56. MISTERI DEWI BUNGA MAYAT
SATU
DI DALAM KEDAI yang tak seberapa besar itu hawa terasa
hangat dan pengap padahal di luar hujan rintik-rintik dan angin
bertiup cukup keras. Pendekar 212 Wiro Sableng seharusnya sudah
sejak tadi meninggalkan kedai dengan perut kenyang. Namun seorang
dara berwajah manis yang setiap mata lelaki tak mau berkesip
memandangnya, membuat murid Sinto Gendeng itu tak beranjak dari
bangku yang didudukinya.
Si jelita itu makan dengan tenang di sudut kedai. Kepalanya
hampir selalu tertunduk. Namun dari tempatnya duduk Wiro bisa
melihat hampir keseluruhan wajah yang cantik itu. Sang dara
mengenakan pakaian putih sebentuk kebaya panjang dengan kancing
besar-besar yang tebuat dari kain putih. Dia tidak mengenakan kain
panjang sebagaimana biasanya orang memakai kebaya, tetapi
mengenakan sehelai celana panjang sebatas betis juga berwarna
putih. Sebagian betisnya yang tersembul tampak kukuh walaupun
tidak menyembunyikan kemulusan dan kelembutan serta keputihan
sebagai betis seorang dara.
Di luar kedai udara malam terasa dingin dan suasana tampak
tenang sunyi. Namun jika kita memalingkan kepala kea rah pohon
besar di halaman sebelah kedai, tampaklah empat orang lelaki muda
mendekam dalam gelap bebayangan pohon, duduk tak bergerak di
atas kuda masing-masing. Seekor kuda putih tertambat tak jauh dari
sana. Lalu masih ada seekor kuda lagi di samping kedai yang tidak
terikat dan berjalan perlahan-lahan mencari rerumputan.
“Sudah kukatakan sebaiknya kita masuk saja ke dalam kedai
itu. Kita tak tahu sampai berapa lama dia berada disana sementara
kita kedinginan disini…” salah seorang pemuda penunggang kuda
membuka mulut.
“Gandring! Jangan bicara tolol!” temannya membentak
perlahan. “Aki Sukri pemilik kedai itu kenal kita. Apa kau mau
mencari penyakit kalau kemudian dia bertindak menjadi saksi?!”
Gandring yang dibentak diam saja. Seorang kawan yang lain
berkata sambil menyeringai, “Kenapa udara dingin jadi persoalan?
Bukankah nanti kita semua bisa berhangat-hangat dengan si jelita
itu?!”
“Sebenarnya siapakah calon korban kita kali ini?!“ bertanya
lelaki ke empat yang duduk di punggung kuda sambil menghisap
sebatang rokok kawung.
“Soal siapa dia atau siapa namanya kurasa tidak perlu. Yang
penting, sore tadi kita sudah melihat bagaimana wajahnya secantik
bidadari. Kulitnya kuning mulus seperti kulit puteri kerajaan. Lalu
pinggangnya yang ramping sedang dada serta pinggulnya yang begitu
besar…!” Pemuda yang bicara ini membasahi bibirnya dengan ujung
lidah sementara tenggorokan tiga kawannya tampak bergerak-gerak
tanda mereka sama menelan air liur. “Seperti biasa, aku pemimpin
diantara kita berempat. Jadi pantas kalau nanti aku yang lebih dulu
menikmatinya. Ha…ha…ha…!” Pemuda itu tertawa perlahan
sementar tiga kawannya tampak merengut.
“Jumpadi… Kau selalu mementingkan diri sendiri. Dalam
segala hal selalu ingin duluan, dalam pembagian selalu ingin lebih
besar. Sekali-sekali kami anak buahmu pantas juga mendapat
perolehan lebih besar dan tidak cuma mendapatkan bekasmu!”
Pemuda bernama Jumpadi berpaling. “Bladu…! Kau rupanya
punya niat hendak mengambil kedudukan pimpinan dari tanganku?!”
bertanya Jumpadi dengan mata melotot. Yang ditanya diam saja.
Jumpadi meneruskan, “Aku sudah berapa kali mengatakan. Jika ada
di antara kalian ingin jadi pimpinan rombongan kita silakan saja.
Tapi harus melewati mayatku lebih dulu. Jika ada yang tidak suka
dan ingin mengundurkan diri, juga aku persilakan. Satu pergi ada
sepuluh orang yang ingin bergabung denganku!”
“Sudahlah, kenapa kalian jadi bertengkar. Lihat ke kedai. Ada
orang melangkah keluar!” berkata pemuda bernama Ambalit.
Mendengar ucapannya itu tiga pemuda lainnya serta merta palingkan
kepala ke arah pintu kedai. Di ambang pintu yang masih terkena
cahaya lampu minyak dari dalam kedai kelihatan melangkah keluar
seorang berpakaian serba putih.
“Memang dia yang kita tunggu-tunggu!” kata Jumpadi. Lalu
pada ketiga temannya dia berkata, “Kita tetap tenang saja. Jangan
memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Tunggu sampai dia naik
ke atas kudanya dan pergi. Jika aku bergerak baru kalian ikut
bergerak. Awas, jangan berani mendahuluiku!”
Empat pasang mata memperhatikan dara berpakaian putih
keluar dari dalam kedai, melangkah ke arah kudanya yang tertambat
di halaman depan. Dia melangkah seperti tidak melihat ada empat
penunggang kuda mendekam di bawah pohon besar yang gelap.
Dengan tenang dia melepaskan tambatan kudanya lalu naik ke atas
punggung binatang berwarna putih ini.
Sesaat setelah sang dara berlalu baru Jumpadi menarik tali
kekang kuda tunggangannya. Tiga kawannya langsung membedal
kuda masing-masing.
Di pintu pondok Pendekar 212 Wiro Sableng sempat melihat
gerakan empat penunggang kuda itu. Selain dia sendiri memang ingin
mengikuti gadis berkebaya putih tadi, empat orang lelaki
penuunggang kuda yang barusan berlalu membuat hatinya jadi
curiga. Wiro memandang berkeliling. Celakanya dia tidak memiliki
kuda. Bagaimana harus mengejar orang-orang itu? Ketika dia
memandang berkeliling sekali lagi, dilihatnya ada seekor kuda di
halaman samping tengah asyik merumput di kegelapan malam.
Tanpa pikir panjang lagi Wiro langsung menghampiri binatang ini,
mengusap tengkuknya lalu melompat ke atas punggungnya.
Di saat yang bersamaan dari pintu kedai keluar Aki Sukri
pemilik kedai yang sekaligus si empunya kuda. Melihat kudanya
dibedal orang diapun berteriak sambil mengejar. “Hai! Kudaku!
Jangan kau larikan! Maling….! Pencuri kuda!”
“Aku tidak mencuri! Aku hanya meminjam kudamu!” teriak
Wiro lalu menghambur lenyap di kegelapan malam.
Aki Sukri yang sudah tua tentu saja tak mungkin mengejar.
Marah dan penasaran dia mengambil batu dan melempar ke arah
Wiro. Tapi yang dilempar sudah menghilang di kejauhan.
Gadis berpakaian putih itu meskipun tahu ada orang-orang
mengejarnya tetap saja menunggangi kuda dengan sikap tenang
bahkan seperti santai. Dalam waktu cepat empat pemuda itu berhasil
mendekatinya. Saat itulah sang dara menyentakkan tali kekang
tunggangannya. Kuda putih itu laksana anak panah melesat dari
busurnya, melompat sebat meinggalkan para pengejar. Empat
pemuda jadi penasaran. Mereka memacu kuda, meneruskan
pengejaran sekencang-kencangnya. Hampir keempatnya mendekati si
gadis dan mencapai kuda putih itu, tiba-tiba si gadis kembali
menggebrak tunggangannya meninggalkan empat pemuda jauh di
belakang.
“Kurang ajar!” maki Jumpadi. Pemuda ini kenal betul seluk
beluk jalan yang ditempuhnya, termasuk daerah sekitar situ. Maka
diapun berteriak pada tiga kawannya, “Gadis itu sengaja
mempermainkan kita! Ambil jalan sebelah kanan. Kita pasti bisa
memotong jalannya sebelum dia mencapai jembatan bambu di Kali
Wates!”
Maka empat kuda itu tampak membelok ke kanan, menyusuri
kaki bukit kecil terus menuju selatan. Dalam waktu singkat mereka
berhasil mencapai jembatan bambu yang dikatakan Jumpadi tadi. Di
sini mereka berjejer dua di sisi kiri, dua di sisi kanan. Sebentar lagi
dara berbaju putih itu pasti akan muncul.
Di kejauhan memang terdengar suara kaki kuda dipacu
mendatangi. Sesaat kemudian tampak penunggang berpakaian putih
tapi kudanya berwarna coklat kehitaman.
“Bangsat! Bukan dara itu!” kertak Jumpadi marah. Yang
muncul ternyata adalah seorang pemuda berpakaian putih, berambut
gondrong dan bukan lain adalah murid Sinto Gendeng! Ketika
Jumpadi hendak memaki lagi, di belakang mereka terdengar suara
kuda meringkik.
Heran tapi juga terkejut Jumpadi dan tiga kawannya palingkan
kepala. Astaga! Apa yang mereka lihat! Di jalan di seberang jembatan
bambu tampak seekor kuda putih dan penunggangnya tegak
membelakangi.
“Itu dia!” seru Ambalit.
“Aneh! Bagaimana mungkin dia sampai di seberang sana lebih
dulu dari kita?!” Jumpadi berkata penuh heran.
“Jumpadi, lihat! Gadis itu mengunggangi kudanya perlahan-
lahan. Seperti sengaja menunggu kita!” berkata Bladu.
“Dia bukan menunggu, tapi benar-benar mempermainkan kita!”
ujar Gandring.
Rahang Jumpadi menggembung. “Saat ini dia bisa
mempermainkan kita. Tapi lihat nanti! Nanti aku yang akan
mempermainkannya sampai dia menjerit minta ampun!”
Habis berkata begitu Jumpadi menggebrak kudanya. Tiga
pemuda lainnya menyusul mengejar. Dan di belakang mereka
Pendekar 212 Wiro Sableng kembali mengikuti. Celakanya kuda yang
ditunggangi Wiro tidak mampu berlari cepat dan dalam perjalanannya
sudah beberapa kali membuang kotorannya.
“Binatang sontoloyo!” maki Wiro. “Kotoranmu saja yang banyak.
Larimu seperti siput!”
* * *
KEJAR MENGEJAR ANTARA dara berbaju dan berkuda putih
dengan empat pemuda itu berlansung terus hampir sepeminuman teh
sementara dengan kuda bututnya Wiro masih terus mengikuti walau
tertinggal jauh di belakang.
“Jumpadi, lihat!” Gandring tiba-tiba berseru. “Gadis yang kita
kejar itu mengambil jalan ke kanan, mengarah ke bukit!”
“Kalau dia menuju ke sana memangnya mengapa?!” sentak
Jumpadi yang saat itu tengah jengkel karena masih belum berhasil
mendekati apalagi menangkap dara yang tengah mereka kejar.
“Itu jalan menuju pekuburan Batuwungkur!” menyahuti
Gandring.
“Ke nerakapun aku akan tetap mengejarnya!” kata Jumpadi
pula. “kalau kau dan yang lainnya merasa takut, kembali saja! Biar
aku sendiri meneruskan pengejaran! Tapi awas! Jangan nanti kalian
ribut-ribut karena tidak mendapat bagian!” Lalu Jumpadi
menggebrak kudanya agar lari lebih kencang.
Batuwungkur memang sebuah daerah pekuburan yang terletak
di sebuah bukit yang cukup tinggi. Walaupun hari malam dan hujan
turun rintik-rintik saat itu, namun karena pekuburan merupakan
kawasan yang terbuka, dengan jelas tampak dara berbaju putih
bersama kudanya berhenti di salah satu bagian pekuburan,
menghadap ke arah utara dari mana para pengejarnya akan segera
muncul. Tak lama kemudian empat pemuda itu sudah kelihatan di
arah masuk pekuburan.
Sang dara mengelus kepala kuda putihnya beberapa kali lalu
berbisik, “Kuda, kau pergilah. Aku kedatangan tamu yang harus
kulayani sebaik-baiknya…”
Kuda putih itu seolah mengerti, geserkan pipinya ke tangan
sang dara lalu tinggalkan tempat itu. Saat itu udara di bukit dingin
sekali. Di beberapa bagian tampak kabut menutupi pemandangan.
Tak lama kemudian empat pemuda pengejar sampai di
pekuburan Batuwungkur. Sesaat mereka berhenti di arah jalan
masuk dan memandang ke depan.
“Gadis itu jelas menuju ke pekuburan ini!” desis Jumpadi.
“Tapi aneh orang dan kudanya sama sekali tidak kelihatan…?! Tak
mungkin dia bersembunyi. Sama sekali tak ada tempat untuk
berlindung…”
Jumpadi memandang pada tiga temannya lalau berkata, “Ikuti
aku…”
Dengan perlahan-lahan ke empat orang itu memasuk daerah
pekuburan. Jumpadi di sebelah depan, tiga kawannya mengikuti
dengan rasa was-was. Sampai di bagian tengah pekuburan masih
belum terlihat orang yang mereka cari.
Kabut di sebelah timur bukit perlahan-lahan turun ke tanah.
Saat itulah keempat pemuda tadi sama melihat dara berbaju putih itu
duduk di atas sebuah batu, di bawah sebatang pohon kemboja kecil.
Disampingnya ada sederetan makam. Makam yang paling dekat
sudah sangat rusak kayu nisannya sehingga tak bisa terbaca siapa
nama penghuninya.
“Jumpadi… Gadis itu ada di sebelah sana. Duduk di bawah
pohon kemboja…” bisik Bladu.
“Aku sudah melihatnya!” jawab Jumpadi. Lalu tidak seperti
kawan-kawannya yang merasa was-was, dengan hati yang sudah
terbakar nafsu dia membawa kudanya ke arah gadis berbaju putih
duduk di bawah pohon. Tiga pemuda lain sesaat saling pandang.
Akhirnya ketiganya bergerak juga mengikuti.
Pada saat itulah terdengar suara orang menyanyi. Nyanyian itu
seperti datang dari kejauhan tetapi cukup jelas masuk ke dalam
telinga empat pemuda tadi.
Jika hidup di dunia tidak berguna
Kematian memang lebih pantas bagi manusia
Ada yang mati karena nasib sengsara
Tapi banyak yang mati karena sengaja mencari sengsara
Jumpadi dan kawan-kawannya terhenti sesaat begitu
mendengar suara nyanyian itu.
“Siapa yang menyanyi…?” bisik Ambalit.
“Itu suara perempuan. Mungkin gadis yang duduk dekat
makam itu yang menyanyi…” menyahuti Bladu. Suaranya bergetar
tanda ada rasa takut dalam dirinya.
“Tak ada setan di sini! Yang menyanyi jelas dara berbaju putih
itu!” ujar Jumpadi lalu kembali bergerak ke arah gadis yang duduk di
atas batu, tidak menmperdulikan ucapan Gandring yang mengatakan
bahwa dia tidak melihat kuda putih milik gadis itu.
“Tidak disangka! Kau bukan saja cantik jelita tapi ternyata juga
pandai menyanyi…” Jumpadi berucap begitu sampai di hadapan sang
dara yang duduk membelakanginya. Punggung dan pinggulnya
tampak lebar sementara pinggangnya begitu tamping. Rambutnya
yang panjang tergerai lepas di bahu.
Tanpa berpaling terdengar si gadis bertanya, “Kau suka
nyanyianku tadi rupanya…?”
“Tentu saja! Siapa orangnya yang tidak suka mendengar suara
semerdu buu perindu dari seorang jelita secantik bidadari…!”
“Ah, apakah kau pernah melihat bidadari…?” bertanya si gadis
masih tidak memalingkan kepala ataupun memutar duduknya.
“Belum. Tapi jika memang ada aku yakin bidadari itu secantik
dirimu. Namaku Jumpadi. Siapakah namamu…?”
“Kau sudah menganggap aku bidadari. Panggil saja aku dengan
nama itu. Hai… tadi kau bilang suka mendengar nyanyianku. Apa
kau ingin mendengarkannya sekali lagi…?”
Jumpadi memandang pada tiga kawannya yang saat itu sudah
berjejer di sampingnya. “Tentu… tentu saja aku suka mendengar
nyanyianmu tadi.”
“Hanya kau sendiri? Bagaimana dengan tiga kawanmu
lainnya?”
Jumpadi menoleh pada tiga kawannya dan menganggukkan
kepala memberi isyarat. Maka Bladu, Ambalit, dan Gandring
langsung menjawab, “Kami bertiga juga ingin mendengar suara
merdu nyanyianmu tadi…”
“Bagus. Jangan cuma mendengarkan saja tapi juga coba kalian
resapi makna nyanyian itu…” berkata gadis baju putih. Lalu kembali
dia menyanyi seperti tadi.
Jika hidup di dunia tidak berguna
Kematian memang lebih pantas bagi manusia
Ada yang mati karena nasib sengsara
Tapi banyak yang mati karena sengaja mencari sengsara
Begitu suara nyanyian sirap, tempat itu berada dalam
kesunyian sebelum tiba-tiba kembali terdengar suara sang dara
berkata.
“Kalian sudah mendengar nyanyianku. Sekarang katakan apa
maksud kalian mengejarku dan menemuiku di tempat ini…”
“Ah…hem… Kami empat pemuda yang suka bersedekah,
memberi derma pada sesama, terutama pada gadis secantikmu ini…”
jawab Jumpadi sambil menyeringai.
“Maksudmu..?”
“Maksudku kami suka sekali memberi sedekah kenikmatan
hidup. Itulah sebabnya kami mengejarmu…”
“Hem… begitu? Kenikmatan hidup macam apa yang kau
maksudkan? Bicaralah yang jelas agar aku mengerti…”
“Aku dan kawan-kawan akan membawamu ke satu tempat
yang indah…”
”Tempat yang indah? Apakah tempat ini menurut kalian tidak
indah? Cobalah kalian memandang berkeliling!”
Jumpadi dan kawan-kawannya jadi tercekat mendengar kata-
kata si gadis itu. Bladu lalu membuka mulut.
“Tempat indah yang kamu maksudkan itu bukan di sini. Tapi
satu tempat dimana kita bisa bersenang-senang…”
Saat itu Jumpadi sudah turun dari kudanya dan melangkah
mendekati.
Tiba-tiba terdengar suara si gadis tertawa. Tawa yang membuat
Jumpadi hentikan langkahnya.
“Bersenang-senang… Manusia selalu ingin bersenag-senang.
Walau terkadang tidak sadar bahwa dibalik kesenangan itu
bersembunyi kesengsaraan…”
“Ah, kami tidak akan menyengsarakan gadis secantikmu,
bidadariku…” ujar Jumpadi pula.
Lalu dengan satu gerakan kilat dan tiba-tiba pemuda ini
tusukkan dua jari tangan kanannya untuk menotok punggung sang
dara. Namun mendadak Jumpadi keluarkan seruan tertahan. Satu
hawa yang mengandung kekuatan aneh seperti mendorong tangan
kanannya sehingga dia tidak mampu melakukan totokan. Pemuda ini
tidak mampu melakukan totokan. Pemuda ini lantas kerahkan
tenaga. Akibatnya kii bukan saja tangannya yang terpental tapi
tubuhnya juga terdorong sampai dua langkah. Sementara sang dara
sendiri kembali perdengarkan suara tertawa. Lalu perlahan-lahan dia
berdiri dari batu yang didudukinya, muemutar tubuh menghadapi
Jumpadi dan tiga kawannya yang masih berada di atas punggung
kuda masing-masing.
Sikap sang dara yang tegak dengan kaki terkembang dan
tangan diletakkan di pinggangnya, membuat empat pemuda itu
tambah blingsatan. Ambalit dan dua kawannya segera melompat
turun dari kuda mereka.
“Betulkah kalian hendak bersenang-senang bersamaku..?” tiba-
tiba sang dara ajukan pertanyaan blak-blakan yang membuat
pemuda itu jadi terbeliak, dan lebih terbeliak lagi ketika mereka
melihat bagaimana jari-jari tangan kiri sang dara membuka dua
kancing teratas kebaya putihnya. Kelihatanlah dadanya yang putih
membusung. Jumpadi yang berdiri paling depan malah bisa melihat
celah diantara kedua payudaranya yang ketat.
Menghadapi hal yang tidak terduga yaitu bahwa ternyata sang
dara mengerti maksud mereka malah kini siap membuka pakaiannya,
Jumpadi memberi isyarat pada tiga kawannya.
“Kalian bertiga tunggu di tempat jauh…” Tapi tiga pemuda
hanya melangkah mundur sejauh dua tombak.
Jumpadi berpaling pada sang dara kembali dan berkata, “Jika
bidadariku sudah mengerti maksud kami, disinipun kita bisa
bersenang-senang. Bukankah katamu tadi tempat ini juga indah…?”
Sang dara tersenyum dan anggukkan kepala.
Jari tangannya membuka kancing ketiga. Jumpadi merasa
seperti dipanggang nafsu. Tangannya bergerak hendak meraba dada
gadis di depannya tapi si gadis mundur seraya berkata, “Tunggu…
Tidakkah kau mencium bau sesuatu…?”
Jumpadi mengendus. Lalu gelengkan kepala. “Bau apa? Aku
tidak mencium bau apa-apa..!” jawabnya sementara kedua matanya
tidak lepas dari dada yang tersingkap.
“Cobalah mengendus lebih dalam…” bisik si gadis dengan suara
lirih yang membuat Jumpadi jadi luruh tapi juga tambah bernafsu.
Jumpadi mendongak ke atas lalu mencium lama-lama dan
dalam-dalam. Ketika kepalanya diturunkan dia berkata, “Ya… aku
mencium sesuatu. Bau… bau… bunga…”
“Ah, penciumanmu ternyata tajam. Tapi bau bunga apa?
Dapatkah kau mengatakannya…?”
“Itu bau bunga… bunga kenanga!”
“Kau betul! Kau menyebutnya bunga kenanga. Aku
menyebutnya bunga orang mati. Bunga mayat!”
Habis berkata begitu sang dara keluarkan tawa. Mula-mula
perlahan tapi lama-lama semakin keras.
Di hadapannya, Jumpadi yang sudah kelangsangan menahan
nafsu kembali mendekat dan berbisik, “Bidadariku, mari kita pindah
ke bawah pohon di sebelah sana. Di situ tanahnya lebih rata…”
Sang dara tersenyum dan menggeliat. Gerakan tubuhnya ini
membuat bajunya yang tidak terkancing tambah tersingkap lebar.
Jumpadi tak tahan lagi. Serta merta saja tubuh gadis itu
diterkamnya. Jumpadi yang dilanda nafsu sama sekali tidak melihat
bagaimana wajah cantik jelita yang tadi tersenyum kini tiba-tiba
berubah. Senyum lenyap dan wajah itu kini membersitkan
kebengisan luar biasa! Senyum berubah dengan seringai maut!
Hampir tak kelihatan gadis itu gerakkan tangan kanannya.
Sebuah benda berwarna kuning melesat. Bau bunga kenanga yang
sangat tajam menebar di udara malam. Lalu terdengar pekik
Jumpadi!
* * *
PEMUDA BERNAMA JUMPADI itu roboh ke tanah dan tak
berkutik lagi. Tiga kawannya berteriak kaget lalu sama-sama
memburu. Dan bergidiklah mereka melihat apa yang terjadi. Jumpadi
menggeletak melintang di atas makam. Dia telah jadi mayat.
Mukanya berlumuran darah. Kedua matanya mencelet. Diantara
lumuran darah itu tampak menancap sekuntum bunga kenanga
kuning. Dan disaat itu pula udara di situ dibuncah oleh bau bunga
kenanga!
Ambalit, Gandring, dan Bladu memandang melotot ke arah
dara berbaju putih. Si gadis tegak dongakkan kepala. Dari sela
bibirnya yang merah mendesau suara tawa. Mula-mula perlahan lalu
makin keras dan panjang. Meski jelas yang berdiri di hadapan mereka
adalah seorang gadis cantik jelita namun saat itu tiga pemuda tadi
merasakan bulu tengkuk berdiri dan mereka seperti melihat setan
kepala tujuh!
“Dewi Bunga Mayat!” teriak mereka bersamaan. Lalu serentak
ketiganya melompat jauh dan putar tubuh ambil langkah seribu.
Di belakang mereka terdengar suara tertawa panjang. “Kalian
hendak lari kemana? Mengapa lari…? Bukankah maksud kalian
hendak bersenang-senang bersamaku malam ini? Hik…hik…hik…!”
Mendengar ucapan itu, tiga pemuda sama lari tunggang
langgang. Tapi baru lari beberapa belas langkah tahu-tahu ada
bayangan menyambar di hadapan mereka dan dara berbaju kebaya
putih itu tiba-tiba sudah menghadang sambil terus keluarkan suara
tertawa cekikikan.
“Dewi Bunga Mayat! Maafkan kami! Ampuni selembar nyawa
kami!” berkata Ambalit seraya jatuhkan diri berlutut.
“Benar Dewi, ampuni dosa kami! Kami tidak tahu kalau kau
adalah Dewi Bunga Mayat…” berkata pula Bladu seraya jatuhkan diri
sementara Gandring ikut-ikutan berlutut tapi tak mampu keluarkan
kata-kata hanya manggut-manggut dengan mata melotot.
“Ha…ha…! Kalian minta ampun setelah nama kalian tertera di
pintu akhirat! Terlambat… terlambat!“ ujar dara berbaju putih yang
dipanggil dengan sebutan Dewi Bunga Mayat. “Bersiaplah untuk
menerima kematian!”
“Dewi, jangan!” ratap Ambalit.
Saat itu sang dewi sudah angkat tangan kanannya.
“Kawan-kawan!” tiba-tiba Gandring berkata, “daripada mati
percuma lebih baik berusaha mempertahankan hidup!” Lalu pemuda
ini keluarkan goloknya. Dua kawannya yang tadi sudah merasa tidak
punya harapan hidup lagi, melihat apa yang dilakukan Gandring jadi
muncul keberaniannya dan segera pula mencabut senjata masing-
masing. Bladu menghunus sebilah keris sedang Ambalit mencabut
sebatang besi yang ujungnya penuh tonjolan runcing seprti penggada.
“Ha…ha…! Kailan pemuda-pemuda pemberani! Majulah
berbarengan agar cepat aku membereskan kalian!” seru Dewi Bunga
Mayat.
Ambalit, Bladu dan Gandring melompat menyergap. Tiga
senjata berkelebat. Saat itu justru terdengar suara orang membentak.
“Manusia-manusia pengecut! Terhadap seorang dara kalian
berani main keroyok!”
Satu bayangan berkelebat. Gandring terdorong hampir jatuh.
Bladu terpelintir sempoyongan sedang Ambalit menggerung kesakitan
sambil pegangi bibirnya yang pecah terkena jotosan keras. Lima
giginya rontok!
Dewi Bunga Mayat yang barusan hendak menghantamkan
tangan kanannya hentikan gerakan dan mundur dua langkah. Di
hadapannya tegak seorang pemuda berambut gondrong. Pemuda
inilah yang tadi membuat dua orang penyerangnya terpelanting dan
seorang lagi pecah mulutnya. Dewi Bunga Mayat ingat, pemuda ini
adalah yang ada dalam kedai yang selalu memperhatikanya. Dia tidak
ada sangkut paut dengan pemuda itu dan merasa jengkel karena
berani mencampuri urusannya. Sebelum sang dewi sempat
membentak si gondrong telah lebih dulu menjura seraya berkata,
“Maafkan kalau aku membuatmu marah. Aku tidak bermaksud
mencampuri urusanmu. Aku hanya tidak suka melihat tiga pengecut
ini mengeroyokmu!”
“Kalaupun mereka mengeroyokku apa kau kira mereka bisa
mengalahkanku?! Menyentuh tubuhku sajapun mereka tidak bakal
mampu! Lalu apa pasalmu masuk dalam kalangan perkelahian?!”
Wiro tak bisa menjawab dan hanya garuk-garuk kepala.
“Menyingkirlah! Atau kaupun ingin kubunuh bersama tiga
pemuda laknat itu?!” sentak Dewi Bunga Mayat.
“Ah, aku bukan orang yang termasuk dalam nyanyianmu! Aku
bukan manusia mencari sengsara!” jawab Wiro lalu cepat-cepat
mengundurkan diri menjauh.
“Apakah kalian sudah siap untuk mampus?!” Dewi Bunga
Mayat membentak.
Tiga pemuda yang sudah lumer nyalinya apalagi yang bernama
Ambalit yang cidera berat mulutnya, tanpa tunggu lebih lama lagi
segera putar tubuh ambil langkah seribu.
Sang dara tertawa tinggi. Ketika tawa itu lenyap dan wajahnya
berubah bengis, bersamaan dengan itu Wiro melihat tangan
kanannya bergerak tiga kali berturut-turut. Bau harum bunga
kenanga bertebar di udara malam. Tiga benda melesat di kegelapan
malam. Di depan sana tiga pemuda yang menyelamatkan diri
terdengar menjerit lalu roboh malang melintang di atas tanah
kuburan. Tak satupun yang berkutik dan bernafas lagi. Mereka
menemui ajal dengan punggung, tengkuk, dan batok kepala ditancapi
bunga kenanga alias bunga mayat!
Pendekar 212 leletkan lidah, memandang ternganga ke arah
gadis berbaju putih itu. Tiba-tiba dia jadi tergagap ketika sang dara
berpaling ke arahnya seraya mengangkat tangan.
“Sekarang kau juga harus bersiap menerima kematian pemuda
gondrong! Susul kawan-kawanmua itu!”
“Hei! Tunggu!” seru Wiro seraya mundur dua langkah. “Aku
bukan komplotan empat pemuda yang barusan kau bunuh!”
“Siapa percaya pada dirimu?!” Dewi Bunga Mayat menghardik
sambil memandang melotot.
“Aku tidak suruh kau percaya! Tapi aku bicara sejujurnya!”
ujar Wiro dan balas melotot. Dua pasang mata yang sama-sama
melotot saling beradu pandang. Sang dewi angkat tangan kanannya.
* * *
WAJAH YANG CANTIK jelita itu berubah menjadi bengis.
Pendekar 212 Wiro Sableng tahu apa artinya ini. Maut! Namun entah
mengapa dia tidak berusaha menyelamatkan diri dengan menyingkir
atau melompat. Juga sama sekali tidak mengerahkan tenaga dalam
dan menyisipkan pukulan sakti untuk menghadapi serangan lawan
yang mematikan. Murid Sinto Gendeng ini berdiri tidak bergerak
seolah-olah pasrah. Hanya sepasang matanya yang membesar
memandang tak berkesip tepat-tepat ke dalam mata gadis di
hadapannya.
Dewi Bunga Mayat merasakan ada hawa aneh yang menyambar
dari sepasang mata pemuda di hadapannya, masuk ke dalam
tubuhnya lewat sepasang matanya sendiri dan membuat getaran-
getaran aneh di dadanya. Semakin dia memandang marah pada
pemuda itu, semakin tidak keruan jantungnya.
“Aneh…! Apa yang terjadi dengan diriku?! Mengapa aku hanya
mampu menunjukkan sifat keras tetapi hati kecilku sendiri tidak
berkata begitu. Sepasang matanya itu… aku tak sanggup
memandangnya. Siapa pemuda ini sebenarnya…!” Rentetan kata-kata
itu menggema dalam lubuk hati sang dewi. Perlahan-lahan dia
turunkan tangan kanannya yang tadi siap melancarkan serangan
maut. Bunga kenanga kuning yang tadi ada dalam genggaman
tangannya jatuh tercampak ke atas tanah pekuburan.
Pendekar 22 menarik nafas lega dan tersenyum.
“Terima kasih, kau tak jadi membunuhku…” ujar Wiro.
“Saat ini tidak, tapi lain kali mungkin saja!” jawab Dewi Bunga
Mayat kembali galak. “Sekarang katakan apa keperluanmu datang ke
tempat ini. Kau sebelumnya kulihat ada di kedai Aki Sukri…”
“Itu betul…”
“Kau mengikutiku ke tempat ini!”
“Kalau begitu jelas kau kawan dari empat pemuda yang sudah
jadi bangkai ini!”
“Itu yang tidak betul!”
Sang dara kerenyitkan kening. Dalam keadaan tidak mengerti
dan tidak percaya seperti itu dimata Wiro wajahnya tampak jadi lebih
cantik.
“Aku tidak percaya!”
“Aku tidak suruh kau musti percaya saudari… Eh, bagaimana
aku harus memanggilmu. Aku tak tahu namamu. Kudengar orang-
orang itu memanggilmu dengan gelar Dewi Bunga Mayat. Apa aku
harus memanggilmu begitu juga? Atau Dewi saja…? Bisa juga Bunga
saja. Eh… tentu tidak dengan sebutan Mayat saja…” Wiro tertawa
dan lihat wajah gadis di depannya menjadi merah.
“Maafkan aku. Aku hanya bergurau. Aku akan panggil kau
dengan nama Bunga… Itu nama paling indah di dunia. Sesuai
dengan kecantikan orangnya…”
Sang dara tidak memberikan reaksi apa-apa.
Wiro garuk-garuk kepala lalu bertanya, “Boleh aku tahu
mengapa kau diberi gelar dan disebut sebagai Dewi Bunga Mayat? Itu
bukan nama sembarangan. Dan senjatamu membunuh ke empat
pemuda itu. Kuntuman bunga kenanga! Kau pasti seorang pendatang
baru berkepandaian luar biasa dalam dunia persilatan…!”
“Kau sudah menjawab sendiri pertanyaanmu. Aku tidak punya
waktu lama. Sekarang lekas katakan siapa dirimu!”
“Namaku Wiro Sableng. Aku orang tersesat dari Gunung Gede.”
“Hemmm… Sableng sama dengan Gendeng. Gendeng sama
dengan Sinting. Sinting sama dengan Gila! Jadi pemuda macam
begitulah kau rupanya!”
“Ah… kira-kira begitulah!” jawab Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Dalam hatinya Dewi Bunga Mayat membatin. “Manusia aneh
yang satu ini mungkin konyol, mungkin juga memang sinting!”
Lalu sang dewi mendongak ke langit malam yang gelap. Seolah-
olah membaca sesuatu di atas sana mulutnya terdengar berkata,
“Namamu Wiro Sableng… kau datang dari Gunung Gede. Gurumu
seorang nenek sakti mandraguna bernama Sinto Gendeng.
Sahabatmu setumpuk tapi orang yang tak suka padamu bertumpuk-
tumpuk…”
“Apakah kau…” Wiro memotong.
“Aku belum selesai membaca riwayatmu! Jangan bertanya
dulu!” membentak dara itu. Lalu dia menengadah ke atas kembali.
“Sahabatmu setumpuk tapi orang yang tak suka padamu bertumpuk-
tumpuk. Kau membekali dirimu dengan senjata semacam kapak
aneh. Tubuhmu tidak mempan racun selama senjata itu menempel di
badanmu. Kau tidak suka minuman keras tapi kau suka menggoda
perempuan. Kau…”
Sang dewi tidak teruskan ucapannya.
“Ah.. bacaanmu sudah habis rupanya. Sekarang biar aku yang
ganti membaca!” kata Wiro. Lalu pemuda ini lakukan sikap seperti
sang dara, mendongak ke langit dan mulai berucap.
“Langit malam gelap gulita…
Udara dibungkus kesejukan embun yang siap turun
Di tempat ini bertaburan makam anak manusia
Ada yang sudah terkubur
Tapi ada empat yang masih malang melintang
Empat yang menemui ajal karena sengaja menacari sengsara
Aku berdiri di sini
Tapi tidak sendiri
Di hadapanku tegak seorang dara…”
“Kau ini melawak atau tengah membaca syair…” Dewi Bunga
Mayat memotong penasaran.
“Aku belum selesai membaca! Jangan memotong dulu!” Wiro
membentak, persis seperti yang tadi dilakukan oleh sang dewi.
Melihat hal ini mau tak mau sang dara jadi gelengkan kepala dan
diam-diam merasa geli. Senyum menyeruak di bibirnya yang merah.
Wiro melanjutkan ‘bacaannya’.
“Di hadapanku tegak seorang dara
Berbaju putih berwajah jelita
Saat ini dia tersenyum
Tersenyum entah untuk siapa
Mungkin untuk para penghuni makam
Mungkun juga untuk empat pemuda yang sudah putus nyawa
Syukur-syukur kalau senyum itu untukku
Si jelita tidak bernama
Yang kupanggil dengan nama Indah, Bunga
Memiliki kepandaian luar biasa
Syukur-syukur kalau aku bisa jadi sahabatnya….
Ah, bacaanku sudah selesai….”
Wiro palingkan kepalanya. Dilihatnya sang dara masih
tersenyum. Lalu diapun tertawa gelak-gelak.
Dewi Bunga Mayat membuka mulut, “Syairmu bagus, Cuma
sayang aku tidak mau bersahabat denganmu…”
“Ah nasibku memang jelek kalau begitu. Kau tidak mau karena
aku sableng, sinting… gendeng… gila…?”
Dewi Bunga Mayat tidak menjawab tapi dalam hatinya dia
berkata, “Kau memang mungkin sinting. Tapi bukan itu alasanku
tidak suka bersahabat denganmu. Aku tidak bisa mengatakannya…”
“Apakah kita bisa bertemu lagi, Bunga?”
Sang dara mendengar pertanyaan itu dan berpaling pada Wiro.
Dia menatap wajah mpemuda itu sesaat lalu menjawab, “Aku tidak
tahu. Sekarang aku ingin meninggalkan tempat ini. Kau silakan pergi
duluan….”
“Tidak, aku tetap disini. Kalau kau memang ingin pergi,
pergilah. Aku berdiri disini memperhatikan kepergianmu… Tapi
sebelum kau pergi kancingkan dulu bajumu. Salah-salah kau bisa
masuk angin…”
Paras sang dara jadi merah. Seolah baru sadar akan keadaan
dadanya yang sejak tadi tersingkap, cepat-cepat dia membalik dan
kancingkan kebaya putihnya.
“Manusia satu ini benar-benar kurang ajar, konyol dan juga
keras kepala. Bagaimana ini, bagaimana aku harus menyuruhnya
pergi…?” membatin bingung sang dara dalam hati. “Hanya kabut
yang bisa menolongku. Kabut… turunlah lebih banyak. Tolong aku…”
Dan terjadilah hal yang aneh. Seolah-olah ucapannya mujarab
sekali saat itu tiba-tiba saja kabut turun banyak sekali.
Pemandangan di pekuburan menjadi sangat terbatas.
Ketika sekelompok kabut menyaputi tempat dimana mereka
berdiri, meskipun hanya terpisah dekat namun Wiro mendadak tak
dapat lagi melihat sosok Dewi Bunga Mayat. Lalu sesaat kemudian
ketika kabut pupus, dara itu tak ada lagi ditempatnya berdiri!
Wiro terkesiap. Memandang berkeliling. Menyusuri seluruh
daerah pekuburan itu dengan kedua matanya yang tajam. Tapi sang
dara tetap saja tidak kelihatan lagi.
“Tidak mungkin dia bisa pergi secepat itu!” Wiro memandang
lagi. “Eh, kuda putihnya yang tadi ada di ujung sana juga lenyap!
Gadis aneh. Gelarnya juga aneh. Senjatanya lebih aneh… hanya
sekuntum bunga kenanga. Yang juga mengherankan bagaimana dia
tahu banyak tentang diriku. Apakah sewaktu mendongak ke langit
dia memang benar-benar membaca seperti membaca sesuatu…? Ah
tak masuk akal!”
Wiro memandang ke tanah. Bunga kenanga yang tadi hendak
dilemparkan ke arahnya masih tampak tercampak di tanah. Murid
Sinto Gendeng membungkuk mengambil bunga itu, menciumnya
sesaat lalu memasukkannya ke dalam saku baju putihnya. Saat itu
terdengar kuda meringkik membuat sang pendekar tersentak kaget
dan memaki lalu tinggalkan pekuburan Batuwungkur itu.
Baru dua langkah bertindak tiba-tiba ekor mata Pendekar 212
melihat ada sesuatu bergerak di kegelapan disamping kirinya. Dia
cepat berpaling. Tapi tak kelihatan apa tau siapa-siapa. Hanya
kegelapan yang membungkus pekuburan itu. Makam-makam
berderet-deret. Ada yang terurus baik dan utuh, ada yang sudah tak
karuan lagi dan tanpa batu nisan. Lapat-lapat di kejauhan terdengar
suara burung malam. Angin bertiup dingin.
“Mataku mungkin bisa ditipu. Tapi perasanku tidak!” kata
murid Sinto Gendeng dalam hati. “Ada orang atau makhluk disekitar
pekuburan ini. Mendekam disatu tempat, bersembunyi mengintai
gerak-gerikku! Lebih baik aku terus berjalan. Jika orang itu berniat
jahat dia akan tahu rasa…!” Lalu Wiro kerahkan tenaga dalam ke
tangan kanan.
* * *
WIRO MELANGKAH EMPAT tindak. Pada langkah ke lima, tiba-
tiba di udara malam yang gelap dan dingin di atas pekuburan
Batuwungkur itu melesat suara suitan keras dari arah samping
kanan. Suara duitan ini disambut elh suara sutian lain dari arah
depan. Lalu suara suitan ketiga melegkinda ri arah samping kiri.
Ketika Pendekar 212 hentikan langkahnya, tiga sosok bayangan
tampak berkelebat sebat dan tahu-tahu tiga sosok aneh sudah
mengrungnya dari arah muka dan kiri kanan. Murid Sinto Gendeng
dari Gunung Gede ini angkat tangan kanannya, siap menghantam.
Tapi gerakanya serta merta tertahan ketika melihat siapa yang saat
itu mengurungnya.
Tiga sosok tubuh itu adalah ternyata tiga manusia katai
permpuan. Pakaian dan tampang mereka serta rambut yang dikuncir
membuat ketiganya tampak lucu. Tapi dibalik kelucuan itu
tersembunyi satu kenagkeran yang mematikan. Wajah tiga
perempuan cebol ini membekal maut. Ketika ketiganya menyeringai
kelihatan bahwa mereka memiliki gigi-gigi kecil yang berwarna hitam
berkilat.
“Dimana dia?!” tiba-tiba si cebol di sebelah depan membentak.
Suaranya nyaring tapi kecil.
“Eh… Kaku bertanya siapa pada siapa?!” tanya Wiro.
“Kami bertanya dia padamu!”
“Dia siapa?!” tanya Wiro pula.
“Jangan berpura-pura!” seru si cebol perempuan sebelah kanan
kiri menghardik. “Barusan dia ada disini. Berbincang-bincang
denganmu! Dan kau berani berpura-pura tidak tahu!”
“Kawan-kawan!” membuka mulut perempuan katai di seebelah
kiri. “Kalau dia jelas-jelas kawan orang yang kita cari, mengapa harus
membuang waktu bertanya jawab. Kita bereskan saja dia saat ini
juga!”
“Setuju!” teriak si katai di sebelah depan.
Terdengar tiga jeritan dahsyat. Tiga tubuh pendek itu laksana
bola melesat ke arah Wiro Sableng. Tiga serangan maut menebar!
“Wong edan!” teriak Pendekar 212 ketika dilihatnya serangan
tiga manusia katai itu benar-benar ingin membunuhnya. Mereka
memegang senjata berbentuk clurit kecil di tangan kiri masing-
masing. Ternyata ketiga maunia katai permpuan ini sama-sama kidal.
Senjata itu berkilat-kilat dan menderu dalam gelapnya malam.
Manusia katai di sebelah depan membabatkan clurit kecilnya
ke arah batang leher Pendekar 212. yang di samping kiri menyapu ke
perut sedang yang di sebelah kanan menghunjamkan serangan ke
selangkangan pendekar ini! Tiga serangna mematikan itu disertai
dengan pekik jerit memkakkan telinga. Agaknya tiga manusia katai
ini sengaja berteriak begitu agar lawan terpengaruh dan lengah.
Murid Eyang Sinto Gendeng angkat kedua tangannya
menghantam dengan pukulan sakti bernama ‘dinding angin
berhembus tindih menindih’
Terdengar suara seperti angin putting beliung di atas
pekuburan itu. Tiga manusia katai yang lancarkan serangan sambil
melompat tampak seperti hendak tersapu tunggang langgang. Namun
sambil terus berteriak ketiganya berjungkir balik di udara lalu
membalik sambil membabat kembali dengan senjata masing-masing.
Tapi tampaknya mereka tidak sanggup menembus hantaman angin.
Ketiganya kerahkan tenaga berusaha keras mnerobos dinding angin
yang tidak kelihatan. Mereka tampak seperti mengapung di udara.
Pakaian dan rambut berkibar-kibar. Mata membeliak dan mulut
berteriak-teriak.
Wiro terus kerahkan tenaga dalamnya. Bebrapa kali tangannya
kiri kanan dihantamkan agar dapat menghempaskan tiga penyerang
itu tapi tetpa saja musuh-musuh katai itu bertahan di udara. Masih
untung ketiganya berada di sebelah depan. Kalau ada yang
menyerang dari belakang pasti akan bobol pertahanan murid Sinto
Gendeng.
Keringat bercucuran dari punggung dan wajah Wiro Sableng.
Tiga perempuan katai masih terus mengapung dan mencoba
menembus pertahanannya. Dan tiba-tiba setelah bertahan sekian
lama. Astaga! Salah seorang dari mereka berhasil lolos menerobos
dinding angin!
Breet!
Clurit kecil membabat di perut Wiro, merobek pakaian
putihnya.
“Kurang ajar!” maki Pendekar 212 lalu melopat mundur dengan
muka pucat.
Lompatan mundur yang dilakukannya membuat tiga
pengeroyok seperti tersedot. Tiga manusia katai itu kembali
menggempur. Dan kini pertahan dinding angin Pendekar 212 benar-
benar jebol!
Tiga manusia katai melesat. Tiga clurit berkiblat. Wiro
memukul dengan pukulan ”kunyuk melempar buah.” Tangan
kanannya menghantam membentuk tinju. Begitu lengan melurus
lima jari dibuka. Maka menderulah gelombang angin laksana
gumpalan batu besar.
Tiga musuh katai berterak keras. Namun hanya satu yang kena
dihantam. Yang satu terpental sejauh dua tombak, bergulingan di
tanah lalu diam tak berkutik. Mati dengan kepala pecah!
Dua manusia katai lainnya terus merangsak masuk ke dalam
pertahanan Wiro yang sudah ambruk.
“Celaka! Matilah aku!” keluh Wiro. Dalam keadaan sulit begitu
rupa dia masih bisa memukul tangan si katai di sebelah kanan. Luar
biasa! Tangan si katai yang kecil itu membuat Wiro terpental tiga
langkah, hampir jatuh duduk. Justru di saat inilah yang secara tidak
sengaja meyelamatkan nyawanya dari serangan si katai yang satu
lagi. Clurit membabat di depan hidungnya sementara lawan yang tadi
beradu lengan dengannya jatuh bergdebuk sambil menjerit-jerit dan
berusah mencari cluritnya yang mental dalam kegelapan malam.
“Manusia-manusia katai edan! Tidak ada silang sengketa kau
hendak membunuhku!” teriak Wiro.
“Kami belum membunuhmu manusia bangsat! Tapi kau telah
membunuh seorang saudara kami! Dan kawanmu yang kami cari
sebelumnya telah membunuh satu-satunya kakak lelaki kami!”
“Soal kematian kakak lelakimu itu aku tidak tahu, tidak ada
sangkut pautnya denganku! Pergi kalian dari sini sebelum aku
menciderai atau membunuhm kalian!”
“Enak benar bicaramu! Kami akan pergi kalau usus dan
jantungmu sudah kami korek dari tubuhmu!”
“Makhluk-makhluk tidak tahu diri! Jangan kira aku tidak tega
membedol kantong nasi kalian!” teriak Wiro lalu keluarkan senjata
mustika saktinya yaitu Kapak Maut Naga Geni 212.
Kilauan sepasang mata kapak yang angker ternyata tidak
membuat jeri dua manusia katai itu.
Yang satu malah mengejek, “Senjata mainan! Siapa takut!”
yang bicara ini sudah menemukan cluritnya yang tadi jatuh.
Lalu cepat luar biasa keduanya menyerbu.
Trang… trang…!
Belum lagi Pendekar 212 sempat mengayunkan senjatanya,
dua clurit kecil secara sengaja tidak terduga dan cepat sekali sudah
menelikkung gagang kapak dan begitu dua manusia katai itu
membetot, Wiro merasa seperti tangannya ditarik oleh dua raksasa!
Kapak Naga Geni 212 terlepas dari pegangannya, langsung disambut
oleh si katai di sebelah kanan. Begitu dapatkan kapak si katai ini
berteriak pada yang satunya.
“Adikku! Lupakan dulu balas dendam. Kita mendapat rejeki
besar. Lekas tinggalkan tempat ini!” dia tertawa cekikikan.
Sang adik juga tertawa cekikikan. Lalu didahului oleh jeritan
keras, keduanya membalik untuk larikan diri. Tapi baru saja mereka
sempat membuat setengah gerakan berputar mendadak terdengar
suara berdesing disertai harumnya bunga kenanga. Lantas dua
manusia katai ini terdengar memkik keras mengerikan. Kepala
masing-masing terhempas ke belakang seolah-olah dihantam tembok
keras.
Dua manusia katai itu langsung roboh terjengkang. Kapak
Naga Geni 212 terguling ke tanah.
“Eh, apa yang terjadi…?” tanya Wiro keheranan. Ketika dia
mendekati dua mayat manusia katai itu, tertegunlah murid Sinto
Gendeng ini. Dua manusia katai itu menemui ajal dengan sekuntum
bunga kenanga kuning menancap di kening masing-masing!
“Bunga…” desis Wiro. “Kau ada di sini. Kau menolongku…”
Wiro menunggu kalau-kalau ada jawaban. Tapi hanya kesunyian dan
siliran angin malam yang terdengar.
Wiro memandang berkeliling. Tapi dia tidak melihat dara yang
berjuluk Dewi Bunga Mayat itu. Pemuda ini geleng-gelengkan kepala.
“Dara hebat. Kepandaian luar biasa! Menolong tanpa memperlihatkan
diri… Aku harus berterima kasih padanya.”
Lalu pemuda ini berteriak, “Bunga, aku berterima kasih atas
pertolonganmu!” Wiro seklai lagi memandang berkeliling. Ketika dia
merasa tak bakal mendapat jawaban apalagi melihat Dewi Bunga
Mayat kembali maka dipungutnya Kapak Naga Geni 212 yang
tercampak di tanah, disimpannya di balik pakaiannya.
* * *
PONDOK KAYU DI DASAR lembah itu tampak tidak berbeda
seperti sebulan lalu ketika dia mengunjungi terakhir kali. Pintu dan
satu-satunya jendela tampak tertutup. Tapi dia tahu bahwa di dalam
sana ada seorang penghuni.
Perempuan muda berpakaian ringkas warna biru itu berpaling
pada pemuda yang menunggang kuda disampingnya.
“Kangmas.. Kau…”
“Sudah berapa kali kukatakan. Kalau kita Cuma berdua aku
tidak suak kau memanggilku dengan sebutan itu. Panggil namaku…”
“Maafkan aku kang.. Maffkan aku Sadewo..” kata perempuan
berpakaian biru. “Kau tidak ingin turun ke lembah menemuinya?”
Pemuda bernama Sadewo menggeleng. “Kau saja yang pergi.
Aku menunggu disini.” Lalu pemuda itu menyerahkanbungkusan
kain yang dipanggulnya.
Setelah menerima dan menyandang bungkusan itu dibahunya,
dara berbaju biru menarik tali kekang kudanya, lalu perlahan-lahan
dia mulai menurini jalan setapak yang berbatu-batu.
Di depan pondok dia turun dari kuda, menambatkan binatang
itu lalu melangkah menuju pintu. Dia mengetuk dulu lalu berucap
keras-keras.
“Ayah, akuk datang…”
Dengan tangan kirinya dia mendorong pintu. Terdengar suara
berkereketan. Begitu pintu terbuka kelihatan seorang lelaki berambut
putih, bertubuh kurus dan berwajah pucat duduk bersila di lantai
pondok. Usianya berlum enampuluh tahun, tahun wajahnya
kelihatan seperti wajah kakek delapan puluh tahun. Orang ini duduk
bersila pejamkan mata seperti tengah bersemedi. Ketika pintu
terbuka, perlahan-lahan kedua matanya juga terbuka. Dia
memandang pada gadis di depan pintu lalu menganggukan kepala
perlahan sekali.
Gadis itu masuk ke dalma pondok, berlutut di hadapan lelaki
tua itu dan mencium keningnya. Setalh itu diletakkannya bungkusan
kain yang dibawanya di lantai.
“Semua keperluan ayah ada dalam bungkusan…”
Yang dipanggil ayah kembali mengangguk.
“Apakah ayah ada baik-baik saja selama satu bulan ini?”
bertanya si gadis yang dijawab juga dengan anggukan.
Sunyi sesaat.
“Suamimu mengantar…?” tiba-tiba orang tua itu bertanya.
“Ya, dia mengantar. Dia menunggu di atas lembah…”
“Terima kasih, kau sudah membawakan apa-apa yang aku
perlukan. Kau boleh pergi sekarang…”
“Ayah, sudah tiga bulan kau berada di tempat ini. Memencilkan
diri. Kapan semua ini akan ayah akhiri…?”
“Mungkin tak akan pernah ku akhirii Suntini. Atau mungkin
hanya kematian yang mengakhiri semua ini…”
“Ayah tidak boleh berkata begitu…” suara perempuan bernama
Suntini itu kini terdengar tersendat dan sepasang matanya tampak
mulai berkaca-kaca. “Ayah mesti segera pulang. Rumah besar kita
sepi tanpa ayah…”
“Kau boleh pergi sekarang, Suntini…”
“Jika memang itu yang ayah kehendaki….” Kata Suntini pula
seraya berdiri. Dia mencium kening lelaki itu. Tetesan air matanya
jatuh membasahi wajah si orang tua.
“Sebelum kau pergi, adakah sesuatu yang hendak kau
katakan…?” sang ayah bertanya.
Suntini terdiam.
“Ada…?
“Tidak ada ayah…”
“Jangna berdusta. Nada suaramu menyatakan ada sesuatu
yang hendak kau katakan. Tapi kau sengaja menyembunyikannya…”
Ketika Suntini tidak juga menjawab, lelaki itu lalu ajukan
pertanyaan, “Apakah dia masih sering mendatangimu…?”
Paras Suntini berubah. Perempuan muda ini tundukkan kepala
lalu berkata, “Malam Jum’at Kliwon dua minggu yang lalu ayah. Dia
memang muncul. Memandang padaku dengan pandangan dingin lalu
pergi. Kangmas Sadewo juga melihat beberapa kali…”
“Waktu muncul dia tidak mengatakn atau mengisyaratkan
sesuatu…?” bertanya sang ayah.
Suntini menggeleng.
“Anakku dengarlah baik-baik. Selama dia muncul tidak
mengganggumu atau siapa saja di sekitarmu ambil sikap diam saja.
Jangan mengusir, jangna mengatakan sesuatu. Ini semua kodrat
Tuhan. Kita tak bisa melawan kehendakNya. Ketahuilah… Tadi
malam dia juga muncul disini. Tegak di bawah pohon di luar sana,
memandang ke pondok ini tapi tak berusaha masuk atau
menemuiku. Kalau aku ada kesempatan menjenguk makam ibumu,
aku akan berusaha untuk menlihatnya. Selam ini apakah kau dan
suamimu pernah menjenguknya?”
“Aku takut ayah. Benar-benar takut melakukan hal itu…”
jawab Suntini.
“aku mengerti perasaanmu. Kau boleh pergi sekarang. Lain
bulan kau tak perlu datang kemari mengantarkan apa-apa. Aku bisa
memenuhi kebutuhanku sendiri…”
“Berarti ayah tidak akan pulang ke rumah?”
“Aku tidak tahu anakku,” jawab orang tua yang duduk bersila
itu lalu menarik nafas panjang.
Suntini berdiri, melangkah ke pintu dan lenyap dibalik daun
pintu yang ditutupkan. Di dalam pondok sang ayah pejamkan kedua
matanya. Namun kali ini diantara sela kelopak matanya kelihatan
ada tetes air mata yang menyeruak.
Ketika Suntini samapi diatas lembah, dia terkejut dan
keluarkan seruan tertahan sewaktu melihat Sadewo, suaminya,
tergeletak meelungkup di tanah. Suntini melompat turun dari kuda
dan cepat membalikkan tubuh Sadewo.
“Kangmas… Kau kenapa kangmas..?!” memanggil Suntini
sambil mengusap wajah suaminya berulang kali. Wajah itu tampak
pucat seperti baru saja mengalami suat goncangan hebat. Suntini
letakkan telinganya di atas dada Sadewo. Masih terdengar suara
detakan jantung. Perempuan ini merasa lega sedikit lalu dia memijat
beberapa bagian tubuh suaminya. Tak selang berapa lama kedua
mata Sadewo perlahan-lahan kelihatan terbuka. Begitu terbuka lelaki
muda ini melompat terduduk dan memandang berkeliling dengan
wajah ketakutan.
“Ada apa, Sadewo…? Siapa yang kau cari…? Kau melihat
sesuatu..?” bisik Suntini dengan lebih kelu dan ikut-ikutan
memandang berkeliling sementara dadanya berdebar keras.
“Dia.. dia tadi muncul di dekat batu besar sana…” terdengar
Sadewo menyahut. Suaranya gemetar.
Suntini memandang ke arah batu besar yang ditunjuk
suaminya. Memandang berkeliling ke tempat lain. Dia tidak melihat
siapa-siapa.
“Dia… biasanya dia hanya memandang dari kejauhan. Tapi
sekali ini dia melangkah mendatangiku. Dia begitu dekat denganku
Suntini, membuatku ketakutan setengah mati. Dia seperti hendak
membuka mulut mengatakan sesuatu. Tapi saat itu ada suara kaki
kuda mendatangi. Mungkin sekali kuda tunggangmu. Lalu aku ajtuh
pingsan…”
“Kalau begitu kita harus meninggalkan tempat ini cepat-
cepat…”kata Suntini pula. Dia membantu suaminya berdiri,
memapahnya ke arah kuda.
* * *
DUA HARI SETELAH peristiwa di bukit Batuwungkur, Pendekar
212 Wiro Sableng mengunjungi kedai Aki Sukri. Dia duduk memencil
di sudut kedai sampai larut malam. Ketika pemilik kedai bersiap
untuk menutup kedainya mau tak mau akhirnya pendekar itu berdiri
dari bangkunya.
“Anak muda, kau seperti tengah menunggu seseorang di kedai
ini…” berkata pemilik kedai ketika Wiro memberikan uang
pembayaran.
“Ah, matamu tajam juga orang tua. Bagaimana kau bisa tahu?”
bertanya Wiro.
“Setiap saat kau selalu memandang ke pintu. Dan kau tampak
kecewa jika ada tamu masuk tetapi bukan orang yang kau nantikan.
Kau berjanji dengan seseorang?”
Wiro menggeleng.
“Lalu siapa yang kau harapkan muncul di kedai ini?” tanya Aki
Sukri.
“Aki , dua malam lalu aku mampir disini. Kau ingat…?”
“Aku ingat. Karena malam itu kemudai diketahui ada empat
mayat menggeletak di pekuburan Batuwungkur. Mereka mati dengan
kembang aneh menanca di muka dan badan…”
“Kau ingat dara jelita berpakaian putih yang juga ada di
kedaimu malam itu…?’
“Aku ingat seklai!” jawab Aki Sukri.
“Kau kenal padanya? Atau mungkin tahu dimana aku bisa
menemuinya?”
Pemilik kedai menatapa wajah Pendekar 212 sesaat lalu
gelengkan kepala. “Wajah cantik itu memang seperti pernah kulihat
sebelumnya. Tapi entah dimana dan entah kapan. Waktu dia ada
disini aku tak berani bertanya. Kelihatannya dia seperti tidak mau
diusik…”
“Dia memang bukan dari sembarangan…” kata Wiro pula.
“maksudmu, anak muda?” tanya Aki Sukri.
“Empat pemuda jahat yang mati di pekuburan Batuwungkur
itu, dialah yang membunuhnya!”
“Apa katamu?!” dua mata Aki Sukri membelalak.
“Dia adalah Dewi Bunga Mayat!”
“Ah!” tubuh pemilik kedai tersentak dan wajahnya menjadi
pucat.
“Kau seperti orang ketakutan. Ada apa…?!”
“Jadi… jadi dara itulah yang tengah kau cari?!” suara Aki Sukri
bergetar. “Anak muda lekas pergi. Aku segera menutup kedai ini.
Aku… kau tahu…” suara Aki Sukri perlahan sepreti berbisik. “Kalau
memang dara itu manusia yang berjuluk Dewi Bunga Mayat, hati-
hatilah anak muda. Dia sanggup membunuh manusai tanpa
berkedip. Kepandaiannya tinggi. Kabarnya saat ini dia jadi momok
nomor sati di wilayah Jawa Tengah ini!”
“Momok katamu? Gadis secantik itu kau katakan momok?!”
“Dia muncul seperti setan. Lenyap seperti setan. Membunuh
disana-sini… Apa itu bukan momok?!”
Wiro tertawa bergelak. “Kepandaiannya tinggi luar biasa itu
memang berul. Dia membunuh tanpa berkesip itu juga betul. Tapi dia
bukan setan! Dia hanya membunuh orang-orang jahat! Kau tahu
empat pemuda yang jadi korbannya itu? Apa yang hendak mereka
lakukan? Hendak memperkosanya beramai-ramai…!”
“Ah, karena dia kawanmu tentu saja kau membelanya. Tapi
sudahlah. Aku akan menutup kedai. Lekas pergi. Aku tak mau kau
datang-datang lagi kemari, anak muda. Aku tidak mencari urusan…!”
“Justru jika kau melarang begitu berarti kau mencari urusan!”
tukas Wiro. “Jika kau tak mau kedatanganku, tutup saja kedai ini
selama-lamanya!”
“Aku berjualan mencari makan. Tidak mau cari urusan…”
“Bagus kalau begitu. Katakan, apakah gadis kawanku itu
sering datang kemari?”
“Tidak. Baru sekali itu dia datang kesini,” jawab Aki Sukri.
“Kalau dia muncul lagi, katakan padanya. Aku sahabatnya
berama Wiro Sableng mencarinya. Kau dengar pesan itu, Aki?!”
“Aku dengar anak muda. Dan akan aku sampaikan padanya…”
jawab pemilik kedai pula.
*
* *
Dari kedai Aki Sukri, Pendekar 212 dengan menunggang kuda
menuju pekuburan Batuwungkur. Kesunyian dan kegelapan malam
menyambut kedatangannya. Angin berhembus dingin dan dikejauhan
terdengar suara burung malam bersahut-sahutan beberapa kali.
Murid Sinto Gendeng duduk di batu hitam dimana dulu Bunga
pernah duduk. Dia duduk seprti merenung. Entah mengapa
perasaannya jadi seperti ini. Perasaan yang sebelumnya tak pernah
terjadi seumur hidupnya. Dia selalu teringat padaBunga. Hampi tak
sekejapanpun dia melupakan gadis itu. Dia rindu untuk bertemu tak
tahu harus mencari kemana. Itulah sebabnya malam-malam begitu
dia mendatangi pekuburan dengan harapan bisa bertemu lagi.
Kalaupun tidak bertemu paling tidak dia telah bisa melepas
kerinduannya dengan melihat tempat yang pernah didatangi sang
dara. Tempat dimana mereka pernah berdua-dua. Dan dia kini duduk
di batu yang pernah diduduki Bunga.
“Bunga…” bisik kalbu Pendekar 212. “Dimana kau…? Dimana
aku bisa menemuimu, Bunga…?”
Wiro mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan,
memandang berkeliling lalu menghela nafas dalam-dalam.
“Apakan ini namanya cinta…?” bisik hati sang pemuda. “Ah…
Aku tak percaya!tapi mengapa aku selalu ingat padanya. Mengapa
ada persaan rindu bertumpuk dihatiku. Gila betul!”
Dalam perjalanan hidupnya tentu saja Pendekar 212 telah
bertemu dengan banyak gadis berwajah cantik. Namun semua berlalu
tanpa perasaan apa-apa. Berlainan sekali dengan yang satu ini.
Padahal baru dua hari lalu dia melihat dan bertemu. Dan kini ada
rasa rindu mencucuk hatinya.
“Gila!” kata Wiro pula sambil meukul lututnya sendiri. Kedua
tangannya mengeruk ke dalam saku baju. Tangan yang kanan
memegang sesuatu. Ketika dikeluarkannya ternyat itu adalah bunga
kenanga senjataBunga yang dua malam lalu dipungutnya.
“Aneh..,” desis Wiro memperhatikan dan menimang bunga
kenanga. “Bunga ini mengapa tidak layu…? Keharumannya tidak
berbeda seperti pertama kali aku memungutnya…” lalu bunga
kenanga itu dibawanya ke hidungnya, diciumnya lama-lama penuh
perasaa. “Bunga… aku mencarimu. Aku ingin bertemu…” Wiro bicara
sendirian.
Malam berlalu bertambah sunyi dan bertambah dingin. Tanpa
disadarinya Pendekar 212 jatuh tidur dalam keadaan terduduk di
atas batu.
“Wiro…”
Satu suara memanggil. Pendekar 212 kenal sekali suara itu.
Suara orang yang dirinduinya, yang selama ini dicari-carinya. Begitu
berpaling dilihatnya dara itu tersenyum padanya.
“Bunga…”
“Aku sudah lama menunggumu di sini, Wiro…” kata Bunga
seraya melangkah mendekati.
Wiro datang menyongsong. Keduanya saling bergenggaman
tangan. “Aku mencarimu setengah mati…”
“Setengah mati? Ah, masa…?”
“Setengah mati karena rindu. Kangen… Kau tidak kangen
padaku, Bunga…?”
“Tidak…,” jawab sang dara lalu tertawa cekikikan. “Tentu saja
aku juga kangen padamu, Wiro…”
“Berarti kau senang bersahabat denganku?!” tanya Wiro seraya
menatap dalam-dalam ke sepasang mata si gadis.
Bunga mengangguk. “Aku suka bersahabat denganmu…”
“Tapi…”
“Tapi apa, Wiro…?”
“Aku tak ingin hubungan kita hanya sampai pada jalinan
persahabatan saja.”
“Maksudmu Wiro….?”
“Aku… aku tidak tahu persaan apa yang ada dalam diriku sejak
pertama kali aku melihatmu. Kurasa aku mencintaimu, Bunga. Ya
betul. Aku mencintaimu…!”
Paras Bunga berubah. Dia seperti ketakutan. Diremasnya jari-
jari tangan pemuda itu tapi kemudian dilepaskannya.
“Kau mencintaiku Wiro…? Jangan… jangan mencintaiku
Wiro…” Bunga melangkah mundur.
“Mengapa aku tidak boleh mencintaimu Bunga? Percayalah,
aku tidak berdusta dan tidak mempermainkanmu…?”
“Demi Tuhan, jangan mencintaiku Wiro… Cinta berarti
kematian bagi diriku…” Suara Bunga tersendat. Wiro melihat ada air
mata menetes di kedua pipi dara itu.
“Kau menangis, Bunga…” bisik Wiro dan melangkah mendekat.
Tapi yang didekati semakin menjauh. Melangkah mundur.
“Bunga, kau mau kemana…?” Wiro mengejar.
“Jangan kejar aku Wiro… jangan…”
“Bunga, jangan mundur. Ada jurang di belakangmu!” teriak
Wiro.
Dara itu berpaling ke belakang. Tapi terlambat. Kaki kanannya
terpeleset dan tubuhnya melayang jatuh ke dalam jurang yang dalam.
Pekiknya mengumandang. Tapi teriakan Wiro lebih keras lagi.
“Bunga…!!”
Pendekar 212 tersentak dan dapatkan dirinya terduduk di atas
batu hitam diantara makam di pekuburan Batuwungkur.
“Ah… bermimpi aku rupanya…” kata pemuda ini termangu-
mangu. Di tangan kanannya maih tergenggam bunga kenanga senjata
Dewi Bunga Mayat.
“Bunga ini… Tadi aku menciumnya. Lalu jatuh tertidur dan
bermimpi. Apakah… apakah hanya ini satu-satunya cara aku dapat
bertemu dengan dia? Hanya dalam mimpi?”
Pendekar 212 merasa kelesuan menjalari seluruh tubuhnya.
Perlahan-lahan dia berdiri, memandang berkeliling. Lalu melangkah
ke tempat dia menambatkan kudanya. Bunga kenanga dengan penuh
hati-hati dimasukkannya ke dalam saku bajunya.
* * *
SATU PEMANDANGAN ANEH jika sebuah kereta tertutup yang
jelek itu dikawal oleh hampir dari dua lusin orang berkuda. Bahkan
diantara mereka tampak lima orang prajurit dan seorang perwira
muda. Kereta yang ditarik dua ekor kuda itu menderu kencang di
jalan berdebu. Matahari sore berwarna merah kuning keemasan.
Rombongan bergerak cepat menuju ke selatan yakni arah Kotaraja.
Namun saat itu mereka tidak akan keburu mencapai tujuan sebelum
pagi. Kotaraja masih sangat jauh dan jalan yang idtempuh bertambah
sulit serta buruk.
Selain lima prajurit dan seorang perwira muda itu maka
anggota rombongan lainnya adalah orang-orang berseragam pakaian
dan ikat kepala merah. Semua mereka memlihara berewok dan kumis
yang meranggas tidak diurus. Tampang mereka tak satupun yang
lumayan. Semua menunjukkan muka galak beringas.
Di sebelah depan memacu kudanya seorang lelaki berpakaian
merah dengan tubuh kurus tinggi luar biasa. Hampir mencapai satu
setengah tombak. Berewok dan kumisnya yang lebat
menyembunyikan wajahnya yang bopeng. Matanya besar dan merah.
Dia adalah Kunto Pasirawang bergelar Datuk Hantu Merah, dikenal
sebagai Ketua Komplotan Hantu Merah.
Dalam dunia persilatan komplotan yang dipimpinnya ini
terkenal sebagai komplotan bayaran yang melakukan apa saja asal
mendapat bayaran. Yaitu mulai dari merampok, menculik sampai
membunuh. Belakangan komplotan ini dikenal pula sebagai penyedia
perempuan-perempuan lacur di berbagai kota termasuk Kotaraja.
Bahkan ada selentingan Datuk Hantu Merah sengaja mengirimkan
perempuan-perempuan cantik pada pejabat-pejabat tertentu di
Istana. Itulah sebabnya selama sekian tahun komplotan bejatnya itu
tidak pernah dikejar apalagi ditumpas. Beberapa orang Adipati
diketahui tunduk dan ikut bekerjasama dengan sang datuk.
Siapakah sang datuk ini sebenarnya? Menurut mereka yang
tahu, konon Kunto Pasirawang dulunya adalah salah seorang
kepercayaan seorang Pangeran di Keraton Timur. Kemudian
ketahuan bahwa dia bersifat culas, suka menggelapkan barang-
barang berharga, mencuri barang-barang pusaka. Dua kejahatan itu
masih bisa dimaafkan oleh sang Pangeran, namun ketika Kunto
Pasirawang diketahui pula suka mengganggu anak istri orang maka
dia dipecat dari jabatannya dan di usir dari gedung sang Pangeran.
Selama dua tahun Kunto Pasirawang malang melintang
ditengah lautan menjadi bajak. Bosan di laut dia turun ke darat
membentuk Komplotan Hantu Merah dan malang melintang
menimbulkan malapetaka.
Enam orang berseragam pasukan Kerajaan itu sebenarnya
adalah prajurit-prajurit dan perwira palsu. Mereka sengaja
mengenakan pakaian anggota pasukan Kerajaan untuk mengelabui
dan menjaga kalau sewaktu-waktu ada kesulitan dengan petugas
Kadipaten atau Kerajaan. Lalu apakah isi kereta buruk yang mereka
kawal begitu ketat? Uang, harta perhiasan atau senjata baru?
Isi kereta itu bukan lain adalah perempuan-perempuan culikan
dari beberapa daerah di selatan. Rata-rata mereka masih sangat
muda. Ada yang ikut secara suka rela karena dijanjikan pekerjaan di
Kotaraja. Namun banyak yang diculik dari rumah orang tua mereka!
Sinar surya semakin redup tanda akan segera masuk ke tempat
tenggelamnya. Jalan yang ditempuh mulai gelap. Orang berseragam
perwira muda yang sebenarnya adalah anak buah Datuk Hantu
Merah memacu kudanya mendekati sang ketua lalu bicara keras-
keras diantara bisingnya derap kaki kuda dan gemeletak suara roda
kereta.
“Ketua, anggota rombongan kelihatan sudah pada letih! Malam
ini sebaiknya kita berhenti dan istirahat di hutan Jatiroto. Besok
sebelum matahari terbit baru meneruskan perjalanan ke Kotaraja.
Menjelang tengah hari kita akan sampai disana…! Bagaimana
pendapatmu?”
“Aku tahu apa yang sebenarnya yang ada di otakmu. Wulung
Kingkit!” sahut Datuk Hantu Merah menyeringai.
“Apa maksudmu Ketua…?” tanya perwira muda palsu bernama
Wulung Kingkit itu.
“Sebelum gadis-gadis itu diserahkan pada mucikari di Kotaraja,
kau akan memilih salah satu diantaranya lalu bersenang-senang
malam ini! Bukan begitu…?!”
Wulung Kingkit hanya bisa balas menyeringai.
“Tapi jangan khawatir Wulung! Usulmu kuterima!” Datuk
Hantu Merah tertawa bergelak lalu dia mendahului membelok
memasuki jalan menuju hutan Jatiroto.
Di suatu tempat yang agak datar malam itu rombongan
Komplotan Hantu Merah berhenti. Enam buah obor dinyalakan.
Empat buah kemah besar didirikan. Setelah itu pintu belakang kereta
dibuka. Dua puluh gadis keluar dengan wajah letih dan tubuh
keringatan. Mereka dikumpulkan di dua tenda lalu diberi makan
seadanya. Masing-masing mereka ditemani oleh anggota komplotan
tanpa bisa menampik.
Banyak diantara gadis ini yang mulai curiga dan ketakutan,
meminta agar boleh naik ke dalam kereta kembali. Tapi permintaan
itu tidak dikabulkan, malah banyak diantara mereka mulai dijejali
tuak keras.
Datuk Hantu Merah berbaring ditemani dua gadis yang
ketakutan setengah mati. Salah satu diantaranya mulai menangis.
“Anak bagus! Sekarang kau menangis. Nanti kalau sudah
merasa kau akan berlutut minta tambah. Ha… ha… ha..!” Sang datuk
tertawa bekakakan, teguk tuaknya lalu merangkul dan menciumi dua
gadis yang dikempitnya di kiri kanan.
Kemudian manusia tinggi kurus bermuka bopeng dan
berewokan ini mulai menunjukkan kebejatannya. Gadis disebelah
kirinya dipaksanya membuka pakaian. Kesempatan ini dipergunakan
oleh gadis yang tadi menangis untuk lari keluar tenda. Tapi sang
datuk lebih cepat. Begitu berhasil menangkap gadis ini langsung
seluruh pakaiannya dirobek-robek. Lalu gadis itu di bantingkannya
ke alas tenda. Selagi berada dalam keadaan terlentang tak berdaya,
Datuk Hantu Merah menindih tubuhnya.
Saat itulah terdengar suara ribut-ribut di luar. Lalu ada
seseorang berteriak, “Ketua! Ada yang tidak beres! Lekas keluar!”
“Bangsat rendah! Apa yang tidak beres! Apa kalian tidak bisa
menyelesaikannya sendiri?! Keparat!” teriak sang datuk dari dalam
tenda.
“Dua orang anggota ditemui mati!” terdengar orang di luar
berteriak memberi tahu.
“Anjing betul!” menyumpah Datuk Hantu Merah. Cepat dia
mengenakan celana dan pakaiannya lalu menyembul keluar tenda.
“Ada apa hah?!” sentaknya pada anggota komplotan yang tegak
di depan tenda.
Yang ditanya menunjuk ke arah kiri. Saat itu tampak beberapa
anggota Komplotan Hantu Merah menggotong dua orang kawan
mereka yang sudah jadi mayat lalu meletakkannya di hadapan sang
ketua.
Datuk Hantu Merah kerenyitkan kening ketika melihat mayat
dua anak buahnya itu. Mereka mati dengan leher hampir putus.
“Apa yang terjadi? Bagaimana mereka bisa digorok begini rupa
tanpa ada yang tahu?!” bertanya Datuk Hantu Merah.
“Mayatnya kami temui di dalam tenda sebelah sana ketika
beberapa gadis di dalam tenda berpekikan lalu berhamburan lari
keluar,” menerangkan salah seorang anggota komplotan.
“Apa ada yang melihat siapa pembunuh mereka?!” bertanya
perwira muda bernama Wulung Kingkit yang juga sudah ada
ditempat itu.
“Yang melihat adalah dua gadis di dalam tenda. Tapi kedua
gadis itu kabur entah kemana!”
“Bangsat rendah! Pasang lebih banyak obor dan cari gadis-
gadis yang melarikan diri itu!” Datuk Hantu Merah berpaling pada
Wulung Kingkit. “Kau dan anak buahmu segera lakukan
penyelidikan! Pembunuh itu harus dicari sampai dapat!”
Belum sempat Wulung Kingkit menjawab, tiba-tiba terdengar
suara dari dalam kereta.
“Kalian tidak usah susah-susah mencari, aku pembunuh dua
anggota komplotan bejat itu ada di sini!”
Lalu braak!
Pintu kereta terdengar ditendang hingga mental berantakan.
Dari dalam kereta keluar seorang pemuda berambut gondrong sambil
bertolak pinggang. Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wulung Kingkit segera hunus goloknya. Para anggota
komplotan lainnya juga melakukan hal yang sama, segera mencekal
senjata masing-masing. Ketika lebih dari selusin orang hendak
menyerbu, Datuk Hantu Merah berseru.
“Tahan! Sebelum dia kita cincang, aku ingin tahu siapa bangsat
gondrong ini adanya.” Lalu sang ketua maju empat langkah dan
membentak.
“Gondrong! Katakan siapa dirimu! Mengapa berani membunuh
dua anak buahku?!”
“Namaku Wiro Sableng! Aku membunuh dua anjing itu karena
dia hendak memperkosa dua gadis tak berdaya! Ketahuilah, masih
banyak orang-orang di sini yang bakal menemui kematian karena
dosa terkutuk yang sama! Termasuk kau dedengkotnya!”
Marahlah Ketua Komplotan Hantu Merah itu mendengar
dirinya disebut dedengkot. Maka, diapun berteriak memberi perintah.
“Bunuh bangsat gondrong ini! Cincang sampai lumat!”
Selusin orang bergerak. Selusin senjata berkelebat.
Saat itu terlihat sinar menyilaukan menyambar dibarengi suara
mengaung macam ratusan tawon mengamuk. Lalu…
Trang…!
Trang…!
Trang…!
Suara senjata beradu susul menyusul yang ditingkahi oleh
suara jeritan-jeritan kematian!
Empat anggota Komplotan Hantu Merah tergelatak roboh
mandi darah. Lalu menyusul dua orang lagi. Melihat ini enam orang
lainnya menjadi ciut nyalinya. Hendak melompat mundur mereka
takut pada sang ketua. Kalau maju terus pasti menerima nasib sama
seperti enam kawan mereka itu!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar teriakan Ketua
Komplotan Hantu Merah.
“Mundur semua! Biar aku yang mematahkan batang lehernya!
Akan kubetot jantung dan isi perutnya!”
Dari mulut sang datuk terdengar suara berkeretekan rahang
dan gerahamnya yang saling beradu. Matanya merah membara.
Berewoknya dan kumis tebalnya berjingkrak. Dia melompat ke
hadapan Pendekar 212 dengan tangan kosong.
Melihat orang tak bersenjata murid Sinto Gendeng ini segera
simpan Kapak Maut Naga Geni 212. Waktu itulah Wulung Kingkit
berbisik pada ketuanya.
“Ketua, kalau aku tidak salah manusia bernama Wiro Sableng
ini adalah pendekar yang menyandang gelar Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212. Aku merasa sangat pasti setelah melihat senjatanya
tadi!”
“Aku tak pernah dengar nama dan gelar itu! Sekalipun setan
dihadapanku aku tidak takut. Kau kepinggirlah Wulung Kingkit!”
“Jangan, Ketua. Biar aku saja yang bicara padanya. Aku akan
menawarkan sesuatu padanya asal kita bias selamat…!”
“Aku baru tahu kau sepengecut itu Wulung Kingkit!” bentak
Datuk Hantu Merah dengan mata melotot.
“Ketua, ini bukan soal pengecut atau apa. Manusia satu ini
bukan lawan kita…!”
Datuk Hantu Merah tertawa dan usap berewoknya sesaat lalu
mendorong Wulung Kingkit ke samping. Tapi saat itu Wulung Kingkit
yang sudah tahu apa yang bakal terjadi cepat mendahului melompat
ke hadapan Wiro Sableng.
“Pendekar 212, aku bicara membawa usul. Habisi semua
perkara antara kita. Tinggalkan tempat ini dan kau boleh membawa
semua gadis itu!”
Wiro keluarkan siulan keras lalu tertawa lebar.
“Usul yang menggiurkan perwira palsu!” jawab Wiro.
Wulung Kingkit terkesiap. “Bagaimana bangsat ini tahu aku
perwira palsu…?” dia bertanya dalam hati.
“Pendekar, apa yang aku usulkan adalah atas nama Kerajaan…
Kau boleh tidak menghormati diriku dan kami semua. Tapi kau wajib
menghormati Kerajaan!”
Wiro tertawa bergelak.
“Perwira tengik! Ternyata otakmu bukan cuma bisa berpikir
keji, tapi juga pandai mengatur rencana licik! Kalau kau mau
memberikan kepala Komplotan Hantu Merah padaku, baru aku mau
membuat urusan ini selesai!”
Mendengar ucapan Wiro itu, Datuk Hantu Merah menggembor
marah. Dia menerjang ke depan. Kali ini Wulung Kingkit tidak mau
mencegah lagi. Dia cepat menyingkir ke samping dan diam-diam
mulai berpikir untuk melarikan diri.
* * *
Tegak berhadapan-hadapan begitu rupa tinggi Pendekar 212
hanya sampai sebahu Datuk Hantu Merah. Tangan sang datuk yang
panjang melesat ke arah batang leher Wiro. Pendekar 212 cepat
menunduk lalu hantamkan tinjunya ke perut lawan.
Buukk!
Jotosan itu tepat mendarat di perut Datuk Hantu Merah. Mata
orang ini membeliak besar dan mukanya yang bopeng mengerenyit.
Tapi tubuh dan kakinya tidak bergeming sedikitpun!
Wiro memukul sekali lagi. Saat inilah tangan kiri sang datuk
berkelebat laksana pentungan menabas dari kiri ke arah batang leher
Wiro sementara tangan kanannya bersiap-siap untuk menggebrak
yaitu jika Wiro membuat gerakan menangkis atau menghindar.
“Bangsat ini tahan pukulan rupanya. Aku mau lihat apa dia
tahan yang satu ini.” Membatin Wiro lalu dia jatuhkan diri berlutut.
Tangan kiri lawan menyambar di atas kepalanya. Tangan kanan yang
berusaha menggapai ke depan dipukulnya dengan tangan kiri. Dua
lengan beradu keras. Tetap saja si tinggi kurus itu tidak bergeming
walau mukanya jelas mengerenyit menahan sakit. Wiro pergunakan
kesempatan. Tangan kanannya meluncur ke depan menarik keras-
keras celana merah sang datuk yang memang tidak terkancing betul.
Lalu dengan tangan kirinya Wiro mendorong tubuh Datuk Hantu
Merah. Karena kedua kakinya tertahan oleh celana yang merosot,
sang datuk hilang keseimbangan lalu, Brukk! Dia jatuh terduduk di
tanah!
Sesaat Wiro hendak menghantam kepala lawannya, di bagian
lain terdengar jeritan-jeritan keras. Anggota Komplotan Hantu Merah
Nampak lari kian kemari menyelamatkan diri. Namun banyak
diantara mereka yang jatuh bergelimpangan di tanah dan menemui
ajal dalam keadaan mengerikan. Ada yang perutnya jebol, ada yang
mukanya hancur! Wiro mengendus dalam-dalam. Dia mencium bau
sesuatu….!
“Bau itu…” desis Wiro. “Bau bunga kenanga!”
Lalu dia dikejutkan oleh satu sosok tubuh yang jatuh di
sampingnya. Ternyata adalah sosok tubuh Wulung Kingkit si perwira
palsu. Mukanya tampak berlumuran darah dan di mata kirinya
menancap bunga kenanga!
Baik Wiro maupun Datuk Hantu Merah sama-sama mengenali
bunga itu. Sang datuk yang hendak melabrak dengan satu serangan
tangan kosong serta merta batalkan niatnya.
“Bunga mayat…” desis sang datuk. Dia melompat berdiri sambil
tarik keatas celana merahnya dengan susah payah. “Dewi Bunga
Mayat!” desisnya lagi penuh ketakutan. Dia tidak lagi perdulikan
Wiro. Wiropun tidak lagi perdulikan manusia satu itu. Yang ada
dalam benaknya saat itu adalah Bunga si dara jelita. Jadi dia ada
disini!
“Bunga! Bunga…!” teriak Wiro berulang kali. Dalam kegelapan
malam dia melihat seorang berpakaian serba putih menunggangi
kuda putih. “Bunga!” memanggil Wiro. Akhirnya ditemuinya juga
gadis yang dicari-carinya selama ini. Dia berlari ke arah kuda dan
penunggangnya. Namun saat itu si penunggang telah menggebrak
kuda putihnya mengejar Datuk Hantu Merah yang tengah melarikan
diri. Begitu terkejar si penunggang jambak rambut sang datuk lalu
menyeretnya beberapa belas langkah. Begitu melewati sebatang
pohon besar kepala itu langsung dihantamkannya ke badan pohon.
Praakkk!
Kelapa dan pohon beradu. Tak ampun kepala itu pecah dan
menggeletak mengerikan ketika si penunggang kuda
melemparkannya ke tanah.
“Bunga!” teriak Wiro.
Orang diatas kuda putih menoleh. Lambaikan tangan sambil
tersenyum lalu membedal kudanya.
“Bunga!” teriak Wiro lagi. Kelabakan dia mencari kuda yang
bisa dibedal. Begitu dapat, Wiro langsung mengejar kuda putih dan
Dewi Bunga Mayat si penunggangnya!
Keluar dari hutan Jatiroto sang dewi ternyata melarikan
kudanya ke daerah persawahan dan berhenti di sebuah bangunan
kecil di tepi sawah tepat dekat sebuah mata air.
Wiro sampai pula di bangunan kecil itu dan dapatkan Bunga
telah duduk di dalam, memandang padanya sambil tersenyum.
Seperti lupa diri Wiro langsung melompat merangkul sang dara.
“Bunga… Aku mencarimu berhari-hari. Rasanya seperti mau
gila tidak melihatmu….” berucap Wiro.
“Seperti mau gila berarti belum gila benaran kan?!” ujar Bunga.
“Ah, kau masih tega mempermainkanku! Kemana saja kau
selama ini… Bagaimana kau tahu-tahu bisa muncul di hutan
Jatiroto?”
“Eh, pertanyaanmu banyak amat! Apakah semua itu sangat
penting bagimu…?”
“Tentu saja penting! Kini aku menemuimu. Jangan harap aku
akan melepaskanmu Bunga. Aku akan ikut kemana kau pergi…!”
Perlahan-lahan Bunga melepaskan pelukan Wiro. Sambil
menatap mata pemuda itu dia berkata, “Tidak mungkin Wiro. Tidak
mungkin kau mengikuti kemana aku pergi…”
“Tidak mungkin bagaimana? Bukankah aku sudah bilang kalau
aku mencintaimu. Eh…” ucapan Wiro terputus.
“Mengapa kau tidak meneruskan kata-katamu , Wiro? Apa kau
menyesal telah mengakui isi hatimu…?”
“Bukan… Aku tidak menyesal. Dengar, aku pernah bermimpi
diatas kuburan…” lalu Wiro menceritakan mimpinya waktu dia
duduk ketiduran diatas batu hitam di pekuburan Batuwungkur.
Bunga tertawa lebar mendengar cerita itu lalu ulurkan kedua
tangannya memegang jari-jari sang pendekar. Wiro angkat kedua
tangan si gadis, menciumnya berulang-ulang. “Aku tak mau berpisah
lagi denganmu Bunga…” bisik Wiro lalu mendekap sang dara erat-
erat ke dadanya. Wiro lalu merasakan Bunga membalas
rangkulannya itu. Keduanya hanyut dalam perasaan yang seolah-
olah menjadi satu. Walau mereka berpeluk dan berciuman, namun
dihati sang Pendekar 212 sama sekali tidak ada gejolak hawa nafsu.
Sentuhan cinta kasih yang tulus lebih menggema di dalam tubuh dan
aliran darahnya.
“Bunga..,” bisik Wiro.
“Wiro…,” balas berbisik Bunga.
“Kita tidak akan berpisah lagi bukan…?”
“Apa yang kau inginkan itu juga menjadi keinginanku, Wiro.
Tapi saat ini…”
“Jangan katakan tapi, Bunga. Aku akan membawamu pada
guruku di Gunung Gede. Lalu aku akan menemui orang tuamu.
Aku…”
Jari-jari tangan Bunga menempel di atas mulut Pendekar 212
hingga Wiro tidak bisa meneruskan ucapannya.
“Saat ini aku harus pergi Wiro. Sebentar lagi hari akan pagi.
Ada sesuatu yang harus kulakukan…” Bunga melepaskan
pelukannya. Lalu cepat sekali dia melompat ke punggung kuda putih.
“Bunga…” Wiro hendak mengejar. Lalu didengarnya gadis itu
berkata, “Jika kau ingin bertemu lagi datanglah ke kedai Aki Sukri
tiga malam di muka. Aku menunggumu di sana… Saat ini
bagaimanapun tulusnya perasaanmu padaku, janganlah mengejar
atau mengikutiku. Berjanjilah Wiro…”
“Aku berjanji Bunga. Demi cintaku padamu…”
“Dan cintaku padamu…” sahut Bunga.
“Ah! Jadi… kau juga mencintaiku Bunga…?” Tanya Wiro.
“Aku… aku tidak bisa menipu perasaanku sendiri. Aku tak
mungkin melawan kodrat…” jawab sang dara lalu mengusap leher
kudanya dan tinggalkan tempat itu.
Wiro merasakan kesejukan dalam dirinya mendengar kata-kata
itu. Dia mengikuti kepergian Bunga dengan pandangan mata dan
senyuman sampai akhirnya sang dara lenyap dikejauhan dalam
kegelapan malam yang menjelang pagi itu.
* * *
SORE ITU SUNTINI dan suaminya duduk bersama Menak
Tunggoro sang ayah sambil menikmati teh manis hangat di langkan
samping rumah besar kediaman mereka.
“Ayah, kami berdua benar-benar gembira melihat ayah kembali
berkumpul lagi di rumah besar ini…” berkata Suntini.
Menak Tunggoro tersenyum.
“Besar kegembiraan kalian berdua, lebih besar lagi rasa
gembiraku, Suntini…”
“Lalu apakah lusa ayah akan menghadap Adipati untuk
menerima jabatan yang ditawarkan beliau…?” yang bertanya adalah
Sadewo, sang menantu.
“Itu yang masih jadi pikiranku. Kalau aku datang berarti
setengahnya aku bisa dianggap sudah menerima jabatan itu. Padahal
rasanya aku belum siap…”
“Diterima atau tidak sebaiknya ayah tetap datang. Paling tidak
ayah sudah menghormati tawaran dan menghormati Adipati.”
“Ucapan Kangmas Sadewo memang betul ayah. Ayah harus ke
sana menmui Adipati. Mungkin ayah perlu bertukar pikiran dengan
beliau…”
Menak Tunggoro tertawa dan memegang tangan anak
perempuannya itu. “Sudah maghrib…” katanya. “Aku harus
sembahyang dulu…”
Orang tua ini berdiri. Sesaat dia ingat sesuatu. “Ayah melihat
banyak orang berjaga-jaga di sekitar rumah kita ini. Ada apakah?”
Menak Tunggoro berpaling pada menantunya.
“Tidak ada apa-apa, ayah. Sekedar untuk berjaga-jaga dari
maling saja…” jawab sang menantu.
“Ah, sudah banyak maling rupanya di pinggiran kota ini!?”
Menak Tunggoro mengangguk-angguk lalu masuk ke dalam.
*
* *
Udara malam itu terasa panas. Di atas ranjang di dalam kamar
mereka, suami istri Suntini dan Sadewo tengah bermesraan.
“Setiap kau terlambat datang bulan, aku selalu merasa gembira
karena mengira kita bakal dikaruniai anak… Ternyata sampai saat ini
masih belum…” berkata Sadewo sambil mengelus perut istrinya yang
putih. Suntini menggeliat kegelian. Dia merangkul tubuh suaminya
erat-erat dengan tangan dan kakinya. Ketika dia menaikkan
kepalanya, tak sengaja dia memandang ke arah jendela yang
hordengnya tersingkap. Saat itulah dia melihat ada sosok seseorang
memperhatikan ke arah dalam kamar. Langsung wajah Suntini
menjadi pucat dan sekujur tubuhnya bergeletar.
Mula-mula Sadewo mengira tubuh istrinya bergeletar karena
rangsangan birahi. Namun ketika dilihatnya kedua mata Suntini
melotot ke arah jendela kamar dan mulutnya bergerak-gerak tapi tak
ada suara yang keluar, Sadewo cepat berpaling ke arah yang
dipandang istrinya.
“Dia.. dia datang lagi…” bisik Suntini. Suaranya seperti kelu.
Lelaki itu serta merta melompat dan mengenakan pakaiannya
dengan cepat. Sebuah kelewang yang tergantung di dinding kamar di
sambarnya. Lalu dia membuka pintu dan lari keluar.
“Mas Sadewo! Jangan tinggalkan aku mas! Aku takut!” teriak
Suntini.
Tapi Sadewo terus lari keluar. Saat itu sosok yang tadi tegak di
luar jendela sudah lenyap. Sadewo lari ke langkan depan rumah
dimana terdapat kentongan kayu. Kentongan itu dipukulnya berulang
kali sampai enam orang lelaki bertubuh tegap muncul dihadapannya.
“Lekas siapkan obor dan kuda! Makhluk itu muncul lagi!
Malam ini kita harus membuatnya kapok! Membunuhnya!”
“Tapi kalau makhluk itu makhluk halus seperti katamu ‘den,
bagaimana mungkin kita bisa membunuhnya?!” tanya salah seorang
yang datang menghadap.
“Diam! Kau tahu apa! Turut saja perintah! Ki Dukun telah
mengatur segala sesuatunya! Kita tinggal menjalankan! Lekas
siapkan obor dan kuda!” teriak Sadewo marah.
Enam orang itu segera berlalu. Tak lama kemudian mereka
kembali membawa tujuh ekor kuda dan tujuh buah obor menyala.
Sadewo melompat ke atas salah seekor kuda, mengambil
sebuah obor lalu memberi isyarat agar enam orang pembantunya
mengikutinya.
Sadewo memimpin rombongan berkuda itu menuju bagian
pinggir selatan kota.
“Masih belum kelihatan den. Apa raden merasa pasti makhluk
itu lari ke jurusan sini?”
“Ki Dukun yang berkata begitu…” sahut Sadewo. Dia memacu
kudanya terus. Tak lama kemudian mereka memasuki satu jalan
menurun. Di depan mereka terdapat sebuah jembatan bambu yang
melintang di atas sebuah jurang dalam. Dulunya jurang itu
merupakan sebuah aliran sungai. Namun karena tidak dialiri air lagi,
sungai dalam itu berubah menjadi jurang.
“Raden!” tiba-tiba salah seorang dari enam pembantu berteriak
seraya menunjuk ke depan. “Lihat, Raden! Makhluk itu ada di depan
sana!”
Semua kepala dipalingkan ke arah yang ditunjuk. Memang
benar. Di depan sana, beberapa belas tombak dari jembatan bambu
tampak penunggang kuda putih tegak tak bergerak seolah-olah
sengaja menunggu mereka.
“Kejar!” Perintah Sadewo. “Ingat! Begitu kalian berhasil
mengejar, tusukkan obor ini ke kepala dan tubuh orang itu! Dia pasti
kapok! Mati konyol dimakan api dan tidak akan mengganguku lagi!
Jalan!”
Tujuh kuda melompat ke depan menuruni jalan menuju
jembatan bambu. Saat itu kuda putih di depan sana tampak bergerak
pula, melewati jembatan bambu dengan perlahan-lahan. Sepertinya
sengaja menunggu rombongan Sadewo di sebelah belakang. Ketika
melewati jembatan bambu, orang berkuda putih keluarkan sebuah
benda dari sebuah kantong dekat leher kuda. Ternyata segulung tali
besar yang ujungnya ada kaitan besinya. Tali ditebar dan diputar-
putar. Sesaat akan keluar dari jembatan bambu, tali itu melesat ke
bawah dan besi pengaitnya bergelung di sebuah tiang bambu yang
menjadi pusat daya tahan berat jembatan.
Di sebelah belakang tujuh penunggang kuda menderu di atas
jembatan. Saat itulah penunggang kuda putih keluarkan tawa
cekikikan. Dia menggebrak kuda tunggangannya. Kuda putih itu
melompat kencang. Tali berkait besi tersentak dan langsung menarik
tiang bambu di kolong jembatan. Begitu tiang berderak patah, tak
ampun lagi goyahlah bambu-bambu penopang lainnya. Jembatan
bambu itu langsung runtuh berderak. Tujuh peunggang kuda
bergemuruh jatuh ke dalam jurang. Suara ringkik kuda dan suara
jeritan tujuh orang itu menjadi satu merobek kesunyian malam
secara teramat mengerikan.
Lalu sunyi. Penunggang kuda putih campakkan tali yang
dipegangnya ke tanah. Dia berlalu sambil menabur tawa cekikikan
penuh kepuasan!
* * *
SORE TADI JENAZAH Raden Sadewo dan enam orang lelaki
yang menjadi korban jatuh ke dalam jurang telah dimakamkan. Atas
permintaan istrinya, jenazah tidak dikubur di pemakaman
Batuwungkur yang terletak cukup jauh dari Sleman tempat kediaman
almarhum, tapi dimakamkan di pekuburan Kebalentoro di tenggara
kota.
Malam itu suasana di gedung kediaman Menak Tunggoro
kelihatan sunyi senyap. Hanya sebuah lampu minyak saja yang
tampak menyala di bagian belakang rumah besar. Penghuninya
mungkin telah lelap keletihan karena siangnya melakukan berbagai
upacara sampai saat terakhir pemakaman Raden Sadewo.
Dalam kesunyian dan kegelapan itu tiba-tiba tampak jendela
bekas kamar almarhum terbuka. Lalu satu sosok menyelinap keluar,
bergegas menuju halaman belakang. Disini dia masuk ke dalam
kandang kuda. Tak lama kemudian orang tadi tampak keluar sambil
menuntun seekor kuda. Di luar halaman rumah besar baru dia naik
ke punggung kuda dan memacu binatang itu ke arah barat Sleman.
Ki Dukun Sambarekso tersentak kaget dari tidurnya ketika ada
yang mengetuk pintu rumahnya keras sekali. Dia terduduk di tepi
ranjang dan memasang telinga. Suara ketukan itu kini dibarengi oleh
suara orang memanggil.
“Ki Dukun! Lekas buka pintu! Aku perlu bicara denganmu! Ki
Dukun Sambar! Buka Pintu!”
Itu suara perempuan!
Orang tua hampir tujuh puluh tahun ini tapi masih bertubuh
kekar bangkit dari ranjangnya, bergegas keluar kamar. Setelah
menyalakan lampu minyak di ruangan depan dia langsung membuka
pintu. Begitu pintu terbuka, sebatang golok tahu-tahu sudah
melintang di tenggorokannya! Membuat dia melangkah mundur
ketakutan dan akhirnya punggungnya tertahan dinding rumah.
“Den ayu Suntini…” desis Ki Dukun ketika dia mengenali siapa
adanya yang menempelkan golok ke lehernya. “Kau datang malam-
malam begini dan mengancamku dengan sebilah golok, ada
apakah…?!”
“Kau tahu suamiku meninggal karena kecelakaan masuk
jurang?!” sentak perempuan yang memegang golok yang ternyata
adalah Suntini, puteri Menak Tunggoro, bekas istri almarhum
Sadewo.
“Aku tahu, den ayu…”
“Kejadian itu adalah karena kesalahamu!”
“Ke… kesalahanku? Aku tidak mengerti?!”
“Kau akan mengerti kalau lehermu sudah ku sembelih!”
“Tunggu! Jangan den ayu…! Jangan menuduhku begitu…”
“Jangan berani berdusta! Beberapa waktu lalu suamiku pernah
datang padamu meminta petunjuk….”
“Betul den ayu. Itu memang betul. Dia memberi tahu adanya
gangguan atas dirimu dan dirinya sejak tiga bulan terakhir ini. Aku
memberi perunjuk dan sebuah jimat untuk keselamatan…”
“Dan karena petunjuk serta jimatmu itu suamiku mati masuk
jurang bersama enam pembantunya! Kau harus tebus nyawa
suamiku dengan nyawa tua bangkamu!” Golok ditangan Suntini
menekan. Ki Dukun terpekik dan darah mengucur dari luka di
lehernya.
“Den ayu… jangan… jangan bunuh diriku. Kurasa… kurasa
suamimu melakukan kesalahan. Jangan-jangan dia melakukannya
tidak sesuai petunjukku….”
“Tidak sesuai petunjuk bagaimana…?!” sentak Suntini.
“Waktu suami den ayu datang terakhir aku pernah
memesankan, jika dia hendak menghadapi si penggangu, dia musti
berada dalam keadaan suci…”
“Suci? Suci bagaimana…?”
“Dirinya harus dalam keadaan bersih. Kalau sebelumnya dia
perhan berhubungan badan dengan den ayu maka dia harus mandi
basah lebih dulu. Kalau tidak… itulah bahayanya…”
“Kau dusta! Kau sengaja mencari dalih agar bisa cuci tangan!
Biar kubunuh kau saat ini juga!”
“Kalau kau bunuh diriku, berarti kau tak akan pernah bebas
dari si pengganggu itu! Aku masih ada cara lain untuk menolongmu
den ayu!” tiba-tiba Ki Dukun berkata.
Suntini yang hendak menekankan goloknya dalam-dalam ke
leher si orang tua urungkan niatnya. Dengan mendelik dia
membentak, “Apa yang ada dalam otakmu, Ki Dukun?!”
“Aku punya senjata rahasia bernama Pisau Daun Sirih. Dengan
senjata itu kau bisa menyingkirkan si penggangu. Asal kau mau dan
benar-benar mengikuti petunjukku…”
“Baik kuberi kau kesempatan sekali lagi. Jika tidak berhasil
jangan harap kau bisa lolos dari kematian!” Suntini turunkan
tangannya yang memegang golok. Ki Dukun merasa lega. Sepasang
mata orang tua itu tiba-tiba tampak berkilat seperti memancarkan
sesuatu. Pandangannya menembus ke mata Suntini.
“Ada satu syarat yang harus kau penuhi terlebih dulu den
ayu…” kata Ki Dukun perlahan.
“Jangan takut, kalau berhasil pasti akan kuberi hadiah uang!”
“Tidak, bukan uang. Ku inginkan dirimu…” Dari mata Ki
Dukun menyambar kembali kilatan cahaya aneh itu. Seperti orang
terkena sihir Suntini hanya diam saja ketika si orang tua mulai
membukai pakaiannya. Di lain saat perempuan muda ini sudah
berada dalam keadaan polos dan mengikuti saja ketika Ki Dukun
membimbingnya ke dalam kamar!
* * *
MATAHARI BARU SAJA tenggelam ketika Wiro masuk ke dalam
kedai. Aku Sukri si pemilik kedai segera mendatanginya dan hendak
mengatakan sesuatu. Tapi Wiro cepat memegang bahu Aki Sukri,
menekannnya sedikit hingga pemilik kedai itu mengerenyit kesakitan.
“Aku tahu kau tidak suka melihat kedatanganku. Tapi jangan
banyak bicara. Ini uang. Terima!” berkata Wiro lalu masukkan dua
keping uang ke dalam saku si pemilik kedai.
Mau tak mau Aki Sukri menerima saja uang itu lalu bertanya,
“Kau tidak ingin memesan makanan atau minuman?”
“Tidak, aku akan menunggu seorang sahabat! Nanti saja kalau
dia sudah datang…” jawab Wiro.
“Sahabat yang kau maksudkan itu, apakah dia dara temo hari?
Yang katamu bergelar Dewi Bunga Mayat?” tanya Aki Sukri dengan
wajah berubah.
“Siapa dia kau tak usah tahu. Lihat saja nanti siapa yang
datang!” habis berkata begitu Wiro lalu duduk di sudut kedai yang
agaknya kegelapan.
Malam terasa merayap sangat perlahan. Sampai menjelang
tengah malam Wiro masih duduk di tempatnya dalam keadaan
terkantuk-kantuk. Dan orang yang ditunggunya masih belum
muncul.
Aki Sukri mendatangi sang pendekar lalu berkata, “Maafkan,
aku bukan mengusir. Tapi kedai ini sudah mau kututup, anak
muda…”
“Orang yang kutunggu masih belum datang. Tunggu sebentar
lagi, Aki…”
Aki Sukri keruk saku bajunya dan keluarkan dua keping uang
yang tadi diberikan Wiro, lalu letakkan di atas meja.
“Ini uangmu. Ambil kembali dan pergi dari sini…”
Pendekar 212 tersenyum. Dengan tangan kirinya didorongnya
pemilik kedai itu seraya berkata, “Orang yang ku nanti sudah datang.
Kau tak usah menceloteh lagi, Aki. Siapkan dua kopi hangat…”
Aki Sukri berpaling ke arah pintu. Saat itu dilihatnya seorang
dara berwajah cantik berpakaian putih melangkah masuk,
melangkah menuju sudut dimana Wiro menunggu sambil berdiri.
Pemilik kedai ini mengenali dan ingat betul, dara ini adalah dara yang
tempo hari datang ke kedainya, yang menurut si anak muda bergelar
Dewi Bunga Mayat! Betul dia rupanya yang datang! Penuh rasa takut
Aki Sukri menyiapkan dua cangkir kopi.
“Kau pasti sudah kesal karena lama menunggu…” kata Bunga
lalu duduk dekat-dekat di samping Wiro.
Pendekar 212 pegang tangan Bunga dan menjawab, “Seratus
tahunpun aku bersedia menunggumu. Aku tahu kau pasti akan
datang Bunga. Aku sudah memesan kopi panas untuk kita berdua…”
“Aih aku tidak pengopi. Tapi tak apa. Malam ini malam
istimewa bagi kita berdua. Aku akan minum kopi hangat
bersamamu…”
“Setuju! Malam ini malam istimewa bagi kita berdua. Kau mau
aku memesan makanan…?”
“Tidak usah. Kopi saja sudah cukup…”
“Apakah kau baik-baik saja selama beberapa hari ini?” tanya
Wiro.
“Ya… ya. Kau sendiri bagaimana?” balik bertanya Bunga.
“Ah, aku selalu ingat-ingat dirimu. Susah kalau sudah jatuh
cinta begini…!”
Wiro lantas tertawa sedang wajah Bunga tampak kemerahan.
Wiro angkat tangan kanan si gadis yang dipegangnya lalu diciumnya
berulang kali.
Saat itu terdengar suara orang berdehem.
Aki Sukri datang membawa dua cangkir kopi. Wiro tersipu
malu, Bunga tundukkan kepala. Dua cangkir kopi diletakkan di atas
meja.
“Bunga aku punya satu rencana besar…”
“Rencana besar apa, Wiro?”
“Rencana ini ada kaitanya dengan hubungan kita…”
“Hem… katakan maksudmu…”
“Aku akan menemui orang tuamu!”
“Eh, untuk keperluan apa?!” tanya Bunga heran.
“Aku hendak melamarmu!” jawab Pendekar 212 tanpa tedeng
aling-aling.
Tentu saja Bunga jadi terkejut. Dia seperti hendak tertawa
gelak-gelak, namun akhirnya gadis jelita ini tundukkan kepala.
“Aku… aku sekarang baru sadar kalau kau memang
bersungguh-sungguh…” ucap Bunga perlahan.
“Astaga! Apa kau kira selama ini aku mempermainkanmu?
Katakan, kapan aku bisa ketemu kedua orang tuamu. Besok…? Eh,
rumahmupun aku belum tahu! Bagaimana ini?!” Wiro memandang
lekat-lekat ke wajah jelita itu.
“Ibuku sudah lama meninggal Wiro….”
“Maafkan aku…” kata Wiro lalu garuk-garuk kepala. “Tapi
ayahmu masih ada ‘kan?”
Bunga mengangguk.
“Kalau begitu aku akan menemuinya. Bolehkah…?”
Bunga menatap paras pemuda itu sesaat, lalu mengangguk
perlahan. Wiro kembali meremas dan menciumi tangan kanan Bunga.
Hatinya berbunga-bunga. Dadanya seperti mau meledak karena
kegirangan.
“Sekarang katakan di mana rumahmu…” bsisk Pendekar 212.
“Kapan kau mau datang, Wiro…?”
“Makin lekas makin baik. Besok…?”
“Datanglah ke Sleman. Cari rumah Raden Menak Tunggoro. Itu
ayahku…”
“Raden Menak Tunggoro. Nama hebat! Ayahmu pasti seorang
yang hebat!” kata Wiro pula. “Lalu namamu sendiri siapa? Kalau aku
ketemu ayahmu, aku harus bilang mau bertemu siapa…?”
Sang dara tersenyum. “Namaku Suci…” bisiknya ke telinga
Wiro.
“Suci… Nama bagus. Nama indah sekali…” ujar Wiro. Lalu
diciumnya kembali jari-jari tangan sang dara. “Eh, sebaiknya kita
teguk kopi ini. Jangan sampai dingin…”
Suci ulurkan tangan memegang cangkir. Wiro melakukan hal
yang sama. Sesaat sebelum sepasang muda mudi yang dilanda cinta
ini mendekatkan cangkir ke bibir masing-masing dan meneguk kopi
hangat itu, tiba-tiba mereka mendengar suara sesuatu di atap kedai.
“Aku mendengar suara sesuatu berdesing berputar-putar di
atas atap…” ujar Pendekar 212 sambil turunkan cangkir dan
meletakkannya di atas meja sementara Bunga masih memegangi
cangkir kopinya di depan dada.
“Aku juga mendengar…” menjawab Bunga. Wajahnya jelas
tampak berubah.
“Aku mencium bau seperti kemenyan terbakar…” bisik Wiro
lagi.
“Aku juga mencium bau itu…” bisik Bunga. Suaranya bergetar.
Tiba-tiba suara mendesing itu terdengar tambah nyaring lalu
sebuah benda menerobos atap kedai yang terbuat dari rumbia! Benda
ini langsung melesat ke arah kepala Bunga yang duduk di samping
Wiro.
Bunga melompat berdiri. Cangkir di tangan kanannya terlepas.
Kopi hangat menyirami dada, perut dan bagian bawah kebaya
putihnya. Melihat bahaya besar mengancam Bunga, Pendekar 212
cepat dorong gadis itu ke samping lalu tangan kanannya
dihantamkan ke atas benda yang menukik melesat dari atas atap!
Sinar putih berkiblat menyilaukan. Kedai itu seperti diamuk
gempa dan hawa panas laksana membakar. Tidak tanggung-tanggung
Wiro telah lepaskan pukulan ‘sinar matahari’ demi menyelamatkan
orang yang dicintainya.
Atap kedai jebol dan terbakar karena hantaman sinar matahari.
Benda yang tadi melesat terpental kesamping dan jatuh tergeletak di
atas meja. Meskipun sanggup dibuat mental tapi ternyata benda itu
tidak patah atau hancur, apalagi leleh dihantam pukulan ‘sinar
matahari’. Wiro dan bunga memandang membelalak pada benda di
atas meja itu. Benda ini adalah sebuah pisau aneh, badan dan
matanya berbentuk daun sirih. Kelihatannya terbuat dari tembaga
merah yang seluruh badannya penuh ukiran tulisan-tulisan aneh.
Pada gagangnya yang juga terbuat dari tembaga terikat sehelai kain
putih. Di dalam kain putih ini terdapat beberapa keping kemenyan!
Inilah Pisau Daun Sirih kiriman Ki Dukun Sambarekso!
Kedua muda-mudi itu baru sadar ketika mereka mendengar
pekik jerit Aki Sukri yang kalang kabut mendapatkan kedainya
terbakar.
“Bunga…” Wiro pegang lengan gadis itu, “cepat keluar dari
tempat ini…” Lalu dipagutnya pinggang sang dara. Sebelum lari
keluar kedai, Bunga masih sempat menyambar Pisau Daun Sirih
diatas meja.
Di satu tempat di halaman belakang kedai keduanya berhenti
berlari dan memandang ke arah kedai Aki Sukri yang terbkaar akibat
hantaman pukulan ‘sinar matahari’
“Kasihan pemilik kedai itu. Aku harus mengganti
kerugiannya…” Karena tak ada jawaban dari Bunga, Wiro berpaling.
Saat itu dilihatnya si gadis berdiri tidak bergerak. Kedua matanya
terpejam. Pisau Daun Sirih yang dipegangnya di tangan kanan
diangkat ke depan mulutnya lalu Bunga meniup tiga kali.
“Eh, apa yang tengah kau lakukan Bunga…?” tanya Wiro.
Bunga mengangkat Pisau Daun Sirih tinggi-tinggi di atas
kepalanya. Lalu terdengar dia membentak, “Pergi! Kembali ke asalmu!
Minum darah asal leluhurmu!”
Habis membentak begitu, Bunga lemparkan Pisau Daun Sirih
ke udara. Senjata iu melesat dan lenyap dalam kegelapan malam!
“Wiro, kita berpisah disini…” terdengar Bunga berucap.
“Eh… Aku…”
“Besok kau akan datang ke rumahku, bukan?”
“Ya, tapi malam ini…”
“Aku harus pergi Wiro,” kata Bunga pula lalu memeluk
Pendekar 212. keduanya saling berangkulan seperti tidak mau
dipisahkan lagi. Peluk rangkul dan kecupan saling bergantian
sementara di sebelah sana Aki Sukri masih kalang kabut berusaha
memadamkan api yang membakar kedainya.
*
* *
Ki Dukun Sambarekso tersentak dari samadinya. Telinganya
menangkap suara mendesing dikejauhan. Makin keras, makin keras
tanda tambah dekat. Sesaat dia mengenali suara desingan itu,
pucatlah wajah sang dukun, dia melompat sambil berseru keras.
“Pergi! Pergi! Bukan disini sasaranmu! Bukan disini asalmu!
Bukan disini leluhurmu! Pergi!”
Suara berdesing semakin keras. Lalu terdengar suara jebolnya
atap bangunan disusul melesatnya sebuah benda! Benda ini langsung
mengarah Ki Dukun. Si orang tua menjerit keras untuk kedua
kalinya.
“Pergi!” teriaknya. “Bukan disini asalmu! Bukan disini
sasaranmu. Bukan… aakhhhhh!!!”
Pisau daun sirih menancap di tenggorokan ki dukun
sambarekso. Tubuhnya langsung roboh terjengkang. Kedua kakinya
kelojotan beberapa kali. Lalu diam tak berkutik lagi. Orang tua
tukang santet ini menemui ajal dengan mata mendelik. Darah
mengucur dari tenggorokannya yang ditembus senjata rahasia
miliknya sendiri. Anehnya darah ini tidak berwarna merah tetapi
hitam pekat!
* * *
SORE ITU DENGAN PAKAIAN sangat bersih dan rapi Pendekar
212 Wiro Sableng berangkat ke Sleman. Tidak sulit baginya mencari
rumah kediaman Raden Menak Tunggoro. Seorang pelayan muda
menemuinya dan menanyakan maksud kedatangannya.
“Namaku Wiro Sableng. Aku datang dari jauh guna menemui
Raden Menak Tunggoro. Apakah beliau ada di rumah…?”
“Majikan saya memang ada di rumah. Bisakah saya
menanyakan maksud kedatangan raden…?” tanya si pelayan pula.
“Aku hem… Aku datang untuk melamar anaknya,” jawab Wiro
polos.
Terkejutlah si pelayan. “Melamar anaknya…?” dia mengulang.
“Betul! Melamar anaknya!”
“Ah, pemuda ini pasti gendeng. Den ayu Suntini baru kemarin
ditinggal mati suaminya. Kini dia datang melamar!” berkata si
pelayan dalam hatinya. Tapi dia meminta agar sang tamu menunggu.
Dia akan menemui Raden Menak Tunggoro untuk memberi tahu
kedatangannya.
Akan Raden Menak Tunggoro yang saat itu masih berada dalam
suasana berkabung dan sangat letih tentu saja sangat terkejut
mendengar penjelasan sang pelayannya.
“Orang gila dari mana yang kesasar ke rumah ini!” katanya
jengkel. Tapi dia keluar juga dari kamarnya menuju ruang depan.
Pendekar 212 Wiro Sableng menjura memberi hormat.
“Apakah saya berhadapan dengan Raden Menak Tunggoro?”
Wiro menyapa dengan sopan.
“Betul. Siapa engkau anak muda? Pelayan mengatakan bahwa
engkau datang hendak melamar anakku?!”
Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepalanya.
“Memang betul begitu. Harap maafkan kalau saya berlaku
lancang. Sebelumnya saya sudah bicara dengan putri bapak. Dia
menyetujui agar saya datang kemari menemui bapak untuk
meyampaikan lamaran…”
Raden Menak Tunggoro menatap pemuda dihadapannya lama-
lama lau berkata, “Putriku Suntini maksudmu…?”
Wiro menggeleng.
“Bukan, bukan yang bernama Suntini. Tapi Bunga…” kata Wiro
pula.
“Bunga…? Tak ada anak gadisku yang bernama seperti itu…”
“Ah,” Wiro tepuk keningnya. “maksud saya Suci…” katanya
cepat.
Berubahlah paras Menak Tunggoro. “Suci…?” desisnya
mengulang. Kedua matanya kini memandangi Wiro dari kepala
sampai ke kaki. “Kau tidak keliru, anak muda…?”
“Maksud bapak, tidak ada gadis yang bernama Suci disini…?”
“Anak muda, masuklah…” Menak Tunggoro memegang bahu
Wiro, mengajaknya masuk ke dalam dan mempersilakannya duduk di
ruangan tamu.
Wiro memandang berkeliling. Lalu berpaling pada Menak
Tunggoro. “Bapak belum menjawab pertanyaan saya tadi. Betul tak
ada…”
“Kapan kau bertemu dengan Suci? Katamu kau sebelumnya
sudah bicara dengan dia…” Menak Tunggoro memotong ucapan Wiro.
“Malam tadi. Di kedai Aki Sukri. Apakah dia tidak
menceritakan pada bapak bagaimana dirinya hampir saja jadi korban
senjata rahasia…”
“Tunggu dulu anak muda. Coba kau katakan sekali lagi! Kau
bertemu dengan Suci malam tadi di kedai Aki Sukri. Betul begitu?!”
“Betul!” jawab Wiro. Dia mulai tidak mengerti ucapan-ucapan
dan pertanyaan orang di hadapannya ini.
“Apakah sebelumnya… kau juga pernah bertemu dengan
Suci…?”
“Beberapa kali. Dia gadis hebat. Kepandaiannya luar biasa. Dia
sanggup membunuh lawan hanya dengan setangkai bunga kenanga!
Itu yang membuat saya kagum. Tidak heran kalau orang-orang
menyebutnya dengan gelaran Dewi Bunga Mayat…!”
“Hah!” Menak Tunggoro terlompat dari kursinya. “Suci…” desis
orang tua ini. “Bagaimana mungkin…?!”
“Apa yang bagaimana mungkin, bapak?” tanya Wiro pula.
“Tidak mungkin anak muda. Tidak mungkin kau telah bertemu
dengan anakku Suci. Tidak mungkin dia yang dijuluki Dewi Bunga
Mayat itu…”
“Saya tidak berdusta bapak. Atau apakah saya perlu
bersumpah?!” tanya Wiro lagi. “Saya benar-benar tidak mengerti
semua ucapan-ucapan bapak….”
“Tentu! Pasti kau tidak mengerti anak muda. Aku juga tidak
mengerti! Karena Suci anakku telah meninggal dunia tiga bulan lalu!”
“Apa?!” kini Pendekar 212 yang tersentak kaget dan terlompat
dari kursinya. “Bapak bergurau agaknya…?”
Menak Tunggoro menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangan. Kepalanya degeleng-gelengkan beberapa kali.
“Aku tidak bergurau anak muda! Aku juga tidak berdusta. Ya
Tuhan…. Mengapa semua ini bisa terjadi? Dosa apa yang aku buat
sehingga nasib anak-anakku tidak karuan begini rupa..?!”
“Bapak…” Wiro tak bisa meneruskan kata-katanya. Dia
melangkah ke pintu. “Orang tua ini mungkin saja berdalih karena
tidak suka aku menjadi suami anaknya. Tapi aku melihat keanehan
dibalik semua ini…”
Saat itu tiba-tiba Menak Tunggoro berdiri. “Anak muda, jika
kau tidak percaya mari ikut aku. Aku akan antarkan kau ke kubur
puteriku itu!”
Wiro mengerenyit. “Katakan dimana Suci dikubur kalau dia
memang betul-betul sudah meninggal dunia…”
“Di pekuburan Batuwungkur!” jawab Menak Tunggoro.
Wiro Sableng terbelalak.
“Kalau begitu memang perlu kita kesana sekarang juga
sebelum hari malam. Kau harus membuktikan. Kau harus
menunjukkan kuburnya!” Suara Wiro bergetar. Tengkuknya
mendadak saja menjadi dingin dan sekujur tubuhnya keringatan.
Ketika dia membalik mendahului keluar dari ruangan itu, dia
melihat seorang lelaki tua melangkah terbungkuk-bungkuk menuruni
tangga langkan depan rumah besar. “Orang tua itu…. Aku tahu dia
sejak tadi mendengarkan pembicaraan. Siapa dia…?” bertanya Wiro
dalam hati.
Selagi dia tegak dengan kepala penuh tanda tanya seperti itu,
Menak Tunggoro muncul diatas kereta terbuka. Dia memberi isyarat
pada Wiro agar lekas naik. Lalu setelah Wiro naik, kusir segera
mencambuk kuda penarik kereta. Saat itu sang surya bersinar merah
keemasan tanda tak lama lagi akan segera tenggelam.
* * *
Roda-roda kereta bergemeletakan ketika memasuki tanah
pekuburan Batuwungkur. “Berhenti di sini!” kata Menak Tunggoro.
Lalu turun dari kereta sementara Wiro sudah melompat duluan.
Dadanya berdebar keras seolah-olah ada sesuatu yang hendak
meledak dari dalam!
Menak Tunggoro memberi isyarat agar mengikutinya di
hadapan sebuah makam yang ditumbuhi sepokok pohon kemboja
kecil orang tua ini berhenti.
Astaga! Wiro segera mengenali, itu adalah makam dimana dia
pernah melihat Bunga berdiri lalu lenyap diantara bayang-bayang
kabut malam. Batu hitam yang pernah didudukinya juga ada disitu.
Matanya bergerak ke arah papan nisan yang mulai lapuk. Lutut
Pendekar 212 goyah ketika matanya melihat tulisan hitam
bertuliskan Suci di papan nisan itu!
“Bapak…” Wiro berpaling ke arah Menak Tunggoro.
“Kalau kau tanyakan bagaimana ini bisa terjadi akupun tak
tahu jawabannya…”
“Tapi bagaimana saya bisa percaya kalau ini benar-benar
makam Suci. Lalu siapa gadis yang saya temui selama ini…? Gadis
cantik berkebaya putih…”
“Itulah pakaian yang dikenakannya ketika dia meninggal!” kata
Menak Tunggoro. “Sesuai pesannya, dia minta agar dikubur dalam
peti dengan kebaya putih dan celana panjang putih lalu baru
digulung dengan kain kafan. Ini bukan kebiasaan menguburkan
jenazah seperti itu. Tapi Suci sendiri yang berpesan begitu…”
“Bapak… Kau mengizinkan kalau makam ini dibongkar? Saya
hanya ingin melihat bahwa jenazah didalamnya benar-benar Suci…”
“Aku tidak mengizinkan makam anakku dibongkar. Demi
Tuhan tak ada seorangpun yang boleh melakukan hal itu!” kata
Menak Tunggoro setengah berteriak.
“Kalau begitu biarlah aku pergi saja. Biar semua kejadian ini
berpangkal dan berujung pada keanehan! Kenaehan yang tidak
pernah terungkap…..”
Wiro berbalik dan ketika dia hendak melangkah didengarnya
Menak Tunggoro berkata, “ Tunggu… Aku akan panggilkan penggali-
penggali makam…!” Lalu orang tua itu berseru memanggil kusir
kereta.
Tak lama kemudian tiga orang penggali makam datang ke
tempat itu. Dua orang membawa pacul, datu membawa sendokan
besar seperti sekop. Sementara sang surya sudah hampir masuk ke
ufuk tenggelamnya. Daerah pekuburan Batauwungkur mulai
temaram.
“Lekas gali sebelum malam turun!” ujar Wiro pada tiga
penggali. Dengan tangannya ikut menyibakkan tanah galian.
Tak!
Salah satu pacul membentur benda keras.
Wiro tak tahan lagi. Dia segera terjun masuk ke dalam lobang
kubur. Sekop di tangan penggali kubur diambilnya lalu dia sendiri
melakukan penggalian dengan hati berdebar sampai akhirnya dia
melihat kayu penutup sebuah peti mati!
Dua orang penggali makam melompat ke atas. Menyusul
penggali yang ketiga. Ada satu keanehan yang membuat mereka
merasa ngeri ketika melihat penutup peti mati yang ternyata masih
dalam keadaan utuh, hanya rusak sedikit di beberapa sudut.
Kini tinggal Wiro sendirian dalam makam itu, dia mendongak
ke atas, pada Menak tunggoro.
“Bapak, izinkan saya membuka peti mati ini?!”
Menak Tunggoro tampak tegang. Lalu orang tua ini anggukkan
kepalanya.
Di dalam kubur Wiro pergunakan sekop untuk menguit tepi kiri
peti mati. Karena beberapa bagian yang sudah lapuk, tidak sulit
membuka penutup peti mati itu. Begitu peti terbuka menebarlah bau
harum bunga kenanga! Wiro seperti terpukau. Tangannya gemetar,
lututnya goyah. Dikuatkan hatinya. Dibukanya tutup peti mati itu
lebih lebar, lebih lebar hingga akhirnya tersingkap keseluruhannya!
Menak Tunggoro dan tiga penggali kubur sama-sama keluarkan
seruan tercekat. Wiro sendiri untuk beberapa lamanya tertegun
seperti patung!
Dalam peti mati yang terbuka lebar itu kini terpampang satu
keanehan luar biasa yang sulit diterima akal. Sosok mayat di dalam
peti mati itu tampak utuh seperti seorang yang sedang tidur. Dan
sosok mayat ini adalah sosok mayat Suci! Wajahnya pucat tapi
kecantikannya tetap nyata. Dia mengenakan kebaya panjang dan
celana panjang putih. Disekitarnya berserakan robekan kain kafan
yang sudah melapuk.
Yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng terbelalak adalah
ketika dia melihat bagaimana pada dada, bagian perut dan bagian
sebelah bawah kebaya putih yang dikenakan mayat Suci jelas terlihat
bekas tumpahan kopi! Kopi yang tertumpah ketika malam tadi terjadi
serangan pisau daun sirih di kedai Aki Sukri!
“Suci…” bisik Wiro. “Keanehan atau keajaiban apa yang kau
berikan padaku. Aku tak percaya bahwa kau benar-benar sudah
tiada. Kalaupun itu memang kenyataan ketahuilah bahwa dirimu ada
dalam hatiku….” Wiro merasakan kedua matanya menjadi panas.
Kalau sebelumnya ada perasaan takut berada dalam kubur itu
dan menyaksikan mayat Suci, kini semua rasa takut itu lenyap tidak
berbekas. Diangkat tangannya, dipegangnya tangan Suci yang
bersilang di atas perut. Lalu ditundukkannya kepalanya untuk
mencium kening dan kedua pipi Suci. Terakhir sekali dikecupnya
bibir mayat itu. Lalu terdengar suara isaknya. Inilah untuk pertama
kali dalam hidupnya Pendekar 212 menangis, sementara empat orang
di atas sana tampak bergidik melihat apa yang tadi dilakukan
pemuda itu.
“Suci…” Wiro berbisik ke telinga mayat. “Aku akan pergi.
Tidurlah dengan tenang. Bagiku kau tak pernah mati. Aku membawa
cinta kasih kita yang berpadu rindu dalam diri ini kemanapun aku
pergi. Kalau aku rindu akan kucium bunga kenanga yang ada dalam
sakuku. Aku pergi Bunga… Aku pergi Suci…”
Wiro Sableng usap kedua matanya lalu tutupkan penutup peti
mati. Perlahan-lahan dia naik ke atas. Ketika sampai di atas hari
sudah gelap. Tiga penggali makam kembali bekerja. Kali ini untuk
menimbun tanah kubur yang tadi digali. Ketika pekerjaan itu selesai,
Menak Tunggoro memegang bahu sang pendekar lalu berkata.
“Sekarang kau melihat sendiri kenyataan ini, anak muda.
Kenyataan yang kita semua tak akan bisa mengerti. Inilah kekuasaan
Gusti Allah…” Orang tua itu diam sesaat. “Aku akan segera kembali
ke Sleman. Kau ikut…?”
“Terima kasih. Saya akan tetap disini malam ini…” jawab Wiro
pula.
Menak Tunggoro diikuti tiga penggali makam tinggalkan tempat
itu. Kini tinggal Wiro sendirian, tegak termangu di hadapan Suci.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara bergemerisik di sebelah kiri.
Sekali lompat saja murid Sinto Gendeng ini berkelebat ke arah
setumpukan semak belukar.
“Ampun! Jangan pukul diriku!” terdengar suara orang
berteriak. Wiro cekal leher pakaian orang itu. Ternyata dia adalah
orang tua bungkuk yang dilihat Wiro di gedung kediaman Menak
Tunggoro.
“Apa yang kau lakukan disini?!” bentak Wiro antara marah dan
heran. “Kau sengaja memata-matai diriku! Siapa yang menyuruh?!”
“Aku… Aku tidak memata-mataimu… juga tak ada yang
menyuruh…” berkata orang tua itu.
“Lalu apa maksudmu mengikut sampai kesini, sembunyi
dibalik semak belukar…?”
“Aku… aku bermaksud baik, anak muda. Ada sesuatu yang
ingin kuceritakan padamu. Aku… aku merasa kasihan padamu…”
“Tambah satu lagi keanehan di tempat ini!” ujar Wiro. “apa
yang hendak kau ceritakan padaku, orang tua?”
“Tentang riwayat orang yang kau cintai itu…”
Wiro pandang wajah tua keriput itu sesaat lalu berkata, “Kalau
kau memang punya cerita, ceritakanlah…”
“Aku bekerja sebagai pelayan di rumah Raden Menak Tunggoro
sejak lima puluh tahun lalu. Apa yang terjadi di rumah besar itu
kuketahui semuanya. Juga tentang kematian Suci tiga bulan yang
lalu. Dia mati tidak wajar….”
“Tidak wajar bagaimana?”
“Suci yang malang itu mati diracun oleh Sadewo atas suruhan
Suntini, adiknya sendiri…”
Tentu saja Wiro jadi terkesiap mendengar keterangan itu.
Untuk beberapa lamanya dia tidak bisa berkata apa-apa sampai si
orang tua bungkuk meneruskan ceritanya.
“Sebenarnya Suci bukan anak kandung Raden Menak
Tunggoro. Dia adalah anak pungut karena selama enam tahun kawin
Raden Menak Tunggoro tidak dapat anak dari istrinya. Tapi setelah
satu tahun mengambil Suci jadi anak angkat, tahu-tahu istrinya
mengandung. Lalu lahirlah Suntini. Kedua kaka beradik tiri itu sama-
sama menjadi dewasa dengan kenyataan bahwa Suci jauh lebih
cantik dari adik tirinya.”
“Sebagai remaja puteri, Suci memiliki seorang kekasih yaitu
Sadewo. Celakanya, Sadewo ini dicintai setengah mati oleh Suntini.
Untuk merusak hubungan Suci dengan Sadewo, Suntini lalu
menceritakan siapa sebenarnya Suci. Pemuda itu ternyata menjadi
bimbang dan akhirnya tenggelam dalam rayuan Suntini yang
memang seorang gadis licik. Untuk menyingkirkan Suci maka Sadewo
disuruhnya meracun Suci dengan janji bahwa jika mereka kawin
nanti setengah dari kekayaan ayahnya akan diserahkan pada
Sadewo. Dan Sadewo lalu meracun Suci. Itu terjadi tiga bulan lalu….”
“Nah, itulah yang bisa kuceritakan padamu anak muda. Apa
yang terjadi selanjutnya kau sendiri sudah tahu…. Selamat tinggal
anak muda. Aku harus pergi sekarang…”
“Terima kasih orang tua. Keteranganmu sangat berharga
bagiku…” jawab Wiro lalu memutar tubuhnya dan duduk di atas batu
hitam di samping makam.
Angin malam bertiup dingin. Kegelapan semakin memekat.
Pendekar 212 duduk tak bergerak. Di telinganya terngiang kembali
kata-kata balasan yang diucapkan Suci….
“Aku berjanji Bunga. Demi cintaku padamu…”
“Dan cintaku padamu…”
T A M A T
SATU
DI DALAM KEDAI yang tak seberapa besar itu hawa terasa
hangat dan pengap padahal di luar hujan rintik-rintik dan angin
bertiup cukup keras. Pendekar 212 Wiro Sableng seharusnya sudah
sejak tadi meninggalkan kedai dengan perut kenyang. Namun seorang
dara berwajah manis yang setiap mata lelaki tak mau berkesip
memandangnya, membuat murid Sinto Gendeng itu tak beranjak dari
bangku yang didudukinya.
Si jelita itu makan dengan tenang di sudut kedai. Kepalanya
hampir selalu tertunduk. Namun dari tempatnya duduk Wiro bisa
melihat hampir keseluruhan wajah yang cantik itu. Sang dara
mengenakan pakaian putih sebentuk kebaya panjang dengan kancing
besar-besar yang tebuat dari kain putih. Dia tidak mengenakan kain
panjang sebagaimana biasanya orang memakai kebaya, tetapi
mengenakan sehelai celana panjang sebatas betis juga berwarna
putih. Sebagian betisnya yang tersembul tampak kukuh walaupun
tidak menyembunyikan kemulusan dan kelembutan serta keputihan
sebagai betis seorang dara.
Di luar kedai udara malam terasa dingin dan suasana tampak
tenang sunyi. Namun jika kita memalingkan kepala kea rah pohon
besar di halaman sebelah kedai, tampaklah empat orang lelaki muda
mendekam dalam gelap bebayangan pohon, duduk tak bergerak di
atas kuda masing-masing. Seekor kuda putih tertambat tak jauh dari
sana. Lalu masih ada seekor kuda lagi di samping kedai yang tidak
terikat dan berjalan perlahan-lahan mencari rerumputan.
“Sudah kukatakan sebaiknya kita masuk saja ke dalam kedai
itu. Kita tak tahu sampai berapa lama dia berada disana sementara
kita kedinginan disini…” salah seorang pemuda penunggang kuda
membuka mulut.
“Gandring! Jangan bicara tolol!” temannya membentak
perlahan. “Aki Sukri pemilik kedai itu kenal kita. Apa kau mau
mencari penyakit kalau kemudian dia bertindak menjadi saksi?!”
Gandring yang dibentak diam saja. Seorang kawan yang lain
berkata sambil menyeringai, “Kenapa udara dingin jadi persoalan?
Bukankah nanti kita semua bisa berhangat-hangat dengan si jelita
itu?!”
“Sebenarnya siapakah calon korban kita kali ini?!“ bertanya
lelaki ke empat yang duduk di punggung kuda sambil menghisap
sebatang rokok kawung.
“Soal siapa dia atau siapa namanya kurasa tidak perlu. Yang
penting, sore tadi kita sudah melihat bagaimana wajahnya secantik
bidadari. Kulitnya kuning mulus seperti kulit puteri kerajaan. Lalu
pinggangnya yang ramping sedang dada serta pinggulnya yang begitu
besar…!” Pemuda yang bicara ini membasahi bibirnya dengan ujung
lidah sementara tenggorokan tiga kawannya tampak bergerak-gerak
tanda mereka sama menelan air liur. “Seperti biasa, aku pemimpin
diantara kita berempat. Jadi pantas kalau nanti aku yang lebih dulu
menikmatinya. Ha…ha…ha…!” Pemuda itu tertawa perlahan
sementar tiga kawannya tampak merengut.
“Jumpadi… Kau selalu mementingkan diri sendiri. Dalam
segala hal selalu ingin duluan, dalam pembagian selalu ingin lebih
besar. Sekali-sekali kami anak buahmu pantas juga mendapat
perolehan lebih besar dan tidak cuma mendapatkan bekasmu!”
Pemuda bernama Jumpadi berpaling. “Bladu…! Kau rupanya
punya niat hendak mengambil kedudukan pimpinan dari tanganku?!”
bertanya Jumpadi dengan mata melotot. Yang ditanya diam saja.
Jumpadi meneruskan, “Aku sudah berapa kali mengatakan. Jika ada
di antara kalian ingin jadi pimpinan rombongan kita silakan saja.
Tapi harus melewati mayatku lebih dulu. Jika ada yang tidak suka
dan ingin mengundurkan diri, juga aku persilakan. Satu pergi ada
sepuluh orang yang ingin bergabung denganku!”
“Sudahlah, kenapa kalian jadi bertengkar. Lihat ke kedai. Ada
orang melangkah keluar!” berkata pemuda bernama Ambalit.
Mendengar ucapannya itu tiga pemuda lainnya serta merta palingkan
kepala ke arah pintu kedai. Di ambang pintu yang masih terkena
cahaya lampu minyak dari dalam kedai kelihatan melangkah keluar
seorang berpakaian serba putih.
“Memang dia yang kita tunggu-tunggu!” kata Jumpadi. Lalu
pada ketiga temannya dia berkata, “Kita tetap tenang saja. Jangan
memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Tunggu sampai dia naik
ke atas kudanya dan pergi. Jika aku bergerak baru kalian ikut
bergerak. Awas, jangan berani mendahuluiku!”
Empat pasang mata memperhatikan dara berpakaian putih
keluar dari dalam kedai, melangkah ke arah kudanya yang tertambat
di halaman depan. Dia melangkah seperti tidak melihat ada empat
penunggang kuda mendekam di bawah pohon besar yang gelap.
Dengan tenang dia melepaskan tambatan kudanya lalu naik ke atas
punggung binatang berwarna putih ini.
Sesaat setelah sang dara berlalu baru Jumpadi menarik tali
kekang kuda tunggangannya. Tiga kawannya langsung membedal
kuda masing-masing.
Di pintu pondok Pendekar 212 Wiro Sableng sempat melihat
gerakan empat penunggang kuda itu. Selain dia sendiri memang ingin
mengikuti gadis berkebaya putih tadi, empat orang lelaki
penuunggang kuda yang barusan berlalu membuat hatinya jadi
curiga. Wiro memandang berkeliling. Celakanya dia tidak memiliki
kuda. Bagaimana harus mengejar orang-orang itu? Ketika dia
memandang berkeliling sekali lagi, dilihatnya ada seekor kuda di
halaman samping tengah asyik merumput di kegelapan malam.
Tanpa pikir panjang lagi Wiro langsung menghampiri binatang ini,
mengusap tengkuknya lalu melompat ke atas punggungnya.
Di saat yang bersamaan dari pintu kedai keluar Aki Sukri
pemilik kedai yang sekaligus si empunya kuda. Melihat kudanya
dibedal orang diapun berteriak sambil mengejar. “Hai! Kudaku!
Jangan kau larikan! Maling….! Pencuri kuda!”
“Aku tidak mencuri! Aku hanya meminjam kudamu!” teriak
Wiro lalu menghambur lenyap di kegelapan malam.
Aki Sukri yang sudah tua tentu saja tak mungkin mengejar.
Marah dan penasaran dia mengambil batu dan melempar ke arah
Wiro. Tapi yang dilempar sudah menghilang di kejauhan.
Gadis berpakaian putih itu meskipun tahu ada orang-orang
mengejarnya tetap saja menunggangi kuda dengan sikap tenang
bahkan seperti santai. Dalam waktu cepat empat pemuda itu berhasil
mendekatinya. Saat itulah sang dara menyentakkan tali kekang
tunggangannya. Kuda putih itu laksana anak panah melesat dari
busurnya, melompat sebat meinggalkan para pengejar. Empat
pemuda jadi penasaran. Mereka memacu kuda, meneruskan
pengejaran sekencang-kencangnya. Hampir keempatnya mendekati si
gadis dan mencapai kuda putih itu, tiba-tiba si gadis kembali
menggebrak tunggangannya meninggalkan empat pemuda jauh di
belakang.
“Kurang ajar!” maki Jumpadi. Pemuda ini kenal betul seluk
beluk jalan yang ditempuhnya, termasuk daerah sekitar situ. Maka
diapun berteriak pada tiga kawannya, “Gadis itu sengaja
mempermainkan kita! Ambil jalan sebelah kanan. Kita pasti bisa
memotong jalannya sebelum dia mencapai jembatan bambu di Kali
Wates!”
Maka empat kuda itu tampak membelok ke kanan, menyusuri
kaki bukit kecil terus menuju selatan. Dalam waktu singkat mereka
berhasil mencapai jembatan bambu yang dikatakan Jumpadi tadi. Di
sini mereka berjejer dua di sisi kiri, dua di sisi kanan. Sebentar lagi
dara berbaju putih itu pasti akan muncul.
Di kejauhan memang terdengar suara kaki kuda dipacu
mendatangi. Sesaat kemudian tampak penunggang berpakaian putih
tapi kudanya berwarna coklat kehitaman.
“Bangsat! Bukan dara itu!” kertak Jumpadi marah. Yang
muncul ternyata adalah seorang pemuda berpakaian putih, berambut
gondrong dan bukan lain adalah murid Sinto Gendeng! Ketika
Jumpadi hendak memaki lagi, di belakang mereka terdengar suara
kuda meringkik.
Heran tapi juga terkejut Jumpadi dan tiga kawannya palingkan
kepala. Astaga! Apa yang mereka lihat! Di jalan di seberang jembatan
bambu tampak seekor kuda putih dan penunggangnya tegak
membelakangi.
“Itu dia!” seru Ambalit.
“Aneh! Bagaimana mungkin dia sampai di seberang sana lebih
dulu dari kita?!” Jumpadi berkata penuh heran.
“Jumpadi, lihat! Gadis itu mengunggangi kudanya perlahan-
lahan. Seperti sengaja menunggu kita!” berkata Bladu.
“Dia bukan menunggu, tapi benar-benar mempermainkan kita!”
ujar Gandring.
Rahang Jumpadi menggembung. “Saat ini dia bisa
mempermainkan kita. Tapi lihat nanti! Nanti aku yang akan
mempermainkannya sampai dia menjerit minta ampun!”
Habis berkata begitu Jumpadi menggebrak kudanya. Tiga
pemuda lainnya menyusul mengejar. Dan di belakang mereka
Pendekar 212 Wiro Sableng kembali mengikuti. Celakanya kuda yang
ditunggangi Wiro tidak mampu berlari cepat dan dalam perjalanannya
sudah beberapa kali membuang kotorannya.
“Binatang sontoloyo!” maki Wiro. “Kotoranmu saja yang banyak.
Larimu seperti siput!”
* * *
KEJAR MENGEJAR ANTARA dara berbaju dan berkuda putih
dengan empat pemuda itu berlansung terus hampir sepeminuman teh
sementara dengan kuda bututnya Wiro masih terus mengikuti walau
tertinggal jauh di belakang.
“Jumpadi, lihat!” Gandring tiba-tiba berseru. “Gadis yang kita
kejar itu mengambil jalan ke kanan, mengarah ke bukit!”
“Kalau dia menuju ke sana memangnya mengapa?!” sentak
Jumpadi yang saat itu tengah jengkel karena masih belum berhasil
mendekati apalagi menangkap dara yang tengah mereka kejar.
“Itu jalan menuju pekuburan Batuwungkur!” menyahuti
Gandring.
“Ke nerakapun aku akan tetap mengejarnya!” kata Jumpadi
pula. “kalau kau dan yang lainnya merasa takut, kembali saja! Biar
aku sendiri meneruskan pengejaran! Tapi awas! Jangan nanti kalian
ribut-ribut karena tidak mendapat bagian!” Lalu Jumpadi
menggebrak kudanya agar lari lebih kencang.
Batuwungkur memang sebuah daerah pekuburan yang terletak
di sebuah bukit yang cukup tinggi. Walaupun hari malam dan hujan
turun rintik-rintik saat itu, namun karena pekuburan merupakan
kawasan yang terbuka, dengan jelas tampak dara berbaju putih
bersama kudanya berhenti di salah satu bagian pekuburan,
menghadap ke arah utara dari mana para pengejarnya akan segera
muncul. Tak lama kemudian empat pemuda itu sudah kelihatan di
arah masuk pekuburan.
Sang dara mengelus kepala kuda putihnya beberapa kali lalu
berbisik, “Kuda, kau pergilah. Aku kedatangan tamu yang harus
kulayani sebaik-baiknya…”
Kuda putih itu seolah mengerti, geserkan pipinya ke tangan
sang dara lalu tinggalkan tempat itu. Saat itu udara di bukit dingin
sekali. Di beberapa bagian tampak kabut menutupi pemandangan.
Tak lama kemudian empat pemuda pengejar sampai di
pekuburan Batuwungkur. Sesaat mereka berhenti di arah jalan
masuk dan memandang ke depan.
“Gadis itu jelas menuju ke pekuburan ini!” desis Jumpadi.
“Tapi aneh orang dan kudanya sama sekali tidak kelihatan…?! Tak
mungkin dia bersembunyi. Sama sekali tak ada tempat untuk
berlindung…”
Jumpadi memandang pada tiga temannya lalau berkata, “Ikuti
aku…”
Dengan perlahan-lahan ke empat orang itu memasuk daerah
pekuburan. Jumpadi di sebelah depan, tiga kawannya mengikuti
dengan rasa was-was. Sampai di bagian tengah pekuburan masih
belum terlihat orang yang mereka cari.
Kabut di sebelah timur bukit perlahan-lahan turun ke tanah.
Saat itulah keempat pemuda tadi sama melihat dara berbaju putih itu
duduk di atas sebuah batu, di bawah sebatang pohon kemboja kecil.
Disampingnya ada sederetan makam. Makam yang paling dekat
sudah sangat rusak kayu nisannya sehingga tak bisa terbaca siapa
nama penghuninya.
“Jumpadi… Gadis itu ada di sebelah sana. Duduk di bawah
pohon kemboja…” bisik Bladu.
“Aku sudah melihatnya!” jawab Jumpadi. Lalu tidak seperti
kawan-kawannya yang merasa was-was, dengan hati yang sudah
terbakar nafsu dia membawa kudanya ke arah gadis berbaju putih
duduk di bawah pohon. Tiga pemuda lain sesaat saling pandang.
Akhirnya ketiganya bergerak juga mengikuti.
Pada saat itulah terdengar suara orang menyanyi. Nyanyian itu
seperti datang dari kejauhan tetapi cukup jelas masuk ke dalam
telinga empat pemuda tadi.
Jika hidup di dunia tidak berguna
Kematian memang lebih pantas bagi manusia
Ada yang mati karena nasib sengsara
Tapi banyak yang mati karena sengaja mencari sengsara
Jumpadi dan kawan-kawannya terhenti sesaat begitu
mendengar suara nyanyian itu.
“Siapa yang menyanyi…?” bisik Ambalit.
“Itu suara perempuan. Mungkin gadis yang duduk dekat
makam itu yang menyanyi…” menyahuti Bladu. Suaranya bergetar
tanda ada rasa takut dalam dirinya.
“Tak ada setan di sini! Yang menyanyi jelas dara berbaju putih
itu!” ujar Jumpadi lalu kembali bergerak ke arah gadis yang duduk di
atas batu, tidak menmperdulikan ucapan Gandring yang mengatakan
bahwa dia tidak melihat kuda putih milik gadis itu.
“Tidak disangka! Kau bukan saja cantik jelita tapi ternyata juga
pandai menyanyi…” Jumpadi berucap begitu sampai di hadapan sang
dara yang duduk membelakanginya. Punggung dan pinggulnya
tampak lebar sementara pinggangnya begitu tamping. Rambutnya
yang panjang tergerai lepas di bahu.
Tanpa berpaling terdengar si gadis bertanya, “Kau suka
nyanyianku tadi rupanya…?”
“Tentu saja! Siapa orangnya yang tidak suka mendengar suara
semerdu buu perindu dari seorang jelita secantik bidadari…!”
“Ah, apakah kau pernah melihat bidadari…?” bertanya si gadis
masih tidak memalingkan kepala ataupun memutar duduknya.
“Belum. Tapi jika memang ada aku yakin bidadari itu secantik
dirimu. Namaku Jumpadi. Siapakah namamu…?”
“Kau sudah menganggap aku bidadari. Panggil saja aku dengan
nama itu. Hai… tadi kau bilang suka mendengar nyanyianku. Apa
kau ingin mendengarkannya sekali lagi…?”
Jumpadi memandang pada tiga kawannya yang saat itu sudah
berjejer di sampingnya. “Tentu… tentu saja aku suka mendengar
nyanyianmu tadi.”
“Hanya kau sendiri? Bagaimana dengan tiga kawanmu
lainnya?”
Jumpadi menoleh pada tiga kawannya dan menganggukkan
kepala memberi isyarat. Maka Bladu, Ambalit, dan Gandring
langsung menjawab, “Kami bertiga juga ingin mendengar suara
merdu nyanyianmu tadi…”
“Bagus. Jangan cuma mendengarkan saja tapi juga coba kalian
resapi makna nyanyian itu…” berkata gadis baju putih. Lalu kembali
dia menyanyi seperti tadi.
Jika hidup di dunia tidak berguna
Kematian memang lebih pantas bagi manusia
Ada yang mati karena nasib sengsara
Tapi banyak yang mati karena sengaja mencari sengsara
Begitu suara nyanyian sirap, tempat itu berada dalam
kesunyian sebelum tiba-tiba kembali terdengar suara sang dara
berkata.
“Kalian sudah mendengar nyanyianku. Sekarang katakan apa
maksud kalian mengejarku dan menemuiku di tempat ini…”
“Ah…hem… Kami empat pemuda yang suka bersedekah,
memberi derma pada sesama, terutama pada gadis secantikmu ini…”
jawab Jumpadi sambil menyeringai.
“Maksudmu..?”
“Maksudku kami suka sekali memberi sedekah kenikmatan
hidup. Itulah sebabnya kami mengejarmu…”
“Hem… begitu? Kenikmatan hidup macam apa yang kau
maksudkan? Bicaralah yang jelas agar aku mengerti…”
“Aku dan kawan-kawan akan membawamu ke satu tempat
yang indah…”
”Tempat yang indah? Apakah tempat ini menurut kalian tidak
indah? Cobalah kalian memandang berkeliling!”
Jumpadi dan kawan-kawannya jadi tercekat mendengar kata-
kata si gadis itu. Bladu lalu membuka mulut.
“Tempat indah yang kamu maksudkan itu bukan di sini. Tapi
satu tempat dimana kita bisa bersenang-senang…”
Saat itu Jumpadi sudah turun dari kudanya dan melangkah
mendekati.
Tiba-tiba terdengar suara si gadis tertawa. Tawa yang membuat
Jumpadi hentikan langkahnya.
“Bersenang-senang… Manusia selalu ingin bersenag-senang.
Walau terkadang tidak sadar bahwa dibalik kesenangan itu
bersembunyi kesengsaraan…”
“Ah, kami tidak akan menyengsarakan gadis secantikmu,
bidadariku…” ujar Jumpadi pula.
Lalu dengan satu gerakan kilat dan tiba-tiba pemuda ini
tusukkan dua jari tangan kanannya untuk menotok punggung sang
dara. Namun mendadak Jumpadi keluarkan seruan tertahan. Satu
hawa yang mengandung kekuatan aneh seperti mendorong tangan
kanannya sehingga dia tidak mampu melakukan totokan. Pemuda ini
tidak mampu melakukan totokan. Pemuda ini lantas kerahkan
tenaga. Akibatnya kii bukan saja tangannya yang terpental tapi
tubuhnya juga terdorong sampai dua langkah. Sementara sang dara
sendiri kembali perdengarkan suara tertawa. Lalu perlahan-lahan dia
berdiri dari batu yang didudukinya, muemutar tubuh menghadapi
Jumpadi dan tiga kawannya yang masih berada di atas punggung
kuda masing-masing.
Sikap sang dara yang tegak dengan kaki terkembang dan
tangan diletakkan di pinggangnya, membuat empat pemuda itu
tambah blingsatan. Ambalit dan dua kawannya segera melompat
turun dari kuda mereka.
“Betulkah kalian hendak bersenang-senang bersamaku..?” tiba-
tiba sang dara ajukan pertanyaan blak-blakan yang membuat
pemuda itu jadi terbeliak, dan lebih terbeliak lagi ketika mereka
melihat bagaimana jari-jari tangan kiri sang dara membuka dua
kancing teratas kebaya putihnya. Kelihatanlah dadanya yang putih
membusung. Jumpadi yang berdiri paling depan malah bisa melihat
celah diantara kedua payudaranya yang ketat.
Menghadapi hal yang tidak terduga yaitu bahwa ternyata sang
dara mengerti maksud mereka malah kini siap membuka pakaiannya,
Jumpadi memberi isyarat pada tiga kawannya.
“Kalian bertiga tunggu di tempat jauh…” Tapi tiga pemuda
hanya melangkah mundur sejauh dua tombak.
Jumpadi berpaling pada sang dara kembali dan berkata, “Jika
bidadariku sudah mengerti maksud kami, disinipun kita bisa
bersenang-senang. Bukankah katamu tadi tempat ini juga indah…?”
Sang dara tersenyum dan anggukkan kepala.
Jari tangannya membuka kancing ketiga. Jumpadi merasa
seperti dipanggang nafsu. Tangannya bergerak hendak meraba dada
gadis di depannya tapi si gadis mundur seraya berkata, “Tunggu…
Tidakkah kau mencium bau sesuatu…?”
Jumpadi mengendus. Lalu gelengkan kepala. “Bau apa? Aku
tidak mencium bau apa-apa..!” jawabnya sementara kedua matanya
tidak lepas dari dada yang tersingkap.
“Cobalah mengendus lebih dalam…” bisik si gadis dengan suara
lirih yang membuat Jumpadi jadi luruh tapi juga tambah bernafsu.
Jumpadi mendongak ke atas lalu mencium lama-lama dan
dalam-dalam. Ketika kepalanya diturunkan dia berkata, “Ya… aku
mencium sesuatu. Bau… bau… bunga…”
“Ah, penciumanmu ternyata tajam. Tapi bau bunga apa?
Dapatkah kau mengatakannya…?”
“Itu bau bunga… bunga kenanga!”
“Kau betul! Kau menyebutnya bunga kenanga. Aku
menyebutnya bunga orang mati. Bunga mayat!”
Habis berkata begitu sang dara keluarkan tawa. Mula-mula
perlahan tapi lama-lama semakin keras.
Di hadapannya, Jumpadi yang sudah kelangsangan menahan
nafsu kembali mendekat dan berbisik, “Bidadariku, mari kita pindah
ke bawah pohon di sebelah sana. Di situ tanahnya lebih rata…”
Sang dara tersenyum dan menggeliat. Gerakan tubuhnya ini
membuat bajunya yang tidak terkancing tambah tersingkap lebar.
Jumpadi tak tahan lagi. Serta merta saja tubuh gadis itu
diterkamnya. Jumpadi yang dilanda nafsu sama sekali tidak melihat
bagaimana wajah cantik jelita yang tadi tersenyum kini tiba-tiba
berubah. Senyum lenyap dan wajah itu kini membersitkan
kebengisan luar biasa! Senyum berubah dengan seringai maut!
Hampir tak kelihatan gadis itu gerakkan tangan kanannya.
Sebuah benda berwarna kuning melesat. Bau bunga kenanga yang
sangat tajam menebar di udara malam. Lalu terdengar pekik
Jumpadi!
* * *
PEMUDA BERNAMA JUMPADI itu roboh ke tanah dan tak
berkutik lagi. Tiga kawannya berteriak kaget lalu sama-sama
memburu. Dan bergidiklah mereka melihat apa yang terjadi. Jumpadi
menggeletak melintang di atas makam. Dia telah jadi mayat.
Mukanya berlumuran darah. Kedua matanya mencelet. Diantara
lumuran darah itu tampak menancap sekuntum bunga kenanga
kuning. Dan disaat itu pula udara di situ dibuncah oleh bau bunga
kenanga!
Ambalit, Gandring, dan Bladu memandang melotot ke arah
dara berbaju putih. Si gadis tegak dongakkan kepala. Dari sela
bibirnya yang merah mendesau suara tawa. Mula-mula perlahan lalu
makin keras dan panjang. Meski jelas yang berdiri di hadapan mereka
adalah seorang gadis cantik jelita namun saat itu tiga pemuda tadi
merasakan bulu tengkuk berdiri dan mereka seperti melihat setan
kepala tujuh!
“Dewi Bunga Mayat!” teriak mereka bersamaan. Lalu serentak
ketiganya melompat jauh dan putar tubuh ambil langkah seribu.
Di belakang mereka terdengar suara tertawa panjang. “Kalian
hendak lari kemana? Mengapa lari…? Bukankah maksud kalian
hendak bersenang-senang bersamaku malam ini? Hik…hik…hik…!”
Mendengar ucapan itu, tiga pemuda sama lari tunggang
langgang. Tapi baru lari beberapa belas langkah tahu-tahu ada
bayangan menyambar di hadapan mereka dan dara berbaju kebaya
putih itu tiba-tiba sudah menghadang sambil terus keluarkan suara
tertawa cekikikan.
“Dewi Bunga Mayat! Maafkan kami! Ampuni selembar nyawa
kami!” berkata Ambalit seraya jatuhkan diri berlutut.
“Benar Dewi, ampuni dosa kami! Kami tidak tahu kalau kau
adalah Dewi Bunga Mayat…” berkata pula Bladu seraya jatuhkan diri
sementara Gandring ikut-ikutan berlutut tapi tak mampu keluarkan
kata-kata hanya manggut-manggut dengan mata melotot.
“Ha…ha…! Kalian minta ampun setelah nama kalian tertera di
pintu akhirat! Terlambat… terlambat!“ ujar dara berbaju putih yang
dipanggil dengan sebutan Dewi Bunga Mayat. “Bersiaplah untuk
menerima kematian!”
“Dewi, jangan!” ratap Ambalit.
Saat itu sang dewi sudah angkat tangan kanannya.
“Kawan-kawan!” tiba-tiba Gandring berkata, “daripada mati
percuma lebih baik berusaha mempertahankan hidup!” Lalu pemuda
ini keluarkan goloknya. Dua kawannya yang tadi sudah merasa tidak
punya harapan hidup lagi, melihat apa yang dilakukan Gandring jadi
muncul keberaniannya dan segera pula mencabut senjata masing-
masing. Bladu menghunus sebilah keris sedang Ambalit mencabut
sebatang besi yang ujungnya penuh tonjolan runcing seprti penggada.
“Ha…ha…! Kailan pemuda-pemuda pemberani! Majulah
berbarengan agar cepat aku membereskan kalian!” seru Dewi Bunga
Mayat.
Ambalit, Bladu dan Gandring melompat menyergap. Tiga
senjata berkelebat. Saat itu justru terdengar suara orang membentak.
“Manusia-manusia pengecut! Terhadap seorang dara kalian
berani main keroyok!”
Satu bayangan berkelebat. Gandring terdorong hampir jatuh.
Bladu terpelintir sempoyongan sedang Ambalit menggerung kesakitan
sambil pegangi bibirnya yang pecah terkena jotosan keras. Lima
giginya rontok!
Dewi Bunga Mayat yang barusan hendak menghantamkan
tangan kanannya hentikan gerakan dan mundur dua langkah. Di
hadapannya tegak seorang pemuda berambut gondrong. Pemuda
inilah yang tadi membuat dua orang penyerangnya terpelanting dan
seorang lagi pecah mulutnya. Dewi Bunga Mayat ingat, pemuda ini
adalah yang ada dalam kedai yang selalu memperhatikanya. Dia tidak
ada sangkut paut dengan pemuda itu dan merasa jengkel karena
berani mencampuri urusannya. Sebelum sang dewi sempat
membentak si gondrong telah lebih dulu menjura seraya berkata,
“Maafkan kalau aku membuatmu marah. Aku tidak bermaksud
mencampuri urusanmu. Aku hanya tidak suka melihat tiga pengecut
ini mengeroyokmu!”
“Kalaupun mereka mengeroyokku apa kau kira mereka bisa
mengalahkanku?! Menyentuh tubuhku sajapun mereka tidak bakal
mampu! Lalu apa pasalmu masuk dalam kalangan perkelahian?!”
Wiro tak bisa menjawab dan hanya garuk-garuk kepala.
“Menyingkirlah! Atau kaupun ingin kubunuh bersama tiga
pemuda laknat itu?!” sentak Dewi Bunga Mayat.
“Ah, aku bukan orang yang termasuk dalam nyanyianmu! Aku
bukan manusia mencari sengsara!” jawab Wiro lalu cepat-cepat
mengundurkan diri menjauh.
“Apakah kalian sudah siap untuk mampus?!” Dewi Bunga
Mayat membentak.
Tiga pemuda yang sudah lumer nyalinya apalagi yang bernama
Ambalit yang cidera berat mulutnya, tanpa tunggu lebih lama lagi
segera putar tubuh ambil langkah seribu.
Sang dara tertawa tinggi. Ketika tawa itu lenyap dan wajahnya
berubah bengis, bersamaan dengan itu Wiro melihat tangan
kanannya bergerak tiga kali berturut-turut. Bau harum bunga
kenanga bertebar di udara malam. Tiga benda melesat di kegelapan
malam. Di depan sana tiga pemuda yang menyelamatkan diri
terdengar menjerit lalu roboh malang melintang di atas tanah
kuburan. Tak satupun yang berkutik dan bernafas lagi. Mereka
menemui ajal dengan punggung, tengkuk, dan batok kepala ditancapi
bunga kenanga alias bunga mayat!
Pendekar 212 leletkan lidah, memandang ternganga ke arah
gadis berbaju putih itu. Tiba-tiba dia jadi tergagap ketika sang dara
berpaling ke arahnya seraya mengangkat tangan.
“Sekarang kau juga harus bersiap menerima kematian pemuda
gondrong! Susul kawan-kawanmua itu!”
“Hei! Tunggu!” seru Wiro seraya mundur dua langkah. “Aku
bukan komplotan empat pemuda yang barusan kau bunuh!”
“Siapa percaya pada dirimu?!” Dewi Bunga Mayat menghardik
sambil memandang melotot.
“Aku tidak suruh kau percaya! Tapi aku bicara sejujurnya!”
ujar Wiro dan balas melotot. Dua pasang mata yang sama-sama
melotot saling beradu pandang. Sang dewi angkat tangan kanannya.
* * *
WAJAH YANG CANTIK jelita itu berubah menjadi bengis.
Pendekar 212 Wiro Sableng tahu apa artinya ini. Maut! Namun entah
mengapa dia tidak berusaha menyelamatkan diri dengan menyingkir
atau melompat. Juga sama sekali tidak mengerahkan tenaga dalam
dan menyisipkan pukulan sakti untuk menghadapi serangan lawan
yang mematikan. Murid Sinto Gendeng ini berdiri tidak bergerak
seolah-olah pasrah. Hanya sepasang matanya yang membesar
memandang tak berkesip tepat-tepat ke dalam mata gadis di
hadapannya.
Dewi Bunga Mayat merasakan ada hawa aneh yang menyambar
dari sepasang mata pemuda di hadapannya, masuk ke dalam
tubuhnya lewat sepasang matanya sendiri dan membuat getaran-
getaran aneh di dadanya. Semakin dia memandang marah pada
pemuda itu, semakin tidak keruan jantungnya.
“Aneh…! Apa yang terjadi dengan diriku?! Mengapa aku hanya
mampu menunjukkan sifat keras tetapi hati kecilku sendiri tidak
berkata begitu. Sepasang matanya itu… aku tak sanggup
memandangnya. Siapa pemuda ini sebenarnya…!” Rentetan kata-kata
itu menggema dalam lubuk hati sang dewi. Perlahan-lahan dia
turunkan tangan kanannya yang tadi siap melancarkan serangan
maut. Bunga kenanga kuning yang tadi ada dalam genggaman
tangannya jatuh tercampak ke atas tanah pekuburan.
Pendekar 22 menarik nafas lega dan tersenyum.
“Terima kasih, kau tak jadi membunuhku…” ujar Wiro.
“Saat ini tidak, tapi lain kali mungkin saja!” jawab Dewi Bunga
Mayat kembali galak. “Sekarang katakan apa keperluanmu datang ke
tempat ini. Kau sebelumnya kulihat ada di kedai Aki Sukri…”
“Itu betul…”
“Kau mengikutiku ke tempat ini!”
“Kalau begitu jelas kau kawan dari empat pemuda yang sudah
jadi bangkai ini!”
“Itu yang tidak betul!”
Sang dara kerenyitkan kening. Dalam keadaan tidak mengerti
dan tidak percaya seperti itu dimata Wiro wajahnya tampak jadi lebih
cantik.
“Aku tidak percaya!”
“Aku tidak suruh kau musti percaya saudari… Eh, bagaimana
aku harus memanggilmu. Aku tak tahu namamu. Kudengar orang-
orang itu memanggilmu dengan gelar Dewi Bunga Mayat. Apa aku
harus memanggilmu begitu juga? Atau Dewi saja…? Bisa juga Bunga
saja. Eh… tentu tidak dengan sebutan Mayat saja…” Wiro tertawa
dan lihat wajah gadis di depannya menjadi merah.
“Maafkan aku. Aku hanya bergurau. Aku akan panggil kau
dengan nama Bunga… Itu nama paling indah di dunia. Sesuai
dengan kecantikan orangnya…”
Sang dara tidak memberikan reaksi apa-apa.
Wiro garuk-garuk kepala lalu bertanya, “Boleh aku tahu
mengapa kau diberi gelar dan disebut sebagai Dewi Bunga Mayat? Itu
bukan nama sembarangan. Dan senjatamu membunuh ke empat
pemuda itu. Kuntuman bunga kenanga! Kau pasti seorang pendatang
baru berkepandaian luar biasa dalam dunia persilatan…!”
“Kau sudah menjawab sendiri pertanyaanmu. Aku tidak punya
waktu lama. Sekarang lekas katakan siapa dirimu!”
“Namaku Wiro Sableng. Aku orang tersesat dari Gunung Gede.”
“Hemmm… Sableng sama dengan Gendeng. Gendeng sama
dengan Sinting. Sinting sama dengan Gila! Jadi pemuda macam
begitulah kau rupanya!”
“Ah… kira-kira begitulah!” jawab Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Dalam hatinya Dewi Bunga Mayat membatin. “Manusia aneh
yang satu ini mungkin konyol, mungkin juga memang sinting!”
Lalu sang dewi mendongak ke langit malam yang gelap. Seolah-
olah membaca sesuatu di atas sana mulutnya terdengar berkata,
“Namamu Wiro Sableng… kau datang dari Gunung Gede. Gurumu
seorang nenek sakti mandraguna bernama Sinto Gendeng.
Sahabatmu setumpuk tapi orang yang tak suka padamu bertumpuk-
tumpuk…”
“Apakah kau…” Wiro memotong.
“Aku belum selesai membaca riwayatmu! Jangan bertanya
dulu!” membentak dara itu. Lalu dia menengadah ke atas kembali.
“Sahabatmu setumpuk tapi orang yang tak suka padamu bertumpuk-
tumpuk. Kau membekali dirimu dengan senjata semacam kapak
aneh. Tubuhmu tidak mempan racun selama senjata itu menempel di
badanmu. Kau tidak suka minuman keras tapi kau suka menggoda
perempuan. Kau…”
Sang dewi tidak teruskan ucapannya.
“Ah.. bacaanmu sudah habis rupanya. Sekarang biar aku yang
ganti membaca!” kata Wiro. Lalu pemuda ini lakukan sikap seperti
sang dara, mendongak ke langit dan mulai berucap.
“Langit malam gelap gulita…
Udara dibungkus kesejukan embun yang siap turun
Di tempat ini bertaburan makam anak manusia
Ada yang sudah terkubur
Tapi ada empat yang masih malang melintang
Empat yang menemui ajal karena sengaja menacari sengsara
Aku berdiri di sini
Tapi tidak sendiri
Di hadapanku tegak seorang dara…”
“Kau ini melawak atau tengah membaca syair…” Dewi Bunga
Mayat memotong penasaran.
“Aku belum selesai membaca! Jangan memotong dulu!” Wiro
membentak, persis seperti yang tadi dilakukan oleh sang dewi.
Melihat hal ini mau tak mau sang dara jadi gelengkan kepala dan
diam-diam merasa geli. Senyum menyeruak di bibirnya yang merah.
Wiro melanjutkan ‘bacaannya’.
“Di hadapanku tegak seorang dara
Berbaju putih berwajah jelita
Saat ini dia tersenyum
Tersenyum entah untuk siapa
Mungkin untuk para penghuni makam
Mungkun juga untuk empat pemuda yang sudah putus nyawa
Syukur-syukur kalau senyum itu untukku
Si jelita tidak bernama
Yang kupanggil dengan nama Indah, Bunga
Memiliki kepandaian luar biasa
Syukur-syukur kalau aku bisa jadi sahabatnya….
Ah, bacaanku sudah selesai….”
Wiro palingkan kepalanya. Dilihatnya sang dara masih
tersenyum. Lalu diapun tertawa gelak-gelak.
Dewi Bunga Mayat membuka mulut, “Syairmu bagus, Cuma
sayang aku tidak mau bersahabat denganmu…”
“Ah nasibku memang jelek kalau begitu. Kau tidak mau karena
aku sableng, sinting… gendeng… gila…?”
Dewi Bunga Mayat tidak menjawab tapi dalam hatinya dia
berkata, “Kau memang mungkin sinting. Tapi bukan itu alasanku
tidak suka bersahabat denganmu. Aku tidak bisa mengatakannya…”
“Apakah kita bisa bertemu lagi, Bunga?”
Sang dara mendengar pertanyaan itu dan berpaling pada Wiro.
Dia menatap wajah mpemuda itu sesaat lalu menjawab, “Aku tidak
tahu. Sekarang aku ingin meninggalkan tempat ini. Kau silakan pergi
duluan….”
“Tidak, aku tetap disini. Kalau kau memang ingin pergi,
pergilah. Aku berdiri disini memperhatikan kepergianmu… Tapi
sebelum kau pergi kancingkan dulu bajumu. Salah-salah kau bisa
masuk angin…”
Paras sang dara jadi merah. Seolah baru sadar akan keadaan
dadanya yang sejak tadi tersingkap, cepat-cepat dia membalik dan
kancingkan kebaya putihnya.
“Manusia satu ini benar-benar kurang ajar, konyol dan juga
keras kepala. Bagaimana ini, bagaimana aku harus menyuruhnya
pergi…?” membatin bingung sang dara dalam hati. “Hanya kabut
yang bisa menolongku. Kabut… turunlah lebih banyak. Tolong aku…”
Dan terjadilah hal yang aneh. Seolah-olah ucapannya mujarab
sekali saat itu tiba-tiba saja kabut turun banyak sekali.
Pemandangan di pekuburan menjadi sangat terbatas.
Ketika sekelompok kabut menyaputi tempat dimana mereka
berdiri, meskipun hanya terpisah dekat namun Wiro mendadak tak
dapat lagi melihat sosok Dewi Bunga Mayat. Lalu sesaat kemudian
ketika kabut pupus, dara itu tak ada lagi ditempatnya berdiri!
Wiro terkesiap. Memandang berkeliling. Menyusuri seluruh
daerah pekuburan itu dengan kedua matanya yang tajam. Tapi sang
dara tetap saja tidak kelihatan lagi.
“Tidak mungkin dia bisa pergi secepat itu!” Wiro memandang
lagi. “Eh, kuda putihnya yang tadi ada di ujung sana juga lenyap!
Gadis aneh. Gelarnya juga aneh. Senjatanya lebih aneh… hanya
sekuntum bunga kenanga. Yang juga mengherankan bagaimana dia
tahu banyak tentang diriku. Apakah sewaktu mendongak ke langit
dia memang benar-benar membaca seperti membaca sesuatu…? Ah
tak masuk akal!”
Wiro memandang ke tanah. Bunga kenanga yang tadi hendak
dilemparkan ke arahnya masih tampak tercampak di tanah. Murid
Sinto Gendeng membungkuk mengambil bunga itu, menciumnya
sesaat lalu memasukkannya ke dalam saku baju putihnya. Saat itu
terdengar kuda meringkik membuat sang pendekar tersentak kaget
dan memaki lalu tinggalkan pekuburan Batuwungkur itu.
Baru dua langkah bertindak tiba-tiba ekor mata Pendekar 212
melihat ada sesuatu bergerak di kegelapan disamping kirinya. Dia
cepat berpaling. Tapi tak kelihatan apa tau siapa-siapa. Hanya
kegelapan yang membungkus pekuburan itu. Makam-makam
berderet-deret. Ada yang terurus baik dan utuh, ada yang sudah tak
karuan lagi dan tanpa batu nisan. Lapat-lapat di kejauhan terdengar
suara burung malam. Angin bertiup dingin.
“Mataku mungkin bisa ditipu. Tapi perasanku tidak!” kata
murid Sinto Gendeng dalam hati. “Ada orang atau makhluk disekitar
pekuburan ini. Mendekam disatu tempat, bersembunyi mengintai
gerak-gerikku! Lebih baik aku terus berjalan. Jika orang itu berniat
jahat dia akan tahu rasa…!” Lalu Wiro kerahkan tenaga dalam ke
tangan kanan.
* * *
WIRO MELANGKAH EMPAT tindak. Pada langkah ke lima, tiba-
tiba di udara malam yang gelap dan dingin di atas pekuburan
Batuwungkur itu melesat suara suitan keras dari arah samping
kanan. Suara duitan ini disambut elh suara sutian lain dari arah
depan. Lalu suara suitan ketiga melegkinda ri arah samping kiri.
Ketika Pendekar 212 hentikan langkahnya, tiga sosok bayangan
tampak berkelebat sebat dan tahu-tahu tiga sosok aneh sudah
mengrungnya dari arah muka dan kiri kanan. Murid Sinto Gendeng
dari Gunung Gede ini angkat tangan kanannya, siap menghantam.
Tapi gerakanya serta merta tertahan ketika melihat siapa yang saat
itu mengurungnya.
Tiga sosok tubuh itu adalah ternyata tiga manusia katai
permpuan. Pakaian dan tampang mereka serta rambut yang dikuncir
membuat ketiganya tampak lucu. Tapi dibalik kelucuan itu
tersembunyi satu kenagkeran yang mematikan. Wajah tiga
perempuan cebol ini membekal maut. Ketika ketiganya menyeringai
kelihatan bahwa mereka memiliki gigi-gigi kecil yang berwarna hitam
berkilat.
“Dimana dia?!” tiba-tiba si cebol di sebelah depan membentak.
Suaranya nyaring tapi kecil.
“Eh… Kaku bertanya siapa pada siapa?!” tanya Wiro.
“Kami bertanya dia padamu!”
“Dia siapa?!” tanya Wiro pula.
“Jangan berpura-pura!” seru si cebol perempuan sebelah kanan
kiri menghardik. “Barusan dia ada disini. Berbincang-bincang
denganmu! Dan kau berani berpura-pura tidak tahu!”
“Kawan-kawan!” membuka mulut perempuan katai di seebelah
kiri. “Kalau dia jelas-jelas kawan orang yang kita cari, mengapa harus
membuang waktu bertanya jawab. Kita bereskan saja dia saat ini
juga!”
“Setuju!” teriak si katai di sebelah depan.
Terdengar tiga jeritan dahsyat. Tiga tubuh pendek itu laksana
bola melesat ke arah Wiro Sableng. Tiga serangan maut menebar!
“Wong edan!” teriak Pendekar 212 ketika dilihatnya serangan
tiga manusia katai itu benar-benar ingin membunuhnya. Mereka
memegang senjata berbentuk clurit kecil di tangan kiri masing-
masing. Ternyata ketiga maunia katai permpuan ini sama-sama kidal.
Senjata itu berkilat-kilat dan menderu dalam gelapnya malam.
Manusia katai di sebelah depan membabatkan clurit kecilnya
ke arah batang leher Pendekar 212. yang di samping kiri menyapu ke
perut sedang yang di sebelah kanan menghunjamkan serangan ke
selangkangan pendekar ini! Tiga serangna mematikan itu disertai
dengan pekik jerit memkakkan telinga. Agaknya tiga manusia katai
ini sengaja berteriak begitu agar lawan terpengaruh dan lengah.
Murid Eyang Sinto Gendeng angkat kedua tangannya
menghantam dengan pukulan sakti bernama ‘dinding angin
berhembus tindih menindih’
Terdengar suara seperti angin putting beliung di atas
pekuburan itu. Tiga manusia katai yang lancarkan serangan sambil
melompat tampak seperti hendak tersapu tunggang langgang. Namun
sambil terus berteriak ketiganya berjungkir balik di udara lalu
membalik sambil membabat kembali dengan senjata masing-masing.
Tapi tampaknya mereka tidak sanggup menembus hantaman angin.
Ketiganya kerahkan tenaga berusaha keras mnerobos dinding angin
yang tidak kelihatan. Mereka tampak seperti mengapung di udara.
Pakaian dan rambut berkibar-kibar. Mata membeliak dan mulut
berteriak-teriak.
Wiro terus kerahkan tenaga dalamnya. Bebrapa kali tangannya
kiri kanan dihantamkan agar dapat menghempaskan tiga penyerang
itu tapi tetpa saja musuh-musuh katai itu bertahan di udara. Masih
untung ketiganya berada di sebelah depan. Kalau ada yang
menyerang dari belakang pasti akan bobol pertahanan murid Sinto
Gendeng.
Keringat bercucuran dari punggung dan wajah Wiro Sableng.
Tiga perempuan katai masih terus mengapung dan mencoba
menembus pertahanannya. Dan tiba-tiba setelah bertahan sekian
lama. Astaga! Salah seorang dari mereka berhasil lolos menerobos
dinding angin!
Breet!
Clurit kecil membabat di perut Wiro, merobek pakaian
putihnya.
“Kurang ajar!” maki Pendekar 212 lalu melopat mundur dengan
muka pucat.
Lompatan mundur yang dilakukannya membuat tiga
pengeroyok seperti tersedot. Tiga manusia katai itu kembali
menggempur. Dan kini pertahan dinding angin Pendekar 212 benar-
benar jebol!
Tiga manusia katai melesat. Tiga clurit berkiblat. Wiro
memukul dengan pukulan ”kunyuk melempar buah.” Tangan
kanannya menghantam membentuk tinju. Begitu lengan melurus
lima jari dibuka. Maka menderulah gelombang angin laksana
gumpalan batu besar.
Tiga musuh katai berterak keras. Namun hanya satu yang kena
dihantam. Yang satu terpental sejauh dua tombak, bergulingan di
tanah lalu diam tak berkutik. Mati dengan kepala pecah!
Dua manusia katai lainnya terus merangsak masuk ke dalam
pertahanan Wiro yang sudah ambruk.
“Celaka! Matilah aku!” keluh Wiro. Dalam keadaan sulit begitu
rupa dia masih bisa memukul tangan si katai di sebelah kanan. Luar
biasa! Tangan si katai yang kecil itu membuat Wiro terpental tiga
langkah, hampir jatuh duduk. Justru di saat inilah yang secara tidak
sengaja meyelamatkan nyawanya dari serangan si katai yang satu
lagi. Clurit membabat di depan hidungnya sementara lawan yang tadi
beradu lengan dengannya jatuh bergdebuk sambil menjerit-jerit dan
berusah mencari cluritnya yang mental dalam kegelapan malam.
“Manusia-manusia katai edan! Tidak ada silang sengketa kau
hendak membunuhku!” teriak Wiro.
“Kami belum membunuhmu manusia bangsat! Tapi kau telah
membunuh seorang saudara kami! Dan kawanmu yang kami cari
sebelumnya telah membunuh satu-satunya kakak lelaki kami!”
“Soal kematian kakak lelakimu itu aku tidak tahu, tidak ada
sangkut pautnya denganku! Pergi kalian dari sini sebelum aku
menciderai atau membunuhm kalian!”
“Enak benar bicaramu! Kami akan pergi kalau usus dan
jantungmu sudah kami korek dari tubuhmu!”
“Makhluk-makhluk tidak tahu diri! Jangan kira aku tidak tega
membedol kantong nasi kalian!” teriak Wiro lalu keluarkan senjata
mustika saktinya yaitu Kapak Maut Naga Geni 212.
Kilauan sepasang mata kapak yang angker ternyata tidak
membuat jeri dua manusia katai itu.
Yang satu malah mengejek, “Senjata mainan! Siapa takut!”
yang bicara ini sudah menemukan cluritnya yang tadi jatuh.
Lalu cepat luar biasa keduanya menyerbu.
Trang… trang…!
Belum lagi Pendekar 212 sempat mengayunkan senjatanya,
dua clurit kecil secara sengaja tidak terduga dan cepat sekali sudah
menelikkung gagang kapak dan begitu dua manusia katai itu
membetot, Wiro merasa seperti tangannya ditarik oleh dua raksasa!
Kapak Naga Geni 212 terlepas dari pegangannya, langsung disambut
oleh si katai di sebelah kanan. Begitu dapatkan kapak si katai ini
berteriak pada yang satunya.
“Adikku! Lupakan dulu balas dendam. Kita mendapat rejeki
besar. Lekas tinggalkan tempat ini!” dia tertawa cekikikan.
Sang adik juga tertawa cekikikan. Lalu didahului oleh jeritan
keras, keduanya membalik untuk larikan diri. Tapi baru saja mereka
sempat membuat setengah gerakan berputar mendadak terdengar
suara berdesing disertai harumnya bunga kenanga. Lantas dua
manusia katai ini terdengar memkik keras mengerikan. Kepala
masing-masing terhempas ke belakang seolah-olah dihantam tembok
keras.
Dua manusia katai itu langsung roboh terjengkang. Kapak
Naga Geni 212 terguling ke tanah.
“Eh, apa yang terjadi…?” tanya Wiro keheranan. Ketika dia
mendekati dua mayat manusia katai itu, tertegunlah murid Sinto
Gendeng ini. Dua manusia katai itu menemui ajal dengan sekuntum
bunga kenanga kuning menancap di kening masing-masing!
“Bunga…” desis Wiro. “Kau ada di sini. Kau menolongku…”
Wiro menunggu kalau-kalau ada jawaban. Tapi hanya kesunyian dan
siliran angin malam yang terdengar.
Wiro memandang berkeliling. Tapi dia tidak melihat dara yang
berjuluk Dewi Bunga Mayat itu. Pemuda ini geleng-gelengkan kepala.
“Dara hebat. Kepandaian luar biasa! Menolong tanpa memperlihatkan
diri… Aku harus berterima kasih padanya.”
Lalu pemuda ini berteriak, “Bunga, aku berterima kasih atas
pertolonganmu!” Wiro seklai lagi memandang berkeliling. Ketika dia
merasa tak bakal mendapat jawaban apalagi melihat Dewi Bunga
Mayat kembali maka dipungutnya Kapak Naga Geni 212 yang
tercampak di tanah, disimpannya di balik pakaiannya.
* * *
PONDOK KAYU DI DASAR lembah itu tampak tidak berbeda
seperti sebulan lalu ketika dia mengunjungi terakhir kali. Pintu dan
satu-satunya jendela tampak tertutup. Tapi dia tahu bahwa di dalam
sana ada seorang penghuni.
Perempuan muda berpakaian ringkas warna biru itu berpaling
pada pemuda yang menunggang kuda disampingnya.
“Kangmas.. Kau…”
“Sudah berapa kali kukatakan. Kalau kita Cuma berdua aku
tidak suak kau memanggilku dengan sebutan itu. Panggil namaku…”
“Maafkan aku kang.. Maffkan aku Sadewo..” kata perempuan
berpakaian biru. “Kau tidak ingin turun ke lembah menemuinya?”
Pemuda bernama Sadewo menggeleng. “Kau saja yang pergi.
Aku menunggu disini.” Lalu pemuda itu menyerahkanbungkusan
kain yang dipanggulnya.
Setelah menerima dan menyandang bungkusan itu dibahunya,
dara berbaju biru menarik tali kekang kudanya, lalu perlahan-lahan
dia mulai menurini jalan setapak yang berbatu-batu.
Di depan pondok dia turun dari kuda, menambatkan binatang
itu lalu melangkah menuju pintu. Dia mengetuk dulu lalu berucap
keras-keras.
“Ayah, akuk datang…”
Dengan tangan kirinya dia mendorong pintu. Terdengar suara
berkereketan. Begitu pintu terbuka kelihatan seorang lelaki berambut
putih, bertubuh kurus dan berwajah pucat duduk bersila di lantai
pondok. Usianya berlum enampuluh tahun, tahun wajahnya
kelihatan seperti wajah kakek delapan puluh tahun. Orang ini duduk
bersila pejamkan mata seperti tengah bersemedi. Ketika pintu
terbuka, perlahan-lahan kedua matanya juga terbuka. Dia
memandang pada gadis di depan pintu lalu menganggukan kepala
perlahan sekali.
Gadis itu masuk ke dalma pondok, berlutut di hadapan lelaki
tua itu dan mencium keningnya. Setalh itu diletakkannya bungkusan
kain yang dibawanya di lantai.
“Semua keperluan ayah ada dalam bungkusan…”
Yang dipanggil ayah kembali mengangguk.
“Apakah ayah ada baik-baik saja selama satu bulan ini?”
bertanya si gadis yang dijawab juga dengan anggukan.
Sunyi sesaat.
“Suamimu mengantar…?” tiba-tiba orang tua itu bertanya.
“Ya, dia mengantar. Dia menunggu di atas lembah…”
“Terima kasih, kau sudah membawakan apa-apa yang aku
perlukan. Kau boleh pergi sekarang…”
“Ayah, sudah tiga bulan kau berada di tempat ini. Memencilkan
diri. Kapan semua ini akan ayah akhiri…?”
“Mungkin tak akan pernah ku akhirii Suntini. Atau mungkin
hanya kematian yang mengakhiri semua ini…”
“Ayah tidak boleh berkata begitu…” suara perempuan bernama
Suntini itu kini terdengar tersendat dan sepasang matanya tampak
mulai berkaca-kaca. “Ayah mesti segera pulang. Rumah besar kita
sepi tanpa ayah…”
“Kau boleh pergi sekarang, Suntini…”
“Jika memang itu yang ayah kehendaki….” Kata Suntini pula
seraya berdiri. Dia mencium kening lelaki itu. Tetesan air matanya
jatuh membasahi wajah si orang tua.
“Sebelum kau pergi, adakah sesuatu yang hendak kau
katakan…?” sang ayah bertanya.
Suntini terdiam.
“Ada…?
“Tidak ada ayah…”
“Jangna berdusta. Nada suaramu menyatakan ada sesuatu
yang hendak kau katakan. Tapi kau sengaja menyembunyikannya…”
Ketika Suntini tidak juga menjawab, lelaki itu lalu ajukan
pertanyaan, “Apakah dia masih sering mendatangimu…?”
Paras Suntini berubah. Perempuan muda ini tundukkan kepala
lalu berkata, “Malam Jum’at Kliwon dua minggu yang lalu ayah. Dia
memang muncul. Memandang padaku dengan pandangan dingin lalu
pergi. Kangmas Sadewo juga melihat beberapa kali…”
“Waktu muncul dia tidak mengatakn atau mengisyaratkan
sesuatu…?” bertanya sang ayah.
Suntini menggeleng.
“Anakku dengarlah baik-baik. Selama dia muncul tidak
mengganggumu atau siapa saja di sekitarmu ambil sikap diam saja.
Jangan mengusir, jangna mengatakan sesuatu. Ini semua kodrat
Tuhan. Kita tak bisa melawan kehendakNya. Ketahuilah… Tadi
malam dia juga muncul disini. Tegak di bawah pohon di luar sana,
memandang ke pondok ini tapi tak berusaha masuk atau
menemuiku. Kalau aku ada kesempatan menjenguk makam ibumu,
aku akan berusaha untuk menlihatnya. Selam ini apakah kau dan
suamimu pernah menjenguknya?”
“Aku takut ayah. Benar-benar takut melakukan hal itu…”
jawab Suntini.
“aku mengerti perasaanmu. Kau boleh pergi sekarang. Lain
bulan kau tak perlu datang kemari mengantarkan apa-apa. Aku bisa
memenuhi kebutuhanku sendiri…”
“Berarti ayah tidak akan pulang ke rumah?”
“Aku tidak tahu anakku,” jawab orang tua yang duduk bersila
itu lalu menarik nafas panjang.
Suntini berdiri, melangkah ke pintu dan lenyap dibalik daun
pintu yang ditutupkan. Di dalam pondok sang ayah pejamkan kedua
matanya. Namun kali ini diantara sela kelopak matanya kelihatan
ada tetes air mata yang menyeruak.
Ketika Suntini samapi diatas lembah, dia terkejut dan
keluarkan seruan tertahan sewaktu melihat Sadewo, suaminya,
tergeletak meelungkup di tanah. Suntini melompat turun dari kuda
dan cepat membalikkan tubuh Sadewo.
“Kangmas… Kau kenapa kangmas..?!” memanggil Suntini
sambil mengusap wajah suaminya berulang kali. Wajah itu tampak
pucat seperti baru saja mengalami suat goncangan hebat. Suntini
letakkan telinganya di atas dada Sadewo. Masih terdengar suara
detakan jantung. Perempuan ini merasa lega sedikit lalu dia memijat
beberapa bagian tubuh suaminya. Tak selang berapa lama kedua
mata Sadewo perlahan-lahan kelihatan terbuka. Begitu terbuka lelaki
muda ini melompat terduduk dan memandang berkeliling dengan
wajah ketakutan.
“Ada apa, Sadewo…? Siapa yang kau cari…? Kau melihat
sesuatu..?” bisik Suntini dengan lebih kelu dan ikut-ikutan
memandang berkeliling sementara dadanya berdebar keras.
“Dia.. dia tadi muncul di dekat batu besar sana…” terdengar
Sadewo menyahut. Suaranya gemetar.
Suntini memandang ke arah batu besar yang ditunjuk
suaminya. Memandang berkeliling ke tempat lain. Dia tidak melihat
siapa-siapa.
“Dia… biasanya dia hanya memandang dari kejauhan. Tapi
sekali ini dia melangkah mendatangiku. Dia begitu dekat denganku
Suntini, membuatku ketakutan setengah mati. Dia seperti hendak
membuka mulut mengatakan sesuatu. Tapi saat itu ada suara kaki
kuda mendatangi. Mungkin sekali kuda tunggangmu. Lalu aku ajtuh
pingsan…”
“Kalau begitu kita harus meninggalkan tempat ini cepat-
cepat…”kata Suntini pula. Dia membantu suaminya berdiri,
memapahnya ke arah kuda.
* * *
DUA HARI SETELAH peristiwa di bukit Batuwungkur, Pendekar
212 Wiro Sableng mengunjungi kedai Aki Sukri. Dia duduk memencil
di sudut kedai sampai larut malam. Ketika pemilik kedai bersiap
untuk menutup kedainya mau tak mau akhirnya pendekar itu berdiri
dari bangkunya.
“Anak muda, kau seperti tengah menunggu seseorang di kedai
ini…” berkata pemilik kedai ketika Wiro memberikan uang
pembayaran.
“Ah, matamu tajam juga orang tua. Bagaimana kau bisa tahu?”
bertanya Wiro.
“Setiap saat kau selalu memandang ke pintu. Dan kau tampak
kecewa jika ada tamu masuk tetapi bukan orang yang kau nantikan.
Kau berjanji dengan seseorang?”
Wiro menggeleng.
“Lalu siapa yang kau harapkan muncul di kedai ini?” tanya Aki
Sukri.
“Aki , dua malam lalu aku mampir disini. Kau ingat…?”
“Aku ingat. Karena malam itu kemudai diketahui ada empat
mayat menggeletak di pekuburan Batuwungkur. Mereka mati dengan
kembang aneh menanca di muka dan badan…”
“Kau ingat dara jelita berpakaian putih yang juga ada di
kedaimu malam itu…?’
“Aku ingat seklai!” jawab Aki Sukri.
“Kau kenal padanya? Atau mungkin tahu dimana aku bisa
menemuinya?”
Pemilik kedai menatapa wajah Pendekar 212 sesaat lalu
gelengkan kepala. “Wajah cantik itu memang seperti pernah kulihat
sebelumnya. Tapi entah dimana dan entah kapan. Waktu dia ada
disini aku tak berani bertanya. Kelihatannya dia seperti tidak mau
diusik…”
“Dia memang bukan dari sembarangan…” kata Wiro pula.
“maksudmu, anak muda?” tanya Aki Sukri.
“Empat pemuda jahat yang mati di pekuburan Batuwungkur
itu, dialah yang membunuhnya!”
“Apa katamu?!” dua mata Aki Sukri membelalak.
“Dia adalah Dewi Bunga Mayat!”
“Ah!” tubuh pemilik kedai tersentak dan wajahnya menjadi
pucat.
“Kau seperti orang ketakutan. Ada apa…?!”
“Jadi… jadi dara itulah yang tengah kau cari?!” suara Aki Sukri
bergetar. “Anak muda lekas pergi. Aku segera menutup kedai ini.
Aku… kau tahu…” suara Aki Sukri perlahan sepreti berbisik. “Kalau
memang dara itu manusia yang berjuluk Dewi Bunga Mayat, hati-
hatilah anak muda. Dia sanggup membunuh manusai tanpa
berkedip. Kepandaiannya tinggi. Kabarnya saat ini dia jadi momok
nomor sati di wilayah Jawa Tengah ini!”
“Momok katamu? Gadis secantik itu kau katakan momok?!”
“Dia muncul seperti setan. Lenyap seperti setan. Membunuh
disana-sini… Apa itu bukan momok?!”
Wiro tertawa bergelak. “Kepandaiannya tinggi luar biasa itu
memang berul. Dia membunuh tanpa berkesip itu juga betul. Tapi dia
bukan setan! Dia hanya membunuh orang-orang jahat! Kau tahu
empat pemuda yang jadi korbannya itu? Apa yang hendak mereka
lakukan? Hendak memperkosanya beramai-ramai…!”
“Ah, karena dia kawanmu tentu saja kau membelanya. Tapi
sudahlah. Aku akan menutup kedai. Lekas pergi. Aku tak mau kau
datang-datang lagi kemari, anak muda. Aku tidak mencari urusan…!”
“Justru jika kau melarang begitu berarti kau mencari urusan!”
tukas Wiro. “Jika kau tak mau kedatanganku, tutup saja kedai ini
selama-lamanya!”
“Aku berjualan mencari makan. Tidak mau cari urusan…”
“Bagus kalau begitu. Katakan, apakah gadis kawanku itu
sering datang kemari?”
“Tidak. Baru sekali itu dia datang kesini,” jawab Aki Sukri.
“Kalau dia muncul lagi, katakan padanya. Aku sahabatnya
berama Wiro Sableng mencarinya. Kau dengar pesan itu, Aki?!”
“Aku dengar anak muda. Dan akan aku sampaikan padanya…”
jawab pemilik kedai pula.
*
* *
Dari kedai Aki Sukri, Pendekar 212 dengan menunggang kuda
menuju pekuburan Batuwungkur. Kesunyian dan kegelapan malam
menyambut kedatangannya. Angin berhembus dingin dan dikejauhan
terdengar suara burung malam bersahut-sahutan beberapa kali.
Murid Sinto Gendeng duduk di batu hitam dimana dulu Bunga
pernah duduk. Dia duduk seprti merenung. Entah mengapa
perasaannya jadi seperti ini. Perasaan yang sebelumnya tak pernah
terjadi seumur hidupnya. Dia selalu teringat padaBunga. Hampi tak
sekejapanpun dia melupakan gadis itu. Dia rindu untuk bertemu tak
tahu harus mencari kemana. Itulah sebabnya malam-malam begitu
dia mendatangi pekuburan dengan harapan bisa bertemu lagi.
Kalaupun tidak bertemu paling tidak dia telah bisa melepas
kerinduannya dengan melihat tempat yang pernah didatangi sang
dara. Tempat dimana mereka pernah berdua-dua. Dan dia kini duduk
di batu yang pernah diduduki Bunga.
“Bunga…” bisik kalbu Pendekar 212. “Dimana kau…? Dimana
aku bisa menemuimu, Bunga…?”
Wiro mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan,
memandang berkeliling lalu menghela nafas dalam-dalam.
“Apakan ini namanya cinta…?” bisik hati sang pemuda. “Ah…
Aku tak percaya!tapi mengapa aku selalu ingat padanya. Mengapa
ada persaan rindu bertumpuk dihatiku. Gila betul!”
Dalam perjalanan hidupnya tentu saja Pendekar 212 telah
bertemu dengan banyak gadis berwajah cantik. Namun semua berlalu
tanpa perasaan apa-apa. Berlainan sekali dengan yang satu ini.
Padahal baru dua hari lalu dia melihat dan bertemu. Dan kini ada
rasa rindu mencucuk hatinya.
“Gila!” kata Wiro pula sambil meukul lututnya sendiri. Kedua
tangannya mengeruk ke dalam saku baju. Tangan yang kanan
memegang sesuatu. Ketika dikeluarkannya ternyat itu adalah bunga
kenanga senjataBunga yang dua malam lalu dipungutnya.
“Aneh..,” desis Wiro memperhatikan dan menimang bunga
kenanga. “Bunga ini mengapa tidak layu…? Keharumannya tidak
berbeda seperti pertama kali aku memungutnya…” lalu bunga
kenanga itu dibawanya ke hidungnya, diciumnya lama-lama penuh
perasaa. “Bunga… aku mencarimu. Aku ingin bertemu…” Wiro bicara
sendirian.
Malam berlalu bertambah sunyi dan bertambah dingin. Tanpa
disadarinya Pendekar 212 jatuh tidur dalam keadaan terduduk di
atas batu.
“Wiro…”
Satu suara memanggil. Pendekar 212 kenal sekali suara itu.
Suara orang yang dirinduinya, yang selama ini dicari-carinya. Begitu
berpaling dilihatnya dara itu tersenyum padanya.
“Bunga…”
“Aku sudah lama menunggumu di sini, Wiro…” kata Bunga
seraya melangkah mendekati.
Wiro datang menyongsong. Keduanya saling bergenggaman
tangan. “Aku mencarimu setengah mati…”
“Setengah mati? Ah, masa…?”
“Setengah mati karena rindu. Kangen… Kau tidak kangen
padaku, Bunga…?”
“Tidak…,” jawab sang dara lalu tertawa cekikikan. “Tentu saja
aku juga kangen padamu, Wiro…”
“Berarti kau senang bersahabat denganku?!” tanya Wiro seraya
menatap dalam-dalam ke sepasang mata si gadis.
Bunga mengangguk. “Aku suka bersahabat denganmu…”
“Tapi…”
“Tapi apa, Wiro…?”
“Aku tak ingin hubungan kita hanya sampai pada jalinan
persahabatan saja.”
“Maksudmu Wiro….?”
“Aku… aku tidak tahu persaan apa yang ada dalam diriku sejak
pertama kali aku melihatmu. Kurasa aku mencintaimu, Bunga. Ya
betul. Aku mencintaimu…!”
Paras Bunga berubah. Dia seperti ketakutan. Diremasnya jari-
jari tangan pemuda itu tapi kemudian dilepaskannya.
“Kau mencintaiku Wiro…? Jangan… jangan mencintaiku
Wiro…” Bunga melangkah mundur.
“Mengapa aku tidak boleh mencintaimu Bunga? Percayalah,
aku tidak berdusta dan tidak mempermainkanmu…?”
“Demi Tuhan, jangan mencintaiku Wiro… Cinta berarti
kematian bagi diriku…” Suara Bunga tersendat. Wiro melihat ada air
mata menetes di kedua pipi dara itu.
“Kau menangis, Bunga…” bisik Wiro dan melangkah mendekat.
Tapi yang didekati semakin menjauh. Melangkah mundur.
“Bunga, kau mau kemana…?” Wiro mengejar.
“Jangan kejar aku Wiro… jangan…”
“Bunga, jangan mundur. Ada jurang di belakangmu!” teriak
Wiro.
Dara itu berpaling ke belakang. Tapi terlambat. Kaki kanannya
terpeleset dan tubuhnya melayang jatuh ke dalam jurang yang dalam.
Pekiknya mengumandang. Tapi teriakan Wiro lebih keras lagi.
“Bunga…!!”
Pendekar 212 tersentak dan dapatkan dirinya terduduk di atas
batu hitam diantara makam di pekuburan Batuwungkur.
“Ah… bermimpi aku rupanya…” kata pemuda ini termangu-
mangu. Di tangan kanannya maih tergenggam bunga kenanga senjata
Dewi Bunga Mayat.
“Bunga ini… Tadi aku menciumnya. Lalu jatuh tertidur dan
bermimpi. Apakah… apakah hanya ini satu-satunya cara aku dapat
bertemu dengan dia? Hanya dalam mimpi?”
Pendekar 212 merasa kelesuan menjalari seluruh tubuhnya.
Perlahan-lahan dia berdiri, memandang berkeliling. Lalu melangkah
ke tempat dia menambatkan kudanya. Bunga kenanga dengan penuh
hati-hati dimasukkannya ke dalam saku bajunya.
* * *
SATU PEMANDANGAN ANEH jika sebuah kereta tertutup yang
jelek itu dikawal oleh hampir dari dua lusin orang berkuda. Bahkan
diantara mereka tampak lima orang prajurit dan seorang perwira
muda. Kereta yang ditarik dua ekor kuda itu menderu kencang di
jalan berdebu. Matahari sore berwarna merah kuning keemasan.
Rombongan bergerak cepat menuju ke selatan yakni arah Kotaraja.
Namun saat itu mereka tidak akan keburu mencapai tujuan sebelum
pagi. Kotaraja masih sangat jauh dan jalan yang idtempuh bertambah
sulit serta buruk.
Selain lima prajurit dan seorang perwira muda itu maka
anggota rombongan lainnya adalah orang-orang berseragam pakaian
dan ikat kepala merah. Semua mereka memlihara berewok dan kumis
yang meranggas tidak diurus. Tampang mereka tak satupun yang
lumayan. Semua menunjukkan muka galak beringas.
Di sebelah depan memacu kudanya seorang lelaki berpakaian
merah dengan tubuh kurus tinggi luar biasa. Hampir mencapai satu
setengah tombak. Berewok dan kumisnya yang lebat
menyembunyikan wajahnya yang bopeng. Matanya besar dan merah.
Dia adalah Kunto Pasirawang bergelar Datuk Hantu Merah, dikenal
sebagai Ketua Komplotan Hantu Merah.
Dalam dunia persilatan komplotan yang dipimpinnya ini
terkenal sebagai komplotan bayaran yang melakukan apa saja asal
mendapat bayaran. Yaitu mulai dari merampok, menculik sampai
membunuh. Belakangan komplotan ini dikenal pula sebagai penyedia
perempuan-perempuan lacur di berbagai kota termasuk Kotaraja.
Bahkan ada selentingan Datuk Hantu Merah sengaja mengirimkan
perempuan-perempuan cantik pada pejabat-pejabat tertentu di
Istana. Itulah sebabnya selama sekian tahun komplotan bejatnya itu
tidak pernah dikejar apalagi ditumpas. Beberapa orang Adipati
diketahui tunduk dan ikut bekerjasama dengan sang datuk.
Siapakah sang datuk ini sebenarnya? Menurut mereka yang
tahu, konon Kunto Pasirawang dulunya adalah salah seorang
kepercayaan seorang Pangeran di Keraton Timur. Kemudian
ketahuan bahwa dia bersifat culas, suka menggelapkan barang-
barang berharga, mencuri barang-barang pusaka. Dua kejahatan itu
masih bisa dimaafkan oleh sang Pangeran, namun ketika Kunto
Pasirawang diketahui pula suka mengganggu anak istri orang maka
dia dipecat dari jabatannya dan di usir dari gedung sang Pangeran.
Selama dua tahun Kunto Pasirawang malang melintang
ditengah lautan menjadi bajak. Bosan di laut dia turun ke darat
membentuk Komplotan Hantu Merah dan malang melintang
menimbulkan malapetaka.
Enam orang berseragam pasukan Kerajaan itu sebenarnya
adalah prajurit-prajurit dan perwira palsu. Mereka sengaja
mengenakan pakaian anggota pasukan Kerajaan untuk mengelabui
dan menjaga kalau sewaktu-waktu ada kesulitan dengan petugas
Kadipaten atau Kerajaan. Lalu apakah isi kereta buruk yang mereka
kawal begitu ketat? Uang, harta perhiasan atau senjata baru?
Isi kereta itu bukan lain adalah perempuan-perempuan culikan
dari beberapa daerah di selatan. Rata-rata mereka masih sangat
muda. Ada yang ikut secara suka rela karena dijanjikan pekerjaan di
Kotaraja. Namun banyak yang diculik dari rumah orang tua mereka!
Sinar surya semakin redup tanda akan segera masuk ke tempat
tenggelamnya. Jalan yang ditempuh mulai gelap. Orang berseragam
perwira muda yang sebenarnya adalah anak buah Datuk Hantu
Merah memacu kudanya mendekati sang ketua lalu bicara keras-
keras diantara bisingnya derap kaki kuda dan gemeletak suara roda
kereta.
“Ketua, anggota rombongan kelihatan sudah pada letih! Malam
ini sebaiknya kita berhenti dan istirahat di hutan Jatiroto. Besok
sebelum matahari terbit baru meneruskan perjalanan ke Kotaraja.
Menjelang tengah hari kita akan sampai disana…! Bagaimana
pendapatmu?”
“Aku tahu apa yang sebenarnya yang ada di otakmu. Wulung
Kingkit!” sahut Datuk Hantu Merah menyeringai.
“Apa maksudmu Ketua…?” tanya perwira muda palsu bernama
Wulung Kingkit itu.
“Sebelum gadis-gadis itu diserahkan pada mucikari di Kotaraja,
kau akan memilih salah satu diantaranya lalu bersenang-senang
malam ini! Bukan begitu…?!”
Wulung Kingkit hanya bisa balas menyeringai.
“Tapi jangan khawatir Wulung! Usulmu kuterima!” Datuk
Hantu Merah tertawa bergelak lalu dia mendahului membelok
memasuki jalan menuju hutan Jatiroto.
Di suatu tempat yang agak datar malam itu rombongan
Komplotan Hantu Merah berhenti. Enam buah obor dinyalakan.
Empat buah kemah besar didirikan. Setelah itu pintu belakang kereta
dibuka. Dua puluh gadis keluar dengan wajah letih dan tubuh
keringatan. Mereka dikumpulkan di dua tenda lalu diberi makan
seadanya. Masing-masing mereka ditemani oleh anggota komplotan
tanpa bisa menampik.
Banyak diantara gadis ini yang mulai curiga dan ketakutan,
meminta agar boleh naik ke dalam kereta kembali. Tapi permintaan
itu tidak dikabulkan, malah banyak diantara mereka mulai dijejali
tuak keras.
Datuk Hantu Merah berbaring ditemani dua gadis yang
ketakutan setengah mati. Salah satu diantaranya mulai menangis.
“Anak bagus! Sekarang kau menangis. Nanti kalau sudah
merasa kau akan berlutut minta tambah. Ha… ha… ha..!” Sang datuk
tertawa bekakakan, teguk tuaknya lalu merangkul dan menciumi dua
gadis yang dikempitnya di kiri kanan.
Kemudian manusia tinggi kurus bermuka bopeng dan
berewokan ini mulai menunjukkan kebejatannya. Gadis disebelah
kirinya dipaksanya membuka pakaian. Kesempatan ini dipergunakan
oleh gadis yang tadi menangis untuk lari keluar tenda. Tapi sang
datuk lebih cepat. Begitu berhasil menangkap gadis ini langsung
seluruh pakaiannya dirobek-robek. Lalu gadis itu di bantingkannya
ke alas tenda. Selagi berada dalam keadaan terlentang tak berdaya,
Datuk Hantu Merah menindih tubuhnya.
Saat itulah terdengar suara ribut-ribut di luar. Lalu ada
seseorang berteriak, “Ketua! Ada yang tidak beres! Lekas keluar!”
“Bangsat rendah! Apa yang tidak beres! Apa kalian tidak bisa
menyelesaikannya sendiri?! Keparat!” teriak sang datuk dari dalam
tenda.
“Dua orang anggota ditemui mati!” terdengar orang di luar
berteriak memberi tahu.
“Anjing betul!” menyumpah Datuk Hantu Merah. Cepat dia
mengenakan celana dan pakaiannya lalu menyembul keluar tenda.
“Ada apa hah?!” sentaknya pada anggota komplotan yang tegak
di depan tenda.
Yang ditanya menunjuk ke arah kiri. Saat itu tampak beberapa
anggota Komplotan Hantu Merah menggotong dua orang kawan
mereka yang sudah jadi mayat lalu meletakkannya di hadapan sang
ketua.
Datuk Hantu Merah kerenyitkan kening ketika melihat mayat
dua anak buahnya itu. Mereka mati dengan leher hampir putus.
“Apa yang terjadi? Bagaimana mereka bisa digorok begini rupa
tanpa ada yang tahu?!” bertanya Datuk Hantu Merah.
“Mayatnya kami temui di dalam tenda sebelah sana ketika
beberapa gadis di dalam tenda berpekikan lalu berhamburan lari
keluar,” menerangkan salah seorang anggota komplotan.
“Apa ada yang melihat siapa pembunuh mereka?!” bertanya
perwira muda bernama Wulung Kingkit yang juga sudah ada
ditempat itu.
“Yang melihat adalah dua gadis di dalam tenda. Tapi kedua
gadis itu kabur entah kemana!”
“Bangsat rendah! Pasang lebih banyak obor dan cari gadis-
gadis yang melarikan diri itu!” Datuk Hantu Merah berpaling pada
Wulung Kingkit. “Kau dan anak buahmu segera lakukan
penyelidikan! Pembunuh itu harus dicari sampai dapat!”
Belum sempat Wulung Kingkit menjawab, tiba-tiba terdengar
suara dari dalam kereta.
“Kalian tidak usah susah-susah mencari, aku pembunuh dua
anggota komplotan bejat itu ada di sini!”
Lalu braak!
Pintu kereta terdengar ditendang hingga mental berantakan.
Dari dalam kereta keluar seorang pemuda berambut gondrong sambil
bertolak pinggang. Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wulung Kingkit segera hunus goloknya. Para anggota
komplotan lainnya juga melakukan hal yang sama, segera mencekal
senjata masing-masing. Ketika lebih dari selusin orang hendak
menyerbu, Datuk Hantu Merah berseru.
“Tahan! Sebelum dia kita cincang, aku ingin tahu siapa bangsat
gondrong ini adanya.” Lalu sang ketua maju empat langkah dan
membentak.
“Gondrong! Katakan siapa dirimu! Mengapa berani membunuh
dua anak buahku?!”
“Namaku Wiro Sableng! Aku membunuh dua anjing itu karena
dia hendak memperkosa dua gadis tak berdaya! Ketahuilah, masih
banyak orang-orang di sini yang bakal menemui kematian karena
dosa terkutuk yang sama! Termasuk kau dedengkotnya!”
Marahlah Ketua Komplotan Hantu Merah itu mendengar
dirinya disebut dedengkot. Maka, diapun berteriak memberi perintah.
“Bunuh bangsat gondrong ini! Cincang sampai lumat!”
Selusin orang bergerak. Selusin senjata berkelebat.
Saat itu terlihat sinar menyilaukan menyambar dibarengi suara
mengaung macam ratusan tawon mengamuk. Lalu…
Trang…!
Trang…!
Trang…!
Suara senjata beradu susul menyusul yang ditingkahi oleh
suara jeritan-jeritan kematian!
Empat anggota Komplotan Hantu Merah tergelatak roboh
mandi darah. Lalu menyusul dua orang lagi. Melihat ini enam orang
lainnya menjadi ciut nyalinya. Hendak melompat mundur mereka
takut pada sang ketua. Kalau maju terus pasti menerima nasib sama
seperti enam kawan mereka itu!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar teriakan Ketua
Komplotan Hantu Merah.
“Mundur semua! Biar aku yang mematahkan batang lehernya!
Akan kubetot jantung dan isi perutnya!”
Dari mulut sang datuk terdengar suara berkeretekan rahang
dan gerahamnya yang saling beradu. Matanya merah membara.
Berewoknya dan kumis tebalnya berjingkrak. Dia melompat ke
hadapan Pendekar 212 dengan tangan kosong.
Melihat orang tak bersenjata murid Sinto Gendeng ini segera
simpan Kapak Maut Naga Geni 212. Waktu itulah Wulung Kingkit
berbisik pada ketuanya.
“Ketua, kalau aku tidak salah manusia bernama Wiro Sableng
ini adalah pendekar yang menyandang gelar Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212. Aku merasa sangat pasti setelah melihat senjatanya
tadi!”
“Aku tak pernah dengar nama dan gelar itu! Sekalipun setan
dihadapanku aku tidak takut. Kau kepinggirlah Wulung Kingkit!”
“Jangan, Ketua. Biar aku saja yang bicara padanya. Aku akan
menawarkan sesuatu padanya asal kita bias selamat…!”
“Aku baru tahu kau sepengecut itu Wulung Kingkit!” bentak
Datuk Hantu Merah dengan mata melotot.
“Ketua, ini bukan soal pengecut atau apa. Manusia satu ini
bukan lawan kita…!”
Datuk Hantu Merah tertawa dan usap berewoknya sesaat lalu
mendorong Wulung Kingkit ke samping. Tapi saat itu Wulung Kingkit
yang sudah tahu apa yang bakal terjadi cepat mendahului melompat
ke hadapan Wiro Sableng.
“Pendekar 212, aku bicara membawa usul. Habisi semua
perkara antara kita. Tinggalkan tempat ini dan kau boleh membawa
semua gadis itu!”
Wiro keluarkan siulan keras lalu tertawa lebar.
“Usul yang menggiurkan perwira palsu!” jawab Wiro.
Wulung Kingkit terkesiap. “Bagaimana bangsat ini tahu aku
perwira palsu…?” dia bertanya dalam hati.
“Pendekar, apa yang aku usulkan adalah atas nama Kerajaan…
Kau boleh tidak menghormati diriku dan kami semua. Tapi kau wajib
menghormati Kerajaan!”
Wiro tertawa bergelak.
“Perwira tengik! Ternyata otakmu bukan cuma bisa berpikir
keji, tapi juga pandai mengatur rencana licik! Kalau kau mau
memberikan kepala Komplotan Hantu Merah padaku, baru aku mau
membuat urusan ini selesai!”
Mendengar ucapan Wiro itu, Datuk Hantu Merah menggembor
marah. Dia menerjang ke depan. Kali ini Wulung Kingkit tidak mau
mencegah lagi. Dia cepat menyingkir ke samping dan diam-diam
mulai berpikir untuk melarikan diri.
* * *
Tegak berhadapan-hadapan begitu rupa tinggi Pendekar 212
hanya sampai sebahu Datuk Hantu Merah. Tangan sang datuk yang
panjang melesat ke arah batang leher Wiro. Pendekar 212 cepat
menunduk lalu hantamkan tinjunya ke perut lawan.
Buukk!
Jotosan itu tepat mendarat di perut Datuk Hantu Merah. Mata
orang ini membeliak besar dan mukanya yang bopeng mengerenyit.
Tapi tubuh dan kakinya tidak bergeming sedikitpun!
Wiro memukul sekali lagi. Saat inilah tangan kiri sang datuk
berkelebat laksana pentungan menabas dari kiri ke arah batang leher
Wiro sementara tangan kanannya bersiap-siap untuk menggebrak
yaitu jika Wiro membuat gerakan menangkis atau menghindar.
“Bangsat ini tahan pukulan rupanya. Aku mau lihat apa dia
tahan yang satu ini.” Membatin Wiro lalu dia jatuhkan diri berlutut.
Tangan kiri lawan menyambar di atas kepalanya. Tangan kanan yang
berusaha menggapai ke depan dipukulnya dengan tangan kiri. Dua
lengan beradu keras. Tetap saja si tinggi kurus itu tidak bergeming
walau mukanya jelas mengerenyit menahan sakit. Wiro pergunakan
kesempatan. Tangan kanannya meluncur ke depan menarik keras-
keras celana merah sang datuk yang memang tidak terkancing betul.
Lalu dengan tangan kirinya Wiro mendorong tubuh Datuk Hantu
Merah. Karena kedua kakinya tertahan oleh celana yang merosot,
sang datuk hilang keseimbangan lalu, Brukk! Dia jatuh terduduk di
tanah!
Sesaat Wiro hendak menghantam kepala lawannya, di bagian
lain terdengar jeritan-jeritan keras. Anggota Komplotan Hantu Merah
Nampak lari kian kemari menyelamatkan diri. Namun banyak
diantara mereka yang jatuh bergelimpangan di tanah dan menemui
ajal dalam keadaan mengerikan. Ada yang perutnya jebol, ada yang
mukanya hancur! Wiro mengendus dalam-dalam. Dia mencium bau
sesuatu….!
“Bau itu…” desis Wiro. “Bau bunga kenanga!”
Lalu dia dikejutkan oleh satu sosok tubuh yang jatuh di
sampingnya. Ternyata adalah sosok tubuh Wulung Kingkit si perwira
palsu. Mukanya tampak berlumuran darah dan di mata kirinya
menancap bunga kenanga!
Baik Wiro maupun Datuk Hantu Merah sama-sama mengenali
bunga itu. Sang datuk yang hendak melabrak dengan satu serangan
tangan kosong serta merta batalkan niatnya.
“Bunga mayat…” desis sang datuk. Dia melompat berdiri sambil
tarik keatas celana merahnya dengan susah payah. “Dewi Bunga
Mayat!” desisnya lagi penuh ketakutan. Dia tidak lagi perdulikan
Wiro. Wiropun tidak lagi perdulikan manusia satu itu. Yang ada
dalam benaknya saat itu adalah Bunga si dara jelita. Jadi dia ada
disini!
“Bunga! Bunga…!” teriak Wiro berulang kali. Dalam kegelapan
malam dia melihat seorang berpakaian serba putih menunggangi
kuda putih. “Bunga!” memanggil Wiro. Akhirnya ditemuinya juga
gadis yang dicari-carinya selama ini. Dia berlari ke arah kuda dan
penunggangnya. Namun saat itu si penunggang telah menggebrak
kuda putihnya mengejar Datuk Hantu Merah yang tengah melarikan
diri. Begitu terkejar si penunggang jambak rambut sang datuk lalu
menyeretnya beberapa belas langkah. Begitu melewati sebatang
pohon besar kepala itu langsung dihantamkannya ke badan pohon.
Praakkk!
Kelapa dan pohon beradu. Tak ampun kepala itu pecah dan
menggeletak mengerikan ketika si penunggang kuda
melemparkannya ke tanah.
“Bunga!” teriak Wiro.
Orang diatas kuda putih menoleh. Lambaikan tangan sambil
tersenyum lalu membedal kudanya.
“Bunga!” teriak Wiro lagi. Kelabakan dia mencari kuda yang
bisa dibedal. Begitu dapat, Wiro langsung mengejar kuda putih dan
Dewi Bunga Mayat si penunggangnya!
Keluar dari hutan Jatiroto sang dewi ternyata melarikan
kudanya ke daerah persawahan dan berhenti di sebuah bangunan
kecil di tepi sawah tepat dekat sebuah mata air.
Wiro sampai pula di bangunan kecil itu dan dapatkan Bunga
telah duduk di dalam, memandang padanya sambil tersenyum.
Seperti lupa diri Wiro langsung melompat merangkul sang dara.
“Bunga… Aku mencarimu berhari-hari. Rasanya seperti mau
gila tidak melihatmu….” berucap Wiro.
“Seperti mau gila berarti belum gila benaran kan?!” ujar Bunga.
“Ah, kau masih tega mempermainkanku! Kemana saja kau
selama ini… Bagaimana kau tahu-tahu bisa muncul di hutan
Jatiroto?”
“Eh, pertanyaanmu banyak amat! Apakah semua itu sangat
penting bagimu…?”
“Tentu saja penting! Kini aku menemuimu. Jangan harap aku
akan melepaskanmu Bunga. Aku akan ikut kemana kau pergi…!”
Perlahan-lahan Bunga melepaskan pelukan Wiro. Sambil
menatap mata pemuda itu dia berkata, “Tidak mungkin Wiro. Tidak
mungkin kau mengikuti kemana aku pergi…”
“Tidak mungkin bagaimana? Bukankah aku sudah bilang kalau
aku mencintaimu. Eh…” ucapan Wiro terputus.
“Mengapa kau tidak meneruskan kata-katamu , Wiro? Apa kau
menyesal telah mengakui isi hatimu…?”
“Bukan… Aku tidak menyesal. Dengar, aku pernah bermimpi
diatas kuburan…” lalu Wiro menceritakan mimpinya waktu dia
duduk ketiduran diatas batu hitam di pekuburan Batuwungkur.
Bunga tertawa lebar mendengar cerita itu lalu ulurkan kedua
tangannya memegang jari-jari sang pendekar. Wiro angkat kedua
tangan si gadis, menciumnya berulang-ulang. “Aku tak mau berpisah
lagi denganmu Bunga…” bisik Wiro lalu mendekap sang dara erat-
erat ke dadanya. Wiro lalu merasakan Bunga membalas
rangkulannya itu. Keduanya hanyut dalam perasaan yang seolah-
olah menjadi satu. Walau mereka berpeluk dan berciuman, namun
dihati sang Pendekar 212 sama sekali tidak ada gejolak hawa nafsu.
Sentuhan cinta kasih yang tulus lebih menggema di dalam tubuh dan
aliran darahnya.
“Bunga..,” bisik Wiro.
“Wiro…,” balas berbisik Bunga.
“Kita tidak akan berpisah lagi bukan…?”
“Apa yang kau inginkan itu juga menjadi keinginanku, Wiro.
Tapi saat ini…”
“Jangan katakan tapi, Bunga. Aku akan membawamu pada
guruku di Gunung Gede. Lalu aku akan menemui orang tuamu.
Aku…”
Jari-jari tangan Bunga menempel di atas mulut Pendekar 212
hingga Wiro tidak bisa meneruskan ucapannya.
“Saat ini aku harus pergi Wiro. Sebentar lagi hari akan pagi.
Ada sesuatu yang harus kulakukan…” Bunga melepaskan
pelukannya. Lalu cepat sekali dia melompat ke punggung kuda putih.
“Bunga…” Wiro hendak mengejar. Lalu didengarnya gadis itu
berkata, “Jika kau ingin bertemu lagi datanglah ke kedai Aki Sukri
tiga malam di muka. Aku menunggumu di sana… Saat ini
bagaimanapun tulusnya perasaanmu padaku, janganlah mengejar
atau mengikutiku. Berjanjilah Wiro…”
“Aku berjanji Bunga. Demi cintaku padamu…”
“Dan cintaku padamu…” sahut Bunga.
“Ah! Jadi… kau juga mencintaiku Bunga…?” Tanya Wiro.
“Aku… aku tidak bisa menipu perasaanku sendiri. Aku tak
mungkin melawan kodrat…” jawab sang dara lalu mengusap leher
kudanya dan tinggalkan tempat itu.
Wiro merasakan kesejukan dalam dirinya mendengar kata-kata
itu. Dia mengikuti kepergian Bunga dengan pandangan mata dan
senyuman sampai akhirnya sang dara lenyap dikejauhan dalam
kegelapan malam yang menjelang pagi itu.
* * *
SORE ITU SUNTINI dan suaminya duduk bersama Menak
Tunggoro sang ayah sambil menikmati teh manis hangat di langkan
samping rumah besar kediaman mereka.
“Ayah, kami berdua benar-benar gembira melihat ayah kembali
berkumpul lagi di rumah besar ini…” berkata Suntini.
Menak Tunggoro tersenyum.
“Besar kegembiraan kalian berdua, lebih besar lagi rasa
gembiraku, Suntini…”
“Lalu apakah lusa ayah akan menghadap Adipati untuk
menerima jabatan yang ditawarkan beliau…?” yang bertanya adalah
Sadewo, sang menantu.
“Itu yang masih jadi pikiranku. Kalau aku datang berarti
setengahnya aku bisa dianggap sudah menerima jabatan itu. Padahal
rasanya aku belum siap…”
“Diterima atau tidak sebaiknya ayah tetap datang. Paling tidak
ayah sudah menghormati tawaran dan menghormati Adipati.”
“Ucapan Kangmas Sadewo memang betul ayah. Ayah harus ke
sana menmui Adipati. Mungkin ayah perlu bertukar pikiran dengan
beliau…”
Menak Tunggoro tertawa dan memegang tangan anak
perempuannya itu. “Sudah maghrib…” katanya. “Aku harus
sembahyang dulu…”
Orang tua ini berdiri. Sesaat dia ingat sesuatu. “Ayah melihat
banyak orang berjaga-jaga di sekitar rumah kita ini. Ada apakah?”
Menak Tunggoro berpaling pada menantunya.
“Tidak ada apa-apa, ayah. Sekedar untuk berjaga-jaga dari
maling saja…” jawab sang menantu.
“Ah, sudah banyak maling rupanya di pinggiran kota ini!?”
Menak Tunggoro mengangguk-angguk lalu masuk ke dalam.
*
* *
Udara malam itu terasa panas. Di atas ranjang di dalam kamar
mereka, suami istri Suntini dan Sadewo tengah bermesraan.
“Setiap kau terlambat datang bulan, aku selalu merasa gembira
karena mengira kita bakal dikaruniai anak… Ternyata sampai saat ini
masih belum…” berkata Sadewo sambil mengelus perut istrinya yang
putih. Suntini menggeliat kegelian. Dia merangkul tubuh suaminya
erat-erat dengan tangan dan kakinya. Ketika dia menaikkan
kepalanya, tak sengaja dia memandang ke arah jendela yang
hordengnya tersingkap. Saat itulah dia melihat ada sosok seseorang
memperhatikan ke arah dalam kamar. Langsung wajah Suntini
menjadi pucat dan sekujur tubuhnya bergeletar.
Mula-mula Sadewo mengira tubuh istrinya bergeletar karena
rangsangan birahi. Namun ketika dilihatnya kedua mata Suntini
melotot ke arah jendela kamar dan mulutnya bergerak-gerak tapi tak
ada suara yang keluar, Sadewo cepat berpaling ke arah yang
dipandang istrinya.
“Dia.. dia datang lagi…” bisik Suntini. Suaranya seperti kelu.
Lelaki itu serta merta melompat dan mengenakan pakaiannya
dengan cepat. Sebuah kelewang yang tergantung di dinding kamar di
sambarnya. Lalu dia membuka pintu dan lari keluar.
“Mas Sadewo! Jangan tinggalkan aku mas! Aku takut!” teriak
Suntini.
Tapi Sadewo terus lari keluar. Saat itu sosok yang tadi tegak di
luar jendela sudah lenyap. Sadewo lari ke langkan depan rumah
dimana terdapat kentongan kayu. Kentongan itu dipukulnya berulang
kali sampai enam orang lelaki bertubuh tegap muncul dihadapannya.
“Lekas siapkan obor dan kuda! Makhluk itu muncul lagi!
Malam ini kita harus membuatnya kapok! Membunuhnya!”
“Tapi kalau makhluk itu makhluk halus seperti katamu ‘den,
bagaimana mungkin kita bisa membunuhnya?!” tanya salah seorang
yang datang menghadap.
“Diam! Kau tahu apa! Turut saja perintah! Ki Dukun telah
mengatur segala sesuatunya! Kita tinggal menjalankan! Lekas
siapkan obor dan kuda!” teriak Sadewo marah.
Enam orang itu segera berlalu. Tak lama kemudian mereka
kembali membawa tujuh ekor kuda dan tujuh buah obor menyala.
Sadewo melompat ke atas salah seekor kuda, mengambil
sebuah obor lalu memberi isyarat agar enam orang pembantunya
mengikutinya.
Sadewo memimpin rombongan berkuda itu menuju bagian
pinggir selatan kota.
“Masih belum kelihatan den. Apa raden merasa pasti makhluk
itu lari ke jurusan sini?”
“Ki Dukun yang berkata begitu…” sahut Sadewo. Dia memacu
kudanya terus. Tak lama kemudian mereka memasuki satu jalan
menurun. Di depan mereka terdapat sebuah jembatan bambu yang
melintang di atas sebuah jurang dalam. Dulunya jurang itu
merupakan sebuah aliran sungai. Namun karena tidak dialiri air lagi,
sungai dalam itu berubah menjadi jurang.
“Raden!” tiba-tiba salah seorang dari enam pembantu berteriak
seraya menunjuk ke depan. “Lihat, Raden! Makhluk itu ada di depan
sana!”
Semua kepala dipalingkan ke arah yang ditunjuk. Memang
benar. Di depan sana, beberapa belas tombak dari jembatan bambu
tampak penunggang kuda putih tegak tak bergerak seolah-olah
sengaja menunggu mereka.
“Kejar!” Perintah Sadewo. “Ingat! Begitu kalian berhasil
mengejar, tusukkan obor ini ke kepala dan tubuh orang itu! Dia pasti
kapok! Mati konyol dimakan api dan tidak akan mengganguku lagi!
Jalan!”
Tujuh kuda melompat ke depan menuruni jalan menuju
jembatan bambu. Saat itu kuda putih di depan sana tampak bergerak
pula, melewati jembatan bambu dengan perlahan-lahan. Sepertinya
sengaja menunggu rombongan Sadewo di sebelah belakang. Ketika
melewati jembatan bambu, orang berkuda putih keluarkan sebuah
benda dari sebuah kantong dekat leher kuda. Ternyata segulung tali
besar yang ujungnya ada kaitan besinya. Tali ditebar dan diputar-
putar. Sesaat akan keluar dari jembatan bambu, tali itu melesat ke
bawah dan besi pengaitnya bergelung di sebuah tiang bambu yang
menjadi pusat daya tahan berat jembatan.
Di sebelah belakang tujuh penunggang kuda menderu di atas
jembatan. Saat itulah penunggang kuda putih keluarkan tawa
cekikikan. Dia menggebrak kuda tunggangannya. Kuda putih itu
melompat kencang. Tali berkait besi tersentak dan langsung menarik
tiang bambu di kolong jembatan. Begitu tiang berderak patah, tak
ampun lagi goyahlah bambu-bambu penopang lainnya. Jembatan
bambu itu langsung runtuh berderak. Tujuh peunggang kuda
bergemuruh jatuh ke dalam jurang. Suara ringkik kuda dan suara
jeritan tujuh orang itu menjadi satu merobek kesunyian malam
secara teramat mengerikan.
Lalu sunyi. Penunggang kuda putih campakkan tali yang
dipegangnya ke tanah. Dia berlalu sambil menabur tawa cekikikan
penuh kepuasan!
* * *
SORE TADI JENAZAH Raden Sadewo dan enam orang lelaki
yang menjadi korban jatuh ke dalam jurang telah dimakamkan. Atas
permintaan istrinya, jenazah tidak dikubur di pemakaman
Batuwungkur yang terletak cukup jauh dari Sleman tempat kediaman
almarhum, tapi dimakamkan di pekuburan Kebalentoro di tenggara
kota.
Malam itu suasana di gedung kediaman Menak Tunggoro
kelihatan sunyi senyap. Hanya sebuah lampu minyak saja yang
tampak menyala di bagian belakang rumah besar. Penghuninya
mungkin telah lelap keletihan karena siangnya melakukan berbagai
upacara sampai saat terakhir pemakaman Raden Sadewo.
Dalam kesunyian dan kegelapan itu tiba-tiba tampak jendela
bekas kamar almarhum terbuka. Lalu satu sosok menyelinap keluar,
bergegas menuju halaman belakang. Disini dia masuk ke dalam
kandang kuda. Tak lama kemudian orang tadi tampak keluar sambil
menuntun seekor kuda. Di luar halaman rumah besar baru dia naik
ke punggung kuda dan memacu binatang itu ke arah barat Sleman.
Ki Dukun Sambarekso tersentak kaget dari tidurnya ketika ada
yang mengetuk pintu rumahnya keras sekali. Dia terduduk di tepi
ranjang dan memasang telinga. Suara ketukan itu kini dibarengi oleh
suara orang memanggil.
“Ki Dukun! Lekas buka pintu! Aku perlu bicara denganmu! Ki
Dukun Sambar! Buka Pintu!”
Itu suara perempuan!
Orang tua hampir tujuh puluh tahun ini tapi masih bertubuh
kekar bangkit dari ranjangnya, bergegas keluar kamar. Setelah
menyalakan lampu minyak di ruangan depan dia langsung membuka
pintu. Begitu pintu terbuka, sebatang golok tahu-tahu sudah
melintang di tenggorokannya! Membuat dia melangkah mundur
ketakutan dan akhirnya punggungnya tertahan dinding rumah.
“Den ayu Suntini…” desis Ki Dukun ketika dia mengenali siapa
adanya yang menempelkan golok ke lehernya. “Kau datang malam-
malam begini dan mengancamku dengan sebilah golok, ada
apakah…?!”
“Kau tahu suamiku meninggal karena kecelakaan masuk
jurang?!” sentak perempuan yang memegang golok yang ternyata
adalah Suntini, puteri Menak Tunggoro, bekas istri almarhum
Sadewo.
“Aku tahu, den ayu…”
“Kejadian itu adalah karena kesalahamu!”
“Ke… kesalahanku? Aku tidak mengerti?!”
“Kau akan mengerti kalau lehermu sudah ku sembelih!”
“Tunggu! Jangan den ayu…! Jangan menuduhku begitu…”
“Jangan berani berdusta! Beberapa waktu lalu suamiku pernah
datang padamu meminta petunjuk….”
“Betul den ayu. Itu memang betul. Dia memberi tahu adanya
gangguan atas dirimu dan dirinya sejak tiga bulan terakhir ini. Aku
memberi perunjuk dan sebuah jimat untuk keselamatan…”
“Dan karena petunjuk serta jimatmu itu suamiku mati masuk
jurang bersama enam pembantunya! Kau harus tebus nyawa
suamiku dengan nyawa tua bangkamu!” Golok ditangan Suntini
menekan. Ki Dukun terpekik dan darah mengucur dari luka di
lehernya.
“Den ayu… jangan… jangan bunuh diriku. Kurasa… kurasa
suamimu melakukan kesalahan. Jangan-jangan dia melakukannya
tidak sesuai petunjukku….”
“Tidak sesuai petunjuk bagaimana…?!” sentak Suntini.
“Waktu suami den ayu datang terakhir aku pernah
memesankan, jika dia hendak menghadapi si penggangu, dia musti
berada dalam keadaan suci…”
“Suci? Suci bagaimana…?”
“Dirinya harus dalam keadaan bersih. Kalau sebelumnya dia
perhan berhubungan badan dengan den ayu maka dia harus mandi
basah lebih dulu. Kalau tidak… itulah bahayanya…”
“Kau dusta! Kau sengaja mencari dalih agar bisa cuci tangan!
Biar kubunuh kau saat ini juga!”
“Kalau kau bunuh diriku, berarti kau tak akan pernah bebas
dari si pengganggu itu! Aku masih ada cara lain untuk menolongmu
den ayu!” tiba-tiba Ki Dukun berkata.
Suntini yang hendak menekankan goloknya dalam-dalam ke
leher si orang tua urungkan niatnya. Dengan mendelik dia
membentak, “Apa yang ada dalam otakmu, Ki Dukun?!”
“Aku punya senjata rahasia bernama Pisau Daun Sirih. Dengan
senjata itu kau bisa menyingkirkan si penggangu. Asal kau mau dan
benar-benar mengikuti petunjukku…”
“Baik kuberi kau kesempatan sekali lagi. Jika tidak berhasil
jangan harap kau bisa lolos dari kematian!” Suntini turunkan
tangannya yang memegang golok. Ki Dukun merasa lega. Sepasang
mata orang tua itu tiba-tiba tampak berkilat seperti memancarkan
sesuatu. Pandangannya menembus ke mata Suntini.
“Ada satu syarat yang harus kau penuhi terlebih dulu den
ayu…” kata Ki Dukun perlahan.
“Jangan takut, kalau berhasil pasti akan kuberi hadiah uang!”
“Tidak, bukan uang. Ku inginkan dirimu…” Dari mata Ki
Dukun menyambar kembali kilatan cahaya aneh itu. Seperti orang
terkena sihir Suntini hanya diam saja ketika si orang tua mulai
membukai pakaiannya. Di lain saat perempuan muda ini sudah
berada dalam keadaan polos dan mengikuti saja ketika Ki Dukun
membimbingnya ke dalam kamar!
* * *
MATAHARI BARU SAJA tenggelam ketika Wiro masuk ke dalam
kedai. Aku Sukri si pemilik kedai segera mendatanginya dan hendak
mengatakan sesuatu. Tapi Wiro cepat memegang bahu Aki Sukri,
menekannnya sedikit hingga pemilik kedai itu mengerenyit kesakitan.
“Aku tahu kau tidak suka melihat kedatanganku. Tapi jangan
banyak bicara. Ini uang. Terima!” berkata Wiro lalu masukkan dua
keping uang ke dalam saku si pemilik kedai.
Mau tak mau Aki Sukri menerima saja uang itu lalu bertanya,
“Kau tidak ingin memesan makanan atau minuman?”
“Tidak, aku akan menunggu seorang sahabat! Nanti saja kalau
dia sudah datang…” jawab Wiro.
“Sahabat yang kau maksudkan itu, apakah dia dara temo hari?
Yang katamu bergelar Dewi Bunga Mayat?” tanya Aki Sukri dengan
wajah berubah.
“Siapa dia kau tak usah tahu. Lihat saja nanti siapa yang
datang!” habis berkata begitu Wiro lalu duduk di sudut kedai yang
agaknya kegelapan.
Malam terasa merayap sangat perlahan. Sampai menjelang
tengah malam Wiro masih duduk di tempatnya dalam keadaan
terkantuk-kantuk. Dan orang yang ditunggunya masih belum
muncul.
Aki Sukri mendatangi sang pendekar lalu berkata, “Maafkan,
aku bukan mengusir. Tapi kedai ini sudah mau kututup, anak
muda…”
“Orang yang kutunggu masih belum datang. Tunggu sebentar
lagi, Aki…”
Aki Sukri keruk saku bajunya dan keluarkan dua keping uang
yang tadi diberikan Wiro, lalu letakkan di atas meja.
“Ini uangmu. Ambil kembali dan pergi dari sini…”
Pendekar 212 tersenyum. Dengan tangan kirinya didorongnya
pemilik kedai itu seraya berkata, “Orang yang ku nanti sudah datang.
Kau tak usah menceloteh lagi, Aki. Siapkan dua kopi hangat…”
Aki Sukri berpaling ke arah pintu. Saat itu dilihatnya seorang
dara berwajah cantik berpakaian putih melangkah masuk,
melangkah menuju sudut dimana Wiro menunggu sambil berdiri.
Pemilik kedai ini mengenali dan ingat betul, dara ini adalah dara yang
tempo hari datang ke kedainya, yang menurut si anak muda bergelar
Dewi Bunga Mayat! Betul dia rupanya yang datang! Penuh rasa takut
Aki Sukri menyiapkan dua cangkir kopi.
“Kau pasti sudah kesal karena lama menunggu…” kata Bunga
lalu duduk dekat-dekat di samping Wiro.
Pendekar 212 pegang tangan Bunga dan menjawab, “Seratus
tahunpun aku bersedia menunggumu. Aku tahu kau pasti akan
datang Bunga. Aku sudah memesan kopi panas untuk kita berdua…”
“Aih aku tidak pengopi. Tapi tak apa. Malam ini malam
istimewa bagi kita berdua. Aku akan minum kopi hangat
bersamamu…”
“Setuju! Malam ini malam istimewa bagi kita berdua. Kau mau
aku memesan makanan…?”
“Tidak usah. Kopi saja sudah cukup…”
“Apakah kau baik-baik saja selama beberapa hari ini?” tanya
Wiro.
“Ya… ya. Kau sendiri bagaimana?” balik bertanya Bunga.
“Ah, aku selalu ingat-ingat dirimu. Susah kalau sudah jatuh
cinta begini…!”
Wiro lantas tertawa sedang wajah Bunga tampak kemerahan.
Wiro angkat tangan kanan si gadis yang dipegangnya lalu diciumnya
berulang kali.
Saat itu terdengar suara orang berdehem.
Aki Sukri datang membawa dua cangkir kopi. Wiro tersipu
malu, Bunga tundukkan kepala. Dua cangkir kopi diletakkan di atas
meja.
“Bunga aku punya satu rencana besar…”
“Rencana besar apa, Wiro?”
“Rencana ini ada kaitanya dengan hubungan kita…”
“Hem… katakan maksudmu…”
“Aku akan menemui orang tuamu!”
“Eh, untuk keperluan apa?!” tanya Bunga heran.
“Aku hendak melamarmu!” jawab Pendekar 212 tanpa tedeng
aling-aling.
Tentu saja Bunga jadi terkejut. Dia seperti hendak tertawa
gelak-gelak, namun akhirnya gadis jelita ini tundukkan kepala.
“Aku… aku sekarang baru sadar kalau kau memang
bersungguh-sungguh…” ucap Bunga perlahan.
“Astaga! Apa kau kira selama ini aku mempermainkanmu?
Katakan, kapan aku bisa ketemu kedua orang tuamu. Besok…? Eh,
rumahmupun aku belum tahu! Bagaimana ini?!” Wiro memandang
lekat-lekat ke wajah jelita itu.
“Ibuku sudah lama meninggal Wiro….”
“Maafkan aku…” kata Wiro lalu garuk-garuk kepala. “Tapi
ayahmu masih ada ‘kan?”
Bunga mengangguk.
“Kalau begitu aku akan menemuinya. Bolehkah…?”
Bunga menatap paras pemuda itu sesaat, lalu mengangguk
perlahan. Wiro kembali meremas dan menciumi tangan kanan Bunga.
Hatinya berbunga-bunga. Dadanya seperti mau meledak karena
kegirangan.
“Sekarang katakan di mana rumahmu…” bsisk Pendekar 212.
“Kapan kau mau datang, Wiro…?”
“Makin lekas makin baik. Besok…?”
“Datanglah ke Sleman. Cari rumah Raden Menak Tunggoro. Itu
ayahku…”
“Raden Menak Tunggoro. Nama hebat! Ayahmu pasti seorang
yang hebat!” kata Wiro pula. “Lalu namamu sendiri siapa? Kalau aku
ketemu ayahmu, aku harus bilang mau bertemu siapa…?”
Sang dara tersenyum. “Namaku Suci…” bisiknya ke telinga
Wiro.
“Suci… Nama bagus. Nama indah sekali…” ujar Wiro. Lalu
diciumnya kembali jari-jari tangan sang dara. “Eh, sebaiknya kita
teguk kopi ini. Jangan sampai dingin…”
Suci ulurkan tangan memegang cangkir. Wiro melakukan hal
yang sama. Sesaat sebelum sepasang muda mudi yang dilanda cinta
ini mendekatkan cangkir ke bibir masing-masing dan meneguk kopi
hangat itu, tiba-tiba mereka mendengar suara sesuatu di atap kedai.
“Aku mendengar suara sesuatu berdesing berputar-putar di
atas atap…” ujar Pendekar 212 sambil turunkan cangkir dan
meletakkannya di atas meja sementara Bunga masih memegangi
cangkir kopinya di depan dada.
“Aku juga mendengar…” menjawab Bunga. Wajahnya jelas
tampak berubah.
“Aku mencium bau seperti kemenyan terbakar…” bisik Wiro
lagi.
“Aku juga mencium bau itu…” bisik Bunga. Suaranya bergetar.
Tiba-tiba suara mendesing itu terdengar tambah nyaring lalu
sebuah benda menerobos atap kedai yang terbuat dari rumbia! Benda
ini langsung melesat ke arah kepala Bunga yang duduk di samping
Wiro.
Bunga melompat berdiri. Cangkir di tangan kanannya terlepas.
Kopi hangat menyirami dada, perut dan bagian bawah kebaya
putihnya. Melihat bahaya besar mengancam Bunga, Pendekar 212
cepat dorong gadis itu ke samping lalu tangan kanannya
dihantamkan ke atas benda yang menukik melesat dari atas atap!
Sinar putih berkiblat menyilaukan. Kedai itu seperti diamuk
gempa dan hawa panas laksana membakar. Tidak tanggung-tanggung
Wiro telah lepaskan pukulan ‘sinar matahari’ demi menyelamatkan
orang yang dicintainya.
Atap kedai jebol dan terbakar karena hantaman sinar matahari.
Benda yang tadi melesat terpental kesamping dan jatuh tergeletak di
atas meja. Meskipun sanggup dibuat mental tapi ternyata benda itu
tidak patah atau hancur, apalagi leleh dihantam pukulan ‘sinar
matahari’. Wiro dan bunga memandang membelalak pada benda di
atas meja itu. Benda ini adalah sebuah pisau aneh, badan dan
matanya berbentuk daun sirih. Kelihatannya terbuat dari tembaga
merah yang seluruh badannya penuh ukiran tulisan-tulisan aneh.
Pada gagangnya yang juga terbuat dari tembaga terikat sehelai kain
putih. Di dalam kain putih ini terdapat beberapa keping kemenyan!
Inilah Pisau Daun Sirih kiriman Ki Dukun Sambarekso!
Kedua muda-mudi itu baru sadar ketika mereka mendengar
pekik jerit Aki Sukri yang kalang kabut mendapatkan kedainya
terbakar.
“Bunga…” Wiro pegang lengan gadis itu, “cepat keluar dari
tempat ini…” Lalu dipagutnya pinggang sang dara. Sebelum lari
keluar kedai, Bunga masih sempat menyambar Pisau Daun Sirih
diatas meja.
Di satu tempat di halaman belakang kedai keduanya berhenti
berlari dan memandang ke arah kedai Aki Sukri yang terbkaar akibat
hantaman pukulan ‘sinar matahari’
“Kasihan pemilik kedai itu. Aku harus mengganti
kerugiannya…” Karena tak ada jawaban dari Bunga, Wiro berpaling.
Saat itu dilihatnya si gadis berdiri tidak bergerak. Kedua matanya
terpejam. Pisau Daun Sirih yang dipegangnya di tangan kanan
diangkat ke depan mulutnya lalu Bunga meniup tiga kali.
“Eh, apa yang tengah kau lakukan Bunga…?” tanya Wiro.
Bunga mengangkat Pisau Daun Sirih tinggi-tinggi di atas
kepalanya. Lalu terdengar dia membentak, “Pergi! Kembali ke asalmu!
Minum darah asal leluhurmu!”
Habis membentak begitu, Bunga lemparkan Pisau Daun Sirih
ke udara. Senjata iu melesat dan lenyap dalam kegelapan malam!
“Wiro, kita berpisah disini…” terdengar Bunga berucap.
“Eh… Aku…”
“Besok kau akan datang ke rumahku, bukan?”
“Ya, tapi malam ini…”
“Aku harus pergi Wiro,” kata Bunga pula lalu memeluk
Pendekar 212. keduanya saling berangkulan seperti tidak mau
dipisahkan lagi. Peluk rangkul dan kecupan saling bergantian
sementara di sebelah sana Aki Sukri masih kalang kabut berusaha
memadamkan api yang membakar kedainya.
*
* *
Ki Dukun Sambarekso tersentak dari samadinya. Telinganya
menangkap suara mendesing dikejauhan. Makin keras, makin keras
tanda tambah dekat. Sesaat dia mengenali suara desingan itu,
pucatlah wajah sang dukun, dia melompat sambil berseru keras.
“Pergi! Pergi! Bukan disini sasaranmu! Bukan disini asalmu!
Bukan disini leluhurmu! Pergi!”
Suara berdesing semakin keras. Lalu terdengar suara jebolnya
atap bangunan disusul melesatnya sebuah benda! Benda ini langsung
mengarah Ki Dukun. Si orang tua menjerit keras untuk kedua
kalinya.
“Pergi!” teriaknya. “Bukan disini asalmu! Bukan disini
sasaranmu. Bukan… aakhhhhh!!!”
Pisau daun sirih menancap di tenggorokan ki dukun
sambarekso. Tubuhnya langsung roboh terjengkang. Kedua kakinya
kelojotan beberapa kali. Lalu diam tak berkutik lagi. Orang tua
tukang santet ini menemui ajal dengan mata mendelik. Darah
mengucur dari tenggorokannya yang ditembus senjata rahasia
miliknya sendiri. Anehnya darah ini tidak berwarna merah tetapi
hitam pekat!
* * *
SORE ITU DENGAN PAKAIAN sangat bersih dan rapi Pendekar
212 Wiro Sableng berangkat ke Sleman. Tidak sulit baginya mencari
rumah kediaman Raden Menak Tunggoro. Seorang pelayan muda
menemuinya dan menanyakan maksud kedatangannya.
“Namaku Wiro Sableng. Aku datang dari jauh guna menemui
Raden Menak Tunggoro. Apakah beliau ada di rumah…?”
“Majikan saya memang ada di rumah. Bisakah saya
menanyakan maksud kedatangan raden…?” tanya si pelayan pula.
“Aku hem… Aku datang untuk melamar anaknya,” jawab Wiro
polos.
Terkejutlah si pelayan. “Melamar anaknya…?” dia mengulang.
“Betul! Melamar anaknya!”
“Ah, pemuda ini pasti gendeng. Den ayu Suntini baru kemarin
ditinggal mati suaminya. Kini dia datang melamar!” berkata si
pelayan dalam hatinya. Tapi dia meminta agar sang tamu menunggu.
Dia akan menemui Raden Menak Tunggoro untuk memberi tahu
kedatangannya.
Akan Raden Menak Tunggoro yang saat itu masih berada dalam
suasana berkabung dan sangat letih tentu saja sangat terkejut
mendengar penjelasan sang pelayannya.
“Orang gila dari mana yang kesasar ke rumah ini!” katanya
jengkel. Tapi dia keluar juga dari kamarnya menuju ruang depan.
Pendekar 212 Wiro Sableng menjura memberi hormat.
“Apakah saya berhadapan dengan Raden Menak Tunggoro?”
Wiro menyapa dengan sopan.
“Betul. Siapa engkau anak muda? Pelayan mengatakan bahwa
engkau datang hendak melamar anakku?!”
Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepalanya.
“Memang betul begitu. Harap maafkan kalau saya berlaku
lancang. Sebelumnya saya sudah bicara dengan putri bapak. Dia
menyetujui agar saya datang kemari menemui bapak untuk
meyampaikan lamaran…”
Raden Menak Tunggoro menatap pemuda dihadapannya lama-
lama lau berkata, “Putriku Suntini maksudmu…?”
Wiro menggeleng.
“Bukan, bukan yang bernama Suntini. Tapi Bunga…” kata Wiro
pula.
“Bunga…? Tak ada anak gadisku yang bernama seperti itu…”
“Ah,” Wiro tepuk keningnya. “maksud saya Suci…” katanya
cepat.
Berubahlah paras Menak Tunggoro. “Suci…?” desisnya
mengulang. Kedua matanya kini memandangi Wiro dari kepala
sampai ke kaki. “Kau tidak keliru, anak muda…?”
“Maksud bapak, tidak ada gadis yang bernama Suci disini…?”
“Anak muda, masuklah…” Menak Tunggoro memegang bahu
Wiro, mengajaknya masuk ke dalam dan mempersilakannya duduk di
ruangan tamu.
Wiro memandang berkeliling. Lalu berpaling pada Menak
Tunggoro. “Bapak belum menjawab pertanyaan saya tadi. Betul tak
ada…”
“Kapan kau bertemu dengan Suci? Katamu kau sebelumnya
sudah bicara dengan dia…” Menak Tunggoro memotong ucapan Wiro.
“Malam tadi. Di kedai Aki Sukri. Apakah dia tidak
menceritakan pada bapak bagaimana dirinya hampir saja jadi korban
senjata rahasia…”
“Tunggu dulu anak muda. Coba kau katakan sekali lagi! Kau
bertemu dengan Suci malam tadi di kedai Aki Sukri. Betul begitu?!”
“Betul!” jawab Wiro. Dia mulai tidak mengerti ucapan-ucapan
dan pertanyaan orang di hadapannya ini.
“Apakah sebelumnya… kau juga pernah bertemu dengan
Suci…?”
“Beberapa kali. Dia gadis hebat. Kepandaiannya luar biasa. Dia
sanggup membunuh lawan hanya dengan setangkai bunga kenanga!
Itu yang membuat saya kagum. Tidak heran kalau orang-orang
menyebutnya dengan gelaran Dewi Bunga Mayat…!”
“Hah!” Menak Tunggoro terlompat dari kursinya. “Suci…” desis
orang tua ini. “Bagaimana mungkin…?!”
“Apa yang bagaimana mungkin, bapak?” tanya Wiro pula.
“Tidak mungkin anak muda. Tidak mungkin kau telah bertemu
dengan anakku Suci. Tidak mungkin dia yang dijuluki Dewi Bunga
Mayat itu…”
“Saya tidak berdusta bapak. Atau apakah saya perlu
bersumpah?!” tanya Wiro lagi. “Saya benar-benar tidak mengerti
semua ucapan-ucapan bapak….”
“Tentu! Pasti kau tidak mengerti anak muda. Aku juga tidak
mengerti! Karena Suci anakku telah meninggal dunia tiga bulan lalu!”
“Apa?!” kini Pendekar 212 yang tersentak kaget dan terlompat
dari kursinya. “Bapak bergurau agaknya…?”
Menak Tunggoro menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangan. Kepalanya degeleng-gelengkan beberapa kali.
“Aku tidak bergurau anak muda! Aku juga tidak berdusta. Ya
Tuhan…. Mengapa semua ini bisa terjadi? Dosa apa yang aku buat
sehingga nasib anak-anakku tidak karuan begini rupa..?!”
“Bapak…” Wiro tak bisa meneruskan kata-katanya. Dia
melangkah ke pintu. “Orang tua ini mungkin saja berdalih karena
tidak suka aku menjadi suami anaknya. Tapi aku melihat keanehan
dibalik semua ini…”
Saat itu tiba-tiba Menak Tunggoro berdiri. “Anak muda, jika
kau tidak percaya mari ikut aku. Aku akan antarkan kau ke kubur
puteriku itu!”
Wiro mengerenyit. “Katakan dimana Suci dikubur kalau dia
memang betul-betul sudah meninggal dunia…”
“Di pekuburan Batuwungkur!” jawab Menak Tunggoro.
Wiro Sableng terbelalak.
“Kalau begitu memang perlu kita kesana sekarang juga
sebelum hari malam. Kau harus membuktikan. Kau harus
menunjukkan kuburnya!” Suara Wiro bergetar. Tengkuknya
mendadak saja menjadi dingin dan sekujur tubuhnya keringatan.
Ketika dia membalik mendahului keluar dari ruangan itu, dia
melihat seorang lelaki tua melangkah terbungkuk-bungkuk menuruni
tangga langkan depan rumah besar. “Orang tua itu…. Aku tahu dia
sejak tadi mendengarkan pembicaraan. Siapa dia…?” bertanya Wiro
dalam hati.
Selagi dia tegak dengan kepala penuh tanda tanya seperti itu,
Menak Tunggoro muncul diatas kereta terbuka. Dia memberi isyarat
pada Wiro agar lekas naik. Lalu setelah Wiro naik, kusir segera
mencambuk kuda penarik kereta. Saat itu sang surya bersinar merah
keemasan tanda tak lama lagi akan segera tenggelam.
* * *
Roda-roda kereta bergemeletakan ketika memasuki tanah
pekuburan Batuwungkur. “Berhenti di sini!” kata Menak Tunggoro.
Lalu turun dari kereta sementara Wiro sudah melompat duluan.
Dadanya berdebar keras seolah-olah ada sesuatu yang hendak
meledak dari dalam!
Menak Tunggoro memberi isyarat agar mengikutinya di
hadapan sebuah makam yang ditumbuhi sepokok pohon kemboja
kecil orang tua ini berhenti.
Astaga! Wiro segera mengenali, itu adalah makam dimana dia
pernah melihat Bunga berdiri lalu lenyap diantara bayang-bayang
kabut malam. Batu hitam yang pernah didudukinya juga ada disitu.
Matanya bergerak ke arah papan nisan yang mulai lapuk. Lutut
Pendekar 212 goyah ketika matanya melihat tulisan hitam
bertuliskan Suci di papan nisan itu!
“Bapak…” Wiro berpaling ke arah Menak Tunggoro.
“Kalau kau tanyakan bagaimana ini bisa terjadi akupun tak
tahu jawabannya…”
“Tapi bagaimana saya bisa percaya kalau ini benar-benar
makam Suci. Lalu siapa gadis yang saya temui selama ini…? Gadis
cantik berkebaya putih…”
“Itulah pakaian yang dikenakannya ketika dia meninggal!” kata
Menak Tunggoro. “Sesuai pesannya, dia minta agar dikubur dalam
peti dengan kebaya putih dan celana panjang putih lalu baru
digulung dengan kain kafan. Ini bukan kebiasaan menguburkan
jenazah seperti itu. Tapi Suci sendiri yang berpesan begitu…”
“Bapak… Kau mengizinkan kalau makam ini dibongkar? Saya
hanya ingin melihat bahwa jenazah didalamnya benar-benar Suci…”
“Aku tidak mengizinkan makam anakku dibongkar. Demi
Tuhan tak ada seorangpun yang boleh melakukan hal itu!” kata
Menak Tunggoro setengah berteriak.
“Kalau begitu biarlah aku pergi saja. Biar semua kejadian ini
berpangkal dan berujung pada keanehan! Kenaehan yang tidak
pernah terungkap…..”
Wiro berbalik dan ketika dia hendak melangkah didengarnya
Menak Tunggoro berkata, “ Tunggu… Aku akan panggilkan penggali-
penggali makam…!” Lalu orang tua itu berseru memanggil kusir
kereta.
Tak lama kemudian tiga orang penggali makam datang ke
tempat itu. Dua orang membawa pacul, datu membawa sendokan
besar seperti sekop. Sementara sang surya sudah hampir masuk ke
ufuk tenggelamnya. Daerah pekuburan Batauwungkur mulai
temaram.
“Lekas gali sebelum malam turun!” ujar Wiro pada tiga
penggali. Dengan tangannya ikut menyibakkan tanah galian.
Tak!
Salah satu pacul membentur benda keras.
Wiro tak tahan lagi. Dia segera terjun masuk ke dalam lobang
kubur. Sekop di tangan penggali kubur diambilnya lalu dia sendiri
melakukan penggalian dengan hati berdebar sampai akhirnya dia
melihat kayu penutup sebuah peti mati!
Dua orang penggali makam melompat ke atas. Menyusul
penggali yang ketiga. Ada satu keanehan yang membuat mereka
merasa ngeri ketika melihat penutup peti mati yang ternyata masih
dalam keadaan utuh, hanya rusak sedikit di beberapa sudut.
Kini tinggal Wiro sendirian dalam makam itu, dia mendongak
ke atas, pada Menak tunggoro.
“Bapak, izinkan saya membuka peti mati ini?!”
Menak Tunggoro tampak tegang. Lalu orang tua ini anggukkan
kepalanya.
Di dalam kubur Wiro pergunakan sekop untuk menguit tepi kiri
peti mati. Karena beberapa bagian yang sudah lapuk, tidak sulit
membuka penutup peti mati itu. Begitu peti terbuka menebarlah bau
harum bunga kenanga! Wiro seperti terpukau. Tangannya gemetar,
lututnya goyah. Dikuatkan hatinya. Dibukanya tutup peti mati itu
lebih lebar, lebih lebar hingga akhirnya tersingkap keseluruhannya!
Menak Tunggoro dan tiga penggali kubur sama-sama keluarkan
seruan tercekat. Wiro sendiri untuk beberapa lamanya tertegun
seperti patung!
Dalam peti mati yang terbuka lebar itu kini terpampang satu
keanehan luar biasa yang sulit diterima akal. Sosok mayat di dalam
peti mati itu tampak utuh seperti seorang yang sedang tidur. Dan
sosok mayat ini adalah sosok mayat Suci! Wajahnya pucat tapi
kecantikannya tetap nyata. Dia mengenakan kebaya panjang dan
celana panjang putih. Disekitarnya berserakan robekan kain kafan
yang sudah melapuk.
Yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng terbelalak adalah
ketika dia melihat bagaimana pada dada, bagian perut dan bagian
sebelah bawah kebaya putih yang dikenakan mayat Suci jelas terlihat
bekas tumpahan kopi! Kopi yang tertumpah ketika malam tadi terjadi
serangan pisau daun sirih di kedai Aki Sukri!
“Suci…” bisik Wiro. “Keanehan atau keajaiban apa yang kau
berikan padaku. Aku tak percaya bahwa kau benar-benar sudah
tiada. Kalaupun itu memang kenyataan ketahuilah bahwa dirimu ada
dalam hatiku….” Wiro merasakan kedua matanya menjadi panas.
Kalau sebelumnya ada perasaan takut berada dalam kubur itu
dan menyaksikan mayat Suci, kini semua rasa takut itu lenyap tidak
berbekas. Diangkat tangannya, dipegangnya tangan Suci yang
bersilang di atas perut. Lalu ditundukkannya kepalanya untuk
mencium kening dan kedua pipi Suci. Terakhir sekali dikecupnya
bibir mayat itu. Lalu terdengar suara isaknya. Inilah untuk pertama
kali dalam hidupnya Pendekar 212 menangis, sementara empat orang
di atas sana tampak bergidik melihat apa yang tadi dilakukan
pemuda itu.
“Suci…” Wiro berbisik ke telinga mayat. “Aku akan pergi.
Tidurlah dengan tenang. Bagiku kau tak pernah mati. Aku membawa
cinta kasih kita yang berpadu rindu dalam diri ini kemanapun aku
pergi. Kalau aku rindu akan kucium bunga kenanga yang ada dalam
sakuku. Aku pergi Bunga… Aku pergi Suci…”
Wiro Sableng usap kedua matanya lalu tutupkan penutup peti
mati. Perlahan-lahan dia naik ke atas. Ketika sampai di atas hari
sudah gelap. Tiga penggali makam kembali bekerja. Kali ini untuk
menimbun tanah kubur yang tadi digali. Ketika pekerjaan itu selesai,
Menak Tunggoro memegang bahu sang pendekar lalu berkata.
“Sekarang kau melihat sendiri kenyataan ini, anak muda.
Kenyataan yang kita semua tak akan bisa mengerti. Inilah kekuasaan
Gusti Allah…” Orang tua itu diam sesaat. “Aku akan segera kembali
ke Sleman. Kau ikut…?”
“Terima kasih. Saya akan tetap disini malam ini…” jawab Wiro
pula.
Menak Tunggoro diikuti tiga penggali makam tinggalkan tempat
itu. Kini tinggal Wiro sendirian, tegak termangu di hadapan Suci.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara bergemerisik di sebelah kiri.
Sekali lompat saja murid Sinto Gendeng ini berkelebat ke arah
setumpukan semak belukar.
“Ampun! Jangan pukul diriku!” terdengar suara orang
berteriak. Wiro cekal leher pakaian orang itu. Ternyata dia adalah
orang tua bungkuk yang dilihat Wiro di gedung kediaman Menak
Tunggoro.
“Apa yang kau lakukan disini?!” bentak Wiro antara marah dan
heran. “Kau sengaja memata-matai diriku! Siapa yang menyuruh?!”
“Aku… Aku tidak memata-mataimu… juga tak ada yang
menyuruh…” berkata orang tua itu.
“Lalu apa maksudmu mengikut sampai kesini, sembunyi
dibalik semak belukar…?”
“Aku… aku bermaksud baik, anak muda. Ada sesuatu yang
ingin kuceritakan padamu. Aku… aku merasa kasihan padamu…”
“Tambah satu lagi keanehan di tempat ini!” ujar Wiro. “apa
yang hendak kau ceritakan padaku, orang tua?”
“Tentang riwayat orang yang kau cintai itu…”
Wiro pandang wajah tua keriput itu sesaat lalu berkata, “Kalau
kau memang punya cerita, ceritakanlah…”
“Aku bekerja sebagai pelayan di rumah Raden Menak Tunggoro
sejak lima puluh tahun lalu. Apa yang terjadi di rumah besar itu
kuketahui semuanya. Juga tentang kematian Suci tiga bulan yang
lalu. Dia mati tidak wajar….”
“Tidak wajar bagaimana?”
“Suci yang malang itu mati diracun oleh Sadewo atas suruhan
Suntini, adiknya sendiri…”
Tentu saja Wiro jadi terkesiap mendengar keterangan itu.
Untuk beberapa lamanya dia tidak bisa berkata apa-apa sampai si
orang tua bungkuk meneruskan ceritanya.
“Sebenarnya Suci bukan anak kandung Raden Menak
Tunggoro. Dia adalah anak pungut karena selama enam tahun kawin
Raden Menak Tunggoro tidak dapat anak dari istrinya. Tapi setelah
satu tahun mengambil Suci jadi anak angkat, tahu-tahu istrinya
mengandung. Lalu lahirlah Suntini. Kedua kaka beradik tiri itu sama-
sama menjadi dewasa dengan kenyataan bahwa Suci jauh lebih
cantik dari adik tirinya.”
“Sebagai remaja puteri, Suci memiliki seorang kekasih yaitu
Sadewo. Celakanya, Sadewo ini dicintai setengah mati oleh Suntini.
Untuk merusak hubungan Suci dengan Sadewo, Suntini lalu
menceritakan siapa sebenarnya Suci. Pemuda itu ternyata menjadi
bimbang dan akhirnya tenggelam dalam rayuan Suntini yang
memang seorang gadis licik. Untuk menyingkirkan Suci maka Sadewo
disuruhnya meracun Suci dengan janji bahwa jika mereka kawin
nanti setengah dari kekayaan ayahnya akan diserahkan pada
Sadewo. Dan Sadewo lalu meracun Suci. Itu terjadi tiga bulan lalu….”
“Nah, itulah yang bisa kuceritakan padamu anak muda. Apa
yang terjadi selanjutnya kau sendiri sudah tahu…. Selamat tinggal
anak muda. Aku harus pergi sekarang…”
“Terima kasih orang tua. Keteranganmu sangat berharga
bagiku…” jawab Wiro lalu memutar tubuhnya dan duduk di atas batu
hitam di samping makam.
Angin malam bertiup dingin. Kegelapan semakin memekat.
Pendekar 212 duduk tak bergerak. Di telinganya terngiang kembali
kata-kata balasan yang diucapkan Suci….
“Aku berjanji Bunga. Demi cintaku padamu…”
“Dan cintaku padamu…”
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar