64. KAMANDAKA SI MURID MURTAD
GEROBAK sapi itu bergerak perlahan. Yang menjadi
kusirnya seorang lelaki tua berjanggut dan berambut
putih duduk tenang-tenang saja karena dia memang
tidak terburu-buru. Di sampingnya duduk seorang dara.
Rambutnya yang hitam pendek dikuncir ke atas hingga
wajahnya yang jelita tampak lucu. Gadis ini adalah anak
tunggal si orang tua berjanggut putih. Dara ini memang ber-
sifat riang ceria. Sepanjang perjalanan dia selalu menyanyi
kecil sambil menggoyang-goyangkan tangan kanannya
yang memegang sebuah tongkat bambu. Melihat pakaian
ringkas warna putih yang dikenakan ayah dan anak ini jelas
keduanya adalah orang-orang persilatan.
“Mintari anakku,” berkata lelaki tua di atas gerobak
pada anak gadisnya. “Kalau sampai di tempat pertemuan
para tokoh silat di Selatan nanti, jangan sekali-kali kau
berlaku sembrono. Kau duduk saja di sampingku. Jangan
bicara kalau tidak diminta. Ingat, di situ juga ada Datuk
Alam Rajo Di Langit, tokoh silat dari tanah Minang yang
akan membawamu ke Pulau Andalas. Semua ilmu ke-
pandaianku sudah kuwariskan padamu. Selanjutnya Datuk
Alam yang akan membawamu ke tanah Minang dan
menggemblengmu di sana. Ingat juga, Datuk itu adalah
orang tua yang sangat saleh. Karena itu selama di sana
jangan sekali-kali kau meninggalkan sembahyang.”
Gadis bernama Mintari itu sesaat terdiam mendengar
kata-kata ayahnya. Tak lama kemudian kembali dia
menyanyi-nyanyi sambil membolang-balingkan tongkat
bambunya.
“Anakku, apakah kau tidak akan mengatakan sesuatu?”
bertanya sang ayah.
Mintari hentikan nyanyiannya, “Saya ada satu per-
tanyaan ayah,” ucapnya.
“Katakanlah anakku.”
“Setahu saya di tanah Jawa ini terdapat banyak sekali
tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi. Tidak terhitung pula
orang-orang sakti. Lalu mengapa ayah menginginkan saya
pergi jauh-jauh ke negeri Minang mengikuti Datuk Alam
Rajo kalau hanya untuk menempa ilmu silat dan kesakti-
an?”
Sang ayah tersenyum mendengar ucapan anak gadis-
nya itu. Setelah mendehem beberapa kali diapun men-
jawab. “Pernahkah kau mendengar ujar-ujar yang mengata-
kan: Jauh berjalan banyak yang dilihat. Menuntut ilmu
kalau perlu sampai di Negeri Cina. Memang ayah tahu
tidak sedikit orang pandai di tanah Jawa ini. Tapi tanah
Minang juga dikenal gudang segala ilmu. Di sana kau dapat
pula mendalami ilmu agama. Dan mengenai Datuk Alam
Rajo jangan kau anggap enteng dia…”
“Harap maafkan, saya tidak menganggap enteng orang
tua satu itu ayah. Jangan ayah salah sangka.”
“Lalu mengapa kau kelihatannya tidak suka pergi
bersamanya?”
“Karena sebenarnya saya ingin dekat dengan ayah,”
jawab Mintari.
Sang ayah tertawa. “Kau bukan anak kecil lagi. Umurmu
sudah sembilan belas tahun kalau ayah tidak salah ingat.
Ayah melepasmu dengan segala keikhlasan.”
“Saya tahu ayah,” kata Mintari pula. Lalu dipegangnya
tangan ayahnya seraya berkata. “Kalau saya tidak ada,
siapa yang mengurus ayah?”
Ucapan anak gadisnya itu membuat hati si orang tua
tersentuh. Memang sejak ibu Mintari meninggal dunia
enam tahun yang lalu, anak gadisnya itulah yang mengurus
dirinya. Setelah diam sesaat orang tua ini berkata. “Kalau
kau pergi dan sanggup mengurus diri sendiri, masakan aku
tua bangka begini tidak sanggup berbuat yang sama…?”
Baru saja ayah Mintari berkata begitu tiba-tiba ter-
dengar suara tawa mengekeh menyusul ucapan lantang.
“Kau betul Ki Pamilin! Orang tua sepertimu harus dapat
mengurus diri sendiri! Hari ini aku mau lihat apakah kau
benar-benar bisa mengurus diri sendiri!”
Ayah dan anak itu sama-sama terkejut dan memandang
berkeliling.
“Ayah, ada suara tapi tak kelihatan orangnya!” bisik
Mintari.
Ki Pamilin, ayah Mintari berusaha bersikap tenang tapi
waspada. Dia tahu kalau ada seorang berkepandaian tinggi
berada di tempat itu. Manusia yang muncul seperti itu
biasa-nya tidak membawa niat baik.
“Tenang saja Mintari. Tak ada yang perlu ditakutkan.”
balas berbisik Ki Pamilin.
Tiba-tiba ada suara angin berdesir disertai berkelebat-
nya satu bayangan. Tahu-tahu sepuluh langkah di tengah
jalan di hadapan mereka tegak berdiri seorang berpakaian
dan berdestar serba biru. Bajunya tidak berkancing hingga
dadanya yang bidang berotot tersingkap lebar. Ki Pamilin
hentikan gerobak sapinya.
Yang tegak menghadang di tengah jalan itu ternyata
seorang pemuda berparas gagah. Hal ini membuat hati si
orang tua agak tenteram sedikit. Lain halnya dengan
Mintari. Gadis ini tidak suka melihat perjalanannya
dihadang oleh seorang tak dikenal yang bersikap sombong.
“Anak muda, siapakah dirimu. Apa maksud ucapanmu
tadi?” tanya Ki Pamilin.
“Aku sudah lama mendengar nama besarmu yang
menyandang gelar Pendekar Tangan Baja. Hari ini aku ingin
menjajaki sampai dimana kehebatan sepasang tanganmu.
Buktikan bahwa kau memang orang tua yang bisa meng-
urus diri sendiri!” Habis berkata begitu pemuda ini meman-
dang pada Mintari. Sepasang bola matanya membesar dan
membersitkan sinar aneh. Hati Ki Pamilin mendadak
sontak jadi berdebar. Pengalaman hidup membuat dia
mengenali arti cahaya yang keluar dari kedua mata
pemuda itu.
“Anak muda, hidup bukan mencari lantai terjungkat.
Ilmu kepandaian bukan untuk membuat silang sengketa.”
“Orang tua, kata-katamu enak di dengar. Apakah itu
berarti kau tidak punya nyali untuk melayaniku barang
sejurus dua jurus?”
Mintari yang sudah sejak tadi merasa jengkel melihat
tingkah dan mendengar ucapan-ucapan pemuda itu
membuka mulut bersuara keras.
“Kami masih ada keperluan yang lebih penting! Mana
punya waktu melayani pemuda sombong sepertimu!”
Pemuda di tengah jalan tertawa gelak-gelak. Ditanggal-
kannya destar birunya. Lalu destar ini, dikipas-kipaskannya.
Saat itu sinar matahari memancar terik dan udara memang
panas.
“Adik, suaramu merdu dan wajahmu secantik bidadari.
Bolehkah aku tahu namamu? Tadipun aku sebetulnya
sudah kagum mendengar suara nyanyianmu.”
Mintari keluarkan suara mendengus dari hidungnya.
“Ketepilah. Kami mau lewat!”
“Adik cantik, percakapan kita bisa diteruskan kemudian.
Aku ingin mendengar jawaban ayahmu. Apakah dia se-
orang pengecut?”
“Ayahku bukan seorang pengecut! Dia hanya tidak mau
mengotori tangan melayani kadal hutan macammu!” jawab
Mintari.
Mendengar kata-kata itu kembali pemuda di tengah
jalan tertawa bergelak. Tetapi dalam tertawa sepasang
matanya tampak seperti dikobari api. Tiba-tiba tubuhnya
berkelebat lenyap lalu terdengar suara brett!
Mintari terpekik. Ki Pamilin berteriak keras. Orang tua
ini marah sekali. Langsung dia melompat turun dari atas
gerobak. Tangan kanannya menghantam ke arah dada si
pemuda. Yang diserang sunggingkan senyum mengejek
dan angkat tangan ngan kirinya untuk menangkis.
Buuukk!
Ki Pamilin yang memang lebih dikenal dengan julukan
Pendekar Tangan Baja terjajar dua langkah ke belakang.
Lengan kanannya mendenyut sakit dan tampak merah.
Wajah orang tua ini jadi berubah. Sebagai seorang tokoh
silat yang disegani bukan sembarang orang bisa membuat-
nya terjajar seperti itu.
“Pemuda kurang ajar! Siapa kau sebenarnya, dan apa
maumu?!” sentak Ki Pamilin.
Si pemuda kenakan destarnya kembali. Sambil ber-
kacak pinggang dia berkata. “Namaku Kamandaka. Orang
mengenalku dengan panggilan Pendekar Tangan Halilin-
tar!”
Mendengar nama dan gelar itu kembali paras Ki Pamilin
berubah. Dia sempat mundur satu langkah. Yang terpikir
saat itu adalah keselamatan anak gadisnya.
Di depannya pemuda yang mengaku bernama Kaman-
daka bergelar Pendekar Tangan Halilintar lagi-lagi sung-
gingkan senyum sinis.
“Pendekar Tangan Baja berhadapan dengan Pendekar
Tangan Halilintar! Bukan ini satu pertemuan yang luar
biasa?!”
***
WIRO SABLENG
2 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
I ATAS gerobak Mintari rapatkan baju putihnya yang
robek akibat tarikan kurang ajar Kamandaka.
Dengan tubuh gemetar oleh amarah gadis ini me-
lompat dari gerobak itu. Dia bermaksud hendak menyerang
si pemuda. Tetapi hatinya jadi bimbang ketika melihat
bagaimana ayahnya yang memiliki kepandaian begitu tinggi
tampak terjajar dalam bentrokan pukulan Tadi.
“Orang muda, kalau kau benar Kamandaka manusia
terkutuk yang dicari-cari di tujuh penjuru angin itu, maka
ketahuilah hari ini hari terakhir bagimu melihat dunia!”
“Ha …ha! Ternyata kau bukan seekor macan kertas.
Kalau kau memang punya nyali mari kita teruskan
berbincang-bincang dengan tangan dan kaki. Namun
sebelumnya aku ingin memastikan dulu agar anak gadismu
ini tidak pergi ke mana-mana!” Habis berkata begitu
Kamandaka melompat ke hadapan Mintari dan menyergap
dengan satu totokan.
Dari samping Ki Pamilin datang menyambar dengan
pukulan ke arah kepala Kamandaka hingga pemuda ini
tidak sempat meneruskan totokannya ke tubuh si gadis.
Serangan yang dilancarkan Ki Pamilin mengandung tenaga
dalam tinggi, mengeluarkan suara bersiur menggidikkan.
Namun dengan tenang Kamandaka mengelak. Gerakannya
mengelak tampak aneh. Tubuhnya berputar membelakangi
lawan. Lalu tiba-tiba kaki kanannya mencelat ke atas
seperti tendangan seekor kuda. Kalau Ki Pamilin tidak
bertindak waspada tendangan dahsyat itu pasti akan
D
menghantam rahang kanannya!
Tendangan yang melesat itu kini mendarat pada kayu
besar yang jadi tambatan sapi penarik. Terdengar suara
berderak. Kayu itu pecah berantakan mengejutkan sapi
penarik gerobak. Binatang ini sempat lari beberapa belas
langkah lalu berhenti dekat kelokan jalan sambil tiada
henti mengibas-kibaskan ekornya.
Dengan rahang menggembung Ki Pamilin lancarkan
serangan. Tubuhnya seperti merunduk. Kedua tangannya
diulurkan ke depan. Kamandaka melihat bagaimana
sepasang tangan itu kini berubah menjadi keputih-putihan.
“Ah, kau mengeluarkan ilmu kesaktian Tangan Baja!”
seru Kamandaka. Memang inilah yang ditunggu-tunggunya.
Sudah sejak lama dia mencari-cari orang tua bergelar
Pendekar Tangan Baja ini hanya sekedar untuk menjajal
ilmu kepandaiannya. Kini bukan saja dia menemul orang
yang dicarinya, malah orang ini muncul membawa serta
anak gadisnya yang cantik jelita.
Kamandaka menunggu dengan kedua kaki di-
renggangkan. Sepasang lengan di silang di depan dada.
Ketika kedua lengan ini saling digosokkan maka kelihatan
jelas warnanya berubah menjadi hitam. Diam-diam Ki
Pamilin menjadi terkesiap jnga melihat hal ini. Sejak lama
dia sudah mendengar akan kehebatan dan keganasan
Pendekar Tangan Halilintar. Dan selama ini belum ada satu
lawan atau seorang tokoh silatpun yang mampu
menghadapi pukulan halilintar itu. Karenanya si orang tua
memutuskan untuk menggempur Kamandaka lebih dulu.
Didahului dengan satu bentakan keras Ki Pamilin
dorong-kan kedua tangannya. Dorongan ini perlahan saja.
Tetapi apa yang terjadi sungguh dahsyat!
Dari kedua tangan Ki Pamilin seperti menyembur keluar
dua jalur sinar putih. Inilah sinar baja yang mengandung
hawa panas. Meskipun hanya berbentuk sinar tetapi ke-
kuatan dan kerasnya tidak beda seperti batangan baja!
Wus!
Wus!
Dua sinar menyambar ke arah kepala dan dada
Kamandaka.
“Bagus!” Seru si pemuda memuji tapi sebenarnya dia
jelas hendak mengejek dan memandang rendah lawan.
Begitu dua sinar baja menderu ke depan Kamandaka
melompat ke samping. Dari samping dia dorongkan telapak
tangan kanannya.
Dua sinar baja laksana dua batangan terdorong ke
samping. Menghantam sebatang pohon jati. Pohonini
laksana ditembus tombak raksasa, berderak patah lalu
tumbang dengan suara menggemuruh.
Ki Pamilin merasakan dadanya seperti terbakar karena
geram tetapi bersamaan dengan itu tengkuknya menjadi
dingin. Selama ini belum pernah dia langsung menyerang
musuh dengan pukulan Tangan Baja kalau bukan musuh
yang benar-benar tangguh. Sekali dia mengeluarkan se-
rangan tersebut tak pernah ada lawan yang mampu
menghindar dari kematian. Kini dia telah melakukan hal itu
dan ternyata lawan dengan mudah dapat menghindarinya!
“Luar biasa, dari mana anak semuda ini punya
kepandaian begini hebat!” kata Ki Pamilin dalam hati.
Diam-diam dia merasa malu. Selama ini dia telah
menyandang nama besar sebagai Pendekar Tangan Baja
dalam dunia persilatan. Ter-nyata hari ini dia tersandung
oleh seorang yang usianya hanya sepertiga usianya!
Dengan cepat Ki Pamilin membalik. Kalau tadi dia hanya
mengerahkan setengah bagian tenaga datam yang dimiliki-
nya, kini dia mengalirkan seluruh tenaga dalamnya pada
kedua lengannya hingga sepasang tangannya menjadi ber-
kilat.
“Bagus!” Kamandaka memuji. “Kalau sudah seluruh
tenaga dalammu kau kerahkan, tunggu apa lagi! Ayo
hantamlah!”
“Pemuda ini sombong sekali. Kudengar kejahatan yang
dilakukannya setinggi langit sedalam lautan! Kalau aku
tidak membunuhnya hari ini biar aku mengucilkan diri dari
dunia persilatan untuk selama-lamanya!” Lalu dengan
rahang terkatup rapat Ki Pamilin dorongkan kedua
tangannya ke arah Kamandaka. Kini dua larik sinar baja
yang melesat keluar dari kedua tanangan orang tua itu
tampak lebih besar dan lebih menyilaukan. Hawa panas
ikut menyambart
Ketika Ki Pamilin mengalirkan tenaga dalamnya pada
kedua tangan, diam-diam Kamandaka telah pula mengatur
hawa sakti yang berpusat di perutnya, lalu menyalurkannya
pada kedua tangannya. Sambil menyalurkan hawa sakti
Kamandaka menyilangkan kedua lengannya di depan dada
lalu naik ke atas di depan kepala. Kedua tangan pemuda
ini tampak berubah menjadi hitam. Tiba-tiba dua lengan
yang bersilang itu membuka lalu dihantamkan ke depan.
Terdengar suara meledak seperti suara halilintar
membelah langit. Tanah bergoncang. Pepohonan berderak-
derak seperti hendak tumbang. Satu gelombang sinar
hitam menggebubu ke depan.
Dua sinar baja pukulan sakti Ki Pamilin laksana teng-
gelam ditelan gelombang hitam yang dahsyat itu. Orang tua
ini tersentak kaget. Tubuhnya terdorong keras. Dia ber-
usaha bertahan sambil dorongkan lagi kedua tangannya
dan merapal aji kesaktian lain untuk memperkuat diri.
Kamandaka tertawa mengekeh.
“Keluarkan seluruh ilmumu Pendekar Tangan Baja!”
katanya. Lalu kedua lengannya yang masih ada di depan
kepala disilangkan kembali. Saat itu juga terdengar suara
ledakan dahsyat. Langit laksana hendak runtuh. Tanah
seperti terbongkar. Ki Pamilin lenyap dalam buntalan sinar
hitam. Lalu terdengar suara orang tua itu menjerit.
Tubuh orang tua itu terlempar sampai satu tombak.
Mukanya tampak putih laksana kain kafan tapi anehnya
perlahan-lahan berubah menjadi hitam, pertanda bahwa
pukulan sakti yang dilepaskan Kamandaka selain dialas
dengan kekuatan tenaga dalam luar biasa juga mengan-
dung racun sangat jahat.
“Ayah!”
Mintari terpekik melihat apa yang terjadi dengan ayah-
nya. Gadis ini memburu. Kamandaka cepat ulurkan tangan
menyambar pinggang si gadis.
“Manusia jahanam!” teriak Mintari. Dia berbalik dan
tongkat bambu di tangan kanannya dihunjamkan ke perut
Kamandaka. Baju biru Kamandaka tampak berlobang
besar. Tetapi hebatnya perutnya tidak cidera sedikitpun.
Malah Mintari merasa ada satu dorongan keras ketika
ujung tongkat menyentuh perut pemuda itu yang membuat
tangannya bergetar.
“Gadis hebat!” seru Kamandaka. “Tunjukan kehebatan-
mu kalau nanti kau berada dalam pelukanku!”
Mendidih amarah Mintari mendengar kata-kata itu. Dia
membalik dan kini tongkatnya menusuk kuat-kuat ke mulut
si pemuda. Sekali ini Kamandaka tidak mau berlaku ayal
lagi. Perutnya bisa kebal dan sanggup menahan tusukan
tongkat bambu ataupun senjata tajam. Tetapi pada kedua
matanya sama sekali tidak ada kekebalan. Selain itu dia
tahu bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang cukup
tinggi berkat gemblengan ayahnya.
Kamandaka cepat menggeser kedua kakinya sambil
miringkan kepalanya ke kiri. Bersamaan dengan itu tangan
kanannya melesat ke atas menangkap ujung tongkat.
Begitu ujung tongkat berada dalam genggamannya,
Kamandaka dengan cepat menariknya. Karena tidak
sempat melepaskan tongkat itu maka Mintari ikut tertarik
ke depan. Sebelum dia bisa berbuat sesuatu apa tahu-tahu
dia sudah berada dalam pelukan Kamandaka. Malah satu
ciuman si pemuda sempat menyambar pipinya!
“Jahanam kurang ajarl” Makian itu disertai gerakan
mencakar ke muka Kamandaka. Tapi Mintari kalah cepat.
Kamandaka lebih cepat menotok jalan darahnya hingga
tubuh si gadis kaku tak bisa bergerak lagi. Hanya suaranya
saja terdengar memaki tak putus-putusnya.
Sambil tertawa-tawa Kamandaka memanggul tubuh
Mintari. Salah satu tangannya mengelus-elus tubuh bagian
bawah belakang gadis itu sehingga semakin keras kutuk
serapah keluar dari mulut Mintari.
“Sekarang kau memaki diriku. Tapi lihat sebentar lagi
kau akan tergila-gila padaku. Berpisah sesaatpun kau tak
akan mau!” berkata Kamandaka sambil membawa Mintari
ke arah gerobak sapi. Tubuh gadis ini dibaringkannya di
lantai gerobak sebelah belakang.
Dari dalam mulut Ki Pamilin tampak banyak darah
mengalir. Nafasnya sesak dan dari tenggorokannya ter-
dengar suara seperti ayam dipotong. Samar-samar dia
melihat Kamandaka memanggul tubuh Mintari ke arah
gerobak.
“Ya Tuhan, tolong anakku. Selamatkan dia…” orang tua
ini hanya bisa memohon dalam hati. Tangannya coba
diangkat untuk melepaskan pukulan ke arah si pemuda.
Tetapi kekuatannya sudah punah. Pemandangannya ber-
tambah gelap. Pada saat jantungnya berhenti berdetak,
nyawanyapun lepas meninggalkan jazad.
Di atas gerobak Kamandaka berlutut di samping tubuh
Mintari. Mulutnya menyeringai, nafasnya menderu diburu
nafsu. Tangan kanannya bergerak. Terdengar suara pakai-
an robek beberapa kali.
“Manusia jahanaml Iblis! Lepaskan aku! Lepaskan!”
teriak Mintari.
“Nanti juga akan kulepaskani Sekarang biar kita
bersenang-senang dulu!”
“Lebih baik kau bunuh diriku!” teriak Mintari lalu dia
menjerit berulang kali.
Suara jeritan gadis yang terancam kehonmatannya itu
bukan membuat hiba apalagi takut dalam diri Kamandaka.
Malah pemuda ini semakin bernafsu. Dibukanya baju dan
celana birunya. Kedua tangannya meraba kian kemari.
Ketika dia siap untuk melakukan kebejatan itu tiba-tiba di
belakangnya terdengar suara derap kaki kuda. Kamandaka
menoleh ke belakang.
Dua orang penunggang kuda berseragam perajurit
Kerajaan mendatangi dengan cepat. Melihat ada gerobak
berhenti di tengah jalan dan ada suara perempuan men-
jerit dari atas gerobak itu, kedua perajurit ini hentikan kuda
masing-masing di samping gerobak.
Tentu saja keduanya terkejut melihat pemandangan di
dalam gerobak terbuka itu.
“Hail Perbuatan gila apa yang kau lakukan ini?!” salah
seorang perajurit membentak.
“Siang bolong! Di tengah jalan1″ Perajurit yang satu lagi
ikut menghardik.
Melihat munculnya dua orang perajurit Kerajaan ini
Mintari merasa dirinya pasti akan mendapat pertolongan.
Maka diapun berkata. “Tolong. Tolong selamatkan diriku
dari manusia durjana ini!”
Dua perajurit pandangi wajah cantik dan tubuh mulus
yang menggeletak di atas gerobak itu. Mau tak mau
keduanya jadi tercekat dan terangsang. Yang satu berulang
kali membasahi bibirnya dengan ujung lidah. Sedang yang
satu lagi memandang dengan mata tak berkesip. Yang ter-
akhir ini berpaling pada Kamandaka.
“Kau tahu kalau kau telah membuat satu kesalahan
besar yang bisa membuat kepalamu dijirat tali gantungan?”
Kamandaka diam saja. Dia sudah merasa kalau kedua
perajurit itu mulai dikobari nafsu. Benar saja karena yang
satu kemudian berkata.
“Sobat, jika kau mau membagi-bagi rejeki besar ini pada
kami berdua, kami tidak akan menangkapmu atau mem-
buat perkara!”
Kamandaka menyeringai. “Kalau kalian memang
berminat aku bersedia memenuhi permintaan kalian.
Malah kalau mau kalian boleh bersenang-senang lebih
dulu. Naiklah ke atas gerobak ini. Aku mengalah tidak jadi
apa.”
Mendengar kata-kata Kamandaka itu, dua perajurit tadi
tanpa tunggu lebih lama segera turun dari kuda dan siap
naik ke atas kereta.
“Hus! Tunggu dulu!” kata Kamandaka. “Sebelum naik
lebih baik kalian tanggalkan dulu semua pakaian yang
melekat di tubuh kalian Gerobak ini sempit. Akan sulit
membuka pakaian di sini!”
“Kau benar!” kata salah seorang perajurit. Lalu tanpa
malu-malu dia segera menanggalkan pakaiannya. Kawan-
nya tidak mau ketinggalan, segera pula melakukan hal
yang sama.
“Nah sekarang kalian sudah siap! Ayo lekas naik ke atas
gerobak. Aku biar menunggu di dekat pohon sana sambil
berjaga jaga,” kata Kamandaka pula.
Dua orang perajurit yang tanpa pakaian itu naik ke atas
gerobak. Namun belum sempat kaki mereka menginjak
lantai kereta, kedua tangan Kamandaka bergerak me-
mukul. Terdengar suara bergedebuk dua kali. Kedua
perajurit itu keluarkan jeritan hampir berbarengan. Tubuh
mereka terbanting ke tanah. Keduanya mengerang
seketika lalu tak berkutik lagi. Mereka mati dengan muka
remuk.
Kamandaka meludah ke tanah. Dia berpaling pada
Mintari yang tergeletak dengan muka pucat. Kembali gadis
ini memekik keras. Namun sekali ini tak ada sesuatupun
yang bisa menghalangi perbuatan terkutuk Kamandaka
***
WIRO SABLENG
3 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
I LAMPING bukit Pendekar 212 Wiro Sableng
hentikan larinya. Sejenak dia tegak berdiam diri lalu
memandang ke bawah bukit. Lapat-lapat dia men-
dengar suara ringkikan kuda jauh dibawah sana. Murid
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini dapat mem-
bedakan mana ringkikan kuda biasa dan mana yang tidak
biasa. Segera dia menuruni bukit ke arah terdengarnya
suara ringkikan kuda itu. Dia sengaja mengambil jalan me-
mintas walau harus menempuh bagian bukit yang dirapati
pepohonan serta semak belukar. Ketika akhirnya Pendekar
ini sampai di kaki bukit, dia menemui sebuah jalan dan me-
lihat ada bekasbekas jejak roda di tanah.
Wiro ikuti jejak-jejak roda itu. Belum lama berjalan
langkahnya mendadak terhenti. Di kejauhan, dekat jalan
yang menikung tampak sebuah gerobak sapi. Di samping
kiri gerobak kelihatan dua sosok mayat dengan kepala
pecah dan tubuh telanjang bulat. Dua helai pakaian
seragam perajurit kelihatan tercampak di tanah. Tak jauh
dari situ ada dua ekor kuda. Salah seekor diantaranya
meringkik tiada henti. Wiro meneruskan langkahnya. Dia
melihat sosok tubuh ke tiga, menggeletak dekat sebatang
pohon yang tumbang. Sang pendekar kerenyitkan kening
dan garuk-garuk kepalanya. Sosok tubuh ketiga ini tak bisa
dikenali. Sekujur badan dan pakaiannya berwarna hitam
seolah-olah baru saja keluar dari lumpur jelaga.
“Ini bukan warna hitam biasa. Orang ini menemui ajal
akibat racun jahat…” membatin murid Sinto Gendeng. Saat
D
itulah dia mendengar suara erangan halus. Dia berpaling
ke arah gerobak sapi, tadi gerobak itu dilewatinya begitu
saja. Suara erangan itu justru datang dari arah gerobak.
Wiro cepat mendekati gerobak, melompat ke atasnya.
Kedua kaki Pendekar 212 laksana dipantek ke lantai
gerobak. Matanya hampir terpejam tak kuasa memandang.
“Tolong… tolong…” Gadis yang meoggeletak di lantai
gerobak keluarkan suara kelu. Kedua matanya hanya
membuka sedikit. Sekujur tubuhnya terutama di bagian
leher dan dada penuh dengan luka-luka bekas gigitan.
Sambil membalikkan tubuh Wiro membuka bajunya.
Dengan pakaian ini ditutupnya tubuh Mintari. Tapi baju itu
tidak dapat menutupi sekujur tubuh gadis yang malang itu.
Wiro memandang seputar gerobak. Ada sebuah buntalan di
bawah tempat duduk kereta sebelah depan. Ketika di-
periksanya dia menemukan sehelai kain warna kuning
yang cukup lebar. Dengan kain ini ditutupinya tubuh gadis
itu sedang bajunya dipakainya kernbali. Lalu Wiro mem-
bawa gerobak itu ke tempat yang teduh.
“Saudari, dapat kau menceritakan apa yang terjadi?”
Jawaban yang keluar dari mulut Mintari adalah jeritan
keras. Lalu gadis ini menangis tersengguk-sengguk. Dalam
hati Pendekar 212 sudah dapat menduga nasib buruk apa
yang telah menimpa gadis ini. Namun yang jadi pertanyaan
apa sangkut paut kedua perajurit Kerajaan yang mati
telanjang serta seorang yang tewas dengan tubuh hitam
itu.
“Ayah… Tolong… Ayah…”
Wiro kerenyitkan kening. Diperhatikannya lagi keadaan
tubuh gadis yang menggeletak di Iantai gerobak itu. Baru
dia menyadari kalau tubuh itu berada dalam keadaan ter-
totok. Wiro membungkuk untuk lepaskan totokan itu.
“Kau…kau siapa…?” Pertanyaan itu keluar dari mulut
Mintari. Untuk pertama kali si gadis tiba-tiba merasa takut.
“Jangan takut. Aku kebetulan lewat di tempat ini. Aku
berusaha menolongmu…”
Mintari membuka kedua matanya lebih lebar. Peman-
dangannya masih meremang. Dia tak dapat melihat jelas
wajah orang yang berlutut di sampingnya. Kemudian di-
rasakannya ada sentuhan pada bagian tubuhnya yang
membuat dia bisa menggerakkan kedua tangan dan kaki-
nya kembali.
Begitu menyadari totokannya telah lepas, Mintari ber-
usaha melompat berdiri. Tapi terhuyung-huyung dia hampir
jatuh. Wiro cepat memegang tangannya dan menutupkan
kain kuning kembali ke tubuh Mintari lalu menyandarkan
gadis itu ke pinggiran gerobak. Mintari memandang dengan
mata membeliak padanya.
“Tenanglah, kau tak usah takut. Aku bukan orang jahat,”
kata Wiro meyakinkan si gadis.
“Ayah…” Mintari memandang berkeliling. Wiro mengikuti
pandangannya.
“Ayahmu ada di sini?” tanya Wiro.
“Ayah…Manusia itu pasti sudah membunuh ayah…”
Kemudian gadis ini melihat tubuh hitam yang menggeletak
dekat pohon. Satu jeritan keluar dari mulutnya. Tubuhnya
tampak seperti kejang. Wiro berusaha menenangkan gadis
itu. Di sudut depan gerobak dia melihat sebuah bumbung
bambu. Ketika dibukanya ternyata berisi air. Air dalam
bumbung ini segera diminumkannya pada Mintari. Dengan
susah payah si gadis berusaha meneguk air itu. Sehabis
minum dia kelihatan agak tenangan.
“Sekarang kau bisa mengatakan apa yang terjadi?”
tanya Wiro.
Mintari tak menjawab. Kain kuning dibungkuskannya
erat-erat ke tubuhnya lalu dia berusaha turun dari atas
gerobak. Terhuyung-huyung dia melangkah mendekati se-
sosok tubuh hitam dekat pohon. Wiro melangkah di
sampingnya. Di depan tubuh hitam itu Mintari hentikan
langkahnya. Matanya memperhatikan tidak berkesip.
Kemudian dilihatnya cincin berbatu yang melingkar di jari
manis tangan kanan. Meskipun sudah hangus namun dia
masih bisa mengenali cincin itu.
“Ayah!” jerit Mintari. Kedua kakinya goyah dan tubuhnya
langsung jatuh. Wiro cepat memegang gadis ini sebelum
terbanting ke tanah.
***
Hari itu hari kelima di bulan lima, suatu pertemuan
rahasia diadakan di sebuah rumah tua di kaki Bukit Sedayu
di kawasan Selatan. Yang bertindak sebagai tuan rumah
adalah Raden Bintang, bekas Tumenggung yang telah lama
mengundurkan diri dari segala macam urusan Kerajaan.
Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Rantai
Bayangan. Lelaki berusia enam puluh tahun ini konon
memiliki sebuah senjata aneh. Jika dia membaca mantera
maka di tangan kanan atau tangan kirinya kelihatan
muncul dan tergenggam sebuah rantai besi berwarna
hitam. Rantai ini kelihatan seperti bayangan. Tapi jika di-
pakai untuk, memukul atau menggebuk maka sasarannya
bisa patah atau hancur remuk seperti terkena hantaman
rantai sungguhan.
Di tempat kediamannya pagi itu telah berkumpul hampir
dua puluh orang tokoh dunia persilatan di Jawa Tengah,
Timur dan dari Barat. Bahkan salah seorang tamu datang
jauh-jauh dari Pulau Andalas. Dia adalah seorang kakek
berdestar dan berpakaian serba hitam. Kedua kaki dan
pergelangan tangannya dilingkari gelang akar bahar. Dialah
Datuk Alam Rajo Di Langit seorang tokoh silat yang telah
punya rencana untuk membawa Mintari ke tempat ke-
diamannya guna digembleng dengan berbagai ilmu ke-
pandaian, silat serta kesaktian dan juga ilmu agama.
Saat itu masih ada beberapa tokoh silat yang belum
muncul. Sementara menunggu acara resmi dibuka pada
siang hari tepat maka para tamu mengobrol berbagai
macam hal sambil menikmati minuman dan juadah yang
dihidangkan. Sesekali terdengar suara gelak tertawa.
Dalam pertemuan itu akan dibicarakan beberapa hal.
Namun ada satu hal penting yang akan diperbincangkan
secara amat rahasia.
Dua orang tamu lagi datang. Setelah menyalami tuan
rumah keduanya mengambil tempat duduk diantara para
hadirin. Menjelang tengah hari Raden Bintang berdiri dari
kursinya. Setelah mendehem beberapa kali dia berkata.
“Saudara-saudara sekaum persilatan. Saya melihat
masih ada dua kursi yang kosong. Karena waktu kita
sempit sedang yang akan dibicarakan dalam perternuan ini
bukan cuma satu mata acara, lalu mengingat bahwa
Saudara-saudara tentu harus kembali ke tempat asal
masing-masing. Bagaimana kalau saya meminta agar
acara pertemuan dimulai saja secara resmi. Mudah-
mudahan dua tamu yang belum datang akan segera
muncul di tempat ini.”
“Saya rasa kami semua setuju,” menjawab salah se-
orang dari yang hadir. Yang lain-lainnya sama mengiyakan.
“Terima kasih. Kalau begitu acara bisa segera kita
mulai,” kata Raden Bintang pula dengan senyum gembira
dan sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya
satu sama lain.
Raden Bintang mengambil sebuah palu kayu yang ter-
letak di atas meja. Ketika dia hendak mengetukkan palu ini
sebagai tanda dimulainya acara tiba-tiba terdengar suara
bergemeratak. Raden Bintang berpaling ke halaman diikuti
oleh para hadirin. Sebuah gerobak sapi tampak memasuki
halaman dengan cepat. Kusirnya seorang pemuda be-
rambut gondrong berpakaian dan berikat kepala putih.
“Kita kedatangan tamu. Tapi bukan yang diundang,”
kata Raden Bintang. “Di antara yang hadir apakah ada yang
mengenalinya?”
Tidak seorang hadirinpun memberikan jawaban.
Pemuda berambut gondrong turun dari gerobak. Sesaat
dia memandang agak bimbang pada orang-orang yang ada
di dalam rumah besar itu.
Namun akhirnya dia melangkah juga. Di tangga atas
bangunan dia berhenti dan memberi penghormatan
dengan menundukkan kepala.
“Maafkan saya mengganggu. Apakah di sini pertemuan
para tokoh silat dari tiga kawasan Pulau Jawa?”
“Sebutkan dulu siapa dirimu anak muda, baru ajukan
pertanyaan,” kata Raden Bintang.
“Saya Wiro Sableng. Saya datang membawa surat dari
Eyang Sinto Gendeng. Beliau tidak bisa datang karena ada
halangan.”
Semua yang hadir di tempat itu termasuk Raden
Bintang alias Rantai Bayangan sama-sama terkejut men-
dengar nama yang disebutkan.
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!” semua orang
menyebut gelar itu dalam hati masing-masing. Mereka
tentu saja sudah lama mendengar nama besar Pendekar
212 yang berulang kali membuat kegegeran dalam dunia
persilatan. Dikagumi para tokoh silat golongan putih,
ditakuti oleh mereka dari golongan hitam dan para pen-
jahat. Selama ini Pendekar 212 mereka anggap selalu
muncul dan menghilang secara misterius, jarang me-
nampakkan diri secara langsung di depan para tokoh silat.
Kabarnya bertampang tolol, kadang-kadang suka kurang
ajar tetapi berhati polos: Semua yang hadir tidak menduga
kalau Pendekar 212 masih begitu muda dan sangat
sederhana.
Wiro menyerahkan surat titipan gurunya kepada Raden
Bintang. Tuan rumah bermaksud segera membacanya
namun urung ketika mendengar Pendekar 212 berkata.
“Maafkan saya, ada yang lebih penting dari surat itu.
Seseorang di atas gerobak membutuhkan pertolongan. Di
atas gerobak juga ada sesosok mayat.”
Semua yang hadir di situ tentu saja menjadi kaget. Be-
berapa di antaranya segera berdiri dan keluar dari rumah
besar mengikuti Pendekar 212 yang melangkah menuju
gerobak.
Mereka yang ikut mendekati gerobak menjadi terkejut
ketika menyaksikan apa yang ada di dalam gerobak itu.
Wiro mengangkat tubuh Mintari yang berada dalam keada-
an lemah, terbungkus dengan kain kuning.
“Gadis ini butuh istirahat dan perawatan. Saya mohon
disediakan kamar untuknya…” kata Wiro lalu melangkah
kembali ke arah rumah besar sambil mendukung Mintari.
Seorang berpakaian hitam menyeruak diantara orang
banyak. Lalu terdengar suaranya seperti harimau meng-
gereng disusul seruan keras.
“Mintari! Apa yang terjadi denganmu Nak?!”
Wiro hentikan langkah dan berpaling. Yang lain-lain ikut
menoleh. Yang tadi berseru ternyata adalah Datuk Alam
Rajo Di Langit. Dia mengenali gadis yang berada dalam
dukungan Pendekar 212 itu.
“Datuk,” ujar Raden Bintang. “Kau mengenali gadis ini?”
“Namanya Mintari. Dia calon muridku! Atas persetujuan
ayahnya Ki Pamilin yang bergelar Pendekar Tangan Baja
aku akan membawanya ke Pulau Andalas! Sungguh tidak
disangka kalau saat ini aku menemuinya dalam keadaan
begini. Di mana ayahnya?!”
“Ya dimana Ki Pamilin? Dia salah seorang tokoh silat
yang kita undang!” kata Raden Bintang pula.
“Tokoh silat itu telah jadi korban pembunuhan biadab!”
Orang banyak yang ada di tempat itu termasuk tuan
rumah Raden Bintang menjadi geger. Lalu suasana hening
beberapa saat lamanya. Dan semua mata kini ditujukan
pada Pendekar 212 Wiro Sableng yang barusan memberi
keterangan.
Wiro menggoyangkan kepalanya ke arah gerobak. Dua
kali lompat saja Raden Bintang sudah sampai di samping
gerobak. Matanya membeliak melihat sosok tubuh hitam
yang menggeletak mengerikan di atas lantai gerobak.
“Hanya ada satu manusia yang bisa membuat seorang
menemui ajal seperti ini. Yaitu murid murtad Ketua Partai
Semeru Raya di Timur Orangnya bernama Kamandaka
bergelar Pendekar Tangan Halilintar!”
“Benar, menurut penuturan gadis ini memang orang itu
yang membunuh ayahnya,” kata Wiro pula.
Kembali tempat itu dilanda kegemparan.
Salah seorang dari mereka berkata. “Justru acara kita
paling penting dalam pertemuan ini adalah untuk mem-
bicarakan manusia terkutuk itu! Belum sempat berunding
kini sudah jatuh lagi satu korban baru!”
“Dan anak gadis Ki Pamilin ini pasti sudah…” Orang
yang bicara tidak tega meneruskan ucapannya.
Seseorang memberi Isyarat agar Wiro mengikutinya.
Mintari dibawa masuk ke dalam sebuah kamar. Dua orang
perempuan separuh baya yang sebenarnya adalah juru
masak untuk menyediakan makanan dalam pertemuan itu
masuk ke dalam kamar guna merawat Mintari.
Atas permintaan Raden Bintang, Wiro kemudian me-
nuturkan apa yang diketahuinya yakni mulai ketika
pertama kali dia menemui para korban sampai pada pen-
jelasan yang disampaikan Mintari sebelum jatuh pingsan.
Mau tak mau acara pertemuan hari itu ditunda sampai
jenazah Ki Pamilin diurus dan dimakamkan di halaman
belakang rumah besar. Menjelang sore semua orang ber-
kumpul kembali di dalam rumah. Raden Bintang berpaling
pada Pendekar 212.
“Saya sudah membaca surat Eyang Sinto Gendeng.
Saya dan tentu semua orang yang ada disini merasa
menyesal tokoh sakti dari Jawa Barat itu tidak bisa hadir.
Karenanya dengan segala kehormatan kami mengundang
Pendekar 212 untuk mewakilinya.”
Kalau sudah begini sikap urakan Wiro jadi keluar. Dia
masih berdiri tapi kini garuk-garuk kepala. “Maafkan saya,”
katanya. “Kalau tidak salah isi surat itu hanya mengatakan
bahwa Eyang tidak bisa datang. Beliau tidak memberi
wewenang pada saya untuk bertindak sebagai wakil pada
pertemuan para tokoh ini.”
“Pendekar 212 walau Eyang Sinto Gendeng memang
tidak menuliskan bahwa kau boleh mewakilinya, tapi kami
semua yang hadir di sini sama menyetujui dan tak ada
yang keberatan,” Kata tuan rumah pula.
Kembali Pendekar 212 menggaruk kepala. “Mohon
maaf. Saya merasa tidak punya bobot untuk tegak sama
tinggi dan duduk sama rendah dengan semua orang
pandai yang ada di sini. Izinkan saya minta diri…”
Raden Bintang merasa agak tersinggung. Maka diapun
cepat berkata ketika dilihatnya Wiro hendak membalik.
“Pertemuan ini sangat penting. Kita akan membicarakan
tindakan yang harus diambil terhadap Kamandaka murid
Partai Semeru Raya itu! Jika dibiarkan semakin banyak
korban yang jatuh. Kau menyaksikan sendiri bagaimana
kejinya dia membunuh Ki Pamilin dan merusak kehormat-
an anak gadis orang tua itu. Menghabisi nyawa dua
perajurit Kerajaan. Bahkan belasan tokoh silat sebelumnya
telah dihabisinya. Apakah kau ingin berlepas tangan
saja…?”
Kalau tadi Raden Bintan yang merasa agak tersinggung,
kini sebaliknya Pendekar 212 Wiro Sableng yang merasa
tersinggung dan dipojokkan.
“Kalau saya tidak ikut dalam perternuan ini bersama
para tokoh yang saya hormati, bukan berarti saya hanya
bertopang dagu berlepas tangan. Guru saya Eyang Sinto
Gendeng mengajarkan bahwa pada saat-saat penting ada
kalanya seseorang harus lebih banyak bertindak dari pada
banyak bicara. Kamandaka sudah berbuat jahat menebar
maut dan kebejatan sejak beberapa bulan lalu. Apa yang
telah dilakukan orang-orang persilatan? Saya minta diri…”
Wiro membalikkan badannya dan melangkah cepat
meninggalkan rumah besar itu tanpa melihat bagaimana
paras Raden Bintang menjadi kemerahan akibat kata-kata
yang diucapkannya tadi. Sambil melangkah Pendekar 212
Wiro Sableng menggerendeng. “Pertemuan… pertemuan!
Berunding, bicara tak habis-habisnya. Seharusnya sudah
sejak dulu-dulu mereka melakukan tindakan nyata, bukan
cuma bicara!”
Baru saja Wiro mengomel seperti itu di sebelahnya ter-
dengar satu suara. “Kau betul anak muda! Urusan kapiran
macam begini tidak bakal beres kalau cuma dibicarakan di
belakang meja sambil minum-minum dan makan-makan.
Aku ikut bersamamu!”
Wiro berpaling. Orang yang melangkah di sampingnya
ternyata adalah orang tua berpakaian serba hitam dan
memakai gelang bahar pada kaki dan tangannya. Dia
bukan lain adalah Datuk Alam Rajo di Langit. Tokoh silat
dari Andalas yang sebelumnya punya rencana membawa
Mintari ke tempat kediamannya.
“Orang tua, kau mau ikut aku ke mana?” bertanya Wiro
sambil terus melangkah.
“Mencari pemuda keparat bernama Kamandaka itu
tentu!”
“Siapa bilang aku saat ini pergi mencarinya?”
Datuk Alam Rajo Di Langit jadi terkesima dan hentikan
langkahnya. Di depannya Wiro kembali berkata. “Saat ini
bukankah lebih penting bagimu merawat calon muridmu
itu? Persoalan Kamandaka biar serahkan saja pada para
tokoh silat di Tanah Jawa ini.”
Ingat pada Mintari Datuk Alam Rajo Di Langit jadi
bimbang. Lalu perlahan dia berkata. “Memang sebaiknya
aku lebih memperhatikan keadaan calon muridku itu.” Di-
pegangnya bahu Pendekar 212 lalu orang tua ini balikkan
tubuh, kembali menuju rumah besar tempat pertemuan.
Ketika dia sampai di tempat itu kembali ternyata semua
orang yang ada di situ tengah dilanda kegemparan.
Terheran-heran Datuk Alam Rajo Di Langit bertanya.
“Apa yang terjadi? Banyak orang bermuka pucat kulihat.
Kegemparan apa yang ada di sinil”
Seseorang menjawab. “Gadis malang bernama Mintari
itu lenyap di culik orang!”
“Hah?!” Datuk Alam Rajo Di Langit terbeliak.Dia
langsung melompat masuk ke dalam rumah, terus menuju
kamar di mana Mintari dirawat. Yang ditemuinya di kamar
itu hanya dua orang perempuan separuh baya yang se-
belumnya diperintahkan merawat Mintari. Kedua perempu-
an ini tertegak di sudut kamar dengan muka pucat!
Datuk Alam Rajo Di Langit dekati kedua perempuan itu.
“Lekas ceritakan apa yang terjadi!” bentaknya keras dan
tidak sabaran.
Dengan suara gemetar salah seorang dari dua
perempuan itu berkata. “Saya tengah membasuh muka
dan tubuh gadis itu. Teman saya ini baru saja meletakkan
sehelai sapu tangan di keningnya yang panas. Tiba-tiba
jendela di sebelah sana terpentang lebar. Lalu ada sese-
orang masuk seperti bayangan. Dia berkelebat ke atas
tempat tidur. Tubuh gadis itu dipanggulnya. Lalu dia meng-
hilang lewat jendela.”
“Kalian mengenali siapa orangnya?” Raden Bintang
ajukan pertanyaan.
“Gerakannya cepat. Tapi kalau saya tidak salah tangkap
dia adalah seorang nenek kurus berkulit hitam. Di kepala-
nya ada tusuk kundai…”
Datuk Alam Rajo Di Langit berpaling pada Raden
Bintang. Yang lain-lainnya juga berlaku demikian. Saling
pandang dan saling menduga.
“Bisa saja tidak mungkin,” kata Raden Bintang perlahan.
“Namun manusia dengan ciri-ciri seperti itu hanva ada
satu. Sinto Gendeng dari Gunung Gede di Jawab Barat.
Guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 2l2!”
“Lekas kita selidiki ke luar!” teriak Datuk Alam Rajo Di
Langit. “Yang lain-lainnya coba mengejar pemuda murid
Sinto Gendeng tadi!”
Semua tetamu yang ada di tempat itu segera berbagi
menjadi dua rombongan. Satu menyelidiki kemana lenyap-
nya Mintari bersama nenek penculik. Satu rombongan lagi
mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng.
Namun kedua orang itu telah raib tak dapat lagi dikejar.
***
WIRO SABLENG
4 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
ALAM sebuah rumah kayu di puncak Gunung
Semeru lima orang duduk bicara mengelilingl
sebuah meja bulat. Dari sikap dan air muka mereka
jelas mereka tengah membicarakan satu masalah yang
penting.
Kelima orang itu masing-masing adalah Gamar Seno-
patri, Ketua Partai Semeru Raya yang menyandang gelar
Dewa Tapak Sakti. Sang Ketua berusia hampir 70 tahun
tapi keadaan tubuh dan wajahnya seperti baru ber-usia 50
tahun. Rambutnya baru sedikit yang berwarna putih. Dia
digelari seperti itu karena kedua telapak tangannya ber-
warna biru, mengandung kesaktian langka di mana dua
tangan itu sanggup meremukkan benda sekeras apapun.
Orang ke dua adalah Ageng Seto, Ketua Cabang Partai
wilayah Utara. Di sebelahnya duduk Ageng Sembodo yang
merupakan adik Ageng Seto dan menjabat sebagai Ketua
Cabang Partai wilayah Selatan. Ageng Sembodo adalah
orang paling muda di antara ke lima orang itu, berusia 35
tahun dan memiliki wajah gagah.
Lelaki ketiga adalah Ketua Cabang Partai wilayah Timur,
bernama Ki Rono Bayu, berusia 76 tahun, jadi lebih tua
dari sang Ketua Partai Semeru.
Orang ke empat yaitu Rana Tumalaya, dipercayakan
sebagai Ketua Cabang Partai wilayah Barat.
Setelah mengusap wajahnya beberapa kali, Ketua
Partai Semeru Raya berkata. “Memang sulit dipercaya
kalau tidak dilihat sendiri. Kamandaka, pemuda yang jadi
D
murid harapan masa depan Partai, dikenal cakap gagah,
berjiwa penuh kesatria dan memiliki iman yang tinggi. Kini
diketahui telah menebar angkara murka keji di rimba per-
silatan. Dosanya makin hari makin menggunung. Kalau
ingatannya tidak terganggu, tidak mungkin dia melakukan
semua itu. Atau mungkin dia memiliki semacam ilmu yang
diamalkan secara sesat?”
“Mungkin sekali begitu Ketua,” menyahuti Ki Rono Bayu.
“Lima orang anak murid Partai Cabang Timur sempat
menemui Kamandaka di sekitar Karanganyar, tak jauh dari
kaki sebelah barat Gunung Karangpandan. Karena se-
belumnya sudah saling mengenal maka para murid saya
tidak sungkan-sungkan menasihati agar Kamandaka
kembali ke jalan benar dan segera menghadap Ketua
Partai untuk minta ampun. Namun apa yang mereka terima
sungguh mengenaskan. Empat orang murid partai dibunuh
dengan tangan kosong. Yang satu sempat melarikan did.
Dia memberi tahu bahwa Kamandaka telah memiliki satu
ilmu kesaktian baru yaitu berupa pukulan Tangan Halili-
ntar. Itu pula konon gelar yang dipakainya kini dalam dunia
persilatan.”
“Tangan Halilintar!” desis Gamar Senopatri. “Dari mana
anak itu mendapatkan ilmu kesaktian itu. Apa yang telah
membuatnya berubah menjadi setan? Membunuh bahkan
memperkosa!” Ketua Partai Semeru Raya ini geleng-geleng-
kan kepala sambil memegangi kalung baja putih dengan
perhiasan berbentuk kepala singa. Sepasang mata singa
ini diberi batu delima merah sehingga kelihatan berkilau-
kilau seperti memantulkan bara api.
“Seorang pemuka agama di selatan mengetahui tempat
kediaman Kamandaka. Agaknya sudah saatnya kita harus
turun tangan…” berucap Ketua Cabang Partai wilayah
Selatan yaitu Ageng Sembodo.
Gamar Senopatri alias Dewa Tapak Sakti usapusapkan
kedua telapak tangannya yang biru satu sama lain.
“Memang sudah saatnya. Biar aku sendiri yang akan
menemui anak itu. Membawanya kemari untuk bertobat
dan menebus segala dosa. Kalau dia tidak mau akan ku-
bunuh di tempat!”
Baru saja Ketua Partai Semeru Raya itu berkata
demikian, tiba-tiba, ada suara menyahuti.
“Ki sanak benar! Murid murtad itu memang patut di-
bunuh. Dipancung kepalanya, dicincang sekujur tubuhnya!”
Terdengar angin bersiur. Lampu minyak yang tergantung
di atas meja bergoyang-goyang. Ke lima y orang yang ada di
ruangan itu cepat berdiri. Mereka berpaling ke kanan.
Di ambang pintu tegak seorang kakek berdestar dan
berpakaian serba hitam. Pergelangan tangan dan kakinya
dilingkari gelang akar bahar. Tampangnya sekeras batu
karang dan pandangan matanya seperti api menyambar.
Dia adalah Datuk Alam Rajo Di Langit, tokoh silat dari
Andalas yang beberapa hari lalu menghadiri pertemuan
para tokoh silat di Selatan.
“Tamu terhormat dari mana yang datang tidak memberi
salam?” tegur Ketua Partai Semeru Raya sekaligus
menyindir.
Datuk Alam Rajo Di Langit parasnya tidak berubah
sedikitpun oleh teguran itu. Kedua matanya menyapu
dengan cepat satu demi satu enam orang yang ada di
ruangan itu.
“Yang mana di antara kalian Ketua Partai Semeru
Raya?”
Gamar Senopatri mendehem beberapa kali sebelum
menjawab. Dari pakaian sang tamu dia segera maklum
kalau orang itu datang dari seberang.
“Tamu dari seberang rupanya datang mencari saya.
Saya Ketua Partai Semeru Raya. Nama saya Gamar
Senopatri. Siapakah kiranya ki sanak?”
“Jadi kau rupanya guru Kamandaka. Pemuda bejat yang
gentayangan malam melintang menebar maut, menculik
dan memperkosa!”
Paras Ketua Partai Semeru Raya jadi berubah. Empat
Ketua Cabang tampak tegang. Selama ini belum ada orang
yang datang membawa persoalan menyangkut diri Kaman-
daka.
“Saya memang guru Kamandaka,” kata Gamar Seno-
patri. “Terangkan dulu siapa ki sanak dan apa maksud
kedatangan jauh-jauh ke sini?”
“Setahuku kau diundang dalam pertemuan para tokoh
silat di Selatan. Mengapa tidak muncul atau mengirim
wakil?”
“Akh, ki sanak rupanya utusan para tokoh silat dalam
pertemuan itu.”
“Siapa bilang begitu? Aku datang mauku sendiri!” sahut
Datuk Alam Rajo Di Langit.
“Kalau begitu silahkan duduk. Mari kita bicara secara
baik-baik.”
Datuk Alam mendengus. “Siapa sudi duduk dengan
kalian orang-orang yang tidak bertanggung jawab?!”
Lima orang disekitar meja tampak marah. Yang empat
masih bisa menahan diri tapi yang paling muda yaitu Ageng
Sembodo langsung membentak.
“Apa maksud ucapanmu orang tua berpakaian hitam?!
Datang tidak tahu juntrungan! Bicara tidak karuanl Jangan
salah kalau orang macammu bisa digebuk!”
Datuk Alam menyeringai. “Orang muda, di negeriku
manusia bermulut enteng sepertimu sudah lama disingkir-
kan! Kalian orang-orang Partai Semeru hanya bisa bicara
tapi tidak pernah bertindak! Sahabatku Ki Pamilin bergelar
Pendekar Tangan Baja dibunuh oleh Kamandaka secara
keji! Anak gadisnya yang bakal menjadi calon muridku
diperkosa! Aku datang membawa kabar buruk itu agar
kalian segera berbuat sesuatu! Dan tadi kau bilang aku
datang tanpa juntrungan! Bicara tidak karuan! Orang
sepertimu seharusnya dirobek mulutnya!”
Para lima orang Ketua Partai Semeru Raya tampak
berubah. Ageng Sembodo mengelam wajahnya.
“Kenapa kalian jadi diam semua? Apa sudah disambat
hantu bisu?!” sentak Datuk Alam Rajo Di Langit. Dia
menunjuk tepat-tepat pada Ketua Partai Semeru Raya.
“Kalau dalam waktu satu bulan kau tidak bisa menangkap
muridmu dan menghukumnya dengan hukuman mati, aku
akan muncul lagi di tempat ini. Saat itu seluruh puncak
Semeru akan aku obrak-abrikl Nyawa kalian tidak ada
harganya lagi bagiku! Ingat baik-baik!”
Datuk Alam Rajo Di Langit membalikan tubuh hendak
pergi. Tapi Gamar Senopatri cepat berkata.
“Ki Sanak harap mau berlaku hormat sedikit. Walau
marah dan dendam membara jadi satu, tapi kita orang-
orang tua tentu bisa berkepala dingin. Silakan duduk dulu
agar kita bisa bicara baik-baik.”
Habis berkata begitu Ketua Partai Semeru Raya ini
angkat tangan kanannya yang berwarna biru. Satu ke-
kuatan yang tidak terlihat bergerak ke arah sebuah kursi
kayu. Kursi ini tampak terangkat. Lalu perlahan-lahan
seperti melayang bergerak mendekati Datuk Alam Rajo Di
Langit dan turun di sampingnya.
“Silakan duduk, ki sanak!” kata Gamar Senopatri. Dia
memberi isyarat pada empat Ketua Cabang. Bersama-
sama mereka kemudian duduk di kursi masing-masing.
Sesaat Datuk Alam tampak menunjukkan sikap
bimbang. Namun kemudian akhirnya dia duduk juga di
kursi itu dan diam-diam mengetahui kalau Ketua Partai
Semeru Raya sengaja memamerkan kehebatan tenaga
dalamnya. Kakek ini membatin. “Hemmm…. Mulutnya
bicara manis tetapi ada segumpal kesombongan di dalam
hatinya.”
“Nah sekarang kita bisa bicara panjang lebar mengenai
muridku si Kamandaka itu,” kata Ketua Partai Semeru
Raya pula.
“Ah, waktuku sempit. Lagi pula aku sudah memperingat-
kan kalian agar segera turun tangan mencari dan me-
nangkap Kamandaka.”
“Urusan kami dengan Kamandaka adalah urusan guru
dengan murid. “Urusan dalam Partai. Jadi harap ki sanak
tidak keliwat mendesak…”
Sepasang mata Datuk Alam Rajo Di Langit mendelik.
“Mungkin apa yang ki sanak bilang betul adanya. Tetapi
apa kata ki sanak menyangkut pembunuhan, penculikkan
dan perkosaan, yang dilakukan oleh Kamandaka? Apa itu
bisa dianggap sebagai urusan dalam? Ingat ki sanak.
Seluruh tokoh rimba persilatan tidak menganggap hal itu
urusan dalam Partai atau hanya sekedar urusan guru
dengan murid!”
Gamar Senopatri dan empat Ketua Partai tak bisa ber-
kata apa-apa.
“Ada hal lain yang aku rasa kurang sedap. Masakan
tuan rumah selaku Ketua Partai Semeru Raya yang begini
besar tega-teganya memberikan kursi reyot pada tamu
yang datang dari jauh.”
Setelah berkata begitu Datuk Alam Rajo Di Langit
segera berdiri dan tinggalkan ruangan itu.
Gamar Senopatri dan empat orang Ketua Cabang Partai
tentu saja heran mendengar ucapan Datuk Alam Rajo Di
Langit itu. Mereka segera memburu ke pintu tapi sang
Datuk Alam Rajo Di Langit sudah lenyap. Padahal puncak
Semeru di kawasan itu merupakan pedataran yang agak
luas.
“Gerakannya luar biasa cepat,” kata Gamar Senopatri
mengagumi. “Sayang dia sama sekali belum mengatakan
siapa dirinya.” Lalu Ketua Partai Semeru Raya ini berpaling
ke arah kursi yang tadi sempat diduduki tamunya.
“Apa yang tidak beres dengan kursi ini? Kursi begini
kokoh dikatakan reyot!” berkata Ageng Sembodo. Lalu kursi
kayu itu dipegangnya pada bagian sandaran dan diangkat-
nya. Terjadi hal yang aneh. Sambungan kayu-kayu kursi
tiba-tiba bertanggalan dan jatuh ke lantai hingga Ageng
Sembodo kini hanya memegang bagian sandarannya sajal
“Manusia luar biasa!” mau tak mau pujian itu keluar dari
mulut sang Ketua Partai. Lalu sambungnya. “Sebaiknya kita
teruskan pembicaraan.”
Kelima orang itu kembali duduk mengitari meja bundar.
“Sembodo, tadi kau mengatakan ada orang yang tahu
letak tempat kediaman Kamandaka,” Gamar Senopatri
membuka pembicaraan.
“Benar Ketua. Di sebuah goa di pantai Selatan. Sulitnya
goa ini terletak dibawah laut. Jadi sulit untuk memasuki-
nya. Kalau tidak salah goa itu bernama goa Kranggan.”
“Kalau begitu besok kau dan aku berangkat ke sana.”
“Tunggu dulu Ketua,” kata Ki Rono Bayu begitu men-
dengar kata-kata pimpinannya. “Soal maksud Ketua untuk
turun tangan sendiri tidak kami ragukan. Namun harap
Ketua jangan tergesa-gesa turun tangan sendiri. Beri dulu
kesempatan pada kami untuk mendatangi kediaman
Kamandaka. Jika bertemu akan kami seret dia ke hadapan
Ketua.”
“Saya setuju pendapat Ki Rono Bayu itu,” kata Rana
Tumalaya. Ke empat orang Ketua Cabang Partai sama
menyetujui hingga sang Ketua tidak bisa berbuat apa-apa
lagi: Maka diputuskan bahwa Ageng Sembodo dan Ki Rono
Bayu akan berangkat ke Selatan besok pagi. Namun se-
belum pertemuan dibubarkan, Ageng Seto mengajukan
sebuah usul.
“Setahu saya Kamandaka punya hubungan dekat
dengan murid Partai yang bernama Kintani. Bagaimana
kalau kita manfaatkan kedekatan hubungan itu. Kita minta
bantuan gadis itu untuk membujuk Kamandaka agar mau
menyerahkan diri dan ikut secara baik-baik ke puncak
Semeru ini.”
“Itu pemikiran yang baik,” kata Rana Tumalaya. “Entah
bagaimana pendapat yang lain-lain.”
“Saya tidak setuju. Perjalanan ke Selatan cukup jauh
dan sulit. Melibatkan Kintani terlalu berbahaya.” Yang
bicara adalah Ageng Sembodo.
Ketua Partai mengusap dagunya. Dia tidak mau me-
mandang ke arah Ageng Sembodo. Tetapi Ketua Cabang
Partai yang muda ini sekilas dilihatnya mengalami pe-
rubahan air muka. Gamar Senopatri dan juga semua orang
yang ada di situ secara diam-diam mengetahui ada
semacam perlombaan antara Kamandaka dan Ageng
Sembodo untuk memperebutkan Kintani. Ternyata Kaman-
daka lebih mendapat tempat di hati si gadis. Sejak
Kamandaka meninggalkan pucak Semeru lalu berbuat se-
gala macam kejahatan di rimba persilatan, Kintani nampak
sangat terguncang. Sebaliknya Ageng Sembodo merasa
bahwa kesempatan baginya untuk mendapatkan gadis itu
jadi terbuka lebar. Bagaimanapun sang Ketua Partai pasti
tidak akan merelakan Kintani berhubungan lagi dengan
Kamandaka, apalagi merestui keduanya sebagai suami
istri.
“Bagaimana pendapat Ketua?” bertanya Rana Tuma-
laya.
“Apa yang dikatakan Ageng Sembodo memang benar.
Perjalanan ke Selatan jauh dan sulit. Namun mengapa
tidak kita pergunakan kesempatan ini untuk memberikan
tambahan gemblengan pada Kintani?” Gamar Senopatri
alias Dewa Tapak Sakti memandang pada para Ketua
Cabang satu persatu. Karena tidak ada yang bicara maka
diapun mengambil keputusan. “Panggil Kintani, saya akan
bicara padanya.”
Sebenarnya Ageng Sembodo hendak berkata dan ber-
usaha mencegah maksud membawa serta Kintani itu. Dia
kawatir pertemuan si gadis dengan pemuda yang dicintai-
nya itu akan membawa akibat yang justru malah membuat
suasana tambah keruh. Tetapi melihat pada air muka
Ketua Partai, Ageng Sembodo memilih lebih baik dia diam
saja. Malah dia diam-diam ingin memanfaatkan perjalanan
itu untuk lebih mendekatkan diri dengan Kintani.
***
WIRO SABLENG
5 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
UKIT Selarong hampir tak pernah didatangi orang.
Selain lerengnya yang terjal dan penuh dengan
bebatuan, pohon-pohon disitu tumbuh sangat rapat.
Kabarnya di sekitar situ juga sering terlihat binatang-
binatang buas seperti harimau dan srigala hutan.
Namun siang itu terlihat kelebatan tubuh seseorang
yang dengan cepat mendaki bukit, melompat dari batu satu
ke batu lainnya, menyelinap sebat diantara pepohonan. Dia
ternyata seorang nenek kurus tinggi berkulit sangat hitam.
Muka dan matanya cekung. Alisnya putih. Di kepalanya
yang ditumbuhi rambut jarang berwarna putih ada lima
buah tusuk kundai perak. Dari ciri-ciri yang disebutkan ini
jelas si nenek adalah Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar
212 dari Gunung Gede.
Si nenek mendekati bukit Slarong sambil memanggul
sosok tubuh Mintari yang terbungkus kain berwarna
kuning. Jadi dialah yang telah menculik gadis itu sewaktu
berada di tempat kediaman Raden Bintang, tokoh silat
yang bergelar Rantai Bayangan.
Semakin tinggi ke atas bukit semakin dingin terasa
udara. Mintari perlahan-lahan sadar dari pingsannya.
Begitu siuman gadis ini langsung menjerit. Pertama karena
ingat akan apa yang ketika menyaksikan angkernya wajah
si nenek yang memanggul melarikannya.
“Gadis sialan!” Sebagaimana biasa Sinto Gendeng enak
saja memaki. “Jeritanmu mengejutkanku! Untung aku tidak
latah dan melemparkanmu ke bawah bukit!’
B
“Nen… nenek. Kau siapa…?” tanya Mintari.
“Diam sajalah! Nanti kalau sudah sampai di tempat
tujuan baru kau boleh bertanya panjang lebar! Tidak baik
bicara di jalanan. Kalau setan mendengar dan ikut bicara
baru tahu rasa kau. Hik…hik…hik…!” Si nenek tertawa
cekikikan.
Mintari jengkel ada takutpun ada. Hendak menutup
mulut dia merasa kawatir. Maka diapun bertanya kembali.
“Kau ini sebetulnya mau bawa aku kemana Nek?”
“Anak setan!” si nenek gebuk pantat Mintari. “Kalau
aku bilang diam, jangan berani membuka mulut!”
Akhirnya terpaksa gadis itu berdiam diri.
Di salah satu lereng bukit Slarong terdapat sebuah
telaga kecil berair jernih. Kesinilah Sinto Gendeng mem-
bawa Mintari. Di salah satu tepian telaga terdapat sebuah
gundukan batu berbentuk goa. Eyang Sinto Gendeng ber-
henti di depan goa dan menurunkan Mintari. Dari kepitan-
nya dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang ternyata
isinya adalah sehelai baju dan celana putih.
“Nenek….”
“Lekas kau pakai pakaian itu. Kalau sudah baru nanti
kita bicara!” Sinto Gendeng memotong ucapan Mintari.
Mau tak mau gadis itu melakukan juga apa yang dikata-
kan si nenek. Selesai berpakaian dia tegak memperhatikan
si nenek yang melangkah kakinya ke dalam air telaga. Tiba-
tiba Eyang Sinto Gendeng hentikan langkahnya, berpaling
memandang Mintari.
“Nah sekarang kau boleh omong. Bicara dan tanya apa
saja yang kau mau. Tapi ingat jangan lama dan panjang
lebar. Aku tidak punya waktu banyak. Aku manusia yang
lebih banyak berbuat dari pada bicara ngulon-ngidul! Ayo
buka mulutmu!”
“Nek… seingat saya, sebelum jatuh pingsan seorang
pemuda menolong saya….” Apa yang telah dialaminya
terbayang kembali di pelupuk mata Mintari. Gadis ini
menangis keras dan jatuhkan diri berlutut di tepi telaga.
“Saya dirusak secara keji. Ayah saya dibunuh. Apa guna-
nya lagi hidup ini…!” Mintari menjerit. Lalu tampak dia
melompat. Dengan nekad gadis ini berlari cepat ke dinding
batu di samping goa, siap untuk membenturkan kepalanya!
“Anak tolol!” teriak Eyang Sinto Gendeng marah. Sekali
dia berkelebat dia sampai lebih dulu di depan dinding batu.
Tangan kanannya yang kurus diangkat. Telapak tangannya
menangkap kening Mintari hingga kepala gadis itu tidak
sampai membentur dinding batu!
Si nenek gerakkan tangan kanannya. Mintari terbanting
ke tepi telaga, menangis keras-keras.
“Itulah kelemahan perempuan! Cis! Memalukan!” kata
Sinto Gendeng. “Biasanya hanya menangis, putus asa lalu
bertindak nekadl Apa kau tidak punya hati untuk merasa
dan otak untuk berpikir? Kalau punya hati untuk merasa
dan otak untuk berpikir? Kalau kau mampus apa yang
akan kau dapat? Sorga tidak neraka pasti! Karena ter-
kutuklah orang-orang yang mati bunuh diri!”
Mintari mengusap air matanya. Dia memandang pada si
nenek yang telah menyelamatkan jiwanya. “Maafkan saya
Nek. Pikiran saya benar-benar kalut. Saya tidak sanggup
menahan sengsara yang amat berat ini. Tolong beri tahu
siapa nenek ini adanya. Mengapa membawa saya ke
tempat ini?”
Mulut Eyang Sinto Gendeng tampak komat-kamit.
“Pemuda yang menolongmu itu adalah muridku. Nama-
nya Wiro Sableng. Aku gurunya bernama Sinto Gendeng…!”
Mintari terkesiap mendengar si nenek menyebut nama-
nama aneh itu. Sableng dan Gendeng! “Ah, aku ber-
hadapan dengan seorang nenek kurang waras rupanya.
Tapi aku yakin manusia seorang nenek kepandaian tinggi.
Aku ingat cerita guru tentang seorang nenek sakti yang
diam di puncak Gunung Gede. Jangan-jangan dia ini orang-
nya. Murid itu pasti Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
“Kau mau tanya apa lagi?!” Sinto Gendeng memandang
dengan mata dibesarkan pada Mintari.
Si gadis lantas menjawab.
“Turut cerita yang pernah saya dengar dari guru, apakah
nenek orang sakti yang diam di puncak Gunung Gede dan
murid nenek itu bukankah yang dijuluki orang sebagai
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?”
“Bagus, otakmu tajam juga. Kalau kau sudah tahu aku
tidak perlu lagi menjawab pertanyaanmu. Aku bisa mulai…”
“Tunggu dulu Nek. Saya ingin tahu sebab apa Nenek
membawa saya kemari,” kata Mintari pula.
“Anak tolol! Justru hal itu yang hendak aku terangkan
padamu!” berkata Eyang Sinto Gendeng dengan wajah
merengut.
“Maafkan kalau saya keliwat mendesak. Tapi per-
temuan dengan seorang tokoh besar dunia persilatan se-
perti Nenek sungguh membuat saya senang….”
“Dasar anak tolol! Aku membawamu kemari bukan
untuk bersenang-senang!”
Melihat Eyang Sinto Gendeng seperti marah, Mintari
cepat berkata. “Maafkan Nek. Maksud saya….”
“Sudah! Kau dengan saja apa yang aku bilang. Jawab
apa yang aku tanya. Mengerti…. ”
“Saya mengerti Nek….”
“Panggil aku Eyang!”
“Baik Nek eh Eyang ”
“Kau tahu siapa yang membunuh Ayahmu?”
“Tahu Eyang.”
“Tahu siapa? Sebutkan orangnya.”
“Kamandaka. Dia murid sesat dan murtad Ketua Partai
Semeru Raya. Bergelar Tangan Halilintar.”
‘”Kau tahu siapa yang merusak kehormatanmu?”
“Manusia terkutuk yang sama Eyang. Kemahakah itu!”
“Jadi kau sudah tahu dengan jelas,” kata Sinto
Gendeng. “Lantas apakah aku tidak ingin membalaskan
sakit hati kematian Ayahmu serta perlakukan keji yang di-
lakukan Kamandaka terhadapmu?”
“Itu memang tersurat dalam benak dan tergurat dalam
hati saya Eyang. Tapi manusia itu kepandaiannya tinggi,
sekali. Ayah saja mati ditangannya.”
“Anak tolol! Kalau Ayahmu tidak mampu apa berarti kau
juga tidak mampu?!”
“Saya sudah mencoba Eyang tapi gagal.” Jawab Mintari.
“Satu saat jika kau bertemu lagi dengan Kamandaka,
kau tak akan gagal. Itu sebabnya aku membawamu
kemari. Ada satu ilmu pukulan yang harus kau pelajari
untuk dapat mempercudangi Kamandala.”
“Astaga, rupanya Eyang hendak mengambil saya jadi
murid!” seru Mintari lalu buru-buru jatuhkan diri berlutut.
Si nenek tertawa.
“Siapa bilang aku mengambilmu jadi murid? Muridku
cukup satu. Si pemuda sableng bernama Wiro itu!”
Paras Mintari berobah.
“Seperti kukatakan tadi, kau akan kuberi pelajaran
menguasai satu ilmu pukulan sakti. Pukulan Sinar
Matahari…!”
“Saya pernah mendengar kehebaran pukulan sakti yang
menggegerkan dunia persilatan itu,” kata Mintari pula.
Di hadapannya Eyang Sinto Gendeng tegak dengan
kedua kaki dikembangkan. Tangan kanannya diangkat per-
lahan-lahan. Mintari melihat bagaimana tangan itu sampai
sebatas lengan berubah menjadi putih seperti perak ber-
kilauan. Tiba-tiba si nenek menghantam ke depan. Ter-
dengar suara menderu dahsyat disertai berkiblatnya sinar
terang benderang dan hawa panas menghampar. Menyusul
suara menggelegar.
Di depan sana dinding batu yang keras hancur
berantakan. Mintari sampai leletkan lidah melihat kehebat-
an pukulan sakti itu. Padahal Eyang Sinto Gendeng baru
kerahkan sepertiga saja dari tenaga dalamnya!
“Pukulan Sinar Matahari…” kata Sinto Gendeng pada
dirinya sendiri. “Hebat luar biasa! Tapi tidak mampu
mengalahkan kehebatan Pukukan Halilintar Kamandaka…!
Gila! Edan betul!” Paras cekung Sinto Gendeng menunjuk-
kan rasa kecewa yang mendalam.
“Eyang…” kata Mintari. “Kalau pukulan Sinar Matahari
tidak mampu mengalahkan Pukulan Halilintar Kamandaka,
lalu mengapa Eyang hendak mengajarkannya juga pada
saya?”
Si nenek menyeringai. “Aku tahu dan aku tidak bodoh!
Ilmu pukulan Sinar Matahari yang akan kuajarkan padamu
akan kuberi satu tambahan kekuatan hingga bisa
menyelusup menggepur ambalas pukulan sakti
Kamandaka. Namun harus kau ketahui, ilmu pukulan itu
hanya bisa kau kuasai selama tida puluh hari dan hanya
bisa kau pergunakan satu kali saja. Setelah tiga puluh hari
ilmu tersebut akan lenyap. Berarti dalam waktu tiga puluh
hari kau harus dapat menemukan Kamandaka!”
Sesaat Mintari terkesiap mendengar kata-kata Sinto
Gendeng itu. lalu akhirnya terdengar dia berkata. “Terima
kasih Eyang. Saya akan pelajari ilmu pukulan itu baik-baik.”
“Berdiri di depankul” kata Eyang Sinto Gendeng. “Aku
mau jajal sampai di mana tingkat tenaga dalammul”
Mintari tegak dua langkah di hadapan Eyang Sinto
Gendeng. “Kepalkan tangan kananmu, ulurkan tepat-tepat
ke hadapanku!”
Kembali si gadis melakukan apa yang dikatakan si
nenek. Sinto Gendeng sendiri melakukan hal yang sama
tapi dengan tangan kiri. Kedua tangan mereka yang
terkepal saling bersentuhan. “Tekan yang kuat!” kata Sinto
Gendeng.
Mintari menekankan tangan kanannya ke depan!”
“Bagus! Sekarang kerahkan seluruh tenaga dalam!”
Mintari segera kerahkan tenaga dalamnya. Tubuhnya
sampai ke lengan yang diacungkan tampak bergetar keras.
Eyang Slnto Gendeng menunggu sampai seluruh kekuatan
tenaga dalamsi gadis terhimpun di kepalan tangan
kanannya. Ketika hal itu tercapi baru nenek sakti ini
mengerahkan tenaga dalamnya. Dia mulai dengan seper-
sepuluh bagian. Naik dua persepuluh. Ketika mencapai
tingkat seperempatnya, di hadapannya Mintari nampak
goyang kedua lututnya. Di kening gadis ini memercik
keringat. Pakaiannya juga basah oleh keringat. Eyang Sinto
putar kepalan tangan kirinya ke samping kiri. Saat itu pula
terdengar suara jeritan Mintari. Gadis ini terpental enam
langkah, jatuh masuk ke dalam telaga. Mukanya tampak
seputih kertas!
Dengan cepat Mintari berenang ke tepi telaga. Di
hadapan Sinto Gendeng dia berkata. “Maafkan saya
mengecewakan Eyang.”
“Tidak jadi apa. tapi kau perlu meningkatkan tenaga
dalammu sampai paling tidak dua kali dari yang sekarang
ini. Kalau kau tidak mampu melakukannya berarti seumur
hidup kau tidak bakal dapat membuat perhitungan dengan
Kamandaka!”
“Jika Eyang mau membimbing, saya akan berusaha
keras untuk meningkatkan tenaga dalam saya…”
“Kau butuh waktu paling sedikit dua bulan. Kau harus
sungguh-sungguh!”
“Saya akan sungguh-sungguh Eyang. Saya berjanji!”
Sinto Gendeng menyeringai. “Berjanji lebih bagus dari
pada bersumpah! Berapa banyak saja manusia yang ber-
sumpah palsu!”
“Terima kasih Eyang. Kau memberi saya kesempatan…”
“Sudah, lupakan segala macam peradatan. Kita mulai
sekarang juga. Duduk bersila di depan mulut goa sana.
Letakkan kedua tanganmu di atas ujung paha dekat lutut.
Lalu kerahkan tenaga dalammu dari perut. Tapi jangan di-
alirkan. Tetap di perut dan tahan!”
***
WIRO SABLENG
6 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
IGA penunggang kuda itu berhenti di tepi pantai.
Mereka adalah Ki Rono Bayu, Ketua Cabang Partai
Semeru raya wilayah Timur. Lalu Ageng Sembodo,
Ketua Cabang wilayah Selatan dan yang ketiga seorang
gadis berkulit putih. Dia mengenakan pakaian ringkas putih
dan mengenakan ikat kepala. Wajahnya yang cantik ke-
merahan disengat sinar matahari. Gadis ini adalah anak
murid Partai yang bernama Kintani.
“Dimana letak goa Kranggan itu?” bertanya Ki Rono
Bayu tidak sabaran.
Ageng Sembodo tidak segera menjawab. Dia me-
mandang ke tengah laut tetapi pandangannya kosong. Dia
tengah membayangkan pembicaraannya dengan Kintani
malam tadi.
Waktu itu mereka berkemah dan membuat api unggun
di pinggir sebuah anak sungai. Ki Rono Bayu sudah tertidur
karena keletihan.
Ageng Sembodo dan Kintani tidak segera bisa tidur.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Ageng Sembodo untuk
mendekati si gadis. Dia memulai pembicaraan dengan ber-
tanya bagaimana perkembangan ilmu silat serta tenaga
dalam si gadis. Kintani menjawab ada kemajuan tetapi
tidak banyak.
“Kau harus rajin berlatih Kintani. Ketua sangat meng-
harapkan kau menjadi salah seorang murid Partal yang
bisa diandalkan,” kata Ageng Sembodo pula. Lalu dia ber-
tanya. “Apakah kau masih mengngat-ingat Kamandaka?”
T
“Dia saudara seperguruan, saudara se Partai. Tentu saja
tidak ada yang lupa padanya.”
Ageng Sembodo tersenyum. “Kau hanya mengingatinya
sebagai saudara seperguruan dan saudara se-Partai?”
“Maksud Ketua Cabang apa?” tanya Kintani.
“Panggil saja namaku.”
“Baik. Lalu maksud Ageng Sembodo apa?”
“Aku tahu, semua orang tahu kalau kau ada hubungan
khusus dengan pemuda itu. Kalian saling mencinta.”
Kintani diam saja walau wajahnya tampak bersemu
merah.
“Setelah dia kini menempuh hidup sesat, murtad, apa-
kah kau masih mencintainya Kintani?”
“Saya yakin ada sesuatu yang menyebabkan dia jadi
begitu. Saya tahu dia orang baik. Kalau saya bertemu dia,
hal itu yang perlu saya tanyakan lebih dulu.”
“Justru jika kita bertemu dengan dia, kita tidak punya
waktu banyak untuk bicara soal lain. Dirinya dikejar dosa
dan hukum. Ingat hal itu Kintani. Dia bukan anak murid
Partai lagi. Sekali kita menemuinya dia akan kita seret ke
hadapan Ketua. Jika dia menolak. Ketua sudah berpesan
dan memberi wewenang untuk membunuhnya di tempat.
Kalaupun dia bisa dihadapkan pada Ketua Partai, umurnya
tak akan lama. Dia akan dijatuhi hukuman mati1″
Si gadis diam kembali.
“Dari sekarang kau harus mulai melupakannya Kintani.
Kalau tidak kau akan hanyut dalam derita batin.”
Kintani masih berdiam diri.
Ageng Sembodo menggeser duduknya. Dipegangnya
tangan Kintani seraya berkata. “Kau pasti tahu Kintani.
Sejak lama aku mencintaimu. Jika kau sudi, masa depan
yang baik akan menanti kita. Ketua Partai pasti merestui
hubungan kita.”
Ageng Sembodo menunggu sambil menatap paras si
gadis di sebelahnya.
“Apa jawabmu Kintani?”
Tak ada jawaban.
“Aku percaya kau juga menaruh perasaan yang sarna
terhadapku. Hanya halangan diri Kamandaka yang mem-
buatmu tidak bisa menerima kenyataan itu. Bukankah
demikian….?”
“Saya tidak tahu Ageng…” sahut Kintani.
Ageng Sembodo mendekatkan wajahnya ke wajah si
gadis. Sesaat lagi hidungnya akan mencium dan menyen-
tuh pipi Kintani, gadis ini jauhkan kepalanya dan lepaskan
jari-jari tangannya dari pegangan Ageng Sembodo.
“Saya letih. Saya mengantuk. Besok kita harus melanjut-
kan perjalanan jauh. Sebaiknya kita tidur saja…”
“Kau pergilah tidur. Aku akan berjaga-jaga sambil me-
mandangi wajahmu yang cantik…” jawab Ageng Sembodo.
Ki Rono Bayu memandang pada Ageng Sembodo
dengan perasaan heran. Dalam hati dia membatin. “Aku
bertanya dia tak menjawab. Matanya tertuju ke arah laut.
Apa yang ada dalam benak orang ini?”
“Ageng Sembodo, aku bertanya apa kau tidak men-
dengar?”
Ageng Sembodo seperti kaget. Dia berpaling pada orang
tua itu seraya berkata. “Maafkan saya. Mohon per-
tanyaannya diulangi.”
“Saya tadi bertanya dimana letak goa Kranggan sarang
Kamandaka itu?” Suara Ki Rono Bayu jelas terdengar
jengkel.
“Ah… Goa itu rasanya berada di sekitar tempat ini Ki
Rono. Untuk pastinya kita harus menemui seseorang yang
tahu betul letak pastinya. Ikuti saya…”
Ki Rono Bayu dan Kintani mengikuti Ageng Sembodo
yang memacu kudanya menyusuri pantai ke arah timur. Di
saw tempat dia membelok ke kiri memasuki sebuah
perkampungan nelayan. Di ujung perkampungan Ageng
Sembodo hentikan kudanya di depan sebuah rumah yang
saat itu dikeillingi oleh orang banyak. Bau busuk menebar
dari dalam rumah.
“Ini rumahnya,” kata Ageng Sembodo pada Ki Rono
Bayu. “Tapi heran, ada apa orang berkerumun di sini?”
Ageng Sembodo turun dari kudanya dan bertanya pada
salah seorang yang ada di tempat itu. “Betul ini rumah Suro
Ampel?”
Orang yang ditanya mengangguk dan memandang pada
Ageng Sembodo serta Ki Rono Bayu dan Kintani. Orang-
orang di sekitar situ juga sama memperhatikan mereka.
“Saudara ini siapa? Apakah bermaksud menemui Suro
Ampel pemuka agama di kampung ini?” tanya orang yang
tadi menganggukkan kepalanya.
“Betul,” sahut Ageng Sembodo. “Ada apa orang banyak
berkerumun di sekitar sini?” tanyanya kemudian.
“Ada hal-hal yang tidak biasa. Sudah dua hari Suro
Ampel tidak keluar dari dalam rumahnya. Sejak pagi tadi
ada bau busuk keluar dari dalam rumah. Kami penduduk
kampung menaruh curiga. Jangan-jangan sesuatu telah
terjadi dengan diri Suro Ampel. Kami tengah berunding
untuk menjebol pintu rumahnya dan memeriksa ke
dalam…”
Ageng Sembodo tidak menunggu orang itu mengakhiri
ucapannya. Dia melompat ke hadapan pintu rumah. Sekali
tendang saja pintu yang terbuat dari papan itu jebol hancur
berantakan. Bersamaan dengan Itu bau busuk yang
menjijikkan keluar lebih santar dari dalam rumah.
Ada beberapa orang yang ikut masuk ke dalam rumah.
Mereka langsung hentikan langkah ketika sampai di bagian
tengah rumah. Di antara kegelapan tampak menggeletak
sesosok tubuh di lantai. Mukanya tidak bisa dikenali
karena sudah hancur dan membusuk. Sosok tubuh yang
sudah jadi mayat inilah yang mengeluarkan bau busuk.
Meski mukanya hancur namun dari bentuk tubuh serta
pakaian yang melekat di tubuh mayat Ageng Sembodo
segera tahu mayat itu adalah mayat Suro Ampel, orang
yang dicarinya dan yang tahu letak pasti goa Kranggan.
Tanpa menunggu lebih lama Ketua Cabang Partai Semeru
wilayah Selatan ini segera keluar dari tempat itu. Di luar
diceritakannya apa yang ditemuinya di dalam.
“Tak ada jalan lain. Kita harus menunggu sampai besok
pagi. Besok, kalau pasang surut terjadi, saya rasa saya bisa
mengenali dimana letak goa itu.”
Ki Rono Bayu hanya bisa angkat bahu dengan kesal
sedang Kintani menghela nafas panjang. Perjalanan itu
begitu jauh dan meletihkan. Lalu dia tidak dapat mem-
bayangkan apa yang bakal terjadi.
“Apa pendapatmu Ageng?” tanya Ki Rono Bayu.
“Apa lagi. Suro Ampel pasti korban keganasan Kaman-
daka.”
“Apa dosa manusia itu?” tanya Kintani.
“Kamandaka tidak ingin dia memberi tahu letak goa
Kranggan yang jadi sarangnya,” jawab Ageng Sembodo.
Pantai Selatan luar biasa indahnya ketika sang, surya
menyembul, mulai menerangi bumi dengan sinarnya yang
merah kuning kemilau. Air laut berubah laksana hamparan
permadani emas yang bergoyang- goyang.
Di tepi pasir Ageng Sembodo tegak bertolak pinggang.
Matanya tak berkesip memandang ke arah gundukan batu
yang menyembul dipermukaan air laUt yang kini men-
dangkal dalam keadaan pasang surut. Sore kemarin
gundukan batu itu tidak kelihatan karena pasang naik
menutupinya. Dia berpaling pada Ki Rono Bayu dan
Kintani, lalu berkata.
“Lihat, itu satu-satunya gundukan batu yang menyembul
di permukaan laut. Pasti disitu letak goa Kranggan!”
KI Rono Bayu tertawa mendengar ucapan Ageng Sem-
bodo itu. “Gundukan batu itu tidak lebih dari gundukan
batu biasa. Mana mungkin ada goa di situ!”
“Kita tunggu saja sampai beberapa saat lagi. Akan kita
lihat kalau air laut sudah sampai ke dasar batu,” kata
Ageng Sembodo yang merasa dicemoohkan.
Ketiga orang itu menunggu. Makin tinggi matahari naik,
makin dalam air laut turun. Akhirnya sebuah lobang
kelihatan dibawah gundukan batu.
Lobang ini setinggi orang membungkuk dan lebarnya
hanya cukup untuk sesosok tubuh manusia.
“Lihat! Itu pasti goanya!” kata Ageng Sembodo.
Setengah berlari dia menghampirl lobang itu dan
mengintai ke dalam. Bagian dalam lobang diselimuti
kegelapan. Cahaya matahari hanya sedikit sekali mampu
menerangi dari arah yang berlawanan dengan mulut
lobang. Bagian dalam lobang tampak merupakan suatu
penurunan. Air laut di dalamnya tertahan oleh sanding batu
yang menutupi setengah dari lobang.
Ki Rono Bayu membungkuk dan mengintai ke dalam.
Dia merasakan sesuatu menyapu wajah dan tubuhnya.
“Ada angin berhembus dari dalam lobang!” kata orang
tua ini. “Pertanda di dalam sana ada ruangan yang ber-
hubungan dengan udara luar. Tapi jelas bukan udara
laut…”
“Bagaimana Ki Rono mengetahui udara di sana bukan
udara laut?” tanya Ageng Sembodo pula.
“Udara laut saat ini masih dingin dan mengandung
garam. Sedang udara yang kucium terasa hangat dan ber-
bau embun…”
“Berarti lobang ini berhubungan dengan darattan!” kata
Ageng Sembodo.
“Kau benar. Tapi dimana dan bagaimana berhubungan-
nya perlu kita selidiki.” Ki Rono Bayu berpaling pada
Kinanti.
“Kinanti, kau tunggu di tempat ini. Jangan ke mana-
mana. Aku dan Ageng Sembodo akan memasuki goa dan
menyelidiki.”
Kinanti mengangguk. “Hati-hatilah dan jangan terlalu
lama di dalam sana. Saya merasa tidak tenang ditinggal
sendirian.”
Sebenarnya Ageng Sembodo juga tidak senang dengan
tindakan Ki Rono Bayu yang mengatur agar mereka berdua
masuk sedang Kinanti ditinggal sendirian. Dengan meng-
gerendeng dalam hati Ageng Sembodo masuk juga ke
dalam lobang membungkuk-bungkuk, diikuti oleh Ki Rono
Bayu di sebelah belakang. Hanya beberapa saat setelah
kedua orang itu memasuki lobang, di balik gundukan batu
sebelah kanan tanpa diketahui Kintani bergerak sesosok
tubuh tanpa suara.
Begitu hanya tinggal tiga langkah dari Kintani orang ini
melompat dan menyergap si gadis. Dalam kejutnya dara
murid Partai Semeru Raya itu hendak berteriak tetapi
mulutnya disekap hingga dia tidak bisa keluarkan suara
sedikitpun. Bahkan nafasnya tertahan membuat dadanya
sesak turun naik.
Untungnya Kintani tidak hilang akal. Kedua siku
tangannya dihantamkan ke belakang.
Bukkkk!
Bukkkk!
Dua siku mendarat dengan keras di tubuh orang yang
menyergapnya. Namun Kintani merasa seperti meng-
hantam kapas! Pukulan-pukulannya itu sama sekali tidak
membuat orang yang menyergapnya bergeming sedikitpun.
Bahkan sambil menyeringai orang itu berbisik.
“Kintani, aku memang sudah menduga kau bakal
datang mencariku. Aku memang sudah lama merindukan-
mu. Mulai detik ini kau akan ikut kemana aku pergi. Kita
tidak akan berpisah selama-lamanya…”
Dua mata Kintani membeliak besar. Dia mengenali
suara itu. Dalam dirinya ada rasa terkejut dan takut.
Namun diam-diam ada juga rasa bahagia.
“Jika kau berjanji tidak menjerit, akan kulepaskan
sekapan di mulut dan hidungmu…” Orang yang menyergap-
nya kembali berkata.
Si gadis angguk-anggukkan kepalanya tanda dia meng-
ikuti tidak akan berteriak. Perlahan-lahan si penyergap
lepaskan sekapannya.
Begitu dirinya terasa lepas Kintani secepat kilat me-
nyambar leher dan rambut orang di belakangnya. Sosok
tubuh itu kemudian ditariknya dan dibantingkannya ke
arah batu!
Tubuh yang dibanting lewat punggung itu memang jatuh
di batu. Namun tidak tergeletak cidera malah sambil ter-
tawa-tawa orang itu duduk bersila di atas batu itu. Kintani
membalikkan tubuh siap hendak menghantam. Kini
dengan pukulan sakti mengandung tenaga dalam. Namun
gerakannya tertahan ketika dia melihat wajah orang itu.
Sepasang mata mereka saling beradu.
“Ya Tuhan! Benar dia rupanya!” kata Kintani dalam hati.
***
WIRO SABLENG
7 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
IBIR Kintani bergetar ketika menyebut, “Mas Kaman.
Jadi betul kau tinggal di sini.” Pemuda di atas batu
kembali tertawa. Rambutnya yang gondrong me-
lambai-lambai di tiup angin laut. Wajahnya klimis meski
pakaian birunya lecak dan basah. Dia tidak mengenakan
destar.
“Kintani, dari ucapanmu jelas kalian datang kemari
untuk menyelidiki…”
“Jadi Mas Kaman telah melihat Ageng Sembodo dan Ki
Rono Bayu?”
“Daerah seluas ribuan tombak ini adalah kekuasaanku.
Tidak satupun yang lepas dari penglihatanku! Keduanya
masuk ke liang neraka. Berarti tidak bakal dapat keluar
lagi!” jawab orang di atas batu yang memang Kamandaka
alias Tangan Halilintar adanya.
“Maksud Mas Kaman mereka akan menemui ajal?”
“Mereka datang mencari mati sendirii Mereka bakal
mendapatkannya.”
“Jangan Mas Kaman. Jangan dicelakai mereka…” kata
Kintani memohon. Dia memperhatikan sepasang mata
pemuda itu. Sepasang mata itu tidak seperti dulu lagi. Dulu
ada cahaya lembut yang membuat Kintani merasa sejuk
jika dipandang. Saat ini dia menyaksikan betapa kedua
mata itu laksana menyambarkan api yang mengerikan.
“Kalian diutus oleh Ketua Partai bukan?” tanya
Kamandaka.
“Benar sekali. Syukur kalau Mas Kaman sudah menge-
B
tahuinya.”
“Apa saja perintah yang kalian jalankan?”
“Ketua dan juga guru kita meminta agar Mas Kaman
kembali ke puncak Semeru…”
Kamandaka menyeringai. Dia menengadah ke langit
lalu tundukkan kepala dan meludah.
“Enak saja dia memerintah begitu. Mengapa dia tidak
datang sendiri?”
“Mas Kaman jangan bicara begitu. Dia adalah Ketua
dan guru kita!” ujar Kintani.
“Dulu memang aku pernah menganggap begitu. Meng-
hormati dan mempercayainya sebagai guru dan Ketua
Partai. Tapi setelah kuketahui siapa dirinya, aku ber-
sumpah akan membunuhnya!”
“Mas Kaman, apa sesungguhnya yang terjadi dengan
dirimu? Mengapa kau kini punya jalan pikiran dan berucap
seperti itu?”
“Tidak ada yang berubah dengan diriku…”
“Tapi kau melakukan pembunuhan. Kau menculik dan…
dan… mem…”
“Memperkosa!” sambung Kamandaka tidak sabaran.
“Katakan saja begitu! Itu sebabnya aku dicap sebagai
murid murtad! Murtad! Kamandaka si murid murtad!
Sungguh sedap didengar telinga! Ha.., ha… ha …!”
“Mas Kaman, apakah kau bersedia ikut bersama kami
kembali ke puncak Semeru?” tanya Kintani.
“Mau saja, Kintani. Tapi…”
“Tapi apa Mas Kaman?”
“Tak ada yang bakal membawa aku ke sana…”
“Kami, kami yang akan membawamu ke sana menemui
guru,” kata Kintani pula.
Kamandaka alias Tangan Halilintar tersenyum. “Kalian
tak akan pernah kembali ke Semeru. Itu sebabnya ku-
katakan tak akan ada yang membawaku ke sana!”
“Jadi Mas Kaman hendak membunuh kami? Saya adik
seperguruanmu di dalam Partai. Ageng Sembodo dan Ki
Rono Bayu adalah Ketua-Ketua Cabang. Apa kau tega
mem-bunuh kami?”
“Setan atau malaikatpun jika berseteru dan membenci-
ku akan ku bunuh!” kata Kamandaka. Perlahan-lahan dia
turun dari batu, melangkah di air laut yang dangkal meng-
hampiri Kintani. Dulu-dulu jika didekati Kamandaka,
Kintani selalu merasakan dadanya berguncang keras. Tapi
guncangan itu justru dirasakannya sangat membahagia-
kan. Kini didekati sambil dipandang tidak bersikap malah
membuat si gadis merasa ngeri. Kuduknya terasa dingin.
“Mas Kaman …Banyak tokoh silat dari berbagai penjuru
tengah mencari Mas Kaman. Mereka semua punya niat
untuk menghabisi Mas Kaman. Kalau Mas bisa kembali ke
Semeru dan minta ampun pada Ketua Gamar Senopati…”
“Minta ampun? Aku minta ampun pada tua bangka
keparat itu? Justru dia yang harus minta ampun padaku!”
“Mas Kaman, mengapa kau sampai berkata begitu?”
Kamandaka memegang bahu Kintani. “Ikut aku ke
dalam goa. Jangan berani menolak!” Kamandaka ulurkan
tangannya. Kintani mundur ketakutan. Kamandaka kelihat-
an jengkel. “Seharusnya begitu tadi aku melihatmu sangat
layak aku segera membunuhmu! Tapi aku sadar. Ada
sesuatu dalam hatiku terhadapmu yang kurasakan sejak
dulu sampai saat ini.”
Paras Kintani tampak kemerahan. “Kalau Mas Kaman
masih mempunyai perasaan itu, Mas Kaman harus mau
meluluskan permintaan saya…”
“Permintaan apa?” tanya Kamandaka.
Dengan suara perlahan-lahan Kintani berkata.
“Kembali ke puncak Semeru. Jalani hidup yang lurus dan
benar!”
Kamandaka tertawa. “Kau rupanya sudah jadi seorang
Pendeta atau seorang Ustad atau seorang Resi. Huh!”
Dipegangnya lengan Kintani erat-erai lalu ditariknya ke
mulut lobang. “Ikut aku!”
“Tidak! Jangan…” pekik Kintani. Keduanya saling tarik
menarik. Tapi Kintani kalah kuat. Selangkah demi selang-
kah dia terseret ke arah lobang di gundukan batu. Di depan
lobang Kamandaka hentikan tarikannya. Pandangan kedua
matanya sesaat tampak mesra. Kintani jadi luluh. Ketika
pemuda itu melingkarkan kedua tangannya di punggung,
memeluknya, si gadis tidak kuasa menolak. Dia memang
sudah lama menyukal Kamandaka. Tiada disadarinya dia
sengaja merebahkan kepalanya di dada Kamandaka.
“Kau mencintai diriku Kintani. Aku tahu…” bisik Kaman-
daka seraya membelai rambut gadis itu. “Kau akan tinggal
di sini. Kita hidup sebagai suami istri. Kau dan aku akan
bahagia. Ha …ha…ha…”
“Dia gila berkata begitu…” kata Kintani dalam hati lalu
menjauhkan kepalanya dari dada si pemuda dan melepas-
kan pelukan Kamandaka. “Jika Mas. Kaman mau kembali
ke puncak Semeru, jika Ketua Partai merestui, baru saya
bersedia menjadi istri Mas Kaman…”
“Kurang ajar! Tidak ada yang bisa mengatur diriku! Juga
tidak kau!” teriak Kamandaka. Tangan kanannya diangkat
ke atas. Kintani melihat bagaimana tangan itu sampai ke
lengan menjadi sangat hitam. Ketika tangan itu dipukulkan
ke batu, tak ampun lagi setengah dari gundukan batu
besar di laut dangkal itu menjadi hancur berantakan.
Akibatnya lobang yang di batu menjadi tambah besar.
“Pukulan Halilintar…” membatin Kintani dengan wajah
pucat. Selagi dia terdiam memandangi Kamandaka,
pemuda ini cepat menyambar pinggangnya. Si gadis di-
panggulnya di bahu kiri lalu dengan membungkuk-bungkuk
dia memasuki lobang di batu itu. Kintani ingin meronta,
ingin melepaskan diri. Namun di dalam rasa takutnya ada
pula bayangan rasa bahagia. Bahagia karena setelah
sekian lama baru kini dia dapat berjumpa lagi dengan
pemuda yang selama ini memang dicintainya dan juga di-
ketahuinya memiliki sifat aneh kalau tidak mau dikatakan
seperti orang kurang waras. Ada bayangan maut pada
senyumnya. Ada kematian pada sinar matanya. Dengan
perasaan cinta kasih yang mereka miliki dapatkah dia me-
rendam semua keburukan dan kejahatan pemuda itu.
Dapatkah dia menguasai Kamandaka?
“Turunkan saya. Saya bisa berjalan sendiri…” kata
Kintani.
“Aku masih kuat memanggulmu sampai ke ujung
bumipun Kintani! Tapi jika kau mau jalan sendirl dan ber-
janji tidak akan berbuat macammacam itu aku juga sukai”
Lalu Kamandaka turunkan gadis itu dari bahunya.
Begitu menginjak tanah Kintani jadi heran. Ternyata
mereka kini bukan lagi berada dalam sebuah goa atau
terowongan, melainkan di alam terbuka. Di sebuah tempat
ketinggian yang ditumbuhi banyak pohon kelapa pendek
serta penuh batu-batu besar berwarna coklat kemerahan.
“Di mana kita ini Mas Kaman?” tanya Kintani.
“Inilah daerah kediamanku. Sebentar lagi kau akan me-
lihat rumah kita. Kau dan aku akan tinggal di sana sampai
hari kiamat! Ha… ha…ha…!”
Kini rasa takut dalam diri Kintani melebihi rasa sukanya
terhadap pemuda itu. Dia coba mengingat-ingat. Waktu
Kamandaka memanggulnya, pemuda itu melangkah biasa
tapi cepatnya sama seperti orang berlari. Dia dibawa me-
masuki lobang yang bagian dalamnya berbentuk goa atau
terowongan. Mula-mula terowongan ini menurun,
kemudian mendaki dan berputar. Putaran ini membalik ke
belakang. Berarti kalau sebelumnya mereka bergerak ke
arah laut, kini dia dibawa membalik ke arah darat setelah
melewat sebuah lobang yang ditutupi dengan semak
belukar. Sayup-sayup Kintani mendengar suara deburan
ombak pertanda bahwa tempat itu masih berada dekat
kawasan laut.
Kamandaka mendekat dan memegang tangan Kintani.
“Ikuti aku,” kata pemuda ini. “Sebelum kita menuju ke
rumah, aku harus melakukan sesuatu dulu. Kau datang
bersama dua binyawak bukan? Nah, kedua binyawak itu
harus kupersiangi lebih dulu!”
Kintani tahu sekali. Yang disebut Kamandaka dengan
nama binyawak itu adalah Ageng Sembodo dan Ki Rono
Bayu. Membayangkan apa yang dimaksud dengan ucapan
mempersiangi yang dikatakan Kamandaka tadi, semakin
dingin tengkuk Kintani. Lengannya di tarik kuat-kuat. Dia
dibawa melangkah cepat dan sesekali melompat ke atas
batu-batu besar. Aneh, jika dia melakukannya sendiri
mungkin belum tentu mampu. Tapi pegangan Kamandaka
pada lengannya seperti menyalurkan suatu hawa sakti
hingga tubuhnya terasa lebih enteng dan dengan mudah
dia mengikuti gerakan pemuda itu.
“Nah, itu dia dua ekor binyawak yang aku katakan
padamu!” Tiba-tiba Kamandaka berkata seraya menunjuk
ke depan.
Kintani memandang ke arah yang ditunjuk. Di dekat
sebuah batu besar dilihatnya Ageng Sembodo dan Ki Rono
Bayu tengah berdiri sambil memandang berkeliling.
“Binyawak busuk! Kalian mencariku?! Kalian tahu kalau
berani muncul di sini berarti sama saja mengantar nyawa?”
Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu terkejut. Mereka
cepat berpaling. Suara orang berseru itu terdengar cukup
jauh. Tetapi begitu suaranya sirap orangnya sudah berada
di depan mereka. Dan bukan hanya sendirian! Tapi ber-
sama Kintani!
***
WIRO SABLENG
8 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
ANYA beberapa saat setelah Kamandaka alias
Tangan Halilintar membawa Kintani memasuki goa
Kranggan, dua sosok tubuh berkelebat di tepi pantai
dari jurusan yang berlawanan.
Yang pertama adalah seorang kakek berpakaian serba
hitam, bergelang bahar dan kedua tangan dan kakinya. Dia
datang dari jurusan barat. Di tepi pasir dia berhenti
sejenak. Matanya memperhatikan gundukan batu dengan
lobang besar di bagian tengahnya yang terletak beberapa
tombak di sebelah depan.
“Pasti ini tempatnyal Hemm…. Kamandaka manusia
bejat murtadl Akhirnya kutemui juga sarangmu! Jangan
harap kau bisa lolos dari tanganku!” Habis berkata begitu
orang tua ini berkelebat. Dia melesat di atas air laksana
terbang dan di lain saat dia sudah berada di atas
gundukan batu. Tanpa ragu-ragu dia segera hendak
memasuki lobang yang menjadi pintu goa. Namun ada
sesuatu yang membentur sudut matanya datang dari arah
timur laksana seekor burung Rajawali.
Orang tua ini cepat berpaling. Dia merasakan ada angin
menyambar. Dengan sigap dia hendak memukul. Namun
cepat tarik pulang serangannya ketika mengenali siapa
adanya orang yang ada di hadapannya.
“Hampir tiga bulan lalu aku meaemuimu di tempat per-
temuan para tokoh silat. Kini kau muncul di sini. Apa
maksudmu datang ke tempat ini, Pendekar 212?!” tanya
orang tua berpakaian dan berdestar serba hitam.
H
Yang ditanya garuk-garuk kepala.
“Mungkin kita punya maksud yang sama, Datuk Alam
Rajo Di Langit,” Jawab Wiro sambil menyeringai.
“Bagus kalau begitu. Ternyata kau memang benar ter-
masuk manusia yang tidak banyak bicara lebih suka
berbuat! Tapi aku ingatkan satu hal padamu pendekar
muda!”
“Heh, apa yang hendak kau peringatkan pada saya
Datuk?”
“Jika kita menemui Kamandaka, ingat baik-baik. Hanya
aku yang berhak turun tangan! Kau jangan ikut campur!”
“Mengapa begitu?” tanya Wiro sambil kembali meng-
garuk-garuk kepalanya.
“Dia telah membunuh sahabatku Ki Pamilin. Dia juga
telah merusak kehormatan anak Ki Pamilin calon muridku!”
“Terserah saja padamu Datuk. Kalau kau yang ingin
maju, biar aku jaga muntahannya saja!” jawab Pendekar
212 Wiro Sabeleng.
Datuk Alam Rajo Di Langit masuk ke dalam goa. Wiro
mengikuti dari belakang. Pada saat bagian dalam goa yang
berupa terowongan itu berputar membalik, Wiro hentikan
langkahnya. Otaknya bekerja. “Jika goa ini berputar dan ber
balik ke belakang, berarti siapa saja yang mengikutinya
akan menuju kembali ke tepi pantal. Ke arah daratan.
Lebih baik aku kembali dan menyelidiki bagian pantal yang
ditutupi oleh bukit-, bukit batu…”
“Hai! Kau mau ke mana? Mengapa kembali?!” Datuk
Alam Rajo Di Langit berseru ketika dilihatnya Wiro mem-
balik langkah.
“Datuk jalanlah terusl Saya mau buang hajat kecil dulu!”
jawab Wiro. Begitu orang tua itu meneruskan perjalanan-
nya, cepat-cepat Pendekar 212 melangkah menuju mulut
goa.
Kita kembali pada kejadian saat Ageng Sembodo dan Ki
Rono Bayu memasuki goa Kranggan. Semakin jauh masuk
ke dalam semakin tercium baunya hawa daratan. Goa yang
tadinya gelap redup kini perlahan-lahan menjadi terang.
Ada sinar di sebelah depan sana. Beberapa ratus langkah
lagi berjalan akhirnya mereka sampai di hadapan semak
belukar rapat yang dari celahcelahnya merambas cahaya
matahari pagi.
Ki Rono Bayu singkapkan semak belukar dan pe-
pohonan kecil di depannya. Begitu semak belukar tersibak
terkejutlah orang tua ini. Ternyata di depan mereka
terbentang satu kawasan bukit batu. Berarti dia dan Ageng
Sembodo kini berada di daratan!
“Tipuan sialanl” maki Ki Rono Bayu. Dia segera keluar
dari dalam goa diikuti Ageng Sembodo.
Kawasan daerah berbatu-batu itu merupakan suatu
bukit besar dan tinggi. Dari keadaannya yang sunyi senyap
Ki Rono Bayu bisa menduga bahwa daerah ini jarang di
datangi orang luar. Udara terasa sejuk padahal masih
dekat pantai.
“Sunyi-sunyi saja….” bisik Ageng Sembodo. Kesunyian ini
menimbulkan rasa tegang di dalam dirinya.
Saat itu kedua orang itu berada di dekat batu besar.
“Kita harus segera menyelidiki tempat ini. Aku merasa pasti
ini kawasan yang jadi markas atau tempat bersembunyinya
Kamandaka.”
“Perasaan kita sama. Mari kita mulai menyelidik!” jawab
Ageng Sembodo.
Namun baru saja mereka hendak bergerak mendadak
ada suara membentak.
“Binyawak busuk! Kalian mencariku?! Kalian tahu kalau
berani muncul di sini berarti sama saja mengantar
nyawa?!”
Dua orang Ketua Cabang Partai Semeru Raya itu cepat
berpaling. Keduanya langsung terkejut! Di hadapan mereka
kini tegak Kamandaka. Dan dia tidak seorang diri. Tapi
bersama Kintani yang dicekalnya tangan kirinya!
“Kamandaka murid murtad penuh dosal Akhirnya kami
temui juga kau!” kata Ageng Sembodo setengah berteriak.
Lalu dilihatnya bagaimana Kamandaka memegang tangan
gadis yang dicintainya. Maka diapun kembali berteriak.
“Lepaskan peganganmu pada Kintani. Kintani lekas
kemari!”
Si gadis tampak bingung sebaliknya Kamandaka keluar-
kan suara tertawa bergelak. “Ageng Sembodo!” kata
Kamandaka langsung menyebut nama. Mengingat usia
yang terpaut cukup jauh dan kedudukan Ageng Sembodo
sebagai salah satu Ketua Cabang Partai Smeru Raya,
seharusnya Kamandaka memanggil lelaki itu secara lebih
hormat. Misalnya dengan panggilan Mas atau Kang Mas.
Hal ini sudah cukup membuat Ageng Sembodo tambah
mendidih amarahnya.
“Dasar manusia tidak berbudi tidak punya peradatan!
Iblis! Lebih baik kau segera menyerahkan diri. Nyawamu
masih bisa diperpanjang sampai kau menghadapi Ketua
Partai!”
“Budi dan peradatan hanya dipakai oleh orang-orang
yang suka pamrih dan gila hormat! Sama dengan dirimu!
Baru jadi Ketua Cabang mulut dan sikapmu seperti semua
orang ini budakmu! Aku sudah bersumpah untuk menyiangi
tubuh kalianl Kalian akan kukembalikan ke puncak
Semeru tanpa kulit dan daging!”
Kamandaka angkat tangan kanannya sementara
tangan kiri masih memegangi Kintani. Matanya me-
mandang membara ke arah Ageng Sembodo.
“Tunggu dulu!” Ki Rono Bayu cepat membuka mulut.
“Kamandaka, kami datang membawa pesan dari Ketua
Partai…”
“Aku tidak perduli kalian membawa pesan apa dan dari
siapa. Pokoknya siapa yang berani menginjakkan kaki di
tempat ini harus mati!”
“Pesan yang kami bawa itu,” kata Ki Rono Bayu me-
neruskan tanpa perdulikan bentakan Kamandaka, “ialah
membawamu kembali ke puncak Semeru guna menghadap
Ketua. Aku percaya, apapun dosa yang telah kau buat di
masa lalu pasti Ketua mau mempertimbangkan hukuman-
nya secara adil!”
Kamandaka menyeringai. “Jadi kalian berdua tidak lebih
dari pada dua kacung pembawa pesani Manusia-manusla
tolol! Mengapa tidak si Gamar Senopatri itu sendiri yang
datang menemuiku kemari!”
“Jangan menghina Ketua dan jangan keliwat mendesak,
Kamandaka!” memperingatkan Ki Rono Bayu yang tampak-
nya mulai kesal.
“Kalian berdua begitu menghormati Ketua Partai
Semeru itu! Kalian tidak tahu siapa dia sebenarnya!
Manusia-manusia tolol yang senang ditipu!”
“Apa maksudmu dengan ucapan itu?!” Tanya Ageng
Sembodo membentak.
“Kau tanyakan saja nanti pada jin laut tempat mayatmu
akan kulemparkan!” jawab Kamandaka. Dia menarik
Kinanti ke belakang lalu melompat ke hadapan kedua
orang Ketua Cabang Partai itu. “Saat kalian untuk mati
sudah dating!” katanya.
Ageng Sembodo tidak takut dan menganggap enteng
Kamandaka. Dia maju menyongsong gerakan lawan. Tapi
KI Rono Bayu yang sudah berpengalaman dan tahu betul
kehebatan ilmu andalan Kamandaka cepat berkala.
“Sudahlah, mengapa kita harus ribut-ribut. Kamandaka
bagaimanapun kami berdua tidak mau bertindak sendiri
sendiri. Kami tetap menghormatimu sebagal anak murid
Partai. Apalagi murid langsung dari Ketua. Banyak manfaat-
nya jika kau mau ikut sama-sama kami ke puncak
Semeru.”
“Kalau aku datang ke puncak Semeru, satu-satunya
yang aku lakukan adalah membunuh manusia keparat ber-
nama Gamar Senopatri alias Dewa Tapak Sakti itu!”
Kamandaka mundur satu langkah. Kedua tangannya
diangkat ke atas dan perlahan-lahan disilang. Tapi dia
belum merapal aji kesaktian yang dimilikinya. Dia ingin
menjajal kehebatan ilmu silat tangan kosong kedua Ketua
Cabang ini.
Didahului satu bentakan nyaring, Kamandaka me-
lompat. Kedua tangannya yang tadi disilang dibentangkan
ke samping. Menggebuk ke arah Ageng Sembodo dan Ki
Rono Bayu Kedua serangan ini di arahkan ke masing-
masing kepala lawan.
Ageng Sembodo yang sejak tadi sudah tidak dapat me-
nahan amarahnya balas menghantam dengan tangan
kanannya ke arah Kamandaka sedang Ki Rono Bayu lebih
bertindak hati-hati. Dia tidak mau melakukan bentrokan
melainkan menghindar ke samping dan setelah membuat
kuda-kuda kukuh dia baru membalas dengan satu sodokan
ke arah ulu hati Kamandaka.
Tiba-tiba Kamandaka hentikan seluruh gerakannya.
Tubuhnya laksana seekor burung besar yang mengem-
bangkan sayapnya.
Bukkki
Bukkk!
Jotosan Ki Rono Bayu menghantam ulu hati Kamandaka
dengan keras. Begitu juga pukulan Ageng Sembodo meng-
hajar lengan kiri Kaman- ‘ daka. Tapi pemuda ini sedikitpun
tidak bergeming. Malah sambil menyeringai dia memper-
hatikan bagaimana kedua penyerangnya mengerenyit
kesakitan.
“Pukul lagi! Cari sasaran yang paling empuk!” ejek
Kamandaka.
Maka kedua lawannyapun tanpa ampun melancarkan
gebukan bertubi-tubi ke kepala dan tubuhnya. Kamandaka
masih menyeringai. Tiba-tiba dia keluarkan suara bentakan
dahsyat.
Sepasang kakinya membuat gerakan menggeser. Lutut
ditekuk. Hantamannya yang pertama mendarat di dada Ki
Rono Bayu. Ketua Cabang Partai yang berusia lanjut ini
terpekik. Tubuhnya tersandar ke dinding batu. Dari mulut-
nya meleleh darah kental. Tulung dadanya remuk melesak.
Dia mengalami kesulitan bernafas. Tapi semua ini seperti
tidak dirasakannya.
“Manusia iblisl Murid murtad keparat!” kutuk Ki Rono
Bayu. Dia berpaling pada Ageng Sembodo dan anggukkan
kepalanya seraya berbisik. “Pukulan Api Biru…”
Ageng Sembodo maklum apa yang dimaksud si orang
tua. Cepat dia kempiskan perut dan menghimpun seluruh
tenaga dalam ke tangan kanan. Kedua Ketua Cabang ini
sambil menghimpun tenaga dalam hati merapal aji
kesaktian pukulan Api Biru. Ageng Sembodo dan Ki Rono
Bayu saling memberi isyarat dengan mata masingmasing.
Lalu didahului suara bentakan garang kedua Ketua Cabang
Partai Semeru Raya ini pukulkan tangan kanan masing-
masing. Dua larik sinar biru menderu laksana lempengan
besi panjang tipis. Siap menggunting dan memutuskan
leher Kamandakal
“Pukulan Api Biru!” seru Kamandaka yang mengenali
pukulan sakti itu. Kedua tangannya segera diangkat. Dua
lengan bersilang di depan mukanya dan dua lengan ini
segera berubah jadi hitam. Ketika kedua lengan bersilang
ini dilepaskan dua larik cahaya hitam berkiblat disertai
suara meledak seperti suara halilintar menyambar. Hawa
panas menghampar. Dua larik sinar biru pukulan Ageng
Sembodo dan Ki Rono Bayu tenggelam dalam cahaya
hitam Pukulan Halilintar yang dilepaskan Kamandaka. Lalu
ada dua suara letusan susul menyusul. Pekik Ki Rono Bayu
terdengar duluan. Tubuhnya terlempar jauh. Sekujur
badannya mulai dari kepala sampai ke kaki tampak
memutih. Lalu anehnya perlahan-lahan berubah jadi hitam
gosong!
Kinanti tidak berani menyaksikan apa yang terjadi
dengan orang tua Kedua Cabang Partai wilayah Timur itu.
Dari mulutnya keluar jeritan ketika sinar hitam yang satu
lagi menghantam ke arah Ageng Sembodo.
“Mas Kaman! Jangan bunuh dia!” pekik Kinanti.
Teriakan Kinanti ini membuat kamandaka menarik
pulang tangannya. Sinar hitam Pukulan Halilintar meredup
dan akhirnya lenyap sama sekali.
“Kau inginkan binyawak ini hidup, baik! Satu nyawa
lolos tak jadi apa. Dia boleh pergi agar bisa memberi tahu
pada Gamar Senopatri apa yang terjadi di sini. Aku…hek…!”
Ucapan Kamandaka terhenti. Satu pukulan menghantam
dadanya! Ketika dia bicara tadi kesempatan ini diperguna-
kan oleh Ageng Sembodo untuk melancarkan pukulan.
Pukulannya kulannya tepat menghantam dada Kaman-
daka. Pemuda ini tidak bergerak dari tempatnya walau
memang ada rasa sakit akibat pukulan itu.
Penasaran Ageng Sembodo lancarkan pukulan lagi
secara bertubi- tubi.
“Cukup!” seru Kamandaka tiba-tiba. Tangan kanannya
dibabatkan dari samping kiri ke kanan.
Traakk!
Traakkl
Ageng Sembodo menjerit setinggi langit. Kedua
lengannya terkulai patah. Tubuhnya sampai terbungkuk-
bungkuk menahan sakit. Kamandaka tendang pantat
orang ini. “Kalau kau tidak lekas minggat dari sini, jangan
kira aku tidak akan membunuhmu. Sekalipun kekasihmu
ini meminta aku tidak membunuhmu!”
Paras Kintani tampak menjadi merah oleh kata-kata
terakhir Kamandaka itu.
“Kamandaka!” Ageng Sembodo berucap. “Hari ini aku
mengaku kalah! Tapi ingat! Lain waktu aku akan datang
lagi untuk mengambil kepalamu!”
“Kacung Ketua Partal Semeru Raya!” kata Kamandaka
seraya mencekal leher pakaian Ageng Sembodo. “Katakan
pada Ketuamu, jika dia punya nyali aku tunggu dirinya di
sini. Jika malam bulan purnama di muka dia tidak muncul
sudah tiba saatnya aku akan mencarinya untuk minta
nyawa anjingnya! Nah sekarang pergi kau dari sinil”
Kamandaka tarik kuat-kuat leher pakaian lelaki itu lalu
melemparkannya ke dinding batu. Karena kedua lengannya
patah dia sama sekali tidak mampu untuk menahan dirinya
terbanting ke batu. Ketika tubuhnya terbanting, mukanya
ikut menghantam batu hingga tulang hidungnya patah dan
bibirnya pecah!
“Kintani, ikuti aku. Tinggalkan tempat ini.”
Kintani melirik ke arah Kamandaka. Pemuda ini cepat
berkata. “Kalau kau bergerak satu langkah saja mengikuti-
nya, akan kubunuh!” ancam Kamandaka. Mau tak mau
Kintani terpaksa hanya bisa tegak tak bergerak.
“Manusia keparat! Aku bersumpah akan mem-
bunuhmu!” kutuk Ageng Sembodo. Dia memandang sesaat
pada mayat Ki Rono Bayu. Ingin dia membawa pergi mayat
yang gosong hitam itu. Namun dalam keadaan kedua
tangannya lumpuh cidera begitu rupa di mana berjalan
sajapun dia mengalami kesulitan dan rasa sakit, mana
mungkin dia mendukung atau memanggulnya. Tersaruk-
saruk dia tinggalkan tempat itu.
***
WIRO SABLENG
9 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
AMANDAKA membawa Kintani ke puncak bukit batu
paling tinggi. Sampai di atas Kintani melihat sebuah
bangunan yang bagian depannya berbentuk sebuah
goa besar namun atapnya ditata seperti atap bangunan
kayu. Keadaan di sebelah dalam dan bagian luarnya serba
bersih. Ada bau wewangian keluar dari arah goa batu itu.
“Ini rumah kita!” kata Kamandaka seraya tangannya
kembali memegang lengan si gadis. Kintani diam saja.
“Kau akan tinggal di sini bersamaku, Kintani.”
Baru saja Kamandaka berkata begitu dari dalam goa
keluar dua orang perempuan. Yang satu masih sangat
muda. Menurut taksiran Kintani usianya sekitar delapan
belas tahun. Satunya lagi lebih tua namun jelas belum
mencapai dua puluh lima tahun. Keduanya memiliki wajah
cantik. Yang membuat darah Kintani tersirap ialah cara
kedua perempuan itu berpakaian. Apa yang mereka kena-
kan tidak bisa disebut pakaian karena bagian-bagian tubuh
mereka hampir tidak terlindung. Bahkan bagian dada dan
bawah perut tersingkap menusuk pemandangan.
“Mas Kamandaka! Kami kira kau akan pergi lama.
Ternyata sudah pulang!” Perempuan yang muda berucap.
Lalu keduanya hentikan langkah ketika melihat Kaman-
daka ternyata tidak sendiri. Bayangan rasa cemburu jelas
terlihat diwajah kedua perempuan itu.
“Siapa mereka?” tanya Kintani berbisik.
“Kekasih-kekasihku,” sahut Kamandaka. “Tapi mulai
sekarang tidak lagi.” Lalu pada kedua perempuan itu
K
Kamandaka berkada. “Saat ini juga kalian boleh pergi dari
sini. Jangan coba kembali!”
Dua perempuan itu tampak terkejut besar.
“Mas…? Mengapa tiba-tiba kau mengambil keputusan
begitu?” tanya perempuan yang tua.
“Saya tahu!” menyahuti yang muda sambil melirik pada
Kintani. “Mas Kamandaka telah mendapat seorang kekasih
baru yang lebih cantik dari kami!”
“Kalau sudah tahu mengapa tidak segera minggat?!”
ujar Kamandaka melotot.
“Kami… kami bersedia membagi tempat bersama dia!”
berkata perempuan yang muda.
“Di sini tidak ada tempat lagi bagi kalian berdua. Lekas
pergi!”
“Mas Kaman, sebaiknya biar saya yang pergi!” kata
Kintani pula. Lalu cepat dia membalikkan diri. Tapi Kaman-
daka lebih cepat lagi menjambak rambut gadis itu dan
mendorongnya ke dalam rumah batu. Pemuda ini kemu-
dian berpaling pada dua orang kekasihnya.
“Kalau kalian tidak mau pergi jangan menyesal kalau
wajah kalian akan kurusak dan kuubah jadi wajah setan!”
Mendengar hal ini keduanya jadi ketakutan. Setelah
berpandangan sebentar mereka cepat-cepat tinggalkan
tempat itu di iringi gelak tawa Kamandaka. Puas tertawa
Kamandaka kembali mendekati Kintani. “Sekarang saatnya
kita bersenang-senang. Mari masuk ke dalam.”
“Bersenang-senang bagaimana maksud Mas Kaman?”
“Jangan pura-pura tidak tahu Kintani. Kau tahu aku
suka padamu dan kau mencintaiku! Dua orang yang ber-
cinta apapun bisa dilakukan! Bukankah kita sekarang me-
rupakan sepasang suami istri?”
Paras Kintani jadi berubah pusat. “Saya.. saya tidak
keberatan menjadi istri Mas Kaman. Asalkan kita meng-
hadap, guru dulu. hanya dia yang bisa mewakilkan kedua
orang tua kita yang sudah tiada untuk menikahkan kita.”
“Kawin pakai nikah segala kuno!” kata Kamandaka.
Ditariknya tangan Kintani. Gadis itu setengah diseret
masuk ke bagian dalam bangunan batu. Ternyata bangun-
an itu cukup luas. Di salah satu bagian terdapat sebuah
tempat tidur dari batu yang dilapisi tikar jerami lembut.
Kamandaka mendorong Kintani ke atas tempat tidur itu.
“Saya tidak mau Mas Kaman. Jangan lakukan itu pada
saya!” kata Kintani pula.
“Jika bukan mencariku mengapa kau mau datang jauh-
jauh kemari?”
“Mas Kaman tadi sudah mendengar ucapan Ageng
Sembodo dan Ki Rono Bayu. Kami diperintah Ketua…”
“Lupakan perintah itu!”
“Saya mohon kita segera pergi menemui Ketua agar
semua persoalan selesai. Kalau tidak seumur-umur Mas
Kaman akan jadi orang buruan Partai.”
Kamandakan tertawa gelak-gelak mendengar hal itu.
“Aku tidak mau bicara lagi tentang Ketua ataupun orang-
orang Partai. Mereka semua adalah calon-calon korbanku!
Mereka akan segera mampus!” Lalu Kamandaka berusaha
memeluk dan menciumi gadis itu. Kintani cepat menjauh
seraya berkata. “Mas Kaman, jika kau betul sayang padaku
jangan perlakukan aku seperti ini….”
“Hmmm…” kedua mata Kamandaka berkilat-kilat me-
mandang setiap bagian tubuh Kintani. “Jangan buat aku
kehilangan kesabaran Kintani.” Pemuda itu kembali men-
dekat.
“Kalau Mas Kaman meneruskan perbuatan keji ini, saya
terpaksa melawan. Lebih baik saya mati berkelahi di
tangan Mas Kaman dari pada dinodai!”
“Begitu? Aku mau lihat sampai di mana kehebatan
murid Gamar Senopati yang satu ini!”
Habis berkata begitu Kamandaka lalu tanggalkan
pakaian yang melekat ditubuhnya. Kintani sampai terpekik
menyaksikan hal itu dan mencoba lari keluar. Tapi
Kamandaka berhasil mengejar dan mendekapnya. Mau tak
mau Kintani segera menghantam dengan tangan dan kaki.
Dipukul ditendangi Kamandaka justru diam saja.
Bahkan tegak tolak pinggang. Dalam keadaan lawan ber-
telanjang bulat seperti itu seperti tentu saja sulit bagi
Kintani untuk menyerang karena dia sudah tidak kuasa
menghindari pandangan yang menusuk mata itu. Akhirnya
dia kembali mencoba tari. Namun lagi-lagi sial. Kali ini
malah dia harus menerima tamparan dua kali berturut-
turut yang membuatnya terbanting ke lantai batu. Sebelum
dia sempat bangun Kamandaka telah menyergapnya.
Tangannya kiri kanan merobek pakaian yang dikenakan
Kintani. Gadis ini menjerit marah dan menyerang dengan
kalap. Tetapi sia-sia belaka. Tingkat kepandaiannya jauh di
bawah Kamandaka. Ketika tenaganya terkuras habis di-
tambah dengan beberapa pukulan yang dihantamkan
Kamandaka ke tubuhnya, dia hanya bisa tegak tersandar
ke dinding. Dia tidak punya daya apa-apa lagi selain
menangis ketika Kamandaka mendukung dan membawa-
nya ke atas tempat tidur batu.
Kamandaka menyeringai. Sekujur tubuhnya panas ter-
bakar nafsu. Sama sekali tidak ada rasa welas asih dalam
dirinya padahal gadis itu adalah prang yang pernah di-
kasihinya dan balas menyayanginya. Sesaat lagi Kaman-
daka akan melakukan perbuatan terkutuknya tiba-tiba satu
bayangan berkelebat masuk dan satu bentakan meng-
guntur di dalam ruangan batu itu!
“Laknat terkutuk! Memang kau ternyata manusia keji
biadab! Kau membunuh sahabatku! Kau memperkosa
calon muridku! Sekarang aden datang untuk mengirimmu
ke liang narako!”
Kamandaka melompat dari atas tubuh Kintani. Di
hadapannya tegak seorang tua berpakaian dan berdestar
hitam. Sepasang matanya laksana kilatan api. Kamandaka
tidak kenal orang ini. Dari pakaian serta bentuk destarnya
jelas dia bukan orang Jawa. Dari logat bicaranya dia jelas
orang seberang.
“Ucapanmu seperti malaikat! Tapi kulihat tampangmu
seperti setan!” kata Kamandaka mengejek.
Orang tua di depannya tertawa pendek. “Orang mau
mampus memang suka bicara ngacok!” katanya. “Coba den
lihat dulu jantungmu!” Si orang tua bergerak sedikit. Tapi
tahu-tahu tangan kanannya sudah melesat ke arah dada
kiri Kamandaka. Jari-jari tangan membuat gerakan me-
ngeruk. Si pemuda terkejut dan cepat berkelit. Serangan
lawan menghantam dinding batu. Terdengar suara batu
lebur. Berpaling ke kiri Kamandaka melihat bagalmana
serangan berupa cengkeraman orang tua berpakaian
hitam itu meremukkan dinding batu hingga di dinding itu
kini tampak lobang sedalam seperempat jengkal!
Kamandaka sadar kalau terlambat saja tadi dia
menghindar jantungnya pasti benar-benar bisa dicongkel
lawan berdestar hitam bergelang bahar itu! Meskipun
demikian dia tidak takut. Sambil menyeringai Kamandaka
maju mendekati. Kedua lengannya disilangkan di depan
dada tapi dia masih belum mau merapal aji kesaktian
Halilintar. Didahului oleh suara seperti harimau meng-
gereng Kamandaka melompati lawannya. Kedua tangannya
dipukulkan serentak. Si orang tua yang adalah Datuk Alam
Rajo Di Langit terkejut ketika merasakan dua larik angin
yang menyambar bukan olah-olah dahsyatnya. Bukan saja
pakaian hitamnya tapi sekujur tubuhnyapun ikut bergetar.
Kedua lututnya menjadi goyah. Cepat tokoh silat dari An-
dalas ini rubah kuda-kuda kedua kakinya. Tubuhnya
merunduk Begitu dua angin pukulan lewat, kaki kanannya
melesat ke atas setinggi dua tombak, menghantam rahang
kanan Kamandaka dengan tepat.
Selagi Kamandaka terpental ke dinding lalu melosoh ke
lantai batu, kesempatan ini dipergunakan oleh Kintani
untuk melarikan diri. Sambil melompat dari atas tempat
tidur batu dia masih sempat menyambar pakaiannya. Di
luar sadar dia lari keluar bangunan batu dalam keadaan
masih bertelanjang bulat!
Meskipun tendangan Datuk Alam Rajo Di Langit
sanggup membuatnya mental dan jatuh ke pantai namun
Kamandaka sama sekali tidak cidera. Bahkan rasa
sakitpun hampir tidak terasa karena terlindung oleh
kesaktian yang dimilikinya.
Ketika dia tegak kembali di hadapan sang Datuk,
sepasang matanya tampak beringas ganas.
“Anjing tua. Bersiaplah untuk mampus!”
“Kanciang! Binatang! Waang yang akan mampus lebih
dulu!” teriak Datuk Alam Rajo Di Langit. Lalu tangan kanan
dipukulkan ke depan. Ada angin kelabu menyambar,
menebar bau aneh. Jika lawan sempat menghisap bau
aneh itu tubuhnya serta merta akan jadi lemas dan jatuh
tak berdaya. Kamandaka sudah maklum bahaya pukulan
lawan itu. Dengan cepat dia menyilangkan kedua lengan-
nya dan merapal aji kesaktian Pukulan Halilintar hingga se-
pasang lengan itu menjadi hitam. Begitu lengan yang
bersilang dibuka serta dipukulkan ke depan, terdengar
suara menggelegar seperti halilintar menyambar. Ruangan
batu itu seperti hendak runtuh! Hawa panas menghampar
dan dua larik sinar hitam menderu ganas, menyambung
dan meneggelamkan sinar kelabu pukulan Datuk Alam
Rajo Di Langit. Orang tua ini terdengar menggerung keras.
Tubuhnya terpelanting ke luar bangunan, jatuh melingkar
di atas gundukan batu berlumut. Sesaat tubuh itu tampak
memutih lalu berubah hitam mengepulkan asap mengeri-
kan.
Kamandaka bergegas keluar dari banguanan batu.
Kintani tidak kelihatan. Pemuda ini menyumpah dalam
hati. Dia melangkah mendekat mayat Datuk Alam lalu di-
tendangnya hingga tubuh hitarn gosong itu terpental dan
bergulingan ke bawah bukit batu.
Kamandaka melompat dari satu batu ke batu lainnya.
Di satu tempat yang ke tinggian dia melihat dua sosok
tubuh dibalik pepohonan dan berbatu. Secepat kilat dia
bergerak ke arah sana.
***
WIRO SABLENG
10 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
ARENA tidak mengikuti terowongan, Pendekar 212
Wiro Sableng sampai lebih dulu dari Datuk Alam
Rajo Di Langit. Namun sebelum naik ke puncak
bukit di mana tempat kediaman Kamandaka alias
Pendekar Tangan Halilintar terletak, di salah satu lereng
murid Eyang Sinto Gendeng itu melihat dua orang
perempuan berlari dari atas’ bukit. Walau heran melihat
ada dua orang perempuan turun dari atas bukit, sebenar-
nya Wiro tidak; mau perduli. Namun dia jadi tertarik
sewaktu menyaksikan bagaimana pakaian yang dikenakan
kedua perempuan itu sama sekali tidak dapat dikatakan
pakaian. Karena hampir tidak satu bagian tubuh
merekapun yang tertutup utuh oleh pakalan itu!
Wiro cepat memintas dan menghadang dekat sebuah
batu besar.
“Hai!” serunya. “Kalian ini bidadari yang turun dari langit
atau setan-setan penunggu bukit batu ini yang tengah
mencari tempat untuk buang hajat!”
Dua orang gadis terkejut. Sambil berpegangan mereka
hentikan lari. Melihat yang menegur ternyata seorang
pemuda berambut gondrong yang tampangnya cakap-
cakap konyol, rasa kejut mereka jadi sirna. Yang tua ber-
bisik pada kawannya.
“Boleh juga yang satu ini…”
“Aku lebih suka dia dari pada Kamandaka keparat itu!”
bisik yang muda.
“Kenapa bicara sendiri dan tidak menjawab?” tanya
K
Wiro.
Sambil menahan tawa yang tua berkata. “Mulutmu enak
saja kalau bicaral Kami tidak tahu kalau di sini ada
bidadari. Juga tidak tahu kalau bukit batu ini ada setan
penunggunya! Tapi yang jelas di atas sana ada iblis doyan
perempuan. Kalau sudah bosan dan dapat yang baru yang
lama ditendangnya!”
“Tadi kudengar kalian berbisik menyebut nama sese-
orang. Kamandaka… Benar?!”
Dua perempuan itu mengangguk.
“Dia ada di atas sana? Kediamannya di atas sana?!”
Dua yang ditanya lagi-lagi mengangguk.
“Kalau begitu aku harus segera menuju ke sana,” kata
Wiro pula.
“Tunggu dulu!” Perempuan yang tua berkata. “Jangan
berani-beranian naik ke atas puncak bukit. Kami saja
hendak dilemparkannya. Apalagi kau! Manusia penghuni
puncak bukit itu aneh dan luar biasa jahatnya. Dia bisa
bercinta suatu ketika tapi di lain saat dia bisa membunuh
seorang gadis cantik tanpa berkesip. Kami hampir saja jadi
korbannya!”
Yang muda cepat menyambung. “Dari pada pergi ke
atas sana, lebih baik turun bersama kami. Aku suka saja
kau mau bawa ke mana!”
“Aku juga!” kata perempuan yang satu lagi.
Pendekar 212 jadi garuk-garuk kepala. Dia harus meng-
akui kedua perempuan itu berparas cantik dan bagian-
bagian tubuhnya yang tersingkap sangat menggiurkan.
“Kalau kuikuti rayuan mereka, urusanku bisa kapiran!”
membatin murid, Sinto Gendeng. “Begini saja,” katanya.
“Tunggu aku di kaki bukit! Kalau orang di atas sana tidak
membunuhku, aku pasti akan menemui kalian!”
“Siapa sudi menunggu datangnya mayat!” jawab
perempuan yang tua karena dia sudah merasa pasti Wiro
akan dibunuh oleh Kamandaka. Tak ada seorangpun yang
boleh menginjak tempat kediamannya. Kedua perempuan
itu cepat tinggalkan tempat itu. Wiro pandangi mereka dari
belakang sambil membasahi bibir dengan ujung lidah dan
geleng-geleng kepala.
Belum lama dia meneruskan menaiki bukit batu itu tiba-
tiba dia melihat lagi seorang perempuan dengan rambut
tergerai lepas lari dari atas puncak bukit. Sinar matahari
membuat tubuhnya yang tanpa pakaian seperti berkiiau-
kilau. Dia lari sambil membawa pakaian.
“Aneh, ada lagi seorang perempuan turun dari atas
bukit. Yang satu ini malah telanjang polos!” Ketika
perempuan itu menyelinap lenyap di balik sebuah batu
besar, Pendekar 212 cepat mendekati. Didapatinya di balik
batu itu perempuan tadi tengah mengenakan pakaian.
Ketika selesai dipakai ternyata pakaian itu robek-robek di
beberapa tempat. “Siapa pula yang satu ini?” pikir Wiro lalu
dia mendehem keras-keras.
Gadis di balik batu tersentak kaget. Ketika dilihatnya
pemuda gondrong itu mendatangi sambil tersenyum-
senyum dia menjadi curiga dan marah.
“Pemuda kurang ajar! Kau mengintai orang berpakaian!”
“Maaf Saudari. Jangan salahkan aku kalau sampai
berada di tempat ini. Kalau tidak ada sesuatu yang luar
biasa mengapa tadi kau kulihat lari tanpa pakaian? Lalu
mengapa berpakaian di tempat terbuka ini dan mengapa
pakaian yang kau kenakan robek-robek? Siapa kau
Saudari? Apa yang terjadi dengan dirimu? Tadipun aku me-
lihat ada dua orang perempuan lari dari atas bukit dengan
pakaian tidak senonoh!”
Karena orang bicara dengan baik dan mengatakan apa
adanya, perempuan itu yang bukan lain adalah Kintani jadi
mengendur amarahnya. “Aku Kintani, anak murid Partai
Semeru Raya.”
“Berarti kau adalah saudara seperguruan dengan orang
bernama Kamandaka itu!”
“Ya, tidak salah. Orangnya ada di atas bukit batu sana.
Baru saja dia membunuh salah seorang Ketua Cabang
Partai. Saat ini dia tengah berkelahi melawan seorang tua
berpakaian serba hitam.”
Secara singat Kintani lalu menerangkan apa yang di-
alaminya, mulai dari saat dia disergap oleh Kamandaka di
depan mulut goa Kranggan.
“Ah, pasti Datuk Alam yang tengah dihadapinya…” kata
Wiro. Dia segera hendak tinggalkan gadis itu.
“Tunggu,” kata Kintani. “Kalau kau tidak keberatan,
pinjami aku pakaianmu…”
Wiro garuk-garuk kepalanya tapi ditanggalkannya juga
pakaiannya. Lalu diberikannya pada Kintani. Si gadis
segera mengenakan pakaian itu. Karena pakaian itu lebih
besar dari tubuhnya, dirinya terlindung sampai ke lutut.
“Terima kasih. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu
ini.” Lalu tanpa menunggu lebih lama gadis itu segera
tinggalkan tempat itu.
Kembali murid Sinto Gendeng geleng-geleng kepala.
Dalam hati dia berkata. “Besar nian rejekiku hari ini. Me-
lihat tiga perempuan cantik. Dua hampir telanjang. Yang
satu barusan benar-benar telanjang!”
Ketika Kamandaka sampai di balik batu, Kintani telah
berlalu sedang Wiro juga telah berkelebat menuju puncak
bukit.
“Sialan!” maki Kamandaka. Dia harus memilih, me-
ngejar Kintani atau menyusul pemuda tak dikenal yang lari
ke arah tempat kediamannya. Kamandaka memilih yang
terakhir. Tapi dia tidak langsung mengejar melainkan
menguntit dari belakang. Walaupun tingkat ke.pandaian
Kamandaka sungguh luar biasa, namun sepasang telinga
Pendekar 212 se-rta nalurinya tidak bisa ditipu.
Memang murid Sinto Gendeng ini tidak mau berpaling.
Namun dia maklum kalau ada seseorang menguntitnya di
sebelah belakang.
Wiro kerenyitkan kening sewaktu sampal di depan
rumah aneh yang keseluruhannya dibuat dari batu itu dan
menjadi satu dengan dinding batu besar di puncak bukit.
Hidungnya kemudian mencium bau seperti daging ter-
bakar. Dia memandang berkeliling. Pandangannya kemudi-
an terpaku pada sesosok tubuh hitam gosong, meng-
geletak di antara dua celah batu besar. Dia lantas ingat
pada kematian yang sama dialami oleh Ki Pamilin, ayah
gadis bernama Mintari dulu.
“Korban keganasan Tangan Halilintar!” kata Wiro dalam
hati. “Jangan-jangan ini mayatnya Datuk Alam, tokoh silat
dari pulau Andalas itu!” Wiro merasakan tengkuknya men-
jadi dingin. Dia lalu melangkah menuju bagian depan
bangunan batu. Baru saja dia hendak melangkah masuk,
sesiur angin menerpa dari samping.
“Hemmm…Si penguntit mulai menyerang. Aku yakin dia
pasti si Kamandaka keparat itu1″
Tanpa berpaling Pendekar 212 lepaskam pukulan
Tameng sakti menerpa hujan. Pukulan jarak jauh yang
menghantam ke arahnya terpental ke atas. Tiba-tiba ada
bayangan orang berkelebat lalu menyusul deru angin deras
sekali.
Wiro alirkan sebagian tenaga dalamnya ke tangan
kanan lalu memukul ke depan.
Bukkk!
Dua lengan beradu keras.
Murid Sinto Gendeng keluarkan seruan tertahan. Batu
yang dipijaknya laksana amblas dan tubuhnya mencelat
sampai dua tombak, terbanting ke sebuah batu besar.
Tangan kanannya mendenyut sakit. Ketika diperhatikan
lengannya yang tadi beradu keras dengan lengan si
pemukul tampak bengkak kemerahan. Luar biasa! Belum
pernah Pendekar 212 bentrokan dan langsung cidera
seperti itu. Sewaktu dia memandang ke depan seorang
pemuda berwajah cakap tapl menyunggingkan senyum
maut tegak di depannya. Celakanya manusia ini sama
sekali tidak mengenakan pakaian!
Wiro usap-usap lengannya yang cidera. “Heran, apa di
bukit batu ini semua orang harus tidak pakai pakaian!”
kata Wiro dalam hati.
“Hemmmm… Ternyata Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212!” kata pemuda di depan Wiro.
“Sialan! Bagaimana kunyuk ini mengenaliku!” tanya Wiro
dalam hati. Dia lupa saat itu dia sama sekali tidak
mengenakan baju hingga rajah 212 yang ada di dadanya
terlihat dengan jelas.
“Nama besarmu menggetarkan delapan penjuru angina!
Kau memang salah seorang tokoh silat yang aku cari! Kau
beruntung masuk dalam daftar kematianku, Pendekar
212! Tapi sebelum mati aku ingin melihat pukulan saktimu
yang bernama pukulan sinar matahari itu!” Habis berkata
begitu Kamandaka tertawa gelak- gelak.
Murid Sinto Gendeng balas tertawa tak kalah kerasnya.
“Tadi malam aku bermimpi!” katanya sambil cengar-
cengir. “Aku melihat kau terbang ke langit. Kepala ke
bawah dan pantat menungging ke atas.
Ada sederetan dibadari menunggumu di lapisan langit
pertama. Namun pengawal penjaga bidadari mengusirmu
karena kau datang bertelanjang bulat seperti ini. Memalu-
kan! Dan yang menjijikkan, menurut pengawal kau datang
sehabis berak belum sempat cebok alias ngepet!
Ha…ha…ha…ha…!”
“Jahanam, berani kau mempermainkan aku!” terlak
Kamandaka marah. “Tunggu aku di sini. Jangan berani
pergi!” Lalu Kamandaka berkelebat masuk ke dalam
bangunan batu. Tak lama kemudian dia keluar lagi telah
mengenakan pakalan biru dan kain pengikat kepala yang
juga berwarna biru.
“Ah, ternyata kau tidak jelek-jelek amat!” Wiro sambut
kedatangan Kamandaka dengan ejekan itu. “Tapi di balik
tampangmu yang cakap aku melihat bayangan iblis.
Bayangan mahluk berhati seribu keji seribu jahat!”
“Jahanam! Jangan pidato! Keluarkan pukulan sinar
mataharimu!” teriak Kamandaka.
Wiro tenang saja. Diam-diam dia kerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Dia tahu apa maksud lawan menantang-
nya. Kalau dia melepaskan pukulan Sinar Matahari, pasti
Kamandaka akan mengeluarkan pukulan Halilintar. Wiro
maju dua langkah. Dia masih penasaran karena dalam
gembrakan pertama tadi sudah kena diciderai lawan. Maka
diapun berkata. “Menurut Ketua Partai Semeru Raya, kau
bukan saja seorang murid murtad, tapi juga bodoh! Selagi
digembleng di puncak Semeru katanya kau merupakan
murid paling bodoh, tapi sombong besar kepala. Apa betul
begitu sobat?”
“Anjing kurap! Aku bukan sobatmu!” teriak Kamandaka.
“Lihat serangan! Kau akan lihat apa aku benar-benar se-
orang bodoh!”
Belum lagi selesal ucapan itu dua jotosan beruntun
menderu ke arah dada dan kepala Pendekar 212. Sekali
ini karena sudah mengerahkan seluruh tenaga dalam
maka Wiro menangkis serangan lawan dengan pukulkan
kedua lengannya ke atas.
Bukkkk!
Bukkkk!
Kalau tadi Pendekar 212 yang terpental dan berseru ke-
sakitan maka kali ini Kamandaka yang mencelat sampai
dua tombak dan terduduk jatuh. Mukanya kelihatan merah
gelap menahan sakit dan amarah. Kedua tangannya se-
perti tanggal.
“Jahanam…” serapahnya. Kakinya ditekuk. Tubuhnya
tiba-tiba melesat ke depan. Serangan berantai yang di-
lancarkan pemuda ini sungguh berbahaya. Kedua tangan-
nya bukan saja menjotos dan memukul tetapi juga men-
cakar. Satu cakaran sempat melukai dada kiri Pendekar
212. Tiga guratan dalam yang mengucurkan darah terlihat
di dada itu.
Diam-diam Wiro memuji kehebatan pemuda yang jadi
lawannya ini. Belum pernah dia digempur sehebat itu. Ilmu
silat yang dipelajarinya dari Sinto Gendeng tidak sanggup
dipakai untuk bertahan. Terpaksa Wiro keluarkan ilmu silat
orang gila yang didapatnya dari Tua Gila di pulau Andalas.
Kamandaka menjadi heran dan juga kalap ketika
sepuluh jurus menggempur kini jangankan memukul atau
menendang, menyentuh lawanpun dia sepertl tidak
mampu! Padahal gerakan silat yang dilakukan Wiro seperti
orang main-main, seperti orang mabok! Malah dua tiga kali
jotosan dan tendangan Wiro sempat mampir di tubuhnya
menimbulkan rasa sakit yang memanggang amarahnya.
“Jahanam! Baiknya kuhabisi pemuda keparat ini
sekarang juga!” Pikir Kamandaka. Lalu dia melompat ke
atas sebuah batu. Kedua kaki direnggangkan. Mata me-
natap tajam ke depan. Tampang membesi. Perlahan-lahan
kedua tangannya diangkat ke atas. Dua lengan saling ber-
silangan. Mulut bergerak-gerak.
Di bawah sana Pendekar 212 melihat kedua lengan
lawan berubah menjadi hitam.
“Setan alas Itu hendak lepaskan pukulan Halilintar!”
kata Wiro dalam hati. Segera dia angkat tangan kirinya
untuk membentengi diri dengan pukulan benteng topan
melanda samudera.
Tangan kanan digerakkan ke depan. Pada saat kedua
lengan Kamandaka berubah menjadi hitam, lengan kanan
Wiro juga berubah memancarkan sinar putih perak
menyilaukan!
Kamandaka menyeringai melihat hal itu. Ada semacam
rasa senang dalam hatinya untuk mencoba pukulan sakti
setiap tokoh silat yang ditemuinya. Dia sudah lama men-
dengar kehebatan pukulan Sinar Mataharl. Kali ini dia akan
membuktikannya sendiri. Dua lengan yang bersilang tiba-
tiba dilepas. Serentak dengan Itu terdengar suara seperti
halilintar merobek udara. Dua larik sinar hitam meng-
gebubu ke arah Pendekar 212 membawa hawa panas luar
biasa!
Tenang tapi ada juga rasa tegang di lubuk hatinya murid
Eyang Sinto Gendeng gerakkan tangan kiri. Pukulan
benteng topan melanda samudera menderu membentengi
dirinya. Dari tangan kanan dia melepas pukulan sinar
matahari. Sinar putih menyilaukan seperti membelah
langit. Udara sepanas di neraka.
Dentuman keras seperti gunung meletus laksana
hendak menghancur luluhkan bukit batu itu ketika sinar
hitam yang keluar dari tangan Kamandaka beradu dengan
sinar putih pukulan sakti yang dilepaskan Wiro. Masing-
masing merasakan kedua kaki mereka bergetar hebat dan
tubuh laksana dipanggang api. Di udara sinar hitam dan
sinar putih laksana dua ekor naga mengamuk berkelahi
bergulung-gulung.
Tiba-tiba Wiro merasakan kedua kakinya goyah dan
dadanya sakit. Ini satu pertanda bahwa pukulan Benteng
Melanda Samudera dan pukulan Sinar Matahari tidak
mampu menahan hantaman pukulan Halilintar!
“Celaka!” teriak Wiro dalam hati. Terbayang di depan
matanya tubuh Ki Pamilin dan tubuh Datuk Alam yang
menemui ajal menghitam gosong! Itulah rupanya nasib
yang bakal diterimanya saat itu!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara
perempuan berseru.
“Mas Kaman! Saya bersedia jadi istrimu asal, jangan
bunuh pemuda itu!”
Kamandaka kenal betul suara itu. Suara Kintani.
Pemusatan pikirannya jadi terganggu. Hal ini dirasakan
oleh Wiro karena lututnya yang goyah kembali pulih.
Namun dia belum mampu menyelamatkan diri dari
tekanan pukulan sakti lawan. Di udara dilihatnya sinar
putih pukulan Sinar Matahari semakin redup tenggelam
dalam sinar hitam pukulan Halilintar. Sesaat sebelum sinar
putih pukulan saktinya sirna, Pendekar 212 keluarkan
seruan keras. Tubuhnya melayang ke bawah bukit, ber-
lindung di balik sebuah batu besar. Wuss!
Pukulan Halilintar menderu. Batu besar tempat Wiro
berlindung kelihatan mengepul putih lalu berubah menjadi
hitam dan perlahan-lahan hancur rontok. Tubuh Pendekar
212 selamat dari serangan maut itu namun dirinya ter-
pental jauh terkena hempasan angin pukulan. Wiro
terguling-guling ke bawah bukit. Sekujur tubuhnya memar.
Di keningnya ada luka yang mengucurkan darah. Dadanya
mendenyut sakit seperti dihimpit batu besar. Dari mulutnya
meleleh darah. Dia terhempas di kaki bukit batu dalam
keadaan setengah pingsan setengah sadar. Samar-samar
dilihatnya ada seseorang berlari ke arahnya, bersimpuh di
sampingnya dan meletakkan kepalanya di atas pangkuan-
nya. Lalu dia melihat bayangan lain di sampingnya.
Menyusul suara orang tertawa cekikikan.
“Anak setan!” Ada suara memanggil memaki. “Itulah
akibat kalau malang melintang terus-terusan. Tak pernah
muncul untuk minta tambahan ilmu. Ilmu kesaktian
manusia sudah semakin tinggi. Sudah bertambah! Ilmumu
ltu ke itu juga! Sekarang kau rasakan sendiri bagaimana
rasanya babak belur di hantam orang! Hik.., hik… hik!”
Di dunia ini hanya ada satu orang yang memanggil
dirinya dengan sebutan “anak setan”. Orang itu adalah
gurunya sendiri. Eyang Sinto Gendeng. Seperti mendapat
satu kekuatan, Wiro bangkit dari haribaan orang yang me-
mangkunya. Orang yang memangku berkata. “Tidur saja.
Kau terluka di dalam cukup parah!”
Wiro tidak perdulikan. Dia mengenali itu adalah suara
Kintani gadis yang dipinjaminya baju. Dia tetap bangklt
bahkan berdiri. Dia memandang ke depan. Benar, memang
dia. Gurunya! Perlahan-lahan Wiro jatuhkan diri berlutut.
“Eyang, maafkan muridmu yang selama ini tidak pernah
meminta petunjukmu! Soalnya murid tidak mau menyusah-
kan Eyang…”
“Ah, itu kan cuma ucapan seseorang yang pura-pura
menyesal! Sudah tutup dulu mulutmu!” Nenek tua di depan
Pendekar 212 menjejalkan sesuatu ke dalam mulut Wiro.
“Telan cepat kalau kowe masih mau hidup!” katanya. Obat
sebesar jempol kaki itu dengan susah payah ditelan juga
oleh Wiro. Kintani kemudian menopang punggungnya,
menyeka darah di mulutnya. Wajah Wiro yang tadl pucat
kini tampak mulai segar kembali. Perlahan-lahan dia
berdiri.
“Nah kowe sudah sembuh! Ayo ikut aku ke puncak
bukit! Ada tontonan menarik yang bakal kita saksikan!”
kata Eyang Sinto Gendeng pula. Dia berpaling ke kiri. Di
situ tegak seorang gadis jelita, berambut diikat buntut
kuda. “Kau sudah siap Mintari? Tabahkan hatimul”
Gadis itu ternyata adalah Mintari, anak Ki Pamilin yang
bergelar Tangan Baja. Si gadis menatap ke arah Wiro,
pemuda yang dulu menolongnya.
“Heran, bagaimana dia bisa muncul bersama Eyang?”
Who bertanya dalam hati.
Sinto Gendeng maklum apa yang ada di benak . Wiro.
Maka diapun berkata. “Saat, ini dia bisa kau anggap se-
bagai adik seperguruanmu, Wiro. Kalau urusannya nanti
sudah selesai dia kembali ke asalnya. Bukan saudara se-
perguruanmu lagi karena dia memang tak pernah kuangkat
sebagai murid!”
“Saya tidak mengerti Eyang…”
“Nanti kowe juga bakal mengertil” jawab Sinto Gendeng.
Di kejauhan tampak ada empat orang naik ke puncak
bukit batu. Gerakan mereka sebat dan cepat.
“Tontonan menarik akan segera mulal. Ayo ikut aku ke
puncak bukit!” kata Sinto Gendeng. Keempat orang itu
segera naik ke puncak bukit batu. Kintani dan Mintari
sengaja mengapit Wiro yang keadaannya masih agak
lemah.
***
WIRO SABLENG
11 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
I PUNCAK gunung Semeru pagi itu Ketua Partal
Gamar Senopatri yang bergelar Dewa Tapak Sakti
duduk dikelilingi oleh Rana Tumalaya Ketua cabang
wilayah Barat dan Ageng Seto Cabang wilayah Utara. Lalu
ada dua orang murid Partai yang tingkat kepandaiannya
hampir mendekati para Ketua Cabang.
“Malam tadi saya bermimpi. Ada dua ekor burung
merpati jatuh di pangkuan saya. Yang satu tidak bernafas
lagi. Mati. Yang satunya megap-megap. Kedua sayapnya
patah dan kepalanya terluka. Merpati satu ini akhirnya mati
di pangkuan saya.”
Sang Ketua diam sesaat lalu meneruskan bicaranya.
“Saya bukan orang yang percaya pada mimpi. Namun
setiap mimpi mempunyal takbir dan maknanya sendiri-
sendirl. Dua saudara kita Ageng Sembodo dan Ki Rono
Bayu sudah seminggu meninggalkan kita. Saya menaruh
kawatir, mimpi tadi malam merupakan pertanda buruk bagi
kita. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan mereka…”
“Kalau Ketua mengizinkan, saya akan turun gunung
untuk menyelidik,” berkata Ageng Seto.
Lama Ketua Partai Semeru Raya itu terdiam. Akhirnya
dia berkata. “Saat ini saya merasa harus pergi ke goa
Kranggan di Selatan. Bukan saja untuk mencari tahu ke-
adaan dua Ketua Cabang itu, juga untuk langsung mencari
Kamandaka murid sesat dan murtad itu.”
“Saya akan mendampingi Ketua,” kata Ageng Seto pula.
“Saya jugal” kata Rana Tumalaya.
D
Dua anak murtad murid tingkat tinggi yang ada di situ
mengatakan hal yang sama pula.
“Tidak semua bisa pergi. Harus ada yang menunggu d!
sini guna mengurus segala sesuatunya,” kata Gamar
Senopatri pula. Dia berpaling pada Ageng Seto. “Kau punya
kepentingan lebih besar untuk Ikut bersama saya. Kau
harus tahu apa yang terjadi dengan adikmu Ageng
Sembodo.”
“Terima kasih atas kepercayaan Ketua membawa saya,”
Ageng Seto merasa gembira.
“Kalian berdua juga ikut saya,” kata Ketua Partai se-
lanjutnya seraya menggoyangkan kepala pada dua anak
murid Partai. Kedua orang ini menundukkan kepala sambil
mengucapkan terima. kasih. “Dan kau Dimas Rana
Tumalaya. Kau terpaksa tinggal untuk menjaga dan
mengurus segala sesuatunya selama kami pergi.”
“Akan saya laksanakan dengan sebaik-baiknya Ketua,”
jawab Rana Tumalaya walau hati kecilnya sebenarnya ingin
sekali pergi mendampingi Ketua Partai.
Beberap hari kemudian rombongan dari gunung Semeru
itu sampai di pantai Selatan di mana terletak goa
Kranggan. Seperti yang dilakukan Wiro, setelah masuk goa
dan mengetahul bahwa terowongan di dalamnya membalik
ke arah daratan, Gamar Senopatri membawa membawa
orang-orangnya keluar goa dan menempuh jalan darat
hingga akhimya sampai di bukit batu. Pada saat yang
bersamaan Eyang Sinto Gendeng dan Mintari sampai pula
di tempat itu. Tujuan kedua orang ini jelas untuk menuntut
balas atas kematian ayah Mintari serta kekejian yang
dilakukan Kamandaka atas dirinya. Seperti dituturkan se-
belumnya Eyang Sinto Gendeng telah menculik Mintari
selagi berada di rumah kediaman Raden Bintang. Gadis
malang Ki Pamilin ini dibawanya ke suatu telaga di Bukit
Slarong. Di sini Mintari diberinya pelajaran meningkatkan
kekuatan tenaga dalam. Setelah itu diajarinya ilmu sakti
pukulan Sinar Matahari. Pukulan sakti yang diajarkan si
nenek pada Mintari memiliki kekuatan lebih hebat dad
pukulan Sinai Matahari yang telah diwariskannya pada
muridnya Wiro Sableng. Hal ini karena Sinto Gendeng
menyadari bahwa pukulan Sinar Mataharl yang lama tidak
bakal sanggup menumbangkan pukulan Halilintar yang di-
miliki Kamandaka. Namun karena Mintari bukan muridnya
maka Eyang Sinto Gendeng hanya memberikan kemampu-
an memiliki selama tiga puluh had pada Mintari. Selewat-
nya waktu tersebut kesaktian itu akan lenyap dengan
sendirinya. Di samping itu Mintari hanya bisa memperguna-
kan ilmu kesaktian itu satu kali saja.
Di puncak bukit batu Kamandaka tampak melangkah
mundar-mandir di depan rumah batunya.
Hatinya geram sekali. Kalau saja tadi Kintani tidak
muncul dan mengganggu pemusatan pikirannya, pasti
Pendekar 212 dapat dikalahkannya dan ditambusnya
sampai gosong dengan pukulan Halilintar. Kini pemuda itu
lenyap di kaki bukit. Kintani sendiri melarikan diri entah ke
mana. Rasa geram semakin membakar dirinya ketika dia
membayangkan tubuh Kintani yang sudah siap untuk
ditidurinya!
“Jahanam! Keparat!” maki Kamandaka.
Selagi dia memaki-maki begitu dari arah Barat lereng
bukit batu dilihatnya ada empat orang lelaki muncul men-
daki. Di sebelah depan… Kamandaka segera mengenalinya
dari pakaian yang dikenakannya.
“Jahanam itu akhirnya muncul juga!” katanya. “Segala
urusan akan kuselesaikan hari ini! Akan kubuka kedok
busuk bangsat itu!”
Tiba-tiba ekor mata Kamandaka melihat ada gerakan
lain di lamping Timur bukit batu. Di jurusan ini juga ada
empat orang yang g mendatangi. Dua gadis, satu nenek
dan satu lagi seorang pemuda yang dari jauh segera
dikenalinya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng. Sedang
salah satu dari gadis yang datang tak pelak lagi adalah
Kintani.
“Manusia-manusia celaka! Semua akan kubikin
mampus!” kertak Kamandaka dalam hati. Lalu dia me-
lompat ke atas batu datar di depan rumah batu. Kedua
kakinya merenggang sedang kedua tangan dirangkapkan
di depan dada. Begitu dua rombongan bongan itu sampal
sekitar sepuluh langkah di depannya Kamandaka lantas
pentang suara.
“Selamat datang mahluk-mahluk pencari mati! Siapa di
antara kalian yang ingin mampus lebih dulu?!”
Paras empat orang dari gunung Semeru tampak be-
rubah merah sementara Sinto Gendeng dan tiga orang
anggota rombongannya tenang-tenang saja malah ada
yang menyengir-nyengir!
Ketua Partai Semeru Raya menatap paras Kamandaka
sesaat lalu melirik ke samping. Dia terkejut ketika
mengenali Sinto Gendeng dan heran melihat mengapa
Kintani berada bersama rombongan si nenek. .
“Kamandaka, kami datang jauh jauh bukan untuk
mencarI kematian,” Gamar Senopatri membuka mulut.
“Kami datang justru untuk menghukummu! Dosamu
selangit tembus sedalam lautan! Berlututlah minta ampun
kepada Tuhan sebelum aku menjatuhkan hukuman mati
atas dirimu di tempat ini juga!”
Kamandaka tampak melongo. Dia memandang tak ber-
kesip pada Ketua Partai Semeru Raya itu. Lalu perlahan-
lahan tampak dia menekuk kedua kaki seperti hendak
berlutut. Ternyata pemuda ini hanya pura-pura saja. Justru
ketika pantatnya bergerak turun tiba-tiba dia keluarkan
suara kentut yang keras sekali. Sehabis kentut dia tertawa
gelak-gelak!
Dari rombongan yang dipimpin oleh Singo Gendeng,
terdengar pula suara tertawa bekakakan. Itu adalah suara
tawa Wiro Sableng yang memang tidak bisa menguasai diri.
Sinto Gendeng mendelik dan membentak. “Husss! Ku-
robek mulutmu kalau tidak hentikan tawamu!”
Wiro terpaksa tutup mulutnya. Kedua matanya melirik
ke kiri kanan yaitu ke arah Kintani dan Mintari. Kintani
senyum-senyum saja. Sedang Mintari mendongak ke langit
sambil pejamkan mata. Pasti ada sesuatu yang sangat
mempengaruhi dirinya saat itu yakni niatnya untuk
menuntut balas. Mintari turunkan kepalanya dan berbisik
pada Sinto Gendeng. “Eyang, kalau Ketua Partai Semeru itu
berhasil membunuh Kamandaka, berarti saya tidak akan
pernah membalaskan sakit hati dendam kesumat….”
Si nenek tersenyum. Dia menjawab. “Tidak satu orang-
pun bisa mengalahkan Kamandaka, kecuali kau. Lihat saja
nanti. Jangan banyak tanya lagi. Siapa yang berani bicara
nanti kutampar!”
Mintari dan Kintani kancingkan mulutnya rapat-rapat
sementara Wiro sambil garuk-garuk kepala berusaha
menahan ketawa hingga mukanya merah sampai ke
telinga.
Di sebelah sana empat wajah orang-orang gunung
Cemeru tampak merah kelam membesi.
Gamar Senopatri berkata dengan suara bergetar tanda
dia berusaha menekan amarah.
“Orang yang mau mati memang suka berbuat tolol!
Kami tahu kau pasti telah membunuh Ki Rono Bayu. Dalam
perjalanan ke mari kami menemui mayat Ageng Sembodo.
Dosamu tak mungkin diampuni lagi Kamandaka!”
“Dari tadi kau bicara melulu! Kapan kau mau ber-
tindak?!” Kamandaka berkata lantang.
“Saat ini juga murid murtad!” jawab Gamar Senopatri.
“Bagus! Tapi sebelum kau membual hendak mem-
bunuhku, biar aku bicara dulu. Agar semua orang tahu
siapa dirimu sebenarnya. Dan mengapa aku melakukan
semua kejahatan ini! Tujuanku lain tidak adalah agar satu
ketika aku dapat berhadapan denganmu. Kini saat yang
kutunggu sejak beberapa bulan lalu sudah tiba! Bukan aku
yang bakal menerima kematian. Tapi kau! Sesuai dengan
kejahatan dan kebusukan yang pernah kau buat dua puluh
lima tahun silam. Ketika aku baru berusia tiga tahun!”
Ketika berkata itu Kamandaka berulang kali menudingkan
telunjuknya ke arah Gamar Senopatri hingga Ketua Partai
ini tambah merah wajahnya dan bergetar seluruh tubuh-
nya. Sementara bicara kedua mata Kamandaka selalu ter-
tuju pada seuntal kalung baja putih dengan hiasan kepala
seekor singa yang tergantung di leher sang Ketua.
Apa yang diucapkan Kamandaka tadi tentu saja mem-
buat Gamar Senopatri terkejut. Bahkan yang lain-lain yang
ada di tempat itu jadi ikut bertanya-tanya.
“Gamar Senopatri! Hari ini kubuka kedok busukmu!”
kata Kamandaka enak saja dia menyebut langsung nama
orang tua itu. “Dua puluh lima tahun lalu, di hutan Sasakan
kau pernah menghadang satu keluarga kecil yang tengah
pindah dari Kaliurang ke Sleman. Kepala rombongan itu
adalah seorang lelaki bernama Abdi Gontor. Dia bertindak
sebagai sais pedati sementara istrinya duduk dl sebelah-
nya. Istrinya bernama Widi Sinten. Seorang anak lelaki
berusia tiga tahun berada di bagian belakang pedati.
Sampai di sini apa kau bisa ingat Gamar Senopatri?”
Semua orang saat itu menyaksikan bagaimana wajah
Ketua Partai Semeru Raya tiba-tiba menjadi pucat pasi
seputih kain kafan! Mulutnya komat-kamit tapi tidak ada
suara yang keluar. Dadanya turun naik.
Di atas batu Kamandaka kembali membuka mulut.
“Mungkin ingatanmu masih belum pulih. Biar kuteruskan
ceritaku! Perempuan bernama Widi Sinten itu adalah
kekasihmu di masa muda. Namun dia meninggalkanmu
karena ternyata kau punya lebih dari lima orang kekasih.
Kau mengkhianati cintanya dan kawin di mana-mana.
Ketika Widi Sinten kawin dengan Abdi Gontor baru kau
sadar bahwa sesungguhnya kau benar-benar mencintainya.
Kau inginkan dirinya lagi tapi sudah terlambat. Rasa
sayangmu berubah jadi rasa benci sakit hati. Kau cegat
rombongan mereka di hutan Sasakan. Kau bunuh Abdi
Gontor. Lalu kau rusak kehormatan Widi Sinten! Sehabis
diperlakukan secara keji begitu Widi Sinten bunuh diri
dengan sebilah keris milik suaminya di tempat itu juga!”
Sampai di situ Kamandaka tampak seperti tidak dapat
menguasai diri. Tubuhnya bergetar hebat dan suaranya
ditelan isakan tangis. Sesaat kemudian baru dia bisa
meneruskan kata-katanya.
“Kejadian itu disaksikan oleh anak mereka yang berusia
tiga tahun. Si anak menangis dan takut. Berusaha turun
dari pedati tapi terjatuh. Kepalanya membentur tanah
hingga jatuh pingsan. Ketika siuman dia tidak dapat lagi
mengingat apa yang telah terjadi dengan kedua orang
tuanya. Entah karena apa kau kemudian mengambil anak
itu, meminta seseorang mengasuhnya lalu menjadikannya
murid dalam Partal. Selama lebih dari dua puluh empat
tahun ingatannya tentang peristiwa itu menjadi gelap.
Namun enam bulan yang lalu sebuah benda yang tiba-tiba
dilihatnya membuat dia ingat kembali apa yang terjadi di
masa lalu itu. Benda itu adalah kalung baja putih yang
melingkar di lehermu! Kalung itu dilihat si anak waktu kau
membunuh dan memperkosa ibunya. Kalung itu kemudian
dilihat anak yang sama enam bulan lalu ketika untuk
pertama kalinya kau memakainya kembali pada suatu
upacara kebesaran Partai!”
Suasana di puncak bukit itu hening seperti di
pekuburan. Suara anginpun tidak kedengaran. Ketegangan
tegangan menggantung di udara. Kedua mata Kamandaka
berkaca-kaca. Suaranya bergetar ketika dia menyambung
kata-katanya.
“Kau tahu siapa anak itu Gamar Senopatri? Anak itu
adalah aku! Kamandaka! Muridmu yang katamu sudah kau
anggap seperti anak sendiri!”
Semuanya mata memandang pada Gamar Senopatri.
Ketua Partai Semeru Raya ini merasakan tenggorokannya
kering. Di atas kepalanya matahari seperti hanya sejengkal.
Tubuh dan pakalannya mandi keringat.
“Ceritaku belum habis Gamari Setelah aku tahu kau
pembunuh ayahku dan manusia yang merusak ibuku, aku
pergi meninggalkan Semeru. Aku menghubungi tokoh-
tokoh persilatan minta pandangan mereka apa yang dapat
aku lakukan. Tak satu orangpun yang mau memberi
nasihat. Apalagi bertindak menghukummu! Semua mereka
pengecutl Aku anggap sama saja mereka itu bersekutu
dengan dirimu! Ketika seorang sakti memberiku ilmu
pukulan Halilintar, semua tokoh- tokoh silat keparat itu
kuhabisi satu demi satu. Gadis-gadis kuculik dan ku-
perkosa. Kubayangkan mereka adalah anak gadismu
sendiri! Lalu aku merencanakan untuk menyamaratakan
puncak Semeru, menghancurkan Partai Semeru Raya dan
mematahkan batang lehermu! Orang-orang persilatan
menganggap aku manusia sesat. Kau menyebut aku murid
murtad! Mungkin aku sesat dan murtad. Tapi semua
berpangkal sebab kepadamu! Kau tidak lebih baik dariku
Gamar Senopatri! Kedokmu sudah kubuka. Berarti
kematianmu sudah di depan mata! Bersiaplah!”
Tubuh Ketua Partai Semeru Raya itu tampak ber-
guncang. Ageng Seto dan dua murid Partai cepat me-
megangnya.
“Tinggalkan saya…” kata Gamar Senopatri pada orang-
orang itu. “Menjauhlah. Aku sudah siap menerima
hukumanku!”
Ageng Seto maju ke depan. “Kamandaka!” serunya.
“Kuharap persoalan ini selesal sampai di sini saja. Kami
akan kembali ke puncak Semeru. Apa yang kau lakukan
nanti adalah urusan dan tanggung jawabmu sendiri!” Habis
berseru begitu Ageng Seto memegang bahu Gamar
Senopatri lalu berbisik. “Ketua, mari kita tinggalkan tempat
ini.”
Tapi Gamar Senopatri gelengkan kepala.
Di atas batu Kamandaka tampak menyllangkan kedua
lengannya. Lengan-lengan Itu berubah menjadi hitam.
“Ketua! Awas!” Kintani berteriak. Tapi terlambat.
Suara seperti halilintar memekakkan telinga. Bukit batu
bergetar hebat. Dua larik sinar hitam menderu menebar
hawa panas luar biasa. Dua orang anak murid Partai yang
berada agak jauh masih bisa melompat selamatkan diri.
Tapi Gamar Senopatri dan Ageng Seto tak mampu berbuat
suatu apa. Kedua orang Itu hanya keluarkan suara raungan
pendek. Tubuh mereka terpental jauh. Keduanya menemui
ajal dalam keadaan tubuh hitam gosong mengepulkan
asap. Bau daging terbakar menyesakkan nafas dan
mengidikkan semua orang yang ada di tempat itu.
Untuk beberapa lamanya Kamandaka masih tegak di
atas batu datar di depan rumah batu. Eyang Sinto Gendeng
berpaling pada Mintari dan berkata perlahan.
“Tontonan bagus sudah selesai. Giliranmu sudah tiba,
Mintari,” kata si nenek.
Gadis itu mengangguk. “Semoga saya berhasil, Eyang ”
“Jangan kawatir. Kau pasti berhasil!” jawab Sinto
Gendeng. Lalu dia melangkah menemani gadis itu sampai
lima belas langkah di hadapan batu datar di mana
Kamandaka berada sementara Wiro dan Kintani tetap
berada di tempat semula.
Kamandaka menatap kosong ketika Mintari tegak di
depannya. Dia seperti tidak melihat gadis itu sampai pada
saat Mintari berkata dengan suara keras.
“Kamandaka! Kudengar ceritamu tadi cukup mengharu-
kan. Kau pernah kehilangan ingatan selama lebih dari dua
puluh empat tahun. Tapi apa kau juga hilang ingatan atas
apa yang kau lakukan terhadap ayahku dan diriku
beberapa bulan lalu?!”
“Heh…. Siapa kau? Suaramu lantang dan wajahmu
cantik!” Otak kotor Kamandaka mulal bekerja rupanya.
“Beberapa bulan lalu kau membunuh ayahku Ki Pamilin
bergelar Tangan Baja. Di tempat yang sama kau kemudian
merusak kehormatanku! Ingat.. ?”
“Ya, aku memang ingat…” jawab Kamandaka.
“Lalu sekarang apa maumu? Minta diperkosa lagi?”
Kamandaka tertawa mengekeh. Tapi jelas tawa itu seperti
dipaksakan. Dia seperti belum dapat melenyapkan
keguncangan hatinya saat-saat menjelang dia menghabisi
Gamar Senopatri tadi.
“Kejahatan harus dibalas dengan keadilan! Keadilan
satu-satunya bagimu adalah mati!” teriak Mintari. Lalu dia
angkat tangan kanannya. Tangan itu sampai sebatas siku
berubah menjadi putih perak dan sangat menyilaukan.
Hawa panas terasa mencekam tempat sekitar situ.
Pendekar 212 Wiro Sableng sempat terkejut melihat hal
itu. “Gila! Mengapa lengan itu bisa sangat menyilaukan
seperti itu. Aku sendiri tidak mampu berbuat seperti itu. Ah,
si Eyang pasti sudah main kayu! Mengajarkan sesuatu
pada orang lain tapi tidak mengajarkannya padaku!” Baru
saja saja Wiro mengucapkan kata-kata itu dalam hatinya
tiba-tiba ada suara menglang di telinganya.
“Anak setan! Jangan kowe berpikir yang bukan-bukan!
Kau sendiri yang salah. Selama ini kau hanya senang
malang melintang. Tidak pernah memikirkan untuk mem-
perdalam serta menambah ilmu kepandaian!”
Wiro melirik ke arah si nenek yang tegak tak berapa
jauh dari tempatnya berdiri. Itu tadi suara si nenek yang
mempergunakan ilmu bersuara jarak jauh. Wiro hanya bisa
garuk-garuk kepala. Memandang ke depan dilihatnya
lengan Mintari semakin memancarkan sinar menyilaukan.
“Pukulan Sinar Matahari!’ seru Kamandaka dengan
nada serta mimik mengejek. “Siapa yang mengajarkan
padamu? Pasti nenek jelek itu atau pemuda gondrong
sebelah sana!” Kamandaka tertawa panjang. “Kumpulkan
seratus orang yang mampu melancarkan pukulan Sinar
Matahari. Tak satupun yang akan mampu menghadapi
pukulan Halilintar!”
“Takaburmu membawa celaka!” teriak Mintari. Tangan-
nya perlahan-lahan diangkat lebih tinggi.
“Eh, gadis ini tidak main-main. Sebenarnya sayang kalau
dia harus kubunuh! Tapi apa boleh buat!” Begitu
Kamandaka membatin. Lalu dia silangkan kedua
tangannya di depan kepala. Kedua tangan itu serta merta
menjadikan hitam. Sambil sunggingkan senyum merendah-
kan, Kamandaka lepaskan silangan kedua tangannya dan
memukul ke depan.
Wuss!
Wuss!
Dua larik sinar hitam menderu dahsyat disertai suara
gelegar halihntar. Untuk kesekian kalinya bukit batu itu
seperti diguncang gempa dan langit seperti mau roboh!
Mintarl keluarkan pekik keras. Tangan kanannya meng-
hantam ke depan. Hawa panas menggebubu. Selarik sinar
putih kebiruan menyilaukan menyambar ganas. Ratusan
bunga api memercik di udara ketika dua larik sinar hitam
bertemu dengan selarik sinar putih kebiruan.
Kedua kaki Mintari tampak goyang. Kamandaka menye-
ringai. Kintani dan Wiro menahan nafas. Tapi Sinto
Gendeng tenang-tenang saja. Malah dari mulutnya ter-
dengar suara dia menyanyi. “Kejar terus, tahan terus….
Hitam tak pernah menang dari putih… Kejar terus, tahan
terus… Hitam tak pernah menang dari putih…”
Di udara dua larik sinar hitam pukulan Halilintar ber-
usaha menggelamkan sinar putih pukulan Sinar Matahari.
Namun sekali ini tampak sinar-sinar hitam Itu terdorong ke
belakang hingga Kamandaka merasakan kedua Iengannya
bergetar keras. Hal ini tak pernah kejadian sebelumnya.
Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya hingga wajahnya
jadi merah dan sekujur tubuhnya mandi keringat.
Tiba-tiba Mintari putar telapak tangan kanannya.
Gerakan ini disusul dengan gerakan mendorong ke depan .
Wussss!
Pukulan Sinar Matahari menggebubu laksana topan
prahara. Dua larik sinar hitam pecah dan bertebaran lalu
lenyap. Sinar putih terus melabrak ke depan.
“Jahanam!” Masih terdengar makian Kamandaka. Itu
adalah ucapannya yang terakhir sebelum tubuhnya terseret
sinar putih panas dan menyilaukan itu. Pemuda itu
terbanting ke dinding batu di samping rumah batu. Untuk
sesaat lamanya tubuhnya yang melepuh matang merah Itu
laksana dicetak masuk ke dalam dinding batu. Lalu
perlahan-lahan tubuh itu mencuat keluar dan jatuh
tergelimpang di atas batu.
Mintari jatuhkan diri dan tekap mukanya dengan kedua
tangannya. Sinar putih menyilaukan pada tangan kanannya
sudah lenyap. Dia menangis terisak-isak. Satu tangan
memegang bahunya, mengira itu adalah Eyang Sinto
Gendeng yang memegangnya, gadis ini berkata. “Eyang,
terima kasih. Saya berhasil Eyang. Terima kasih…”
“Eyang sudah lenyap entah kemana,” jawab satu suara.
Mintari berpaling. Yang memegang bahunya dan yang
barusan bicara ternyata adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Di sampingnya berdiri Kintani. “Dia sempat
berpesan agar aku mengurus kalian berdua. Ah, bagai-
mana ini… Kalian kan bukan anak-anak kecil lagi.”
Perlahan-lahan Mintari berdiri. Dia memandang pada
Kintani sambil mengusap air matanya. Lalu dia berkata.
“Bersamamu Wiro, kami mau jadi anak-anak kecil kembali.”
“Tapi kami anak-anak kecil yang nakal. Hingga kau pasti
bakal kewalahan mengurus kami!” menyambung Kintani.
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Lalu
dia berdiri di antara kedua gadis itu dan memegang bahu
mereka. Sambil melangkah Wiro tersenyum-senyum.
“Apa yang kau tertawakan?” tanya Mintari.
Ditanya begitu sang pendekar justru malah tertawa
gelak-gelak. “Aku ingat ketika kalian kutemui lari dari
puncak bukit nyaris tanpa pakaian sama sekali!”
Kedua gadis itu terpekik. Lalu cubitan-cubitan menye-
ngat lengan, pinggang dan punggung Pendekar 212 mem-
buat dia kelojotan dan terlonjak-lonjak kian kemari.
Pembalasan dua gadis itu ternyata tidak sampai di sana
saja. Dari belakang keduanya menarik celana Wiro ke
bawah kuat-kuat hingga tubuh bawah sebelah belakang
pemuda ini tersingkap lebar. Sementara Wiro kalang kabut
menarik celananya, Mintari dan Kintani telah melarikan diri
ke bawah bukit.
“Anak-anak nakal! Kalau dapat kukejar akan kuciumi
kalian berdua!” teriak Wiro.
Mintari dan Kintani berhenti lalu lambaikan tangan
menggoda. Ketika Wiro mengejar keduanya lari kembali
sambil tertawa terpingkal-pingkal.
TAMAT
GEROBAK sapi itu bergerak perlahan. Yang menjadi
kusirnya seorang lelaki tua berjanggut dan berambut
putih duduk tenang-tenang saja karena dia memang
tidak terburu-buru. Di sampingnya duduk seorang dara.
Rambutnya yang hitam pendek dikuncir ke atas hingga
wajahnya yang jelita tampak lucu. Gadis ini adalah anak
tunggal si orang tua berjanggut putih. Dara ini memang ber-
sifat riang ceria. Sepanjang perjalanan dia selalu menyanyi
kecil sambil menggoyang-goyangkan tangan kanannya
yang memegang sebuah tongkat bambu. Melihat pakaian
ringkas warna putih yang dikenakan ayah dan anak ini jelas
keduanya adalah orang-orang persilatan.
“Mintari anakku,” berkata lelaki tua di atas gerobak
pada anak gadisnya. “Kalau sampai di tempat pertemuan
para tokoh silat di Selatan nanti, jangan sekali-kali kau
berlaku sembrono. Kau duduk saja di sampingku. Jangan
bicara kalau tidak diminta. Ingat, di situ juga ada Datuk
Alam Rajo Di Langit, tokoh silat dari tanah Minang yang
akan membawamu ke Pulau Andalas. Semua ilmu ke-
pandaianku sudah kuwariskan padamu. Selanjutnya Datuk
Alam yang akan membawamu ke tanah Minang dan
menggemblengmu di sana. Ingat juga, Datuk itu adalah
orang tua yang sangat saleh. Karena itu selama di sana
jangan sekali-kali kau meninggalkan sembahyang.”
Gadis bernama Mintari itu sesaat terdiam mendengar
kata-kata ayahnya. Tak lama kemudian kembali dia
menyanyi-nyanyi sambil membolang-balingkan tongkat
bambunya.
“Anakku, apakah kau tidak akan mengatakan sesuatu?”
bertanya sang ayah.
Mintari hentikan nyanyiannya, “Saya ada satu per-
tanyaan ayah,” ucapnya.
“Katakanlah anakku.”
“Setahu saya di tanah Jawa ini terdapat banyak sekali
tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi. Tidak terhitung pula
orang-orang sakti. Lalu mengapa ayah menginginkan saya
pergi jauh-jauh ke negeri Minang mengikuti Datuk Alam
Rajo kalau hanya untuk menempa ilmu silat dan kesakti-
an?”
Sang ayah tersenyum mendengar ucapan anak gadis-
nya itu. Setelah mendehem beberapa kali diapun men-
jawab. “Pernahkah kau mendengar ujar-ujar yang mengata-
kan: Jauh berjalan banyak yang dilihat. Menuntut ilmu
kalau perlu sampai di Negeri Cina. Memang ayah tahu
tidak sedikit orang pandai di tanah Jawa ini. Tapi tanah
Minang juga dikenal gudang segala ilmu. Di sana kau dapat
pula mendalami ilmu agama. Dan mengenai Datuk Alam
Rajo jangan kau anggap enteng dia…”
“Harap maafkan, saya tidak menganggap enteng orang
tua satu itu ayah. Jangan ayah salah sangka.”
“Lalu mengapa kau kelihatannya tidak suka pergi
bersamanya?”
“Karena sebenarnya saya ingin dekat dengan ayah,”
jawab Mintari.
Sang ayah tertawa. “Kau bukan anak kecil lagi. Umurmu
sudah sembilan belas tahun kalau ayah tidak salah ingat.
Ayah melepasmu dengan segala keikhlasan.”
“Saya tahu ayah,” kata Mintari pula. Lalu dipegangnya
tangan ayahnya seraya berkata. “Kalau saya tidak ada,
siapa yang mengurus ayah?”
Ucapan anak gadisnya itu membuat hati si orang tua
tersentuh. Memang sejak ibu Mintari meninggal dunia
enam tahun yang lalu, anak gadisnya itulah yang mengurus
dirinya. Setelah diam sesaat orang tua ini berkata. “Kalau
kau pergi dan sanggup mengurus diri sendiri, masakan aku
tua bangka begini tidak sanggup berbuat yang sama…?”
Baru saja ayah Mintari berkata begitu tiba-tiba ter-
dengar suara tawa mengekeh menyusul ucapan lantang.
“Kau betul Ki Pamilin! Orang tua sepertimu harus dapat
mengurus diri sendiri! Hari ini aku mau lihat apakah kau
benar-benar bisa mengurus diri sendiri!”
Ayah dan anak itu sama-sama terkejut dan memandang
berkeliling.
“Ayah, ada suara tapi tak kelihatan orangnya!” bisik
Mintari.
Ki Pamilin, ayah Mintari berusaha bersikap tenang tapi
waspada. Dia tahu kalau ada seorang berkepandaian tinggi
berada di tempat itu. Manusia yang muncul seperti itu
biasa-nya tidak membawa niat baik.
“Tenang saja Mintari. Tak ada yang perlu ditakutkan.”
balas berbisik Ki Pamilin.
Tiba-tiba ada suara angin berdesir disertai berkelebat-
nya satu bayangan. Tahu-tahu sepuluh langkah di tengah
jalan di hadapan mereka tegak berdiri seorang berpakaian
dan berdestar serba biru. Bajunya tidak berkancing hingga
dadanya yang bidang berotot tersingkap lebar. Ki Pamilin
hentikan gerobak sapinya.
Yang tegak menghadang di tengah jalan itu ternyata
seorang pemuda berparas gagah. Hal ini membuat hati si
orang tua agak tenteram sedikit. Lain halnya dengan
Mintari. Gadis ini tidak suka melihat perjalanannya
dihadang oleh seorang tak dikenal yang bersikap sombong.
“Anak muda, siapakah dirimu. Apa maksud ucapanmu
tadi?” tanya Ki Pamilin.
“Aku sudah lama mendengar nama besarmu yang
menyandang gelar Pendekar Tangan Baja. Hari ini aku ingin
menjajaki sampai dimana kehebatan sepasang tanganmu.
Buktikan bahwa kau memang orang tua yang bisa meng-
urus diri sendiri!” Habis berkata begitu pemuda ini meman-
dang pada Mintari. Sepasang bola matanya membesar dan
membersitkan sinar aneh. Hati Ki Pamilin mendadak
sontak jadi berdebar. Pengalaman hidup membuat dia
mengenali arti cahaya yang keluar dari kedua mata
pemuda itu.
“Anak muda, hidup bukan mencari lantai terjungkat.
Ilmu kepandaian bukan untuk membuat silang sengketa.”
“Orang tua, kata-katamu enak di dengar. Apakah itu
berarti kau tidak punya nyali untuk melayaniku barang
sejurus dua jurus?”
Mintari yang sudah sejak tadi merasa jengkel melihat
tingkah dan mendengar ucapan-ucapan pemuda itu
membuka mulut bersuara keras.
“Kami masih ada keperluan yang lebih penting! Mana
punya waktu melayani pemuda sombong sepertimu!”
Pemuda di tengah jalan tertawa gelak-gelak. Ditanggal-
kannya destar birunya. Lalu destar ini, dikipas-kipaskannya.
Saat itu sinar matahari memancar terik dan udara memang
panas.
“Adik, suaramu merdu dan wajahmu secantik bidadari.
Bolehkah aku tahu namamu? Tadipun aku sebetulnya
sudah kagum mendengar suara nyanyianmu.”
Mintari keluarkan suara mendengus dari hidungnya.
“Ketepilah. Kami mau lewat!”
“Adik cantik, percakapan kita bisa diteruskan kemudian.
Aku ingin mendengar jawaban ayahmu. Apakah dia se-
orang pengecut?”
“Ayahku bukan seorang pengecut! Dia hanya tidak mau
mengotori tangan melayani kadal hutan macammu!” jawab
Mintari.
Mendengar kata-kata itu kembali pemuda di tengah
jalan tertawa bergelak. Tetapi dalam tertawa sepasang
matanya tampak seperti dikobari api. Tiba-tiba tubuhnya
berkelebat lenyap lalu terdengar suara brett!
Mintari terpekik. Ki Pamilin berteriak keras. Orang tua
ini marah sekali. Langsung dia melompat turun dari atas
gerobak. Tangan kanannya menghantam ke arah dada si
pemuda. Yang diserang sunggingkan senyum mengejek
dan angkat tangan ngan kirinya untuk menangkis.
Buuukk!
Ki Pamilin yang memang lebih dikenal dengan julukan
Pendekar Tangan Baja terjajar dua langkah ke belakang.
Lengan kanannya mendenyut sakit dan tampak merah.
Wajah orang tua ini jadi berubah. Sebagai seorang tokoh
silat yang disegani bukan sembarang orang bisa membuat-
nya terjajar seperti itu.
“Pemuda kurang ajar! Siapa kau sebenarnya, dan apa
maumu?!” sentak Ki Pamilin.
Si pemuda kenakan destarnya kembali. Sambil ber-
kacak pinggang dia berkata. “Namaku Kamandaka. Orang
mengenalku dengan panggilan Pendekar Tangan Halilin-
tar!”
Mendengar nama dan gelar itu kembali paras Ki Pamilin
berubah. Dia sempat mundur satu langkah. Yang terpikir
saat itu adalah keselamatan anak gadisnya.
Di depannya pemuda yang mengaku bernama Kaman-
daka bergelar Pendekar Tangan Halilintar lagi-lagi sung-
gingkan senyum sinis.
“Pendekar Tangan Baja berhadapan dengan Pendekar
Tangan Halilintar! Bukan ini satu pertemuan yang luar
biasa?!”
***
WIRO SABLENG
2 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
I ATAS gerobak Mintari rapatkan baju putihnya yang
robek akibat tarikan kurang ajar Kamandaka.
Dengan tubuh gemetar oleh amarah gadis ini me-
lompat dari gerobak itu. Dia bermaksud hendak menyerang
si pemuda. Tetapi hatinya jadi bimbang ketika melihat
bagaimana ayahnya yang memiliki kepandaian begitu tinggi
tampak terjajar dalam bentrokan pukulan Tadi.
“Orang muda, kalau kau benar Kamandaka manusia
terkutuk yang dicari-cari di tujuh penjuru angin itu, maka
ketahuilah hari ini hari terakhir bagimu melihat dunia!”
“Ha …ha! Ternyata kau bukan seekor macan kertas.
Kalau kau memang punya nyali mari kita teruskan
berbincang-bincang dengan tangan dan kaki. Namun
sebelumnya aku ingin memastikan dulu agar anak gadismu
ini tidak pergi ke mana-mana!” Habis berkata begitu
Kamandaka melompat ke hadapan Mintari dan menyergap
dengan satu totokan.
Dari samping Ki Pamilin datang menyambar dengan
pukulan ke arah kepala Kamandaka hingga pemuda ini
tidak sempat meneruskan totokannya ke tubuh si gadis.
Serangan yang dilancarkan Ki Pamilin mengandung tenaga
dalam tinggi, mengeluarkan suara bersiur menggidikkan.
Namun dengan tenang Kamandaka mengelak. Gerakannya
mengelak tampak aneh. Tubuhnya berputar membelakangi
lawan. Lalu tiba-tiba kaki kanannya mencelat ke atas
seperti tendangan seekor kuda. Kalau Ki Pamilin tidak
bertindak waspada tendangan dahsyat itu pasti akan
D
menghantam rahang kanannya!
Tendangan yang melesat itu kini mendarat pada kayu
besar yang jadi tambatan sapi penarik. Terdengar suara
berderak. Kayu itu pecah berantakan mengejutkan sapi
penarik gerobak. Binatang ini sempat lari beberapa belas
langkah lalu berhenti dekat kelokan jalan sambil tiada
henti mengibas-kibaskan ekornya.
Dengan rahang menggembung Ki Pamilin lancarkan
serangan. Tubuhnya seperti merunduk. Kedua tangannya
diulurkan ke depan. Kamandaka melihat bagaimana
sepasang tangan itu kini berubah menjadi keputih-putihan.
“Ah, kau mengeluarkan ilmu kesaktian Tangan Baja!”
seru Kamandaka. Memang inilah yang ditunggu-tunggunya.
Sudah sejak lama dia mencari-cari orang tua bergelar
Pendekar Tangan Baja ini hanya sekedar untuk menjajal
ilmu kepandaiannya. Kini bukan saja dia menemul orang
yang dicarinya, malah orang ini muncul membawa serta
anak gadisnya yang cantik jelita.
Kamandaka menunggu dengan kedua kaki di-
renggangkan. Sepasang lengan di silang di depan dada.
Ketika kedua lengan ini saling digosokkan maka kelihatan
jelas warnanya berubah menjadi hitam. Diam-diam Ki
Pamilin menjadi terkesiap jnga melihat hal ini. Sejak lama
dia sudah mendengar akan kehebatan dan keganasan
Pendekar Tangan Halilintar. Dan selama ini belum ada satu
lawan atau seorang tokoh silatpun yang mampu
menghadapi pukulan halilintar itu. Karenanya si orang tua
memutuskan untuk menggempur Kamandaka lebih dulu.
Didahului dengan satu bentakan keras Ki Pamilin
dorong-kan kedua tangannya. Dorongan ini perlahan saja.
Tetapi apa yang terjadi sungguh dahsyat!
Dari kedua tangan Ki Pamilin seperti menyembur keluar
dua jalur sinar putih. Inilah sinar baja yang mengandung
hawa panas. Meskipun hanya berbentuk sinar tetapi ke-
kuatan dan kerasnya tidak beda seperti batangan baja!
Wus!
Wus!
Dua sinar menyambar ke arah kepala dan dada
Kamandaka.
“Bagus!” Seru si pemuda memuji tapi sebenarnya dia
jelas hendak mengejek dan memandang rendah lawan.
Begitu dua sinar baja menderu ke depan Kamandaka
melompat ke samping. Dari samping dia dorongkan telapak
tangan kanannya.
Dua sinar baja laksana dua batangan terdorong ke
samping. Menghantam sebatang pohon jati. Pohonini
laksana ditembus tombak raksasa, berderak patah lalu
tumbang dengan suara menggemuruh.
Ki Pamilin merasakan dadanya seperti terbakar karena
geram tetapi bersamaan dengan itu tengkuknya menjadi
dingin. Selama ini belum pernah dia langsung menyerang
musuh dengan pukulan Tangan Baja kalau bukan musuh
yang benar-benar tangguh. Sekali dia mengeluarkan se-
rangan tersebut tak pernah ada lawan yang mampu
menghindar dari kematian. Kini dia telah melakukan hal itu
dan ternyata lawan dengan mudah dapat menghindarinya!
“Luar biasa, dari mana anak semuda ini punya
kepandaian begini hebat!” kata Ki Pamilin dalam hati.
Diam-diam dia merasa malu. Selama ini dia telah
menyandang nama besar sebagai Pendekar Tangan Baja
dalam dunia persilatan. Ter-nyata hari ini dia tersandung
oleh seorang yang usianya hanya sepertiga usianya!
Dengan cepat Ki Pamilin membalik. Kalau tadi dia hanya
mengerahkan setengah bagian tenaga datam yang dimiliki-
nya, kini dia mengalirkan seluruh tenaga dalamnya pada
kedua lengannya hingga sepasang tangannya menjadi ber-
kilat.
“Bagus!” Kamandaka memuji. “Kalau sudah seluruh
tenaga dalammu kau kerahkan, tunggu apa lagi! Ayo
hantamlah!”
“Pemuda ini sombong sekali. Kudengar kejahatan yang
dilakukannya setinggi langit sedalam lautan! Kalau aku
tidak membunuhnya hari ini biar aku mengucilkan diri dari
dunia persilatan untuk selama-lamanya!” Lalu dengan
rahang terkatup rapat Ki Pamilin dorongkan kedua
tangannya ke arah Kamandaka. Kini dua larik sinar baja
yang melesat keluar dari kedua tanangan orang tua itu
tampak lebih besar dan lebih menyilaukan. Hawa panas
ikut menyambart
Ketika Ki Pamilin mengalirkan tenaga dalamnya pada
kedua tangan, diam-diam Kamandaka telah pula mengatur
hawa sakti yang berpusat di perutnya, lalu menyalurkannya
pada kedua tangannya. Sambil menyalurkan hawa sakti
Kamandaka menyilangkan kedua lengannya di depan dada
lalu naik ke atas di depan kepala. Kedua tangan pemuda
ini tampak berubah menjadi hitam. Tiba-tiba dua lengan
yang bersilang itu membuka lalu dihantamkan ke depan.
Terdengar suara meledak seperti suara halilintar
membelah langit. Tanah bergoncang. Pepohonan berderak-
derak seperti hendak tumbang. Satu gelombang sinar
hitam menggebubu ke depan.
Dua sinar baja pukulan sakti Ki Pamilin laksana teng-
gelam ditelan gelombang hitam yang dahsyat itu. Orang tua
ini tersentak kaget. Tubuhnya terdorong keras. Dia ber-
usaha bertahan sambil dorongkan lagi kedua tangannya
dan merapal aji kesaktian lain untuk memperkuat diri.
Kamandaka tertawa mengekeh.
“Keluarkan seluruh ilmumu Pendekar Tangan Baja!”
katanya. Lalu kedua lengannya yang masih ada di depan
kepala disilangkan kembali. Saat itu juga terdengar suara
ledakan dahsyat. Langit laksana hendak runtuh. Tanah
seperti terbongkar. Ki Pamilin lenyap dalam buntalan sinar
hitam. Lalu terdengar suara orang tua itu menjerit.
Tubuh orang tua itu terlempar sampai satu tombak.
Mukanya tampak putih laksana kain kafan tapi anehnya
perlahan-lahan berubah menjadi hitam, pertanda bahwa
pukulan sakti yang dilepaskan Kamandaka selain dialas
dengan kekuatan tenaga dalam luar biasa juga mengan-
dung racun sangat jahat.
“Ayah!”
Mintari terpekik melihat apa yang terjadi dengan ayah-
nya. Gadis ini memburu. Kamandaka cepat ulurkan tangan
menyambar pinggang si gadis.
“Manusia jahanam!” teriak Mintari. Dia berbalik dan
tongkat bambu di tangan kanannya dihunjamkan ke perut
Kamandaka. Baju biru Kamandaka tampak berlobang
besar. Tetapi hebatnya perutnya tidak cidera sedikitpun.
Malah Mintari merasa ada satu dorongan keras ketika
ujung tongkat menyentuh perut pemuda itu yang membuat
tangannya bergetar.
“Gadis hebat!” seru Kamandaka. “Tunjukan kehebatan-
mu kalau nanti kau berada dalam pelukanku!”
Mendidih amarah Mintari mendengar kata-kata itu. Dia
membalik dan kini tongkatnya menusuk kuat-kuat ke mulut
si pemuda. Sekali ini Kamandaka tidak mau berlaku ayal
lagi. Perutnya bisa kebal dan sanggup menahan tusukan
tongkat bambu ataupun senjata tajam. Tetapi pada kedua
matanya sama sekali tidak ada kekebalan. Selain itu dia
tahu bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang cukup
tinggi berkat gemblengan ayahnya.
Kamandaka cepat menggeser kedua kakinya sambil
miringkan kepalanya ke kiri. Bersamaan dengan itu tangan
kanannya melesat ke atas menangkap ujung tongkat.
Begitu ujung tongkat berada dalam genggamannya,
Kamandaka dengan cepat menariknya. Karena tidak
sempat melepaskan tongkat itu maka Mintari ikut tertarik
ke depan. Sebelum dia bisa berbuat sesuatu apa tahu-tahu
dia sudah berada dalam pelukan Kamandaka. Malah satu
ciuman si pemuda sempat menyambar pipinya!
“Jahanam kurang ajarl” Makian itu disertai gerakan
mencakar ke muka Kamandaka. Tapi Mintari kalah cepat.
Kamandaka lebih cepat menotok jalan darahnya hingga
tubuh si gadis kaku tak bisa bergerak lagi. Hanya suaranya
saja terdengar memaki tak putus-putusnya.
Sambil tertawa-tawa Kamandaka memanggul tubuh
Mintari. Salah satu tangannya mengelus-elus tubuh bagian
bawah belakang gadis itu sehingga semakin keras kutuk
serapah keluar dari mulut Mintari.
“Sekarang kau memaki diriku. Tapi lihat sebentar lagi
kau akan tergila-gila padaku. Berpisah sesaatpun kau tak
akan mau!” berkata Kamandaka sambil membawa Mintari
ke arah gerobak sapi. Tubuh gadis ini dibaringkannya di
lantai gerobak sebelah belakang.
Dari dalam mulut Ki Pamilin tampak banyak darah
mengalir. Nafasnya sesak dan dari tenggorokannya ter-
dengar suara seperti ayam dipotong. Samar-samar dia
melihat Kamandaka memanggul tubuh Mintari ke arah
gerobak.
“Ya Tuhan, tolong anakku. Selamatkan dia…” orang tua
ini hanya bisa memohon dalam hati. Tangannya coba
diangkat untuk melepaskan pukulan ke arah si pemuda.
Tetapi kekuatannya sudah punah. Pemandangannya ber-
tambah gelap. Pada saat jantungnya berhenti berdetak,
nyawanyapun lepas meninggalkan jazad.
Di atas gerobak Kamandaka berlutut di samping tubuh
Mintari. Mulutnya menyeringai, nafasnya menderu diburu
nafsu. Tangan kanannya bergerak. Terdengar suara pakai-
an robek beberapa kali.
“Manusia jahanaml Iblis! Lepaskan aku! Lepaskan!”
teriak Mintari.
“Nanti juga akan kulepaskani Sekarang biar kita
bersenang-senang dulu!”
“Lebih baik kau bunuh diriku!” teriak Mintari lalu dia
menjerit berulang kali.
Suara jeritan gadis yang terancam kehonmatannya itu
bukan membuat hiba apalagi takut dalam diri Kamandaka.
Malah pemuda ini semakin bernafsu. Dibukanya baju dan
celana birunya. Kedua tangannya meraba kian kemari.
Ketika dia siap untuk melakukan kebejatan itu tiba-tiba di
belakangnya terdengar suara derap kaki kuda. Kamandaka
menoleh ke belakang.
Dua orang penunggang kuda berseragam perajurit
Kerajaan mendatangi dengan cepat. Melihat ada gerobak
berhenti di tengah jalan dan ada suara perempuan men-
jerit dari atas gerobak itu, kedua perajurit ini hentikan kuda
masing-masing di samping gerobak.
Tentu saja keduanya terkejut melihat pemandangan di
dalam gerobak terbuka itu.
“Hail Perbuatan gila apa yang kau lakukan ini?!” salah
seorang perajurit membentak.
“Siang bolong! Di tengah jalan1″ Perajurit yang satu lagi
ikut menghardik.
Melihat munculnya dua orang perajurit Kerajaan ini
Mintari merasa dirinya pasti akan mendapat pertolongan.
Maka diapun berkata. “Tolong. Tolong selamatkan diriku
dari manusia durjana ini!”
Dua perajurit pandangi wajah cantik dan tubuh mulus
yang menggeletak di atas gerobak itu. Mau tak mau
keduanya jadi tercekat dan terangsang. Yang satu berulang
kali membasahi bibirnya dengan ujung lidah. Sedang yang
satu lagi memandang dengan mata tak berkesip. Yang ter-
akhir ini berpaling pada Kamandaka.
“Kau tahu kalau kau telah membuat satu kesalahan
besar yang bisa membuat kepalamu dijirat tali gantungan?”
Kamandaka diam saja. Dia sudah merasa kalau kedua
perajurit itu mulai dikobari nafsu. Benar saja karena yang
satu kemudian berkata.
“Sobat, jika kau mau membagi-bagi rejeki besar ini pada
kami berdua, kami tidak akan menangkapmu atau mem-
buat perkara!”
Kamandaka menyeringai. “Kalau kalian memang
berminat aku bersedia memenuhi permintaan kalian.
Malah kalau mau kalian boleh bersenang-senang lebih
dulu. Naiklah ke atas gerobak ini. Aku mengalah tidak jadi
apa.”
Mendengar kata-kata Kamandaka itu, dua perajurit tadi
tanpa tunggu lebih lama segera turun dari kuda dan siap
naik ke atas kereta.
“Hus! Tunggu dulu!” kata Kamandaka. “Sebelum naik
lebih baik kalian tanggalkan dulu semua pakaian yang
melekat di tubuh kalian Gerobak ini sempit. Akan sulit
membuka pakaian di sini!”
“Kau benar!” kata salah seorang perajurit. Lalu tanpa
malu-malu dia segera menanggalkan pakaiannya. Kawan-
nya tidak mau ketinggalan, segera pula melakukan hal
yang sama.
“Nah sekarang kalian sudah siap! Ayo lekas naik ke atas
gerobak. Aku biar menunggu di dekat pohon sana sambil
berjaga jaga,” kata Kamandaka pula.
Dua orang perajurit yang tanpa pakaian itu naik ke atas
gerobak. Namun belum sempat kaki mereka menginjak
lantai kereta, kedua tangan Kamandaka bergerak me-
mukul. Terdengar suara bergedebuk dua kali. Kedua
perajurit itu keluarkan jeritan hampir berbarengan. Tubuh
mereka terbanting ke tanah. Keduanya mengerang
seketika lalu tak berkutik lagi. Mereka mati dengan muka
remuk.
Kamandaka meludah ke tanah. Dia berpaling pada
Mintari yang tergeletak dengan muka pucat. Kembali gadis
ini memekik keras. Namun sekali ini tak ada sesuatupun
yang bisa menghalangi perbuatan terkutuk Kamandaka
***
WIRO SABLENG
3 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
I LAMPING bukit Pendekar 212 Wiro Sableng
hentikan larinya. Sejenak dia tegak berdiam diri lalu
memandang ke bawah bukit. Lapat-lapat dia men-
dengar suara ringkikan kuda jauh dibawah sana. Murid
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini dapat mem-
bedakan mana ringkikan kuda biasa dan mana yang tidak
biasa. Segera dia menuruni bukit ke arah terdengarnya
suara ringkikan kuda itu. Dia sengaja mengambil jalan me-
mintas walau harus menempuh bagian bukit yang dirapati
pepohonan serta semak belukar. Ketika akhirnya Pendekar
ini sampai di kaki bukit, dia menemui sebuah jalan dan me-
lihat ada bekasbekas jejak roda di tanah.
Wiro ikuti jejak-jejak roda itu. Belum lama berjalan
langkahnya mendadak terhenti. Di kejauhan, dekat jalan
yang menikung tampak sebuah gerobak sapi. Di samping
kiri gerobak kelihatan dua sosok mayat dengan kepala
pecah dan tubuh telanjang bulat. Dua helai pakaian
seragam perajurit kelihatan tercampak di tanah. Tak jauh
dari situ ada dua ekor kuda. Salah seekor diantaranya
meringkik tiada henti. Wiro meneruskan langkahnya. Dia
melihat sosok tubuh ke tiga, menggeletak dekat sebatang
pohon yang tumbang. Sang pendekar kerenyitkan kening
dan garuk-garuk kepalanya. Sosok tubuh ketiga ini tak bisa
dikenali. Sekujur badan dan pakaiannya berwarna hitam
seolah-olah baru saja keluar dari lumpur jelaga.
“Ini bukan warna hitam biasa. Orang ini menemui ajal
akibat racun jahat…” membatin murid Sinto Gendeng. Saat
D
itulah dia mendengar suara erangan halus. Dia berpaling
ke arah gerobak sapi, tadi gerobak itu dilewatinya begitu
saja. Suara erangan itu justru datang dari arah gerobak.
Wiro cepat mendekati gerobak, melompat ke atasnya.
Kedua kaki Pendekar 212 laksana dipantek ke lantai
gerobak. Matanya hampir terpejam tak kuasa memandang.
“Tolong… tolong…” Gadis yang meoggeletak di lantai
gerobak keluarkan suara kelu. Kedua matanya hanya
membuka sedikit. Sekujur tubuhnya terutama di bagian
leher dan dada penuh dengan luka-luka bekas gigitan.
Sambil membalikkan tubuh Wiro membuka bajunya.
Dengan pakaian ini ditutupnya tubuh Mintari. Tapi baju itu
tidak dapat menutupi sekujur tubuh gadis yang malang itu.
Wiro memandang seputar gerobak. Ada sebuah buntalan di
bawah tempat duduk kereta sebelah depan. Ketika di-
periksanya dia menemukan sehelai kain warna kuning
yang cukup lebar. Dengan kain ini ditutupinya tubuh gadis
itu sedang bajunya dipakainya kernbali. Lalu Wiro mem-
bawa gerobak itu ke tempat yang teduh.
“Saudari, dapat kau menceritakan apa yang terjadi?”
Jawaban yang keluar dari mulut Mintari adalah jeritan
keras. Lalu gadis ini menangis tersengguk-sengguk. Dalam
hati Pendekar 212 sudah dapat menduga nasib buruk apa
yang telah menimpa gadis ini. Namun yang jadi pertanyaan
apa sangkut paut kedua perajurit Kerajaan yang mati
telanjang serta seorang yang tewas dengan tubuh hitam
itu.
“Ayah… Tolong… Ayah…”
Wiro kerenyitkan kening. Diperhatikannya lagi keadaan
tubuh gadis yang menggeletak di Iantai gerobak itu. Baru
dia menyadari kalau tubuh itu berada dalam keadaan ter-
totok. Wiro membungkuk untuk lepaskan totokan itu.
“Kau…kau siapa…?” Pertanyaan itu keluar dari mulut
Mintari. Untuk pertama kali si gadis tiba-tiba merasa takut.
“Jangan takut. Aku kebetulan lewat di tempat ini. Aku
berusaha menolongmu…”
Mintari membuka kedua matanya lebih lebar. Peman-
dangannya masih meremang. Dia tak dapat melihat jelas
wajah orang yang berlutut di sampingnya. Kemudian di-
rasakannya ada sentuhan pada bagian tubuhnya yang
membuat dia bisa menggerakkan kedua tangan dan kaki-
nya kembali.
Begitu menyadari totokannya telah lepas, Mintari ber-
usaha melompat berdiri. Tapi terhuyung-huyung dia hampir
jatuh. Wiro cepat memegang tangannya dan menutupkan
kain kuning kembali ke tubuh Mintari lalu menyandarkan
gadis itu ke pinggiran gerobak. Mintari memandang dengan
mata membeliak padanya.
“Tenanglah, kau tak usah takut. Aku bukan orang jahat,”
kata Wiro meyakinkan si gadis.
“Ayah…” Mintari memandang berkeliling. Wiro mengikuti
pandangannya.
“Ayahmu ada di sini?” tanya Wiro.
“Ayah…Manusia itu pasti sudah membunuh ayah…”
Kemudian gadis ini melihat tubuh hitam yang menggeletak
dekat pohon. Satu jeritan keluar dari mulutnya. Tubuhnya
tampak seperti kejang. Wiro berusaha menenangkan gadis
itu. Di sudut depan gerobak dia melihat sebuah bumbung
bambu. Ketika dibukanya ternyata berisi air. Air dalam
bumbung ini segera diminumkannya pada Mintari. Dengan
susah payah si gadis berusaha meneguk air itu. Sehabis
minum dia kelihatan agak tenangan.
“Sekarang kau bisa mengatakan apa yang terjadi?”
tanya Wiro.
Mintari tak menjawab. Kain kuning dibungkuskannya
erat-erat ke tubuhnya lalu dia berusaha turun dari atas
gerobak. Terhuyung-huyung dia melangkah mendekati se-
sosok tubuh hitam dekat pohon. Wiro melangkah di
sampingnya. Di depan tubuh hitam itu Mintari hentikan
langkahnya. Matanya memperhatikan tidak berkesip.
Kemudian dilihatnya cincin berbatu yang melingkar di jari
manis tangan kanan. Meskipun sudah hangus namun dia
masih bisa mengenali cincin itu.
“Ayah!” jerit Mintari. Kedua kakinya goyah dan tubuhnya
langsung jatuh. Wiro cepat memegang gadis ini sebelum
terbanting ke tanah.
***
Hari itu hari kelima di bulan lima, suatu pertemuan
rahasia diadakan di sebuah rumah tua di kaki Bukit Sedayu
di kawasan Selatan. Yang bertindak sebagai tuan rumah
adalah Raden Bintang, bekas Tumenggung yang telah lama
mengundurkan diri dari segala macam urusan Kerajaan.
Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Rantai
Bayangan. Lelaki berusia enam puluh tahun ini konon
memiliki sebuah senjata aneh. Jika dia membaca mantera
maka di tangan kanan atau tangan kirinya kelihatan
muncul dan tergenggam sebuah rantai besi berwarna
hitam. Rantai ini kelihatan seperti bayangan. Tapi jika di-
pakai untuk, memukul atau menggebuk maka sasarannya
bisa patah atau hancur remuk seperti terkena hantaman
rantai sungguhan.
Di tempat kediamannya pagi itu telah berkumpul hampir
dua puluh orang tokoh dunia persilatan di Jawa Tengah,
Timur dan dari Barat. Bahkan salah seorang tamu datang
jauh-jauh dari Pulau Andalas. Dia adalah seorang kakek
berdestar dan berpakaian serba hitam. Kedua kaki dan
pergelangan tangannya dilingkari gelang akar bahar. Dialah
Datuk Alam Rajo Di Langit seorang tokoh silat yang telah
punya rencana untuk membawa Mintari ke tempat ke-
diamannya guna digembleng dengan berbagai ilmu ke-
pandaian, silat serta kesaktian dan juga ilmu agama.
Saat itu masih ada beberapa tokoh silat yang belum
muncul. Sementara menunggu acara resmi dibuka pada
siang hari tepat maka para tamu mengobrol berbagai
macam hal sambil menikmati minuman dan juadah yang
dihidangkan. Sesekali terdengar suara gelak tertawa.
Dalam pertemuan itu akan dibicarakan beberapa hal.
Namun ada satu hal penting yang akan diperbincangkan
secara amat rahasia.
Dua orang tamu lagi datang. Setelah menyalami tuan
rumah keduanya mengambil tempat duduk diantara para
hadirin. Menjelang tengah hari Raden Bintang berdiri dari
kursinya. Setelah mendehem beberapa kali dia berkata.
“Saudara-saudara sekaum persilatan. Saya melihat
masih ada dua kursi yang kosong. Karena waktu kita
sempit sedang yang akan dibicarakan dalam perternuan ini
bukan cuma satu mata acara, lalu mengingat bahwa
Saudara-saudara tentu harus kembali ke tempat asal
masing-masing. Bagaimana kalau saya meminta agar
acara pertemuan dimulai saja secara resmi. Mudah-
mudahan dua tamu yang belum datang akan segera
muncul di tempat ini.”
“Saya rasa kami semua setuju,” menjawab salah se-
orang dari yang hadir. Yang lain-lainnya sama mengiyakan.
“Terima kasih. Kalau begitu acara bisa segera kita
mulai,” kata Raden Bintang pula dengan senyum gembira
dan sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya
satu sama lain.
Raden Bintang mengambil sebuah palu kayu yang ter-
letak di atas meja. Ketika dia hendak mengetukkan palu ini
sebagai tanda dimulainya acara tiba-tiba terdengar suara
bergemeratak. Raden Bintang berpaling ke halaman diikuti
oleh para hadirin. Sebuah gerobak sapi tampak memasuki
halaman dengan cepat. Kusirnya seorang pemuda be-
rambut gondrong berpakaian dan berikat kepala putih.
“Kita kedatangan tamu. Tapi bukan yang diundang,”
kata Raden Bintang. “Di antara yang hadir apakah ada yang
mengenalinya?”
Tidak seorang hadirinpun memberikan jawaban.
Pemuda berambut gondrong turun dari gerobak. Sesaat
dia memandang agak bimbang pada orang-orang yang ada
di dalam rumah besar itu.
Namun akhirnya dia melangkah juga. Di tangga atas
bangunan dia berhenti dan memberi penghormatan
dengan menundukkan kepala.
“Maafkan saya mengganggu. Apakah di sini pertemuan
para tokoh silat dari tiga kawasan Pulau Jawa?”
“Sebutkan dulu siapa dirimu anak muda, baru ajukan
pertanyaan,” kata Raden Bintang.
“Saya Wiro Sableng. Saya datang membawa surat dari
Eyang Sinto Gendeng. Beliau tidak bisa datang karena ada
halangan.”
Semua yang hadir di tempat itu termasuk Raden
Bintang alias Rantai Bayangan sama-sama terkejut men-
dengar nama yang disebutkan.
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!” semua orang
menyebut gelar itu dalam hati masing-masing. Mereka
tentu saja sudah lama mendengar nama besar Pendekar
212 yang berulang kali membuat kegegeran dalam dunia
persilatan. Dikagumi para tokoh silat golongan putih,
ditakuti oleh mereka dari golongan hitam dan para pen-
jahat. Selama ini Pendekar 212 mereka anggap selalu
muncul dan menghilang secara misterius, jarang me-
nampakkan diri secara langsung di depan para tokoh silat.
Kabarnya bertampang tolol, kadang-kadang suka kurang
ajar tetapi berhati polos: Semua yang hadir tidak menduga
kalau Pendekar 212 masih begitu muda dan sangat
sederhana.
Wiro menyerahkan surat titipan gurunya kepada Raden
Bintang. Tuan rumah bermaksud segera membacanya
namun urung ketika mendengar Pendekar 212 berkata.
“Maafkan saya, ada yang lebih penting dari surat itu.
Seseorang di atas gerobak membutuhkan pertolongan. Di
atas gerobak juga ada sesosok mayat.”
Semua yang hadir di situ tentu saja menjadi kaget. Be-
berapa di antaranya segera berdiri dan keluar dari rumah
besar mengikuti Pendekar 212 yang melangkah menuju
gerobak.
Mereka yang ikut mendekati gerobak menjadi terkejut
ketika menyaksikan apa yang ada di dalam gerobak itu.
Wiro mengangkat tubuh Mintari yang berada dalam keada-
an lemah, terbungkus dengan kain kuning.
“Gadis ini butuh istirahat dan perawatan. Saya mohon
disediakan kamar untuknya…” kata Wiro lalu melangkah
kembali ke arah rumah besar sambil mendukung Mintari.
Seorang berpakaian hitam menyeruak diantara orang
banyak. Lalu terdengar suaranya seperti harimau meng-
gereng disusul seruan keras.
“Mintari! Apa yang terjadi denganmu Nak?!”
Wiro hentikan langkah dan berpaling. Yang lain-lain ikut
menoleh. Yang tadi berseru ternyata adalah Datuk Alam
Rajo Di Langit. Dia mengenali gadis yang berada dalam
dukungan Pendekar 212 itu.
“Datuk,” ujar Raden Bintang. “Kau mengenali gadis ini?”
“Namanya Mintari. Dia calon muridku! Atas persetujuan
ayahnya Ki Pamilin yang bergelar Pendekar Tangan Baja
aku akan membawanya ke Pulau Andalas! Sungguh tidak
disangka kalau saat ini aku menemuinya dalam keadaan
begini. Di mana ayahnya?!”
“Ya dimana Ki Pamilin? Dia salah seorang tokoh silat
yang kita undang!” kata Raden Bintang pula.
“Tokoh silat itu telah jadi korban pembunuhan biadab!”
Orang banyak yang ada di tempat itu termasuk tuan
rumah Raden Bintang menjadi geger. Lalu suasana hening
beberapa saat lamanya. Dan semua mata kini ditujukan
pada Pendekar 212 Wiro Sableng yang barusan memberi
keterangan.
Wiro menggoyangkan kepalanya ke arah gerobak. Dua
kali lompat saja Raden Bintang sudah sampai di samping
gerobak. Matanya membeliak melihat sosok tubuh hitam
yang menggeletak mengerikan di atas lantai gerobak.
“Hanya ada satu manusia yang bisa membuat seorang
menemui ajal seperti ini. Yaitu murid murtad Ketua Partai
Semeru Raya di Timur Orangnya bernama Kamandaka
bergelar Pendekar Tangan Halilintar!”
“Benar, menurut penuturan gadis ini memang orang itu
yang membunuh ayahnya,” kata Wiro pula.
Kembali tempat itu dilanda kegemparan.
Salah seorang dari mereka berkata. “Justru acara kita
paling penting dalam pertemuan ini adalah untuk mem-
bicarakan manusia terkutuk itu! Belum sempat berunding
kini sudah jatuh lagi satu korban baru!”
“Dan anak gadis Ki Pamilin ini pasti sudah…” Orang
yang bicara tidak tega meneruskan ucapannya.
Seseorang memberi Isyarat agar Wiro mengikutinya.
Mintari dibawa masuk ke dalam sebuah kamar. Dua orang
perempuan separuh baya yang sebenarnya adalah juru
masak untuk menyediakan makanan dalam pertemuan itu
masuk ke dalam kamar guna merawat Mintari.
Atas permintaan Raden Bintang, Wiro kemudian me-
nuturkan apa yang diketahuinya yakni mulai ketika
pertama kali dia menemui para korban sampai pada pen-
jelasan yang disampaikan Mintari sebelum jatuh pingsan.
Mau tak mau acara pertemuan hari itu ditunda sampai
jenazah Ki Pamilin diurus dan dimakamkan di halaman
belakang rumah besar. Menjelang sore semua orang ber-
kumpul kembali di dalam rumah. Raden Bintang berpaling
pada Pendekar 212.
“Saya sudah membaca surat Eyang Sinto Gendeng.
Saya dan tentu semua orang yang ada disini merasa
menyesal tokoh sakti dari Jawa Barat itu tidak bisa hadir.
Karenanya dengan segala kehormatan kami mengundang
Pendekar 212 untuk mewakilinya.”
Kalau sudah begini sikap urakan Wiro jadi keluar. Dia
masih berdiri tapi kini garuk-garuk kepala. “Maafkan saya,”
katanya. “Kalau tidak salah isi surat itu hanya mengatakan
bahwa Eyang tidak bisa datang. Beliau tidak memberi
wewenang pada saya untuk bertindak sebagai wakil pada
pertemuan para tokoh ini.”
“Pendekar 212 walau Eyang Sinto Gendeng memang
tidak menuliskan bahwa kau boleh mewakilinya, tapi kami
semua yang hadir di sini sama menyetujui dan tak ada
yang keberatan,” Kata tuan rumah pula.
Kembali Pendekar 212 menggaruk kepala. “Mohon
maaf. Saya merasa tidak punya bobot untuk tegak sama
tinggi dan duduk sama rendah dengan semua orang
pandai yang ada di sini. Izinkan saya minta diri…”
Raden Bintang merasa agak tersinggung. Maka diapun
cepat berkata ketika dilihatnya Wiro hendak membalik.
“Pertemuan ini sangat penting. Kita akan membicarakan
tindakan yang harus diambil terhadap Kamandaka murid
Partai Semeru Raya itu! Jika dibiarkan semakin banyak
korban yang jatuh. Kau menyaksikan sendiri bagaimana
kejinya dia membunuh Ki Pamilin dan merusak kehormat-
an anak gadis orang tua itu. Menghabisi nyawa dua
perajurit Kerajaan. Bahkan belasan tokoh silat sebelumnya
telah dihabisinya. Apakah kau ingin berlepas tangan
saja…?”
Kalau tadi Raden Bintan yang merasa agak tersinggung,
kini sebaliknya Pendekar 212 Wiro Sableng yang merasa
tersinggung dan dipojokkan.
“Kalau saya tidak ikut dalam perternuan ini bersama
para tokoh yang saya hormati, bukan berarti saya hanya
bertopang dagu berlepas tangan. Guru saya Eyang Sinto
Gendeng mengajarkan bahwa pada saat-saat penting ada
kalanya seseorang harus lebih banyak bertindak dari pada
banyak bicara. Kamandaka sudah berbuat jahat menebar
maut dan kebejatan sejak beberapa bulan lalu. Apa yang
telah dilakukan orang-orang persilatan? Saya minta diri…”
Wiro membalikkan badannya dan melangkah cepat
meninggalkan rumah besar itu tanpa melihat bagaimana
paras Raden Bintang menjadi kemerahan akibat kata-kata
yang diucapkannya tadi. Sambil melangkah Pendekar 212
Wiro Sableng menggerendeng. “Pertemuan… pertemuan!
Berunding, bicara tak habis-habisnya. Seharusnya sudah
sejak dulu-dulu mereka melakukan tindakan nyata, bukan
cuma bicara!”
Baru saja Wiro mengomel seperti itu di sebelahnya ter-
dengar satu suara. “Kau betul anak muda! Urusan kapiran
macam begini tidak bakal beres kalau cuma dibicarakan di
belakang meja sambil minum-minum dan makan-makan.
Aku ikut bersamamu!”
Wiro berpaling. Orang yang melangkah di sampingnya
ternyata adalah orang tua berpakaian serba hitam dan
memakai gelang bahar pada kaki dan tangannya. Dia
bukan lain adalah Datuk Alam Rajo di Langit. Tokoh silat
dari Andalas yang sebelumnya punya rencana membawa
Mintari ke tempat kediamannya.
“Orang tua, kau mau ikut aku ke mana?” bertanya Wiro
sambil terus melangkah.
“Mencari pemuda keparat bernama Kamandaka itu
tentu!”
“Siapa bilang aku saat ini pergi mencarinya?”
Datuk Alam Rajo Di Langit jadi terkesima dan hentikan
langkahnya. Di depannya Wiro kembali berkata. “Saat ini
bukankah lebih penting bagimu merawat calon muridmu
itu? Persoalan Kamandaka biar serahkan saja pada para
tokoh silat di Tanah Jawa ini.”
Ingat pada Mintari Datuk Alam Rajo Di Langit jadi
bimbang. Lalu perlahan dia berkata. “Memang sebaiknya
aku lebih memperhatikan keadaan calon muridku itu.” Di-
pegangnya bahu Pendekar 212 lalu orang tua ini balikkan
tubuh, kembali menuju rumah besar tempat pertemuan.
Ketika dia sampai di tempat itu kembali ternyata semua
orang yang ada di situ tengah dilanda kegemparan.
Terheran-heran Datuk Alam Rajo Di Langit bertanya.
“Apa yang terjadi? Banyak orang bermuka pucat kulihat.
Kegemparan apa yang ada di sinil”
Seseorang menjawab. “Gadis malang bernama Mintari
itu lenyap di culik orang!”
“Hah?!” Datuk Alam Rajo Di Langit terbeliak.Dia
langsung melompat masuk ke dalam rumah, terus menuju
kamar di mana Mintari dirawat. Yang ditemuinya di kamar
itu hanya dua orang perempuan separuh baya yang se-
belumnya diperintahkan merawat Mintari. Kedua perempu-
an ini tertegak di sudut kamar dengan muka pucat!
Datuk Alam Rajo Di Langit dekati kedua perempuan itu.
“Lekas ceritakan apa yang terjadi!” bentaknya keras dan
tidak sabaran.
Dengan suara gemetar salah seorang dari dua
perempuan itu berkata. “Saya tengah membasuh muka
dan tubuh gadis itu. Teman saya ini baru saja meletakkan
sehelai sapu tangan di keningnya yang panas. Tiba-tiba
jendela di sebelah sana terpentang lebar. Lalu ada sese-
orang masuk seperti bayangan. Dia berkelebat ke atas
tempat tidur. Tubuh gadis itu dipanggulnya. Lalu dia meng-
hilang lewat jendela.”
“Kalian mengenali siapa orangnya?” Raden Bintang
ajukan pertanyaan.
“Gerakannya cepat. Tapi kalau saya tidak salah tangkap
dia adalah seorang nenek kurus berkulit hitam. Di kepala-
nya ada tusuk kundai…”
Datuk Alam Rajo Di Langit berpaling pada Raden
Bintang. Yang lain-lainnya juga berlaku demikian. Saling
pandang dan saling menduga.
“Bisa saja tidak mungkin,” kata Raden Bintang perlahan.
“Namun manusia dengan ciri-ciri seperti itu hanva ada
satu. Sinto Gendeng dari Gunung Gede di Jawab Barat.
Guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 2l2!”
“Lekas kita selidiki ke luar!” teriak Datuk Alam Rajo Di
Langit. “Yang lain-lainnya coba mengejar pemuda murid
Sinto Gendeng tadi!”
Semua tetamu yang ada di tempat itu segera berbagi
menjadi dua rombongan. Satu menyelidiki kemana lenyap-
nya Mintari bersama nenek penculik. Satu rombongan lagi
mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng.
Namun kedua orang itu telah raib tak dapat lagi dikejar.
***
WIRO SABLENG
4 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
ALAM sebuah rumah kayu di puncak Gunung
Semeru lima orang duduk bicara mengelilingl
sebuah meja bulat. Dari sikap dan air muka mereka
jelas mereka tengah membicarakan satu masalah yang
penting.
Kelima orang itu masing-masing adalah Gamar Seno-
patri, Ketua Partai Semeru Raya yang menyandang gelar
Dewa Tapak Sakti. Sang Ketua berusia hampir 70 tahun
tapi keadaan tubuh dan wajahnya seperti baru ber-usia 50
tahun. Rambutnya baru sedikit yang berwarna putih. Dia
digelari seperti itu karena kedua telapak tangannya ber-
warna biru, mengandung kesaktian langka di mana dua
tangan itu sanggup meremukkan benda sekeras apapun.
Orang ke dua adalah Ageng Seto, Ketua Cabang Partai
wilayah Utara. Di sebelahnya duduk Ageng Sembodo yang
merupakan adik Ageng Seto dan menjabat sebagai Ketua
Cabang Partai wilayah Selatan. Ageng Sembodo adalah
orang paling muda di antara ke lima orang itu, berusia 35
tahun dan memiliki wajah gagah.
Lelaki ketiga adalah Ketua Cabang Partai wilayah Timur,
bernama Ki Rono Bayu, berusia 76 tahun, jadi lebih tua
dari sang Ketua Partai Semeru.
Orang ke empat yaitu Rana Tumalaya, dipercayakan
sebagai Ketua Cabang Partai wilayah Barat.
Setelah mengusap wajahnya beberapa kali, Ketua
Partai Semeru Raya berkata. “Memang sulit dipercaya
kalau tidak dilihat sendiri. Kamandaka, pemuda yang jadi
D
murid harapan masa depan Partai, dikenal cakap gagah,
berjiwa penuh kesatria dan memiliki iman yang tinggi. Kini
diketahui telah menebar angkara murka keji di rimba per-
silatan. Dosanya makin hari makin menggunung. Kalau
ingatannya tidak terganggu, tidak mungkin dia melakukan
semua itu. Atau mungkin dia memiliki semacam ilmu yang
diamalkan secara sesat?”
“Mungkin sekali begitu Ketua,” menyahuti Ki Rono Bayu.
“Lima orang anak murid Partai Cabang Timur sempat
menemui Kamandaka di sekitar Karanganyar, tak jauh dari
kaki sebelah barat Gunung Karangpandan. Karena se-
belumnya sudah saling mengenal maka para murid saya
tidak sungkan-sungkan menasihati agar Kamandaka
kembali ke jalan benar dan segera menghadap Ketua
Partai untuk minta ampun. Namun apa yang mereka terima
sungguh mengenaskan. Empat orang murid partai dibunuh
dengan tangan kosong. Yang satu sempat melarikan did.
Dia memberi tahu bahwa Kamandaka telah memiliki satu
ilmu kesaktian baru yaitu berupa pukulan Tangan Halili-
ntar. Itu pula konon gelar yang dipakainya kini dalam dunia
persilatan.”
“Tangan Halilintar!” desis Gamar Senopatri. “Dari mana
anak itu mendapatkan ilmu kesaktian itu. Apa yang telah
membuatnya berubah menjadi setan? Membunuh bahkan
memperkosa!” Ketua Partai Semeru Raya ini geleng-geleng-
kan kepala sambil memegangi kalung baja putih dengan
perhiasan berbentuk kepala singa. Sepasang mata singa
ini diberi batu delima merah sehingga kelihatan berkilau-
kilau seperti memantulkan bara api.
“Seorang pemuka agama di selatan mengetahui tempat
kediaman Kamandaka. Agaknya sudah saatnya kita harus
turun tangan…” berucap Ketua Cabang Partai wilayah
Selatan yaitu Ageng Sembodo.
Gamar Senopatri alias Dewa Tapak Sakti usapusapkan
kedua telapak tangannya yang biru satu sama lain.
“Memang sudah saatnya. Biar aku sendiri yang akan
menemui anak itu. Membawanya kemari untuk bertobat
dan menebus segala dosa. Kalau dia tidak mau akan ku-
bunuh di tempat!”
Baru saja Ketua Partai Semeru Raya itu berkata
demikian, tiba-tiba, ada suara menyahuti.
“Ki sanak benar! Murid murtad itu memang patut di-
bunuh. Dipancung kepalanya, dicincang sekujur tubuhnya!”
Terdengar angin bersiur. Lampu minyak yang tergantung
di atas meja bergoyang-goyang. Ke lima y orang yang ada di
ruangan itu cepat berdiri. Mereka berpaling ke kanan.
Di ambang pintu tegak seorang kakek berdestar dan
berpakaian serba hitam. Pergelangan tangan dan kakinya
dilingkari gelang akar bahar. Tampangnya sekeras batu
karang dan pandangan matanya seperti api menyambar.
Dia adalah Datuk Alam Rajo Di Langit, tokoh silat dari
Andalas yang beberapa hari lalu menghadiri pertemuan
para tokoh silat di Selatan.
“Tamu terhormat dari mana yang datang tidak memberi
salam?” tegur Ketua Partai Semeru Raya sekaligus
menyindir.
Datuk Alam Rajo Di Langit parasnya tidak berubah
sedikitpun oleh teguran itu. Kedua matanya menyapu
dengan cepat satu demi satu enam orang yang ada di
ruangan itu.
“Yang mana di antara kalian Ketua Partai Semeru
Raya?”
Gamar Senopatri mendehem beberapa kali sebelum
menjawab. Dari pakaian sang tamu dia segera maklum
kalau orang itu datang dari seberang.
“Tamu dari seberang rupanya datang mencari saya.
Saya Ketua Partai Semeru Raya. Nama saya Gamar
Senopatri. Siapakah kiranya ki sanak?”
“Jadi kau rupanya guru Kamandaka. Pemuda bejat yang
gentayangan malam melintang menebar maut, menculik
dan memperkosa!”
Paras Ketua Partai Semeru Raya jadi berubah. Empat
Ketua Cabang tampak tegang. Selama ini belum ada orang
yang datang membawa persoalan menyangkut diri Kaman-
daka.
“Saya memang guru Kamandaka,” kata Gamar Seno-
patri. “Terangkan dulu siapa ki sanak dan apa maksud
kedatangan jauh-jauh ke sini?”
“Setahuku kau diundang dalam pertemuan para tokoh
silat di Selatan. Mengapa tidak muncul atau mengirim
wakil?”
“Akh, ki sanak rupanya utusan para tokoh silat dalam
pertemuan itu.”
“Siapa bilang begitu? Aku datang mauku sendiri!” sahut
Datuk Alam Rajo Di Langit.
“Kalau begitu silahkan duduk. Mari kita bicara secara
baik-baik.”
Datuk Alam mendengus. “Siapa sudi duduk dengan
kalian orang-orang yang tidak bertanggung jawab?!”
Lima orang disekitar meja tampak marah. Yang empat
masih bisa menahan diri tapi yang paling muda yaitu Ageng
Sembodo langsung membentak.
“Apa maksud ucapanmu orang tua berpakaian hitam?!
Datang tidak tahu juntrungan! Bicara tidak karuanl Jangan
salah kalau orang macammu bisa digebuk!”
Datuk Alam menyeringai. “Orang muda, di negeriku
manusia bermulut enteng sepertimu sudah lama disingkir-
kan! Kalian orang-orang Partai Semeru hanya bisa bicara
tapi tidak pernah bertindak! Sahabatku Ki Pamilin bergelar
Pendekar Tangan Baja dibunuh oleh Kamandaka secara
keji! Anak gadisnya yang bakal menjadi calon muridku
diperkosa! Aku datang membawa kabar buruk itu agar
kalian segera berbuat sesuatu! Dan tadi kau bilang aku
datang tanpa juntrungan! Bicara tidak karuan! Orang
sepertimu seharusnya dirobek mulutnya!”
Para lima orang Ketua Partai Semeru Raya tampak
berubah. Ageng Sembodo mengelam wajahnya.
“Kenapa kalian jadi diam semua? Apa sudah disambat
hantu bisu?!” sentak Datuk Alam Rajo Di Langit. Dia
menunjuk tepat-tepat pada Ketua Partai Semeru Raya.
“Kalau dalam waktu satu bulan kau tidak bisa menangkap
muridmu dan menghukumnya dengan hukuman mati, aku
akan muncul lagi di tempat ini. Saat itu seluruh puncak
Semeru akan aku obrak-abrikl Nyawa kalian tidak ada
harganya lagi bagiku! Ingat baik-baik!”
Datuk Alam Rajo Di Langit membalikan tubuh hendak
pergi. Tapi Gamar Senopatri cepat berkata.
“Ki Sanak harap mau berlaku hormat sedikit. Walau
marah dan dendam membara jadi satu, tapi kita orang-
orang tua tentu bisa berkepala dingin. Silakan duduk dulu
agar kita bisa bicara baik-baik.”
Habis berkata begitu Ketua Partai Semeru Raya ini
angkat tangan kanannya yang berwarna biru. Satu ke-
kuatan yang tidak terlihat bergerak ke arah sebuah kursi
kayu. Kursi ini tampak terangkat. Lalu perlahan-lahan
seperti melayang bergerak mendekati Datuk Alam Rajo Di
Langit dan turun di sampingnya.
“Silakan duduk, ki sanak!” kata Gamar Senopatri. Dia
memberi isyarat pada empat Ketua Cabang. Bersama-
sama mereka kemudian duduk di kursi masing-masing.
Sesaat Datuk Alam tampak menunjukkan sikap
bimbang. Namun kemudian akhirnya dia duduk juga di
kursi itu dan diam-diam mengetahui kalau Ketua Partai
Semeru Raya sengaja memamerkan kehebatan tenaga
dalamnya. Kakek ini membatin. “Hemmm…. Mulutnya
bicara manis tetapi ada segumpal kesombongan di dalam
hatinya.”
“Nah sekarang kita bisa bicara panjang lebar mengenai
muridku si Kamandaka itu,” kata Ketua Partai Semeru
Raya pula.
“Ah, waktuku sempit. Lagi pula aku sudah memperingat-
kan kalian agar segera turun tangan mencari dan me-
nangkap Kamandaka.”
“Urusan kami dengan Kamandaka adalah urusan guru
dengan murid. “Urusan dalam Partai. Jadi harap ki sanak
tidak keliwat mendesak…”
Sepasang mata Datuk Alam Rajo Di Langit mendelik.
“Mungkin apa yang ki sanak bilang betul adanya. Tetapi
apa kata ki sanak menyangkut pembunuhan, penculikkan
dan perkosaan, yang dilakukan oleh Kamandaka? Apa itu
bisa dianggap sebagai urusan dalam? Ingat ki sanak.
Seluruh tokoh rimba persilatan tidak menganggap hal itu
urusan dalam Partai atau hanya sekedar urusan guru
dengan murid!”
Gamar Senopatri dan empat Ketua Partai tak bisa ber-
kata apa-apa.
“Ada hal lain yang aku rasa kurang sedap. Masakan
tuan rumah selaku Ketua Partai Semeru Raya yang begini
besar tega-teganya memberikan kursi reyot pada tamu
yang datang dari jauh.”
Setelah berkata begitu Datuk Alam Rajo Di Langit
segera berdiri dan tinggalkan ruangan itu.
Gamar Senopatri dan empat orang Ketua Cabang Partai
tentu saja heran mendengar ucapan Datuk Alam Rajo Di
Langit itu. Mereka segera memburu ke pintu tapi sang
Datuk Alam Rajo Di Langit sudah lenyap. Padahal puncak
Semeru di kawasan itu merupakan pedataran yang agak
luas.
“Gerakannya luar biasa cepat,” kata Gamar Senopatri
mengagumi. “Sayang dia sama sekali belum mengatakan
siapa dirinya.” Lalu Ketua Partai Semeru Raya ini berpaling
ke arah kursi yang tadi sempat diduduki tamunya.
“Apa yang tidak beres dengan kursi ini? Kursi begini
kokoh dikatakan reyot!” berkata Ageng Sembodo. Lalu kursi
kayu itu dipegangnya pada bagian sandaran dan diangkat-
nya. Terjadi hal yang aneh. Sambungan kayu-kayu kursi
tiba-tiba bertanggalan dan jatuh ke lantai hingga Ageng
Sembodo kini hanya memegang bagian sandarannya sajal
“Manusia luar biasa!” mau tak mau pujian itu keluar dari
mulut sang Ketua Partai. Lalu sambungnya. “Sebaiknya kita
teruskan pembicaraan.”
Kelima orang itu kembali duduk mengitari meja bundar.
“Sembodo, tadi kau mengatakan ada orang yang tahu
letak tempat kediaman Kamandaka,” Gamar Senopatri
membuka pembicaraan.
“Benar Ketua. Di sebuah goa di pantai Selatan. Sulitnya
goa ini terletak dibawah laut. Jadi sulit untuk memasuki-
nya. Kalau tidak salah goa itu bernama goa Kranggan.”
“Kalau begitu besok kau dan aku berangkat ke sana.”
“Tunggu dulu Ketua,” kata Ki Rono Bayu begitu men-
dengar kata-kata pimpinannya. “Soal maksud Ketua untuk
turun tangan sendiri tidak kami ragukan. Namun harap
Ketua jangan tergesa-gesa turun tangan sendiri. Beri dulu
kesempatan pada kami untuk mendatangi kediaman
Kamandaka. Jika bertemu akan kami seret dia ke hadapan
Ketua.”
“Saya setuju pendapat Ki Rono Bayu itu,” kata Rana
Tumalaya. Ke empat orang Ketua Cabang Partai sama
menyetujui hingga sang Ketua tidak bisa berbuat apa-apa
lagi: Maka diputuskan bahwa Ageng Sembodo dan Ki Rono
Bayu akan berangkat ke Selatan besok pagi. Namun se-
belum pertemuan dibubarkan, Ageng Seto mengajukan
sebuah usul.
“Setahu saya Kamandaka punya hubungan dekat
dengan murid Partai yang bernama Kintani. Bagaimana
kalau kita manfaatkan kedekatan hubungan itu. Kita minta
bantuan gadis itu untuk membujuk Kamandaka agar mau
menyerahkan diri dan ikut secara baik-baik ke puncak
Semeru ini.”
“Itu pemikiran yang baik,” kata Rana Tumalaya. “Entah
bagaimana pendapat yang lain-lain.”
“Saya tidak setuju. Perjalanan ke Selatan cukup jauh
dan sulit. Melibatkan Kintani terlalu berbahaya.” Yang
bicara adalah Ageng Sembodo.
Ketua Partai mengusap dagunya. Dia tidak mau me-
mandang ke arah Ageng Sembodo. Tetapi Ketua Cabang
Partai yang muda ini sekilas dilihatnya mengalami pe-
rubahan air muka. Gamar Senopatri dan juga semua orang
yang ada di situ secara diam-diam mengetahui ada
semacam perlombaan antara Kamandaka dan Ageng
Sembodo untuk memperebutkan Kintani. Ternyata Kaman-
daka lebih mendapat tempat di hati si gadis. Sejak
Kamandaka meninggalkan pucak Semeru lalu berbuat se-
gala macam kejahatan di rimba persilatan, Kintani nampak
sangat terguncang. Sebaliknya Ageng Sembodo merasa
bahwa kesempatan baginya untuk mendapatkan gadis itu
jadi terbuka lebar. Bagaimanapun sang Ketua Partai pasti
tidak akan merelakan Kintani berhubungan lagi dengan
Kamandaka, apalagi merestui keduanya sebagai suami
istri.
“Bagaimana pendapat Ketua?” bertanya Rana Tuma-
laya.
“Apa yang dikatakan Ageng Sembodo memang benar.
Perjalanan ke Selatan jauh dan sulit. Namun mengapa
tidak kita pergunakan kesempatan ini untuk memberikan
tambahan gemblengan pada Kintani?” Gamar Senopatri
alias Dewa Tapak Sakti memandang pada para Ketua
Cabang satu persatu. Karena tidak ada yang bicara maka
diapun mengambil keputusan. “Panggil Kintani, saya akan
bicara padanya.”
Sebenarnya Ageng Sembodo hendak berkata dan ber-
usaha mencegah maksud membawa serta Kintani itu. Dia
kawatir pertemuan si gadis dengan pemuda yang dicintai-
nya itu akan membawa akibat yang justru malah membuat
suasana tambah keruh. Tetapi melihat pada air muka
Ketua Partai, Ageng Sembodo memilih lebih baik dia diam
saja. Malah dia diam-diam ingin memanfaatkan perjalanan
itu untuk lebih mendekatkan diri dengan Kintani.
***
WIRO SABLENG
5 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
UKIT Selarong hampir tak pernah didatangi orang.
Selain lerengnya yang terjal dan penuh dengan
bebatuan, pohon-pohon disitu tumbuh sangat rapat.
Kabarnya di sekitar situ juga sering terlihat binatang-
binatang buas seperti harimau dan srigala hutan.
Namun siang itu terlihat kelebatan tubuh seseorang
yang dengan cepat mendaki bukit, melompat dari batu satu
ke batu lainnya, menyelinap sebat diantara pepohonan. Dia
ternyata seorang nenek kurus tinggi berkulit sangat hitam.
Muka dan matanya cekung. Alisnya putih. Di kepalanya
yang ditumbuhi rambut jarang berwarna putih ada lima
buah tusuk kundai perak. Dari ciri-ciri yang disebutkan ini
jelas si nenek adalah Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar
212 dari Gunung Gede.
Si nenek mendekati bukit Slarong sambil memanggul
sosok tubuh Mintari yang terbungkus kain berwarna
kuning. Jadi dialah yang telah menculik gadis itu sewaktu
berada di tempat kediaman Raden Bintang, tokoh silat
yang bergelar Rantai Bayangan.
Semakin tinggi ke atas bukit semakin dingin terasa
udara. Mintari perlahan-lahan sadar dari pingsannya.
Begitu siuman gadis ini langsung menjerit. Pertama karena
ingat akan apa yang ketika menyaksikan angkernya wajah
si nenek yang memanggul melarikannya.
“Gadis sialan!” Sebagaimana biasa Sinto Gendeng enak
saja memaki. “Jeritanmu mengejutkanku! Untung aku tidak
latah dan melemparkanmu ke bawah bukit!’
B
“Nen… nenek. Kau siapa…?” tanya Mintari.
“Diam sajalah! Nanti kalau sudah sampai di tempat
tujuan baru kau boleh bertanya panjang lebar! Tidak baik
bicara di jalanan. Kalau setan mendengar dan ikut bicara
baru tahu rasa kau. Hik…hik…hik…!” Si nenek tertawa
cekikikan.
Mintari jengkel ada takutpun ada. Hendak menutup
mulut dia merasa kawatir. Maka diapun bertanya kembali.
“Kau ini sebetulnya mau bawa aku kemana Nek?”
“Anak setan!” si nenek gebuk pantat Mintari. “Kalau
aku bilang diam, jangan berani membuka mulut!”
Akhirnya terpaksa gadis itu berdiam diri.
Di salah satu lereng bukit Slarong terdapat sebuah
telaga kecil berair jernih. Kesinilah Sinto Gendeng mem-
bawa Mintari. Di salah satu tepian telaga terdapat sebuah
gundukan batu berbentuk goa. Eyang Sinto Gendeng ber-
henti di depan goa dan menurunkan Mintari. Dari kepitan-
nya dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang ternyata
isinya adalah sehelai baju dan celana putih.
“Nenek….”
“Lekas kau pakai pakaian itu. Kalau sudah baru nanti
kita bicara!” Sinto Gendeng memotong ucapan Mintari.
Mau tak mau gadis itu melakukan juga apa yang dikata-
kan si nenek. Selesai berpakaian dia tegak memperhatikan
si nenek yang melangkah kakinya ke dalam air telaga. Tiba-
tiba Eyang Sinto Gendeng hentikan langkahnya, berpaling
memandang Mintari.
“Nah sekarang kau boleh omong. Bicara dan tanya apa
saja yang kau mau. Tapi ingat jangan lama dan panjang
lebar. Aku tidak punya waktu banyak. Aku manusia yang
lebih banyak berbuat dari pada bicara ngulon-ngidul! Ayo
buka mulutmu!”
“Nek… seingat saya, sebelum jatuh pingsan seorang
pemuda menolong saya….” Apa yang telah dialaminya
terbayang kembali di pelupuk mata Mintari. Gadis ini
menangis keras dan jatuhkan diri berlutut di tepi telaga.
“Saya dirusak secara keji. Ayah saya dibunuh. Apa guna-
nya lagi hidup ini…!” Mintari menjerit. Lalu tampak dia
melompat. Dengan nekad gadis ini berlari cepat ke dinding
batu di samping goa, siap untuk membenturkan kepalanya!
“Anak tolol!” teriak Eyang Sinto Gendeng marah. Sekali
dia berkelebat dia sampai lebih dulu di depan dinding batu.
Tangan kanannya yang kurus diangkat. Telapak tangannya
menangkap kening Mintari hingga kepala gadis itu tidak
sampai membentur dinding batu!
Si nenek gerakkan tangan kanannya. Mintari terbanting
ke tepi telaga, menangis keras-keras.
“Itulah kelemahan perempuan! Cis! Memalukan!” kata
Sinto Gendeng. “Biasanya hanya menangis, putus asa lalu
bertindak nekadl Apa kau tidak punya hati untuk merasa
dan otak untuk berpikir? Kalau punya hati untuk merasa
dan otak untuk berpikir? Kalau kau mampus apa yang
akan kau dapat? Sorga tidak neraka pasti! Karena ter-
kutuklah orang-orang yang mati bunuh diri!”
Mintari mengusap air matanya. Dia memandang pada si
nenek yang telah menyelamatkan jiwanya. “Maafkan saya
Nek. Pikiran saya benar-benar kalut. Saya tidak sanggup
menahan sengsara yang amat berat ini. Tolong beri tahu
siapa nenek ini adanya. Mengapa membawa saya ke
tempat ini?”
Mulut Eyang Sinto Gendeng tampak komat-kamit.
“Pemuda yang menolongmu itu adalah muridku. Nama-
nya Wiro Sableng. Aku gurunya bernama Sinto Gendeng…!”
Mintari terkesiap mendengar si nenek menyebut nama-
nama aneh itu. Sableng dan Gendeng! “Ah, aku ber-
hadapan dengan seorang nenek kurang waras rupanya.
Tapi aku yakin manusia seorang nenek kepandaian tinggi.
Aku ingat cerita guru tentang seorang nenek sakti yang
diam di puncak Gunung Gede. Jangan-jangan dia ini orang-
nya. Murid itu pasti Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
“Kau mau tanya apa lagi?!” Sinto Gendeng memandang
dengan mata dibesarkan pada Mintari.
Si gadis lantas menjawab.
“Turut cerita yang pernah saya dengar dari guru, apakah
nenek orang sakti yang diam di puncak Gunung Gede dan
murid nenek itu bukankah yang dijuluki orang sebagai
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?”
“Bagus, otakmu tajam juga. Kalau kau sudah tahu aku
tidak perlu lagi menjawab pertanyaanmu. Aku bisa mulai…”
“Tunggu dulu Nek. Saya ingin tahu sebab apa Nenek
membawa saya kemari,” kata Mintari pula.
“Anak tolol! Justru hal itu yang hendak aku terangkan
padamu!” berkata Eyang Sinto Gendeng dengan wajah
merengut.
“Maafkan kalau saya keliwat mendesak. Tapi per-
temuan dengan seorang tokoh besar dunia persilatan se-
perti Nenek sungguh membuat saya senang….”
“Dasar anak tolol! Aku membawamu kemari bukan
untuk bersenang-senang!”
Melihat Eyang Sinto Gendeng seperti marah, Mintari
cepat berkata. “Maafkan Nek. Maksud saya….”
“Sudah! Kau dengan saja apa yang aku bilang. Jawab
apa yang aku tanya. Mengerti…. ”
“Saya mengerti Nek….”
“Panggil aku Eyang!”
“Baik Nek eh Eyang ”
“Kau tahu siapa yang membunuh Ayahmu?”
“Tahu Eyang.”
“Tahu siapa? Sebutkan orangnya.”
“Kamandaka. Dia murid sesat dan murtad Ketua Partai
Semeru Raya. Bergelar Tangan Halilintar.”
‘”Kau tahu siapa yang merusak kehormatanmu?”
“Manusia terkutuk yang sama Eyang. Kemahakah itu!”
“Jadi kau sudah tahu dengan jelas,” kata Sinto
Gendeng. “Lantas apakah aku tidak ingin membalaskan
sakit hati kematian Ayahmu serta perlakukan keji yang di-
lakukan Kamandaka terhadapmu?”
“Itu memang tersurat dalam benak dan tergurat dalam
hati saya Eyang. Tapi manusia itu kepandaiannya tinggi,
sekali. Ayah saja mati ditangannya.”
“Anak tolol! Kalau Ayahmu tidak mampu apa berarti kau
juga tidak mampu?!”
“Saya sudah mencoba Eyang tapi gagal.” Jawab Mintari.
“Satu saat jika kau bertemu lagi dengan Kamandaka,
kau tak akan gagal. Itu sebabnya aku membawamu
kemari. Ada satu ilmu pukulan yang harus kau pelajari
untuk dapat mempercudangi Kamandala.”
“Astaga, rupanya Eyang hendak mengambil saya jadi
murid!” seru Mintari lalu buru-buru jatuhkan diri berlutut.
Si nenek tertawa.
“Siapa bilang aku mengambilmu jadi murid? Muridku
cukup satu. Si pemuda sableng bernama Wiro itu!”
Paras Mintari berobah.
“Seperti kukatakan tadi, kau akan kuberi pelajaran
menguasai satu ilmu pukulan sakti. Pukulan Sinar
Matahari…!”
“Saya pernah mendengar kehebaran pukulan sakti yang
menggegerkan dunia persilatan itu,” kata Mintari pula.
Di hadapannya Eyang Sinto Gendeng tegak dengan
kedua kaki dikembangkan. Tangan kanannya diangkat per-
lahan-lahan. Mintari melihat bagaimana tangan itu sampai
sebatas lengan berubah menjadi putih seperti perak ber-
kilauan. Tiba-tiba si nenek menghantam ke depan. Ter-
dengar suara menderu dahsyat disertai berkiblatnya sinar
terang benderang dan hawa panas menghampar. Menyusul
suara menggelegar.
Di depan sana dinding batu yang keras hancur
berantakan. Mintari sampai leletkan lidah melihat kehebat-
an pukulan sakti itu. Padahal Eyang Sinto Gendeng baru
kerahkan sepertiga saja dari tenaga dalamnya!
“Pukulan Sinar Matahari…” kata Sinto Gendeng pada
dirinya sendiri. “Hebat luar biasa! Tapi tidak mampu
mengalahkan kehebatan Pukukan Halilintar Kamandaka…!
Gila! Edan betul!” Paras cekung Sinto Gendeng menunjuk-
kan rasa kecewa yang mendalam.
“Eyang…” kata Mintari. “Kalau pukulan Sinar Matahari
tidak mampu mengalahkan Pukulan Halilintar Kamandaka,
lalu mengapa Eyang hendak mengajarkannya juga pada
saya?”
Si nenek menyeringai. “Aku tahu dan aku tidak bodoh!
Ilmu pukulan Sinar Matahari yang akan kuajarkan padamu
akan kuberi satu tambahan kekuatan hingga bisa
menyelusup menggepur ambalas pukulan sakti
Kamandaka. Namun harus kau ketahui, ilmu pukulan itu
hanya bisa kau kuasai selama tida puluh hari dan hanya
bisa kau pergunakan satu kali saja. Setelah tiga puluh hari
ilmu tersebut akan lenyap. Berarti dalam waktu tiga puluh
hari kau harus dapat menemukan Kamandaka!”
Sesaat Mintari terkesiap mendengar kata-kata Sinto
Gendeng itu. lalu akhirnya terdengar dia berkata. “Terima
kasih Eyang. Saya akan pelajari ilmu pukulan itu baik-baik.”
“Berdiri di depankul” kata Eyang Sinto Gendeng. “Aku
mau jajal sampai di mana tingkat tenaga dalammul”
Mintari tegak dua langkah di hadapan Eyang Sinto
Gendeng. “Kepalkan tangan kananmu, ulurkan tepat-tepat
ke hadapanku!”
Kembali si gadis melakukan apa yang dikatakan si
nenek. Sinto Gendeng sendiri melakukan hal yang sama
tapi dengan tangan kiri. Kedua tangan mereka yang
terkepal saling bersentuhan. “Tekan yang kuat!” kata Sinto
Gendeng.
Mintari menekankan tangan kanannya ke depan!”
“Bagus! Sekarang kerahkan seluruh tenaga dalam!”
Mintari segera kerahkan tenaga dalamnya. Tubuhnya
sampai ke lengan yang diacungkan tampak bergetar keras.
Eyang Slnto Gendeng menunggu sampai seluruh kekuatan
tenaga dalamsi gadis terhimpun di kepalan tangan
kanannya. Ketika hal itu tercapi baru nenek sakti ini
mengerahkan tenaga dalamnya. Dia mulai dengan seper-
sepuluh bagian. Naik dua persepuluh. Ketika mencapai
tingkat seperempatnya, di hadapannya Mintari nampak
goyang kedua lututnya. Di kening gadis ini memercik
keringat. Pakaiannya juga basah oleh keringat. Eyang Sinto
putar kepalan tangan kirinya ke samping kiri. Saat itu pula
terdengar suara jeritan Mintari. Gadis ini terpental enam
langkah, jatuh masuk ke dalam telaga. Mukanya tampak
seputih kertas!
Dengan cepat Mintari berenang ke tepi telaga. Di
hadapan Sinto Gendeng dia berkata. “Maafkan saya
mengecewakan Eyang.”
“Tidak jadi apa. tapi kau perlu meningkatkan tenaga
dalammu sampai paling tidak dua kali dari yang sekarang
ini. Kalau kau tidak mampu melakukannya berarti seumur
hidup kau tidak bakal dapat membuat perhitungan dengan
Kamandaka!”
“Jika Eyang mau membimbing, saya akan berusaha
keras untuk meningkatkan tenaga dalam saya…”
“Kau butuh waktu paling sedikit dua bulan. Kau harus
sungguh-sungguh!”
“Saya akan sungguh-sungguh Eyang. Saya berjanji!”
Sinto Gendeng menyeringai. “Berjanji lebih bagus dari
pada bersumpah! Berapa banyak saja manusia yang ber-
sumpah palsu!”
“Terima kasih Eyang. Kau memberi saya kesempatan…”
“Sudah, lupakan segala macam peradatan. Kita mulai
sekarang juga. Duduk bersila di depan mulut goa sana.
Letakkan kedua tanganmu di atas ujung paha dekat lutut.
Lalu kerahkan tenaga dalammu dari perut. Tapi jangan di-
alirkan. Tetap di perut dan tahan!”
***
WIRO SABLENG
6 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
IGA penunggang kuda itu berhenti di tepi pantai.
Mereka adalah Ki Rono Bayu, Ketua Cabang Partai
Semeru raya wilayah Timur. Lalu Ageng Sembodo,
Ketua Cabang wilayah Selatan dan yang ketiga seorang
gadis berkulit putih. Dia mengenakan pakaian ringkas putih
dan mengenakan ikat kepala. Wajahnya yang cantik ke-
merahan disengat sinar matahari. Gadis ini adalah anak
murid Partai yang bernama Kintani.
“Dimana letak goa Kranggan itu?” bertanya Ki Rono
Bayu tidak sabaran.
Ageng Sembodo tidak segera menjawab. Dia me-
mandang ke tengah laut tetapi pandangannya kosong. Dia
tengah membayangkan pembicaraannya dengan Kintani
malam tadi.
Waktu itu mereka berkemah dan membuat api unggun
di pinggir sebuah anak sungai. Ki Rono Bayu sudah tertidur
karena keletihan.
Ageng Sembodo dan Kintani tidak segera bisa tidur.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Ageng Sembodo untuk
mendekati si gadis. Dia memulai pembicaraan dengan ber-
tanya bagaimana perkembangan ilmu silat serta tenaga
dalam si gadis. Kintani menjawab ada kemajuan tetapi
tidak banyak.
“Kau harus rajin berlatih Kintani. Ketua sangat meng-
harapkan kau menjadi salah seorang murid Partal yang
bisa diandalkan,” kata Ageng Sembodo pula. Lalu dia ber-
tanya. “Apakah kau masih mengngat-ingat Kamandaka?”
T
“Dia saudara seperguruan, saudara se Partai. Tentu saja
tidak ada yang lupa padanya.”
Ageng Sembodo tersenyum. “Kau hanya mengingatinya
sebagai saudara seperguruan dan saudara se-Partai?”
“Maksud Ketua Cabang apa?” tanya Kintani.
“Panggil saja namaku.”
“Baik. Lalu maksud Ageng Sembodo apa?”
“Aku tahu, semua orang tahu kalau kau ada hubungan
khusus dengan pemuda itu. Kalian saling mencinta.”
Kintani diam saja walau wajahnya tampak bersemu
merah.
“Setelah dia kini menempuh hidup sesat, murtad, apa-
kah kau masih mencintainya Kintani?”
“Saya yakin ada sesuatu yang menyebabkan dia jadi
begitu. Saya tahu dia orang baik. Kalau saya bertemu dia,
hal itu yang perlu saya tanyakan lebih dulu.”
“Justru jika kita bertemu dengan dia, kita tidak punya
waktu banyak untuk bicara soal lain. Dirinya dikejar dosa
dan hukum. Ingat hal itu Kintani. Dia bukan anak murid
Partai lagi. Sekali kita menemuinya dia akan kita seret ke
hadapan Ketua. Jika dia menolak. Ketua sudah berpesan
dan memberi wewenang untuk membunuhnya di tempat.
Kalaupun dia bisa dihadapkan pada Ketua Partai, umurnya
tak akan lama. Dia akan dijatuhi hukuman mati1″
Si gadis diam kembali.
“Dari sekarang kau harus mulai melupakannya Kintani.
Kalau tidak kau akan hanyut dalam derita batin.”
Kintani masih berdiam diri.
Ageng Sembodo menggeser duduknya. Dipegangnya
tangan Kintani seraya berkata. “Kau pasti tahu Kintani.
Sejak lama aku mencintaimu. Jika kau sudi, masa depan
yang baik akan menanti kita. Ketua Partai pasti merestui
hubungan kita.”
Ageng Sembodo menunggu sambil menatap paras si
gadis di sebelahnya.
“Apa jawabmu Kintani?”
Tak ada jawaban.
“Aku percaya kau juga menaruh perasaan yang sarna
terhadapku. Hanya halangan diri Kamandaka yang mem-
buatmu tidak bisa menerima kenyataan itu. Bukankah
demikian….?”
“Saya tidak tahu Ageng…” sahut Kintani.
Ageng Sembodo mendekatkan wajahnya ke wajah si
gadis. Sesaat lagi hidungnya akan mencium dan menyen-
tuh pipi Kintani, gadis ini jauhkan kepalanya dan lepaskan
jari-jari tangannya dari pegangan Ageng Sembodo.
“Saya letih. Saya mengantuk. Besok kita harus melanjut-
kan perjalanan jauh. Sebaiknya kita tidur saja…”
“Kau pergilah tidur. Aku akan berjaga-jaga sambil me-
mandangi wajahmu yang cantik…” jawab Ageng Sembodo.
Ki Rono Bayu memandang pada Ageng Sembodo
dengan perasaan heran. Dalam hati dia membatin. “Aku
bertanya dia tak menjawab. Matanya tertuju ke arah laut.
Apa yang ada dalam benak orang ini?”
“Ageng Sembodo, aku bertanya apa kau tidak men-
dengar?”
Ageng Sembodo seperti kaget. Dia berpaling pada orang
tua itu seraya berkata. “Maafkan saya. Mohon per-
tanyaannya diulangi.”
“Saya tadi bertanya dimana letak goa Kranggan sarang
Kamandaka itu?” Suara Ki Rono Bayu jelas terdengar
jengkel.
“Ah… Goa itu rasanya berada di sekitar tempat ini Ki
Rono. Untuk pastinya kita harus menemui seseorang yang
tahu betul letak pastinya. Ikuti saya…”
Ki Rono Bayu dan Kintani mengikuti Ageng Sembodo
yang memacu kudanya menyusuri pantai ke arah timur. Di
saw tempat dia membelok ke kiri memasuki sebuah
perkampungan nelayan. Di ujung perkampungan Ageng
Sembodo hentikan kudanya di depan sebuah rumah yang
saat itu dikeillingi oleh orang banyak. Bau busuk menebar
dari dalam rumah.
“Ini rumahnya,” kata Ageng Sembodo pada Ki Rono
Bayu. “Tapi heran, ada apa orang berkerumun di sini?”
Ageng Sembodo turun dari kudanya dan bertanya pada
salah seorang yang ada di tempat itu. “Betul ini rumah Suro
Ampel?”
Orang yang ditanya mengangguk dan memandang pada
Ageng Sembodo serta Ki Rono Bayu dan Kintani. Orang-
orang di sekitar situ juga sama memperhatikan mereka.
“Saudara ini siapa? Apakah bermaksud menemui Suro
Ampel pemuka agama di kampung ini?” tanya orang yang
tadi menganggukkan kepalanya.
“Betul,” sahut Ageng Sembodo. “Ada apa orang banyak
berkerumun di sekitar sini?” tanyanya kemudian.
“Ada hal-hal yang tidak biasa. Sudah dua hari Suro
Ampel tidak keluar dari dalam rumahnya. Sejak pagi tadi
ada bau busuk keluar dari dalam rumah. Kami penduduk
kampung menaruh curiga. Jangan-jangan sesuatu telah
terjadi dengan diri Suro Ampel. Kami tengah berunding
untuk menjebol pintu rumahnya dan memeriksa ke
dalam…”
Ageng Sembodo tidak menunggu orang itu mengakhiri
ucapannya. Dia melompat ke hadapan pintu rumah. Sekali
tendang saja pintu yang terbuat dari papan itu jebol hancur
berantakan. Bersamaan dengan Itu bau busuk yang
menjijikkan keluar lebih santar dari dalam rumah.
Ada beberapa orang yang ikut masuk ke dalam rumah.
Mereka langsung hentikan langkah ketika sampai di bagian
tengah rumah. Di antara kegelapan tampak menggeletak
sesosok tubuh di lantai. Mukanya tidak bisa dikenali
karena sudah hancur dan membusuk. Sosok tubuh yang
sudah jadi mayat inilah yang mengeluarkan bau busuk.
Meski mukanya hancur namun dari bentuk tubuh serta
pakaian yang melekat di tubuh mayat Ageng Sembodo
segera tahu mayat itu adalah mayat Suro Ampel, orang
yang dicarinya dan yang tahu letak pasti goa Kranggan.
Tanpa menunggu lebih lama Ketua Cabang Partai Semeru
wilayah Selatan ini segera keluar dari tempat itu. Di luar
diceritakannya apa yang ditemuinya di dalam.
“Tak ada jalan lain. Kita harus menunggu sampai besok
pagi. Besok, kalau pasang surut terjadi, saya rasa saya bisa
mengenali dimana letak goa itu.”
Ki Rono Bayu hanya bisa angkat bahu dengan kesal
sedang Kintani menghela nafas panjang. Perjalanan itu
begitu jauh dan meletihkan. Lalu dia tidak dapat mem-
bayangkan apa yang bakal terjadi.
“Apa pendapatmu Ageng?” tanya Ki Rono Bayu.
“Apa lagi. Suro Ampel pasti korban keganasan Kaman-
daka.”
“Apa dosa manusia itu?” tanya Kintani.
“Kamandaka tidak ingin dia memberi tahu letak goa
Kranggan yang jadi sarangnya,” jawab Ageng Sembodo.
Pantai Selatan luar biasa indahnya ketika sang, surya
menyembul, mulai menerangi bumi dengan sinarnya yang
merah kuning kemilau. Air laut berubah laksana hamparan
permadani emas yang bergoyang- goyang.
Di tepi pasir Ageng Sembodo tegak bertolak pinggang.
Matanya tak berkesip memandang ke arah gundukan batu
yang menyembul dipermukaan air laUt yang kini men-
dangkal dalam keadaan pasang surut. Sore kemarin
gundukan batu itu tidak kelihatan karena pasang naik
menutupinya. Dia berpaling pada Ki Rono Bayu dan
Kintani, lalu berkata.
“Lihat, itu satu-satunya gundukan batu yang menyembul
di permukaan laut. Pasti disitu letak goa Kranggan!”
KI Rono Bayu tertawa mendengar ucapan Ageng Sem-
bodo itu. “Gundukan batu itu tidak lebih dari gundukan
batu biasa. Mana mungkin ada goa di situ!”
“Kita tunggu saja sampai beberapa saat lagi. Akan kita
lihat kalau air laut sudah sampai ke dasar batu,” kata
Ageng Sembodo yang merasa dicemoohkan.
Ketiga orang itu menunggu. Makin tinggi matahari naik,
makin dalam air laut turun. Akhirnya sebuah lobang
kelihatan dibawah gundukan batu.
Lobang ini setinggi orang membungkuk dan lebarnya
hanya cukup untuk sesosok tubuh manusia.
“Lihat! Itu pasti goanya!” kata Ageng Sembodo.
Setengah berlari dia menghampirl lobang itu dan
mengintai ke dalam. Bagian dalam lobang diselimuti
kegelapan. Cahaya matahari hanya sedikit sekali mampu
menerangi dari arah yang berlawanan dengan mulut
lobang. Bagian dalam lobang tampak merupakan suatu
penurunan. Air laut di dalamnya tertahan oleh sanding batu
yang menutupi setengah dari lobang.
Ki Rono Bayu membungkuk dan mengintai ke dalam.
Dia merasakan sesuatu menyapu wajah dan tubuhnya.
“Ada angin berhembus dari dalam lobang!” kata orang
tua ini. “Pertanda di dalam sana ada ruangan yang ber-
hubungan dengan udara luar. Tapi jelas bukan udara
laut…”
“Bagaimana Ki Rono mengetahui udara di sana bukan
udara laut?” tanya Ageng Sembodo pula.
“Udara laut saat ini masih dingin dan mengandung
garam. Sedang udara yang kucium terasa hangat dan ber-
bau embun…”
“Berarti lobang ini berhubungan dengan darattan!” kata
Ageng Sembodo.
“Kau benar. Tapi dimana dan bagaimana berhubungan-
nya perlu kita selidiki.” Ki Rono Bayu berpaling pada
Kinanti.
“Kinanti, kau tunggu di tempat ini. Jangan ke mana-
mana. Aku dan Ageng Sembodo akan memasuki goa dan
menyelidiki.”
Kinanti mengangguk. “Hati-hatilah dan jangan terlalu
lama di dalam sana. Saya merasa tidak tenang ditinggal
sendirian.”
Sebenarnya Ageng Sembodo juga tidak senang dengan
tindakan Ki Rono Bayu yang mengatur agar mereka berdua
masuk sedang Kinanti ditinggal sendirian. Dengan meng-
gerendeng dalam hati Ageng Sembodo masuk juga ke
dalam lobang membungkuk-bungkuk, diikuti oleh Ki Rono
Bayu di sebelah belakang. Hanya beberapa saat setelah
kedua orang itu memasuki lobang, di balik gundukan batu
sebelah kanan tanpa diketahui Kintani bergerak sesosok
tubuh tanpa suara.
Begitu hanya tinggal tiga langkah dari Kintani orang ini
melompat dan menyergap si gadis. Dalam kejutnya dara
murid Partai Semeru Raya itu hendak berteriak tetapi
mulutnya disekap hingga dia tidak bisa keluarkan suara
sedikitpun. Bahkan nafasnya tertahan membuat dadanya
sesak turun naik.
Untungnya Kintani tidak hilang akal. Kedua siku
tangannya dihantamkan ke belakang.
Bukkkk!
Bukkkk!
Dua siku mendarat dengan keras di tubuh orang yang
menyergapnya. Namun Kintani merasa seperti meng-
hantam kapas! Pukulan-pukulannya itu sama sekali tidak
membuat orang yang menyergapnya bergeming sedikitpun.
Bahkan sambil menyeringai orang itu berbisik.
“Kintani, aku memang sudah menduga kau bakal
datang mencariku. Aku memang sudah lama merindukan-
mu. Mulai detik ini kau akan ikut kemana aku pergi. Kita
tidak akan berpisah selama-lamanya…”
Dua mata Kintani membeliak besar. Dia mengenali
suara itu. Dalam dirinya ada rasa terkejut dan takut.
Namun diam-diam ada juga rasa bahagia.
“Jika kau berjanji tidak menjerit, akan kulepaskan
sekapan di mulut dan hidungmu…” Orang yang menyergap-
nya kembali berkata.
Si gadis angguk-anggukkan kepalanya tanda dia meng-
ikuti tidak akan berteriak. Perlahan-lahan si penyergap
lepaskan sekapannya.
Begitu dirinya terasa lepas Kintani secepat kilat me-
nyambar leher dan rambut orang di belakangnya. Sosok
tubuh itu kemudian ditariknya dan dibantingkannya ke
arah batu!
Tubuh yang dibanting lewat punggung itu memang jatuh
di batu. Namun tidak tergeletak cidera malah sambil ter-
tawa-tawa orang itu duduk bersila di atas batu itu. Kintani
membalikkan tubuh siap hendak menghantam. Kini
dengan pukulan sakti mengandung tenaga dalam. Namun
gerakannya tertahan ketika dia melihat wajah orang itu.
Sepasang mata mereka saling beradu.
“Ya Tuhan! Benar dia rupanya!” kata Kintani dalam hati.
***
WIRO SABLENG
7 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
IBIR Kintani bergetar ketika menyebut, “Mas Kaman.
Jadi betul kau tinggal di sini.” Pemuda di atas batu
kembali tertawa. Rambutnya yang gondrong me-
lambai-lambai di tiup angin laut. Wajahnya klimis meski
pakaian birunya lecak dan basah. Dia tidak mengenakan
destar.
“Kintani, dari ucapanmu jelas kalian datang kemari
untuk menyelidiki…”
“Jadi Mas Kaman telah melihat Ageng Sembodo dan Ki
Rono Bayu?”
“Daerah seluas ribuan tombak ini adalah kekuasaanku.
Tidak satupun yang lepas dari penglihatanku! Keduanya
masuk ke liang neraka. Berarti tidak bakal dapat keluar
lagi!” jawab orang di atas batu yang memang Kamandaka
alias Tangan Halilintar adanya.
“Maksud Mas Kaman mereka akan menemui ajal?”
“Mereka datang mencari mati sendirii Mereka bakal
mendapatkannya.”
“Jangan Mas Kaman. Jangan dicelakai mereka…” kata
Kintani memohon. Dia memperhatikan sepasang mata
pemuda itu. Sepasang mata itu tidak seperti dulu lagi. Dulu
ada cahaya lembut yang membuat Kintani merasa sejuk
jika dipandang. Saat ini dia menyaksikan betapa kedua
mata itu laksana menyambarkan api yang mengerikan.
“Kalian diutus oleh Ketua Partai bukan?” tanya
Kamandaka.
“Benar sekali. Syukur kalau Mas Kaman sudah menge-
B
tahuinya.”
“Apa saja perintah yang kalian jalankan?”
“Ketua dan juga guru kita meminta agar Mas Kaman
kembali ke puncak Semeru…”
Kamandaka menyeringai. Dia menengadah ke langit
lalu tundukkan kepala dan meludah.
“Enak saja dia memerintah begitu. Mengapa dia tidak
datang sendiri?”
“Mas Kaman jangan bicara begitu. Dia adalah Ketua
dan guru kita!” ujar Kintani.
“Dulu memang aku pernah menganggap begitu. Meng-
hormati dan mempercayainya sebagai guru dan Ketua
Partai. Tapi setelah kuketahui siapa dirinya, aku ber-
sumpah akan membunuhnya!”
“Mas Kaman, apa sesungguhnya yang terjadi dengan
dirimu? Mengapa kau kini punya jalan pikiran dan berucap
seperti itu?”
“Tidak ada yang berubah dengan diriku…”
“Tapi kau melakukan pembunuhan. Kau menculik dan…
dan… mem…”
“Memperkosa!” sambung Kamandaka tidak sabaran.
“Katakan saja begitu! Itu sebabnya aku dicap sebagai
murid murtad! Murtad! Kamandaka si murid murtad!
Sungguh sedap didengar telinga! Ha.., ha… ha …!”
“Mas Kaman, apakah kau bersedia ikut bersama kami
kembali ke puncak Semeru?” tanya Kintani.
“Mau saja, Kintani. Tapi…”
“Tapi apa Mas Kaman?”
“Tak ada yang bakal membawa aku ke sana…”
“Kami, kami yang akan membawamu ke sana menemui
guru,” kata Kintani pula.
Kamandaka alias Tangan Halilintar tersenyum. “Kalian
tak akan pernah kembali ke Semeru. Itu sebabnya ku-
katakan tak akan ada yang membawaku ke sana!”
“Jadi Mas Kaman hendak membunuh kami? Saya adik
seperguruanmu di dalam Partai. Ageng Sembodo dan Ki
Rono Bayu adalah Ketua-Ketua Cabang. Apa kau tega
mem-bunuh kami?”
“Setan atau malaikatpun jika berseteru dan membenci-
ku akan ku bunuh!” kata Kamandaka. Perlahan-lahan dia
turun dari batu, melangkah di air laut yang dangkal meng-
hampiri Kintani. Dulu-dulu jika didekati Kamandaka,
Kintani selalu merasakan dadanya berguncang keras. Tapi
guncangan itu justru dirasakannya sangat membahagia-
kan. Kini didekati sambil dipandang tidak bersikap malah
membuat si gadis merasa ngeri. Kuduknya terasa dingin.
“Mas Kaman …Banyak tokoh silat dari berbagai penjuru
tengah mencari Mas Kaman. Mereka semua punya niat
untuk menghabisi Mas Kaman. Kalau Mas bisa kembali ke
Semeru dan minta ampun pada Ketua Gamar Senopati…”
“Minta ampun? Aku minta ampun pada tua bangka
keparat itu? Justru dia yang harus minta ampun padaku!”
“Mas Kaman, mengapa kau sampai berkata begitu?”
Kamandaka memegang bahu Kintani. “Ikut aku ke
dalam goa. Jangan berani menolak!” Kamandaka ulurkan
tangannya. Kintani mundur ketakutan. Kamandaka kelihat-
an jengkel. “Seharusnya begitu tadi aku melihatmu sangat
layak aku segera membunuhmu! Tapi aku sadar. Ada
sesuatu dalam hatiku terhadapmu yang kurasakan sejak
dulu sampai saat ini.”
Paras Kintani tampak kemerahan. “Kalau Mas Kaman
masih mempunyai perasaan itu, Mas Kaman harus mau
meluluskan permintaan saya…”
“Permintaan apa?” tanya Kamandaka.
Dengan suara perlahan-lahan Kintani berkata.
“Kembali ke puncak Semeru. Jalani hidup yang lurus dan
benar!”
Kamandaka tertawa. “Kau rupanya sudah jadi seorang
Pendeta atau seorang Ustad atau seorang Resi. Huh!”
Dipegangnya lengan Kintani erat-erai lalu ditariknya ke
mulut lobang. “Ikut aku!”
“Tidak! Jangan…” pekik Kintani. Keduanya saling tarik
menarik. Tapi Kintani kalah kuat. Selangkah demi selang-
kah dia terseret ke arah lobang di gundukan batu. Di depan
lobang Kamandaka hentikan tarikannya. Pandangan kedua
matanya sesaat tampak mesra. Kintani jadi luluh. Ketika
pemuda itu melingkarkan kedua tangannya di punggung,
memeluknya, si gadis tidak kuasa menolak. Dia memang
sudah lama menyukal Kamandaka. Tiada disadarinya dia
sengaja merebahkan kepalanya di dada Kamandaka.
“Kau mencintai diriku Kintani. Aku tahu…” bisik Kaman-
daka seraya membelai rambut gadis itu. “Kau akan tinggal
di sini. Kita hidup sebagai suami istri. Kau dan aku akan
bahagia. Ha …ha…ha…”
“Dia gila berkata begitu…” kata Kintani dalam hati lalu
menjauhkan kepalanya dari dada si pemuda dan melepas-
kan pelukan Kamandaka. “Jika Mas. Kaman mau kembali
ke puncak Semeru, jika Ketua Partai merestui, baru saya
bersedia menjadi istri Mas Kaman…”
“Kurang ajar! Tidak ada yang bisa mengatur diriku! Juga
tidak kau!” teriak Kamandaka. Tangan kanannya diangkat
ke atas. Kintani melihat bagaimana tangan itu sampai ke
lengan menjadi sangat hitam. Ketika tangan itu dipukulkan
ke batu, tak ampun lagi setengah dari gundukan batu
besar di laut dangkal itu menjadi hancur berantakan.
Akibatnya lobang yang di batu menjadi tambah besar.
“Pukulan Halilintar…” membatin Kintani dengan wajah
pucat. Selagi dia terdiam memandangi Kamandaka,
pemuda ini cepat menyambar pinggangnya. Si gadis di-
panggulnya di bahu kiri lalu dengan membungkuk-bungkuk
dia memasuki lobang di batu itu. Kintani ingin meronta,
ingin melepaskan diri. Namun di dalam rasa takutnya ada
pula bayangan rasa bahagia. Bahagia karena setelah
sekian lama baru kini dia dapat berjumpa lagi dengan
pemuda yang selama ini memang dicintainya dan juga di-
ketahuinya memiliki sifat aneh kalau tidak mau dikatakan
seperti orang kurang waras. Ada bayangan maut pada
senyumnya. Ada kematian pada sinar matanya. Dengan
perasaan cinta kasih yang mereka miliki dapatkah dia me-
rendam semua keburukan dan kejahatan pemuda itu.
Dapatkah dia menguasai Kamandaka?
“Turunkan saya. Saya bisa berjalan sendiri…” kata
Kintani.
“Aku masih kuat memanggulmu sampai ke ujung
bumipun Kintani! Tapi jika kau mau jalan sendirl dan ber-
janji tidak akan berbuat macammacam itu aku juga sukai”
Lalu Kamandaka turunkan gadis itu dari bahunya.
Begitu menginjak tanah Kintani jadi heran. Ternyata
mereka kini bukan lagi berada dalam sebuah goa atau
terowongan, melainkan di alam terbuka. Di sebuah tempat
ketinggian yang ditumbuhi banyak pohon kelapa pendek
serta penuh batu-batu besar berwarna coklat kemerahan.
“Di mana kita ini Mas Kaman?” tanya Kintani.
“Inilah daerah kediamanku. Sebentar lagi kau akan me-
lihat rumah kita. Kau dan aku akan tinggal di sana sampai
hari kiamat! Ha… ha…ha…!”
Kini rasa takut dalam diri Kintani melebihi rasa sukanya
terhadap pemuda itu. Dia coba mengingat-ingat. Waktu
Kamandaka memanggulnya, pemuda itu melangkah biasa
tapi cepatnya sama seperti orang berlari. Dia dibawa me-
masuki lobang yang bagian dalamnya berbentuk goa atau
terowongan. Mula-mula terowongan ini menurun,
kemudian mendaki dan berputar. Putaran ini membalik ke
belakang. Berarti kalau sebelumnya mereka bergerak ke
arah laut, kini dia dibawa membalik ke arah darat setelah
melewat sebuah lobang yang ditutupi dengan semak
belukar. Sayup-sayup Kintani mendengar suara deburan
ombak pertanda bahwa tempat itu masih berada dekat
kawasan laut.
Kamandaka mendekat dan memegang tangan Kintani.
“Ikuti aku,” kata pemuda ini. “Sebelum kita menuju ke
rumah, aku harus melakukan sesuatu dulu. Kau datang
bersama dua binyawak bukan? Nah, kedua binyawak itu
harus kupersiangi lebih dulu!”
Kintani tahu sekali. Yang disebut Kamandaka dengan
nama binyawak itu adalah Ageng Sembodo dan Ki Rono
Bayu. Membayangkan apa yang dimaksud dengan ucapan
mempersiangi yang dikatakan Kamandaka tadi, semakin
dingin tengkuk Kintani. Lengannya di tarik kuat-kuat. Dia
dibawa melangkah cepat dan sesekali melompat ke atas
batu-batu besar. Aneh, jika dia melakukannya sendiri
mungkin belum tentu mampu. Tapi pegangan Kamandaka
pada lengannya seperti menyalurkan suatu hawa sakti
hingga tubuhnya terasa lebih enteng dan dengan mudah
dia mengikuti gerakan pemuda itu.
“Nah, itu dia dua ekor binyawak yang aku katakan
padamu!” Tiba-tiba Kamandaka berkata seraya menunjuk
ke depan.
Kintani memandang ke arah yang ditunjuk. Di dekat
sebuah batu besar dilihatnya Ageng Sembodo dan Ki Rono
Bayu tengah berdiri sambil memandang berkeliling.
“Binyawak busuk! Kalian mencariku?! Kalian tahu kalau
berani muncul di sini berarti sama saja mengantar nyawa?”
Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu terkejut. Mereka
cepat berpaling. Suara orang berseru itu terdengar cukup
jauh. Tetapi begitu suaranya sirap orangnya sudah berada
di depan mereka. Dan bukan hanya sendirian! Tapi ber-
sama Kintani!
***
WIRO SABLENG
8 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
ANYA beberapa saat setelah Kamandaka alias
Tangan Halilintar membawa Kintani memasuki goa
Kranggan, dua sosok tubuh berkelebat di tepi pantai
dari jurusan yang berlawanan.
Yang pertama adalah seorang kakek berpakaian serba
hitam, bergelang bahar dan kedua tangan dan kakinya. Dia
datang dari jurusan barat. Di tepi pasir dia berhenti
sejenak. Matanya memperhatikan gundukan batu dengan
lobang besar di bagian tengahnya yang terletak beberapa
tombak di sebelah depan.
“Pasti ini tempatnyal Hemm…. Kamandaka manusia
bejat murtadl Akhirnya kutemui juga sarangmu! Jangan
harap kau bisa lolos dari tanganku!” Habis berkata begitu
orang tua ini berkelebat. Dia melesat di atas air laksana
terbang dan di lain saat dia sudah berada di atas
gundukan batu. Tanpa ragu-ragu dia segera hendak
memasuki lobang yang menjadi pintu goa. Namun ada
sesuatu yang membentur sudut matanya datang dari arah
timur laksana seekor burung Rajawali.
Orang tua ini cepat berpaling. Dia merasakan ada angin
menyambar. Dengan sigap dia hendak memukul. Namun
cepat tarik pulang serangannya ketika mengenali siapa
adanya orang yang ada di hadapannya.
“Hampir tiga bulan lalu aku meaemuimu di tempat per-
temuan para tokoh silat. Kini kau muncul di sini. Apa
maksudmu datang ke tempat ini, Pendekar 212?!” tanya
orang tua berpakaian dan berdestar serba hitam.
H
Yang ditanya garuk-garuk kepala.
“Mungkin kita punya maksud yang sama, Datuk Alam
Rajo Di Langit,” Jawab Wiro sambil menyeringai.
“Bagus kalau begitu. Ternyata kau memang benar ter-
masuk manusia yang tidak banyak bicara lebih suka
berbuat! Tapi aku ingatkan satu hal padamu pendekar
muda!”
“Heh, apa yang hendak kau peringatkan pada saya
Datuk?”
“Jika kita menemui Kamandaka, ingat baik-baik. Hanya
aku yang berhak turun tangan! Kau jangan ikut campur!”
“Mengapa begitu?” tanya Wiro sambil kembali meng-
garuk-garuk kepalanya.
“Dia telah membunuh sahabatku Ki Pamilin. Dia juga
telah merusak kehormatan anak Ki Pamilin calon muridku!”
“Terserah saja padamu Datuk. Kalau kau yang ingin
maju, biar aku jaga muntahannya saja!” jawab Pendekar
212 Wiro Sabeleng.
Datuk Alam Rajo Di Langit masuk ke dalam goa. Wiro
mengikuti dari belakang. Pada saat bagian dalam goa yang
berupa terowongan itu berputar membalik, Wiro hentikan
langkahnya. Otaknya bekerja. “Jika goa ini berputar dan ber
balik ke belakang, berarti siapa saja yang mengikutinya
akan menuju kembali ke tepi pantal. Ke arah daratan.
Lebih baik aku kembali dan menyelidiki bagian pantal yang
ditutupi oleh bukit-, bukit batu…”
“Hai! Kau mau ke mana? Mengapa kembali?!” Datuk
Alam Rajo Di Langit berseru ketika dilihatnya Wiro mem-
balik langkah.
“Datuk jalanlah terusl Saya mau buang hajat kecil dulu!”
jawab Wiro. Begitu orang tua itu meneruskan perjalanan-
nya, cepat-cepat Pendekar 212 melangkah menuju mulut
goa.
Kita kembali pada kejadian saat Ageng Sembodo dan Ki
Rono Bayu memasuki goa Kranggan. Semakin jauh masuk
ke dalam semakin tercium baunya hawa daratan. Goa yang
tadinya gelap redup kini perlahan-lahan menjadi terang.
Ada sinar di sebelah depan sana. Beberapa ratus langkah
lagi berjalan akhirnya mereka sampai di hadapan semak
belukar rapat yang dari celahcelahnya merambas cahaya
matahari pagi.
Ki Rono Bayu singkapkan semak belukar dan pe-
pohonan kecil di depannya. Begitu semak belukar tersibak
terkejutlah orang tua ini. Ternyata di depan mereka
terbentang satu kawasan bukit batu. Berarti dia dan Ageng
Sembodo kini berada di daratan!
“Tipuan sialanl” maki Ki Rono Bayu. Dia segera keluar
dari dalam goa diikuti Ageng Sembodo.
Kawasan daerah berbatu-batu itu merupakan suatu
bukit besar dan tinggi. Dari keadaannya yang sunyi senyap
Ki Rono Bayu bisa menduga bahwa daerah ini jarang di
datangi orang luar. Udara terasa sejuk padahal masih
dekat pantai.
“Sunyi-sunyi saja….” bisik Ageng Sembodo. Kesunyian ini
menimbulkan rasa tegang di dalam dirinya.
Saat itu kedua orang itu berada di dekat batu besar.
“Kita harus segera menyelidiki tempat ini. Aku merasa pasti
ini kawasan yang jadi markas atau tempat bersembunyinya
Kamandaka.”
“Perasaan kita sama. Mari kita mulai menyelidik!” jawab
Ageng Sembodo.
Namun baru saja mereka hendak bergerak mendadak
ada suara membentak.
“Binyawak busuk! Kalian mencariku?! Kalian tahu kalau
berani muncul di sini berarti sama saja mengantar
nyawa?!”
Dua orang Ketua Cabang Partai Semeru Raya itu cepat
berpaling. Keduanya langsung terkejut! Di hadapan mereka
kini tegak Kamandaka. Dan dia tidak seorang diri. Tapi
bersama Kintani yang dicekalnya tangan kirinya!
“Kamandaka murid murtad penuh dosal Akhirnya kami
temui juga kau!” kata Ageng Sembodo setengah berteriak.
Lalu dilihatnya bagaimana Kamandaka memegang tangan
gadis yang dicintainya. Maka diapun kembali berteriak.
“Lepaskan peganganmu pada Kintani. Kintani lekas
kemari!”
Si gadis tampak bingung sebaliknya Kamandaka keluar-
kan suara tertawa bergelak. “Ageng Sembodo!” kata
Kamandaka langsung menyebut nama. Mengingat usia
yang terpaut cukup jauh dan kedudukan Ageng Sembodo
sebagai salah satu Ketua Cabang Partai Smeru Raya,
seharusnya Kamandaka memanggil lelaki itu secara lebih
hormat. Misalnya dengan panggilan Mas atau Kang Mas.
Hal ini sudah cukup membuat Ageng Sembodo tambah
mendidih amarahnya.
“Dasar manusia tidak berbudi tidak punya peradatan!
Iblis! Lebih baik kau segera menyerahkan diri. Nyawamu
masih bisa diperpanjang sampai kau menghadapi Ketua
Partai!”
“Budi dan peradatan hanya dipakai oleh orang-orang
yang suka pamrih dan gila hormat! Sama dengan dirimu!
Baru jadi Ketua Cabang mulut dan sikapmu seperti semua
orang ini budakmu! Aku sudah bersumpah untuk menyiangi
tubuh kalianl Kalian akan kukembalikan ke puncak
Semeru tanpa kulit dan daging!”
Kamandaka angkat tangan kanannya sementara
tangan kiri masih memegangi Kintani. Matanya me-
mandang membara ke arah Ageng Sembodo.
“Tunggu dulu!” Ki Rono Bayu cepat membuka mulut.
“Kamandaka, kami datang membawa pesan dari Ketua
Partai…”
“Aku tidak perduli kalian membawa pesan apa dan dari
siapa. Pokoknya siapa yang berani menginjakkan kaki di
tempat ini harus mati!”
“Pesan yang kami bawa itu,” kata Ki Rono Bayu me-
neruskan tanpa perdulikan bentakan Kamandaka, “ialah
membawamu kembali ke puncak Semeru guna menghadap
Ketua. Aku percaya, apapun dosa yang telah kau buat di
masa lalu pasti Ketua mau mempertimbangkan hukuman-
nya secara adil!”
Kamandaka menyeringai. “Jadi kalian berdua tidak lebih
dari pada dua kacung pembawa pesani Manusia-manusla
tolol! Mengapa tidak si Gamar Senopatri itu sendiri yang
datang menemuiku kemari!”
“Jangan menghina Ketua dan jangan keliwat mendesak,
Kamandaka!” memperingatkan Ki Rono Bayu yang tampak-
nya mulai kesal.
“Kalian berdua begitu menghormati Ketua Partai
Semeru itu! Kalian tidak tahu siapa dia sebenarnya!
Manusia-manusia tolol yang senang ditipu!”
“Apa maksudmu dengan ucapan itu?!” Tanya Ageng
Sembodo membentak.
“Kau tanyakan saja nanti pada jin laut tempat mayatmu
akan kulemparkan!” jawab Kamandaka. Dia menarik
Kinanti ke belakang lalu melompat ke hadapan kedua
orang Ketua Cabang Partai itu. “Saat kalian untuk mati
sudah dating!” katanya.
Ageng Sembodo tidak takut dan menganggap enteng
Kamandaka. Dia maju menyongsong gerakan lawan. Tapi
KI Rono Bayu yang sudah berpengalaman dan tahu betul
kehebatan ilmu andalan Kamandaka cepat berkala.
“Sudahlah, mengapa kita harus ribut-ribut. Kamandaka
bagaimanapun kami berdua tidak mau bertindak sendiri
sendiri. Kami tetap menghormatimu sebagal anak murid
Partai. Apalagi murid langsung dari Ketua. Banyak manfaat-
nya jika kau mau ikut sama-sama kami ke puncak
Semeru.”
“Kalau aku datang ke puncak Semeru, satu-satunya
yang aku lakukan adalah membunuh manusia keparat ber-
nama Gamar Senopatri alias Dewa Tapak Sakti itu!”
Kamandaka mundur satu langkah. Kedua tangannya
diangkat ke atas dan perlahan-lahan disilang. Tapi dia
belum merapal aji kesaktian yang dimilikinya. Dia ingin
menjajal kehebatan ilmu silat tangan kosong kedua Ketua
Cabang ini.
Didahului satu bentakan nyaring, Kamandaka me-
lompat. Kedua tangannya yang tadi disilang dibentangkan
ke samping. Menggebuk ke arah Ageng Sembodo dan Ki
Rono Bayu Kedua serangan ini di arahkan ke masing-
masing kepala lawan.
Ageng Sembodo yang sejak tadi sudah tidak dapat me-
nahan amarahnya balas menghantam dengan tangan
kanannya ke arah Kamandaka sedang Ki Rono Bayu lebih
bertindak hati-hati. Dia tidak mau melakukan bentrokan
melainkan menghindar ke samping dan setelah membuat
kuda-kuda kukuh dia baru membalas dengan satu sodokan
ke arah ulu hati Kamandaka.
Tiba-tiba Kamandaka hentikan seluruh gerakannya.
Tubuhnya laksana seekor burung besar yang mengem-
bangkan sayapnya.
Bukkki
Bukkk!
Jotosan Ki Rono Bayu menghantam ulu hati Kamandaka
dengan keras. Begitu juga pukulan Ageng Sembodo meng-
hajar lengan kiri Kaman- ‘ daka. Tapi pemuda ini sedikitpun
tidak bergeming. Malah sambil menyeringai dia memper-
hatikan bagaimana kedua penyerangnya mengerenyit
kesakitan.
“Pukul lagi! Cari sasaran yang paling empuk!” ejek
Kamandaka.
Maka kedua lawannyapun tanpa ampun melancarkan
gebukan bertubi-tubi ke kepala dan tubuhnya. Kamandaka
masih menyeringai. Tiba-tiba dia keluarkan suara bentakan
dahsyat.
Sepasang kakinya membuat gerakan menggeser. Lutut
ditekuk. Hantamannya yang pertama mendarat di dada Ki
Rono Bayu. Ketua Cabang Partai yang berusia lanjut ini
terpekik. Tubuhnya tersandar ke dinding batu. Dari mulut-
nya meleleh darah kental. Tulung dadanya remuk melesak.
Dia mengalami kesulitan bernafas. Tapi semua ini seperti
tidak dirasakannya.
“Manusia iblisl Murid murtad keparat!” kutuk Ki Rono
Bayu. Dia berpaling pada Ageng Sembodo dan anggukkan
kepalanya seraya berbisik. “Pukulan Api Biru…”
Ageng Sembodo maklum apa yang dimaksud si orang
tua. Cepat dia kempiskan perut dan menghimpun seluruh
tenaga dalam ke tangan kanan. Kedua Ketua Cabang ini
sambil menghimpun tenaga dalam hati merapal aji
kesaktian pukulan Api Biru. Ageng Sembodo dan Ki Rono
Bayu saling memberi isyarat dengan mata masingmasing.
Lalu didahului suara bentakan garang kedua Ketua Cabang
Partai Semeru Raya ini pukulkan tangan kanan masing-
masing. Dua larik sinar biru menderu laksana lempengan
besi panjang tipis. Siap menggunting dan memutuskan
leher Kamandakal
“Pukulan Api Biru!” seru Kamandaka yang mengenali
pukulan sakti itu. Kedua tangannya segera diangkat. Dua
lengan bersilang di depan mukanya dan dua lengan ini
segera berubah jadi hitam. Ketika kedua lengan bersilang
ini dilepaskan dua larik cahaya hitam berkiblat disertai
suara meledak seperti suara halilintar menyambar. Hawa
panas menghampar. Dua larik sinar biru pukulan Ageng
Sembodo dan Ki Rono Bayu tenggelam dalam cahaya
hitam Pukulan Halilintar yang dilepaskan Kamandaka. Lalu
ada dua suara letusan susul menyusul. Pekik Ki Rono Bayu
terdengar duluan. Tubuhnya terlempar jauh. Sekujur
badannya mulai dari kepala sampai ke kaki tampak
memutih. Lalu anehnya perlahan-lahan berubah jadi hitam
gosong!
Kinanti tidak berani menyaksikan apa yang terjadi
dengan orang tua Kedua Cabang Partai wilayah Timur itu.
Dari mulutnya keluar jeritan ketika sinar hitam yang satu
lagi menghantam ke arah Ageng Sembodo.
“Mas Kaman! Jangan bunuh dia!” pekik Kinanti.
Teriakan Kinanti ini membuat kamandaka menarik
pulang tangannya. Sinar hitam Pukulan Halilintar meredup
dan akhirnya lenyap sama sekali.
“Kau inginkan binyawak ini hidup, baik! Satu nyawa
lolos tak jadi apa. Dia boleh pergi agar bisa memberi tahu
pada Gamar Senopatri apa yang terjadi di sini. Aku…hek…!”
Ucapan Kamandaka terhenti. Satu pukulan menghantam
dadanya! Ketika dia bicara tadi kesempatan ini diperguna-
kan oleh Ageng Sembodo untuk melancarkan pukulan.
Pukulannya kulannya tepat menghantam dada Kaman-
daka. Pemuda ini tidak bergerak dari tempatnya walau
memang ada rasa sakit akibat pukulan itu.
Penasaran Ageng Sembodo lancarkan pukulan lagi
secara bertubi- tubi.
“Cukup!” seru Kamandaka tiba-tiba. Tangan kanannya
dibabatkan dari samping kiri ke kanan.
Traakk!
Traakkl
Ageng Sembodo menjerit setinggi langit. Kedua
lengannya terkulai patah. Tubuhnya sampai terbungkuk-
bungkuk menahan sakit. Kamandaka tendang pantat
orang ini. “Kalau kau tidak lekas minggat dari sini, jangan
kira aku tidak akan membunuhmu. Sekalipun kekasihmu
ini meminta aku tidak membunuhmu!”
Paras Kintani tampak menjadi merah oleh kata-kata
terakhir Kamandaka itu.
“Kamandaka!” Ageng Sembodo berucap. “Hari ini aku
mengaku kalah! Tapi ingat! Lain waktu aku akan datang
lagi untuk mengambil kepalamu!”
“Kacung Ketua Partal Semeru Raya!” kata Kamandaka
seraya mencekal leher pakaian Ageng Sembodo. “Katakan
pada Ketuamu, jika dia punya nyali aku tunggu dirinya di
sini. Jika malam bulan purnama di muka dia tidak muncul
sudah tiba saatnya aku akan mencarinya untuk minta
nyawa anjingnya! Nah sekarang pergi kau dari sinil”
Kamandaka tarik kuat-kuat leher pakaian lelaki itu lalu
melemparkannya ke dinding batu. Karena kedua lengannya
patah dia sama sekali tidak mampu untuk menahan dirinya
terbanting ke batu. Ketika tubuhnya terbanting, mukanya
ikut menghantam batu hingga tulang hidungnya patah dan
bibirnya pecah!
“Kintani, ikuti aku. Tinggalkan tempat ini.”
Kintani melirik ke arah Kamandaka. Pemuda ini cepat
berkata. “Kalau kau bergerak satu langkah saja mengikuti-
nya, akan kubunuh!” ancam Kamandaka. Mau tak mau
Kintani terpaksa hanya bisa tegak tak bergerak.
“Manusia keparat! Aku bersumpah akan mem-
bunuhmu!” kutuk Ageng Sembodo. Dia memandang sesaat
pada mayat Ki Rono Bayu. Ingin dia membawa pergi mayat
yang gosong hitam itu. Namun dalam keadaan kedua
tangannya lumpuh cidera begitu rupa di mana berjalan
sajapun dia mengalami kesulitan dan rasa sakit, mana
mungkin dia mendukung atau memanggulnya. Tersaruk-
saruk dia tinggalkan tempat itu.
***
WIRO SABLENG
9 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
AMANDAKA membawa Kintani ke puncak bukit batu
paling tinggi. Sampai di atas Kintani melihat sebuah
bangunan yang bagian depannya berbentuk sebuah
goa besar namun atapnya ditata seperti atap bangunan
kayu. Keadaan di sebelah dalam dan bagian luarnya serba
bersih. Ada bau wewangian keluar dari arah goa batu itu.
“Ini rumah kita!” kata Kamandaka seraya tangannya
kembali memegang lengan si gadis. Kintani diam saja.
“Kau akan tinggal di sini bersamaku, Kintani.”
Baru saja Kamandaka berkata begitu dari dalam goa
keluar dua orang perempuan. Yang satu masih sangat
muda. Menurut taksiran Kintani usianya sekitar delapan
belas tahun. Satunya lagi lebih tua namun jelas belum
mencapai dua puluh lima tahun. Keduanya memiliki wajah
cantik. Yang membuat darah Kintani tersirap ialah cara
kedua perempuan itu berpakaian. Apa yang mereka kena-
kan tidak bisa disebut pakaian karena bagian-bagian tubuh
mereka hampir tidak terlindung. Bahkan bagian dada dan
bawah perut tersingkap menusuk pemandangan.
“Mas Kamandaka! Kami kira kau akan pergi lama.
Ternyata sudah pulang!” Perempuan yang muda berucap.
Lalu keduanya hentikan langkah ketika melihat Kaman-
daka ternyata tidak sendiri. Bayangan rasa cemburu jelas
terlihat diwajah kedua perempuan itu.
“Siapa mereka?” tanya Kintani berbisik.
“Kekasih-kekasihku,” sahut Kamandaka. “Tapi mulai
sekarang tidak lagi.” Lalu pada kedua perempuan itu
K
Kamandaka berkada. “Saat ini juga kalian boleh pergi dari
sini. Jangan coba kembali!”
Dua perempuan itu tampak terkejut besar.
“Mas…? Mengapa tiba-tiba kau mengambil keputusan
begitu?” tanya perempuan yang tua.
“Saya tahu!” menyahuti yang muda sambil melirik pada
Kintani. “Mas Kamandaka telah mendapat seorang kekasih
baru yang lebih cantik dari kami!”
“Kalau sudah tahu mengapa tidak segera minggat?!”
ujar Kamandaka melotot.
“Kami… kami bersedia membagi tempat bersama dia!”
berkata perempuan yang muda.
“Di sini tidak ada tempat lagi bagi kalian berdua. Lekas
pergi!”
“Mas Kaman, sebaiknya biar saya yang pergi!” kata
Kintani pula. Lalu cepat dia membalikkan diri. Tapi Kaman-
daka lebih cepat lagi menjambak rambut gadis itu dan
mendorongnya ke dalam rumah batu. Pemuda ini kemu-
dian berpaling pada dua orang kekasihnya.
“Kalau kalian tidak mau pergi jangan menyesal kalau
wajah kalian akan kurusak dan kuubah jadi wajah setan!”
Mendengar hal ini keduanya jadi ketakutan. Setelah
berpandangan sebentar mereka cepat-cepat tinggalkan
tempat itu di iringi gelak tawa Kamandaka. Puas tertawa
Kamandaka kembali mendekati Kintani. “Sekarang saatnya
kita bersenang-senang. Mari masuk ke dalam.”
“Bersenang-senang bagaimana maksud Mas Kaman?”
“Jangan pura-pura tidak tahu Kintani. Kau tahu aku
suka padamu dan kau mencintaiku! Dua orang yang ber-
cinta apapun bisa dilakukan! Bukankah kita sekarang me-
rupakan sepasang suami istri?”
Paras Kintani jadi berubah pusat. “Saya.. saya tidak
keberatan menjadi istri Mas Kaman. Asalkan kita meng-
hadap, guru dulu. hanya dia yang bisa mewakilkan kedua
orang tua kita yang sudah tiada untuk menikahkan kita.”
“Kawin pakai nikah segala kuno!” kata Kamandaka.
Ditariknya tangan Kintani. Gadis itu setengah diseret
masuk ke bagian dalam bangunan batu. Ternyata bangun-
an itu cukup luas. Di salah satu bagian terdapat sebuah
tempat tidur dari batu yang dilapisi tikar jerami lembut.
Kamandaka mendorong Kintani ke atas tempat tidur itu.
“Saya tidak mau Mas Kaman. Jangan lakukan itu pada
saya!” kata Kintani pula.
“Jika bukan mencariku mengapa kau mau datang jauh-
jauh kemari?”
“Mas Kaman tadi sudah mendengar ucapan Ageng
Sembodo dan Ki Rono Bayu. Kami diperintah Ketua…”
“Lupakan perintah itu!”
“Saya mohon kita segera pergi menemui Ketua agar
semua persoalan selesai. Kalau tidak seumur-umur Mas
Kaman akan jadi orang buruan Partai.”
Kamandakan tertawa gelak-gelak mendengar hal itu.
“Aku tidak mau bicara lagi tentang Ketua ataupun orang-
orang Partai. Mereka semua adalah calon-calon korbanku!
Mereka akan segera mampus!” Lalu Kamandaka berusaha
memeluk dan menciumi gadis itu. Kintani cepat menjauh
seraya berkata. “Mas Kaman, jika kau betul sayang padaku
jangan perlakukan aku seperti ini….”
“Hmmm…” kedua mata Kamandaka berkilat-kilat me-
mandang setiap bagian tubuh Kintani. “Jangan buat aku
kehilangan kesabaran Kintani.” Pemuda itu kembali men-
dekat.
“Kalau Mas Kaman meneruskan perbuatan keji ini, saya
terpaksa melawan. Lebih baik saya mati berkelahi di
tangan Mas Kaman dari pada dinodai!”
“Begitu? Aku mau lihat sampai di mana kehebatan
murid Gamar Senopati yang satu ini!”
Habis berkata begitu Kamandaka lalu tanggalkan
pakaian yang melekat ditubuhnya. Kintani sampai terpekik
menyaksikan hal itu dan mencoba lari keluar. Tapi
Kamandaka berhasil mengejar dan mendekapnya. Mau tak
mau Kintani segera menghantam dengan tangan dan kaki.
Dipukul ditendangi Kamandaka justru diam saja.
Bahkan tegak tolak pinggang. Dalam keadaan lawan ber-
telanjang bulat seperti itu seperti tentu saja sulit bagi
Kintani untuk menyerang karena dia sudah tidak kuasa
menghindari pandangan yang menusuk mata itu. Akhirnya
dia kembali mencoba tari. Namun lagi-lagi sial. Kali ini
malah dia harus menerima tamparan dua kali berturut-
turut yang membuatnya terbanting ke lantai batu. Sebelum
dia sempat bangun Kamandaka telah menyergapnya.
Tangannya kiri kanan merobek pakaian yang dikenakan
Kintani. Gadis ini menjerit marah dan menyerang dengan
kalap. Tetapi sia-sia belaka. Tingkat kepandaiannya jauh di
bawah Kamandaka. Ketika tenaganya terkuras habis di-
tambah dengan beberapa pukulan yang dihantamkan
Kamandaka ke tubuhnya, dia hanya bisa tegak tersandar
ke dinding. Dia tidak punya daya apa-apa lagi selain
menangis ketika Kamandaka mendukung dan membawa-
nya ke atas tempat tidur batu.
Kamandaka menyeringai. Sekujur tubuhnya panas ter-
bakar nafsu. Sama sekali tidak ada rasa welas asih dalam
dirinya padahal gadis itu adalah prang yang pernah di-
kasihinya dan balas menyayanginya. Sesaat lagi Kaman-
daka akan melakukan perbuatan terkutuknya tiba-tiba satu
bayangan berkelebat masuk dan satu bentakan meng-
guntur di dalam ruangan batu itu!
“Laknat terkutuk! Memang kau ternyata manusia keji
biadab! Kau membunuh sahabatku! Kau memperkosa
calon muridku! Sekarang aden datang untuk mengirimmu
ke liang narako!”
Kamandaka melompat dari atas tubuh Kintani. Di
hadapannya tegak seorang tua berpakaian dan berdestar
hitam. Sepasang matanya laksana kilatan api. Kamandaka
tidak kenal orang ini. Dari pakaian serta bentuk destarnya
jelas dia bukan orang Jawa. Dari logat bicaranya dia jelas
orang seberang.
“Ucapanmu seperti malaikat! Tapi kulihat tampangmu
seperti setan!” kata Kamandaka mengejek.
Orang tua di depannya tertawa pendek. “Orang mau
mampus memang suka bicara ngacok!” katanya. “Coba den
lihat dulu jantungmu!” Si orang tua bergerak sedikit. Tapi
tahu-tahu tangan kanannya sudah melesat ke arah dada
kiri Kamandaka. Jari-jari tangan membuat gerakan me-
ngeruk. Si pemuda terkejut dan cepat berkelit. Serangan
lawan menghantam dinding batu. Terdengar suara batu
lebur. Berpaling ke kiri Kamandaka melihat bagalmana
serangan berupa cengkeraman orang tua berpakaian
hitam itu meremukkan dinding batu hingga di dinding itu
kini tampak lobang sedalam seperempat jengkal!
Kamandaka sadar kalau terlambat saja tadi dia
menghindar jantungnya pasti benar-benar bisa dicongkel
lawan berdestar hitam bergelang bahar itu! Meskipun
demikian dia tidak takut. Sambil menyeringai Kamandaka
maju mendekati. Kedua lengannya disilangkan di depan
dada tapi dia masih belum mau merapal aji kesaktian
Halilintar. Didahului oleh suara seperti harimau meng-
gereng Kamandaka melompati lawannya. Kedua tangannya
dipukulkan serentak. Si orang tua yang adalah Datuk Alam
Rajo Di Langit terkejut ketika merasakan dua larik angin
yang menyambar bukan olah-olah dahsyatnya. Bukan saja
pakaian hitamnya tapi sekujur tubuhnyapun ikut bergetar.
Kedua lututnya menjadi goyah. Cepat tokoh silat dari An-
dalas ini rubah kuda-kuda kedua kakinya. Tubuhnya
merunduk Begitu dua angin pukulan lewat, kaki kanannya
melesat ke atas setinggi dua tombak, menghantam rahang
kanan Kamandaka dengan tepat.
Selagi Kamandaka terpental ke dinding lalu melosoh ke
lantai batu, kesempatan ini dipergunakan oleh Kintani
untuk melarikan diri. Sambil melompat dari atas tempat
tidur batu dia masih sempat menyambar pakaiannya. Di
luar sadar dia lari keluar bangunan batu dalam keadaan
masih bertelanjang bulat!
Meskipun tendangan Datuk Alam Rajo Di Langit
sanggup membuatnya mental dan jatuh ke pantai namun
Kamandaka sama sekali tidak cidera. Bahkan rasa
sakitpun hampir tidak terasa karena terlindung oleh
kesaktian yang dimilikinya.
Ketika dia tegak kembali di hadapan sang Datuk,
sepasang matanya tampak beringas ganas.
“Anjing tua. Bersiaplah untuk mampus!”
“Kanciang! Binatang! Waang yang akan mampus lebih
dulu!” teriak Datuk Alam Rajo Di Langit. Lalu tangan kanan
dipukulkan ke depan. Ada angin kelabu menyambar,
menebar bau aneh. Jika lawan sempat menghisap bau
aneh itu tubuhnya serta merta akan jadi lemas dan jatuh
tak berdaya. Kamandaka sudah maklum bahaya pukulan
lawan itu. Dengan cepat dia menyilangkan kedua lengan-
nya dan merapal aji kesaktian Pukulan Halilintar hingga se-
pasang lengan itu menjadi hitam. Begitu lengan yang
bersilang dibuka serta dipukulkan ke depan, terdengar
suara menggelegar seperti halilintar menyambar. Ruangan
batu itu seperti hendak runtuh! Hawa panas menghampar
dan dua larik sinar hitam menderu ganas, menyambung
dan meneggelamkan sinar kelabu pukulan Datuk Alam
Rajo Di Langit. Orang tua ini terdengar menggerung keras.
Tubuhnya terpelanting ke luar bangunan, jatuh melingkar
di atas gundukan batu berlumut. Sesaat tubuh itu tampak
memutih lalu berubah hitam mengepulkan asap mengeri-
kan.
Kamandaka bergegas keluar dari banguanan batu.
Kintani tidak kelihatan. Pemuda ini menyumpah dalam
hati. Dia melangkah mendekat mayat Datuk Alam lalu di-
tendangnya hingga tubuh hitarn gosong itu terpental dan
bergulingan ke bawah bukit batu.
Kamandaka melompat dari satu batu ke batu lainnya.
Di satu tempat yang ke tinggian dia melihat dua sosok
tubuh dibalik pepohonan dan berbatu. Secepat kilat dia
bergerak ke arah sana.
***
WIRO SABLENG
10 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
ARENA tidak mengikuti terowongan, Pendekar 212
Wiro Sableng sampai lebih dulu dari Datuk Alam
Rajo Di Langit. Namun sebelum naik ke puncak
bukit di mana tempat kediaman Kamandaka alias
Pendekar Tangan Halilintar terletak, di salah satu lereng
murid Eyang Sinto Gendeng itu melihat dua orang
perempuan berlari dari atas’ bukit. Walau heran melihat
ada dua orang perempuan turun dari atas bukit, sebenar-
nya Wiro tidak; mau perduli. Namun dia jadi tertarik
sewaktu menyaksikan bagaimana pakaian yang dikenakan
kedua perempuan itu sama sekali tidak dapat dikatakan
pakaian. Karena hampir tidak satu bagian tubuh
merekapun yang tertutup utuh oleh pakalan itu!
Wiro cepat memintas dan menghadang dekat sebuah
batu besar.
“Hai!” serunya. “Kalian ini bidadari yang turun dari langit
atau setan-setan penunggu bukit batu ini yang tengah
mencari tempat untuk buang hajat!”
Dua orang gadis terkejut. Sambil berpegangan mereka
hentikan lari. Melihat yang menegur ternyata seorang
pemuda berambut gondrong yang tampangnya cakap-
cakap konyol, rasa kejut mereka jadi sirna. Yang tua ber-
bisik pada kawannya.
“Boleh juga yang satu ini…”
“Aku lebih suka dia dari pada Kamandaka keparat itu!”
bisik yang muda.
“Kenapa bicara sendiri dan tidak menjawab?” tanya
K
Wiro.
Sambil menahan tawa yang tua berkata. “Mulutmu enak
saja kalau bicaral Kami tidak tahu kalau di sini ada
bidadari. Juga tidak tahu kalau bukit batu ini ada setan
penunggunya! Tapi yang jelas di atas sana ada iblis doyan
perempuan. Kalau sudah bosan dan dapat yang baru yang
lama ditendangnya!”
“Tadi kudengar kalian berbisik menyebut nama sese-
orang. Kamandaka… Benar?!”
Dua perempuan itu mengangguk.
“Dia ada di atas sana? Kediamannya di atas sana?!”
Dua yang ditanya lagi-lagi mengangguk.
“Kalau begitu aku harus segera menuju ke sana,” kata
Wiro pula.
“Tunggu dulu!” Perempuan yang tua berkata. “Jangan
berani-beranian naik ke atas puncak bukit. Kami saja
hendak dilemparkannya. Apalagi kau! Manusia penghuni
puncak bukit itu aneh dan luar biasa jahatnya. Dia bisa
bercinta suatu ketika tapi di lain saat dia bisa membunuh
seorang gadis cantik tanpa berkesip. Kami hampir saja jadi
korbannya!”
Yang muda cepat menyambung. “Dari pada pergi ke
atas sana, lebih baik turun bersama kami. Aku suka saja
kau mau bawa ke mana!”
“Aku juga!” kata perempuan yang satu lagi.
Pendekar 212 jadi garuk-garuk kepala. Dia harus meng-
akui kedua perempuan itu berparas cantik dan bagian-
bagian tubuhnya yang tersingkap sangat menggiurkan.
“Kalau kuikuti rayuan mereka, urusanku bisa kapiran!”
membatin murid, Sinto Gendeng. “Begini saja,” katanya.
“Tunggu aku di kaki bukit! Kalau orang di atas sana tidak
membunuhku, aku pasti akan menemui kalian!”
“Siapa sudi menunggu datangnya mayat!” jawab
perempuan yang tua karena dia sudah merasa pasti Wiro
akan dibunuh oleh Kamandaka. Tak ada seorangpun yang
boleh menginjak tempat kediamannya. Kedua perempuan
itu cepat tinggalkan tempat itu. Wiro pandangi mereka dari
belakang sambil membasahi bibir dengan ujung lidah dan
geleng-geleng kepala.
Belum lama dia meneruskan menaiki bukit batu itu tiba-
tiba dia melihat lagi seorang perempuan dengan rambut
tergerai lepas lari dari atas puncak bukit. Sinar matahari
membuat tubuhnya yang tanpa pakaian seperti berkiiau-
kilau. Dia lari sambil membawa pakaian.
“Aneh, ada lagi seorang perempuan turun dari atas
bukit. Yang satu ini malah telanjang polos!” Ketika
perempuan itu menyelinap lenyap di balik sebuah batu
besar, Pendekar 212 cepat mendekati. Didapatinya di balik
batu itu perempuan tadi tengah mengenakan pakaian.
Ketika selesai dipakai ternyata pakaian itu robek-robek di
beberapa tempat. “Siapa pula yang satu ini?” pikir Wiro lalu
dia mendehem keras-keras.
Gadis di balik batu tersentak kaget. Ketika dilihatnya
pemuda gondrong itu mendatangi sambil tersenyum-
senyum dia menjadi curiga dan marah.
“Pemuda kurang ajar! Kau mengintai orang berpakaian!”
“Maaf Saudari. Jangan salahkan aku kalau sampai
berada di tempat ini. Kalau tidak ada sesuatu yang luar
biasa mengapa tadi kau kulihat lari tanpa pakaian? Lalu
mengapa berpakaian di tempat terbuka ini dan mengapa
pakaian yang kau kenakan robek-robek? Siapa kau
Saudari? Apa yang terjadi dengan dirimu? Tadipun aku me-
lihat ada dua orang perempuan lari dari atas bukit dengan
pakaian tidak senonoh!”
Karena orang bicara dengan baik dan mengatakan apa
adanya, perempuan itu yang bukan lain adalah Kintani jadi
mengendur amarahnya. “Aku Kintani, anak murid Partai
Semeru Raya.”
“Berarti kau adalah saudara seperguruan dengan orang
bernama Kamandaka itu!”
“Ya, tidak salah. Orangnya ada di atas bukit batu sana.
Baru saja dia membunuh salah seorang Ketua Cabang
Partai. Saat ini dia tengah berkelahi melawan seorang tua
berpakaian serba hitam.”
Secara singat Kintani lalu menerangkan apa yang di-
alaminya, mulai dari saat dia disergap oleh Kamandaka di
depan mulut goa Kranggan.
“Ah, pasti Datuk Alam yang tengah dihadapinya…” kata
Wiro. Dia segera hendak tinggalkan gadis itu.
“Tunggu,” kata Kintani. “Kalau kau tidak keberatan,
pinjami aku pakaianmu…”
Wiro garuk-garuk kepalanya tapi ditanggalkannya juga
pakaiannya. Lalu diberikannya pada Kintani. Si gadis
segera mengenakan pakaian itu. Karena pakaian itu lebih
besar dari tubuhnya, dirinya terlindung sampai ke lutut.
“Terima kasih. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu
ini.” Lalu tanpa menunggu lebih lama gadis itu segera
tinggalkan tempat itu.
Kembali murid Sinto Gendeng geleng-geleng kepala.
Dalam hati dia berkata. “Besar nian rejekiku hari ini. Me-
lihat tiga perempuan cantik. Dua hampir telanjang. Yang
satu barusan benar-benar telanjang!”
Ketika Kamandaka sampai di balik batu, Kintani telah
berlalu sedang Wiro juga telah berkelebat menuju puncak
bukit.
“Sialan!” maki Kamandaka. Dia harus memilih, me-
ngejar Kintani atau menyusul pemuda tak dikenal yang lari
ke arah tempat kediamannya. Kamandaka memilih yang
terakhir. Tapi dia tidak langsung mengejar melainkan
menguntit dari belakang. Walaupun tingkat ke.pandaian
Kamandaka sungguh luar biasa, namun sepasang telinga
Pendekar 212 se-rta nalurinya tidak bisa ditipu.
Memang murid Sinto Gendeng ini tidak mau berpaling.
Namun dia maklum kalau ada seseorang menguntitnya di
sebelah belakang.
Wiro kerenyitkan kening sewaktu sampal di depan
rumah aneh yang keseluruhannya dibuat dari batu itu dan
menjadi satu dengan dinding batu besar di puncak bukit.
Hidungnya kemudian mencium bau seperti daging ter-
bakar. Dia memandang berkeliling. Pandangannya kemudi-
an terpaku pada sesosok tubuh hitam gosong, meng-
geletak di antara dua celah batu besar. Dia lantas ingat
pada kematian yang sama dialami oleh Ki Pamilin, ayah
gadis bernama Mintari dulu.
“Korban keganasan Tangan Halilintar!” kata Wiro dalam
hati. “Jangan-jangan ini mayatnya Datuk Alam, tokoh silat
dari pulau Andalas itu!” Wiro merasakan tengkuknya men-
jadi dingin. Dia lalu melangkah menuju bagian depan
bangunan batu. Baru saja dia hendak melangkah masuk,
sesiur angin menerpa dari samping.
“Hemmm…Si penguntit mulai menyerang. Aku yakin dia
pasti si Kamandaka keparat itu1″
Tanpa berpaling Pendekar 212 lepaskam pukulan
Tameng sakti menerpa hujan. Pukulan jarak jauh yang
menghantam ke arahnya terpental ke atas. Tiba-tiba ada
bayangan orang berkelebat lalu menyusul deru angin deras
sekali.
Wiro alirkan sebagian tenaga dalamnya ke tangan
kanan lalu memukul ke depan.
Bukkk!
Dua lengan beradu keras.
Murid Sinto Gendeng keluarkan seruan tertahan. Batu
yang dipijaknya laksana amblas dan tubuhnya mencelat
sampai dua tombak, terbanting ke sebuah batu besar.
Tangan kanannya mendenyut sakit. Ketika diperhatikan
lengannya yang tadi beradu keras dengan lengan si
pemukul tampak bengkak kemerahan. Luar biasa! Belum
pernah Pendekar 212 bentrokan dan langsung cidera
seperti itu. Sewaktu dia memandang ke depan seorang
pemuda berwajah cakap tapl menyunggingkan senyum
maut tegak di depannya. Celakanya manusia ini sama
sekali tidak mengenakan pakaian!
Wiro usap-usap lengannya yang cidera. “Heran, apa di
bukit batu ini semua orang harus tidak pakai pakaian!”
kata Wiro dalam hati.
“Hemmmm… Ternyata Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212!” kata pemuda di depan Wiro.
“Sialan! Bagaimana kunyuk ini mengenaliku!” tanya Wiro
dalam hati. Dia lupa saat itu dia sama sekali tidak
mengenakan baju hingga rajah 212 yang ada di dadanya
terlihat dengan jelas.
“Nama besarmu menggetarkan delapan penjuru angina!
Kau memang salah seorang tokoh silat yang aku cari! Kau
beruntung masuk dalam daftar kematianku, Pendekar
212! Tapi sebelum mati aku ingin melihat pukulan saktimu
yang bernama pukulan sinar matahari itu!” Habis berkata
begitu Kamandaka tertawa gelak- gelak.
Murid Sinto Gendeng balas tertawa tak kalah kerasnya.
“Tadi malam aku bermimpi!” katanya sambil cengar-
cengir. “Aku melihat kau terbang ke langit. Kepala ke
bawah dan pantat menungging ke atas.
Ada sederetan dibadari menunggumu di lapisan langit
pertama. Namun pengawal penjaga bidadari mengusirmu
karena kau datang bertelanjang bulat seperti ini. Memalu-
kan! Dan yang menjijikkan, menurut pengawal kau datang
sehabis berak belum sempat cebok alias ngepet!
Ha…ha…ha…ha…!”
“Jahanam, berani kau mempermainkan aku!” terlak
Kamandaka marah. “Tunggu aku di sini. Jangan berani
pergi!” Lalu Kamandaka berkelebat masuk ke dalam
bangunan batu. Tak lama kemudian dia keluar lagi telah
mengenakan pakalan biru dan kain pengikat kepala yang
juga berwarna biru.
“Ah, ternyata kau tidak jelek-jelek amat!” Wiro sambut
kedatangan Kamandaka dengan ejekan itu. “Tapi di balik
tampangmu yang cakap aku melihat bayangan iblis.
Bayangan mahluk berhati seribu keji seribu jahat!”
“Jahanam! Jangan pidato! Keluarkan pukulan sinar
mataharimu!” teriak Kamandaka.
Wiro tenang saja. Diam-diam dia kerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Dia tahu apa maksud lawan menantang-
nya. Kalau dia melepaskan pukulan Sinar Matahari, pasti
Kamandaka akan mengeluarkan pukulan Halilintar. Wiro
maju dua langkah. Dia masih penasaran karena dalam
gembrakan pertama tadi sudah kena diciderai lawan. Maka
diapun berkata. “Menurut Ketua Partai Semeru Raya, kau
bukan saja seorang murid murtad, tapi juga bodoh! Selagi
digembleng di puncak Semeru katanya kau merupakan
murid paling bodoh, tapi sombong besar kepala. Apa betul
begitu sobat?”
“Anjing kurap! Aku bukan sobatmu!” teriak Kamandaka.
“Lihat serangan! Kau akan lihat apa aku benar-benar se-
orang bodoh!”
Belum lagi selesal ucapan itu dua jotosan beruntun
menderu ke arah dada dan kepala Pendekar 212. Sekali
ini karena sudah mengerahkan seluruh tenaga dalam
maka Wiro menangkis serangan lawan dengan pukulkan
kedua lengannya ke atas.
Bukkkk!
Bukkkk!
Kalau tadi Pendekar 212 yang terpental dan berseru ke-
sakitan maka kali ini Kamandaka yang mencelat sampai
dua tombak dan terduduk jatuh. Mukanya kelihatan merah
gelap menahan sakit dan amarah. Kedua tangannya se-
perti tanggal.
“Jahanam…” serapahnya. Kakinya ditekuk. Tubuhnya
tiba-tiba melesat ke depan. Serangan berantai yang di-
lancarkan pemuda ini sungguh berbahaya. Kedua tangan-
nya bukan saja menjotos dan memukul tetapi juga men-
cakar. Satu cakaran sempat melukai dada kiri Pendekar
212. Tiga guratan dalam yang mengucurkan darah terlihat
di dada itu.
Diam-diam Wiro memuji kehebatan pemuda yang jadi
lawannya ini. Belum pernah dia digempur sehebat itu. Ilmu
silat yang dipelajarinya dari Sinto Gendeng tidak sanggup
dipakai untuk bertahan. Terpaksa Wiro keluarkan ilmu silat
orang gila yang didapatnya dari Tua Gila di pulau Andalas.
Kamandaka menjadi heran dan juga kalap ketika
sepuluh jurus menggempur kini jangankan memukul atau
menendang, menyentuh lawanpun dia sepertl tidak
mampu! Padahal gerakan silat yang dilakukan Wiro seperti
orang main-main, seperti orang mabok! Malah dua tiga kali
jotosan dan tendangan Wiro sempat mampir di tubuhnya
menimbulkan rasa sakit yang memanggang amarahnya.
“Jahanam! Baiknya kuhabisi pemuda keparat ini
sekarang juga!” Pikir Kamandaka. Lalu dia melompat ke
atas sebuah batu. Kedua kaki direnggangkan. Mata me-
natap tajam ke depan. Tampang membesi. Perlahan-lahan
kedua tangannya diangkat ke atas. Dua lengan saling ber-
silangan. Mulut bergerak-gerak.
Di bawah sana Pendekar 212 melihat kedua lengan
lawan berubah menjadi hitam.
“Setan alas Itu hendak lepaskan pukulan Halilintar!”
kata Wiro dalam hati. Segera dia angkat tangan kirinya
untuk membentengi diri dengan pukulan benteng topan
melanda samudera.
Tangan kanan digerakkan ke depan. Pada saat kedua
lengan Kamandaka berubah menjadi hitam, lengan kanan
Wiro juga berubah memancarkan sinar putih perak
menyilaukan!
Kamandaka menyeringai melihat hal itu. Ada semacam
rasa senang dalam hatinya untuk mencoba pukulan sakti
setiap tokoh silat yang ditemuinya. Dia sudah lama men-
dengar kehebatan pukulan Sinar Mataharl. Kali ini dia akan
membuktikannya sendiri. Dua lengan yang bersilang tiba-
tiba dilepas. Serentak dengan Itu terdengar suara seperti
halilintar merobek udara. Dua larik sinar hitam meng-
gebubu ke arah Pendekar 212 membawa hawa panas luar
biasa!
Tenang tapi ada juga rasa tegang di lubuk hatinya murid
Eyang Sinto Gendeng gerakkan tangan kiri. Pukulan
benteng topan melanda samudera menderu membentengi
dirinya. Dari tangan kanan dia melepas pukulan sinar
matahari. Sinar putih menyilaukan seperti membelah
langit. Udara sepanas di neraka.
Dentuman keras seperti gunung meletus laksana
hendak menghancur luluhkan bukit batu itu ketika sinar
hitam yang keluar dari tangan Kamandaka beradu dengan
sinar putih pukulan sakti yang dilepaskan Wiro. Masing-
masing merasakan kedua kaki mereka bergetar hebat dan
tubuh laksana dipanggang api. Di udara sinar hitam dan
sinar putih laksana dua ekor naga mengamuk berkelahi
bergulung-gulung.
Tiba-tiba Wiro merasakan kedua kakinya goyah dan
dadanya sakit. Ini satu pertanda bahwa pukulan Benteng
Melanda Samudera dan pukulan Sinar Matahari tidak
mampu menahan hantaman pukulan Halilintar!
“Celaka!” teriak Wiro dalam hati. Terbayang di depan
matanya tubuh Ki Pamilin dan tubuh Datuk Alam yang
menemui ajal menghitam gosong! Itulah rupanya nasib
yang bakal diterimanya saat itu!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara
perempuan berseru.
“Mas Kaman! Saya bersedia jadi istrimu asal, jangan
bunuh pemuda itu!”
Kamandaka kenal betul suara itu. Suara Kintani.
Pemusatan pikirannya jadi terganggu. Hal ini dirasakan
oleh Wiro karena lututnya yang goyah kembali pulih.
Namun dia belum mampu menyelamatkan diri dari
tekanan pukulan sakti lawan. Di udara dilihatnya sinar
putih pukulan Sinar Matahari semakin redup tenggelam
dalam sinar hitam pukulan Halilintar. Sesaat sebelum sinar
putih pukulan saktinya sirna, Pendekar 212 keluarkan
seruan keras. Tubuhnya melayang ke bawah bukit, ber-
lindung di balik sebuah batu besar. Wuss!
Pukulan Halilintar menderu. Batu besar tempat Wiro
berlindung kelihatan mengepul putih lalu berubah menjadi
hitam dan perlahan-lahan hancur rontok. Tubuh Pendekar
212 selamat dari serangan maut itu namun dirinya ter-
pental jauh terkena hempasan angin pukulan. Wiro
terguling-guling ke bawah bukit. Sekujur tubuhnya memar.
Di keningnya ada luka yang mengucurkan darah. Dadanya
mendenyut sakit seperti dihimpit batu besar. Dari mulutnya
meleleh darah. Dia terhempas di kaki bukit batu dalam
keadaan setengah pingsan setengah sadar. Samar-samar
dilihatnya ada seseorang berlari ke arahnya, bersimpuh di
sampingnya dan meletakkan kepalanya di atas pangkuan-
nya. Lalu dia melihat bayangan lain di sampingnya.
Menyusul suara orang tertawa cekikikan.
“Anak setan!” Ada suara memanggil memaki. “Itulah
akibat kalau malang melintang terus-terusan. Tak pernah
muncul untuk minta tambahan ilmu. Ilmu kesaktian
manusia sudah semakin tinggi. Sudah bertambah! Ilmumu
ltu ke itu juga! Sekarang kau rasakan sendiri bagaimana
rasanya babak belur di hantam orang! Hik.., hik… hik!”
Di dunia ini hanya ada satu orang yang memanggil
dirinya dengan sebutan “anak setan”. Orang itu adalah
gurunya sendiri. Eyang Sinto Gendeng. Seperti mendapat
satu kekuatan, Wiro bangkit dari haribaan orang yang me-
mangkunya. Orang yang memangku berkata. “Tidur saja.
Kau terluka di dalam cukup parah!”
Wiro tidak perdulikan. Dia mengenali itu adalah suara
Kintani gadis yang dipinjaminya baju. Dia tetap bangklt
bahkan berdiri. Dia memandang ke depan. Benar, memang
dia. Gurunya! Perlahan-lahan Wiro jatuhkan diri berlutut.
“Eyang, maafkan muridmu yang selama ini tidak pernah
meminta petunjukmu! Soalnya murid tidak mau menyusah-
kan Eyang…”
“Ah, itu kan cuma ucapan seseorang yang pura-pura
menyesal! Sudah tutup dulu mulutmu!” Nenek tua di depan
Pendekar 212 menjejalkan sesuatu ke dalam mulut Wiro.
“Telan cepat kalau kowe masih mau hidup!” katanya. Obat
sebesar jempol kaki itu dengan susah payah ditelan juga
oleh Wiro. Kintani kemudian menopang punggungnya,
menyeka darah di mulutnya. Wajah Wiro yang tadl pucat
kini tampak mulai segar kembali. Perlahan-lahan dia
berdiri.
“Nah kowe sudah sembuh! Ayo ikut aku ke puncak
bukit! Ada tontonan menarik yang bakal kita saksikan!”
kata Eyang Sinto Gendeng pula. Dia berpaling ke kiri. Di
situ tegak seorang gadis jelita, berambut diikat buntut
kuda. “Kau sudah siap Mintari? Tabahkan hatimul”
Gadis itu ternyata adalah Mintari, anak Ki Pamilin yang
bergelar Tangan Baja. Si gadis menatap ke arah Wiro,
pemuda yang dulu menolongnya.
“Heran, bagaimana dia bisa muncul bersama Eyang?”
Who bertanya dalam hati.
Sinto Gendeng maklum apa yang ada di benak . Wiro.
Maka diapun berkata. “Saat, ini dia bisa kau anggap se-
bagai adik seperguruanmu, Wiro. Kalau urusannya nanti
sudah selesai dia kembali ke asalnya. Bukan saudara se-
perguruanmu lagi karena dia memang tak pernah kuangkat
sebagai murid!”
“Saya tidak mengerti Eyang…”
“Nanti kowe juga bakal mengertil” jawab Sinto Gendeng.
Di kejauhan tampak ada empat orang naik ke puncak
bukit batu. Gerakan mereka sebat dan cepat.
“Tontonan menarik akan segera mulal. Ayo ikut aku ke
puncak bukit!” kata Sinto Gendeng. Keempat orang itu
segera naik ke puncak bukit batu. Kintani dan Mintari
sengaja mengapit Wiro yang keadaannya masih agak
lemah.
***
WIRO SABLENG
11 KAMANDAKA SI MURID MURTAD
I PUNCAK gunung Semeru pagi itu Ketua Partal
Gamar Senopatri yang bergelar Dewa Tapak Sakti
duduk dikelilingi oleh Rana Tumalaya Ketua cabang
wilayah Barat dan Ageng Seto Cabang wilayah Utara. Lalu
ada dua orang murid Partai yang tingkat kepandaiannya
hampir mendekati para Ketua Cabang.
“Malam tadi saya bermimpi. Ada dua ekor burung
merpati jatuh di pangkuan saya. Yang satu tidak bernafas
lagi. Mati. Yang satunya megap-megap. Kedua sayapnya
patah dan kepalanya terluka. Merpati satu ini akhirnya mati
di pangkuan saya.”
Sang Ketua diam sesaat lalu meneruskan bicaranya.
“Saya bukan orang yang percaya pada mimpi. Namun
setiap mimpi mempunyal takbir dan maknanya sendiri-
sendirl. Dua saudara kita Ageng Sembodo dan Ki Rono
Bayu sudah seminggu meninggalkan kita. Saya menaruh
kawatir, mimpi tadi malam merupakan pertanda buruk bagi
kita. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan mereka…”
“Kalau Ketua mengizinkan, saya akan turun gunung
untuk menyelidik,” berkata Ageng Seto.
Lama Ketua Partai Semeru Raya itu terdiam. Akhirnya
dia berkata. “Saat ini saya merasa harus pergi ke goa
Kranggan di Selatan. Bukan saja untuk mencari tahu ke-
adaan dua Ketua Cabang itu, juga untuk langsung mencari
Kamandaka murid sesat dan murtad itu.”
“Saya akan mendampingi Ketua,” kata Ageng Seto pula.
“Saya jugal” kata Rana Tumalaya.
D
Dua anak murtad murid tingkat tinggi yang ada di situ
mengatakan hal yang sama pula.
“Tidak semua bisa pergi. Harus ada yang menunggu d!
sini guna mengurus segala sesuatunya,” kata Gamar
Senopatri pula. Dia berpaling pada Ageng Seto. “Kau punya
kepentingan lebih besar untuk Ikut bersama saya. Kau
harus tahu apa yang terjadi dengan adikmu Ageng
Sembodo.”
“Terima kasih atas kepercayaan Ketua membawa saya,”
Ageng Seto merasa gembira.
“Kalian berdua juga ikut saya,” kata Ketua Partai se-
lanjutnya seraya menggoyangkan kepala pada dua anak
murid Partai. Kedua orang ini menundukkan kepala sambil
mengucapkan terima. kasih. “Dan kau Dimas Rana
Tumalaya. Kau terpaksa tinggal untuk menjaga dan
mengurus segala sesuatunya selama kami pergi.”
“Akan saya laksanakan dengan sebaik-baiknya Ketua,”
jawab Rana Tumalaya walau hati kecilnya sebenarnya ingin
sekali pergi mendampingi Ketua Partai.
Beberap hari kemudian rombongan dari gunung Semeru
itu sampai di pantai Selatan di mana terletak goa
Kranggan. Seperti yang dilakukan Wiro, setelah masuk goa
dan mengetahul bahwa terowongan di dalamnya membalik
ke arah daratan, Gamar Senopatri membawa membawa
orang-orangnya keluar goa dan menempuh jalan darat
hingga akhimya sampai di bukit batu. Pada saat yang
bersamaan Eyang Sinto Gendeng dan Mintari sampai pula
di tempat itu. Tujuan kedua orang ini jelas untuk menuntut
balas atas kematian ayah Mintari serta kekejian yang
dilakukan Kamandaka atas dirinya. Seperti dituturkan se-
belumnya Eyang Sinto Gendeng telah menculik Mintari
selagi berada di rumah kediaman Raden Bintang. Gadis
malang Ki Pamilin ini dibawanya ke suatu telaga di Bukit
Slarong. Di sini Mintari diberinya pelajaran meningkatkan
kekuatan tenaga dalam. Setelah itu diajarinya ilmu sakti
pukulan Sinar Matahari. Pukulan sakti yang diajarkan si
nenek pada Mintari memiliki kekuatan lebih hebat dad
pukulan Sinai Matahari yang telah diwariskannya pada
muridnya Wiro Sableng. Hal ini karena Sinto Gendeng
menyadari bahwa pukulan Sinar Mataharl yang lama tidak
bakal sanggup menumbangkan pukulan Halilintar yang di-
miliki Kamandaka. Namun karena Mintari bukan muridnya
maka Eyang Sinto Gendeng hanya memberikan kemampu-
an memiliki selama tiga puluh had pada Mintari. Selewat-
nya waktu tersebut kesaktian itu akan lenyap dengan
sendirinya. Di samping itu Mintari hanya bisa memperguna-
kan ilmu kesaktian itu satu kali saja.
Di puncak bukit batu Kamandaka tampak melangkah
mundar-mandir di depan rumah batunya.
Hatinya geram sekali. Kalau saja tadi Kintani tidak
muncul dan mengganggu pemusatan pikirannya, pasti
Pendekar 212 dapat dikalahkannya dan ditambusnya
sampai gosong dengan pukulan Halilintar. Kini pemuda itu
lenyap di kaki bukit. Kintani sendiri melarikan diri entah ke
mana. Rasa geram semakin membakar dirinya ketika dia
membayangkan tubuh Kintani yang sudah siap untuk
ditidurinya!
“Jahanam! Keparat!” maki Kamandaka.
Selagi dia memaki-maki begitu dari arah Barat lereng
bukit batu dilihatnya ada empat orang lelaki muncul men-
daki. Di sebelah depan… Kamandaka segera mengenalinya
dari pakaian yang dikenakannya.
“Jahanam itu akhirnya muncul juga!” katanya. “Segala
urusan akan kuselesaikan hari ini! Akan kubuka kedok
busuk bangsat itu!”
Tiba-tiba ekor mata Kamandaka melihat ada gerakan
lain di lamping Timur bukit batu. Di jurusan ini juga ada
empat orang yang g mendatangi. Dua gadis, satu nenek
dan satu lagi seorang pemuda yang dari jauh segera
dikenalinya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng. Sedang
salah satu dari gadis yang datang tak pelak lagi adalah
Kintani.
“Manusia-manusia celaka! Semua akan kubikin
mampus!” kertak Kamandaka dalam hati. Lalu dia me-
lompat ke atas batu datar di depan rumah batu. Kedua
kakinya merenggang sedang kedua tangan dirangkapkan
di depan dada. Begitu dua rombongan bongan itu sampal
sekitar sepuluh langkah di depannya Kamandaka lantas
pentang suara.
“Selamat datang mahluk-mahluk pencari mati! Siapa di
antara kalian yang ingin mampus lebih dulu?!”
Paras empat orang dari gunung Semeru tampak be-
rubah merah sementara Sinto Gendeng dan tiga orang
anggota rombongannya tenang-tenang saja malah ada
yang menyengir-nyengir!
Ketua Partai Semeru Raya menatap paras Kamandaka
sesaat lalu melirik ke samping. Dia terkejut ketika
mengenali Sinto Gendeng dan heran melihat mengapa
Kintani berada bersama rombongan si nenek. .
“Kamandaka, kami datang jauh jauh bukan untuk
mencarI kematian,” Gamar Senopatri membuka mulut.
“Kami datang justru untuk menghukummu! Dosamu
selangit tembus sedalam lautan! Berlututlah minta ampun
kepada Tuhan sebelum aku menjatuhkan hukuman mati
atas dirimu di tempat ini juga!”
Kamandaka tampak melongo. Dia memandang tak ber-
kesip pada Ketua Partai Semeru Raya itu. Lalu perlahan-
lahan tampak dia menekuk kedua kaki seperti hendak
berlutut. Ternyata pemuda ini hanya pura-pura saja. Justru
ketika pantatnya bergerak turun tiba-tiba dia keluarkan
suara kentut yang keras sekali. Sehabis kentut dia tertawa
gelak-gelak!
Dari rombongan yang dipimpin oleh Singo Gendeng,
terdengar pula suara tertawa bekakakan. Itu adalah suara
tawa Wiro Sableng yang memang tidak bisa menguasai diri.
Sinto Gendeng mendelik dan membentak. “Husss! Ku-
robek mulutmu kalau tidak hentikan tawamu!”
Wiro terpaksa tutup mulutnya. Kedua matanya melirik
ke kiri kanan yaitu ke arah Kintani dan Mintari. Kintani
senyum-senyum saja. Sedang Mintari mendongak ke langit
sambil pejamkan mata. Pasti ada sesuatu yang sangat
mempengaruhi dirinya saat itu yakni niatnya untuk
menuntut balas. Mintari turunkan kepalanya dan berbisik
pada Sinto Gendeng. “Eyang, kalau Ketua Partai Semeru itu
berhasil membunuh Kamandaka, berarti saya tidak akan
pernah membalaskan sakit hati dendam kesumat….”
Si nenek tersenyum. Dia menjawab. “Tidak satu orang-
pun bisa mengalahkan Kamandaka, kecuali kau. Lihat saja
nanti. Jangan banyak tanya lagi. Siapa yang berani bicara
nanti kutampar!”
Mintari dan Kintani kancingkan mulutnya rapat-rapat
sementara Wiro sambil garuk-garuk kepala berusaha
menahan ketawa hingga mukanya merah sampai ke
telinga.
Di sebelah sana empat wajah orang-orang gunung
Cemeru tampak merah kelam membesi.
Gamar Senopatri berkata dengan suara bergetar tanda
dia berusaha menekan amarah.
“Orang yang mau mati memang suka berbuat tolol!
Kami tahu kau pasti telah membunuh Ki Rono Bayu. Dalam
perjalanan ke mari kami menemui mayat Ageng Sembodo.
Dosamu tak mungkin diampuni lagi Kamandaka!”
“Dari tadi kau bicara melulu! Kapan kau mau ber-
tindak?!” Kamandaka berkata lantang.
“Saat ini juga murid murtad!” jawab Gamar Senopatri.
“Bagus! Tapi sebelum kau membual hendak mem-
bunuhku, biar aku bicara dulu. Agar semua orang tahu
siapa dirimu sebenarnya. Dan mengapa aku melakukan
semua kejahatan ini! Tujuanku lain tidak adalah agar satu
ketika aku dapat berhadapan denganmu. Kini saat yang
kutunggu sejak beberapa bulan lalu sudah tiba! Bukan aku
yang bakal menerima kematian. Tapi kau! Sesuai dengan
kejahatan dan kebusukan yang pernah kau buat dua puluh
lima tahun silam. Ketika aku baru berusia tiga tahun!”
Ketika berkata itu Kamandaka berulang kali menudingkan
telunjuknya ke arah Gamar Senopatri hingga Ketua Partai
ini tambah merah wajahnya dan bergetar seluruh tubuh-
nya. Sementara bicara kedua mata Kamandaka selalu ter-
tuju pada seuntal kalung baja putih dengan hiasan kepala
seekor singa yang tergantung di leher sang Ketua.
Apa yang diucapkan Kamandaka tadi tentu saja mem-
buat Gamar Senopatri terkejut. Bahkan yang lain-lain yang
ada di tempat itu jadi ikut bertanya-tanya.
“Gamar Senopatri! Hari ini kubuka kedok busukmu!”
kata Kamandaka enak saja dia menyebut langsung nama
orang tua itu. “Dua puluh lima tahun lalu, di hutan Sasakan
kau pernah menghadang satu keluarga kecil yang tengah
pindah dari Kaliurang ke Sleman. Kepala rombongan itu
adalah seorang lelaki bernama Abdi Gontor. Dia bertindak
sebagai sais pedati sementara istrinya duduk dl sebelah-
nya. Istrinya bernama Widi Sinten. Seorang anak lelaki
berusia tiga tahun berada di bagian belakang pedati.
Sampai di sini apa kau bisa ingat Gamar Senopatri?”
Semua orang saat itu menyaksikan bagaimana wajah
Ketua Partai Semeru Raya tiba-tiba menjadi pucat pasi
seputih kain kafan! Mulutnya komat-kamit tapi tidak ada
suara yang keluar. Dadanya turun naik.
Di atas batu Kamandaka kembali membuka mulut.
“Mungkin ingatanmu masih belum pulih. Biar kuteruskan
ceritaku! Perempuan bernama Widi Sinten itu adalah
kekasihmu di masa muda. Namun dia meninggalkanmu
karena ternyata kau punya lebih dari lima orang kekasih.
Kau mengkhianati cintanya dan kawin di mana-mana.
Ketika Widi Sinten kawin dengan Abdi Gontor baru kau
sadar bahwa sesungguhnya kau benar-benar mencintainya.
Kau inginkan dirinya lagi tapi sudah terlambat. Rasa
sayangmu berubah jadi rasa benci sakit hati. Kau cegat
rombongan mereka di hutan Sasakan. Kau bunuh Abdi
Gontor. Lalu kau rusak kehormatan Widi Sinten! Sehabis
diperlakukan secara keji begitu Widi Sinten bunuh diri
dengan sebilah keris milik suaminya di tempat itu juga!”
Sampai di situ Kamandaka tampak seperti tidak dapat
menguasai diri. Tubuhnya bergetar hebat dan suaranya
ditelan isakan tangis. Sesaat kemudian baru dia bisa
meneruskan kata-katanya.
“Kejadian itu disaksikan oleh anak mereka yang berusia
tiga tahun. Si anak menangis dan takut. Berusaha turun
dari pedati tapi terjatuh. Kepalanya membentur tanah
hingga jatuh pingsan. Ketika siuman dia tidak dapat lagi
mengingat apa yang telah terjadi dengan kedua orang
tuanya. Entah karena apa kau kemudian mengambil anak
itu, meminta seseorang mengasuhnya lalu menjadikannya
murid dalam Partal. Selama lebih dari dua puluh empat
tahun ingatannya tentang peristiwa itu menjadi gelap.
Namun enam bulan yang lalu sebuah benda yang tiba-tiba
dilihatnya membuat dia ingat kembali apa yang terjadi di
masa lalu itu. Benda itu adalah kalung baja putih yang
melingkar di lehermu! Kalung itu dilihat si anak waktu kau
membunuh dan memperkosa ibunya. Kalung itu kemudian
dilihat anak yang sama enam bulan lalu ketika untuk
pertama kalinya kau memakainya kembali pada suatu
upacara kebesaran Partai!”
Suasana di puncak bukit itu hening seperti di
pekuburan. Suara anginpun tidak kedengaran. Ketegangan
tegangan menggantung di udara. Kedua mata Kamandaka
berkaca-kaca. Suaranya bergetar ketika dia menyambung
kata-katanya.
“Kau tahu siapa anak itu Gamar Senopatri? Anak itu
adalah aku! Kamandaka! Muridmu yang katamu sudah kau
anggap seperti anak sendiri!”
Semuanya mata memandang pada Gamar Senopatri.
Ketua Partai Semeru Raya ini merasakan tenggorokannya
kering. Di atas kepalanya matahari seperti hanya sejengkal.
Tubuh dan pakalannya mandi keringat.
“Ceritaku belum habis Gamari Setelah aku tahu kau
pembunuh ayahku dan manusia yang merusak ibuku, aku
pergi meninggalkan Semeru. Aku menghubungi tokoh-
tokoh persilatan minta pandangan mereka apa yang dapat
aku lakukan. Tak satu orangpun yang mau memberi
nasihat. Apalagi bertindak menghukummu! Semua mereka
pengecutl Aku anggap sama saja mereka itu bersekutu
dengan dirimu! Ketika seorang sakti memberiku ilmu
pukulan Halilintar, semua tokoh- tokoh silat keparat itu
kuhabisi satu demi satu. Gadis-gadis kuculik dan ku-
perkosa. Kubayangkan mereka adalah anak gadismu
sendiri! Lalu aku merencanakan untuk menyamaratakan
puncak Semeru, menghancurkan Partai Semeru Raya dan
mematahkan batang lehermu! Orang-orang persilatan
menganggap aku manusia sesat. Kau menyebut aku murid
murtad! Mungkin aku sesat dan murtad. Tapi semua
berpangkal sebab kepadamu! Kau tidak lebih baik dariku
Gamar Senopatri! Kedokmu sudah kubuka. Berarti
kematianmu sudah di depan mata! Bersiaplah!”
Tubuh Ketua Partai Semeru Raya itu tampak ber-
guncang. Ageng Seto dan dua murid Partai cepat me-
megangnya.
“Tinggalkan saya…” kata Gamar Senopatri pada orang-
orang itu. “Menjauhlah. Aku sudah siap menerima
hukumanku!”
Ageng Seto maju ke depan. “Kamandaka!” serunya.
“Kuharap persoalan ini selesal sampai di sini saja. Kami
akan kembali ke puncak Semeru. Apa yang kau lakukan
nanti adalah urusan dan tanggung jawabmu sendiri!” Habis
berseru begitu Ageng Seto memegang bahu Gamar
Senopatri lalu berbisik. “Ketua, mari kita tinggalkan tempat
ini.”
Tapi Gamar Senopatri gelengkan kepala.
Di atas batu Kamandaka tampak menyllangkan kedua
lengannya. Lengan-lengan Itu berubah menjadi hitam.
“Ketua! Awas!” Kintani berteriak. Tapi terlambat.
Suara seperti halilintar memekakkan telinga. Bukit batu
bergetar hebat. Dua larik sinar hitam menderu menebar
hawa panas luar biasa. Dua orang anak murid Partai yang
berada agak jauh masih bisa melompat selamatkan diri.
Tapi Gamar Senopatri dan Ageng Seto tak mampu berbuat
suatu apa. Kedua orang Itu hanya keluarkan suara raungan
pendek. Tubuh mereka terpental jauh. Keduanya menemui
ajal dalam keadaan tubuh hitam gosong mengepulkan
asap. Bau daging terbakar menyesakkan nafas dan
mengidikkan semua orang yang ada di tempat itu.
Untuk beberapa lamanya Kamandaka masih tegak di
atas batu datar di depan rumah batu. Eyang Sinto Gendeng
berpaling pada Mintari dan berkata perlahan.
“Tontonan bagus sudah selesai. Giliranmu sudah tiba,
Mintari,” kata si nenek.
Gadis itu mengangguk. “Semoga saya berhasil, Eyang ”
“Jangan kawatir. Kau pasti berhasil!” jawab Sinto
Gendeng. Lalu dia melangkah menemani gadis itu sampai
lima belas langkah di hadapan batu datar di mana
Kamandaka berada sementara Wiro dan Kintani tetap
berada di tempat semula.
Kamandaka menatap kosong ketika Mintari tegak di
depannya. Dia seperti tidak melihat gadis itu sampai pada
saat Mintari berkata dengan suara keras.
“Kamandaka! Kudengar ceritamu tadi cukup mengharu-
kan. Kau pernah kehilangan ingatan selama lebih dari dua
puluh empat tahun. Tapi apa kau juga hilang ingatan atas
apa yang kau lakukan terhadap ayahku dan diriku
beberapa bulan lalu?!”
“Heh…. Siapa kau? Suaramu lantang dan wajahmu
cantik!” Otak kotor Kamandaka mulal bekerja rupanya.
“Beberapa bulan lalu kau membunuh ayahku Ki Pamilin
bergelar Tangan Baja. Di tempat yang sama kau kemudian
merusak kehormatanku! Ingat.. ?”
“Ya, aku memang ingat…” jawab Kamandaka.
“Lalu sekarang apa maumu? Minta diperkosa lagi?”
Kamandaka tertawa mengekeh. Tapi jelas tawa itu seperti
dipaksakan. Dia seperti belum dapat melenyapkan
keguncangan hatinya saat-saat menjelang dia menghabisi
Gamar Senopatri tadi.
“Kejahatan harus dibalas dengan keadilan! Keadilan
satu-satunya bagimu adalah mati!” teriak Mintari. Lalu dia
angkat tangan kanannya. Tangan itu sampai sebatas siku
berubah menjadi putih perak dan sangat menyilaukan.
Hawa panas terasa mencekam tempat sekitar situ.
Pendekar 212 Wiro Sableng sempat terkejut melihat hal
itu. “Gila! Mengapa lengan itu bisa sangat menyilaukan
seperti itu. Aku sendiri tidak mampu berbuat seperti itu. Ah,
si Eyang pasti sudah main kayu! Mengajarkan sesuatu
pada orang lain tapi tidak mengajarkannya padaku!” Baru
saja saja Wiro mengucapkan kata-kata itu dalam hatinya
tiba-tiba ada suara menglang di telinganya.
“Anak setan! Jangan kowe berpikir yang bukan-bukan!
Kau sendiri yang salah. Selama ini kau hanya senang
malang melintang. Tidak pernah memikirkan untuk mem-
perdalam serta menambah ilmu kepandaian!”
Wiro melirik ke arah si nenek yang tegak tak berapa
jauh dari tempatnya berdiri. Itu tadi suara si nenek yang
mempergunakan ilmu bersuara jarak jauh. Wiro hanya bisa
garuk-garuk kepala. Memandang ke depan dilihatnya
lengan Mintari semakin memancarkan sinar menyilaukan.
“Pukulan Sinar Matahari!’ seru Kamandaka dengan
nada serta mimik mengejek. “Siapa yang mengajarkan
padamu? Pasti nenek jelek itu atau pemuda gondrong
sebelah sana!” Kamandaka tertawa panjang. “Kumpulkan
seratus orang yang mampu melancarkan pukulan Sinar
Matahari. Tak satupun yang akan mampu menghadapi
pukulan Halilintar!”
“Takaburmu membawa celaka!” teriak Mintari. Tangan-
nya perlahan-lahan diangkat lebih tinggi.
“Eh, gadis ini tidak main-main. Sebenarnya sayang kalau
dia harus kubunuh! Tapi apa boleh buat!” Begitu
Kamandaka membatin. Lalu dia silangkan kedua
tangannya di depan kepala. Kedua tangan itu serta merta
menjadikan hitam. Sambil sunggingkan senyum merendah-
kan, Kamandaka lepaskan silangan kedua tangannya dan
memukul ke depan.
Wuss!
Wuss!
Dua larik sinar hitam menderu dahsyat disertai suara
gelegar halihntar. Untuk kesekian kalinya bukit batu itu
seperti diguncang gempa dan langit seperti mau roboh!
Mintarl keluarkan pekik keras. Tangan kanannya meng-
hantam ke depan. Hawa panas menggebubu. Selarik sinar
putih kebiruan menyilaukan menyambar ganas. Ratusan
bunga api memercik di udara ketika dua larik sinar hitam
bertemu dengan selarik sinar putih kebiruan.
Kedua kaki Mintari tampak goyang. Kamandaka menye-
ringai. Kintani dan Wiro menahan nafas. Tapi Sinto
Gendeng tenang-tenang saja. Malah dari mulutnya ter-
dengar suara dia menyanyi. “Kejar terus, tahan terus….
Hitam tak pernah menang dari putih… Kejar terus, tahan
terus… Hitam tak pernah menang dari putih…”
Di udara dua larik sinar hitam pukulan Halilintar ber-
usaha menggelamkan sinar putih pukulan Sinar Matahari.
Namun sekali ini tampak sinar-sinar hitam Itu terdorong ke
belakang hingga Kamandaka merasakan kedua Iengannya
bergetar keras. Hal ini tak pernah kejadian sebelumnya.
Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya hingga wajahnya
jadi merah dan sekujur tubuhnya mandi keringat.
Tiba-tiba Mintari putar telapak tangan kanannya.
Gerakan ini disusul dengan gerakan mendorong ke depan .
Wussss!
Pukulan Sinar Matahari menggebubu laksana topan
prahara. Dua larik sinar hitam pecah dan bertebaran lalu
lenyap. Sinar putih terus melabrak ke depan.
“Jahanam!” Masih terdengar makian Kamandaka. Itu
adalah ucapannya yang terakhir sebelum tubuhnya terseret
sinar putih panas dan menyilaukan itu. Pemuda itu
terbanting ke dinding batu di samping rumah batu. Untuk
sesaat lamanya tubuhnya yang melepuh matang merah Itu
laksana dicetak masuk ke dalam dinding batu. Lalu
perlahan-lahan tubuh itu mencuat keluar dan jatuh
tergelimpang di atas batu.
Mintari jatuhkan diri dan tekap mukanya dengan kedua
tangannya. Sinar putih menyilaukan pada tangan kanannya
sudah lenyap. Dia menangis terisak-isak. Satu tangan
memegang bahunya, mengira itu adalah Eyang Sinto
Gendeng yang memegangnya, gadis ini berkata. “Eyang,
terima kasih. Saya berhasil Eyang. Terima kasih…”
“Eyang sudah lenyap entah kemana,” jawab satu suara.
Mintari berpaling. Yang memegang bahunya dan yang
barusan bicara ternyata adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Di sampingnya berdiri Kintani. “Dia sempat
berpesan agar aku mengurus kalian berdua. Ah, bagai-
mana ini… Kalian kan bukan anak-anak kecil lagi.”
Perlahan-lahan Mintari berdiri. Dia memandang pada
Kintani sambil mengusap air matanya. Lalu dia berkata.
“Bersamamu Wiro, kami mau jadi anak-anak kecil kembali.”
“Tapi kami anak-anak kecil yang nakal. Hingga kau pasti
bakal kewalahan mengurus kami!” menyambung Kintani.
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Lalu
dia berdiri di antara kedua gadis itu dan memegang bahu
mereka. Sambil melangkah Wiro tersenyum-senyum.
“Apa yang kau tertawakan?” tanya Mintari.
Ditanya begitu sang pendekar justru malah tertawa
gelak-gelak. “Aku ingat ketika kalian kutemui lari dari
puncak bukit nyaris tanpa pakaian sama sekali!”
Kedua gadis itu terpekik. Lalu cubitan-cubitan menye-
ngat lengan, pinggang dan punggung Pendekar 212 mem-
buat dia kelojotan dan terlonjak-lonjak kian kemari.
Pembalasan dua gadis itu ternyata tidak sampai di sana
saja. Dari belakang keduanya menarik celana Wiro ke
bawah kuat-kuat hingga tubuh bawah sebelah belakang
pemuda ini tersingkap lebar. Sementara Wiro kalang kabut
menarik celananya, Mintari dan Kintani telah melarikan diri
ke bawah bukit.
“Anak-anak nakal! Kalau dapat kukejar akan kuciumi
kalian berdua!” teriak Wiro.
Mintari dan Kintani berhenti lalu lambaikan tangan
menggoda. Ketika Wiro mengejar keduanya lari kembali
sambil tertawa terpingkal-pingkal.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar