63. MAKAM TANPA NISAN
MATAHARI belum lama tenggelam. Namun pulau
kecil di pantai barat pesisir Andalas itu telah ter-
bungkus kegelapan. Kesunyian yang mencengkam
dibayang-bayangi oleh deru angin laut dan debur ombak
yang memecah di pasir pulau. Sesekali kunang-kunang be-
terbangan di udara, sesaat menjadi titik-titik terang yang
tak ada artinya lalu menghilang lenyap dan kembali ke-
gelapan kelam menghantu.
Sesosok tubuh berjalan terbungkuk-bungkuk dalam ke-
gelapan. Gerakan kedua kakinya enteng dan hampir tidak
terdengar. Namun binatangbinatang melata yang ber-
telinga tajam dan ada disekitar situ masih dapat men-
dengar gerakan langkah kaki orang ini lalu cepat-cepat
melarikan diri menjauh.
Di samping serumpun pohon bakau orang ini hentikan
langkahnya. Telinganya dipasang tajamtajam. Kedua mata-
nya memandang tak berkesip ke muka. Di depannya dalam
kegelapan dia melihat, ada mata air kecil jernih, yang mem-
bentuk sebuah parit dangkal. Dia mengikuti parit itu ke
arah seberang sana hingga pandangan matanya tertumbuk
pada akar sebuah pohon yang sangat besar.
Lama orang ini menatap pohon besar yang tegak
menyeramkan sejarak dua puluh langkah dari tempatnya
berdiri. Matanya memandang ke arah batang pohon yang
besarnya lebih dari tiga pemelukan tangan manusia itu.
Lalu dia menyeringai dan gelengkan kepala. Dari mulutnya
terdengar ucapan perlahan.
“Di saat orang hendak melakukan kebaikan, menjenguk
sahabat yang berpulang, masih saja ada makhluk-makhluk
lain hendak berbuat kejahatan.”
Orang ini kembali memandang ke arah pohon, lalu dia
berseru. “Manusia dibalik pohon! Apa maksudmu sengaja
sembunyi disitul Hendak menghadang dan membokong?!”
Tak ada sahutan.
Angin laut bertiup kencang. Semak-semak dan daun-
daun pepohonan terdengar bergemerisik. Seekor kadal
hutan melintas cepat di depan kaki orang yang tegak dekat
mata air.
“Ah, dia tak mau menjawab…” kata orang yang barusan
bicara. “Kalau begitu terpaksa aku harus meneruskan
langkah.” Dengan tangan kanannya dia mematahkan
sebuah ranting kecil di samping. Lalu bertongkatkan
ranting ini, orang itu meneruskan langkahnya. Melompati
parit kecil di depannya. Sesaat kemudian dia telah sampai
di hadapan pohon besar. Sosok tubuhnya masih saja tetap
terbungkuk-bungkuk seperti tadi. Namun sepasang mata
dan telinganya dipasang benar-benar.
Satu langkah dia akan melewati pohon besar, tiba-tiba
laksana setan keluar dari sarangnya satu bayangan putih
melompat keluar dari balik pohorl. Sebuah benda ber-
bentuk tombak yang memiliki dua mata menderu ke arah
kepalanya!
“Membokong adalah pekerjaan pengecut!” seru orang
yang diserang. tangan kanannya yang memegang ranting
digerakkan dengan sebat ke atas. Orang ini tahu sekali
bahwa ranting yang dipegangnya tidak akan menang
melawan tombak besi yang menghantam ke arahnya.
Karena itu dia sengaja tidak mau menangkis tetapi ber-
usaha memukul lengan yang memegang tombak bermata
dua itu.
Si penyerang gelap rupanya tahu apa yang hendak di-
perbuat lawan. Sambil menggeser kakinya dan miringkan
tubuh ke kanan, tombaknya yang tadi mengemplang kini
ditusukkan ke dada. Tak ada jalan lain. Mau tak mau yang
diserang sekarang terpaksa pergunakan rantingnya untuk
menangkis. Ranting kecil itu menyelusup ke depan, masuk
di antara dua mata tombak.
Orang memegang tombak terkejut ketika merasakan
bagaimana tombak besinya laksana ditahan satu kekuatan
dahsyat membuatnya tidak mampu untuk mendorong
walau sudah kerahkan seluruh tenaganya. Dengan nekad
kalau tadi dia hanya andalkan tenaga luar, orang ini kerah-
kan tenaga dalam lalu sambil mendorong dia keluarkan
bentakan keras.
Kraaakkkk!
Ranting kayu berderak patah. Tapi tongkat bermata dua
terpelanting ke kiri, nyaris terlepas. Si pemilik tombak
mundur tiga langkah, matanya memandang ke depan, coba
menembus kegelapan untuk dapat melihat wajah orang
yang gagal diserangnya itu. Tapi sia-sia saja. kegelapan
malam begitu pekat sehingga walau berada cukup dekat
dia tidak bisa melihat wajah orang itu, apalagi mengenali-
nya.
Maka diapun bertanya membentak. “Siapa di situ?!”
Jawaban yang didapatnya justru bentakan pula. “Kau
yang menghadang dan menyerang! Aku yang lebih layak
menanyakan siapa dirimu!”
Orang dibalik pohon keluarkan suara mendengus.
“Aku Kiyai Surah Ungu dari Banten! Katakan siapa diri-
mu?!”
“Kiyai Surah Ungu dari Banten…?” mengulang orang
yang masih memegang patahan ranting. “Ah… ah… ah!
Bukankah kau orangnya yang bergelar Pangeran Tanpa
Mahkota, yang menjauhkan diri dari Kesultanan karena
tidak suka dengan kehidupan Keraton yang menurutmu
menjijikkan?”
Dalam gelap berubahlah paras orang dibalik pohon.
Rasa terkejut membuat dia mengeluarkan seruan tertahan.
“Kau telah mengetahui siapa diriku, lalu kau sendiri
siapa adanya?!” tanya Kiyai Surah Ungu.
“Aku belum mau memberi tahu sebelum aku men-
dengar apa keperluanmu jauh-jauh datang ke pulau
terpencil ini!”
“Kau keliwat mendesak. Tapi tak jadi apa karena kau
ada di atas angin. Aku kemari untuk melayat seorang
kawan yang kabarnya meninggal beberapa waktu lalu dan
dimakamkan di pulau ini! Nah aku sudah mengatakan yang
sebetulnya padamu, sekarang giliranmu memberi tahu
siapa dirimu dan apa pula keperluanmu gentayangan di
tempat ini!”
Orang yang ditanya tertawa pendek. “Belum…. Belum
Kiyai. Aku belum akan menjawab pertanyaanmu. Masih
ads pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu kuajukan…. ‘
“Kau membuat aku jadi jengkel dan marah! Apa kau kira
diriku ini seorang pesakitan yang tengah diperiksa dan
perlu ditanyai segala-galanya?!”
“Jangan cepat jengkel, apalagi marah Kiyai Surah Ungu.
Di malam yang gelap begini dimana kita tidak dapat
melihat wajah satu sama lain, tipu menipu bisa saja
terjadi!”
“Apa maksudmu dengan kata-kata itu?!” tanya Kiyai
Surah Ungu.
“”Lupakan saja ucapanku tadi. Aku ingin tahu siapa
sahabat yang kau katakan meninggal dan dimakamkan di
pulau ini…”
“Kau pasti kenal. Dia seorang tokoh silat nomor satu di
kawasan Andalas ini, Pernah membuat nama besar dan
menggegerkan seantero tanah Jawa beberapa puluh tahun
lalu. Dia pernah menyandang gelar Pendekar Gila Patah
Hati. Adapula yang memberinya julukan Iblis Gila Pencabut
Jiwa. Namun di kalangan golongan putih dia lebih dikenal
dengan panggilan Si Tua Gila. Nah sekarang apakah kau
sudah puas atau masih hendak merahasiakan dirimu
sendiri?!”
“Ah, rupanya kita mempunyai tujuan yang sama!”
Kiyai Surah Ungu merasa heran. Tujuan yang sama
belum tentu berarti hati yang sama! “”Katakan apa
maksudmu…?”
“Aku merasa kau ikuti sejak aku menjejakkan kaki di
pulau ini. Kecurigaan membuatku sengaja menghadangmu
di balik pohon ini. ”
“Begitu…?” Orang itu batuk-batuk beberapa kali.
“Kita ternyata adalah dua sahabat lama yang puluhan
tahun tak pernah bertemul”
Kiyai Surah Ungu maju dua langkah.
“Aku memang rasa-rasa pernah mendengar suaramu.
Rasa-rasa mengenali. Tapi…Ah! Otakku sudah agak pikun.
Sulit bagiku menerka kalau kau tidak segera memberi tahu
slapa dirimul”
“Aku Ramadi Watampone dari Bugis!”
“Astaga! Betul kiranya aku berhadapan dengan kawan
sendiri! Bukankah kau yang di timur dikenal dengan nama
besar Pendekar Badik Emas?!”
Orang yang mengaku bernama Ramadi Watampone
tertawa perlahan. “Ulah manusia memang banyak, aku
kebagian menerima ulah dalam bentuk gelar seperti itu!”
Kiyai Surah Ungu sisipkan tombak pendeknya di
pinggang. Dia menyalami Ramadi Watampone. Kedua
orang ini kemudian malah saling berangkulan.
“Puluhan tahun tidak bertemu. Sekali bertemu di
tempat gelap di pulau terpencil begini! Siapa yang tidak
saling curiga!” kata Kiyai dari Banten itu. “Nah, kukira
kehadiranmu disini tentulah juga untuk melayat sahabat
yang mendahului kita.”
“Kau betul Kiyai Surah. Hanya sayang, kita sama-sama
tidak sempat melihat wajah Tua Gila penghabisan kali
sebelum dikubur…”
“Ada baiknya kita segera sama-sama menuju ke makam
sahabat kita itu. Biar aku berjalan duluan…”
“Kalau begitu aku mengikuti dari belakang,” kata
Ramadi Watampone.
Dalam gelap kedua orang yang sama-sama berusia
hampir tujuh puluh tahun itu berjalan beriringan menuju
bagian pulau sebelah timur. Tak berapa lama kemudian
mereka keluar dari kerapatan pepohonan dan sampai pada
sebuah lapangan kecil yang dikelitingi oleh batu-batu
karang runcing diseling oleh batu-batu cadas membentuk
dinding setengah lingkaran.
Karena tempat ini agak terbuka maka kepekatan
malam masih bisa ditembus pandangan mata. Di ujung
depan, di sebelah tengah lapangan tampak dua gundukan
tanah kuburan yang masih merah.
Dari dua makam itu hanya satu yang memiliki batu
nisan.
Kiyai Surah Ungu dan Ramadi Watampone melangkah
ke arah makam namun di tengah lapangan langkah kedua
orang ini mendadak tertahan. Ada dua sosok tubuh meng-
geletak tak berapa jauh dari makam. Ketika diperiksa
keduanya ternyata tidak bernyawa lagi. Wajah mereka ter-
tutup darah yang mulai mengering. Pada kening masing-
masing kelihatan sebuah lobang sebesar kuku ibu jari. Dari
lobang inilah darah sebelumnya mengucur.
“Kiyai Surah… Kau mengenali siapa adanya mayat-
mayat ini?!”
Yang ditanya menggeleng. Malah balik bertanya
“Kau…?”
“Tak pernah kulihat wajah keduanya sebelumnya. Tapi
dari dandanan mereka pasti yang seorang dari dunia per-
silatan dan satu lagi yang masih menggenggam keris
seperti orang bangsawan. Mungkin juga pejabat dari
sebuah kerajaan…”
Kiyai Surah mengambil keris dari genggaman mayat.
Meneliti badan dan hulu senjata itu lalu berkata, “Gagang
keris menunjukkan senjata ini berasal dari Istana Gading di
selatan…”
“Kita menghadapi satu peristiwa pembunuhan, Kiyai!”
kata Ramadi Watampone alias Pendekar Badik Emas.
“Itulah yang ada dibenakku…” jawab Kiayi Surah Ungu
seraya memandang berkeliling. Hanya pepohonan dan
batu-batu cadas serta batu-batu karang yang tampak
menghitam dalam kegelapan.
“Sulit, dipercaya, pada saat kita hendak menyambangi
makam seorang sahabat, tahu-tahu dihadapkan pada
peristiwa seperti ini. Siapa yang dibunuh dan siapa yang
membunuh?’
Ramadi Watampone memegang tubuh salah satu mayat
lalu berkata, “Meski darah di mukanya mulai mengering
tapi tubuhnya masih agak hangat. Pertanda orang ini
belum lama menemui kematian…”
“Jangan-jangan pembunuhnya masih berada di sekitar
sini… ” ujar Kiyai Surah lalu memandang berkeliling sekali
lagi. Kemudian dia berpaling pada Ramadi dan berkata,
“Sahabatku, ingat waktu kukatakan padamu ada sese-
orang yang mengikutiku sejak aku menjejakkan kaki di
pulau ini? Aku tadinya menduga kau yang menguntit.
Sekarang aku punya dugaan lain. Mungkin sekali pem-
bunuh itulah yang mengikutiku…!”
***
WIRO SABLENG
2 MAKAM TANPA NISAN
ntuk beberapa lamanya kedua orang tua itu sama-
sama jongkok dan saling pandang dengan perasaan
tidak enak. “Aku punya firasat ada orang lain tengah
memperhatikan gerak gerik kita saat ini…” berbisik Kiayi
Surah Ungu.
Ramadi Watampone jadi merasa tidak enak mendengar
kata-kata itu. Tengkuknya seperti dihembus angin dingin.
Setelah berdiam sesaat dia lalu berkata, “Apapun yang
terjadi di tempat ini harus kita lupakan dulu. Maksud
utama kita kemari adalah untuk berziarah melihat makam
sahabat kita Tua Gila. Mari kita ke makam sana …”
“Tunggu dulu sahabat,” berkata Kiyai Surah seraya me-
megang lengan Ramadi. “Kalau kita berada di makam,
punggung kita harus membelakangi dinding batu-batu
cadas dan batu-batu karang. Dengan begitu kita tak
mungkin dibokong orang. Siapapun yang hendak mem-
bunuh kita pasti akan muncul di arah depan…”
“Kau betul. Kita harus berhati-hati…” kata Ramadi pula.
“Sebaiknya melangkah mundur.”
Kedua orang itu kemudian mendekati dua buah makam
dan melangkah mundur dalarn gelap. Begitu sampai
keduanya mengambil kedudukan di belakang batu nisan.
Mereka memperhatikan keadaan sekeliling beberapa saat.
“Aneh…” kata Ramadi Watampone. “Mengapa ada dua
makam di tempat ini?”
“Keanehan itu sudah kupertanyakan dalam hati sejak
pertama kali aku melihat dua makam ini tadi,” menyahuti
U
Kiyai Surah Ungu. “Yang satu ada nisannya. Terbuat dari
batu hitam. Di sini digurat nama Tua Gila. Tapi makam satu
di sebelahnya ini sama sekali tidak memiliki batu nisan…”
“Apakah sahabat kita Tua Gila mempunyai istri?” tanya
Ramadi Watampone.
Kiayl Surah menggeleng. “Setahuku kakek-kakek itu tak
pernah punya istri… Kalaupun ini makam istrinya, lalu
mengapa tidak ada batu nisannya?”
“Hemmm, sulit diduga makam siapa yang satu ini,”
berkata Pendekar Badik Emas.
“Ada satu keanehan lagi…” ujar Kiyai Surah.
“Apa?”
“Kedua kuburan ini sama-sama masih merah tanahnya.
Berarti siapapun yang dimakamkan di dua kubur ini
waktunya tidak berbeda banyak …”
“Kau benar,” kata Ramadi dan hatinya merasa tidak
enak. lalu setengah berbisik dia bertanya: “Apakah kau
mencium bau sesuatu…?”
Kiayi Surah Ungu menatap Ramadi sesaat lalu meng-
hirup udara malam dalam-dalam, coba membaui sesuatu
yang dimaksudkan Ramadi Watampone.
“Memang ada bau sesuatu. Tapi sulit kuterka bau
apa…” kata sang Kiayi kemudian. “Bau apa yang tercium
oleh hidungmu, Pendekar Badik Emas?”
“Seperti bau asap…” jawab Ramadi pula. “Baunya ada
tapi bentuknya tidak kelihatan.”
“Sudahlah. Mari kita membaca doa dan apa saja untuk
almarhum sahabat kita Tua Gila. Mudahmudahan dia di-
berikan tempat yang paling baik oleh Yang Maha Kuasa.”
Ramadi mengangguk. Kedua orang tua itu lalu mem-
baca berbagai surat suci dan memanjatkan doa panjang
bag! Tua Gila. Menjelang dini hari baru mereka selesai.
Ramadi Watampone memandang pada sang Kiyai lalu ber-
tanya apa yang akan mereka lakukan sekarang.
“Sesudah menengok makam Tua Gila sebenarnya kita
bisa saja segera meninggalkan pulau ini. Tetapi tidak
pantas rasanya kalau kita tidak mengurusi jenazah kedua
orang ini…” berkata Kiyai Surah.
“Kalau begitu kita terpaksa menunggu sampai pagi.”
“Kita tidak punya peralatan cukup untuk menggali kubur
dan menanam jenazah mereka. Aku punya cara yang lebih
gampang. Kita memanggul masing-masing seorang dari
keduanya. Membawanya ke atas perahu. Lalu membuang-
nya di tengah lautan. Itu lebih balk dari pada meninggalkan
mereka membusuk atau dirusak binatang di tempat ini.”
Baru saja Kiyai Surah berkata begitu tiba-tiba dikejauh-
an terdengar suara raungan anjing, panjang meng-
gidikkan.
Kiyai Surah merapatkan kerah jubahnya. “Aneh… Di
pulau seperti ini ada anjing..:” katanya.
“Makin lama berada di pulau ini semakin tidak enak
perasaanku,” berucap Ramadi Watampone berterus-terang.
“Kita berangkat sekarang?”
Kiyai Surah mengangguk.
Kedua orang itu lalu membungkuk, untuk memanggul
masing-masing satu jenazah. Namun belum sempat
mereka menyentuh tubuh-tubuh tak bernyawa itu tiba-tiba
keduanya merasa ada seseorang bergerak di belakang
mereka.
Kiyai Surah dan Ramadi Watampone segera membalik.
Keduanya sama melengak kaget. Hanya delapan langkah
di hadapan mereka tegak sesosok tubuh tinggi besar.
Selain pakaian warna kuning yang dikenakannya, orang ini
juga bermantel hitam dalam sebatas lutut. Wajahnya ter-
lindung oleh kepekatan malam hingga tak bisa dikenali. Di
kepalanya bertengger sebuah topi tinggi
“Hati-hati… Mungkin sekali kita tengah berhadapan
dengan pembunuh kedua orang itu, Ramadi …” bisik Kiyai
Surah.
“Aku malah memastikan orang di depan kita ini pem-
bunuh kedua orang ini,” sahut Ramadi Watampone. Lalu
tangannya digeser ke letak dimana senjatanya terselip
yaitu sebilah badik berbadan dan bergagang emas.
Kiyai Surah Ungu melakukan hal yang sama. Berjaga-
jaga dengan mendekatkan tangan kanannya pada tombak
bermata dua yang tersisip di pinggangnya.
“Kalian mau bawa ke mana dua mayat itu?!” Tiba-tiba
sosok yang tegak di depan sana bertanya.
Suaranya garang dan keras.
“Kami bermaksud mengurus jenazah-jenazah ini. Mem-
buangnya di tengah laut,” menjawab Kiyai Surah.
“Kalian tidak akan sempat melakukan itu!” Orang tinggi
besar berkata.
“Kenapa tidak?!” tanya Ramadi Watampone.
“Karena kutuk telah jatuh terhadap siapa saja yang
menjejakkan kaki di pulau ini. terhadap siapa saja yang
Menziarahi makam Tua Gila! Dalam beberapa saat kalian
berdua akan menemui kematian seperti kedua orang itu!”
Terkejutlah Kiyal Surah dan Pendekar Badik Emas.
“Jadi kau yang membunuh kedua orang itu?!” tanya
Kiyai Surah puia. Tangannya telah memegang batang
tombak erat-erat.
“Kamu sudah tahu kenapa bertanya?!”
“Katakan siapa kau adanya!” tanya Ramadi.
“Kalian tak layak bertanya! Manusia-manusia sahabat
Tua Gila sudah kusumpah untuk mati di tempat inil Di
depan makam Tua Gila sendiri!”
“Kita tidak bersilang sengketa, mengapa menginginkan
jiwa kami?!” tanya Kiyai Surah.
Si tinggi tertawa pendek. “Kematian memang tidak
selalu disebabkan oleh silang sengketa. Tetapi Tua Gila
telah menanam bahala dan silang sengketa beberapa
tahun yang silam. Dan aku telah bersumpah siapa saja
sahabat Tua Gila yang muncul di sini akan kuhabisi nyawa-
nya. Termasuk kalian berdua!”
Sehabis berkata begitu orang tinggi besar itu melompat
ke depan. Kedua tangannya membuat gerakan aneh dan
menimbulkan angin deras. Kedua kakinya yang melompat
menimbulkan getaran sewaktu menjejak di tanah.
Kiyai Surah dan Ramadi yang sejak tadi memang sudah
berjaga-jaga cepat menghindar ke samping. Dari kiri kanan
mereka lalu balas menyerang.
Tapi angin yang menyambar dari kedua tangan orang
tinggi besar itu membuat dua orang tua ini terhuyung-
huyung.
Pendekar Badik Emas dan Kiyai Surah Ungu serta merta
kerahkan seluruh tenaga dalam yang mereka miliki lalu
menghantam secara bersamaan.
Orang yang diserang jadi terkejut juga. Dari mulutnya
keluar suara seperti menggereng. Kernbali kedua tangan-
nya bergerak untuk menangkis serangan kedua lawannya.
Bukkk!
Bukkk!
Terdengar dua kali suara bergedebuk begitu tangan
masing-masing beradu keras. Kiyai Surah Ungu terpental
empat langkah. Lengannya seperti dihantam potongan
besi. Paras sang Kiyai berubah pucat. Pendekar Badik
Emas mengalami hal yang sama. Tubuhnya mencelat tiga
langkah dan dari mulutnya terdengar seruan kesakitan.
Si tinggi besar tertawa bergelak.
“Aku senang melihat manusia-manusia seperti kalian.
Walau ilmu kepandaian cuma sejengkal tapi berani me-
nantang!”
Bukan main panasnya hati Kiayi Surah Ungu dan
Pendekar Badik Emas. Mereka telah mendalami ilmu silat,
tenaga dalam bahkan kesaktian selama bertahun-tahun.
Dalam dunia persilatan mereka dihormati dan menjadi dua
tokoh yang disegani. Kini seorang tak dikenal enak saja
mengejek kepandaian mereka!
“Manusia sombong! Lekas beri tahu siapa kau sebenar-
nya?!” membentak Ramadi Watampone alias Pendekar
Badik Emas.
Yang dibentak malah tertawa.
“Bukankah kau manusianya yang bergelar Pendekar
Badik Emas dan kawanmu itu Si Pangeran Tanpa
Mahkota?”
Kiyai Surah Ungu dan Ramadi Watampone sama-sama
terkesiap mendengar kata-kata itu. Dan si tinggi besar me-
lanjutkan kata-katanya.
“Memandang nama besar kalian, aku memberi ke-
longgaran memperpanjang sedikit seat kematian kalian.
Kalian berdua kupersilahkan mengeluarkan senjata
masing-masing. Perlihatkan Tombak Dwi Sula-mu Kiyai
Surah Ungu. Dan kau Pendekar Badik Emas, bukankah kau
datang dari jauh? Sangat sayang kalau aku sampai tidak
melihat senjata mustikamu. Tunjukkan padaku kehebatan
badik emasmu!”
Dua orang tua kembali terkesiap karena orang yang
tidak mereka kenal itu ternyata tahu banyak tentang diri
mereka, termasuk senjata-senjata yang mereka miliki.
Namun merasa diejek dan dianggap remeh bahkan
ditantang maka baik Kiyai Surah maupun Pendekar Badik
Emas ini tidak merasa sungkan lagi.
Keduanya keluarkan senjata masing-masing. Sesaat
kemudian sebilah badik emas sudah tergenggam di tangan
Ramadi Watampone yang bergelar Pendekar Badik Emas
sedang sebatang tombak bermata dua tampak menyilang
di depan dada Kiayi Surah Ungu yang dijuluki Pangeran
Tanpa Mahkota.
“Bagus…! Kalian boleh maju berbarengan!”
Dua orang tua itu menunggu sesaat. Ketika si tinggi
besar tidak tampak mengeluarkan senjatanya maka kedua
orang itupun serta merta menyerbu. Badik emas berkiblat
menaburkan sinar kekuning-kuningan dalam kegelapan
malam. Tombak Dwi Sula menderu mencari sasaran di
tenggorokan lawan.
Serangan dua tokoh silat kelas tinggi itu bukan
serangan main-main. Siapapun lawan pastilah nyawanya
akan sangat terancam jika diserang demikian rupa. Tapi
lagi-lagi si tinggi besar keluarkan suara tertawa. Lalu dia
gerakkan tangannya kiri kanan.
Dua benda hitam sebesar ujung jari kelingking ber-
bentuk bulat melesat dalam kegelapan malam. Baik Kiyai
Surah Ungu maupun Ramadi Watampone hanya men-
dengar suara berdesing tapi tidak melihat bendanya.
Ketika mereka kemudian menyadari ada benda yang
melesat ke arah mereka, Kiyai Surah sapukan tombak ber-
mata duanya ke atas. Ramadi Watampone babatkan badik-
nya di udara. Namun gerakan kedua orang ini sudah
sangat terlambat.
Di lain kejap terdengar jeritan mereka merobek
kegelapan malam hampir bersamaan.
Tubuh kedua jago tua ini terkapar di tanah di hadapan
dua buah makam. Satu di belakang makam Tua Gila,
satunya di belakang makam tanpa nisan! Keduanya
menemui ajal dengan mata membeliak!
Di kening masing-masing tampak sebuah lubang
mengerikan sebesar ujung ibu jari tangan. Dari lubang ini
mengalir keluar darah yang segera saja membasahi wajah
dan mata mereka!
Begitu kedua orang itu meregang nyawa sosok tinggi
tadi menyelinap dan lenyap di celah antara batu karang
dan batu cadasl Tak lama kemudian dikejauhan kembali
ter-dengar suara panjang lolongan anjing.
Angin malam bertiup tambah keras dan tambah dingin.
Ombak di pantai pulau berdebar semakin keras.
***
WIRO SABLENG
3 MAKAM TANPA NISAN
UNCAK Gunung Singgalang disaput awan kelabu
sejak pagi. Semakin lama awan kelabu ini semakin
tebal dan akhirnya membuat suasana mendung
menutupi daerah luas sekitar gunung. Namun sampai
siang hujan tak kunjung turun.
Di lereng barat Gunung Singgalang, seorang tua duduk
termenung di ruang depan rumah kayu berkolong tinggi. Di
halaman seorang lelaki tengah asyik membakar seekor
ikan besar sambil menyanyi dan sekali-kali melirik ke arah
orang tua di atas rumah. Bau sedap ikan panggang ini
menebar kemana-mana.
Orang yang membakar ikan untuk kesekian kalinya me-
mandang ke arah orang tua di atas rumah. Dalam hatinya
dia berkata, “Kasihan orang tua Itu. Sulit diduga sudah
berapa tahun uslanya. Kelihatannya dia sudah pasrah
untuk meninggalkan dunia. Tapi Yang Kuasa masih belum
Jugs mengutus mataikat maut…”
Bagi orang yang baru pertama kali melihat orang tua di
atas rumah, mungkin bisa serasa terbang nyawanya oleh
rasa takut. Tapi si pembakar ikan yang sudah bertahun-
tahun tinggal bersamanya menjadi kawan dan pembantu,
tidak lagi merasa ngeri melihat wajah itu.
Wajah dan keadaan tubuh orang tua tersebut memang
menyeramkan untuk dipandang. Mukanya pucat berkerut
dan sangat cekung. Kedua matanya hanya merupakan
sepasang rongga besar yang menggidikan. Salah satu
telinganya sumplung. Dimulutnya tak sepotong gigipun
P
bersisa. Kedua tangannya kiri kanan buntung sebatas per-
gelangan.
“Saringgih….” tiba-tiba terdengar suara orang tua itu.
Halus melengking.
“Ambo Nyanyuk…” menyahuti lelaki yang membakar
Man. Dia berhenti mengipas bara api pemanggang ikan.
“Akan lamakah pekerjaanmu itu selesai?”
“Ah, Nyanyuk sudah lapar sekali rupanya!” Orang tua
bermata seperti setan gelengkan kepala.
“Aku belum ingin makan Saringgih. Ada sesuatu yang
aku pikirkan.”
“Ah, pantas sejak tadi ambo lihat Nyanyuk duduk
termenung- menung:
“Aku merasa kita harus segera meninggalkan Gunung
Singgalang ini.”
Singgih tercenung mendengar ucapan orang tua itu.
Kipas bambu diletakkannya di tanah lalu die melangkah ke
dekat tangga. “Angan-angan apa yang ada di pikiran
Nyanyuk?”
“Nyanyuk Amber tidak pernah berangan-angan. Aku
mendapat firasat yang tidak enak. Juga ada isyarat mimpi
yang kuterima malam tadi…” Jawab orang tua itu
sementara angin meniup-niup rambutnya yang putih
jarang.
“Kalau begitu ceritakanlah pada ambo mimpi Nyanyuk
itu,” kata Saringgih lalu menaiki tangga dan duduk di
hadapan orang tua bernama Nyanyuk Amber.
“Malam tadi aku mimpi melihat udara hitam kelam di
pantai pulau ini. Paginya ketika aku terjaga entah mengapa
aku tiba-tiba saja teringat pada seorang sahabat lama yang
tinggal di sebuah pulau di barat Andalas. Aku berpikir,
jangan-jangan ada sesuatu terjadi atas dirinya. Usianya
lebih tua dariku. Sudah sakit-sakitan. Sejak beberapa
tahun berselang aku tidak pernah mendengar kabar berita-
nya. Kau sendiri sudah beberapa lama tidak pernah turun
gunung untuk menyirap kabar dan segala kejadian yang
ada di luaran. Aku khawatir kalau-kalau sesuatu terjadi
atas dirinya…”
“Jalan pikiran Nyanyuk selama ini biasanya tidak pernah
meleset,” kata Saringgih. “Jadi akan berangkatkah kita hari
ini, Nyanyuk?”
“Tidak… Tidak hari ini Saringgih, Tapi sekarang!”
“Sekarang Nyanyuk? Ah, kenapa secepat itu?”
“Kau tahu perjsianan ke sana sangat jauh. Kau harus
membawaku melalul perjalanan darat paling tidak selama
dua hari: Lalu mengarungi laut hari. Kalau keberangkatan
ditunda-tunda, kapan akan sampainya di sana Saringgih?’
“Kalau begitu Nyanyuk bilang, ambo hanya mengikut
saja. Tapi biar saya selesaikan panggangan ikan Itu. Kita
makan dulu baru berangkat. Begitu kan Nyanyuk?”
“Tidak, tidak begitu Saringgih. Ikan bakarmu sudah
cukup matang. Bungkus dan kita makan di perjalanan…”
Saringgih ternganga, garuk-garuk kepala namun akhir-
nya hanya bisa mengangkat bahu.
“Selesal kau membungkus ikan itu, siapkan jubah
hitamku Saringgih,” terdengar Nyanyuk Amber berkata.
“Jubah hitam katamu Nyanyuk?”
“Kau sudah dengar dan aku tidak perlu mengatakannya
sampai dua kaIi!”
“Agaknya kita akan menghadapi urusan besar lagi kali
ini Nyanyuk?” tanya Saringgih.
“Betul. Urusan besar. Mungkin sangat besar dalam
hidupku. Karenanya kau juga kupinta menyiapkan diri
dengan kerismu yang bernama Pusaka Dewa itu…”
“Balk Nyanyuk, saya akan membungkus ikan bakar itu.
Menyiapkan baju hitammu dan membekal keris Pusako
Dewa.” Lalu Saringgih bergegas menuruni tangga. Dengan
selembar daun pisang dibungkusnya ikan besar yang
barusan dibakarnya.
Lalu dia naik atas rumah, masuk ke dalam kamarnya
untuk mengambil sebilah keris. Setelah Itu dia masuk ke
dalam kamar Tdyanyuk Amber dan mengambil sehelai baju
hitam lengan panjang terbuat dari kain sangat tebai. Baju
yang berupa jubah pendekar ini dikenakannya ke tubuh
Nyanyuk Amber.
Pada bagian bahu kiri kanan baju hitam ini terdapat se-
buah saku. Dan pada masing-masing saku tersisip selusin
senjata berbentuk anak panah kecil sepanjang seterrgah
jengkal, terbuat dari perak putih.
“Kau sudah siap Saringgih?”
“Siap Nyanyuk?”
“Tak ada yang ketinggalan?”
Saringgih berpikir sejenak lalu menjawab. “Rasanya
tidak ada Nyanyuk.”
“Bagus kalau begitu. Jangan lupa ikan bakarmu. Bisa-
bisa kita kelaparan di tengah jalan.”
Saringgih mengangguk lalu jongkok di hadapan orang
tua yang sejak tadi duduk saja di lantai. Ketika si pem-
bantu ini mendukung Nyanyuk Amber di punggungnya
kelihatanlah kini keadaan tubuhnya di sebelah sepasang
tangan buntung tetapi kedua kakinyapun juga bunting!
Siapakah sebenarnya orang tua yang memiliki banyak
cacat ini?
Nyanyuk Amber adalah salah satu dari beberapa tokoh
silat tingkat tinggi yang paling disegani di pulau Andalas.
Dia memiliki seorang murid yang kemudian dijuluki Raja
Rencong Dari Utara. Celakanya sang murid tergoda oleh
nafsu hendak menguasai dunia persilatan. Cara yang
ditempuhnya adalah sesat dan keji yaitu mengundang
semua tokoh persilatan di pulau Andalas untuk datang ke
tempat kediamannya, lalu membunuh mereka secara
masal!
Sebagaf seorang guru tentu saja Nyanyuk Amber meng-
halangi maksud jahat muridnya itu. Ternyata kesetanan
Raja Rencong sudah sedemikian jauhnya sehingga dia
kemudlan tega membuat buta kedua mata Nyanyuk Amber,
memotong tangan dan kaki orang tua itu. Meskipun dalam
usia tua dan tidak berdaya seperti itu, namun kemudian
Nyanyuk Amber bersama-sama Pendekar 212 Wiro
Sableng berhasil menumpas dan menamatkan riwayat Raja
Rencong Dad Utara. (Baca serial Wiro Sableng berjudul
Raja Rencong Dari Utara).
Setelah dua hari menempuh perjalanan darat akhirnya
Saringgih dan Nyanyuk Amber sampai di pantal barat pulau
Andalas. Saringgih segera mencarl perahu yang bisa meng-
angkut mereka ke tempat tujuan yaitu sebuah pulau tak
jauh dari pesisir barat. Tapi ternyata tak ada seorang
pemilik perahupun yang mau mengantarkan mereka.
“Aneh!” kata Nyanyuk Amber. “Apakah mereka takut
melihat tampangku atau mungkin pemilik perahu itu sudah
kebanyakan uang sehingga tak mau lagi bekerja. Saringgih,
kau tahu mengapa mereka tidak mau mengantarkan kita
ke pulau?”
“Mereka tidak mau mengatakan, Nyanyuk. Tapi dari
gelagat ambo kira orang-orang itu merasa kawatir…” jawab
Saringgih.
“Apa yang mereka kawatirkan? Temui salah seorang
dari mereka. Katakan kita akan membayar dua kali lipat.”
“Ambo justru menjanjikan bayaran tiga kali lipat
Nyanyuk. Tapi semua mereka tetap menggeleng.”
“Kalau begitu kita sewa perahu saja dan. Kau terpaksa
jadi tukang kayuh,”
“Ambo tak keberatan Nyanyuk. Cuma disewapun
mereka tidak mau!”
“Kapuyuak!” mengomel Nyanyuk Amber. “Apa pun
alasan mereka kali ini?”
“Salah seorang memberitahu, ada empat kawan mereka
yang telah menyewakan perahu. Tujuan para penyewa itu
sama dengan tujuan kita yaitu ke pulau. Tapi sampal hari
ini keempat penyewa itu tak pernah kembali. Perahu
mereka itu lenyap! Orangorang di pantai menduga keras
ada malapetaka yang telah menimpa keempat penyewa
perahu itu!”
Nyanyuk Amber yang didudukkan Saringgih di bawah se-
batang pohon tampak termenung sambil mengusap-usap
dagunya yang ditumbuhi janggut tipis putih.
“Mereka tak mau mengantar, Mereka juga tak mau kita
sewa perahu mereka. Sudah, kalau begitu kita beli saja
satu! Habis perkaral Bukankah kau cukup membawa uang,
Saringgih?”
“Kira-kira begitu. Tapi seandainya tidak cukup bagai-
mana Nyanyuk?”
“Mudah saja! Gadaikan keris Pusako Dewa milikmu!”
sahut Nyanyuk Amber.
“Apa…? Ini bukan senjata sembarangan Nyanyuk. Tapi
senjata pusaka tujuh turunan. Dan Nyanyuk sendiri sudah
ikut menambahkan tuahnya!”
“Kita dalam kesulitan Saringgih. Kau boleh pilih. Gadai-
kan keris itu atau kau gadaikan kepalamu…” habis berkata
begitu Nysnyuk Amber tertawa terkekeh-kekeh hingga
kelihatan gusinya yang tidak bergigi sama sekali.
Saringgih geleng-geleng kepala. Dia menggaruk seluruh
saku pakaiannya, mengambii semua uang yang dibawanya
Ialu menghitung.
“Mudah-mudahan uang ini cukup. Dari pada menggadai-
kan keris atau kepala! Bagusnya si tua ini saja yang di-
gadaikan! Tapi… siapa pula yang mau menerima kepala
setan itu…!” kata Saringgih mengomel sendirian.
“Kepala si tua siapa yang kau maksudkan itu
Saringgih?” Rupanya ucapan pembantunya tadi terdengar
oleh Nyanyuk Amber.
“Ah, tidak. Anu Nyanyuk. Bukan kepala siapa-siapa. Tapi
kepala ambo yang dibawa…” jawab Saringgih lalu cepat-
cepat meninggalkan tempat itu sambil tersenyum-senyum.
***
WIRO SABLENG
4 MAKAM TANPA NISAN
enjelang matahari tenggelam perahu yang di-
dayung Saringgih sampal di pulau tujuan. Di
bagian air lout yang dangkal pembantu itu
melompat turun lalu mendorong perahu ke pasir pantai.
“Kita sudah sampai Nyanyuk… ”
“Aku tahu. Apa yang kau lihat sekitar tempat ini,
Saringgih?”
Si pembantu memandang berkeliling. “Laut, pantai,
sang surya yang hendak tenggelam, pepohonan, batu-batu
karang…”
“Hanya itu…?!” ujar Nyanyuk Amber. “Kedua mataku
tidak melihat karena buta. Tapi kau tidak melihat sesuatu
yang penting dan kau tidak buta! Jangan tolol Saringgih!
Buka matamu lebar-lebar!”
Saringgih memandang lagi berkeliling. “Ah, orang tua ini
memang benar, mengapa aku sampai tidak melihatnya
tadi,” kata pembantu itu dalam hati. “Saya memang melihat
sesuatu Nyanyuk. Ada tiga… Tidak… Bukan tiga tapi ada
empat buah perahu kecil jauh di sebelah sana…”
Nyanyuk Amber usap-usap dagunya. “Ada empat perahu
di pantai sini. Berarti keempat penyewa perahu itu
memang telah sampal di sini. Tapi tak pernah kembali ke
pulau besar. Mereka raib secara aneh.”
“Kita perlu berhati-hati Nyanyuk…”
“Betul. Karena itu buka matamu lebar-lebar. Apakah
kau ada melihat jejak-jejak kaki di pasir pantai?”
“Tak dapat saya pastikan Nyanyuk. Kita harus me-
M
nyelidiki ke dekat empat perahu itu…”
“Dukung aku ke sana!”
Saringgih lalu mendukung Nyanyuk Amber di punggung-
nya melangkah ke tempat empat perahu yang berada di
tempat pasir pulau.
“Nah sekarang katakan apa yang kau lihat!”
“Ada empat perahu di bagian pulau ini, Nyanyuk. Yang
dua di depan kita, dua lainnya tak jauh di sebelah sana.”
“Berarti, dua perahu yang pertama datang bersamaan.
Dua perahu lainnya berbeda waktu… Apa lagi Saringgih?”
“Di atas pasir memang kelihatan ada legukan-legukan.
Tapi tidak begitu jelas apakah bekas jejak manusia atau
jejak kaki binatang…”
Nyanyuk Amber mengangguk. Dia mendongak ke langit
beberapa saat. Hidungnya menghirup udara laut dalam-
dalam. Tercium udara yang mengandung garam. Namun
indera yang tajam dari orang tua ini juga membaui sesuatu.
Dia berpaling ke deretan pohon-pohon lalu barkata, “Kita
masuk ke dalam pulau Saringgih. Melangkah saja lurus-
lurus ke depan. Jangan membelok. Jangan berhenti
sebelum aku memberi tanda…”
“Tidakkah sebaiknya kita makan dulu di sini Nyanyuk?
Persediaan makanan kita masih banyak…”
“Pikiranmu tidak lain ke perut saja Saringgih. Dasar
gadang lambuang! kau boleh makan sambil mendukung-
ku!” kata Nyanyuk Amber pula.
Makin jauh mereka masuk ke dalam pulau kecil itu
semakin berkurang kencangnya tiupan angin laut. Udara
pun tidak mengandung garam lagi. Namun ada sesuatu
yang mencucuk liang hidung dan rongga pernafasan kedua
orang itu.
“Kau mencium bau sesuatu Saringgih?” bertanya
Nyanyuk Amber.
“Betul Nyanyuk. Bau busuk… ” jawab si pembantu. Saat
itu sebenarnya dia sudah keletihan mendukung orang tua
itu di punggungnya tapi dia tak berani mengatakan.
“Bau busuk yang berasal dari apa menurutmu Saring-
gih?” bertanya lagi Nyanyuk Amber.
“Sulit diterka, Nyanyuk. Mungkin itu berasal dari bang-
kai binatang…”
“Kau betul,” berkata Nyanyuk Amber. “Itu memang bau
bangkai binatang. Binatang berkaki dua!”
“Maksud Nyanyuk…?”
“Maksudku adalah bau bangkai manusia! Kau tahu,
bangkai manusia adalah yang paling busuk dari segala
bangkai yang ada di dunia ini!”
Saringgih hentikan langkahnya.
“Jangan-jangan itu adalah bangkai orang-orang yang
menyewa perahu…”
“Kukira begitu. Jalan terus Saringgih. Kita akan segera
melihat sesuatu. Agaknya hari mulai gelap. Buka matamu
lebar-lebar. Jangan sampai terserandung. Aku tak mau ter-
sungkur ke tanah karena ketololanmu!”
Saringgih melangkah terus sambil mendukung si orang
tua di punggungnya. Dia melewati sebuah mata air jernih
dan sejuk. Tenggorokannya yang kering membuat dia ingin
sekali berhenti sebentar, meneguk air membasahi
rangkungan dan juga membasahi mukanya yang saat itu
terasa tebal akibat seharian penuh disapu angin laut.
“Jalan terus Saringgih! Kalau aku tidak bilang berhenti,
jangan berani berhenti!”
Terdengar suara Nyanyuk Amber dekat telinga Saring-
gih. Pembantu ini diam-diam mengomel dalam hati. “Orang
tua ini seperti bisa membaca apa yang ada dalam benak-
ku!”
Melanjutkan perjalanan di sela-sela pepohonan dan
semak belukar sekitar seratus langkah lebih di mana bau
busuk tercium semakin santar sementara keadaan tambah
gelap, mendadak sontak Saringgih hentikan langkahnya.
Orang tua yang dipunggungnya hampir terlepas dari
pegangannya.
“Saringgih! Kau berhenti melangkah tanpa perintahku!
Dadamu berdebar keras. Kedua lututmu terasa goyah.
Kudukmu terasa dingin. Apa yang kau lihat di depan
matamu?!” Nyanyuk Amber cepat ajukan pertanyaan.
Saat itu memang Saringgih merasakan jantungnya ber-
debar keras, sepasang lutut goyah dan tengkuk, merinding
dingin sedang sepasang matanya membeliak kasar. Dia
hendak menjawab namun sesaat lidahnya terasa kelu.
“Cepat katakan apa yang kau lihat Saringgih!
Keselamatan kita di tempat asing ini banyak tergantung
dari cepat lambatnya kau memberi tahu aku!”
“Nyanyuk… di depan kita ada lapangan kecil…”
“Kantuik! Persetan dengan tanah lapang itu! Pasti ada
hal lain yang lebih penting dari tanah lapang sialan itu!”
“Kau… kau benar Nyanyuk. Di ujung lapangan ada dua
buah kuburan. Satu pakai batu nisan hitam, satunya tidak.
Tapi… di samping kiri dan kanan kedua makam itu ada
masing-masing lima tiang kayu. Pada empat tiang, dua di
kiri dua di kanan terikat sesosok mayat. Rusak, busuk,
mulai berbelatungan…”
“Ada yang kau kenali diantara keempat mayat itu?”
“Sulit Nyanyuk. Wajah mereka tertutup darah mengering
dan sudah sangat rusak..:”
“Melangkah lebih dekat. Perhatikan apa yang me-
nyebabkan kematian mereka. Diracun, ditusuk senjata
tajam atau terkena pukulan sakti…”
Sambil mendukung Nyanyuk Amber, Saringgih me-
langkah lebih dekat ke arah kedua makam. Dibukanya
matanya besar-besar. Selain sulit untuk meneliti sebab
kematian keempat orang diikat tegak ketiang kayu itu, juga
saat itu hari bertambah gelap.
“Keempat orang ini agaknya menemui kematian dalam
cara yang sama Nyanyuk. Muka mereka bersimbah
darah…”
“Berarti sebab musabab kematian ada pada bagian
kepala. Ayo kau perhatikan lagi lebih teliti…”
Untuk bisa melihat lebih jelas terpaksa Saringgih maju
lagi dua langkah padahal saat itu perutnya sudah mau
meledak muntah dan hidungnya tak sanggup lagi didera
bau busuk yang luar biasa.
“Nyanyuk… Ambo melihat ada lobang kecil sebesar
ujung jari pada setiap kening mayat…” kata Saringgih
ketika pada akhirnya dia melihat lobang-lobang aneh
dalam ukuran dan bentuk yang bersamaan pada kening
masing-masing mayat!
“Bagus Saringgih. Sekarang coba kau perhatikan ciri-ciri
keempat orang itu, termasuk pakaiannya lalu katakan
padaku. Siapa tahu aku bisa menduga siapa-siapa mereka
yang menemui ajal secara aneh di pulau ini!”
“Sulit diberi tahu Nyanyuk. Soalnya keempat mayat
sudah sangat rusak. Pakaian merekapun sudah tidak
karuan lagi. Tapi, ambo melihat ada tiga buah senjata ter-
geletak di tanah. Kelihatannya bukan senjata-senjata
sembarangan.”
“Coba kau ceritakan senjata apa yang kau lihat itu!”
“Yang di sebelah kanan terletak di depan kaki mayat,
berupa sebuah tombak pendek bermata dua…”
menerangkan Saringgih.
“Tongkat pendek bermata dua… Hemmmmmm.” ber-
guman Nyanyuk Amber. “Bagian bawah tempat pegangan-
nya dilapisi kulit…”
“Betul Nyanyuk…”
“Itu adalah Tombak Dwi Sula dari Banten! Berarti mayat
di depan senjata ini adalah mayat Kiyai Surah Ungu!
Seorang Pangeran Banten yang menyingkir dari keraton!”
Nyanyuk Amber terdiam sesaat lalu, “Ceritakan tentang
senjata yang kedua…” katanya.
“Sebilah badik Nyanyuk. Berwarna kuning legam.
Mungkin terbuat dari emas…”
“Kuning sampai ke hulunya?” tanya Nyanyuk Amber.
Ketika Saringgih membenarkan, wajah tua cekung itu
nampak menjadi kelam. “Pendekar Badik Emas dari Bugis
ternyata telah jadi korban pula,” kata si orang tua perlahan.
“Lalu apa senjata yang ke tiga Saringgih?”
“Sebilah keris bergagang gading…”
“Hemm… Tak bisa kuduga siapa pemiliknya. Tapi
senjata ini biasanya merupakan senjata andalan orang-
orang penting Istana Gading di pesisir selatan! Sulit diduga
apa sebenarnya yang terjadi di pulau ini. Saringgih, tadi
kau bilang ada dua makam di ujung lapangan.”
“Benar Nyanyuk…”
“Satu ada batu nisan hitam. Satunya tanpa nisan…”
“Betul Nyanyuk.”
“Apa yang tertulis pada makam yang ada batu nisan-
nya?” bertanya lagi Nyanyuk Amber.
Saringgih majukan kepalanya sedikit untuk dapat mem-
baca guratan pada batu nisan. “Disini hanya tertulis Tua
Gila. Tak ada tulisan lain …”
“Ada… bagiku itu sudah cukup. Ternyata benar telah ter-
jadi sesuatu atas diri sabahatku. Tua Gila aku tidak
menyangka kau bakal mendahuluiku…” Untuk beberapa
lamanya Nyanyuk Amber termenung larut dalam kesedih-
an.
“Tak ada tanda-tanda pada makam yang katamu tidak
bernisan itu, Saringgih?” Si orang tua kemudian ajukan per-
tanyaan.
“Sama sekali tidak ada. Namun seperti kuburannya Tua
Gila, kubur satu inipun tanahnya masih merah…”
“Aneh. Siapa yang dikubur disamping kuburnya Tua
Gila? Istrinya…? Setahuku dia tidak beristri! Muridnya?
Hemmm…? Aku memang pernah mendengar Tua Gila
mengambil seorang murid. Tapi masih sangat kecil. Paling
tidak usia muridnya itu baru sekitar enam tahun. Lalu di
mana anak itu? Di dalam kubur yang satu ini…? Saringgih,
kubur tanpa nisan itu apakah sama besar dengan makam
Tua Gila? Atau lebih kecil?”
“Sama besar Nyanyuk…” sahut Saringgih.
“Berarti ini makam orang gede! Ah, sulit kuduga siapa
yang dikubur disini…” kata Nyanyuk Amber lalu setelah
diam sesaat orang tua ini berkata.
“Saringgih kau ambil obat pelawan bau pusuk yang ada
dalam saku baju celanaku sebelah kanan. Teteskan cairan
yang ada di dalamnya ke kaki setiap mayat. Setelah itu
kembalikan obat itu padaku…”
Si pembantu merogoh saku kanan Nyanyuk Amber. Di
saku ini ditemuinya sebuah botol kecil. Botol ini berisi
cairan berwarna coklat.
“Kau pergi teteskan obat itu. Tapi lebih dahulu
dudukkan aku di depan makam Tua Gila. Aku ingin
mengheningkan cipta dan berdoa…”
“Nyanyuk terus terang sejak menginjakkan kaki di pulau
ini hatiku merasa tidak enak. Begitu selesai Nyanyuk
berdoa sebaiknya lekas-lekas saja kita tinggalkan tempat
ini.”
Nyanyuk Amber tidak berkata apa-apa. Saringgih me-
nundukkan mukanya di depan makam Tua Gila lalu
melangkah mendekati mayat- mayat yang diikat di tiang.
Dengan tengkuk merinding ketakutan setengah mati dan
sambil menekap hidung pembantu ini teteskan cairan di
dalam botol masing-masing satu tetes ke setiap kaki mayat
yang membusuk itu.
Begitu cairan menyentuh kaki mayat, terdengar
letupan…. Lalu mengepul asap coklat yang perlahan-lahan
naik ke atas menutupi sosok mayat. Sesaat kemudian asap
itu menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Bersamaan
dengan lenyapnya asap coklat, bau busuk yang mengham-
par di tempat itupun sirna perlahan-lahan.
“Obat aneh…” kata Saringgih dalam hati sambil
menutup botol kecil itu kembaii. Pembantu ini tahu bahwa
walaupun mempunyai daya pemusnah bau busuk yang
ampuh namun kekuatan obat itu hanya mampu bertahan
selama satu hari satu malam. Setelah itu bau busuk pasti
akan muncul kembali.
Setelah pembantunya memasukkan botol obat kembali
itu dalam saku celananya, Nyanyuk Amber mulai berdoa
untuk arwah Tua Gila. Dalam berdoa seperti itu dia tiba-tiba
mencium bau sesuatu. Bau asap rokok. Meskipun hatinya
kini menjadi tidak tenang namun orang tua ini meneruskan
juga membaca doa sampai selesai. Begitu selesai dia ber-
tanya. “Saringgih…! Aku tahu kau tidak merokok. Tetapi
aneh, aku mencium bau asap di tempat ini…”
“Ambo juga menciumnya Nyanyuk,” menyahuti si pem-
bantu sambil memandang berkeliling.
Tengkuknya terasa lebih dingin.
“Aku merasa ada mahluk bernafas disekitar tempat ini.”
kata Nyanyuk Amber yang membuat Saringgih tambah me-
rinding. “Aku juga mendengar ada suara ketukarr-ketukan
sangat halus. Seolah-olah datang dari perut pulau…”
“Nyanyuk, bukankah lebih baik kita segera pergi saja
dari sini?” kata Saringgih pula.
“Diam Saringgih… Aku mendengar ada suara sesuatu di
kejauhan… Seperti suara langkahlangkah kaki!”
Tiba-tiba kedua orang itu sama-sama tercekat. Saring-
gih malah sampai tersentak saking kagetnya. Suara
raungan anjing memecah kesunyian. Panjang dan meng-
gidikkan.
“Suara anjing di pulau sekecil ini. Sungguh aneh…” kata
Nyanyuk Amber seraya memutar kepalanya ke kiri dan ke
kanan.
“Nyanyuk…” kata Saringgih dengan suara bergetar.
“Ambo bisa kencing di celana kalau masih terus berada di
tempat ini…”
“Kita akan segera pergi. Tapi tunggu sampai aku me-
mastikan bahwa yang kudengar sebelum raungan anjing
tadi adalah benar-benar suara kaki manusia…”
Kalau saja bukan orang tua itu yang harus dijaga dan
diikuti ucapannya mungkin saat itu Saringgih sudah me-
lompat dan lari meninggalkan tempat itu.
“Tak ada suara apa-apa Nyanyuk. Pastilah…! Mungkin
suara desau angin laut atau gemerisik pepohonan yang
tadi kau dengar… Bukan suara langkah kaki…”
“Aneh, aku seperti yakin itu adalah suara langkah kaki.
Telapaknya bergerak sangat perlahan. Disengaja agar di-
miringkan. Telinganya dipasang baik-baik.”
Saringgih kembali memandang berkeliling. Pertama
sekali ke arah pepohonan dan semak belukar dari jurusan
mana tadi mereka datang. Tak kelihatan apa-apa. Lalu
pembantu ini mengalihkan pandangannya ke arah batu-
batu cadas hitam dan batu-batu karang tinggi yang mem-
bentuk dinding setengah lingkaran di sebelah kiri. Tepat
ketika dia memandang di sebuah celah antara dua batu
karang tinggi mendadak dia melihat bayangan hitam besar
bergerak.
“Nyanyuk…” suara pembantu flu tersendat dan tercekat.
“Ada apa Saringgih?”
“Ambo melihat sesuatu. Ada sosok bayangan besar di
celah batu karang di kiri kita ….”
“Itu bayangan batu-batu karang saja agaknya Saringglh.
Kenapa kau musti merasa takut?”
“Tidak Nyanyuk. Bayangan batu pasti diam. Tapi
bayangan yang saya lihat bergerak perlahan-lahan!
Nyanyuk! Ada orang tinggi besar melangkah keluar dari
celah batu karang!” seru Saringgih dengan muka pucat.
***
WIRO SABLENG
5 MAKAM TANPA NISAN
yanyuk Amber meskipun terkejut mendengar
ucapan pembantunya itu namun tetap berlaku
tenang dan berkata. “Jangan takut. Tenang saja.
Lekas beri tahu aku ciri-ciri orang itu… Kalau dia memang
manusia, bukannya setan!”
Kedua mata Saringgih terpentang lebar kearah celah
batu karang. Bayangan besar pada batu bergerak terus.
Perlahan tapi pasti. Lalu bayangan itu lenyap dan kini
sebagal gantinya muncul sesosok tubuh tinggi besar. Orang
ini berewokan, mengenakan baju kuning serta sehelai
mantel panjang berwarna hitam. Di kepalanya ada sebuah
topi tinggi.
“Apa yang kau lihat Saringgih… Lekas katakan padaku!”
desis Nyanyuk Amber. Dengan suara tersendat-sendat
pembantu itu segera mengatakan ciri-ciri orang tinggi besar
yang melangkah mendatangi itu. Dalam takutnya Saringgih
melangkah ke dekat Nyanyuk Amber. tiba-tiba sosok di
depan sana keluarkan suara membentak garang dan
keras.
“Jangan ada yang berani bergerak!”
Gerak langkah Saringgih tertahan.
“Si… siapa kau…?” Saringgih beranikan diri bertanya
walau suaranya gagap.
“Budak! Kau tak layak bertanya!” si tinggi besar mem-
bentak. Tujuh langkah dari hadapan makam dia berhenti.
Lalu dia berpaling pada Nyanyuk Amber yang masih duduk
bersila di kaki makam Tua Gita. “Kakek buta! Apakah kau
N
sudah selesai berdoa?!”
Ditanya sekasar itu Nyanyuk Amber batuk-batuk be-
berapa kali lalu balik bertanya, “Siapa tanya siapa?!”
“Kurang ajar! Aku tuan rumah di pulau ini! Aku yang
layak bertanya!”
“Hemm, aku tidak tahu kalau kau tuan rumah di pulau
ini. Setahuku sahabatku Tua Gila yang tinggal di sini…”
“Jadi… Tua Gila sahabatmu, hah? Apakah kacungmu ini
tidak mengatakan bahwa di sini ada makam Tuan Gila yang
menyatakan bahwa sahabatmu itu sudah mampus dan
dikubur?!”
Nyanyuk Amber sunggingkan senyum. “Sebagai tuan
rumah rupanya kau tidak pandai bicara sopan dan lunak…”
“Pertu apa bicara dengan manusia-manusia yang
sebentar lagi akan jadi bangkai!” sentak si tinggi besar. Dia
bergerak maju satu langkah.
Nyanyuk Amber tertawa mengekeh. Sebaliknya Saring-
gih menyumpah dalam hati. “Gila!! Dalam keadaan seperti
ini dia masih bisa tertawa seenaknya!”
“Semua manusia pasti akan jadi bangkai. Itu sudah
ketentuan Tuhan. Tapi bukan berarti manusia bisa
mendahului Tuhan, mencabut nyawa manusia sesamanya!
Cakapmu yang sombong menyatakan bahwa kaulah yang
telah membunuh keempat orang itu, lalu mayatnya kau ikat
di tiang!”
“Ha …ha…ha! Matamu buta tapi banyak melihat! Apakah
kau sadar kalau sebentar lagi jumlah mayat akan ber-
tambah menjadi enam? Kau dan kacungmu itu lalu akan
kuikat ke tiang-tiang kayu sana!”
“Bagus kau telah memberi tahu!” sahut Nyanyuk Amber
seenaknya. “Tua bangka sepertiku memang tidak berguna
lagi hidup di dunia. Tubuhku sudah karatan. Lalu apa yang
ditakutkan menemui kematian?!”
Mendengar ucapan Nyanyuk Amber itu kembali Saring-
gih menyumpah dalam hati. “Kau tidak takut mati! Tapi aku
masih kepingin hidup!”
“Kalau kau memang sudah siap untuk mati berarti aku
tidak terlalu susah payah membunuhmu!” kata orang tinggi
besar bertopi dan bermantel hitam.
“Tidak… Kau tidak akan susah membunuh tua bangka
sepertiku. Hanya saja sebelum mati aku kepingin tahu
mengapa kau menginginkan nyawaku? Juga nyawa ke-
empat orang yang kau bunuh terdahu!u!”
“Jawabnya mudah dan singkat! Kutuk telah jatuh bahwa
semua sahabat Tua Gila yang menginjakkan kakinya di
tempat ini akan menemui kematian! Mati di tanganku!”
“Ah… Kau ini malaikat maut jadi-jadian rupanya!” ujar
Nyanyuk Amber. “Tapi hari ini kau berhadapan dengan aku
raja diraja segala malaikat jadi-jadian! Lekas berlutut di
hadapanku, terangkan siapa dirimu. Minta ampun dan
bunuh diri!”
Merah padam wajah si tinggi besar bermantel hitam itu.
Tangan kanannya dipukulkan ke arah Nyanyuk Amber.
Serangkum angin menderu menghajar orang tua itu.
Saringgih berseru memberi ingat.
Orang tua bermata buta, bertangan dan berkaki
buntung itu gerakkan bahu kanannya. Gerakan ini
menyentakkan lengan panjang jubah yang dikenakannya.
Dari ujung lengan jubah itu melesat keluar satu gelombang
angin yang mengeluarkan suara bersiuran. Dua angin
dahsyat saling tabrak di udara.
Saringgih melihat bagaimana bentrokan angin pukulan
mengandung tenaga dalam tinggi itu membuat Nyanyuk
Amber terbanting jatuh punggung di tanah. Sebaliknya
orang bermantel hitam terjajar jauh ke belakang dan
tersandar ke dinding karang.
“Kurang ajar1 Tingkat tenaga dalam tua bangka buruk
itu tidak rendah. Kalau tidak segera kuhantam dengan
pukulan melumpuhkan, bisa-bisa aku mendapat celaka se-
belum menghabisi nyawanya!”
Orang ini lalu menanggalkan mantelnya. Saringgih yang
saat itu sudah melompat ke dekat Nyanyuk Amber segera
memberitahu apa yang dilihatnya.
“Saringgih, kau menjauhlah. Cari perlindungan di balik
pohon atau batu…”
“L.ebih baik Nyanyuk saya dukung dan larikan dari sini
saat ini juga!” kata Saringgih.
“Kalau kau mau selamat ikuti ucapanku!” si orang tua
membentak halus. Mendengar itu Saringgih tak berlaku
ayal lagi. Dia melompat ke balik sebuah pohon.
Tepat pada saat dia sampai dibaJik pohon, di depan
sana orang bertubuh tinggi besar kebutkan mantel
hitamnya. Terdengarnya suara menggemuruh laksana ads
tanah longsor. Bersamaan dengan itu satu gelombang
angin laksana hantaman topan menghampar ganas me-
nebar hawa panas. Batu pasir berhamburan. Semak
belukar rambas. Tanah bergetar dan daun-daun pepohon-
an jatuh luruh, batang dan cabang-cabangnya berderak-
derak!
Nyanyuk Amber berseru keras. Dia kerahkan tenaga
dalam penuh lalu goyangkan bahunya kiri kanan. Dua
gelombang angin melesat menyongsong gemuruh angin
lawan. Namun sambaran angin yang keluar dari mantel
hitam lawan ternyata lebih dahsyat, membuat orang tua
cacat ini tak bisa bertahan. Dengan tubuh mandi keringat
karena berusaha menahan serangan lawan akhirnya
Nyanyuk Amber terdorong lalu terseret mental beberapa
jauh.
Nyanyuk Amber kini dapat membaca keadaan.
Dia segera berteriak pada pembantunya.
“Saringgih! Lekas lari ke perahu!”
“Nyanyuk! Kau sendiri bagaimana… Ambo akan dukung
kau. Kita lari sama-sama!” kata pembantu yang setia itu.
Sambil berguling-guling si orang tua berteriak. “Lakukan
apa yang aku bilang! Tunggu aku diperahu!”
Mendengar ini Saringgih segera tancap diri, lari
sekencang yang bisa dilakukannya menuju perahu di tepi
pantai.
Ketika melihat lawan tersapu jauh oleh pukulan angin
mantel hitamnya, si tinggi besar gerakkan tangannya ke
sebuah kantong di pinggang kiri. Ketika tangan itu digerak-
kan ke depan, melesatlah dua buah benda hitam sebesar
ujung jari kelingking. Dalam gelapnya malam senjata
rahasia berwarna hitam ini sulit untuk dapat dilihat. Tapi
telinga Nyanyuk Amber sudah dapat mendengar ada se-
suatu yang melesat ke arahnya dalam kegelapan malam.
Pada saat tubuhnya dihantam angin dahsyat tadi dan
menyadari bahwa dirinya tak bisa bertahan, begitu tubuh-
nya kena disapu, dengan cerdik orang tua ini lipat tubuh-
nya lalu gulingkan dirinya ke belakang. Tangan dan kakinya
yang buntung membuat tubuhnya bisa mengkerut menjadi
bulat laksana sebuah bola. Hal ini membuat daya gulingnya
jadi berlipat ganda. Selagi dia bergulingan itulah dia men-
dengar ada benda melesat ke arah kepalanya!
Nyanyuk Amber tundukkan kepalanya ke bahu kanan.
Mulutnya menarik sebatang senjata rahasia berbentuk
anak panah kecil yang tersisip di saku jubah pendek yang
dikenakannya. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam-
nya ke tenggorokan, orang tua ini meniup keras-keras.
Anak panah perak itu melesat dalam kegelapan malam,
memapas ke arah datangnya suara berdesing. Sesaat
kemudian terdengar suara berdentingan. Anak panah
Nyanyuk Amber berhasil menghantam benda bulat yang
menyambar di udara. Walaupun anak panah perak itu
patah berantakan namun benda yang dihantamnya mental
jauh hingga si orang tua selamat dari hantaman senjata
rahasia lawan yang diarahkan ke keningnya! Nyanyuk
Amber dengan cepat terus menggulingkan dirinya sehingga
akhirnya dia sampai di tepi pasir.
Dengan mengeluarkan suara menggereng geram si
tinggi besar mengejar. Dia mengeruk lagi kantong di
pinggang kirinya lalu sambil lari dia hantamkan senjata
rahasianya. Untuk kedua kalinya pula Nyanyuk Amber me-
nangkis dengan panah peraknya. Namun sekali ini
tangkisannya meleset. Senjata rahasia lawan berdesing ke
arah kepalanya. Dalam saat yang sangat berbahaya itu
bahu Nyanyuk Amber menyerempet gundukan batu.
Dengan cepat orang tua ini memutar tubuhnya lalu jatuh-
kan diri di balik gundukan batu itu. Dia selamat. Senjata
rahasia lawan Iewat seujung kuku di atas kepalanya! Tanpa
menunggu lebih lama lagi orang tua ini kembali gulingkan
diri di atas pasir.
Saringgih yang menunggu di atas perahu berteriak
keras.
“Nyanyuk! Ambo di sini!”
Teriakan ini sudah cukup bagi Nyanyuk Amber untuk
mengetahui arah di mana pembantunya berada. Orang tua
ini lipat tubuhnya lebih dalam. Lalu tubuh itu melenting dan
mencelat di udara, jatuh tepat diatas perahu. Seringgih
serta merta mendayung perahu itu cepat-cepat ke tengah
lautan.
Orang tinggi besar menggeram keras. Dia berusaha iari
mengejar masuk ke dalam laut sampai tubuhnya teng-
gelam sebatas pinggang. Namun perahu yang dikayuh
Saringgih telah jauh ditengah. Dengan geram orang ini
masih berusaha melepaskan lagi satu senjata rahasia.
Namun senjata rahasianya itu hanya sempat menghantam
bagian belakang perahu dan menancap di kayu perahu itu.
Kembali orang ini menggeram.
“Kakek cacat itu ternyata memiliki kepandaian hebat.
Baru dia seorang yang sanggup menangkis serangan
senjata rahasiaku! Aku belum pernah melihatnya sebelum-
nya. Tapi dari ciri-cirinya… Jangan-jangan dia adalah
Nyanyuk Amber, tokoh silat dari puncak Singgalang, bekas
guru Raja Rencong Dari Utara! Kurang ajar! Mengapa tadi
aku tidak menghantamnya dengan lima senjata rahasia
sekaligus! Kalau dia berani muncul lagi, tak akan kuberi
ampun bangsat tua itu!” Lalu sambil mengepalkan kedua
tinjunya orang ini memutar tubuh dan lenyap dalam ke-
gelapan malam.
Sementara itu di atas perahu.
“Manusia itu luar biasa… Serangahnya ganas memati-
kan! Hampir saja aku benar-benar hendak dibuatnya jadi
bangkai!” kata Nyanyuk Amber seraya berusaha duduk
sementara perahu meluncur denan cepat. “Kita sudah
cukup jauh ke tengah. Manusia itu pasti tidak dapat lagi
melihat kita. Sekarang putar arah perahu ini, Saringgih!”
Tentu saja si pembantu menjadi heran.
“Di putar kemana Nyanyuk? Bukankah kita kembali ke
pulau besar?”
“Tidak. Kita kembali ke pulau itu!”
Saringgih tersentak kaget dan hentikan mendayung
perahu.
“Ambo yang salah dengar atau Nyanyuk yang salah
ucap?!”
“Kau tidak salah dengar! Aku tidak salah ucap! Kita
kembali ke pulau menyelinap lewat arah selatan pada
bagian yang berbatu-batu barang…”
“Nyanyuk! Kau barusan saja lepas dari maut! Sekarang
malah hendak kembali ke tempat cilaka itu!”
“Saringgih tugasku menyelidiki kematian sahabatku Tua
Gila. Aku merasa ada sesuatu yang aneh di balik kematian-
nya itu. Jika kau takut kembali ke pulau, antarkan saja aku
sampai di pantai selatan. Biar aku naik ke pulau seorang
diri. Kau boleh kembali ke Gunung Singgalang!”
Saringgih jadi merasa tidak enak mendengar kata-kata
itu. maka diapun menyahuti. “Nyanyuk, kita pergi sama-
sama. Pulangpun harus sama-sama…”
Nyanyuk Amber tersenyum lalu rebahkan tubuhnya di
lantai perahu.
***
WIRO SABLENG
6 MAKAM TANPA NISAN
arena pulau itu tidak terlalu besar maka dalam
waktu tak selang berapa lama perahu yang dikayuh
Saringgih telah sampai di bagian barat yaitu bagian
yang pantainya penuh dengan batu-batu karang tinggi
diseling batu-batu cadas hitam. Saat itu tengah terjadi
pasang naik sehingga mereka bisa masuk jauh ke daratan.
Angin laut menerpa bebatuan di sepanjang pantai me-
nimbulkan suara aneh di telinga Saringgih.
“Ceritakan padaku keadaan di sekitar sini.” kata
Nyanyuk Amber begitu dia merasa perahu mulai meluncur
perlahan.
“Air laut sedang pasang naik Nyanyuk. kita bisa masuk
terus ke pedalaman pulau. Pesisir di sini penuh dengan
batu-batu karang menjulang tinggi serta batu-batu cadas
hitam…”
“Bagus, berarti kita sampai di arah yang tepat. Di bagian
belakang kawasan makam Tua Gila. Kau harus menyem-
bunyikan perahu ini. Cari tempat yang baik untuk kita. Dan
jangan meninggalkan jejak atau tanda-tanda sedikitpun!”
Di celah batu-batu besar hitam Saringgih menghentikan
perahunya, lalu dia mendukung Nyanyuk Amber turun ke
darat.
“Nyanyuk, ambo melihat ada lengkungan dalam salah
satu dinding karang. Mungkin sekali goa…”
“Bawa dan tinggalkan aku disana. Lalu kau lekas cari
tempat yang baik untuk menyembunyikan perahu.” kata
Nyanyuk Amber pula.
K
Saringgih mendukung orang tua itu menuju lengkungan
batu. Ternyata lengkungan itu bukan sebuah goa melain-
kan lengkungan biasa saja namun cukup besar untuk
mereka berdua.
Sebelum Saringgih pergi mencari tempat untuk me-
nyembunyikan perahu Nyanyuk Amber meminta agar pem-
bantunya itu mencari ranting-ranting dan semak belukar
sebanyak mungkin untuk menutupi bagian terbuka
ruangan batu yang akan mereka jadikan tempat ber-
sembunyi sekaligus guna menghalangi kerasnya tiupan
angin dari laut.
“Nyanyuk, apa kita benar-benar akan menuju makam
Tua Gila malam ini juga?” bertanya Saringgih sambil
menancapkan ranting-ranting, serta belukar di depan
legukan batu karang.
“Aku sudah memikirkan hal itu kembali. Malam ini kita
tetap di sini saja. Kau tentu letih, perlu istirahat dan tidur,”
jawab Nyanyuk Amber, “Besok saja, kalau matahari telah
terbit kita kembali ke lapangan yang ada dua makam itu…”
Paginya ketika matahari muncul dan pasang telah turun
ternyata tempat mereka berada cukup jauh dari pantai.
Dari situ mereka dapat melihat pantai dengan jelas. Se-
baliknya seseorang yang datang dari arah pantai agak sulit
melihat mereka karena ada sebuah batu karang cukup
tinggi menghalangi pemandangan.
“Nyanyuk, kau ingin ambo mencari ikan dan membakar-
nya untuk sarapan pagi?” bertanya Saringgih.
“Jangan jadi orang tolol! Aku tak ingin mahluk yang
katanya kini menguasai pulau ini melihatmu. Membakar
ikan sama saja mengundang kedatangan mahluk celaka
itu kemari!”
Saringgih terdiam menyadari ketololannya sendiri.
Dalam hati dia berkata ” Alamat akan kosong perutku pagi
ini.”
“Ada hal lebih penting yang harus kita lakukan…”
“Hal apa Nyanyuk?”
“Dukung aku ke tempat kau menyembunyikan perahu.”
Begitu sampai di tempat perahu disembunyikan, yaitu
dibalik sebuah batu karang lancip orang tua itu minta di-
turunkan lalu pada pembantunya dia berkata.
“Malam tadi salah sebuah senjata rahasia yang di-
lemparkan ke arah kita mengenai bagian belakang perahu.
Senjata rahasia itu pasti masih menancap disana. Coba
kau periksa!”
Saringgih melakukan apa yang diperintahkan Nyanyuk
Amber. Sesaat kemudian terdengar pembantu ini berkata.
“Kau betul Nyanyuk. Ada bagian kayu perahu yang ber-
lobang tetapi tidak sampai tembus. Sebuah benda bulat
menancap di dalamnya. Ambo sudah berusaha men-
cungkil, tapi sulit sekali…”
“Kalau kau cungkil dengan mulut atau jari tanganmu
tentu saja sulit, Saringgih. Pergunakan ujung kerismu!”
“Nyanyuk, keris Pusako Dewa milikku bukan senjata
sembarangan. Masakan dipakai untuk mencungkil…”
Nyanyuk Amber cepat memotong kata-kata pembantu-
nya itu. “Benda yang hendak kau cungkil juga bukan
senjata sembarangan Saringgih! Paling tidak senjata
seperti itu telah menewaskan empat tokoh yang kau lihat
telah jadi mayat itu! Bahkan nyaris membunuhku! Keluar-
kan kerismu dan cungkil senjata rahasia itu dengan hati-
hati!”
Saringgih tak bisa berkata apa-apa lagi. Dikeluarkannya
keris pusaka yang terselip di pinggangnya lalu dengan
ujung senjata ini dia mulai mencungkil benda yang me-
nancap di kayu belakang perahu. Setelah beberapa lama
terdengar suara pembantu itu berkata.
“Ambo berhasil mencungkil senjata rahasia ini,
Nyanyuk! Bentuknya seperti kelereng…”
“Kelereng…?” mengulang Nyanyuk Amber.
Dengan tangan gemetar si pembantu menggenggamnya
lalu memegang-megang benda bulat itu dengan ujung
jarinya. Benda bulat terasa licin dan besarnya seujung jari
kelingking.
“Hemmm…” Nyanyuk Amber bergumam, Otaknya be-
kerja keras untuk menerka senjata rahasia yang dikatakan
Saringgih itu. Lalu dia bertanya. “Saringgih, katakan pada-
ku apa warna benda bulat yang besarnya lebih kecil dari
kelereng ini?”
“Hitam legam. Mengeluarkan sinar redup menggidik-
kan!” sahut Saringgih.
Paras orang tua bermata buta itu berubah.
“Mutiara Setan…” desisnya. “Pasti ini Mutiara Setan!
Senjata ini tidak beracun. Tetapi sekali menancap di tubuh
manusia dia akan bergerak menutup jalan darah, me-
nembus dan menghancurkan urat-urat besar hingga
korban tak mungkin ditolong. Apalagi kalau sampai me-
nembus kepala. Korban pasti akan mati seketika! Itulah
yang terjadi dengan empat tokoh silat yang sekarang telah
menjadi mayat!”
“Nyanyuk, kalau kau sudah tahu nama senjata rahasia
itu berarti kau juga tahu siapa pemiliknya,” berkata
Saringgih.
Si orang tua mengangguk. “Kita harus hati-hati. Sangat
hati-hati. Manusia yang kita hadapi saat ini sejahat iblis
selicik setan!”
“Siapa orangnya. Nyanyuk?” tanya Saringgih ingin tahu.
“Nanti saja kau lihat sendiri. Kita berangkat sekarang!”
Walaupun masih ingin berlama-lama di tempat itu
namun Saringgih tak bisa membantah, Dia jongkok di
hadapan si orang tua. Ketika dia siap untuk mendukung
tiba-tiba Saringgih melihat sesuatu di tengah taut.
“Nyanyuk, ada perahu sedang menuju ke arah pulau…”
“Pasti sahabat yang hendak menziarahi makam Tua
Gila. Ada beberapa orang kau lihat di atas perahu?”
“Masih terlalu jauh. Kurang jelas. Tapi ambo kira cuma
satu orang…”
“Tunggu saja beberapa saat lagi. Begitu perahu men-
darat kau lekas katakan ciri-ciri orang yang datang.”
Saringgih menunggu. Sesaat demi sesaat perahu di
tengah taut semakin mendekat ke pulau dan akhirnya ber-
henti tertahan di pasir pantai. Penumpangnya melompat
turun ke pasir lalu menyeret perahunya ke dekat sebuah
batu. Seutas tali yang terikat pada ujung perahu dilibat-
libatkannya ke batu dan dibuhulnya kuat-kuat. Orang ini
tampak mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi lalu
menggeliat beberapa kali. Sambil bersiul-siul dia me-
langkah meninggalkan pantai.
“Saringgih lekas katakan siapa orang yang barusan
datang itu! Dan tengah menuju ke mana dia!”
“Ambo tak kenal. Belum pernah melihatnya sebelum-
nya. Orangnya masih muda Nyanyuk. Berpakaian serba
putih. Ikat kepalanya juga putih. Rambutnya menjulai
gondrong. Dia melangkah seenaknya. Sambil bersiul-siul.
Agaknya dia tidak tahu malapetaka apa yang bisa menimpa
dirinya di pulau ini! Saat ini dia melangkah terus memasuki
pulau. Dia melompati batu-batu besar dengan gerakan
enteng”
“Pakaian putih ikat kepala putih. Rambut gondrong. Ber-
jalan seenaknya malah sambil bersiul-siul!” Nyanyuk Amber
mengulangi ucapan pembantunya tadi. Otaknya bekerja
keras mengingat-ingat. Dan tiba-tiba saja dia ingat. Mulut-
nya yang kempot tersenyum. Lalu orang tua ini segera
hendak berteriak menyebut nama orang itu. Namun begitu
dia sadar terlakannya pasti akan didengar orang tinggi
besar di dalam pulau, Nyanyuk Amber segera kancingkan
mulutnya rapat-rapat.
“Lekas kita susul pemuda itu!” katanya pada pembantu-
nya.
Namun saat itu tiba-tiba saja angin bertiup sangat
kencang. Langit di atas pulau dan taut di sekitarnya ditutup
gumpalan awan kelabu kehitaman. Udara serta merta men-
jadi gelap. Lalu terdengar guntur menyambar. Di tengah
laut kilat bersabung sambar menyambar.
“Celaka Nyanyuk! Badai menyerang pulau ini!” teriak
Saringgih lalu cepat-cepat berpegangan pada dinding batu
di samping agar tidak terpental di hantam angin.
“Siapa takutkan badai. Lekas dukung aku dan susul
pemuda tadi!” kata Nyanyuk Amber keras-keras di antara
deru angin yang menggelegar.
Saringgih terpaksa segera mendukung orang tua itu.
Namun ketika dia baru saja melangkah keluar dari legukan
batu, satu sambaran angin melabrak dengan keras.
Saringgih dan Nyanyuk Amber terpelanting ke dalam
legukan lalu sama-sama jatuh ke tanah. Nyanyuk Amber
terdengar menyerapah sedang Saringgih meringis ke-
sakitan sambil memegangi baglan keningnya yang benjol
terantuk dinding batu.
***
WIRO SABLENG
7 MAKAM TANPA NISAN
endekar 212 Wiro Sableng lunjurkan kedua kakinya
di lantai perahu, berhenti mendayung dan mem-
biarkan perahu itu meluncur dihanyutkan gelombang
ke arah pantai. Semakin dekat ke pantai pulau semakin
jelas kelihatan barisan batu-batu karang dan batu-batu
cadas di tepi pasir. Sepasang mata murid Sinto Gendeng
dari Gunung Gede ini memandang tak berkesip pada dua
buah batu karang yang menjulang lancip ke udara dan
paling tinggi diantara batu-batu karang yang terdapat di
teluk sempit di pulau itu. Ingatannya kembali pada masa
beberapa tahun silam ketika dia digembleng secara ganas
oleh kakek sakti bergelar Tua Gila.
Waktu itu sore hari. Air laut sedang pasang naik. Dia
dibawa ke teluk. Tubuhnya diikat dengan sejenis benang
sakti berwarna putih yang disebut Benang Kayangan. Lalu
dia disuruh memanjat naik ke puncak salah satu batu
karang yang tinggi terjal itu. Tua Gila sendiri kemudian naik
ke atas batu karang yang satu lagi. Berulang kali tubuh
Pendekar 212 mencelat mental dihantam ombak. Setiap
kali tubuhnya terlempar Tua Gila menyentakkan benang
sakti yang dipegangnya hingga Wiro kembali terlempar ke
puncak karang. Dengan susah payah akhirnya Wiro ber-
hasil tegak di atas batu karang itu namun saat itu dia
sudah sampai pada batas kekuatannya. Darah keluar dari
mata, hidung dan telinganya dan akhirnya pendekar ini
jatuh pingsan tidak sadarkan diri lagi. Dikemudian hari
Wiro baru maklum bahwa apa yang dilakukan Tua Gila atas
P
dirinya menjadi dasar ilmu silat tangguh yang tak ada
tandingannya yang kemudian diajarkan kepadanya yaitu
Ilmu Silat Orang Gila.
Kini setelah bertahun-tahun dari kejauhan dia dapat
melihat dua puncak karang tidak beds seperti keadaannya
dulu. Luapan rasa gembira tercermin di wajah sang
pendekar. Sebentar lagi dia akan bertemu dengan Tua Gila,
manusia aneh bermulut kasar tetapi berhati polos. Rupa-
nya dia tidak tahu kalau sesuatu telah terjadi dengan orang
tua itu.
Begitu bagian bawah perahu bergeser dengan pasir
Wiro segera melompat turun. Perahu itu diseretnya ke
darat lalu dilkatkannya ke sebuah batu. Di tepi pantai Wiro
tegak sejenak, mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi
menghirup Wars dalam-dalam dan menggeliatkan badan-
nya beberapa kali.
Lalu dengan setengah berlari dia masuk kebagian
dalam pulau melewati daerah berbatu-batu. Pada saat
itulah udara tiba-tiba menjadi gelap. Mendung tebal
menyungkup pulau. Angin kencong bertiup dahsyat. Guruh
menggelegar dan kilat sabung menyabung.
“Badai celaka!” maki Pendekar 212 Wiro Sableng dan
terus lari bahkan kini sambil berteriak. “Tua Gila! Aku
dating! Tua Gila! Aku Wiro Sableng datang menyambangi-
mu!”
Namun suara teriakan Wiro itu tenggelam diteIan
gelegar guntur dan deru badai yang amat keras. Pendekar
itu berjalan terus walaupun tersaruk-saruk karena gelapnya
udara yang tidak beda dengan kepekatan malam.
“Tua Gila! Aku Wiro Sableng datang! Tua Gila!” kembali
Wiro berteriak. Dia bergerak di antara lamping-lamping
batu karang tinggi, memanjat batu-batu cadas besar dan
akhirnya sampal di satu tempat terbuka yaitu lapangan
kecil di mana terletak dua makam.
Murid Sinto Gendeng ini hendak berteriak kembali me-
manggil Tua Gila namun mulutnya serta merta terkunci
ketika tiba-tiba di bawah hujan lebat dan tiupan angin
keras serta gelapnya udara dia melihat empat sosok tubuh
yang telah jadi mayat dan sangat rusak terikat pada empat
tiang kayu.
“Astaga! Aku belum sampal ke neraka! Mengapa
pemandangan mengerikan begini bisa ada dl pulau ini! Gila
dan aneh! Mayat rusak begitu mengapa tidak berbau
busuk?” Tentu saja sang pendekar tidak tahu kalau
Nyanyuk Amber telah meneteskan sejenis cairan yang
mampu melenyapkan bau busuk untuk beberapa waktu
lamanya. Belum habis keterkejutan murid Eyang Sinto
Gendeng itu, pandangan matanya kemudian membentur
duo buah makam yang terletak di depan tiang-tiang
kematian!
“Eh, kuburan siapa ini…?” bertanya Pendekar 212
dalam hati. Mendadak saja dia menjadi merasa tidak enak.
“Jangan-jangan orang tua itu…”
Wiro melompat ke hadapan makam bernisan batu
hitam. Dia berputar untuk dapat melihat guratan tulisan
yang ada dibatu itu.
“Tua Gila…!” desis Wiro ketika samar-samar dia dapat
membaca tulisan yang tergurat di atas batu nisan. Tubuh-
nya terasa lemas dan pendekar ini langsung jatuh berlutut
di samping makam. Kedua matanya berkaca-kaca. “Orang
tua… Kenapa kau pergi begitu cepat…” Wiro menutup
mukanya dengan kedua tangan lalu mengusap wajahnya
yang basah berulang kali. Sambil liiemegangi batu nisan
hitam murid Sinto Gendeng memandang berkeliling. Kini
baru disadarinya bahwa tanah makam itu masih merah.
Begitu juga tanah kubur yang disebelahnya. Lalu dia
melihat pula keanehan lain itu.
“Mengapa kubur yang satu ini tidak ada batu nisan?
Kubur siapa pula ini.?” Wiro coba menduga-duga. Dia ingat
pada anak kecil berusia dua tahun lalu yang kemudian
diambil murid oleh Tua Gila.
Jika anak itu masih hidup uslanya sekarang sekitar
enam tahun. Dimana anak Itu kini? Apakah kubur yang
satu ini kuburannya?
“Tanah kubur masih merah. Berarti duo jenazah yang
ada di sini belum lama dimakamkan. Lalu siapa yang
menguburkan mereka?”
Wiro menatapi kedua makam itu lama-lama. Kemudian
dia melihat ada kabut tipis di sekitar makam.
“Aneh, setahuku tak pernah ada kabut di pulau inil”
Hujan menders deras. Apa yang disangkakan Wiro
sebagai kabut itu lenyap. Kini tinggal bau sesuatu yang
merasuk hidungnya. “Sepertinya yang kulihat tadi bukan
kabut. Tapi asap… Ada bau rokok sekitar tempat init” Wiro
memandang berkeliling. “Aneh… Setan atau jin lautkah
yang merokok.. . ?°
Tak lama setelah asap lenyap, bau rokokpun ikut sirna.
Lalu lapat-lapat, seolah-olah datang dari suatu terowongan
jauh di perut bumi Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng mendengar suara ketukan-ketukan sangat
halus. Semula dia menyangka telinganya salah dengar.
Namun ketika diperhatikannya baik-baik, diantara deru
badai memang ada suara ketukan halus terdengar be-
berapa kali. Lenyap sebentar lalu terdengar lagi.
Murid Sinto Gendeng menggeser tubuhnya lebih dekat
ke makam. Lalu perlahan-lahan telinga kirinya didekatkan
ke batu nisan hitam. Kembali terdengar suara ketukan.
Lewat batu nisan itu kini matah ketukan itu terdengar lebih
jelas. Wiro mengorek sebuah batu kecil. Dengan batu itu
dia mengetuk batu nisan hitam beberapa kali. Suara
ketukan yang tadi lenyap kini terdengar lagi. Lalu diam.
Wiro mengetuk lebih keras. Seperti dibalas dia mendengar
jawaban suara ketukan. Ketika Wiro hendak mengetuk
sekali lagi, saat itulah dia melihat dalam kegelapan
sepasang kaki berkasut kulit sampai sebatas lutut me-
langkah di atas tanah yang becek. Setiap langkah yang
dibuatnya menimbulkan getaran di tanah. Wiro angkat
kepala Pendekar 212 melengak kaget ketika melihat satu
sosok tubuh tinggi besar bermantel hitarri tahu-tahu sudah
tegak di hadapannya. Orang ini bermuka panjang yang
tertutup kumis dan berewokan liar, mengenakan topi tinggi.
Sepasang matanya sangat besar. Desauan nafas yang
keluar dari mulutnya seperti suara gerengan harimau. Di
ketiak kirinya orang tinggi besar ini mengepit sebuah
benda hitam.
Tiba-tiba orang ini menyeringai. Mulutnya terbuka.
Kelihatan gigi-giginya yang besar serta taring seperti
harimau. Seringai lenyap. Dari mulut orang ini kini keluar
suara tawa berkakakan.
“Manusia kutuk sumpah! Akhirnya kau datang juga!
Ha… ha… ha …. Sahabatmu Tua Gila memang sudah lama
menunggu! Ha… ha… ha…!”
Perlahan-lahan Wiro bangkit berdiri.
“Siapa kau?!” Wiro membentak.
Yang ditanya menjawab dengan tawa bergelak. Lalu
benda hitam yang sejak tadi di kempitnya diturunkan dan
secepat kilat ditancapkannya di bagian kepala makam di
samping makam Tua Gila. Ternyata benda yang ditancap-
kannya itu adalah sebuah batu nisan yang bentuk dan
ukurannya sama dengan nisan yang ada di makam Tua
Gila!
Menurut taksiran Wiro batu hitam itu beratnya puluhan
kati. Orang bermantel sanggup menancapkannya sampai
setengahnya berarti dia memiliki kekuatan luar biasa!
Makam yang tadi tidak bernisan itu kini lengkap sudafi
dengan batu nisannya!
Sepasang mata Pendekar 212 membelalak ketika
melihat nama yang tergurat di atas batu nisan. Ternyata itu
adalah namanya sendiri. Wiro Sablengt Berarti makam itu
adalah kuburannya sendiri!
Orang bermantel hitam masih tertawa panjang. Tiba-tiba
tawanya berhenti dan terdengar ucapannya “Bagus, kau
telah datang untuk melihat makammu sendiri!” Dengan
kaki kirinya yang berkasut kulit orang ini menginjak sebuah
batu yang menonjol di dekat kepala nisan. Terdengar suara
berdesir. Lalu terjadilah hal yang aneh. Tanah kuburan
yang baru ditancapi batu nisan perlahan- lahan kelihatan
terangkat. Ternyata tanah merah itu di bagian bawahnya
adalah sebuah batu tebal empat persegi panjang yang
tidak beda dengan sebuah pintu penutup!
Ketika besi penutup terbuka lebar Wiro melirik ke
bawah. Dalam gelap dia dapat melihat lobang kosong itu
berdinding dan bertantai batu tebal. Sebuah pipa kecil
aneh terdapat dibagian bawah besi penutup.
“Liang kuburmu sudah kusediakan Pendekar 212! Kau
mau masuk secara baik-baik atau perlu aku bantu meng-
gotongmu ke dalam?!”
“Bangsat keparat ini tidak bersenda gurau!” kata Wiro
dalam hati. Dia melirik ke makam di sebelah kiri. Rahang-
nya menggembung. “Berarti kau juga yang telah memasuk-
kan sahabatku Tua Gila ke dalam makam yang satu ini!”
katanya menuduh.
“Ha …ha… ha…! Dugaanmu tepat…”
“Di mana murid Tua Gila yang berusia enam tahun? Apa
kau pendam juga di makam ini?!”
“Untuk sementara anak itu ada di bawah kekuasaanku.
Nyawanya tergantung pada gurunya si Tua Gila. Ha… ha…
ha… Silahkan masuk Pendekar 212. Tapi serahkan dulu
senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212 padaku.
Lemparkan senjata itu kehadapanku. Juga berikan padaku
buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan. Jangan coba mem-
bangkang apa lagi melawan. Aku bisa membunuhmu
secepat aku membalikkan telapak tangan! kapak dan buku
itu! Lekas!”
“Hujan begini deras. Badai melanda begini hebat! Tapi
belum pernah aku melihat orang yang gilanya sehebatmu!
Kau memendam sahabatku Tua Gila! Kau menculik murid-
nya! Kini menyuruh aku masuk ke dalam liang kubur!
Malah mengemis dulu minta senjata dan buku!”
“Mulutmu pandai bicara! Aku mau lihat apa kau masih
bisa bicara kalu mulutmu itu sudah kurobek!”
Tiba-tiba orang bermantel putar tubuhnya sambil me-
mukulkan kedua tangannya sekaligus ke depan. Dua
gelombang angin yang sangat keras melabrak murid Sinto
Gendeng. Tubuh pendekar ini terdorong ke arah lobang
kubur.
Wiro membentak keras lalu cepat menghantam dengan
pukulan Tameng sakti menerpa hujan.
***
WIRO SABLENG
8 MAKAM TANPA NISAN
RANG bertopi tinggi berseru kaget ketika melihat
bagaimana serangan balasan lawan bukan saja
membuyarkan hantamannya tetapi juga membuat
kedua kakinya goyang bergetar. Dia menyeka mukanya
yang basah oleh air hujan dengan tangan kiri lalu mencoba
menyergap Wiro dengan satu lompatan.
Pendekar 212 sambut serangan lawan dengan jotosan
ke arah perut. Jotosan itu mendarat di sasarannya dengan
telak tapi si tinggi besar tidak bergeming sedikitpun. Malah
dia menyeringai memperlihatkan taringnya. Wiro membuat
gerakan berputar setengah lingkaran. Laksana kilat kaki
kanannya melesat ke atas.
Bukkk!
Kaki kanan itu menghantam rahang lawan dengan
keras, membuat orang itu terpelanting dan jatuh terbanting
di tanah yang becek. Paling tidak pasti tulang rahangnya
pecah, begitu Wiro berpikir. Tapi murid Sinto Gendeng ini
jadi tercengang ketika dilihatnya orang itu berdiri kembali
tanpa menunjukkan rasa sakit apalagi cidera. Hanya topi
tingginya yang lepas dan jatuh ke tanah. Kelihatan
rambutnya yang panjang lebat riap-riapan, dan basah oleh
air hujan.
Dengan tenang dia mengambil topinya. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Wiro untuk menendang ke arah kepala.
Dari mulut si tinggi besar terdengar suara menggereng.
Lalu tangan kirinya bergerak cepat menangkap per-
gelangan kaki Wiro yang menendang. Begitu tertangkap
0
orang ini membuat gerakan aneh dan tahu-tahu tubuh
Pendekar 212 sudah terangkat ke atas lalu dibantingkan
ke bawah. Tubuh pendekar itu jatuh tepat di dalam liang
kubur.
Sambil menyeringai si tinggi besar melompat hendak
menekan batu di kepala makam. Maksudnya segera
hendak menurunkan batu tebal penutup kuburan. Wiro
yang tahu apa artinya kalau dia sampai terperangkap di
datam liang kubur itu segerar melompat sambil lepaskan
pukulan yang dipelajarinya dari Tua Gila yaitu Kincir padi
Berputar. Tangan kanannya menabas pergelangan kaki
lawan yang hendak menekan batu rahasia. Melihat
serangan yang bisa memutus kakinya itu si tinggi besar
cepat melompat selamatkan diri. Kesempatan ini segera
dipergunakan oleh Wiro untuk melompat keluar dari dalam
kuburan.
Di bawah hujan lebat dan badai kedua orang itu
kembali berhadap-hadapan. Sesast keduanya berputar-
putar. Wiro membuka serangan dengan jurus kepala naga
menyusup awan. L.engan kanannya berkelebat ke atas-
seperti hendak menghajar dagu tetapi disaat yang sama
jotosan kanan menyusup ke arah dada lawan.
Yang diserang keluarkan suara mendengus. TUbuhnya
berkelebat ke kiri. Dua tangannya disilangkan. Begitu
silangan dibuka maka tangan kanan Wiro terjepit diantara
kedua lengannya laksana jepitan besi! Selagi Pendekar
212 berusaha melepaskan jepitan itu kaki kanan lawan
menderu menghantam perutnya.
Murid Sinto Gendeng mengeluh tinggi. Tubuhnya men-
celat sampai dua tombak. Sebelum dia bisa berdiri dengan
benar, dua jotosan melanda mukanya. Kembali pendekar
ini terpental. Hidungnya mengucurkan darah sedang mata
kirinya lebam membiru.
Si tinggi besar keluarkan suara tawa bergerak dan men-
dekati Wiro dengan kedua tangan terpentang. Baru lawan
sempat maju dua langkah Wiro segera sambut dengan
jurus segulung ombak menerpa karang. Serangan ini
dibuka dengan satu tendangan tipuan, ketika lawan
mengelak Wiro susul dengan satu lompatan seraya tangan
kiri membabat ke leher.
“Serangan tak berguna! Terima pukulanku!” ejek lawan
lalu cepat sekali tangan kanannya melesat ke dada Wiro.
Murid Sinto Gendeng cepat menangkis tapi luput. Jotosan
lawan menghantam dadanya dengan telak. Pendekar 212
terbanting jatuh punggung di tanah. Dari mulutnya
kelihatan ada darah keluar. Tulang-tulangnya serasa
berantakan. Ketika lawan datang hendak menendangnya
wiro segera menimbun seluruh tenaga dalamnya ke tangan
kanan. Tangan itu sebatas lengan sampal ke ujung-ujung
jari berubah menjadi putih perak menyilaukan. Udara yang
tadi dingin berubah menjadi panas.
Si tinggi besar mengekeh.
“Aku mau lihat pukulan sinar matahari yang terkenal
itu!” katanya mengejek lalu tegak berkacak pinggang.
“Leleh tubuhmu!” teriak Wiro seraya menghantam.
Sinar putih berkilat. Hawa panas menghampar. Si tinggi
besar masih tegak bertolak pinggang. Malah kini kembali
keluarkan suara tawa bergelak. Tiba-tiba dia menggerak-
kan kedua tangannya. Dua telapak tangan menghadap ke
depan dan didorongkan perlahan saja. Ada hawa aneh
yang memancarkan sinar hitam redup menyongsong
pukulan sinar malahari. Lalu bummmm!
Satu ledakan keras berdentum laksana merobek langit.
Pukulan sinar matahari buyar berantakan. Pendekar 212
Wiro Sableng keluarkan seruan kaget. Tubuhnya terguling
beberapa langkah. Dari mulutnya kelihatan lebih banyak
darah keluar. Di bagian lain lawannya tampak mengerenyit.
Pakaian kuning yang dikenakannya di bawah mantel
hangus hitam sebagian tetapi tubuhnya sendiri tidak apa-
apa, begitu juga mantel hitam yang dikenakannya!
“Saatmu untuk masuk ke liang kubur Pendekar 212!”
kata si tinggi besar. Lalu kaki kanannya ditendangkan ke
tubuh Wiro.
Dalam keadaan terluka seperti itu Pendekar 212 masih
sempat menghindar dengan menggulingkan diri lalu cepat
berdiri. Baru tegak dan belum sempat memasang kuda-
kuda lawannya sudah menyerbu dengan serangan-
serangan tangan kosong yang ganas. Wiro keluarkan jurus-
jurus silat Tua Gila yang didapatnya Tua Gila. Tapi lawan
menyambut dengan taws mengejek.
“Keluarkan seluruh jurus silat orang Gila! kalau
penciptanya saja bisa kuhajar apalagi kau yang cuma
cecunguknya!”
Lalu serangan lawan datang menghantam susul
menyusul. Semua gerak silat orang Gila yang selama ini
tidak ada duanya dibuat mentah. Wiro terdesak hebat dan
mundur terus. Tanpa disadari dia mundur membelakangi
liang kubur yang menganga. Tiba-tiba lawan membuka
mantel hitamnya lalu mengebutkan mantel ini ke arah
Wiro.
Murid Sinto Gendeng seperti mendengar gemuruh suara
air bah. Angin sedahsyat topan keluar dari mantel yang
dikebutkan menyapu tubuhnya. Wiro membentak dan
lindungi diri dengan pukulan sakti benteng topan melanda
samudera! Tapi tak ads gunanya. Tubuhnya telah te-
rjengkang lebih dahulu, lalu tersapu mental. Kapak Muat
Naga Geni 212 yang terselip di pinggangnya ikut tersapu ke
udara. Wiro berusaha melompat untuk menggapai senjata
mustika itu. Namun di depan sana lawan kembali kebutkan
mantelnya. Tak ampun lagi murid Eyang Sinto Gendeng itu
mencelat masuk ke dalam Hang kubur. Kepalanya
membentur dinding makam yang terbuat dari batu tebal.
Pemandangannya seperti gelap. Di saat itu pula si tinggi
besar meiompat. Tangannya menempel pada batu yang
menyembul dl kepala makam.
“Pendekar 212! Sebelum meregang nyawa kau dengar
baik-baik. Beberapa tahun lalu kau telah membunuh
adikku Datuk Sipatoka di bukit Tambun Tulang! Hari ini kau
terima pembalasan dariku. Kau hanya bisa bertahan empat
hari dalam liang kubur ini. Tapi jika kau mau memberi tahu
di mana kau menyimpan buku Seribu Macam limu
Pengobatan, nyawamu akan kuselamatkan. Beri tanda
dengan tiga ketukan pada batu penutup makam! Kalau
kau keras kepala dan tak mau memberi tahu, kau akan
jadi bangkai secara perlahan-lahan dalam makam itu! Ha…
ha… ha …!”
Orang yang mengaku kakak Datuk Sipatoka itu tertawa
bergelak lalu tekan batu yang menyembul di kepala
makam. Batu tebal penutup makam serta merta jatuh ke
bawah. Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang berada
dalam keadaan antara sadar dan tiada terpendam di
dalamnya!
Sesaat sebelum penutup batu itu jatuh mendadak ter-
dengar seseorang berteriak.
“Wiro!”
Manusia tinggi besar tersentak kaget. Dia cepat me-
nyambar Kapak Maut Naga Geni 212 yang tercampak di
tanah lalu memandang berkeliling.
Saat itu badai dan hujan telah mereda. Udara beralih
terang sedikit demi sedikit. Sepasang mata lebar si tinggi
besar jelalatan kian kemari. Tapi dia tidak berhasil melihat
dimana adanya orang yang barusan berteriak menyebut
nama Pendekar 212. Maka diapun membentak.
“Siaps yang berteriak! Lekas unjukkan diri!”
Tak ads jawaban. Dia memandang pada senjata
mustika yang ada dalam genggamannya. Perlahan-lahan
disalurkan tenaga dalam ke tangan kanan. Lalu Kapak
Maut Naga Geni 212 dibabatkannya beberapa kall. Sinar
menyilaukan berkelibat disertai suara seperti lebah
mengamuk dan menclerunya haws panas. Pohon-pohon
berderak patah dan hangus. Semak belukar rambas dan
mengepulkan asap. Batu-batu karang dan batu-batu cadas
yang kena hantaman sinar senjata mustika itu retak lalu
mental berkeping-keping.
“Senjata luar biasal” kata si tinggi besar dalam hati. Dia
memandang berkeliling. Tempat itu kini sunyi senyap.
Hanya debur ombak terdengar di kejauhan. Dan dia masih
belum dapat mengetahui siapa atau di mana orang yang
tadi berteriak.
“Suara yang berteriak tadi jelas suara perempuan… Atau
mungkin telingaku keliru menangkap bunyi suara…?!” Dia
memandang sekali lagi berkeliling lalu berteriak, “Hantu
atau jin perempuan! Kau tak berani unjukkan diri! Jangan
kira kau bisa bersembunyi! Aku akan menemukanmu!
Masih banyak tiang-tiang kosong mengikat bangkaimu di
tempat ini!”
Habis berteriak begitu orang ini cepat berkelebat dan
tubuhnya yang tinggi besar kemudian lenyap di celah
antara dua batu karang.
***
WIRO SABLENG
9 MAKAM TANPA NISAN
iapakah sebenarnya orang tinggi besar yang memiliki
ilmu silat hebat serta kesaktian luar biasa itu? Yang
sanggup menghajar Pendekar 212 sampai babak
belur bahkan memendamnya di liang makam yang agaknya
memang telah sejak lama disiapkan.
Untuk menjawab hal ini kita kembali pada masa be-
berapa tahun silam ketika Pendekar 212 Wiro Sableng
mengarungi laut Jawa untuk sempai ke pulau Andalas.
Seorang tokoh silat dari pulau Madura bernama Kiai
Bangkalan ditemui mati terbunuh di tempat kediamannya
di Goa Belerang. Dari penyelidikan yang dilakukan Wiro,
diketahui bahwa pembunuhnya adalah Datuk Sipatoka
seorang tokoh silat jahat di pulau Andalas yang diam di
Bukit Tambun Tulang.
Wiro segera berlayar ke pulau Andalas untuk mencari si
pembunuh. Ternyata Datuk Sipatoka bukan saja mem-
bunuh Kiai Bangkalan tetapi juga mencuri sebuah kitab,
langka berjudul Seribu Macam Ilmu Pengobatan.
Dalam pelayaran perahu yang ditumpangi Wiro diserang
badai hingga terbalik. Wiro berhasil menyelamatkan diri
dengan sebuah papan. Selagi terkatung-katung di tengah
laut yang diamuk gelombang besar dia melihat seorang
anak kecil timbul tenggelam dipermainkan ombak. Ter-
nyata anak itu masih hidup dan segera diikatkannya ke
papan. Dia sendiri tidak memikirkan keselamatannya lagi.
Sesaat sebetum Wiro tenggelam ditelan gelombang tiba-
tiba muncul sebuah perahu berpenumpang kakek aneh.
S
Orang tua ini menyelamatkan Wiro dan anak kecil tadi.
Ternyata kakek itu adalah seorang tokoh silat sakti
mandraguna yang diam di sebuah pulau dan dikenal
dengan nama Tua Gila. Dari orang tua ini Wiro kemudian
mendapat pelajaran beberapa jurus ilmu silat langka yaitu
Ilmu Silat Orang Gila sedang si anak kecil diambil jadi
muridnya.
Berkat beberapa petunjuk yang diberikan Tua Gila Wiro
akhirnya sampal di sarang Datuk Sipatoka. Ternyata sang
datuk memang bukan manusia sembarangan. Selain tinggi
ilmu silatnya orang ini juga memiliki berbagai pukulan
sakti. Untung saja saat itu Tua Gila muncul. Bersama-sama
mereka kemudian menumpas manusia jahat itu. Datuk
Sipatoka terbunuh dan buku Seribu Macam Ilmu
Pengobatan ditemukan oleh Tua Gila lalu diberikan pada
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kematian Datuk Sipatoka dan hancurnya sarang
manusia jahat itu ternyata tidak habis sampai disitu saja.
Kematian Datuk Sipatoka menimbulkan dendam kesumat
pada seorang sakti dan jahat yaitu kakak kandung sang
Datuk bernama Datuk Tinggi Raja Di Langit yang diam di
Kepulauan Pagai.
Namun ketika mengetahui bahwa adiknya terbunuh
oleh Tua Gila dan Pendekar Kapak Maut naga Geni 212
yang merupakan orang-orang dunia persilatan dengan
name besar maka Datuk Tinggi terpaksa menahan hati dan
bersabar. Die maklum tak bakal menang menghadapi
kedua lawan yang berkepandaian tinggi itu. Maka dia
menyusun satu rencana sambil memperdalam ilmu
kepandalannya sendiri. Dia mempelajari pula ilmu silat
Orang Gila ciptaan Tub Gila tetapi khusus menekuni
kelemahan-kelemahannya. Dengan care begitu jika kelak
dia berhadapan dengan musuh besarnya itu dia akan
mudah menentukan segala serangannya.
Untuk menghdapai Pendekar 212 Wlro Sableng. Datuk
Tinggi Raja Di langit menggembleng tenaga dalamnya dan
membuat sebuah mantel hitam yang kelak akan menjadi
senjata yang dapat diandalkannya. Di samping itu sang
datuk telah menciptakan pula semacam senjata rahasia
yang bakal menggemparkan dunia persllahn, yang terbuat
dari mutiara hitam dan kelak oleh orang-orang persilatan
disebut sebagal Mutiara Setan.
Setelah empat tahun menyiapkan diri, diam-diam Datuk
Tinggi Raja Di Langit berangkat ke pulau kediaman Tua
Gila. Dalam perjalanan dia menyebar kabar bahwa Tua Gila
telah meninggal dunia. Hal ini untuk mengundang para
sahabat Tua Gila datang ke pulau itu untuk berziarah.
Datuk Tinggi ternyata bukan saja mendendam untuk mem-
bunuh Tua Gila, tetapi juga semua sahabat orang tua itu
akan dilenyapkannya. Dan tujuan utamanya menyebar
berita palsu itu adalah agar Pendekar 212 Wiro Sableng
yang menjadi musuh utamanya muncul pula di pulau itu
untuk dihabisinya. Di samping itu Datuk Tinggi Raja Di
Langit juga sangat berminat untuk memiliki Benang
Kayangan milik Tua Gila, Kapak Maut Naga Geni 212 milik
Wiro serta mencari tahu di mana kitab Seribu Macam Ilmu
Pengobatan yang dulu pernah dimiliki adiknya Datuk
Sipatoka.
Ketika Datuk Tinggi sampai di pulau kediaman Tua Gila
ternyata orang tua itu belum kembali dari suatu perjalanan
jauh. Dia hanya menemukan murid Tua Gila, seorang anak
lelaki yang baru berusia enam tahun. Dengan mudah Datuk
Tinggi meringkus anak ini, mengikatnya dan membawanya
ke sebuah goa sempit di antara celah-celah batu karang
dimana dia bersembunyi.
Datuk Tinggl kemudian menggeledah gubuk kayu
kediaman Tua Gila. Benda yang dicarinya yaitu buku Seribu
Macam Ilmu Pengobatan tidak ditemukan.
“Berarti benar kabar yang kuterima di luaran, Kitab Itu
telah diberikan dan berada di tangan Pendekar Kapak
maut Naga Geni 212!” kata Datuk Tinggi dalam hati. Lalu
cepat-cepat dia meninggalkan gubuk tersebut.
Sambil menunggu kedatangan Tua Gila, Datuk Tinggi
pergunakan kesempatan untuk melakukan sesuatu sesuai
dengan rencananya. Dia membuat dua buah makam yang
diberi peralatan rahasia. Bagian atas makam dilapisi batu
yang bisa dibuka dan ditutup jika sebuah batu pada
masing-masing kepala makam di tekan. Lantai dan dinding
makam juga dilapisi dengan batu-batu tebal. Di kedua
makam ini kelak dia akan menjebloskan dan mendekam
Tua Gila serta Pendekar 212 Wiro Sableng sampai kedua
orang itu menemui ajal secara perlahan-lahan. Dua buah
batu nisan hitam bertuliskan nama Tua gila dan Wiro
Sableng tak lupa disiapkannyal
Setelah menunggu hampir satu minggu akhirnya Tua
Gila muncul pada suatu malam. Dia langsung menuju ke
tempat kediamannya sebuah gubuk kayu di bagian
tenggara pulau. Ada dua hal yang membuat Tua Gila ter-
kejut begitu memasuki gubuk. Pertama isi gubuknya ke-
lihatan berantakan seperti ada yang membongkar setiap
sudut tempat itu. Hal kedua dia tidak menemukan murid-
nya, anak lelaki yang baru berusia enam tahun itu.
“Heran, ke mana anak itu? Kalau masih siang pasti dia
tengah bermain-main di hutan kecil atau di lapangan. Atau
di tepi pantai. Tapi malam-malam begini…?” membatin Tua
Gila. Maka diapun keluar gubuk mulal mencari sambil tiada
hentinya berteriak memanggil muridnya itu.
“Malin… Malin Sati! Di mana kau…?”
Mula-mula Tua Gila mencari sepanjang tepi pantai
terdekat. Ketika sang murid tidak dijumpai orang tua ini
kembali memasuki pulau dan akhirnya sampai di lapangan
kecil. Disini dua menghentikan langkah sambil me-
mandang terheran-heran. Ada dua gundukan tanah di-
lihatnya di ujung lapangan.
“Dua buah kuburan…” desis tua Gila. “Kuburan siapa…”
Satu berbatu nisan. Satunya tidak…”
Tua Gila bergegas mendatangi. Dihadapan makam ber-
nisan langkahnya tertahan. Meskipun malam gelap namun
matanya masih dapat membaca nama yang tertulis di atas
batu itu. Tua Gila! Namanya sendiri!
Tua Gila menyeringai.
“Siapa pula yang bercanda dengan segala kegilaan ini?”
katanya dalam hati. Namun sesaat kemudian seringainya
lenyap. Parasnya berubah. “Mungkin ini bukan senda
gurau… ” Dia berjalan mengelilingi kedua makam itu.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara raungan anjing.
Tua Gila terkesiap.
“Puluhan tahun hidup di pulau ini baru kali ini aku men-
dengar suara lolongan anjing! Tak pernah ada anjing di
pulau ini. Atau itu suara hantu laut? Mungkin juga binatang
jadi-jadian…?” Tua Gila memandang berkeliling. Orang tua
sakti ini kemudian menyadari, walau dia belum melihat
sosok tubuh lain di tempat itu tapi dia merasa pasti ada
seseorang yang tengah memperhatikan gerak geriknya
saat itu. Perlahan-lahan Tua Gila menatap tajam setiap
sudut gelap yang ada disekitarnya. Tiba-tiba dia meng-
hantam ke arah celah dua batu karang di depan sana.
Serangkum gelombang angin menderu. Dua batu
karang bergetar. Tua Gila hendak menghantam sekali lagi.
Pada saat itulah dari celah batu karang muncul melompat
sesosok tubuh tinggi besar yang langsung menyergapnya.
Tua Gila cepat menyingkir seraya memukul. Tapi
serangannya hanya mengenai tempat kosong karena yang
diserang tahu-tahu sudah melompat ke samping dan dari
samping lepaskan satu pukulan mengandung gelombang
angin yang hebat sehingga Tua Gila terhuyung-huyung
hampir jatuh!
“Tenaga dalam dan pukulan orang ini luar biasa sekali!”
kata Tua Gila lalu dia melompat mundur seraya mem-
bentak. “Penyerang tak dikenal!” Kau mencari mati berani
menginjakkan kaki di pulauku! Katakan siapa dirimu!”
Yang ditanya menjawab dengan suara tawa bergelak.
Orang ini bertubuh tinggi besar. Mengenakan baju kuning
yang disebelah luar dilapisi mantel dalam berwarna hitam.
Dia memakai kasut kulit sampai sebatas lutut. Di Kepala-
nya ada sebuah topi tinggi. Mukanya tertutup kumis dan
berewok sedang sepasang matanya besar sekali.
“Mulutmu busuk, taringmu seperti harimau! Jangan ter-
tawa keras-keras di hadapanku! Pasti kau binatangnya
yang telah mengobrak-abrik isi gubukku…!”
Suara tawa orang tinggi itu semakin keras.
Tua gila ingat pada Malin Sati. Rahang dan pelipis orang
tua ini langsung mengembung. Mukanya yang hanya
tinggal kulit pembalut tengkorak nampak berubah.
“Pasti kau juga telah menculik muridku! Lekas kembali-
kan Malin Sati! Jika anak itu sampai tergores saja kulitnya
akan kupatahkan batang lehermu!”
“Memang aku yang membongkar isi rumahmu. Aku juga
yang menculik muridmu…”
Mendengar pengakuan si tinggi itu, Tua Gila meng-
gembor marah. Tubuhnya melayang sebat, tangan
kanannya bergerak membabat ke arah batang leher orang.
Si tinggi besar cepat membungkuk lalu balas meng-
hantam ke arah perut Tua Gila. Orang tua ini terkesiap,
cepat berkelit. Setelah itu dia kembali menyerbu dengan
mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat orang gila. Tubuhnya
gerabak gerubuk seperti orang mabok. Tapi setiap tangan
atau kakinya bergerak, itu adalah gerakan menyerang yang
sulit diduga dan sangat berbahaya.
“Ilmu silat orang gila!” seru si tinggi bermantel hitam.
“Dulu memang ditakuti orang! Tapi bagiku ilmu silatmu
tidak lebih dari gerakan seekor ayam yang tertelan karet!”
Habis berkata begitu orang bermantel itu lalu meng-
hadapi Tua Gila dengan jurus-jurus tak kalah anehnya.
Tua Gila terkesiap ketika melihat jurus-jurus yang di-
mainkan lawannya adalah kebalikan dari setiap gerakan
ilmu silatnya. Dengan sendirinya jurus apapun yang di-
keluarkannya untuk menyerang, dengan sangat mudah
dapat dimentahkan lawan.
Melihat Tua Gila terkesiap orang tinggi itu tertawa
bergelak. Dia melangkah ke kepala makam di sebelah kiri
di mana terdapat sebuah batu sebesar kepalan. Batu ini
ternyata dibenamkan ke tanah dan dihubungan dengan
sebuah alat rahasia. Ketika batu di tekan terdengar suara
berdesir lalu secara aneh bagian atas kuburan sebelah kiri
yang bertanah merah bergerak ke atas. Di sebelah bawah
tanah merah ini terdapat lapisan batu sangat tebal. Kini
Tua Gila dapat melihat bagian dalam makam. Dinding dan
lantainya berlapiskan batu tebal. Makanr itu hampir dua
tombak lebih dalamnya.
“Sudah saatnya aku mengucapkan selamat jalan pada-
mu Tua Gila!”
“Eh, setan ini tahu namaku!” rutuk Tua Gila.
“Kau kaget aku tahu siapa dirimu?! Tua Gila, dengar
baik-baik. Kematianmu tak dapat dihindari. Liang kubur
sudah kusediakan. Aku tadinya ingin membunuh dan
mencincang tubuhmu sampai lumat. Tapi aku mau berbaik
hati agar kau bisa mati wajar-wajar saja. Untuk itu kau
harus menyerahkan padaku senjatamu berupa benang
sakti Benang Kayangan…”
“Manusia kadal! Jadi itu maksudmu datang ke pulau
ini?!”
“Bukan itu saja Tua Gila! Di luaran aku telah menyebar
kabar bahwa kau telah meninggal dunia! Berarti akan
banyak tokoh silat para sahabatmu berdatangan kemari.
Mereka termasuk manusia-manusia yang kena kutukku!
Siapapun sahabatmu akan kubunuh mati ditempat ini!”
“Gilal” teriak Tua Gila.
“Tidak… Aku belum gila!”
“Kalau tidak gila apa alasanmu membunuh orang-orang
yang tidak ada dosa kesalahan itu?!”
“Apa alasanku akan kukatakan nanti. Kau harus dengar
dulu maksudku yang lain datang ke tempat ini. Aku minta
kau juga menyerahkan kitab Seribu Macam Ilmu
Pengobatan!”
Tua Gila tertawa mengekeh.
“Rupanya kau jenis pencuri tengik!” ejek Tua Gila. “Buku
yang kau cari tidak ada padaku. Kalau pun ada masakan
aku mau memberikannya padamu!”
“Bagus, pengakuanmu itu menyatakan bahwa kitab
tersebut memang benar berada di tangan Pendekar 212
Wiro Sableng! Tapi masih harus kita buktikan. Muridmu itu
pasti akan segera pula muncul di sini begitu mendengar
kabar kematianmu!”
“Dia bukan muridku! Aku hanya mengajarkan beberapa
jurus ilmu silat padanya!”
Si tinggi besar tertawa bergumam.
“Sekarang kukatakan padamu mengapa aku mengingin-
kan jiwamu! Juga ingin menghabisi siapa saja yang menjadi
sahabatmu, termasuk dan terutama sekali Pendekar 212
Wiro Sableng!”
“Hebat! Lekas kau katakan!”
“Beberapa tahun yang lalu kau bersama Pendekar 212
rnenyerbu bukit Tambun Tulang, menghancurkan tempat
itu dan membunuh Datuk Sipatoka! Betul begitu atau kau
berani berdusta?!”
“Iblis! Seumur hidup aku tidak pernah berdusta!
Memang benar aku membantu Pendekar 212 membunuh
Datuk Sipatoka penguasa bukit Tambun tulang! Manusia
keji itu pantas untuk disingkirkan dari muka bumii”
Orang berbadan tinggi besar keluarkan suara seperti
menggereng.
“Karena kau penyebab kematian Datuk Sipatoka, make
hari ini aku membalaskan dendam kesumat sakit hati
kematiannya! Aku adalah kakak kandung Datuk Sipatoka,
bergelar Datuk Tinggi Raja Di Langit!”
“Aha… Raja di langit sudah turun ke bumi mencari
penyakit!” teriak Tua Gila mengejek.
“Sebelum kau ku pendam dalam makam batu itu, lekas
serahkan Benang Kayangan padaku!” Datuk Tinggi berkata
sambil mengulurkan tangan kanannya.
“Kau inginkan benang sakti itu. kau terimalah!” kata Tua
Gila sambil menggerakan tangan ke balik pakaian putih-
nya. Ketika tangan itu keluar dari balik pakaian tiba-tiba
melesat sebuah benda putih berbuntal-buntal hendak
menggelung tangan kanan Datuk Tinggi. Orang yang sudah
mengetahui sekali kehebatan benang putih itu cepat
menarik pulang tangannya. Sekali terlambat dan sampai
lengannya digulung Benang Kayangan pasti tanggal
anggota tubuhnya itu!
Sambil menghindar Datuk Tinggi Raja Di Langit pukul-
kan tangan kiri. Tua Gila terkejut besar ketika melihat
bagaimana angin pukulan lawan sanggup membuat
benang saktinya tergoyang-goyang dan tak berhasil
menyambar apalagi menggulung tangan kanan lawan. Dia
gerakkan tangan yang memegang benang. Ujung benang
melesat dan menyambar ganas ke arah leher Datuk Tinggi
Raja Di Langit.
Kini sang datuklah yang jadi terkejut. Sambil keluarkan
seruan keras manusla tinggi besar itu jatuhkan diri ke
tanah, lalu dengan satu gerakan sangat cepat dia mem-
buka mantel hitamnya. Sambil menyeringai dia bertanya.
“Kau mau memberikan Benang kayangan itu atau tidak,
Tua Gila?!”
Sebagai jawaban Tua Gila kembali menggerakkan
tangan kanannya. Benang Kayangan kelihatan berkilauan
tanda prang tua itu telah mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Senjata ini melesat ke arah mulut Datuk Tinggi,
siap untuk menggulung lidahnya. Begitu tergulung, sekali
sentak saja lidah orang itu akan terbetot tanggal!
Tapi lebih cepat dari datangnya sambaran Benang
Kayangan, Datuk Tinggi Raja Di Langit sudah kebutkan
mantel hitamnya.
Tua Gila mendengar seperti air bah bergulung ke arah-
nya. Lalu ada angin sangat dahsyat badai menyambar ke
arahnya. Tubuh dan kedua kakinya serta merta bergoyang
sedang Benang Kayangan membalik seperti menyerang ke
arah dirinya sendiri.
Tua Gila menggeram. Tangan kirinya lepaskan pukulan
sakti yang juga mengeluarkan angin dahsyat.
Datuk Tinggi Raja Di langit tersenyum mengejek.
“Pukulan Dewa Topan menggusur gunung! Apa hebatnya!”
katanya., mantel di tangannya berkelebat.
Wusss!
Tua Gila berteriak keras. Tubuhnya tersapu angin
serangan lawan. Dia berusaha bertahan tapi sia-sia saja.
Orang tua itu terlempar masuk ke dalam liang kubur
berlantai dan berdinding batu. Dia cepat hendak melompat
keluar tapi tubuhnya terasa lemas. Darah mengucur dari
hidungnya.
Datuk Tinggi Raja Di Langit tertawa mengekeh dan
tegak di tepi makam.
“Berikan Benang Kayangan itu padaku Tua Gilal”
“Iblisl kau ambillah sendiri!” jawab Tua Gila. Orang tua
ini buka mulutnya lebar-lebar lalu benang putih yang
menjadi senjatanya itu dibuntalnya dan dimasukkan ke
dalam mulut lalu cepat-cepat ditelannya! Sambil
memegang-megang perutnya Tua Gila berkata, “Kau harus
membelah perutku lebih dahulu untuk mendapatkan
benang sakti itul”
Datuk tinggi mendengus geram. Dia menjawab. “Aku
tidak telalu terburu-buru. Bagaimanapun juga aku akan
mendapatkan benang itu. Kelak kau sendiri yang akan
memuntahkan dan memberikannya padakut Ingat, kau
hanya bisa bertahan selama tujuh hari Tua Gila! Ketuk batu
penutup makammu jika kau memang kepingin hidup!
Jangan lupa, muridmu berada di tanganku!’
Lalu dengan gerakan sangat cepat Datuk tinggi Raja Di
Langit diinjak batu hitam yang menonjol di belakang kepala
makam. Tanah msnh yang berlapiskan batu tebal jatuh
dengan keras Tua Gila coba menahan batu itu dengan
kakinya, tapi terlambat. Orang tua ini masih sempat
mendengar suara tawa bekakakan Datuk Tinggi sebelum
dirinya terpendam dalam liang kubur batu itu!
***
WIRO SABLENG
10 MAKAM TANPA NISAN
ADA saat badai mulai melanda pulau kecil itu,
dibagian pantai sebelah timur, sebuah biduk tampak
diombang-diambingkan ombak yang bergulung
menggemuruh. DI atas biduk kecil in!, penumpangnya
seorang dara berpakaian ungu yang menutupi wajahnya
dengan cadar ungu sedang rambut hitam panjang tergerai
lepas melambai-lambai di tiup angin mendayung inati-
matian agar biduknya jangan sampai tenggelam. Namun
beberapa ratus langkah sebelum mencapai pasir pantai,
biduk itu akhirnya terbalik.
Biduk dan penumpang lenyap dilamun ombak. Tak lama
kemudian baru kelihatan kepala gadis itu menyembul.
Cadarnya terlepas dari wajahnya. kini tampak wajahnya
yang jelita, beralis hitam lengkung dan berhidung mancung.
Wajah cantik ini nampak tegang. Dia menghitung jarak,
menduga-duga apakah dia akan sanggup berenang
mencapai pantai.
Ombak raksasa kembali bergulung menghantam gadis
berpakaian ungu. Kembali sosok tubuh itu lenyap. Lalu
timbul lagi untuk kemudian dihempaskan ombak. Ketika
dia hendak mulai mencoba berenang, dara ini tiba-tiba
sadar. Berenang melawan ombak yang menggila seperti itu
hanya akan menghabiskan tenaga. Bukankah lebih balk
mengambangkan tubuh saja, membiarkan ombak
memukul dan menyeretnya ke arah pantai?
Maka gadis itu lalu mengambil sikap menelentang.
Tangan dan kakinya digerakkan perlahan secara beraturan.
P
Tubuhnya tampak mengambang. Dalam keadaan seperti
itu ombak besar kembali datang. Kecerdikan si gadis
ternyata membawa hasil. Begitu ombak mendera dirinya,
tubuhnya yang mengambang itu mencelat di atas air,
terlempar ke arah daratan. Begitu terjadi sampai empat
kali. Kali yang kelima akhirnya kakinya terasa menyentuh
dasar laut di bagian yang dangkal. Sang dara balikkan did
lalu menjejakkan kakinya dan melangkah di dasar lautan
menuju tepi pasir.
“Badai celaka! Untung Tuhan masih menolongku
selamat sampai ke pantai! Kalau tidak untuk melihat kubur
seorang sahabat tak akan aku menyiksa diri menantang
maut seperti ini,” kata si gadis lalu gerakkan kepalanya
untuk mengibas air laut yang membasahi rambutnya. Dia
memandangi pakaiannya yang basah kuyup. Di bawah
hujan lebat dan angin keras dia lalu berlari memasuki
pulau. Sebelumnya dia tidak pernah datang ke pulau itu.
Tapi mencari sebuah makam di pulau sekecil itu rasanya
tak bakal sulit. Sang dara terus menyusup diantara semak
belukar dan akhirnya sampai di bagian pulau yang penuh
dengan batubatu cadas hitam serta batu-batu karang.
Di salah satu bagian kawasan pulau berbatu-batu ini dia
melihat sebuah lobang pada salah satu lamping batu
karang. Si gadis cepat menuju ke arah lobang ini dengan
maksud beristirahat sebentar sambil menunggu redanya
badai.
Ketika dia sampai di mulut goa sang dara dikejutkan
oleh apa yang dilihatnya didalam goa batu itu. Seorang
anak lelaki berusia sekitar enam tahun duduk tersandar ke
dinding goa. Mulutnya ditutup dengan sehelai kain hingga
dia tidak bisa mengeluarkan suara. Pergelangan tangan
dan kakinya diikat dengan tali yang dibuat dari sambungan
akar-akar pohon.
Si anak lelaki tak kalah terkejutnya ketika melihat
munculnya seorang gadis cantik berpakaian ungu yang
tidak dikenalnya dalam keadaan basah kuyup. Di pinggang-
nya ada sebuah saluang. Semula si anak mengira yang
datang adalah manusia tinggi besar dan berewokan yang
telah menculiknya. Anak ini goyang-goyangkan kepalanya
memberi tanda.
Dara berbaju ungu segera buka ikatan kain yang
menutup mulut anak itu. Belum sempat dia bertanya, si
anak sudah membuka mulut.
“Kakak yang baik. Terima kasih kau telah menolong.
Says Malin Sati, murld kakek bernama Tuan Gila…”
“Ah… Kau murid Tua Gila! Justru aku datang untuk
menyambangi makam gurumu itu!”
Si anak tampak terkejut. “Guru… Kakek Tua Gila… Kata
kakak kau hendak menyambangi makam guru? Apa yang
terjadi dengan beliau…?”
“Anak, katamu kau murid Tua Gila. Gurumu meninggal
kau tidak tahu! Aneh!”
“Apa…?!” anak itu seperti hendak menjerit. “Tidak
mungkin. Bukankah guru tengah melakukan perjalanan?”
“Eh, bagaimana ini? Berita yang tersiar di luaran ialah
bahwa Tua Gila telah meninggal dunia dan dimakamkan di
pulau tempat kediamannya ini.”
“Kakak tolong kau lepaskan dulu ikatan pada tangan
dan kaki saya. Orang jahat itu telah mengikatku sejak
empat hari lalu. Saya hanya diberinya makan sedikit!”
“Siapa orang jahat yang mau kau katakan itu Malin?”
tanya gadis itu sambil melepaskan ikatan pada kaki dan
tangan Malin Sati.
“Seorang tinggi besar bermuka buas, berkumis dan
berjenggot lebat. Saya ditangkapnya sewaktu sedang
bermain di pantai. Lalu diikat dan dibawa ke dalam goa
ini…”
“Kau tahu mengapa orang itu menangkap dan meng-
ikatmu lalu membawamu ke sini?” tanya dara berpakaian
ungu sambil menggoyang-goyangkan rambutnya yang
basah.
“Saya tidak tahu kakak,” jawab murid Tua Gila. “Lalu di
mana orang yang mengikatmu itu sekarang?”
“Dia pasti masih berada. di pulau ini. Karena pada
waktu-waktu tertentu dia setalu kemari untuk melihat dan
mengawasi saysa..”
Gadis baju ungu tampak berpikir-pikir.
“Kakak, kau ini siapa? Ada hubunganmu dengan guru?’
bertanya malin Sati.
”Namaku Pandansuri. Aku datang dari Wars, Aku
berhutang budi bahkan nyawa pada gurumu. Beberapa
tahun lalu gurumu bersama seorang pendekar muda
pernah menyelamatkan diriku. ltutah sebabnya aku merasa
sangat penting untuk menziarahi makamnya.”
“Tidak, tidak mungkin! Guru jelas sedang pergi, tak ada
di pulau. Bagaimana mungkin kakak mengatakan hendak
menziarahi makamnya? Di pulau ini sama sekali tidak ada
kuburan!”
“Ini adalah aneh! Sebagai murid kau tentu tidak
berdusta mengatakan bahwa gurumu masih hidup,” Kata
Pandansari pula. “Kalau begitu mari kita cari orang yang
telah menangkap dan menyekapmu di goa ini!”
“Hati-hati, manusia itu jahat sekali. Ilmu kepandaiannya
pasti tidak rendah. Dan saya yakin ilmunya dipergunakan
untuk berbuat jahat!”
Pandansuri pegang kepala anak itu lalu berkata, “Kita
pergi sebentar lagi kalau badai mulai reda.”
Malin Sati bangkit berdiri. “Maafkan saya kakak. Saya
tidak bisa menunggu. Saya harus menyelidiki apakah guru
telah kembali, lalu apakah benar ada makam di pulau ini.”
“Kau murid baik, Malin. Mari kita sama-sama me-
nyelidik.”
Dibawah hujan lebat dan angin kencang kedua orang flu
tinggalkan goa di dinding batu karang.
“Kau tentu tahu setiap sudut pulau ini. Kau jalan di
depan,” kata Pandansari.
Malin Sati berjalan di sebelah depan. Sang dara meng-
ikuti dari belakang. Tak selang berapa lama keduanya
sampai di gubuk kediaman Tua Gila. Si anak terkejut ketika
melihat isi gubuk berantakan sedang gurunya tak ada di
situ.
“Pasti ini perbuatan manusia jahat itu!” kata Malin Sati
dengan kepalan tinjunya. Dia melangkah keluar gubuk.
Saat itu hujan mulai reda tapi tiupan angin masih keras
dan mengeluarkan suara menggidikkan.
“Saya harus menyelidiki seluruh pulau! Orang jahat itu
jangan- jangan telah mencuri sesuatu dari gubuk guru!”
Tanpa berpaling pada Pandansuri Malin Sati langsung
melangkah pergi.
Sang dara cepat memegang bahu anak itu lalu berkata.
“Seperti katamu, orang jahat yang menyekapmu itu pasti
masih ada di pulau ini. Kita harus berhati-bati. Biar aku
yang di depan sekarang. Bisakah kau berjalan tanpa
mengeluarkan suara?”
Malin Sati mengangguk. Lalu seolah-olah seperti
hendak membuktikan dia melangkah cepat diantara
semak belukar sedang di tanah jejak kakinya kelihatan
tidak melesak dalam.
“Ah, Tua Gila tentu telah mengajarkan ilmu meringan-
kan tubuh pada anak ini…” kata Pandansuri dalam hati.
Kedua orang itu bergerak menuju bagian tengah pulau.
Pandansuri di sebelah depan, Malin Sati di belakangnya.
Kadang-kadang anak ini karena ingin lebih cepat, me-
langkah mendahului. Terpaksa si gadis menariknya cepat-
cepat. Di suatu tempat Pandansuri hentikan langkahnya.
“Aku mendengar suara orang tertawa di kejauhan.
Apakah kau mendengarnya?”
Malin Sati gelengkan kepala mendengar pertanyaan
Pandansuri itu.
“Ikuti aku. Tapi harus lebih hati-hati…” kata Pandansuri
lalu bergerak ke jurusan di mana dia tadi mendengar
datingnya suara orang tertawa.
Pandansuri sampai di depan sebuah lapangan kecil
yang becek. Gadis ini cepat menekap mulut Malin Sati dan
menariknya ke balik sebatang pohon besar ketika di-
dengarnya si anak sempat mengeluarkan suara tercekat
sewaktu melihat pemandangan di depannya.
Kalau Malin Sati terkejut dan bergidik melihat empat
sosok mayat rusak yang terikat di tiang serta adanya dua
buah makam dimana salah satunya terbuka secara aneh,
maka Pandansuri lebih terkesiap pada perkelahian yang
terjadi antara seorang manusia bertubuh tinggi besar
dengan seorang pemuda yang segera dikenalinya sebagai
pemuda bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212.
Pemuda inilah yang dulu menyelamatkannya bersama
Tua Gila dari tangan ayah angkatnya yang sesat yaitu Raja
Rencong Dari Utara.
Seat itu Pandansuri menyaksikan bagaimana tubuh
Wiro terpental masuk ke dalam liang kubur batu akibat
hantaman mantel sakti orang tinggi besar. Ketika orang itu
tampak menekan sesuatu di kepala makam. Ketika batu
penutup makam terhempas jatuh Pandansuri secara tidak
sadar keluarkan seruan memanggil nama pendekar itu.
“Wiro!”
Suara teriakan Pandansuri inilah yang membuat Datuk
Tinggl Raja Di Langit jadi tersentak dan dia segera
menyadari bahwa ada orang lain di tempat itu.
Pandansuri sendiri begitu sadar telah berbuat ke-
salahan segera menarik lengan Malin Sati lalu berkelebat
meninggalkan pohon tepat pada saat Datuk Tinggi kiblat-
kan Kapak Naga Geni 212 yang memporak-porandakan
pepohonan dan bebatuan di tempat itu.
***
WIRO SABLENG
11 MAKAM TANPA NISAN
i dalam liang makam batu yang gelap itu bahkan
tangan di depan matapun tidak kelihatan- Pendekar
212 Wiro Sableng masih berada dalam keadaan
setengah sadar. Hantaman mantel sakti Datuk Tinggi Raja
Di Langit bukan main dahsyatnya. Di samping itu kepalanya
juga telah membentur dinding batu dengan keras.
Selang beberapa lama setelah kesadarannya kembali
pulih, murid Eyang Sinto Gendeng ini berusaha berdiri.
Kedua tangannya coba mendorong g, batu tebal penutup
makam Tapi batu yang berat itu tidak bergeming sedikit
pun. Akhirnya dia hanya bisa tegak tersandar memikirkan
bagaimana mencari jalan keluar dari sekapan. Aneh,
tubuhnya terasa sangat letih. Dicobanya mengerahkan
tenaga dalam tapi tidak berhasil. Ada sesuatu yang menye-
babkan hal itu dan dia tidak tahu apa.
Perlahan-lahan Wiro kembali duduk di lantai makam.
Dalam gelap dia pergunakan lengan bajunya untuk me-
nyeka darah yang mulai mengering di bawah hidung dan di
sudut bibirnya. Saat itu hidungnya mencium bau aneh
dalam ruangan batu itu, Dia lalu ingat pada pipa kecil yang
ada di batu tebal di atasnya. Dalam gelap dia meraba dan
berhasil menyentuh pipa itu. Wiro berpikir-pikir apa keguna-
an pipa itu, Mungkin untuk keluar masuknya udara?
Dengan pipa sekecil itu beberapa lama dia bisa bertahan di
tempat itu? Datuk Tinggi memberinya waktu empat hari.
Berarti itulah batas kehidupannya! Empat hari tanpa
makan tanpa minum. Dan disekap di ruang batu seperti itu
D
terasa udara menjadi makin panas saat demi saat.
“Bangsat itu minta kitab Seribu Macam Ilmu Peng-
obatan! Gila! Kalaupun aku membawa kitab itu tak bakal
aku serahkan padanya! Agaknya aku sudah ditakdirkan
menemui kematian dengan cara begini rupa…”
Pikiran Pendekar 212 menjadi kacau. Sekujur tubuhnya
terasa sakit dan lemas. Kepalanya juga masih mendenyut-
denyut. Pakaiannya basah oleh keringat. Tiba-tiba dia ingat
makam di sebelahnya. Sebelumnya dia telah mendengar
suara ketukan sayup-sayup datang dari dalam makam itu.
Ketika dia mengetuk, dari dalam terdengar suara ketukan
balasan. lalu dia ingat pula pada asap seperti asap rokok
yang ada di sekitar makam.
“Kalau diriku dijebloskan hidup-hidup begini, jangan-
jangan Tua Gila juga mengalami nasib sama…” Wiro lalu
keluarkan batu hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni
212 yang masih tersisip di pinggangnya. Dengan batu
hitam itu diketuknya dinding batu sebelah kanan, dua kali
berturut-turut. Lalu dia menunggu. Tak ada jawaban.
“Mungkin orang tua itu sudah …” Wiro tidak teruskan
ucapannya, kembali dia mengetuk. Tiba-tiba dari balik
dinding batu ada suara ketukan balasan. Perlahan sekali.
“Kakek Tua Gila! Kau ada di situ?!” Wiro berteriak keras-
keras.
Jawaban yang terdengar hanya ketukan halus.
“Kakek Tua Gila! Kau yang mengetuk…!?”
“Siapa yang menyebut namaku?!”
Ada suara menyahuti. Halus dan jauh tetapi cukup jelas
terdengar oleh murid Sinto Gendeng:
“Aku Wiro Sab!eng!” Wiro berteriak keras-keras. Hatinya
gembira mendapatkan jawaban. Lalu keningnya jagi meng-
kerut ketika didengarnya suara di kejauhan itu berkata.
“Nasib kita sama jeleknya! Tidak, aku lebih jelek. Kau tentu
baru saja dijebloskan dalam makam batu! Aku sudah sejak
tiga hari lalu…!” Terdengar suara tawa mengekeh.
“Ah, benar rupanya oratig tua itu dijebloskan di makam
sebelah! Gila! Dalam keadaan seperti itu dia masih bisa
tertawa,” kata Wiro dalam hati. Lalu pendekar ini bertanya.
“Bagaimana kau bisa bertahan hidup kek?”
“Hanya karena belas kasihan Yang Kuasa!”
“Selagi di luar aku melihat dan mencium seperti asap
rokok, Apakah kau yang merokok?!”
“Tidak sa!ah! Hanya itu yang bisa menjadi penyumpal
mulut dan perutku! Tapi aku tidak akan biasa bertahan
lama. Paling lama empat hari lagi malaikat maut pasti
menemuiku! Mengapa kau tahu-tahu muncul di pulau ini.
Kemunculan yang membawa celaka dirimu! Tua bangka
sepertiku mati di tempat ini tidak menjadi apa. Tapi kau
masih muda…!”
Wiro terdiam sesaat mendengar kata-kata terakhir Tua
Gila itu. Lalu dia membuka mulut.
“Di luaran tersebar berita bahwa kau telah meninggal
dunia. Itu sebabnya kuperlukan datang kemari. Ternyata ini
jebakan belaka! Apa betul keparat yang menjebloskan
diriku itu adalah kakak Datuk Sipatoka yang kita habisi
beberapa tahun lalu di Bukit Tambun Tulang?! Siapa nama
bangsat itu?!”
“Namanya aku tidak tahu. Dia menyebut dirinya dengan
gelar Datuk Tinggi Raja Di Langit! Dia memang kakak Datuk
Sipatoka…! Dia muncul membawa dendam kesumat!”
“Bagaimana kau bisa dikalahkan lalu dijebloskan ke
dalam makam batu itu kek?!”
“Mantel hitamnya itu! mantel itu merupakan senjata
hebat luar biasa! Tua bangka ini tak sanggup
menghadapinya! Siapapun tak bakal sanggup mengalah-
kannya! Kecuali ada yang berhasil menarik lepas mantel
hitam saktinya itu!”
Wiro teringat pada jubah Kencono Geni milik keraton di
Jawa. Siapa saja yang mengenakan jubah itu tak satu
kekuatanpun sanggup mengalahkannya.
“Di samping itu,” terdengar lagi suara Tua Gila. “Datuk
Tinggi memiliki senjata rahasia yang luar biasa. Orang-
orang dalam dunia persilatan di Andalas menyebut senjata
itu Mutiara Setan. Senjatanya memang mutiara sungguhan
tapi berwarna hitam. Tidak beracun namun ganas sekali.
Siapa saja yang sampai ditancapi Mutiara Setan tubuhnya
pasti akan menemui kematian dalam waktu sekejapan.
Datuk Tinggi selalu mencari sasaran di kening lawan!”
“Mutiara Setan!” desis Wiro. “Senjata aneh dan mahal
harganya!”
“Anak muda, apakah datuk keparat itu minta buku
Seribu Macam Ilmu Pengobatan padamu?!” bertanya Tua
Gila dari makam sebelah.
“BetuI!” jawab Wiro. “Tentu saja aku tidak membawa
buku itu ke mana-mana. Sekalipun kubawa tak akan ku-
berikan padanya!”
“Padaku dia juga minta buku itu! Kukatakan kalau buku
itu tidak ada padaku. Lalu dia minta senjataku Benang
Kayangan. Tapi dia tidak bisa mendapatkannya karena
benang sakti itu keburu kumasukkan ke dalam mulut dan
kutelan! Kini senjata langka itu aman dalam perutku!” Tua
Gila tertawa mengekeh. Lalu dia meneruskan ucapannya.
“Iblis tinggi itu memberikan waktu tujuh hari padaku! Jika
aku tidak memberi tanda dengan ketukan maka tamatlah
riwayatku!”
Wiro menghela nafas panjang. “Kalau begitu aku lebih
celaka darimu, kek! Datuk Tinggi berhasil merampas
senjata warisan Eyang Sinto Gendeng!”
“Maksudmu Kapak Naga Geni 212?!”
“Betul kek!”
“Ahl Padahal jika, senjata itu ada padamu saat ini,
mungkin bisa dipergunakan untuk membobol dinding atau
atap makam keparat ini!” kata Tua Gila pula. Tapi dia
segera menyambung. “Mungkin juga tidak! Senjata itu tidak
akan ada gunanya di dalam tempat ini. Karena kita tidak
bisa mengerahkan tenaga dalam!”
“Betul kek. Aku tadi coba mengerahkan tenaga dalam
tapi tidak berhasil! Apa yang ada di tempat celaka ini?!”
“Datuk Tinggi menaburi semacam obat. Tidakkah kau
membaui hawa aneh dalam makammu?!”
“Memang ada hawa aneh di sini!”
“Hawa itulah yang membuat peredaran darah kita tak
bisa dipacu sehingga tenaga dalam tak bisa dialirkan.
Haws itu pula yang membuat sekujur tubuh kita menjadi
lemah!”
“Apa daya kita sekarang kek? Apakah kita tidak
mungkin bisa keluar dari tempat celaka ini?!”
“Tipis sekali kemungkinannyal Mungkin satu berbanding
seribu! Kita akan sama-sama berkubur di tempat ini! Kita
berdua pasti banyak dosa! Berdoa sajalah dan mints
ampun pada Yang Kuasa atas segala dosa-dosa kita! Ha…
Ha… ha …!”
Wiro terdiam.
“Anak muda! Kau takut menghadapi kematian?!” ter-
dengar Tua Gila bertanya.
“Semua orang akan mati kek. Tapi kalau kematian
datangnya seperti ini, perlahan-lahan dan tersiksa, lebih
baik aku memilih dipancung saja! Kita harus mencari akal
kek!”
“Aku sudah tiga harl mencari akal. Sampai persediaan
rokokku habis! Tapi sia-sia saja!” jawab Tua Gila.
“Waktu aku sampal di tempat ini, aku melihat ada
empat sosok mayat diikat ke tiang kayu!”
“Pasti korban-korban jebakan Datuk Tinggi! Kau kenal
siapa-siapa mereka?!”
“Belum sempat memeriksa Datuk keparat itu sudah
muncul! Tapi ada satu hal. Sewaktu aku dijebloskan ke
dalam makam ini, aku masih sempat mendengar sese-
orang berterlak menyebut namaku! Mudah-mudahan saja
ada yang bakal menolong kita!”
“Jangan terlalu berharap anak muda! Yang memanggil-
mu itu bukan mustahil adalah malaikat maut yang sudah
mengenalimu!” kata Tua Gila pula lalu kembali tertawa
gelak-gelak. Dalam hatinya Pendekar 212 jadi me-
nyumpah. Dia duduk bersandar ke dinding batu dan ulur-
kan kedua kakinya lurus-lurus. Hawa di tempat itu semakin
panas. Jangan-jangan dia tidak mampu bertahan sampai
empat hari.”
“Kek! Demi menyelamatkan nyawamu aku bersedia
memberikan kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan itu!”
“Jangan tolol!” membentak Tua Gila dari makam
sebelah. “Sekalipun kau berikan seribu buku dan seribu
senjata mustika pada Datuk Tinggi, manusia keparat itu
tetap saja akan membunuh kita! Keinginan utamanya
adalah membalaskan dendam kesumat kematian adiknya.
Yaitu membunuh kita berdua dan semua sahabat kita yang
tertipu muncul di pulau ini! Kalau memang ingin selamat
sudah sejak kemarin-kemarin kuberikan Benang Kayangan
padanya!”
“Jadi beginilah perjalailan hidupku!” kata Wiro. Untuk
pertama kalinya dia menggaruk kepalanya berulang kali.
“Mati terjebak dalam makam batu!”
“Kau terlalu mengawatirkan kematian dirimu! Apalah
kau sudah punya anak?!” Tua Gila bertanya dari sebelah.
“Kawin saja belum! Bagaimana punya anak?!” sahut
Wiro setengah mengomel.
Tua Gila terdengar tertawa gelak-gelak.
Wiro memaki panjang pendek dalam hati. Lalu dia me-
lengak ketika lapat-lapat dia mendengar suara orang me-
ngorok!
“Pasti itu si Tua Gila! Edan! Bagaimana dalam keadaan
seperti ini dia masih bisa enak-enakan tidur! Malah sampai
ngorok segala!” kata Wiro dalam hati merutuk tidak henti-
hentinya.
Pendekar 212 berusaha mengatur jalan nafas dan per-
edaran darah. Lalu berusaha menghimpun tenaga dalam.
Tapi setiap dikerahkan selalu tidak berhasil. Sementara
tubuhnya terasa semakin lemas.
Pendekar ini tidak tahu berapa lama dia telah berada
dalam pendaman makam batu itu ketika tiba-tiba dia men-
dengar suara berdesir. Sesaat kemudian ada angin bertiup
masuk ke dalam liang batu itu. Lalu Wiro melihat sedikit
cahaya dan menyusul terbukanya atap batu makam!
“Kakek Tua Gila! Batu penutup makamku terbuka!”
teriak Wiro memberi tahu. Lalu cepat berdiri.
Tapi untuk melompat keluar dari makam yang dalamnya
lebih tinggi dari tubuhnya itu dia tidak sanggup oleh
keadaan tubuhnya yang lemas. Wiro berjingkat dan
berusaha menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.
Hujan dan badai tak ada lagi. Tapi udara di atasnya
diselimuti kegelapan walau tidak segelap dalam liang batu
tadi. Ini memberi pertanda bahwa saat itu hari telah
malam.
Wiro berusaha lagi untuk bisa keluar dari dalam lobang
itu. Namun sia-sia. Tubuhnya masih sangat lemas. Dia
mendongak ke atas don melihat sepasang kaki di tepi
makam batu. Lalu ada tangan yang diulurkan untuk mem-
bantunya keluar dari makam. Dalam gelap Wiro dapat me-
lihat orang yang hendak menolongnya itu. Dia tidak kenal
lelaki ini. Tapi jelas bukan Datuk Tinggi. Maka Pendekar
212 ulurkan pula tangannya siap untuk ditarik ke atas.
Sesaat kemudian Wiro telah keluar dari dalam liang maut.
itu.
“Pandeka mudo, Nyanyuk Amber berpesan agar kau
lekas mengatur jalan darah dan pernafasan. Menghirup
udara segar sebanyak-banyaknya agar dapat menghimpun
tenaga dalam!”
“Nyanyuk Amber? Orang tua itu ada di sini?!” tanya Wiro.
“Pandeka akan bertemu dengan beliau. Lekas lakukan
apa yang beliau pesankan.”
“Sahabat, kau sendiri siapa? Terima kasih kau telah
menolongku!”
“Ambo Saringgih, pembantu Nyanyuk Amber. Ambo
harus menolong Tua Gila di makam sebelah!” lalu Saringgih
tinggalkan Wiro. Pendekar 212 segera duduk bersila,
mengatur jalan nafas, darah dan mulai coba mengalirkan
tenaga dalamnya. Hal itu tidak dapat dilakukannya dengan
cepat karena lebih dari setengah harian diri sudah sempat
dipendam dalam makam batu.
Sementara itu Saringgih telah bergerak ke makam yang
satunya. Sesuai petunjuk Pandansuri pembantu Nyanyuk
Amber ini segera menekan batu kecil yang menonjol di
belakang kepala makam. Terdengar suara berdesir, lalu
perlahan-lahan bagian atas makam berikut batu nisannya
bergerak ke atas. Terdengar suara orang tersentak kaget di
dasar makam. Lalu dalam gelap tampak dua tangan kurus
tinggal kulit pembalut tulang menggapai-gapai di tepi
lobang batu. Saringgih cepat menangkap salah satu lengan
Itu lalu menariknya kuat-kuat ke atas.
Pembantu Nyanyuk Amber ini merasakan jantungnya
seperti copot ketika melihat sosok dan wajah orang yang
barusan ditolongnya. Dia telah terbiasa dengan keangker-
an wajah Nyanyuk Amber. Namun manusia yang kini ter-
duduk di hadapannya ini memiliki tubuh dan kepala yang
tidak bedanya seperti jerangkong hidup! Orang yang
barusan ditolongnya ini menatap padanya dengan se-
pasang matanya yang sangat cekung. Pandangannya
dingin mengerikan. Dan dia sama sekali tidak meng-
ucapkan satu patah katapun, apalagi mengatakan terima
kasih! Seperti Wiro orang ini kemudian duduk bersila
mengatur jalan nafas dan darah serta menghimpun tenaga
dalam.
***
WIRO SABLENG
12 MAKAM TANPA NISAN
ARI kita ikuti apa yang terjadi sebelum batu
penutup makam Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-
tiba terbuka. Seperti dituturkan ketika mengenali
bahwa pemuda yang terpental masuk ke dalam liang
makam adalah Wiro Sableng yang dikenalnya, Pandansuri
anak angkat Raja Rencong Dari Utara tanpa sadar telah
berteriak memanggil nama Wiro. Teriakannya ini mengejut-
kan Datuk Tinggi Raja Di Langit. Apalagi suara yang ber-
teriak jelas suara perempuan. Dia menantang agar orang
yang berteriak unjukkan diri. Tapi Pandansuri tidak mau
muncul. Karena sama-sama dari utara Pandansuri sudah
tahu betul siapa adanya Datuk Tinggi. Satu lawan yang
berat untuk dihadapi, apalagi saat itu dia bersama Malin
Sati, murid Si Tua Gila yang baru berusia enam tahun.
Ketika Datuk Tinggi menghantamkan Kapak Maut Naga
Geni 212 yang membuat pepohonan dan batu-batu di
tempat itu menjadi berantakan, Pandansuri cepat menarik
lengan Malin Sati, Kedua orang ini melarikan diri dibawah
cuaca yang masih buruk. Udara yang masih gelap ikut
membantu hingga walau masih mengejar di belakang tapi
Datuk Tinggi telah tertinggal jauh.
Pandansuri sengaja menempuh bagian pulau yangt
rapat dengan pepohonan, lalu membelok ke arah dimana
Nyanyuk Amber dan Saringgih berada dalam sebuah
legukan batu berbentuk goa.
Saat itu karena badai dirasakan mulai reda maka
Nyanyuk Amber yang sudah tidak sabaran untuk mengejar
M
pemuda berpakaian putih berambut gondrong seperti yang
dilihat dan diberitahukan oleh Saringgih kepadanya. Ber-
dasarkan ciri-ciri yang dikatakan pembantunya itu Nyanyuk
Amber sudah dapat menduga bahwa si pemuda bukan lain
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, dengan siapa dia be-
berapa tahun lalu menghancurkan sarang Datuk Sipatoka
dan membunuh manusia jahat itu di Bukit Tambun Tulang.
“Saringgih! Lekas dukung aku! Kita harus mengejar
pemuda yang kau lihat itu. Badai kurasa sudah mulai reda!’
Saringgih segera lakukan apa yang diperintahkan
Nyanyuk Amber. Baru satu langkah dia keluar dari legukan
batu, pembantu ini cepat bersurut kembali.
“Eh, ada apa Saringgih?!” tanya si orang tua. Telinganya
di pasang.
“Ada orang mendatangi dari jurusan pantai sebelah
kanan!” melapor sang pembantu.
“Cepat katakan ciri-cirinyal”
“Ada dua orang Nyanyuk. Yang pertama seorang
perempuan berambut panjang, berpakaian serba ungu…”
“Seorang perempuan berpakaian serba ungu! Apakah
wajahnya ditutupi dengan cadar ungu?”
“Tidak Nyanyuk. Wajahnya tidak ditutup apa-apa. Dari
sini jelas terlihat parasnya cantik. Di pinggangnya ada
sebuah saluang.”
“Tak ada dugaan lain. Orang ini adalah Pandansuri,
anak angkat Raja Rencong. Tetapi kenapa tidak bercadar?
Ah mungkin dia sudah mengikuti perkembangan zaman!
Saringgih, lekas katakan ciri-ciri orang kedua!”
“Seorang anak lelaki kecil. Umurnya belum sampai tujuh
tahun.”
“Anak lelaki? Di pulau ini ada anak lelaki?! Pasti itu
murid si Tua Gila!”
“Kedua orang itu sudah mendekat kemari Nyanyuk.
Kelihatannya mereka seperti dikejar sesuatu!”
Telinga Nyanyuk Amber menangkap suara kaki-kaki
yang berlari itu mendekati legukan batu, maka dia cepat
berseru.
“Pandansuri, lekas masuk ke dalam legukan batu!”
Pandansuri tentu saja jadi terkejut ketika dia men-
dengar ada suara menyebut namanya. Dia memegang
lengan Malin Sati erat-erat seraya memandang ke arah
legukan batu yang tertutup rapat oleh pohon-pohon kecil
serta semak belukar.
Semak belukar terkuak. Saringgih muncul. Tentu saja
Pandansuri tidak mengenali orang ini. Tapi dia seperti
pernah mendengar suara orang yang tadi menyebut nama-
nya.
“Malin, kau kenal orang itu?” tanya Pandansuri. Malin
Sati menggeleng.
“Saudara… Siapa kau?!” tanya Pandansuri.
Dari dalam legukan batu kembali terdengar suara halus
tadi. “Pandansuri, lekas masuk. Untuk sementara kalian
akan aman berada di sini!”
Saringgih menguak semak belukar lebih lebar. mata
Pandansuri kemudian melihat sosok tubuh yang duduk di
lantai legukan batu.
Gadis ini terkejut dan juga girang. Dia berseru.
“Nyanyuk Amber!” Lalu bersama Malin Sati Pandansuri
masuk dengan cepat kedalam legukan batu. Saringgih
segera menutup tempat itu kembali dengan semak belukar
dan pohon-pohon kecil.
Sampai di dalam Pandansuri langsung jatuhkan did,
bersimpuh di hadapan Nyanyuk Amber. Sementara
Saringgih dan Malin Sati terheran-heran. Sepasang mata
Saringgih tidak berkedip memandang Pandansuri. Belum
pernah dia melihat gadis secantik yang satu ini.
“Kakek guru, apakah kau baik-baik saja?” bertanya sang
dara.
“Alhamdulillah. Aku seperti apa yang kau lihat. Kuharap
kau begitu juga. Apakah kau kini sudah tidak mengenakan
cadar ungu lag! Pandan?”
Sang dara memegang wajahnya. _”Cadar itu lepas
ketika saya menuju pantai…”
“Kedatanganmu kemari pasti dengan maksud yang
sama. Menyambangi makam Tua Gila…”
“Betul Nyanyuk. Tapi saya melihat banyak keanehan
dan hal-hal menggidikkan di pulau ini…”
“Aku sudah tahu apa yang kau maksudkan itu. Empat
orang tokoh silat dibunuh dan mayatnya dilkat di tiang
kayu. Ada dua makam. Satu bernisan Tua Gila. Satunya
tanpa nisan..:’
“Rupanya kakek guru sudah tahu semua apa yang ter-
jadi. Tapi apakah kakek juga tahu bahwa Pendekar 212
Wiro Sableng barusan saja dijebloskan Datuk Tinggi Raja Di
Langit ke dalam makam kedua?!”
Terkejutlah Nyanyuk Amber mendengar kata-kata
Pandansuri itu.
“Celaka!” ujar si orang tNa. “Aku baru saja hendak
mengejarnya. Padahal aku tadinya berharap dialah yang
bakal dapat menghajar Datuk Tinggi Raja Di Langit keparat
itu!”
“Kakak Datuk Sipatoka itu memang bukan manusia
sembarangan…” kata Pandansuri pula.
“Pandan, kau dan si datuk itu sama-sama dari utara.
Apa saja yang kau ketahui tentang dirinya. Sepak terjang-
nya sangat meresahkan orang-orang rimba persilatan!”
“Manusia itu memang biang racun segala malapetaka.
Dia bercita-cita menguasai dunia persilatan di Pulau
Andalas. Untuk itu dia telah membekali diri dengan ber-
bagai ilmu. Antaranya senjata rahasia Mutiara Setan yang
sangat berbahaya. lalu sebuah jubah berupa mantel hitam
yang dapat mengeluarkan angin sedahsyat badai…”
“Mantel itu memang luar biasa. Aku sudah sempat kena
hantamannya:.:” kata Nyanyuk Amber lalu menceritakan
pada Pandansuri bagaimana dirinya hampir celaka di
tangan Datuk Tinggi Raja Di Langit.
“Kita menghadapi masalah besar. Tua Gila dikabarkan
meninggal. Makamnya diliputi keanehan. Beberapa tokoh
silat menemui ajal Pendekar 212 dipendam dalam makam
batu! Kita harus menghentikan Datuk Tinggi. Ini bukan
pekerjaan mudah. kita harus mempergunakan akal…”
“Kau betul kakek guru. Datuk Tinggi punya segudang
ilmu. Dia ahli segala peralatan rahasia. Termasuk me-
rancang dua makam batu yang bisa dibuka dan ditutup
bagian atasnya!” Pandansuri pula. “Disamping itu senjata
andalan Wiro yakni Kapak Maut Naga Geni 212 telah jatuh
ke tangan Datuk Tinggi…”
“Ah, celaka! Banar-benar celaka!”
“Kakek guru! Saya tahu letak alat rahasia untuk mem-
buka dan menutup makam Pendekar 212. Saya sempat
melihat Datuk Tinggi menjalankan alat . itu. Kalau kita
biasa membebaskan Wiro, pasti lebih mudah bagi kita
menghadapi Datuk Tinggi. Hanya ada satu cara untuk
dapat mengalahkannya. Menanggalkan mantel hitam yang
melekat di tubuhnya!”
“Hal itu sama saja dengan kita hendak menguliti
harimau hidup!” kata Nyanyuk Amber.
“Tak ada jalan lain kakek guru. Dia tak mempan ditotok.
Selama mantel itu masih melekat ditubuhnya tak ada
senjata atau pukulan saktipun yang mempan atas dirinya!”
Nyanyuk Amber menghela nafas panjang. Orang tua ber-
mata buta ini lama termenung tapi otaknya bekerja keras.
Sesaat kemudian orang tua ini angkat kepalanya.
“Hanya ada satu orang untuk dapat mengalahkan
manusia keparat itu, Pandansuri. Dan ini semua sangat
tergantung pada kesediaan dirimu untuk melakukannya… ”
“Katakan apa yang harus saya lakukan kakek guru,” ujar
Pandansuri.
Nyanyuk Amber tampak seperti bimbang.
“Tak usah ragu-ragu, kek!”
Orang tua itu memberi isyarat dengan anggukan kepala
agar si gadis mendekat. Lalu Nyanyuk Amber membisikkan
sesuatu ke telinga Pandansuri. Serta merta kelihatan paras
sang dara menjadi sangat merah.
***
WIRO SABLENG
13 MAKAM TANPA NISAN
ETELAH berusaha mencari orang yang tadi berteriak
namun tak berhasil menemuinya Datuk Tinggi Raja Dl
Langit segera menuju ke goa kecil di mana dia me-
ninggalkan Malin Sati. Saat itu hujan mulai reda dan angin
tidak sekencang sebelumnya pertanda badal akan segera
berhenti.
Begitu masuk ke dalam goa, terkejutlah sang datuk.
Murid Tua Gila yang ditinggalkannya dalam keadaan terikat
tak ada lagi di tempat itu! Di lantai goa bertebaran akar-
akar pohon yang dijadikan tali untuk pengikat kedua kaki
dan tangan anak itu.
Paras seram Datuk Tinggi berubah tambah angker. Dia
ingat kembali pada suara seruan perempuan sewaktu
Pendekar 212 dijebloskan ke dalam makam batu.
“Seseorang telah melepaskan anak itu! Dia pasti!
Bagaimana aku tidak bisa mengetahui kemunculannya?
Badai celaka tadi yang jadi ulah! Sekali kutemukan anak
itu sebaiknya kuhabisi saja!”
Datuk Tinggi segera membalikkan tubuh. Dia kembali
menuju ke lapangan di mana dua makam terletak.
Menurutnya siapapun yang ada di pulau itu pastilah akan
berada di tempat itu. Mungkin untuk menziarahi makam
Tua Gila, tetapi mungkin sekali untuk berusaha melepas-
kan orang tua yang disekapnya dalam makam batu.
Sampai di lapangan Datuk Tinggi segera menyelidik
setiap sudut. Setelah berpikir sesaat din lalu naik ke atas
sebatang pohon besar berdaun lebat. Dia akan mendekam
S
dan bersembunyi di atas pohon itu. Cepat atau lambat
pasti akan muncul orang yang ditunggunya.
Sampai siang bahkan menjelang rembang petang tak
ada yang muncul. Keadaan sekitar lapangan sunyi sepi.
Dikejauhan terdengar deburan ombak memecah di pantai.
Datuk Tinggi mulai merasa tak sabar. Sebentar lagi
matahari akan segera tenggelam dan slang akan berganti
malam. Dia mulai berpikir-pikir apakah akan segera turun
saja dari atas pohon.
“Tidak mustahil orang itu justru menunggu sampai
malam turun. Baru muncul di tempat ini!” Berpikir begitu
Datuk Tinggi memutuskan untuk tetap saja berada di atas
pohon sementara per!ahanlahan udara mulai tenggelam
dalam kegelapan. Malam mulai merayap.
Tiba-tiba Datuk Tinggi Raja Dl Langit. dongakkan kepala.
Kedw telinganya dipasang baik-baik. Dia mendengar suara
sesuatu.
“Aneh! Tak mungkin ada suara saluang di pulau ini! Tapi
telingaku tidak salah tangkap! Itu memang suara saluang!
Siapa pula yang meniupnya?!”
Datuk Tinggi menunggu sesaat. Suara yang didengarnya
semakin jelas. Orang ini segera turun dari atas pohon,
melangkah ke arah barat yaitu clad arah mana asalnya
suara tiupan saluang itu.
Beberapa saat saja Datuk Tinggi meninggalkan tempat
itu, sesosok tubuh menyelinap keluar clad rerumpunan
semak belukar. Orang ini ternyata adalah Saringgih,
pembantu Tua Gila. Mengendap-endap dia mendekati dua
buah makam di ujung lapangan. Sesuai dengan petunjuk
Pandansuri dia segera mencari batu hitam yang tersembul
keluar di belakang kepala makam bernisan Wiro Sableng.
Karena sudah diberi petunjuk tidak sulit bagi Saringgih
untuk menemukan batu hitam itu. Begitu dilihatnya
langsung ditekannya kuat-kuat. Terdengar suara berdesir
dan perlahan-iahan bagian atas makam berderak mem-
buka!
Datuk Tinggi melangkah dengan hati-hati tanpa
mengeluarkan suara. Semakin dekat dia ke pantal pulau
sebelah barat semakin jelas terdengar suara tiupan salung
itu. Bahkan kini dia mendengar suara orang menyanyi.
Suara perempuan!
Datuk Tinggi menyelinap dibalik batu-batu karang. Di
bagian batu karang paling ujung yang dekat ke pantai dia
hentikan langkah. Dari sini dia melihat seorang perempuan
duduk di atas sebuah batu hitam membelakanginya.
Rambutnya yang panjang terurai di punggung pakaiannya
yang berwarna ungu. Kedua tangannya memegang sebuah
saluang yang ditiupnya dengan suara merdu, diselingi
dengan suara nyanyian yang berhiba-hiba.
Indak disangko larinyo ruso
larinya kancang ka dalam guo
Indak disangko ka cando Iko
Nasib sangsaro sabatang karo
Tinggi-tinggi si matohari
Ayam bakokok di tanah Cino
Baiko bana buruakno diri
Ayah tiado bundopun tiado
Urang Piaman pal ka koto
Urang Talu manjunjung balango
Sangsaro datang siliah batimpo
Kakasiah dicinto lah hilang pulo
(Tidak disangka larinya rusa)
(Larinya kencang ke dalam goa)
(Tidak disangka akan seperti ini)
(Nasib sengsara sebatang kara)
(Tlnggi-tinggi si matahari)
(Ayam berkokok di tanah Cino)
(Begini benar nasibnya diri)
(Ayah tidak ibupun tiada)
(Orang Piaman pergi ke kota)
(Orang Talu menjunjung belanga)
(Sengsara dating silih bergant)i
(Kekasih tercinta telah pergi pula)
Sehabis menyanyi perempuan yang duduk di batu
kembali meniup saluangnya. Kali ini tiupan gadis itu
terdengar tersendat sendat. Sambil menangis sesengguk-
an dia meletakkan saluangnya di atas batu. Lalu perlahan-
lahan dia melangkah ke arah laut. Di tepi pasir perempuan
itu tegak tidak bergerak. Angin laut melambai-lambaikan
rambutnya yang panjang. Lalu dia memalingkan kepalanya
ke kiri. Sesaat Datuk Tinggi dapat melihat wajah
perempuan itu. Temyata dia seorang gadis berparas cantik
jelita.
“Siapa adanya gadis ini..?” bertanya sang datuk dalam
hati. “Agaknya dia muncul di sini bukan untuk melihat
makam Tua Gila. Berarti dia bukan karib atau sahabat
orang tua itu. Dari syair yang dinyanyikannya jelas dia
meratapi nasib dirinya yang sebatang kara. Tanpa ayah
tanpa ibu. Kekasih yang dicintai pergi pula. Hemmm…”
Datuk Tinggi usap dagunya yang ditumbuhi berewok
lebat. Dia sudah siap melangkah untuk mendekati gadis itu
namun niatnya terhenti ketika tiba-tiba dia menyaksikan
sesuatu yang membuat darahnya menjadi panas dan
mengalir cepat. Rangsangan nafsu segera menjalari setiap
sudut tubuhnya yang tinggi besar. Sudah cukup lama dia
tidak pemah melihat tubuh perempuan, apalagi me-
nyentuhnya.
Di alas pasir sana, selagi buih ombak membasahi kaki-
nya, gadis berambut panjang itu tampak membuka baju
ungunya. Baju yang ditanggalkan dicampakkan di atas
pasir. Kelihatan punggungnya yang putih mulus.
Nafas Datuk Tinggi Raja Di Langit mulai memburu. Dari
mulutnya keluar suara menggeram. Matanya dipentang
lebar-lebar. Lalu tampak gadis itu mulai membuka ikatan
celana ungunya. Celana itu merosot sampal ke pinggul.
Lalu tampak si gadis melangkah memasuki air laut.
Setiap langkah yang dibuatnya membuat pakaiannya
semakin merosot jatuh ke bawah. Di dalam air gadis itu
kemudian kelihatan melemparkan pakaiannya yang
terakhir ke dekat baju yang tadi dicampakkannya di atas
pasir. Berarti di dalam air laut itu tak sepotong pakaianpun
lagi melekat di badannya!
Dengan tubuh bergetar dilanda nafsu Datuk Tinggi Raja
Di Langit. melompat keluar dari balik batu karang dan lari
menuju laut.
Gadis di dalam air serta merta balikkan tubuhnya ketika
mendengar ads orang mendatangi. Dia terpekik sambil
cepat-cepat menutupi bagian dadanya yang berada di atas
batasan air laut. Sepasang mata Datuk Tinggi membeliak
melihat kepadatan tubuh sang dara.
“Orang gagah bertubuh tinggi besar! Si… siapa kau…?!”
si gadis bertanya dengan gagap.
“Aku Datuk Tinggi Raja Di Langit! Jangan takut! Aku
tidak menyakitimu…!”
“Tapi Datuk mengintip saya mandi di laut! Sekarang
malah datang mendekati Datuk nakal sekali!”
Datuk Tinggi tertawa lebar. Dari nada ucapan si gadis
jelas dia tidak marah. maka Datuk Tinggipun bertanya.
“Gadis cantik, siapa namamu. Bagaimana tahu-tahu
muncul di sini. Apa kau diam di pulau ini?”
“Saya gadis malang Datuk. Says tengah mencari
kekasih yang pergi. Entah masih hidup entah sudah tiada.
Dan… dan… saya terkejut…”
“Terkejut melihatku?!’
“Betul… Terkejut karena… karena wajah kekasih yang
hilang itu mirip sekali dengan Datuk…”
“Ah…! Kalau begitu biarlah diriku menjadi pengganti-
nya!” kata Datuk Tinggi pula lalu masuk ke daiam laut.
“Datuk Apakah Datuk hendak menemani saya
mandi…?”
“Ya… Aku akan menemanimu mandi di laut yang sejuk
itul” jawab Datuk Tinggi sambil terus melangkah. Air laut
mencapai betisnya.
“Tidak adakah orang yang akan melihat kita berdua-dua
di sini?!” tanya si gadis.
“Jangan kawatir. Pulau ini tidak berpenghuni!”
“Ah… Tapi, apakah Datuk akan mandi dengan masih
berpakaian seperti itu? Lucu…!”
Datuk Tinggi tertawa bergelak. “Pucuk dicinta ulam tibal
Gadis itu jelas minta agar aku menanggalkan pakaian!”
kata sang datuk dalam hati. Lalu tanpa pikir panjang
dengan cepat sekali dia menanggalkan mantel hitamnya.
Melemparkan mantel ini ke atas pasir. Mencapakkan topi
tingginya.
Kemudian membuka baju kuningnya. Kapak Naga Geni
212 yang diselipkannya di pinggang juga dilemparkan
dekat mentelnya hitamnya. Tak ketinggalan kantong kain
berisi senjata rahasianya yaitu Mutiara Setan. Terakhir
sekali kasut kulit yang masih merekat di kakinya terbang di
udara.
Sambil tertawa lebar dan mengangkat kedua tangannya
Datuk Tinggi mendekati si gadis.
“Datuk! Kejar saya!” kata si gadis lalu dia menyelam ke
dalam air.
“Kau akan kukejar kekasihku!” jawab Datuk Tinggi pula
seraya masuk ke dalam laut lebih tengah.
Pada saat itulah tiba-tiba dari balik batu-batu karang
yang gelap berkelebat tiga sosok tubuh. Orang pertama
maju menyambar Kapak Naga Geni 212 dan pakaian ungu
sedang orang kedua melompat menyambar mantel hitam
milik Datuk Tinggi. Orang yang ketiga membuat gerakan
aneh yaitu berguling seperti bola dan cepat sekali dia
menyambar kantong kain berisi Mutiara Setan dengan
mulutnya! Ketiga orang ini kemudian berjejer di tepi pasir.
Dua tegak berkacak pinggang sedang yang yang tadi
menyambar kantong senjata rahasia dengan mulutnya
duduk di pasir! Kantong kain itu dijatuhkan dipangkuannya
tapi sebelumnya dia telah memasukkan lima butir Mutiara
Setan ke dalam mulutnyal
***
WIRO SABLENG
14 MAKAM TANPA NISAN
atuk Tinggi Raja Di Langit melompat dalam air untuk
dapat menangkap tubuh gadis tadi. Tapi dia hanya
menangkap air karena dengan cepat sekali gadis itu
berenang ke tepi pasir. Begitu tubuhnya keluar laut orang
yang tegak di tepi pasir sambil memegang Kapak Naga
Geni 212 melemparkan pakaian ungunya.
Dalam gelap malam gadis itu lari ke balik batu karang
dan cepat-cepat mengenakan pakaiannya kembali. Sesaat
kemudian dia sudah bergabung dengan tiga orang tadi.
Datuk Tinggi tentu saja terkejut besar melihat apa yang
terjadi. Dia berenang ke tepi pasir tapi kedua kakinya
kemudian berhenti ketika menyadari bahwa dirinya saat itu
sama sekali tidak berpakaian.
Sepuluh langkah dihadapannya berdiri orang tua ber-
tubuh dan bermuka jerangkong yang bukan lain adalah Tua
Gila. Di sebelahnya tegak Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu
duduk bersila adalah Nyanyuk Amber, kakek sakti tanpa
mata, tanpa tangan dan tanpa kaki. Dari balik batu karang
kemudian muncul Pandansuri yang saat itu telah
mengenakan pakalan ungunya kembali. Gadis ini meng-
ambil saluangnya dari atas batu lalu berdiri di samping Tua
Gila. Agak disebelah belakang Datuk Tinggi melihat murid
Tua Gila berdirl di sebelah pembantu Nyanyuk Amber.
“Celaka besar! Bagaimana bisa begini kejadiannya?!
Bagaimana kedua orong yang disekap dalam makam batu
Itu bisa lolos?! Mantelku…! Mutiaraku…!”
Datuk Mata Tinggi memandang melotot pada Tua Gila
yang memegang mantelnya, lalu memperhatikan dengan
dada membara pada kantong senjata rahasianya yang ada
D
di pangkuan Nyanyuk Amber.
“Celaka! Bagaimana aku bisa lolos?!” Datuk Tinggi
melirik ke arah pakaiannya yang tercampak di pasir.
“Datuk Tinggil” terdengar Tua Gila berkata. “Kami
memberi kesempatan padamu agar kau bisa mati
berpakaian lengkap!” Orang tua ini menganggukkan
kepalanya pada Pandansuri.
Si gadis maju lalu dengan ujung saluangnya satu per-
satu pakaian Datuk Tinggi termasuk topi dan kasutnya di
lemparkannya ke arah si pemilik. Pakaian, topi dan kasut
itu terapung-apung di air laut. Datuk Tinggi belum bergerak
untuk mengambilnya.
“Ayo lekas kenakan pakaian, topi dan kasutmu!”
beteriak Wiro. “Terlalu lama telanjang kau bisa masuk
angin! Atau mungkin minta sahabatku gadis cantik ini
membantumu mengenakan pakaianmu satu persatu?!”
Tua Gila dan Nyanyuk Amber tertawa gelak-gelak.
Paras Datuk Tinggi mengelam sedang wajah Pandansuri
bersemu merah.
“Kembalikan mantel hitam dan kantong kain itu!” mem-
buka mulut Datuk Tinggi untuk pertama kalinya.
“Keluar dari dalam laut! Kau bisa mengambilnya
sendiri!” jawab Tua Gila.
Datuk Tinggi tidak bergerak. Mulutnya keluarkan suara
menggeram. Tiba-tiba orang ini berlaku nekad. Dia keluar
dari dalam air laut tanpa mengenakan pakaian sama
sekali. Pandansuri cepat palingkan muka.
“Kalian mau membunuhku lakukanlah cepat!” teriak
Datuk Tinggi. Dia melangkah mendekat. Tiba-tiba dia me-
nubruk ke arah Nyanyuk Amber yaitu orang yang paling
dekat. tangan kananya menyambar ke arah pangkuan si
orang tua dimana dilihatnya terletak kantong kain berisi
Mutiara Setan.
Mulut kempot Nyanyuk Amber mengembung. Lalu
kelihatan orang tua ini meniup. Sebuah benda hitam
melesat di udara. Datuk Tinggi berseru kaget ketika
mengenali benda itu bukan lain adalah senjata rahasianya
sendiri! Terpaksa di membuang diri ke samping. Mutiara
hitam melesat membabat rambut diatas telinganya. Datuk
tinggi keluarkan keringat dingin!
Datuk Tinggi ternyata masih dapat mempergunakan
akalnya dalam keadaan kepepet Itu. Sambit mengelakan
serangan senjata rahasia yang melesat dari mulut Nyanyuk
Amber, dia sengaja membuat diri ke arah Tua Gila yang
memegang mantel hitamnya. Dengan gerakan kilat dia
berusaha merampas senjata Itu. Tap! Tua Gila tidak bodoh.
Mantel ditangannya dikebutkan satu kali!
Terdengar teriakan Datuk Tinggi. Tubuhnya terpental di-
hantam angin laksana badai yang keluar dari mantel sakti
itu. Darah tampak mengucur dari hldungnya. Datuk Tinggi
menggerang. Dengan kalap dia bangkit dan kembali
hendak menyergap Tua Gila. Sekali ini gerakkannya ter-
tahan oleh tendangan kaki kiri Pendekar 212. Tubuhnya
terlipat lalu tersungkur di pasir, megap-megap sulit ber-
nafas.
“Kalian bunuh saja diriku! Bunuh saja!” teriak Datuk
Tinggi. “Manusia-manusia pengecut! Beraninya main
keroyok!”
Tua Gila mendengus. Mantel ditangannya diserahkan
pada Pendekar 212.
“Kalau kau ingin perkelahian satu lawan satu, tua
bangka ini siap melayanimu! Coba perlihatkan kembali
ilmu silat Orang Gila ciptaanmu itu!”
Seperti diketahui, selama empat tahun Datuk Tinggi
memang telah menyiapkan did merancang sendirl Ilmu
pemunah ilmu silat Tua Gila. Merasa mendapat
kesempatan maka Datuk Tinggi segera berdiri lalu
menyerbu Tua Gila. Tapi dia lupa, kekuatan tenaga dalam-
nya sebenarnya ada pada mentel hitam sakti yang kini
tidak dimilikinya lagi. Setelah menempur dengan jurus-
jurus hebat selama beberapa kali gebrakan akhirnya Tua
Gila berhasil menghantamkan tangan kanannya, ke dada
Datuk Tinggi.
Darah muncrat dari Datuk Tinggi. Tubuhnya terjengkang
di pasir. Pada seat itu sambil tertawa mengekeh Tua Gila
tunjukkan kesaktiannya. Benang Kayangan yang ditelannya
dan mendekap dalam perutnya sejak beberapa hari di-
muntahkannya kembali. Lalu dengan benang sakti itu di-
ringkusnya kedua kaki Datuk Tinggi. Sekali dia melangkah
maka terseretlah tubuh Datuk Tinggi. Wiro segera meng-
ikuti. Saringgih cepat mendukung Nyanyuk Amber dan
Malin Sati mengikuti dari belakang.
Selama tubuhnya diseret Datuk Tinggi menjerit-jerit
tiada henti. Sekujur tubuh den mukanya luka berkelukuran.
Rombongan orang-orang itu akhimya sampai di lapangan
kecil di tengah pulau di mana dua makam terletak dalam
keadaan terbuka.
Datuk Tinggi segera maklum apa yang akan terjadi atas
dirinya. Maka diapun meraung setinggi langit!
Tua Gila menyeringai. Tangannya yang memegang
benang sakti digerakkan. Benang menggeletar. Tubuh
Datuk Sakti terbetot lalu melayang masuk ke dalam
makam di mana Tua Gila disekap sebelumnya!
“Jangan! Keluarkan aku! Ampun! Aku masih ingin
hidup!” teriak Datuk Tinggi berulang kali sampai suaranya
parau.
Tua Gila berpaling pada muridnya. “Sati! Kau tahu apa
tugasmu!”
Anak enam tahun ini segera melompat ke bagian
belakang kepala makam. Dengan kakinya dia menekan
kuat-kuat batu hitam yang merupakan alat rahasia penutup
bagian atas makam. Terdengar suara berdesir. Lalu batu
penutup makam itupun jatuh dengan suara keras! Jeritan
Datuk Tinggi sertat merta lenyap.
Pendekar 212 menggaruk kepalanya. Mantel hitam
yang sejak tadi pegangnya dilemparkannya ke dalam
makam batu di mana sebelumnya dia disekap. Nyanyuk
Amber mengatakan sesuatu pada pembantunya. Saringgih
kemudian mengambil kantong kain berisi Mutiara Setan
dari balik pinggang pakaian orang tua itu lalu
melemparkannya ke dalam makam.
“Semuanya berakhir sudah…!” kata Tua Gila dan
kembali dia memberi isyarat pada muridnya. Malin Sati
sekali lagi pergunakan kaki untuk menekan batu hitam.
Sekali ini yang terletak di belakang makam dimana Wiro
sebelumnya mendekam. Bagian atas makam menderu
turun setelah lebih dahulu terdengar suara berdesir.
Sesaat keadaan di tempat itu tenggelam dalam
kesunyian. Tiba-tiba terdengar suara Nyanyuk Amber
bergumam seperti menelan sesuatu.
“Senjata setan itu masih tertinggal dimulutku!” kata
Nyanyuk Amber, lalu dia meniup keras-keras. Dua buah
mutiara hitam menyambar dalam gelapnya malam.
Terdengar suara benda keras pecah berantakan. Yang
hancur adalah batu hitam alat rahasia yang dapat menutup
dan mernbuka makam batu di sebelah kiri. Sekali lagi
orang tua itu menlup. Dan buah mutiara setan yang masih
bersisa dalam mulutnya meleset menghancurkan batu
hitam kedua di belakang makam sebelah kanan.
“Sekarang urusan benar-benar beres!” kata Nyanyuk
Amber. “Manusia iblis itu tak mungkin keluar selamatkan
diri! Mantel dan senjata setannya tak mungkin jatuh ke
tangan orang lain!”
“Masih ada yang perlu dirapihkan!” Pendekar 212 Wiro
Sableng keluarkan ucapan sambil mencabut Kapak Maut
Naga Geni 212 dari pinggangnya. “Tua Gila dan Wiro
Sableng belum pernah mati!”
Lalu senjata itu berkiblat dua kali. Suara gemuruh
seperti tawon mengamuk disertal sinar panas menyilaukan
berkelebat.
Traaakkk!
Traaakkk!
Duo batu nisan hitam masih tampak berdiri di kepala
kedua makam batu. Tapi bagian atas yang bergurat nama
Tua Gila dan Wiro Sableng telah dipapas putus!
Sambil menyeringal dan garuk kepala Pendekar 212
berpaling ke arah Pandansuri yang tegak di sampingnya.
“Aku ini manusla tidak sopan. Sejak tadi belum sempat
menegurmu. Apa kabar sahabatku cantik jelilta? Apakah
kau hendak mengajakku mandi bersama di laut malam
ini?!”
Paras Pandansuri menjadi cemberut. Gadis ini meng-
angkat tangannya hendak menampar wajah Pendekar 212.
Tapi Wiro melihat gerakan itu perlahan saja tanda sang
dara tidak sungguhan hendak menamparnya. Wiro cepat
menangkap tangan itu lalu mendekatkannya ke hidungnya
dan menciumnya dengan mesra.
TAMAT
Jakarta, 5 Agustus 1990
MATAHARI belum lama tenggelam. Namun pulau
kecil di pantai barat pesisir Andalas itu telah ter-
bungkus kegelapan. Kesunyian yang mencengkam
dibayang-bayangi oleh deru angin laut dan debur ombak
yang memecah di pasir pulau. Sesekali kunang-kunang be-
terbangan di udara, sesaat menjadi titik-titik terang yang
tak ada artinya lalu menghilang lenyap dan kembali ke-
gelapan kelam menghantu.
Sesosok tubuh berjalan terbungkuk-bungkuk dalam ke-
gelapan. Gerakan kedua kakinya enteng dan hampir tidak
terdengar. Namun binatangbinatang melata yang ber-
telinga tajam dan ada disekitar situ masih dapat men-
dengar gerakan langkah kaki orang ini lalu cepat-cepat
melarikan diri menjauh.
Di samping serumpun pohon bakau orang ini hentikan
langkahnya. Telinganya dipasang tajamtajam. Kedua mata-
nya memandang tak berkesip ke muka. Di depannya dalam
kegelapan dia melihat, ada mata air kecil jernih, yang mem-
bentuk sebuah parit dangkal. Dia mengikuti parit itu ke
arah seberang sana hingga pandangan matanya tertumbuk
pada akar sebuah pohon yang sangat besar.
Lama orang ini menatap pohon besar yang tegak
menyeramkan sejarak dua puluh langkah dari tempatnya
berdiri. Matanya memandang ke arah batang pohon yang
besarnya lebih dari tiga pemelukan tangan manusia itu.
Lalu dia menyeringai dan gelengkan kepala. Dari mulutnya
terdengar ucapan perlahan.
“Di saat orang hendak melakukan kebaikan, menjenguk
sahabat yang berpulang, masih saja ada makhluk-makhluk
lain hendak berbuat kejahatan.”
Orang ini kembali memandang ke arah pohon, lalu dia
berseru. “Manusia dibalik pohon! Apa maksudmu sengaja
sembunyi disitul Hendak menghadang dan membokong?!”
Tak ada sahutan.
Angin laut bertiup kencang. Semak-semak dan daun-
daun pepohonan terdengar bergemerisik. Seekor kadal
hutan melintas cepat di depan kaki orang yang tegak dekat
mata air.
“Ah, dia tak mau menjawab…” kata orang yang barusan
bicara. “Kalau begitu terpaksa aku harus meneruskan
langkah.” Dengan tangan kanannya dia mematahkan
sebuah ranting kecil di samping. Lalu bertongkatkan
ranting ini, orang itu meneruskan langkahnya. Melompati
parit kecil di depannya. Sesaat kemudian dia telah sampai
di hadapan pohon besar. Sosok tubuhnya masih saja tetap
terbungkuk-bungkuk seperti tadi. Namun sepasang mata
dan telinganya dipasang benar-benar.
Satu langkah dia akan melewati pohon besar, tiba-tiba
laksana setan keluar dari sarangnya satu bayangan putih
melompat keluar dari balik pohorl. Sebuah benda ber-
bentuk tombak yang memiliki dua mata menderu ke arah
kepalanya!
“Membokong adalah pekerjaan pengecut!” seru orang
yang diserang. tangan kanannya yang memegang ranting
digerakkan dengan sebat ke atas. Orang ini tahu sekali
bahwa ranting yang dipegangnya tidak akan menang
melawan tombak besi yang menghantam ke arahnya.
Karena itu dia sengaja tidak mau menangkis tetapi ber-
usaha memukul lengan yang memegang tombak bermata
dua itu.
Si penyerang gelap rupanya tahu apa yang hendak di-
perbuat lawan. Sambil menggeser kakinya dan miringkan
tubuh ke kanan, tombaknya yang tadi mengemplang kini
ditusukkan ke dada. Tak ada jalan lain. Mau tak mau yang
diserang sekarang terpaksa pergunakan rantingnya untuk
menangkis. Ranting kecil itu menyelusup ke depan, masuk
di antara dua mata tombak.
Orang memegang tombak terkejut ketika merasakan
bagaimana tombak besinya laksana ditahan satu kekuatan
dahsyat membuatnya tidak mampu untuk mendorong
walau sudah kerahkan seluruh tenaganya. Dengan nekad
kalau tadi dia hanya andalkan tenaga luar, orang ini kerah-
kan tenaga dalam lalu sambil mendorong dia keluarkan
bentakan keras.
Kraaakkkk!
Ranting kayu berderak patah. Tapi tongkat bermata dua
terpelanting ke kiri, nyaris terlepas. Si pemilik tombak
mundur tiga langkah, matanya memandang ke depan, coba
menembus kegelapan untuk dapat melihat wajah orang
yang gagal diserangnya itu. Tapi sia-sia saja. kegelapan
malam begitu pekat sehingga walau berada cukup dekat
dia tidak bisa melihat wajah orang itu, apalagi mengenali-
nya.
Maka diapun bertanya membentak. “Siapa di situ?!”
Jawaban yang didapatnya justru bentakan pula. “Kau
yang menghadang dan menyerang! Aku yang lebih layak
menanyakan siapa dirimu!”
Orang dibalik pohon keluarkan suara mendengus.
“Aku Kiyai Surah Ungu dari Banten! Katakan siapa diri-
mu?!”
“Kiyai Surah Ungu dari Banten…?” mengulang orang
yang masih memegang patahan ranting. “Ah… ah… ah!
Bukankah kau orangnya yang bergelar Pangeran Tanpa
Mahkota, yang menjauhkan diri dari Kesultanan karena
tidak suka dengan kehidupan Keraton yang menurutmu
menjijikkan?”
Dalam gelap berubahlah paras orang dibalik pohon.
Rasa terkejut membuat dia mengeluarkan seruan tertahan.
“Kau telah mengetahui siapa diriku, lalu kau sendiri
siapa adanya?!” tanya Kiyai Surah Ungu.
“Aku belum mau memberi tahu sebelum aku men-
dengar apa keperluanmu jauh-jauh datang ke pulau
terpencil ini!”
“Kau keliwat mendesak. Tapi tak jadi apa karena kau
ada di atas angin. Aku kemari untuk melayat seorang
kawan yang kabarnya meninggal beberapa waktu lalu dan
dimakamkan di pulau ini! Nah aku sudah mengatakan yang
sebetulnya padamu, sekarang giliranmu memberi tahu
siapa dirimu dan apa pula keperluanmu gentayangan di
tempat ini!”
Orang yang ditanya tertawa pendek. “Belum…. Belum
Kiyai. Aku belum akan menjawab pertanyaanmu. Masih
ads pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu kuajukan…. ‘
“Kau membuat aku jadi jengkel dan marah! Apa kau kira
diriku ini seorang pesakitan yang tengah diperiksa dan
perlu ditanyai segala-galanya?!”
“Jangan cepat jengkel, apalagi marah Kiyai Surah Ungu.
Di malam yang gelap begini dimana kita tidak dapat
melihat wajah satu sama lain, tipu menipu bisa saja
terjadi!”
“Apa maksudmu dengan kata-kata itu?!” tanya Kiyai
Surah Ungu.
“”Lupakan saja ucapanku tadi. Aku ingin tahu siapa
sahabat yang kau katakan meninggal dan dimakamkan di
pulau ini…”
“Kau pasti kenal. Dia seorang tokoh silat nomor satu di
kawasan Andalas ini, Pernah membuat nama besar dan
menggegerkan seantero tanah Jawa beberapa puluh tahun
lalu. Dia pernah menyandang gelar Pendekar Gila Patah
Hati. Adapula yang memberinya julukan Iblis Gila Pencabut
Jiwa. Namun di kalangan golongan putih dia lebih dikenal
dengan panggilan Si Tua Gila. Nah sekarang apakah kau
sudah puas atau masih hendak merahasiakan dirimu
sendiri?!”
“Ah, rupanya kita mempunyai tujuan yang sama!”
Kiyai Surah Ungu merasa heran. Tujuan yang sama
belum tentu berarti hati yang sama! “”Katakan apa
maksudmu…?”
“Aku merasa kau ikuti sejak aku menjejakkan kaki di
pulau ini. Kecurigaan membuatku sengaja menghadangmu
di balik pohon ini. ”
“Begitu…?” Orang itu batuk-batuk beberapa kali.
“Kita ternyata adalah dua sahabat lama yang puluhan
tahun tak pernah bertemul”
Kiyai Surah Ungu maju dua langkah.
“Aku memang rasa-rasa pernah mendengar suaramu.
Rasa-rasa mengenali. Tapi…Ah! Otakku sudah agak pikun.
Sulit bagiku menerka kalau kau tidak segera memberi tahu
slapa dirimul”
“Aku Ramadi Watampone dari Bugis!”
“Astaga! Betul kiranya aku berhadapan dengan kawan
sendiri! Bukankah kau yang di timur dikenal dengan nama
besar Pendekar Badik Emas?!”
Orang yang mengaku bernama Ramadi Watampone
tertawa perlahan. “Ulah manusia memang banyak, aku
kebagian menerima ulah dalam bentuk gelar seperti itu!”
Kiyai Surah Ungu sisipkan tombak pendeknya di
pinggang. Dia menyalami Ramadi Watampone. Kedua
orang ini kemudian malah saling berangkulan.
“Puluhan tahun tidak bertemu. Sekali bertemu di
tempat gelap di pulau terpencil begini! Siapa yang tidak
saling curiga!” kata Kiyai dari Banten itu. “Nah, kukira
kehadiranmu disini tentulah juga untuk melayat sahabat
yang mendahului kita.”
“Kau betul Kiyai Surah. Hanya sayang, kita sama-sama
tidak sempat melihat wajah Tua Gila penghabisan kali
sebelum dikubur…”
“Ada baiknya kita segera sama-sama menuju ke makam
sahabat kita itu. Biar aku berjalan duluan…”
“Kalau begitu aku mengikuti dari belakang,” kata
Ramadi Watampone.
Dalam gelap kedua orang yang sama-sama berusia
hampir tujuh puluh tahun itu berjalan beriringan menuju
bagian pulau sebelah timur. Tak berapa lama kemudian
mereka keluar dari kerapatan pepohonan dan sampai pada
sebuah lapangan kecil yang dikelitingi oleh batu-batu
karang runcing diseling oleh batu-batu cadas membentuk
dinding setengah lingkaran.
Karena tempat ini agak terbuka maka kepekatan
malam masih bisa ditembus pandangan mata. Di ujung
depan, di sebelah tengah lapangan tampak dua gundukan
tanah kuburan yang masih merah.
Dari dua makam itu hanya satu yang memiliki batu
nisan.
Kiyai Surah Ungu dan Ramadi Watampone melangkah
ke arah makam namun di tengah lapangan langkah kedua
orang ini mendadak tertahan. Ada dua sosok tubuh meng-
geletak tak berapa jauh dari makam. Ketika diperiksa
keduanya ternyata tidak bernyawa lagi. Wajah mereka ter-
tutup darah yang mulai mengering. Pada kening masing-
masing kelihatan sebuah lobang sebesar kuku ibu jari. Dari
lobang inilah darah sebelumnya mengucur.
“Kiyai Surah… Kau mengenali siapa adanya mayat-
mayat ini?!”
Yang ditanya menggeleng. Malah balik bertanya
“Kau…?”
“Tak pernah kulihat wajah keduanya sebelumnya. Tapi
dari dandanan mereka pasti yang seorang dari dunia per-
silatan dan satu lagi yang masih menggenggam keris
seperti orang bangsawan. Mungkin juga pejabat dari
sebuah kerajaan…”
Kiyai Surah mengambil keris dari genggaman mayat.
Meneliti badan dan hulu senjata itu lalu berkata, “Gagang
keris menunjukkan senjata ini berasal dari Istana Gading di
selatan…”
“Kita menghadapi satu peristiwa pembunuhan, Kiyai!”
kata Ramadi Watampone alias Pendekar Badik Emas.
“Itulah yang ada dibenakku…” jawab Kiayi Surah Ungu
seraya memandang berkeliling. Hanya pepohonan dan
batu-batu cadas serta batu-batu karang yang tampak
menghitam dalam kegelapan.
“Sulit, dipercaya, pada saat kita hendak menyambangi
makam seorang sahabat, tahu-tahu dihadapkan pada
peristiwa seperti ini. Siapa yang dibunuh dan siapa yang
membunuh?’
Ramadi Watampone memegang tubuh salah satu mayat
lalu berkata, “Meski darah di mukanya mulai mengering
tapi tubuhnya masih agak hangat. Pertanda orang ini
belum lama menemui kematian…”
“Jangan-jangan pembunuhnya masih berada di sekitar
sini… ” ujar Kiyai Surah lalu memandang berkeliling sekali
lagi. Kemudian dia berpaling pada Ramadi dan berkata,
“Sahabatku, ingat waktu kukatakan padamu ada sese-
orang yang mengikutiku sejak aku menjejakkan kaki di
pulau ini? Aku tadinya menduga kau yang menguntit.
Sekarang aku punya dugaan lain. Mungkin sekali pem-
bunuh itulah yang mengikutiku…!”
***
WIRO SABLENG
2 MAKAM TANPA NISAN
ntuk beberapa lamanya kedua orang tua itu sama-
sama jongkok dan saling pandang dengan perasaan
tidak enak. “Aku punya firasat ada orang lain tengah
memperhatikan gerak gerik kita saat ini…” berbisik Kiayi
Surah Ungu.
Ramadi Watampone jadi merasa tidak enak mendengar
kata-kata itu. Tengkuknya seperti dihembus angin dingin.
Setelah berdiam sesaat dia lalu berkata, “Apapun yang
terjadi di tempat ini harus kita lupakan dulu. Maksud
utama kita kemari adalah untuk berziarah melihat makam
sahabat kita Tua Gila. Mari kita ke makam sana …”
“Tunggu dulu sahabat,” berkata Kiyai Surah seraya me-
megang lengan Ramadi. “Kalau kita berada di makam,
punggung kita harus membelakangi dinding batu-batu
cadas dan batu-batu karang. Dengan begitu kita tak
mungkin dibokong orang. Siapapun yang hendak mem-
bunuh kita pasti akan muncul di arah depan…”
“Kau betul. Kita harus berhati-hati…” kata Ramadi pula.
“Sebaiknya melangkah mundur.”
Kedua orang itu kemudian mendekati dua buah makam
dan melangkah mundur dalarn gelap. Begitu sampai
keduanya mengambil kedudukan di belakang batu nisan.
Mereka memperhatikan keadaan sekeliling beberapa saat.
“Aneh…” kata Ramadi Watampone. “Mengapa ada dua
makam di tempat ini?”
“Keanehan itu sudah kupertanyakan dalam hati sejak
pertama kali aku melihat dua makam ini tadi,” menyahuti
U
Kiyai Surah Ungu. “Yang satu ada nisannya. Terbuat dari
batu hitam. Di sini digurat nama Tua Gila. Tapi makam satu
di sebelahnya ini sama sekali tidak memiliki batu nisan…”
“Apakah sahabat kita Tua Gila mempunyai istri?” tanya
Ramadi Watampone.
Kiayl Surah menggeleng. “Setahuku kakek-kakek itu tak
pernah punya istri… Kalaupun ini makam istrinya, lalu
mengapa tidak ada batu nisannya?”
“Hemmm, sulit diduga makam siapa yang satu ini,”
berkata Pendekar Badik Emas.
“Ada satu keanehan lagi…” ujar Kiyai Surah.
“Apa?”
“Kedua kuburan ini sama-sama masih merah tanahnya.
Berarti siapapun yang dimakamkan di dua kubur ini
waktunya tidak berbeda banyak …”
“Kau benar,” kata Ramadi dan hatinya merasa tidak
enak. lalu setengah berbisik dia bertanya: “Apakah kau
mencium bau sesuatu…?”
Kiayi Surah Ungu menatap Ramadi sesaat lalu meng-
hirup udara malam dalam-dalam, coba membaui sesuatu
yang dimaksudkan Ramadi Watampone.
“Memang ada bau sesuatu. Tapi sulit kuterka bau
apa…” kata sang Kiayi kemudian. “Bau apa yang tercium
oleh hidungmu, Pendekar Badik Emas?”
“Seperti bau asap…” jawab Ramadi pula. “Baunya ada
tapi bentuknya tidak kelihatan.”
“Sudahlah. Mari kita membaca doa dan apa saja untuk
almarhum sahabat kita Tua Gila. Mudahmudahan dia di-
berikan tempat yang paling baik oleh Yang Maha Kuasa.”
Ramadi mengangguk. Kedua orang tua itu lalu mem-
baca berbagai surat suci dan memanjatkan doa panjang
bag! Tua Gila. Menjelang dini hari baru mereka selesai.
Ramadi Watampone memandang pada sang Kiyai lalu ber-
tanya apa yang akan mereka lakukan sekarang.
“Sesudah menengok makam Tua Gila sebenarnya kita
bisa saja segera meninggalkan pulau ini. Tetapi tidak
pantas rasanya kalau kita tidak mengurusi jenazah kedua
orang ini…” berkata Kiyai Surah.
“Kalau begitu kita terpaksa menunggu sampai pagi.”
“Kita tidak punya peralatan cukup untuk menggali kubur
dan menanam jenazah mereka. Aku punya cara yang lebih
gampang. Kita memanggul masing-masing seorang dari
keduanya. Membawanya ke atas perahu. Lalu membuang-
nya di tengah lautan. Itu lebih balk dari pada meninggalkan
mereka membusuk atau dirusak binatang di tempat ini.”
Baru saja Kiyai Surah berkata begitu tiba-tiba dikejauh-
an terdengar suara raungan anjing, panjang meng-
gidikkan.
Kiyai Surah merapatkan kerah jubahnya. “Aneh… Di
pulau seperti ini ada anjing..:” katanya.
“Makin lama berada di pulau ini semakin tidak enak
perasaanku,” berucap Ramadi Watampone berterus-terang.
“Kita berangkat sekarang?”
Kiyai Surah mengangguk.
Kedua orang itu lalu membungkuk, untuk memanggul
masing-masing satu jenazah. Namun belum sempat
mereka menyentuh tubuh-tubuh tak bernyawa itu tiba-tiba
keduanya merasa ada seseorang bergerak di belakang
mereka.
Kiyai Surah dan Ramadi Watampone segera membalik.
Keduanya sama melengak kaget. Hanya delapan langkah
di hadapan mereka tegak sesosok tubuh tinggi besar.
Selain pakaian warna kuning yang dikenakannya, orang ini
juga bermantel hitam dalam sebatas lutut. Wajahnya ter-
lindung oleh kepekatan malam hingga tak bisa dikenali. Di
kepalanya bertengger sebuah topi tinggi
“Hati-hati… Mungkin sekali kita tengah berhadapan
dengan pembunuh kedua orang itu, Ramadi …” bisik Kiyai
Surah.
“Aku malah memastikan orang di depan kita ini pem-
bunuh kedua orang ini,” sahut Ramadi Watampone. Lalu
tangannya digeser ke letak dimana senjatanya terselip
yaitu sebilah badik berbadan dan bergagang emas.
Kiyai Surah Ungu melakukan hal yang sama. Berjaga-
jaga dengan mendekatkan tangan kanannya pada tombak
bermata dua yang tersisip di pinggangnya.
“Kalian mau bawa ke mana dua mayat itu?!” Tiba-tiba
sosok yang tegak di depan sana bertanya.
Suaranya garang dan keras.
“Kami bermaksud mengurus jenazah-jenazah ini. Mem-
buangnya di tengah laut,” menjawab Kiyai Surah.
“Kalian tidak akan sempat melakukan itu!” Orang tinggi
besar berkata.
“Kenapa tidak?!” tanya Ramadi Watampone.
“Karena kutuk telah jatuh terhadap siapa saja yang
menjejakkan kaki di pulau ini. terhadap siapa saja yang
Menziarahi makam Tua Gila! Dalam beberapa saat kalian
berdua akan menemui kematian seperti kedua orang itu!”
Terkejutlah Kiyal Surah dan Pendekar Badik Emas.
“Jadi kau yang membunuh kedua orang itu?!” tanya
Kiyai Surah puia. Tangannya telah memegang batang
tombak erat-erat.
“Kamu sudah tahu kenapa bertanya?!”
“Katakan siapa kau adanya!” tanya Ramadi.
“Kalian tak layak bertanya! Manusia-manusia sahabat
Tua Gila sudah kusumpah untuk mati di tempat inil Di
depan makam Tua Gila sendiri!”
“Kita tidak bersilang sengketa, mengapa menginginkan
jiwa kami?!” tanya Kiyai Surah.
Si tinggi tertawa pendek. “Kematian memang tidak
selalu disebabkan oleh silang sengketa. Tetapi Tua Gila
telah menanam bahala dan silang sengketa beberapa
tahun yang silam. Dan aku telah bersumpah siapa saja
sahabat Tua Gila yang muncul di sini akan kuhabisi nyawa-
nya. Termasuk kalian berdua!”
Sehabis berkata begitu orang tinggi besar itu melompat
ke depan. Kedua tangannya membuat gerakan aneh dan
menimbulkan angin deras. Kedua kakinya yang melompat
menimbulkan getaran sewaktu menjejak di tanah.
Kiyai Surah dan Ramadi yang sejak tadi memang sudah
berjaga-jaga cepat menghindar ke samping. Dari kiri kanan
mereka lalu balas menyerang.
Tapi angin yang menyambar dari kedua tangan orang
tinggi besar itu membuat dua orang tua ini terhuyung-
huyung.
Pendekar Badik Emas dan Kiyai Surah Ungu serta merta
kerahkan seluruh tenaga dalam yang mereka miliki lalu
menghantam secara bersamaan.
Orang yang diserang jadi terkejut juga. Dari mulutnya
keluar suara seperti menggereng. Kernbali kedua tangan-
nya bergerak untuk menangkis serangan kedua lawannya.
Bukkk!
Bukkk!
Terdengar dua kali suara bergedebuk begitu tangan
masing-masing beradu keras. Kiyai Surah Ungu terpental
empat langkah. Lengannya seperti dihantam potongan
besi. Paras sang Kiyai berubah pucat. Pendekar Badik
Emas mengalami hal yang sama. Tubuhnya mencelat tiga
langkah dan dari mulutnya terdengar seruan kesakitan.
Si tinggi besar tertawa bergelak.
“Aku senang melihat manusia-manusia seperti kalian.
Walau ilmu kepandaian cuma sejengkal tapi berani me-
nantang!”
Bukan main panasnya hati Kiayi Surah Ungu dan
Pendekar Badik Emas. Mereka telah mendalami ilmu silat,
tenaga dalam bahkan kesaktian selama bertahun-tahun.
Dalam dunia persilatan mereka dihormati dan menjadi dua
tokoh yang disegani. Kini seorang tak dikenal enak saja
mengejek kepandaian mereka!
“Manusia sombong! Lekas beri tahu siapa kau sebenar-
nya?!” membentak Ramadi Watampone alias Pendekar
Badik Emas.
Yang dibentak malah tertawa.
“Bukankah kau manusianya yang bergelar Pendekar
Badik Emas dan kawanmu itu Si Pangeran Tanpa
Mahkota?”
Kiyai Surah Ungu dan Ramadi Watampone sama-sama
terkesiap mendengar kata-kata itu. Dan si tinggi besar me-
lanjutkan kata-katanya.
“Memandang nama besar kalian, aku memberi ke-
longgaran memperpanjang sedikit seat kematian kalian.
Kalian berdua kupersilahkan mengeluarkan senjata
masing-masing. Perlihatkan Tombak Dwi Sula-mu Kiyai
Surah Ungu. Dan kau Pendekar Badik Emas, bukankah kau
datang dari jauh? Sangat sayang kalau aku sampai tidak
melihat senjata mustikamu. Tunjukkan padaku kehebatan
badik emasmu!”
Dua orang tua kembali terkesiap karena orang yang
tidak mereka kenal itu ternyata tahu banyak tentang diri
mereka, termasuk senjata-senjata yang mereka miliki.
Namun merasa diejek dan dianggap remeh bahkan
ditantang maka baik Kiyai Surah maupun Pendekar Badik
Emas ini tidak merasa sungkan lagi.
Keduanya keluarkan senjata masing-masing. Sesaat
kemudian sebilah badik emas sudah tergenggam di tangan
Ramadi Watampone yang bergelar Pendekar Badik Emas
sedang sebatang tombak bermata dua tampak menyilang
di depan dada Kiayi Surah Ungu yang dijuluki Pangeran
Tanpa Mahkota.
“Bagus…! Kalian boleh maju berbarengan!”
Dua orang tua itu menunggu sesaat. Ketika si tinggi
besar tidak tampak mengeluarkan senjatanya maka kedua
orang itupun serta merta menyerbu. Badik emas berkiblat
menaburkan sinar kekuning-kuningan dalam kegelapan
malam. Tombak Dwi Sula menderu mencari sasaran di
tenggorokan lawan.
Serangan dua tokoh silat kelas tinggi itu bukan
serangan main-main. Siapapun lawan pastilah nyawanya
akan sangat terancam jika diserang demikian rupa. Tapi
lagi-lagi si tinggi besar keluarkan suara tertawa. Lalu dia
gerakkan tangannya kiri kanan.
Dua benda hitam sebesar ujung jari kelingking ber-
bentuk bulat melesat dalam kegelapan malam. Baik Kiyai
Surah Ungu maupun Ramadi Watampone hanya men-
dengar suara berdesing tapi tidak melihat bendanya.
Ketika mereka kemudian menyadari ada benda yang
melesat ke arah mereka, Kiyai Surah sapukan tombak ber-
mata duanya ke atas. Ramadi Watampone babatkan badik-
nya di udara. Namun gerakan kedua orang ini sudah
sangat terlambat.
Di lain kejap terdengar jeritan mereka merobek
kegelapan malam hampir bersamaan.
Tubuh kedua jago tua ini terkapar di tanah di hadapan
dua buah makam. Satu di belakang makam Tua Gila,
satunya di belakang makam tanpa nisan! Keduanya
menemui ajal dengan mata membeliak!
Di kening masing-masing tampak sebuah lubang
mengerikan sebesar ujung ibu jari tangan. Dari lubang ini
mengalir keluar darah yang segera saja membasahi wajah
dan mata mereka!
Begitu kedua orang itu meregang nyawa sosok tinggi
tadi menyelinap dan lenyap di celah antara batu karang
dan batu cadasl Tak lama kemudian dikejauhan kembali
ter-dengar suara panjang lolongan anjing.
Angin malam bertiup tambah keras dan tambah dingin.
Ombak di pantai pulau berdebar semakin keras.
***
WIRO SABLENG
3 MAKAM TANPA NISAN
UNCAK Gunung Singgalang disaput awan kelabu
sejak pagi. Semakin lama awan kelabu ini semakin
tebal dan akhirnya membuat suasana mendung
menutupi daerah luas sekitar gunung. Namun sampai
siang hujan tak kunjung turun.
Di lereng barat Gunung Singgalang, seorang tua duduk
termenung di ruang depan rumah kayu berkolong tinggi. Di
halaman seorang lelaki tengah asyik membakar seekor
ikan besar sambil menyanyi dan sekali-kali melirik ke arah
orang tua di atas rumah. Bau sedap ikan panggang ini
menebar kemana-mana.
Orang yang membakar ikan untuk kesekian kalinya me-
mandang ke arah orang tua di atas rumah. Dalam hatinya
dia berkata, “Kasihan orang tua Itu. Sulit diduga sudah
berapa tahun uslanya. Kelihatannya dia sudah pasrah
untuk meninggalkan dunia. Tapi Yang Kuasa masih belum
Jugs mengutus mataikat maut…”
Bagi orang yang baru pertama kali melihat orang tua di
atas rumah, mungkin bisa serasa terbang nyawanya oleh
rasa takut. Tapi si pembakar ikan yang sudah bertahun-
tahun tinggal bersamanya menjadi kawan dan pembantu,
tidak lagi merasa ngeri melihat wajah itu.
Wajah dan keadaan tubuh orang tua tersebut memang
menyeramkan untuk dipandang. Mukanya pucat berkerut
dan sangat cekung. Kedua matanya hanya merupakan
sepasang rongga besar yang menggidikan. Salah satu
telinganya sumplung. Dimulutnya tak sepotong gigipun
P
bersisa. Kedua tangannya kiri kanan buntung sebatas per-
gelangan.
“Saringgih….” tiba-tiba terdengar suara orang tua itu.
Halus melengking.
“Ambo Nyanyuk…” menyahuti lelaki yang membakar
Man. Dia berhenti mengipas bara api pemanggang ikan.
“Akan lamakah pekerjaanmu itu selesai?”
“Ah, Nyanyuk sudah lapar sekali rupanya!” Orang tua
bermata seperti setan gelengkan kepala.
“Aku belum ingin makan Saringgih. Ada sesuatu yang
aku pikirkan.”
“Ah, pantas sejak tadi ambo lihat Nyanyuk duduk
termenung- menung:
“Aku merasa kita harus segera meninggalkan Gunung
Singgalang ini.”
Singgih tercenung mendengar ucapan orang tua itu.
Kipas bambu diletakkannya di tanah lalu die melangkah ke
dekat tangga. “Angan-angan apa yang ada di pikiran
Nyanyuk?”
“Nyanyuk Amber tidak pernah berangan-angan. Aku
mendapat firasat yang tidak enak. Juga ada isyarat mimpi
yang kuterima malam tadi…” Jawab orang tua itu
sementara angin meniup-niup rambutnya yang putih
jarang.
“Kalau begitu ceritakanlah pada ambo mimpi Nyanyuk
itu,” kata Saringgih lalu menaiki tangga dan duduk di
hadapan orang tua bernama Nyanyuk Amber.
“Malam tadi aku mimpi melihat udara hitam kelam di
pantai pulau ini. Paginya ketika aku terjaga entah mengapa
aku tiba-tiba saja teringat pada seorang sahabat lama yang
tinggal di sebuah pulau di barat Andalas. Aku berpikir,
jangan-jangan ada sesuatu terjadi atas dirinya. Usianya
lebih tua dariku. Sudah sakit-sakitan. Sejak beberapa
tahun berselang aku tidak pernah mendengar kabar berita-
nya. Kau sendiri sudah beberapa lama tidak pernah turun
gunung untuk menyirap kabar dan segala kejadian yang
ada di luaran. Aku khawatir kalau-kalau sesuatu terjadi
atas dirinya…”
“Jalan pikiran Nyanyuk selama ini biasanya tidak pernah
meleset,” kata Saringgih. “Jadi akan berangkatkah kita hari
ini, Nyanyuk?”
“Tidak… Tidak hari ini Saringgih, Tapi sekarang!”
“Sekarang Nyanyuk? Ah, kenapa secepat itu?”
“Kau tahu perjsianan ke sana sangat jauh. Kau harus
membawaku melalul perjalanan darat paling tidak selama
dua hari: Lalu mengarungi laut hari. Kalau keberangkatan
ditunda-tunda, kapan akan sampainya di sana Saringgih?’
“Kalau begitu Nyanyuk bilang, ambo hanya mengikut
saja. Tapi biar saya selesaikan panggangan ikan Itu. Kita
makan dulu baru berangkat. Begitu kan Nyanyuk?”
“Tidak, tidak begitu Saringgih. Ikan bakarmu sudah
cukup matang. Bungkus dan kita makan di perjalanan…”
Saringgih ternganga, garuk-garuk kepala namun akhir-
nya hanya bisa mengangkat bahu.
“Selesal kau membungkus ikan itu, siapkan jubah
hitamku Saringgih,” terdengar Nyanyuk Amber berkata.
“Jubah hitam katamu Nyanyuk?”
“Kau sudah dengar dan aku tidak perlu mengatakannya
sampai dua kaIi!”
“Agaknya kita akan menghadapi urusan besar lagi kali
ini Nyanyuk?” tanya Saringgih.
“Betul. Urusan besar. Mungkin sangat besar dalam
hidupku. Karenanya kau juga kupinta menyiapkan diri
dengan kerismu yang bernama Pusaka Dewa itu…”
“Balk Nyanyuk, saya akan membungkus ikan bakar itu.
Menyiapkan baju hitammu dan membekal keris Pusako
Dewa.” Lalu Saringgih bergegas menuruni tangga. Dengan
selembar daun pisang dibungkusnya ikan besar yang
barusan dibakarnya.
Lalu dia naik atas rumah, masuk ke dalam kamarnya
untuk mengambil sebilah keris. Setelah Itu dia masuk ke
dalam kamar Tdyanyuk Amber dan mengambil sehelai baju
hitam lengan panjang terbuat dari kain sangat tebai. Baju
yang berupa jubah pendekar ini dikenakannya ke tubuh
Nyanyuk Amber.
Pada bagian bahu kiri kanan baju hitam ini terdapat se-
buah saku. Dan pada masing-masing saku tersisip selusin
senjata berbentuk anak panah kecil sepanjang seterrgah
jengkal, terbuat dari perak putih.
“Kau sudah siap Saringgih?”
“Siap Nyanyuk?”
“Tak ada yang ketinggalan?”
Saringgih berpikir sejenak lalu menjawab. “Rasanya
tidak ada Nyanyuk.”
“Bagus kalau begitu. Jangan lupa ikan bakarmu. Bisa-
bisa kita kelaparan di tengah jalan.”
Saringgih mengangguk lalu jongkok di hadapan orang
tua yang sejak tadi duduk saja di lantai. Ketika si pem-
bantu ini mendukung Nyanyuk Amber di punggungnya
kelihatanlah kini keadaan tubuhnya di sebelah sepasang
tangan buntung tetapi kedua kakinyapun juga bunting!
Siapakah sebenarnya orang tua yang memiliki banyak
cacat ini?
Nyanyuk Amber adalah salah satu dari beberapa tokoh
silat tingkat tinggi yang paling disegani di pulau Andalas.
Dia memiliki seorang murid yang kemudian dijuluki Raja
Rencong Dari Utara. Celakanya sang murid tergoda oleh
nafsu hendak menguasai dunia persilatan. Cara yang
ditempuhnya adalah sesat dan keji yaitu mengundang
semua tokoh persilatan di pulau Andalas untuk datang ke
tempat kediamannya, lalu membunuh mereka secara
masal!
Sebagaf seorang guru tentu saja Nyanyuk Amber meng-
halangi maksud jahat muridnya itu. Ternyata kesetanan
Raja Rencong sudah sedemikian jauhnya sehingga dia
kemudlan tega membuat buta kedua mata Nyanyuk Amber,
memotong tangan dan kaki orang tua itu. Meskipun dalam
usia tua dan tidak berdaya seperti itu, namun kemudian
Nyanyuk Amber bersama-sama Pendekar 212 Wiro
Sableng berhasil menumpas dan menamatkan riwayat Raja
Rencong Dad Utara. (Baca serial Wiro Sableng berjudul
Raja Rencong Dari Utara).
Setelah dua hari menempuh perjalanan darat akhirnya
Saringgih dan Nyanyuk Amber sampai di pantal barat pulau
Andalas. Saringgih segera mencarl perahu yang bisa meng-
angkut mereka ke tempat tujuan yaitu sebuah pulau tak
jauh dari pesisir barat. Tapi ternyata tak ada seorang
pemilik perahupun yang mau mengantarkan mereka.
“Aneh!” kata Nyanyuk Amber. “Apakah mereka takut
melihat tampangku atau mungkin pemilik perahu itu sudah
kebanyakan uang sehingga tak mau lagi bekerja. Saringgih,
kau tahu mengapa mereka tidak mau mengantarkan kita
ke pulau?”
“Mereka tidak mau mengatakan, Nyanyuk. Tapi dari
gelagat ambo kira orang-orang itu merasa kawatir…” jawab
Saringgih.
“Apa yang mereka kawatirkan? Temui salah seorang
dari mereka. Katakan kita akan membayar dua kali lipat.”
“Ambo justru menjanjikan bayaran tiga kali lipat
Nyanyuk. Tapi semua mereka tetap menggeleng.”
“Kalau begitu kita sewa perahu saja dan. Kau terpaksa
jadi tukang kayuh,”
“Ambo tak keberatan Nyanyuk. Cuma disewapun
mereka tidak mau!”
“Kapuyuak!” mengomel Nyanyuk Amber. “Apa pun
alasan mereka kali ini?”
“Salah seorang memberitahu, ada empat kawan mereka
yang telah menyewakan perahu. Tujuan para penyewa itu
sama dengan tujuan kita yaitu ke pulau. Tapi sampal hari
ini keempat penyewa itu tak pernah kembali. Perahu
mereka itu lenyap! Orangorang di pantai menduga keras
ada malapetaka yang telah menimpa keempat penyewa
perahu itu!”
Nyanyuk Amber yang didudukkan Saringgih di bawah se-
batang pohon tampak termenung sambil mengusap-usap
dagunya yang ditumbuhi janggut tipis putih.
“Mereka tak mau mengantar, Mereka juga tak mau kita
sewa perahu mereka. Sudah, kalau begitu kita beli saja
satu! Habis perkaral Bukankah kau cukup membawa uang,
Saringgih?”
“Kira-kira begitu. Tapi seandainya tidak cukup bagai-
mana Nyanyuk?”
“Mudah saja! Gadaikan keris Pusako Dewa milikmu!”
sahut Nyanyuk Amber.
“Apa…? Ini bukan senjata sembarangan Nyanyuk. Tapi
senjata pusaka tujuh turunan. Dan Nyanyuk sendiri sudah
ikut menambahkan tuahnya!”
“Kita dalam kesulitan Saringgih. Kau boleh pilih. Gadai-
kan keris itu atau kau gadaikan kepalamu…” habis berkata
begitu Nysnyuk Amber tertawa terkekeh-kekeh hingga
kelihatan gusinya yang tidak bergigi sama sekali.
Saringgih geleng-geleng kepala. Dia menggaruk seluruh
saku pakaiannya, mengambii semua uang yang dibawanya
Ialu menghitung.
“Mudah-mudahan uang ini cukup. Dari pada menggadai-
kan keris atau kepala! Bagusnya si tua ini saja yang di-
gadaikan! Tapi… siapa pula yang mau menerima kepala
setan itu…!” kata Saringgih mengomel sendirian.
“Kepala si tua siapa yang kau maksudkan itu
Saringgih?” Rupanya ucapan pembantunya tadi terdengar
oleh Nyanyuk Amber.
“Ah, tidak. Anu Nyanyuk. Bukan kepala siapa-siapa. Tapi
kepala ambo yang dibawa…” jawab Saringgih lalu cepat-
cepat meninggalkan tempat itu sambil tersenyum-senyum.
***
WIRO SABLENG
4 MAKAM TANPA NISAN
enjelang matahari tenggelam perahu yang di-
dayung Saringgih sampal di pulau tujuan. Di
bagian air lout yang dangkal pembantu itu
melompat turun lalu mendorong perahu ke pasir pantai.
“Kita sudah sampai Nyanyuk… ”
“Aku tahu. Apa yang kau lihat sekitar tempat ini,
Saringgih?”
Si pembantu memandang berkeliling. “Laut, pantai,
sang surya yang hendak tenggelam, pepohonan, batu-batu
karang…”
“Hanya itu…?!” ujar Nyanyuk Amber. “Kedua mataku
tidak melihat karena buta. Tapi kau tidak melihat sesuatu
yang penting dan kau tidak buta! Jangan tolol Saringgih!
Buka matamu lebar-lebar!”
Saringgih memandang lagi berkeliling. “Ah, orang tua ini
memang benar, mengapa aku sampai tidak melihatnya
tadi,” kata pembantu itu dalam hati. “Saya memang melihat
sesuatu Nyanyuk. Ada tiga… Tidak… Bukan tiga tapi ada
empat buah perahu kecil jauh di sebelah sana…”
Nyanyuk Amber usap-usap dagunya. “Ada empat perahu
di pantai sini. Berarti keempat penyewa perahu itu
memang telah sampal di sini. Tapi tak pernah kembali ke
pulau besar. Mereka raib secara aneh.”
“Kita perlu berhati-hati Nyanyuk…”
“Betul. Karena itu buka matamu lebar-lebar. Apakah
kau ada melihat jejak-jejak kaki di pasir pantai?”
“Tak dapat saya pastikan Nyanyuk. Kita harus me-
M
nyelidiki ke dekat empat perahu itu…”
“Dukung aku ke sana!”
Saringgih lalu mendukung Nyanyuk Amber di punggung-
nya melangkah ke tempat empat perahu yang berada di
tempat pasir pulau.
“Nah sekarang katakan apa yang kau lihat!”
“Ada empat perahu di bagian pulau ini, Nyanyuk. Yang
dua di depan kita, dua lainnya tak jauh di sebelah sana.”
“Berarti, dua perahu yang pertama datang bersamaan.
Dua perahu lainnya berbeda waktu… Apa lagi Saringgih?”
“Di atas pasir memang kelihatan ada legukan-legukan.
Tapi tidak begitu jelas apakah bekas jejak manusia atau
jejak kaki binatang…”
Nyanyuk Amber mengangguk. Dia mendongak ke langit
beberapa saat. Hidungnya menghirup udara laut dalam-
dalam. Tercium udara yang mengandung garam. Namun
indera yang tajam dari orang tua ini juga membaui sesuatu.
Dia berpaling ke deretan pohon-pohon lalu barkata, “Kita
masuk ke dalam pulau Saringgih. Melangkah saja lurus-
lurus ke depan. Jangan membelok. Jangan berhenti
sebelum aku memberi tanda…”
“Tidakkah sebaiknya kita makan dulu di sini Nyanyuk?
Persediaan makanan kita masih banyak…”
“Pikiranmu tidak lain ke perut saja Saringgih. Dasar
gadang lambuang! kau boleh makan sambil mendukung-
ku!” kata Nyanyuk Amber pula.
Makin jauh mereka masuk ke dalam pulau kecil itu
semakin berkurang kencangnya tiupan angin laut. Udara
pun tidak mengandung garam lagi. Namun ada sesuatu
yang mencucuk liang hidung dan rongga pernafasan kedua
orang itu.
“Kau mencium bau sesuatu Saringgih?” bertanya
Nyanyuk Amber.
“Betul Nyanyuk. Bau busuk… ” jawab si pembantu. Saat
itu sebenarnya dia sudah keletihan mendukung orang tua
itu di punggungnya tapi dia tak berani mengatakan.
“Bau busuk yang berasal dari apa menurutmu Saring-
gih?” bertanya lagi Nyanyuk Amber.
“Sulit diterka, Nyanyuk. Mungkin itu berasal dari bang-
kai binatang…”
“Kau betul,” berkata Nyanyuk Amber. “Itu memang bau
bangkai binatang. Binatang berkaki dua!”
“Maksud Nyanyuk…?”
“Maksudku adalah bau bangkai manusia! Kau tahu,
bangkai manusia adalah yang paling busuk dari segala
bangkai yang ada di dunia ini!”
Saringgih hentikan langkahnya.
“Jangan-jangan itu adalah bangkai orang-orang yang
menyewa perahu…”
“Kukira begitu. Jalan terus Saringgih. Kita akan segera
melihat sesuatu. Agaknya hari mulai gelap. Buka matamu
lebar-lebar. Jangan sampai terserandung. Aku tak mau ter-
sungkur ke tanah karena ketololanmu!”
Saringgih melangkah terus sambil mendukung si orang
tua di punggungnya. Dia melewati sebuah mata air jernih
dan sejuk. Tenggorokannya yang kering membuat dia ingin
sekali berhenti sebentar, meneguk air membasahi
rangkungan dan juga membasahi mukanya yang saat itu
terasa tebal akibat seharian penuh disapu angin laut.
“Jalan terus Saringgih! Kalau aku tidak bilang berhenti,
jangan berani berhenti!”
Terdengar suara Nyanyuk Amber dekat telinga Saring-
gih. Pembantu ini diam-diam mengomel dalam hati. “Orang
tua ini seperti bisa membaca apa yang ada dalam benak-
ku!”
Melanjutkan perjalanan di sela-sela pepohonan dan
semak belukar sekitar seratus langkah lebih di mana bau
busuk tercium semakin santar sementara keadaan tambah
gelap, mendadak sontak Saringgih hentikan langkahnya.
Orang tua yang dipunggungnya hampir terlepas dari
pegangannya.
“Saringgih! Kau berhenti melangkah tanpa perintahku!
Dadamu berdebar keras. Kedua lututmu terasa goyah.
Kudukmu terasa dingin. Apa yang kau lihat di depan
matamu?!” Nyanyuk Amber cepat ajukan pertanyaan.
Saat itu memang Saringgih merasakan jantungnya ber-
debar keras, sepasang lutut goyah dan tengkuk, merinding
dingin sedang sepasang matanya membeliak kasar. Dia
hendak menjawab namun sesaat lidahnya terasa kelu.
“Cepat katakan apa yang kau lihat Saringgih!
Keselamatan kita di tempat asing ini banyak tergantung
dari cepat lambatnya kau memberi tahu aku!”
“Nyanyuk… di depan kita ada lapangan kecil…”
“Kantuik! Persetan dengan tanah lapang itu! Pasti ada
hal lain yang lebih penting dari tanah lapang sialan itu!”
“Kau… kau benar Nyanyuk. Di ujung lapangan ada dua
buah kuburan. Satu pakai batu nisan hitam, satunya tidak.
Tapi… di samping kiri dan kanan kedua makam itu ada
masing-masing lima tiang kayu. Pada empat tiang, dua di
kiri dua di kanan terikat sesosok mayat. Rusak, busuk,
mulai berbelatungan…”
“Ada yang kau kenali diantara keempat mayat itu?”
“Sulit Nyanyuk. Wajah mereka tertutup darah mengering
dan sudah sangat rusak..:”
“Melangkah lebih dekat. Perhatikan apa yang me-
nyebabkan kematian mereka. Diracun, ditusuk senjata
tajam atau terkena pukulan sakti…”
Sambil mendukung Nyanyuk Amber, Saringgih me-
langkah lebih dekat ke arah kedua makam. Dibukanya
matanya besar-besar. Selain sulit untuk meneliti sebab
kematian keempat orang diikat tegak ketiang kayu itu, juga
saat itu hari bertambah gelap.
“Keempat orang ini agaknya menemui kematian dalam
cara yang sama Nyanyuk. Muka mereka bersimbah
darah…”
“Berarti sebab musabab kematian ada pada bagian
kepala. Ayo kau perhatikan lagi lebih teliti…”
Untuk bisa melihat lebih jelas terpaksa Saringgih maju
lagi dua langkah padahal saat itu perutnya sudah mau
meledak muntah dan hidungnya tak sanggup lagi didera
bau busuk yang luar biasa.
“Nyanyuk… Ambo melihat ada lobang kecil sebesar
ujung jari pada setiap kening mayat…” kata Saringgih
ketika pada akhirnya dia melihat lobang-lobang aneh
dalam ukuran dan bentuk yang bersamaan pada kening
masing-masing mayat!
“Bagus Saringgih. Sekarang coba kau perhatikan ciri-ciri
keempat orang itu, termasuk pakaiannya lalu katakan
padaku. Siapa tahu aku bisa menduga siapa-siapa mereka
yang menemui ajal secara aneh di pulau ini!”
“Sulit diberi tahu Nyanyuk. Soalnya keempat mayat
sudah sangat rusak. Pakaian merekapun sudah tidak
karuan lagi. Tapi, ambo melihat ada tiga buah senjata ter-
geletak di tanah. Kelihatannya bukan senjata-senjata
sembarangan.”
“Coba kau ceritakan senjata apa yang kau lihat itu!”
“Yang di sebelah kanan terletak di depan kaki mayat,
berupa sebuah tombak pendek bermata dua…”
menerangkan Saringgih.
“Tongkat pendek bermata dua… Hemmmmmm.” ber-
guman Nyanyuk Amber. “Bagian bawah tempat pegangan-
nya dilapisi kulit…”
“Betul Nyanyuk…”
“Itu adalah Tombak Dwi Sula dari Banten! Berarti mayat
di depan senjata ini adalah mayat Kiyai Surah Ungu!
Seorang Pangeran Banten yang menyingkir dari keraton!”
Nyanyuk Amber terdiam sesaat lalu, “Ceritakan tentang
senjata yang kedua…” katanya.
“Sebilah badik Nyanyuk. Berwarna kuning legam.
Mungkin terbuat dari emas…”
“Kuning sampai ke hulunya?” tanya Nyanyuk Amber.
Ketika Saringgih membenarkan, wajah tua cekung itu
nampak menjadi kelam. “Pendekar Badik Emas dari Bugis
ternyata telah jadi korban pula,” kata si orang tua perlahan.
“Lalu apa senjata yang ke tiga Saringgih?”
“Sebilah keris bergagang gading…”
“Hemm… Tak bisa kuduga siapa pemiliknya. Tapi
senjata ini biasanya merupakan senjata andalan orang-
orang penting Istana Gading di pesisir selatan! Sulit diduga
apa sebenarnya yang terjadi di pulau ini. Saringgih, tadi
kau bilang ada dua makam di ujung lapangan.”
“Benar Nyanyuk…”
“Satu ada batu nisan hitam. Satunya tanpa nisan…”
“Betul Nyanyuk.”
“Apa yang tertulis pada makam yang ada batu nisan-
nya?” bertanya lagi Nyanyuk Amber.
Saringgih majukan kepalanya sedikit untuk dapat mem-
baca guratan pada batu nisan. “Disini hanya tertulis Tua
Gila. Tak ada tulisan lain …”
“Ada… bagiku itu sudah cukup. Ternyata benar telah ter-
jadi sesuatu atas diri sabahatku. Tua Gila aku tidak
menyangka kau bakal mendahuluiku…” Untuk beberapa
lamanya Nyanyuk Amber termenung larut dalam kesedih-
an.
“Tak ada tanda-tanda pada makam yang katamu tidak
bernisan itu, Saringgih?” Si orang tua kemudian ajukan per-
tanyaan.
“Sama sekali tidak ada. Namun seperti kuburannya Tua
Gila, kubur satu inipun tanahnya masih merah…”
“Aneh. Siapa yang dikubur disamping kuburnya Tua
Gila? Istrinya…? Setahuku dia tidak beristri! Muridnya?
Hemmm…? Aku memang pernah mendengar Tua Gila
mengambil seorang murid. Tapi masih sangat kecil. Paling
tidak usia muridnya itu baru sekitar enam tahun. Lalu di
mana anak itu? Di dalam kubur yang satu ini…? Saringgih,
kubur tanpa nisan itu apakah sama besar dengan makam
Tua Gila? Atau lebih kecil?”
“Sama besar Nyanyuk…” sahut Saringgih.
“Berarti ini makam orang gede! Ah, sulit kuduga siapa
yang dikubur disini…” kata Nyanyuk Amber lalu setelah
diam sesaat orang tua ini berkata.
“Saringgih kau ambil obat pelawan bau pusuk yang ada
dalam saku baju celanaku sebelah kanan. Teteskan cairan
yang ada di dalamnya ke kaki setiap mayat. Setelah itu
kembalikan obat itu padaku…”
Si pembantu merogoh saku kanan Nyanyuk Amber. Di
saku ini ditemuinya sebuah botol kecil. Botol ini berisi
cairan berwarna coklat.
“Kau pergi teteskan obat itu. Tapi lebih dahulu
dudukkan aku di depan makam Tua Gila. Aku ingin
mengheningkan cipta dan berdoa…”
“Nyanyuk terus terang sejak menginjakkan kaki di pulau
ini hatiku merasa tidak enak. Begitu selesai Nyanyuk
berdoa sebaiknya lekas-lekas saja kita tinggalkan tempat
ini.”
Nyanyuk Amber tidak berkata apa-apa. Saringgih me-
nundukkan mukanya di depan makam Tua Gila lalu
melangkah mendekati mayat- mayat yang diikat di tiang.
Dengan tengkuk merinding ketakutan setengah mati dan
sambil menekap hidung pembantu ini teteskan cairan di
dalam botol masing-masing satu tetes ke setiap kaki mayat
yang membusuk itu.
Begitu cairan menyentuh kaki mayat, terdengar
letupan…. Lalu mengepul asap coklat yang perlahan-lahan
naik ke atas menutupi sosok mayat. Sesaat kemudian asap
itu menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Bersamaan
dengan lenyapnya asap coklat, bau busuk yang mengham-
par di tempat itupun sirna perlahan-lahan.
“Obat aneh…” kata Saringgih dalam hati sambil
menutup botol kecil itu kembaii. Pembantu ini tahu bahwa
walaupun mempunyai daya pemusnah bau busuk yang
ampuh namun kekuatan obat itu hanya mampu bertahan
selama satu hari satu malam. Setelah itu bau busuk pasti
akan muncul kembali.
Setelah pembantunya memasukkan botol obat kembali
itu dalam saku celananya, Nyanyuk Amber mulai berdoa
untuk arwah Tua Gila. Dalam berdoa seperti itu dia tiba-tiba
mencium bau sesuatu. Bau asap rokok. Meskipun hatinya
kini menjadi tidak tenang namun orang tua ini meneruskan
juga membaca doa sampai selesai. Begitu selesai dia ber-
tanya. “Saringgih…! Aku tahu kau tidak merokok. Tetapi
aneh, aku mencium bau asap di tempat ini…”
“Ambo juga menciumnya Nyanyuk,” menyahuti si pem-
bantu sambil memandang berkeliling.
Tengkuknya terasa lebih dingin.
“Aku merasa ada mahluk bernafas disekitar tempat ini.”
kata Nyanyuk Amber yang membuat Saringgih tambah me-
rinding. “Aku juga mendengar ada suara ketukarr-ketukan
sangat halus. Seolah-olah datang dari perut pulau…”
“Nyanyuk, bukankah lebih baik kita segera pergi saja
dari sini?” kata Saringgih pula.
“Diam Saringgih… Aku mendengar ada suara sesuatu di
kejauhan… Seperti suara langkahlangkah kaki!”
Tiba-tiba kedua orang itu sama-sama tercekat. Saring-
gih malah sampai tersentak saking kagetnya. Suara
raungan anjing memecah kesunyian. Panjang dan meng-
gidikkan.
“Suara anjing di pulau sekecil ini. Sungguh aneh…” kata
Nyanyuk Amber seraya memutar kepalanya ke kiri dan ke
kanan.
“Nyanyuk…” kata Saringgih dengan suara bergetar.
“Ambo bisa kencing di celana kalau masih terus berada di
tempat ini…”
“Kita akan segera pergi. Tapi tunggu sampai aku me-
mastikan bahwa yang kudengar sebelum raungan anjing
tadi adalah benar-benar suara kaki manusia…”
Kalau saja bukan orang tua itu yang harus dijaga dan
diikuti ucapannya mungkin saat itu Saringgih sudah me-
lompat dan lari meninggalkan tempat itu.
“Tak ada suara apa-apa Nyanyuk. Pastilah…! Mungkin
suara desau angin laut atau gemerisik pepohonan yang
tadi kau dengar… Bukan suara langkah kaki…”
“Aneh, aku seperti yakin itu adalah suara langkah kaki.
Telapaknya bergerak sangat perlahan. Disengaja agar di-
miringkan. Telinganya dipasang baik-baik.”
Saringgih kembali memandang berkeliling. Pertama
sekali ke arah pepohonan dan semak belukar dari jurusan
mana tadi mereka datang. Tak kelihatan apa-apa. Lalu
pembantu ini mengalihkan pandangannya ke arah batu-
batu cadas hitam dan batu-batu karang tinggi yang mem-
bentuk dinding setengah lingkaran di sebelah kiri. Tepat
ketika dia memandang di sebuah celah antara dua batu
karang tinggi mendadak dia melihat bayangan hitam besar
bergerak.
“Nyanyuk…” suara pembantu flu tersendat dan tercekat.
“Ada apa Saringgih?”
“Ambo melihat sesuatu. Ada sosok bayangan besar di
celah batu karang di kiri kita ….”
“Itu bayangan batu-batu karang saja agaknya Saringglh.
Kenapa kau musti merasa takut?”
“Tidak Nyanyuk. Bayangan batu pasti diam. Tapi
bayangan yang saya lihat bergerak perlahan-lahan!
Nyanyuk! Ada orang tinggi besar melangkah keluar dari
celah batu karang!” seru Saringgih dengan muka pucat.
***
WIRO SABLENG
5 MAKAM TANPA NISAN
yanyuk Amber meskipun terkejut mendengar
ucapan pembantunya itu namun tetap berlaku
tenang dan berkata. “Jangan takut. Tenang saja.
Lekas beri tahu aku ciri-ciri orang itu… Kalau dia memang
manusia, bukannya setan!”
Kedua mata Saringgih terpentang lebar kearah celah
batu karang. Bayangan besar pada batu bergerak terus.
Perlahan tapi pasti. Lalu bayangan itu lenyap dan kini
sebagal gantinya muncul sesosok tubuh tinggi besar. Orang
ini berewokan, mengenakan baju kuning serta sehelai
mantel panjang berwarna hitam. Di kepalanya ada sebuah
topi tinggi.
“Apa yang kau lihat Saringgih… Lekas katakan padaku!”
desis Nyanyuk Amber. Dengan suara tersendat-sendat
pembantu itu segera mengatakan ciri-ciri orang tinggi besar
yang melangkah mendatangi itu. Dalam takutnya Saringgih
melangkah ke dekat Nyanyuk Amber. tiba-tiba sosok di
depan sana keluarkan suara membentak garang dan
keras.
“Jangan ada yang berani bergerak!”
Gerak langkah Saringgih tertahan.
“Si… siapa kau…?” Saringgih beranikan diri bertanya
walau suaranya gagap.
“Budak! Kau tak layak bertanya!” si tinggi besar mem-
bentak. Tujuh langkah dari hadapan makam dia berhenti.
Lalu dia berpaling pada Nyanyuk Amber yang masih duduk
bersila di kaki makam Tua Gita. “Kakek buta! Apakah kau
N
sudah selesai berdoa?!”
Ditanya sekasar itu Nyanyuk Amber batuk-batuk be-
berapa kali lalu balik bertanya, “Siapa tanya siapa?!”
“Kurang ajar! Aku tuan rumah di pulau ini! Aku yang
layak bertanya!”
“Hemm, aku tidak tahu kalau kau tuan rumah di pulau
ini. Setahuku sahabatku Tua Gila yang tinggal di sini…”
“Jadi… Tua Gila sahabatmu, hah? Apakah kacungmu ini
tidak mengatakan bahwa di sini ada makam Tuan Gila yang
menyatakan bahwa sahabatmu itu sudah mampus dan
dikubur?!”
Nyanyuk Amber sunggingkan senyum. “Sebagai tuan
rumah rupanya kau tidak pandai bicara sopan dan lunak…”
“Pertu apa bicara dengan manusia-manusia yang
sebentar lagi akan jadi bangkai!” sentak si tinggi besar. Dia
bergerak maju satu langkah.
Nyanyuk Amber tertawa mengekeh. Sebaliknya Saring-
gih menyumpah dalam hati. “Gila!! Dalam keadaan seperti
ini dia masih bisa tertawa seenaknya!”
“Semua manusia pasti akan jadi bangkai. Itu sudah
ketentuan Tuhan. Tapi bukan berarti manusia bisa
mendahului Tuhan, mencabut nyawa manusia sesamanya!
Cakapmu yang sombong menyatakan bahwa kaulah yang
telah membunuh keempat orang itu, lalu mayatnya kau ikat
di tiang!”
“Ha …ha…ha! Matamu buta tapi banyak melihat! Apakah
kau sadar kalau sebentar lagi jumlah mayat akan ber-
tambah menjadi enam? Kau dan kacungmu itu lalu akan
kuikat ke tiang-tiang kayu sana!”
“Bagus kau telah memberi tahu!” sahut Nyanyuk Amber
seenaknya. “Tua bangka sepertiku memang tidak berguna
lagi hidup di dunia. Tubuhku sudah karatan. Lalu apa yang
ditakutkan menemui kematian?!”
Mendengar ucapan Nyanyuk Amber itu kembali Saring-
gih menyumpah dalam hati. “Kau tidak takut mati! Tapi aku
masih kepingin hidup!”
“Kalau kau memang sudah siap untuk mati berarti aku
tidak terlalu susah payah membunuhmu!” kata orang tinggi
besar bertopi dan bermantel hitam.
“Tidak… Kau tidak akan susah membunuh tua bangka
sepertiku. Hanya saja sebelum mati aku kepingin tahu
mengapa kau menginginkan nyawaku? Juga nyawa ke-
empat orang yang kau bunuh terdahu!u!”
“Jawabnya mudah dan singkat! Kutuk telah jatuh bahwa
semua sahabat Tua Gila yang menginjakkan kakinya di
tempat ini akan menemui kematian! Mati di tanganku!”
“Ah… Kau ini malaikat maut jadi-jadian rupanya!” ujar
Nyanyuk Amber. “Tapi hari ini kau berhadapan dengan aku
raja diraja segala malaikat jadi-jadian! Lekas berlutut di
hadapanku, terangkan siapa dirimu. Minta ampun dan
bunuh diri!”
Merah padam wajah si tinggi besar bermantel hitam itu.
Tangan kanannya dipukulkan ke arah Nyanyuk Amber.
Serangkum angin menderu menghajar orang tua itu.
Saringgih berseru memberi ingat.
Orang tua bermata buta, bertangan dan berkaki
buntung itu gerakkan bahu kanannya. Gerakan ini
menyentakkan lengan panjang jubah yang dikenakannya.
Dari ujung lengan jubah itu melesat keluar satu gelombang
angin yang mengeluarkan suara bersiuran. Dua angin
dahsyat saling tabrak di udara.
Saringgih melihat bagaimana bentrokan angin pukulan
mengandung tenaga dalam tinggi itu membuat Nyanyuk
Amber terbanting jatuh punggung di tanah. Sebaliknya
orang bermantel hitam terjajar jauh ke belakang dan
tersandar ke dinding karang.
“Kurang ajar1 Tingkat tenaga dalam tua bangka buruk
itu tidak rendah. Kalau tidak segera kuhantam dengan
pukulan melumpuhkan, bisa-bisa aku mendapat celaka se-
belum menghabisi nyawanya!”
Orang ini lalu menanggalkan mantelnya. Saringgih yang
saat itu sudah melompat ke dekat Nyanyuk Amber segera
memberitahu apa yang dilihatnya.
“Saringgih, kau menjauhlah. Cari perlindungan di balik
pohon atau batu…”
“L.ebih baik Nyanyuk saya dukung dan larikan dari sini
saat ini juga!” kata Saringgih.
“Kalau kau mau selamat ikuti ucapanku!” si orang tua
membentak halus. Mendengar itu Saringgih tak berlaku
ayal lagi. Dia melompat ke balik sebuah pohon.
Tepat pada saat dia sampai dibaJik pohon, di depan
sana orang bertubuh tinggi besar kebutkan mantel
hitamnya. Terdengarnya suara menggemuruh laksana ads
tanah longsor. Bersamaan dengan itu satu gelombang
angin laksana hantaman topan menghampar ganas me-
nebar hawa panas. Batu pasir berhamburan. Semak
belukar rambas. Tanah bergetar dan daun-daun pepohon-
an jatuh luruh, batang dan cabang-cabangnya berderak-
derak!
Nyanyuk Amber berseru keras. Dia kerahkan tenaga
dalam penuh lalu goyangkan bahunya kiri kanan. Dua
gelombang angin melesat menyongsong gemuruh angin
lawan. Namun sambaran angin yang keluar dari mantel
hitam lawan ternyata lebih dahsyat, membuat orang tua
cacat ini tak bisa bertahan. Dengan tubuh mandi keringat
karena berusaha menahan serangan lawan akhirnya
Nyanyuk Amber terdorong lalu terseret mental beberapa
jauh.
Nyanyuk Amber kini dapat membaca keadaan.
Dia segera berteriak pada pembantunya.
“Saringgih! Lekas lari ke perahu!”
“Nyanyuk! Kau sendiri bagaimana… Ambo akan dukung
kau. Kita lari sama-sama!” kata pembantu yang setia itu.
Sambil berguling-guling si orang tua berteriak. “Lakukan
apa yang aku bilang! Tunggu aku diperahu!”
Mendengar ini Saringgih segera tancap diri, lari
sekencang yang bisa dilakukannya menuju perahu di tepi
pantai.
Ketika melihat lawan tersapu jauh oleh pukulan angin
mantel hitamnya, si tinggi besar gerakkan tangannya ke
sebuah kantong di pinggang kiri. Ketika tangan itu digerak-
kan ke depan, melesatlah dua buah benda hitam sebesar
ujung jari kelingking. Dalam gelapnya malam senjata
rahasia berwarna hitam ini sulit untuk dapat dilihat. Tapi
telinga Nyanyuk Amber sudah dapat mendengar ada se-
suatu yang melesat ke arahnya dalam kegelapan malam.
Pada saat tubuhnya dihantam angin dahsyat tadi dan
menyadari bahwa dirinya tak bisa bertahan, begitu tubuh-
nya kena disapu, dengan cerdik orang tua ini lipat tubuh-
nya lalu gulingkan dirinya ke belakang. Tangan dan kakinya
yang buntung membuat tubuhnya bisa mengkerut menjadi
bulat laksana sebuah bola. Hal ini membuat daya gulingnya
jadi berlipat ganda. Selagi dia bergulingan itulah dia men-
dengar ada benda melesat ke arah kepalanya!
Nyanyuk Amber tundukkan kepalanya ke bahu kanan.
Mulutnya menarik sebatang senjata rahasia berbentuk
anak panah kecil yang tersisip di saku jubah pendek yang
dikenakannya. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam-
nya ke tenggorokan, orang tua ini meniup keras-keras.
Anak panah perak itu melesat dalam kegelapan malam,
memapas ke arah datangnya suara berdesing. Sesaat
kemudian terdengar suara berdentingan. Anak panah
Nyanyuk Amber berhasil menghantam benda bulat yang
menyambar di udara. Walaupun anak panah perak itu
patah berantakan namun benda yang dihantamnya mental
jauh hingga si orang tua selamat dari hantaman senjata
rahasia lawan yang diarahkan ke keningnya! Nyanyuk
Amber dengan cepat terus menggulingkan dirinya sehingga
akhirnya dia sampai di tepi pasir.
Dengan mengeluarkan suara menggereng geram si
tinggi besar mengejar. Dia mengeruk lagi kantong di
pinggang kirinya lalu sambil lari dia hantamkan senjata
rahasianya. Untuk kedua kalinya pula Nyanyuk Amber me-
nangkis dengan panah peraknya. Namun sekali ini
tangkisannya meleset. Senjata rahasia lawan berdesing ke
arah kepalanya. Dalam saat yang sangat berbahaya itu
bahu Nyanyuk Amber menyerempet gundukan batu.
Dengan cepat orang tua ini memutar tubuhnya lalu jatuh-
kan diri di balik gundukan batu itu. Dia selamat. Senjata
rahasia lawan Iewat seujung kuku di atas kepalanya! Tanpa
menunggu lebih lama lagi orang tua ini kembali gulingkan
diri di atas pasir.
Saringgih yang menunggu di atas perahu berteriak
keras.
“Nyanyuk! Ambo di sini!”
Teriakan ini sudah cukup bagi Nyanyuk Amber untuk
mengetahui arah di mana pembantunya berada. Orang tua
ini lipat tubuhnya lebih dalam. Lalu tubuh itu melenting dan
mencelat di udara, jatuh tepat diatas perahu. Seringgih
serta merta mendayung perahu itu cepat-cepat ke tengah
lautan.
Orang tinggi besar menggeram keras. Dia berusaha iari
mengejar masuk ke dalam laut sampai tubuhnya teng-
gelam sebatas pinggang. Namun perahu yang dikayuh
Saringgih telah jauh ditengah. Dengan geram orang ini
masih berusaha melepaskan lagi satu senjata rahasia.
Namun senjata rahasianya itu hanya sempat menghantam
bagian belakang perahu dan menancap di kayu perahu itu.
Kembali orang ini menggeram.
“Kakek cacat itu ternyata memiliki kepandaian hebat.
Baru dia seorang yang sanggup menangkis serangan
senjata rahasiaku! Aku belum pernah melihatnya sebelum-
nya. Tapi dari ciri-cirinya… Jangan-jangan dia adalah
Nyanyuk Amber, tokoh silat dari puncak Singgalang, bekas
guru Raja Rencong Dari Utara! Kurang ajar! Mengapa tadi
aku tidak menghantamnya dengan lima senjata rahasia
sekaligus! Kalau dia berani muncul lagi, tak akan kuberi
ampun bangsat tua itu!” Lalu sambil mengepalkan kedua
tinjunya orang ini memutar tubuh dan lenyap dalam ke-
gelapan malam.
Sementara itu di atas perahu.
“Manusia itu luar biasa… Serangahnya ganas memati-
kan! Hampir saja aku benar-benar hendak dibuatnya jadi
bangkai!” kata Nyanyuk Amber seraya berusaha duduk
sementara perahu meluncur denan cepat. “Kita sudah
cukup jauh ke tengah. Manusia itu pasti tidak dapat lagi
melihat kita. Sekarang putar arah perahu ini, Saringgih!”
Tentu saja si pembantu menjadi heran.
“Di putar kemana Nyanyuk? Bukankah kita kembali ke
pulau besar?”
“Tidak. Kita kembali ke pulau itu!”
Saringgih tersentak kaget dan hentikan mendayung
perahu.
“Ambo yang salah dengar atau Nyanyuk yang salah
ucap?!”
“Kau tidak salah dengar! Aku tidak salah ucap! Kita
kembali ke pulau menyelinap lewat arah selatan pada
bagian yang berbatu-batu barang…”
“Nyanyuk! Kau barusan saja lepas dari maut! Sekarang
malah hendak kembali ke tempat cilaka itu!”
“Saringgih tugasku menyelidiki kematian sahabatku Tua
Gila. Aku merasa ada sesuatu yang aneh di balik kematian-
nya itu. Jika kau takut kembali ke pulau, antarkan saja aku
sampai di pantai selatan. Biar aku naik ke pulau seorang
diri. Kau boleh kembali ke Gunung Singgalang!”
Saringgih jadi merasa tidak enak mendengar kata-kata
itu. maka diapun menyahuti. “Nyanyuk, kita pergi sama-
sama. Pulangpun harus sama-sama…”
Nyanyuk Amber tersenyum lalu rebahkan tubuhnya di
lantai perahu.
***
WIRO SABLENG
6 MAKAM TANPA NISAN
arena pulau itu tidak terlalu besar maka dalam
waktu tak selang berapa lama perahu yang dikayuh
Saringgih telah sampai di bagian barat yaitu bagian
yang pantainya penuh dengan batu-batu karang tinggi
diseling batu-batu cadas hitam. Saat itu tengah terjadi
pasang naik sehingga mereka bisa masuk jauh ke daratan.
Angin laut menerpa bebatuan di sepanjang pantai me-
nimbulkan suara aneh di telinga Saringgih.
“Ceritakan padaku keadaan di sekitar sini.” kata
Nyanyuk Amber begitu dia merasa perahu mulai meluncur
perlahan.
“Air laut sedang pasang naik Nyanyuk. kita bisa masuk
terus ke pedalaman pulau. Pesisir di sini penuh dengan
batu-batu karang menjulang tinggi serta batu-batu cadas
hitam…”
“Bagus, berarti kita sampai di arah yang tepat. Di bagian
belakang kawasan makam Tua Gila. Kau harus menyem-
bunyikan perahu ini. Cari tempat yang baik untuk kita. Dan
jangan meninggalkan jejak atau tanda-tanda sedikitpun!”
Di celah batu-batu besar hitam Saringgih menghentikan
perahunya, lalu dia mendukung Nyanyuk Amber turun ke
darat.
“Nyanyuk, ambo melihat ada lengkungan dalam salah
satu dinding karang. Mungkin sekali goa…”
“Bawa dan tinggalkan aku disana. Lalu kau lekas cari
tempat yang baik untuk menyembunyikan perahu.” kata
Nyanyuk Amber pula.
K
Saringgih mendukung orang tua itu menuju lengkungan
batu. Ternyata lengkungan itu bukan sebuah goa melain-
kan lengkungan biasa saja namun cukup besar untuk
mereka berdua.
Sebelum Saringgih pergi mencari tempat untuk me-
nyembunyikan perahu Nyanyuk Amber meminta agar pem-
bantunya itu mencari ranting-ranting dan semak belukar
sebanyak mungkin untuk menutupi bagian terbuka
ruangan batu yang akan mereka jadikan tempat ber-
sembunyi sekaligus guna menghalangi kerasnya tiupan
angin dari laut.
“Nyanyuk, apa kita benar-benar akan menuju makam
Tua Gila malam ini juga?” bertanya Saringgih sambil
menancapkan ranting-ranting, serta belukar di depan
legukan batu karang.
“Aku sudah memikirkan hal itu kembali. Malam ini kita
tetap di sini saja. Kau tentu letih, perlu istirahat dan tidur,”
jawab Nyanyuk Amber, “Besok saja, kalau matahari telah
terbit kita kembali ke lapangan yang ada dua makam itu…”
Paginya ketika matahari muncul dan pasang telah turun
ternyata tempat mereka berada cukup jauh dari pantai.
Dari situ mereka dapat melihat pantai dengan jelas. Se-
baliknya seseorang yang datang dari arah pantai agak sulit
melihat mereka karena ada sebuah batu karang cukup
tinggi menghalangi pemandangan.
“Nyanyuk, kau ingin ambo mencari ikan dan membakar-
nya untuk sarapan pagi?” bertanya Saringgih.
“Jangan jadi orang tolol! Aku tak ingin mahluk yang
katanya kini menguasai pulau ini melihatmu. Membakar
ikan sama saja mengundang kedatangan mahluk celaka
itu kemari!”
Saringgih terdiam menyadari ketololannya sendiri.
Dalam hati dia berkata ” Alamat akan kosong perutku pagi
ini.”
“Ada hal lebih penting yang harus kita lakukan…”
“Hal apa Nyanyuk?”
“Dukung aku ke tempat kau menyembunyikan perahu.”
Begitu sampai di tempat perahu disembunyikan, yaitu
dibalik sebuah batu karang lancip orang tua itu minta di-
turunkan lalu pada pembantunya dia berkata.
“Malam tadi salah sebuah senjata rahasia yang di-
lemparkan ke arah kita mengenai bagian belakang perahu.
Senjata rahasia itu pasti masih menancap disana. Coba
kau periksa!”
Saringgih melakukan apa yang diperintahkan Nyanyuk
Amber. Sesaat kemudian terdengar pembantu ini berkata.
“Kau betul Nyanyuk. Ada bagian kayu perahu yang ber-
lobang tetapi tidak sampai tembus. Sebuah benda bulat
menancap di dalamnya. Ambo sudah berusaha men-
cungkil, tapi sulit sekali…”
“Kalau kau cungkil dengan mulut atau jari tanganmu
tentu saja sulit, Saringgih. Pergunakan ujung kerismu!”
“Nyanyuk, keris Pusako Dewa milikku bukan senjata
sembarangan. Masakan dipakai untuk mencungkil…”
Nyanyuk Amber cepat memotong kata-kata pembantu-
nya itu. “Benda yang hendak kau cungkil juga bukan
senjata sembarangan Saringgih! Paling tidak senjata
seperti itu telah menewaskan empat tokoh yang kau lihat
telah jadi mayat itu! Bahkan nyaris membunuhku! Keluar-
kan kerismu dan cungkil senjata rahasia itu dengan hati-
hati!”
Saringgih tak bisa berkata apa-apa lagi. Dikeluarkannya
keris pusaka yang terselip di pinggangnya lalu dengan
ujung senjata ini dia mulai mencungkil benda yang me-
nancap di kayu belakang perahu. Setelah beberapa lama
terdengar suara pembantu itu berkata.
“Ambo berhasil mencungkil senjata rahasia ini,
Nyanyuk! Bentuknya seperti kelereng…”
“Kelereng…?” mengulang Nyanyuk Amber.
Dengan tangan gemetar si pembantu menggenggamnya
lalu memegang-megang benda bulat itu dengan ujung
jarinya. Benda bulat terasa licin dan besarnya seujung jari
kelingking.
“Hemmm…” Nyanyuk Amber bergumam, Otaknya be-
kerja keras untuk menerka senjata rahasia yang dikatakan
Saringgih itu. Lalu dia bertanya. “Saringgih, katakan pada-
ku apa warna benda bulat yang besarnya lebih kecil dari
kelereng ini?”
“Hitam legam. Mengeluarkan sinar redup menggidik-
kan!” sahut Saringgih.
Paras orang tua bermata buta itu berubah.
“Mutiara Setan…” desisnya. “Pasti ini Mutiara Setan!
Senjata ini tidak beracun. Tetapi sekali menancap di tubuh
manusia dia akan bergerak menutup jalan darah, me-
nembus dan menghancurkan urat-urat besar hingga
korban tak mungkin ditolong. Apalagi kalau sampai me-
nembus kepala. Korban pasti akan mati seketika! Itulah
yang terjadi dengan empat tokoh silat yang sekarang telah
menjadi mayat!”
“Nyanyuk, kalau kau sudah tahu nama senjata rahasia
itu berarti kau juga tahu siapa pemiliknya,” berkata
Saringgih.
Si orang tua mengangguk. “Kita harus hati-hati. Sangat
hati-hati. Manusia yang kita hadapi saat ini sejahat iblis
selicik setan!”
“Siapa orangnya. Nyanyuk?” tanya Saringgih ingin tahu.
“Nanti saja kau lihat sendiri. Kita berangkat sekarang!”
Walaupun masih ingin berlama-lama di tempat itu
namun Saringgih tak bisa membantah, Dia jongkok di
hadapan si orang tua. Ketika dia siap untuk mendukung
tiba-tiba Saringgih melihat sesuatu di tengah taut.
“Nyanyuk, ada perahu sedang menuju ke arah pulau…”
“Pasti sahabat yang hendak menziarahi makam Tua
Gila. Ada beberapa orang kau lihat di atas perahu?”
“Masih terlalu jauh. Kurang jelas. Tapi ambo kira cuma
satu orang…”
“Tunggu saja beberapa saat lagi. Begitu perahu men-
darat kau lekas katakan ciri-ciri orang yang datang.”
Saringgih menunggu. Sesaat demi sesaat perahu di
tengah taut semakin mendekat ke pulau dan akhirnya ber-
henti tertahan di pasir pantai. Penumpangnya melompat
turun ke pasir lalu menyeret perahunya ke dekat sebuah
batu. Seutas tali yang terikat pada ujung perahu dilibat-
libatkannya ke batu dan dibuhulnya kuat-kuat. Orang ini
tampak mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi lalu
menggeliat beberapa kali. Sambil bersiul-siul dia me-
langkah meninggalkan pantai.
“Saringgih lekas katakan siapa orang yang barusan
datang itu! Dan tengah menuju ke mana dia!”
“Ambo tak kenal. Belum pernah melihatnya sebelum-
nya. Orangnya masih muda Nyanyuk. Berpakaian serba
putih. Ikat kepalanya juga putih. Rambutnya menjulai
gondrong. Dia melangkah seenaknya. Sambil bersiul-siul.
Agaknya dia tidak tahu malapetaka apa yang bisa menimpa
dirinya di pulau ini! Saat ini dia melangkah terus memasuki
pulau. Dia melompati batu-batu besar dengan gerakan
enteng”
“Pakaian putih ikat kepala putih. Rambut gondrong. Ber-
jalan seenaknya malah sambil bersiul-siul!” Nyanyuk Amber
mengulangi ucapan pembantunya tadi. Otaknya bekerja
keras mengingat-ingat. Dan tiba-tiba saja dia ingat. Mulut-
nya yang kempot tersenyum. Lalu orang tua ini segera
hendak berteriak menyebut nama orang itu. Namun begitu
dia sadar terlakannya pasti akan didengar orang tinggi
besar di dalam pulau, Nyanyuk Amber segera kancingkan
mulutnya rapat-rapat.
“Lekas kita susul pemuda itu!” katanya pada pembantu-
nya.
Namun saat itu tiba-tiba saja angin bertiup sangat
kencang. Langit di atas pulau dan taut di sekitarnya ditutup
gumpalan awan kelabu kehitaman. Udara serta merta men-
jadi gelap. Lalu terdengar guntur menyambar. Di tengah
laut kilat bersabung sambar menyambar.
“Celaka Nyanyuk! Badai menyerang pulau ini!” teriak
Saringgih lalu cepat-cepat berpegangan pada dinding batu
di samping agar tidak terpental di hantam angin.
“Siapa takutkan badai. Lekas dukung aku dan susul
pemuda tadi!” kata Nyanyuk Amber keras-keras di antara
deru angin yang menggelegar.
Saringgih terpaksa segera mendukung orang tua itu.
Namun ketika dia baru saja melangkah keluar dari legukan
batu, satu sambaran angin melabrak dengan keras.
Saringgih dan Nyanyuk Amber terpelanting ke dalam
legukan lalu sama-sama jatuh ke tanah. Nyanyuk Amber
terdengar menyerapah sedang Saringgih meringis ke-
sakitan sambil memegangi baglan keningnya yang benjol
terantuk dinding batu.
***
WIRO SABLENG
7 MAKAM TANPA NISAN
endekar 212 Wiro Sableng lunjurkan kedua kakinya
di lantai perahu, berhenti mendayung dan mem-
biarkan perahu itu meluncur dihanyutkan gelombang
ke arah pantai. Semakin dekat ke pantai pulau semakin
jelas kelihatan barisan batu-batu karang dan batu-batu
cadas di tepi pasir. Sepasang mata murid Sinto Gendeng
dari Gunung Gede ini memandang tak berkesip pada dua
buah batu karang yang menjulang lancip ke udara dan
paling tinggi diantara batu-batu karang yang terdapat di
teluk sempit di pulau itu. Ingatannya kembali pada masa
beberapa tahun silam ketika dia digembleng secara ganas
oleh kakek sakti bergelar Tua Gila.
Waktu itu sore hari. Air laut sedang pasang naik. Dia
dibawa ke teluk. Tubuhnya diikat dengan sejenis benang
sakti berwarna putih yang disebut Benang Kayangan. Lalu
dia disuruh memanjat naik ke puncak salah satu batu
karang yang tinggi terjal itu. Tua Gila sendiri kemudian naik
ke atas batu karang yang satu lagi. Berulang kali tubuh
Pendekar 212 mencelat mental dihantam ombak. Setiap
kali tubuhnya terlempar Tua Gila menyentakkan benang
sakti yang dipegangnya hingga Wiro kembali terlempar ke
puncak karang. Dengan susah payah akhirnya Wiro ber-
hasil tegak di atas batu karang itu namun saat itu dia
sudah sampai pada batas kekuatannya. Darah keluar dari
mata, hidung dan telinganya dan akhirnya pendekar ini
jatuh pingsan tidak sadarkan diri lagi. Dikemudian hari
Wiro baru maklum bahwa apa yang dilakukan Tua Gila atas
P
dirinya menjadi dasar ilmu silat tangguh yang tak ada
tandingannya yang kemudian diajarkan kepadanya yaitu
Ilmu Silat Orang Gila.
Kini setelah bertahun-tahun dari kejauhan dia dapat
melihat dua puncak karang tidak beds seperti keadaannya
dulu. Luapan rasa gembira tercermin di wajah sang
pendekar. Sebentar lagi dia akan bertemu dengan Tua Gila,
manusia aneh bermulut kasar tetapi berhati polos. Rupa-
nya dia tidak tahu kalau sesuatu telah terjadi dengan orang
tua itu.
Begitu bagian bawah perahu bergeser dengan pasir
Wiro segera melompat turun. Perahu itu diseretnya ke
darat lalu dilkatkannya ke sebuah batu. Di tepi pantai Wiro
tegak sejenak, mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi
menghirup Wars dalam-dalam dan menggeliatkan badan-
nya beberapa kali.
Lalu dengan setengah berlari dia masuk kebagian
dalam pulau melewati daerah berbatu-batu. Pada saat
itulah udara tiba-tiba menjadi gelap. Mendung tebal
menyungkup pulau. Angin kencong bertiup dahsyat. Guruh
menggelegar dan kilat sabung menyabung.
“Badai celaka!” maki Pendekar 212 Wiro Sableng dan
terus lari bahkan kini sambil berteriak. “Tua Gila! Aku
dating! Tua Gila! Aku Wiro Sableng datang menyambangi-
mu!”
Namun suara teriakan Wiro itu tenggelam diteIan
gelegar guntur dan deru badai yang amat keras. Pendekar
itu berjalan terus walaupun tersaruk-saruk karena gelapnya
udara yang tidak beda dengan kepekatan malam.
“Tua Gila! Aku Wiro Sableng datang! Tua Gila!” kembali
Wiro berteriak. Dia bergerak di antara lamping-lamping
batu karang tinggi, memanjat batu-batu cadas besar dan
akhirnya sampal di satu tempat terbuka yaitu lapangan
kecil di mana terletak dua makam.
Murid Sinto Gendeng ini hendak berteriak kembali me-
manggil Tua Gila namun mulutnya serta merta terkunci
ketika tiba-tiba di bawah hujan lebat dan tiupan angin
keras serta gelapnya udara dia melihat empat sosok tubuh
yang telah jadi mayat dan sangat rusak terikat pada empat
tiang kayu.
“Astaga! Aku belum sampal ke neraka! Mengapa
pemandangan mengerikan begini bisa ada dl pulau ini! Gila
dan aneh! Mayat rusak begitu mengapa tidak berbau
busuk?” Tentu saja sang pendekar tidak tahu kalau
Nyanyuk Amber telah meneteskan sejenis cairan yang
mampu melenyapkan bau busuk untuk beberapa waktu
lamanya. Belum habis keterkejutan murid Eyang Sinto
Gendeng itu, pandangan matanya kemudian membentur
duo buah makam yang terletak di depan tiang-tiang
kematian!
“Eh, kuburan siapa ini…?” bertanya Pendekar 212
dalam hati. Mendadak saja dia menjadi merasa tidak enak.
“Jangan-jangan orang tua itu…”
Wiro melompat ke hadapan makam bernisan batu
hitam. Dia berputar untuk dapat melihat guratan tulisan
yang ada dibatu itu.
“Tua Gila…!” desis Wiro ketika samar-samar dia dapat
membaca tulisan yang tergurat di atas batu nisan. Tubuh-
nya terasa lemas dan pendekar ini langsung jatuh berlutut
di samping makam. Kedua matanya berkaca-kaca. “Orang
tua… Kenapa kau pergi begitu cepat…” Wiro menutup
mukanya dengan kedua tangan lalu mengusap wajahnya
yang basah berulang kali. Sambil liiemegangi batu nisan
hitam murid Sinto Gendeng memandang berkeliling. Kini
baru disadarinya bahwa tanah makam itu masih merah.
Begitu juga tanah kubur yang disebelahnya. Lalu dia
melihat pula keanehan lain itu.
“Mengapa kubur yang satu ini tidak ada batu nisan?
Kubur siapa pula ini.?” Wiro coba menduga-duga. Dia ingat
pada anak kecil berusia dua tahun lalu yang kemudian
diambil murid oleh Tua Gila.
Jika anak itu masih hidup uslanya sekarang sekitar
enam tahun. Dimana anak Itu kini? Apakah kubur yang
satu ini kuburannya?
“Tanah kubur masih merah. Berarti duo jenazah yang
ada di sini belum lama dimakamkan. Lalu siapa yang
menguburkan mereka?”
Wiro menatapi kedua makam itu lama-lama. Kemudian
dia melihat ada kabut tipis di sekitar makam.
“Aneh, setahuku tak pernah ada kabut di pulau inil”
Hujan menders deras. Apa yang disangkakan Wiro
sebagai kabut itu lenyap. Kini tinggal bau sesuatu yang
merasuk hidungnya. “Sepertinya yang kulihat tadi bukan
kabut. Tapi asap… Ada bau rokok sekitar tempat init” Wiro
memandang berkeliling. “Aneh… Setan atau jin lautkah
yang merokok.. . ?°
Tak lama setelah asap lenyap, bau rokokpun ikut sirna.
Lalu lapat-lapat, seolah-olah datang dari suatu terowongan
jauh di perut bumi Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng mendengar suara ketukan-ketukan sangat
halus. Semula dia menyangka telinganya salah dengar.
Namun ketika diperhatikannya baik-baik, diantara deru
badai memang ada suara ketukan halus terdengar be-
berapa kali. Lenyap sebentar lalu terdengar lagi.
Murid Sinto Gendeng menggeser tubuhnya lebih dekat
ke makam. Lalu perlahan-lahan telinga kirinya didekatkan
ke batu nisan hitam. Kembali terdengar suara ketukan.
Lewat batu nisan itu kini matah ketukan itu terdengar lebih
jelas. Wiro mengorek sebuah batu kecil. Dengan batu itu
dia mengetuk batu nisan hitam beberapa kali. Suara
ketukan yang tadi lenyap kini terdengar lagi. Lalu diam.
Wiro mengetuk lebih keras. Seperti dibalas dia mendengar
jawaban suara ketukan. Ketika Wiro hendak mengetuk
sekali lagi, saat itulah dia melihat dalam kegelapan
sepasang kaki berkasut kulit sampai sebatas lutut me-
langkah di atas tanah yang becek. Setiap langkah yang
dibuatnya menimbulkan getaran di tanah. Wiro angkat
kepala Pendekar 212 melengak kaget ketika melihat satu
sosok tubuh tinggi besar bermantel hitarri tahu-tahu sudah
tegak di hadapannya. Orang ini bermuka panjang yang
tertutup kumis dan berewokan liar, mengenakan topi tinggi.
Sepasang matanya sangat besar. Desauan nafas yang
keluar dari mulutnya seperti suara gerengan harimau. Di
ketiak kirinya orang tinggi besar ini mengepit sebuah
benda hitam.
Tiba-tiba orang ini menyeringai. Mulutnya terbuka.
Kelihatan gigi-giginya yang besar serta taring seperti
harimau. Seringai lenyap. Dari mulut orang ini kini keluar
suara tawa berkakakan.
“Manusia kutuk sumpah! Akhirnya kau datang juga!
Ha… ha… ha …. Sahabatmu Tua Gila memang sudah lama
menunggu! Ha… ha… ha…!”
Perlahan-lahan Wiro bangkit berdiri.
“Siapa kau?!” Wiro membentak.
Yang ditanya menjawab dengan tawa bergelak. Lalu
benda hitam yang sejak tadi di kempitnya diturunkan dan
secepat kilat ditancapkannya di bagian kepala makam di
samping makam Tua Gila. Ternyata benda yang ditancap-
kannya itu adalah sebuah batu nisan yang bentuk dan
ukurannya sama dengan nisan yang ada di makam Tua
Gila!
Menurut taksiran Wiro batu hitam itu beratnya puluhan
kati. Orang bermantel sanggup menancapkannya sampai
setengahnya berarti dia memiliki kekuatan luar biasa!
Makam yang tadi tidak bernisan itu kini lengkap sudafi
dengan batu nisannya!
Sepasang mata Pendekar 212 membelalak ketika
melihat nama yang tergurat di atas batu nisan. Ternyata itu
adalah namanya sendiri. Wiro Sablengt Berarti makam itu
adalah kuburannya sendiri!
Orang bermantel hitam masih tertawa panjang. Tiba-tiba
tawanya berhenti dan terdengar ucapannya “Bagus, kau
telah datang untuk melihat makammu sendiri!” Dengan
kaki kirinya yang berkasut kulit orang ini menginjak sebuah
batu yang menonjol di dekat kepala nisan. Terdengar suara
berdesir. Lalu terjadilah hal yang aneh. Tanah kuburan
yang baru ditancapi batu nisan perlahan- lahan kelihatan
terangkat. Ternyata tanah merah itu di bagian bawahnya
adalah sebuah batu tebal empat persegi panjang yang
tidak beda dengan sebuah pintu penutup!
Ketika besi penutup terbuka lebar Wiro melirik ke
bawah. Dalam gelap dia dapat melihat lobang kosong itu
berdinding dan bertantai batu tebal. Sebuah pipa kecil
aneh terdapat dibagian bawah besi penutup.
“Liang kuburmu sudah kusediakan Pendekar 212! Kau
mau masuk secara baik-baik atau perlu aku bantu meng-
gotongmu ke dalam?!”
“Bangsat keparat ini tidak bersenda gurau!” kata Wiro
dalam hati. Dia melirik ke makam di sebelah kiri. Rahang-
nya menggembung. “Berarti kau juga yang telah memasuk-
kan sahabatku Tua Gila ke dalam makam yang satu ini!”
katanya menuduh.
“Ha …ha… ha…! Dugaanmu tepat…”
“Di mana murid Tua Gila yang berusia enam tahun? Apa
kau pendam juga di makam ini?!”
“Untuk sementara anak itu ada di bawah kekuasaanku.
Nyawanya tergantung pada gurunya si Tua Gila. Ha… ha…
ha… Silahkan masuk Pendekar 212. Tapi serahkan dulu
senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212 padaku.
Lemparkan senjata itu kehadapanku. Juga berikan padaku
buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan. Jangan coba mem-
bangkang apa lagi melawan. Aku bisa membunuhmu
secepat aku membalikkan telapak tangan! kapak dan buku
itu! Lekas!”
“Hujan begini deras. Badai melanda begini hebat! Tapi
belum pernah aku melihat orang yang gilanya sehebatmu!
Kau memendam sahabatku Tua Gila! Kau menculik murid-
nya! Kini menyuruh aku masuk ke dalam liang kubur!
Malah mengemis dulu minta senjata dan buku!”
“Mulutmu pandai bicara! Aku mau lihat apa kau masih
bisa bicara kalu mulutmu itu sudah kurobek!”
Tiba-tiba orang bermantel putar tubuhnya sambil me-
mukulkan kedua tangannya sekaligus ke depan. Dua
gelombang angin yang sangat keras melabrak murid Sinto
Gendeng. Tubuh pendekar ini terdorong ke arah lobang
kubur.
Wiro membentak keras lalu cepat menghantam dengan
pukulan Tameng sakti menerpa hujan.
***
WIRO SABLENG
8 MAKAM TANPA NISAN
RANG bertopi tinggi berseru kaget ketika melihat
bagaimana serangan balasan lawan bukan saja
membuyarkan hantamannya tetapi juga membuat
kedua kakinya goyang bergetar. Dia menyeka mukanya
yang basah oleh air hujan dengan tangan kiri lalu mencoba
menyergap Wiro dengan satu lompatan.
Pendekar 212 sambut serangan lawan dengan jotosan
ke arah perut. Jotosan itu mendarat di sasarannya dengan
telak tapi si tinggi besar tidak bergeming sedikitpun. Malah
dia menyeringai memperlihatkan taringnya. Wiro membuat
gerakan berputar setengah lingkaran. Laksana kilat kaki
kanannya melesat ke atas.
Bukkk!
Kaki kanan itu menghantam rahang lawan dengan
keras, membuat orang itu terpelanting dan jatuh terbanting
di tanah yang becek. Paling tidak pasti tulang rahangnya
pecah, begitu Wiro berpikir. Tapi murid Sinto Gendeng ini
jadi tercengang ketika dilihatnya orang itu berdiri kembali
tanpa menunjukkan rasa sakit apalagi cidera. Hanya topi
tingginya yang lepas dan jatuh ke tanah. Kelihatan
rambutnya yang panjang lebat riap-riapan, dan basah oleh
air hujan.
Dengan tenang dia mengambil topinya. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Wiro untuk menendang ke arah kepala.
Dari mulut si tinggi besar terdengar suara menggereng.
Lalu tangan kirinya bergerak cepat menangkap per-
gelangan kaki Wiro yang menendang. Begitu tertangkap
0
orang ini membuat gerakan aneh dan tahu-tahu tubuh
Pendekar 212 sudah terangkat ke atas lalu dibantingkan
ke bawah. Tubuh pendekar itu jatuh tepat di dalam liang
kubur.
Sambil menyeringai si tinggi besar melompat hendak
menekan batu di kepala makam. Maksudnya segera
hendak menurunkan batu tebal penutup kuburan. Wiro
yang tahu apa artinya kalau dia sampai terperangkap di
datam liang kubur itu segerar melompat sambil lepaskan
pukulan yang dipelajarinya dari Tua Gila yaitu Kincir padi
Berputar. Tangan kanannya menabas pergelangan kaki
lawan yang hendak menekan batu rahasia. Melihat
serangan yang bisa memutus kakinya itu si tinggi besar
cepat melompat selamatkan diri. Kesempatan ini segera
dipergunakan oleh Wiro untuk melompat keluar dari dalam
kuburan.
Di bawah hujan lebat dan badai kedua orang itu
kembali berhadap-hadapan. Sesast keduanya berputar-
putar. Wiro membuka serangan dengan jurus kepala naga
menyusup awan. L.engan kanannya berkelebat ke atas-
seperti hendak menghajar dagu tetapi disaat yang sama
jotosan kanan menyusup ke arah dada lawan.
Yang diserang keluarkan suara mendengus. TUbuhnya
berkelebat ke kiri. Dua tangannya disilangkan. Begitu
silangan dibuka maka tangan kanan Wiro terjepit diantara
kedua lengannya laksana jepitan besi! Selagi Pendekar
212 berusaha melepaskan jepitan itu kaki kanan lawan
menderu menghantam perutnya.
Murid Sinto Gendeng mengeluh tinggi. Tubuhnya men-
celat sampai dua tombak. Sebelum dia bisa berdiri dengan
benar, dua jotosan melanda mukanya. Kembali pendekar
ini terpental. Hidungnya mengucurkan darah sedang mata
kirinya lebam membiru.
Si tinggi besar keluarkan suara tawa bergerak dan men-
dekati Wiro dengan kedua tangan terpentang. Baru lawan
sempat maju dua langkah Wiro segera sambut dengan
jurus segulung ombak menerpa karang. Serangan ini
dibuka dengan satu tendangan tipuan, ketika lawan
mengelak Wiro susul dengan satu lompatan seraya tangan
kiri membabat ke leher.
“Serangan tak berguna! Terima pukulanku!” ejek lawan
lalu cepat sekali tangan kanannya melesat ke dada Wiro.
Murid Sinto Gendeng cepat menangkis tapi luput. Jotosan
lawan menghantam dadanya dengan telak. Pendekar 212
terbanting jatuh punggung di tanah. Dari mulutnya
kelihatan ada darah keluar. Tulang-tulangnya serasa
berantakan. Ketika lawan datang hendak menendangnya
wiro segera menimbun seluruh tenaga dalamnya ke tangan
kanan. Tangan itu sebatas lengan sampal ke ujung-ujung
jari berubah menjadi putih perak menyilaukan. Udara yang
tadi dingin berubah menjadi panas.
Si tinggi besar mengekeh.
“Aku mau lihat pukulan sinar matahari yang terkenal
itu!” katanya mengejek lalu tegak berkacak pinggang.
“Leleh tubuhmu!” teriak Wiro seraya menghantam.
Sinar putih berkilat. Hawa panas menghampar. Si tinggi
besar masih tegak bertolak pinggang. Malah kini kembali
keluarkan suara tawa bergelak. Tiba-tiba dia menggerak-
kan kedua tangannya. Dua telapak tangan menghadap ke
depan dan didorongkan perlahan saja. Ada hawa aneh
yang memancarkan sinar hitam redup menyongsong
pukulan sinar malahari. Lalu bummmm!
Satu ledakan keras berdentum laksana merobek langit.
Pukulan sinar matahari buyar berantakan. Pendekar 212
Wiro Sableng keluarkan seruan kaget. Tubuhnya terguling
beberapa langkah. Dari mulutnya kelihatan lebih banyak
darah keluar. Di bagian lain lawannya tampak mengerenyit.
Pakaian kuning yang dikenakannya di bawah mantel
hangus hitam sebagian tetapi tubuhnya sendiri tidak apa-
apa, begitu juga mantel hitam yang dikenakannya!
“Saatmu untuk masuk ke liang kubur Pendekar 212!”
kata si tinggi besar. Lalu kaki kanannya ditendangkan ke
tubuh Wiro.
Dalam keadaan terluka seperti itu Pendekar 212 masih
sempat menghindar dengan menggulingkan diri lalu cepat
berdiri. Baru tegak dan belum sempat memasang kuda-
kuda lawannya sudah menyerbu dengan serangan-
serangan tangan kosong yang ganas. Wiro keluarkan jurus-
jurus silat Tua Gila yang didapatnya Tua Gila. Tapi lawan
menyambut dengan taws mengejek.
“Keluarkan seluruh jurus silat orang Gila! kalau
penciptanya saja bisa kuhajar apalagi kau yang cuma
cecunguknya!”
Lalu serangan lawan datang menghantam susul
menyusul. Semua gerak silat orang Gila yang selama ini
tidak ada duanya dibuat mentah. Wiro terdesak hebat dan
mundur terus. Tanpa disadari dia mundur membelakangi
liang kubur yang menganga. Tiba-tiba lawan membuka
mantel hitamnya lalu mengebutkan mantel ini ke arah
Wiro.
Murid Sinto Gendeng seperti mendengar gemuruh suara
air bah. Angin sedahsyat topan keluar dari mantel yang
dikebutkan menyapu tubuhnya. Wiro membentak dan
lindungi diri dengan pukulan sakti benteng topan melanda
samudera! Tapi tak ads gunanya. Tubuhnya telah te-
rjengkang lebih dahulu, lalu tersapu mental. Kapak Muat
Naga Geni 212 yang terselip di pinggangnya ikut tersapu ke
udara. Wiro berusaha melompat untuk menggapai senjata
mustika itu. Namun di depan sana lawan kembali kebutkan
mantelnya. Tak ampun lagi murid Eyang Sinto Gendeng itu
mencelat masuk ke dalam Hang kubur. Kepalanya
membentur dinding makam yang terbuat dari batu tebal.
Pemandangannya seperti gelap. Di saat itu pula si tinggi
besar meiompat. Tangannya menempel pada batu yang
menyembul dl kepala makam.
“Pendekar 212! Sebelum meregang nyawa kau dengar
baik-baik. Beberapa tahun lalu kau telah membunuh
adikku Datuk Sipatoka di bukit Tambun Tulang! Hari ini kau
terima pembalasan dariku. Kau hanya bisa bertahan empat
hari dalam liang kubur ini. Tapi jika kau mau memberi tahu
di mana kau menyimpan buku Seribu Macam limu
Pengobatan, nyawamu akan kuselamatkan. Beri tanda
dengan tiga ketukan pada batu penutup makam! Kalau
kau keras kepala dan tak mau memberi tahu, kau akan
jadi bangkai secara perlahan-lahan dalam makam itu! Ha…
ha… ha …!”
Orang yang mengaku kakak Datuk Sipatoka itu tertawa
bergelak lalu tekan batu yang menyembul di kepala
makam. Batu tebal penutup makam serta merta jatuh ke
bawah. Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang berada
dalam keadaan antara sadar dan tiada terpendam di
dalamnya!
Sesaat sebelum penutup batu itu jatuh mendadak ter-
dengar seseorang berteriak.
“Wiro!”
Manusia tinggi besar tersentak kaget. Dia cepat me-
nyambar Kapak Maut Naga Geni 212 yang tercampak di
tanah lalu memandang berkeliling.
Saat itu badai dan hujan telah mereda. Udara beralih
terang sedikit demi sedikit. Sepasang mata lebar si tinggi
besar jelalatan kian kemari. Tapi dia tidak berhasil melihat
dimana adanya orang yang barusan berteriak menyebut
nama Pendekar 212. Maka diapun membentak.
“Siaps yang berteriak! Lekas unjukkan diri!”
Tak ads jawaban. Dia memandang pada senjata
mustika yang ada dalam genggamannya. Perlahan-lahan
disalurkan tenaga dalam ke tangan kanan. Lalu Kapak
Maut Naga Geni 212 dibabatkannya beberapa kall. Sinar
menyilaukan berkelibat disertai suara seperti lebah
mengamuk dan menclerunya haws panas. Pohon-pohon
berderak patah dan hangus. Semak belukar rambas dan
mengepulkan asap. Batu-batu karang dan batu-batu cadas
yang kena hantaman sinar senjata mustika itu retak lalu
mental berkeping-keping.
“Senjata luar biasal” kata si tinggi besar dalam hati. Dia
memandang berkeliling. Tempat itu kini sunyi senyap.
Hanya debur ombak terdengar di kejauhan. Dan dia masih
belum dapat mengetahui siapa atau di mana orang yang
tadi berteriak.
“Suara yang berteriak tadi jelas suara perempuan… Atau
mungkin telingaku keliru menangkap bunyi suara…?!” Dia
memandang sekali lagi berkeliling lalu berteriak, “Hantu
atau jin perempuan! Kau tak berani unjukkan diri! Jangan
kira kau bisa bersembunyi! Aku akan menemukanmu!
Masih banyak tiang-tiang kosong mengikat bangkaimu di
tempat ini!”
Habis berteriak begitu orang ini cepat berkelebat dan
tubuhnya yang tinggi besar kemudian lenyap di celah
antara dua batu karang.
***
WIRO SABLENG
9 MAKAM TANPA NISAN
iapakah sebenarnya orang tinggi besar yang memiliki
ilmu silat hebat serta kesaktian luar biasa itu? Yang
sanggup menghajar Pendekar 212 sampai babak
belur bahkan memendamnya di liang makam yang agaknya
memang telah sejak lama disiapkan.
Untuk menjawab hal ini kita kembali pada masa be-
berapa tahun silam ketika Pendekar 212 Wiro Sableng
mengarungi laut Jawa untuk sempai ke pulau Andalas.
Seorang tokoh silat dari pulau Madura bernama Kiai
Bangkalan ditemui mati terbunuh di tempat kediamannya
di Goa Belerang. Dari penyelidikan yang dilakukan Wiro,
diketahui bahwa pembunuhnya adalah Datuk Sipatoka
seorang tokoh silat jahat di pulau Andalas yang diam di
Bukit Tambun Tulang.
Wiro segera berlayar ke pulau Andalas untuk mencari si
pembunuh. Ternyata Datuk Sipatoka bukan saja mem-
bunuh Kiai Bangkalan tetapi juga mencuri sebuah kitab,
langka berjudul Seribu Macam Ilmu Pengobatan.
Dalam pelayaran perahu yang ditumpangi Wiro diserang
badai hingga terbalik. Wiro berhasil menyelamatkan diri
dengan sebuah papan. Selagi terkatung-katung di tengah
laut yang diamuk gelombang besar dia melihat seorang
anak kecil timbul tenggelam dipermainkan ombak. Ter-
nyata anak itu masih hidup dan segera diikatkannya ke
papan. Dia sendiri tidak memikirkan keselamatannya lagi.
Sesaat sebetum Wiro tenggelam ditelan gelombang tiba-
tiba muncul sebuah perahu berpenumpang kakek aneh.
S
Orang tua ini menyelamatkan Wiro dan anak kecil tadi.
Ternyata kakek itu adalah seorang tokoh silat sakti
mandraguna yang diam di sebuah pulau dan dikenal
dengan nama Tua Gila. Dari orang tua ini Wiro kemudian
mendapat pelajaran beberapa jurus ilmu silat langka yaitu
Ilmu Silat Orang Gila sedang si anak kecil diambil jadi
muridnya.
Berkat beberapa petunjuk yang diberikan Tua Gila Wiro
akhirnya sampal di sarang Datuk Sipatoka. Ternyata sang
datuk memang bukan manusia sembarangan. Selain tinggi
ilmu silatnya orang ini juga memiliki berbagai pukulan
sakti. Untung saja saat itu Tua Gila muncul. Bersama-sama
mereka kemudian menumpas manusia jahat itu. Datuk
Sipatoka terbunuh dan buku Seribu Macam Ilmu
Pengobatan ditemukan oleh Tua Gila lalu diberikan pada
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kematian Datuk Sipatoka dan hancurnya sarang
manusia jahat itu ternyata tidak habis sampai disitu saja.
Kematian Datuk Sipatoka menimbulkan dendam kesumat
pada seorang sakti dan jahat yaitu kakak kandung sang
Datuk bernama Datuk Tinggi Raja Di Langit yang diam di
Kepulauan Pagai.
Namun ketika mengetahui bahwa adiknya terbunuh
oleh Tua Gila dan Pendekar Kapak Maut naga Geni 212
yang merupakan orang-orang dunia persilatan dengan
name besar maka Datuk Tinggi terpaksa menahan hati dan
bersabar. Die maklum tak bakal menang menghadapi
kedua lawan yang berkepandaian tinggi itu. Maka dia
menyusun satu rencana sambil memperdalam ilmu
kepandalannya sendiri. Dia mempelajari pula ilmu silat
Orang Gila ciptaan Tub Gila tetapi khusus menekuni
kelemahan-kelemahannya. Dengan care begitu jika kelak
dia berhadapan dengan musuh besarnya itu dia akan
mudah menentukan segala serangannya.
Untuk menghdapai Pendekar 212 Wlro Sableng. Datuk
Tinggi Raja Di langit menggembleng tenaga dalamnya dan
membuat sebuah mantel hitam yang kelak akan menjadi
senjata yang dapat diandalkannya. Di samping itu sang
datuk telah menciptakan pula semacam senjata rahasia
yang bakal menggemparkan dunia persllahn, yang terbuat
dari mutiara hitam dan kelak oleh orang-orang persilatan
disebut sebagal Mutiara Setan.
Setelah empat tahun menyiapkan diri, diam-diam Datuk
Tinggi Raja Di Langit berangkat ke pulau kediaman Tua
Gila. Dalam perjalanan dia menyebar kabar bahwa Tua Gila
telah meninggal dunia. Hal ini untuk mengundang para
sahabat Tua Gila datang ke pulau itu untuk berziarah.
Datuk Tinggi ternyata bukan saja mendendam untuk mem-
bunuh Tua Gila, tetapi juga semua sahabat orang tua itu
akan dilenyapkannya. Dan tujuan utamanya menyebar
berita palsu itu adalah agar Pendekar 212 Wiro Sableng
yang menjadi musuh utamanya muncul pula di pulau itu
untuk dihabisinya. Di samping itu Datuk Tinggi Raja Di
Langit juga sangat berminat untuk memiliki Benang
Kayangan milik Tua Gila, Kapak Maut Naga Geni 212 milik
Wiro serta mencari tahu di mana kitab Seribu Macam Ilmu
Pengobatan yang dulu pernah dimiliki adiknya Datuk
Sipatoka.
Ketika Datuk Tinggi sampai di pulau kediaman Tua Gila
ternyata orang tua itu belum kembali dari suatu perjalanan
jauh. Dia hanya menemukan murid Tua Gila, seorang anak
lelaki yang baru berusia enam tahun. Dengan mudah Datuk
Tinggi meringkus anak ini, mengikatnya dan membawanya
ke sebuah goa sempit di antara celah-celah batu karang
dimana dia bersembunyi.
Datuk Tinggl kemudian menggeledah gubuk kayu
kediaman Tua Gila. Benda yang dicarinya yaitu buku Seribu
Macam Ilmu Pengobatan tidak ditemukan.
“Berarti benar kabar yang kuterima di luaran, Kitab Itu
telah diberikan dan berada di tangan Pendekar Kapak
maut Naga Geni 212!” kata Datuk Tinggi dalam hati. Lalu
cepat-cepat dia meninggalkan gubuk tersebut.
Sambil menunggu kedatangan Tua Gila, Datuk Tinggi
pergunakan kesempatan untuk melakukan sesuatu sesuai
dengan rencananya. Dia membuat dua buah makam yang
diberi peralatan rahasia. Bagian atas makam dilapisi batu
yang bisa dibuka dan ditutup jika sebuah batu pada
masing-masing kepala makam di tekan. Lantai dan dinding
makam juga dilapisi dengan batu-batu tebal. Di kedua
makam ini kelak dia akan menjebloskan dan mendekam
Tua Gila serta Pendekar 212 Wiro Sableng sampai kedua
orang itu menemui ajal secara perlahan-lahan. Dua buah
batu nisan hitam bertuliskan nama Tua gila dan Wiro
Sableng tak lupa disiapkannyal
Setelah menunggu hampir satu minggu akhirnya Tua
Gila muncul pada suatu malam. Dia langsung menuju ke
tempat kediamannya sebuah gubuk kayu di bagian
tenggara pulau. Ada dua hal yang membuat Tua Gila ter-
kejut begitu memasuki gubuk. Pertama isi gubuknya ke-
lihatan berantakan seperti ada yang membongkar setiap
sudut tempat itu. Hal kedua dia tidak menemukan murid-
nya, anak lelaki yang baru berusia enam tahun itu.
“Heran, ke mana anak itu? Kalau masih siang pasti dia
tengah bermain-main di hutan kecil atau di lapangan. Atau
di tepi pantai. Tapi malam-malam begini…?” membatin Tua
Gila. Maka diapun keluar gubuk mulal mencari sambil tiada
hentinya berteriak memanggil muridnya itu.
“Malin… Malin Sati! Di mana kau…?”
Mula-mula Tua Gila mencari sepanjang tepi pantai
terdekat. Ketika sang murid tidak dijumpai orang tua ini
kembali memasuki pulau dan akhirnya sampai di lapangan
kecil. Disini dua menghentikan langkah sambil me-
mandang terheran-heran. Ada dua gundukan tanah di-
lihatnya di ujung lapangan.
“Dua buah kuburan…” desis tua Gila. “Kuburan siapa…”
Satu berbatu nisan. Satunya tidak…”
Tua Gila bergegas mendatangi. Dihadapan makam ber-
nisan langkahnya tertahan. Meskipun malam gelap namun
matanya masih dapat membaca nama yang tertulis di atas
batu itu. Tua Gila! Namanya sendiri!
Tua Gila menyeringai.
“Siapa pula yang bercanda dengan segala kegilaan ini?”
katanya dalam hati. Namun sesaat kemudian seringainya
lenyap. Parasnya berubah. “Mungkin ini bukan senda
gurau… ” Dia berjalan mengelilingi kedua makam itu.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara raungan anjing.
Tua Gila terkesiap.
“Puluhan tahun hidup di pulau ini baru kali ini aku men-
dengar suara lolongan anjing! Tak pernah ada anjing di
pulau ini. Atau itu suara hantu laut? Mungkin juga binatang
jadi-jadian…?” Tua Gila memandang berkeliling. Orang tua
sakti ini kemudian menyadari, walau dia belum melihat
sosok tubuh lain di tempat itu tapi dia merasa pasti ada
seseorang yang tengah memperhatikan gerak geriknya
saat itu. Perlahan-lahan Tua Gila menatap tajam setiap
sudut gelap yang ada disekitarnya. Tiba-tiba dia meng-
hantam ke arah celah dua batu karang di depan sana.
Serangkum gelombang angin menderu. Dua batu
karang bergetar. Tua Gila hendak menghantam sekali lagi.
Pada saat itulah dari celah batu karang muncul melompat
sesosok tubuh tinggi besar yang langsung menyergapnya.
Tua Gila cepat menyingkir seraya memukul. Tapi
serangannya hanya mengenai tempat kosong karena yang
diserang tahu-tahu sudah melompat ke samping dan dari
samping lepaskan satu pukulan mengandung gelombang
angin yang hebat sehingga Tua Gila terhuyung-huyung
hampir jatuh!
“Tenaga dalam dan pukulan orang ini luar biasa sekali!”
kata Tua Gila lalu dia melompat mundur seraya mem-
bentak. “Penyerang tak dikenal!” Kau mencari mati berani
menginjakkan kaki di pulauku! Katakan siapa dirimu!”
Yang ditanya menjawab dengan suara tawa bergelak.
Orang ini bertubuh tinggi besar. Mengenakan baju kuning
yang disebelah luar dilapisi mantel dalam berwarna hitam.
Dia memakai kasut kulit sampai sebatas lutut. Di Kepala-
nya ada sebuah topi tinggi. Mukanya tertutup kumis dan
berewok sedang sepasang matanya besar sekali.
“Mulutmu busuk, taringmu seperti harimau! Jangan ter-
tawa keras-keras di hadapanku! Pasti kau binatangnya
yang telah mengobrak-abrik isi gubukku…!”
Suara tawa orang tinggi itu semakin keras.
Tua gila ingat pada Malin Sati. Rahang dan pelipis orang
tua ini langsung mengembung. Mukanya yang hanya
tinggal kulit pembalut tengkorak nampak berubah.
“Pasti kau juga telah menculik muridku! Lekas kembali-
kan Malin Sati! Jika anak itu sampai tergores saja kulitnya
akan kupatahkan batang lehermu!”
“Memang aku yang membongkar isi rumahmu. Aku juga
yang menculik muridmu…”
Mendengar pengakuan si tinggi itu, Tua Gila meng-
gembor marah. Tubuhnya melayang sebat, tangan
kanannya bergerak membabat ke arah batang leher orang.
Si tinggi besar cepat membungkuk lalu balas meng-
hantam ke arah perut Tua Gila. Orang tua ini terkesiap,
cepat berkelit. Setelah itu dia kembali menyerbu dengan
mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat orang gila. Tubuhnya
gerabak gerubuk seperti orang mabok. Tapi setiap tangan
atau kakinya bergerak, itu adalah gerakan menyerang yang
sulit diduga dan sangat berbahaya.
“Ilmu silat orang gila!” seru si tinggi bermantel hitam.
“Dulu memang ditakuti orang! Tapi bagiku ilmu silatmu
tidak lebih dari gerakan seekor ayam yang tertelan karet!”
Habis berkata begitu orang bermantel itu lalu meng-
hadapi Tua Gila dengan jurus-jurus tak kalah anehnya.
Tua Gila terkesiap ketika melihat jurus-jurus yang di-
mainkan lawannya adalah kebalikan dari setiap gerakan
ilmu silatnya. Dengan sendirinya jurus apapun yang di-
keluarkannya untuk menyerang, dengan sangat mudah
dapat dimentahkan lawan.
Melihat Tua Gila terkesiap orang tinggi itu tertawa
bergelak. Dia melangkah ke kepala makam di sebelah kiri
di mana terdapat sebuah batu sebesar kepalan. Batu ini
ternyata dibenamkan ke tanah dan dihubungan dengan
sebuah alat rahasia. Ketika batu di tekan terdengar suara
berdesir lalu secara aneh bagian atas kuburan sebelah kiri
yang bertanah merah bergerak ke atas. Di sebelah bawah
tanah merah ini terdapat lapisan batu sangat tebal. Kini
Tua Gila dapat melihat bagian dalam makam. Dinding dan
lantainya berlapiskan batu tebal. Makanr itu hampir dua
tombak lebih dalamnya.
“Sudah saatnya aku mengucapkan selamat jalan pada-
mu Tua Gila!”
“Eh, setan ini tahu namaku!” rutuk Tua Gila.
“Kau kaget aku tahu siapa dirimu?! Tua Gila, dengar
baik-baik. Kematianmu tak dapat dihindari. Liang kubur
sudah kusediakan. Aku tadinya ingin membunuh dan
mencincang tubuhmu sampai lumat. Tapi aku mau berbaik
hati agar kau bisa mati wajar-wajar saja. Untuk itu kau
harus menyerahkan padaku senjatamu berupa benang
sakti Benang Kayangan…”
“Manusia kadal! Jadi itu maksudmu datang ke pulau
ini?!”
“Bukan itu saja Tua Gila! Di luaran aku telah menyebar
kabar bahwa kau telah meninggal dunia! Berarti akan
banyak tokoh silat para sahabatmu berdatangan kemari.
Mereka termasuk manusia-manusia yang kena kutukku!
Siapapun sahabatmu akan kubunuh mati ditempat ini!”
“Gilal” teriak Tua Gila.
“Tidak… Aku belum gila!”
“Kalau tidak gila apa alasanmu membunuh orang-orang
yang tidak ada dosa kesalahan itu?!”
“Apa alasanku akan kukatakan nanti. Kau harus dengar
dulu maksudku yang lain datang ke tempat ini. Aku minta
kau juga menyerahkan kitab Seribu Macam Ilmu
Pengobatan!”
Tua Gila tertawa mengekeh.
“Rupanya kau jenis pencuri tengik!” ejek Tua Gila. “Buku
yang kau cari tidak ada padaku. Kalau pun ada masakan
aku mau memberikannya padamu!”
“Bagus, pengakuanmu itu menyatakan bahwa kitab
tersebut memang benar berada di tangan Pendekar 212
Wiro Sableng! Tapi masih harus kita buktikan. Muridmu itu
pasti akan segera pula muncul di sini begitu mendengar
kabar kematianmu!”
“Dia bukan muridku! Aku hanya mengajarkan beberapa
jurus ilmu silat padanya!”
Si tinggi besar tertawa bergumam.
“Sekarang kukatakan padamu mengapa aku mengingin-
kan jiwamu! Juga ingin menghabisi siapa saja yang menjadi
sahabatmu, termasuk dan terutama sekali Pendekar 212
Wiro Sableng!”
“Hebat! Lekas kau katakan!”
“Beberapa tahun yang lalu kau bersama Pendekar 212
rnenyerbu bukit Tambun Tulang, menghancurkan tempat
itu dan membunuh Datuk Sipatoka! Betul begitu atau kau
berani berdusta?!”
“Iblis! Seumur hidup aku tidak pernah berdusta!
Memang benar aku membantu Pendekar 212 membunuh
Datuk Sipatoka penguasa bukit Tambun tulang! Manusia
keji itu pantas untuk disingkirkan dari muka bumii”
Orang berbadan tinggi besar keluarkan suara seperti
menggereng.
“Karena kau penyebab kematian Datuk Sipatoka, make
hari ini aku membalaskan dendam kesumat sakit hati
kematiannya! Aku adalah kakak kandung Datuk Sipatoka,
bergelar Datuk Tinggi Raja Di Langit!”
“Aha… Raja di langit sudah turun ke bumi mencari
penyakit!” teriak Tua Gila mengejek.
“Sebelum kau ku pendam dalam makam batu itu, lekas
serahkan Benang Kayangan padaku!” Datuk Tinggi berkata
sambil mengulurkan tangan kanannya.
“Kau inginkan benang sakti itu. kau terimalah!” kata Tua
Gila sambil menggerakan tangan ke balik pakaian putih-
nya. Ketika tangan itu keluar dari balik pakaian tiba-tiba
melesat sebuah benda putih berbuntal-buntal hendak
menggelung tangan kanan Datuk Tinggi. Orang yang sudah
mengetahui sekali kehebatan benang putih itu cepat
menarik pulang tangannya. Sekali terlambat dan sampai
lengannya digulung Benang Kayangan pasti tanggal
anggota tubuhnya itu!
Sambil menghindar Datuk Tinggi Raja Di Langit pukul-
kan tangan kiri. Tua Gila terkejut besar ketika melihat
bagaimana angin pukulan lawan sanggup membuat
benang saktinya tergoyang-goyang dan tak berhasil
menyambar apalagi menggulung tangan kanan lawan. Dia
gerakkan tangan yang memegang benang. Ujung benang
melesat dan menyambar ganas ke arah leher Datuk Tinggi
Raja Di Langit.
Kini sang datuklah yang jadi terkejut. Sambil keluarkan
seruan keras manusla tinggi besar itu jatuhkan diri ke
tanah, lalu dengan satu gerakan sangat cepat dia mem-
buka mantel hitamnya. Sambil menyeringai dia bertanya.
“Kau mau memberikan Benang kayangan itu atau tidak,
Tua Gila?!”
Sebagai jawaban Tua Gila kembali menggerakkan
tangan kanannya. Benang Kayangan kelihatan berkilauan
tanda prang tua itu telah mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Senjata ini melesat ke arah mulut Datuk Tinggi,
siap untuk menggulung lidahnya. Begitu tergulung, sekali
sentak saja lidah orang itu akan terbetot tanggal!
Tapi lebih cepat dari datangnya sambaran Benang
Kayangan, Datuk Tinggi Raja Di Langit sudah kebutkan
mantel hitamnya.
Tua Gila mendengar seperti air bah bergulung ke arah-
nya. Lalu ada angin sangat dahsyat badai menyambar ke
arahnya. Tubuh dan kedua kakinya serta merta bergoyang
sedang Benang Kayangan membalik seperti menyerang ke
arah dirinya sendiri.
Tua Gila menggeram. Tangan kirinya lepaskan pukulan
sakti yang juga mengeluarkan angin dahsyat.
Datuk Tinggi Raja Di langit tersenyum mengejek.
“Pukulan Dewa Topan menggusur gunung! Apa hebatnya!”
katanya., mantel di tangannya berkelebat.
Wusss!
Tua Gila berteriak keras. Tubuhnya tersapu angin
serangan lawan. Dia berusaha bertahan tapi sia-sia saja.
Orang tua itu terlempar masuk ke dalam liang kubur
berlantai dan berdinding batu. Dia cepat hendak melompat
keluar tapi tubuhnya terasa lemas. Darah mengucur dari
hidungnya.
Datuk Tinggi Raja Di Langit tertawa mengekeh dan
tegak di tepi makam.
“Berikan Benang Kayangan itu padaku Tua Gilal”
“Iblisl kau ambillah sendiri!” jawab Tua Gila. Orang tua
ini buka mulutnya lebar-lebar lalu benang putih yang
menjadi senjatanya itu dibuntalnya dan dimasukkan ke
dalam mulut lalu cepat-cepat ditelannya! Sambil
memegang-megang perutnya Tua Gila berkata, “Kau harus
membelah perutku lebih dahulu untuk mendapatkan
benang sakti itul”
Datuk tinggi mendengus geram. Dia menjawab. “Aku
tidak telalu terburu-buru. Bagaimanapun juga aku akan
mendapatkan benang itu. Kelak kau sendiri yang akan
memuntahkan dan memberikannya padakut Ingat, kau
hanya bisa bertahan selama tujuh hari Tua Gila! Ketuk batu
penutup makammu jika kau memang kepingin hidup!
Jangan lupa, muridmu berada di tanganku!’
Lalu dengan gerakan sangat cepat Datuk tinggi Raja Di
Langit diinjak batu hitam yang menonjol di belakang kepala
makam. Tanah msnh yang berlapiskan batu tebal jatuh
dengan keras Tua Gila coba menahan batu itu dengan
kakinya, tapi terlambat. Orang tua ini masih sempat
mendengar suara tawa bekakakan Datuk Tinggi sebelum
dirinya terpendam dalam liang kubur batu itu!
***
WIRO SABLENG
10 MAKAM TANPA NISAN
ADA saat badai mulai melanda pulau kecil itu,
dibagian pantai sebelah timur, sebuah biduk tampak
diombang-diambingkan ombak yang bergulung
menggemuruh. DI atas biduk kecil in!, penumpangnya
seorang dara berpakaian ungu yang menutupi wajahnya
dengan cadar ungu sedang rambut hitam panjang tergerai
lepas melambai-lambai di tiup angin mendayung inati-
matian agar biduknya jangan sampai tenggelam. Namun
beberapa ratus langkah sebelum mencapai pasir pantai,
biduk itu akhirnya terbalik.
Biduk dan penumpang lenyap dilamun ombak. Tak lama
kemudian baru kelihatan kepala gadis itu menyembul.
Cadarnya terlepas dari wajahnya. kini tampak wajahnya
yang jelita, beralis hitam lengkung dan berhidung mancung.
Wajah cantik ini nampak tegang. Dia menghitung jarak,
menduga-duga apakah dia akan sanggup berenang
mencapai pantai.
Ombak raksasa kembali bergulung menghantam gadis
berpakaian ungu. Kembali sosok tubuh itu lenyap. Lalu
timbul lagi untuk kemudian dihempaskan ombak. Ketika
dia hendak mulai mencoba berenang, dara ini tiba-tiba
sadar. Berenang melawan ombak yang menggila seperti itu
hanya akan menghabiskan tenaga. Bukankah lebih balk
mengambangkan tubuh saja, membiarkan ombak
memukul dan menyeretnya ke arah pantai?
Maka gadis itu lalu mengambil sikap menelentang.
Tangan dan kakinya digerakkan perlahan secara beraturan.
P
Tubuhnya tampak mengambang. Dalam keadaan seperti
itu ombak besar kembali datang. Kecerdikan si gadis
ternyata membawa hasil. Begitu ombak mendera dirinya,
tubuhnya yang mengambang itu mencelat di atas air,
terlempar ke arah daratan. Begitu terjadi sampai empat
kali. Kali yang kelima akhirnya kakinya terasa menyentuh
dasar laut di bagian yang dangkal. Sang dara balikkan did
lalu menjejakkan kakinya dan melangkah di dasar lautan
menuju tepi pasir.
“Badai celaka! Untung Tuhan masih menolongku
selamat sampai ke pantai! Kalau tidak untuk melihat kubur
seorang sahabat tak akan aku menyiksa diri menantang
maut seperti ini,” kata si gadis lalu gerakkan kepalanya
untuk mengibas air laut yang membasahi rambutnya. Dia
memandangi pakaiannya yang basah kuyup. Di bawah
hujan lebat dan angin keras dia lalu berlari memasuki
pulau. Sebelumnya dia tidak pernah datang ke pulau itu.
Tapi mencari sebuah makam di pulau sekecil itu rasanya
tak bakal sulit. Sang dara terus menyusup diantara semak
belukar dan akhirnya sampai di bagian pulau yang penuh
dengan batubatu cadas hitam serta batu-batu karang.
Di salah satu bagian kawasan pulau berbatu-batu ini dia
melihat sebuah lobang pada salah satu lamping batu
karang. Si gadis cepat menuju ke arah lobang ini dengan
maksud beristirahat sebentar sambil menunggu redanya
badai.
Ketika dia sampai di mulut goa sang dara dikejutkan
oleh apa yang dilihatnya didalam goa batu itu. Seorang
anak lelaki berusia sekitar enam tahun duduk tersandar ke
dinding goa. Mulutnya ditutup dengan sehelai kain hingga
dia tidak bisa mengeluarkan suara. Pergelangan tangan
dan kakinya diikat dengan tali yang dibuat dari sambungan
akar-akar pohon.
Si anak lelaki tak kalah terkejutnya ketika melihat
munculnya seorang gadis cantik berpakaian ungu yang
tidak dikenalnya dalam keadaan basah kuyup. Di pinggang-
nya ada sebuah saluang. Semula si anak mengira yang
datang adalah manusia tinggi besar dan berewokan yang
telah menculiknya. Anak ini goyang-goyangkan kepalanya
memberi tanda.
Dara berbaju ungu segera buka ikatan kain yang
menutup mulut anak itu. Belum sempat dia bertanya, si
anak sudah membuka mulut.
“Kakak yang baik. Terima kasih kau telah menolong.
Says Malin Sati, murld kakek bernama Tuan Gila…”
“Ah… Kau murid Tua Gila! Justru aku datang untuk
menyambangi makam gurumu itu!”
Si anak tampak terkejut. “Guru… Kakek Tua Gila… Kata
kakak kau hendak menyambangi makam guru? Apa yang
terjadi dengan beliau…?”
“Anak, katamu kau murid Tua Gila. Gurumu meninggal
kau tidak tahu! Aneh!”
“Apa…?!” anak itu seperti hendak menjerit. “Tidak
mungkin. Bukankah guru tengah melakukan perjalanan?”
“Eh, bagaimana ini? Berita yang tersiar di luaran ialah
bahwa Tua Gila telah meninggal dunia dan dimakamkan di
pulau tempat kediamannya ini.”
“Kakak tolong kau lepaskan dulu ikatan pada tangan
dan kaki saya. Orang jahat itu telah mengikatku sejak
empat hari lalu. Saya hanya diberinya makan sedikit!”
“Siapa orang jahat yang mau kau katakan itu Malin?”
tanya gadis itu sambil melepaskan ikatan pada kaki dan
tangan Malin Sati.
“Seorang tinggi besar bermuka buas, berkumis dan
berjenggot lebat. Saya ditangkapnya sewaktu sedang
bermain di pantai. Lalu diikat dan dibawa ke dalam goa
ini…”
“Kau tahu mengapa orang itu menangkap dan meng-
ikatmu lalu membawamu ke sini?” tanya dara berpakaian
ungu sambil menggoyang-goyangkan rambutnya yang
basah.
“Saya tidak tahu kakak,” jawab murid Tua Gila. “Lalu di
mana orang yang mengikatmu itu sekarang?”
“Dia pasti masih berada. di pulau ini. Karena pada
waktu-waktu tertentu dia setalu kemari untuk melihat dan
mengawasi saysa..”
Gadis baju ungu tampak berpikir-pikir.
“Kakak, kau ini siapa? Ada hubunganmu dengan guru?’
bertanya malin Sati.
”Namaku Pandansuri. Aku datang dari Wars, Aku
berhutang budi bahkan nyawa pada gurumu. Beberapa
tahun lalu gurumu bersama seorang pendekar muda
pernah menyelamatkan diriku. ltutah sebabnya aku merasa
sangat penting untuk menziarahi makamnya.”
“Tidak, tidak mungkin! Guru jelas sedang pergi, tak ada
di pulau. Bagaimana mungkin kakak mengatakan hendak
menziarahi makamnya? Di pulau ini sama sekali tidak ada
kuburan!”
“Ini adalah aneh! Sebagai murid kau tentu tidak
berdusta mengatakan bahwa gurumu masih hidup,” Kata
Pandansari pula. “Kalau begitu mari kita cari orang yang
telah menangkap dan menyekapmu di goa ini!”
“Hati-hati, manusia itu jahat sekali. Ilmu kepandaiannya
pasti tidak rendah. Dan saya yakin ilmunya dipergunakan
untuk berbuat jahat!”
Pandansuri pegang kepala anak itu lalu berkata, “Kita
pergi sebentar lagi kalau badai mulai reda.”
Malin Sati bangkit berdiri. “Maafkan saya kakak. Saya
tidak bisa menunggu. Saya harus menyelidiki apakah guru
telah kembali, lalu apakah benar ada makam di pulau ini.”
“Kau murid baik, Malin. Mari kita sama-sama me-
nyelidik.”
Dibawah hujan lebat dan angin kencang kedua orang flu
tinggalkan goa di dinding batu karang.
“Kau tentu tahu setiap sudut pulau ini. Kau jalan di
depan,” kata Pandansari.
Malin Sati berjalan di sebelah depan. Sang dara meng-
ikuti dari belakang. Tak selang berapa lama keduanya
sampai di gubuk kediaman Tua Gila. Si anak terkejut ketika
melihat isi gubuk berantakan sedang gurunya tak ada di
situ.
“Pasti ini perbuatan manusia jahat itu!” kata Malin Sati
dengan kepalan tinjunya. Dia melangkah keluar gubuk.
Saat itu hujan mulai reda tapi tiupan angin masih keras
dan mengeluarkan suara menggidikkan.
“Saya harus menyelidiki seluruh pulau! Orang jahat itu
jangan- jangan telah mencuri sesuatu dari gubuk guru!”
Tanpa berpaling pada Pandansuri Malin Sati langsung
melangkah pergi.
Sang dara cepat memegang bahu anak itu lalu berkata.
“Seperti katamu, orang jahat yang menyekapmu itu pasti
masih ada di pulau ini. Kita harus berhati-bati. Biar aku
yang di depan sekarang. Bisakah kau berjalan tanpa
mengeluarkan suara?”
Malin Sati mengangguk. Lalu seolah-olah seperti
hendak membuktikan dia melangkah cepat diantara
semak belukar sedang di tanah jejak kakinya kelihatan
tidak melesak dalam.
“Ah, Tua Gila tentu telah mengajarkan ilmu meringan-
kan tubuh pada anak ini…” kata Pandansuri dalam hati.
Kedua orang itu bergerak menuju bagian tengah pulau.
Pandansuri di sebelah depan, Malin Sati di belakangnya.
Kadang-kadang anak ini karena ingin lebih cepat, me-
langkah mendahului. Terpaksa si gadis menariknya cepat-
cepat. Di suatu tempat Pandansuri hentikan langkahnya.
“Aku mendengar suara orang tertawa di kejauhan.
Apakah kau mendengarnya?”
Malin Sati gelengkan kepala mendengar pertanyaan
Pandansuri itu.
“Ikuti aku. Tapi harus lebih hati-hati…” kata Pandansuri
lalu bergerak ke jurusan di mana dia tadi mendengar
datingnya suara orang tertawa.
Pandansuri sampai di depan sebuah lapangan kecil
yang becek. Gadis ini cepat menekap mulut Malin Sati dan
menariknya ke balik sebatang pohon besar ketika di-
dengarnya si anak sempat mengeluarkan suara tercekat
sewaktu melihat pemandangan di depannya.
Kalau Malin Sati terkejut dan bergidik melihat empat
sosok mayat rusak yang terikat di tiang serta adanya dua
buah makam dimana salah satunya terbuka secara aneh,
maka Pandansuri lebih terkesiap pada perkelahian yang
terjadi antara seorang manusia bertubuh tinggi besar
dengan seorang pemuda yang segera dikenalinya sebagai
pemuda bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212.
Pemuda inilah yang dulu menyelamatkannya bersama
Tua Gila dari tangan ayah angkatnya yang sesat yaitu Raja
Rencong Dari Utara.
Seat itu Pandansuri menyaksikan bagaimana tubuh
Wiro terpental masuk ke dalam liang kubur batu akibat
hantaman mantel sakti orang tinggi besar. Ketika orang itu
tampak menekan sesuatu di kepala makam. Ketika batu
penutup makam terhempas jatuh Pandansuri secara tidak
sadar keluarkan seruan memanggil nama pendekar itu.
“Wiro!”
Suara teriakan Pandansuri inilah yang membuat Datuk
Tinggl Raja Di Langit jadi tersentak dan dia segera
menyadari bahwa ada orang lain di tempat itu.
Pandansuri sendiri begitu sadar telah berbuat ke-
salahan segera menarik lengan Malin Sati lalu berkelebat
meninggalkan pohon tepat pada saat Datuk Tinggi kiblat-
kan Kapak Naga Geni 212 yang memporak-porandakan
pepohonan dan bebatuan di tempat itu.
***
WIRO SABLENG
11 MAKAM TANPA NISAN
i dalam liang makam batu yang gelap itu bahkan
tangan di depan matapun tidak kelihatan- Pendekar
212 Wiro Sableng masih berada dalam keadaan
setengah sadar. Hantaman mantel sakti Datuk Tinggi Raja
Di Langit bukan main dahsyatnya. Di samping itu kepalanya
juga telah membentur dinding batu dengan keras.
Selang beberapa lama setelah kesadarannya kembali
pulih, murid Eyang Sinto Gendeng ini berusaha berdiri.
Kedua tangannya coba mendorong g, batu tebal penutup
makam Tapi batu yang berat itu tidak bergeming sedikit
pun. Akhirnya dia hanya bisa tegak tersandar memikirkan
bagaimana mencari jalan keluar dari sekapan. Aneh,
tubuhnya terasa sangat letih. Dicobanya mengerahkan
tenaga dalam tapi tidak berhasil. Ada sesuatu yang menye-
babkan hal itu dan dia tidak tahu apa.
Perlahan-lahan Wiro kembali duduk di lantai makam.
Dalam gelap dia pergunakan lengan bajunya untuk me-
nyeka darah yang mulai mengering di bawah hidung dan di
sudut bibirnya. Saat itu hidungnya mencium bau aneh
dalam ruangan batu itu, Dia lalu ingat pada pipa kecil yang
ada di batu tebal di atasnya. Dalam gelap dia meraba dan
berhasil menyentuh pipa itu. Wiro berpikir-pikir apa keguna-
an pipa itu, Mungkin untuk keluar masuknya udara?
Dengan pipa sekecil itu beberapa lama dia bisa bertahan di
tempat itu? Datuk Tinggi memberinya waktu empat hari.
Berarti itulah batas kehidupannya! Empat hari tanpa
makan tanpa minum. Dan disekap di ruang batu seperti itu
D
terasa udara menjadi makin panas saat demi saat.
“Bangsat itu minta kitab Seribu Macam Ilmu Peng-
obatan! Gila! Kalaupun aku membawa kitab itu tak bakal
aku serahkan padanya! Agaknya aku sudah ditakdirkan
menemui kematian dengan cara begini rupa…”
Pikiran Pendekar 212 menjadi kacau. Sekujur tubuhnya
terasa sakit dan lemas. Kepalanya juga masih mendenyut-
denyut. Pakaiannya basah oleh keringat. Tiba-tiba dia ingat
makam di sebelahnya. Sebelumnya dia telah mendengar
suara ketukan sayup-sayup datang dari dalam makam itu.
Ketika dia mengetuk, dari dalam terdengar suara ketukan
balasan. lalu dia ingat pula pada asap seperti asap rokok
yang ada di sekitar makam.
“Kalau diriku dijebloskan hidup-hidup begini, jangan-
jangan Tua Gila juga mengalami nasib sama…” Wiro lalu
keluarkan batu hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni
212 yang masih tersisip di pinggangnya. Dengan batu
hitam itu diketuknya dinding batu sebelah kanan, dua kali
berturut-turut. Lalu dia menunggu. Tak ada jawaban.
“Mungkin orang tua itu sudah …” Wiro tidak teruskan
ucapannya, kembali dia mengetuk. Tiba-tiba dari balik
dinding batu ada suara ketukan balasan. Perlahan sekali.
“Kakek Tua Gila! Kau ada di situ?!” Wiro berteriak keras-
keras.
Jawaban yang terdengar hanya ketukan halus.
“Kakek Tua Gila! Kau yang mengetuk…!?”
“Siapa yang menyebut namaku?!”
Ada suara menyahuti. Halus dan jauh tetapi cukup jelas
terdengar oleh murid Sinto Gendeng:
“Aku Wiro Sab!eng!” Wiro berteriak keras-keras. Hatinya
gembira mendapatkan jawaban. Lalu keningnya jagi meng-
kerut ketika didengarnya suara di kejauhan itu berkata.
“Nasib kita sama jeleknya! Tidak, aku lebih jelek. Kau tentu
baru saja dijebloskan dalam makam batu! Aku sudah sejak
tiga hari lalu…!” Terdengar suara tawa mengekeh.
“Ah, benar rupanya oratig tua itu dijebloskan di makam
sebelah! Gila! Dalam keadaan seperti itu dia masih bisa
tertawa,” kata Wiro dalam hati. Lalu pendekar ini bertanya.
“Bagaimana kau bisa bertahan hidup kek?”
“Hanya karena belas kasihan Yang Kuasa!”
“Selagi di luar aku melihat dan mencium seperti asap
rokok, Apakah kau yang merokok?!”
“Tidak sa!ah! Hanya itu yang bisa menjadi penyumpal
mulut dan perutku! Tapi aku tidak akan biasa bertahan
lama. Paling lama empat hari lagi malaikat maut pasti
menemuiku! Mengapa kau tahu-tahu muncul di pulau ini.
Kemunculan yang membawa celaka dirimu! Tua bangka
sepertiku mati di tempat ini tidak menjadi apa. Tapi kau
masih muda…!”
Wiro terdiam sesaat mendengar kata-kata terakhir Tua
Gila itu. Lalu dia membuka mulut.
“Di luaran tersebar berita bahwa kau telah meninggal
dunia. Itu sebabnya kuperlukan datang kemari. Ternyata ini
jebakan belaka! Apa betul keparat yang menjebloskan
diriku itu adalah kakak Datuk Sipatoka yang kita habisi
beberapa tahun lalu di Bukit Tambun Tulang?! Siapa nama
bangsat itu?!”
“Namanya aku tidak tahu. Dia menyebut dirinya dengan
gelar Datuk Tinggi Raja Di Langit! Dia memang kakak Datuk
Sipatoka…! Dia muncul membawa dendam kesumat!”
“Bagaimana kau bisa dikalahkan lalu dijebloskan ke
dalam makam batu itu kek?!”
“Mantel hitamnya itu! mantel itu merupakan senjata
hebat luar biasa! Tua bangka ini tak sanggup
menghadapinya! Siapapun tak bakal sanggup mengalah-
kannya! Kecuali ada yang berhasil menarik lepas mantel
hitam saktinya itu!”
Wiro teringat pada jubah Kencono Geni milik keraton di
Jawa. Siapa saja yang mengenakan jubah itu tak satu
kekuatanpun sanggup mengalahkannya.
“Di samping itu,” terdengar lagi suara Tua Gila. “Datuk
Tinggi memiliki senjata rahasia yang luar biasa. Orang-
orang dalam dunia persilatan di Andalas menyebut senjata
itu Mutiara Setan. Senjatanya memang mutiara sungguhan
tapi berwarna hitam. Tidak beracun namun ganas sekali.
Siapa saja yang sampai ditancapi Mutiara Setan tubuhnya
pasti akan menemui kematian dalam waktu sekejapan.
Datuk Tinggi selalu mencari sasaran di kening lawan!”
“Mutiara Setan!” desis Wiro. “Senjata aneh dan mahal
harganya!”
“Anak muda, apakah datuk keparat itu minta buku
Seribu Macam Ilmu Pengobatan padamu?!” bertanya Tua
Gila dari makam sebelah.
“BetuI!” jawab Wiro. “Tentu saja aku tidak membawa
buku itu ke mana-mana. Sekalipun kubawa tak akan ku-
berikan padanya!”
“Padaku dia juga minta buku itu! Kukatakan kalau buku
itu tidak ada padaku. Lalu dia minta senjataku Benang
Kayangan. Tapi dia tidak bisa mendapatkannya karena
benang sakti itu keburu kumasukkan ke dalam mulut dan
kutelan! Kini senjata langka itu aman dalam perutku!” Tua
Gila tertawa mengekeh. Lalu dia meneruskan ucapannya.
“Iblis tinggi itu memberikan waktu tujuh hari padaku! Jika
aku tidak memberi tanda dengan ketukan maka tamatlah
riwayatku!”
Wiro menghela nafas panjang. “Kalau begitu aku lebih
celaka darimu, kek! Datuk Tinggi berhasil merampas
senjata warisan Eyang Sinto Gendeng!”
“Maksudmu Kapak Naga Geni 212?!”
“Betul kek!”
“Ahl Padahal jika, senjata itu ada padamu saat ini,
mungkin bisa dipergunakan untuk membobol dinding atau
atap makam keparat ini!” kata Tua Gila pula. Tapi dia
segera menyambung. “Mungkin juga tidak! Senjata itu tidak
akan ada gunanya di dalam tempat ini. Karena kita tidak
bisa mengerahkan tenaga dalam!”
“Betul kek. Aku tadi coba mengerahkan tenaga dalam
tapi tidak berhasil! Apa yang ada di tempat celaka ini?!”
“Datuk Tinggi menaburi semacam obat. Tidakkah kau
membaui hawa aneh dalam makammu?!”
“Memang ada hawa aneh di sini!”
“Hawa itulah yang membuat peredaran darah kita tak
bisa dipacu sehingga tenaga dalam tak bisa dialirkan.
Haws itu pula yang membuat sekujur tubuh kita menjadi
lemah!”
“Apa daya kita sekarang kek? Apakah kita tidak
mungkin bisa keluar dari tempat celaka ini?!”
“Tipis sekali kemungkinannyal Mungkin satu berbanding
seribu! Kita akan sama-sama berkubur di tempat ini! Kita
berdua pasti banyak dosa! Berdoa sajalah dan mints
ampun pada Yang Kuasa atas segala dosa-dosa kita! Ha…
Ha… ha …!”
Wiro terdiam.
“Anak muda! Kau takut menghadapi kematian?!” ter-
dengar Tua Gila bertanya.
“Semua orang akan mati kek. Tapi kalau kematian
datangnya seperti ini, perlahan-lahan dan tersiksa, lebih
baik aku memilih dipancung saja! Kita harus mencari akal
kek!”
“Aku sudah tiga harl mencari akal. Sampai persediaan
rokokku habis! Tapi sia-sia saja!” jawab Tua Gila.
“Waktu aku sampal di tempat ini, aku melihat ada
empat sosok mayat diikat ke tiang kayu!”
“Pasti korban-korban jebakan Datuk Tinggi! Kau kenal
siapa-siapa mereka?!”
“Belum sempat memeriksa Datuk keparat itu sudah
muncul! Tapi ada satu hal. Sewaktu aku dijebloskan ke
dalam makam ini, aku masih sempat mendengar sese-
orang berterlak menyebut namaku! Mudah-mudahan saja
ada yang bakal menolong kita!”
“Jangan terlalu berharap anak muda! Yang memanggil-
mu itu bukan mustahil adalah malaikat maut yang sudah
mengenalimu!” kata Tua Gila pula lalu kembali tertawa
gelak-gelak. Dalam hatinya Pendekar 212 jadi me-
nyumpah. Dia duduk bersandar ke dinding batu dan ulur-
kan kedua kakinya lurus-lurus. Hawa di tempat itu semakin
panas. Jangan-jangan dia tidak mampu bertahan sampai
empat hari.”
“Kek! Demi menyelamatkan nyawamu aku bersedia
memberikan kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan itu!”
“Jangan tolol!” membentak Tua Gila dari makam
sebelah. “Sekalipun kau berikan seribu buku dan seribu
senjata mustika pada Datuk Tinggi, manusia keparat itu
tetap saja akan membunuh kita! Keinginan utamanya
adalah membalaskan dendam kesumat kematian adiknya.
Yaitu membunuh kita berdua dan semua sahabat kita yang
tertipu muncul di pulau ini! Kalau memang ingin selamat
sudah sejak kemarin-kemarin kuberikan Benang Kayangan
padanya!”
“Jadi beginilah perjalailan hidupku!” kata Wiro. Untuk
pertama kalinya dia menggaruk kepalanya berulang kali.
“Mati terjebak dalam makam batu!”
“Kau terlalu mengawatirkan kematian dirimu! Apalah
kau sudah punya anak?!” Tua Gila bertanya dari sebelah.
“Kawin saja belum! Bagaimana punya anak?!” sahut
Wiro setengah mengomel.
Tua Gila terdengar tertawa gelak-gelak.
Wiro memaki panjang pendek dalam hati. Lalu dia me-
lengak ketika lapat-lapat dia mendengar suara orang me-
ngorok!
“Pasti itu si Tua Gila! Edan! Bagaimana dalam keadaan
seperti ini dia masih bisa enak-enakan tidur! Malah sampai
ngorok segala!” kata Wiro dalam hati merutuk tidak henti-
hentinya.
Pendekar 212 berusaha mengatur jalan nafas dan per-
edaran darah. Lalu berusaha menghimpun tenaga dalam.
Tapi setiap dikerahkan selalu tidak berhasil. Sementara
tubuhnya terasa semakin lemas.
Pendekar ini tidak tahu berapa lama dia telah berada
dalam pendaman makam batu itu ketika tiba-tiba dia men-
dengar suara berdesir. Sesaat kemudian ada angin bertiup
masuk ke dalam liang batu itu. Lalu Wiro melihat sedikit
cahaya dan menyusul terbukanya atap batu makam!
“Kakek Tua Gila! Batu penutup makamku terbuka!”
teriak Wiro memberi tahu. Lalu cepat berdiri.
Tapi untuk melompat keluar dari makam yang dalamnya
lebih tinggi dari tubuhnya itu dia tidak sanggup oleh
keadaan tubuhnya yang lemas. Wiro berjingkat dan
berusaha menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.
Hujan dan badai tak ada lagi. Tapi udara di atasnya
diselimuti kegelapan walau tidak segelap dalam liang batu
tadi. Ini memberi pertanda bahwa saat itu hari telah
malam.
Wiro berusaha lagi untuk bisa keluar dari dalam lobang
itu. Namun sia-sia. Tubuhnya masih sangat lemas. Dia
mendongak ke atas don melihat sepasang kaki di tepi
makam batu. Lalu ada tangan yang diulurkan untuk mem-
bantunya keluar dari makam. Dalam gelap Wiro dapat me-
lihat orang yang hendak menolongnya itu. Dia tidak kenal
lelaki ini. Tapi jelas bukan Datuk Tinggi. Maka Pendekar
212 ulurkan pula tangannya siap untuk ditarik ke atas.
Sesaat kemudian Wiro telah keluar dari dalam liang maut.
itu.
“Pandeka mudo, Nyanyuk Amber berpesan agar kau
lekas mengatur jalan darah dan pernafasan. Menghirup
udara segar sebanyak-banyaknya agar dapat menghimpun
tenaga dalam!”
“Nyanyuk Amber? Orang tua itu ada di sini?!” tanya Wiro.
“Pandeka akan bertemu dengan beliau. Lekas lakukan
apa yang beliau pesankan.”
“Sahabat, kau sendiri siapa? Terima kasih kau telah
menolongku!”
“Ambo Saringgih, pembantu Nyanyuk Amber. Ambo
harus menolong Tua Gila di makam sebelah!” lalu Saringgih
tinggalkan Wiro. Pendekar 212 segera duduk bersila,
mengatur jalan nafas, darah dan mulai coba mengalirkan
tenaga dalamnya. Hal itu tidak dapat dilakukannya dengan
cepat karena lebih dari setengah harian diri sudah sempat
dipendam dalam makam batu.
Sementara itu Saringgih telah bergerak ke makam yang
satunya. Sesuai petunjuk Pandansuri pembantu Nyanyuk
Amber ini segera menekan batu kecil yang menonjol di
belakang kepala makam. Terdengar suara berdesir, lalu
perlahan-lahan bagian atas makam berikut batu nisannya
bergerak ke atas. Terdengar suara orang tersentak kaget di
dasar makam. Lalu dalam gelap tampak dua tangan kurus
tinggal kulit pembalut tulang menggapai-gapai di tepi
lobang batu. Saringgih cepat menangkap salah satu lengan
Itu lalu menariknya kuat-kuat ke atas.
Pembantu Nyanyuk Amber ini merasakan jantungnya
seperti copot ketika melihat sosok dan wajah orang yang
barusan ditolongnya. Dia telah terbiasa dengan keangker-
an wajah Nyanyuk Amber. Namun manusia yang kini ter-
duduk di hadapannya ini memiliki tubuh dan kepala yang
tidak bedanya seperti jerangkong hidup! Orang yang
barusan ditolongnya ini menatap padanya dengan se-
pasang matanya yang sangat cekung. Pandangannya
dingin mengerikan. Dan dia sama sekali tidak meng-
ucapkan satu patah katapun, apalagi mengatakan terima
kasih! Seperti Wiro orang ini kemudian duduk bersila
mengatur jalan nafas dan darah serta menghimpun tenaga
dalam.
***
WIRO SABLENG
12 MAKAM TANPA NISAN
ARI kita ikuti apa yang terjadi sebelum batu
penutup makam Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-
tiba terbuka. Seperti dituturkan ketika mengenali
bahwa pemuda yang terpental masuk ke dalam liang
makam adalah Wiro Sableng yang dikenalnya, Pandansuri
anak angkat Raja Rencong Dari Utara tanpa sadar telah
berteriak memanggil nama Wiro. Teriakannya ini mengejut-
kan Datuk Tinggi Raja Di Langit. Apalagi suara yang ber-
teriak jelas suara perempuan. Dia menantang agar orang
yang berteriak unjukkan diri. Tapi Pandansuri tidak mau
muncul. Karena sama-sama dari utara Pandansuri sudah
tahu betul siapa adanya Datuk Tinggi. Satu lawan yang
berat untuk dihadapi, apalagi saat itu dia bersama Malin
Sati, murid Si Tua Gila yang baru berusia enam tahun.
Ketika Datuk Tinggi menghantamkan Kapak Maut Naga
Geni 212 yang membuat pepohonan dan batu-batu di
tempat itu menjadi berantakan, Pandansuri cepat menarik
lengan Malin Sati, Kedua orang ini melarikan diri dibawah
cuaca yang masih buruk. Udara yang masih gelap ikut
membantu hingga walau masih mengejar di belakang tapi
Datuk Tinggi telah tertinggal jauh.
Pandansuri sengaja menempuh bagian pulau yangt
rapat dengan pepohonan, lalu membelok ke arah dimana
Nyanyuk Amber dan Saringgih berada dalam sebuah
legukan batu berbentuk goa.
Saat itu karena badai dirasakan mulai reda maka
Nyanyuk Amber yang sudah tidak sabaran untuk mengejar
M
pemuda berpakaian putih berambut gondrong seperti yang
dilihat dan diberitahukan oleh Saringgih kepadanya. Ber-
dasarkan ciri-ciri yang dikatakan pembantunya itu Nyanyuk
Amber sudah dapat menduga bahwa si pemuda bukan lain
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, dengan siapa dia be-
berapa tahun lalu menghancurkan sarang Datuk Sipatoka
dan membunuh manusia jahat itu di Bukit Tambun Tulang.
“Saringgih! Lekas dukung aku! Kita harus mengejar
pemuda yang kau lihat itu. Badai kurasa sudah mulai reda!’
Saringgih segera lakukan apa yang diperintahkan
Nyanyuk Amber. Baru satu langkah dia keluar dari legukan
batu, pembantu ini cepat bersurut kembali.
“Eh, ada apa Saringgih?!” tanya si orang tua. Telinganya
di pasang.
“Ada orang mendatangi dari jurusan pantai sebelah
kanan!” melapor sang pembantu.
“Cepat katakan ciri-cirinyal”
“Ada dua orang Nyanyuk. Yang pertama seorang
perempuan berambut panjang, berpakaian serba ungu…”
“Seorang perempuan berpakaian serba ungu! Apakah
wajahnya ditutupi dengan cadar ungu?”
“Tidak Nyanyuk. Wajahnya tidak ditutup apa-apa. Dari
sini jelas terlihat parasnya cantik. Di pinggangnya ada
sebuah saluang.”
“Tak ada dugaan lain. Orang ini adalah Pandansuri,
anak angkat Raja Rencong. Tetapi kenapa tidak bercadar?
Ah mungkin dia sudah mengikuti perkembangan zaman!
Saringgih, lekas katakan ciri-ciri orang kedua!”
“Seorang anak lelaki kecil. Umurnya belum sampai tujuh
tahun.”
“Anak lelaki? Di pulau ini ada anak lelaki?! Pasti itu
murid si Tua Gila!”
“Kedua orang itu sudah mendekat kemari Nyanyuk.
Kelihatannya mereka seperti dikejar sesuatu!”
Telinga Nyanyuk Amber menangkap suara kaki-kaki
yang berlari itu mendekati legukan batu, maka dia cepat
berseru.
“Pandansuri, lekas masuk ke dalam legukan batu!”
Pandansuri tentu saja jadi terkejut ketika dia men-
dengar ada suara menyebut namanya. Dia memegang
lengan Malin Sati erat-erat seraya memandang ke arah
legukan batu yang tertutup rapat oleh pohon-pohon kecil
serta semak belukar.
Semak belukar terkuak. Saringgih muncul. Tentu saja
Pandansuri tidak mengenali orang ini. Tapi dia seperti
pernah mendengar suara orang yang tadi menyebut nama-
nya.
“Malin, kau kenal orang itu?” tanya Pandansuri. Malin
Sati menggeleng.
“Saudara… Siapa kau?!” tanya Pandansuri.
Dari dalam legukan batu kembali terdengar suara halus
tadi. “Pandansuri, lekas masuk. Untuk sementara kalian
akan aman berada di sini!”
Saringgih menguak semak belukar lebih lebar. mata
Pandansuri kemudian melihat sosok tubuh yang duduk di
lantai legukan batu.
Gadis ini terkejut dan juga girang. Dia berseru.
“Nyanyuk Amber!” Lalu bersama Malin Sati Pandansuri
masuk dengan cepat kedalam legukan batu. Saringgih
segera menutup tempat itu kembali dengan semak belukar
dan pohon-pohon kecil.
Sampai di dalam Pandansuri langsung jatuhkan did,
bersimpuh di hadapan Nyanyuk Amber. Sementara
Saringgih dan Malin Sati terheran-heran. Sepasang mata
Saringgih tidak berkedip memandang Pandansuri. Belum
pernah dia melihat gadis secantik yang satu ini.
“Kakek guru, apakah kau baik-baik saja?” bertanya sang
dara.
“Alhamdulillah. Aku seperti apa yang kau lihat. Kuharap
kau begitu juga. Apakah kau kini sudah tidak mengenakan
cadar ungu lag! Pandan?”
Sang dara memegang wajahnya. _”Cadar itu lepas
ketika saya menuju pantai…”
“Kedatanganmu kemari pasti dengan maksud yang
sama. Menyambangi makam Tua Gila…”
“Betul Nyanyuk. Tapi saya melihat banyak keanehan
dan hal-hal menggidikkan di pulau ini…”
“Aku sudah tahu apa yang kau maksudkan itu. Empat
orang tokoh silat dibunuh dan mayatnya dilkat di tiang
kayu. Ada dua makam. Satu bernisan Tua Gila. Satunya
tanpa nisan..:’
“Rupanya kakek guru sudah tahu semua apa yang ter-
jadi. Tapi apakah kakek juga tahu bahwa Pendekar 212
Wiro Sableng barusan saja dijebloskan Datuk Tinggi Raja Di
Langit ke dalam makam kedua?!”
Terkejutlah Nyanyuk Amber mendengar kata-kata
Pandansuri itu.
“Celaka!” ujar si orang tNa. “Aku baru saja hendak
mengejarnya. Padahal aku tadinya berharap dialah yang
bakal dapat menghajar Datuk Tinggi Raja Di Langit keparat
itu!”
“Kakak Datuk Sipatoka itu memang bukan manusia
sembarangan…” kata Pandansuri pula.
“Pandan, kau dan si datuk itu sama-sama dari utara.
Apa saja yang kau ketahui tentang dirinya. Sepak terjang-
nya sangat meresahkan orang-orang rimba persilatan!”
“Manusia itu memang biang racun segala malapetaka.
Dia bercita-cita menguasai dunia persilatan di Pulau
Andalas. Untuk itu dia telah membekali diri dengan ber-
bagai ilmu. Antaranya senjata rahasia Mutiara Setan yang
sangat berbahaya. lalu sebuah jubah berupa mantel hitam
yang dapat mengeluarkan angin sedahsyat badai…”
“Mantel itu memang luar biasa. Aku sudah sempat kena
hantamannya:.:” kata Nyanyuk Amber lalu menceritakan
pada Pandansuri bagaimana dirinya hampir celaka di
tangan Datuk Tinggi Raja Di Langit.
“Kita menghadapi masalah besar. Tua Gila dikabarkan
meninggal. Makamnya diliputi keanehan. Beberapa tokoh
silat menemui ajal Pendekar 212 dipendam dalam makam
batu! Kita harus menghentikan Datuk Tinggi. Ini bukan
pekerjaan mudah. kita harus mempergunakan akal…”
“Kau betul kakek guru. Datuk Tinggi punya segudang
ilmu. Dia ahli segala peralatan rahasia. Termasuk me-
rancang dua makam batu yang bisa dibuka dan ditutup
bagian atasnya!” Pandansuri pula. “Disamping itu senjata
andalan Wiro yakni Kapak Maut Naga Geni 212 telah jatuh
ke tangan Datuk Tinggi…”
“Ah, celaka! Banar-benar celaka!”
“Kakek guru! Saya tahu letak alat rahasia untuk mem-
buka dan menutup makam Pendekar 212. Saya sempat
melihat Datuk Tinggi menjalankan alat . itu. Kalau kita
biasa membebaskan Wiro, pasti lebih mudah bagi kita
menghadapi Datuk Tinggi. Hanya ada satu cara untuk
dapat mengalahkannya. Menanggalkan mantel hitam yang
melekat di tubuhnya!”
“Hal itu sama saja dengan kita hendak menguliti
harimau hidup!” kata Nyanyuk Amber.
“Tak ada jalan lain kakek guru. Dia tak mempan ditotok.
Selama mantel itu masih melekat ditubuhnya tak ada
senjata atau pukulan saktipun yang mempan atas dirinya!”
Nyanyuk Amber menghela nafas panjang. Orang tua ber-
mata buta ini lama termenung tapi otaknya bekerja keras.
Sesaat kemudian orang tua ini angkat kepalanya.
“Hanya ada satu orang untuk dapat mengalahkan
manusia keparat itu, Pandansuri. Dan ini semua sangat
tergantung pada kesediaan dirimu untuk melakukannya… ”
“Katakan apa yang harus saya lakukan kakek guru,” ujar
Pandansuri.
Nyanyuk Amber tampak seperti bimbang.
“Tak usah ragu-ragu, kek!”
Orang tua itu memberi isyarat dengan anggukan kepala
agar si gadis mendekat. Lalu Nyanyuk Amber membisikkan
sesuatu ke telinga Pandansuri. Serta merta kelihatan paras
sang dara menjadi sangat merah.
***
WIRO SABLENG
13 MAKAM TANPA NISAN
ETELAH berusaha mencari orang yang tadi berteriak
namun tak berhasil menemuinya Datuk Tinggi Raja Dl
Langit segera menuju ke goa kecil di mana dia me-
ninggalkan Malin Sati. Saat itu hujan mulai reda dan angin
tidak sekencang sebelumnya pertanda badal akan segera
berhenti.
Begitu masuk ke dalam goa, terkejutlah sang datuk.
Murid Tua Gila yang ditinggalkannya dalam keadaan terikat
tak ada lagi di tempat itu! Di lantai goa bertebaran akar-
akar pohon yang dijadikan tali untuk pengikat kedua kaki
dan tangan anak itu.
Paras seram Datuk Tinggi berubah tambah angker. Dia
ingat kembali pada suara seruan perempuan sewaktu
Pendekar 212 dijebloskan ke dalam makam batu.
“Seseorang telah melepaskan anak itu! Dia pasti!
Bagaimana aku tidak bisa mengetahui kemunculannya?
Badai celaka tadi yang jadi ulah! Sekali kutemukan anak
itu sebaiknya kuhabisi saja!”
Datuk Tinggi segera membalikkan tubuh. Dia kembali
menuju ke lapangan di mana dua makam terletak.
Menurutnya siapapun yang ada di pulau itu pastilah akan
berada di tempat itu. Mungkin untuk menziarahi makam
Tua Gila, tetapi mungkin sekali untuk berusaha melepas-
kan orang tua yang disekapnya dalam makam batu.
Sampai di lapangan Datuk Tinggi segera menyelidik
setiap sudut. Setelah berpikir sesaat din lalu naik ke atas
sebatang pohon besar berdaun lebat. Dia akan mendekam
S
dan bersembunyi di atas pohon itu. Cepat atau lambat
pasti akan muncul orang yang ditunggunya.
Sampai siang bahkan menjelang rembang petang tak
ada yang muncul. Keadaan sekitar lapangan sunyi sepi.
Dikejauhan terdengar deburan ombak memecah di pantai.
Datuk Tinggi mulai merasa tak sabar. Sebentar lagi
matahari akan segera tenggelam dan slang akan berganti
malam. Dia mulai berpikir-pikir apakah akan segera turun
saja dari atas pohon.
“Tidak mustahil orang itu justru menunggu sampai
malam turun. Baru muncul di tempat ini!” Berpikir begitu
Datuk Tinggi memutuskan untuk tetap saja berada di atas
pohon sementara per!ahanlahan udara mulai tenggelam
dalam kegelapan. Malam mulai merayap.
Tiba-tiba Datuk Tinggi Raja Dl Langit. dongakkan kepala.
Kedw telinganya dipasang baik-baik. Dia mendengar suara
sesuatu.
“Aneh! Tak mungkin ada suara saluang di pulau ini! Tapi
telingaku tidak salah tangkap! Itu memang suara saluang!
Siapa pula yang meniupnya?!”
Datuk Tinggi menunggu sesaat. Suara yang didengarnya
semakin jelas. Orang ini segera turun dari atas pohon,
melangkah ke arah barat yaitu clad arah mana asalnya
suara tiupan saluang itu.
Beberapa saat saja Datuk Tinggi meninggalkan tempat
itu, sesosok tubuh menyelinap keluar clad rerumpunan
semak belukar. Orang ini ternyata adalah Saringgih,
pembantu Tua Gila. Mengendap-endap dia mendekati dua
buah makam di ujung lapangan. Sesuai dengan petunjuk
Pandansuri dia segera mencari batu hitam yang tersembul
keluar di belakang kepala makam bernisan Wiro Sableng.
Karena sudah diberi petunjuk tidak sulit bagi Saringgih
untuk menemukan batu hitam itu. Begitu dilihatnya
langsung ditekannya kuat-kuat. Terdengar suara berdesir
dan perlahan-iahan bagian atas makam berderak mem-
buka!
Datuk Tinggi melangkah dengan hati-hati tanpa
mengeluarkan suara. Semakin dekat dia ke pantal pulau
sebelah barat semakin jelas terdengar suara tiupan salung
itu. Bahkan kini dia mendengar suara orang menyanyi.
Suara perempuan!
Datuk Tinggi menyelinap dibalik batu-batu karang. Di
bagian batu karang paling ujung yang dekat ke pantai dia
hentikan langkah. Dari sini dia melihat seorang perempuan
duduk di atas sebuah batu hitam membelakanginya.
Rambutnya yang panjang terurai di punggung pakaiannya
yang berwarna ungu. Kedua tangannya memegang sebuah
saluang yang ditiupnya dengan suara merdu, diselingi
dengan suara nyanyian yang berhiba-hiba.
Indak disangko larinyo ruso
larinya kancang ka dalam guo
Indak disangko ka cando Iko
Nasib sangsaro sabatang karo
Tinggi-tinggi si matohari
Ayam bakokok di tanah Cino
Baiko bana buruakno diri
Ayah tiado bundopun tiado
Urang Piaman pal ka koto
Urang Talu manjunjung balango
Sangsaro datang siliah batimpo
Kakasiah dicinto lah hilang pulo
(Tidak disangka larinya rusa)
(Larinya kencang ke dalam goa)
(Tidak disangka akan seperti ini)
(Nasib sengsara sebatang kara)
(Tlnggi-tinggi si matahari)
(Ayam berkokok di tanah Cino)
(Begini benar nasibnya diri)
(Ayah tidak ibupun tiada)
(Orang Piaman pergi ke kota)
(Orang Talu menjunjung belanga)
(Sengsara dating silih bergant)i
(Kekasih tercinta telah pergi pula)
Sehabis menyanyi perempuan yang duduk di batu
kembali meniup saluangnya. Kali ini tiupan gadis itu
terdengar tersendat sendat. Sambil menangis sesengguk-
an dia meletakkan saluangnya di atas batu. Lalu perlahan-
lahan dia melangkah ke arah laut. Di tepi pasir perempuan
itu tegak tidak bergerak. Angin laut melambai-lambaikan
rambutnya yang panjang. Lalu dia memalingkan kepalanya
ke kiri. Sesaat Datuk Tinggi dapat melihat wajah
perempuan itu. Temyata dia seorang gadis berparas cantik
jelita.
“Siapa adanya gadis ini..?” bertanya sang datuk dalam
hati. “Agaknya dia muncul di sini bukan untuk melihat
makam Tua Gila. Berarti dia bukan karib atau sahabat
orang tua itu. Dari syair yang dinyanyikannya jelas dia
meratapi nasib dirinya yang sebatang kara. Tanpa ayah
tanpa ibu. Kekasih yang dicintai pergi pula. Hemmm…”
Datuk Tinggi usap dagunya yang ditumbuhi berewok
lebat. Dia sudah siap melangkah untuk mendekati gadis itu
namun niatnya terhenti ketika tiba-tiba dia menyaksikan
sesuatu yang membuat darahnya menjadi panas dan
mengalir cepat. Rangsangan nafsu segera menjalari setiap
sudut tubuhnya yang tinggi besar. Sudah cukup lama dia
tidak pemah melihat tubuh perempuan, apalagi me-
nyentuhnya.
Di alas pasir sana, selagi buih ombak membasahi kaki-
nya, gadis berambut panjang itu tampak membuka baju
ungunya. Baju yang ditanggalkan dicampakkan di atas
pasir. Kelihatan punggungnya yang putih mulus.
Nafas Datuk Tinggi Raja Di Langit mulai memburu. Dari
mulutnya keluar suara menggeram. Matanya dipentang
lebar-lebar. Lalu tampak gadis itu mulai membuka ikatan
celana ungunya. Celana itu merosot sampal ke pinggul.
Lalu tampak si gadis melangkah memasuki air laut.
Setiap langkah yang dibuatnya membuat pakaiannya
semakin merosot jatuh ke bawah. Di dalam air gadis itu
kemudian kelihatan melemparkan pakaiannya yang
terakhir ke dekat baju yang tadi dicampakkannya di atas
pasir. Berarti di dalam air laut itu tak sepotong pakaianpun
lagi melekat di badannya!
Dengan tubuh bergetar dilanda nafsu Datuk Tinggi Raja
Di Langit. melompat keluar dari balik batu karang dan lari
menuju laut.
Gadis di dalam air serta merta balikkan tubuhnya ketika
mendengar ads orang mendatangi. Dia terpekik sambil
cepat-cepat menutupi bagian dadanya yang berada di atas
batasan air laut. Sepasang mata Datuk Tinggi membeliak
melihat kepadatan tubuh sang dara.
“Orang gagah bertubuh tinggi besar! Si… siapa kau…?!”
si gadis bertanya dengan gagap.
“Aku Datuk Tinggi Raja Di Langit! Jangan takut! Aku
tidak menyakitimu…!”
“Tapi Datuk mengintip saya mandi di laut! Sekarang
malah datang mendekati Datuk nakal sekali!”
Datuk Tinggi tertawa lebar. Dari nada ucapan si gadis
jelas dia tidak marah. maka Datuk Tinggipun bertanya.
“Gadis cantik, siapa namamu. Bagaimana tahu-tahu
muncul di sini. Apa kau diam di pulau ini?”
“Saya gadis malang Datuk. Says tengah mencari
kekasih yang pergi. Entah masih hidup entah sudah tiada.
Dan… dan… saya terkejut…”
“Terkejut melihatku?!’
“Betul… Terkejut karena… karena wajah kekasih yang
hilang itu mirip sekali dengan Datuk…”
“Ah…! Kalau begitu biarlah diriku menjadi pengganti-
nya!” kata Datuk Tinggi pula lalu masuk ke daiam laut.
“Datuk Apakah Datuk hendak menemani saya
mandi…?”
“Ya… Aku akan menemanimu mandi di laut yang sejuk
itul” jawab Datuk Tinggi sambil terus melangkah. Air laut
mencapai betisnya.
“Tidak adakah orang yang akan melihat kita berdua-dua
di sini?!” tanya si gadis.
“Jangan kawatir. Pulau ini tidak berpenghuni!”
“Ah… Tapi, apakah Datuk akan mandi dengan masih
berpakaian seperti itu? Lucu…!”
Datuk Tinggi tertawa bergelak. “Pucuk dicinta ulam tibal
Gadis itu jelas minta agar aku menanggalkan pakaian!”
kata sang datuk dalam hati. Lalu tanpa pikir panjang
dengan cepat sekali dia menanggalkan mantel hitamnya.
Melemparkan mantel ini ke atas pasir. Mencapakkan topi
tingginya.
Kemudian membuka baju kuningnya. Kapak Naga Geni
212 yang diselipkannya di pinggang juga dilemparkan
dekat mentelnya hitamnya. Tak ketinggalan kantong kain
berisi senjata rahasianya yaitu Mutiara Setan. Terakhir
sekali kasut kulit yang masih merekat di kakinya terbang di
udara.
Sambil tertawa lebar dan mengangkat kedua tangannya
Datuk Tinggi mendekati si gadis.
“Datuk! Kejar saya!” kata si gadis lalu dia menyelam ke
dalam air.
“Kau akan kukejar kekasihku!” jawab Datuk Tinggi pula
seraya masuk ke dalam laut lebih tengah.
Pada saat itulah tiba-tiba dari balik batu-batu karang
yang gelap berkelebat tiga sosok tubuh. Orang pertama
maju menyambar Kapak Naga Geni 212 dan pakaian ungu
sedang orang kedua melompat menyambar mantel hitam
milik Datuk Tinggi. Orang yang ketiga membuat gerakan
aneh yaitu berguling seperti bola dan cepat sekali dia
menyambar kantong kain berisi Mutiara Setan dengan
mulutnya! Ketiga orang ini kemudian berjejer di tepi pasir.
Dua tegak berkacak pinggang sedang yang yang tadi
menyambar kantong senjata rahasia dengan mulutnya
duduk di pasir! Kantong kain itu dijatuhkan dipangkuannya
tapi sebelumnya dia telah memasukkan lima butir Mutiara
Setan ke dalam mulutnyal
***
WIRO SABLENG
14 MAKAM TANPA NISAN
atuk Tinggi Raja Di Langit melompat dalam air untuk
dapat menangkap tubuh gadis tadi. Tapi dia hanya
menangkap air karena dengan cepat sekali gadis itu
berenang ke tepi pasir. Begitu tubuhnya keluar laut orang
yang tegak di tepi pasir sambil memegang Kapak Naga
Geni 212 melemparkan pakaian ungunya.
Dalam gelap malam gadis itu lari ke balik batu karang
dan cepat-cepat mengenakan pakaiannya kembali. Sesaat
kemudian dia sudah bergabung dengan tiga orang tadi.
Datuk Tinggi tentu saja terkejut besar melihat apa yang
terjadi. Dia berenang ke tepi pasir tapi kedua kakinya
kemudian berhenti ketika menyadari bahwa dirinya saat itu
sama sekali tidak berpakaian.
Sepuluh langkah dihadapannya berdiri orang tua ber-
tubuh dan bermuka jerangkong yang bukan lain adalah Tua
Gila. Di sebelahnya tegak Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu
duduk bersila adalah Nyanyuk Amber, kakek sakti tanpa
mata, tanpa tangan dan tanpa kaki. Dari balik batu karang
kemudian muncul Pandansuri yang saat itu telah
mengenakan pakalan ungunya kembali. Gadis ini meng-
ambil saluangnya dari atas batu lalu berdiri di samping Tua
Gila. Agak disebelah belakang Datuk Tinggi melihat murid
Tua Gila berdirl di sebelah pembantu Nyanyuk Amber.
“Celaka besar! Bagaimana bisa begini kejadiannya?!
Bagaimana kedua orong yang disekap dalam makam batu
Itu bisa lolos?! Mantelku…! Mutiaraku…!”
Datuk Mata Tinggi memandang melotot pada Tua Gila
yang memegang mantelnya, lalu memperhatikan dengan
dada membara pada kantong senjata rahasianya yang ada
D
di pangkuan Nyanyuk Amber.
“Celaka! Bagaimana aku bisa lolos?!” Datuk Tinggi
melirik ke arah pakaiannya yang tercampak di pasir.
“Datuk Tinggil” terdengar Tua Gila berkata. “Kami
memberi kesempatan padamu agar kau bisa mati
berpakaian lengkap!” Orang tua ini menganggukkan
kepalanya pada Pandansuri.
Si gadis maju lalu dengan ujung saluangnya satu per-
satu pakaian Datuk Tinggi termasuk topi dan kasutnya di
lemparkannya ke arah si pemilik. Pakaian, topi dan kasut
itu terapung-apung di air laut. Datuk Tinggi belum bergerak
untuk mengambilnya.
“Ayo lekas kenakan pakaian, topi dan kasutmu!”
beteriak Wiro. “Terlalu lama telanjang kau bisa masuk
angin! Atau mungkin minta sahabatku gadis cantik ini
membantumu mengenakan pakaianmu satu persatu?!”
Tua Gila dan Nyanyuk Amber tertawa gelak-gelak.
Paras Datuk Tinggi mengelam sedang wajah Pandansuri
bersemu merah.
“Kembalikan mantel hitam dan kantong kain itu!” mem-
buka mulut Datuk Tinggi untuk pertama kalinya.
“Keluar dari dalam laut! Kau bisa mengambilnya
sendiri!” jawab Tua Gila.
Datuk Tinggi tidak bergerak. Mulutnya keluarkan suara
menggeram. Tiba-tiba orang ini berlaku nekad. Dia keluar
dari dalam air laut tanpa mengenakan pakaian sama
sekali. Pandansuri cepat palingkan muka.
“Kalian mau membunuhku lakukanlah cepat!” teriak
Datuk Tinggi. Dia melangkah mendekat. Tiba-tiba dia me-
nubruk ke arah Nyanyuk Amber yaitu orang yang paling
dekat. tangan kananya menyambar ke arah pangkuan si
orang tua dimana dilihatnya terletak kantong kain berisi
Mutiara Setan.
Mulut kempot Nyanyuk Amber mengembung. Lalu
kelihatan orang tua ini meniup. Sebuah benda hitam
melesat di udara. Datuk Tinggi berseru kaget ketika
mengenali benda itu bukan lain adalah senjata rahasianya
sendiri! Terpaksa di membuang diri ke samping. Mutiara
hitam melesat membabat rambut diatas telinganya. Datuk
tinggi keluarkan keringat dingin!
Datuk Tinggi ternyata masih dapat mempergunakan
akalnya dalam keadaan kepepet Itu. Sambit mengelakan
serangan senjata rahasia yang melesat dari mulut Nyanyuk
Amber, dia sengaja membuat diri ke arah Tua Gila yang
memegang mantel hitamnya. Dengan gerakan kilat dia
berusaha merampas senjata Itu. Tap! Tua Gila tidak bodoh.
Mantel ditangannya dikebutkan satu kali!
Terdengar teriakan Datuk Tinggi. Tubuhnya terpental di-
hantam angin laksana badai yang keluar dari mantel sakti
itu. Darah tampak mengucur dari hldungnya. Datuk Tinggi
menggerang. Dengan kalap dia bangkit dan kembali
hendak menyergap Tua Gila. Sekali ini gerakkannya ter-
tahan oleh tendangan kaki kiri Pendekar 212. Tubuhnya
terlipat lalu tersungkur di pasir, megap-megap sulit ber-
nafas.
“Kalian bunuh saja diriku! Bunuh saja!” teriak Datuk
Tinggi. “Manusia-manusia pengecut! Beraninya main
keroyok!”
Tua Gila mendengus. Mantel ditangannya diserahkan
pada Pendekar 212.
“Kalau kau ingin perkelahian satu lawan satu, tua
bangka ini siap melayanimu! Coba perlihatkan kembali
ilmu silat Orang Gila ciptaanmu itu!”
Seperti diketahui, selama empat tahun Datuk Tinggi
memang telah menyiapkan did merancang sendirl Ilmu
pemunah ilmu silat Tua Gila. Merasa mendapat
kesempatan maka Datuk Tinggi segera berdiri lalu
menyerbu Tua Gila. Tapi dia lupa, kekuatan tenaga dalam-
nya sebenarnya ada pada mentel hitam sakti yang kini
tidak dimilikinya lagi. Setelah menempur dengan jurus-
jurus hebat selama beberapa kali gebrakan akhirnya Tua
Gila berhasil menghantamkan tangan kanannya, ke dada
Datuk Tinggi.
Darah muncrat dari Datuk Tinggi. Tubuhnya terjengkang
di pasir. Pada seat itu sambil tertawa mengekeh Tua Gila
tunjukkan kesaktiannya. Benang Kayangan yang ditelannya
dan mendekap dalam perutnya sejak beberapa hari di-
muntahkannya kembali. Lalu dengan benang sakti itu di-
ringkusnya kedua kaki Datuk Tinggi. Sekali dia melangkah
maka terseretlah tubuh Datuk Tinggi. Wiro segera meng-
ikuti. Saringgih cepat mendukung Nyanyuk Amber dan
Malin Sati mengikuti dari belakang.
Selama tubuhnya diseret Datuk Tinggi menjerit-jerit
tiada henti. Sekujur tubuh den mukanya luka berkelukuran.
Rombongan orang-orang itu akhimya sampai di lapangan
kecil di tengah pulau di mana dua makam terletak dalam
keadaan terbuka.
Datuk Tinggi segera maklum apa yang akan terjadi atas
dirinya. Maka diapun meraung setinggi langit!
Tua Gila menyeringai. Tangannya yang memegang
benang sakti digerakkan. Benang menggeletar. Tubuh
Datuk Sakti terbetot lalu melayang masuk ke dalam
makam di mana Tua Gila disekap sebelumnya!
“Jangan! Keluarkan aku! Ampun! Aku masih ingin
hidup!” teriak Datuk Tinggi berulang kali sampai suaranya
parau.
Tua Gila berpaling pada muridnya. “Sati! Kau tahu apa
tugasmu!”
Anak enam tahun ini segera melompat ke bagian
belakang kepala makam. Dengan kakinya dia menekan
kuat-kuat batu hitam yang merupakan alat rahasia penutup
bagian atas makam. Terdengar suara berdesir. Lalu batu
penutup makam itupun jatuh dengan suara keras! Jeritan
Datuk Tinggi sertat merta lenyap.
Pendekar 212 menggaruk kepalanya. Mantel hitam
yang sejak tadi pegangnya dilemparkannya ke dalam
makam batu di mana sebelumnya dia disekap. Nyanyuk
Amber mengatakan sesuatu pada pembantunya. Saringgih
kemudian mengambil kantong kain berisi Mutiara Setan
dari balik pinggang pakaian orang tua itu lalu
melemparkannya ke dalam makam.
“Semuanya berakhir sudah…!” kata Tua Gila dan
kembali dia memberi isyarat pada muridnya. Malin Sati
sekali lagi pergunakan kaki untuk menekan batu hitam.
Sekali ini yang terletak di belakang makam dimana Wiro
sebelumnya mendekam. Bagian atas makam menderu
turun setelah lebih dahulu terdengar suara berdesir.
Sesaat keadaan di tempat itu tenggelam dalam
kesunyian. Tiba-tiba terdengar suara Nyanyuk Amber
bergumam seperti menelan sesuatu.
“Senjata setan itu masih tertinggal dimulutku!” kata
Nyanyuk Amber, lalu dia meniup keras-keras. Dua buah
mutiara hitam menyambar dalam gelapnya malam.
Terdengar suara benda keras pecah berantakan. Yang
hancur adalah batu hitam alat rahasia yang dapat menutup
dan mernbuka makam batu di sebelah kiri. Sekali lagi
orang tua itu menlup. Dan buah mutiara setan yang masih
bersisa dalam mulutnya meleset menghancurkan batu
hitam kedua di belakang makam sebelah kanan.
“Sekarang urusan benar-benar beres!” kata Nyanyuk
Amber. “Manusia iblis itu tak mungkin keluar selamatkan
diri! Mantel dan senjata setannya tak mungkin jatuh ke
tangan orang lain!”
“Masih ada yang perlu dirapihkan!” Pendekar 212 Wiro
Sableng keluarkan ucapan sambil mencabut Kapak Maut
Naga Geni 212 dari pinggangnya. “Tua Gila dan Wiro
Sableng belum pernah mati!”
Lalu senjata itu berkiblat dua kali. Suara gemuruh
seperti tawon mengamuk disertal sinar panas menyilaukan
berkelebat.
Traaakkk!
Traaakkk!
Duo batu nisan hitam masih tampak berdiri di kepala
kedua makam batu. Tapi bagian atas yang bergurat nama
Tua Gila dan Wiro Sableng telah dipapas putus!
Sambil menyeringal dan garuk kepala Pendekar 212
berpaling ke arah Pandansuri yang tegak di sampingnya.
“Aku ini manusla tidak sopan. Sejak tadi belum sempat
menegurmu. Apa kabar sahabatku cantik jelilta? Apakah
kau hendak mengajakku mandi bersama di laut malam
ini?!”
Paras Pandansuri menjadi cemberut. Gadis ini meng-
angkat tangannya hendak menampar wajah Pendekar 212.
Tapi Wiro melihat gerakan itu perlahan saja tanda sang
dara tidak sungguhan hendak menamparnya. Wiro cepat
menangkap tangan itu lalu mendekatkannya ke hidungnya
dan menciumnya dengan mesra.
TAMAT
Jakarta, 5 Agustus 1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar