku seorang pembantu Patih Kerajaan yang  sangat dipercaya dan memiliki kepandaian                                      
76
tinggi. Konon dikabarkan dialah kelak yang bakal dipercayai menduduki jabatan Patih jika Patih
yang sekarang mengundurkan diri dari jabatannya  karena uzur. Di sebelah belakang bergerak
empat orang tokoh silat Istana. Lalu menyusul beberapa Perwira Tinggi dan Perwira Muda
Kerajaan. Di sebelah belakang mengikuti sekitar  selusin perajurit bersenjata lengkap. Masing-
masing anggota rombongan ini membawa peluit yang digantungkan di leher.
Beberapa puluh langkah dari tempat Dewa Tuak dan dua orang lainnya itu bersembunyi
Tumage Jarandiku hentikan kudanya. Lalu terdengar dia berkata. “Kita akan segera sampai di
tempat sasaran. Mata-mata sudah meyakinkan bahwa gadis itu berada di. kawasan ini. Aku
menduga berat dia hendak mencari korban di kalangan orang-orang yang menghadiri pertemuan
rahasia itu. Aku kawatir akan keselamatan Dimas Pertolo Sembito. Saat kita menebar melakukan
pengurungan. Beri tanda dengan tiupan peluit jika kalian melihatnya!” Lalu seusai dengan yang
sudah diatur sebelumnya rombongan itu meninggalkan tempat itu, menebar jadi beberapa
kelompok yang masingmasing terdiri dari dua orang.
Dibalik semak belukar. “Tokoh-tokoh penting dari Istana muncul secara tiba-tiba. Padahal
sebelumnya sudah ada utusan Kerajaan di sekitar sini. Hemm…” Kakek Segala Tahu diam
sejenak baru menyambung ucapannya. Tadi mereka bicara tentang seorang gadis. Besar dugaanku
gadis yang dimaksudkan adalah Betina Penghisap Darah itu!”
“Muridku Anggini!” kata Dewa Tuak pula.
“Bukan,” menyahuti Kakek Segala Tahu. “kau lihat saja nanti. Mari kita kembali ke tempat
pertemuan tadi! Kurasa di sana semua keanehan berdarah ini akan berakhir… ” Si kakek bangkit
berdiri. Diikuti oleh Dewa Tuak dan Wiro Sableng.
Ketika mulai melangkah Dewa Tuak sesaat  tertegun dan pegangi dada kirinya. “Ada apa
Dewa Tuak?” tanya Wiro.
“Ini adalah hari ke 39. Berarti umurku hanya tinggal sehari lagi!” sahut Dewa Tuak.
“Eh, kenapa kau bicara begitu? Apa yang telah kau lakukan sahabatku?” tanya Kakek Segala
Tahu sambil hentikan langkah pula.
“Aku telah bersumpah untuk dapat menangkap muridku yang sesat itu dalam waktu 40 hari.                                      
77
Kalau tidak aku sudah siap untuk mati. Aku telah menelan racun yang akan membunuhku pada
akhir hari ke 40!”
“Kau nekad! Gila!” semprot Kakek Segala Tahu sementara Wiro juga tampak terkejut bukan
main.
“Aku belum gila atau nekad. Hanya tak bakal tahan menanggung malu jika anak itu tidak
aku bunuh!”
“Kau bilang umurmu hanya tinggal satu hari. Apakah kau juga membawa obat penawarnya?”
Dewa Tuak mengangguk. “Ada,” katanya. “Yang penting sekarang kita segera ke tempat
pertemuan itu!”
Ke tiga orang itu segera bergegas meninggalkan tempat itu.
***
78
14
BEGITU Kakek Segala Tahu, Wiro dan Dewa Tuak berlalu, mereka yang tadi menghadiri  
pertemuan rahasia bertindak cepat untuk membebaskan Pertolo Sembito dari totokannya. Yang
paling dekat adalah seorang tokoh silat dari Selatan berjuluk Si Kaki Besi. Orang ini berusia
sekitar setengah abad. Ke~!ua kakinya mulai dari pangkal paha berwarna hitam, memiliki
kekuatan seperti besi. Tembok bisa dihantamnya sampai jebol. Pohon dapat ditumbangkannya
dengan sekali tendang saja. Apalagi jika dia menghantam tubuh manusial
Baru saja Si Kaki Besi mengulurkan tangan hendak melepaskan totokan di tubuh utusan dari
Istana itu, tiba-tiba satu bayangan ungu berkelebat. Tahu-tahu tubuh Pertolo Sembito seperti
disambar burung besar dan kelihatan dibawa terbang ke atas sebatang pohon dan ditegakkan pada
salah satu cabangnya. Di sebelahnya berdiri seorang gadis berpakaian serba ungu dan sehelai
selendang ungu melingkar di lehernya.
“Gadis iblis! Betina Penghisap Darah!” seru beberapa orang hampir bersamaan. Karuan saja
tempat itu jadi diliputi suasana tegang. Semua orang yang ada di sana jadi tercekat.
Lalu terdengar suara tiupan peluit panjang, disusul oleh tiupan peluit lainnya dari berbagai
penjuru. Dalam waktu singkat belasan kelompok masing-masing terdiri dari dua orang
bermunculan di tempat itu.
“Kangmas Tumage Jarandiku!” seru Si Kaki Besi. “Syukur kau datang. Lihat! Kita sudah
menemukan dan mengurung gadis iblis pembunuh Pangeran Panji itu! Dia di atas sana!”
Rombongan yang baru datang sama melihat ke atas pohon.
Di atas pohon gadis berbaju ungu memandang dengan dingin pada orang-orang di
bawahnya. Lalu dia tertawa cekikikan. Di kejauhan seperti menyambuti terdengar suara lolongan
anjing. Tangan kanan Betina Penghisap Darah yang memegang bahu utusan Kerajaan dan seperti
orang merangkul tiba-tiba bergerak ke leher Pertolo Sembito.                                      
79
“Lihat jari-jari tangannya!” Seseorang di bawah pohon berteriak.
Di atas pohon lima jari tangan kanan gadis berbaju ungu tampak mengeluarkan kuku-kuku
panjang runcing berwarna merah. Ketika lima kuku itu dihunjamkan ke leher utusan Kerajaan
yang masih dalam keadaan tertotok itu, darah kelihatan muncrat! Semua orang yang ada di bawah
pohon tertegun bergidik. Tubuh Pertolo Sembito tampak bergetar keras. Betina Penghisap darah
telah menyedot seluruh darah yang ada dalam tubuh lelaki itu. Tubuh orang ini kelihatan seperti
terkulai. Ketika cengkeraman kuku dilepaskan  Pertolo Sembito tak ampun lagi melayang ke
bawah, jatuh bergedebukan di tanah!
Serta merta tempat itu dilanda kegegeran. Di  atas pohon Betina Penghisap Darah tampak
menyeringai sambil menjilati jari-jarinya yang berlumuran darah. Kedua matanya memandang ke
bawah siap mencari dan menentukan korban berikutnya. Matanya memperhatikan Tumage
Jarandiku. “Hemm… Manusia satu ini kelihatan seperti orang berpangkat. Kepandaiannya tentu
tidak rendah. Tapi aku lebih suka pada yang memiliki kaki hitam itu. Ilmunya pasti lebih tinggi.
Jika kusedot darahnya ilmu kesaktianku pasti akan berlipat ganda.” Begitu Iblis Penghisap Darah
berpikir. Maka diapun siap-siap melompat turun untuk menyambar Si Kaki Besi. Tapi saat itu
dibawah pohon Tumage Jarandiku justru telah memberi isyarat pada orang-orang berkepandaian
tinggi di sekitarnya.
“Gadis iblis! Dosamu sudah lewat takaran!”  Sudah saatnya kau harus dibunuh! Mayatmu
akan kami cincang lalu kami bakar!” Teriak Tumage Jarandiku.
Sekali lagi dia memberi isyarat maka bersama dua orang tokoh silat ditambah dua orang
Perwira Tinggi dia melesat ke atas, ke arah cabang pohon di mana Betina Penghisap Darah tegak
berdiri, siap-siap hendak melompat turun menyambar Si Kaki Besil
“Bagus! Kalian punya nyali rupanya! Tentu  darah kalian sedap kutegukl?-teriak Betina
Penghisap Darah. Gadis ini lepaskan gulungan setendang ungu yang melingkar di lehernya. Sekali
dia mengebutkan selendang yangsalah satu ujungnya itu ada guratan angka 212, maka angin
laksana topan prahara menderu. Dua orang Perwira yang ikut melompat ke atas pohon berseru
kaget. Tubuh mereka mencelat ke bawah begitu kena tamparan angin pukulan. Yang satu terkapar                                      
80
patah pinggang, meregang nyawa sambil mengerang tiada henti. Satunya lagi langsung tak
berkutik karena kepalanya pecah sewaktu jatuh menghantam tanah. Hanya Tumage Jarandiku
serta dua orang tokoh silat lainnya masih mampu menerobos terpaan angin pukulan yang dahsyat
itu. Namun tetap saja mereka agak terhuyung-huyung walau berhasil mencapai cabang pohon di
mana Betina Penghisap Darah berdiri sambil tertawa-tawa.
Luar biasanya begitu mereka sampai di cabang pohon, semuanya jadi terkejut karena
dapatkan gadis iblis itu tidak ada lagi di tempat itu! Memandang ke bawah terkejutlah mereka
semua. Saat itu si gadis telah berada di bawah sana tengah menyerang Si Kaki Besi yang dibantu
oleh dua orang tokoh silat Istana dan selusin perajurit Kerajaan!
Gerakan-gerakan silat Betina Penghisap Darah sungguh luar biasa. Dalam beberapa gebrakan
saja tiga orang perajurit tersungkur roboh kena hantamannya. Seorang Perwira Muda kemudian
terpental disambar ujung selendang ungunya. Mata kirinya pecah. Raungan Perwira Muda ini
membuat susana jadi tambah tegang.
Melihat orang-orang si pihaknya menemui ajal bergelimpangan Si Kaki Besi jadi marah dan
mengamuk. Tubuhnya melayang dan melompat sebat. Kedua kakinya kirimkan tendangan susul
menyusul. Yang diarah adalah bagian-bagian kematian lawan yaitu kepala, tenggorokan dan dada!
Mendapat serangan dahsyat itu Betina Penghisap Darah jadi terkesiap juga. Dia hantamkan
selendangnya ke arah perut Si Kaki Besi. Yang diserang cepat melompat dan balas menghantam
dengan tendangan kaki kanan. Ujung selendang tak ampun lagi saling beradu dengan tendangan
itu.
Bukk!
Betina Penghisap Darah keluarkan seruan pendek. Tangan kanannya bergetar dan ujung
selendangnya terpental ke samping. Di lain pihak Si Kaki Besi tampak terhuyung-huyuag hampir
jatuh. Kaki kanannya sakit bukan kepalang hingga dia tegak terpincang-pincang. Masih untung
dilihatnya kakinya tidak cidera.
Mendapat perlawanan keras begitu rupa Betina Penghisap Darah berteriak keras. Selendang
ungu kembali dikebutnya sedang tangannya sebelah kiri melepaskan pukulan-pukulan aneh yang                                      
81
menebar hawa dingin.
Beberapa orang perajurit dan seorang Perwira Tinggi menjerit keras kena hantaman
selendang. Yang lain-lain termasuk Si Kaki Besi terkejut besar ketika mereka merasakan hawa tiba-
tiba menjadi sangat dingin hingga tubuh mereka  serasa kaku. Perajurit- perajurit Kerajaan yang
ilmu kepandaian mereka paling rendah langsung tak bisa bergerak.
Semuanya tertegak tegang kaku. Sekujur tubuh bergetar, rahang menggembung dan gigi-gigi
bergemeletukan. Gadis berbaju ungu itu telah  lepas kan pukulan sakti bernama “salju pusaka
dewa”.
Si Kaki Iblis dan beberapa tokoh silat lainnya maklum kalau lawan memiliki ilmu aneh yang
menimbulkan hawa dingin dan bisa membuat kaku sekujur tubuh serta anggota badan, cepat-
cepat alirkan darah dan tenaga dalam hawa panas. Begitu mereka terbebas dari kekakuan kembali
mereka menyerbu si gadis. Kali ini beberapa  di antaranya sudah menghunus senjata sakti yang
mereka miliki. Hanya Si Kaki Besi saja yang masih tetap mengandalkan kedua kakinya.
Di atas pohon sementara itu Tumage Jarandiku keluarkan teriakan keras yang merupakan
syarat. Diikuti oleh tokoh-tokoh silat yang ada di cabang pohon dia segera melesat ke bawah. Di
bawah sana, beberapa orang tokoh silat Istana yang tadi tidak sempat ikut melesat ke atas pohon
kini telah ikut mengurung Betina Penghisap Darah. Gadis ini sekarang dikeroyok hampir oleh
dua puluh orang. Beberapa diantaranya adalah  tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi. Serta
merta dirinya terdesak. Nyawanya terancam. Namun gadis itu tampak tenang-tenang saja malah
terus menghadapi para pengeroyoknya sambil tersenyum-senyum tapi tetap  saja wajahnya seram
mengerikan karena bercelemongan darah Pertolo Sembito yang tadi telah jadi korbannya pertama
kali. Dalam keadaan perkelahian berkecamuk hebat demikian rupa itulah rombongan Dewa
Tuak, Kakek Segala tahu dan Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di tempat itu. Ketiganya masih
sempat merasakan hawa dingin aneh yang mencucuk sampai ke tulang sumsum.
“Anak sesat! Itu dia!” kata Dewa Tuak dengan sangat marah. “Sebentar lagi dia akan
menemui ajal di tangan para pengeroyok! Kalau aku tidak segera turun tangan bisa-bisa aku
keduluan orangorang itu. Anggini harus mati di tanganku!”                                      
82
Dewa Tuak hendak melompat ke arah kalangan pertempuran. Tapi Kakek Segala Tahu cepat
memegang lengannya lalu berpaling pada pendekar 212.   
“Anak Sableng, coba kau katakan dulu padaku apa yang terjadi!” kata Kakek Segala Tahu.
***                                      
83
15
WIRO menggaruk kepalanya. “Anggini, murid Dewa Tuak di keroyok hampir oleh dua puluh
orang. Dia mempertahankan diri hanya mengandalkan selendang ungu dan pukulan-pukulan
sakti di tangan kanan. Agaknya…”
“Tunggu dulu!” potong Kakek Segala Tahu. “Sebelumnya kau mengatakan bahwa ketika kau
bertemu dengan Anggini, gadis itu bilang selendang yang pernah kau berikan padanya hilang.
Mengapa tahu-tahu kini selendang itu ada di tangannya?”
“Ini memang satu hal yang saya tidak mengerti Kek,” jawab Wiro.  
“Dia pasti berdusta! Mungkin takut kau akan memintanya kembali!” Dewa Tuak ikut bicara.
“Aku tak bisa menunggu lebih  lama! Aku harus segera turun tangan. Anak itu harus kuhukum
mati dengan tanganku sendiri. Lepaskan peganganmu!” Dewa Tuak menepiskan tangan Kakek
Segala Tahu yang memegang tengannya. Pada saat itu pula terdengar satu suara bentakan keras
disusul dengan berkelebatnya satu bayangan ungu.
“Gadis durjana! Kau mencemarkan namaku! Terima kematianmu!”
Lalu sepuluh buah senjata rahasia berbentuk paku perak dengan kepanjangan setengah
jengkal melesat di udara, menghantam ke arah sepuluh bagian tubuh Betina Penghisap Darah!
“Hai! Aku mengenali suara orang yang barusan berteriak itu!” seru Dewa Tuak dan cepat
berpaling. “Astaga! Kenapa jadi begini!”
“Saya juga mengenali suara itu! Lihat! Gila!” seru Wiro. “Kenapa  bisa jadi dua? Apa
kembar!?”
“Sialan! Aku tak bisa melihat! Wiro! Lekas katakan apa yang terjadi? Apa yang jadi dua?!”
berseru Kakek Segala Tahu. Kalau sejak tadi mendiamkan saja kaleng rombengnya kini dia kini
dia goyang-goyangkan benda itu hingga mengeluarkan suara berkerontangan!
“Ada dua dara berpakaian serba ungu, berwajah hampir mirip satu sama lain. Cuma satu                                      
84
memegang selendang, satunya tidak!” Wiro menerangkan dengan cepat. Kakek Segala Tahu
angkat bagian depan caping bambunya sedikit lalu berkata. “Apa kataku! Aku memang sudah
duga! Dewa Tuak! Salah satu dari gadis berpakaian ungu itu adalah muridmu! Kau harus tahu
mana muridmu yang sebenarnya dan mana gadis yang kejatuhan sumpah turun temurun lewat
Maha Ratu!”
Dewa Tuak terbelalak. “Aku bisa pusing!”  katanya. “Keduanya hampir tidak berbeda satu
sama lain. Biar aku teguk dulu tuakku!” Habis berkata begitu Dewa Tuak teguk tuak dalam
bambu sampai wajahnya menjadi merah.
Di depan sana gadis berbaju ungu yang mendapat serangan senjata rahasia dari gadis ber-
pakaian ungu lainnya pukulkan tangan kirinya serta sebatkan selendang ungunya. Delapan senjata
rahasia berbentuk paku mental. Tiga diantaranya menghantam para pengeroyoknya. Satu
tertembus tepat di keningnya hingga roboh saat itu juga. Dua menjerit ketika paku-paku perak itu
menembus dada dan perut masing-masing. Dua  paku perak lainnya sempat merobek ujung
selendang di tangan kanan si dara berbaju ungu dan satunya lagi menyambar bahu pakaiannya
hingga robek besar. Marahlah gadis ini! Di  dahului dengan teriakan melengking keras dia
membuat gerakan demikian rupa untuk dapat  membebaskan diri dari para pengeroyoknya.
Tujuannya kini adalah menyerang gadis berbaju ungu yang barusan datang dan membunuhnya!
Tetapi celakanya para pengeroyok tidak memberi kesempatan. Sepasang mata gadis berbaju ungu
itu tampak berapi-api. Mulutnya terkatup rapat-rapat.
“Dewa Tuak! Apa kau masih belum dapat mengenali mana gadis berbaju ungu muridmu?”
bertanya Kakek Segala Tahu.
“Sulit kalau aku tidak bisa mendekat!”
“Barusan aku mendengar ada yang melepas  senjata rahasia. Kau lihat siapa yang
melakukan?!” bertanya Kakek Segala Tahu.
“Astaga!” seru Wiro. “Bukankah Anggini memiliki senjata rahasia berupa paku perak seperti
yang tadi dilepaskan gadis baju ungu yang  barusan datang? Berarti gadis ini adalah muridmu
Dewa Tuak!”                                      
85
Dewa Tuak berseru kaget. “Aku sudah pikun. Mustinya aku bisa menerka sendiri tadi! Wiro,
kau betul! Yang barusan datang ini adalah muridku Anggini!”
“Apa kataku!” ujar Kakek Segala Tahu. “Sebelumnya aku sudah menduga kalau muridmu
tidak melakukan kejahatan biadab itu. Bukan dia yang jadi Betina Penghisap Darah. Hanya saja
buktinya belum di dapat. Kini rahasia besar itu  sudah mulai tersingkap. Gadis yang memegang
selendang harus dibunuh. Dialah Betina Penghisap Darah yang sebenarnya. Maha Ratu sengaja
menyarukan dirinya sebagai anak muridmu. Namamu tercemar lalu kau akan membunuh
muridmu sendiri atau si betina itu yang akan membunuh kalian berdua, guru dan murid! Kalau
itu terjadi berarti terbalas dendam kesumat Maha Ratu alias Juminten Dorojalu kekasihmu di
masa muda dulu!”
Bergetar sekujur tubub. De.wa Tuak mendengar hal itu. Tiba-tiba di kalangan pertempuran
terdengar suara jeritan-jeritan mengerikan. Benda-benda aneh berlesatan di udara.
“Ada apa lagi ini!?” tanya Kakek Segala Tahu.
Sementara itu orang-orang yang sejak tadi mengeroyok gadis berbaju ungu itu menjadi heran
ketika mereka melihat munculnya gadis berbaju ungu lain yang memiliki wajah mirip. Siapa gadis
satu ini, lalu yang mana di antara mereka sebenarnya adalah Betina Penghisap Darah?
“Kangmas Jarandiku, bagaimana ini?” tanya Si Kaki Besi.
“Jangan tolol! Jangan tertipu. Orang yang kita keroyok ini adalah Betina Penghisap Darah
sebenarnya! Kita sudah saksikan dia membunuh Pertolo Sembito dan menghisap darahnya!
Rapatkan kurungan!”
Mendengar teriakan Tumage Jarandiku itu, Si Kaki Besi dan yang lain-lainnya segera
memperketat kurungan dan menempur lawan tunggal mereka mati-matian!
Wiro menggaruk kepalanya. Selintas pikiran muncul si benaknya. “Dua gadis berwajah mirip
berpakaian sama. Bisa muncul bahaya besar pada did murid Dewa Tuak!” Wiro lalu buka baju
putihnya dan berkelebat ke arah gadis baju ungu yang barusan datang. “Anggini! Lekas kau pakai
bajuku ini! Jika nanti orang-orang tidak bisa lagi membedakan mana dirimu dan mana gadis iblis
itu, nyawamu pasti terancam!”                                      
86
Gadis berbaju ungu di hadapan Wiro yang memang adalah Anggini murid Dewa Tuak
adanya mengerti jalan pikiran pemuda itu. Cepat-cepat dia mengenakan baju putih yang
diberikan Pendekar 212 lalu mengikuti Wiro bergabung dengan Dewa Tuak dan Kakek Segala
Tahu.
“Guru, maafkan muridmu ini. Saya…”
“Sudah, sudah! Lupakan segala macam peradatan. Aku merasa ada sesuatu yang hebat tengah
terjadi di kalangan pertempuran. Aku mencium bau amis! Wiro lekas katakan apa yang terjadi!”
kata Kakek Segala Tahu pula.
Saat itu gadis berjuluk Betina Penghisap Darah berada dalam keadaan terdesak dan
terkurung rapat oleh para pengeroyok. Beberapa kali dia mencoba menerobos guna dapat
menyerang Anggini yang asli namun selalu gagal. Maka dalam marahnya dia lalu merapal ajian
memanggil ular-ular peliharaannya.
“Para Dewi, datanglah!”
Begitu rapal diucapkan maka terdengar suara  bersiur riuh sekali disertai bau amis. Seolah-
olah datang dari langit, belasan ekor ular hitam melesat ke arah si gadis lalu menempel dan
bergelantungan di badannya. Ada yang bergelung di leher, dada, pinggang atau kaki. Dua ekor
ular malah mendekam di atas kepalanya. Melihat hal ini tentu saja para pengeroyok menjadi
bergidik. Dengan ketakutan mereka melangkah mundur. Yang tadinya belum menghunus senjata
kini mencabut senjata masing-masing.
“Sahabat-sahabatku, serang dan bunuh mereka!” perintah Betina Penghisap Darah pada ular-
ular itu. Semua binatang ini lepaskan gelungannya, mendesis keras dan tiba-tiba mereka berlesatan
ke arah para pengeroyok. Terjadilah hal yang mengerikan. Puluhan pengeroyok yang berusaha
melarikan diri diserang oleh ular-ular jejadian itu. Ada yang digelung hingga hancur luluh tulang
leher atau dadanya. Namun kebanyakan menemui ajal karena langsung dipatuk! Beberapa tokoh
silat seperti Tumage Jarandiku dan Si Kaki Besi berusaha membunuh binatang-binatang yang
menyerang mereka dengan senjata. Ternyata  ular-ular itu tidak mempan di bacok apalagi
pukulan! Keduanyapun mati berkaparan dengan  belasan patukan berbisa melanda kepala dan                                      
87
tubuh mereka!
“Maut! Ganas! Aku mencium bau maut! Aku merasakan adanya kematian yang ganas! Wiro
lekas ceritakan apa yang terjadi!” kata Kakek Segala Tahu tak tahan lagi.
Ketika kemudian Wiro menerangkan, orang tua ini berubah wajahnya. “Itu adalah ular-ular
jejadian milik Maha Ratu. Pada gilirannya ular-ular iblis itu pasti akan menyerang kita!”
Wiro terkejut. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Pendekar 212 sementara Anggini juga
mulai jadi bergidik dan cepat berjaga-jaga. Dewa Tuak tampak tegang. Dia siapkan tabung
tuaknya. Di depan sana pedataran pertempuran telah menjadi rata. Puluhan mayat
bergelimpangan. Ada yang saling tumpang tindih. Gadis berpakaian ungu tegak berkacak
pinggang sementara ular-ular yang tadi disuruh menyerang dan membunuh kini kembali
bergayutan di tubuhnya.
“Sayang, para tokoh silat itu ikut mati semua hingga aku tak dapat menghisap darah
mereka!” kata si gadis dalam hati. Mulutnya menyeringai. Perlahan-lahan dia berpaling ke arah
Dma Tuak, Kakek Segala tahu dan Pendekar 212 Wiro Sableng serta Anggini yang tegak di
kejauhan.
“Gadis itu memandang ke arah kita.” bisik wiro.
“Ah… Giliran kita hendak dijadikannya korban!” kata Kakek Segala Tahu. “Ular-ular
jahanam itu! Kita harus dapat melawannya. Tapi bagaimana…? Bagaimana!?”
Sementara itu si gadis mulai berjalan melangkahi tumpukan mayat. Bergerak ke arah empat
orang itu. Wiro segera cabut Kapak Naga Geni 212 dan memegangnya erat-erat di tangan kanan.
Sedang tangan kiri sudah bergetar dengan aliran tenaga dalam yang tinggi. Dia sudah menyiapkan
pukulan “sinar matahari” di tangan itu. Anggini sudah menggenggam selusin senjata rahasia paku
peraknya.
Kakek Segala Tahu gelengkan kepala. “Ular-ular itu tidak bakal mempan dengan segala
macam senjata yang saat ini kalian pegang…” katanya.
“Lalu apakah kita akan mampus percuma tanpa perlawanan?” tukas Dews Tusk.
Betina Penghisap Darah melangkah terus sambil menyeringai. Ular-ular di tubuhnya                                      
88
mengeluarkan suara berdesis-desis dan menebar bau amis.
“Kalian semua sudah siap mampus?” tanya gadis iblis itu lalu hentikan langkah. Wajahnya
yang cantik jelita telah berubah jadi seseram setan, apalagi masih bercelemongan darah!
“Ceiaka! Aku masih belum menemukan cara untuk menghadapi ular-ular itu.” kata Kakek
Segala Tahu. “Otakku seperti buntu!”
“Kek! Goyangkan kaleng rombengmu! Siapa tahu kau bisa segera dapat petunjuk.” bisik
Wiro.
Kakek Segala Tahu mendongak. Lalu diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi dan
goyangkan kaleng yang dipegangnya.
Gadis berbaju ungu di hadapan mereka tertawa bergelak.
“Rupanya kau ingin mengantar kematian diri dan teman-temanmu dengan nyanyian kaleng
rombeng begitu rupa. Hik.., hik… hik…”
“Sialan! Dia menghina kalengku!” kata Kakek Segala Tahu. Tiba-tiba dia susul ucapannya.
“Ular! Binatang itu paling takut dengan api! Kita bisa membunuhnya dengan api!”
Paras Dewa Tuak berubah. “Tuak murniku bisa kujadikan api! Sahabat, kupinjam dulu
tongkat bututmu!”
Tanpa menunggu jawaban orang Dewa Tuak, segera mengambil tongkat kayu di tangan kiri
Kakek Segala Tahu. Lalu dirobeknya ujung pakaiannya sendiri dan digulungkannya pada ujung
tongkat. Ujung tongkat itu kemudian dicelupkannya ke dalam tuak dalam tabung bambu.
“Api, kita butuh api!” kata Dewa Tuak. Matanya membentur Kapak Naga Geni 212 di
tangan Wiro. “Heh, apa kau membawa batu hitam pasangan senjata mustika itu?”
Wiro segera mengerti dan cepat keluarkan batu hitam yang tersimpan di pinggangnya. Tanpa
disuruh dia segera menghantamkan batu hitam ke salah satu mata kapak. Bunga api memercik
terang. Dewa Tusk dekatkan ujung tongkat yang  telah digulung kain dan dicelup tuak. Serta
merta api menyambar dan membakar ujung tongkat seperti sebuah obor!
Di depan sana Betina Penghisap Darah tertawa tergelak. “Kalian kira api itu bisa menakuti
ular-ularku? Bisa membunuh binatang-binatang ini?”                                      
89
Dewa Tuak dan Kakek Segala Tahu tercekat.  “Iblis itu betul. Bagaimana kalau binatang
jejadian itu tidak mempan api?” bisik Kakek Segala Tahu.
“Berarti kita semua akan mati di tempat ini!” jawab Wiro dengan muka mulai pucat.
Dewa Tuak teguk tuaknya sampai mulutnya  penuh. Minuman itu tidak terus ditelannya
melainkan tetap dibiarkannya di dalam mulut. Tangan kirinya memegang tongkat yang ujungnya
dikobari api.
Betina Penghisap Darah keluarkan suara lengkingan.
“Semua lekas berlindung di belakangku!” perintah Dewa Tuak. Kakek Segala Tahu dan
Anggini segera melakukan apa yang diperintahkan. Hanya Wiro yang masih tegak di sebelah
kanannya. “Kau sudah ingin segera mampus?” bentak Dewa Tuak.
“Mungkin api kapak dan batu bisa menolong seperti api tuakmu!” jawab Pendekar 212.
“Kau coba saja. Kalau gagal kau tanggung sendiri akibatnya!”
“Sahabat-sahabatku! Serang dan bunuh keempat orang itu!” tiba- tiba gadis berpakaian ungu
berikan perintah.
Ular-ular yang bergelayutan di tubuhnya tegakkan kepala dan mendesis keras. Tiba-tiba
binatang ini melesat ke depan. Dews Tuak segera semburkan tuaknya. Begitu menyambar api di
ujung tongkat, tuak yang disemburkan itu berubah menjadi buntalan api yang bergulung-gulung
menyambut serangan belasan ekor ular hitam. Di sebelah Dewa Tuak Pendekar 212 segera pula
gosokkan batu hitam sakti dengan mata Kapak Maut Naga Geni 212. Gelombang api yang sangat
panas menderu dan menyambar ke arah ular-ular yang datang menyerangl
Ular-ular hitam Itu seperti tahu datangnya bahaya dengan cepat merubah gerakan serangan
mereka. Ada yang melesat ke atas lalu menukik meneruskan serangan. Ada pula yang membelok
ke kiri atau ke kanan lalu kembali menyerang.
Wiro dan Dewa Tuak menjadi sibuk. Kakek Segala Tahu coba menghantam dengan
kekuatan tenaga dalam yang dahsyat sementara  Anggini mulai melepaskan senjata rahasianya.
Untuk sementara serangan-serangan ular itu masih dapat ditahan oleh kobaran api sedang
pukulan sakti Kakek Segala Tahu dan senjata rahasia Anggini tidak mempan. Lalu sampai                                      
90
seberapa lama Dewa Tuak dan Wiro bisa bertahan? Bagaimana kalau tuak dalam dua buah tabung
itu akhirnya habis dan Wiro keletihan menghantamkan kapak dan batu hitam terus menerus?
Ular-ular hitam dengan cerdik melayang-layang di udara, berputar-putar mencari kesempatan.
Suatu ketika binatang ini kembali menyerbu. Dewa Tuak dan Wiro semburkan api tapi celakanya
salah seekor masih sempat menerobos. gelombang api lalu mematuk paha kiri Kakek Segala Tahu.
Orang tua ini berteriak kesakitan dan roboh ke  tanah. Wiro tendang tubuh ular yang tadi
mematuk. Binatang ini hanya mencelat mental  tapi sama sekali tidak cidera! Begitu mental
binatang ini menyerang kembali. Dews Tuak terpaksa menyemburkan lagi dengan tuak berapi.
“Celaka! Tuakku tinggal sedikit.” kata Dewa Tuak.
Betina Penghisap Darah tertawa bergelak mendengar ucapan itu.
Sementara itu ketika tubuhnya tergelimpangan  roboh, sepasang mata Kakek Segala Tahu
seolah-olah diberi penglihatan aneh lewat daya ingatnya yang luar biasa. Dalam kebutaannya dia
membayangkan Pendekar 212 memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Dia seolah-olah melihat
adanya lobang-lobang pada gagang senjata mustika itu.
“Pendekar 212! Suling! Ular-ular itu… Senjatamu… Senjatamu…senjatamu…” Ucapan
Kakek Segala Tahu hanya sampai di situ. Orang tua ini jatuh terkulai dan pingsan. Namun murid
Eyang Sinto Gendeng sudah maklum apa yang ingin dikatakan oleh si kakek. Segera dia
melompat ke cabang sebatang pohon. Di sini dia duduk bersila dan dekatkan gagang kapak yang
berbentuk kepala naga itu ke mukanya. Ketika Wiro mendekatkan bibir naga ke bibirnya sendiri,
ular-ular hitam yang melayang di udara menunggu kesempatan tiba-tiba melesat ke arahnya.
Melihat sang pendekar dalam bahaya Dews Tuak cepat semburkan tuaknya sambil meletakkan
tongkat berapi di depan mulut. Tuak murni  menyerribur membentuk gelombang api yang
d8hsyat membuat ular-ular hitam Itu terpaksa mundur. Anggini lepaskan lagi sepuluh senjata
rahasia. Tapi paku- paku perak  itu mental berjatuhan ke tanah begitu mengenai tubuh ular-ular
hitam.  
Di atas pohon Wiro susun jari-jari tangannya pada enam buah lobang di gagang Kapak Maut
Naga geni 212. Senjata mustika ini memang bisa dijadikan sebagai sebuah seruling sakti. Begitu                                      
91
dia meniup dengan mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya, menggeledeklah suara melengking
yang membuat semua telinga menjadi sakit.  Dews Tuak dan Anggini cepat tutup kedua
telinganya dengan telapak tangan. Betina Penghisap Darah coba bertahan tapi akhirnya terpaksa
juga menutup jalan pendengarannya dengan menusukkan ujung-ujung jari ke dalam liang
telinganya kiri kanan. Ular-ular hitam yang melayang-layang di udara tampak terlonjak lalu
dongakkan kepala. Makin keras suara tiupan “Seruling” yang dimainkan Wiro semakin kacau
gerakan-gerakan binatang ini di udara. Daun-daun pepohonan tampak bergerak-gerak. Beberapa
di antaranya mulai luruh berjatuhan ke tanah!
Perlahan-lahan Wiro rubah tiupan serulingnya. Kalau tadi melengking tinggi rendah tidak
karuan, kini nadanya tetap tinggi tetapi membawakan lagu aneh. Ular-ular hitam yang melayang-
layang dl udara tampak melenggak-lenggok jinak mengikuti irama seruling yang ditiup Wiro.
Tetapi dari telinga dan mulut mata mereka kelihatan keluar tetesan tetesan darah tanda binatang-
binatang ini tidak bisa bertahan terhadap getaran-getaran tiupan suling yang memang dahsyat itu.
Satu demi satu ular-ular hitam itu melayang turun ke bawah dan akhirnya berjatuhan di
tanah. Tampaknya binatang ini seperti mabok. Namun sesaat kemudian mereka melata di tanah
menuju pohon di mana Wiro duduk meniup Kapak Maut Naga Geni 212. Belasan ular
kemudian merayap di batang pohon naik mendekati cabang di mana murid Sinto Gendeng
berada. Tentu saja Dewa Tuak dan Anggini menjadi cemas. Apalagi Pendekar 212 sendiri.
Kuduknya menjadi dingin. Sekujur tubuhnya mandi keringat. Tapi dia terus saja meniup
serulingnya malah menarribah kekuatan tenaga  dalamnya. Kini belasan ular hitam itu telah
mencapai cabang tempat Wiro duduk. Mereka  meniti cabang naik ke atas pangkuan Wiro,
bergelung ke berbagai bagian tubuh pemuda itu. Walau tidak satupun yang menggigit atau
mematuk namun Wiro yang sudah tidak sanggup menahan rasa takut akhirnya terkencing-
kencing.
Di bawah pohon Dewa Tuak dan Anggini terheran-heran melihat apa yang terjadi. Belasan
ular hitam besar itu hanya bergelung-gelung dan berputar-putar di sekitar tubuh Wiro. Mereka
kelihatan menjadi jinak. Di bagian lain di bawah pohon Betina Penghisap Darah menjadi marah                                      
92
melihat kejadian itu. Dia berteriak pada ular-ular memberi perintah.
“Para Dewi! Bunuh pemuda yang meniup suling itu!”
Kalau sebelumnya begitu mendengar perintah binatang jejadian itu langsung menyerbu dan
mematuk korbannya maka  kali ini perintah itu seperti tidak mereka dengar. Ular-ular ini terus
saja bergayut menggelungi tubuh Wiro. Malah  ada yang menjilati tubuhnya yang bertelanjang
dada itu!
Melihat hal ini Betina Penghisap Darah menjadi tambah marah. Dia turunkan kedua
tangannya yang dipakai menutupi telinga. Justru ini adalah satu kesalahan yang mencelakakannya.
Begitu liang telinganya tidak terlindung lagi, suara lengkingan seruling yang ditiup Wiro langsung
menusuk ke dalam telinganya. Dess! Dess! Gendang-gendang telinganya kiri kanan pecah! Darah
mengalir ke luar. Gadis ini berteriak kesakitan dan berusaha menekap kedua telinganya kembali.
Tentu saja sudah terlambat. Kedua matanyapun kini tampak kelihatan berubah merah.
Pemandangannya seperti tertutup kabut. Lalu darah kelihatan pula menetes dari dua lobang
hidungnya. Sesaat sebelum dia roboh Betina Penghisap Darah pukulkan ke dua tangannya ke arah
Wiro.
Dua gelombang angin dingin menderu. Pukulan salju pusaka dewa menggebubu. Udara
menjadi sangat dingin. Wiro merasakan tenggorokannya tercekik. Tiupan sulingnya sesaat
terhenti oleh pengaruh hawa dingin luar biasa itu. Jika hal ini terjadi berlama-lama, ular-ular
hitam itu akan terbebas dari pengaruh tiupan seruling dan pasti akan menyerbu serta membunuh
siapa saja yang ads di situl Namun saat itu dari samping Dewa Tuak dan Anggini sama-sama
lancarkan serangan. Dewa Tuak semburkan minumannya melewati kobaran api di ujung tongkat.
Satu gelombang api menderu ke arah Betina Penghisap Darah. Selagi dia berusaha melompat
menghindari sambaran api, sepuluh senjata rahasia paku perak yang dilepaskan Anggini melesat
menghantam tubuhnya. Hanya tiga yang bisa dielakkannya. Tujuh lainnya menancap tepat di
berbagai bagian tubuhnya. Saat yang sama gelombang api kembali menyambar.
Wuss!
Betina Penghisap Darah menjerit keras. Tubuhnya sesaat tampak melayang ke atas deisn                                      
93
kobaran api. Ketika tubuh itu terhempas ke tanah keadaannya sudah jadi gosong menghitam.
“Selendangku!” seru Anggini seraya memburu. Tapi selendang pemberian Wiro itu telah ikut
jadi abu!
Di atas pohon Wiro merasakan rasa tercekik pada tenggorokannya lenyap. Serta merta die
meniup sulingnya kembali. Hal  ini membuat Dewa Tuak dan Anggini terpaksa menutup liang
telinga mereka kembali. Satu demi satu ular-ular hitam yang meliliti tubuh Pendekar 212
berjatuhan ke tanah. Binatang ini menggeliat-geliat beberapa lamanya lalu terjadilah hal yang
aneh. Belasan ular itu berubah menjadi jejeran  debu hitam memanjang, lalu debu hitam ini
berubah menjadi asap putih yang perlahan-lahan naik ke udara dan akhirnya lenyap dari
pemandangan!
Wiro turunkan Kapak Maut Naga Geni 212  dari bibirnya. Dia memandang ke bawah.
Senjata mustika itu disisipkannya ke pinggangnya. Due kali die menggaruk kepala baru pendekar
ini melompat turun ke tanah. Wiro melangkah cepat mendekati Dews Tuak dan Anggini yang
tengah memeriksa keadaan Kakek Segala Tahu yang seat itu masih berada dalam keadaan pingsan.
Luka bekas patukan di paha kiri kakek kelihatan telah membengkak dan berwarna kebiruan. Wiro
segera keluarkan Kapak saktinya kembali. Salah satu mata kapak di letakkannya di bagian paha
yang kena patuk. Lalu murid Sinto Gendeng  ini mulai kerahkan tenaga dalamnya untuk
menyedot racun yang ads deism tubuh orang tua itu. Perlahan-lahan darah kental keluar dari
lobang luka. Mula-mula warnanya tampak hitam, lalu berubah agak kebiru-biruan. Setelah
beberapa lama darah itu berubah lagi menjadi merah. Wiro menarik nafas lega. Dia hentikan
pengerahan tenaga dalam. Racun di tubuh kakek Segala Tahu telah dikuras keluar. Begitu dirinya
bebas dari pengaruh racun yang bisa membunuhnya, Kakek Segala Tahu tampak menggeliat.
Kedua matanya terbuka. Lalu dia bangkit dan duduk di tanah.
“Heh, habis jalan-jalan kemana aku ini…?” katanya sambil memandang berkeliling. Lagaknya
seperti orang yang tidak buta saja!
“Lagakmu keren amat!” kata Dewa Tuak. Dia angsurkan bumbung bambunya. “Ini tuakku
masih ada sedikit. Minumlah agar darah di tubuhmu benar-benar segar. Kau tahu, kau hampir                                      
94
saja jalan-jalan ke neraka!”
Kakek Segala Tahu ambil tabung bambu itu lalu meneguk isinya sampai habis! Hal ini tentu
saja membuat Dewa Tuak jadi jengkel penasaran tapi hanya bisa geleng-geleng kepala! “Apakah
semuanya sudah berakhir?” tanya Kakek Segala Tahu sambil berdiri. “Aku tidak lagi mendengar
suara ular-ular itu gentayangan di udara. Juga tidak ada bau amis…”
“Semuanya memang sudah berakhir Kek…” kata Wiro.
“Eh, mana kaleng rombengku!” berseru Kakek Segala Tahu. “Aku boleh tidak makan seratus
hari! Tapi aku tidak bisa hidup tanpa kaleng itu!”
“Ini kalengmu Kek,” kata Anggini seraya menyorongkan kaleng milik si kakek ke dalam
genggaman orang tua itu.
“Ah… Terima kasih…” Kakek Segala Tahu  lalu goyang-goyangkan kalengnya hingga
mengeluarkan suara berisik. Lalu dia berpaling pada Dewa Tuak dan  berkata. “Kau sudah
bertemu dengan muridmu. Kau sudah tahu kalau bukan dia yang jadi Betina Penghisap darah itu.
Apakah kau sudah menelan obat penghancur racun dalam tubuhmu?”
Dewa Tuak berseru kaget.
“Astaga! Kalau tidak kau ingatkan aku hampir terlupa!” Dewa Tuak cepat meraba saku
pakaiannya. Sebelah kiri, lalu  sebelah kanan. “Celaka! Obat itu hilang!” serunya dengan muka
pucat. “Matilah diriku!”
“Hilang atau kau lupa meletakkannya di mana…” kata Kakek Segala Tahu pula.
“Kau menyembunyikannya?!” menuduh Dewa Tuak.
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. “Buat apa aku menyembunyikan obat tak berguna
bagiku itu?”
Dewa Tuak jadi kelabakan. Ketika dia tidak  juga menemukan obat penangkal racun yang
telah ditelannya itu, orang tua ini akhirnya duduk terhenyak di tanah.
“Kalian pergi saja. Biar aku menunggu ajal di sini!” kata Dewa Tuak dengan suara lemas. Dia
memperhatikan dua tabung bambu tuaknya yang telah kosong dengan tatapan mata sedih. Tiba-
tiba pada salah satu pantat tabung dia melihat sebuah benda menempel.                                      
95
“Sialan! Memang aku yang lupa!” kata Dewa Tuak sambil menepuk keningnya. Dia
melompat dan mengambil benda yang menempel pada bagian bawah tabung bambu. Benda ini
adalah segumpal lilin lembut. Begitu gumpalan lilin dibuka, di dalamnya kelihatan sebuah benda
hitam bulat sebesar ujung jari kelingking. Dewa Tuak segera menelan benda hitam itu yang
bukan lain adalah obat untuk penangkal racun yang telah ditelannya empat puluh hari yang lalu.
“Dewa Tuak, kau yakin benda yang barusan  kau telan benar-benar obat pemusnah racun
yang ada dalam tubuhmu?” bertanya Wiro.
“Eh, apa maksudmu?” tanya Dewa Tuak dengan wajah berubah. Diam-diam dia jadi merasa
takut kalau-kalau yang barusan di telannya memang bukan obat itu.
“Tidak, saya tidak ada maksud apa-apa,” sahut Wiro. “Saya hanya kawatir kalau-kalau yang
kau telan tadi bukannya obat tapi tahi kambing bulat bulat!”
“Sialan! Anak kurang ajar!” maki Dewa Tuak.  
Wiro, Anggini dan Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak.
TAMAT

Tidak ada komentar: