Rabu, 01 Februari 2012

056. MISTERI DEWI BUNGA MAYAT

56. MISTERI DEWI BUNGA MAYAT
SATU
DI DALAM KEDAI yang  tak seberapa  besar itu hawa terasa
hangat dan pengap padahal di luar hujan rintik-rintik dan angin
bertiup cukup keras. Pendekar 212 Wiro  Sableng  seharusnya  sudah
sejak tadi meninggalkan kedai dengan perut kenyang. Namun seorang
dara berwajah manis yang  setiap mata lelaki tak  mau berkesip
memandangnya, membuat murid Sinto Gendeng itu tak beranjak dari
bangku yang didudukinya.
Si jelita itu makan dengan tenang di sudut kedai. Kepalanya
hampir selalu tertunduk. Namun dari  tempatnya duduk Wiro bisa
melihat  hampir keseluruhan wajah yang  cantik itu. Sang dara
mengenakan pakaian putih sebentuk kebaya panjang dengan kancing
besar-besar yang tebuat dari kain putih. Dia tidak mengenakan kain
panjang sebagaimana biasanya  orang memakai kebaya, tetapi
mengenakan sehelai celana panjang  sebatas  betis juga berwarna
putih. Sebagian betisnya yang  tersembul tampak  kukuh walaupun
tidak menyembunyikan kemulusan dan kelembutan serta keputihan
sebagai betis seorang dara.
Di luar kedai udara malam terasa dingin dan suasana  tampak
tenang  sunyi. Namun jika kita memalingkan kepala kea  rah pohon
besar di halaman sebelah kedai, tampaklah empat orang lelaki muda
mendekam  dalam  gelap bebayangan pohon, duduk tak  bergerak di
atas kuda masing-masing. Seekor kuda putih tertambat tak jauh dari
sana. Lalu masih ada seekor kuda lagi di samping  kedai yang  tidak
terikat dan berjalan perlahan-lahan mencari rerumputan.
“Sudah kukatakan sebaiknya kita masuk saja  ke dalam kedai
itu. Kita tak tahu  sampai berapa  lama dia  berada  disana sementara
kita kedinginan disini…” salah seorang  pemuda penunggang kuda
membuka mulut.  
“Gandring! Jangan bicara tolol!” temannya  membentak
perlahan. “Aki Sukri pemilik  kedai itu  kenal kita. Apa kau mau
mencari penyakit kalau kemudian dia bertindak menjadi saksi?!”
Gandring yang dibentak  diam saja.  Seorang  kawan yang  lain
berkata  sambil menyeringai, “Kenapa udara  dingin jadi  persoalan?
Bukankah nanti kita  semua bisa  berhangat-hangat dengan si  jelita
itu?!”
“Sebenarnya siapakah calon korban kita kali ini?!“  bertanya
lelaki ke empat  yang duduk di  punggung kuda sambil menghisap
sebatang rokok kawung.
“Soal siapa dia atau  siapa  namanya  kurasa tidak  perlu. Yang
penting,  sore tadi kita  sudah melihat bagaimana wajahnya  secantik
bidadari. Kulitnya  kuning  mulus  seperti kulit puteri kerajaan. Lalu
pinggangnya yang ramping sedang dada serta pinggulnya yang begitu
besar…!”  Pemuda  yang bicara ini membasahi bibirnya  dengan ujung
lidah sementara tenggorokan  tiga kawannya tampak bergerak-gerak
tanda mereka  sama  menelan air liur. “Seperti biasa, aku  pemimpin
diantara kita berempat. Jadi pantas kalau nanti aku yang lebih dulu
menikmatinya. Ha…ha…ha…!”  Pemuda itu tertawa  perlahan
sementar tiga kawannya tampak merengut.
“Jumpadi… Kau selalu mementingkan diri sendiri. Dalam
segala  hal selalu ingin duluan, dalam  pembagian selalu ingin lebih
besar. Sekali-sekali  kami anak buahmu pantas  juga mendapat
perolehan lebih besar dan tidak cuma mendapatkan bekasmu!”
Pemuda  bernama Jumpadi berpaling. “Bladu…! Kau rupanya
punya niat hendak mengambil kedudukan pimpinan dari tanganku?!”
bertanya  Jumpadi  dengan mata melotot. Yang ditanya  diam  saja.
Jumpadi meneruskan, “Aku sudah berapa kali mengatakan. Jika ada
di antara kalian  ingin jadi  pimpinan rombongan kita  silakan saja.
Tapi harus melewati  mayatku lebih dulu. Jika ada yang  tidak  suka
dan ingin mengundurkan diri, juga  aku persilakan. Satu pergi ada
sepuluh orang yang ingin bergabung denganku!”
“Sudahlah, kenapa kalian jadi bertengkar. Lihat ke  kedai. Ada
orang  melangkah  keluar!” berkata pemuda  bernama  Ambalit.
Mendengar ucapannya itu tiga pemuda lainnya serta merta palingkan
kepala ke  arah   pintu kedai.  Di ambang  pintu  yang masih terkena
cahaya  lampu minyak dari dalam kedai  kelihatan melangkah  keluar
seorang berpakaian serba putih.
“Memang dia  yang  kita tunggu-tunggu!” kata Jumpadi. Lalu
pada ketiga temannya  dia berkata, “Kita tetap tenang saja. Jangan
memperlihatkan sikap  yang  mencurigakan. Tunggu sampai dia naik
ke atas  kudanya dan  pergi. Jika aku  bergerak  baru kalian  ikut
bergerak. Awas, jangan berani mendahuluiku!”
Empat pasang  mata  memperhatikan dara berpakaian putih
keluar dari dalam kedai, melangkah ke arah kudanya yang tertambat
di halaman depan. Dia melangkah seperti tidak melihat ada  empat
penunggang  kuda mendekam  di bawah pohon besar  yang  gelap.
Dengan tenang dia  melepaskan tambatan kudanya  lalu naik ke  atas
punggung binatang berwarna putih ini.
Sesaat setelah sang dara  berlalu  baru  Jumpadi menarik tali
kekang  kuda tunggangannya.  Tiga  kawannya  langsung membedal
kuda masing-masing.
Di pintu pondok Pendekar  212 Wiro  Sableng  sempat  melihat
gerakan empat penunggang kuda itu. Selain dia sendiri memang ingin
mengikuti gadis  berkebaya  putih tadi, empat  orang  lelaki
penuunggang  kuda yang  barusan berlalu membuat  hatinya jadi
curiga. Wiro  memandang berkeliling.  Celakanya  dia  tidak  memiliki
kuda.  Bagaimana harus mengejar orang-orang  itu? Ketika dia
memandang  berkeliling sekali  lagi, dilihatnya ada  seekor kuda di
halaman samping tengah asyik merumput di kegelapan malam.
Tanpa pikir panjang  lagi Wiro langsung menghampiri binatang ini,
mengusap tengkuknya lalu melompat ke atas punggungnya.
Di saat yang bersamaan dari pintu  kedai keluar Aki Sukri  
pemilik kedai yang  sekaligus si empunya kuda. Melihat kudanya
dibedal orang diapun berteriak sambil mengejar. “Hai! Kudaku!
Jangan kau larikan! Maling….! Pencuri kuda!”
“Aku tidak mencuri! Aku hanya meminjam  kudamu!” teriak
Wiro lalu menghambur lenyap di kegelapan malam.
Aki Sukri yang  sudah tua tentu saja tak  mungkin mengejar.
Marah dan penasaran  dia  mengambil batu dan melempar  ke  arah
Wiro. Tapi yang dilempar sudah menghilang di kejauhan.
Gadis  berpakaian putih itu meskipun tahu ada  orang-orang
mengejarnya tetap saja menunggangi kuda dengan sikap tenang
bahkan seperti santai. Dalam waktu cepat empat pemuda itu berhasil
mendekatinya. Saat itulah sang  dara menyentakkan tali kekang
tunggangannya. Kuda putih itu laksana anak panah melesat dari
busurnya, melompat sebat meinggalkan para pengejar. Empat
pemuda  jadi penasaran. Mereka memacu kuda,  meneruskan
pengejaran sekencang-kencangnya. Hampir keempatnya mendekati si
gadis dan mencapai kuda   putih itu, tiba-tiba si  gadis kembali
menggebrak  tunggangannya  meninggalkan empat pemuda  jauh di
belakang.
“Kurang  ajar!” maki Jumpadi. Pemuda  ini kenal betul seluk
beluk jalan yang  ditempuhnya, termasuk  daerah sekitar  situ. Maka
diapun berteriak  pada tiga kawannya, “Gadis itu sengaja
mempermainkan  kita! Ambil jalan sebelah kanan. Kita pasti bisa
memotong jalannya sebelum dia mencapai jembatan bambu di Kali
Wates!”
Maka empat kuda  itu tampak membelok ke kanan, menyusuri
kaki bukit kecil terus menuju selatan.  Dalam waktu singkat mereka
berhasil mencapai jembatan bambu yang dikatakan Jumpadi tadi. Di
sini mereka berjejer  dua di sisi kiri, dua  di sisi kanan. Sebentar lagi
dara berbaju putih itu pasti akan muncul.
Di kejauhan memang  terdengar suara  kaki  kuda dipacu
mendatangi. Sesaat kemudian tampak  penunggang berpakaian  putih
tapi kudanya berwarna coklat kehitaman.
“Bangsat! Bukan dara itu!” kertak Jumpadi  marah. Yang
muncul ternyata adalah seorang pemuda berpakaian putih, berambut
gondrong dan bukan lain  adalah murid Sinto  Gendeng!   Ketika
Jumpadi  hendak memaki  lagi, di  belakang mereka terdengar suara
kuda meringkik.
Heran tapi juga terkejut Jumpadi dan tiga kawannya palingkan
kepala. Astaga! Apa yang mereka lihat! Di jalan di seberang jembatan
bambu tampak  seekor kuda  putih dan penunggangnya tegak
membelakangi.
“Itu dia!” seru Ambalit.
“Aneh! Bagaimana  mungkin dia sampai di seberang sana  lebih
dulu dari kita?!” Jumpadi berkata penuh heran.
“Jumpadi, lihat! Gadis itu mengunggangi  kudanya perlahan-
lahan. Seperti sengaja menunggu kita!” berkata Bladu.  
“Dia bukan menunggu, tapi benar-benar mempermainkan kita!”
ujar Gandring.
Rahang  Jumpadi menggembung. “Saat ini dia bisa
mempermainkan  kita. Tapi lihat  nanti! Nanti aku yang akan
mempermainkannya sampai dia menjerit minta ampun!”
Habis  berkata  begitu Jumpadi menggebrak  kudanya. Tiga
pemuda  lainnya menyusul mengejar.  Dan di belakang  mereka
Pendekar 212 Wiro Sableng kembali mengikuti. Celakanya kuda yang
ditunggangi Wiro tidak mampu berlari cepat dan dalam perjalanannya
sudah beberapa kali membuang kotorannya.
“Binatang sontoloyo!” maki Wiro. “Kotoranmu saja yang banyak.
Larimu seperti siput!”
*  *  *
KEJAR MENGEJAR ANTARA dara berbaju dan berkuda putih
dengan empat pemuda itu berlansung terus hampir sepeminuman teh
sementara dengan kuda bututnya Wiro masih terus mengikuti walau
tertinggal jauh di belakang.
“Jumpadi, lihat!” Gandring tiba-tiba berseru. “Gadis  yang  kita
kejar itu mengambil jalan ke kanan, mengarah ke bukit!”
“Kalau dia menuju ke sana  memangnya mengapa?!”  sentak
Jumpadi  yang saat  itu tengah jengkel karena masih belum berhasil
mendekati apalagi menangkap dara yang tengah mereka kejar.
“Itu jalan menuju pekuburan Batuwungkur!” menyahuti
Gandring.
“Ke  nerakapun aku akan tetap mengejarnya!” kata Jumpadi
pula.  “kalau kau dan  yang lainnya  merasa takut, kembali saja!  Biar
aku sendiri meneruskan pengejaran! Tapi awas!  Jangan nanti kalian
ribut-ribut karena  tidak mendapat  bagian!”  Lalu Jumpadi
menggebrak kudanya agar lari lebih kencang.
Batuwungkur memang sebuah daerah pekuburan yang terletak
di sebuah bukit yang cukup tinggi. Walaupun hari malam dan hujan
turun rintik-rintik saat itu, namun  karena pekuburan merupakan
kawasan yang terbuka, dengan jelas tampak dara berbaju putih
bersama kudanya berhenti di salah  satu bagian pekuburan,
menghadap ke  arah utara dari  mana para  pengejarnya  akan segera
muncul. Tak  lama  kemudian  empat pemuda  itu sudah kelihatan  di
arah masuk pekuburan.
Sang  dara mengelus kepala  kuda  putihnya beberapa  kali  lalu
berbisik,  “Kuda, kau pergilah.  Aku kedatangan tamu yang  harus
kulayani sebaik-baiknya…”
Kuda  putih itu seolah mengerti, geserkan pipinya ke  tangan
sang  dara  lalu tinggalkan tempat itu. Saat itu udara  di bukit dingin
sekali. Di beberapa bagian tampak kabut menutupi pemandangan.
Tak  lama kemudian empat pemuda  pengejar  sampai di
pekuburan Batuwungkur. Sesaat  mereka berhenti di  arah jalan
masuk dan memandang ke depan.
“Gadis itu jelas  menuju ke    pekuburan ini!” desis  Jumpadi.
“Tapi aneh orang  dan kudanya sama sekali  tidak kelihatan…?! Tak
mungkin dia bersembunyi. Sama sekali tak ada tempat untuk
berlindung…”
Jumpadi memandang pada tiga temannya lalau berkata, “Ikuti
aku…”
Dengan perlahan-lahan ke empat orang  itu memasuk daerah
pekuburan. Jumpadi di sebelah depan, tiga kawannya  mengikuti
dengan rasa was-was. Sampai di  bagian tengah  pekuburan masih
belum terlihat orang yang mereka cari.
Kabut di sebelah timur bukit  perlahan-lahan turun ke  tanah.
Saat itulah keempat pemuda tadi sama melihat dara berbaju putih itu
duduk di atas sebuah batu, di bawah sebatang pohon kemboja kecil.
Disampingnya ada sederetan makam.  Makam yang  paling  dekat
sudah sangat rusak kayu  nisannya  sehingga tak bisa terbaca siapa
nama penghuninya.
“Jumpadi… Gadis  itu ada  di sebelah sana. Duduk  di bawah
pohon kemboja…” bisik Bladu.
“Aku sudah melihatnya!” jawab Jumpadi. Lalu tidak  seperti
kawan-kawannya yang  merasa was-was, dengan  hati yang sudah
terbakar nafsu dia membawa  kudanya ke arah gadis berbaju putih
duduk di bawah pohon. Tiga pemuda  lain sesaat saling pandang.
Akhirnya ketiganya bergerak juga mengikuti.
Pada saat itulah terdengar suara orang menyanyi. Nyanyian itu
seperti  datang  dari kejauhan  tetapi cukup  jelas  masuk ke  dalam
telinga empat pemuda tadi.
Jika hidup di dunia tidak berguna
Kematian memang lebih pantas bagi manusia
Ada yang mati karena nasib sengsara
Tapi banyak yang mati karena sengaja mencari sengsara
Jumpadi  dan kawan-kawannya terhenti sesaat begitu
mendengar suara nyanyian itu.
“Siapa yang menyanyi…?” bisik  Ambalit.
“Itu suara perempuan. Mungkin gadis  yang  duduk dekat
makam  itu yang menyanyi…”  menyahuti Bladu. Suaranya bergetar
tanda ada rasa takut dalam dirinya.
“Tak ada setan di sini! Yang menyanyi jelas dara berbaju putih
itu!” ujar Jumpadi lalu kembali bergerak ke arah gadis yang duduk di
atas batu, tidak menmperdulikan ucapan Gandring yang mengatakan
bahwa dia tidak melihat kuda putih milik gadis itu.
“Tidak disangka! Kau bukan saja cantik jelita tapi ternyata juga
pandai menyanyi…” Jumpadi berucap begitu sampai di hadapan sang
dara yang  duduk membelakanginya.  Punggung dan pinggulnya
tampak lebar sementara  pinggangnya begitu tamping. Rambutnya
yang panjang tergerai lepas di bahu.
Tanpa berpaling  terdengar si gadis bertanya, “Kau suka
nyanyianku tadi rupanya…?”
“Tentu saja! Siapa orangnya yang tidak suka mendengar suara
semerdu buu perindu dari seorang jelita secantik bidadari…!”
“Ah, apakah kau pernah melihat bidadari…?” bertanya si gadis
masih tidak memalingkan kepala ataupun memutar duduknya.
“Belum. Tapi  jika memang ada  aku yakin bidadari itu secantik
dirimu. Namaku Jumpadi. Siapakah namamu…?”
“Kau sudah menganggap aku bidadari. Panggil saja aku dengan
nama  itu. Hai… tadi kau bilang  suka mendengar nyanyianku. Apa
kau ingin mendengarkannya sekali lagi…?”
Jumpadi memandang pada tiga kawannya yang saat itu sudah
berjejer  di sampingnya. “Tentu… tentu  saja aku suka mendengar
nyanyianmu tadi.”
“Hanya kau sendiri? Bagaimana  dengan tiga  kawanmu
lainnya?”
Jumpadi  menoleh  pada tiga  kawannya dan menganggukkan
kepala memberi isyarat. Maka Bladu, Ambalit, dan Gandring
langsung menjawab, “Kami  bertiga juga  ingin mendengar  suara
merdu nyanyianmu tadi…”
“Bagus. Jangan cuma mendengarkan saja tapi juga coba kalian
resapi makna nyanyian itu…” berkata gadis baju putih. Lalu kembali
dia menyanyi seperti tadi.
Jika hidup di dunia tidak berguna
Kematian memang lebih pantas bagi manusia
Ada yang mati karena nasib sengsara
Tapi banyak yang mati karena sengaja mencari sengsara
Begitu suara nyanyian sirap,  tempat itu berada dalam
kesunyian sebelum  tiba-tiba kembali terdengar suara sang  dara
berkata.
“Kalian sudah mendengar nyanyianku.  Sekarang katakan  apa
maksud kalian mengejarku dan menemuiku di tempat ini…”
“Ah…hem… Kami  empat pemuda yang suka bersedekah,
memberi derma  pada sesama, terutama pada gadis secantikmu ini…”
jawab Jumpadi sambil menyeringai.
“Maksudmu..?”
“Maksudku kami suka sekali  memberi sedekah kenikmatan
hidup. Itulah sebabnya kami mengejarmu…”
“Hem… begitu?  Kenikmatan hidup  macam apa  yang kau
maksudkan? Bicaralah yang jelas agar aku mengerti…”
“Aku dan kawan-kawan akan membawamu ke satu tempat
yang indah…”  
”Tempat yang  indah?  Apakah  tempat ini  menurut  kalian  tidak
indah? Cobalah kalian memandang berkeliling!”
Jumpadi  dan kawan-kawannya jadi  tercekat mendengar kata-
kata si gadis itu. Bladu lalu membuka mulut.
“Tempat indah yang  kamu maksudkan itu bukan  di sini. Tapi
satu tempat dimana kita bisa bersenang-senang…”
Saat itu Jumpadi  sudah turun dari kudanya dan melangkah
mendekati.
Tiba-tiba terdengar suara si gadis tertawa. Tawa yang membuat
Jumpadi hentikan langkahnya.
“Bersenang-senang… Manusia selalu  ingin bersenag-senang.
Walau terkadang tidak sadar bahwa dibalik kesenangan itu
bersembunyi kesengsaraan…”
“Ah, kami tidak akan menyengsarakan gadis  secantikmu,
bidadariku…” ujar Jumpadi pula.
Lalu dengan  satu gerakan kilat  dan  tiba-tiba  pemuda ini
tusukkan  dua jari tangan kanannya  untuk menotok punggung sang
dara. Namun mendadak Jumpadi keluarkan seruan tertahan. Satu
hawa  yang mengandung  kekuatan aneh seperti  mendorong tangan
kanannya sehingga dia tidak mampu melakukan totokan. Pemuda ini
tidak mampu melakukan  totokan. Pemuda  ini lantas  kerahkan
tenaga. Akibatnya  kii bukan  saja tangannya yang terpental  tapi
tubuhnya juga terdorong sampai  dua  langkah. Sementara sang  dara
sendiri kembali perdengarkan suara tertawa. Lalu perlahan-lahan dia
berdiri dari batu yang didudukinya, muemutar  tubuh menghadapi
Jumpadi  dan tiga  kawannya yang  masih berada di atas punggung
kuda masing-masing.
Sikap sang dara yang tegak dengan kaki terkembang  dan
tangan diletakkan  di pinggangnya,  membuat empat  pemuda  itu
tambah blingsatan. Ambalit dan dua kawannya segera melompat
turun dari kuda mereka.
“Betulkah kalian hendak bersenang-senang bersamaku..?” tiba-
tiba sang  dara ajukan  pertanyaan blak-blakan yang  membuat
pemuda  itu jadi  terbeliak, dan lebih terbeliak lagi ketika  mereka
melihat  bagaimana  jari-jari tangan kiri sang dara membuka  dua
kancing teratas  kebaya putihnya. Kelihatanlah dadanya yang  putih
membusung. Jumpadi yang berdiri  paling depan malah bisa melihat
celah diantara kedua payudaranya yang ketat.
Menghadapi hal yang  tidak terduga yaitu bahwa ternyata sang
dara mengerti maksud mereka malah kini siap membuka pakaiannya,
Jumpadi memberi isyarat pada tiga kawannya.  
“Kalian bertiga  tunggu di tempat jauh…”  Tapi tiga pemuda
hanya melangkah mundur sejauh dua tombak.
Jumpadi  berpaling  pada sang  dara kembali dan berkata, “Jika
bidadariku sudah mengerti maksud kami, disinipun kita  bisa
bersenang-senang. Bukankah katamu tadi tempat ini juga indah…?”
Sang dara tersenyum dan anggukkan kepala.
Jari tangannya membuka kancing  ketiga. Jumpadi merasa
seperti  dipanggang  nafsu. Tangannya  bergerak hendak meraba dada
gadis di  depannya  tapi si  gadis  mundur  seraya  berkata, “Tunggu…
Tidakkah kau mencium bau sesuatu…?”
Jumpadi  mengendus. Lalu gelengkan kepala. “Bau apa?  Aku
tidak mencium  bau apa-apa..!”  jawabnya sementara  kedua matanya
tidak lepas dari dada yang tersingkap.
“Cobalah mengendus lebih dalam…” bisik si gadis dengan suara
lirih yang membuat Jumpadi jadi luruh tapi juga tambah bernafsu.
Jumpadi  mendongak ke  atas  lalu  mencium lama-lama dan
dalam-dalam. Ketika kepalanya  diturunkan dia  berkata, “Ya… aku
mencium sesuatu. Bau… bau… bunga…”
“Ah, penciumanmu  ternyata  tajam.  Tapi bau bunga  apa?
Dapatkah kau mengatakannya…?”
“Itu bau bunga… bunga kenanga!”
“Kau betul! Kau menyebutnya bunga  kenanga. Aku
menyebutnya bunga orang mati. Bunga mayat!”
Habis  berkata begitu sang dara  keluarkan tawa. Mula-mula
perlahan tapi lama-lama semakin keras.
Di hadapannya,  Jumpadi yang  sudah kelangsangan menahan
nafsu kembali mendekat dan berbisik, “Bidadariku, mari kita pindah
ke bawah pohon di sebelah sana. Di situ tanahnya lebih rata…”
Sang  dara tersenyum dan menggeliat. Gerakan tubuhnya  ini
membuat  bajunya yang tidak terkancing tambah tersingkap lebar.
Jumpadi  tak tahan lagi. Serta merta saja tubuh gadis itu
diterkamnya. Jumpadi yang  dilanda  nafsu sama sekali tidak melihat
bagaimana wajah cantik jelita yang  tadi  tersenyum kini tiba-tiba
berubah. Senyum lenyap dan wajah itu kini membersitkan
kebengisan luar biasa! Senyum berubah dengan seringai maut!
Hampir  tak kelihatan gadis itu gerakkan tangan kanannya.
Sebuah benda  berwarna kuning  melesat. Bau bunga  kenanga  yang
sangat tajam menebar di  udara malam.  Lalu terdengar pekik
Jumpadi!
*  *  *
PEMUDA BERNAMA  JUMPADI itu  roboh ke  tanah dan  tak
berkutik lagi. Tiga kawannya berteriak kaget lalu sama-sama
memburu. Dan bergidiklah mereka melihat apa yang terjadi. Jumpadi
menggeletak melintang  di atas  makam. Dia  telah jadi  mayat.
Mukanya berlumuran darah. Kedua matanya  mencelet. Diantara
lumuran darah itu tampak menancap  sekuntum bunga  kenanga
kuning. Dan disaat itu pula  udara di  situ dibuncah oleh bau bunga
kenanga!
Ambalit, Gandring, dan Bladu  memandang melotot  ke  arah
dara berbaju putih. Si gadis  tegak dongakkan kepala. Dari  sela
bibirnya yang merah mendesau suara tawa. Mula-mula perlahan lalu
makin keras dan panjang. Meski jelas yang berdiri di hadapan mereka
adalah seorang gadis cantik jelita namun saat itu tiga pemuda tadi
merasakan bulu tengkuk berdiri dan mereka  seperti melihat setan
kepala tujuh!
“Dewi Bunga Mayat!” teriak mereka bersamaan. Lalu serentak
ketiganya melompat jauh dan putar tubuh ambil langkah seribu.
Di belakang  mereka terdengar  suara tertawa panjang. “Kalian
hendak  lari kemana?  Mengapa  lari…? Bukankah maksud kalian
hendak bersenang-senang bersamaku malam ini? Hik…hik…hik…!”
Mendengar ucapan itu, tiga  pemuda  sama  lari tunggang
langgang. Tapi baru  lari beberapa belas langkah tahu-tahu ada
bayangan menyambar  di hadapan mereka dan dara berbaju kebaya
putih itu tiba-tiba  sudah menghadang  sambil terus  keluarkan  suara
tertawa cekikikan.
“Dewi Bunga Mayat! Maafkan kami! Ampuni selembar nyawa
kami!” berkata Ambalit seraya jatuhkan diri berlutut.
“Benar  Dewi, ampuni dosa  kami! Kami  tidak tahu kalau  kau
adalah Dewi Bunga Mayat…” berkata pula Bladu seraya jatuhkan diri
sementara Gandring  ikut-ikutan berlutut tapi tak  mampu keluarkan
kata-kata hanya manggut-manggut dengan mata melotot.
“Ha…ha…! Kalian minta ampun setelah nama kalian tertera di
pintu akhirat! Terlambat… terlambat!“ ujar dara berbaju putih yang
dipanggil  dengan  sebutan Dewi Bunga  Mayat. “Bersiaplah untuk
menerima kematian!”
“Dewi, jangan!” ratap Ambalit.
Saat itu sang dewi sudah angkat tangan kanannya.
“Kawan-kawan!”  tiba-tiba Gandring  berkata, “daripada  mati
percuma lebih baik berusaha mempertahankan hidup!” Lalu pemuda
ini keluarkan goloknya. Dua kawannya yang tadi sudah merasa tidak
punya harapan hidup lagi, melihat apa yang dilakukan Gandring jadi
muncul keberaniannya dan segera  pula mencabut  senjata masing-
masing. Bladu menghunus sebilah keris sedang Ambalit mencabut
sebatang besi yang ujungnya penuh tonjolan runcing seprti penggada.
“Ha…ha…!  Kailan pemuda-pemuda  pemberani! Majulah
berbarengan agar  cepat aku membereskan kalian!” seru Dewi Bunga
Mayat.
Ambalit, Bladu dan Gandring melompat  menyergap. Tiga
senjata berkelebat. Saat itu justru terdengar suara orang membentak.
“Manusia-manusia  pengecut! Terhadap  seorang dara kalian
berani main keroyok!”
Satu bayangan berkelebat. Gandring terdorong  hampir jatuh.
Bladu terpelintir sempoyongan sedang Ambalit menggerung kesakitan
sambil pegangi bibirnya yang pecah terkena jotosan keras. Lima
giginya rontok!
Dewi  Bunga Mayat yang barusan hendak menghantamkan
tangan kanannya hentikan gerakan  dan mundur dua langkah.  Di
hadapannya  tegak seorang  pemuda  berambut gondrong. Pemuda
inilah yang  tadi membuat dua  orang penyerangnya  terpelanting  dan
seorang lagi pecah mulutnya. Dewi Bunga Mayat ingat, pemuda ini
adalah yang ada dalam kedai yang selalu memperhatikanya. Dia tidak
ada  sangkut  paut dengan pemuda  itu  dan merasa jengkel karena
berani mencampuri urusannya. Sebelum sang  dewi sempat
membentak si gondrong telah lebih  dulu menjura seraya  berkata,
“Maafkan kalau aku membuatmu marah. Aku tidak bermaksud
mencampuri urusanmu. Aku hanya tidak suka melihat tiga pengecut
ini mengeroyokmu!”
“Kalaupun mereka mengeroyokku apa  kau kira mereka  bisa
mengalahkanku?!  Menyentuh  tubuhku sajapun mereka tidak bakal
mampu! Lalu apa pasalmu masuk dalam kalangan perkelahian?!”
Wiro tak bisa menjawab dan hanya garuk-garuk kepala.
“Menyingkirlah! Atau  kaupun ingin kubunuh bersama  tiga
pemuda laknat itu?!” sentak Dewi Bunga Mayat.
“Ah, aku bukan orang  yang termasuk dalam nyanyianmu! Aku
bukan  manusia mencari  sengsara!”  jawab Wiro lalu cepat-cepat
mengundurkan diri menjauh.
“Apakah kalian sudah siap untuk mampus?!” Dewi Bunga
Mayat membentak.  
Tiga pemuda yang sudah lumer nyalinya apalagi yang bernama
Ambalit yang  cidera berat mulutnya, tanpa  tunggu lebih lama  lagi
segera putar tubuh ambil langkah seribu.
Sang dara tertawa tinggi. Ketika tawa itu lenyap dan wajahnya
berubah bengis, bersamaan dengan  itu Wiro melihat tangan
kanannya bergerak tiga  kali  berturut-turut. Bau harum  bunga
kenanga bertebar  di udara malam. Tiga  benda  melesat di kegelapan
malam. Di depan sana  tiga  pemuda yang  menyelamatkan diri
terdengar  menjerit  lalu roboh malang melintang di  atas tanah
kuburan. Tak  satupun yang berkutik dan bernafas lagi. Mereka
menemui ajal dengan punggung, tengkuk, dan batok kepala ditancapi
bunga kenanga alias bunga mayat!
Pendekar 212  leletkan lidah, memandang  ternganga    ke arah
gadis berbaju  putih itu. Tiba-tiba dia jadi tergagap  ketika sang dara
berpaling ke arahnya seraya mengangkat tangan.
“Sekarang kau juga harus bersiap menerima kematian pemuda
gondrong! Susul kawan-kawanmua itu!”
“Hei! Tunggu!” seru Wiro seraya  mundur dua langkah. “Aku
bukan komplotan empat pemuda yang barusan kau bunuh!”
“Siapa percaya pada  dirimu?!” Dewi Bunga Mayat menghardik
sambil memandang melotot.
“Aku tidak  suruh kau percaya! Tapi  aku bicara sejujurnya!”
ujar Wiro  dan balas  melotot.  Dua  pasang mata yang  sama-sama
melotot saling beradu pandang. Sang dewi angkat tangan kanannya.
*  *  *
WAJAH  YANG CANTIK jelita  itu berubah menjadi bengis.
Pendekar 212 Wiro Sableng tahu apa artinya ini. Maut! Namun entah
mengapa dia tidak berusaha menyelamatkan diri dengan menyingkir
atau melompat. Juga  sama sekali tidak  mengerahkan tenaga  dalam
dan menyisipkan pukulan sakti untuk menghadapi serangan lawan
yang  mematikan. Murid Sinto Gendeng  ini berdiri tidak  bergerak
seolah-olah pasrah. Hanya sepasang matanya yang membesar
memandang  tak berkesip  tepat-tepat  ke  dalam mata gadis  di
hadapannya.
Dewi Bunga Mayat merasakan ada hawa aneh yang menyambar
dari sepasang mata  pemuda di  hadapannya, masuk ke dalam
tubuhnya lewat  sepasang matanya sendiri dan membuat getaran-
getaran aneh di dadanya. Semakin dia memandang  marah pada
pemuda itu, semakin tidak keruan jantungnya.
“Aneh…! Apa yang terjadi dengan  diriku?! Mengapa aku hanya
mampu menunjukkan sifat  keras  tetapi hati kecilku sendiri tidak
berkata  begitu.  Sepasang  matanya  itu… aku tak  sanggup
memandangnya. Siapa pemuda ini sebenarnya…!” Rentetan kata-kata
itu menggema dalam lubuk hati sang dewi.  Perlahan-lahan dia
turunkan tangan kanannya yang  tadi siap melancarkan serangan
maut. Bunga kenanga kuning  yang  tadi ada dalam genggaman
tangannya jatuh tercampak ke atas tanah pekuburan.
Pendekar 22 menarik nafas lega dan tersenyum.
“Terima kasih, kau tak jadi membunuhku…” ujar Wiro.
“Saat ini tidak, tapi lain kali mungkin saja!” jawab Dewi Bunga
Mayat kembali galak. “Sekarang katakan apa keperluanmu datang ke
tempat ini. Kau sebelumnya kulihat ada di kedai Aki Sukri…”
“Itu betul…”
“Kau mengikutiku ke tempat ini!”
“Kalau begitu jelas kau kawan dari empat pemuda yang sudah
jadi bangkai ini!”
“Itu yang tidak betul!”
Sang  dara kerenyitkan kening. Dalam keadaan tidak mengerti
dan tidak percaya seperti itu dimata Wiro wajahnya tampak jadi lebih
cantik.
“Aku tidak percaya!”
“Aku tidak suruh kau  musti percaya  saudari… Eh, bagaimana
aku harus  memanggilmu. Aku  tak  tahu  namamu. Kudengar orang-
orang  itu  memanggilmu dengan gelar Dewi Bunga Mayat. Apa aku
harus memanggilmu begitu juga? Atau Dewi saja…? Bisa juga Bunga
saja. Eh… tentu tidak  dengan sebutan  Mayat saja…” Wiro  tertawa
dan lihat wajah gadis di depannya menjadi merah.
“Maafkan aku. Aku hanya  bergurau. Aku akan panggil kau
dengan nama  Bunga… Itu nama  paling indah di  dunia.  Sesuai
dengan kecantikan orangnya…”
Sang dara tidak memberikan reaksi apa-apa.
Wiro  garuk-garuk kepala lalu bertanya, “Boleh aku tahu
mengapa kau diberi gelar dan disebut sebagai Dewi Bunga Mayat? Itu
bukan  nama sembarangan. Dan senjatamu membunuh ke  empat
pemuda itu. Kuntuman bunga kenanga! Kau pasti seorang pendatang
baru berkepandaian luar biasa dalam dunia persilatan…!”
“Kau sudah menjawab sendiri pertanyaanmu. Aku tidak punya
waktu lama. Sekarang lekas katakan siapa dirimu!”
“Namaku Wiro Sableng. Aku orang tersesat dari Gunung Gede.”
“Hemmm… Sableng  sama dengan Gendeng. Gendeng sama
dengan Sinting. Sinting sama dengan  Gila! Jadi  pemuda  macam
begitulah kau rupanya!”
“Ah… kira-kira begitulah!” jawab Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Dalam hatinya  Dewi Bunga Mayat  membatin. “Manusia  aneh
yang satu ini mungkin konyol, mungkin juga memang sinting!”
Lalu sang dewi mendongak ke langit malam yang gelap. Seolah-
olah membaca sesuatu  di atas sana mulutnya terdengar berkata,
“Namamu Wiro Sableng… kau  datang dari Gunung Gede. Gurumu
seorang nenek sakti mandraguna bernama Sinto Gendeng.
Sahabatmu setumpuk tapi orang yang tak suka padamu bertumpuk-
tumpuk…”
“Apakah kau…” Wiro memotong.
“Aku belum  selesai membaca  riwayatmu! Jangan bertanya
dulu!” membentak dara itu.  Lalu dia  menengadah ke  atas kembali.
“Sahabatmu setumpuk tapi orang yang tak suka padamu bertumpuk-
tumpuk. Kau membekali dirimu  dengan senjata semacam kapak
aneh. Tubuhmu tidak mempan racun selama senjata itu menempel di
badanmu.  Kau tidak suka  minuman keras tapi  kau suka menggoda
perempuan. Kau…”
Sang dewi tidak teruskan ucapannya.
“Ah.. bacaanmu sudah habis rupanya. Sekarang biar aku yang
ganti membaca!”  kata  Wiro. Lalu pemuda  ini lakukan sikap  seperti
sang dara, mendongak ke langit dan mulai berucap.
“Langit malam gelap gulita…
Udara dibungkus kesejukan embun yang siap turun
Di tempat ini bertaburan makam anak manusia
Ada yang sudah terkubur
Tapi ada empat yang masih malang melintang
Empat yang menemui ajal karena sengaja menacari sengsara
Aku berdiri di sini
Tapi tidak sendiri
Di hadapanku tegak seorang dara…”
“Kau ini melawak  atau tengah membaca syair…” Dewi Bunga
Mayat memotong penasaran.
“Aku belum selesai membaca! Jangan memotong dulu!” Wiro
membentak, persis  seperti yang tadi  dilakukan oleh sang  dewi.
Melihat  hal ini mau tak  mau  sang  dara  jadi gelengkan kepala dan
diam-diam merasa geli. Senyum menyeruak di bibirnya yang merah.
Wiro melanjutkan ‘bacaannya’.
“Di hadapanku tegak seorang dara
Berbaju putih berwajah jelita
Saat ini dia tersenyum
Tersenyum entah untuk siapa
Mungkin untuk para penghuni makam
Mungkun juga untuk empat pemuda yang sudah putus nyawa
Syukur-syukur kalau senyum itu untukku
Si jelita tidak bernama
Yang kupanggil dengan nama Indah, Bunga
Memiliki kepandaian luar biasa
Syukur-syukur kalau aku bisa jadi sahabatnya….
Ah, bacaanku sudah selesai….”
Wiro  palingkan kepalanya. Dilihatnya  sang  dara masih
tersenyum. Lalu diapun tertawa gelak-gelak.
Dewi Bunga Mayat membuka mulut, “Syairmu bagus, Cuma
sayang aku tidak mau bersahabat denganmu…”
“Ah nasibku memang jelek kalau begitu. Kau tidak mau karena
aku sableng, sinting… gendeng… gila…?”
Dewi Bunga  Mayat  tidak menjawab  tapi dalam hatinya  dia
berkata, “Kau  memang mungkin sinting. Tapi bukan itu alasanku
tidak suka bersahabat denganmu. Aku tidak bisa mengatakannya…”
“Apakah kita bisa bertemu lagi, Bunga?”
Sang dara mendengar pertanyaan itu dan berpaling pada Wiro.
Dia menatap  wajah mpemuda itu sesaat lalu menjawab, “Aku tidak
tahu. Sekarang aku ingin meninggalkan tempat ini. Kau silakan pergi
duluan….”
“Tidak, aku tetap disini. Kalau kau  memang  ingin pergi,
pergilah. Aku  berdiri disini  memperhatikan kepergianmu…  Tapi
sebelum kau pergi kancingkan dulu bajumu. Salah-salah kau bisa
masuk angin…”
Paras  sang dara jadi  merah. Seolah baru sadar  akan keadaan
dadanya yang  sejak tadi tersingkap, cepat-cepat dia membalik dan
kancingkan kebaya  putihnya.
“Manusia  satu ini benar-benar  kurang ajar, konyol dan  juga
keras  kepala. Bagaimana ini, bagaimana aku harus menyuruhnya
pergi…?”  membatin bingung sang dara  dalam hati. “Hanya kabut
yang bisa menolongku. Kabut… turunlah lebih banyak. Tolong aku…”
Dan terjadilah hal yang aneh. Seolah-olah  ucapannya  mujarab
sekali saat itu  tiba-tiba  saja  kabut  turun banyak sekali.
Pemandangan di pekuburan menjadi sangat terbatas.
Ketika sekelompok kabut menyaputi tempat dimana  mereka
berdiri,  meskipun hanya  terpisah  dekat  namun Wiro  mendadak  tak
dapat lagi  melihat sosok Dewi Bunga Mayat. Lalu sesaat kemudian
ketika kabut pupus, dara itu tak ada lagi ditempatnya berdiri!
Wiro  terkesiap. Memandang  berkeliling. Menyusuri  seluruh
daerah pekuburan  itu  dengan kedua  matanya  yang tajam. Tapi sang
dara tetap saja tidak kelihatan lagi.
“Tidak  mungkin dia bisa  pergi  secepat  itu!” Wiro memandang
lagi. “Eh,  kuda putihnya  yang tadi  ada  di  ujung sana  juga lenyap!
Gadis  aneh. Gelarnya juga aneh. Senjatanya lebih aneh… hanya
sekuntum bunga kenanga. Yang  juga mengherankan bagaimana  dia
tahu banyak tentang  diriku. Apakah sewaktu mendongak  ke  langit
dia memang benar-benar  membaca seperti membaca sesuatu…? Ah
tak masuk akal!”
Wiro  memandang  ke  tanah.  Bunga kenanga  yang tadi hendak
dilemparkan ke  arahnya  masih tampak  tercampak di tanah. Murid
Sinto Gendeng membungkuk mengambil bunga  itu, menciumnya
sesaat lalu memasukkannya  ke  dalam  saku baju putihnya. Saat itu
terdengar  kuda meringkik membuat   sang pendekar  tersentak kaget
dan memaki lalu tinggalkan pekuburan Batuwungkur itu.
Baru dua langkah bertindak tiba-tiba ekor  mata Pendekar 212
melihat  ada  sesuatu  bergerak di kegelapan disamping  kirinya. Dia
cepat berpaling. Tapi tak kelihatan apa  tau siapa-siapa. Hanya
kegelapan yang  membungkus  pekuburan itu. Makam-makam
berderet-deret. Ada yang terurus baik dan utuh, ada yang sudah tak
karuan lagi dan tanpa batu nisan. Lapat-lapat di kejauhan terdengar
suara burung malam. Angin bertiup dingin.
“Mataku mungkin bisa ditipu.  Tapi perasanku tidak!” kata
murid Sinto Gendeng dalam hati. “Ada orang atau makhluk disekitar
pekuburan ini.  Mendekam  disatu tempat, bersembunyi  mengintai
gerak-gerikku! Lebih baik aku terus  berjalan.  Jika orang itu berniat
jahat dia akan tahu  rasa…!” Lalu Wiro kerahkan  tenaga dalam  ke
tangan kanan.
*  *  *
WIRO MELANGKAH EMPAT tindak. Pada langkah ke lima, tiba-
tiba di udara malam yang  gelap  dan  dingin di  atas pekuburan
Batuwungkur  itu melesat  suara suitan keras dari arah samping
kanan. Suara duitan ini  disambut elh suara sutian lain dari  arah
depan.  Lalu  suara suitan ketiga  melegkinda ri arah samping  kiri.
Ketika Pendekar  212 hentikan langkahnya,  tiga sosok bayangan
tampak berkelebat sebat  dan tahu-tahu tiga  sosok aneh sudah
mengrungnya  dari arah muka  dan kiri  kanan. Murid Sinto Gendeng
dari Gunung Gede  ini angkat tangan kanannya, siap  menghantam.
Tapi gerakanya serta merta  tertahan ketika melihat  siapa yang  saat
itu mengurungnya.
Tiga sosok  tubuh itu  adalah ternyata  tiga manusia katai
permpuan. Pakaian dan tampang mereka serta rambut yang dikuncir
membuat  ketiganya tampak lucu. Tapi dibalik kelucuan itu
tersembunyi  satu kenagkeran yang  mematikan. Wajah tiga
perempuan cebol  ini membekal maut. Ketika ketiganya  menyeringai
kelihatan bahwa mereka memiliki gigi-gigi kecil yang berwarna hitam
berkilat.
“Dimana dia?!” tiba-tiba si cebol di sebelah depan membentak.
Suaranya nyaring tapi kecil.
“Eh… Kaku bertanya siapa pada siapa?!” tanya Wiro.
“Kami bertanya dia padamu!”
“Dia siapa?!” tanya Wiro pula.
“Jangan berpura-pura!” seru si cebol perempuan sebelah kanan
kiri  menghardik. “Barusan dia ada  disini. Berbincang-bincang
denganmu! Dan kau berani berpura-pura tidak tahu!”
“Kawan-kawan!”  membuka  mulut perempuan katai di seebelah
kiri. “Kalau dia jelas-jelas kawan orang yang kita cari, mengapa harus
membuang waktu  bertanya  jawab.  Kita  bereskan  saja  dia  saat ini
juga!”
“Setuju!” teriak si katai di sebelah depan.
Terdengar tiga jeritan dahsyat. Tiga tubuh pendek itu laksana
bola melesat ke arah Wiro Sableng. Tiga serangan maut menebar!
“Wong edan!” teriak Pendekar 212 ketika dilihatnya serangan
tiga manusia katai itu  benar-benar  ingin membunuhnya. Mereka
memegang  senjata berbentuk clurit  kecil di tangan kiri masing-
masing. Ternyata ketiga maunia katai permpuan ini sama-sama kidal.
Senjata itu berkilat-kilat dan menderu dalam gelapnya malam.
Manusia katai di sebelah depan membabatkan clurit  kecilnya
ke arah batang leher Pendekar 212. yang di samping kiri menyapu ke
perut sedang yang di sebelah kanan menghunjamkan serangan ke
selangkangan pendekar  ini! Tiga  serangna  mematikan itu disertai
dengan pekik jerit memkakkan telinga. Agaknya tiga manusia  katai
ini sengaja berteriak begitu agar lawan terpengaruh dan lengah.
Murid Eyang Sinto  Gendeng angkat  kedua tangannya
menghantam  dengan  pukulan sakti  bernama  ‘dinding  angin
berhembus tindih menindih’
Terdengar suara  seperti angin putting beliung  di atas
pekuburan itu. Tiga  manusia katai yang lancarkan serangan sambil
melompat tampak seperti hendak tersapu tunggang langgang. Namun
sambil terus  berteriak ketiganya berjungkir balik di udara lalu
membalik sambil membabat kembali  dengan senjata masing-masing.
Tapi tampaknya  mereka tidak  sanggup menembus hantaman angin.
Ketiganya kerahkan  tenaga  berusaha  keras mnerobos  dinding  angin
yang  tidak kelihatan. Mereka  tampak seperti mengapung  di udara.
Pakaian dan rambut berkibar-kibar. Mata membeliak dan mulut
berteriak-teriak.
Wiro terus kerahkan tenaga dalamnya. Bebrapa kali tangannya
kiri  kanan dihantamkan agar dapat  menghempaskan tiga  penyerang
itu tapi tetpa  saja musuh-musuh katai itu bertahan di  udara. Masih
untung  ketiganya  berada di sebelah depan.  Kalau ada yang
menyerang dari belakang  pasti akan bobol pertahanan murid  Sinto
Gendeng.
Keringat bercucuran dari punggung dan wajah Wiro Sableng.
Tiga perempuan katai masih terus mengapung  dan mencoba
menembus  pertahanannya. Dan tiba-tiba  setelah bertahan sekian
lama. Astaga! Salah seorang dari mereka  berhasil lolos  menerobos
dinding angin!
Breet!
Clurit kecil membabat di perut Wiro, merobek pakaian
putihnya.
“Kurang ajar!” maki Pendekar 212 lalu melopat mundur dengan
muka pucat.
Lompatan mundur yang   dilakukannya membuat  tiga
pengeroyok seperti tersedot. Tiga  manusia katai itu kembali
menggempur. Dan kini pertahan dinding angin Pendekar  212 benar-
benar jebol!
Tiga manusia  katai melesat. Tiga  clurit berkiblat.  Wiro
memukul dengan pukulan ”kunyuk  melempar buah.” Tangan
kanannya menghantam  membentuk  tinju. Begitu lengan melurus
lima  jari dibuka. Maka  menderulah  gelombang  angin  laksana
gumpalan batu besar.
Tiga musuh katai berterak keras. Namun hanya satu yang kena
dihantam. Yang  satu terpental sejauh dua tombak,  bergulingan di
tanah lalu diam tak berkutik. Mati dengan kepala pecah!
Dua manusia katai lainnya  terus merangsak masuk ke  dalam
pertahanan Wiro  yang sudah ambruk.
“Celaka! Matilah aku!” keluh Wiro. Dalam keadaan sulit  begitu
rupa dia masih bisa memukul tangan si katai di sebelah kanan. Luar
biasa! Tangan si katai  yang  kecil itu  membuat Wiro terpental tiga
langkah, hampir jatuh duduk. Justru di saat inilah yang secara tidak
sengaja  meyelamatkan nyawanya  dari serangan si katai  yang  satu
lagi. Clurit membabat di depan hidungnya sementara lawan yang tadi
beradu lengan dengannya jatuh bergdebuk sambil menjerit-jerit dan
berusah mencari cluritnya yang mental dalam kegelapan malam.
“Manusia-manusia  katai edan!  Tidak ada silang  sengketa kau
hendak membunuhku!” teriak Wiro.  
“Kami belum membunuhmu manusia bangsat! Tapi kau telah
membunuh seorang saudara kami! Dan kawanmu yang  kami cari
sebelumnya telah membunuh satu-satunya kakak lelaki kami!”
“Soal kematian  kakak  lelakimu itu  aku  tidak  tahu, tidak  ada
sangkut pautnya denganku! Pergi  kalian dari sini sebelum  aku
menciderai atau membunuhm kalian!”
“Enak benar bicaramu! Kami akan pergi kalau usus dan
jantungmu sudah kami korek dari tubuhmu!”
“Makhluk-makhluk tidak tahu diri! Jangan kira aku tidak tega
membedol  kantong nasi  kalian!” teriak Wiro    lalu keluarkan senjata
mustika saktinya yaitu Kapak Maut Naga Geni 212.
Kilauan sepasang mata  kapak yang  angker ternyata  tidak
membuat jeri dua manusia katai itu.
Yang  satu malah mengejek, “Senjata mainan! Siapa takut!”
yang bicara ini sudah menemukan cluritnya yang tadi jatuh.
Lalu cepat luar biasa keduanya menyerbu.
Trang… trang…!
Belum lagi Pendekar 212 sempat mengayunkan senjatanya,
dua clurit kecil secara sengaja  tidak  terduga dan cepat sekali  sudah
menelikkung  gagang  kapak dan begitu dua manusia katai itu
membetot, Wiro  merasa  seperti tangannya  ditarik oleh  dua  raksasa!
Kapak Naga Geni 212 terlepas dari pegangannya, langsung disambut
oleh si  katai di sebelah  kanan. Begitu dapatkan kapak  si katai ini
berteriak pada yang satunya.
“Adikku! Lupakan dulu balas  dendam.  Kita mendapat rejeki
besar. Lekas tinggalkan tempat ini!” dia tertawa cekikikan.
Sang  adik juga  tertawa cekikikan.  Lalu  didahului oleh jeritan
keras, keduanya membalik untuk larikan diri. Tapi baru saja mereka
sempat membuat setengah gerakan  berputar  mendadak terdengar
suara berdesing disertai harumnya  bunga kenanga.  Lantas  dua
manusia  katai ini  terdengar memkik keras mengerikan. Kepala
masing-masing terhempas ke belakang seolah-olah dihantam tembok
keras.
Dua manusia katai itu langsung  roboh terjengkang. Kapak
Naga Geni 212 terguling ke tanah.
“Eh, apa yang terjadi…?” tanya Wiro keheranan. Ketika dia
mendekati dua  mayat manusia katai itu, tertegunlah murid Sinto
Gendeng ini. Dua manusia katai itu menemui ajal dengan sekuntum
bunga kenanga kuning menancap di kening masing-masing!
“Bunga…” desis  Wiro. “Kau ada  di sini. Kau menolongku…”
Wiro menunggu kalau-kalau ada jawaban. Tapi hanya kesunyian dan
siliran angin malam yang terdengar.
Wiro  memandang berkeliling. Tapi dia tidak  melihat dara yang
berjuluk Dewi Bunga Mayat itu. Pemuda ini geleng-gelengkan kepala.
“Dara hebat. Kepandaian luar biasa! Menolong tanpa memperlihatkan
diri… Aku harus berterima kasih padanya.”
Lalu pemuda ini berteriak, “Bunga, aku berterima kasih atas
pertolonganmu!” Wiro  seklai lagi memandang  berkeliling. Ketika  dia
merasa  tak bakal  mendapat jawaban apalagi melihat Dewi Bunga
Mayat kembali maka  dipungutnya Kapak  Naga Geni 212 yang
tercampak di tanah, disimpannya di balik  pakaiannya.
*  *  *
PONDOK KAYU DI DASAR  lembah itu tampak tidak berbeda
seperti  sebulan lalu ketika dia mengunjungi terakhir kali. Pintu dan
satu-satunya jendela tampak tertutup. Tapi dia tahu bahwa di dalam
sana ada seorang penghuni.
Perempuan muda berpakaian ringkas  warna biru itu berpaling
pada pemuda yang menunggang kuda disampingnya.
“Kangmas.. Kau…”
“Sudah berapa kali kukatakan. Kalau kita Cuma berdua aku
tidak suak kau memanggilku dengan sebutan itu. Panggil namaku…”
“Maafkan aku kang.. Maffkan aku Sadewo..” kata perempuan
berpakaian biru. “Kau tidak ingin turun ke lembah menemuinya?”
Pemuda  bernama Sadewo menggeleng. “Kau saja  yang  pergi.
Aku menunggu disini.”  Lalu pemuda itu menyerahkanbungkusan
kain yang dipanggulnya.
Setelah menerima dan menyandang bungkusan itu dibahunya,
dara berbaju biru menarik tali kekang kudanya, lalu perlahan-lahan
dia mulai menurini jalan setapak yang berbatu-batu.
Di depan pondok dia turun dari kuda, menambatkan binatang
itu lalu melangkah menuju pintu. Dia mengetuk  dulu lalu berucap
keras-keras.
“Ayah, akuk datang…”
Dengan tangan  kirinya dia  mendorong pintu. Terdengar  suara
berkereketan. Begitu pintu terbuka kelihatan seorang lelaki berambut
putih, bertubuh kurus  dan berwajah pucat duduk  bersila di lantai
pondok. Usianya berlum  enampuluh  tahun, tahun wajahnya
kelihatan seperti wajah kakek delapan puluh tahun. Orang ini duduk
bersila  pejamkan mata  seperti tengah bersemedi. Ketika pintu
terbuka, perlahan-lahan  kedua  matanya juga terbuka.  Dia
memandang  pada gadis  di depan pintu  lalu menganggukan  kepala
perlahan sekali.
Gadis  itu masuk  ke dalma pondok,  berlutut  di hadapan lelaki
tua itu dan mencium keningnya. Setalh itu diletakkannya bungkusan
kain yang dibawanya di lantai.
“Semua keperluan ayah ada dalam bungkusan…”
Yang dipanggil ayah kembali mengangguk.
“Apakah ayah ada baik-baik saja  selama satu bulan ini?”
bertanya si gadis yang dijawab juga dengan anggukan.
Sunyi sesaat.
“Suamimu mengantar…?” tiba-tiba orang tua itu bertanya.
“Ya, dia mengantar. Dia menunggu di atas lembah…”
“Terima kasih, kau sudah membawakan  apa-apa  yang  aku
perlukan. Kau boleh pergi sekarang…”
“Ayah, sudah tiga bulan kau berada di tempat ini. Memencilkan
diri. Kapan semua ini akan ayah akhiri…?”
“Mungkin tak akan   pernah ku akhirii Suntini. Atau mungkin
hanya kematian yang mengakhiri semua ini…”
“Ayah tidak boleh berkata begitu…” suara perempuan bernama
Suntini itu kini terdengar  tersendat dan sepasang  matanya  tampak
mulai berkaca-kaca.  “Ayah mesti segera pulang. Rumah besar kita
sepi tanpa ayah…”
“Kau boleh pergi sekarang, Suntini…”
“Jika memang itu yang ayah kehendaki….”  Kata Suntini pula
seraya berdiri. Dia  mencium kening lelaki  itu. Tetesan air matanya
jatuh membasahi wajah si orang tua.
“Sebelum  kau  pergi, adakah sesuatu yang  hendak  kau
katakan…?” sang ayah bertanya.
Suntini terdiam.
“Ada…?
“Tidak ada ayah…”
“Jangna berdusta. Nada  suaramu menyatakan ada sesuatu
yang hendak kau katakan. Tapi kau sengaja menyembunyikannya…”
Ketika Suntini  tidak  juga  menjawab, lelaki itu lalu ajukan
pertanyaan, “Apakah dia masih sering mendatangimu…?”
Paras Suntini berubah. Perempuan muda ini tundukkan kepala
lalu berkata, “Malam Jum’at Kliwon dua minggu yang lalu  ayah. Dia
memang muncul. Memandang padaku dengan pandangan dingin lalu
pergi. Kangmas Sadewo juga melihat beberapa kali…”  
“Waktu muncul dia tidak mengatakn  atau mengisyaratkan
sesuatu…?” bertanya sang ayah.
Suntini menggeleng.
“Anakku dengarlah baik-baik. Selama dia muncul tidak
mengganggumu atau siapa saja  di  sekitarmu ambil sikap diam saja.
Jangan mengusir, jangna mengatakan  sesuatu. Ini semua kodrat
Tuhan. Kita  tak bisa  melawan kehendakNya. Ketahuilah… Tadi
malam  dia juga muncul disini.  Tegak  di  bawah pohon di luar  sana,
memandang  ke  pondok  ini tapi  tak berusaha  masuk atau
menemuiku. Kalau  aku ada kesempatan menjenguk  makam ibumu,
aku akan berusaha  untuk menlihatnya. Selam ini apakah kau dan
suamimu pernah menjenguknya?”
“Aku takut ayah. Benar-benar takut  melakukan  hal itu…”
jawab Suntini.
“aku mengerti perasaanmu. Kau boleh  pergi sekarang. Lain
bulan kau tak perlu datang kemari mengantarkan apa-apa. Aku bisa
memenuhi kebutuhanku sendiri…”
“Berarti ayah tidak akan pulang ke rumah?”
“Aku tidak tahu  anakku,”  jawab orang tua yang  duduk bersila
itu lalu menarik nafas panjang.  
Suntini berdiri,  melangkah ke  pintu  dan lenyap dibalik daun
pintu yang ditutupkan. Di dalam pondok sang ayah pejamkan kedua
matanya. Namun kali ini  diantara sela  kelopak matanya kelihatan
ada tetes air mata yang menyeruak.
Ketika Suntini samapi diatas  lembah, dia terkejut dan
keluarkan seruan tertahan sewaktu melihat Sadewo, suaminya,
tergeletak meelungkup di tanah. Suntini melompat turun dari kuda
dan cepat membalikkan tubuh Sadewo.
“Kangmas… Kau kenapa  kangmas..?!”  memanggil Suntini
sambil mengusap wajah  suaminya berulang kali. Wajah itu tampak
pucat seperti baru saja mengalami suat goncangan hebat. Suntini
letakkan telinganya  di atas dada  Sadewo. Masih terdengar suara
detakan jantung. Perempuan ini merasa lega sedikit lalu dia memijat
beberapa bagian tubuh suaminya. Tak  selang berapa  lama  kedua
mata Sadewo perlahan-lahan kelihatan terbuka. Begitu terbuka lelaki
muda  ini melompat terduduk dan memandang  berkeliling  dengan
wajah ketakutan.
“Ada  apa, Sadewo…? Siapa  yang  kau  cari…? Kau melihat
sesuatu..?” bisik Suntini dengan lebih kelu dan ikut-ikutan
memandang berkeliling sementara dadanya berdebar keras.
“Dia.. dia tadi muncul di dekat batu besar sana…”  terdengar
Sadewo menyahut. Suaranya gemetar.
Suntini memandang  ke arah batu besar yang  ditunjuk
suaminya. Memandang  berkeliling  ke  tempat  lain. Dia tidak  melihat
siapa-siapa.
“Dia… biasanya  dia hanya  memandang  dari kejauhan.    Tapi
sekali ini  dia melangkah  mendatangiku.    Dia begitu  dekat denganku
Suntini, membuatku ketakutan  setengah mati.   Dia  seperti hendak
membuka mulut  mengatakan sesuatu. Tapi saat itu ada suara kaki
kuda mendatangi. Mungkin sekali kuda tunggangmu. Lalu aku ajtuh
pingsan…”
“Kalau begitu kita harus  meninggalkan tempat  ini cepat-
cepat…”kata Suntini pula. Dia membantu suaminya berdiri,
memapahnya ke arah kuda.
*  *  *
DUA HARI SETELAH peristiwa di bukit Batuwungkur, Pendekar
212 Wiro Sableng mengunjungi kedai Aki Sukri. Dia duduk memencil
di sudut kedai sampai larut malam. Ketika pemilik  kedai bersiap
untuk menutup kedainya mau tak mau akhirnya pendekar itu berdiri
dari bangkunya.
“Anak muda, kau seperti tengah menunggu seseorang di kedai
ini…” berkata  pemilik  kedai ketika Wiro memberikan uang
pembayaran.
“Ah, matamu tajam juga orang tua. Bagaimana kau bisa tahu?”
bertanya Wiro.
“Setiap saat kau selalu memandang ke pintu. Dan kau tampak
kecewa jika ada tamu masuk tetapi bukan orang yang kau nantikan.
Kau berjanji dengan seseorang?”
Wiro menggeleng.
“Lalu siapa yang kau harapkan muncul di kedai ini?” tanya Aki
Sukri.
“Aki , dua malam lalu aku mampir disini. Kau ingat…?”
“Aku ingat. Karena malam itu kemudai  diketahui  ada  empat
mayat menggeletak di pekuburan Batuwungkur. Mereka mati dengan
kembang aneh menanca di muka dan badan…”
“Kau ingat dara jelita berpakaian putih yang juga  ada di
kedaimu malam itu…?’
“Aku ingat seklai!” jawab Aki Sukri.
“Kau kenal  padanya?  Atau mungkin  tahu dimana aku bisa
menemuinya?”
Pemilik kedai menatapa wajah Pendekar 212 sesaat lalu
gelengkan kepala. “Wajah cantik itu memang seperti pernah kulihat
sebelumnya. Tapi entah dimana dan entah kapan.  Waktu dia ada
disini aku tak berani bertanya. Kelihatannya dia seperti tidak mau
diusik…”
“Dia memang bukan dari sembarangan…” kata Wiro pula.
“maksudmu, anak muda?” tanya Aki Sukri.
“Empat pemuda  jahat yang  mati di  pekuburan Batuwungkur
itu, dialah yang membunuhnya!”
“Apa katamu?!” dua mata Aki Sukri membelalak.
“Dia adalah Dewi Bunga Mayat!”
“Ah!” tubuh pemilik  kedai tersentak dan wajahnya  menjadi
pucat.
“Kau seperti orang ketakutan. Ada apa…?!”
“Jadi… jadi dara itulah yang tengah kau cari?!” suara Aki Sukri
bergetar. “Anak muda lekas pergi. Aku  segera menutup kedai ini.
Aku… kau tahu…”  suara Aki Sukri perlahan sepreti berbisik. “Kalau
memang dara  itu manusia  yang berjuluk Dewi Bunga Mayat, hati-
hatilah anak muda. Dia sanggup membunuh manusai  tanpa
berkedip. Kepandaiannya  tinggi. Kabarnya saat ini dia  jadi  momok
nomor sati di wilayah Jawa Tengah ini!”
“Momok katamu? Gadis secantik itu kau katakan momok?!”
“Dia muncul seperti  setan. Lenyap seperti setan. Membunuh
disana-sini… Apa itu bukan momok?!”
Wiro  tertawa bergelak. “Kepandaiannya tinggi luar biasa itu
memang berul. Dia membunuh tanpa berkesip itu juga betul. Tapi dia
bukan  setan!  Dia hanya  membunuh orang-orang  jahat! Kau tahu
empat pemuda yang  jadi  korbannya itu?  Apa yang  hendak  mereka
lakukan? Hendak memperkosanya beramai-ramai…!”
“Ah, karena dia kawanmu tentu saja kau membelanya. Tapi
sudahlah. Aku akan menutup kedai. Lekas pergi. Aku tak mau kau
datang-datang lagi kemari, anak muda. Aku tidak mencari urusan…!”
“Justru jika kau melarang begitu berarti kau mencari urusan!”
tukas Wiro. “Jika kau  tak mau  kedatanganku, tutup saja  kedai  ini
selama-lamanya!”
“Aku berjualan mencari makan. Tidak mau cari urusan…”
“Bagus kalau begitu. Katakan, apakah gadis  kawanku itu
sering datang kemari?”
“Tidak. Baru sekali itu dia datang kesini,” jawab Aki Sukri.
“Kalau dia muncul lagi,  katakan  padanya. Aku sahabatnya
berama Wiro Sableng mencarinya. Kau dengar pesan itu, Aki?!”
“Aku dengar anak muda. Dan akan aku sampaikan padanya…”
jawab pemilik kedai pula.
*
*     *
Dari kedai Aki Sukri, Pendekar 212 dengan menunggang kuda
menuju pekuburan Batuwungkur. Kesunyian dan  kegelapan malam
menyambut kedatangannya. Angin berhembus dingin dan dikejauhan
terdengar suara burung malam bersahut-sahutan beberapa kali.  
Murid Sinto Gendeng duduk di batu hitam dimana dulu Bunga
pernah duduk. Dia duduk  seprti merenung. Entah mengapa
perasaannya  jadi seperti ini. Perasaan yang sebelumnya tak  pernah
terjadi seumur  hidupnya. Dia selalu teringat padaBunga. Hampi tak
sekejapanpun dia melupakan gadis itu. Dia rindu untuk bertemu tak
tahu harus mencari kemana. Itulah  sebabnya malam-malam begitu
dia mendatangi pekuburan dengan harapan bisa bertemu lagi.
Kalaupun tidak bertemu paling  tidak dia telah bisa  melepas
kerinduannya dengan melihat tempat yang  pernah didatangi sang
dara. Tempat dimana mereka pernah berdua-dua. Dan dia kini duduk
di batu yang pernah diduduki Bunga.
“Bunga…” bisik kalbu Pendekar 212. “Dimana  kau…? Dimana
aku bisa menemuimu, Bunga…?”  
Wiro  mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan,
memandang berkeliling lalu menghela nafas dalam-dalam.
“Apakan ini namanya cinta…?” bisik hati sang pemuda. “Ah…
Aku tak percaya!tapi mengapa  aku  selalu ingat padanya. Mengapa
ada persaan rindu bertumpuk dihatiku. Gila betul!”
Dalam perjalanan hidupnya tentu saja Pendekar 212 telah
bertemu dengan banyak gadis berwajah cantik. Namun semua berlalu
tanpa perasaan apa-apa. Berlainan sekali  dengan yang  satu ini.
Padahal baru dua hari lalu dia melihat  dan bertemu. Dan kini  ada
rasa rindu mencucuk hatinya.
“Gila!” kata  Wiro pula  sambil meukul  lututnya sendiri.  Kedua
tangannya mengeruk ke dalam saku  baju. Tangan yang  kanan
memegang  sesuatu. Ketika dikeluarkannya ternyat itu adalah bunga
kenanga senjataBunga yang dua malam lalu dipungutnya.
“Aneh..,” desis Wiro  memperhatikan  dan menimang  bunga
kenanga. “Bunga ini mengapa  tidak layu…?  Keharumannya  tidak
berbeda  seperti pertama kali  aku memungutnya…” lalu bunga
kenanga itu dibawanya ke hidungnya, diciumnya lama-lama  penuh
perasaa. “Bunga… aku mencarimu. Aku ingin bertemu…” Wiro bicara
sendirian.
Malam  berlalu bertambah sunyi dan bertambah dingin. Tanpa
disadarinya  Pendekar  212 jatuh tidur  dalam keadaan  terduduk di
atas batu.
“Wiro…”
Satu suara memanggil. Pendekar 212  kenal sekali  suara itu.
Suara orang yang dirinduinya, yang selama ini dicari-carinya. Begitu
berpaling dilihatnya dara itu tersenyum padanya.
“Bunga…”
“Aku sudah lama  menunggumu  di sini, Wiro…”  kata  Bunga
seraya melangkah mendekati.
Wiro  datang  menyongsong. Keduanya saling bergenggaman
tangan. “Aku mencarimu setengah mati…”
“Setengah mati? Ah, masa…?”
“Setengah mati karena rindu. Kangen… Kau tidak kangen
padaku, Bunga…?”
“Tidak…,” jawab sang  dara lalu tertawa  cekikikan. “Tentu saja
aku juga kangen padamu, Wiro…”
“Berarti kau senang bersahabat denganku?!” tanya Wiro seraya
menatap dalam-dalam ke sepasang mata si gadis.
Bunga mengangguk. “Aku suka bersahabat denganmu…”
“Tapi…”
“Tapi apa, Wiro…?”
“Aku tak ingin hubungan kita hanya  sampai pada jalinan
persahabatan saja.”
“Maksudmu Wiro….?”
“Aku… aku tidak tahu persaan apa yang ada dalam diriku sejak
pertama  kali aku melihatmu.  Kurasa  aku mencintaimu, Bunga. Ya
betul. Aku mencintaimu…!”
Paras  Bunga berubah. Dia seperti ketakutan. Diremasnya jari-
jari tangan pemuda itu tapi kemudian dilepaskannya.
“Kau mencintaiku  Wiro…?  Jangan…  jangan mencintaiku
Wiro…” Bunga melangkah mundur.
“Mengapa aku tidak boleh mencintaimu Bunga? Percayalah,
aku tidak berdusta dan tidak mempermainkanmu…?”
“Demi  Tuhan,  jangan mencintaiku Wiro… Cinta  berarti
kematian bagi diriku…” Suara Bunga tersendat. Wiro melihat ada air
mata menetes di kedua pipi dara itu.
“Kau menangis, Bunga…” bisik Wiro dan melangkah mendekat.
Tapi yang didekati semakin menjauh. Melangkah mundur.
“Bunga, kau mau kemana…?” Wiro mengejar.
“Jangan kejar aku Wiro… jangan…”
“Bunga, jangan mundur. Ada jurang di belakangmu!”  teriak
Wiro.
Dara itu berpaling ke belakang. Tapi terlambat. Kaki kanannya
terpeleset dan tubuhnya melayang jatuh ke dalam jurang yang dalam.
Pekiknya mengumandang. Tapi teriakan Wiro lebih keras lagi.
“Bunga…!!”
Pendekar 212 tersentak dan dapatkan dirinya terduduk di atas
batu hitam diantara makam di pekuburan Batuwungkur.
“Ah… bermimpi  aku rupanya…” kata  pemuda ini  termangu-
mangu. Di tangan kanannya maih tergenggam bunga kenanga senjata
Dewi Bunga Mayat.
“Bunga  ini… Tadi aku  menciumnya. Lalu jatuh tertidur dan
bermimpi. Apakah… apakah hanya ini  satu-satunya  cara  aku dapat
bertemu dengan dia? Hanya dalam mimpi?”
Pendekar 212 merasa  kelesuan menjalari seluruh tubuhnya.
Perlahan-lahan dia  berdiri, memandang  berkeliling.  Lalu melangkah
ke tempat dia menambatkan kudanya. Bunga kenanga dengan penuh
hati-hati dimasukkannya ke dalam saku bajunya.
*  *  *
SATU  PEMANDANGAN ANEH jika  sebuah kereta tertutup yang
jelek itu  dikawal oleh  hampir dari dua  lusin orang berkuda. Bahkan
diantara mereka tampak  lima orang prajurit dan seorang perwira
muda. Kereta yang  ditarik dua ekor kuda itu menderu kencang di
jalan berdebu. Matahari sore  berwarna  merah kuning keemasan.
Rombongan bergerak  cepat menuju ke  selatan yakni arah Kotaraja.
Namun saat itu mereka tidak akan keburu mencapai tujuan sebelum
pagi. Kotaraja masih sangat jauh dan jalan yang idtempuh bertambah
sulit serta buruk.
Selain lima prajurit dan seorang perwira  muda itu maka
anggota rombongan lainnya adalah orang-orang berseragam pakaian
dan ikat kepala merah. Semua mereka memlihara berewok dan kumis
yang  meranggas  tidak  diurus.  Tampang  mereka  tak  satupun  yang
lumayan. Semua menunjukkan muka galak beringas.
Di sebelah depan memacu kudanya seorang lelaki berpakaian
merah dengan  tubuh kurus tinggi  luar biasa. Hampir mencapai satu
setengah tombak. Berewok dan  kumisnya  yang  lebat
menyembunyikan wajahnya yang bopeng. Matanya besar dan merah.
Dia adalah Kunto  Pasirawang bergelar Datuk Hantu Merah, dikenal
sebagai Ketua Komplotan Hantu Merah.
Dalam dunia  persilatan komplotan yang  dipimpinnya ini
terkenal sebagai komplotan bayaran yang  melakukan  apa saja asal
mendapat bayaran.  Yaitu mulai dari merampok, menculik  sampai
membunuh. Belakangan komplotan ini dikenal pula sebagai penyedia
perempuan-perempuan lacur di berbagai kota  termasuk  Kotaraja.
Bahkan ada selentingan Datuk Hantu Merah sengaja  mengirimkan
perempuan-perempuan cantik  pada  pejabat-pejabat  tertentu  di
Istana. Itulah sebabnya selama sekian tahun komplotan bejatnya itu
tidak pernah dikejar  apalagi ditumpas. Beberapa orang Adipati
diketahui tunduk dan ikut bekerjasama dengan sang datuk.
Siapakah sang datuk  ini sebenarnya?  Menurut mereka  yang
tahu, konon Kunto Pasirawang dulunya  adalah salah seorang
kepercayaan seorang  Pangeran di Keraton Timur. Kemudian
ketahuan  bahwa dia  bersifat  culas, suka menggelapkan barang-
barang  berharga, mencuri barang-barang pusaka. Dua kejahatan itu
masih bisa dimaafkan oleh sang  Pangeran, namun ketika Kunto
Pasirawang  diketahui pula suka mengganggu anak istri orang  maka
dia dipecat dari jabatannya dan di usir dari gedung sang Pangeran.
Selama  dua tahun Kunto Pasirawang malang  melintang
ditengah lautan menjadi bajak. Bosan  di laut  dia turun ke darat
membentuk Komplotan Hantu Merah dan malang melintang
menimbulkan malapetaka.
Enam orang  berseragam pasukan Kerajaan itu sebenarnya
adalah prajurit-prajurit dan perwira  palsu. Mereka sengaja
mengenakan pakaian anggota pasukan  Kerajaan untuk mengelabui
dan menjaga kalau sewaktu-waktu ada  kesulitan  dengan petugas
Kadipaten atau Kerajaan.  Lalu apakah isi kereta buruk  yang  mereka
kawal begitu ketat? Uang, harta perhiasan atau senjata baru?
Isi kereta itu bukan lain adalah perempuan-perempuan culikan
dari beberapa daerah di selatan.  Rata-rata mereka  masih sangat
muda. Ada yang ikut secara suka rela karena dijanjikan pekerjaan di
Kotaraja. Namun banyak yang diculik dari rumah orang tua mereka!
Sinar surya semakin redup tanda akan segera masuk ke tempat
tenggelamnya. Jalan yang  ditempuh mulai gelap. Orang  berseragam
perwira  muda yang  sebenarnya adalah anak buah Datuk  Hantu
Merah memacu kudanya mendekati sang  ketua lalu bicara  keras-
keras  diantara bisingnya derap kaki kuda dan gemeletak suara  roda
kereta.
“Ketua, anggota rombongan kelihatan sudah pada letih! Malam
ini sebaiknya kita  berhenti dan istirahat di hutan Jatiroto. Besok
sebelum matahari terbit baru meneruskan perjalanan ke  Kotaraja.
Menjelang  tengah hari kita akan sampai disana…! Bagaimana
pendapatmu?”
“Aku tahu apa  yang  sebenarnya  yang  ada di otakmu. Wulung
Kingkit!” sahut Datuk Hantu Merah menyeringai.
“Apa maksudmu Ketua…?” tanya perwira muda palsu bernama
Wulung Kingkit itu.
“Sebelum gadis-gadis itu diserahkan pada mucikari di Kotaraja,
kau akan memilih salah satu diantaranya  lalu bersenang-senang
malam ini! Bukan begitu…?!”
Wulung Kingkit hanya bisa balas menyeringai.
“Tapi jangan khawatir Wulung! Usulmu kuterima!”  Datuk
Hantu Merah  tertawa bergelak  lalu dia mendahului  membelok
memasuki jalan menuju hutan Jatiroto.
Di suatu tempat yang  agak datar malam  itu rombongan
Komplotan Hantu Merah berhenti.  Enam buah obor dinyalakan.
Empat buah kemah besar didirikan. Setelah itu pintu belakang kereta
dibuka. Dua puluh gadis keluar  dengan wajah letih dan tubuh
keringatan. Mereka dikumpulkan di dua tenda  lalu diberi makan
seadanya. Masing-masing mereka ditemani oleh  anggota komplotan
tanpa bisa menampik.
Banyak diantara gadis ini  yang  mulai curiga  dan ketakutan,
meminta  agar boleh  naik ke  dalam kereta kembali. Tapi  permintaan
itu tidak  dikabulkan, malah  banyak  diantara  mereka  mulai dijejali
tuak keras.
Datuk Hantu Merah berbaring ditemani  dua gadis  yang
ketakutan setengah mati. Salah satu diantaranya mulai menangis.
“Anak bagus! Sekarang kau menangis. Nanti kalau sudah
merasa kau akan berlutut minta tambah. Ha… ha… ha..!” Sang datuk
tertawa bekakakan, teguk tuaknya lalu merangkul dan menciumi dua
gadis yang dikempitnya di kiri kanan.
Kemudian manusia tinggi kurus bermuka bopeng  dan
berewokan ini mulai  menunjukkan kebejatannya. Gadis disebelah
kirinya dipaksanya membuka pakaian. Kesempatan ini dipergunakan
oleh gadis yang  tadi menangis untuk lari keluar  tenda. Tapi sang
datuk lebih cepat. Begitu berhasil menangkap  gadis ini langsung
seluruh pakaiannya dirobek-robek. Lalu  gadis itu di bantingkannya
ke alas  tenda. Selagi berada  dalam  keadaan terlentang tak berdaya,
Datuk Hantu Merah menindih tubuhnya.
Saat itulah terdengar suara ribut-ribut di luar. Lalu ada
seseorang berteriak, “Ketua! Ada yang tidak beres! Lekas keluar!”
“Bangsat rendah!  Apa yang tidak  beres!  Apa kalian tidak bisa
menyelesaikannya sendiri?!  Keparat!” teriak sang  datuk dari  dalam
tenda.
“Dua orang anggota ditemui mati!” terdengar orang di luar
berteriak memberi tahu.
“Anjing betul!” menyumpah Datuk  Hantu Merah. Cepat dia
mengenakan celana dan pakaiannya lalu menyembul keluar tenda.
“Ada apa hah?!” sentaknya pada anggota komplotan yang tegak
di depan tenda.  
Yang ditanya menunjuk ke arah kiri. Saat itu tampak beberapa
anggota Komplotan Hantu Merah menggotong  dua orang kawan
mereka  yang  sudah jadi  mayat  lalu meletakkannya di  hadapan sang
ketua.
Datuk Hantu Merah kerenyitkan kening  ketika  melihat mayat
dua anak buahnya itu. Mereka mati dengan leher hampir putus.
“Apa yang  terjadi?  Bagaimana  mereka bisa digorok begini rupa
tanpa ada yang tahu?!” bertanya Datuk Hantu Merah.
“Mayatnya kami temui di dalam  tenda sebelah  sana ketika
beberapa gadis di dalam tenda  berpekikan lalu berhamburan lari
keluar,” menerangkan salah seorang anggota komplotan.
“Apa  ada  yang  melihat siapa pembunuh mereka?!”  bertanya
perwira muda  bernama  Wulung  Kingkit yang  juga sudah ada
ditempat itu.
“Yang melihat adalah  dua gadis di dalam  tenda.  Tapi  kedua
gadis itu kabur entah kemana!”
“Bangsat rendah! Pasang lebih banyak  obor dan cari gadis-
gadis yang  melarikan diri itu!”  Datuk Hantu Merah  berpaling pada
Wulung  Kingkit. “Kau dan anak buahmu segera  lakukan
penyelidikan! Pembunuh itu harus dicari sampai dapat!”
Belum sempat Wulung  Kingkit menjawab, tiba-tiba terdengar
suara dari dalam kereta.
“Kalian tidak usah susah-susah mencari,  aku pembunuh dua
anggota komplotan bejat itu ada di sini!”
Lalu braak!
Pintu kereta  terdengar ditendang  hingga mental berantakan.
Dari dalam kereta keluar seorang pemuda berambut gondrong sambil
bertolak pinggang. Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wulung  Kingkit segera hunus  goloknya. Para anggota
komplotan lainnya  juga melakukan hal yang sama, segera mencekal
senjata masing-masing. Ketika lebih  dari selusin orang  hendak
menyerbu, Datuk Hantu Merah berseru.  
“Tahan! Sebelum dia kita cincang, aku ingin tahu siapa bangsat
gondrong ini adanya.” Lalu sang  ketua  maju empat  langkah dan
membentak.  
“Gondrong! Katakan siapa dirimu! Mengapa berani membunuh
dua anak buahku?!”
“Namaku Wiro Sableng! Aku membunuh dua anjing itu karena
dia hendak  memperkosa dua gadis  tak  berdaya!  Ketahuilah, masih
banyak orang-orang di  sini yang  bakal  menemui kematian karena
dosa terkutuk yang sama! Termasuk kau dedengkotnya!”
Marahlah Ketua Komplotan Hantu  Merah itu mendengar
dirinya disebut dedengkot. Maka, diapun berteriak memberi perintah.
“Bunuh bangsat gondrong ini! Cincang sampai lumat!”
Selusin orang bergerak. Selusin senjata berkelebat.
Saat itu terlihat sinar menyilaukan menyambar dibarengi suara
mengaung macam ratusan tawon mengamuk. Lalu…
Trang…!
Trang…!
Trang…!
Suara  senjata beradu susul menyusul  yang ditingkahi oleh
suara jeritan-jeritan kematian!
Empat anggota  Komplotan Hantu Merah tergelatak roboh
mandi darah. Lalu menyusul dua orang  lagi. Melihat ini enam orang
lainnya menjadi  ciut  nyalinya.  Hendak  melompat  mundur  mereka
takut pada sang ketua. Kalau maju terus pasti menerima nasib sama
seperti enam kawan mereka itu!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba  terdengar teriakan Ketua
Komplotan Hantu Merah.
“Mundur  semua! Biar aku yang mematahkan batang  lehernya!
Akan kubetot jantung dan isi perutnya!”
Dari mulut sang datuk terdengar suara berkeretekan rahang
dan gerahamnya yang  saling beradu. Matanya  merah membara.
Berewoknya  dan kumis tebalnya berjingkrak. Dia melompat ke
hadapan Pendekar 212 dengan tangan kosong.  
Melihat  orang tak bersenjata murid Sinto  Gendeng ini segera
simpan Kapak Maut  Naga Geni 212. Waktu itulah Wulung Kingkit
berbisik pada ketuanya.
“Ketua, kalau aku  tidak salah manusia bernama Wiro  Sableng
ini adalah pendekar yang  menyandang  gelar Pendekar Kapak Maut
Naga  Geni 212. Aku merasa sangat pasti setelah melihat senjatanya
tadi!”
“Aku tak pernah dengar nama dan gelar itu!  Sekalipun setan
dihadapanku aku tidak takut. Kau kepinggirlah Wulung Kingkit!”
“Jangan, Ketua. Biar aku saja yang  bicara padanya. Aku akan
menawarkan sesuatu padanya asal kita bias selamat…!”
“Aku baru tahu kau sepengecut itu  Wulung Kingkit!” bentak
Datuk Hantu Merah dengan mata melotot.
“Ketua, ini bukan soal pengecut atau  apa. Manusia satu ini
bukan lawan kita…!”
Datuk Hantu Merah tertawa dan usap  berewoknya  sesaat lalu
mendorong Wulung Kingkit ke samping. Tapi saat itu Wulung Kingkit
yang sudah tahu apa yang bakal terjadi cepat mendahului melompat
ke hadapan Wiro Sableng.
“Pendekar 212, aku  bicara membawa usul. Habisi semua
perkara antara kita. Tinggalkan tempat ini dan kau boleh membawa
semua gadis itu!”
Wiro keluarkan siulan keras lalu tertawa lebar.
“Usul yang menggiurkan perwira palsu!” jawab Wiro.
Wulung  Kingkit terkesiap. “Bagaimana  bangsat ini tahu aku
perwira palsu…?” dia bertanya dalam hati.
“Pendekar, apa yang aku usulkan adalah atas nama Kerajaan…
Kau boleh tidak menghormati diriku dan kami semua. Tapi kau wajib
menghormati Kerajaan!”
Wiro tertawa bergelak.
“Perwira tengik! Ternyata  otakmu bukan  cuma bisa berpikir
keji, tapi juga pandai  mengatur  rencana licik! Kalau kau mau
memberikan  kepala  Komplotan Hantu  Merah padaku, baru aku mau
membuat urusan ini selesai!”
Mendengar ucapan Wiro itu, Datuk Hantu Merah menggembor
marah. Dia menerjang ke  depan. Kali   ini Wulung  Kingkit tidak mau
mencegah lagi. Dia cepat  menyingkir ke  samping  dan diam-diam
mulai berpikir untuk melarikan diri.
*  *  *
Tegak berhadapan-hadapan begitu rupa  tinggi Pendekar 212
hanya sampai sebahu Datuk Hantu Merah. Tangan sang  datuk yang
panjang melesat  ke arah batang  leher  Wiro. Pendekar  212  cepat
menunduk lalu hantamkan tinjunya ke perut lawan.
Buukk!
Jotosan itu tepat mendarat di perut Datuk Hantu Merah. Mata
orang  ini membeliak  besar dan mukanya  yang  bopeng mengerenyit.
Tapi tubuh dan kakinya tidak bergeming sedikitpun!  
Wiro  memukul sekali  lagi.  Saat inilah  tangan kiri sang datuk
berkelebat laksana pentungan menabas dari kiri ke arah batang leher
Wiro  sementara tangan kanannya bersiap-siap untuk  menggebrak
yaitu jika Wiro membuat gerakan menangkis atau menghindar.
“Bangsat ini tahan pukulan rupanya. Aku mau lihat apa dia
tahan yang  satu ini.”  Membatin Wiro lalu dia jatuhkan diri  berlutut.
Tangan kiri lawan menyambar di atas kepalanya. Tangan kanan yang
berusaha  menggapai  ke depan dipukulnya dengan tangan  kiri. Dua
lengan beradu keras.  Tetap saja si tinggi kurus  itu tidak bergeming
walau mukanya  jelas  mengerenyit menahan sakit. Wiro pergunakan
kesempatan. Tangan kanannya meluncur ke  depan menarik  keras-
keras celana merah sang datuk yang memang tidak terkancing betul.
Lalu dengan tangan  kirinya Wiro mendorong tubuh Datuk Hantu
Merah. Karena kedua kakinya tertahan  oleh celana yang merosot,
sang  datuk hilang  keseimbangan lalu, Brukk! Dia jatuh terduduk di
tanah!
Sesaat Wiro hendak menghantam kepala lawannya, di bagian
lain terdengar jeritan-jeritan keras. Anggota Komplotan Hantu Merah
Nampak lari kian kemari  menyelamatkan diri. Namun banyak
diantara mereka  yang  jatuh bergelimpangan di tanah dan  menemui
ajal dalam keadaan mengerikan. Ada yang  perutnya jebol, ada yang
mukanya hancur! Wiro  mengendus  dalam-dalam. Dia mencium bau
sesuatu….!
“Bau itu…” desis Wiro. “Bau bunga kenanga!”
Lalu dia dikejutkan oleh satu sosok  tubuh yang  jatuh di
sampingnya. Ternyata adalah sosok tubuh Wulung Kingkit si perwira
palsu. Mukanya  tampak  berlumuran  darah dan di mata  kirinya
menancap bunga kenanga!
Baik Wiro  maupun Datuk Hantu Merah sama-sama mengenali
bunga  itu. Sang  datuk yang  hendak  melabrak dengan  satu serangan
tangan kosong serta merta batalkan niatnya.
“Bunga mayat…” desis sang datuk. Dia melompat berdiri sambil
tarik  keatas celana merahnya dengan susah payah. “Dewi Bunga
Mayat!”  desisnya  lagi  penuh  ketakutan. Dia tidak lagi  perdulikan
Wiro. Wiropun tidak lagi  perdulikan manusia satu itu. Yang ada
dalam benaknya  saat itu adalah Bunga si  dara jelita. Jadi dia ada
disini!
“Bunga! Bunga…!” teriak Wiro  berulang kali. Dalam kegelapan
malam  dia melihat seorang  berpakaian serba  putih menunggangi
kuda putih. “Bunga!” memanggil  Wiro.  Akhirnya ditemuinya juga
gadis yang  dicari-carinya  selama  ini. Dia  berlari ke arah kuda dan
penunggangnya. Namun saat itu si  penunggang  telah menggebrak
kuda putihnya mengejar Datuk Hantu Merah yang  tengah melarikan
diri. Begitu terkejar si penunggang jambak rambut sang datuk lalu
menyeretnya beberapa belas  langkah.  Begitu  melewati sebatang
pohon besar kepala itu langsung dihantamkannya ke badan pohon.
Praakkk!
Kelapa dan pohon  beradu. Tak  ampun kepala itu pecah dan
menggeletak mengerikan  ketika  si penunggang  kuda
melemparkannya ke tanah.
“Bunga!” teriak Wiro.
Orang diatas kuda putih  menoleh. Lambaikan tangan sambil
tersenyum lalu membedal kudanya.
“Bunga!” teriak Wiro  lagi. Kelabakan dia mencari kuda yang
bisa dibedal.  Begitu  dapat, Wiro  langsung  mengejar kuda putih dan
Dewi Bunga Mayat si penunggangnya!
Keluar dari  hutan Jatiroto  sang  dewi ternyata  melarikan
kudanya ke daerah persawahan  dan berhenti  di sebuah bangunan
kecil di tepi sawah tepat dekat sebuah mata air.
Wiro  sampai pula  di  bangunan kecil itu  dan dapatkan Bunga
telah duduk di dalam, memandang  padanya sambil tersenyum.
Seperti lupa diri Wiro langsung melompat merangkul sang dara.
“Bunga… Aku mencarimu berhari-hari.  Rasanya  seperti mau
gila tidak melihatmu….” berucap Wiro.
“Seperti mau gila berarti belum gila benaran kan?!” ujar Bunga.
“Ah, kau masih tega  mempermainkanku!  Kemana  saja  kau
selama ini… Bagaimana kau tahu-tahu bisa muncul di hutan
Jatiroto?”
“Eh, pertanyaanmu banyak amat! Apakah semua itu sangat
penting bagimu…?”
“Tentu saja  penting! Kini aku menemuimu. Jangan harap aku
akan melepaskanmu Bunga. Aku akan ikut kemana kau pergi…!”
Perlahan-lahan Bunga melepaskan pelukan Wiro. Sambil
menatap  mata pemuda itu dia berkata, “Tidak mungkin Wiro. Tidak
mungkin kau mengikuti kemana aku pergi…”
“Tidak mungkin bagaimana? Bukankah aku sudah bilang kalau
aku mencintaimu. Eh…” ucapan Wiro terputus.
“Mengapa kau tidak meneruskan kata-katamu , Wiro? Apa kau
menyesal telah mengakui isi hatimu…?”
“Bukan… Aku tidak menyesal. Dengar, aku pernah bermimpi
diatas  kuburan…” lalu Wiro menceritakan mimpinya  waktu dia
duduk ketiduran diatas batu hitam di pekuburan Batuwungkur.
Bunga tertawa lebar mendengar cerita itu lalu ulurkan kedua
tangannya memegang  jari-jari sang  pendekar. Wiro  angkat kedua
tangan si gadis, menciumnya berulang-ulang. “Aku tak mau berpisah
lagi denganmu Bunga…” bisik Wiro lalu mendekap sang  dara erat-
erat ke  dadanya. Wiro lalu merasakan Bunga  membalas
rangkulannya itu. Keduanya  hanyut dalam perasaan  yang seolah-
olah menjadi  satu. Walau mereka berpeluk dan  berciuman, namun
dihati sang  Pendekar 212 sama sekali tidak  ada gejolak hawa nafsu.
Sentuhan cinta kasih yang tulus lebih menggema di dalam tubuh dan
aliran darahnya.
“Bunga..,” bisik Wiro.
“Wiro…,” balas berbisik Bunga.
“Kita tidak akan berpisah lagi bukan…?”
“Apa  yang kau inginkan  itu juga menjadi keinginanku, Wiro.
Tapi saat ini…”
“Jangan katakan tapi, Bunga. Aku akan membawamu  pada
guruku di Gunung Gede. Lalu aku akan menemui orang  tuamu.
Aku…”
Jari-jari tangan Bunga menempel di  atas  mulut Pendekar  212
hingga Wiro tidak bisa meneruskan ucapannya.
“Saat ini aku harus  pergi Wiro.  Sebentar  lagi hari akan  pagi.
Ada sesuatu yang  harus  kulakukan…” Bunga melepaskan
pelukannya. Lalu cepat sekali dia melompat ke punggung kuda putih.  
“Bunga…” Wiro hendak mengejar. Lalu  didengarnya gadis itu
berkata, “Jika kau ingin  bertemu lagi  datanglah ke kedai  Aki  Sukri
tiga malam  di muka. Aku menunggumu di sana… Saat  ini
bagaimanapun  tulusnya  perasaanmu padaku, janganlah mengejar
atau mengikutiku. Berjanjilah Wiro…”
“Aku berjanji Bunga. Demi cintaku padamu…”
“Dan cintaku padamu…” sahut Bunga.
“Ah! Jadi… kau juga mencintaiku Bunga…?” Tanya Wiro.
“Aku… aku tidak  bisa menipu  perasaanku sendiri.  Aku tak
mungkin melawan  kodrat…” jawab sang  dara lalu mengusap leher
kudanya dan tinggalkan tempat itu.
Wiro merasakan kesejukan dalam dirinya mendengar kata-kata
itu. Dia  mengikuti kepergian Bunga dengan pandangan  mata dan
senyuman sampai akhirnya sang  dara lenyap dikejauhan dalam
kegelapan malam yang menjelang pagi itu.
*  *  *
SORE  ITU SUNTINI dan suaminya  duduk bersama Menak
Tunggoro  sang ayah sambil menikmati teh manis  hangat di langkan
samping rumah besar kediaman mereka.
“Ayah, kami berdua benar-benar gembira melihat ayah kembali
berkumpul lagi di rumah besar ini…” berkata Suntini.
Menak Tunggoro tersenyum.
“Besar kegembiraan kalian berdua, lebih besar lagi rasa
gembiraku, Suntini…”
“Lalu apakah lusa  ayah  akan menghadap  Adipati  untuk
menerima jabatan yang ditawarkan beliau…?” yang  bertanya adalah
Sadewo, sang menantu.
“Itu yang  masih jadi  pikiranku. Kalau aku datang  berarti
setengahnya aku bisa dianggap sudah menerima jabatan itu. Padahal
rasanya aku belum siap…”
“Diterima atau tidak sebaiknya ayah tetap datang. Paling tidak
ayah sudah menghormati tawaran dan menghormati Adipati.”
“Ucapan Kangmas Sadewo memang betul ayah. Ayah harus ke
sana  menmui Adipati. Mungkin ayah perlu bertukar pikiran dengan
beliau…”
Menak  Tunggoro tertawa dan memegang  tangan anak
perempuannya  itu. “Sudah maghrib…” katanya. “Aku harus
sembahyang dulu…”  
Orang tua ini berdiri. Sesaat dia ingat sesuatu. “Ayah melihat
banyak orang berjaga-jaga  di sekitar  rumah kita  ini. Ada apakah?”
Menak Tunggoro berpaling pada menantunya.
“Tidak  ada apa-apa, ayah.  Sekedar untuk  berjaga-jaga  dari
maling saja…” jawab sang menantu.
“Ah, sudah banyak maling  rupanya  di pinggiran kota  ini!?”
Menak Tunggoro mengangguk-angguk lalu masuk ke dalam.
*
*    *
Udara malam itu terasa panas. Di atas ranjang di dalam kamar
mereka, suami istri Suntini dan Sadewo tengah bermesraan.
“Setiap kau terlambat datang bulan, aku selalu merasa gembira
karena mengira kita bakal dikaruniai anak… Ternyata sampai saat ini
masih belum…” berkata Sadewo sambil mengelus perut istrinya yang
putih. Suntini menggeliat kegelian.  Dia merangkul  tubuh suaminya
erat-erat dengan tangan dan kakinya. Ketika dia menaikkan
kepalanya,  tak sengaja  dia memandang ke arah jendela yang
hordengnya tersingkap. Saat  itulah dia melihat ada sosok seseorang
memperhatikan ke  arah dalam kamar. Langsung wajah Suntini
menjadi pucat dan sekujur tubuhnya bergeletar.
Mula-mula Sadewo mengira  tubuh istrinya bergeletar karena
rangsangan birahi. Namun ketika dilihatnya  kedua mata  Suntini
melotot ke arah jendela kamar dan mulutnya bergerak-gerak tapi tak
ada  suara yang  keluar, Sadewo cepat berpaling  ke  arah yang
dipandang istrinya.
“Dia.. dia datang lagi…” bisik Suntini. Suaranya seperti kelu.
Lelaki itu  serta merta melompat dan mengenakan pakaiannya
dengan cepat. Sebuah kelewang yang tergantung di dinding kamar di
sambarnya. Lalu dia membuka pintu dan lari keluar.
“Mas  Sadewo! Jangan tinggalkan  aku mas! Aku takut!” teriak
Suntini.
Tapi Sadewo terus lari keluar. Saat itu sosok yang tadi tegak di
luar jendela sudah lenyap. Sadewo lari  ke langkan depan rumah
dimana terdapat kentongan kayu. Kentongan itu dipukulnya berulang
kali sampai enam orang lelaki bertubuh tegap muncul dihadapannya.
“Lekas siapkan obor dan kuda!  Makhluk itu muncul lagi!
Malam ini kita harus membuatnya kapok! Membunuhnya!”
“Tapi kalau makhluk itu makhluk halus  seperti katamu ‘den,
bagaimana mungkin kita bisa membunuhnya?!” tanya salah seorang
yang datang menghadap.
“Diam!  Kau tahu apa! Turut  saja perintah! Ki Dukun telah
mengatur segala  sesuatunya! Kita tinggal menjalankan! Lekas
siapkan obor dan kuda!” teriak Sadewo marah.
Enam orang itu segera berlalu. Tak lama kemudian mereka
kembali membawa tujuh ekor kuda dan tujuh buah obor menyala.
Sadewo melompat ke atas salah seekor kuda,  mengambil
sebuah obor lalu memberi isyarat agar enam orang pembantunya
mengikutinya.
Sadewo memimpin rombongan berkuda itu menuju bagian
pinggir selatan kota.
“Masih belum kelihatan den. Apa raden merasa pasti makhluk
itu lari ke jurusan sini?”
“Ki Dukun yang  berkata  begitu…” sahut  Sadewo. Dia  memacu
kudanya terus. Tak lama kemudian mereka memasuki satu jalan
menurun. Di  depan mereka terdapat  sebuah jembatan  bambu yang
melintang  di atas sebuah jurang dalam. Dulunya jurang  itu
merupakan sebuah aliran sungai. Namun karena tidak dialiri air lagi,
sungai dalam itu berubah menjadi jurang.
“Raden!” tiba-tiba salah seorang dari enam pembantu berteriak
seraya menunjuk ke depan. “Lihat, Raden! Makhluk itu ada di depan
sana!”
Semua kepala  dipalingkan ke  arah yang ditunjuk. Memang
benar. Di depan sana, beberapa belas tombak dari  jembatan bambu
tampak penunggang kuda  putih tegak tak bergerak seolah-olah
sengaja menunggu mereka.
“Kejar!”  Perintah Sadewo. “Ingat! Begitu kalian berhasil
mengejar, tusukkan obor ini ke kepala dan tubuh orang itu! Dia pasti
kapok! Mati konyol dimakan api dan tidak  akan mengganguku lagi!
Jalan!”
Tujuh kuda melompat  ke depan menuruni  jalan menuju
jembatan bambu. Saat itu kuda putih di depan sana tampak bergerak
pula,  melewati jembatan bambu  dengan perlahan-lahan. Sepertinya
sengaja  menunggu rombongan Sadewo di sebelah belakang. Ketika
melewati  jembatan  bambu, orang  berkuda putih keluarkan sebuah
benda dari sebuah kantong dekat leher kuda.  Ternyata segulung tali
besar  yang  ujungnya  ada  kaitan besinya. Tali ditebar dan diputar-
putar. Sesaat akan keluar dari  jembatan bambu, tali itu melesat  ke
bawah dan besi  pengaitnya  bergelung  di sebuah tiang  bambu yang
menjadi pusat daya tahan berat jembatan.
Di sebelah belakang tujuh penunggang kuda menderu di  atas
jembatan. Saat  itulah penunggang  kuda putih keluarkan tawa
cekikikan. Dia  menggebrak kuda tunggangannya. Kuda putih itu
melompat kencang. Tali berkait besi tersentak dan langsung menarik
tiang bambu di kolong jembatan. Begitu tiang berderak patah, tak
ampun lagi goyahlah bambu-bambu penopang  lainnya. Jembatan
bambu itu langsung runtuh  berderak. Tujuh peunggang kuda
bergemuruh jatuh ke dalam jurang. Suara ringkik kuda dan suara
jeritan tujuh  orang itu menjadi  satu  merobek  kesunyian malam
secara teramat mengerikan.
Lalu sunyi.  Penunggang kuda  putih campakkan tali yang
dipegangnya ke  tanah. Dia  berlalu sambil  menabur  tawa cekikikan
penuh kepuasan!
*  *  *
SORE  TADI JENAZAH  Raden Sadewo dan enam orang  lelaki
yang menjadi korban jatuh ke dalam jurang telah dimakamkan. Atas
permintaan istrinya, jenazah tidak  dikubur  di pemakaman
Batuwungkur yang terletak cukup jauh dari Sleman tempat kediaman
almarhum, tapi dimakamkan di pekuburan Kebalentoro di tenggara
kota.
Malam  itu suasana  di gedung kediaman Menak Tunggoro
kelihatan sunyi senyap. Hanya  sebuah  lampu minyak saja yang
tampak menyala di  bagian belakang  rumah besar.  Penghuninya
mungkin telah lelap  keletihan karena siangnya melakukan berbagai
upacara sampai saat terakhir pemakaman Raden Sadewo.
Dalam kesunyian dan kegelapan itu tiba-tiba  tampak jendela
bekas kamar almarhum terbuka. Lalu satu sosok menyelinap keluar,
bergegas  menuju halaman belakang. Disini dia  masuk ke  dalam
kandang kuda. Tak lama kemudian orang tadi tampak keluar sambil
menuntun seekor kuda. Di luar halaman rumah besar baru dia naik
ke punggung kuda dan memacu binatang itu ke arah barat Sleman.
Ki Dukun Sambarekso tersentak kaget dari tidurnya ketika ada
yang  mengetuk pintu rumahnya keras sekali. Dia terduduk di tepi
ranjang dan memasang  telinga. Suara ketukan itu kini dibarengi oleh
suara orang memanggil.
“Ki Dukun! Lekas  buka  pintu! Aku  perlu  bicara denganmu!  Ki
Dukun Sambar! Buka Pintu!”
Itu suara perempuan!
Orang tua hampir tujuh  puluh tahun  ini tapi masih bertubuh
kekar bangkit dari ranjangnya, bergegas keluar kamar. Setelah
menyalakan lampu minyak di ruangan depan dia langsung membuka
pintu. Begitu pintu terbuka, sebatang  golok  tahu-tahu sudah
melintang  di  tenggorokannya!  Membuat dia  melangkah mundur
ketakutan dan akhirnya punggungnya tertahan dinding rumah.
“Den ayu Suntini…” desis Ki Dukun ketika dia mengenali siapa
adanya yang  menempelkan  golok ke  lehernya. “Kau  datang malam-
malam  begini dan mengancamku dengan sebilah golok, ada
apakah…?!”
“Kau tahu suamiku meninggal karena  kecelakaan masuk
jurang?!” sentak perempuan yang  memegang  golok yang ternyata
adalah Suntini, puteri Menak  Tunggoro,  bekas  istri almarhum
Sadewo.
“Aku tahu, den ayu…”
“Kejadian itu adalah karena kesalahamu!”
“Ke… kesalahanku? Aku tidak mengerti?!”
“Kau akan mengerti kalau lehermu sudah ku sembelih!”
“Tunggu! Jangan den ayu…! Jangan menuduhku begitu…”
“Jangan berani berdusta! Beberapa waktu lalu suamiku pernah
datang padamu meminta petunjuk….”
“Betul den ayu. Itu memang  betul. Dia memberi  tahu adanya
gangguan atas dirimu dan dirinya sejak  tiga bulan terakhir  ini. Aku
memberi perunjuk dan sebuah jimat untuk keselamatan…”
“Dan karena  petunjuk serta jimatmu itu  suamiku mati masuk
jurang bersama  enam pembantunya!  Kau harus tebus  nyawa
suamiku dengan nyawa tua bangkamu!” Golok ditangan Suntini
menekan. Ki Dukun terpekik dan darah mengucur dari luka  di
lehernya.
“Den ayu… jangan… jangan bunuh diriku. Kurasa… kurasa
suamimu melakukan  kesalahan. Jangan-jangan dia melakukannya
tidak sesuai petunjukku….”
“Tidak sesuai petunjuk bagaimana…?!” sentak Suntini.
“Waktu suami den ayu datang  terakhir  aku pernah
memesankan, jika dia  hendak menghadapi si  penggangu,  dia  musti
berada dalam keadaan suci…”
“Suci? Suci bagaimana…?”
“Dirinya  harus dalam keadaan bersih.  Kalau sebelumnya dia
perhan berhubungan badan dengan den  ayu maka  dia harus  mandi
basah lebih dulu. Kalau tidak… itulah bahayanya…”
“Kau dusta! Kau sengaja mencari  dalih agar bisa  cuci tangan!
Biar kubunuh kau saat ini juga!”
“Kalau kau bunuh diriku, berarti kau tak akan pernah bebas
dari si pengganggu itu! Aku masih ada cara lain untuk menolongmu
den ayu!” tiba-tiba Ki Dukun berkata.
Suntini yang  hendak menekankan goloknya dalam-dalam ke
leher si orang tua urungkan niatnya. Dengan mendelik dia
membentak, “Apa yang ada dalam otakmu, Ki Dukun?!”
“Aku punya senjata rahasia bernama Pisau Daun Sirih. Dengan
senjata itu kau bisa menyingkirkan si penggangu. Asal kau mau dan
benar-benar mengikuti petunjukku…”
“Baik  kuberi kau kesempatan sekali  lagi.  Jika  tidak berhasil
jangan harap kau bisa  lolos  dari kematian!” Suntini turunkan
tangannya yang memegang  golok. Ki Dukun merasa  lega. Sepasang
mata  orang tua  itu tiba-tiba tampak  berkilat seperti memancarkan
sesuatu. Pandangannya menembus ke mata Suntini.
“Ada  satu syarat yang  harus  kau penuhi terlebih dulu den
ayu…” kata Ki Dukun perlahan.
“Jangan takut, kalau berhasil pasti akan kuberi hadiah uang!”
“Tidak, bukan  uang. Ku inginkan  dirimu…” Dari mata  Ki
Dukun menyambar  kembali kilatan cahaya aneh  itu.  Seperti  orang
terkena sihir  Suntini hanya  diam  saja ketika si  orang  tua mulai
membukai pakaiannya. Di lain saat perempuan muda ini sudah
berada  dalam  keadaan polos dan mengikuti saja  ketika  Ki Dukun
membimbingnya ke dalam kamar!
*  *  *
MATAHARI BARU SAJA tenggelam ketika Wiro masuk ke dalam
kedai. Aku  Sukri si  pemilik  kedai  segera mendatanginya dan hendak
mengatakan sesuatu. Tapi Wiro cepat  memegang  bahu Aki  Sukri,
menekannnya sedikit hingga pemilik kedai itu mengerenyit kesakitan.
“Aku tahu kau tidak  suka  melihat kedatanganku. Tapi jangan
banyak bicara. Ini uang. Terima!” berkata Wiro lalu masukkan dua
keping uang ke dalam saku si pemilik kedai.
Mau tak mau Aki Sukri menerima  saja uang itu lalu bertanya,
“Kau tidak ingin memesan makanan atau minuman?”
“Tidak, aku akan menunggu seorang sahabat! Nanti saja kalau
dia sudah datang…” jawab Wiro.
“Sahabat yang kau maksudkan itu, apakah dia dara temo hari?
Yang  katamu  bergelar  Dewi  Bunga Mayat?” tanya  Aki Sukri dengan
wajah berubah.
“Siapa dia  kau tak usah tahu. Lihat  saja nanti siapa yang
datang!” habis  berkata begitu Wiro lalu  duduk di sudut kedai yang
agaknya kegelapan.
Malam  terasa  merayap sangat  perlahan. Sampai menjelang
tengah malam  Wiro masih duduk di  tempatnya dalam keadaan
terkantuk-kantuk. Dan  orang yang ditunggunya masih belum
muncul.  
Aki Sukri mendatangi sang pendekar lalu berkata,  “Maafkan,
aku bukan  mengusir. Tapi kedai ini sudah mau kututup, anak
muda…”
“Orang  yang  kutunggu masih belum datang.  Tunggu sebentar
lagi, Aki…”
Aki Sukri keruk saku bajunya dan keluarkan dua keping uang
yang tadi diberikan Wiro, lalu letakkan di atas meja.
“Ini uangmu. Ambil kembali dan pergi dari sini…”
Pendekar 212  tersenyum. Dengan tangan kirinya  didorongnya
pemilik kedai itu seraya berkata, “Orang yang ku nanti sudah datang.
Kau tak usah menceloteh lagi, Aki. Siapkan dua kopi hangat…”
Aki Sukri berpaling  ke arah pintu.  Saat  itu dilihatnya  seorang
dara berwajah  cantik  berpakaian  putih melangkah masuk,
melangkah menuju  sudut dimana  Wiro  menunggu  sambil berdiri.
Pemilik kedai ini mengenali dan ingat betul, dara ini adalah dara yang
tempo hari datang ke kedainya, yang menurut si anak muda bergelar
Dewi Bunga Mayat! Betul dia rupanya yang datang! Penuh rasa takut
Aki Sukri menyiapkan dua cangkir kopi.
“Kau pasti sudah kesal  karena lama menunggu…”  kata Bunga
lalu duduk dekat-dekat di samping Wiro.
Pendekar 212  pegang tangan Bunga dan menjawab, “Seratus
tahunpun aku bersedia  menunggumu.  Aku tahu kau  pasti akan
datang Bunga. Aku sudah memesan kopi panas untuk kita berdua…”
“Aih aku tidak  pengopi. Tapi  tak  apa. Malam ini malam
istimewa  bagi kita berdua. Aku akan minum kopi hangat
bersamamu…”
“Setuju! Malam ini malam istimewa bagi kita berdua. Kau mau
aku memesan makanan…?”
“Tidak usah. Kopi saja sudah cukup…”
“Apakah kau baik-baik saja selama  beberapa hari ini?” tanya
Wiro.
“Ya… ya. Kau sendiri bagaimana?” balik bertanya Bunga.
“Ah, aku selalu ingat-ingat dirimu. Susah kalau sudah jatuh
cinta begini…!”
Wiro  lantas tertawa  sedang wajah Bunga tampak kemerahan.
Wiro angkat tangan kanan si gadis yang dipegangnya lalu diciumnya
berulang kali.
Saat itu terdengar suara orang berdehem.
Aki Sukri datang  membawa  dua cangkir kopi. Wiro tersipu
malu, Bunga tundukkan kepala. Dua cangkir kopi diletakkan di atas
meja.
“Bunga aku punya satu rencana besar…”
“Rencana besar apa, Wiro?”
“Rencana ini ada kaitanya dengan hubungan kita…”
“Hem… katakan maksudmu…”
“Aku akan menemui orang tuamu!”
“Eh, untuk keperluan apa?!” tanya Bunga heran.
“Aku hendak  melamarmu!”  jawab  Pendekar 212  tanpa tedeng
aling-aling.
Tentu saja Bunga jadi terkejut. Dia seperti  hendak tertawa
gelak-gelak, namun akhirnya gadis jelita ini tundukkan kepala.
“Aku… aku sekarang  baru sadar  kalau kau memang
bersungguh-sungguh…” ucap Bunga perlahan.
“Astaga!  Apa kau kira selama ini  aku  mempermainkanmu?
Katakan, kapan aku bisa ketemu kedua orang tuamu. Besok…? Eh,
rumahmupun aku belum tahu! Bagaimana ini?!” Wiro memandang
lekat-lekat ke wajah jelita itu.
“Ibuku sudah lama meninggal Wiro….”
“Maafkan aku…”  kata Wiro  lalu garuk-garuk kepala. “Tapi
ayahmu masih ada ‘kan?”
Bunga mengangguk.
“Kalau begitu aku akan menemuinya. Bolehkah…?”
Bunga menatap  paras pemuda  itu sesaat, lalu  mengangguk
perlahan. Wiro kembali meremas dan menciumi tangan kanan Bunga.
Hatinya berbunga-bunga. Dadanya  seperti mau meledak  karena
kegirangan.
“Sekarang katakan di mana rumahmu…” bsisk Pendekar 212.
“Kapan kau mau datang, Wiro…?”
“Makin lekas makin baik. Besok…?”
“Datanglah ke Sleman. Cari rumah Raden Menak Tunggoro. Itu
ayahku…”
“Raden Menak  Tunggoro. Nama hebat! Ayahmu pasti seorang
yang hebat!” kata Wiro pula. “Lalu namamu sendiri siapa? Kalau aku
ketemu ayahmu, aku harus bilang mau bertemu siapa…?”
Sang  dara  tersenyum. “Namaku Suci…” bisiknya ke  telinga
Wiro.
“Suci… Nama bagus. Nama indah sekali…” ujar Wiro. Lalu
diciumnya kembali jari-jari tangan sang dara. “Eh, sebaiknya  kita
teguk kopi ini. Jangan sampai dingin…”
Suci  ulurkan tangan memegang  cangkir. Wiro melakukan hal
yang sama. Sesaat sebelum sepasang muda mudi yang dilanda cinta
ini mendekatkan cangkir  ke  bibir masing-masing dan meneguk  kopi
hangat itu, tiba-tiba mereka mendengar suara sesuatu di atap kedai.
“Aku mendengar  suara  sesuatu  berdesing  berputar-putar  di
atas  atap…” ujar  Pendekar 212 sambil turunkan cangkir dan
meletakkannya di atas meja  sementara  Bunga  masih memegangi
cangkir kopinya di depan dada.
“Aku juga mendengar…”  menjawab  Bunga. Wajahnya  jelas
tampak berubah.
“Aku mencium bau seperti kemenyan terbakar…” bisik Wiro
lagi.
“Aku juga mencium bau itu…” bisik Bunga. Suaranya bergetar.
Tiba-tiba suara mendesing itu  terdengar tambah nyaring lalu
sebuah benda menerobos atap kedai yang terbuat dari rumbia! Benda
ini langsung melesat ke  arah kepala Bunga  yang  duduk di samping
Wiro.
Bunga melompat berdiri. Cangkir di tangan kanannya terlepas.
Kopi hangat menyirami dada, perut dan bagian bawah kebaya
putihnya. Melihat bahaya besar  mengancam Bunga,  Pendekar 212
cepat dorong gadis  itu ke  samping  lalu  tangan kanannya
dihantamkan ke atas benda yang menukik melesat dari atas atap!
Sinar putih berkiblat menyilaukan. Kedai itu seperti diamuk
gempa dan hawa panas laksana membakar. Tidak tanggung-tanggung
Wiro  telah lepaskan pukulan ‘sinar  matahari’ demi menyelamatkan
orang yang dicintainya.
Atap kedai jebol dan terbakar karena hantaman sinar matahari.
Benda yang tadi melesat terpental kesamping dan jatuh tergeletak di
atas  meja. Meskipun sanggup dibuat mental tapi ternyata benda itu
tidak patah atau hancur,  apalagi leleh dihantam pukulan ‘sinar
matahari’.  Wiro dan bunga  memandang  membelalak pada benda di
atas  meja itu. Benda  ini adalah sebuah pisau aneh, badan dan
matanya berbentuk   daun sirih. Kelihatannya  terbuat dari tembaga
merah yang  seluruh badannya penuh ukiran tulisan-tulisan aneh.
Pada gagangnya yang juga  terbuat  dari tembaga terikat  sehelai  kain
putih. Di dalam kain putih ini  terdapat  beberapa  keping kemenyan!
Inilah Pisau Daun Sirih kiriman Ki Dukun Sambarekso!
Kedua muda-mudi itu baru sadar  ketika  mereka mendengar
pekik jerit  Aki Sukri yang kalang  kabut mendapatkan  kedainya
terbakar.
“Bunga…” Wiro  pegang  lengan gadis itu, “cepat keluar  dari
tempat ini…” Lalu  dipagutnya pinggang sang  dara. Sebelum lari
keluar kedai,  Bunga  masih sempat menyambar Pisau Daun Sirih
diatas meja.
Di satu tempat di  halaman belakang kedai keduanya  berhenti
berlari dan memandang ke arah kedai Aki Sukri yang terbkaar akibat
hantaman pukulan ‘sinar matahari’
“Kasihan pemilik kedai itu.  Aku harus  mengganti
kerugiannya…” Karena tak ada  jawaban  dari Bunga, Wiro  berpaling.
Saat itu dilihatnya si gadis berdiri  tidak bergerak. Kedua matanya
terpejam. Pisau Daun Sirih yang dipegangnya di tangan kanan
diangkat ke depan mulutnya lalu Bunga meniup tiga kali.
“Eh, apa yang tengah kau lakukan Bunga…?” tanya Wiro.
Bunga mengangkat Pisau Daun Sirih tinggi-tinggi di atas
kepalanya. Lalu terdengar dia membentak, “Pergi! Kembali ke asalmu!
Minum darah asal leluhurmu!”
Habis  membentak begitu, Bunga  lemparkan Pisau Daun Sirih
ke udara. Senjata iu melesat dan lenyap dalam kegelapan malam!
“Wiro, kita berpisah disini…” terdengar Bunga berucap.
“Eh… Aku…”
“Besok kau akan datang ke rumahku, bukan?”
“Ya, tapi malam ini…”
“Aku harus pergi Wiro,” kata  Bunga  pula lalu memeluk
Pendekar 212. keduanya  saling  berangkulan seperti tidak mau
dipisahkan lagi. Peluk rangkul dan kecupan saling bergantian
sementara di  sebelah sana Aki Sukri  masih kalang kabut berusaha
memadamkan api yang membakar kedainya.
*
*    *
Ki Dukun Sambarekso  tersentak dari samadinya. Telinganya
menangkap  suara mendesing dikejauhan. Makin  keras, makin  keras
tanda tambah dekat. Sesaat dia  mengenali suara  desingan itu,
pucatlah wajah sang dukun, dia melompat sambil berseru keras.
“Pergi! Pergi!  Bukan disini sasaranmu! Bukan disini asalmu!
Bukan disini leluhurmu! Pergi!”
Suara  berdesing  semakin keras. Lalu terdengar suara  jebolnya
atap bangunan disusul melesatnya sebuah benda! Benda ini langsung
mengarah Ki Dukun. Si orang  tua  menjerit keras  untuk kedua
kalinya.
“Pergi!” teriaknya. “Bukan disini asalmu!  Bukan disini
sasaranmu. Bukan… aakhhhhh!!!”
Pisau daun sirih menancap di tenggorokan ki dukun
sambarekso. Tubuhnya  langsung  roboh terjengkang. Kedua kakinya
kelojotan beberapa  kali.  Lalu diam tak berkutik lagi.  Orang  tua
tukang santet ini menemui ajal dengan mata  mendelik. Darah
mengucur dari tenggorokannya  yang ditembus senjata rahasia
miliknya sendiri. Anehnya darah  ini  tidak berwarna  merah tetapi
hitam pekat!
*  *  *
SORE  ITU  DENGAN PAKAIAN sangat bersih dan rapi Pendekar
212 Wiro Sableng berangkat ke  Sleman.  Tidak sulit baginya mencari
rumah kediaman  Raden Menak Tunggoro. Seorang    pelayan muda
menemuinya dan menanyakan maksud kedatangannya.
“Namaku Wiro  Sableng. Aku  datang  dari jauh guna menemui
Raden Menak Tunggoro. Apakah beliau ada di rumah…?”
“Majikan saya memang ada  di rumah. Bisakah saya
menanyakan maksud kedatangan raden…?” tanya si pelayan pula.
“Aku hem… Aku datang  untuk melamar anaknya,” jawab Wiro
polos.
Terkejutlah si pelayan. “Melamar anaknya…?” dia mengulang.
“Betul! Melamar anaknya!”
“Ah, pemuda  ini  pasti gendeng. Den ayu  Suntini baru kemarin
ditinggal mati suaminya. Kini dia  datang melamar!”  berkata  si
pelayan dalam hatinya. Tapi dia meminta agar sang tamu menunggu.
Dia akan menemui Raden Menak Tunggoro untuk memberi  tahu
kedatangannya.
Akan Raden Menak Tunggoro yang saat itu masih berada dalam
suasana  berkabung dan sangat letih  tentu saja  sangat  terkejut
mendengar penjelasan sang pelayannya.
“Orang  gila dari mana  yang kesasar  ke  rumah  ini!” katanya
jengkel. Tapi dia keluar juga dari kamarnya menuju ruang depan.
Pendekar 212 Wiro Sableng menjura memberi hormat.
“Apakah saya  berhadapan dengan Raden Menak Tunggoro?”
Wiro menyapa dengan sopan.
“Betul. Siapa  engkau anak muda?  Pelayan mengatakan  bahwa
engkau datang hendak melamar anakku?!”
Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepalanya.
“Memang betul  begitu. Harap  maafkan kalau saya berlaku
lancang. Sebelumnya saya  sudah bicara dengan putri bapak. Dia
menyetujui agar  saya  datang  kemari menemui  bapak untuk
meyampaikan lamaran…”
Raden Menak Tunggoro menatap pemuda dihadapannya lama-
lama lau berkata, “Putriku Suntini maksudmu…?”
Wiro menggeleng.
“Bukan, bukan yang bernama Suntini. Tapi Bunga…” kata Wiro
pula.
“Bunga…? Tak ada anak gadisku yang bernama seperti itu…”
“Ah,” Wiro tepuk keningnya. “maksud  saya Suci…”  katanya
cepat.
Berubahlah paras  Menak Tunggoro.  “Suci…?” desisnya
mengulang. Kedua  matanya kini memandangi Wiro dari kepala
sampai ke kaki. “Kau tidak keliru, anak muda…?”
“Maksud bapak, tidak ada gadis yang bernama Suci disini…?”
“Anak muda, masuklah…” Menak Tunggoro  memegang  bahu
Wiro, mengajaknya masuk ke dalam dan mempersilakannya duduk di
ruangan tamu.
Wiro  memandang berkeliling. Lalu berpaling  pada  Menak
Tunggoro. “Bapak  belum menjawab pertanyaan saya tadi. Betul  tak
ada…”
“Kapan kau bertemu dengan  Suci? Katamu kau sebelumnya
sudah bicara dengan dia…” Menak Tunggoro memotong ucapan Wiro.
“Malam tadi. Di kedai Aki  Sukri.  Apakah dia tidak
menceritakan pada bapak bagaimana dirinya hampir saja jadi korban
senjata rahasia…”
“Tunggu dulu anak muda. Coba  kau katakan sekali lagi!  Kau
bertemu dengan Suci malam tadi di kedai Aki Sukri. Betul begitu?!”
“Betul!”  jawab Wiro. Dia mulai tidak mengerti ucapan-ucapan
dan pertanyaan orang di hadapannya ini.
“Apakah sebelumnya… kau juga  pernah bertemu dengan
Suci…?”
“Beberapa kali. Dia gadis hebat. Kepandaiannya luar biasa. Dia
sanggup membunuh  lawan hanya  dengan setangkai  bunga  kenanga!
Itu yang membuat saya  kagum. Tidak heran  kalau orang-orang
menyebutnya dengan gelaran Dewi Bunga Mayat…!”
“Hah!” Menak Tunggoro terlompat dari kursinya. “Suci…” desis
orang tua ini. “Bagaimana mungkin…?!”
“Apa yang bagaimana mungkin, bapak?” tanya Wiro pula.
“Tidak mungkin anak muda. Tidak mungkin kau telah bertemu
dengan anakku  Suci. Tidak mungkin  dia yang  dijuluki  Dewi Bunga
Mayat itu…”
“Saya  tidak berdusta bapak. Atau  apakah saya perlu
bersumpah?!” tanya Wiro  lagi. “Saya benar-benar  tidak  mengerti
semua ucapan-ucapan bapak….”
“Tentu! Pasti  kau tidak mengerti  anak muda. Aku juga tidak
mengerti! Karena Suci anakku telah meninggal dunia tiga bulan lalu!”
“Apa?!” kini Pendekar 212  yang  tersentak kaget  dan terlompat
dari kursinya. “Bapak bergurau agaknya…?”
Menak  Tunggoro  menutup wajahnya dengan kedua  telapak
tangan. Kepalanya degeleng-gelengkan beberapa kali.  
“Aku tidak bergurau anak muda! Aku juga tidak berdusta. Ya
Tuhan…. Mengapa  semua  ini bisa terjadi? Dosa apa  yang aku buat
sehingga nasib anak-anakku tidak karuan begini rupa..?!”
“Bapak…” Wiro tak bisa meneruskan kata-katanya. Dia
melangkah ke pintu. “Orang  tua ini  mungkin saja  berdalih karena
tidak suka aku menjadi suami anaknya.  Tapi aku melihat  keanehan
dibalik semua ini…”
Saat   itu tiba-tiba Menak Tunggoro berdiri. “Anak  muda, jika
kau tidak percaya  mari ikut aku.  Aku akan antarkan kau ke  kubur
puteriku itu!”
Wiro  mengerenyit.  “Katakan dimana  Suci dikubur  kalau dia
memang betul-betul sudah meninggal dunia…”
“Di pekuburan Batuwungkur!” jawab Menak Tunggoro.
Wiro Sableng terbelalak.
“Kalau begitu memang  perlu kita kesana  sekarang juga
sebelum hari malam. Kau harus  membuktikan.  Kau harus
menunjukkan kuburnya!”  Suara Wiro  bergetar.  Tengkuknya
mendadak saja menjadi dingin dan sekujur tubuhnya keringatan.
Ketika dia membalik mendahului keluar  dari ruangan itu, dia
melihat seorang lelaki tua melangkah terbungkuk-bungkuk menuruni
tangga  langkan depan  rumah besar. “Orang tua  itu…. Aku tahu dia
sejak tadi mendengarkan pembicaraan. Siapa  dia…?”  bertanya Wiro
dalam hati.
Selagi dia  tegak dengan kepala  penuh tanda tanya  seperti itu,
Menak Tunggoro muncul diatas kereta terbuka. Dia memberi isyarat
pada Wiro  agar lekas  naik. Lalu  setelah Wiro naik, kusir  segera
mencambuk kuda penarik kereta. Saat itu sang surya bersinar merah
keemasan tanda tak lama lagi akan segera tenggelam.
*  *  *
Roda-roda  kereta bergemeletakan ketika memasuki tanah
pekuburan Batuwungkur. “Berhenti di  sini!” kata Menak Tunggoro.
Lalu turun dari kereta sementara Wiro sudah melompat duluan.
Dadanya berdebar keras seolah-olah ada sesuatu yang  hendak
meledak dari dalam!
Menak  Tunggoro memberi isyarat  agar mengikutinya di
hadapan sebuah makam  yang  ditumbuhi sepokok pohon kemboja
kecil orang tua ini berhenti.
Astaga! Wiro  segera mengenali,  itu  adalah  makam  dimana  dia
pernah melihat Bunga  berdiri lalu lenyap diantara bayang-bayang
kabut malam. Batu hitam yang  pernah didudukinya juga ada  disitu.
Matanya bergerak ke  arah papan nisan yang  mulai  lapuk. Lutut
Pendekar 212 goyah ketika matanya melihat  tulisan hitam
bertuliskan Suci di papan nisan itu!
“Bapak…” Wiro berpaling ke arah Menak Tunggoro.
“Kalau kau tanyakan bagaimana ini bisa  terjadi akupun tak
tahu jawabannya…”
“Tapi bagaimana saya bisa percaya kalau ini benar-benar
makam  Suci. Lalu siapa  gadis  yang saya  temui  selama ini…?  Gadis
cantik berkebaya putih…”
“Itulah pakaian yang dikenakannya ketika dia meninggal!” kata
Menak  Tunggoro.  “Sesuai pesannya,  dia minta agar dikubur  dalam
peti dengan  kebaya putih dan  celana  panjang putih lalu baru
digulung  dengan kain kafan. Ini  bukan kebiasaan menguburkan
jenazah seperti itu. Tapi Suci sendiri yang berpesan begitu…”
“Bapak… Kau mengizinkan kalau  makam ini dibongkar? Saya
hanya ingin melihat bahwa jenazah didalamnya benar-benar Suci…”
“Aku tidak mengizinkan makam  anakku dibongkar. Demi
Tuhan tak ada seorangpun  yang  boleh melakukan hal itu!” kata
Menak Tunggoro setengah berteriak.
“Kalau begitu biarlah aku pergi saja.  Biar  semua kejadian ini
berpangkal dan berujung pada  keanehan! Kenaehan yang  tidak
pernah terungkap…..”  
Wiro  berbalik dan ketika dia hendak  melangkah didengarnya
Menak Tunggoro berkata, “ Tunggu… Aku akan panggilkan penggali-
penggali makam…!” Lalu orang tua itu berseru memanggil  kusir
kereta.
Tak  lama kemudian tiga  orang penggali  makam datang  ke
tempat itu. Dua orang  membawa  pacul, datu membawa  sendokan
besar  seperti sekop. Sementara sang surya  sudah hampir masuk  ke
ufuk  tenggelamnya.  Daerah pekuburan Batauwungkur mulai
temaram.
“Lekas gali sebelum malam  turun!” ujar  Wiro  pada tiga
penggali. Dengan tangannya ikut menyibakkan tanah galian.
Tak!
Salah satu pacul membentur benda keras.
Wiro  tak tahan lagi.  Dia segera terjun  masuk ke  dalam lobang
kubur. Sekop di  tangan penggali kubur  diambilnya  lalu dia sendiri
melakukan penggalian dengan hati berdebar sampai akhirnya dia
melihat kayu penutup sebuah peti mati!
Dua orang  penggali makam  melompat ke atas. Menyusul
penggali yang  ketiga. Ada satu keanehan yang  membuat  mereka
merasa  ngeri ketika  melihat penutup peti mati yang  ternyata masih
dalam keadaan utuh, hanya rusak sedikit di beberapa sudut.
Kini  tinggal Wiro sendirian dalam  makam itu, dia mendongak
ke atas, pada Menak tunggoro.
“Bapak, izinkan saya membuka peti mati ini?!”
Menak Tunggoro tampak tegang. Lalu orang tua ini anggukkan
kepalanya.
Di dalam kubur Wiro pergunakan sekop untuk menguit tepi kiri  
peti mati.  Karena beberapa  bagian yang sudah lapuk, tidak sulit
membuka penutup peti mati itu. Begitu peti terbuka menebarlah bau
harum  bunga kenanga! Wiro seperti terpukau. Tangannya gemetar,
lututnya goyah. Dikuatkan hatinya. Dibukanya tutup peti mati itu
lebih lebar, lebih lebar hingga akhirnya tersingkap keseluruhannya!
Menak Tunggoro dan tiga penggali kubur sama-sama keluarkan
seruan tercekat. Wiro sendiri  untuk beberapa lamanya  tertegun
seperti patung!
Dalam peti mati yang  terbuka lebar  itu  kini terpampang  satu
keanehan luar  biasa  yang  sulit diterima  akal. Sosok mayat di dalam
peti mati itu tampak utuh seperti seorang yang  sedang  tidur. Dan
sosok mayat ini adalah sosok mayat  Suci! Wajahnya pucat  tapi
kecantikannya tetap nyata. Dia mengenakan kebaya panjang dan
celana panjang  putih. Disekitarnya  berserakan robekan  kain kafan
yang sudah melapuk.
Yang  membuat Pendekar  212 Wiro Sableng terbelalak adalah
ketika dia  melihat bagaimana pada dada, bagian perut dan bagian
sebelah bawah kebaya putih yang dikenakan mayat Suci jelas terlihat
bekas tumpahan kopi! Kopi yang tertumpah ketika malam tadi terjadi
serangan pisau daun sirih di kedai Aki Sukri!
“Suci…” bisik Wiro. “Keanehan atau keajaiban apa yang kau
berikan  padaku. Aku tak  percaya  bahwa  kau benar-benar sudah
tiada. Kalaupun itu memang kenyataan ketahuilah bahwa dirimu ada
dalam hatiku….” Wiro merasakan kedua matanya menjadi panas.
Kalau sebelumnya ada perasaan takut berada dalam kubur itu
dan menyaksikan mayat Suci, kini semua rasa takut itu lenyap tidak
berbekas. Diangkat  tangannya, dipegangnya tangan Suci yang
bersilang di atas perut. Lalu ditundukkannya kepalanya untuk
mencium kening  dan kedua pipi Suci. Terakhir sekali  dikecupnya
bibir mayat itu. Lalu terdengar suara isaknya. Inilah untuk pertama
kali dalam hidupnya Pendekar 212 menangis, sementara empat orang
di atas  sana tampak bergidik melihat apa  yang tadi dilakukan
pemuda itu.
“Suci…” Wiro  berbisik  ke  telinga  mayat. “Aku akan pergi.
Tidurlah dengan tenang. Bagiku kau tak pernah mati. Aku membawa
cinta kasih kita  yang  berpadu rindu dalam diri ini kemanapun aku
pergi. Kalau aku rindu akan kucium bunga kenanga yang ada dalam
sakuku. Aku pergi Bunga… Aku pergi Suci…”
Wiro Sableng  usap kedua matanya  lalu tutupkan penutup peti
mati. Perlahan-lahan  dia  naik  ke atas.  Ketika  sampai di atas  hari
sudah gelap. Tiga  penggali makam kembali  bekerja. Kali ini untuk
menimbun tanah kubur yang tadi digali. Ketika pekerjaan itu selesai,
Menak Tunggoro memegang bahu sang pendekar lalu berkata.
“Sekarang  kau  melihat sendiri  kenyataan ini, anak muda.
Kenyataan yang kita semua tak akan bisa mengerti. Inilah kekuasaan
Gusti Allah…”  Orang tua  itu diam  sesaat. “Aku akan segera kembali
ke Sleman. Kau ikut…?”
“Terima kasih.  Saya akan  tetap disini  malam ini…” jawab Wiro
pula.
Menak Tunggoro diikuti tiga penggali makam tinggalkan tempat
itu. Kini tinggal Wiro sendirian,  tegak termangu di hadapan Suci.
Tiba-tiba telinganya  mendengar suara bergemerisik  di sebelah kiri.
Sekali  lompat saja  murid Sinto Gendeng  ini berkelebat  ke  arah
setumpukan semak belukar.
“Ampun! Jangan pukul diriku!” terdengar suara orang
berteriak. Wiro cekal  leher  pakaian orang  itu. Ternyata  dia adalah
orang  tua bungkuk yang  dilihat  Wiro di gedung  kediaman Menak
Tunggoro.
“Apa yang kau lakukan disini?!” bentak Wiro antara marah dan
heran. “Kau sengaja memata-matai diriku! Siapa yang menyuruh?!”
“Aku… Aku tidak memata-mataimu… juga tak ada yang
menyuruh…” berkata orang tua itu.
“Lalu apa maksudmu mengikut sampai kesini,  sembunyi
dibalik semak belukar…?”
“Aku… aku bermaksud  baik,  anak muda. Ada sesuatu yang
ingin kuceritakan padamu. Aku… aku merasa kasihan padamu…”
“Tambah satu lagi keanehan di tempat  ini!”  ujar Wiro. “apa
yang hendak kau ceritakan padaku, orang tua?”
“Tentang riwayat orang yang kau cintai itu…”
Wiro pandang wajah tua keriput itu sesaat lalu berkata, “Kalau
kau memang punya cerita, ceritakanlah…”
“Aku bekerja sebagai pelayan di rumah Raden Menak Tunggoro
sejak lima puluh tahun lalu.  Apa  yang terjadi di rumah besar  itu
kuketahui semuanya. Juga tentang  kematian Suci tiga  bulan  yang
lalu. Dia mati tidak wajar….”
“Tidak wajar bagaimana?”
“Suci yang malang itu mati  diracun oleh  Sadewo  atas suruhan
Suntini, adiknya sendiri…”
Tentu saja  Wiro jadi  terkesiap mendengar keterangan  itu.
Untuk beberapa lamanya dia tidak bisa  berkata  apa-apa sampai si
orang tua bungkuk meneruskan ceritanya.
“Sebenarnya Suci  bukan  anak  kandung  Raden  Menak
Tunggoro. Dia adalah anak pungut karena selama enam tahun kawin
Raden Menak Tunggoro  tidak dapat anak dari istrinya. Tapi  setelah
satu tahun mengambil Suci  jadi anak  angkat, tahu-tahu istrinya
mengandung. Lalu lahirlah Suntini. Kedua kaka beradik tiri itu sama-
sama  menjadi dewasa dengan kenyataan bahwa  Suci jauh lebih
cantik dari adik tirinya.”
“Sebagai remaja  puteri, Suci  memiliki  seorang  kekasih  yaitu
Sadewo. Celakanya, Sadewo ini dicintai setengah mati  oleh Suntini.
Untuk merusak  hubungan Suci dengan Sadewo,  Suntini lalu
menceritakan siapa sebenarnya  Suci. Pemuda  itu ternyata menjadi
bimbang dan akhirnya  tenggelam  dalam  rayuan Suntini  yang
memang seorang gadis licik. Untuk menyingkirkan Suci maka Sadewo
disuruhnya meracun  Suci  dengan janji  bahwa  jika  mereka kawin
nanti setengah  dari kekayaan  ayahnya akan diserahkan pada
Sadewo. Dan Sadewo lalu meracun Suci. Itu terjadi tiga bulan lalu….”
“Nah, itulah yang bisa kuceritakan padamu anak muda. Apa
yang  terjadi  selanjutnya  kau  sendiri sudah tahu…. Selamat tinggal
anak muda. Aku harus pergi sekarang…”
“Terima kasih orang  tua.  Keteranganmu sangat berharga
bagiku…” jawab Wiro lalu memutar tubuhnya dan duduk di atas batu
hitam di samping makam.
Angin malam bertiup dingin. Kegelapan semakin memekat.
Pendekar 212 duduk tak bergerak.  Di telinganya  terngiang  kembali
kata-kata balasan yang diucapkan Suci….
“Aku berjanji Bunga. Demi cintaku padamu…”
“Dan cintaku padamu…”
T   A   M   A   T

Tidak ada komentar: