55. Wiro sableng – Pembalasan Pendekar Bule
PENDEKAR 212 WIRO SABLENG SESAAT BERDIRI MEMANDANGI BANGUNAN BESAR BERBENTUK JOGLO ITU.
“BANGUNAN BEGINI BESAR TAPI TIDAK SATU MANUSIAPUN KELIHATAN,” KATA MURID SINTO GENDENG
DALAM HATI. DI SAMPING KANAN BANGUNAN TAMPAK SEBUAH KERETA PUTIH. TAK JAUH DARI SITU SEEKOR
KUDA PUTIH TENGAH MENCARI MAKAN DI HALAMAN YANG BANYAK DITUMBUHI RUMPUT LIAR. BINATANG INI
TAMPAK GELISAH. SEBENTAR-SEBENTAR DIA MENEGAKKAN KEPALA LALU MERINGKIK. WIRO MENDEKATI
KUDA PUTIH INI LALU MENGUSAP-USAP LEHERNYA SAMPAI BINATANG INI TENANG KEMBALI, MALAH BALAS
MENGGESER-GESERKAN PIPINYA KE BAHU SANG PENDEKAR.
“NENEK HANTU BULAI! APAKAH KAU ADA DI RUMAH?!” WIRO BERTERIAK MEMANGGIL SESEORANG YANG
PUNYA GELAR ANEH YAITU SI PEMILIK RUMAH BESAR.
SUARA SANG PENDEKAR MENGGEMA SESAAT. DIA MENUNGGU. TAK ADA JAWABAN. WIRO BERSERU
SEKALI LAGI. SEKALI LAGI. TETAP HANYA KESUNYIAN YANG MENYAMBUT. DIA LALU MEMASANG TELINGA.
LAPAT-LAPAT DIA MENDENGAR SUARA SEPERTI AIR MENCURAH DI SEBELAH
TIMUR BANGUNAN.
“AGAKNYA ADA AIR TERJUN DI BELAKANG SANA…” PIKIR WIRO. LALU DIA PUN MELANGKAH CEPAT
MENUJU BELAKANG BANGUNAN. TANAH DI BAGIAN BELAKANG BANGUNAN BERBENTUK JOGLO ITU TERNYATA
MENURUN TAJAM MEMBENTUK SEBUAH JURANG KECIL. DI SEBELAH TENGAH ADA TANGGA YANG DIBUAT
DARI SUSUNAN BATU KALI. DI KIRI KANAN TANGGA TUMBUH RAPAT SEMAK BELUKAR DIPAGARI OLEH
POHOH-POHON BESAR. SUARA AIR YANG MENCURAH ITU DATANG DARI DASAR JURANG.
WIRO MELANGKAH MENURUNI TANGGA BATU DEMI BATU SAMBIL MENGHITUNG SEMENTARA SEPASANG
MATANYA MENGAWASI KEADAAN DI SEKITARNYA. PADA HITUNGAN KE TIGA BELAS, BERARTI PADA ANAK
TANGGA ATAU BATU KALI YANG KE TIGA BELAS, PENDEKAR 212 HENTIKAN
LANGKAH.
“ANGKA TIGA BELAS…” MEMBATIN PEN DEKAR 212. “AKU TIDAK PERCAYA SEGALA MACAM TAHAYUL, TAPI
KAKIKU MENDADAK SAJA TERHENTI PADA LANGKAH KE TIGA BELAS. HATIKU TIBA-TIBA SAJA MERASA TIDAK
ENAK…”
KEDUA MATA MURID SINTO GENDENG MENATAP TAK BERKESIP LURUS-LURUS KE DEPAN. DI UJUNG
TANGGA BATU MELINTANG SEBUAH SUNGAI KECIL DANGKAL PENUH DENGAN BEBATUAN BERWARNA HITAM.
DISEBERANG SUNGAI KECIL INI MENCURAH SEBUAH AIR TERJUN SETINGGI HAMPIR DELAPAN TOMBAK. YANG
DIPERHATIKAN PENDEKAR 212 BUKANLAH AIR TERJUN ITU, MELAINKAN SEBATANG POHON BERINGIN
YANG TUMBUH DI SEBELAHNYA. DAN BUKAN PULA POHON BERINGIN ITU YANG MENJADI PUSAT PANDANGAN
MATANYA, MELAINKAN SESOSOK TUBUH BERPAKAIAN SERBA PUTIH, BERKULIT BULAI, YANG TERGANTUNG DI
AKAR POHON, KAKI KE ATAS KEPALA KEBAWAH! RAMBUTNYA YANG PUTIH TERGERAI LEPAS, MELAMBAILAMBAI
DITIUP ANGIN. KEDUA TANGANNYA TERKULAI KEBAWAH!
“NENEK HANTU BULAI!” TERIAK WIRO TERCEKAT. TANPA PIKIR PANJANG LAGI MURID SINTO GENDENG INI
MELOMPATI TANGGA BATU, TERJUN KE DALAM SUNGAI DANGKAL, LARI KE ARAH POHON BERINGIN.
“NENEK BULAI! SIAPA YANG BERBUAT KEJI BEGINI RUPA TERHADAPMU?!” TERIAK
WIRO BEGITU SAMPAI DI HADAPAN SOSOK TUBUH YANG TERGANTUNG. LALU DIA SEGERA BERTINDAK UNTUK
MEMUTUSKAN AKAR YANG MENGIKAT KEDUA PERGELANGAN KAKI PEREMPUAN TUA ITU.
JUSTRU PADA SAAT ITU ORANG YANG TERGANTUNG MEMBUKA KEDUA MATANYA. TERNYATA ORANG INI
BELUM MATI WALAU MAUT TAK MUNGKIN DIHINDARINYA DALAM WAKTU BEBERAPA SAAT LAGI! SEPASANG
MATA YANG TAMPAK SANGAT MERAH TANDA BANYAK DARAH TERKUMPUL DISITU MEMBUKA HANYA SESAAT.
“KATAKAN SIAPA KAU YANG MUNCUL DISAAT AKU SEKARAT BEGINI?!” TIBA-TIBA SI NENEK KELUARKAN
SUARA SANGAT PERLAHAN, HAMPIR TIDAK TERDENGAR DIANTARA DERU AIR TERJUN.
“AKU WIRO SABLENG. MURID EYANG SINTO GENDENG DARI GUNUNG GEDE. AKU DATANG MEMBAWA PESAN
GURU…”
“LUPAKAN SAJA PESAN ITU. SEBENTAR LAGI AKU AKAN MATI…”
“AKU AKAN MENURUNKAN TUBUHMU, NEK…”
“TIDAK USAH! PERTOLONGAN TAK ADA GUNANYA LAGI. UMURKU HANYA TINGGAL BEBERAPA SAAT…”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Bastian Tito
PENDEKAR 212 MANA MAU PERDULI. DIA CABUT KAPAK MAUT NAGA GENI 212 DARI PINGGANGNYA. SINAR
BERKILAUAN BERKIBLAT DISERTAI SUARA GAUNGAN DAHSYAT.
CRASSS
SEKALI TABAS SAJA SEMBILAN AKAR GANTUNG POHON BERINGIN PUTUS. TUBUH SI NENEK BULAI JATUH
KE BAWAH. WIRO CEPAT MENYAMBUTNYA, MENDUKUNGNYA BEBERAPA LANGKAH LALU Dl8ATU TEMPAT
YANG BERSIH DAN TERLINDUNG DARI SINAR MATAHARI TUBUH PEREMPUAN TUA BERGELAR HANTU BULAI
ITU DIBARINGKANNYA. WIRO MEMPERHATIKAN DAN DIAM-DIAM DIA MAKLUM, APA YANG DIKATAKAN SI
NENEK ADALAH BENAR. UMUR PEREMPUAN TUA INI TAK AKAN LAMA LAGI. HANYA KEKUATAN LUAR BIASA
YANG DIMILIKINYA MEMBUAT KEMATIANNYA MASIH BISA TERTUNDA BEBERAPA SAAT SERTA MASIH
SANGGUP BICARA.
SALAH SATU BAGIAN PAKAIAN NENEK BULAI TAMPAK ROBEK. LALU ADA BEBERAPA LUKA MENGOYAK
DAGING LENGAN DAN PUNGGUNGNYA.
“NEK, SEBELUM KAU MENGHADAP TUHAN LEKAS KATAKAN SIAPA YANG MELAKUKAN KEBIADABAN INI ATAS
DIRIMU…”
“MURID SINTO GENDENG, APAKAH KAU HENDAK MEMBALASKAN SAKIT HATI DENDAM KESUMATKU…?”
“AKU BERSUMPAH NEK!” SAHUT WIRO.
“AKU TIDAK MEMINTA, TAPI JIKA KAU MEMANG INGIN BERBUAT KEBAJIKAN AKU TIDAK MENOLAK. ORANG
ITU ADALAH BEBERAPA TOKOH SILAT KAKI TANGAN GANDABOGA, ADIPATI KARANGANYAR! AKU TIDAK TAHU
NAMA MEREKA SATU PERSATU. MEREKA BERJUMLAH TIGA ORANG. TAPI AKU TAHU MEREKA ADALAH
ORANG-ORANGNYA GANDABOGA…”
“BIADAB! MEREKA AKAN MENERIMA KEMATIAN LEBIH MENGERIKAN DARI YANG
KAU DERITA INI NEK…”
“MURID SINTO GENDENG, ADA SATU HAL LAIN YANG LEBIH PENTING…”
“CEPAT KATAKAN NEK…”
“SESAAT SEBELUM TIGA BANGSAT ITU MUNCUL, AKU BARU SAJA MELEPAS MURID TUNGGALKU BERNAMA
PADANARAN. DIA MEWARISI SELURUH KEPANDAIANKU. TAPI DIA BELUM PUNYA PENGALAMAN MENGARUNGI
DUNIA PENUH KELICIKAN INI. WALAU DIA TAK PERNAH BICARA TAPI AKU TAHU DIMASA KECILNYA ORANG
YANG MEMELIHARANYA ADA SILANG SENGKETA DENGAN ADIPATI KARANGANYAR ITU. DAN DIA PASTI AKAN
MENCARINYA… SATU HAL AKU MOHON PADAMU, SUSUL DIA, BANTU AGAR DIA JANGAN MENDAPAT CELAKA.
AKU…” UCAPAN SI NENEK CUMA SAMPAI DISITU. LIDAHNYA MENDADAK KELU. DARI TENGGORAKANNYA
TERDENGAR SUARA SEPERTI TERCEKIK. NYAWANYA LEPAS MENINGGALKAN TUBUH KASAR. WIRO PANDANGI
WAJAH TUA YANG MALANG ITU SESAAT LALU USAP DAN TUTUPKAN SEPASANG MATA SI NENEK.
“PADANARAN…” DESIS WIRO. “AKU TAK PERNAH MENGENAL MURID SI NENEK INI. SATU-SATUNYA JALAN
IALAH PERGI KE KARANGANYAR DAN MENYELIDIK… SILANG SENGKETA. DUNIA INI AGAKNYA TAK PERNAH
LEPAS DARI SILANG SENGKETA DAN DENDAM KESUMAT!” PENDEKAR 212 MENGHELA NAFAS PANJANG DAN
GARUK-GARUK KEPALANYA.
WIRO BANGKIT BERDIRI, MEMANDANG BERKELILING MENCARI-CARI TEMPAT YANG BAIK DIMANA NENEK
BERGELAR HANTU BULAI ITU DAPAT DIKUBURKANNYA. SELAGI DIA MENCARI-CARI BEGITU TIBA-TIBA ADA
SUARA BERDESING HALUS DISERTAI KILATAN MELESAT DI UDARA, MENYAMBAR KE ARAHNYA!
“PEMBOKONG JAHANAM!” MAKI PENDEKAR 212. KAPAK MAUT NAGA GENI 212 YANG MASIH
DIGENGGAMNYA DI TANGAN KANAN DIBABATKAN KEUDARA.
”TRANG… TRANG… TRANG!”
TIGA DARI EMPAT BUAH YANG TADI MENYAMBARNYA MENTAL BERPATAHAN. BENDA KEEMPAT
TERHEMPAS KE KIRI DAN MENANCAP DI BATANG SEBUAH POHON. WIRO MELIHAT BAYANGAN SESEORANG
BERKELEBAT DI UJUNG TANGGA BATU SEBELAH ATAS. SERTA MERTA WIRO HANTAMKAN TANGAN KIRINYA
MELEPAS PUKULAH “SINAR MATAHARI!”
CAHAYA BERKILAUAN MENYAMBAR. HAWA PANAS MENGHAMPAR.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Bastian Tito
”BUMMM! BYAARR!”
SEMBILAN BATU KALI YANG JADI ANAK TANGGA HANCUR BERMENTALAN. TANAH DISEKITAR SITU AMBLAS
BERHAMBURAN. PEPOHONAN DAN SEMAK BELUKAR YANG TERSAMBAR HAWA PANAS PUKULAN SAKTI ITU
TAMPAK MENGHITAM SEPERTI DIBAKAR! TAPI BAYANGAN ORANG YANG TADI DILIHAT WIRO BERHASIL
MELARIKAN DIRI DAN LENYAP DARI TEMPAT ITU.
WIRO MEMAKI DALAM HATI. DIA INGAT PADA BENDA YANG MENANCAP DI POHON, CEPAT BALIKKAN DIRI
DAN MELANGKAH KEARAH POHON ITU. BENDA YANG MENANCAP DI SITU TERNYATA ADALAH SENJATA
RAHASIA BERBENTUK SEBILAH PISAU TIPIS YANG KEDUA PINGGIRANNYA BERGERIGI TAJAM SEPERTI GERGAJI.
“HEMMMMM…,” GUMAM WIRO. “PEMBOKONG TOLOL… KAU MENINGGALKAN CIRI CIRIMU SENDIRI. KINI
AKU TAHU SIAPA DIRIMU…!” PISAU TIPIS ITU DIMASUKKANNYA KE DALAM SAKU BAJUNYA.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
SATU
RIUHNYA SUARA ANAK-ANAK bermain bola rotan bukan alang kepalang. Apalagi kalau ada salah satu
pihak yang bertanding berhasil membobolkan gawang lawan yang terbuat dari potongan bambu yang
ditancapkan ke tanah. Masing-masing pihak berjumlah delapan anak. Belasan anak lainnya yang tidak ikut
main menonton di pinggir lapangan. Justru suara anak-anak yang menonton inilah yang paling ramai,
“Bermain bola harus sebelas lawan sebelas!” berteriak seorang anak dari tepi lapangan.
“Betul!” menimpali kawan disebelahnya.
“Sebaiknya ditambah tiga- tiga. Biar ramai!”
Anak-anak yang berada dilapangan mengangkat tangan tanda setuju. Tapi dari pinggir tanah lapangan
berumput kasar itu hanya lima anak yang mau ikut bermain.
“Ahl Kurang satu! Masakan yang lain tak Ada yang mau ikut main?!”
“Biar aku yang main!” tiba-tiba terdengar suara seorang anak berteriak seraya berlari
mendatangi dari tepi tanah lapang sebelah timur. Semua anak berpaling. Lalu tampak anak-anak itu
mencibir bahkan ada yang mengangkat tangan membentuk tinju. Sesaat kemudian seperti diatur semua
anak itu berseru :
“Huuuuuuu!”
“Bule anak setan! Mana pandai kau main bola rotan!” kata seorang anak.
“Memandang saja tidak becus! Jangan-jangan kaki kami nanti yang kau tendang!” teriak seorang anak.
Terdengar suara anak-anak tertawa dan mencemooh.
Seorang anak lain berteriak : “Kami lebih suka kurang satu dari pada main bersamamu!”
“Kulitmu lain dengan kulit kami! Sebaiknya kau main dengan anak-anak tuyul!” Kembali
terdengar suara tawa riuh rendah.
“Monyet bulai! Lekas menyingkir ke tepi lapangan! Kalau tidak akan kami gotong kau
ramai-ramai dan cemplungkan ke kubangan kotoran kuda!”
Anak lelaki sepuluh tahun yang tadi begitu berharap dapat turut serta bermain bola rotan
bersama anak-anak seusianya itu sesaat hanya bisa tegak terdiam. Bola matanya yang kelabu
bergerak kian kemari dan tangan kanannya ditudungkan diatas mata karena tak tahan sinar matahari pagi
yang mulai terik. Rambut- nya sangat pirang, bahkan sepasang alis dan bulu matanya juga pirang. Kulitnya
putih bulai penuh bercak-bercak bekas gigitan nyamuk.
“Kawan-kawan! Monyet bulai ini benar-benar ingin kita cemplungkan ke dalam kolam
kotoran kuda! Seorang anak berteriak ketika dilihatnya si bulai itu masih berada di lapangan. Beberapa anak
segera bergerak mendekati.
Melihat hal ini anak lelaki bulai itu cepat- cepat melangkah ke pinggir lapangan sambil
berkata : “Kalau kalian tidak suka aku ikut main tak jadi apa. Biar aku menonton saja dari
jauh…”
“Menonton kami bermainpun kau tidak layak! Pergi dari sini!” teriak seorang anak
berkulit hitam bermata besar. Namanya Suradadi.
“Ayo pergi dari sini!”
Anak lelaki bulai itu memandang sayu dengan sepasang matanya yang kelabu dan lalu bergerak, lalu
perlahan-lahan dia memutar tubuh hendak meninggalkan tempat itu.
Tiba-tiba ada suara anak perempuan berkala : “Padanaran, jangan pergi dulu…!” Si bulai hentikan
langkahnya dan berpaling. Dia tersenyum ketika melihat wajah mungil yang manis itu. “Ada apa Tarini?”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Anak perempuan bernama Tarini menjawab : “Kau tetap disini saja Padanaran. Aku mau bertanya pada
anak sombong itu!” Lalu anak perempuan ini melangkah ke tengah lapangan, langsung menghadapi
Suradadi yang rupanya memang dianggap sebagai pimpinan oleh anak- anak yang ada di tempat itu.
“Suradadi, kau dan kawan-kawanmu tidak mau mengajak Padanaran bermain bola. Kenapa kalian sejahat
itu?!”
Bola mata Suradadi yang besar tampak membeliak. Lalu dia berpaling pada kawan-kawannya. Dan
meledaklah tawa anak-anak itu.
“Dewi kecil ini hendak bertindak sebagai pembela rupanya!” berteriak seorang anak.
Suradadi letakkan kedua tangannya di pinggang lalu berkata : “Kami tidak suka bermain dengan dia bukan
baru sekarang ini. Tapi dari dulu-dulu. Kami tidak sama dengan dia. Kami anak-anak dari orang tua baik-baik.
Sedang dia! Ibunya dikawin oleh hantu! Lihat saja kulitnya bule seperti hantu!’ Gelak tawa menyusul ucapan
Suradadi itu.
Paras Tarini tampak merah sementara Padanaran hanya bisa tegak tertegun.
“Mulutmu keji amat Suradadi! Bagaimana kau bisa bicara sejahat itu! Apakah ayah atau Ibumu yang
mengajarkan?!” bertanya Tarini.
“Tidak ada yang mengajariku dewi cilik! Tapi semua orang di dukuh Sawahlontar tahu kalau ibu
Padanaran adalah manusia tapi ayahnya hantu putih! Bukan begitu kawan-kawan…?!”
“Betullllllll!” jawab semua anak. “Karena itu si Padanaran kulitnya bulai matanya kelabu rambut dan alisnya
pirang!” Lalu kembali terdengar mereka tertawa gelak-gelak…
“Kalian semua sama jahatnya!” teriak Tarini.
Saat itu Padanaran mengulurkan tangan menarik lengan anak perempuan itu seraya berkata :
“Sudahlah Tarini. Biarkan saja mereka. Mari kita tinggalkan tempat ini!”
Kawan-kawan! Lihat anak bule ini hendak mengajak Tarini pergi. Hati-hati kau Tarini. Pasti kau akan
dibawanya ke sarang hantu kerajaan ayahnya!” berkata Suradadi.
“Tarini, mari…” Padanaran tarik tangan Tarini.
“KAU pergilah duluan. Aku mau bicara ngotot-ngototan dengan anak lelaki yang sombong ini. Mentangmentang
anak kepala dukuh!”
Karena Tarini tak mau diajak pergi maka terpaksa Padanaran tetap pula tegak di tempat itu.
“Kalian tidak memperbolehkannya main bola bersama kalian. Mengapa kalian lalu melarangnya
menonton?!” bertanya Tarini.
“Jawabnya gampang saja dewi cilik!” sahut Suradadi.
“Aku dan kawan-kawan tidak suka ditonton oleh anak hantu!”
“Tarini, mari. Jangan layani mereka. Tak ada gunanya. Mereka menganggap aku lebih jelek dari kotoran
kuda tidak apa. Jangan sampai mereka juga mempermalukanmu! Kata Padanaran. Lalu kembali ditariknya
lengan anak perempuan itu. Sebenarnya saat itu Tarini sudah mau mengikuti kata-kata Padanaran dan
meninggalkan tempat itu. Justru saat itu Suradadi menarik tangan Tarini yang lain keras-keras hingga anak
perempuan ini menjerit kesakitan.
Melihat Tarini kesakitan Padanaran yang sejak tadi bersikap sabar dan merelakan dirinya dihina terusterusan
kini menjadi marah. Dia melompat kesamping dan mendorong dada Suradadi kuat-kuat hingga anak
ini jatuh terduduk di tanah.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
“Anak Hantu Bule! Berani kau mendorong dan menjatuhkanku!” teriak Suradadi. Dia berdiri dan menerjang
dengan tendangan. Yang menyerang Padanaran kemudian bukan hanya 8uradadi seorang tapi belasan
kawan-kawannya yang lain juga ikut melayangkan tangan serta tendangan. Anak-anak itu tidak memperdulikan
teriakan-teriakan Tarini. Dalam keadaan babak belur hampir pingsan Padanaran mereka gotong dan bawa ke
ujung barat tanah lapang. Disini terdapat sebuah kolam buatan tempat pembuatan pupuk dari kotoran kuda.
Tubuh Padanaran mereka lemparkan kedalam kubangan itu. Masih untung kubangan itu dangkal. Walaupun
keadaannya benar-benar memelas tapi Padanaran tak sempat tenggelam. Sehabis melemparkan Padanaran
ke dalam kubangan kotoran kuda itu Suradadi dan teman-temannya melarikan diri.
“Padanaran! Padanaran…!” terdengar suara Tarini memanggil berulang kali. Di tepi kubangan dia berhenti.
Memandang kian kemari. Dilihatnya ada sepotong bambu yang cukup panjang. Potongan bambu ini
dimasukkannya ke dalam kubangan. “Pegang ujungnya Padanaran. Pegang… biar kutarik kau dari dalam
sana…!”
“Aku ingin mati disini saja, Tarini. Tak usah kau tolong. Di dunia ini memang tak ada orang yang
menyukaiku..” terdengar suara Padanaran dari tengah kubangan.
“Jangan tolol Padanaran! Lekas kau pegang ujung bambu itu! Ayo!”
Akhirnya Padanaran memegang dan bergayut pada ujung bambu yang dijulurkan. Dengan susah payah
Tarini menarik hingga akhirnya Padanaran berhasil mencapai tepi kubangan dan naik ke tanah. Sekujur
tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki penuh dengan kotoran kuda dan busuk.
“Larilah ke sungai! Aku akan menyusul!” kata Tarini pula.
Ketika anak perempuan itu sampai di sungai kecil didapatinya Padanaran tengah sibuk membersihkan
tubuh dan pakaiannya. Selesai membersihkan diri anak lelaki itu naik ke darat dalam keadaan basah kuyup.
Tarini menghampiri dan bertanya : “Kau tak apa-apa sekarang…?”
“Sekujur tubuhku sakit-sakit. Tulang-tulangku seperti patah. Kepalaku pusing…”
“Kalau begitu kau harus cepat pulang, ganti pakaian.”
“Aku tak berani pulang. Paman pasti akan marah besar dan menggebukku dengan rotanl” jawab Padanaran.
“Kalau kau tak pulang akan lebih celaka lagi, Padanaran! Mari kuantar kau!”
“Kau baik sekali Tarini. Tapi jika paman malihat aku bersamamu hajaran akan berlipat ganda atas diriku!”
“Eh, mengapa begitu?” tanya Tarini heran.
“Kata paman ayahmu pernah mengancamnya. Jika aku berani bermain- main denganmu maka ayahmu
akan menyuruh tukang-tukang pukulnya menghajar paman! Sebaiknya kau saja yang pulang duluan, Tarini…”
Anak perempuan itu terdiam beberapa lamanya. Lalu perlahan-lahan gelengkan kepala.
“Aku heran…” kata anak perempuan itu tersendat, “mengapa semua orang di dukuh Sawahlontar
membencimu. Bahkan pamanmu juga Dari mana mereka dapat cerita bahwa ayahmu hantu putih…”
“Aku tak pernah mempercayai hal itu Tarini. Tapi ketika setiap mendamprat paman juga selalu berkata
begitu, mau tak mau aku jadi punya pikiran jangan-jangan aku ini memang anak hantu. Kalau tidak mengapa
bentukku begini berbeda…”
“Orang-orang itu keterlaluan. Anak-anak itu juga! Aku benci mereka semua…! Mana ada hantu bisa beranak!”
“Kau tidak boleh membenci mereka Tarini. Kau tak boleh membenci siapapun…” kata Padanaran pula.
Lalu dia berdiri dan memegang lengan anak perempuan itu seraya berkata : “Kita pulang saja Tarini. Kau
ambil jalan sebelah kanan, aku sebelah kiri. Kalau ada yang melihat kita berdua-duaan pasti aku
akan celaka…”
“Memang kau akan celaka anak hantu haram jadah!” tiba-tiba terdengar suara membentak keras.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
DUA
KEDUA ANAK ITU SAMA-SAMA TERKEJUT dan menoleh ke kiri. Pucatlah wajah bulai Padanaran sementara
Tarini merasakan lututnya goyah karena ketakutan. Tapi anak perempuan ini cepat menabahkan hatinya. Dia
menunggu dengan tenang apa yang bakal terjadi.
Beberapa langkah di samping kiri tegak dua orang lelaki. Di sebelah depan yang bertubuh tinggi besar dan
berkumis melintang adalah Gandaboga, bukan lain ayah Tarini. Wajahnya yang garang tampak marah sekali.
Matanya membeliak dan pelipisnya bergerak-gerak. Di dukuh Sawahlontar Gandaboga dikenal sebagai seorang
paling kaya karena dialah satu-satunya juragan sayuran dan ternak, teRmasuk pemilik tambak ikan. Kekayaannya
membuat dia disegani dan lebih dihormati dari pada kepala desa.
Di sebelah belakang Gandaboga berdiri seorang lelaki yang tampangnya tak kalah garangnya malah
menyeramkan karena mata kirinya picak sedang pipi kanannya ada parut atau cacat bekas luka. Orang ini
berselempang kain sarung hitam dan di pinggang di balik kain sarung itu tersembul hulu sebilah golok. Dia
adalah Jalitanggor, pembantu atau pengawal, atau lebih tepat dikatakan tukang pukul Gandaboga. Dalam
kedudukannya sebagai tukang pukul, Jalitanggor sering ditugasi untuk bertindak sebagai juru tagih. Para
pedagang atau siapa saja yang terlambat membayar dagangannya pasti akan didatangi Jalitanggor. Tak jarang
orang ini main tendang dan main pukul jika orang yang berhutang belum sanggup melunasi hutangnya.
Karenanya lambat laun rasa hormat penduduk terhadap Gandaboga berubah menjadi takut. Apalagi jika
Jalitanggor sudah muncul, seolah-olah bumi ini menjadi kiamat rasanya!
“Tarini! Bagus sekali perbuatanmu!” membentak Gandaboga. “Sudah berapa kali aku memberi ingat!
Jangan kau sekali-kali bermain dengan anak hantu ini! Ternyata kau berani melanggar perintahku!”
“Ayah, saya…”
“Jangan banyak mulut!” teriak Gandaboga.
“Untung anak bernama Suradadi itu memberi tahu. Kalau tidak pasti kau telah diapa-apakan si bule haram
jadah ini! “Tangannya bergerak lalu terdengar pekik Tarini ketika telinganya diputar dengan keras laluditarik.
“Pulang sana!”
Tubuh si kecil itu didorong hingga hampir terkapar jatuh. Tarini menggigit bibir agar tidak menangis.
Terhuyung-huyung anak ini melangkah pergi. Sebelum menghilang di balik rerumpunan semak belukar dia
masih sempat berpaling memandang ke arah Padanaran.
“Maafkan aku Tarini Ini semua salahku hingga kau mendapat hukuman…” berucap Padanaran.
“Bukan salahmu Padanaran! Tapi Suradadi anak jahat itulah yang jadi biang gara-gara!” awab Tarini lalu
melanjutkan langkahnya sambll memogangi telinganya yang sakit.
“Sekarang gili iranmu nenerima hukuman bocah bule tak tahu di untung”. Satu Tangan besar menjambak
rambut pirang Padanaran. Sakitnya bukan main membuat anak itu meringis. Yang menjambaknya adalah
Gandaboga
“Anak hantu! Apa kau tak sadar kalau tidak layak bermain dengan anak perempuanku ?” Dan kau berani
mengajaknya ketempat sunyi ini ! Apakah yang telah kau lakukan terhadap anakku ?”.
“Saya tidak melakukan apa-apa. Saya pergi mandi di kali sana. Tarini menolong saya…”
“Plaaak!”
Satu tamparan keras melabrak wajah Padanaran. Anak ini mengeluh kesakitan. Bibirnya pecah dan darah
mengucur. Pemandangannya menjadi gelap dan tedua kakinya terasa lunglai. Kemudian dalan keadaan seperti
itu tubuhnya dibantingkan ke tanah.
“Juragan, apa y ig harus saya lakukan terhadap bocah sialan ini?!” terdengar Jalitanggor bertanya. Suara
besar tapi parau. Tangan kanannya sudah siap untuk menghunus golok.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
“Tendang saja ke sungai sana! Lain kali jika dia berani mendekati anakku, aku perintahkah agar kau
langsung menyembelihnya!” jawab Gandaboga. la tinggalkan tempat itu.
“Anak keparat! ada-ada saja yang menjadikan urusanku!” maki Jalitanggor. Kaki kanannya bergerak, tubuh
Padanaran melesat jauh dan rubuh di tengah sungai.
Semak belukar sebelah kanan tiba-tiba tersibak. Dari situ muncul Suradadi bersama enam orang kawannya.
Bersorak-sorak mereka berlari ke tepi sungai dimana sosok tubuh Padanaran melingkar tak bergerak.
“Rasakan olehmu tuyul bule!” teriak Suradadi begitu sampai di hadapan Padanaran.
“Anak Hantu mau jual lagak! Masih untung pembantu juragan Gandaboga tidak menggorok batang
lehermu! Kalau tidak pasti kau ludah Jadi bangkai saat ini! Ha… ha… ha…!” Enam anak lainnya ikut tertawa.
Dalam sakitnya Padanaran tak kuasa membuka kedut matanya. Tapi telinganya menangkap jelas dan
mengenali bahwa yang bicara itu adalah Suradadi, anak kepala dukuh Sawahlontar.
Sesaat kemudian terdengar suara Suradadi dan kawan-kawan, “Mari kita tinggalkan tempat ini. Langit tampak
mendung. Sebentar lagi pasti hujan turun…”
Tak lama setelah Suradadi dan kawan-kawannya pergi Padanaran berusaha bangkit berdiri. Sulit dan sakit
terasa sekujur tubuhnya. Di langit kilat menyambar lalu terdengar guruh menggelegar. Hujan kemudian turun
deras sekali. Padanaran masih tertegak tak mampu melangngkah. Dia tak tahu hendak pergi ke mana. Kalau
pulang dalam keadaan babak belur seperti itu pasti akan ditanyai pamannya dan lebih parah lagi dia akan kena
hajaran pula. Tapi kalau tidak pulang lantas dia mau pergi kemana?
Apapun yang akan terjadi Padanaran akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah pamannya dimana dia
tinggal sejak ibunya meninggal dan ayahnya lenyap entah kemana. Dia tidak pernah melihat apalagi
mengenali ayahnya. Kata orang ayahnya melenyapkan diri begitu dia lahir dalam keadaan mengejutkan karena
bulai. Ada yang mengatakan ayahnya kabur karena malu. Ada lagi yang menuturkan bahwa ayahnya lari ke
sebuah gunung sepi dan mati membunuh diri disitu sementara ibunya karena tidak terawat dengan baik
meninggal dunia seminggu setelah melahirkannya.
“Ah, kenapa buruk amat nasibku…?” membatin pilu Padanaran. “Mengapa aku dilahirkan
berbeda seperti ini… Betulkah ayahku hantu putih…?”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
TIGA
HUJAN MASIH MENCURAH LEBAT ketika Padanaran memasuki halaman rumah. Dari halaman dia dapat
melihat seorang lelaki berselubung kain sarung duduk di kursi kayu dekat pintu depan sambil menghisap rokok.
Itulah Randuwonto sang paman. Padanaran sudah punya firasat akan mengalami sesuatu. Namun dia melangkah
terus. Belum lagi dia sampai di bawah cucuran atap, Randuwonto tampak mencampakkan rokoknya ke tanah lalu
terdengar suaranya.
“Anak hantu! Masih ingat pulang kau rupanyal”
“Paman, maafkan saya. Saya terhalang oleh hujan…” menyahut Padanaran lalu melangkah masuk ke
serambi rumah. Pada saat yang sama sang paman sudah berdiri dari duduknya. Matanya menatap besar-besar.
“Hemm… kau terhalang hujan katamu?!” Ujar lelaki berusia hampir setengah abad itu.
“Tapi mengapa kulihat pakaianmu kotor berlumpur dan ada yang robek. Tubuhmu bau kotoran kuda. Mukamu
benjat benjut dan bibirmu pacah berdarah!” Padanaran diam saja sambil tundukkan kepala.
“Kau tidak tuli! Lekas katakan apa yang teah kau lakukan?!” bentak Randuwonto.
“Saya dikeroyok anak-anak, paman…” jawab Padanaran akhirnya memberi tahu.
“Kau dikeroyok! Bagus! Berarti kau kembali berkelahi! Sudah berapa kali kukatakan agar kau jangan
berkelahi!”
“Saya terpaksa melakukannya paman. Mereka yang mulai lebih dulu. Saya hanya bertahan. Tapi mereka
banyak sekali. Saya terlempar kedalam kubangan kotoran kuda…!”
“Hanya itu saja yang terjadi?!” Padanaran terdiam, sulit untuk menjawab.
“Anak hantu! Lekas jawab. Hanya itu yang kau alami?!” bentak Randuwonto.
“Tidak paman… Saya juga mendapat hukuman dari juragan Gandaboga serta pembantunya Jalitanggor…”
memberi tahu Padanaran.
Terkejutlah Randuwonto mendengar kata-kata Padanaran itu. “Kau hanya menimbulkan silang sengketa
diantara kami orang-orang tua! Ceritakan apa yang terjadi!”
“Waktu itu saya berada di sungai membersihkan tubuh dan baju. ‘Lalu datang Tarini anak perempuan
juragan Gandaboga. Di saat yang sama juragan itu muncul disana. Saya disangka melakukan apa-apa terhadap
anaknya. Saya ditampar olehnya. Pembantunya kemudian menendang saya….”
“Akan lebih baik jika mereka membunuhmu saja saat itu!” ujar Randuwonto. Saat itu dari dalam rumah
muncul seorang perempuan bersama seorang anak lelaki seusia Padanaran. Perempuan itu adalah istri
Randuwonto sedang anak lelaki itu adalah anaknya jadi saudara sepupu Padanaran bernama Rangga.
Padanaran hanya tundukkan kepala. Dalam hatinya dia juga menginginkan mengapa Gandaboga dan
Jalitanggor tidak membunuhnya saat itu hingga tamat riwayatnya dan berakhir pula penderitaan hidupnya.
“Sepuluh tahun bersama kami kau hanya mendatangkan kesulitan saja! Sebaiknya kau angkat kaki dari sini
Padanaran…!”
“Mas Randu…” Istri Randuwonto hendak mengatakan sesuatu tapi segera dibentak dan diperintahkan masuk
oleh suaminya. Perempuan adik almarhumah ibu Padanaran itu yang memang sangat takut pada suaminya
segera saja masuk ke dalam rumah, meninggalkan Rangga seorang diri dekat pintu.
“Maafkan saya paman. Saya tidak bermaksud menyulitkan paman…” terdengar kata-kata Padanaran.
“Tidak bermaksud… Tidak bermaksud! Nyatanya kau selalu memberi kesulitan. Dan kini kesabaranku
sudah sampai pada puncaknya anak hantu! Kau telah menyulut silang sengketa dengan juragan Gandaboga!
Hubungan dagangan denganku pasti diputuskan. Segala hutangnya pasti akan segera ditagih! Kalau kepalamu
ini bisa kupakai untuk menyelesaikan semua urusan itu, sudah kupatahkan batang lehermu saat ini juga!”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
“Paman, kalau memang kematian saya bisa menolongmu, saya rela diapakan saja…” berucap Panadaran.
Randuwonto yang tengah melangkah mundar mandir menahan kemarahannya kini jadi meledak
mendengar kata-kata keponakan istrinya itu.
“Anak keparat! Kumpulkan pakaianmu! Pergi dari sini! Jangan berani kembali!” teriak Randuwonto.
“Saya… saya harus pergi kemana paman…?”
“Perduli setan kau mau pergi kemana!” sentak Randuwonto. Dijambaknya rambut pirang Panadaran lalu anak
itu dilemparkannya keluar serambi.
“Paman… saya mohon maafmu. Tapi jangan usir saya dari sini…”
“Anak setan! Benar-benar keparat! Sekali aku bilang pergi kau harus pergi!” teriak Randuwonto. Kini kakinya
yang bergerak. Tendangannya mendarat di pinggul Padanaran. Anak ini terlempar jauh dan jatuh di halaman
yang becek. Bagi Padanaran sakit yang diderita tubuhnya tidak seberapa dibanding dengan kepiluan hati
diperlakukan seperti itu. Lalu rasa takut karena tidak tahu harus pergi kemana. Jika orang sudah tidak sudi
memeliharanya lagi bagaimana mungkin dia memaksa untuk tetap tinggal di rumah itu.
Tanpa mengambil pakaiannya yang ada di dalam rumah dengan terhuyung-huyung Padanaran melangkah
menuju pagar halaman. Saat Itu ada suara orang berlari di belakangnya. Lalu ada suara memanggil.
“Padanaran tunggu dulu…” Padanaran berpaling. Dilihatnya Rangga berlari mendatangi. Adik sepupuhnya
ini tegak menundukkan kepala. “Padan… aku tak bisa menolongmu menghalangi kehendak ayah…Maafkan
aku Padan…”
Padanaran berusaha tersenyum dan menjawab. “Tidak jadi apa Rangga. Kau saudaraku yang sangat baik.
Kau anak yang sangat berbakti pada orang tuamu. Aku harus pergi Rangga. Selamat tinggal…”
“Tunggu Padan…” Dari dalam sakunya Rangga mengeluarkan sebuah benda kehitaman. Ternyata sebuah
burung-burungan terbuat dari batu.
“Kau ingat burung-burungan ini? Kau dulu yang mengajarkan bagaimana cara membuatnya. Kau ambillah.
Aku tidak punya apa-apa untuk diberikan….”
Padanaran ragu sesaat. Akhirnya diambilnya juga burung-burungan dari batu itu. “Terima kasih Rangga. Aku
pergi sekarang…” Padanaran memasukkan burung-burungan itu kedalam saku pakaiannya, memegang
tangan Rangga erat-erat lalu tinggalkan tempat itu.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
EMPAT
HUJAN MASIH TURUN DENGAN DERAS. Padanaran berjalan sepembawa kakinya. Pakaiannya basah
kuyup, sekujur tubuhnya dingin dan sakit. Di atas langit mengelam tanda sebentar lagi malam akan turun. Di
bawah sebatang pohon besar Padanaran akhirnya hentikan langkah dan memandang berkeliling. Saat itulah
disadarinya bahwa di depannya ada sebuah jalan kecil becek berlumpur. Lalu diseberang jalan kecil ini terletak
pekuburan Jatiwaleh. Pekuburan dimana makam ibunya berada.
Padanaran berpikir ejenak. Akhirnya anak ini memutuskan, sebelum pergi-pergi entah kemana-sebaiknya
dia menyambangi pusara Ibunya terlebih dahulu. Maka Padanaranpun melangkah menyeberangi jalan kecil itu.
Meski hujan lebat dan cuaca mulai menggelap tidak sulit bagi Padanaran mencari makam ibunya karena dia
memang sering datang kesitu, terutama jika hatinya sedang gundah dan sedih menghadapi penderitaan
hidup. Tak jarang dia bangun pagi-pagi dan pergi ke makam Itu, bicara seorang diri seolah-olah mengadukan
nasib dirinya yang malang pada sang ibu yang berada di alam lain itu.
Kilat menyambar. Pekuburan itu sekejap menjadi terang benderang. Padanaran bersimpuh di samping
makam ibunya yang kayu nisannya sudah rusak karena lapuk dan tanahnya penuh ditumbuhi rumput liar.
“Ibu… Aku anakmu datang bersimpuh dihadapanmu. Mungkin ini kali terakhir aku menyambangimu. Aku
tidak tahu kapan bisa kembali kemari. Aku harus pergi ibu. Walau aku tidak tahu mau pergi kemana. Aku
pergi sekehendak jalan hidupku yang malang. Kalau ibu masih hidup tentu nasibku tidak seperti ini…”
Padanaran diam sejenak. Dia menggigit bibirnya keras-keras. Betapapun derita yang dihadapinya saat itu, dia
tak mau hanyut oleh perasaan, pantang menitikkan air mata apalagi sampai menangis!
“Ibu aku tak percaya ayahku adalah hantu putih seperti yang dikatakan teman-teman. Seperti yang juga
dikatakan paman. Kalau dia masih hidup aku pasti akan mencarinya. Aku mohon petunjukmu ibu…” Sampai
disini anak lelaki itu kembali terhenti menyuarakan suara batinnya. “Ibu… aku harus pergi sekarang. Anakmu
mohon doa restumu…”
Padanaran bangkit berdiri perlahan-lahan. Mendadak dia merasakan ada seseorang tegak dlbelakangnya.
Sesaat tengkuknya terasa dingin. Dia berpaling. Astaga!
“Tarini!” seru Padanaran. “Bagaimana kau bisa berada disini?!”
“Aku… aku menyelinap dari rumah. Aku sangat mengawatirkan dirimu Padanaran. Ayah dan Jalitanggor pasti
melakukan apa-apa padimu…”
Padanaran menggeleng. “Tidak, mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka pergis setelah kau berlalu
jawab Padanaran sengaja berdusta.
“Sampai di rumah aku langsung masuk kamar lalu diam-diam menyelinap lewat jendela. Aku pergi ke sungai.
Tapi kau tak ada lagi disitu, Aku mengendap-endap kerumahmu. Rangga mengatakan kau diusir pamanmu. Dia
tak tahu kau pergi kemana. Tapi aku seperti bisa menduga kalau kau datang kesini. Bukankah kau pernah
bercerita kalau kau sering ke makam Ibumu sedang sedih … Tenyata kau memang ada disini.”
“Tarini kau baik sekali padaku. Aku sangat menghargaimu. Tapi harus pulang Tarini. Cepat. Nanti kalau
ayahmu atau Jalitanggor mengetahui kau tak ada di rumah, lalu mereka mencarimu dan menemui kita berdua
lagi disini, kau pasti akan kena damprat… Pulanglah Tarini, lekas…”
“Aku hanya kepingin tahu, kau mau pergi kemana Padanaran…?” bertanya anak perempuan itu.
“Aku sendiri tidak tahu mau pergi kemana…,” jawab Padanaran bingung.
“Kau tidak boleh pergi Padanaran. Kau harus tetap di Sawahlontar ini…”
“Tapi disini tak ada orang yang menyukai Tarini. Tak ada yang mau menerimaku. Bahkan pamanku
mengusirku…”
“Tidak semua orang benci padamu Padanaran. Mereka adalah orang-orang gila yang tidak punya alasan
mengapa harus membencimu. Aku menyukaimu. Aku menyukaimu. Aku temanmu…”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Padanaran memegang kedua tangan Tarini erat-erat. “Kau temanku yang baik… sangat baik yang pernah
kupunyai. Aku tak akan melupakan semua kebaikanmu, semua ucapanmu. Kalau kelak nanti aku kembali ke
Sawahlontar ini, kaulah yang kelak akan kucari…”
Tarini hanya bisa diam. Anak ini sadar kalau dia tidak mungkin menahan Padanaran agar tidak pergi.
Perlahan-lahan anak lelaki itu lepaskan pegangannya. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seperti
letusan berulang kali. Lalu suara sesuatu menggelinding ditimpali suara kaki-kaki kuda yang kemudian disusul
oleh suara nyanyian. Suara nyanyian perempuan!
Dibawah hujan lebat
Dua sahabat berpegang erat
Satu hendak berangkat
Satunya ditinggal tercekat
Yang pergi berkuat hati
Yang tinggal tabahkan hati
Kalau memang jodoh pasti akan bersatu hati
Aku datang menjemput
Jangan kalian terkejut
Yang lelaki akan kuangkut
Yang perempuan jangan merengut
Lalu kembali terdengar suara seperti letusan, Tar… tar… tar…!
Padanaran dan Tarini berpaling. Dua anak ini bukan saja terkejut tapi tampak seperti ketakutan. Betapakan
tidak. Ini adalah satu pemandangan yang luar biasa. Di bawah hujan lebat dan cuaca gelap seperti itu tampak
muncul sebuah kereta putih ditarik oleh seekor kuda putih.
Orang yang menjadi saisnya adalah seorang nenek mengenakan jubah serba putih yang basah kuyup.
Kepalanya ditutup oleh sehelai selendang putih yang diikatkan seperti topi. Dibawah selendang putih itu
tampak tergerai rambut pirang sebahu. Yang membuat orang ini menjadi lebih angker ialah kenyataan
bahwa dia memiliki wajah putih bulai beralis mata pirang, berbola mata kelabu! Di tangan kanannya dia
memegang sebuah cambuk yang setiap kali dihantamkannya mengeluarkan suara letusan keras dan di ujung
cambuk yang menggeledek itu seperti ada percikan api!
Tarini langsung merapatkan diri pada Padanaran seraya berbisik : “Padanaran… apa- kah kita tengah
berhadapan dengan setan kuburan…?”
Padanaran tak berani menjawab. Dia cepat merangkul anak perempuan itu, bertindak melindunginya
ketika dilihatnya orang berjubah putih hentikan kereta dan melompat turun ke tanah lalu melangkah ke tempat
mereka berdiri.
“Ha… ha… ha… Sepasang anak baik-baik. Sayang hanya satu yang berjodoh denganku!” Nenek berjubah putih
bermuka bulai itu kedip-kedipkan matanya. “Anak lelaki bulai, kau ikut bersamaku….!”
“Ikut… ikut bersamamu…? Ikut kemana?” tanya Padanaran. Berdiri dekat-dekat seperti itu dia melihat bahwa
sepasang mata si nenek sama kelabunya dengan kedua bola matanya. Lalu wajah dan sepasang tangannya
yang tersembul dari balik jibah juga sama bulai dengan kulitnya.
“Ikut kemana itu tidak jadi urusan. Bukankah kau memang sudah bertekad untuk meninggalkan dukuh
Sawahlontar ini…?”
“Eh, bagaimana kau bisa tahu…?!” tanya Padanaran heran.
Si nenek tertawa panjang. Lalu terdengar dia berucap : “Tujuh puluh tahun hidup di dunia, adalah tolol kalau
tidak tahu apa yang terjadi di sekitarku! Dengar, namamu Padanaran bukan? Pamanmu bernama Randuwonto.
Kawanmu yang cantik ini bernama Tarini, ayah nya bernama Gandaboga… Betul begitu tidak?”
Padanaran dan Tarini hanya bisa tertegun melongo di bawah curahan hujan. Si nenek kembali membuka
mulut: “Di Sawahlontar kau tidak punya teman kecuali anak perempuan ini. Di Sawahlontar tak ada yang
menyukai dirimu kecuali sahabatmu yang satu ini. Kulitmu sama bulai denganku. Rambutmu sama pirang
denganku, matamu sama kelabu seperti mataku. Nah mengapa kita tidak sama-sama pergi, minggat dari
desa yang tidak mau menerima kehadiranmu ini…?”
“Nenek, siapapun kau adanya kau tak boleh membawa kawanku ini…” kata Tarini lalu memegang kedua
tangan Padanaran kuat-kuat.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Si nenek tertawa lebar dan usap rambut anak perempuan itu. “Anak baik,” kata si nenek pula. “Aku
membawa sahabatmu itu bukan untuk maksud jahat. Kau tunggu sajalah. Sepuluh tahun dimuka kalau dia
kembali menemuimu maka dia telah menjadi seorang pemuda yang hebat luar biasa…!”
“Hebat luar biasa bagaimana nek…?” tanya Tarini pula.
“Ah, kau banyak bertanya anak. Itu berarti kau anak cerdas. Tapi aku tak bisa menjawab pertanyaanmu
tadi…”
“Juga kau tidak mau mengatakan siapa dirimu nek? Kau tahu-tahu berada di pekuburan ini seolah-olah
muncul dari perut bumi…” ujar Tarini.
“Hik… hik… hik! Kalian berdua pasti menyangka aku setan hantu yang kesasar dibawah hujan lebat!
Hik… hik… hik. Aku manusia biasa seperti kalian. Tapi mulut manusia yang jahil memberi gelar Hantu Bulai
padaku. Hik… hik…. hik…”
Begitu tawa si nenek berakhir dia ulurkan tangannya dan tahu-tahu Padanaran sudah ada dalam kempitan
tangan kirinya tanpa bisa berkutik lepaskan diri!
“Nek! Jangan bawa temanku!” seru Tarini. Dia hendak mengejar ke depan. Tapi dengan lalu lompatan aneh
si nenek tahu-tahu sudah melompat naik ke atas kereta putih. Di lain kejap kuda penarik kereta itu meringkik
keras dan ketika digebrak binatang inipun lari ke jurusan timur pekuburan. Tarini lari mengejar. Namun
sesaat kemudian anak ini menyadari dia tak mungkin melakukan pengejaran. Anak ini hentikan larinya dan
hanya bisa memandang ke arah kejauhan dimana kereta putih, kuda putih, si nenek berjubah putih dan
Padanaran lenyap di kegelapan!
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
LIMA
DALAM KEADAAN KEDUA TANGAN terikat di belakang Randuwonto dipapah dan didorong ke balik semak
belukar itu. Hujan turun rintik-rintik. Empat orang lelaki mengelilinginya. Yang pertama berkumis melintang
berbadan tinggi besar yang bukan lain adalah Gandaboga sang juragan kaya dari dukuh Sawahlontar. Di
sebelah kanannya berdiri si tukang pukul Jalitanggor. Dua orang lainnya adalah anak buah Jalitanggor.
“Juragan ,” terdengar suara Randuwonto. “Mengapa kau membawaku ke pekuburan
malam-malam begini. Mana gerimis lagi!”
“Diam! Tutup mulutmu! Kalau tidak aku suruh bicara jangan berani bersuara!” bentak Gandaboga. Lalu
disepaknya betis Randuwonto hingga lelaki ini hampir roboh.
Gandaboga memandang ke depan lalu berpaling pada Jalitanggor. “Mengapa belum kelihatan anak itu…?”
dia bertanya.
“Sebentar lagi dia pasti muncul. Sabar saja, juragan…,” jawab sang pembantu. Baru saja dia berkata begitu
tiba-tiba dari arah pintu masuk pekuburan tampak muncul sesosok tubuh kecil, melangkah dengan cepat
tanpa ada rasa takut.
“Dia sudah muncul juragan…” bisik Jalitanggor.
Gandaboga mengangguk. Sepasang matanya tidak berkesip. Dia memandang dengan rasa hampir tak
percaya. Anaknya Tarini malam- malam gelap dan gerimis serta angin dingin kencang begini, mendatangi
pekuburan itu seorang diri. Sebelumnya sang pembantu Jalitanggor telah memberikan laporan. Namun dia tak
mau percaya begitu saja kalau tidak melihat sendiri. Dan saat itu dia benar- benar menyaksikan apa yang
dikatakan oleh pembantunya bahwa Tarini sering datang ke pekuburan, berdiri di dekat sebuah makam lalu
berseru berulang-ulang mengatakan sesuatu.
Seperti yang disaksikannya sendiri saat itu dilihatnya anak perempuannya itu tegak di dekat sebuah
makam. Anak ini tanpa rasa takut memandang berkeliling lalu dia mengangkat kedua tangannya dan berseru.
“Nenek Hantu Bulai… Datanglah…! Muncullah! Bawa aku serta! Nenek Hantu Bulai…datanglah! Bawa aku
bersamamu biar aku bisa bertemu dengan sahabatku Padanaran! Nenek hantu Bulai… mengapa kau tak mau
datang…?!” Capai berseru-seru tanpa ada jawaban Tarini duduk menjelepok di samping makam. Setelah itu
dia berdiri lagi lalu kembali berseru seperti tadi.
“Ah Nenek Hantu Bulai… Mengapa kau tak datang membawaku…” Tarini tampak kecewa dan keletihan.
“Randuwonto!” desis Gandaboga. “Kau lihat sendiri anakku seperti kemasukkan setan! Datang ke pekuburan
malam-malam. Berteriak memanggil hantu dan minta dirinya di bawa agar bisa bertemu dengan Padanaran!
Ini semua gara-gara keponakanmu yang bulai celaka keparat itu!”
“Juragan, saya tidak mengerti dan tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi…” jawab Randuwonto yang
menyaksikan semua yang terjadi itu dengan bulu tengkuk merinding. Keponakan saya itu sendiri lenyap sejak
beberapa hari lalu…”
“Menurut pembantuku setiap saat datang kemari anakku selalu berdiri dekat makam itu. Katakan makam
siapa itu?!” bertanya Gandiboga.
“Kalau saya tidak keliru, itu adalah makam ibu Padanaran…” jawab Randuwonto.
“Kurang ajar! Kalau begitu anakku memang telah kena guna-guna. Ada yang memasukkan roh jahat ke
dalam tubuhnya hingga diluar sadarnya dia datang ke tempat ini! Katakan siapa yang dipanggilnya dengan
sebutan Hantu Bulai itu?!”
“Mana saya tahu juragan. Saya tidak tahu siapa yang dimaksudkannya…”
“Kau dusta!”
”Plaaakkk!”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Gandaboga menampar pipi kanan Randuwonto hingga orang ini terpekik kesakitan. Suara pekikannya itu
mengejutkan Tarini. Anak ini berpaling. Gandaboga segera memerintahkan Jalitanggor untuk menangkap
anak itu. Ketika Jalitanggor keluar dari balik semak-semak dan Tarini melihatnya, anak perempuan ini
sementara melarikan diri. Tapi sebentar saja dia segera terkejar dan dipegang oleh Jalitanggor.
Tarini berteriak-teriak ketika dipanggul dan dibawa ke tempat ayahnya.
“Juragan… anak ini keluarkan keringat dingin. Pertanda memang ada roh jahat yang masuk dalam
tubuhnya…” berkata Jalitanggor.
Padahal keringat dingin itu adalah karena rasa takut yang kemudian ditambah pula dengan air hujan rintikrintik
yang membasahi Tarini.
Gandaboga percaya saja pada kata-kata pembantunya. “Seperti rencana semula, hidupkan obor. Gali
makam ibu Padanaran itu. Apapun yang kalian temukan didalamnya segera bakar.” Lalu dengan suara lebih
perlahan Gandaboga meneruskan ucapannya. “Manusia bernama Randuwonto ini tidak ada gunanya dibiarkan
hidup. Hutangnya tak pernah dilunasi sejak tiga bulan ini. Lebih dari itu dia ikut menjadi biang kerok keanehan
yang dialami anakku, Bunuh dan masukkan dia dalam kuburan itu”
Dua buah obor dinyalakan. Makam ibu Padanaran digali. Semua itu disaksikan Tarini dalam keadaan
keletihan karena tadi terus-menerus berteriak. Tak lama kemudian ditemukan tulang belulang dan sepotong
tulang tengkorak. Sesuai perintah Gandaboga tulang-tulang itu diguyur dengan minyak lalu dibakar.
Gandaboga kemudian memberi isyarat. Randuwonto diseret ke tepi kuburan. tahu firasat, Randuwonto
berteriak ketakutan : “Apa yang hendak kalian lakukan, terhadapku?!”
Sebagai jawaban Gandaboga mendorong tubuh Randuwonto hingga orang ini jatuh masuk ke dalam liang
kubur. Randuwonto berteriak keras. Dalam keadaan kedua tangan terikat tidak mungkin baginya untuk
mencoba keluar dari dalam lobang itu. Apalagi saat itu Gandaboga telah menyambar sebatang linggis lalu
menghantam kepala Randuwonto dengan benda itu.
Tubuh Randuwonto terkapar di liang kubur. Kepalanya rengkah dan darah membasahi kepala serta
wajahnya. Tarini yang ketakutan melihat kejadian itu jatuh pingsan dalam dukungan ayahnya!
“Timbunkan tanah cepat! Kita harus meninggalkan tempat ini sebelum ada orang datang!” perintah
Gandaboga. Dua anak buah Jalitanggor segera menimbun liang kubur. Tak lama kemudian orang-orang itu
lompat meninggalkan pekuburan menaiki sebuah gerobak ditarik dua ekor kuda.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
ENAM
HANYA BEBERAPA SAAT setelah orang-orang itu berlalu dan lenyap di kegelapan malam, tiba-tiba dari balik
serumpunan semak belukar melompat keluar sesosok tubuh. Yang melompat ini ternyata seorang anak lelaki
kecil dan bukan lain adalah Rangga, putera Randuwonto, saudara sepupu Padanaran.
”Ayah…! Ayah…!”, pekik si anak seraya lari menghambur menuju gundukan tanah merah dimana ayahnya
dibunuhsecara keji lalu ditimbun.
Rangga jatuhkan diri di atas tanah merah, menangis menjerit memanggil ayahnya. Panggilannya yang
mengenaskan itu tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Suaranya lenyap ditelan hembusan angin sementara
hujan gerimis mulai membesar.
Rangga tak menyadari berapa lama dia berada di pekuburan itu. Ketika pakaian dan tubuhnya basah
kuyup dan rasa dingin mencucuk tulang-tulangnya, perlahan-lahan anak ini berdiri lalu melangkah pergi sambil
terus menangis.
Keesokan paginya dusun Sawahlontar menjadi gempar. Di dalam dan di luar rumah Randuwonto banyak
orang berkerumun. Istri Randuwonto menangis sambil memeluki anak lelakinya yaitu Rangga yang kelihatan
berwajah pucat dan pakaian kotor serta basah. Pada orang-orang yang ada di situ diceritakannya apa yang
telah terjadi yakni sesuai dengan apa yang dilihat Rangga.
“Mas Randu dibawa! Sampai saat ini tidak kembali! Berarti apa yang dikatakan anakku benar. Mas
Randuwonto dibunuh dan dikubur di Jatiwaleh…! Dibunuh oleh juragan Gandaboga dan pembantupembantunya…!”
Begitu istri Randuwonto berucap diantara tangisnya yang memilukan.
Seorang lelaki separuh baya mendekati perempuan itu. Dia mengusap kepala Rangga sesaat lalu berkata :
“Bune Rangga, cerita anakmu perlu diselidiki dulu. Apa yang dikatakannya memang begitu. Aku tak habis
pikir bagaimana anak sekecil ini malam-malam pergi ke pekuburan lalu katanya dia…”
“Rangga tidak dusta. Anak ini tidak pernahberdusta!” menyahuti istri Randuwonto.
“Malam tadi Jalitanggor dan dua orang anak buahnya datang kemari. Dia bicara membentak-bentak lalu
memaksa mas Randuwonto mengikutinya mereka. Ternyata mas Randuwonto dibawa ke rumah juragan
Gandaboga. Disitu dia dipukuli lalu dibawa ke pekuburan Jatiwaleh. Anakku kemudian menyaksikan ayahnya
dibunuh, dipentung dengan batangan besi lalu dipendam…!”
Lelaki separuh baya itu menundukkan kepalanya lalu bertanya pada Rangga :
“Rangga kau tidak berdusta. Benar bahwa kau melihat ayahmu dibunuh dan dikubur…?”
Rangga menganggukkan kepala lalu memeluk ibunya erat-erat. Anak dan ibu itu kemudian sama-sama
bertangisan.
Seorang lelaki berpakaian biru gelap menyeruak diantara orang banyak. Dia adalah Suto Kenongo kepala
dukuh Sawahlontar merangkap kepala desa di wilayah itu. Melihat kemunculan kepala desa tangis istri
Randowonto semakin mengeras.
“Tenang bune Rangga… Tenang. Hentikan tangismu…,” berkata Suto Kenongo. “Dari orang-orang di luar
rumah aku mendengar bahwa suamimu dibawa oleh kaki tangannya juragan Gandaboga. Lalu anakmu katanya
melihat ayahnya dibunuh dan dikubur di Jatiwaleh tadi malam. Apa semua itu betul adanya, bune Rangga…?”
Ibu Rangga mengangguk.
Suto Kenongo termenung sejurus. Lalu dia berkata : “Ini bukan urusan kecil, bune Rangga. Jika kau
menuduh juragan Gandaboga telah membunuh suamimu maka tuduhan itu harus ada buktinya…”
“Anakku yang menyaksikannya!. Dia melihat sendiri ayahnya dipentung dengan besi. Juragan Gandaboga
yang melakukan itu. Lalu pembantu-pembantunya memendamnya dalam tanah…”
“Kesaksian anak sekecil ini sulit dijadikan pegangan…,” ujar kepala desa pula.
“Kalau tidak percaya…,” tiba-tiba membuka mulut si kecil Rangga, “pergi saja ke Jatiwaleh! Bongkar kuburan
itu. Pasti mayat ayah akan kita temukan!”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Semua orang yang ada disitu sama tergerak hati mereka dan sama- sama mengeluarkan ucapan setuju.
Mereka mendesak agar Suto Kenongo sendiri yang memimpin per- jalanan dan penyelidikan ke pekuburan
Jatiwaleh.
“Ah ini urusan kapiran!” kata Suto Kenongo dalam hati sambil mengusap dagunya. Hati kecilnya diam-diam
mempercayai apa yang terjadi. Namun karena urusan ini terkait dengan nama Gandaboga, juragan kaya raya
sedesa yang sekaligus memiliki kekuasaan besar mau tak mau kepala desa itu merasa tidak tenang.
Suto Kenongo berpaling pada orang banyak lalu berkata : “Baik, kalian pergi duluan ke pekuburan Jatiwaleh.
Aku patut memberi tahu urusan ini pada juragan Gandaboga. Aku nanti akan menyusul ke pekuburan…”
* * *
GANDABOGA DUDUK DI KURSI JATI berukir sambil mengunyah tebu manis kesukaannya. Di sebelahnya
berdiri pembantu kepercayaannya Jalitanggor. Setelah mencampakkan ampas tebu ke halaman rumah,
Gandaboga berpaling kearah Suto Kenongo yang saat itu tegak di hadapannya dekat tangga.
“Cerita yang kau dengar itu, apakah kau mempercayainya Suto Kenongo?” bertanya Gandaboga lalu
mengambil lagi sepotong tebu manis.
“Saya… Tentu saja saya tidak mempercayainya…,” jawab sang kepala desa.
“Bagus! Kalau begitu mengapa kau capai-capai datang kemari?”
“Juragan, apa yang saya percayai tidak sama dengan apa yang dipercayai penduduk. Mereka memaksakan
untuk membongkar kubur di Jatiwaleh itu…”
“Suto Kenongo! Jabatanmu adalah kepala dukuh dan kepala desa! Betul begitu…?!” Suara juragan
Gandaboga terdengar mulai meradang.
“Betul juragan,” menyahuti Suto Kenongo.
“Nah, kalau begitu adalah kewajibanmu untuk membuat penduduk untuk tidak berpikir gila mempercayai
apa kata anak dan istri Randuwonto itu! Kau bukannya melakukan itu, malah datang kemari tanpa
juntrungan! Seharusnya kau mencegah penduduk untuk tidak ke Jatiwaleh, apalagi kalau sampai
membongkar kuburan itu!”
“Saya… Kalau saya tidak segera memberi tahu, jangan-jangan masalahnya bisa…”
“Suto Kenongo! Kau telah menjadi kepala desa selama hampir tujuh tahun. Katakan siapa yang
memungkinkan kau mendapatkan jabatan itu?! Ayo jawab!”
“Semua itu karena kekuasaan juragan…” jawab Suto Kenongo.
“Apakah kau masih ingin memiliki jabatan itu Suto?!” tanya Gandaboga pula.
“Tentu juragan. Tentu saja saya menginginkannya.”
“Kalau begitu lekas angkat kaki dari sini. Pergi ke Jatiwaleh dan lakukan apa saja. Yang penting penduduk
tidak berpikir bahwa kematian Randuwonto ada sangkut pautnya dengan diriku! Cegah mereka membongkar
kuburan itu! Kau dengar itu Suto…?”
“Saya dengar juragan. Hanya saja… Bagaimana saya melakukannya? Apa yang harus saya katakan pada
penduduk…?”
“Kepala desa tolol!” yang membentak adalah Jalitanggor. “Itu urusanmu! Jangan bertanya pada juragan
Ganda!”
Suto Kenongo tundukkan kepala. Setelah memberi hormat dengan membungkuk beberapa kali kepala desa
ini segera tinggalkan rumah kediaman juragan Gandaboga dan memacu kudanya menuju pekuburan
Jatiwaleh.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Begitu Suto Kenongo berlalu, Gandaboga berpaling pada Jalitanggor.
“Ada tugas baru untukmu Jali!”
“Katakan saja juragan. Saya segera akan melakukannya!” jawab sang pembantu.
“Culik anak Randuwonto itu dan bunuh! Sekarang Jali!”
“Sekarang juragan!” jawab Jalitanggor lalu tinggalkan tempat itu.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
TUJUH
KETIKA SUTO KENONGO sampai di pekuburan Jatiwaleh tenyata kuburan telah digali dan mayat Randuwonto
kelihatan terhampar menggeletak di dalam lubang kuburan. Walau sebagian wajahnya bercelemong tanah dan
ada gelimangan darah namun semua orang yang menyaksikan sama mengenaldan memastikan bahwa yang
ada dalam kubur itu memang adalah jenazah Randuwonto.
Di pinggir kubur istri Randuwonto merasakan tanah yang dipijaknya seperti amblas. Dia menjerit lalu
menangis. Sambil memeluk anaknya yang ketakutan perempuan ini melangkah sempoyongan, dipapah oleh
dua orang. Saat itulah Suto Kenongo turun dari kudanya dan berhadapan dengan ibu serta anak yang malang
itu.
“Kepala desa…,” ucap istri Randuwonto dengan suara bergetar. “Semua orang sudah menyaksikan
kebenaran ucapan anakku. Semua mata melihat bahwa mayat yang ada dalam lobang itu adalah mayat
suamiku! Ada darah di kepala dan mukanya. Kepalanya rengkah! Pertanda bahwa dia memang dipentung,
dibunuh!”
Suto Kenanga tak tahu apa yang musti dilakukannya. Akhirnya sambil memandang berkeliling dia berteriak
menyuruh orang banyak kembali ke Sawahlontar.
“Walau mayat dalam lobang dikenali sebagai ayah Rangga,.namun urusan ini belum tuntas. Masih perlu
dicari dan dibuktikan siapa pembunuh Randuwonto! Kalian semua kembali ke dukuh!”
Suara orang banyak yang bergumam bahkan setengahnya ada yang memaki pertanda bahwa mereka tidak
suka mendengar ucapan dan melihat sikap kepala desa itu.
“Keterangan anak mas Randu jelas benar! Mayat dalam lubang jelas mayat mas Randu! Bukti apa lagi yang
diperlukan?!” berkata seseorang.
“Yang harus dilakukan ialah melaporkan kejadian ini pada Adipati!” seorang lain berkata dengan suara
keras.
Suto Kenongo melotot dan membentak :
“Soal lapor melapor adalah tanggung jawabku! Jangan ada diantara kalian yang berani mendahuluiku!
Semua kembali ke dukuh! Tiga orang tetap disini untuk menimbun kubur itu kembali!”
Baru saja kepala desa itu berucap begitu tiba-tiba ada dua ekor kuda dipacu memasuki pekuburan.
Penunggangnya sengaja memacu ke arah orang banyak hingga mereka berpencaran takut tertabrak. Dua
penunggang kuda ini mengenakan pakaian merah. Wajah dan kepala masing-masing ditutup dengan kain
merah pula. Selagi semua orang, termasuk kepala desa tidak tahu apa yang hendak dilakukan dua
penunggang kuda itu, tiba-tiba salah seorang dari mereka menerjang ke kiri dimana istri Randuwonto dan
anak lelakinya berada.
Cepat sekali gerakan penunggang kuda satu ini. Tahu-tahu Rangga sudah dirampasnya dari pegangan
ibunya lalu dibawa kabur.
“Rangga! Anakku diculik!” teriak ibu si anak.
Orang banyak tentu saja terkejut. Beberapa orang diantaranya berusaha mengejar. Bahkan kepala desa
setelah terkesiap sebentar segera melompat ke punggung kudanya. Namun penunggang kuda kedua cepat
memintas. Dia bukan saja menghalangi tetapi pergunakan sebatang tongkat kayu untuk menghantam. Dua
orang terkapar kena pukulan tongkat. Kepala desa dengan nekad coba melompati penunggang kuda itu.
Namun sodokan ujung tongkat pada perutnya membuat kepala desa ini jatuh ke tanah..
“Bangsat penculik!” teriak kepala desa. Dari balik bajunya dia mengeluarkan sebuah pisau kecil. Senjata
tajam ini kemudian dilemparkannya ke arah penunggang kuda sebelah belakang yang tadi menyodok perutnya
dengan tongkat. Ternyata orang yang dibokong dari belakang itu memiliki kepandaian cukup tinggi. Begitu dia
mendengar suara berdesing di belakangnya, tanpa mengurangi kecepatan kuda yang dipacunya dan sama
sekali tanpa menoleh dia sabatkan tongkat kayunya kebelakang. Ujung tongkat menghantam pisau hingga
mencelat jauh. Dua penunggang kuda itu, satu diantaranya mengempit tubuh Rangga di tangan kiri sesaat
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
kemudian lenyap di ujung pekuburan. Kini hanya tinggal suara orang banyak berteriak-teriak dan suara jerit
raung ibu Rangga.
***
DI SEBUAH LEMBAH SUNYI dua orang yang wajah dan kepalanya ditutupi kain merah itu hentikan kuda
masing-masing.
“Kita selesaikan disini saja Jali ” penunggang yang mengempit Rangga membuka mulut. Rangga sendiri
saat itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri karena ketakutan yang amat sangat sewaktu dilarikan di
atas kuda dengan kencang.
Penunggang kuda di sebelah belakang me- mandang seantero lembah. Lalu tangan kirinya membuka kain
penutup muka dan kepalanya. Ternyata dia bukan lain adalah Jalitanggor, pembantu dan tangan kanan
juragan Gandaboga. Sekali lagi dia memandang berkeliling, mengamati dan memasang telinga. Lalu
kepalanya dianggukkan.
Orang di sebelah depan turun dari kudanya, melangkah ke arah sebatang pohon waru. Dia berpaling pada
Jalitanggor dan bertanya:
“Aku atau kau yang melakukannya Jali…?”
“Aku biasa membunuh orang-orang besar, jago-jago ternama. Masakan kau suruh aku mengotori tangan
memancung anak kecil itu! Lakukan sendiri olehmu! Untuk itu kau dibayar!” terdengar Jalitanggor menjawab.
Lalu dia lemparkan tongkat di tangan kirinya ke arah orang yang masih mengempit Rangga.
“Pentung kepalanya! Selesai urusan kita!”
Orang dibawah pohon menyambut tongkat yang dilemparkan. Tubuh Rangga kemudian dijatuhkannya di
kaki pohon. Jatuh di tanah yang keras membuat Rangga siuman dan be- gitu membuka mata dia terkejut
mendapatkan dirinya berada di tempat yang serba asing itu. Di sebelah kiri dilihatnya sosok tubuh Jalitanggor.
Sedang di hadapannya ada orang yang kepala dan mukanya ditutup dengan kain merah. Orang ini
menimang-nimang sebuah tongkat di tangan kanannya. Tangan kirinya tampak membetot lepas kain merah
yang menutupi kepalanya.
Kelihatanlah satu wajah yang sangat pucat seolah-olah tidak berdarah, laksana wajah mayat. Keseraman
tampang manusia ini bertambah lagi karena memiliki dua pipi dan sepasang rongga mata yang cekung.
Tampang seram ini tampak menyeringai. Rangga menjerit ketakutan melihat tampang mengerikan ini. Lalu
tiba-tiba dilihatnya si muka cekung menghujamkan tongkat di tangan kanannya kearah kepalanya. Si anak
kembali menjerit sambil tekapkan kedua telapak tangannya kemuka. Ujung tongkat menderu ke arah
kening Rangga. Anak itu menjerit sekali lagi.
”Wuuuttt!”
”Traaakk!”
Sebuah batu sebesar kepalan melesat di dekat pohon waru langsung menghantam ujung tongkat kayu
yang akan menghunjam di batok kepala Rangga. Ujung tongkat patah sedang tongkat itu sendiri terlepas dari
pegangan orang berwajah cekung. Telapak tangannya terasa pedas dan panas. Jalitanggor terkejut, melompat
turun dari kudanya dan memandang berkeliling. Dia sama sekali tidak melihat siapapun.
“Keparat dari mana yang berani main gila!” teriak si muka cekung marah sekali. Baru saja dia berteriak
begitu tiba-tiba sebuah benda melayang ke arahnya dan plaak, benda ini menghantam mulutnya hingga dia
berteriak kesakitan. Ketika memperhatikan ke bawah, ternyata benda yang barusan menghantam mukanya
itu adalah sebuah kulit pisang!
“Jahanam, berani mempermainkan! Berani berlaku kurang ajar terhadapku Si Muka Mayat Dari Goa Kepala
Ular!” si muka cekung kembali mendamprat marah. Dan untuk kedua kalinya pula sebuah kulit pisang
menghantam tepat dimulutnya! Manusia yang mengaku bernama Si Muka Mayat ini memaki panjang pendek
sambil meludah- ludah. Ludah yang disemburkannya bercampur darah karena lemparan pisang yang keras
telah membuat bibirnya pecah! Jalitanggor diam-diam merasa tidak enak. Tapi sikapnya lebih tenang dari pada
Si Muka Mayat.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
“Muka Mayat, mendekat kemari..,” ujar Jalitanggor setengah berbisik. Ketika si muka cekung itu
mendekat, Jalitanggor berbisik:
“Ada orang pandai tengah mempermainkan kita. Hati- hati…”
“Jangankan orang pandai, setan atau iblis pandaipun aku tidak takut. Akan kupecahkan kepalanya, kubeset
kulitnya dan kupanggang tubuhnya!” jawab Si Muka Mayat Dari Goa Kepala Ular. Kedua tinjunya dikepalkan
kuat-kuat.
Baru saja orang itu selesai berucap tiba-tiba dari atas pohon waru berdaun lebat itu terdengar suara
berkerontang beberapa kali. Ini adalah seperti suara bebatuan yang berada dalam kaleng lalu digoyang kuatkuat.
Bersamaan dengan itu terdengar pula suara tawa mengekeh. Kemudian dari atas pohon waru tampak
meluncur sesosok tubuh
Suara kerontangan itu terdengar lagi beberapa kali. Di lain kejap orang yang meluncur sudah sampai di
tanah. Dia tegak membelakangi Jalitanggor dan Si Muka Mayat. Sikapnya seolah-olah tidak melihat atau
merasakan kehadiran kedua orang itu di tempat tersebut.
Orang yang turun dari pohon ini memegang sebuah kaleng rombeng di tangan kirinya sementara tangan
kanan memegang sebatang tongkat kayu. Kepalanya memakai sebuah caping lebar. Dari bawah caping
menjulur rambutnya berwarna kelabu tanda dia adalah seorang lanjut usia. Pakaiannya yang lusuh penuh
tambalan. Orang ini gerakkan tangan kirinya mengguncang kaleng rombeng. Kembali terdengar suara keras
yang memekakkan telinga. Di punggung orang bercaping ini ada setandan kecil pisang. Sebagian diantaranya
telah dipotesi. Jelas dialah tadi yang melempar Si Muka Mayat dengan kulit pisang dua kali berturut-turut.
“Olala…ladalah….Anak sekecil ini hendak dipateni. Apa salahnya!! apa dosanya! terde ngar orang bercaping
berkata. “Nak, mari kugendong. Lalu kau ikut aku…!” Orang itu membungkuk. Ujung tongkat di tangan
kanan-nya diselipkan dibawah pinggang Rangga yang masih tergeletak di tanah dalam keadaan ketakutan.
“Huuppp!” Orang bercaping berseru.
Di lain saat Jalitanggor dan Si Muka Mayat melihat bagaimana tubuh Rangga yang tadi terbujur di tanah
kini seperti terkait melesat ke atas dan bukk…jatuh tepat di atas bahu kiri orang bercaping!
“Anak, kau tenanglah. Jangan takut. Aku bukan orang jahat seperti dua kunyuk itu!” sitopi caping berkata
membujuk dan menenangkan Rangga yang dipanggulnya di bahu kiri. Lalu sambil melangkah pergi
membelakangi Jalitanggor dan Si Muka Mayat, orang ini goyang-goyangkan tangan kirinya. Suara batu-batu
dalam kaleng rombeng menggema keras menusuk pendengaran.
Jalitanggor dan Si Muka Mayat saling pandang. Sesaat kemudian keduanya melompat menghadang langkah
si topi caping.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
DELAPAN
BEGITU MELOMPAT KE HADAPAN orang bercaping Si Muka Mayat langsung hantamkan tangan kanannya
mengepruk kepala sedang Jalitanggor membuat gerakan untuk merampas Rangga yang ada dipanggulan
bahu kiri. Sementara Rangga hanya bisa menyaksikan kejadian itu dengan mata melotot. Entah mengapa,
meskipun saat itu dia masih merasa takut terhadap Jalitanggor dan Si Muka Mayat namun ada rasa terlindung
berada dalam panggulan orang bercaping itu. Tadi dia berusaha mengintip ke bawah caping untuk melihat
wajah orang itu. Dan dia ternyata melihat sesuatu yang aneh.
Si Muka Mayat yang tengah lancarkan pukulan maut dan Jalitanggor yang hendak merampas Rangga
mendadak sontak hentikan gerakan masing-masing dan sama-sama mundur satu langkah. Di hadapan
mereka orang berpakaian tambalan tampak menggoyangkan kepalanya. Caping bambu diatas kepalanya
secara aneh tiba-tiba naik ke atas. Kelihatanlah kini wajah orang itu. Ternyata dia adalah seorang kakek
berambut kelabu. Tapi yang anehnya ialah sepasang matanya seperti yang tadi diintip Rangga.
Kakek ini seperti tidak memiliki bola mata hitam. Keseluruhan matanya berwarna putih. Dan saat itu dia
mendongak ke langit seperti memperhatikan sesuatu dengan matanya yang aneh itu.
“Bangsat tua ini buta atau bagaimana….?” membatin Si Muka Mayat. Sementara Jalitanggor tegak terkesima
dan diam-diam merasa sangat tidak enak. Dia merasa lebih baik tidak membuat urusan dengan orang tua
aneh ini karena dia sudah menduga sejak semula orang ini bukan manusia sembarangan. Tapi mengingat
tugas yang diberikan juragan Gandaboga padanya, mau tak mau anak bernama Rangga itu harus
dirampasnya, harus didapatkannya!
Sementara itu caping bambu yang di kepala si kakek yang tadi secara aneh naik ke atas, perlahan-lahan
kini turun kembali.
“Pengemis busuk! Siapa kau adanya?!” Si Muka Mayat membentak. Dia melihat keanehan tapi dia tidak
merasa takut. Selama ini dia telah nenyandang nama besar sebagai tokoh silat yang ditakuti di wilayah selatan.
Masakan terhadap kakek yang dianggapnya buta dan tak lebih dari seorang pengemis tukang sulap ini dia
harus merasa ngeri.
Si kakek tidak menjawab. Hanya kaleng rombeng di tangan kirinya digoyang beberapa kali hingga
mengeluarkan suara berkerontangan keras dan membuat Si Muka Mayat dan Jalitanggor merasa liang
telinga masing-masing seperti ditusuk. Keduanya tersurut satu langkah.
“Rupanya harus kurobek dulu mulutmu baru mau menjawab!” ujar Si Muka Mayat.
Si kakek kembali kerontangkan kaleng rombengnya. Lalu terdengar suaranya: “Minggirlah kalian. Beri aku
jalan! Malam-malam begini mencari urusan! Bukankah lebih baik tidur?!”
Mendengar ucapan kakek ini bukan saja Jalitanggor dan Si Muka Mayat, tapi Ranggapun sempat
melengak keheranan.
“Dasar buta tolol! Siang bolong kau bilang malam!” merutuk Jalitanggor.
“Siapa yang tolol?!” Si kakek tertawa mengekeh.” “Aku tahu sekali saat ini memang siang bolong. Kita
berada di Lembah Batuireng. Kalian mengenakan pakaian merah. Membawa dua ekor kuda coklat. Yang
satu jongosnya juragan Gandaboga, satunya lagi pentolan persilatan yang dari bau tubuhnya tak lama lagi akan
jadi mayat! Ha…ha..ha….Apakah aku tua bangka buta yang tolol?!”
Rangga yang ada di atas bahu kiri si kakek jadi terlongong- longong. Bagaimana orang tua yang kelihatan
buta ini tahu begitu banyak? Atau mungkin dia hanya pura-pura buta? Di lain pihak Jalitanggor dan Si Muka
Mayat tampak berubah wajah masing-masing. Jalitanggor kedipkan matanya pada kawannya. Lalu dia
melangkah berputar ke belakang si kakek. Si Muka Mayat membuka mulut, bicara bermanis-manis: “Ah kakek
mata putih, ternyata kau adalah kawan segolongan. Harap maafkan kalau tadi-tadi kami bertindak kasar….”
Di sebelah Jalitanggor bergerak semakin dekat. Tiba-tiba sekali kedua tangannya melesat ke depan untuk
menarik tubuh Rangga.
“Kek!” seru Rangga.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Tidak diberitahu seperti itupun kakek buta itu bukanya tidak tahu apa yang terjadi. Tanpa menoleh, tanpa
beringsut dia pukulkan tongkat kecilnya ke belakang.
”Wutt!”
Terdengar pekik Jalitanggor. Orang ini melompat mundur sambil pegangi lengan kanannya yang tampak
mengelupas panjang dan mengucurkan darah. Ujung tongkat si kakek bukan saja memukul tapi secara aneh
menggurat luka lengan itu!
Melihat kejadian ini Si Muka Mayat tak dapat lagi menahan amarahnya. Didahului suara menggereng
keras dia melompat sambil lepaskan satu pukulan ke arah dada si kakek. Kembali orang tua bercaping ini
pergunakan tongkatnya untuk menangkis sementara tangan kirinya mulai menggoyang kaleng rombengnya.
Si Muka Mayat yang tadi menggebrak dengan pukulan ke arah dada secepat kilat tarik serangannya karena
memang hanya tipuan belaka. Disaat yang sama kaki kanannya melesat kirimkan tendangan ke
selangkangan si kakek sedang dari sebelah belakang Jalitanggor yang masih dalam kesakitan ikut lancarkan
serangan, menumbuk dengan kepalan tangan kiri tapi yang diserangnya bukan si kakek, melainkan kepala
Rangga. Jelas dia hendak segera membunuh anak ini!
Kakek bercaping goyangkan kalengnya seraya bergerak ke kiri. Kaki kanannya diajukan kemuka
memalang di depan tubuhnya sebelah bawah. Serentak dengan itu dia meliukkan pinggang dan tangan kirinya
menggebuk kesamping.
”Krontang!”
Kaleng dan batu berbunyi keras disusul jeritan Jalitanggor karena kaleng rombeng itu menghantam pelipis
kirinya dengan keras. Darah mengucur. Tubuhnya sempoyongan hampir jatuh kalau tidak cepat-cepat
menyandarkan diri ke batang pohon waru.
“Keparat bangsat rendah. Kucincang tubuhmu!” menggembor marah Jalitanggor. Seumur-umur baru sekali
ini dia menghadapi lawan yang mampu menciderainya dalam dua satu-dua gebrakan saja. Maka dari balik
pakaian merahnya diapun menghunus golok besarnya.
Di sebelah depan Si Muka Mayat yang melihat kuda-kuda si kakek kini hanya bertumpu pada kaki kiri,
tendangannya yang tadi mengarah ke selangkangan kini dirubah dan diarahkan ke kaki kiri lawan.
Saat itu kakek bercaping tengah memusatkan perhatian pada serangan golok Jalitanggor yang datang
membabat dari belakang. Menyangka tendangan Si Muka Mayat tetap mengarah selangkangannya yang sudah
terjaga, maka dia biarkan saja serangan itu. Ternyata kaki Si Muka Mayat kini mencari sasaran di kaki kiri
yang dijadikannya kuda-kuda. Tak mungkin baginya untuk merunduk atau melompat guna menghindari
serangan Si Muka Mayat karena besar bahayanya tabasan golok Jalitanggor akan menghantam punggungnya
bahkan mungkin mengenai kepala anak yang ada di bahu kirinya.
”Bukk!”
Kaki kiri si kakek terangkat ke atas begitu tendangan Si Muka Mayat mengenai sasarannya. Tak ampun lagi
kakek itu jatuh terduduk ditanah. Di saat itu pula tabasan golok datang. Dan betul seperti dugaannya. Senjata
maut itu berkelebat ke arah batok kepala Rangga!
Kakek bercaping cepat hantamkan tongkatnya ke belakang. Tapi dari depan lagi-lagi Si Muka Mayat
kirimkan tendangan. Kali ini mengarah tangan kanannya seperti sengaja agar dia tidak bisa menangkis
tabasan golok Jalitanggor. Mau tak mau orang tua itu dengan cepat pergunakan tangan kirinya yang
memegang kaleng untuk menangkis!
”Trang!”
Kaleng dan tongkat beradu keras. Si kakek merasakan tangannya perih. Bagian kaleng yang robek terkena
hantaman golok melukai pinggiran telapak tangannya. Kaleng rombeng itu terlepas dari pegangannya dan
terguling di tanah tapi kepala Rangga selamat dari tabasan golok maut. Sebaliknya golok Jalitanggor secara
aneh tampak menjadi bengkok seperti sepotong kawat yang kena ditekuk! Selagi dia kebingungan melihat
keadaan goloknya itu, satu tepukan menghantam paha kirinya. Terjadilah hal yang luar biasa!
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Tukang pukul juragan Gandaboga itu merasa seolah-olah kaki kirinya telah berubah menjadi sebuah batu
besar yang luar biasa beratnya. Demikian beratnya hingga dia tidak mampu menggerakkannya. Dan sebelah
kaki itu laksana tertanam ke dalam tanah!
Di sebelah depan, Si Muka Mayat Dari Goa Ular mendapat bagian yang tak kalah “sedapnya”. Begitu melihat
kaki lawan menendang dan mengacaukan gerakannya untuk menangkis, kakek bercaping yang telah
pergunakan kaleng di tangan kiri untuk menangkis, kini susupkan ujung tongkat kedepan. Secara aneh ujung
tongkat ini menggurat diatas permukaan telepak kaki kanan Si Muka Mayat. Serta merta saja saat itu orang
ini merasakan rasa geli seperti digelitik terus-terusan. Demikian hebatnya rasa geli itu hingga dia menjatuhkan
diri di tanah sambil pegangi kaki dan menjerit- jerit. Digaruknya telapak kakinya, dipencetnya bahkan
ditotoknya namun rasa geli itu bukannya lenyap atau berkurang malah semakin menjadi-jadi. Si Muka Mayat
berguling-guling di tanah sambil tiada hentinya menjerit kegelian. Selangkangan celananya kelihatan basah
tanda orang ini telah kencing alias ngompol habis-habisan! Perlahan-lahan kakek bercaping bangkit berdiri.
“‘Sayang aku masih punya pantangan untuk tidak boleh mencelakai orang secara keterlaluan! Kalau tidak
kalian berdua akan lebih babak belur lagi dari ini!”
Lalu kakek bercaping itu putar tubuhnya tinggalkan tempat itu.
“Kek… kalengmu ketinggalan!” tiba-tiba Rangga mengingatkan.
Si kakek tersenyum dan usap kepala anak itu.
“Biarkan saja. Cuma kaleng rombeng! Nanti kita buat lagi yang baru katanya.
“Kek, aku bisa jalan sendiri. Sebaiknya aku turun saja… Tak perlu dipanggul seperti ini!” kata Rangga pula.
Sebelum si kakek menjawab dia sudah meluncur turun.
“Anak baik… anak bagus! Melangkahlah terus di depan. Aku akan mengikuti…”
“Kek… Matamu putih semua. Apakah kau buta atau bagaimana? Tapi mengapa bisa tahu keadaan
sekelilingmu …?”
Orang tua itu tertawa lebar. “Itulah satu rahasia Tuhan yang aku tidak bisa menjawabnya, Rangga…”
“Eh, bagaimana kau bisa tahu namaku kek?” tanya Rangga heran. “Siapa sih kau sebenarnya?”
“Aku tidak punya nama. Banyak yang menyebutku pengemis, tukang minta-minta. Ada yang bilang aku ini
tukang pijat. Ha … ha . ha ..! Tapi aku adalah aku. Kakek Segala Tahu Ha … ha..ha.
***
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
SEMBILAN
KUDA YANG DITUNGGANGINYA berwarna hitam. Si penunggang mengenakan pakaian serba putih,
memberikan satu pemandangan yang kontras. Apalagi orang muda itu memiliki pula kulit bulai yang
kemerahan tersengat sinar matahari.
Ketika dia memasuki dukuh Sawahlontar hari itu kebetulan hari pasar. Kemunculannya menarik perhatian
semua orang yang ada di pasar di ujung kampung itu. Mulut berbisik satu sama lain. Gunjing dan cerita
bertebaran.
Seorang pedagang sayur berkata: “Jika keponakan almarhum Randuwonto bernama Padanaran itu masih
hidup, kira-kira dia seperti dan seusia anak muda penunggang kuda yang lewat tadi!”
“Siapa tahu dia memang Padanaran, keponakan Randuwonto yang lenyap hampir sepuluh tahun silam
…” ikut bicara pedagang yang lain disamping pedagang sayur tadi.
“Dari pada menduga tidak karuan, mengapa tidak ada yang mengikutinya, mencari tahu kemana dia
menuju?!” seorang pedagang dipasar berkata.
“Eh, betul juga katamu!” membenarkan pedagang ikan. Lalu bersama beberapa orang kawannya dia berlarilari
kecil ke jurusan yang tadi ditempuh pemuda bulai berkuda hitam.
Sementara itu si penunggang kuda telah sampai dihadapan sebuah rumah yang tak pantas lagi disebut
rumah, tetapi merupakan sebuah gubuk reyot yang hampir roboh. Dinding dan atapnya penuh lubang.
Penunggang kuda itu sesaat menatap kearah gubuk dengan pandangan sayu. “Kenapa jadi sepi dan begini
rupa keadaannya? Kelihatannya rumah ini tidak didiami …” Perlahan-lahan pemuda ini turun dari kudanya.
Melangkah ke arah pintu yang tertutup. Tiga langkah dari hadapan pintu gubuk dia berseru.
“Paman ! Bibi…! Rangga! Kalian ada didalam…?!”
Tak ada sahutan. Pemuda berkulit bulai itu merasa tidak enak. Dia hendak berseru memanggil sekali
lagi ketika tiba-tiba dilihatnya pintu gubug perlahan-lahan terbuka mengeluarkan suara berkereketan. Lalu satu
sosok tubuh perempuan berpakaian sangat lusuh dan banyak robeknya muncul di ambang pintu. Perempuan
ini lebih tua dari usia sebenarnya.
Tubuhnya kurus tinggal kulit pembalut tulang. Rambutnya yang tidak tersisir dan banyak uban tergerai
lepas acak-acakan.
Kedua matanya menatap sayu ke arah pemuda, dihadapannya sedang keningnya tampak mengerenyit.
Keadaan perempuan ini tidak ubah seperti pengemis. Bola mata kelabu pemuda berkulit bulai tampak seperti
membesar. Benarkah ini? Benarkah apa yang disaksikan saat itu?!
“Bibi! Kaukah ini bibi….?!”
Kerenyit di kening perempuan itu tampak semakin banyak. Kedua matanya yang tadi menatap kuyu kini
kelihatan membesar. Mulutnya terbuka. Suaranya bergetar “Padanaran….! Tidak salahkah penglihatan dan
dugaanku…?”
Digosoknya kedua matanya berulang-ulang.
“Padanaran… Benar kau ini yang datang nak?”
“Bibi!” Pemuda bulai itu langsung menghambur dan jatuhkan diri berlutut di hadapan perempuan di
ambang pintu sambil pegangi kedua kakinya.
Perempuan itu meraung lalu jatuhkan diri dan peluk erat-erat tubuh si pemuda. Padanaran….Kau kembali
juga akhirnya. Kemana kau selama sepuluh tahun ini…Kau menghilang dan tahu-tahu sudah sebesar ini….”
“Kemana saya akan saya ceritakan nanti, bi. Katakan dulu mana paman dan adik saya Rangga…”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Mendengar pertanyaan itu perempuan berpakaian lusuh dan robek-robek itu kembali meraung. Si pemuda
membimbingnya lalu membawanya masuk ke dalam gubug. Sampai di dalam dia saksikan sendiri perubahan
keadaan rumah itu dengan sepuluh tahun yang lalu. Satu-satunya benda yang ada di dalam gubug itu hanyalah
sebuah balai-balai kayu tanpa tikar maupun bantal. Si pemuda mendudukan bibi nya di atas balai-balai itu.
Diantara sesenggukannya perempuan itu tanpa diminta kini memberikan penjelasan tentang suaminya dan
puteranya bernama Rangga.
“Manusia biadab!” gertak pemuda bulai yang memang Padanaran adanya. “Paman Randuwonto
dibunuhnya. Pasti dia juga yang jadi biang keladi penculikan Rangga untuk menghilangkan jejak. Gara- gara
kau juga bibi sampai terlantar begini! Gandaboga manusia iblis! Aku bersumpah membunuhmu membalaskan
sakit hati paman….!” Padanaran terdiam sejenak. Lalu terdengar suaranya perlahan:
“Rangga adikku…Dimana gerangan kau berada….”
“Sepuluh tahun telah berlalu Padanaran. Bibi merasa anak itu tidak hidup lagi…” berkata ibu Rangga.
Dari dalam saku pakaiannya pemuda itu keluarkan sebuah benda. Diciumnya benda itu beberapa kali. Lalu
diperlihatkannya pada ibu Rangga.
“Apa itu Padanaran…?” bertanya ibu Rangga. “Mataku tidak awas lagi sejak beberapa tahun ini…”
“Burung-burungan dari batu bi. Rangga yang membuatnya. Dia memberikannya pada saya waktu pergi
sepuluh tahun lalu …”
Perempuan itu mengusap burung-burungan batu itu dengan air mata berlinangan.
“Bibi… Izinkan saya pergi ”
“Kau mau kemana Padanaran?”
“Mencari juragan Gandaboga! Saya harus membalaskan sakit hati paman
“Selama hidupnya pamanmu tidak bersikap baik terhadapmu. Tak perlu kau memikirkan membalaskan
segala rasa sakit hati. Lagi pula Gandaboga bukan seorang juragan lagi sekarang ini. Dia tidak lagi tinggal di
dukuh Sawahlontar ini
“Apa maksud bibi dia tidak jadi juragan lagi? Dimana manusia iblis itu berada seka rang.?! Kemanapun dia
pergi akan saya cari!”
Ibu Rangga gelengkan kepala dan usut air matanya.
“Juragan Gandaboga telah diangkat jadi Adipati Karanganyar sejak dua tahun lalu. Semua ladang dan
ternaknya diurus oleh kepala desa Suto Kenongo. Ketika Suto Kenongo dipanggil ke Karanganyar untuk jadi
pembantu Gandaboga, anaknya Suradadi menggantikannya sebagai kepala desa…”
“Suradadi..,” desis Padanaran. “Anak nakal yang sering mencelakaiku …” Padanaran berpaling pada bibinya
lalu berkata: “Bibi…, saya berangkat ke Karanganyar sekarang juga!”
“Jangan Padanaran …. Jangan! Berbahaya bagi keselamatan dirimu jika kau berani mencari perkara dengan
Adipati Gandaboga
“Bibi tak usah kawatir. Hukum dan kebenaran harus ditegakkan,” jawab Padanaran. Lalu pemuda ini
menyerahkan sekeping perak dan digenggamkannya ke tangan bibinya.
“Pergunakan untuk keperluan bibi. Kalau urusan saya selesai, saya akan menjenguk bibi lagi disini
“Jangan pergi Padanaran … Jangan pergi nak
Padanaran balikkan tubuhnya. Dia lalu melangkah kepintu. Satu langkah di luar rumah pemuda ini
hentikan langkahnya. Di pekarangan rumah hampir sepuluh orang dilihatnyat berkerumun seperti memang
sengaja menunggu dirinya.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
“Pemuda bulai!” tiba-tiba salah seorang dari yang berkerumun menegur. “Dulu di kampung kami ini ada
seorang anak bulai bernama Padanaran. Dia lenyap sepuluh tahun silam. Kalau dia masih hidup kira-kira
seusiamu. Harap maafkan kalau kami bertanya, apakah kau Padanaran? Kami merasa yakin kau memang
Padanaran. Karena dulu dia tinggal di rumah ini!”
“Katakan apa kalian bermaksud baik atau jahat terhadapnya?!” bertanya Padanaran.
“Ah… Kalau mengenang masa kecil memang banyak diantara kami yang nakal dan sering menggangumu.
Tapi kini sudah sama-sama besar begini persahabatanlah yang kami cari menjawab salah seorang dari orangorang
yang mengerumuni si bule.
“Kalau begitu jawabmu, aku memang Padanaran!”
Mendengar kata-kata Padanaran itu maka orang banyak lalu mendatanginya. Ada yang menyalami, ada
yang merangkul dan ada yang menepuk-nepuk bahunya.
‘Kau jadi pemuda gagah sekarang Padanaran. Punya kuda bagus lagi
“Aku tidak berubah. Buktinya kulitku tetap bule, mataku kelabu dan rambutku pirang!”
Orang-orang yang ada disitu tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Padanaran.
“Sahabat-sahabat… Aku terpaksa meninggalkan kalian. Nanti aku pasti kembali ke kampung kita ini!”
“Ah, kau kelihatan tergesa-gesa. Ada urusan apa rupanya Padanaran?” bertanya lelaki disebelah kanan.
“Aku harus berangkat ke Karanganyar untuk mencari bekas juragan Gandaboga yang sekarang katanya
telah jadi Adipati
“Ah Gandaboga,” berkata seorang pemuda yang di pasar berjualan daging, kawan sepermainan Padanaran
di masa kecil walau tidak akrab. “Dia sekarang jadi Adipati, jadi orang hebat, berkuasa dan tambah kaya.
Dulu dia tinggal disini. Tapi setelah jadi Adipati apa yang diperbuatnya untuk kampung kita? Malah dia
menaikkan pajak hasil pertanian dan peternakan. Kaki tangannya sering mundar mandir memeras penduduk
“Apakah pembantunya yang bernama Jalitanggor itu masih ikut bersamanya?” tanya Padanaran.
“Masih dan dia yang jadi momok penduduk nomor satu. Jahat dan kejam. Dia berkomplot dengan kepala
desa, memeras rakyat, mengganggu istri dan anak gadis orang
“Tapi bukankah kepala desa disini sekarang adalah Suradadi, anak kampung asli dukuh Sawahlontar?
Masakah dia sejahat itu ….?”
Karena melihat tak ada yang berani memberikan jawaban maka Padanaran kembali berkata: “Para sahabat
aku minta diri dulu, harus segera ke Karanganyar mencari Adipati itu ….!”
Baru saja Padanaran berkata begitu, satu suara bertanya dengan nada kasar dan merendahkan.
“Ada keperluan apa seorang pemuda bule jelek mencari Adipati Karanganyar Gandaboga?!”
SEPULUH
ORANG-ORANG YANG MENGERUMUNI Padanaran berpaling. Mengetahui siapa yang barusan datang ke
tempat itu mereka semua bersurut mundur dan berpencar. Padanaran sendiri melihat seorang pemuda
sebayanya, berpakian bagus duduk diatas seekor kuda coklat belang putih. Tampangnya keren tapi jelas
memasang mimik merendahkan. Senyumnya bukan dari hati yang bersih tapi penuh ejekan.
Padanaran mengingat-ingat. Dia rasa-rasa mengenali wajah pemuda itu. Ah, benarkah dia…? Terakhir sekali
dia melihat orang ini sepuluh tahun lalu, dimasa kanak-kanaknya. Terbayang kejadian itu di mata Padanaran.
Ketika dia dilemparkan kedalam kubangan tahi kuda.
“Memang dia… Tak salah lagi. Hemm …Lagaknya keren amat, tapi tidak mencerminkan seorang kepala
desa yang berwibawa, melindungi dan membina penduduknya
“Suradadi! Apa kau tak kenal lagi siapa aku…?!” tegur Padanaran sambil tersenyum polos. Suradadi,
putera Suto Kenongo yang sekarang menjadi kepala desa di usianya yang sangat muda sunggingkan seringai
lalu angguk-anggukkan kepala beberapa kali.
“Tentu saja aku ingat dan kenal dirimu bule! Bukankah kau anak yang dilahirkan dari seorang ayah
keturunan hantu bulai yang lenyap sepuluh tahun lalu dan tahu-tahu kini muncul eh masih saja tetap berkulit
bulai, bermata kelabu dan berambut pirang! Ha … ha … ha ..!” Suradadi tertawa gelak-gelak di atas kudanya.
Orang banyak merasa tidak enak mendengar ucapan Suradadi itu. Baru saja bertemu mengapa bicara
menghina seperti itu? Semua kenakalan dimasa kecil mengapa diungkap dan diulang lagi begitu rupa?
Tapi Padanaran sendiri tenang-tenang saja malah sambil tersenyum dia menjawab.
“Diriku memang tidak berubah Suradadi. Tapi kampung dan desa kita ini mengalami banyak perubahan!”
“Kau betul! Dukuh Sawahlontar ini kini lebih maju, penduduknya lebih makmur! Semua itu karena aku yang
jadi kepala desa sekarang!” Suradadi berkata sambil tudingkan ibu jari tangan kanannya ke dada.
Orang banyak yang ada disitu sama memaki dalam hati. “Kepala desa jahanam! Kerjamu hanya memeras
penduduk, mempermainkan anak istri orang!”
“Padanaran, kemunculanmu mencurigakan ….!”
“Mencurigakan bagaimana maksudmu?!” tanya Padanaran tidak mengerti.
“Kau tadi kudengar berkata akan pergi ke Karanganyar mencari Adipati Gandaboga. Katakan apa
urusanmu?!”
“Urusanku adalah urusanku. Karenanya aku tidak akan menjawab pertanyaanmu, Suradadi!”
“Heh! Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa bule jelek hina dina?!” bentak Suradadi.
“Aku tahu, aku tengah berhadapan dengan seorang kepala desa!”
“Bagus! Dulu saja masih anak-anak aku tidak memandangmu sebelah mata. Apalagi kini sebagai kepala
desa! Kau tak lebih dari kotoran kuda busuk! Karenanya harus tahu diri dan jangan berani bicara seenak
utilmu!” (util = perut)
“Suradadi, kita semua manusia biasa. Kebetulan saja kau jadi kepala desa. Jabatan yang mungkin kau
dapat oleh pengangkatan, bukan pilihan penduduk. Kau layak bertanya, aku punya hak tidak menjawab!”
Habis berkata begitu Padanaran berpaling pada orang banyak dan berkata: “Para sahabat, aku pergi
sekarang. Lain hari kita bertemu lagi
Merasa dilecehkan dan dihina dihadapan orang banyak Suradadi majukan kudanya tiga langkah lalu kakinya
menendang ke arah dada Padanaran.
Seperti diketahui sepuluh tahun lalu Padanaran diambil oleh Nenek Hantu Bulai. Selama sepuluh tahun dia
digembleng oleh nenek sakti itu. Kepandaiannya kini bukan sembarangan. Sebaliknya Suradadi juga telah
menguasai bermacam-macam ilmu silat. Namun semua lebih banyak pada ilmu silat luar saja. Tenaga dalam
boleh dikatakan dia tidak memiliki. Walaupun begitu karena terlatih ber- tahun-tahun, tendangan maupun
pukulannya bisa mencelakakan bahkan mendatangkan maut bagi siapa saja yang diserangnya. Tendangan
kaki kanannya tadi, kalau sempat melabrak dada Padanaran pasti tulang dadanya akan amblas, jantungnya
akan melesak dan maut tak bisa dihindarkan lagi.
Dengan bergerak sedikit ke samping, Padanaran ulurkan tangan lalu tangkap pergelangan kaki kanan
Suradadi. Dapatkan dirinya hendak didorong jatuh, Suradadi lekas hantamkan tangan kanannya ke batok
kepala Padanaran. Yang dihantam rundukkan kepala. Pukulan Suradadi mengenai tempat kosong.
Tubuhnya terhuyung kemuka. Ditambah dengan sentakan yang dilakukan Padanaran pada kaki kanannya
yang masih dicekalnya, tak ampun lagi Suradadi mental ke atas, jungkir balik di udara tapi ketika jatuh dia
terkejut. Dia tidak jatuh di tanah tetapi jatuh dalam pelukan sesosok tubuh berpakian putih, yang
menggendongnya demikian rupa seperti menggendong anak orok!
Padanaran dan semua orang yang ada disitu juga terheran-heran. Mereka sama sekali tidak melihat kapan
munculnya pemuda itu, tahu-tahu dia sudah muncul disitu dan menggendong kepala desa Suradadi secara
lucu seperti menggendong bayi!
Pemuda tak dikenal itu berpakaian serba putih, berikat kepala putih, berambut gondrong dan cengar-cengir
seenaknya. Meski semua orang terheran-heran, namun dalam hati mereka, termasuk juga Padanaran, diamdiam
bertanya-tanya, jangan-jangan pemuda tak dikenal ini adalah kawan si kepala desa.
Yang paling merasa heran tentunya adalah Suradadi sendiri. Dia sudah bersiap-siap untuk memasang kudakuda
begitu jatuh di tanah, tapi tahu-tahu ada yang memeluk dan menggendong tubuhnya.
Sambil menggeliat dan memutar kepala dia membentak : “Keparat, siapa kau yang memperhinakanku
seperti anak kecil?!”
Orang yang dibentak keluarkan siulan lalu menyeringai. “Kalau memang kau tidak sudi ditolong ya silahkan
saja jatuh ke tanah!” Lalu pemuda berambut gondrong itu lepaskan gendongannya. Tapi dia tidak hanya
sekedar melepaskan saja. Karena sambil menjatuhkan dia juga kerahkan tenaga dalam hingga tubuh
Suradadi bukan jatuh biasa tapi seperti dihempaskan!
Kepala desa yang masih muda itu terpekik kesakitan ketika punggungnya menghantam tanah. Tulang
belakangnya serasa remuk, pemandangannya berkunang karena belakang kepalanya membentur tanah.
Sesaat dia diam tak berkutik sambil pejamkan mata. Tapi tiba- tiba didahului satu bentakan keras, Suradadi
melompat berdiri. Begitu berdiri tangannya kiri kanan langsung menggebuk. Luar biasa sekali gerakan
memukul pemuda ini. Dalam waktu sekejapan enam hantaman tangan kiri kanan melabrak dada si gondrong
berbaju putih!
Anehnya yang dipukul tetap saja tegak tak bergeming. Hal ini membuat Suradadi menjadi marah. Jotosanjotosannya
diteruskan bertubi- ubi. Yang dipukul masih tetap tenang-tenang saja, malah tegak sambil
menyeringai dan garuk-garuk kepala! Sewaktu Suradadi mulai mengarahkan pukulan kemukanya, barulah si
gondrong itu membuat gerakan berkelit. Dibarengi dengan gerakan tangan kanan dan buuk! Tinju kanannya
sengaja dihantamkan ke tinju kanan Suradadi.
Untuk kesekian kalinya kepala desa itu terpekik. Dia melangkah mundur sambil pegangi tangan kanan.
Ketika diteliti ternyata dua jarinya patah, bagian tangan lainnya lecet merah!
Apa yang dialaminya bukan membuat Suradadi sadar kalau dia tengah berhadapan dengan seorang
pendekar cabang atas, tapi kepala desa itu justru diamuk hawa amarah.
Sreett!
Suradadi cabut sebilah golok, langsung menyerbu si gondrong dengan senjata itu. Serangan Suradadi
tampak dahsyat. Golok menderu kian kemari, membacok dan membabat serta menusuk. Tapi itu hanya satu
jurus saja. Memasuki jurus kedua Suradadi berseru kaget. Semua orang menyaksikan bagaimana pemuda
gondrong dengan gerakan terhuyung-huyung seperti orang mabuk tiba-tiba saja ulurkan tangan kanan dan
tahu-tahu golok di tangan Suradadi kena dirampasnya. Begitu cepatnya gerakan si gondrong sehingga
Suradadi tidak sempat lagi melihat bagaimana golok itu diputar dan gagangnya kemudian dipukulkan
kejidatnya!
Suradadi menjerit. Keningnya benjut dan luka. Darah mengucur.
“Bangsat! Bangsat!” teriak Suradadi beringas. Kedua matanya mendelik dan tampak merah. Mulutnya
komat kamit seperti orang membaca mantera. Tiba-tiba tangan kirinya tampak sudah memegang sebilah
pisau berwarna hitam yang memancarkan sinar redup. Dengan senjata di tangan dia menyerbu si gondrong
Saat itulah Padanaran masuk ke dalam kalangan perkelahian seraya berseru: “Suradadi, hentikan
perkelahian ini. Ingat diri, jangan kalap. Kau bisa celaka!”
“Setan! Kau yang bakal celaka duluan! Semua ini gara-gara kamu! Mampuslah!” Suradadi tikamkan pisau
hitamnya ke perut Padanaran. Pemuda bulai ini merasakan ada angin yang menyerang mendahului sebelum
pisau itu menyambar. Ini satu pertanda bahwa senjata itu ada isinya. Dengan cepat Padanaran bergerak
berkelit. Dari samping dia coba memukul sambungan siku Suradadi agar senjatanya terlepas. Tapi Suradadi
membalik tak terduga dan kini pisaunya itu menusuk ke arah leher Padanaran!
Murid Nenek Hantu Bulai itu kertakkan rahang. Dia berseru keras dan keluarkan jurus ke-empat dari ilmu
silat yang diajarkan gurunya. Kedua lututnya menekuk. Kedua tangannya melesat ke atas. Satu menangkis
serangan pisau, satunya lagi memukul ke arah ulu hati lawan. Inilah jurus yang oleh gurunya disebut dengan
nama “macan putih keluar dari liang makam”
Dukkk!
Pisau di tangan kiri Suradadi mental ketika tangan kanan Padanaran menghantam tepat pergelangannya.
Bukkkk!
Suradadi terpental, terkapar ditanah sambil merintih-rtntih. Ada darah mengalir disela bibirnya. Padanaran
dekati pemuda ini. Ketika kemarahannya mengendur, ada rasa kasihan dalam hati pemuda ini. Dia ulurkan
tangan untuk bantu membangunkan Suradadi, tapi Suradadi sendiri tidak disangka-sangka tiba-tiba
melepaskan satu tendangan keras ke arah selangkangan Padanaran. Jika pemuda bulai ini tidak sanggup
selamatkan diri maka tendangan itu akan membuatnya meregang nyawa, paling tidak cacat seumur-umur.
Padanaran bukan tidak punya kesempatan untuk menangkis atau mengelakkan serangan ganas itu, tapi si
gondrong yang sangat marah melihat kelicikan kepala desa itu langsung saja menggebrak. Tubuhnya melayang
setinggi lutut. Kaki kirinya melesat.
Bukkk!
Suradadi menjerit keras. Tubuhnya terguling enam langkah. Dan semua orang melihat bagaimana
pergelangan kaki kanan kepala desa itu patah tulangnya. Kaki itu kini terkulai tergontai-gontai!
“Padanaran kalau kau ingin ke Karanganyar lekas pergi sekarang. Biarkan kepala desa sontoloyo itu aku
yang mengurusnya. Ada tiga orang tua di tiga desa yang menginginkan kepalanya karena dia telah merusak
anak gadis mereka!”
“Saudara… Kau mengenal namaku. Kau menolong aku dalam urusanku. Siapakah dirimu yang begitu
baik ini…?” bertanya Padanaran.
Yang ditanya garuk-garuk kepala.”‘Namaku Wiro Sableng. Aku hanya menjalankan pesan gurumu ….”
“Heh, kau kenal guruku?!”
Si gondrong mengangguk. “Pergilah. Aku akan menyeret Suradadi ke hadapan tiga keluarga itu untuk
mempertanggung jawabkan kebejatannya
“Hati-hati saudara …. Kudengar ayahnya tangan kanan Adipati Karanganyar
Pendekar 212 murid Sinto Gendeng dari gunung Gede tersenyum. “Jika kau tidak takut pada Adipati dan
pembantu-pembantunya itu, apakah berarti aku harus takut….?”
Lalu Wiro melangkah ke tempat Suradadi terkapar. Dijambaknya leher pakaian kepala desa ini lalu
diseretnya sepanjang jalan!
SEBELAS
HALAMAN BELAKANG GEDUNG Kadipaten Karanganyar yang luas dihias berbagai macam arca batu dan
dipagar dengan tembok setinggi tiga tombak agaknya bakal menjadi tempat pembantaian bagi pemuda
berpakaian biru penuh tambalan, mengenakan caping bambu. Di tangan kirinya dia memegang sebuah kaleng
rombeng sedang di tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu.
Saat itu pakaian pemuda baju biru tampak robek-robek, kulitnya luka-luka di beberapa bagian. Mata kirinya
lebam sedang bibirnya sebelah bawah pecah mengucurkan darah. Tapi caping bambunya masih bertengger di
kepalanya seolah-olah dipantek tak bisa lepas.
Pemuda baju biru ini bertahan mati-matian terhadap keroyokan tiga orang penyerang. Yang pertama adalah
Jalitanggor, lelaki bertampang menyeramkan dengan tubuh tinggi besar dan memegang sebilah golok. Orang
kedua seorang lelaki berpipi dan bermata cekung yang bukan lain adalah Si Muka Mayat Dari Goa Kapala Ular.
Pengeroyok ketiga seorang pemuda bertampang keren yang dari luar tampak halus budi pekertinya tapi
ternyata berhati sekejam iblis. Dia bernama Manik Tunggal, pemuda yang konon kabarnya telah dijodohkan
dan dicalonkan untuk jadi suami Tarini, anak perempuan Gandaboga. Meskipun baru berusia 23 tahun tapi
ternyata dia telah memiliki ilmu silat dan tenaga dalam tinggi, melebihi yang dimiliki Jalitanggor. Seperti Si
Muka Mayat, Manik Tunggal hanya mengandalkan tangan kosong sedang Jalitanggor bersenjatakan golok.
Pemuda bercaping menghadapi pengeroyok sambil tiada henti menggoyangkan kaleng rombengnya
hingga terdengar suara berkerontangan. Ilmu silat yang dimainkannya dengan mengandalkan tongkat kayu di
tangan kanan dan sesekali menghantam dengan kaleng rombengnya merupakan ilmu silat yang langka.
Namun agaknya dia hanya memiliki tiga jurus yang selalu diulang-ulangnya dalam mengahadapi para
pengeroyok hingga ketiga orang itu berhasil mengetahui kelemahannya dan setelah berkelahi lebih dari dua
puluh jurus, meski sempat melukai bagian dada Jalitanggor namun akhirnya pemuda bercaping itu terdesak
hebat. Siapakah adanya pemuda ini?
Menjelang pagi empat pengawal di gedung Kadipaten itu memergoki seorang pemuda berbaju biru yang
menyusup tengah mencari kamar tidur Adipati Gandaboga. Terjadi perkelahian kilat. Tiga pengawal roboh
mandi darah dimakan ujung tongkat dan hantaman kaleng rombeng si pemuda. Tapi pengawal ke empat
berhasil membangunkan penghuni gedung lainnya. Maka Si Muka Mayat, Jalitanggor dan Manik Tunggal
yang kebetulan menginap di tempat itu segera keluar dari kamar masing-masing, mengurung pemuda
bercaping dan langsung mengeroyok.
Ketika perkelahian berkecamuk sepuluh jurus, Adipati Gandaboga keluar dari kamar tidurnya diiringi
seorang gadis jelita berbadan sintal yang jadi gendaknya sejak satu bulan belakangan ini. Bersama mereka
mengiringi seorang kakek berpakaian merah gombrong yang dipinggangnya melilit sebuah ikat pinggang
penuh disisipi pisau-pisau kecil tipis berjumlah seratus pisau. Dia dikenal dengan julukan Pisau Gergaji Terbang
karena pisaunya berbentuk mata gergaji pada kedua sisinya yang tajam.
Disamping si kakek melangkah seorang nenek bermuka panjang yang selalu tertawa-tawa seperti orang
kurang ingatan. Perempuan tua ini konon adalah kekasih si Pisau Gergaji Terbang yang telah hidup bersama
selama tiga puluh tahun tanpa kawin syah. Dia dikenal dengan julukan Sepasang Lengan Iblis karena memiliki
sepasang tangan berwarna hitam yang tak mempan senjata tajam dan mengandung racun pembunuh!
Bersama dengan Si Muka Mayat kedua tua bangka kekasih inilah yang mendatangi tempat kediaman Nenek
Hantu Bulai atas perintah Gandaboga, membokong nenek sakti itu, menggebuknya babak belur lalu
menggantungnya kaki ke atas kepala ke bawah.
Ke empat orang ini melangkah menuju bangku panjang terbuat dari batu yang terletak dekat taman di
ujung kiri halaman belakang. Gandaboga duduk sambil memangku gendaknya sedang kakek -nenek itu duduk
disampingnya sambil berpegang-pegangan tangan. Mereka duduk menonton perkelahian tiga lawan satu itu.
Saat itu pemuda bercaping sudah terdesak hebat di sudut kanan tembok. Tongkatnya sudah
kutung dibabat golok Jalitanggor sementara Si Muka Mayat dan Manik Tunggal kirimkan serangan
menggebu tiada putus-putusnya. Tiba-tiba pemuda yang jadi bulan-bulanan pengeroyokan itu berteriak
keras. Tubuhnya melesat ke atas.
Breet!
Cakaran tangan Si Muka Mayat merobek dada pakaiannya. Kulit dada pemuda baju biru ikut terluka. Dari
sebelah belakang Manik Tunggal kirimkan satu pukulan ke arah punggung, tapi masih dapat dikelit hingga
hanya mengenai pinggul. Dalam keadaan seperti itu pemuda baju biru masih sempat loloskan diri dari
kepungan dan lari ke arah Adipati dan gendaknya duduk berpangku-pangkuan.
Pisau Gergaji Terbang dan Sepasang Lengan Iblis cepat berdiri dan menyongsong kedatangan si pemuda
sambil siapkan penyerangan. Tapi Adipati Gandaboga mengangkat tangannya dan berkata: “Biarkan saja!
Cecunguk ini seperti hendak mengatakan sesuatu! Hai monyet! Lekas buka mulutmu! Katakan siapa dirimu
dan apa maksudmu berani menyusup ke gedung Kadipaten!”
Si baju biru meludah ke tanah. Lalu perlahan-lahan buka caping bambunya. Sepasang matanya memandang
tak berkesip ke arah Adipati Karanganyar itu penuh kebencian. Mulutnya yang berdarah membuka.
“Manusia durjana! Kau mungkin tidak kenal lagi siapa diriku! Tapi aku tidak pernah melupakan tampang
biadabmu!”
“Bangsat rendah! Berani kau bicara kurang ajar terhadap Adipati!” teriak Jalitanggor. Berbarengan dengan
Manik Tunggal dia melompat hendak menerkam si baju biru. Tapi lagi-lagi Gandaboga mengangkat tangan dan
berseru. “Biarkan saja! Ajalnya tak akan lama! Kalian bisa mencincang tubuhnya sebentar lagi sampai puas.
Tapi biarkan dia menceloteh dulu! Aku ingin dengar kelanjutan bicaranya! Ayo kunyuk! Teruskan bicaramu!
Katakan siapa dirimu!”
“Aku Rangga. Putera Randuwonto yang kau bunuh di pekuburan Jatiwaleh sepuluh tahun silam! Kau
juga yang merencanakan penculikan atas diriku karena aku satu-satunya saksi hidup yang melihat
pembunuhan atas diri ayahku!”
“Ah! Monyet sialan ini ternyata anak kampung Sawahlontar bernama Rangga! Sepuluh tahun lalu kau lolos
dari kematian, mengapa bertindak tolol dan datang sendiri mengantarkan jiwa?!” ujar Gandaboga. Dia bicara
sambil mengusap-usap dada gadis yang duduk dipangkuannya.
Pemuda baju biru meludah ketanah. Mengenakan capingnya kembali lalu berkata:
“Aku datang kemari untuk minta nyawa anjingmu Adipati keparat!”
Gandaboga tertawa bergelak. Dia memandang ke arah Jalitanggor dan Si Muka Mayat lalu berkata: “Aku
ingin melihat dia mampus saat ini juga! Bunuh bangsat ini cepaattt!”
Si Muka mayat dan Jalitanggor bergerak. Manik Tunggal ikut menggebrak dari samping. Kembali tiga
pengeroyok berkelebat ganas. Kembali pula Rangga mempertahankan diri. Namun hanya sembilan jurus dia
sanggup membalas gebrakan lawan. Jurus kesepuluh kakinya kena disapu tendangan Manik Tunggal. Si Muka
Mayat lalu menghantamkan satu jotosan ke arah dagu dan golok Jalitanggor yang membabat ke arah leher
kali ini tak mungkin lagi dielakkan oleh Rangga.
Dalam keadaan dikejar maut begitu rupa tiba-tiba terdengar suara perempuan berteriak:
“Jangan bunuh! Dia sahabatku diwaktu kecil!”
Semua gerakan maut tertahan dan semua orang palingkan kepala. Dari tangga belakang gedung Kadipaten
berlari seorang dara mengenakan pakaian tidur panjang berwarna biru muda berbunga-bunga kuning dan hijau.
Wajahnya cantik sekali. Ternyata dia adalah Tarini, puteri dan anak tunggal Adipati Gandaboga.
Melihat anaknya ini Gandaboga segera menegur keras: “Tarini! Lekas masuk ke kamarmu! Ini bukan
urusan anak-anak sepertimu!”
“Ayah, saya akan masuk jika ayah melepaskan pemuda itu pergi.. “sahut Tarini.
“Tidak, dia harus mampus. Dan kau harus masuk ke kamarmu! Manik, bawa calon istrimu ke dalam kamar!”
“Calon istri? Puaaah!” Tarini berteriak lantang. “Aku bukan calon istri siapa-siapa. Apalagi dijodohkan
dengan kintel satu ini! Ayah, bukanlah sudah berapa kali hal itu saya katakan padamu.. ?”
Gandaboga hilang kesabarannya. Gendak yang sedang dipangkunya diturunkannya lalu dia melangkah
cepat ke tempat puterinya berdiri. Gadis ini ditariknya ke kamar tidur secara paksa. Sesaat kemudian
Gandaboga kembali ke halaman belakang dan berteriak marah.
“Kalian semua tunggu apa lagi? Bunuh pemuda keparat itu!”
Jalitanggor yang pertama sekali bergerak mengayunkan goloknya. Justru dia pula yang pertama kali
mengalami celaka!
***
PADA SAAT JALITANGGOR mengayunkan goloknya untuk menebas leher Rangga, tiba-tiba dari arah tembok
sebelah kiri melesat sebuah benda hitam. Benda ini menyambar deras dan menancap di pergelangan tangan
Jalitanggor setelah terlebih dahulu memutus urat-urat nadi. Jalitanggor menjerit kesakitan dan lepaskan
goloknya. Dia terhuyung-huyung kebelakang dan menjerit ngeri ketika melihat darah memancur dari urat-urat
besarnya yang putus.
Sebuah benda aneh terbuat dari batu hitam berbentuk seekor burung menancap di pergelangan tangannya.
Burung-burungan ini menancap pada bagian ekornya yang lancip. Semua orang tersentak kaget tapi tidak
satupun yang bertindak menolong Jalitanggor yang kesakitan dan kebingungan itu. Mereka berpaling ke arah
tembok halaman belakang sebelah kiri dimana tampak berdiri seorang pemuda berpakaian serba putih
berambut pirang dibawah siraman sinar matahari pagi.
Sepasang mata Rangga seperti hendak mendelik ketika pandangannya membentur pemuda bulai di atas
tembok. “Padanaran . . . diakah itu . . .? tanyanya dalam hati. Pasti dia. Burung-burungan batu itu! Ah pasti
dia! Ya Tuhan terima kasih kau telah mempertemukan kami kembali. Matipun aku tak menyesal kalau sudah
melihat wajahnya!” Selagi Jalitanggor mencak-mencak kesakitan, Rangga pergunakan kesempatan untuk
melompat bangkit dan lari ke arah Padanaran.
“Saudaraku Rangga, mereka telah menganiayamu! Aku akan membalaskan sakit hatimu! Juga
membalaskan sakit hati kematian paman!”
“Padanaran, Tuhan Maha Besar. Kita hadapi mereka bersama-sama. Tapi hati-hati. Dua kakek nenek dan
si muka cekung itu paling berbahaya …” menerangkan Rangga.
“Bangsat bulai! Kau manusia atau setan?!” teriak Adipati Gandaboga sementara para pembantu
kepercayaannya tegak menyebar berjaga-jaga. Dari caranya dia melemparkan mainan dari batu yang tepat
menancap di lengan Jalitanggor itu semua tahu kalau kini ada seorang berkepandaian tinggi yang bukan
berada di pihak mereka. Seorang yang kehebatannya jauh lebih tinggi dari Rangga yang muncul untuk
membalaskan sakit hati. Apakah pemuda bulai di atas tembok itu juga mempunyai niat yang sama…?
“Aku manusia! Tapi bisa jadi setan yang mampu mencekikmu!” jawab orang di atas tembok.
“Keparat! Jangan bicara ngaco! Lekas katakan siapa dirimu!” teriak Pisau Gergaji Ter bang lalu tangannya
bergerak dan dua pisau andalannya meluncur ke arah tembok. Orang diatas tembok berseru keras, melompat
dan melayang turun ke dalam halaman belakang gedung Kadipaten.
“Kalau kalian ingin tahu namaku baik, akan kukatakan! Aku Padanaran. Pemuda dari dukuh Sawahlontar.
Sepuluh tahun silam kau yang bernama Gandaboga membunuh pamanku Randuwonto. Hari ini aku datang
untuk balas meminta nyawamu!”
Gandaboga tertawa gelak-gelak, yang lain-lainnya tegak dengan pandangan mengejek. Tiba-tiba ada satu
suara keras yang berteriak menindih suara gelak Gandaboga.
“Aku juga pemuda dari Sawahlontar! Datang mencari tiga pembunuh pengecut…!”
Kalau tadi semua mata memandang ke arah Padanaran, kini semua berpaling ke sisi barat tembok,
termasuk Padanaran sendiri. Disitu duduk berjuntai sambil uncang-uncang kedua kakinya seorang pemuda
berpakian putih berambut gondrong. Mulanya tiada henti menyeringai sedang dari mulutnya terdengar
suara bersiul tiada henti.
“Kurang ajar! Bangsat gila dari mana yang kesasar kemari!” maki Gandaboga lalu dia memerintahkan Pisau
Gergaji Terbang untuk mengusir pemuda gondrong itu. Sebaliknya si kakek berbisik pada sang Adipati: “Biarkan
saja pemuda sinting satu itu. Kita tengah menghadapi si bulai. Biar aku membereskannya lebih dulu…”
Adipati Gandaboga akhirnya anggukkan kepala menyetujui.
Ketika melihat si gondrong di atas tembok sana Padanaran tak habis pikir bagaimana pemuda yang
menolongnya dan mengaku bernama Wiro Sableng itu begitu cepat sampai di tempat. “Kalau tidak memiliki
ilmu lari andal, dia pasti tak akan sampai disini hanya terpaut beberapa saat denganku,” begitu Padanaran
membatin. Lalu pemuda ini berpaling ke arah Gandaboga, maju beberapa langkah sambil berucap: “Adipati,
apakah kau sudah siap menerima kematian?”
Gandaboga memaki panjang pendek. Sambil mendelik marah dia memerintahkan:
“Bunuh monyet bulai ini!”
Sepasang Lengan Iblis lebih dulu tertawa cekikikan baru menyerbu. Si Pisau Gergaji Terbang mendengus
dua kali lalu melompat kedalam kalangan. Manik Tunggal yang ingin berebut pahala serta nama tak tinggal
diam sementara Si Muka Mayat berusaha menolong Jalitanggor tapi terlambat karena pembantu kepercayaan
Gandaboga ini sudah keburu menemui ajal karena banyak darahnya yang terbuang. Sebenarnya Jalitanggor
mampu menotok urat besarnya untuk menghentikan darah. Tapi karena begitu ngeri melihat darahnya sendiri,
dia sampai bingung dan tidak melakukan apa-apa.
“Bangsat, biar aku yang mencekik leher dan menghancurkan kepala si bulai itu!” teriak Si Muka Mayat
setelah dapatkan kawannya telah menemui ajal! Dia langsung ikut menyerbu. Padanaran kini dikeroyok oleh
empat pesilat cabang atas. Dengan mengandalkan ilmu warisan gurunya si Nenek Bulai mungkin sulit bagi
empat orang itu untuk mengalahkan atau menciderainya. Tapi seperti yang dipesankan sang guru kepada
Wiro, Padanaran masih hijau dalam pengalaman. Karenanya begitu empat orang menggebrak Pendekar 212
wiro Sableng keluarkan suitan panjang dan melompat turun dari atas tembok.
Sesaat murid Eyang Sinto Gendeng dari puncak gunung Gede ini perhatikan jalannya perkelahian empat
lawan satu itu. Lalu tiba-tiba dia melompat ke depan, memotong arus pertempuran. Dia memilih Pisau Gergaji
Terbang sebagai lawannya karena dianggapnya manusia satu inilah yang paling tinggi ilmunya dan berbahaya.
“Pemuda gila kesasar! Kau mencari mati! Benar-benar minta mampus!” teriak si kakek. Jarak mereka
terpisah empat langkah. Dalam jarak sependek ini orang tua itu masih sempat menghamburkan dua pisau dari
tangan kanan dan dua lagi dengan tangan kiri.
Wiro sambut serangan lawan dengan pukulan sakti “dinding angin berhembus tindih menindih” Empat
pisau terbang yang melesat ke arahnya mencelat mental membuat kaget si pemilik. Seumur hidup kakek itu
belum pernah melihat serangannya dipukul mentah-mentah seperti itu. Didahului dengan jeritan keras dia
gerakkan lengan baju gombrangnya. Terdengar suara klik-klik. Dari balik lengan baju kiri kanan menonjol
keluar dua buah pisau besar berbentuk gergaji dan berujung lancip. Setiap si kakek menggerakkan tangannya,
pisau-pisau gergaji itu mengeluarkan suara berdesir menggidikkan. Paling tidak dalam tiga jurus pemuda yang
dianggapnya sinting itu akan mandi darah dihantam sepasang pisau, begitu si kakek berpikir. Tapi ketika tiga
jurus lewat dia tidak mampu menciderai lawan hatinya jadi was-was. Serta merta dia rubah permainan silatnya
dengan tubuhnya tiba-tiba lenyap, hanya tinggal bayangan merah pakaian gombrong nya.
Menghadapi lawan dengan gerakan kilat begini rupa Pendekar 212 melompat menjauhi lalu menghantam
dengan pukulan-pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Di jurus ke sebelas Wiro berhasil
menangkap lengan kanan lawan. Meskipun lengannya sempat terserempet pinggiran pisau dan mengucurkan
darah, tapi Wiro berhasil membanting kakek itu keras-keras ke tanah hingga terkapar bergedebukan. Tapi
hebatnya begitu jatuh orang tua ini langsung melompat bangkit. Sambil bangkit tangan kirinya sempat
berkelebat.
Breet!
Kaki celana kiri Pendekar 212 robek besar. Betisnya mengucurkan darah.
“Setan alas!” maki Wiro. Kaki kanannya melesat ke depan. Tubuh tua yang masih setengah bangkit itu
terpental beberapa langkah tapi kembali berusaha bangkit. Hanya kali ini dia tak mampu melakukannya.
Perutnya serasa pecah. Pemandangannya gelap. Pisau Gergaji Terbang hanya bisa terduduk ditanah megapmegap.
Wiro mendekati untuk mengirimkan satu tendangan lagi ke kepala lawan. Tapi selintas pikiran muncul’
dibenaknya. Dia tidak menendang kepala orang tua ini, melainkan menotok urat besar dipinggangnya hingga
si Pisau Gergaji Terbang tak bakal mampu bangkit dan melarikan diri.
Perkelahian antara Padanaran yang dikeroyok Sepasang Lengan Iblis, Si Muka Mayat dan Manik Tunggal
berjalan seru. Warisan ilmu yang diberikan nenek Hantu Bulai benar-benar luar biasa. Si Muka Mayat dan
Sepasang Lengan Iblis yang sudah makan asam garam ilmu dan duniapersilatan sempat memaki-maki karena
beberapa kali hampir saja keduanya kena gebukan tangan atau tendangan Padanaran. Apalagi ketika Rangga
yang tak mau hanya jadi penonton terjun ke dalam kalangan. perkelahian. Tiga pengeroyok jadi kalang kabut.
Melihat hal ini Gandaboga bawa masuk gendaknya kedalam kamar lalu keluar lagi seorang diri membawa
sebilah keris berluk sembilan yang memancarkan warna putih. Ketika dia masuk ke dalam,kalangan
pertarungan keadaan serta merta berubah.
Keris di tangan Adipati Karanganyar itu memang bukan senjata sembarangan. Orang hanya mampu
mendekati sampai dua langkah. Ada hawa aneh yang memerihkan sekujur tubuh jika lawan berani mendesak
mendekati. Akibatnya kalau tadi Padanaran dan Rangga berada di atas angin maka kini dua pemuda ini jadi
terdesak hebat.
Pendekar 212 yang sudah gatal tangan tak menunggu lebih lama. Segera pula masuk ke dalam kalangan
pertempuran. Dia jadi kaget ketika merasakan sendiri hawa aneh yang keluar dari keris putih di tangan
Gandaboga.
“Keris keparat itu harus disingkirkan dulu .” kata Pendekar 212 dalam hati. Tangannya bergerak ke
pinggang. Sinar putih menyilaukan tiba-tiba berkiblat. Hawa panas menghampar dan suara seperti ribuan
tawon mengamuk menderu. Lalu trang!
Keris sakti di tangan Gandaboga terpental. Pemiliknya terhuyung-huyung engan muka pucat. Wiro
masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya. Lalu berpaling pada Padanaran dan Rangga dan
berkata: “Kalian berdua hadapi musuh besar kalian itu. Tiga pengeroyok ini biar serahkan padaku …!”
Menyadari bahwa memang Gandaboga adalah musuh besar yang telah membunuh ayah dan paman
mereka maka Rangga dan Padanaran segera melompat ke hadapan Gandaboga. Perkelahian seru segera
terjadi diantara mereka. Nenek kekasih Si Pisau Gergaji Terbang memandang tak berkesip pada Wiro
Sableng.
“Gondrong! Aku tadi melihat kau mengeluarkan sebilah senjata berupa kapak bermata dua. Apakah kau
manusianya yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 … ?!”
Wiro tak menjawab dengan menghantamkan pukulan sinar matahari! Ketiga orang itu terpekik dan
melompat mundur. Hawa panas yang hebat menerpa ganas.
Bummm!
Tanah di depan ketiga lawannya berubah menjadi lobang besar berwarna hitam. Debu dan pasir membubung
ke udara.
“Pukulan sinar matahari!” teriak Sepasang Lengan Iblis. Serta merta lelehlah nyali nenek ini ketika kini dia
benar-benar menyadari siapa adanya pemuda berambut gondrong itu. tanpa tunggu lebih lama dia melompat
ke kiri melarikan diri. Wiro tak tinggal diam. Dia yakin si nenek ini adalah salah satu dari tiga orang yang
membunuh si nenek Hantu Bulai. Sambil gulingkan diri di tanah, Wiro menyambar tiga pisau tipis di pinggang
kakek Pisau Gergaji Terbang. Sesaat kemudian senjata itu melesat di udara mengeluarkan suara bersuit.
Di seberang sana terdengar pekik Sepasang Lengan Iblis. Nenek ini tersungkur jatuh di tanah, menggeliat
beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. Tiga pisau menancap di tengkuknya terus menembus leher, di
pinggang dan satu lagi membeset lambungnya hingga ususnya membusai keluar. Dia menemui ajal sebelum
sempat memperlihatkan kehebatan sepasang lengannya yang hitam.
“Jumilah . . . “teriak si Pisau Gergaji Terbang ketika melihat kekasihnya menemui ajal seperti itu. Dia
berusaha berdiri tapi tak bisa. Kakek ini sesenggukkan lalu menangis seperti anak kecil.
Ketika semua itu terjadi si Muka Mayat pergunakan kesempatan untuk lari tapi Wiro cepat menghadang dan
menotok dadanya hingga manusia satu ini tertegak kaku.
Rangga berkelahi menghadapi Manik Tunggal. Walaupun ilmu silat Rangga lebih rendah, tapi berkelahi satu
lawan satu begitu rupa tidak mudah bagi Manik Tunggal untuk mengalahkan Rangga. Sebaliknya perkelahian
antara Gandaboga dan Padanaran hanya berlangsun seru selama tiga jurus-.Jurus keempat Adipati
Karanganyar itu kena digebuk bagian dadanya hingga terjungkal tapi masih sempat berpegangan pada
sebuah arca. Sebelum dia mampu berdiri tegak tiba-tiba Padanaran telah mendatangi dengan keris putih milik
Gandaboga yang dipungutnya dari tanah.
“Jangan bunuh! Demi Tuhan jangan bunuh!” teriak Gandaboga lalu jatuhkan diri berlutut. <
“Kau membunuh pamanku! Hari ini kau terima balasannya!” suara Padanaran bergetar. Keris di tangan
kanannya ditusukkan.
“Padanaran! Jangan bunuh ayahku! Ampuni selembar nyawanya!” Satu suara berteriak lalu terdengar ada
orang yang lari mendatangi.
“Tarini!” seru. Padanaran ketika dilihatnya siapa yang berteriak. Gadis itu kawan baiknya semasa kecil lari
mendatangi. Gerakan tangan Padanaran serta merta terhenti. Tapi dari samping tiba- tiba saja Rangga muncul
melompat. Kedua tangannya memegang lengan Padanaran yang memegang keris sakti erat-erat lalu
didorongkannya kuat-kuat ke depan. Keris yang dipegang oleh tiga tangan itu menghunjam di leher Gandaboga.
Adipati Karanganyar ini keluarkan seruan tertahan. Matanya melotot. Lehernya sampai ke muka dan sebagian
dadanya kelihatan menjadi biru tanda ada racun yang menjalar dari keris sakti ber warna putih itu.
Tarini menjerit keras ketika melihat apa yang terjadi dengan ayahnya. Dia lari menubruk Gandaboga,
memeluk sayang ayah tapi aneh, tak ada air mata yang keluar dari sepasang matanya yang bagus itu.
“Pembunuh keparat! Kalian membunuh calon mertuaku!” teriak Manik Tunggal lalu berusaha mencekik
Rangga. Tapi dari belakang datang Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kalau calon mertuamu memangnya ke napa?! Pergi sana!” bentak Wiro. Lalu buk! Wiro tendang pantat
pemuda itu hingga Manik Tunggal jatuh tengkurap di tanah.
Sesaat Padanaran tertegun lalu perlahan-lahan dia lepaskan pegangannya di hulu keris. Tubuh Gandaboga
terhuyung dan jatuh menelentang. Lalu pemuda ini usap kepala Tarini dan berkata: “Maafkan aku Tarini . . .”
Sehabis berkata begitu Padanaran berpaling pada Rangga, memberi isyarat. Lalu kedua pemuda itu
melangkah tinggalkan tempat itu. Ketika melewati mayat Jalitanggor, Padanaran merunduk mencabut
burung-burungan batu yang masih menancap di lengan orang itu, membersihkan darahnya, berpaling pada
Rangga lalu masukkan burung-burungan batu itu ke dalam saku bajunya.
Saat itulah baru terdengar suara tangisan Tarini. Tiba-tiba gadis ini berdiri dan berteriak memanggil:
“Padanaran! Aku ikut bersamamu” Gadis ini lari menyusul pendekar bule yang melangkah bersama Rangga,
namun begitu mendengar suara si gadis dia berpaling hentikan langkah.
Manik tunggal yang melihat hal itu buru-buru bangkit berdiri. “Tarini! Kembali! Tarini.. ” Lalu pemuda ini
berusaha mengejar. Tapi baru lari tiga langkah datang Wiro dari samping.
“Tarini… Tarini… Ini untukmu!”
Bukkkk!
Untuk kedua kalinya tendangan Wiro mendarat di pantat Manik Tunggal. Pemuda ini terhempas ke tanah.
Mukanya mencium tanah keras sekali dan dia pingsan disitu juga.
Pendengar 212 garuk kepala beberapa kali. Memandang kearah tiga orang yang melangkah pergi di
kejauhan. Akhirnya diapun menyusul ketiga orang itu. Dia lalu memberi tahu Padanaran bahwa nenek Hantu
Bulai gurunya telah tiada. Dan dua dari tiga orang pembunuhnya berada dalam keadaan tertotok di halaman
belakang gedung Kadipaten.
TAMAT
PENDEKAR 212 WIRO SABLENG SESAAT BERDIRI MEMANDANGI BANGUNAN BESAR BERBENTUK JOGLO ITU.
“BANGUNAN BEGINI BESAR TAPI TIDAK SATU MANUSIAPUN KELIHATAN,” KATA MURID SINTO GENDENG
DALAM HATI. DI SAMPING KANAN BANGUNAN TAMPAK SEBUAH KERETA PUTIH. TAK JAUH DARI SITU SEEKOR
KUDA PUTIH TENGAH MENCARI MAKAN DI HALAMAN YANG BANYAK DITUMBUHI RUMPUT LIAR. BINATANG INI
TAMPAK GELISAH. SEBENTAR-SEBENTAR DIA MENEGAKKAN KEPALA LALU MERINGKIK. WIRO MENDEKATI
KUDA PUTIH INI LALU MENGUSAP-USAP LEHERNYA SAMPAI BINATANG INI TENANG KEMBALI, MALAH BALAS
MENGGESER-GESERKAN PIPINYA KE BAHU SANG PENDEKAR.
“NENEK HANTU BULAI! APAKAH KAU ADA DI RUMAH?!” WIRO BERTERIAK MEMANGGIL SESEORANG YANG
PUNYA GELAR ANEH YAITU SI PEMILIK RUMAH BESAR.
SUARA SANG PENDEKAR MENGGEMA SESAAT. DIA MENUNGGU. TAK ADA JAWABAN. WIRO BERSERU
SEKALI LAGI. SEKALI LAGI. TETAP HANYA KESUNYIAN YANG MENYAMBUT. DIA LALU MEMASANG TELINGA.
LAPAT-LAPAT DIA MENDENGAR SUARA SEPERTI AIR MENCURAH DI SEBELAH
TIMUR BANGUNAN.
“AGAKNYA ADA AIR TERJUN DI BELAKANG SANA…” PIKIR WIRO. LALU DIA PUN MELANGKAH CEPAT
MENUJU BELAKANG BANGUNAN. TANAH DI BAGIAN BELAKANG BANGUNAN BERBENTUK JOGLO ITU TERNYATA
MENURUN TAJAM MEMBENTUK SEBUAH JURANG KECIL. DI SEBELAH TENGAH ADA TANGGA YANG DIBUAT
DARI SUSUNAN BATU KALI. DI KIRI KANAN TANGGA TUMBUH RAPAT SEMAK BELUKAR DIPAGARI OLEH
POHOH-POHON BESAR. SUARA AIR YANG MENCURAH ITU DATANG DARI DASAR JURANG.
WIRO MELANGKAH MENURUNI TANGGA BATU DEMI BATU SAMBIL MENGHITUNG SEMENTARA SEPASANG
MATANYA MENGAWASI KEADAAN DI SEKITARNYA. PADA HITUNGAN KE TIGA BELAS, BERARTI PADA ANAK
TANGGA ATAU BATU KALI YANG KE TIGA BELAS, PENDEKAR 212 HENTIKAN
LANGKAH.
“ANGKA TIGA BELAS…” MEMBATIN PEN DEKAR 212. “AKU TIDAK PERCAYA SEGALA MACAM TAHAYUL, TAPI
KAKIKU MENDADAK SAJA TERHENTI PADA LANGKAH KE TIGA BELAS. HATIKU TIBA-TIBA SAJA MERASA TIDAK
ENAK…”
KEDUA MATA MURID SINTO GENDENG MENATAP TAK BERKESIP LURUS-LURUS KE DEPAN. DI UJUNG
TANGGA BATU MELINTANG SEBUAH SUNGAI KECIL DANGKAL PENUH DENGAN BEBATUAN BERWARNA HITAM.
DISEBERANG SUNGAI KECIL INI MENCURAH SEBUAH AIR TERJUN SETINGGI HAMPIR DELAPAN TOMBAK. YANG
DIPERHATIKAN PENDEKAR 212 BUKANLAH AIR TERJUN ITU, MELAINKAN SEBATANG POHON BERINGIN
YANG TUMBUH DI SEBELAHNYA. DAN BUKAN PULA POHON BERINGIN ITU YANG MENJADI PUSAT PANDANGAN
MATANYA, MELAINKAN SESOSOK TUBUH BERPAKAIAN SERBA PUTIH, BERKULIT BULAI, YANG TERGANTUNG DI
AKAR POHON, KAKI KE ATAS KEPALA KEBAWAH! RAMBUTNYA YANG PUTIH TERGERAI LEPAS, MELAMBAILAMBAI
DITIUP ANGIN. KEDUA TANGANNYA TERKULAI KEBAWAH!
“NENEK HANTU BULAI!” TERIAK WIRO TERCEKAT. TANPA PIKIR PANJANG LAGI MURID SINTO GENDENG INI
MELOMPATI TANGGA BATU, TERJUN KE DALAM SUNGAI DANGKAL, LARI KE ARAH POHON BERINGIN.
“NENEK BULAI! SIAPA YANG BERBUAT KEJI BEGINI RUPA TERHADAPMU?!” TERIAK
WIRO BEGITU SAMPAI DI HADAPAN SOSOK TUBUH YANG TERGANTUNG. LALU DIA SEGERA BERTINDAK UNTUK
MEMUTUSKAN AKAR YANG MENGIKAT KEDUA PERGELANGAN KAKI PEREMPUAN TUA ITU.
JUSTRU PADA SAAT ITU ORANG YANG TERGANTUNG MEMBUKA KEDUA MATANYA. TERNYATA ORANG INI
BELUM MATI WALAU MAUT TAK MUNGKIN DIHINDARINYA DALAM WAKTU BEBERAPA SAAT LAGI! SEPASANG
MATA YANG TAMPAK SANGAT MERAH TANDA BANYAK DARAH TERKUMPUL DISITU MEMBUKA HANYA SESAAT.
“KATAKAN SIAPA KAU YANG MUNCUL DISAAT AKU SEKARAT BEGINI?!” TIBA-TIBA SI NENEK KELUARKAN
SUARA SANGAT PERLAHAN, HAMPIR TIDAK TERDENGAR DIANTARA DERU AIR TERJUN.
“AKU WIRO SABLENG. MURID EYANG SINTO GENDENG DARI GUNUNG GEDE. AKU DATANG MEMBAWA PESAN
GURU…”
“LUPAKAN SAJA PESAN ITU. SEBENTAR LAGI AKU AKAN MATI…”
“AKU AKAN MENURUNKAN TUBUHMU, NEK…”
“TIDAK USAH! PERTOLONGAN TAK ADA GUNANYA LAGI. UMURKU HANYA TINGGAL BEBERAPA SAAT…”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Bastian Tito
PENDEKAR 212 MANA MAU PERDULI. DIA CABUT KAPAK MAUT NAGA GENI 212 DARI PINGGANGNYA. SINAR
BERKILAUAN BERKIBLAT DISERTAI SUARA GAUNGAN DAHSYAT.
CRASSS
SEKALI TABAS SAJA SEMBILAN AKAR GANTUNG POHON BERINGIN PUTUS. TUBUH SI NENEK BULAI JATUH
KE BAWAH. WIRO CEPAT MENYAMBUTNYA, MENDUKUNGNYA BEBERAPA LANGKAH LALU Dl8ATU TEMPAT
YANG BERSIH DAN TERLINDUNG DARI SINAR MATAHARI TUBUH PEREMPUAN TUA BERGELAR HANTU BULAI
ITU DIBARINGKANNYA. WIRO MEMPERHATIKAN DAN DIAM-DIAM DIA MAKLUM, APA YANG DIKATAKAN SI
NENEK ADALAH BENAR. UMUR PEREMPUAN TUA INI TAK AKAN LAMA LAGI. HANYA KEKUATAN LUAR BIASA
YANG DIMILIKINYA MEMBUAT KEMATIANNYA MASIH BISA TERTUNDA BEBERAPA SAAT SERTA MASIH
SANGGUP BICARA.
SALAH SATU BAGIAN PAKAIAN NENEK BULAI TAMPAK ROBEK. LALU ADA BEBERAPA LUKA MENGOYAK
DAGING LENGAN DAN PUNGGUNGNYA.
“NEK, SEBELUM KAU MENGHADAP TUHAN LEKAS KATAKAN SIAPA YANG MELAKUKAN KEBIADABAN INI ATAS
DIRIMU…”
“MURID SINTO GENDENG, APAKAH KAU HENDAK MEMBALASKAN SAKIT HATI DENDAM KESUMATKU…?”
“AKU BERSUMPAH NEK!” SAHUT WIRO.
“AKU TIDAK MEMINTA, TAPI JIKA KAU MEMANG INGIN BERBUAT KEBAJIKAN AKU TIDAK MENOLAK. ORANG
ITU ADALAH BEBERAPA TOKOH SILAT KAKI TANGAN GANDABOGA, ADIPATI KARANGANYAR! AKU TIDAK TAHU
NAMA MEREKA SATU PERSATU. MEREKA BERJUMLAH TIGA ORANG. TAPI AKU TAHU MEREKA ADALAH
ORANG-ORANGNYA GANDABOGA…”
“BIADAB! MEREKA AKAN MENERIMA KEMATIAN LEBIH MENGERIKAN DARI YANG
KAU DERITA INI NEK…”
“MURID SINTO GENDENG, ADA SATU HAL LAIN YANG LEBIH PENTING…”
“CEPAT KATAKAN NEK…”
“SESAAT SEBELUM TIGA BANGSAT ITU MUNCUL, AKU BARU SAJA MELEPAS MURID TUNGGALKU BERNAMA
PADANARAN. DIA MEWARISI SELURUH KEPANDAIANKU. TAPI DIA BELUM PUNYA PENGALAMAN MENGARUNGI
DUNIA PENUH KELICIKAN INI. WALAU DIA TAK PERNAH BICARA TAPI AKU TAHU DIMASA KECILNYA ORANG
YANG MEMELIHARANYA ADA SILANG SENGKETA DENGAN ADIPATI KARANGANYAR ITU. DAN DIA PASTI AKAN
MENCARINYA… SATU HAL AKU MOHON PADAMU, SUSUL DIA, BANTU AGAR DIA JANGAN MENDAPAT CELAKA.
AKU…” UCAPAN SI NENEK CUMA SAMPAI DISITU. LIDAHNYA MENDADAK KELU. DARI TENGGORAKANNYA
TERDENGAR SUARA SEPERTI TERCEKIK. NYAWANYA LEPAS MENINGGALKAN TUBUH KASAR. WIRO PANDANGI
WAJAH TUA YANG MALANG ITU SESAAT LALU USAP DAN TUTUPKAN SEPASANG MATA SI NENEK.
“PADANARAN…” DESIS WIRO. “AKU TAK PERNAH MENGENAL MURID SI NENEK INI. SATU-SATUNYA JALAN
IALAH PERGI KE KARANGANYAR DAN MENYELIDIK… SILANG SENGKETA. DUNIA INI AGAKNYA TAK PERNAH
LEPAS DARI SILANG SENGKETA DAN DENDAM KESUMAT!” PENDEKAR 212 MENGHELA NAFAS PANJANG DAN
GARUK-GARUK KEPALANYA.
WIRO BANGKIT BERDIRI, MEMANDANG BERKELILING MENCARI-CARI TEMPAT YANG BAIK DIMANA NENEK
BERGELAR HANTU BULAI ITU DAPAT DIKUBURKANNYA. SELAGI DIA MENCARI-CARI BEGITU TIBA-TIBA ADA
SUARA BERDESING HALUS DISERTAI KILATAN MELESAT DI UDARA, MENYAMBAR KE ARAHNYA!
“PEMBOKONG JAHANAM!” MAKI PENDEKAR 212. KAPAK MAUT NAGA GENI 212 YANG MASIH
DIGENGGAMNYA DI TANGAN KANAN DIBABATKAN KEUDARA.
”TRANG… TRANG… TRANG!”
TIGA DARI EMPAT BUAH YANG TADI MENYAMBARNYA MENTAL BERPATAHAN. BENDA KEEMPAT
TERHEMPAS KE KIRI DAN MENANCAP DI BATANG SEBUAH POHON. WIRO MELIHAT BAYANGAN SESEORANG
BERKELEBAT DI UJUNG TANGGA BATU SEBELAH ATAS. SERTA MERTA WIRO HANTAMKAN TANGAN KIRINYA
MELEPAS PUKULAH “SINAR MATAHARI!”
CAHAYA BERKILAUAN MENYAMBAR. HAWA PANAS MENGHAMPAR.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Bastian Tito
”BUMMM! BYAARR!”
SEMBILAN BATU KALI YANG JADI ANAK TANGGA HANCUR BERMENTALAN. TANAH DISEKITAR SITU AMBLAS
BERHAMBURAN. PEPOHONAN DAN SEMAK BELUKAR YANG TERSAMBAR HAWA PANAS PUKULAN SAKTI ITU
TAMPAK MENGHITAM SEPERTI DIBAKAR! TAPI BAYANGAN ORANG YANG TADI DILIHAT WIRO BERHASIL
MELARIKAN DIRI DAN LENYAP DARI TEMPAT ITU.
WIRO MEMAKI DALAM HATI. DIA INGAT PADA BENDA YANG MENANCAP DI POHON, CEPAT BALIKKAN DIRI
DAN MELANGKAH KEARAH POHON ITU. BENDA YANG MENANCAP DI SITU TERNYATA ADALAH SENJATA
RAHASIA BERBENTUK SEBILAH PISAU TIPIS YANG KEDUA PINGGIRANNYA BERGERIGI TAJAM SEPERTI GERGAJI.
“HEMMMMM…,” GUMAM WIRO. “PEMBOKONG TOLOL… KAU MENINGGALKAN CIRI CIRIMU SENDIRI. KINI
AKU TAHU SIAPA DIRIMU…!” PISAU TIPIS ITU DIMASUKKANNYA KE DALAM SAKU BAJUNYA.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
SATU
RIUHNYA SUARA ANAK-ANAK bermain bola rotan bukan alang kepalang. Apalagi kalau ada salah satu
pihak yang bertanding berhasil membobolkan gawang lawan yang terbuat dari potongan bambu yang
ditancapkan ke tanah. Masing-masing pihak berjumlah delapan anak. Belasan anak lainnya yang tidak ikut
main menonton di pinggir lapangan. Justru suara anak-anak yang menonton inilah yang paling ramai,
“Bermain bola harus sebelas lawan sebelas!” berteriak seorang anak dari tepi lapangan.
“Betul!” menimpali kawan disebelahnya.
“Sebaiknya ditambah tiga- tiga. Biar ramai!”
Anak-anak yang berada dilapangan mengangkat tangan tanda setuju. Tapi dari pinggir tanah lapangan
berumput kasar itu hanya lima anak yang mau ikut bermain.
“Ahl Kurang satu! Masakan yang lain tak Ada yang mau ikut main?!”
“Biar aku yang main!” tiba-tiba terdengar suara seorang anak berteriak seraya berlari
mendatangi dari tepi tanah lapang sebelah timur. Semua anak berpaling. Lalu tampak anak-anak itu
mencibir bahkan ada yang mengangkat tangan membentuk tinju. Sesaat kemudian seperti diatur semua
anak itu berseru :
“Huuuuuuu!”
“Bule anak setan! Mana pandai kau main bola rotan!” kata seorang anak.
“Memandang saja tidak becus! Jangan-jangan kaki kami nanti yang kau tendang!” teriak seorang anak.
Terdengar suara anak-anak tertawa dan mencemooh.
Seorang anak lain berteriak : “Kami lebih suka kurang satu dari pada main bersamamu!”
“Kulitmu lain dengan kulit kami! Sebaiknya kau main dengan anak-anak tuyul!” Kembali
terdengar suara tawa riuh rendah.
“Monyet bulai! Lekas menyingkir ke tepi lapangan! Kalau tidak akan kami gotong kau
ramai-ramai dan cemplungkan ke kubangan kotoran kuda!”
Anak lelaki sepuluh tahun yang tadi begitu berharap dapat turut serta bermain bola rotan
bersama anak-anak seusianya itu sesaat hanya bisa tegak terdiam. Bola matanya yang kelabu
bergerak kian kemari dan tangan kanannya ditudungkan diatas mata karena tak tahan sinar matahari pagi
yang mulai terik. Rambut- nya sangat pirang, bahkan sepasang alis dan bulu matanya juga pirang. Kulitnya
putih bulai penuh bercak-bercak bekas gigitan nyamuk.
“Kawan-kawan! Monyet bulai ini benar-benar ingin kita cemplungkan ke dalam kolam
kotoran kuda! Seorang anak berteriak ketika dilihatnya si bulai itu masih berada di lapangan. Beberapa anak
segera bergerak mendekati.
Melihat hal ini anak lelaki bulai itu cepat- cepat melangkah ke pinggir lapangan sambil
berkata : “Kalau kalian tidak suka aku ikut main tak jadi apa. Biar aku menonton saja dari
jauh…”
“Menonton kami bermainpun kau tidak layak! Pergi dari sini!” teriak seorang anak
berkulit hitam bermata besar. Namanya Suradadi.
“Ayo pergi dari sini!”
Anak lelaki bulai itu memandang sayu dengan sepasang matanya yang kelabu dan lalu bergerak, lalu
perlahan-lahan dia memutar tubuh hendak meninggalkan tempat itu.
Tiba-tiba ada suara anak perempuan berkala : “Padanaran, jangan pergi dulu…!” Si bulai hentikan
langkahnya dan berpaling. Dia tersenyum ketika melihat wajah mungil yang manis itu. “Ada apa Tarini?”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Anak perempuan bernama Tarini menjawab : “Kau tetap disini saja Padanaran. Aku mau bertanya pada
anak sombong itu!” Lalu anak perempuan ini melangkah ke tengah lapangan, langsung menghadapi
Suradadi yang rupanya memang dianggap sebagai pimpinan oleh anak- anak yang ada di tempat itu.
“Suradadi, kau dan kawan-kawanmu tidak mau mengajak Padanaran bermain bola. Kenapa kalian sejahat
itu?!”
Bola mata Suradadi yang besar tampak membeliak. Lalu dia berpaling pada kawan-kawannya. Dan
meledaklah tawa anak-anak itu.
“Dewi kecil ini hendak bertindak sebagai pembela rupanya!” berteriak seorang anak.
Suradadi letakkan kedua tangannya di pinggang lalu berkata : “Kami tidak suka bermain dengan dia bukan
baru sekarang ini. Tapi dari dulu-dulu. Kami tidak sama dengan dia. Kami anak-anak dari orang tua baik-baik.
Sedang dia! Ibunya dikawin oleh hantu! Lihat saja kulitnya bule seperti hantu!’ Gelak tawa menyusul ucapan
Suradadi itu.
Paras Tarini tampak merah sementara Padanaran hanya bisa tegak tertegun.
“Mulutmu keji amat Suradadi! Bagaimana kau bisa bicara sejahat itu! Apakah ayah atau Ibumu yang
mengajarkan?!” bertanya Tarini.
“Tidak ada yang mengajariku dewi cilik! Tapi semua orang di dukuh Sawahlontar tahu kalau ibu
Padanaran adalah manusia tapi ayahnya hantu putih! Bukan begitu kawan-kawan…?!”
“Betullllllll!” jawab semua anak. “Karena itu si Padanaran kulitnya bulai matanya kelabu rambut dan alisnya
pirang!” Lalu kembali terdengar mereka tertawa gelak-gelak…
“Kalian semua sama jahatnya!” teriak Tarini.
Saat itu Padanaran mengulurkan tangan menarik lengan anak perempuan itu seraya berkata :
“Sudahlah Tarini. Biarkan saja mereka. Mari kita tinggalkan tempat ini!”
Kawan-kawan! Lihat anak bule ini hendak mengajak Tarini pergi. Hati-hati kau Tarini. Pasti kau akan
dibawanya ke sarang hantu kerajaan ayahnya!” berkata Suradadi.
“Tarini, mari…” Padanaran tarik tangan Tarini.
“KAU pergilah duluan. Aku mau bicara ngotot-ngototan dengan anak lelaki yang sombong ini. Mentangmentang
anak kepala dukuh!”
Karena Tarini tak mau diajak pergi maka terpaksa Padanaran tetap pula tegak di tempat itu.
“Kalian tidak memperbolehkannya main bola bersama kalian. Mengapa kalian lalu melarangnya
menonton?!” bertanya Tarini.
“Jawabnya gampang saja dewi cilik!” sahut Suradadi.
“Aku dan kawan-kawan tidak suka ditonton oleh anak hantu!”
“Tarini, mari. Jangan layani mereka. Tak ada gunanya. Mereka menganggap aku lebih jelek dari kotoran
kuda tidak apa. Jangan sampai mereka juga mempermalukanmu! Kata Padanaran. Lalu kembali ditariknya
lengan anak perempuan itu. Sebenarnya saat itu Tarini sudah mau mengikuti kata-kata Padanaran dan
meninggalkan tempat itu. Justru saat itu Suradadi menarik tangan Tarini yang lain keras-keras hingga anak
perempuan ini menjerit kesakitan.
Melihat Tarini kesakitan Padanaran yang sejak tadi bersikap sabar dan merelakan dirinya dihina terusterusan
kini menjadi marah. Dia melompat kesamping dan mendorong dada Suradadi kuat-kuat hingga anak
ini jatuh terduduk di tanah.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
“Anak Hantu Bule! Berani kau mendorong dan menjatuhkanku!” teriak Suradadi. Dia berdiri dan menerjang
dengan tendangan. Yang menyerang Padanaran kemudian bukan hanya 8uradadi seorang tapi belasan
kawan-kawannya yang lain juga ikut melayangkan tangan serta tendangan. Anak-anak itu tidak memperdulikan
teriakan-teriakan Tarini. Dalam keadaan babak belur hampir pingsan Padanaran mereka gotong dan bawa ke
ujung barat tanah lapang. Disini terdapat sebuah kolam buatan tempat pembuatan pupuk dari kotoran kuda.
Tubuh Padanaran mereka lemparkan kedalam kubangan itu. Masih untung kubangan itu dangkal. Walaupun
keadaannya benar-benar memelas tapi Padanaran tak sempat tenggelam. Sehabis melemparkan Padanaran
ke dalam kubangan kotoran kuda itu Suradadi dan teman-temannya melarikan diri.
“Padanaran! Padanaran…!” terdengar suara Tarini memanggil berulang kali. Di tepi kubangan dia berhenti.
Memandang kian kemari. Dilihatnya ada sepotong bambu yang cukup panjang. Potongan bambu ini
dimasukkannya ke dalam kubangan. “Pegang ujungnya Padanaran. Pegang… biar kutarik kau dari dalam
sana…!”
“Aku ingin mati disini saja, Tarini. Tak usah kau tolong. Di dunia ini memang tak ada orang yang
menyukaiku..” terdengar suara Padanaran dari tengah kubangan.
“Jangan tolol Padanaran! Lekas kau pegang ujung bambu itu! Ayo!”
Akhirnya Padanaran memegang dan bergayut pada ujung bambu yang dijulurkan. Dengan susah payah
Tarini menarik hingga akhirnya Padanaran berhasil mencapai tepi kubangan dan naik ke tanah. Sekujur
tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki penuh dengan kotoran kuda dan busuk.
“Larilah ke sungai! Aku akan menyusul!” kata Tarini pula.
Ketika anak perempuan itu sampai di sungai kecil didapatinya Padanaran tengah sibuk membersihkan
tubuh dan pakaiannya. Selesai membersihkan diri anak lelaki itu naik ke darat dalam keadaan basah kuyup.
Tarini menghampiri dan bertanya : “Kau tak apa-apa sekarang…?”
“Sekujur tubuhku sakit-sakit. Tulang-tulangku seperti patah. Kepalaku pusing…”
“Kalau begitu kau harus cepat pulang, ganti pakaian.”
“Aku tak berani pulang. Paman pasti akan marah besar dan menggebukku dengan rotanl” jawab Padanaran.
“Kalau kau tak pulang akan lebih celaka lagi, Padanaran! Mari kuantar kau!”
“Kau baik sekali Tarini. Tapi jika paman malihat aku bersamamu hajaran akan berlipat ganda atas diriku!”
“Eh, mengapa begitu?” tanya Tarini heran.
“Kata paman ayahmu pernah mengancamnya. Jika aku berani bermain- main denganmu maka ayahmu
akan menyuruh tukang-tukang pukulnya menghajar paman! Sebaiknya kau saja yang pulang duluan, Tarini…”
Anak perempuan itu terdiam beberapa lamanya. Lalu perlahan-lahan gelengkan kepala.
“Aku heran…” kata anak perempuan itu tersendat, “mengapa semua orang di dukuh Sawahlontar
membencimu. Bahkan pamanmu juga Dari mana mereka dapat cerita bahwa ayahmu hantu putih…”
“Aku tak pernah mempercayai hal itu Tarini. Tapi ketika setiap mendamprat paman juga selalu berkata
begitu, mau tak mau aku jadi punya pikiran jangan-jangan aku ini memang anak hantu. Kalau tidak mengapa
bentukku begini berbeda…”
“Orang-orang itu keterlaluan. Anak-anak itu juga! Aku benci mereka semua…! Mana ada hantu bisa beranak!”
“Kau tidak boleh membenci mereka Tarini. Kau tak boleh membenci siapapun…” kata Padanaran pula.
Lalu dia berdiri dan memegang lengan anak perempuan itu seraya berkata : “Kita pulang saja Tarini. Kau
ambil jalan sebelah kanan, aku sebelah kiri. Kalau ada yang melihat kita berdua-duaan pasti aku
akan celaka…”
“Memang kau akan celaka anak hantu haram jadah!” tiba-tiba terdengar suara membentak keras.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
DUA
KEDUA ANAK ITU SAMA-SAMA TERKEJUT dan menoleh ke kiri. Pucatlah wajah bulai Padanaran sementara
Tarini merasakan lututnya goyah karena ketakutan. Tapi anak perempuan ini cepat menabahkan hatinya. Dia
menunggu dengan tenang apa yang bakal terjadi.
Beberapa langkah di samping kiri tegak dua orang lelaki. Di sebelah depan yang bertubuh tinggi besar dan
berkumis melintang adalah Gandaboga, bukan lain ayah Tarini. Wajahnya yang garang tampak marah sekali.
Matanya membeliak dan pelipisnya bergerak-gerak. Di dukuh Sawahlontar Gandaboga dikenal sebagai seorang
paling kaya karena dialah satu-satunya juragan sayuran dan ternak, teRmasuk pemilik tambak ikan. Kekayaannya
membuat dia disegani dan lebih dihormati dari pada kepala desa.
Di sebelah belakang Gandaboga berdiri seorang lelaki yang tampangnya tak kalah garangnya malah
menyeramkan karena mata kirinya picak sedang pipi kanannya ada parut atau cacat bekas luka. Orang ini
berselempang kain sarung hitam dan di pinggang di balik kain sarung itu tersembul hulu sebilah golok. Dia
adalah Jalitanggor, pembantu atau pengawal, atau lebih tepat dikatakan tukang pukul Gandaboga. Dalam
kedudukannya sebagai tukang pukul, Jalitanggor sering ditugasi untuk bertindak sebagai juru tagih. Para
pedagang atau siapa saja yang terlambat membayar dagangannya pasti akan didatangi Jalitanggor. Tak jarang
orang ini main tendang dan main pukul jika orang yang berhutang belum sanggup melunasi hutangnya.
Karenanya lambat laun rasa hormat penduduk terhadap Gandaboga berubah menjadi takut. Apalagi jika
Jalitanggor sudah muncul, seolah-olah bumi ini menjadi kiamat rasanya!
“Tarini! Bagus sekali perbuatanmu!” membentak Gandaboga. “Sudah berapa kali aku memberi ingat!
Jangan kau sekali-kali bermain dengan anak hantu ini! Ternyata kau berani melanggar perintahku!”
“Ayah, saya…”
“Jangan banyak mulut!” teriak Gandaboga.
“Untung anak bernama Suradadi itu memberi tahu. Kalau tidak pasti kau telah diapa-apakan si bule haram
jadah ini! “Tangannya bergerak lalu terdengar pekik Tarini ketika telinganya diputar dengan keras laluditarik.
“Pulang sana!”
Tubuh si kecil itu didorong hingga hampir terkapar jatuh. Tarini menggigit bibir agar tidak menangis.
Terhuyung-huyung anak ini melangkah pergi. Sebelum menghilang di balik rerumpunan semak belukar dia
masih sempat berpaling memandang ke arah Padanaran.
“Maafkan aku Tarini Ini semua salahku hingga kau mendapat hukuman…” berucap Padanaran.
“Bukan salahmu Padanaran! Tapi Suradadi anak jahat itulah yang jadi biang gara-gara!” awab Tarini lalu
melanjutkan langkahnya sambll memogangi telinganya yang sakit.
“Sekarang gili iranmu nenerima hukuman bocah bule tak tahu di untung”. Satu Tangan besar menjambak
rambut pirang Padanaran. Sakitnya bukan main membuat anak itu meringis. Yang menjambaknya adalah
Gandaboga
“Anak hantu! Apa kau tak sadar kalau tidak layak bermain dengan anak perempuanku ?” Dan kau berani
mengajaknya ketempat sunyi ini ! Apakah yang telah kau lakukan terhadap anakku ?”.
“Saya tidak melakukan apa-apa. Saya pergi mandi di kali sana. Tarini menolong saya…”
“Plaaak!”
Satu tamparan keras melabrak wajah Padanaran. Anak ini mengeluh kesakitan. Bibirnya pecah dan darah
mengucur. Pemandangannya menjadi gelap dan tedua kakinya terasa lunglai. Kemudian dalan keadaan seperti
itu tubuhnya dibantingkan ke tanah.
“Juragan, apa y ig harus saya lakukan terhadap bocah sialan ini?!” terdengar Jalitanggor bertanya. Suara
besar tapi parau. Tangan kanannya sudah siap untuk menghunus golok.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
“Tendang saja ke sungai sana! Lain kali jika dia berani mendekati anakku, aku perintahkah agar kau
langsung menyembelihnya!” jawab Gandaboga. la tinggalkan tempat itu.
“Anak keparat! ada-ada saja yang menjadikan urusanku!” maki Jalitanggor. Kaki kanannya bergerak, tubuh
Padanaran melesat jauh dan rubuh di tengah sungai.
Semak belukar sebelah kanan tiba-tiba tersibak. Dari situ muncul Suradadi bersama enam orang kawannya.
Bersorak-sorak mereka berlari ke tepi sungai dimana sosok tubuh Padanaran melingkar tak bergerak.
“Rasakan olehmu tuyul bule!” teriak Suradadi begitu sampai di hadapan Padanaran.
“Anak Hantu mau jual lagak! Masih untung pembantu juragan Gandaboga tidak menggorok batang
lehermu! Kalau tidak pasti kau ludah Jadi bangkai saat ini! Ha… ha… ha…!” Enam anak lainnya ikut tertawa.
Dalam sakitnya Padanaran tak kuasa membuka kedut matanya. Tapi telinganya menangkap jelas dan
mengenali bahwa yang bicara itu adalah Suradadi, anak kepala dukuh Sawahlontar.
Sesaat kemudian terdengar suara Suradadi dan kawan-kawan, “Mari kita tinggalkan tempat ini. Langit tampak
mendung. Sebentar lagi pasti hujan turun…”
Tak lama setelah Suradadi dan kawan-kawannya pergi Padanaran berusaha bangkit berdiri. Sulit dan sakit
terasa sekujur tubuhnya. Di langit kilat menyambar lalu terdengar guruh menggelegar. Hujan kemudian turun
deras sekali. Padanaran masih tertegak tak mampu melangngkah. Dia tak tahu hendak pergi ke mana. Kalau
pulang dalam keadaan babak belur seperti itu pasti akan ditanyai pamannya dan lebih parah lagi dia akan kena
hajaran pula. Tapi kalau tidak pulang lantas dia mau pergi kemana?
Apapun yang akan terjadi Padanaran akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah pamannya dimana dia
tinggal sejak ibunya meninggal dan ayahnya lenyap entah kemana. Dia tidak pernah melihat apalagi
mengenali ayahnya. Kata orang ayahnya melenyapkan diri begitu dia lahir dalam keadaan mengejutkan karena
bulai. Ada yang mengatakan ayahnya kabur karena malu. Ada lagi yang menuturkan bahwa ayahnya lari ke
sebuah gunung sepi dan mati membunuh diri disitu sementara ibunya karena tidak terawat dengan baik
meninggal dunia seminggu setelah melahirkannya.
“Ah, kenapa buruk amat nasibku…?” membatin pilu Padanaran. “Mengapa aku dilahirkan
berbeda seperti ini… Betulkah ayahku hantu putih…?”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
TIGA
HUJAN MASIH MENCURAH LEBAT ketika Padanaran memasuki halaman rumah. Dari halaman dia dapat
melihat seorang lelaki berselubung kain sarung duduk di kursi kayu dekat pintu depan sambil menghisap rokok.
Itulah Randuwonto sang paman. Padanaran sudah punya firasat akan mengalami sesuatu. Namun dia melangkah
terus. Belum lagi dia sampai di bawah cucuran atap, Randuwonto tampak mencampakkan rokoknya ke tanah lalu
terdengar suaranya.
“Anak hantu! Masih ingat pulang kau rupanyal”
“Paman, maafkan saya. Saya terhalang oleh hujan…” menyahut Padanaran lalu melangkah masuk ke
serambi rumah. Pada saat yang sama sang paman sudah berdiri dari duduknya. Matanya menatap besar-besar.
“Hemm… kau terhalang hujan katamu?!” Ujar lelaki berusia hampir setengah abad itu.
“Tapi mengapa kulihat pakaianmu kotor berlumpur dan ada yang robek. Tubuhmu bau kotoran kuda. Mukamu
benjat benjut dan bibirmu pacah berdarah!” Padanaran diam saja sambil tundukkan kepala.
“Kau tidak tuli! Lekas katakan apa yang teah kau lakukan?!” bentak Randuwonto.
“Saya dikeroyok anak-anak, paman…” jawab Padanaran akhirnya memberi tahu.
“Kau dikeroyok! Bagus! Berarti kau kembali berkelahi! Sudah berapa kali kukatakan agar kau jangan
berkelahi!”
“Saya terpaksa melakukannya paman. Mereka yang mulai lebih dulu. Saya hanya bertahan. Tapi mereka
banyak sekali. Saya terlempar kedalam kubangan kotoran kuda…!”
“Hanya itu saja yang terjadi?!” Padanaran terdiam, sulit untuk menjawab.
“Anak hantu! Lekas jawab. Hanya itu yang kau alami?!” bentak Randuwonto.
“Tidak paman… Saya juga mendapat hukuman dari juragan Gandaboga serta pembantunya Jalitanggor…”
memberi tahu Padanaran.
Terkejutlah Randuwonto mendengar kata-kata Padanaran itu. “Kau hanya menimbulkan silang sengketa
diantara kami orang-orang tua! Ceritakan apa yang terjadi!”
“Waktu itu saya berada di sungai membersihkan tubuh dan baju. ‘Lalu datang Tarini anak perempuan
juragan Gandaboga. Di saat yang sama juragan itu muncul disana. Saya disangka melakukan apa-apa terhadap
anaknya. Saya ditampar olehnya. Pembantunya kemudian menendang saya….”
“Akan lebih baik jika mereka membunuhmu saja saat itu!” ujar Randuwonto. Saat itu dari dalam rumah
muncul seorang perempuan bersama seorang anak lelaki seusia Padanaran. Perempuan itu adalah istri
Randuwonto sedang anak lelaki itu adalah anaknya jadi saudara sepupu Padanaran bernama Rangga.
Padanaran hanya tundukkan kepala. Dalam hatinya dia juga menginginkan mengapa Gandaboga dan
Jalitanggor tidak membunuhnya saat itu hingga tamat riwayatnya dan berakhir pula penderitaan hidupnya.
“Sepuluh tahun bersama kami kau hanya mendatangkan kesulitan saja! Sebaiknya kau angkat kaki dari sini
Padanaran…!”
“Mas Randu…” Istri Randuwonto hendak mengatakan sesuatu tapi segera dibentak dan diperintahkan masuk
oleh suaminya. Perempuan adik almarhumah ibu Padanaran itu yang memang sangat takut pada suaminya
segera saja masuk ke dalam rumah, meninggalkan Rangga seorang diri dekat pintu.
“Maafkan saya paman. Saya tidak bermaksud menyulitkan paman…” terdengar kata-kata Padanaran.
“Tidak bermaksud… Tidak bermaksud! Nyatanya kau selalu memberi kesulitan. Dan kini kesabaranku
sudah sampai pada puncaknya anak hantu! Kau telah menyulut silang sengketa dengan juragan Gandaboga!
Hubungan dagangan denganku pasti diputuskan. Segala hutangnya pasti akan segera ditagih! Kalau kepalamu
ini bisa kupakai untuk menyelesaikan semua urusan itu, sudah kupatahkan batang lehermu saat ini juga!”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
“Paman, kalau memang kematian saya bisa menolongmu, saya rela diapakan saja…” berucap Panadaran.
Randuwonto yang tengah melangkah mundar mandir menahan kemarahannya kini jadi meledak
mendengar kata-kata keponakan istrinya itu.
“Anak keparat! Kumpulkan pakaianmu! Pergi dari sini! Jangan berani kembali!” teriak Randuwonto.
“Saya… saya harus pergi kemana paman…?”
“Perduli setan kau mau pergi kemana!” sentak Randuwonto. Dijambaknya rambut pirang Panadaran lalu anak
itu dilemparkannya keluar serambi.
“Paman… saya mohon maafmu. Tapi jangan usir saya dari sini…”
“Anak setan! Benar-benar keparat! Sekali aku bilang pergi kau harus pergi!” teriak Randuwonto. Kini kakinya
yang bergerak. Tendangannya mendarat di pinggul Padanaran. Anak ini terlempar jauh dan jatuh di halaman
yang becek. Bagi Padanaran sakit yang diderita tubuhnya tidak seberapa dibanding dengan kepiluan hati
diperlakukan seperti itu. Lalu rasa takut karena tidak tahu harus pergi kemana. Jika orang sudah tidak sudi
memeliharanya lagi bagaimana mungkin dia memaksa untuk tetap tinggal di rumah itu.
Tanpa mengambil pakaiannya yang ada di dalam rumah dengan terhuyung-huyung Padanaran melangkah
menuju pagar halaman. Saat Itu ada suara orang berlari di belakangnya. Lalu ada suara memanggil.
“Padanaran tunggu dulu…” Padanaran berpaling. Dilihatnya Rangga berlari mendatangi. Adik sepupuhnya
ini tegak menundukkan kepala. “Padan… aku tak bisa menolongmu menghalangi kehendak ayah…Maafkan
aku Padan…”
Padanaran berusaha tersenyum dan menjawab. “Tidak jadi apa Rangga. Kau saudaraku yang sangat baik.
Kau anak yang sangat berbakti pada orang tuamu. Aku harus pergi Rangga. Selamat tinggal…”
“Tunggu Padan…” Dari dalam sakunya Rangga mengeluarkan sebuah benda kehitaman. Ternyata sebuah
burung-burungan terbuat dari batu.
“Kau ingat burung-burungan ini? Kau dulu yang mengajarkan bagaimana cara membuatnya. Kau ambillah.
Aku tidak punya apa-apa untuk diberikan….”
Padanaran ragu sesaat. Akhirnya diambilnya juga burung-burungan dari batu itu. “Terima kasih Rangga. Aku
pergi sekarang…” Padanaran memasukkan burung-burungan itu kedalam saku pakaiannya, memegang
tangan Rangga erat-erat lalu tinggalkan tempat itu.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
EMPAT
HUJAN MASIH TURUN DENGAN DERAS. Padanaran berjalan sepembawa kakinya. Pakaiannya basah
kuyup, sekujur tubuhnya dingin dan sakit. Di atas langit mengelam tanda sebentar lagi malam akan turun. Di
bawah sebatang pohon besar Padanaran akhirnya hentikan langkah dan memandang berkeliling. Saat itulah
disadarinya bahwa di depannya ada sebuah jalan kecil becek berlumpur. Lalu diseberang jalan kecil ini terletak
pekuburan Jatiwaleh. Pekuburan dimana makam ibunya berada.
Padanaran berpikir ejenak. Akhirnya anak ini memutuskan, sebelum pergi-pergi entah kemana-sebaiknya
dia menyambangi pusara Ibunya terlebih dahulu. Maka Padanaranpun melangkah menyeberangi jalan kecil itu.
Meski hujan lebat dan cuaca mulai menggelap tidak sulit bagi Padanaran mencari makam ibunya karena dia
memang sering datang kesitu, terutama jika hatinya sedang gundah dan sedih menghadapi penderitaan
hidup. Tak jarang dia bangun pagi-pagi dan pergi ke makam Itu, bicara seorang diri seolah-olah mengadukan
nasib dirinya yang malang pada sang ibu yang berada di alam lain itu.
Kilat menyambar. Pekuburan itu sekejap menjadi terang benderang. Padanaran bersimpuh di samping
makam ibunya yang kayu nisannya sudah rusak karena lapuk dan tanahnya penuh ditumbuhi rumput liar.
“Ibu… Aku anakmu datang bersimpuh dihadapanmu. Mungkin ini kali terakhir aku menyambangimu. Aku
tidak tahu kapan bisa kembali kemari. Aku harus pergi ibu. Walau aku tidak tahu mau pergi kemana. Aku
pergi sekehendak jalan hidupku yang malang. Kalau ibu masih hidup tentu nasibku tidak seperti ini…”
Padanaran diam sejenak. Dia menggigit bibirnya keras-keras. Betapapun derita yang dihadapinya saat itu, dia
tak mau hanyut oleh perasaan, pantang menitikkan air mata apalagi sampai menangis!
“Ibu aku tak percaya ayahku adalah hantu putih seperti yang dikatakan teman-teman. Seperti yang juga
dikatakan paman. Kalau dia masih hidup aku pasti akan mencarinya. Aku mohon petunjukmu ibu…” Sampai
disini anak lelaki itu kembali terhenti menyuarakan suara batinnya. “Ibu… aku harus pergi sekarang. Anakmu
mohon doa restumu…”
Padanaran bangkit berdiri perlahan-lahan. Mendadak dia merasakan ada seseorang tegak dlbelakangnya.
Sesaat tengkuknya terasa dingin. Dia berpaling. Astaga!
“Tarini!” seru Padanaran. “Bagaimana kau bisa berada disini?!”
“Aku… aku menyelinap dari rumah. Aku sangat mengawatirkan dirimu Padanaran. Ayah dan Jalitanggor pasti
melakukan apa-apa padimu…”
Padanaran menggeleng. “Tidak, mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka pergis setelah kau berlalu
jawab Padanaran sengaja berdusta.
“Sampai di rumah aku langsung masuk kamar lalu diam-diam menyelinap lewat jendela. Aku pergi ke sungai.
Tapi kau tak ada lagi disitu, Aku mengendap-endap kerumahmu. Rangga mengatakan kau diusir pamanmu. Dia
tak tahu kau pergi kemana. Tapi aku seperti bisa menduga kalau kau datang kesini. Bukankah kau pernah
bercerita kalau kau sering ke makam Ibumu sedang sedih … Tenyata kau memang ada disini.”
“Tarini kau baik sekali padaku. Aku sangat menghargaimu. Tapi harus pulang Tarini. Cepat. Nanti kalau
ayahmu atau Jalitanggor mengetahui kau tak ada di rumah, lalu mereka mencarimu dan menemui kita berdua
lagi disini, kau pasti akan kena damprat… Pulanglah Tarini, lekas…”
“Aku hanya kepingin tahu, kau mau pergi kemana Padanaran…?” bertanya anak perempuan itu.
“Aku sendiri tidak tahu mau pergi kemana…,” jawab Padanaran bingung.
“Kau tidak boleh pergi Padanaran. Kau harus tetap di Sawahlontar ini…”
“Tapi disini tak ada orang yang menyukai Tarini. Tak ada yang mau menerimaku. Bahkan pamanku
mengusirku…”
“Tidak semua orang benci padamu Padanaran. Mereka adalah orang-orang gila yang tidak punya alasan
mengapa harus membencimu. Aku menyukaimu. Aku menyukaimu. Aku temanmu…”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Padanaran memegang kedua tangan Tarini erat-erat. “Kau temanku yang baik… sangat baik yang pernah
kupunyai. Aku tak akan melupakan semua kebaikanmu, semua ucapanmu. Kalau kelak nanti aku kembali ke
Sawahlontar ini, kaulah yang kelak akan kucari…”
Tarini hanya bisa diam. Anak ini sadar kalau dia tidak mungkin menahan Padanaran agar tidak pergi.
Perlahan-lahan anak lelaki itu lepaskan pegangannya. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seperti
letusan berulang kali. Lalu suara sesuatu menggelinding ditimpali suara kaki-kaki kuda yang kemudian disusul
oleh suara nyanyian. Suara nyanyian perempuan!
Dibawah hujan lebat
Dua sahabat berpegang erat
Satu hendak berangkat
Satunya ditinggal tercekat
Yang pergi berkuat hati
Yang tinggal tabahkan hati
Kalau memang jodoh pasti akan bersatu hati
Aku datang menjemput
Jangan kalian terkejut
Yang lelaki akan kuangkut
Yang perempuan jangan merengut
Lalu kembali terdengar suara seperti letusan, Tar… tar… tar…!
Padanaran dan Tarini berpaling. Dua anak ini bukan saja terkejut tapi tampak seperti ketakutan. Betapakan
tidak. Ini adalah satu pemandangan yang luar biasa. Di bawah hujan lebat dan cuaca gelap seperti itu tampak
muncul sebuah kereta putih ditarik oleh seekor kuda putih.
Orang yang menjadi saisnya adalah seorang nenek mengenakan jubah serba putih yang basah kuyup.
Kepalanya ditutup oleh sehelai selendang putih yang diikatkan seperti topi. Dibawah selendang putih itu
tampak tergerai rambut pirang sebahu. Yang membuat orang ini menjadi lebih angker ialah kenyataan
bahwa dia memiliki wajah putih bulai beralis mata pirang, berbola mata kelabu! Di tangan kanannya dia
memegang sebuah cambuk yang setiap kali dihantamkannya mengeluarkan suara letusan keras dan di ujung
cambuk yang menggeledek itu seperti ada percikan api!
Tarini langsung merapatkan diri pada Padanaran seraya berbisik : “Padanaran… apa- kah kita tengah
berhadapan dengan setan kuburan…?”
Padanaran tak berani menjawab. Dia cepat merangkul anak perempuan itu, bertindak melindunginya
ketika dilihatnya orang berjubah putih hentikan kereta dan melompat turun ke tanah lalu melangkah ke tempat
mereka berdiri.
“Ha… ha… ha… Sepasang anak baik-baik. Sayang hanya satu yang berjodoh denganku!” Nenek berjubah putih
bermuka bulai itu kedip-kedipkan matanya. “Anak lelaki bulai, kau ikut bersamaku….!”
“Ikut… ikut bersamamu…? Ikut kemana?” tanya Padanaran. Berdiri dekat-dekat seperti itu dia melihat bahwa
sepasang mata si nenek sama kelabunya dengan kedua bola matanya. Lalu wajah dan sepasang tangannya
yang tersembul dari balik jibah juga sama bulai dengan kulitnya.
“Ikut kemana itu tidak jadi urusan. Bukankah kau memang sudah bertekad untuk meninggalkan dukuh
Sawahlontar ini…?”
“Eh, bagaimana kau bisa tahu…?!” tanya Padanaran heran.
Si nenek tertawa panjang. Lalu terdengar dia berucap : “Tujuh puluh tahun hidup di dunia, adalah tolol kalau
tidak tahu apa yang terjadi di sekitarku! Dengar, namamu Padanaran bukan? Pamanmu bernama Randuwonto.
Kawanmu yang cantik ini bernama Tarini, ayah nya bernama Gandaboga… Betul begitu tidak?”
Padanaran dan Tarini hanya bisa tertegun melongo di bawah curahan hujan. Si nenek kembali membuka
mulut: “Di Sawahlontar kau tidak punya teman kecuali anak perempuan ini. Di Sawahlontar tak ada yang
menyukai dirimu kecuali sahabatmu yang satu ini. Kulitmu sama bulai denganku. Rambutmu sama pirang
denganku, matamu sama kelabu seperti mataku. Nah mengapa kita tidak sama-sama pergi, minggat dari
desa yang tidak mau menerima kehadiranmu ini…?”
“Nenek, siapapun kau adanya kau tak boleh membawa kawanku ini…” kata Tarini lalu memegang kedua
tangan Padanaran kuat-kuat.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Si nenek tertawa lebar dan usap rambut anak perempuan itu. “Anak baik,” kata si nenek pula. “Aku
membawa sahabatmu itu bukan untuk maksud jahat. Kau tunggu sajalah. Sepuluh tahun dimuka kalau dia
kembali menemuimu maka dia telah menjadi seorang pemuda yang hebat luar biasa…!”
“Hebat luar biasa bagaimana nek…?” tanya Tarini pula.
“Ah, kau banyak bertanya anak. Itu berarti kau anak cerdas. Tapi aku tak bisa menjawab pertanyaanmu
tadi…”
“Juga kau tidak mau mengatakan siapa dirimu nek? Kau tahu-tahu berada di pekuburan ini seolah-olah
muncul dari perut bumi…” ujar Tarini.
“Hik… hik… hik! Kalian berdua pasti menyangka aku setan hantu yang kesasar dibawah hujan lebat!
Hik… hik… hik. Aku manusia biasa seperti kalian. Tapi mulut manusia yang jahil memberi gelar Hantu Bulai
padaku. Hik… hik…. hik…”
Begitu tawa si nenek berakhir dia ulurkan tangannya dan tahu-tahu Padanaran sudah ada dalam kempitan
tangan kirinya tanpa bisa berkutik lepaskan diri!
“Nek! Jangan bawa temanku!” seru Tarini. Dia hendak mengejar ke depan. Tapi dengan lalu lompatan aneh
si nenek tahu-tahu sudah melompat naik ke atas kereta putih. Di lain kejap kuda penarik kereta itu meringkik
keras dan ketika digebrak binatang inipun lari ke jurusan timur pekuburan. Tarini lari mengejar. Namun
sesaat kemudian anak ini menyadari dia tak mungkin melakukan pengejaran. Anak ini hentikan larinya dan
hanya bisa memandang ke arah kejauhan dimana kereta putih, kuda putih, si nenek berjubah putih dan
Padanaran lenyap di kegelapan!
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
LIMA
DALAM KEADAAN KEDUA TANGAN terikat di belakang Randuwonto dipapah dan didorong ke balik semak
belukar itu. Hujan turun rintik-rintik. Empat orang lelaki mengelilinginya. Yang pertama berkumis melintang
berbadan tinggi besar yang bukan lain adalah Gandaboga sang juragan kaya dari dukuh Sawahlontar. Di
sebelah kanannya berdiri si tukang pukul Jalitanggor. Dua orang lainnya adalah anak buah Jalitanggor.
“Juragan ,” terdengar suara Randuwonto. “Mengapa kau membawaku ke pekuburan
malam-malam begini. Mana gerimis lagi!”
“Diam! Tutup mulutmu! Kalau tidak aku suruh bicara jangan berani bersuara!” bentak Gandaboga. Lalu
disepaknya betis Randuwonto hingga lelaki ini hampir roboh.
Gandaboga memandang ke depan lalu berpaling pada Jalitanggor. “Mengapa belum kelihatan anak itu…?”
dia bertanya.
“Sebentar lagi dia pasti muncul. Sabar saja, juragan…,” jawab sang pembantu. Baru saja dia berkata begitu
tiba-tiba dari arah pintu masuk pekuburan tampak muncul sesosok tubuh kecil, melangkah dengan cepat
tanpa ada rasa takut.
“Dia sudah muncul juragan…” bisik Jalitanggor.
Gandaboga mengangguk. Sepasang matanya tidak berkesip. Dia memandang dengan rasa hampir tak
percaya. Anaknya Tarini malam- malam gelap dan gerimis serta angin dingin kencang begini, mendatangi
pekuburan itu seorang diri. Sebelumnya sang pembantu Jalitanggor telah memberikan laporan. Namun dia tak
mau percaya begitu saja kalau tidak melihat sendiri. Dan saat itu dia benar- benar menyaksikan apa yang
dikatakan oleh pembantunya bahwa Tarini sering datang ke pekuburan, berdiri di dekat sebuah makam lalu
berseru berulang-ulang mengatakan sesuatu.
Seperti yang disaksikannya sendiri saat itu dilihatnya anak perempuannya itu tegak di dekat sebuah
makam. Anak ini tanpa rasa takut memandang berkeliling lalu dia mengangkat kedua tangannya dan berseru.
“Nenek Hantu Bulai… Datanglah…! Muncullah! Bawa aku serta! Nenek Hantu Bulai…datanglah! Bawa aku
bersamamu biar aku bisa bertemu dengan sahabatku Padanaran! Nenek hantu Bulai… mengapa kau tak mau
datang…?!” Capai berseru-seru tanpa ada jawaban Tarini duduk menjelepok di samping makam. Setelah itu
dia berdiri lagi lalu kembali berseru seperti tadi.
“Ah Nenek Hantu Bulai… Mengapa kau tak datang membawaku…” Tarini tampak kecewa dan keletihan.
“Randuwonto!” desis Gandaboga. “Kau lihat sendiri anakku seperti kemasukkan setan! Datang ke pekuburan
malam-malam. Berteriak memanggil hantu dan minta dirinya di bawa agar bisa bertemu dengan Padanaran!
Ini semua gara-gara keponakanmu yang bulai celaka keparat itu!”
“Juragan, saya tidak mengerti dan tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi…” jawab Randuwonto yang
menyaksikan semua yang terjadi itu dengan bulu tengkuk merinding. Keponakan saya itu sendiri lenyap sejak
beberapa hari lalu…”
“Menurut pembantuku setiap saat datang kemari anakku selalu berdiri dekat makam itu. Katakan makam
siapa itu?!” bertanya Gandiboga.
“Kalau saya tidak keliru, itu adalah makam ibu Padanaran…” jawab Randuwonto.
“Kurang ajar! Kalau begitu anakku memang telah kena guna-guna. Ada yang memasukkan roh jahat ke
dalam tubuhnya hingga diluar sadarnya dia datang ke tempat ini! Katakan siapa yang dipanggilnya dengan
sebutan Hantu Bulai itu?!”
“Mana saya tahu juragan. Saya tidak tahu siapa yang dimaksudkannya…”
“Kau dusta!”
”Plaaakkk!”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Gandaboga menampar pipi kanan Randuwonto hingga orang ini terpekik kesakitan. Suara pekikannya itu
mengejutkan Tarini. Anak ini berpaling. Gandaboga segera memerintahkan Jalitanggor untuk menangkap
anak itu. Ketika Jalitanggor keluar dari balik semak-semak dan Tarini melihatnya, anak perempuan ini
sementara melarikan diri. Tapi sebentar saja dia segera terkejar dan dipegang oleh Jalitanggor.
Tarini berteriak-teriak ketika dipanggul dan dibawa ke tempat ayahnya.
“Juragan… anak ini keluarkan keringat dingin. Pertanda memang ada roh jahat yang masuk dalam
tubuhnya…” berkata Jalitanggor.
Padahal keringat dingin itu adalah karena rasa takut yang kemudian ditambah pula dengan air hujan rintikrintik
yang membasahi Tarini.
Gandaboga percaya saja pada kata-kata pembantunya. “Seperti rencana semula, hidupkan obor. Gali
makam ibu Padanaran itu. Apapun yang kalian temukan didalamnya segera bakar.” Lalu dengan suara lebih
perlahan Gandaboga meneruskan ucapannya. “Manusia bernama Randuwonto ini tidak ada gunanya dibiarkan
hidup. Hutangnya tak pernah dilunasi sejak tiga bulan ini. Lebih dari itu dia ikut menjadi biang kerok keanehan
yang dialami anakku, Bunuh dan masukkan dia dalam kuburan itu”
Dua buah obor dinyalakan. Makam ibu Padanaran digali. Semua itu disaksikan Tarini dalam keadaan
keletihan karena tadi terus-menerus berteriak. Tak lama kemudian ditemukan tulang belulang dan sepotong
tulang tengkorak. Sesuai perintah Gandaboga tulang-tulang itu diguyur dengan minyak lalu dibakar.
Gandaboga kemudian memberi isyarat. Randuwonto diseret ke tepi kuburan. tahu firasat, Randuwonto
berteriak ketakutan : “Apa yang hendak kalian lakukan, terhadapku?!”
Sebagai jawaban Gandaboga mendorong tubuh Randuwonto hingga orang ini jatuh masuk ke dalam liang
kubur. Randuwonto berteriak keras. Dalam keadaan kedua tangan terikat tidak mungkin baginya untuk
mencoba keluar dari dalam lobang itu. Apalagi saat itu Gandaboga telah menyambar sebatang linggis lalu
menghantam kepala Randuwonto dengan benda itu.
Tubuh Randuwonto terkapar di liang kubur. Kepalanya rengkah dan darah membasahi kepala serta
wajahnya. Tarini yang ketakutan melihat kejadian itu jatuh pingsan dalam dukungan ayahnya!
“Timbunkan tanah cepat! Kita harus meninggalkan tempat ini sebelum ada orang datang!” perintah
Gandaboga. Dua anak buah Jalitanggor segera menimbun liang kubur. Tak lama kemudian orang-orang itu
lompat meninggalkan pekuburan menaiki sebuah gerobak ditarik dua ekor kuda.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
ENAM
HANYA BEBERAPA SAAT setelah orang-orang itu berlalu dan lenyap di kegelapan malam, tiba-tiba dari balik
serumpunan semak belukar melompat keluar sesosok tubuh. Yang melompat ini ternyata seorang anak lelaki
kecil dan bukan lain adalah Rangga, putera Randuwonto, saudara sepupu Padanaran.
”Ayah…! Ayah…!”, pekik si anak seraya lari menghambur menuju gundukan tanah merah dimana ayahnya
dibunuhsecara keji lalu ditimbun.
Rangga jatuhkan diri di atas tanah merah, menangis menjerit memanggil ayahnya. Panggilannya yang
mengenaskan itu tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Suaranya lenyap ditelan hembusan angin sementara
hujan gerimis mulai membesar.
Rangga tak menyadari berapa lama dia berada di pekuburan itu. Ketika pakaian dan tubuhnya basah
kuyup dan rasa dingin mencucuk tulang-tulangnya, perlahan-lahan anak ini berdiri lalu melangkah pergi sambil
terus menangis.
Keesokan paginya dusun Sawahlontar menjadi gempar. Di dalam dan di luar rumah Randuwonto banyak
orang berkerumun. Istri Randuwonto menangis sambil memeluki anak lelakinya yaitu Rangga yang kelihatan
berwajah pucat dan pakaian kotor serta basah. Pada orang-orang yang ada di situ diceritakannya apa yang
telah terjadi yakni sesuai dengan apa yang dilihat Rangga.
“Mas Randu dibawa! Sampai saat ini tidak kembali! Berarti apa yang dikatakan anakku benar. Mas
Randuwonto dibunuh dan dikubur di Jatiwaleh…! Dibunuh oleh juragan Gandaboga dan pembantupembantunya…!”
Begitu istri Randuwonto berucap diantara tangisnya yang memilukan.
Seorang lelaki separuh baya mendekati perempuan itu. Dia mengusap kepala Rangga sesaat lalu berkata :
“Bune Rangga, cerita anakmu perlu diselidiki dulu. Apa yang dikatakannya memang begitu. Aku tak habis
pikir bagaimana anak sekecil ini malam-malam pergi ke pekuburan lalu katanya dia…”
“Rangga tidak dusta. Anak ini tidak pernahberdusta!” menyahuti istri Randuwonto.
“Malam tadi Jalitanggor dan dua orang anak buahnya datang kemari. Dia bicara membentak-bentak lalu
memaksa mas Randuwonto mengikutinya mereka. Ternyata mas Randuwonto dibawa ke rumah juragan
Gandaboga. Disitu dia dipukuli lalu dibawa ke pekuburan Jatiwaleh. Anakku kemudian menyaksikan ayahnya
dibunuh, dipentung dengan batangan besi lalu dipendam…!”
Lelaki separuh baya itu menundukkan kepalanya lalu bertanya pada Rangga :
“Rangga kau tidak berdusta. Benar bahwa kau melihat ayahmu dibunuh dan dikubur…?”
Rangga menganggukkan kepala lalu memeluk ibunya erat-erat. Anak dan ibu itu kemudian sama-sama
bertangisan.
Seorang lelaki berpakaian biru gelap menyeruak diantara orang banyak. Dia adalah Suto Kenongo kepala
dukuh Sawahlontar merangkap kepala desa di wilayah itu. Melihat kemunculan kepala desa tangis istri
Randowonto semakin mengeras.
“Tenang bune Rangga… Tenang. Hentikan tangismu…,” berkata Suto Kenongo. “Dari orang-orang di luar
rumah aku mendengar bahwa suamimu dibawa oleh kaki tangannya juragan Gandaboga. Lalu anakmu katanya
melihat ayahnya dibunuh dan dikubur di Jatiwaleh tadi malam. Apa semua itu betul adanya, bune Rangga…?”
Ibu Rangga mengangguk.
Suto Kenongo termenung sejurus. Lalu dia berkata : “Ini bukan urusan kecil, bune Rangga. Jika kau
menuduh juragan Gandaboga telah membunuh suamimu maka tuduhan itu harus ada buktinya…”
“Anakku yang menyaksikannya!. Dia melihat sendiri ayahnya dipentung dengan besi. Juragan Gandaboga
yang melakukan itu. Lalu pembantu-pembantunya memendamnya dalam tanah…”
“Kesaksian anak sekecil ini sulit dijadikan pegangan…,” ujar kepala desa pula.
“Kalau tidak percaya…,” tiba-tiba membuka mulut si kecil Rangga, “pergi saja ke Jatiwaleh! Bongkar kuburan
itu. Pasti mayat ayah akan kita temukan!”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Semua orang yang ada disitu sama tergerak hati mereka dan sama- sama mengeluarkan ucapan setuju.
Mereka mendesak agar Suto Kenongo sendiri yang memimpin per- jalanan dan penyelidikan ke pekuburan
Jatiwaleh.
“Ah ini urusan kapiran!” kata Suto Kenongo dalam hati sambil mengusap dagunya. Hati kecilnya diam-diam
mempercayai apa yang terjadi. Namun karena urusan ini terkait dengan nama Gandaboga, juragan kaya raya
sedesa yang sekaligus memiliki kekuasaan besar mau tak mau kepala desa itu merasa tidak tenang.
Suto Kenongo berpaling pada orang banyak lalu berkata : “Baik, kalian pergi duluan ke pekuburan Jatiwaleh.
Aku patut memberi tahu urusan ini pada juragan Gandaboga. Aku nanti akan menyusul ke pekuburan…”
* * *
GANDABOGA DUDUK DI KURSI JATI berukir sambil mengunyah tebu manis kesukaannya. Di sebelahnya
berdiri pembantu kepercayaannya Jalitanggor. Setelah mencampakkan ampas tebu ke halaman rumah,
Gandaboga berpaling kearah Suto Kenongo yang saat itu tegak di hadapannya dekat tangga.
“Cerita yang kau dengar itu, apakah kau mempercayainya Suto Kenongo?” bertanya Gandaboga lalu
mengambil lagi sepotong tebu manis.
“Saya… Tentu saja saya tidak mempercayainya…,” jawab sang kepala desa.
“Bagus! Kalau begitu mengapa kau capai-capai datang kemari?”
“Juragan, apa yang saya percayai tidak sama dengan apa yang dipercayai penduduk. Mereka memaksakan
untuk membongkar kubur di Jatiwaleh itu…”
“Suto Kenongo! Jabatanmu adalah kepala dukuh dan kepala desa! Betul begitu…?!” Suara juragan
Gandaboga terdengar mulai meradang.
“Betul juragan,” menyahuti Suto Kenongo.
“Nah, kalau begitu adalah kewajibanmu untuk membuat penduduk untuk tidak berpikir gila mempercayai
apa kata anak dan istri Randuwonto itu! Kau bukannya melakukan itu, malah datang kemari tanpa
juntrungan! Seharusnya kau mencegah penduduk untuk tidak ke Jatiwaleh, apalagi kalau sampai
membongkar kuburan itu!”
“Saya… Kalau saya tidak segera memberi tahu, jangan-jangan masalahnya bisa…”
“Suto Kenongo! Kau telah menjadi kepala desa selama hampir tujuh tahun. Katakan siapa yang
memungkinkan kau mendapatkan jabatan itu?! Ayo jawab!”
“Semua itu karena kekuasaan juragan…” jawab Suto Kenongo.
“Apakah kau masih ingin memiliki jabatan itu Suto?!” tanya Gandaboga pula.
“Tentu juragan. Tentu saja saya menginginkannya.”
“Kalau begitu lekas angkat kaki dari sini. Pergi ke Jatiwaleh dan lakukan apa saja. Yang penting penduduk
tidak berpikir bahwa kematian Randuwonto ada sangkut pautnya dengan diriku! Cegah mereka membongkar
kuburan itu! Kau dengar itu Suto…?”
“Saya dengar juragan. Hanya saja… Bagaimana saya melakukannya? Apa yang harus saya katakan pada
penduduk…?”
“Kepala desa tolol!” yang membentak adalah Jalitanggor. “Itu urusanmu! Jangan bertanya pada juragan
Ganda!”
Suto Kenongo tundukkan kepala. Setelah memberi hormat dengan membungkuk beberapa kali kepala desa
ini segera tinggalkan rumah kediaman juragan Gandaboga dan memacu kudanya menuju pekuburan
Jatiwaleh.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Begitu Suto Kenongo berlalu, Gandaboga berpaling pada Jalitanggor.
“Ada tugas baru untukmu Jali!”
“Katakan saja juragan. Saya segera akan melakukannya!” jawab sang pembantu.
“Culik anak Randuwonto itu dan bunuh! Sekarang Jali!”
“Sekarang juragan!” jawab Jalitanggor lalu tinggalkan tempat itu.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
TUJUH
KETIKA SUTO KENONGO sampai di pekuburan Jatiwaleh tenyata kuburan telah digali dan mayat Randuwonto
kelihatan terhampar menggeletak di dalam lubang kuburan. Walau sebagian wajahnya bercelemong tanah dan
ada gelimangan darah namun semua orang yang menyaksikan sama mengenaldan memastikan bahwa yang
ada dalam kubur itu memang adalah jenazah Randuwonto.
Di pinggir kubur istri Randuwonto merasakan tanah yang dipijaknya seperti amblas. Dia menjerit lalu
menangis. Sambil memeluk anaknya yang ketakutan perempuan ini melangkah sempoyongan, dipapah oleh
dua orang. Saat itulah Suto Kenongo turun dari kudanya dan berhadapan dengan ibu serta anak yang malang
itu.
“Kepala desa…,” ucap istri Randuwonto dengan suara bergetar. “Semua orang sudah menyaksikan
kebenaran ucapan anakku. Semua mata melihat bahwa mayat yang ada dalam lobang itu adalah mayat
suamiku! Ada darah di kepala dan mukanya. Kepalanya rengkah! Pertanda bahwa dia memang dipentung,
dibunuh!”
Suto Kenanga tak tahu apa yang musti dilakukannya. Akhirnya sambil memandang berkeliling dia berteriak
menyuruh orang banyak kembali ke Sawahlontar.
“Walau mayat dalam lobang dikenali sebagai ayah Rangga,.namun urusan ini belum tuntas. Masih perlu
dicari dan dibuktikan siapa pembunuh Randuwonto! Kalian semua kembali ke dukuh!”
Suara orang banyak yang bergumam bahkan setengahnya ada yang memaki pertanda bahwa mereka tidak
suka mendengar ucapan dan melihat sikap kepala desa itu.
“Keterangan anak mas Randu jelas benar! Mayat dalam lubang jelas mayat mas Randu! Bukti apa lagi yang
diperlukan?!” berkata seseorang.
“Yang harus dilakukan ialah melaporkan kejadian ini pada Adipati!” seorang lain berkata dengan suara
keras.
Suto Kenongo melotot dan membentak :
“Soal lapor melapor adalah tanggung jawabku! Jangan ada diantara kalian yang berani mendahuluiku!
Semua kembali ke dukuh! Tiga orang tetap disini untuk menimbun kubur itu kembali!”
Baru saja kepala desa itu berucap begitu tiba-tiba ada dua ekor kuda dipacu memasuki pekuburan.
Penunggangnya sengaja memacu ke arah orang banyak hingga mereka berpencaran takut tertabrak. Dua
penunggang kuda ini mengenakan pakaian merah. Wajah dan kepala masing-masing ditutup dengan kain
merah pula. Selagi semua orang, termasuk kepala desa tidak tahu apa yang hendak dilakukan dua
penunggang kuda itu, tiba-tiba salah seorang dari mereka menerjang ke kiri dimana istri Randuwonto dan
anak lelakinya berada.
Cepat sekali gerakan penunggang kuda satu ini. Tahu-tahu Rangga sudah dirampasnya dari pegangan
ibunya lalu dibawa kabur.
“Rangga! Anakku diculik!” teriak ibu si anak.
Orang banyak tentu saja terkejut. Beberapa orang diantaranya berusaha mengejar. Bahkan kepala desa
setelah terkesiap sebentar segera melompat ke punggung kudanya. Namun penunggang kuda kedua cepat
memintas. Dia bukan saja menghalangi tetapi pergunakan sebatang tongkat kayu untuk menghantam. Dua
orang terkapar kena pukulan tongkat. Kepala desa dengan nekad coba melompati penunggang kuda itu.
Namun sodokan ujung tongkat pada perutnya membuat kepala desa ini jatuh ke tanah..
“Bangsat penculik!” teriak kepala desa. Dari balik bajunya dia mengeluarkan sebuah pisau kecil. Senjata
tajam ini kemudian dilemparkannya ke arah penunggang kuda sebelah belakang yang tadi menyodok perutnya
dengan tongkat. Ternyata orang yang dibokong dari belakang itu memiliki kepandaian cukup tinggi. Begitu dia
mendengar suara berdesing di belakangnya, tanpa mengurangi kecepatan kuda yang dipacunya dan sama
sekali tanpa menoleh dia sabatkan tongkat kayunya kebelakang. Ujung tongkat menghantam pisau hingga
mencelat jauh. Dua penunggang kuda itu, satu diantaranya mengempit tubuh Rangga di tangan kiri sesaat
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
kemudian lenyap di ujung pekuburan. Kini hanya tinggal suara orang banyak berteriak-teriak dan suara jerit
raung ibu Rangga.
***
DI SEBUAH LEMBAH SUNYI dua orang yang wajah dan kepalanya ditutupi kain merah itu hentikan kuda
masing-masing.
“Kita selesaikan disini saja Jali ” penunggang yang mengempit Rangga membuka mulut. Rangga sendiri
saat itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri karena ketakutan yang amat sangat sewaktu dilarikan di
atas kuda dengan kencang.
Penunggang kuda di sebelah belakang me- mandang seantero lembah. Lalu tangan kirinya membuka kain
penutup muka dan kepalanya. Ternyata dia bukan lain adalah Jalitanggor, pembantu dan tangan kanan
juragan Gandaboga. Sekali lagi dia memandang berkeliling, mengamati dan memasang telinga. Lalu
kepalanya dianggukkan.
Orang di sebelah depan turun dari kudanya, melangkah ke arah sebatang pohon waru. Dia berpaling pada
Jalitanggor dan bertanya:
“Aku atau kau yang melakukannya Jali…?”
“Aku biasa membunuh orang-orang besar, jago-jago ternama. Masakan kau suruh aku mengotori tangan
memancung anak kecil itu! Lakukan sendiri olehmu! Untuk itu kau dibayar!” terdengar Jalitanggor menjawab.
Lalu dia lemparkan tongkat di tangan kirinya ke arah orang yang masih mengempit Rangga.
“Pentung kepalanya! Selesai urusan kita!”
Orang dibawah pohon menyambut tongkat yang dilemparkan. Tubuh Rangga kemudian dijatuhkannya di
kaki pohon. Jatuh di tanah yang keras membuat Rangga siuman dan be- gitu membuka mata dia terkejut
mendapatkan dirinya berada di tempat yang serba asing itu. Di sebelah kiri dilihatnya sosok tubuh Jalitanggor.
Sedang di hadapannya ada orang yang kepala dan mukanya ditutup dengan kain merah. Orang ini
menimang-nimang sebuah tongkat di tangan kanannya. Tangan kirinya tampak membetot lepas kain merah
yang menutupi kepalanya.
Kelihatanlah satu wajah yang sangat pucat seolah-olah tidak berdarah, laksana wajah mayat. Keseraman
tampang manusia ini bertambah lagi karena memiliki dua pipi dan sepasang rongga mata yang cekung.
Tampang seram ini tampak menyeringai. Rangga menjerit ketakutan melihat tampang mengerikan ini. Lalu
tiba-tiba dilihatnya si muka cekung menghujamkan tongkat di tangan kanannya kearah kepalanya. Si anak
kembali menjerit sambil tekapkan kedua telapak tangannya kemuka. Ujung tongkat menderu ke arah
kening Rangga. Anak itu menjerit sekali lagi.
”Wuuuttt!”
”Traaakk!”
Sebuah batu sebesar kepalan melesat di dekat pohon waru langsung menghantam ujung tongkat kayu
yang akan menghunjam di batok kepala Rangga. Ujung tongkat patah sedang tongkat itu sendiri terlepas dari
pegangan orang berwajah cekung. Telapak tangannya terasa pedas dan panas. Jalitanggor terkejut, melompat
turun dari kudanya dan memandang berkeliling. Dia sama sekali tidak melihat siapapun.
“Keparat dari mana yang berani main gila!” teriak si muka cekung marah sekali. Baru saja dia berteriak
begitu tiba-tiba sebuah benda melayang ke arahnya dan plaak, benda ini menghantam mulutnya hingga dia
berteriak kesakitan. Ketika memperhatikan ke bawah, ternyata benda yang barusan menghantam mukanya
itu adalah sebuah kulit pisang!
“Jahanam, berani mempermainkan! Berani berlaku kurang ajar terhadapku Si Muka Mayat Dari Goa Kepala
Ular!” si muka cekung kembali mendamprat marah. Dan untuk kedua kalinya pula sebuah kulit pisang
menghantam tepat dimulutnya! Manusia yang mengaku bernama Si Muka Mayat ini memaki panjang pendek
sambil meludah- ludah. Ludah yang disemburkannya bercampur darah karena lemparan pisang yang keras
telah membuat bibirnya pecah! Jalitanggor diam-diam merasa tidak enak. Tapi sikapnya lebih tenang dari pada
Si Muka Mayat.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
“Muka Mayat, mendekat kemari..,” ujar Jalitanggor setengah berbisik. Ketika si muka cekung itu
mendekat, Jalitanggor berbisik:
“Ada orang pandai tengah mempermainkan kita. Hati- hati…”
“Jangankan orang pandai, setan atau iblis pandaipun aku tidak takut. Akan kupecahkan kepalanya, kubeset
kulitnya dan kupanggang tubuhnya!” jawab Si Muka Mayat Dari Goa Kepala Ular. Kedua tinjunya dikepalkan
kuat-kuat.
Baru saja orang itu selesai berucap tiba-tiba dari atas pohon waru berdaun lebat itu terdengar suara
berkerontang beberapa kali. Ini adalah seperti suara bebatuan yang berada dalam kaleng lalu digoyang kuatkuat.
Bersamaan dengan itu terdengar pula suara tawa mengekeh. Kemudian dari atas pohon waru tampak
meluncur sesosok tubuh
Suara kerontangan itu terdengar lagi beberapa kali. Di lain kejap orang yang meluncur sudah sampai di
tanah. Dia tegak membelakangi Jalitanggor dan Si Muka Mayat. Sikapnya seolah-olah tidak melihat atau
merasakan kehadiran kedua orang itu di tempat tersebut.
Orang yang turun dari pohon ini memegang sebuah kaleng rombeng di tangan kirinya sementara tangan
kanan memegang sebatang tongkat kayu. Kepalanya memakai sebuah caping lebar. Dari bawah caping
menjulur rambutnya berwarna kelabu tanda dia adalah seorang lanjut usia. Pakaiannya yang lusuh penuh
tambalan. Orang ini gerakkan tangan kirinya mengguncang kaleng rombeng. Kembali terdengar suara keras
yang memekakkan telinga. Di punggung orang bercaping ini ada setandan kecil pisang. Sebagian diantaranya
telah dipotesi. Jelas dialah tadi yang melempar Si Muka Mayat dengan kulit pisang dua kali berturut-turut.
“Olala…ladalah….Anak sekecil ini hendak dipateni. Apa salahnya!! apa dosanya! terde ngar orang bercaping
berkata. “Nak, mari kugendong. Lalu kau ikut aku…!” Orang itu membungkuk. Ujung tongkat di tangan
kanan-nya diselipkan dibawah pinggang Rangga yang masih tergeletak di tanah dalam keadaan ketakutan.
“Huuppp!” Orang bercaping berseru.
Di lain saat Jalitanggor dan Si Muka Mayat melihat bagaimana tubuh Rangga yang tadi terbujur di tanah
kini seperti terkait melesat ke atas dan bukk…jatuh tepat di atas bahu kiri orang bercaping!
“Anak, kau tenanglah. Jangan takut. Aku bukan orang jahat seperti dua kunyuk itu!” sitopi caping berkata
membujuk dan menenangkan Rangga yang dipanggulnya di bahu kiri. Lalu sambil melangkah pergi
membelakangi Jalitanggor dan Si Muka Mayat, orang ini goyang-goyangkan tangan kirinya. Suara batu-batu
dalam kaleng rombeng menggema keras menusuk pendengaran.
Jalitanggor dan Si Muka Mayat saling pandang. Sesaat kemudian keduanya melompat menghadang langkah
si topi caping.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
DELAPAN
BEGITU MELOMPAT KE HADAPAN orang bercaping Si Muka Mayat langsung hantamkan tangan kanannya
mengepruk kepala sedang Jalitanggor membuat gerakan untuk merampas Rangga yang ada dipanggulan
bahu kiri. Sementara Rangga hanya bisa menyaksikan kejadian itu dengan mata melotot. Entah mengapa,
meskipun saat itu dia masih merasa takut terhadap Jalitanggor dan Si Muka Mayat namun ada rasa terlindung
berada dalam panggulan orang bercaping itu. Tadi dia berusaha mengintip ke bawah caping untuk melihat
wajah orang itu. Dan dia ternyata melihat sesuatu yang aneh.
Si Muka Mayat yang tengah lancarkan pukulan maut dan Jalitanggor yang hendak merampas Rangga
mendadak sontak hentikan gerakan masing-masing dan sama-sama mundur satu langkah. Di hadapan
mereka orang berpakaian tambalan tampak menggoyangkan kepalanya. Caping bambu diatas kepalanya
secara aneh tiba-tiba naik ke atas. Kelihatanlah kini wajah orang itu. Ternyata dia adalah seorang kakek
berambut kelabu. Tapi yang anehnya ialah sepasang matanya seperti yang tadi diintip Rangga.
Kakek ini seperti tidak memiliki bola mata hitam. Keseluruhan matanya berwarna putih. Dan saat itu dia
mendongak ke langit seperti memperhatikan sesuatu dengan matanya yang aneh itu.
“Bangsat tua ini buta atau bagaimana….?” membatin Si Muka Mayat. Sementara Jalitanggor tegak terkesima
dan diam-diam merasa sangat tidak enak. Dia merasa lebih baik tidak membuat urusan dengan orang tua
aneh ini karena dia sudah menduga sejak semula orang ini bukan manusia sembarangan. Tapi mengingat
tugas yang diberikan juragan Gandaboga padanya, mau tak mau anak bernama Rangga itu harus
dirampasnya, harus didapatkannya!
Sementara itu caping bambu yang di kepala si kakek yang tadi secara aneh naik ke atas, perlahan-lahan
kini turun kembali.
“Pengemis busuk! Siapa kau adanya?!” Si Muka Mayat membentak. Dia melihat keanehan tapi dia tidak
merasa takut. Selama ini dia telah nenyandang nama besar sebagai tokoh silat yang ditakuti di wilayah selatan.
Masakan terhadap kakek yang dianggapnya buta dan tak lebih dari seorang pengemis tukang sulap ini dia
harus merasa ngeri.
Si kakek tidak menjawab. Hanya kaleng rombeng di tangan kirinya digoyang beberapa kali hingga
mengeluarkan suara berkerontangan keras dan membuat Si Muka Mayat dan Jalitanggor merasa liang
telinga masing-masing seperti ditusuk. Keduanya tersurut satu langkah.
“Rupanya harus kurobek dulu mulutmu baru mau menjawab!” ujar Si Muka Mayat.
Si kakek kembali kerontangkan kaleng rombengnya. Lalu terdengar suaranya: “Minggirlah kalian. Beri aku
jalan! Malam-malam begini mencari urusan! Bukankah lebih baik tidur?!”
Mendengar ucapan kakek ini bukan saja Jalitanggor dan Si Muka Mayat, tapi Ranggapun sempat
melengak keheranan.
“Dasar buta tolol! Siang bolong kau bilang malam!” merutuk Jalitanggor.
“Siapa yang tolol?!” Si kakek tertawa mengekeh.” “Aku tahu sekali saat ini memang siang bolong. Kita
berada di Lembah Batuireng. Kalian mengenakan pakaian merah. Membawa dua ekor kuda coklat. Yang
satu jongosnya juragan Gandaboga, satunya lagi pentolan persilatan yang dari bau tubuhnya tak lama lagi akan
jadi mayat! Ha…ha..ha….Apakah aku tua bangka buta yang tolol?!”
Rangga yang ada di atas bahu kiri si kakek jadi terlongong- longong. Bagaimana orang tua yang kelihatan
buta ini tahu begitu banyak? Atau mungkin dia hanya pura-pura buta? Di lain pihak Jalitanggor dan Si Muka
Mayat tampak berubah wajah masing-masing. Jalitanggor kedipkan matanya pada kawannya. Lalu dia
melangkah berputar ke belakang si kakek. Si Muka Mayat membuka mulut, bicara bermanis-manis: “Ah kakek
mata putih, ternyata kau adalah kawan segolongan. Harap maafkan kalau tadi-tadi kami bertindak kasar….”
Di sebelah Jalitanggor bergerak semakin dekat. Tiba-tiba sekali kedua tangannya melesat ke depan untuk
menarik tubuh Rangga.
“Kek!” seru Rangga.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Tidak diberitahu seperti itupun kakek buta itu bukanya tidak tahu apa yang terjadi. Tanpa menoleh, tanpa
beringsut dia pukulkan tongkat kecilnya ke belakang.
”Wutt!”
Terdengar pekik Jalitanggor. Orang ini melompat mundur sambil pegangi lengan kanannya yang tampak
mengelupas panjang dan mengucurkan darah. Ujung tongkat si kakek bukan saja memukul tapi secara aneh
menggurat luka lengan itu!
Melihat kejadian ini Si Muka Mayat tak dapat lagi menahan amarahnya. Didahului suara menggereng
keras dia melompat sambil lepaskan satu pukulan ke arah dada si kakek. Kembali orang tua bercaping ini
pergunakan tongkatnya untuk menangkis sementara tangan kirinya mulai menggoyang kaleng rombengnya.
Si Muka Mayat yang tadi menggebrak dengan pukulan ke arah dada secepat kilat tarik serangannya karena
memang hanya tipuan belaka. Disaat yang sama kaki kanannya melesat kirimkan tendangan ke
selangkangan si kakek sedang dari sebelah belakang Jalitanggor yang masih dalam kesakitan ikut lancarkan
serangan, menumbuk dengan kepalan tangan kiri tapi yang diserangnya bukan si kakek, melainkan kepala
Rangga. Jelas dia hendak segera membunuh anak ini!
Kakek bercaping goyangkan kalengnya seraya bergerak ke kiri. Kaki kanannya diajukan kemuka
memalang di depan tubuhnya sebelah bawah. Serentak dengan itu dia meliukkan pinggang dan tangan kirinya
menggebuk kesamping.
”Krontang!”
Kaleng dan batu berbunyi keras disusul jeritan Jalitanggor karena kaleng rombeng itu menghantam pelipis
kirinya dengan keras. Darah mengucur. Tubuhnya sempoyongan hampir jatuh kalau tidak cepat-cepat
menyandarkan diri ke batang pohon waru.
“Keparat bangsat rendah. Kucincang tubuhmu!” menggembor marah Jalitanggor. Seumur-umur baru sekali
ini dia menghadapi lawan yang mampu menciderainya dalam dua satu-dua gebrakan saja. Maka dari balik
pakaian merahnya diapun menghunus golok besarnya.
Di sebelah depan Si Muka Mayat yang melihat kuda-kuda si kakek kini hanya bertumpu pada kaki kiri,
tendangannya yang tadi mengarah ke selangkangan kini dirubah dan diarahkan ke kaki kiri lawan.
Saat itu kakek bercaping tengah memusatkan perhatian pada serangan golok Jalitanggor yang datang
membabat dari belakang. Menyangka tendangan Si Muka Mayat tetap mengarah selangkangannya yang sudah
terjaga, maka dia biarkan saja serangan itu. Ternyata kaki Si Muka Mayat kini mencari sasaran di kaki kiri
yang dijadikannya kuda-kuda. Tak mungkin baginya untuk merunduk atau melompat guna menghindari
serangan Si Muka Mayat karena besar bahayanya tabasan golok Jalitanggor akan menghantam punggungnya
bahkan mungkin mengenai kepala anak yang ada di bahu kirinya.
”Bukk!”
Kaki kiri si kakek terangkat ke atas begitu tendangan Si Muka Mayat mengenai sasarannya. Tak ampun lagi
kakek itu jatuh terduduk ditanah. Di saat itu pula tabasan golok datang. Dan betul seperti dugaannya. Senjata
maut itu berkelebat ke arah batok kepala Rangga!
Kakek bercaping cepat hantamkan tongkatnya ke belakang. Tapi dari depan lagi-lagi Si Muka Mayat
kirimkan tendangan. Kali ini mengarah tangan kanannya seperti sengaja agar dia tidak bisa menangkis
tabasan golok Jalitanggor. Mau tak mau orang tua itu dengan cepat pergunakan tangan kirinya yang
memegang kaleng untuk menangkis!
”Trang!”
Kaleng dan tongkat beradu keras. Si kakek merasakan tangannya perih. Bagian kaleng yang robek terkena
hantaman golok melukai pinggiran telapak tangannya. Kaleng rombeng itu terlepas dari pegangannya dan
terguling di tanah tapi kepala Rangga selamat dari tabasan golok maut. Sebaliknya golok Jalitanggor secara
aneh tampak menjadi bengkok seperti sepotong kawat yang kena ditekuk! Selagi dia kebingungan melihat
keadaan goloknya itu, satu tepukan menghantam paha kirinya. Terjadilah hal yang luar biasa!
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Tukang pukul juragan Gandaboga itu merasa seolah-olah kaki kirinya telah berubah menjadi sebuah batu
besar yang luar biasa beratnya. Demikian beratnya hingga dia tidak mampu menggerakkannya. Dan sebelah
kaki itu laksana tertanam ke dalam tanah!
Di sebelah depan, Si Muka Mayat Dari Goa Ular mendapat bagian yang tak kalah “sedapnya”. Begitu melihat
kaki lawan menendang dan mengacaukan gerakannya untuk menangkis, kakek bercaping yang telah
pergunakan kaleng di tangan kiri untuk menangkis, kini susupkan ujung tongkat kedepan. Secara aneh ujung
tongkat ini menggurat diatas permukaan telepak kaki kanan Si Muka Mayat. Serta merta saja saat itu orang
ini merasakan rasa geli seperti digelitik terus-terusan. Demikian hebatnya rasa geli itu hingga dia menjatuhkan
diri di tanah sambil pegangi kaki dan menjerit- jerit. Digaruknya telapak kakinya, dipencetnya bahkan
ditotoknya namun rasa geli itu bukannya lenyap atau berkurang malah semakin menjadi-jadi. Si Muka Mayat
berguling-guling di tanah sambil tiada hentinya menjerit kegelian. Selangkangan celananya kelihatan basah
tanda orang ini telah kencing alias ngompol habis-habisan! Perlahan-lahan kakek bercaping bangkit berdiri.
“‘Sayang aku masih punya pantangan untuk tidak boleh mencelakai orang secara keterlaluan! Kalau tidak
kalian berdua akan lebih babak belur lagi dari ini!”
Lalu kakek bercaping itu putar tubuhnya tinggalkan tempat itu.
“Kek… kalengmu ketinggalan!” tiba-tiba Rangga mengingatkan.
Si kakek tersenyum dan usap kepala anak itu.
“Biarkan saja. Cuma kaleng rombeng! Nanti kita buat lagi yang baru katanya.
“Kek, aku bisa jalan sendiri. Sebaiknya aku turun saja… Tak perlu dipanggul seperti ini!” kata Rangga pula.
Sebelum si kakek menjawab dia sudah meluncur turun.
“Anak baik… anak bagus! Melangkahlah terus di depan. Aku akan mengikuti…”
“Kek… Matamu putih semua. Apakah kau buta atau bagaimana? Tapi mengapa bisa tahu keadaan
sekelilingmu …?”
Orang tua itu tertawa lebar. “Itulah satu rahasia Tuhan yang aku tidak bisa menjawabnya, Rangga…”
“Eh, bagaimana kau bisa tahu namaku kek?” tanya Rangga heran. “Siapa sih kau sebenarnya?”
“Aku tidak punya nama. Banyak yang menyebutku pengemis, tukang minta-minta. Ada yang bilang aku ini
tukang pijat. Ha … ha . ha ..! Tapi aku adalah aku. Kakek Segala Tahu Ha … ha..ha.
***
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
SEMBILAN
KUDA YANG DITUNGGANGINYA berwarna hitam. Si penunggang mengenakan pakaian serba putih,
memberikan satu pemandangan yang kontras. Apalagi orang muda itu memiliki pula kulit bulai yang
kemerahan tersengat sinar matahari.
Ketika dia memasuki dukuh Sawahlontar hari itu kebetulan hari pasar. Kemunculannya menarik perhatian
semua orang yang ada di pasar di ujung kampung itu. Mulut berbisik satu sama lain. Gunjing dan cerita
bertebaran.
Seorang pedagang sayur berkata: “Jika keponakan almarhum Randuwonto bernama Padanaran itu masih
hidup, kira-kira dia seperti dan seusia anak muda penunggang kuda yang lewat tadi!”
“Siapa tahu dia memang Padanaran, keponakan Randuwonto yang lenyap hampir sepuluh tahun silam
…” ikut bicara pedagang yang lain disamping pedagang sayur tadi.
“Dari pada menduga tidak karuan, mengapa tidak ada yang mengikutinya, mencari tahu kemana dia
menuju?!” seorang pedagang dipasar berkata.
“Eh, betul juga katamu!” membenarkan pedagang ikan. Lalu bersama beberapa orang kawannya dia berlarilari
kecil ke jurusan yang tadi ditempuh pemuda bulai berkuda hitam.
Sementara itu si penunggang kuda telah sampai dihadapan sebuah rumah yang tak pantas lagi disebut
rumah, tetapi merupakan sebuah gubuk reyot yang hampir roboh. Dinding dan atapnya penuh lubang.
Penunggang kuda itu sesaat menatap kearah gubuk dengan pandangan sayu. “Kenapa jadi sepi dan begini
rupa keadaannya? Kelihatannya rumah ini tidak didiami …” Perlahan-lahan pemuda ini turun dari kudanya.
Melangkah ke arah pintu yang tertutup. Tiga langkah dari hadapan pintu gubuk dia berseru.
“Paman ! Bibi…! Rangga! Kalian ada didalam…?!”
Tak ada sahutan. Pemuda berkulit bulai itu merasa tidak enak. Dia hendak berseru memanggil sekali
lagi ketika tiba-tiba dilihatnya pintu gubug perlahan-lahan terbuka mengeluarkan suara berkereketan. Lalu satu
sosok tubuh perempuan berpakaian sangat lusuh dan banyak robeknya muncul di ambang pintu. Perempuan
ini lebih tua dari usia sebenarnya.
Tubuhnya kurus tinggal kulit pembalut tulang. Rambutnya yang tidak tersisir dan banyak uban tergerai
lepas acak-acakan.
Kedua matanya menatap sayu ke arah pemuda, dihadapannya sedang keningnya tampak mengerenyit.
Keadaan perempuan ini tidak ubah seperti pengemis. Bola mata kelabu pemuda berkulit bulai tampak seperti
membesar. Benarkah ini? Benarkah apa yang disaksikan saat itu?!
“Bibi! Kaukah ini bibi….?!”
Kerenyit di kening perempuan itu tampak semakin banyak. Kedua matanya yang tadi menatap kuyu kini
kelihatan membesar. Mulutnya terbuka. Suaranya bergetar “Padanaran….! Tidak salahkah penglihatan dan
dugaanku…?”
Digosoknya kedua matanya berulang-ulang.
“Padanaran… Benar kau ini yang datang nak?”
“Bibi!” Pemuda bulai itu langsung menghambur dan jatuhkan diri berlutut di hadapan perempuan di
ambang pintu sambil pegangi kedua kakinya.
Perempuan itu meraung lalu jatuhkan diri dan peluk erat-erat tubuh si pemuda. Padanaran….Kau kembali
juga akhirnya. Kemana kau selama sepuluh tahun ini…Kau menghilang dan tahu-tahu sudah sebesar ini….”
“Kemana saya akan saya ceritakan nanti, bi. Katakan dulu mana paman dan adik saya Rangga…”
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Mendengar pertanyaan itu perempuan berpakaian lusuh dan robek-robek itu kembali meraung. Si pemuda
membimbingnya lalu membawanya masuk ke dalam gubug. Sampai di dalam dia saksikan sendiri perubahan
keadaan rumah itu dengan sepuluh tahun yang lalu. Satu-satunya benda yang ada di dalam gubug itu hanyalah
sebuah balai-balai kayu tanpa tikar maupun bantal. Si pemuda mendudukan bibi nya di atas balai-balai itu.
Diantara sesenggukannya perempuan itu tanpa diminta kini memberikan penjelasan tentang suaminya dan
puteranya bernama Rangga.
“Manusia biadab!” gertak pemuda bulai yang memang Padanaran adanya. “Paman Randuwonto
dibunuhnya. Pasti dia juga yang jadi biang keladi penculikan Rangga untuk menghilangkan jejak. Gara- gara
kau juga bibi sampai terlantar begini! Gandaboga manusia iblis! Aku bersumpah membunuhmu membalaskan
sakit hati paman….!” Padanaran terdiam sejenak. Lalu terdengar suaranya perlahan:
“Rangga adikku…Dimana gerangan kau berada….”
“Sepuluh tahun telah berlalu Padanaran. Bibi merasa anak itu tidak hidup lagi…” berkata ibu Rangga.
Dari dalam saku pakaiannya pemuda itu keluarkan sebuah benda. Diciumnya benda itu beberapa kali. Lalu
diperlihatkannya pada ibu Rangga.
“Apa itu Padanaran…?” bertanya ibu Rangga. “Mataku tidak awas lagi sejak beberapa tahun ini…”
“Burung-burungan dari batu bi. Rangga yang membuatnya. Dia memberikannya pada saya waktu pergi
sepuluh tahun lalu …”
Perempuan itu mengusap burung-burungan batu itu dengan air mata berlinangan.
“Bibi… Izinkan saya pergi ”
“Kau mau kemana Padanaran?”
“Mencari juragan Gandaboga! Saya harus membalaskan sakit hati paman
“Selama hidupnya pamanmu tidak bersikap baik terhadapmu. Tak perlu kau memikirkan membalaskan
segala rasa sakit hati. Lagi pula Gandaboga bukan seorang juragan lagi sekarang ini. Dia tidak lagi tinggal di
dukuh Sawahlontar ini
“Apa maksud bibi dia tidak jadi juragan lagi? Dimana manusia iblis itu berada seka rang.?! Kemanapun dia
pergi akan saya cari!”
Ibu Rangga gelengkan kepala dan usut air matanya.
“Juragan Gandaboga telah diangkat jadi Adipati Karanganyar sejak dua tahun lalu. Semua ladang dan
ternaknya diurus oleh kepala desa Suto Kenongo. Ketika Suto Kenongo dipanggil ke Karanganyar untuk jadi
pembantu Gandaboga, anaknya Suradadi menggantikannya sebagai kepala desa…”
“Suradadi..,” desis Padanaran. “Anak nakal yang sering mencelakaiku …” Padanaran berpaling pada bibinya
lalu berkata: “Bibi…, saya berangkat ke Karanganyar sekarang juga!”
“Jangan Padanaran …. Jangan! Berbahaya bagi keselamatan dirimu jika kau berani mencari perkara dengan
Adipati Gandaboga
“Bibi tak usah kawatir. Hukum dan kebenaran harus ditegakkan,” jawab Padanaran. Lalu pemuda ini
menyerahkan sekeping perak dan digenggamkannya ke tangan bibinya.
“Pergunakan untuk keperluan bibi. Kalau urusan saya selesai, saya akan menjenguk bibi lagi disini
“Jangan pergi Padanaran … Jangan pergi nak
Padanaran balikkan tubuhnya. Dia lalu melangkah kepintu. Satu langkah di luar rumah pemuda ini
hentikan langkahnya. Di pekarangan rumah hampir sepuluh orang dilihatnyat berkerumun seperti memang
sengaja menunggu dirinya.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
“Pemuda bulai!” tiba-tiba salah seorang dari yang berkerumun menegur. “Dulu di kampung kami ini ada
seorang anak bulai bernama Padanaran. Dia lenyap sepuluh tahun silam. Kalau dia masih hidup kira-kira
seusiamu. Harap maafkan kalau kami bertanya, apakah kau Padanaran? Kami merasa yakin kau memang
Padanaran. Karena dulu dia tinggal di rumah ini!”
“Katakan apa kalian bermaksud baik atau jahat terhadapnya?!” bertanya Padanaran.
“Ah… Kalau mengenang masa kecil memang banyak diantara kami yang nakal dan sering menggangumu.
Tapi kini sudah sama-sama besar begini persahabatanlah yang kami cari menjawab salah seorang dari orangorang
yang mengerumuni si bule.
“Kalau begitu jawabmu, aku memang Padanaran!”
Mendengar kata-kata Padanaran itu maka orang banyak lalu mendatanginya. Ada yang menyalami, ada
yang merangkul dan ada yang menepuk-nepuk bahunya.
‘Kau jadi pemuda gagah sekarang Padanaran. Punya kuda bagus lagi
“Aku tidak berubah. Buktinya kulitku tetap bule, mataku kelabu dan rambutku pirang!”
Orang-orang yang ada disitu tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Padanaran.
“Sahabat-sahabat… Aku terpaksa meninggalkan kalian. Nanti aku pasti kembali ke kampung kita ini!”
“Ah, kau kelihatan tergesa-gesa. Ada urusan apa rupanya Padanaran?” bertanya lelaki disebelah kanan.
“Aku harus berangkat ke Karanganyar untuk mencari bekas juragan Gandaboga yang sekarang katanya
telah jadi Adipati
“Ah Gandaboga,” berkata seorang pemuda yang di pasar berjualan daging, kawan sepermainan Padanaran
di masa kecil walau tidak akrab. “Dia sekarang jadi Adipati, jadi orang hebat, berkuasa dan tambah kaya.
Dulu dia tinggal disini. Tapi setelah jadi Adipati apa yang diperbuatnya untuk kampung kita? Malah dia
menaikkan pajak hasil pertanian dan peternakan. Kaki tangannya sering mundar mandir memeras penduduk
“Apakah pembantunya yang bernama Jalitanggor itu masih ikut bersamanya?” tanya Padanaran.
“Masih dan dia yang jadi momok penduduk nomor satu. Jahat dan kejam. Dia berkomplot dengan kepala
desa, memeras rakyat, mengganggu istri dan anak gadis orang
“Tapi bukankah kepala desa disini sekarang adalah Suradadi, anak kampung asli dukuh Sawahlontar?
Masakah dia sejahat itu ….?”
Karena melihat tak ada yang berani memberikan jawaban maka Padanaran kembali berkata: “Para sahabat
aku minta diri dulu, harus segera ke Karanganyar mencari Adipati itu ….!”
Baru saja Padanaran berkata begitu, satu suara bertanya dengan nada kasar dan merendahkan.
“Ada keperluan apa seorang pemuda bule jelek mencari Adipati Karanganyar Gandaboga?!”
SEPULUH
ORANG-ORANG YANG MENGERUMUNI Padanaran berpaling. Mengetahui siapa yang barusan datang ke
tempat itu mereka semua bersurut mundur dan berpencar. Padanaran sendiri melihat seorang pemuda
sebayanya, berpakian bagus duduk diatas seekor kuda coklat belang putih. Tampangnya keren tapi jelas
memasang mimik merendahkan. Senyumnya bukan dari hati yang bersih tapi penuh ejekan.
Padanaran mengingat-ingat. Dia rasa-rasa mengenali wajah pemuda itu. Ah, benarkah dia…? Terakhir sekali
dia melihat orang ini sepuluh tahun lalu, dimasa kanak-kanaknya. Terbayang kejadian itu di mata Padanaran.
Ketika dia dilemparkan kedalam kubangan tahi kuda.
“Memang dia… Tak salah lagi. Hemm …Lagaknya keren amat, tapi tidak mencerminkan seorang kepala
desa yang berwibawa, melindungi dan membina penduduknya
“Suradadi! Apa kau tak kenal lagi siapa aku…?!” tegur Padanaran sambil tersenyum polos. Suradadi,
putera Suto Kenongo yang sekarang menjadi kepala desa di usianya yang sangat muda sunggingkan seringai
lalu angguk-anggukkan kepala beberapa kali.
“Tentu saja aku ingat dan kenal dirimu bule! Bukankah kau anak yang dilahirkan dari seorang ayah
keturunan hantu bulai yang lenyap sepuluh tahun lalu dan tahu-tahu kini muncul eh masih saja tetap berkulit
bulai, bermata kelabu dan berambut pirang! Ha … ha … ha ..!” Suradadi tertawa gelak-gelak di atas kudanya.
Orang banyak merasa tidak enak mendengar ucapan Suradadi itu. Baru saja bertemu mengapa bicara
menghina seperti itu? Semua kenakalan dimasa kecil mengapa diungkap dan diulang lagi begitu rupa?
Tapi Padanaran sendiri tenang-tenang saja malah sambil tersenyum dia menjawab.
“Diriku memang tidak berubah Suradadi. Tapi kampung dan desa kita ini mengalami banyak perubahan!”
“Kau betul! Dukuh Sawahlontar ini kini lebih maju, penduduknya lebih makmur! Semua itu karena aku yang
jadi kepala desa sekarang!” Suradadi berkata sambil tudingkan ibu jari tangan kanannya ke dada.
Orang banyak yang ada disitu sama memaki dalam hati. “Kepala desa jahanam! Kerjamu hanya memeras
penduduk, mempermainkan anak istri orang!”
“Padanaran, kemunculanmu mencurigakan ….!”
“Mencurigakan bagaimana maksudmu?!” tanya Padanaran tidak mengerti.
“Kau tadi kudengar berkata akan pergi ke Karanganyar mencari Adipati Gandaboga. Katakan apa
urusanmu?!”
“Urusanku adalah urusanku. Karenanya aku tidak akan menjawab pertanyaanmu, Suradadi!”
“Heh! Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa bule jelek hina dina?!” bentak Suradadi.
“Aku tahu, aku tengah berhadapan dengan seorang kepala desa!”
“Bagus! Dulu saja masih anak-anak aku tidak memandangmu sebelah mata. Apalagi kini sebagai kepala
desa! Kau tak lebih dari kotoran kuda busuk! Karenanya harus tahu diri dan jangan berani bicara seenak
utilmu!” (util = perut)
“Suradadi, kita semua manusia biasa. Kebetulan saja kau jadi kepala desa. Jabatan yang mungkin kau
dapat oleh pengangkatan, bukan pilihan penduduk. Kau layak bertanya, aku punya hak tidak menjawab!”
Habis berkata begitu Padanaran berpaling pada orang banyak dan berkata: “Para sahabat, aku pergi
sekarang. Lain hari kita bertemu lagi
Merasa dilecehkan dan dihina dihadapan orang banyak Suradadi majukan kudanya tiga langkah lalu kakinya
menendang ke arah dada Padanaran.
Seperti diketahui sepuluh tahun lalu Padanaran diambil oleh Nenek Hantu Bulai. Selama sepuluh tahun dia
digembleng oleh nenek sakti itu. Kepandaiannya kini bukan sembarangan. Sebaliknya Suradadi juga telah
menguasai bermacam-macam ilmu silat. Namun semua lebih banyak pada ilmu silat luar saja. Tenaga dalam
boleh dikatakan dia tidak memiliki. Walaupun begitu karena terlatih ber- tahun-tahun, tendangan maupun
pukulannya bisa mencelakakan bahkan mendatangkan maut bagi siapa saja yang diserangnya. Tendangan
kaki kanannya tadi, kalau sempat melabrak dada Padanaran pasti tulang dadanya akan amblas, jantungnya
akan melesak dan maut tak bisa dihindarkan lagi.
Dengan bergerak sedikit ke samping, Padanaran ulurkan tangan lalu tangkap pergelangan kaki kanan
Suradadi. Dapatkan dirinya hendak didorong jatuh, Suradadi lekas hantamkan tangan kanannya ke batok
kepala Padanaran. Yang dihantam rundukkan kepala. Pukulan Suradadi mengenai tempat kosong.
Tubuhnya terhuyung kemuka. Ditambah dengan sentakan yang dilakukan Padanaran pada kaki kanannya
yang masih dicekalnya, tak ampun lagi Suradadi mental ke atas, jungkir balik di udara tapi ketika jatuh dia
terkejut. Dia tidak jatuh di tanah tetapi jatuh dalam pelukan sesosok tubuh berpakian putih, yang
menggendongnya demikian rupa seperti menggendong anak orok!
Padanaran dan semua orang yang ada disitu juga terheran-heran. Mereka sama sekali tidak melihat kapan
munculnya pemuda itu, tahu-tahu dia sudah muncul disitu dan menggendong kepala desa Suradadi secara
lucu seperti menggendong bayi!
Pemuda tak dikenal itu berpakaian serba putih, berikat kepala putih, berambut gondrong dan cengar-cengir
seenaknya. Meski semua orang terheran-heran, namun dalam hati mereka, termasuk juga Padanaran, diamdiam
bertanya-tanya, jangan-jangan pemuda tak dikenal ini adalah kawan si kepala desa.
Yang paling merasa heran tentunya adalah Suradadi sendiri. Dia sudah bersiap-siap untuk memasang kudakuda
begitu jatuh di tanah, tapi tahu-tahu ada yang memeluk dan menggendong tubuhnya.
Sambil menggeliat dan memutar kepala dia membentak : “Keparat, siapa kau yang memperhinakanku
seperti anak kecil?!”
Orang yang dibentak keluarkan siulan lalu menyeringai. “Kalau memang kau tidak sudi ditolong ya silahkan
saja jatuh ke tanah!” Lalu pemuda berambut gondrong itu lepaskan gendongannya. Tapi dia tidak hanya
sekedar melepaskan saja. Karena sambil menjatuhkan dia juga kerahkan tenaga dalam hingga tubuh
Suradadi bukan jatuh biasa tapi seperti dihempaskan!
Kepala desa yang masih muda itu terpekik kesakitan ketika punggungnya menghantam tanah. Tulang
belakangnya serasa remuk, pemandangannya berkunang karena belakang kepalanya membentur tanah.
Sesaat dia diam tak berkutik sambil pejamkan mata. Tapi tiba- tiba didahului satu bentakan keras, Suradadi
melompat berdiri. Begitu berdiri tangannya kiri kanan langsung menggebuk. Luar biasa sekali gerakan
memukul pemuda ini. Dalam waktu sekejapan enam hantaman tangan kiri kanan melabrak dada si gondrong
berbaju putih!
Anehnya yang dipukul tetap saja tegak tak bergeming. Hal ini membuat Suradadi menjadi marah. Jotosanjotosannya
diteruskan bertubi- ubi. Yang dipukul masih tetap tenang-tenang saja, malah tegak sambil
menyeringai dan garuk-garuk kepala! Sewaktu Suradadi mulai mengarahkan pukulan kemukanya, barulah si
gondrong itu membuat gerakan berkelit. Dibarengi dengan gerakan tangan kanan dan buuk! Tinju kanannya
sengaja dihantamkan ke tinju kanan Suradadi.
Untuk kesekian kalinya kepala desa itu terpekik. Dia melangkah mundur sambil pegangi tangan kanan.
Ketika diteliti ternyata dua jarinya patah, bagian tangan lainnya lecet merah!
Apa yang dialaminya bukan membuat Suradadi sadar kalau dia tengah berhadapan dengan seorang
pendekar cabang atas, tapi kepala desa itu justru diamuk hawa amarah.
Sreett!
Suradadi cabut sebilah golok, langsung menyerbu si gondrong dengan senjata itu. Serangan Suradadi
tampak dahsyat. Golok menderu kian kemari, membacok dan membabat serta menusuk. Tapi itu hanya satu
jurus saja. Memasuki jurus kedua Suradadi berseru kaget. Semua orang menyaksikan bagaimana pemuda
gondrong dengan gerakan terhuyung-huyung seperti orang mabuk tiba-tiba saja ulurkan tangan kanan dan
tahu-tahu golok di tangan Suradadi kena dirampasnya. Begitu cepatnya gerakan si gondrong sehingga
Suradadi tidak sempat lagi melihat bagaimana golok itu diputar dan gagangnya kemudian dipukulkan
kejidatnya!
Suradadi menjerit. Keningnya benjut dan luka. Darah mengucur.
“Bangsat! Bangsat!” teriak Suradadi beringas. Kedua matanya mendelik dan tampak merah. Mulutnya
komat kamit seperti orang membaca mantera. Tiba-tiba tangan kirinya tampak sudah memegang sebilah
pisau berwarna hitam yang memancarkan sinar redup. Dengan senjata di tangan dia menyerbu si gondrong
Saat itulah Padanaran masuk ke dalam kalangan perkelahian seraya berseru: “Suradadi, hentikan
perkelahian ini. Ingat diri, jangan kalap. Kau bisa celaka!”
“Setan! Kau yang bakal celaka duluan! Semua ini gara-gara kamu! Mampuslah!” Suradadi tikamkan pisau
hitamnya ke perut Padanaran. Pemuda bulai ini merasakan ada angin yang menyerang mendahului sebelum
pisau itu menyambar. Ini satu pertanda bahwa senjata itu ada isinya. Dengan cepat Padanaran bergerak
berkelit. Dari samping dia coba memukul sambungan siku Suradadi agar senjatanya terlepas. Tapi Suradadi
membalik tak terduga dan kini pisaunya itu menusuk ke arah leher Padanaran!
Murid Nenek Hantu Bulai itu kertakkan rahang. Dia berseru keras dan keluarkan jurus ke-empat dari ilmu
silat yang diajarkan gurunya. Kedua lututnya menekuk. Kedua tangannya melesat ke atas. Satu menangkis
serangan pisau, satunya lagi memukul ke arah ulu hati lawan. Inilah jurus yang oleh gurunya disebut dengan
nama “macan putih keluar dari liang makam”
Dukkk!
Pisau di tangan kiri Suradadi mental ketika tangan kanan Padanaran menghantam tepat pergelangannya.
Bukkkk!
Suradadi terpental, terkapar ditanah sambil merintih-rtntih. Ada darah mengalir disela bibirnya. Padanaran
dekati pemuda ini. Ketika kemarahannya mengendur, ada rasa kasihan dalam hati pemuda ini. Dia ulurkan
tangan untuk bantu membangunkan Suradadi, tapi Suradadi sendiri tidak disangka-sangka tiba-tiba
melepaskan satu tendangan keras ke arah selangkangan Padanaran. Jika pemuda bulai ini tidak sanggup
selamatkan diri maka tendangan itu akan membuatnya meregang nyawa, paling tidak cacat seumur-umur.
Padanaran bukan tidak punya kesempatan untuk menangkis atau mengelakkan serangan ganas itu, tapi si
gondrong yang sangat marah melihat kelicikan kepala desa itu langsung saja menggebrak. Tubuhnya melayang
setinggi lutut. Kaki kirinya melesat.
Bukkk!
Suradadi menjerit keras. Tubuhnya terguling enam langkah. Dan semua orang melihat bagaimana
pergelangan kaki kanan kepala desa itu patah tulangnya. Kaki itu kini terkulai tergontai-gontai!
“Padanaran kalau kau ingin ke Karanganyar lekas pergi sekarang. Biarkan kepala desa sontoloyo itu aku
yang mengurusnya. Ada tiga orang tua di tiga desa yang menginginkan kepalanya karena dia telah merusak
anak gadis mereka!”
“Saudara… Kau mengenal namaku. Kau menolong aku dalam urusanku. Siapakah dirimu yang begitu
baik ini…?” bertanya Padanaran.
Yang ditanya garuk-garuk kepala.”‘Namaku Wiro Sableng. Aku hanya menjalankan pesan gurumu ….”
“Heh, kau kenal guruku?!”
Si gondrong mengangguk. “Pergilah. Aku akan menyeret Suradadi ke hadapan tiga keluarga itu untuk
mempertanggung jawabkan kebejatannya
“Hati-hati saudara …. Kudengar ayahnya tangan kanan Adipati Karanganyar
Pendekar 212 murid Sinto Gendeng dari gunung Gede tersenyum. “Jika kau tidak takut pada Adipati dan
pembantu-pembantunya itu, apakah berarti aku harus takut….?”
Lalu Wiro melangkah ke tempat Suradadi terkapar. Dijambaknya leher pakaian kepala desa ini lalu
diseretnya sepanjang jalan!
SEBELAS
HALAMAN BELAKANG GEDUNG Kadipaten Karanganyar yang luas dihias berbagai macam arca batu dan
dipagar dengan tembok setinggi tiga tombak agaknya bakal menjadi tempat pembantaian bagi pemuda
berpakaian biru penuh tambalan, mengenakan caping bambu. Di tangan kirinya dia memegang sebuah kaleng
rombeng sedang di tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu.
Saat itu pakaian pemuda baju biru tampak robek-robek, kulitnya luka-luka di beberapa bagian. Mata kirinya
lebam sedang bibirnya sebelah bawah pecah mengucurkan darah. Tapi caping bambunya masih bertengger di
kepalanya seolah-olah dipantek tak bisa lepas.
Pemuda baju biru ini bertahan mati-matian terhadap keroyokan tiga orang penyerang. Yang pertama adalah
Jalitanggor, lelaki bertampang menyeramkan dengan tubuh tinggi besar dan memegang sebilah golok. Orang
kedua seorang lelaki berpipi dan bermata cekung yang bukan lain adalah Si Muka Mayat Dari Goa Kapala Ular.
Pengeroyok ketiga seorang pemuda bertampang keren yang dari luar tampak halus budi pekertinya tapi
ternyata berhati sekejam iblis. Dia bernama Manik Tunggal, pemuda yang konon kabarnya telah dijodohkan
dan dicalonkan untuk jadi suami Tarini, anak perempuan Gandaboga. Meskipun baru berusia 23 tahun tapi
ternyata dia telah memiliki ilmu silat dan tenaga dalam tinggi, melebihi yang dimiliki Jalitanggor. Seperti Si
Muka Mayat, Manik Tunggal hanya mengandalkan tangan kosong sedang Jalitanggor bersenjatakan golok.
Pemuda bercaping menghadapi pengeroyok sambil tiada henti menggoyangkan kaleng rombengnya
hingga terdengar suara berkerontangan. Ilmu silat yang dimainkannya dengan mengandalkan tongkat kayu di
tangan kanan dan sesekali menghantam dengan kaleng rombengnya merupakan ilmu silat yang langka.
Namun agaknya dia hanya memiliki tiga jurus yang selalu diulang-ulangnya dalam mengahadapi para
pengeroyok hingga ketiga orang itu berhasil mengetahui kelemahannya dan setelah berkelahi lebih dari dua
puluh jurus, meski sempat melukai bagian dada Jalitanggor namun akhirnya pemuda bercaping itu terdesak
hebat. Siapakah adanya pemuda ini?
Menjelang pagi empat pengawal di gedung Kadipaten itu memergoki seorang pemuda berbaju biru yang
menyusup tengah mencari kamar tidur Adipati Gandaboga. Terjadi perkelahian kilat. Tiga pengawal roboh
mandi darah dimakan ujung tongkat dan hantaman kaleng rombeng si pemuda. Tapi pengawal ke empat
berhasil membangunkan penghuni gedung lainnya. Maka Si Muka Mayat, Jalitanggor dan Manik Tunggal
yang kebetulan menginap di tempat itu segera keluar dari kamar masing-masing, mengurung pemuda
bercaping dan langsung mengeroyok.
Ketika perkelahian berkecamuk sepuluh jurus, Adipati Gandaboga keluar dari kamar tidurnya diiringi
seorang gadis jelita berbadan sintal yang jadi gendaknya sejak satu bulan belakangan ini. Bersama mereka
mengiringi seorang kakek berpakaian merah gombrong yang dipinggangnya melilit sebuah ikat pinggang
penuh disisipi pisau-pisau kecil tipis berjumlah seratus pisau. Dia dikenal dengan julukan Pisau Gergaji Terbang
karena pisaunya berbentuk mata gergaji pada kedua sisinya yang tajam.
Disamping si kakek melangkah seorang nenek bermuka panjang yang selalu tertawa-tawa seperti orang
kurang ingatan. Perempuan tua ini konon adalah kekasih si Pisau Gergaji Terbang yang telah hidup bersama
selama tiga puluh tahun tanpa kawin syah. Dia dikenal dengan julukan Sepasang Lengan Iblis karena memiliki
sepasang tangan berwarna hitam yang tak mempan senjata tajam dan mengandung racun pembunuh!
Bersama dengan Si Muka Mayat kedua tua bangka kekasih inilah yang mendatangi tempat kediaman Nenek
Hantu Bulai atas perintah Gandaboga, membokong nenek sakti itu, menggebuknya babak belur lalu
menggantungnya kaki ke atas kepala ke bawah.
Ke empat orang ini melangkah menuju bangku panjang terbuat dari batu yang terletak dekat taman di
ujung kiri halaman belakang. Gandaboga duduk sambil memangku gendaknya sedang kakek -nenek itu duduk
disampingnya sambil berpegang-pegangan tangan. Mereka duduk menonton perkelahian tiga lawan satu itu.
Saat itu pemuda bercaping sudah terdesak hebat di sudut kanan tembok. Tongkatnya sudah
kutung dibabat golok Jalitanggor sementara Si Muka Mayat dan Manik Tunggal kirimkan serangan
menggebu tiada putus-putusnya. Tiba-tiba pemuda yang jadi bulan-bulanan pengeroyokan itu berteriak
keras. Tubuhnya melesat ke atas.
Breet!
Cakaran tangan Si Muka Mayat merobek dada pakaiannya. Kulit dada pemuda baju biru ikut terluka. Dari
sebelah belakang Manik Tunggal kirimkan satu pukulan ke arah punggung, tapi masih dapat dikelit hingga
hanya mengenai pinggul. Dalam keadaan seperti itu pemuda baju biru masih sempat loloskan diri dari
kepungan dan lari ke arah Adipati dan gendaknya duduk berpangku-pangkuan.
Pisau Gergaji Terbang dan Sepasang Lengan Iblis cepat berdiri dan menyongsong kedatangan si pemuda
sambil siapkan penyerangan. Tapi Adipati Gandaboga mengangkat tangannya dan berkata: “Biarkan saja!
Cecunguk ini seperti hendak mengatakan sesuatu! Hai monyet! Lekas buka mulutmu! Katakan siapa dirimu
dan apa maksudmu berani menyusup ke gedung Kadipaten!”
Si baju biru meludah ke tanah. Lalu perlahan-lahan buka caping bambunya. Sepasang matanya memandang
tak berkesip ke arah Adipati Karanganyar itu penuh kebencian. Mulutnya yang berdarah membuka.
“Manusia durjana! Kau mungkin tidak kenal lagi siapa diriku! Tapi aku tidak pernah melupakan tampang
biadabmu!”
“Bangsat rendah! Berani kau bicara kurang ajar terhadap Adipati!” teriak Jalitanggor. Berbarengan dengan
Manik Tunggal dia melompat hendak menerkam si baju biru. Tapi lagi-lagi Gandaboga mengangkat tangan dan
berseru. “Biarkan saja! Ajalnya tak akan lama! Kalian bisa mencincang tubuhnya sebentar lagi sampai puas.
Tapi biarkan dia menceloteh dulu! Aku ingin dengar kelanjutan bicaranya! Ayo kunyuk! Teruskan bicaramu!
Katakan siapa dirimu!”
“Aku Rangga. Putera Randuwonto yang kau bunuh di pekuburan Jatiwaleh sepuluh tahun silam! Kau
juga yang merencanakan penculikan atas diriku karena aku satu-satunya saksi hidup yang melihat
pembunuhan atas diri ayahku!”
“Ah! Monyet sialan ini ternyata anak kampung Sawahlontar bernama Rangga! Sepuluh tahun lalu kau lolos
dari kematian, mengapa bertindak tolol dan datang sendiri mengantarkan jiwa?!” ujar Gandaboga. Dia bicara
sambil mengusap-usap dada gadis yang duduk dipangkuannya.
Pemuda baju biru meludah ketanah. Mengenakan capingnya kembali lalu berkata:
“Aku datang kemari untuk minta nyawa anjingmu Adipati keparat!”
Gandaboga tertawa bergelak. Dia memandang ke arah Jalitanggor dan Si Muka Mayat lalu berkata: “Aku
ingin melihat dia mampus saat ini juga! Bunuh bangsat ini cepaattt!”
Si Muka mayat dan Jalitanggor bergerak. Manik Tunggal ikut menggebrak dari samping. Kembali tiga
pengeroyok berkelebat ganas. Kembali pula Rangga mempertahankan diri. Namun hanya sembilan jurus dia
sanggup membalas gebrakan lawan. Jurus kesepuluh kakinya kena disapu tendangan Manik Tunggal. Si Muka
Mayat lalu menghantamkan satu jotosan ke arah dagu dan golok Jalitanggor yang membabat ke arah leher
kali ini tak mungkin lagi dielakkan oleh Rangga.
Dalam keadaan dikejar maut begitu rupa tiba-tiba terdengar suara perempuan berteriak:
“Jangan bunuh! Dia sahabatku diwaktu kecil!”
Semua gerakan maut tertahan dan semua orang palingkan kepala. Dari tangga belakang gedung Kadipaten
berlari seorang dara mengenakan pakaian tidur panjang berwarna biru muda berbunga-bunga kuning dan hijau.
Wajahnya cantik sekali. Ternyata dia adalah Tarini, puteri dan anak tunggal Adipati Gandaboga.
Melihat anaknya ini Gandaboga segera menegur keras: “Tarini! Lekas masuk ke kamarmu! Ini bukan
urusan anak-anak sepertimu!”
“Ayah, saya akan masuk jika ayah melepaskan pemuda itu pergi.. “sahut Tarini.
“Tidak, dia harus mampus. Dan kau harus masuk ke kamarmu! Manik, bawa calon istrimu ke dalam kamar!”
“Calon istri? Puaaah!” Tarini berteriak lantang. “Aku bukan calon istri siapa-siapa. Apalagi dijodohkan
dengan kintel satu ini! Ayah, bukanlah sudah berapa kali hal itu saya katakan padamu.. ?”
Gandaboga hilang kesabarannya. Gendak yang sedang dipangkunya diturunkannya lalu dia melangkah
cepat ke tempat puterinya berdiri. Gadis ini ditariknya ke kamar tidur secara paksa. Sesaat kemudian
Gandaboga kembali ke halaman belakang dan berteriak marah.
“Kalian semua tunggu apa lagi? Bunuh pemuda keparat itu!”
Jalitanggor yang pertama sekali bergerak mengayunkan goloknya. Justru dia pula yang pertama kali
mengalami celaka!
***
PADA SAAT JALITANGGOR mengayunkan goloknya untuk menebas leher Rangga, tiba-tiba dari arah tembok
sebelah kiri melesat sebuah benda hitam. Benda ini menyambar deras dan menancap di pergelangan tangan
Jalitanggor setelah terlebih dahulu memutus urat-urat nadi. Jalitanggor menjerit kesakitan dan lepaskan
goloknya. Dia terhuyung-huyung kebelakang dan menjerit ngeri ketika melihat darah memancur dari urat-urat
besarnya yang putus.
Sebuah benda aneh terbuat dari batu hitam berbentuk seekor burung menancap di pergelangan tangannya.
Burung-burungan ini menancap pada bagian ekornya yang lancip. Semua orang tersentak kaget tapi tidak
satupun yang bertindak menolong Jalitanggor yang kesakitan dan kebingungan itu. Mereka berpaling ke arah
tembok halaman belakang sebelah kiri dimana tampak berdiri seorang pemuda berpakaian serba putih
berambut pirang dibawah siraman sinar matahari pagi.
Sepasang mata Rangga seperti hendak mendelik ketika pandangannya membentur pemuda bulai di atas
tembok. “Padanaran . . . diakah itu . . .? tanyanya dalam hati. Pasti dia. Burung-burungan batu itu! Ah pasti
dia! Ya Tuhan terima kasih kau telah mempertemukan kami kembali. Matipun aku tak menyesal kalau sudah
melihat wajahnya!” Selagi Jalitanggor mencak-mencak kesakitan, Rangga pergunakan kesempatan untuk
melompat bangkit dan lari ke arah Padanaran.
“Saudaraku Rangga, mereka telah menganiayamu! Aku akan membalaskan sakit hatimu! Juga
membalaskan sakit hati kematian paman!”
“Padanaran, Tuhan Maha Besar. Kita hadapi mereka bersama-sama. Tapi hati-hati. Dua kakek nenek dan
si muka cekung itu paling berbahaya …” menerangkan Rangga.
“Bangsat bulai! Kau manusia atau setan?!” teriak Adipati Gandaboga sementara para pembantu
kepercayaannya tegak menyebar berjaga-jaga. Dari caranya dia melemparkan mainan dari batu yang tepat
menancap di lengan Jalitanggor itu semua tahu kalau kini ada seorang berkepandaian tinggi yang bukan
berada di pihak mereka. Seorang yang kehebatannya jauh lebih tinggi dari Rangga yang muncul untuk
membalaskan sakit hati. Apakah pemuda bulai di atas tembok itu juga mempunyai niat yang sama…?
“Aku manusia! Tapi bisa jadi setan yang mampu mencekikmu!” jawab orang di atas tembok.
“Keparat! Jangan bicara ngaco! Lekas katakan siapa dirimu!” teriak Pisau Gergaji Ter bang lalu tangannya
bergerak dan dua pisau andalannya meluncur ke arah tembok. Orang diatas tembok berseru keras, melompat
dan melayang turun ke dalam halaman belakang gedung Kadipaten.
“Kalau kalian ingin tahu namaku baik, akan kukatakan! Aku Padanaran. Pemuda dari dukuh Sawahlontar.
Sepuluh tahun silam kau yang bernama Gandaboga membunuh pamanku Randuwonto. Hari ini aku datang
untuk balas meminta nyawamu!”
Gandaboga tertawa gelak-gelak, yang lain-lainnya tegak dengan pandangan mengejek. Tiba-tiba ada satu
suara keras yang berteriak menindih suara gelak Gandaboga.
“Aku juga pemuda dari Sawahlontar! Datang mencari tiga pembunuh pengecut…!”
Kalau tadi semua mata memandang ke arah Padanaran, kini semua berpaling ke sisi barat tembok,
termasuk Padanaran sendiri. Disitu duduk berjuntai sambil uncang-uncang kedua kakinya seorang pemuda
berpakian putih berambut gondrong. Mulanya tiada henti menyeringai sedang dari mulutnya terdengar
suara bersiul tiada henti.
“Kurang ajar! Bangsat gila dari mana yang kesasar kemari!” maki Gandaboga lalu dia memerintahkan Pisau
Gergaji Terbang untuk mengusir pemuda gondrong itu. Sebaliknya si kakek berbisik pada sang Adipati: “Biarkan
saja pemuda sinting satu itu. Kita tengah menghadapi si bulai. Biar aku membereskannya lebih dulu…”
Adipati Gandaboga akhirnya anggukkan kepala menyetujui.
Ketika melihat si gondrong di atas tembok sana Padanaran tak habis pikir bagaimana pemuda yang
menolongnya dan mengaku bernama Wiro Sableng itu begitu cepat sampai di tempat. “Kalau tidak memiliki
ilmu lari andal, dia pasti tak akan sampai disini hanya terpaut beberapa saat denganku,” begitu Padanaran
membatin. Lalu pemuda ini berpaling ke arah Gandaboga, maju beberapa langkah sambil berucap: “Adipati,
apakah kau sudah siap menerima kematian?”
Gandaboga memaki panjang pendek. Sambil mendelik marah dia memerintahkan:
“Bunuh monyet bulai ini!”
Sepasang Lengan Iblis lebih dulu tertawa cekikikan baru menyerbu. Si Pisau Gergaji Terbang mendengus
dua kali lalu melompat kedalam kalangan. Manik Tunggal yang ingin berebut pahala serta nama tak tinggal
diam sementara Si Muka Mayat berusaha menolong Jalitanggor tapi terlambat karena pembantu kepercayaan
Gandaboga ini sudah keburu menemui ajal karena banyak darahnya yang terbuang. Sebenarnya Jalitanggor
mampu menotok urat besarnya untuk menghentikan darah. Tapi karena begitu ngeri melihat darahnya sendiri,
dia sampai bingung dan tidak melakukan apa-apa.
“Bangsat, biar aku yang mencekik leher dan menghancurkan kepala si bulai itu!” teriak Si Muka Mayat
setelah dapatkan kawannya telah menemui ajal! Dia langsung ikut menyerbu. Padanaran kini dikeroyok oleh
empat pesilat cabang atas. Dengan mengandalkan ilmu warisan gurunya si Nenek Bulai mungkin sulit bagi
empat orang itu untuk mengalahkan atau menciderainya. Tapi seperti yang dipesankan sang guru kepada
Wiro, Padanaran masih hijau dalam pengalaman. Karenanya begitu empat orang menggebrak Pendekar 212
wiro Sableng keluarkan suitan panjang dan melompat turun dari atas tembok.
Sesaat murid Eyang Sinto Gendeng dari puncak gunung Gede ini perhatikan jalannya perkelahian empat
lawan satu itu. Lalu tiba-tiba dia melompat ke depan, memotong arus pertempuran. Dia memilih Pisau Gergaji
Terbang sebagai lawannya karena dianggapnya manusia satu inilah yang paling tinggi ilmunya dan berbahaya.
“Pemuda gila kesasar! Kau mencari mati! Benar-benar minta mampus!” teriak si kakek. Jarak mereka
terpisah empat langkah. Dalam jarak sependek ini orang tua itu masih sempat menghamburkan dua pisau dari
tangan kanan dan dua lagi dengan tangan kiri.
Wiro sambut serangan lawan dengan pukulan sakti “dinding angin berhembus tindih menindih” Empat
pisau terbang yang melesat ke arahnya mencelat mental membuat kaget si pemilik. Seumur hidup kakek itu
belum pernah melihat serangannya dipukul mentah-mentah seperti itu. Didahului dengan jeritan keras dia
gerakkan lengan baju gombrangnya. Terdengar suara klik-klik. Dari balik lengan baju kiri kanan menonjol
keluar dua buah pisau besar berbentuk gergaji dan berujung lancip. Setiap si kakek menggerakkan tangannya,
pisau-pisau gergaji itu mengeluarkan suara berdesir menggidikkan. Paling tidak dalam tiga jurus pemuda yang
dianggapnya sinting itu akan mandi darah dihantam sepasang pisau, begitu si kakek berpikir. Tapi ketika tiga
jurus lewat dia tidak mampu menciderai lawan hatinya jadi was-was. Serta merta dia rubah permainan silatnya
dengan tubuhnya tiba-tiba lenyap, hanya tinggal bayangan merah pakaian gombrong nya.
Menghadapi lawan dengan gerakan kilat begini rupa Pendekar 212 melompat menjauhi lalu menghantam
dengan pukulan-pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Di jurus ke sebelas Wiro berhasil
menangkap lengan kanan lawan. Meskipun lengannya sempat terserempet pinggiran pisau dan mengucurkan
darah, tapi Wiro berhasil membanting kakek itu keras-keras ke tanah hingga terkapar bergedebukan. Tapi
hebatnya begitu jatuh orang tua ini langsung melompat bangkit. Sambil bangkit tangan kirinya sempat
berkelebat.
Breet!
Kaki celana kiri Pendekar 212 robek besar. Betisnya mengucurkan darah.
“Setan alas!” maki Wiro. Kaki kanannya melesat ke depan. Tubuh tua yang masih setengah bangkit itu
terpental beberapa langkah tapi kembali berusaha bangkit. Hanya kali ini dia tak mampu melakukannya.
Perutnya serasa pecah. Pemandangannya gelap. Pisau Gergaji Terbang hanya bisa terduduk ditanah megapmegap.
Wiro mendekati untuk mengirimkan satu tendangan lagi ke kepala lawan. Tapi selintas pikiran muncul’
dibenaknya. Dia tidak menendang kepala orang tua ini, melainkan menotok urat besar dipinggangnya hingga
si Pisau Gergaji Terbang tak bakal mampu bangkit dan melarikan diri.
Perkelahian antara Padanaran yang dikeroyok Sepasang Lengan Iblis, Si Muka Mayat dan Manik Tunggal
berjalan seru. Warisan ilmu yang diberikan nenek Hantu Bulai benar-benar luar biasa. Si Muka Mayat dan
Sepasang Lengan Iblis yang sudah makan asam garam ilmu dan duniapersilatan sempat memaki-maki karena
beberapa kali hampir saja keduanya kena gebukan tangan atau tendangan Padanaran. Apalagi ketika Rangga
yang tak mau hanya jadi penonton terjun ke dalam kalangan. perkelahian. Tiga pengeroyok jadi kalang kabut.
Melihat hal ini Gandaboga bawa masuk gendaknya kedalam kamar lalu keluar lagi seorang diri membawa
sebilah keris berluk sembilan yang memancarkan warna putih. Ketika dia masuk ke dalam,kalangan
pertarungan keadaan serta merta berubah.
Keris di tangan Adipati Karanganyar itu memang bukan senjata sembarangan. Orang hanya mampu
mendekati sampai dua langkah. Ada hawa aneh yang memerihkan sekujur tubuh jika lawan berani mendesak
mendekati. Akibatnya kalau tadi Padanaran dan Rangga berada di atas angin maka kini dua pemuda ini jadi
terdesak hebat.
Pendekar 212 yang sudah gatal tangan tak menunggu lebih lama. Segera pula masuk ke dalam kalangan
pertempuran. Dia jadi kaget ketika merasakan sendiri hawa aneh yang keluar dari keris putih di tangan
Gandaboga.
“Keris keparat itu harus disingkirkan dulu .” kata Pendekar 212 dalam hati. Tangannya bergerak ke
pinggang. Sinar putih menyilaukan tiba-tiba berkiblat. Hawa panas menghampar dan suara seperti ribuan
tawon mengamuk menderu. Lalu trang!
Keris sakti di tangan Gandaboga terpental. Pemiliknya terhuyung-huyung engan muka pucat. Wiro
masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya. Lalu berpaling pada Padanaran dan Rangga dan
berkata: “Kalian berdua hadapi musuh besar kalian itu. Tiga pengeroyok ini biar serahkan padaku …!”
Menyadari bahwa memang Gandaboga adalah musuh besar yang telah membunuh ayah dan paman
mereka maka Rangga dan Padanaran segera melompat ke hadapan Gandaboga. Perkelahian seru segera
terjadi diantara mereka. Nenek kekasih Si Pisau Gergaji Terbang memandang tak berkesip pada Wiro
Sableng.
“Gondrong! Aku tadi melihat kau mengeluarkan sebilah senjata berupa kapak bermata dua. Apakah kau
manusianya yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 … ?!”
Wiro tak menjawab dengan menghantamkan pukulan sinar matahari! Ketiga orang itu terpekik dan
melompat mundur. Hawa panas yang hebat menerpa ganas.
Bummm!
Tanah di depan ketiga lawannya berubah menjadi lobang besar berwarna hitam. Debu dan pasir membubung
ke udara.
“Pukulan sinar matahari!” teriak Sepasang Lengan Iblis. Serta merta lelehlah nyali nenek ini ketika kini dia
benar-benar menyadari siapa adanya pemuda berambut gondrong itu. tanpa tunggu lebih lama dia melompat
ke kiri melarikan diri. Wiro tak tinggal diam. Dia yakin si nenek ini adalah salah satu dari tiga orang yang
membunuh si nenek Hantu Bulai. Sambil gulingkan diri di tanah, Wiro menyambar tiga pisau tipis di pinggang
kakek Pisau Gergaji Terbang. Sesaat kemudian senjata itu melesat di udara mengeluarkan suara bersuit.
Di seberang sana terdengar pekik Sepasang Lengan Iblis. Nenek ini tersungkur jatuh di tanah, menggeliat
beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. Tiga pisau menancap di tengkuknya terus menembus leher, di
pinggang dan satu lagi membeset lambungnya hingga ususnya membusai keluar. Dia menemui ajal sebelum
sempat memperlihatkan kehebatan sepasang lengannya yang hitam.
“Jumilah . . . “teriak si Pisau Gergaji Terbang ketika melihat kekasihnya menemui ajal seperti itu. Dia
berusaha berdiri tapi tak bisa. Kakek ini sesenggukkan lalu menangis seperti anak kecil.
Ketika semua itu terjadi si Muka Mayat pergunakan kesempatan untuk lari tapi Wiro cepat menghadang dan
menotok dadanya hingga manusia satu ini tertegak kaku.
Rangga berkelahi menghadapi Manik Tunggal. Walaupun ilmu silat Rangga lebih rendah, tapi berkelahi satu
lawan satu begitu rupa tidak mudah bagi Manik Tunggal untuk mengalahkan Rangga. Sebaliknya perkelahian
antara Gandaboga dan Padanaran hanya berlangsun seru selama tiga jurus-.Jurus keempat Adipati
Karanganyar itu kena digebuk bagian dadanya hingga terjungkal tapi masih sempat berpegangan pada
sebuah arca. Sebelum dia mampu berdiri tegak tiba-tiba Padanaran telah mendatangi dengan keris putih milik
Gandaboga yang dipungutnya dari tanah.
“Jangan bunuh! Demi Tuhan jangan bunuh!” teriak Gandaboga lalu jatuhkan diri berlutut. <
“Kau membunuh pamanku! Hari ini kau terima balasannya!” suara Padanaran bergetar. Keris di tangan
kanannya ditusukkan.
“Padanaran! Jangan bunuh ayahku! Ampuni selembar nyawanya!” Satu suara berteriak lalu terdengar ada
orang yang lari mendatangi.
“Tarini!” seru. Padanaran ketika dilihatnya siapa yang berteriak. Gadis itu kawan baiknya semasa kecil lari
mendatangi. Gerakan tangan Padanaran serta merta terhenti. Tapi dari samping tiba- tiba saja Rangga muncul
melompat. Kedua tangannya memegang lengan Padanaran yang memegang keris sakti erat-erat lalu
didorongkannya kuat-kuat ke depan. Keris yang dipegang oleh tiga tangan itu menghunjam di leher Gandaboga.
Adipati Karanganyar ini keluarkan seruan tertahan. Matanya melotot. Lehernya sampai ke muka dan sebagian
dadanya kelihatan menjadi biru tanda ada racun yang menjalar dari keris sakti ber warna putih itu.
Tarini menjerit keras ketika melihat apa yang terjadi dengan ayahnya. Dia lari menubruk Gandaboga,
memeluk sayang ayah tapi aneh, tak ada air mata yang keluar dari sepasang matanya yang bagus itu.
“Pembunuh keparat! Kalian membunuh calon mertuaku!” teriak Manik Tunggal lalu berusaha mencekik
Rangga. Tapi dari belakang datang Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kalau calon mertuamu memangnya ke napa?! Pergi sana!” bentak Wiro. Lalu buk! Wiro tendang pantat
pemuda itu hingga Manik Tunggal jatuh tengkurap di tanah.
Sesaat Padanaran tertegun lalu perlahan-lahan dia lepaskan pegangannya di hulu keris. Tubuh Gandaboga
terhuyung dan jatuh menelentang. Lalu pemuda ini usap kepala Tarini dan berkata: “Maafkan aku Tarini . . .”
Sehabis berkata begitu Padanaran berpaling pada Rangga, memberi isyarat. Lalu kedua pemuda itu
melangkah tinggalkan tempat itu. Ketika melewati mayat Jalitanggor, Padanaran merunduk mencabut
burung-burungan batu yang masih menancap di lengan orang itu, membersihkan darahnya, berpaling pada
Rangga lalu masukkan burung-burungan batu itu ke dalam saku bajunya.
Saat itulah baru terdengar suara tangisan Tarini. Tiba-tiba gadis ini berdiri dan berteriak memanggil:
“Padanaran! Aku ikut bersamamu” Gadis ini lari menyusul pendekar bule yang melangkah bersama Rangga,
namun begitu mendengar suara si gadis dia berpaling hentikan langkah.
Manik tunggal yang melihat hal itu buru-buru bangkit berdiri. “Tarini! Kembali! Tarini.. ” Lalu pemuda ini
berusaha mengejar. Tapi baru lari tiga langkah datang Wiro dari samping.
“Tarini… Tarini… Ini untukmu!”
Bukkkk!
Untuk kedua kalinya tendangan Wiro mendarat di pantat Manik Tunggal. Pemuda ini terhempas ke tanah.
Mukanya mencium tanah keras sekali dan dia pingsan disitu juga.
Pendengar 212 garuk kepala beberapa kali. Memandang kearah tiga orang yang melangkah pergi di
kejauhan. Akhirnya diapun menyusul ketiga orang itu. Dia lalu memberi tahu Padanaran bahwa nenek Hantu
Bulai gurunya telah tiada. Dan dua dari tiga orang pembunuhnya berada dalam keadaan tertotok di halaman
belakang gedung Kadipaten.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar