Rabu, 01 Februari 2012

061. PETI MATI DARI JEPARA

DI LAUT OMBAK BERGULUNG DAHSYAT BERPACU
MEMECAH MENUJU PANTAI. LANGIT MALAM TAMPAK
HITAM DISAPUT AWAN GELAP DAN TEBAL. ANGIN
MENDERU KENCANG MENIMBULKAN SUARA ANEH
MENGGIDIKKAN.
Di daratan Jepara udara malam dingin mencucuk.
Kesunyian dipecah oleh suara desau daun-daun
pepohonan tertiup angin yang datang dari arah laut. Hujan
rintik-rintik mulai turun. Di kejauhan terdengar suara lolong
anjing bersahut-sahutan. Malam itu adalah malam Jum’at
Keliwon!
Di antara desau angin malam dan gemerisik suara
daun-daun pepohonan yang sesekali dirobek oleh lengking
lolongan anjing, dari arah timur Jepara terdengar
gemeretak suara roda-roda kereta mengiringi derap kaki-
kaki kuda yang menariknya.
Dalam kegelapan malam, sebuah kereta, laksana
kereta hantu meluncur keluar dari sebuah lembah yang
rapat oleh pohon-pohon besar dan semak belukar. Kereta
terbuka ini bergerak perlahan  tetapi pasti. Sais yang
mengendalikan dua ekor kuda penarik kereta agaknya
sengaja bergerak lambat perlahan. Orang ini mengenakan
ikatan kepala tebal dari kain putih. Baju putihnya yang
tidak dikancing tersibak ditiup angin malam, membuat
dadanya tersingkap. Tiga deretan angka samar-samar
tampak tertera di dada yang penuh otot itu. 212.  
Pandangan matanya jarang berkesip. Wajahnya tampak
keras menahan gejolak dendam kesumat sakit hati.
Kedua orang tuanya dulu tewas akibat kejahatan
manusia-manusia durjana. Kini manusia-manusia seperti
itu pula yang menghancurkan kehidupan keluarga paman-
nya. Sumiati, saudara sepupunya diculik, diperkosa ber-
gantian secara keji dan tidak diketahui berada di mana.
Kakeknya menemui ajal di tangan seorang pengkhianat
yang bersekutu dengan tiga manusia dajal: Ganco Langit,
Ganco Bumi dan Ganco Laut!
Kapan kejahatan akan berakhir di dunia ini? Apakah
orang-orang dunia bersilatan seperti dia yang selalu harus
turun tangan sementara mereka yang berwenang dan
berkuasa seolah-olah buta mata dan buta hati tidak
melihat dan merasakan semua apa yang menyengsarakan
rakyat? Malah secara diam-diam bersekutu dan menerima
hadiah dari persekutuan jahanam itu!
Memasuki mulut jalan yang menuju kota, Pendekar 212
Wiro Sableng semakin memperlambat lari dua ekor kuda
penarik kereta. Malam ini dia akan mulai melakukan satu
pekerjaan besar dan berbahaya.
Di belakangnya di atas kereta yang terbuka, mendekam
angker sebuah peti mati sangat besar, berwarna hitam
pekat.
Pada kayu penutup peti mati kelihatan deretan angka
212, ditera besar-besar dengan cat putih. Angka-angka
seperti itu juga terdapat pada tiap sisi peti mati.
Di atas peti mati hitam itu duduk Ken Cilik. Tidak seperti
biasanya, saat itu binatang ini sama sekali tidak
mengeluarkan suara sedikitpun. Dia duduk tak bergerak.
Kedua matanya memandang ke depan. Seolah-olah
mahluk ini paham apa yang akan dilakukan Pendekar 212
Wiro Sableng, orang yang kini dianggapnya sebagai
tuannya sejak Ranalegowo  tewas dibunuh orang-orang  
Ganco Item.
Kereta semakin jauh masuk ke dalam kota, Jepara
diselimuti kesunyian. Kereta bergerak menuju pusat kota
dan akhirnya berhenti di pintu gerbang sebuah bangunan
besar yang tidak lain adalah gedung Kadipaten.
Saat itu Adipati Jepara sedang bertugas di selatan.
Karena itu penjagaan di gedung tidak seberapa ketat. Di
pintu gerbang sama sekali tidak ada pengawal. Satu-
satunya pegawai tampak tidur mendengkur dekat kaki
tangga gedung.  
Pendekar 212 memasang telinganya. Lalu memandang
berkeliling. Sepi, tak ada sesuatupun yang bergerak. Wiro
tepuk pinggul dua ekor kuda penarik kereta.
Kedua binatang ini melangkah perlahan. Kereta ber-
gerak melewati pintu gerbang lalu berhenti di depan
tangga, tak berapa jauh dari sebuah arca.
Dari lantai kereta Wiro mengambil sebuah potongan
kayu. Benda ini dilemparkannya ke arah pengawal ber-
muka bopeng yang tertidur mengorok. Potongan kayu itu
tepat jatuh dan masuk ke dalam mulut pengawal yang me-
nganga.
Sesaat masih terdengar suara dengkur pengawal itu,
lalu diam. Menyusul suara seperti tercekik. Kemudian
tampak pengawal itu menggapai-gapai kelagapan. Sadar
ada sesuatu di dalam mulutnya, cepat-cepat dia me-
muntahkan. Potongan kayu melesat dari dalam mulutnya,
jatuh ke dekat kakinya. Dengan rasa tak percaya, penuh
heran pengawal ini mengambil potongan kayu itu.
“Edan!” rutuknya. “Bagaimana  kayu ini bisa ada dalam
mulutku…”
Justru pada saat memaki itulah pengawal ini baru
menyadari kalau di depannya ada sebuah kereta di tarik
dua ekor kuda besar. Di atas kereta duduk tak bergerak
seorang pemuda berambut gondrong, berikat kepala kain  
putih. Lalu pengawal ini jadi mengkeret ketika matanya
membentur peti mati besar di atas kerta. Tak pernah dia
melihat peti mati sebesar dan seangker itu. Seekor monyet
duduk di atas peti mati itu, memandang dengan sepasang
matanya yang berkilat-kilat walaupun dalam kegelapan
malam.
Si pengawal menggosok kedua matanya beberapa kali.
Dia mengira tengah bermimpi. Ketika kereta dan saisnya
tetap terpampang di depannya sadarlah pengawal ini kalau
dia tidak bermimpi. Tiba-tiba saja dia ingat bahwa malam
itu adalah malam Jum’at Kliwon!
“Kereta hantu!” itu kini yang terpikir dalam benak si
pengawal. Kuduknya mendadak sontak menjadi dingin.
Segenap persendiannya jadi bergetar. Dia berusaha berdiri,
tapi pandangan mata sais kereta membuatnya laksana di
pantek ketangga batu dimana dia duduk saat itu!
Dalam keadaan seperti itu pengawal ini coba memper-
hatikan kaki-kaki dua ekor  kuda penarik kereta. Semua
kaki-kaki binatang itu ternyata menginjak tanah. Pertanda
bahwa yang datang bukanlah setan atau hantu. Hal ini
membuat keberaniannya pulih kembali.
“Orang jelek! Kau pengawal yang bertugas di gedung
Kadipaten ini?!” Pendekar 212 Wiro Sableng bertanya
dengan suara garang.
Dipanggil dengan sebutan orang jelek membuat penga-
wal itu marah.
“Orang di atas kereta! Mulutmu kurang ajar! Apa ke-
perluanmu datang ke gedung Kadipaten malam-malam.
Hanya setan yang masih gentayangan malam-malam
begini! Kau ini manusia atau setan?!”
“Dua-duanya!” jawab Pendekar 212 dari atas kereta.
Tangan kanannya memutar-mutar cambuk panjang yang
dipegangnya hingga mengeluarkan suara berdesing ber-
ulang-ulang.  
Mendengar jawaban Wiro sesaat pengawal itu jadi
melengak. “Jangan berani main-main dengan pengawal
Kadipaten!” kertaknya. Lalu dengan marah tangannya dige-
rakkan ke pinggang untuk mencabut goloknya.
Cambuk di tangan Wiro melesat. Ujung cambuk ini
cepat sekali telah melibat pergelangan tangan si pengawal,
terangkat begitu rupa hingga dia tidak bisa menggerakkan-
nya untuk menghunus senjatanya. Pengawal ini jadi ter-
nganga dan berubah tampangnya.
“Kalau kau cabut golokmu, aku akan jadi setan yang
akan menjirat batang lehermu!”
Wiro gerakkan tangannya. Ujung cambuk yang melibat
lengan pengawal terlepas.
Ancaman Wiro tadi membuat si pengawal menjadi ragu.
Tetapi begitu jiratan pada lengannya lepas, dia malah
membentak.
“Setan manusia! Jangan kau berani membuat keonaran
di gedung Kadipaten!”
“Siapa yang membikin onar! Bukan kau duluan yang
hendak mencabut goiok menyerangku?”
“Setan manusia! Kau memasuki tempat ini tanpa izin-
ku!” Wiro menyeringati.
“Setan manusia tidak perlu minta izin pada manusia
jelek sepertimu!” sahut Wiro. “Aku datang mencari seorang
Bintara bernama Anggoro! Aku tahu dia ada di dalam
gedung. Lekas panggil ke mari!”
“Bintoro Anggoro atasanku! Keperluan apa kau mencari-
nya?!”
“Tak perlu banyak tanya. Kau panggil saja Bintara itu.
Cepat!”
“Bintoro Anggoro sedang tidur.”  
“Kalau begitu bangunkan!”
Pengawal bopeng itu terdengar menggrendeng. “Kurang
ajar! Kau ini serta manusia berotak miring rupanya! Lekas  
minggat dari hadapanku! Atau kau akan menyesal!”
Untuk kedua kalinya pengawal ini menggerakkan
tangannya ke pinggang. Sekali ini dia sempat mencabut
senjatanya. Namun sebelum dia bergerak lebih jauh
cambuk di tangan kanan Pendekar 212 kembali berkelebat
dan tahu-tahu batang lehernya sudah terjirat kencang.
“Kau panggil Anggoro atau kuremuk batang lehermu!”
mengancam Wiro.
Lidah pengawal yang lehernya terjirat cambuk itu mulai
menjulur. Matanya mulai mendelik. Goloknya terlepas
jatuh. Tersendat-sendat terdengar suaranya.
“Ja…jangan. Aku…aku akan panggil Bintoro Anggoro.
Aduh…Lepaskan…”
Wiro lepas dan jiratan cambuk. “Katakan pada atasan-
mu itu bahwa Malaikat Maut menunggunya di tempat ini!”
“Malaikat…malaikat Maut?”
“Ya, Malaikat Maut!” jawab Pendekar 212. “Lekas
panggil Bintara itu!” hardiknya kemudian.
Sambil pegangi lehernya yang masih sakit akibat jeratan
cambuk tadi, pengawal ini lari masuk ke dalam.
Saat itu sesosok tubuh mendatangi dari ruang dalam,
langsung memapasi. “Pengawal! Ada apa kau bergegas
memasuki gedung! Tugasmu berjaga-jaga di luar! Tadi
kudengar kau seperti bicara dengan seseorang! Ada siapa
di luar sana?!”
Ucapan dan pertanyaan yang beruntun ini membuat si
pengawal jadi tergagap sesaat.
“Hai! Ada siapa di luar?” bentak orang tadi.  
“Malaikat Maut!” si pengawal akhirnya menjawab.
Orang yang tadi bertanya kertakan rahang. “Malam-
malam begini aku tidak suka ada orang bicara main-main
denganku!”
“Maafkan aku Perwira. Tapi di luar sana memang ada
seorang mengaku Malaikat Maut. Dia mencari Bintoro  
Anggoro.”
Orang yang dipanggil Perwira itu menatap ke arah pintu
depan yang terbuka. Lewat pintu dia melihat di luar sana
ada dua ekor kuda, sebagian ujung kereta lalu seorang
pemuda duduk di atas kereta. Dari tempatnya berdiri
perwira ini tidak dapat melihat peti mati besar di bagian
belakang kereta. Namun dia sempat melihat seekor
monyet duduk menangkring di atas bahu kiri pemuda yang
bertindak selaku sais kereta itu.
“Datang malam-malam begini, membawa seekor
monyet. Tamu aneh…” kata si perwira daiam hati. Lalu dia
berpaling pada pengawal tadi. “Kau teruskan memberi tahu
Bintoro Anggoro. Aku akan menemui tamu tak diundang
itu.”
Perwira tadi lalu cepat-cepat menuju ke bagian depan
gedung Kadipaten. Langkahnya serta merta terhenti begitu
dia melihat apa yang ada di atas kereta, di belakang
pemuda yang duduk memegang cambuk.
“Peti mati. Besar sekali…” kata perwira ini dalam hati.
Lalu dia berpaling menatap heran pada pemuda di atas
kereta. Beberapa saat kemudian dia menegur.
“Aku Ario Gelem, Perwira Muda Kadipaten Jepara.”
Wiro angguk-anggukkan kepala. Matanya memperhati-
kan Ario Gelem tapi tidak berkata apa-apa.
Sikap Pendekar 212 itu membuat sang perwira merasa
tidak enak. Maka diapun melanjutkan kata-katanya.
“Saudara, kau memasuki kawasan gedung Kadipaten
malam-malam begini. Membawa seekor moyet dan sebuah
peti mati besar. Apa keperluanmu?!”
“Aku Malaikat Maut! Datang mencari Bintoro bernama
Anggoro untuk minta pertanggungan jawab!” jawab Wiro.
Perwira muda itu terkesiap sesaat. Dia mengusap
dagunya beberapa kali. Setelah bergumam dia berkata,
“Aku tidak tahu apakah saat ini aku berhadapan dengan  
orang gila atau apa. Tapi kuharap jangan berani bicara
main-main. Lekas pergi dari sini!”
“Malaikat Maut tidak ada yang gila! Ingat hal itu baik-
baik Perwira!” kata Wiro pula sambil menyeringai. “Aku
datang untuk minta nyawa Bintoro Anggoro!”
Ario Gelem hendak tertawa  mendengar kata-kata itu.
Namun ketika dilihatnya wajah Pendekar 212 memancar-
kan sikap dingin dan kedua matanya memancarkan sinar
maut, bahkan seringainya juga menebar hawa kematian,
perwira ini jadi tercekat juga.
“Ada urusan spa kau dengan bawahanku itu?” tanya
Perwira Muda Ario Gelem.
“Kau akan dengar sendiri kalau dia sudah muncul di
sini!” jawab Wiro.
Dua orang melangkah keluar dari ruangan dalam. Di
sebelah belakang adalah pengawal muka bopeng tadi
sedang di depannya seorang lelaki muda yang hanya
mengenakan sehelai pakaian tidur. Di tangan kanannya dia
membawa sebilah pedang.
“Anggoro, orang ini mencarimu. Kau kenal dia?” berkata
Ario Gelem.
Bintara itu memandangi wajah Wiro sesaat lalu meng-
gelengkan kepala.
Saat itu Ken Cilik yang ada di bahu Pendekar 212
keluarkan suara pekikan tiada henti. Kedua matanya
melotot memandang Bintoro Anggoro. Binatang ini tiba-tiba
melompat menerkam kepala Bintara itu.
“Monyet sialani Kau minta  kugebuk!” maki Anggoro.
Tinju kanannya dihantamkan ke kepala Ken Cilik.
Diatas kereta Pendekar 212 gerakkan tangan kanannya
sedikit. Serangkum angin deras menerpa ke arah dada
Anggoro. Bintara ini terjajar  setengah langkah. Hal ini
menyebabkan jotosannya ke arah kepala Ken Cilik tak ber-
hasil menemui sasaran.  
“Ken Cilik! Kembali!” Wiro memanggil.
Monyet coklat itu menjerit beberapa kali, menjatuhkan
diri ke lantai lalu melompat-lompat ke atas punggung salah
seekor kuda penarik kereta. Dari sini Ken Cilik melompat
kembali ke atas bahu Wiro. Wiro usap-usap punggung
binatang ini seraya berkata, “Tenang sahabatku. Aku tahu
kau sudah mengenali si pembunuh itu. Tenang…”
Ketika tadi Wiro menggerakkan tangan melepas pukul-
an tangan kosong yang mengandung tenaga dalam untuk
menyelamatkan Ken Cilik dari pukulan Anggoro, Perwira
Muda bernama Ario Gelem itu sempat melihat gerakan ini.
Dalam hati dia segera memaklumi kalau pemuda gondrong
di atas kereta adalah seorang yang memiliki kepandaian
tinggi. Perwira ini berpaling pada Anggoro lalu berkata.
“Dia mengaku bernama Malalkat Maut. Punya urusan
denganmu!” sambung Ario Gelem.
“Orang gila! Katakan apa kepentinganmu membangun-
kanku malam-malam begini?!” membentak Anggoro.
“Sekitar sepuluh hari lalu kau membunuh seorang tua
bernama Kioro Mertan di sebuah hutan dekat Kudus.
Benar?!”
Paras Bintoro Anggoro berubah. Sesaat dia melirik pada
Perwira Muda di sampingnya lalu menghardik ke arah Wiro.
“Pertanyaan gila apa yang kau ajukan ini?!”
Paras Wiro tidak bergeming. “Aku hanya ingin men-
dengar apa yang kukatakan tadi benar atau tidak!”
Anggoro tidak menyahut. Tangan kanannya meng-
genggam pedangnya kuat-kuat.
“Memang benar!” tiba-tiba Anggoro menjawab. “Sepuluh
hari lalu aku membunuh seorang lelaki tua bernama Kioro
Mertan! Tapi dia adalah kaki tangan gerombolan Ganco
Item!”
“Bintoro Anggoro! Kau bukan saja pandai membunuh
dengan pedangmu tapi juga pandai bersilat lidah memutar  
balik kenyataan!”
“Bangsat! Apa maksudmu!”
“Orang tua korban pembunuhan kejimu itu adalah
kakekku. Dia adalah juga mertua dari Rana Legowo
pamanku yang menjadi kepala desa Jatingaleh. Gerom-
bolan Ganco Item menyerbu desa, membakari rumah
penduduk, merampok dan membunuh. Ketika Kioro
Mertan melakukan pengejaran kau secara keji membunuh-
nya!”
“Aku tidak segila itu membunuh orang! Kioro Mertan
pantas mati karena dia memang kaki tangan gerombolan
Ganco Item!”
“Bukan kakekku itu yang jadi kaki tangan gerombolan
Ganco Item. Tapi kau! Kau menerima sejumlah uang untuk
persekutuan bejatmu dengan manusia-manusia durjana
itu!”
“Kurang ajar! Pembohong besar! Fitnah jahat!” teriak
Bintoro Anggoro lalu menghunus pedangnya dan langsung
menyerbu Wiro yang masih duduk di atas kereta.
Wiro putar tangannya. Cambuk panjang berkelebat di
udara mengeluarkan suara keras, menghantam ke arah
muka Anggoro. Bintara ini terpaksa pergunakan pedangnya
yang tadi dipakai membacok  untuk menangkis. Cambuk
dan pedang saling beradu. Ujung cambuk dengan cepat
melilit badan pedang. Tapi dengan cerdik Bintara ini tarik
pedangnya kuat-kuat hingga  cambuk putus menjadi be-
berapa potongan.
“Kau pasti kaki tangan Ganco Item! Kau juga pantas
kuhabisi saat ini!” teriak Bintoro Anggoro. Kembali dia
menyerbu Wiro yang saat  itu masih tetap duduk tak
bergerak di bagian depan kereta sementara dua ekor kuda
penarik kereta mulai gelisah sedang Ken Cilik mulai
memekik-mekik.
Pedang menderu. Wiro miringkan pinggangnya yang jadi  
sasaran Brett! Pakaian putihnya masih sempat disambar
ujung pedang. Ketika Anggoro berusaha membuat gerakan
membalik untuk membacok kedua kalinya, Pendekar 212
mendahului dengan menghunjamkan kaki kanannya ke
dada Bintara ini.
Anggoro memekik keras. Tubuhnya terpental empat
langkah. Pedangnya lepas, mental ke udara.
Ketika jatuh kembali, Wiro sudah ulurkan tangan dan
menangkap pedang itu.
“Dengan pedang ini dulu kau membunuh kakekku!
Dengan pedang ini pula nyawamu akan kuhabisi!” kata
Wiro masih dari atas kereta. Sementara Anggoro tampak
berdiri terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dadanya yang
serasa pecah. “Bintoro Anggoro! Sebelum kau mati, jawab
dulu satu pertanyaanku! Gerombolan Ganco Item menculik
anak gadis kepala desa Jatingaleh! Kau pasti tahu ke mana
mereka membawanya! Kau  hanya punya waktu satu
kejapan mata!”
“Tunggu!” Tiba-tiba Perwira Muda bernama Ario Gelem
berseru. Dia maju dan tegak antara kereta dengan
Anggoro, “Saudara! Apapun urusanmu dengan bawahanku!
Tidak berarti kau bisa bertindak seenaknya! Aku yakin
Bintoro Anggoro punya cukup bukti-bukti bahwa Kioro
Mertan adatah kaki tangan gerombolan Ganco Item. Dia
membunuh orang tua itu dalam menjalankan tugas!”
“Tugas? Apakah kau yang memberikannya tugas itu
Perwira Muda? Kau tak perlu menyebut seribu bukti. Aku
tahu siapa kakekku! Tanyakan pada bawahanmu itu
berapa uang yang didapatnya rnenjadi kaki tangan Ganco
Item! Ada perajurit-perajurit Kadipaten yang menjadi saksi
hidup! Adalah tolol kalau kau tidak mengetahui siapa
sebenarnya anak buahmu yang satu ini!”
Merah padam wajah Ario Gelem.
“Siapa dia nanti bisa kuperiksa. Sekarang harap kau  
segera tinggalkan tempat ini!” kata Perwira Muda itu pula.
Wiro menyeringai. “Aku tidak akan meninggalkan tem-
pat ini tanpa jazad kotornya!” jawab Pendekar 212. Lalu
tangan kanannya menarik sebuah palang kecil di bagian
kanan kereta. Terdengar suara berkereketan. Penutup peti
mati hitam secara aneh bergerak membuka.
Tampang Bintoro Anggoro menjadi pucat mengkerut.
Wiro melompat turun dari atas kereta. Tapi gerakannya
dihalangi oleh Ario Gelem.
“Kau membuat aku kehabisan kesabaran Perwira
Muda!” ujar Wiro.
“Tinggalkan tempat ini! Itu perintahku!”
“Persetan dengan perintahmu! Aku bukan bawahanmu!”
“Kalau begitu kau minta  digebuk!” mengancam Ario
Gelem.
“Perwira tolol! Kau makan dulu ini!” teriak Wiro marah.
Lalu tangan kanannya menyambar ke dada Ario Gelem.
Perwira ini cepat menghindar sambil memukul lengan
Pendekar 212 dari bawah. Lalu terdengar Ario Gelem
mengeluh. Perwira ini mundur sambil pegangi lengan
kanannya yang saat itu tampak bengkak kemerahan. Sam-
bil menahan sakit, dengan beringas Ario Gelem kerahkan
tenaga dalam lalu lepaskan satu pukulan setelah terlebih
dahulu merapal satu aji kesaktian.
Biasanya dia jarang mengeluarkan ilmunya ini tetapi se-
telah bentrokan tadi dan sebelumnya dia telah pula me-
nyaksikan bagaimana Wiro melepaskan tenaga dalam yang
dapat membuat Anggoro terjajar, maka dia lalu menghan-
tam sambil kerahkan tenaga dalam.
Dua kuda penarik kereta meringkik keras. Monyet di
atas bahu Wiro ikut memekik lalu melompat ke atas
penutup peti mati yang telah terbuka.
Wiro merasakan ada hawa yang sangat dingin meng-
hantam ke arahnya. Dia cepat menghindar sambil siapkan  
tangan kiri untuk menangkis serangan lawan dengan
pukulan tangan kosong pula. Tapi begitu dia kerahkan
tenaga dalam, hawa dingin yang datang menyerbu men-
dadak berubah menjadi hawa sangat panas! Perubahan
secara mendadak dari dingin ke panas ini membuat Wiro
merasakan sekujur tubuhnya seperti disengat.
Jika diikutinya nafsu amarahnya saat itu ingin saja dia
melepas pukulan sinar matahari. Namun karena lebih
mementingkan balas dendamnya terhadap Anggoro maka
Wiro cepat keluarkan ilmu silat Orang Gila yang dipelajari-
nya dari Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya sempoyongan
hebat seperti hendak roboh. Tangan kanannya yang meme-
gang pedang milik Anggoro di angkat ke atas. Untuk sesaat
senjata itu tampak bergoyang keras akibat terjangan angin
pukulan Ario Gelem. Perwira ini sendiri tampak terkejut
ketika melihat bagaimana pedang itu secara aneh bergerak
kian kemari lalu tiba-tiba sekali menyusup di antara angin
pukulannya dan menusuk ke arah perutnya!
Sambil berseru keras Ario Gelem terpaksa melompat
mundur langsung cabut golok di pinggangnya.
Trang!
Terdengar suara berdentrangan ketika golok di tangan
Ario Gelem dan pedang di tangan Wiro saling bentrokan.
Wiro merasakan tangannya bergetar keras. Ario Gelem
merasa bahwa dia memiliki tenaga luar dan tenaga dalam
yang lebih ampuh dari lawannya. Langsung saja Perwira
Muda ini hendak kirimkan satu bacokan ke bahu lawannya.
Tapi alangkah kagetnya dia ketika disadarinya dia tidak lagi
dapat menggerakkan tangan kanannya yang mengacung-
kan golok itu.
Apa yang terjadi atas dirinya? Dicobanya mengangkat
kaki kiri. Tak bisa. Kaki kanan. Juga tak bisa. Tangan kiri.
Sama saja. Astaga! Ternyata dia telah berada dibawah
pengaruh satu totokan yang hebat! Sekujur tubuhnya tak  
bisa digerakkan lagi. Dia tegak seperti patung yang tengah
mengacungkan senjata!
“Perwira tolol! Seharusnya kau menghukum bawahan
seperti ini! Bukan malah melindunginya!”
“Kalau kau berani melakukan sesuatu terhadap Bintara
itu, aku akan mencarimu sampai dapat dan menghukum-
mu!”
Wiro tertawa mendengar ucapan Ario Gelem itu. “Hukum
hanya berlaku untuk orang-orang tolol sepertimu!” kata
Pendekar 212. Lalu dia melangkah mendekati Anggoro
yang saat itu berdiri dalam keadaan ketakutan setengah
mati. Ken Cilik menjerit keras. Monyet ini tiba-tiba
melompat ke arah Bintara  itu, mencengkeramkan kuku-
kukunya di bahu lalu menghunjamkan taringnya di leher
Anggoro. Bintara ini menjerit kesakitan Darah mengucur
dari luka-luka kecil di bahu dan lehernya.
“Ken Cilik! Lepaskan orang  itu! Dia harus mati dengan
cara lain!” kata Wiro seraya angkat tangan kanannya yang
memegang pedang.
Ken Cilik memekik keras lalu melompat ke atas bahu
Wiro.
“Apa yang hendak kau lakukan padaku…?!” tanya
Anggoro dengan suara gemetar.
“Ke mana gerombolan Ganco Item membawa anak
gadis Ranalegowo?! Jawab!”
“Aku…aku tidak tahu. Tapi gerombolan itu kudengar
menuju ke selatan. Mereka…mereka…”
“Mereka apa?!” bentak Wiro. Tangan kirinya menjambak
rambut Anggoro.
“Mereka…mereka hendak  merampok benda-benda
pusaka Keraton Demak yang disimpan di Mesjid Besar…”
Wiro lepaskan jambakannya. Dia berpaling ke arah Ario
Gelem. “Perwira, kau dengar sendiri ucapan itu keluar dari
mulutnya. Kalau bawahanmu ini bukan kaki tangan  
gerombolan Ganco Item, bagaimana dia tahu apa yang
akan dilakukan orang-orang itu?! Lalu apakah dia pernah
melaporkan padamu gerakan dan rencana kejahatan yang
hendak dilakukan gerombolan Ganco Item itu?!” Wiro
menyeringai. “Aku tak perlu jawabanmu Perwira. Tapi
sekarang kau punya otak untuk memikirkan siapa anak
buahmu ini sebenarnya!”
Paras Ario Gelem tampak kelam membesi.
Selagi Wiro bicara kepada Perwira Muda itu, Anggoro
berusaha mencari kesempatan untuk melarikan diri. Tapi
Wiro bukannya tidak tahu. Baru saja orang ini sempat
memutar tubuhnya, Pendekar 212 dengan cepat menusuk-
kan pedang milik Anggoro yang ada di tangan kanannya.
Bintara itu terdengar menjerit keras. Ario Gelem ter-
beliak menyaksikan kejadian  itu. Darah tampak mengucur
dari lambung yang tertembus pedang. Anggoro hanya
mampu tegak sesaat Tubuhnya kemudian rebah dekat kaki
tangga. Suara jeritannya makin perlahan lalu berubah jadi
erangan. Ketika nyawanya putus, Wiro cabut pedang yang
menancap di perut orang itu. Lalu mayat Anggoro dilempar-
kannya ke dalam peti mati.
Wiro melompat ke atas kereta. Ken Cilik melompat pula
ke atas punggung salah seekor kuda penarik kereta.
Binatang ini memandang menyeringai ke arah Ario Gelem.
Di atas kereta Wiro mengambil sebuah kantong tebal berisi
bubuk berwarna abu-abu. Bubuk ini ditebarkannya di atas
mayat Anggoro.
Itulah bubuk penangkal bau busuk yang didapat Wiro
dari Haji Tan si penjual peti mati.
“Perwira Muda…,” kata Pendekar 212 kemudian pada
Ario Gelem. “Ingat baik-baik. Jika kau berusaha mengejar-
ku, peti mati ini masih cukup besar untuk ketambahan
mayatmu!”
Ario Gelem tidak mengeluarkan suara apa-apa. Hanya  
matanya saja yang memandang berapi-api pada Wiro,
Pendekar 212 mendorong palang kayu di bagian kanan
kereta. Terdengar suara berkereketan ketika papan
penutup peti mati yang bertuliskan angka 212 itu bergerak
meninggalkan halaman gedung Kadipaten.
Wiro usap kepala monyet yang kini duduk di sebelah-
nya.
“Baru satu Ken Cilik. Baru satu! Masih ada tiga mayat
lagi akan mengisi peti mati itu, kecuali jika ada yang mau
ikutan! Mari, Ken Cilik. Kita akan mengambil mereka di
selatan…”
Ken Cilik menyeringai lalu membuka mulutnya lebar-
lebar. “Kwik…kwik…Kwiikkkkkl” Kera ini memekik dan
melompat duduk di samping Wiro.
ANGIN BERTIUP KENCANG. HUJAN YANG TADI HANYA
TURUN RINTIK-RINTIK KINf MULAI MEMBESAR LALU
MENCURAH LEBAT. KERETA ITU MELUNCUR TERUS
SEPERTI TIDAK PERDULI AKAN LEBATNYA HUJAN DAN
PEKATNYA KEGELAPAN MALAM. BENAR-BENAR SEPERTI
KERETA HANTU!
***
ENDEKAR 212 Wiro Sableng berdiri di depan
rerumpunan pohon bambu di puncak bukit.
Memandang ke depan, jauh di bawahnya terhampar
pemandangan yang sangat indah berupa suatu pedataran
yang dipenuhi petak-petak tanah persawahan.
Sebuah sungai kecil berair bening yang berkilauan ter-
timpa sinar matahari pagi membelah pedataran persawah-
an dan daerah perumahan penduduk. Sungal kecil itu se-
lanjutnya mengalir ke barat, melewati tambak-tambak IKan
dan akhirnya bermuara di laut biru.
Wiro memalingkan kepalanya ketika di ujung jalan kecil
di bawahnya terdengar suara hiruk pikuk. Seorang lelaki
tua dilihatnya berjalan terburrogkuk-bungkuk. Di tangan
kanannya ada sebatang kayu  kecil yang selalu dikibas-
kibaskan. Sedang didepannya berjalan beriringan sambil
mengeluarkan suara riuh tiada henti serombongan itik yang
jumlahnya lebih dari tiga puluh ekor.
Wiro segera menuruni bukit, menghampiri orang tua
pengangon itik dan melangkah di sampingnya. Sesaat
orang tua itu menoleh dan memandangi si pemuda lalu
seperti tak acuh dia terus saja berjalan.
“Bapak tua, “Wiro menegur. “Apakah yang di bawah
sana itu kampung Jatingaleh?”
Yang ditanya berpaling sambii kerenyitkan kening dan
kibas-kibaskan tongkat kayu di tangan kanannya.
“Kampung katamu? Dulu memang hanya sebuah
kampung. Tapi kini telah berubah menjadi sebuah desa
WIRO SABLENG
1 PETI MATI DARI JEPARA
P
besar. Subur makmur dan tentram. Penduduknya bercocok
tanam, punya tambak dan sawah ladang. Juga banyak yang
jadi nelayan.”
“Ah, aku tidak keliru datang ke tujuan,” kata Wiro dalam
hati dan penuh gembira. Desa Jatingaleh. Dulu hanya
merupakan sebuah kampung. Di situ menurut gurunya dia
punyai seorang paman bernarna Ranalegowo, Wiro benar-
benar merasa gembira.
Sebentar lagi dia akan bertemu adik mendiang ayahnya.
Mungkin juga dengan saudara-saudara sepupunya. Dia
tidak tahu pamannya punya anak berapa. Selama ini dia
merasa hidup sebatang kara, tidak kadang tidak saudara.
Namun hari ini dia akan bertemu dengan seorang paman,
lalu seorang bibi tentunya.
Wiro ingat ucapan gurunya beberapa tahun lalu.
“Menurut apa yang kuketahui…,” berkata Eyang Sinto
Gendeng saat sebelum melepas muridnya itu pergi. “Di
kampung Jatingaleh dekat Jepara kau punyai seorang
paman. Namanya…nggg… kalau tak salah namanya
Ranalegowo. Bila kau punyai waktu sambangi dia. Itu
tandanya kita orang Jawa yang tidak lupa dan selalu
menghormat pada orang tua.”
“Kau bukan orang sini…” kata orang tua pengangon itik.
Wiro tersenyum. Saat itu dia sampai di sebuah telaga
berair dangkai. Orang tua tadi kembali mengibas-kibaskan
tongkatnya, malah kini berteriak, “Mandi, ayo mandi! Cari
cacing sekenyang kalian! Hari  ini kita harus pulang lebih
cepat.”
Puluhan itik itu tampak berserabutan hangar-bingar
masuk ke dalam telaga. Ada yang berenang berputar-putar
sambil mengeluarkan suara memekakan telinga. Ada yang
mencelupkan kepalanya berulang kali. Tapi yang paling
banyak adalah menyudu dengan paruhnya di sepanjang
tepi telaga, mencari cacing-cacing besar yang memang  
banyak terdapat disitu.
Sambil duduk di sebatang tumbangan pohon orang tua
pengangon itik mulai menggulung sebatang rokok. Wiro
ikut duduk di sebelahnya.
“Saya memang bukan orang sini,” kata Wiro. “Saya ke
mari untuk menyambangi seorang paman. Adik ayah saya.”
Orang tua itu menoleh sebentar. Dia tidak berkata apa-
apa, seperti menunggu Wiro bercerita lebih lanjut.
“Saya belum pernah bertemu dengan paman saya itu.
Saya tak kenal dia, dia tentu juga tidak kenal saya.”
“Kau mencari seorang paman…,” Pengangon itik
nyalakan rokok yang barusan digulungnya. “Mengapa tidak
mencari orang tuamu sendiri?”
“Kedua orang tua saya sudah sejak lama meninggal,”
jawab Wiro. “Mereka dimakamkan jauh di tanah barat
sana.”
“Siapa paman yang kau cari itu?”
“Namanya Ranalegowo.”
Orang tua yang hendak menghisap rokoknya itu nampak
berubah parasnya. Rokoknya tak jadi dihisapnya.
“Ranalegowo katamu, anak muda?” Wiro mengangguk.
“Dia adalah kepala desa kami sejak lebih dua puluh
tahun lalu.”
“Kalau begitu saya beruntung punya paman seorang
kepala desa. Rumahnya tentu besar, kudanya banyak,
ternaknya tidak terhitung…”
Orang tua itu tertawa.
“Rumah kepala desa Jatingaleh memang besar. Tapi dia
hidup sederhana. Dia tidak memiliki sawah atau ladang
berpetak-petak. Dia tidak memelihara ternak berkandang-
kandang. dia bekerja keras memang. Tapi bukan untuk
menumpuk kekayaan. Melainkan untuk memberi hidup
yang berarti bagi keluarganya serta membantu penduduk
membangun desa.”  
Orang tua itu hisap rokoknya dalam-dalam, lalu berdiri
dan memandang lekat-lekat pada Wiro. Si pemuda jadi
ikut-ikutan berdiri.
 ”Siapa namamu anak?”
“Wiro, “jawab murid Sinto Gendeng tanpa mau
menambahkan Sableng karena dia kawatir orang tua ini
bisa punya pikiran macam-macam terhadapnya.
“Anak muda, tahukah kau siapa aku…?” bertanya orang
tua bungkuk itu.
“Mana saya bisa menduga,” jawab Wiro.
“Namaku Kioro Mertan. Aku adalah ayah mertua
pamanmu! Anak perempuanku kawin dengan Ranalegowo.
Mereka punya seorang anak tunggal yang kini sudah
menjadi gadis jelita sebayamu. Bernama Sumiati.”
Mendengar kata-kata orang tua itu Pendekar 212 Wiro
Sableng segera membungkuk dalam-dalam.
“Gusti Allah memang Maha Besar!” kata Kioro Mertan
sambil menepuk-nepuk bahu Wiro. “Kalau begitu kita harus
pulang ke desa sekarang jugal Agar kau lekas bertemu
dengan paman dan bibimu serta cucuku Sumiati itu!”
Orang tua itu memutar tubuhnya. Dengan muka penuh
gembira sesaat dia berpaling ke arah kejauhan di mana
terlihat desa Jatingaleh dengan hamparan sawah yang
padinya mulai menguning.
Mendadak air muka Kioro Mertan berubah. “Ya Tuhan!
Apa yang terjadi di desa!”
Wiro berpaling dan memandang ke jurusan desa. Dari
tempat mereka berdiri di tepi telaga itu keduanya melihat
asap hitam mengepul dari atap beberapa rumah.
Penduduk tampak berlarian kian kemari. Di beberapa
jurusan desa kelihatan penunggang-penunggang kuda
bergerak dalam suasana yang onar. Sayup-sayup terdengar
pekik jerit di selingi oleh suara ringkik kuda.
“Kebakaran! Desa diamuk api!” teriak Kioro Mertan.  
Wiro menatap tajam lalu berkata, “Kalau ada empat
lima rumah yang berjauhan dimakan api dalam waktu
bersamaan, lalu penduduk tampak berlarian sambil ber-
teriak-teriak, itu bukan kebakaran. Rumah-rumah itu
sengaja dibakar! Lihat orang-orang yang menunggang kuda
itu!”
Kioro Mertan tidak mendengar lagi apa yang dikatakan
Wiro. Dia juga melupakan itik-itiknya yang ada di telaga.
Orang tua ini dengan seluruh tenaga yang biasa
dikumpulkannya lari menuruni bukit menuju ke desa.
Ketika Wiro dan dan orang tua itu sampai di Jatingaleh
mereka hanya menemukan sisa-sisa kejahatan biadab
menghampar di antara reruntuhan rumah penduduk yang
masih dikobari api. Jerit tangis terdengar dimana-mana.
Tubuh-tubuh bergelimpangan. Ada yang sudah jadi mayat.
Ada yang masih meregang nyawa dengan badan penuh
luka bekas bacokan atau tusukan.
Kioro Mertan menemukan rumahnya termasuk salah
satu yang musnah dimakan api. Dia berteriak-teriak seperti
orang gila memanggil-manggil istrinya. Dekat sebuah
lumbung padi yang telah berubah menjadi puing-puing
hitam tergeletak sosok tubuh seorang perempuan tua. Ada
guratan luka yang sangat dalam di pelipis dan pipi kirinya.
“Bune Wini…!” teriak Kioro Mertan begitu melihat
istrinya. Dia menghambur dan jatuhkan diri, merangkul
perempuan itu. “Apa yang terjadi bune. Katakan apa yang
terjadi…!” Dengan bajunya Kioro Mertan menyeka darah
yang membasahi wajah istrinya.
Perempuan itu mengerang panjang tak tahan rasa sakit
yang dideritanya. Kedua matanya terpejam.
“Bune…! Bune…! Kau jangan mati bune! Kau tidak boleh
mati!” teriak Kioro Mertan sesenggukan. Tubuh istrinya
diguncang-guncangnya berulang kali. Saat itu setelah me-
mandang berkeliling beberapa  kali, Wiro ikut jongkok di  
samping kedua orang itu.
“Pake …syukur kau datang…” terdengar suara sangat
perlahan keluar dari mulut perempuan tua itu. Dia bicara
dengan kedua mata masih tetap memicing.
“Katakan apa yang terjadi bune. Bicara bune! Ya
Tuhan!”
“Orang-orang jahat itu pakne. Gerombolan Ganco Item!
Mereka menyerbu desa. Membakar… merampok… Lekas
ke rumah anak kita pakne … Aku kawatir..:” Ucapan
perempuan tua itu hanya sampai di situ.
Kioro Mertan meraung dan mengguncang tubuh itu.
Wiro menyaksikan kejadian itu dengan tangan terkepal.
“Masih saja ada manusia-manusia jahat biadab ber-
keliaran menimbulkan malapetaka…” katanya geram.
“Bapak tua…,” kata Wiro. “Mari saya bantu mendukung
istrimu ke gubuk sana. Ada balai-balai di depan gubuk.
Baiknya kita baringkan dia di atas balai-balai itu.”
“Aku…aku masih sanggup mendukungnya sendiri,”
jawab Kioro Mertan. Dan orang tua bungkuk ini memang
ternyata mampu mendukung lalu membaringkan jenazah
istrinya di alas balai-balai.
“Bapak, tunjukkan pada saya di arah mana rumah
kepala desa menantumu itu.”
Kioro Mertan menyeka kedua matanya yang basah. Lalu
dengan menggigit bibir diusapnya kening dan rambut putih
istrinya.
Orang tua ini berpaling pada Wiro. Dengan suara ber-
getar dia berkata, “Ikuti aku!”
Rumah besar di tengah desa itu tenggelam dalam
korban api.
“Rana! Rawini! Sum…! Dimana kalian?!” teriak Kioro
Mertan. Tak ada sahutan. Orang tua itu berteriak sekali lagi
sementara Wiro melangkah cepat mengelilingi rumah yang
sewaktu-waktu siap ambruk itu, dari atas sebuah pohon  
dekat rumah besar yang terbakar terdengar suara pekikan-
pekikan aneh. Wiro berpaling. Tampak seekor monyet ber-
bulu coklat melompat-lompat kian kemari sambil memekik
tiada henti. Wiro alihkan pandangannya ke arah rumah
yang terbakar kembali. Tiba-tiba dibalik kobaran api dia
melihat ada dua sosok tubuh saling berangkulan, tersandar
ke dinding bangunan.
Wiro tidak dapat memastikan apakah kedua orang yang
saling berangkulan itu satu lelaki, satunya perempuan
masih berada datam keadaan hidup. Sulit untuk
menerobos masuk ke dalam bangunan yang tengah dilalap
api itu. Namun Pendekar 212 masih dapat melihat satu
celah kemungkinan. Dia siap melompat ketika tiba-tiba
dilihatnya Kioro Mertan dari jurusan yang lain hendak
melakukan hal yang sama. Namun orang tua ini tidak
menyadari kalau bagian atap dari arah mana dia hendak
melompat, akan segera roboh.
“Bapak Kioro! Jangan!” teriak Wiro memperingatkan.
Namun orang tua itu sudah nekad. Wiro terpaksa
bergerak memutar lalu melompat. Dia masih sempat
mencekal lengan Kioro Mertan sebelum orang tua itu
melompat. Begitu tangannya memegang lengan, Wiro
segera menarik kencang-kencang. Orang tua itu terseret
keras. Tubuhnya dan tubuh Wiro jatuh saling tindih di
tanah. Hanya sekejap setelah keduanya terhampar di
tanah, atap bangunan yang dikobari api jatuh ke bawah.
Api dan asap hitam menggebubu ke udara. Wiro menarik
tubuh Kioro Mertan menjauhi bangunan.
Lalu ditinggalkan orang tua itu, lari ke samping kanan
bangunan dan dari sini menyusup ke dalam rumah.
Dikeliiingi oleh kobaran api, tidak mudah bagi Wiro
untuk mengangkat dua sosok tubuh itu. Doengan susah
payah sementara ujung bajunya ada yang hangus dimakan
api sedang lengan kirinya tergurat benda lancip mengucur-
kan darah, Wiro akhirnya berhasil juga membawa dua
sosok tubuh itu keluar dari bangunan yang terbakar. Baru
saja dia membaringkan tubuh-tubuh itu di tanah terdepgar
suara menggemuruh. Seluruh  bangunan besar itu roboh.
Api menderu ke atas beberapa tombak. Asap hitam di-
barengi suara letupanletupan ikut mencuat ke udara.
“Rana! Rawini anakku!”  terdengar teriakan Kioro
Mertan. Orang tua ini menghambur ke tempat itu, langsung
jatuhkan diri di antara dua sosok tubuh yang barusan di-
baringkan Wiro di tanah.
Wiro sendiri saat itu tegak tak bergerak sambil me-
nekap luka berdarah di lengan kirinya. Kedua matanya
memperhatikan dua orang yang barusan ditolongnya. Yang
perempuan pasti itu Rawini, anak perempuan Kioro Mertan
jelas tidak tertolong lagi. Perempuan malang ini telah jadi
mayat. Ada luka-luka dalam berbentuk aneh dan
mengerikan di beberapa bagian tubuhnya. Luka yang sama
juga kelihatan di sekujur tubuh suaminya yaitu Rana-
legowo. Daging pada luka itu bukan saja kelihatan ditoreh,
tetapi juga seperti dikoyak dan tercongkel ke atas. Rana-
legowo ternyata masih bernafas walaupun keadaanya tak
mungkin diselamatkan lagi.
Dari mulutnya terdengar suara erangan. Menyebut
nama seseorang yang tidak begitu jelas terdengarnya.
“Legowo…Legowo! Mana Sumi…! Mana cucuku…?!”
Kioro Mertan bertanya dengan  suara keras. Orang tua ini
membuka bajunya dan menutupkannya ke tubuh Rawini
yang penuh luka-luka mengerikan.
“Bapak..” terdengar Ranalegowo berucap.
“Orang-orang Ganco Item menculik Sumiati. Mereka
juga merampok uang lumbung desa! Tolong… Selamatkan.
Jangan pikirkan saya…”
“Jahanam!” kutuk Kioro Mertan.
Wiro berlutut dekat-dekat tubuh Ranalegowo.  
“Paman…” berucap Wiro Sableng dengan suara
tersendat.
Paras Ranalegowo mengernyit. Entah karena menahan
sakit atau terkejut oleh suara Pendekar 212 tadi. Yang
jelas kedua matanya yang sejak tadi terpejam kini tampak
terbuka.
Wiro melihat tak ada lagi sinar kehidupan pada kedua
bola matanya itu. Wiro memegang lengan Ranalegowo.
Ranalegowo masih bisa melihat walaupun peman-
dangannya tidak jelas lagi. Samar-samar dia melihat
seorang pemuda berambut gondrong disampingnya.
“Siapa kau yang memanggilku… pa… paman.”
“Sa… Saya Wiro Saksana.” jawab Wiro menyebut nama
aslinya. “Saya putera Ranawelang, kakak paman…”
Kembali wajah Ranalegowo kelihatan mengernyit. Dia
coba berpikir tetapi dikala maut hendak datang merenggut
jiwanya itu otaknya tak lagi bekerja.
“Rana…. welang…” desisnya.
Wiro usap-usap kepala pamannya “Betul, saya anak
Ranawelang, kakak paman yang tinggal di barat.” Semula
Wiro hendak menotok bagian-bagian tertentu dari tubuh
Ranalegowo.
Namun dilihatnya keadaan pamannya itu sulit untuk
ditolong.
Maka dia hanya bisa memandangi dengan hati pedih.
Ketika hidup dia tak pernah mengenal orang ini. Namun
dari air mukanya Wiro mengetahui bahwa pamannya peker-
ja keras berhati baja. Seorang yang memiliki sikap jantan
dan jujur. Bersedia melupakan kesulitan sendiri untuk me-
nolong orang lain. “Dia seorang paman yang baik. Sayang
aku hanya bisa melihatnya  sesaat saja. Apakah ayahku
juga memiliki ciri-ciri seperti paman?” bertanya Wiro dalam
hati.
Di atas pohon kembali terdengar pekik monyet coklat  
tadi. Kemudian terdengar suara sesunggukan Kioro
Mertan. Wiro segera tahu apa yang terjadi. Ranalegowo
adik ayahnya telah menyusul istrinya.  
Dari atas pohon monyet coklat tiba-tiba memekik keras
lalu melompat ke tanah dan mengelilingi jenazah Rana-
legowo.
“Ken Cilik hentikan jeritanmu! Aku tahu perasaanmu!
Kita semua merasa sangat kehilangan…” Terdengar Kioro
Mertan berkata sambil menutupi mukanya dengan kedua
tangan.
“Ken Cilik…” kata Wiro dalam hati. “Pasti monyet coklat
ini yang dimaksudkan si orang  tua. Mungkin binatang ini
peliharaan pamanku. Binatang terkadang memiliki perasa-
an lebih tajam dan lebih halus dari manusia.”
Monyet itu tiba-tiba melompat ke atas bahu kanan Kioro
Mertan. Orang tua ini mengusap-usap punggungnya
beberapa kali. Wiro jadi terkejut ketika Ken Cilik tiba-tiba
secara tak terduga melompat ke atas bahu kirinya lalu
menjerit keras membuat sakit telinga sang pendekar. Wiro
tak berani bergerak, kawatir monyet itu mencakar atau
menggigitnya.
“Putus telingku!” kata Pendekar 212 dalam hati. Namun
setelah menjerit lagi beberapa kali monyet itu hanya
bertengger diam di pundak Wiro, malah menyurukkan
kepalanya ke balik rambut gondrong sang pendekar sambil
mengeluskan suara seperti merintih. Walau dia jadi
merinding kegelian tapi Wiro kini bisa menarik nafas lega.
Dicobanya mengusap kuduk dan punggung Ken Cilik.
Monyet ini semakin menempelkan tubuhnya ke bahu
wiro. Binatang itu tampak jinak namun tetap saja Wiro
merasa agak merinding.
Wiro dan Kioro Mertan melihat kini banyak orang ber-
kerumun berkeliling di tempat itu. Mereka adalah pen-
duduk desa yang baru saja mengalami malapetaka hebat  
itu. Wajah mereka masih pucat membayangkan ketakutan.
Anak-anak menangis dalam dukungan ibu mereka. Semua
menatap pedih pada Kioro  Mertan dan sosok jenazah
kepala desa mereka beserta istrinya yang ikut jadi korban.
“Orang-orang jahat itu sudah pergi. Untuk sementara tak
ada yang perlu ditakutkan,” Wiro coba menenteramkan.
“Bantu aku mengurus jenazah warga desa yang menjadi
korban,” berkata Kioro Mertan dengan hati pedih. Lalu dia
ingat sesuatu. Orang tua  ini memandang berkeliling.
“Gerombolan rampok Ganco Item telah menculik Sumiati
cucuku. Ada yang tahu ke arah mana para penjahat
melarikannya?”
Dua orang menunjuk ke jurusan tenggara.
Kioro Mertan mengangguk. “Memang ada kabar-kabar
bahwa mereka bermarkas di tenggara. Di sekitar hutan
belantara dekat Kudus. Aku  akan mengejar mereka ke
sana. Bahkan sampai ke perut bumi sekalipun!”
Penduduk desa yang tewas akibat keganasan gerombol-
an rampok Ganco Item berjumlah enam belas orang. Sem-
bilan letaki, lima perempuan dan dua orang anak-anak. Di
luar desa Jatingaleh di mana terletak daerah pekuburan
kini kelihatan empat belas kubur baru. Dua anak yang jadi
korban dikubur satu dengan ibu masing-masing.
Suasana hening mencekam. Di langit sang surya ber-
sinar terik menyengat kulit. Tapi agaknya tak seorangpun
mau beranjak sampal akhirnya Kioro Mertan, orang paling
tua yang ada di tempat itu berkata.
“Kalian semua kembali ke desa. Lakukan apa saja
untuk memperbaiki keadaan…”
Satu demi satu orang desa beranjak dari tempatnya.
Namun ada enam orang pemuda dan tiga orang lelaki
baya tetap berada di pekuburan itu. Salah seorang dari
mereka berkata.
“Bapak Kioro. Kami tadi mendengar maksudmu hendak  
mengejar para penjahat. Kami semua disini slap ikut ber-
samamu melakukan pengejaran.”
“Kalian semua orang-orang jantan yang gagah perkasa;”
kata Kioro Mertan dengan hati terharu. “Tapi kalian lebih
diperlukan di desa untuk membantu membangun rumah-
rumah yang musnah. Biar aku sendiri yang mencari
manusia-manusia puntung neraka itu!”
Sembilan lelaki itu nampak kecewa mendengar ucapan
Kioro Mertan. Sementara itu  Wiro sendiri dalam hati
bertanya-tanya. “Orang tua bungkuk ini, dia siapakah dan
bisa mengandalkan apakah hingga berkata ingin mengejar
sendiri para penjahat yang telah menculik cucunya itu?”
Satu demi satu ke sembilan orang itu meninggalkan
pekuburan. Ketika mereka hanya tinggal berdua, Kioro
Mertan berpaling pada Wiro lalu berkata.
“Pertemuan kita hanya sampai disini. Aku harus pergi
mencari manusia-manusia jahat  itu. Aku akan kembali ke
desa untuk mengambil kuda.”
Lalu tanpa menunggu jawaban Wiro orang tua itu
melangkah ke jurusan dua buah kuburan baru yaitu kubur-
an anaknya dan menantunya.  Wiro mengikuti dari bela-
kang.
***  
WIRO SABLENG
2 PETI MATI DARI JEPARA
I hadapan kedua kuburan itu Kioro Mertan
merenung beberapa lamanya. Wiro mengikuti dari
belakang.
Di hadapan kedua kuburan itu Kioro Mertan merenung
beberapa lamanya. Kemudian terdengar suara orang tua
ini berkata.
“Nasibmu tidak beruntung, Wiro. Kau tak sempat mene-
mui paman dan bibimu.”
“Mungkin memang begitu takdir saya. Takdir kita
semua.”
Kioro Mertan tersenyum pedih. “Ini cobaan berat buat-
ku. Terkadang kita manusia bisa salah berpikir dan men-
jadi sesat dalam penderitaan. Mengapa Tuhan mengambil
begitu cepat orang-orang baik seperti menantuku dan
anakku, penduduk desa yang tidak berdosa. Sementara
manusia-manusia jahat dibiarkan gentayangan melakukan
kekejaman tiada taranya…”
“Jangan berpikir seperti itu bapak. Salah-salah kita bisa
jadi kehilangan iman terhadap Gusti Allah,” kata Wiro.
Kioro Mertan menarik nafas dalam.
“Selamat tinggal anak muda. Aku harus pergi.”  
“Bapak, tunggu dulu. Saya ingin mengatakan sesuatu,”
kata Wiro pula.
“Apa yang hendak kau katakan, Wiro?”  
“Ranalegowo adalah pamanku. Istrinya adalah bibiku
dan Sumiati putri mereka adalah saudara sepupuku. Saya
D
merasa punya kewajiban untuk menuntut balas. Mohon
dimaafkan. Mengingat usiamu yang sudah lanjut, maukah
kau mewakilkan kepada saya  untuk melakukan pengejar-
an?”
Orang tua itu menatap Wiro lama sekali. Lalu dia ber-
kata, “Kepolosan hati dan  keberanianmu sama dengan
menantuku. Pasti ayahmu memiliki sifat jantan seperti itu
juga. Tetapi tidak anak muda. Urusan balas dendam ini
adalah urusanku. Usiaku memang tua tapi untuk menuntut
balas soal umur tidak meniadi masalah.
“Saya mengerti bapak tua.  Namun yang kau hadapi
adalah segerombolan manusia-manusia jahat. Yang tidak
segan-segan membunuh orang sekalipun perempuan atau
anak-anak.”
“Kau betul. Siapa yang tidak kenal dengan gerombolan
Ganco Item. Kejahatan dan kekejaman mereka iebih ganas
dari iblis…”
“Siapa sebenarnya penjahat-penjahat itu, pak tua?”
tanya Wiro.
“Mereka terdiri dari tiga orang yang memegang pucuk
pimpinan. Dua di antaranya bersaudara yaitu Ganco Langit
sang kakak, lalu adiknya Ganco Bumi. Yang ketiga dikenal
dengan nama Ganco Laut. Ketiganya berkulit hitam legam.
Itu sebabnya mereka menyebut diri Ganco Item. Mereka
tidak punya tempat tetap. Tapi ada kabar bahwa mereka
suka bermarkas di sebuah hutan di timur Kudus. Mereka
bisa keluar masuk kota-kota di pesisir utara ini tanpa ada
yang berani menganggu…”
“Termasuk pasukan atau perajurit Kadipaten?” tanya
Wiro.
“Jangankan pasukan Kadipaten. Balatentara dari Kota
rajapun tidak berani turun tangan…”
“Pasti ada apa-apanya.”
“Itu bukan rahasia lagi. Ada kabar yang kusirap bahwa  
sebagian dari hasil kejahatan mereka dikirimkan sebagai
upeti kepada beberapa orang Adipati di pesisir utara ini,
juga dikirim pada pejabat-pejabat tertentu di Kotaraja! Lain
dari itu kabarnya mereka juga bekerjasama dengan
komplotan lanun Tengkorak Darah yang sering malang
melintang di Laut Jawa.”
“Bekerjasama bagaimana maksudmu, pak tua?”
“Bajak laut Tengkorak Darah menjual sebagian hasil
bajakan mereka dengan harga murah pada komplotan
Ganco Item. Ganco Item tidak membayar dengan uang, tapi
menyerahkan segala kebutuhan makanan atau minuman
bagi para bajak. Termasuk perempuan-perempuan!”
Sampai di situ Kioro Mertan terdiam. Dia ingat pada
cucunya yang diculik.
“Sumiati…” desisnya. “Aku harus melakukan pengejaran
sekarang juga!”
Lalu tanpa berkata apa-apa lagi pada Wiro orang tua ini
lari ke arah desa. Sesaat Wiro perhatikan cara lari Kioro
Mertan. Ada rasa heran, dalam diri Pendekar 212 kini.
Orang tua bungkuk itu bukan lari seperti orang biasa.
Sebentar saja dia sudah lenyap di tikungan jalan di ujung
pekuburan.
“Ah, orang tua itu pasti punya ilmu kepandaian. Larinya
saja sebat sekali. Aku telah menduga salah padanya.
Untung dia tidak tersinggung. Namun tak bisa kupercayai
dia bakal mampu menghadapi komplotan Ganco Item
seorang diri. Aku harus menyertainya. Bukankah dia bisa
kuanggap sebagai kakek sendiri?” Serta merta Wiro tinggal-
kan pula pekuburan itu.
Tapi baru bergerak dua langkah tiba-tiba terdengar
suara pekik-pekik keras. Sebuah benda melayang ke arah
Wiro. Mengira ada yang hendak membokongnya Pendekar
212 segera hendak mengantam. Tapi hup!
Benda yang melayang itu hingga di bahu kirinya. Wiro  
berpaling. Dia melihat satu kepala kecil, sepasang mata
coklat yang bersinar-sinar lalu sebuah mulut yang
menyeringai memperlihatkan barisan gigi-gigi kecil putih
dan runcing.
“Ken Cilik…! Kau mengejutkanku saja!” kata Wiro.
Monyet di atas bahu kiri Wiro menyeringai lalu memekik
beberapa kali.
“Anak nakal! Apa kau mau ikut kemana aku hendak
mencari manusia-manusia jahat itu?!”
Monyet coklat itu memekik tiga kali.
“Bagus, kau mengerti apa yang aku bilang. Kau bisa
membantuku. Paling tidak mengenali tiga orang gembong
Ganco Item itu.”
“Kuik… kuik… kuik…” Ken Cilik kembali memekik.
***  
WIRO SABLENG
3 PETI MATI DARI JEPARA
I DALAM hutan belantara di sebelah timur Kudus
Ganco Langit menyambut kedatangan adiknya dan
Ganco Laut yang baru saja kembali dari penjarahan
di Jatingaleh.
Begitu Ganco Bumi melompat turun dari kudanya,
Ganco Langit memeluk adiknya ini dan menepuk-nepuk
bahunya.
“Bagus! Kau ternyata mampu bergerak sendiri! Satu
pertanda bahwa kita semakin kuat!” kata Ganco Langit.
Ganco Bumi tertawa sambil mengusap-usap dagunya
yang ditumbuhi janggut kasar.
Ganco Langit melangkah mendekati Ganco Laut. Dia
juga menepuk bahu kawannya ini seraya bertanya, “Kalian
tidak menemui kesulitan?”
“Sama sekali tidak. Pasukan Kerajaan tidak kelihatan
mata hidungnya. Apalagi pasukan Kadipaten.” jawab Ganco
Laut.
Ganco Langit tertawa gelak-gelak. “Mana mereka berani
terhadap kita. Baru melihatmu saja mereka sudah ter-
kencing-kencing ketakutan. Kalaupun mereka tahu kita
hendak menuju satu sasaran, mereka sengaja menghindar
ke jurusan lain, pura-pura tidak tahu!” Ganco Langit tertawa
lagi.  
“Eh… banyakkah hasil kita kali ini?” Dia memandang
berkeliling.  
“Rejeki kita besar sekali hari ini Langit,” menjawab
Ganco Bumi si adik. “Apa yang kita sangka tidak meleset.
D
Jatingaleh memang desa kaya. Lihat ini!”
Ganco Bumi melangkah ke kuda tunggangannya ke
dekat kaki kanannya. Terdengar suara gemerincing se-
waktu kantong itu jatuh di tanah.
Ganco Langit membungkuk, membetot lepas ikatan
kantong kain lalu memasukkan tangannya ke dalam
kantong. Ketika tangannya itu diangkat kelihatan dia
menggenggam uang perak dan beberapa potong perhiasan
dari emas!
Kedua mata Ganco Langit tampak berkilat-kilat.
“Kita akan rayakan peristiwa besar ini nanti malam!”
kata Ganco Langit.
“Cocok!” teriak Ganco Bumi. “Tapi kau belum melihat.
Ada lagi barang antik yang kudapat di Jatingaleh!” kata
Ganco Bumi. Dia mengangkat tangannya, memberi tanda
pada Ganco Laut.
Orang ketiga dari komplotan Ganco Item ini bertepuk
dua kali, seorang anggota komplotan muncul menarik se-
ekor kuda. Di punggung binatang ini membelintang se-
sosok tubuh yang ditutupi dengan sehelai selimut besar.
Anggota komplotan itu membawa kuda yang ditariknya
ke hadapan Ganco Langit. Ganco Bumi kemudian men-
dekat dan menarik selimut yang menutupi. Begitu selimut
tersingkap kelihatanlah sesosok tubuh seorang gadis, ter-
geletak menelungkup di atas punggung kuda.
“Walah! Bokongnya besar amat!” kata Ganco Langit.
Kedua matanya berkilat-kilat.
Ganco Laut dan Ganco Bumi sampai tertawa bergelak.
“Kau baru melihat bokongnya. Belum menyaksikan
wajahnya!” kata Ganco Bumi. Lalu di baliknya tubuh yang
menelungkup dan masih dalam keadaan pingsan itu. Kini
kelihatan Wajah gadis yang pingsan itu. Pakaiannya di
sebelah dada terbuka membuat payudaranya tersibak
menggelembung padat. Rambutnya yang panjang hitam  
tergerai hampir menyetuh tanah.
“Wah! Betul-betul cantik!”  kata Ganco Langit. “Belum
pernah aku melihat perawan secantik ini! Eh, dia masih
perawan?” tanya Ganco Langit seraya berpaling pada
adiknya.
“Aku jamin Langit,” jawab Ganco Bumi.
“Perawan tulen!” kata Ganco Laut pula.
“Anak siapa dia?”
“Ranalegowo.”
“Hemmm, tidak sangka kepala desa itu menyimpan
barang antik begini rupa. Berkali-kali kite meminta uang
perlindungan padanya. Selalu ditolak. Kini malah dia bukan
saja memberikan uang dan perhiasan, tetapi juga anak
gadisnya!” Tiga pimpinan gerombolan Ganco Item tertawa
mengekeh. “Jadi kita pesta malam ini?”
“Pesta semalam suntuk!” jawab Ganco Bumi. Anggota
komplotan yang ada di sekitar situ dan mendengar hal itu
serta merta bertempik sorak gembira.
“Karena kalian yang berbuat  jasa, kuserahkan gadis ini
pada kalian berdua. Kalian boleh menggarapnya ber-
gantian sepuas hati. Sekali ini aku tak apa mendapat sisa.
Setelah kita puas, aku akan menyerahkannya pada sese-
orang. Aku ada rencana bagus!”
Ganco Bumi dan Ganco Laut sesaat saling pandang.
Tidak menyangka pimpinan mereka mau mengalah seperti
itu. Saking gembiranya Ganco Bumi dan Ganco Laut saling
berpelukan lalu tertawa gelak-gelak.
Ganco Langit menyelinap masuk ke sebuah tenda. Di
sini berbaring seorang perempuan muda berbadan gemuk
tapi berdaging padat. Tubuhnya harus ditutup dengan
sehelai kain, itupun hanya sebatas pusat hingga payu-
daranya yang besar kelihatan putih menantang.
“Saya tadi mengintai,” kata perempuan itu seraya
bangkit dan duduk. Payudaranya yang besar kelihatan  
memberat ke bawah.
“Mengintai? Lalu ape yang kau lihat?” tanya Ganco
Langit.
“Kawan-kawan Ganco Langit datang membawa seorang
gadis berambut panjang. Pasti malam ini Ganco Langit
akan melupakan saya dan berpuas-puas dengan gadis
baru itu.”
“Dia memang cantik. Tapi aku lebih suka menggeluti
tubuhnya Jaminten. Gadis itu biar menjadi bagian Ganco
Bumi dan Ganco Laut.”
“Betul itu?” tanya perempuan itu.
“Rebahkan tubuhmu di sampingku. Akan kubuktikan
bahwa aku lebih menyukai dirimu:’
Perempuan gemuk bernama Jaminten tampak ter-
senyum lalu merebah dirinya di atas tikar. Kedua tangan-
nya diangkat dan dijadikan bantal pengganjal kepala. Ke-
dua ketiaknya yang putih tampak penuh ditumbuhi bulu-
bulu hitam lebat.
Ganco Langit suka sekali pada bulu-bulu itu. Hidungnya
diselusupkan ke ketiak kiri Jaminten. Perempuan itu ter-
pekik kecil. Kain yang menutupi auratnya sebelah bawah
ditendangnya. Kini dia menelentang terdengar memburu.
Ganco Langit membalik. Nafasnya terdengar memburu.
Orang-orang Ganco Item mempunyai kebiasaan tertentu
setiap habis melakukan perampokan Mereka melarikan
diri ke tempat persembunyian dengan meninggalkan paling
tidak tiga orang anggota di satu tempat. Ketiga anggota
komplotan penjahat itu ditugaskan untuk memantau apa-
kah ada yang melakukan pengejaran. Jika ada dan jumlah
mereka tidak terlalu banyak maka mereka diharuskan
untuk menyerang para pengejar itu.
Sebaliknya jika kekuatan pihak pengejar jauh lebih
besar maka mereka akan membuat gerakan-gerakan
tipuan sehingga para pengejar memburu ke arah yang  
salah.
Hari itu, setelah menyerbu dan menjarah desa Jati-
ngaleh Ganco Bumi menempatkan tiga orang anak buah-
nya di sebuah tikungan jalan jauh dari sungai kecil yang
membelah desa. Menurut perhitungan Ganco Bumi di Jati-
ngaleh yang merupakan desa petani dan peternak tidak
ada orangorang yang perlu ditakuti. Kepala desa yang
membekal ilmu silat sudah terbunuh. Karenanya tiga orang
saja sudah dirasakan cukup untuk melakukan peng-
hadangan. Ketiga anggota gerombolan ini menunggangi
kuda.
Sampai matahari tinggi, tiga orang penjahat itu tidak
melihat adanya tanda-tanda bakal ada yang akan me-
lakukan pengejaran.
“Bagaimana kalau kita segera menuju ke Kudus saja?”
Salah seorang anggota komplotan berkata.
“Pimpinan memerintahkan kita tetap berada di sekitar
tempat ini sampai menjelang sore. Jika kau mau melanggar
perintah dan ingin mendapatkan hajaran dari Ganco Bumi,
kau boleh saja pergi ke mana kau suka.”
“Tentu saja aku tak berani melanggar perintah. Cuma
aku selalu sial. Mengapa aku yang selalu ditugaskan me-
lakukan penghadangan setiap kita selesai merampok.
Sementara yang lain-lain bersenang-senang menikmati
hasil jarahan.”
Dua kawanannya tidak menyahuti.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda.
“Ada orang datang. Tampaknya cuma sendirian. Kalian
bersiaplah!” kata anggota komplotan
Ganco Item yang bertindak sebagai atasan dari kedua
anggota lainnya itu. Mereka masuk lebih dalam ke balik
tikungan jalan. Masing-masing memegang hulu senjata
mereka yang berbentuk aneh  yakni sebatang besi yang
ujungnya melengkung seperti arit tetapi runcing dan agak  
pipih. Senjata ini mereka sebut Ganco. Senjata dengan
bentuk yang aneh itu mempunyai kemampuan luar biasa.
Selain dapat digunakan untuk membacok atau menusuk,
Ganco Besi itu bisa pula mencungkil tubuh lawan hingga
hatinya terbetol keluar. Dapat dibayangkan jika senjata
berujung runcing berkelik itu menancap di leher atau
menembus perut lawan. Isinya pasti terbongkarl Selain itu
Ganco tersebut bisa diberi bertali atau rantai kecil sehingga
dapat dipakai untuk menyerang lawan yang berada dalam
jarak jauh.
Derap kaki kuda terdengar semakin keras. Tak lama
kemudian muncul seorang penunggang kuda yang me-
macu tunggangannya dengan kencang.
“Cuma seorang tua renta berambut putih!” memberi
tahu salah seorang komplotan.
“Bagaimana, akan kita kerjakan?”
Yang bertindak sebagal pimpinan di tempat itu tidak
menjawab. Dia tahu apa yang harus dilakukannya. Ganco
besi dipinggangnya dicabut. Ternyata ganco ini telah
dihubungkan dengan seutas rantai kecil sepanjang hampir
dua tombak.
Ketika kuda bersama penunggangnya melewati tikung-
an, ganco besi itu diputar kencang-kencang lalu di
lemparkan ke depan. Besi berkait ini melesat ke arah kaki
kuda yang berlari cepat.
Lalu terjadilah hal yang hebat. Ujung berkeluk ganco
besi mengait kaki kanan depan kuda tunggangan orang tua
berambut putih. Binatang ini meringkik keras. Bagian tajam
besi menancap tepat di atas sambungan lututnya. Lalu
ketika ganco itu ditotok keras, binatang yang berlari ken-,
cang ini jadi hilang keseimbangannya. Kuda itu masih
sempat meringkik sekali lagi sebelum jatuh tersungkur dan
melemparkan penunggangnyal.
Tiga orang anggota komplotan Ganco Item sama me-
mastikan bahwa orang tua berambut putih itu akan cidera
berat akibat terpelanting jatuh dari kuda yang tengah
berlari kencang.Tapi mereka kecele.
Si orang tua yang bukan lain adalah Kioro Mertan
membuat gerakan jungkir balik, menyentuh tanah dengan
kedua telapak tangannya lalu mengikuti arah mentalnya
dia bergulingan di tanah. Di lain saat dia sudah melompat
tegak dan sebilah parang tergenggam di tangannya. Kedua
matanya tampak berkilat-kilat.
“Hemmm… Tua bangka ini boleh juga!” berkata orang
yang bertindak selaku pimpinan. “Lekas kalian bereskan
dia agar kita bisa bergabung dengan teman-teman!”
Dua anggota Ganco Item majukan kuda masing-masing
ke arah Kioro Mertan. Yang satu mendatangi dari kanan,
kawannya dari sebelah kirf. Ganco besi ditangan keduanya
tampak berputarputar hingga mengeluarkan suara
menderu. Di dahului satu bentakan, dua ganco itu
berkelebat deras. Yang di sebelah kanan menderu ke arah
leher sedang yang dari kiri menyambar ke pelipis.
***
WIRO SABLENG
4 PETI MATI DARI JEPARA
 IORO Mertan sabatkan parangnya ke atas untuk
menangkis serangan ke arah leher. Sambil tunduk-
kan kepala dia berusaha mengelakkan serangan
ganco menderu ke kepalanya.
Trang!
Di atas kuda, anggota  komplotan yang bentrokan
senjata dengan Kioro Mertan jadi terkejut ketika merasa-
kan tangannya bergetar keras. Dia cepat mundur sambil
menggenggam ganconya yang hampir terlepas. Tapi Kioro
Mertan memang sudah mengincar lawan yang satu ini,
begitu ganco yang menyambar  kepala lewat di atasnya,
orang tua ini memburu ke depan.
Parangnya berkelebat.
Orang di atas kuda berteriak keras ketika parang Kioro
Mertan bersarang dalam di paha kanannya. Darah
mengucur deras. Sakit dan bingung orang yang cidera
berat ini sentakkan kudanya menjauh tapi binatang yang
sudah terlanjur ketakutan ini meringkik keras dan berputar
ke kiri hingga penunggangnya terhuyung lalu jatuh ber-
gedebuk ke tanah. Sebelum dia sempat bangun tendangan
kaki kiri Kioro Mertan mendarat di kepalanya. Tak ampun
lagi orang ini kembali roboh. Kali ini pingsan tak berkutik.
“Tua bangka jahanam!” membentak anggota Ganco
Item yang bertindak sebagai pimpinan. Kalau tadi dia
hanya memerintah maka kini dia sendiri turun tangan.
Kudanya melompat ke depan. Ganco di tangan kanannya
menyambar ke dada Kioro Mertan. Si orang tua cepat
K
sorongkan parangnya menangkis. Tapi dari belakang satu
tendangan menghantam punggungnya.
Kioro Mertan terbanting ke depan.
Trang!
Orang tua ini masih sempat menangkis ganco yang
menyambar ke dadanya. Selagi lawan di atas kuda ter-
huyung dan kaget dapatkan tangannya terasa pedas orang
tua itu cepat balikkan diri tepat pada saat lawan yang tadi
menendangnya dari belakang hendak mengait lehernya
dengan ujung besi berkeluk!
Kioro Mertan tusukkan parangnya ke perut lawan.
Orang di atas kuda menjerit keras, ganconya lepas. Kedua
tangannya dipakai menekap perut yang ditembus senjata
Kioro Mertan. Dia menjerit sekali lagi lalu roboh dan ter-
gelimpang di tanah. Sesaat orang ini tampak megap-megap
dan melejang-lejangkan kedua kakinya sebelum nyawanya
putus.
Satu-satunya anggota komplotan yang masih berada di
atas punggung kudanya mau tak mau menjadi terkesiap
melihat kejadian itu. “Orang tua ini tidak bisa dibuat main,”
katanya dalam hati.
Meski rasa was-was kini menyelinapi dirinya namun
kematian kawannya tadi membuat darahnya mendidih.
“Orang tua! Kalau aku tidak salah menerka, bukankah
kau ayah mertua Ranalegowo?”
Kioro Mertan menyeringai. “Bagus! Sebelum mampus
kau sudah tahu siapa diriku! Kau dan komplotan
membunuh menantu dan anak perempuanku! Kalian juga
menculik Sumiati cucuku! Susul kawanmu!”  
Orang tua itu gerakkan tangan kanannya. Parang
menderu ke arah pinggang anggota komplotan. Karena
merasa tidak leluasa menghadapi lawan dari atas kuda
maka anggota komplotan Ganco Item segera melompat ke
tanah. Kioro Mertan tak mau memberi kesempatan. Begitu  
lawan menjejak tanah parangnya segera berkelebat.
Serangan-serangan orang tua ini benar-benar ganas.
Dalam waktu dua jurus saja lawannya segera terdesak dan
anak buah Ganco Langit ini berseru tegang ketika senjata
terpukul lepas. Sambil mundur dia keluarkan sebuah
belati. Kalau dengan ganco yang lebih besar dan panjang
dia tidak sanggup menghadapi Kioro Mertan, apalagi harya
dengan mengandalkan pisau seperti itu. Beberapa kali saja
menerima serangan akhirnya dia mati langkah. Dia hanya
bisa keluarkan seruan pendek dan terbelalak ketika
parang di tangan kanan orang tua bungkuk itu menembus
perlengahan dadanya!
Anggota komplotan yang pertama kali menerima
hajaran Kioro Mertan dan masih tergelimpang di tanah,
sebenarnya telah siuman dari pingsannya. Luka di pahanya
sakit bukan kepalang. Darah masih mengucur. Kepalanya
yang tadi kena di tendang mendenyut tiada henti, mem-
buat pemandangannya berkunang. Meskipun samar-samar
ternyata dia sempat menyaksikan kematian kedua kawan-
nya tadi. Hal ini membuat dia ingin segera lari selamatkan
diri. Namun jika dia kalah cepat pasti dirinya akan jadi
korban yang ke tiga. Dengan cerdik akhirnya dia me-
mutuskan berpura-pura pingsan terus. Syukur-syukur kalau
orang tua itu menyangkanya sudah mati.
Kioro Mertan memandang berkeliling. Seperti yang di-
harapkan anggota komplotan Ganco Item yang masih
hidup, dia ternyata memang menyangka orang itu sudah
mati. Sambil menyarungkan parangnya, orang tua ini men-
dekati salah seekor dari tiga kuda anggota penjahat lalu
melompat ke atas punggung binatang ini dan tinggal-kan
tempat itu.
Setelah merasa aman, penjahat yang luka pahanya ber-
usaha berdiri. Dia harus segera menuju keperkemahan
untuk melaporkan apa yang terjadi. Tapi orang ini serta  
merta jatuhkan dirinya ke tanah kembali ketika tiba-tiba
dia mendengar ada suara derap kaki kuda mendatangi.
Lewat matanya yang dibukanya sedikit dia melihat seorang
pemuda berpakaian dan berikat kepala putih muncul di
tempat itu menunggang kuda coklat. Di atas bahu kirinya,
dengan satu tangan bergelantungan ke leher pemuda itu,
ada seekor monyet yang tiada hentinya mengeluarkan
suara berisik memekakkan telinga.
“Tenang Ken Cilik. Jangan ribut. Kita pasti menemukan
kakekmu itu…” kata pemuda di atas kuda lalu mengelus
monyet di bahunya beberapa kali. Monyet ini berhenti ber-
teriak, hanya kepalanya saja yang berputar-putar kian
kemari tak bisa diam.
“Hemmm… Siapa yang punya pekerjaan ini?” terdengar
pemuda itu kembali berkata sambil menggaruk rambutnya
yang gondrong. Sesaat dia memandang berkeliling. Mem-
perhatikan sosok tubuh yang bergeletakan di tanah satu
persatu. Penjahat yang masih hidup merasa nafasnya
seolah-olah sudah mau putus. Kedua matanya dipejamkan.
Dia tak berani bergerak bahkan untuk beberapa saat dia
menahan nafas sedapat-dapatnya.
Ketika didengarnya suara kaki-kaki kuda dipacu men-
jauh tanda pemuda tadi sudah meninggalkan tempat itu
baru anggota komplotan Ganco item yang masih hidup ini
berani membuka mata dan perlahan-lahan mencoba
bangkit. Dia menggigit bibir melihat luka besar di paha
kanannya. Dirobeknya bajunya  lalu dengan robekan baju
itu dibalutnya luka yang menganga dan masih berdarah itu.
Dengan terbungkuk-bungkuk dan terpincang-pincang me-
nahan sakit dia melangkah lalu naik ke atas kudanya.
Jauh di sebelah depan Pendekar 212 Wiro Sableng
memacu kuda coklat yang  ditungganginya. Tujuannya
adalah Kudus di mana didengarnya gerombolan Ganco
Item berada. Dia tidak berhasil menemui Kioro Mertan, tapi  
dia yakin orang tua yang juga merupakan kakeknya itu
telah lebih dulu menuju ke sana. Wiro tidak mengetahui
apa yang diandalkannya orang tua lanjut usia dan bungkuk
itu hingga nekad mengejar para penjahat. Apapun kehebat-
an yang dimilikinya mendatangi markas gerombolan sama
saja dengan mendatangi sarang macan. Orang tua itu
harus ditolong. Ini dirasakan sebagai satu kewajiban besar
bagi Pendekar 212. Apalagi cucunya yang masih ada
hubungan darah sangat erat dengan Wiro telah pula diculik
oleh orang-orang jahat itu.
Wiro menggebrak kuda coklatnya agar lari lebih
kencang. Namun dia tidak menyadari bahwa arah yang
ditempuhnya menyimpang cukup jauh dari tujuannya
hingga ketika akhirnya dia sampai di markas komplotan
Ganca Item malapetaka besar telah menimpa Kioro Mertan
dan Sumiati.
***
Rombongan pasukan Kadipaten Jepara itu terdiri dari
lima orang. Empat orang prajurit dan seorang bintara
bernama Anggoro yang bertindak selaku pimpinan. Dari
cara mereka memacu kuda demikian cepat agaknya
pasukan ini mempunyai satu urusan penting. Saat itu
mereka tengah bergerak menuju ke timur sementara sinar
matahari yang menggelincir  ke ufuk tenggelamnya mulai
terasa meredup.
Di sebuah kali kecil rombongan berhenti untuk memberi
minuman dan mengistirahatkan kuda sebentar. Ketika
hendak melanjutkan perjalanan bintara yang bertindak se-
bagai pimpinan mengangkat tangan memberi tanda.
“Ada orang datang!” katanya.
Empat perajurit segera letakkan tangan di hulu senjata
masing-masing. Di seberang kali, dari arah mana tadi  
mereka datang kelihatan seorang penunggang kuda be-
rambut putih. Penunggang kuda ini rupanya juga sudah
melihat rombongan pasukan Kadipaten itu karena dia
sengaja mengarahkan kudanya ke tempat rombongan ber-
ada di tepi kali. Sebelum orang berambut putih datang
dekat, baik bintara maupun  empat perajurit itu segera
mengenali siapa adanya orang yang datang itu.
“Bintoro Anggoro!” tiba-tiba orang berambut putih itu
berseru. “Aku gembira bisa bertemu denganmu di tempat
ini. Sebelumnya aku tidak sempat melapor ke Kadipaten.
Tapi aku yakin saat ini sudah dilakukan pengusutan.”  
Anggoro memandang pada keempat bawahannya se-
saat lalu berpaling pada penunggang kuda yang kini sudah
sampai dan berhenti di depannya. ;
“Pak tua Kioro Mertan, aku tidak menyangka akan ber-
temu kau di tempat sejauh ini! Sedang menuju ke mana-
kah pak tua gerangan?”  
“Jadi betul dugaanku kau  dan rombongan tidak tahu
apa yang telah terjadi di Jatingaleh!?”
Bintoro Anggoro menggeiengkan kepala. “Lekas katakan
apa yang terjadi. Eh, kulihat ada bercak-bercak darah di
pakaianmul”
“Gerombolan Ganco Item menyerbu desa menjelang
siang tadi. manusia-manusia biadab itu merampok dan
membunuh. Kepala Desa dan istrinya tewas. Cucuku
Sumiati diculik. Saat ini aku tengah melakukan pengejaran.
Para penjahat itu membuat markas sementara di luar
Kudus. Aku bersyukur menemui kalian di sini. Aku perlu
bantuan kalian!” kata orang tua berambut putih yang
ternyata adaiah Kioro Mertan.
“Kurang ajar! Jadi gerombolan Ganco Item sudah meng-
ganas pula. Bahkan berani menyerbu Jatingaleh!” Bintara
Anggoro kepalkan tinjunya. Wajahnya menunjukkan ke-
marahan.  
“Kita tidak punya waktu lama. Ikut aku ke Kudus. Aku
perlu bantuan kaliani!” kata Kioro Mertan yang ingin segera
melanjutkan pengejaran.
“Kami akan membantu!” jawab Anggoro. “Tapi kekuatan
gerombolan itu cukup besar. Selain tiga pimpinan mereka
yang berkepandaian sangat tinggi, gerombolan itu memiliki
lebin dari dua lusin anggota.”
“Kita bisa menyusun rencana seperti ini,” sahut Kioro
Mertan pula. “Kau dan tiga orangmu bersamaku langsung
menuju tempat persembunyian para penjahat. Anak buah-
mu yang keempat kau perintahkan ke Kadipaten Kudus
untuk meminta bantuan. Begitu bantuan datang kita terus
menyerbu.”
Sesaat Anggoro tidak berkata apa-apa.
Kioro Mertan jadi jengkel dan berkata.
“Bintoro, urusan ini adalah tanggung jawabmu. Tapi jika
kau merasa ragu-ragu aku tidak takut melakukan
penyerbuan seorang diri. Demi darah dan nyawa anak
cucuku!”
“Jangan salah menduga pak tua,” kata Anggoro pula.
“Aku setuju pendapatmu. Mari kita berangkat sekarang
juga.”
Lalu Bintara ini berkata pada salah seorang anak buah-
nya. “Kau langsung menuju Kudus. Laporkan apa yang
terjadi di Jatingaleh dan katakan apa rencana kita.”
Prajurit itu mengangguk sambil menunjukkan sikap
siap. Dia juga melihat bagaimana Bintara Anggoro atasan-
nya itu mengedipkan mata kirinya ketika memberikan
perintah.
***
Hutan belantara itu terang benderang oleh cahaya obor.
Makanan dan minuman berlimpah ruah. Setiap anggota  
gerombolan Ganco Item bisa makan dan minum sepuasnya
serta bersenang-senang dengan perempuan-perempuan
yang ada di situ. Kebanyakan perempuan-perempuan ini
adalah perempuan-perempuan penghibur yang datang dari
pantai utara. Namun ada pula diantara mereka yang diculik
dan dilarikan dari desa atau kampung yang pernah diserbu
oleh gerombolan Ganco Item.
Ganco Langit tegak di depan tenda sambil mengenakan
baju hitamnya. Dia mengusap keringat yang membasahi
dadanya lalu memandang ke jurusan di mana Ganco Bumi
dan Ganco Laut duduk memperhatikannya sambil
menyeringai.
Kepala gerombolan penjahat itu balas menyeringai.
Ketika Ganco Bumi dan Ganco Laut mendatangi, Ganco
Langit berkata setengah berbisik.
“Tidak mengecewakan. Tubuh bagus, semua serba
keras. Betul-betul tidak mengecewakan walau aku cuma
dapat bekas kalian! Ha…. ha… ha… ha …!”
“Seperti rencana, menjelang pagi kita segera akan
meninggalkan hutan ini menuju ke selatan. Bagaimana
dengan gadis itu. Kau ingin kita membawanya serta?” ber-
tanya Ganco Laut.
“Aku sudah cukup puas menikmati tubuhnya tadi. Lagi
pula aku masih punya Jaminten yang hebat itu. Terserah
kalian. Jika kalian masih senang, kalian bisa membawanya.
Saat ini kurasa dia masih setengah pingsan.”
Ganco Laut yang masih dikuasai nafsu, apalagi barusan
habis meneguk banyak minuman keras menyibakkan kain
penutup tenda. Di dalam sana dilihatnya Sumiati tergeletak
tak bergerak tanpa selembar benangpun menutupi tubuh-
nya. Dari mulut gadis malang anak kepala desa Jatingaleh
itu terdengar suara erangan. Manusia beradab akan luluh
hati dan perasaannya melihat keadaan dan mendengar
erangan yang memilukan itu. Tetapi manusia durjana  
seperti Ganco Laut justru merasa terbakar nafsunya.
“Puaskan dirimu Ganco Laut. Kita masih punya banyak
waktu. Tapi ingat, besok kita ada pekerjaan besar di
Selatan!” berkata Ganco Langit yang sudah bisa menduga
apa yang akan dilakukan sobatnya itu.
Ganco Laut menyeringai. Dia memegang bahu Ganco
Langit lalu melangkah masuk dalam tenda.
Namun langkahnya terhenti ketika tiba-tiba ada seorang
anggota komplotan muncul dan berkata.
“Ganco Langit, anggota pengintai melihat ada se-
rombongan orang berkuda bergerak ke jurusan sini!”
“Sudah diketahui atau sudah diselidiki siapa mereka?”
tanya Ganco Langit.
“Mereka berjumlah lima orang. Yang satu adalah Kioro
Mertan, ayah kepala Desa Jatingaleh. lalu seorang bintara
dari Kadipaten Jepara dan tiga orang prajurit anak buah-
nya.”
“Hemmm… ” Ganco Langit menatap Ganco Bumi dari
Ganco Lout sesaat lalu berkata, “Kioro Mertan pasti
hendak membuat keonaran di sini untuk menyelamatkan
cucunya. Orang tua itu ternyata punya nyali. Biarkan
mereka datang ke mari! Rapatkan penjagaan di titik-titik
rawan. Siapa tahu ada lagi orang-orang tak diundang
berani muncul di sini!”
Dari bagian hutan yang gelap lima penunggang kuda
muncul. Kioro Mertan di depan sekali. Meski sadar
keadaan dirinya berada di  bawah ancaman besar namun
dengan berani orang tua bungkuk ini melompat dari kuda-
nya dan melangkah cepat ke arah tenda. Sebilah parang
tergenggam di tangan kanannya. Bintoro Anggoro memberi
isyarat, mengikuti langkah Kioro dengan cepat. Dia juga
telah menghunus senjatanya yakni sebatang pedang yang
ujungnya berkeluk.
Diam-diam Ganco Langit dan dua pimpinan gerombolan  
Ganco Item lainnya jadi bertanya-tanya ketika melihat
parang bernoda darah kering yang dipegang oleh Kioro
Mertan.
“Apa yang telah dilakukan orang tua in!?” tanya Ganco
Bumi dalam hati.
Kioro Mertan dan Bintoro Anggoro sampai di depan
tenda. Sepasang mata orang tua itu berapi-api. Dia tahu
tiga orang yang tegak di depannya itu pastilah para pe-
mimpin gerombolan biadap Ganco Item tapi tidak tahu
yang mana Ganco Langit. Maka dia pun membentak.
“Mana di antara kalian yang bernama Ganco Langit?!”
“Tua bangka buruk! Kau berani mati bicara keras dan
menjual lagak di hadapan kami?!” hardik Ganco Laut lalu
tangannya bergerak hendak menjambak rambut putih
orang tua itu.
Ganco Langit menghalangi dan berkata, “Aku Ganco
Langit! Kau punya nyali besar berani datang ke mari
Bukankah kau orang tua yang bernama Kioro Mertan, ayah
mantu kepala desa Jatingaleh? Apa perlumu menyasarkan
diri datang kemari?!”
“Aku tidak datang menyasarkan diri. Aku sengaja
mencarimu! Kau manusia iblis masih bisa bertanya apa
keperluanku kemari! Bangsat! Kau membunuh anak
menantuku! Kau juga membunuh lebih dari selusin pen-
duduk Jatilengah. Perempuan dan anak-anak! Merampok!
Menculik cucuku Sumiati!”
“Penjelasanmu cukup lengkap. Sekarang katakan saja
apa maumu Kioro Mertan?!”
“Bebaskan cucuku! Jika sesuatu terjadi atas dirinya
akan kugorok batang lehermu!  Lihat! Darah di parang ini
masih kelihatan jelas! Ini adalah darah tiga anak buahmu
yang sudah kuhabisi!”
Tampang tiga pimpinan Ganco Item tampak berubah
sesaat. Tanda tanya parang berdarah itu telah terjawab.  
“Kalau kau datang untuk meminta cucumu, itu soal
kecil. Kau bisa mendapatkannya kembali!”  
“Ganco Langit…. ”
Ucapan Ganco Laut tertahan. Ganco Langit memberi
tanda agar dia diam lalu berpaling pada Kioro Mertan.
“Kau akan mendapatkan cucumu kembali, bapak tua.”
“Mendapatkannya kembali dalam keadaan selamat. Tak
kurang suatu apapuni Jika…”
“Kau akan mendapatkannya seperti kataku tadi. Hanya
saja rnungkin ada yang kurang sedikit. Mungkin dia ku-
kembalikan dalam keadaan tidak berpakaian lagi…” Ganco
Langit lalu tertawa gelak-gelak. Ganco Bumi ikut tertawa
sedang Ganco Laut hanya bisa menyeringai. Jika Ganco
Langit benar-benar hendak mengembalikan gadis itu ber-
arti dia tidak punyai kesempatan untuk mengulangi
maksud bejatnya. Ganco Laut tak dapat menerka apa
sebenarnya yang ada di benak kepalanya itu.
Ganco Langit menjetikkan jari-jari tangannya dan
anggukkan kepala pada Ganco Bumi. Melihat isyarat ini
Ganco Bumi segera masuk ke dalam tenda. Ketika keluar
kelihatan dia memapah sesosok tubuh tanpa pakaian,
Kioro Mertan seperti disambar petir melihat pe-
mandangan yang menusuk mata itu.
“Sumi!” teriak orang tua ini.
“Ka… kakek…” suara Sumiati sehalus bisikan. Gadis
malang telah dirusak kehormatannya ini secara keji ber-
gantian tegak terhuyung-huyung.
“Kau mau cucumu, ambillah. Lalu lekas pergi dari sini!”
kata Ganco Bumi. Tubuh Sumiati didorongnya keras-keras.
Kioro Mertan cepat memeluk tubuh cucunya sebelum
jatuh ke tanah. Dia menyambar kain tirai penutup pintu
tenda lalu menutupi kain itu ke tubuh Sumiati yang saat itu
terguling tak berdaya di tanah. Kedua matanya terbuka
lebar, tapi dia seperti tidak melihat apapun kecuali  
bayangan-bayangan menyeramkan yang gentayangan di
depannya.
Dari tenggorokan Kioro Mertan terdengar suara meng-
gembor. Dari keadaan Sumiati saat itu dia sudah tahu
malapetaka apa yang telah menimpa cucunya itu.
“Iblis durjana!” teriak Kioro Mertan. Dia melompat ke
hadapan Ganco Langit. Parang di tangannya membabat ke
arah leher kepala gerombolan itu.
Trang!
Sebilah senjata disorongan dari samping menangkis
bacokan parang si orang tua.
Kioro Mertan tersentak kaget. Di mundur satu langkah
dan berpaling lalu membentak keras.
“Bintoto Anggoro! Apa-apan kau ini!” Kedua mata Kioro
Mertan seperti hendak melompat dari sarangnya saking
marah dan kaget tak percaya. “Mengapa kau menangkis
seranganku! Menolong durjana keparat ini?!”
Bintoro Anggoro menyeringai. Ganco Langit mendehem
beberapa kali sementara Ganco Bumi dan Ganco Laut
mulai keluarkan suara tertawa mengekeh.
Kioro Mertan memandang berkeliling. Apa yang tidak
dimengertinya dia mendapatkan jawaban sesaat kemudian
ketika dia mendengar ucapan Bintaro Anggoro yang mem-
buatnya laksana dipanggang api amarah.
“Orang tua pikun! Kau terlalu tolol untuk mengetahui
bahwa kita sebenarnya bukan di pihak sama!”
“Bangsat! Jadi maksudmu….”
“Maksudku ini!” jawab Bintoro Anggoro. Lalu tanpa
terduga sama sekali bintara Kadipaten Jepara ini tusukkan
pedangnya ke perut Kioro Mertan. .
Dalam keterkejutannya orang tua itu jadi berlaku
lengah. Dia baru sadar ketika ujung pedang Anggoro
masuk ke dalam perutnya sedalam sepertiga jengkal!
“Pengkhianat keparat!” teriak Kioro Mertan sementara  
darah mulai mengucur dari perutnya.
Anggoro terpaksa menarik tangan tak berani menerus-
kan tusukannya karena dengan ganas, setelah keluarkan
suara menggembor Kioro Mertan menghantam dengan
parangnya.
Dengan perut terluka dan darah mengucur orang tua ini
terus menerjang kalap. Parangnya menderu mengurung
bintara Kadipaten Jepara itu. Dia tidak menyesalkan ke-
matian dirinya asalkan dia dapat membunuh orang itu.
Dalam waktu singkat bintara itu terdesak hebat.
Anggoro bertahan mati-matian. Selama ini dia sama sekali
tidak mengetahui kalau Kioro Mertan yang dikenalnya se-
bagai petani dan peternak biasa ternyata memiliki ke-
pandaian tidak sembarangan. Dia bertahan mati-matian
dan keluarkan jurus-jurus tipuan mematikan. Namun ter-
nyata kepandaian Kioro Mertan hampir dua tingkat di
atasnya. Ketika dia berhasil mengelakkan satu bacokan,
dari kiri tendangan kaki orang tua bungkuk itu tak dapat
dieiakkannya. Tubuhnya melintir terhuyung dan dikejapan
itu pula parang lawan membabat ke lehernya!
“Tua bungkuk ini boleh juga!” kata Ganco Langit. Seperti
Bintoro Anggoro dan juga dua pimpinan komplotan Ganco
Item lainnya, diapun tidak menyangka kalau Kioro Mertan
bukan saja punya nyali, tapi memang juga punya kepandai-
an. Melihat bintara itu terancam keselamatannya, dia
memberi tanda pada Ganco Laut.
Orang ketiga dalam jajaran geromboian Ganco Item ini
berkelebat ke depan. Dia masuk ke kalangan perkelahian
hanya dengan mengandalkan tangan kosong. Di antara
ketiga pimpinan komplotan Ganco Item, Ganco Laut
memang menguasai ilmu silat tangan kosong paling tinggi.
Walaupun dia memiliki senjata sebuah ganco besi yang
besar dan berat namun dia lebih senang membunuh
lawan-lawannya dengan tangan telanjang.  
Kedua tangan Ganco laut berkelebatan mengeluarkan
deru angin yang keras dan dingin. Hal ini sudah cukup
membuat Kioro Mertan bertaku hati-hati. Tangan kosong
Ganco Lout bisa lebih berbahaya dari senjata di tangan
Bintoro Anggoro.
Nasib Kioro Mertan ditentukan oleh jotosan ganco Laut
pertama yang bersarang tepat diperutnya yang luka. Darah
muncrat dan sempat membasahi pakaian hitam Ganco
Laut. Selagi orang tua itu terhuyung-huyung kaki kanan
Ganco Laut melesat ke udara, mendarat dengan tepat di
rahang Kioro Mertan. Tubuh bungkuk itu terpelanting. Ber-
samaan dengan itu pedang Bintoro Anggoro menetak di
punggungnya. Kioro Mertan terpekik. Tubuhnya terbanting
menelungkup di tanah. Ganco Langit siap untuk menginjak
kepala orang tua Itu sedang Bontoro Anggoro sudah
mengangkat tangan untuk meletakkan pedangnya ke
batang leher lawan yang sudah tidak berdaya.
“Cukup!” tiba-tiba terdengar Ganco Langit berseru.
“Tidak kalian hajarpun umurnya tak bakal lama. Seret
tubuhnya dari depan tenda!”
Dua orang anggota komplotan segera menggotong
tubuh Kioro Mertan yang berada dalam keadaan sekarat
itu ke tepi perkemahan. Ganco Langit tengah memandangi
tubuh Sumiati yang terbujur di tanah bertutupkan kain
ketika Bintoro Anggoro mendatanginya.
Ganco Langit tertawa lebar dan tepuk-tepuk bahu
Bintara itu.
“Aku memang sudah lama ingin bertemu denganmu
sobatku. Kau datang membawa kabar apa?”
“Aku dan anak-anak memang tengah dalam perjalanan
ke mari ketika di jalan bertemu dengan Kioro Mertan.
Sebenarnya aku bisa membokongnya dalam perjalanan.
Tapi aku Ingin kau sendiri menyaksikan bahwa kita selama
ini selalu punya kerjasama yang baik.”  
Ganco Langit tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata
Bintara Kadipaten Jepara itu.
“Sejak dulu-dulu aku memang selalu percaya padamu,
Bintoro Anggoro. Nah, ada kabar apa saja yang bisa kau
berikan?” tanya Ganco Langit. “Atau kau ingin kita bicara di
dalam tenda sana?’
“Di sini saja tidak jadi apa. Aku tak akan lama Ganco
Langit. Apa yang terjadi di Jatingaleh sudah sampal di
Kadipaten Jepara. Kau tak usah kawatir terhadap Adipati
Moro Gantolo. Dia sedang berada di selatan seat ini. Tapi
kita harus berjaga-jaga terhadap Perwira Muda yang men-
jadi tangan kanannya.”
“Maksudmu Ario Gelem?”
“Betul,” jawab Anggoro.
“Perwira keparat itu! Kenapa kita tidak pernah bisa
menariknya agar bergabung?” Ganco Langit mengkepal-
kepal tinju kanannya lalu memukulkannya berulang kali ke
telapak tangan kirinya.
“Kita sudah mencoba membujuknya secara halus ber-
ulang kali. Tapi hasilnya nihil. Kurasa sudah saatnya kita
menyingkirkannya sebelum dia macam-macam dan bikin
susah kita!” kata Ganco Bumi pula.
“Mungkin kau benar Bumi. Sudah saatnya kita
menyingkirkan kutu busuk itu. Malam ini akan kita
bicarakan cara yang baik untuk melakukan hal yang itu.”
Lalu Ganco Bumi berpaling pada Anggoro dan bertanya
kalau ada hal lain yang hendak dikatakannya.
“Aku menyarankan agar saat ini juga meninggalkan
tempat ini. Ario Gelem bisa melakukan hal-hal yang tidak
terduga. Meskipun kekuatan  yang bisa dihimpunnya tidak
seberapa namun masalahnya bisa merambat. Sekali ter-
siar di Kotaraja kita semua bisa celaka…”
Ganco Langit tersenyum. Dalam hati dia berkata, “Kau
yang bakal celaka Bintoro Anggoro! Bukan aku! Tapi  
nasihatnya memang perlu diperhatikan.”
“Hanya itu saja yang kau katakan Bintoro?”
“Saat ini hanya itu saja Ganco Langit. Aku harus kembali
ke Jepara sebelum matahari terbit.
“Baiklah,” kata Ganco Langit. Dia masuk ke dalam
tenda. Ketika keluar di tangannya ada sebuah kantong
kecil. Kantong ini disusupkannya ke pinggang Anggoro.
Bintara itu mengucapkan terima kasih berulang kali lalu
kembali ke tempat dia meninggalkan kudanya. Bersama
tiga orang anak buahnya dia segera berlalu dari hutan itu.  
Ganco Langit berpaling pada Ganco Bumi dan Ganco
Laut. “Pesta kita hentikan sampai di sini. Beri tahu anak-
anak bahwa kita berangkat ke selatan sekarang juga.
Tanganku sudah gatal untuk memegang barang-barang
antik yang terbuat dari tempat itu!”
“Ganco Langit,” Ganco Bumi berkata, “Jika kita bergerak
ke selatan lebih dahulu, apakah kita masih punya waktu
untuk bertemu dengan sobat kita si Tengkorak Darah di
Rembang?”
“Tak usah kawatir, aku sudah mengirimkan utusan
memberi tahu Tengkorak Darah. Jika satu hari setelah
mendarat di pantai Rembang kita tidak muncul, pertemuan
berikutnya adalah di pantai  Demak. Soal makanan dari
perempuan yang perlu dikirimkan padanya sudah diatur
oleh orang di Tanjung Bugel.”
“Kalau begitu tak ada yang dikawatirkan. Kita bisa
berangkat saat ini juga,” kata Ganco Langit, “Aku akan
perintahkan semua anak buah agar bersiap-siap.”
“Sebentar!” menyela Ganco Laut yang sejak tadi hanya
berdiam diri, “Aku masih ingin mempertanyakan si cantik
itu. Apakah aku bisa membawanya serta dalam rombongan
kita?”
Ganco Langit tertawa lebar. “Rupanya kau masih belum
melupakan kekerasan tubuh anak gadis Ranalegowo itu.  
Kau bisa membawanya ke mana kau suka. Mungkin
sewaktu-waktu akupun membutuhkannya. Hidup ini harus
dibumbui dengan selingan. Bukankah begitu? Ha… ha…
ha…”
Suara tawa Ganco Langit terhenti ketika ada satu
tangan memegang dan meremas bahunya. Lalu ada suara
perempuan terdengar ketus.
“Saya tidak mau lihat gadis itu berada dalam
rombongan kita!”
Ganco laut gelengkan kepala. Mukanya tampak
cemberut.
Ganco langit membalik dan berhadapan dengan
Jaminten, perempuan gemuk yang selama ini membuatnya
tergila-gila dan kadang-kadang jadi tak berkutik.
Saat itu Jaminten hanya mengenakan sehelai baju
panjang yang tipis. Cahaya api obor yang menembus
pakaian tipis itu membuat sekujur auratnya nyaris terlihat
jelas.
Nafsu Ganco Langit jadi terbakar.
“Kau tak usah kawatir dia akan menyaingimu Jaminten,”
kata Ganco Langit membujuk sambil membelai pipi
Jaminten.
“Gadis itu perlu dibawa bukan untuk diriku dan teman-
teman, tapi ada satu rencana yang harus dijalankan.”
“Siapa percaya pada dirimu. Siang tadi Ganco mengata-
kan lebih suka menggeluti tubuh saya. Tapi ternyata malam
ini Ganco langit menidurinya. Jangan kira saya tidak tahu!”
Jaminten lalu pasang wajah cemberut.
Ganco Langit tersenyum lalu menciumi wajah Jaminten.
“Seribu gadis boleh hadir, tapi kau tetap pasangan yang tak
bakal kulepaskan! Mereka tidak memiliki apa yang kau
miliki! Mereka dingin seperti barang pisang! Tak ada yang
pandai menggigit dan menggerung sepertimu!”
Jaminten melepaskan dirinya dari pelukan Ganco langit  
lalu berkata. “Sebelum pergi aku ingin pergi ke kali lebih
dulu.”
“Ya, sebaiknya kau membersihkan diri baik-baik. Dalam
perjalanan ke selatan mungkin kau tak punya kesempatan
melakukan hal itu.”
Jaminten melangkah pergi. Ketika lewat di depan Ganco
Laut dia kedipkan matanya. Ganco Laut kemudian
terdengar berkata pada Ganco Langit. “Aku akan beritahu
anak buah agar segera bersiap-siap.”
“Lakukan dengan cepat Laut. Bumi, siapkan seekor
kuda untuk membawa gadis itu.”
Tak berapa jauh dari tempat gerombolan itu berkemah
terdapat sebuah kali kecil berair jernih. Jaminten me-
langkah cepat-cepat menuju kali ini. Di satu tempat yang
kelindungan dia berhenti tapi tidak segera masuk ke dalam
air untuk mandi atau membersihkan dirinya. Dia berdiri
dalam gelap seperti menunggu seseorang. Tak lama
kemudian dia mendengar suara orang mendatangi.
“Kenapa lama betul! Aku sudah tidak sabaran!” kata
Jaminten.
“Sstt, jangan keras-keras. Nanti terdengar orang,” men-
jawab lelaki yang barusan datang.
“Lekas tanggalkan pakaianmu. Kita turun ke air.”
Jaminten melepas baju tipisnya.
“Tidak di tebing saja?”
“Aku ingin di dalam air. Sudah lama kubayangkan.
Sekalian aku bisa membersihkan diri,” bisik perempuan
bertubuh gemuk tapi padat itu.
“Terserah, aku hanya mengikuti apa maumu.”
Tanpa pakaian kedua orang yang berlainan jenis itu
turun ke dalam kali. Air kali  terasa sejuk sekali. Jaminten
memagut leher lelaki itu lalu menempelkan tubuhnya
rapat-rapat. Mulutnya bertanya, “Kau ingin kuremas sampai
pingsan?”  
“Eh, apa maksudmu?”
“Kenapa kau tadi kudengar Ingin membawa gadis itu
dalam rombongan?”
“Aku hanya pura-pura, agar Ganco Langit tidak curiga.”
Jaminten tertawa kecil. “Kau memang cerdik.”
“Pujian itu tidak cukup. Benarkah aku lebih hebat dari
Ganco Langit seperti katamu tempo hari?”
“Yang satu itu memang tidak tertandingi oleh Ganco
langit. Nafsunya besar tapi kekuatannya seperti lilin yang
meleleh terbakar apinya sendiri.” Jaminten lalu turunkan
tangan-tangannya kirinya ke bawah. Tangan itu lenyap di
dalam air.
Di balik serumpun semak belukar di tepi kali, pada
bagian yang sangat gelap sepasang mata menyaksikan
kedua orang yang bergulung-gulung dalam air itu dengan
penuh geram.
“Keparat! Aku memang sudah lama mencium perbuatan
mereka ini! Kalian berdua akan mati secara tersiksa. Tapi
tidak cepat-cepat. Aku masih membutuhkan lelaki itu
sampai urusan di selatan selesai.”
Ketika orang ini hendak beranjak dari balik semak
belukar tempat dia mengintai didengarnya suara Jaminten
menggerung dari arah kali.
“Bangsat! Perempuan bangsat!” kutuk serapah meledak
keluar dari mulut orang itu.
***
Dinginnya udara malam menambahkan siksaan bagi
Kioro Mertan yang berada dalam keadaan mati dan hidup,
tergeletak di antara semak belukar, dibungkus kegelapan.
Di antara suara erangannya terdengar dia berulang kali
memanggil nama Tuhan.
“Tuhan… kenapa tidak Kau cabut nyawaku saat ini juga!  
Aku rela mati! Tapi Tuhan, aku mohon selamatkan cucuku
Sumiati. Apapun nasib buruk yang telah menimpa dirinya
selamatkan dia…” kata-kata itu diucapkan Kioro Mertan
berulang kali dalam hatinya.
Ketika tubuhnya terasa sangat lemah dan nafasnya
mulai megap-megap mendadak telinganya sayup-sayup
mendengar langkah kaki kuda di kejauhan. Dengan
pemandangan yang samar-samar dicobanya menembus
kegelapan. Hutan belantara itu sunyi senyap sejak
gerombolan Ganco Item meninggalkan tempat itu be-
berapa waktu lalu. Masih ada dua buah obor yang menyala,
mungkin terlupa dipadamkan.
Kioro Mertan sadar tidak ada harapan baginya untuk
hidup. Darahnya terlalu banyak mengucur. Namun rasa
ingin tahu siapa penunggang kuda yang datang itu mem-
buat orang tua ini berusaha keras membuka kedua
matanya. Dalam kegelapan kemudian dilihatnya kuda ber-
sama penunggangnya, makin  dekat, makin dekat. kedua
matanya masih bisa mengenali orang itu. Dia membuka
mulut hendak berseru memanggil, tetapi yang keluar hanya
suara erangan.
Mulutnya bergerak. “Wiro…! Aku di sini! Wiro…! Aku di
sini!” namun ucapan itu hanya menggema dalam hatinya.
Tapi orang tua ini tidak putus asa. Dengan sisa tenaganya
dia berusaha menggerakkan kaki, menggoyang semak
belukar dia berusaha menggerakkan kaki, menggoyang
semak belukar di hadapannya. Dia berhasil! Suara
gemerisik semak belukar yang tergeser kakinya menarik
perhatian Pendekar 212. Semula Wiro merasa kecewa
karena dia hanya mendapat sisa-sisa bekas perkemahan.
Gerombolan Ganco Item pasti  telah meninggalkan tempat
itu selagi dia bersesat menempun jalan.
Ken Cilik, monyet coklat yang bergelantungan di leher-
nya keluarkan suara memekik tiada henti. Wiro berpaling  
ke arah semak belukar dalam kegelapan.  
“Siapa di situ?!” Wiro membentak dan memandang
tajam ke arah semak belukar yang bergoyang-goyang itu.
Pukulan tangan kosong disiapkannya untuk menjaga
segala kemungkinan.
***  
WIRO SABLENG
6 PETI MATI DARI JEPARA
EMAK belukar itu tampak bergoyang lagi. Lalu Wiro
mendengar suara erangan. Murid Sinto Gendeng dari
Gunung Gede ini segera melompat dari atas kuda,
melangkah mendekati rumpunan semak belukar. Ketika
matanya berhasil menembus kegelapan malam terkejutlah
pemuda ini begitu melihat siapa yang tergeletak di balik
semak belukar itu.
“Pak tua Kioro Mertan!” Wiro menyebut nama orang tua
itu lalu melompat dan jatuhkan diri merangkul tubuh Kioro
Merton. “Pak tua, katakan apa yang terjadi!”
Dari mulut orang tua itu hanya terdengar suara meng-
erang. Wiro melihat luka besar di perut Kioro Merton.
Tengkuknya bergidik. Luka itu parah sekali. Orang tua ini
tak akan bertahan lama. Wiro segera mendukung Kioro
Merton ke arah salah satu obor yang masih menyala. Di
tanah yang agak datar dibaringkannya orang tua yang
tengah sekarat ini. Lalu dia menotok tubuh Kioro Mertan di
dua tempat. Orang tua in merasakan sakit pada luka di
perutnya berkurang sedikit. Dfa merasa ada hawa sejuk
mengalir ke keningnya ketika Wiro menekankan telapak
tangannya di kepala. Perlahan-lahan orang tua ini bisa
membuka kedua matanya kembaii. Dia merasa ada sedikit
kekuatan yang membuatnya sanggup mengeluarkan kata-
kata walaupun terputus-putus.
“Wiro… tolong… Selamatkan Sumiati. Dia… dilarikan
orang-orang Ganco Item…”
“Kakek tahu kemana mereka membawa cucumu itu?”
S  
tanya Wiro.
“Aku tidak tahu… Aku mendengar mereka me… menuju
ke sela… tan. Kau… harus  membalaskan sakit hati ini,
Wiro…”
“Saya bersumpah, demi kakek, paman serta bibi! Demi
semua penduduk Jatingaleh yang jadi korban keganasan
Ganco Item…”
“Kau harus hati-hati Wiro. Ternyata gerombolan itu ti…
tidak bergerak sendirian…”
Wiro diam, menunggu ucapan orang tua itu lebih lanjut.
Tapi Kioro Mertan juga diam.
“Kakek apa maksudmu mereka tidak sendirian?’
Wiro cepat ajukan pertanyaan ketika dilihatnya kedua
mata Kioro Mertan hendak terpejam kembali.
“Ger…. gerombolan itu dibantu oleh orangorang
Kadipaten Jepara. Seorang Bintara bernama Anggoro
secara khianat menusukkan pedangnya ke perutku…”  
“Keparat itu tak akan kulepaskan. Begitu juga tiga
pimpinan Ganco item!”
“Yang penting selamatkan Sumiati. Dari Anggoro kau
bisa mengorek keterangan kemana cucuku dibawa. Hati-
hati Wiro, kurasa bukan cuma orang-orang Kadipaten
Jepara saja yang terlibat. Mungkin juga orang-orang besar
di kotaraja. Gerombolan itu  punya banyak kaki tangan.
Aku…”
Terdengar suara seperti tercekik. Lalu tak terdengar lagi
suara ucapan Kioro Mertan. Pendekar 212 Wiro Sableng
merasakan tubuhnya bergelatar. Pertama paman dan bibi-
nya. Kini orang tua yang dianggapnya sebagai kakek
sendiri itu menemui kematian di depan matanya.
***
Sebuah papan besar tergantung di depan bangunan
beratap seng yang pintu-pintunya masih tertutup. Di atas
papan Itu tertera tulisan dari cat hitam berbunyi Haji Yan.
Penjual Peti Mati kayu Jati Asli.
Ketika jalan mulai ramai oleh orang yang lalu lalang,
tampak papan-papan depan bangunan terbuka satu
persatu. Seorang lelaki berkopiah putih, berjanggut dan
berkumis jarang, berkulit kuning dan bermata sangat sipit
sibuk menyusun papan-papan yang dibukanya satu persatu
dan menyandarkannya di sebelah luar bangunan. Kini
kelihatan ruangan dalam yang penuh dengan tumpukan
petipeti mati. Semuanya terbuat dari kayu jati.
Orang berkopiah putih ini adalah Tan Siu Kong, pemilik
tempat penjualan peti mati itu. Kakek moyangnya sudah
tinggal turun temurun di Jepara. Semua turunan mencari
hidup dengan menjual peti-peti mati. Tan Siu Kong merupa-
kan turunan yang keempat. Meskipun lahir dan dibesarkan
di situ namun kalau bicara dialek tanah leluhurnya tak
pernah berubah.
Yan Siu Kong kawin dengan seorang perempuan Jepara
asli dan memeluk agama Islam. Beberapa tahun lalu dia
naik haji ke Mekkah. Sejak itu pedagangan peti mati ini
lebih dikenal dengan panggilan Haji Tan.
Baru saja Haji Tan selesai membuka seluruh papan di
bagian depan bangunan, seorang pemuda berambut
gondrong dengan seekor monyet bertengger di bahunya
turun dari kuda, langsung menemui Haji Tan. Binatang di
bahunya memekik tiada henti lalu melompat ke atas
sebuah peti, pindah ke peti lain, begitu berulang kali.
“Hayyya…” kata Haji Tan dalam hati. “Pagi-pagi pula ada
tamu aneh. Mau bikin susah atawa mau kasih untung!”
Meski hatinya agak was-was melihat potongan tamu
yang datang membawa monyet ini namun sebagai
pedagang yang baik haji Tan membungkuk sambil memberi  
salam.
“Saya mau pesan peti mati,” berkata pesan tamu yang
bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Pesan…? Buat apa pesan? Yang sudah jadi ada
banyak. Situ silakan pilih…” Haji Tan menunjuk pada
susunan peti-peti mati yang di ruangan itu, yang berjumlah
tidak kurang dari dua puluh buah.
Wiro perhatikan peti-peti itu sebentar lalu gelengkan
kepala. “Peti-peti itu terlalu kecil. Aku ingin yang tiga kali
lebih besar.”
Tentu saja Haji Tan terheran-heran mendengar ucapan
tamunya itu. “Hayya… Peti mati begitu besal buat isi apa?
Manusia mati atawa kalebo?”
“Haji Tan, kau tak usaha banyak tanya. Siapkan sebuah
peti mati tiga kali ukuran  biasa. Aku juga membutuhkan
sebuah kereka terbuka untuk mengangkut peti mati besar
itu. Lengkap dengan dua ekor kuda yang kuat. Lalu bubuk
penangkal bau busuk mayat. Ini bayarannya!”
Dari balik pakaiannya Wiro  keluarkan sebuah kantong
kain. Kantong ini dilemparkannya ke arah Haji Tan.
Pedagang peti mati ini cepat menyambutnya. Terdengar
suara berdering. Haji Tan  cepat membuka tali kain
pengikat kanton. Tanpa menghitung, dengan hanya melihat
sekilas saja pedagang ini sudah maklum berapa jumlah
uang perak yang ada dalam kantong itu. Banyak sekali.
Lebih dari cukup untuk bisa menyediakan semua yang di-
minta tamunya itu.
Setelah berdecak beberapa kali Haji Tan berkata. “Anak
muda, soal semua yang situ pesan situ tidak usah kawatil.
Owe cuma ada alasan helan. Peti mati sebegitu besal…”
Wiro cepat memotong. “Haji Tan, kau siapkan saja apa
yang aku pesan. Aku datang lagi tiga hari di muka untuk
mengambilnya!”
“Hayya! Apa…?! Tiga Hali?! Mana wole hah? Paling tidak  
owe pelu sepuluh hali…”
“Lima hali. Jangan belani tawal-tawal. Atawa owe kasi
batal itu pesanan!” kata Wiro dengan menirukan dialek
Cinanya Tan Siu Kong, lalu dia ulurkan tangan pura-pura
hendak meminta kantong uang yang dipegang pedagang
peti mati itu.
“Oooo jangan kasi watal. Hayyaa… Lima hali. Owe
telima!” Lalu Haji Tan cepat-cepat masukkan kantong uang
ke dalam saku baju putihnya.
“Ken Cilikl” Wiro memanggil monyet yang masih enak-
enak duduk di salah satu peti mati. binatang ini
menyeringai. Ketika Wiro melangkah ke luar Ken Cilik cepat
melompat ke bahu sang pendekar baru saja Wiro berlaku,
Haji Tan berteriak memanggil istinya.
“Tumini! Tumini!”
Sang istri yang sedang menyiangi sayur lobak di dapur
keluar tergopoh-gopoh. Tan Siu Kong acungkan dan
goyang-goyangkan kantong uang itu di depan wajah istri-
nya. Sang istri ikut goyang-goyangkan kepala menuruti
ayunan kantong uang.
“Saya lagi banyak kerjaan di dapur. Pagi-pagi sudah
bercanda. Apa-apaan ini?”
“Eeee, ini bukan becanda Tumini,” kata Haji Tan pula.
“Ada olang gila datang! Pesan peti mati, satu buah gelobak,
dua ekol kuda tamba bumbu mayat! Kasih uang begini
banyak! Untung besal Tumini. Kita untung wesal. Ini ambil.
Simpan baik-baik!” Haji Tan serahkan kantong uang pada
istrinya. Setelah memberikan beberapa pesan pedagang
peti mati ini tinggalkan rumahnya. Dia berjalan sambil
senyum-senyum karena memperoleh untung yang tidak
terduga. Tetapi dia juga tidak habis pikir. Pemuda gondrong
yang tidak dikenalnya itu, muncul menunggang kuda, mem-
bawa seekor monyet dan memesan peti mati sebesar itu.
Untuk apa? Sampai saat itu dia sama sekali tidak
mendengar kabar ada keluarga di Jepara yang kematian
sanak keluarganya memerlukan peti mati.
***  
WIRO SABLENG
7 PETI MATI DARI JEPARA
UBUK itu terletak di kaki bukit tak berapa jauh dari
Undaan yaitu antara Kudus dan Demak. Ganco
Langit duduk bersila di  hadapan Ganco Bumi dan
Ganco Laut. Di salah satu sudut gubuk tergolek sosok
tubuh Jaminten. Perempuan ini berbaring seenaknya se-
hingga sebagian auratnya sebatas pangkal paha ke bawah
tersingkap. Saat itu walau kedua matanya terpejam tapi
Jaminten tidak tidur. Diam-diam dia mendengarkan pem-
bicaraan tiga pucuk pimpinan gerombolan Ganco Item itu.
Perjalanan jauh sepanjang siang tadi membuat sekujur
badannya terasa letih. Namun dia tak bisa memincingkan
mata. Apalagi tadi Ganco Langit sudah berbisik padanya
bahwa malam ini, sebelum mereka melakukan pekerjaan
besar besok siang, dia ingin Jaminten melayaninya.
“Ganco Bumi, apa kau sudah siap berangkat malam
ini?” terdengar suara Ganco Langit bertanya pada adiknya.
Ganco Bumi mendehem beberapa kali lalu menjawab.
“Sudah. Aku membawa serta lima orang anak buah.
Sebetulnya aku lebih suka jika tugas ini dilakukan oleh
Ganco Laut.”
Ganco Laut yang duduk di sebelah Ganco Bumi diam
saja. Hanya kedua matanya saja yang melirik ke arah
Ganco Langit.
“Ganco Laut bakal dapat tugas lain..” kata Ganco Langit.
“Lakukan tugasmu dengan baik. Ingat, kita bergabung di
lembah sebelah timur Kuto Ulir pada tengah hari besok.”
Ganco Bumi mengangguk perlahan lalu berdiri dan
G  
tinggalkan gubuk itu. Setelah mereka tinggal berdua Ganco
Laut bertanya. “Kau bilang bakal ada tugas lain untukku.
Tugas apa Ganco Langit?”
“Itu masih kupikirkan. Aku ingin istirahat dulu…”
Jawaban Ganco Langit itu cukup membuat maklum apa
yang akan dilakukan oleh Ganco Langit. Ganco Laut berdiri.
Dia melirik sesaat pada tubuh Jaminten yang terbaring
mengangkang kemudian keluar dari gubuk.
Ganco Langit menutup pintu gubuk lalu merebahkan diri
di samping Jaminten. Perempuan itu membalik. Nafas
mereka saling hembus. Lalu tangan Ganco Langit mulai
bergerak. Jaminten menggeliat kegelian. Geliatan ini me-
nambah rangsangan Ganco Langit. Dipeluknya tubuh
gemuk itu seperti hendak melumat. Jaminten membalas
seperti penuh bernafsu. Tapi dalam hatinya perempuan ini
berkata, “Puaskan hatimu! Kalau barang-barang pusaka itu
sudah didapat, berarti ajalmu sudah dekat Ganco Langitl”
***
Pagi-pagi sekali ketika hari masih gelap gerobak ter-
tutup itu sudah masuk ke dalam halaman sebuah rumah di
luar timur Demak. Rumah ini meskipun kecil tapi sangat
bagus bangunannya, memiliki halaman besar dan selusin
orang lelaki rata-rata bertubuh kekar tampak melakukan
pengawalan.
Lima orang anggota gerombolan yang bertindak menjadi
pengawal dengan tubuh letih melompat dari atas kuda
masing-masing. Ganco Bumi yang duduk di depan gerobak
meneguk tuak dari dalam sebuah bumbung bambu lalu
melompat turun.
Dua orang berbadan kekar yang agaknya telah
mengenal Ganco Bumi segera datang menyongsong.
Keduanya memberi hormat Ganco Bumi lalu salah  
seorang memberi tahu bahwa Adipati Demak, Bando
Wiseso sudah siap menunggu kedatangannya di dalam
rumah. Ganco Bumi memberi isyarat pada anak buahnya.
Dua orang menyingkapkan kain penutup bagian belakang
gerobak. Sesaat kemudian tampak kedua orang itu meng-
gotong sebuah usungan kayu di atas mana terbaring se-
sosok tubuh yang diselimutl sampal sebatas leher.
Wajah yang tersembul dari balik selimut itu adalah
wajah seorang gadis. Walaupun parasnya tampak pucat
dan dia seperti dalam keadaan tidur namun jelas kelihatan
paras itu cantik sekali. Dia bukan lain adalah Sumiati, cucu
Kioro Mertan, puteri tunggal kepala desa Jatingaleh yang
telah diculik dan dirusak kehormatannya secara keji oleh
Ganco Langit, Ganco Bumi dan Ganco Laut. Ada apakah
kini gadis itu dibawa ke tempat tersebut? Dimana telah
menunggu seorang pejabat tinggi Kerajaan yaitu Adipati
Bandoro Wiseso?
***  
WIRO SABLENG
8 PETI MATI DARI JEPARA
EDUA lelaki berbadan kekar melangkah mendahuiui
memasuki rumah, diikuti oleh due anggota
gerombolan yang mengusung Sumiati lalu Ganco
Bumi di sebelah belakang. Gadis malang itu diusung
memasuki sebuah kamar. Disitu telah menunggu Adipati
Bandoro yang hanya mengenakan pakaian tidur, bertubuh
kerempeng tapi jangkung dan memelihara kumis tebal
melintang yang tidak sesuai dengan tampangnya yang kecil
panjang dan cekung pada kedua pipinya. Giginya yang
tonggos menambah keburukan tampangnya. Dia menye-
ringai ketika melihat paras gadis di atas usungan lalu
berpaling pada Ganco Laut.  Tubuh Sumiati diletakkan di
atas pembaringan. Setelah due pengusung keluar, lelaki
tinggi kurus ini melangkah mendekai Ganco Bumi dan
menepuk-nepuk bahu pimpinan gerombolan itu.
“Cantik sekali. Tapi kenapa wajahnya agak pucat?”
Ganco Bumi tersenyum mendengar kata-kata orang di
depannya itu. “Perjalanan jauh membuat tubuhnya sangat
letih. Sebelumnya dia galak sekali, beberapa kali berusaha
melarikan diri, Kami terpaksa menotoknya.”
“Ah….” Bandoro Wiseso mengangguk. “Aku mengucap-
kan terima kasih. Kalian selalu memberikan yang terbaik
untukku. Kakakmu Ganco Langit tidak datang?”
Ganco Bumi menggeieng. “Dia menitip pesan padamu
Adipati. Dia berharap Adipati bisa bersenang-senang se-
panjang pagi sampal malam nanti. Lalu dia juga meminta
agar tidak adas pengawal atau perajurit atau orang-orang
K
Kadipaten bertugas di sekitar tenggara kita siang ini.”
“Hemm… apakah yang hendak kalian lakukan?” tanya
Adipati Demak pula.
Ganco Bumi tidak menjawab. Wajahnya menunjukkan
rasa tidak senang dengan pertanyaan tadi. Adipati Bandoro
Wiseso batuk-batuk beberapa kali.
“Ah, maafkan aku. Sesuai perjanjian diantara kita aku
tak boleh terlalu banyak tanya dan ingin tahu. Namun se-
panjang kalian tidak keterlaluan, aku tak akan pernah
keberatan. Daerah tenggara memang kediaman orang-
orang bangsawan dan orang-orang kaya. Itukah sasaran
kalian kali ini?”
Ganco Bumi menjawab sambil tersenyum. “Dugaanmu
tepat Adipati. Demak sudah dipenuhi oleh bangsawan-
bangsawan kaya raya. Sementara rakyat miskin semakin
banyak akibat tanahnya dirampas secara halus. Sudah
saatnya kekayaan mereka itu kita ambil dan dibagi kembali
kepada rakyat. Bukan begitu Adipati?”
“Betul! Betul sekali Ganco Bumi!” jawab Adipati Bandoro
Wiseso. “Aku setuju agar sebagian harta kekayaan orang-
orang kaya itu dibagikan pada rakyat jelata. Tapi kuharap
jangan melupakan perjanjian  kita, Jika kalian berbuat
sesuatu di luar Demak tapi masih dalam kawasan
kekuasaanku, bagianku adalah seperlima. Kalau kalian
menjarah dalam kota Demak, maka bagianku adalah
empat perlima. Katakan itu pada Ganco Langit!”
Ganco Bumi mengangguk. “Tak usah kawatir. Kami
orang-orang Ganco Item selalu menepati perjanjian asal-
kan ada bantuan timbal balik.”
Dari dalam saku baju hitamnya Ganco Hitam keluarkan
sebuah kantong berisi uang lalu dimasukkannya ke dalam
genggaman Adipati Bandoro Wiseso.
“Itu pembagian sisa terdahulu. Sekarang saya minta
diri.” kata Ganco Bumi. Lalu dia menoleh ke arah sosok  
Sumiati di atas tempat tidur. Sebenarnya Ganco Bumi
masih ingin melampiaskan nafsu bejatnya terhadap gadis
itu. Tadi dia hendak melakukannya di tengah jalan. Namun
rencana besar yang akan dilakukannya bersama kakaknya
lebih penting. Ganco Bumi memandang pada Bandoro
Wiseso kembali dan berkata. “Dia masih sangat hijau
Adipati. Jangan terlalu galak. Beberapa saat lagi totokan di
tubuhnya akan terlepas. Setelah itu kau bisa berbuat apa
saja terhadapnya. Dua hari di muka orang-orangku akan
menjemputnya.”  
“Dua hari katamu Ganco Bumi? Dua hari? Ah! Untuk
gadis secantik ini paling tidak lima hari!” kata Bandoro
Wiseso dan tenggorokannya tampak turun naik. Matanya
memandang berkilat-kilat ke arah tempat tidur.
“Jika begitu maumu, kau boleh memilikinya selama satu
minggu!”
“Kau benar-benar kawan yang hebat!” kata Bandoro
Wiseso dengan tawa lebar. Seperti tadi kembali dia
menepuk-nepuk bahu Ganco Bumi.
“Siapa nama gadis itu Ganco?”
“Sumiati.”
“Sumiati… Sumiati,” kata Bandoro Wiseso mengulang
beberapa kali. Dia mengantarkan pimpinan gerombolan itu
sampai ke pintu depan. Belum lagi Ganco Bumi dan orang-
orangnya keluar dari halaman rumah, Adipati Demak ini
sudah menutup pintu dan setengah berlari dia masuk
kembali ke dalam kamar. Selimut yang menutupi tubuh
Surniati disingkapkannya. Sepasang mata lelaki berusia
enam puluh tahun ini seperti silau ketika melihat bahwa di
balik selimut itu tak ada apapun yang menutupi tubuh
bagus si gadis.
Meski sudah diberi tahu bahwa totokan di tubuh
Sumiati akan terlempas dengan sendirinya dalam waktu
tak berapa lama lagi, namun saat itu Bandoro Wiseso  
mana bisa sabar. Ditelitinya sekujur tubuh gadis itu.
Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi Adipati ini
akhirnya berhasil mengetahui di bagian mana Sumiati
ditotok. Dengan mengerahkan tenaga dalam dia mengurut
urat besar dekat ketiak kiri si gadis. Sesaat kemudian
tubuh Sumiati tampak bergerak. Kedua matanya perlahan-
lahan membuka.
Melihat tampang Adipati itu Sumiati seperti melihat
setan. Mendengar suara bisikannya Sumiati seolah men-
dengar suara hantu. Maka gadis ini pun menjerit keras!
***  
WIRO SABLENG
9 PETI MATI DARI JEPARA
DIPATI Bandoro Wiseso cepat menutup mulut
Sumiati. gadis ini berusaha melompat tetapi sekujur
tubuhnya lemah lunglai tak bertenaga. Dia hanya
bisa menggulingkan diri ke samping kiri tempat tidur.
Sementara itu Bandoro Wiseso dengan cepat menanggal-
kan pakaian tidurnya. Lalu sekali lompat saja diterkamnya
tubuh gadis itu.
Namun seperti mendengar suara petir begitu kagetnya
sang Adipati ketika pintu kamar tiba-tiba hancur beran-
takan di hantam orang dari kuar. Dan terkejut seperti
melihat hantu dia membeliak sambil melangkah mundur.
Di hadapannya bergerak mendekat seorang pemuda be-
rambut gondrong yang tidak dikenalnya. Rahang pemuda
ini mengembung. Gerahamnya terdengar bergemeletakan.
Kedua tangannya terpentang seolah slap hendak men-
cekiknya.  
Dua belas pengawal yang bertebaran di sekitar rumah
terheran-heran ketika melihat sebuah kereta yang ditarik
oleh dua ekor kuda memasuki halaman. Tidak kusir atau
sais ada di atas kereta itu. Yang kelihatan hanya seekor
monyet coklat, duduk di bagian depan kereta. Lalu ini yang
membuat semua orang di situ dari heran menjadi terkejut.
Selagi perhatian semua pengawal itu tertuju pada
kereta tersebut, tanpa mereka ketahui sesosok bayang
putih berkelebat masuk ke dalam rumah!
Di atas kereta ada sebuah peti mati kayu jati berwarna
hitam, berukuran besar luar  biasa. Pada dinding-dinding
A
peti mati itu terdapat angka 212 yang tidak mereka
mengerti apa artinya.
Kayu di sebelah atas atau penutup peti mati tampak
terbuka. Ketika kereta itu  akhirnya berhenti di tengah
halaman, kedua belas pengawal sesaat melangkah menge-
lilingi kereta itu. Kemudian seperti diberi isyarat mereka
sama berserabutan untuk melihat dari dekat apa isi peti
mati itu. Begitu mereka mengulurkan kepala, serentak
kepala masing-masing seperti disentak setan. Paras
mereka menjadi berubah. Ada yang merasa jijik, tetapi
lebih banyak yang merasa mengkirik!
“Ada mayat dalam peti itu…” desis salah seorang dari
mereka.
“Mayat siapa…?” yang lain bertanya dengan suara agak
gemetar.
Ada seorang diantara mereka yang berani dan coba
melorigok kedalam peti mati kembali. Lalu kepalanya
cepat-cepat dipalingkan. “Aku rasa-rasa pernah melihat
mayat ini…” katanya seraya berpikir keras. Lalu dia ingat.
“Astagal ini mayat Anggoro! Bintara di Kadipaten Jepara!”
“Berarti peti mati ini datang dari Jepara!”‘ kata yang lain.
“Siapa yang mengirimkannya…? Tidak mungkin kereta
ini bisa menempuh jarak sejauh itu tanpa ada kusirnya!
Keanehan apa yang kita saksikan hari ini!” kata yang lain.
Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba ada suara men-
jawab dari arah rumah. “Peti mati itu memang datang dari
Jepara! Aku yang membawanya  kemari! Kalian tidak me-
lihat keanehan hari ini! Yang kalian saksikan adalah siapa
berbuat kejahatan dan kebejatan akan menerima pem-
balasan setimpal!”
Serempak kedua belas orang pengawal palingkan
kepala. Apa yang mereka saksikan kemudian membuat
semuanya jadi melotot.
Seorang pemuda berpakaian serba putih dan berambut  
gondrong tegak di depan rumah sambil mendukung dua
sosok tubuh. Yang pertama adalah tubuh gadis yang pagi
tadi dibawa oleh Ganco Bumi dan orang-orangnya. Tubuh
gadis itu berada dalam keadaan tidak bergerak di bahu kiri
si pemuda, mungkin pingsan dalam keadaan tertotok. Dia
mengenakan pakaian milik Adipati Bandoro Wiseso.
Sosok tubuh kedua, dan ini yang membuat dua belas
pengawal itu terkejut dan terbelalak, ialah sosok tubuh
Adipati mereka sendiri. Sang Adipati hanya mengenakan
celana tidur. Kepalanya terkulai ke bawah. Leher itu patah!
Dan dari mulut Bandoro Wiseso jelas kelihatan mengucur
darah!
“Pemuda itu membunuh Adipati Bandoro!” seorang
pengawal berteriak. Semuanya menjadi gempar. Lalu sadar
apa yang harus mereka lakukan, kedua belasnya serentak
menyerbu!
Kita kembali ke kamar di dalam rumah untuk menge-
tahui apa yang terjadi sebelum Pendekar 212 keluar
dengan mendukung tubuh Sumiati dan Bandoro Wiseso.
“Manusia keparat!” teriak Wiro begitu dia menerobos
masuk ke dalam kamar dan mendapatkan Adipati tinggi
kurus berkumis melintang dan tonggos itu berada dalam
keadaan siap hendak berbuat keji terhadap Sumiati. Dia
merasa bersyukur telah mengambil keputusan yang tepat.
Sebelumnya dia sempat ragu untuk memilih apakah akan
mencegat Ganco Bumi dan orang-orangnya yang barusan
dari Demak atau langsung menuju Demak guna menye-
lamatkan saudara sepupunya itu. Wiro memilih untuk mela-
kukan yang kedua. Ternyata dia datang pada saat yang
tepat.
“Kurang ajar! Siapa kau?!” balas membentak Adipati
Bandoro Wiseso.
“Tua bangka bejat!” kembali Wiro mendamprat. “Tubuh
sudah bau tanah masih saja berbuat keji!”  
“Bangsat! Jawab pertanyaanku! Kau siapa yang berani
masuk membobol pintu?!” bentak Bandoro Wiseso.
Si gondrong menyeringai. “Namaku Wiro Sableng! Tapi
aku datang sebagai Malaikat Maut! Perbuatan kejimu
selama ini menentukan bahwa sudah saatnya kau me-
nerima hukuman. Hari ini adalah hari kematianmu.”
“Malaikat Maut?!” belalak Bandoro Wiseso. Dia hendak
tertawa bergelak namun saat itu dia baru sadar kalau
dirinya sama sekali tidak mengenakan apa-apa.
Dia cepat menyambar celana tidurnya. Wiro biarkan
orang itu mengenakan celananya. Selesai mengenakan
celana dengan tampak beringas dia melangkah ke
hadapan Wiro. Sementara itu Sumiati berusaha menutupi
tubuhnya dengan kain alas tempat tidur.
“Orang gila! Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa
saat ini?!”
“Lebih dari tahu!” jawab Wiro sambil sunggingkan
senyum mengejek. “Aku berhadapan dengan seorang
Adipati yang seharusnya menjadi abdi rakyat. Tapi malah
bersekutu dengan gerombolan penjahat untuk mencelakai
rakyat! Kau makan uang sogokan! Malah sampai hati
hendak merusak kehormatan gadis tidak berdaya yang
diberikan oleh komplotan Ganco item!”
“Bangsat! Berani kau memfitnah diriku!”
“Manusia jahanam! Bukti di depan mata masih bisa kau
bilang fitnah! Manusia bejat sepertimu pantas segera
disingkirkan!” kertak Wiro.
“Pengawal!” teriak Adipati Bandoro Wiseso. Namun
teriakannya hanya keluar sepotong karena saat itu
Pendekar 212 sudah meiompatinya dan menghantamkan
satu jotosan ke muka Adipati Demak ini.
Bandoro Wiseso berkelit ke samping. Tangan kananya
susupkan satu jotosan ke perut Wiro. Bersamaan dengan
itu kaki kanannya ikut menendang. Ternyata Adipati Demak  
ini menguasai ilmu silat yang tidak bisa dibuat main. Begitu
Wiro mengelak dia kembali memburu dengan serangan
bertubi-tubi. Dua jotosannya sempat melabrak perut dan
dada murid Eyang Sinto Gendeng ini.
Wiro merasakan perutnya seperti pecah dan dadanya
seolah melesak. Dia tidak punya banyak waktu untuk
melayani manusia satu ini karena harus segera mengejar
Ganco Bumi sebelum orang itu sempat bergabung kedua
kambratnya.
Ketika Bandoro Wisese kembali menggempurnya
dengan serangan berantai Pendekar 212 langsung me-
nyongsong dengan jurus “Di balik gunung memukul
halilintar!” tangan kirinya diangkat untuk menangkis. Ber-
samaan dengan itu tangan kanan yang sudah dialiri
kekuatan tenaga dalam tinggi lepaskan satu pukulan
tangan kosong yang dahsyat. Inilah jurus silat yang diwarisi-
nya dari Eyang Sinto Gendeng di Gunung Gede.
Ketika ada angin yang mendahului pukulan tangan
kanan lawan, Bandoro Wiseso maklum kalau Wiro hendak
menghantamnya dengan pukulan maut. Maka Adipati
Demak yang cukup punya pengalaman ini cepa-cepat me-
lompat ke samping kiri. Lima jari tangannya membuat
gerakan merenggut ke arah tenggorokan Wiro.
Serangan balasan sang Adipati ternyata mampu men-
capai sasaran lebih dulu dari hantaman tangan kanan yang
hendak dilepaskan Wiro. Hal ini membuat Wiro mau tak
mau harus menarik serangannya seraya membuat gerakan
menjatuhkan lehernya dari serangan ganas lawan. Begitu
dia bisa menyelamatkan leher Wiro melompat ke atas
tempat tidur. Dari sini dia molompat ke arah lawan sambil
mengeluarkan jurus silat yang didapatnya dari Tua Gila di
Pulau Andalas yaitu “Kilat menyambar puncak Gunung.”
Yang diincarnya adalah batok kepala Adipati itu.  
Bandoro Wiseso tidak mengira serangan kedua ini  
datang begitu cepatnya. Tak ada kesempatan untuk me-
nangkis, lelaki ini jatuhkan  dirinya. Begitu punggungnya
menyentuh lantai maka dia akan hantamkan kaki kanan-
nya ke perut lawan. Tapi ternyata Pendekar 212 mengikuti
arah jatuhnya ke samping kiri. Dari arah ini tebasan
tangannya masih terus menderu dengan deras. Batok
kepala Bandoro Wiseso memang luput dari serangannya
tapi kini gantinya justru adalah batang leher Adipati itu!
Kraak!
Tulang leher Bandoro Wiseso berdetak patah!
Tubuhnya langsung terhuyung roboh. Nyawanya se-
benarnya sudah putus saat Itu juga. Namun saking geram-
nya, sebelum tubuh itu jatuh ke lantai, murid Eyang Sinto
Gendeng ini hantamkan tumitnya ke dada Bandoro Wiseso.
Tak ampun lagi tubuh yang sudah jadi mayat itu men-
celat menghantam dinding.  Dari mulutnya yang terbuka
kelihatan darah memuncrat!
Jika dituruti nafsu amarahnya saat itu mau rasanya Wiro
menghancurluluhkan kepala dan sekujur tubuh serta
semua anggota badan Adipati itu. Namun dia merasa tak
ada gunanya. Mayat utuh sang Adipati lebih baik dipakai
sebagai penambah isi peti matinya!
Wiro tersadar oleh suatu erangan dari arah tempat
tidur. Dia berpaling. Gadis itu setengah terduduk. Wajahnya
pucat. Gadis itu berusaha menutupkan kain alas tempat
tidur ke tubuhnya. Wiro mendekat.
“Sumiati… Jangan takut. Aku datang menolongmu…”
“Kau…Kau siapa?” Suara gadis itu antara terdengar dan
tiada. Dia berusaha beringsut menjauhkan diri. Bencana
yang dialaminya membuat dia tidak bisa percaya dengan
siapa lagi di dunia ini, apalagi yang namanya laki-laki.
“Aku Wiro. Aku saudara sepupumu,” jawab Pendekar
212.
“Sau… saudara sepupu…? Seumur hidup aku tidak per-
nah punya saudara sepupu. Kau pasti salah satu dari
manusia-manusia terkutuk itu!”
Wiro mendekat sambil garuk-garuk kepala.
“Jangan sentuh tubuhku! Bunuh! Lebih baik kau bunuh
diriku! Aku ingin mati! Aku ingin mati!” teriak Sumiati.
Sesaat Pendekar 212 jadi terkesiap tak tahu apa yang
harus dilakukan. Namun kemudian disadarinya bahwa dia
harus bertindak cepat.
“Aku tak punya waktu banyak. Nanti saja aku terang-
kan.” Habis berkata begitu  Wiro segera menotok tubuh
Sumiati. Dari dalam sebuah lemari di kamar itu dia hanya
menemukan pakaian-pakaian lelaki yaitu milik Bandoro
Wiseso. Bagaimanapun pakaian  itu lebih baik dipakaikan
ke tubuh saudara sepupunya dari pada hanya dibungkus
dengan selimut atau kain alas tempat tidur.
***
WIRO SABLENG
10 PETI MATI DARI JEPARA
ENGHADAPI dua belas pengeroyok dengan  me-
mikul dua sosok t.ubuh bukan peke,jaan mudah
bagi Pendekar 212 Wiro Sabieng meskipun tidak
terlihat satupun dari mereka memegang senjata.
Selagi orang-orang itu menebar dan bergerak men-
dekatinya Wiro gerakkan bahu kanannya dengan keras.
Mayat Bandoro Wiseso yang ada di bahu kanan itu
tersentak keras dan melayang di udara. Tentu saja hal ini
membuat kedua belas pengawal tadi sama keluarkan
seruan tertahan saking terkejutnya. Ada yang berusaha
untuk menangkap tubuh Adipati mereka itu. Namun tubuh
itu melayang di atas kepala mereka ke arah kereta lalu
dengan suara bergedebuk keras menggidikkan jatuh
masuk ke dalam peti mati yang terbuka! Ken Cilik yang ada
di atas kereta memekik beberapa kali sedang dua kuda
penarik kereta meringkik panjang. ,
“Kawan-kawan!” salah seorang pengawal berteriak.
“Mari kita bunuh pemuda ini!”
Maka dua belas orang yang tadi terhenti gerakan
mereka sesaat kini kembali menyerbu. Beberapa orang di
antaranya kelihatan mencabut senjata. Mereka tampaknya
tidak ragu-ragu sekaiipun serangan mereka mungkin akan
mencelakai gadis yang ada di bahu kiri Wiro.
Dalam keadaan seperti ini menyerang lebih dahulu
adalah lebih baik dari pada menunggu.
Pendekar 212 melompat ke kiri. Tangan kirinya me-
megang pinggang Sumiati. Tangan kanan lepaskan satu
M
jotosan. Sasarannya adalah pengawal berhidung besar di
ujung kiri. Namun dari samping kawan si pengawal ini
datang membabatkan goloknya. Wiro terpaksa membuat
gerakan berputar. Kaki kanannya berkelebat.
Bukk!
Pengawal yang tadi hendak membacoknya terpental
sambil keluarkan suara mengeluh tinggi. Rahangnya
rengkah.
Tubuhnya terhempas ke tanah. Sebelas kawannya ber-
teriak marah dan menyerang laksana air bah. Wiro meng-
geser kedudukannya memunggungi kereta. Dengan
demikian dia berusaha menghindari serangan dari
belakang. Begitu mencapal kereta Wiro lepaskan pukulan
“benteng topan melanda samudera”. Walau pukulan ini
dilepaskan dengan mengerahkan hanya sepertiga tenaga
dalamnya tapi sudah cukup untuk membuat para
penyerang berteriak kaget. Tiga di antara mereka terpental
dan terguling-guling di tanah sementara debu dan pasir
bertebaran disapu angin pukulan.
Seorang pengeroyok menyelinap ke samping kereta lalu
melompat ke atas kendaraan ini. Dengan golok di tangan
dia bermaksud menyerang Wiro dari belakang. Tapi begitu
dia naik di atas kereta, Ken Cilik melompat ke atas
bahunya, menggigit telinga kirinya kuat-kuat. Orang ini
menjerit keras. Golok terlepas dari tangannya. Dia
melompat ke tanah dengan darah bercucuran dari
telinganya. Ketika telinga  itu dirabanya ternyata daun
telinganya robek besar bahkan hampir putus!  
Selagi para pengeroyok tertegun melihat apa yang ter-
jadi, Wiro cepat melompat ke atas kereta. Tubuh Sumiati
dibaringkannya di lantai di sebelah belakang tempat
duduk.
Sambil tegak bertolak pinggang di atas kereta dia ber-
kata, “Jika ada yang masih punya nyali silahkan mencoba!”  
Lalu sekali lagi dia lepaskan pukulan sakti tadi. Kali ini
dengan mengerahkan hampir setengah tenaga dalamnya.
Karena tidak berniat untuk membunuh semua pengawal
yang ada disitu maka Wiro sengaja mengarahkan pukulan-
nya ke tanah. Para pengawal merasa seolah-olah tempat
itu dilanda angin puting beliung. Tubuh mereka bergetar
keras sedang kaki masing-masing terasa goyah. Beberapa
orang tampak jatuh terbanting. Debu pasir beterbangan
menutupi pemandangan.
Terdengar suara cambuk dipecutkan. Lalu gemertak
roda-roda kereta. Ketika debu dan pasir surut ke tanah,
kereta yang ditarik dua ekor kuda itu bersama penumpang-
nya sudah tak ada lagi di tempat itu. Tak ada satupun dari
para pengawal itu berani bergerak untuk mengikuti apa lagi
coba mengejar.
***
Meskipun rombongan Ganco Bumi meninggalkan
Demak lebih dahulu, namun dengan memacu dua ekor
kuda penarik kereta sekencang-kencangnya dan me-
nempuh jalan memotong menyeberangi sebuah kali
dangkal, di sebuah jalan tanah yang kiri kanannya sarat
dengan pepohonan jati, Pendekar 212 berhasil memapaki
perjalanan Ganco Bumi dan lima anak buahnya.
Ganco Bumi yang tengah memacu kudanya dengan
kencang mengangkat tangan memberi tanda. Namun
gerak-gerik keenam binatang ini jelas menunjukkan
keresahan. Kuda-kuda itu kelihatan menggerak-gerakkan
ekor mereka tiada henti. Kaki masing-masing tak bisa
diam. Di antaranya ada yang meringkik seolah ketakutan.
Sesaat keenam orang itu hanya memandangi kereta
yang melintang di tengah jatan itu. Orang yang menjadi
kusir kereta seenaknya memandang ke arah hutan jati di  
depannya sambil mengusap-usap monyet yang duduk di
sampingnya. Dia seolah-olah tidak melihat atau mendengar
kemunculan Ganco Gumi dan anak buahnya. Padahal jelas-
jelas dia memelintangkan kereta untuk mencegat rom-
bongan itu.
Setelah mengalihkan pandangannya pada peti mati
besar di atas kereta, Ganco  Bumi yang tidak dapat lagi
menahan kemarahannya karena perjalanannya sengaja
diganggu pemuda tak dikenal itu menghardik dengan
keras.
“Orang gila dari mana mencari mati berani menghadang
perjalananku!”
Pendekar 212 terus mengusap kuduk Ken Cilik. Tanpa
berpaling ke arah rombongan Ganco Bumi dia bertanya
pada monyet di sampingnya.
“Ken Cilik, apakah ini salah  seorang dari calon isi peti
mati kita?!”
Ken Cilik putar kepalanya. Kedua matanya memandang
besar-besar ke arah Ganco Bumi. Lalu binatang ini mulai
berteriak-teriak sambil melompat-lompat.
Pendekar 212 manggut-manggut.
“Bagus! Jadi kau sudah mengenali salah satu dari
manusia-manusia durjana itu!” ujar Wiro. Tangan kanannya
diturunkan menarik sebuah palang kayu. Tangan kiri
menjangkau cambuk kereta.
Terdengar suara berkereketan.
Ganco Bumi yang kembali hendak membentak jadi
terkancing mulutnya. Dia mengernyit sementara lima anak
buahnya terperangah ketika menyaksikan bagaimana kayu
penutup peti mati terbuka perlahan-lahan dengan menge-
luarkan suara menggidikkan.
Ketika penutup peti mati terpentang lebar dan Ganco
Bumi serta lima anak buahnya melihat dua sosok tubuh
yang tergelimpang di dalamnya, karuan saja keenam orang  
ini keluarkan seruan tertahan. Mereka menyaksikan dua
sosok mayat di dalam peti mati itu. Mayat di samping
kanan adalah mayat Adipati Demak Bandoro Wiseso.
“Demi setan! Apa yang terjadi dengan Adipati inil” kata
Ganco Bumi dengan mata mendelik. Pagi tadi dia masih
menemui Adipati itu dalam keadaan hidup dan tertawa
gembira karena diberi hadiah seorang gadis cantik. Kini
tahu-tahu sudah jadi mayat!
Mayat kedua yang tampak mulai membusuk masih bisa
dikenali oleh Ganco Bumi yaitu tidak lain dari pada mayat
Bintara Anggoro, salah seorang dari sekian banyak sekutu-
sekutu komplotannya.
“Ini benar-benar gilal” Ganco Bumi memaki dalam hati.
“Aneh, mayat Bintara itu jelas mulai membusuk, tapi
mengapa tidak menebar bau?!”
Saat itu balk Ganco Bumi maupun para anak buahnya
tidak dapat melihat sosok tubuh Sumiati yang dibaringkan
Wiro di sisi kereta sebelah kiri, terhalang oleh peti mati.
“Manusia berkulit hitam! Berpakaian serba hitam! Aku
tahu kau adalah salah satu dari tiga anjing Ganco Item!
Katakan kau ini Ganco yang mana?! Ganco Langit, Bumi
atau Laut?!” Wiro bicara dengan tetap tidak bergerak di
atas tempat duduk kereta dan menatap ke arah hutan jati.
Ditanya seperti itu tentu saja Ganco Bumi menjadi me-
radang berang.
“Bangsat kurang ajar!” teriaknya memaki. “Aku Ganco
Bumi bisa saja membungkam mulutmu dan menjebloskan-
mu ke dalam peti mati itu semudah membalikkan telapak
tangan! Tapi buat apa harus mengotori tangan melayani
cecunguk macammu?!”
Makiannya ini dijawab oleh Ken Cilik dengan jeritan-
jeritan keras.
“Anak-anak! Lekas kalian bikin lumat pemuda gila itu!”
teriak Ganco Bumi.  
Lima anak buah gerombolan Ganco Item turun dari
kuda masing-masing, lalu sambil menghunus senjata
mereka yaitu ganco besi yang ujungnya runcing mengeri-
kan, kelimanya melompat ke atas kereta. Lima ganco maut
berkelebat di udara!
Pendekar 212 keluarkan suara mendengus.
“Ganco Bumi! Aku telah bersumpah untuk membunuh-
mu! Peti mati itu kusediakan untuk dirimu serta dua
saudaramu!”  
Ganco Bumi tertawa bergelak. “Sudah macam orang
gila, bicarapun seperti mimpi!”
Wiro balas tertawaan orang dengan cibiran.
“Nyawamu tak bakal lolos dariku Ganco Bumi! Tapi jika
kau memang mngumpan anak buahmu untuk menyem-
bunyikan kepengecutanmu, lihat saja apa yang akan ter-
jadi!”
Tubuh Wiro tampak berdiri tapi kedua kakinya tidak ber-
geser sedikitpun. Tangan kirinya yang memegang cambuk
bergerak. Terdengar suara cambuk itu berkelebat di udara
laksana gelegar petir. Bersamaan dengan itu Wiro hantam-
kan tangan kanannya. Lalu kaki kirinya membuat gerakan
menendang.
***  
WIRO SABLENG
11 PETI MATI DARI JEPARA
IGA jeritan menggema sampai ke dalam hutan jati.
Tiga penyerang jatuh terkapar di tanah. Satu pegangi
mukanya yang mengucurkan  darah. Muka itu robek
akibat hantaman cambuk. Yang lain merintih di tanah
sambil pegangi dada yang dilabrak jotosan. Dari mulutnya
membusa ludah bercampur darah. Orang yang ketiga ter-
geletak di tanah sarnbil rnelejang-lejangkan kaki lalu tidak
bergeming lagi.
Mati dengan kemaluan pecah disambar tendangan
Pendekar 212!
Belum habis rasa terkejut Ganco Bumi melihat apa yang
terjadi, di atas kereta Wiro kembali gerakan tangan kirinya
sambil membungkuk untuk menghindari ganco besi yang
menyambar ke arah lehernya.
Cambuk kereta itu meletup keras. Menyusul jeritan
korban yang ke empat. Seperti kawannya tadi, penyerang
yang ke empat jatuh bergulingan di tanah sambil pegangi
mukanya yang berlumuran darah. Hantaman cambuk mem-
buat luka membelintang dalam di mukanya, mulai dari
pinggiran mata kiri sampai ke dagu kanan!
Penyerang ke lima yang datang dari belakang agaknya
akan berhesil manancapkan ganco besinya ke punggung
Wiro. Ganco Sumi menyeringai.
“Kini baru tahu rasa pemuda gila itu.” katanya dalam
hati. Tapi seringai Ganco Bumi menjadi lenyap ketika tiba-
tiba di atas kereta Pendekar 212 balikkan  tubuhnya.
Tangan kanannya dengan cepat menjambak rambut
T  
penyerangnya lalu dihempaskan ke samping. Ganco yang
tadi ditikamkan lewat hanya seujung kuku di depan dada
Wiro namun sempat merobek pakaian sang pendekar.
Wiro tarik kepala orang yang dijambaknya ke depan.
Begitu kepala itu tertarik  Wiro hantamkan keningnya ke
kening lawan. Orang itu menjerit setinggi langit. Peman-
dangannya gelap. Keningnya mengucurkan darah. Senjata-
nya lepas dari tangan. Dengan satu sentakan saja Wiro
membanting tubuh orang itu ke bawah kereta!
“Keparat! Ganco Bumi akan melomat tubuhmu!” teriak
Ganco Bumi seraya menggebrak kudanya mendekati
kereta. Di tangan kanannya sudah tergenggam sebuah
ganco besi yang memancarkan warna hitam tanda senjata
itu bukan senjata sembarangan.
“Manusia durjana bernama Ganco Bumi!” teriak Wiro.
“Untuk ke neraka kau tidak memerlukan kuda!” bentak
Wiro. Cambuk di tangan kirinya berkelebat. Mengira dirinya
yang hendak jadi sasaran, Ganco Bumi cepat miringkan
tubuh ke kiri. Tapi cambuk itu ternyata menyambar ke arah
kepala kuda.
Craass!
Mata kanan kuda itu pecah.
Binatang tunggangan Ganco Bumi ini meringkik keras
sambil angkat ke dua kaki depannya tinggi-tinggi, me-
lemparkan Ganco Bumi dari punggungnya!
“Bangsat! Makan ini!” teriak Ganco Bumi. Sambil jungkir
balik di udara tangan kirinya dihantamkan ke arah Wiro.
Lima buah senjata rahasia terbuat dari besi hitam ber-
bentuk bintang bersudut tiga melesat ke arah Pendekar
212.
Melihat datangnya serangan ganas ini Wiro segera me-
lompat dari atas kereta. Tapi begitu kedua kakinya meng-
injak tanah dari samping Ganco Bumi sudah menerkam
dengan ganco besinya.  
Wuuut!
Ujung tajam senjata di tangan Ganco Bumi menderu
menyambar ke arah tenggorokan Wiro. Serangan ini sama
sekali tidak terduga dan sangat cepat.
Pendekar 212 berseru tegang. Dia melompat sambil
miringkan kepala untuk selamatkan leher. Dia berhasil.
Tapi lagi-lagi tidak terduga ganco besi itu menukik ke
bawah, menyapu ke arah bawah perutnya!
Untuk kedua kalinya Wiro berkelit dengan melompat ke
belakang. Meskipun dia sempat menyelamatkan anggota
rahasianya yang hendak direnggut senjata lawan, namun
Wiro tidak mampu menyelamatkan paha kanannya. Ujung
tajam ganco besi merobek dan menembus paha celana
Pendekar 212 lalu melukai daging pahanya.
Wiro mengerenyit. Torehan luka itu terasa seperti api
membara. Murid Eyang Sinto Gendeng ini sadar kalau
senjata lawan memiliki racun sangat jahat!  
Di depannya Ganco Bumi tertawa bergelak.
“Pemuda gila! Ternyata hanya sebegitu saja kehebatan-
mu! Kau tunggulah beberapa kejapan mata! Racun ganco
besiku akan menghancurkan jantungmu! Tapi sebelum
mampus harap kau beritahu mengapa kau menghadang
perjalananku!”
“Manusia iblis! Jangan terlalu cepat gembira!” jawab
Wiro. Meskipun Eyang Sinto Gendeng menyatakan dirinya
kebal terhadap segala macam racun namun Wiro tak mau
bertindak gegabah. Dia cepat menotok pahanya yang ter-
luka guna mencegah menjalarnya racun ke dalam aliran
darahnya.
“Aku bukan cuma menghadang jalanmu tetapi meng-
hadang nyawa busukmu!”
“Setan alas! Kau masih belum menjawab pertanyaanku!
Apa kau tidak tahu kalau sebentar lagi nyawamu bakalan
putus?!”  
Wiro sunggingkan seringai mengejek.
“Beberapa waktu lalu kau dan dua saudaramu menyer-
bu desa Jatingaleh. Kalian  bukan saja merampok harta
benda penduduk, tapi juga membunuh dan menculiki
Kepala desa dan istrinya ikut jadi korban. Anak gadis
mereka kalian culik dan kalian rusak kehormatannya!
Kakek gadis itu dibunuh secara keji oleh Bintoro Anggoro.
Anak gadis kepala desa Jatingaleh kemudian kau berikan
pada Adipati Demak sebagai hadiah dan umpan keji!
Sekarang kau lihat sendiri pembalasan bagi manusia-
manusia terkutuk itu! Anggoro dan Bandoro Wiseso ada
dalam peti mati. Peti itu masih cukup besar untuk
menyumpalkan mayatmu dan mayat dua pimpinan Ganco
Item lainnya!”
Sesaat Ganco Bumi jadi terkesiap mendengar ucapan
Wiro. Namun di lain kejap manusia bermuka hitam ini
membentak garang.
“Bangsat! Rupanya kau bangsa manusia yang ingin jadi
pahlawan! Lalu apa urusanmu sebenarnya melakukan
semua ini?!”
“Ranalegowo, kepala desa Jatingaleh adalah pamanku.
Istrinya adalah bibiku! Kioro Mertan adatah kakekku dan
gadis yang kau culik itu adalah sepupuku! Apa perlu
penjelasan lagi manusia muka pantat kuali?!”
“Hemm…. Jadi kau rupanya muncul untuk menuntut
balas!” Ganco Bumi kembali tertawa gelak-gelak. “Kau tak
punya waktu! Nyawamu keburu putus sebelum kau sempat
menghitung sampai sepuluh!”
Ganco Bumi menunggu beberapa saat. Pada perkiraan
hitungan yang kesepuluh hatinya mulai risau dan tampang-
nya berubah. Pemuda di hadapannya itu masih tegak ber-
diri. Sama sekali tidak menemui kematian akibat racun
ganas ganco besinya!
Tak ada jalan. Dia harus benar-benar melumat tubuh  
pemuda itu. Maka didahulul satu bentakan keras Ganco
Bumi menyerbu dengan senjata beracunnya. Serangannya
sungguh luar biasa. Ganco besi di tangannya lenyap, ber-
ubah menjadi lingkaran-lingkaran yang sabung menyabung
mengurung Pendekar 212 dari segala penjuru.
Sebagai orang kedua dalam komplotan Ganco Item
memang Ganco Bumi memiliki kepandaian yang sangat
tinggi. Antara dia dengan  kakaknya hanya terpaut satu
tingkat saja. Tetapi Ganco Langit memiliki satu kehebatan
yang tidak dimiliki oleh Ganco Bumi yakni semacam ilmu
kebal yang membuatnya tidak mempan pukulan maupun
senjata. Tubuhnya bisa dibuat babak belur tetapi tidak
mungkin untuk membunuhnya selama tidak diketahul ke-
lemahannya. Ganco Bumi telah berulang kali meminta
pada kakaknya itu agar dia diberi petunjuk bagaimana cara
mendapatkan ilmu kebal tersebut. Namun Ganco Langit
tak pernah mengabulkan permintaan adiknya itu.
Untuk beberapa lamanya Wiro merasakan dirinya ter-
tekan dan seolah-olah tak bisa keluar dari buntalan
serangan lawan. Hanya kecepatan geraknya saja yang
mampu mengimbangi serangan Ganco Bumi. Setelah
didesak terus selama empat jurus Pendekar 212 mulai
berusaha mengirimkan serangan-serangan balasan. Dia
mainkan jurus-jurus silat Gila Tua yang terkenal ampuh
dalam bertahan. Secara bersamaan dia keluarkan jurus-
jurus silat Eyang Sinto Gendeng. Tenaga dalam dialirkan
pada kedua telapak tangannya.
Ternyata Ganco Bumi mengetahui apa yang dilakukan
lawannya. Karenanya, sebelum Wiro mulai melancarkan
serangan yang mengandung tenaga dalam, Ganco Bumi
melipatgandakan kecepatan serangannya. Kini bukan saja
senjatanya yang lenyap, tubuhnyapun berubah menjadi
bayang-bayang.
Wiro menghantam sebat beberapa kali, tapi hanya  
mendapatkan pukulan-pukulannya menghantam tempat
kosong. Tak ada jalan lain. Dia harus menjaga jarak ter-
hadap lawan. Dengan kata lain dia harus menjauhkan diri
hingga punya kesempatan untuk melancarkan serangan.
Wiro keluarkan suitan nyaring. Tubuhnya berkelebat ke
arah kerapatan pohon-pohon jati. Ganco Bumi mengejar.
Wiro melompat kebalik pepohonan yang lain. Begitu
dilakukannya berulang kali.
“Pengecut!” teriak Ganco Bumi. Ganco di tangan
kanannya menderu kian kemari. Batang-batang pohon
berlubang-lubang dan terbongkar berantakan. Dapat di-
bayangkan kalau senjata Itu sempat mengoyak tubuh Wiro.
Ketika Ganco Bumi mengejar terus dan jarak mereka
terpisah tiga pohon, Wiro pergunakan kesempatan untuk
melepaskan pukulan “segulung ombak menerpa karang”.
Ganco Bumi terkesiap ketika mendengar ada deru
angin laksana gemuruh badai menghantam ke arahnya.
Cepat-cepat dia melompat ke  balik pohon jati besar. Dua
pohon jati di depannya tampak bergetar hebat, hampir ter-
cabut dari akarnya.
“Keparat! Yang kuhadapi bukan manusia! Bagaimana
dia bisa memiliki kekuatan sehebat itul” berucap Ganco
Bumi dalam hati. Dia segera mengeruk saku pakaiannya
mengambil senjata rahasia besi bintang tiga. Selagi dia
mengintai mencari kesempatan untuk melepaskan senjata
rahasia itu, dari seberang sana Wiro kembali menghantam
dengan pukulan sakti tadi.
Ganco Bumi memaki habis-habisan. Dia selamatkan diri
dengan membuat lompatan berputar hingga akhirnya dia
berada tepat di belakang Wiro.
“Sekarang tamat riwayatmu!” kertak Ganco Bumi. Di-
dahului dengan melemparkan lima senjata rahasia berupa
besi berbentuk bintang tiga itu,
Ganco Bumi kemudian menyerbu dengan ganco be-
racun.
Saat dia melompat itulah, sebuah bends tiba-tiba
melayang dari atas pohon di  sampingnya. Lalu terdengar
suara pekik melengking keras. Ternyata Ken Cilik telah
meninggalkan kereta dan naluri binatang ini menginginkan
dirinya untuk ikut membantu Wiro membunuh orang yang
telah membunuh tuannya.
Ken Cilik berhasil bergayut  di punggung Ganco Bumi.
Kuku-kukunya mencengkeram  dan taring-taringnya dihun-
jamkan ke daging Ganco Bumi. Orang ini menjerit
kesakitan.
“Binatang keparat!” Ganco Bumi pergunakan tangan
kirinya menangkap tubuh Ken Cilik. Dia berhasil menceng-
keram kuduk monyet ini lalu membantingkannya ke tanah.
Ken Cilik memekik keras dan berguling-guling di tanah.
Pendekar 212 Wiro Sambleng pukulkan tangan kanan-
nya. Dua senjata rahasia lawan mencelat mental. Yang tiga
lainnya dihindarkan dengan menjatuhkan diri ke tanah.
Selagi Wiro bergulingan Ganco Bumi cepat mendatangani
sambil ayunkan ganconya ke perut Wiro.
Kaki kanan Pendekar 212 melesat ke atas lebih cepat.
Kraakkk!
Tulang sambungan siku tangan kanan Ganco Bumi
hancur. Ganco yang digenggamnya terlepas mental jeritan
orang ini seperti merobek langit. Dengan kalap tangan kiri-
nya mengeruk saku pakaiannya untuk mengambil senjata
rahasianya. Namun kembali kaki kanan Wiro bergerak. Kali
ini menyapu kedua pergelangan kakinya. Tak ampun lag!
Ganco Bumi terbanting terbanting tertelentang di tanah.
Sewaktu dia mencoba bangun lutut kiri Wiro sudah mene-
kan perutnya. Lalu terjadilah pembalasan dendam itu.
Tinju Wiro kiri kanan menderu bertubi-tubi menghantam
dada dan muka Ganco Bumi. Tulang-tulang iganya ber-
patahan. Tulang dada melesak remuk. Mukanya babak  
belur. Darah mengucur dari mulut, hidung dan kedua
matanya!
Wiro tidak tahu berapa lama dia menghujani Ganco
Bumi dengan hantaman-hantaman keras itu. Dia baru ber-
henti ketika kedua tangannya terasa sakit. Tapi begitu
mendengar suara erangan tanda orang itu masih belum
mati, Wiro jambak rambut Ganco Bumi lalu menghantam-
kannya ke batang pohon jati. Terdengar suara menggidik-
kan ketika batok kepala Ganco Bumi beradu dengan pohon
jati dan rengkah!
Ken cilik memekik panjang.
Wiro angkat tubuh Ganco Bumi yang sudah jadi mayat
itu lalu melemparkannya ke dalam peti mati. Tiga mayat
kihi memenuhi peti mati hitam besar itul Sesaat Pendekar
212 memandang berkeliling sambil menggaruk kepala.
Pandangannya membentur salah seorang anak buah
Ganco Bumi yang tadi dihantamnya dengan cambuk dan
saat itu masih terkapar di tanah dengan luka panjang di
wajahnya dan masih mengucurkan darah.
Wiro dekati anggota komplotan penjahat ini, cekal kerah
bajunya kuat-kuat sementara  tangan kanannya diangkat
tinggi-tinggi siap untuk menghantam muka yang cidera
berat itu.  
“Jangan! Ampuni selembar  nyawaku!” ratap orang itu
yang sebelumnya telah menyaksikan secara menggidikkan
bagaimana Wiro membunuh pimpinannya dengan tangan
kosong.
Wiro menyiringai.
“Kalau kau masih ingin hidup, turut apa yang aku
perintahkan!” katanya. Lalu anak buah komplotan penjahat
itu dilemparkannya ke bagian depan kereta.
***  
WIRO SABLENG
12 PETI MATI DARI JEPARA
ANCO LANGIT melangkah mundar-mandir. Sebentar-
sebentar tangan kanannya dipukulkan ke batang-
batang pohon yang ada di dekatnya hingga kulit
pohon itu melesat atau pecah terkelupas. Dia sedang kesa!
dan marah.
“Keparat Ganco Bumi itu! Sudah siang begini masih
belum kelihatan pangkal hidungnya!”
Jaminten yang tegak di sebelahnya berkata, “Jangan-
jangan adikmu itu tidak membawa gadis itu langsung ke
tujuan, tapi mampir dulu di satu tempat melampiaskan
nafsunya!”
Tampang hitam Ganco Langit kelihatan membesi.
“Kalau itu dilakukannya aku akan menghajarnya sampai
dia tahu rasa!” Lalu pimpinan gerombolan Ganco Item ini
mendongak ke atas. Sang surya tampak mulai condong ke
barat. Sasuai perjanjian Ganco Bumi harus sudah berada
di lembah itu paling lambat tengah hari.
“Ganco Langit,” Ganco Laut buka suara. “Dari pada
menunggu menghabiskan waktu, bagaimana kalau kita
bergerak saja ke Demak sekarang juga. Seorang anak
buah kita tinggalkan di sini. Kalau Ganco Bumi datang dia
bisa memberi tahu agar menyusul kita.”
Ganco Langit bimbang sesaat. Namun akhirnya dia
menyetujui pendapat Ganco Laut itu. Seorang anggota
gerombolan ditinggalkan di lembah guna menunggu Ganco
Bumi. Tak ada seorangpun di antara mereka yang bakal
menduga kalau kelak Ganco Bumi akan muncul hanya
G  
tinggal tubuh kasarnya saja dalam keadaan memar hancur.
Rombongan berkuda itu bergerak cepat menuju Demak.
Di depan sekali Ganco Langit dan Ganco Laut. Disebelah
belakang mengikuti sepuluh orang anak buah mereka. Lalu
sebuah gerobak ditarik dua ekor kuda. Jaminten berada di
atas gerobak ini, duduk di samping kusir. Setelah gerobak
menyusul sepuluh orang lagi anggota gerombolan.
Tepat pada saat matahari tenggelam, setelah me-
nempuh perjalanan begitu  jauh rombongan akhirnya
sampai di pinggir timur Demak. Dari sini mereka sengaja
mengambil jalan mengitari pinggiran kota untuk sampai di
sebuah tanah datar dimana terdapat sebuah Masjid Besar.
Masjid ini, memiliki halaman luas. Bangunannya pun
luas sekali. Di salah satu bagian mesjid terdapat sebuah
ruangan dimana secara rahasia dan hanya beberapa orang
saja yang tahu, disimpan beberapa barang pusaka Keraja-
an. Barang-barang Itu antara  lain adalah sebuah tameng
emas yang bagian tengahnya dihias dengan sebuah batu
merah delima sebesar telur burung. Pada pinggirannya
ditaburi dengan berbagai batu permata mutu manikam
serta mutiara. Laiu ada sebuah gong yang juga terbuat dari
emas, sebuah rompi emas berhiaskan berlian. Sebelah
keris bernama Kiyai Plered yang juga terbuat dari emas.
Kemudian ada pula seperangkat alat-alat minum dari emas
yang konon kabarnya merupakan hadiah dari seorang
kaisar di Tiongkok yang memerintah sekitar seratus tahun
silam.
Entah bagaimana komplotan Ganco Item berhasil
mengetahul tentang barang-barang pusaka berharga itu.
Mereka melakukan penyelidikan. Ternyata Mesjid Besar itu
hanya dijaga oleh tujuh orang perajurit yang sehari-hari
selalu berpakaian santri dan seorang tua yang dipanggil
dengan nama Syekh Martani. Di mata Ganco langit dan
kawan-kawannya pengawalan seperti itu sama sekali tak  
ada artinya.
Dalam Mesjid Besar Syekh Martani tengah menjadi
Imam pemimpin solat Magrib. Hanya ada dua perigawal
berjaga-jaga dekat ruangan penyimpanan benda-benda
pusaka. Kesempatan ini dipergunakan dengan sebaik-baik-
nya oleh Ganco Langit dan kawan-kawannya. Mereka
memasuki pintu halaman Mesjid Besar hampir tanpa
suara. Di bawah pimpinan Ganco Langit dan Ganco Laut
lima belas orang anggota gerombolan bergerak menuju
ruangan tempat penyimpanan barang-barang bdrharga itu.
Lima anggota lainnya dan juga Jaminten tetap berada di
halaman belakang mesjid.
Dua penjaga yang ada di tempat itu disergap lalu di-
habisi nyawa mereka tanpa banyak susah. Ganco Langit
lalu berusaha mencari kunci pintu ruang penyimpanan
barang pusaka. Beberapa orang menggeledah mayat dua
penjaga. Tapi mereka tak berhasil menemukan anak kunci.
Dengan tidak sabaran Ganco Langit mendobrak pintu
ruangan hingga jebol. Begitu pintu terpentang Ganco Langit
memberi isyarat pada tiga orang anak buahnya lalu masuk
ke dalam setelah menyuruh Ganco Laut tetap di luar untuk
berjaga-jaga. Ganco bumi sengaja berbuat begitu karena
ada rasa kawatir kalau-kalau Ganco Laut akan berbuat
curang, mencuri dan menyelinapkan barang-barang
berharga yang ada di situ.
Ruangan yang dimasuki itu berada dalam keadaan
gelap. Satu-satunya cahaya yang masuk adalah berkas
cahaya dari ruangan sembahyang. Tapi mata manusia-
manusia penjahat seperti Ganco Langit yang sudah
terbiasa dengan kegelapan, tidak menemui kesulitan. Dia
dan anak buahnya segera dapat melihat barang-barang
berharga itu tersusun rapi di atas sebuah rak panjang.
“Cepat ambil! Masukkan ke dalam kereta!” kata Ganco
Langit lalu menyambar perisai emas dan gong emas. Tiga  
anak buahnya cepat-cepat membenahi semua barang-
barang pusaka di atas rak.
“Cepat!” kata Ganco Langit lalu mendahului keluar.
Ketika Ganco Langit mendobrak pintu ruangan
penyimpanan barang, suara jebolnya pintu terdengar
sampai di ruangan sembahyang yang luas. Mau tak mau
Syekh Martani dan para jamaah lainnya menjadi terganggu
kekhusukan sembahyang mereka. Lima orang pengawal
yang tengah solat Magrib saat itu menjadi curiga dan
mereka tidak bisa menguasai diri lagi. Kelimanya lari ber-
serabutan ke bagian belakang mesjid. Mereka terkejut
sewaktu mendapatkan dua teman mereka terkapar di
depan ruangan penyimpanan barang dalam keadaan
berlurnuran darah dan tak bernyawa lagi. Kelimanya masih
sempat melihat punggung beberapa orang yang melarikan
diri ke halaman belakang mesjid sambil memboyong
barang-barang berharga. Langsung saja para pengawal ini
berteriak lalu mengejar. Namun saat itu mereks tidak
membawa senjata. Enam orang anggota gerombolan yang
bersenjatakan ganco besi segera menghadang dan
menyerang. Hanya beberapa gebrakan saja para pengawal
itu jatuh bersungkuran dengan luka-luka mengerikan di
kepala, leher atau badan mereka! Mesjid Besar menjadi
geger!
Syekh Martani menyelesaikan solatnya dalam keadaan
sangat tidak khusuk. Begitu memberi salam orang tua ini
cepat menyambar sebuah tongkat yang ujungnya ditancapi
besi lancip. Sekali berkelebat dia sudah berada dihalaman
belakang Mesjid Besar.
“Pencuri-pencuri terkutuk!”  teriak Syekh Martani. Dia
mengira yang memboyong barang-barang pusaka itu
adalah pencuri-pencuri biasa.
“Ganco Laut! Bereskan orang tua itu!” berteria Ganco
Langit.  
Ganco Laut bukannya langsung melakukan apa yang
dikatakan Ganco Langit, tapi malah menyuruh tiga orang
anak buahnya untuk mencegat Syekh Martani. Dia sendiri
kemudian ikut lari menuju kereta.
Ketika ada tiga orang menghadangnya lalu menyerang
dengan senjata berupa ganco-ganco besi barulah Syekh
Martani menyadari bahwa yang dikejarnya bukan pencuri-
pencuri biasa. Orang tua ini begitu melihat senjata yang ter-
genggam di tangan tiga penghadangnya serta merta
merasakan darahnya berdesir.
“Gerombolan Ganco Item!” katanya dengan hati ter-
getar. Sebagai penjaga keselamatan barangbarang pusaka
itu tak ada jalan lain. Dia harus mengorbankan jiwa
raganya untuk mendapatkannya kembali!
Syekh Martani putar tongkatnya begitu tiga lawan
menyerbu.
Tiga anak buah gerombolan Ganco Item sama terkejut
ketika senjata masing-masing bentrokan dengan tongkat di
tangan si orang tua. Tangan mereka tergetar hebat.
Dengan kertakan rahang ketiganya kembali menyerang.
***  
WIRO SABLENG
13 PETI MATI DARI JEPARA
AMPIR bersamaan dengan saat Syekh Martani
dihadang oleh tiga orang anak buah Ganco Langit,
di bawah udara yang mulai berangsur gelap, sebuah
kereta ditarik dua ekor kuda memasuki pintu pagar Mesjid
Besar. Kendaraan ini berhenti di pintu pagar seperti
sengaja hendak menutupi jalan.
Di atas kereta, duduk sebagai kusir seorang lelaki yang
ada luka melintang di Mukanya. Noda darah yang telah
mengering pada muka itu membuat tampangnya menjadi
seram.
Di atas kereta itu terlihat sebuah peti mati hitam dan
besar. Papannya sebelah atas nampak tertutup. Di
samping kanan peti mati duduk seorang gadis berwajah
pucat. Rambutnya riap-riapan. Kedua matanya me-
mandang lurus-lurus ke depan. Tubuhnya tidak bergerak
sedikitpun. Dia duduk di lantal kereta seperti patung peri
yang angker. Seekor monyet coklat duduk di pangkuannya.
Seperti gadis itu, binatang inipun memandang lurus-
lurus ke depan. Dari mulutnya keluar suara mengerang
halus.
Ketika dia melihat sosok Ganco Langit dan Ganco Bumi
binatang ini langsung meiornpat dan berteriak-teriak.
Semua barang rampokan sudah dimaSukkan ke dalam
kereta. Ganco Langit memberi tanda tinggalkan tempat itu.
Namun dari terheran-heran kemudian menjadi marah
ketika melihat ada sebuah kereta berhenti di pintu pagar
menghalangi jalan keluar.
H
“Kurang ajar! Singkirkan kereta sialan itu!” teriak Ganco
Langit.
Pada saat itu pula di bagian belakang Masjid Besar ter-
dengar suara pekikan-pekikan. Ketika Ganco Langit, Ganco
Bumi dan anggota-anggota Ganco Item lainnya berpaling,
mereka bagaimana tiga orang kawan mereka satu demi
satu tersungkur di tanah sambil pegangi perut dan dada
yang ditembus tongkat Syekh Martani!
“Haram jadahl” maki Ganco Langit. Dia berpaling pada
Ganco Laut. “Tadi aku perintahkan kau membereskan
orang tua itu!” teriak Ganco Langit beringas.
“Ternyata Syekh Martani bukan orang tua sembarangan
Ganco Langit,” menjawab Ganco Laut.
“Perduli setan siapa dia kusuruh untuk menghabisinya
saat ini juga!” bentak Ganco Langit. Dia berpaling ke arah
kereta yang menutupi pintu.
 Tiba-tiba gerobak yang dimuati barang-barang
rampokan bergerak kencang ke arah kiri, melabrak pagar
bambu dan terus menghambur dalam ke gelapan malam.
Jaminten yang bertindak sebagai kusir gerobak itu
mencambuki dua kuda penarik sekuat-kuatnya hingga
kedua binatang itu lari seperti kesetanan.
“Hail Jamintenl” teriak Ganco Langit. Belum sempat
terpikir oleh benaknya apa yang tengah berlangsung,
mengapa Jaminten melarikan gerobak yang sarat dengan
barang-barang berharga itu. Baru saja dia hendak berlari
ke kudanya untuk mengejar tiba-tiba orang yang duduk di
atas kereta melompat turun dan berteriak-teriak
memanggil namanya.
“Ganco Langit! Ganco…!” Orang itu lari ke arah Ganco
Langit pada saat Ganco Langit baru saja naik ke punggung
kudanya. Dalam keadaan seperti itu Ganco Langit langsung
saja tendang orang yang mendatangi sambil memanggilnya
itu. Tendangan itu agak meleset hingga meskipun jatuh  
yang ditendang masih sempat bangun dan kembali
berteriak.
“Ganco Langit… Ganco Bumi mati dibunuh …!”
“Hah! Apa katamu?!” Ganco Langit tahan tali kekang
kudanya dan menoleh. Baru saat Itu dia mengenali wajah
yang luka mengerikan itu.
“Astaga! Bukankah kau salah seorang yang ikut
bersama Ganco Bumi ke tempat kediaman Adipati
Demak?! Mana adikku?!”
“D…dia…” Orang itu menunjuk ke arah kereta di pintu
pagar.
“Ganco Bumi mati…mati dibunuh…”
“Bangsat! Jangan kau berani bergurau!”
“Saya tidak bergurau Ganco…lihat sendiri! Mayat Ganco
Bumi ada di atas kereta itu…!”
Ganco Langit sentakan tali di ujung sana. Begitu sampai
di dekat kereta, terkejutlah Ganco Langit. Perempuan yang
duduk tak bergerak di atas kereta itu ternyata adalah
Sumiati, anak gadis Ranalegowol Bukankah dia seharusnya
berada di tempat kediaman Adipati Demak saat itu?
Monyet di atas kereta tiba-tiba menjerit-jerit dan
melompat-lompat kembali. Ganco Langit merutuk. Matanya
mencari-cari tapi dia tidak menemukan adiknya di situ. Dia
memandang lekat-lekat pada peti mati hitam.
Tiba-tiba terdengar suara berkeretakan. Penutup peti
mati perlahan-lahan terbuka. Ganco Langit mencium bau
tidak enak. Bau amisnya darah! Matanya membeliak
memperhatikan penutup peti
mati yang terus membuka hingga akhirnya terpentang
lebar. Kedua mata Ganco Langit kini bukan cuma
membeliak, tapi seperti hendak terbongkar dari rongganya!
Di dalam peti mati itu! Qia melihat sosok tubuh yang
hancur memar tapi masih bisa dikenalinya. Itu adalah
sosok tubuh adiknya yang sudah jadi mayat! Di sebelah  
mayat adiknya masih ada mayat lain, juga di sebelah
bawah. Tapi dia tidak perduli pada mayat-mayat lain itu.
Dia hanya perduli pada mayat adiknya.
“Ganco Bumi!” teriak Ganco Langit menggeledek. “Siapa
yang membunuhmu!” Dia hendak melompat dari punggung
kudanya ke atas kereta. Tapi tiba-tiba dilihatnya sosok
mayat adiknya bergerak kaku ke atas! Bulu kuduk Ganco
Langit merinding. Adiknya jadi mayat hidup!
***
WIRO SABLENG
14 PETI MATI DARI JEPARA
ENDADAK mayat Ganco Bumi disangka bergerak
hidup itu jatuh terhempas ke dalam peti kembali!
Bersamaan dengan itu sesosok tubuh lain
menyeruak muncul dari dalam peti di iringi suara tawa
bergerak!
Ganco Langit mundurkan kudanya ketika menyasikan
bagaimana sesosok tubuh pemuda berpakaian putih kumal
dan penuh dengan noda-noda darah bergerak tegak lalu
berdiri di atas peti mati. Saat itulah Ganco Langit sempat
melihat mayat Bintara Anggoro dan mayat Adipati Demak
Bandoro Wiseso. Seganas-ganasnya manusia seperti
Ganco Langit, mau tak mau dia jadi tercekat.
“Siapa kau?!” dia menghardik pada pemuda yang masih
berdiri di dalam peti mati.
Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai.
“Aku Malaikat Maut yang telah mengambil nyawa busuk
adikmu serta dua sekutumu! Sekarang giliranmu untuk
kujemput!” Dosa kalian sedalam lautan setinggi langit!”
“Orang gila keparat!” maki Ganco Langit. Dia berpaling
pada Ganco Laut. “Kau bereskan orang sinting ini! Aku
akan mengejar perempuan gemuk yang kabur membawa
barang-barang pusaka itu!”
“Kau saja yang membereskannya. Biar aku yang
mengejar Jaminten!” menjawab Ganco Laut.
“Turut perintahku! Jangan berani membantah!”
“Sekali ini aku terpaksa membangkang Ganco Langit!
Aku sudah memutuskan untuk tidak bergabung lagf dalam
komplotan Ganco Item!”
“Keparat kau Ganco Laut!”  teriak Ganco Langit. “Aku
tahu apa yang.ada di benakmu!” Ganco Langit ingat pada
M
kejadian beberapa waktu lalu. Malam-malam ketika Ganco
Laut dan Jaminten diintainya mandi-mandi dan bersenang-
senang di kali kecil.
Ganco Laut tak mau berdebat panjang dengan Ganco
Langit. Dia menggerakkan kudanya.
“Mau kemana kau Ganco Laut? Jangan kira aku tidak
tahu persekongkolan kalian! Kau dan Jaminten sama-sama
pengkhianat! Jangan kau berani meninggalkan tempat ini!”
“Aku pergi!” kata Ganco Laut. Dengan cepat Ganco Laut
menangkap tangan itu. Untuk sesaat keduanya saling men-
cengkeram dan saling melotot satu sama lain.
“Mengingat hubungan kita dimasa lalu, aku tak suka
kita saling melakukan kekerasan, Ganco Langit. Itu bukan
berarti aku takut padamu. Aku tahu kau manusia kebal
macam senjata dan pukulan. Tapi aku juga tahu di mana
rahasia kelemahanmu! Jadi jangan coba-coba mencegah!”
“Anjing kurap! Lebih cepat kau mampus lebih baik!”
teriak Ganco Langit. Lalu dia hunus ganconya. Sinar putih
berkelebat dalam gelapnya malam. Ganco di tangan
pimpinan penjahat itu terbust dari besi putih.
“Apa maumu akan kulayani Ganco Langit!” tukas Ganco
Laut. Lalu diapun mencabut ganconya yang terbuat dari
besi hitam seperti yang dimiliki Ganco Langit. Masih di atas
kuda kedua pimpinan gerombolan ini mulai saling baku
hantam. Sementara anak buah mereka meyaksikan
dengan terheran-heran spa yang terjadi. Kebencian satu
sama lain serta keserakahan telah membuat Ganco Langit
dan Ganco Laut melupakan bahwa seharusnya mereka ber-
gabung untuk menghadapi Wiro yang telah membunuh
Ganco Bumi!
Di atas kereta Pendekar 212 Wiro Sableng meng-
gerendeng. Dia tak Ingin kedua orang itu saling ber-
bunuhan. Kalau mereka harus mati maka dialah yang akan
membunuhnya. Demi untuk membalaskan sakit hati
dendam kesumat kematian kakeknya, paman, bibi serta
sejuta penderitaan yang kini dirasakan Sumiati saudara
sepupunya.  
Wiro memegang bahu Sumiati yang sebelumnya
memang sengaja didudukkan Wiro setelah ditotok lebih
dahulu. Dia ingin Sumiati menyaksikan pembalasan yang
akan dilakukannya terhadap dua dari tiga manusia yang
telah membunuh kedua orang  tuanya dan kakeknya serta
merusak kehormatan gadis itu secara keji!
Ken Cilik memekik keras.
Tubuh Pendekar 212 melesat dari atas kereta.
Sesaat kemudian terdengar  suara dua kuda meringkik
kesakitan. Binatang-binatang ini menyentakan kaki-kaki
depannya tinggi-tinggi sehingga Ganco Langit dan Ganco
Laut yang menunggunya tercampak ke tanah walaupun
mereka bisa jatuh dengan dengan kedua kaki dahulu. Saat
itu keduanya baru sadar bahwa yang harus mereka
lakukan ialah menghadapi Pendekar 212.
“Ganco Laut! Untuk sementara lupakan dulu pertikaian
kita! Bantu aku menghabisi bangsat yang telah membunuh
adikku ini!”
Sesaat Ganco Laut tampak agak ragu. Namun
kemudian tanpa berkata apa-apa dia malah mendahului
melompat menyerang Wiro.
“Tahan!” mendadak terdengar suara seruan.
Syekh Martani muncul di tempat itu. Dia memandang ke
arah Ganco Langit dan Ganco Laut dengan mata berapi-
api.
“Kalian merampok harta  pusaka Kerajaan! Lekas
kembalikan atau kalian akan kutebas seperti tiga anak
buah kalian!”
“Tua bangka tak berguna!’ Kau mampuslah duluan!’
bentak Ganco Laut. Senjatanya yaitu sebuah ganco besi
hitam berkelebat.
Syekh Martani tusukkan tongkat kayu yang berujung
besi lancip. Tapi mendadak dia merasakan leher pakaian-
nya ditarik orang ke belakang hingga baik tusukan tongkat-
nya maupun hantaman ganco Ganco Laut yang hanya
mengenai udara kosong.
Berpaling ke belakang Syekh Martani dapatkan bahwa  
pemuda berambut gondrong itulah yang barusan menarik-
nya.
“Lepaskan peganganmu! Apa-apaan ini?!” teriak orang
tua itu.
“Jika kau ingin dapatkan barang-barang itu kembali,
cepat menuju ke timur. Kejar sebuah gerobak yang di-
kendarai oleh seorang perempuan gemuk! Barang-barang
itu ada dalam gerobak!” Wiro tarik lagi leher pakaian orang
tua itu hingga Syekh Martani kembali terjajar ke dekat
pintu pagar. Merasa apa yang dikatakan si pemuda
memang betul maka orang tua ini cepat melompat ke atas
punggung seekor kuda. Tapi enam orang anak buah Ganco
Langit sudah mengurungnya.
“Apa kau sudah siap untuk mati, pemuda gila?” Ganco
Langit bertanya dengan nada mengejek pada Pendekar
212. Dia tidak lagi memperdulikan Syekh Martani karena
anak buahnya sudah mengurung orang tua itu.
Wiro tertawa kecil. “Terbalik!” katanya. “Justru akulah
yang telah menyediakan peti mati bagi kalian berdua.
Bersama tiga orang yang sudah ada di dalam sana kalian
bisa berangkat ke neraka!”
Murid Eyang Sinto Gendeng ini lalu cabut Kapak Maut
Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Ganco Langit dan
Ganco Laut tak mau menunggu lebih lama. Ganco Langit
bergerak lebih dahulu, disusul oleh Ganco Laut. Kedua
orang ini baru sadar bahwa senjata di tangan lawannya
bukanlah senjata sembarangan  ketika Wiro mulai alirkan
tenaga dalamnya ke tangan kanan. Kapak itu tampak
mengeluarkan cahaya lebih terang dalam gelapnya malam.
Ganco Langit dan Ganco Laut keluarkan seruan ter-
tahan ketika sinar menyilaukan membabat di udara diser-
tai menghamparnya hawa panas menyengat ditambah
menderunya suara aneh seperti ada ribuan tawon
menyerbu.
Ganco Laut cepat tarik tangannya guna menghindari
bentrokan senjata. Dia maklum bukan saja senjata
berbentuk kapak bermata dua di tangan pemuda gondrong  
itu adalah sebuah senjata muslika tetapi lawan juga jelas
memiliki tingkat tenaga dalam yang tinggi.
Lain halnya dengan Ganco Langit. Merasa memiliki ilmu
kebal yang tidak bisa ditandingi apa Jan siapapun dia coba
menggaet senjata lawan dengan ganco besi putihnya. Wiro
lipat gandakan tenaga dalamnya. Cahaya yang memancar
dari Kapak Naga Geni 212 semakin menyilaukan. Dia terus
membabat. Dan trang!
Ganco Laut berseru kaget sambil melompat mundur.
Ganco besi putihnya kini hanya tinggal gagangnya saja
yang ads dalam genggamannya. Bagian yang lain telah
amblas putus di hantam senjata lawan.
Selagi Ganco Langit terkesima oleh kejadian yang tidak
pernah disangkanya itu, Kapak Naga Geni 212 berbalik
lalu menghantam ke arah dadanya. Ganco Langit terlambat
untuk mengelak.
Bukkk!
Mata Kapak Maut naga Geni 212 melabrak dadanya
dengan telak. Kepala gerombolan Ini mengeluh. Tubuhnya
terjengkang di tanah. Dada baju hitamnya tampak robek
dan hangus! Tapi hebatnya Ganco Langit tampak berdiri
kembali meskipun agak terhuyung-huyung.
Sesaat Pendekar 212 jadi bingung menyaksikan bagai-
mana senjata mustikanya tidak mempan terhadap Ganco
Langit.
“Durjana ini rupanya memiliki ilmu kebal luar biasa!”
membatin Wiro. “Adiknya tidak memiliki ilmu kebal.
Bagaimana dengan Ganco yang satu?”
Saat itulah tiba-tiba Ganco Langit menerjang dan
hantamkan tinjunya kiri-kanan bertubi-tubi. Wiro terjajar
beberapa langkah akibat tinju Ganco Langit yang berhasil
mendera dada dan pipi kirinya!
Dengan darah mendidih Wiro bacokkan senjatanya.
Hebatnya sambil tertawa-tawa Ganco Langit seperti
sengaja memasang diri. Kapak Naga Geni 212 ber-
gedebukan di tubuhnya. Tubuh Ganco Langit memang
terpental atau terbanting berkali-kali. Tapi jangankan luka,  
tergores sajapun tidak. Hanya pakaian hitam yang
dikenakannya saja yang penuh robek serta hangus disana-
sini.
“Puaskan hatimu sebelum kepaiamu kupuntir sebentar
lagi!” kata Ganco Langit masih terus mengumbar suara
tawa.
“Bangsat ini benar-benar hebat. Kalau kapakku saja
sudah tidak tembus naga-naganya aku bisa celaka!” pikir
Wiro. “Aku harus cari akal. Putar siasat!”
Wiro melirik ke arah Ganco Laut. “Kuharap saja bangsat
satu ini tidak memiliki ilmu kebal yang sama!”
Memikir begitu Wiro iancarkan serangan ke arah Ganco
Laut. Serangannya seperti orang kalap, ganas luar biasa.
Ganco Laut dibuat berjingkrak-jingkrak untuk dapat meng-
elakkan senjata lawan.
Ganco Langit mendatangi dari samping. Wiro maklum
dia harus segera membereskan Ganco Laut lebih dahulu.
Apa dia bisa menghadapiGanco Langit sesudah itu adalah
urusan nanti.
Ganco Laut bukanlah seorang penjahat sembarangan.
Dia memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan tenaga dalam
yang ampuh. Namun diserang secara bertubi-tubi seperti
itu lama-lama membuat dia kelabakan juga. Pada jurus ke
sembilan, Kapak Maut Naga Geni 212 memapas bahu
kirinya. Ganco Laut terpekik. Tubuhnya terasa panas dan
darah mulal mengucur! Selagi dia terhuyung-huyung
senjata mustika di tangan Wiro itu kembali membabat.
Untuk kedua kalinya Ganco Laut terpekik. Kali ini dada-
nya yang amblas dilanda kapak. Tubuhnya terhuyung, kaku
dia rubuh ke tanah, tersandar ke roda kereta.
Untuk dapat mendaratkan kapaknya ke dada Ganco
Laut tadi Wiro harus membayar mahal. Tubuhnya yang
tidak terlindung berhasil dijotos Ganco Langit di bagian
perut. Tubuh Pendekar 212 terlipat ke depan. Ganco Langit
hendak merampas Kapak Naga Deni 212 dari tangan Wiro,
tapi pemuda ini dengan cepat sodokkan gagang senjatanya
ke ulu hati Ganco Langit. Orang ini hanya mengeluh  
pendek. Setelah itu dia kembali menyerbu Wiro. Berapa
kali jotosannya mampir di tubuh murid Eyang Sinto
Gendeng, itu. Satu kali tendangan pada pinggangnya mem-
buat Wiro terjajar dan jatuh. Selagi dia mencoba bangun
satu tendangan lagi menghantam punggungnya.
Pendekar 212 semburkan darah segar dari mulutnya.
Pemandangannya gelap beberapa saat. Ketika peng-
lihatannya pulih kembali teryata dia terduduk di tanah
dekat sosok Ganco Laut.
Ganco Laut sendiri saat itu sudah menyadari bahwa dia
tak bakal hidup lama. Maksudnya untuk merampas
Jaminten tak akan kesampaian. Rencananya dengan
perempuan itu melarikan barang-barang rampokan
memang berhasil. Tapi dia tak akan pernah merasakan
hasil rampokan itu. Jaminten sendiri entah di mana
sekarang. Sakit hatinya terhadap Ganco Langit yang pasti
akan hidup senang bersama Jaminten apakah dapat di-
balaskan?
Dia menoleh, sesaat memperhatikan Wiro yang ter-
duduk di sebelahnya dalam keadaan babak belur. Tiba-tiba
Ganco Laut ingat. Ada satu cara untuk dapat membalaskan
sakit hatinya terhadap Ganco Laut. Kalau memang dia
akan segera menemui ajal dia merasa tidak takut untuk
mati. Tapi Ganco Langit juga harus ikut mati bersamanya.
“Anak muda,” bisiknya pada Wiro. “Apapun yang kau
lakukan, kau tak bakal dapat membunuh lawanmu itu. Dia
memiliki ilmu kebal. Kecuali  jika kau bisa menusuk atau
menghancurkan mata kirinya dengan telak. Di situ letak
kelemahannya!”
“Terima kasih…” sahut Wiro. “Tapi kau tetap menjadi
penghuni peti matiku!” Siku kanannya dihantamkam ke
dada kiri Ganco Laut, tepat di arah jantungnya. Tak ampun
lagi orang ini langsung meregang nyawal
Ketika Wiro mencoba berdiri. Saat itu dilihatnya Ganco
Langit mendatangi dengan cepat. Wiro tekan mata kepala
naga Kapak Naga Geni 212. Dua lusin jarum halus
berwarna putih melesat dari mulut kepala naga pada ujung  
gagang kapak. Meskipun Ganco Langit kebal terhadap
segala macam senjata namun terperangah juga melihat
datangnya serangan itu. Lalu menyeruak senyum sinis di
wajahnya. Dia membiarkan saja jarum-jarum putih itu
menghantam tubuhnya. Tak satupun yang bisa menancap.
Semuanya kemudian luruh ke tanah.
Meskipun jarumnya tidak berhasii mencelakai lawan
tapi tujuan utama Wiro adalah menipu perhatian lawan.
Selagi jarum-jarum putih berluruhan dan selagi Ganco
Langit tertawa mengejek Wiro lemparkan Kapak Maut
Naga Geni 212 ke arah kepala orang itu.
Pemimpin gerombolan Ganco Item ini meraung dahsyat
lalu jatuh dan berguling-guling di tanah. Kapak Naga Geni
212 masih menancap di mata kirinya. Wiro bangkit berdiri.
Dia melangkah mendekati Ganco Langit. Begitu sampai di
hadapannya Wiro hantamkan kaki kanannya ke selang-
kangan orang lain ini. Untuk kedua lalinya Ganco Langit
meraung. Tubuhnya kelojotan beberapa kali lalu diam tak
bergerak lagi.
Di atas kereta air mata tampak mengucur dari kedua
mata Sumiati. Ken Cilik merundukan kepala seolah dapat
merasakan penderitaan gadis mat!.
Satu demi satu mayat Ganco Laut dan Ganco Bumi
dilemparkan Wiro ke dalam peti mati.
Di halaman kiri Mesjid Besar Syekh Martani memper-
tahankan diri mati-matian  dari keroyokan anak buah
gerombolan. Tubuhnya luka-luka di beberapa bagian.
Sebelum Wiro sempat membantu orang tua ini, tiba-tiba
sebuah gerobak diiringi oleh hampir tiga puluh perajurit
Kerajaan memasuki halaman melalui pagar yang telah
roboh diterjang gerobak yang dilarikan Jaminten. Kini
gerobak itu pulalah yang kembali.
Ario Gelem, Perwira Muda dari Kadipaten Jepara dialah
yang menjadi sais gerobak. Di sampingnya Jaminten duduk
tersandar dalam keadaan terikat ke tiang gerobak.
Mukanya yang gemuk tampak sembab tanda habis
menangis.  
“Hentikan perkelahlan!” teriak Arlo Gelem. Anak
buahnya segera mengurung para penjahat yang tengah
mengeroyok Syekh Martani. Melihat siapa yang datang
membawa pasukan begitu banyak, para penjahat seperti
merasa putus asa. Apalagi tak seorang pimpinan
merekapun yang masih hidup. Dengan demikian selamat-
lah nyawa Syekh Martani.
Bagaimana Jaminten bisa digiring kembali ke Mesjid
Besar bersama gerobak yang memuat seluruh barang-
barang rampokan itu?
Sejak siang harl itu, Perwira Muda Arlo Gelem bersama
serombongan pasukan yang didatangkan dari Kotaraja
telah melakukan pengawasan di beberapa tempat. Mereka
kemudian mendapat kabar tentang adanya rencana
perampokan harta benda Kerajaan yang disimpan dalam
Mesjid Besar. Karena itulah Aria Gelem kemudian memim-
pin pasukan tersebut menuju Demak. Di tengah jalan
mereka berpapasan dengan Jaminten yang memacu
sendiri gerobak yang dilarikannya. Karena curiga Ario
Gelem memerintahkan Jaminten menghentikan gerobak
untuk diperiksa. Mula-mula perempuan gemuk itu menolak
bahkan melawan untuk diperiksa. Namun setelah benda-
benda pusaka Kerajaan ditemui dalam gerobak itu, maka
diapun ditangkap dan dibawa kembali ke Demak.
Pendekar 212 Wiro Sableng mengusap kepala Ken Cilik
Sumiati kemudian dibaringkannya kembali di atas lantai
kereta.
“Saatnya kita meninggalkan tempat ini, Ken Cilik. Peti
kita sudah penuh. Manusia-manusia jahat yang kita cari
sudah lengkap masuk di dalamnya.”
Ken Cilik menggembor halus lalu memekik tiga kali.
Ketika kereta itu mulai bergerak untuk meninggalkan
halaman Mesjid Besar tiba-tiba Perwira Muda bernama Ario
Gelem mengangkat tangannya memberi tanda agar
berhenti.
Wiro tahan tali kekang dua kuda penarik kereta.
“Saudara, kau terpaksa kami tangkap!” kata Ario Gelem.  
Wiro menatap wajah Perwira Muda Itu sesaat lalu
bertanya, “Katakan apa kesalahanku!”
“Kau melakukan pembunuhan atas diri lima orang yang
kini berada dalam peti mati itu!” jawab Ario Gelem.
“Perwira Muda,” kata Wiro pula. “Coba terangkan
padaku siapa-siaps saja adanya ke lima orang yang ada di
dalam peti mati itu.”  
“Aku merasa tidak wajib menjawah-pertanyaanmu.”
Siapapun adanya mereka bukan dalih bagiku untuk
membatalkan penangkapan!”
“Perwira, kalau kau dapat mengembalikan kedua orang
tua gadis malang sepupuku ini, kalau kau bisa mengem-
balikan Kioro Mertan kakek kami, kalau kau bisa
mengembalikan penduduk Jatingaleh yang dibunuh oleh
gerombolan Ganco item, saat ini juga aku bersedia
ditangkap!”
“Kau bicara ngaco! Mana mungkin aku bisa meng-
hidupkan orang yang sudah mati?!” ujar Ario Gelem pula.  
Pendekar 212 tertawa lebar. “Kalau begitu menurutmu,
kuharap kau tidak menjadikan hal itu sebagal persoalan
lagi! Kau seorang Perwira yang baik. Untuk itu aku akan
berikan satu hadiah besar padamu!”
Habis berkata begitu Wiro bergerak, ke belakang kereta.
Dengan sekuat tenaga didorongnya peti mati berisi lima
mayat itu hingga akhirnya jatuh ke tanah.
“Itu hadiah yang kukatakan tadi.” ujar Wiro lalu tertawa
gelak-gelak. Ario Gelem hanya  bisa berdiri seperti patung
ketika Wiro membawa kereta meninggalkan halaman
Mesjid Besar. Dia tetap tak bergerak sampai gerobak dan
penumpangnya itu lenyap dikejauhan dalam kegelapan
malam.
TAMAT

Tidak ada komentar: