Rabu, 01 Februari 2012

062.SERIKAT CANDU IBLIS

WIRO SABLENG
Karya: Bastian Tito
62.SERIKAT CANDU IBLIS
SATU
MUSIM panas sekali ini memang gila. Delapan purnama telah berlalu tanpa
sekali pun turun hujan. Sungai mengering, danau berubah menjadi lembah tandus.
Pepohonan banyak yang hanya tinggal ranting-ranting meranggas. Sawah sudah sejak
lama menjadi pendataran liar yang terdiri dari bongkah-bongkah tanah kering
kerontang dan alang-alang.
Di bawah teriknya sinar matahari yang seperti membakar bumi
menghanguskan jagat, di sebelah selatan Gunung Karangpandan, di tepi sebuah rimba
belantara kelihatan satu pemandangan yang bisa dikatakan luar biasa.
Delapan orang lelaki bertelanjang dada, rata-rata bertubuh tinggi besar dan
kokoh, setengah berlari tampak mengusung sebuah tandu. Empat di depan, empat di
belakang. Di bagian tengah tandu ada sebuah tempat duduk kayu yang diberi beratap
dan dinding serta pintu, semuanya terbuat dari kayu jati hitam.
Karena kayu jatinya merupakan kayu jati paling bagus dan tebal maka
keseluruhan tandu itu memiliki berat tidak kurang dari dua ratus kati! Belum lagi
kalau di atas tandu itu ada orangnya.
Di samping itu, demikian rapatnya dinding dan pintu tandu, sehingga siapa
pun yang ada di dalamnya tidak dapat dilihat dari luar. Meskipun tandu itu demikian
beratnya namun kedelapan lelaki yang mengusungnya berjalan cepat setengah berlari.
Sambil bergerak, dari mulut empat orang pengusung di sebelah depan tidak
henti-hentinya menyerukan dengan bersemangat kata-kata hitungan “Satu-dua-tigaempat…!
Satu-dua-tiga-empat!” Lalu empat teman mereka di sebelah belakang pada
akhir hitungan ke empat menyahuti dengan ucapan “Anjing gila jilat pantat…! Anjing
gila jilat pantat!”
Wiro Sableng
Begitu seterusnya sepanjang perjalanan selalu terdengar: “Satu-dua-tigaempat…!
Anjing gila jilat pantat! Satu-dua-tiga-empat…! Anjing gila jilat pantat!”
Tubuh, muka dan kepala delapan lelaki pengusung tandu tampak basah oleh
keringat. Tetapi hebatnya, mereka tidak tampak letih.
Rombongan pengusung tandu aneh itu berangkat sejak fajar menyingsing dari
arah Magetan menuju ke Barat. Ke delapan orang pengusung sama sekali tidak
mengetahui ke mana sebenarnya tujuan mereka. Pada saat-saat tertentu di lantai tandu
yang tertutup itu mereka mendengar suara ketukan. Ada kalanya dua ketukan, atau
tiga kali ketukan, kadang-kadang hanya satu kali.
Ketukan-ketukan itu adalah tanda atau petunjuk yang harus mereka ikuti. Satu
ketukan berarti jalan terus ke depan. Dua ketukan membelok ke kanan. Kalau
terdengar tiga kali ketukan pada lantai tandu berarti mereka harus menikung ke kiri.
Dari dalam tandu juga sesekali keluar asap tipis berwarna putih agak kelabu.
Anehnya, setiap asap putih itu keluar, ke delapan orang lelaki pengusung seperti
berebutan meninggikan hidung, serentak menghirup asap tersebut. Begitu mereka
dapat menghirup asap itu, wajah mereka kelihatan menjadi kemerahan. Rasa letih di
sekujur tubuh masing-masing menjadi lenyap!
Di suatu tempat terdengar dua ketukan pada lantai tandu. Delapan pengusung
segera membelok ke kanan. Kini mereka memasuki rimba belantara yang sebelumnya
hanya mereka susuri sepanjang pinggirnya saja. Dulunya rimba belantara ini tertutup
kerimbunan daun-daun pepohonan. Kini sejak dilanda musim kemarau panjang
selama delapan bulan, rimba belantara itu hanya tinggal pohon-pohon nyaris tak
berdaun, tidak mampu membendung teriknya sinar matahari. Di lantai tandu terdengar
suara ketukan satu kali berkepanjangan. Pertanda jalan yang ditempuh adalah lurus ke
depan.
Di salah satu bagian hutan, ketukan satu kali-satu kali tiba-tiba berhenti. Lalu
berganti dengan ketukan tujuh kali-tujuh kali. Delapan orang lelaki pengusung serta
merta berhenti berlari. Suara seruan “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
langsung sirap. Semuanya memandang berkeliling dengan mata tidak berkesip.
Sebenarnya sejak memasuki rimba belantara tadi mereka diam-diam telah
mengetahui ada serombongan orang tengah menguntit mereka. Namun karena tidak
mendapat “petunjuk” dari dalam tandu maka mereka tidak berani melakukan sesuatu
Wiro Sableng
dan dengan tenang sambil terus mengumandangkan ucapan-ucapan “Satu dua tiga
empat! Anjing gila jilat pantat!”, kedelapannya terus saja berlari.
Kini tujuh ketukan tadi telah mereka dengar. Itulah satu perintah yang berarti
mereka harus berhenti berlari karena ada bahaya dan mereka harus menghancurkan
bahaya itu Delapan lelaki bertubuh tegap itu tidak menunggu lama. Semak belukar di
sekeliling mereka tersibak. Dua belas orang berpakaian merah dan berikat kepala kain
merah muncul. Tampang mereka rata-rata angker dan masing-masing mencekal
sebilah golok besar.
Seorang dari mereka melangkah maju. Rupanya dia yang menjadi pimpinan
dari sebelas kawan-kawannya. Berewok dan kumisnya sangat lebat. “Kalian
rombongan dari mana dan mau ke mana!?”
“Kami dari Magetan, dalam perjalanan menuju ke Barat.” Salah seorang dari
delapan lelaki pengusung tandu menjawab. Dia adalah yang berada di sebelah kanan
depan.
“Barat itu luas. Sebutkan tujuan kalian dengan jelas. Jangan memberi teka-teki
padaku!” bentak si berewok ini.
“Kami tidak berteka-teki. Kami bicara apa adanya!” jawab si pengusung di
kanan depan. Rupanya dia tidak takut menghadapi rombongan orang-orang angker
yang kini mengurungnya di dalam rimba belantara itu. Ketujuh temannya juga tidak
menunjukkan rasa khawatir. Sikap mereka tenang tapi sepasang mata masing-masing
tidak berkesip mengawasi keadaan sekeliling mereka.
Lalu kawannya di depan kiri menyusuli ucapan itu. “Kami sudah menjawab.
Sekarang beri jalan jangan menghalangi!”
Lelaki berewok berpakaian merah sesaat menatap pengusung itu lalu
menyeringai. Setelah itu kembali dia membentak. “Turunkan usungan! Aku mau lihat
apa yang kalian bawa!”
Yang menjawab kembali adalah pengusungan di kiri depan. “Kami tidak
membawa barang atau benda berharga. Jadi tidak perlu tandu diturunkan.”
“Hemm… Begitu kau bilang?” orang berpakaian merah dengan berewok lebat
kembali menyeringai. “Di rimba belantara Karangkuku san ini aku yang punya kuasa.
Aku yang memerintah. Hanya mereka yang ingin cepat mampus boleh unjuk lagak
coba-coba membangkang!”
Wiro Sableng
“Kita sesama teman, mengapa harus bicara keras? Apalagi sampai memeriksa
isi tandu ini!”
“Kita sesama teman kau bilang! Aku Krincing Wungu tidak pernah punya
teman manusia-manusia dogol macammu dan kawan-kawanmu! Turunkan tandu atau
kepala kalian kubikin menggelinding satu demi satu!”
“Hah! Rupanya kami berhadapan dengan gembong penjahat rimba
Karangkukusan yang terkenal itu!” kata si pengusung di depan sebelah kiri.
Dari dalam tandu tiba-tiba keluar asap putih kelabu. Delapan orang lelaki
pengusung tandu meninggikan leher dan menghirup dalam-dalam. Tampang mereka
serta merta menjadi merah segar dan mereka seperti mendapat satu kekuatan dan
keberanian. Hal ini tidak lepas dari pemandangan dua belas orang berpakaian merah,
termasuk pimpinannya yang bernama Krincing Wungu itu.
“Tandu tidak akan kami turunkan! Terserah kau mau berbuat apa! Adalah
bodoh kalau kau tidak melihat tingginya Gunung Merapi dan dalamnya Samudra
Selatan. Kau mencari penyakit sobat!”
Krincing Wungu mendengus. Dia berpaling pada sebelas anak buahnya lalu
goyangkan kepalanya. Melihat isyarat ini sebelas orang lelaki berpakaian merah
segera menyerbu ke arah usungan. Sebelas golok besar berkelebat mencari sasaran di
tubuh atau kepala delapan orang lelaki pengusung tandu. Dalam keadaan masih
memikul beban berat, serangan ganas itu pastilah akan membawa celaka bagi ke
delapan orang yang jadi sasaran. Namun apa yang terjadi kemudian sungguh luar
biasa. Satu orang lelaki pengusung di bagian depan dan satu lagi di bagian belakang
melesat keluar sedang enam lainnya tetap ditempat masing-masing. Lalu tangan dan
kaki mereka yang bebas bergerak cepat menyambut serangan.
Dua anggota pengusung yang tadi keluar dari rombongan menyusup dan tahutahu
sudah berada di belakang sebelas orang yang menyerbu. Keduanya membuat
gerakan gerakan cepat dan ganas.
Kesebelas penyerang itu kini seolah-olah terjepit di tengah-tengah. Lalu
terdengar jerit pekik. Enam golok mental ke udara. Empat sosok berpakaian merah
roboh dengan kepala pecah. Tiga lainnya menggelepar-gelepar di tanah sambil
pegangi batang leher yang remuk lalu tak berkutik lagi, mati dengan mata mencelet.
Sisa penyerang yang tinggal empat dan saat itu tidak lagi memegang senjata
karena telah mental atau jatuh. Mereka melompat mundur dengan muka pucat.
Wiro Sableng
Di pihak para pengusung tandu, salah seorang di antara mereka yang di bagian
belakang kelihatan masih tegak mengusung tandu tetapi pangkal bahu kirinya luka
besar kena hantaman golok.
Darah mengucur deras membasahi dadanya yang telanjang dan juga celana
hitamnya. Dari air mukanya jelas orang ini menahan rasa sakit yang amat sangat.
Hebatnya, dalam keadaan luka parah seperti itu dia tetap tegak menahan tandu dengan
bahu kanannya. Namun darah yang terlalu banyak keluar membuat orang ini mulai
merasa dirinya limbung dan pemandangannya mulai berkunang.
Krincing Wungu sesaat masih tertegak dengan tubuh bergetar dan mata
melotot. Dalam hati dia menggeram. “Siapa orang-orang ini sebenarnya? Tujuh anak
buahku mereka bunuh dalam sekejapan!” Seberkas asap tiba-tiba keluar dari sela-sela
lantai tandu. Menyapu ke arah pengusung yang berada dalam keadaan luka parah tadi.
Orang ini segera menghirup asap itu, kawan-kawannya di sebelah menyebelah ikut
menghirup. Begitu hawa dari asap aneh masuk ke saluran pernafasan dan paruparunya,
lalu mengalir dalam saluran pembuluh darahnya, pengusung yang terluka ini
merasa ada perubahan dalam dirinya. Rasa sakit hilang sama sekali. Tubuhnya yang
tadi lemah kini menjadi segar dan kuat sedang pemandangan matanya yang
sebelumnya berkunang kini menjadi pulih dan terang kembali.
Di lantai tandu terdengar suara ketukan satu kali. Itu pertanda bahwa
rombongan pengusung harus segera bergerak meninggalkan tempat itu, lurus ke
depan.
Rombongan ini segera bergerak. Namun baru maju dua langkah, dari samping
didahului suara bentakan garang, Krincing Wungu melompat setinggi dua tombak ke
udara. Di lain saat, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas tandu.
– == 0O0 == –
DUA
BEGITU kedua kakinya menginjak atas tandu. Krincing Wungu segera
tusukan golok besarnya ke atap itu. Delapan orang pengusung tetap tidak bergerak
sedikitpun padahal berat tubuh Krincing Wungu paling tidak sekitar 90 kati!
Wiro Sableng
Sesaat lagi golok Krincing Wungu akan menembus atap tandu, tiba-tiba atap
tandu terbuka dan dari dalam tandu melesat sebuah tombak, mencuat langsung
menusuk selangkangan Krincing Wungu.
Kepala penjahat hutan Karangkukusan ini meraung keras. Golok besar terlepas
dari tangannya. Kedua tangannya kini dipergunakan untuk memegangi bawah
perutnya dari bagian mana darah mengucur deras. Sekali lagi Krincing Wungu
menjerit. Lalu tubuhnya jatuh ke bawah. Tiga orang anak buahnya berseru tegang.
Mereka serempak melompat ke arah di mana tubuh pimpinan mereka bakal jatuh,
berusaha menyahuti tubuh itu agar tidak jatuh ke tanah.
Namun tubuh Krincing Wungu besar dan berat. Tiga anak buahnya tidak
sanggup menahan. Keempat penjahat ini akhirnya jatuh terkapar di tanah. Krincing
Wungu tampak menggeliat. Dari mulutnya tiada henti terdengar raungan. Suaranya
menjadi parau. Tubuhnya berkelojotan beberapa ketika lalu diam tak bergeming lagi.
“Pemimpin!” seru tiga anak buah Krincing Wungu lalu menubruk tubuh
pemimpin mereka. Tapi Krincing Wungu sudah jadi mayat.
Di lantai tandu terdengar suara ketukan satu kali. Itu tanda perjalanan harus
dilanjutkan, lurus ke muka. Delapan lelaki pengusung tandu mendongak. Kaki mereka
bergerak. Tandu itu kembali mereka gotong dan larikan. Dari mulut mereka kembali
terdengar suara: “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
Tiga orang anak buah Krincing Wungu perhatikan kepergian rombongan
pengusung tandu itu. “Rombongan aneh. Siapa mereka sebenarnya?” berkata salah
seorang dari mereka.
“Aku tak bisa menduga. Tapi jangan-jangan…” orang ini tidak meneruskan
ucapannya. Wajahnya kelihatan pucat mendadak. Dua temannya tampak ketakutan
juga. Dia cepat berdiri seraya berkata, “Kita tidak bisa mengurus semua mayat ini.
Jenazah pemimpin saja yang bisa kita bawa dari sini. Bantu aku menggotongnya!”
Masih di dalam rimba belantara Karangkukusan, di arah barat yang bakal dilalui oleh
rombongan pengusung tandu tadi kelihatan gerakan-gerakan di balik semak belukar
dan di atas beberapa buah pohon besar. Lalu terdengar suara suitan-suitan pendek dari
arah kanan. Suitan ini disambut dengan suitan pula dari jurusan kiri.
Ketika suara suitan yang bersahut-sahutan itu lenyap, serumpun keladi hutan
berdaun tinggi dan lebar tampak bergoyang. Satu tangan muncul di antara daun-daun
Wiro Sableng
keladi itu, menggaruk-garuk satu kepala berambut gondrong. Orang di balik pohon
keladi mengongak ke langit.
“Itu bukan suitan biasa. Siapa yang tadi berbalas suitan?” orang yang
berambut gondrong ini yang ternyata seorang pemuda bertanya dalam hati. Dia
memandang berkeliling. Tidak terlihat gerakan, tidak terlihat apa pun. Dia
mendongak lagi. Saat itulah dia melihat sebuah benda panjang menjulai di udara
hampir tersamar di antara cabang-cabang pepohonan.
Belum sempat dia menduga benda apa adanya itu tiba-tiba telinganya
menangkap seruan-seruan tak berkeputusan di kejauhan di arah selatan. Makin lama
seruan-seruan itu semakin keras dan tambah jelas. “Satu dua tiga empat! Anjing gila
jilat pantat!”
“Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
“Edan! Dalam rimba belantara begini siapa pula yang berteriak seperti itu!
Anjing gila mana yang jilat pantat!” pemuda berambut gondrong di balik pohon
keladi besar berkata dalam hati setengah memaki. Tapi diam-diam dia juga merasa
heran dan agak was-was.
“Jangan-jangan itu bukan suara manusia. Tapi suara hantu rimba belantara!”
katanya lagi dalam hati. Dia memandang ke jurusan datangnya suara-suara seruan
ramai itu. Lalu terlihatlah rombongan pengusung tandu yang terdiri dari delapan lelaki
bertubuh besar, hanya mengenakan celana hitam panjang sebatas betis.
“Hemm…” si gondrong bergumam. Kedua matanya memperhatikan kaki-kaki
delapan orang yang berlari itu. Semuanya menginjak tanah. “Manusia juga adanya
mereka. Tapi jelas berkepandaian tinggi. Bukan sembarang orang mampu
menggotong tandu kayu jati seberat itu. Malah sambil berseru-seru seperti itu! Dan
berlari pula! Gila!” Rombongan pengusung tandu itu lewat di depan si gondrong yang
bersembunyi di balik rumpun keladi.
“Siapa adanya orang-orang itu. Apa yang ada di dalam tandu? Harta pusaka,
perhiasan, emas berlian, atau seorang putri cantik jelita?”
Tiba-tiba delapan lelaki bertelanjang dada yang menjadi pengusung tandu
mendengar suara tujuh ketukan di lantai tandu. Tanda bahaya! Mereka baru saja lolos
dari satu bahaya, kini bahaya apa pula yang datang menghadang?
Mereka memandang berkeliling. Saat itulah terdengar suara berdesir. Lalu
sebuah jaring raksasa, entah dari mana munculnya, laksana turun dari langit jatuh ke
Wiro Sableng
bawah, tepat menimpa rombongan itu. Delapan lelaki pengusung berikut tandu yang
diusung kini terkurung dalam jaring besar.
Delapan pengusung berseru kaget. Namun sebagai orang-orang yang telah
banyak pengalaman, cepat sekali kemudian mereka menguasai keadaan. Masih dalam
keadaan memanggul tandu yang berat, delapan pasang tangan mereka bergerak ke
pinggang. Delapan pasang tangan kemudian terpentang ke depan.
Kelihatan setiap orang kini memegang sebilah pisau kecil yang sangat tajam di
tangan kiri kanan. Pisau-pisau kecil itu mereka babatkan ke depan untuk memutus
jaring. Namun jaring yang menjerat rupanya bukan jaring biasa. Atos tak mempan
sayatan pisau! Padahal pisau kecil itu bukan senjata sembarangan. Pernah diuji
kesanggupannya menusuk batu!
Delapan lelaki pengusung tandu jadi terperangah dapatkan pisau-pisau mereka
tidak sanggup memutus jaring. Sesaat mereka saling pandang. Salah seorang di antara
mereka berkata, “Coba dengan pedang asap!”
Delapan orang itu terdengar merapal lalu serentak sama-sama meniup. Dari
mulut mereka melesat aneh selarik sinar putih berbentuk pedang panjang.
“Wut… wut… wut… wut… wut… wut… wut… wut…!”
Delapan pedang asap menghantam jaring di delapan bagian. Jaring besar itu
bergoyang keras seperti mau ambrol. Tapi ternyata tidak! Benda berbentuk pedang
panjang malah tiba-tiba membalik ke arah mereka. Dalam keadaan kaget kembali ke
delapan lelaki pengusung tandu meniup. Pedang asap pupus lenyap tidak berbekas!
Di kejauhan terdengar suara ringkikan. Lalu ada suara derap kaki kuda
mendatangi. Sebelum itu dari balik semak belukar dan pohon-pohon besar
berlompatan hampir dua lusin orang bersenjatakan tombak dan pedang.
Sepuluh di antaranya memegang busur dan membidikkan anak panah ke arah
orang-orang yang terjerat itu. Sementara itu dari atas pohon-pohon di sekitar tempat
itu berserosoran turun sembilan orang berpakaian serba biru. Begitu sampai di tanah
mereka langsung menghunus senjata masing-masing dan menebar mengurung
rombongan yang barusan kena jerat. Berada dalam keadaan tak berdaya di bawah jala
serta dikurung rapat demikian rupa, delapan orang lelaki pengusung tandu kini tegak
tak bergerak. Mata mereka mengawasi para pengurung. Telinga mereka menunggu
aba-aba dari dalam tandu namun tanda yang ditunggu tidak kunjung terdengar. Para
Wiro Sableng
pengurung sendiri kelihatan tidak bergerak dari tempat masing-masing seakan ada
yang ditunggu. Memang benar. Saat itu muncul tiga orang penunggang kuda.
Pemuda gondrong yang mendekam di balik kerapatan semak belukar dan
pohon keladi besar mengeryitkan kening. Salah satu di antara tiga penunggang kuda
itu, yakni yang berpakaian bagus dan berambut putih dikenalnya sebagai
Lawunggeno, Adipati Magetan. Di sebelahnya, seorang kakek berkulit hitam bermata
sangat cekung berambut panjang sebahu. Orang tua ini mengenakan baju hitam
berbelang-belang putih sehingga pakaiannya seperti bergambar jala atau jaring.
Si gondrong garuk-garuk kepala di tempat persembunyiannya. Otaknya coba
mengingat-ingat. “Aku pernah tahu tua bangka berkulit hitam itu. Ah… sialan!
Masakan aku lupa. Padahal dua bulan lalu aku melihatnya di pantai selatan. Siapa…
Aku ingat! Dia adalah Jala Gandring! Tokoh silat yang dikenal memiliki keahlian
dalam soal jebak-menjebak! Punya hubungan dekat dengan pembesar di Kotaraja.
Betul, dia memang Jala Gandring!”
Lalu pemuda ini memperhatikan penunggang kuda yang ketiga, yaitu seorang
lelaki separuh baya bertampang gagah dan berpembawaan tegang. Di pinggangnya
bergelung seuntai rantai besar yang terbuat dari perak berkilat. “Pasti itu senjata
andalannya,” pikir si pemuda. Dia coba menduga-duga tapi tidak berhasil mengetahui
siapa adanya orang ini.
Setelah menatap orang-orang pengusung tandu yang terperangkap dalam
jaring itu beberapa ketika, orang tua berkulit hitam tertawa mengekeh. “Tidak
percuma dua tahun aku merancang jala itu. Kini terbukti memang luar biasa. Tak bisa
dirobek apalagi dijebol!”
Adipati Lawunggeno majukan kudanya dua langkah lalu berkata dengan suara
keras. “Iblis-iblis perusak jagat! Hari ini habis riwayat kalian! Sebelum kusuruh
pancung lekas turunkan tandu!”
“Kami tidak layak mengikuti perintah siapa pun kecuali pemimpin kami!”
menjawab lelaki pengusung di depan kanan.
Lawunggeno menyeringai. “Kalau begitu aku perintahkan agar pimpinanmu
lekas keluar dari tandu!”
“Tandu ini kosong! Kami tidak membawa barang atau manusia!”
“Jangan berani dusta!” bentak orang berikat pinggang rantai perak.
“Siapa yang dusta! Kalian lihat sendiri!” jawab lelaki pengusung tadi.
Wiro Sableng
Lalu dia memberi isyarat kepada kawannya yang berada di sebelah tengah
kanan. Orang ini segera ulurkan tangan membuka pintu tandu. Begitu pintu terbuka
kelihatanlah bagian dalam tandu. Ternyata memang tandu itu kosong!
Lawunggeno, si rantai perak dan Jala Gandring melengak dan saling pandang.
“Aneh,” bisik Adipati Magetan itu. “Aku berani bersumpah. Aku sendiri
melihat iblis terkutuk itu masuk ke dalam tandu sebelum rombongannya
meninggalkan Magetan!”
“Mungkin dia menyelinap di tengah jalan,” kata si rantai perak.
“Aneh… Aku tidak bisa percaya hal ini,” berkata Jala Gandring. Matanya
yang besar dipelototkan melihat bagian dalam tandu. Tapi di dalam sana memang
tidak ada siapa-siapa. Kosong melompong!
Melihat tiga penumpang kuda itu bingung, pengusung yang di tengah
menutupkan pintu tandu kembali. Lalu kawannya yang di sebelah depan berkata.
“Kalian sudah melihat sendiri tidak ada apa-apa di dalam tandu. Sekarang izinkan
kami pergi!”
“Pergi?!” Adipati Lawunggeno tertawa bergelak. “Kalian memang boleh
pergi. Tapi pergi ke neraka! Selama ini kalian jadi kaki tangan .
Merusak rakyat dan negeri. Setelah tertangkap begini apakah kami akan
membebaskan kalian begitu saja? Enak betul!”
“Kalian salah sangka! Kami bukan orang-orang !”
“Siapa percaya pada mulut busuk penipu sepertimu!” bentak Jala Gandring.
“Bunuh mereka! Tinggalkan satu hidup-hidup!” Lawunggeno berteriak lalu
memberi isyarat pada sembilan orang berseragam biru. Mereka prajurit-prajurit
Kadipaten yang ada di bawah perintahnya dan sengaja mengenakan pakaian seragam
biru.
Sembilan orang itu segera melompat sambil menghujamkan senjata masingmasing.
Melihat hal ini Jala Gandring cepat berteriak, “Tunggu! Jangan dekati
mereka!”
Namun enam dari sembila orang berseragam biru sudah terlanjur menyergap
ke depan. Senjata mereka berkelebatan menusuk di antara rongga-rongga jaring. Lalu
terjadilah hal yang mengejutkan. Enam buah tangan melesat keluar dari dalam jala.
Tiga menangkap lengan yang menusukkan senjata, dua menghantam ke arah dada dan
satu ke arah kepala pihak yang menyerang.
Wiro Sableng
Terdengar pekik keras. Dua dari penyerang langsung roboh terbanting ke
tanah. Yang pertama pecah kepalanya, yang satu lagi remuk tulang dadanya dan
muntahkan darah segar. Sesaat kemudian keduanya meregang nyawa. Di sebelah kiri,
orang berpakaian biru ketiga tampak terhuyung-huyung sambil pegangi golok
miliknya sendiri yang kini menancap diperutnya. Penyerang ke empat terduduk di
tanah. Bahu kanannya luka besar. Darah mengucur membasahi pakaiannya. Sesaat
kemudian tubuhnya rebah ke tanah. Empat dari pihak penyerang menemui kematian
secara mengejutkan. Dua lainnya sempat melompat mundur menyelamatkan diri.
Paras tiga orang penunggang kuda jadi berubah kaku membesi. Jala Gandring
sangat terpukul karena merasa terlambat memberi peringatan. Dia sudah tahu
sebelumnya bagaimana kehebatan ilmu orang-orang yang menamakan dirinya Serikat
Candu Iblis. Sangat berbahaya kalau diserang dalam jarak pendek. Orang tua ini
mengusap dagunya lalu membisikkan sesuatu pada Adipati Magetan. Lawunggeno
lalu mendekati sepuluh orang yang tegak dengan busur dengan panah terpentang.
“Ganti panah kalian dengan panah-panah beracun! Bunuh pengusung tandu
itu. Yang paling depan sebelah kanan biarkan hidup. Dia pasti pimpinan dari tujuh
kawannya!”
Sepuluh orang yang tengah merentang dan membidikkan panah segera
turunkan busur masing-masing, lalu mengganti anak panah dengan anak panah baru
yang ujungnya terbuat dari besi dan berwarna hitam pekat. Seluruh ujung besi anak
panah itu mengandung racun yang amat jahat. Jangankan manusia, seekor gajah pun
akan menemui ajalnya dalam beberapa kejapan saja sekali terkena.
“Izinkan aku membereskan mereka,” tiba-tiba lelaki gajah berpembawaan
tenang loloskan ikat pinggang peraknya. Tapi sebelum dia bergerak Jala Gandring
cepat menghalangi seraya berkata dengan suara perlahan.
“Dimas Barataji, aku tahu kehebatan rantai perakmu. Tetapi kalau senjata itu
menjebol jala, aku kawatir delapan manusia iblis itu malah akan punya kesempatan
melarikan diri. Seperti usaha kita selama ini akan sia-sia belaka.”
Sebenarnya Jala Gandring tidak yakin kalau senjata orang yang bernama
Barataji mengalami nasib seperti empat prajurit Kadipaten Magetan tadi. Hanya saja
dia tidak mau Barataji merasa tersinggung kalau hal itu dikatakannya secara terus
terang. Barataji angkat bahu kemudian anggukan kepala.
Wiro Sableng
Adipati Lawunggeno lalu memberi tanda pada sepuluh orang yang telah siap
dengan panah beracun. Di dalam jala delapan lelaki bertelanjang dada tampak
menatap angker ke arah sepuluh orang itu. Seperti yang diperintahkan Lawunggeno
kesepuluh pembidik mengarahkan anak panah mereka pada tujuh orang lelaki
pengusung tandu karena yang seorang harus dibiarkan hidup-hidup. Berarti ada satu
atau dua orang yang akan menerima sambaran lebih dari satu anak panah!
“Hantam!” teriak Lawunggeno. Dari dalam tandu keluar asap putih. Delapan
lelaki pengusung menengadah, meninggikan hidung dan menghirup. Sepuluh panah
beracun melesat. Dalam jarak yang begitu dekat kecepatan lesat anak-anak panah itu
laksana sambaran kilat!
– == 0O0 == –
TIGA
Delapan lelaki bertelanjang dada bercelana hitam mendengus lalu keluarkan
bentakan menggidikkan. Kemudian serentak mereka meniup ke arah datangnya
sepuluh anak panah maut.
Enam anak panah mental ke udara. Dua di antaranya hancur dan satu patah.
Bagian ujung besi yang lancip mencelat ke salah seorang yang tadi melepaskan
panah. Karena tidak menyangka orang ini tidak sempat menghindar. Mata panah
menancap di bahu kirinya. Suara jeritan menggidikkan. Bahunya tampak menghitam.
Warna hitam ini menjalar ke bagian tubuhnya yang lain. Sekali lagi terdengar
jeritannya lalu tubuhnya terkapar di tanah!
Walaupun delapan orang lelaki di bawah jala mengeluarkan kepandaian luar
biasa, mengandalkan tenaga dalam meniup anak panah beracun, namun hanya empat
di antaranya masih lolos. Dua panah beracun sekaligus menancap di dada pengusung
tandu di depan kiri. Satu panah menembus leher lelaki di depan kiri dan satu lagi
menembus di perut orang ketiga, yaitu yang tegak di bagian kanan tengah.
Ketiganya menjerit keras. Tubuh atas mereka yang tanpa pakaian itu serta
merta kelihatan menghitam. Dari dalam tandu kembali tampak asap mengepul keluar.
Tapi sekali ini apa pun kekuatan yang ada dalam asap aneh itu tidak sanggup
Wiro Sableng
menyelamatkan nyawa tiga orang lelaki pengusung tandu. Mereka menjerit sekali
lagi. Lalu tiba-tiba, ketiganya mencabut panah yang menancap di tubuh masingmasing.
Sebelum meregang nyawa mereka masih sanggup melemparkan panah panah
beracun itu keluar jaring.
Empat batang panah kini berbalik menyerang empat anak buah Lawunggeno.
Luar biasanya, walau anak-anak panah itu hanya dilemparkan dengan tangan
telanjang, tetapi daya lesatnya hampir tidak beda seperti dilepas dengan busur! Empat
jeritan terdengar dalam rimba belantara itu. Empat sosok anak buah Lawunggeno
yang tidak mampu selamatkan diri terguling di tanah. Tubuh mereka kelihatan hitam
sampai ke muka!
Di dalam jala tiga orang lelaki pengusung tampak terguling di tanah. Ternyata
mereka pun tidak mampu melawan racun jahat panah yang tadi sempat menancap di
tubuh mereka. Lima kawan mereka kini mengerahkan kekuatan untuk tetap dapat
memanggul tandu. Ini bukan satu pekerjaan mudah, apalagi saat itu mereka tengah
menghadapi serangan.
“Kurang ajar! Bakar mereka hidup-hidup!” teriak Lawunggeno marah sekali.
“Itu memang sudah kurencanakan Dimas Adipati,” kata orang tua bermuka
hitam bernama Jala Gandring. “Agaknya hanya itu satu-satunya cara memusnahkan
manusia-manusia iblis ini!”
“Kumpulkan kayu kering! Tebar di sekitar jala!” perintah Lawunggeno. Maka
semua orang yang ada di situ sibuk mencari kayu. Karena saat itu musim kering
dengan mudah dan cepat mereka berhasil mengumpulkan kayu lalu ditumpuk
mengitari jala.
“Nyalakan api!” teriak Lawunggeno.
Seseorang segera menyalakan api membakar tumpukan kayu kering di tiga
bagian. Untuk pertama kalinya para pengusung tandu yang kini hanya tinggal lima
orang itu berubah paras mereka.
Jala Gandring tertawa mengekeh. “Kalian mungkin punya seribu kehebatan!
Tapi melawan api kalian tidak akan sanggup! Aku melihat bayangan ketakutan pada
tampang-tampang kalian! Ha… ha…. Ha…!”
“Kangmas Lawunggeno,” Barataji membuka mulut. “Kalau mereka dibakar,
berarti tidak ada yang bakal selamat untuk kita tanyai. Bukankah kau ingin salah
seorang dari mereka dibiarkan hidup?”
Wiro Sableng
“Tadinya memang aku menginginkan begitu Dimas. Tapi setelah mereka
membunuh orang-orang kita, sekarang aku lebih suka mereka mampus semua!”
Kobaran api tampak semakin membesar. Lima lelaki di dalam jala berteriak
teriak. Mereka berusaha meloloskan diri namun sia-sia saja. Semula mereka mengira
api akan turut membakar jala sehingga mereka bisa menyusup keluar. Tetapi ternyata
api hanya membuat hitam jala, tidak sanggup membakarnya!
Sungguh luar biasa jala ciptaan Jala Gandring ini. Teriakan kelima orang itu
semakin keras menggidikkan. Bau daging yang terbakar mulai memenuhi seantero
rimba belantara. Lalu satu demi satu kelimanya roboh tergelimpang. Bersamaan
dengan itu tandu kayu jati yang berusaha mereka pertahankan agar tetap dapat mereka
usung ikut pula roboh berbarengan dengan jatuhnya tubuh mereka ke tanah. Api
mulai menjilat kayu tandu yang keras.
Tidak terduga sama sekali, tiba-tiba atap tandu terbuka dengan mengeluarkan
suara keras. Bersamaan dengan itu dari dalam tandu membumbung asap tebal yang
menebar bau aneh.
“Asap candu iblis!” teriak Jala Gandring seraya menarik kudanya menjauhi
tempat itu. “Cepat menyingkir! Tutup penciuman kalian!”
Semua orang segera menyingkir. Bau aneh yang keluar bersama asap itu
membuat mereka seperti melayang. Untung semuanya sudah menjauh. Kalau sempat
mereka mencium asap itu niscaya mereka akan jatuh pingsan. Keanehan ternyata
tidak hanya sampai di situ.
Laksana batu terlempar keluar dari mulut gunung yang meletus, dari dalam
tandu kayu yang terbakar melesat keluar satu benda. Meskipun sangat samar-samar
karena tertutup oleh ketebalan asap namun semua orang masih sempat melihat serta
mengetahui bahwa benda itu adalah sesosok tubuh manusia. Sambil melesat orang ini
gerakkan kedua tangannya. “Brett!!!”
Jala Gandring terbeliak. Jala buatannya yang sangat kokoh itu ternyata
sanggup dibikin robek. Lewat jalan yang kini jebol itu, orang di atas sana loloskan diri
dengan cepat.
“Ada orang keluar dari dalam tandu!” seru Barataji.
“Pasti itu Ketua !” teriak Jala Gandring.
“Kurung cepat! Jangan sampai dia lolos!” teriak Adipati Lawunggeno.
Wiro Sableng
Barataji loloskan ikat pinggang peraknya. Dia menyentakkan tali kekang kuda.
Binatang ini menghambur ke depan, Barataji sabatkan rantai peraknya ke arah mana
tadi dia melihat berkelebatnya bayangan sosok manusia. Sinar putih laksana kilat
menyambar menerangi tempat itu, dibarengi oleh suara menggelegar dahsyat. Tapi
sasaran yang dihantam telah lenyap!
Penasaran Adipati Lawunggeno ikut menghantam. Dia lepaskan satu pukulan
tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Serangannyapun juga luput, hanya
menghantam sebatang pohon kayu kering di depan sana sehingga patah dan tumbang
berantakan.
“Iblis perusak! Kau tak bakal lolos dari tanganku!” teriak kakek berkulit hitam
Jala Gandring. Mata orang tua berkepandaian tinggi ini memang tak dapat ditipu.
Tubuhnya yang langsing tinggi melesat ke udara. Pada ketinggian dua tombak dia
membuat gerakan membalik. Lalu laksana seekor rajawali dia menukik ke bawah dan
lenyap di balik kerapatan daun-daun keladi besar yang dikelilingi oleh semak belukar
lebat. Sesaat kemudian dari balik pohon keladi terdengar seruan orang tua itu “Adipati
Lawunggeno! Aku berhasil menangkap Ketua !” Adipati
Lawunggeno, Barataji dan belasan orang lainnya segera melompat ke arah pohon
keladi.
– == 0O0 == –
EMPAT
Apa yang dikatakan Jala Gandring ternyata benar. Di hadapan si orang tua, di
antara batang-batang keladi tampak meringkuk di tanah sesosok tubuh dalam keadaan
menungging, tak bergerak, tak berdaya, hanya kedua matanya saja yang tampak
berputar jelalatan. Rupanya Jala Gandring telah menotok orang ini dengan satu
totokan yang amat lihay.
Apa sebenarnya yang telah terjadi?
Ketika ada sosok tubuh melesat keluar dari tandu kayu yang terbakar dan tiga
serangan menghantam ke arah sosok tubuh itu susul menyusul, dengan kecepatan luar
biasa orang yang diserang membuat gerakan menyusup lalu menghilang ke arah kiri.
Wiro Sableng
Di lain kejap dia sudah mendekam di balik pohon keladi. Pemuda berambut
gondrong yang sebelumnya sudah berada di tempat itu tentu saja menjadi terkejut
ketika tiba-tiba ada seseorang muncul dekat sekali di sebelahnya, mengeluarkan nafas
memburu. Dia berpaling. Pandangannya membentur sosok tubuh aneh. Di
sampingnya saat itu ada seorang lelaki pendek sekali, mungkin manusia katai,
berpakaian berbentuk jubah hitam penuh dengan hiasan renda-renda yang terbuat dari
benang emas. Orang ini memiliki muka berwarna abu-abu aneh. Kepalanya botak
plontos. Sepasang matanya sipit sedang daun telinganya sangat lebar.
“Eh, kau ini tuyul atau cucunya tuyul?!” tanya si pemuda. Yang ditanya
tersenyum sambil melintangkan jari telunjuknya di atas bibir. “Jangan bicara keraskeras,
nanti mereka dengar dan tahu aku di sini!”
“Kau siapa?”
“Aku bukan siapa-siapa!”
“Sialan! Bukan siapa-siapa maksudmu?! Kau pasti orang yang melesat keluar
dari dalam tandu kayu. Kau yang disebut sebagai Ketua ?! Kau tak
mungkin lolos dari keputusan mereka. Karena kurasa kau memang orang jahat. Aku
akan membantu orang-orang itu meringkusmu!”
“Jangan lakukan itu! Kita memang tidak saling kenal dan tidak bersahabat.
Tapi itu bukan berarti kita punya silang sengketa. Dengar, biarkan aku lolos dari
tempat ini. Aku titipkan kotak ini padamu!”
Habis berkata begitu lelaki katai berkepala botak itu masukkan sebuah kotak
kayu ke balik pinggang pakaian pemuda di hadapannya.
“Eh, apa-apaan ini?!” Si pemuda menolak menerima kotak itu dan berusaha
menarik jubah merah orang di sampingnya. Si katai meniup ke depan. Ada asap tipis
menyambar wajah pemuda berambut gondrong, membuatnya sesaat menjadi lemas.
Kesempatan ini dipergunakan oleh orang pendek berjubah merah untuk mendorong
dada pemuda di depannya hingga terduduk di tanah. Selagi pemuda ini berusaha
berdiri tiba-tiba semak belukar di sampingnya terkuak dan satu totokan hebat
bersarang di punggungnya hingga dia terdorong keras ke depan dan kaku sekujur
tubuhnya. Kepala menekan tanah, pantat menungging ke atas.
Lebih sepuluh orang mengurung tempat itu. Tiga di antaranya adalah Jala
Gandring, Barataji dan Adipati Lawunggeno. “Ha… ha… ha..! Kali ini kau tak bisa
lolos lagi Ketua !” kata Jala Gandring.
Wiro Sableng
“Hari ini tamat riwayatmu! Manusia perusak ini baiknya kita cincang sekarang
juga!” kata Barataji. Dia mengambil sebilah golok dari tangan seorang prajurit
Kadipaten yang ada di dekatnya.
“Tunggu dulu!” berkata Lawunggeno. “Aku mau lihat dulu tampang manusia
ini!” Lalu dengan tumitnya didorongnya tubuh yang masih berada dalam keadaan
kaku dan menungging itu hingga terguling.
“Hemmm… Tidak dinyana sang ketua masih muda belia begini.”
Lawunggeno jongkok di hadapan sosok tubuh yang terguling. Dia jambak rambut
gondrong si pemuda kuat-kuat lalu membentak.
“Umurmu hanya tinggal beberapa kejapan saja! Sebelum batang lehermu
kutebas, lekas katakan siapa kau sebenarnya! Di mana markasmu dan siapa saja yang
melindungi  pimpinanmu!”
“Manusia iblis! Totokanku hanya membuat kau kaku! Kau tidak bisu! Kau
bisa bicara!” bentak Jala Gandring.
Si pemuda kembali menyeringai. Barataji hilang sabarnya. Dia menggertak
dengan menghantamkan rantai peraknya ke tanah, hanya sejarak dua jengkal dari
kepala pemuda yang terguling di tanah. Tubuh pemuda itu terangkat sampai tiga
jengkal lalu terbanting kembali ke tanah. Tanah yang tadi dihantam ikat pinggang
perak berbentuk rantai itu tampak tenggelam berlobang panjang sedalam hampir dua
jengkal. Tanah kering bercampur debu dan pasir muncrat lalu jatuh kembali menutupi
si pemuda.
“Kalau dia tak mau bicara tak ada gunanya menghabiskan waktu. Tapi dia
tidak boleh mati secara cepat. Terlalu enak baginya! Adipati kau tebas tangan
kanannya. Aku akan hancurkan paha kirinya! Dimas Barataji kau boleh mencari
sasaranmu sendiri!” kata Jala Gandring pula.
Lalu kaki kanannya diangkat tinggi-tinggi. Tumitnya siap untuk
menghancurkan paha kanan pemuda berambut gondrong itu. Adipati Lawunggeno
mengangkat tangan kanannya yang memegang golok siap membacok, sedang Barataji
sudah memutar rantai peraknya. Sasarannya adalah kaki kiri si pemuda.
Sesaat lagi tiga hantaman akan melabrak tubuh si pemuda, tiba-tiba pemuda
itu masih sambil menyeringai dan tenang saja mengeluarkan suara. “Kalian
membunuh orang yang salah!”
Wiro Sableng
“Bangsat! Apa maksudmu!” bentak Adipati Lawunggeno. Kaki kanannya
ditendangkan ke pinggul pemuda itu hingga orang ini terlempar beberapa langkah.
Pakaiannya di bagian perut tersingkap. Di pinggang celananya kelihatan terselip
sebuah kotak kayu.
“Kotak candu iblis!” teriak Lawunggeno, Barataji dan Jala Gandring hampir
bersamaan.
Lawunggeno mendahului membungkuk dan menyambar kotak kayu dari
pinggang celana di pemuda. “Lihat! Seru sang Adipati sambil menunjuk bagian atas
kotak di mana terukir tiga buah hurup besar yaitu SCI.”
“Bukti cukup! Kau masih hendak berdusta. Kotak ini ada tanda tiga hurup
singkatan !” teriak Lawunggeno.
“Mana aku tahu segala macam huruf atau singkatan!” jawab si pemuda enak
saja.
“Buk!” satu tendangan dilayangkan Jala Gabdring hingga pemuda itu terpental
dan meringkuk kesakitan di depan semak belukar.
“Orang tua, aku tahu siapa kau adanya,” kata pemuda berambut gondrong
sambil menahan sakit pada perutnya yang tadi di tendang. “Kau bukan manusia
penjahat dan penjilat yang mencari nama dan upah dengan berbuat kebajikan. Kau
dan kawan-kawanmu menjatuhkan tuduhan keliru tidak terbukti!”
“Tutup mulut busukmu!” dan “Plakk!!!” tamparan Adipati Lawunggeno
mendarat di pipi si pemuda hingga bibirnya mengucurkan darah. “Kotak ini lebih dari
suatu bukti!”
Lalu Adipati Magetan itu membuka kotak kayu tersebut. Begitu kotak
dibukanya terlihat lapisan benda coklat gelap. Hidungnya di dekatkan dan dia coba
mengendus. “Candu!” teriaknya lalu isi kotak itu diperlihatkannya pada Barataji dan
Gala Gandring.
“Sudah tertangkap basah berikut barang bukti calon bangkai ini masih terus
berdusta!” radang Barataji.
“Kotak ini bukan milikku. Seseorang menyelinapkannya ke pinggangku.”
Lawunggeno dan Barataji serta Jala Gandring tertawa bergerak mendengarkan
ucapan si pemuda.
“Kau kira kami ini manusia-manusia pandir yang bisa dikecoh. Di sini tidak
ada seorang lain pun kecuali kau!” bentak Lawunggeno.
Wiro Sableng
“Mungkin ada setan yang tiba-tiba muncul dan menyelinapkan kotak ini
seperti katanya!” kata Jala Gandring pula, lalu bersama dua orang lainnya kembali dia
tertawa gelak-gelak.
“Aku mengerti. Lebih dari enam bulan kita mengejar manusia terkutuk itu.
Puluhan bahkan ratusan manusia menjadi korbannya, termasuk kerabat dekat kita.
Tapi sekali lagi, izinkan dulu aku menanyainya.”
Adipati Lawunggeno tidak menjawab. Dia membuang muka sementara
Barataji hanya bisa tegak berdiam diri.
Jala Gandring melangkah lebih dekat. Sesaat dia memperhatikan sosok tubuh
pemuda yang terguling di tanah itu. “Aku tidak yakin bahwa kau benar-benar
Pendekar 212, murid nenek sakti dari Gunung Gede itu. Pendekar 212 yang kukenal
adalah manusia sakti mandraguna penegak keadilan pembela kebenaran. Sebaliknya
kau justru saat ini terbukti sebagai Ketua !”
“Aku sudah bilang aku bukan Ketua  atau serikat apa pun!”
“Kau muncul di dalam tandu yang digotong oleh delapan orang anggota
Serikat, kau…”
“Kau juga telah membunuh orang-orangku!” sambung Lawunggeno.
Lawunggeno hendak menendang pemuda itu tapi Jala Gandring cepat
mencegah.
“Setahuku, Pendekar 212 selalu membekal sebilah senjata yang dalam dunia
persilatan dikenal dengan nama Kapak Maut Naga Geni 212. Bisa kau
memperlihatkan padaku senjata mustika itu?” bertanya Jala gandring.
“Kapak saktiku ada di balik pinggang. Kau bisa memeriksa, tapi kau jangan
berani menyentuh apalagi mengambilnya!,”
Mendengar jawaban itu Jala Gandring, Barataji dan Lawunggeno bergerak ke
samping kiri. Jala Gandring singkapkan baju si pemuda di belakang. Tampaklah
sebilah kapak bermata dua yang memancarkan sinar berkilauan. Pada setiap mata
kapak tertera angka 212.
“Hemmm… Dia memang murid Sinto Gendeng. Ah, bagaimana urusan bisa
jadi begini? Meski selama ini dia dikenal sebagai seorang pendekar golongan putih
tapi… rasanya bukan mustahil kalau dia menempuh jalan sesat karena tergoda oleh
keuntungan besar.” Begitu batin jala Gandring mendua dalam keraguan.
Wiro Sableng
Tiba-tiba Lawunggeno ulurkan tangan dan menarik kapak itu dari pinggang si
pemuda. Jala Gandring terkejut tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kembalikan senjataku! Kau tidak menghormati perjanjian kita!”
Lawunggeno mendengus. “Perlu apa kau menghormati manusia jahat
sepertimu? Manusia penyebar candu perusak kehidupan umat! Senjata ini akan
kutahan sampai nanti terbukti kau memang bukan Ketua ! Atau
mungkin dengan senjatamu ini aku akan memenggal-menggal tubuhmu!”
“Anak muda, jika kau memang benar Pendekar 212 coba kau terangkan
bagaimana kau bisa muncul disini. Bagaimana kotak candu ini bisa ditanganmu.”
“Dia bisa mengarang seribu jawaban, kakang Jala!” kata Lawunggeno pula.
“Mungkin begitu. Sebaiknya kita dengar dulu keterangannya,” jawab Jala
Gandring. Lalu dia berpaling pada si pemuda, “Bicaralah!”
“Orang tua bernama Jala Gandring, kita sesama orang-orang dari dunia
persilatan. Apakah pantas kau bicara padaku dalam keadaan aku tertotok dan
terguling di tanah seperti ini?!”
“Kau harus bersyukur sampai saat ini masih bisa bernafas!” bentak
Lawunggeno.
“Seharusnya sudah sejak tadi-tadi kau kami habisi!”
“Pendekar 212,” kata Jala Gandring. “Kau berada dalam kesulitan besar.
Karena itu bicaralah sejujurnya.”
“Aku tak akan bicara sebelum kau melepaskan totokan di tubuhku dan
mengembalikan Kapak Naga Geni 212 padaku!”
“Kalau begitu bersiaplah untuk mampus!” kata Adipati Lawunggeno. Tangan
kanannya yang memegang Kapak Maut Naga Geni 212 diayunkan sekuat-kuatnya ke
arah kepala pemuda yang masih tergeletak di tanah itu. Jala Gandring tak bisa
mencegah, apalagi Barataji. Nyawa si pemuda memang tidak tertolong lagi!
– == 0O0 == –
LIMA
Wiro Sableng
Hanya sekejapan lagi kepala murid Eyang Sinto Gendeng akan terbelah oleh
senjata sakti miliknya sendiri, tiba-tiba terjadilah satu hal yang aneh. Secara
mendadak Adipati Lawunggeno merasakan bahunya kesemutan. Setelah itu sekujur
tangan kanannya menjadi kaku tak bisa digerakkan. Mukanya serta merta menjadi
pucat.
“Dimas Lawunggeno. ada apa dengan dirimu?” bertanya Jala Gandring
terheran.
“Tangan-tanganku… Aku tak bisa menggerakkannya. Seseorang telah
menotokku!” jawab Adipati Magetan itu setengah berteriak.
Jala Gandring dan Barataji memandang berkeliling. “Tidak ada seorang lain
pun di sini Dimas. Aku tidak mengerti…” Jala Gandring cepat mendekati Adipati itu.
Ketika dia memegang lengan Lawunggeno, kagetlah dia. Tangan itu seolah-olah telah
berubah menjadi sebatang kayu.! Selagi semua orang yang ada di situ kaget heran dan
juga ada rasa-rasa ngeri, tiba-tiba tercium bau harum aneh. Bau ini santer sekali, bau
bunga Kenanga!
“Aku mencium bau bunga Kenanga…,” bisik Jala Gandring.
“Aku juga,” balas Barataji. “Itu bunga mayat.” Bulu kuduk jago tua ini
mendadak jadi merinding.
Terguling di tempatnya Pendekar 212 Wiro Sableng menghirup bau bunga itu
dalam-dalam. Dia mulai menduga-duga tapi sulit untuk yakin. “Mungkinkah dia yang
sedang menolongku…?” pikir murid Eyang Sinto Gendeng. Dia memandang
berkeliling. Tidak tampak orang lain ataupun satu bayangan muncul di tempat itu. Dia
berpaling ketika tiba-tiba didengarnya Lawunggeno menjerit. Apa yang terjadi?
Tubuh Adipati Magetan itu tiba-tiba terangkat ke atas lalu terlempar di sebuah
pohon. Punggungnya menghantam batang kayu dengan keras. Tulang bahunya
sebelah kiri patah. Kapak Naga Geni 212 yang dipegangnya terlepas dan mental lalu
menancap pada sebatang pohon di atas kepalanya. Lawunggeno sendiri kemudian
melosoh ke tanah, jatuh duduk setengah sadar setengah tidak. Sementara itu bau
bunga Kenanga semakin menjadi-jadi.
“Dimas! Apa yang terjadi!?” seru Jala Gandring, lalu melompat mendapatkan
Adipati itu. Barataji ikut memburu sementara para anak buah Adipati tampak
keheranan melihat keadaan pemimpin mereka. Di antara mereka mulai saling bisikWiro
Sableng
bisik. “Jangan-jangan rimba belantara ini ada hantunya… Kalau bukan hantu masakan
Adipati bisa terlempar seperti itu?”
Lompatan yang dibuat Jala Gandring tidak mencapai Lawunggeno. Dari
tempatnya tergeletak, Wiro Sableng samar-samar melihat ada satu sosok bayangan
putih memotong gerakan orang tua berkulit hitam itu. Bayangan tadi bukan hanya
menghalangi lompatan Jala Gandring, tetapi sekaligus menelikung pinggangnya.
Sesaat kemudian tokoh silat itu dilemparkan dan melayang ke atas sebuah pohon
besar yang kering kerontang, tinggal cabang dan rerantingan saja!
Baju hitam belang putih yang dikenakan Jala Gandring terkait pada ujung
salah satu cabang pohon. Untuk beberapa saat lamanya orang tua ini tergantunggantung
di udara.
“Kurang ajar! Siapa yang berani melakukan hal ini padaku!?” damprat Jala
Gandring dalam hati. Dia tarik pakaiannya kuat-kuat hingga robek besar. Dengan cara
begitu dia berhasil melepaskan diri dari kaitan cabang pohon. Dengan mengerahkan
kepandaiannya Jala Gandring melayang turun ke tanah.
Tapi di bawah sana rupanya dia sudah “ditunggu orang.” Begitu kedua
kakinya menginjak tanah, bayangan putih tadi yang hanya Wiro yang dapat
melihatnya kembali menyergapnya. Kali ini dengan melancarkan satu tendangan ke
arah tulang kering kaki kiri si orang tua.
“Kraak!!”
Jala Gandring memekik keras. Tubuhnya terbanting jatuh punggung di tanah.
Tulang kaki kiri berderak patah. Dia tak sanggup berdiri lagi, menggeliat dan
melejang-lejang di tanah.
Barataji tentu saja menjadi kecut melihat apa yang terjadi atas diri
Lawunggeno dan Jala Gandirng. Khawatir kalau dirinya pun akan dapat bagian, maka
diputar-putarkan rantai peraknya di sekitar tubuhnya. Ikat pinggang yang merupakan
senjata andalan Barataji itu menderu-deru memancarkan sinar menyilaukan.
Namun meskipun sudah memagar diri seperti itu nasib Barataji tidak lebih dari
kedua orang terdahulu. Rantai besi yang berputar-putar sebat itu tiba-tiba seperti
dibetot oleh satu tangan raksasa yang tak kelihatan. Selagi Barataji dilanda
keterkejutan dan belum sempat melakukan sesuatu tahu-tahu rantai perak itu sudah
menggelung di lehernya. Demikian kencangnya sehingga Barataji tercekik. Lidahnya
terjulur dan kedua matanya mendelik!
Wiro Sableng
“Tolong…! Aduh! Jangan…!” teriak Barataji. Dia berusaha melepaskan rantai
yang menjerat lehernya namun tak berhasil. Akhirnya orang ini hanya bisa lari sana
lari sini sambil berteriak tiada henti hingga kehabisan nafas lalu jatuh menggeletak
megap-megap di tanah!
Anak buah Lawunggugeno menjadi gempar. Mereka sebenarnya ingin lari dari
tempat itu namun takut pada atasan maka mereka berkumpul menjadi satu dan
mendekam dekat sebuah pohon besar dengan wajah-wajah yang membayangkan rasa
takut amat sangat.
Wiro sendiri saat melihat bayangan putih yang tadi samar-samar kini bergerak
laksana berjalan di atas awan menuju ke arahnya. “Kalau bukan dia, celaka aku!”
pikir Wiro. “Nasibku akan sama dengan ketiga orang yang berkaparan di sana!”
Makin dekat ke arahnya bayangan putih yang samar-samar itu semakin jelas.
Wiro kini melihat satu sosok perempuan berpakaian kebaya panjang dan kain putih.
Wajah perempuan ini mula-mula kosong hampa. Perlahan-lahan wajah itu mulai
berbentuk. Ketika pada akhirnya wajah itu terlihat jelas, yaitu wajah seorang gadis
berparas cantik yang dikenalnya, Wiro merasa lega dan tak dapat lagi menahan
dirinya untuk berteriak.
“Suci!”
“Wiro..!” sosok bayangan itu menjawab. Suaranya hanya Wiro saja yang bisa
mendengar.
“Suci, kau datang menolongku. Terima kasih Suci!”
Sosok tubuh dan bayangan itu semakin jelas dan akhirnya sempurna seperti
manusia adanya. Namun inilah keanehannya, baik suara maupun sosok dan rupa
hanya Wiro yang bisa mendengar dan melihat. Orang-orang lain di tempat itu tidak.
Siapakah adanya orang yang muncul secara aneh ini? Manusia atau hantukah
dia? Apa hubungannya dengan Pendekar 212?
Seperti yang dituturkan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya, yaitu Dewi
Bunga Mayat, seorang gadis bernama Suci telah diracun mati oleh kekasihnya. Sang
kekasih kemudian kawin dengan adik tiri Suci. Pengkhianatan dan kematian yang
sangat mengenaskan itu telah menyebabkan roh Suci muncul kembali ke duania
secara menggegerkan. Bukan untuk berbuat jahat atau menakuti orang, tetapi justru
untuk membasmi manusia-manusia jahat terutama orang-orang sesat dari dunia
Wiro Sableng
persilatan. Setiap kemunculannya pasti dibarengi oleh bau bunga Kenanga yang
menggidikkan orang-orang jahat.
Dewi Bunga Mayat memiliki senjata aneh yaitu bunga Kenanga. Bunga
lembut ini bisa berubah laksana sebuah senjata rahasia sekeras besi. Bunga mayat
telah menjadi salah satu senjata rahasia yang paling ditakuti dalam dunia persilatan.
Pada saat penjelmaannya itulah Pendekar 212 bertemu dengan Suci. Keduanya
saling bercinta dan sulit untuk berpisah. Namun Suci menyadari bahwa bagaimana
pun dunianya dengan dunia Wiro berlainan. Mereka tidak mungkin bersatu.
Perpisahan tidak mungkin dihindari. Suci kembali ke alamnya. Wiro mendapatkan
sekuntum bunga Kenanga yang tidak pernah layu.
Menurut Suci, bilamana dia ingin bertemu, terutama pada saat-saat mengalami
kesulitan atau bahaya besar, Wiro harus menggenggam bunga itu dan membayangkan
wajahnya. Maka Suci akan menjelma dan muncul. Selama ini memang murid Sinto
Gendeng belum pernah melakukan hal itu.
Suci mengusap punggung Pendekar 212 dengan tangan kirinya. Totokan Jala
Gandring yang bersarang di tubuhnya serta merta punah. Wiro cepat berdiri. Sesaat
dia tegak berhadap-hadapan dengan penjelmaan roh Dewi Bunga Mayat yang
dilihatnya seperti manusia biasa, tidak beda seperti saat dulu dia sering-sering
melihatnya. Untuk seketika keduanya saling berpandangan. Kemudian Wiro
mengembangkan tangannya. Suci melangkah masuk ke dalam pelukannya. “Aku…
aku kangen padamu Suci,” bisik Wiro dan membelai mesra rambut gadis itu.
“Aku juga,” balas Suci. “Tapi kau tak pernah memanggil diriku.”
“Aku ingin tapi aku takut akan membuatmu susah saja…”
“Apakah selama ini kau pernah menyusahkan aku?”
Wiro tersenyum. “Entahlah…,” jawabnya. “Yang jelas saat ini kau telah
menyelamatkan aku dari tangan orang-orang yang bertindak seenaknya itu. Kalau
terlambat sedikit saja pasti aku sudah menyusulmu ke alammu.” Suci tertawa. Wiro
tak tahan lagi. Langsung saja dia mencium kedua pipi, mata dan kening gadis itu.
Semua orang yang ada di tempat itu meskipun dicekam rasa takut dan sakit
akibat cedera, tentu saja terheran-heran melihat Pendekar 212 berbicara seorang diri,
tertawa dan senyum-senyum, membuat gerakan-gerakan seperti tengah memeluk dan
menciumi seseorang.
Wiro Sableng
“Apa yang dilakukan pemuda itu?!” bisik Jala Gandring sambil menahan sakit
kakinya yang patah.
“Hantu rimba belantara ini pasti telah masuk ke dalam dirinya!” sahut
Lawunggeno.
Di depan sana Wiro mengecup bibir Suci dengan lembut. “Mari kita
tinggalkan tempat ini Suci,” bisik Pendekar 212.
“Ya, jangan lupa senjatamu!”
“Tentu!” Wiro lepaskan pelukannya lalu mengambil Kapak Naga Geni 212
yang saat itu masih menancap di batang pohon di mana Adipati Lawunggeno duduk
tersandar.
Selagi Wiro mengulurkan tangan untuk mencabut senjata itu tiba-tiba
Lawunggeno tampak menggerakkan tangan kanannya. Meninju ke arah bagian bawah
perut Pendekar 212. Meskipun dalam keadaan cedera tulang belikat sebelah kirinya,
namun pukulan sang Adipati adalah pukulan berbahaya karena ditujukan ke bagian
yang terlarang. Sekali jotosan itu mengenai sasarannya Pendekar 212 pasti akan
menemui ajal, paling tidak cacat seumur hidup.
Dari tempatnya berdiri Suci dapat melihat apa yang dilakukan Adipati
Lawunggeno secara licik itu. Dia berseru memberi peringatan pada Wiro. Sebetulnya
Wiro sendiri pun sudah tahu bahaya yang mengancamnya. Dengan cepat dia
menggeser tubuhnya ke samping kiri sambil melipat kaki.
“Buukkk!” Lutut kanan Pendekar 212 bersarang di muka Lawunggeno.
Hidungnya amblas ke dalam, pipi kirinya remuk. Adipati menjerit. Bersamaan dengan
jeritannya itu darah muncrat dari hidung dan mulutnya. Tubuhnya kemudian terkulai
lalu roboh ke tanah.
Wiro sisipkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pinggangnya. Sebelum
meninggalkan tempat itu dia menghancurkan dulu kotak kayu berisi candu dengan
Pukulan Sinar Matahari. Kotak dan isinya leleh dan candu yang ada di dalam kotak
itu tak dapat dipergunakan lagi.
Jala Gandring yang tidak dapat menahan kemarahannya ketika melihat Wiro
meninggalkan tempat itu, berteriak pada orang-orang Lawunggeno yang bergerombol
di dekat sebuah pohon besar.
“Bunuh orang itu! Jangan biarkan dia lolos!”
Wiro Sableng
Tapi tidak satu pun dari mereka berani beranjak dari tempat masing-masing.
Kalau ketiga orang berkepandaian tinggi itu bisa babak belur dihantam oleh orang
yang tidak kelihatan, nasib mereka bisa lebih jelek dari itu jika mereka berani
melakukan sesuatu.
“Keparat! Kalian semua akan menerima hukuman dan dipecat!” teriak Jala
Gandring marah sekali. Dia coba berdiri. Tapi kakinya yang patah terasa sakit sekali.
Mau tak mau terpaksa dia melosoh ke tanah kembali. Dia masih sempat melihat
punggung Pendekar 212 di antara dua batang pohon.
Orang tua bermuka hitam itu mengambil sebilah golok yang tergeletak di
tanah di sampingnya. Senjata ini secepat kilat dilemparkannya ke arah Wiro. Hanya
beberapa jengkal sebelum golok itu mencapai sasarannya, tiba-tiba ada serangkum
angin menderu.
Golok yang dilemparkan membalik lalu melesat ke arah pelemparnya. Jala
Gandring berteriak tegak. Kalau saja dia tidak cepat jatuhkan diri ke tanah, kepala
atau lehernya pasti sudah kena disambar golok itu.
“Pendekar 212! Kau boleh kabur saat ini. Tapi kau tak bakal lolos dari
tanganku!” gertak Jala Gandring dengan geram.
– == 0O0 == –
ENAM
Udara di tikungan sungai kecil yang airnya hampir kering sejuk sekali. Pohonpohon
besar yang masih bisa tumbuh cukup subur karena dekat air memiliki dedaunan
yang rindang, membuat keadaan sekitar situ teduh dari sengatan sinar matahari musim
kemarau panjang. Air sungai yang jernih tampak dangkal. Dasar sungai yang dilapisi
batu-batu kecil terlihat dengan jelas. Di kejauhan terdengar suara burung-burung
berkicau.
Pendekar 212 Wiro Sableng duduk menyandarkan punggungnya ke batu besar
di tepi sungai. Suci membaringkan tubuhnya berbantalkan pangkuan sang pendekar.
“Selama ini kau baik-baik saja Suci…?” tanya Wiro seraya membelai pipi
gadis itu. Yang ditanya tersenyum.
Wiro Sableng
“Ditanya kenapa tertawa?”
“Duniaku selalu berada dalam keadaan baik, aman dan tenteram Wiro. Tidak
seperti duniamu. Selalu dilanda keonaran, dikotori oleh manusia-manusia jahat.”
“Semua orang menginginkan dunia seperti duniamu itu. Termasuk aku…”
“Kau ingin ikut aku ke sana sekarang?”
“Tentu…” Wiro kemudian sadar apa arti ucapannya itu.
Dia cepat berkata, “Tidak sekarang Suci. Aku masih ingin hidup lebih lama di
dunia ini.”
Suci tertawa panjang lalu mencium jari-jari tangan si pemuda.
“Sebetulnya aku ingin kau selalu berada di dekatku…”
“Yaah, aku mengerti perasaanmu Wiro. Tapi kau harus menyadari, dunia kita
berbeda. Pertemuan sekali-kali seperti ini sudah merupakan satu hal yang luar
biasa…”
“Dunia ini memang aneh. Dan kekuasaan Tuhan juga kurasa aneh,” kata
Pendekar 212.
“Kau betul,” sahut Suci. “Kalau tidak dengan kekuasaan-Nya yang Maha
Besar mana mungkin aku bisa menemuimu. Mana mungkin kita bisa berdua-dua
seperti ini…”
“Dan saling mencintai…” sambung Wiro.
“Kau masih mencintaiku Wiro?” tanya Suci. Matanya yang bening menatap
wajah pemuda itu.
Wiro balas menatap sepasang mata yang indah itu, lalu menciumnya seraya
berbisik, “Kau tahu aku mencintaimu. Selalu mengingat-ingatmu. Namun setiap
kerinduan datang, aku sadari kau tidak ada di sampingku.” Suci memeluk Pendekar
212 erat-erat. Ada air mata mengambang di kedua matanya. “Kau masih menyimpan
bunga Kenanga itu, bukan?”
Wiro mengangguk.
“Kau bisa memanggilku setiap saat kau ingini. Sebaliknya sulit bagiku untuk
muncul dengan kemauan sendiri jika tidak ada sesuatu hal yang sangat besar dan
penting. Seperti kejadian ketika kau terancam bahaya tadi…”
“Aku akan ingat hal itu,…”
“Wiro…”
“Hemmm…”
Wiro Sableng
“Tadi kau bilang mencintaiku. Apakah selama ini tidak ada gadis lain di
hatimu?”
Wiro tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dalam hati dia berkata “Rupanya
roh bisa juga cemburu!”
“Aku tahu apa yang kau ucapkan di hatimu,” kata Suci tiba-tiba, membuat
Pendekar 212 jadi salah tingkah lalu tertawa gelak-gelak.
“Kau belum menjawab pertanyaanku Wiro.”
“Aku… memang banyak bertemu dengan gadis-gadis. Kebanyakan mereka
orang-orang dunia persilatan. Sebagian dari mereka adalah sahabat-sahabatku. Tapi
yang rasanya mencintai… mereka terlalu tolol kalau mau mencintai pemuda sableng
sepertiku ini!”
“Bukan mereka. Tapi bagaimana dengan kau. Apa kau tidak pernah mencintai
salah seorang dari mereka?”
“Kalau kujawab pun mungkin kau tak bakal percaya,” ujar Wiro pula.
“Bilang dulu jawabanmu.”
“Aku pernah mencintai seseorang dari mereka. Sampai saat ini aku masih
tetap mencintainya. Juga sampai nanti…”
Paras Suci kelihatan berubah. Suaranya bergetar ketika bertanya, “Siapa gadis
yang beruntung mendapatkan cintamu itu, Wiro?”
“Orangnya sangat cantik. Melebihi kecantikan seorang bidadari…”
“Siapa orangnya?” tanya suci lagi dengan suara tercekat dan air mukanya
tidak mampu menyembunyikan rasa cemburu.
“Saat ini orangnya berada dalam pelukanku. Namanya Suci…” bisik Wiro ke
telinga gadis itu.
Suci mengeluarkan desah panjang lalu memeluk Pendekar 212 ke dadanya
sekuat yang bisa dilakukannya. Keduanya berangkulan kencang seperti tidak mau
dipisahkan lagi…
“Aku harus meninggalkanmu Wiro,” bisik Suci.
“Sekarang?”
Gadis itu mengangguk.
“Secepat itukah?”
“Kita akan bertemu lagi…”
Wiro Sableng
Wiro mengangguk perlahan. “Sebelum kau pergi ada sesuatu yang ingin aku
tanyakan. Mungkin kau bisa memberi penjelasan.”
“Tentang apa?”
“. Siapa sebenarnya mereka? Aku telah dituduh sebagai
ketua komplotan itu. Dalam waktu dekat pasti ketiga orang tadi akan
menyebarluaskan berita bohong bahwa akulah ketua . Berarti
semua petugas kerajaan akan memasukan aku dalam daftar penjahat, menjadi orang
yang dicari-cari dan harus ditangkap hidup atau mati! Gila!”
“ satu komplotan terkutuk. Mereka mulai bergerak sejak
dua, mungkin tiga tahun lalu. Mula-mula secara gelap. Sekarang bahkan berani
terang-terangan. Ratusan korban telah masuk dalam perangkapnya, menjadi pemadat
keras. Sekali jadi pemadat tidak akan bisa keluar lagi dari perangkap terkutuk itu.
Untuk mendapatkan secuil candu mereka harus membayar mahal. Kalau tidak ada
uang merampok dan membunuh pun mereka tidak segan. Aku mendapat kabar banyak
orang-orang kerajaan yang telah jadi pemadat. Tapi yang menyedihkan kabarnya ada
beberapa di antara mereka yang terlibat sebagai kaki tangan .
Beberapa bulan yang lalu aku pernah menumpas salah satu kelompok komplotan itu.
Tapi mereka seperti sudah berakar. Satu dibasmi, yang lainnya muncul di manamana.”
“Kau sempat melihat orang pendek berkepala botak pakai jubah merah yang
keluar dari dalam tandu tadi?” tanya Wiro.
Suci menggeleng.
“Keparat itu yang membuat aku terjebak dan dituduh sebagai sang ketua.
Sebelum kabur dia meninggalkan kotak berisi candu. Aku tertangkap tangan pada saat
kotak itu ada padaku. Si katai botak itu, apakah dia memang Ketua Serikat Candu
Iblis?”
“Mungkin ya mungkin juga bukan. Jaringan kelompok itu luas sekali. Sampaisampai
ke istana. Tapi siapa-siapa pimpinan utamanya masih sulit diketahui.”
“Aku harus menumpas mereka. Kalau tidak bakal tambah banyak orang yang
masuk perangkap mereka.”
Suci mengangguk. “Aku akan membantu jika kau perlukan. Mulailah pada
sebuah rumah makan dan rumah penginapan besar di perbatasan. Aku sudah lama
mencurigai ada apa-apanya di tempat itu. Nah Wiro, sekarang aku harus pergi.”
Wiro Sableng
Wiro mencium muka gadis itu dan memeluk tubuhnya lama sekali baru
dilepaskan. “Aku pergi Wiro…”
Pendekar 212 mengangguk. Sosok tubuh Suci perlahan-lahan kelihatan
berubah menjadi samar. Pakaiannya melambai-lambai tertiup angin pagi. Wajahnya
berubah kosong. Keseluruhan diri gadis itu berubah menjadi bayang-bayang lalu
laksana asap membumbung ke udara dan lenyap.
Pendekar 212 menarik nafas dalam. Untuk beberapa lamanya dia masih tegak
di tepi sungai itu. “Dunia aneh,” bisik hatinya. “Dan aku bercinta dalam keanehan
itu…” Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala.
Seperti yang dikatakan Suci, rumah makan di perbatasan sebelah utara itu
memang merupakan rumah makan paling besar yang pernah dilihat dan dimasuki
Pendekar 212 Wiro Sableng. Pengunjungnya ramai bukan main. Apalagi saat itu tepat
tengah hari. Wiro harus menunggu cukup lama baru pesanannya dihidangkan.
Ternyata makanannya juga enak.
Selain bangunan besar itu dijadikan rumah makan, di sebelah belakang agak
menyamping ke kiri terdapat sebuah bangunan lain yang lebih besar. Inilah tempat
penginapan yang terbuat dari kayu dan bertingkat di sebelah atasnya.
Selesai makan Wiro duduk pura-pura terkantuk-kantuk. Tapi sebenarnya
matanya tengah meneliti keadaan dan otaknya berpikir-pikir bagaimana dia mulai
melakukan penyelidikan.
Seorang pelayan mendatangi. Wiro mengeluarkan sebuah kantong kain. Dia
sengaja memperlihatkan kantong berisi banyak uang itu kepada pelayan. “Ini
bayaranku, kembalinya kau boleh ambil.”
Si pelayan bukan saja gembira tapi juga hampir tidak percaya. Sisa kembalian
yang dihadiahkan tetamu itu hampir sama dengan upah nya bekerja satu bulan di
rumah makan itu. Si pelayan membungkuk dan berulang kali mengucapkan terima
kasih.
“Kau boleh pergi, biarkan aku duduk dulu di sini. Aku mengantuk
kekenyangan.”
“Tentu… tentu! Raden boleh duduk di situ selama Raden suka,” kata si
pelayan. Sekali lagi dia membungkuk dan mengucapkan terima kasih.
Ketika dia mengantongi uang kembalian, kebetulan pemilik rumah makan dan
penginapan melihatnya. Dia seorang gemuk bermata sipit, berambut dicukur pendek
Wiro Sableng
dan bermuka berminyak. Hidungnya sangat merah dan mulutnya kecil. Sepintas
tampang orang ini tidak beda dengan muka seekor babi! Namanya Sentiko.
“Siapa yang memberimu hadiah uang kembalian itu?” bertanya Sentiko. Si
pelayan menunjuk ke arah Wiro yang duduk di sudut rumah makan dengan setengah
terpejam dan kepala terangguk-angguk. “Uangnya satu kantong. Agaknya dia seorang
hartawan muda yang kaya raya,” menerangkan si pelayan.
Sentiko memperhatikan tamunya itu sesaat. “Belum pernah dia kulihat
sebelumnya. Mungkin dia seorang pedagang keliling. Jika dia memang banyak uang,
Hemmm…” Sentiko melangkah menuju meja tempat Wiro Sableng berada. Dia
mendehem beberapa kali. Ketika dilihatnya Wiro membuka kedua matanya lebarlebar,
pemilik rumah makan ini cepat membungkuk lalu duduk di kursi di hadapan
Pendekar 212.
“Nama saya Sentiko. Saya pemilik rumah makan ini. Saya berterima kasih
raden mau makan di sini. Apakah makanan kami cukup enak?”
“Ah..” Wiro garuk-garuk kepalanya. “Hidangan di sini sungguh lezat. Aku
sampai mengatuk kekenyangan.”
“Jika raden memang butuh istirahat, di samping ada penginapan,”
menawarkan Sentiko.
“Aku dalam perjalanan jauh. Memang perlu istirahat. Mungkin aku perlu
menginap barang satu malam…”
Sentiko tertawa lebar. “Saya akan berikan kamar yang paling bagus untuk
raden serta pelayanan paling istimewa!”
“Pelayanan paling istimewa?” tanya Wiro seraya keluarkan kantong uangnya.
Dia berpura-pura menghitung uang yang ada dalam kantong itu lalu menyelipkan
kantong kembali ke balik pinggangnya. Sepasang mata Sentiko berkilat-kilat melirik
kantong uang itu. “Pelayanan macam apa pula itu?”
Sentiko tertawa lebar. “Tergantung raden maunya apa,” katanya. “Bersenangsenang
sampai pagi dengan gadis-gadis cantik selangit? Seorang atau dua orang
sekaligus? Atau cuma mau dipijat sambil ganti memijat? Atau mungkin raden hanya
suka menyaksikan pertunjukan khusus gadis-gadis di atas ranjang?”
“Ah, yang terakhir itu aneh kedengarannya,” kata Wiro.
“Memang aneh. Baru di tempat saya ini ada pertunjukan seperti itu. Raden
mau melihat? Saya bisa atur sekarang juga.”
Wiro Sableng
Wiro menguap. “Sebetulnya, tubuhku ini sangat letih. Kalau bermain dengan
gadis-gadismu aku pasti tambah ringsek..!”
“Kalau begitu pijat saja raden. Pasti segala keletihan raden akan lenyap.”
“Itu kalau aku tidak terangsang. Kalau aku sampai terangsang, berarti sama
saja celakanya. Aku ingin sesuatu yang bisa menyegarkan badan dan pikiran.
Mungkin aku hanya perlu tidur saja…”
Sentiko mendekatkan kursinya ke kursi Wiro lalu dengan suara perlahan dia
berkata. “Jika kesegaran pikiran dan tubuh yang raden cari, saya ada obatnya. Kita
bicara di tempat lain. Raden mau mengikuti saya?”
“Obat apa yang sampeyan maksudkan?” tanya Wiro.
“Lihat saja nanti. Mari…!”
Wiro berdiri dan melangkah mengikuti orang bertubuh gemuk itu.
– == 0O0 == –
TUJUH
DI BAGIAN belakang penginapan terdapat sebuah pintu kayu yang dipalang
dengan balok tebal dan digembok dengan dua buah gembok besi besar. Dua orang
lelaki bertubuh tinggi kekar, bertampang sangar dan hanya mengenakan sehelai
celana hitam berdiri di kiri kanan pintu. Keadaan kedua orang ini mengingatkan Wiro
pada delapan orang pengusung tandu yang menemui ajal di hutan Karangkukusan.
“Betul dugaan Suci. Penginapan ini menyembunyikan sesuatu. Sesuatu itu
ditangani oleh orang-orang . Pasti di sini ada tempat pengisapan
candu,” kata Wiro dalam hati.
Dua orang lelaki bertelanjang dada di samping pintu kayu bersikap hormat
ketika Sentiko muncul di hadapan mereka. “Buka pintu,” kata pemilik rumah makan
dan penginapan itu.
Salah seorang dari lelaki tinggi besar segera mengambil kunci yang
digantungkan di pinggangnya. Kawannya memperhatikan Wiro lalu bertanya pada
Sentiko. “Siapa dia?”
“Langganan baru,” jawab Sentiko pendek.
Wiro Sableng
Pintu terbuka. “Ikuti saya Raden,” kata pemilik penginapan.
Di balik pintu itu terdapat sebuah lorong papan yang pada ujungnya
membelok ke kiri lurus, lalu membelok lagi ke kiri. Pada ujung lorong papan ini
terdapat sebuah tangga kayu menuju ke bawah. Wiro mencium bau aneh. Bau madat!
Di bawah tangga terdapat sebuah ruangan besar yang redup dan pengap karena
sama sekali tidak ada lubang angin. Lantai, dinding dan atap ruangan terbuat dari
batu. Menurut dugaan Wiro, ruangan batu itu berada kira-kira di bawah halaman
samping kiri rumah makan. Di sini Wiro menyaksikan pemandangan yang membuat
bulu tengkuknya merinding. Satu-satunya penerangan di ruangan batu itu adalah
rambasan cahaya yang datang dari lorong papan.
Sekitar seratus orang tampak bergeletakan di lantai ruangan, beralaskan
sehelai tikar dan bantal jerami. Semua mereka rata-rata berwajah pucat, bermata dan
berpipi cekung. Setiap orang memegang sebuah pipa yang setiap kali mereka sedot
sambil memejamkan mata dan menengadah seolah-olah menikmati sesuatu yang luar
biasa.
Tidak seorang pun yang mengacuhkan kedatangan Sentiko dan Wiro. Mereka
semua asyik dengan pipa candu masing-masing. Selama berminggu-minggu bahkan
berbulan-bulan mereka mendekam di situ. Minum dan makan sedikit, menghabiskan
waktu hanya untuk menghirup candu. Kata orang, sekali orang sudah terjeblos ke
tempat seperti itu sulit baginya akan keluar lagi.
Wiro kemudian melihat ada seorang pengawal bercelana hitam di setiap sudut
ruangan batu. Masing-masing membekal sebuah pentungan dan sebuah kotak kecil
yang digantungkan di pinggang. Mereka duduk di atas sebuah bangku kayu.
“Bagaimana pendapat Raden?” tanya Sentiko pada Wiro Sableng.
“Ini rupanya yang dinamakan surga dunia,” jawab Wiro.
“Raden boleh mencobanya. Secuil pertama tidak dipungut bayaran. Cuilan
selanjutnya baru dibayar tapi harus dibayar lebih dahulu sebelum menikmati cuilan
pertama.”
“Yang aku pikirkan saat ini justru bukan bersenang-senang mengisap candu,
tapi…”
“Tapi apa Raden?”
“Aku tiba-tiba saja punya niat untuk membuka usaha penghisapan candu
seperti ini!” kata Wiro pula.
Wiro Sableng
“Saya tahu Raden punya banyak uang. Tapi tidak sembarang orang bisa
membuka tempat penghisapan candu seperti ini. Bahayanya besar dan harus ada
perlindungan serta kepercayaan dari orang-orang di atas,” menerangkan Sentiko.
“Tempatmu ini sama sekali tidak ada perlindungan. Jika ada apa-apa kau dan
anak buahmu pasti kena bekuk secara mudah.”
Sentiko tertawa. “Raden tidak melihat empat pengawal bertelanjang dada yang
ada di sudut-sudut ruangan?”
“Mereka memang bertubuh besar tapi kulihat seperti tidak punya kekuatan,”
jawab Wiro.
“Kalau aku membuka usaha seperti ini manusia-manusia macam mereka tidak
akan kupakai!”
“Raden terlalu menganggap enteng orang,” kata Sentiko dengan air muka
kurang senang.
“Dengan tangan kosong mereka sanggup memukul hancur kepala kerbau
bahkan menjebol tembok! Atau mungkin Raden punya ilmu yang diandalkan dan
hendak menjajal mereka?”
Wiro mengangkat bahu. Pengawal di sudut kanan berdiri dan mendekati
mereka.
“Apakah tamu ini sudah siap untuk diberikan satu cuil?” tanya pengawal itu.
“Bagaimana Raden?” Tanya Sentiko. “Terima kasih, niatku semakin keras
untuk membuka usaha beginian. Untungnya pasti besar!”
Sentiko tampak kecewa. “Jika Raden tidak mau bersenang-senang di sini tidak
apa. Tapi ada aturan yang harus dijalankan…”
“Hem… aturan apakah?” tanya Wiro.
“Pertama Raden harus menjaga kerahasiaan. Tidak boleh menceritakan kepada
siapa pun apa yang Raden telah lihat di sini.”
“Kalau hanya aturan itu kau tidak perlu kawatir. Aku tidak akan menceritakan
pada siapa pun.”
“Bagus kalau begitu. Sekarang aturan yang kedua. Raden harus membayarkan
sejumlah uang karena sudah masuk kemari.”
“Tapi aku tidak menghisap candu,” kata Wiro pula.
“Menghisap atau tidak Raden tetap harus dipungut bayaran. Tidak banyak.
Hanya separuh dari apa yang ada dalam kantong uang Raden itu.”
Wiro Sableng
“Separuh uang dalam kantong? Gila! Itu tidak sedikit!”
“Begitu aturan kami agar tidak sembarang orang masuk kemari!” suara
Sentiko yang tadi lunak kini berubah keras.
“Aku tidak akan membayar!” Wiro melangkah ke arah tangga. Di depan
tangga ternyata telah menghadang seorang pengawal. Sikapnya garang. Pengawal ini
menyeringai. “Kalau kau tidak mau membayar, tinggalkan lidahmu padaku!”
Tangannya bergerak dan tahu-tahu dia sudah memegang pisau kecil yang amat
tajam. Pisau ini sama dengan pisau delapan pengusung tandu yang dilihat Wiro di
hutan Karangkukusan.
“Kalau kalian memaksa dengan kekerasan, kalian akan menyesal!”
Si pengawal kembali menyeringai mendengar ucapan Pendekar 212 itu. Dia
melangkah mendekati Wiro. “Uangmu atau lidahmu!” ancamnya.
Wiro cepat menjauh. Dia telah menyaksikan cara berkelahi orang-orang
 di rimba Karangkukusan. Sekali lawan kena tertangkap pasti
celaka. Wiro mundur lagi ketika pengawal di depannya bergerak maju. Tiba-tiba dari
belakang ada yang menangkap bahunya. Sebelum dia bisa berbuat apa, tubuhnya
sudah dibaringkan ke lantai batu!
Pendekar 212 merasakan tulang belulangnya seperti remuk. Pemandangannya
berkunang. Ketika dia coba berdiri satu kaki menginjak lehernya dengan keras.
“Ayo keluarkan lidahmu!” bentak pengawal yang menginjak lehernya
demikian keras sehingga lidahnya hampir terjulur. Di sampingnya tiba-tiba Sentiko
membungkuk dan menyambar kantong uang yang ada di pinggangnya. Tapi
tangannya cepat ditangkap Wiro lalu dipuntir hingga si gemuk ini terpekik kesakitan.
Pengawal yang menginjak lehernya marah besar. “Kau minta mampus!”
teriaknya. Kaki kanannya dihujamkan kuat-kuat ke leher Wiro. Saat itu Pendekar 212
telah lebih dahulu menghantamkan tangan kanannya ke tulang kering pengawal yang
menginjaknya.
“Kraak!!!”
Pukulan yang disertai tenaga dalam itu mematahkan tulang kaki si pengawal
hingga dia menjerit keras. Selagi dia terbungkuk-bungkuk kesakitan, masih dalam
keadaan terbaring di lantai batu Wiro hantamkan tumit kirinya keselangkangan
pengawal itu. Orang ini meraung kesakitan. Tubuhnya mental lalu jatuh di lantai,
menimpa seorang yang sedang merem melek menghisap candu!
Wiro Sableng
Tiga orang pengawal melompat dan langsung menyerbu Pendekar 212 Wiro
Sableng. Wiro berkelit dengan cepat sambil mengayunkan satu jotosan ke perut lawan
yang terdekat.
“Bukk!!” Jotosan itu tepat menghantam perut. Tapi si pengawal hanya
menyeringai. Wiro kerahkan tenaga dalamnya. Dia kembali lancarkan pukulan. Kali
ini ke arah batok kepala si pengawal yang sama. Namun tiba-tiba ada dua tangan yang
kukuh mencekal tangan kanannya. Selagi dia berusaha melepaskan diri, dua tangan
lagi dari samping kiri melesat. Satu menjambak rambut gondrongnya satu lagi
mencekal lehernya.
Menyadari bahaya besar ini Wiro cepat membuat gerakan “Kincir padi
berputar”. Tangan dan kakinya yang masih bebas menghantam. Dua orang pengawal
menjerit kesakitan, lepaskan cekalan mereka dan terhuyung-huyung sambil mundur.
Yang di sebelah kanan tampak pecah mata kirinya. Yang satu lagi pegangi perutnya
yang kena tendang. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu muntahkan darah segar.
“Setan alas! Kau berani mengacau di sini!” teriak pengawal ketiga. Tubuhnya
paling besar di antara semua pengawal yang bertugas di ruang pengisapan madat itu.
Dia mendekati Wiro dengan tangan terpentang. Tiba-tiba dia meniup ke depan.
Serangkum angin menderu lalu berubah menjadi sebilah pedang. Pedang asap!
Waktu di hutan Karangkukusan beberapa hari yang lalu Wiro telah melihat
ilmu kesaktian aneh ini. Karenanya dia tidak merasa terkejut. Namun dia harus
berhati-hati. Cepat dia menyingkir selamatkan diri dari tusukan pedang asap. Si
pengawal menggeram melihat serangannya luput. Mulutnya dibuka lebar-lebar lalu
dia keluarkan suara menggerung. Pedang asap seolah berubah menjadi ular, bergelung
ke kiri, menyambar ke arah leher murid Sinto Gendeng!
“Gila!” maki Pendekar 212 dalam hati. Dia rundukkan kepala untuk
selamatkan leher tapi dari depan lawannya menyambut dengan satu jotosan.
Penasaran serta ingin menjajaki kehebatan-kehebatan lawan, Pendekar 212 balas
menghantam dengan tinju kanan. Dua jotosan saling beradu keras!
Murid Sinto Gendeng keluarkan keluhan keras. Tubuhnya terlempar sampai
lima langkah dan jatuh duduk di lantai batu. Ketika diperhatikannya tangan kanannya
tampak jari-jarinya menggembung kemerahan!
“Bangsat itu tidak memiliki tenaga dalam tinggi. Tapi dia mempunyai
kekuatan aneh luar biasa!” kata Wiro dalam hati. Memandang ke depan dilihatnya si
Wiro Sableng
pengawal tersandar ke dinding ruangan. Mukanya mengeryit menahan sakit. Tangan
kanannya terkulai. Ketika Sentiko memperhatikan ternyata tangan pengawal itu telah
remuk sampai ke pergelangan. Sentiko berpaling pada Wiro.
“Kau telah membunuh seorang pengawal dan mencederai tiga lainnya! Kau
bakal menerima hukuman berat! Jangan harap kau bisa lolos!” Sentiko lari ke arah
tangga. Namun Wiro cepat menyusul dan memegang leher bajunya.
“Jika kau tidak membawa aku pada pemimpinmu, kupecahkan muka babimu
saat ini juga!” gertak Wiro.
Lelaki gemuk itu tampak kecut. Tapi dalam hati dia menyumpah setengah
mati. “Ikuti aku,” katanya kemudian. Dia menaiki tangga dan melangkah cepat di
sepanjang lorong papan. Di pintu dia mengetuk tiga kali. Tak lama kemudian pintu
kayu yang dipalang dan digembok dibukakan dua pengawal dari luar.
“Teman-teman kalian mendapat cedera di dalam sana. Cepat kalian tolong!”
berkata Sentiko sebelum dia meninggalkan tempat itu.
Dua pengawal tentu saja keheranan. Mereka hendak bertanya tapi Sentiko
sudah berlalu bersama Wiro. Yang satu akhirnya menyuruh kawannya untuk masuk
ke dalam. “Coba kau periksa apa sebenarnya yang terjadi.”
Pengawal itu masuk. Tak lama kemudian dia keluar kembali setengah berlari.
“Jaka dolok mati! Tiga kawan lainnya cedera berat! Bantu aku menolong mereka!”
– == 0O0 == –
DELAPAN
SENTIKO membawa Wiro ke dalam sebuah kamar di tingkat atas penginapan.
“Kau tidak membawa aku pada pimpinanmu?” tanya Wiro.
“Sebaiknya kau melupakan saja niat untuk membuka usaha penghisapan
candu. Kau telah membunuh seorang di antara kami, mencrderai tiga orang lainnya!
Apakah pimpinanku akan mengabulkan begitu saja permintaanmu?”
“Kau tak perlu meributkan apakah dia mengabulkan atau tidak! Yang jelas kau
harus mengantarkan aku padanya!”
“Jika aku tidak mau?” ujar Sentiko.
Wiro Sableng
Wiro melangkah mendekati pemilik rumah penginapan itu. Baru dua langkah
dia maju, tanpa diketahuinya Sentiko menginjak sebuah tombol kayu di bawah meja.
Lantai yang dipijak Wiro tiba-tiba amblas. Tak ampun lagi pemuda ini terperosok ke
bawah. Dia ternyata jatuh ke dalam sebuah ruangan batu sedalam empat tombak.
Tidak mungkin baginya untuk dapat melompat setinggi itu.
“Keparat!” teriak Wiro memaki. Di atas lobang Sentiko tertawa mengakak.
Dari dalam lubang Wiro lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah Sentiko
yang tegak di pinggir lubang. Lelaki gemuk ini cepat menyingkir begitu dia
mendengar ada suara angin menggemuruh dari bawah lubang. Angin pukulan
menghantam langit-langit ruangan hingga jebol berantakan.
“Kau boleh mengamuk di dalam lubang itu Raden! Sebentar lagi akan ada
mahluk-mahluk lucu yang bakal menemanimu !”
Habis berkata begitu Sentiko melangkah ke sudat kamar. Di sini dia menarik
sebuah kawat. Di Dalam lubang Wiro mendengar suara mendesis. Tampak ada celah
kecil di dinding lobang sebelah kanan bawah. Lalu lima kepala pipih lebar berwarna
hijau kelihatan menjulur! Kepala lima ekor ular sendok!
Pendekar 212 melompat mundur. Tapi di lobang yang sempit itu tidak ada
ruangan untuk menghindar. Lima ular sendok melata di lantai lobang. Kepala masingmasing
bergerak naik ke atas. Mulut binatang ini terpentang mengerikan.
Wiro segera siapkan Pukulan Sinar Matahari. Tetapi dia sadar. Membunuh
kelima ular berbisa itu dengan pukulan sakti di ruangan yang begitu sempit sama saja
dengan bunuh diri. Pukulan saktinya akan berbalik menghantam dirinya sendiri.
Menurut gurunya Eyang Sinto Gendeng, dia kebal terhadap segala macam racun.
Apakah itu juga berarti kebal terhadap bisa ular?
Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah menghadapi bahaya terancam
lima ekor ular sendok berbisa. Kita ikuti rombongan Adipati Magetan yang bergerak
menuju Kotaraja. Karena Lawunggeno, Jala Gandring dan Barataji sama-sama
menderita cedera, maka rombongan itu tidak bisa bergerak cepat. Satu hari kemudian
baru mereka sampai di Kotaraja. Lawunggeno langsung memimpin rombongan
menuju gedung Kepatihan.
“Astaga, apa yang terjadi dengan diri kalian?!” tanya Patih Sagara Wisamala
ketika melihat kemunculan ketiga orang itu. Tangan kiri Adipati Lawunggeno
Wiro Sableng
dilihatnya tergantung dalam kain penyanggah tanda ada bagian bahu atau pangkal
lengannya yang patah.
Tapi yang paling menggidikkan ialah mukanya yang seperti hancur. Hidung
melesak ke dalam dan kelihatannya dia mengalami kesulitan bernafas. Di samping
Adipati Magetan itu tegak orang tua bermuka hitam Jala Gandring, bertopang pada
sebuah tongkat. Kaki kirinya dibalut dan diganjal dengan sepotong kayu. Patih
Kerajaan berpaling pada Barataji. Leher orang ini tampak bengkak membiru. Seperti
Jala dan Lawunggeno, dia pun kelihatan sulit bernafas.
Karena tidak ada satu pun dari ketiga orang itu yang membuka mulut, Patih
Sagara Wisamala kembali bertanya, “Orang-orang  yang
menghajar kalian?”
Sentak menarik nafas panjang dan dalam Jala Gandring menjawab. “Kami
memang berhasil menjebak rombongan orang-orang  di hutan
Karangkukusan. Pemimpinnya nyaris kami tangkap. Tetapi terjadi satu keanehan. Ada
satu mahluk yang tidak kelihatan menolong Ketua  sehingga dia
berhasil lolos.”
“Lolos setelah menghajar kalian lebih dulu?” tanya Patih Kerajaan.
“Bukan dia yang menghajar kami. Tapi mahluk yang tidak kelihatan itu.
Mahluk tersebut ternyata menjadi kawan sang ketua.” Barataji yang menjawab.
“Keteranganmu sungguh tidak dapat kupercaya Dimas Barataji. Coba salah
satu dari kalian menceritakan apa sesungguhnya yang telah terjadi. Yang lebih
penting kalian telah bertemu dengan Ketua  itu. Apakah kalian
mengenal siapa adanya dia?”
“Manusia terkutuk itu ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid
nenek sakti bernama Sinto Gendeng dari Gunung Gede!” kata Jala Gandring.
“Pendekar 212 Wiro sableng?! Dia katamu yang jadi Ketua Serikat Candu
Iblis?”
Jala Gandring dan Lawunggeno mengangguk sedang Barataji mengiyakan.
“Tidak dapat kupercaya! Sungguh tidak aku duga! Bukankah Pendekar 212
seorang tokoh silat muda yang sangat disegani dan berasal dari golongan putih?
Malah setahuku dia telah berjasa banyak pada kerajaan. Beberapa kali dia pernah ikut
membantu menumpas pemberontakan.”
Wiro Sableng
“Kakang Patih, biar saya ceritakan agar jelas bagi kakang Patih,” kata Jala
Gandring pula. Lalu dia pun menuturkan apa yang telah terjadi yaitu sejak dia dan
rombongannya berhasil menjebak orang-orang  di hutan
Karangkukusan sampai akhirnya mereka dibuat babak belur.
“Aneh…” kata patih Sagara Wisamala sambil melangkah mondar mandir.
“Hutan Karangkukusan memang termasuk salah satu hutan angker di kawasan
perbatasan. Tapi jika ada satu mahluk tidak kelihatan menolong Pendekar 212 ini
benar-benar tidak masuk akal.”
“Turut penglihatan saya,” kata Jala Gandring pula, “Agaknya antara Pendekar
212 dan mahluk itu sudah saling kenal sebelumnya. Mereka akrab. Besar dugaan saya
mahluk itu adalah mahluk perempuan.” “Kuntil anak? Sebangsa peri atau gendaruwo
atau penghuni laut selatan? Atau jin peliharaannya?” ujar Patih Kerajaan sambil
memandang pada ketiga orang di hadapannya satu persatu.
Lawunggeno batuk-batuk beberapa kali. Dari hidungnya yang cedera masih
mengalir darah. Dengan sehelai sapu tangan basah dia menyeka mukanya lalu
berkata. Suaranya terdengar sangau akibat hidungnya yang rusak.
“Siapa atau apa pun adanya mahluk itu tidak penting! Lebih penting saat ini
ialah menyebarkan pengumuman penangkapan atas diri Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kita sudah mengetahui kedoknya. Dia bukan lain adalah Ketua !”
“Apa yang dikatakan Adipati Lawunggeno betul. Manusia itu harus ditangkap
hidup atau mati,” ikut bicara Barataji. “Kerajaan harus mengirimkan surat kepada
gurunya di Gunung Gede serta para sesepuh dunia persilatan. Mereka harus ikut
bertanggung jawab dan membantu menangkap pemuda itu!”
Pati Sagara Wisamala tercenung sesaat. “Antara jasa dan kejahatan memang
tidak dapat dibanding-bandingkan,” katanya. “Walau pemuda itu telah banyak berjasa
pada Kerajaan dan dunia persilatan tetapi menjadi orang jahat, menjadi Ketua dari
komplotan perusak ummat tidak ada ampunnya. Hari ini juga aku akan mengeluarkan
surat penagkapan atas diri Pendekar 212! Berita ini harus diumumkan di seluruh
Kerajaan, sampai di pelosok-pelosok!”
SEHARI sebelum kedatangan rombongan Jala gandring ke Keraton, pada suatu
malam gelap tanpa bulan, delapan orang lelaki bertubuh kekar hanya mengenakan
celana hitam berlari cepat di wilayah selatan luar Kotaraja. Mereka mengusung
Wiro Sableng
sebuah tandu. Gerakan mereka laksana hantu malam. Dari mulut mereka selalu
terdengar ucapan: “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
Di sebuah persimpangan sunyi rombongan ini membelok ke kiri. Tak lama
kemudian mereka memasuki halaman sebuah gedung yang berada dalam keadaan
gelap gulita. Hanya ada sebuah lampu minyak menyala dekat tangga depan. Delapan
pengusung tandu hentikan ucapan-ucapan mereka.
Lima orang pengawal muncul menyongsong kedatangan orang-orang pemuda
tandu itu. Dari pihak yang disongsong, yang bertindak sebagai pemimpin segera
berkata: “Beri tahu Raden Haryo Adipuro kalau kami sudah datang.”
“Raden Haryo memang sudah menantikan,” jawab pengawal itu. Dia
mengangkat tangannya seperti memberi tanda. Pintu besar gedung kelihatan terbuka.
Delapan lelaki pengusung tandu segera bergerak. Mereka menaiki tangga gedung,
terus masuk ke dalam gedung bersama tandu yang mereka usung!
Bagian dalam gedung ternyata berada dalam keadaan gelap. Sebuah lampu
minyak terdapat di atas sebuah meja di tengah ruangan. Nyala apinya yang sangat
kecil dan redup tidak dapat menerangi seluruh ruangan yang cukup besar. Segala yang
ada di tempat itu terlihat seperti bayang-bayang menghitam.
Di sudut kiri ruangan ada sebuah kursi. Di atas kursi ini, dalam kegelapan
tampak duduk seorang lelaki berbadan kukuh. Sikapnya tenang tetapi air mukanya
menunjukkan rasa khawatir yang coba disembunyikannya.
Delapan lelaki bertelanjang dada menurunkan tandu di tengah ruangan. Bagian
depannya sengaja membelakangi nyala lampu minyak di atas meja. Para pengusung
kemudian berdiri tak bergerak, empat di samping kiri dan empat lagi di samping
kanan tandu. Suasana di ruangan itu sunyi hening seperti di pekuburan. Kesunyian
kemudian dipecah oleh suara berkeretekan. Bagian depan tandu yang merupakan
sebuah pintu perlahan-lahan terbuka. Di dalam tandu, terbungkus oleh kegelapan
kelihatan duduk satu sosok tubuh anak-anak. Tapi ternyata dia adalah seorang lakilaki
katai. Menggunakan jubah hitam berumbai-umbai kuning emas. Kepalanya botak
dan mukanya berwarna kelabu!
Raden Haryo Adipuro adalah Kepala Pasukan Pengawal Sri baginda, seorang
pejabat tinggi Kerajaan yang setingkat dengan Menteri. Namun adalah aneh ketika
pintu tandu terbuka, dia segera berdiri dan menjura memberikan hormat pada orang
Wiro Sableng
pendek yang duduk di dalam tandu. Setelah menjura dia duduk kembali dengan sikap
hormat, menunggu.
“Raden Haryo” orang di dalam tandu terdengar berkata. “Aku datang seperti
biasa mengantarkan uang perlindungan.” Lalu dari dalam tandu melesat sebuah
kantong. Kantong ini mengeluarkan suara berdering ketika jatuh di atas meja di
samping lampu minyak.
Raden Haryo Adipuro memperhatikan kantong itu sesaat. Dilihatnya ada
kelainan pada ukuran kantong. Tapi dia diam saja. Tidak berani menanyakan.
Orang di dalam tandu kembali membuka suara. “Jumlah yang aku sampaikan
kali ini jauh lebih kecil. Itu satu pertanda bahwa perlindungan yang Raden Haryo
berikan terhadap Serikat tidak memadai. Kami kebobolan! Kami sangat kecewa.”
“Ada sesuatu yang terjadi?” tanya Raden Haryo Adipuro.
“Sebelumnya aku sudah memberi bisikan. Aku mencurigai Patih Sagara
Wisamala. Dia bisa membahayakan Serikat. Karena itu Raden aku minta untuk
menyelidik. Apa yang telah Raden laku kan?”
“Saya telah menyuruh beberapa orang kepercayaan untuk menyelidik…”
“Orang-orang Raden tidak lebih dari kerbau-kerbau tolol!” kata si pendek
dalam tandu yang membuat Raden Haryo Adipuro jadi terdiam.
“Beberapa hari lalu orang-orang Patih Sagara menyerang dan menjebak
rombonganku di hutan Karangkukusan. Delapan orang anggota Serikat tewas! Tiga
dibunuh dengan panah beracun. Lima dibakar hidup-hidup!”
Dalam gelap paras Raden Haryo Adipuro jadi berubah dan memucat.
“Ini adalah kealpaan yang tidak dapat dimaafkan Raden haryo!”
“Saya… saya mengerti Soltan Ramada,” jawab Kepala Pengawal Istana
menyebut nama orang kate yang duduk di dalam tandu. Kepalanya ditundukkan. Dia
tak berani menatap mata orang di hadapannya itu.
Lalu dia berkata, “Mohon Soltan Ramada mau memberi tahu siapa pemimpin
rombongan yang melakukan penyergapan itu. Saya akan segera mengambil tindakan.”
“Ada tiga orang. Jala Gandring, tokoh silat istana sahabat kental Patih
kerajaan. Lalu Adipati Lawunggeno dari Magetan. Yang ketiga Barataji, tokoh silat
yang selama ini menjadi guru para prajurit pengawal istana! Jadi orangmu sendiri!”
Wiro Sableng
Paras Raden Haryo berubah. Tiga nama yang disebutkan itu adalah tiga orang
tokoh berkepandaian tinggi. “Saya akan menghabiskan mereka! Saya bersumpah!”
kata Raden Haryo Adipuro akhirnya.
“Bagus! Karena memang itulah satu-satunya jalan untuk mengampuni
kelalaianmu! Sekarang aku minta laporan perkembangan kegiatanmu!”
“Satu tempat penghisapan baru mulai dijalankan di Kotaraja sebelah timur.
Dua lainnya di Sleman dan Klaten.”
“Bagaimana dengan orang-orang penting yang jadi sasaran Serikat?”
“Tumenggung Jarot Agasa masuk ke dalam bujukan kita. Salah seorang selir
Sri Baginda diam-diam sudah mulai menghisap. Lalu pangeran tua Dipa Alit dan
seorang keponakannya juga berhasil dibujuk…”
“Bagus, sekarang tugas utamamu adalah berusaha agar Sri Baginda bisa
dibujuk. Kau bisa memperalat gundiknya yang telah jadi pemadat itu atau melalui
pangeran Dipa Alit.”
“Saya siap melakukannya Soltan.”
“Aku segera pergi. Ada pertanyaan yang ingin kau ajukan?”
“Tidak. Kecuali permintaan agar jumlah kiriman candu diperbanyak,” jawab
Raden Haryo Adipuro.
“Tak usah kau kawatirkan. Itu sudah ada dalam benakku!” jawab si botak
muka kelabu yang bernama Soltan Ramada. Tangan kirinya dilambaikan. Pintu tandu
tertutup. Delapan lelaki bertelanjang dada segera mengangkat tandu itu lalu
mengusungnya keluar gedung. Tak lama kemudian di dalam kegelapan malam
kembali terdengar suara mereka. “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
– == 0O0 == –
SEMBILAN
GOA batu itu terletak di kaki selatan Gunung Merapi, tersamar di balik
kerapatan pepohonan dan semak belukar. Suasana sunyi senyap yang sesekali ditandai
oleh kicau burung-burung hutan jadi terusik ketika dikejauhan terdengar seruan
berkepanjangan. “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat…!”
Wiro Sableng
Makin lama suara itu semakin keras tanda tambah mendekati goa. Tak lama
kemudian terlihatlah rombongan yang tak asing lagi. Delapan lelaki bertelanjang
dada, hanya mengenakan celana panjang hitam sebetis mengusung sebuah tandu
sambil berlari.
Di depan goa rombongan berhenti. Perlahan-lahan tandu diturunkan ke tanah.
Seorang dari delapan pengusung melangkah ke sebuah pohon besar di samping goa.
Dengan kedua tangannya yang kukuh dipeluknya batang pohon itu lalu diputarnya ke
kanan. Sesaat kemuadian terdengar suara berderik, disusul dengan suara bersiur.
Lalu terjadilah satu keanehan. Rerumputan pohon dan semak belukar yang
menutupi mulut goa perlahan-lahan turun ke bawah seolah-olah ditelan bumi. Mulut
goa kini kelihatan dengan jelas namun lima langkah ke sebelah dalam menghadang
sebuah batu besar.
Tiba-tiba pintu tandu berkereketan dan terpentang lebar. Dari dalam tandu
melesat keluar satu sosok pendek berjubah hitam, langsung masuk ke dalam mulut
goa.
Di depan batu besar yang menyumpal mulut goa sebelah dalam, orang ini
yang bukan lain adalah manusia bernama Soltan Ramada mengetuk batu tiga kali
berturut-turut. Ketukan yang disertai pengerahan tenaga dalam itu menggetarkan batu.
Getaran ini menjalar sepanjang lorong goa dan sampai ke sebuah kursi batu yang
terletak disuatu ruangan agak ketinggian.
Di atas kursi batu ini duduk seorang lelaki. Baik bentuk tubuh maupun
wajahnya yang terlihat samar-samar karena pada pertengahan ruangan, beberapa
langkah di depan kursi batu terdapat sebuah tirai berwarna merah dengan garis garis
kuning. Di sebelah bawah ada gambar bulatan setengah lingkaran berwarna merah
tua.
Begitu merasakan getaran pada kursi batu yang didudukinya, orang di balik
tirai menekan ujung kanan lengan kursi. Bagian ini rupanya merupakan sebuah
tombol dari peralatan rahasia. Begitu lengan kursi ditekan, di mulut goa, batu besar
yang menutup bergeser ke kiri. Soltan Ramada segera melompat ke dalam goa. Di
belakangnya batu besar bergeser kembali, menutup mulut goa.
“Kau membawa kabar baik untukku Soltan?”
Orang yang duduk di atas kursi batu bertanya. Suaranya keras, bergema
panjang di dalam goa itu.
Wiro Sableng
“Tentu, tentu Pangeran!” jawab Soltan Ramada. Lalu manusia katai ini
jatuhkan dirinya dekat tiga alur tangga batu dan bersujud beberapa lamanya. Kalau
tidak disuruh bangkit dia tidak akan terus bersujud seperti itu.
Orang yang disebut dengan panggilan Pangeran menyeringai. “Bangunlah
Soltan. Berikan laporanmu!”
Soltan Ramada bangkit dari sujudnya lalu duduk bersila dengan khidmat.
“Sesuai dengan petunjuk Pangeran saya telah berhasil membuat Pendekar 212
menjadi bulan-bulanan pengejaran orang-orang Kerajaan dan orang-orang Persilatan.
Kini dia dianggap sebagai Ketua dari . Perintah penangkapannya
hidup atau mati telah disebarluaskan di seluruh pelosok kerajaan.”
Mendengar keterangan itu orang yang duduk di kursi batu tertawa gelak gelak.
“Kau memang pembantuku paling hebat. Coba ceritakan bagaimana kejadiannya.”
Lalu Soltan menuturkan peristiwa di hutan Karangkukusan.
“Bagus…! Bagus! Delapan korban tak jadi apa. Candu palsu dalam kotak
yang kau selipkan di pinggang Pendekar 212! Ha…ha…ha.!”
Soltan Ramada ikut tertawa mengekeh.
“Sekarang aku tidak susah-susah turun tangan sendiri mencari musuh besarku
itu. Orang-orang berkepandaian tinggi se-Tanah Jawa ini yang akan mengerjakannya.
Menurut perkiraanku, paling lambat dalam waktu tiga puluh hari manusia sableng itu
pasti akan tertangkap! Kalau dia tidak mati dalam perlawanan maka Kerajaan akan
menggantungnya sampai mampus! Ha…ha…ha….!”
“Berita lain yang menggembirakan, Pangeran,” kata Soltan Ramada pula.
“Saat ini sudah banyak orang-orang yang dekat dengan Keraton masuk dalam
perangkap candu kita. Dua di antaranya adalah selir Sri Baginda dan Pangeran Alit.”
“Hebat! Berarti kita sudah dekat dengan sasaran utama. Yaitu Sri Baginda!”
“Saya sudah perintahkan Raden Haryo Adipuro untuk melakukan hal itu.
Rasa-rasanya segala rencana akan berjalan mulus. Katakanlah paling lambat kita
harus menunggu tiga purnama…”
“Ya, paling lambat memang sekitar sembilan puluh hari.”
“Kalau Sri Baginda sudah masuk dalam perangkap …
Ha…ha…ha…ha…! Tanda kerajaan tak lama lagi akan lumpuh dan kita dengan
mudah bisa merebut tahta!”
Wiro Sableng
“Tahta memang adalah hak warismu yang sah Pangeran,” kata Soltan Ramada
pula.
“Tapi ingat Soltan. Dalam setiap langkah dan tindakan, dalam setiap saat dan
waktu semua orang-orang kita, terutama kau, harus berlaku hati-hati. Waspada! Aku
merisaukan beberapa orang yang bisa menjadi penghalang. Pertama Patih Sagara
Wisamala.”
“Saya memang terus memata-matainya. Dia telah memberikan tugas khusus
pada tiga orang tokoh. Jala Gandring. Barataji dan Adipati Lawunggeno.”
“Mereka orang-orang berkepandaian tinggi,” kata Sang Pangeran sambil
pangkukan kaki kirinya ke kaki kanan.
“Tidak usah khawatir Pangeran. Saya telah membuat Raden Haryo bersumpah
bahwa dia harus membunuh ketiga orang itu. Mereka akan mati dan Raden Haryo
saya perintahkan untuk meninggalkan tanda pada setiap pembunuhan. Yaitu SCI,
singkatan dari nama serikat kita.”
“Otakmu sungguh luar biasa Soltan! Dari siapa kau mendapatkan kepintaran
itu?” tanya sang Pangeran dari balik tirai sambil menyeringai.
“Saya hanya belajar darimu Pangeran!” jawab Soltan Ramada lalu letakkan
keningnya di lantai goa, bersujud! Lalu sambil terus menempelkan keningnya di lantai
Soltan berkata penuh penjilatan, “Bukankah Pangeran yang ditunjuki orang Pendekar
segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak?!”
Orang di atas kursi batu tertawa mengakak. “Kau ingat betul sifat-sifatku itu
Soltan,” katanya. “Dan aku tahu apa akibat dari perbuatan licikmu itu! Semua orang
akan menuduh Pendekar 212-lah yang telah membunuh ketiga orang itu. Bukan
begitu?”
“Betul sekali Pangeran!” jawab Soltan Ramada sambil duduk bersila kembali.
“Hemmmm… Soltan, masih ada satu orang lagi yang berbahaya bagi Serikat
Candu Iblis kita. Raden Mas Kuntoro Abimanunggal, Kepala Pasukan Kerajaan…”
“Saat ini dia masih berada di luar pulau. Ada kabar dia meneruskan perjalanan
ke Tanah Melayu. Dia tidak akan kembali dalam waktu empat atau lima bulan,” kata
Soltan Ramada.
Sang Pangeran mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu. Lalu berkata,
“Baiklah Soltan, Kau tentu perlu istirahat. Apakah kau akan menemui kekasihmu saat
ini?”
Wiro Sableng
“Kalau Pangeran mengizinkan. Sudah satu bulan lebih saya tidak
melihatnya…”
Sang Pangeran tertawa lalu menekan ujung lengan kursi sebelah kiri.
Terdengar suara menderu perlahan. Satu celah tampak di dinding sebelah kiri dekat
lorong menuju keluar.
Soltan Ramada bersujud lebih dahulu, lalu tanpa menunggu lebih lama dia
bangkit dan berkelebat ke dalam celah batu. Di belakang celah itu ternyata terdapat
sebuah kamar yang bagus sekali. Di bagian tengah ada tempat tidur dari batu yang
dialas dengan kasur jerami serta seprai tebal seperti permadani.
Di atas tempat tidur, berdiri satu sosok tubuh perempuan yang luar biasa
buntak dan gemuknya. Lehernya tidak kelihatan, karena dagunya seperti telah jadi
satu dengan dadanya. Wajahnya merah karena diberi pupur berlebihan. Gincunya
tebal bukan kepalang dan alis matanya yang seperti bulan sabit diberi alat penghitam.
Perempuan gemuk ini tegak bertolak pinggang dan tersenyum lebar ketika melihat
Soltan Ramada masuk ke dalam kamar batu itu.
“Kanda Ramada!” kata si perempuan dengan suara lembut dan gerakan mulut
serta mata penuh genit. “Kalau hari ini Kanda tidak sampai datang, dinda niscaya
sudah mati menelan kerinduan…”
“Kekasihku Ramini!” seru Soltan Ramada seraya melompat naik ke atas
tempat tidur. “Rindumu adalah rinduku juga!” Berdiri berhadap-hadapan tinggi Soltan
Ramada hanya sampai sepusar perempuan gemuk itu. Mendengar ucapan Soltan tadi,
perempuan itu tersenyum lebar. Dia menggerakkan bahunya. Pakaian sebentuk jubah
tipis yang melekat di tubuhnya jatuh ke bawah. Kini perempuan itu berdiri tanpa
mengenakan sepotong pun kain pelindung. Di mata Soltan Ramada, tubuh yang
gemuk buntak penuh lemak itu seindah tubuh bidadari. Dia menjerit keras lalu
melompat merangkul leher si gemuk.
Dari tempatnya duduk di kursi batu, orang yang dipanggil dengan sebutan
Pangeran dapat melihat ke dalam kamar melalui celah yang masih belum ditutupnya.
Dia tertawa-tawa seorang diri.
“Apa yang aku lihat ini? Seekor sapi betina bulat melawan seekor kadal
sawah? Ha…ha…ha!” dia menekan ujung lengan kiri kursi batu. Celah di dinding goa
menutup kembali.
Wiro Sableng
– == 0O0 == –
SEPULUH
KOTARAJA menjadi geger ketika dua hari kemudian, yaitu setelah Soltan
Ramada menemui Raden Haryo Adipuro, pagi-pagi sekali telah tersebar luas berita
mengejutkan kematian tiga orang penting. Mereka adalah Jala Gandring, Lawunggeno
dan Barataji.
Jika tiga orang penting menemui kematian secara bersamaan maka hal ini
bukanlah suatu peristiwa biasa. Kematian mereka tidak bisa disebut wajar. Dan
memang ketiga tokoh itu tewas akibat dibunuh!
Jala Gandring dan Barataji ditemukan mayatnya dalam kamar masing-masing
di perumahan khusus untuk tamu-tamu istana, tak berapa jauh dari tembok Istana
sebelah timur. Sedang Adipati Lawunggeno ditemukan tewas di rumah adik iparnya
di kawasan pusat Kotaraja.
Ketiga orang ini menemui ajal dengan cara yang sama. Sebatang kayu kecil
berbentuk sumpit menancap di tenggorokan masing-masing. Leher dan sebagian
muka mereka kelihatan membiru tanda kayu maut itu mengandung racun jahat. Pada
bagian ujung kayu terdapat bagian berbentuk bulat pipih. Pada bulatan ini tertera tiga
huruf SCI yang merupakan singkatan dari .
Seperti diketahui ketiga orang yang jadi korban pembunuhan itu memiliki
kepandaian silat tinggi serta kesaktian. Jika mereka bisa dibunuh begitu rupa berarti si
pembunuh memiliki kepandaian yang sangat luar biasa. Atau mungkin ketiganya
dibokong satu demi satu?! Dan siapa pun sang pembunuh, dia adalah anggota Serikat
Candu Iblis yang bahkan dengan sengaja berani meninggalkan tanda!
Pagi itu juga Sri Baginda memanggil Patih Sagara Wisamala.
“Kita kebobolan Patih,” kata Sri Baginda.
“Saya mengerti Sri Baginda. Semua karena kelalaian saya,” jawab Patih
Sagara Wisamala. “Yang menjadi korabn pembunuhan ketiganya adalah orang-orang
yang saya percayakan untuk menangani komplotan candu jahat itu.”
“Mereka sekarang secara terang-terangan dan berani meninggalkan tanda dari
Serikat mereka,” kata Sri Baginda pula. “Aku merasa dipermalukan. Belum lagi rasa
Wiro Sableng
tanggung jawab terhadap orang-orang yang sekarang telah menjadi pemadat. Patih,
katakan kalau benar bahwa ada orang-orang penting dalam Istana yang juga telah
masuk perangkap jahat menjadi penghisap candu!”
“Hal itu memang menjadi kekhawatiran saya Sri Baginda. Saya akan segera
melakukan penyelidikan.” jawab sang Patih. Dia tidak berani mengatakan terus terang
bahwa dia memang sudah mendengar kabar kalau ada orang-orang yang dekat dengan
Istana telah masuk ke dalam perangkap . “Bagaimana dengan
Pendekar 212? Masih belum diketahui di mana dia berada?”
“Belum Sri Baginda. Saya telah menambah jumlah mata-mata di seluruh
pelosok Kerajaan.”
“Jangan terlalu memperhatikan daerah pelosok. Nyatanya pendekar sesat itu
berada di Kotaraja dan sempat membunuh tiga orang kepercayaanmu!”
Ucapan Sri Baginda itu membuat air muka Patih Kerajaan menjadi bersemu
merah.
“Kuharap kau bekerjasama dengan Raden Haryo Adipuro. Geledah setiap
tempat yang mencurigakan di Kotaraja. Kalau perlu tempat kediaman para pejabat
yang mencurigakan jangan segan-segan digeledah. Aku punya dugaan Serikat Candu
Iblis tidak mungkin berkembang secepat dan seberani itu kalau tidak mempunyai
tulang punggung yang mereka andalkan.”
“Petunjuk Sri Baginda akan saya laksanakan. Saya mohon diri…”
“Tunggu! Ada satu hal lagi Patih. Hubungi tokoh-tokoh dunia persilatan.
Minta mereka membantu menangkap atau membunuh Pendekar 212. Kita tidak bisa
bekerja sendirian. Kita perlu bantuan mereka. Kirimkan utusan khusus menemui Sinto
Gendeng. Perintahkan dia menghadapku dalam waktu dekat. Aku ada rencana yang
mungkin bisa memaksa muridnya keluar dari persembunyian.”
“Kalau saya boleh tahu Sri Baginda, rencana apakah itu?”
Sri Baginda menatap wajah Patihnya itu beberapa saat. Sang Patih jadi merasa
tidak enak dipandang seperti itu. Maka dia cepat berkata, “Jika Sri Baginda tidak
percaya bahwa saya tidak dapat merahasiakan rencana itu, Sri Baginda tidak perlu
mengatakannya pada saya.” Sagara Wisamala menghaturkan sembah hendak berlalu.
“Tunggu Patih! Jangan salah menduga. Aku percaya padamu. Aku akan katakan
rencana itu. Tapi jangan sekali-kali kau ceritakan pada siapa pun!”
“Saya berjanji tidak akan membuka rahasia,” kata Sagara Wisamala pula.
Wiro Sableng
“Begitu Sinto Gendeng masuk ke Istana ini, kita akan menangkapnya. Lalu
jika dalam waktu sepuluh hari setelah dia ditangkap Pendekar 212 yang Ketua Serikat
Candu Iblis itu tidak muncul menyerahkan diri, perempuan tua itu akan kusuruh
gantung sampai mati!”
Tersirap darah Patih Sagara Wisamala mendengar ucapan Sri Baginda itu.
Dalam hati dia membatin. “Nenek sakti Sinto Gendeng memang bisa dimintakan
pertanggungan jawab atas kejahatan yang dilakukan muridnya. Tapi kalau sampai si
nenek digantung, sama saja dengan menantang perang terhadap orang-orang dunia
persilatan!”
SENTIKO menggeliat beberapa kali lalu turun dari tempat tidur. Setelah
meneguk air putih dari dalam sebuah kendi dia naik ke kamar di tingkat atas
penginapan. “Keparat bermulut besar itu pasti sudah mampus dilalap lima ekor ular
sendok!” berucap Sentiko dalam hati.
Pintu kamar dibukanya. Sebelum melihat ke dalam lobang dia membuka
semua jendela kamar agar cahaya terang masuk ke dalam. Lalu baru dia melangkah ke
tepi lobang dan memandang ke bawah. Dia membayangkan akan melihat sosok tubuh
Pendekar 212 terkapar tak bernyawa.
Tetapi alangkah terkejutnya pemilik rumah penginapan dan rumah makan ini
ketika yang dilihatnya bukan sosok tubuh atau mayat Wiro, melainkan yang tampak
adalah bangkai lima ekor ular sendok bergeletakan menghitam seperti dipanggang!
Apakah yang telah terjadi didalam lobang dimana sebelumnya Pendekar 212
Wiro Sableng terjebak dan terperangkap?
Kita kembali pada saat Wiro berada di dalam lobang dan mengurungkan untuk
melepaskan pukulan sinar matahari karena di ruang batu yang sempit itu pukulan sakti
tersebut bisa berbalik menghantam dan mencelakai dirinya sendiri.
Pada saat lima ekor ular sendok semakin meninggikan tubuh dan siap
mematuk, murid Sinto Gendeng ini tidak terpikir lagi pada Suci atau Dewi Bunga
Mayat yang setiap saat bisa membantunya jika dipanggil.
Di saat-saat genting seperti itu hatinya mendua bahwa dirinya juga kebal
terhadap bisa ular. Dengan sangat hati-hati agar gerakannya tidak menarik perhatian
lima ekor ular, Wiro merapat ke dinding di belakangnya sambil kedua tangannya
bergerak ke pinggang.
Wiro Sableng
Yang kiri mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tangan kanan mengeluarkan
batu hitam pasangan kapak sakti itu.
Tiba-tiba ular paling kanan bergerak maju. Empat kawannya mendesis dan
ikut bergerak. Wiro jatuhkan diri ke lantai lobang batu. Serentak dengan itu batu
hitam diadu dan digeserkannya kuat-kuat ke mata kapak. Satu gelombang lidah api
melesat ke atas. Inilah salah satu kesaktian yang dimiliki pasangan kapak Naga Geni
212 dan batu hitam warisan Eyang Sinto Gendeng.
Empat ekor ular sendok surutkan kepala ke belakang. Yang satu seperti nekad
meneruskan mematuk ke arah muka pendekar 212. Lidah api segera menyambar
binatang ini. Tubuhnya langsung terpanggang hangus lalu jatuh ke lantai lobang.
Wiro gosokkan lagi batu saktinya ke mata kapak. Kembali lidah api
menyembur. Dua ekor ular sendok jatuh berkaparan dalam keadaan hangus hitam.
Udara di dalam lobang itu menjadi panas bukan kepalang. Wiro merasa dirinya ikut
terpanggang.
Dua ekor ular yang masih hidup bersurut mundur, memendekkan badan
masing-masing, kelihatannya hendak menyelinap lari lewat celah di bawah dinding.
Wiro tidak mau membiarkan binatang-binatang itu lolos. Sekali lagi kapak mustika
dan batu sakti digosokannya. Dua ekor ular sendok bergelepakan di lantai.
Murid Eyang Sinto Gendeng menarik nafas lega. Dadanya turun naik.
Hidungnya kembang kempis. Tubuhnya terasa letih sekali seperti kehabisan tenaga
dan basah oleh keringat. Salah satu lengan pakaiannya baru disadarinya hangus
terbakar.
Pendekar ini melosoh dan menjatuhkan diri ke lantai. Dia berhasil
menyelamatkan diri. Namun masih adakah bahaya baru yang bisa keluar dari celah di
bawah dinding itu? Sebelum malam tiba dia harus keluar dari dalam lobang celaka itu.
Wiro memutar akal sambil memandang berkeliling. Dia harus melakukan sesuatu.
Tapi apa dan bagaimana?
Perlahan-lahan Wiro berdiri. Dia memukul-mukul dinding batu itu dengan
tinjunya. Hampir tidak terdengar bunyi keras ataupun gema pertanda dinding lobang
itu tebal sekali. Lalu dia coba mengukur-ukur jarak antara satu dinding dengan
dinding di depannya dengan kedua tangannya.
“Tolol!” Wiro memaki sendiri. “Mengapa dengan tangan? Aku bukan monyet
atau orang utan yang bisa memanjat hanya mengandalkan tangan!”
Wiro Sableng
Dikangkangkannya kedua kakinya. Ternyata kaki kiri dan kaki kanan bisa
menempel ke dinding kiri dan kanan lobang. Hatinya berdebar. Jalan lolos dari dalam
lobang itu sudah terlihat. Tapi memperhatikan keadaan dinding lobang, murid Eyang
Sinto Gendeng kernyitkan kening dan garuk-garuk kepala.
Dinding lobang yang terbuat dari batu itu ditebali oleh lumut. Jika kakinya
menginjak, tidak dapat tidak, dia pasti akan tergelincir dan jatuh ke bawah kembali.
Dia memerlukan sesuatu untuk menjadi pegangan.
“Geblek!” Tiba-tiba sang pendekar kembali memaki dirinya sendiri sambil
menepuk jidatnya. Dia keluarkan kembali Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik
pinggangnya. Senjata itu dibacokkannya ke dinding batu di hadapannya. Begitu
menancap, gagang kapak terus dipegangnya. Lalu kedua kakinya dikembangkan,
diinjakkan pada dinding lobang. Perlahan-lahan tubuhnya diangkat ke atas.
Sekali dicoba gagal, kali kedua gagal. Kali keempat baru dia berhasil
menekankan kedua kakinya pada dinding lobang. Begitu mendapat kedudukan yang
kukuh tubuhnya berhasil bergerak ke atas. Ketika kepalanya mencapai gagang kapak,
Wiro cabut senjata itu dan sebelum tubuhnya terjatuh ke bawah secepatnya mata
kapak dibacokkannya ke dinding sebelah atas.
Sesaat dia bergantungan pada gagang senjata ini. Lalu perlahan-lahan
tubuhnya beringsut naik ke atas. Mencapai pertengahan lobang ternyata dindingdinding
lobang itu agak menyempit. Karenanya kedudukan kedua kakinya menjadi
lebih kuat. Tanpa kesulitan akhirnya Wiro memanjat ke atas dan keluar dari dalam
lobang, dengan tubuh serta pakaian basah mandi keringat.
Sentiko masih tertegun bengong di tepi lobang ketika tiba-tiba dari atas langitlangit
kamar yang jebol melompat keluar seseorang yang langsung mencekal leher
pakaiannya. Sesaat kemudian manusia bertubuh gemuk ini merasakan tubuhnya
terangkat. Sebelum dia bisa berbuat apa tubuhnya sudah dilemparkan orang ke
dinding!
Dinding ruangan yang terbuat dari kayu hancur berantakan. Sentiko menjerit
kesakitan. Badannya yang gemuk menyangsang di jebolan dinding. Selagi dia
berusaha meloloskan dirinya, Wiro tarik ke bawah celana yang dikenakan si gemuk
ini. Lalu dari atas meja dia menyambar segulung tali.
Ketika Sentiko berhasil lolos dari dinding dan berusaha hendak berdiri
matanya mendelik dan dari mulutnya terdengar teriakan keras. Ternyata dengan tali
Wiro Sableng
tadi Pendekar 212 telah mengikat anggota rahasia Sentiko, baik yang tunggal maupun
yang kembar! Ketika tali dibetot tentu saja pemilik penginapan dan rumah makan
yang juga menjalankan tempat pengisapan candu ini menjerit kesakitan setengah
mati!
Wiro tarik tali yang dipegangnya. Mau tak mau Sentiko terpaksa mengikuti
maju seperti kerbau dicucuk hidung.
“Ampun… jangan! Apa yang kau lakukan ini?!” teriak Sentiko.
“Sakit?” tanya Wiro.
“Sakit! Tentu saja! Wadaw!”
“Dengar babi gemuk!” kata Wiro seraya main-mainkan tali yang dipegangnya.
“Burung perkututmu ini akan kubetot lepas jika kau tidak menjawab apa yang aku
tanya!”
“Bangsat! Setan! Adaw…!” Sentiko memaki lalu menjerit ketika Wiro
sentakkan tali yang dipegangnya. “Lepaskan tali celaka ini! Bangsat! Atau aku akan
berteriak memanggil pengawal!”
“Kalau kau masih sayang pada perkututmu, sebaiknya jangan berbuat macammacam!
Lekas katakan siapa pemimpin  dan di mana aku bisa
menemuinya?” “Demi Tuhan aku tidak tahu!”
“Jangan dusta!” Bentak Wiro sambil membuat gerakan hendak menarik tali
keras-keras.
“Jangan ditarik! Ampun!”
“Kalau begitu lekas bicara!”
“Sumpah! Aku tidak tahu siapa pimpinan …”
“Lalu siapa yang mengirimkan candu-candu keparat itu padamu?”
“Seorang penghubung. Aku tidak tahu siapa orangnya. Dia selalu datang pada
malam hari dan meletakkan kotak kecil berisi candu pada tempat tertentu.”
“Lalu bagaimana caranya dia menerima uang pembayaran candu serta
keuntungan hasil perbuatan celakamu pada seratus orang-orang yang kini mendekam
di kamar bawah tanah itu?!”
“Aku… Aku memasukkan uang di sebuah kotak. Lalu meletakkannya pada
malam hari di satu tempat. Besoknya kotak itu lenyap tanda sudah diambil oleh orang
.”
Wiro Sableng
“Aku tidak bisa percaya begitu saja keteranganmu. Kau sendiri pasti anggota
Serikat itu…”
“Demi tuhan aku…”
“Dalam bahaya dan mau mampus kau menyebut nama Tuhan. Waktu kau
menyeret orang-orang itu jadi penghisap madat dan mendapat keuntungan besar,
apakah kau juga ingat Tuhan?!”
Dengan geram Wiro sentakkan tali. Kembali Sentiko menjerit setinggi langit.
“Babi gemuk, aku tahu kau tidak mungkin menjalankan pekerjaan terkutuk ini secara
bebas kalau tidak ada yang melindungimu. Katakan siapa pelindungmu!”
“Aku… Tidak ada yang melindungi.  hanya menyediakan
enam orang pengawal di tempat ini. Kau sudah melihat mereka kemarin. Bahkan kau
telah membunuh seorang di antaranya…!”
“Aku tidak percaya!” seringai Wiro. “Kau berdusta. Mukamu kulihat pucat.
Kalau kau tidak mau bilang, kupotes telor kodok dan lontong kumelmu!” Wiro
gerakkan tangannya yang memegang tali.
“Ampun! Jangan! Aku akan katakan, Aku akan katakan! Tapi lepaskan dulu
ikatan tali celaka itu. Aku bisa cacat seumur hidup Aku bisa lemah syahwat…!”
Wiro menyeringai. “Ikatan akan kulepaskan kalau kau sudah mengatakan
siapa yang jadi pelindung komplotanmu. Kau dengar?”
“Ya… ya” kata Sentiko sambil membungkuk terhuyung-huyung
memperhatikan bagian bawah perutnya. Seolah-olah memeriksa apakah sang burung
berikut sarangnya masih tersangkut di sana! Ketika dilihatnya keadaanya masih baikbaik
saja walau bentuknya tidak karuan rupa lagi maka dia cepat meneruskan
ucapannya.
“Baik akan aku katakan. Orangnya adalah…” Belum sempat Sentiko
menyelesaikan ucapannya tiba-tiba sebuah benda melayang dan menancap di pangkal
leher lelaki gemuk itu. Sentiko menjerit. Pendekar 212 melompat ke jendela. Pohon di
seberang bangunan dilihatnya bergoyang. Seseorang melompat dari atas pohon ke
punggung seekor kuda. Wiro lepaskan satu pukulan tangan kosong. Tapi kuda dan
penunggangnya sudah lenyap di balik tembok. Pukulan yang dilepaskan Wiro hanya
sempat merusak bagian atas tembok hingga runtuh berantakan.
“Kurang ajar!” maki Wiro. Dia lari mendapatkan Sentiko yang saat itu
menggeletak di lantai dalam keadaan menelungkup. Sebatang kayu kecil berbentuk
Wiro Sableng
sumpit yang ujungnya ada bundaran pipih dengan tulisan SCI menancap di lehernya.
Melihat tengkuk Sentiko yang mulai menghitam Wiro maklum kalau kayu kecil itu
mengandung racun keras. Sentiko tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Wiro berusaha
menotok jalan darah sekitar kayu yang menancap.
“Dengar, kau tak bakal apa-apa. Aku akan menolongmu. Tapi lekas katakan
siapa pelindung komplotanmu. Ayo Sentiko! Lekas bilang…”
Kedua mata sipit lelaki gemuk itu membeliak. Mulutnya membuka.
Ketika Wiro menuruni tangga dari tingkat atas menuju tingkat bawah
penginapan dia berpapasan dengan dua orang lelaki yang hanya mengenakan celana
hitam. Keduanya adalah dua dari enam pengawal baru yang ditempatkan di situ.
Mereka sejak tadi curiga mendengar suara ribut-ribut di bagunan sebelah atas lalu lari
menaiki tangga, berpapasan dengan Wiro yang menuju turun.
“Hai! Jangan lari! Kau pasti…!”
Wiro tidak memberi kesempatan. Dia melompat dari anak tangga yang
kesembilan. Kedua kakinya menendang ke depan. Dua anggota
yang berbadan kekar itu mencelat lalu tergelimpang. Yang satu pecah pelipisnya. Satu
lagi hancur mulut dan hidungnya!
– == 0O0 == –
SEBELAS
SEPERTI setiap kali datang, malam kali ini tidak beda dengan malam-malam
sebelumnya. Empat oramg pengawal gedung di luar Kotaraja sebelah selatan itu
menyongsong kedatangan rombongan pengusung tandu. Pintu gedung dibuka dan
tandu lalu digotong ke dalam.
Juga seperti dulu-dulu, ruangan di mana tandu diturunkan berada dalam
keadaan suram temaram. Hanya ada satu lampu minyak kecil di atas meja. Empat
orang pengusung di kiri dan empat lagi di sebelah kanan. Dengan suara berkereketan
pintu tandu terbuka. Raden Haryo Adipuro yang sejak tadi duduk dalam kegelapan
berdiri dan menjura memberi hormat pada si katai Soltan Ramada yang duduk di
dalam tandu dengan sikap seperti seorang raja diraja.
Wiro Sableng
Tanpa memulai pertemuan itu dengan pembicaraan terlebih dahulu Soltan
Ramada langsung melemparkan kantong uang ke atas meja.
“Kantongmu makin lama makin kecil Raden Haryo…”
Raden Haryo tampak seperti hendak membuka mulut. Tapi Soltan Ramada
mengangkat tangan dan berkata, “Waktumu untuk bicara akan kuberikan. Sekarang
kau dengar dulu apa yang akan aku katakan dan jawab jika aku ada pertanyaan!”
Raden Haryo Adipuro anggukan kepala.
“Pertama, aku cukup gembira bahwa kau memang membereskan Jala
Gandring, Barataji dan Lawunggeno. Tetapi pahala yang kau buat itu terkubur
bersama kejadian di perbatasan!”
“Pusat penghisapan candu di sana diobrak-abrik oleh orang tak dikenal.
Beberapa orang anggota serikat yang menjadi pelindung dan pengawal dibunuh.
Beberapa lainnya cedera berat. Bagaimana ini bisa terjadi!? Kau harus menjawabnya
nanti!”
“Hal kedua, orang kita di tempat itu, yakni Sentiko juga tewas. Ada keanehan
pada keadaan mayatnya. Kemaluannya dijirat! Gila betul! Tapi itu tidak membuatku
risau! Yang perlu diungkapkan ialah bahwa Sentiko mati akibat ditancap sumpit
beracun yang ada lambang singkatan ! Adalah aneh kalau orang
Serikat membunuh kawannya sendiri! Hal ketiga…”
Raden Haryo Adipuro tampak berdiri dari kursinya. Terdengar dia berucap
memotong kata-kata Soltan Ramada. “Hal ketiga atau keempat atau kelima tidak
penting bagiku! Aku ingin bertanya! Apakah kau juga ingin mati dengan kemaluan
dijirat seperti yang terjadi dengan Sentiko?!”
“Eh!” Soltan Ramada keluarkan seruan tertahan saking kagetnya mendengar
ucapan itu. Dia cepat berdiri. Delapan lelaki pengusung tandu juga terkesiap
mendengar kata-kata yang mereka anggap sangat berani, bahkan keterlaluan itu. Salah
seorang di antara mereka berbisik pada kawannya. “Kepala Pasukan Pengawal Istana
ini ingin cepat mampus rupanya…”
“Suaramu lain Raden Haryo! Sejak tadi sebetulnya aku juga heran melihat
tubuhmu yang agak langsingan…”
Raden Haryo Adipuro tertawa bergelak.
“Kurang ajar! Berani kau tertawa seperti itu di depanku?!” bentak Soltan
Ramada melompat dari tandu.
Wiro Sableng
Saat itu tiba-tiba ruangan tersebut menjadi terang benderang. Limapuluh orang
prajurit Kerajaan, dua puluh di antaranya membawa obor, membanjiri ruangan itu.
Di luar masih ada sekitar seratus orang prajurit lagi mengurung gedung. Si
katai ini memandang berkeliling dengan paras berubah. Lalu dia kembali berpaling
pada orang di depannya. Saat itu orang ini telah melepaskan ikatan pada rambutnya
hingga kini kelihatan rambutnya yang gondrong.
“Kau!” seru Soltan Ramada. “Ternyata kau adalah Ketua !
Pemimpinku sendiri! Sungguh satu pertemuan yang tidak diduga!” Lalu Soltan
Ramada menjura dalam-dalam. Delapan pengusung yang tidak tahu apa-apa ikutikutan
menjura. Sesaat suasana menjadi senyap di ruangan itu.
Suara tawa seseorang kemudian memecah kesunyian yang mencekam itu.
Orang yang tertawa menyeruak di antara deretan prajurit yang mengurung. Di
sampingnya mengapit dua orang perwira tinggi kerajaan. Orang yang barusan tertawa
ini bukan lain adalah Patih Sagara Wisamala.
“Soltan Ramada alias Cula Singkir! Enam tahun kau menghilang tahu-tahu
muncul lagi menimbulkan malapetaka. Dirimu rupanya tidak pernah kering dari
kejahatan! Otakmu cerdik dan licin. Tapi kau tidak bisa menipu diriku dengan begitu
cerdik mengatakan bahwa pemuda berambut gondrong ini adalah Ketua Serikat
Candu Iblis! Dia adalah Pendekar 212, orang tak bersalah yang hendak kau libatkan
dan cemarkan namanya! Dosa dan kejahatanmu sudah lewat takaran! Raden Haryo
Adipuro yang jadi kaki tanganmu sudah ditangkap!”
Berubahlah tampang kelabu manusia katai berkepala botak itu. Kedua
matanya berputar liar. “Aku masih bisa kabur. Masih bisa lolos…” katanya dalam
hati. Matanya melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Hai!” ujar Wiro seraya tersenyum lebar dan angkat tangannya. “Apa saat ini
ada lagi kotak candu yang hendak kau berikan padaku?!”
Di balik kulit mukanya yang kelabu, tampang Soltan Ramada alias Cula
Singkir mengelam membesi. Dia melangkah mundur menuju tandu. Wiro yang sudah
maklum kalau tandu itu memiliki berbagai senjata rahasia maju tiga langkah lalu
hantamkan tangan kanannya melepas pukulan sakti “Dewa Topan Menggusur
Gunung”.
Wiro Sableng
Tandu kayu jati yang kokoh itu mencelat dan hancur berantakan. Soltan
Ramada sendiri kalau tidak cepat menyingkir pasti kena disambar mental. Dengan air
muka geram si katai ini berteriak pada delapan lelaki pengusung tandu.
“Bunuh pemuda gondrong itu!” Delapan lelaki bertubuh kekar bergerak maju.
Melihat hal ini Patih Sagara Wisamala cepat memberi perintah pada prajurit-prajurit
serta pimpinan mereka. “Habisi mereka semua!”
“Tunggu dulu!” teriak Pendekar 212. “Paman Patih, mohon maafmu.
Mengingat saya yang punya hajat, biar saya yang mengurusi tetamu-tetamu terhormat
itu! Harap yang lain mengawasi si kate itu. Dia punya banyak akal untuk melarikan
diri!”
Lalu Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu saktinya.
Sebelumnya dia telah menyaksikan kalau manusia-manusia pengusung tandu itu tidak
sanggup bertahan terhadap api. Sebaliknya, delapan orang pengusung tampaknya
seperti menganggap remeh senjata di tangan Wiro. Mereka terus merangsak.
Didahului bentakan nyaring, Wiro adu kapak dengan batu hitam. Lidah api
menyembur. Kini baru delapan orang itu kaget dan berusaha menyingkir. Namun tiga
orang terlambat. Tubuh mereka segera dilalap api. Ketiganya meraung dan
bergulingan di lantai.
Lima temannya dalam marah seperti menjadi kalap. Dengan nekat mereka
menyerbu Wiro. Batu dan kapak mengeluarkan suara keras ketika saling beradu.
Lidah api yang lebih besar menyambar ke depan. Lima raungan menggema di
ruangan itu!
Selagi semua orang seperti terpukau melihat peristiwa dahsyat itu Soltan
Ramada alias Cula Singkir pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Dia sengaja
menyeruak ke dalam barisan pasukan yang mengurung tempat itu. Tubuhnya yang
kecil pendek menyusup di antara kaki-kaki prajurit. Lalu dari dalam sakunya dia
mengeluarkan benda hitam sebesar ujung jari kelingking. Benda ini dimasukannya ke
dalam mulutnya.
Selagi para prajurit itu sibuk berusaha menangkapnya, Soltan Ramada meniup
keras-keras. Asap kelabu menggebubu dari mulutnya disertai menyebarnya hawa
aneh. Begitu hawa itu terhirup ke dalam pernafasan, lebih dari duapuluh prajurit
langsung lemas keliangan. Dua perwira tinggi tertegun sesaat. Mereka hampir ikut
Wiro Sableng
roboh kalau Patih Sagara Wisamala tidak menarik keduanya menjauhi asap candu
iblis.
“Celaka! Manusia katai itu lenyap!” teriak Patih Sagara. Dia melompat ke
pintu depan. Wiro ikut mengejar. Belasan prajurit mengikuti dari belakang. Di luar
terjadi kegaduhan karena tidak seorang pun prajurit yang mengurung gedung melihat
sosok Soltan ramada.
“Sialan!” maki Wiro. Sementara Patih Sagara Wisamala terduduk di tangga
gedung. Semua orang terdiam seolah-olah habis daya. Kesunyian mencekam di dalam
dan di luar gedung. Namun tiba-tiba ada satu suara tertawa cekikikan dari arah
persimpangan jalan yang gelap di seberang sana.
“Siapa yang tertawa?” tanya Patih Sagara pada Wiro.
“Tak dapat saya pastikan. Tapi itu suara perempuan!” jawab Wiro. Lalu dia
mendahului melompati tangga dan lari ke arah persimpangan. Ketika Patih Sagara
mengikuti, semua orang langsung menghambur pula.
– == 0O0 == –
DUA BELAS
DI persimpangan jalan yang tadinya gelap dan kini diterangi oleh sekian
banyak obor, kelihatan Soltan Ramada tegak tak bergerak. Di depannya berdiri
seorang nenek tinggi kurus. Demikian kurusnya seperti hanya tinggal kulit pembalut
tulang. Kulitnya hitam pekat seperti jelaga. Pipi dan kedua matanya cekung. Batok
kepalanya ditumbuhi rambut jarang berwarna putih, begitu juga warna alisnya. Lima
buah tusuk kundai perak menghiasi kepalanya. Kelima tusuk kundai itu tidak
disisipkan disela-sela rambut tapi ditusukan ke kulit kepala!
“Guru! Eyang!” teriak Pendekar 212 ketika dia mengenali bahwa nenek di
tengah jalan itu bukan lain adalah Eyang Sinto Gendeng, gurunya sendiri!
Patih Sagara Wisamala terkesiap. Selama ini dia belum pernah bertemu muka
dengan si nenek sakti, hanya mendengar nama dan kehebatannya saja. Diam-diam
hatinya tergetar juga melihat keangkeran Sinto Gendeng.
Wiro jatuhkan dirinya di depan sang guru. Si nenek memandang padanya.
Wiro Sableng
“Anak sableng!” si nenek memaki. ”Apa yang kau lakukan hingga ada orang
mengirim kabar bahwa kau sekarang sudah kaya raya. Jadi pedagang candu kelas
kakap! Katanya kau juga sudah jadi Ketua satu komplotan bejat! Apa memang betul
begitu?”
“Semua dusta dan fitnah busuk dari orang-orang ,” jawab
Wiro.
“Nenek sakti, muridmu tidak bersalah. Dia memang korban fitnah,” berkata
Patih Sagara Wisamala.
Sinto Gendeng melirik pada sang patih. Dia sebenarnya sudah tahu siapa
adanya orang yang barusan bicara itu namun dia bersikap acuh saja.
“Ah, kalau begitu percuma saja aku datang jauh-jauh. Orang-orang kerajaan
yang tidak bisa mengurus negeri akibatnya aku dan muridku yang jadi korban. Malah
aku menyirap kabar bahwa diriku akan dijadikan sandera. Jika kau tidak menyerahkan
diri maka aku akan digantung! Busyet!” si nenek cekikikan.
Paras Patih Sagara Wisamala berubah, sebentar marah sebentar pucat. Dalam
hati dia bertanya. “Bagaimana nenek ini tahu rencana Sri Baginda itu? Ah, aku benarbenar
jadi tidak punya muka.”
“Eyang, bagamana kau bisa muncul di sini?” bertanya Wiro.
“Tubuh tua keropos ini tidak ubah seperti daun kering,” jawab Sinto Gendeng
pula. “Mudah ditiup angin dan melayang ke arah mana saja. Tapi waktu aku sedang
melancong makan-makan angin di persimpangan sini, kulihat si kate botak ini berlari
seperti orang dikejar setan. Celananya basah. Rupanya dia sudah kencing di celana!
Hik…hik… hik!” si nenek tertawa cekikikan.
Patih Sagara Wisamala dan orang-orang yang berada di tempat itu hampirhampir
tak bisa menahan geli mendengar ucapan si nenek dangan gayanya waktu
bicara. “Wiro! Kowe tahu siapa adanya kecoak botak ini?!”
“Namanya Soltan Ramada alias Cula Singkir. Dia seorang pentolan penting
,” menerangkan Wiro.
“Ah..ah…ah! Jadi namanya Sultan bercula!” kata si nenek sengaja salah
menyebut nama manusia katai itu. “Karena curiga, begitu kepapasan aku totok
tubuhnya. Ternyata dia adalah bangsat yang harus dibekuk!”
“Kami berterima kasih karena kau telah menangkapnya. Jasamu akan kami
laporkan kepada Sri Baginda,” kata patih kerajaan.
Wiro Sableng
Si nenek tersenyum. Senyumnya itu justru membuat tampangnya tambah
angker. “Hidup hampir seratus tahun, tak pernah aku mencari nama meminta
pamrih!” Sinto gendeng berpaling pada muridnya. “Sableng! Kau bangkitlah! Aku
bukan orang penting yang patut kau hormati dengan berlutut!” Sinto Gendeng
mengangkat tangannya. Wiro merasakan bahunya yang dipegang seperti lengket dan
ditarik oleh satu kekuatan dahsyat. Dia ingin menjajal. Dia kerahkan tenaga dalam
tubuhnya menjadi seberat seekor gajah. Sinto Gendeng tampak mengerut
tampangnya. Dia lipat gandakan tenaganya menarik bahu muridnya.
“Brettt!!!”
Pakaian Wiro robek sedang tubuhnya tetap saja berlutut.
“Anak setan!” maki si nenek perlahan. “Ternyata kau sudah memiliki tenaga
dalam luar biasa…”
“Saya tidak punya apa-apa eyang. Masih bodoh seperti dulu,” sahut Wiro.
Si nenek melotot lalu mendongak dan tertawa gelak-gelak. Dia memberi
isyarat agar Wiro berdiri. Setelah muridnya berdiri maka Sinto Gendeng lantas
berkata. “Aku tidak punya kepentingan lama-lama di tempat ini. Sebelum aku
berangkat ada satu pegangan hidup yang hendak kusampaikan dan harus kau ingat
baik-baik. Kau mau mendengarnya anak sableng?!”
“Saya mendengar Eyang…”
“Dalam perjalanan hidup seseorang, jika dia berbuat satu kebenaran atau
kebaikan, tidak ada orang yang mengingatnya. Tapi bilamana dia berbuat kealpaan
atau kesalahan, tidak ada orang yang melupakannya. Nah, kau ingat hal itu baik-baik
agar kau hidup mawas diri dan mandiri!”
“Saya akan mengingatnya baik-baik Eyang. Saya mengucapkan terima kasih
atas budi baik Eyang menyampaikan pegangan hidup ini.”
“Bagus! Tetaplah mengasah otak. Tapi juga jangan lupa mengasah hati!” habis
berkata begitu Sinto Gendeng berkelebat dan di lain saat tubuhnya sudah lenyap dari
persimpangan itu.
Untuk beberapa lamanya tempat itu diselimuti kesunyian. Tak ada yang
bergerak, tak ada yang bersuara. Akhirnya Patih Sagara Wisamala melangkah
mendekati Soltan Ramada.
“Aku tahu kau bukan Ketua . Sekarang katakan pada kami
siapa pemimpinmu dan tunjukkan di mana markasnya!”
Wiro Sableng
“Aku… aku tidak tahu. Aku tidak pernah bertemu dengannya. Apalagi tahu di
mana markasnya…” jawab si kate.
Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah ke hadapan si katai. “Begitu
katamu…?” Dia memandang berkeliling lalu berteriak. “Tanggalkan seluruh pakaian
kecoak ini! Cari tali! Dia pantas diperlakukan sama seperti si gendut Sentiko!”
Mendengar teriakan Wiro itu lumerlah nyali si katai. Dia segera meratap.
“Jangan… jangan diikat anuku! Akan aku katakan. Aku tidak tahu namanya. Ketua
 menyebut dirinya dengan Pangeran…”
“Pangeran?” ujar Patih Sagara Wisamala.
Wiro sendiri merasakan darahnya berdesir mendengar sebutan Pangeran itu.
“jangan-jangan si keparat itu…” katanya dalam hati.
“Betul. Pangeran. Begitu aku memanggilnya. Aku akan tunjukkan tempat
kediamannya… Tapi jangan anuku diapa-apakan… Kalian boleh pukul aku sampai
babak belur. Tapi anuku itu… jangan…!”
Wiro menyeringai. Dia tarik leher jubah hitam Soltan Ramada. Lalu orang
yang masih berada dalam keadaan tertotok ini dilemparkannya ke dalam sebuah
gerobak.
Dengan petunjuk Soltan Ramada, pepohonan dan semak belukar yang
menutupi mulut goa berhasil disingkirkan. Namun batu besar yang menghalang di
sebelah dalam menjadi persoalan karena Soltan tidak tahu bagaimana cara
membukanya.
Patih Sagara Wisamala sesaat meragu. Apakah dia terpaksa memperlihatkan
kehebatannya membobol batu itu. Bagaimana kalau ternyata kesaktiannya tidak
mampu menghancurkan batu. Atau akan dimintanya saja Pendekar 212 untuk
melakukannya?
Wiro yang melihat sang patih ragu-ragu segera angkat tangan kanannya.
Kedua kakinya terpentang. Perutnya mengempis. Tangan kanannya bergetar hebat
tanda seluruh tenaga dalam yang ada di perut tengah dialirkannya ke tangan.
Perlahan-lahan tangan itu mulai berubah menjadi putih berkilat seperti perak.
Patih Sagara Wisamala memperhatikan tak berkedip. Dia tahu pukulan sakti
apa yang hendak dikeluarkan Wiro guna menghantam batu, “Pukulan Sinar
Matahari.” Selama ini dia hanya mendengar saja tentang kehebatan pukulan itu. Kini
Wiro Sableng
dia akan menyaksikannya sendiri. Orang-orang lainnya yang berjumlah hampir
seratus, menunggu dengan tegang.
Pendekar 212 membentak keras. Bersamaan dengan itu tangan kanannya
dipukulkan ke depan. Sinar putih menyilaukan membersit disertai menghamparnya
hawa panas luar biasa, membuat semua orang yang ada di situ cepat menjauh.
Terdengar suara berdentum. Batu besar yang menutup mulut goa di sebelah
dalam hancur berantakan. Jalan masuk ke dalam goa kini terbuka lebar. Semua orang
leletkan lidah. Patih kerajaan sendiri tak habis kagumnya menyaksikan pukulan sakti
yang tadi dilepaskan Wiro itu.
Pendekar 212 melompat masuk ke dalam goa. Untuk beberapa lamanya
Pukulan Sinar Matahari masih disiapkannya karena khawatir akan menemui hal-hal
yang tak terduga di dalam sana. Patih Sagara menyusul masuk sambil menyeret
Sultan Ramada. Seluruh ruangan dalam goa diperiksa, termasuk kamar di mana
biasanya perempuan gemuk bernama Ramini menunggu kedatangan kekasihnya yaitu
Soltan Ramada.
Atas petunjuk Soltan Ramada, semua peralatan rahasia yang ada dalam goa itu
diperiksa dan dilumpuhkan. Ternyata goa itu kosong. Tak ada seorang pun ditemui di
tempat itu. Tidak juga orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran itu.
“Goa ini kosong! Jangan-jangan kau mengadali kami!” Patih Sagara Wisamala
menggeram dan memandang mendelik pada Soltan Ramada. Tangannya bergerak
mencekik leher jubah si katai ini.
“Saya tidak berdusta. Sekali ini saya tidak berdusta. Pangeran itu pasti telah
melarikan diri…” kata Soltan Ramada dengan suara ketakutan.
“Awas ada benda jatuh!” satu dari dua perwira tinggi Kerajaan yang ada di
dalam goa berteriak memberi peringatan. Mengira ada senjata rahasia yang
menyerang Wiro dan Patih Sagara siap hendak menghantam. Ternyata yang melayang
jatuh adalah sehelai kertas putih yang rupanya sebelumnya memang sengaja
ditempelkan di langit-langit goa lalu terlepas dan jatuh ke bawah.
Wiro cepat menangkap kertas itu.
“Ada tulisan di sebelah belakang!” seorang prajurit memberi tahu.
Wiro membalikkan kertas itu. Keningnya mengernyit.
“Sialan keparat!” maki Wiro kemudian. Kertas itu hendak dirobeknya tapi
cepat diambil oleh Patih Sagara lalu membaca apa yang tertulis di atas kertas itu.
Wiro Sableng
Pendekar 212!
Jangan kau merasa menang. Bagaimana pun juga aku sempat
mempermainkanmu. Dan kau sampai saat ini masih belum bisa
menangkapku. Selama siang selalu berganti dengan malam, selama
itu pula aku akan tetap menjadi musuh bebuyutanmu. Serikat
Candu Iblis boleh musnah. Tetapi Pangeran Matahari tetap tak
bisa kau kalahkan! Kita pasti akan bertemu lagi dan kau tetap
berada di pihak yang kalah. Ingat hal itu baik-baik. Ha..ha…ha…!
Pangeran Matahari
“Pangeran keparat!” terdengar Pendekar 212 memaki. “Dia rupanya yang jadi
biang racun…! Ketua ! Bangsat! Satu ketika kelak lehernya pasti
akan kupuntir!”
TAMAT

Tidak ada komentar: