Rabu, 01 Februari 2012

078. NINJA MERAH

78. NINJA MERAH
SATU
SAAT itu telah memasuki musim semi. Namun
udara dingin masih terasa mencucuk dimana-mana.
Salju tipis masih tampak menyapu puncak-puncak
pepohonan, juga pada kuntum-kuntum bunga Sakura
Yang pucuk-pucuknya mulai mengembang.
Jauh di sebelah Timur Kioto terdapat sebuah bukit kecil.
Saat itu baru taja lewat tengah malam. Dalam gelap dan
dinginnya udara tiga sosok berpakaian dan bertutup
kepala serba hitam bergerak cepat menuju puncak bukit.
Di punggung masing-masing menyembul hulu ninjato.
Lalu pada pinggang mereka tergantung kusarigama.
Mereka tidak mengikuti jalan batu Yang berliku-liku
melainkan mengendap dan berkelebat di balik semak
belukar dan pepohonan.
Puncak bukit merupakan kawasan perumahan
Perguruan Emerarudo atau Perguruan Zamrud. Ke tempat
inilah agaknya tiga orang itu tengah menuju.
Di dalam salah satu ruangan pada sebuah bangunan
di puncak bukit seorang lelaki berusia setengah
abad duduk di lantai sedang tekun membaca sebuah
4
kitab tebal. Kantuknya yang tadi sempat menyerang
terpupus sirna oleh daya tarik kitab yang tengah dibacanya.
Orang ini mengenakan kimono tebal berwarna
biru tua. Pada bagian dada kimono sebelah kanan
tersulam gambar batu permata zamrud bewarna kunlng
terang, lengkap dengan garis-garis kilauan cahaya
sekeliling permata. Orang ini adalah Noboru Kasai
pimpinan tertinggi atau Ketua Utama Perguruan
Emerarudo.
Saat itu terdengar perlahan suaranya membaca.
Kebersihan aurat adalah sangat penting dalam
ilmu Pengobatan. Bagaimana seseorang bisa
mengobati orang lain kalau tubuhnya tidak bersih.
akan tetapi di atas semua itu kebersihan jiwa atau
kebersihan batin adalah yang paling utama.
Dengan batin yang bersih seseorang akan berada
dalam keadaan lebih andal untuk menyalurkan
hawa sakti yang dimilikinya ke dalam badan orang
yang akan diobatinya. Karena itu ..
.
Suara Noboru Kasai membaca terhenti oleh suara
pintu bergesek di belakangnya.
“Hisao … Kaukah itu? tanya Noboru Kasai tanpa
berpaling.
Tak ada jawaban..
Se tttt… settt… settttl Teppp … tepppp … tepppp!
Malah Ketua Perguruan Emerarudo ini mendengar
suara berkelebat tiga kali berturut-turut dibarengi
oleh siuran angin halus.
5
Noboru Kasai letakkan kitab di pangkuannya ke
atas tatami. Lalu perlahan-lahan palingkan kepala.
Sepasang mata sang Ketua terbuka lebar melihat siapa
yang ada di dalam ruangan itu.
“Shinobi…!”
Shinobi adalah panggilan asli untuk ninja. Dan
memang saat itu di dalam kamarnya tegak tiga sosok
ninja, muncul dalam penampilan mereka yang angker.
Bertubuh tinggi kukuh dibungkus pakaian serba hitam
mulai dari ujung kaki sampai ke kepala. Di bagian muka
hanya sepasang mata mereka yang kelihatan,
memandang tak berkesip ke arah Noboru Kasai dengan
pandangan sedingin salju di puncak gunung Fuji.
Di belakang punggung mereka tersembul gagang
ninjato yang juga dikenal sebagai katana pendek,
pedang khas para ninja. Lalu seuntai rantai yang salah
satu ujungnya merupakan senjata berbentuk ganco dan
ujung satu lagi diberi gandulan pemberat kelihatan melilit
di pinggang. Noboru Kasai perhatikan tangan ke tiga
ninja ini. Masing-masing memakai shuko yaitu cakar
pemanjat yang sekaligus merupakan senjata sangat
berbahaya.
Dalam hati Noboru Kasai membatin
“Pasti ke tiganya menerobos masuk dengan
memanjat tembok. Jika tidak satu murid perguruan pun
memergoki mereka, berarti ke tiganya adalah ninja-ninja
dari tingkat sangat tinggi …”
Perlahan-lahan Noboru Kasai berdiri.
Sreettt! Sreetttt!
6
Dua kali terdengar suara berdesir ketika dua
orang ninja yang berdiri dekat pintu dan di sebelah
kanan Noboru Kasai mencabut ninjato pedang pendek
masing-masing.
Ninja berbadan paling tinggi di sebelah tengah
memberi isyarat dengan tangan kiri. Dua orang temannya
yang hendak mendekati Noboru Kasai hentikan
langkah. Ninja yang di tengah maju dua langkah.
“Sahabat-sahabat tak diundang. Kalian masuk
secara tidak sopan …”
Ninja di dekat pintu mendengus. Mulut dibalik
penutup wajahnya berucap.
“Ninja tidak kenal sopan santun. Ninja hanya
kenal darah dan nyawa!”
Daun telinga kiri Noboru Kasai bergerak.
“Hemmm.. aku tidak mengenali suaranya. Berarti
dia memang ninja asli. Bukan orang dalam .. .”
“Katakan apa maksud kalian masuk ke tempatku!”
bentak Noboru Kasai. Sekilas matanya melirik ke arah
lantai di sebelah kiri di mana tergeletak katana miliknya.
Ninja bertubuh paling tinggi dapat membaca apa yang
ada dalam benak Ketua Perguruan Emerarudo itu. Dia
cepat melangkah dan menginjak katana di lantai dengan
kaki kanannya.
“Aku memberi waktu lima detik pada kalian agar
segera keluar dari tempat inil” Noboru Kasai beri peringatan.
Ke dua tangannya diturunkan ke sisi sedang
sepasang kaki tegak merenggang.
7
cepat.
Apa yang terjadi kemudian berlangung sangat
Ninja di sebelah tengah hunus ninjatonya. Melihat
ini dua temannya segera menggebrak maju. Tiga
pedang maut berkelebat ke arah Noboru Kasai. Ketua
Perguruan Emerarudo ini keluarkan suara menggembor.
Dengan tangan kosong dia hadapi tiga penyerangnya.
Noboru membuat gerakan yang disebut “dewa tanah
mengebor bumi.” Tubuhnya menukik , jatuh ke atas
lantai tatami. Tiga pedang lewat di atasnya. Lalu dia
susul dengan jurus “penguasa langit membelah
angkasa” Tangan kanannya menghantam ke atas
disusul dengan tendangan kaki kiri kanan.
Wuuuutt! Wuuuutl
Pukulan dan tendangan kaki kiri Noboru Kasai
hanya mengenai tempat kosong. Tapi bukkkk!
Tendangan kaki kanannya mampir dengan telak
di dada salah seorang penyerang hingga ninja satu ini
mencelat ke dinding. Dinding yang hanya terbuat dari
kertas itu langsung jebol dan ninja itu sendiri terlempar
ke luar. Untuk sesaat dia tak kuasa bangun, hanya
mengerang sambil pegangi dada.
Dua orang ninja yang ada di dalam ruangan mendengus
marah. Serangan pedang mereka membuntalbuntal
ganas. .Walau Ketua Perguruan Emerarudo
menyandang nama besar dan berkepandaian tinggi
namun para ninja bukanlah lawan yang mudah dihadapi.
Gerakan mereka secepat setan, serangan pedang
8
mereka seganas iblis. Apalagi saat itu Noboru Kasai
bertangan kosong pula.
Setelah mengelak dua kali berturut-turut Noboru
melejit ke arah kanan. Maksudnya hendak mengambil
hanbo, yaitu tongkat kayu yang biasa dipakai untuk
melatih murid-murid. Namun gerakannya berhasil di
papas oleh ninja di sebelah kiri. Selagi dia coba menghantam
penyerang ini dengan pukulan tangan kosong
mengandung hawa sakti, dari samping ninja bertubuh
tinggi kiblatkan ninjatonya.
Breetttttl
Bahu kimono Noboru Kasai robek besar. Dia
merasakan perih pada bahu kanannya lalu ada cairan
panas mengucur. Darah! Meski menderita sakit bukan
main dan kemarahan mendidih namun Ketua Perguruan
Emerarudo ini tampak bersikap tenang. Tapi sebaliknya
dua ninja tak mau memberi kesempatan. Pedang
pendek mereka kembali menggempur dengan ganas
hingga Noboru Kasai terdesak ke sudut sebelah kanan.
Breeetttt!
Breetttt!
Kimono sang Ketua robek lagi. Kali ini di bagian
dada dan perut. Noboru Kasai terjajar ke belakang. Dia
berusaha berpegangan pada sebuah rak tapi tidak
terjangkau. Selagi tubuhnya tersandar ke dinding, ninja
berbadan tinggi tusukkan pedangnya ke lambung
Noboru Kasai. Ketua Perguruan ini keluarkan keluhan
pendek lalu roboh ke lantai. Sebagian dari badannya
yaitu bagian dada ke atas berada di luar kamar.
9
Ninja berbadan tinggi mendatangi dengan cepat
dan membungkuk seraya bertanya.
“Lekas katakan! Di laci nomor berapa kau simpan
surat-surat penting Perguruanl”
Dalam keadaan sekarat Nobora Kasai membuka
mulutnva. Suaranya tersendat perlahan.
“Aku … aku seperti mengenali suaramu … Bukan
kah kau..”
“Kurang ajarl” bentak ninja bertubuh tinggi. Pedang
di tangan kanannya dihunjamkan ke tenggorokan
Noboru Kasai. Sebelum maut menyergap Ketua Perguruan
Emerarudo itu tiba-tiba angkat tangan kanannya.
Lima jari tangannya terpentang. Tulang- tulang jari keluarkan
suara berderak.
Cleeeppp!
Pedang menembus tenggorokan Noboru Kasai.
Dalam saat yang bersamaan lima ujung jari sang Ketua
menghunjam di dada kiri ninja yang membunuhnya.
Pakaian hitam tebal yang dikenakan ninja tembus di lima
bagian. Ninja itu sendiri terjajar ke belakang. Dadanya
serasa ditusuk lima paku panas! Wajahnya di balik penutup
kepala sesaat jadi pucat.
“Lima jari dewa… Jadi dia memang benar-benar
memiliki ilmu kepandaian itu..!” katanya dengan mata
melotot memandang pada Noboru Kasai yang sudah tak
bernyawa lagi. Sambil pegangi dada kirinya ninja ini
melangkah mundur. Dia memberi isyarat pada ninja
yang ada di dekatnya.
10
”Tolong kawanmu. Lari ke tembok sebelah timur.
Tunggu aku di tempat pertemuanl” Sehabis berkata
begitu ninja berbadan tinggl ini melesat ke pintu. Dia
berlari cepat sepanjang lorong pendek lalu menerobos
masuk ke dalam sebuah ruangan sangat rahasia yang
tidak sembarang orang boleh masuk ke tempat ini. Di
pintu masuk ruangan berjaga-jaga seorang murid
Perguruan dalam keadaan terkantuk-kantuk. Pedang di
tangan ninja berkelebat menghantam pertengahan
kening murid penjaga. Murid ini tak pernah tahu apa
yang menyebabkan kematiannya. Tubuhnya roboh
mandi darah dengan kepala hampir terbelah.
Ninja pembunuh melompat masuk ke dalam
ruangan rahasia. Sesaat dia tegak tertegun. Di dalam
ruangan itu ada dua buah lemari besar merapat ke
dinding. Di situ terdapat dua ratus laci-laci kecil yang
diberi nomor mulai dari 1 sampai 200.
“Aku tak mungkin memeriksa semua laci celaka
itu! Aku harus bisa mengingat! Harus bisa!”
Ninja itu lalu menarik laci-laci pada derstan angka
mulai dari 150 sampai 160.
Sementara itu diluar sana ninja yang diperintahkan
menolong temannya yang terluka bertindak cepat.
Sang teman rupanya menderita luka dalam yang sangat
parah akibat tendangan Noboru Kasai tadi. Darah
tampak mengucur dari mulutnya. Begitu tahu kawannya
tak sanggup berdiri, dengan cepat di segera memanggulnya.
Akan tetapi sebelum dia sempat berkelebat pergi
di sekelilingnya terdengar suara langkah-langkah kaki.
11
Sesaat kemudian sekitar dua puluh orang murid
perguruan muncul mengurung tempat itu. Di depan
sekali seorang lelaki berkimono merah darah berambut
pendek berwajah beringas. Mukanya merah. Gerakannya
cepat dan enteng tetapi langkah kakinya tidak tetap.
Sesekali tubuhnya tampak seperti terhuyung.
Bagaimanapun tinggi ilmu yang dimilikinya tapi
ninja itu segera menyadari bahwa dia tak mungkin lolos
dari sekian banyak orang yang mengurung. Apalagi si
kimono merah berwajah merah beringas di sebelah
depan dikenalinya adalah Shigero Momochi salah
seorang dari dua Wakil Ketua Perguruan. Begitu Shigero
Momochl mendekat ninja jatuhkan kawan yang dipanggulnya
ke lantai. Sekali menusukkan pedangnya ke dada
kawannya sendiri, ninja yang sudah terluka parah itu
langsung meregang nyawa.
“Tangkap dia hidup-hidupl” teriak Shigero
Momochi.
Tapi mana mungkin menangkap seorang ninja
hidup-hidup. Apalagi dalam keadaan terperangkap seperti
itu. Sang ninja keluarkan suara mendegus dari balik
kain hitam penutup wajahnya. Dua tangan memegang
gagang pedang erat-erat. Begitu kelompok anak murid
Perguruan Emerarudo menyerbu dibawah pimpinan
Shigero Momochi dengan berbagai macam senjata ninja
ini cepat menyongsong dengan ninjatonya.
Beberapa kali terdengar suara berdentrangan
beradunya senjata. Gelombang serangan anak murid
Perguruan Emerarudo tidak bisa dibendung. Shigero
12
Momochi yang masih berusaha menangkap hidup-hidup
ninja itu untuk dimintai keterangan tak mampu berbuat
banyak. Setelah memukul lepas pedang ditangan ninja
dia hanya bisa menyaksikan bagaimana puluhan anak
muridnya membantai sang ninja hingga akhirnya
menemui ajal dengan keadaan tubuh hancur lumat
mengerikan.
Shigero Momochi seperti mau muntah. Dia
palingkan kepala, memandang ke ruangan dalam
bangunan.
“Ketua Noboru Kasai …” bisiknya. Secepat kilat
dia lari masuk ke dalam rumah. Lututnya goyah ketika
dia menemukan Noboru Kasai telah jadi mayat,
tergeletak di atas tatami dengan tubuh bergelimang
darah.
“Ketua …” kata Shigero Momochi sambil jatuhkan
diri, berlutut di samping mayat Noboru Kasai. Dia
merasa seperti ingin berteriak, tapi juga ingin menangis.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara dari arah ujung
lorong pendek di luar sana dimana terletak ruangan
rahasia. Sambil menggenggam pedangnya Shigero
Momochi cepat berdiri.
* * *
13
DUA
Di dalam ruangan rahasia ninja memeriksa deretan
laci bernomor 150 sampai 160. Tapi dia tidak menemukan
apa yang dicarinya. Dalam hati dia memaki setengah
mati.
“Aku harus ingat! Harus ingat!” katanya berulangulang.
Pada saat itu dia mendengar suara orang berlari
dari ujung lorong. Sebelumnya dia juga telah mendengar
suara ramai di luar ruangan tempat Noboru Kasai
terbunuh.
“Orang-orang Perguruan sudah tahu apa yang
terjadi …” desis ninja. Matanya kembali memandang
deretan laci-laci. Dia seperti hendak memukul kepalanya
sendiri ketika tiba-tiba dia ingat.
“Laci 168 katanya setengah berseru.
Segera laci nomor 166 dibukanya. Sepasang
mata ninja membesar. Apa yang dicarinya akhirnya
ditemui juga. Dalam laci itu kelihatan sebuah amplop
besar berwarna kuning. Secepat kilat ninja menyambar
amplop itu. Lalu melompat membobol dinding kiri
ruangan rahasia. Ternyata dinding ruangan ini tidak
terbuat dari kertas biasa melainkan dari sejenis papan
14
alot. Ninja terpaksa pergunakan jotosannya untuk
menjebol. Baru saja dia hendak berkelebat kabur lewat
lobang di dinding tiba-tiba pintu kamar rahasia terbuka.
Satu bentakan menggeledek di belakangnya.
“Jangan laril”
Yang berteriak adalah Shigero Momochi. Wakil
Ketua Perguruan ini cepat mengejar dengan pedang
terhunus. Gerakannya mengejar tertahan ketika di
sebelah depan ninja dilihatnya gerakkan tangan kiri. Dua
buah benda berbentuk bintang melesat ke arahnya.
Shigero memaki setengah mati.
“Shuriken!” teriaknya.
Pedangnya di putar ke depan.
Trang … trang …!
Dua senjata rahasia bintang besi beracun yang
dilepaskan ninja mental dan menancap di dinding
ruangan. Begitu Shigero memandang ke depan sang
ninja sudah lenyap.
“Mahluk iblis! Kau kira kau bisa lolos dari tanganku…!”
bentak Shigero Momochi lalu mengejar. Larinya
tidak tetap, agak menghuyung. Sampai di taman gelap di
belakang bangunan besar orang yang dikejarnya tak
kelihatan lagi. Belasan murid Perguruan muncul mendatangi.
“Percuma… Ninja keparat itu berhasil melarikan
diri!” kata Shigero Momochi sambil menghentakkan
kakinya.
“Aku bersumpah akan membalaskan kematian
Ketua. Kalian lekas mengatur hubungan dengan para
15
Ketua Ninja! Beri tahu apa yang telah terjadi. Minta
mereka menyelidik dan memberi tahu siapa anggotaanggota
mereka yang terlibat kejahatan keji ini! Mereka
harus berani mengakui! Kalau tidak aku bersumpah akan
menumpas semua ninja di negeri ini! Sejak dulu mereka
hanya menimbulkan keonaran dan bencana saja! Melakukan
kejahatan hanya untuk sejumlah uang! Mahlukmahluk
durjana! Pembunuh bayaran!”
“Wakil Ketua Momochi!” seorang murid Perguruan
berkata sambil maju mendekati Shigero Momochi.
“Ninja bukan cuma membunuh tapi juga mencuri
surat-surat penting dari ruangan rahasia.
“Aku sudah tahu! Kalian periksa surat apa yang
hilang! Aku akan mengurus jenazah Ketua …” Shigero
Momochi memandang berkeliling.
“Siapa diantara kalian yang membawa minuman….?”
Tak ada satupun yang menjawab.
“Kalau begitu satu orang dari kalian lekas pergi
kekamarku, ambil botol sake dan antarkan padaku …”
“Tapi Wakil Ketua Momochi …” kata seorang
murid kepala.
“Dalam keadaan seperti ini tidak sepantasnya
Wakil Ketua meneguk minuman keras itu lagi …”
“Kurang ajarl Kau memerintah aku atau bagaimana
… ?!” bentak Shigero Momochi dengan mata
membelalang.
Semua murid Perguruan yang ada di situ unjukkan
wajah tidak seneng. Satu persatu mereka tinggalkan
16
tempat itu. Salah seorang dari mereka berbisik pada
temannya.
“Seharusnya dia yang dibunuh ninja, bukan Ketua
Noboru Kasai … Pimpinan tak berguna, Pemabuk,
pemarah … semua yang jelek ada padanya. Mau jadi
apa Perguruan kita ini kelak … !”
“Aku kawatir setelah Ketua tiada, dia yang akan
menjabat jadi Ketua. Celakalah kita semual” sahut
temannya.
“Hal itu tak mungkin terjadi. Para Dewa tak bakal
merestui!” kata seorang murid Perguruan lain yang ikut
mendengar percakapan dua temannya tadi.
DALAM dinginnya udara menjelang pagi itu sayup
sayup terdengar suara shakuhachi ditiup dalam senandung
yang menyayat hati. Tiupan seruling bambu ini
diikuti dengan petikan shamisen yang menghiba-hiba.
Suara bebunyian ini datang dari serambi bangunan
besar Perguruan Emerarudo di puncak bukit.
Di serambi rumah besar, di bawah penerangan
lampu minyak redup, diatas tatami duduk dua orang
perempuan. Seorang sudah agak lanjut, satunya masih
gadis. Perempuan yang lebih tua duduk meramkan mata
sambil meniup shakuchaki. Gadis di sebelahnya memetik
shamisen. Masing-masing memainkan bebunyian itu
penuh perasaan. Sepasang mata perempuan yang lebih
tua tampak berkaca-kaca sedang si gadis tak dapat
menahan larutnya kesedihan hingga air mata yang tak
terbendung menetes jatuh kepipinya.
17
Di dalam rumah besar hampir seratus anak murid
Perguruan Emerarudo tegak rangkapkan tangan di atas
dada. Sikap berdiri mereka tampak gagah. Namun dari
kepala-kepala yang ditundukkan serta sepasang mata.
yang dipejamkan jelas seperti dua perempuan tadi
merekapun sedang tenggelam dalam rasa duka yang
mendalam.
Rasa dukacita atas tewasnya Noboru Kasai Ketua
Perguruan Emerarudo membuat puncak bukit itu tenggelam
dalam kesedihan. Gadis pemetik shamisen tak
sanggup menahan kesedihannya akhirnya berhenti
memetik bebunyian itu lalu bersujud dan menangis
tersedu-sedu. Perempuan peniup seruling ikut tergugah
dan tiupan sakuhachinya jadi tersendat-sendat.
Menjelang malam memasuki pagi, selagi udara
terang-terang tanah tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
mendatangi. Tak lama kemudian seorang lelaki separuh
baya berwajah gagah muncul menunggang kuda putih.
Di atas punggung kuda dia memandang seperti tidak
percaya pada keadaan yang dilihatnya. Matanya menyipit
ketika dia berpaling ke serambi dan melihat gadis
pemetik shamisen jatuhkan diri lalu menangis keras.
Orang ini melompat dari kudanya.
“Apa yang terjadi …. ?I” Dia bertanya sambil melangkah
cepat melewati berisan para murid Perguruan.
Dadanya mendadak bergejolak, tapi sikap dan suaranya
kelihatan lembut.
Seorang murid kepala mendatangi dan berkata.
“Wakil Ketua Hisao Matsunaga syukur kau cepat
18
kembali. Wakil Ketua Shigero Momochi ada di dalam bangunan
utama. Sudah lama menunggu ….”
“Tiupan shakuhachi dan petikan shamisen tadi. ..
membawakan lagu pengantar jenazah. Katakan apa
yang terjadi?!” tanya orang yang barusan turun dari
kuda. Ternyata dia adalah salah seorang dari Wakil
Ketua Perguruan.
“Saya tidak berani menerangkan. Lebih baik Wakil
Ketua menemui Wakil Ketua Shigero Momochi saja ….”
Mendengar jawab murid kepala itu, seperti
terbang Hisao Matsunaga melompat dan masuk ke
dalam rumah besar. Di dalam ruangan dimana jenazah
Noboru Kasai dibaringkan di atas selembar kasur tipis
yang diberi alas kain wool tebal, Hisao Matsunaga
jatuhkan diri berlutut. Sesaat dia menatap wajah Ketua
Perguruan yang sudah jadi mayat itu. Kain putih yang
menutupi tubuh jenazah tampak basah oleh darah di
beberapa bagian. Lalu ke dua matanya dipejamkan.
Ketika mata itu dibuka kembali pandangan Hisao
Matsunaga tertuju pada Shigero Momochi. Baru disadari
nya kalau saat itu di ruangan itu terdapat juga beberapa
orang pengurus dan tua-tua perguruan. Lalu seorang
anak lelaki berusia empat belas tahun yang duduk
dengan kepala tertunduk dekat kepala jenazah.
Wajah Hisao Matsunaga jelas menunjukkan keperihan
ketika dia memperhatikan anak ini. Karena si
anak adalah Akira Kasai, putera dan anak tunggal
mendiang Ketua Noboru Kasai. Ibu Akira meninggal
dunia pada saat anak ini dilahirkan. Sejak itu Noboru
19
Kasai tak mengambil perempuan lain pengganti istrinya
ataupun memelihara gundik. Agaknya Ketua Perguruan
Emerarudo ini sengaja menjauhi kehidupan duniawi
sampai akhirnya kematian datang menjemput.
Hisao Matsunaga berpaling kembali pada Shigero
Momochi lalu berkata dengan suara perlahan.
“Shigero, ceritakan padaku bagaimana semua ini
terjadi!”
“Kita bicara di kamar sebelah saja..” bisik Shigero.
Waktu bicara Hisao Matsunaga dapat mencium nafas
Shigero yang berbau minuman keras. Perlahan-lahan
dia bangkit mengikuti Shigero menuju sebuah ruangan
yang terletak bersebelahan dengan ruangan dimana
jenazah Ketua Perguruan disemayamkan.
“Aku tidak melihat sendiri bagaimana kejadiannya.
Ketika aku masuk ke kamar Ketua, beliau sudah
menggeletak di atas tatami dalam keadaan berlumuran
darah. Sudah tidak bernafas lagi …..” Lalu Shigero
Momochi menuturkan apa yang diketahuinya.
“Sebelum peristiwa itu terjadi, kau berada di mana
Shigero? Selama ini jangankan manusia, lalat seekorpun
jika menyusup ke tempat ini pasti kau ketahui …”
“Kau betul Hisao …” jawab Shigero Momochi
dengan wajah merah.
“Malam tadi entah mengapa nyenyak sekali tidurku.
Sampai tidak mendengar suam apa-apa. Bahkan
para muridpun tidak sempat mengetahui …. !”
“Aku yakin kau pasti minum banyak lagi malam
tadi. Kalau tidak, mungkin peristiwa ini bisa dihindari….
20
Harap maafkan aku Shigero. Bukan maksudku menyalahkanmu.
Kalau Dewa sudah menakdirkan hal ini
akan terjadi, pasti terjadi tanpa bisa dihalangi. Aku
sendiri merasa menyesal pergi ke Kioto walau aku
kesana ditugaskan secara pribadi oleh Ketua untuk
menemui seorang Shogun ….”
“Sampai saat ini aku memang belum bisa menghilangkan
kebiasaan minum sake keras itu .. .”
“Kudengar kini malah kau mencampurnya dengan
wiski yang dibawa pelaut-pelaut kulit putih …” memotong
Hisao Matsunaga tetap dengan suara lembut.
“Kuharap saja kau bisa mawas diri dan menghenti
kan kebiasaan minum.”
Tampang Shigero Momochi tampak jadi beringas.
Dia hendak menyemprotkan ucapan. Tapi dengan
lembut Hisao Matsunaga berkata.
“Siapa diantara kita yang tidak suka meneguk
sake. Tapi minum secara berlebihan bisa membawa halhal
tak diingin bagi seseorang. Musibah ini kiranya bisa
dijadikan hikmah …..”
Wajah Shigero Momochi nampak menjadi merah.
Sambil berdiri dia berkata. “Kalau Perguruan menganggap
hal ini terjadi karena kesalahanku, aku bersedia
menerima hukuman dan melakukan seppuku!”
Shigero Momochi segera hendak mencabut
pedangnya.
Hisao Matsunaga cepat memegang bahu Shigero
dan berkata. “Bagi kita orang-orang Jepang melakukan
seppuku atau harakiri adalah kematian paling terhormat.
21
Tapi tidak jika kita sebenarnya bisa melakukan sesuatu
yang jauh lebih terhormat .. .”
“Katakan apa yang harus aku lakukan!” kata
Shigero beringas.
“Bukan kau, saja Shigero. Tapi kita. Semua yang
ada di Perguruan ini …”
“Ya.. ya, katakan saja apa yang harus kita
lakukan?”
“Pertama, kita harus mengurus jenazah Ketua ….”
“ltu memang menjadi kewajiban kita para
pengurus dan murid Perguruanl Lalu ….?”
“Selanjutnya .kita harus menyelidik siapa pelaku
pembunuhan ini….”
“Dan pelaku pencurianl” sambung Shigero
Momochi.
Hisao Matsunaga tampak terkejut. “Pencurian?
Apa maksudmu?’
“Ada sebuah amplop rahasia berisi surat-surat
penting lenyap dari laci di ruang rahasia ….”
Paras Hisao Matsunaga jadi berubah.
“Berarti ini bukan pembunuhan biasa. Pasti banyak
kaitannya pada hal-hal lain yang tidak terduga …..”
“Aku sudah meminta beberapa orang untuk
menghubungi para Ketua Ninja guna ikut menyelidik.
Aku juga telah bersumpah jika mereka tidak bisa
memberikan jawaban atau tidak dapat membuktikan
bahwa kelompok masing-masing tidak terlibat, maka aku
akan menumpas semua Ninja di negeri ini sampai
habis!”
22
“Kesetiaanmu untuk membela kematian Ketua
sangat aku hargakan Shigero. Tapi kita harus hati-hati
menghadapi para ninja. Jika mereka bergabung
kekuatan mereka jauh lebih besar dari kita …”
“Kita bisa memakai tangan kelompok Oda
Nobunaga untuk membasmi mereka …”
“Betul, tapi ingat … Perguruan punya ketentuan
untuk tidak terlibat dan melibatkan diri dengan orangorang
Pemerintahan …”
“Lalu mengapa kau sendiri pergi menemui
Shogun, walau katamu itu atas perintah Ketua …..”
Hisao Matsunaga mengangguk pendek. “Justru
hal itu diperintahkannya agar aku memberi tahu bahwa
Perguruan kita menghormati pihak angkatan perang,
para Jenderal, tapi tidak mau melibatkan diri dalam
urusan pemerintahan …”
“Kalau begitu kita harus punya cara sendiri untuk
menghajar para ninja itu …”
“Jika benar mereka yang membunuh Ketua..:”
Shigero Momochi menatap tajam dengan matanya
yang merah pada Hisao Matsunaga.
“Apa maksudmu dengan ucapan itu Hisao? Jelas
mereka muncul di sini mengenakan seragam ninja.
Membawa senjata ninja. Bahkan ada dua ninja yang
sudah lumat di luar sana bisa kau lihat sendiri keadaan
mereka. Dan tampaknya kau hendak meragukan bahwa
kematian guru bukan disebabkan oleh para ninja keparat
itul”
23
“Tenang Saudaraku …” kata Hisao Matsunaga
dengan suara lembut.
“Sebagai perguruan besar, tidak semua orang di
luar sana suka terhadap kita. Mungkin saja memang ada
yang memakai tangan ninja untuk menghancurkan kita.
Mungkin juga ada para tokoh silat kaki tangan
pemerintah yang melakukannya karena tidak ingin
melihat kita sebagai satu kekuatan yang membahayakan
mereka …”
“Ah, aku orang bodoh yang tidak bisa mencerna
dan berpikir sepintarmu ….”
“Kau orang pandai. Otakmu cerdik. Aku tahu hal
itu. Jangan terlalu merendah Shigero. Sekarang mari
temani aku untuk memeriksa ruangan rahasia. Surat
penting apa yang telah dicuri ninja ….”
Memeriksa 200 laci di ruangan rahasia Perguruan
Emerarudo bukan pekerjaan mudah dan memakan
waktu lama. Mereka memang menemui sebuah laci
dalam keadaan kosong yaitu laci nomor 166. Tapi baik
Hisao maupun Shigero tidak dapat memastikan surat
atau benda apa yang telah lenyap dicuri dari laci
tersebut.
Menjelang pagi ke dua pucuk pimpinan Perguruan
tersebut keluar dari ruangan rahasia, bergabung dengan
pengurus Perguruan lainnya untuk mengatur persiapan
upacara perabuah jenarah Noboru Kasai.
Sementara itu beberapa tamu yang sudah diberi
tahu atas musibah yang menimpa Perguruan telah mulai
kelihatan berdatangan.
24
Kita kembali dulu pada kejadian beberapa waktu
sebelumnya setelah ninja memasuki ruangan rahasia
Perguruan Emerarudo, mencuri sebuah amplop kuning
lalu melarikan diri setelah lebih dulu mementahkan
pengejaran yang dilakukan Shigero Momochi.
Kelihatan seorang ninja melarikan diri dan menghilang
bersama kepekatan malam boleh dikatakan tak
dapat ditandingi oleh siapapun. Di lereng bukit sebelah
Selatan ninja yang telah membunuh Ketua Perguruan
Emerarudo itu menyelinap ke balik sebatang pohon besar.
dia tegak bersandar ke batang pohon. Tangan kanannya
mendekap dada kirinya yang terasa mendenyut
saki. Dada itulah yang sebelumnya mendapat serangan
“Lima Jari Dewa” yang sempat dilakukan oleh Noboru
Kasai. Dalam gelap ninja membuka pakaian hitamnya.
Jantungnya berdenyut keras ketika dilihatnya ada lima
bintik hitam membekas di dada kirinya.
“Celaka ….. ! Tanda ini tidak bisa hilang sekalipun
kulitku dikelupasl” Sesaat sang ninja nampak masgul.
Namun bila dia ingat pada amplop kuning itu, rasa
kawatirnya segera lenyap. Dengan cepat amplop kuning
dikeluarkannya dari balik pakaiannya. Bagian depan
amplop ada tulisan dalam huruf kanji berbunyi :
“Sangat Rahasia. Risalah Pewarisan Pimpinan
Perguruan.” Amplop dibalikkan. Bagian penutup amplop
di sebelah belakang selain diikat dengan benang juga
disegel dengan lak tebal berwarna merah.
25
Dengan tangan agak gemetar ninja merobek
penutup amplop. Dari dalam amplop dikeluarkannya
lembaran tebal kertas berwarna merah.
“Hah?!”
Sang ninja berseru kaget. Sepuluh lembar kertas
merah yang barusan dikeluarkannya dari dalam ampop
dibolak-baliknya.
“Aneh! Mengapa semua kertas ini kosong? Tak
ada tulisan, tak ada apa-apanya! Jangan-jangan aku
tertipu! Siapa yang menipu? Sang Ketua ….?” Tak
mungkin …. !” Seolah-olah tak percaya ninja memeriksa
kembali kertas-kertas merah itu, melihat ke dalam
amplop kalau-kalau ada kertas lain yang tertinggal.
Kemudian dengan kesal amplop dan kertas
merah itu diremasnya sampai lumat. Setelah itu sambil
memaki panjang pendek amplop dan kertas merah itu
dibantingkannya ke tanah!
“Kurang ajar Benar-benar sialan!”
* * *
26
TIGA
PENDEKAR 212 Wiro Sableng tarik kerah baju
tebal-nya tinggi- tinggi. Sesaat dipandanginya air sungai
kecil di hadapannya yang dalam kegelapan malam
seolah-olah diam tidak mengalir. Barusan dengan susah
payah dia mengumpulkan beberapa potong kayu. Dalam
udara lembab dan dingin begitu rupa hampir tak mungkin
mendapatkan kayu kering. Dia telah menghabiskan
sekotak geretan untuk membakar kayu menyalakan api.
Namun sia-sia saja. Sesekali matanya melirik ke arah
sebuah batu di atas mana terbaring seekor kelinci dalam
keadaan terikat keempat kakinya..
Dari saku baju tebalnya Wiro keluarkan botol
kaleng berisi sake. Setelah meneguk minuman keras ini
dua kali dia merasa tubuhnya menjadi hangat.
“Badanku hangat tapi perutku tetap saja
keroncongan.” Dia memandang lagi pada kelinci di atas
batu.
“lngin sekali aku cepat-cepat merasakan bagaimana
lezatnya daging kelinci Jepang. Tapi api sialan tak
mau hidup …” Apa aku harus mempergunakan senjata
27
mustika itu hanya untuk menyalakan api?” Wiro garukgaruk
kepala.
“Kelihatannya memang tak ada jalan lain ….”
Murid Sinto gendeng akhirnya keluarkan Kapak Maut
Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Dia juga mengeluarkan
batu hitam pasangan senjata sakti itu.
Ketika cahaya yang memancar,dari dua mata
kapak menerangi tempat itu, sepasang mata yang sejak
tadi mengintip dibalik kerapatan serumpunan batangbatang
bambu membesar karena terkejut dan juga
kagum. Dalam hati orang yang bersembunyi itu berkata.
“Belum pernah aku melihat senjata seperti itu.
Dari sinarnya saja jelas senjata itu memiliki hawa sakti
luar biasa. Pasti inilah senjata yang dipakainya untuk
membunuh Arashi si Nenek Badai. Pemuda dari negeri
ribuan pulau itu … Aku harus merampas senjata itu. Batu
hitamnya sekalian … !”
Di depan tumpukan kayu yang disilang-silang di
tanah Wiro gosokkan keras-keras salah satu mata kapak
dengan batu hitam di tangan kanannya. Bersamaan
dengan itu dia kerahkan tenaga dalamnya.
Wussssl
Lidah api menyambar ke arah tumpukan kayu.
Krekkkk … Terdengar suara berkeretakan. Kayu-kayu
lembab itu berubah menjadi merah. Sesaat kemudian
apipun berkobar. Ketika api padam, kayu-kayu yang
tadinya basah telah berubah menjadi arang merah.
Di balik batang-batang bambu, orang yang sejak
tadi mengintip berdecak dalam hati.
28
“Benar-benar luar biasa. Bagaimanapun aku
harus dapatkan senjata itu. Batu hitamnya juga…..” Lalu
tanpa suara dia bergeser dari balik batang-batang
bambu itu.
Wiro simpan kembali kapak sakti dan batu hitam.
Lalu dia melangkah ke arah kelinci. Binatang ini mencicit
keras seolah tahu kalau dirinya sebentar lagi akan dipesiangi.
“Ya … ya sekarang kau boleh mencicit, berteriak
sesukamu. Asal saja jangan sudah masuk ke perutku
kau nanti masih mencicitl”
Wiro mulai membuka ikatan pada keempat kaki
binatang itu. Kalau tadi kelinci ini mencicit keras terus
menerus, kini tiba-tiba diam.
“Eh, kenapa diam … ? ujar Wiro. Dilihatnya
sepasang mata kelinci itu memandang sayu dan sesekali
berkedip-kedip. Telinganya bergerak-gerak, begitu juga
cuping hidungnya. Dari mulutnya yang bergigi-gigi putih
kecil terdengar suara desah halus.
Tiba-tiba saja ada perasaan tidak enak dalam diri
Pendekar 212. “Aneh, mengapa mendadak aku jadi tidak
tega membunuh binatang ini ….” Wiro perhatikan lagi
kelinci itu. Masih memandang padanya dengan mata
sayu dan berkedip.
“Semakin kupandang semakin kasihan aku jadinya
… Ah sudahlah. Biar kulepas saja …” Wiro
membungkuk, letakkan kelinci itu di tanah lalu berkata.
“Kelinci, kau tentu punya emak, punya bapak.
Punya saudara punya teman dan hutan belantara. Kau
29
boleh pergi. Aku tak jadi menyantanmu. Walau perutku
keroncongan kurasa aku masih bisa menahan lapar..Kau
bebas. Pergilah ….”
Setelah dilepas, kelinci itu tidak segera lari.
Seolah-olah berterima kasih dia berpaling ke arah Wiro,
mencicit beberapa kali sambil mengedipkan kedua
matanya.
“Ya … ya.. . Pergi sana. ..” kata Wiro pula.
Binatang itu mencicit lagi dan mengedip dua kali
lalu membuat lompatan tinggi. Namun dia tak pernah
masuk lagi ke dalam hutan, bahkan setelah melompat
tak sempat lagi menginjakkan kaki-kakinya di tanah.
Sebuah benda melesat dari kegelapan, menyambar ke
kepala kelinci itu. Binatang ini mencicit keras lalu jatuh
terhempas ke tanah.
“Astaga!” Wiro berseru dan cepat melompat.
Kelinci diambilnya dari tanah. Sepasang mata Pendekar
212 melotot besar. Sebuah besi lancip lebih besar dari
lidi . menancap tepat di kening kelinci. Pada besi ini
menempel sebuah bendera berbentuk segi tiga
berwarna merah. Di bagian tengah bendera, ada tulisan
Kanji warna hitam berbunyi “Bendera Darah.”
“Binatang malang ….” desis Wiro. “Aku segaja
melepaskanmu. Sekarang ternyata ada orang jahat
membunuhmu. Kalau memang nasibmu seperti ini kan
lebih baik kau kupanggang dan kusantap saja tadi …”
Wiro garuk-garuk kepalanya dengan tangan kiri. Lalu
diusapnya kepala kelinci itu beberapa kali. Darah yang
mengucur dari kepala kelinci mengotori jari-jari
30
tangannya. Perlahan-lahan Wiro letakkan binatang itu di
tanah lalu dia tegak kembali, memandang berkeliling.
“Orang jahat! Siapa kau yang tega-teganya
membunuh kelinciku?!” Aku tahu kau masih berada di
sekitar sini! Perlihatkan dirimul”
Dalam keheningan dan dinginnya udara malam
tiba-tiba terdengar suara tertawa. Suara tawa ini melengking
keras tapi pendek.
“Kurang ajar …” kertak Pendekar 212. Dia jelas
mendegar suara tertawa itu. Keras dan dekat tapi anehnya
dia tidak bisa mengetahui dari arah mana datangnya.
“Orang itu sepertinya memiliki ilmu memindahkan
suaral” pikir Wiro.
“Hemmm …. Kau tidak berani unjukkan diri ya?!
Apa kau seorang pengecut atau mungkin tampangmu
jelek seperti donburi basi?!”
Tetap hening. Kali ini sepertinya juga tak ada
suara jawaban. Tapi tidak. Karena tiba-tiba jawaban
yang diterima Wiro adalah melesatnya sebuah benda
merah ke arah kaki kirinya. Sang pendekar cepat
melompat.
Seeettttl Cleeeppp!
Breettt!
Sebuah bendera merah menancap di tanah, tepat
di atas mana tadi kaki Wiro meminjak. Gerakan Wiro
mengelak tadi cepat sekali. Namun sebelum menancap
di tanah besi bendera masih sempat merobek ujung kaki
celana putihnya!
31
“Bendera aneh itu lagi!” desis Wiro dengan mata
mendelik.
“Si pelempar jelas sengaja mencari tantaran.
Bukan cuma mau membunuh kelinci tapi juga mau
membunuh diriku!”
Sambil mundur mendekati sebuah pohon besar
Wiro memandang berkeliling. Dia sengaja berdiri di
depan pohon untuk mempersempit ruang serang musuh
yang tersembunyi.
“Pembokong gelap! Apa kau masih tidak mau
memperlihatkan diri?!” teriak Wiro.
Baru saja dia berteriak begitu tiba-tiba setttt….
setttt Dua buah Bendera Darah melesat dalam gelapnya
malam den menancap di batang pohon, hanya seujung
kuku jari dari telinga kiri kanan sang pendekar! Walau
udara dingin tapi murid Sinto Gendeng sempat keluarkan
keringat dan tengkuknya jadi merinding.
Dia sadar kalau pun dia masih berdiri di sekitar
situ, cepat atau lambat dirinya bakal jadi tancapan
bendera aneh itu. Walau besi bendera tidak mengandung
racun tapi daya bunuhnya tidak bisa dibuat main.
Memikir sampai di situ Wiro keluarkan seruan keras.
Kedua kakinya menjejak tanah sambil kerahkan ilmu
meringankan tubuhnya. Tubuhnya melesat ke atas.
Settttt …. setttt …. setttt …. sefflt!
Empat Bendera Darah dengan sebat mengikuti
gerakan Wiro. Satu mengarah perut, satu mencari
sasaran di basian dada dan dua menyambar ke arah
kepala.
32
“Kurang ajar!” rutuk Pendekar 212.
“Si pembokong benar-benar inginkan nyawaku!
Siapa dia … Kaki tangan orang-orang lembah Hozu?’
(Mengenai silang sengketa Pendekar 212 dengan orangorang
Lembah Hozu, ikuti serial Wiro Sableng berjudul
“Pendekar Gunung Fuji”Smilie: ;)
Masih melayang di udara Wiro membuat gerakan
jungkir balik. Ke dua tangannya serentak lepaskan
pukulan tangan kosong yang menghamburkan angin
deras.
Empat Beqaera Darah bukan saja berhasil dihindar tap!
malah dibuat mental. Tetapi murid Sinto Gendeng jadi
tersentak kaget ketika melihat apa yang terjadi. Empat
buah Bendera Darah yang kena hantaman pukulan
tangan kosongnya tadi tiba-tiba berbalik. Dua
diantaranya kelihatan robek. Empat bendera merah
Empat bendera merah ini berkibar aneh. Lalu seperti
didorong oleh kekuatan hebat, empat bendera itu
melesat berpencaran dan kembali menyerang Wiro di
empat sasaran!.
“Kurang ajar! ini bukan main-main!” Wiro Cepat
melompat kebalik serumpun semak belukar. Sambil
melomat dia lepaskan pukulan ”Tameng Sakti Menerpa
Hujan”.
Dua buah Bendera Darah robek dan menancap
pada rerumpunan semak belukar. Satu diantaranya
malah tepat di depan hidung Pendekar 212 hingga
kembali murid Sinto Gendeng keluarkan keringat dingin.
Yang dua lagi berhsrsil dihantam luruh ke tanah.
33
Hebatnya meski jatuh namun dua bendera ini
tidak tergeletak begitu saja melainkan jatuh dengan tetap
menancap di tanah!.
Di balik kerapatan batang-batang bambu di tepi
sungai terdengar suara orang berdesah. Sepasang
telinga Wiro menangkap suara desah itu. Tanpa Pikir
panjang dia segera menghantam ke arah Pohon bambu.
Pukulan yang dilepaskannya kali ini adalah dalam jurus
“segulung ombak menerpa karang.” Terdengar suara
seperti ombak besar bergulung di Pantai. Lalu wusss….
braaakkkk ….. l Rumpunan batang bambu di depan sana
laksana dihantam topan, hancur rambas berantakan.
“Kosong! Tak ada siapa-siapa di tempat itu!” seru
Wiro dengan pandangan kaget.
Baru saja dia berseru demikian dan belum habis
rasa kagetnya tiba-tiba dari atas terdengar Suara seekor
berkesiuran.
“Bendera keparat!” teriak Wiro.
Tiga buah Bendera Darah melesat dengan
kecepatan setan dari atas pohon besar. Membuat dia .
lagi-lagi dipaksa jungkir balik selamatkan diri.
Cleeppp!
Bendera Darah pertama menancap amblas ke
dalam tanah.
Kraakkkk!
Bendera Darah ke dua menghantam batu kali dan
menancap di batu itu!.
34
“Gila! Kalau benar benda itu bisa menancap di
batu, kekuatannya benar-benar luar biasa! Batok kepala
pasti tembus!”
Namun Wiro tidak sempat berpikir panjang. Dia merasa
lututnya goyah ketika menyadari Bendera Darah ketiga
menyusup di bahunya, merobek baju tebalnya lalu ada
rasa sakit dikulit bahu sebelah kiri. Pertanda ada daging
bahunya yang kena ditembus besi bendera.
Rasa sakit mula-mula tidak terasa karena saking
cepatnya gerakan besi itu menembus. Wiro ulurkan
tangan kanannya ke bahu kiri dan cabut bendera yang
menancap di bahunya itu sementara baju tebalnya
kelihatan merah oleh darah yang keluar dari luka.
Sambil menggenggam bendera merah yang dicabutnya
dari bahu kiri Wiro mendongak ke atas. Dalam
kegelapan samar-samar dilihatnya satu sosok aneh
tegak di cabang terendah.
“Mahluk apa di atas pohon pikir Wiro.
“Sosoknya seperti manusia…. tapi tak jelas kepala tak
kelihatan mukanya ….”
“Setan alas di atas pohon! Apa kau tak berani
turun ke tanah?l”
Sosok di atas pohon keluarkan tawa melengking keras
tapi pendek. Tubuhnya kemudian tampak melesat ke
atas lalu berputar jungkir balik. Di lain kejap dia
melompat ke bawah, menukik laksana seekor alap-alap
menyambar mangsanya.
“Makan benderamu sendiril” bentak Wiro.
35
Tangan kanannya yang memegang bendera merah
melempar ke atas. Bendera Darah menderu ke arah
Ubun-ubun kepala sosok yang saat itu melayang sebat
ke bawah.
“Huhl”
Orang yang melayang turun keluarkan suara terkejut
ketika melihat bendera miliknya sendiri kini
dilempar orang ke arah batok kepalanya. Dalam kejutnya
dia bertindak tenang sekali. Sambil miringkan tubuh ke
kiri dia malah sengaja menyambut Serangan bendera
dengan dada kirinya. Cleppp! Bendera itu menyusup dan
lenyap di tubuhnya seolah seekor burung yang melesat
masuk ke sarangnya!
Rasa heran Pendekar 212 berubah jadi terkejut
besar ketika sesaat kemudian dia melihat sosok Yang
tegak di hadapannyal
“Gila! Seumur hidup baru sekali ini aku melihat
mahluk macam beginil”
* * *
36
EMPAT
Di hadapan Wiro saat itu tegak sesosok tubuh
yang mulai dari kaki sampai ke kepala tertutup oleh
puluhan, mungkin ratusan bendera-bendera kecil berwarna
merah. Dari wajahnya hanya sepasang matanya
saja yang kelihatan. Memandang tajam tak berkesip
pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Aneh, mahluk ini terbungkus bendem kaki tangan,
badan sampai kepala. Apakah dia tidak
mengenakan pakaian? Tak bisa kuterka apa dia lelaki
atau perempuan ….”
Diam-diam Wiro mencium seperti ada bau harum
muncul di tempat itu bersamaan dengan kemunculan
mahluk aneh ini.
Untuk sesaat lamanya dua orang itu hanya berdiri
. tegak saling pandang tanpa bicara.
“Hemmm …” Murid Sinto Gendeng akhirnya bergumam.
“Rupanya aku berhadapan dengan hantu penjual
bendera!”
Diejek seperti itu sepasang mata orang yang
bekujur tubuh dan mukanya tertutup bendera-bendera
37
merah kelihatan membesar. Walau jelas marah namun
dia tetap diam, tak membuat gerakan apa-apa.
“Tukang bendera! Kau membunuh kelinci itu, Kau
juga menyerang dengan maksud membunuh. Padahal
antara kita tidak ada silang sengketa. Bertemu pun baru
kali ini! Bahkan tampangmu yang tersembunyi dibalik
kain-kain popok merah itu tak pernah kulihat!”
Dari tenggorokan orang dl hadapan Wiro terdengar
suara menggeru. Lalu dia membentak.
“Orang asing! Lagakmu sombong! Penghinaanmu
keliwatan. Kau boleh menghina diriku! Tapi menghina
bendera-benderaku sebagai kain popok tak dapat
kuterima! Penghinaan atas Bendera Darah berarti mati!”
Wiro segara saja maklum kalau mahluk yang ada
dihadapannya itu tidak bicara dengan suara aslinya tapi
mempergunakan suara perut. Dia lantas ingat Akiko
Bessho, murid mendiang Hiroto Yamazaki dari Gunung
Fuji yang juga ahli mempergunakan ilmu suara dari
perut. Wiro sendiri sempat belajar cara bicara dengan
perut itu dari Akiko walaupun belum tuntas. Maka diapun
rubah suaranya. kerahkan tenaga dalam ke perut dan
bicara menirukan suara seperti kambing.
“Oh, jadi yang kukira kain popok itu adalah
Bendera Darah! Pantas ganas amat!” Mahluk yang
terbungkus bendera jadi marah dan juga kaget. Marah
karena lagi-lagi Wiro menghina Bendera Darahnya.
Terkejut karena tidak menyangka pemuda asing itu juga
mampu menggunakan suara perut malah meniru suara
kambing!
38
“Dengar …. Sebelum kubunuh katakan dulu dari
mana kau belajar bicara dengan suara perut itu?!”
“Eh, perlu apa kau bertanya? Aku mau belajar
dari hantu atau jin atau dari siapa saia apa urusanmu?!”
“Hemmm begitu …… Berarti kau mempercepat
saat kematianmul” Mahluk bendera gerakkan kedua
tangannya.
“Tunggu dulu!” seru Pendekar 212.
“Katakan mengapa kau ingin membunuhkul”
“Sekedar untuk menebus nyawa Nenek Arashi
yang kau bunuh beberapa waktu lalu …” Wiro terkejut.
”Apa hubunganmu dengan nenek jahat itu?l”
tanya Wiro.
“Kau bisa tanyakan sendiri padanya nanti di
akhirat ltupun kalau kau bisa ketemu dia…!” Orang itu
menjawab lalu tertawa keras.
Dua tangannya bergerak. Terdengar suara settt….
settt…. Empat kali berturut-turut. Wiro hampir tak melihat
kapan orang itu mencabut bendera-bendera kecil di
tubuhnya tahu-tahu empat Bendera Darah melesat ke
arahnya!
Murid Eyang Sinto Gendeng berseru keras. Tubuhnya
berkelebat lenyap. Bersamaan dengan itu dia
menghantam ke depan dengan tangan kiri. Lepaskan
pukulan “kunyuk melempar buah.” Dua buah Bendera
Darah mental dan robek lalu menancap di tanah. Dua
lainnya terus meluncur mengejar ke arah mana perginya
sasaran.
39
Wiro kertakkan gerahamnya ketika melihat dua
Bendera Darah secara luar biasa mampu mengejar dan
menyambar ke arah perut dan dadanya.
Trang …. bang …. !
Terdengar dua kali suara berdentrangan. Dua kali
berturut-turut bunga api memancar terang dalam
kegelapan malam.
Lalu wusss …. wusssl
Dua Bendera Darah terbakar di udara. Begitu
punah dua batang besi kecil yang jadi tiang bendera
luruh ke tanah. Sekali ini tak mampu menancap seperti
sebelumnya!
Mahluk kendera terkesiap kaget. Dua matanya
memandang tak berkesip ke arah tangan kanan Wiro
dimana tergenggam batu hitam empat persegi panjang
pasangan Kagsak Maut Naga Geni 212. Dengan benda
inilah rupanya tadi Wiro menangkis serangan dua dari
empat Bendera Darah. Wiro sendiri tidak menyangka
kalau batu api itu bukan saja sanggup menangkis
serangan Bendera Darah tapi waktu bentrokan tadi
sekaligus membakar kain bendera!
”Batu itu. .. ” Manusia bendera membatin.
“Lalu kapaknya tadi … Aku harus mendapatkan
nya! Musti!”
“Gaijn….Aku mungkin bisa melupakan pembunuhan
atas diri Nenek Arashi yang kau lakukan lalu membebaskanmu
dari kematian. Asal kau menerima syarat
yang bakal aku katakan …” Wiro menyeringai.
40
“Setan alas ini rupanya punya rencana tersembunyi
…” katanya dalam hati. Lalu,
“Tadinya aku memang sudah siap-siap menghadapi
kematian. Sekarang kau bilang mau membebaskan
diriku. Coba katakan apa syaratmu itu …”
“Serahkan batu hitam itu. Juga senjata berbentuk
kapak yang kau simpan di balik pakaian…”
Wiro sesaat jadi melongo. Lalu dia tertawa gelakgelak.
“Aku merasa tidak ada yang lucu. Mengapa harus
tertawa segala? Kau harus bersyukur tak jadi kubunuh!”
Wiro tersenyum lalu berkata.
“Memang tidak ada yang lucu. Tadinya kau kukira
seorang penjua! bendera. Ternyata kau adalah seorang
perampok tengik yang ingin barang orang lainl”
“Kau memutuskan untuk tidak mau menyerahkan
dua barang yang kuminta itu?” nada suara manusia
bendera mengandung ancaman.
“Kira-kira begitu …” jawab Wiro seenaknya.
“Berarti kematian sudah diambang pintu. Kasihan,
datang dari jauh hanya untuk mengantar nyarwa.
Mayatmu pun tak akan ada yang mengurus!”
“Kalau kau kira aku memang akan mati ditanganmu,
apakah kau hendak titip salam buat Nenek Arashi di
akhirat?!” ejek Wiro pula.
Manusia bendera berteriak marah. Tubuhnya berkelebat.
Tangannya kiri kanan beqerak. Sepuluh bendera
yang menempel di tubuhnya berkelebat. Wiro tak
41
tinggal diam. Batu hlam dibabatkan ke depan sedang
tangan kiri lepaskan dua pukulan sakit berturut-turut.
Bummmm!
Bummmm!
Manusia bendera tampak terhuyung-huyung tapi
hanya sebentar. Belasan bendera yang menempel
menutupi badannya tersibak akibat pukulan Wiro tadi
cepat-cepat dirapikannya. Memandang ke depan empat
buah Bendera Darah dilihatnya musnah terbabakar. Dua
menancap di pohon, dua lenyap dalam kegelapan
malam tapi dua buah lagi walau tidak tepat berhasil
menancap di tubuh lawannya!
Wiro menyeringai kesakitan. Sebuah Bendera
Darah menancap menyisi pinggiran paha kirinya. Darah
mengucur membasahi kaki celana putih yang dikenakannya.
Bendera Darah ke dua menyambar rusuk kanan,
menyusup dekat tulang iga sebelah luar!.
“Aku masih mau memberi kesempatan agar kau
berubah pikiranl Bagaimana?l” Mahluk bendera berkata.
“Mahluk edan! Biar aku kembalikan dulu dua
benderamu ini!” jawab Wiro. Dengan cepat dia cabut dua
bendera yang menancap di tubuhnya. Namun sebelum
dia sempat melemparkan senjata itu ke arah pemiliknya
tiba-tiba manusia bendera gerakkan badannya.
Terjadilah hal yang luar biasa. Tiga puluh
Bendera Darah yang menempel di badannya melesat.
Dengan mengeluarkan suara menderu laksana topan
menggidikkan bendera-bendera itu menyambar ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng.
42
“Celaka! Aku tak punya kesempatan mengelak
atau menangkisl” Wiro terpaksa Iepaskan dua bendera
yang dipegangnya lalu pergunakan batu api untuk
menangkis sebisanya. Gerakannya untuk mencabut
Kapak Maut Naga Geni 212 tidak dapat tidak tetap akan
kedahuluan oleh serangan tiga puluh Bendera Darah
yang menyerbu laksana topan itu!
“Ah, aku benar-benar mati di tangannya!” kata Wiro.
Dia masih berusaha jatuhkan diri walau sadar hal
ini adalah sia-sia saja sementara puluhan Bendera
Darah menderu ganas.
Tiba-tiba satu teriakan keras menggema dari arah
sungai kecil.
“Yori! Jangan bunuh dia!” Mahluk bendera tersentak
kaget.
Saal itu di pertengahan sungai kelihatan seorang
gadis berkimono biru berdiri di atas sebuah perahu kecil
yang meluncur dengan cepat. Sebelum ujung perahu
menyentuh pinggiran sungai gadis ini sudah melesat
sambil cabut sebilah katana dan siap menyerbu kirimkan
tangkisan untuk membendung serangan puluhan
Bendera Darah walau dia maklum bahwa tidak seluruhnya
bendera-bendera maut itu bisa diruntuhkannya.
Paling tidak sebagian besar masih akan menancap di
tubuh Wiro.
“Ah dia …l” kata mahluk bendera dalam hati.
Kedua matanya bersinar seperti mau marah. Namun
tiba-tiba saja dia menyentakkan kepala dan
43
melambaikan kedua tangannya ke belakang seraya
berseru. “Bendera kembali!”
Terjadilah hal yang luar biasa. Puluhan Bendera
Darah yang menyerbu ke arah Wiro tiba-tiba tegak dan
berkibar. Lalu secara aneh bendera-bendera ini ber
putar. Seolah-olah ditarik oleh kekuatan besi berani yang
hebat, semua bendera melesat berbalik dan menyusup
di antara puluhan bendera yang menempel di tubuh
manusia bendera.
Gadis yang melompat dari atas perahu menginjakkan
ke dua kakinya di tanah. Di saat yang sama
manusia bendera membungkuk dalam-dalam sampai
tiga kali lalu putar tubuhnya.
“Yori! Tunggu!” seru si gadis berkimono biru
sambil berusaha mengejar.
Tapi si manusia bendera itu sudah lenyap di telan
kegelapan malam.
Wiro menarik nafas lega dan berpaling ke kiri.
“Sahabatku nona Akiko Bessho. Syukur kau
datang … !”
“Kau tak apa-apa?” tanya gadis kimono biru
sambil matanya meneliti sekujur tubuh Pendekar 212.
“Ah, kau terluka di tiga tempat. Bahu, paha, dan
rusuk ….” Besi bendera itu tidak beracun. Tapi lukamu
cepat harus dirawat. Lewat dari tiga hari luka itu akan
membusuk …”
“Dan aku bisa mati …?”
44
Si gadis menggeleng. “Mati ya tidak. Cuma kau
mungkin akan catat seumur hidup. Salah satu tangan
atau kakimu bisa-bisa lumpuh ….”
“Bendera-bendera merah kurang ajar. Kau tadi
kudengar menyebut nama mahluk aneh itu. Dia manusia
atau apa … ? Lelaki atau perempuan ….?”
“Maafkan aku. Aku tak bisa menerangkan siapa -
dirinya … !”
“Jadi kau sebenarnya kenal Siapa dia adanya?”
tanya Wiro.
“Lupakan dia, Yang jelas kau selamat Aku senang
bisa bertemu kau di sini ….”
“Aku juga … Tapi aku merasa aneh. Kita bersahabat.
Dan kau ternyata kurang percaya padaku. Tak
mau menceritakan siapa adanya manusia aneh tadi.
Lalu kulihat dia seperti takut padamu dan cepat-cepat
berkelebat pergi … .”
“Sudahlah, lupakan saja mahluk yang kau anggap
aneh itu,” kata Akiko Bessho. Lalu dari sebuah kantong
kain yang dikeluarkannya dari balik bajunya Akiko
Bessho mengambil sebutir obat berwarna merah dan
diberikannya pada Wiro.
“Lekas telan. Lukamu pasti sembuh dalam tempo
satu hari ….” Wiro memasukkan obat itu ke dalam
mulutnya. Mendadak saja dia seperti mau muntah. Obat
yang dimulutnya hampir melompat keluar.
“Tolol! Kau seperti anak kecil saja! Jangan
dihisap. Itu bulan gula-gula! Langsung telan!”
“Obat apa ini! Sepahit tahi setanl” teriak Wiro.
45
“Ngacokl Apa kau sudah pernah makan kotoran
setan?!” ujar Akiko pula menahan tawa. Wiro cepat telan
obat dalam mulutnya. Begitu obat pahit lewat ditenggorokannya
dia menarik nafas lega.
“Terima kasih Akiko,” kata Wiro.
“Coba ceritakan bagaimana kau berada di tempat
ini. Bukankah kita janji bertemu bulan purnama di muka
di desa Kitano di . . kaki gunung Mitaka? Kau sengaja
mencariku. Kangen atau bagaimana ….?” Kata-kata
Pendekar 212 itu membuat wajah Akiko Bessho menjadi
bersemu merah. Wiro tertawa lebar dia menarik tangan
Akiko mengajaknya duduk dekat perapian.
“Aku dalam perjalanan ke Kioto. Seorang sahabat
mendiang Sensei meninggal dunia. Kematiannya tidak
wajar. Dibunuh oleh ninja…:”
“Ninja…”desis Wiro.
“Aku tidak mengerti bagaimana ada manusia atau
kelompok manusia seperti mereka. Melakukan apa saja
demi uang! Bahkan membunuh bayi sekalipun mereka
tegal”
”Mereka memang ganas dan kejam. Lebih kejam
dari orang-orang Lembah Hozu yang pernah kita. hadapi
dulu ….”
“Heran, mengapa Kaisarmu tidak menumpas
mereka”
“Sulit. Karena orang-orang atau pejabat-pejabat
tinggi sendiri banyak mempergunakan tenaga mereka.
Para samurai tak sanggup menumpas mereka. Selain
kepandaian pendekar samurai jauh dibawah para ninja,
46
juga adanya pejabat-pejabat tinggi tadi yang tetap
menginginkan adanya ninja baik untuk kepentingan
usaha dagang mereka, jabatan maupun keamanan.”
“Sebetulnya akupun tadi dalam perjalanan menuju
Kioto ….” kata Wiro pula.
“Kalau kau memang mau pergi sama-sama, tentu
saja aku tidak keberatan. Tapi ada syarat! Jangan mencari
perkara dan berbuat yang aneh-aneh. Aku ke sana
untuk melayat, bukan untuk bersenang- senang ….” Wiro
tersenyum. Sambil garuk kepala dia menjawab.
“Bagiku, bisa pergi sama-sama tidak merupakan
kesenangan tersendiri..!’
“KaIau begitu ayo kita berangkat sekarang. Kioto
masih cukup jauh dan kita harus jalan kaki …”
“Bagaimana dengan ilmu pukulan matahari. Kau
masih terus melatih diri?” tanya Wiro.
Akiko Bessho mengangguk. “Daya hantamku jauh
lebih besar. Aku berterima kasih kau telah mengajarkan
ilmu pukulan sakti itu. Lalu bagaimana dengan ilmu
bicara dari Perut yang aku ajarkan padamu. Kau sudah
bisa?
“Wah, aku harus banyak berlatih. Kadang-kadang
Yang keluar bukan suara manusia tapi suara binatang…”
jawab Wiro hingga Akiko Bessho tertawa geli.
“Sahabat gurumu yang dibunuh ninja itu, siapakah
dia? ” tanya Wiro sambil melangkah cepat di sa Akiko.
“Namanya Noboru Kasai. Ketua Perguruan silat
Emerarudo” jawab Akiko sambil lebih mempercepat
jalannya (siapa adanya gadis Jepang bernama Akiko
47
Besso ini harap baca Serial Wiro Sableng bejudul
“Pendekar Gunung Fuji”Smilie: ;).
* * *
48
LIMA
Di dalam ruangan itu berkumpul para pucuk
pimpinan Perguruan Emerarudo. Hisao Matsunaga
duduk bersebelahan dengan Shigero Momochi. Di
hadapan mereka duduk empat orang tua-tua Perguruan
mengapit seorang anak lelaki berusia 14 tahun. Anak ini
adalah Akira, putera tunggal mendiang Ketua Noboru
Kasai.
Keheningan menggantung beberapa lamanya.
Hisao Matsunaga mengusap dadanya beberapa kali lalu
terdengar dia batuk-batuk.
“Wakil Ketua, kau agak kurang sehat rupanya … ?
tanya seorang tua sesepuh Perguruan yang duduk di
hadapan Hisao.
“Mungkin masuk angin. Sehabis berjalan jauh ke
Kioto dua hari lalu …” jawab Hisao Matsunaga sambil me
ngusap dadanya lalu menarik nafas panjang. Dia melirik
pada Shigero Momochi yang duduk seperti terkantukkantuk
di sampingnya. “Orang ini pasti habis meneguk
minuman keras lagi …” kata Hisao dalam hati. Lalu dia
memandang pada Akira Kasai sesaat dan berkata.
49
“Akira-san …Kami sengaja mengikut sertakan kau
dalam pembicaraan penting ini karena sebagai putera
mendiang Ketua Perguruan kami menganggap kau
harus tahu akan segala pembicaraan maupun rencana
Perguruan …”
Akira Kasai membungkuk dalam dalam lalu
menjawab.
“Saya berterima kasih atas kehormatan ini!”
“Seperti kita ketahui dua hari dari sekarang
jenazah Ketua Noboru Kasai akan diperabukan,” kata
Hisao meneruskan ucapannya tadi.
“Sesuai ketentuan Perguruan, sebelum hal itu dilakukan
sudah harus ditentukan dan diumumkan siapa
pengganti beliau yang akan menjabat sebagal Ketua
Perguruan. Sejak puluhan tahun silam sudah ada
ketentuan bahwa seorang Ketua membuat semacam
surat warisan di dalam mana dia menyebutkan siapa
penggantinya jika karena satu dan lain hal dia tidak lagi
bisa memegang jabatan sebagal Ketua. Apapun isi surat
warisan itu atau siapapun yang ditunjuk menjadi
penggantl tidak ada seorangpun yang boleh membantah.
Semua harus tunduk dengan isi surat warisan. Aku dan
Shigero Momochi sudah memeriksa di semua tempat
termasuk Ruangan Rahasia Perguruan dan kamar
pribadi mendiang Ketua. Namun surat itu tak ditemukan.
Kita semua tahu, malam itu tiga orang ninja menyerbu ke
sini. Mereka bukan saja berniat membunuh Ketua tapi
dari penyelidikan ternyata mereka juga mencurl surat
penting itu. Walau yang dua terbunuh, satu-satunya
50
yang melarikan dirl agaknya telah berhasil mencuri dan
melarikan surat itu. Waktu kita hanya sedikit Kurang dari
dua hari. Dalam waktu yang sangat singkat itu kita harus
menemukan surat itu. ..!”
Shigem Momochi yang duduk seperti terkantukkantuk
dikejutkan oleh pertanyaan Hisao Matsunaga.
“Shigero, apakah sudah ada kabar dari orangorang
kita yang kau suruh menghubungi para Ketua
Ninja ….?!” Shigero Momochi usap mukanya.
“Maafkan, aku kurang mendengar pertanyaanmu
tadi Hisao …”
“Kau kelihatan sakit atau mengantuk Shigero?
Tanya Hisao berusaha menahan jengkelnya.
“Dalam urusan penting begini rupa bagaimana
mungkin dia tidak acuh dan malah mengantuk?!”
Seorang tua sesepuh Perguruan membuka mulut.
“Wakil Ketua Hisao Matsunaga tadi menanyakan
apa sudah ada kabar dari orang-orang yang disuruh
untuk menghubungi para Ketua Ninja …. ?”
“Oh itu. ..” Shigero usap lagi mukanya.
“Belum ….belum” katanya sambil menggeleng.
“Mereka belum kembali. …”
Hisao Matsunaga menarik nafas dalam.
“Kalau sampai saat terakhir jenazah diperabukan
surat itu belum ditemukan dan Perguruan belum mengangkat
Ketua yang baru, apa yang harus kita
lakukan?”
Salah seorang tua yang duduk di sebelah Akira
Kasai membungkuk lalu menjawab. “Menurut aturan,
51
walau ini tidak pernah terjadi sebelumnya, jabatan Ketua
sementara dipegang oleh istri atau putra mendiang
Ketua. Karena mendiang Ketua tidak punya istri maka
jabatan itu dipercayakan pada puteranya … !” Semua
mata ditujukan pada Akira Kasai.
“Aku tidak pernah melihat aturan itu secara
tertulis,” tiba-tiba Shigero Momochi membuka mulut.
“Dan aku merasa aturan itu tidak benar. Perguruan
bukan Kerajaan dimana tahta atau pucuk pimpinan
diserahkan pada seorang putera jika sang raja
meninggal. Aku lebih suka jika tanggung jawab Perguruan
untuk sementara berada di tangan kelompok
pimpinan …”
Sesaat keadaan di tempat itu menjadi hening.
Tiba-tiba Akira Kasai membungkuk.
“Akira-san, kau hendak mengatakan sesuatu’”
tanya Hisao Matsunaga.
“Kalau diperkenankan paman Wakil Ketua…”
jawab anak lelaki itu.
“Kedudukanmu sama dengan kami. Jadi kau
berhak bicara,” kata Hisao Matsunaga sambil senyum.
“Kau tak usah malu apalagi merasa takut.
Bicaralah ….”
Setelah membungkuk sekali lagi maka anak
itupun mulai bicara.
“Maafkan saya karena baru saat ini menyampaikan
apa yang saya ketahui…. ini menyangkut
surat warisan atau surat penunjukan siapa yang jadi
52
pengganti mendiang Ayah. Surat itu ada di Puri Sanzen.
Disimpan oleh seorang pendeta bernama Komo. ..”
Semua orang yang ada di situ tentu saja jadi terkejut
karena tidak menyangka akan mendengar keterangan
itu dari mulut Akira Kasai.
“Akira san …” kata Shigero Momochi dengan
nada penasaran. “Kenapa baru sekarang kau bilang?
Padahal kau tahu kita semua sudah kelabakan mencari
surat itul”
“Harap maafkan. Saya tak berani bicara karena
takut kesalahan dan para orang tua di sini menganggap
diri saya lancang … .” Hampir saja Shigero Momochi
hendak mendamprat anak itu. Tapi Hisao Matsunaga
cepat berkata.
“Bagaimana ceritanya surat itu berada di tangan
pendeta Komo dan bagaimana kau mengetahui hal itu
Akira-san?”
“Sekitar satu bulan lalu Ayah sendiri yang
menyuruh saya mengantarkan surat itu ke Puri Sanzen
dan menyerahkannya pada pendeta Komo. Agaknya
Ayah seperti sudah punya firasat ada sesuatu yang
bakal terjadi atas dirinya. Menurut pesan Ayah pada
pendeta Komo, surat itu hanya saya yang bisa
mengambil lalu menyerahkannya pada para Wakil ketua
Perguruan …” Shigero Momochi menggelengkan kepala.
“Sepertinya mendiang Ketua tidak percaya pada
kita semua … Aku merasa malu diperlakukan seperti
itu…” Hisao Matsunaga batuk beberapa kali sambil usap
53
usap dadanya. Dia berkata untuk mendinginkan sua
sana.
“Aku rasa mendiang Ketua melakukan hal itu
tentu ada sebabnya. Buktinya, kalau dia tidak berbuat
begitu surat penting tersebut pasti sudah jatuh ketangan
ninjal” Walau wajahnya masih menunjukkan ketidak
senangan tapi Shigero Momochi diam saja.
“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?”
tanya salah seorang tua.
“Aku dan beberapa murid Perguruan akan
mengantar putera mendiang ketua ke Puri Sanzen. Puri
itu cukup jauh dari sini. Jika berangkat malam ini dan
berhenti istirahat di beberapa tempat, baru besok petang
akan kembali. Mengingat pulera Ketua tak bisa
menunggang kuda maka delapan orang akan bergantian
menandunya. Akira-san kau lekas bersiap-siap. Aku
akan mengatur segala sesuatunya,..”
Hisao Matsunaga segera berdiri. Sebelum melangkah
ke pintu dia berpaling pada Shigero Momochi.
“Shigero, selama kami pergi semua hal di
perguruan menjadi tanggung jawabmu. Yang lain-lain
supaya membantu termasuk menyambut para tamu
yang datang melayat.” Shigero Momochi diam saja.
Agaknya dia tidak suka akan ucapan Hisao tadi yang
seolah-olah memerintah dan membuat dia berada dalam
kedudukan lebih rendah.
AKlRA Kasai memandang pada tandu yang
sebentar lagi akan membawanya ke Puri Sanzen. Saat
itulah seorang anak lelaki seusia Akira dan sama-sama
54
mengenakan kimono warna merah melangkah mendekati
Akira dan menegur.
“Akira, ku dengar kau mau berangkat ke Puri
Sanzen …” Akira Kasai berpaling. Dia tertawa lebar
ketika melihat siapa dihadapannya. Keno teman sebaya
dan sepermainan.
“Betul Keno, aku harus pergi …”
“Malam-malam begini? Aku kawatir …”
“Aku ditemani paman Wakil Ketua Hisao
Matsunaga. Apa yang harus dikawatirkan?Wjar Akira
pula.
“Akira, aku mimpi buruk. Kau jatuh ke dalam jurang
yang dasarnya penuh dengan batu-batu merah
membara. Aku takut akan terjadi apa-apa dengan dirimu
dalam perjalanan..!” Akira Kasai tersenyum dan pegang
bahu temannya itu.
“Kau sahabat yang baik. Aku pergi cuma
sebentar. Besok juga sudah kembali … Doakan saja
supaya aku selamat pergi dan kembali!”
“Bagaimana kalau aku ikut bersamamu?” tanya
Keno.
“Tentu saja aku suka. Tapi paman Wakil Ketua
belum tentu mau mengizinkan,” jawab Akira.
“Kalau begitu sebelum ada yang melihat biar aku
sembunyi duluan dalam tandu …”
“Heh! Kau benar-benar konyol Keno ….”
“Konyol atau apapun katamu pokoknya aku harus
ikut!”
55
“Kalau kau memaksa terserah saja. Lekas masuk
ke dalam tandu,..!” kata Akira sambil memandang
berkeliling takut ada yang melihat.
* * *
56
ENAM
SEBETULNYA Puri Sanzen terletak tidak
terlalu jauh dari bukit dimana Perguruan Emerarudo
berada. Hanya saja jalan menuju ke Puri itu sangat sulit,
buruk dan berbatu-batu. Disamping itu pendakian dan
penurunan datang silih berganti hingga rombongan yang
dipimpin oleh Hisao Matsunaga tidak bisa bergerak
cepat.
Menjelang dinihari ketika rombongan bergerak
perlahan dan tertatih-tatih melewati sebuah pendakian
curam, dari puncak pendakian tiba-tiba muncul tujuh
sosok hitam.
“Shinobi!” kata Hisao Matsunaga dengan suara
bergetar.
“Ninja!” teriak beberapa orang anggota rombongan
hampir berbarengan.
“Eh, apa yang terjadi …?” ujar Akira Kasai di
dalam tandu ketika merasakan tandu yang diusung oleh
empat orang anak murid Perguruan tiba-tiba diturunkan
ke tanah. Lalu mendadak pula terdengar suara
beradunya pedang.
57
Keno yang berbaring di lantai cepat berdiri dan
enyingkap tabir penutup jendela kecil di dinding tandu.
Dia mengintai keluar. Suaranya bergetar ketika berpaling
pada Akira dan berkata.
“Rombongan kita diserang ninja, Jumlah mereka
lebih dari lima. Kelihatannya Wakil Ketua dan anak murid
Perguruan berada dalam keadaan terdesak …”
“Apa yang harus kita bkukan ….?” tanya Akira
Kasai, Tangan kanannya meraba katana pendek yang
tersisip di pinggang. Walau wajahnya tidak menunjukkan
rasa takut tapi getaran suaranya cukup menjadi pertanda
bahwa anak ini merasa sangat kawatir.
“Mimpiku jadi kenyataan. Ninja-ninja hitam itu
pasti mengincar dirimu … !”
“Mengincar diriku? Mengapa? Apa salahku … ?’
“Aku juga tidak tahu. Tapi aku merasa dirimu
dalam bahaya Akira. Lekas kau menyelinap keluar.
Segitu sampai di luar cepat lari ke Puri Sanzen …”
“Apa maksudmu? Apa yang hendak kau lakukan?l”
tanya Akira.
“Sudah. Waktu kita tidak banyak. Lekas pergi …” k
ata Keno. Lalu dipeluknya temannya itu erat-erat!.
Akira balas memeluk sambil berkata. “Aneh kau ini
Keno. Kau memelukku seperti kita akan berpisah dan
tidak bertemu lagi … !’
“Lekas pergi …. Aku mendengar suara jeritn wakil
Ketua … Dia pasti terluka. Keadaan benar-benar sangat
berbahaya! Larilah! Ambil jalan rahasia yang kita
temukan waktu main-main di hutan dulu. Kau ingat?!”
58
Akira mengangguk dengan gerakan kaku. Keno
menggeser pintu dorong tandu lalu menarik lengan
kawannya. Putera mendiang Noboru Kasai ini mau tak
mau akhirnya keluar juga dari dalam tandu itu.
“Keno…?” ujar Akira.
Tapi Keno sudah menutup pintu dari dalam tandu.
Akira Kasai memandang berkeliling. Tempat dia berdiri
berada dalam bayang-bayang gelap pohon besar hingga
dirinya tersamar tidak kelihatan. Kuduknya merinding
ketika melihat bagaimana murid-murid Perguruan
Emerarudo bertahan mati-matian terhadap serangan
yang dilancarkan oleh tujuh orang ninja.
Seorang ninja berhasil dibunuh, satunya lagi
tergeletak antara sadar dan pingsan. Namun seluruh
rombongan orang-orang Perguruan Emerarudo sudah
bergeletakan jadi mayat, kecuali Wakil Ketua Hisao
Matsunaga.Orang ini tersungkur di tepi jalan, berusaha
merangkak mencapai tandu.
Akira memutar kepalanya ke arah tandu dimana
Keno berada. Sepasang mata anak ini terbeliak besar.
Pintu tandu berada dalam keadaan terbuka lebar. Dari
tempat gelap dia berdiri anak ini dapat melihat sosok
tubuh Keno. Matanya membeliak dan jantungnya seperti
hendak copot ketika melihat bagaimana tubuh Keno
tersandar di tempat duduk tandu. Sebilah katana
menancap di dadanya!
Kalau tak cepat dia menutup mulutnya sendiri
mungkin anak ini sudah berteriak karena ngeri.
59
“Keno… Mimpimu …Ternyata kau yang mendapat
celaka. Seharusnya …. seharusnya aku yang menemui
ajal. Keno sahabatku … Kini aku mengerti. Kau sengaja
menyuruhku pergi. Kau memilih tetap berada dalam
tandu. untuk menipu ninja-ninja jahat itu. Keno ….” Akira
Kasai tak kuasa membendung air matanya. Di sebelah
sana dilihatnya Wakil Ketua Perguruan Emerarudo
merangkak di tanah terbatuk-batuk dan pegangi dada
kirinya. Tiba-tiba empat orang ninja melompat
mengurungnya. Masing-masing memegang ninjato
berlumuran darah!
“Ninja-ninja itu … Mereka pasti membunuh Paman
Hisao. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku
menolongnya. Paman …”
Tiba-tiba terngiang di telinga Akira ucapan Keno.
Mimpiku jadi kenyataan. Ninja-ninja hitam itu pasti
mengincar dirimu…Aku merasa dirimu dalam bahaya
Akira. Lekas menyelinap keluar. Begitu sampai di luar
cepat lari ke Puri Sanzen..
“Ninja-ninja itu…apa mereka benar hendak
membunuhku? Mengapa?!” Akira memperhatikan
seorang ninja lagi berkelebat mengurung Hisao
Matsunaga.
“Aku merasa diriku seperti seorang pengecut! Aku
ingin menolongmu Paman Hisao. Tapi apa dayaku.
Maafkan aku Paman ….” Anak itu putar tubuhnya.
Kraaakkk!
Tak sengaja kaki kiri Akira menginjak sebatang
kayu agak kering hingga mengeluarkan suara. Lima
60
ninja berpaling ke arah kegelapan. Juga Paman Hisao
Matsunaga.
Secepat kilat Akira melompat ke balik sebuah
pohon besar lalu menghilang. Lima ninja berkelebat ke
arah tandu lalu ke jurusan dimana tadi mereka
mendengar suara berderak disertai berkelebatnya satu
bayangan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hisao
Matsunaga untuk bangkit dan naik ke punggung seekor
kuda lalu menggebrak binatang ini meninggalkan tempat
itu. Lima ninja saling pandang.
Sesaat kemudian ke limanya serentak berkelebat
ke arah lenyapnya Akira. HlSAO Matsunaga belum lama
memacu kudanya ketika tiba-tiba dalam kegelapan
malam dua penunggang kuda datang dari jurusan
berlawanan. Karena jalan sempit dan Hisao Matsunaga
agaknya tidak mau menghindar atau menepi maka dua
penunggang kuda yang datang dari arah depan terpaksa
bersibak dan menepi.
“Orang itu menunggang kuda seperti dikejar
setan!” ujar penunggang kuda di kiri jalan. Dia berpakai
an dan berikat kepala putih serla berambut gondrong.
Melirik ke kanan dia melihat sebuah jurang batu dalam
kegelapan.
“Gila, sempat kaki kudaku terperosok, amblas
diriku ke dalam jurang itu!”
“Wiro …”
“Ada apa Akiko? Kau kelihatannya seperti kaget.”
61
“Penunggang kuda yang barusan lewat. Walau
gelap tapi aku masih sempat melihat wajahnya. Dia
Hisao Matsunaga …”
“Siapa manusia bernama naga itu?’ tanya Wiro
acuh saja.
“Salah satu dari dua Wakil mendiang Noboru
Kasai, Ketua Perguruan Emerarudo yang hendak kita
layati …”
“Eh, kalau benar berarti ada urusan penting
membuat dia meninggalkan perguruan …”
“Atau tengah dikejar sesuatu …” kata Akiko pula.
“Aku …. Harap kau tunggu disini. Aku coba
mengejarnya untuk mencari tahu apa yang terjadi.”
“Terserah padamu. Tapi kau harus tahu menunggu
di tempat seperti ini tidak sama sedapnya dengan
menunggu di rumah teh, ditemani oleh geisha …”
“Aku tak bakal lama!” jawab Akiko lalu cepat
memutar kudanya. Baru saja gadis itu lenyap Wiro
mendadak mendengar suara orang berlari. Dia berpaling
ke kiri. Tampak satu sosok kecil dalam kegelapan.
Sosok ini menyibak serumpunan semak belukar di kiri
jalan lalu lenyap dalam celah di antara dua buah batu
besar. Pendekar 212 sesaat jadi tercengang.
“Anak kecil dalam rimba belantara malam-malam
begini. Eh, apa ada tuyul di Jepang ini … ? Tapi kulihat
kepalanya tidak botak. Atau mungkin tuyul Jepang
memang pakai rambut tidak botak seperti di Jawa …”
Memikir sampai di situ Wiro turun dari kudanya dan
62
melangkah ke arah semak belukar di mana si anak tadi
dilihatnya lenyap.
Baru saja dia sampai di depan semak belukar
tiba-tiba lima sosok hitam berkelebat. Dua tegak
mendekam di depannya di atas batu besar di kiri kanan
semak-semak tiga lainnya langsung mengurung di
samping dan belakang.
“Ninja!”
Wiro angkat tangan kanannya sambil tertawa
lebar untuk menunjukkan sikap bersahabat. Tapi lima
ninja pentang sikap garang. Di samping itu mereka
merasa heran tidak mengira akan menemukan seorang
pemuda asing di tempat itu. Mereka bicara cepat satu
sama lain. Lalu yang berada di atas batu sebelah kanan
membentak.
“Pemuda asing, dimana kau sembunyikan anak
itu?!”
“Anak, anak apa?balik bertanya Pendekar 212.
“Anak lelaki pakai kimono merah!” kata ninja di
samping kanan.
“Maksudmu tuyul gondrong itu … ? Lima ninja
saling berpandangan.
“Tuyul! Apa itu tuyul?!” Salah seorang dari mereka
bertanya.
“Ah, bagaimana ya aku menerangkannya,” ujar
Wiro pula sambil garuk-garuk kepala membuat lima ninja
jadi tidak sabaran. Salah seorang dari mereka berbisik
pada teman disebelahnya. Yang satu ini menyampaikan
pada temannya yang lain.
63
“Pemuda asing ini mencurigakan. Dari pada jadi
urusan di kemudian hari lebih baik dibereskan saja …”
“Setuju …!” Lima ninja membuat gerakan menyerang.
Tubuh mereka merunduk. Pedang ditukikkan ke
bawah. Yang di atas batu melayang turun.
“Eh, apa-apaan inil?!” Tadi bertanya sekarang
malah menyerang!” seru Wiro. Lima katana mencuat ke
udara. Murid Sinto gendeng berteriak keras dan cepat
berkelebat hindarkan serangan. Tapi dua senjata lawan
masih sempat menggurat punggung dan perutnya.
Brettt!
Breettt!
Pakaian Pendekar 212 robek besar di dua tempat.
Dia jadi keluarkan keringat dingin. Lima ninja putar
senjata masing-masing dari bawah ke arah pinggang.
Lalu untuk kedua kalinya mereka menyerang secara
serentak.
Traaangggg!
Cahaya terang disertai suara menggaung merobek
Kegelapan malam, dibarangi oleh lima kali suara
beradunya senjata dan percikan bunga api. Lima ninja
keluarkan suara kaget dan mundur. Sepasang mata
mereka memandang tak berkesip pada kapak bermata
dua yang memancarkan sinar angker di tangan Wiro.
Biasanya jika lebih dari tiga orang ninja menghantam
satu serangan mereka tak akan pernah luput. Tapi
jika kali ini berlima mereka tidak bisa membunuh lawan
dalam satu kejapan mata saja maka ini adalah hal yang
sangat luar biasa. Mereka saling melempar isyarat lalu
64
mulai bergerak memutari Pendekar 212. Tiba-tiba tanpa
bentakan ataupun aba-aba ke limanya menyerbu.
Lima katana berkiblat ke arah murid Sinto
Gendeng. Wiro salurkan tenaga dalamnya ke tangan
kanan. Hawa sakti ini terus mengalir ke senjata yang
dipegangnya. Dua mata kapak memancar sinar lebih
terang. Ketika senjata itu diputarnya untuk menangkis
lima serangan maut pedang ninja sinar panas
menghampar. Suara yang keluar dari senjata mustika itu
laksana gaungan ratusan tawon. Lima ninja berteriak
keras saling memberi semangat.
Tranggg! Trangggl
Dua katana mental ke udara. Dua ninja terjengkang
ke tanah sambil pegangi tangannya yang terasa
seperti memegang benda panas. Ninja ke tiga di
samping kiri seperti kerbau melenguh sewaktu kaki kiri
Wiro menghantam perutnya. Namun gerakan murid
Sinto Gendeng hanya sampai di situ. Dari samping kiri
ninja ke empat berhasil menyusupkan pedangnya ke
arah pinggang. Wiro sempat melihat serangan yang bisa
merobek perutnya ini. Cepat dia lepaskan satu pukulan
tangan kosong. Ninja di samping kiri menjerit keras.
Tubuhnya mencelat mental dan terbanting di tanah mati,
muntah darah. Namun sebelumnya katananya masih
sempat menggores paha Wiro hingga koyak dan darah
mengucur deras.
Selagi Wiro terhuyung-huyung menahan sakit.
Dari samping kanan dan sebelah belakang dua ninja lagi
datang menyerbu. Sambil jatuhkan diri Pendekar 212
65
putar Kapak Maut Naga Geni 212 untuk lindungi diri.
Ternyata dua ninja lainnya yang tadi dihantam Wiro
hingga pedang masing-masing mental saat itu telah
bangkit berdiri dan ikut menyerbu. Keduanya bukan
mempergunakan pedang tetapi menyerang dengan
lemparan shuriken yaitu senjata rahasia berbentuk
bintang terbuat dari besi!
Putaran kapak sakti dalam jurus “dibalik gunung
memukul halilintar’ yang dilancarkan Wiro memang
berhasil membabat putus tangan ninja di sebelah kanan
namun dirinya sendiri untuk kedua kalinya terkena
serangan lawan. Salah satu dari dua shuriken menancap
tepat di lengan kanannya demikian kerasnya hingga
Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari genggaman
nya. Senjata ini jatuh di tanah berbatu-batu dengan suara
berkerontangan. Di saat itu pula serangan baru
datang dari kiri yaitu tusukan sebilah katana.
Wiro yang terbaring di tanah cepat gulingkan diri.
Karena tanah sekitar situ banyak batu-batunya maka
gerakannya berguling tidak bisa cepat. Malah tanpa
disadari dia berguling ke arah ninja yang tangannya
dibikin buntung dan berleriak kesakitan kalang kabut.
Penuh dendam dan amarah ninja ini tendangkan kaki
kanannya ke dada Wiro.
Dukkkkl
Ujung runcing sebilah katana yang seharusnya
menancap di perut Wiro mengantam batu. Tendangan
ninja buntung tadi menyelamatkan nyawanya dari
tusukan pedang itu. Namun ini bukan berarti dia benar
66
benar selamat karena tendangan ninja itu membuat
tubuhnya mencelat ke arah jurang batu dan tak ampun
lagi melayang jatuh ke dasar jurang dalam kegelapan
malam Wiro berusaha berjungkir balik dan mencari
pegangan dalam gelapnya malam. Tapi keadaan kaki
dan tangannya yang terluka membuat dia tidak mampu
mencari plan untuk selamat. Malah tubuhnya semakin
deras jatuh ke dasar jurang. Siap disambut oleh batu
batu keras yang berusia ratusan tahun.
* * *
67
TUJUH
KETlKA Akira sampai di Puri Sanzen rupanya
sesuatu yang menggemparkan telah terjadi di tempat itu.
Di sebuah ruangan pendeta Komo terbujur di atas
sebuah pembaringan dikelilingi oleh belasan pendeta
agama Zen. Begitu Akira masuk diantar oleh seorang
pendeta muda semua yang ada di situ berpaling
padanya. Serta merta semua mereka tunjukkan wajah
kaget bahkan ada yang sampai keluarkan seruan
tertahan. Seorang pendeta lanjut usia, diikuti oleh yang
lain-lainnya cepat mendatangi.
“Anak, aku mungkin saja lupa. Tapi bukankah kau
yang bernama Akira, putera Noboru Kasai yang
dikabarkan telah meninggal dunia itu…!’
“Pendeta, kau benar. Saya memang Akira …”
jawab si anak lalu membungkuk memberi penghormatan
pada pendeta yang menyapanya dan juga pada pendeta
lain yang ada di ruangan itu.
“Jadi ternyata kau masih hidupl” ujar seorang
pendeta sambil mengusap rambut Akira.
“Seseorang memberi tahu bahwa kau ikut jadi
korban keganasan ninja.”
68
“Satu melapetaka besar menimpa rombongan
kami. Hanya atas kekuasaan dan perlindungan Dewa
saya bisa selamat …”
“Akira, aku Pendeta Kamashaki. Menjelang
dinihari tadi tiga orang ninja menyusup ke tempat ini dan
membunuh Pendeta Komo …” Kagetnya Akira bukan
kepalang. Dia berpaling ke arah pembaringan ditengah
ruangan dan langsung saja lari. Dari noda-noda darah
yang masih melekat di wajah dan leher pendeta ini Akira
segera maklum bahwa sang pendeta menemui ajal
memang karena dibunuh. Disamping jenazah pendeta
Komo lama Akira menundukkan kepala dan berdoa
untuk arwahnya.
“Pendeta Kamashaki, siapa orangnya yang
mengatakan bahwa saya telah jadi korban pembunuhan
oleh ninja?’ bertanya Akira Kasai sambil berpaling pada
pendeta Kamashaki.
“Hisao Matsunaga, Wakil Ketua Perguruan
Emerarudo..”
“Dewa Maha besar..” kata si anak pula.
“Saya malah mengira dirinya juga telah dibunuh
ninja. Rupanya beliau sempat melarikan diri dan datang
ke sini lebih dulu dari saya. Dia tentu mengira saya telah
jadi korban. Kami datang ke sini untuk mengambil surat
penting yang dulu pernah saya titipkan pada pendeta
Komo …”
“Surat itu telah kami serahkan pada Hisao
Matsunaga. Setelah dia memberi tahu kau tewas di tangan
ninja, kami merasa memang haknya untuk me-
69
ngambil surat itu. Apakah kami telah melakukan
kesalahan …? tanya pendeta Kamashaki pula.
“Sebetulnya surat itu hanya saya yang boleh
mengambilnya. Tapi pendeta sama sekali tidak berbuat
kekeliruan. Paman Hisao berhak mengambil surat itu
karena tidak tahu kalau saya masih hidup. Kalau begitu
saya minta diri, mohon kembali ke perguruan sekarang
juga…”
“Anak, kau tentu sangat capai. Di samping itu apa
yang terjadi tentu telah membuat jiwamu tergoncang.
Kau perlu istirahat dulu di sini beberapa waktu lamanya.”
“Terima kasih pendeta. Tapi jika kau tidak keberatan
saya memilih cepat-cepat kembali …”
“Kalau kami boleh bertanya,” ujar seorang pendeta
pula.
“Apa isi surat penting dalam amplop kuning itu?”
“Surat pernyataan siapa yang akan menjadi pewaris
jika Ayahanda berhalangan melanjutkan jabatan
sebagai Ketua Perguruan …” Pendeta Kamashaki
memegang bahu Akira.
“Anak,” katanya.
“Jika kau memang memilih pulang sekarang juga,
kami tidak bisa menahan. Hanya sebelum pergi coba
kau ceritakan apa yang telah terjadi di Perguruan
“Malam kemarin perguruan kami diserbu ninja
Ayah dibunuh..!” Akira lalu menceritakan apa yang terjadi
di Perguruan Emerarudo.
“Besok jenazah Ayahanda akan diperabukan.
Saya juga sedih sekali melihat bahwa pendeta Komo ikut
70
tewas di tangan ninja. Saya menduga keras ini ada
sangkut pautnya dengan surat pewarisan itu. Dan saya
merasa bersyukur paman Hisao telah mendapatkannya
Mengenai sahabat saya Keno, karena puri Sanzen lebih
dekat dari perguruan, apakah saya boleh minta tolong
agar jenazah sahabat saya itu diurus …?”
“Kau tak usah kawatir. Kami akan mengurusnya
dan menyerahkan sebagian abunya padamu …” kata
seorang pendeta muda.
“Saya sangat berterima kasih,” kata Akira lalu
membungkuk dalam-dalam. Pendeta Kamashaki kemudian
berkata.
“Hanya beberapa saat setelah Wakil Ketua Hisao
Matsunaga menerima surat itu, di puri datang seorang
gadis bernama Akiko Bessho. Kau kenal padanya? ”
“Saya berusia sepuluh tahun ketika Ayah mem
perkenalkannya pada saya. Kalau tidak salah dia adalah
anak murid seorang pandai yang diam di Gunung
Fuji .. ”
“Gadis itu melihat Wakil Ketua Perguruan di per
jalanan lalu mengikuti sampai ke puri. Karena dia
memang dalam perjalanan menuju Perguruan untuk
melayat maka Akiko Bessho meninggalkan tempat ini
bersama-sama wakil Ketua Perguruan …”
“Pendeta Kamashaki, saya berterima kasih kau
dan para pendeta di sini telah banyak membantu. Saya
minta diri sekarang …”
71
“Dua orang pendeta akan mengantarkanmu.
Sekaligus sebagai wakil kami untuk melayat dan
menghadiri upacara perabuan…”
Akira Kasai membungkuk lalu dia memegang
tangan pendeta Komo yang telah dingin itu. Setelah
membungkuk sekali lagi, diantar oleh dua orang pendeta
anak ini keluar dari ruangan itu.
* * *
MUNCULNYA Akira Kasai malam itu diantar oleh
dua pendeta Zen dari puri Sanzen membuat geger tapi
juga. menggembirakan semua orang yang ada di
Perguruan Emerarudo. Betapakan tidak. Semula, sesuai
keterangan Wakil Ketua Hisao Matsunaga anak itu ikut
jadi korban penyerangan ninja. Satu rombongan khusus
telah pula dikirim untuk mengambil jenazahnya. Ternyata
dia masih hidup.
Hisao Matsunaga sampai berkaca-kaca kedua
matanya dan memeluk erat-erat Akira Kasai.
“Dewa Maha Besar. Kami semua mengira kau
sudah tewas Akira. Aku sendiri sempat melihat mayatmu
di dalam tandu walau cuma dari kejauhan. Lalu aku
cepat-cepat menuju Puri Sanzen, kawatir kalau- kalau
ninja menyerbu pula ke sana. Ternyata memang betul.
Untung saja mereka tidak mendapatkan amplop kuning
berisi surat warisan itu. Tetapi untuk itu pendeta Komo
terpaksa mengorbankan nyawanya …”
72
“Jadi benar rupanya mereka menginginkan surat
warisan itu. Tapi untuk apa …?” tanya Akira dengan
suara perlahan.
“Sekarang tak usah kawatir lagi. Surat itu sudah
ada di tanganku. Sebentar lagi isinya akan dibacakan di
depan semua pengurus dan anggota perguruan serta
para tamu yang datang melayat. Sekarang kau perlu
membersihkan diri dan istirahat sebentar. Masuklah ke
kamarmu …”
Ketika Akira hendak menuju kamarnya, dua
pendeta Zen segera mengikuti. Tapi ditegur oleh Shigero
Momochi dengan nada kasar. Salah seorang pendeta
membungkuk lalu menjawab.
“Saya ditugasi oleh pendeta Kamashaki untuk
menjaga dan mengawal anak itu …” Marahlah Shigero
Momochi mendengar kata-kata sang pendeta. Dengan
suara lantang dia berkata.
“Pendeta, kau dengar baik-baik ya! Anak itu
berada di perguruan kami, di rumah sendiril Perlu apa
dikawal dan dijaga? Ini tempat aman! Jangan memandang
rendah kami orang-orang Emerarudo. Tempat ini
bukan Puri Sanzen dimana kalian bisa berlaku semaunya
..!’
Paras dua pendeta Zen itu tampak menjadi
merah. Yang satu menjawab. “Kami hanya menjalankan
perintah pimpinan ..!’
“Kalau menjalankan perintah pimpinan kalian
cukup di puri kalian saja, bukan di sini! Kalian tidak
punya hak dan kekuasaan apa-apa di tempat in?”
73
“Jika begitu harap maafkan kami …” Hisao
Matsunaga datang menghampiri. Sambil batuk-batuk
dan mengusap dadanya dia berkata.
“Dua sahabat dari Puri Sanzen dan Wakil Ketua
Shigero Momochi, kita semua ini hanya keliru prasangka
belaka. Setelah apa yang terjadi dengan rombongan kita
di tengah perjalanan menuju Puri Sanzen, lalu ditambah
dengan apa pula yang terjadi di puri sana, para sahabat
pendeta Zen rupanya ingin ikut membantu menjaga
keselamatan kita semua. Aku mewakili perguruan
mengucapkan terima kasih. Namun dengan segala
kerendahan hati kami meminta agar para pendeta yang
adalah tamu-tamu kami terhormat, tidak perlu mencapai
kan diri ikut berjaga-jaga.”
Dua pende!a Zen anggukkan kepala lalu membungkuk
dan kembali ke tempat duduk yang disediakan.
Hisao Matsunaga berpaling pada Akira dan memberi
tanda agar anak itu melanjutkan langkah menuju kamarnya.
Kemudian sambil memegang bahu Shigero
Momochi dia berkata.
“Dua pendeta itu memang berlaku bodoh. Tapi
kita jangan ikut-ikutan bodoh. Semua persoalan bisa
diselesaikan lebih baik kalau ditangani dengan sabar
dan sikap sopan …”
“Aku orang pemabokan jadi mana bisa sabar dan
sopanl” sahut Shigero Momochi seraya melangkah pergi.
Hisao Matsunaga hanya bisa tersenyum lalu menghela
nafas dalam sambil usap-usap dadanya. Menjelang
tengah malam di hadapan para pengurus dan anggota
74
perguruan Emerarudo serta semua tamu yang hadir,
seorang sesepuh perguruan membacakan isi surat
warisan yang diterima Hisao Matsunaga dari pendeta
Kamashaki di Puri Sanzen. Sesuai apa yang terlulis di
surat pewarisan yang ditetapkan oleh almarhum Noboru
Kasai sebagai Ketua pewaris adalah Hisao Matsunaga.
Pengumuman ini diterima semua orang dengan
perasaan lega dan gembira. Berarti besok upacara
perabuan jenazah Noboru Kasai dapat dilaksanakan
tanpa suatu halangan.
Ketika pengurus tua perguruan hendak memasuk
kan surat warisan itu ke dalam amplop kuning kembali
Akira Kasai membuat gerakan seperli hendak berdiri dari
tempat duduknya dan melangkah ke mimbar. Hisao
Matsunaga yang duduk di sebelahnya cepat mendampingi.
“Akira-san, apakah ada sesuatu yang hendak kau
sampaikan … ?
“Paman Hisao ada sesuatu yang tidak benar …”
“Ah, hal apakah yang tidak benar itu Akira?”
“Saya tidak dapat memastikan sebelum melihat
sendiri surat warisan yang barusan dibacakan itu …”
“Tentu saja kau boleh melihatnya. Aku akan
meminta surat itu dari pengurus yang barusan
membacanya. Begitu maumu … ?”
“Kalau Paman Hisao tidak keberatan …”
“Tentu saja aku tidali keberatan …” jawab Hisao
Matsunaga lalu menghampiri orang tua yang membaca
kan surat warisan itu dan mengambil suratnya. Hisao
75
kembali pada Akira. Surat dalam amplop dikeluarkannya
terus diserahkan pada Akira.
“Silahkan dibaca sendiri Akira. Lalu tunjukkan
padaku dimana kesalahannya …”
Akira Kasai membaca surat itu sampai dua kali
dan menelitinya depan belakang. Dalam hati anak ini
berkata. “Aku ingat betul. Waktu ayah memasukkan
surat ini ke dalam amplop kuning, setetes dawat
tertumpah di sudut kiri surat. Tapi di surat ini sama sekali
tidak ada noda dawat itu..!’ (dawat = tinta)
“Akira-san, kau sudah membaca Surat itu …?”
“Sudah Paman Hisao …”
“Kau menemukan sesuatu …?
“Maafkan saya. Saya mungkin keliru. Mungkin
bukan surat ini yang saya maksudkan …”
Hisao Matsunaga tersenyum. “Akira-san, kau
mungkin masih terlalu capai. Besok akan ada upacara
perabuan yang panjang. Sebaiknya kau masuk ke kamar
tidur dan beristirahat.”
“Saya rasa memang begitu..!’ kata Akira pula.
Lalu cepat-cepat anak ini meninggalkan tempat itu,
menuju ke kamarnya.
Di dekat sebuah jambangan besar Akira Kasai
hentikan langkahnya. Di situ dilihatnya tegak seorang
gadis berpakaian serba biru berwajah cantik. Agaknya
gadis ini berdiri di situ sengaja menunggu Akira.
“Maafkan saya, bukankah saya berhadapan dengan
nona Akiko Bessho? berucap Akira begitu sampai
76
di hadapan si gadis. Lalu dia membungkuk memberi
hormat.
“Adik Akira, kau rupanya masih ingat diriku. Aku
turut berduka atas meninggalnya Ayahmu …” Akiko
Bessho lalu membungkuk.
“Terima kasih..: jawab Akira. Lalu dia terdiam.
“Kau sepertl tengah memikirkan sesuatu atau
ingin mengatakan sesuatu..?”
Dalam hati Akira membatin. “Aku tidak tahu
banyak tentang gadis ini. Tapi mungkinkah dia bisa
dipercaya?” “Adik Akira,.kalau tak ada yang hendak kau
katakan aku akan kembali ke tempat upacara …”
“Sebetulnya memang ada. Tapi di sini saya rasa
tidak aman … Temui saya setelah pembacaan doa
kesembilan di samping gudang sebelah timur …”
“Saya akan menemuimu..!’ Baru saja Akiko hendak
melangkah tiba-tiba dari empat penjuru kawasan
perguruan terdengar dentangan lonceng.
“ltu lonceng tanda bahaya!” kata Akira. Anak ini
serta merta lari ke tempat. upacara sembahyang. Akiko
Bessho mengikuti. Di pelataran besar di depan meja
sembahyang mereka melihat empat orang ninja tegak
dengan kaki terkembang. Masing-masing mencekal
katana. Dua orang diantara mereka memanggul sesosok
tubuh yang agaknya sudah lama kaku alias sudah jadi
mayat!
* * *
77
DELAPAN
PENDEKAR 212 Wiro Sableng seolah merasa
sudah putus nyawanya padahal saat itu tubuhnya masih
melayang di udara dan yang pasti sesaat lagi baru akan
menghantam dasar batu jurang sedalam hampir seratus
kaki itu. Dalam kegelapan malam tiba-tiba entah dari
mana datangnya puluhan benda berbentuk segitiga
terbuat dari kain melesat ke arah Wiro. Kain segitiga ini
tak bakal mampu melesat demikian derasnya kalau
tidak dicanteli setangkai besi lancip. Sang pendekar
tidak tahu apa yang terjadi atas dirinya. Dia hanya
mendengar suara sett… settt banyak sekali. Lalu dalam
gelapnya malam samar-samar dia melihat ada benda
aneh berkelebat ke arah dirinya dan tahu-tahu sekujur
pakaiannya sudah disisipi puluhan kain segitiga.
Puluhan kain-kain yang menempel dipakaiannya
itu membentang dan berkibar deras. Bersamaan dengan
itu Wiro merasakan kecepatan jatuhnya berkurang
Tubuhnya seperti melayang! Puluhan kain segitiga yang
berkibar kencang seolah melawan arus menahan jatuh
dirinya. Ketika dia akhirnya mencapai dasar jurang,
tubuhnya memang masih terbanting sakit namun tak ada
tulangnya yang patah, dan tak ada luka-luka dideritanya.
78
Sesaat Wiro seolah tak percaya. kalau dia masih hidup.
Perlahan-lahan dia mencoba duduk. Dua buah benda
runcing menyengat pantatnya hingga pemuda ini tersentak
kesakitan. Dirabahnya bagian belakang tubuhnya,
lalu dada dan perut. pakaiannya. Dua buah benda yang
menempel di . pakaiannya dicabutnya. Dabm gelapnya
dasar lubang perlahan-lahan matanya mulai mampu
melihat dua benda yang barusan dicabutnya.
“Bendera Darah!” seru Pendekar 212 hampir ter
cekat. Dia memandang berkeliling. Dinding dan dasar
jurang batu kelihatan menghitam.
“Tak ada gerakan, tak ada suara. Apa benarbenar
tak ada manusia di sini?” Wiro menggosok kedua
matanya, memandang berkeliling sekali lagi.
“Dimana mahluk itu bersembunyi? Beberapa hari
lalu dia inginkan jiwaku, sekarang mengapa dia
menyelamatkan diriku? Aku harus keluar dari jurang
celaka ini! Tapi agaknya harus menunggu sampai pagi.
Sampai terang..!”
Satu persatu Wiro cabut bendera segi tiga yang
menyusup di sekujur pakaiannya sambil menghitung.
“Enam puluh sembilan bendera! Gila! Bagaimana
mahluk itu bisa melemparkan sebanyak itu dalam waktu
begitu singkat?! Luar biasa! Kalau tadi dia ingin
membunuhku pasti mudah saja baginya.” Wiro garukgaruk
kepalanya.
“Walau sebelumnya dia ingin membunuhku tapi
saat ini aku harus berterima kasih padanya!” Wiro lalu
melompat ke atas sebuah batu besar. Dari tempat
79
ketinggian ini dia berputar, memandang kesetiap sudut
jurang. Tetap saja dia tidak melihat apa-apa kecuali
batu-batu menghitam.
“Manusia bendera, jika kau tidak mau muncul tak
jadi apa! Aku benar-benar berterima kasih atas
pertolonganmu!” Wiro berseru. Dia jadi merinding ketika
suara teriakannya itu menggema di dinding dan jurang
batu lalu bergaung berulang-ulang.
“Cukup sekali saja aku berteriak. Tak mau
menjawab ya sudah. Terpaksa aku menunggu sampai
pagi. Kalau tak ada jalan keluar dari dasar jurang berarti
aku akan mati perlahan-lahan di tempat ini. Eh, janganjangan
manusia bendera itu sengaja hendak membunuhku
dengan cara begini!” Wiro garuk-garuk kepala
lagi lalu duduk di batu.
Sesaat dia memperhatikan puluhan Bendera
Darah yang bertebaran di depannya. Tiba-tiba dia
merasa ada hembusan angin halus disampingnya. Dia
berpaling. Tak ada apa-apa. Lalu ada bau harum masok
ke penciumannya. Wiro ingat bau itu.
“Pasti dia!” katanya dalam hati. Dia berpaling ke
kiri, ke kanan. Lalu diputarnya tubuhnya ke belakang!
Murid Shinto Gendeng ini hampir berseru kaget – ketika
di hadapannya kini dalam kegelapan malam tegak
mahluk itu. Dia melompat bangkit dengan cepat.
Si manusia bendera! Seperti keadaannya yang
dilihat Wiro tempo hari, mahluk ini sekujur tubuh mulai
dari kaki sampai kepala tertutup ratusan bendera merah
berbentuk segi tiga. Hanya sepasang matanya saja yang
80
tersembul. Berhadapan begitu dekat di atas batu Wiro
melihat sepasang mata bening memandang sedingin
salju tepat-tepat ke arahnya.
Tanpa berani berlaku lengah Wiro tundukkan
kepala dan berkata. “Tuan penolong, aku berterima
kasih kau telah menyelamatkan jiwaku, kalau tidak mati
konyol jatuh kedasar jurang batu ini!”
Orang yang diajak bicara tidak menjawab.
Wiro membungkuk. Puluhan bendera yang bertebaran
di batu diambilnya lalu diserahkannya pada
mahluk di hadapannya.
“Benderamu, ambillah. Sayang kalau dibuang
begitu saja..!”
Manusia bendera keluarkan tawa mengekeh. Dua
tangannya bergerak mengambil enam puluh sembilan
buah bendera. Dengan kecepatan luar biasa, entah
bagaimana caranya semua bendera itu disisipkannya ke
pakaiannya. Diam diam otak murid Sinto Gendeng
bekerja.
“Jika mahluk ini berada di dasar jurang berarti ada
jalan keluar masuk tempat ini,” pikirnya. Di hadapannya
mahluk bendera masih tertawa. Dengan perasaan heran
dan tidak enak Wiro bertanya.
“Kau masih tertawa terus. Ada apakah…?”
”Kau mengira aku telah menyelamatkan nyawamu…?
mahluk itu bertanya.
“Dia masih saja mempergunakan suara dari perut.
Sengaja menyembunyikan suaranya yang asli,” membatin
Wiro. Lalu dia berkata.
81
“Kenyataannya memang begitu. Dengan benderabenderamu
kau membuat aku tidak amblas jatuh ke
dasar jurang inil”
“Orang asing, aku sama sekali tidak menyelamatkan
nyawamu. Aku hanya mengulur saat kematianmu!”
Wiro melengak kaget mendengar kata-kata itu.
“Apa maksudmu manusia bendera?”
“Aku tidak ingin kau mati jatuh ke dalam jurang.
Aku ingin membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri!
Kau dengar?!”
“Aku dengar, Kalau begitu mengapa tidak kau
bunuh saja aku saat ini?!” tanya Wiro
“Aku masih memandang seseorang …” jawab
manusia bendera sambil memandang ke jurusan lain.
“Nona Akiko Bessho?” tanya Wiro pula.
“Kau sudah tahu. Mengapa bertanya?
“Punya hutang budi apa kau dengan gadis itu
hingga tidak segera membunuhku hanya karena
memandang dirinya?”
“Urusanku dengan orang lain apa perdulimu?”
jawab manusia bendera.
“Pada pertemuan pertama kau bilang membunuhku
karena aku membunuh nenek Arashi. Perempuan
sakti itu memang nenekmu sungguhan?”
“Aku datang kemari bukan untuk ngobrol denganmu.
Tapi ada satu hal yang akan kukatakan. Kau telah
membunuh seorang ninja dan membuat buntung tangan
ninja lainnya. Berarti kau tak bisa lari dari kematian.
82
Ninja akan mengejarmu sampai akhirnya mereka
berhasil membunuhmul”
“Kalau begitu lebih enak mati di tangan ninja dari
pada di tanganmu!”
Manusia bendera melengak dan menatap tajam pada
Wiro. Lalu kembali dia tertawa mengekeh. Sambil
mendongak manusia bendera berkata. “Jangan harap
kau bisa mati enak di tangan ninja. Mereka akan membunuhmu
secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit…”
Manusia bendera tertawa panjang. Begitu hentikan tawanya
dia berkata.
“Aku akan meninggalkan tempat ini. Kau mau
mengikutiku …?”
“Jika kau tidak menjebak dan benar-benar ingin
aku keluar dari sini tentu saja aku ikut. Tapi kenapa kau
menawarkan jasa baik lni …?”
“Bukankah kau lebih suka dan memilih mati di
tangan ninja dari pada di tanganku Hik … hik … hik …”
Manusia bendera tertawa lagi lalu seperti tidak acuh dia
melangkah tinggalkan tempat itu. Wio gelengkan kepala,
akhirnya melangkah mengikuti. Tapi dari mulutnya keluar
rintihan kesakitan. Dia haru sadar kalau paha kirinya
luka besar dan di lengan kanan masih menancap senjata
rahasia ninja berbentuk bintang.
Manusia bendera berpaling. “Kau terluka?”
Wiro kertakkan rahang. Dia menotok urat besar di
lengan kanannya sebelum mencabut shuriken yang
menancap di situ. Ketika senjata rahasia itu dicabut dia
memang merasa sakit yang bukan kepalang. Tetapi tak
83
ada darah yang memancur. Dalam gelap Wiro tak dapat
melihat keadaan lengannya hingga dia tak mengetahui
apakah senjata rahasia itu beracun atau tidak.
Manusia bendera memperhatikan luka di paha kiri
Wiro. Lalu berkata. “Aku ada obat untuk mempertautkan
daging yang koyak itu. Kau mau …?
“Kau mahluk aneh. Sebentar bicara acuh dan
kejam. Sekarang malah berbaik hati mau mengobati
diriku. Kalau kau memang rela masakan aku mau
menolak. …”
Manusia bendera cabut sebuah bendera yang
tersisip di bahu kanannya. Lalu dia membungkuk dan
dekatkan ujung lancip bendera ke luka di paha kiri.
“Astaga! Kau hendak menusuk lukaku!” seru Wiro
sambil cepat mundur.
“Orang asing, kau terlalu curiga …”
“Siapa yang tidak curiga pada orang yang hendak
membunuhkul” jawab Wiro.
“Di dalam besi runcing ini ada rongga berisi obat.
Ujung lancip besi ada lobangnya. Jika kutiup pangkal
besi bendera, obat akan keluar …”
“Kalau begitu lakukanlah. Tapi awas kalau kau
menipuku!” kata Wiro.
Ketika manusia bendera itu membungkuk dan
meniupkan obat dalam besi bendera, Wiro dapat
mencium bau bagian kepala orang ini yang sangat
harum.
84
Sementara itu obat yang keluar dari besi bendera
terasa sangat sejuk di pahanya yang luka hingga rasa
sakit serta merta hilang.
“Terima kasih. Kau menolongku untuk kesekian
kalinya. Hidup ini sungguh aneh. Dibalik kebaikan ada
hawa kematian. Di balik kematian ada kebaikan …”
Manusia bendera tak mau bicara lagi. Dia membalikkan
badan dan siap melangkah.
“Astagal” tiba-tiba Wiro berseru kaget. Dirabanya
bagian tubuh sekitar pinggang. Apa yang dicarinya tidak
ditemukan. Wajahnya menjadi sangat pucat. Manusia
bendera tertawa.
“Kau mencari senjata mustika kapak bermata dua
itu… Ninja telah merampasnya sebelum kau jatuh
terjungkal ke dalam jurang ini …”
“Aku ingat. Kau betul! Tapi bagaimana kau bisa
tahu? Yang ditanya tak menyahut melainkan
melanjutkan langkahnya yang barusan terhenti. Berjalan
kira-kira dua ratus kaki ke timur kelihatan sebuah
terowongan gelap. Manusia bendera masuk ke dalam
terowongan batu ini. Tak lama kemudian sekeluarnya
dari terowongan pendek itu Wiro dapatkan dirinya
berada dalam rimba belantara.
“Dari sini kau bisa cari jalan sendiri …” Manusia
bendera berkata lalu siap berkelebat pergi.
“Tunggu dulu … !” panggil Wiro.
“Ada apa?!”
“Nona Akiko Bessho memanggilmu dengan nama
Yori. Apa betul itu namamu?”
85
“Kau bisa tanyakan sendiri padanya kalau
bertemu nanti.”
“Aku mencium bau wewangian di tubuhmu. Hanya
orang perempuan yang pakai minyak wangi. Apakah
kau…..”
Manusia bendera tertawa panjang. “Jaman
sekarang kaum lelaki juga banyak yang suka bersolek
dan pakai segala macam wewangian …!” Habis berkata -
begitu dia gerakkan kedua kakinya. Sesaat kemudian
mahluk aneh itu lenyap dari hadapan Pendekar 212 Wiro
Sableng.
* * *
86
SEMBILAN
KITA kembali ke ruang besar Perguruan
Emerarudo, tempat pembicaraan doa pengantar jenazah
menjelang diperabukan. Suara lonceng yang bertalu-talu
membuat sirap suara mereka yang berdoa. Ketegangan
berat menggantung di udara. Di depan meja sembahyang
besar dua orang ninja yang memanggul dua sosok
jenazah tiba-tiba melemparkan jenazah-jenazah itu ke
atas lantai hingga mengeluarkan suara bergedebukan
yang membuat orang – banyak jadi merinding.
Para pengurus dan semua anggota perguruan
yang ada di tempat itu sama keluarkan seruan keras
ketika mereka mengenali bahwa jenazah yang dibawa
dan dilemparkan ninja ke lantai ternyata adalah mayat
dua orang murid perguruan tingkat atas. Selain bekasbekas
luka bacokan, pada kening kedua orang ini
menancap sebuah shuriken. Warna biru yang
menggembung pada daging dan kulit kening menandakan
bahwa senjata rahasia itu mengandung racun
mematikan.
Enam orang pengurus perguruan secara serentak
melompat dari atas tatami yang mereka duduki. Yang
87
paling beringas adalah Wakil Ketua Shigero Momochi.
Dua orang anak murid perguruan itu ada!ah yang
disuruhnya untuk menemui pimpinan para ninja guna
mencari keterangan siapa yang telah membunuh Ketua
Noboru Kasai serta mengobrak-abrik ruangan rahasia.
Sekarang mereka di bawa kembali dalam
keadaan seperti itu oleh empat orang ninja. Apa yang
telah terjadi?
“Datang membawa mayat, melemparkan di depan
perjamuan sembahyang ketika orang sedang berkabung!
Sungguh satu perbuatan kurang ajar dan tidak beradab!
Apalagi kalau kalian yang telah membunuh mereka!”
Suara Shigero Momochi terdengar keras dan lantang.
Dia bicara sambil tangan kanannya memegang hulu
katana yang tergantung di pinggang. Salah seorang dari
empat ninja maju satu langkah.
“Kami para ninja memang tidak mengenal sopan
santun dan peradaban. Tua-tua perguruan mengirimkan
orang untuk menyelidik. Hal itu sama saja dengan
mencurigai dan menuduh bahwa kami terlibat dalam
pembunuhan Ketua kalian! Apakah itu satu tindakan
sopan?!”
Shigero Momochi mendengus. “Kau tahu apa
tentang kematian Ketua kami? Serombongan ninja
menyerbu kemari! Membunuh Ketua kami dan berusaha
mencuri sebuah surat penting! Apa kami hanya berdiam
diri?!”
“Shigero Momochi! Siapa yang tidak kenal
denganmu? Pengurus Perguruan Emerarudo yang suka
88
menenggak minuman keras. Pantat botol! Aku tahu
kaulah yang memberi perintah pada ke dua orang itu
untuk menyelidik! Kekurang ajaranmu tidak bisa dimaafkan
hanya dengan kematian dua anak buahmu itu!”
“Ninja jahanam! Katakan apa maumu?!” Sang
ninja ganti mendengus. “Kami datang untuk meminta
enam kepala anggota perguruan. Itu sebagai penutup
malu. Terserah apakah kalian akan melakukan harakiri
sendiri atau kami terpaksa turun tangan mengambil
enam kepala itu!”
“Kau boleh punya nyali selangit! Kau tidak sadar
sudah masuk ke sarang macan! Sekalipun Dewa menolong
kau dan tiga kawanmu tak bakal bisa keluar hiduphidup
dari tempat ini!” Habis berkata begitu sret! Shigero
Momochi cabut pedangnya. Bersamaan dengan itu
sepuluh orang anak buah perguruan melompat pula
dengan katana terhunus.
“Tahan!” tiba-tibe terdengar satu seruan. Satu bayangan
berkelebat. Empat orang ninja di depan meja
sembahyang merasakan sambaran angin keras hingga
mereka cepat mundur. Yang tegak di tengah ruangan
ternyata adalah Hisao Matsunaga, Ketua baru
Perguruan Emerarudo.
“Semua harap menahan diri. Saat ini adalah saat
duka berkabung bagi kami orang-orang perguruan.
Bahkan doa pengantar jenazah ke perabuan masih
belum selesai dipanjatkan. Apakah diantara kita tidak
mungkin berbesar jiwa untuk tidak berbuat onar? Para
89
ninja, kami merasa kalian berempat cukup berbaik hati
untuk mau mengantar jenazah murid-murid perguruan.
Aku tidak berusaha mencari tahu siapa pembunuh
mereka. Aku tidak akan menuduh kalian sebagai pelaku.
Aku akan melupakan segala sesuatu yang bersilang
diantara kita asalkan kalian berempat sudi meninggalkan
tempat ini. Aku Ketua Perguruan Emerarudo memohon
dengan hormat ……..”
“Mana bisa seperti itu aturannya. Enak betul!”
Yang berkata keras itu adalah Shigero Momochi. “Ketua,
jangan merendahkan derajat kita dengan alasan kita
sedang berduka! Komplotan manusia-manusia hitam
durjana ini seharusnya sudah sejak lama dibasmi!”
“Shigero Momochi, ucapanmu selain menghina
juga terlalu takaburl Aku harap kau mau berlutut dan
minta maaf!” kata ninja yang sejak tadi bertindak sebagai
juru bicara.
“Keparat kurang ajar! Kalau tidak kubuat menggelinding
kepalamu rasanya tidak berguna hidup ini!”
Dari dalam saku kimononya Shigero Momochi keluarkan
sebotol minuman keras. Minuman ini ditenggaknya
sampai habis. Botol kaleng yang kosong kemudian
dibantingkannya ke lantai ruangan. Tampangnya kini
kelihatan menjadi merah beringas. Bahunya naik ke
atas. Dua tangannya menggenggam katana. Sepuluh
orang murid perguruan bergerak maju selangkah demi
selangkah. Empat ninja tak tinggal diam. Empat bilah
pedang mereka berkilauan dibawah sorotan lampu
minyak.
90
Di saat yang sangat menegangkan itu tiba-tiba
dua orang pendeta Zen berdiri dan melangkah cepat ke
depan meja sembahyang.
“Kami dua orang tamu yang tak ingin melihat tuan
rumah dalam saat berkabung harus turun tangan pula
untuk menyelesaikan kericuhan. lzinkan kami mewakili
tuan rumah ….” Pendeta Zen yang bicara berpaling pada
Hisao Matsunaga lalu membungkuk. Dua pendeta ini
adalah yang mengantarkan Akira kembali malam tadi ke
perguruan.
“Pendeta tidak tahu diri! Pekerjaan kalian hanya
menyangkut urusan keagamaan! Mengapa sekarang
berlagak sepelti dua jago silat?! Kau dan kawanmu
bertindak lancang! Tapi tidak apa! Kami sudah lama
memperhatikan tindak tanduk para orang suci agama
Zen yang sering mencampuri urusan dan kepentingan
kami. Malam ini kalian rupanya mau menjadi tumbal
pendahuluan mewakili kawan- kawan kalian!” bentak
ninja hitam.
“Dua pendetal” seru Hisao Matsunaga dengan
cepat.
“Terima kasih atas perhatian kalian. Tapi semua
ini adalah urusan perguruan. Biar kami yang
menyelesaikan secara baik-baik.” Mendengar ucapan
Ketua pergunran itu, dua pendeta Zen segera menjura,
menghaturkan permintaan maat lalu cepat kembali ke
tempat duduk masing-masing.
Ninja di sebelah depan menyeringai di balik kain
hitam penutup wajahnya. “Dua pendeta Zen. Kalian
91
berhutang nyawa pada Ketua Perguruan! Kalau tidak dia
yang menolak, niscaya kalian berdua sudah terkapar jadi
bangkai tak berguna!”
Dua pendeta Zen kelihatan merah wajah masing
masing. Tapi ke duanya tak berkata apa-apa dan mengambil
sikap menundukkan kepala.
“Mungkin ada lagi yang berbaik hati hendak
mewakili tuan rumah?!” berseru ninja paling depan. Tiba
tiba terdengar suitan keras disertai berkelebatnya satu
bayangan. Di lain kejap satu sosok terbungkus pakaian
serba merah mulai dari kaki sampai ke kepala tegak di
tengah ruangan, menghadap ke arah empat orang ninja.
Dari wajahnya hanya sepasang matanya yang kelihatan,
memandang tak berkesip. Sebilah katana menyembul
dari balik punggungnya.
“Ninja Merahl” seruan itu keluar dari hampir
semua mulut.
“Selama dunia terkembang baru sekali lni aku
melihat ada ninja merah!” kata seseorang dengan mata
terbelalak. Shigero Momochi yang hendak meradang
karma merasa didahului orang juga ikut terkesima. Dia
berpaling pada Hisao Matsunaga. Ketua baru Perguruan
Emerarudo ini sendiri tampak tegak tertegun.
“Siapa kau?l” bentak ninja hitam sementara tiga
kawannya tegak dengan sikap waspada penuh.
“Tadi kau bertanya siapa lagi wakil tuan rumah.
Nah aku adalah wakil yang kau tanyakan itu! Aku sengaja
capai-capai datang ke sini, jadi jangan kecewakan
dirikul”
92
“lni tidak masuk akal! Tak pernah ada ninja
merah! Buka penutup kepalamul Aku mau lihat
tampangmu!” Ninja merah tertawa pendek.
“Apakah kau mau membuka penutup kepalamu
lebih dulul”
“Kurang ajar! Bersiaplah untuk matil” bentak ninja
hitam lalu dia melompat ke arah ninja merah sambil
hantamkan ninjatonya. Tangan ninja merah bergerak ke
punggung. Sebilah pedang berkiblat di udara, menangkis
dengan keras pedang di tangan ninja hitam.
Kalau tidak merasa malu disentak lawan dalam
satu kali gebrakan ninja hitam hampir mengeluarkan
seruan tertahan. Bentrokan senjata dengan ninja merah
bukan saja membuat tangannya terasa pedas dan
pedangnya hampir terlepas, tetapi juga menyebabkan
kedua lututnya tertekuk. Dia merasa seolah ada
kekuatan besar menekan tubuhnya dari atas. Kalau tidak
cepat dia melompat mundur sambil memasang kudakuda
baru, pasti dirinya jatuh terhenyak di depan meja
sembahyang.
“Mahluk merah ini memiliki tenaga luar biasa.
Jurus ilmu pedangnya aneh…..” Ninja ini seperti terpanggang
ketika di depannya ninja merah tertawa mengekeh
dan mengejek.
“Ninja jelek, masih mau terus atau berlutut saja
minta ampunl”
“Mahluk takabur! Sekalipun kau punya tujuh
kepala selusin tangan ninja tak pernah tunduk dan
takut!” Pedang di tangan ninja hitam melesat ke udara,
93
membeset ke dada, menusuk ke perut dan merobek lagi
ke dada.
Serangan ninja sulit dikelit, hampir tak pernah
gagal. Ninja merah berseru keras. Tubuhnya melesat ke
atas, jungkir balik dan hantamkan kaki kanan ke arah
kepala ninja hitam waktu melayang turun.
Meleset. Malah pedang ninja hitam membeset ke
arah dada membuat ninja merah berseru kaget lalu
cepat membuang diri ke samping. Begitu kakinya
menginjak lantai Satu tusukan menyambar dengan
ganas.
“Hah!” Hebat sekali. Ninja merah masih mampu
berkelit. Tapi ketika ujung pedang mencuat dan
membalik ke arah dadanya, ninja merah terlambat
mengelak. Ujung pedang menyambar robek dada
pakaiannya. Masih untung kulit atau daging dadanya
tidak ikut tersambar.
Dengan nafas agak mengengah ninja merah
tegak sambil letakkan tangan kiri di pinggang. Kedua
kakinya terkembang.
“Aneh ….” kata Hisao Matsunaga dalam hati.
“Kuda-kudanya aneh. Dia memegang katana
hanya dengan sebelah tangan. Siapa ninja tunggal ini
sebenarnya.” Keanehan yang dilihat oleh Hisao itu juga
diketahui oleh semua orang yang ada di situ. Mereka
sama bertanya-tanya dalam hati siapa adanya ninja
merah ini.
“Ninja jelek, kau merasa sudah cukup atau masih
mau terus?” Pertanyaan ninja merah benar-benar sangat
94
merendahkan ninja hitam. Di dahului suara menggembor
ninja hitam menyergap dengan serangan berantai.
Katana dalam genggamannya seolah lenyap. Berubah
menjadi sinar keputihan yang mencuat ke berbagai
bagian tubuh ninja merah. Setelah menghindar dengan
sebat, ninja merah keluarkan suara suitan keras. Lalu
tubuhnya berkelebat menyongoong serangan lawan.
Trang …. trang …. trang!
Tiga kali dua katana bentrokan di udara. Ninja
hitam berseru kaget. Pedangnya lepas dari tangan. Dia
cepat jatuhkan diri. Ketika bangkit sebuah kusarigama
tahu-tahu sudah tergenggam di tangannya. Rantai yang
ujungnya dicanteli senjata berbentuk ganco ini diputar
dua kali di atas kepala lalu dengan kecepatan kilat
membeset ke bawah.
“Jebol perutmu Brojol ususmul” teriak ninja hitam.
“Perut bapakmu!” Usus Ibumu!” balas berteriak
ninja merah. Pedang di tangan kanannya meluncur ke
depan. Sengaja disusupkan masuk ke dalam gelungan
kusarigama.
“Ha … ha …. Kau menjebak diri sendiril” teriak
ninja hitam. Lalu dengan sekuat tenaga dia tarik
kusarigama-nya. Maksudnya hendak membetot lepas
pedang di tangan lawan. Tapi alangkah terkejutnya
ketika cepat sekali pedang ninja merah justru melesat
terus dan tahu-tahu ujung katana itu sudah menempel di
tenggorokan-nya, membuatnya melangkah mundur.
Wajahnya yang tersembunyi di balik kain hitam pucat
pasi. Jantungnya seperti mau tanggal. Langkah mundur-
95
nya tertahan ketika pinggangnya membentur meja
sembahyang.
“Dasar ninja kurang ajar! Kalau mau sembahyang
jangan memantati meja! Putar tubuhmu!” bentak ninja
merah. Pedangnya digerakkan secara aneh, mambuat
tubuh ninja hitam jadi terputar.
Dalam suasana lain mungkin semua orang akan
tertawa membahak melihat kejadian yang lucu itu.
Namun saat itu semua dihimpit oleh rasa tegang hingga
tak ada yang bersuara ataupun bergerak Ninja merah
dekatkan kepalanya ke wajah ninja hitam. Tanpa
didengar oleh orang-orang yang ada di situ, dengan
suara perlahan dia berkata. “Seorang teman kehilangan
senjata berbentuk kapak bermata dua. Ada bukti senjata
itu berada di tangan komplotanmu, Lekas jawab atau
kugorok lehermu saat ini jugal”
“Ninja tidak takut mati! Kau boleh gorok leherkul”
menyahuti ninja hitam.
“Kurang ajar! Nyalimu boleh juga! Aku urung
menggorok lehermu! Kau akan kubiarkan hidup. Tapi
kedua matamu kubuat buta lebih dulu!” Tangan ninja
merah yang memegang pedang bergerak ke atas. Ninja
hitam yang masih memegang ujung rantai besi coba
bertahan. Dia mengerahkan seluruh tenaganya sampai
tubuhnya keringatan. Ternyata dia tak mampu melawan
tenaga lawan.
“Mata kananmu lebih dulul” kata ninja merah.
Ujung pedang bergerak ke arah mata kanan ninja merah
Tiba-tiba tangan kiri ninja hitam menyelinap ke sisi.
96
Sesaat kemudian sebuah belati kecil yang tergenggam
di tangan kiri itu menghunjam deras ke perut ninja
merah.
“Belati beracunl” teriak beberapa orang.
Ninja merah tampk tenang. Dia bukannya tidak
tahu apa yang dilakukan lawan. Begitu ujung belati
hampir menyentuh pakaian merahnya dan siap menjebol
perutnya, tangan kiri ninja merah berkelebat. Ninja hitam
berteriak kesakitan ketika lengannya yang memegang
pisau dicekal lawan. Dia merasa seperti dijepit dengan
jepitan besi. Ketika dia coba berontak terasa ada
tekanan aneh pada urat besar di pergelangan tangan
Lalu mendadak sontak sekujur tangan kirinya menjadi
kaku! Sementara itu ujung katana di tangan ninja merah
sudah rampal di depan mata kanannya.
“Bagaimana, kau mau memberi keterangan atau
tidak?l” kertak ninja merah. Nyali ninja hitam jadi leleh.
“Aku tidak tahu menahu soal senjata yang kau
tanyakan itu. Ada tiga komplotan besar ninja di daerah
ini ….”
“Sebutkanl”
“Ninja Nara, Ninja Iga dan Ninja Okazaki….”
“Kau dari ninja mana?l”
“Nara ….:”
Ninja merah tertawa perlahan. “Manusia kentut
busuk! Kau kira aku bisa kau akali! Setahuku ninja Nara
tidak pernah memiliki shuriken beracun seperti yang
kalian pergunakan untuk membunuh dua murid
97
perguruan itu!” Pedang di tangan ninja merah bergerak
ke atas.
Craasss!
Ninja hitam meraung keras. Mata kirinya pecah.
Darah muncrat.
“Kau masih punya kesempatan kurang dari sekejapan
mata! Katakan kau gembong ninja dari mana!”
“I ….. Iga…” jawab ninja hitam.
“Dasar ninja tolol kalau tadi-tadi kau beri tahu
mata kananmu tak akan buta!” Tiba-tiba tiga buah
senjata rahasia berbentuk bintang melesat ke arah ninja
merah. Dari samping berkelebat satu bayangan. Lalu
tring … tring …. !
Dua buah shuriken mental ke udara dan
menancap di loteng ruangan. Shuriken ke tiga ternyata
melesat sangat sebat dan siap menembus dada ninja
merah. Orang banyak menahan nafas. Wajah ninja
merah dibalik penutup kepala menyeringai. Tangan
kirinya mencengkram bahu ninja hitam. Tangan kanan
yang masih memegang pedang dan tergelung dalam
rantai besi ditarik kesamping. Tubuh ninja hitam
bergeser keras ke kanan. Lalu terdengar jeritnya ketika
shuriken beracun menancap amblas di punggungnya,
terus menembus paru-paru sebelah kiri Ninja ini
langsung mati berdiri!
Ninja merah memandang pada Shigero Momochi
yang berdiri di tengah ruangan sembahyang. Dialah tadi
yang telah melompat dan menangkis dua buah senjata
rahasia yang dilemparkan oleh kawan ninja dari lga itu.
98
“Terima kasih …. Aku tidak melupakan bantuanmu
tadi!” kata ninja merah pada Shigero Momochi. Tiga
ninja hitam yang ada di tempat itu menjadi marah dan
nekad melihat kawan mereka menemui ajal mengenas
kan begitu rupa. Ketiganya melompat dan langsung
menyergap ninja merah dengan serangan ganas. Tiga
bilah katana berkiblat di udara mengeluarkan suara
berdesing mengerikan.
“Aha, selain kurang ajar kalian juga ternyata
curangl” teriak ninja merah. Sretttl Dia cabut pedangnya
dari gelungan rantai besi berkepala ganco. Tiga ninja
yang menyerbu mengira lawan mereka akan pergunakan
senjatanya untuk menangkis. Cepat-cepat mereka putar
arah pedang. Tiga katana itu kini menderu ke arah tubuh
sebelah bawah lawan. Tapi mereka kecele.
Ninja merah ternyata tidak pergunakan katananya
untuk menangkis. Tapi tiba-tiba mengangkat tubuh ninja
yang sudah mati dan memutarnya seperti titiran lalu
dilempar ke arah tiga ninja yang menyerangnya.
Craasss! Craasss! Craasss!
Tiga pedang menghantam tubuh mayat di tiga
tempat. Lantai ruangan sembahyang lagi-lagi dikotori
dengan darah! Tiga ninja hitam terkesiap kaget tidak
mengira kalau pedang mereka akan menghantam tubuh
kawan sendiri walaupun sudah jadi mayat. Hisao
Matsunaga usap mukanya berulang kali sementara yang
lainnya tertegun menyaksikan apa yang terjadi.
Tiga ninja hitam jadi tambah beringas. Mereka
berteriak dahsyat lalu kembali menyerbu ninja merah.
99
Yang diserang siap menunggu dengan pedang melintang
di depan dada. Dan lagi-lagi dia memegang pedang
dengan satu tangan yaitu tangan kanan tidak lazimnya
cara ninja memegang senjata, Saat itu Shigero Mamochi
tidak mau tinggal diam. Begitu tiga ninja hendak
mengeroyok lagi dia berkelebat masuk ke dalam
kalangan pertempuran. Tapi dia jadi melongo ketika
mendapatkan hanya satu lawan yang tersisa.
Dua ninja lainnya telah lebih dulu menggeletak di
tanah dengan perut dan dada robek. Keduanya
melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.
“Maafkan aku hanya meninggalkan satu korban
untukmul” kata ninja merah pula pada Shigero Momochi.
Lalu dia keluarkan suitan keras. Di lain kejap semua
orang hanya sempat melihat orang itu berkelebat satu
kali lalu lenyap di ujung ruangan sembahyang.
Shiaero Momochl memandang mendelik pada
satu-satunya ninja yang masih hidup. Ninja satu ini sebenarnya
sudah hampir putus nyalinya. Namun dia
sadar tak mungkin lolos hidup hidup dari tempat itu. Belasan
anak murid perguruan dilihatnya telah mengurung
tempat itu. Dengan nekad dia lalu menyerbu ke arah
Shigero. Wakil ketua perguruan yang suka mabok ini
memang memiliki ilmu pedang tinggi. Namun satu lawan
satu menghadapi ninja hitam itu dia sempat dibuat repot
bahkan robek lengan kimononya sebelum akhirnya dia
berhasil membacok pangkal leher lawan sampai tewas.
100
AKIRA Kasai menghela natas lega. Tapi wajahnya
masih gelisah. Dia berpaling pda Akiko Bessho yang
tegak di sebelahnya.
“Ada empat ninja terbunuh di perguruan. Keadaan
semakin rumit…!” kata anak itu dengan suara perlahan.
“Aku tahu.,.” jawab Akiko.
“Kawan-kawan mereka bahkan mungkin semua
komplotan ninja dl negeri ini akan menyerbu. Menuntut
balas! Aku sahabatmu, aku tidak akan membiarkan
kalian diperlakukan semena-mena. Aku akan melakukan
apa saja yang bisa membantu ….. Cuma saat ini aku
juga punya kesulitan …… .”
“Kesulitan apa?” tanya Akira Kasai.
“Dalam perjalanan ke sini sebenarnya aku
bersama seorang kawan. Seorang pemuda asing
bernama W iro. Begitu melihat Ketua Hisao Matsunaga
memacu kuda di malam buta, aku mengambil keputusan
untuk mengikutinya. Pemuda asing itu aku suruh tunggu
di satu tempat. Ketika aku kembalil dari puri bersama
Ketua Hisao Matsunaga kawanku tak ada lagi di tempat
penantian. Aku bersama Ketua menyelidik tapi tak bisa
lama karena dia harus cepat-cepat kembali ke sini.
Sebelum pergi aku menemukan sebuah shuriken
menancap di batu. Ninja …. Jangan-jangan kawanku
ltu… .?. telah dibunuh atau diculik oleh ninja ….”
“Kau salah nona Akiko. Aku ada di sini. …” satu
suara terdengar. Seorang pemuda berpakaian dekil dan
robek serta berambut gondrong muncul dari balik
sebuah tiang bangunan. Akiko Bessho berpaling dan
101
hampir berteriak ketika melihat Pendekar 212 Wiro
Sableng tegak di depannya.
“Wiro! Kukira kau….”
* * *
102
SEPULUH
Murid Sinto Gendeng tersenyum. Tapi tiba-tiba
wajahnya kelihatan mengernyit.
“Eh, kau seperti kesakitan….” kata Akiko.
“Saya lihat ada luka di paha dan lengannya,” kata
Akira pula.
“Aku diserang lima orang ninja. Satu berhasil
kubunuh. Satunya lagi kubabat buntung tangan kanannya.
Yang tiga berhasil membuatku babak belur lalu
menendangku sampai jatuh ke dalam jurang batu ….”
“Jatuh ke dalam jurang batu?! Saya tidak percaya!
Bagaimana mungkin sekarang kau masih hidup?l” kata
Akira Kasa! pula.
“Wiro, ini Akira Kasai, putera mendiang Ketua
Noboru KasaI….” Akiko memperkenalkan.
Wiro mengangguk lalu membungkuk. Akira Kasai
balas menjura lalu menutup mulutnya menahan tawa.
“Sobat kecil, mengapa kau tertawa ?” tanya Wiro.
“Caramu membungkuk seperti orang menahan
buang air besarl” jawab Akira pula yang membuat Wiro
tertawa lebar dan garuk-garuk kepala.
103
“Wiro, apa yang dikatakan Akira benar. Jika kau
jatuh ke dalam jurang batu bagaimana kau bisa hidup
dan bisa datang ke sini walau dalam keadaan masih
terluka?”
“Kau mungkin tak percaya. Kawanmu bernama
Yori itu yang menolongku.”
”yori ….?’
“Manusia bendera ….”
“Hah! Yori si Bendera Darah! Bukankah dia
sebelumnya bermaksud hendak membunuhmu!?’
“Betul. Tapi agaknya dia begitu takut padamu
hingga menangguhkan kematianku.”
“Tak bisa kupercaya.”
“Dia juga yang mengobatiku dan berkata bahwa
setelah aku membunuh dan melukai seorang ninja,
nvawaku akan terancam kemanapun aku pergi. Melihat
apa yang terjadi di tempat ini aku merasa beruntung.
Kalau saja aku datang lebih cepat pasti aku yang jadi
sasaran balas dendam ninja-ninja itu. Walau aku lolos
dari lobang jarum kematian namun nasibku jelek Kapak
Maut Naga Geni 212 milikku dirampas kawannya ninja!”
“Ah, senjata itu bagimu sama saja dengan nyawamu,”
kata Akiko.
“Nona Akiko, jangan lupakan diriku. Bukan kalian
saja yang punya kesulitan. Saya juga…”’
“Adik Akira maatkan aku ….”
“Apakah kita bisa bicara di tempat lain sekarang?”
“Baik, kita bicara di tempat aman. Kawanku ini
akanikut menemani …”
104
“Tunggu dulu. Saya tidak kenal pemuda asing ini
sebelumnya. Apa dia bisa dipercaya?” tanya Akira Kasai.
“Kau bisa mempercayai dirinya seperti kau mempercayai
diriku ….”
“Terus terang saya tidak bisa mengatakan apakah
saya mempercayaimu dan juga orang ini. Tapi saya tidak
punya orang lain yang bisa diajak bicara….” Lalu Akira
Kasai memutar tubuhnya. Dia berjalan di depan sekali
menuju ke arah timur kawasan perguruan yang luas. Di
belakang sebuah bangunan yang dijadikan gudang
dimana keadaan sepi dan agak gelap anak ini berhenti.
“Di sini aman. Kita bicara di sini saja ….” kata
Akira. Dia melirik pada Wiro sebentar seolah masih
meragu. Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya.
“Bocah … :’
“Bocah …. Apa itu?” tanya Akira.
“Di negeriku bocah artinya anak kecil …”
“Oh …”
“Kalau kau kurang percaya padaku, biar aku pergi
saja. Nanti aku kembali lagi,” kata Wiro pula. Lalu dia
memutar tubuh hendak meiangkah pergi.
“Tunggu, saya kira saya bisa percaya padamu
seperti saya percaya pada nona Akiko.”
“Bagus, sekarang katakan apa yang hendak kau
sampaikan padaku …. .”
“Ini menyangkut surat warisan pengesahan Ketua
yang tadi dibaca oleh salah seseorang sesepuh perguruan…”
105
“Ada apa dengan surat itu?’ tanya Akiko. Anak
usia 14 tahun itu memandang dulu ke kiri dan ke kanan
seolah takut ada orang laln mendengar pembicaraan.
Lalu dengan suara perlahan dia berkata.
“Saya yakin surat yang dibacakan itu adalah surat
palsu.”
“Tapi saya melihat sendiri pendeta Kamashaki
menyerahkannya dalam amplop kuning tertutup pada
Hisao Matsunaga di Puri Sanzen ….”
“ltu yang mengherankan,” sahut Akira Kasai.
“Lalu apakah kau punya alasan atau bukti mengatakan
surat itu palsu?” bertanya pendekar 212.
Akira Kasai mengangguk. “Saya melihat Ayah
membubuhkan tanda tangan dan cap perguruan pada
surat pengangkatan pewaris Ketua itu. Waktu itu setetes
tinta jatuh menodai sudut kiri bawah surat. Ayah memaki
dirinya sendiri karena ketotolannya itu. Namun saya lihat
Ayah terus saja memasukkan surat itu ke dalam amplop
kuning. Mengikatnya dengan benang, diberi lem dan
diberi lak besar. Surat itu diserahkan pada saya dengan
pesan agar saya bersama beberapa pembantunya
menyerahkan surat itu pada pendeta Komo di Puri
Sanzen ….”
“Kapan hal itu tejadi?” tanya Akiko.
“Sekitar satu bulan lalu.”
“Akira-san, kau banyak mengetahui kejadian pada
malam waktu Ayahmu dibunuh?’ bertanya Wiro. Ketika
anak itu mengangguk Wiro dan Akiko minta agar dia
106
menceritakan. Sesaat setelah mendengar cerita Akira,
Wiro lantas berkata.
“Ada kemungkinan Ayahmu karena kurang
senang dengan noda tinta di surat warisan, lalu
membuat surat baru mengganti surat yang kau terima?”
“Saya tidak yakin. Karena surat yang bernoda
tinta itu hanya saya simpan satu malam. Besoknya
langsung dikirimkan pada pendeta Komo.”
“Melihat gelagat, Ayahmu seperti tidak mempercayai
keamanan di perguruan …” kata Wiro.
“Saya tidak mengerti dan saya tidak tahu
mengapa Ayah berbuat begitu.”
“Sekarang sudah ada Ketua perguruan yang baru.
Apa yang masih kau risaukan?” tanya Akiko Bessho.
“Siapa saja yang jadi Ketua saya tidak perduli.
Tapi saya mengira telah terjadi kecurangan. Pemalsuan
surat warisan Ketua.”
“Selain Hisao Matsunaga, siapa lagi pengurus di
perguruan yang berhak untuk jabatan itu?” tanya Wiro.
“Paman Shigero Momochi. Tapi syukur Ayah tidak
mewariskan jabatan Ketua padanya ….”
“Memangnya kenapa?’ tanya Wiro lagi.
“Sifatnya kasar. Pemabok. Walau hatinya baik,
mana mungkin orang seperti dia bisa diangkat jadi
Ketua. Saya kira memang tepat kalau Ayah mewariskan
jabatan Ketua pada paman Hisao Matsunaga. Hanya
saja saya masih merasakan ada sesuatu yang tidak
beres …”
107
“Akira-san sudahlah. Hal itu tak perlu kau pikirkan
berpanjang-panjang. Perguruan sudah punya Ketua
baru. Besok jenazah Ayahmu akan diperabukan ….”
Akira terdiam. Baik Akiko maupun Wiro sama maklum
kalau si anak masih belum puas. Agaknya belum seluruh
unek-uneknya dikeluarkan.
“Adik Akira, mungkin masih ada yang hendak kau
katakan?”Tanya Akiko.
Wiro menguap lebar-lebar. Selain letih luka di kaki
dan di lengannya terasa berdenyut sakit. Dia lalu pergi
duduk di sebuah bangku kayu dekat dinding gudang.
“Memang ada. Mungkin ini bisa dijadikan petunjuk
siapa yang membunuh Ayah ….”
“Kita semua tahu Ayahmu dibunuh oleh ninja. Ada
tiga kelompok besar ninja di negeri ini. Tidak mudah
untuk menyelidiki. Buktinya kau saksikan sendiri bagaimana
mereka berani mendatangi tempat ini hanya
karena tersinggung ….”
Si anak tidak perdulikan ucapan gadis itu. Dia
memotong. ‘Waktu saya melihat jenazah Ayah pertama
kali, saya melihat ada kelainan pada lima jari tangan
kanan beliu …”
“Kelainan bagaimana?”
“Lima jarinya berada dalam keadaan seperti habis
mencengkeram. Setahu saya Ayah memang mempunyai
ilmu pukulan disebut Lima Jari Dewa. Untuk mendapatkan
ilmu itu Ayah harus melakukan perjalanan selama
tujuh bulan ke sebuah pegunungan di Tibet. ltupun
belum sempurna betul. Menurut Ayah dia harus kembali
108
lagi ke sana. Siapa saja yang terkena pukulan Lima Jari
Dewa pasti menemui ajal atau cacat bertanda seumur
hidup tubuhnya, tak bisa dihilangkan. Saya yakin
sebelum terbunuh Ayah sempat melepaskan pukulan itu
ke tubuh ninja. Kalau tidak mengapa jari-jari tangannya
berada dalam keadaan mencengkeram. Saya mengerti
tidak mudah mencari tahu siapa ninja yang terkena
pukulan itu. Namun paling tidak kita sudah punya
petunjuk …”
“Selain Ayahmu, apa ada pengurus perguruan
lainnya memiliki ilmu Lima Jari Dewa itu?” bertanya
Akiko. Akira Kasai menggeleng.
”’Cuma Ayah satu-satunya yang menguasai ilmu
itu!” Akiko memandang pada Wiro.
“Apa yang bisa kita lakukan?”
“Semua yang diceritakan anak ini dan semua
yang terjadi adalah urusan dalam perguruan. Kita tak
bisa mencampuri dan melibatkan diri. Aku sendiri
sedang bingung karena menderita luka dan kehilangan
kapak mustika. Namun mungkin semua yang terjadi di
sini merupakan satu jalan bagiku untuk menyelidik ninja
mana yang mencuri senjataku itu…!’” Wiro memandang
pada Akira lalu berkata.
“Sobatku kecil, aku akan melakukan apa saja
untuk membantu menyingkap siapa pembunuh
Ayahmu…..”
Akira Kasai membungkuk. “Terima kasih gaijin …”
katanya perlahan lalu dia berpaling pada Akiko.
109
“Ada satu hal yang tidak saya mengerti dan ingin
saya bicarakan denganmu!’
“Katakan saja …”
“lni menyangkut kejadian sewaktu rombongan
kami dicegat ninja dalam perjalanan ke Puri Sanzen … .”
“Apa yang tidak kau mengerti Akira!”
“Ninja berlaku ganas. Mereka menumpas hampir
semua anggota rombongan. Termasuk sahabat saya
Keno. Yang selamat hanya saya dan Paman Hisao.
Namun waktu itu saya … !” Akira Kasai tidak
meneruskan kata-katanya. Dari balik bangunan gudang
terdengar suara orang batuk. Sesaat kemudian Hisao
Matsunaga yang sekarang menjadi Ketua Perguruan
Emerarudo muncul di tempat itu.
“Maafkan kalau kedatanganku menggangu pembi
caraan kalian. Jika memang ada urusan penting yang
perlu dibicarakan, dalam bangunan besar ada beberapa
ruangan bisa dipergunakan ….”
“Kami kebetulan bertemu dan tidak bicara hal-hal
penting,” kata Akiko pula sambil tersenyum lalu membungkuk.
Begitu juga Akira dan Wiro.
“Akira-san,” Hisao menegur,
“Kau butuh istirahat lngat besok akan ada upacara
panjang sebelum Ayahmu diperabukan. Mengapa
tidak segera saja masuk kamar dan istirahat?”
“Maafkan saya paman Hisao. Selamat malam
untuk kalian semua,” jawab Akira. Sekali lagi anak ini
110
membungkuk lalu cepat-cepat ditinggalkannya tempat
itu.
Hisao Mastunaga perpaling pada Akiko. “Nona
Akiko, bagimu telah kusediakan sebuah kamar untuk
istirahat. Jika kau suka akan kuantar kesana sekarang
juga ….”
“Terima kasih. Ketua terlalu memperhatikan saya”
Hisao Matsunaga kini memandang pada Wiro. Rambut
gondrong, kening diikat kain putih, pakaian robek serta
luka di paha dan lengan.
“Nona Akiko siapa pengemis asing ini?” Mulut
Pendekar 212 sampai bergerak pencong mendengar
orang menyebutnya sebagai pengemis. Dalam hati dia
memaki panjang pendek.
“Dia sahabat saya. Maafkan kalau keadaannya
morat marit. Dia barusan dirampok orang di tengah
jalan..!” dusta Akiko.
“Hemmm …. Banyak uang atau hartamu yang
dirampas?” tanya Hisao Matsunaga pada Wiro dengan
senyum menunjukkan ketidak percayaan.
“Sedikit. Cuma lima tail emas dan lima tail perak,”
jawab Wiro terpaksa berdusta agar karangan Akiko
cocok dengan ucapannya.
“Ck …. ck …. ck …” Hisao Matsunaga berdecak.
“ltu bukan sedikit” katanya lagi-lagi dengan
tersenyum tanda dia tidak percaya ucapan si gondrong
tadi.
“Nona Akiko, saya siap mengantarkanmu…..”
111
“Terima kasih Ketua. Saya tak mau merepotkan
orang. Biar saya bergabung dengan para tamu lainnya di
ruang besar upacara sembahyang ….”
“Kalau begitu kemauan Nona saya tidak bisa
memaksa,” kata Hisao Matsunaga pula. Lalu dia
melangkah. Namun berhenti di hadapan Wiro dan
berkata.
“Saya menghargai kehadiranmu untuk melayat.
Tapi sesuai aturan, kau hanya diperkenankan duduk di
barisan paling belakang tempat upacara ….” Wiro
tersenyum.
“Saya sudah tahu. Tempat pengemis seperti saya
memang di situ …. Lagi pula saya kawatir duduk ramairamai
di depan …..”
“Apa yang kau kawatirkan?” tanya Hisao
Matsunaga heran.
“Saya kawatir beberapa tail emas yang masih ada
dalam kantong pakaianku disambar orang …” jawab
Wiro.
“Selamat malam ketua,” katanya kemudian Sambil
membungkuk. Tanpa berkata apa-apa lagi Hisao
Matsunaga tinggalkan tempat itu dengan cepat. Begitu
orang pergi Wiro berpaling pada Akiko yang memandang
padanya sambil tertawa geli.
“Nasibku buruk amat. Disangka pengemis oleh
Ketua Perguruan…!’
“Sudahlan. Dia cuma salah menduga dan menilai
orang,” menyahuti Akiko Bessho.
112
“Bagaimana pendapatmu mengenai Akira
Kasai…?
“Dia anak baik. Tapi aku punya firasat keselamatannya
terancam.” Jawab Wiro polos.
“Kalau begitu aku akan mengawasi dirinya secara
diam-diam.”
“Malam ini biar aku saja yang berjaga-jaga. Apa
lagi tak ada gunanya aku berada di ruangan pembacaan
doa. Aku mana pandai berdoa cara kalian …” Habis
berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah
ke arah bangunan di mana tadi dilihatnya Akira masuk.
Dia melambaikan tangan pada Akiko Bessho lalu
berkelebat naik ke atas atap bangunan lain di seberangnya.
* * *
113
SEBELAS
LAPAT-lapat dari ruang besar tempat upacara
doa dilangsungkan terdengar suara orang membaca doa
tak berkeputusan. Tanpa diketahui oleh orang-orang
perguruan Emerarudo, dua sosok hitam berkelebat cepat
di kegelapan malam. Seperti cecak keduanya merayap
cepat menaiki tembok tinggi.
Ketika dua sosok hitam itu menyelinap naik ke
atas atap kamar tempat tidur Akira Kasai, di suatu bukit
kecil di dalam sebuah bangunan berbentuk kuil
seseorang menyalakan lilin di atas sebuah meja batu
berlumut. Di atas meja terdapat aebuah bokor tembaga
Di dalam bokor ini tersimpan abu jenazah seseorang.
Nyala api lilin yang menari-nari tertiup angin
membuat bayang-bayang seram di dinding ruangan.
Orang yang menyalakan lilin membungkuk di hadapan
meja batu sampai tiga kali lalu perlahan-lahan jatuhkan
diri berlutut. Sepuluh jari-jari tangannya dirangkapkan
satu sama lain. Lalu diantara siliran angin malam
terdengar dia berucap.
“Nenek …. Cucu telah membuat kesalahan besar.
Dua kali cucu berhasil menemuinya. Tapi dua kali pula
114
cucu gagal membunuhnya. Kali pertama karena permintaan
orang yang pernah menyelamatkan kehormatan
cucu. Kali ke dua karena kebodohan cucu sendiri. Yaitu
cucu tidak mampu, tidak tega melakukannya. Setiap
cucu melihat wajahnya ada perasaan aneh dalam hati
cucu. Nenek Arashi Cucu mohon maafmu. Agaknya cucu
tidak akan pernah bisa membunuhnya. Kalau ini satu
dosa besar, mulai dari sekarang hukumlah diriku ….”
Orang yang berucap di depan meja batu yang
dijadikannya meja sembahyang itu terdiam sesaat,
berusaha membendung air mata yang hendak keluar
dari kedua matanya.
Tiba-tiba suara hatinya seperti berontak dan di
telinganya seolah mengiang kata-kata. Cucu tidak
berbudi. Mana keberanian yang kutempa selama dua
belas tahun dalam dirimu! Mana kekuatan batin yang
kutanamkan dalam tubuhmu! Mana hawa sakti yang
mengalir dalam darah dan setiap denyut jantungmu!
Jangan perasaan menguasai pikiranmu. Aku tahu kau
tiba-tiba jatuh cinta padanya. Cinta! ltulah kelemahan
pangkal bahala yang akan membunuhmu! Aku tidak
meminta banyak padamu. Hanya satu! Bunuh pemuda
asing itu! Atau arwahku akan membayangi selama
hidupmu!
Orang di depan meja batu katupkan jari-jari
tangannya satu sama lain hingga mengeluarkan suara
berkereketan. Di kejauhan tiba-tiba terdengar suara
lolongan anjing membuat dia tercekat. Laiu dia berdiri
115
lurus-lurus memandangi bokor di atas meja batu
berlumut. Setelah membungkuk tiga kali dia berkata.
“Nenek Arashi, aku harus pergi sekarang. Lain
kesempatan aku akan menyambangimu lagi di sini ….”
Sampai di luar kuil dia tegak tertegun. Dia tidak tahu
harus pergi kemana. Akhirnya dia menuruni bukit
sepembawa kakinya Angin dan udara malam yang
dingin tidak diacuhkannya.
KEMBALI ke Perguruan Emerarudo. Suara orang
membaca doa masih terdengar wabu kini mulai
mengalun perlahan. Dua sosok hitam di alas bangunan
dengan cepat menyelinap ke bawah cucuran atap.
Sretttt…. sretttt!
Mereka merobek dinding kertas dengan sebuah
alat berbentuk pisau kecil. Di lain kejap tanpa ada yang
mengetahui keduanya telah menyelinap masuk ke dalam
kamar tidur Akira Kasai.
Saat itu putera mendiang bekas Ketua Perguruan
Noboru Kasai memang telah bersiap untuk istirahat
membaringkan diri di atas selembar kasur tipis. Sebelum
berbaring dia merasa perlu memanjatkan doa terlebih
dulu bagi arwah Ayahnya. Pada saat itulah tiba-tiba dia
melihat dua sosok hitam menerobos masuk ke dalam
kamar dan tanpa suara mereka menjejakkan kaki di atas
tatami.
“Shinobi!” seru Akira Kasai dengan lidah kelu.
Wajahnya menjadi pucat. Ninja di sebelah kanan
menganggukkan kepala. Melihat tanda ini ninja di
samping kiri segera menghunus katananya. Cahaya
116
maut berkilau dari badan pedang. Rasa takut yang
menyelubungi diri Akira tiba-tiba saja lenyap. Berubah
dengan dendam kebencian.
“Kalian pasti komplotan ninja yang membunuh
Ayah! Saat ini kalian pasti juga hendak membunuhku!
Kalian kira aku takut mati?!”
Dua ninja tak menjawab.
Tiba-tiba Akira jatuhkan diri diri di lantai. Dia berguling
ke kepala kasur di mana terletak pedang miliknya.
Namun sebelum dia mampu menyentuh senjata itu, ninja
di sebelah kanan cepat melompat lalu menginjak lengan
anak ini.
Akira Kasai menjerit keras. Dengan suara
bergetar karena amarah dan juga kesakitan anak ini
berkata.
“Aku tidak takut mati! Ayo bunuhl”
Ninja yang memegang pedang tidak tunggu lebih
lama. Senjata di tangannya di tetakkan ke kepala Akira
Kasai.
Wuttttl
Sesaat lagi kepala anak itu akan terbelah tiba-tiba
dinding kiri kamar jebol. Satu bayangan merah berkelebat
dan trang! Sebilah katana melesat ke depan
menangkis bacokan pedang ninja.
“Ninja merah!” teriak dua ninja hitam hampir
bersamaan. Kejut keduanya bukan olah-olah. Terutama
ninja yang senjatanya kena tangkis. Lengannya bergeletar.
Jan-jarinya terasa pedas panas. Selagi dia masih
dilanda kaget tiba-tiba satu tusukan menderu ke
117
dadanya. cepat ninja ini berkelit ke samping sambil
menangkis. Dari samping kawannya ikut membantu.
Tranggg!
Tiga pedang beradu keras. Bunga api memercik
terang dalam kamar. Dua pedang di tangan ninja
menjepit pedang ke tiga hingga tak bisa bergerak.
Namun yang punya senjata malah keluarkan suara
tertawa.
“Kau inginkan pedangku silahkan ambill” Pedang
dilepas. Bersama dengan itu sosok ninja merah melesat
ke atas. Dua ninja hitam memburu dengan pedang
mereka. Dari atas ninja merah melepaskan pukulan
tangan kosong. Serangkum angin dahsyat menderu.
Dua ninja hitam berseru kaget begitu senjata mereka
bergetar keras dan tak mampu ditusuk atau dibacokkan.
“Lepaskan senjata rahasial” teriak ninja sebelah
kanan. Serentak dia dan kawannya gerakkan tangan kiri
melepaskan senjata rahasia berbentuk bintang. Lawan
yang diserang jatuhkan diri ke lantai sambil ulurkan
tangan menjangkau pedang yang tadi dilepaskannya
dan saat itu hampir jatuh di atas tatami.
Gerakannya ini sungguh luar biasa cepatnya
hingga dua buah senjata rahasia yang dilemparkan ke
arahnya tak berhasil menemui sasaran, satu menembus
dinding kamar terus melesat keluar satunya menancap
di tiang kayu.
Ninja sebelah kanan keluarkan jeritan maut begitu
pedang ninja merah menjebol perutnya. Tubuhnya
langsung roboh. Darah bergenang cepat di atas tatami.
118
Ninja satunya menggembor marah. Sekali berkelebat
pedangnya menyambar ke leher ninja merah yang masih
berbaring di lantai. Dalam keadaan menelentang ninja
merah tangkis serangan ganas itu. Dalam waktu
bersamaan kaki kanannya menendang ke atas.
Dukkkk!
Ninja hitam meraung keras. Pedang lepas dari
tangannya Sambil terbungkuk-bungkuk dia pegangi
bagian bawah perutnya yang hancur. Matanya membeliak
terbalik-balik. Mati! Ninja merah sarungkan
pedangnya. Ketika melewati tiang dimana menancap
satu dari dua senjata rahasia tadi ninja merah mencabut
dan memeriksanya.
“Hemmmm …. shuriken beracun ….” gumamnya.
Lalu dia . cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Ketika orang
banyak memasuki kamar ltu Akira Kasai tertunduk di
alas tatami sambil pegangi lengan kanannya yang sakit.
Keringat dingin membasahi tubuhnya.
Yang muncul di tempt itu adalah Shigero
Momochi, Akiko Bessho lalu seorang tua pengurus perguruan,
ditambah delapan orang murid perguruan. Akiko
cepat memberikan pertolongan. Seorang ahli urut cepat
dipanggil. Atas pertanyaan Shigero Momochi, Akira lalu
menerangkan apa yang terjadi.
“Luar biasa malam ini. Ninja merah muncul
sampai dua kali untuk menolong kita,” kata orang tua
yang jadi pengurus perguruan.
“Pertama waktu empat ninja muncul di ruang
pembacaan doa. Lalu di sini.”
119
“Aku merasa malu. Kejadian di tempat ini menunjukkan
kelemahan kita. Perguruan bisa diterobos begitu
saja!” Kembali Shigero Momochi bicara. Dia berkata
sambil memandang berkeliling. Murid-murid perguruan
tak ada yang berani melihat wajahnya.
Ada suara batuk-batuk. Ketua Hisao Matsunaga
yang telah diberi kabar apa yang terjadi segera datang
ke tempat itu.
“Akira-san,” katanya.
“Mulai saat ini kuharap kau pindah ke bangunan
tempat kediamanku. Aku minta selusin anggota perguruan
menjaga kamarnya!
Satu hal kalian ingat. Jangan sampai orang luar tahu apa
yang terjadi di sini. Kecuali kalau kalian semua mau
dianggap orang-orang tolol!”
Akira kemudian digendong, di bawa ke tempat
yang dikatakan Hisao Matsunaga. Yang, lain-lain kecuali
Shigero Momochi tinggalkan tempat itu.
“Ninja merah … .” desis Shigero Momochi sambil
usap-usap dagunya.
“Siapa mahluk ini sebenarnya. Jika dia bisa
muncul dalam waktu cepat berarti dia tadi masih berada
di dekat-dekat sini …. Mungkin seorang gagah salah satu
dari para tamu……” Sementara Shigero Momochi
melangkah menuju ruang besar tempat pembacaan doa,
Akiko Bessho juga pura-pura pergi ke ruangan itu.
Namun di satu tempat dia berputar, bergegas kembali.
Hanya saja kali ini dia tidak menuju bangunan dimana
kamar Akira Kasai terletak, tapi ke bangunan di
120
depannya dimana yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng
bersembunyi di atap.
“Aku punya dugaan. Jangan-jangan gaijin ini yang
menyaru jadi ninja merah …. !” tiba-tiba di atas atap
bangunan tampak ada sosok tubuh bergerak.
“Huh itu dia! Menggosok-gosok mata. Kelihatannya
seperti habis bangun tidur!” Sosok di atas atap
melompat turun.
“Aku melihat kelainan pada wajahmu. Ada apakah.?”
“Wiro, kau tadi berkata hendak mengawasi keselamatan
Akira Kasai. Pecuma saja kau bermulut besar!”
“Eh, memangnya kenapa?” tanya Wiro.
“Dua ninja menyusup masuk hendak membunuh
anak itu. Apa kau tidak lihat ….?”
“Astaga!”
“Ninja merah muncul lagi menyelamatkan anak
itu….. .”
“Astagal”
“Astaga! Astaga! Kau hanya bilang astaga! Apa
saja kerjamu di atas atap sana?” Akiko Bessho jadi
kesal.
“Maafkan diriku. Aku ketiduran. Aku benar-benar
latih dan luka- luka ditubuhku membuat aku rasanya
kurang enak badan …. Tapi bagaimana bisa orang
orang perguruan kebobolan lagi ….. ?”
“Jangan salahkan mereka. Kau sendiri juga sudah
kebobolan. Masih untungan anak itu tidak mati dibunuh
Hanya cidera tangan kanannya…:”
121
“Astaga Kasihan betul ….”
“Astaga lagi! Sudah tidur saja kau di atas atap
sana!” saking kesalnya Akiko Bessho lalu tinggalkan
Wiro.
“Ternyata bukan dia. Lalu siapa ninja merah itu?
Mungkin yori….? Atau Kamashaki pendeta Zen itu? “
Selagi Akiko Bessho melangkah sambil berpikir-pikir . itu
dua sosok berjubah melangkah tanpa suara di
belakangnya. Ternyata dua orang ini tidak mengikuti si
gadis, melainkan menyelinap ke arah bangunan dimana
tadi Akira Kasai dibawa.
Di ruang besar pembacaan doa Hisao Matsunaga
membaca doa dengan khusuk. Kedua matanya
dipejamkan. Sesekali matanya dibuka. Kali kesekian dia
membuka mata dan menyapu para hadirin yang ada di
ruangan itu, baru dia menyadari Sesuatu. Maka perlahan
sekali dia berbisik pada Shigero Momochi yang ada di
sebelahnya.
“Shigero, aku tidak melihat dua orang pendeta
Zen yang datang bersama Akira itu….”
shigero Momochi yang juga asyik membaca doa
buka kedua matanya. Lalu dipejamkan kembali. Seperti
tak acuh dia berkata. “Mungkin mereka sudah pulang…”
Kalau betul berarti sungguh tidak sopan per-buatan
mereka. Tidak minta diri pada tuan rumah Apalagi
upacara pembacaaan doa belum selesai. Disamping itu
mereka selayaknya menunggu sampai selesai upacara
perabuan jenazah. Jangan-jangan mereka berkeliaran
ke mana-maria..:”
122
“Mungkin saja mereka lelah membaca doa lalu jalan
melihat-lihat bangunan perguruan kias,” jawab Shigero
lagi.
”melihat-lihat malam-malam begini? Hatiku merasa
kurang enak.” kata Hisao Matsunaga.
Kalau begitu biar aku mencari di mana mereka berada.”
Shigero hendak hangkit berdiri. Padahal sebenarnya
saat itu dia ingin kembali ke kamarnya untuk meneguk
minuman keras. Mulutnya terasa pahit dan tenggorokannya
seolah kering.
“Biar aku saja yang pergi. Kau tetap di sini,” kata
Hisao Matsunaga lalu mendahului berdiri.
Shigero Momochi memperhatikan kepergian sang ketua
sambil berkata-kata sendiri dalam hati. “Anak itu membuat
keadaan menjengkelkan. tiba-tiba saja dia menjadi
sangat Penting. Mengapa ada komplotan ninja yang
menginginkan nyawanya? Ninja bekerja hanya atas
dasar bayaran. Kalau dibayar berarti ada yang
membayar. Siapa? Mengapa …. ?”
Dua pendeta Zen mendekam di balik sebuah pot
besar Memandang ke depan mereka melihat sekitar dua
belas orang anggota perguruan berjaga-jaga di dekat
bangunan di mana Akira Kasai berada. Di ruangan
dalam masih ada empat orang lagi melakukan
pengawalan.
Sambil memandang berkeliling salah seorang
pedeta Zen berbisik pada temannya. ” Aku sebetulnya
tidak suka pekerjaan macam begini. Kalau bukan
123
pendeta Kamashaki yang menyuruh aku lebih enak diam
di kamarku, berdoa sambil tidur-tiduran …”
Mendiang Ketua Noboru Kasai punya hubungan
sangat baik dengan kita. Sangat pantas kalau pendeta
Kamashaki meminta kita menyelamatkan anak itu,
Pendeta agaknya telah punya firasat atau bisa melihat
apa Yang bakal dialami anak itu. Ini semua berdasar
pada kenyataan bahwa Ayahnya meninggal secara tidak
wajar. Seseorang telah menyuruh membunuhnya,
Lalu mungkin orang yang sama pula yang
menginginkan surat warisan jabatan Ketua itu..”
“Kalau aku boleh menuduh dan mohon ampun
pada Dewa atas ucapan dan jalan pikiranku ini, aku
punya dugaan Wakil Ketua Shigero Momochi lah yang
jadi biang keladi dibalik semua ini.agaknya dia maklum
kalau kelakuan dan tindak tanduknya selama ini tidak
memungkinkan dirinya diangkat jadi Ketua. Dia berusaha
mencuri surat warisan untuk mengubah isinya. Ternyata
Wakil Ketua Hisao Matsunaga bertindak lebih cepat
mengamankan surat itu ….”
Pendeta Zen yang satu lagi terdiam sesaat. Dia
memandang berkeliling sekali lagi. “Kurasa aman. Lekas
kau bertindak, jangan ngomong saja. Kita tak punya
waktu banyak….”
Kawannya lalu mengeruk saku jubah. Dia mengeluarkan
sebuah kotak kecil yang ujungnya berbentuk
pipa rokok. Ujung ini didekatkannya ke mulut. Penutup
kotak dibuka lalu dia meniup. Dari dalam kotak
berhembus keluar asap tipis bewarna kelabu. Begitu
124
terkena siliran angin asap ini terus menyebar dan
menyungkup bangunan di depan sana cepat sekali.
Dua belas orang anak murid perguruan tiba-tiba
saja merasa mengantuk. Mereka menguap berulang kali
lalu satu demi satu jatuh terkapar, tertidur pulas. Di
dalam bangunan empat orang pengawal lainnya
menyusul tenggelam dalam kantuk yang tidak
tertahankan lagi hingga akhirnya jatuh pulas. Akira Kasai
yang ada dalam kamar lebih cepat tertidur. Anak ini
melingkar dl atas kasur tipis tak tahu apa-apa lagi.
“Sekarang.. ” bisik pendeta Zen di sebelah kanan.
Lalu mendahului berlari ke arah bangunan. Kawannya
berkelebat mengikuti. Akira Kasai yang mereka temui
dalam kamar segera saja digendong. Keduanya lalu
keluar dari bangunan, sengaja melewati pintu belakang.
Begitu mereka sampai di tangga terbawah satu suara
menegur dari tempat gelap.
“Bukan main Dua pendeta Zen ternyata penculikpenculik
busuk Hendak kalian bawa kemana anak itu.?!”
* * *
125
DUABELAS
DUA pendeta Zen tersentak kaget. Yang
berada di depan segera bergerak melindungi temannya
yang membawa Akira Kasai.
Orang yang menegur keluar dari kegelapan.
Ternyata dia adalah Hisao Matsunaga Ketua Perguruan
Emerarudo yang baru.
“Ketua Matsunaga, harap kau jangan salah
paham..” kata pendeta Zen yang berdiri di sebelah
depan.
“Aku tak pernah salah paham. Kalian yang salah
paham! Perguruan Emerarudo selama puluhan tahun
telah menggalang tali persaudaraan dengan Puri
SanZen. Ternyata di antara kalian ada manusia-manusia
culas. Atau mungkin pimpinan Puri yang memberi
perintah ….?”
Hisao Matsunaga bicara dengan seringai sinis
dan sebentar-sebentar tangan kanannya mengusap
dada kiri.
“Ketua Matsunaga, kami hanya menjalankan
tugas. Kami bukan menculik anak . ini, tapi justru mau
126
menyelamatkannya. Kau sendiri tahu bagaimana berturut-
turut dia hendak dibunuh ….”
Hisao Matsunaga kembali menyeringai lalu batukbatuk
beberapa kali. “Tidak disangka para pendeta
pandai berdusta mencari dalih ….”
“Kami tidak berdusta. Kami benar-benar ingin
menyelamatkan anak ini …”
”Turunkan anak itu, letakkan di tanah!” bentak
Hisao Matsunaga. Lalu dia batuk-batuk kembali. Tangan
kanannya lagi-lagi dipakai untuk mengusap dada.
“Kami tidak bisa melakukannya ….” Marahlah
Ketua Perguruan Emerarudo itu. Sekali lompat saja dia
sudah berada di hadapan pendeta yang menggendong
Akira. Tangan kanannya bergerak ke punggung dimana
menjulur gagang pedang.
“Cabut pedang kalian!”
“Kami para pendeta mana pernah membawa
senjata? l”
“Bagus! Kalau begitu biar kupatahkan batang
lehermu dengan tangan kosongl” Habis berkata begitu
Hisao Matsunaga langsung menyerang pendeta di
sebelah belakang. Tapi kawannya di sebelah depan
cepat memapasi seraya berkata :
“Lekas larikan anak itu. Biar aku menghadapi
Ketua Perguruan barang sejurus dua jurusl”
“Pendeta kurang ajarl” bentak Hisao Matsunaga
lalu hantamkan tangan kanannya ke tenggorokan sang
pendeta. Perkelahian tak dapat dihindari lagi.
127
Para pendeta di Puri Sanzen selain mendalami
ilmu agama juga banyak yang memiliki ninjutsu atau
kepandaian silat serta kesaktian yang cukup tinggi. Dua
diantara mereka adalah yang kini berada di perguruan
itu. Gerakan pendeta yang langsung menghadapi sang
Ketua kelihatan lemah gemulai seperti penari. Namun
setiap gerakan yang dibuatnya mengeluarkan hawa
dingin hingga Hisao Matsunaga berlaku hati-hati.
Berlawanan dengan sang pendeta gerakan gerakan
Hisao Matsunaga justru cepat, deras dan ganas. Hanya
dalam waktu lima jurus pendeta itu dibuat terjengkang ke
tanah muntah darah. Satu jotosan mengandung hawa
sakti yang dihantamkan Hisao Matsunaga dengan telak
mengenai dadanya.
Berhasil merobohkan pendeta satu itu Hisao
Matsunaga segera mengejar pendeta satunya yang
membawa kabur Akira Kasai. Sadar kalau dia tak bisa
meloloskan diri pendeta ini terpaksa turunkan anak yang
di gendongnya ke tanah lalu menghadapi Hisao
Matsunaga. Ternyata pendeta ini kepandaiannya jauh
lebih rendah dari temannya tadi. Hantaman tepi telapak
tangan Hisao Matsunaga tak dapat dikelitnya.
Krakkk!
Lehernya patah. Nyawanya lepas sebelum tubuhnya
rubuh menyentuh tanah!
Saat itu Akira Kasai telah terjaga dari tidurnya
akibat sirapan asap aneh pendeta Zen tadi. Sambil
mengucak-ucak kedua matanya dia memandang
berkeliling dan dapatkan dirinya terbujur di atas tanah.
128
“Eh, di mana diriku inl?’ dia bertanya sendiri lalu
memandang berkeliling. Saat itulah dia melihat Ketua
Hisao Matsunaga tengah mengayunkan tangan
memukul patah batang leher pendeta Zen. Dengan terkejut
si anak melompat berdiri.
“Paman Ketua ……”
Hisao Matsunaga memandang berkeliling. Dilihatnya
ada beberapa orang mendatangi dari jurusan tempat
pembacaan doa. Di depan sekali Shigero Momochi.
“Lekas masuk ke kamarmul” teriak Hisao
Matsunaga. Tapi untuk sesaat lamanya si anak masih
tegak tertegun. Saat itulah tiba-tiba dari salah satu atap
bangunan melayang turun satu sosok merah. Hisao
Matsunaga terkejut sekali karena sambil melayang orang
ini lepaskan pukulan tangan kosong yang mengeluarkan
suara angin menderu, membuat Ketua Perguruan ini
terhuyung-huyung kalau tidak lekas melompat ke
samping.
“Nlnja merahl” seru Hisao Matsunaga. Sementara
itu Shigero Momochi dan bebera orang yang mendatangi
hanya tinggal belasan langkah dari tempat itu. Di antara
mereka kelihatan pula Akiko Bessho.
“Hai!” teriak Shigero. Hisao Matsunaga juga
membentak keras ketika keduanya melihat bagaimana
nlnja merah dengan satu gerakan kilat menyambar tubuh
Akira Kasai. Ketika dia hendak berkelebat pergi
memboyong si anak Shigero Momochi menghadang
dengan tebasan pedang.
129
Ninja meran melompat ke kiri. Dari jurusan ini dia
mendengar suara berdesir. Sebilah katana menyambar
ke arah punggungnya. Serta merta ninja merah hunus
pedangnya pula. Tanpa menoleh dia sapukan
senjatanya ke belakang.
Tranggg!
Dua katana saling beradu memercikkan bunga
api. Ninja merah jatuhkan diri ke tanah. Sambil mengepit
tubuh Akira dia bergulingan. Tiga katana datang
menyambar.
Satu dari Shigero Momochi, satu dan Hisao
Matsunaga dan yang ketiga dari Akiko Bessho. Tiga kali
terdengar suara berdentrangan. Walau dia sanggup
menangkis tiga hantaman pedang namun pedang di
tangan ninja merah tergetar keras.
“Cincang bangsat inil Selamatkan Akira-sanl”
teriak Hisao Matsunaga.
“Tunggu dulu!” Yang berseru adalah Shigero
Momochi.
“Tahan semua serangan!”
“Shigero apa maksudmu?l” tanya Hisao
Matsunaga hampir berteriak dan berusaha menahan
marahnya.
“Sebelumnya ninja merah ini menolong kita sewaktu
empat ninja hitam muncul. Sekarang dia hendak
melarikan anak itu! Aku perlu menanyai siapa dirinya
sebenarnya dan mengapa dia melakukan semua ini?!”
“Si pemabok tolol!” maki Hisao dalam hati. Hati
dia berkata.
130
“Shigero, orang jelas-jelas hendak menculik
putera mendiang Ketua! Kau masih hendak bicara
berbaik-baik …. Sungguh anehl” Dia terbatuk-batuk lagi.
“Kau benar Ketua! Justru karena semua terasa
aneh aku ingin menyingkapkan tabir keanehan ini! Dua
pendeta Zen juga melakukan keanehan! Apa kau tak. ..”
“Shigero! Kau kembali saja ke ruang pembacaan
doa. Biar mahluk merah ini aku yang membereskan!
Adalah tolol kalau dalam keadaan seperti ini kau mau
ngobrol dengan musuh!” Mendengar kata-kata Hisao
Matsunaga itu Shigero Jadi meradang.
“Kalau itu mau Ketua terserah saja!” katanya. Lalu
dia membalikkan tubuh. Matanya membentur Akiko
Bessho. Dia mendelik pada si gadis.
“Kau juga aneh! Kau orang luar! Mengapa ikut
campur urusan kami?!”
“Wakil Ketua Shigero. Maafkan kalau aku telah
bertindak lancang. Tapi bagiku Akira sudah seperti adik
sendiri mengingat hubungan Ayahnya dengan mendiang
guruku. Lagi pu la…” Si gadis tidak meneruskan
ucapannya. Saat itu dalam amarah yang tak terbendung
lagi Hisao Matsunaga melompat dan menyergap ninja
merah dengan satu serangan kilat. Untungnya yang
diserang tidak berlaku lengah. Sekali tangan kanannya
bergerak pedangnya menangkis pertengahan badan
pedang Hisao hingga tangan masing-masing tergetar
keras.
Hisao berlaku cerdik. Begitu pedang saling menempel
dengan cepat dia mendorong. Ketua baru per-
131
guruan Emerarudo ini memang dikenal sebagai memiliki
hawa sakti yang sanggup mengeluarkan tenaga luar
biasa kuatnya. Tetapi alangkah kagetnya dia ketika tibatiba
tenaga dorongannya seolah-olah berbalik menggempur
dirinya sendiri. Semakin dicobanya semakin
terdorong dia kebelakang.
Selagi Hisao Matsunaga berusaha mempertahankan
diri dari tekanan lawan tiba-tiba ninja merah
hentakkan kaki kanannya menghantam tanah. Ketua
perguruan itu merasakan tanah yang dipijaknya seperti
dilanda gempa. Tubuhnya terhuyung-huyung. Dia bertahan
mati-matian dengan sekuat tenaga agar tidak
jatuh.
Tapi bukan saja dia kalah tenaga malah dari
mulutnya kelihatan ada darah meleleh! Tenaganya seolah
punah. Tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa
langkah. Saat itulah pedang di tangan ninja merah
berkelebat. Hisao Matsunaga coba menangkis tapi
meleset.
Breetttl
Dada kimono Hisao Matsunaga robek besar mulai dari
pertengahan perut sampai ke bahu kiri. Perut dan
dadanya tersingkap lebar tubuhnya jatuh terlentang di
tanah. Pedang di tangan ninja merah menyusul
berkelebat mengikuti arah jatuhnya sedetik kemudian
ujung pedang telah menempel di tenggorokan Hisao
Matsunaga.
Saat Itu Shigero Momochi sudah tak ada lagi di
situ. Beberapa orang murid perguruan dan juga Aklko
132
Besso tertegun tegang. Agaknya nyawa sang Ketua
tidak tertolong lagl. Namun rupanya ninja merah tidak
bermaksud membunuhnya. Karena dengan cepat dia
memasukkan pedangnya ke dalam sarung lalu dengan
cepat pula dia berkelebat lenyap dari tempat itu. Akira
Kasai ikut lenyap bersamanya.
“Ninja merahl Tunggul” seru Akiko.
Yang diteriaki sudah lenyap dari pemandangan.
Tapi si gadis dengan nekad berusaha mengejar.
* * *
133
TIGABELAS
AKlRA Kasai merasa seperti mau tanggal
jantungnya dibawa iari sekencang itu.
“Nin …. ninja merah …. Kau mau membawa saya
kemana? Kau juga mau membunuhku..? Untuk bertanya
begitu anak ini berusaha menindih rasa takutnya hingga
suaranya tersendat bergetar.
“Siap bilang aku mau membunuhmu. Malah aku
ingin kau selamat ..:” ninja merah menjawab.
“Aku membawamu ke tempat aman.
“Ah, gadis itu masih saja mengikutiku!” Ninja
merah membatin.
“Anak, kau tahu tempat yang baik dimana kau
bisa tinggal sementara dengan aman!?”
“Eh, bagaimana ini? Kau bilang mau membawa
saya ke tempat aman. Mau menyelamatkan diriku.
Sekarang mengapa malah bertanya? Dan mau
meninggalkan saya?I”
Kau lama tinggal di kawasan ini. Pasti tahu seluk
beluk daerah ini. Aku tak ingin ada orang mendatangimu
lagi dengan maksud keji mau membunuhmu. Disamping
itu ada satu urusan besar yang harus aku selesaikan …”
134
“Kalau begitu kau turunkan saja saya di tengah
jalan inil” kata Akira Kasai pula.
“Boleh saja! Tapi coba kau lihat ke belakang. Ada
seseorang mengejar. Jika kau kuturunkan apa kau
merasa pasti si pengejar itu tidak akan memisahkan
badan dan kepalamu?!” Mendengar hal itu Akira Kasai
jadi bergeming juga.
“Saya rasa lebih baik ikut kemana kau pergi saja,”
kata si anak kemudian. Ninja merah tersenyum dan
berlari terus. Makin lama makin kencang. Akira melihat
pohon-pohon yang mereka Iewati laksana hantu-hantu
hitam berkelebat
Coba kau lihat. Apa orang yang mengejar masih
ada di belakang?” ninja meminta bantuan anak yang
dikepit di sisi kirinya itu.
“Masih. Malah sekarang ada dua,” jawab Akira
Kasai.
“Hah?! Apa katamu?!” Ninja merah berpaling.
Memang benar. Di belakangnya kini ada dua orang yang
mengejarnya. Tak jelas siapa satunya. Ninja kertakkan
rahang. Kedua tumit kakinya tidak menginjak tanah lagi.
Larinya benar-benar kilat laksana hembusan angin
hingga beberapa waktu kemudian dia bisa lolos dari dua
pengejar.
“lni kawasan Okaza. Tak Jauh dari sini ada sungai
kecil … !” tiba-tiba Akira berkata.
“Kau anak pandai,” ujar ninja merah.
“Kalau kita menuju ke sana apa ada tempat yang
aman bagimu? ”
135
“Sepanjang sisi sungai kawasan peladangan.
Biasanya ada beberapa buah gudang sayur di sekiar
situ!”
“Kita menuju ke sana! Kau tunjukkan saja jalan
nya!” Ninja merah mempercepat larinya. Tak lama kemudian
sungai yang dikatakan Akira Kasai kelihatan memanjang
dalam ke gelapan di lamping sebuah lembah
subur. Di kiri kanan sungai merupakan daerah peladangan.
Memang benar di situ terlihat beberapa buah
bangunan gudang tempat penimbunan sayur sebelum
diambil oleh para tengkulak. Ninja membawa Akira ke
sebuah gudang terdekat. Keadaan di sini sunyi dan
gelap.
“Kau berani kutinggal sendiri di sini?” tanya ninja
merah setelah menurunkan si anak dari kempitannya.
Akira Kasai memandang berkeliling. Hatinya berdebar
juga.
“Ninja merah, apa sebenarnya yang hendak kau
lakukan hingga kau tega- teganya meninggalkan diri
saya sendirian di sini?”
“lni bukan soal tega atau tidak,” jawab ninja
merah.
“Aku tidak bisa membawamu justru aku kawatir
jiwamu terancam!”
“Kau tidak mau mengatakan mau pergi kemana?”
“Kalau aku katakan kau pasti tidak percaya ….”
“Bilang saja ….”
“Aku mau menyerbu ke markas komplotan ninja
Nara!”
136
“Apa …. ? si anak terkejut dan melotot.
“Saya melihat kau merobohkan tiga ninja. Itu
hebat! Tapi kalau kau mau menyerbu markas ninja itu
adalah gila!”
“Eh, gila kenapa?”
“Kau mau bunuh diri?!” tukas si anak.
“Hanya orang gila yang mau bunuh diri!” sahut
ninja merah.
“Karena itu saya katakan kau gila. Kau tak bakal
dapat menerobos masuk markas mereka. Kalaupun
bisa, tak mungkin dapat keluar hidup-hidupl”
“Kau mau taruhan?!” tantang ninja merah.
“Boleh saja! Kalau aku kalah akan kuserahkan
padamu katana yang tergantung di pinggangku. Kalau
kau kalah aku minta pakaian ninja merahmu!”
“Hah?!” ninja merah berseru, tidak menyangka si
anak akan meminta pakaiannya. Setelah berpikir
sejenak dia berkata.
“Baik! Taruhan jadi!” Akira tertawa perlahan.
“Eh, kenapa kau tertawa? Ada yang lucu?!” tanya
ninja merah.
“Kalau aku menang taruhan aku tak akan pernah
dapat pakaian merahmu. Karena kau sudah tewas di
markas ninja Nara ….”
“Ah, kau betul juga. Kalau begitu menyusul saja
nanti ke sana …. Nah sekarang kau kutinggal dulu!
Masuk ke dalam gudang! Jangan sekali-kali berani
keluar apapun yang terjadi. Kalau ada petani masuk
sembunyi di balik tumpukan sayuran. Mengerti….?!”
137
“Hai!” jawab Akira Kasai. Ninja merah putar tubuhnya
tapi si anak memegang lengannya.
“Tunggu dulu … .”
“Apalagi? Kalau mau bicara cepatlah. Waktuku
tidak banyak. Sebentar lagi pagi datang ….”
“Ninja merah, saya tidak tahu siapa kau sebenarnya.
Tapi apakah saya bisa mempercayaimu?”
“Anak, kenapa kau bertanya begitu?’
“Soalnya ada hal penting yang harus kubicarakan.
Saat ini hanya ada kau ….”
“Apa yang hendak kau bicarakan?”
“Banyak!”
“Waktuku sangat sedikit. Nanti saja kita bicara ….”
“lni menyangkut surat warisan dan …”
“Kalau itu bisa kau bicarakan nanti dengan Ketua
Perguruan ….”
“Justru saya tidak mau bicara dengan dia ….”
“Bicara dengan Wakilnya. Eh, kenapa kau tidak
mau bicara dengan Hisao Matsunaga? “
“Karena saya tidak percaya padanya. Saya sangat
curiga! Saya yakin dia yang jadi biang keladi kematian
Ayah!” Ninja merah. terkejut mendengar kata-kata
Akira Kasai itu. Dia menarik si anak ke dekat sebuah
bangku panjang terbuat dari kayu dekat dinding gudang.
“Duduk. Kau bicaralah. Jika kau curiga pada
orang kau harus punya bukti atau saksi.”
“Saksi saya tidak punya. Tapi bukti ada!”
“ltu boleh juga ….”
138
“Mengenai surat warisan pengangkatan Paman
Hisao Matsunaga. Saya yakin surat itu palsu. Waktu
Ayah membuatnya ada tinta menetes di sudut kiri bawah
surat. Saya diperkenankan memeriksa surat itu. Ternyata
noda tinta itu tidak ada … .”
“Mmmmmm ….” ninja merah bergumam.
“Mengapa hal itu tidak kau katakan terus terang
pada Ketua Hisao?
“Saya takut.”
“Lanjutkan bicaramu.”
“Saya yakin surat yang asli disembunyikan oleh
Paman Hisao. Atau sudah dimusnahkannya. Waktu
Ayah memasukkan surat ke dalam amplop, saya sempat
membaca bahwa yang diangkat Ayah sebagai pewaris
jabatan Ketua adalah Paman Shigero Momochi bukan
Paman Hisao Matsunaga ….”
“Kalau penglihatanmu betul rasanya tidak masuk
akal Ayahmu melakukan hal itu. Orang pemabuk dan
punya sifat kasar seperki Shigero mana mungkin
dijadikan Ketua?l”
“Saya juga tidak mengerti. Tapi saya yakin Ayah
punya alasan berbuat begitu. Semua orang memang
tahu Paman Shigero punya sifat buruk. Banyak yang
tidak suka. Terus terang saja saya juga tidak suka
padanya. Tapi semua orang tahu hatinya baik ….”
“Kalau kau tidak bisa mendapatkan surat warisan
yang asli, sulit untuk membuat urusan….”
“Siapa yang jadi Ketua sekarang bagi saya tidak
soal,” kata Akira Kasai.
139
“Tapi saja juga yakin bahwa Paman Hisao adalah
pelaku pembunuh Ayah saya ….” Ninja merah tersentak
oleh rasa terkejut.
“Bagaimana kau bisa menuduh begitu? Bukankah
Ayahmu mati dibunuh oleh ninja?”
“Kelihatannya begitu. Tapi mungkin juga oleh
ninja bohongan. Karena waktu Ayah meninggal, saya
lihat kedudukan lima jari tangannya seperki habis
melancarkan ilmu pukulan Lima Jari Dewa. Itu ilmu
pukulan paling hebat di Jepang saat ini. Siapa yang
terkena pasti akan mati, kalaupun selamat akan cacat
atau sakit-sakitan seumur hidupnya. Agaknya Ayah
masih sempat melancarkan serangan itu pada
pembunuhnya ….”
“Lalu ….?
“Sejak malam terjadinya pembunuhan itu saya lihat
Paman Hisao selalu batuk-batuk dan sering mengusap
dada kirinya … .”
“Anak, hal itu tidak bisa kau jadikan bukti bahwa
Ayahmu telah menghantamnya dengan pukulan Lima
Jari Dewa dan bahwa Hisao Matsunaga yang membunuh
Ayahmu …”
“Saya punya bukti lain. Waktu kau merobek pakaian
Paman Hisao dengan ujung pedang, saya sempat
melihat dada kirinya. Saya menyaksikan ada lima titik
besar berwarna merah yang membengkak di dada
kirinya. Itu adalah bekas pukulan Lima Jari Dewal”
Sepasang mata ninja merah tampak mendelik.
140
“Berarti Paman Hisaolah yang dipukul Ayah dengan
ilmu Lima Jari Dewa. Berarti dialah yang menyamar
jadi ninja lalu menyerbu perguruan dan membunuh
Ayah ….”
“Aku ingat waktu berkelahi dengan Ketua
Perguru-an itu. Ada kejadian yang mengherankan. Ketika
dia menggembor tenaga untuk menahan tekanan
pedangku, dari mulutnya keluar darah. Pertanda dia memang
terluka di dalam. Akibat pukulan Ayahmu.”
“Satu lagi,” menyambung si anak.
“Waktu rombongan kami diserang komplotan
ninja, semua anak murid perguruan mati dibunuh. Mengapa
Paman Hisao bisa menyelamatkan diri padahal
jelas saya lihat saat itu dia sudah dikurung oleh lima
orang ninja. Tapi dia tidak dibunuh karena ninja-ninja itu
memang orang bayarannyal”
“Akira, aku kagum dengan kecerdikanmu
berpikir…” kata ninja merah pula.
“Kagum saja tidak ada artinya. Apakah kau juga
bersedia menolong mengungkapkan kekejian ini pada
para pengurus Perguruan Emerarudo?
“Aku berjanjil” jawab ninja merah.
“Terima kasih ….” kata Akira Kasai. Anak ini
membungkuk dalam-dalam lalu menyelinap masuk ke
dalam gudang sayur. Tak lama setelah ninja merah
lenyap dalam kegelapan malam, dari atas atap gudang
sayur dua sosok tubuh melayang turun ke tanah.
“Kita berbagi tugas,” kata sosok di samping
kanan.
141
“Aku tetap di sini menjaga anak itu. Kau mengikuti
ninja merah.” Kawannya mengangguk.
“Hati-hatilah. Komplotan ninja atau orang- orang
dari Perguruan bisa muncul setiap saat di tempat ini.
Sayang tadi kita tidak sempat mendengar apa yang
dibicarakan anak itu dengan ninja merah. …”
* * *
142
EMPATBELAS
DINlHARl menjelang pagi. Di dua tempat.
Tempat pertama adalah Perguruan Emerarudo. Upacara
pembacaan doa baru saja selesai dan akan dilakukan
lagi pada saat menjelang perabuan jenazah. Ketua
perguruan berada dalam kamarnya. Selesai berganti
pakaian dia keluar menuju ke ruangan di mana telah
menunggu beberapa pengurus termasuk Shigero
Momochi.
“Ketua, bagaimana keadaanmu?” tanya Shigero.
“Aku sudah minum obat. Keadaanku cukup sehat.
Apakah dua orang yang kusuruh menguntit kemana
larinya ninja merah sudah kembali?” tanya Hisao
Matsunaga.
“Belum Ketua …”
“Kita harus menyelamatkan dan mendapatkan
anak itu kembali …” kata sang Ketua sambil pegangi
dada kirinya. Di luar tiba-tiba ada suara derap kaki kuda.
Tak lama kemudian dua orang anak murid perguruan
yang memiliki keahlian menunggang kuda secara luar
biasa masuk. Setelah membungkuk salah seorang dari
mereka memberi laporan.
143
“Ninja merah lenyap, tak berhasil kami ketahui
kemana perginya. Tapi putera mendiang Ketua Noboru
Kasai kami ketahui bersembunyi di sebuah gudang
sayur dekat sungai Okaza. Di dekat gudang kami lihat
nona Akiko Bessho berjaga-jaga.”
“Gadis murid Hiroto Yamazaki itu memang sudah
kucurigai. Kecurigaanku ternyata betul. Dia berkomplot
dengan pendeta dari Puri Sanzen, berkomplot juga
dengan ninja merah dalam menculik Akira Kasai! Aku
akan menangani tuntas persoalan inil” Hisao Matsunaga
masuk ke dalam kamarnya. Ketika keluar dipinggangnya
kelihatan tersisip sebilah katana panjang yang gagangnya
ada batu-batu permatanya. Ini adalah pedang
kebesaran milik Perguruan Emerarudo yang telah
berumur lebih dari tiga ratus tahun.
“Ketua,” tiba-tiba Shigero Momochi berkata sambil
melangkah.
“Kau harus tetap berada di sini. Di antara para
tamu. Upacara perabuan segera akan dilakukan siang
nanti. Biar aku dan anak-anak yang turun tangan .. .”
“Tidak bisa Shigerol Aku mempunyai kewajiban
untuk menyelamatkan anak itu dan menghukum Akiko
Bessho. Selesai upacara perabuan jenazah aku
bersumpah untuk mencari sendiri ninja merah sampai
dapat .. .”
“Tapi kau kelihatannya masih kurang sehat
Ketual”
“Siapa bilang aku kurang sehat” jawab Hisao
Matsunaga lalu
144
srettt!
Pedang di pinggangnya dicabut. Sinar
menyilaukan bertaburan. Dess… dess … dessssl Tiga
buah patung yang terbuat dari batu dan terletak di atas
sebuah meja panjang putus disambar pedang. Tiga
kepala patung jatuh ke lantai tapi bagian bawahnya tetap
berada di atas meja. llmu kendo yang dlmiliki sang Ketua
memang hebat. Namun kehebatannya ini menjadi tanda
tanya ketika dia bisa dirobohkan oleh ninja merah
sebelumnya.
Karena tak bisa dicegah Shigero Momochi akhirnya
hanya bisa diam saja ketika Hisao Matsunaga
dengan cepat meninggalkan perguruan lewat jalan
belakang.
Mereka memacu kuda masing-masing menuju
kawasan Okaza. Hisao Matsunaga di depan sekali.
* * *
Tempat kedua seperti biasanya setiap pagi doyo
besar di markas ninja Nara selalu ramai dipergunakan
untuk latihan berbagai macam senjata. Mereka hanya
mengenakan celana panjang hitam tanpa baju dan
penutup wajah. Tubuh mereka memiliki otot-otot kokoh.
Gerakan memainkan senjata ataupun ninjutsu sangat
gesit dan ringan. Setiap gerakan mengeluarkan desiran
angin.
Seorang lelaki berusia setengah abad dengan
inezumi bergambar naga kepala tiga di dada kanannya
145
berjalan seputar dojo. Sesekali dia mendekati orangorang
yang berlatih untuk membetulkan kuda-kuda atau
memberi tahu cara yang tepat melemparkan shuriken
ataupun memainkan kusarigama dan kendo. Orang ini
adalah Shimada Kagami. Dialah pimpinan tertinggi ninja
kelompok Nara, satu dari tiga kelompok ninja yang
paling ditakuti pada masa itu.
Di tengah ruangan tiba-tiba Shimada Kagami
hentikan langkahnya. Dia memandang berkeliling lalu
berseru.
“Hentikan latihanl Apakah kalian tidak merasakan
ada keanehan dalam ruangan ini?” Semua ninja yang
ada dalam dojo ltu hentikan latihan mereka lalu
memandang pada pemimpin mereka. Salah seorang dari
mereka mendongak lalu berkata.
“Memang ada keanehan. Ruangan ini terasa
semakin dingin …” Ninja yang lainnya seolah baru
menyadari ikut mengiyakan. Lalu mendadak saja tubuh
mereka mulai bergetar. Rahang menggembung dan
geraham bergemeletukan. Hawa dlngin menyerang
dengan hebat. Di tengah ruangan Shimada Kagami coba
bertahan.Tapi tidak sanggup.
“Pada musim dingin sekalipun tak pernah
kejadian sedingin ini. Apa lagi musim dingin sudah lewat!
Lekas kenakan pakaian kalian! Kembali ke tempat ini
dalam hitungan ke tiga puluhl” Serta merta dojo itu
menjadi kosong. Shimada Kagami juga ikut lenyap. Tak
lama kemudian dia muncul lagi dalam keadaan sudah
berpakaian serba hitam mulai dari kaki sampai kepala.
146
Ninja-ninja lainnya menyusul muncul pula.
Semua lengkap dengan katana di pinggang atau di
belakang punggung. Mereka tegak menyebar di ruangan
latihan. Jari-jari tangan dikepal membentuk tinju. Lengan
diluruskan ke depan sejajar pinggang.
“Kerahkan hawa sakti dari perut! Panaskan aliran
darahl” teriak Shimada Kagami. Semua ninja melakukan
apa yang dikatakan. Tapi hawa dingin yang menyerang
bukannya berkurang malah semakin bertambah hingga
banyak di antara mereka tertegak diam seperti
membeku. Shimada Kagami membentak keras.
Tubuhnya melesat keatas langit- langit ruangan. Ada
bagian atap yang bergeser. Sesaat kemudian ketika dia
melayang turun sebilah senjata yang memancarkan
sinar perak menyilaukan tergenggam di tangannya.
Hawa panas yang keluar dari senjata ini ternyata mampu
mengurangi dinginnya udara di dalam dojo.
“Senjata luar biasal Benar-benar luar biasal” kata
Shimada Kagami. Senjata itu diputarnya di atas kepala.
Sinar putih berkiblat ke seluruh penjuru. Suara
menggema seperti ratusan tawon mengamuk memenuhi
ruangan dan bersamaan dengan itu hawa panas terasa
semakin santar. Pada saat inilah atap ruangan di ujung
kiri tiba-tiba jebol. Satu sosok merah melayang ke
bawah.
“Ninja merahl”
Seluruh anggota kelompok ninja Nara termasuk
pimpinannya menjadi gegerl Semua tidak bergerak.
Hanya mata masing-masing diarahkan tak berkesip pada
147
ninja merah yang mereka lihat berdiri secara aneh.
Mahluk ini tegak dengan kaki terkembang. Dua tangan
diangkat ke atas, telapak mengembang. Sepasang
lengannya tidak berhenti membuat gerakan berputar.
Dari ke dua telapak tangan ninja merah inilah membersit
keluar angin tajam sedingin es!
Semua ninja anak buah Shimada Kagami seolaholah
telah menjadi beku tak sanggup lagi menggerakkan
tangan atau kaki ataupun kepala mereka. Mereka tegak
seperti patung es!
Dalam marah mereka hendak membentak namun
yang keluar hanya suara erang orang kedinginan! Hanya
sang pimpinan yang masih sanggup bertahan. Namun
lama-lama diapun tak sanggup memutar senjata yang
dipegangnya. Perlahan-lahan tangan kanannya jatuh
terkulai kesisi.
Ninja merah melangkah maju dan berhenti kirakira
lima tindak dari hadapan Shimada Kagami.
“Aku tidak mau mendengar bantahan atau
kedustaan! Ucapan ninja adalah ucapan kesatria!
Beberapa anak buahmu menyerang seorang pendekar
asing dekat sebuah jurang batu. Mereka merampas senjata
berbentuk kapak milik pendekar itu yang kini kau pegang.
Serahkan senjata itu, aku akan menyerahkannya
pada sang pendekar. Lalu aku akan pergi dari sini tanpa
membuat urusan jadi panjang! Kalau tidak kalian semua
akan aku jadikan patung es!!”
148
“Ninja keparat! Kau pasti mahluk jadi-jadian!
Mempergunakan ilmu sihir untuk membuat kami tidak
berdaya! Pengecut”
“Kau mau serahkan kapak sakti itu atau tidak!”
“Kau boleh mengambil senjata ini sesudah
melangkahi mayatku!”
“Ninja sombong! Mari kita berkelahi dengan
pedang. Kalau aku kalah kau boleh bunuh diriku. Kalau
kau kalah kau harus menyerahkan kapak bermata dua
itu!” Sambil berkata begitu ninja merah cabut katananya.
Ujung senjata ini di usapkannya ke wajah dada dan
perut Shimada Kagami. Aneh, ada hawa panas yang
mengalir dari pedang terus masuk ke dalam tubuhnya
hingga Shimada kini merasa hangat dan terbebas dari
hawa sangat dingin yang menguasainya.
“Kau menerima perjanjian atau tidak?!” tanya
ninja merah begitu dilihatnya Shimada Kagami mulai
bisa menggerakkan badan. Pimpinan ninja ini keluarkan
suara mendengus. Kapak di tangan kanannya di
lemparkan ke atas. Senjata ini menancap di salah satu
balok penyanggah atap ruangan latihan. Lalu didahului
dengan bentakan garang dia cabut katananya langsung
menyerang ninja merah.
Dalam waktu singkat sepuluh jurus berlalu.
Shimada Kagami yang merasa berada di atas angin
menggempur terus-terusan. Pedangnya berubah menjadi
bayang-bayang. Mendesak ninja merah habishabisan
hingga orang ini kelihatan pontang panting
menghindar atau menangkis cari selamat.
149
Lima jurus lagi berlalu. Shimada Kagami jadi
penasaran. Semua anak buahnya juga jadi heran
melihat pimpinan mereka tak sanggup mengalahkan
lawan padahal perkelahian sudah berjalan lebih dari lima
belas jurus. Padahal lagi sang lawan hanya memegang
katananya dengan satu tangan, cara memegang pedang
yang tak pernah mereka lihat selama ini!
Shimada berleriak keras. Pedangnya menetak
deras dari atas ke bawah. Dari perutnya dia alirkan
tenaga dalam.
Tranggg!
Dua katana beradu keras. Katana di tangan ninja
merah terlepas dan mencelat ke atas.
“Saatmu menerima kematian!” teriak Shimada
Kagami. Ninja merah jatuhkan diri ke lantai dojo begitu
pedang membabat.
Bretttl
Pinggang pakaiannya robek. Pedang di tangan
Shimada menancap di lantai dojo. Selagi dia berusaha
mencabutnya ninja merah gulingkan diri ke samping.
Kaki kanannya berkelebat.
Bukkk!
Shimada Kagami mengeluh tinggi ketika tulang
kering kaki kanannya dibabat tendangan lawan.
Pedangnya terlepas. Tubuhnya roboh ke lantai. Ketika
dia mencoba bangun dengan cepat, gerakannya kalah
cepat dengan gerakan ninja merah. Saat itu lawan sudah
tegak di atasnya. Kaki kanan ninja merah menginjak
anggota rahasia dibawah perutnya.
150
“Kalau kau tidak mengaku kalah, kuhancurkan
kemaluanmul” mengancam ninja merah. Kaki kanannya
ditekankan sedikit hingga Shimada Kagami mengerenyit
kesakitan. Tangan kanannya ditepukkan berkali-kali ke
lantai dojo.
“Aku mengaku kalah! Kau boleh ambil kapak itu
Setelah mengambil kapak kau boleh pergi dengan
aman!” kata Shimada Kagami.
Ninja merah lepaskan pijakannya di selangkangan
orang. Sekali lompat saja dia melesat ke atas untuk
menyambar kapak mustika yang menancap di tiang
penyanggah atap. Seorang anak buah Shimada cepat
mendorong pintu geser, memberi jalan keluar pada ninja
merah.
Ketika dia melangkah pergi tiba-tiba ada suara
berdesir di belakangnya. Bersamaan dengan itu terdengar
suara orang berteriak memberi ingat.
“Awas serangan pedang terbang!”
Ninja merah membalik sambil putar kapak di
tangan kanan.
Traaaanggg!
Suara berdentrangan terdengar lima kali berturutturut.
Lima katana yang dilemparkan oleh lima anak
buah Shimada yang telah terlepas dari pengaruh hawa
dingin mencelat berpatahan di udara.
Shimada Kagami berteriak marah pada lima anak
buahnya yang telah melakukan kecurangan itu. Dia
melompat sambil membabatkan katananya. Namun
hukuman dari ninja merah datang lebih dulu. Tiga kali
151
kapak bermata dua menderu di udara. Tiga ninja
terkapar mandi darah di lantai dojo, dua temannya
menggelepar dengan leher hampir putus!
Keheningan dan ketegangan berdarah menggantung
di tempat itu. Lalu terdengar suara serak Shimada
Kagami.
“Kau telah menjatuhkan hukuman. Aku merelakan
kematian mereka …” Lalu pimpinan ninja kelompok Nara
itu menjura dalam-dalam sampai tiga kali. Ninja merah
balas membungkuk tiga kali lalu tinggalkan tempat itu.
Sampai di luar bangunan dia memandang berkeliling
mencari-cari.
Apa yang dicarinya itu segera menunjukkan diri.
Dari atas atap bangunan satu sosok merah melayang
turun.
“Mahluk Bendera Darahl” ujar ninja merah.
“Jadi kau tadi yang berteriak memberi peringatan.
Aku berterima kasih kau telah menyelamatkanku dari
serangan maut lima katana tadi. Aku heran bagaimana
kau tahu aku berada di markas ninja ini?”
“Aku dan Akiko menguntitmu. Aku sulit mempercayai
ilmu apa yang kau keluarkan hingga semua ninja
itu termasuk pemimpinnya hampir kaku kedinginan?”
Ninja merah tersenyum.
“Kau menyebut Akiko. Dimana gadis itu
sekarang? “
“Di gudang di tepi sungai Okaza … Kita harus ke
sana sekarang. Aku seperti punya firasat buruk …” Ninja
merah melihat dua ekor kuda dekat sebuah pohon. Dia
152
memberi isyarat pada mahluk bendera lalu berpaling ke
arah bangunan dan berteriak.
“Pimpinan ninja Nara! Kami pinjam dulu dua ekor
kudamu!” Di dalam bangunan Shimada Kagami
menjawab perlahan.
“Untung kau meminjam kudaku, kalau kau
meminjam nyawaku berarti aku akan menghadap Dewa
Kematian!”
* * *
153
LIMABELAS
K ETIKA ninja merah dan manusia Bendera
Darah sampai di gudang sayur di tepi sungai Okaza
mereka terkejut mendapatkan Akiko Bessho tengah
bertempur mati-matian melawan Hisao Matsunaga
dibantu oleh enam orang murid Perguruan Emerarudo.
Gadis ini telah terluka di beberapa bagian tubuhnya.
Tapi seperti seekor harimau betina dia menahan
serangan lawan bahkan sesekali balas menyerang
dengan sebat. Gadis ini berkelahi dengan membelakangi
satu-satunya pintu gudang sayur. Dia sengaja mengambil
kedudukan di pintu yang terbuka itu untuk mencegah
lawan masuk ke dalam di mana bersembunyi Akira
Kasai.
“Nona Akiko! Aku tidak segan-segan membunuhmu
kalau kau tidak segera menyerahl” teriak Hisao
Matsunaga.
“Ketua Perguruan Emerarudo! Antara kita tidak
ada silang sengketa! Kalau kau tidak menyembunyikan
sesuatu mengapa kau begitu nekad hendak membunuh
diriku! Kau juga bertindak pengecut! Mengeroyok
seorang perempuan sampai tujuh orangl”
154
Hisao Matsunaga menyeringai buruk.
“Jelas-jelas kau ikut terlibat dalam penculikan
putera mendiang Ketua kami! Masih bisa bilang tidak
ada silang sengketa!”
“Kau salah sangka..”
“Diam!” hardik Hisao Matsunaga. Dia putar pedangnya
dengan sebat lalu kirimkan dua bacokan ganas
berturut-turut. Dua kali terdengar suara berdentrangan
sewaktu Akiko berusaha menangkis serangan lawan.
Kali ke dua pedang di tangannya terpental lepas. Gadis
ini terpekik lalu melompat mundur.
“Jangan harap aku akan mengampuni nyawamul”
kertak Hisao Matsunaga lalu menyergap dengan satu
tusukan.
Akiko Bessho masih sempat berkelit walau lagilagi
ujung pedang sempat melukai bahu kirinya. Tangan
gadis ini tiba-tiba terpentang mengeluarkan cahaya
perak menyilaukan. Hisao Matsunaga dan enam anak
murid perguruan terkejut. Serentak mereka menyerbu
bersamaan. Akiko hantamkan tangan kanannya.
Wusssl
Sinar putih berkiblat. Hawa sangat panas
menerpa para pengeroyok. Mereka cepat melompat
menjauh. Namun dua orang murid perguruan terlambat
bergerak. Tubuhnya terpental sampal lima kaki lalu
menggeletak mati di tanah dalam keadaan hangus!
“llmu iblis apa yang kau miliki?l” teriak Hisao
Matsunaga dengan wajah berubah sementara empat
155
murid perguruan yang ada di situ menjadi pucat tak
berani mendekat.
Akiko Bessho tertawa tinggi.
“Kalau kau ingin tahu mendekatlah kemaril” katanya
sambil siapkan “pukulan sinar matahari!” yang
dipelajarinya dari Pendekar 212 Wiro Sableng. Sekali ini
tidak tanggung-tanggung. Dia kerahkan seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya.
Ditantang begitu rupa Ketua Perguruan
Emerarudo menjadi kalap. Dengan pedang terhunus dan
berteriak keras dia menusukkan senjatanya kearah dada
Akiko Bessho. Si gadis siap menyambut dengan pukulan
sinar matahari. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
mendatangi dari dua arah.
Dari selatan gudang menyusuri sungai adalah
Shigero Momochi bersama dua orang pengurus dan tiga
orang murid perguruan. Dari sebelah timur gudang
muncul ninja merah dan mahluk Bendera Darah.
“Tahan seranganl”
“Hentikan perkelahian!”
Tapi Hisao Matsunaga tidak mau perduli. Pedang
nya terus ditusukkan. Akiko menghantam.
“Akikol Janganl” satu teriakan terdengar begitu
keras. Lalu satu sambaran cahaya menerpa ke arah
pedang Hisao Matsunaga.
Trang!
Katana milik Perguruan Emerarudo yang telah
berumur ratusan tahun itu mental ke udara. Jatuh tepat
ketika Shigero Momochi sampai di tempt itu. Dengan
156
satu gerakan cekatan dia berhasil menangkapnya. Wakil
Ketua perguruan ini cepat melompat turun. Sesaat dia
memandang ke jurusan ninja merah yang tadi
menangkis pedang Hisao Matsunaga dengan senjata
berbentuk kapak mata dua. Lalu dia melirik pada
manusia Bendera Darah. Setelah itu dia berpaling pada
Akiko Bessho.
“Nona Akikol” bentak Shigero Momochi.
“Kau jelas bersalah karena telah menculik putera
mendiang Ketua kami..!” Pintu gudang sayur tiba-tiba
terbuka. Satu suara terdengar menyahuti ucapan
Shigero Momochi tadi.
“Paman Shigero, tak ada yang menculik diri saya.
Mereka semua malah berusaha menyelamatkan saya
dari tangan berdarah Paman Hisao Matsunaga!”
Dari dalam gudang keluarlah sosok Akira Kasai.
Paras Hisao Matsunaga mendadak sontak berubah.
Namun dia cepat menguasai diri.
“Akira! Syukur Dewa kau dalam keadaan
selamatl” Akira Kasai tidak perdulikan ucapan sang
Ketua. Dia melangkah ke arah Shigero Momochi.
Sampai di hadapan orang ini si anak berkata.
“Paman Shigero, saya mau memberi tahu bahwa
Paman Hisao telah memalsukan surat warisan.
Seharusnya kaulah yang diangkat Ayah sebagai pewaris
Ketua Perguruan..!” Beberapa pasang mata tampak
melotot.
“Akira! Kau ini bicara apa? Berani kau memfitnah
dan memberi malu Ketua kita?! ujar Shigero.
157
“Dia tidak memfitnah dan tidak memberi malu
siapapun! Akira, katakan semua apa yang kau ketahui!”
kata Akiko Bessho sambil bersandar ke dinding gudang
sayur.
Akira Kasai memandang penuh kebencian pada
Hisao Matsunaga lalu anak ini berkata dengan suara
lantang.
“Paman Hisao! Kau juga yang membunuh Ayah!
Menyamar sebagai ninja Kau juga yang membunuh
sahabatku Keno!”
“Anak, kau jangan mengada-ada. Masakan aku..”
Hisao Matsunaga melangkah mendekati anak itu. Tibatiba
cepat sekali tangannya menjambak rambut Akira. Si
anak dibembengnya hingga menempel ke dadanya. Lalu
sebuah pisau beracun yang tahu-tahu sudah ada di
tangan kirinya diarahkan ke leher Akira.
“Siapa berani mendekat kugorok leher anak inil”
kertak Hisao Matsunaga dengan wajah sebengis setan.
“Paman Shigero, saya tidak takut matil Ada bukti
tanda pukulan Lima Jari Dewa yang dilepaskan ayah di
dada kirinya!” berteriak Akira Kasai.
Shigero Momochi berteriak keras.
“Hisao! Apa benar yang dikatakan anak ini?”
“Benar atau tidak aku tak punya waktu buat
menerangkan!” jawab Hisao Matsunaga. Lalu dia
mundur ke arah seekor kuda.
“Awas jika ada yang berani menghalangiku!” Dia
mundur lagi dan hampir sampai ke kuda yang akan
158
dipergunakannya melarikan diri sambil menyandera
Akira Kasai.
Tapi tiba-tiba sekali ninja merah melompat ke
arahnya. Tangannya bergerak dua kali. Hisao
Matsunaga mengeluarkan suara seperti tercekik. Mulutnya
tak bisa bersuara lagil Bersamaan dengan itu sekujur
tubuhnya menjadi kaku akibat dua totokkan yang dilakukan
ninja merah tadi. Semua orang yang ada di situ
kecuali Akiko Bessho jadi terkejut. Mereka memang
pernah mendengar tentang ilmu totokan yang bisa
membungkam suara dan melumpuhkan orang tapi
seumur hidup baru sekali itu melihatnya.
Akira Kasai menggeliat. Dengan susah payah dia
melepaskan diri dari rangkulan Hisao Matsunaga begitu
turun di tanah anak ini hunus pedangnya. Semua orang
menyangka anak ini akan menusukkan senjata itu ke
tubuh Hisao Matsunaga ternyata dia hanya merobek
kimononya di bagian dada kiri.
Bretttttt
Kimono robek besar. Dada kiri Hisao Matsunaga
tersingkap lebar Kelihatan lima bintilan merah di
dadanya. Shigero Momochi medatangi sang Ketua dan
memperhatikan dekat-dekat dada itu.
“ini memang bekas pukulan Lima Jari Dewa….”
katanya.
“Hisao! Kau benar-benar keji!” Shigero Momochi
tampak sangat kecewa. Orang ini putar tubuhnya
membelakangi Hisao Matsunaga seperli hendak
159
melangkah pergi. Tapi tiba-tiba dia membalik. Satu
cahaya putih berkiblat.
Craassss!
Katana yang diayunkan Shigero Momochi membabat
perut dan dada Hisao Matsunaga. Darah basahi
kimononya yang robek besar. Tubuhnya huyung lalu
roboh terlentang di tanah. Tak bergerak lagi, mati
dengan mata melotot.
Dari balik robekan pakaian tersembul sebuah
benda berwarna kuning Akira Kasai tercekat. Anak ini
melompat lalu mencabut benda kuning itu. Ternyata
sebuah amplop.
Dengan tangan gemetar Akira membuka amplop
lalu mengeluarkan sehelai kertas yang ada di dalamnya.
Anak ini tidak membaca lagi apa yang tertulis di kertas
itu tapi matanya langsung memperhatikan bagian sudut
bawah kiri. Di situ dilihatnya noda tinta yang sangat
dikenalinya. Dengan mata berlinangan Akira Kasai melangkah
mendekati Shisero Momochi. Surat yang dipegangnya
diserahkan pada orang ini. Shigero Momochi
membaca surat itu.
Tiba-tiba tangannya tampak ber-getar. Mulutnya
berhenti membaca. Sepasang matanya memandang
pada Akira Kasai. Seperti tidak Percaya apa yang
barusan dilihat dan dibacanya. Sebaliknya Akira Kasai
mengusut air matanya dan memandang padanya
dengan tersenyum
” Paman Shigero, itu surat warisan asli yang
dibuat Ayah, Kaulah Pewaris jabatan Ketua Perguruan
160
Emerarudo yang syah.” Ketika dia hendak meluruskan
tubuhnya. Shigero Momochi Cepat merangkulnya dan
berbisik.
“Aku tidak percaya. Bagaimana aku manusia
kasar dan tolol ini diberi kepercayaan begitu besar oleh
ayahmu…”
“Ayah tahu apa yang dilakukannya. Asal saja kau
jangan suka mabok lagi Paman Shigero …”
Dua mata Shigero Momochi tampak berkata-kaca.
“Soal minuman itu. Hisao Matsunaga yang mengajarkan
padaku. Dia mengirimkan berbagai minuman
keras ke kamarku. Setiap hari. Sejak lima tahun yang
lalu…..”
“Ah, berarti dia memang sudah mengatur jauhjauh
hari. Sengaja menjadikan kau orang jelek dimata
semua orang di perguruan. Kami semua tahu kau
memang jelek rupa dan jelek sifat. Namun hatimu
Seputih Salju di puncak Fuji dan jiwamu bersih sebersih
bunga sakura yang mulai bersemi….”
Ucapan Akira Kasai itu sangat menyentuh
perasaan Shigero Momochi hingga dia memeluk anak itu
erat-erat sementara air mata jatuh membasahi pipinya.
“Paman Shigero, sembunyikan air matamu. Jangan
Sampai ada orang lain yang melihat. Masakan Ketua
Perguruan besar menangis seperti anak kecil..”
Shigero Momochi mau tak mau jadi tersenyum.
Sambil mendukung Akira dia mendatangi ninja merah,
mahluk Bendera Darah dan Akiko Bessho.
161
“Kalau tidak dengan bantuan kalian bertiga, entah
apa jadinya dengan Akira dan perguruan kami. Aku atas
nama Pribadi dan perguruan Emerarudo mengucapkan
terima kasih besar…..”
Lalu Shigero Momochi membungkuk tiga kali.
Setelah itu dia berpaling pada Akiko Bessho.
“Nona Akiko, kami harap kau suka ikut ke
perguruan untuk mengobati luka-lukamu. Kau kelihatan
pucat. Tubuhnya tentu lemas karena banyak
mengeluarkan darah .. !”
Lalu Shigero berkata pada Bendera Darah dan
ninja merah.
“Aku juga mengundang kalian berdua kembali ke
perguruan…”
Sepantasnya aku menerima undangan kehormatan
dan pengobatan itu. Hanya dua temanku ini mungkin
akan menyusul kemudian. Ada urusan penting yang
harus mereka selesaikan..”
Habis berkata begitu Akiko Bessho naik ke atas
punggung seekor kuda dibantu oleh ninja merah Shigero
juga naik ke atas kudanya sambil terus menggendong
Akira.
“Nona Akiko.. Urusan pada maksudmu…?” Ninja
merah tiba-tiba bertanya.
“Aku tidak merasa ada urusan apa-apa dengan
mahluk aneh ini!”
Akiko Bessho tertawa lebar. Dia dekatkan
kudanya pada ninja merah lalu membungkuk berbisik.
“Dia mencintaimu. Jangan kecewakan hatinya …”
162
“Kau gila… Masakan aku.. Lelaki atau perempuan
nya pun aku tidak tahu …”
Ninja merah tak bisa meneruskan ucapannya karena
saat itu Akiko Bessho sudah menggebrak kudanya
dan tinggalkan tempat itu.
Tiba-tiba kelihatkan kuda yang membawa Shigero
Momochi dan Akira berbalik mendatangi.
“Ada apakah?” tanya ninja merah. Dari atas
punggung kuda Akira Kasai meluncur turun. Dia menanggalkan
katana yang tergantung di pinggangnya lalu
menyerahkan pada ninja merah seraya berkata.
“Aku kalah taruhan. Kau boleh ambil pedang ini..!”
“Heh,. aku tidak sungguhan…..” jawab ninja
merah agak sungkan menerima senjata itu.
“Sungguhan atau tidak terimalah sebagai tanda
terima kasih saya …”
Ninja merah mau tidak mau mengambil pedang
itu. Akira Kasai membungkuk lalu dibantu Shigero anak
ini naik kembali ke atas kuda.
Di saat hari mulai terang-terang tanah kini di tempat
itu hanya tinggal ninja merah dan manusia Bendera
Darah berdua saja yang tegak saling berhadap-hadapan.
“Gadis itu mencintaimu …” tiba-tiba meluncur
ucapan itu dari mulut Bendera Darah.
“A … apa?l” Paras di balik penutup wajah ninja
merah jadi bersemu merah.
“Justru tadi dia bilang kau mencintaiku!” Kini
wajah yang tersembunyi dibalik bendera- bendera merah
itu yang jadi jengah kemerahan.
163
“Kau ini … siapa kau sebenarnya?” tanya ninja
merah.
“Wajah dan sekujur tubuhmu tersembunyi ~ di
balik ratusan bendera.”
“Kau sendiri siapa? bukankah kau Pendekar 212
Wiro Sableng? Gaijin itu …?” balik berucap mahluk
Bendera Darah.
“Aku tak kenal orang yang kau sebutkan itu!”
“Jangan berdusta! Coba buka penutup kepalamu!
Perlihatkan wajahnya! Jika kau memang seorang ninja
kesatrial”
“Aku tidak keberatan memperlihatkan diri,” jawab
ninja merah. Lalu dengan tangan kanannya dibukanya
kain merah yang menutupi kepala dan wajahnya.
Melihat wajah yang kini terpampang di depannya,
mahluk Bendera Darah keluarkan seruan tertahan.
“Bukan dia! Jadi kau memang bukan pendekar
asing bernama Wiro itu..? “
“Kau kecewa….?” tanya ninja merah.
Mahluk bendera Darah tidak menjawab. Seolah
pada dirinya sendiri terdengar dia berkata perlahan.
“Lalu … lalu kemana perginya pemuda itu …?”
Orang di depan Bendera Darah tertawa lebar.
“Jika kau mau memperlihatkan dirimu sendiri aku
bersedia memberi tahu dimana pemuda itu berada!”
“Aku tidak percaya …”
‘Kalau begitu kau tidak ingin bertemu dengannya?”
Bendera Darah tampak meragu. Dia menyerah.
164
“Baiklah, kau boleh melihat diriku …” Lalu dia
membuat gerakan cepat sekali seperti orang membuka
penutup kepala dan pakaian. Ternyata ratusan bendera
merah yang menancap ditubuhnya itu tersisip pada
sebuah jubah tebal. Ketika jubah dibuka kelihatanlah
wajah dan tubuhnya.
Ninja merah sampai ternganga terkesiap begitu
melihat siapa yang tegak di depannya. Seorang gadis
cantik berambut coklat, mengenakan sehelai pakaian
kuning tipis sehingga lekuk tubuhnya yang bagus
membayang.
“Namamu Yori… Benar…?” ninja merah bertanya.
Gadis cantik di hadapan ninja merah mengangguk.
“Sekarang tepati janjimu. Katakan dimana kau bisa
menemui gaijin bernama Wiro itu …”
“Dia ada di dekatmu,” jawab ninja merah. Ketika si
gadis memandang berkeliling mencari-cari ninja merah
cepat-cepat lepaskan topeng tipis yang menutupi kepala
dan mukanya.
“Tak ada siapa-siapa di sini. Kau berdusta!” kata
si gadis seraya balik memandang ke depan kembali.
Lalu berubahlah parasnya. Merah terkejut tapi
disusul dengan senyum gembira.
“Kau …!” katanya dengan lidah seperti kelu.
“Jadi selama ini kau menyamar menjadi ninja
merah..!” Ninja merah garuk-garuk kepalanya.
“Aku hanya menuruti nasihatmu tempo hari. Katamu
setelah aku membunuh ninja maka kemanapun aku
akan dikejar sampai mereka bisa membunuhku! Apa-
165
kah sekarang setelah tahu siapa diriku kau akan
memberitahu ninja? Atau mungkin kau sendiri yang
hendak membunuhku karena masih dendam atas
kematian nenek Arashi?” Si gadis geleng-gelengkan
kepalanya sambil tertawa.
“Wiro,” katanya,
“apakah kau akan cepat-cepat pergi ke Perguruan
Emerarudo memenuhi undangan Shigero Momochi tadi”
“Bersamaku saat ini ada seorang gadis cantik
jelita. Adalah tolol kalau aku malah pergi melihat orang
mati…..”
Yori alias gadis Bendera. Darah tertawa cekikikan.
Wiro mengembangkan ke dua tangannya. Tanpa
ragu-ragu si gadis menjatuhkan dirinya ke dalam
pelukan pemuda itu. Ke duanya saling peluk dan masih
terus bercumbu berangkulan walaupun hari mulai terang
tanda malam telah berganti siang.
* * *
TAMAT
SEGERA TERBIT
”KEPALA IBLIS NYI GANDASURI”

Tidak ada komentar: