Rabu, 01 Februari 2012

052. Raja Sesat Penyebar Racun

52. Raja Sesat Penyebar Racun

PENDEKAR 212 WIRO SABLENG memandang berkeliling dengan heran.
Betulkan ikat kepala kain putihnya lalu menggaruk rambut.
“Aneh… Setahuku setiap hari Ahad pasar ini selalu ramai oleh penjual dan
pembeli. Tapi kali ini jangankan manusia, jangankan orang yang berjualan dan
mereka yang mau membeli. Nyamuk dan lalatpun tidak kelihatan! Apa yang
terjadi… Perutku sudah lapar, aku membayangkan akan makan ketan bakar di
sudut sana. Nyatanya pasar ini sudah berubah jadi kentut! Eh, kentutpun masih
ada bunyi-bunyi dan baunya! Tapi disini tak ada bunyi. Sepi! Tak ada bau!”
Wiro menyeringai geleng-geleng kepala. Akhirnya dia tinggalkan pasar itu.
lanjutkan perjalanan memasuki kampung terdekat di pinggir pasar. Begitu
memasuki mulut kampung sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi putih
bergerak deras ke arahnya.
“Awas! Minggir! Anakku… istriku… Tolong! Minggir!” teriak orang yang
mengemudikan gerobak,itu.
Wiro cepat menyingkir ke tepi jalan. Gerobak lewat disampingnya dengan
cepat. Sekilas Pedekar 212 melihat dua sosok tubuh terbujur di atas gerobak
sapi itu. Yang di sebelah kiri seorang anak lelaki berusia lima tahun, terbaring
menelentang tanpa baju. Muka dan terutama bibirnya tampak biru. Kedua
matanya membeliak sedang tangan dan kakinya tampak tegang kaku. Sekujur
tubuhnya tidak bergerak sedikitpun. Disela bibirnya tampak busah melueh
Yang kedua seorang perempuan ibu si anak lelaki juga terbaring dengan
muka dan bibir biru Dan mulutnya yang berbusah terdengar suara erangan
Tubuhnya menggeliat-geliat kejang. Bagian hitam matanya terbalik-balik
Awas! Minggir! Tolong! Tolong anak istriku kembali terdengar suara
pengemudi gerobak sapi berteriak
Sesaat Wiro masih tertegak heran di tepi jalan. Lalu di depan sana
dilihatnya seorang pejalan kaki memandang ke arah lenyapnya gerobak sapi di
tikungan jalan. Wiro dekati orang ini yang ternyata seorang kakek mengenakan
celana panjang hitam dan kain sarung di bahunya.
“Kek…,” menegur Wiro. “Kau barusan melihat gerobak sapi itu… Kau tahu
apa yang terjadi?”
Si kakek menatap sesaat pada Wiro lalu menjawab. “Ah, sampean tentu
bukan penduduk sekitar sini. Jadi tidak pernah mendengar apa yang terjadi sejak
satu bulan belakangan ini. Dedemit Karang Gontor sedang murka. Puluhan jiwa
penduduk telah disedotnya.”
“Dedemit Karang Gontor? Menyedot jiwa penduduk…?”
“Betul’ anak muda. Anak serta istri orang yang membedal gerobak sapi
tadi pastilah korban-korban baru dedemit itu!” berkata si kakek.
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Aku tak mengerti kek. Bagaimana bisa ada
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 3
dedemit menyedot jiwa manusia…”
“Itu karena ulah manusia sendiri, anak muda. Manusia-manusia disini
sudah bertumpuk dosanya. Bumi Tuhan menjadi kotor. Dedemit yang bermukim
di Karang Gontor jadi gerah, lalu murka. Satu persatu dia mencari korban.
Menyedot nyawa korbannya lewat mulut. Itu sebabnya mereka yang jadi korban
pada biru bibir dan mukanya sampai ke leher…”
“Gila Sulit dipercaya! Ada dedemit kegerahan lalu minta nyawa manusia!
Gila! ujar Wiro.
“Gila atau tidak, itulah yang terjadi. Dan kau setiap saat bisa saja jadi
korbannya! Aku yang sudah tua begini kalau sampai jadi korban tak akan
menyesal. Lebih baik cepat mati dari pada hidup menderita…!”
“Kek, apa ada orang yang pernah melihat dedemit yang kau katakan
itu…?” Wiro bertanya.
“Anak muda, pertanyaanmu sungguh totol. Tidak melihat saja nyawanya
sudah bisa disedot, apalagi kalau sampai melihat! Heh… kau lihat pasar di ujung
sana? Sepi. Tak ada yang berani berjualan karena takut akan jadi korban
dedemit. Semua orang pada mendekam dalam rumah karena ketakutan. Banyak
yang sudah mengungsi ke tempat jauh yang aman. Kampung ini saja hampir
kosong tidak didiami lagi!”
“Lalu, orang yang memacu gerobak sapi tadi, mau dibawanya kemana
anak dan istrinya itu…?”
“Di kaki bukit sebelah timur sana, ada seorang dukun. Namanya Ki Dukun
Japara. Pasti dia membawa anak istrinya kesana untuk minta tolong. Namun
seperti yang sudah-sudah, nyawa orang-orang yang kena pencet Dedemit
Karang Gontor tak bakal bisa diselamatkan lagi…!”
“Kek, tadi kau bilang dedemit itu menyedot nyawa, kini memencet. Mana
yang betul kek…?” tanya Wiro pula.
Si kakek menyeringai. “Dedemit itu kalau inginkan nyawa manusia ya
suka-sukanya saja. Mau menyedot lewat bibir atau pantat, mau mencekek leher
atau memencet kemaluan korbannya, yah itu terserah dia. Pokoknya korban mati
dan dia puas. Kau sendiri mau mati cara mana anak muda…? Di sedot… di
cekek… atau dipencet anumu itu…?”
Wiro menjawab. Sambil geleng-geleng kepala dia memutar tubuh lalu
berkelebat menuju ke arah lenyapnya gerobak sapi tadi. Si kakek tersentak kaget
ketika pemuda dengan siapa dia tadi bicara kini berkelebat lenyap dan tahu-tahu
sudah ada di tikungan jalan sana. Pucatlah wajah orang tua ini.
“Astaga…” katanya dengan suara gemetar.
“Jangan-jangan pemuda itu penjelmaan Dedemit Karang Gontor!” Lalu
dirabanya ubun-ubunnya Dipegangnya bibirnya. Disentuhnya lehernya dan
terakhir sekali dirabanya bagian bawah perutnya. “Ah… masih ada… Untung
anuku tidak dipencetnya!” Dengan terbungkuk-bungkuk orang tua ini bergegas
meninggalkan tempat itu.
WALAUPUN GEROBAK SAPI itu tidak kelihatan lagi namun dari jejak roda
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 4
yang membekas jelas di tanah jalanan Pendekar 212 Wiro Sableng dapat
mengetahui ke arah mana perginya gerobak itu. Dengan mengandalkan ilmu lari
kaki angin warisan Eyang Sinto Gendeng. Wiro berkelebat ke arah timur. Dia
sengaja mengambil jalan memotong. Di satu bukit kecil dia dapat melihai
gerobak sapi yang di muati dua orang korban Dedemit Karang Gontor meluncur
di jalan berbelok-belok diantara kaki-kaki bebukitan.
Di hadapan sebuah rumah panggung yang mulai dari tiang, lantai dan
dinding sampai ke atapnya terbuat dari bambu, orang yang memacu sapi
hentikan gerobaknya.
“Ki Dukun! Ki Dukun Japara! Tolong Lekas! Tolong istri dan anakku!”
berteriak kusir gerobak itu. Lalu dia melompat turun dari gerobak, menarik sosok
tubuh anak lelakinya, mendukungnya lalu membawanya naik ke atas rumah
panggung.
“Ki Dukun! Tolong…! teriak kusir gerobak itu kembali. Anaknya
dibaringkan di lantai rumah bambu, dihadapan sebuah pintu. Pintu ini kemudian
digedornya berulang kali sambil terus berteriak.
Pintu terbuka. Seorang tua bermata juling, mengenakan pakaian serta
destar hitam keluar sambil memuntir-muntir kumis mablangnya dengan tangan
kiri sedang jari-jari tangan kanan mempermainkan sebuah tahi lalat besar yang
menonjol di dagu sebelah kanan.
“Astaga! Juminto! Kowe rupanya! Eh, apa yang terjadi…!”
“Anakku Ki Dukun! Tolong! Selamatkan jiwanya Jangan biarkan Dedemit
Karang Gontor mengambil nyawanya!” Habis berkata begitu lelaki bernama
Juminto itu berbalik lalu lari menuruni tangga bambu
“Hai! Kowe mau kemana Juminto?!” memanggil orang tua bermata juling
yang ternyata adalah Ki Dukun Japara.
“Istriku! Istriku juga disedot Dedemit Karang Gontor! Aku akan
membawanya ke atas rumah ini Tapi tolong dulu anakku! Selamatkan jiwanya!’
“Ah…Lagi-lagi Dedemit Karang Gontor…” ujar Ki Dukun lalu menghela
natas panjang dan tampak masygul. :.”Puluhan korban sudah jatuh. Sampai
kapan bencana ini akan berakhir…?” Lalu Ki Dukun Japara berlutut. Dia usap
kening serta pegang dada anak lelaki yang terbujur di lantai bambu. Diamatinya
bibir si anak, lalu sepasang matanya yang terbalik. Kembali orang tua ini
gelengkan kepala dengan wajah masygul.
Saat itu Juminto sudah naik kembali keatas rumah panggung. Kali ini
mendukung istrinya dan membaringkannya di lantai disamping anak lelakinya.
Berbeda dengan si anak yang tampak kaku tak bergerak, si ibu masih
terdengar mengerang dan melejang-lejang.
‘Ki Dukun! Tolong! Tolong mereka cepat!” teriak Juminto. “Jangan cuma
melihat saja! Tolong, selamatkan anak istriku…!”
“Ki Dukun Japara memeriksa keadaan istri Juminto. Sesaat kemudian dia
berpaling pada lelaki itu dan gelengkan kepalanya, lalu berkata : “Juminto, sudah
puluhan orang kulihat dalam keadaan seperti ini. Semua tak bisa kutolong. Sekali
Dedemit Karang Gontor murka dan minta korban tak ada satu kekuatanpun yang
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 5
bisa menghalanginya! Sebaiknya kau relakan saja kepergian mereka Juminto…”
Juminto jatuhkan dirinya di lantai bambu. Setengah meratap, dia
memohon: “Tolong Ki Dukun. Tolong…!”
“Aku tidak mampu menolongnya, Juminto. Tidak mampu! Jangan
memaksa!”
“Ki Dukun… Percuma! Percuma kau jadi dukun kalau tidak bisa
menolong!” teriak Juminto. Pemandangannya jadi gelap. Dia melompat dan
mencekal leher baju Ki Dukun dengan kedua tanganya. “Kau harus bisa… Kau
harus bisa mengobatinya! Harus! Kalau tidak kau akan kubunuh Ki Dukun!”
Juminto mengancam dalam kalapnya. “Akan kubunuh! Kau dengar ucapanku?!”
Sepasang mata juling Ki Dukun Japara tampak membeliak dan wajahnya
jadi beringas. “Kau boleh membunuhku seratus kali! Tapi sekali aku bilang tidak
mampu, aku tetap tidak mampu! Bahkan anakmu kulihat sudah tak punya nafas
lagi. Istrimu sebentar lagi pasti juga dibawa Dedemit Karang Gontor itu!
Mendengar ucapan itu Juminto meraung lalu jatuhkan diri ke lantai. Saat
itulah terdengar satu suara.
“Jika diizinkan Gusti Allah, mungkin aku bisa menolong istri Juminto itu, Ki
Dukun!”
Ki Dukun dan Juminto sama berpaling ke arah tangga. Seorang tidak
dikenal tampak menaiki tangga bambu dan akhirnya sampai di atas rumah
panggung.
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 6
ORANG YANG DATANG dan barusan bicara adalah seorang pemuda
berpakaian putih. Rambutnya gondrong sebahu sedang kepalanya diikat dengan
kain putih. Baik Ki Dukun Japara maupun Juminto sama-sama tidak mengenali
siapa adanya pemuda ini yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Karena kedua orang itu masih terheran-heran melihat kemunculan
pemuda yang tidak dikenal atau belum pernah dilihatnya sebelumnya dan tidak
memberikan jawaban apa-apa, maka Wiro langsung berlutut didepan tubuh anak
lelaki yang terbujur di-lantai bambu. Dipandanginya anak itu sebentar lalu dia
menggaruk kepala dan berpaling pada Juminto, berkata: :.”Anakmu tak mungkin
kutolong. Dia sudah meninggal. Aku mungkin bisa menolong istrimu. Keadaanya
gawat sekali. Tapi Tuhan punya kuasa, biar kucoba…”
Wiro beringsut mendekati tubuh Istri Juminto.
“Jangan sentuh istriku!” bentak Juminto dengan garang.
“Ah, kalau kau tak mengijinkan. akupun tidak berani melakukan apa-
apa…” sahut Pendekar 212 pula lalu berdiri.
“Aku tidak kenal siapa dirimu. Tahu-tahu muncul dan bertindak herdak
menolong…”
“Aku melihatmu waktu memacu gerobak sapi menuju kemari. Seseorang
di tengah jalan memberi tahu bahwa anak istrimu pasti sudah jadi korban
Dedemit Karang Gontor. Aku datang kemari hanya ingin tahu apa sebetulnya
yang terjadi dan. siapa tahu aku bisa menolong…”
“Apa kau seorang dukun, atau tahu seluk beluk pengobatan? Bahkan Ki
Dukun Japara disampingku ini tidak mampu mengobati istriku…!” kata Juminto.
“Betul…Tak mungkin bagiku mengobati orang yang jadi korban Dedemit
Karang Gontor. Sudah puluhan yang menemui nasib seperti ini. Tak seorangpun
yang bisa menolong…”
“Dedemit Karang Gontor! Bukan main…” geleng-geleng kepala pendekar
212. “Ingin aku melihat bagaimana tampangnya. Bagaimana dia mencelakai
korbannya seperti ini…”
“Anak muda!” ujar Ki Dukun Japara dengan kedua mata yang juling
mengawasi Wiro mulai dari kepala sampai ke kaki. “Jangan bicara takabur! Sekali
Dedemit Karang Gontor mendengarnya, nyawamu tak ketolongan lagi!”
Wiro hanya tersenyum kecil mendengar kata-kata orang tua bermata
juling itu lalu dia berpaling pada Juminto dan berkata: “Menurutku, istrimu bukan
dicekik atau disedot Dedemit, setan ataupun jin gandaruwo! Istrimu keracunan!”
Juminto terkesiap kaget sedang Ki Dukun Japara tampak berubah air
mukanya.
“Bagaimana kau bisa tahu?!” tanya Juminto. Dia memandang pada
istrinya yang masih melejang-lejang, tapi saat demi saat lejangan tubuhnya
semakin perlahan.
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 7
“Aku memang tidak tahu bagaimana dia keracunan. Tapi dari wajahnya
yang membiru sampai ke leher, terutama pada bagian bibir dan ujung-ujung
telinga, aku dapat menduga istri dan anakmu ini telah keracunan.”
“Anak muda, siapa kau sebenarnya? Sikapmu bicara seolah-olah sebagai
orang yang mengetahui seluk beluk ilmu pengobatan!”
“Namaku Wiro Sableng…”
“Wiro… Sableng?!” ujar Ki Dukun Japara. “Kemunculanmu yang tiba-tiba
begitu aneh. Sikap dan bicaramu juga aneh. Dan kini namamu juga ternyata
aneh. Wiro Sableng, coba terangkan dari mana kau datang? Apa kau tinggal di
sekitar sini?”
“Aku datang dari Gunung Gede…”
“Ah, kalau kau cuma seorang pemuda gunung di udik sana, mana ada
kemampuan untuk mengobati istriku!” kata Juminto pula penuh jengkel
sementara Ki Dukun Japara menyeringai. Lalu orang tua ini berkata: “Tinggalkan
kami berdua. Biar istri orang ini meninggal dengan tenang…”
Wiro memandang pada Juminto. “Waktunya tidak lama lagi, saudara. Jika
istrimu tidak segera ditolong maka dia benar-benar akan menemui kematian.
Dan kau akan kehilangan dua orang yang sangat kau kasihi…”
“Anak muda, kau seperti orang hendak memaksakan kehendak. Kami
tidak memerlukan pertolonganmu!” kata Ki Dukun Japara pula.
“Tidak ada yang memaksa, orang tua. Aku menduga-duga kau
sebenarnya mengetahui apa yang dialami perempuan ini. Tapi sengaja memberi
keterangan yang salah…”
“Eh! Apa maksudmu dengan ucapanmu itu!” bentak Ki Dukun Japara lalu
melangkah mendekati Wiro dan berkacak pinggang dihadapan pemuda ini.
“Kau seorang dukun. Jadi kurasa kau tahu kalau istri orang ini keracunan,
bukan dicekik segala macam Dedemit!”
Setelah berkata begitu Wiro memutar tubuh dan melangkah menuju ke
tangga. Sesaat Juminto tampak bingung.
“Jangan percaya pemuda tak dikenal itu Juminto! Suratan Tuhan berlaku
atas dirimu hari ini. Kau harus merelakan kepergian anak dan istrimu…”
terdengar Ki Dukun Japara berkata.
Juminto anggukkan kepalanya. Tapi tiba-tiba dia berpaling dan berseru:
“Saudara! Jika kau memang mampu mengobati istriku, tolonglah!”
Wiro yang berada dipertengahan tangga, hentikan langkahnya lalu
menjawab: “Aku tidak punya kemampuan apa-apa, saudara. Semua Tuhan yang
punya kuasa dan menentukan!”
Lalu Pendekar 212 naik keatas rumah punggung kembali. Langsung
berlutut disamping tubuh istri Juminto Dengan jari-jari tangannya dia melakukan
totokan pada pangkal leher dan pertengahan dada perempuan itu. Gerakan
melejang-lejang perempuan itu serta merta berhenti. Kedua matanya masih
membeliak, tapi suara erangan dari mulutnya tak terdengar lagi.
“Mati!” teriak Ki Dukun Japara. “Juminto! Apa kataku! Istrimu malah
dibikinnya mati lebih cepat!”
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 8
“Bangsat kurang ajar! Penipu keparat!”teriak Juminto marah karena
mengira apa yang dikatakan Ki Dukun itu benar. Kaki kanannya langsung diten-
dangkannya ke punggung Wiro. Namun setengah jalan dia merasa seperti ada
angin yang menyambar. Kakinya yang menendang terasa tiba-tiba menjadi
seberat batu besar dan mau tak mau kaki itu terhenyak turun kelantai bambu!
Ki Dukun Japara tidak tahu pasti apa yang terjadi dengan Juminto.
Sementara itu dilihatnya pemuda bernama Wiro Sableng itu menekankan telapak
tangan kanannya pelan-pelan diatas perut istri Juminto. Lalu tekanan itu
mendadak disentakkan menjadi keras sekali. Tubuh istri Juminto seperti hendak
terlipat. Saat itu terdengar suara menggeru keluar dari perut nya seperti cacing-
cacing gelang dalam ususnya Begitu suara di perut lenyap, kini berganti suara
menggeru seperti orang muntah.
Dari mulut perempuan itu menyembur cairan berwarna biru kehitaman
dan sangat kental. Bersamaan dengan itu kedua matanya yang tadi terus
menerus membeliak, kini tampak menjadi kuyu dan kelopaknya mengendur.
Wiro membalikkan tubuh istri Juminto hingga perempuan itu kini
menelungkup. Karena keadaan tubuh serta kepalanya yang menelungkup seperti
itu, semakin banyak cairan biru kehitaman mengucur keluar dari mulutnya.
Pendekar 212 garuk kepalanya, mengusap peluh yang mengucur di
keningnya lalu bangkit berdiri.
“Saudara…Istrimu tertolong. Kalau dia siuman nanti minumkan perasan
air daun sirih…”
Penuh rasa tidak percaya Juminto berlutut disamping istrinya, usapi
pundak dan kening perempuan itu. Lalu dengari mata berkaca-kaca dia berkata:
“Saudara, bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih…”
Wiro tersenyum. Dia tundingkan jari telunjuknya ke atas. “Jangan
berterima kasih padaku. Ucapkan puji syukur pada Dia yang diatas sana…”
Juminto mengganguk.
“Satu pesanku, saudara. Dan juga berlaku untukmu Ki Dukun. Sebarkan
pemberitahuan kepada seluruh penduduk. Di daerah ini tak ada dedemit yang
marah, tak ada dedemit yang mencekik dan menyedot nyawa manusia.
Barangkali ada wabah penyakit berbahaya berjangkit disini, tetapi kecil sekali
kemungkinannya. Yang kulihat kenyataannya adalah anak dan istrimu keracunan
sesuatu yang sangat ganas. Mungkin racun belirang, mungkin juga racun daun
beludru atau sejenis jelaga renggut jiwo. Karena itu semua orang harus berhati-
hati memakan makanan dan meminum air…”
“Anak muda!” tiba-tiba Ki Dukun Japara memotong. Meskipun kau mampu
menolong istri Juminto, tapi aku tidak suka kau bertindak lebih jauh. Menyuruh
penduduk agar tidak percaya pada bencana yang disebabkan Dedemit Karang
Gontor. Malah menyuruh Juminto untuk menyebar luaskan kabar adanya bahaya
racun ganas. Kau hendak membuat penduduk tambah gelisah dan ketakutan?
Saat ini saja sudah ratusan penduduk yang meninggalkan tempat kediamannya.
Mengungsi ke tempat lain, menghindarkan bencana Dedemit karang Gontor…!
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 9
“Ki Dukun… Dedemit yang kau katakan itu, dimanakah sarangnya. Biar
kudatangi agar dapat kulihat rupanya!” sahut Pendekar 212 pula mulai jengkel.
“Manusia takabur! Kuharap Dedemit Karang Gontor mendengar ucapanmu
tadi. Dan tunggulah nasib celaka yang bakal menimpamu…”
Baru saja Ki Dukun Japara berkata begitu tiba-tiba di bawah sana
terdengar suara hiruk pikuk dan teriakan-teriakan disertai derap kaki-kaki kuda
dan gemuruh roda-roda kereta serta gerobak.
Wiro berpaling, melangkah cepat ke tangga rumah panggung.dan
memandang ke bawah. Hampir tak percaya dia apa yang dilihatnya. Belasan
gerobak dan bendi tanpa atap berhenti di pekarangan rumah panggung.
Kendaraan-kendaraan itu dipenuhi oleh sosok tubuh yang bergeletakan malang
melintang. Ada orang tua, ada lelaki dan perempuan baya sedang anak-anak
hampir tak terhitung jumlahnya. Wajah dan bibir mereka sangat biru. Banyak
yang bergeletakan tanpa bergerak, entah pingsan entah sudah mati. Yang
mengerang terdengar hampir dari semua jurusan.
Orang-orang yang mengemudikan gerobak dan bendi itu berteriak
memanggil-manggil Ki Dukun Japara. Banyak diantara mereka yang menyertai
rombongan itu dengan berkuda sudah melompat turun lalu menggendong satu
demi satu orang-orang yang berada dalam keadaan sekarat itu seraya berseru:
Ki Dukun…Tolong…Selamatkan orang-orang ini!”
Wiro melompati anak tangga. Begitu turun di tanah dia bertanya pada
orang terdekat: “Apa yang terjadi?!”
“Dedemit Karang Gontor menjatuhkan bencana di desa kami! Puluhan
orang dicekik dan disedot hingga matang biru!”
“Hai! Minggirlah! Jangan menghalangi! Jangan ngobrol! Lebih baik bantu
kami menurunkan orang-orang yang kena bencana itu!” seseorang berteriak.
“Ki Dukun… Ki Dukun Japara! Apa kau ada di rumah?!” terdengar lain
orang berteriak memanggil.
Lalu ada suara perempuan dan anak-anak menggerung menangis ketika
mengetahui suami dan ayah mereka ternyata telah menghembuskan nafas. Mau
tak mau untuk sesaat Pendekar 212 |adi terkesima menyaksikan pemandangan
yang terjadi di hadapannya.
“Satu desa keracunan begini! Gila! Ada sesuatu yang tidak beres…” ujar
Wiro. Lalu dia meiompat menghadang orang pertama yang hendak menaiki
tangga sambil mendukung dua orang anak keoi sekaligus.
“Bangsat! Jangan menghalangi jalan!” teriak lelaki yang mendukung dua
anak.
“Tak ada guna mencari Ki Dukun Japara. Dia tidak mampu menolong
kalian! Lekas baringkan semua korban di tanah. Cari daun sirih sebanyak-
banyaknya. Aku akan menolong kalian semampunya! berteriak Wiro Sableng.
Lalu dalam hati dia mengeluh: “Celaka, begini banyak yang harus kutolong Ya
Tuhan, malapetaka apa sebenarnya yang terjadi ini? Mengapa begini banyak
orang  yang keracunan…?!”
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 10
KERATON BARAT. Hari itu, pagi-pagi sekali Raden Mas Singaranu telah
menghadap Sri Baginda Raja yang sengaja menerimanya di taman belakang
Keraton karena ada masalah sangat penting yang perlu dilaporkannya.
Patih tua berkumis dan berjanggut putih ini membuka pembicaraan
dengan berkata: “Keadaan dibeberapa desa di pinggiran Kotaraja semakin tidak
karuan Sri Baginda. Puluhan bahkan ratusan penduduk menemui ajal secara
mengenaskan. Mereka mati dalam cara yang sama yaitu kejang-kejang, muka
dan bibir membiru. Sesuai petunjuk Sri Baginda orang-orang kita telah
melakukan penyelidikan. Tapi hasil yang dicapai masih sangat sedikit. Sementara
korban yang berjatuhan semakin banyak. Beberapa kampung malah telah
lengang karena ditinggalkan penghuninya. Mereka berada dalam keadaan
gelisah dan ketakutan. Hal ini memudahkan masuknya segala macam hasutan
yang selama ini ditiup-tiupkan oleh Karaton di Timur. Dan celakanya, penduduk
yang mengungsi itu kebanyakan justru pergi ke timur…”
“Apakah sudah diketahui sebab musabab rakyat mati dengan tubuh
kejang dan muka membiru itu, Paman Patih…?” bertanya Sri Baginda.
“Ada berbagai petunjuk. Namun semuanya harus diselidiki lebih jauh. Ada
petunjuk yang menyatakan bahwa apa yang dialami penduduk adalah akibat
penyakit menular yang sangat berbahaya. Setelah diselidiki pendapat itu tidak
betul. Lalu saya sudah memerintahkan orang-orang kita melakukan penyelidikan
ke Karang Gontor. Saya bahkan mengirimkan dua orang tokoh silat Keraton
kesana…”
“Karang Gontor?” mengulang Sri Baginda. “Apa perlunya penyelidikan
dilakukan di tempat di pantai selatan itu?”
“Sebagian besar rakyat saat ini mempercayai kalau kematian itu berasal
dari kemurkaan Dedemit penghuni Karang Gontor…”
“Kepercayaan gila!” teriak Sri Baginda. “Bagaimana mereka bisa bersikap
seperti itu?!”
Patih Raden Mas Singaranu terdiam tak bisa menjawab.
“Aku yakin ada yang segaja menebarkan berita kosong itu. Karang Gontor
memang tempat angker.
Tapi selama ini belum pernah ada Dedemit yang murka…”
“Saya sependapat dengan Sri Baginda. Hanya saja ditengah kepercayaan
sesat itu, rakyat dicekoki pula dengan hasutan orang-orang Keraton Timur yang
mengatakan bahwa melapetaka itu adalah akibat ingkar janjinya Sri Baginda
untuk menyerahkan kekuasaan pada Gusti Bandoro Pangeran Harjokusumo…”
“Hasutan busuk! Fitnah jahat! Cerita sesat!” ujar Sri Baginda dengan
rahang menggembung. “Kau sendiri tahu Paman Singaranu! Cerita bahwa Raja
Tua pernah mengatakan aku harus turun tahta dan menyerahkan kekuasaan
pada adikku Harjokusumo itu jika aku sudah berusia enam puluh tahun tak
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 11
pernah ada. Isapan jempol yang dibuat-buat saja! Berapa lama umurnya
manusia? Aku tak mungkin akan memerintah sampai usia seratus tahun!”
“Mungkin sekali adik Sri Baginda Pangeran Harjokusumo itu tidak sabar
menunggu datangnya giliran jadi raja. Mungkin juga saat ini kurang puas kalau
hanya menjadi Raja Kecil di Keraton Timur yang dianggap masih berada dibawah
kekuasaan dan kewenangan Keraton Barat…
“Mungkin sekali begitu. Tapi bukankah adikku itu masih sangat muda?
Dia bisa menunggu dan sementara itu banyak belajar dari pada para sesepuh
Keraton. Tentang ilmu peperangan, ilmu sastra, ilmu agama, ilmu kebatinan dan
kesaktian serta ilmu persilatan.
Jika dia menimba ilmu sebanyak-banyaknya saat ini maka kelak tiba
saatnya dia dinobatkan menjadi Raja sebagai penggantiku. dia benar-benar akan
menjadi seorang Raja yang matang, arif bijaksana, memiliki ilmu dunia dan ilmu
akhirat!”
Raden Mas Singaranu merenung sejenak. Lalu berkata: Jalan pikiran Sri
Baginda mungkin tidak sama dengan yang dipunyai Pangeran Harjokusumo.
Saya rasa dia mempunyai kekawatiran dengan lahirnya putera Sri Baginda…”
Sri Baginda geleng-geleng kepala. “Adikku itu terlalu picik. Puteraku
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo belum berusia empat puluh hari. Apa yang
ditakutkannya? Bukankah tatakrama Keraton kita menjamin haknya sebagai Raja
sampai puteraku itu berusia dua puluh satu tahun? Jangan jangan adikku itu
mulai punya pikiran macam-macam keserakahan, gila kekuasaan…”
“Bukan itu saja Sri Baginda… Mata-mata kita pernah melihat bahwa
balatentara Keraton Timur pernah mendapat petunjuk dan latihan perang-
perangan dan sekelompok orang-orang seberang laut yang datang satu kapal
penuh…”
Paras Sri Baginda langsung berubah. “Kalau begitu jangan-jangan Keraton
Timur tengah menyiapkan satu pemberontakan. Menyiapkan makar untuk
merebut tahta Kerajaan secara kekerasan…!
“Itu yang saya dan Kepala Balatentara Raden Mas Janggolo dugakan.
Karena itu pula Janggolo telah memperkuat penjagaan di perbatasan…”
“Paman Patih, aku mengharap agar malapetaka yang menimpa rakyat kita
cepat disingkapkan sebab musababnya. Itu tugasmu paling utama karena
kekuatan kita bersumber pada rakyat. Kalau rakyat kacau, Kerajaan akan ikut
kacau dan kaum penyusup, mereka yang tidak senang akan mengambil
keuntungan. Tugas kedua awasi dengan ketat gerak gerik orang-orang di
Keraton Timur. Kalau perlu selinap-kan seorang atau beberapa orang mata-mata
langsung ke dalam Keraton!”
“Tugas akan saya jalankan Sri Baginda.” Raden Mas Singaranu bangkit
dari bangku taman yang didudukinya, membungkuk dalam-dalam lalu tinggalkan
tempat itu.
KERATON TIMUR.
Tumenggung Jalak Karso membungkuk dalam-dalam di hadapan Gusti
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 12
Bandoro Pangeran Harjokusumo lalu berkata: “Ada kabar penting yang perlu
saya beritahukan pada Sri Baginda.”
Pangeran Harjokusumo lalu memberi isyarat pada permaisuri yang duduk
disampingnya agar masuk ke ruangan dalam. Setelah hanya tinggal mereka
berdua saja ditempat itu maka sang Tumenggung baru membuka mulut.
“Rakyat di Barat berada dalam keadaan gelisah ketakutan. Ratusan orang
menemui ajal secara aneh. Muka dan bibir biru, mata mendelik dan tubuh kejang
kaku. Mereka mempercayai bahwa itu adalah akibat kemurkaan Dedemit
penghuni Karang Gontor. Banyak pengungsi yang terpaksa ditampung di desa-
desa sekitar perbatasan…”
Pangeran Harjokusumo, Raja Kecil di Keraton wilayah Timur termenung
sesaat lalu berucap: “Ya…apa yang harus kukatakan. Kakakku yang berkuasa di
Barat tidak baik hubungannya dengan kita disini. Aku cuma bisa merasa kasihan.
Mungkin apa yang terjadi disana merupakan satu kutukan atas keingkarannya
terhadap pesan Raja Tua.” Sang Raja diam sejenak lalu bertanya: “Apa keluarga
Keraton ada yang turut menjadi korban?”
“Sebegitu jauh dari beberapa keluarga abdi dalem telah ikut jadi
korban…” menerangkan Jalak Karso.
Tumenggung, walau kita prihatin atas apa yang terjadi di Barat, namun
itu adalah urusan orang-orang disana. Mereka punya Raja yang tentunya akan
bertindak melakukan sesuatu Kita di Timur ini harus selalu waspada. Pasukan
disekitar perbatasan harus lebih meningkatkan penjagaan. Mengenai para
pengungsi biarkan mereka masuk dan menetap di wilayah kita. Tapi mereka
harus tunduk pada peraturan dan perintah kita. Kelak jika tenaga mereka
diperlukan untuk diambil sebagai prajurit, mereka harus siap tempur. Kalau tidak
sebaiknya pagi-pagi mereka diusir masuk kembali ke Barat…’
Saya mengerti Sri Baginda. Saya akan meneruskan perintah ini pada
seluruh jajaran pasukan kata Tumenggung Jalak Karso.
Bagaimana dengan latihan ketentaraan? Apakah ada kemajuan.-?
Banyak sekali Sri Baginda Daium waktu satu bulan dimuka segala
sesuatunya akan rampung dan para pelatih itu bisa meninggalkan kita…”
Satu bulan terlalu lama Tumenggung. Sesuatu bisa terjadi secara cepat.
Apalagi saat ini seperti yanq kau laporkan tengah terjadi kekacauan di kalangan
penduduk wilayah Baiat Katakan pada pucuk pimpinan pelatih agar jadwal
latihan dapat diselesai dalam waktu tiga minggu dimuka
“Akan saya sampaikan Sri Baginda.” Lalu Tumenggung Jalak Karso
menjura dalam-dalam dan berlalu dari hadapan Pangeran Harjokusumo.
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 13
RUMAH PANGGUNG Ki Dukun Japara nampak gelap gulita. Di kolong rumah
mendekam sosok tubuh hampir tak bergerak. Sikapnya seperti orang bersamadi.
Namun ternyata sosok ini sengaja duduk tak bergerak di atas sebuah kayu
potongan batang pohon. Dia bukan lain adalah Ki Dukun Japara sendiri. Dia
tengah menunggu kedatangan seseorang.
Malam berlalu dengan cepat. Dingin dan sunyi. Dikejauhan terdengar
salak anjing. Sejak beberapa hari belakangan ini tak ada lagi penduduk yang
datang untuk minta pertolongan karena memang semua penghuni desa dan
kampung sekitar situ sudah meninggalkan tempat kediaman masing-masing
tanpa dapat dicegah. Kematian aneh yang berturut-turut dialami oleh keluarga
mereka membuat penduduk menjadi sangat takut untuk menetap lebih lama.
Lagi pula sebagian besar penduduk disitu sudah mengetahui bahwa dalam
menghadapi malapetaka kematian aneh itu Ki Dukun tidak mampu memberikan
pertolongan.
Di kejauhan kembali terdengar salakan anjing. Sunyi kembali. Lalu lapat-
lapat terdengar suara derap kaki kuda. Makin lama makin keras tanda makin
dekat. Tak lama kemudian sosok kuda bersama penunggangnya muncul
memasuki pekarangan rumah Ki Dukun Japara. Orang tua bermata juling ini
cepat bangkit berdiri dan menyongsong kedatangan si penunggang kuda, yang
saat itu telah berhenti sejarak sepuluh langkah dibawah bayang-bayang gelap
pohon besar disamping rumah panggung.
“Saya menunggu petunjukmu lebih lanjut, Ki Sanak…” berkata Ki Dukun
Japara begitu sampai di hadapan si penunggang kuda yang berpakaian serba
hitam dan ternyata menutup kepalanya dengan sehelai kain hitam hingga hanya
sepasang matanya saja yang kelihatan.
“Apakah kau menjalankan tugasmu dengan baik Ki Dukun Japara?” Orang
diatas kuda bertanya dengan suara datar.
“Sesuai permintaan Ki Sanak tempo hari, semua sudah saya lakukan…”
“Berapa korban yang kau dapat…?”
“Keseluruhannya seharusnya dua ratus sembilan belas orang. Namun tiga
puluh dua orang diselamatkan dan dapat hidup kembali…”
Sepasang mata penunggang kuda nampak membeliak. “Apa maksudmu
tiga puluh orang diselamatkan dan hidup kembali?!” Suara orang yang wajahnya
tidak kelihatan itu menyentak dan berubah galak.
“Sesuatu terjadi empat malam lalu,” menerangkan Ki Dukun Japara. “Ada
sekitar lima lusin penduduk datang kemari untuk minta pertolongan. Seperti
petunjukmu, saya mengatakan tak bisa menolong karena ini adalah perbuatan
Dedemit Karang Gontor yang tengah murka. Namun saat itu tiba-tiba saja
muncul seorang pemuda tak dikenal yang mampu menolong lebih dari separoh
korban yang berdatangan kemari…”
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 14
“Siapa adanya pemuda itu?!”
“Saya tidak mengenal sebelumnya. Dia mengaku orang gunung. Bernama
Wiro Sableng…”
“Kau melakukan kesalahan besar Ki Dukun…!” Orang di atas kuda
mendengus.
“Ke…kesalahan apa yang saya buat Ki Sanak?” tanya Ki Dukun Japara
dengan suara tercekat.
“Mengapa kau biarkan orang itu memberikan pertolongan?!”
“Saya sudah berusaha mencegahnya Ki Sanak, namun dia bertindak cepat
sekali. Dan celakanya keluarga para korban ikut membantu…”
“Jelaskan bagaimana caranya pemuda itu memberikan pertolongan? Apa
dia membawa obat atau apa…?”
“Mula-mula dia menotok tubuh para korban di beberapa bagian. Lalu
menekan bagian perut hingga korban siuman dan memuntahkan ludah hitam
pekat. Setelah itu dia memberikan air perasan daun sirih…!”
“Menotok! Memberi minuman air sirih! Dan kau diamkan saja melakukan
itu!”
“Saya mencegahnya Ki Sanak. Tapi tak berhasil. Lagi pula saat itu si
pemuda tampaknya mulai curiga pada saya. Dia banyak bertanya pada orang-
orang yang ditolongnya. Dan dia mengatakan bahwa apa yang dialami orang-
orang itu bukan karena dicekik atau disedot dedemit, melainkan karena
keracunan!”
“Ki Dukun Japara…” Suara orang diatas kuda bergetar menahan amarah.
“Kau harus mencari pemuda itu dan membunuhnya! Kau harus melakukan hal itu
dalam waktu tujuh hari! Kalau tidak lidahmu terpaksa kucabut agar kau tidak
bisa membuka mulut! Itu yang paling ringan hukuman bagimu. Jangan kira aku
tidak mau menebas batang lehermu!”
“Ki Dukun Japara tertunduk dan lututnya terasa goyah.
“Apakah kau telah mendapatkan para pembantu seperti yang
kuperintahkan tempo hari…?” Orang diatas kuda bertanya.
“Sudah Ki Sanak, Saya mendapatkan tiga orang. Mereka telah menyebar
kemana-mana…”
“Tiga orang masih kurang. Paling tidak kau harus mendapatkan sepuluh
orang. Dan masing-masing satu dari sepuluh itu harus mendapatkan lagi paling
tidak lima pembantu! Kau mengerti Ki Dukun Japara?!”
“Saya mengerti Ki Sanak…” jawab orang tua bermata juling itu.
Dari kantong besar di pelana kudanya orang berpakaian serba hitam
mengeluarkan sebuah kantong kain yang tampak berat lalu melemparkan di
depan kaki Ki Dukun Japara.
“Itu bekal tugasmu yang baru. Bagikan pada semua pembantumu. Mulai
saat ini gerakan kalian bukan hanya di pinggiran Kotaraja, bukan cuma di desa-
desa atau di kampung-kampung, tapi harus menyusup ke dalam Kotaraja. Dan
jika kau mampu masuk ke dalam Keraton di Barat, imbalan bagimu akan kulipat
gandakan sampai lima kali!”
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 15
Ki Dukun Japara tak berani menjawab karena dia tahu adalah mustahil
baginya menyusup ke dalam Keraton melakukan apa yang diinginkan orang itu.
Dari balik pakaiannya si penunggang kuda mengeluarkan sebuah kantong
kecil yang ketika dipegang terdengar mengeluarkan suara berdering.
“Karena telah membuat kesalahan, imbalanmu kali ini hanya sepertiga
dari yang dijanjikan. Itu masih lebih baik dari pada kau menerima hukuman!”
Kantong kain kecil berisi uang itu dilemparkan ke muka Ki Dukun Japara.
Karena tak berani menyambuti, kantong, itu jatuh ke tanah. Ketika si
penunggang kuda hendak berlalu, Ki Dukun Japara beranikan diri membuka
mulut.
“Ki Sanak, aku mengulangi lagi pertanyaanku tempo hari. Siapakah kau ini
sebenarnya…?!”
“Ki Dukun Japara, jika aku datang sekali lagi dan kau berani mengulangi
pertanyaan itu kembali, maka hanya ada satu hukuman bagimu. Mampus!”
Habis berkata begitu orang berpakaian serba hitam yang wajahnya
tersembunyi dibalik kain hentakkan Tali kekang kudanya. Binatang itu
menghambur ke depan, menyerempet Ki Dukun Japara hingga orang tua itu
terpelanting dan jatuh jungkir balik di tanah. Ketika dengan kesaktian dia
berusaha bangkit si penunggang kuda sudah lenyap. Tertatih-tatih Ki Dukun
Japara mengambil kantong besar dan kantong kecil berisi uang. Sesaat dia
tertegak diam. Lalu kantong uang dimasukkannya ke balik pinggang pakaian.
Dengan tangan gemetar dia kemudian membuka ikatan kantong kain yang
besar. Meskipun halaman itu gelap namun benda yang ada di dalam kantong,
berupa bdbuk putih kelabu nampak berkilauan.
“Bubuk racun celaka…” desis Ki Dukun Japara.
“Ah, mengapa akujadi terlibat dalam urusan jahanam ini…” Dia menghela
nafas panjang berulang kali. Namun disadarinya tak ada gunanya menyesal.
Ratusan rakyat yang tidak berdosa telah jadi korbannya dan para
pembantunya!..
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 16
ANGIN LAUT SELATAN bertiup kencang dari arah teluk. Menerpa ke daratan,
melewati pucuk-pucuk pepohonan kelapa lalu menghantam bukit batu yang
menghitam angker dalam kegelapan malam. Di atas bukit batu paling tinggi
tampak sebuah batu karang besar. Selama ratusan bahkan mungkin ribuan
tahun batu karang itu tegak menjulang di tempat tersebut, dikikis angin setiap
saat, diterpa panas pada siang hari, dihantam hujan, sehingga akhirnya secara
aneh alam membentuk batu karang itu menyerupai seorang lelaki memakai
caping dan duduk menghadap ke laut.
Ombak di teluk selalu besar dan deras sepanjang tahun. Itu sebabnya tak
kelihatan sebuahpun rumah penduduk disitu. Bagian teluk yang hanya dipenuhi
oleh bebukitan batu itu membuat hampir tak ada orang yang datang kesitu.
Bukan saja karena memang sulit untuk mendaki bukit batu tersebut, namun juga
disebabkan oleh tersiarnya cerita bahwa daerah tersebut adalah tempat bercokol
atau sarangnya dedemit. Penduduk menyebut bukit itu dengan nama Karang
Gontor dan dengan sendirinya dedemit yang menghuninya disebut juga Dedemit
Karang Gontor.
Walau tadi dikatakan Karang Gontor hampir tak pernah didatangi
manusia, namun adalah satu keluar kebiasaan kalau hari Kamis malam Jum’at
Kliwon itu tampak dua penunggang kuda melesat diatas kuda masing-masing
menuju kaki bukit. Disalah satu bagian bukit mereka meninggalkan tunggangan
mereka lalu meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Dan arah yang mereka
tuju adalah justru puncak bukit tertinggi. Puncak Karang Gontor!
Melihat pada cara mereka mendaki bukit batu yang setengah berlari, jelas
kedua orang itu memiliki ilmu lari serta ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Ketika bulan di langit muncul dibalik awan kelabu, wajah kedua orang itu
kelihatan lebih jelas. Ternyata mereka adalah dua orang tua lanjut usia yang
telah sama-sama berambut putih.
Yang satu memakai pakaian ringkas berwarna biru muda. Satunya lagi
biru gelap dan membawa sebuah bungkusan. Ketika kembali rembulan disaput
awan dan keadaan di Seantero bukit batu menjadi gelap. Dua orang tua itu
mempercepat lari masing-masing hingga tak berapa lama kemudian keduanya
sampai di puncak bukit batu dimana terdapat batu karang tinggi besar berbentuk
orang duduk memakai caping. Terpaan angin keras sekali dan dingin bukan
main. Tapi dua orang tua itu tenang-tenang saja. Pakaian dan rambut putih
mereka tampak berkibar-kibar. Untuk beberapa lamanya mereka memandangi
batu karang besar di depan mereka. Lalu memandang berkeliling.
Orang tua di sebelah kanan, yang berpakaian biru muda memandang ke
arah teluk. Laut tampak hitam dalam kegelapan. Ombak besar mendebur keras
diatas pasir teluk. Orang tua ini berpaling pada kawan disampingnya lalu
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 17
bertanya: “Bagaimana, bisa kita mulai…?
“Sebaiknya kita mulai saja. Agar cepat selesai dan kembali ke Kotaraja…”
“Terus terang aku menyangsikan adanya mahluk halus yang mendekam di
sini. Kalau bukan Sri Baginda yang memerintahkan, jangan harap aku mau
melaksanakannya!”
“Apa yang kau katakan juga merupakan pendapatku, Suro Markum,”
menyahuti kakek satunya. Lalu orang tua berpakaian biru gelap ini membuka
bungkusan yang dibawanya. Isinya ternyata sebuah pendupaan lengkap dengan
arangnya. Pendupaan itu diletakkannya di atas batu, tepat di hadapan batu
karang besar tinggi. Lalu dibantu oleh kawannya, dengan susah payah dia mulai
menyalakan arang di dalam potong arang dapat dibakar hidup. Potongan arang
yang telah hidup merembet membakar potongan-potongan arang lainnya hingga
kesudahannya seluruh arang dalam pendupaan itu menyala terang.
Dari dalam saku pakaiannya orang tua bernama Suro Markum
mengeluarkan sebongkah kemenyan. Benda ini diremasnya hingga menjadi
kepingan-kepingan kecil lalu dengan mulut komat kamit membacakan sesuatu,
hancuran kemenyan itu ditebarkannya diatas bara yang menyala. Sekejapan saja
Seantero puncak Karang Gontor itu telah tenggelam dalam bau kemenyan
hingga suasana ditempat itu menjadi terasa sangat angker.
Orang tua bernama Suro Markum berbisik pada kawannya “Tapak Jingga,
kau membaca doa pertama dan ketiga, aku doa kedua dan ke empat.
Lalu-kita sama-sama mengakhiri dengan doa kelima…”
Orang tua bernama Tapak Jingga mengangguk. Lalu dua orang itu duduk
bersila di atas batu, letakkan tangan diatas ujung lutut dengan tapak membuka
menghadap ke atas. Masing-masing sama memejamkan mata dan Tapak Jingga
mulai melaratkan doa pertama.
Selesai doa kelima yang dibacakan bersama-sama Suro Markum angkat
kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas dan mulutnya menyerukan kalimat demi
kalimat.
“Penghuni Karang Gontor…Siapapun engkau adanya, mahluk gaib atau
mahluk halus, kami berdua Suro Markum dan Tapak Jingga datang membawa
salam persahabatan. Jika kau memang mahluk yang disebut Dedemit Karang
Gontor maka ketahuilah, kedatangan kami kemari bukan untuk mengganggumu.
Kami diutus oleh Sri Baginda Raja untuk menyampaikan pesan, agar kau
Dedemit Karang Gontor sudilah untuk tidak lagi mengganggu rakyat Kerajaan.
Jika selama ini ada hal-hal yang tidak berkenaan dan kesalahan-kesalahan yang
telah dilakukan, kami mohon maafmu. Kami datang membawa kembang tujuh
rupa, telur ayam tujuh butir, madu tujuh mangkuk dan rokok putih tujuh batang.
Lalu dari bungkusan yang tadi dibawa Tapak Jingga dikeluarkan benda-
benda yang disebutkan itu, diletakkan diatas daun beralaskan kain putih dan
dikembangkan di atas batu. Suro Markum memberi isyarat pada kawannya.
Tapak Jingga lalu mengangkat tangan dan meneruskan kata-kata Suro Markum
tadi.
“Dedemit Karang Gontor, Raja kami percaya bahwa kau adalah sahabat
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 18
Sri Baginda dan Kerajaan. Kami semua percaya kau tidak akan mengganggu lagi
rakyat. Kerajaan dengan kematian-kematian aneh itu. Kami minta diri
sekarang…”
ketika kedua orang tua itu bersiap-siap untuk bangkit, tiba-tiba ada suara
menderu disertai sesuatu yang melesat ke arah pendupaan. Lalu wuuuuusss!
Bara menyala di atas pendupaan padam dan asap mengepul!
“Ada yang menyiramkan air…!” bisik Tapak Jingga dengan suara kelu.
Baik dia maupun kawannya menjadi sama-sama pucat saking kagetnya.
“Cerita tentang Dedemit Karang Gontor ternyata bukan isapan jempol
belaka…Mahluk itu benar-benar ada!” balas berbisik Suro Markum.
Tengkuk kedua orang tua itu serta merta menjadi dingin!
Saat itulah terdengar suara tawa mengekeh dari balik batu karang tinggi
besar. Bukan suara tawa mengekeh biasa, karena jelas bukit batu itu terasa
bergetar! Makin pucatlah wajah kedua orang tua utusan Sri Baginda itu. Tapak
Jingga seperti hendak terkencing di celananya!
“Dedemit Karang Gontor…Rupanya…rupanya kau ada disini. Kau tentu
telah mendengar kata-kata kami tadi. Kami datang sebagai sahabat…” berkata
Suro Markum.
“Be… benar…Kami datang membawa salam persahabatan dari Sri
Baginda…” menimpali Tapak Jingga.
Tawa mengekeh dari balik batu karang besar semakin keras.-Makin keras
lalu tiba-tiba lenyap. “Berganti dengan suara membentak yang membahana
diantara deru angih dari teluk.
“Dua tua bangka tolol! Sejak kapan Dedemit Karang Gontor doyan makan
kembang…!
Tapak Jingga dan Suro Markum saling pandang dengan muka pucat.
“Lekas kau jawab…” bisik Tapak Jingga.
“Dedemit Karang Gontor, harap dimaafkan. Kembang tujuh rupa itu kami
bawa memang bukan untuk dimakan”
“Tolol!” terdengar suara memaki dari balik batu. “Lalu telur ayam mentah
itu, apa kau kira aku Dedemit Karang Gontor suka makan telur mentah? Kenapa
tidak kalian rebus atau goreng lebih dahutu sebelum dibawa kemari?! Tolol!”
“Mohon kami dimaafkan Dedemit…” kata Suro Markum ketakutan.
“Tujuh mangkuk madu racun itu buat apa?! Tolol! Kalian kira aku Dedemit
Karang Gontor doyan makan madu tanpa roti?! Tolol!”
“Maafkan kami Dedemit Karang Gontor…” kini Tapak Jingga yang bicara.
“Rokok putih sebesar lidi itu untuk apa? Untuk mengorek telingaku? Tolol!
Kalian seharusnya membawa serutu besar! Bukan rokok putih kecil! Biar
kusumpalkan tujuh batang rokok itu ke mata kalian!”
“Maafkan kami Dedemit Karang Gontor!” seru Tapak Jingga dan Suro
Markum berbarengan seraya beringsut mundur. Masing-masing sama alirkan
tenaga dalam ke tangan kiri kanan. Jika mahluk itu benar-benar hendak
mencelakai mereka, tak ada jalan lain. Melawan sebelum dibikin konyol!
“Dua tua bangka tolol” Malam ini aku masih mau mengampunkan tindak-
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 19
tanduk kalian. Tapi dengan satu syarat. Kalian telan habis semua persembahan
yang kalian bawa itu. Kembang, rokok, madu dan telur! Lakukan cepat! Kalau
tidak kalian berdua tak akan kembali lagi ke Kotaraja!”
“Celaka kita Suro…” bisik Tapak Jingga.
Suro Markum memberanikan diri berkata: “Kami akan lakukan apa yang
kau perintahkan Dedemit Karang Gontor. Madu dan telur akan kami makan
habis. Tapi mohon maafmu. Mana mungkin kami menelan rokok dan kembang
itu!”
“Kalau begitu biar tubuh kalian berdua yang akan kutelan. Daging kalian
pasti sudah alot! Tapi malam malam lapar dan dingin begini lebih baik dari pada
makan angin…” Terdengar suara tawa mengekeh. Kembali bukit karang itu
bergetar. Lalu terdengar suara bergemeletakan seperti suara geraham yang
saling bergeseran satu sama lain. Menyusul suara menggeram macam ada
harimau yang hendak menerkam!
“Dedemit Karang Gontor!” pekik Tapak Jingga. “Jangan telan kami…Kami
akan lakukan apa yang kau katakan…” Lalu orang tua ini cepat menyambar
mangkuk madu. Suro Markum mengikuti apa yang dilakukan kawannya. Satu
demi satu madu dalam mangkok mereka minum. Setelah habis mereka lalu
pecahkan tujuh butir telur dan telan isinya. Kini tinggal kembang dan rokok!
Dari balik batu karang terdengar suara keras: “Bagus! Sekarang lekas
telan kembang lalu rokok itu! Berani membangkang kucabik tubuh kalian!”
Karena benar-benar ketakutan setengah mati Suro Markum dan Tapak
Jingga langsung meraup kembang dan menyumpalkannya ke mulut masing-
masing. Baru sekali mereka mengunyah dari balik batu karang besar terdengar
suara tertawa bergelak. Suara tawa kali ini sangat lain dengan suara mengekeh
tadi. Suara tawa yang mereka dengar kini adalah suara tawa manusia!
Bersamaan dengan itu dari balik batu karang muncul sesosok tubuh! Suro
Markum dan Tapak Jingga semburkan kembang tujuh rupa yang barusan hendak
mereka telan. Memandang tajam-tajam kedepan. Setelah pasti sekali bahwa
sosok tubuh yang melangkah sambil tertawa ke hadapan mereka itu adalah
manusia biasa adanya, maka membentaklah kedua orang tua ini dengan marah.
“Bangsat siapa kau?!”
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 20
YANG DIBENTAK kembali tertawa bergelak. Sementara Tapak Jingga dan Suro
Markum memandang dengan mata berapi-api. “Seperti yang kalian lihat sendiri!”
berkata orang yang muncul dari balik batu karang besar. “Aku manusia biasa
seperti kalian. Bukan mahluk halus atau mahluk gaib. Bukan pula Dedemit
Karang Gontor yang barusan sesajennya kalian lahap! Ha…ha…ha…!”
Sebagai dua orang tokoh silat istana, walaupun dari tingkat ke tiga, bukan
saja dua orang tua itu menjadi sangat malu, namun sekaligus juga menjadi
sangat marah karena merasa dipermainkan!
“Anak muda! Kau telah lancang mempermainkan kami! Bersiaplah untuk
menerima pembalasan!” teriak Tapak Jingga. Lalu dia melompat ke arah si
pemuda dan menghantam dengan tangan kanannya. Suro Markum tidak tinggal
diam. Dia menghambur sambil lepaskan satu jotosan!
Dua serangan itu ternyata bukan serangan biasa. Tapi yang bisa
membawa risiko kematian. Karena Tapak Jingga menghantam ke arah dada di
bagian jantung sedang Suro Markum menggebuk ke arah batok kepala!
“Sabar! Tunggu dulu!” berseru si pemuda. Lalu dengan gerakan aneh,
seperti orang mabok terhuyung-huyung dia sudah berpindah tempat, menjauh
beberapa tombak. Dua serangan tadi hanya sempat melabrak tempat kosong!
Inilah ilmu silat “orang gila” ciptaan kakek sakti bernama Tua Gila yang
merupakan salah seorang datuk silat di pulau Andalas. Ketika berkelana di pulau
itu murid Sinto Gendeng sempat bertemu dengan Tua Gila bahkan menerima
beberapa jurus utama ilmu silat “orang gila” tersebut. Dalam perkelahian di
tempat sempit seperti di puncak bukit karang itu, ilmu silat ini sangat cocok
dipakai menghadapi lawan!
Kini kagetlah kedua orang tua itu melihat bagaimana serangan mereka
mampu dielakkan lawan dengan gerakan seperti acuh tak acuh saja!
“Kalian berdua dengar dulu!” kembali si pemuda berseru. “Jika kalian
berdua memang orang-orang Kerajaan maka kita adalah orang satu golongan!
Kenapa ribut-ribut harus berkelahi?!”
“Kami tidak mengenal manusia kurang ajar sepertimu! Apalagi merasa
satu golongan!” bentak Suro Markum. Lalu dia berkata pada kawannya. “Tapak
Jingga, mari kita bunuh pemuda kurang ajar ini biar rohnya benar-benar jadi
dedemit di tempat ini!”
“Walah! Kalau aku jadi dedemit, kalian berdualah yang akan kucari lebih
dulu! Kusedot ubun-ubunnya sampai mampus dengan muka biru mata mendelik!
Suro Markam dan Tapak Jingga yang kembali hendak menyerbu menjadi
terkejut dan seseat hentikan serangan mereka.
“Tapak Jingga…Kelihatannya pemuda ini ada sangkut pautnya dengan
kematian aneh ratusan rakyat di Kerajaan!”
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 21
“Jangan-jangan dialah yang menjadi pangkal bahalanya!” menyahuti
Tapak Jingga.
“Pemuda kurang ajar! sebelum nyawamu lepas dan bangkaimu kami
buang ke teluk di bawah sana, lekas katakan siapa dirimu. Apa sangkut pautmu
dengan kematian aneh penduduk Kerajaan!”
Si pemuda tertawa lebar mendengar bentakan Suro Markum itu.
“Aku tidak punya sangkut paut dengan kematian rakyat Kerajaan itu!”
jawabnya.
“Beri tahu namamu! Juga gelar kalau kau memilikinya! menghardik Tapak
Jingga.
“Namaku Wiro Sableng. Orang sableng macamku tentu saja tidak memiliki
gelar!” jawab si pemuda yang ternyata adalah murid nenek sakti Sinto Gendeng
dari Gunung Gede.
“Pemuda konyol kurang ajar! Jika kau tidak ada sangkut paut dengan
malapetaka aneh di Kerajaan, mengapa kau mengetahuinya dan ada keperluan
apa kau berada di Karang Gontor ini?!”
“Aku kesini untuk menyelidiki hal ihwal dedemit itu. Tapi caranya tidak
sama dengan kalian. Kalian berdua memulai dengan dasar mempercayai bahwa
mahluk bernama Dedemit Karang Gontor itu memang ada! Sedang aku untuk
membuktikan bahwa mahluk itu sama sekali tidak ada, sekaligus untuk
menyelidiki siapa sebenarnya yang menjadi biang keladi, bersembunyi dibalik
sandiwara maut ini!”
“Siapa percaya ucapanmu!” bentak Tapak Jingga.
“Siapa minta kau percaya ucapanku!” tukas Pendekar 212 pula. “Dua
tokoh silat istana mau-mauan percaya pada dedemit, mengantar sesajen segala,
berdoa yang bukan-bukan! Kalau kusebut kalian berdua tolol apakah salah?!”
Merah padam wajah kedua orang tua itu. Karena tak sanggup menahan
marah, keduanya kembali menyerbu Wiro. Kembali pendekar itu keluarkan jurus-
jurus silat Tua Gila. Tubuhnya sempoyongan, berputar-putar, kadang-kadang
berjingkrak kian kemari! Dan semua gerakan aneh serta lucu yang dibuat oleh
Wiro selalu berhasil mengelakkan keroyokan serangan dua tokoh silat Kerajaan
itu!
Sebelas jurus menyerang terus tanpa hasil lalu lima jurus lagi dan tetap
tak berhasil, Suro Markum dan Tapak Jingga saling memberi isyarat. Keduanya
keluarkan suitan keras dan dikejapan itu juga tubuh mereka seolah lenyap
ditelan kegelapan.
Walau kini kehilangan kedua lawannya namun sepasang telingnga
Pendekar 212 dapat mendengar siuran-siuran angin disekitarnya pertanda bahwa
dua lawan itu masih ada disitu dan terus menyerangnya. Wiro lindungi diri
dengan lepaskan terus rnenerus pukulan sakti bernama “benteng angin
berhembus tindih menindih” Deru angin menggelegar di puncak bukit karang itu.
Dua tokoh silat istana sama terkejut ketika setiap kali berusaha mendekat untuk
melancarkan serangan, tubuh mereka terpental disapu oleh angin pukulan
lawan!
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 22
Sambil berteriak marah Suro Markum dan Tapak Jingga perlihatkan
kembali sosok tubuh mereka. Keduanya tidak menyangka ilmu “lenyap selaksa”
yang barusan mereka keluarkan begitu mudah dipatahkan lawan hingga terpaksa
keduanya memperlihatkan diri kembali dan lanjutkan serangan-serangan. Jurus-
jurus yang mereka pergunakan kali ini adalah jurus serangan berantai yang
dilancarkan sambil memutari lawan. Di tempat sempit seperti di atas
bukit,karang tersebut, jurus-jurus serangan ini memang ampuh karena sedikit
demi sedikit mereka memperciut lingkaran serangan dan akhirnya Pendekar 212
terjepit di tengah-tengah!
Beberapa kali serangan lawan mulai menyengat menghajar murid sinto
Gendeng. Sambil menahan sakit Wiro bergerak menuju pinggiran pedataran batu
sebelah kanan. Begitu dia sampai di pinggiran batu, serta merta dua penyerang
tak bisa lagi mengelilinginya, kecuali mau jatuh ke teluk dibawah sana!
Suro Markum memaki melihat kecerdikan pemuda ini. Mau tak mau dia
dan Tapak Jingga harus berkelahi lagi secara berhadap-hadapan. Namun baik
Tapak Jingga maupun Suro Markum mereka kini melihat adanya peluang untuk
mencelakakan lawan. Sekalipun mereka sulit untuk menggebuk langsung, asal
mereka bisa menggeser kedudukan kedua kaki Wiro ke belakang, maka pemuda
itu tak ampun lagi akan jatuh ke dasar teluk! Itulah sebabnya kini kedua tokoh
silat istana itu melancarkan tendangan bertubi-tubi ke arah kedua kaki Wiro.
Berulang kali Pendekar 212 harus melompat ke atas sambil membagi
serangan balasan pada kedua penyerangnya. Tapi dua orang itu selalu berhasil
mengelak bahkan terus menyerbu tak mau memberi kesempatan bagi Wiro
untuk dapat menyingkir dari tepi bukit batu.
“Edan, tadi aku mengharap bisa lepas dari serangan melingkar dan
menjepit. Kini malah keadaanku tambah berbahaya!” memaki Wiro dalam hati.
Sambil melayani dengan hati-hati serangan dua lawan, Wiro memutar otaknya.
Dia sebenarnya tidak ada silang sengketa dengan dua orang tokoh silat istana
itu. Tidak ada gunanya melepaskan pukulan-pukulan sakti seperti pukulan “sinar
matahari” Namun jika dia terdesak terus dan tak sanggup keluar dari pinggir
“bukit batu itu, lambat laun dia pasti kena gebuk atau tergelincir jatuh!
Setelah memutar otak beberapa lama, tiba-tiba Wiro keluarkan bentakan
keras. Meskipun dua lawan berpengalaman itu tidak terpengaruh oleh bentakan
itu, Wiro teruskan apa yang direncanakannya. Secepat kilat dia jatuhkan diri di
pinggiran bukit batu. Bersamaan dengan jatuhnya tubuhnya kebawah, Wiro
menelikung kedua kaki Suro Markum dengan tangan kiri sedang kakinya
menjepit salah satu kaki Tapak Jingga.
Dua orang itu terkejut ketika tubuh mereka tertarik ke pinggiran bukit
batu. Selagi mereka berusaha melepaskan diri. Wiro sudah lebih dulu menotok
tubuh Suro Markum hingga orang tua ini jatuh tak berkutik dalam kempitan
tangan kirinya. Sebagian tubuh Suro Markum berada diatas batu, sebagiannya
lagi yaitu sebatas pinggang ke atas tergantung diatas teluk! Tentu saja orang tua
ini ketakutan setengah mati kalau dirinya dalam keadaan tertotok kaku itu
sempat jatuh ke arah batu-batu karang dibawah sana!
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 23
Tapak Jingga berhasil lepaskan dirinya dari jepitan kaki Wiro dan siap
menghujamkan satu tendangan ke arah bawah perut pendekar itu. Namun orang
ini batalkan serangannya. Meskipun dia sempat menciderai Wiro, belum tentu dia
bisa menyelamatkan kawannya. Sekali tubuh Wiro mencelat dihantam
tendangannya, maka Suro Markum yang ada dalam jepitan tangan kiri Wiro akan
ikut mencelat jatuh ke bawah teluk!
Melihat lawan ragu, kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk
balikkan tubuh lalu berdiri dengan cepat. Ketika berdiri, tubuh kaku Suro Markum
sudah berada di bahu kanannya!
“Tapak Jingga! Sedikit saja kau bergerak hendak menyerangku, kulempar
tubuh kawanmu ini ke batu-batu karang dibawah teluk!”
“Manusia licik” maki Tapak Jingga.
Wiro” tertawa lebar. “Sekali-kali perlu kelicikan. dalam hidup ini! Apa kau
dan kawanmu tidak merasa licik? Sebagai tokoh silat istana mengeroyok seorang
lawan?!”
Tapak Jingga tidak menjawab. Hanya mukanya saja yang jadi merah
dalam kegelapan.
Pendekar 212 perlahan-lahan turunkan tubuh kaku dan bisu Suro
Markum. Bagitu kedua kaki Suro menginjak tanah, Wiro lepaskan totokan
ditubuh orang tua itu lalu mendorongnya kuat-kuat ke arah kawannya. Tapak
Jingga cepat menahan tubuh Suro Markum. “Kau tak apa-apa Suro…?”
“Aku tidak cidera. Siapa sebenarnya pemuda itu? Ilmu silatnya aneh.
Kalau dia mau tadi dia bisa melemparkanku ke jurang batu di bawah teluk…”
kata Suro Markum pula.
“Aku berniat menyerangnya lagi. Kita belum mencoba jurus-jurus ilmu
silat selusin tangan besi…” menyahuti Tapak Jingga.
“Aku tak punya selera lagi meneruskan perkelahian ini Tapak Jingga, lagi
pula aku punya firasat, kita berdua belum tentu mampu mengalahkan pemuda
gondrong itu…”
“Kalau begitu sebaiknya kita tinggalkan bukit Karang Gontor ini! Aku tidak
mau pemuda sableng itu mengejek dan mempermainkan kita seperti tadi!”
Tapak Jingga memberi isyarat pada kawannya. Tapi Suro Markum tetap berdiri di
tempatnya bahkan menegur Pendekar 212.
“Anak muda, siapa kau sebenarnya? Tadi kau menyebut sebagai orang
segolongan dengan kami. Apa maksudmu…?”
“Bukankah kalian tengah menyelidiki perkara malapetaka kematian begitu
banyak penduduk yang terjadi akhir-akhir ini…?”
Tapak Jingga dan Suro Markum sama mengiyakan.
“Nah akupun melakukan hal yang sama. Penyelidikanku memberi
kenyataan bahwa semua korban yang mati biru itu bukan karena dicekik atau
disedot dedemit. Tapi semua mati keracunan!”
“Keracunan?!” mengulang Suro Markum.
“Ada orang yang sengaja meracun. Entah makanan atau minuman
mereka. Karena Dedemit Karang Gontor disebut-sebut dan dikaitkan dengan
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 24
peristiwa ini maka aku menyelidik sampai disini. Ternyata aku tidak menemukan
apa-apa. Kecuali kalian berdua yang mula-mula sempat kusangka kaki tangan
dedemit itu!”
“Jika rakyat yang mati memang adalah korban keracunan seperti katamu,
ini adalah satu hal aneh luar biasa!” ujar Suro Markum. “Pertama, siapa yang
mau-mauan,  begitu  tega  meracuni  rakyat?  Kedua  apa  maksud
mereka…melakukan peracunan…?”
“Kutambahkan satu pertanyaan lagi!” menyambung Wiro. “Di Kotaraja
dan di Keraton begitu banyak ahli pengobatan. Mengapa tak satu orangpun
mengetahui dan mengatakan bahwa korban adalah akibat keracunan, bukan
dibunuh oleh dedemit!”
Mendengar kata-kata Wiro itu Suro Markum dan Tapak Jingga jadi saling
pandang.
“Pemuda ini benar, Tapak Jingga. Ada yang tidak beres di Kotaraja. Kita
harus cepat kembali…” bisik Suro Markum pada kawannya. Lalu dia berpaling
pada Wiro. “Anak muda, malam ini kami yang tua mendapat pelajaran berguna
darimu. Kami tidak akan melupakan hal ini. Kami berharap dapat berjumpa
denganmu di lain kesempatan…”
“Kalau boleh aku bertanya, untuk siapakah kau bekerja melakukan
penyelidikan?” tanya Tapak Jingga.
“Untuk orang-orang yang jadi korban itu. Untuk kebenaran…!” jawab Wiro
lalu memutar diri dan tinggalkan kedua erang tua itu lebih dahulu.
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 25
HUJAN GERIMIS TURUN bersamaan dengan lenyapnya rembulan
dibalik awan tebal. Udara dingin mencucuk tulang dan kesunyian mencengkam
desa Tanggul Rejo yang terletak jauh di tenggara Kotaraja.
Bersamaan dengan bertiupnya angin malam, dari kelokan jalan muncul
dua penunggang kuda. Keduanya mengenakan pakaian hitam dan wajah
masing-masing ditutup dengan cadar sebatas mata. Anehnya dua orang ini
sengaja menunggang kuda dengan langkah sangat perlahan sehingga derap
delapan kaki kuda tunggangan itu hampir tidak terdengar. Sambil bergerak
keduanya memandang kekiri dan ke kanan, memperhatikan setiap bidang tanah
yang mereka lewati, meneliti rumah-rumah penduduk yang terletak saling
berjauhan.
“Kau lihat tambak ikan di sebelah sana…,” penunggang kuda disebelah
kanan berbisik pada kawannya.
“Ah, matamu tajam sekali kawan. Itu sasaran paling empuk yang kita
temui malam ini. Kau atau aku…?”
“Jika kau mau silahkan saja…”
Mendengar ucapan kawannya itu penunggang kuda disebelah kanan
segera turun dari kudanya. “Tunggu aku di tempat gelap sana. Awasi keadaan
sekitar sini. Jika ada bahaya lekas beri tanda…” kata orang itu begitu turun dari
kuda. Lalu dia melangkah mengendap-endap ke arah sebuah tambak ikan.
Dikejauhan kelihatan sebuah rumah berada dalam keadaan gelap.
Begitu sampai di-tepi, tambak ikan, orang ini memandang dulu berkeliling.
Ketika dirasakannya aman, cepat-cepat dia mengeluarkan sebuah kantong kecil
terbuat dari kulit kerbau yang ujungnya diikat kencang dengan seutas tali.
Dengan cepat dibukanya tali ini lalu dari dalam kantong yang kini terbuka
ditebarkannya sejenis bubuk berwarna putih kelabu ke dalam tambak. Setelah
itu kantong kulit diikatnya kuat-kuat lalu dengan cepat dia kembali menemui
kawannya.
“Selesai…? bertanya kawan yang menunggu.
“Beres!” jawabnya seraya melompat naik ke atas punggung kuda. Dari
situ kedua orang bercadar hitam itu melanjutkan perjalanan memasuki desa
Tanggul Rejo lebih ke dalam. ‘Seperti tadi, keduanya tak mau memacu kuda
tunggangan, melainkan bergerak perlahan”
“Sebentar lagi sudah lewat tengah malam…” ‘Penunggang kuda di sebelah
kiri berkata. “Menurut penyelidikanku ada sekitar empat puluh rumah di desa ini.
Berarti ada empat puluh sumur yang harus kita kerjakan. Menurutmu apa kita
punya waktu melakukannya…?”
“Sesuai petunjuk, tak perlu semua sumur kita kerjakan. Jika dapat
separuhnya saja itu sudah cukup…Nah, lihat. Di depan sana ada rumah. Kulihat
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 26
sebuah sumur di sebelah belakang. Giliranmu turun tangan, kawan…Aku akan
mendatangi rumah di sebelah sana. Lekas bergabung jika pekerjaanmu
selesai…”
Dua penunggang kuda berpisah. Satu jalan terus, lainnya membelok ke
kanan, memasuki pekarangan besar sebuah rumah, langsung menuju ke
halaman belakang dimana terdapat sebuah sumur.
Di tepi sumur, tanpa turun dari kudanya orang itu mengeluarkan sebuah
kantong kulit, membuka ikatannya. Lalu bubuk putih kelabu yang ada dalam
kantong dituangkannya sedikit ke dalam sumur! Sehabis memasukkan bubuk itu
ke dalam sumur, dia cepat-cepat mengikat kantong kulit, simpan kembali
kantong itu dibalik pakaiannya lalu bergerak memutar kudanya. Pada saat itulah
terdengar suara anjing menggonggong. Mula-mula hanya seekor saja, namun
sesaat kemudian ada setengah lusin anjing yang berlompatan dari tempat gelap.
Keenam anjing itu mengerubungi kuda sambil terus menyalak.
“Celaka!” keluh si penunggang kuda. Dia cepat menyentakkan tali kekang
kuda tungganggannya. Binatang ini meringkik keras. Hampir bersamaan dengan
ringkikan itu, dari arah rumah terdengar suara membentak: “Siapa diluar?!” Lalu
terdengar suara pintu terbuka. Menyusul suara tongtong yang dipukul terus
menerus. Suara tongtongan dari arah rumah itu dalam waktu cepat mendapat
sambutan dari berbagai jurusan.
Si penunggang kuda menjadi panik. Dia memacu kudanya sekencang-
kencangnya tetapi enam ekor anjing tadi ternyata ikut mengejar. Hatinya
tercekat ketika di depan sana dilihatnya ada serombongan orang. Tangan kiri
memegang obor, tangan kanan. membawa berbagai macam senjata!
Melihat hal ini penunggang kuda itu cepat memutar kudanya ke arah dari
mana dia datang sebelumnya. Namun dari arah itupun bermunculan banyak
sekali orang yang membawa obor serta senjata! Dari kedua ujung jalan dua
rombongan orang itu mendatangi dengan cepat seraya berteriak-teriak.
‘Tangkap! Bunuh penebar racun!”
“Cincang sampai lumat!”
“Gantung kaki ke atas kepala ke bawah!”
Jantung si penunggang kuda bercadar serasa copot. Terlebih lagi ketika
dilihatnya dari bagian gelap di kiri kanan jalan bermunculan pula orang-orang
yang membawa obor dan senjata. Menyadari dirinya terkurung di-tengah-tengah
dan terancam bahaya maut mengerikan orang itu menjadi nekad. Dia
menggebrak kudanya berusaha menerobos kepungan orang di sebelah selatan
jalan. Dua orang pengurung terjengkang dihantam kaki kuda. Tapi
penunggangnya sendiri tak berhasil lolos. Seseorang sempat menarik kakinya
hingga tubuhnya terlontar dan jatuh terbanting ke jalanan.
“Cincang!”
“Bunuh!”
Sebatang golok menyambar membabat dada. Sebatang tombak
menyorong ke depan. Traang!
Golok yang seharusnya membacok kepala itu tertahan oleh batang
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 27
tombak. Bersamaan dengan itu ada orang yang berteriak.
“Tunggu!”
Ternyata dia adalah Kepala Desa Tanggul Rejo.
Kepala Desa ini pula yang tadi menangkis bacokan golok. Orang banyak
mengeluarkan suara kemarahan dan kutuk serapah ditujukan pada Kepala Desa
itu.
Kepala Desa cepat menguasai keadaan dengan berteriak: “Membunuh
keparat penyebar racun ini mudah saja! Aku ingin cepat-cepat menggorok
lehernya mencincang kepalanya! Tapi dengar! Kita harus menyelidik! Dia harus
dipaksa memberi keterangan mengapa dia menebarkan racun di desa kita! Siapa
yang menyuruh!”
Mendengar kata-kata Kepala Desa itu, orang banyak mengendur sedikit
kemarahan mereka. Namun seseorang masih sempat membetot Tepas kain
hitam yang menutupi wajah lelaki yang terbujur di tanah setengah bergelung.
Tak satu orangpun mengenali tampang manusia itu. Berarti dia bukan
penduduk desa Tanggul Rejo.
Selagi orang desa menahan amarah dan selagi Kepala Desa berbicara,
orang yang terguling di jalanan itu tidak sia-siakan kesempatan. Mati disadarinya
memang sudah jadi bagiannya. Tapi dia tidak mau mati dicincang dan ditembus
puluhan senjata. Maka dengan cepat dia keluarkan kantong kulit yang ada di
balik pinggangnya.
Lalu cepat sekali dia menuangkan bubuk putih kelabu yang ada dalam
kantong kedalam mulutnya yang dibuka lebar-lebar. Kejadian itu berlangsung
cepat sekali, tidak terduga oleh semua orang yang ada di tempat itu.
Tidak perlu menunggu lama. Orang ini mulai melejang-lejang. Mukanya
menjadi biru sampai ke bibir. Sepasang mata membeliak. Dari tenggorokannya
ada suara menggeru lalu menyembur busah dan air berwarna hitam pekat.
“Kurang ajar! Bangsat itu menenggak racun yang dibawanya sendiri!”
teriak seseorang.
“Dia bunuh diri!”
“Kita terlambat!” teriak kepala desa lalu dengan marah ditendangnya
kepala orang itu. Apa yang terjadi kemudian sungguh mengerikan. Puluhan
macam senjata berkelebat menusuk dan menghunjam di sekujur tubuh orang
itu. Mukanya tak bisa dikenali lagi!
“Aku yakin bangsat itu tidak datang sendirian!” seorang lelaki yang hanya
mengenakan celana pendek hitam berkata. Dia menurunkan obornya kesalah
satu bagian jalanan. Yang jauh dari kerumunan orang banyak. “Lihat!” katanya.
“Ditanah ada jejak-jejak lebih dari seekor kuda. Paling tidak ada dua kuda yang
lewat disini!”
“Kalau begitu kita harus menyebar lalu memeriksa setiap pelosok desa!”
kata Kepala Desa pula
“Aku setuju!” seseorang menyahuti.
“jika bangsat satu itu ketemu, tak perlu diberi waktu untuk bertanya
segala. Gorok lehernya! Cincang kepala dan tubuhnya! Habis perkara!” seorang
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 28
penduduk desa menimpali.
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 29
DI MALAM YANG SAMA, di desa Lebak Wangi yang terletak disebelah barat
Kotaraja, seorang penunggang kuda sejak tadi mendekam dibalik lumbung padi
yang terletak di pekarangan belakang sebuah rumah besar milik seorang
hartawan yang puteranya menjadi salah seorang Kepala Pasukan di Keraton
Barat.
Di halaman belakang itu, seorang lelaki tua tampak tengah merapikan
susunan kayu api. Orang yang mendekam dibalik lumbung padi sudah tidak
sabaran. Matanya pulang balik memperhatikan si orang tua dan sumur yang
terletak hanya sepuluh tombak saja di sebelah kiri lumbung padi. Tapi karena
sumur itu berada di halaman terbuka, jika dia mendekati mustahil orang tua itu
tak akan melihatnya.
“Orang tua celaka itu ada-ada saja yang dikerjakan!” memaki si
penunggang kuda. “Apa perlu kubereskan saja dia lebih dulu…”
Walaupun sudah punya pikiran seperti itu, nyatanya orang dibalik
lumbung memutuskan untuk menunggu saja sampai orang tua di sebelah sana
selesai dengan pekerjaanya. “Kalau kayu api itu sudah disusunnya dengan rapi,
pasti dia akan masuk ke dalam rumah. “Begitu orang dibalik lumbung berpikir.
Tetapi, setelah selesai merapikan kayu api, orang tua tadi kini malah mengambil
sebuah sapu lidi besar dan mulai menyapu.
“Sialan!” runtuk orang dibalik lumbung… Dia raba golok di pinggang
kirinya. Lalu bergerak keluar dari balik lumbung.
Orang tua yang tengah menyapu halaman angkat kepalanya dan
berpaling ketika mendengar ada suara telapak kaki kuda mendatangi.
Disangkanya putera majikannya yang. datang.
“Raden…Kaukah itu…?” tegurnya.
Namun begitu penunggang kuda tersebut sampai di hadapannya
terkejutlah orang tua itu. Si penunggang kuda ternyata seorang berpakaian
serba hitam yang wajahnya ditutup dengan kain berwarna hitam pula!
“Rampok!” desis orang tua itu. Sapu di tangannya dilemparkan. Dia
memutar tubuh untuk lari seraya berteriak. Namun dia hanya sempat memutar
tubuhnya sedikit saja dan sebelum mulutnya bisa berteriak, sebilah golok telah
berkelebat dalam kegelapan malam. Orang tua yang malang itu terhuyung nanar
sambil menggapai-gapai ke udara. Pangkal lehernya hampir putus. Darah
mengucur. Dia berusaha keras untuk berteriak, tapi hanya lidahnya yang
terjulur. Setelah itu tubuhnya terhempas jatuh ke tanah!
Orang berkuda sarungkan kembali golok berdarah, lalu bergerak
mendekati sumur. Di tepi sumur dia mengeluarkan sebuah benda berbentuk
bulat sepanjang satu setengah jengkal yang ternyata adalah sebatang bambu
kecil. Dengan cepat dibukanya sumbat kain di salah satu ujung bambu lalu
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 30
bubuk putih kelabu yang ada dalam bambu itu dipercikkan-nya ke dalam sumur.
Selagi dia melakukan hal itu tiba-tiba dari dalam sumur melesat keluar dua buah
tangan yang langung mencekal pergelangan tangan si penunggang kuda.
Penunggang kuda itu berteriak saking kagetnya.
Lalu terdengar suara kraaakk!
Untuk kedua kalinya orang di atas kuda berteriak. Kali ini karena tulang
lengangnya telah dipatahkan oleh dua tangan yang mencuat keluar dari dalam
sumur. Tabung bambu berisi bubuk racun yang dipegangnya terlepas dan jatuh
di pinggir sumur. Tubuhnya sendiri terbetot jatuh dari atas punggung kuda.
Ketika dia berusaha bangkit berdiri di hadapannya berdiri sesosok tubuh
berpakaian serba putih.
“Kurang ajar! Bangsat ini rupanya! Bagaimana dia bisa mendekam
sembunyi didalam sumur itu!” me-runtuk orang yang patah tangannya. Tadi dia
menyangka yang keluar dari dalam sumur itu adalah sebangsa setan atau hantu
malam!
“Ha…ha! Matamu yang juling cukup kukenali! Tapi aku perlu melihat
tampangmu!”
Sekali tangannya bergerak, orang berpakaian putih berhasil menjambret
lepas kain hitam penutup wajah lelaki di hadapannya.
“Ki Dukun Japara! Benar kau rupanya!”
“Pemuda sableng! Kau ikut campur terlalu jauh! Nyawamu atau jiwaku!”
Si pakaian hitam yang ternyata adalah Ki Dukun Japara, pergunakan tangan
kirinya untuk mencabut golok. Namun sebelum dia sempat menyentuh senjata
itu, satu totokan membuat tubuhnya menjadi kaku dan mulutnya menjadi bisu.
“Dukun bejat penebar racun! Sekarang kau ikut aku ke Kotaraja! Disitu
nanti kau harus bicara banyak sebelum Sri Baginda memerintah memisahkan
kepala dan tubuhmu!”
Ki Dukun Japara yang berada dalam keadaan kaku dan gagu hanya bisa
memaki dalam hati. Orang berpakaian putih yang ternyata adalah Pendekar 212
Wiro Sableng memungut tabung bambu yang tercampak di tanah dan
menyumpalkan penutupnya. Tabung berisi racun itu disisipkannya di pinggang
kiri. Lalu Wiro memanggui tubuh Ki Dukun Japara dan meletakkannya diatas
punggung kuda. Saat itulah melesat sebuah benda dalam kegelapan. Wiro
rundukkan kepala. Benda yang melesat lewat seujung kuku dari pipi kanannya
lalu menancap tepat di punggung kanan Ki Dukun Japara yang menggeletak
melintang di atas kuda! Benda itu ternyata adalah sebatang panah!.
“Pembokong keparat!” maki Wiro. Dia lepaskan pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam dahsyat ke jurusan dari mana datangnya panah itu.
Beberapa pohon kecil dan semak belukar rambas namun si pembokong telah
lebih dahulu melarikan diri. Di kejauhan terdengar suara derap kaki kudanya
menjauh.
Wiro segera memeriksa keadaan. Ki Dukun Japara dan jadi terkejut ketika
melihat wajah orang tua itu berubah kebiruan. Dirobeknya punggung pakaian Ki
Dukun. Kulit punggung itupun tampak membiru!
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 31
“Panah beracun!” kertak Wiro. Dia menotok lagi beberapa bagian tubuh Ki
Dukun Japara. Lalu perlahan-lahan anak panah yang menancap di punggung
orang tua itu dicabutnya. Ketika diperhatikannya ujung runcing panah, tampak
bagian itu juga berwarna biru kehitaman.
“Aneh, siapa yang menginginkan nyawa dukun keparat ini?” pikir
Pendekar 212 sambil garuk-garuk kepala. “Dia ternyata menjadi penyebar racun.
Pasti cuma kaki tangan atau pelaku biasa saja. Lalu yang jadi biang kerok
mengotaki semua kegilaan ini…?! Di Kotaraja semua akan tersingkap. Aku harus
membawa dukun sialan ini kesana secepatnya!”
Baru saja Wiro hendak naik ke atas kuda dimana tubuh Ki Dukun Japara
menggeletak tiba-tiba dua penunggang kuda muncul di tempat itu. Yang
pertama seorang pemuda berseragam Perwira Muda Kerajaan, satunya lagi
seorang dara berpakaian jingga yang rambutnya dikuncir dan pada punggungnya
tersembul gagang sebilah pedang.
“Hai! Siapa kau?! Apa yang terjadi disini?!” bertanya Perwira Muda itu
dengan suara membentak sedang sang dara memandang dengan mata penuh
selidik pada murid Sinto Gendeng yang tertegak sambil pegangi anak panah.
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 32
DARA DI ATAS KUDA tiba-tiba berseru kaget ketika melihat dan mengenali
sosok tubuh yang menggeletak di halaman belakang. “Astaga! Itu si kakek
Samino! Apa yang terjadi dengan dirinya?!” Sang dara melompat dari atas kuda,
langsung berlari ke arah mayat orang tua yang terbujur di tanah. Lalu terdengar
teriaknya “Kakak Primadi! Pembantu kita ini sudah mati! Ada luka besar
dipangkal lehernya!”
Pemuda yang mengenakan seragam Perwira Muda Kerajaan itu jadi
terkejut lalu melompat turun dari punggung kudanya.
“Jelas dia dibunuh!” desis Perwira Muda bernama Primadi itu.
Sreett!
Gadis berpakaian jingga hunus pedangnya. Meskipun halaman belakang
itu agak gelap namun sinar pedang yang berwarna kebiruan jelas terlihat tanda
pedang itu adalah sebilah senjata mustika. Dan demikian cepatnya gerakan si
gadis, tahu-tahu ujung pedang sudah menempel di perut Pendekar 212!
“Ah…Urusan ini jadi kapiran!” keluh murid Sinto Gendeng dalam hati.
“Aku tidak membunuhnya!” kata Wiro pula.
“Kami tidak bertanya! Tapi hanya ada satu orang disini! Kau!” bentak sang
dara.
“Itu satu lagi yang menggeletak di atas kuda! Pingsan ditancap panah
beracun!” Wiro menuding ke arah tubuh Ki Dukun Japara yang menggeletak
diatas kuda dalam keadaan tertotok dan luka di punggungnya.
“Ditancap panah katamu! Tapi mengapa anak panah itu ada ditanganmu,
bukan menancap di tubuhnya?!” bertanya si Perwira Muda.
“Aku barusan mencabut anak panah itu dari punggungnya! Panah itu
beracun!”
“Bagaimana kau tahu panah itu beracun?!” tanya sang dara baju jingga.
Nada suaranya terus saja keras dan galak.
“Kalian lihat saja punggung dan mukanya. Biru kehitaman!” jawab Wiro
pula.
Sepasang muda mudi yang ternyata adalah kakak beradik itu saling
pandang seketika. Lalu sang dara berkata pada kakaknya “Aku curiga…Jangan-
jangan manusia satu ini salah seorang penyebar racun maut itu!”
“Aku juga berpikir begitu,” sahut kakak si gadis. “Dan pasti dia pula yang
membunuh pembantu kita itu!”
“Walah! Kalau menuduh jangan keliwatan!” ujar Wiro mulai jengkel tapi
diam-diam juga merasa kawatir. Ujung pedang yang diacungkan gadis berbaju
jingga itu menempel ketat di perutnya. Membuat Wiro merasa ragu-ragu untuk
melakukan sesuatu.
“Orang tua itu dibunuh oleh orang yang ada di atas kuda.” Wiro coba
menerangkan.
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 33
“Kami tidak melihat, jadi tidak bisa mempercayai ucapanmu!” kata
Primadi.
“Kakak sebaiknya cepat kau geledah dia!” ujar si adik. Lalu pada Wiro dia
mengancam. “Jika kau berani bergerak, kutembus perutmu dengan pedang ini!”
Dibawah ancaman pedang Pendekar 212 terpaksa biarkan dirinya
digeledah oleh Perwira Muda itu. Dan celakanya yang pertama sekali ditemukan
oleh sang perwira adalah tabung bambu berisi racun milik Ki Dukun Japara yang
diselipkan Wiro di balik pinggangnya!
Perwira itu mengamati tabung yang disumpal dengan kain sebagai
tutupnya, berpaling sesaat pada adiknya lalu membuka kain penyumpal. Ketika
penutup tabung bambu terbuka, bau yang tajam membersit ke luar. Si Perwira
yang sudah tak asing lagi dengan bau seperti itu segera tunggingkan bagian
mulut tabung. Sejumlah bubuk.putih kelabu berjatuhan ke tanah.
“Racun merang putih!” seru perwira itu begitu dia mengenali bubuk yang
keluar dari tabung. Rupanya dia seorang yang ahli dalam segala macam racun.
“Apa kataku!” teriak dara adik sang perwira. “Aku sudah curiga! Dia pasti
adalah manusia jahanam penyebar racun! Kini terbukti!”
“Racun dalam tabung itu bukan milikku. Benda itu dibawa oleh orang
yang kini menggeletak di atas kuda sana. Dia yang membunuh pembantu kalian.
Lalu ketika dia hendak menuangkan bubuk racun ke dalam sumur dimana saat
itu aku bersembunyi, kupatahkan tangannya. Tubuhnya lalu kutotok…”
‘Kau bersembunyi di dalam sumur? Ha…ha…ha! Sungguh gila dan tolol
sekali ucapanmu! Mana ada orang bisa bersembunyi didalam sumur, apalagi
sumur itu airnya dalam. Paling tidak dua kali tinggi manusia!” ujar dara berbaju
jingga.
“Memang hanya orang tolol yang mau mati bersembunyi dalam sumur
sedalam itu. Tapi aku tidak tolol! Lihat sendiri apa yang aku palangkan di dalam
sumur!”
Mendengar ucapan Wiro itu, Primadi si perwira melangkah ke dekat sumur
lalu menjenguk ke dalam. Meskipun bagian dalam sumur cukup gelap, namun
matanya yang sudah terlatih masih dapat melihat sebuah batang pohon
melintang di pertengahan sumur. Karena makin kebawah sumur itu semakin
menyempit, maka batang pohon itu dapat melintang dengan kokoh walau
dibebani tubuh manusia.
“Aneh! Bukan pekerjaan mudah menempatkan batang pohon seperti itu
dalam sumur…Siapa sebenarnya pemuda berambut gondrong itu?!” Primadi
melangkah mendekati Wiro kembali. Adiknya yang bertanya tidak diacuhkannya.
Dia kembali menggeledah Wiro dan kali ini ditemukannya Kapak Maut Naga Geni
212 di belakang pinggang sang pendekar! Sesaat sang perwira dan adiknya
terkesiap melihat sinar yang keluar dari mata kapak. Bukan saja membuat
mereka merasa angker tapi sinar kapak mustika itu ternyata membuat redup
sinar biru yang memancar dari pedang di tangan sang dara!
Primadi memperhatikan senjata di tangannya itu dengan mata tak
berkesip. Dia antara mendengar dan tidak kata-kata yang diucapkan Wiro.
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 34
“Perwira Muda, kalau senjata itu kau rampas, aku bersumpah membunuh kau
dan adikmu!”
Si perwira sesaat masih memandang lekat-lekat pada senjata ditangannya
lalu berpaling pada Wiro. “Aku pernah mendengar riwayat besar dari senjata ini.
Kau…kau Pendekar 212…?!” Suara sang perwira bergetar dan tangannya yang
memegang senjata mustika itu mendadak terasa seperti kesemutan…
Wiro mengangguk perlahan. Perwira itu cepat-cepat kembalikan Kapak
Naga Geni 212 lalu menoleh pada adiknya. “Sarungkan pedangmu. Mari kita
menghatur maaf pada Pendekar 212 yang punya nama besar di seantero tanah
Jawa ini…”
“Pendekar 212…?” mengulang sang adik. “Jadi dia…pendekar sableng
yang terkenal itu…?”
Wiro tertawa lepas dan cepat menyambuti kapak yang dikembalikan
padanya.
“Untung kalian lekas mengenali si manusia jelek ini! Kalau tidak urusan
bisa bertele-tele!”
“Pendekar 212, aku Primadi dan adikku Primarani mohon maafmu. Tadi
kami sungguh-sungguh tidak tahu berhadapan dengan siapa. Empat tahun yang
silam bukankah kau pernah menyelamatkan Kerajaan dari tangan kaum
pemberontak. Aku tidak melupakan hal itu. Waktu itu aku masih sebagai kepala
penjaga pintu gerbang selatan Kotaraja…”
Wiro kembali tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan tangan
kanan yang juga memegang anak panah yang sebelumnya dicabutnya dari
punggung Ki Dukun Japara.
“Eh, itu anak panah yang katamu menancap di punggung orang itu?”
bertanya Primadi
Wiro mengangguk.
“Boleh kulihat…?
Wiro berikan anak panah yang dipegangnya pada Primadi. Perwira muda
ini memeriksanya dengan teliti. Lalu dia berpaling pada adiknya dengan paras
berubah. Wiro melihat perubahan paras ini langsung bertanya.
“Perwira, kau mengenali anak panah ini?”
Mula-mula perwira itu tak mau menjawab. Namun setelah adiknya
membisikkan sesuatu maka diapun berkata: “Ini adalah anak panah yang biasa
dipergunakan oleh Sri Baginda di Kerajaan Timur terutama pada saat berburu.
Dan beliau dikenal sebagai ahli panah nomor satu. Aku tahu betul. Ketika
hubungan antara Kerajaan Barat dan Timur masih baik, aku sering ikut
mengawal Sri Baginda Kerajaan Timur pergi berburu! Karena itu aku mengenali
sekali anak panah ini. Lihat, cetakan tiga buah bintang pada besi bagian
belakang kepala anak panah. Ini adalah lambang Kerajaan Timur!”
“Lalu jika anak panah yang sama seperti ini yang dipergunakan untuk-
membunuh manusia penebar racun disana itu, apa kira-kira yang ada dibenakmu
Perwira Muda…?” tanya Pendekar 212.
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 35
“Aku tak berani menjawab!” Sahut Primadi.
Justru adiknya Primarani yang membuka mulut: ‘Tidak masuk akal kalau
Raja di Timur ada sangkut paut dalam peristiwa ini. Tapi…” Sang dara tidak
teruskan ucapannya.
“Bukankah antara Sri Baginda di Timur dengan kakaknya di Barat tengah
terjadi silang sengketa?” ujar Pendekar 212.
“Betul, tapi tetap aku tidak bisa percaya bahwa Raja di Timur bertindak
sejauh ini!”
“Setiap manusia bisa silat. Mungkin karena harta atau pangkat, atau
perempuan. Mungkin pula karena tahta dan kekuasaan…”
“Pendekar 212, jika kau memang tengah menyelidiki masalah besar
menyangkut kematian, ratusan rakyat karena diracun ini, mari kita bekerjasama.
Aku memang ditugaskan untuk melakukan penyelidikan bersama adikku…”
Primadi memotong ucapan Wiro.
“Begitu…? Siapa yang menugaskanmu? Sri Baginda Kerajaan Barat…?
Perwira Muda itu menggeleng. “Mapatih Singaranu…,” jawabnya.
Wiro memandang pada Ki Dukun Japara yang ada di atas punggung kuda.
“Manusia itu mungkin bisa memberi keterangan. Bagaimana kalau kita bawa dia
sekarang juga ke Kotaraja dan dihadapkan pada Sri Baginda?”
“Sri Baginda tak ada di Keraton. Saat ini beliau telah berangkat memimpin
ratusan pasukan untuk menyerbu Kerajaan Timur. Aku diperintahkan untuk
menghubungi pusat pasukan di selatan. Sebelum menuju kesana aku mampir
dulu disini.”
“Kerajaan Barat menyerbu Kerajaan Timur? Berarti perang saudara segera
pecah!” ujar Wiro.
“Kita tidak bisa menyalahkan Raja di Barat,” ikut bicara Primarani. “Raja di
Barat sudah cukup memberikan kekuasaan dan kepercayaan pada adiknya di
Timur. Sang adik ternyata menjadi serakah, ingin menjadi Raja besar di seluruh
Kerajaan. Menyebar fitnah serta memutar balikkan kenyataan dan malah diduga
keras sebagai melakukan pengacauan di Barat dengan menebar racun
pembunuh melalui kaki tangannya. Kini dengan ditemuinya anak panah ini
terbukti bahwa dia memang yang jadi dalang kekacauan belakangan ini. Ratusan
rakyat yang tidak berdosa menemui kematian akibat keganasannya menebar
racun maut! Aku ingin sekali menghajar kaki tangannya yang menggeletak diatas
kuda itu!”
“Kau harus bersabar dulu, saudari,! kata Wiro pula. “Kita harus mengorek
keterangan dan bukti-bukti dari dia. Dan itu harus dilakukan di hadapan Raja.
Paling tidak diketahui oleh Mapatih Kerajaan!”
“Pendekar 212 betul! Kita harus segera membawa orang itu ke Kotaraja!
Kita pergi bersama-sama!”
“Kau punya tugas menghubungi pasukan di selatan” mengingatkan
Primarani.
“Aku punya firasat bahwa ke Kotaraja lebih penting dari pada ke selatan.
Kita berangkat sekarang juga!”
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 36
SEBELUM MATAHARI TERBIT Wiro, Primadi dan Primarani yang membawa Ki
Dukun Ja-’ para dalam keadaan masih kaku dan gagu karena ditotok Pendekar
212 memasuki Kotaraja. Mereka langsung menuju Keraton menemui Patih Raden
Mas Singaranu. bisu di atas punggung kuda memasuki Kotaraja Kerajaan Barat.
Keraton nampak sepi, hanya tiga orang pengawal kelihatan di pintu
depan. Ketiga orang itu diantar masuk ke dalam sebuah ruangan tertutup. Wiro
yang memanggul tubuh Ki Dukun Japara mendudukkan si mata juling ini diatas
sebuah kursi besar hingga dia tak beda dengan sebuah patung, tidak bergerak
dan tidak berkesip.
Tak lama kemudian Patih Singaranu memasuki ruangan. Dia memandang
pada kedua kakak beradik itu sesaat, melirik pada Pendekar 212 lalu berpaling
ke arah sosok orang yang duduk di kursi besar. Sesaat patih lanjut usia itu
menatap wajah Ki Dukun Japara lalu berpaling pada Perwira Muda disamping-
nya.
“Perwira Primadi, bukankah kau mendapat tugas menghimpun pasukan di
selatan dan membawanya ke timur?” menegur Patih Singaranu.
“Betul sekali Mapatih. Namun ada sesuatu yang lebih penting…” sahut
Perwira Muda itu.
“Tunggu dulu! Siapa orang yang kau dudukkan di atas kursi sana?
Keadaannya seperti ditotok dan tangan kanannya kulihat seperti patah. Lalu…”
sang patih memandang pada Pendekar 212, “Siapa pula pemuda ini? Aku rasa-
rasa pernah melihatnya sebelumnya. Atau mungkin aku salah…”
“Tidak Mapatih. Kau tidak salah. Pemuda ini adalah Pendekar 212 dari
Gunung Gede. Dialah yang empat tahun lalu ikut menyelamatkan Kerajaan dari
kaum pemberontak.”
“Pendekar 212 Wiro Sableng! Aku tidak pernah melupakan nama yang
berjasa besar itu! Benar-benar tidak diduga, dalam Kerajaan seperti ini kau
muncul seperti membawa bakti baru menyelamatkan Kerjaan untuk kedua
kalinya!” Patih Singaranu melangkah kehadapan Wiro dan memegang bahu
Pendekar 212 dengan kedua tangannya.
“Sekarang terangkan siapa adanya orang berwajah biru yang duduk di
kursi itu!”
“Namanya Ki Dukun Japara,” memberi tahu Primadi lalu meneruskan:
“Dia tertangkap basah oleh Pendekar 212 ketika hendak memasukkan
racun ke dalam sumur di rumah kediaman kami!” Perwira itu memperlihatkan
tabung bambu berisi racun pada sang patih.
“Ah! Rupanya Pendekar 212 diam-diam juga telah mengikuti apa yang
tengah terjadi di Kerajaan!” ujar Patih Singaranu. Lalu dia melangkah kehadapan
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 37
orang yang duduk di kursi. Memperlihatkannya sejenak. “Perwira! Bagaimana ini!
Menurutmu dia menyebarkan racun, tapi dia sendiri keracunan!”
Pendekar 212 lalu menerangkan apa yang terjadi sebelumnya. Setelah
mendengar itu, Patih Singaranu yang juga merupakan seorang dedengkot
persilatan segera lepaskan totokan-totokan di tubuh Ki Dukun Japara. Begitu
totokannya lepas, orang tua itu hampir saja jatuh terjerembab. Dari mulutnya
terdengar suara mengerang kesakitan karena tangannya yang patah.
“Namamu Ki Dukun Japara?!” Mapatih menegur. Bukannya menjawab, Ki
Dukun Japara malah langsung jatuhkan diri, berlutut memegangi kedua kaki
sang patih laiu meratap: “Mohon ampunmu ‘Mapatih…Mohon ampunmu…!”
“Apa betul kau menyebarkan racun yang telah menimbulkan kekacauan
dan menyebabkan kemati-an ratusan rakyat yang tidak berdosa…?”
“Mohon ampunmu Mapatih! Mohon…”
Perwira Muda Primadi jadi jengkel. Dijambaknya rambut orang tua itu lalu
membentak: “Jika kau masih terus berucap seperti itu, kupecahkan kepalamu
saat ini juga! Jawab pertanyaan Patih Kerajaan! Kau menebarkan racun dimana-
mana! Kau pasti salah seorang pentolannya.”
“Memang…memang aku melakukan itu. Tapi…tapi aku hanya orang
suruhan saja…” membuka mulut Ki Dukun Japara.
“Siapa yang menyuruhmu?!” tanya Patih Kerajaan.
“Aku…aku…tidak tahu jelas…”
“Jangan coba berdusta Ki Dukun!” yang bicara adalah Wiro. “Racun panah
itu masih bekerja dalam tubuhmu. Jika kau mau mengaku akan kami beri obat
penawar. Kalau tidak nyawamu tidak akan tertolong. Kau hanya bisa bernafas
sampai tengah hari nanti! Dan sebelum mati kau akan sangat menderita!”
Tubuh Ki Dukun Japara menggigil. Dalam keadaan terduduk di lantai dia
berkata: “Aku…aku tidak berdusta. Aku tidak tahu orang itu. Kami hanya
bertemu tiga kali pada malam hari. Dia menutupi wajahnya dengan kain
hitam…”
“Apa yang dilakukan orang itu setiap kali kau menemuinya?!” bertanya
Primadi.
“Dia menyerahkan sekantung racun, memberiku uang lalu memberikan
perintah-perintah…” jawab Ki Dukun Japara. Lalu dia menyambung: “Aku
bersumpah, aku benar-benar tidak tahu siapa orang itu.”
“Kau pasti ingat ciri-cirinya. Jika dia bicara denganmu kau pasti mengenali
suaranya jika bertemu lagi dengan dia…” berkata Patih Singaranu.
“Ciri-cirinya tidak jelas. Setiap pertemuan selalu malam hari dan di tempat
yang gelap. Suaranya mungkin kukenali lagi jika bertemu…”
“Coba kau ingat-ingat. Pasti ada sesuatu yang bisa kau ingat tentang
orang itu…” Patih Singaranu mendesak tapi dengan berpura-pura membujuk.
“Dia…dia selalu mengenakan pakaian hitam. Wajahnya tak kelihatan
karena ditutupi kain. Perawakannya sedang-sedang saja. Dia selalu muncul
menunggang kuda…” Ki Dukun Japara terdiam sejenak. “Aku ingat…! Orang itu
selalu membawa busur dan sekantong anak panah di punggungnya…!”
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 38
Perwira Muda Kerajaan itu terkejut dan perlahan-lahan berpaling pada
adiknya. Lalu diambilnya anak panah yang sejak tadi diselipkan adiknya pada
sarung pedang dan diperlihatkannya pada Patih Singaranu. Sang patih
mengambil panah itu, menimang-nimangnya sambil memperlihatkan. Lalu dia
berpaling pada Primadi dan berkata dengan suara tegang: “Hanya ada satu
orang yang memiliki anak panah seperti ini. Gusti Bandoro Pangeran
Harjokusumo, Raja di Timur!”
“Betul Mapatih. Memang itu yang saya ketahui…” jawab sang perwira pula
dan ikut tegang.
“Jika begitu adalah tepat sekali kalau kini Raja kita sampai menyerbu
Keraton Timur. Dari situlah sumber bencana maut beracun itu!” kertak Patih
Singaranu.
“Saya akan menyusu! ke timur bersama Primarani. Saya percaya Pendekar
212 mau bergabung bersama kami…”
“Tunggu! Jangan pergi dulu…!” berseru Ki Dukun Japara.
“Apa maksudmu’ Minta diobati lebih dulu?!” tanya Wiro.
Ki Dukun Japara menggeleng. “Aku menyesal. Dihukum matipun aku
pasrah! Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku ingat sesuatu…” Ketika Patih
Singaranu memegang dan menimang-nimang anak panah beracun yang pernah
menancap di punggungnya itu, Ki Dukun Japara, setiap penunggang kuda
bercadar menyerahkan bungkusan racun kepadanya,
Perwira Muda Primadi hanya bisa memaki panjang pendek sambil
membanting-banting kaki
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 39
DI LUAR KOTARAJA sebelum memasuki perbatasan menuju Kerajaan Timur,
Patih Raden Mas Singaranu yang menunggang kudanya di sebelah depan
mengangkat tangan kanan ke atas, memberi tanda. Seluruh rombongan serta
merta berhenti. Dia memutar kudanya dan memandang pada selusin pengawal,
lalu pada sosok Ki Dukun Japara yang berada di atas seekor kuda, tergeletak
melintang tak berkutik karena sebelum berangkat sang patih telah menotok
tubuhnya sampai kaku, tak bisa bergerak. Hanya mulutnya saja yang masih bisa
membuka suara.
“Mapatih, mohon petunjukmu. Ada apa kita berhenti?” seorang perajurit
kepala ajukan pertanyaan dia selalu memperhatikan tangan kanan orang itu.
Antara ibu jari dan jari telunjuknya terdapat sebuah tahi lalat lebar, hitam
berbulu. Ketika hal itu diberitahukannya pada orang-orang yang ada dihadapan-
nya, Primadi dan adiknya tampak merenung berpikir-pikir sementara Patih
Singaranu sesaat memandang tak berkesip pada Ki Dukun Japara lalu melangkah
mundar mandir.
“Tak pernah kulihat ada orang dengan tanda seperti itu. Kau tidak salah
lihat…?” tanya sang Patih kemudian.
Ki Dukun Japara gelengkan kepala.
Tiba-tiba Patih Raden Mas Singaranu mengambil keputusan: “Perwira
Muda Primadi! Ini perintah. Kau dan adikmu serta Pendekar 212 Wiro Sableng
tetap berada disini.
Keraton perlu dijaga karena semua Perwira dan para tokoh persilatan
berada di medan perang bersama Sri Baginda. Lain dari pada itu, Keraton penuh
dengan harta pusaka yang harus dijaga baik-baik! Aku sendiri akan berangkat
sekarang juga ke timur. Manusia keparat penebar racun ini harus kubawa serta
dan akan kuhadapkan pada Sri Baginda. Dia satu-satunya saksi atas segala
kejahatan yang dilakukan Raja di Keraton Timur!”
Habis berkata begitu Patih Singaranu berteriak memanggil pengawal.
“Siapkan kudaku. Aku butuh selusin pengawal dan angkut orang yang duduk di
kursi sana. Kita berangkat ke timur saat ini juga!”
“Mapatih…,” ujar Perwira Muda Primadi. Tapi patih tua itu sudah
melangkah cepat meninggalkan mereka.
Hanya beberapa saat saja setelah rombongan Patih Singaranu bergerak
meninggalkan Keraton, Pendekar 212 mendekati Primadi dan berkata: “Aku
bukan prajurit Kerajaan atau petugas Keraton. Jadi perintah Mapatih tadi tidak
berlaku untukku! Aku harus pergi ke Timur!”
“Hai! Mana bisa begitu!” seru Primadi. “Kau harus tetap berada di Keraton
ini, Pendekar 212!”
Tapi Wiro tertawa lebar dan lambaikan tangannya.
“Kakak Primadi, dia benar. Dia orang luar yang tidak terikat segala aturan
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 40
dan perintah siapapun. Sama dengan aku. Jadi aku akan berangkat bersamanya
menuju ke timur!”
Kedua mata Perwira Muda Primadi jadi membelalang mendengar ucapan
adik. perempuannya itu. “Kau berada dibawah perintah Primarani! Kau adikku!”
“Aku memang adikmu! Tapi aku bukan bawahanmu!” sahut Primarani lalu
tertawa panjang dan berkelebat menyusul Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Manusia keparat penyebar racun itu!” sahut sang patih. “Merepotkan
saja membawanya ke timur. Kuputuskan agar nyawanya dihabisi disini saja…!
Mendengar ucapan itu Ki Dukun Japara berseru : “Patih Kerajaan! Aku
memang sudah pasrah menerima kematian! Tapi bukankah aku akan dijadikan
saksi dihadapan Raja?!”
Patih Singaranu mendengus. “Sri Baginda tidak membutuhkan kesaksian
manusia busuk sepertimu!” sahut Singaranu. Lalu dia berteriak : “Perajurit
Kepala! Penggal kepala orang itu!”
Perajurit yang diperintahkan segera hunus pedangnya lalu dekati Ki
Dukun Japara yang tergeletak tak berdaya. Orang ini hanya bisa pejamkan mata
ketika pedang tajam berkilau membabat ke arah lehernya!
Saat itu, entah dari mana datangnya terdengar suara siulan. Lalu patahan
sebatang cabang pohon melesat menghantam kepala perajurit yang hendak
memancung Ki Dukun Japara. Perajurit ini menjerit keras. Keningnya robek besar
dan mengucurkan darah deras. Tubuhnya terjengkang dari atas kuda. Dia jatuh
ke tanah bersama pedang yang terlepas dari genggamannya.
Sebelas perajurit terbeliak kaget. Patih Raden Mas Singaranu memandang
berkeliling dengan paras membesi. Di saat itu pula sebuah batu melayang
menghantam pinggul kuda yang membawa Ki Dukun Japara. Terkejut dan
meringkik, binatang ini lalu menghambur dan lari ke arah timur.
“Lekas kejar! Tahan kuda itu!” teriak Patih Singaranu. Namun terlambat.
Kuda yang membawa Ki dukun Japara telah mencapai tikungan. Patih Singaranu
hantamkan tangan kanannya. Satu gelombang angin dahsyat menderu ke
depan. Merambas semak belukar dan pepohonan di tepi jalan, membuat debu
pasir dan bebatuan beterbangan ke udara. Namun Ki Dukun Japara dan kudanya
tetap saja lolos. Malah ketika Singaranu dan sebelas perajurit menggebrak kuda
masing-masing untuk melakukan pengejaran, dari samping kiri tiba-tiba seperti
ada angin punting beliung menyambar. Dua pohon tumbang menutup jalan. Dua
lobang besar membelintang di tengah jalan. Sebelas perajurit terpelanting
berkaparan. Sang patih sendiri kalau tidak lekas melompat dari atas kudanya,
pasti tak mampu bertahan dari kejatuhan.
“Bangsat rendah siapa yang punya pekerjaan ini?!” menyumpah
Singaranu dengan mata merah memandang berkeliling. “Ah… pasti dia! Aku
mengenali pukulan sakti tadi. Pukulan benteng topan melanda samudera! Pasti
dia! Kalau begini, naga-naganya urusan bisa jadi kapiran!” Patih Singaranu
berteriak. Memerintahkan agar sebelas perajurit yang babak belur karena jatuh
dari tunggangan mereka agar segera naik ke atas kuda masing-masing. Lalu
rombongan itu terpaksa mengambil jalan menyamping untuk menghindari dua
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 41
pohon yang melintang serta dua lobang besar di tengah jalan.
SEPERTI TELAH DITUTURKAN, Keraton Timur hanya merupakan satu
pusat Kerajaan Kecil/dibandingkan dengan Keraton di Barat yang menjadi pusat
Kerajaan Barat, kecil dalam artian wilayah dan juga kekuatan balatentaranya.
Karena itu tidak mengherankan ketika pasukan Barat menyerbu, meskipun
para perajurit di timur bertahan mati-matian, namun akhirnya mereka terdesak
juga. Saat demi saat pasukan penyerbu semakin mendekati Keraton Timur. Pekik
jerit mereka yang terluka, erangan orang-orang yang meregang nyawa, suara
teriakan para Kepala Pasukan, ringkikan kuda dan suara beradunya senjata
semua bergabung menjadi satu.
Pada saat perang saudara berkecamuk seperti itulah Pendekar 212 Wiro
Sableng, Primarani dan Ki Dukun Japara muncul dari arah barat. Dukun tua
bermata juling ini tidak lagi berada dalam keadaan tertotok karena sudah
dilepaskan oleh Wiro. Bagai mana dia tahu-tahu berada bersama Wiro dan
Primarani? Jawabnya lain tidak karena kedua orang itulah tadi yang
menimbulkan halangan bagi rombongan Patih Singaranu, setelah terlebih dahulu
Pendekar 212 Wiro Sableng menyelamatkan sang dukun dari tabasan pedang
perajurit atas perintah Pafih Singaranu.
Primarani kemudian melempar pinggul kuda Ki Dukun Japara hingga
binatang ini menghambur lari. Karena mereka berada di seberang jalan, dengan
mudah Wiro serta Primarani memepet kuda yang membawa Ki Dukun Japara lalu
melarikannya menuju ke timur, mendahului rombongan Patih Singaranu.
Wiro dan Primarani berusaha mendekati Keraton Timur dari arah yang
paling aman yaitu di sebelah selatan. Saat itu pintu gerbang Keraton Timur telah
bobol dan pasukan dari Barat mulai memasuki halaman luas Keraton sambil
berteriak-teriak.
“Aku tidak melihat Sri Baginda Kerajaan Barat!” berseru Wiro.
Primarani memandang berkeliling lalu menyahuti; “Aku juga tidak! Kita
harus cepat menerobos ke dalam Keraton. Kemungkinan besar Sri Baginda
bersama para tokoh persilatan sudah menyelusup masuk. Pangeran
Harjokusumo pasti sudah terkepung! Kita masuk sekarang Wiro! Jangan tunggu
sampai Patih Singaranu muncul disini. Keadaan nanti bisa berubah!”
Wiro mengangguk lalu berpaling pada Ki Dukun Japara.
“Dengar kau dukun kampret!” hardik Wiro. “Ikuti kemana kami pergi.
Jangan coba melarikan diri karena itu sama saja kau bunuh diri! Racun dalam
tubuhmu masih bekerja!”
“Jangan kawatir… Aku tak akan menjadi pengkhianat untuk kedua kali…”
jawab Ki Dukun Japara.
Wiro memberi isyarat pada Primarani. “Kau yang tahu seluk beluk Keraton
Timur, silakan jalan duluan…”
Ketika ketiga orang itu berhasil menerobos masuk ke dalam Keraton
Timur lewat pintu samping, ruangan besar dimana biasanya diadakan
pertemuan-pertemuan penting sudah berubah menjadi arena pertempuran yang
mengerikan.
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 42
Lebih dari dua puluh mayat perajurit kedua belah pihak bergeletakan di
lantai: Beberapa orang pengawal Keraton Timur masih berusaha bertahan
dibawah pimpinan Tumenggung Jalak Karso, orang kesetiaan Pangeran
Harjokusumo. Di hadapan mereka empat tokoh silat Keraton Barat mengamuk
menebar maut dan bukan merupakan lawan Tumenggung Harjokusumo serta
para pengawal yang tinggal sedikit itu.
Dibelakang kelompok penyerbu tegak seorang lelaki berusia sekitar enam
puluh tahun, berpakaian kebesaran lengkap dengan topi tingginya dan
memegang sebilah pedang berlumuran darah di tangan kanannya yang memakai
sarung tangan dari kain berwarna merah. Dia tiada hentinya berteriak-teriak
memberi semangat para tokoh silat dan dua Perwira Tinggi berhasil mendesak
lawannya yaitu pihak Keraton Timur.
“Orang berpakaian mewah dan selalu berteriak-teriak itu, bukankah dia
Sri Baginda Keraton Barat?” bertanya Wiro pada Primarani. Sang dara
mengangguk. “Air mukanya kulihat pucat. Padahal…” Wiro tidak meneruskan
ucapannya karena di ujung sana dilihatnya patih Singaranu muncul dan langsung
mendekati Sri Baginda, membisikkan sesuatu seraya menunjuk ke arah Wiro dan
Primarani berada.
“Pendekar 212… Patih Singaranu pasti menginginkan kematianku saat ini
juga. Aku tidak tahu mengapa. Tapi ada sesuatu yang ingin kukatakan
padamu…”
“Apa dan katakan cepat!” jawab Wiro pula.
“Orang berpakaian mewah itu. Suaranya… sangat sama dengan suara
orang yang menemuiku sebanyak tiga kali. Orang yang memberikan perintah
menebar racun…!”
“Kau jangan main main Ki Dukun Japara! Kau sama saja menuduh Sri
Baginda melakukan kekejian itu…!” bentak Primarani.
“Mungkin dia tidak main-main…” satu suara terdengar dari samping.
Ketiga orang itu berpaling.
“Kakak Primad», bukankah tugasmu menjaga Keraton? Mengapa kau
berani muncul disini!? seru Primarani begitu melihat siapa yang ada di
sebelahnya.
“Persetan dengan Keraton. Aku bukan kacung penjaga gedung Keratoni.
Aku ingin menyaksikan sendiri akhirkah semua kegilaan ini!” jawab Perwira Muda
Primadi.
Sementara itu Pangeran Harjokusumo, yang mengenakan pakaian
serderhana saja bertahan mati-matian sementara satu demi satu para pengawal
yang mengelilinginya mulai berguguran. Ketika Tumenggung Jalak Karso
akhirnya tersungkur tewas, Pangeran itu dengan putus asa campakkan
pedangnya dan berteriak keras : “Sri Baginda Keraton Barat! Kau yang
menginginkan pertumpahan darah ini! Aku ingin agar kau juga yang menghabisi
nyawaku saat ini!” Lalu dengan langkah tegap Pangeran yang berusia 29 tahun
itu bergerak menuju ke hadapan Sri Baginda Keraton Barat yang bukan lain
adalah kakak kandungnya sendiri.
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 43
“Pendekar 212…” berbisik Primadi, “ucapanmu tadi benar. Aku tak pernah
melihat Sri Baginda berwajah sepucat itu. Memang aku sudah lama tidak pernah
bertemu muka dengan dia. Tapi dia keiihatan seperti orang sehat yang sakit.
Lalu, aku tak pernah melihat Sri Baginda memakai sarung tangan hitam seperti
itu…”
“Astaga! Jangan-jangan suaranya yang sama seperti yang dikatakan Ki
Dukun ini ada sangkut pautnya dengan tangan kanan yang disarungi itu! ujar
Wiro pula.
“Kau benar!” ujar Primarani. “Tapi bagaimana membuktikannya ?”
“Harus ada seseorang yang bisa membetot lepas sarung tangan itu!”
sahut Wiro. “Aku akan melakukannya!”
Di depan sana Pangeran harjokusumo telah sampai di hadapan Sri
Baginda.
Saat itu terdengar Sri Baginda berkata: “Harjokusumo, walau
bagaimanapun kau tetap adik kandungku! Tapi dosa dan kesalahanmu sangat
besar. Bukan hanya terhadapku, tetapi juga terhadap rakyat dan Kerajaan. Kau
membunuh ratusan rakyat dengan jalan menyuruh kaki tanganmu menyebar
racun…”
“Itu tak pernah kulakukan! Itu fitnah keji!” teriak Pangeran Harjokusmo.
Sri Baginda tertawa lalu berkata pada Patih Singaranu yang ada
disampingnya. “Perlihatkan anak panah yang kau bawa itu, paman Patih.”
Patih Singaranu memperlihatkan anak panah yang ada cap tiga
bintangnya. “Ini milikmu! Dipakai untuk membunuh salah seorang kaki
tanganmu guna menutup rahasia…!”
“Busuk!” teriak Pangeran Harjokusumo. “Sebuah busur dan sekantong
anak panah milikku lenyap secara aneh sebulan yang lalu. Si pencuri pasti
menyalah gunakannya…”
“Dalihmu setipis angin pagi, adikku! Kau menginginkan kekuasaan yang
tebih besar. Ingin menggulingkan tahtaku dengan membuat kekacauan keji!
Membunuh rakyat di timur yang berdosa dengan harapan agar kami menjadi
lemah dan kacau. Lalu kau menyusup melakukan penyerbuan. Tapi aku lebih
cepat adikku! Kami melumpuhkanmu seperti yang terjadi saat ini!”
“Aku tak ingin mendengar ucapan-ucapanmu lagi Sri Baginda. Aku siap
menerima kematian!”
“Itu memang sudah jadi bagianmu!” jawab Sri Baginda. Pedang di
tangannya diangkat tinggi-tinggi.
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 44
SELESAI MENGATAKAN hendak berusaha menanggalkan sarung tangan hitam
yang dipakai Sri baginda, Pendekar 212 Wiro Sableng segera melangkah. Namun
baru bergerak dua tindak, tiga orang menghadang jalannya. Mereka bukan lain
adalah seorang Perwira Tinggi Kerajaan Timur beserta dua tokoh silat. Dua
tokoh silat ini ternyata adalah Tapak Jingga dan Suro Markum!
“Kalian berempat kami tangkap! Jangan berani melawan!” begitu si
Perwira Tinggi membentak.
Wiro sadar benar, waktunya sangat sempit untuk menyelamatkan
Pangeran Harjokusumo apalagi untuk menanggalkan sarung tangan Sri Baginda.
Maka tanpa banyak bicara dia jatuhkan diri seraya berkata;
“Kami tidak tahu melakukan kesalahan apa, tapi sesuai perintahmu aku
menyerahkan diri!” Selesai berkata begitu Wiro dengan satu gerakan kilat cabut
Kapak Maut Naga Geni 212 dan hantamkan gagang senjata mustika ini ke perut
si Perwira Tinggi. Orang ini menjerit keras, mencelat diantara Tapak Jingga dan
Suro Markum lalu tergeletak di lantai tanpa kabarkan diri lagi.
Suro Markum dan Tapak Jingga, walau sudah tahu kehebatan murid Sinto
Gendeng, namun tak bisa berbuat lain dari pada tetap harus menyerbu. Dan
akibatnya mereka harus merasakan hantaman keras gagang senjata di tangan
Wiro. Keduanya roboh menyusul si Perwira Tinggi tadi. Pendekar 212 memang
sengaja tidak mau membunuh ketiga orang itu karena dia yakin ada sesuatu
yang tidak beres yang nanti perlu dikorek dari mulut mereka.
Ruangan besar dalam Keraton itu menjadi geger ketika Kapak naga Geni
212 berkiblat memancarkan sinar menyilaukan. Udara menjadi panas dan dalam
ruangan menderu suara seperti ribuan tawon mengamuk! Tidak kepalang
tanggung, Wiro juga lepaskan dua kali pukulan sinar matahari ke arah dinding
keraton sebelah kiri hingga hancur berantakan. Dalam keadaan kacau begitu
Wiro Sableng melompat ke arah Pangeran Harjokusumo dan mendorong
pangeran ini keras-keras kesamping, tepat pada saat pedang di tangan Sri
Baginda membabat ke arah lehernya dengan sebat!
“Bangsat rendah! Siapa kau?!” teriak Sri Baginda marah sekali lalu
memburu dengan pedangnya ke arah Wiro.
“Ah, dulu pernah kutolong. Hendak mengangkatku jadi Kepala Pasukan
Kotaraja sebagai balas jasa! Tapi saat ini dia tidak mengenaliku, malah memburu
dengan pedang! Orang ini pasti bukan Sri Baginda! Bangsat!” maki Wiro. Dia
membuang diri kesamping ketika pedang menikam ke dadanya. Sekali lagi Sri
Baginda menghunjamkan senjatanya ke arah perut namun saat itu Wiro sudah
menghantam dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata di tangan Sri Baginda
terpental patah dua dan leleh ujung-ujungnya. Sri baginda sendiri terjatuh
tumpang tindih dengan Patih Singaranu. Sang patih walau dalam keadaan jatuh
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 45
masih sempat lepaskan satu hantaman tangan yang mengandung tenaga dalam
tinggi. Namun dengan sekali menyapukan kapak mustikanya serangan lawan
amblas dan sang patih mengerang karena dadanya seperti ditusuk ratusan jarum
panas!
Terhuyung-huyung Sri Baginda: mencoba berdiri. Saat itulah Wiro cekal
tangan kanannya dan memuntirnya kebelakang. Dengan sekali tarik saja Wiro
berhasil menanggalkan sarung tangan hitam di tangan kanan Sri Baginda.
Terlihatlah sebuah tahi lalat lebar, hitam dan berbulu!
‘Semua yang hadir disini!” Wiro berteriak dengan mengerahkan tenaga
dalam tiingga semua orang tergagap dan sama berpaling kepadanya,
“Apakah Sri Baginda kalian memiliki tahi lalat seperti ini di tangan
kanannya?! “Wiro lalu acungkan tangan yang dipuntirnya itu ke depan.
Semua orang menatap tajam, lalu saling pandang. Satu demi satu mulai
gelengkan kepala dalam herannya.
“Kalau begitu dia bukan Raja kalian. Tapi monyet yang menyamar! Mari
kita lihat tampangnya yang asli!”
Breet…bre,ettt…brett!
Sri Baginda menjerit keras. Entah mengapa Patih Singaranu juga ikut-
ikutan berteriak. Semua yang hadir ditempat itu melengak kaget ketika Wiro
pergunakan tangan kanannya untuk merobek sehelai topeng yang sangat tipis di
wajah Sri Baginda. Begitu topeng tersebut tanggal, kelihatanlah wajahnya yang
asli!
“Raden Anom Wiraculo!” semua orang berseru hampir berbarangan.
“Aha!” seru Wiro pula. “Ternyata monyet ini bernama Raden Anom
Wiraculo! Putera Mapatih Raden Mas Singaranu!” Wiro lalu lepaskan puntrian
tangannya, dorong orang itu kedepan hingga terhuyung-huyung. Puluhan
manusia segera menyerbu untuk menghajarnya tapi Pangeran Harjokusumo
cepat menghalangi.
“Dia dan ayahnya jelas menjadi dalang pertumpahan darah ini! Niatnya
jelas, menginginkan tahta Kerajaan secara sangat licik. Mereka berdua pasti tahu
dimana kakakku berada! Lekas katakan dimana Sri Baginda kalian sandera?!”
“Beliau… beliau ada di ruang bawah tanah Keraton Barat jawab Raden
Anom Wiraculo.
Terdengar jeritan keras. Semua orang berpaling. Pangeran Harjokusumo
berteriak mencegah tapi sia-sia saja. Kalau dia masih bisa melindungi sang pu-
tera, namun sang ayah yaitu Patih Singaranu tak sempat lagi diselamatkan.
Puluhan senjata menancap di tubuh patih tua itu.
Disuatu sudut Perwira Muda Primadi masih tegak tertegun seakan-akan
tak percaya dengan apa yang disaksikannya. Dia merasa ada seseorang
menyelipkan sesuatu di tangan kirinya. Tapi baru beberapa lama kemudian dia
menjadari ada sesuatu dalam genggamannya itu. Ketika dia ingat dan
memeriksanya, ternyata sehelai surai ‘pendek, berbunyi:
Sahabat, ruangan ini terlalu pengap bau darah dan kematian. Aku pergi
051 Raja Sesat Penyebar Racun Wiro Sableng 212 46
dulu mencari tempat yang lebih menyenangkan. Adikmu Primarani ikut
menemaniku. Jangan marah… Wiro Sableng
Perwira Muda Primadi hanya bisa geleng-geleng kepala. “Manusia
sableng! Benar-benar sableng! Bagaimana dalam keadaan seperti ini dia masih
sempat-sempatnya membuat surat. Dan menggaet adikku…!”

TAMAT

Tidak ada komentar: