51. Mayat Hidup Gunung Klabat
Wiro Sableng
INI SATU PEMANDANGAN yang mengerikan bagi siapa saja yang
menyaksikan. Bagaimana tidak. Di malam buta ketika tak ada rembulan
dan langit tidak pula berbintang, dibawah kepekatan yang menghitam
gelap disertai hembusan angin mencucuk dingin, ditambah dengan
turunnya hujan rintik-rintik, seekor kuda putih berlari kencang menuju
puncak Gunung Klabat. Sambil lari binatang ini tiada hentinya
keluarkan suara meringkik keras dari sela mulutnya yang berbusa.
Di atas punggung kuda putih itu membelin-tang sesosok tubuh
yang sudah tidak bernyawa lagi. Sesosok mayat seorang lelaki
separuhbaya berambut panjang sebahu dengan luka bekas bacokan
pada pangkal lehernya. Sebagian wajah dan leher serta dadanya
dibasahi oleh darah yang masih hangat tanda orang ini belum begitu
lama menemui ajalnya.
Di belakang mayat yang membelintang di atas punggung kuda itu,
duduk seorang perempuan berwajah bulat, berpakaian merah.
Rambutnya yang panjang tergerak lepas dan berkibar-kibar ditiup
angin. Perempuan inilah yang memacu kuda itu dengan segala
kemampuan yang ada. Dia menunggang kuda putih sambil air mata
mengucur membasahi kedua pipinya yang merah.
Betapapun mengerikan melihat berkelebatnya tiga mahluk itu
dalam kegelapan malam namun mereka bukanlah setan atau mahluk
jejadian. Ketiganya tetap mahluk ciptaan Tuhan, dua dalam keadaan
hidup dan satu sudah jadi mayat!
Menjelang dinihari, kuda putih itu mencapai puncak gunung yang
sangat curam dan perjalanan tak mungkin diteruskan dengan
menunggangi binatang itu. Menyadari hal itu, perempuan muda
penunggang kuda cepat melompat turun, menarik sosok mayat lelaki
lalu memanggulnya di bahu kanan. Sebelum pergi, dia memegang leher
binatang itu dan berkata
“Putih! Kau tetap disini. Tunggu sampai aku kembali!”
Seperti mengerti ucapan orang, kuda putih itu meringkik keras,
lalu tundukkan kepalanya, menyusup mencari rerumputan liar diantara
semak belukar.
Setengah berlari perempuan muda itu memanggul mayat di bahu
kanannya menuju puncak gunung sementara di timur langit mulai
tampak membersitkan sinar kekuning-kuningan tanda tak lama lagi
sang surya akan kembali muncul menerangi bumi Tuhan.
Di puncak gunung yang temaram itu udara semakin keatas terasa
dingin. Tapi perempuan yang memanggul mayat itu justru telah basah
kuyup pakaian merahnya. Sekujur tubuhnya sakit dan letih bukan
kepalang bahkan kedua kakinya laksana kaku dan sukar untuk diajak
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 3
berlari lebih cepat. Namun kekerasan hatinyalah yang membuat
perempuan itu terus bersikeras mendaki sampai ke puncak teratas
Gunung Klabat. Dan tepat ketika sang surya tampak menyembul di ufuk
timur, dia sampai di puncak gunung. Matanya memandang ke arah
sebuah pondok kayu beratap ijuk, satu-satunya bangunan di tempat itu.
Dia langsung melangkah naik ke atas langkan berlantai papan dan
mengetuk pintu yang tertutup.
“Bapak Tua Walalangi, bukakan pintu. Saya datang dari jauh
membawa berita buruk! Saya memerlukan bantuanmu!” Lalu
perempuan itu kembali mengetuk pintu, lebih keras dari tadi.
Di dalam terdengar suara tempat tidur berderik. Disusul suara
orang berdehem beberapa kali. Kemudian terdengar langkah-langkah
kaki menuju ke pintu. Sesaat kemudian pintu itu terbuka dengan
mengeluarkan suara berkereke-tan.
“Tamu dari mana yang muncul pagi-pagi buta begini?!” Satu suara
lebih dulu terdengar baru menyusul muncul orangnya dari balik daun
pintu.
Orang ini ternyata adalah seorang kakek berwajah tirus, berambut
putih panjang sebahu tapi jarang, mengenakan baju lengan panjang dan
celana gombrong putih.
“Saya Sulami Tangkario datang dari selatan Gunung Klabat
“Tangkario. Hem… Aku pernah dekat dengan nama keluarga
Tangkario. Tapi…” Si orang tua dongakkan kepalanya. Cuping
hidungnya sesaat tampak mengembang.
“Hemmm… Aku mencium bau mayat…” desisnya kemudian
“Bapak Tua Walalangi,” perempuan yang mendukung jenazah
berkata dengan heran.
“Apakah sejak tadi kau tidak melihat saya memanggul mayat di
bahu kanan…” Perempuan ini memandangi wajah orang tua itu lekat-
lekat. Kemudian terdengar suaranya agak tertahan : “Astaga, Bapak
Tua… Kedua matamu ternyata buta! Harap maafkan orang
Ternyata Bapak tua bernama Walalangi itu memang buta nyalang
sepasang matanya yang berwarna kelabu. Dia mengangguk perlahan
lalu ulurkan tangan meraba kepala mayat. Tangannya kemudian turun
kebawah, sampai di leher berhenti beberapa ketika. Ada darah hangat
dan licin terasa membasahi jari-jarinya dan dia dapat meraba luka
bacokan di leher mayat.
“Siapa yang berbuat sekejam ini…” katanya dengan suara
tercekat. “Kau telah mendukung mayat itu cukup jauh tentunya.
Letakkan di lantai dan katakan apa kau punya hubunganmu dengan
mayat yang kau bawa kemari ini!”
Sulami Tangkario perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati
menurunkan mayat di bahu kanannya lalu membujurkannya di lantai
langkan yang bertutupkan tikar jerami. Dia duduk bersimpuh di depan
mayat, mengusap air mata yang membasahi pipinya baru menjawab
pertanyaan orang tua tadi.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 4
“Siapa yang membunuhnya saya tidak mengetahui dengan jelas,
Bapak Tua. Saya hanya bisa menduga. Ketika suami saya sedang tidur,
tiba-tiba sebuah golok besar secara aneh melesat, menembus langit-
langit kamar, langsung menghantam pangkal lehernya. Saya berusaha
mengejar si pembunuh ke atas atap setelah lebih dulu mencabut golok.
Tapi siapapun pembunuhnya dia telah lebih dulu raib…”
“Jadi yang kau bawa ini adalah jenazah suamimu sendiri,
Sulami?”
“Betul Bapak Tua…”
“Siapakah nama suamimu, perempuan malang?”
“Mararanta Tangkario…” Jawab Sulami.
Paras si orang tua tampak berubah. “Jadi… Mararanta. Ah, dia
masih salah satu cucu-cucuku yang bertebaran di Minahasa ini…
Sulami, ceritakan apa yang terjadi…”
“Saya sudah menceritakannya tadi Bapak Tua Walalangi.”
“Betul. Tapi kau belum menerangkan apa latar belakang semua
kejadian ini. Suamimu bukan manusia sembarangan. Seorang pendekar
yang memiliki kepandaian tinggi. Hampir mustahil kalau ada orang yang
mampu membokongnya sekalipun dalam keadaan tidur. Kalau itu
terjadi, berarti ada orang berkepandaian sangat tinggi yang
melakukannya!”
“Sayapun menduga demikian Bapak Tua,” sahut Sulami
Tangkario. Lalu perempuan ini menuturkan. “Enam bulan yang lalu
saya bertemu pertama kali dengan Mararanta. Waktu itu dia baru saja
kembali dari tanah Jawa. Mungkin kami berjodoh lalu melangsungkan
pernikahan. Setelah nikah satu bulan saya melihat ada satu kelainan
dalam diri Mararanta. Dia sering bersikap seperti ketakutan. Seperti ada
sesuatu atau seseorang yang selalu membayanginya. Berkali-kali saya
tanya dia tidak mengaku. Namun dua minggu yang lalu akhirnya dia
menceritakan bahwa di Jawa dia telah bentrokan dengan seorang
pendekar berkepandaian tinggi sekali. Karena tidak mungkin
menghadapinya, Mararanta akhirnya cepat-cepat kembali ke Minahasa.
Namun dia merasa seperti ada seseorang atau makhluk aneh yang
mengikutinya
“Suamimu menerangkan apa sebab musabab bentrokan itu dan
siapa orang yang menjadi lawannya?” bertanya Bapak Tua Walalangi.
“Menurut suami saya waktu berada di Jawa dia sempat mengawini
seorang gadis bernama Mlnari. Gadis itu ternyata adalah kekasih
seorang pendekar berkepandaian tinggi: Namun Minari sendiri tidak
menyukai pendekar itu. Itulah sebabnya dengan seizin kedua orang
tuanya Minari kawin lari dengan Mararanta. Tapi Minari kemudian
diculik sedang Mararanta sendiri dikejar-kejar. Dalam keadaan sangat
terancam jiwanya Mararanta melarikan diri. Dia berusaha mencari
Minari terlebih dahulu, ketika sia-sia akhirnya dia kembali ke Minari
terlebih dahulu, ketika sia-sia akhirnya dia kembali ke Minahasa…”
Sulami terdiam sejenak. Setelah menyeka air mata yang masih
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 5
mengucur dia melanjutkan. “Malam tadi, begitu saya tidak berhasil
mengejar’ si pembunuh, saya cepat kembali ke dalam kamar. Saya
dapati Mararanta dalam keadaan sekarat. Namun sebelum
menghembuskan nafas dia sempat meninggalkan pesan…”
Bapak Tua Walalangi usap dagunya yang licin lalu bertanya : “Apa
pesan suamimu itu Sulami?”
“Dia minta agar jenazahnya dibawa kemari dan diperlihatkan pada
Bapak Tua. Dia juga mengatakan bahwa yang membunuhnya adalah
kekasih Minari. Dan katanya lagi… Dia tak akan tenteram di dalam
kubur sebelum dapat membalaskan sakit hati dendam kesumat
pembunuhan keji atas dirinya ini!”
Paras si orang tua kembali berubah. Kali ini lama dia berdiam
seperti merenung. “Begitu katanya…? Ah, sungguh satu pesan yang
berat. Tapi apa lagi yang disampaikannya sebelum meninggal?”
“Mohon maaf Bapak Tua…” kata Sulami. Dan bulu kuduknya
mendadak saja jadi merinding. “Dia berkata bahwa hanya Bapak Tualah
yang bisa menolongnya untuk membalaskan sakit hati itu. Dia minta
agar Bapak Tua memberi kehidupan sementara padanya agar dia dapat
mencari si pembunuh…”
“Ya Tuhan… Mengapa cucuku ini meninggalkan pesan berat
begini macam…?” Membatin Walalangi. Lalu dia berkata: “Ketahuilah
Sulami, aku bukan Tuhan bukan Malaikat. Aku tidak berkemampuan
memenuhi pesanan mendiang suamimu. Apalagi memberikan
kehidupan sementara seperti yang dikatakannya sebelum menghembus-
kan nafas…”
“Itulah yang saya tidak mengerti Bapak Tua. Jika pesannya saya
abaikan dan langsung menguburkannya, saya khawatir di liang kubur
keadaannya tidak tenteram seperti yang dikatakannya. Dan lebih dari
itu, yang paling saya takutkan, arwahnya akan gentayangan menjadi
setan penasaran, menimbulkan kegegeran dan keonaran dimana-
mana… Semua saya serahkan pada Bapak Tua. Hanya saya tak ingin
suami saya tersiksa di alam barzah kalau sampai pesannya tidak
dikabulkan…” Walalangi terduduk di depan mayat Mararanta Tangkario.
Berkali-kali orang tua ini mengusap wajahnya yang mendadak saja jadi
keluarkan keringat dingin.
“Sulami… Menurutmu Mararanta meninggal karena ada sebilah
golok yang secara aneh mencuat dari langit-langit kamar…”
“Betul sekali Bapak Tua.”
“Apakah senjata itu ada kau bawa?”
“Saya memang membawanya Bapak Tua…” jawab Sulami
Tangkario. Lalu dari balik bun-talannya dia mengeluarkan sebilah golok
tanpa sarung. Sebagian dari badan golok itu terlapis oleh darah yang
telah membeku. Darah suaminya! Perempuan ini serahkan senjata itu
ke tangan Walalangi.
Si orang tua pergunakan sepuluh jari-jari tangannya untuk
meraba badan golok dan juga gagangnya sementara wajahnya
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 6
ditengadahkan dan air mukanya tampak membesi.
“Ini memang golok Jawa…” kata Walalangi sesaat kemudian.
“Dapat diketahui dari bentuk badan dan potongan gagangnya. Senjata
ini mengandung racun jahat. Lebih cepat dimusnahkan lebih baik!”
Orang tua itu remaskan lima. jari tangan kanannya ke gagang
golok. Gagang yang terbuat dari kayu besi itu terdengar bederak hancur!
Lalu sepuluh jari tangannya bergerak di atas badan golok. Traak…
traakk… tring…I Golok beracun itu hancur menjadi patah tiga. Dengan
tangan kanannya Walalangi lalu melemparkan patahan golok jauh ke
puncak gunung sebelah selatan.
Lalu sambil memegang kepala Sulami orang tua ini berkata:
“Mararanta cucuku. Berarti kau juga cucuku. Aku tidak berkekuatan
untuk memenuhi permintaanmu dan pesan mendiang suamimu. Tapi
kalau Tuhan mengizinkan biarlah aku menanggung segala dosa dan
memenuhi permintaan Mararanta…”
Mendengar itu Sulami lalu jatuhkan kepalanya ke pangkuan si
orang tua. Walalangi usap-usap kepala perempuan itu lalu berkata: “Ada
satu hal yang harus kau lakukan sebelum aku dapat memenuhi pesan
suamimu itu, Sulami…”
“Mohon Bapak tua mengatakannya,” ujar Sulami pula.
“Apakah kalian tinggal di dekat sungai, di dekat laut atau di dekat
danau…?”
“Kami tinggal di pinggir danau Tondano, Bapak Tua…”
“Kalau begitu kembalilah ke sana. Ambil air danau Tondano,
masukkan dalam tujuh tabung bambu. Siapkan juga tujuh bungkus
kembang tujuh rupa. Paling lambat dalam waktu dua hari kau sudah
kembali kesini membawa benda-benda itu semua…”
“Saya akan melakukannya Bapak Tua. Saya akan berangkat
sekarang juga…I” kata Sulami Tangkario seraya hendak berdiri.
“Tunggu dulu cucuku…” kata si orang tua sambil memegang bahu
Sulami.
“Kau belum mengatakan siapa orang Jawa berkepandaian tinggi
yang menjadi lawan bentrokan suamimu itu…”
“Kalau saya tidak salah ingat, suami saya menyebut namanya
sebagai Pangeran Matahari!”
“Pangeran Matahari…” mengulang Walalangi dengan suara
berdesis. “Cucuku, kelihatannya kita akan menghadapi musuh yang
sangat tinggi kepandaiannya. Jangan lupa berdoa agar Tuhan
melindungi dan membantu kita…”
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 7
BEGITU TIGA ORANG penduduk desa itu selesai menimbun tanah
kuburan, orang tua itu anggukkan kepala, menyerahkan sebuah
bungkusan kecil dan berkata: “Kalian bertiga boleh pergi…”
Tiga orang itu ambil cangkul masing-masing lalu tinggalkan
tempat itu. Namun sebelum berjalan lebih jauh salah seorang dari
mereka berkata: “Aku berkata melihat ada keanehan pada upacara
penguburan jenazah tadi!”
“Acaranya sangat sederhana. Orang tua itu melafatkan doa tiada
henti sewaktu kita menimbun kubur. Apanya yang aneh…?” tanya
kawannya.
“Apakah kau tidak melihat tujuh batangan bambu berisi air lalu
tujuh kembang terbungkus dalam daun…? Disini ada adat kebiasaan
atau upacara seperti itu!”
Orang desa ke tiga akhirnya ikut membuka mulut. “Memang aku
setuju kalau ada keanehan. Bagaimana kalau kita kembali dan
mengintip apa yang dilakukan orang tua dan perempuan muda itu
selanjutnya…?”
Dua kawannya menyetujui. Maka tiga orang desa itu tinggalkan
pacul masing-masing di suatu tempat lalu kembali menuju ke tempat
pemakaman.
Sementara itu di puncak gunung. Walalangi ambil tujuh buah
tabung berisi danau Tondano. Satu demi satu tabung bambu itu
ditancapkannya di atas tanah makam yang merah, lurus mulai dari
kepala terus ke arah kaki. Setelah itu dia menyiapkan sebuah
pendupaan, membakar potongan-potongan kayu kecil dalam pendupaan
dan menebar bubuk kemenyan. Seantero tempat itu kini diselimuti asap
dan tebaran bau kemenyan yang harum tapi terasa mencekam.
Dengan kedua tangannya Walalangi pe-gangi ujung tabung bambu
sambil mulutnya tiada henti mengucapkan kalimat-kalimat panjang
yang tak jelas terdengar oleh Sulami. Selesai memegangi tabung bambu
yang ke tujuh di bagian kaki kubur, Walalangi kembali ke bagian kepala.
Disini dia mencelupkan tangan kanannya kedalam bambu berisi air.
Lalu tangan itu dikeluarkan dan air dicipratkannya ke atas kubur.
Demikian dilakukannya sampai tujuh kali.
Selesai itu orang tua tersebut ambil bungkusan daun berisi
kembang tujuh rupa. Bungkusan dibuka dan kembang di dalamnya
bukan ditebar diatas makam melainkan dimasukkan ke dalam tabung
bambu pertama, Demikian dilakukannya berturut-turut pada enam
tabung lainnya dan enam bungkus bunga.
“Sulami…” Walalangi melangkah mendekati istri cucunya itu.
“Dengar baik-baik… Apapun yang terjadi, apapun yang kelak kau
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 8
saksikan jangan sekali-kali mengeluarkan suara sedikit-pun! Jika itu
sampai dilanggar, usahaku untuk memenuhi permintaan suamimu akan
sia-sia belaka. Kau dengar itu Sulami…?”
Sulami menjawab dengan anggukan kepala. Lidahnya terasa
terlalu tercekat untuk bisa menjawab. Walalangi memutar tubuhnya,
kembali melangkah ke bagian kepala kuburan. Disini dia tegak dengan
kedua tangan diangkat tinggi-tinggi ke udara. Telapak tangan
dikembangkan. Dari mulutnya keluar ucapan: “Ya Tuhan pengusaha,
seluruh alam dan isinya. Tanpa kami mengutarakan lagi sesungguhnya
engkau telah mengetahui apa yang kami inginkan, apa yang si mati
inginkan. Kami harap kau berkenan mengabulkannya ya Tuhan. Jika
permintaan dan perbuatan kami ini merupakan satu dosa besar di
mataMu, mohon ampunanMu dan biarlah saya sendiri yang
menanggung segala dosanya!”
Selesai mengucapkan kalimat-kalimat itu dengan suara keras, lalu
Walalangi meneruskan kata-katanya dengan suara perlahan seperti
bergumam. Kembali Sulami Tangkario tidak dapat mendengar apa
sebenarnya yang dilafalkan orang tua itu. Namun sesaat kemudian dia
mendengar suara aneh dari dalam liang kubur yang baru saja ditimbun.
Bulu kuduknya berdiri. Matanya tak berkedip memandang ke arah
kubur suaminya. Tujuh batang bambu yang menancap di tanah merah
tampak bergerak, bergoyang-goyang sehingga air yang ada di dalamnya
sesekali muncrat keluar!
Ketika gerak dan goyangan itu akhirnya berhenti, dari tujuh mulut
bambu kini keluar masing-masing segulung asap tipis berwarna kelabu.
Tujuh gelungan asap ini saling berangkulan dan bergabung jadi satu
membentuk satu gulungan asap yang besar. Ketika Sulami
memperhatikan lebih lanjut terkejutlah perempuan muda ini. Gulungan
asap kelabu itu sedikit demi sedikit berubah menjadi bentuk sosok
tubuh manusia. Mula-mula samar-samar seperti sosok di balik kabut.
Namun lambat laun semakin jelas, semakin kentara dan akhirnya sosok
itu benar-benar berbentuk tubuh manusia! Dan manusia yang muncul
dari asap ini bukan lain adalah suaminya sendiri! Mararanta Tangkario!
Kalau tidak ingat pesan si orang tua mungkin saat itu Sulami
telah memekik keras. Dia kancingkan mulutnya rapat-rapat malah
letakkan tangan kanan di atas bibirnya agar jangan sampai
mengeluarkan suara sedikitpun.
Mararanta Tangkario tegak dengan kedua tangan lurus disamping
badan. Kepalanya mengarah ke tirfiur dan pandangan matanya lurus ke
depan, hampir tidak berkesip. Wajahnya agak pucat dan bibirnya sedikit
kebiruan. Pada lehernya tampak luka besar bekas bacokan. Darah
mengotori sebagian muka, leher dan pakaiannya. Dan pakaian itu
adalah pakaian yang dikenakannya ketika dia mati terbunuh!
“Mararanta… Kau dengar suaraku menyebut namamu?” Walalangi
bertanya dengan suara bergetar karena hampir tak kuasa menahan
gelegak dalam dadanya.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 9
Mararanta si mayat hidup tampak mengangguk. Anggukannya
perlahan dan sangat kaku.
“Ketahuilah bahwa hidupmu saat ini adalah bangkit dari alam
kematian, merupakan kehidupan sementara. Bila apa yang menjadi
niatmu telah tercapai, maka kau harus kembali ke puncak Gunung
Klabat ini dan beristirahat untuk selama-lamanya. Tapi jika kau
menyalahi tujuan-mu semula, yakni mempergunakan hidup
sementaramu ini untuk maksud lain, bukan untuk kepentingan yang
semula kau katakan sebelum ajalmu, maka kau tak akan pernah
kembali dan berkubur disini secara wajar. Seumur dunia, sampai
kiamat kau akan hidup terkatung-katung antara dua alam yakni dunia
dan akhirat. Dan diantara dua alam itu kau akan tersiksa amat sangat!
Karenanya lakukan apa yang kau inginkan semula, lalu kembali kemari.
Kau dengar Mararanta…?”
Kembali Mararanta mengangguk.
“Bagus. Tapi aku ingin mendengar suaramu. Kau mendengar
Mararanta…?”
“Sa… ya… men… de…ngar…” terdengar jawaban Mararanta
Tangkario. Suaranya aneh. Seperti datang jauh dari dalam sumur
angker, kaku dan lamban tanpa irama sama sekali!
“Sekarang kau boleh pergi cucuku. Pergilah ke tanah Jawa.
Lakukan apa yang kau inginkan. Balaskan sakit hatimu! Jangan
menyimpang dari itu!”
Kembali si mayat hidup itu anggukkan kepala. Tampak kakinya
bergerak turun dari tanah kuburan. Begitu menginjak tanah di samping
kuburan, sosok tubuh Mararanta tiba-tiba saja menjadi lenyap seperti
ditelan bumi.
Walalangi merasakan dadanya bergoncang keras. Sulami tiba-tiba
saja merasakan lututnya goyah dan perempuan ini langsung roboh ke
tanah.
Tiga orang penduduk desa yang mengintai di kejahuan, lari
menghambur ketakutan ketika melihat sosok mayat hidup itu bergerak
melangkah. Salah satu diantara mereka malah ada yang sampai
terkencing-kencing!
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 10
SEPERTI MELEDEK anak rusa itu tegak memandang ke arah pemuda
yang mengejarnya lalu kibas-kibaskan ekornya yang hanya sepanjang
jari telunjuk. Orang yang mengejar bergerak dua langkah lalu diam.
Anak rusa itu maju pula dua langkah lalu diam. Begitu dikejar kembali,
dengan cekatan binatang ini melompat dan menghambur ke balik semak
belukar. Tapi dia tidak terus lari. Di balik semak belukar ini dia
mengintai-intai ke arah pengejarnya. Ketika orang itu datang mendekat,
dia sengaja menunggu. Baru dalam jarak hanya tinggal tiga langkah
lagi, anak rusa itu melompat dan lari masuk ke dalam hutan jati.
“Binatang brengsek. Aku ingin menangkapmu bukan untuk
kupanggang dan kulahapi Hanya sekedar untuk jadi sahabat mainan!
Tapi kalau kau meledekku begini rupa, jangan harap aku masih mau
berniat baik! Dagingmu tentu harum dan segar untuk dilahap.” Maka si
pengejar lalu terus masuk ke dalam hutan jati di arah lenyapnya anak
rusa tadi. Namun setelah beberapa lama mencari kesana-kemari dia tak
berhasil menemui binatang itu. Jangankan menemuinya, mendapatkan
jejaknya sajapun tidak. Dengan kesal pemuda itu akhirnya memutuskan
untuk keluar saja dari hutan itu. Namun baru saja dia memutar tubuh
mendadak gerakannya tertahan. Jauh di dalam hutan, lapat-lapat dia
mendengar seperti ada suara orang mengerang dan menangis.
Sesaat pemuda ini tegak tak bergerak, sipilkan kedua matanya,
memandang ke arah hutan jati sebelah dalam dan memasang telinga
lebih tajam.
“Jangan-jangan itu suara dedemit atau mahluk jejadian yang
hendak menjebak lalu mencelakakan diriku…” berkata si pemuda dalam
hati. Dia segera putar tubuh kembali. Tapi tak jadi lagi. “Suara itu
sepertinya suara tangis sendu manusia sungguhan… Tak ada salahnya
aku menyelidik sebentar.” Lalu pemuda ini akhirnya masuk kembali ke
dalam hutan jati. Langkahnya dituntun oleh suara erang bercampur
tangis yang makin jauh dia masuk ke dalam hutan jati, semakin jelas
suara itu terdengar. Akhirnya, setelah berjalan menembus hutan cukup
jauh pemuda itu temukan sebuah rumah kecil terbuat dari papan kasar.
Satu-satunya pintu dan satu-satunya jendela rumah tertutup rapat.
Justru suara erang bercampur tangis itu datang dari dalam rumah!
Setelah meneliti keadaan di sekitar rumah papan dan
sekelilingnya, lalu menunggu beberapa ketika, akhirnya pemuda tadi
melangkah cepat menuju pintu rumah papan. Ketika didorong terdengar
suara berkereketan. Pintu itu ternyata tidak dikunci.
Di dalam rumah suasana gelap redup. Sedikitnya cahaya yang
merambas masuk lewat pintu yang terbuka membuat pemuda yang
barusan masuk masih bisa melihat apa yang ada dalam rumah di
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 11
tengah hutan belantara itu. Untuk beberapa lamanya si pemuda tegak
seperti terpaku. Kedua matanya membesar tak berkesip.
“Demi Tuhan! Kejahatan apa yang terjadi di tempat ini…?!” desis si
pemuda.
Di dalam rumah papan itu hanya terdapat sebuah ranjang papan
yang beralaskan tikar jerami. Di atasnya terbaring sesosok tubuh
seorang perempuan dengan rambut sembrawut acak-acakan. Tubuhnya
mengenakan pakaian kuning muda yang nyaris tidak berbentuk lagi
karena penuh robek disana sini dan tak sanggup lagi menyembunyikan
auratnya yang kuning langsat. Walaupun kotor dan berada dalam
keadaan sangat menderita, namun kesengsaraan itu tak dapat
menyembunyikan kecantikan wajah perempuan itu.
Hampir di sekujur badannya, terutama di bagian leher, dada dan
pangkal paha penuh dengan tanda-tanda merah seperti tanda gigitan.
Kedua tangannya terpentang dan masing-masing ibu jari tangan itu
diikat dengan-sehelai tali halus. Ujung tali yang lain diikatkan pada
kaki-kaki tempat tidur. Kedua kakinya juga mengalami hal sama. Ibu-
ibu jari kaki diikat ke kaki tempat tidur. Dan di salah satu ujung kaki
perempuan ini tampaklah anak rusa yang tadi di kejar si pemuda, tegak
menunduk sambil menjilati kaki kiri perempuan yang terikat di atas
tempat tidur itu!
“Ah, disini kau rupanya…,” berucap si pemuda. Anak rusa itu
mengangkat kepalanya, memandang sebentar pada si pemuda lalu
kembali meneruskan menjilati kaki kiri perempuan itu.
Kalau saja bukan dalam keadaan seperti itu, menyaksikan sosok
tubuh perempuan muda yang cantik dan nyaris telanjang di atas
ranjang begitu mungkin pemuda yang barusan masuk ke dalam rumah
akan tergoncang juga imannya. Namun apa yang disaksikannya saat itu
adalah satu kekejaman!
“Tolong… Demi Tuhan… tolong diriku! Lepaskan aku dari
malapetaka ini. Tolong Rupanya perempuan yang terikat diatas ranjang
menyadari kalau ada seseorang masuk ke dalam rumah.
Tanpa pikir panjang lagi pemuda itu cepat bertindak untuk
memutus empat utas tali yang mengikat kedua tangan dan kaki
perempuan itu. Tapi betapa terkejutnya ketika dia mendapatkan tidak
sanggup memutus tali-tali itu ataupun membuka buhulnya dengan
tangan kosong. Ditelitinya ke empat tali itu. Baru disadarinya kalau
empat tali tersebut bukan tali-tali biasa. Maka diapun kerahkan tenaga
dalam pada kedua tangannya. Lalu mencoba lagi. Tetap saja empat tali
itu tak satupun yang bisa dibikin putus! Hampir kehabisan akal pemuda
itu terduduk di lantai rumah sambil garuk-garuk kepala.
“Tak ada jalan lain…” si pemuda berkata. Tangan kanannya
menyelusup ke balik pinggang pakaian. Sesaat kemudian sinar terang
memenuhi rumah papan yang sempit itu. Empat kali sinar terang
berkelebat dan empat kali terdengar suara tras… tras… trassss! Empat
tali pengikatpun putus. Setelah putus baru buhul yang mengikat ibu jari
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 12
kaki dan tangan bisa dibuka. Perlahan-lahan si pemuda simpan kembali
senjatanya berupa kapak bermata dua ke balik pakaian!
Begitu terlepas dari ikatan tali-tali celaka itu, perempuan di atas
ranjang keluarkan pekik halus, gulingkan diri ke samping hingga jatuh
ke lantai. Tubuhnya tampak hampir tiada daya. Mungkin sudah lebih
dari dua hari dia diikat seperti itu tanpa makan ataupun diberi minum.
Namun sepasang matanya masih memancarkan pandangan dengan
sorotan tajam. Dan pandangan itu ditujukan tanpa berkedip pada
pemuda yang barusan telah menolongnya.
“Pergi… pergi dari sini. Sebelum manusia durjana itu muncul…”
terdengar perempuan itu berkata. Suaranya setengah berbisik.
Anak rusa yang tadi menjilati kakinya di atas tempat tidur, kini
telah melompat pula dan rapatkan tubuhnya ke pinggang perempuan
itu.
Pemuda yang barusan menolong memang membaui adanya
bahaya di tempat itu. Namun sebelum pergi dia harus mengetahui dulu
siapa adanya perempuan muda itu dan mengapa sampai berada dalam
keadaan seperti itu di rumah papan di tengah rimba belantara itu.
“Saudari… Katakan siapa dirimu? Mengapa • kau berada di
tempat ini. Siapa yang melakukan kekejaman ini…!”
“Aku… Namaku Minari… Aku diculik sejak empat belas bulan
yang lalu. Dipindah dari satu tempat ke tempat lain. Akhirnya…
akhirnya aku di bawa ke tempat ini. Namun manusia keparat itu tidak
lagi memberiku makan dan minum. Dia hanya meniduriku. Dia ingin
aku mati secara perlahan-lahan… Dia manusia biadab. Ganas! Lebih
ganas dari setan dan iblis! Lekas… Kita… kita harus pergi dari sini.
Keparat itu bisa muncul setiap saat… Tolong… Bawa diriku dari tempat
celaka ini. Saudara tolonglah lekas…”
“Ya… Kita akan pergi. Aku akan menolongmu. Tapi katakan dulu
siapa manusia biadab yang memperlakukan dirimu seperti ini?”
bertanya si pemuda lalu memegang tubuh perempuan itu dan
menggendongnya.
“Manusia itu, seorang manusia berhati iblis. Dia menyebut dirinya
sebagai…”
Belum lagi perempuan itu sempat mengakhiri ucapannya tiba-tiba
braakkk!!
Rumah papan itu bergoyang keras. Dinding di sebelah kiri ambrol
berantakan dan sesosok tubuh melesat masuk dari dinding yang hancur
itu!
Perempuan dalam dukungan si pemuda menjerit keras, menyebut
sebuah nama. Dia seperti berusaha hendak turun dari gendongan
namun tidak mampu. Akhirnya dia hanya bisa menjerit kembali.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 13
PEMUDA BERPAKAIAN PUTIH yang menggendong perempuan muda itu
menatap dengan pandangan tercekat pada sosok tubuh yang barusan
masuk menerobos dinding papan. Di hadapannya, terpisah di seberang
tempat tidur tegak berdiri seorang lelaki separuh baya dengan luka
menganga di pangkal lehernya. Noda darah membasahi sebagian muka,
leher serta bajunya. Orang ini tegak seperti patung, memandang lurus
ke depan, tanpa berkedip. Satu cara memandang yang luar biasa aneh
karena si pemuda merasa pandangan mata orang itu seolah-olah
menembus batok kepalanya, bahkan menembus dinding di belakangnya!
Dan mukanya yang pucat itu serta bibir yang membiru mendatangkan
rasa ngeri bagi siapa saja yang memandangnya!
“Saudari…,” berbisik si pemuda. “Inikah manusianya yang telah
menculik dan mencelakaimu…?”
Dada Minari tampak turun naik. Dia menggeleng. Dia coba
membuka mulut tapi yang keluar kembali teriakan keras. Dia berteriak
menyebut nama : “Kakak Mararanta!” Perempuan itu berusaha turun
tapi si pemuda masih terus menggendongnya.
“Mi… na… ri… is… tri… ku A… ku… da… tang un… tuk… mem…
ba… wa… mu… per… gi… “
Orang diseberang tempat tidur keluarkan suara berkata yang
aneh. Suaranya seperti datang dari jauh, laksana keluar dari sumur
dalam dan kata-katanya terbata-bata kaku, seolah-olah dia memiliki
lidah yang kelu. Setiap patan kata yang diucapkannya terdengar begitu
lamban dan agaknya dia mengeluarkan ucapan itu dengan susah payah.
“Kakak! Bawa aku bersamamu… Tapi, kau terluka kakak
Mararanta…” Perempuan dalam gendongan berkata.
“Tu… run… kan… is… tri… ku! Le… tak… kan di… tem… pat… ti…
dur… La… lu… kau… ber… siap… lah… un… tuk… ma… ti!
Si pemuda terkejut. “Saudari… jadi kau istri lelaki itu…?”
tanyanya.
Minari anggukkan kepalanya berkali-kali. “Turunkan aku…
Lakukan apa yang dikatakannya…” dia mampu bicara juga akhirnya.
Dengan perasaan masih sangat tercekat pemuda itu akhirnya
turunkan perempuan yang digendongnya. Lalu di seberang sana
dilihatnya lelaki yang dipanggil dengan nama Mararanta tadi angkat
tangan kanannya. Caranya mengangkat tangan itupun aneh.
Gerakannya lurus-lurus seolah-olah dia tidak memiliki siku sedang
kedua matanya tampak memancarkan sinar aneh!
“Kakak Mararanta…! Jangan…! Pemuda itu orang baik! Dia telah
menolongku!” berteriak Minari ketika dilihatnya lelaki yang pernah
menjadi suaminya itu hendak melancarkan serangan.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 14
Gerakan tangan yang kaku berhenti dan sesaat tangan kanan itu
masih bergantung lurus di udara. Lalu tubuh itu membungkuk kaku.
Tangan kiri diulurkan. Lalu dengan cara yang aneh, tapi cepat sekali
tubuh Minari yang ada di atas tempat tidur terangkat dan tahu-tahu
sudah tersadar di bahu kirinya.
“Kakak… kau terluka… Kau…” Minari tak sanggup meneruskan
ucapannya. Tubuhnya terlalu lemas. Dalam keadaan seperti itu
perempuan muda ini akhirnya pingsan di bahu lelaki yang pernah
menjadi suaminya dan kemudian terpisah sejak lebih dari setahun yang
silam.
“A… ku… ti… dak… per… ca… ya… pa… da… mul Kau… te… lah…
men… ce… la… kai… is… tri… ku! Kau… Kau… ha… rus… mati… di…
ta… ngan… ku!”
Pemuda di seberang tempat tidur seharusnya menjadi marah dan
meradang dituduh telah mencelakai Minari. Tapi anehnya pandangan
mata angker lelaki di hadapannya itu membuat dirinya seperti
kehilangan segala daya untuk marah atau membentak. Dengan suara
bergetar dia berkata: “Saudara… Kau boleh tidak percaya padaku. Tapi
kau harus percaya pada apa yang diucapkan istrimu itu. Kalau memang
benar dia istrimu! Siapa kau sebenarnya…? Mengapa ada luka besar di
lehermu. Gerakanmu serba kaku. Ucapanmu terputus-putus.
“A… ku… Ma… yat… Hi… dup… Gu… nung… Kla… bat!U… cap…
an… is… tri… ku… ting… gal… u… cap… an… A… ku… li… * hat… sen…
di… ri… kau… hen… dak… me… la… ri… kan… Mi… na… ri! Kau… pas…
ti… ka… ki… ta… ngan… ma… nu… sia… ke… pa… rat… ber… na…
ma… Pa… nge… ran…Ma… ta… ha… ri… itu!… Ka… ta… kan… di…
ma… na… dur… ja… na… i… tu… ber… a… da…!”
“Mayat Hidup Gunung Klabat? Kau menyebut dirimu begitu…?” si
pemuda memandang dengan tajam mulai dari kepala sampai ke kaki
lelaki di hadapannya seolah-olah baru saat itu dia melihatnya. “Apa…
apa betul kau mayat hidup… Gila! Bagaimana ada mayat hidup!” Namun
dalam hatinya pemuda itu merasa semakin tercekat. Wajah yang pucat
tiada berdarah dan bibir yang biru itu… Memang begitulah keadaan
mayat. Tapi mayat hidup! Sulit dipercaya. “Paling tidak manusia satu ini
bangsa orang gendeng juga!” Begitu si pemuda membatin. Lalu, “Hai!
Tadi menyebut nama Pangeran Matahari? Betul kau barusan menyebut
nama Pangeran Matahari?!”
“A… ku… bi… ca… ra… Kau… men… de… ngar… Aku… ti… dak…
bi… su… kau… ti… dak… tu… li…” si Mayat Hidup Gunung Klabat alias
Mararanta Tangkario menjawab.
“Kita sama-sama tidak tuli dan tidak bisu. Karena itu kau dengar
penjelasanku baik-baik. Aku bukan kaki tangan Pangeran Matahari.
Dimana dia berada aku tidak tahu. Akupun sudah lama mencari-cari
keparat itu!”
“Kau… dus… ta… A… ku… tak… per… ca… ya… pa… da… mu…
A… ku… tak… per… ca… ya… pa… da… o… rang… Ja… wa…!”
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 15
“Eh, mulutmu kurang ajar amat Mayat Hidup! Jangan menyebut-
nyebut nama orang Jawa segala! Istrimu sendiri juga orang Jawa!” teriak
si pemuda.
“Is… tri… ku… o… rang… Ja… wa… yang… ba… ik…,” jawab
Mayat Hidup Gunung Klabat. Lalu tangannya membuat gerakan kaku,
bergerak lurus seperti palang. Dan ketika tangan itu tepat mengarah
kejurusan si pemuda, bahu kanan Mayat Hidup Gunung Klabat tampak
seperti disentakkan. Lalu saat itu juga terdengar suara deru angin yang
hebat. Rumah itu laksana neraka karena tiba-tiba saja seantero tempat
menjadi panas luar biasa! Pemuda yang mendapat hantaman angin
keras panas itu cepat-cepat jatuhkan diri ke lantai. Saat itu pula
terdengar suara ledakan keras.
Rumah papan seperti dihantam topan. Hancur berantakan
berkeping-keping ke udara bersama tempat tidur kayu. Sebagian dari
kayu-kayu rumah itu tampak seperti hangus. Si pemuda sendiri ikut
terlempar ke udara lalu jatuh tepat dibawah sebatang pohon jati tua
dalam keadaan tidak sadarkan diri. Beberapa bagian tubuhnya tampak
luka-luka. Pakaian putihnya robek dan pipi kirinya baret! Mararanta
Tangkario bersama Minari dan anak kijang lenyap dari tempat itu!
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 16
KETIKA PEMUDA YANG pingsan itu siuman dan membuka kedua
matanya, pertama sekali yang dilihatnya adalah dua buah kaki yang
mengenakan kasut terbuat dari kulit. Di sebelah atas dua kaki itu
memakai sehelai celana hitam. Lalu di sebelah dada atas lagi tampak
baju yang juga berwarna hitam. Di bagian dada baju terpampang
gambar puncak gunung berwarna biru melambangkan gunung Merapi.
Pada latar belakang gambar gunung berwarna biru itu tertera gambar
matahari merah dengan guratan-guratan berwarna kuning
melambangkan sinar matahari.
Si pemuda yang terkapar di akar pohon jati itu bukakan kedua
matanya lebih lebar. Kini dia dapat melihat tampang manusia
berpakaian hitam itu lebih jelas. Orang ini memiliki kening tinggi yang
diikat dengan sehelai kain merah. Dagunya kukuh dan rahangnya
menonjol. Keseluruhan wajahnya membersitkan kekerasan, keangkuhan
atau kecongkakan. Dan dia kenali siapa adanya manusia ini!
Sebelum pemuda ini berusaha bangun, orang berpakaian hitam
keluarkan suara tertawa dan cepat sekali tahu-tahu kaki kanannya
sudah menginjak tenggorokan pemuda berpakaian putih yang
tergelimpang di tanah!
“Kita bertemu kembali Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Dan
kita sama-sama tidak menyukai pertemuan ini, bukan…?!”
Pemuda berpakaian putih yang ternyata adalah Wiro Sableng
murid Eyang Sinto Gen-deng dari Gunung Gede menyumpah dalam hati:
“Bangsat ini menginjak leherku! Bagaimana aku bisa menjawab
ucapannya! Sialan!”
Diam-diam dengan cepat Pendekar 212 kerahkan tenaga dalam ke
tangannya kiri-kanan. Lalu seperti gunting, dia hantamkan kedua
tangannya secara menyilang ke arah betis orang yang menginjak
lehernya. Untuk mencegah agar orang itu tidak menghujamkan kaki dan
menghancurkan lehernya, Wiro tendangkan kaki kanan ke arah
selangkangan lawan!
Si baju hitam mendengus dan keluarkan ucapan mengejek:
“Bagus! Kau membuat gerakan yang tepat Pendekar 212! Kalau tidak
lehermu pasti sudah kuhancurkan dan nyawamu melayang ke akhirat!”
Lalu karena diapun tak ingin kaki kanannya putus seolah-olah dibabat
oleh gunting raksasa, maka orang ini jejakkan kaki kirinya dan disaat
itu juga tubuhnya melesat ke udara setinggi dua tombak. Dia membuat
jungkir balik di udara satu kali lalu melayang turun dengan kedua kaki
menjejak tanah lebih dahulu.
Tanpa tunggu lebih lama Wiro Sableng lipat kedua lututnya lalu
melompat bangun dan tegak sambil pasang kuda-kuda.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 17
Lelaki berbaju hitam dengan gambar gunung dan matahari di
dadanya menyeringai. “Hem… tak pernah aku melihat keadaanmu
seburuk hari ini, Pendekar 212! Pakaianmu robek-robek seperti pakaian
gembel. Kulitmu luka-luka dan pipimu baret besar! Apakah kau barusan
lari terbirit-birit di kejar setan hutan jati ini? Atau ada musuh yang
sempat menghajarmu babak belur…?”
Murid Sinto, Gendeng balas menyeringai. Kedua tangan
dirangkapkan di depan dada.
“Pangeran Matahari! Lama tak bertemu apakah kau barusan
datang dari neraka atau liang kubur?! Tubuhmu sebusuk mayat dan
mulutmu sebau comberan. Kau pasti menyesal mengapa tidak
membunuh musuh bebuyutanmu ini ketika tadi aku masih pingsan!”
“Mengambil nyawamu semudah aku membalikkan telapak tangan
pendekar sableng! Aku memang tidak membunuhmu karena perlu
beberapa keterangan…!”
“Ah, aku sudah tahu keterangan apa yang kau inginkan. Dan
jawabanku adalah semudah aku membalikkan telapak tangan untuk
cebok…!Ha… ha… ha…!”
Walau mukanya jadi merah oleh ejekan itu, tapi mulut Pangeran
Matahari masih bisa sunggingkan seringai.
“Keterangan pertama! Ceritakan padaku bagaimana kau bisa
sampai di tempat ini! Keterangan, kedua, apa yang terjadi dengan
rumah papan milikku! Siapa yang membuatnya porak-poranda seperti
ini. Keterangan ketiga dimana gadis berpakaian kuning yang
sebelumnya terikat di atas ranjang kayu! Nah itu saja! Lekas berikan
keterangan padaku!”
“Mudah saja… Mudah saja…!” sahut Pendekar 212 seraya usap-
usapkan telapak tangannya satu sama lain. “Keterangan pertama! Aku
sampai ke mari sepembawa kedua kakiku, tapi juga karena mendengar
ada yang mengerang dan menangis di dalam hutan jati ini. Ketika
rumah papan kutemui dan kumasuki ternyata di dalamnya ada seorang
perempuan dalam keadaan sangat menderita, terbaring di atas tempat
tidur dengan dua tangan dan dua kaki terikat! Dan aku tahu Pangeran
Matahari… Kau yang punya pekerjaan biadab itu!”
“Dugaanmu tepat!” sahut Pangeran Matahari lalu tertawa gelak-
gelak. “Lanjutkan keteranganku sampai habis!”
“Keterangan kedua!” ujar Wiro melanjutkan. “Yang merubah
rumah papanmu menjadi puing-puing tak berguna ini adalah seorang
yang menyebut dirinya Mayat Hidup Gunung Klabat…”
“Mayat Hidup Gunung Klabat? Nama edan apa pula itu…? ujar
Pangeran Matahari. “Jangan-jangan kau hanya mengarang…”
“Edan atau tidak, tapi aku menyaksikan makhluk itu. Ujudnya
seperti manusia biasa. Ada luka besar masih menganga dan belum
kering darahnya di pangkal lehernya. Dia menuduhku telah menculik
dan berlaku keji terhadap perempuan yang terikat di atas tempat tidur.
Karena itu dia lalu menyerangku dengan pukulan sakti. Pukulan itu
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 18
yang menghancurkan rumah papanmu… Kau tentu ingin tahu siapa
nama Mayat Hidup Gunung Klabat itu bukan…? Kau pasti kenal
padanya…”
“Jangan menyuruh aku menduga-duga tak karuan. Lekas beri
tahu siapa nama orang itu jika kau memang sudah tahu!” bentak
Pangeran Matahari pula.
“Namanya Mararanta Tangkario! Orang yang istrinya kau culik,
lalu kau bawa dari satu tempat ke tempat lain…”
“Apa katamu…?!” ujar Pangeran Matahari dengan mata melotot.
“Mararanta Tangkario sudah mati terbunuh oleh dukun suruhanku!
Bagaimana mungkin tahu-tahu bisa hidup kembali?!”
“Justru disitulah letak masalahnya. Bagaimana orang sudah mati
bisa hidup kembali? Tapi aku bertemu sendiri dengan dirinya ketika dia
hendak membawa istrinya. Wajahnya pucat pasi, bibirnya biru dan dia
memiliki pukulan sakti luar biasa!”
“Jadi manusia bernama Mararanta Tangkario itu yang
menghancurkan rumahku, menghajarmu sampai babak belur begini dan
menculik Minari…?!”
“Kau sudah menjawab sendiri pertanyaanmu!” Sahut Pendekar
212 pula. “Dan ketahuilah… Mayat Hidup Gunung Klabat itu muncul
untuk mencari dan membunuhmu!”
“Dia boleh datang menemuiku jika minta mampusl Tapi sulit
kupercaya jika orang yang sudah mati seperti Mararanta itu bisa hidup
dan menjelma kembali…!”
“Kau tanyakan sendiri jika bertemu dengannya!” ujar Wiro seraya
menyeringai.
Pangeran Matahari merenung sejenak lalu berkata: “Pendekar
212! Antara kita banyak silang sengketa dan dendam lama yang harus
diselesaikan. Tapi karena ada urusan besar yang tengah kuhadapi
aku bersedia menunda urusan kita sampai beberapa waktu. Apalagi kau
telah memberi keterangan yang sangat penting padaku…”…~
Wiro tertawa kecil. “Di lain saat jika bertemu lagi, kau harus
membayar penundaan penyelesaian hutang-piutang ini dengan
bunganya…”
“Manusia sableng, kau tak usah takut! Bunga itu akan kubayar
dua kali lipat! Aku harus mengejar mereka sekarang juga!” Habis
berkata begitu Pangeran Matahari dorongkan telapak tangan kirinya ke
arah Wiro. Murid Sinto Gen-deng cepat rundukkan kepala. Sinar biru
berkelebat ganas di atas kepalanya, menghantam pohon jati tua di
belangnya hingga patah dan tumbang menggemuruh.
Pendekar 212 tidak mau kalah. Begitu serangan lawan berhasil
dielakkannya dan Pangeran Matahari dilihatnya berkelebat ke kanan,
murid
Sinto Gendeng ini balas menghantam dengan tangan kiri. Suara
menggemuruh laksana ada batu besar menggelinding, menghantam ke
arah Pangeran Matahari. Inilah pukulan sakti bernama “kunyuk
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 19
melempar buah”!
Pangeran Matahari melompat setinggi satu tombak ke atas sambil
kebutkan lengan baju hitamnya.
Whuuutt!
Serangan Wiro musnah. Dia merasa ada denyutan cukup
mengagetkan membalik menghantam dadanya, membuat pendekar ini
cepat-cepat menyingkir ke samping. Di lain pihak sang Pangeran sendiri
buru-buru menarik pulang tangannya ketika di dengarnya ada suara
ber-kerebetan. Ketika dilihatnya ternyata ujung lengan kiri pakaian
hitamnya itu telah robek!
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 20
KETIKA MINARI siuman dari pingsannya, didapatinya dirinya terbaring
diatas rerumputan. Dengan siisah payah dia mencoba duduk. Begitu
duduk dan memandang berkeliling, tercekatlah perempuan ini. Ternyata
dia berada di sebuah bukit yang lerengnya penuh ditumbuhi berbagai
bunga. Walaupun cuma bunga-bungaan liar namun pemandangan
disitu indah sekali. Lebih terkejut lagi dia sewaktu menyadari bahwa
kini dia tidak lagi mengenakan pakaian biru muda yang kelihatannya
masih baru. Sehelai itu sekujur tubuhnya yang sebelumnya kotor kini
tampak bersih sedang rambutnya yang awut-awutan kini tersisir rapi.
Siapa yang melakukan semua ini…? Siapa yang menggantikan
pakaiannya, siapa yang membersihkan tubuhnya? Astaga! Jika ada yang
mengganti pakaian dan membersihkan tubuhnya pastilah orang itu
telah membuka pakaiannya, melihat sekujur auratnya tanpa tutupan
sama sekali…! Memikir sampai disitu Minari merasakan tubuhnya
bergetar dan wajahnya merah karena jengah.
Perempuan ini memandang berkeliling. Saat itulah dia melihat
disampingnya, diatas sehelai daun terdapat beberapa macam buah-
buahan. Ada jambu air, jambu kelutuk dan manggis hutan. Disebelah
buah-buahan ini terletak daun yang dibentuk demikian rupa seperti
mangkok dan didalamnya ada air jernih.
Sesaat Minari masih terheran-heran. Namun rasa lapar serta
dahaga membuat dia segera saja melahap jambu air lalu meneguk air
dalam daun. Ketika dia meletakkan daun itu ke atas rumput, saat itulah
dia ingat. Dan dia memandang berkeliling seraya memanggil.
“Mararanta… Kakak Mararanta? Dimana kau…?”
Terdengar suara berdesir. Minari berpaling ke belakang, di arah
mana terdapat sekolompok pohon berdaun rimbun. Dari atas salah satu
pohon itu melayang turun satu sosok tubuh, langsung tegak di hadapan
Minari.
“Kakak…!” seru Minari ketika dikenalinya orang itu adalah
suaminya, Mararanta Tangkario. Sesaat dia menatap paras lelaki itu
dengan matanya yang bening bersinar. Lalu dia beringsut maju dan
peluk pinggang lelaki itu. “Kau, kaukah yang menggantikan pakaianku,
kaukah yang menyediakan buah-buah serta air minum itu kakak? Kau
jugakah yang membersihkan tubuhku…” Minari mendongak dan melihat
Mararanta anggukkan kepalanya dengan gerakan yang kaku. “Kau
terluka kakak. Apa yang terjadi atas dirimu. Keadaanmu sangat tidak
terawat. Lukamu itu harus diobati. Mukamu pucat sekali dan bibirmu
biru…” Ucapan Minari tidak putus-putus karena menyaksikan keadaan
suami yang terpisah selama empat belas bulan itu sungguh sangat
menyedihkan. “Kakak Mararanta, mengapa kau jadi begini? Mengapa
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 21
kau menghilang sekian lama. Aku telah jadi korban penculikan manusia
terkutuk Pangeran Matahari itu Minari menutup wajahnya dengan
kedua tangan dan mulai menangkis.
“Ja… di… be… nar… bang… sat… i… tu… men… cu… lik… mu…”
“Kakak… Suaramu! Mengapa berubah seperti ini?!” kejut Minari.
Lalu dia ingat bahwa diapun sempat mendengar suara Mararanta
sewaktu berada di rumah papan di hutan jati. Suara yang aneh, kaku
dan lamban seolah-olah datang dari jauh.
“A… ku… me… mang… te… lah… ber… u… bah… Mi… na… ri…
A… ku… bu… kan… Ma… ra… ran… ta… sua… mi… mi… mu… yang…
du… lu. A… ku… te… lah… ma… ti…”
“Mati…?” ujar Minari. “Tidak! Kau tidak mati! Kau harus tetap
hidup seperti yang kulihat saat ini! Kita harus berkumpul kembali… I”
“Ti… dak… mung… kin… is… tri… ku…”
“Tidak mungkin bagaimana? Dengar, kita tinggalkan tempat ini.
Kita segera berangkat ke Kartoyudo. Aku akan mengobati lukamu. Aku
akan merawatmu sampai sembuh…”
Mararanta membuat gerakan menggeleng yang kaku dan aneh.
“Ki… ta.;. ti… dak… ber… kum… pul… is… tri… ku… Ki… ta… ber… a…
da… di… du… a… lam… yang… ber… beda.”
“Ah! Kau pasti berada dalam keadaan sakit berat, kakak
Mararanta. Cara bicaramu aneh. Apa yang kau ucapkan tidak karuan…”
“Mi… na… ri… A… ku… se… be… nar… nya… su… dah… ma… ti…
So… sok… ku… sa… at… ini… a… da… lah… so… sok… ma… yat… hi…
dup… A… ku… Ma… yat… Hi…dup… Gu… nung… Kla… bat… I”
Meskipun saat itu tubuhnya masih terlalu lemah namun seperti
mendapat satu kekuatan baru, Minari tegak dari duduknya dan
menatap Mararanta Tangkario mulai dari ujung rambut sampai kekaki.
Muka yang sangat pucat tiada berdarah itu. Bibir yang membiru. Lalu
sepasang mata yang cekung dengan pandangan kosong tapi seperti
menembus. Dan luka di leher yang mengerikan itu I
“Kau sakit kakak. Kau sakit…” desis Minari.
Mararanta tidak menjawab. Kedua matanya memandang tak
berkedip. Lambat-lambat rasa takut mulai merayapi diri perempuan itu.
“Kakak… kau ikut aku ke Kartoyudo sekarang juga”
“Ti… dak… Mi… na… ri… Kau… yang… i… kut… a… ku… men…
ca… ri… Pa… nge… ran… dur… ja… na… i…tu…!”
“Mencari Pangeran Matahari bukan soal mudah. Dia datang dan
pergi seperti setani Kalaupun kau berhasil menemuinya, kau tak
mungkin melawannya. Ilmu kepandaiannya tinggi sekali…”
“Ma… ra… ran… ta… yang… du… lu… me… mang… ti… dak…
sang… gup… me… la… wan… Pa… nge… ran… Ma… ta… ha… ri… Ta…
pi… Ma… ra… ran… ta… Ma… yat… Hi… dup… pas… ti… mam… pu…
me… nga… lah… kan… nya.”
“Ada yang tak beres dengan diri suamiku ini. Ya Tuhan, tolong
diriku. Tolong dirinya… Aku tak percaya pada pengakuannya bahwa
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 22
dirinya adalah Mayat Hidup. Mana mungkin hal itu bisa terjadi. Atau…
Apakah aku harus mengujinya?”
Memikir sampai disitu Minari mengambil sebutir jambu kelutuk
lalu memberikannya pada Mararanta seraya berkata: “Makanlah, kau
pasti lapar.”
Mararanta menggeleng kaku. “Ma… yat… ti… dak… a… da…
yang… ma… kan…” katanya.
“Kalau begitu minumlah…” kata Minari pula ingin menguji lebih
lanjut. Dia membungkuk mengambil air dalam gulungan daun.
Kembali Minari melihat Mararanta menggeleng. “Ma… yat… ti…
dak… a… da… yang… mi… num…” ucapnya.
“Kakak! Kau ini…! Aku melihat kau terluka dan dalam keadaan
menderita! Tapi aku tak percaya kau sudah mati! Aku tak percaya kau
adalah mayat hidup. Demi Tuhan! Sandiwara atau permainan apa yang
tengah kau lakukan ini?!”
“Mi… na… ri… A… ku… ti… dak… mem… per… ma… in… kan…
mu. Ji… ka… kau… ti… dak… per… ca… , li… hat… ka… ki… ku
Mendengar ucapan itu Minari langsung memandang ke bawah ke
arah kedua kaki Mararanta Tangkario. Dan terkejutlah perempuan ini.
Wajahnya seputih kertas Kedua kaki lelaki itu sama sekali tidak
menginjak rumput! Tidak menginjak tanah! Langsung Minari roboh
tidak sadarkan diri lagi.
* * *
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 23
BAGIAN DEPAN RUMAH PANGGUNG itu hanya diterangi sebuah lampu
minyak kecil yang digantung di bawah talang air. Cahayanya tidak dapat
menerangi serambi rumah yang luas dimana saat itu seorang lelaki
berpakaian hitam duduk diatas sebuah kursi goyang terkantuk-kantuk.
Kursi goyang dari kayu itu mengeluarkan suara berderik-derik. Orang
yang duduk diatasnya membenarkan letak kain sarung yang
menyelubungi kedua kakinya agar terlindung dari gigitan nyamuk.
Sesekali dia menguap lebar-lebar. Walau kantuknya berat namun dia
tak dapat tidur. Dan memang dia tak boleh tidur karena tugasnya
adalah berjaga-jaga.
Di langit bulan setengah lingkaran nampak redup tertutup awan.
Di kejauhan terdengar suara anjing menggonggong. Pada saat itulah
lelaki di atas kursi goyang mendadak membuka kedua matanya lebar-
lebar karena entah kapan munculnya sesosok tubuh lelaki yang men-
dukung tubuh seorang perempuan tahu-tahu tampak berdiri di sudut
serambi yang paling gelap.
“Aneh kata lelaki di kursi goyang dalam hati. “Tadi mataku
memang terpicing, tapi telingaku tak akan lolos menangkap suara
apapun. Bagaimana mungkin orang itu bisa naik ke serambi tanpa aku
mendengar langkahnya sewaktu menginjak tangga dan juga sewaktu
berjalan dilantai serambi ini. Dengan memanggul beban seberat itu
hentikan kakinya pasti akan lebih keras. Dia tahu-tahu saja berada di
ujung serambi sana…”
“Siapa disana?!” lelaki berbaju hitam bertanya dengan suara
menghardik.
‘Yang ditanya tidak menjawab. Bergerakpun tidak. Si penjaga
turun dari kursi goyang, ikatkan kain sarung ke pinggang. Sambil
tangan kanannya meraba hulu golok yang tersisip di pinggang kirinya
dia perhatikan orang yang tegak di ujung serambi sana. Namun
kegelapan tidak mungkin baginya untuk melihat dengan jelas, apalagi
mengenali siapa adanya orang itu. Karenanya dia lalu pergi mengambil
lampu minyak di bawah cucuran atap. Sambil mengacungkan lampu
minyak tinggi-tinggi dia menghampiri orang yang tegak di ujung
serambi.
Begitu sampai dihadapan sosok itu dan cahaya lampu menerangi
wajah serta sebagian tubuh orang termasuk orang yang digendongnya,
tersiraplah darah si penjaga. Seumur hidup belum pernah dia melihat
tampang yang begini angker, apalagi ada luka besar di pangkal lehernya.
Wajah manusia itu begitu pucat, kedua matanya nyalang besar tapi tak
pernah berkedip. Bibirnya hitam kebiruan dan hembusan nafasnya
menusuk tajam.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 24
“Ki sanak… Kau siapa… Apa maksud kedatanganmu?” bertanya si
penjaga. Hati kecilnya mendadak saja merasa yakin bahwa dia tidak
berhadapan dengan manusia.
“A… pa… kah… di… si… ni… ru… mah… Ki… Du… kun… Su…
ra… Man… ja… ngan?”
Kembali si penjaga tersurut mundur. Kali ini karena mendengar
suara orang itu. “Manusia aneh… Suaranya seperti datang dari jurang
yang dalam. Kaku… terbata-bata…”
“A… ku… ber… ta… nya! Me… nga… pa… ti… dak… men… ja…
wab…?”
“Betul, ini memang rumah kediaman Ki Dukun Surah Manjangan.
Ahl Ki sanak rupanya datang hendak berobat. Siapakah yang sakit? Ki
sanak sendiri atau orang yang ki sanak dukung…? Kulihat ada luka
besar di pangkal leher ki sanak…”
“Ti… dak… per… lu… ba… nyak… ber… tanya. Le… kas… pang…
gil… kan… du… kun… ke… pa… rat… itu…”
Mendengar majikannya disebut dengan kata-kata dukun keparat,
marahlah si penjaga. “Manusia bermuka pucatl Jaga mulutmu. Kalau
sampai Ki Dukun mendengar bagaimana mulutmu sekurang ajar itu
menyebut dirinya, bisa-bisa kau meninggalkan tempat ini melangkah
seperti anjing!”
Si muka pucat mendengus. Hembusan nafas membersit dari
mulut dan hidungnya. Si penjaga merasakan kedua matanya menjadi
sangat perih. Cepat-cepat orang ini mundur beberapa langkah.
“Ka… lau… kau… ti… dak… le… kas… m… mang… gil… du…
kun… ja… ha… nam… itu… ku… po… rak… po… ran… da… kan… ru…
mah… i… ni!”
“Kurang ajar!” bentak si penjaga. Walau hatinya sejak tadi sudah
kecut namun mendengar kata-kata orang yang hendak memporak
porandakan rumah itu, marahlah dia. “Jika kau datang meminta obat,
kau akan mendapatkan dari Ki Dukun. Tapi jika kau bicara yang
bukan-bukan malah mengancam segala, berarti nyawamu hanya tinggal
beberapa kejapan saja!”
Lelaki yang mendukung sosok tubuh perempuan, yang bukan
lain adalah Mararanta Tangkario alias Mayat Hidup Gunung Klabat
gembungkan mulutnya lalu meniup ke depan. Si penjaga berseru kaget
ketika merasakan ada angin kencang yang menghantam ke arahnya.
Cepat-cepat dia melompat ke kiri. Dirinya memang selamat tapi ada
suara braak di sebelah belakang. Ketika berpaling tampak salah satu
bagian dinding kayu rumah hancur berantakan! Kemudian si penjaga ini
menyadari kalau lampu minyak yang tadi dipegangnya di tangan kiri
telah terlepas mental dan jatuh di lantai. Minyak yang berceceran di
lantai kayu serta merta dijilat api!
“Keparat kurang ajar! Kau memang minta mati!” teriak si penjaga.
Dia gulung kain sarungnya lalu cabut golok yang tersisip dipinggang
kiri. Tanpa menunggu lebih lama dia ayunkan senjatanya, membabat ke
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 25
arah pinggang si muka pucat.
Dari mulut Mayat Hidup Gunung Klabat terdengar suara
menggerang. Tangan kanannya di ulurkan. Si penjaga menjerit keras
ketika pergelangan tangannya tahu-tahu sudah dicekal lawan. Dan
bukan hanya dicekal. Detik itu juga terdengar berderak. Tulang
lengannya dicengkeram hancur hingga tangan itu kini terkulai dan golok
yang tadi dipegangnya terlepas jatuh ke lantai!
Sambil melolong kesakitan si penjaga putar tubuh, masuk
menghambur ke dalam rumah lewat pintu tertutup yang ditendangnya
dengan keras. Ruang panggung itu ternyata panjang sekali. Di kiri
kanan berderet-deret kamar-kamar yang tertutup. Di sebelah ujung
terdapat sebuah kamar berpintu hitam dengan gambar sebuah
pendupaan putih serta bara api merah lengkap dengan asap di sebelah
atasnya.
Penjaga itu lari menuju pintu hitam tersebut. Di depan pintu dia
berseru: “Ki Dukun! Ada pengacau muncul disini! Harap kau lekas
keluar dan bertindak…!”
Tak ada sahutan dari balik pintu hitam. Ketika berpaling si
penjaga melihat manusia bermuka pucat itu mendatangi semakin dekat.
Sementara itu di langkan rumah kobaran api semakin besar… Karena
tak tahan sakit serta ketakutan setengah mati akhirnya dia mendobrak
pintu hitam dan melompat masuk ke dalam. Bau kemenyan menyambar
keluar.
Di balik pintu itu ternyata adalah sebuah ruangan besar yang
sangat redup karena hanya diterangi sebuah lampu minyak kecil. Lantai
ruangan ditutup dengan permadani berwarna merah tua. Di tengah-
tengah terhampar sebuah batu hitam berbentuk lonjong dan pipih. Di
atas batu ini duduk bersila seorang kakek yang hanya mengenakan
sehelai cawat berwarna putih. Tubuhnya kurus sekali hingga tulang
belulangnya menonjol jelas. Mukanya cekung, begitu juga kedua
matanya yang terpejam memiliki rongga yang dalam serta kehitaman.
Diatas kepalanya yang berambut kasar dan acak-acakan seperti ijuk ada
sebuah pendupaan berwarna putih yang baranya menyala terang dalam
gelap. Karena ditaburi kemenyan, asap pendupaan ini menebar bau
yang harum dan tajam ke seluruh ruangan.
Yang hebatnya, di atas pendupaan yang menyala dan menebar
asap kemenyan melintang sebilah golok. Apa yang tengah dilakukan
oleh kakek berwajah angker ini?
Di dalam ruangan itu tidak ada perabot lain, kecuali puluhan
macam senjata tajam yang digantung ke dinding. Mulai dari berbagai
jenis pisau kecil dan besar, berbagai bentuk golok serta pedang, sampai
pada tombak yang memiliki satu, dua atau tiga mata.
Si penjaga jatuhkan dirinya di depan kakek yang tampaknya
tengah bersemedi sambil menjunjung pendupaan menyala itu.
“Wakanto… Kau mengganggu pekerjaanku!” Tiba-tiba kakek yang
duduk di atas batu membuka mulut. “Nyawa yang harus aku ambil
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 26
malam ini menjadi gagal. Berarti nyawamu gantinya…”
Selesai mengucapkan kata-kata itu, golok di atas pendupaan tiba-
tiba tampak bergerak naik lalu perlahan-lahan manukik ke arah penjaga
rumah panggung bernama Wakanto. Melihat hal ini pucatlah wajah
penjaga itu. Cepat-cepat dia berseru.
“Ki Dukun, maafkan diriku!” seru sipenjaga sambil letakkan
keningnya di atas batu di hadapan kaki si kakek. “Aku tidak bermaksud
mengganggumu. Tapi ada pengacau datang ke rumah ini! Dia menyebut
namamu dengan kurang ajar. Ketika aku hendak menghajarnya dia
menghancurkan pergelangan tanganku! Lihat… kau lihat sendiri Ki
Dukun…” Wakanto angkat tangan kanannya yang telah hancur
tulangnya.
Ki Dukun Sura Manjangan tidak menyahut tapi tahu-tahu kaki
kirinya melesat dan dukk! Tubuh Wakanto terpental, tersandar ke
dinding. Dia mengeluh pendek lalu roboh melingkar di lantai. Pingsan.
“Masih untung nyawamu tidak kuambil…” Ki Dukun berkata.
Golok yang tadi menukik ke arah si penjaga kini tampak naik kembali,
lalu perlahan-lahan turun ke atas pendupaan!
Bersamaan dengan itu sepasang mata si kakek tampak terbuka.
Yang pertama dilihatnya adalah sosok Mayat Hidup Gunung Klabat
masuk ke dalam ruangan itu sambil mendukung Minari. Lalu kobaran
api yang membakar kamar pertama di deretan sebelah kanan.
Dari rahang sang dukun terdengar suara gerahamnya
bergemeletakan tanda ada kemarahan yang menggelegak dalam dirinya.
Sepasang matanya memancarkan sinar aneh. Meskipun dia ingin sekali
mengetahui siapa adanya orang yang memiliki luka besar dilehernya itu
dan siapa pula perempuan yang didukungnya, apa maksud kedatangan-
nya, namun hawa amarah yang lebih menguasai dirinya membuat dia
lebih ingin cepat-cepat membunuh orang di hadapannya itu detik juga!
“Kekuatan dari segala kekuatan. Kekuasaan dari segala
kekuasaan. Singkirkan manusia di hadapanku ini!” Ki Dukun Sura
Manjangan berucap.
Saat itu juga gotok melintang di atas pendupaan secara aneh
bergerak ke atas, ujungnya berputar senjatanya ini melesat ke arah
dada kanan si mayat Hidup Mararanta Tangkario!
* * *
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 27
MAYAT HIDUP GUNUNG KLABAT menggereng dan gerakkan tangan
kanannya. Golok yang melesat ke dadanya tahu-tahu disambar dan
dicengkeramnya. Lalu terdengar suara trak… trak… trak… Golok besar
itu berubah menjadi empat potong. Salah satu potongan yaitu bagian
ujung golok yang runcing masih tergenggam di tangannya. Lalu seperti
melahap sepotong kerupuk, ujung golok ini dimasukkannya ke dalam
mulut. Dia mengunyah. Krak… krak… krak…
Berubahlah paras pucat Ki Dukun Sura Man-jangan. Tubuhnya
yang duduk bersila di atas batu perlahan-lahan terangkat naik ke atas
sampai setengah tombak. Lalu kedua kakinya yang terlipat diturunkan
ke bawah. Kini dia berdiri tegak di atas batu pipih yang selama ini
didudukinya. Sepasang matanya memandang tidak berkedip pada wajah
Mayat Hidup Gunung Klabat.
Hampir separuh dari hidupnya Ki Dukun Sura Manjangan
menjadikan dirinya sebagai manusia yang mempergunakan ilmu hitam
untuk menjagai belasan bahkan puluhan manusia. Ilmunya tidak
mengajarkan rasa takut apa pun dalam dirinya. Namun saat itu untuk
pertamakalinya dia merasa merinding. Jika ada manusia yang mampu
menguyah ujung golok beracun, maka berarti dia bukan berhadapan
dengan manusia!
“Orang tak dikenal, katakan siapa kau dan apa maksud
kedatanganmu kemari?!”
Pertanyaan Ki Dukun belum sempat terjawab. Di sebelah depan
rumah panggung terdengar suara berderak. Kobaran api telah
memusnahkan sebagian dari serambi dan salah satu kamar. Bangunan
di bagian itu roboh dengan suara menggemuruh.
“Kurang ajar! Kau telah mencelakai pembantuku! Kau juga yang
membakar rumahku! Sekarang biar tubuhmu yang kubakar!”
Habis berkata begitu Ki Dukun Sura Manjangan gerakkan
kepalanya. Pendupaan yang sejak tadi masih bertengger di kepalanya
yang ditutupi rambut kasar acak-acakan melesat ke depan. Dari mulut
pendupaan bukan saja menghambur bara panas tapi juga lidah api yang
menyambar ke arah Mayat Hidup Gunung Klabat!
Yang diserang sedikitpun tidak berusaha menghindar. Begitu
lidah api dan hamburan bara panas hanya tinggal dua jengkal saja dari
tubuh dan kepalanya. Mayat Hidup usap mukanya lalu menerpa ke
depan. Lidah api dan bara-bara merah itu tertahan di udara seperti
menabrak tembok. Mayat Hidup kemudian menghembus keras. Maka
terjadilah hal yang luar biasa! Lidah api memecah menjadi puluhan
banyaknya. Bersama-sama dengan bara yang menyala, lidah-lidah api
itu menyambar ke depan. Sebagian menyerang Ki Dukun Surah
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 28
Manjangan sendiri, sebagiannya lagi menyebar lantai dan dinding serta
langit-langit ruangan! Saat itu juga kamar besar itu dilanda kobaran api!
Ki Dukun Sura Manjangan berteriak kaget dan marah. Sebagian
rambutnya sempat disambar lidah api. Kakek ini melesat ke samping,
melabrak dinding ruangan. Lalu lewat dinding yang jebol itu dia
melompat ke luar, sampai di halaman samping rumah panggung yang
diterangi kobaran api besar yang telah membakar sebagian rumah di
sebelah depan!
Sekujur tubuh Ki Dukun bergeletar. Kagetnya masih belum
hilang. Rasa cemas bercampur amarah masih membakar dirinya. Ingin
dia menghajar manusia itu habis-habisan, mencabik-cabik tubuhnya
bahkan mungkin meminum darahnya! Tapi bagaimana caranya?
Bagaimana dia mampu melakukan hal itu? Tampaknya dia berhadapan
dengan makhluk yang memiliki kesaktian luar biasa. Namun dalam hati
kecilnya dia sempat bertanya. Jika orang memang datang untuk
meminta pertolongan, meminta pengobatan, mengapa dia telah
mencelakai pembantunya, membakar rumahnya dan bahkan
mencelakai dirinya. Bahkan dia hampir pasti makhluk itu bermaksud
merampas nyawanya.
“Dia bukan lawanku!” kata Ki Dukun dalam hati. “Lebih baik
menyelamatkan diri!” Lalu Ki Dukun Sura Manjangan memutar tubuh,
siap menghambur lari ke bagian halaman yang gelap. Namun baru saja
dia bergerak setengah langkah, kakek ini melengak kaget karena tahu-
tahu si muka pucat yang mendukung sosok tubuh perempuan itu sudah
menghadang di depannya, menyeringai dan menggereng.
“Celaka!” seru Ki Dukun dalam hati. Dia berputar ke kiri dan
melompat kabur. Namun kembali tahu-tahu makhluk itu sudah berada
di hadapannya!
“Hai! Dengar! Siapa kau sebenarnya… Apa yang kau inginkan
dariku?!” tanya Ki Dukun dengan suara bergetar ketakutan. Ki Dukun
melihat mulut makhluk di hadapannya itu bergerak. Lalu dia
mendengar suara yang aneh menyeramkan.
“A… ku… Ma… yat… Hi… dup… Gu… nung… Kla… bat… Sa… tu…
ming… gu… la… lu… kau… per… gu… na… kan… il… mu… hi… tam…
mu… Kau… ki… rim… go… lok… ter… bang… be… ra… cun… mem…
bu… nuh… ku…”
“Aku tidak kenal padamu! Aku merasa tak pernah
mencelakaimu…” Ki Dukun terdiam sesaat. Lalu dengan suara semakin
bergetar dia bertanya: “Si… apa namamu? Katakan asal usulmu…”
“A… ku… Ma… ra… ran… ta… Tang… ka… rio… da… ri… Mi…
na… ha… sa… Se… se… o… rang… te… lah… me… nyu… ruh… mu…
un… tuk… mem… bu… nuh… ku! Kau… bo… leh… dus… ta… Ta… pi…
a… ku… da… tang… un… tuk… mem… ba… las… ke… ma… tian… ku!
A… ku… mau… min… ta… nya…wa… mu…!”
Mendengar kata-kata itu paras angker Ki Dukun Sura Manjangan
jadi berubah seputih kain kafan; “Mararanta Tangkario… Mayat Hidup
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 29
Gunung Klabat! Ah, dia rupanya! Tapi jika dia memang sudah mati,
mengapa bisa muncul begini rupa. Lalu siapa perempuan yang
didukungnya ini…?”
Mayat Hidup Gunung Klabat maju satu langkah lalu dongakkan
kepala, memperlihatkan luka besar yang mengoyak pangkal lehernya.
“Ja… ngan… be… ra… ni… dus… ta. Ba… co… kan… go… lok…
ja… ha… nam… mu… bi… sa… kau… li… hat… sen… di… ri… di… le…
her… ku! Se… se… o… rang… mem… ba… yar… mu… Pa… nge… ran…
Ma… ta… ha… ri… ”
“Aku… aku…” Ki Dukun Sura Manjangan sadar kalau dia tak
mungkin berkelit, makhluk bermuka pucat ini agaknya sudah tahu
segala-galanya. “Dengar… Aku hanya… menjalankan pekerjaanku.
Segala dosa dan kesalahan orang yang meminta yang menanggung.
Begitu perjanjian. Jadi kau harus mencari Pangeran Matahari. Bukan
aku…!”
Si muka mayat menyeringai. “Ka… ta… kan… di… ma… na… Pa…
nge… ran… ter… ku… tuk… itu…ber… a… da…”
“Sulit mencarinya. Tapi jika kuberi tahu… apakah kau bersedia
melepaskan diriku… Kau telah membakar rumahku. Pembantuku saat
ini pasti sudah mati dimakan api. Apakah itu belum cukup…?”
“Ka… ta… kan… sa… ja… di… ma… na… Pa… nge… ran.;. i… tu…
ber… a… da…”
Tangan kanan Mayat Hidup Gunung Klabat bergerak dan tahu-
tahu Ki Dukun merasakan lehernya sudah kena dicengkeram. Lehernya
terjulur dan matanya terbeliak. Dia berusaha berontak tapi malah
tubuhnya diangkat tinggi-tinggi ke atas!
“Jangan! Jangan bunuh aku!” Aku akan katakan dimana manusia
itu bisa ditemui!” seru Ki dukun dengan suara tercekik-cekik. Tubuhnya
kemudian diturunkan. Keringat dingin membasahi sekujur badannya
yang hanya mengenakan cawat putih itu.
“Pangeran itu… Satu hari dalam satu bulan… dia pasti berada di
sebuah Keraton kecil miliknya, terletak di kaki bukit Rasikembar di
selatan Imogiri… Tempat ini sulit dicari karena terletak dalam hutan
lebat dan jarang didatangi manusia
Ki Dukun Sura Manjangan merasa lega ketika merasakan
makhluk di depannya lepaskan cengkeraman di lehernya.
“Ba… gus… Kau… su… dah… mem… be… ri… ta… hu… Se… ka…
rang… kau… per… gi… lah… du… luan… Tung… gu… ma… ji… kan…
mu… i… tu… di… ne… ra… ka…”
“A… apa… maksudmu…?” bertanya Ki Dukun Sura Manjangan.
Sebagai jawaban Mayat Hidup Gunung Klabat hantamkan tangan
kanannya ke dada si kakek. Terdengar suara berderak hancurnya tulang
dada dan patahnya tulang-tulang iga sang dukun. Jantungnya pecah.
Darah menyembur dari mulutnya. Tubuhnya terpental sampai tiga
tombak, terkapar di tanah tanpa nyawa lagi.
Di atas sebatang pohon seorang pemuda berpakaian putih yang
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 30
dengan susah payah selalu mengikuti jejak perjalanan makhluk dari
liang kubur itu gelengkan kepala sambil garuk-garuk rambutnya…”
“Sepuluh orang sakti seperti guruku Sinlo Gendeng ditambah
sepuluh Dewa Tuak dan sepuluh Tua Gila mungkin tak akan dapat
mengalahkan makhluk ini… Pangeran Matahari, kau tunggulah. Dia
pasti akan muncul mencabut nyawamu.” Sesaat pemuda itu merenung.
“Apa betul dia orang mati kemudian bisa menjelma menjadi mayat
hidup? Sulit kupercaya… Kalau kemunculannya hanya untuk
membalaskan sakit hati dendam kesumat itu wajar-wajar saja.
Tapi kalau kemudian dia jadi betah hidup didunia ini dan
gentayangan menimbulkan keonaran… celakalah dunia persilatan I”
Ketika dilihatnya Mayat Hidup Gunung Klabat meninggalkan
tempat itu bersama istri dalam dukungannya, pemuda diatas pohon
yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng segera melompat
turun dan kembali mengikuti perjalanan makhluk itu secara diam-diam.
Seringkali Wiro ketinggalan atau kehilangan jejak. Dia tidak mampu
berada dalam jarak yang dekat karena makhluk itu berlari seperti
terbang dan kedua kakinya tak pernah menginjak bumi. Lagi pula sang
pendekar tidak berani berada terlalu dekat. Kawatir kalau-kalau yang
diikuti mengetahui kalau dirinya dikuntit orang. Jika ini sampai terjadi
dan dia diserang, pasti bencana besar. Sampai saat itu Pendekar 212
masih belum mampu untuk mengetahui dimana letak kelemahan
makhluk ini. Disamping itu dia merasa kasihan dan cemas akan nasib
yang menimpa perempuan muda bernama Minari itu. Meskipun jelas dia
adalah istri Mararanta, tapi bagaimana mungkin mereka meneruskan
hidup sebagai suami istri. Satu manusia sungguhan dan satunya lagi
makhluk mati yang hidup dan gentayangan secara aneh!
MALAM ITU mereka berhenti di sebuah bekas reruntuhan candi.
Minari sengaja berpura-pura tidur. Tapi diam-diam dia memperhatikan
gerak-gerik Mararanta Tangkario, suaminya yang sekarang berada
dalam kehidupan yang sulit dipercayanya. Lelaki itu duduk di atas
sebuah batu besar, tapi kedua kakinya tetap mengambang, tak pernah
menginjak tanah. Rasa takut yang menguasai dirinya selama berhari-
hari membuat dia seperti hendak gila. Betapapun dia mencintai
suaminya tapi bukan berarti dia bisa hidup dengan makhluk seperti itu.
Mararanta sendiri telah menceritakan bahwa dirinya adalah mayat
hidup! Dan ini memang dibuktikannya. Sampai hari itu Minari tak
pernah melihat Mararanta makan atau minum. Dirinya pun tak pernah
disentuhnya kecuali ketika mendukungnya dan membawanya berlari.
Sudah beberapa kali Minari mengambil keputusan nekad untuk
melarikan diri. Tetapi Mararanta seperti dapat membaca hatinya. Lelaki
itu selalu mengawasi dirinya, baik siang maupun malam. Dan satu hal
lagi yang membuat sulit bagi Minari untuk lari ialah Mararanta tak
pernah tidur.
Kesunyian malam berlalu dalam bungkusan udara dingin. Minari
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 31
hampir benar-benar tertidur ketika ada sebuah kerikil kecil jatuh
mengenai pipinya. Dibukanya kedua matanya. Mararanta dilihatnya
masih duduk di atas batu tadi, membelakanginya. Kemudian disamping
kanan dia seperti melihat bayangan seseorang di balik sebuah arca
buntung. Dipandanginya arca itu tanpa berkedip. Ah, mungkin hanya
perasaannya saja. Tak ada apa-apa dekat arca itu. Tapi batu barusan
jatuh di pipinya? Minari akhirnya pejamkan matanya kembali. Namun
baru kelopak matanya menutup setengah, dia melihat ada tangan yang
melambai dibalik arca buntung itu. Minari buka kedua matanya lebar-
lebar kembali. Saat itulah dia melihat sosok tubuh dan kepala muncul
di balik arca. Karena jarak arca dan tempatnya berbaring tidak berapa
jauh, selain itu rembulan yang dua pertiga bulat cukup menerangi
tempat itu, Minari walaupun samar-samar masih sempat melihat dan
mengenali orang itu.
“Pemuda itu kata Minari dalam hati. “Dia yang menolongku di
pondok kayu dalam hutan sebelum Mararanta muncul… Dia ternyata
mengikutiku sampai kesini… Pasti dia bermaksud menolongku…
Sayang… dia tak akan bisa melakukannya…” Tengah Minari berkata-
kata dalam hati seperti itu, pemuda dibalik arca lemparkan sebuah
benda ke arah Minari. Benda ini ternyata segulung kertas dan jatuh
tepat di samping kepala Minari.
Minari cepat-cepat mengambil kertas itu dan menyembunyikannya
di balik dada pakaiannya, tepat pada saat Mararanta bergerak bangkit
dari batu. Dia memandang berkeliling, lalu berpaling pada Minari.
“Ki… ta… ta… hu… si… tu… ti… dak… ti… dur…”
Tentu saja Minari terkejut mendengar kata-kata itu.
“Kakak… aku hampir tertidur… Tapi aku lihat kakak berdiri. Kau
juga perlu istirahat kakak. Kau perlu tidur…” kata Minari pula. Lalu
perempuan ini jadi merinding sendiri. Bagaimana kalau Mararanta
benar-benar tidur dan berbaring disampingnya!
“Ma… yat… ti… dak… per… nah… ti… dur…” terdengar jawaban
Mararanta Tangkario. Dia memandang lagi berkeliling. “Ki… ta… a…
da… de… ngar… bu… nyi… ba… tu… ja…tuh… Bu… nyi… ben… da…
me… la… yang!”
“Pendengaran kakak terlalu tajam. Aku tidak mendengar bunyi
apa-apa…” sahut Minari.
“Ma… yat… hi… dup… ti… dak… bi… sa… di… ti… pu…” kata
Mararanta pula. “A… ku… ma… u… me… nye… li… dik…” Lalu dia
bergerak cepat ke arah arca buntung.
“Celaka kalau pemuda itu masih berada di-sana…” kata Minari
dalam hati. Dilihatnya Mararanta sudah sampai ke dekat arca besar
tanpa kepala itu, memandang kian kemari, tapi tidak melihat atau
menemukan apa-apa. Mayat hidup bergerak ke jurusan lain. Melihat
gerakan tubuh yang melayang kian kemari tanpa menginjak tanah itu,
Minari jadi ngeri sendiri. Kemudian dilihatnya Mararanta kembali ke
tempatnya.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 32
“Sudah kubilang, telingamu terlalu tajam kakak. Tak ada makhluk
apapun di tempat ini, kecuali kita berdua…”
Mararanta tak berkata apa-apa dan kembali duduk di atas batu.
Esok paginya ketika mendapat kesempatan pergi membersihkan diri di
sebuah mata air, Minari keluarkan gulungan kertas yang
disembunyikannya di dada pakaian lalu membukanya. Di atas kertas
kecil itu ternyata ada tulisan berbunyi:
Meskipun dia adalah suamimu, Tapi aku khawatir keselamatanmu
terancam Besok malam jika kau dengar suara lolongan srigala, minta dia
untuk menyelidik Begitu dia lengah, aku akan melarikanmu
Wiro
“Jadi namanya Wiro kata Minari dalam hati. “Aku memang ingin
melarikan diri, apalagi ada yang mau membantu. Tapi apakah pemuda
itu sanggup, menolong…?”
Minari campakkan kertas itu ke dalam air. Kertas sesaat
mengambang dan terbawa arus menuju ke sebuah kali kecil dangkal
yang dasarnya berbatu-batu. Pada sebuah tonjolan batu kertas itu
tertahan. Satu tangan kemudian mengambilnya, meskipun kertas itu
basah namun apa yang tertulis di atasnya masih bisa dibaca jelas. Dan
yang mengambil serta membaca kertas itu bukan lain adalah Mayat
Hidup Gunung Klabat!
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 33
SEJAK SORE LANGIT tampak mendung. Menjelang malam hujan turun
rintik-rintik. Mayat Hidup Gunung Klabat sadar, bagaimanapun
cepatnya dia berlari, tak mungkin dia akan sampai ke tempat tujuan di
selatan Imogiri malam itu. Lagi pula Minari perlu istirahat. Dan yang
paling penting malam ini dia harus dapat menjebak pemuda bernama
Wiro itu. Ketika dia menghantamnya di rumah papan di hutan jati, dia
menyangka pemuda itu sudah menemui ajal, hancur bersama rumah
itu. Ternyata dia masih hidup dan masih nekad hendak menolong
Minari, hendak mengambil istrinya dari tangannya.
Di kejauhan tampak sebuah teratak, yaitu gubuk ditengah daerah
perladangan yang biasa dipergunakan para petani untuk beristirahat
atau makan siang. Mararanta Tangkario segera menuju teratak ini, dan
membaringkan Minari di lantai. Dari dalam kantong perbekalan
Mararanta mengeluarkan sebungkus makanan lalu diletakkannya di
samping Minari.
“Kau… per… lu… ma… kan… is… tri… ku”
“Aku tidak lapar kakak…” sahut Minari. Perempuan ini berada
dalam keadaan tegang. Sesuai dengan surat yang telah dibuangnya di
mata air, malam itu pemuda bernama Wiro akan menolongnya. Akan
berhasilkah pemuda itu melarikannya? Jika sampai tertangkap basah
oleh Mararanta, mampukah dia menghadapinya? Kesaktian yang
dimiliki Mararanta bukan kesaktian manusia biasa. Tapi kesaktian dari
alam aneh yang tidak satu manusia hiduppun bisa menguasainya! Dulu
dia memang mempunyai kepandaian silat serta kesaktian yang tinggi.
Namun semua kehebatannya itu tidak berkutik di hadapan Pangeran
Matahari. Namun kini dia muncul dalam bentuk kehidupan lain, yang
sulit diterima akal dan juga mengerikan. Dan kini dia memiliki
kesaktian yang luar biasa hebatnya.
“Ka… lau… kau… ti… dak… mau… ma… kan… ti… dur… lah…
Be… sok… pa… gi… pa… gi… se… ka… li… ki… ta… lan… jut… kan…
per… ja… lan… an…” kata Mararanta pula.
“Kakak… Jika urusanmu dengan Pangeran Matahari selesai, apa
yang akan kau lakukan…?” bertanya Minari.
“A… ku… a… kan… ba… wa… kau… ke… Mi… na… ha… sa… Ki…
ta… a… kan… ber… kum… pul… la… gi… Se… ba… gai… sua… mi… is…
tri…”
Bulu kuduk Minari merinding mendengar kata-kata itu.
“Menurutmu, kita berada dalam dua alam yang berbeda tak
mungkin berkumpul…”
“A… ku… pu… nya… ca… ra… a… gar… kita… ber… a… da… di…
a… lam… yang… sa… ma…”
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 34
“Caranya?” tanya Minari.
Mayat Hidup Gunung Klabat menyeringai. Belum sempat Minari
mendengar jawabannya tiba-tiba dikejauhan terdengar suara lolongan.
Lolongan srigalal Itulah tanda dari si pemuda. Minari merasakan
sekujur badannya tegang dan detak jantungnya berdegup lebih cepat.
“Suara lolongan srigala… Kau mendengarnya kakak…?” tanya
Minari dengan suara tercekat. Mayat Hidup Gunung Klabat
mengangguk.
“Aku takut… Kau harus berjaga-jaga. Kau… sebaiknya menyelidik
dan membunuh binatang itu sebelum dia berada lebih dekat ke tempat
ini
Mayat Hidup Gunung Klabat memandang sesaat pada Minari,
membuat perempuan ini merasa seperti putus nyawanya.
“A… ku… a…: kan… me… nye… Ii… dik… Aku… a… kan… ba…
wa… ke… pa… la… sri… ga… la… i… tu… a… gar… kau… me… Ii… hat…
sen… di… ri…”
“Jangan, tak usah. Kau bunuh saja begitu ketemu. Jangan dibawa
kepalanya kemari…” kata Minari pula.
Di kejauhan kembali terdengar suara lolongan srigala. Mayat
Hidup Gunung Klabat menyeringai, lalu melangkah cepat ke arah
terdengarnya suara lolongan srigala.
“Ma… nu… sia… pe… ni… pu… Kau… a… kan… mam… pus… da…
lam… ke… ne… kad… an.mu!”
Cepat sekali dia sudah berada di tempat dimana dia tadi
mendengar datangnya suara lolongan itu, tetapi secepat dia datang,
secepat itu pula dia memutar tubuh dan berbalik kembali menuju ke
teratak. Hanya saja, sesuatu menarik perhatiannya di tengah jalan. Dia
melihat sesosok tubuh berpakaian putih mendekam di balik sebatang
pohon besar.
“Hem… i… tu… pas… ti… pe… mu… da… bang… sat itu. A… kan…
ku… han… cur… kan… dia… ber… sa… ma… po… hon… i… tu!”
Mayat Hidup Gunung Klabat angkat tangan kanannya. Pundak
kanan membuat gerakan menyentak. Bersamaan dengan itu tangannya
menghantam. Terdengar suara menderu seperti ada topan menyerbu.
Batang pohon besar di depan sana hancur berantakan lalu tumbang
dengan suara menggemuruh. Beberapa pohon disekitarnya ikut terseret
dan mental berpatahan.
Mayat Hidup Gunung Klabat melompat ke arah pohon besar yang
tumbang, memandang berkeliling. Dia melihat robekan-robekan pakaian
putih, tapi sama sekali tidak menemui hancuran tubuh manusia, tidak
melihat muncratan darah!
“Ke… pa… rat… itu… me… ni… pu… ku!” menggereng Mayat
Hidup Gunung Klabat. “Bang… sat…! Ja… ngan… ha… rap… bi… sa…
lo… los… da… ri… ta… ngan… ku!”
Lalu secepat kilat dia berkelebat ke arah teratak.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 35
BEGITU MARARANTA meninggalkan teratak, Pendekar 212 yang
sembunyi di balik serumpun keladi hutan cepat keluar dan melompat ke
atas teratak. Minari hampir menjerit saking kagetnya.
Wiro cepat tekap mulut perempuan ini. “Jangan mengeluarkan
suara. Apa kau cukup kuat untuk berlari…?”
Minari menggeleng.
“Kalau begitu biar kudukung!”
Lalu murid Eyang Sinto Gendeng itu turun dari atas teratak,
menarik tubuh Minari dan mendukung perempuan itu di bahu kirinya.
Tanpa membuang waktu lagi Pendekar 212 segera melompat ke bagian
yang gelap. Namun alangkah kagetnya pendekar ini ketika tiba-tiba di
depannya berkelebat satu bayangan. Angin yang menyambar dari sosok
bayangan itu membuat dia terhuyung ke kiri. Untuk imbangi diri sambil
memasang kuda-kuda Wiro cepat melompat ke kanan. Bersamaan
dengan itu dia siapkan tenaga dalamnya ke tangan kanan sambil
merapat aji kesaktian pukulan sinar matahari.
Mayat Hidup Gunung Klabat! makhluk itu kini tegak di hadapan
Wiro dengan dua kaki yang tak menginjak bumi terpentang lebar.
Mulutnya menyeringai menyeramkan!
Sebelumnya Wiro telah menghadapi Mayat Hidup Gunung Klabat
dan menerima pukulan dahsyat yang luar biasa panasnya. Dia juga
sempat menyaksikan bagaimana Mararanta membunuh Ki Dukun Sura
Manjangan hanya sekali hantam saja. Mau tak mau dia harus berjaga-
jaga. Yang mengherankannya adalah mengapa makhluk itu begitu cepat
muncul kembali dan menghadangnya?!
“Ba… gus… ba… gus! Du… a… ma… nu… sia… ber… kom… plot…
me… ni… pu… ku. Sa… tu… se… ge… ra… mam… pus… Sa… tu… nya…
a… kan… men… da… pat… hu… ku… man… be… rat… da… ri… ku…!”
Mayat Hidup Gunung Klabat angkat tangan kanannya. Serta
merta hawa panas menebar di tempat itu. Sambil menggerakkan pula
tangan kanannya Pendekar 212 berseru : “Mararanta! Jika kau
menyerangku dengan pukulan sakti mengandung hawa panas itu berarti
kau akan membunuh istrimu sendiri!”
Wiro merasakan tubuh Minari menggigil di atas dukungannya.
Perempuan ini ketakutan setengah mati. “Tenang saudari… jangan
takut. Jangan membuat gerakan apa-apa…” berbisik Wiro.
Di hadapannya Mayat Hidup Gunung Klabat menyeringai. “Kau…
be… nar… Is… tri… peng… khi… a… nat… itu… be… lum… sa… at…
nya… ma… ti… A… ku… ha… rus… meng… hu… kum… nya… le… bih…
du… lu… I”
“Kakak Mararanta!” Minari berseru seraya angkat kepalanya. “Aku
tidak mengkhianatimu. Aku…”
“Tu… run… da… ri… ba… hu… o… rang… i… tu… Ber… ja… lan…
ke… a… rah… ku!”
Minari jadi bingung dalam takutnya. Ketika dia hendak meluncur
turun, Wiro segera membentak : “Jangan dengar kata-katanya. Sekali
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 36
kau kembali kepadanya, kau tak akan bisa diselamatkan lagi Minari!”
“Ma… nu… sia… be… jat…! A… pa… kau… tak… da… pat… pe…
rem… pu… an… lain… ma… ka… me… la… ri… kan… is… tri… o…
rang…?! Kau… sa… ma… sa… ja… be… jat… nya… de… ngan… Pa…
nge… ran… Ma… ta… ha… ri!”
“Aku tidak melarikan istrimu, Mararanta. Kau dan dia tak
mungkin berkumpul lagi sebagai suami istri. Kau harus menyadari hal
itu!” menjawab Wiro.
“Kau… pan… dai… men… ca… ri… da… lih! A… pa… ke… pen…
ting… an… mu… men… cam… pu… ri… u… rus… an… ka… mi… sua…
mi… is… tri…”
“Mararanta, kau sendiri mengetahui dirimu bukan manusia lagi,
tapi mayat yang dihidupkan. Jika kau terus menginginkan Minari
berada bersamamu, berarti kau akan menyiksa dirinya dengan
penderitaan dan rasa takut seumur hidupnya. Atau kau memang
menginginkan kematiannya?!”
“Di… a… te… lah… ber… sa… lah… Ber… khia… nat… ter… ha…
dap… ku. Ber… arti… me… mang… ha… rus… ku… bu… nuh. Ta… pi…
se… ka… rang… be… lum… sa… at… nya… Di… a… ha… rus… ku…
hu… kum… le… bih… du… lu… IA… ku… su… dah… mem… ba… ca…
su… rat… ra… ha… sia… yang… kau… ki… rim… kan… pa… da… Mi…
na… ri… Ka… lian… ber… dua… ma… sih… ma… u… ber… ke… lit…?!”
Wiro dan Minari terkejut bukan kepalang. Dan saat itu di hadapan
mereka Mararanta terdengar menggereng keras. Tangan kanannya
bergerak, tetapi tidak menghantam atau melepaskan pukulan apa-apa.
Malah tubuhnya di lain kejap berkelebat lenyap dan sedikit kemudian
terdengar pekik Minari. Wiro merasakan perempuan itu terbetot dari
atas bahunya. Maka tanpa menunggu lebih lama Pendekar 212
menghantam ke arah bayangan Mayat Hidup Gunung Klabat yang
dilihatnya berkelebat di depannya.
Hawa panas menerpa. Tempat yang gelap itu menjadi terang
benderang ketika pukulan sinar matahari menghantam dahsyat
menyilaukan!
Saat itu Mayat Hidup Gunung Klabat berhasil menjambak rambut
Minari. Dalam keadaan menjerit-jerit perempuan ini dikempitnya di
ketiak kiri. Ketika pukulan sakti sinar matahari menghantam ke
arahnya, dia sama sekali tidak berusaha menghindar ataupun
menangkis. Wiro jadi terkesima karena khawatir pukulannya akan
menciderai Minari.
Tiba-tiba Mararanta gembungkan mulut dan meniup ke depan!
Terdengar suara berdentum. Tanah bergetar seperti dilanda lindu.
Laksana menghantam tembok baja yang atos pukulan sinar matahari
membalik menyapu ke arah Pendekar 212!
“Ya Tuhan!” Murid Sinto Gendeng mengucap keras. Jatuhkan diri
ke tanah. Ketika pukulan sinar matahari menyambar dengan ganas, tak
ada jalan lain untuk selamatkan diri. Pendekar ini hantamkan kedua
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 37
tangan bahkan kedua kakinya ke atas.
Benteng topan melanda samudera! itulah pukulan sakti yang
dilepaskan Wiro untuk menyelamatkan dirinya dari pukulan sinar
matahari yang tadi dilepaskannya sendiri.
Terjadilah satu hai yang hebat. Dua benturan menggelegar susul
menyusul di tempat itu. Sosok Mayat Hidup Gunung Klabat terbanting
ke tanah. Minari yang dikempitnya di ketiak kiri terlepas lalu terguling
jatuh ke arah tanah yang terjal. Begitu menyadari dirinya terlepas,
perempuan ini kumpulkan segala tenaga yang ada lalu lari sekencang-
kencangnya. Dia tak perduli ke arah mana larinya. Yang penting lari
sekencang mungkin dan sejauh mungkin, terlepas dari cengkeraman
Mararanta. Bagaimanapun dia mencintai lelaki itu, apalagi pernah pula
menjadi suaminya, namun kenyataan yang dihadapinya kini serta
keanehan yang mengerikan yang terjadi atas diri lelaki itu membuatnya
tak ada jalan lain dari pada berusaha menyelamatkan diri!
Minari lari terus sekencang yang bisa dilakukannya sampai
akhirnya kedua kakinya terasa goyah dan dadanya sesak mendenyut.
Larinya kini tersaruk-saruk, akhirnya perempuan ini tersandung dan
jatuh terjerembab. Sebelum tubuhnya mencium tanah, satu tangan
merangkul bahunya. Minari berpaling lalu menjerit keras ketika
mengenali siapa adanya yang mencekal dirinya. Perempuan ini akhirnya
pingsan dalam keadaan kehabisan tenaga dan sangat takut!
Sambil bangkit terhuyung-huyung Mayat Hidup Gunung Klabat
memandang berkeliling. Minari dan Wiro Sableng sama sekali tidak
kelihatan. Mayat hidup ini menggereng keras dan kepalkan kedua
tinjunya. Dia berkelebat kian kemari, mementang mata memasang
telinga. Tetap saja dia tidak menemukan kedua orang itu. Juga tidak
terdengar suara apa-apa selain tiupan angin yang terasa dingin,
makhluk ini mendongak ke atas. Hidungnya menghirup dalam-dalam.
“Di… a… ma… sih… be… lum… ja… uh… Ma… sih… be… lum… ja…
uh…” Lalu Mayat Hidup Gunung Klabat berkelebat ke jurusan dimana
dia bisa membaui tubuh Minari karena sekian lama selalu saling
berdekatan.
Apa yang terjadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng? Ketika
pukulan sinar matahari datang menyapu dan dia menghantam dengan
pukulan benteng topan melanda samudera, dua dentuman yang dahsyat
membuat tubuhnya terlempar jauh, terguling ke sebuah jurang sedalam
lima tombak di ujung peladangan. Pakaiannya robek-robek, kulitnya
lecet dan luka berkelu-kuran. Dan begitu dia terhempas di dasar jurang,
pendekar ini muntahkan darah segar. Sepasang tangan dan kedua
kakinya seperti lumpuh. Beberapa kali dia mencoba bangkit tapi rubuh
kembali. Akhirnya dalam keadaan tak berdaya seperti, itu, Wiro hanya
bisa tergeletak menunggu nasib. Dia tidak menyadari justru dengan
jatuh ke dalam jurang inilah dia selamat dari tangan Mayat Hidup
Gunung Klabat!
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 38
PANGERAN MATAHARI MENGISAP pipa gading yang berisi tembakau
bercampur candu itu panjang-panjang. Kedua matanya sampai
terpejam-pejam saking merasa nikmat. Beberapa kali bola matanya
berputar-putar kemudian dia berpaling pada perempuan yang terbaring
menelungkup dalam keadaan tanpa busana di sebelahnya.
“Apa enaknya menghisap tembakau seperti itu…?” bertanya
perempuan itu. “Sulit menerangkan. Kau harus mencobanya sendiri.
Mau?”
Yang ditanya menggeleng.
“Menghisap tembakau campur candu, jika tahu takarannya yang
tepat akan membuat seseorang menjadi sehat dan perkasa… Kau
merasakan sendiri malam tadi bukan? Ha… ha… ha… ”
Perempuan itu menggigit bahu Pangeran Matahari lalu merangkul
tubuh lelaki itu seraya berbisik : “Kau memang kuat sekali Pangeran.
Malam tadi… ah, malu aku mengatakan. Aku hampir-hampir menangis
kewalahan…”
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak mendengar ucapan itu.
Lalu mencabut pipanya dan berkata : “Akupun tidak menyangka kau
begitu hebat melayaniku, Nyiruni. Biasanya aku hanya tinggal satu hari
di Keraton ini. Tapi bersamamu, aku akan tambah satu hari lagi… Ha…
ha… ha!”
“Kau suka tinggal di Keraton kecil ini?”
“Suka sekali, asal kau tetap berada disini Pangeran. Tidak
meninggalkan aku sampai berbulan-bulan…”
“Ah, aku orang banyak urusan dan kepentingan…”
“Urusan dan kepentingan dengan perempuan-perempuanmu yang
cantik-cantik lainnya…!” kata Nyiruni seraya cemberut.
“Eh… kau yang paling cantik diantara semua perempuan yang
kukenal. Dan paling ganas di atas ranjang…!”
Mendengar ucapan itu Nyiruni langsung bangkit dan menindih
tubuh sang Pangeran, Terangsang oleh tubuh yang bagus dan mulus itu
Pangeran Matahari letakkan pipa gadingnya di meja kecil di samping
tempat tidur. Baru saja dia hendak menggumuli tubuh Nyiruni tiba-tiba
diluar terdengar suara genta tiga kali berturut-turut.
Pangeran Matahari terkejut dan angkat tubuh Nyiruni ke samping.
“Ada apa Pangeran…?”
“Jika penjaga menarik genta tiga kali berturut-turut berarti ada
bahaya mengancam Keratonku!”
“Ah, siapa manusianya yang berani berbuat macam-macam
terhadapmu, Pangeran? Biarkan saja para pengawalmu yang
menyelesaikan segala urusan diluar sana. Aku ingin kita bersenang-
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 39
senang, tidak turun dari atas ranjang ini sampai besok pagi!”
Di luar sana kembali terdengar suara genta tiga kali berturut-
turut. Pangeran Matahari melompat dari atas ranjang, tidak perdulikan
panggilan manja penuh birahi Nyiruni. Dia mengenakan pakaian
hitamnya dengan cepat lalu berpaling pada Nyiruni yang menelentang
bugil di atas ranjang. “Kau tetap disini. Tunggu sampat aku kembali.
Urusanku tak akan lama!”
“Ennggg…” Nyiruni masih berusaha bermanja-manja. Tapi sang
Pangeran sudah melangkah ke pintu sambil mengikatkan kain merah ke
keningnya.
Sesuai dengan sifatnya yang biasa mengagulkan diri sebagai
pendekar segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala
congkak, Pangeran Matahari tidak langsung menuju ke bagian depan
Keraton kecil yang terletak di rimba belantara di kaki bukit Rasikembar
di selatan Imogiri. Dia justru pergi ke bagian belakang Keraton lalu
melompat ke atas atap bangunan. Dari sini dia akan dapat melihat
dengan jelas segala sesuatu yang ada di halaman Keratonnya. Tapi
begitu dia berada di atas atap, kagetlah sang pangeran. Seorang pemuda
berambut gondrong yang tak asing lagi dilihatnya duduk bersila enak-
enakan di atas atap sambil mengunyah sebuah jagung bakar. Sebuah
jagung lagi dipegangnya ditangan kiri.
“Kurang ajar, jadi kau rupanya yang hendak membuat keributan
di tempat kediamanku! Apa masih belum kapok…? Apa sudah begitu
ingin buru-buru mampus pendekar sableng…?!”
Pemuda gondrong berpakaian putih robek-robek serta banyak
bekas luka di tubuh dan wajahnya, tersenyum lebar dan angkat tangan
kirinya yang memegang jagung. Dengan mulut masih penuh dia berkata:
“Tenang… jangan cepat-cepat naik darah Pangeran! Bukan aku yang
mau membuat keonaran disini! Tapi ada orang lain! Dan aku mau
menyaksikan bagaimana dia akan membantai tubuhmu!”
“Keparat! Apa maksudmu Pendekar 212?! Siapa orang yang
katamu hendak membantaiku itu?!” bentak Pangeran Matahari dengan
marah hingga rahangnya tampak menonjol dan pelipisnya bergerak-
gerak.
“Ssst… Jangan bicara keras-keras. Nanti kedengaran si tukang
bantai itu!” ujar pemuda berpakaian putih yang bukan lain adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng. “Ini, kau makan dulu jagung bakar ini.
Rasanya enak, manis gurih dan masih panas!” Lalu seenaknya Wiro
lemparkan jagung yang di tangan kirinya ke arah Pangeran Matahari.
Karena lemparan jagung itu mengarah ke mata kanannya dan jika
dibiarkan bisa mencelakai dirinya, mau tak mau Pangeran Matahari
terpaksa cepat-cepat menyambuti jagung bakar itu dengan mata
membeliak,
“Sudah, makan saja dulu jagung itu! Kalau perut kenyang, tentu
kau akan lebih senang menghadapi musuh yang datang!” ujar Wiro pula
lalu tertawa mengekeh tapi perlahan-lahan.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 40
“Bangsat!” maki Pangeran Matahari. Jagung bakar yang
dipegangnya di tangan kanan hendak dibantingkannya ke atas atap.
Tapi tangannya ditarik kembali. Lalu seperti orang kelaparan jagung
bakar itu digerogotinya dengan cepat. Sebentar saja jagung itu hanya
tinggal bonggolnya!
“Nah, begitu baru hebat!” Wiro acungkan jempol tangan kirinya.
“Sekarang kau majulah ke ujung atap sana. Kau akan melihat siapa
pembantai yang sedang menunggumu di halaman Keraton!”
Masih dengan mata melotot dan rahang menggembung, Pangeran
Matahari melangkah ke ujung atap. Wiro jatuhkan tubuhnya sama rata
dengan atap ketika Pangeran Matahari melompatinya. Begitu sampai di
ujung atap dan memandang ke halaman di bawahnya, terkejutlah
Pangeran Matahari menyaksikan pemandangan di bawah sana!
Empat orang pengawal Keraton bergeletakan di tanah. Dua
dengan kepala pecah, dua lagi dengan dada dan perut jebol! Bukan ke-
matian empat pengawal itu yang membuatnya terkesiap. Tapi justru dia
melengak ketika melihat siapa yang berdiri diantara empat mayat!
“Aneh, aku tidak mendengar pekik mereka! Dan orang yang tegak
diantara mayat-mayat itu…?” Pangeran Matahari usap matanya sampai
pedas. “Mararanta Tangkario! Mana mungkin! Ki Dukun,Sura
Manjangan bukankah sudah membunuhnya beberapa waktu lalu…?”
Pangeran Matahari seolah bicara pada dirinya sendiri.
“Dukunmu yang pandai mengirimkan golok terbang pembunuh
sampai ke seberang lautan itu sudah digasaknya sampai mampus
beberapa hari lalu, Pangeran…!” Satu suara terdengar disamping sang
Pangeran. Tanpa berpaling Pangeran Matahari sudah tahu kalau yang
bicara adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Bagaimana kau bisa tahu?!” Pangeran Matahari bertanya tidak
percaya.
“Aku menyaksikannya sendiri!” sahut Wiro.
“Dia sudah mampus! Mana mungkin bisa hidup lagi!”
“Dia memang sudah mampus! Lihat bekas luka bacokan yang
mematikan di lehernya serta darah kering yang menodai pakaiannya. Itu
pertanda bahwa dukunmu itu memang telah menyelesaikan tugasnya
membunuh manusia bernama Mararanta Tangkario itu. Namun ada
satu kekuatan lain diluar akal manusia yang mampu
menghidupkannya. Ingat kejadian beberapa waktu lalu? Dialah yang
telah menghancurkan rumah papan milikmu lalu melarikan Minari! Saat
ini kau lihat sendiri, perempuan yang jadi istrinya itu didukungnya di
bahu kiri!”
“Bangsat! Dulu dia melarikan diri ketika kuhajar habis-habisan!
Kalau dia memang mayat yang dihidupkan. Rupanya hendak minta mati
kedua kali!”
“Pangeran, jangan menganggap enteng lawanmu itu. Dulu di
masih merupakan manusia biasa. Saat ini mungkin setengah setan
setengah iblis! Kau tak bakal menang menghadapinya. Itulah sebabnya
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 41
tadi kuberikan jagung bakar itu agar kau bisa mati dengan perut
kenyang! Di liang kubur atau di neraka tak ada yang akan memberikan
makan, apalagi jagung bakar segurih itu padamu. Ha… ha… ha…!”
“Sialan, anjing kurap!” maki Pangeran Matahari. “Kau saksikan
bagaimana aku akan melumat tubuh mahluk itu bersama istrinya!
Kalau keduanya sudah mampus, giliranmu akan kuhajar sampai
bangkaimu hanya tinggal tulang dan daging tak berbentuk!”
“Ah, mauku kau mampus di tanganku Pangeran. Tapi buat apa
bercapai tangan kalau ada yang lebih mampu melakukannya. Aku
hanya tinggal menonton saja! Ha… ha… ha!”
“Keparat kau, Pendekar 212! Kau tunggu giliranmu! Jangan kabur
dari sini!”
Sehabis mendamprat begitu Pangeran Matahari langsung
melompat turun ke halaman Keratota kecil. Gerakannya sebat kedua
kakinya menyentuh tanah tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Begitu
berhadapan dengan Mararanta Tangkario, Pangeran Matahari langsung
menyapu orang itu dengan pandangan mata tajam dan ketika melihat
bagaimana disiang bolong itu kedua kaki Mararanta Tangkario sama
sekali tidak menginjak tanah, berdesirlah darah Pangeran Matahari.
“Jadi benar yang kulihat ini bukan manusia!”
“Pa… nge… ran… Ma… ta… ha… ri! Kau… ber… ha… sil… mem…
bu… nuh… ku… se… ca… ra… ke… ji… pe… nge… cut… Si… ang… i…
ni… a… ku… da… tang… un… tuk… me… ngam… bil… nya… wa… mu”
Mayat Hidup Gunung Klabat langsung membuka mulut begitu melihat
Pangeran Matahari berada di hadapannya.
Sang Pangeran tentu saja tercekat ketika mendengar suara orang
itu. Aneh mengerikan. Tapi kecongkakannya masih bisa membuatnya
ajukan pertanyaan.
“Katakan dulu kau ini benar mayat hidup yang gentayangan
untuk menuntut balas…?”
“Kau… ti… dak… bu… ta… Ke… ja… ha… tan… mu… sa… ngat…
ke… ji… Kau… men… cu… lik… is… tri… ku… mem… per… ko… sa…
nya…”
“Lalu apakah saat ini kau datang untuk mengantarkan istrimu,
menyuguhkannya padaku? Ha… ha…! Aku tidak perlu lagi perempuan
busuk itu Mararanta! Nikmatilah sendiri olehmu!”
“Ma… nu… sia… dur… ja… na… ber… da… rah… bi… na… tang…
ber… ha… ti… ib… lisi A… jal… mu… su… dah… sam… pai…!”
Mayat Hidup Gunung Klabat lalu meniup keras-keras dan
bersamaan dengan itu tangan kanannya dihantamkan ke arah Pangeran
Matahari.
Kagetlah sang Pangeran ketika merasakan bagaimana halaman itu
berubah seperti dibakar kobaran api. Hawa.panas yang luar biasa
disertai dorongan yang dahsyat membuatnya berteriak keras, melompat
setinggi tiga tombak, lalu dari atas dia lepaskan pukulan sakti bernama
pukulan Gerhana Matahari!
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 42
SINAR KUNING, MERAH DAN HITAM berkiblat, menderu ke arah
Mayat Hidup Gunung Klabat. Bumi seperti dipanggang saking panasnya.
Siapa saja yang kena tersambar angin pukulan sakti itu pastilah akan
hangus tubuhnya. Kalau sampai terkena telak maka dia akan mati
dengan tubuh gosong! Namun Mayat Hidup Gunung Klabat tidak
perdulikan serangan berbahaya yang bisa membawa maut itu. Udara
panas yang keluar dari serangan lawan baginya suatu hal yang biasa.
Malah ketika tiga sinar itu menyambar tubuhnya, dia jentikan lima
jarinya ke udara. Lima sinar putih terang benderang menyambar ganas.
Bummm! Bummm! Buuuummmm!
Terdengar suara ledakan tiga kali berturut-turut ketika tiga dari
lima sinar terang yang keluar dari jari-jari tangan Mayat Hjdup Gunung
Klabat menghantam berantakan tiga sinar sakti pukulan Gerhana
Matahari yang dilepaskan Pangeran Matahari. Sisa dua sinar lagi terus
menyambar mencari sasaran di tubuh sang Pangeran.
Kaget Pangeran Matahari bukan olah-olah. Dengan muka pucat
dan berseru tegang dia jatuhkan diri ke tanah, lewat diantara dua
sambaran sinar serangan lawan lalu bergulingan di tanah. Waktu
bergulingan dia sengaja membuat gerakan menyamping. Pertama agar
dapat melihat gerakan lawan berikutnya, kedua karena dia ingin cepat-
cepat membereskan lawan ganas itu dengan pukulan sakti berikutnya
yakni pukulan Telapak Merapi.
Pangeran Matahari berguling sambil angkat kedua tangannya
yang mengepal. Lalu mendorong dalam gerakan perlahan. Terdengar
suara bersuit keras. Mayat Hidup Gunung Klabat tersentak ketika ada
dua hawa sakti yang luar biasa panasnya tanpa kelihatan bayangan
atau sinarnya menggebu menelikungnya. Yang pertama menerpa ke
arahnya, yang kedua menyambar ke arah Minari yang ada di bahu
kirinya.
Melihat orang hendak mencelakai istrinya, marahlah Mayat Hidup
Gunung Klabat. Tangan kanannya diangkat ke atas, lututnya menekuk.
Tubuhnya yang seperti membungkuk itu tiba-tiba berputar seperti
titiran, bersamaan dengan itu tangan kanannya menghantam tiga
kali,berturut-turut. Terdengar suara menggelegar susul menyusul. Di
udara tampak tiga kilatan menyilaukan laksana petir menyambar. Dua
menghantam pukulan sakti Pangeran Matahari, yang ketiga melabrak ke
arah sang Pangeran sendiri. Meskipun Pangeran Matahari masih
sanggup menyelamatkan diri dari serangan maut itu, namun tubuhnya
terbanting tunggang-langgang oleh gelegar dahsyat tadi. Dia jatuh
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 43
terkapar di tanah dengan dada mendenyut sakit dan wajahnya yang
angkuh kini tampak sepucat kertas.
Kilatan seperti petir yang ke tiga lewat diatas tubuh Pangeran
Matahari, terus menghantam atap Keraton kecil dimana Pendekar 212
berada. Atap yang terbuat dari genting itu hancur berantakan dan
Pendekar 212 sendiri tak ampun lagi terperosok jatuh ke dalam
bangunan Keraton.
Hebatnya murid Sinto Gendeng ini jatuh tepat di jurusan kamar
Pangeran Matahari, tepat di atas ranjang dimana saat itu Nyiruni masih
terbaring bugil sambil enak-enakan menyantap sebuah jeruk besar.
Karuan saja perempuan cantik ini terpekik kaget sementara
Pendekar 212 Wiro Sableng juga tak kalah kejutnya. Tapi begitu melihat
wajah cantik tanpa pakaian itu diapun tertawa lebar. Perempuan ini
pastilah salah satu perempuan penghibur Pangeran Matahari, pikir
Wiro.
“Siapa kau…?” tanya Wiro.
“Kau yang siapa?!” balik bertanya Nyiruni dengan suara keras dan
setengah ketakutan karena masih belum hilang kagetnya.
“Aku salah seorang pengawal Pangeran. Saat ini dia tengah
berkelahi melawan musuh kelas berat. Dia minta aku menjagamu. Kau
tak perlu takut. Tampangku tidak lebih jelek dari Pangeran itu, bukan?”
“Memang kau… hem… Kau lebih ganteng dari Pangeran Matahari.
Tapi bajumu kotor, robek-robek dan tubuhmu dekil…” jawab Nyiruni.
“Ah, kalau begitu aku perlu mandi dulu. Ada kamar mandi di
tempat ini…?” tanya Wiro. Lalu enak saja dia membuka baju putihnya.
Nyiruni hendak mendamprat. Tapi begitu melihat tubuh sang
pendekar yang kekar penuh otot serta ada rajah 212 di dadanya,
perempuan yang pada dasarnya memang bangsa jalang ini diam saja.
Dia menunjuk ke sebuah pintu berwarna kuning muda dan berkata:
“Dibalik pintu itu ada sebuah kolam. Kau boleh membersihkan dirimu
disana. Tapi awas. Sekali Pangeran mengetahui perbuatanmu ini,
jantungmu akan dibetotnya!”
Wiro tertawa sambil garuk-garuk kepala. Dia lari menuju pintu
kuning dan membukanya. Betul saja, di balik pintu itu terdapat sebuah
ruangan berbentuk kebun kecil. Di tengah kebun ada sebuah kolam dan
di atas kolam ada sebuah pancuran yang selalu mengucurkan air jernih
dan sejuk. Murid Sinto Gendeng tanggalkan pakaiannya lalu mencebur
masuk ke dalam kolam. Dia baru saja membasahi kepalanya ketika tiba-
tiba pintu kuning terbuka dan seseorang masuk. Pendekar 212
terbelalak.
“Jika Pangeran mengetahui perbuatanmu, bukan jantungku yang
dibetotnya, tapi jantungmu yang akan dicopotnya!” kata Wiro. Lalu
sepasang kaki mulus Nyiruni masuk ke dalam kolam. “Edan diluar sana
orang berkelahi mati-matian, kita disini…”
“Kita juga mati-matian…!” jawab Nyiruni lalu membenamkan
tubuhnya ke dalam air.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 44
KETIKA PENDEKAR 212 keluar dari dalam Keraton menuju ke
halaman depan dilihatnya perkelahian antara Mararanta Tangkario alias
Mayat Hidup Gunung Klabat melawan Pangeran Matahari berkecamuk
dengan hebat. Sang Pangeran telah menghujani lawannya dengan
pukulan-pukulan sakti namun jangankan membuat lawan roboh,
bahkan dirinya semakin lama semakin terdesak!
“Heran, ilmu dan kekuatan iblis apa yang dimiliki si Mararanta
ini?!” pertanyaan itu selalu muncul dalam hati Pangeran Matahari.
Setelah belasan jurus menyerang dan menghantam satu hal yang tak
pernah dilakukannya selama ini dalam menghadapi berbagai musuh
maka akal licik mulai muncul di benak Pangeran Matahari. Dia sengaja
mendesak dengan serangan berantai, ketika Mayat Hidup membalas
dengan ganas, Pangeran Matahari sengaja mentalkan dirinya sambil
menjerit keras lalu roboh berguling-guling di tanah.
Wiro Sableng terbeliak menyaksikan kejadian itu. “Ah… akhirnya
sampai juga ajalnya desis Wiro. Lalu dilihatnya Mayat Hidup Gunung
Klabat bergerak mendekati sosok tubuh Pangeran Matahari yang
terkapar di tanah sambil masih terus mendukung tubuh Minari yang
berada dalam keadaan pingsan. Namun ketika hanya tinggal satu
langkah dari hadapan tubuh Pangeran Matahari, tiba-tiba tubuh itu
bergerak. Sang Pangeran yang diam-diam telah menyiapkan diri dengan
tenaga cfalam penuh, hantamkan kedua tangannya. Tangan kiri
melepas pukulan Gerhana Matahari sedang tangan kanan lepaskan
pukulan Merapi Meletus!
“Bang… sat… Ii… cik!” teriak Mayat Hidup Gunung Klabat.
Mulutnya meniup dan tangan kanannya dihantamkan kebawah!
Desss!
Bukkk!
Bummm… bummm!
Tanah dan pasir beterbangan. Sebuah lobang besar lagi kelihatan
di halaman Keraton itu.
Mayat Hidup Gunung Klabat terpental dua tombak. Tapi hebatnya
dia tidak cidera sedikit-pun bahkan Minari yang didukungnya tidak
terlepas seolah-olah menempel ke bahunya.
Sebaliknya Pangeran Matahari tampak terkapar menelentang.
Dadanya seperti ditusuk besi-besi tajam. Dia sadar kalau pukulan
lawan, walaupun agak meleset telah mematahkan beberapa tulang
iganya! Sekujur tubuhnya mendadak sontak dijalari hawa panas.
Dadanya mendenyut sakit. Dan saat itu dilihatnya Mayat Hidup Gunung
Klabat melangkah menghampirinya!
“Kalau dia menghantam, aku tak punya daya untuk menghindar.
Apa yang dikatakan Pendekar 212 memang benar! Makhluk ini memiliki
kekuatan dan kesaktian luar biasa. Ah… tamatlah riwayatku hari ini…!”
Pangeran Matahari berpaling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat
itu dilihatnya pendekar itu tegak di depan tangga Keraton sambil
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 45
mengangkat kedua tangannya ke atas. Dua telapak tangan
dikembangkan lalu diputar.
“Apa pula yang dikerjakan pendekar sableng itu. Aku sudah mau
dibantai orang, dia masih saja berbuat yang bukan-bukan!” rutuk
Pangeran Matahari.
Putaran kedua tangan Wiro mula-mula perlahan. Lalu makin lama
makin kencang, makin kencang dan udara di tempat itu mendadak
mengalami perobahan! Hawa dingin disertai tiupan angin yang seperti
seruling menggantikan udara yang tadinya terasa panas. Mayat Hidup
Gunung Klabat yang dasar kesaktiannya adalah hawa panas, kini
merasakan tubuhnya jadi menggigil. Kedua kakinya menjadi berat
untuk dilangkahkan. Semakin dipaksanya, semakin beringas dan marah
dia maka semakin keras hawa dingin menerpa dirinya. Sekujur
badannya basah kuyup oleh cairan sedingin es yang kemudian seperti
membeku membuat dia tak bisa menggerakkan bagian tubuhnya lagi.
Dicobanya meniup. Otot mulutnyapun ternyata sudah kaku!
Lain halnya dengan Pangeran Matahari.
Walaupun dirinya kini terlepas dari ancaman maut Mayat Hidup
Gunung Klabat, namun keadaan Pangeran Matahari lebih tersiksa. Di
sebelah luar sekujur tubuhnya seperti beku dilapisi cairan dingin.
Sebaliknya di sebelah dalam ada hawa panas menggarang akibat
pukulan Mayat Hidup Gunung Klabat tadi. Setiap nafas yang ditariknya
membuat dadanya mendenyut sakit. Dari mulutnya terdengar suara
menggigil diseling oleh suara mengerang kesakitan.
Apakah sebenarnya yang terjadi. Dari mana datangnya hawa
dingin, yang membungkus tubuh Mayat Hidup dan Pangeran Matahari
itu?
Seperti diketahui, dari sang guru Eyang Sinto Gendeng, Pendekar
212 Wiro Sableng mendapat warisan beberapa pukulan sakti. Salah satu
diantaranya adalah pukulan aneh yang tidak langsung ditujukan pada
lawan, tetapi dilakukan demikian rupa hingga udara secara tiba-tiba
menjadi sangat dingin dan lawan akan menjadi kaku dibawa tindihan
udara dingin itu. Tubuhnya akan basah kuyup oleh lapisan air sedingin
es! Ilmu pukulan itu yang bernama angin es itulah yang dikeluarkan
oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Karena baik Mayat Hidup maupun
Pangeran Matahari memiliki dasar kesaktian yang sama yaitu bertumpu
pada hawa panas, maka dengan sendirinya keduanya tidak terbiasa
dengan hawa dingin. Akibatnya mereka akan lebih cepat dikuasai oleh
pukulan angin es yang membuat Pangeran Matahari jatuh pingsan
dalam keadaan kaku sementara Mayat Hidup berubah menjadi mayat
kaku tak kuasa bergerak, tak kuasa berbicara. Minari, yang berada
dalam keadaan pingsan dan tak tahu apa-apa itu terbungkus air es.
Pada saat keadaan seperti itulah tiba-tiba ada sosok tubuh
melayang laksana orang berjalan di atas awan atau di balik kabut.
Orang ini kelihatan samar-samar sekali, antara ada dan tiada. Dia
mengenakan baju putih dengan panjang celana putih gombrong.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 46
Rambutnya yang putih mehjela bahu melambai-lambai di tiup angin.
“Pendekar muda, cukup sudah kau memberi pelajaran pada
cucuku. Harap kau suka menghentikan serangan hawa sedingin salju
ini!”
Yang bicara ternyata adalah orang tua yang kelihatan samar-
samar. Suaranya seperti datang dari jauh tetapi cukup jelas. Wiro
memandang ke jurusan si orang tua.
“Manusia bayangan… Siapa kau adanya?!” Wiro bertanya. “Kau
menyebut seseorang sebagai cucumu. Siapa…? Mararanta Tangkario
alias Mayat Hidup Gunung Klabat itu…?”
“Benar sekali pendekar muda…”
Wiro melangkah lebih dekat. “Astaga… Ke dua matamu buta,
orang tua! Dan sosok tubuhmu bukanlah sosok tubuh sebenarnya…
Apakah kau juga sebangsa mayat hidup?!”
“Tidak, aku bukan mayat hidup seperti cucuku ini. Aku hanya
mengandalkan kekuasaan dari Tuhan untuk mengirimkan bayang-
bayang tubuhku ke tempat ini…”
“Luar biasa!” ujar Wiro sambil goleng-goleng kepala.
Orang tua itu tersenyum. “Bagi Tuhan tak ada yang luar biasa,
anak muda. Namaku Walalangi… Aku datang untuk membawa cucu dan
sekaligus muridku ini kembali ke Minahasa…”
“Dan juga membawa perempuan di atas bahunya itu…?”
Si orang tua gelengkan kepala. “Justru disitulah letak kesalahan
cucuku satu ini. Tujuannya untuk datang ke tanah Jawa adalah untuk
membalaskan sakit hati dendam kesumat pada manusia bernama
Pangeran Matahari itu. Namun dia membawa serta maksud lain yang
menyalahi aturan…”
“Apakah itu…?” tanya Wiro.
“Aku katakan sejujurnya. Pertama dia ingin memiliki kembali
perempuan yang perhah jadi istrinya. Padahal itu tak mungkin terjadi
karena mereka berada di dua alam yang berbeda. Kedua setelah
memiliki kesaktian luar biasa dalam hati kecil cucuku ada terniat
keinginan untuk menguasai dunia persilatan di tanah Jawa ini.
Padahal… janji semula begitu urusannya selesai dia harus kembali ke
bentuknya semula. Kembali ke alamnya semula, alam barzah… Karena
telah melanggar perjanjian, saat ini dia tak mampu lagi melakukan
pembalasan terhadap Pangeran Matahari…”
Orang tua itu tersenyum dan gelengkan kepalanya. “Tuhan lebih
tahu dari kita tentang segala urusan dendam kesumat. Kita manusia
jangan sekali-kali merasa lebih pandai dari Tuhan. Aku merasa
menyesal telah memenuhi permintaan cucuku ini, juga permintaan
istrinya yang di Minahasa. Yaitu agar rohnya bisa dibangkitkan lagi
untuk melakukan pembalasan
“Orang tua, kalau kau ingin membawa cucumu itu kembali, lebih
cepat akan lebih baik… Kasihan rohnya berada dalam keadaan seperti
ini…” kata Wiro pula.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 47
Walalangi mengangguk. Dia mengusap punggung. Minari. Dari
tubuh perempuan itu keluar kepulan asap tanda ada hawa panas yang
dialirkan si orang tua ke tubuh Minari. Saat itu juga hawa dingin serta
cairan es yang membungkus tubuh Minari menjadi pupus dan terdengar
suara perempuan itu mengerang. Walalangi menurunkan tubuh Minari
dari atas bahu Mararanta Tangkario lalu menyerahkannya pada Wiro
seraya berkata : “Bawalah dia pergi dari tempat ini. Penderitaannya
sudah cukup banyak…”
Wiro mendukung Minari yang masih belum siuman sepenuhnya
itu di bahu kirinya. Lalu dilihatnya si orang tua mengusap punggung
Mararanta Tangkario. Kembali ada asap yang mengepul. Sosok Mayat
Hidup itu tampak bergerak. Lalu si orang tua cepat memegang. bahunya
dan berkata: “Cucuku Mararanta, saatmu untuk kembali ke puncak
Klabat…”
Mayat Hidup itu anggukkan kepala. Lalu sesaat dia berpaling ke
arah Minari dan pandangi kepala perempuan itu. Wiro jadi terkesiap
ketika dia melihat dari kedua mata Mayat Hidup ada air mata yang jatuh
berderai. Melihat kejadian ini mau tak mau hatinya menjadi luruh
karena haru. Mayat saja masih punya perasaan, mengapa manusia
tidak…? Itu yang terpikir dalam hati Pendekar 212 saat itu.
“Cucuku… saatnya kau pergi…” terdengar suara orang tua
bernama Walalangi.
Mayat Hidup Gunung Klabat perlahan-lahan memutar tubuhnya.
Lalu dalam gerakan seperti melayang sosoknya berkelebat ke udara,
makin tinggi, makin tinggi dan akhirnya lenyap.
Si orang tua menarik nafas lega, dia berpaling pada Wiro dan
berkata.
“Giliranku minta diri…” Lalu dia menjura dalam-dalam. Wiro
membalas dengan menjura lebih dalam.
Ketika dia meluruskan badannya kembali, orang tua itu sudah tak
ada lagi disitu.
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya.
“Ilmu mengirimkan bayang-bayang tubuh yang dimiliki orang tua
itu sungguh luar biasa…” katanya sambil geleng-geleng kepala. “Banyak
orang sakti mandraguna di tanah Jawa ini, namun tanah lain ternyata
juga menyimpan rahasia kesaktian yang aneh-aneh dan sulit dicari
tandingannya. Benar kata orang-orang persilatan, di luar langit masih
ada langit lagi!”
Wiro melangkah tinggalkan bagian depan Keraton kecil. Ketika
sampai di hadapan Pangeran Matahari yang pingsan karena kesaktian
hawa dingin yang tadi dilepas oleh Wiro, murid Sinto Gendeng ini
tersenyum. “Pangeran, walau saat ini telingamu tidak mendengar,
antara kita berdua kini sudah impas. Kau tidak membunuhku ketika
aku pingsan dihantam Mayat Hidup Gunung Klabat itu. Dan sekarang
akupun tidak membunuhmu ketika kau pingsan. Di lain hari, jika kita
bertemu lagi ceritanya tentu lain lagi…”
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 48
Lalu sang pendekar memandang ke arah Keraton. Terbayang
olehnya wajah dan tubuh Nyiruni yang saat itu tentu masih terbadai
tertidur keletihan. Wiro menyengir sendiri lalu lanjutkan langkahnya.
TAMAT
INI SATU PEMANDANGAN yang mengerikan bagi siapa saja yang
menyaksikan. Bagaimana tidak. Di malam buta ketika tak ada rembulan
dan langit tidak pula berbintang, dibawah kepekatan yang menghitam
gelap disertai hembusan angin mencucuk dingin, ditambah dengan
turunnya hujan rintik-rintik, seekor kuda putih berlari kencang menuju
puncak Gunung Klabat. Sambil lari binatang ini tiada hentinya
keluarkan suara meringkik keras dari sela mulutnya yang berbusa.
Di atas punggung kuda putih itu membelin-tang sesosok tubuh
yang sudah tidak bernyawa lagi. Sesosok mayat seorang lelaki
separuhbaya berambut panjang sebahu dengan luka bekas bacokan
pada pangkal lehernya. Sebagian wajah dan leher serta dadanya
dibasahi oleh darah yang masih hangat tanda orang ini belum begitu
lama menemui ajalnya.
Di belakang mayat yang membelintang di atas punggung kuda itu,
duduk seorang perempuan berwajah bulat, berpakaian merah.
Rambutnya yang panjang tergerak lepas dan berkibar-kibar ditiup
angin. Perempuan inilah yang memacu kuda itu dengan segala
kemampuan yang ada. Dia menunggang kuda putih sambil air mata
mengucur membasahi kedua pipinya yang merah.
Betapapun mengerikan melihat berkelebatnya tiga mahluk itu
dalam kegelapan malam namun mereka bukanlah setan atau mahluk
jejadian. Ketiganya tetap mahluk ciptaan Tuhan, dua dalam keadaan
hidup dan satu sudah jadi mayat!
Menjelang dinihari, kuda putih itu mencapai puncak gunung yang
sangat curam dan perjalanan tak mungkin diteruskan dengan
menunggangi binatang itu. Menyadari hal itu, perempuan muda
penunggang kuda cepat melompat turun, menarik sosok mayat lelaki
lalu memanggulnya di bahu kanan. Sebelum pergi, dia memegang leher
binatang itu dan berkata
“Putih! Kau tetap disini. Tunggu sampai aku kembali!”
Seperti mengerti ucapan orang, kuda putih itu meringkik keras,
lalu tundukkan kepalanya, menyusup mencari rerumputan liar diantara
semak belukar.
Setengah berlari perempuan muda itu memanggul mayat di bahu
kanannya menuju puncak gunung sementara di timur langit mulai
tampak membersitkan sinar kekuning-kuningan tanda tak lama lagi
sang surya akan kembali muncul menerangi bumi Tuhan.
Di puncak gunung yang temaram itu udara semakin keatas terasa
dingin. Tapi perempuan yang memanggul mayat itu justru telah basah
kuyup pakaian merahnya. Sekujur tubuhnya sakit dan letih bukan
kepalang bahkan kedua kakinya laksana kaku dan sukar untuk diajak
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 3
berlari lebih cepat. Namun kekerasan hatinyalah yang membuat
perempuan itu terus bersikeras mendaki sampai ke puncak teratas
Gunung Klabat. Dan tepat ketika sang surya tampak menyembul di ufuk
timur, dia sampai di puncak gunung. Matanya memandang ke arah
sebuah pondok kayu beratap ijuk, satu-satunya bangunan di tempat itu.
Dia langsung melangkah naik ke atas langkan berlantai papan dan
mengetuk pintu yang tertutup.
“Bapak Tua Walalangi, bukakan pintu. Saya datang dari jauh
membawa berita buruk! Saya memerlukan bantuanmu!” Lalu
perempuan itu kembali mengetuk pintu, lebih keras dari tadi.
Di dalam terdengar suara tempat tidur berderik. Disusul suara
orang berdehem beberapa kali. Kemudian terdengar langkah-langkah
kaki menuju ke pintu. Sesaat kemudian pintu itu terbuka dengan
mengeluarkan suara berkereke-tan.
“Tamu dari mana yang muncul pagi-pagi buta begini?!” Satu suara
lebih dulu terdengar baru menyusul muncul orangnya dari balik daun
pintu.
Orang ini ternyata adalah seorang kakek berwajah tirus, berambut
putih panjang sebahu tapi jarang, mengenakan baju lengan panjang dan
celana gombrong putih.
“Saya Sulami Tangkario datang dari selatan Gunung Klabat
“Tangkario. Hem… Aku pernah dekat dengan nama keluarga
Tangkario. Tapi…” Si orang tua dongakkan kepalanya. Cuping
hidungnya sesaat tampak mengembang.
“Hemmm… Aku mencium bau mayat…” desisnya kemudian
“Bapak Tua Walalangi,” perempuan yang mendukung jenazah
berkata dengan heran.
“Apakah sejak tadi kau tidak melihat saya memanggul mayat di
bahu kanan…” Perempuan ini memandangi wajah orang tua itu lekat-
lekat. Kemudian terdengar suaranya agak tertahan : “Astaga, Bapak
Tua… Kedua matamu ternyata buta! Harap maafkan orang
Ternyata Bapak tua bernama Walalangi itu memang buta nyalang
sepasang matanya yang berwarna kelabu. Dia mengangguk perlahan
lalu ulurkan tangan meraba kepala mayat. Tangannya kemudian turun
kebawah, sampai di leher berhenti beberapa ketika. Ada darah hangat
dan licin terasa membasahi jari-jarinya dan dia dapat meraba luka
bacokan di leher mayat.
“Siapa yang berbuat sekejam ini…” katanya dengan suara
tercekat. “Kau telah mendukung mayat itu cukup jauh tentunya.
Letakkan di lantai dan katakan apa kau punya hubunganmu dengan
mayat yang kau bawa kemari ini!”
Sulami Tangkario perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati
menurunkan mayat di bahu kanannya lalu membujurkannya di lantai
langkan yang bertutupkan tikar jerami. Dia duduk bersimpuh di depan
mayat, mengusap air mata yang membasahi pipinya baru menjawab
pertanyaan orang tua tadi.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 4
“Siapa yang membunuhnya saya tidak mengetahui dengan jelas,
Bapak Tua. Saya hanya bisa menduga. Ketika suami saya sedang tidur,
tiba-tiba sebuah golok besar secara aneh melesat, menembus langit-
langit kamar, langsung menghantam pangkal lehernya. Saya berusaha
mengejar si pembunuh ke atas atap setelah lebih dulu mencabut golok.
Tapi siapapun pembunuhnya dia telah lebih dulu raib…”
“Jadi yang kau bawa ini adalah jenazah suamimu sendiri,
Sulami?”
“Betul Bapak Tua…”
“Siapakah nama suamimu, perempuan malang?”
“Mararanta Tangkario…” Jawab Sulami.
Paras si orang tua tampak berubah. “Jadi… Mararanta. Ah, dia
masih salah satu cucu-cucuku yang bertebaran di Minahasa ini…
Sulami, ceritakan apa yang terjadi…”
“Saya sudah menceritakannya tadi Bapak Tua Walalangi.”
“Betul. Tapi kau belum menerangkan apa latar belakang semua
kejadian ini. Suamimu bukan manusia sembarangan. Seorang pendekar
yang memiliki kepandaian tinggi. Hampir mustahil kalau ada orang yang
mampu membokongnya sekalipun dalam keadaan tidur. Kalau itu
terjadi, berarti ada orang berkepandaian sangat tinggi yang
melakukannya!”
“Sayapun menduga demikian Bapak Tua,” sahut Sulami
Tangkario. Lalu perempuan ini menuturkan. “Enam bulan yang lalu
saya bertemu pertama kali dengan Mararanta. Waktu itu dia baru saja
kembali dari tanah Jawa. Mungkin kami berjodoh lalu melangsungkan
pernikahan. Setelah nikah satu bulan saya melihat ada satu kelainan
dalam diri Mararanta. Dia sering bersikap seperti ketakutan. Seperti ada
sesuatu atau seseorang yang selalu membayanginya. Berkali-kali saya
tanya dia tidak mengaku. Namun dua minggu yang lalu akhirnya dia
menceritakan bahwa di Jawa dia telah bentrokan dengan seorang
pendekar berkepandaian tinggi sekali. Karena tidak mungkin
menghadapinya, Mararanta akhirnya cepat-cepat kembali ke Minahasa.
Namun dia merasa seperti ada seseorang atau makhluk aneh yang
mengikutinya
“Suamimu menerangkan apa sebab musabab bentrokan itu dan
siapa orang yang menjadi lawannya?” bertanya Bapak Tua Walalangi.
“Menurut suami saya waktu berada di Jawa dia sempat mengawini
seorang gadis bernama Mlnari. Gadis itu ternyata adalah kekasih
seorang pendekar berkepandaian tinggi: Namun Minari sendiri tidak
menyukai pendekar itu. Itulah sebabnya dengan seizin kedua orang
tuanya Minari kawin lari dengan Mararanta. Tapi Minari kemudian
diculik sedang Mararanta sendiri dikejar-kejar. Dalam keadaan sangat
terancam jiwanya Mararanta melarikan diri. Dia berusaha mencari
Minari terlebih dahulu, ketika sia-sia akhirnya dia kembali ke Minari
terlebih dahulu, ketika sia-sia akhirnya dia kembali ke Minahasa…”
Sulami terdiam sejenak. Setelah menyeka air mata yang masih
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 5
mengucur dia melanjutkan. “Malam tadi, begitu saya tidak berhasil
mengejar’ si pembunuh, saya cepat kembali ke dalam kamar. Saya
dapati Mararanta dalam keadaan sekarat. Namun sebelum
menghembuskan nafas dia sempat meninggalkan pesan…”
Bapak Tua Walalangi usap dagunya yang licin lalu bertanya : “Apa
pesan suamimu itu Sulami?”
“Dia minta agar jenazahnya dibawa kemari dan diperlihatkan pada
Bapak Tua. Dia juga mengatakan bahwa yang membunuhnya adalah
kekasih Minari. Dan katanya lagi… Dia tak akan tenteram di dalam
kubur sebelum dapat membalaskan sakit hati dendam kesumat
pembunuhan keji atas dirinya ini!”
Paras si orang tua kembali berubah. Kali ini lama dia berdiam
seperti merenung. “Begitu katanya…? Ah, sungguh satu pesan yang
berat. Tapi apa lagi yang disampaikannya sebelum meninggal?”
“Mohon maaf Bapak Tua…” kata Sulami. Dan bulu kuduknya
mendadak saja jadi merinding. “Dia berkata bahwa hanya Bapak Tualah
yang bisa menolongnya untuk membalaskan sakit hati itu. Dia minta
agar Bapak Tua memberi kehidupan sementara padanya agar dia dapat
mencari si pembunuh…”
“Ya Tuhan… Mengapa cucuku ini meninggalkan pesan berat
begini macam…?” Membatin Walalangi. Lalu dia berkata: “Ketahuilah
Sulami, aku bukan Tuhan bukan Malaikat. Aku tidak berkemampuan
memenuhi pesanan mendiang suamimu. Apalagi memberikan
kehidupan sementara seperti yang dikatakannya sebelum menghembus-
kan nafas…”
“Itulah yang saya tidak mengerti Bapak Tua. Jika pesannya saya
abaikan dan langsung menguburkannya, saya khawatir di liang kubur
keadaannya tidak tenteram seperti yang dikatakannya. Dan lebih dari
itu, yang paling saya takutkan, arwahnya akan gentayangan menjadi
setan penasaran, menimbulkan kegegeran dan keonaran dimana-
mana… Semua saya serahkan pada Bapak Tua. Hanya saya tak ingin
suami saya tersiksa di alam barzah kalau sampai pesannya tidak
dikabulkan…” Walalangi terduduk di depan mayat Mararanta Tangkario.
Berkali-kali orang tua ini mengusap wajahnya yang mendadak saja jadi
keluarkan keringat dingin.
“Sulami… Menurutmu Mararanta meninggal karena ada sebilah
golok yang secara aneh mencuat dari langit-langit kamar…”
“Betul sekali Bapak Tua.”
“Apakah senjata itu ada kau bawa?”
“Saya memang membawanya Bapak Tua…” jawab Sulami
Tangkario. Lalu dari balik bun-talannya dia mengeluarkan sebilah golok
tanpa sarung. Sebagian dari badan golok itu terlapis oleh darah yang
telah membeku. Darah suaminya! Perempuan ini serahkan senjata itu
ke tangan Walalangi.
Si orang tua pergunakan sepuluh jari-jari tangannya untuk
meraba badan golok dan juga gagangnya sementara wajahnya
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 6
ditengadahkan dan air mukanya tampak membesi.
“Ini memang golok Jawa…” kata Walalangi sesaat kemudian.
“Dapat diketahui dari bentuk badan dan potongan gagangnya. Senjata
ini mengandung racun jahat. Lebih cepat dimusnahkan lebih baik!”
Orang tua itu remaskan lima. jari tangan kanannya ke gagang
golok. Gagang yang terbuat dari kayu besi itu terdengar bederak hancur!
Lalu sepuluh jari tangannya bergerak di atas badan golok. Traak…
traakk… tring…I Golok beracun itu hancur menjadi patah tiga. Dengan
tangan kanannya Walalangi lalu melemparkan patahan golok jauh ke
puncak gunung sebelah selatan.
Lalu sambil memegang kepala Sulami orang tua ini berkata:
“Mararanta cucuku. Berarti kau juga cucuku. Aku tidak berkekuatan
untuk memenuhi permintaanmu dan pesan mendiang suamimu. Tapi
kalau Tuhan mengizinkan biarlah aku menanggung segala dosa dan
memenuhi permintaan Mararanta…”
Mendengar itu Sulami lalu jatuhkan kepalanya ke pangkuan si
orang tua. Walalangi usap-usap kepala perempuan itu lalu berkata: “Ada
satu hal yang harus kau lakukan sebelum aku dapat memenuhi pesan
suamimu itu, Sulami…”
“Mohon Bapak tua mengatakannya,” ujar Sulami pula.
“Apakah kalian tinggal di dekat sungai, di dekat laut atau di dekat
danau…?”
“Kami tinggal di pinggir danau Tondano, Bapak Tua…”
“Kalau begitu kembalilah ke sana. Ambil air danau Tondano,
masukkan dalam tujuh tabung bambu. Siapkan juga tujuh bungkus
kembang tujuh rupa. Paling lambat dalam waktu dua hari kau sudah
kembali kesini membawa benda-benda itu semua…”
“Saya akan melakukannya Bapak Tua. Saya akan berangkat
sekarang juga…I” kata Sulami Tangkario seraya hendak berdiri.
“Tunggu dulu cucuku…” kata si orang tua sambil memegang bahu
Sulami.
“Kau belum mengatakan siapa orang Jawa berkepandaian tinggi
yang menjadi lawan bentrokan suamimu itu…”
“Kalau saya tidak salah ingat, suami saya menyebut namanya
sebagai Pangeran Matahari!”
“Pangeran Matahari…” mengulang Walalangi dengan suara
berdesis. “Cucuku, kelihatannya kita akan menghadapi musuh yang
sangat tinggi kepandaiannya. Jangan lupa berdoa agar Tuhan
melindungi dan membantu kita…”
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 7
BEGITU TIGA ORANG penduduk desa itu selesai menimbun tanah
kuburan, orang tua itu anggukkan kepala, menyerahkan sebuah
bungkusan kecil dan berkata: “Kalian bertiga boleh pergi…”
Tiga orang itu ambil cangkul masing-masing lalu tinggalkan
tempat itu. Namun sebelum berjalan lebih jauh salah seorang dari
mereka berkata: “Aku berkata melihat ada keanehan pada upacara
penguburan jenazah tadi!”
“Acaranya sangat sederhana. Orang tua itu melafatkan doa tiada
henti sewaktu kita menimbun kubur. Apanya yang aneh…?” tanya
kawannya.
“Apakah kau tidak melihat tujuh batangan bambu berisi air lalu
tujuh kembang terbungkus dalam daun…? Disini ada adat kebiasaan
atau upacara seperti itu!”
Orang desa ke tiga akhirnya ikut membuka mulut. “Memang aku
setuju kalau ada keanehan. Bagaimana kalau kita kembali dan
mengintip apa yang dilakukan orang tua dan perempuan muda itu
selanjutnya…?”
Dua kawannya menyetujui. Maka tiga orang desa itu tinggalkan
pacul masing-masing di suatu tempat lalu kembali menuju ke tempat
pemakaman.
Sementara itu di puncak gunung. Walalangi ambil tujuh buah
tabung berisi danau Tondano. Satu demi satu tabung bambu itu
ditancapkannya di atas tanah makam yang merah, lurus mulai dari
kepala terus ke arah kaki. Setelah itu dia menyiapkan sebuah
pendupaan, membakar potongan-potongan kayu kecil dalam pendupaan
dan menebar bubuk kemenyan. Seantero tempat itu kini diselimuti asap
dan tebaran bau kemenyan yang harum tapi terasa mencekam.
Dengan kedua tangannya Walalangi pe-gangi ujung tabung bambu
sambil mulutnya tiada henti mengucapkan kalimat-kalimat panjang
yang tak jelas terdengar oleh Sulami. Selesai memegangi tabung bambu
yang ke tujuh di bagian kaki kubur, Walalangi kembali ke bagian kepala.
Disini dia mencelupkan tangan kanannya kedalam bambu berisi air.
Lalu tangan itu dikeluarkan dan air dicipratkannya ke atas kubur.
Demikian dilakukannya sampai tujuh kali.
Selesai itu orang tua tersebut ambil bungkusan daun berisi
kembang tujuh rupa. Bungkusan dibuka dan kembang di dalamnya
bukan ditebar diatas makam melainkan dimasukkan ke dalam tabung
bambu pertama, Demikian dilakukannya berturut-turut pada enam
tabung lainnya dan enam bungkus bunga.
“Sulami…” Walalangi melangkah mendekati istri cucunya itu.
“Dengar baik-baik… Apapun yang terjadi, apapun yang kelak kau
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 8
saksikan jangan sekali-kali mengeluarkan suara sedikit-pun! Jika itu
sampai dilanggar, usahaku untuk memenuhi permintaan suamimu akan
sia-sia belaka. Kau dengar itu Sulami…?”
Sulami menjawab dengan anggukan kepala. Lidahnya terasa
terlalu tercekat untuk bisa menjawab. Walalangi memutar tubuhnya,
kembali melangkah ke bagian kepala kuburan. Disini dia tegak dengan
kedua tangan diangkat tinggi-tinggi ke udara. Telapak tangan
dikembangkan. Dari mulutnya keluar ucapan: “Ya Tuhan pengusaha,
seluruh alam dan isinya. Tanpa kami mengutarakan lagi sesungguhnya
engkau telah mengetahui apa yang kami inginkan, apa yang si mati
inginkan. Kami harap kau berkenan mengabulkannya ya Tuhan. Jika
permintaan dan perbuatan kami ini merupakan satu dosa besar di
mataMu, mohon ampunanMu dan biarlah saya sendiri yang
menanggung segala dosanya!”
Selesai mengucapkan kalimat-kalimat itu dengan suara keras, lalu
Walalangi meneruskan kata-katanya dengan suara perlahan seperti
bergumam. Kembali Sulami Tangkario tidak dapat mendengar apa
sebenarnya yang dilafalkan orang tua itu. Namun sesaat kemudian dia
mendengar suara aneh dari dalam liang kubur yang baru saja ditimbun.
Bulu kuduknya berdiri. Matanya tak berkedip memandang ke arah
kubur suaminya. Tujuh batang bambu yang menancap di tanah merah
tampak bergerak, bergoyang-goyang sehingga air yang ada di dalamnya
sesekali muncrat keluar!
Ketika gerak dan goyangan itu akhirnya berhenti, dari tujuh mulut
bambu kini keluar masing-masing segulung asap tipis berwarna kelabu.
Tujuh gelungan asap ini saling berangkulan dan bergabung jadi satu
membentuk satu gulungan asap yang besar. Ketika Sulami
memperhatikan lebih lanjut terkejutlah perempuan muda ini. Gulungan
asap kelabu itu sedikit demi sedikit berubah menjadi bentuk sosok
tubuh manusia. Mula-mula samar-samar seperti sosok di balik kabut.
Namun lambat laun semakin jelas, semakin kentara dan akhirnya sosok
itu benar-benar berbentuk tubuh manusia! Dan manusia yang muncul
dari asap ini bukan lain adalah suaminya sendiri! Mararanta Tangkario!
Kalau tidak ingat pesan si orang tua mungkin saat itu Sulami
telah memekik keras. Dia kancingkan mulutnya rapat-rapat malah
letakkan tangan kanan di atas bibirnya agar jangan sampai
mengeluarkan suara sedikitpun.
Mararanta Tangkario tegak dengan kedua tangan lurus disamping
badan. Kepalanya mengarah ke tirfiur dan pandangan matanya lurus ke
depan, hampir tidak berkesip. Wajahnya agak pucat dan bibirnya sedikit
kebiruan. Pada lehernya tampak luka besar bekas bacokan. Darah
mengotori sebagian muka, leher dan pakaiannya. Dan pakaian itu
adalah pakaian yang dikenakannya ketika dia mati terbunuh!
“Mararanta… Kau dengar suaraku menyebut namamu?” Walalangi
bertanya dengan suara bergetar karena hampir tak kuasa menahan
gelegak dalam dadanya.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 9
Mararanta si mayat hidup tampak mengangguk. Anggukannya
perlahan dan sangat kaku.
“Ketahuilah bahwa hidupmu saat ini adalah bangkit dari alam
kematian, merupakan kehidupan sementara. Bila apa yang menjadi
niatmu telah tercapai, maka kau harus kembali ke puncak Gunung
Klabat ini dan beristirahat untuk selama-lamanya. Tapi jika kau
menyalahi tujuan-mu semula, yakni mempergunakan hidup
sementaramu ini untuk maksud lain, bukan untuk kepentingan yang
semula kau katakan sebelum ajalmu, maka kau tak akan pernah
kembali dan berkubur disini secara wajar. Seumur dunia, sampai
kiamat kau akan hidup terkatung-katung antara dua alam yakni dunia
dan akhirat. Dan diantara dua alam itu kau akan tersiksa amat sangat!
Karenanya lakukan apa yang kau inginkan semula, lalu kembali kemari.
Kau dengar Mararanta…?”
Kembali Mararanta mengangguk.
“Bagus. Tapi aku ingin mendengar suaramu. Kau mendengar
Mararanta…?”
“Sa… ya… men… de…ngar…” terdengar jawaban Mararanta
Tangkario. Suaranya aneh. Seperti datang jauh dari dalam sumur
angker, kaku dan lamban tanpa irama sama sekali!
“Sekarang kau boleh pergi cucuku. Pergilah ke tanah Jawa.
Lakukan apa yang kau inginkan. Balaskan sakit hatimu! Jangan
menyimpang dari itu!”
Kembali si mayat hidup itu anggukkan kepala. Tampak kakinya
bergerak turun dari tanah kuburan. Begitu menginjak tanah di samping
kuburan, sosok tubuh Mararanta tiba-tiba saja menjadi lenyap seperti
ditelan bumi.
Walalangi merasakan dadanya bergoncang keras. Sulami tiba-tiba
saja merasakan lututnya goyah dan perempuan ini langsung roboh ke
tanah.
Tiga orang penduduk desa yang mengintai di kejahuan, lari
menghambur ketakutan ketika melihat sosok mayat hidup itu bergerak
melangkah. Salah satu diantara mereka malah ada yang sampai
terkencing-kencing!
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 10
SEPERTI MELEDEK anak rusa itu tegak memandang ke arah pemuda
yang mengejarnya lalu kibas-kibaskan ekornya yang hanya sepanjang
jari telunjuk. Orang yang mengejar bergerak dua langkah lalu diam.
Anak rusa itu maju pula dua langkah lalu diam. Begitu dikejar kembali,
dengan cekatan binatang ini melompat dan menghambur ke balik semak
belukar. Tapi dia tidak terus lari. Di balik semak belukar ini dia
mengintai-intai ke arah pengejarnya. Ketika orang itu datang mendekat,
dia sengaja menunggu. Baru dalam jarak hanya tinggal tiga langkah
lagi, anak rusa itu melompat dan lari masuk ke dalam hutan jati.
“Binatang brengsek. Aku ingin menangkapmu bukan untuk
kupanggang dan kulahapi Hanya sekedar untuk jadi sahabat mainan!
Tapi kalau kau meledekku begini rupa, jangan harap aku masih mau
berniat baik! Dagingmu tentu harum dan segar untuk dilahap.” Maka si
pengejar lalu terus masuk ke dalam hutan jati di arah lenyapnya anak
rusa tadi. Namun setelah beberapa lama mencari kesana-kemari dia tak
berhasil menemui binatang itu. Jangankan menemuinya, mendapatkan
jejaknya sajapun tidak. Dengan kesal pemuda itu akhirnya memutuskan
untuk keluar saja dari hutan itu. Namun baru saja dia memutar tubuh
mendadak gerakannya tertahan. Jauh di dalam hutan, lapat-lapat dia
mendengar seperti ada suara orang mengerang dan menangis.
Sesaat pemuda ini tegak tak bergerak, sipilkan kedua matanya,
memandang ke arah hutan jati sebelah dalam dan memasang telinga
lebih tajam.
“Jangan-jangan itu suara dedemit atau mahluk jejadian yang
hendak menjebak lalu mencelakakan diriku…” berkata si pemuda dalam
hati. Dia segera putar tubuh kembali. Tapi tak jadi lagi. “Suara itu
sepertinya suara tangis sendu manusia sungguhan… Tak ada salahnya
aku menyelidik sebentar.” Lalu pemuda ini akhirnya masuk kembali ke
dalam hutan jati. Langkahnya dituntun oleh suara erang bercampur
tangis yang makin jauh dia masuk ke dalam hutan jati, semakin jelas
suara itu terdengar. Akhirnya, setelah berjalan menembus hutan cukup
jauh pemuda itu temukan sebuah rumah kecil terbuat dari papan kasar.
Satu-satunya pintu dan satu-satunya jendela rumah tertutup rapat.
Justru suara erang bercampur tangis itu datang dari dalam rumah!
Setelah meneliti keadaan di sekitar rumah papan dan
sekelilingnya, lalu menunggu beberapa ketika, akhirnya pemuda tadi
melangkah cepat menuju pintu rumah papan. Ketika didorong terdengar
suara berkereketan. Pintu itu ternyata tidak dikunci.
Di dalam rumah suasana gelap redup. Sedikitnya cahaya yang
merambas masuk lewat pintu yang terbuka membuat pemuda yang
barusan masuk masih bisa melihat apa yang ada dalam rumah di
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 11
tengah hutan belantara itu. Untuk beberapa lamanya si pemuda tegak
seperti terpaku. Kedua matanya membesar tak berkesip.
“Demi Tuhan! Kejahatan apa yang terjadi di tempat ini…?!” desis si
pemuda.
Di dalam rumah papan itu hanya terdapat sebuah ranjang papan
yang beralaskan tikar jerami. Di atasnya terbaring sesosok tubuh
seorang perempuan dengan rambut sembrawut acak-acakan. Tubuhnya
mengenakan pakaian kuning muda yang nyaris tidak berbentuk lagi
karena penuh robek disana sini dan tak sanggup lagi menyembunyikan
auratnya yang kuning langsat. Walaupun kotor dan berada dalam
keadaan sangat menderita, namun kesengsaraan itu tak dapat
menyembunyikan kecantikan wajah perempuan itu.
Hampir di sekujur badannya, terutama di bagian leher, dada dan
pangkal paha penuh dengan tanda-tanda merah seperti tanda gigitan.
Kedua tangannya terpentang dan masing-masing ibu jari tangan itu
diikat dengan-sehelai tali halus. Ujung tali yang lain diikatkan pada
kaki-kaki tempat tidur. Kedua kakinya juga mengalami hal sama. Ibu-
ibu jari kaki diikat ke kaki tempat tidur. Dan di salah satu ujung kaki
perempuan ini tampaklah anak rusa yang tadi di kejar si pemuda, tegak
menunduk sambil menjilati kaki kiri perempuan yang terikat di atas
tempat tidur itu!
“Ah, disini kau rupanya…,” berucap si pemuda. Anak rusa itu
mengangkat kepalanya, memandang sebentar pada si pemuda lalu
kembali meneruskan menjilati kaki kiri perempuan itu.
Kalau saja bukan dalam keadaan seperti itu, menyaksikan sosok
tubuh perempuan muda yang cantik dan nyaris telanjang di atas
ranjang begitu mungkin pemuda yang barusan masuk ke dalam rumah
akan tergoncang juga imannya. Namun apa yang disaksikannya saat itu
adalah satu kekejaman!
“Tolong… Demi Tuhan… tolong diriku! Lepaskan aku dari
malapetaka ini. Tolong Rupanya perempuan yang terikat diatas ranjang
menyadari kalau ada seseorang masuk ke dalam rumah.
Tanpa pikir panjang lagi pemuda itu cepat bertindak untuk
memutus empat utas tali yang mengikat kedua tangan dan kaki
perempuan itu. Tapi betapa terkejutnya ketika dia mendapatkan tidak
sanggup memutus tali-tali itu ataupun membuka buhulnya dengan
tangan kosong. Ditelitinya ke empat tali itu. Baru disadarinya kalau
empat tali tersebut bukan tali-tali biasa. Maka diapun kerahkan tenaga
dalam pada kedua tangannya. Lalu mencoba lagi. Tetap saja empat tali
itu tak satupun yang bisa dibikin putus! Hampir kehabisan akal pemuda
itu terduduk di lantai rumah sambil garuk-garuk kepala.
“Tak ada jalan lain…” si pemuda berkata. Tangan kanannya
menyelusup ke balik pinggang pakaian. Sesaat kemudian sinar terang
memenuhi rumah papan yang sempit itu. Empat kali sinar terang
berkelebat dan empat kali terdengar suara tras… tras… trassss! Empat
tali pengikatpun putus. Setelah putus baru buhul yang mengikat ibu jari
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 12
kaki dan tangan bisa dibuka. Perlahan-lahan si pemuda simpan kembali
senjatanya berupa kapak bermata dua ke balik pakaian!
Begitu terlepas dari ikatan tali-tali celaka itu, perempuan di atas
ranjang keluarkan pekik halus, gulingkan diri ke samping hingga jatuh
ke lantai. Tubuhnya tampak hampir tiada daya. Mungkin sudah lebih
dari dua hari dia diikat seperti itu tanpa makan ataupun diberi minum.
Namun sepasang matanya masih memancarkan pandangan dengan
sorotan tajam. Dan pandangan itu ditujukan tanpa berkedip pada
pemuda yang barusan telah menolongnya.
“Pergi… pergi dari sini. Sebelum manusia durjana itu muncul…”
terdengar perempuan itu berkata. Suaranya setengah berbisik.
Anak rusa yang tadi menjilati kakinya di atas tempat tidur, kini
telah melompat pula dan rapatkan tubuhnya ke pinggang perempuan
itu.
Pemuda yang barusan menolong memang membaui adanya
bahaya di tempat itu. Namun sebelum pergi dia harus mengetahui dulu
siapa adanya perempuan muda itu dan mengapa sampai berada dalam
keadaan seperti itu di rumah papan di tengah rimba belantara itu.
“Saudari… Katakan siapa dirimu? Mengapa • kau berada di
tempat ini. Siapa yang melakukan kekejaman ini…!”
“Aku… Namaku Minari… Aku diculik sejak empat belas bulan
yang lalu. Dipindah dari satu tempat ke tempat lain. Akhirnya…
akhirnya aku di bawa ke tempat ini. Namun manusia keparat itu tidak
lagi memberiku makan dan minum. Dia hanya meniduriku. Dia ingin
aku mati secara perlahan-lahan… Dia manusia biadab. Ganas! Lebih
ganas dari setan dan iblis! Lekas… Kita… kita harus pergi dari sini.
Keparat itu bisa muncul setiap saat… Tolong… Bawa diriku dari tempat
celaka ini. Saudara tolonglah lekas…”
“Ya… Kita akan pergi. Aku akan menolongmu. Tapi katakan dulu
siapa manusia biadab yang memperlakukan dirimu seperti ini?”
bertanya si pemuda lalu memegang tubuh perempuan itu dan
menggendongnya.
“Manusia itu, seorang manusia berhati iblis. Dia menyebut dirinya
sebagai…”
Belum lagi perempuan itu sempat mengakhiri ucapannya tiba-tiba
braakkk!!
Rumah papan itu bergoyang keras. Dinding di sebelah kiri ambrol
berantakan dan sesosok tubuh melesat masuk dari dinding yang hancur
itu!
Perempuan dalam dukungan si pemuda menjerit keras, menyebut
sebuah nama. Dia seperti berusaha hendak turun dari gendongan
namun tidak mampu. Akhirnya dia hanya bisa menjerit kembali.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 13
PEMUDA BERPAKAIAN PUTIH yang menggendong perempuan muda itu
menatap dengan pandangan tercekat pada sosok tubuh yang barusan
masuk menerobos dinding papan. Di hadapannya, terpisah di seberang
tempat tidur tegak berdiri seorang lelaki separuh baya dengan luka
menganga di pangkal lehernya. Noda darah membasahi sebagian muka,
leher serta bajunya. Orang ini tegak seperti patung, memandang lurus
ke depan, tanpa berkedip. Satu cara memandang yang luar biasa aneh
karena si pemuda merasa pandangan mata orang itu seolah-olah
menembus batok kepalanya, bahkan menembus dinding di belakangnya!
Dan mukanya yang pucat itu serta bibir yang membiru mendatangkan
rasa ngeri bagi siapa saja yang memandangnya!
“Saudari…,” berbisik si pemuda. “Inikah manusianya yang telah
menculik dan mencelakaimu…?”
Dada Minari tampak turun naik. Dia menggeleng. Dia coba
membuka mulut tapi yang keluar kembali teriakan keras. Dia berteriak
menyebut nama : “Kakak Mararanta!” Perempuan itu berusaha turun
tapi si pemuda masih terus menggendongnya.
“Mi… na… ri… is… tri… ku A… ku… da… tang un… tuk… mem…
ba… wa… mu… per… gi… “
Orang diseberang tempat tidur keluarkan suara berkata yang
aneh. Suaranya seperti datang dari jauh, laksana keluar dari sumur
dalam dan kata-katanya terbata-bata kaku, seolah-olah dia memiliki
lidah yang kelu. Setiap patan kata yang diucapkannya terdengar begitu
lamban dan agaknya dia mengeluarkan ucapan itu dengan susah payah.
“Kakak! Bawa aku bersamamu… Tapi, kau terluka kakak
Mararanta…” Perempuan dalam gendongan berkata.
“Tu… run… kan… is… tri… ku! Le… tak… kan di… tem… pat… ti…
dur… La… lu… kau… ber… siap… lah… un… tuk… ma… ti!
Si pemuda terkejut. “Saudari… jadi kau istri lelaki itu…?”
tanyanya.
Minari anggukkan kepalanya berkali-kali. “Turunkan aku…
Lakukan apa yang dikatakannya…” dia mampu bicara juga akhirnya.
Dengan perasaan masih sangat tercekat pemuda itu akhirnya
turunkan perempuan yang digendongnya. Lalu di seberang sana
dilihatnya lelaki yang dipanggil dengan nama Mararanta tadi angkat
tangan kanannya. Caranya mengangkat tangan itupun aneh.
Gerakannya lurus-lurus seolah-olah dia tidak memiliki siku sedang
kedua matanya tampak memancarkan sinar aneh!
“Kakak Mararanta…! Jangan…! Pemuda itu orang baik! Dia telah
menolongku!” berteriak Minari ketika dilihatnya lelaki yang pernah
menjadi suaminya itu hendak melancarkan serangan.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 14
Gerakan tangan yang kaku berhenti dan sesaat tangan kanan itu
masih bergantung lurus di udara. Lalu tubuh itu membungkuk kaku.
Tangan kiri diulurkan. Lalu dengan cara yang aneh, tapi cepat sekali
tubuh Minari yang ada di atas tempat tidur terangkat dan tahu-tahu
sudah tersadar di bahu kirinya.
“Kakak… kau terluka… Kau…” Minari tak sanggup meneruskan
ucapannya. Tubuhnya terlalu lemas. Dalam keadaan seperti itu
perempuan muda ini akhirnya pingsan di bahu lelaki yang pernah
menjadi suaminya dan kemudian terpisah sejak lebih dari setahun yang
silam.
“A… ku… ti… dak… per… ca… ya… pa… da… mul Kau… te… lah…
men… ce… la… kai… is… tri… ku! Kau… Kau… ha… rus… mati… di…
ta… ngan… ku!”
Pemuda di seberang tempat tidur seharusnya menjadi marah dan
meradang dituduh telah mencelakai Minari. Tapi anehnya pandangan
mata angker lelaki di hadapannya itu membuat dirinya seperti
kehilangan segala daya untuk marah atau membentak. Dengan suara
bergetar dia berkata: “Saudara… Kau boleh tidak percaya padaku. Tapi
kau harus percaya pada apa yang diucapkan istrimu itu. Kalau memang
benar dia istrimu! Siapa kau sebenarnya…? Mengapa ada luka besar di
lehermu. Gerakanmu serba kaku. Ucapanmu terputus-putus.
“A… ku… Ma… yat… Hi… dup… Gu… nung… Kla… bat!U… cap…
an… is… tri… ku… ting… gal… u… cap… an… A… ku… li… * hat… sen…
di… ri… kau… hen… dak… me… la… ri… kan… Mi… na… ri! Kau… pas…
ti… ka… ki… ta… ngan… ma… nu… sia… ke… pa… rat… ber… na…
ma… Pa… nge… ran…Ma… ta… ha… ri… itu!… Ka… ta… kan… di…
ma… na… dur… ja… na… i… tu… ber… a… da…!”
“Mayat Hidup Gunung Klabat? Kau menyebut dirimu begitu…?” si
pemuda memandang dengan tajam mulai dari kepala sampai ke kaki
lelaki di hadapannya seolah-olah baru saat itu dia melihatnya. “Apa…
apa betul kau mayat hidup… Gila! Bagaimana ada mayat hidup!” Namun
dalam hatinya pemuda itu merasa semakin tercekat. Wajah yang pucat
tiada berdarah dan bibir yang biru itu… Memang begitulah keadaan
mayat. Tapi mayat hidup! Sulit dipercaya. “Paling tidak manusia satu ini
bangsa orang gendeng juga!” Begitu si pemuda membatin. Lalu, “Hai!
Tadi menyebut nama Pangeran Matahari? Betul kau barusan menyebut
nama Pangeran Matahari?!”
“A… ku… bi… ca… ra… Kau… men… de… ngar… Aku… ti… dak…
bi… su… kau… ti… dak… tu… li…” si Mayat Hidup Gunung Klabat alias
Mararanta Tangkario menjawab.
“Kita sama-sama tidak tuli dan tidak bisu. Karena itu kau dengar
penjelasanku baik-baik. Aku bukan kaki tangan Pangeran Matahari.
Dimana dia berada aku tidak tahu. Akupun sudah lama mencari-cari
keparat itu!”
“Kau… dus… ta… A… ku… tak… per… ca… ya… pa… da… mu…
A… ku… tak… per… ca… ya… pa… da… o… rang… Ja… wa…!”
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 15
“Eh, mulutmu kurang ajar amat Mayat Hidup! Jangan menyebut-
nyebut nama orang Jawa segala! Istrimu sendiri juga orang Jawa!” teriak
si pemuda.
“Is… tri… ku… o… rang… Ja… wa… yang… ba… ik…,” jawab
Mayat Hidup Gunung Klabat. Lalu tangannya membuat gerakan kaku,
bergerak lurus seperti palang. Dan ketika tangan itu tepat mengarah
kejurusan si pemuda, bahu kanan Mayat Hidup Gunung Klabat tampak
seperti disentakkan. Lalu saat itu juga terdengar suara deru angin yang
hebat. Rumah itu laksana neraka karena tiba-tiba saja seantero tempat
menjadi panas luar biasa! Pemuda yang mendapat hantaman angin
keras panas itu cepat-cepat jatuhkan diri ke lantai. Saat itu pula
terdengar suara ledakan keras.
Rumah papan seperti dihantam topan. Hancur berantakan
berkeping-keping ke udara bersama tempat tidur kayu. Sebagian dari
kayu-kayu rumah itu tampak seperti hangus. Si pemuda sendiri ikut
terlempar ke udara lalu jatuh tepat dibawah sebatang pohon jati tua
dalam keadaan tidak sadarkan diri. Beberapa bagian tubuhnya tampak
luka-luka. Pakaian putihnya robek dan pipi kirinya baret! Mararanta
Tangkario bersama Minari dan anak kijang lenyap dari tempat itu!
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 16
KETIKA PEMUDA YANG pingsan itu siuman dan membuka kedua
matanya, pertama sekali yang dilihatnya adalah dua buah kaki yang
mengenakan kasut terbuat dari kulit. Di sebelah atas dua kaki itu
memakai sehelai celana hitam. Lalu di sebelah dada atas lagi tampak
baju yang juga berwarna hitam. Di bagian dada baju terpampang
gambar puncak gunung berwarna biru melambangkan gunung Merapi.
Pada latar belakang gambar gunung berwarna biru itu tertera gambar
matahari merah dengan guratan-guratan berwarna kuning
melambangkan sinar matahari.
Si pemuda yang terkapar di akar pohon jati itu bukakan kedua
matanya lebih lebar. Kini dia dapat melihat tampang manusia
berpakaian hitam itu lebih jelas. Orang ini memiliki kening tinggi yang
diikat dengan sehelai kain merah. Dagunya kukuh dan rahangnya
menonjol. Keseluruhan wajahnya membersitkan kekerasan, keangkuhan
atau kecongkakan. Dan dia kenali siapa adanya manusia ini!
Sebelum pemuda ini berusaha bangun, orang berpakaian hitam
keluarkan suara tertawa dan cepat sekali tahu-tahu kaki kanannya
sudah menginjak tenggorokan pemuda berpakaian putih yang
tergelimpang di tanah!
“Kita bertemu kembali Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Dan
kita sama-sama tidak menyukai pertemuan ini, bukan…?!”
Pemuda berpakaian putih yang ternyata adalah Wiro Sableng
murid Eyang Sinto Gen-deng dari Gunung Gede menyumpah dalam hati:
“Bangsat ini menginjak leherku! Bagaimana aku bisa menjawab
ucapannya! Sialan!”
Diam-diam dengan cepat Pendekar 212 kerahkan tenaga dalam ke
tangannya kiri-kanan. Lalu seperti gunting, dia hantamkan kedua
tangannya secara menyilang ke arah betis orang yang menginjak
lehernya. Untuk mencegah agar orang itu tidak menghujamkan kaki dan
menghancurkan lehernya, Wiro tendangkan kaki kanan ke arah
selangkangan lawan!
Si baju hitam mendengus dan keluarkan ucapan mengejek:
“Bagus! Kau membuat gerakan yang tepat Pendekar 212! Kalau tidak
lehermu pasti sudah kuhancurkan dan nyawamu melayang ke akhirat!”
Lalu karena diapun tak ingin kaki kanannya putus seolah-olah dibabat
oleh gunting raksasa, maka orang ini jejakkan kaki kirinya dan disaat
itu juga tubuhnya melesat ke udara setinggi dua tombak. Dia membuat
jungkir balik di udara satu kali lalu melayang turun dengan kedua kaki
menjejak tanah lebih dahulu.
Tanpa tunggu lebih lama Wiro Sableng lipat kedua lututnya lalu
melompat bangun dan tegak sambil pasang kuda-kuda.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 17
Lelaki berbaju hitam dengan gambar gunung dan matahari di
dadanya menyeringai. “Hem… tak pernah aku melihat keadaanmu
seburuk hari ini, Pendekar 212! Pakaianmu robek-robek seperti pakaian
gembel. Kulitmu luka-luka dan pipimu baret besar! Apakah kau barusan
lari terbirit-birit di kejar setan hutan jati ini? Atau ada musuh yang
sempat menghajarmu babak belur…?”
Murid Sinto, Gendeng balas menyeringai. Kedua tangan
dirangkapkan di depan dada.
“Pangeran Matahari! Lama tak bertemu apakah kau barusan
datang dari neraka atau liang kubur?! Tubuhmu sebusuk mayat dan
mulutmu sebau comberan. Kau pasti menyesal mengapa tidak
membunuh musuh bebuyutanmu ini ketika tadi aku masih pingsan!”
“Mengambil nyawamu semudah aku membalikkan telapak tangan
pendekar sableng! Aku memang tidak membunuhmu karena perlu
beberapa keterangan…!”
“Ah, aku sudah tahu keterangan apa yang kau inginkan. Dan
jawabanku adalah semudah aku membalikkan telapak tangan untuk
cebok…!Ha… ha… ha…!”
Walau mukanya jadi merah oleh ejekan itu, tapi mulut Pangeran
Matahari masih bisa sunggingkan seringai.
“Keterangan pertama! Ceritakan padaku bagaimana kau bisa
sampai di tempat ini! Keterangan, kedua, apa yang terjadi dengan
rumah papan milikku! Siapa yang membuatnya porak-poranda seperti
ini. Keterangan ketiga dimana gadis berpakaian kuning yang
sebelumnya terikat di atas ranjang kayu! Nah itu saja! Lekas berikan
keterangan padaku!”
“Mudah saja… Mudah saja…!” sahut Pendekar 212 seraya usap-
usapkan telapak tangannya satu sama lain. “Keterangan pertama! Aku
sampai ke mari sepembawa kedua kakiku, tapi juga karena mendengar
ada yang mengerang dan menangis di dalam hutan jati ini. Ketika
rumah papan kutemui dan kumasuki ternyata di dalamnya ada seorang
perempuan dalam keadaan sangat menderita, terbaring di atas tempat
tidur dengan dua tangan dan dua kaki terikat! Dan aku tahu Pangeran
Matahari… Kau yang punya pekerjaan biadab itu!”
“Dugaanmu tepat!” sahut Pangeran Matahari lalu tertawa gelak-
gelak. “Lanjutkan keteranganku sampai habis!”
“Keterangan kedua!” ujar Wiro melanjutkan. “Yang merubah
rumah papanmu menjadi puing-puing tak berguna ini adalah seorang
yang menyebut dirinya Mayat Hidup Gunung Klabat…”
“Mayat Hidup Gunung Klabat? Nama edan apa pula itu…? ujar
Pangeran Matahari. “Jangan-jangan kau hanya mengarang…”
“Edan atau tidak, tapi aku menyaksikan makhluk itu. Ujudnya
seperti manusia biasa. Ada luka besar masih menganga dan belum
kering darahnya di pangkal lehernya. Dia menuduhku telah menculik
dan berlaku keji terhadap perempuan yang terikat di atas tempat tidur.
Karena itu dia lalu menyerangku dengan pukulan sakti. Pukulan itu
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 18
yang menghancurkan rumah papanmu… Kau tentu ingin tahu siapa
nama Mayat Hidup Gunung Klabat itu bukan…? Kau pasti kenal
padanya…”
“Jangan menyuruh aku menduga-duga tak karuan. Lekas beri
tahu siapa nama orang itu jika kau memang sudah tahu!” bentak
Pangeran Matahari pula.
“Namanya Mararanta Tangkario! Orang yang istrinya kau culik,
lalu kau bawa dari satu tempat ke tempat lain…”
“Apa katamu…?!” ujar Pangeran Matahari dengan mata melotot.
“Mararanta Tangkario sudah mati terbunuh oleh dukun suruhanku!
Bagaimana mungkin tahu-tahu bisa hidup kembali?!”
“Justru disitulah letak masalahnya. Bagaimana orang sudah mati
bisa hidup kembali? Tapi aku bertemu sendiri dengan dirinya ketika dia
hendak membawa istrinya. Wajahnya pucat pasi, bibirnya biru dan dia
memiliki pukulan sakti luar biasa!”
“Jadi manusia bernama Mararanta Tangkario itu yang
menghancurkan rumahku, menghajarmu sampai babak belur begini dan
menculik Minari…?!”
“Kau sudah menjawab sendiri pertanyaanmu!” Sahut Pendekar
212 pula. “Dan ketahuilah… Mayat Hidup Gunung Klabat itu muncul
untuk mencari dan membunuhmu!”
“Dia boleh datang menemuiku jika minta mampusl Tapi sulit
kupercaya jika orang yang sudah mati seperti Mararanta itu bisa hidup
dan menjelma kembali…!”
“Kau tanyakan sendiri jika bertemu dengannya!” ujar Wiro seraya
menyeringai.
Pangeran Matahari merenung sejenak lalu berkata: “Pendekar
212! Antara kita banyak silang sengketa dan dendam lama yang harus
diselesaikan. Tapi karena ada urusan besar yang tengah kuhadapi
aku bersedia menunda urusan kita sampai beberapa waktu. Apalagi kau
telah memberi keterangan yang sangat penting padaku…”…~
Wiro tertawa kecil. “Di lain saat jika bertemu lagi, kau harus
membayar penundaan penyelesaian hutang-piutang ini dengan
bunganya…”
“Manusia sableng, kau tak usah takut! Bunga itu akan kubayar
dua kali lipat! Aku harus mengejar mereka sekarang juga!” Habis
berkata begitu Pangeran Matahari dorongkan telapak tangan kirinya ke
arah Wiro. Murid Sinto Gen-deng cepat rundukkan kepala. Sinar biru
berkelebat ganas di atas kepalanya, menghantam pohon jati tua di
belangnya hingga patah dan tumbang menggemuruh.
Pendekar 212 tidak mau kalah. Begitu serangan lawan berhasil
dielakkannya dan Pangeran Matahari dilihatnya berkelebat ke kanan,
murid
Sinto Gendeng ini balas menghantam dengan tangan kiri. Suara
menggemuruh laksana ada batu besar menggelinding, menghantam ke
arah Pangeran Matahari. Inilah pukulan sakti bernama “kunyuk
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 19
melempar buah”!
Pangeran Matahari melompat setinggi satu tombak ke atas sambil
kebutkan lengan baju hitamnya.
Whuuutt!
Serangan Wiro musnah. Dia merasa ada denyutan cukup
mengagetkan membalik menghantam dadanya, membuat pendekar ini
cepat-cepat menyingkir ke samping. Di lain pihak sang Pangeran sendiri
buru-buru menarik pulang tangannya ketika di dengarnya ada suara
ber-kerebetan. Ketika dilihatnya ternyata ujung lengan kiri pakaian
hitamnya itu telah robek!
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 20
KETIKA MINARI siuman dari pingsannya, didapatinya dirinya terbaring
diatas rerumputan. Dengan siisah payah dia mencoba duduk. Begitu
duduk dan memandang berkeliling, tercekatlah perempuan ini. Ternyata
dia berada di sebuah bukit yang lerengnya penuh ditumbuhi berbagai
bunga. Walaupun cuma bunga-bungaan liar namun pemandangan
disitu indah sekali. Lebih terkejut lagi dia sewaktu menyadari bahwa
kini dia tidak lagi mengenakan pakaian biru muda yang kelihatannya
masih baru. Sehelai itu sekujur tubuhnya yang sebelumnya kotor kini
tampak bersih sedang rambutnya yang awut-awutan kini tersisir rapi.
Siapa yang melakukan semua ini…? Siapa yang menggantikan
pakaiannya, siapa yang membersihkan tubuhnya? Astaga! Jika ada yang
mengganti pakaian dan membersihkan tubuhnya pastilah orang itu
telah membuka pakaiannya, melihat sekujur auratnya tanpa tutupan
sama sekali…! Memikir sampai disitu Minari merasakan tubuhnya
bergetar dan wajahnya merah karena jengah.
Perempuan ini memandang berkeliling. Saat itulah dia melihat
disampingnya, diatas sehelai daun terdapat beberapa macam buah-
buahan. Ada jambu air, jambu kelutuk dan manggis hutan. Disebelah
buah-buahan ini terletak daun yang dibentuk demikian rupa seperti
mangkok dan didalamnya ada air jernih.
Sesaat Minari masih terheran-heran. Namun rasa lapar serta
dahaga membuat dia segera saja melahap jambu air lalu meneguk air
dalam daun. Ketika dia meletakkan daun itu ke atas rumput, saat itulah
dia ingat. Dan dia memandang berkeliling seraya memanggil.
“Mararanta… Kakak Mararanta? Dimana kau…?”
Terdengar suara berdesir. Minari berpaling ke belakang, di arah
mana terdapat sekolompok pohon berdaun rimbun. Dari atas salah satu
pohon itu melayang turun satu sosok tubuh, langsung tegak di hadapan
Minari.
“Kakak…!” seru Minari ketika dikenalinya orang itu adalah
suaminya, Mararanta Tangkario. Sesaat dia menatap paras lelaki itu
dengan matanya yang bening bersinar. Lalu dia beringsut maju dan
peluk pinggang lelaki itu. “Kau, kaukah yang menggantikan pakaianku,
kaukah yang menyediakan buah-buah serta air minum itu kakak? Kau
jugakah yang membersihkan tubuhku…” Minari mendongak dan melihat
Mararanta anggukkan kepalanya dengan gerakan yang kaku. “Kau
terluka kakak. Apa yang terjadi atas dirimu. Keadaanmu sangat tidak
terawat. Lukamu itu harus diobati. Mukamu pucat sekali dan bibirmu
biru…” Ucapan Minari tidak putus-putus karena menyaksikan keadaan
suami yang terpisah selama empat belas bulan itu sungguh sangat
menyedihkan. “Kakak Mararanta, mengapa kau jadi begini? Mengapa
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 21
kau menghilang sekian lama. Aku telah jadi korban penculikan manusia
terkutuk Pangeran Matahari itu Minari menutup wajahnya dengan
kedua tangan dan mulai menangkis.
“Ja… di… be… nar… bang… sat… i… tu… men… cu… lik… mu…”
“Kakak… Suaramu! Mengapa berubah seperti ini?!” kejut Minari.
Lalu dia ingat bahwa diapun sempat mendengar suara Mararanta
sewaktu berada di rumah papan di hutan jati. Suara yang aneh, kaku
dan lamban seolah-olah datang dari jauh.
“A… ku… me… mang… te… lah… ber… u… bah… Mi… na… ri…
A… ku… bu… kan… Ma… ra… ran… ta… sua… mi… mi… mu… yang…
du… lu. A… ku… te… lah… ma… ti…”
“Mati…?” ujar Minari. “Tidak! Kau tidak mati! Kau harus tetap
hidup seperti yang kulihat saat ini! Kita harus berkumpul kembali… I”
“Ti… dak… mung… kin… is… tri… ku…”
“Tidak mungkin bagaimana? Dengar, kita tinggalkan tempat ini.
Kita segera berangkat ke Kartoyudo. Aku akan mengobati lukamu. Aku
akan merawatmu sampai sembuh…”
Mararanta membuat gerakan menggeleng yang kaku dan aneh.
“Ki… ta.;. ti… dak… ber… kum… pul… is… tri… ku… Ki… ta… ber… a…
da… di… du… a… lam… yang… ber… beda.”
“Ah! Kau pasti berada dalam keadaan sakit berat, kakak
Mararanta. Cara bicaramu aneh. Apa yang kau ucapkan tidak karuan…”
“Mi… na… ri… A… ku… se… be… nar… nya… su… dah… ma… ti…
So… sok… ku… sa… at… ini… a… da… lah… so… sok… ma… yat… hi…
dup… A… ku… Ma… yat… Hi…dup… Gu… nung… Kla… bat… I”
Meskipun saat itu tubuhnya masih terlalu lemah namun seperti
mendapat satu kekuatan baru, Minari tegak dari duduknya dan
menatap Mararanta Tangkario mulai dari ujung rambut sampai kekaki.
Muka yang sangat pucat tiada berdarah itu. Bibir yang membiru. Lalu
sepasang mata yang cekung dengan pandangan kosong tapi seperti
menembus. Dan luka di leher yang mengerikan itu I
“Kau sakit kakak. Kau sakit…” desis Minari.
Mararanta tidak menjawab. Kedua matanya memandang tak
berkedip. Lambat-lambat rasa takut mulai merayapi diri perempuan itu.
“Kakak… kau ikut aku ke Kartoyudo sekarang juga”
“Ti… dak… Mi… na… ri… Kau… yang… i… kut… a… ku… men…
ca… ri… Pa… nge… ran… dur… ja… na… i…tu…!”
“Mencari Pangeran Matahari bukan soal mudah. Dia datang dan
pergi seperti setani Kalaupun kau berhasil menemuinya, kau tak
mungkin melawannya. Ilmu kepandaiannya tinggi sekali…”
“Ma… ra… ran… ta… yang… du… lu… me… mang… ti… dak…
sang… gup… me… la… wan… Pa… nge… ran… Ma… ta… ha… ri… Ta…
pi… Ma… ra… ran… ta… Ma… yat… Hi… dup… pas… ti… mam… pu…
me… nga… lah… kan… nya.”
“Ada yang tak beres dengan diri suamiku ini. Ya Tuhan, tolong
diriku. Tolong dirinya… Aku tak percaya pada pengakuannya bahwa
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 22
dirinya adalah Mayat Hidup. Mana mungkin hal itu bisa terjadi. Atau…
Apakah aku harus mengujinya?”
Memikir sampai disitu Minari mengambil sebutir jambu kelutuk
lalu memberikannya pada Mararanta seraya berkata: “Makanlah, kau
pasti lapar.”
Mararanta menggeleng kaku. “Ma… yat… ti… dak… a… da…
yang… ma… kan…” katanya.
“Kalau begitu minumlah…” kata Minari pula ingin menguji lebih
lanjut. Dia membungkuk mengambil air dalam gulungan daun.
Kembali Minari melihat Mararanta menggeleng. “Ma… yat… ti…
dak… a… da… yang… mi… num…” ucapnya.
“Kakak! Kau ini…! Aku melihat kau terluka dan dalam keadaan
menderita! Tapi aku tak percaya kau sudah mati! Aku tak percaya kau
adalah mayat hidup. Demi Tuhan! Sandiwara atau permainan apa yang
tengah kau lakukan ini?!”
“Mi… na… ri… A… ku… ti… dak… mem… per… ma… in… kan…
mu. Ji… ka… kau… ti… dak… per… ca… , li… hat… ka… ki… ku
Mendengar ucapan itu Minari langsung memandang ke bawah ke
arah kedua kaki Mararanta Tangkario. Dan terkejutlah perempuan ini.
Wajahnya seputih kertas Kedua kaki lelaki itu sama sekali tidak
menginjak rumput! Tidak menginjak tanah! Langsung Minari roboh
tidak sadarkan diri lagi.
* * *
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 23
BAGIAN DEPAN RUMAH PANGGUNG itu hanya diterangi sebuah lampu
minyak kecil yang digantung di bawah talang air. Cahayanya tidak dapat
menerangi serambi rumah yang luas dimana saat itu seorang lelaki
berpakaian hitam duduk diatas sebuah kursi goyang terkantuk-kantuk.
Kursi goyang dari kayu itu mengeluarkan suara berderik-derik. Orang
yang duduk diatasnya membenarkan letak kain sarung yang
menyelubungi kedua kakinya agar terlindung dari gigitan nyamuk.
Sesekali dia menguap lebar-lebar. Walau kantuknya berat namun dia
tak dapat tidur. Dan memang dia tak boleh tidur karena tugasnya
adalah berjaga-jaga.
Di langit bulan setengah lingkaran nampak redup tertutup awan.
Di kejauhan terdengar suara anjing menggonggong. Pada saat itulah
lelaki di atas kursi goyang mendadak membuka kedua matanya lebar-
lebar karena entah kapan munculnya sesosok tubuh lelaki yang men-
dukung tubuh seorang perempuan tahu-tahu tampak berdiri di sudut
serambi yang paling gelap.
“Aneh kata lelaki di kursi goyang dalam hati. “Tadi mataku
memang terpicing, tapi telingaku tak akan lolos menangkap suara
apapun. Bagaimana mungkin orang itu bisa naik ke serambi tanpa aku
mendengar langkahnya sewaktu menginjak tangga dan juga sewaktu
berjalan dilantai serambi ini. Dengan memanggul beban seberat itu
hentikan kakinya pasti akan lebih keras. Dia tahu-tahu saja berada di
ujung serambi sana…”
“Siapa disana?!” lelaki berbaju hitam bertanya dengan suara
menghardik.
‘Yang ditanya tidak menjawab. Bergerakpun tidak. Si penjaga
turun dari kursi goyang, ikatkan kain sarung ke pinggang. Sambil
tangan kanannya meraba hulu golok yang tersisip di pinggang kirinya
dia perhatikan orang yang tegak di ujung serambi sana. Namun
kegelapan tidak mungkin baginya untuk melihat dengan jelas, apalagi
mengenali siapa adanya orang itu. Karenanya dia lalu pergi mengambil
lampu minyak di bawah cucuran atap. Sambil mengacungkan lampu
minyak tinggi-tinggi dia menghampiri orang yang tegak di ujung
serambi.
Begitu sampai dihadapan sosok itu dan cahaya lampu menerangi
wajah serta sebagian tubuh orang termasuk orang yang digendongnya,
tersiraplah darah si penjaga. Seumur hidup belum pernah dia melihat
tampang yang begini angker, apalagi ada luka besar di pangkal lehernya.
Wajah manusia itu begitu pucat, kedua matanya nyalang besar tapi tak
pernah berkedip. Bibirnya hitam kebiruan dan hembusan nafasnya
menusuk tajam.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 24
“Ki sanak… Kau siapa… Apa maksud kedatanganmu?” bertanya si
penjaga. Hati kecilnya mendadak saja merasa yakin bahwa dia tidak
berhadapan dengan manusia.
“A… pa… kah… di… si… ni… ru… mah… Ki… Du… kun… Su…
ra… Man… ja… ngan?”
Kembali si penjaga tersurut mundur. Kali ini karena mendengar
suara orang itu. “Manusia aneh… Suaranya seperti datang dari jurang
yang dalam. Kaku… terbata-bata…”
“A… ku… ber… ta… nya! Me… nga… pa… ti… dak… men… ja…
wab…?”
“Betul, ini memang rumah kediaman Ki Dukun Surah Manjangan.
Ahl Ki sanak rupanya datang hendak berobat. Siapakah yang sakit? Ki
sanak sendiri atau orang yang ki sanak dukung…? Kulihat ada luka
besar di pangkal leher ki sanak…”
“Ti… dak… per… lu… ba… nyak… ber… tanya. Le… kas… pang…
gil… kan… du… kun… ke… pa… rat… itu…”
Mendengar majikannya disebut dengan kata-kata dukun keparat,
marahlah si penjaga. “Manusia bermuka pucatl Jaga mulutmu. Kalau
sampai Ki Dukun mendengar bagaimana mulutmu sekurang ajar itu
menyebut dirinya, bisa-bisa kau meninggalkan tempat ini melangkah
seperti anjing!”
Si muka pucat mendengus. Hembusan nafas membersit dari
mulut dan hidungnya. Si penjaga merasakan kedua matanya menjadi
sangat perih. Cepat-cepat orang ini mundur beberapa langkah.
“Ka… lau… kau… ti… dak… le… kas… m… mang… gil… du…
kun… ja… ha… nam… itu… ku… po… rak… po… ran… da… kan… ru…
mah… i… ni!”
“Kurang ajar!” bentak si penjaga. Walau hatinya sejak tadi sudah
kecut namun mendengar kata-kata orang yang hendak memporak
porandakan rumah itu, marahlah dia. “Jika kau datang meminta obat,
kau akan mendapatkan dari Ki Dukun. Tapi jika kau bicara yang
bukan-bukan malah mengancam segala, berarti nyawamu hanya tinggal
beberapa kejapan saja!”
Lelaki yang mendukung sosok tubuh perempuan, yang bukan
lain adalah Mararanta Tangkario alias Mayat Hidup Gunung Klabat
gembungkan mulutnya lalu meniup ke depan. Si penjaga berseru kaget
ketika merasakan ada angin kencang yang menghantam ke arahnya.
Cepat-cepat dia melompat ke kiri. Dirinya memang selamat tapi ada
suara braak di sebelah belakang. Ketika berpaling tampak salah satu
bagian dinding kayu rumah hancur berantakan! Kemudian si penjaga ini
menyadari kalau lampu minyak yang tadi dipegangnya di tangan kiri
telah terlepas mental dan jatuh di lantai. Minyak yang berceceran di
lantai kayu serta merta dijilat api!
“Keparat kurang ajar! Kau memang minta mati!” teriak si penjaga.
Dia gulung kain sarungnya lalu cabut golok yang tersisip dipinggang
kiri. Tanpa menunggu lebih lama dia ayunkan senjatanya, membabat ke
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 25
arah pinggang si muka pucat.
Dari mulut Mayat Hidup Gunung Klabat terdengar suara
menggerang. Tangan kanannya di ulurkan. Si penjaga menjerit keras
ketika pergelangan tangannya tahu-tahu sudah dicekal lawan. Dan
bukan hanya dicekal. Detik itu juga terdengar berderak. Tulang
lengannya dicengkeram hancur hingga tangan itu kini terkulai dan golok
yang tadi dipegangnya terlepas jatuh ke lantai!
Sambil melolong kesakitan si penjaga putar tubuh, masuk
menghambur ke dalam rumah lewat pintu tertutup yang ditendangnya
dengan keras. Ruang panggung itu ternyata panjang sekali. Di kiri
kanan berderet-deret kamar-kamar yang tertutup. Di sebelah ujung
terdapat sebuah kamar berpintu hitam dengan gambar sebuah
pendupaan putih serta bara api merah lengkap dengan asap di sebelah
atasnya.
Penjaga itu lari menuju pintu hitam tersebut. Di depan pintu dia
berseru: “Ki Dukun! Ada pengacau muncul disini! Harap kau lekas
keluar dan bertindak…!”
Tak ada sahutan dari balik pintu hitam. Ketika berpaling si
penjaga melihat manusia bermuka pucat itu mendatangi semakin dekat.
Sementara itu di langkan rumah kobaran api semakin besar… Karena
tak tahan sakit serta ketakutan setengah mati akhirnya dia mendobrak
pintu hitam dan melompat masuk ke dalam. Bau kemenyan menyambar
keluar.
Di balik pintu itu ternyata adalah sebuah ruangan besar yang
sangat redup karena hanya diterangi sebuah lampu minyak kecil. Lantai
ruangan ditutup dengan permadani berwarna merah tua. Di tengah-
tengah terhampar sebuah batu hitam berbentuk lonjong dan pipih. Di
atas batu ini duduk bersila seorang kakek yang hanya mengenakan
sehelai cawat berwarna putih. Tubuhnya kurus sekali hingga tulang
belulangnya menonjol jelas. Mukanya cekung, begitu juga kedua
matanya yang terpejam memiliki rongga yang dalam serta kehitaman.
Diatas kepalanya yang berambut kasar dan acak-acakan seperti ijuk ada
sebuah pendupaan berwarna putih yang baranya menyala terang dalam
gelap. Karena ditaburi kemenyan, asap pendupaan ini menebar bau
yang harum dan tajam ke seluruh ruangan.
Yang hebatnya, di atas pendupaan yang menyala dan menebar
asap kemenyan melintang sebilah golok. Apa yang tengah dilakukan
oleh kakek berwajah angker ini?
Di dalam ruangan itu tidak ada perabot lain, kecuali puluhan
macam senjata tajam yang digantung ke dinding. Mulai dari berbagai
jenis pisau kecil dan besar, berbagai bentuk golok serta pedang, sampai
pada tombak yang memiliki satu, dua atau tiga mata.
Si penjaga jatuhkan dirinya di depan kakek yang tampaknya
tengah bersemedi sambil menjunjung pendupaan menyala itu.
“Wakanto… Kau mengganggu pekerjaanku!” Tiba-tiba kakek yang
duduk di atas batu membuka mulut. “Nyawa yang harus aku ambil
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 26
malam ini menjadi gagal. Berarti nyawamu gantinya…”
Selesai mengucapkan kata-kata itu, golok di atas pendupaan tiba-
tiba tampak bergerak naik lalu perlahan-lahan manukik ke arah penjaga
rumah panggung bernama Wakanto. Melihat hal ini pucatlah wajah
penjaga itu. Cepat-cepat dia berseru.
“Ki Dukun, maafkan diriku!” seru sipenjaga sambil letakkan
keningnya di atas batu di hadapan kaki si kakek. “Aku tidak bermaksud
mengganggumu. Tapi ada pengacau datang ke rumah ini! Dia menyebut
namamu dengan kurang ajar. Ketika aku hendak menghajarnya dia
menghancurkan pergelangan tanganku! Lihat… kau lihat sendiri Ki
Dukun…” Wakanto angkat tangan kanannya yang telah hancur
tulangnya.
Ki Dukun Sura Manjangan tidak menyahut tapi tahu-tahu kaki
kirinya melesat dan dukk! Tubuh Wakanto terpental, tersandar ke
dinding. Dia mengeluh pendek lalu roboh melingkar di lantai. Pingsan.
“Masih untung nyawamu tidak kuambil…” Ki Dukun berkata.
Golok yang tadi menukik ke arah si penjaga kini tampak naik kembali,
lalu perlahan-lahan turun ke atas pendupaan!
Bersamaan dengan itu sepasang mata si kakek tampak terbuka.
Yang pertama dilihatnya adalah sosok Mayat Hidup Gunung Klabat
masuk ke dalam ruangan itu sambil mendukung Minari. Lalu kobaran
api yang membakar kamar pertama di deretan sebelah kanan.
Dari rahang sang dukun terdengar suara gerahamnya
bergemeletakan tanda ada kemarahan yang menggelegak dalam dirinya.
Sepasang matanya memancarkan sinar aneh. Meskipun dia ingin sekali
mengetahui siapa adanya orang yang memiliki luka besar dilehernya itu
dan siapa pula perempuan yang didukungnya, apa maksud kedatangan-
nya, namun hawa amarah yang lebih menguasai dirinya membuat dia
lebih ingin cepat-cepat membunuh orang di hadapannya itu detik juga!
“Kekuatan dari segala kekuatan. Kekuasaan dari segala
kekuasaan. Singkirkan manusia di hadapanku ini!” Ki Dukun Sura
Manjangan berucap.
Saat itu juga gotok melintang di atas pendupaan secara aneh
bergerak ke atas, ujungnya berputar senjatanya ini melesat ke arah
dada kanan si mayat Hidup Mararanta Tangkario!
* * *
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 27
MAYAT HIDUP GUNUNG KLABAT menggereng dan gerakkan tangan
kanannya. Golok yang melesat ke dadanya tahu-tahu disambar dan
dicengkeramnya. Lalu terdengar suara trak… trak… trak… Golok besar
itu berubah menjadi empat potong. Salah satu potongan yaitu bagian
ujung golok yang runcing masih tergenggam di tangannya. Lalu seperti
melahap sepotong kerupuk, ujung golok ini dimasukkannya ke dalam
mulut. Dia mengunyah. Krak… krak… krak…
Berubahlah paras pucat Ki Dukun Sura Man-jangan. Tubuhnya
yang duduk bersila di atas batu perlahan-lahan terangkat naik ke atas
sampai setengah tombak. Lalu kedua kakinya yang terlipat diturunkan
ke bawah. Kini dia berdiri tegak di atas batu pipih yang selama ini
didudukinya. Sepasang matanya memandang tidak berkedip pada wajah
Mayat Hidup Gunung Klabat.
Hampir separuh dari hidupnya Ki Dukun Sura Manjangan
menjadikan dirinya sebagai manusia yang mempergunakan ilmu hitam
untuk menjagai belasan bahkan puluhan manusia. Ilmunya tidak
mengajarkan rasa takut apa pun dalam dirinya. Namun saat itu untuk
pertamakalinya dia merasa merinding. Jika ada manusia yang mampu
menguyah ujung golok beracun, maka berarti dia bukan berhadapan
dengan manusia!
“Orang tak dikenal, katakan siapa kau dan apa maksud
kedatanganmu kemari?!”
Pertanyaan Ki Dukun belum sempat terjawab. Di sebelah depan
rumah panggung terdengar suara berderak. Kobaran api telah
memusnahkan sebagian dari serambi dan salah satu kamar. Bangunan
di bagian itu roboh dengan suara menggemuruh.
“Kurang ajar! Kau telah mencelakai pembantuku! Kau juga yang
membakar rumahku! Sekarang biar tubuhmu yang kubakar!”
Habis berkata begitu Ki Dukun Sura Manjangan gerakkan
kepalanya. Pendupaan yang sejak tadi masih bertengger di kepalanya
yang ditutupi rambut kasar acak-acakan melesat ke depan. Dari mulut
pendupaan bukan saja menghambur bara panas tapi juga lidah api yang
menyambar ke arah Mayat Hidup Gunung Klabat!
Yang diserang sedikitpun tidak berusaha menghindar. Begitu
lidah api dan hamburan bara panas hanya tinggal dua jengkal saja dari
tubuh dan kepalanya. Mayat Hidup usap mukanya lalu menerpa ke
depan. Lidah api dan bara-bara merah itu tertahan di udara seperti
menabrak tembok. Mayat Hidup kemudian menghembus keras. Maka
terjadilah hal yang luar biasa! Lidah api memecah menjadi puluhan
banyaknya. Bersama-sama dengan bara yang menyala, lidah-lidah api
itu menyambar ke depan. Sebagian menyerang Ki Dukun Surah
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 28
Manjangan sendiri, sebagiannya lagi menyebar lantai dan dinding serta
langit-langit ruangan! Saat itu juga kamar besar itu dilanda kobaran api!
Ki Dukun Sura Manjangan berteriak kaget dan marah. Sebagian
rambutnya sempat disambar lidah api. Kakek ini melesat ke samping,
melabrak dinding ruangan. Lalu lewat dinding yang jebol itu dia
melompat ke luar, sampai di halaman samping rumah panggung yang
diterangi kobaran api besar yang telah membakar sebagian rumah di
sebelah depan!
Sekujur tubuh Ki Dukun bergeletar. Kagetnya masih belum
hilang. Rasa cemas bercampur amarah masih membakar dirinya. Ingin
dia menghajar manusia itu habis-habisan, mencabik-cabik tubuhnya
bahkan mungkin meminum darahnya! Tapi bagaimana caranya?
Bagaimana dia mampu melakukan hal itu? Tampaknya dia berhadapan
dengan makhluk yang memiliki kesaktian luar biasa. Namun dalam hati
kecilnya dia sempat bertanya. Jika orang memang datang untuk
meminta pertolongan, meminta pengobatan, mengapa dia telah
mencelakai pembantunya, membakar rumahnya dan bahkan
mencelakai dirinya. Bahkan dia hampir pasti makhluk itu bermaksud
merampas nyawanya.
“Dia bukan lawanku!” kata Ki Dukun dalam hati. “Lebih baik
menyelamatkan diri!” Lalu Ki Dukun Sura Manjangan memutar tubuh,
siap menghambur lari ke bagian halaman yang gelap. Namun baru saja
dia bergerak setengah langkah, kakek ini melengak kaget karena tahu-
tahu si muka pucat yang mendukung sosok tubuh perempuan itu sudah
menghadang di depannya, menyeringai dan menggereng.
“Celaka!” seru Ki Dukun dalam hati. Dia berputar ke kiri dan
melompat kabur. Namun kembali tahu-tahu makhluk itu sudah berada
di hadapannya!
“Hai! Dengar! Siapa kau sebenarnya… Apa yang kau inginkan
dariku?!” tanya Ki Dukun dengan suara bergetar ketakutan. Ki Dukun
melihat mulut makhluk di hadapannya itu bergerak. Lalu dia
mendengar suara yang aneh menyeramkan.
“A… ku… Ma… yat… Hi… dup… Gu… nung… Kla… bat… Sa… tu…
ming… gu… la… lu… kau… per… gu… na… kan… il… mu… hi… tam…
mu… Kau… ki… rim… go… lok… ter… bang… be… ra… cun… mem…
bu… nuh… ku…”
“Aku tidak kenal padamu! Aku merasa tak pernah
mencelakaimu…” Ki Dukun terdiam sesaat. Lalu dengan suara semakin
bergetar dia bertanya: “Si… apa namamu? Katakan asal usulmu…”
“A… ku… Ma… ra… ran… ta… Tang… ka… rio… da… ri… Mi…
na… ha… sa… Se… se… o… rang… te… lah… me… nyu… ruh… mu…
un… tuk… mem… bu… nuh… ku! Kau… bo… leh… dus… ta… Ta… pi…
a… ku… da… tang… un… tuk… mem… ba… las… ke… ma… tian… ku!
A… ku… mau… min… ta… nya…wa… mu…!”
Mendengar kata-kata itu paras angker Ki Dukun Sura Manjangan
jadi berubah seputih kain kafan; “Mararanta Tangkario… Mayat Hidup
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 29
Gunung Klabat! Ah, dia rupanya! Tapi jika dia memang sudah mati,
mengapa bisa muncul begini rupa. Lalu siapa perempuan yang
didukungnya ini…?”
Mayat Hidup Gunung Klabat maju satu langkah lalu dongakkan
kepala, memperlihatkan luka besar yang mengoyak pangkal lehernya.
“Ja… ngan… be… ra… ni… dus… ta. Ba… co… kan… go… lok…
ja… ha… nam… mu… bi… sa… kau… li… hat… sen… di… ri… di… le…
her… ku! Se… se… o… rang… mem… ba… yar… mu… Pa… nge… ran…
Ma… ta… ha… ri… ”
“Aku… aku…” Ki Dukun Sura Manjangan sadar kalau dia tak
mungkin berkelit, makhluk bermuka pucat ini agaknya sudah tahu
segala-galanya. “Dengar… Aku hanya… menjalankan pekerjaanku.
Segala dosa dan kesalahan orang yang meminta yang menanggung.
Begitu perjanjian. Jadi kau harus mencari Pangeran Matahari. Bukan
aku…!”
Si muka mayat menyeringai. “Ka… ta… kan… di… ma… na… Pa…
nge… ran… ter… ku… tuk… itu…ber… a… da…”
“Sulit mencarinya. Tapi jika kuberi tahu… apakah kau bersedia
melepaskan diriku… Kau telah membakar rumahku. Pembantuku saat
ini pasti sudah mati dimakan api. Apakah itu belum cukup…?”
“Ka… ta… kan… sa… ja… di… ma… na… Pa… nge… ran.;. i… tu…
ber… a… da…”
Tangan kanan Mayat Hidup Gunung Klabat bergerak dan tahu-
tahu Ki Dukun merasakan lehernya sudah kena dicengkeram. Lehernya
terjulur dan matanya terbeliak. Dia berusaha berontak tapi malah
tubuhnya diangkat tinggi-tinggi ke atas!
“Jangan! Jangan bunuh aku!” Aku akan katakan dimana manusia
itu bisa ditemui!” seru Ki dukun dengan suara tercekik-cekik. Tubuhnya
kemudian diturunkan. Keringat dingin membasahi sekujur badannya
yang hanya mengenakan cawat putih itu.
“Pangeran itu… Satu hari dalam satu bulan… dia pasti berada di
sebuah Keraton kecil miliknya, terletak di kaki bukit Rasikembar di
selatan Imogiri… Tempat ini sulit dicari karena terletak dalam hutan
lebat dan jarang didatangi manusia
Ki Dukun Sura Manjangan merasa lega ketika merasakan
makhluk di depannya lepaskan cengkeraman di lehernya.
“Ba… gus… Kau… su… dah… mem… be… ri… ta… hu… Se… ka…
rang… kau… per… gi… lah… du… luan… Tung… gu… ma… ji… kan…
mu… i… tu… di… ne… ra… ka…”
“A… apa… maksudmu…?” bertanya Ki Dukun Sura Manjangan.
Sebagai jawaban Mayat Hidup Gunung Klabat hantamkan tangan
kanannya ke dada si kakek. Terdengar suara berderak hancurnya tulang
dada dan patahnya tulang-tulang iga sang dukun. Jantungnya pecah.
Darah menyembur dari mulutnya. Tubuhnya terpental sampai tiga
tombak, terkapar di tanah tanpa nyawa lagi.
Di atas sebatang pohon seorang pemuda berpakaian putih yang
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 30
dengan susah payah selalu mengikuti jejak perjalanan makhluk dari
liang kubur itu gelengkan kepala sambil garuk-garuk rambutnya…”
“Sepuluh orang sakti seperti guruku Sinlo Gendeng ditambah
sepuluh Dewa Tuak dan sepuluh Tua Gila mungkin tak akan dapat
mengalahkan makhluk ini… Pangeran Matahari, kau tunggulah. Dia
pasti akan muncul mencabut nyawamu.” Sesaat pemuda itu merenung.
“Apa betul dia orang mati kemudian bisa menjelma menjadi mayat
hidup? Sulit kupercaya… Kalau kemunculannya hanya untuk
membalaskan sakit hati dendam kesumat itu wajar-wajar saja.
Tapi kalau kemudian dia jadi betah hidup didunia ini dan
gentayangan menimbulkan keonaran… celakalah dunia persilatan I”
Ketika dilihatnya Mayat Hidup Gunung Klabat meninggalkan
tempat itu bersama istri dalam dukungannya, pemuda diatas pohon
yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng segera melompat
turun dan kembali mengikuti perjalanan makhluk itu secara diam-diam.
Seringkali Wiro ketinggalan atau kehilangan jejak. Dia tidak mampu
berada dalam jarak yang dekat karena makhluk itu berlari seperti
terbang dan kedua kakinya tak pernah menginjak bumi. Lagi pula sang
pendekar tidak berani berada terlalu dekat. Kawatir kalau-kalau yang
diikuti mengetahui kalau dirinya dikuntit orang. Jika ini sampai terjadi
dan dia diserang, pasti bencana besar. Sampai saat itu Pendekar 212
masih belum mampu untuk mengetahui dimana letak kelemahan
makhluk ini. Disamping itu dia merasa kasihan dan cemas akan nasib
yang menimpa perempuan muda bernama Minari itu. Meskipun jelas dia
adalah istri Mararanta, tapi bagaimana mungkin mereka meneruskan
hidup sebagai suami istri. Satu manusia sungguhan dan satunya lagi
makhluk mati yang hidup dan gentayangan secara aneh!
MALAM ITU mereka berhenti di sebuah bekas reruntuhan candi.
Minari sengaja berpura-pura tidur. Tapi diam-diam dia memperhatikan
gerak-gerik Mararanta Tangkario, suaminya yang sekarang berada
dalam kehidupan yang sulit dipercayanya. Lelaki itu duduk di atas
sebuah batu besar, tapi kedua kakinya tetap mengambang, tak pernah
menginjak tanah. Rasa takut yang menguasai dirinya selama berhari-
hari membuat dia seperti hendak gila. Betapapun dia mencintai
suaminya tapi bukan berarti dia bisa hidup dengan makhluk seperti itu.
Mararanta sendiri telah menceritakan bahwa dirinya adalah mayat
hidup! Dan ini memang dibuktikannya. Sampai hari itu Minari tak
pernah melihat Mararanta makan atau minum. Dirinya pun tak pernah
disentuhnya kecuali ketika mendukungnya dan membawanya berlari.
Sudah beberapa kali Minari mengambil keputusan nekad untuk
melarikan diri. Tetapi Mararanta seperti dapat membaca hatinya. Lelaki
itu selalu mengawasi dirinya, baik siang maupun malam. Dan satu hal
lagi yang membuat sulit bagi Minari untuk lari ialah Mararanta tak
pernah tidur.
Kesunyian malam berlalu dalam bungkusan udara dingin. Minari
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 31
hampir benar-benar tertidur ketika ada sebuah kerikil kecil jatuh
mengenai pipinya. Dibukanya kedua matanya. Mararanta dilihatnya
masih duduk di atas batu tadi, membelakanginya. Kemudian disamping
kanan dia seperti melihat bayangan seseorang di balik sebuah arca
buntung. Dipandanginya arca itu tanpa berkedip. Ah, mungkin hanya
perasaannya saja. Tak ada apa-apa dekat arca itu. Tapi batu barusan
jatuh di pipinya? Minari akhirnya pejamkan matanya kembali. Namun
baru kelopak matanya menutup setengah, dia melihat ada tangan yang
melambai dibalik arca buntung itu. Minari buka kedua matanya lebar-
lebar kembali. Saat itulah dia melihat sosok tubuh dan kepala muncul
di balik arca. Karena jarak arca dan tempatnya berbaring tidak berapa
jauh, selain itu rembulan yang dua pertiga bulat cukup menerangi
tempat itu, Minari walaupun samar-samar masih sempat melihat dan
mengenali orang itu.
“Pemuda itu kata Minari dalam hati. “Dia yang menolongku di
pondok kayu dalam hutan sebelum Mararanta muncul… Dia ternyata
mengikutiku sampai kesini… Pasti dia bermaksud menolongku…
Sayang… dia tak akan bisa melakukannya…” Tengah Minari berkata-
kata dalam hati seperti itu, pemuda dibalik arca lemparkan sebuah
benda ke arah Minari. Benda ini ternyata segulung kertas dan jatuh
tepat di samping kepala Minari.
Minari cepat-cepat mengambil kertas itu dan menyembunyikannya
di balik dada pakaiannya, tepat pada saat Mararanta bergerak bangkit
dari batu. Dia memandang berkeliling, lalu berpaling pada Minari.
“Ki… ta… ta… hu… si… tu… ti… dak… ti… dur…”
Tentu saja Minari terkejut mendengar kata-kata itu.
“Kakak… aku hampir tertidur… Tapi aku lihat kakak berdiri. Kau
juga perlu istirahat kakak. Kau perlu tidur…” kata Minari pula. Lalu
perempuan ini jadi merinding sendiri. Bagaimana kalau Mararanta
benar-benar tidur dan berbaring disampingnya!
“Ma… yat… ti… dak… per… nah… ti… dur…” terdengar jawaban
Mararanta Tangkario. Dia memandang lagi berkeliling. “Ki… ta… a…
da… de… ngar… bu… nyi… ba… tu… ja…tuh… Bu… nyi… ben… da…
me… la… yang!”
“Pendengaran kakak terlalu tajam. Aku tidak mendengar bunyi
apa-apa…” sahut Minari.
“Ma… yat… hi… dup… ti… dak… bi… sa… di… ti… pu…” kata
Mararanta pula. “A… ku… ma… u… me… nye… li… dik…” Lalu dia
bergerak cepat ke arah arca buntung.
“Celaka kalau pemuda itu masih berada di-sana…” kata Minari
dalam hati. Dilihatnya Mararanta sudah sampai ke dekat arca besar
tanpa kepala itu, memandang kian kemari, tapi tidak melihat atau
menemukan apa-apa. Mayat hidup bergerak ke jurusan lain. Melihat
gerakan tubuh yang melayang kian kemari tanpa menginjak tanah itu,
Minari jadi ngeri sendiri. Kemudian dilihatnya Mararanta kembali ke
tempatnya.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 32
“Sudah kubilang, telingamu terlalu tajam kakak. Tak ada makhluk
apapun di tempat ini, kecuali kita berdua…”
Mararanta tak berkata apa-apa dan kembali duduk di atas batu.
Esok paginya ketika mendapat kesempatan pergi membersihkan diri di
sebuah mata air, Minari keluarkan gulungan kertas yang
disembunyikannya di dada pakaian lalu membukanya. Di atas kertas
kecil itu ternyata ada tulisan berbunyi:
Meskipun dia adalah suamimu, Tapi aku khawatir keselamatanmu
terancam Besok malam jika kau dengar suara lolongan srigala, minta dia
untuk menyelidik Begitu dia lengah, aku akan melarikanmu
Wiro
“Jadi namanya Wiro kata Minari dalam hati. “Aku memang ingin
melarikan diri, apalagi ada yang mau membantu. Tapi apakah pemuda
itu sanggup, menolong…?”
Minari campakkan kertas itu ke dalam air. Kertas sesaat
mengambang dan terbawa arus menuju ke sebuah kali kecil dangkal
yang dasarnya berbatu-batu. Pada sebuah tonjolan batu kertas itu
tertahan. Satu tangan kemudian mengambilnya, meskipun kertas itu
basah namun apa yang tertulis di atasnya masih bisa dibaca jelas. Dan
yang mengambil serta membaca kertas itu bukan lain adalah Mayat
Hidup Gunung Klabat!
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 33
SEJAK SORE LANGIT tampak mendung. Menjelang malam hujan turun
rintik-rintik. Mayat Hidup Gunung Klabat sadar, bagaimanapun
cepatnya dia berlari, tak mungkin dia akan sampai ke tempat tujuan di
selatan Imogiri malam itu. Lagi pula Minari perlu istirahat. Dan yang
paling penting malam ini dia harus dapat menjebak pemuda bernama
Wiro itu. Ketika dia menghantamnya di rumah papan di hutan jati, dia
menyangka pemuda itu sudah menemui ajal, hancur bersama rumah
itu. Ternyata dia masih hidup dan masih nekad hendak menolong
Minari, hendak mengambil istrinya dari tangannya.
Di kejauhan tampak sebuah teratak, yaitu gubuk ditengah daerah
perladangan yang biasa dipergunakan para petani untuk beristirahat
atau makan siang. Mararanta Tangkario segera menuju teratak ini, dan
membaringkan Minari di lantai. Dari dalam kantong perbekalan
Mararanta mengeluarkan sebungkus makanan lalu diletakkannya di
samping Minari.
“Kau… per… lu… ma… kan… is… tri… ku”
“Aku tidak lapar kakak…” sahut Minari. Perempuan ini berada
dalam keadaan tegang. Sesuai dengan surat yang telah dibuangnya di
mata air, malam itu pemuda bernama Wiro akan menolongnya. Akan
berhasilkah pemuda itu melarikannya? Jika sampai tertangkap basah
oleh Mararanta, mampukah dia menghadapinya? Kesaktian yang
dimiliki Mararanta bukan kesaktian manusia biasa. Tapi kesaktian dari
alam aneh yang tidak satu manusia hiduppun bisa menguasainya! Dulu
dia memang mempunyai kepandaian silat serta kesaktian yang tinggi.
Namun semua kehebatannya itu tidak berkutik di hadapan Pangeran
Matahari. Namun kini dia muncul dalam bentuk kehidupan lain, yang
sulit diterima akal dan juga mengerikan. Dan kini dia memiliki
kesaktian yang luar biasa hebatnya.
“Ka… lau… kau… ti… dak… mau… ma… kan… ti… dur… lah…
Be… sok… pa… gi… pa… gi… se… ka… li… ki… ta… lan… jut… kan…
per… ja… lan… an…” kata Mararanta pula.
“Kakak… Jika urusanmu dengan Pangeran Matahari selesai, apa
yang akan kau lakukan…?” bertanya Minari.
“A… ku… a… kan… ba… wa… kau… ke… Mi… na… ha… sa… Ki…
ta… a… kan… ber… kum… pul… la… gi… Se… ba… gai… sua… mi… is…
tri…”
Bulu kuduk Minari merinding mendengar kata-kata itu.
“Menurutmu, kita berada dalam dua alam yang berbeda tak
mungkin berkumpul…”
“A… ku… pu… nya… ca… ra… a… gar… kita… ber… a… da… di…
a… lam… yang… sa… ma…”
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 34
“Caranya?” tanya Minari.
Mayat Hidup Gunung Klabat menyeringai. Belum sempat Minari
mendengar jawabannya tiba-tiba dikejauhan terdengar suara lolongan.
Lolongan srigalal Itulah tanda dari si pemuda. Minari merasakan
sekujur badannya tegang dan detak jantungnya berdegup lebih cepat.
“Suara lolongan srigala… Kau mendengarnya kakak…?” tanya
Minari dengan suara tercekat. Mayat Hidup Gunung Klabat
mengangguk.
“Aku takut… Kau harus berjaga-jaga. Kau… sebaiknya menyelidik
dan membunuh binatang itu sebelum dia berada lebih dekat ke tempat
ini
Mayat Hidup Gunung Klabat memandang sesaat pada Minari,
membuat perempuan ini merasa seperti putus nyawanya.
“A… ku… a…: kan… me… nye… Ii… dik… Aku… a… kan… ba…
wa… ke… pa… la… sri… ga… la… i… tu… a… gar… kau… me… Ii… hat…
sen… di… ri…”
“Jangan, tak usah. Kau bunuh saja begitu ketemu. Jangan dibawa
kepalanya kemari…” kata Minari pula.
Di kejauhan kembali terdengar suara lolongan srigala. Mayat
Hidup Gunung Klabat menyeringai, lalu melangkah cepat ke arah
terdengarnya suara lolongan srigala.
“Ma… nu… sia… pe… ni… pu… Kau… a… kan… mam… pus… da…
lam… ke… ne… kad… an.mu!”
Cepat sekali dia sudah berada di tempat dimana dia tadi
mendengar datangnya suara lolongan itu, tetapi secepat dia datang,
secepat itu pula dia memutar tubuh dan berbalik kembali menuju ke
teratak. Hanya saja, sesuatu menarik perhatiannya di tengah jalan. Dia
melihat sesosok tubuh berpakaian putih mendekam di balik sebatang
pohon besar.
“Hem… i… tu… pas… ti… pe… mu… da… bang… sat itu. A… kan…
ku… han… cur… kan… dia… ber… sa… ma… po… hon… i… tu!”
Mayat Hidup Gunung Klabat angkat tangan kanannya. Pundak
kanan membuat gerakan menyentak. Bersamaan dengan itu tangannya
menghantam. Terdengar suara menderu seperti ada topan menyerbu.
Batang pohon besar di depan sana hancur berantakan lalu tumbang
dengan suara menggemuruh. Beberapa pohon disekitarnya ikut terseret
dan mental berpatahan.
Mayat Hidup Gunung Klabat melompat ke arah pohon besar yang
tumbang, memandang berkeliling. Dia melihat robekan-robekan pakaian
putih, tapi sama sekali tidak menemui hancuran tubuh manusia, tidak
melihat muncratan darah!
“Ke… pa… rat… itu… me… ni… pu… ku!” menggereng Mayat
Hidup Gunung Klabat. “Bang… sat…! Ja… ngan… ha… rap… bi… sa…
lo… los… da… ri… ta… ngan… ku!”
Lalu secepat kilat dia berkelebat ke arah teratak.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 35
BEGITU MARARANTA meninggalkan teratak, Pendekar 212 yang
sembunyi di balik serumpun keladi hutan cepat keluar dan melompat ke
atas teratak. Minari hampir menjerit saking kagetnya.
Wiro cepat tekap mulut perempuan ini. “Jangan mengeluarkan
suara. Apa kau cukup kuat untuk berlari…?”
Minari menggeleng.
“Kalau begitu biar kudukung!”
Lalu murid Eyang Sinto Gendeng itu turun dari atas teratak,
menarik tubuh Minari dan mendukung perempuan itu di bahu kirinya.
Tanpa membuang waktu lagi Pendekar 212 segera melompat ke bagian
yang gelap. Namun alangkah kagetnya pendekar ini ketika tiba-tiba di
depannya berkelebat satu bayangan. Angin yang menyambar dari sosok
bayangan itu membuat dia terhuyung ke kiri. Untuk imbangi diri sambil
memasang kuda-kuda Wiro cepat melompat ke kanan. Bersamaan
dengan itu dia siapkan tenaga dalamnya ke tangan kanan sambil
merapat aji kesaktian pukulan sinar matahari.
Mayat Hidup Gunung Klabat! makhluk itu kini tegak di hadapan
Wiro dengan dua kaki yang tak menginjak bumi terpentang lebar.
Mulutnya menyeringai menyeramkan!
Sebelumnya Wiro telah menghadapi Mayat Hidup Gunung Klabat
dan menerima pukulan dahsyat yang luar biasa panasnya. Dia juga
sempat menyaksikan bagaimana Mararanta membunuh Ki Dukun Sura
Manjangan hanya sekali hantam saja. Mau tak mau dia harus berjaga-
jaga. Yang mengherankannya adalah mengapa makhluk itu begitu cepat
muncul kembali dan menghadangnya?!
“Ba… gus… ba… gus! Du… a… ma… nu… sia… ber… kom… plot…
me… ni… pu… ku. Sa… tu… se… ge… ra… mam… pus… Sa… tu… nya…
a… kan… men… da… pat… hu… ku… man… be… rat… da… ri… ku…!”
Mayat Hidup Gunung Klabat angkat tangan kanannya. Serta
merta hawa panas menebar di tempat itu. Sambil menggerakkan pula
tangan kanannya Pendekar 212 berseru : “Mararanta! Jika kau
menyerangku dengan pukulan sakti mengandung hawa panas itu berarti
kau akan membunuh istrimu sendiri!”
Wiro merasakan tubuh Minari menggigil di atas dukungannya.
Perempuan ini ketakutan setengah mati. “Tenang saudari… jangan
takut. Jangan membuat gerakan apa-apa…” berbisik Wiro.
Di hadapannya Mayat Hidup Gunung Klabat menyeringai. “Kau…
be… nar… Is… tri… peng… khi… a… nat… itu… be… lum… sa… at…
nya… ma… ti… A… ku… ha… rus… meng… hu… kum… nya… le… bih…
du… lu… I”
“Kakak Mararanta!” Minari berseru seraya angkat kepalanya. “Aku
tidak mengkhianatimu. Aku…”
“Tu… run… da… ri… ba… hu… o… rang… i… tu… Ber… ja… lan…
ke… a… rah… ku!”
Minari jadi bingung dalam takutnya. Ketika dia hendak meluncur
turun, Wiro segera membentak : “Jangan dengar kata-katanya. Sekali
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 36
kau kembali kepadanya, kau tak akan bisa diselamatkan lagi Minari!”
“Ma… nu… sia… be… jat…! A… pa… kau… tak… da… pat… pe…
rem… pu… an… lain… ma… ka… me… la… ri… kan… is… tri… o…
rang…?! Kau… sa… ma… sa… ja… be… jat… nya… de… ngan… Pa…
nge… ran… Ma… ta… ha… ri!”
“Aku tidak melarikan istrimu, Mararanta. Kau dan dia tak
mungkin berkumpul lagi sebagai suami istri. Kau harus menyadari hal
itu!” menjawab Wiro.
“Kau… pan… dai… men… ca… ri… da… lih! A… pa… ke… pen…
ting… an… mu… men… cam… pu… ri… u… rus… an… ka… mi… sua…
mi… is… tri…”
“Mararanta, kau sendiri mengetahui dirimu bukan manusia lagi,
tapi mayat yang dihidupkan. Jika kau terus menginginkan Minari
berada bersamamu, berarti kau akan menyiksa dirinya dengan
penderitaan dan rasa takut seumur hidupnya. Atau kau memang
menginginkan kematiannya?!”
“Di… a… te… lah… ber… sa… lah… Ber… khia… nat… ter… ha…
dap… ku. Ber… arti… me… mang… ha… rus… ku… bu… nuh. Ta… pi…
se… ka… rang… be… lum… sa… at… nya… Di… a… ha… rus… ku…
hu… kum… le… bih… du… lu… IA… ku… su… dah… mem… ba… ca…
su… rat… ra… ha… sia… yang… kau… ki… rim… kan… pa… da… Mi…
na… ri… Ka… lian… ber… dua… ma… sih… ma… u… ber… ke… lit…?!”
Wiro dan Minari terkejut bukan kepalang. Dan saat itu di hadapan
mereka Mararanta terdengar menggereng keras. Tangan kanannya
bergerak, tetapi tidak menghantam atau melepaskan pukulan apa-apa.
Malah tubuhnya di lain kejap berkelebat lenyap dan sedikit kemudian
terdengar pekik Minari. Wiro merasakan perempuan itu terbetot dari
atas bahunya. Maka tanpa menunggu lebih lama Pendekar 212
menghantam ke arah bayangan Mayat Hidup Gunung Klabat yang
dilihatnya berkelebat di depannya.
Hawa panas menerpa. Tempat yang gelap itu menjadi terang
benderang ketika pukulan sinar matahari menghantam dahsyat
menyilaukan!
Saat itu Mayat Hidup Gunung Klabat berhasil menjambak rambut
Minari. Dalam keadaan menjerit-jerit perempuan ini dikempitnya di
ketiak kiri. Ketika pukulan sakti sinar matahari menghantam ke
arahnya, dia sama sekali tidak berusaha menghindar ataupun
menangkis. Wiro jadi terkesima karena khawatir pukulannya akan
menciderai Minari.
Tiba-tiba Mararanta gembungkan mulut dan meniup ke depan!
Terdengar suara berdentum. Tanah bergetar seperti dilanda lindu.
Laksana menghantam tembok baja yang atos pukulan sinar matahari
membalik menyapu ke arah Pendekar 212!
“Ya Tuhan!” Murid Sinto Gendeng mengucap keras. Jatuhkan diri
ke tanah. Ketika pukulan sinar matahari menyambar dengan ganas, tak
ada jalan lain untuk selamatkan diri. Pendekar ini hantamkan kedua
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 37
tangan bahkan kedua kakinya ke atas.
Benteng topan melanda samudera! itulah pukulan sakti yang
dilepaskan Wiro untuk menyelamatkan dirinya dari pukulan sinar
matahari yang tadi dilepaskannya sendiri.
Terjadilah satu hai yang hebat. Dua benturan menggelegar susul
menyusul di tempat itu. Sosok Mayat Hidup Gunung Klabat terbanting
ke tanah. Minari yang dikempitnya di ketiak kiri terlepas lalu terguling
jatuh ke arah tanah yang terjal. Begitu menyadari dirinya terlepas,
perempuan ini kumpulkan segala tenaga yang ada lalu lari sekencang-
kencangnya. Dia tak perduli ke arah mana larinya. Yang penting lari
sekencang mungkin dan sejauh mungkin, terlepas dari cengkeraman
Mararanta. Bagaimanapun dia mencintai lelaki itu, apalagi pernah pula
menjadi suaminya, namun kenyataan yang dihadapinya kini serta
keanehan yang mengerikan yang terjadi atas diri lelaki itu membuatnya
tak ada jalan lain dari pada berusaha menyelamatkan diri!
Minari lari terus sekencang yang bisa dilakukannya sampai
akhirnya kedua kakinya terasa goyah dan dadanya sesak mendenyut.
Larinya kini tersaruk-saruk, akhirnya perempuan ini tersandung dan
jatuh terjerembab. Sebelum tubuhnya mencium tanah, satu tangan
merangkul bahunya. Minari berpaling lalu menjerit keras ketika
mengenali siapa adanya yang mencekal dirinya. Perempuan ini akhirnya
pingsan dalam keadaan kehabisan tenaga dan sangat takut!
Sambil bangkit terhuyung-huyung Mayat Hidup Gunung Klabat
memandang berkeliling. Minari dan Wiro Sableng sama sekali tidak
kelihatan. Mayat hidup ini menggereng keras dan kepalkan kedua
tinjunya. Dia berkelebat kian kemari, mementang mata memasang
telinga. Tetap saja dia tidak menemukan kedua orang itu. Juga tidak
terdengar suara apa-apa selain tiupan angin yang terasa dingin,
makhluk ini mendongak ke atas. Hidungnya menghirup dalam-dalam.
“Di… a… ma… sih… be… lum… ja… uh… Ma… sih… be… lum… ja…
uh…” Lalu Mayat Hidup Gunung Klabat berkelebat ke jurusan dimana
dia bisa membaui tubuh Minari karena sekian lama selalu saling
berdekatan.
Apa yang terjadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng? Ketika
pukulan sinar matahari datang menyapu dan dia menghantam dengan
pukulan benteng topan melanda samudera, dua dentuman yang dahsyat
membuat tubuhnya terlempar jauh, terguling ke sebuah jurang sedalam
lima tombak di ujung peladangan. Pakaiannya robek-robek, kulitnya
lecet dan luka berkelu-kuran. Dan begitu dia terhempas di dasar jurang,
pendekar ini muntahkan darah segar. Sepasang tangan dan kedua
kakinya seperti lumpuh. Beberapa kali dia mencoba bangkit tapi rubuh
kembali. Akhirnya dalam keadaan tak berdaya seperti, itu, Wiro hanya
bisa tergeletak menunggu nasib. Dia tidak menyadari justru dengan
jatuh ke dalam jurang inilah dia selamat dari tangan Mayat Hidup
Gunung Klabat!
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 38
PANGERAN MATAHARI MENGISAP pipa gading yang berisi tembakau
bercampur candu itu panjang-panjang. Kedua matanya sampai
terpejam-pejam saking merasa nikmat. Beberapa kali bola matanya
berputar-putar kemudian dia berpaling pada perempuan yang terbaring
menelungkup dalam keadaan tanpa busana di sebelahnya.
“Apa enaknya menghisap tembakau seperti itu…?” bertanya
perempuan itu. “Sulit menerangkan. Kau harus mencobanya sendiri.
Mau?”
Yang ditanya menggeleng.
“Menghisap tembakau campur candu, jika tahu takarannya yang
tepat akan membuat seseorang menjadi sehat dan perkasa… Kau
merasakan sendiri malam tadi bukan? Ha… ha… ha… ”
Perempuan itu menggigit bahu Pangeran Matahari lalu merangkul
tubuh lelaki itu seraya berbisik : “Kau memang kuat sekali Pangeran.
Malam tadi… ah, malu aku mengatakan. Aku hampir-hampir menangis
kewalahan…”
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak mendengar ucapan itu.
Lalu mencabut pipanya dan berkata : “Akupun tidak menyangka kau
begitu hebat melayaniku, Nyiruni. Biasanya aku hanya tinggal satu hari
di Keraton ini. Tapi bersamamu, aku akan tambah satu hari lagi… Ha…
ha… ha!”
“Kau suka tinggal di Keraton kecil ini?”
“Suka sekali, asal kau tetap berada disini Pangeran. Tidak
meninggalkan aku sampai berbulan-bulan…”
“Ah, aku orang banyak urusan dan kepentingan…”
“Urusan dan kepentingan dengan perempuan-perempuanmu yang
cantik-cantik lainnya…!” kata Nyiruni seraya cemberut.
“Eh… kau yang paling cantik diantara semua perempuan yang
kukenal. Dan paling ganas di atas ranjang…!”
Mendengar ucapan itu Nyiruni langsung bangkit dan menindih
tubuh sang Pangeran, Terangsang oleh tubuh yang bagus dan mulus itu
Pangeran Matahari letakkan pipa gadingnya di meja kecil di samping
tempat tidur. Baru saja dia hendak menggumuli tubuh Nyiruni tiba-tiba
diluar terdengar suara genta tiga kali berturut-turut.
Pangeran Matahari terkejut dan angkat tubuh Nyiruni ke samping.
“Ada apa Pangeran…?”
“Jika penjaga menarik genta tiga kali berturut-turut berarti ada
bahaya mengancam Keratonku!”
“Ah, siapa manusianya yang berani berbuat macam-macam
terhadapmu, Pangeran? Biarkan saja para pengawalmu yang
menyelesaikan segala urusan diluar sana. Aku ingin kita bersenang-
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 39
senang, tidak turun dari atas ranjang ini sampai besok pagi!”
Di luar sana kembali terdengar suara genta tiga kali berturut-
turut. Pangeran Matahari melompat dari atas ranjang, tidak perdulikan
panggilan manja penuh birahi Nyiruni. Dia mengenakan pakaian
hitamnya dengan cepat lalu berpaling pada Nyiruni yang menelentang
bugil di atas ranjang. “Kau tetap disini. Tunggu sampat aku kembali.
Urusanku tak akan lama!”
“Ennggg…” Nyiruni masih berusaha bermanja-manja. Tapi sang
Pangeran sudah melangkah ke pintu sambil mengikatkan kain merah ke
keningnya.
Sesuai dengan sifatnya yang biasa mengagulkan diri sebagai
pendekar segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala
congkak, Pangeran Matahari tidak langsung menuju ke bagian depan
Keraton kecil yang terletak di rimba belantara di kaki bukit Rasikembar
di selatan Imogiri. Dia justru pergi ke bagian belakang Keraton lalu
melompat ke atas atap bangunan. Dari sini dia akan dapat melihat
dengan jelas segala sesuatu yang ada di halaman Keratonnya. Tapi
begitu dia berada di atas atap, kagetlah sang pangeran. Seorang pemuda
berambut gondrong yang tak asing lagi dilihatnya duduk bersila enak-
enakan di atas atap sambil mengunyah sebuah jagung bakar. Sebuah
jagung lagi dipegangnya ditangan kiri.
“Kurang ajar, jadi kau rupanya yang hendak membuat keributan
di tempat kediamanku! Apa masih belum kapok…? Apa sudah begitu
ingin buru-buru mampus pendekar sableng…?!”
Pemuda gondrong berpakaian putih robek-robek serta banyak
bekas luka di tubuh dan wajahnya, tersenyum lebar dan angkat tangan
kirinya yang memegang jagung. Dengan mulut masih penuh dia berkata:
“Tenang… jangan cepat-cepat naik darah Pangeran! Bukan aku yang
mau membuat keonaran disini! Tapi ada orang lain! Dan aku mau
menyaksikan bagaimana dia akan membantai tubuhmu!”
“Keparat! Apa maksudmu Pendekar 212?! Siapa orang yang
katamu hendak membantaiku itu?!” bentak Pangeran Matahari dengan
marah hingga rahangnya tampak menonjol dan pelipisnya bergerak-
gerak.
“Ssst… Jangan bicara keras-keras. Nanti kedengaran si tukang
bantai itu!” ujar pemuda berpakaian putih yang bukan lain adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng. “Ini, kau makan dulu jagung bakar ini.
Rasanya enak, manis gurih dan masih panas!” Lalu seenaknya Wiro
lemparkan jagung yang di tangan kirinya ke arah Pangeran Matahari.
Karena lemparan jagung itu mengarah ke mata kanannya dan jika
dibiarkan bisa mencelakai dirinya, mau tak mau Pangeran Matahari
terpaksa cepat-cepat menyambuti jagung bakar itu dengan mata
membeliak,
“Sudah, makan saja dulu jagung itu! Kalau perut kenyang, tentu
kau akan lebih senang menghadapi musuh yang datang!” ujar Wiro pula
lalu tertawa mengekeh tapi perlahan-lahan.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 40
“Bangsat!” maki Pangeran Matahari. Jagung bakar yang
dipegangnya di tangan kanan hendak dibantingkannya ke atas atap.
Tapi tangannya ditarik kembali. Lalu seperti orang kelaparan jagung
bakar itu digerogotinya dengan cepat. Sebentar saja jagung itu hanya
tinggal bonggolnya!
“Nah, begitu baru hebat!” Wiro acungkan jempol tangan kirinya.
“Sekarang kau majulah ke ujung atap sana. Kau akan melihat siapa
pembantai yang sedang menunggumu di halaman Keraton!”
Masih dengan mata melotot dan rahang menggembung, Pangeran
Matahari melangkah ke ujung atap. Wiro jatuhkan tubuhnya sama rata
dengan atap ketika Pangeran Matahari melompatinya. Begitu sampai di
ujung atap dan memandang ke halaman di bawahnya, terkejutlah
Pangeran Matahari menyaksikan pemandangan di bawah sana!
Empat orang pengawal Keraton bergeletakan di tanah. Dua
dengan kepala pecah, dua lagi dengan dada dan perut jebol! Bukan ke-
matian empat pengawal itu yang membuatnya terkesiap. Tapi justru dia
melengak ketika melihat siapa yang berdiri diantara empat mayat!
“Aneh, aku tidak mendengar pekik mereka! Dan orang yang tegak
diantara mayat-mayat itu…?” Pangeran Matahari usap matanya sampai
pedas. “Mararanta Tangkario! Mana mungkin! Ki Dukun,Sura
Manjangan bukankah sudah membunuhnya beberapa waktu lalu…?”
Pangeran Matahari seolah bicara pada dirinya sendiri.
“Dukunmu yang pandai mengirimkan golok terbang pembunuh
sampai ke seberang lautan itu sudah digasaknya sampai mampus
beberapa hari lalu, Pangeran…!” Satu suara terdengar disamping sang
Pangeran. Tanpa berpaling Pangeran Matahari sudah tahu kalau yang
bicara adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Bagaimana kau bisa tahu?!” Pangeran Matahari bertanya tidak
percaya.
“Aku menyaksikannya sendiri!” sahut Wiro.
“Dia sudah mampus! Mana mungkin bisa hidup lagi!”
“Dia memang sudah mampus! Lihat bekas luka bacokan yang
mematikan di lehernya serta darah kering yang menodai pakaiannya. Itu
pertanda bahwa dukunmu itu memang telah menyelesaikan tugasnya
membunuh manusia bernama Mararanta Tangkario itu. Namun ada
satu kekuatan lain diluar akal manusia yang mampu
menghidupkannya. Ingat kejadian beberapa waktu lalu? Dialah yang
telah menghancurkan rumah papan milikmu lalu melarikan Minari! Saat
ini kau lihat sendiri, perempuan yang jadi istrinya itu didukungnya di
bahu kiri!”
“Bangsat! Dulu dia melarikan diri ketika kuhajar habis-habisan!
Kalau dia memang mayat yang dihidupkan. Rupanya hendak minta mati
kedua kali!”
“Pangeran, jangan menganggap enteng lawanmu itu. Dulu di
masih merupakan manusia biasa. Saat ini mungkin setengah setan
setengah iblis! Kau tak bakal menang menghadapinya. Itulah sebabnya
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 41
tadi kuberikan jagung bakar itu agar kau bisa mati dengan perut
kenyang! Di liang kubur atau di neraka tak ada yang akan memberikan
makan, apalagi jagung bakar segurih itu padamu. Ha… ha… ha…!”
“Sialan, anjing kurap!” maki Pangeran Matahari. “Kau saksikan
bagaimana aku akan melumat tubuh mahluk itu bersama istrinya!
Kalau keduanya sudah mampus, giliranmu akan kuhajar sampai
bangkaimu hanya tinggal tulang dan daging tak berbentuk!”
“Ah, mauku kau mampus di tanganku Pangeran. Tapi buat apa
bercapai tangan kalau ada yang lebih mampu melakukannya. Aku
hanya tinggal menonton saja! Ha… ha… ha!”
“Keparat kau, Pendekar 212! Kau tunggu giliranmu! Jangan kabur
dari sini!”
Sehabis mendamprat begitu Pangeran Matahari langsung
melompat turun ke halaman Keratota kecil. Gerakannya sebat kedua
kakinya menyentuh tanah tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Begitu
berhadapan dengan Mararanta Tangkario, Pangeran Matahari langsung
menyapu orang itu dengan pandangan mata tajam dan ketika melihat
bagaimana disiang bolong itu kedua kaki Mararanta Tangkario sama
sekali tidak menginjak tanah, berdesirlah darah Pangeran Matahari.
“Jadi benar yang kulihat ini bukan manusia!”
“Pa… nge… ran… Ma… ta… ha… ri! Kau… ber… ha… sil… mem…
bu… nuh… ku… se… ca… ra… ke… ji… pe… nge… cut… Si… ang… i…
ni… a… ku… da… tang… un… tuk… me… ngam… bil… nya… wa… mu”
Mayat Hidup Gunung Klabat langsung membuka mulut begitu melihat
Pangeran Matahari berada di hadapannya.
Sang Pangeran tentu saja tercekat ketika mendengar suara orang
itu. Aneh mengerikan. Tapi kecongkakannya masih bisa membuatnya
ajukan pertanyaan.
“Katakan dulu kau ini benar mayat hidup yang gentayangan
untuk menuntut balas…?”
“Kau… ti… dak… bu… ta… Ke… ja… ha… tan… mu… sa… ngat…
ke… ji… Kau… men… cu… lik… is… tri… ku… mem… per… ko… sa…
nya…”
“Lalu apakah saat ini kau datang untuk mengantarkan istrimu,
menyuguhkannya padaku? Ha… ha…! Aku tidak perlu lagi perempuan
busuk itu Mararanta! Nikmatilah sendiri olehmu!”
“Ma… nu… sia… dur… ja… na… ber… da… rah… bi… na… tang…
ber… ha… ti… ib… lisi A… jal… mu… su… dah… sam… pai…!”
Mayat Hidup Gunung Klabat lalu meniup keras-keras dan
bersamaan dengan itu tangan kanannya dihantamkan ke arah Pangeran
Matahari.
Kagetlah sang Pangeran ketika merasakan bagaimana halaman itu
berubah seperti dibakar kobaran api. Hawa.panas yang luar biasa
disertai dorongan yang dahsyat membuatnya berteriak keras, melompat
setinggi tiga tombak, lalu dari atas dia lepaskan pukulan sakti bernama
pukulan Gerhana Matahari!
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 42
SINAR KUNING, MERAH DAN HITAM berkiblat, menderu ke arah
Mayat Hidup Gunung Klabat. Bumi seperti dipanggang saking panasnya.
Siapa saja yang kena tersambar angin pukulan sakti itu pastilah akan
hangus tubuhnya. Kalau sampai terkena telak maka dia akan mati
dengan tubuh gosong! Namun Mayat Hidup Gunung Klabat tidak
perdulikan serangan berbahaya yang bisa membawa maut itu. Udara
panas yang keluar dari serangan lawan baginya suatu hal yang biasa.
Malah ketika tiga sinar itu menyambar tubuhnya, dia jentikan lima
jarinya ke udara. Lima sinar putih terang benderang menyambar ganas.
Bummm! Bummm! Buuuummmm!
Terdengar suara ledakan tiga kali berturut-turut ketika tiga dari
lima sinar terang yang keluar dari jari-jari tangan Mayat Hjdup Gunung
Klabat menghantam berantakan tiga sinar sakti pukulan Gerhana
Matahari yang dilepaskan Pangeran Matahari. Sisa dua sinar lagi terus
menyambar mencari sasaran di tubuh sang Pangeran.
Kaget Pangeran Matahari bukan olah-olah. Dengan muka pucat
dan berseru tegang dia jatuhkan diri ke tanah, lewat diantara dua
sambaran sinar serangan lawan lalu bergulingan di tanah. Waktu
bergulingan dia sengaja membuat gerakan menyamping. Pertama agar
dapat melihat gerakan lawan berikutnya, kedua karena dia ingin cepat-
cepat membereskan lawan ganas itu dengan pukulan sakti berikutnya
yakni pukulan Telapak Merapi.
Pangeran Matahari berguling sambil angkat kedua tangannya
yang mengepal. Lalu mendorong dalam gerakan perlahan. Terdengar
suara bersuit keras. Mayat Hidup Gunung Klabat tersentak ketika ada
dua hawa sakti yang luar biasa panasnya tanpa kelihatan bayangan
atau sinarnya menggebu menelikungnya. Yang pertama menerpa ke
arahnya, yang kedua menyambar ke arah Minari yang ada di bahu
kirinya.
Melihat orang hendak mencelakai istrinya, marahlah Mayat Hidup
Gunung Klabat. Tangan kanannya diangkat ke atas, lututnya menekuk.
Tubuhnya yang seperti membungkuk itu tiba-tiba berputar seperti
titiran, bersamaan dengan itu tangan kanannya menghantam tiga
kali,berturut-turut. Terdengar suara menggelegar susul menyusul. Di
udara tampak tiga kilatan menyilaukan laksana petir menyambar. Dua
menghantam pukulan sakti Pangeran Matahari, yang ketiga melabrak ke
arah sang Pangeran sendiri. Meskipun Pangeran Matahari masih
sanggup menyelamatkan diri dari serangan maut itu, namun tubuhnya
terbanting tunggang-langgang oleh gelegar dahsyat tadi. Dia jatuh
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 43
terkapar di tanah dengan dada mendenyut sakit dan wajahnya yang
angkuh kini tampak sepucat kertas.
Kilatan seperti petir yang ke tiga lewat diatas tubuh Pangeran
Matahari, terus menghantam atap Keraton kecil dimana Pendekar 212
berada. Atap yang terbuat dari genting itu hancur berantakan dan
Pendekar 212 sendiri tak ampun lagi terperosok jatuh ke dalam
bangunan Keraton.
Hebatnya murid Sinto Gendeng ini jatuh tepat di jurusan kamar
Pangeran Matahari, tepat di atas ranjang dimana saat itu Nyiruni masih
terbaring bugil sambil enak-enakan menyantap sebuah jeruk besar.
Karuan saja perempuan cantik ini terpekik kaget sementara
Pendekar 212 Wiro Sableng juga tak kalah kejutnya. Tapi begitu melihat
wajah cantik tanpa pakaian itu diapun tertawa lebar. Perempuan ini
pastilah salah satu perempuan penghibur Pangeran Matahari, pikir
Wiro.
“Siapa kau…?” tanya Wiro.
“Kau yang siapa?!” balik bertanya Nyiruni dengan suara keras dan
setengah ketakutan karena masih belum hilang kagetnya.
“Aku salah seorang pengawal Pangeran. Saat ini dia tengah
berkelahi melawan musuh kelas berat. Dia minta aku menjagamu. Kau
tak perlu takut. Tampangku tidak lebih jelek dari Pangeran itu, bukan?”
“Memang kau… hem… Kau lebih ganteng dari Pangeran Matahari.
Tapi bajumu kotor, robek-robek dan tubuhmu dekil…” jawab Nyiruni.
“Ah, kalau begitu aku perlu mandi dulu. Ada kamar mandi di
tempat ini…?” tanya Wiro. Lalu enak saja dia membuka baju putihnya.
Nyiruni hendak mendamprat. Tapi begitu melihat tubuh sang
pendekar yang kekar penuh otot serta ada rajah 212 di dadanya,
perempuan yang pada dasarnya memang bangsa jalang ini diam saja.
Dia menunjuk ke sebuah pintu berwarna kuning muda dan berkata:
“Dibalik pintu itu ada sebuah kolam. Kau boleh membersihkan dirimu
disana. Tapi awas. Sekali Pangeran mengetahui perbuatanmu ini,
jantungmu akan dibetotnya!”
Wiro tertawa sambil garuk-garuk kepala. Dia lari menuju pintu
kuning dan membukanya. Betul saja, di balik pintu itu terdapat sebuah
ruangan berbentuk kebun kecil. Di tengah kebun ada sebuah kolam dan
di atas kolam ada sebuah pancuran yang selalu mengucurkan air jernih
dan sejuk. Murid Sinto Gendeng tanggalkan pakaiannya lalu mencebur
masuk ke dalam kolam. Dia baru saja membasahi kepalanya ketika tiba-
tiba pintu kuning terbuka dan seseorang masuk. Pendekar 212
terbelalak.
“Jika Pangeran mengetahui perbuatanmu, bukan jantungku yang
dibetotnya, tapi jantungmu yang akan dicopotnya!” kata Wiro. Lalu
sepasang kaki mulus Nyiruni masuk ke dalam kolam. “Edan diluar sana
orang berkelahi mati-matian, kita disini…”
“Kita juga mati-matian…!” jawab Nyiruni lalu membenamkan
tubuhnya ke dalam air.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 44
KETIKA PENDEKAR 212 keluar dari dalam Keraton menuju ke
halaman depan dilihatnya perkelahian antara Mararanta Tangkario alias
Mayat Hidup Gunung Klabat melawan Pangeran Matahari berkecamuk
dengan hebat. Sang Pangeran telah menghujani lawannya dengan
pukulan-pukulan sakti namun jangankan membuat lawan roboh,
bahkan dirinya semakin lama semakin terdesak!
“Heran, ilmu dan kekuatan iblis apa yang dimiliki si Mararanta
ini?!” pertanyaan itu selalu muncul dalam hati Pangeran Matahari.
Setelah belasan jurus menyerang dan menghantam satu hal yang tak
pernah dilakukannya selama ini dalam menghadapi berbagai musuh
maka akal licik mulai muncul di benak Pangeran Matahari. Dia sengaja
mendesak dengan serangan berantai, ketika Mayat Hidup membalas
dengan ganas, Pangeran Matahari sengaja mentalkan dirinya sambil
menjerit keras lalu roboh berguling-guling di tanah.
Wiro Sableng terbeliak menyaksikan kejadian itu. “Ah… akhirnya
sampai juga ajalnya desis Wiro. Lalu dilihatnya Mayat Hidup Gunung
Klabat bergerak mendekati sosok tubuh Pangeran Matahari yang
terkapar di tanah sambil masih terus mendukung tubuh Minari yang
berada dalam keadaan pingsan. Namun ketika hanya tinggal satu
langkah dari hadapan tubuh Pangeran Matahari, tiba-tiba tubuh itu
bergerak. Sang Pangeran yang diam-diam telah menyiapkan diri dengan
tenaga cfalam penuh, hantamkan kedua tangannya. Tangan kiri
melepas pukulan Gerhana Matahari sedang tangan kanan lepaskan
pukulan Merapi Meletus!
“Bang… sat… Ii… cik!” teriak Mayat Hidup Gunung Klabat.
Mulutnya meniup dan tangan kanannya dihantamkan kebawah!
Desss!
Bukkk!
Bummm… bummm!
Tanah dan pasir beterbangan. Sebuah lobang besar lagi kelihatan
di halaman Keraton itu.
Mayat Hidup Gunung Klabat terpental dua tombak. Tapi hebatnya
dia tidak cidera sedikit-pun bahkan Minari yang didukungnya tidak
terlepas seolah-olah menempel ke bahunya.
Sebaliknya Pangeran Matahari tampak terkapar menelentang.
Dadanya seperti ditusuk besi-besi tajam. Dia sadar kalau pukulan
lawan, walaupun agak meleset telah mematahkan beberapa tulang
iganya! Sekujur tubuhnya mendadak sontak dijalari hawa panas.
Dadanya mendenyut sakit. Dan saat itu dilihatnya Mayat Hidup Gunung
Klabat melangkah menghampirinya!
“Kalau dia menghantam, aku tak punya daya untuk menghindar.
Apa yang dikatakan Pendekar 212 memang benar! Makhluk ini memiliki
kekuatan dan kesaktian luar biasa. Ah… tamatlah riwayatku hari ini…!”
Pangeran Matahari berpaling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat
itu dilihatnya pendekar itu tegak di depan tangga Keraton sambil
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 45
mengangkat kedua tangannya ke atas. Dua telapak tangan
dikembangkan lalu diputar.
“Apa pula yang dikerjakan pendekar sableng itu. Aku sudah mau
dibantai orang, dia masih saja berbuat yang bukan-bukan!” rutuk
Pangeran Matahari.
Putaran kedua tangan Wiro mula-mula perlahan. Lalu makin lama
makin kencang, makin kencang dan udara di tempat itu mendadak
mengalami perobahan! Hawa dingin disertai tiupan angin yang seperti
seruling menggantikan udara yang tadinya terasa panas. Mayat Hidup
Gunung Klabat yang dasar kesaktiannya adalah hawa panas, kini
merasakan tubuhnya jadi menggigil. Kedua kakinya menjadi berat
untuk dilangkahkan. Semakin dipaksanya, semakin beringas dan marah
dia maka semakin keras hawa dingin menerpa dirinya. Sekujur
badannya basah kuyup oleh cairan sedingin es yang kemudian seperti
membeku membuat dia tak bisa menggerakkan bagian tubuhnya lagi.
Dicobanya meniup. Otot mulutnyapun ternyata sudah kaku!
Lain halnya dengan Pangeran Matahari.
Walaupun dirinya kini terlepas dari ancaman maut Mayat Hidup
Gunung Klabat, namun keadaan Pangeran Matahari lebih tersiksa. Di
sebelah luar sekujur tubuhnya seperti beku dilapisi cairan dingin.
Sebaliknya di sebelah dalam ada hawa panas menggarang akibat
pukulan Mayat Hidup Gunung Klabat tadi. Setiap nafas yang ditariknya
membuat dadanya mendenyut sakit. Dari mulutnya terdengar suara
menggigil diseling oleh suara mengerang kesakitan.
Apakah sebenarnya yang terjadi. Dari mana datangnya hawa
dingin, yang membungkus tubuh Mayat Hidup dan Pangeran Matahari
itu?
Seperti diketahui, dari sang guru Eyang Sinto Gendeng, Pendekar
212 Wiro Sableng mendapat warisan beberapa pukulan sakti. Salah satu
diantaranya adalah pukulan aneh yang tidak langsung ditujukan pada
lawan, tetapi dilakukan demikian rupa hingga udara secara tiba-tiba
menjadi sangat dingin dan lawan akan menjadi kaku dibawa tindihan
udara dingin itu. Tubuhnya akan basah kuyup oleh lapisan air sedingin
es! Ilmu pukulan itu yang bernama angin es itulah yang dikeluarkan
oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Karena baik Mayat Hidup maupun
Pangeran Matahari memiliki dasar kesaktian yang sama yaitu bertumpu
pada hawa panas, maka dengan sendirinya keduanya tidak terbiasa
dengan hawa dingin. Akibatnya mereka akan lebih cepat dikuasai oleh
pukulan angin es yang membuat Pangeran Matahari jatuh pingsan
dalam keadaan kaku sementara Mayat Hidup berubah menjadi mayat
kaku tak kuasa bergerak, tak kuasa berbicara. Minari, yang berada
dalam keadaan pingsan dan tak tahu apa-apa itu terbungkus air es.
Pada saat keadaan seperti itulah tiba-tiba ada sosok tubuh
melayang laksana orang berjalan di atas awan atau di balik kabut.
Orang ini kelihatan samar-samar sekali, antara ada dan tiada. Dia
mengenakan baju putih dengan panjang celana putih gombrong.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 46
Rambutnya yang putih mehjela bahu melambai-lambai di tiup angin.
“Pendekar muda, cukup sudah kau memberi pelajaran pada
cucuku. Harap kau suka menghentikan serangan hawa sedingin salju
ini!”
Yang bicara ternyata adalah orang tua yang kelihatan samar-
samar. Suaranya seperti datang dari jauh tetapi cukup jelas. Wiro
memandang ke jurusan si orang tua.
“Manusia bayangan… Siapa kau adanya?!” Wiro bertanya. “Kau
menyebut seseorang sebagai cucumu. Siapa…? Mararanta Tangkario
alias Mayat Hidup Gunung Klabat itu…?”
“Benar sekali pendekar muda…”
Wiro melangkah lebih dekat. “Astaga… Ke dua matamu buta,
orang tua! Dan sosok tubuhmu bukanlah sosok tubuh sebenarnya…
Apakah kau juga sebangsa mayat hidup?!”
“Tidak, aku bukan mayat hidup seperti cucuku ini. Aku hanya
mengandalkan kekuasaan dari Tuhan untuk mengirimkan bayang-
bayang tubuhku ke tempat ini…”
“Luar biasa!” ujar Wiro sambil goleng-goleng kepala.
Orang tua itu tersenyum. “Bagi Tuhan tak ada yang luar biasa,
anak muda. Namaku Walalangi… Aku datang untuk membawa cucu dan
sekaligus muridku ini kembali ke Minahasa…”
“Dan juga membawa perempuan di atas bahunya itu…?”
Si orang tua gelengkan kepala. “Justru disitulah letak kesalahan
cucuku satu ini. Tujuannya untuk datang ke tanah Jawa adalah untuk
membalaskan sakit hati dendam kesumat pada manusia bernama
Pangeran Matahari itu. Namun dia membawa serta maksud lain yang
menyalahi aturan…”
“Apakah itu…?” tanya Wiro.
“Aku katakan sejujurnya. Pertama dia ingin memiliki kembali
perempuan yang perhah jadi istrinya. Padahal itu tak mungkin terjadi
karena mereka berada di dua alam yang berbeda. Kedua setelah
memiliki kesaktian luar biasa dalam hati kecil cucuku ada terniat
keinginan untuk menguasai dunia persilatan di tanah Jawa ini.
Padahal… janji semula begitu urusannya selesai dia harus kembali ke
bentuknya semula. Kembali ke alamnya semula, alam barzah… Karena
telah melanggar perjanjian, saat ini dia tak mampu lagi melakukan
pembalasan terhadap Pangeran Matahari…”
Orang tua itu tersenyum dan gelengkan kepalanya. “Tuhan lebih
tahu dari kita tentang segala urusan dendam kesumat. Kita manusia
jangan sekali-kali merasa lebih pandai dari Tuhan. Aku merasa
menyesal telah memenuhi permintaan cucuku ini, juga permintaan
istrinya yang di Minahasa. Yaitu agar rohnya bisa dibangkitkan lagi
untuk melakukan pembalasan
“Orang tua, kalau kau ingin membawa cucumu itu kembali, lebih
cepat akan lebih baik… Kasihan rohnya berada dalam keadaan seperti
ini…” kata Wiro pula.
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 47
Walalangi mengangguk. Dia mengusap punggung. Minari. Dari
tubuh perempuan itu keluar kepulan asap tanda ada hawa panas yang
dialirkan si orang tua ke tubuh Minari. Saat itu juga hawa dingin serta
cairan es yang membungkus tubuh Minari menjadi pupus dan terdengar
suara perempuan itu mengerang. Walalangi menurunkan tubuh Minari
dari atas bahu Mararanta Tangkario lalu menyerahkannya pada Wiro
seraya berkata : “Bawalah dia pergi dari tempat ini. Penderitaannya
sudah cukup banyak…”
Wiro mendukung Minari yang masih belum siuman sepenuhnya
itu di bahu kirinya. Lalu dilihatnya si orang tua mengusap punggung
Mararanta Tangkario. Kembali ada asap yang mengepul. Sosok Mayat
Hidup itu tampak bergerak. Lalu si orang tua cepat memegang. bahunya
dan berkata: “Cucuku Mararanta, saatmu untuk kembali ke puncak
Klabat…”
Mayat Hidup itu anggukkan kepala. Lalu sesaat dia berpaling ke
arah Minari dan pandangi kepala perempuan itu. Wiro jadi terkesiap
ketika dia melihat dari kedua mata Mayat Hidup ada air mata yang jatuh
berderai. Melihat kejadian ini mau tak mau hatinya menjadi luruh
karena haru. Mayat saja masih punya perasaan, mengapa manusia
tidak…? Itu yang terpikir dalam hati Pendekar 212 saat itu.
“Cucuku… saatnya kau pergi…” terdengar suara orang tua
bernama Walalangi.
Mayat Hidup Gunung Klabat perlahan-lahan memutar tubuhnya.
Lalu dalam gerakan seperti melayang sosoknya berkelebat ke udara,
makin tinggi, makin tinggi dan akhirnya lenyap.
Si orang tua menarik nafas lega, dia berpaling pada Wiro dan
berkata.
“Giliranku minta diri…” Lalu dia menjura dalam-dalam. Wiro
membalas dengan menjura lebih dalam.
Ketika dia meluruskan badannya kembali, orang tua itu sudah tak
ada lagi disitu.
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya.
“Ilmu mengirimkan bayang-bayang tubuh yang dimiliki orang tua
itu sungguh luar biasa…” katanya sambil geleng-geleng kepala. “Banyak
orang sakti mandraguna di tanah Jawa ini, namun tanah lain ternyata
juga menyimpan rahasia kesaktian yang aneh-aneh dan sulit dicari
tandingannya. Benar kata orang-orang persilatan, di luar langit masih
ada langit lagi!”
Wiro melangkah tinggalkan bagian depan Keraton kecil. Ketika
sampai di hadapan Pangeran Matahari yang pingsan karena kesaktian
hawa dingin yang tadi dilepas oleh Wiro, murid Sinto Gendeng ini
tersenyum. “Pangeran, walau saat ini telingamu tidak mendengar,
antara kita berdua kini sudah impas. Kau tidak membunuhku ketika
aku pingsan dihantam Mayat Hidup Gunung Klabat itu. Dan sekarang
akupun tidak membunuhmu ketika kau pingsan. Di lain hari, jika kita
bertemu lagi ceritanya tentu lain lagi…”
050 Mayat Hidup Gunung Klabat Wiro Sableng 212 48
Lalu sang pendekar memandang ke arah Keraton. Terbayang
olehnya wajah dan tubuh Nyiruni yang saat itu tentu masih terbadai
tertidur keletihan. Wiro menyengir sendiri lalu lanjutkan langkahnya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar