53. GUNA-GUNA TOMBAK API
HARI itu tanggal tiga bulan ke lima. Sebuah bukit yang
selama bertahun-tahun sunyi senyap, terletak di
antara kaki Gunung Merapi dan Gunung Raung kini
banyak didatangi oleh orang-orang yang muncul dari
berbagai penjuru. Melihat gerak-gerik orang-orang itu dan
memperhatikan cara mereka berlari menuju puncak bukit,
dapatlah diduga bahwa orang-orang itu, siapapun mereka
adanya, adalah orang-orang dari dunia persilatan.
Ada kepentingan apakah orang-orang persilatan
berdatangan di puncak bukit itu? Ternyata hal ini ada
kaitannya dengan rencana peresmian dan pengenalan
sebuah partai persilatan baru yang diberi nama Partai
Bintang Blambangan. Partai silat ini diketuai oleh Gandring
Wikoro, seorang kakek berusia 70 tahun. Lebih dari
separuh masa hidupnya telah dihabiskan dengan
pengabdian pada Keraton Sala. Di usia menjelang
menutup mata, Gandring Wikoro yang tidak bisa
melupakan masa muda dan asal-usulnya, setelah
berunding dengan anak-istri serta para sahabat, akhirnya
memutuskan untuk membentuk sebuah partai silat. Konon
Gandring Wikoro memiliki darah keturunan ketiga dari Raja
Blambangan. Semula dia hanya bermaksud mendirikan
sebuah perguruan silat. Namun atas dorongan anak-anak
dan sahabat-sahabatnya, dan mengingat nama
Blambangan adalah satu nama besar di masa silam, maka
disetujui merubah perguruan menjadi sebuah partai.
Selama pengabdiannya di Keraton Sala, Gandring
Wikoro dikenal dengan gelar kehormatan “Raja Panah
Delapan Penjuru Angin.” Memang selain memiliki ilmu silat
tangan kosong yang tinggi serta andal dalam ilmu golok,
Gandring Wikoro juga menguasai ilmu panah secara luar
biasa. Demikian hebatnya ilmu kepandaiannya, dia
sanggup membidikkan tiga panah sekaligus pada tiga
sasaran yang berlainan. Dia juga mampu membidik burung
yang terbang di udara dengan mata tertutup! Dan kabarnya
dia telah pula menciptakan beberapa jurus ilmu silat di
mana orang yang memainkannya memegang busur di
tangan kiri dan anak panah di tangan kanan. Busur dipakai
sebagai pelindung, tidak beda dengan tameng sedang
anak panah dijadikan senjata seperti golok atau pedang.
Siapa saja yang sudah menguasai ilmu silat Panah dan
Busur itu, lima orang bersenjata tidak akan mampu
merobohkannya!
Memandang kepada nama besar Gandring Wikoro
itulah maka banyak tokoh silat yang punya nama besar
tidak segan-segan datang ke puncak bukit tempat akan
diresmikannya Partai Bintang Blambangan itu.
Di puncak bukit yang sejuk itu dibangun sebuah
panggung setinggi satu tombak dan luas sepuluh kali lima
belas tombak. Di belakang panggung ini terdapat sebuah
panggung lagi yang agak lebih tinggi. Di sini duduklah Raja
Panah Delapan Penjuru Angin didampingi oleh istrinya,
seorang perempuan ramping berambut putih. Di sebelah
sang istri duduk seorang pemuda berbadan tegap berparas
gagah. Pemuda ini bernama Bimo Argomulyo, putera dan
anak tunggal pasangan suami-istri Gandring Wikoro.
Menurut orang-orang yang tahu, di usianya yang baru 26
tahun Bimo Argomulyo kabarnya sudah mewarisi seluruh
kepandaian ilmu silat dan kesaktian yang dimiliki ayahnya,
kecuali ilmu silat Panah dan Busur.
Di samping Bimo Argomulyo tampak duduk seorang
pemuda berbadan tinggi semampai berkulit putih yang
adalah keponakan Gandring Wikoro atau sepupu Bimo
bernama Sarwo Bayu. Sejak masih kecil, yakni sejak kedua
orang tuanya meninggal, Sarwo Bayu dipelihara oleh
Gandring Wikoro. Karenanya sudah dianggap sebagai anak
sendiri. Dalam hal umur Sarwo satu tahun lebih muda dari
Bimo Argomulyo.
Dalam pelajaran ilmu silat boleh dikatakan Gandring
Wikoro tidak membeda-bedakan anak dan keponakannya.
Keduanya diberi pelajaran ilmu yang sama. Dalam ilmu
silat tangan kosong ternyata Bimo lebih cepat dan lebih
banyak menguasai. Sebaliknya dalam ilmu silat Panah dan
Busur, ternyata sang keponakan lebih menguasai dari
anaknya sendiri.
Di belakang deretan kursi keluarga ketua partai, duduk
dengan rapi dan gagah 30 orang anggota partai yang terdiri
dari anak-anak muda rata-rata berbadan tegap. Memang
Gandring Wikoro sengaja mengambil anggota partai dari
murid-muridnya sendiri, orang-orang yang masih muda dan
bersih, belum tercemar segala macam keburukan dunia.
Dia berharap dari orang-orang muda yang bersih dan
berjiwa satria itulah kelak Partai Bintang Blambangan bisa
berkembang menjadi partai besar, sebesar dan seharum
Kerajaan Blambangan di masa lampau.
Di depan panggung besar berderet-deret kursi yang
diduduki oleh para tetamu. Masing-masing deretan diseling
oleh sebuah meja panjang. Di atas meja ini terletak
berbagai macam minuman dan makanan yang lezat-lezat.
Di antara para tamu yang hadir, kelihatan seorang gadis
berparas cantik, berambut panjang sebahu. Dia
mengenakan pakaian berbunga-bunga warna-warni dan
duduk di deretan kursi ke tiga. Sejak tadi keluarga Ketua
Partai telah melihat gadis ini dan masing-masing bertanya-
tanya siapa gerangan adanya si jelita ini.
Di antara para tetamupun banyak yang mengagumi
kecantikannya. Mereka juga menduga-duga siapa dara ini
yang tampaknya datang sendirian ke tempat itu.
Selesai para tamu mencicipi hidangan, Gandring Wikoro
berdiri dari kursinya untuk memberikan kata-kata
sambutan disertai penjelasan asal muasalnya Partai
Bintang Blambangan didirikan. Sekadar basa-basi, tak lupa
Gandring Wikoro mengajak para tetamu yang bersedia,
bergabung dalam partainya.
Setelah beberapa tokoh silat yang diundang turut
memberikan sambutan, termasuk seorang utusan Keraton
Sala, maka para tamu kembali dipersilahkan mencicipi
hidangan. Kini makanan yang lezat-lezat itu ditambah pula
dengan sepuluh nampan nasi tumpeng. Sambil bersantap
para tetamu disuguhi pertunjukan silat oleh anggota atau
murid partai.
Selesai pertunjukan itu, di antara sorak-sorai dan tepuk
tangan, terdengar seseorang berseru agar ketua partai
memperlihatkan kebolehannya barang sejurus dua jurus.
Karena tak bisa mengelak, dan sesuai dengan adat-istiadat
dunia persilatan, maka Gandring Wikoro berdiri kembali,
menjura beberapa kali lalu berkata, “Sebagai tuan rumah
aku wajib memenuhi permintaan para sahabat sekalian.
Namun harap jangan ditertawakan kalau aku hanya akan
memperlihatkan ketololan belaka!”
Ketua Partai baru itu mengangkat tangan kirinya ke
atas. Melihat tanda ini, seorang anak murid partai segera
maju membawa sebuah busur dan kantong panjang
terbuat dari kulit kerbau kering, berisi selusin anak panah.
Gandring Wikoro menjura sekali lagi di hadapan para
tetamu. Lalu orang tua yang memiliki tubuh sangat lentur
ini melompat ke kiri. Begitu kakinya menginjak lantai
panggung kembali, entah kapan dia melakukannya,
kantong anak panah tahu-tahu sudah tersandang di bahu
kanannya. Dengan sikap gagah dia cabut sebatang anak
panah sementara busur di pegang di tangan kiri. Lalu
mulailah orang tua ini menunjukkan kebolehannya,
mainkan jurus-jurus ilmu silat ciptaannya. Busur di tangan
kiri diputar-putar hingga mengeluarkan suara menderu.
Hiasan janur yang tergantung tiga tombak di atas
panggung tambah bergoyang-goyang. Di bawah panggung,
para tetamu yang duduk di deretan kursi ke satu sampai ke
tiga ikut merasakan bagaimana kerasnya sambaran angin
yang menerpa keluar dari busur itu. Sementara busur
diputar terus, tangan kanan Gandring Wikoro tidak tinggal
diam, membuat gerakan-gerakan menusuk, membabat dan
membacok. Anak panah sepanjang tiga jengkal itu seolah-
olah lenyap dari pemandangan. Yang tampak hanya
bayang-bayangan lurus disertai suara menderu. Para
hadirin bertepuk tangan menyatakan kekaguman.
Di atas panggung, Ketua Partai Blambangan itu
membuat gerakan berputar, sengaja membelakangi
deretan para tetamu. Di tangan kanannya kini terlihat ada
tiga anak panah. Suasana mendadak sontak menjadi sunyi
senyap. Semua orang memandang tak berkesip, apa yang
akan mereka saksikan, apa yang akan dilakukan oleh
Gandring Wikoro. Tiba-tiba orang tua ini balikkan tubuhnya.
Bersamaan dengan itu busur ditarik. Des… des… des! Tiga
anak panah melesat ke bawah panggung secara
bersamaan. Yang paling kanan menancap pada sosok
ayam panggang yang terletak dekat nasi tumpeng pada
meja paling depan. Anak panah kedua menancap pada
sebutir buah kelapa yang juga berada di meja terdepan.
Sedang anak panah ke tiga menancap tepat pada belahan
buah nangka yang ada di atas meja deretan kedua!
Terdengar suara menggemuruh tepuk tangan, suitan
dan pujian kagum para hadirin. Ketua Partai Bintang
Blambangan menjura berulang kali.
“Maafkan atas semua ketololanku!” Lalu dia berbalik
dan melangkah ke arah kursinya.
Baru menindak dua langkah tiba-tiba terdengar suara
tawa bergelak, disusul seruan keras, “Orang tolol bernama
Gandring Wikoro! Sebelas tahun mencarimu, akhirnya
ketemu juga! Hari ini kau meresmikan partaimu! Hari ini
pula hari kematianmu!”
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 2
EMUA orang yang ada di atas dan di bawah panggung
sama terkejut mendengar seruan itu, terlebih lagi
Gandring Wikoro selaku Ketua Partai Bintang
Blambangan yang baru saja diresmikan. Ketika satu
bayangan berkelebat ke atas panggung, semua mata serta
merta tertuju padanya.
Paras sang ketua tampak berubah ketika dia melihat
siapa adanya orang yang tegak beberapa langkah di
depannya. Orang ini adalah seorang kakek-kakek berkulit
hitam legam, mengenakan pakaian rombeng dekil dan bau.
Wajahnya cekung dan rambutnya kotor awut-awutan.
Sepasang mata Gandring Wikoro sesaat
memperhatikan kedua tangan orang di hadapannya yang
berwarna kebiru-biruan. “Dulu tangan itu biasa saja. Tidak
berwarna biru seperti itu…” berkata Gandring Wikoro dalam
hati. Lalu dia membuka mulut menegur seramah mungkin,
“Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng! Kau rupanya! Aku
turut bergembira kau datang kemari menghadiri peresmian
partaiku! Harap dimaafkan kalau penyambutan kami
kurang memuaskan hatimu!”
Orang banyak jadi terkejut ketika mendengar nama dan
alias yang diucapkan Gandring Wikoro. Sekitar tiga puluh
tahun yang lalu nama dan alias itu merupakan satu momok
yang menakutkan. Jangankan melihat orangnya,
mendengar namanya sajapun orang sudah pada
mengkerut. Pada waktu itu Suto Rawit menjadi raja diraja
rampok yang malang melintang antara perbatasan Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Bahkan anak buahnya tersebar
sampai ke Pulau Madura. Beberapa kali para penguasa
S
mengirimkan pasukan untuk menggerebek dan
menghancurkannya, namun dia selalu berhasil lolos
bahkan tak jarang pasukan yang datang menumpas tak
pernah kembali lagi, hancur ditumpas habis oleh Warok
Gajah Ireng.
Ketika bergundal rampok itu berkomplot dengan
beberapa adipati dengan rencana merebut tahta Kerajaan
Sala, Sultan tak mau bertindak ayal lagi. Raja Panah
Delapan Penjuru Angin dikirim ke sarang Warok Gajah
Ireng. Setelah dikepung selama tiga hari tiga malam
akhirnya Suto Rawit mengirim utusan untuk berunding.
Gandring Wikoro tidak bodoh. Dia tahu bahwa permintaan
berunding itu adalah tipu muslihat belaka. Maka dia
mengatakan bersedia melakukan perundingan asalkan dia
yang menentukan tempat dan saatnya serta hanya mereka
berdua saja yang boleh hadir.
Pertemuan kemudian diadakan di sebuah lembah.
Pada kedua bibir lembah, balatentara kerajaan dan
pasukan rampok menunggu hasil perundingan itu. Ternyata
Suto Rawit memang berlaku curang. Diam-diam dia sudah
mengirimkan ke lembah dua orang tangan kanannya dan
seorang tokoh silat golongan hitam yang berhasil
ditariknya. Begitu Gandring Wikoro muncul mereka
langsung menyerbu!
Sebagai seorang yang penuh pengalaman Gandring
Wikoro dengan segala kewaspadaan dan kesigapan yang
ada segera mencabut anak panah dan merentang busur.
Dua orang tangan kanan Suto Rawit langsung menemui
ajal ditancapi dua anak panah. Meskipun kemudian dia
hanya menghadapi Suto Rawit dan tokoh silat golongan
hitam itu, namun tidak mudah bagi Raja Panah Delapan
Penjuru Angin untuk menghadapi mereka. Perkelahian dua
lawan satu itu berlangsung di dasar lembah yang gelap,
sama sekali tidak diketahui oleh pasukan kedua belah
pihak.
Dalam keadaan tubuh luka-luka cukup parah, Gandring
Wikoro berhasil merobohkan si tokoh golongan hitam dan
menotok Suto Rawit. Sebelum ditangkap dan dibawa ke
kotaraja Suto Rawit masih sempat membujuk Gandring
Wikoro dengan imbalan separuh dari seluruh harta
kekayaan yang dimilikinya asal dirinya dilepaskan.
Gandring Wikoro saat itu tersenyum lalu lepaskan totokan
di tubuh sang raja rampok. Menyangka Gandring Wikoro
menyetujui bujukannya maka kesempatan ini tidak disia-
siakan Suto Rawit. Secepat kilat dia lari meninggalkan
dasar lembah. Namun baru lari sejauh sepuluh tombak,
dua anak panah melesat dalam kegelapan malam dan
menancap di betisnya kiri kanan! Suto Rawit terpekik.
Tubuhnya terguling roboh. Pasukan kerajaan kemudian
datang menangkapnya.
Suto dibawa ke kotaraja. Seharusnya orang ini langsung
dihukum mati. Tapi entah mengapa dia hanya dijatuhkan
hukuman penjara selama sepuluh tahun. Dan kini tahu-
tahu dia sudah muncul di tempat itu dengan sepasang
tangan berwarna kebiruan, tanda dia memiliki satu ilmu
baru.
Kakek berbaju rombeng sesaat angguk-anggukkan
kepalanya lalu kembali perdengarkan suara tawa
bekakakan.
“Bagus! Kau tidak lupakan diriku,” katanya. “Kau
gembira melihatku, namun sebentar lagi akan terjadi
kesedihan di tempat ini…”
“Apa maksudmu Suto Rawit?” tanya Gandring Wikoro.
“Jangan berpura-pura tidak tahu! Selama lima tahun
pertama mendekam dalam penjara aku mengalami
kelumpuhan akibat dua anak panah yang kau tancapkan
pada kedua betisku…”
“Ah… Kalau itu yang jadi persoalan ketahuilah bahwa
saat itu aku menjalankan tugas sebagai abdi kerajaan.
Sekarang kau sudah bebas, mengapa masih menyimpan
dendam kesumat?” ujar Gandring Wikoro pula.
Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng meludah ke lantai
panggung. “Dendam kesumat bukan dendam kesumat
namanya kalau tidak dibalaskan! Kau dengar kata-kataku
itu Gandring?!”
“Suto Rawit. Segala persoalan masa lalu sudah kukubur
dalam-dalam. Kita sudah pada tua bangka seperti ini,
mengapa masih meributkan masa lalu…?”
“Kau bisa mengatakan begitu, karena kau tidak
merasakan siksaan sepuluh tahun dalam penjara! Kau
tolol karena tidak membunuhku saat itu!”
“Kalau kau memang hendak membicarakan urusan
masa lampau itu, boleh-boleh saja Suto. Namun saat ini
biar kau kupersilakan makan dan minum dulu, biarkan
para tamuku pulang, setelah itu baru kita bicara!”
“Waktuku tidak lama. Aku membutuhkan hampir
sebelas tahun untuk mencari jejakmu! Dan tak perlu
menunggu sampai tamu-tamu itu pergi. Biar mereka
menyaksikan sendiri ganasnya pembalasan yang akan aku
lakukan…”
Tiba-tiba Bimo Argomulyo putera tunggal Ketua Partai
Bintang Blambangan bangkit dari kursinya dan melangkah
ke tengah panggung. “Ayah, jika kau ingin aku
melemparkan kakek budukan ini ke kaki bukit, aku akan
melakukannya sebelum mulutnya yang bau menceloteh
terlalu banyak…”
“Anak muda!” sentak Suto Rawit dengan muka hitam
membesi. “Katakan siapa kau ini!?”
“Aku Bimo Argomulyo, putera Ketua Partai Bintang
Blambangan!”
“Ooo, begitu…? Kau ternyata seorang anak yang berani.
Tidak sepengecut ayahnya!” ujar Suto Rawit lalu untuk ke
sekian kalinya dia tertawa gelak-gelak.
“Bimo… Kembali ke tempatmu. Biar aku yang
menyelesaikan urusan dengan orang gila ini…” kata
Gandring Wikoro pada anak laki-lakinya itu.
“Orang gila… Kau menyebutku orang gila! Apa kau tahu
kalau di neraka ada ribuan orang gila yang sedang bersiap-
siap menunggu kedatangan roh busukmu…? Ha… Ha…
Ha…!”
Merah padam wajah Gandring Wikoro. Ketika kakek
berbaju rombeng itu melompat menyerangnya, maka
diapun tak tinggal diam, balas menghantam. Akibatnya dua
tangan saling beradu keras. Suto Rawit alias Warok Gajah
Ireng terhuyung-huyung tiga langkah. Wajahnya biasa-biasa
saja. Sebaliknya Ketua Partai Bintang Blambangan
terpental satu tombak lalu jatuh terduduk. Mukanya
mengerenyit kemerahan. Ketika dia mencoba bangkit
kelihatan lengannya yang tadi beradu dengan lengan lawan
menjadi biru.
Satu bayangan melesat ke atas panggung. “Ketua, kau
keracunan! Lekas telan obat ini!” kata orang yang barusan
melompat ke atas panggung. Lalu sang ketua merasakan
sebuah benda dimasukkan ke dalam genggamannya.
Ketika melihat siapa yang memberi dan menyadari
memang ada kelainan dengan lengan serta aliran darah
dan detak jantungnya, Gandring Wikoro cepat telan obat
yang diberikan lalu atur jalan darahnya.
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 3
RANG yang memberikan obat kepada Ketua Partai
Bintang Blambangan ternyata memiliki kulit yang tak
kalah hitamnya dengan Warok Gajah Ireng alias Suto
Rawit. Dia mengenakan baju putih yang terbuat dari kain
sangat kasar dan gombrang dua kali melebihi besar
tubuhnya. Di punggungnya dia menyandang sebuah tabung
bambu yang memiliki dua buah tutup tanda tabung itu
mempunyai dua ruangan. Ruangan pertama dari mana tadi
dia mengeluarkan obat adalah Tabung Segala Macam
Obat. Sedang bagian tabung yang satunya disebut Tabung
Segala Macam Racun! Siapakah adanya manusia berbaju
gombrang yang telah menolong Ketua Partai Bintang
Blambangan itu?
Dalam kalangan Keraton Sala dia dikenal sebagai juru
obat. Dengan bekal puluhan butir obat yang selalu
dibawanya ke mana-mana, dia sanggup menyembuhkan
berbagai macam penyakit. Namun orang ini sekaligus juga
dikenal sebagai tukang racun. Manusia atau binatang
kalau sempat termakan racunnya, jangan harap bisa hidup
dari seratus hitungan. Jangan pula diharap ada yang bakal
bisa menyembuhkan kecuali dia. Dan racun-racun ganas
itu selalu dibawanya ke mana-mana dalam tabung bambu
di sebelah tempat dia menyimpan butir-butir obat!
“Jembar Keling!” Suto Rawit yang rupanya mengenali
siapa adanya orang itu menyebut namanya dengan suara
keras. “Sebagai tetamu, lancang amat kau mencampuri
urusanku dengan tuan rumah…”
Si baju gombrang yang bernama Jembar Keling cibirkan
bibir dan menyahuti, “Aku masih bisa bangga karena
O
merupakan tamu yang diundang. Kau sendiri muncul di sini
siapa yang mengundang? Jin gunung atau setan hutan?
Sudah muncul jangan kira semua orang di sini senang
melihat tampangmu! Sepuluh tahun dijebloskan dalam
penjara rupanya tidak membuatmu kapok! Lekas turun dari
panggung. Jangan ganggu sahabatku. Minggat dari tempat
ini. Atau kau mau kusuguhi racun…?!”
“Mulutmu pandai juga bicara! Tapi cukup cuma sampai
hari ini! Selanjutnya kau bisa menyambung bicara di liang
kubur!” Habis berkata begitu Warok Gajah Ireng langsung
menyerang Jembar Keling. Dua manusia hitam itupun
saling baku hantam.
“Kau menyerang, aku bertahan!” si hitam yang diserang
berseru. Kedua tangannya diangkat ke atas. Begitu dua
tangan itu menyembul keluar dari lengan baju yang
gombrong kelihatanlah kuku-kuku jarinya yang hitam dan
panjang runcing!
Suto Rawit terkesiap juga melihat keangkeran sepuluh
jari tangan lawan. Dia sudah tahu betul kehebatan dan
keganasan kuku-kuku maut itu. Namun penuh percaya diri
dia teruskan serangannya. Dirinya sepuluh tahun silam
tidak sama dengan yang sekarang. Ketika lawan membuat
gerakan mencakar ke arah kedua tangannya, Suto Rawit
sengaja pentang lengannya kiri kanan yang berwarna biru.
Sepuluh kuku hitam beracun menyambar. Tapi kuku-kuku
itu seperti mencakar di atas batu yang sangat licin.
Jangankan bisa mencengkeram, mengguratnya sajapun
tidak mampu!
Penasaran dan tidak percaya, Jembar Keling kembali
mencengkeram sambil kerahkan tenaga dalam. Tapi saat
itu lawannya tak mau memberi kesempatan lagi. Dengan
satu gerakan aneh Suto Rawit menghantam.
Bukkk!
Tubuh Jembar Keling terlipat ketika jotosan Suto Rawit
mendarat di perutnya. Bagian perut itu langsung menjadi
biru tanda racun di lengan lawan sudah mendekam di
tubuhnya. Tapi Jembar Keling tidak merasa khawatr. Obat
penawar yang memang sudah disiapkannya segera
ditelannya. Tiga butir sekaligus!
“Racunku tak bakal membuat mampus bangsat satu
ini!” memaki Suto Rawit. “Berarti kepalanya harus
kupecahkan atau kubetot lepas jantungnya!” Setelah
membatin begitu, Suto Rawit keluarkan satu pekik keras
yang membuat sakit telinga. Tubuhnya berkelebat lenyap
berubah jadi bayang-bayang. Bau badan dan pakaiannya
yang busuk menyebar di seantero panggung. Jembar Keling
berkelebat kian kemari. Tangan kanannya menyambar di
sebelah depan menyebar serangan, sedang tangan kiri
menyambar di belakang tangan kanan sebagai tameng jika
sewaktu-waktu ada serangan lawan yang masuk.
Dua manusia sama-sama hitam ini berkelahi ganas dan
mati-matian. Jurus demi jurus berlalu sangat cepat. Pada
jurus ke sembilan, Suto Rawit kembali membuat gerakan
aneh. Tubuhnya seperti mengapung ke atas. Bagian perut
dan dadanya sama sekali tidak terlindung. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Jembar Keling untuk menyerbu sasaran
yang terbuka itu.
“Jebol perutmu! Ambrol ususmu!” teriak Jembar Keling.
Praakk!
Suara Jembar Keling tak terdengar lagi. Tanpa jeritan
ataupun erangan, tubuhnya terbanting ke lantai panggung.
Kepalanya rengkah. Darah dan cairan otak menggenangi
lantai. Si hitam satu ini telah berubah menjadi mayat
membiru begitu cepatnya! Kematiannya disaksikan dengan
pandangan mata menyatakan kengerian dari semua orang.
Jembar Keling bukan seorang yang berkepandaian rendah.
Namun jika lawan bisa membereskannya di bawah sepuluh
jurus berarti ilmu kepandaian bekas kepala rampok itu
berada pada tingkat yang sungguh sangat tinggi.
Suasana di tempat itu untuk beberapa lamanya
menjadi sunyi sepi dan kemudian dipecahkan oleh suara
Suto Rawit.
“Ada lagi di antara para tetamu yang hendak coba-coba
berbakti menyelamatkan ketua partai baru ini…?!”
Tak ada yang menjawab.
Saat itu sang ketua sudah duduk kembali di tempatnya
di atas panggung tinggi.
“Kami yang akan menyelamatkan Ketua Partai dan
melempar mayatmu ke bawah bukit!” Satu suara
mengumandang tapi ada dua orang yang bergerak maju
mendekati Suto Rawit. Ternyata mereka adalah dua orang
pemuda yang bukan lain Bimo Argomulyo, putera sang
ketua, serta Sarwo Bayu saudara sepupu Bimo.
Melihat dua pemuda itu bergerak, Gandring Wikoro
segera bangkit dari kursinya.
“Aku tidak mengizinkan kalian bertindak! Aku yang akan
menyelesaikan semua urusan dengan pembunuh ini.
Singkirkan dan urus jenazah sahabatku Jembar Keling.”
Walaupun hati dan darah muda mereka meradang,
namun Bimo serta Sarwo harus taati perintah sang ketua.
Mereka menggotong jenazah Jembar Keling. Di ujung
panggung beberapa anak murid partai lalu mengambil alih
jenazah itu.
Untuk kedua kalinya Ketua Partai Bintang Blambangan
saling berhadap-hadapan dengan Warok Gajah Ireng alias
Suto Rawit.
“Kali ini kau tak bakal lolos dari kematian, Gandring
Wikoro. Kau dengar itu… Jika kau punya senjata
keluarkanlah. Bukankah kau jagoan memanah? Mana
busur dan panahmu…?”
Mendengar ucapan itu, walau di luar wajahnya tampak
tenang namun di dalam hatinya jadi panas juga. “Apa
maumu akan kulayani Suto Rawit. Aku merasa tak perlu
sungkan-sungkan terhadap rampok tua yang masih haus
darah macammu ini!”
Lalu Ketua Partai Bintang Blambangan itu mengangkat
tangan kiri memberi tanda. Seorang anak murid partai
segera berlari mendatangi sambil membawa sebuah busur
dan sebatang anak panah. Di lain saat dua orang itu sudah
berhadap-hadapan satu sama lain.
“Keluarkan senjatamu! Mari kita berkelahi sampai
salah satu dari kita menemui kematian!”
Suto Rawit tertawa sinis mendengar kata-kata Ketua
Partai Bintang Blambangan itu lalu sambil mengangkat
kedua tangannya ke atas dia berkata, “Senjataku hanya
sepasang tangan berwarna biru ini! Kau tak perlu banyak
bicara. Silakan menyerang duluan!”
Gandring Wikoro kertakkan rahang. Busur di tangan
kirinya tiba-tiba lenyap, berubah seperti menjadi sebuah
kitiran, menderu dengan deras. Suto Rawit merasakan
seperti ada jarum-jarum kecil yang menembusi kulitnya
ketika sambaran busur itu menerpa tubuhnya. Dengan
cepat orang ini melompat menjauhi namun dia sempat
keluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba sosok tubuh lawan
entah bagaimana sudah berkelebat dari samping sambil
menghunjamkan anak panah di tangan kanan ke arah
batang leher Suto Rawit.
“Serangan hebat!” memuji Suto Rawit namun setelah
itu dia mengejek, “Ilmu silat rendahan ini tak ada gunanya
bagiku Gandring! Lihat…!”
Begitu seruan Suto Rawit berakhir, Gandring Wikoro
merasakan ada satu gelombang angin melandanya hingga
dia terjajar ke belakang. Cepat Ketua Partai ini babatkan
busurnya. Serentak dengan itu tangan kanan yang
memegang panah mencuat kian kemari, mengarah bagian-
bagian yang berbahaya dari tubuh Suto Rawit.
Bekas kepala rampok besar itu hanya sunggingkan
senyum. Malah keluarkan suara mendengus. Dua
tangannya dipalangkan ke depan.
Begitu busur di tangan kiri Gandring Wikoro
menyambar, terdengar suara kraak! Ketua Partai Bintang
Blambangan itu berseru kaget. Dia batalkan maksud
menusuk dengan anak panah di tangan kanannya dan teliti
busur di tangan kiri. Ternyata busur itu telah patah sewaktu
menghantam lengan lawan yang berwarna biru!
Marahlah Gandring Wikoro. Busur yang dijadikannya
senjata itu bukan saja patah tapi tangan kirinyapun terasa
mendenyut sakit.
“Kurang ajar! Kau patahkan busurku! Berarti akan
kupatahkan batang lehermu!” teriak Gandring Wikoro
marah sekali. Didahului oleh suara menggereng orang ini
kembali menyerbu. Anak panah di tangan kanannya
berkelebat kian kemari. Tubuhnya sendiri hanya tinggal
merupakan bayang-bayang. Sang ketua melakukan
gempuran dengan jurus-jurus silat simpanannya. Dalam
waktu singkat Suto Rawit kena didesak hebat. Bekas
kepala rampok ini berusaha menggebuk lawan dan senjata
anak panah itu. Namun gerakan Gandring Wikoro cepat
dan penuh tak terduga. Selain itu Gandring Wikoro selalu
berjaga-jaga agar jangan ada bagian tubuh ataupun anak
panahnya sampai beradu dengan salah satu lengah yang
sangat berbahaya itu.
Karena terdesak terus, Suto Rawit menjadi naik darah.
Dia segera merubah gerakan-gerakan ilmu silatnya.
Gerakan ilmu silat orang ini ternyata memang aneh dan
membuat Gandring Wikoro semakin lama semakin sulit
melancarkan serangan-serangan baru. Pada puncak
kesulitannya dia merasakan tangan kanannya pedas.
Ketika dia meneliti ternyata anak panah yang dijadikannya
senjata telah tercabut lepas dari genggamannya. Dan
telapak tangannya tampak lecet! Senjatanya kini berada di
tangan lawan!
Berusaha memperhatikan diri sendiri tanpa menjauhi
lawan adalah satu kesalahan besar yang sebenarnya tidak
mungkin dapat dilakukan oleh seorang tokoh silat kawakan
seperti Gandring Wikoro alias Raja Panah Delapan Penjuru
Angin itu! Namun justru itulah yang terjadi. Selagi Ketua
Partai Bintang Blambangan ini lengah, anak panah miliknya
sendiri menghujam deras di lehernya. Gandring Wikoro
mengeluarkan suara seperti orang tercekik. Belasan mulut
keluarkan seruan tertahan. Tak percaya akan apa yang
mereka saksikan. Senjata makan tuan!
Ketika Suto Rawit melepaskan ekor anak panah yang
dipegangnya, tubuh Gandring Wikoro pun roboh ke
panggung, kelojotan sebentar lalu diam tak berkutik lagi!
Belasan orang berlompatan dari panggung tinggi. Paling
depan adalah Bimo dan Sarwo, lalu istri Gandring Wikoro,
diikuti oleh anggota dan anak murid Partai!
Di bawah panggung puluhan tetamu sampai tersentak
berdiri menyaksikan kematian Ketua Partai yang sangat
cepat dan tak terduga. Tapi sang dara jelita berpakaian
berbunga-bunga tampak tetap duduk di kursinya seolah-
olah tidak ada kejadian apa-apa. Sikapnya biasa-biasa
saja, wajahnya dingin.
“Manusia keparat! Kucincang tubuhmu!” teriak Bimo
Argomulyo lalu cabut sebilah pedang putih dari belakang
punggungnya. Lain halnya dengan Sarwo Bayu. Pemuda
satu ini, setelah menyadari bahwa Gandring Wikoro tak
bernyawa lagi, dengan darah mendidih dia sudah langsung
menyerbu Suto Rawit!
“Anak-anak muda! Aku hargai keberanian kalian! Tapi
jika mau mendengar nasihatku, kalian akan selamat. Lekas
minggat dari hadapanku!”
“Keparat! Rohmu yang akan kubikin minggat!” teriak
Bimo. Lalu menyusul adik sepupunya dia pun melompat ke
dalam kalangan pertempuran.
“Tahan dulu! Dengar ucapanku!” Suto Rawit berteriak
keras. Pengaruh teriakan dahsyat yang disertai tenaga
dalam itu sesaat membuat Bimo dan Sarwo Bayu hentikan
gerakan.
“Mulai saat ini jabatan Ketua Partai Bintang
Blambangan aku ambil alih! Semua anak murid partai
termasuk kalian berdua harus taat perintah! Mundur!”
“Manusia keparat!”
“Bangsat terkutuk!”
Siapa yang mau mendengar ucapan Warok Gajah Ireng
itu. Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu kembali menyerbu.
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 4
AROK Gajah Ireng tertawa mengekeh. Matanya
yang cekung berputar liar. Bimo Aryo dengan
pedang putih di tangan berada di depan sebelah
kanan. Sarwo Bayu di sebelah kiri, tampaknya pemuda ini
akan mengandalkan tangan kosong, namun kemudian
sang warok melihat Bayu menyelinapkan tangan ke balik
pakaian dan kini tampak dia menggenggam sebatang anak
panah berwarna putih berkilat, terbuat dari baja putih.
Anak panah ini berbentuk aneh. Selain ukurannya lebih
besar, di bagian kepala memiliki tiga kepala sekaligus.
Berarti jika sampai senjata itu menancap di sasaran, tidak
mungkin mencabutnya tanpa sasaran mengalami
kehancuran total!
Selain Bimo dan Sarwo, panggung ternyata telah
dikurung oleh lebih dari dua puluh anak murid dan anggota
partai.
“Jadi begini rupanya sifat orang-orang Bintang
Blambangan! Mengandalkan pengeroyokan di sarang
sendiri!” terdengar sang warok alias Suto Rawit keluarkan
kata-kata ejekan.
“Manusia jahanam sepertimu memang pantas
dikeroyok dan dicincang!” menyahuti Bimo Argomulyo. Dia
memberi isyarat pada sepupunya, juga pada murid-murid
partai. Serentak dengan itu dua puluh pengurung
merangsak maju sambil loloskan senjata mereka yakni
busur di tangan kiri dan anak panah di tangan kanan!
Di bawah panggung para tetamu banyak yang menarik
nafas menyesalkan apa yang terjadi. Tetapi sebagian besar
merasa memang manusia seperti Warok Gajah Ireng harus
W
disingkirkan dari muka bumi untuk selama-lamanya. Lain
halnya dengan dara berbaju kembang-kembang. Dalam
hatinya dia membatin, “Ilmu silat busur dan panah
memang bukan sembarangan. Apalagi dua pemuda itu
akan bertempur berbarengan. Tapi… rasanya mereka akan
mengalami malapetaka. Suto Rawit tetap bukan tandingan
mereka. Aku harus mencegah.”
Bimo Argomulyo tiba-tiba keluarkan teriakan keras,
inilah tanda terakhir. Semua orang menyerbu ke arah Suto
Rawit.
Pada saat itulah melesat satu bayangan ke atas
panggung. Angin sangat deras menyambar. Suto Rawit
merasakan kedua kakinya menjadi goyah dan tubuhnya
terhuyung-huyung. Rambutnya yang panjang awut-awutan
berkibar-kibar. Bimo dan Sarwo merasakan hal yang sama,
malah kedua pemuda itu terjajar sampai tiga langkah. Dua
puluh anak murid partai banyak yang roboh berpelantingan
sampai ke bawah panggung. Apakah yang terjadi?
Di saat ketika angin menyambar terdengar suara orang
berseru, “Semua orang Partai Bintang Blambangan harap
mundur! Biar aku yang mewakili kalian membalaskan sakit
hati kematian Ketua Partai!”
Tentu saja semua kejadian ini membuat orang terkejut.
Dan jadi tercengang tak percaya ketika mengetahui bahwa
yang melakukan hal itu adalah sang dara jelita berpakaian
warna-warni yang tadi duduk di antara para tetamu pada
deretan kursi ke tiga. Masih begitu muda tapi memiliki
hawa tenaga dalam yang sanggup membuat para jago di
atas panggung sempoyongan!
Bimo Argomulyo dan Sarwo hendak mendamprat marah
karena ada yang berani mencampuri urusan balas dendam
mereka. Namun dua pemuda ini jadi terkesima ketika
melihat yang tegak di atas panggung saat itu bukan lain
adalah gadis cantik yang sejak sebelumnya sudah
membuat mereka kagum.
“Saudari… Kami menghargai kegagahanmu. Namun
biarlah kami orang-orang partai menyelesaikan urusan ini.
Terima kasih…”
“Betul saudari, sebaiknya kau kembali ke tempat
dudukmu di antara para tamu,” menyambung Sarwo Bayu
atas kata-kata Bimo tadi.
Sang dara gelengkan kepala dan tersenyum.
“Si baju rombeng bau yang tegak di depan kalian ini
bukan manusia. Tapi iblis laknat yang harus cepat-cepat
disingkirkan. Dia bukan lawan kalian. Jangan mengira aku
sombong. Tapi hanya aku yang memiliki senjata untuk
dapat menumpasnya!”
Habis berkata begitu sang dara layangkan
pandangannya. Meskipun sepasang mata itu bening bagus,
tapi ada satu kekuatan aneh yang membuat semua orang
Partai Bintang Blambangan menjadi terhening dan ketika
Bimo Argomulyo melangkah mundur, adik sepupunya pun
mengikuti. Kepada para murid partai Bimo memberi isyarat
agar tetap melakukan pengepungan di empat sudut
panggung.
“Anak manis yang masih bau kencur! Apa sangkut
pautmu dengan orang-orang Bintang Blambangan hingga
mau-mauan turun tangan mencampuri urusan?!” Warok
Gajah Ireng alias Suto Rawit menegur. Kedua matanya
yang cekung memandang tak berkesip pada wajah cantik
dan tubuh padat mulus itu.
Yang ditanya menyeringai penuh ejek. “Usia hampir
seabad. Badan sudah bau tanah! Hidup masih saja
mengumbar kejahatan!”
“Aku tidak minta keterangan atas diriku sendiri, gadis
centil! Aku tahu, jangan-jangan salah satu dari dua pemuda
itu adalah kekasihmu! Ah sungguh beruntung dirinya.
Mengapa bukan aku yang kau jadikan kekasih…? Sehari
pun aku kau jadikan kekasih bagiku sudah luar biasa…!”
Suto Rawit lalu tertawa mengekeh.
“Ternyata mulutmu sebusuk dan sekotor hatimu! Kau
akan menerima kematian dalam tiga jurus!”
Suto Rawit yang menganggap enteng sang dara kembali
tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya berhenti dan tubuhnya
berkelebat. Kedua tangannya melesat ke depan. Satu
berusaha menotok urat besar di leher sang dara, yang
satunya lagi secara kurang ajar diulurkan sengaja untuk
menjamah payudara gadis itu.
“Jurus pertama!” teriak si gadis berbaju kembang
warna-warni. Tubuhnya dimiringkan ke kiri. Dua tangan
lawan hanya mencapai tempat kosong. Di saat itu kaki
kanan si gadis terangkat ke atas, membabat ke arah perut
Suto Rawit. Terkejutlah bekas raja diraja rampok ini. Kalau
tidak lekas dia melompat ke belakang, pasti perutnya
sudah kena hantam tendangan si gadis! Kini dia tidak mau
menganggap rendah lagi. Dengan pelipis bergerak-gerak
tanda amarahnya mulai mendidih, Suto Rawit maju dua
langkah. Kedua lututnya tiba-tiba menekuk, tubuhnya
setengah merunduk. Tenaga dalam terpusat di tangan
kanan. Dan ketika tangan kanan ini melepaskan satu
pukulan sakti, tampak sinar biru menderu, menyambar ke
arah sang dara.
“Jurus kedua!” seru sang dara. Tangannya menyelinap
ke balik pakaian. Sinar merah seperti besi membara
mencuat di udara.
Bummm!
Sinar biru warna pukulan sakti Suto Rawit terpental ke
udara lalu lenyap pupus meninggalkan asap meliuk-liuk.
Suto Rawit tercampak ke belakang. Untung dia bersikap
waspada hingga tak sampai jatuh duduk atau terbanting
punggung ke lantai panggung. Namun wajahnya jelas
pucat. Keningnya tampak mengerenyit ketika dia coba
luruskan badan. Matanya berkilat-kilat memandang pada
sebuah senjata berbentuk tombak kecil, berwarna sangat
merah laksana habis diganggang di atas api!
“Dewi Tombak Api!” terdengar seseorang berseru di
bawah panggung. Rupanya ada yang mengenali siapa
adanya sang dara.
Sementara itu Suto Rawit yang tak pernah mendengar
nama atau gelar gadis berbaju kembang-kembang di
hadapannya itu berteriak marah. “Dewi atau iblis! Kau
akan menemui ajal dengan tubuh tercerai berai!” Lalu dia
angkat kedua tangannya. Sepasang lengan sampai ke kuku
dan ujung jari memancarkan warna biru pekat, itu pertanda
bahwa orang ini tengah mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya yang ada. Lalu dengan keluarkan suara meraung
seperti srigala, Suto Rawit melompat. Lima jari tangannya
kiri kanan menjentik. Sepuluh larik sinar biru yang
mengerikan dan menebar bau busuk angker berkiblat,
menderu ke arah sepuluh sasaran di tubuh sang dara.
Semua orang yang menyaksikan itu keluarkan seruan
tertahan. Sepuluh bagian tubuh terserang pukulan beracun
yang mematikan. Betapapun hebatnya gadis itu, tak
mungkin dia akan mampu mengelak atau menghindarkan
diri dari serangan maut yang dilepas Suto Rawit!
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 5
ELAGI semua orang menahan nafas, sang dara justru
tampak tenang-tenang saja. Dan apa yang terjadi
kemudian sungguh membuat semua orang
membeliak. Begitu sepuluh larik sinar maut berwarna biru
menerpa ke arahnya, sang dara yang dipanggil dengan
gelar Dewi Tombak Api berseru keras, “Jurus ke tiga!” Lalu
gadis ini membuat gerakan mengemplang dengan
tombaknya yang seperti menyala itu.
Pada saat tombak menggebrak, terdengar suara wuuss!
Dan sebuah lidah api yang lebar dan panjang menjilat ke
depan. Sepuluh larik sinar biru langsung ambalas ditelan
lidah api itu.
Di lain kejap terdengar jerit Suto Rawit. Dan semua
orang yang berada di tempat itu sama menyaksikan
bagaimana lidah api yang keluar dari tombak membara di
tangan sang dara membuntal tubuh Suto Rawit hingga
orang ini berteriak-teriak kalang kabut, melompat turun ke
bawah panggung sambil berusaha memadamkan api yang
membakar sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke
kaki. Bekas kepala rampok ini coba bergulingan di tanah.
Sia-sia saja. Kobaran api membuat tubuhnya laksana
kambing panggang, menebar sangitnya bau daging
terbakar. Dia tersungkur di samping deretan meja tamu ke
empat, menggeliat-geliat beberapa ketika. Suara jeritannya
makin lama makin perlahan. Akhirnya nyawanyapun lepas
tak tertolong lagi!
Di atas panggung Dewi Tombak Api nampak tegak tak
bergerak. Wajahnya kelihatan memucat putih, dadanya
turun naik. Pandangan matanya aneh. Lalu semua orang
S
menyaksikan bagaimana tubuh itu menggigil beberapa
ketika. Sewaktu gigilan berhenti si gadis melemparkan
pandangan aneh pada Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
Pada saat itu dua pemuda ini justru melangkah
mendatangi dan menjura di hadapannya.
“Saudari, siapa pun kau adanya kami menghaturkan
terima kasih karena kau telah membalaskan sakit hati
kematian ayah kami. Lebih dari itu kami orang-orang Partai
Bintang Blambangan telah kau selamatkan dari
kehancuran… Kami mengundangmu untuk duduk di antara
keluarga partai sebagai tamu kehormatan yang telah
berjasa besar!”
Saat itu semua orang kembali memperhatikan
bagaimana sang dara tubuhnya tampak seperti menggigil,
pandangan matanya memberingas sedang wajahnya
kelihatan seperti tak berdarah. Lalu perlahan-lahan wajah
itu menjadi kemerahan.
“Saudari… ada apa? Apakah kau mendadak sakit…?”
tanya Bimo Argomulyo ketika melihat sang dara seperti
menggigil kedinginan dan wajahnya memucat.
“Aku tak apa-apa. Harap kalian memaafkan. Aku tak
bisa duduk di antara keluarga partai. Aku harus pergi
sekarang juga dan kalian berdua harus ikut bersamaku!”
Tentu saja ucapan sang dara mengejutkan semua
orang, terutama Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
“Saudari, maksudmu bagaimana?” tanya Bimo
Argumulyo.
Sementara Sarwo Bayu untuk pertama kalinya sadar
bahwa jenazah ayah angkatnya yaitu Ketua Partai Bintang
Blambangan masih menggeletak di ujung panggung. Dia
cepat bertindak, melangkah ke arah jenazah, namun
langkahnya tertahan ketika dia mendengar ucapan terakhir
dara yang barusan membakar mati Suto Rawit dengan
tombak apinya. Dia berpaling pada si gadis dan pandangan
mereka saling bertemu.
“Saudari, kami harus ikut bersamamu katamu…?” tanya
Sarwo Bayu. Saat itu dia merasakan ada getaran aneh
memancar dari kedua mata Dewi Tombak Api yang masuk
menembus kedua matanya sendiri lalu menggeletari jalan
darah di sekujur tubuhnya. Dia melangkah mendekati
kakak sepupunya dan berbisik, “Kangmas Bimo,
perasaanku mendadak aneh. Aku merasa seperti ingin ikut
saja dengan gadis ini…”
“Ada yang tidak beres adikku. Hati-hati. Jangan
pandang kedua matanya…”
Tapi terlambat. Saat itu apa yang dialami Sarwo Bayu
juga mulai dirasakan oleh Bimo Argomulyo. Dua pemuda ini
memandang lekat-lekat pada sang dara seolah-olah
dipantek. Mereka melihat dara itu menganggukkan
kepalanya lalu berkelebat turun dari panggung dan lari ke
arah timur. Bimo dan Sarwo sesaat saling pandang lalu
tidak terduga, keduanyapun melompat dari atas panggung,
berlari ke jurusan timur menyusul Dewi Tombak Api.
“Bimo! Sarwo! Kalian mau ke mana? Kembali…!”
berteriak istri Ketua Partai Bintang Blambangan.
Tapi kedua pemuda itu telah lenyap di lereng bukit
sebelah timur. Kembali tempat itu dilanda kegegeran. Kali
ini kegegeran yang disertai tanda tanya tak terjawab. Apa
sebenarnya yang terjadi? Para tetamu kemudian ingat
pada orang yang tadi berseru menyebut nama atau gelar
dara jelita itu. Mereka mencari-cari. Orang itu ditemui.
Tetapi astaga! Dia sudah menjadi mayat dengan leher
membiru seperti dicekik!
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 6
ARI dalam rumah yang terletak di lembah sunyi itu
terdengar suara erangan-erangan halus di antara
deru nafas yang memburu dan sesekali ditingkah
oleh suara tawa gelak perempuan. “Kalian berdua memiliki
tubuh kuat, masih muda-muda tapi tak dapat
mengalahkanku! Hik… hik… hik…” terdengar suara
perempuan berkata lalu disusul suara kecupan beberapa
kali.
“Terus terang kami tidak pernah berbuat begini
sebelumnya…” Ada suara lelaki menjawab.
“Betul. Baru sekali ini kami melakukan. Belum
berpengalaman…” Satu suara lelaki lagi menimpali.
Lalu kembali terdengar suara tawa perempuan. “Kalau
begitu kalian harus kuajari ini-itu… Hik… hik…” Lalu
terdengar lagi beberapa kali suara kecupan dan ranjang
yang berderik-derik.
Tapi tiba-tiba terdengar si perempuan berbisik, “Ada
orang mengintai di atas atap…” Lalu perempuan itu
membentak, “Manusia minta mati! Berani mengintip
urusan orang!”
Satu gelombang angin menderu. Atap rumah yang
terbuat dari papan kayu besi hancur jebol berantakan.
Bersamaan dengan itu terdengar pekikan kecil disertai
berkelebatnya satu bayangan biru, melompat dari atas
atap, turun ke tanah di halaman kiri rumah.
Di dalam rumah, perempuan yang tadi membentak dan
melancarkan pukulan tangan kosong yang dahsyat cepat
menyambar pakaiannya sambil memberi isyarat pada dua
orang pemuda yang ada di atas ranjang agar cepat-cepat
D
mengenakan pakaian. Begitu selesai berpakaian
perempuan itu menghambur ke pintu, melesat ke luar
rumah diikuti dua pemuda yang bukan lain adalah Bimo
Argomulyo dan Sarwo Bayu.
“Hah! Lagi-lagi kau rupanya”! membentak perempuan
yang keluar dari dalam rumah, “kali ini jangan harap aku
memberi ampunan padamu Simanti!”
“Kakak Sumitri. Apakah kau tidak mau insaf dan
bertobat? Jika kau mau kembali menghadap guru dan
menyerahkan senjata pangkal bahala itu maka kau dan
kita semua akan hidup tenteram…”
“Hidup tenteram… Aku tak percaya kata-kata itu. Aku
juga tak percaya kalau Tombak Api milikku merupakan
senjata pangkal bahala dalam kehidupanku! Guru
menginginkan senjata mustika itu untuk kepentingannya
sendiri karena dia memang suka mengumpulkan senjata
antik dan sakti…”
“Kakak Sumitri, percayalah. Bukan itu tujuan guru.
Selama kau memiliki senjata itu dirimu akan selalu berada
di bawah pengaruh nafsu bejat! Apakah kau tidak juga
mengerti… Apakah kau tidak sadar apa yang barusan kau
lakukan bersama dua pemuda dari Partai Bintang
Blambangan itu…?”
“Apa yang kulakukan tidak ada sangkut pautnya
dengan Tombak Api…!”
“Apa yang kami lakukan adalah atas dasar suka sama
suka…!” tiba-tiba menyeletuk Bimo Argomulyo.
Gadis bernama Simanti, seorang dara berparas tak
kalah jelita dengan Sumitri alias Dewi Tombak Api
berpaling pada Bimo Argomulyo dan berkata sinis,
“Sebagai manusia biasa aku tidak menyalahkan kalau kau
dan saudaramu itu sampai tergoda. Tapi sebagai tokoh
partai dan seorang pendekar sungguh memalukan kalau
kalian berdua sampai ikut-ikutan sesat… Apa kalian tidak
sadar telah jadi budak nafsu Dewi Tombak Api?!”
“Simanti! Jaga mulutmu! Lekas pergi dari sini selagi aku
masih mau memandangmu sebagai adik…” Dewi Tombak
Api membentak.
“Tidak kakak Sumitri. Sekali ini apapun yang terjadi aku
harus membawamu pulang menghadap guru…”
“Hemm… begitu…? Kepandaian apa yang kau miliki
hingga berani bicara sesombong itu?!”
“Dewi… Jika kau memang tak suka si lancang ini berada
lebih lama dari sini biar aku yang memberi pelajaran
padanya…” berkata Bimo Argomulyo.
“Terima kasih kalau kau memang ingin bertindak.
Hanya saja kuharap kau maju bersama saudaramu itu…”
jawab Dewi Tombak Api pula karena dia sudah bisa
menjajagi, seorang diri Bimo Argomulyo tak akan sanggup
menghadapi Simanti yang memiliki kepandaian hanya satu
tingkat saja darinya.
“Kalau Dewi berkata begitu, biar kami berdua berebut
pahala untuk mengusirnya!” kata Sarwo Bayu pula. Lalu dia
menganggukkan kepala ke arah Bimo Argomulyo. Kedua
orang ini serentak menggebrak ke arah dara berbaju biru.
Bimo berusaha merangkul pinggang sang dara sedang
Bayu coba menangkap kedua tangannya untuk diringkus.
Tepat seperti dugaan Dewi Tombak Api ternyata tidak
semudah itu untuk meringkus Simanti. Begitu dua pemuda
bergerak, dia sudah lebih dahulu memapaki. Tangannya
kiri kanan dihantamkan ke depan. Dua angin deras
menderu membuat dua pemuda terkejut lalu sama
menyingkir ke samping dan dari samping kembali
menyerbu.
Bukk!
Dukk!
Empat lengan saling beradu keras hingga
mengeluarkan suara bergedebukan. Simanti terpental tiga
langkah dan jatuh duduk di tanah. Sebaliknya Bimo
Argomulyo dan Sarwo Bayu jatuh terguling-guling. Ketika
mencoba bangkit jelas wajah keduanya kelihatan
mengerenyit sakit dan pucat sedang lengan kanan masing-
masing tampak bengkak membiru!
Dua pemuda itu tidak mengira mereka bisa
dipecundangi begitu rupa. Keduanya yang kini dipengaruhi
oleh amarah segera mengurung Simanti.
Sarwo Bayu sempat ajukan pertanyaan. “Dewi Tombak
Api, apakah kau perkenankan kami membunuh saja gadis
pengacau ini?!”
“Lakukan apa yang kalian suka terhadapnya!” jawab
Sumitri atau Dewi Tombak Api.
Maka dari balik pakaiannya Sarwo Bayu keluarkan dua
buah anak panah yang terbuat dari baja putih. Yang satu
dilemparkannya pada Bimo Argomulyo. Lalu tanpa banyak
bicara lagi dua pemuda itu langsung menyerbu Simanti.
Dua anak panah berkiblat mengeluarkan suara menderu
dan cahaya berkilauan.
Seperti diketahui, Bimo Argomulyo memiliki ilmu silat
tangan kosong yang tinggi. Dengan memegang senjata
berupa anak panah seperti itu gerakan-gerakannya benar-
benar berbahaya. Di lain pihak Sarwo Bayu sudah
mendalami ilmu silat panah dan busur yang diwarisinya
dari almarhum Ketua Partai Bintang Blambangan. Maka
dalam waktu sekejapan saja Simanti telah menjadi bulan-
bulanan serangan kedua pemuda itu.
Menyerang terus menerus selama lima jurus tanpa
hasil membuat Bimo dan Sarwo menjadi meradang.
Keduanya percepat gerakan masing-masing, keluarkan
jurus-jurus penuh tipuan. Namun lagi-lagi lima jurus berlalu
tanpa mereka mampu menyentuh tubuh atau pakaian
Simanti.
“Ah, anak itu maju jauh sekali tingkat kepandaiannya
dari satu tahun lalu. Pasti guru telah membekalinya dengan
jurus-jurus silat khusus…” Meskipun menyadari kehebatan
ilmu silat adik seperguruannya itu namun Dewi Tombak Api
tidak merasa jerih.
“Pemuda-pemuda sesat jaga perut kalian!” terdengar
Simanti berseru. Lalu dua tangannya membagi serangan
berupa jotosan kuat ke arah perut Bimo dan Sarwo.
Terpengaruh oleh ucapan lawan serta terjebak oleh apa
yang mereka saksikan, dua pemuda Partai Bintang
Blambangan itu sapukan panah masing-masing ke arah
perut untuk menangkis sekaligus menghantam tangan
lawan. Tapi justru di kejap itu pula dua tangan sang dara
yang tadi menjotos ke arah perut tiba-tiba kini melesat ke
atas. Jari tengah dan jari telunjuk lurus membaja ke arah
pangkal leher Bimo serta Sarwo.
Tuk… tuk…!
Dua pemuda itu merasakan tubuh mereka menjadi
kaku tegang, tak bisa bergerak lagi begitu totokan kilat
bersarang di leher masing-masing. Melihat kejadian ini
Dewi Tombak Api tak bisa berdiam diri lagi. Sebelum
melompati Simanti, dari samping dia sudah lepaskan satu
pukulan tangan kosong.
Wuss!
Simanti terkejut dan cepat menyingkir ketika ada angin
kencang disertai hawa panas menyambar ke arahnya. Dia
balas menghantam dengan tangan kanan. Angin pukulan
Sumitri memang sempat ditabraknya hingga buyar tapi
diam-diam dia merasakan tangan kanannya seperti
tertimbun dalam bara panas dan mau tak mau dia jadi
keluarkan pekik kecil.
Di hadapannya Sumitri alias Dewi Tombak Api tertawa
mengejek. “Kalau ilmu baru sejengkal, jangan berani jual
lagak di hadapanku!”
“Kakak Sumitri. Kau harus sadar! Kau harus berusaha
menjadi sadar! Kita harus segara menghadap guru!”
berkata Simanti.
“Jika kakek buntung itu yang memerlukan diriku,
mengapa tidak dia sendiri yang keluar dari sarangnya
menemuiku?!” tukas Sumitri.
“Kakak, jangan kau bicara menghina guru seperti itu!”
Simanti tampak marah sekali mendengar kata-kata kakak
seperguruannya itu. Dengan mengerahkan tenaga dalam
sepenuhnya gadis ini lancarkan serangan-serangan
balasan. Perkelahian seru berlangsung dan sepuluh jurus
berlalu dengan cepat.
Diam-diam Sumitri mulai berpikir-pikir apakah
sebaiknya dia keluarkan saja senjata mustikanya yaitu
Tombak Api saat itu dan langsung membunuh si adik.
Namun bagaimanapun juga masih ada secuil rasa tidak
tega jika dia sampai membunuh adik seperguruan yang
selama lebih dari lima belas tahun hidup bersamanya, satu
ketiduran dan sepermainan.
Setelah dua jurus lagi berlalu Dewi Tombak Api rubah
permainan silatnya. Jurus-jurus yang dikeluarkannya
kelihatan seperti lamban namun sekejapan bisa berubah
cepat dan ganas. Simanti kini merasakan adanya tekanan-
tekanan serangan yang berbahaya. Gadis ini segera pula
merubah permainan silatnya. Tapi tetap saja dia berada
dalam kungkungan serangan lawan dan semakin lama
semakin sulit baginya untuk melepaskan diri apalagi
melancarkan serangan balik.
Pada jurus ke dua puluh Dewi Tombak Api tampak
seperti terhuyung. Tubuhnya berputar membelakangi
Simanti. Ketika Simanti masuk menyerbu tiba-tiba sikut
kanan Dewi Tombak Api menghantam ke belakang. Simanti
tak dapat mengelakan serangan yang tidak terduga ini.
Bukkk!
Simanti mengeluh tinggi. Dari sela bibirnya tampak ada
darah mengucur. Wajahnya mengelam sedang sepasang
matanya setengah tertutup. Tubuhnya terpental hampir
satu tombak dan pasti terbanting jatuh punggung ke tanah
kalau tidak tiba-tiba saja dia merasakan ada seseorang
yang memegang tubuhnya dari belakang dan dia jatuh
dalam pelukan orang itu!
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 7
EPASANG mata Dewi Tombak Api memandang
membeliak pada pemuda berambut gondrong yang
memeluk tubuh adiknya. “Pemuda kurang ajar!
Berani kau memeluk tubuh adikku!” bentak Dewi Tombak
Api seraya maju satu langkah dan siap menghantam
dengan pukulan tangan kosong.
“Walah! Aku memeluknya agar jangan tubuh bagus dan
wajah cantik ini jatuh ke tanah! Masakan itu kau anggap
kurang ajar! Kau sendiri tadi malah hendak membunuhnya.
Itu lebih dari kurang ajar, Dewi Tombak Api!”
“Antara aku dan dia ada urusan! Sebaliknya kau
dengan dia tak ada sangkut paut apa-apa…!” sahut Dewi
Tombak Api.
“Dengar. Namaku Wiro Sableng…”
“Setan alas! Aku tidak tanya namamu! Perduli setan
apakah namamu si Sableng atau si Gendeng atau si Gila!
Lepaskan tubuh adikku! Jangan kau berani memeluknya
lebih lama…”
Pemuda berambut gondrong yang memeluk tubuh
Simanti tertawa lebar. Dia memandang ke wajah jelita yang
ada di dadanya. Ternyata Simanti saat itu telah jatuh
pingsan. Wiro mendukungnya dan membaringkan gadis ini
di dekat serumpunan semak belukar.
“Nah, sekarang aku sudah tidak memeluk tubuh
adikmu itu. Apa perintahmu selanjutnya Dewi Tombak
Api…?” tanya Pendekar 212 Wiro Sableng seraya bertolak
pinggang.
“Lekas minggat dari hadapanku! Aku muak melihat
tampangmu yang cengar-cengir macam monyet liar…!”
S
Wiro Sableng tertawa bergelak, garuk-garuk kepalanya
lalu menjawab, “Ah, tampangku memang jelek. Tapi
dibandingkan dengan dua pemuda yang barusan kau garap
di dalam rumah sana, kurasa tampangku tidak kalah
keren! Ha… ha… ha…!”
Merah pada wajah Sumitri. “Rupanya pemuda ini sudah
berada lama di sekitar sini,” katanya dalam hati. “Jangan-
jangan dia ada hubungan apa-apa dengan Simanti atau
guru…”
“Hai! Gondrong! Apa hubunganmu dengan adikku itu?”
“Aih, kau cemburu rupanya! Padahal aku tak ada
hubungan apa-apa dengan dirinya!” jawab Wiro lalu
kembali tertawa bergelak sementara Sumitri kembali
tampak menjadi merah wajahnya.
“Lalu apa hubunganmu dengan Resi Tambak Kebo
Kenanga?!” kembali Dewi Tombak Api ajukan pertanyaan.
“Aku pernah dengar nama Resi sakti itu. Tapi terus
terang aku tidak ada hubungan dengan segala kerbo atau
kerbauuu…!”
“Kalau begitu lekas kau pergi dari tempat ini!”
“Eh, ada hak dan kuasa apa kau mengusirku? Tanah ini
bukan milikmu! Lembah ini bukan punyamu! Rumah di
sebelah sana memang rumahmu. Tapi bisa juga jadi
rumahku atau rumah kita berdua…!”
“Pemuda sableng bermulut lancang! Apa maksudmu?!”
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Maksudku begini Dewi.
Rumah itu bisa jadi milikku kalau kau memberikannya
padaku. Betul kan? Tapi bisa jadi milik kita berdua kalau
kita tinggal berdua-dua di dalamnya!”
“Manusia gendeng! Mulutmu kotor amat! Biar kurobek
agar kau tahu rasa!”
“Hai! tunggu dulu!” seru Wiro ketika dilihatnya Dewi
Tombak Api hendak menyerangnya. “Mulutku memang
kadang-kadang kotor. Tapi hatiku tidak! Kau bisa memaki
orang kotor. Tapi kelakuanmu kotor selangit tembus! Apa
kau tidak ingat kalau barusan saja berbuat mesum dengan
dua pemuda itu?!”
“Aku tidak merasa berbuat mesum!” jawab Dewi
Tombak Api marah sekali.
“Ah, otakmu tidak beres agaknya!” Wiro berpaling pada
Bimo Argomulyo dan mendekati pemuda ini. “Berbuat apa
kau dan saudaramu ini dalam rumah itu beberapa waktu
lalu…?”
Meskipun tubuhnya tertotok kaku tapi Bimo maupun
Sarwo masih bisa bicara. Hanya saja saat itu Bimo sama
sekali tak mau menjawab.
“Baiklah, aku akan coba mencari jawaban sendiri!” Lalu
Wiro tarik pinggang celana Bimo Argomulyo dan melongok
ke balik celana itu. “Nah, betul kan kataku! Kau kelupaan
pakai celana dalammu! Ha… ha… ha…!”
Merah pada wajah Bimo Argomulyo. Sementara itu dari
samping Dewi Tombak Api terdengar membentak keras lalu
menyerang Pendekar 212 dengan satu serangan ganas
berupa satu cakaran ke arah mulut sang pendekar. Dia
ingin melampiaskan amarahnya dengan merobek mulut si
pemuda.
“Hai! Kau hendak merobek mulutku!” seru Wiro.
“Silakan saja kalau mau…!” Lalu Wiro sengaja buka
mulutnya lebar-lebar. Lima jari tangan Dewi Tombak Api
menyambar. Tapi dia hanya mencakar angin. Wiro sudah
miringkan kepalanya ke samping sambil mencibirkan
lidahnya panjang-panjang dan jerengkan kedua matanya.
“Ih tidak kena…! Ayo robek lagi…” Wiro buka kembali
mulutnya lebar-lebar.
Amarah Dewi Tombak Api bukan alang kepalang.
Seluruh tenaga dalamnya dihimpun ke tangan kanan. Lalu
dia menghantam dengan dahsyat. Terdengar suara
menggemuruh. Wiro tersentak kaget ketika ada gelombang
angin laksana topan prahara menabrak ke arahnya. Cepat
murid Eyang sinto Gendeng ini dorongkan kedua tangannya
ke depan, menyambut serangan lawan dengan pukulan
Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih.
Dua tenaga dalam tingkat tinggi saling baku hantam.
Debu pasir dan kerikil beterbangan ke udara. Semak
belukar rambas sedang pohon-pohon di sekitar situ
berderak-derik. Beberapa cabang dan ranting-rantingnya
luruh berpatahan. Wiro dapatkan dirinya terangkat ke
udara sampai satu setengah tombak.
“Gila!” maki Pendekar 212. Seumur hidupnya baru
sekali ini ada lawan yang sanggup berbuat seperti itu
terhadapnya. Jatuh tidak mental pun tidak tapi tubuh
terangkat ke atas laksana dijunjung makhluk yang tidak
kelihatan! Semakin dia berusaha membalas dengan
pukulan sakti, semakin ke atas tubuhnya terangkat!
“Benar-benar edan! Masa kan pukulanku tadi tak
sanggup menghadapi serangan lawan!” Kembali murid
Sinto Gendeng memaki. Ketika tubuhnya terangkat
semakin tinggi, kini sampai empat tombak di udara, tiba-
tiba di depan sana Dewi Tombak Api putar kedua
tangannya di udara lalu kedua tangan itu dibantingkan ke
bawah laksana menancapkan sesuatu!
Sejalan dengan gerakan kedua tangan Dewi Tombak
Api, Wiro mendadak merasakan kekuatan yang tadi
mengangkat tubuhnya ke atas lenyap secara tiba-tiba.
Dirinya seperti dibantingkan ke bawah dan dijungkir balik
demikian rupa hingga jika dia tak dapat menguasai diri
atau melakukan sesuatu, kepalanya akan menghunjam
tanah lembah itu lebih dahulu!
Sesaat Pendekar 212 Wiro Sableng tampak kelabakan.
Satu tombak lagi kepalanya akan mencium tanah dia
berteriak keras seraya lepaskan pukulan Sinar Matahari
dengan tangan kanan.
Bummm!
Letusan keras menggocangkan lembah. Tubuh Wiro
terhempas ke tanah tapi dia sempat menguasai diri hingga
bukan kepala tapi punggungnya yang terhempas ke tanah.
Di udara sinar putih perak menyilaukan berkiblat disertai
menghamparnya hawa panas. Di seberang sana Dewi
Tombak Api tampak tegak tergontai-gontai dengan muka
seputih kertas lalu perlahan-lahan jatuh duduk di tanah.
Bajunya sebelah kiri hangus disambar angin panas pukulan
Sinar Matahari. Tapi hebatnya, kulit tubuhnya tidak sedikit
pun yang hangus padahal di sebelah dalam akibat pukulan
sakti lawan tadi dia merasakan isi tubuhnya laksana
dibetot dan diremas. Lalu beberapa tetes darah mengucur
dari sela bibirnya!
“Pemuda satu ini, luar biasa. Aku merasa takluk. Aku
harus keluarkan Tombak Api. Tapi… ah! Jika itu kulakukan,
aku…!” Sesaat Sumitri merasa bimbang. Namun akhirnya
tangannya bergerak juga ke balik punggung, di mana dia
menyimpan Tombak Api. Namun sebelum dia sempat
menyentuh senjata itu, di kejauhan dia melihat
berkelebatnya satu sosok tubuh berpakaian serba hitam.
“Ah, dia datang! Aku tidak takut padanya. Tapi lebih baik
menghindar. Salah-salah aku bisa membunuhnya!”
Dewi Tombak Api berkelebat tinggalkan tempat itu
dengan cepat sementara Wiro bangkit berdiri sambil tepuk-
tepuk pakaian putihnya yang kotor oleh tanah.
“Dewi! Jangan pergi! Tolong kami dulu!” Bimo
Argomulyo berteriak.
“Dewi! Lepaskan totokan di tubuh kami! Tolong!”
Tapi sang Dewi sudah lenyap di belakang rumah dan
kabur ke arah selatan lembah.
“Gadis hebat!” Wiro memuji sendirian. “Tapi mengapa
budi pekertinya begitu kotor dan jahat…” Lalu dia teringat
pada Simanti yang terbujur di bawah pohon. “Gadis itu!
Kalau tak lekas diobati nyawanya bisa-bisa tak tertolong.”
Lalu dia pun menghampiri Simanti, berlutut di samping
tubuh si gadis. Dia melihat ada bagian dada yang bengkak
membiru, yaitu tepat pada bekas sikutan Dewi Tombak Api
tadi. Gadis itu terluka di dalam. Dan memang harus lekas
ditolong. Tanpa ragu-ragu Wiro segera sibakkan dada
pakaian Simanti. Serangan Dewi Tombak Api tepat
bersarang antara kedua payudara si gadis. Wiro letakkan
telapak tangannya di celah payudara itu. Lalu mulai alirkan
tenaga dalam. Mula-mula dia alirkan tenaga dalam
mengandung hawa dingin. Perlahan-lahan hawa dingin
diganti dengan hawa hangat. Sekujur tubuh Pendekar 212
telah mandi keringat. Simanti tampak bukakan kedua
matanya tanda siuman. Namun dirinya belum terlepas dari
bahaya maut.
Wiro kerahkan lagi tenaga dalamnya. Kini kedua
telapak tangannya ditempelkan di dada Simanti. Pada saat
itulah terdengar suara membentak garang.
“Bangsat kurang ajar! Siapa yang berani berbuat tidak
senonoh terhadap muridku?!”
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 8
ELUM sempat Wiro berpaling tahu-tahu sebuah
benda berbentuk tongkat menyambar ke arah
kepalanya. Karena tak tahu benda apa yang
menyerang, murid Sinto Gendeng tak berani pergunakan
tangan untuk menangkis. Dia terpaksa jatuhkan diri di atas
tubuh Simanti lalu berguling ke kiri sambil dorongkan
tangan kiri melepas pukulan Kunyuk Melempar Buah.
Segulung angin menerpa tapi betapa kagetnya Pendekar
212 ketika tahu-tahu ada kekuatan yang lebih kuat balas
mendorong hingga pukulannya sendiri ikut berbalik
menghantamnya!
Memaki panjang pendek Wiro kembali lepaskan
pukulan sakti. Kali ini yang dilepaskan adalah pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera. Tenaga dalamnya
dikerahkan dua kali lebih besar. Tempat itu laksana
dilanda angin puting beliung. Terdengar suara orang
berseru kaget. Sosok tubuh yang tadi menyerang lenyap
berlindung di balik sebatang pohon besar. Begitu deru
angin sirna, dari balik pohon melesat lima batang senjata
rahasia berbentuk paku besar terbuat dari perak!
Lima bagian tubuh Pendekar 212 menjadi sasaran lima
paku perak itu. Wiro melompat dua tombak sambil
hantamkan tangan kanan ke bawah. Dua paku berhasil
dielakkan, dua lainnya dibuat mental. Tapi yang kelima
masih sempat merobek kaki celana dan menyerempet
betis kanannya!
Menyeringai kesakitan dan menggerendeng marah
dalam hati Wiro melayang turun ke tanah. Tangan
kanannya telah berubah menjadi berkilauan. Namun dia
B
tidak jadi melepas pukulan Sinar Matahari yang sudah
disiapkannya itu ketika melihat siapa yang tegak di
seberang sana.
Orang itu adalah seorang kakek berdandanan sebagai
seorang Resi. Kaki kirinya buntung. Tubuhnya disanggah
oleh sebuah tongkat yang dikempit di bawah ketiak.
“Kakinya saja buntung. Tapi ilmu silat dan tenaga
dalamnya sungguh luar biasa. Tongkat penyanggah kakinya
itu pastilah tadi yang dikeprukkannya ke kepalaku!” begitu
Wiro membatin.
“Resi berbaju hitam, mengapa kau menyerangku
membabi buta?!” bertanya Wiro Sableng.
“Karena kau memang seekor babi buta!” jawab Resi itu
dengan mata berkilat-kilat.
“Eh, enak saja mulutmu bicara! Apa maksudmu?!”
“Apa maksudku! Masih berani bertanya! Kau kutangkap
basah menggerayangi tubuh muridku Simanti. Kalau aku
tidak segera muncul di sini pasti kau sudah
menggagahinya!”
“Buset! Benar-benar buset!” teriak Wiro lalu geleng-
gelengkan kepala. “Kek, matamu nyala tapi buta. Otakmu
cerdik tapi tolol! Kalau aku hendak memperkosa gadis ini,
mengapa kulakukan di tanah yang kotor begini rupa? Di
sana ada rumah dan ranjang! Bukankah lebih baik kubawa
dia ke sana? Lalu masakan aku setolol itu melakukannya
di hadapan dua kampret yang berada dalam keadaan
tertotok itu?!”
“Eh, siapa yang kau maksud dengan kampret!” tanya
sang Resi.
Wiro menuding pada Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
“Siapa mereka? Mengapa keduanya tertotok?”
bertanya sang Resi.
“Mengenai dua kampret itu biar nanti saja diurus.
Sekarang aku beritahu padamu bahwa aku bukan
menggerayangi tubuh muridmu! Dia menderita luka di
dalam cukup parah terkena hantaman kakak
seperguruannya yang bernama Sumitri bergelar Dewi
Tombak Api…!”
Terkejutlah si kakek. “Ah, murid sesat itu! Mana dia!”
“Dia sudah kabur, yang penting kau harus menolong
muridmu ini dulu!” ujar Wiro pula.
Kakek berpakaian hitam itu berpaling pada Simanti
yang masih terbujur. Lalu memandang lekat-lekat pada
Wiro. Pendekar 212 sendiri balas memperhatikan orang
tua itu. “Pasti tongkat penyanggah itu senjatanya. Dan juga
dari badan tombak itu tadi dia melesatkan lima paku
perak. Kulihat ada alat rahasia di pertengahan tongkat.”
“Anak muda kalau aku memang sudah salah menduga,
harap dimaafkan. Katakan siapa kau adanya?” kata si
kakek.
“Namaku Wiro Sableng…”
Terkejutlah si kakek begitu mendengar Wiro sebutkan
namanya. “Namamu Wiro Sableng…? Kau murid si nenek
centil Sinto Gendeng dari gunung Gede?!”
Wiro menyengir mendengar gurunya disebut si nenek
centil ini berarti kakek itu cukup kenal baik dengan
gurunya.
“Puluhan tahun tak pernah bertemu lagi dengan Sinto
Gendeng. Kini justru ketemu murid tunggalnya yang
namanya menjulang setinggi langit. Ditakuti lawan disegani
kawan…”
“Kek, jangan keliwat memuji. Aku ini tak ada apa-
apanya. Aku cuma seorang pemuda gunung yang tolol dan
pengangguran!”
Resi Tambak Kebo Kenanga tertawa panjang
mendengar kata-kata Wiro itu. “Kau tak usah merendah
anak muda. Semua orang tahu siapa Sinto Gendeng. Dan
dunia persilatan juga tahu siapa Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212…”
“Kek, kalau kita mengobrol saja dan membiarkan gadis
itu, beberapa saat lagi pasti nyawanya tidak tertolong!”
Wiro mengingatkan sekaligus mengalihkan pembicaraan.
Resi Tambak Kebo Kenanga melangkah mendekati
tubuh muridnya, memandanginya beberapa saat lalu
berpaling pada Wiro. “Kau tadi telah berusaha
mengobatinya. Harap kau saja yang meneruskan. Aku
menyarankan agar kau menotok beberapa urat ke arah
jantung dan paru-paru…” Habis berkata begitu sang Resi
melangkah ke arah sebuah gundukan batu dan duduk di
sana. Dia seperti melamun dan wajahnya nampak suram.
Dia seperti tidak begitu memperdulikan keadaan muridnya
Simanti namun ada sesuatu yang menancapi pikirannya
saat itu, yakni masalah muridnya yang bernama Sumitri
dan bergelar Dewi Tombak Api.
Wiro sendiri setelah mendengar ucapan Resi Tambak
Kebo Kenanga tadi, pergi duduk bersila di samping tubuh
Simanti. Sang dara memandang kepadanya dengan mata
sayu.
“Saudari, tak usah takut. Nyawamu pasti tertolong.
Kalau kau mendengar kata-kataku harap kedipkan mata
dua kali…”
Simanti kedipkan matanya dua kali berturut-turut. Wiro
merasa lega. Sesuai petunjuk Resi Tambak Kebo Kenanga
dia menotok beberapa urat besar di tubuh Simanti lalu
dekapkan kedua tangannya ke dada gadis itu dan secara
perlahan-lahan mengalirkan tenaga dalam berhawa dingin
dan panas secara bergantian. Beberapa saat kemudian
setelah merasa cukup Wiro hentikan pengaliran tenaga
dalam. Dia menyeka darah yang membasahi sudut-sudut
bibir gadis itu lalu menelankan sebutir obat ke dalam
mulutnya.
“Pejamkan matamu kembali. Kau boleh istirahat
beberapa saat. Kalau denyutan jantungmu mulai tenang,
gerakkan tangan dan kakimu, jika itu mampu kau lakukan
tandanya kau selamat dari bahaya dan boleh duduk. Atur
jalan nafas dan peredaran darahmu. Alirkan tenaga dalam
ke bagian yang masih terasa sakit. Setelah itu kau boleh
berdiri…”
“Aku merasa sudah sembuh. Tak perlu mengikuti
sepenuhnya apa yang kau katakan. Yang penting hanya
mengatur jalan darah dan pernafasan. Terima kasih
Saudara. Kau telah menyelamatkanku…” Terdengar
Simanti berucap yang membuat Pendekar 212 tercengang.
“Kalau dia tidak memiliki kekuatan tubuh luar biasa,
tak mungkin dia sembuh secepat ini!” kata Wiro dalam
hati. Selagi Simanti duduk bersila mengatur jalan darah
dan pernafasan, Wiro melangkah mendapatkan Resi
Tambak Kebo Kenanga.
“Kakek, wajahmu kelihatan susah. Apa yang menjadi
ganjalan?” bertanya Wiro.
Sesaat sang Resi diam saja. Kemudian dia berpaling
pandangi wajah Wiro lalu berkata. “Aku memikirkan anak
itu…”
“Anak itu yang mana kek?”
“Muridku Sumitri, kakak Simanti. Hidupku sejak satu
tahun belakangan ini tidak tenteram gara-gara dia. Hendak
kubunuh dirinya, dia murid sendiri. Tidak kubunuh dia
terus-terusan membuatku malu, terus-terusan berbuat
mesum. Dulu-dulu sudah kuingatkan untuk tidak berbuat
macam-macam mencari segala macam ilmu sundal. Tapi
dia terpengaruh oleh ketamakannya sendiri. Ingin lebih
banyak ilmu, ternyata salah langkah…”
“Terus terang aku hanya mendengar sedikit tentang
muridmu itu, Kek. Apa sebenarnya yang terjadi dengan diri
Sumitri?” bertanya Wiro.
Resi Tambak Kebo Kenanga menghela nafas panjang
beberapa kali, baru menjawab, “Sekitar enam belas bulan
yang lalu aku melepas Sumitri setelah hampir lima belas
tahun berada dalam gemblenganku bersama-sama
Simanti. Sebelum pergi gadis itu pernah mengemukakan
niatnya untuk mencari seorang sakti bernama Ki
Kamandoko untuk mendapatkan sebuah senjata mustika
yang akan dijadikan pegangannya dalam petualangan
sebagai seorang pendekar baru. Memang ketika kulepas
aku tidak mempunyai senjata sakti apapun yang bisa
kuwariskan padanya. Aku tidak keberatan dia mencari dan
menemukan sendiri segala macam senjata sakti. Asalkan
jangan menghubungi Ki Kamandoko. Orang-orang
persilatan tahu betul kalau orang sakti yang satu ini berhati
culas, memiliki seribu satu tipu muslihat. Yang paling
terkutuk adalah bahwa hatinya busuk dan mesum. Namun
ternyata peringatanku tidak diperhatikan oleh Sumitri. Dia
tetap pergi mencari Ki Kamandoko. Dari Ki Kamandoko
muridku memang mendapatkan sebilah senjata mustika
bernama Tombak Api. Tapi untuk itu dia harus membayar
mahal. Dia harus menyerahkan kehormatannya. Bahkan
sampai saat ini pun muridku itu terus-terusan berada di
bawah pengaruh senjata keparat itu yang selalu
merangsangnya untuk berbuat zinah!”
Wiro garuk-garuk kepala. “Aku masih kurang paham
kek. Bagaimana senjata itu bisa merangsang seseorang
berbuat mesum seperti katamu…”
“Sebelum menyerahkan senjata itu kepada seseorang,
yaitu seorang perempuan seperti Sumitri misalnya, Ki
Kamandoko telah mengisi senjata itu dengan semacam
guna-guna. Siapa saja yang kemudian memegang senjata
tersebut, mempergunakannya dengan pengerahan tenaga
dalam, maka nafsu birahinya untuk melakukan hubungan
kelamin akan terangsang. Jika dia seorang perempuan
maka nafsunya bangkit setiap melihat lawan jenisnya, tak
perduli orang itu sudah tua bangka. Jika dia seorang lelaki,
maka hal yang sama akan dialaminya. Nafsu bejatnya
muncul. Dia akan meniduri perempuan mana saja
termasuk seorang nenek sekalipun! itu yang terjadi dengan
muridku sejak dia pertama kali menyentuh senjata itu.
Ketika dia mulai berlatih memainkan Tombak Api yang
diberikan oleh Ki Kamandoko, setiap dia mengerahkan
tenaga dalam setiap kali itu pula dirinya terangsang. Ki
Kamandoko keparat itu lalu menggaulinya selama
beberapa bulan. Setelah puas Sumitri baru diizinkannya
pergi. Namun muridku tidak terlepas dari hal-hal terkutuk
itu. Setiap dia bertempur dengan mempergunakan Tombak
Api, lawannya pasti akan menemui ajal. Tapi dirinya tidak
luput dari rangsangan terkutuk. Dia akan mengajak siapa
saja yang ada di dekatnya untuk berbuat mesum!”
“Setahuku segala macam guna-guna hanya mempan
selama empat puluh hari…” ujar Wiro pula.
“Tidak dengan guna-guna yang diciptakan Ki
Kamandoko. Guna-gunanya itu telah ditanamkannya dalam
senjata yang diberikannya pada muridku. Guna-guna itu
kemudian bersatu dengan darah dan pernafasan Sumitri
setiap gadis itu memegangnya, mempergunakannya dan
mengerahkan tenaga dalamnya!”
“Kalau begitu, satu-satunya jalan untuk membebaskan
muridmu adalah dengan melenyapkan Ki Kamandoko!”
“Kau betul Pendekar 212. Aku sudah menyebar kabar
dan minta bantuan orang-orang persilatan. Mencari tahu di
mana sarangnya manusia laknat itu. Ternyata dia tidak
punya tempat kediaman tetap. Berpindah dari satu tempat
ke tempat lainnya. Karena itu untuk sementara aku
terpaksa melupakan bangsat itu. Yang kucari saat ini
adalah muridku sendiri. Aku berusaha merampas senjata
terkutuk dari tangannya. Menurut kabar, bukan saja dia
sudah berbuat cabul dengan belasan lelaki. Tapi juga
belasan orang-orang terkemuka telah menjadi korban
senjatanya itu! Aku sendiri, jika kelak berhadapan dengan
dirinya mungkin tidak akan sanggup menghadapi senjata
saktinya itu. Namun aku lebih baik mati daripada hidup
dengan menanggung malu besar!”
“Sebelum kau muncul di sini, aku sempat bentrokan
dengan Sumitri. Ternyata dia memiliki tingkat tenaga dalam
yang sangat tinggi. Entah mengapa dia tidak mengeluarkan
Tombak Apinya. Dia kemudian melarikan diri begitu saja.
Aku yakin dia pergi bukan karena takut terhadapku.
Mungkin sekali dia telah sempat melihat dirimu muncul di
kejauhan…”
“Mungkin begitu… Mungkin begitu…” kata Resi Tambak
Kebo Kenanga lalu mengusap wajahnya berulang-ulang.
Untuk sesaat Wiro tinggalkan guru tua yang malang itu.
Dia melangkah ke tempat Simanti yang masih duduk
bersila pejamkan mata mengatur jalan darah dan
pernafasan. Tak lama kemudian sang dara buka kedua
matanya. Pandangannya beradu dengan sepasang mata
Pendekar 212 Wiro Sableng. Wajahnya yang tadi pucat kini
tampak mulai berdarah kembali. Bengkak membiru yang
ada di dadanya kelihatan tidak separah sebelumnya. Wiro
ulurkan tangannya untuk merapatkan celah pakaian yang
tersingkap. Simanti pegang tangan pemuda itu seraya
berbisik, “Terima kasih… Kau menyelamatkan nyawaku…”
Wiro tersenyum. “Bukan aku yang menolongmu
Simanti. Tapi Yang di Atas sana. Kau tak akan mati kalau
Dia belum menghendaki…” Lalu Wiro membantu gadis itu
bangkit berdiri. Ketika keduanya berpaling ke jurusan
gundukan batu di mana Resi Tambak Kebo Kenanga
berada tadi, tempat itu telah kosong. Sang Resi sudah
lenyap.
“Guru pasti mengejar kakak seperguruanku. Aku
mengawatirkan keselamatannya. Aku harus menyusul…!”
“Aku ikut bersamamu!” kata Wiro pula.
Mendengar itu Simanti yang kini bukan saja
menganggap Wiro sebagai tuan penolongnya tapi sekaligus
sudah menganggapnya sebagai kakak sendiri, pegang
lengan pemuda itu, merendengnya pergi dari situ.
Baru saja mereka bergerak tiga langkah terdengar
suara orang berseru, “Hai! Saudara! Tunggu! Jangan pergi
dulu! Bebaskan kami dari totokan ini!”
Wiro dan Simanti hentikan langkah. “Aku pikir-pikir
memang kasihan kedua pemuda itu. Apa yang terjadi
bukan mau mereka. Biar aku lepaskan totokan mereka.”
Lalu Wiro hampiri Bimo Argomulyo terlebih dahulu dan
melepaskan totokan di leher pemuda itu. Tapi alangkah
terkejutnya Pendekar 212 ketika begitu terlepas
totokannya Bimo Argomulyo langsung menyerang dirinya.
Anak panah yang sejak tadi tergenggam di tangan
kanannya ditusukkannya ke mata kiri Wiro Sableng. Kalau
saja murid Sinto Gendeng tak lekas rundukkan kepala,
mata kirinya pasti sudah kena disate anak panah yang
terbuat dari baja itu!
“Heh! Kenapa kau menyerangku seganas itu?!” tanya
Wiro.
“Kau lupa kalau tadi kau menghina aku dan saudaraku
sebagai dua ekor kampret?! Pantas kalau saat ini aku
memberi pelajaran padamu!” sahut Bimo Argomulyo.
Wiro menggaruk kepalanya sambil menyeringai. “Sama
saja aku seperti melepas anjing kejepit. Begitu dilepas
menggonggong dan malah menggigitku!”
“Bangsat! Tadi kau sebut aku kampret! Sekarang kau
samakan diriku dengan anjing! Makan panahku ini!” Bimo
Argomulyo tusukkan panahnya ke mulut Wiro.
“Manusia tak berbudi! Ditolong malah menggonggong.
Bagusnya kau kembali pada keadaanmu semula!”
Pendekar 212 berkelebat lalu, tuk! Satu totokan melanda
pangkal leher putera Ketua Partai Bintang Blambangan itu.
Tak ampun lagi Bimo Argomulyo menjadi kaku tegang
seperti tadi, malah kini totokan lihay itupun membuat
mulutnya menjadi gagu tak bisa bicara! Sambil tertawa-
tawa Wiro tinggalkan pemuda itu sementara Sarwo Bayu
hanya bisa memandangi dan tak berani keluarkan ucapan
apa-apa meskipun mulutnya masih bisa bicara. Diam-diam
dia menyesali saudaranya yang terlalu cepat naik darah
hingga bukan kebebasan yang mereka dapat malah
kembali ditotok seperti sebelumnya. Dia tidak tahu berapa
lama totokan itu akan lepas dengan sendirinya. Mungkin
setengah harian, mungkin satu sampai dua hari. Dan saat
itu sore telah menggelincir tanda malam akan segera tiba.
Urusan partai belum selesai dan kini mereka berdua
berada dalam keadaan seperti itu!
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 9
EWI Tombak Api alias Sumitri menggolekkan
badannya yang bagus di lantai reruntuhan candi.
Saat itu sang surya mulai menggelincir ke arah ufuk
tenggelamnya. Langit yang kebiruan kini seperti disaput
oleh warna kuning keemasan. Serombongan burung pipit
terbang di udara melintas candi menuju ke selatan.
Sumitri bangkit dan duduk termenung. Dalam hatinya
timbul pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawabnya.
Mengapa dirinya kini berada dalam keadaan diburu-buru
demikian rupa. Bukan hanya oleh guru dan adik
seperguruannya saja tapi oleh banyak tokoh silat dan
pimpinan perguruan. Apa yang telah merasuk dalam hati
dan jalan darahnya hingga dia melakukan perbuatan-
perbuatan mesum terkutuk. Mengapa dia tidak sanggup
menolak semua rangsangan itu bahkan menambah
dosanya dengan melakukan pembunuhan-pembunuhan!
Dia tahu juga bahwa ada sementara tokoh-tokoh silat yang
menghormati dan merasa berhutang budi padanya karena
dia telah membunuh tokoh-tokoh silat golongan hitam
musuh mereka. Tapi dibanding dengan segala dosa yang
dibuatnya, semua kebaikan dan pahala yang dilakukannya
seolah-olah hanya seperti tetesan-tetesan air yang tidak
berbekas di atas pasir panas.
Gadis ini mengusap mukanya, merapikan pakaiannya
lalu bangkit berdiri. Dia tak ingin bermalam di reruntuhan
candi itu. Karenanya dia memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan saat itu juga. Tapi belum sempat melangkah
tiba-tiba berkelebat dua bayangan dan tahu-tahu di
hadapannya telah berdiri sepasang kakek nenek
D
berpakaian kuning-kuning. Wajah keduanya seperti
pakaian yang mereka kenakan juga berwarna kuning
karena dipupuri bedak tebal berwarna kuning.
“Siapa kalian?” bentak Dewi Tombak Api yang melihat
gelagat tidak baik.
Dua kakek itu memandang dengan bengis. Mereka
tidak menjawab malah gerakkan tangan menghunus
sebilah kelewang yang sebelumnya diselipkan di pinggang.
“Tua bangka muka kuning! Kalian tidak tuli. Lekas
terangkan siapa kalian dan punya maksud apa menghunus
senjata di depanku!”
Si kakek menggereng. Dia berpaling pada si nenek lalu
berkata, “Aku pantang bicara dengan perempuan bejat
seperti dia! Kau saja yang bicara!”
Si nenek juga keluarkan suara menggereng lalu
membuka mulut, “Kami Sepasang Macan Kuning dari
Merapi. Empat bulan lalu kau bentrokan dengan dua orang
murid perempuan kami lalu menculik seorang pemuda
yang juga murid kami. Pemuda itu kemudian ditemui dalam
keadaan sekarat di tepi sungai. Sebelum meregang nyawa
dia masih sempat menerangkan bahwa kau telah
menyekapnya selama satu minggu di suatu tempat.
Setelah kau memuaskan nafsu bejatmu kau lalu
membunuhnya. Tapi ternyata dia masih sempat kami temui
dalam keadaan hidup…”
Dewi Tombak Api terdiam mendengar ucapan si nenek.
“Gadis sundal! Kau tak perlu mengaku atau berdalih.
Kami sudah tahu memang kau pelakunya. Saat ini
bersiaplah untuk mampus!” kata si nenek pula.
“Aku tidak takut mati. Tapi ketahuilah bahwa aku
memang menyesal membunuh muridmu itu…”
Si nenek pelototkan matanya. “Penyesalan selalu
datang belakangan itu tak ada gunanya!” Nenek ini
berteriak keras lalu bersama-sama dengan si kakek dia
menyerbu. Dua kelewang berkiblat di bawah sinar kuning
matahari sore. Satu menyambar ke arah kepala, satu lagi
membabat ke arah perut.
Dewi Tombak Api terkejut ketika dapatkan bagaimana
dua serangan itu bukan saja sangat cepat dan ganas tapi
disertai hawa dingin yang membuat tulang-tulang Dewi
Tombak Api merasa ngilu.
Dengan cepat Dewi Tombak Api membuang diri ke
belakang. Bersamaan dengan itu dia dorongkan kedua
tangannya. Dua gelombang angin menerpa deras ke arah
kakek nenek itu. Seperti yang sudah-sudah serangan
seperti itu pasti akan membuat lawan terpelanting, paling
tidak terdorong jauh. Tapi kenyataannya Sepasang Macan
Kuning dari Merapi itu terus merangsak maju, membuat
Dewi Tombak Api mau tak mau kembali melompat ke
belakang, menjauhi kedua lawan.
Begitu dia lolos dari dua sambaran kelewang, Dewi
Tombak Api berkelebat kirimkan hantaman tangan kanan
ke arah si nenek dan disusul tendangan ke arah si kakek.
Tapi yang diserang tidak kalah sebat. Kelewang di tangan
masing-masing diputar demikian rupa hingga memapaki
lengan dan betis Dewi Tombak Api. Kalau dia meneruskan
serangannya ini mungkin dia masih sempat menghantam
lawan, tapi lengan dan kakinya tak akan lolos dari
sambaran kelewang Sepasang Macan Kuning dari Merapi.
Sambil memaki dalam hati Dewi Tombak Api lagi-lagi
terpaksa cari selamat dengan melompat dan tarik jotosan
serta tendangannya. Tapi tak terduga si kakek memburu
maju dan srett! Baju warna-warni Dewi Tombak Api di
bagian perut robek besar!
“Dua tua bangka ini benar-benar berbahaya! Kalau
tidak kudahului membunuh mereka, bisa-bisa aku yang
dibuat meregang nyawa!”
Dewi Tombak Api gerakkan tangan kanan ke balik
punggung. Sesaat kemudian sinar merah menyala berkiblat
di udara.
“Tombak api!” seru si kakek dan si nenek berbarengan.
Masing-masing membuka mata lebar-lebar. Selama ini
mereka cuma mendengar cerita saja. Sekarang mereka
menyaksikan sendiri bentuk senjata berbentuk tombak
pendek yang menyala laksana baja menyala.
Bagaimanapun angkernya senjata itu namun Sepasang
Macan Kuning dari Merapi tidak merasa jerih. Mereka
sudah bertekad bulat untuk membalaskan dendam
sekalipun harus mengorbankan nyawa sendiri. Maka tanpa
banyak bicara kakek dan nenek itu kembali merangsak
maju.
Dewi Tombak Api yang memang sudah tak sabaran
segera pukulkan tombaknya ke arah si kakek. Wuuusss!
Lidah api menyambar. Si kakek kiblatkan kelewangnya
sedang tangan kiri ikut melepas pukulan tangan kosong. Si
nenekpun tidak tinggal diam. Dari tempatnya tegak dia
lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi.
Tapi Tombak Api memang luar biasa. Hawa panas yang
menyambar di tempat itu membuat si nenek cepat
bersurut mundur selamatkan diri dari sambaran lidah api.
Si kakek yang juga sudah melihat bahaya ketika kelewang
serta pukulan saktinya tak bisa berbuat apa-apa dengan
cepat melompat ke samping. Namun terlambat. Lidah api
sudah keburu membuntal sekujur badannya. Tubuh dan
pakaiannya serta-merta dilamun api. Orang tua ini menjerit,
jatuhkan diri dan bergulingan di lantai candi berusaha
memadamkan api. Tapi sia-sia saja. Dia akhirnya menemui
ajal dengan tubuh hangus terpanggang!
Melihat kawannya mati begitu rupa si nenek meraung
keras. Dia membuat gerakan aneh. Tubuhnya melesat
laksana terbang. Dari udara dia lemparkan kelewangnya.
Dewi Tombak Api menyambut dengan senjatanya.
Traang!
Tombak dan kelewang beradu keras. Kelewang
terpental lalu tercampak di tanah. Ketika si nenek
memperhatikan ternyata kelewang itu telah penyok-penyok
dan leleh! Sedang tangan kanannya sendiri kelihatan
hangus menghitam.
“Gadis iblis ini bukan tandinganku! Aku tak mau mati
percuma. Suatu waktu aku harus membalaskan sakit hati
dendam kesumat ini!” Begitu si nenek membatin. Maka
ketika kedua kakinya menginjak lantai candi, tanpa tunggu
lebih lama lagi perempuan tua itu berkelebat ke kiri.
Dewi Tombak Api pukulkan senjatanya. Wusss! Lidah
api menyambar. Si nenek selamat karena lidah api
terhalang oleh sebuah arca. Kini arca itulah yang jadi
korban. Tenggelam dalam kobaran api!
Dewi Tombak Api merasakan darahnya mengalir lebih
cepat. Tubuhnya terasa panas. Cuping hidungnya kembang
kempis dan dadanya turun naik. Lalu sekujur tubuhnya
mulai menggigil.
“Perasaan itu muncul lagi… Ah… aku tak tahan… Aku
tak tahan…!” Dewi tombak Api sisipkan kembali senjatanya
di balik punggung pakaian. Kedua lututnya terlipat dan
perlahan-lahan dia jatuh berlutut. Rangsangan yang
melanda tubuhnya semakin menggelora, semakin
membakar. Kedua matanya memandang berkeliling.
Nafasnya memburu. Ada seperti yang meledak-ledak di
dalam dada dan di seluruh pembuluh darahnya. Dalam
keadaan seperti itu Dewi Tombak Api gulingkan diri di
lantai candi. Kedua kakinya melejang-lejang sedang tangan
mencakar-cakar lantai batu. Dari mulutnya keluar suara
erangan. Lalu gadis ini mulai merobek-robek pakaiannya.
Mula-mula di bagian dada. Lalu di bagian perut yang
memang sudah robek besar disambar kelewang. Sesaat
kemudian gadis itu nyaris telanjang. Dalam keadaan
seperti ini tiba-tiba dia melompat bangkit. Rahangnya
menggembung. Gerahamnya bergemeletakan dan
sepasang matanya berputar liar. Tiba-tiba dilihatnya arca
batu itu. Dia menggerung halus. Lalu melompat ke
hadapan arca, memeluk menciuminya, menggeser-
geserkan badannya ke badan arca!
“Muridku Sumitri! Perbuatan apa yang tengah kau
lakukan ini! Sadar Sumitri! Sadarlah!”
Satu suara terdengar. Suara laki-laki! Inilah yang dicari-
carinya. Masih merangkul arca batu itu, Sumitri alias Dewi
Tombak Api palingkan kepala. Dan dilihatnya kakek
buntung berpakaian hitam itu! Tapi dia melihatnya bukan
sebagai guru. Melainkan sebagai seorang lelaki. Lelaki
yang harus siap melayaninya. Kalau tidak dia bisa mati
berdiri ditambus bara nafsu!
“Kebo Kenanga…” desis Sumitri menyebut nama
gurunya. Pelukannya pada arca batu dilepaskan. Lalu dia
melangkah setindak demi setindak mendekati Resi
Tambak Kebo Kenanga. Orang tua berkaki buntung itu
pejamkan kedua matanya. Tak sanggup dia melihat
keadaan muridnya yang nyaris telanjang itu. Justru inilah
kesalahan sang Resi, begitu matanya dipejamkan, Dewi
Tombak Api telah menerkamnya, memagut dan menciumi
tubuhnya.
“Sumitri! Ingat! Aku ini gurumu!” teriak Resi Tambak
Kebo Kenanga.
Sang murid seperti tuli. Malah tubuh kakek itu
dipagutnya kuat-kuat lalu ditariknya ke bawah hingga
keduanya jatuh terhampar di lantai candi. Waktu jatuh
sang guru tertindih oleh tubuh muridnya sendiri.
“Murid sesat dan mesum! Pergi!” teriak sang Resi. Lalu
lutut dan tangan kanannya bergerak.
Terdengar raungan Dewi Tombak Api. Tubuhnya
mencelat ke atas lalu jatuh dan tersandar ke reruntuhan
dinding candi. Tapi dia segera berdiri lagi, ulurkan kedua
tangan sambil melangkah ke arah gurunya.
“Aku ingin kau melayaniku. Beri kesenangan padaku.
Kalau tidak lebih baik kau bunuh aku. Tolong… Jangan
biarkan aku terbakar oleh derita ini…”
Resi Tambak Kebo Kenanga cepat bersurut mundur.
Tongkat penyanggah yang dikepitnya di ketiak kiri tiba-tiba
membabat ke depan, tepat menghantam pinggul muridnya.
Sumitri kembali meraung. Hantaman tongkat membuat
tubuhnya terbanting ke kiri. Tapi daging atau tulang
tubuhnya tak ada yang cidera. Padahal selama ini kalau
sempat tongkat penyanggah ini menghantam tubuh
manusia, dagingnya pasti luka besar dan tulangnya paling
tidak akan remuk! Kalau sudah begini Resi Tambak Kebo
Kenanga tidak melihat cara lain. “Aku harus bisa
menotoknya. Kalau tak ada jalan lain mau tak mau aku
harus membunuhnya. Ah, kasihan dirimu Sumitri. Tapi aku
terpaksa melakukannya…”
Kakek berkaki buntung ini berkelebat ke depan. Tangan
kanannya menyambar sedang tongkatnya menusuk ke
arah bahu. Di saat yang sama sang murid yang seperti
kesetanan itu gerakkan tangan kanannya.
Traak!
Tongkat penyanggah milik sang Resi patah berantakan.
Karena kehilangan keseimbangan, orang tua ini jatuh ke
lantai candi. Dan pada saat itu pula sang murid jatuhkan
diri berusaha menghimpitnya. Tapi kaki kanan sang Resi
melesat tidak terduga. Menghantam perut Sumitri dengan
keras.
Gadis itu terpekik. Tubuhnya tercampak ke-samping,
jatuh menubruk arca!
“Bangsat! Laki-laki bangsat! Kuberi madu malah
mengasih racun! Mampus! Kau harus mampus!” teriak
Dewi Tombak Api. Lalu dia cabut senjata pembawa bahala
itu dan pukulkan ke arah gurunya.
Wusss!
Lidah api menggebubu. Resi Tambak Kebo Kenanga
yang masih tertelentang di lantai candi cepat gulingkan diri.
Namun terlambat. Lidah api itu lebih dulu melamun sekujur
tubuhnya! Kakek ini hanya bisa keluarkan jeritan-jeritan
mengerikan. Lalu tubuhnya yang terpanggang dan menebar
bau yang mengerikan itu diam tak berkutik lagi!
Pengerahan tenaga dalam dan penggunaan Tombak Api
untuk kedua kalinya membuat rangsangan di tubuh Dewi
Tombak Api jadi berlipat ganda kini. Gadis ini menjerit,
menggulingkan diri di lantai, memeluki arca dan
pergunakan tangan sendiri untuk mencari kenikmatan.
Selagi dia berada dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada
suara disertai berkelebatnya sesosok bayangan.
“Kekasihku Sumitri! Berbulan-bulan aku mencarimu.
Akhirnya kutemui juga! Dan kau sepertinya sudah siap
menungguku!”
Sumitri kenal betul suara itu. Dia palingkan tubuh,
menjerit kegirangan lalu rangkul tubuh orang tua yang
barusan datang sambil menggolekkan dirinya di atas lantai.
“Anak manis… Sekali ini aku tidak akan membiarkan
kau meninggalkanku lagi. Ke mana kau pergi aku akan
selalu mendampingimu!”
“Seharusnya memang begitu! Sekarang loloskan
pakaianmu. Aku sudah tak tahan! Lekasss…!”
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 10
UA MANUSIA itu benar-benar telah dirasuk setan
laknat terkutuk. Lelaki yang bergegas membuka
pakaiannya bukan lain adalah Ki Kamandoko, orang
sakti yang lebih tepat disebut sebagai juru guna-guna.
Dialah yang telah memberikan Tombak Api kepada Sumitri
setelah terlebih dahulu diisi dengan guna-guna yang
membuat gadis itu lupa diri dalam rangsangan nafsu bejat
setiap dia mempergunakan Tombak Api dengan
pengerahan tenaga dalam.
Ki Kamandoko bertubuh kurus, berkepala lonjong dan
sulah. Usianya hampir mencapai enam puluh tahunan.
Untuk menutupi kesalahannya itu dia memakai rambut
palsu berwarna hitam campur kelabu.
Manusia cabul ini sudah siap menanggalkan celana
hitamnya ketika tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat di
belakangnya dan, buk! Satu tendangan keras menghantam
pinggulnya. Orang ini menjerit keras dan mencelat mental.
Di saat yang sama terdengar pekik perempuan.
“Guru!”
Seseorang jatuhkan diri menubruk mayat hangus Resi
Tambak Kebo Kenanga. Menyusul terdengar suara isak
tangis. Tangis Simanti.
Sementara Ki Kamandoko berusaha bangkit dengan
kesakitan karena pinggulnya memar dan ada bagian tulang
yang remuk, Dewi Tombak Api sudah melompat tegak dan
memandang berkeliling dengan beringas. Sepasang
matanya berkilat-kilat memandang ke arah Wiro Sableng
yang tegak berkacak pinggang. Dialah tadi yang
menendang Ki Kamandoko.
D
“Kau…,” seru Sumitri alias Dewi Tombak Api. Suaranya
keras tapi tak ada perasaan marah. “Kau… kau datang
tepat pada waktu aku membutuhkan seorang lelaki.
Dibandingkan dengan kambing tua itu, aku memilih dirimu.
Aku masih ingat, namamu Wiro Sableng bukan? Wiro bawa
aku, dukung dan peluk diriku…” Lalu Dewi Tombak Api
melangkah cepat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng
seraya ulurkan tangan hendak merangkul sang pendekar.
“Dewiku kekasihku… Jangan kau lupakan diriku!”
terdengar suara Ki Kamandoko. “Aku satu-satunya
kekasihmu untuk bersenang-senang!”
Dewi Tombak Api berpaling sesaat pada lelaki
berkepala sulah itu lalu mendengus. “Kambing botak tak
tahu diri! Kalau ada yang lebih muda masakan aku memilih
dirimu! Lekas minggat dari sini! Jangan ganggu
kesenanganku!”
Dihina dan dilecehkan begitu rupa membuat Ki
Kamandoko menjadi marah. “Kau yang tak tahu diri
Sumitri!” bentaknya. “Kau akan menyesal berani
memperlakukan aku seperti itu! Lihat padaku!”
“Siapa sudi melihat tampangmu!” teriak Sumitri. Tapi
tak sengaja kedua matanya sempat beradu pandang
dengan juru guna-guna itu.
“Jangan lihat matanya!” berteriak Wiro.
Namun terlambat!
Satu kilapan cahaya memantul di kedua bola mata Ki
Kamandoko. Pantulan ini jatuh di atas kedua mata Sumitri.
Dan yang kini dilihat Sumitri bukan lagi seorang lelaki tua
berambut palsu dan bertubuh kerempeng, melainkan
seorang pemuda berparas cakap dan berpakaian seperti
pangeran.
“Kau… kau! Belum pernah aku melihat pemuda
segagahmu. Aku menyerahkan diriku padamu…”
Begitu Sumitri melangkah mendekati Ki Kamandoko,
Pendekar 212 cepat melompat dan menghalangi jalannya.
“Pemuda jembel! Apa yang hendak kau lakukan?
Mencari mati berani menghalangiku?!” bentak Dewi
Tombak Api.
Wiro menjawab dengan satu gerakan kilat. Menotok
tubuh Dewi Tombak Api di bagian leher. Ditotok begitu rupa
si gadis malah tertawa panjang. Di belakangnya Wiro
mendengar Ki Kamandoko berkata, “Tak ada satu totokan
pun di dunia ini yang mampu membuatnya tak berdaya!”
Wiro mendengar suara berdesir di belakangnya. Dia
tahu kalau Ki Kamandoko menyerangnya. Dengan cepat
Pendekar 212 berkelebat ke kiri lalu membalik sambil
menghantam dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah.
Satu gelombang angin laksana gundukan batu besar
menggelinding menghantam ke arah Ki Kamandoko. Juru
guna-guna ini menjadi kaget dan cepat menyingkir. Namun
pada saat itu dari samping sesosok tubuh melompat
sambil menghantam. Yang menyerbu adalah Simanti, adik
seperguruan Dewi Tombak Api.
Ki Kamandoko memang memiliki ilmu gaib yang
mendekati ilmu sihir dan pandai mengguna-guna.
Sebaliknya dalam ilmu silat kemampuannya sangat
rendah. Itu sebabnya tadi dengan mudah Wiro berhasil
menendangnya. Ketika Simanti menghantam dari samping
sementara dari depan sambaran angin pukulan Wiro
membuat tubuhnya bergoncang keras, Ki Kamandoko tiba-
tiba berteriak, “Masa kan kau hendak membunuh guru
sendiri!”
Wiro tercengang heran sedang Simanti tersentak kaget
ketika dilihatnya di hadapannya kini bukan Ki Kamandoko
yang diserangnya melainkan gurunya sendiri, Resi Tambak
Kebo Kenanga. Bukankah orang tua itu tadi memang telah
mati? Dibunuh oleh Sumitri alias Dewi Tombak Api?
“Ilmu tenung keparat!” teriak Pendekar 212 yang
segera menyadari apa yang terjadi. Dia kirimkan satu
tendangan ke arah Resi Tambak Kebo Kenanga palsu itu.
Namun dari samping ada lima jari tangan yang mencakar
ke arah wajahnya. Mau tak mau Wiro batalkan
serangannya terhadap Resi jejadian itu dan menghantam
ke atas dengan tangan kanannya.
Bukk!
Lengan kanan Wiro beradu dengan lengan kanan Dewi
Tombak Api. Sang Dewi terpekik seraya melompat mundur.
Sebaliknya murid Sinto Gendeng terpelanting jatuh ke
dinding candi.
“Astaga! Tenaga dalamnya tidak berada di bawahku!”
ujar Wiro dalam hati. “Kalau aku tidak segera menghantam
dengan pukulan Sinar Matahari urusan bisa berabe!”
Maka Pendekar 212 segera kerahkan tenaga dalam ke
tangan kanan. Dalam waktu sekejapan tangan itu berubah
menjadi seputih perak dan menyala berkilauan. Hawa
panas terasa menghampar di tempat itu!
Ketika melihat perubahan warna lengan kanan Wiro
Sableng, Dewi Tombak Api yang sebelumnya sudah
merasakan kehebatan pukulan sakti itu bahkan sampai
terluka di sebelah dalam, tanpa menunggu lebih lama
segera keluarkan senjata andalannya yaitu Tombak Api
yang memancarkan warna merah membara!
Di bagian lain Simanti yang telah sadar siapa
sebenarnya yang tengah dihadapinya menempur habis-
habisan Ki Kamandoko yang saat itu masih merupakan
dirinya sebagai Resi Tambak Kebo Kenanga. Karena ilmu
silatnya memang rendah maka dua jurus saja manusia
bejat ini telah terdesak hebat. Tapi dasar manusia licik, di
saat nyawanya terancam begitu rupa dia segera merapal
jampi-jampi lalu meniup ke depan.
Simanti mendadak mencium bau harum semerbak.
Memandang berkeliling didapatinya dirinya berada di
sebuah taman pada suatu lereng bukit yang indah
pemandangannya. Seorang pemuda berwajah cakap
dilihatnya duduk di atas punggung seekor kuda putih dan
melambai ke arahnya. Simanti tidak pernah melihat
pemuda itu sebelumnya. Tapi wajah yang memikat dan
lambaian tangan yang memanggil membuatnya melangkah
mendekati. Inilah bahaya besar yang tidak disadari oleh
Simanti sementara Pendekar 212 Wiro Sableng tengah
menghadapi Sumitri dengan Tombak Apinya.
Simanti maju satu langkah, dua langkah… semakin
dekat dengan pemuda di atas kuda itu. Ketika hanya
tinggal dua langkah saja lagi, pemuda di atas kuda ulurkan
kedua tangannya. Sikapnya seperti hendak membantu
Simanti naik ke atas kuda. Tapi tahu-tahu dua tangan itu
bergerak mencekik ke arah leher. Justru di saat itu pulalah
si gadis tersadar.
“Taman yang indah, lereng bukit yang permai… Kuda
putih dan pemuda yang gagah. Eh… Bermimpi atau
bagaimanakah aku ini…?” Simanti gigit bibirnya sendiri
sampai berdarah dan serta merta sadar pada saat sepuluh
jari tangan mencengkeram batang lehernya dan pemuda di
atas kuda itu dilihatnya mendadak berubah ke bentuk
asalnya, menjadi Ki Kamandoko!
“Bangsat! Kau hendak menipuku dengan ilmu
busukmu!” teriak Simanti. Dua tangannya segera
menangkap lengan Ki Kamandoko. Sekali dia menarik
maka tertariklah tubuh Ki Kamandoko. Begitu orang tua itu
terangkat dari atas punggung kuda, Simanti
membantingkannya keras-keras ke arca besar di sudut
reruntuhan candi!
Ki Kamandoko menjerit setinggi langit. Bahu kanannya
yang beradu dengan arca batu remuk dan sakitnya bukan
kepalang. Begitu tubuhnya melosoh ke bawah, dari sebuah
kantong dia mengeluarkan sejenis bubuk dan
menebarkannya di hadapan Simanti sementara mulutnya
berkomat-kamit.
Murid almarhum Resi Tambak Kebo Kenanga itu
merasakan satu keanehan terjadi atas dirinya. Kepalanya
terasa seperti membesar dan tubuhnya seperti mengapung
naik ke udara. Di depannya dilihatnya Ki Kamandoko
berusaha tegak sambil bersandar pada arca lalu
mengangkat tangannya dan berseru!
“Katakan namamu!”
“Namaku Simanti…” Sang dara yang sudah berada
dalam kekuasaan tenung Ki Kamandoko menjawab.
“Bagus! Sekarang cekik lehermu sendiri! Lakukan!”
Simanti angkat kedua tangannya. Lima jarinya
mencengkeram di tenggorokannya. Dia mulai mencekik
lehernya sendiri! Gila!
“Cekik lebih keras! Lebih kencang!” teriak Ki
Kamandoko. Dan Simanti melakukan apa yang
diperintahkan orang itu. Jari-jarinya mencekik makin
kencang, makin keras. Lidahnya mulai terjulur dan kedua
matanya membeliak.
“Terus… Cekik terus!” teriak Ki Kamandoko.
Nafas Simanti menyengal. Dadanya sesak seperti mau
pecah. Sesaat lagi cekikannya sendiri akan menamatkan
riwayatnya tiba-tiba terdengar suara letusan keras. Di
udara berkiblat sinar putih menyilaukan, baku hantam
dengan lidah api yang menjilat menggebu. Dua kekuatan
sakti yang sama-sama bersumber pada hawa panas saling
labrak. Bumi laksana kiamat. Empat sosok tubuh
berpelantingan. Sebatang pohon tenggelam dalam kobaran
api. Dua lainnya hangus bersama semak belukar yang ada
di sekitarnya. Di tanah ada sebuah lobang besar berwarna
hitam!
Dari dalam lobang Dewi Tombak Api merangkak keluar.
Tubuhnya yang nyaris tanpa pakaian itu terlihat lecet di
beberapa bagian. Senjatanya, Tombak Api itu, tampak
masih tergenggam di tangan kanannya. Dalam tubuhnya
telah menggunung nafsu kotor yang menggelegak seolah
membakar tubuhnya dan harus segera dilampiaskan.
Keadaannya benar-benar parah yang tak dapat
dikendalikan lagi akibat telah beberapa kali setelah dia
mengerahkan tenaga dalam menghantam dengan senjata
pangkal bahala yang diisi dengan guna-guna itu. Dia
merangkak dan mengerang, bergerak ke arah sosok tubuh
Pendekar 212 yang saat itu terkapar di depan tangga
candi. Sebagian dari baju putihnya tampak hangus
terbakar akibat sambaran lidah api yang mencuat keluar
dari Tombak Api. Lengan kanan dan bahu serta sebagian
sisinya tampak merah terkelupas.
Ternyata pukulan Sinar Matahari tidak sanggup
menangkis hantaman lidah api senjata Sumitri. Wiro juga
keluarkan suara mengerang.
Seumur hidupnya baru kali itu dia mengalami cidera
begitu rupa. Tubuhnya terasa panas seperti dipanggang.
Ketika dilihatnya Dewi Tombak Api melangkah ke arahnya,
dia gerakkan tangan kanan untuk mencabut Kapak Maut
Naga Geni 212. Tapi astaga! Tangan itu terasa berat, sulit
untuk digerakkan, apalagi mencabut senjatanya.
“Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku! Senjata gadis
iblis itu benar-benar luar biasa…!”
Wiro lalu buru-buru pergunakan tangan kiri untuk
mencabut senjata mustikanya. Gila!
Tangan yang satu ini pun terasa berat. Dia kerahkan
seluruh tenaga, menghimpun tenaga dalam. Perlahan
sekali tangan kiri itu berhasil digerakkannya. Namun
sebelum dia sempat menyentuh Kapak Naga Geni 212,
Dewi Tombak Api sampai di tempatnya menggeletak dan
langsung menindihnya!
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 11
ITA tinggalkan dulu Pendekar 212 dan Dewi Tombak
Api. Mari kita lihat apa yang terjadi dengan Simanti
serta Ki Kamandoko. Ketika pukulan Sinar Matahari
dan lidah api Tombak Api saling beradu dahsyat, Simanti
yang tengah mencekik dirinya sendiri di luar sadar akibat
tenung Ki Kamandoko, terlempar tiga tombak dan terguling
sampai di halaman reruntuhan candi. Kepalanya
menghantam akar sebatang pohon dan saat itu tenung
yang menguasai dirinya buyar. Dengan terhuyung-huyung
gadis ini coba berdiri. Matanya memandang liar. Yang
pertama sekali dicarinya adalah lelaki tua berkepala sulah
itu.
Saat itu Ki Kamandoko sendiri berada dalam keadaan
hancur-hancuran. Pinggulnya remuk dihantam tendangan
Wiro sedang bahu kanannya hancur. Ledakan keras
membuat tubuhnya terlempar ke udara dan ketika jatuh
tubuhnya jatuh melintang di atas tembok pagar candi.
Rambut palsunya mental entah ke mana. Dia tak kuasa
berbuat apa-apa karena tulang punggungnya patah.
Sakitnya bukan kepalang. Saat itu dilihatnya Simanti
melangkah mendekati dengan kedua tangan terkepal. Ki
Kamandoko segera merajai jampi-jampi. Namun rasa sakit
yang tidak tertahankan membuat bacaannya menjadi
kacau! Apa yang diharapkannya dari jampi tenungan itu
tidak kesampaian.
Simanti tarik leher baju Ki Kamandoko. “Manusia
terkutuk! Lekas kau berikan obat pemunah nafsu bejat!
Kau harus menyembuhkan kakak seperguruanku! Kalau
tidak kupecahkan batok kepalamu!”
K
Simanti angkat tinju kanannya tinggi-tinggi, siap
mengepruk batok kepala Ki Kamandoko yang botak.
“Aku tidak takut mati…,” jawab Ki Kamadoko. “Tapi
nafsu zinah yang ada dalam tubuh gadis itu tak ada
pemunahnya, tak ada penangkalnya!”
“Jangan dusta!” kertak Simanti. Lalu tangan kanannya
menghantam dada Ki Kamandoko. Orang tua ini
mengeluarkan suara seperti muntah. Dua tulang iganya
patah.
“Kau mau memberikan obat itu atau tidak!” kembali
Simanti mengancam sambil angkat lagi tangan kanannya.
“Sumpah! Aku tidak dusta! Nafsu itu tidak akan muncul
kalau Tombak api dijauhkan dari dirinya…”
“Tapi saat ini kakakku itu tengah tersiksa oleh
dorongan nafsu keji akibat guna-gunamu!”
“Rangsangan yang ada dalam dirinya akan lenyap
sendiri setelah tiga hari…”
“Tiga hari katamu?! Gila!”
Plaaak! Plaak!
Tamparan Simanti melayang pulang balik. Ki
Kamandoko hanya bisa menggereng. Dua giginya rontok
dan bibirnya pecah akibat tamparan tadi.
“Kau telah menghancurkan hidupnya! Kau harus
kuhajar sampai mati! Karena ulahmu juga guru menemui
ajal di tangan murid sendiri!” Sambil menjerit panjang dan
keras Simanti hantamkan jotosan kiri kanan ke kepala,
muka dan dada serta perut Ki Kamandoko.
Ki Kamandoko hanya sempat menyerit satu kali ketika
jotosan pertama Simanti menghancurkan mata kirinya.
Pukulan kedua bersarang tepat di dada kiri, membuat
pecah jantungnya. Pukulan-pukulan berikutnya tak pernah
dirasakan Ki Kamandoko karena ketika jantungnya pecah,
nyawanya melayang sudah! Simanti menghujani tubuh tak
bernyawa itu dengan segala dendam kebencian. Dia baru
berhenti ketika kedua tangannya terasa kaku dan lututnya
goyah, ketika tembok di mana mayat Ki Kamandoko
terbadai runtuh. Perlahan-lahan Simanti jatuh berlutut lalu
terduduk bersimpuh dan mulai menangis.
Kita kembali pada Dewi Tombak Api. Dengan
merangkak dia berhasil keluar dari lobang, lalu bergerak
mendekati sosok tubuh Pendekar 212 yang saat itu penuh
lecet dan luka akibat jilatan lidah api yang menyambar dari
Tombak Api dan berada dalam keadaan tak berdaya
karena anggota tubuhnya yaitu tangan dan kaki sulit untuk
digerakkan.
Dalam keadaan seperti itulah Wiro kemudian dapatkan
dirinya telah ditindih oleh tubuh Dewi Tombak Api.
“Apa yang ingin kau lakukan…?” desis Wiro. Dadanya
menggemuruh berusaha menahan rangsangan yang
bagaimanapun sebagai manusia normal tak bisa
dihindarinya.
Dewi Tombak Api angkat tangan kanannya yang
memegang Tombak Api. Wiro kumpulkan tenaga untuk
dapat bergerak karena dia merasa pasti si gadis akan
membunuhnya dengan senjata dahsyat di tangannya itu!
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 12
API hal itu ternyata tidak terjadi. Dewi Tombak Api
tidak pergunakan senjatanya untuk menusuk dan
membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng. Nafasnya
yang memburu dan hangat menerpa wajah Pendekar 212.
Sepasang matanya yang berkilat-kilat liar mendadak
menjadi sayu, menatap lurus-lurus ke dalam mata Wiro.
“Apa yang kau tunggu! Kenapa tidak lekas-lekas
membunuhku…?” tanya Wiro.
“Aku akan mati… Kau akan mati… Kita akan sama-
sama mati, Wiro…” bisik Dewi Tombak Api. “Selagi masih
bisa bernafas mengapa kita tidak memilih mati dalam
kenikmatan…?” Lalu wajahnya ditempelkan ke wajah
Pendekar 212. Hidungnya menciumi kening, mata dan pipi
pemuda itu. Bibirnya dikecupkan ke bibir Wiro dan Wiro
dapat merasakan bahwa ludah Dewi Tombak Api telah
bercampur darah tanda lukanya di sebelah dalam semakin
parah.
“Kau tak mau memelukku Wiro… Kau tak mau
merangkul dan menciumku…? Ah… Aku tahu, tangan dan
kakimu tak bisa kau gerakkan. Aku akan tolong kau Wiro.
Akan kupulihkan kekuatanmu asalkan kau mau berjanji…”
“Berjanji apa?”
Dewi Tombak Api tersenyum mesra. Kembali dia
menciumi seluruh wajah Wiro. Perlahan-lahan Tombak Api
ditempelkannya ke tangan kanan Wiro, lalu perlahan-lahan
pula senjata itu diusapkannya mulai dari telapak tangan,
terus ke lengan sampai ke bahu.
Aneh! Begitu diusapkan Wiro kini bisa menggerakkan
tangan kanan itu. Dewi Tombak Api terus saja tersenyum.
T
Kini tangan kiri Wiro yang diusapnya dengan Tombak Api.
Hal yang sama terjadi seperti tangan kanan. Tangan kiri itu
kini bisa digerakkan.
“Kakimu sekarang… Kakimu akan kubebaskan. Setelah
itu berjanjilah kita akan bersenang-senang…” bisik Dewi
Tombak Api.
Sewaktu kedua kakinya bebas dan bisa digerakkan
kembali, niat semula hendak melemparkan tubuh Dewi
Tombak Api mendadak sontak lenyap. Kebencian apapun
yang ada dalam diri Pendekar 212 terhadap gadis itu sirna
dan berganti dengan perasaan lain. Darahnya mengalir
lebih cepat. Tubuhnya diserang oleh rangsangan aneh yang
membuat Wiro merangkul dan balas mencium gadis yang
ada di atasnya itu. Ketika Wiro hendak membalikkan tubuh
Dewi Tombak Api tiba-tiba ada bayangan kuning
berkelebat. Tombak Api yang ada di tangan kanan Dewi
Tombak Api terbetot lepas. Terdengar seruan kaget sang
dara lalu disusul oleh jeritannya yang keras.
Lalu mengumandang suara tawa mengekeh.
Wiro yang ikut kaget segera gulingkan diri. Ada percikan
darah membasahi pakaian putihnya!
“Puas…! Aku puas! Kematian sahabatku terbalas
sudah! Mampus kau gadis cabul!”
Wiro cepat berdiri dan berbalik.
Empat langkah di hadapannya tegak seorang nenek
berpakaian serba kuning dan berwajah juga kuning. Dia
bukan lain adalah salah seorang dari Sepasang Macan
Kuning dari Merapi. Kawannya si kakek muka kuning
menemui ajal di tangan Dewi Tombak Api beberapa waktu
lalu.
Hanya satu langkah di hadapan si nenek tergeletak
tubuh Dewi Tombak Api dalam keadaan tertelungkup.
Tombak Api miliknya, yang selama ini menjadi senjata
penimbul bala menancap di punggung kirinya. Si neneklah
yang telah merampas senjata itu dari tangan Dewi Tombak
Api lalu menusukkannya ke punggung si gadis sampai
menembus jantung! Untuk beberapa lamanya nenek
berwajah kuning ini masih tegak di tempat itu sambil
mengekeh puas, tapi sepasang matanya kelihatan berkaca-
kaca tanda dia ingat akan kematian sahabatnya.
“Aku puas… Aku puas…!” ujar si nenek berulang kali.
Lalu dia balikkan tubuh dan tinggalkan tempat itu. Wiropun
beranjak dari tempatnya berdiri. Sesaat dipandanginya
mayat Dewi Tombak Api. “Kasihan, kekejaman dunia
merenggut nyawanya seperti ini…” kata Wiro dalam hati.
Lalu dia ingat pada Simanti yang masih duduk bersimpuh
dan menangis.
“Simanti…” bisik Wiro seraya membelai rambut gadis
itu, “Sebentar lagi malam akan turun. Sebaiknya kita
segera tinggalkan tempat ini…”
Simanti usut air matanya, mengusap wajahnya
beberapa kali lalu memandang pada Wiro dan perlahan-
lahan anggukkan kepala. Wiro membantu gadis ini berdiri.
Sepasang mata Simanti menatap ke arah jenazah kakak
seperguruannya. “Bagaimanapun jahatnya dirinya, dia
tetap kakak seperguruanku. Jenazahnya harus aku urus.
Juga jenazah guru. Dan Tombak Api yang menancap di
tubuhnya itu… Kukira untuk beberapa lamanya masih
diresapi kekuatan guna-guna terkutuk itu. Kita harus
mengamankan senjata itu Wiro… Jangan sampai jatuh ke
tangan orang lain. Kalau sampai ada yang menemukan dan
mempergunakannya, apa yang dialami Sumitri akan
terulang kembali!”
Wiro mengangguk dan berkata, “Kita kuburkan saja dia
bersama senjata itu. Di dekat sini pasti ada kampung atau
desa. Kita minta bantuan penduduk setempat untuk
menggali dua lobang lahat. Satu untuk gurumu, satu lagi
untuk Sumitri…”
Simanti tak menjawab. Ketika Wiro menarik lengannya
dia melangkah mengikuti. Di sebelah barat sang surya
telah masuk ke titik tenggelamnya. Langit yang baru
disaput cahaya merah kekuningan kini berangsur-angsur
menjadi gelap menghitam. Daerah sekitar reruntuhan
candi itu tenggelam dalam kesunyian. Lapat-lapat mulai
terdengar suara burung hantu di kejauhan.
Kedua orang itu melangkah melewati reruntuhan
tembok candi di mana terkapar mayat Ki Kamandoko.
Ketika berlalu satu langkah tiba-tiba sosok tubuh yang
sudah jadi mayat itu bergerak bangkit! Satu hal yang tak
dapat dipercaya. Ternyata sewaktu sosok tubuh Ki
Kamandoko jatuh terbanting di atas tembok, manusia ini
telah lebih dahulu melakukan tenung. Sosok tubuh yang
ada di atas tembok hanya sosok jejadian belaka sedang
dirinya yang sebenarnya berada beberapa langkah dari
situ! Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Simanti,
apalagi oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Dengan susah payah Ki Kamandoko berlari ke arah
mayat Sumitri lalu mencabut Tombak Api yang menancap
di tubuh gadis itu. Begitu senjata tersebut berada dalam
genggamanya dengan cepat dihantamkannya ke arah
Pendekar 212 dan Simanti yang tengah berjalan
membelakangi.
Namun telinga Pendekar 212 tak dapat ditipu. Ketika Ki
Kamandoko berlari ke arah mayat Sumitri, Wiro telah
menangkap suara langkah-langkah juru tenung dan ahli
guna-guna itu. Dia membalikkan tubuh tepat pada saat
Tombak Api mencuatkan lidah api mengerikan ke arahnya.
Simanti terpekik. Wiro tersentak kaget tapi masih bisa
menguasai diri dan cabut Kapak Maut Naga Geni 212.
Wusss!
Lidah api menderu. Kapak Naga Geni 212 membabat di
udara. Suara seperti ribuan tawon mengamuk menggelegar
dan sinar putih panas menyilaukan berkiblat. Sinar putih
yang keluar dari kapak sakti serta sinar merah lidah api
yang keluar dari Tombak Api saling tabrak. Dentuman
dahsyat menggoncangkan tanah seperti membelah langit.
Lidah api tampak buyar bermuncratan begitu dihantam
sinar Kapak Maut Naga Geni 212. Wiro dan Simanti
terbanting roboh ke tanah. Ketika lidah api dan sinar putih
lenyap, sepuluh langkah di hadapan Wiro dan Simanti
tampak menggeletak sosok tubuh Ki Kamandoko hangus
menghitam, termasuk Tombak Api yang masih tergenggam
di tangan kanannya.
“Wiro… Aku takut…,” bisik Simanti di antara isakan.
“Semua sudah berakhir kini.” balas berbisik Wiro. Dia
berdiri diikuti oleh Simanti.
Tiba-tiba gadis ini menjerit.
“Wiro! Lihat!”
Wiro memandang ke tiga arah yang ditunjuk Simanti. Di
situ dilihatnya sosok tubuh Resi Tambak Kebo Kenanga
dan Dewi Tombak Api alias Sumitri juga telah berubah
menjadi mayat hangus akibat terkena hantaman sinar
Kapak Maut Naga Geni 212 dan lidah api yang saling
bertabrakan di udara.
TAMAT
Jakarta, 25 November 1989
HARI itu tanggal tiga bulan ke lima. Sebuah bukit yang
selama bertahun-tahun sunyi senyap, terletak di
antara kaki Gunung Merapi dan Gunung Raung kini
banyak didatangi oleh orang-orang yang muncul dari
berbagai penjuru. Melihat gerak-gerik orang-orang itu dan
memperhatikan cara mereka berlari menuju puncak bukit,
dapatlah diduga bahwa orang-orang itu, siapapun mereka
adanya, adalah orang-orang dari dunia persilatan.
Ada kepentingan apakah orang-orang persilatan
berdatangan di puncak bukit itu? Ternyata hal ini ada
kaitannya dengan rencana peresmian dan pengenalan
sebuah partai persilatan baru yang diberi nama Partai
Bintang Blambangan. Partai silat ini diketuai oleh Gandring
Wikoro, seorang kakek berusia 70 tahun. Lebih dari
separuh masa hidupnya telah dihabiskan dengan
pengabdian pada Keraton Sala. Di usia menjelang
menutup mata, Gandring Wikoro yang tidak bisa
melupakan masa muda dan asal-usulnya, setelah
berunding dengan anak-istri serta para sahabat, akhirnya
memutuskan untuk membentuk sebuah partai silat. Konon
Gandring Wikoro memiliki darah keturunan ketiga dari Raja
Blambangan. Semula dia hanya bermaksud mendirikan
sebuah perguruan silat. Namun atas dorongan anak-anak
dan sahabat-sahabatnya, dan mengingat nama
Blambangan adalah satu nama besar di masa silam, maka
disetujui merubah perguruan menjadi sebuah partai.
Selama pengabdiannya di Keraton Sala, Gandring
Wikoro dikenal dengan gelar kehormatan “Raja Panah
Delapan Penjuru Angin.” Memang selain memiliki ilmu silat
tangan kosong yang tinggi serta andal dalam ilmu golok,
Gandring Wikoro juga menguasai ilmu panah secara luar
biasa. Demikian hebatnya ilmu kepandaiannya, dia
sanggup membidikkan tiga panah sekaligus pada tiga
sasaran yang berlainan. Dia juga mampu membidik burung
yang terbang di udara dengan mata tertutup! Dan kabarnya
dia telah pula menciptakan beberapa jurus ilmu silat di
mana orang yang memainkannya memegang busur di
tangan kiri dan anak panah di tangan kanan. Busur dipakai
sebagai pelindung, tidak beda dengan tameng sedang
anak panah dijadikan senjata seperti golok atau pedang.
Siapa saja yang sudah menguasai ilmu silat Panah dan
Busur itu, lima orang bersenjata tidak akan mampu
merobohkannya!
Memandang kepada nama besar Gandring Wikoro
itulah maka banyak tokoh silat yang punya nama besar
tidak segan-segan datang ke puncak bukit tempat akan
diresmikannya Partai Bintang Blambangan itu.
Di puncak bukit yang sejuk itu dibangun sebuah
panggung setinggi satu tombak dan luas sepuluh kali lima
belas tombak. Di belakang panggung ini terdapat sebuah
panggung lagi yang agak lebih tinggi. Di sini duduklah Raja
Panah Delapan Penjuru Angin didampingi oleh istrinya,
seorang perempuan ramping berambut putih. Di sebelah
sang istri duduk seorang pemuda berbadan tegap berparas
gagah. Pemuda ini bernama Bimo Argomulyo, putera dan
anak tunggal pasangan suami-istri Gandring Wikoro.
Menurut orang-orang yang tahu, di usianya yang baru 26
tahun Bimo Argomulyo kabarnya sudah mewarisi seluruh
kepandaian ilmu silat dan kesaktian yang dimiliki ayahnya,
kecuali ilmu silat Panah dan Busur.
Di samping Bimo Argomulyo tampak duduk seorang
pemuda berbadan tinggi semampai berkulit putih yang
adalah keponakan Gandring Wikoro atau sepupu Bimo
bernama Sarwo Bayu. Sejak masih kecil, yakni sejak kedua
orang tuanya meninggal, Sarwo Bayu dipelihara oleh
Gandring Wikoro. Karenanya sudah dianggap sebagai anak
sendiri. Dalam hal umur Sarwo satu tahun lebih muda dari
Bimo Argomulyo.
Dalam pelajaran ilmu silat boleh dikatakan Gandring
Wikoro tidak membeda-bedakan anak dan keponakannya.
Keduanya diberi pelajaran ilmu yang sama. Dalam ilmu
silat tangan kosong ternyata Bimo lebih cepat dan lebih
banyak menguasai. Sebaliknya dalam ilmu silat Panah dan
Busur, ternyata sang keponakan lebih menguasai dari
anaknya sendiri.
Di belakang deretan kursi keluarga ketua partai, duduk
dengan rapi dan gagah 30 orang anggota partai yang terdiri
dari anak-anak muda rata-rata berbadan tegap. Memang
Gandring Wikoro sengaja mengambil anggota partai dari
murid-muridnya sendiri, orang-orang yang masih muda dan
bersih, belum tercemar segala macam keburukan dunia.
Dia berharap dari orang-orang muda yang bersih dan
berjiwa satria itulah kelak Partai Bintang Blambangan bisa
berkembang menjadi partai besar, sebesar dan seharum
Kerajaan Blambangan di masa lampau.
Di depan panggung besar berderet-deret kursi yang
diduduki oleh para tetamu. Masing-masing deretan diseling
oleh sebuah meja panjang. Di atas meja ini terletak
berbagai macam minuman dan makanan yang lezat-lezat.
Di antara para tamu yang hadir, kelihatan seorang gadis
berparas cantik, berambut panjang sebahu. Dia
mengenakan pakaian berbunga-bunga warna-warni dan
duduk di deretan kursi ke tiga. Sejak tadi keluarga Ketua
Partai telah melihat gadis ini dan masing-masing bertanya-
tanya siapa gerangan adanya si jelita ini.
Di antara para tetamupun banyak yang mengagumi
kecantikannya. Mereka juga menduga-duga siapa dara ini
yang tampaknya datang sendirian ke tempat itu.
Selesai para tamu mencicipi hidangan, Gandring Wikoro
berdiri dari kursinya untuk memberikan kata-kata
sambutan disertai penjelasan asal muasalnya Partai
Bintang Blambangan didirikan. Sekadar basa-basi, tak lupa
Gandring Wikoro mengajak para tetamu yang bersedia,
bergabung dalam partainya.
Setelah beberapa tokoh silat yang diundang turut
memberikan sambutan, termasuk seorang utusan Keraton
Sala, maka para tamu kembali dipersilahkan mencicipi
hidangan. Kini makanan yang lezat-lezat itu ditambah pula
dengan sepuluh nampan nasi tumpeng. Sambil bersantap
para tetamu disuguhi pertunjukan silat oleh anggota atau
murid partai.
Selesai pertunjukan itu, di antara sorak-sorai dan tepuk
tangan, terdengar seseorang berseru agar ketua partai
memperlihatkan kebolehannya barang sejurus dua jurus.
Karena tak bisa mengelak, dan sesuai dengan adat-istiadat
dunia persilatan, maka Gandring Wikoro berdiri kembali,
menjura beberapa kali lalu berkata, “Sebagai tuan rumah
aku wajib memenuhi permintaan para sahabat sekalian.
Namun harap jangan ditertawakan kalau aku hanya akan
memperlihatkan ketololan belaka!”
Ketua Partai baru itu mengangkat tangan kirinya ke
atas. Melihat tanda ini, seorang anak murid partai segera
maju membawa sebuah busur dan kantong panjang
terbuat dari kulit kerbau kering, berisi selusin anak panah.
Gandring Wikoro menjura sekali lagi di hadapan para
tetamu. Lalu orang tua yang memiliki tubuh sangat lentur
ini melompat ke kiri. Begitu kakinya menginjak lantai
panggung kembali, entah kapan dia melakukannya,
kantong anak panah tahu-tahu sudah tersandang di bahu
kanannya. Dengan sikap gagah dia cabut sebatang anak
panah sementara busur di pegang di tangan kiri. Lalu
mulailah orang tua ini menunjukkan kebolehannya,
mainkan jurus-jurus ilmu silat ciptaannya. Busur di tangan
kiri diputar-putar hingga mengeluarkan suara menderu.
Hiasan janur yang tergantung tiga tombak di atas
panggung tambah bergoyang-goyang. Di bawah panggung,
para tetamu yang duduk di deretan kursi ke satu sampai ke
tiga ikut merasakan bagaimana kerasnya sambaran angin
yang menerpa keluar dari busur itu. Sementara busur
diputar terus, tangan kanan Gandring Wikoro tidak tinggal
diam, membuat gerakan-gerakan menusuk, membabat dan
membacok. Anak panah sepanjang tiga jengkal itu seolah-
olah lenyap dari pemandangan. Yang tampak hanya
bayang-bayangan lurus disertai suara menderu. Para
hadirin bertepuk tangan menyatakan kekaguman.
Di atas panggung, Ketua Partai Blambangan itu
membuat gerakan berputar, sengaja membelakangi
deretan para tetamu. Di tangan kanannya kini terlihat ada
tiga anak panah. Suasana mendadak sontak menjadi sunyi
senyap. Semua orang memandang tak berkesip, apa yang
akan mereka saksikan, apa yang akan dilakukan oleh
Gandring Wikoro. Tiba-tiba orang tua ini balikkan tubuhnya.
Bersamaan dengan itu busur ditarik. Des… des… des! Tiga
anak panah melesat ke bawah panggung secara
bersamaan. Yang paling kanan menancap pada sosok
ayam panggang yang terletak dekat nasi tumpeng pada
meja paling depan. Anak panah kedua menancap pada
sebutir buah kelapa yang juga berada di meja terdepan.
Sedang anak panah ke tiga menancap tepat pada belahan
buah nangka yang ada di atas meja deretan kedua!
Terdengar suara menggemuruh tepuk tangan, suitan
dan pujian kagum para hadirin. Ketua Partai Bintang
Blambangan menjura berulang kali.
“Maafkan atas semua ketololanku!” Lalu dia berbalik
dan melangkah ke arah kursinya.
Baru menindak dua langkah tiba-tiba terdengar suara
tawa bergelak, disusul seruan keras, “Orang tolol bernama
Gandring Wikoro! Sebelas tahun mencarimu, akhirnya
ketemu juga! Hari ini kau meresmikan partaimu! Hari ini
pula hari kematianmu!”
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 2
EMUA orang yang ada di atas dan di bawah panggung
sama terkejut mendengar seruan itu, terlebih lagi
Gandring Wikoro selaku Ketua Partai Bintang
Blambangan yang baru saja diresmikan. Ketika satu
bayangan berkelebat ke atas panggung, semua mata serta
merta tertuju padanya.
Paras sang ketua tampak berubah ketika dia melihat
siapa adanya orang yang tegak beberapa langkah di
depannya. Orang ini adalah seorang kakek-kakek berkulit
hitam legam, mengenakan pakaian rombeng dekil dan bau.
Wajahnya cekung dan rambutnya kotor awut-awutan.
Sepasang mata Gandring Wikoro sesaat
memperhatikan kedua tangan orang di hadapannya yang
berwarna kebiru-biruan. “Dulu tangan itu biasa saja. Tidak
berwarna biru seperti itu…” berkata Gandring Wikoro dalam
hati. Lalu dia membuka mulut menegur seramah mungkin,
“Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng! Kau rupanya! Aku
turut bergembira kau datang kemari menghadiri peresmian
partaiku! Harap dimaafkan kalau penyambutan kami
kurang memuaskan hatimu!”
Orang banyak jadi terkejut ketika mendengar nama dan
alias yang diucapkan Gandring Wikoro. Sekitar tiga puluh
tahun yang lalu nama dan alias itu merupakan satu momok
yang menakutkan. Jangankan melihat orangnya,
mendengar namanya sajapun orang sudah pada
mengkerut. Pada waktu itu Suto Rawit menjadi raja diraja
rampok yang malang melintang antara perbatasan Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Bahkan anak buahnya tersebar
sampai ke Pulau Madura. Beberapa kali para penguasa
S
mengirimkan pasukan untuk menggerebek dan
menghancurkannya, namun dia selalu berhasil lolos
bahkan tak jarang pasukan yang datang menumpas tak
pernah kembali lagi, hancur ditumpas habis oleh Warok
Gajah Ireng.
Ketika bergundal rampok itu berkomplot dengan
beberapa adipati dengan rencana merebut tahta Kerajaan
Sala, Sultan tak mau bertindak ayal lagi. Raja Panah
Delapan Penjuru Angin dikirim ke sarang Warok Gajah
Ireng. Setelah dikepung selama tiga hari tiga malam
akhirnya Suto Rawit mengirim utusan untuk berunding.
Gandring Wikoro tidak bodoh. Dia tahu bahwa permintaan
berunding itu adalah tipu muslihat belaka. Maka dia
mengatakan bersedia melakukan perundingan asalkan dia
yang menentukan tempat dan saatnya serta hanya mereka
berdua saja yang boleh hadir.
Pertemuan kemudian diadakan di sebuah lembah.
Pada kedua bibir lembah, balatentara kerajaan dan
pasukan rampok menunggu hasil perundingan itu. Ternyata
Suto Rawit memang berlaku curang. Diam-diam dia sudah
mengirimkan ke lembah dua orang tangan kanannya dan
seorang tokoh silat golongan hitam yang berhasil
ditariknya. Begitu Gandring Wikoro muncul mereka
langsung menyerbu!
Sebagai seorang yang penuh pengalaman Gandring
Wikoro dengan segala kewaspadaan dan kesigapan yang
ada segera mencabut anak panah dan merentang busur.
Dua orang tangan kanan Suto Rawit langsung menemui
ajal ditancapi dua anak panah. Meskipun kemudian dia
hanya menghadapi Suto Rawit dan tokoh silat golongan
hitam itu, namun tidak mudah bagi Raja Panah Delapan
Penjuru Angin untuk menghadapi mereka. Perkelahian dua
lawan satu itu berlangsung di dasar lembah yang gelap,
sama sekali tidak diketahui oleh pasukan kedua belah
pihak.
Dalam keadaan tubuh luka-luka cukup parah, Gandring
Wikoro berhasil merobohkan si tokoh golongan hitam dan
menotok Suto Rawit. Sebelum ditangkap dan dibawa ke
kotaraja Suto Rawit masih sempat membujuk Gandring
Wikoro dengan imbalan separuh dari seluruh harta
kekayaan yang dimilikinya asal dirinya dilepaskan.
Gandring Wikoro saat itu tersenyum lalu lepaskan totokan
di tubuh sang raja rampok. Menyangka Gandring Wikoro
menyetujui bujukannya maka kesempatan ini tidak disia-
siakan Suto Rawit. Secepat kilat dia lari meninggalkan
dasar lembah. Namun baru lari sejauh sepuluh tombak,
dua anak panah melesat dalam kegelapan malam dan
menancap di betisnya kiri kanan! Suto Rawit terpekik.
Tubuhnya terguling roboh. Pasukan kerajaan kemudian
datang menangkapnya.
Suto dibawa ke kotaraja. Seharusnya orang ini langsung
dihukum mati. Tapi entah mengapa dia hanya dijatuhkan
hukuman penjara selama sepuluh tahun. Dan kini tahu-
tahu dia sudah muncul di tempat itu dengan sepasang
tangan berwarna kebiruan, tanda dia memiliki satu ilmu
baru.
Kakek berbaju rombeng sesaat angguk-anggukkan
kepalanya lalu kembali perdengarkan suara tawa
bekakakan.
“Bagus! Kau tidak lupakan diriku,” katanya. “Kau
gembira melihatku, namun sebentar lagi akan terjadi
kesedihan di tempat ini…”
“Apa maksudmu Suto Rawit?” tanya Gandring Wikoro.
“Jangan berpura-pura tidak tahu! Selama lima tahun
pertama mendekam dalam penjara aku mengalami
kelumpuhan akibat dua anak panah yang kau tancapkan
pada kedua betisku…”
“Ah… Kalau itu yang jadi persoalan ketahuilah bahwa
saat itu aku menjalankan tugas sebagai abdi kerajaan.
Sekarang kau sudah bebas, mengapa masih menyimpan
dendam kesumat?” ujar Gandring Wikoro pula.
Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng meludah ke lantai
panggung. “Dendam kesumat bukan dendam kesumat
namanya kalau tidak dibalaskan! Kau dengar kata-kataku
itu Gandring?!”
“Suto Rawit. Segala persoalan masa lalu sudah kukubur
dalam-dalam. Kita sudah pada tua bangka seperti ini,
mengapa masih meributkan masa lalu…?”
“Kau bisa mengatakan begitu, karena kau tidak
merasakan siksaan sepuluh tahun dalam penjara! Kau
tolol karena tidak membunuhku saat itu!”
“Kalau kau memang hendak membicarakan urusan
masa lampau itu, boleh-boleh saja Suto. Namun saat ini
biar kau kupersilakan makan dan minum dulu, biarkan
para tamuku pulang, setelah itu baru kita bicara!”
“Waktuku tidak lama. Aku membutuhkan hampir
sebelas tahun untuk mencari jejakmu! Dan tak perlu
menunggu sampai tamu-tamu itu pergi. Biar mereka
menyaksikan sendiri ganasnya pembalasan yang akan aku
lakukan…”
Tiba-tiba Bimo Argomulyo putera tunggal Ketua Partai
Bintang Blambangan bangkit dari kursinya dan melangkah
ke tengah panggung. “Ayah, jika kau ingin aku
melemparkan kakek budukan ini ke kaki bukit, aku akan
melakukannya sebelum mulutnya yang bau menceloteh
terlalu banyak…”
“Anak muda!” sentak Suto Rawit dengan muka hitam
membesi. “Katakan siapa kau ini!?”
“Aku Bimo Argomulyo, putera Ketua Partai Bintang
Blambangan!”
“Ooo, begitu…? Kau ternyata seorang anak yang berani.
Tidak sepengecut ayahnya!” ujar Suto Rawit lalu untuk ke
sekian kalinya dia tertawa gelak-gelak.
“Bimo… Kembali ke tempatmu. Biar aku yang
menyelesaikan urusan dengan orang gila ini…” kata
Gandring Wikoro pada anak laki-lakinya itu.
“Orang gila… Kau menyebutku orang gila! Apa kau tahu
kalau di neraka ada ribuan orang gila yang sedang bersiap-
siap menunggu kedatangan roh busukmu…? Ha… Ha…
Ha…!”
Merah padam wajah Gandring Wikoro. Ketika kakek
berbaju rombeng itu melompat menyerangnya, maka
diapun tak tinggal diam, balas menghantam. Akibatnya dua
tangan saling beradu keras. Suto Rawit alias Warok Gajah
Ireng terhuyung-huyung tiga langkah. Wajahnya biasa-biasa
saja. Sebaliknya Ketua Partai Bintang Blambangan
terpental satu tombak lalu jatuh terduduk. Mukanya
mengerenyit kemerahan. Ketika dia mencoba bangkit
kelihatan lengannya yang tadi beradu dengan lengan lawan
menjadi biru.
Satu bayangan melesat ke atas panggung. “Ketua, kau
keracunan! Lekas telan obat ini!” kata orang yang barusan
melompat ke atas panggung. Lalu sang ketua merasakan
sebuah benda dimasukkan ke dalam genggamannya.
Ketika melihat siapa yang memberi dan menyadari
memang ada kelainan dengan lengan serta aliran darah
dan detak jantungnya, Gandring Wikoro cepat telan obat
yang diberikan lalu atur jalan darahnya.
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 3
RANG yang memberikan obat kepada Ketua Partai
Bintang Blambangan ternyata memiliki kulit yang tak
kalah hitamnya dengan Warok Gajah Ireng alias Suto
Rawit. Dia mengenakan baju putih yang terbuat dari kain
sangat kasar dan gombrang dua kali melebihi besar
tubuhnya. Di punggungnya dia menyandang sebuah tabung
bambu yang memiliki dua buah tutup tanda tabung itu
mempunyai dua ruangan. Ruangan pertama dari mana tadi
dia mengeluarkan obat adalah Tabung Segala Macam
Obat. Sedang bagian tabung yang satunya disebut Tabung
Segala Macam Racun! Siapakah adanya manusia berbaju
gombrang yang telah menolong Ketua Partai Bintang
Blambangan itu?
Dalam kalangan Keraton Sala dia dikenal sebagai juru
obat. Dengan bekal puluhan butir obat yang selalu
dibawanya ke mana-mana, dia sanggup menyembuhkan
berbagai macam penyakit. Namun orang ini sekaligus juga
dikenal sebagai tukang racun. Manusia atau binatang
kalau sempat termakan racunnya, jangan harap bisa hidup
dari seratus hitungan. Jangan pula diharap ada yang bakal
bisa menyembuhkan kecuali dia. Dan racun-racun ganas
itu selalu dibawanya ke mana-mana dalam tabung bambu
di sebelah tempat dia menyimpan butir-butir obat!
“Jembar Keling!” Suto Rawit yang rupanya mengenali
siapa adanya orang itu menyebut namanya dengan suara
keras. “Sebagai tetamu, lancang amat kau mencampuri
urusanku dengan tuan rumah…”
Si baju gombrang yang bernama Jembar Keling cibirkan
bibir dan menyahuti, “Aku masih bisa bangga karena
O
merupakan tamu yang diundang. Kau sendiri muncul di sini
siapa yang mengundang? Jin gunung atau setan hutan?
Sudah muncul jangan kira semua orang di sini senang
melihat tampangmu! Sepuluh tahun dijebloskan dalam
penjara rupanya tidak membuatmu kapok! Lekas turun dari
panggung. Jangan ganggu sahabatku. Minggat dari tempat
ini. Atau kau mau kusuguhi racun…?!”
“Mulutmu pandai juga bicara! Tapi cukup cuma sampai
hari ini! Selanjutnya kau bisa menyambung bicara di liang
kubur!” Habis berkata begitu Warok Gajah Ireng langsung
menyerang Jembar Keling. Dua manusia hitam itupun
saling baku hantam.
“Kau menyerang, aku bertahan!” si hitam yang diserang
berseru. Kedua tangannya diangkat ke atas. Begitu dua
tangan itu menyembul keluar dari lengan baju yang
gombrong kelihatanlah kuku-kuku jarinya yang hitam dan
panjang runcing!
Suto Rawit terkesiap juga melihat keangkeran sepuluh
jari tangan lawan. Dia sudah tahu betul kehebatan dan
keganasan kuku-kuku maut itu. Namun penuh percaya diri
dia teruskan serangannya. Dirinya sepuluh tahun silam
tidak sama dengan yang sekarang. Ketika lawan membuat
gerakan mencakar ke arah kedua tangannya, Suto Rawit
sengaja pentang lengannya kiri kanan yang berwarna biru.
Sepuluh kuku hitam beracun menyambar. Tapi kuku-kuku
itu seperti mencakar di atas batu yang sangat licin.
Jangankan bisa mencengkeram, mengguratnya sajapun
tidak mampu!
Penasaran dan tidak percaya, Jembar Keling kembali
mencengkeram sambil kerahkan tenaga dalam. Tapi saat
itu lawannya tak mau memberi kesempatan lagi. Dengan
satu gerakan aneh Suto Rawit menghantam.
Bukkk!
Tubuh Jembar Keling terlipat ketika jotosan Suto Rawit
mendarat di perutnya. Bagian perut itu langsung menjadi
biru tanda racun di lengan lawan sudah mendekam di
tubuhnya. Tapi Jembar Keling tidak merasa khawatr. Obat
penawar yang memang sudah disiapkannya segera
ditelannya. Tiga butir sekaligus!
“Racunku tak bakal membuat mampus bangsat satu
ini!” memaki Suto Rawit. “Berarti kepalanya harus
kupecahkan atau kubetot lepas jantungnya!” Setelah
membatin begitu, Suto Rawit keluarkan satu pekik keras
yang membuat sakit telinga. Tubuhnya berkelebat lenyap
berubah jadi bayang-bayang. Bau badan dan pakaiannya
yang busuk menyebar di seantero panggung. Jembar Keling
berkelebat kian kemari. Tangan kanannya menyambar di
sebelah depan menyebar serangan, sedang tangan kiri
menyambar di belakang tangan kanan sebagai tameng jika
sewaktu-waktu ada serangan lawan yang masuk.
Dua manusia sama-sama hitam ini berkelahi ganas dan
mati-matian. Jurus demi jurus berlalu sangat cepat. Pada
jurus ke sembilan, Suto Rawit kembali membuat gerakan
aneh. Tubuhnya seperti mengapung ke atas. Bagian perut
dan dadanya sama sekali tidak terlindung. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Jembar Keling untuk menyerbu sasaran
yang terbuka itu.
“Jebol perutmu! Ambrol ususmu!” teriak Jembar Keling.
Praakk!
Suara Jembar Keling tak terdengar lagi. Tanpa jeritan
ataupun erangan, tubuhnya terbanting ke lantai panggung.
Kepalanya rengkah. Darah dan cairan otak menggenangi
lantai. Si hitam satu ini telah berubah menjadi mayat
membiru begitu cepatnya! Kematiannya disaksikan dengan
pandangan mata menyatakan kengerian dari semua orang.
Jembar Keling bukan seorang yang berkepandaian rendah.
Namun jika lawan bisa membereskannya di bawah sepuluh
jurus berarti ilmu kepandaian bekas kepala rampok itu
berada pada tingkat yang sungguh sangat tinggi.
Suasana di tempat itu untuk beberapa lamanya
menjadi sunyi sepi dan kemudian dipecahkan oleh suara
Suto Rawit.
“Ada lagi di antara para tetamu yang hendak coba-coba
berbakti menyelamatkan ketua partai baru ini…?!”
Tak ada yang menjawab.
Saat itu sang ketua sudah duduk kembali di tempatnya
di atas panggung tinggi.
“Kami yang akan menyelamatkan Ketua Partai dan
melempar mayatmu ke bawah bukit!” Satu suara
mengumandang tapi ada dua orang yang bergerak maju
mendekati Suto Rawit. Ternyata mereka adalah dua orang
pemuda yang bukan lain Bimo Argomulyo, putera sang
ketua, serta Sarwo Bayu saudara sepupu Bimo.
Melihat dua pemuda itu bergerak, Gandring Wikoro
segera bangkit dari kursinya.
“Aku tidak mengizinkan kalian bertindak! Aku yang akan
menyelesaikan semua urusan dengan pembunuh ini.
Singkirkan dan urus jenazah sahabatku Jembar Keling.”
Walaupun hati dan darah muda mereka meradang,
namun Bimo serta Sarwo harus taati perintah sang ketua.
Mereka menggotong jenazah Jembar Keling. Di ujung
panggung beberapa anak murid partai lalu mengambil alih
jenazah itu.
Untuk kedua kalinya Ketua Partai Bintang Blambangan
saling berhadap-hadapan dengan Warok Gajah Ireng alias
Suto Rawit.
“Kali ini kau tak bakal lolos dari kematian, Gandring
Wikoro. Kau dengar itu… Jika kau punya senjata
keluarkanlah. Bukankah kau jagoan memanah? Mana
busur dan panahmu…?”
Mendengar ucapan itu, walau di luar wajahnya tampak
tenang namun di dalam hatinya jadi panas juga. “Apa
maumu akan kulayani Suto Rawit. Aku merasa tak perlu
sungkan-sungkan terhadap rampok tua yang masih haus
darah macammu ini!”
Lalu Ketua Partai Bintang Blambangan itu mengangkat
tangan kiri memberi tanda. Seorang anak murid partai
segera berlari mendatangi sambil membawa sebuah busur
dan sebatang anak panah. Di lain saat dua orang itu sudah
berhadap-hadapan satu sama lain.
“Keluarkan senjatamu! Mari kita berkelahi sampai
salah satu dari kita menemui kematian!”
Suto Rawit tertawa sinis mendengar kata-kata Ketua
Partai Bintang Blambangan itu lalu sambil mengangkat
kedua tangannya ke atas dia berkata, “Senjataku hanya
sepasang tangan berwarna biru ini! Kau tak perlu banyak
bicara. Silakan menyerang duluan!”
Gandring Wikoro kertakkan rahang. Busur di tangan
kirinya tiba-tiba lenyap, berubah seperti menjadi sebuah
kitiran, menderu dengan deras. Suto Rawit merasakan
seperti ada jarum-jarum kecil yang menembusi kulitnya
ketika sambaran busur itu menerpa tubuhnya. Dengan
cepat orang ini melompat menjauhi namun dia sempat
keluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba sosok tubuh lawan
entah bagaimana sudah berkelebat dari samping sambil
menghunjamkan anak panah di tangan kanan ke arah
batang leher Suto Rawit.
“Serangan hebat!” memuji Suto Rawit namun setelah
itu dia mengejek, “Ilmu silat rendahan ini tak ada gunanya
bagiku Gandring! Lihat…!”
Begitu seruan Suto Rawit berakhir, Gandring Wikoro
merasakan ada satu gelombang angin melandanya hingga
dia terjajar ke belakang. Cepat Ketua Partai ini babatkan
busurnya. Serentak dengan itu tangan kanan yang
memegang panah mencuat kian kemari, mengarah bagian-
bagian yang berbahaya dari tubuh Suto Rawit.
Bekas kepala rampok besar itu hanya sunggingkan
senyum. Malah keluarkan suara mendengus. Dua
tangannya dipalangkan ke depan.
Begitu busur di tangan kiri Gandring Wikoro
menyambar, terdengar suara kraak! Ketua Partai Bintang
Blambangan itu berseru kaget. Dia batalkan maksud
menusuk dengan anak panah di tangan kanannya dan teliti
busur di tangan kiri. Ternyata busur itu telah patah sewaktu
menghantam lengan lawan yang berwarna biru!
Marahlah Gandring Wikoro. Busur yang dijadikannya
senjata itu bukan saja patah tapi tangan kirinyapun terasa
mendenyut sakit.
“Kurang ajar! Kau patahkan busurku! Berarti akan
kupatahkan batang lehermu!” teriak Gandring Wikoro
marah sekali. Didahului oleh suara menggereng orang ini
kembali menyerbu. Anak panah di tangan kanannya
berkelebat kian kemari. Tubuhnya sendiri hanya tinggal
merupakan bayang-bayang. Sang ketua melakukan
gempuran dengan jurus-jurus silat simpanannya. Dalam
waktu singkat Suto Rawit kena didesak hebat. Bekas
kepala rampok ini berusaha menggebuk lawan dan senjata
anak panah itu. Namun gerakan Gandring Wikoro cepat
dan penuh tak terduga. Selain itu Gandring Wikoro selalu
berjaga-jaga agar jangan ada bagian tubuh ataupun anak
panahnya sampai beradu dengan salah satu lengah yang
sangat berbahaya itu.
Karena terdesak terus, Suto Rawit menjadi naik darah.
Dia segera merubah gerakan-gerakan ilmu silatnya.
Gerakan ilmu silat orang ini ternyata memang aneh dan
membuat Gandring Wikoro semakin lama semakin sulit
melancarkan serangan-serangan baru. Pada puncak
kesulitannya dia merasakan tangan kanannya pedas.
Ketika dia meneliti ternyata anak panah yang dijadikannya
senjata telah tercabut lepas dari genggamannya. Dan
telapak tangannya tampak lecet! Senjatanya kini berada di
tangan lawan!
Berusaha memperhatikan diri sendiri tanpa menjauhi
lawan adalah satu kesalahan besar yang sebenarnya tidak
mungkin dapat dilakukan oleh seorang tokoh silat kawakan
seperti Gandring Wikoro alias Raja Panah Delapan Penjuru
Angin itu! Namun justru itulah yang terjadi. Selagi Ketua
Partai Bintang Blambangan ini lengah, anak panah miliknya
sendiri menghujam deras di lehernya. Gandring Wikoro
mengeluarkan suara seperti orang tercekik. Belasan mulut
keluarkan seruan tertahan. Tak percaya akan apa yang
mereka saksikan. Senjata makan tuan!
Ketika Suto Rawit melepaskan ekor anak panah yang
dipegangnya, tubuh Gandring Wikoro pun roboh ke
panggung, kelojotan sebentar lalu diam tak berkutik lagi!
Belasan orang berlompatan dari panggung tinggi. Paling
depan adalah Bimo dan Sarwo, lalu istri Gandring Wikoro,
diikuti oleh anggota dan anak murid Partai!
Di bawah panggung puluhan tetamu sampai tersentak
berdiri menyaksikan kematian Ketua Partai yang sangat
cepat dan tak terduga. Tapi sang dara jelita berpakaian
berbunga-bunga tampak tetap duduk di kursinya seolah-
olah tidak ada kejadian apa-apa. Sikapnya biasa-biasa
saja, wajahnya dingin.
“Manusia keparat! Kucincang tubuhmu!” teriak Bimo
Argomulyo lalu cabut sebilah pedang putih dari belakang
punggungnya. Lain halnya dengan Sarwo Bayu. Pemuda
satu ini, setelah menyadari bahwa Gandring Wikoro tak
bernyawa lagi, dengan darah mendidih dia sudah langsung
menyerbu Suto Rawit!
“Anak-anak muda! Aku hargai keberanian kalian! Tapi
jika mau mendengar nasihatku, kalian akan selamat. Lekas
minggat dari hadapanku!”
“Keparat! Rohmu yang akan kubikin minggat!” teriak
Bimo. Lalu menyusul adik sepupunya dia pun melompat ke
dalam kalangan pertempuran.
“Tahan dulu! Dengar ucapanku!” Suto Rawit berteriak
keras. Pengaruh teriakan dahsyat yang disertai tenaga
dalam itu sesaat membuat Bimo dan Sarwo Bayu hentikan
gerakan.
“Mulai saat ini jabatan Ketua Partai Bintang
Blambangan aku ambil alih! Semua anak murid partai
termasuk kalian berdua harus taat perintah! Mundur!”
“Manusia keparat!”
“Bangsat terkutuk!”
Siapa yang mau mendengar ucapan Warok Gajah Ireng
itu. Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu kembali menyerbu.
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 4
AROK Gajah Ireng tertawa mengekeh. Matanya
yang cekung berputar liar. Bimo Aryo dengan
pedang putih di tangan berada di depan sebelah
kanan. Sarwo Bayu di sebelah kiri, tampaknya pemuda ini
akan mengandalkan tangan kosong, namun kemudian
sang warok melihat Bayu menyelinapkan tangan ke balik
pakaian dan kini tampak dia menggenggam sebatang anak
panah berwarna putih berkilat, terbuat dari baja putih.
Anak panah ini berbentuk aneh. Selain ukurannya lebih
besar, di bagian kepala memiliki tiga kepala sekaligus.
Berarti jika sampai senjata itu menancap di sasaran, tidak
mungkin mencabutnya tanpa sasaran mengalami
kehancuran total!
Selain Bimo dan Sarwo, panggung ternyata telah
dikurung oleh lebih dari dua puluh anak murid dan anggota
partai.
“Jadi begini rupanya sifat orang-orang Bintang
Blambangan! Mengandalkan pengeroyokan di sarang
sendiri!” terdengar sang warok alias Suto Rawit keluarkan
kata-kata ejekan.
“Manusia jahanam sepertimu memang pantas
dikeroyok dan dicincang!” menyahuti Bimo Argomulyo. Dia
memberi isyarat pada sepupunya, juga pada murid-murid
partai. Serentak dengan itu dua puluh pengurung
merangsak maju sambil loloskan senjata mereka yakni
busur di tangan kiri dan anak panah di tangan kanan!
Di bawah panggung para tetamu banyak yang menarik
nafas menyesalkan apa yang terjadi. Tetapi sebagian besar
merasa memang manusia seperti Warok Gajah Ireng harus
W
disingkirkan dari muka bumi untuk selama-lamanya. Lain
halnya dengan dara berbaju kembang-kembang. Dalam
hatinya dia membatin, “Ilmu silat busur dan panah
memang bukan sembarangan. Apalagi dua pemuda itu
akan bertempur berbarengan. Tapi… rasanya mereka akan
mengalami malapetaka. Suto Rawit tetap bukan tandingan
mereka. Aku harus mencegah.”
Bimo Argomulyo tiba-tiba keluarkan teriakan keras,
inilah tanda terakhir. Semua orang menyerbu ke arah Suto
Rawit.
Pada saat itulah melesat satu bayangan ke atas
panggung. Angin sangat deras menyambar. Suto Rawit
merasakan kedua kakinya menjadi goyah dan tubuhnya
terhuyung-huyung. Rambutnya yang panjang awut-awutan
berkibar-kibar. Bimo dan Sarwo merasakan hal yang sama,
malah kedua pemuda itu terjajar sampai tiga langkah. Dua
puluh anak murid partai banyak yang roboh berpelantingan
sampai ke bawah panggung. Apakah yang terjadi?
Di saat ketika angin menyambar terdengar suara orang
berseru, “Semua orang Partai Bintang Blambangan harap
mundur! Biar aku yang mewakili kalian membalaskan sakit
hati kematian Ketua Partai!”
Tentu saja semua kejadian ini membuat orang terkejut.
Dan jadi tercengang tak percaya ketika mengetahui bahwa
yang melakukan hal itu adalah sang dara jelita berpakaian
warna-warni yang tadi duduk di antara para tetamu pada
deretan kursi ke tiga. Masih begitu muda tapi memiliki
hawa tenaga dalam yang sanggup membuat para jago di
atas panggung sempoyongan!
Bimo Argomulyo dan Sarwo hendak mendamprat marah
karena ada yang berani mencampuri urusan balas dendam
mereka. Namun dua pemuda ini jadi terkesima ketika
melihat yang tegak di atas panggung saat itu bukan lain
adalah gadis cantik yang sejak sebelumnya sudah
membuat mereka kagum.
“Saudari… Kami menghargai kegagahanmu. Namun
biarlah kami orang-orang partai menyelesaikan urusan ini.
Terima kasih…”
“Betul saudari, sebaiknya kau kembali ke tempat
dudukmu di antara para tamu,” menyambung Sarwo Bayu
atas kata-kata Bimo tadi.
Sang dara gelengkan kepala dan tersenyum.
“Si baju rombeng bau yang tegak di depan kalian ini
bukan manusia. Tapi iblis laknat yang harus cepat-cepat
disingkirkan. Dia bukan lawan kalian. Jangan mengira aku
sombong. Tapi hanya aku yang memiliki senjata untuk
dapat menumpasnya!”
Habis berkata begitu sang dara layangkan
pandangannya. Meskipun sepasang mata itu bening bagus,
tapi ada satu kekuatan aneh yang membuat semua orang
Partai Bintang Blambangan menjadi terhening dan ketika
Bimo Argomulyo melangkah mundur, adik sepupunya pun
mengikuti. Kepada para murid partai Bimo memberi isyarat
agar tetap melakukan pengepungan di empat sudut
panggung.
“Anak manis yang masih bau kencur! Apa sangkut
pautmu dengan orang-orang Bintang Blambangan hingga
mau-mauan turun tangan mencampuri urusan?!” Warok
Gajah Ireng alias Suto Rawit menegur. Kedua matanya
yang cekung memandang tak berkesip pada wajah cantik
dan tubuh padat mulus itu.
Yang ditanya menyeringai penuh ejek. “Usia hampir
seabad. Badan sudah bau tanah! Hidup masih saja
mengumbar kejahatan!”
“Aku tidak minta keterangan atas diriku sendiri, gadis
centil! Aku tahu, jangan-jangan salah satu dari dua pemuda
itu adalah kekasihmu! Ah sungguh beruntung dirinya.
Mengapa bukan aku yang kau jadikan kekasih…? Sehari
pun aku kau jadikan kekasih bagiku sudah luar biasa…!”
Suto Rawit lalu tertawa mengekeh.
“Ternyata mulutmu sebusuk dan sekotor hatimu! Kau
akan menerima kematian dalam tiga jurus!”
Suto Rawit yang menganggap enteng sang dara kembali
tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya berhenti dan tubuhnya
berkelebat. Kedua tangannya melesat ke depan. Satu
berusaha menotok urat besar di leher sang dara, yang
satunya lagi secara kurang ajar diulurkan sengaja untuk
menjamah payudara gadis itu.
“Jurus pertama!” teriak si gadis berbaju kembang
warna-warni. Tubuhnya dimiringkan ke kiri. Dua tangan
lawan hanya mencapai tempat kosong. Di saat itu kaki
kanan si gadis terangkat ke atas, membabat ke arah perut
Suto Rawit. Terkejutlah bekas raja diraja rampok ini. Kalau
tidak lekas dia melompat ke belakang, pasti perutnya
sudah kena hantam tendangan si gadis! Kini dia tidak mau
menganggap rendah lagi. Dengan pelipis bergerak-gerak
tanda amarahnya mulai mendidih, Suto Rawit maju dua
langkah. Kedua lututnya tiba-tiba menekuk, tubuhnya
setengah merunduk. Tenaga dalam terpusat di tangan
kanan. Dan ketika tangan kanan ini melepaskan satu
pukulan sakti, tampak sinar biru menderu, menyambar ke
arah sang dara.
“Jurus kedua!” seru sang dara. Tangannya menyelinap
ke balik pakaian. Sinar merah seperti besi membara
mencuat di udara.
Bummm!
Sinar biru warna pukulan sakti Suto Rawit terpental ke
udara lalu lenyap pupus meninggalkan asap meliuk-liuk.
Suto Rawit tercampak ke belakang. Untung dia bersikap
waspada hingga tak sampai jatuh duduk atau terbanting
punggung ke lantai panggung. Namun wajahnya jelas
pucat. Keningnya tampak mengerenyit ketika dia coba
luruskan badan. Matanya berkilat-kilat memandang pada
sebuah senjata berbentuk tombak kecil, berwarna sangat
merah laksana habis diganggang di atas api!
“Dewi Tombak Api!” terdengar seseorang berseru di
bawah panggung. Rupanya ada yang mengenali siapa
adanya sang dara.
Sementara itu Suto Rawit yang tak pernah mendengar
nama atau gelar gadis berbaju kembang-kembang di
hadapannya itu berteriak marah. “Dewi atau iblis! Kau
akan menemui ajal dengan tubuh tercerai berai!” Lalu dia
angkat kedua tangannya. Sepasang lengan sampai ke kuku
dan ujung jari memancarkan warna biru pekat, itu pertanda
bahwa orang ini tengah mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya yang ada. Lalu dengan keluarkan suara meraung
seperti srigala, Suto Rawit melompat. Lima jari tangannya
kiri kanan menjentik. Sepuluh larik sinar biru yang
mengerikan dan menebar bau busuk angker berkiblat,
menderu ke arah sepuluh sasaran di tubuh sang dara.
Semua orang yang menyaksikan itu keluarkan seruan
tertahan. Sepuluh bagian tubuh terserang pukulan beracun
yang mematikan. Betapapun hebatnya gadis itu, tak
mungkin dia akan mampu mengelak atau menghindarkan
diri dari serangan maut yang dilepas Suto Rawit!
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 5
ELAGI semua orang menahan nafas, sang dara justru
tampak tenang-tenang saja. Dan apa yang terjadi
kemudian sungguh membuat semua orang
membeliak. Begitu sepuluh larik sinar maut berwarna biru
menerpa ke arahnya, sang dara yang dipanggil dengan
gelar Dewi Tombak Api berseru keras, “Jurus ke tiga!” Lalu
gadis ini membuat gerakan mengemplang dengan
tombaknya yang seperti menyala itu.
Pada saat tombak menggebrak, terdengar suara wuuss!
Dan sebuah lidah api yang lebar dan panjang menjilat ke
depan. Sepuluh larik sinar biru langsung ambalas ditelan
lidah api itu.
Di lain kejap terdengar jerit Suto Rawit. Dan semua
orang yang berada di tempat itu sama menyaksikan
bagaimana lidah api yang keluar dari tombak membara di
tangan sang dara membuntal tubuh Suto Rawit hingga
orang ini berteriak-teriak kalang kabut, melompat turun ke
bawah panggung sambil berusaha memadamkan api yang
membakar sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke
kaki. Bekas kepala rampok ini coba bergulingan di tanah.
Sia-sia saja. Kobaran api membuat tubuhnya laksana
kambing panggang, menebar sangitnya bau daging
terbakar. Dia tersungkur di samping deretan meja tamu ke
empat, menggeliat-geliat beberapa ketika. Suara jeritannya
makin lama makin perlahan. Akhirnya nyawanyapun lepas
tak tertolong lagi!
Di atas panggung Dewi Tombak Api nampak tegak tak
bergerak. Wajahnya kelihatan memucat putih, dadanya
turun naik. Pandangan matanya aneh. Lalu semua orang
S
menyaksikan bagaimana tubuh itu menggigil beberapa
ketika. Sewaktu gigilan berhenti si gadis melemparkan
pandangan aneh pada Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
Pada saat itu dua pemuda ini justru melangkah
mendatangi dan menjura di hadapannya.
“Saudari, siapa pun kau adanya kami menghaturkan
terima kasih karena kau telah membalaskan sakit hati
kematian ayah kami. Lebih dari itu kami orang-orang Partai
Bintang Blambangan telah kau selamatkan dari
kehancuran… Kami mengundangmu untuk duduk di antara
keluarga partai sebagai tamu kehormatan yang telah
berjasa besar!”
Saat itu semua orang kembali memperhatikan
bagaimana sang dara tubuhnya tampak seperti menggigil,
pandangan matanya memberingas sedang wajahnya
kelihatan seperti tak berdarah. Lalu perlahan-lahan wajah
itu menjadi kemerahan.
“Saudari… ada apa? Apakah kau mendadak sakit…?”
tanya Bimo Argomulyo ketika melihat sang dara seperti
menggigil kedinginan dan wajahnya memucat.
“Aku tak apa-apa. Harap kalian memaafkan. Aku tak
bisa duduk di antara keluarga partai. Aku harus pergi
sekarang juga dan kalian berdua harus ikut bersamaku!”
Tentu saja ucapan sang dara mengejutkan semua
orang, terutama Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
“Saudari, maksudmu bagaimana?” tanya Bimo
Argumulyo.
Sementara Sarwo Bayu untuk pertama kalinya sadar
bahwa jenazah ayah angkatnya yaitu Ketua Partai Bintang
Blambangan masih menggeletak di ujung panggung. Dia
cepat bertindak, melangkah ke arah jenazah, namun
langkahnya tertahan ketika dia mendengar ucapan terakhir
dara yang barusan membakar mati Suto Rawit dengan
tombak apinya. Dia berpaling pada si gadis dan pandangan
mereka saling bertemu.
“Saudari, kami harus ikut bersamamu katamu…?” tanya
Sarwo Bayu. Saat itu dia merasakan ada getaran aneh
memancar dari kedua mata Dewi Tombak Api yang masuk
menembus kedua matanya sendiri lalu menggeletari jalan
darah di sekujur tubuhnya. Dia melangkah mendekati
kakak sepupunya dan berbisik, “Kangmas Bimo,
perasaanku mendadak aneh. Aku merasa seperti ingin ikut
saja dengan gadis ini…”
“Ada yang tidak beres adikku. Hati-hati. Jangan
pandang kedua matanya…”
Tapi terlambat. Saat itu apa yang dialami Sarwo Bayu
juga mulai dirasakan oleh Bimo Argomulyo. Dua pemuda ini
memandang lekat-lekat pada sang dara seolah-olah
dipantek. Mereka melihat dara itu menganggukkan
kepalanya lalu berkelebat turun dari panggung dan lari ke
arah timur. Bimo dan Sarwo sesaat saling pandang lalu
tidak terduga, keduanyapun melompat dari atas panggung,
berlari ke jurusan timur menyusul Dewi Tombak Api.
“Bimo! Sarwo! Kalian mau ke mana? Kembali…!”
berteriak istri Ketua Partai Bintang Blambangan.
Tapi kedua pemuda itu telah lenyap di lereng bukit
sebelah timur. Kembali tempat itu dilanda kegegeran. Kali
ini kegegeran yang disertai tanda tanya tak terjawab. Apa
sebenarnya yang terjadi? Para tetamu kemudian ingat
pada orang yang tadi berseru menyebut nama atau gelar
dara jelita itu. Mereka mencari-cari. Orang itu ditemui.
Tetapi astaga! Dia sudah menjadi mayat dengan leher
membiru seperti dicekik!
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 6
ARI dalam rumah yang terletak di lembah sunyi itu
terdengar suara erangan-erangan halus di antara
deru nafas yang memburu dan sesekali ditingkah
oleh suara tawa gelak perempuan. “Kalian berdua memiliki
tubuh kuat, masih muda-muda tapi tak dapat
mengalahkanku! Hik… hik… hik…” terdengar suara
perempuan berkata lalu disusul suara kecupan beberapa
kali.
“Terus terang kami tidak pernah berbuat begini
sebelumnya…” Ada suara lelaki menjawab.
“Betul. Baru sekali ini kami melakukan. Belum
berpengalaman…” Satu suara lelaki lagi menimpali.
Lalu kembali terdengar suara tawa perempuan. “Kalau
begitu kalian harus kuajari ini-itu… Hik… hik…” Lalu
terdengar lagi beberapa kali suara kecupan dan ranjang
yang berderik-derik.
Tapi tiba-tiba terdengar si perempuan berbisik, “Ada
orang mengintai di atas atap…” Lalu perempuan itu
membentak, “Manusia minta mati! Berani mengintip
urusan orang!”
Satu gelombang angin menderu. Atap rumah yang
terbuat dari papan kayu besi hancur jebol berantakan.
Bersamaan dengan itu terdengar pekikan kecil disertai
berkelebatnya satu bayangan biru, melompat dari atas
atap, turun ke tanah di halaman kiri rumah.
Di dalam rumah, perempuan yang tadi membentak dan
melancarkan pukulan tangan kosong yang dahsyat cepat
menyambar pakaiannya sambil memberi isyarat pada dua
orang pemuda yang ada di atas ranjang agar cepat-cepat
D
mengenakan pakaian. Begitu selesai berpakaian
perempuan itu menghambur ke pintu, melesat ke luar
rumah diikuti dua pemuda yang bukan lain adalah Bimo
Argomulyo dan Sarwo Bayu.
“Hah! Lagi-lagi kau rupanya”! membentak perempuan
yang keluar dari dalam rumah, “kali ini jangan harap aku
memberi ampunan padamu Simanti!”
“Kakak Sumitri. Apakah kau tidak mau insaf dan
bertobat? Jika kau mau kembali menghadap guru dan
menyerahkan senjata pangkal bahala itu maka kau dan
kita semua akan hidup tenteram…”
“Hidup tenteram… Aku tak percaya kata-kata itu. Aku
juga tak percaya kalau Tombak Api milikku merupakan
senjata pangkal bahala dalam kehidupanku! Guru
menginginkan senjata mustika itu untuk kepentingannya
sendiri karena dia memang suka mengumpulkan senjata
antik dan sakti…”
“Kakak Sumitri, percayalah. Bukan itu tujuan guru.
Selama kau memiliki senjata itu dirimu akan selalu berada
di bawah pengaruh nafsu bejat! Apakah kau tidak juga
mengerti… Apakah kau tidak sadar apa yang barusan kau
lakukan bersama dua pemuda dari Partai Bintang
Blambangan itu…?”
“Apa yang kulakukan tidak ada sangkut pautnya
dengan Tombak Api…!”
“Apa yang kami lakukan adalah atas dasar suka sama
suka…!” tiba-tiba menyeletuk Bimo Argomulyo.
Gadis bernama Simanti, seorang dara berparas tak
kalah jelita dengan Sumitri alias Dewi Tombak Api
berpaling pada Bimo Argomulyo dan berkata sinis,
“Sebagai manusia biasa aku tidak menyalahkan kalau kau
dan saudaramu itu sampai tergoda. Tapi sebagai tokoh
partai dan seorang pendekar sungguh memalukan kalau
kalian berdua sampai ikut-ikutan sesat… Apa kalian tidak
sadar telah jadi budak nafsu Dewi Tombak Api?!”
“Simanti! Jaga mulutmu! Lekas pergi dari sini selagi aku
masih mau memandangmu sebagai adik…” Dewi Tombak
Api membentak.
“Tidak kakak Sumitri. Sekali ini apapun yang terjadi aku
harus membawamu pulang menghadap guru…”
“Hemm… begitu…? Kepandaian apa yang kau miliki
hingga berani bicara sesombong itu?!”
“Dewi… Jika kau memang tak suka si lancang ini berada
lebih lama dari sini biar aku yang memberi pelajaran
padanya…” berkata Bimo Argomulyo.
“Terima kasih kalau kau memang ingin bertindak.
Hanya saja kuharap kau maju bersama saudaramu itu…”
jawab Dewi Tombak Api pula karena dia sudah bisa
menjajagi, seorang diri Bimo Argomulyo tak akan sanggup
menghadapi Simanti yang memiliki kepandaian hanya satu
tingkat saja darinya.
“Kalau Dewi berkata begitu, biar kami berdua berebut
pahala untuk mengusirnya!” kata Sarwo Bayu pula. Lalu dia
menganggukkan kepala ke arah Bimo Argomulyo. Kedua
orang ini serentak menggebrak ke arah dara berbaju biru.
Bimo berusaha merangkul pinggang sang dara sedang
Bayu coba menangkap kedua tangannya untuk diringkus.
Tepat seperti dugaan Dewi Tombak Api ternyata tidak
semudah itu untuk meringkus Simanti. Begitu dua pemuda
bergerak, dia sudah lebih dahulu memapaki. Tangannya
kiri kanan dihantamkan ke depan. Dua angin deras
menderu membuat dua pemuda terkejut lalu sama
menyingkir ke samping dan dari samping kembali
menyerbu.
Bukk!
Dukk!
Empat lengan saling beradu keras hingga
mengeluarkan suara bergedebukan. Simanti terpental tiga
langkah dan jatuh duduk di tanah. Sebaliknya Bimo
Argomulyo dan Sarwo Bayu jatuh terguling-guling. Ketika
mencoba bangkit jelas wajah keduanya kelihatan
mengerenyit sakit dan pucat sedang lengan kanan masing-
masing tampak bengkak membiru!
Dua pemuda itu tidak mengira mereka bisa
dipecundangi begitu rupa. Keduanya yang kini dipengaruhi
oleh amarah segera mengurung Simanti.
Sarwo Bayu sempat ajukan pertanyaan. “Dewi Tombak
Api, apakah kau perkenankan kami membunuh saja gadis
pengacau ini?!”
“Lakukan apa yang kalian suka terhadapnya!” jawab
Sumitri atau Dewi Tombak Api.
Maka dari balik pakaiannya Sarwo Bayu keluarkan dua
buah anak panah yang terbuat dari baja putih. Yang satu
dilemparkannya pada Bimo Argomulyo. Lalu tanpa banyak
bicara lagi dua pemuda itu langsung menyerbu Simanti.
Dua anak panah berkiblat mengeluarkan suara menderu
dan cahaya berkilauan.
Seperti diketahui, Bimo Argomulyo memiliki ilmu silat
tangan kosong yang tinggi. Dengan memegang senjata
berupa anak panah seperti itu gerakan-gerakannya benar-
benar berbahaya. Di lain pihak Sarwo Bayu sudah
mendalami ilmu silat panah dan busur yang diwarisinya
dari almarhum Ketua Partai Bintang Blambangan. Maka
dalam waktu sekejapan saja Simanti telah menjadi bulan-
bulanan serangan kedua pemuda itu.
Menyerang terus menerus selama lima jurus tanpa
hasil membuat Bimo dan Sarwo menjadi meradang.
Keduanya percepat gerakan masing-masing, keluarkan
jurus-jurus penuh tipuan. Namun lagi-lagi lima jurus berlalu
tanpa mereka mampu menyentuh tubuh atau pakaian
Simanti.
“Ah, anak itu maju jauh sekali tingkat kepandaiannya
dari satu tahun lalu. Pasti guru telah membekalinya dengan
jurus-jurus silat khusus…” Meskipun menyadari kehebatan
ilmu silat adik seperguruannya itu namun Dewi Tombak Api
tidak merasa jerih.
“Pemuda-pemuda sesat jaga perut kalian!” terdengar
Simanti berseru. Lalu dua tangannya membagi serangan
berupa jotosan kuat ke arah perut Bimo dan Sarwo.
Terpengaruh oleh ucapan lawan serta terjebak oleh apa
yang mereka saksikan, dua pemuda Partai Bintang
Blambangan itu sapukan panah masing-masing ke arah
perut untuk menangkis sekaligus menghantam tangan
lawan. Tapi justru di kejap itu pula dua tangan sang dara
yang tadi menjotos ke arah perut tiba-tiba kini melesat ke
atas. Jari tengah dan jari telunjuk lurus membaja ke arah
pangkal leher Bimo serta Sarwo.
Tuk… tuk…!
Dua pemuda itu merasakan tubuh mereka menjadi
kaku tegang, tak bisa bergerak lagi begitu totokan kilat
bersarang di leher masing-masing. Melihat kejadian ini
Dewi Tombak Api tak bisa berdiam diri lagi. Sebelum
melompati Simanti, dari samping dia sudah lepaskan satu
pukulan tangan kosong.
Wuss!
Simanti terkejut dan cepat menyingkir ketika ada angin
kencang disertai hawa panas menyambar ke arahnya. Dia
balas menghantam dengan tangan kanan. Angin pukulan
Sumitri memang sempat ditabraknya hingga buyar tapi
diam-diam dia merasakan tangan kanannya seperti
tertimbun dalam bara panas dan mau tak mau dia jadi
keluarkan pekik kecil.
Di hadapannya Sumitri alias Dewi Tombak Api tertawa
mengejek. “Kalau ilmu baru sejengkal, jangan berani jual
lagak di hadapanku!”
“Kakak Sumitri. Kau harus sadar! Kau harus berusaha
menjadi sadar! Kita harus segara menghadap guru!”
berkata Simanti.
“Jika kakek buntung itu yang memerlukan diriku,
mengapa tidak dia sendiri yang keluar dari sarangnya
menemuiku?!” tukas Sumitri.
“Kakak, jangan kau bicara menghina guru seperti itu!”
Simanti tampak marah sekali mendengar kata-kata kakak
seperguruannya itu. Dengan mengerahkan tenaga dalam
sepenuhnya gadis ini lancarkan serangan-serangan
balasan. Perkelahian seru berlangsung dan sepuluh jurus
berlalu dengan cepat.
Diam-diam Sumitri mulai berpikir-pikir apakah
sebaiknya dia keluarkan saja senjata mustikanya yaitu
Tombak Api saat itu dan langsung membunuh si adik.
Namun bagaimanapun juga masih ada secuil rasa tidak
tega jika dia sampai membunuh adik seperguruan yang
selama lebih dari lima belas tahun hidup bersamanya, satu
ketiduran dan sepermainan.
Setelah dua jurus lagi berlalu Dewi Tombak Api rubah
permainan silatnya. Jurus-jurus yang dikeluarkannya
kelihatan seperti lamban namun sekejapan bisa berubah
cepat dan ganas. Simanti kini merasakan adanya tekanan-
tekanan serangan yang berbahaya. Gadis ini segera pula
merubah permainan silatnya. Tapi tetap saja dia berada
dalam kungkungan serangan lawan dan semakin lama
semakin sulit baginya untuk melepaskan diri apalagi
melancarkan serangan balik.
Pada jurus ke dua puluh Dewi Tombak Api tampak
seperti terhuyung. Tubuhnya berputar membelakangi
Simanti. Ketika Simanti masuk menyerbu tiba-tiba sikut
kanan Dewi Tombak Api menghantam ke belakang. Simanti
tak dapat mengelakan serangan yang tidak terduga ini.
Bukkk!
Simanti mengeluh tinggi. Dari sela bibirnya tampak ada
darah mengucur. Wajahnya mengelam sedang sepasang
matanya setengah tertutup. Tubuhnya terpental hampir
satu tombak dan pasti terbanting jatuh punggung ke tanah
kalau tidak tiba-tiba saja dia merasakan ada seseorang
yang memegang tubuhnya dari belakang dan dia jatuh
dalam pelukan orang itu!
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 7
EPASANG mata Dewi Tombak Api memandang
membeliak pada pemuda berambut gondrong yang
memeluk tubuh adiknya. “Pemuda kurang ajar!
Berani kau memeluk tubuh adikku!” bentak Dewi Tombak
Api seraya maju satu langkah dan siap menghantam
dengan pukulan tangan kosong.
“Walah! Aku memeluknya agar jangan tubuh bagus dan
wajah cantik ini jatuh ke tanah! Masakan itu kau anggap
kurang ajar! Kau sendiri tadi malah hendak membunuhnya.
Itu lebih dari kurang ajar, Dewi Tombak Api!”
“Antara aku dan dia ada urusan! Sebaliknya kau
dengan dia tak ada sangkut paut apa-apa…!” sahut Dewi
Tombak Api.
“Dengar. Namaku Wiro Sableng…”
“Setan alas! Aku tidak tanya namamu! Perduli setan
apakah namamu si Sableng atau si Gendeng atau si Gila!
Lepaskan tubuh adikku! Jangan kau berani memeluknya
lebih lama…”
Pemuda berambut gondrong yang memeluk tubuh
Simanti tertawa lebar. Dia memandang ke wajah jelita yang
ada di dadanya. Ternyata Simanti saat itu telah jatuh
pingsan. Wiro mendukungnya dan membaringkan gadis ini
di dekat serumpunan semak belukar.
“Nah, sekarang aku sudah tidak memeluk tubuh
adikmu itu. Apa perintahmu selanjutnya Dewi Tombak
Api…?” tanya Pendekar 212 Wiro Sableng seraya bertolak
pinggang.
“Lekas minggat dari hadapanku! Aku muak melihat
tampangmu yang cengar-cengir macam monyet liar…!”
S
Wiro Sableng tertawa bergelak, garuk-garuk kepalanya
lalu menjawab, “Ah, tampangku memang jelek. Tapi
dibandingkan dengan dua pemuda yang barusan kau garap
di dalam rumah sana, kurasa tampangku tidak kalah
keren! Ha… ha… ha…!”
Merah pada wajah Sumitri. “Rupanya pemuda ini sudah
berada lama di sekitar sini,” katanya dalam hati. “Jangan-
jangan dia ada hubungan apa-apa dengan Simanti atau
guru…”
“Hai! Gondrong! Apa hubunganmu dengan adikku itu?”
“Aih, kau cemburu rupanya! Padahal aku tak ada
hubungan apa-apa dengan dirinya!” jawab Wiro lalu
kembali tertawa bergelak sementara Sumitri kembali
tampak menjadi merah wajahnya.
“Lalu apa hubunganmu dengan Resi Tambak Kebo
Kenanga?!” kembali Dewi Tombak Api ajukan pertanyaan.
“Aku pernah dengar nama Resi sakti itu. Tapi terus
terang aku tidak ada hubungan dengan segala kerbo atau
kerbauuu…!”
“Kalau begitu lekas kau pergi dari tempat ini!”
“Eh, ada hak dan kuasa apa kau mengusirku? Tanah ini
bukan milikmu! Lembah ini bukan punyamu! Rumah di
sebelah sana memang rumahmu. Tapi bisa juga jadi
rumahku atau rumah kita berdua…!”
“Pemuda sableng bermulut lancang! Apa maksudmu?!”
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Maksudku begini Dewi.
Rumah itu bisa jadi milikku kalau kau memberikannya
padaku. Betul kan? Tapi bisa jadi milik kita berdua kalau
kita tinggal berdua-dua di dalamnya!”
“Manusia gendeng! Mulutmu kotor amat! Biar kurobek
agar kau tahu rasa!”
“Hai! tunggu dulu!” seru Wiro ketika dilihatnya Dewi
Tombak Api hendak menyerangnya. “Mulutku memang
kadang-kadang kotor. Tapi hatiku tidak! Kau bisa memaki
orang kotor. Tapi kelakuanmu kotor selangit tembus! Apa
kau tidak ingat kalau barusan saja berbuat mesum dengan
dua pemuda itu?!”
“Aku tidak merasa berbuat mesum!” jawab Dewi
Tombak Api marah sekali.
“Ah, otakmu tidak beres agaknya!” Wiro berpaling pada
Bimo Argomulyo dan mendekati pemuda ini. “Berbuat apa
kau dan saudaramu ini dalam rumah itu beberapa waktu
lalu…?”
Meskipun tubuhnya tertotok kaku tapi Bimo maupun
Sarwo masih bisa bicara. Hanya saja saat itu Bimo sama
sekali tak mau menjawab.
“Baiklah, aku akan coba mencari jawaban sendiri!” Lalu
Wiro tarik pinggang celana Bimo Argomulyo dan melongok
ke balik celana itu. “Nah, betul kan kataku! Kau kelupaan
pakai celana dalammu! Ha… ha… ha…!”
Merah pada wajah Bimo Argomulyo. Sementara itu dari
samping Dewi Tombak Api terdengar membentak keras lalu
menyerang Pendekar 212 dengan satu serangan ganas
berupa satu cakaran ke arah mulut sang pendekar. Dia
ingin melampiaskan amarahnya dengan merobek mulut si
pemuda.
“Hai! Kau hendak merobek mulutku!” seru Wiro.
“Silakan saja kalau mau…!” Lalu Wiro sengaja buka
mulutnya lebar-lebar. Lima jari tangan Dewi Tombak Api
menyambar. Tapi dia hanya mencakar angin. Wiro sudah
miringkan kepalanya ke samping sambil mencibirkan
lidahnya panjang-panjang dan jerengkan kedua matanya.
“Ih tidak kena…! Ayo robek lagi…” Wiro buka kembali
mulutnya lebar-lebar.
Amarah Dewi Tombak Api bukan alang kepalang.
Seluruh tenaga dalamnya dihimpun ke tangan kanan. Lalu
dia menghantam dengan dahsyat. Terdengar suara
menggemuruh. Wiro tersentak kaget ketika ada gelombang
angin laksana topan prahara menabrak ke arahnya. Cepat
murid Eyang sinto Gendeng ini dorongkan kedua tangannya
ke depan, menyambut serangan lawan dengan pukulan
Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih.
Dua tenaga dalam tingkat tinggi saling baku hantam.
Debu pasir dan kerikil beterbangan ke udara. Semak
belukar rambas sedang pohon-pohon di sekitar situ
berderak-derik. Beberapa cabang dan ranting-rantingnya
luruh berpatahan. Wiro dapatkan dirinya terangkat ke
udara sampai satu setengah tombak.
“Gila!” maki Pendekar 212. Seumur hidupnya baru
sekali ini ada lawan yang sanggup berbuat seperti itu
terhadapnya. Jatuh tidak mental pun tidak tapi tubuh
terangkat ke atas laksana dijunjung makhluk yang tidak
kelihatan! Semakin dia berusaha membalas dengan
pukulan sakti, semakin ke atas tubuhnya terangkat!
“Benar-benar edan! Masa kan pukulanku tadi tak
sanggup menghadapi serangan lawan!” Kembali murid
Sinto Gendeng memaki. Ketika tubuhnya terangkat
semakin tinggi, kini sampai empat tombak di udara, tiba-
tiba di depan sana Dewi Tombak Api putar kedua
tangannya di udara lalu kedua tangan itu dibantingkan ke
bawah laksana menancapkan sesuatu!
Sejalan dengan gerakan kedua tangan Dewi Tombak
Api, Wiro mendadak merasakan kekuatan yang tadi
mengangkat tubuhnya ke atas lenyap secara tiba-tiba.
Dirinya seperti dibantingkan ke bawah dan dijungkir balik
demikian rupa hingga jika dia tak dapat menguasai diri
atau melakukan sesuatu, kepalanya akan menghunjam
tanah lembah itu lebih dahulu!
Sesaat Pendekar 212 Wiro Sableng tampak kelabakan.
Satu tombak lagi kepalanya akan mencium tanah dia
berteriak keras seraya lepaskan pukulan Sinar Matahari
dengan tangan kanan.
Bummm!
Letusan keras menggocangkan lembah. Tubuh Wiro
terhempas ke tanah tapi dia sempat menguasai diri hingga
bukan kepala tapi punggungnya yang terhempas ke tanah.
Di udara sinar putih perak menyilaukan berkiblat disertai
menghamparnya hawa panas. Di seberang sana Dewi
Tombak Api tampak tegak tergontai-gontai dengan muka
seputih kertas lalu perlahan-lahan jatuh duduk di tanah.
Bajunya sebelah kiri hangus disambar angin panas pukulan
Sinar Matahari. Tapi hebatnya, kulit tubuhnya tidak sedikit
pun yang hangus padahal di sebelah dalam akibat pukulan
sakti lawan tadi dia merasakan isi tubuhnya laksana
dibetot dan diremas. Lalu beberapa tetes darah mengucur
dari sela bibirnya!
“Pemuda satu ini, luar biasa. Aku merasa takluk. Aku
harus keluarkan Tombak Api. Tapi… ah! Jika itu kulakukan,
aku…!” Sesaat Sumitri merasa bimbang. Namun akhirnya
tangannya bergerak juga ke balik punggung, di mana dia
menyimpan Tombak Api. Namun sebelum dia sempat
menyentuh senjata itu, di kejauhan dia melihat
berkelebatnya satu sosok tubuh berpakaian serba hitam.
“Ah, dia datang! Aku tidak takut padanya. Tapi lebih baik
menghindar. Salah-salah aku bisa membunuhnya!”
Dewi Tombak Api berkelebat tinggalkan tempat itu
dengan cepat sementara Wiro bangkit berdiri sambil tepuk-
tepuk pakaian putihnya yang kotor oleh tanah.
“Dewi! Jangan pergi! Tolong kami dulu!” Bimo
Argomulyo berteriak.
“Dewi! Lepaskan totokan di tubuh kami! Tolong!”
Tapi sang Dewi sudah lenyap di belakang rumah dan
kabur ke arah selatan lembah.
“Gadis hebat!” Wiro memuji sendirian. “Tapi mengapa
budi pekertinya begitu kotor dan jahat…” Lalu dia teringat
pada Simanti yang terbujur di bawah pohon. “Gadis itu!
Kalau tak lekas diobati nyawanya bisa-bisa tak tertolong.”
Lalu dia pun menghampiri Simanti, berlutut di samping
tubuh si gadis. Dia melihat ada bagian dada yang bengkak
membiru, yaitu tepat pada bekas sikutan Dewi Tombak Api
tadi. Gadis itu terluka di dalam. Dan memang harus lekas
ditolong. Tanpa ragu-ragu Wiro segera sibakkan dada
pakaian Simanti. Serangan Dewi Tombak Api tepat
bersarang antara kedua payudara si gadis. Wiro letakkan
telapak tangannya di celah payudara itu. Lalu mulai alirkan
tenaga dalam. Mula-mula dia alirkan tenaga dalam
mengandung hawa dingin. Perlahan-lahan hawa dingin
diganti dengan hawa hangat. Sekujur tubuh Pendekar 212
telah mandi keringat. Simanti tampak bukakan kedua
matanya tanda siuman. Namun dirinya belum terlepas dari
bahaya maut.
Wiro kerahkan lagi tenaga dalamnya. Kini kedua
telapak tangannya ditempelkan di dada Simanti. Pada saat
itulah terdengar suara membentak garang.
“Bangsat kurang ajar! Siapa yang berani berbuat tidak
senonoh terhadap muridku?!”
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 8
ELUM sempat Wiro berpaling tahu-tahu sebuah
benda berbentuk tongkat menyambar ke arah
kepalanya. Karena tak tahu benda apa yang
menyerang, murid Sinto Gendeng tak berani pergunakan
tangan untuk menangkis. Dia terpaksa jatuhkan diri di atas
tubuh Simanti lalu berguling ke kiri sambil dorongkan
tangan kiri melepas pukulan Kunyuk Melempar Buah.
Segulung angin menerpa tapi betapa kagetnya Pendekar
212 ketika tahu-tahu ada kekuatan yang lebih kuat balas
mendorong hingga pukulannya sendiri ikut berbalik
menghantamnya!
Memaki panjang pendek Wiro kembali lepaskan
pukulan sakti. Kali ini yang dilepaskan adalah pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera. Tenaga dalamnya
dikerahkan dua kali lebih besar. Tempat itu laksana
dilanda angin puting beliung. Terdengar suara orang
berseru kaget. Sosok tubuh yang tadi menyerang lenyap
berlindung di balik sebatang pohon besar. Begitu deru
angin sirna, dari balik pohon melesat lima batang senjata
rahasia berbentuk paku besar terbuat dari perak!
Lima bagian tubuh Pendekar 212 menjadi sasaran lima
paku perak itu. Wiro melompat dua tombak sambil
hantamkan tangan kanan ke bawah. Dua paku berhasil
dielakkan, dua lainnya dibuat mental. Tapi yang kelima
masih sempat merobek kaki celana dan menyerempet
betis kanannya!
Menyeringai kesakitan dan menggerendeng marah
dalam hati Wiro melayang turun ke tanah. Tangan
kanannya telah berubah menjadi berkilauan. Namun dia
B
tidak jadi melepas pukulan Sinar Matahari yang sudah
disiapkannya itu ketika melihat siapa yang tegak di
seberang sana.
Orang itu adalah seorang kakek berdandanan sebagai
seorang Resi. Kaki kirinya buntung. Tubuhnya disanggah
oleh sebuah tongkat yang dikempit di bawah ketiak.
“Kakinya saja buntung. Tapi ilmu silat dan tenaga
dalamnya sungguh luar biasa. Tongkat penyanggah kakinya
itu pastilah tadi yang dikeprukkannya ke kepalaku!” begitu
Wiro membatin.
“Resi berbaju hitam, mengapa kau menyerangku
membabi buta?!” bertanya Wiro Sableng.
“Karena kau memang seekor babi buta!” jawab Resi itu
dengan mata berkilat-kilat.
“Eh, enak saja mulutmu bicara! Apa maksudmu?!”
“Apa maksudku! Masih berani bertanya! Kau kutangkap
basah menggerayangi tubuh muridku Simanti. Kalau aku
tidak segera muncul di sini pasti kau sudah
menggagahinya!”
“Buset! Benar-benar buset!” teriak Wiro lalu geleng-
gelengkan kepala. “Kek, matamu nyala tapi buta. Otakmu
cerdik tapi tolol! Kalau aku hendak memperkosa gadis ini,
mengapa kulakukan di tanah yang kotor begini rupa? Di
sana ada rumah dan ranjang! Bukankah lebih baik kubawa
dia ke sana? Lalu masakan aku setolol itu melakukannya
di hadapan dua kampret yang berada dalam keadaan
tertotok itu?!”
“Eh, siapa yang kau maksud dengan kampret!” tanya
sang Resi.
Wiro menuding pada Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
“Siapa mereka? Mengapa keduanya tertotok?”
bertanya sang Resi.
“Mengenai dua kampret itu biar nanti saja diurus.
Sekarang aku beritahu padamu bahwa aku bukan
menggerayangi tubuh muridmu! Dia menderita luka di
dalam cukup parah terkena hantaman kakak
seperguruannya yang bernama Sumitri bergelar Dewi
Tombak Api…!”
Terkejutlah si kakek. “Ah, murid sesat itu! Mana dia!”
“Dia sudah kabur, yang penting kau harus menolong
muridmu ini dulu!” ujar Wiro pula.
Kakek berpakaian hitam itu berpaling pada Simanti
yang masih terbujur. Lalu memandang lekat-lekat pada
Wiro. Pendekar 212 sendiri balas memperhatikan orang
tua itu. “Pasti tongkat penyanggah itu senjatanya. Dan juga
dari badan tombak itu tadi dia melesatkan lima paku
perak. Kulihat ada alat rahasia di pertengahan tongkat.”
“Anak muda kalau aku memang sudah salah menduga,
harap dimaafkan. Katakan siapa kau adanya?” kata si
kakek.
“Namaku Wiro Sableng…”
Terkejutlah si kakek begitu mendengar Wiro sebutkan
namanya. “Namamu Wiro Sableng…? Kau murid si nenek
centil Sinto Gendeng dari gunung Gede?!”
Wiro menyengir mendengar gurunya disebut si nenek
centil ini berarti kakek itu cukup kenal baik dengan
gurunya.
“Puluhan tahun tak pernah bertemu lagi dengan Sinto
Gendeng. Kini justru ketemu murid tunggalnya yang
namanya menjulang setinggi langit. Ditakuti lawan disegani
kawan…”
“Kek, jangan keliwat memuji. Aku ini tak ada apa-
apanya. Aku cuma seorang pemuda gunung yang tolol dan
pengangguran!”
Resi Tambak Kebo Kenanga tertawa panjang
mendengar kata-kata Wiro itu. “Kau tak usah merendah
anak muda. Semua orang tahu siapa Sinto Gendeng. Dan
dunia persilatan juga tahu siapa Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212…”
“Kek, kalau kita mengobrol saja dan membiarkan gadis
itu, beberapa saat lagi pasti nyawanya tidak tertolong!”
Wiro mengingatkan sekaligus mengalihkan pembicaraan.
Resi Tambak Kebo Kenanga melangkah mendekati
tubuh muridnya, memandanginya beberapa saat lalu
berpaling pada Wiro. “Kau tadi telah berusaha
mengobatinya. Harap kau saja yang meneruskan. Aku
menyarankan agar kau menotok beberapa urat ke arah
jantung dan paru-paru…” Habis berkata begitu sang Resi
melangkah ke arah sebuah gundukan batu dan duduk di
sana. Dia seperti melamun dan wajahnya nampak suram.
Dia seperti tidak begitu memperdulikan keadaan muridnya
Simanti namun ada sesuatu yang menancapi pikirannya
saat itu, yakni masalah muridnya yang bernama Sumitri
dan bergelar Dewi Tombak Api.
Wiro sendiri setelah mendengar ucapan Resi Tambak
Kebo Kenanga tadi, pergi duduk bersila di samping tubuh
Simanti. Sang dara memandang kepadanya dengan mata
sayu.
“Saudari, tak usah takut. Nyawamu pasti tertolong.
Kalau kau mendengar kata-kataku harap kedipkan mata
dua kali…”
Simanti kedipkan matanya dua kali berturut-turut. Wiro
merasa lega. Sesuai petunjuk Resi Tambak Kebo Kenanga
dia menotok beberapa urat besar di tubuh Simanti lalu
dekapkan kedua tangannya ke dada gadis itu dan secara
perlahan-lahan mengalirkan tenaga dalam berhawa dingin
dan panas secara bergantian. Beberapa saat kemudian
setelah merasa cukup Wiro hentikan pengaliran tenaga
dalam. Dia menyeka darah yang membasahi sudut-sudut
bibir gadis itu lalu menelankan sebutir obat ke dalam
mulutnya.
“Pejamkan matamu kembali. Kau boleh istirahat
beberapa saat. Kalau denyutan jantungmu mulai tenang,
gerakkan tangan dan kakimu, jika itu mampu kau lakukan
tandanya kau selamat dari bahaya dan boleh duduk. Atur
jalan nafas dan peredaran darahmu. Alirkan tenaga dalam
ke bagian yang masih terasa sakit. Setelah itu kau boleh
berdiri…”
“Aku merasa sudah sembuh. Tak perlu mengikuti
sepenuhnya apa yang kau katakan. Yang penting hanya
mengatur jalan darah dan pernafasan. Terima kasih
Saudara. Kau telah menyelamatkanku…” Terdengar
Simanti berucap yang membuat Pendekar 212 tercengang.
“Kalau dia tidak memiliki kekuatan tubuh luar biasa,
tak mungkin dia sembuh secepat ini!” kata Wiro dalam
hati. Selagi Simanti duduk bersila mengatur jalan darah
dan pernafasan, Wiro melangkah mendapatkan Resi
Tambak Kebo Kenanga.
“Kakek, wajahmu kelihatan susah. Apa yang menjadi
ganjalan?” bertanya Wiro.
Sesaat sang Resi diam saja. Kemudian dia berpaling
pandangi wajah Wiro lalu berkata. “Aku memikirkan anak
itu…”
“Anak itu yang mana kek?”
“Muridku Sumitri, kakak Simanti. Hidupku sejak satu
tahun belakangan ini tidak tenteram gara-gara dia. Hendak
kubunuh dirinya, dia murid sendiri. Tidak kubunuh dia
terus-terusan membuatku malu, terus-terusan berbuat
mesum. Dulu-dulu sudah kuingatkan untuk tidak berbuat
macam-macam mencari segala macam ilmu sundal. Tapi
dia terpengaruh oleh ketamakannya sendiri. Ingin lebih
banyak ilmu, ternyata salah langkah…”
“Terus terang aku hanya mendengar sedikit tentang
muridmu itu, Kek. Apa sebenarnya yang terjadi dengan diri
Sumitri?” bertanya Wiro.
Resi Tambak Kebo Kenanga menghela nafas panjang
beberapa kali, baru menjawab, “Sekitar enam belas bulan
yang lalu aku melepas Sumitri setelah hampir lima belas
tahun berada dalam gemblenganku bersama-sama
Simanti. Sebelum pergi gadis itu pernah mengemukakan
niatnya untuk mencari seorang sakti bernama Ki
Kamandoko untuk mendapatkan sebuah senjata mustika
yang akan dijadikan pegangannya dalam petualangan
sebagai seorang pendekar baru. Memang ketika kulepas
aku tidak mempunyai senjata sakti apapun yang bisa
kuwariskan padanya. Aku tidak keberatan dia mencari dan
menemukan sendiri segala macam senjata sakti. Asalkan
jangan menghubungi Ki Kamandoko. Orang-orang
persilatan tahu betul kalau orang sakti yang satu ini berhati
culas, memiliki seribu satu tipu muslihat. Yang paling
terkutuk adalah bahwa hatinya busuk dan mesum. Namun
ternyata peringatanku tidak diperhatikan oleh Sumitri. Dia
tetap pergi mencari Ki Kamandoko. Dari Ki Kamandoko
muridku memang mendapatkan sebilah senjata mustika
bernama Tombak Api. Tapi untuk itu dia harus membayar
mahal. Dia harus menyerahkan kehormatannya. Bahkan
sampai saat ini pun muridku itu terus-terusan berada di
bawah pengaruh senjata keparat itu yang selalu
merangsangnya untuk berbuat zinah!”
Wiro garuk-garuk kepala. “Aku masih kurang paham
kek. Bagaimana senjata itu bisa merangsang seseorang
berbuat mesum seperti katamu…”
“Sebelum menyerahkan senjata itu kepada seseorang,
yaitu seorang perempuan seperti Sumitri misalnya, Ki
Kamandoko telah mengisi senjata itu dengan semacam
guna-guna. Siapa saja yang kemudian memegang senjata
tersebut, mempergunakannya dengan pengerahan tenaga
dalam, maka nafsu birahinya untuk melakukan hubungan
kelamin akan terangsang. Jika dia seorang perempuan
maka nafsunya bangkit setiap melihat lawan jenisnya, tak
perduli orang itu sudah tua bangka. Jika dia seorang lelaki,
maka hal yang sama akan dialaminya. Nafsu bejatnya
muncul. Dia akan meniduri perempuan mana saja
termasuk seorang nenek sekalipun! itu yang terjadi dengan
muridku sejak dia pertama kali menyentuh senjata itu.
Ketika dia mulai berlatih memainkan Tombak Api yang
diberikan oleh Ki Kamandoko, setiap dia mengerahkan
tenaga dalam setiap kali itu pula dirinya terangsang. Ki
Kamandoko keparat itu lalu menggaulinya selama
beberapa bulan. Setelah puas Sumitri baru diizinkannya
pergi. Namun muridku tidak terlepas dari hal-hal terkutuk
itu. Setiap dia bertempur dengan mempergunakan Tombak
Api, lawannya pasti akan menemui ajal. Tapi dirinya tidak
luput dari rangsangan terkutuk. Dia akan mengajak siapa
saja yang ada di dekatnya untuk berbuat mesum!”
“Setahuku segala macam guna-guna hanya mempan
selama empat puluh hari…” ujar Wiro pula.
“Tidak dengan guna-guna yang diciptakan Ki
Kamandoko. Guna-gunanya itu telah ditanamkannya dalam
senjata yang diberikannya pada muridku. Guna-guna itu
kemudian bersatu dengan darah dan pernafasan Sumitri
setiap gadis itu memegangnya, mempergunakannya dan
mengerahkan tenaga dalamnya!”
“Kalau begitu, satu-satunya jalan untuk membebaskan
muridmu adalah dengan melenyapkan Ki Kamandoko!”
“Kau betul Pendekar 212. Aku sudah menyebar kabar
dan minta bantuan orang-orang persilatan. Mencari tahu di
mana sarangnya manusia laknat itu. Ternyata dia tidak
punya tempat kediaman tetap. Berpindah dari satu tempat
ke tempat lainnya. Karena itu untuk sementara aku
terpaksa melupakan bangsat itu. Yang kucari saat ini
adalah muridku sendiri. Aku berusaha merampas senjata
terkutuk dari tangannya. Menurut kabar, bukan saja dia
sudah berbuat cabul dengan belasan lelaki. Tapi juga
belasan orang-orang terkemuka telah menjadi korban
senjatanya itu! Aku sendiri, jika kelak berhadapan dengan
dirinya mungkin tidak akan sanggup menghadapi senjata
saktinya itu. Namun aku lebih baik mati daripada hidup
dengan menanggung malu besar!”
“Sebelum kau muncul di sini, aku sempat bentrokan
dengan Sumitri. Ternyata dia memiliki tingkat tenaga dalam
yang sangat tinggi. Entah mengapa dia tidak mengeluarkan
Tombak Apinya. Dia kemudian melarikan diri begitu saja.
Aku yakin dia pergi bukan karena takut terhadapku.
Mungkin sekali dia telah sempat melihat dirimu muncul di
kejauhan…”
“Mungkin begitu… Mungkin begitu…” kata Resi Tambak
Kebo Kenanga lalu mengusap wajahnya berulang-ulang.
Untuk sesaat Wiro tinggalkan guru tua yang malang itu.
Dia melangkah ke tempat Simanti yang masih duduk
bersila pejamkan mata mengatur jalan darah dan
pernafasan. Tak lama kemudian sang dara buka kedua
matanya. Pandangannya beradu dengan sepasang mata
Pendekar 212 Wiro Sableng. Wajahnya yang tadi pucat kini
tampak mulai berdarah kembali. Bengkak membiru yang
ada di dadanya kelihatan tidak separah sebelumnya. Wiro
ulurkan tangannya untuk merapatkan celah pakaian yang
tersingkap. Simanti pegang tangan pemuda itu seraya
berbisik, “Terima kasih… Kau menyelamatkan nyawaku…”
Wiro tersenyum. “Bukan aku yang menolongmu
Simanti. Tapi Yang di Atas sana. Kau tak akan mati kalau
Dia belum menghendaki…” Lalu Wiro membantu gadis itu
bangkit berdiri. Ketika keduanya berpaling ke jurusan
gundukan batu di mana Resi Tambak Kebo Kenanga
berada tadi, tempat itu telah kosong. Sang Resi sudah
lenyap.
“Guru pasti mengejar kakak seperguruanku. Aku
mengawatirkan keselamatannya. Aku harus menyusul…!”
“Aku ikut bersamamu!” kata Wiro pula.
Mendengar itu Simanti yang kini bukan saja
menganggap Wiro sebagai tuan penolongnya tapi sekaligus
sudah menganggapnya sebagai kakak sendiri, pegang
lengan pemuda itu, merendengnya pergi dari situ.
Baru saja mereka bergerak tiga langkah terdengar
suara orang berseru, “Hai! Saudara! Tunggu! Jangan pergi
dulu! Bebaskan kami dari totokan ini!”
Wiro dan Simanti hentikan langkah. “Aku pikir-pikir
memang kasihan kedua pemuda itu. Apa yang terjadi
bukan mau mereka. Biar aku lepaskan totokan mereka.”
Lalu Wiro hampiri Bimo Argomulyo terlebih dahulu dan
melepaskan totokan di leher pemuda itu. Tapi alangkah
terkejutnya Pendekar 212 ketika begitu terlepas
totokannya Bimo Argomulyo langsung menyerang dirinya.
Anak panah yang sejak tadi tergenggam di tangan
kanannya ditusukkannya ke mata kiri Wiro Sableng. Kalau
saja murid Sinto Gendeng tak lekas rundukkan kepala,
mata kirinya pasti sudah kena disate anak panah yang
terbuat dari baja itu!
“Heh! Kenapa kau menyerangku seganas itu?!” tanya
Wiro.
“Kau lupa kalau tadi kau menghina aku dan saudaraku
sebagai dua ekor kampret?! Pantas kalau saat ini aku
memberi pelajaran padamu!” sahut Bimo Argomulyo.
Wiro menggaruk kepalanya sambil menyeringai. “Sama
saja aku seperti melepas anjing kejepit. Begitu dilepas
menggonggong dan malah menggigitku!”
“Bangsat! Tadi kau sebut aku kampret! Sekarang kau
samakan diriku dengan anjing! Makan panahku ini!” Bimo
Argomulyo tusukkan panahnya ke mulut Wiro.
“Manusia tak berbudi! Ditolong malah menggonggong.
Bagusnya kau kembali pada keadaanmu semula!”
Pendekar 212 berkelebat lalu, tuk! Satu totokan melanda
pangkal leher putera Ketua Partai Bintang Blambangan itu.
Tak ampun lagi Bimo Argomulyo menjadi kaku tegang
seperti tadi, malah kini totokan lihay itupun membuat
mulutnya menjadi gagu tak bisa bicara! Sambil tertawa-
tawa Wiro tinggalkan pemuda itu sementara Sarwo Bayu
hanya bisa memandangi dan tak berani keluarkan ucapan
apa-apa meskipun mulutnya masih bisa bicara. Diam-diam
dia menyesali saudaranya yang terlalu cepat naik darah
hingga bukan kebebasan yang mereka dapat malah
kembali ditotok seperti sebelumnya. Dia tidak tahu berapa
lama totokan itu akan lepas dengan sendirinya. Mungkin
setengah harian, mungkin satu sampai dua hari. Dan saat
itu sore telah menggelincir tanda malam akan segera tiba.
Urusan partai belum selesai dan kini mereka berdua
berada dalam keadaan seperti itu!
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 9
EWI Tombak Api alias Sumitri menggolekkan
badannya yang bagus di lantai reruntuhan candi.
Saat itu sang surya mulai menggelincir ke arah ufuk
tenggelamnya. Langit yang kebiruan kini seperti disaput
oleh warna kuning keemasan. Serombongan burung pipit
terbang di udara melintas candi menuju ke selatan.
Sumitri bangkit dan duduk termenung. Dalam hatinya
timbul pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawabnya.
Mengapa dirinya kini berada dalam keadaan diburu-buru
demikian rupa. Bukan hanya oleh guru dan adik
seperguruannya saja tapi oleh banyak tokoh silat dan
pimpinan perguruan. Apa yang telah merasuk dalam hati
dan jalan darahnya hingga dia melakukan perbuatan-
perbuatan mesum terkutuk. Mengapa dia tidak sanggup
menolak semua rangsangan itu bahkan menambah
dosanya dengan melakukan pembunuhan-pembunuhan!
Dia tahu juga bahwa ada sementara tokoh-tokoh silat yang
menghormati dan merasa berhutang budi padanya karena
dia telah membunuh tokoh-tokoh silat golongan hitam
musuh mereka. Tapi dibanding dengan segala dosa yang
dibuatnya, semua kebaikan dan pahala yang dilakukannya
seolah-olah hanya seperti tetesan-tetesan air yang tidak
berbekas di atas pasir panas.
Gadis ini mengusap mukanya, merapikan pakaiannya
lalu bangkit berdiri. Dia tak ingin bermalam di reruntuhan
candi itu. Karenanya dia memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan saat itu juga. Tapi belum sempat melangkah
tiba-tiba berkelebat dua bayangan dan tahu-tahu di
hadapannya telah berdiri sepasang kakek nenek
D
berpakaian kuning-kuning. Wajah keduanya seperti
pakaian yang mereka kenakan juga berwarna kuning
karena dipupuri bedak tebal berwarna kuning.
“Siapa kalian?” bentak Dewi Tombak Api yang melihat
gelagat tidak baik.
Dua kakek itu memandang dengan bengis. Mereka
tidak menjawab malah gerakkan tangan menghunus
sebilah kelewang yang sebelumnya diselipkan di pinggang.
“Tua bangka muka kuning! Kalian tidak tuli. Lekas
terangkan siapa kalian dan punya maksud apa menghunus
senjata di depanku!”
Si kakek menggereng. Dia berpaling pada si nenek lalu
berkata, “Aku pantang bicara dengan perempuan bejat
seperti dia! Kau saja yang bicara!”
Si nenek juga keluarkan suara menggereng lalu
membuka mulut, “Kami Sepasang Macan Kuning dari
Merapi. Empat bulan lalu kau bentrokan dengan dua orang
murid perempuan kami lalu menculik seorang pemuda
yang juga murid kami. Pemuda itu kemudian ditemui dalam
keadaan sekarat di tepi sungai. Sebelum meregang nyawa
dia masih sempat menerangkan bahwa kau telah
menyekapnya selama satu minggu di suatu tempat.
Setelah kau memuaskan nafsu bejatmu kau lalu
membunuhnya. Tapi ternyata dia masih sempat kami temui
dalam keadaan hidup…”
Dewi Tombak Api terdiam mendengar ucapan si nenek.
“Gadis sundal! Kau tak perlu mengaku atau berdalih.
Kami sudah tahu memang kau pelakunya. Saat ini
bersiaplah untuk mampus!” kata si nenek pula.
“Aku tidak takut mati. Tapi ketahuilah bahwa aku
memang menyesal membunuh muridmu itu…”
Si nenek pelototkan matanya. “Penyesalan selalu
datang belakangan itu tak ada gunanya!” Nenek ini
berteriak keras lalu bersama-sama dengan si kakek dia
menyerbu. Dua kelewang berkiblat di bawah sinar kuning
matahari sore. Satu menyambar ke arah kepala, satu lagi
membabat ke arah perut.
Dewi Tombak Api terkejut ketika dapatkan bagaimana
dua serangan itu bukan saja sangat cepat dan ganas tapi
disertai hawa dingin yang membuat tulang-tulang Dewi
Tombak Api merasa ngilu.
Dengan cepat Dewi Tombak Api membuang diri ke
belakang. Bersamaan dengan itu dia dorongkan kedua
tangannya. Dua gelombang angin menerpa deras ke arah
kakek nenek itu. Seperti yang sudah-sudah serangan
seperti itu pasti akan membuat lawan terpelanting, paling
tidak terdorong jauh. Tapi kenyataannya Sepasang Macan
Kuning dari Merapi itu terus merangsak maju, membuat
Dewi Tombak Api mau tak mau kembali melompat ke
belakang, menjauhi kedua lawan.
Begitu dia lolos dari dua sambaran kelewang, Dewi
Tombak Api berkelebat kirimkan hantaman tangan kanan
ke arah si nenek dan disusul tendangan ke arah si kakek.
Tapi yang diserang tidak kalah sebat. Kelewang di tangan
masing-masing diputar demikian rupa hingga memapaki
lengan dan betis Dewi Tombak Api. Kalau dia meneruskan
serangannya ini mungkin dia masih sempat menghantam
lawan, tapi lengan dan kakinya tak akan lolos dari
sambaran kelewang Sepasang Macan Kuning dari Merapi.
Sambil memaki dalam hati Dewi Tombak Api lagi-lagi
terpaksa cari selamat dengan melompat dan tarik jotosan
serta tendangannya. Tapi tak terduga si kakek memburu
maju dan srett! Baju warna-warni Dewi Tombak Api di
bagian perut robek besar!
“Dua tua bangka ini benar-benar berbahaya! Kalau
tidak kudahului membunuh mereka, bisa-bisa aku yang
dibuat meregang nyawa!”
Dewi Tombak Api gerakkan tangan kanan ke balik
punggung. Sesaat kemudian sinar merah menyala berkiblat
di udara.
“Tombak api!” seru si kakek dan si nenek berbarengan.
Masing-masing membuka mata lebar-lebar. Selama ini
mereka cuma mendengar cerita saja. Sekarang mereka
menyaksikan sendiri bentuk senjata berbentuk tombak
pendek yang menyala laksana baja menyala.
Bagaimanapun angkernya senjata itu namun Sepasang
Macan Kuning dari Merapi tidak merasa jerih. Mereka
sudah bertekad bulat untuk membalaskan dendam
sekalipun harus mengorbankan nyawa sendiri. Maka tanpa
banyak bicara kakek dan nenek itu kembali merangsak
maju.
Dewi Tombak Api yang memang sudah tak sabaran
segera pukulkan tombaknya ke arah si kakek. Wuuusss!
Lidah api menyambar. Si kakek kiblatkan kelewangnya
sedang tangan kiri ikut melepas pukulan tangan kosong. Si
nenekpun tidak tinggal diam. Dari tempatnya tegak dia
lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi.
Tapi Tombak Api memang luar biasa. Hawa panas yang
menyambar di tempat itu membuat si nenek cepat
bersurut mundur selamatkan diri dari sambaran lidah api.
Si kakek yang juga sudah melihat bahaya ketika kelewang
serta pukulan saktinya tak bisa berbuat apa-apa dengan
cepat melompat ke samping. Namun terlambat. Lidah api
sudah keburu membuntal sekujur badannya. Tubuh dan
pakaiannya serta-merta dilamun api. Orang tua ini menjerit,
jatuhkan diri dan bergulingan di lantai candi berusaha
memadamkan api. Tapi sia-sia saja. Dia akhirnya menemui
ajal dengan tubuh hangus terpanggang!
Melihat kawannya mati begitu rupa si nenek meraung
keras. Dia membuat gerakan aneh. Tubuhnya melesat
laksana terbang. Dari udara dia lemparkan kelewangnya.
Dewi Tombak Api menyambut dengan senjatanya.
Traang!
Tombak dan kelewang beradu keras. Kelewang
terpental lalu tercampak di tanah. Ketika si nenek
memperhatikan ternyata kelewang itu telah penyok-penyok
dan leleh! Sedang tangan kanannya sendiri kelihatan
hangus menghitam.
“Gadis iblis ini bukan tandinganku! Aku tak mau mati
percuma. Suatu waktu aku harus membalaskan sakit hati
dendam kesumat ini!” Begitu si nenek membatin. Maka
ketika kedua kakinya menginjak lantai candi, tanpa tunggu
lebih lama lagi perempuan tua itu berkelebat ke kiri.
Dewi Tombak Api pukulkan senjatanya. Wusss! Lidah
api menyambar. Si nenek selamat karena lidah api
terhalang oleh sebuah arca. Kini arca itulah yang jadi
korban. Tenggelam dalam kobaran api!
Dewi Tombak Api merasakan darahnya mengalir lebih
cepat. Tubuhnya terasa panas. Cuping hidungnya kembang
kempis dan dadanya turun naik. Lalu sekujur tubuhnya
mulai menggigil.
“Perasaan itu muncul lagi… Ah… aku tak tahan… Aku
tak tahan…!” Dewi tombak Api sisipkan kembali senjatanya
di balik punggung pakaian. Kedua lututnya terlipat dan
perlahan-lahan dia jatuh berlutut. Rangsangan yang
melanda tubuhnya semakin menggelora, semakin
membakar. Kedua matanya memandang berkeliling.
Nafasnya memburu. Ada seperti yang meledak-ledak di
dalam dada dan di seluruh pembuluh darahnya. Dalam
keadaan seperti itu Dewi Tombak Api gulingkan diri di
lantai candi. Kedua kakinya melejang-lejang sedang tangan
mencakar-cakar lantai batu. Dari mulutnya keluar suara
erangan. Lalu gadis ini mulai merobek-robek pakaiannya.
Mula-mula di bagian dada. Lalu di bagian perut yang
memang sudah robek besar disambar kelewang. Sesaat
kemudian gadis itu nyaris telanjang. Dalam keadaan
seperti ini tiba-tiba dia melompat bangkit. Rahangnya
menggembung. Gerahamnya bergemeletakan dan
sepasang matanya berputar liar. Tiba-tiba dilihatnya arca
batu itu. Dia menggerung halus. Lalu melompat ke
hadapan arca, memeluk menciuminya, menggeser-
geserkan badannya ke badan arca!
“Muridku Sumitri! Perbuatan apa yang tengah kau
lakukan ini! Sadar Sumitri! Sadarlah!”
Satu suara terdengar. Suara laki-laki! Inilah yang dicari-
carinya. Masih merangkul arca batu itu, Sumitri alias Dewi
Tombak Api palingkan kepala. Dan dilihatnya kakek
buntung berpakaian hitam itu! Tapi dia melihatnya bukan
sebagai guru. Melainkan sebagai seorang lelaki. Lelaki
yang harus siap melayaninya. Kalau tidak dia bisa mati
berdiri ditambus bara nafsu!
“Kebo Kenanga…” desis Sumitri menyebut nama
gurunya. Pelukannya pada arca batu dilepaskan. Lalu dia
melangkah setindak demi setindak mendekati Resi
Tambak Kebo Kenanga. Orang tua berkaki buntung itu
pejamkan kedua matanya. Tak sanggup dia melihat
keadaan muridnya yang nyaris telanjang itu. Justru inilah
kesalahan sang Resi, begitu matanya dipejamkan, Dewi
Tombak Api telah menerkamnya, memagut dan menciumi
tubuhnya.
“Sumitri! Ingat! Aku ini gurumu!” teriak Resi Tambak
Kebo Kenanga.
Sang murid seperti tuli. Malah tubuh kakek itu
dipagutnya kuat-kuat lalu ditariknya ke bawah hingga
keduanya jatuh terhampar di lantai candi. Waktu jatuh
sang guru tertindih oleh tubuh muridnya sendiri.
“Murid sesat dan mesum! Pergi!” teriak sang Resi. Lalu
lutut dan tangan kanannya bergerak.
Terdengar raungan Dewi Tombak Api. Tubuhnya
mencelat ke atas lalu jatuh dan tersandar ke reruntuhan
dinding candi. Tapi dia segera berdiri lagi, ulurkan kedua
tangan sambil melangkah ke arah gurunya.
“Aku ingin kau melayaniku. Beri kesenangan padaku.
Kalau tidak lebih baik kau bunuh aku. Tolong… Jangan
biarkan aku terbakar oleh derita ini…”
Resi Tambak Kebo Kenanga cepat bersurut mundur.
Tongkat penyanggah yang dikepitnya di ketiak kiri tiba-tiba
membabat ke depan, tepat menghantam pinggul muridnya.
Sumitri kembali meraung. Hantaman tongkat membuat
tubuhnya terbanting ke kiri. Tapi daging atau tulang
tubuhnya tak ada yang cidera. Padahal selama ini kalau
sempat tongkat penyanggah ini menghantam tubuh
manusia, dagingnya pasti luka besar dan tulangnya paling
tidak akan remuk! Kalau sudah begini Resi Tambak Kebo
Kenanga tidak melihat cara lain. “Aku harus bisa
menotoknya. Kalau tak ada jalan lain mau tak mau aku
harus membunuhnya. Ah, kasihan dirimu Sumitri. Tapi aku
terpaksa melakukannya…”
Kakek berkaki buntung ini berkelebat ke depan. Tangan
kanannya menyambar sedang tongkatnya menusuk ke
arah bahu. Di saat yang sama sang murid yang seperti
kesetanan itu gerakkan tangan kanannya.
Traak!
Tongkat penyanggah milik sang Resi patah berantakan.
Karena kehilangan keseimbangan, orang tua ini jatuh ke
lantai candi. Dan pada saat itu pula sang murid jatuhkan
diri berusaha menghimpitnya. Tapi kaki kanan sang Resi
melesat tidak terduga. Menghantam perut Sumitri dengan
keras.
Gadis itu terpekik. Tubuhnya tercampak ke-samping,
jatuh menubruk arca!
“Bangsat! Laki-laki bangsat! Kuberi madu malah
mengasih racun! Mampus! Kau harus mampus!” teriak
Dewi Tombak Api. Lalu dia cabut senjata pembawa bahala
itu dan pukulkan ke arah gurunya.
Wusss!
Lidah api menggebubu. Resi Tambak Kebo Kenanga
yang masih tertelentang di lantai candi cepat gulingkan diri.
Namun terlambat. Lidah api itu lebih dulu melamun sekujur
tubuhnya! Kakek ini hanya bisa keluarkan jeritan-jeritan
mengerikan. Lalu tubuhnya yang terpanggang dan menebar
bau yang mengerikan itu diam tak berkutik lagi!
Pengerahan tenaga dalam dan penggunaan Tombak Api
untuk kedua kalinya membuat rangsangan di tubuh Dewi
Tombak Api jadi berlipat ganda kini. Gadis ini menjerit,
menggulingkan diri di lantai, memeluki arca dan
pergunakan tangan sendiri untuk mencari kenikmatan.
Selagi dia berada dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada
suara disertai berkelebatnya sesosok bayangan.
“Kekasihku Sumitri! Berbulan-bulan aku mencarimu.
Akhirnya kutemui juga! Dan kau sepertinya sudah siap
menungguku!”
Sumitri kenal betul suara itu. Dia palingkan tubuh,
menjerit kegirangan lalu rangkul tubuh orang tua yang
barusan datang sambil menggolekkan dirinya di atas lantai.
“Anak manis… Sekali ini aku tidak akan membiarkan
kau meninggalkanku lagi. Ke mana kau pergi aku akan
selalu mendampingimu!”
“Seharusnya memang begitu! Sekarang loloskan
pakaianmu. Aku sudah tak tahan! Lekasss…!”
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 10
UA MANUSIA itu benar-benar telah dirasuk setan
laknat terkutuk. Lelaki yang bergegas membuka
pakaiannya bukan lain adalah Ki Kamandoko, orang
sakti yang lebih tepat disebut sebagai juru guna-guna.
Dialah yang telah memberikan Tombak Api kepada Sumitri
setelah terlebih dahulu diisi dengan guna-guna yang
membuat gadis itu lupa diri dalam rangsangan nafsu bejat
setiap dia mempergunakan Tombak Api dengan
pengerahan tenaga dalam.
Ki Kamandoko bertubuh kurus, berkepala lonjong dan
sulah. Usianya hampir mencapai enam puluh tahunan.
Untuk menutupi kesalahannya itu dia memakai rambut
palsu berwarna hitam campur kelabu.
Manusia cabul ini sudah siap menanggalkan celana
hitamnya ketika tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat di
belakangnya dan, buk! Satu tendangan keras menghantam
pinggulnya. Orang ini menjerit keras dan mencelat mental.
Di saat yang sama terdengar pekik perempuan.
“Guru!”
Seseorang jatuhkan diri menubruk mayat hangus Resi
Tambak Kebo Kenanga. Menyusul terdengar suara isak
tangis. Tangis Simanti.
Sementara Ki Kamandoko berusaha bangkit dengan
kesakitan karena pinggulnya memar dan ada bagian tulang
yang remuk, Dewi Tombak Api sudah melompat tegak dan
memandang berkeliling dengan beringas. Sepasang
matanya berkilat-kilat memandang ke arah Wiro Sableng
yang tegak berkacak pinggang. Dialah tadi yang
menendang Ki Kamandoko.
D
“Kau…,” seru Sumitri alias Dewi Tombak Api. Suaranya
keras tapi tak ada perasaan marah. “Kau… kau datang
tepat pada waktu aku membutuhkan seorang lelaki.
Dibandingkan dengan kambing tua itu, aku memilih dirimu.
Aku masih ingat, namamu Wiro Sableng bukan? Wiro bawa
aku, dukung dan peluk diriku…” Lalu Dewi Tombak Api
melangkah cepat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng
seraya ulurkan tangan hendak merangkul sang pendekar.
“Dewiku kekasihku… Jangan kau lupakan diriku!”
terdengar suara Ki Kamandoko. “Aku satu-satunya
kekasihmu untuk bersenang-senang!”
Dewi Tombak Api berpaling sesaat pada lelaki
berkepala sulah itu lalu mendengus. “Kambing botak tak
tahu diri! Kalau ada yang lebih muda masakan aku memilih
dirimu! Lekas minggat dari sini! Jangan ganggu
kesenanganku!”
Dihina dan dilecehkan begitu rupa membuat Ki
Kamandoko menjadi marah. “Kau yang tak tahu diri
Sumitri!” bentaknya. “Kau akan menyesal berani
memperlakukan aku seperti itu! Lihat padaku!”
“Siapa sudi melihat tampangmu!” teriak Sumitri. Tapi
tak sengaja kedua matanya sempat beradu pandang
dengan juru guna-guna itu.
“Jangan lihat matanya!” berteriak Wiro.
Namun terlambat!
Satu kilapan cahaya memantul di kedua bola mata Ki
Kamandoko. Pantulan ini jatuh di atas kedua mata Sumitri.
Dan yang kini dilihat Sumitri bukan lagi seorang lelaki tua
berambut palsu dan bertubuh kerempeng, melainkan
seorang pemuda berparas cakap dan berpakaian seperti
pangeran.
“Kau… kau! Belum pernah aku melihat pemuda
segagahmu. Aku menyerahkan diriku padamu…”
Begitu Sumitri melangkah mendekati Ki Kamandoko,
Pendekar 212 cepat melompat dan menghalangi jalannya.
“Pemuda jembel! Apa yang hendak kau lakukan?
Mencari mati berani menghalangiku?!” bentak Dewi
Tombak Api.
Wiro menjawab dengan satu gerakan kilat. Menotok
tubuh Dewi Tombak Api di bagian leher. Ditotok begitu rupa
si gadis malah tertawa panjang. Di belakangnya Wiro
mendengar Ki Kamandoko berkata, “Tak ada satu totokan
pun di dunia ini yang mampu membuatnya tak berdaya!”
Wiro mendengar suara berdesir di belakangnya. Dia
tahu kalau Ki Kamandoko menyerangnya. Dengan cepat
Pendekar 212 berkelebat ke kiri lalu membalik sambil
menghantam dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah.
Satu gelombang angin laksana gundukan batu besar
menggelinding menghantam ke arah Ki Kamandoko. Juru
guna-guna ini menjadi kaget dan cepat menyingkir. Namun
pada saat itu dari samping sesosok tubuh melompat
sambil menghantam. Yang menyerbu adalah Simanti, adik
seperguruan Dewi Tombak Api.
Ki Kamandoko memang memiliki ilmu gaib yang
mendekati ilmu sihir dan pandai mengguna-guna.
Sebaliknya dalam ilmu silat kemampuannya sangat
rendah. Itu sebabnya tadi dengan mudah Wiro berhasil
menendangnya. Ketika Simanti menghantam dari samping
sementara dari depan sambaran angin pukulan Wiro
membuat tubuhnya bergoncang keras, Ki Kamandoko tiba-
tiba berteriak, “Masa kan kau hendak membunuh guru
sendiri!”
Wiro tercengang heran sedang Simanti tersentak kaget
ketika dilihatnya di hadapannya kini bukan Ki Kamandoko
yang diserangnya melainkan gurunya sendiri, Resi Tambak
Kebo Kenanga. Bukankah orang tua itu tadi memang telah
mati? Dibunuh oleh Sumitri alias Dewi Tombak Api?
“Ilmu tenung keparat!” teriak Pendekar 212 yang
segera menyadari apa yang terjadi. Dia kirimkan satu
tendangan ke arah Resi Tambak Kebo Kenanga palsu itu.
Namun dari samping ada lima jari tangan yang mencakar
ke arah wajahnya. Mau tak mau Wiro batalkan
serangannya terhadap Resi jejadian itu dan menghantam
ke atas dengan tangan kanannya.
Bukk!
Lengan kanan Wiro beradu dengan lengan kanan Dewi
Tombak Api. Sang Dewi terpekik seraya melompat mundur.
Sebaliknya murid Sinto Gendeng terpelanting jatuh ke
dinding candi.
“Astaga! Tenaga dalamnya tidak berada di bawahku!”
ujar Wiro dalam hati. “Kalau aku tidak segera menghantam
dengan pukulan Sinar Matahari urusan bisa berabe!”
Maka Pendekar 212 segera kerahkan tenaga dalam ke
tangan kanan. Dalam waktu sekejapan tangan itu berubah
menjadi seputih perak dan menyala berkilauan. Hawa
panas terasa menghampar di tempat itu!
Ketika melihat perubahan warna lengan kanan Wiro
Sableng, Dewi Tombak Api yang sebelumnya sudah
merasakan kehebatan pukulan sakti itu bahkan sampai
terluka di sebelah dalam, tanpa menunggu lebih lama
segera keluarkan senjata andalannya yaitu Tombak Api
yang memancarkan warna merah membara!
Di bagian lain Simanti yang telah sadar siapa
sebenarnya yang tengah dihadapinya menempur habis-
habisan Ki Kamandoko yang saat itu masih merupakan
dirinya sebagai Resi Tambak Kebo Kenanga. Karena ilmu
silatnya memang rendah maka dua jurus saja manusia
bejat ini telah terdesak hebat. Tapi dasar manusia licik, di
saat nyawanya terancam begitu rupa dia segera merapal
jampi-jampi lalu meniup ke depan.
Simanti mendadak mencium bau harum semerbak.
Memandang berkeliling didapatinya dirinya berada di
sebuah taman pada suatu lereng bukit yang indah
pemandangannya. Seorang pemuda berwajah cakap
dilihatnya duduk di atas punggung seekor kuda putih dan
melambai ke arahnya. Simanti tidak pernah melihat
pemuda itu sebelumnya. Tapi wajah yang memikat dan
lambaian tangan yang memanggil membuatnya melangkah
mendekati. Inilah bahaya besar yang tidak disadari oleh
Simanti sementara Pendekar 212 Wiro Sableng tengah
menghadapi Sumitri dengan Tombak Apinya.
Simanti maju satu langkah, dua langkah… semakin
dekat dengan pemuda di atas kuda itu. Ketika hanya
tinggal dua langkah saja lagi, pemuda di atas kuda ulurkan
kedua tangannya. Sikapnya seperti hendak membantu
Simanti naik ke atas kuda. Tapi tahu-tahu dua tangan itu
bergerak mencekik ke arah leher. Justru di saat itu pulalah
si gadis tersadar.
“Taman yang indah, lereng bukit yang permai… Kuda
putih dan pemuda yang gagah. Eh… Bermimpi atau
bagaimanakah aku ini…?” Simanti gigit bibirnya sendiri
sampai berdarah dan serta merta sadar pada saat sepuluh
jari tangan mencengkeram batang lehernya dan pemuda di
atas kuda itu dilihatnya mendadak berubah ke bentuk
asalnya, menjadi Ki Kamandoko!
“Bangsat! Kau hendak menipuku dengan ilmu
busukmu!” teriak Simanti. Dua tangannya segera
menangkap lengan Ki Kamandoko. Sekali dia menarik
maka tertariklah tubuh Ki Kamandoko. Begitu orang tua itu
terangkat dari atas punggung kuda, Simanti
membantingkannya keras-keras ke arca besar di sudut
reruntuhan candi!
Ki Kamandoko menjerit setinggi langit. Bahu kanannya
yang beradu dengan arca batu remuk dan sakitnya bukan
kepalang. Begitu tubuhnya melosoh ke bawah, dari sebuah
kantong dia mengeluarkan sejenis bubuk dan
menebarkannya di hadapan Simanti sementara mulutnya
berkomat-kamit.
Murid almarhum Resi Tambak Kebo Kenanga itu
merasakan satu keanehan terjadi atas dirinya. Kepalanya
terasa seperti membesar dan tubuhnya seperti mengapung
naik ke udara. Di depannya dilihatnya Ki Kamandoko
berusaha tegak sambil bersandar pada arca lalu
mengangkat tangannya dan berseru!
“Katakan namamu!”
“Namaku Simanti…” Sang dara yang sudah berada
dalam kekuasaan tenung Ki Kamandoko menjawab.
“Bagus! Sekarang cekik lehermu sendiri! Lakukan!”
Simanti angkat kedua tangannya. Lima jarinya
mencengkeram di tenggorokannya. Dia mulai mencekik
lehernya sendiri! Gila!
“Cekik lebih keras! Lebih kencang!” teriak Ki
Kamandoko. Dan Simanti melakukan apa yang
diperintahkan orang itu. Jari-jarinya mencekik makin
kencang, makin keras. Lidahnya mulai terjulur dan kedua
matanya membeliak.
“Terus… Cekik terus!” teriak Ki Kamandoko.
Nafas Simanti menyengal. Dadanya sesak seperti mau
pecah. Sesaat lagi cekikannya sendiri akan menamatkan
riwayatnya tiba-tiba terdengar suara letusan keras. Di
udara berkiblat sinar putih menyilaukan, baku hantam
dengan lidah api yang menjilat menggebu. Dua kekuatan
sakti yang sama-sama bersumber pada hawa panas saling
labrak. Bumi laksana kiamat. Empat sosok tubuh
berpelantingan. Sebatang pohon tenggelam dalam kobaran
api. Dua lainnya hangus bersama semak belukar yang ada
di sekitarnya. Di tanah ada sebuah lobang besar berwarna
hitam!
Dari dalam lobang Dewi Tombak Api merangkak keluar.
Tubuhnya yang nyaris tanpa pakaian itu terlihat lecet di
beberapa bagian. Senjatanya, Tombak Api itu, tampak
masih tergenggam di tangan kanannya. Dalam tubuhnya
telah menggunung nafsu kotor yang menggelegak seolah
membakar tubuhnya dan harus segera dilampiaskan.
Keadaannya benar-benar parah yang tak dapat
dikendalikan lagi akibat telah beberapa kali setelah dia
mengerahkan tenaga dalam menghantam dengan senjata
pangkal bahala yang diisi dengan guna-guna itu. Dia
merangkak dan mengerang, bergerak ke arah sosok tubuh
Pendekar 212 yang saat itu terkapar di depan tangga
candi. Sebagian dari baju putihnya tampak hangus
terbakar akibat sambaran lidah api yang mencuat keluar
dari Tombak Api. Lengan kanan dan bahu serta sebagian
sisinya tampak merah terkelupas.
Ternyata pukulan Sinar Matahari tidak sanggup
menangkis hantaman lidah api senjata Sumitri. Wiro juga
keluarkan suara mengerang.
Seumur hidupnya baru kali itu dia mengalami cidera
begitu rupa. Tubuhnya terasa panas seperti dipanggang.
Ketika dilihatnya Dewi Tombak Api melangkah ke arahnya,
dia gerakkan tangan kanan untuk mencabut Kapak Maut
Naga Geni 212. Tapi astaga! Tangan itu terasa berat, sulit
untuk digerakkan, apalagi mencabut senjatanya.
“Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku! Senjata gadis
iblis itu benar-benar luar biasa…!”
Wiro lalu buru-buru pergunakan tangan kiri untuk
mencabut senjata mustikanya. Gila!
Tangan yang satu ini pun terasa berat. Dia kerahkan
seluruh tenaga, menghimpun tenaga dalam. Perlahan
sekali tangan kiri itu berhasil digerakkannya. Namun
sebelum dia sempat menyentuh Kapak Naga Geni 212,
Dewi Tombak Api sampai di tempatnya menggeletak dan
langsung menindihnya!
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 11
ITA tinggalkan dulu Pendekar 212 dan Dewi Tombak
Api. Mari kita lihat apa yang terjadi dengan Simanti
serta Ki Kamandoko. Ketika pukulan Sinar Matahari
dan lidah api Tombak Api saling beradu dahsyat, Simanti
yang tengah mencekik dirinya sendiri di luar sadar akibat
tenung Ki Kamandoko, terlempar tiga tombak dan terguling
sampai di halaman reruntuhan candi. Kepalanya
menghantam akar sebatang pohon dan saat itu tenung
yang menguasai dirinya buyar. Dengan terhuyung-huyung
gadis ini coba berdiri. Matanya memandang liar. Yang
pertama sekali dicarinya adalah lelaki tua berkepala sulah
itu.
Saat itu Ki Kamandoko sendiri berada dalam keadaan
hancur-hancuran. Pinggulnya remuk dihantam tendangan
Wiro sedang bahu kanannya hancur. Ledakan keras
membuat tubuhnya terlempar ke udara dan ketika jatuh
tubuhnya jatuh melintang di atas tembok pagar candi.
Rambut palsunya mental entah ke mana. Dia tak kuasa
berbuat apa-apa karena tulang punggungnya patah.
Sakitnya bukan kepalang. Saat itu dilihatnya Simanti
melangkah mendekati dengan kedua tangan terkepal. Ki
Kamandoko segera merajai jampi-jampi. Namun rasa sakit
yang tidak tertahankan membuat bacaannya menjadi
kacau! Apa yang diharapkannya dari jampi tenungan itu
tidak kesampaian.
Simanti tarik leher baju Ki Kamandoko. “Manusia
terkutuk! Lekas kau berikan obat pemunah nafsu bejat!
Kau harus menyembuhkan kakak seperguruanku! Kalau
tidak kupecahkan batok kepalamu!”
K
Simanti angkat tinju kanannya tinggi-tinggi, siap
mengepruk batok kepala Ki Kamandoko yang botak.
“Aku tidak takut mati…,” jawab Ki Kamadoko. “Tapi
nafsu zinah yang ada dalam tubuh gadis itu tak ada
pemunahnya, tak ada penangkalnya!”
“Jangan dusta!” kertak Simanti. Lalu tangan kanannya
menghantam dada Ki Kamandoko. Orang tua ini
mengeluarkan suara seperti muntah. Dua tulang iganya
patah.
“Kau mau memberikan obat itu atau tidak!” kembali
Simanti mengancam sambil angkat lagi tangan kanannya.
“Sumpah! Aku tidak dusta! Nafsu itu tidak akan muncul
kalau Tombak api dijauhkan dari dirinya…”
“Tapi saat ini kakakku itu tengah tersiksa oleh
dorongan nafsu keji akibat guna-gunamu!”
“Rangsangan yang ada dalam dirinya akan lenyap
sendiri setelah tiga hari…”
“Tiga hari katamu?! Gila!”
Plaaak! Plaak!
Tamparan Simanti melayang pulang balik. Ki
Kamandoko hanya bisa menggereng. Dua giginya rontok
dan bibirnya pecah akibat tamparan tadi.
“Kau telah menghancurkan hidupnya! Kau harus
kuhajar sampai mati! Karena ulahmu juga guru menemui
ajal di tangan murid sendiri!” Sambil menjerit panjang dan
keras Simanti hantamkan jotosan kiri kanan ke kepala,
muka dan dada serta perut Ki Kamandoko.
Ki Kamandoko hanya sempat menyerit satu kali ketika
jotosan pertama Simanti menghancurkan mata kirinya.
Pukulan kedua bersarang tepat di dada kiri, membuat
pecah jantungnya. Pukulan-pukulan berikutnya tak pernah
dirasakan Ki Kamandoko karena ketika jantungnya pecah,
nyawanya melayang sudah! Simanti menghujani tubuh tak
bernyawa itu dengan segala dendam kebencian. Dia baru
berhenti ketika kedua tangannya terasa kaku dan lututnya
goyah, ketika tembok di mana mayat Ki Kamandoko
terbadai runtuh. Perlahan-lahan Simanti jatuh berlutut lalu
terduduk bersimpuh dan mulai menangis.
Kita kembali pada Dewi Tombak Api. Dengan
merangkak dia berhasil keluar dari lobang, lalu bergerak
mendekati sosok tubuh Pendekar 212 yang saat itu penuh
lecet dan luka akibat jilatan lidah api yang menyambar dari
Tombak Api dan berada dalam keadaan tak berdaya
karena anggota tubuhnya yaitu tangan dan kaki sulit untuk
digerakkan.
Dalam keadaan seperti itulah Wiro kemudian dapatkan
dirinya telah ditindih oleh tubuh Dewi Tombak Api.
“Apa yang ingin kau lakukan…?” desis Wiro. Dadanya
menggemuruh berusaha menahan rangsangan yang
bagaimanapun sebagai manusia normal tak bisa
dihindarinya.
Dewi Tombak Api angkat tangan kanannya yang
memegang Tombak Api. Wiro kumpulkan tenaga untuk
dapat bergerak karena dia merasa pasti si gadis akan
membunuhnya dengan senjata dahsyat di tangannya itu!
WIRO SABLENG
GUNA-GUNA TOMBAK API 12
API hal itu ternyata tidak terjadi. Dewi Tombak Api
tidak pergunakan senjatanya untuk menusuk dan
membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng. Nafasnya
yang memburu dan hangat menerpa wajah Pendekar 212.
Sepasang matanya yang berkilat-kilat liar mendadak
menjadi sayu, menatap lurus-lurus ke dalam mata Wiro.
“Apa yang kau tunggu! Kenapa tidak lekas-lekas
membunuhku…?” tanya Wiro.
“Aku akan mati… Kau akan mati… Kita akan sama-
sama mati, Wiro…” bisik Dewi Tombak Api. “Selagi masih
bisa bernafas mengapa kita tidak memilih mati dalam
kenikmatan…?” Lalu wajahnya ditempelkan ke wajah
Pendekar 212. Hidungnya menciumi kening, mata dan pipi
pemuda itu. Bibirnya dikecupkan ke bibir Wiro dan Wiro
dapat merasakan bahwa ludah Dewi Tombak Api telah
bercampur darah tanda lukanya di sebelah dalam semakin
parah.
“Kau tak mau memelukku Wiro… Kau tak mau
merangkul dan menciumku…? Ah… Aku tahu, tangan dan
kakimu tak bisa kau gerakkan. Aku akan tolong kau Wiro.
Akan kupulihkan kekuatanmu asalkan kau mau berjanji…”
“Berjanji apa?”
Dewi Tombak Api tersenyum mesra. Kembali dia
menciumi seluruh wajah Wiro. Perlahan-lahan Tombak Api
ditempelkannya ke tangan kanan Wiro, lalu perlahan-lahan
pula senjata itu diusapkannya mulai dari telapak tangan,
terus ke lengan sampai ke bahu.
Aneh! Begitu diusapkan Wiro kini bisa menggerakkan
tangan kanan itu. Dewi Tombak Api terus saja tersenyum.
T
Kini tangan kiri Wiro yang diusapnya dengan Tombak Api.
Hal yang sama terjadi seperti tangan kanan. Tangan kiri itu
kini bisa digerakkan.
“Kakimu sekarang… Kakimu akan kubebaskan. Setelah
itu berjanjilah kita akan bersenang-senang…” bisik Dewi
Tombak Api.
Sewaktu kedua kakinya bebas dan bisa digerakkan
kembali, niat semula hendak melemparkan tubuh Dewi
Tombak Api mendadak sontak lenyap. Kebencian apapun
yang ada dalam diri Pendekar 212 terhadap gadis itu sirna
dan berganti dengan perasaan lain. Darahnya mengalir
lebih cepat. Tubuhnya diserang oleh rangsangan aneh yang
membuat Wiro merangkul dan balas mencium gadis yang
ada di atasnya itu. Ketika Wiro hendak membalikkan tubuh
Dewi Tombak Api tiba-tiba ada bayangan kuning
berkelebat. Tombak Api yang ada di tangan kanan Dewi
Tombak Api terbetot lepas. Terdengar seruan kaget sang
dara lalu disusul oleh jeritannya yang keras.
Lalu mengumandang suara tawa mengekeh.
Wiro yang ikut kaget segera gulingkan diri. Ada percikan
darah membasahi pakaian putihnya!
“Puas…! Aku puas! Kematian sahabatku terbalas
sudah! Mampus kau gadis cabul!”
Wiro cepat berdiri dan berbalik.
Empat langkah di hadapannya tegak seorang nenek
berpakaian serba kuning dan berwajah juga kuning. Dia
bukan lain adalah salah seorang dari Sepasang Macan
Kuning dari Merapi. Kawannya si kakek muka kuning
menemui ajal di tangan Dewi Tombak Api beberapa waktu
lalu.
Hanya satu langkah di hadapan si nenek tergeletak
tubuh Dewi Tombak Api dalam keadaan tertelungkup.
Tombak Api miliknya, yang selama ini menjadi senjata
penimbul bala menancap di punggung kirinya. Si neneklah
yang telah merampas senjata itu dari tangan Dewi Tombak
Api lalu menusukkannya ke punggung si gadis sampai
menembus jantung! Untuk beberapa lamanya nenek
berwajah kuning ini masih tegak di tempat itu sambil
mengekeh puas, tapi sepasang matanya kelihatan berkaca-
kaca tanda dia ingat akan kematian sahabatnya.
“Aku puas… Aku puas…!” ujar si nenek berulang kali.
Lalu dia balikkan tubuh dan tinggalkan tempat itu. Wiropun
beranjak dari tempatnya berdiri. Sesaat dipandanginya
mayat Dewi Tombak Api. “Kasihan, kekejaman dunia
merenggut nyawanya seperti ini…” kata Wiro dalam hati.
Lalu dia ingat pada Simanti yang masih duduk bersimpuh
dan menangis.
“Simanti…” bisik Wiro seraya membelai rambut gadis
itu, “Sebentar lagi malam akan turun. Sebaiknya kita
segera tinggalkan tempat ini…”
Simanti usut air matanya, mengusap wajahnya
beberapa kali lalu memandang pada Wiro dan perlahan-
lahan anggukkan kepala. Wiro membantu gadis ini berdiri.
Sepasang mata Simanti menatap ke arah jenazah kakak
seperguruannya. “Bagaimanapun jahatnya dirinya, dia
tetap kakak seperguruanku. Jenazahnya harus aku urus.
Juga jenazah guru. Dan Tombak Api yang menancap di
tubuhnya itu… Kukira untuk beberapa lamanya masih
diresapi kekuatan guna-guna terkutuk itu. Kita harus
mengamankan senjata itu Wiro… Jangan sampai jatuh ke
tangan orang lain. Kalau sampai ada yang menemukan dan
mempergunakannya, apa yang dialami Sumitri akan
terulang kembali!”
Wiro mengangguk dan berkata, “Kita kuburkan saja dia
bersama senjata itu. Di dekat sini pasti ada kampung atau
desa. Kita minta bantuan penduduk setempat untuk
menggali dua lobang lahat. Satu untuk gurumu, satu lagi
untuk Sumitri…”
Simanti tak menjawab. Ketika Wiro menarik lengannya
dia melangkah mengikuti. Di sebelah barat sang surya
telah masuk ke titik tenggelamnya. Langit yang baru
disaput cahaya merah kekuningan kini berangsur-angsur
menjadi gelap menghitam. Daerah sekitar reruntuhan
candi itu tenggelam dalam kesunyian. Lapat-lapat mulai
terdengar suara burung hantu di kejauhan.
Kedua orang itu melangkah melewati reruntuhan
tembok candi di mana terkapar mayat Ki Kamandoko.
Ketika berlalu satu langkah tiba-tiba sosok tubuh yang
sudah jadi mayat itu bergerak bangkit! Satu hal yang tak
dapat dipercaya. Ternyata sewaktu sosok tubuh Ki
Kamandoko jatuh terbanting di atas tembok, manusia ini
telah lebih dahulu melakukan tenung. Sosok tubuh yang
ada di atas tembok hanya sosok jejadian belaka sedang
dirinya yang sebenarnya berada beberapa langkah dari
situ! Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Simanti,
apalagi oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Dengan susah payah Ki Kamandoko berlari ke arah
mayat Sumitri lalu mencabut Tombak Api yang menancap
di tubuh gadis itu. Begitu senjata tersebut berada dalam
genggamanya dengan cepat dihantamkannya ke arah
Pendekar 212 dan Simanti yang tengah berjalan
membelakangi.
Namun telinga Pendekar 212 tak dapat ditipu. Ketika Ki
Kamandoko berlari ke arah mayat Sumitri, Wiro telah
menangkap suara langkah-langkah juru tenung dan ahli
guna-guna itu. Dia membalikkan tubuh tepat pada saat
Tombak Api mencuatkan lidah api mengerikan ke arahnya.
Simanti terpekik. Wiro tersentak kaget tapi masih bisa
menguasai diri dan cabut Kapak Maut Naga Geni 212.
Wusss!
Lidah api menderu. Kapak Naga Geni 212 membabat di
udara. Suara seperti ribuan tawon mengamuk menggelegar
dan sinar putih panas menyilaukan berkiblat. Sinar putih
yang keluar dari kapak sakti serta sinar merah lidah api
yang keluar dari Tombak Api saling tabrak. Dentuman
dahsyat menggoncangkan tanah seperti membelah langit.
Lidah api tampak buyar bermuncratan begitu dihantam
sinar Kapak Maut Naga Geni 212. Wiro dan Simanti
terbanting roboh ke tanah. Ketika lidah api dan sinar putih
lenyap, sepuluh langkah di hadapan Wiro dan Simanti
tampak menggeletak sosok tubuh Ki Kamandoko hangus
menghitam, termasuk Tombak Api yang masih tergenggam
di tangan kanannya.
“Wiro… Aku takut…,” bisik Simanti di antara isakan.
“Semua sudah berakhir kini.” balas berbisik Wiro. Dia
berdiri diikuti oleh Simanti.
Tiba-tiba gadis ini menjerit.
“Wiro! Lihat!”
Wiro memandang ke tiga arah yang ditunjuk Simanti. Di
situ dilihatnya sosok tubuh Resi Tambak Kebo Kenanga
dan Dewi Tombak Api alias Sumitri juga telah berubah
menjadi mayat hangus akibat terkena hantaman sinar
Kapak Maut Naga Geni 212 dan lidah api yang saling
bertabrakan di udara.
TAMAT
Jakarta, 25 November 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar