Rabu, 01 Februari 2012

072. PURNAMA BERDARAH

BASTIAN TITO
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
72. PURNAMA BERDARAH
1
 UJAN lebat mendera Pantai Selatan. Suara hujan
yang diterpa hembusan angin keras yang datang dari
laut menimbulkan suara menggidikkan di telinga
siapa saja yang mendengarnya. Di bawah hujan lebat itu
seorang penunggang kuda memacu tunggangannya
sepanjang tepian pantai, menembus hujan dan deru angin
ke arah timur. Tepat di satu bukit karang yang menjulang
orang ini hentikan kudanya. Sambil menepuk tengkuk
binatang itu dia berkata. “Jangan ke mana-mana. Tunggu
di sini sampai aku kembali!”
Seperti mengerti akan ucapan orang, kuda itu mende–
katkan kepalanya ke bahu tuannya dan menjilat bahu itu
beberapa kali. Ketika petir kelihatan menyambar di tengah
laut, penunggang kuda tadi telah lenyap dari tempat itu.
Dia melompat ke sebuah celah sempit di kaki bukit karang.
Di dalam celah itu ada bagian bukit yang berbentuk seperti
tangga kasar. Orang ini menaiki tangga itu dengan gerakan
cepat. Tangga batu karang itu licin dan ada yang berseli–
mutkan lumut. Hujan lebat membuat udara menjadi redup
gelap. Kalau tidak memiliki kepandaian tinggi tak mungkin
orang itu bisa menaiki tangga batu begitu cepat.
Di puncak tangga batu membentang sebuah pedataran
batu yang penuh dengan gerunjul-gerunjul karang runcing.
Pada sebelah kiri pedataran menjulang bukit berbentuk
dinding setinggi lima tombak. Pada salah satu bagian di
kaki dinding inilah kelihatan sebuah lobang besar yang
merupakan mulut goa. Orang tadi bergegas menuju pintu
goa. Di mulut goa dia berhenti sebentar. Dia mengusap
wajahnya dua kali berturut-turut lalu baru masuk ke dalam.
H
Bagian dalam goa batu karang itu terasa hangat dan
merupakan satu terowongan lurus sedalam sepuluh
tombak. Di ujung terowongan kelihatan menyala sebuah
lampu minyak yang meliuk-liuk  terkena tiupan angin dari
luar. Di belakang lampu ini terhampar sehelai kulit bina–
tang yang sudah dikeringkan. Bagian kepalanya yang
berupa kepala seekor srigala menghadap ke dinding goa
sebelah kiri. Di atas kulit binatang itu, di sebelah kanan
tampak satu sosok tubuh terbalut kulit binatang tegak
kepala di bawah kaki ke atas. Kedua telapak tangan
menjejak kulit di lantai goa sedang sepasang kaki bersilang
di sebelah atas. Rambutnya yang panjang riap-riapan
terjulai ke bawah dan wajahnya tertutup oleh janggutnya
yang panjang menjulai. Udara di dalam goa itu menebar
bau tidak sedap.
Orang yang barusan masuk dalam keadaan basah
kuyup sesaat tegak memperhatikan sosok tubuh yang
tegak kepala ke bawah kaki ke atas itu. Lalu mulutnya
terbuka berucap, “Eyang Srigala Karang, saya datang untuk
kedua kali!”
Tubuh yang tegak kaki ke atas kepala di bawah itu tidak
bergerak. Namun di balik janggut panjang yang menutupi
hampir keseluruhan wajahnya, sepasang matanya terbuka
sedikit. Menyusul mulutnya bersuara, “Kemala, kau datang
untuk kedua kali. Berarti hatimu telah tetap untuk meminta
agar aku meluluskan keinginanmu?!”
“Betul sekali Eyang Srigala Karang.” Orang ini ternyata
adalah seorang perempuan.
“Bagus kalau begitu. Aku sudah katakan bahwa sekali
kau memutuskan meminta bantuanku, berarti kau harus
memenuhi segala syarat dan aturan!”
“Saya akan memenuhi,” jawab Kemala yang pakaian
dan rambutnya basah kuyup.
“Aku sudah katakan. Kalau kau melanggar syarat dan
aturan maka apa yang kau minta akan berbalik mencelakai
dirimu sendiri!”
“Saya sudah mengerti hal itu Eyang.”  
“Apa yang kau minta segera terkabul. Setelah kau
melihat sendiri nanti, maka baru aku akan mengatakan
syarat-syaratnya.”
“Eyang, apakah tidak sebaiknya Eyang mengatakan
lebih dulu syarat-syarat itu?” ujar Kemala.
“Kau yang meminta bantuan, aku yang menentukan
syarat. Lagi pula apa sulitnya memenuhi syarat yang tidak
sukar?”
Orang yang berdiri di depan lampu minyak diam
sejurus. Maka terdengar orang yang disebut dengan Eyang
Srigala Karang itu berkata. “Aku tidak suka pada orang-
orang yang datang dengan hati meragu bimbang. Jika
perasaan itu ada dalam hati sanubarimu, cepat-cepat saja
meninggalkan goa ini! Aku  tidak punya terlalu banyak
waktu mengurusi tamu sepertimu! Aku mau dengar
jawabanmu!”
“Saya tidak ragu. Apapun nanti syarat dari Eyang akan
saya penuhi.” kata Kemala pula.
Eyang Srigala Karang keluarkan suara tawa mengekeh,
membuat orang di depannya sesaat jadi tercekat. “Aku
akan pertemukan kau dengan makhluk yang akan menjadi
sahabat dan suruhanmu!” kata Eyang Srigala Karang. Lalu
tangan kiri sang Eyang tampak terangkat dari atas tikar
kulit binatang. Tangan ini bergerak ke arah kepala srigala
yang dikeringkan. Kemudian mengusap kepala itu tiga kali
berturut-turut. Pada akhir usapan ketiga tiba-tiba asap
kelabu mengepul keluar dari dua telinga, mata, dan hidung
yang ada di kepala srigala yang telah dikeringkan itu.
Bersamaan dengan itu terdengar suara seperti gerengan
atau auman binatang. Demikian kerasnya suara ini hingga
lantai dan dinding goa bergetar. Kemala tercekat sesaat.
Kedua matanya dibuka lebar-lebar. Dia menyaksikan
bagaimana kepulan asap itu berbuntal menjadi satu. Lalu
berubah menjadi sosok seekor binatang buas berupa
srigala yang mengerikan. Kedua mata binatang ini berwar–
na merah, laksana bara api. Telinganya mencuat ke atas.
Mulutnya sampai ke gigi, taring, dan lidahnya tampak  
basah oleh darah. Begitu juga dua kaki depannya yang
memiliki kuku-kuku panjang runcing. Binatang ini berputar
menghadap ke arah Kemala lalu menggereng keras.
Kemala merasakan nyawanya seperti terbang. Tapi perem–
puan ini cepat menguasai dirinya kembali.
“Kawanmu ini harus kau panggil dengan nama Datuk.
Jika kau ingin menemuinya dan menyuruh dia melakukan
sesuatu sesuai dengan apa yang menjadi keinginanmu,
maka kau cukup menyebut namanya tiga kali berturut-
turut. Dia akan muncul di hadapanmu menunggu perintah.
Dia hanya akan melakukan satu perintah saja yaitu men–
cabik-cabik sampai mati setiap orang yang kau inginkan.
Namun ingat, pembunuhan itu hanya bisa kau lakukan
pada malam bulan purnama. Lain dari saat yang telah
ditentukan itu, Datuk tidak akan melakukannya. Dia hanya
akan berkeliaran di mana-mana atau muncul jika kau
panggil, tapi tidak akan melakukan perintah membunuh!”
“Mengapa Datuk hanya bisa melakukan pembunuhan
pada malam bulan purnama saja Eyang?” tanya Kemala.
“Begitu yang telah ditentukan oleh alam gaib dan ilmu
gaib. Tak seorang pun bisa merobahnya. Malam bulan
purnama adalah malam yang indah. Malam kebanyakan
orang lelaki dan perempuan saling bermesraan dan mera–
sakan saat-saat paling bahagia!” jawab Eyang Srigala
Karang. “Kau harus menerima ketentuan ini. Kau telah
berjanji.”
“Ya, saya menerimanya Eyang,” kata Kemala pula
dengan suara perlahan.
Eyang Srigala Karang tertawa mengekeh. “Aku tahu,
kau ingin membunuh dan membunuh sebanyak dan
secepat mungkin. Jika keinginanmu itu diikuti, dalam
waktu singkat puluhan orang akan menjadi korbanmu.
Sekarang siapkan dirimu untuk menerima syarat-syarat
yang harus kau lakukan.”
Kemala tegak lurus-lurus tak bergerak.
“Syarat pertama! Setiap setelah tiga kali melakukan
pembunuhan pada tiga malam purnama, seorang pemuda  
yang memiliki sepasang telinga panjang ke atas seperti
srigala akan muncul di kamar tidurmu. Kau harus melayani
pemuda ini, memenuhi apa yang dimintanya termasuk
bermesraan dengannya…”
“Eyang!” seru Kemala terkejut sekali dan parasnya
langsung berubah.
“Kau tak boleh menolak, tak layak membantah. Itu
syarat yang tidak bisa dirobah! Ingat ucapan-ucapanku
sebelumnya!”
“Tapi Eyang, saya…”
“Berani kau bicara lagi maka Datuk akan kusuruh
mencabik-cabik sekujur tubuhmu mulai dari kepala sampai
kaki!”
Datuk, si srigala bermata merah itu keluarkan suara
lolong raungan keras. Dua sinar merah api seperti berke–
lebat keluar dari kedua matanya, menyambar ke arah
Kemala. Gadis ini tersentak mundur.
Eyang Srigala Karang kembali mengekeh. “Datuk, mulai
saat ini kau bertuan pada gadis di hadapanmu ini. Ikuti
segala perintahnya sesuai dengan aturan. Ingat, kau hanya
boleh membunuh pada malam bulan purnama!”
Srigala itu kembali meraung panjang.
“Sekarang kau boleh pergi Datuk!”
Eyang Srigala Karang mengusap kepala srigala yang
sudah dikeringkan tiga kali berturut-turut. Binatang
bermata merah itu perlahan-lahan berubah menjadi asap
lalu lenyap dari pemandangan.
“Syarat kedua dan terakhir!” terdengar Eyang Srigala.
Kemala terdiam. Sepasang matanya menatap ke arah
wajah yang tertutup janggut itu.
“Tanggalkan seluruh pakaianmu!”
Kemala seperti mendengar petir menyambar di depan
hidungnya! “Apa kata Eyang?!”
“Tanggalkan semua pakaian yang melekat di tubuhmu!”
“Apa maksud Eyang?!” tanya Kemala. Suaranya keras
pertanda ada hawa amarah memasuki dirinya.
“Apa maksudku tak perlu kau ketahui! Aku memerin–
tahkan supaya kau membuka seluruh pakaianmu! Seka–
rang juga! Ini syarat yang harus kau lakukan!”
“Syarat gila!” teriak Kemala.
Eyang Srigala Karang tertawa panjang. “Jika kau
menolak perintah, Datuk akan muncul membunuhmu!”
“Saya tidak takut! Syarat yang Eyang katakan tidak
mungkin saya lakukan!”
“Apa sulitnya membuka pakaian!”
“Membuka pakaian memang mudah! Tapi ada maksud
busuk dalam diri Eyang hendak mencemari saya!”
Eyang Srigala Karang kembali tertawa. Begitu suara
tawanya sirap dari mulutnya keluarlah suara seperti
raungan srigala dalam rimba belantara di malam gelap
gulita.
Tiba-tiba tubuhnya yang sejak tadi berdiri di atas kedua
tangannya bergerak berjumpalitan. Kini dia tegak di atas
kedua kakinya. Wajahnya yang sejak tadi tertutup oleh
janggutnya yang panjang sekarang terlihat jelas. Ternyata
dia memiliki wajah mirip seekor srigala, lengkap dengan
gigi-gigi serta taring-taring besar runcing. Kedua telinganya
panjang mencuat ke atas. Keseluruhan wajahnya sampai
ke telinga tertutup oleh selapis bulu-bulu berwarna coklat.
Lalu kedua matanya menyerupai sepasang mata Datuk
makhluk srigala itu. Berwarna merah laksana bara api!
“Kalau kau tidak mau membuka sendiri pakaianmu,
terpaksa aku yang akan melakukannya!” kata Eyang
Srigala Karang.
Eyang Srigala Karang mengulurkan tangan kanannya ke
depan ke arah Kemala. Ketika tangan itu membuat
gerakan-gerakan aneh, terjadilah hal yang sulit dipercaya.
Seluruh pakaian yang melekat di tubuh Kemala seolah-olah
terbang, lepas bertanggalan hingga kini gadis itu tegak
menjerit dalam keadaan bugil. Kemala berteriak tiada henti
sambil kedua tangannya berusaha menutupi auratnya.
Eyang Srigala Karang tertawa panjang.
“Syarat harus dipenuhi! Aturan harus diikuti! Ah…!
Tubuhmu ternyata putih sekali. Bagus dan mulus. Mende–
katlah kemari biar dapat kujamah…”
“Manusia keparat! Kau rupanya tidak lebih dari seorang
dukun cabul!” teriak Kemala.
“Kau tidak lebih baik dariku! Kau meminta ilmu hitam
untuk melampiaskan kebusukanmu! Mendekat kataku!”
“Tua bangka cabul! Aku bersumpah akan membunuh–
mu!”
“Kalau kau tidak mau mendekat, biar aku yang menda–
tangi!” kata Eyang Srigala Karang pula. Lalu dia maju
selangkah demi selangkah.
Kemala yang dalam keadaan terancam tampak tidak
bergerak dari tempatnya berdiri. Kalau tadi kedua tangan–
nya dipergunakan untuk menutupi auratnya sedapat-
dapatnya, kini dia sengaja menurunkan kedua tangan itu
dan mengembangkan kedua tangannya ke samping.
Gerakan ini membuat sepasang mata api Eyang Srigala
Karang menjadi silau oleh pemandangan yang membakar
nafsunya. Dia menyangka Kemala telah siap menyerahkan
diri mematuhi syarat yang dikatakannya. Kedua tangannya
diulurkan hendak menjamah dada si gadis.
Sesaat lagi jari-jari tangan yang kotor menjijikkan itu
akan menyentuh payudara Kemala, tiba-tiba gadis ini
keluarkan bentakan keras.  Tubuhnya berkelebat. Tangan
kanannya menghantam ke depan.
Bukkk!
Eyang Srigala Karang berseru kesakitan. Tubuhnya
terpental membentur dinding akibat jotosan Kemala yang
telak menghantam dada kirinya. Jantungnya seperti
berhenti berdenyut. Kedua mata apinya membelalak. Dia
sama sekali tidak menyangka akan dihajar seperti itu.
“Kau… kau…” kata orang tua bermuka srigala itu sambil
berdiri tertatih-tatih dan memegangi dadanya yang mende–
nyut sakit. “Kau memukulku. Perbuatanmu merangsang
nafsuku! Lihat… lihat apa yang akan kulakukan!” Eyang
Srigala Karang lalu menggerakkan kedua tangannya
membuka pakaiannya sendiri  yang terbuat dari kulit
binatang yang dikeringkan.  
“Manusia terkutuk!” teriak Kemala.
Dampratan itu dibalas dengan tawa mengekeh oleh
Eyang Srigala Karang. Tapi tawanya lenyap begitu
tendangan Kemala menabas salah satu kakinya hingga
tubuhnya terbanting ke lantai goa. Sambil meringis
kesakitan orang tua ini masih bisa berusaha berdiri. Dia
tegak terhuyung-huyung memandangi Kemala dengan
mata berapi-api. Ternyata meskipun memiliki ilmu gaib
yang aneh, orang tua ini sama sekali tidak menguasai
kepandaian silat. Maka sewaktu ketiga kalinya serangan
Kemala mendarat di tubuhnya, Eyang Srigala Karang
melolong kesakitan. Hidungnya yang dihantam jotosan
keras mengucurkan darah. Sekarang hawa amarah lebih
menguasai dirinya daripada nafsu bejatnya. Dia sama
sekali tidak menduga kalau gadis di hadapannya memiliki
kepandaian silat. Orang tua ini melompat ke arah kepala
srigala yang dikeringkan. Dia berusaha mengusap kepala
srigala itu dengan tangan kirinya. Jelas dia hendak
memanggil Sang Datuk! Kemala yang tahu apa yang
hendak dilakukan orang tua itu kembali berkelebat. Kali ini
pukulannya melanda lambung Eyang Srigala Karang. Selagi
tubuh orang tua itu tertekuk ke depan, Kemala menyambar
dan menjambak rambutnya yang panjang riap-riapan. Lalu
kepala itu ditariknya kuat-kuat, dibantingkan ke dinding
goa karang!
Praaakk!
Untuk kesekian kalinya terdengar suara jeritan keras
dan panjang dari mulut Eyang Srigala. Keningnya tampak
rengkah dan darah membasahi wajahnya yang tertutup
bulu-bulu halus berwarna coklat itu. Tapi dia belum mati.
Suara menggereng kini terdengar berkepanjangan dari
tenggorokannya. Kemala cepat menyambar pakaiannya
yang terhamparan di lantai goa lalu berkelebat menuju
mulut goa. Di luar sebelum melenyapkan diri dia mengusap
wajahnya dua kali berturut-turut.
Eyang Srigala Karang merangkak mendekati kepala
srigala yang diawetkan. Namun sebelum berhasil menca–
painya, tubuhnya tergelimpang di lantai. Darah makin
banyak mengucur dari luka mengerikan di keningnya.
Dalam keadaan sekarat orang  tua ini melafatkan sesuatu
yang diakhiri dengan ucapan: “Datuk Putra datanglah. Aku
perlu dirimu…”
Begitu ucapan itu berakhir terdengar suara menderu
seperti gemuruh ombak memecah di tepi pantai. Lalu
dalam goa, entah dari mana datangnya muncul sosok
tubuh seorang pemuda yang mengenakan destar. Wajah–
nya tampan namun dia memiliki sepasang telinga yang
panjang mencuat ke atas serta berbulu seperti telinga
seekor srigala. Sedang kedua matanya berwarna biru dan
pandangannya menggidikkan.  Di samping si pemuda
mendekam sosok lain yang ternyata adalah sang Datuk,
yaitu srigala bermata api.
“Orang tua, aku sudah datang. Katakan kepenti–
nganmu!” Pemuda berdestar hitam dan bertelinga seperti
srigala berkata.
“Kau lihat apa yang terjadi pada diriku! Gadis itu yang
melakukan. Gadis bernama Kemala itu! Aku akan segera
menemui kematian! Tapi aku akan mati secara penasaran!
Aku ingin pembalasan. Lakukan sesuatu! Bunuh gadis itu!
Suruh Datuk mencabik-cabik tubuhnya!”
Pemuda bernama Datuk Putra gelengkan kepala.
“Perjanjian apa yang sudah kau buat dengan gadis itu tidak
bisa dirubah. Dia memiliki kekuatan untuk menguasai dan
memerintah Datuk…”
“Aku tidak peduli! Kau harus melakukan sesuatu, Datuk
Putra!” kata Eyang Srigala Karang hampir berteriak tapi
kemudian dia mengeluh kesakitan sambil memegangi
dadanya.
“Aku akan perhatikan permintaanmu. Cuma mungkin
belum bisa dilakukan apa-apa sebelum 40 kali bulan
purnama. Kau melakukan kekeliruan. Meminta syarat yang
seharusnya tidak menjadi syarat! Kau terjebak oleh nafsu
kotormu sendiri!”
Eyang Srigala Karang terbujur di lantai goa. Kedua  
matanya yang merah kini telah tertutup darah dari
rengkahan kepalanya.
Pemuda dari alam gaib bernama Datuk Putra berpaling
pada srigala bermata api di sampingnya. “Kau sudah
mendapatkan tuan yang baru. Kau harus berada di mana
dia berada. Pergilah…”
Srigala yang mulut dan kedua kaki depannya bergeli–
mangan darah itu meninggikan kepalanya, menggereng
beberapa kali, lalu memutar diri dan melompat ke mulut
goa. Datuk Putra membungkuk mengambil lampu minyak.
Minyak lampu itu disiramkannya ke sekujur tubuh Eyang
Srigala Karang. Lalu disulutkannya api pelita ke salah satu
bagian tubuh si orang tua.
Wussss!
Serta merta api besar menggebubu membakar tubuh
Eyang Srigala Karang. Datuk Putra tetap berada dalam goa
itu sampai seluruh tubuh sang Eyang musnah dimakan api
yang secara aneh tubuh itu terbakar tanpa mengeluarkan
bau daging terpanggang. Selain itu ketika api akhirnya
padam, tubuh itu kini hanya tinggal berbentuk seonggok
tulang belulang yang hitam menggosong!
Dengan sisa-sisa tikar kulit binatang yang sebagian
terbakar hangus termasuk kepala srigala yang dikeringkan,
Datuk Putra membungkus tulang belulang Eyang Srigala
Karang. Tulang belulang ini kemudian dibawanya ke tepi
pantai. Dia mendongak ke langit yang sampai saat itu
masih mengucurkan hujan lebat. Kemudian tikar kulit
berisi tulang-tulang Eyang Srigala Karang itu dilempar–
kannya jauh-jauh ke tengah laut.
“Kau aman di tempatmu yang baru,” kata Datuk Putra
seraya memandang ke tengah laut. “Jika kau berkeras
untuk muncul di dunia ini kembali, kau harus sanggup
menanggung segala akibatnya. Kita memang orang-orang
dari dunia gelap dan hitam. Tapi berbuat kekeliruan tidak
ada ampunannya!”
Di tengah laut tampak halilintar menyambar. Lautan
sekilas jadi terang benderang. Datuk Putra rangkapkan  
kedua tangannya di depan dada. Sepasang matanya
dipejamkan. Daun telinganya yang mencuat panjang ke
atas tampak bergerak-gerak tiada henti. Lalu seperti tadi
kemunculannya yang entah dari mana, sesaat kemudian
tubuhnya pun lenyap entah ke mana!  
WIRO SABLENG
PURNAMA BERDARAH
2
EBENARNYA saat itu sedang musim penghujan.
Hampir tiap hari, siang atau malam hujan turun.
Namun pada siang dan malam hari pesta perkawinan
Rumini, puteri Kepala Desa Cadas Brantas, dengan
seorang pemuda bernama Randu Wulung yang kabarnya
adalah seorang perwira muda di jajaran pasukan kerajaan,
udara tampak cerah. Siang hari ketika upacara pernikahan
dilangsungkan tidak setetes hujan-pun turun. Begitu pula
pada malam harinya. Udara terasa sejuk segar dan di langit
bulan purnama tiga belas hari tampak indah menghias
langit yang ditaburi bintang gemintang.
Yang punya hajat tentu saja merasa bersyukur sedang
para tamu ikut senang sambil bertanya-tanya pawang
hujan dari mana yang dipakai  oleh tuan rumah sehingga
begitu ampuh mencegah turunnya hujan.
Lewat tengah malam pesta perkawinan usai sudah.
Semua tamu pulang ke rumah masing-masing. Rombongan
pemain gamelan sudah lama pergi. Rumah Kepala Desa
yang tadinya ramai kini tampak sunyi walau masih ada dua
lampu minyak besar yang sengaja dinyalakan terus di
beranda depan.
Pagi harinya Kepala Desa dan isterinya telah lama
bangun. Suami istri ini bersama sanak keluarga dan karib
kerabat duduk berkumpul di ruang tengah rumah besar
sambil menikmati kopi hangat dan sarapan pagi.
“Sepasang pengantin yang berbahagia rupanya masih
tertidur pulas…” kata seorang di antara keluarga yang
masih merupakan paman pengantin perempuan sambil
senyum-senyum.
S
“Maklum saja. Namanya pengantin baru,” menyahuti
anggota keluarga yang lain lalu menghirup kopi hangatnya
sampai mengeluarkan suara keras.
Obrol punya obrol tak terasa pagi bergerak siang. Dua
pengantin di dalam kamar masih juga belum keluar.
“Tak enak rasanya kalau mereka masih terus di dalam
kamar. Matahari sudah tinggi,” kata Kepala Desa pada
istrinya. “Coba kau bangunkan mereka…”
Istri Kepala Desa bangkit dari duduknya. Lalu melang–
kah ke bagian depan kiri rumah besar di mana terletak
kamar pengantin. Perempuan ini mengetuk pintu kamar.
Mengetuk sampai berulang kali dan karena tak ada jawa–
ban akhirnya dia kembali ke ruang tengah, memberitahu
pada suaminya.
“Mereka mungkin masih sangat pulas. Jadi harus keras
mengetuk membangunkan mereka,” kata Kepala Desa. Dia
bangkit berdiri. “Sudah, biar aku saja yang memba–
ngunkan.”
Kepala Desa Cadas Brantas mengetuk pintu kamar
pengantin. Mula-mula perlahan saja. Lalu lebih keras. Dan
lebih keras lagi bahkan sambil berseru memanggil-manggil
nama anak perempuannya. Tetap saja tak ada jawaban.
Beberapa orang anggota keluarga yang ada di ruangan
tengah ikut berdiri dan berkumpul di depan pintu kamar.
“Coba ketuk lebih keras,” kata salah seorang dari mereka.
Kepala Desa kali ini bukan lagi mengetuk, tapi meng–
gedor pintu kamar.
“Aneh, apa mereka begitu pulas hingga tidak terbangun
oleh gedoranku?!” kata Kepala Desa sambil memandang
pada orang-orang yang ada di depan pintu.
“Tak ada lobang tempat mengintip. Berarti tak ada jalan
lain. Kita harus mendobrak pintu!” kata seorang anggota
keluarga yang berbadan tinggi besar. “Kalau Kangmas
izinkan tentunya.”
Kepala Desa Cadas Brantas meraba dagunya lalu
mengangguk, “Ya, kita dobrak saja,” katanya menyetujui.
Lelaki tinggi besar tadi mundur beberapa langkah  
sementara semua orang yang ada di pintu bersibak ke
samping. Dengan kaki kanannya yang kuat orang tinggi
besar menghantam pintu kamar hingga pintu itu hancur
berantakan. Begitu pintu terpentang lebar, Kepala Desa
masuk ke dalam kamar diikuti beberapa orang, di antara–
nya istrinya sendiri. Begitu masuk ke dalam kamar hampir
semua orang secara berbarengan keluarkan seruan keras.
Isteri Kepala Desa paling keras jeritannya. Dia menutupi
mukanya dengan kedua tangan  lalu terhuyung-huyung dan
pasti roboh kalau tidak lekas ada yang memegangi.
“Gusti Allah! Apa yang terjadi di sini?!” teriak Kepala
Desa. “Anakku Rumini! Randu Wulung!”
Hari itu juga tersiar kabar mengerikan dan menyedih–
kan di seluruh desa Cadas Brantas. Sepasang pengantin
baru, Rumini dan Randu Wulung, pagi tadi ditemukan telah
jadi mayat. Rumini terkapar menelentang di atas ranjang
pengantin. Suaminya menggeletak di lantai dekat tempat
tidur. Pakaian pengantin yang masih melekat di tubuh
masing-masing penuh dengan robekan-robekan besar.
Robekan-robekan itu ternyata sangat dalam. Bukan hanya
mengoyak pakaian mereka tapi sampai tembus ke daging
tubuh dua manusia malang itu. Yang lebih mengerikan,
wajah Rumini dan Randu Wulung hampir tak bisa dikenali.
Karena wajah-wajah mereka  juga tampak koyak robek
mengerikan. Kamar pengantin yang seharusnya menjadi
kamar bahagia itu diperciki darah mulai dari ranjang
sampai ke lantai dan beberapa bagian dinding.
Jelas sepasang pengantin itu menemui ajal karena
dibunuh. Tapi dibunuh dengan apa dan siapa pelakunya?!
Menurut dugaan orang banyak, sepasang pengantin itu
menemui ajal karena dikoyak muka dan tubuhnya dengan
sejenis senjata tajam, mungkin pisau atau clurit besar.
“Aku tidak punya musuh. Siapa yang begitu jahat
menghabisi nyawa anak menantuku! Kejam! Jahat luar
biasa!” kata Kepala Desa Cadas Brantas sambil mengepal-
kepalkan kedua tinjunya dan  berulang kali mengusap
mukanya. Sementara itu istrinya berada dalam kamar  
masih menangis dan sesekali menjerit memilukan. Rumini
adalah anak mereka satu-satunya. Bilamana gadis itu
meninggal dunia karena sakit mungkin tidak demikian
hebat duka kedua orang tuanya. Namun Rumini mati
dibunuh orang, secara luar biasa kejam begitu rupa! Pada
hari perkawinannya pula!  Orang tua mana yang bisa
pasrah!
“Bapak Santiko,” kata seorang lelaki separuh baya
berbadan tegap. Dia adalah Gandar Seto, Perwira Tinggi
atasan Randu Wulung yang menyempatkan diri datang ke
Cadas Brantas untuk menghadiri pesta perkawinan pemu–
da bawahannya itu. Karena istrinya kurang sehat, perwira
ini membawa serta anak perempuannya sebagai wakil
sang ibu. Anak perempuan Gandar Seto yang bernama
Ratih Kiranasari bertubuh tinggi semampai, berkulit putih
dan memiliki wajah termasuk cantik. Namun dalam usia–
nya yang hampir memasuki 30 tahun itu dia masih juga
belum bersuami, belum menemukan jodoh. Hal ini sebe–
narnya menjadi salah satu ganjalan tidak enak dalam diri
sang ayah. Pada masa itu kebanyakan gadis sudah
menikah dan berumah tangga  di usia 16 atau 17 tahun.
Bahkan ada yang telah kawin di usia lebih muda dari itu.
Karenanya tidak disalahkan  kalau banyak orang berpen–
dapat bahwa Ratih Kiranasari sudah termasuk yang
disebut perawan tua.
Malam itu Gandar Seto dan puterinya menginap di
rumah seorang kenalan di desa Cadas Brantas. Pagi
harinya ketika hendak berangkat ke Kotaraja, begitu
mendengar berita duka kematian sepasang pengantin yang
menggegerkan itu, dengan bergegas Perwira Tinggi ini
mendatangi rumah duka yang sebelumnya merupakan
rumah pesta perkawinan itu. Setelah menyuruh anak
gadisnya tetap berada dalam kereta, Gandar Seto segera
turun dan masuk ke dalam rumah.
Perwira Tinggi ini sudah sering melihat kematian orang.
Baik di medan perang maupun ketika menumpas para
penjahat dan perampok pengacau Kerajaan. Namun belum  
pernah dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri
kematian yang mengerikan begini rupa.
“Ganas. Kejam sekali!” kata Ganda Seto dalam hati.
Lalu dia menemui Kepala Desa Santiko yang duduk
terkulai di sebuah kursi besar.
“Bapak Santiko,” tegurnya sambil memegang bahu
Kepala Desa itu. “Saya tahu  ini cobaan yang sangat berat
dan besar bagimu dan istri. Namun saya harapkan kau bisa
tabah menghadapinya. Saya berjanji untuk menyelidiki
kematian Rumini dan Randu. Saya sendiri nanti yang akan
memancung batang leher pembunuh biadab itu!”
Kepala Desa itu menatap wajah Gandar Seto sesaat
lalu dianggukkannya kepalanya yang berwajah pucat itu
perlahan sekali.
“Saya tidak punya musuh. Baik di masa muda saya
maupun saat ini. Siapa orangnya yang begitu kejam dan
berhati keji membunuh anak menantuku pada malam hari
bahagia mereka.”
“Setahu saya Randu Wulung juga tidak punya musuh.
Dia disenangi orang di dalam maupun di luar jajaran
pasukan kerajaan. Dia seorang calon perwira tinggi yang
diharapkan Sri Baginda menggantikan kami yang sudah
tua-tua ini. Saya dan tentu saja kerajaan sangat kehilangan
dirinya…” Perwira Tinggi itu diam sesaat. Lalu dengan suara
rawan dia meneruskan ucapannya. “Hidup ini memang
aneh. Dalam keanehan itu ada berbagai rasa jahat, iri hati
dan kedengkian. Bukan mustahil bawahan saya menjadi
korban ketiga hal tersebut.”
“Raden Gandar…” kata Kepala Desa Cadas Brantas
dengan suara bergetar. “Tolong… kau usutlah perkara ini
sampai berhasil menangkap pembunuhnya.”
“Saya berjanji. Tadi pun saya sudah coba melakukan
penyelidikan singkat. Agaknya si pembunuh masuk lewat
jendela. Saya dapatkan jendela kamar pengantin dalam
keadaan terbuka. Ada beberapa bagian daun jendela yang
menunjukkan tanda-tanda bekas dicongkel.”
“Maafkan kalau saya ingin memberitahukan sesuatu,”  
kata seorang anggota keluarga. Dia adalah lelaki tinggi
besar yang tadi mendobrak pintu kamar untuk dapat
masuk ke dalam.
Kepala Desa Cadas Brantas dan Perwira Tinggi Gandar
Seto berpaling pada orang ini.
“Apa yang hendak kau beritahukan Padullah?”tanya
Santiko.
“Malam tadi saya hampir tertidur waktu lapat-lapat saya
mendengar suara seperti lolongan binatang di kejauhan.
Terdengarnya seperti suara raungan anjing. Tetapi setelah
saya simak saya yakin betul itu bukan suara lolongan
anjing. Saya tidak dapat memastikan suara lolongan
binatang apa. Mungkin anjing hutan atau srigala. Tapi kita
tahu sendiri di sekitar sini tidak pernah ada anjing atau
srigala hutan. Walau hati saya mendadak jadi tidak enak,
saya mencoba memejamkan mata, tidur. Lalu saya
mendengar ada suara halus. Suara seperti jendela atau
pintu terbuka. Tapi saya ragu saat itu. Mungkin saja yang
saya dengar adalah hembusan angin malam atau desah
daun-daun pepohonan yang tertiup angin. Lalu akhirnya
saya tertidur…”
Baik Kepala Desa Santiko maupun Perwira Tinggi
Gandar Seto kelihatannya sama-sama tidak tertarik dengan
apa yang dikatakan Padullah itu.
“Saya menunda kepulangan ke Kotaraja pagi ini. Saya
tetap di sini sampai kedua jenazah dimakamkan,” kata
Gandar Seto pula. “Namun puteri saya Ratih Kiranasari
akan saya suruh pulang lebih dulu. Saya akan keluar untuk
memberitahu padanya.”
Perwira Tinggi itu lalu menemui puterinya. Gadis itu
akhirnya berangkat ke Kotaraja hanya ditemani kusir
kereta. Sebelum pergi Gandar Seto berkata pada anaknya
agar begitu sampai di Kotaraja dia menghubungi seorang
pejabat Keraton, memberitahu apa yang telah terjadi
dengan diri Perwira Muda Randu Wulung.  
WIRO SABLENG
PURNAMA BERDARAH
3
ERETA yang dikemudikan kusir tua itu meluncur
meninggalkan desa Cadas Brantas. Untuk mencapai
Kotaraja kendaraan ini harus menempuh satu
daerah berbukit-bukit kemudian melewati kawasan rimba
belantara Jati Mundu. Hutan Jati Mundu merupakan hutan
penghubung kawasan luar kota dengan pinggir timur
Kotaraja. Hutan ini menjadi pusat lalu lintas semua orang
yang mau ke atau meninggalkan Kotaraja. Hutan Jati
Mundu tidak terlalu luas, tetapi pohon-pohon yang tumbuh
di dalamnya besar-besar, berusia ratusan tahun hingga
batang-batangnya banyak yang  diselimuti lumut. Di sam–
ping itu semak belukarnya pun lebat-lebat. Namun demi–
kian, walau keadaannya seperti itu, tidak ada orang yang
merasa takut melewati rimba belantara ini. Hutan Jati
Mundu dikenal aman. Tak ada binatang buas seperti
harimau atau ular. Bukan pula jadi tempat persembunyian
atau sarangnya orang-orang jahat seperti begal dan
rampok.
Setelah melewati jalan menurun di kaki bukit, kereta
yang dikemudikan kusir tua itu mulai memasuki hutan Jati
Mundu. Saat itu tirai jendela depan kereta terbuka dan
satu wajah cantik muncul.
“Pak Tua, tak usah melarikan kuda terlalu cepat.
Perlahan saja. Saya letih, mau mencoba tidur sebelum
sampai di Kotaraja. Malam tadi saya menghadiri pesta
perkawinan sepasang pengantin yang malang itu sampai
larut. Jadi kurang tidur…”
Kusir kereta berambut putih itu menoleh. “Saya menu–
rut apa kata Den Ayu saja. Tapi bukankah ayah Den Ayu
K
berpesan agar kita cepat-cepat sampai di Kotaraja lalu
menghubungi seorang pejabat di sana?”
“Kau betul Pak Tua, Kotaraja tidak terlalu jauh dari sini.
Lagi pula hari masih pagi. Memang ada pesan yang harus
disampaikan. Namun semua itu tidak akan menolong
menghidupkan sepasang pengantin yang terbunuh itu. Jadi
perlahan-lahan saja Pak Tua. Saya tak mau tidur singkat
saya terganggu.”
“Baik Den Ayu. Saya akan menuruti apa kata Den Ayu,”
jawab kusir kereta. Lalu dalam hati orang tua yang sudah
mengabdi puluhan tahun pada ayah sang dara itu mem–
batin. “Kasihan. Wajahnya cantik, budi pekertinya tak ada
yang tercela. Kenapa belum ada juga laki-laki yang berke–
nan di hatinya untuk dijadikan suami? Atau mungkin benar
kata-kata orang, Den Ayu Ratih tinggi hati dan terlalu
memilih. Kasihan kalau dia nanti benar-benar jadi perawan
tua seumur hidupnya.” Lalu sesuai dengan yang diperin–
tahkan anak majikannya itu  kusir kereta memperlambat
lari kuda.
Memasuki Hutan Jati Mundu udara terasa redup dan
sejuk. Hari masih terlalu pagi. Belum ada satu orang pun
yang berpapasan dengan kereta itu. Seringkali terdengar
suara kicau burung-burung hutan yang bertengger di
pepohonan atau berterbangan kian kemari.
Di bagian lain hutan Jati Mundu seorang pemuda
pejalan kaki yang melewati hutan itu sambil bersiul-siul
membawakan lagu tidak menentu tiba-tiba tergagau dan
tersurut mundur ketika di hadapannya muncul sosok tubuh
seekor binatang bermoncong panjang. Semula dikiranya
seekor anjing hutan. Tapi ketika diperhatikan binatang itu
lebih banyak berupa seekor srigala liar.
Yang membuat si pemuda khawatir ialah menyaksikan
moncong binatang itu berselomotan cairan merah. Ketika
binatang ini menggereng kelihatan gigi-gigi dan taring-
taringnya yang besar runcing juga tertutup cairan merah. Si
pemuda memperhatikan sepasang kaki depan binatang.
Seluruh kuku-kuku srigala liar ini panjang runcing berkeluk  
juga diselimuti cairan merah. Lalu pada beberapa bagian
bulu tubuhnya yang berwarna coklat terang tampak ada
percikan-percikan cairan berwarna sama. Ketika lidahnya
dijulurkan jelas kelihatan cairan merah bercampur dengan
ludahnya.
“Darah…” desis si pemuda dalam hati. “Mungkin bina–
tang ini baru saja menyantap seekor kelinci hutan atau
anak menjangan. Tapi mungkin juga barusan membunuh
orang!” Pikirnya lebih jauh. Yang membuat pemuda ini
bertindak waspada bukan saja karena melihat darah itu
namun menyaksikan adanya kilapan sinar aneh pada
sepasang mata srigala hutan yang berwarna merah itu!
“Srigala biasa tidak memiliki dua mata merah bersinar
seperti itu. Makhluk apa sebenarnya yang ada di depanku
ini?” Lalu pemuda ini ingat. “Setahuku, kata orang di hutan
Jati Mundu ini jangankan binatang buas, seekor lalat pun
tak bakal ditemui. Tapi bagaimana hari ini aku tiba-tiba
berhadapan dengan makhluk celaka ini? Nasibku yang
apes atau bagaimana?!”
Srigala bermata merah itu membuka mulutnya. Gigi-gigi
dan taringnya yang runcing kemerahan mencuat mengeri–
kan. Lidahnya yang basah merah terjulur keluar. Kepalanya
merunduk dan kedua kakinya diluruskan panjang-panjang
ke depan tanda siap menerkam.
“Binatang ini hendak menyerangku,” kata si pemuda.
Tangan kanannya cepat bergerak ke pinggang. Sebilah
kapak bermata dua yang memancarkan cahaya putih
berkilau kini tergenggam di tangan pemuda itu. Dalam hati
dia berkata, “Binatang atau iblis serang diriku! Niscaya
kubelah kepalamu dengan Kapak Naga Geni 212 ini!”
Entah mengapa srigala bermata aneh angker itu
perlahan-lahan bergerak mundur. Kedua kaki depannya
ditarik, kepalanya yang merunduk ditegakkannya kembali.
Setelah menggereng sekali lagi binatang ini lalu memutar
diri, melompat masuk ke dalam serumpunan semak
belukar dan lenyap!
Si pemuda menarik nafas lega. Sambil tangan kirinya  
menggaruk kepalanya yang berambut gondrong, tangan
kanannya menyelinapkan senjata mustikanya ke balik
pakaiannya. Si pemuda yang tentu saja Pendekar 212 dari
Gunung Gede bernama Wiro Sableng itu siap meneruskan
perjalanannya. Mulutnya hendak mengeluarkan siulan lagi
sekedar untuk menenteramkan  perasaan akibat melihat
binatang aneh tadi. Namun gerakannya tertahan.
Telinga Wiro menangkap suara derak roda kereta dan
derap kaki kuda di dalam hutan itu. Dia cepat bergerak ke
jurusan datangnya suara.
Di pinggir sebuah jalan tanah yang cukup lebar dalam
hutan pemuda ini berhenti. Sesaat kemudian sebuah
kereta ditarik seekor kuda dan dikemudikan oleh kusir tua
berambut putih muncul dari kelokan jalan. Pemuda ini
cepat menyongsong. Sambil mengangkat tangan kanannya
dia berseru.
“Pak Tua! Hentikan dulu keretamu!”
***
Beberapa saat sebelum kereta itu dihentikan. Ratih
Kiranasari berada di pinggiran hutan Jati Mundu. Gadis ini
membawa sebuah keranjang bambu berisi manggis dan
mangga hutan yang besar-besar dan matang. Dia berjalan
sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Udara pagi itu cerah dan
segar sekali. Apalagi angin bertiup sepoi-sepoi sejuk. Tiba-
tiba satu jeritan keluar dari mulut sang dara ketika
mendadak sekali seekor binatang berbentuk srigala
melompat keluar dari semak-semak di tepi jalan dan
merunduk siap menerkam dirinya.
Binatang ini keluarkan gerengan aneh. Mulutnya
terbuka lebar memperlihatkan gigi, taring dan lidah yang
berselomotan darah. Sehabis menggereng binatang ini
melompat menyergap Ratih Kiranasari. Moncongnya
terbuka lebar sedang sepasang kaki depan yang berkuku
runcing menerjang siap merobek muka dan tubuhnya!
Sekali lagi puteri Perwira Tinggi itu menjerit. Lalu  
tubuhnya tersentak. Kedua matanya terbuka. Sekujur
tubuhnya keringatan. Dadanya turun naik. Nafasnya
memburu sesak. Dia menyibakkan tirai jendela di sam–
pingnya. Disadarinya kereta saat itu berhenti di tengah
hutan. Digosoknya kedua matanya. Ternyata dia barusan
bermimpi. Lalu dia menarik tirai jendela sebelah depan dan
memanggil kusir kereta.
“Pak Tua, ada apa kau menghentikan kereta?”
“Ada seorang tak dikenal menghentikan kereta,” jawab
kusir tua itu.
Lewat jendela kecil di belakang kusir kereta itu, Ratih
Kiranasari memandang ke luar, ke arah jalanan di depan–
nya. Di sebelah sana dilihatnya seorang pemuda berambut
gondrong, berpakaian dan berikat kepala serba putih tegak
mengangkat tangan lalu melangkah mendekati kereta yang
berhenti. Ratih Kiranasari untuk beberapa saat lamanya
seperti terpana melihat pemuda itu. “Pakaiannya seder–
hana, tubuhnya tegap penuh otot, wajahnya tampan dan
mulutnya setiap saat melempar senyum. Siapa gerangan
pemuda ini yang membuat hatiku jadi tergetar. Jelas dia
bukan seorang petani atau pencari kayu di rimba belantara
ini..”
Selagi puteri Perwira Tinggi ini bertanya-tanya dalam
hati seperti itu, di luar sana didengarnya suara kusir tua
berkata pada si pemuda.
“Anak muda, ada apa kau menyuruh aku menghentikan
kereta?” tanya kusir kereta. Melihat gelagatnya pemuda ini
bukan orang jahat, rampok atau begal. Dia sama sekali
tidak membawa senjata dan tampangnya tidak seram.
Meskipun heran namun kusir tua itu tidak menaruh curiga
apalagi takut.
Pemuda di depan kereta menjawab. “Ada seekor
binatang buas gentayangan di rimba belantara ini. Jika kau
hendak meneruskan perjalanan hati-hatilah. Sebaiknya
menyiapkan golok atau parang!”
Kusir tua itu menatap wajah pemuda gondrong itu
sesaat lalu sambil tertawa dia berkata, “Anak muda,  
puluhan tahun aku hidup di wilayah ini. Ratusan kali aku
melewati hutan Jati Mundu ini. Belum pernah diketahui
orang ada binatang buas di sini. Juga rampok atau begal.
Dan melihat wajah dan sikapmu kau tentu bukan seorang
penjahat!”
Si gondrong balas tertawa. “Terima kasih kau mengata–
kan aku bukan orang jahat. Tapi kau harus percaya pada
keteranganku tentang binatang buas itu. Aku barusan saja
melihatnya dalam hutan ini. Mungkin dia masih berkeliaran
di sekitar sini. Mulut dan sepasang kaki depannya penuh
darah tanda dia baru saja membunuh makhluk bernyawa.
Entah binatang entah manusia! Jadi hati-hatilah. Kau
hendak menuju ke mana, Pak Tua? Apa yang kau bawa
dalam kereta?”
Pertanyaan terakhir Wiro Sableng membuat kusir tua itu
mulai curiga. “Kalau memang ada binatang buas di sekitar
sini, mengapa kau sendiri tidak takut dan meninggalkan
hutan ini?” tanya kusir tua itu pula.
Yang ditanya jadi garuk-garuk kepala. Lalu dia berkata.
“Terserah kaulah, Pak Tua. Aku hanya memberitahu agar
kau berhati-hati…”
Kusir tua itu hendak menyentakkan tali kekang kuda
agar binatang itu berjalan kembali. Namun di belakangnya
terdengar suara Ratih Kiranasari. Sejak tadi gadis ini telah
memperhatikan pemuda yang tegak di depan kereta itu.
Lewat jendela kecil di belakang punggung kusir kereta
Ratih berkata. “Pak Tua, jangan pergi dulu. Suruh pemuda
itu mendekat ke samping kereta. Saya mau bicara de–
ngannya.”
“Akan saya beritahu Den Ayu,” jawab kusir kereta. Lalu
dia berkata pada si pemuda. “Anak muda, puteri majikanku
ingin bicara denganmu. Melangkahlah ke samping kereta
sebelah kiri.”
“Ah, ada seorang puteri rupanya dalam kereta. Sungguh
aku tidak menduga,” jawab pemuda tadi lalu dia melang–
kah cepat-cepat ke samping kiri kereta. Saat itu pula kain
tirai jendela tersingkap dan satu wajah jelita muncul men–
jenguk keluar.
“Hemm… Ini rupanya sang puteri. Wajah dan danda–
nannya anggun. Kulitnya putih  tapi agaknya sudah agak
berumur.” kata Wiro menilai dalam hati.
“Saudara, apa betul kau memberitahu kusir kereta ada
seekor binatang buas di hutan ini?”
“Betul sekali. Saya barusan sempat melihatnya. Hampir
saja saya hendak diterkam dijadikan mangsa.”
Ratih Kiranasari tersenyum. Waktu tersenyum ini
kelihatan lesung pipit muncul di kedua pipinya dekat dagu.
“Rupanya binatang itu takut padamu,” katanya. Lalu dia
bertanya. “Binatang buas  yang kau lihat itu apakah
sebangsa harimau atau singa. Atau ular besar?”
“Bukan, bukan harimau atau singa. Bukan juga ular
besar. Tapi seekor anjing hutan. Seekor srigala… Mulut, gigi
dan lidah serta sepasang kaki depannya berlumuran darah.
Kedua matanya berwarna merah dan menyorotkan sinar
angker!”
“Aneh,” kata Ratih.
“Apanya yang aneh?” bertanya si pemuda.
“Apa yang kau katakan begitu sama dengan apa yang
barusan aku mimpikan. Tadi aku sempat tertidur dalam
kereta. Dalam mimpi aku sedang berjalan di hutan lalu
muncul binatang berbentuk  srigala itu. Aku terbangun
sewaktu binatang ini siap menerkamku.”
Si pemuda garuk-garuk kepala. “Ya betul aneh. Bagai–
mana mungkin mimpimu sama dengan apa yang saya lihat.
Sebaiknya kau segera meneruskan perjalanan. Tutup
rapat-rapat semua jendela…”
“Terima kasih kau memberitahu tentang srigala itu.
Kalau aku boleh bertanya, apakah kau tinggal di sekitar
sini?” tanya Ratih.
“Saya datang dari jauh.”
“Apakah kau punya nama?”
Pendekar 212 tertawa lebar. “Setiap orang tentu saja
punya nama…”
“Lalu siapa namamu?”  
“Wiro…”
“Cuma Wiro? Pendek amat!”
“Sebetulnya ada sambungannya. Tapi sudahlah…”
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya sambil senyum-senyum.
Dia sengaja tidak mau menerangkan nama belakangnya
yaitu Sableng!
“Orang tak mau memberitahu masakan aku memaksa,”
kata Ratih pula. “Jika kau benar melihat srigala dalam
mimpiku itu berkeliaran di hutan Jati Mundu ini, terus
terang aku merasa khawatir. Aku harap kau menolong
tidak setengah-setengah.”
“Maksudmu?” tanya Wiro.
“Apakah kau mau ikut menemani kami sampai di
Kotaraja?”
Wiro tak menjawab. Terdengar Ratih Kiranasari berkata
lagi. “Hitung-hitung sebagai pengawal. Kalau binatang buas
menyeramkan itu muncul menghadang, melihat kau tentu
dia akan lari. Tak berani mengganggu…”
Wiro garuk-garuk kepala  dan memandang pada kusir
kereta. Orang tua ini berkata setengah berbisik. “Ikuti saja
permintaan anak majikanku. Tidak banyak pemuda yang
beruntung mendapat tawaran begini baik darinya. Kurasa
dia suka padamu!”
Wiro menyeringai. “Kebetulan saya memang hendak ke
Kotaraja. Baiklah, saya akan menemanimu.”
Ratih tersenyum gembira.  Wiro melompat ke atas
kereta. Duduk di depan di samping kusir tua. Si gadis
berkata. “Jika kau mau kau boleh duduk di dalam sini.”
“Terima kasih. Biar saya duduk di sini saja,” jawab Wiro.
Kusir tua menarik tali kekang kuda. Begitu kereta mulai
bergerak berbisik pada Wiro, “Tidak pernah aku melihat
pemuda setololmu. Diajak duduk di dalam sana mengapa
kau menolak?”
Wiro menyengir. “Bagaimana kalau kau saja yang
duduk di sampingnya. Biar aku yang mengemudikan
kereta.”
Kusir tua itu tertawa gelak-gelak. “Anak muda, kau yang  
disukainya, bukan si tua bangka ini!”
Wiro tertawa. “Siapa nama gadis cantik itu?” tanyanya.
“Ratih Kiranasari,” jawab kusir kereta.
“Nama bagus orangnya pun cantik…”
“Anak muda, ketahuilah tidak banyak pemuda yang
beruntung sepertimu. Bisa diajak seperjalanan seperti saat
ini.”
“Maksud Pak Tua apa?”
“Puteri majikanku itu kata kebanyakan orang cantik tapi
tinggi hati. Banyak pemuda yang menyukainya, ingin mem–
peristrikannya. Tapi karena merasa anak seorang Perwira
Tinggi dia berlagak jual mahal. Banyak pilih. Akibatnya
sampai saat ini dia masih belum kawin. Orang mulai usil.
Mengatakan dia sebagai perawan tua.”
“Belum kawin tapi benar-benar masih perawan, kan?”
ujar Wiro.
“Anak muda. Aku punya firasat puteri majikanku ini
suka padamu,” bisik si orang tua.
“Kau ngaco saja Pak Tua! Seorang puteri pejabat tinggi
suka pada pemuda gelandangan macamku? Kau tahu
sendiri, dia minta aku ikut seperjalanan karena khawatir
dengan binatang buas itu…”
“Eh, soal binatang buas itu apakah bukan karanganmu
saja. Maksudmu sebenarnya adalah ingin berkenalan
dengan gadis itu. Yah mudah-mudahan dia memang suka
padamu. Tampangmu tidak jelek-jelek amat!”
Wiro tersenyum pencong mendengar ucapan kusir tua
itu.
“Dengar,” Kusir itu kembali membuka mulut. “Jika kau
memang suka padanya, aku mau membantu mengatakan
pada orang tuanya. Kalau sampai kau dipungut jadi
menantu, wah kau bakalan diberikan jabatan lumayan di
Kotaraja. Tapi jika hal itu benar-benar terjadi jangan lupa
hadiah untukku!”
“Makin lama makin tak karuan igauanmu!” tukas Wiro.
Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba di sebelah belakang
terdengar jeritan Ratih Kiranasari.  
Wiro singkapkan tirai jendela kecil di belakangnya.
Ratih dilihatnya duduk ketakutan. Mukanya pucat dan
matanya membeliak memandang keluar jendela.
“Ada apa?” tanya Wiro sementara kuda penarik kereta
memperlihatkan ulah aneh.
“Bin… binatang itu…” kata Ratih dengan suara gugup
ketakutan. Dia menunjuk ke luar jendela dengan tangan
gemetar. Kuda kereta tiba-tiba terdengar meringkik. Wiro
berpaling ke arah yang ditunjuk Ratih. Dia melihat apa yang
menakutkan gadis itu.
Di balik semak-semak sepanjang jalan yang dilalui
kereta, kelihatan bayangan sosok tubuh srigala bermata
merah yang sebelumnya sempat ditemui Wiro. Binatang ini
bergerak sejajar dan searah jalannya kereta. Kusir kereta
sibuk berusaha menenangkan kuda yang tampak
ketakutan.
“Pak Tua,” kata Wiro, “Jalankan terus kereta ini.” Lalu
dia siap-siap melompat.
“Kau hendak ke mana?” tanya kusir kereta.
“Saya berusaha agar binatang itu tidak menyerang
kereta,” jawab Wiro. Lalu dia melompat turun dari kereta
dan berlari di sepanjang jalan antara srigala dan kereta.
Di satu kelokan jalan srigala buas itu memutar larinya
mendekati Wiro.
“Anak muda, binatang itu hendak menyerangmu!”
teriak kusir kereta. Dari dalam kereta Ratih Kiranasari juga
sudah melihat apa yang bakal terjadi. Gadis ini menutup
wajahnya dengan kedua tangan seraya berdoa agar Wiro
selamat dari binatang buas itu.
“Jangan perdulikan saya!” teriak Wiro. “Larikan terus
kereta!” Lalu dia hentikan  larinya. Srigala bermata api
dengan moncong dan kaki depan berselomotan darah yang
merasa ditantang, lari ke arah Wiro. Pendekar 212 siapkan
pukulan Kunyuk Melempar Buah di tangan kanan. Ketika
binatang itu hanya tinggal lima langkah dari hadapannya
dia segera angkat tangan kanannya untuk menghantam.
Tapi srigala bermata api tiba-tiba hentikan gerakan dan kini  
dia malah duduk di tengah jalan dengan lidah basah
berdarah terjulur-julur. Kedua matanya menatap tajam ke
arah Wiro.
Melihat binatang ini tak jadi menyerang, murid Sinto
Gendeng dari Gunung Gede  hentikan pula gerakannya
menghantam dengan pukulan sakti. Srigala itu perlahan-
lahan rundukkan tubuhnya. Kedua kaki depannya dilunjur–
kan dan dagunya diletakkan di atas kedua kakinya itu.
Matanya yang tadi bersinar merah mengerikan kini tampak
memandang sayu ke arah Wiro. Dari mulutnya terdengar
suara seperti anjing menggerang halus pilu dan jinak.
Sikapnya seperti minta dikasihani.
“Aneh, binatang apa ini sebenarnya. Mengapa dia tiba-
tiba berubah seperti menderita sesuatu yang menyakitkan
dan bersikap jinak.” Dengan  agak ragu Wiro melangkah
mendekati srigala itu. Tiba-tiba binatang ini mengangkat
kepalanya dan melolong panjang. Lolongannya tidak ter–
dengar buas, tapi lagi-lagi memilukan. Walau demikian
Wiro sempat kaget dan tersurut dua langkah. Kemudian
dilihatnya srigala itu kembali meletakkan kepalanya di atas
kedua kakinya.
Setelah memperhatikan sejenak Wiro beranikan diri lagi
mendekati srigala itu. Tangan kanannya tetap disiapkan
untuk melepaskan pukulan sakti Kunyuk Melempar Buah
jika sewaktu-waktu srigala  itu tiba-tiba menerkam dan
menyerangnya. Semakin dekat Wiro padanya semakin
memilukan terdengar suara erangan binatang ini.
“Makhluk berbentuk srigala, apapun kau adanya, jika
kau bersikap bersahabat, aku pun akan bersahabat
denganmu…” kata Wiro bicara pada srigala itu.
Sepasang mata yang sayu merah tampak berkedip-
kedip beberapa kali. Wiro ulurkan tangan kirinya. Dibelai–
nya kepala lalu tengkuk srigala itu.
“Ah, kau ternyata mau bersahabat denganku!” kata
Wiro. “Kalau begitu biar aku pergi. Jangan turuti aku. Sekali
kau masuk ke Kotaraja orang-orang pasti akan
membunuhmu.”  
Wiro mengusap lagi kepala binatang itu. Ketika dia
hendak bergerak pergi, srigala ini menjulurkan lidahnya
yang basah berdarah dan sempat menjilat punggung
telapak tangan kiri si pemuda. Wiro mengernyit jijik dan
cepat menjauh.
Pada saat itu terdengar suara derap kaki kuda dan
gemeletak roda-roda kereta. Wiro berpaling. Ternyata
kereta yang membawa Ratih Kiranasari dan dikemudikan
oleh kusir tua itu muncul kembali.
Srigala yang melunjur di tengah jalan tiba-tiba bangkit
dengan cepat. Kedua daun telinganya berdiri tegang ke
atas. Dari mulutnya terdengar suara menggereng keras lalu
binatang ini melompat ke balik semak-semak dan lenyap
dalam rimba belantara.
“Pak Tua, kenapa kau kembali?!” tanya Wiro begitu
kereta berhenti di sampingnya.
“Den Ayu Ratih yang menyuruh. Dia khawatir kau diapa-
apakan oleh binatang itu. Ternyata tadi kau malah kulihat
mengusap-usap kepalanya!”
Tirai samping jendela terbuka. Wajah cantik Ratih
Kiranasari muncul. “Wiro, kau tidak apa-apa?”
Wiro tersenyum. “Binatang itu ternyata aneh. Tampang–
nya memang mengerikan. Tapi ternyata dia tidak menye–
rang saya…”
Ratih memperhatikan tangan kiri si pemuda. “Ada noda
darah di tangan kirimu,” katanya kemudian.
Wiro memperhatikan. Memang di punggung tangan
kirinya ada noda darah bekas jilatan lidah srigala tadi. Wiro
mengambil setangkai daun. Dengan daun ini disekanya
noda darah itu. Wiro lalu melompat ke atas kereta.
“Pak Tua lekas putar kereta. Kita harus meninggalkan
hutan ini cepat-cepat!”  
WIRO SABLENG
PURNAMA BERDARAH
4
ANDAR Seto dan istrinya sama-sama memandang
pada puteri mereka satu-satunya dengan mata tak
berkedip dan wajah yang menyatakan keheranan.
“Banyak keanehan terjadi akhir-akhir ini, Salah satu di
antaranya adalah dirimu Ratih,” kata Perwira Tinggi itu
pada puterinya.
Ratih Kiranasari hanya bisa menatap wajah kedua
orang tuanya sesaat lalu tundukkan kepala.
Sang ibu memegang lengan anak gadisnya itu lalu
berkata. “Anakku, kami berdua tidak merasa heran jika kau
mengatakan telah tertarik pada seorang pemuda. Memang
terus terang kami memang sangat mendambakan agar kau
segera menemukan seorang calon suami. Aku dan ibumu
sudah sama lanjut dan ingin melihat kau punya suami, lalu
punya anak, cucu kami. Tapi kalau pemuda itu ternyata
seorang pemuda yang tidak diketahui asal-usul dan juntru–
ngannya, tentu saja kami sangat keberatan anakku. Batal–
kan saja niatmu untuk mempertemukannya pada kami.”
“Jangan-jangan dia seorang pemuda gelandangan!”
kata Gandar Seto pula menimpali ucapan istrinya.
“Saya memang tidak tahu asal usulnya. Namun saya
yakin dia bukan gelandangan…”
“Buktinya kau ketemu dia di Hutan Jati Mundu. Dia
tidak tinggal di Kotaraja dan juga bukan orang sekitar sini.
Lalu siapa sebenarnya pemuda yang kau katakan itu?”
“Ayah, dia seorang pemuda yang punya ilmu. Buktinya
saya lihat sendiri dia bisa menjinakkan seekor srigala buas
di hutan itu.”
Perwira Tinggi itu tertawa gelak-gelak.
G
“Di Jati Mundu tak ada binatang buas. Apalagi srigala.
Yang kau lihat dijinakkannya itu jangan-jangan hanya
seekor kambing hutan!”
“Ayah, saya tidak terlalu bodoh membedakan mana
kambing dan mana srigala. Binatang yang saya lihat
diusapnya itu sama sekali tidak bertanduk!”
“Mungkin saja kambing betina! Jelas tidak punya
tanduk!” tangkis sang ayah.
“Kalau ayah dan ibu tidak percaya tanyakan saja pada
Pak Tua Tejo, kusir kita. Dia ikut melihat apa yang saya
saksikan.” Ratih terus berusaha meyakinkan kedua orang
tuanya.
“Sudahlah anakku. Taruh pemuda itu punya ilmu
kepandaian dan dia memang bisa menjinakkan binatang
buas dalam Hutan Jati Mundu seperti katamu. Tapi satu
hal harus kau ingat, kami orang tuamu tidak akan menjo–
dohkanmu dengan seorang pemuda gelandangan! Kami
lebih suka kau jadi seorang perawan tua seumur hidup
daripada punya menantu yang memberi malu dan menu–
runkan derajat kami!”
Berubahlah paras Ratih Kiranasari mendengar kata-
kata ayahnya itu. Kedua bola matanya tampak seperti
membesar dan mengeluarkan  sinar yang sesaat sempat
membuat ayah dan ibunya tercekat. Gadis ini bangkit dari
kursinya.
“Ayah dan ibu terlalu diperbudak oleh kedudukan,
jabatan, tingkatan dan derajat. Ayah dan ibu lupa! Semua
manusia dilahirkan sama, terbuat dari darah dan daging!
Saya tidak meminta ayah ibu menjodohkan saya dengan
pemuda yang ayah katakan sebagai gelandangan itu
karena dia juga belum tentu mau pada saya! Dan saya
benar-benar tidak mengerti, ada orang tua yang lebih suka
melihat anak gadisnya menjadi perawan tua hanya karena
gila jabatan dan derajat!”
“Ratih!” teriak Gandar Seto keras sekali.
Ratih sendiri saat itu sudah bangkit berdiri lalu berge–
gas masuk ke dalam kamarnya. Pintu dikuncinya dari  
dalam. Sunyi sesaat lalu terdengar isak tangisnya. Gandar
Seto dan istrinya berusaha  masuk ke dalam kamar dan
mengetuk pintu berulang kali. Tapi Ratih menutupi wajah–
nya dengan bantal dan menangis lebih keras.
Gandar Seto geleng-gelengkan kepala. Kedua suami
istri itu saling pandang beberapa ketika. Perwira Tinggi ini
akhirnya mengangkat bahu dan berkata. “Biarkan saja.
Nanti kalau dia sudah tenang pasti mengerti sendiri.”
“Saya rasa ada baiknya kau menemui kusir kita itu
Ppak,” berkata sang istri.
Paras Perwira Tinggi itu tampak berubah. Dia menatap
istrinya sesaat lalu berkata. “Nah, nah… nah! Rupanya
hatimu mulai mendua. Kalau kau memang ingin berme–
nantukan gelandangan yang kata anakmu itu pandai
menjinakkan binatang buas, silahkan kau temui dan bicara
sendiri dengan Tejo!” Habis berkata begitu Gandar Seto
tinggalkan istrinya masuk ke dalam kamar tidur sambil
membanting pintu. Tinggal kini sang istri yang tegak sendiri
termangu-mangu di depan pintu. Sesaat kemudian dia
kembali mengetuk pintu kamar anak gadisnya itu. Tapi
tetap saja tak ada jawaban.
Perempuan ini akhirnya masuk ke dalam kamar mene–
mui suaminya.
“Yang saya takutkan, Pak-ne,” katanya, “Jika kita terlalu
keras saya khawatir anak itu akan melarikan diri, minggat
dari rumah ini. Kita juga nanti yang akan malu.”
“Kalau dia memang mau minggat aku tidak akan
mencarinya. Mungkin itu lebih baik. Aku tidak takut kehi–
langan anak daripada menerima malu besar. Kalau dia
kabur bersama pemuda gelandangan itu, akan kubunuh
kedua-duanya!” kata Gandar Seto dengan wajah keras
membesi.
***
Di bagian belakang gedung kediaman Perwira Tinggi
Gandar Seto ada sebuah gudang besar didampingi kan–
dang kuda dan kereta. Tak berapa jauh dari bangunan itu
ada sebuah rumah kecil. Malam terasa dingin. Meski di
langit ada bulan purnama empat belas hari namun hala–
man belakang gedung besar itu diselimuti kegelapan.
Dalam kegelapan inilah tampak seseorang mengendap-
endap menuju bagian depan bangunan kecil. Di depan
pintu dia berhenti, memandang  berkeliling sebentar lalu
mulai mengetuk. Walaupun bagian dalam rumah berada
dalam keadaan gelap namun penghuninya ternyata belum
tidur. Begitu pintu diketuk terdengar suara orang bertanya
dari dalam.
“Siapa?”
“Pak Tua Tejo, buka pintu. Cepat! Saya mau bicara…?”
Pintu segera terbuka. “Den Ayu Ratih? Malam-malam
begini Den Ayu menemui saya ada apakah?”
Orang yang datang itu ternyata adalah Ratih Kiranasari,
puteri Perwira Tinggi. Dia langsung masuk ke dalam rumah
kecil itu, tegak bersandar di pintu. Ketika kusir tua Tejo
hendak menyalakan lampu minyak, gadis itu cepat men–
cegah.
“Ada apa sebenarnya, Den Ayu?”
Dengan singkat dan cepat Ratih menceritakan pembi–
caraannya dengan kedua orang tuanya.
“Lalu, mengapa Den Ayu datang ke mari? Apa yang bisa
saya lakukan?”
“Pak Tua Tejo tahu di mana pemuda bernama Wiro itu
menginap di Kotaraja?”
“Saya tidak tahu. Bukankah sewaktu berpisah kemarin
pagi saya dengar Den Ayu berjanji akan menemuinya lagi di
satu tempat?”
“Betul, tapi masih dua hari lagi. Saya perlu bertemu
dengan dia sekarang juga. Saya akan minta dia menemui
kedua orang tua saya.”
“Itu satu maksud yang baik. Tapi saya sarankan jangan
sekarang-sekarang ini. Mereka lagi bingung. Mungkin juga
marah. Beri kesempatan barang beberapa hari. Kalau
mereka sudah tampak biasa-biasa saja baru pemuda itu  
disuruh datang.”
Ratih terdiam.
“Maaf Den Ayu. Kalau pemuda bernama Wiro itu diper–
temukan dengan kedua orang tua Den Ayu, apa yang harus
dilakukannya? Melamar Den Ayu?”
“Siapa meminta dia melamar aku?!”
“Lalu… Ah, saya mungkin tidak mengerti. Katakan saja
apa yang harus saya lakukan,” kata kusir tua Tejo.
“Pak Tua harus mulai mencari pemuda itu malam ini
juga! Pak Tejo harus menolong saya!”
“Tentu. Pasti saya mau menolong. Tapi mencari pemu–
da bernama Wiro itu malam-malam begini rasanya satu
pekerjaan sia-sia belaka…”
Ratih Kiranasari tampak kecewa.
“Den Ayu, masuk kembali ke dalam gedung. Tidurlah.
Besok kita bicarakan lagi hal ini. Kalau ada penjaga yang
sempat melihat Den Ayu ada di tempat ini saya khawatir
mereka bisa salah sangka…”
Tanpa berkata apa-apa gadis itu keluar dari rumah kecil
itu. Kusir tua Tejo memandang sambil menggelengkan
kepala. Mengira puteri majikannya itu benar-benar kembali
ke rumah dan tidur, orang tua ini menutupkan pintu kem–
bali. Ternyata Ratih tidak kembali ke dalam rumah. Seperti
orang yang berjalan sambil tidur gadis ini melangkah
sepembawa kakinya. Penjaga  yang terkantuk-kantuk di
pintu gerbang sama sekali tidak melihat gadis ini lewat di
depannya.
***
“Nandang, hari sudah larut malam. Aku khawatir ada
ronda dusun melihat kau berada di sini…” kata perempuan
yang duduk sambil mendekap pemuda di sampingnya.
Saat itu mereka duduk di atas sebuah bangku panjang
sambil bersandar pada batang pohon besar di sebelah
belakang.
“Halaman ini luas sekali. Banyak pohon dan semak-
semaknya. Mata ronda dusun tak akan dapat memandang
sampai ke sini. Lagi pula lampu di dalam rumah sudah kau
matikan. Kalaupun ada yang memperhatikan pasti mereka
mengira kau sudah tidur, Sarti.” Menjawab pemuda yang
mendekap tubuh langsing Sarti.
“Sinar bulan purnama cukup terang. Saya khawatir
Nandang…”
“Ah, apa yang harus dikhawatirkan. Bukankah kau
sendiri tadi yang meminta agar kita duduk bermesraan di
tempat ini sambil memandang bulan purnama empat belas
hari yang indah itu?”
Sarti terdiam. Untuk kesekian kalinya dirasakannya jari-
jari tangan pemuda itu meraba dan memeras lembut
dadanya hingga tubuhnya kembali menggeletar dan
darahnya menjadi panas.
“Lagi pula, Sarti…” kata si pemuda berbisik ke telinga
Sarti. “Kau tidak mengajakku masuk ke dalam rumah kali
ini. Aku tidak akan pergi sebelum kita melewati malam
yang begini indah seperti malam-malam sebelumnya.”
“Nandang, aku khawatir suamiku akan kembali malam
ini. Kalau dia sampai menemukan kita di dalam kamar, di
atas tempat tidur…”
“Aku yakin Sentot pasti tidak akan pulang malam ini.
Paling cepat besok pagi. Aku tahu banyak yang harus
diurusnya di Wates. Ajak aku ke kamarmu Sarti…”
“Jangan malam ini Nandang. Waktu kita masih banyak.”
“Kalau begitu kita lakukan di sini saja? Lihat bulan
purnama itu. Indah sekali…”
“Jangan Nandang…” menolak Sarti tapi dia tidak ber–
usaha menepiskan sepasang tangan si pemuda yang mulai
melucuti pakaiannya.
“Kita tidak pernah bermesraan di tempat terbuka
seperti ini. Apalagi ada rembulan yang begitu indah. Tidak–
kah kau merasakan dorongan yang meluap-luap dalam
tubuhku, kekasihku…?” bisik Nandang sambil menciumi
telinga Sarti hingga perempuan muda ini menggelinyang.
Saat itu kebayanya sudah lepas dari tubuhnya. Angin  
malam bertiup dingin tapi  Sarti merasakan badannya
seperti dikobari api. Dari mulutnya terdengar suara sesalan
halus. “Aku menyesal dan akan menderita seumur hidup
mengapa ayah mengawinkan aku dengan Sentot yang
hampir dua puluh tahun lebih tua dariku. Sementara gadis-
gadis dusun kulihat kawin dengan pemuda-pemuda
gagah…”
“Jangan sesali hidup ataupun orang tuamu,” kata
Nandang pula seraya tangannya meluncur ke bawah.
“Lupakan Sentot. Bukankah aku akan selalu berada di
dekatmu setiap saat kau membutuhkan diriku?”
Sarti menyusupkan kepalanya ke dada Nandang. “Aku
memang membutuhkanmu Nandang. Aku tak bisa berpisah
denganmu. Bawa aku ke mana kau pergi…”
“Akan tiba saatnya Sarti. Pasti…” jawab Nandang lalu
merebahkan istri Sentot di atas bangku panjang. Sambil
tersenyum Sarti memperhatikan pemuda kekasihnya itu
membuka bajunya. Di atasnya bulan purnama empat belas
hari memancarkan sinar indah sekali. Belum pernah Sarti
melihat bulan purnama seindah itu. Keindahan itu seperti
bertambah-tambah ketika Nandang meneduhi tubuhnya,
menciumi lehernya dengan penuh nafsu. Sarti memagut
punggung pemuda ini kuat-kuat. Tapi tiba-tiba sekali
dilepaskannya.
“Ada apa, Sarti?” bertanya Nandang.  
WIRO SABLENG
PURNAMA BERDARAH
5
ELIHAT wajah Sarti yang seperti ketakutan
Nandang memandang berkeliling. Lalu dia
bertanya sekali lagi. “Ada apa…?”
“Aku mendengar sesuatu. Suara gemerisik semak-semak.
Aku khawatir ada orang mengintai perbuatan kita…”
“Itu hanya perasaanmu saja. Tidak ada siapa-siapa di
sekitar sini,” kata Nandang pula lalu ciumannya bertubi-
tubi mendarat di wajah, leher dan dada Sarti. Sesaat
perempuan ini jadi hanyut lupa diri. Namun di lain ketika
kedua tangannya mendorong dada Nandang ke atas.
“Eh, apa-apaan kau ini, Sarti?” Nandang jadi kesal.
“Apa kau tidak mendengar? Ada suara gemerisik
semak-semak. Aku seperti melihat bayangan sesuatu di
sebelah sana…” Sarti memandang ke jurusan gelap dekat
serumpunan pohon salak.
“Supaya kau tidak ketakutan terus biar aku menyelidik
ke sekitar pohon salak itu. Ada-ada saja kau Sarti. Kau
tunggu di sini…”
Sarti menutupi tubuhnya dengan kain panjang. Nan–
dang memegang lengannya seraya berkata. “Awas kalau
kau mengenakan pakaianmu kembali. Aku akan menye–
lidik. Cuma sebentar. Pasti kau hanya takut tak beralasan…
Tak ada apa-apa di sekitar sini.”
Nandang bangkit berdiri. Dia tidak perduli lagi kalau
saat itu dia sama sekali tidak mengenakan apa-apa. Dalam
keadaan bugil pemuda ini melangkah ke arah pohon salak.
Dia datang dari sebelah kiri. Sepi, tak ada siapa atau baya–
ngan apa pun di situ. Nandang meneruskan langkahnya
memutari pohon salak ke sebelah belakang. Juga tidak ada
M
apa-apa.
“Sarti… Sarti… Jangan-jangan dia hanya mempermain–
kan aku,” kata Nandang. Dia segera hendak meninggalkan
tempat itu. Namun sudut matanya menangkap dua buah
cahaya aneh di sebelah kiri. Pemuda ini cepat berpaling.
Nafasnya tertahan. Beberapa langkah di depan kirinya
dilihatnya sosok binatang seperti seekor anjing besar
mendekam duduk dengan moncong terbuka. Kedua mata–
nya berwarna merah, memancarkan sinar aneh menggi–
dikkan. Lidahnya terjulur basah. Taring dan gigi-giginya
besar tajam mengerikan. Suara nafas makhluk ini terde–
ngar seperti gerengan harimau. Tengkuk Nandang menjadi
dingin. Namun jika dia menoleh ke samping kanan bina–
tang itu, terlihat satu pemandangan lain. Di bawah sinar
bulan purnama tegak seorang perempuan berwajah cantik,
mengenakan kemben dan kain panjang halus. Rambutnya
yang panjang tergerai lepas di atas bahunya yang putih.
Kalau binatang di sampingnya menyorotkan pandangan
yang mengerikan sebaliknya perempuan cantik ini tampak
tersenyum. Hanya saja Nandang tidak memperhatikan
bahwa di balik senyum itu tersembunyi satu bayangan
angker menyeramkan.
“Kau… kau siapa…?” tanya Nandang dengan suara
agak tersendat.
Perempuan muda dan cantik di depannya tidak menja–
wab. Kedua matanya memperhatikan tubuh si pemuda
yang sama sekali tidak mengenakan apa-apa. Pandangan
perempuan itu membuat Nandang sadar akan keadaan
dirinya. Dia menurunkan kedua tangannya berusaha
menutupi bagian bawah tubuhnya.
Si cantik di depannya kembali tersenyum. “Tak usah
kau menutupi aurat. Aku suka melihat tubuhmu yang
tegap!”
Ucapan itu tentu saja membuat dada Nandang jadi
berdebar. “Ah, wanita muda cantik berpengawal anjing
besar ini jangan-jangan seorang peri…” membatin
Nandang.  
“Anak muda, apakah kau mau membagi kesenangan
yang kau berikan pada perempuan di atas bangku itu
padaku?” Tiba-tiba si cantik di bawah bulan purnama
berkata.
Semakin menggeletar sekujur tubuh Nandang.
“Aku tidak tahu siapa kau adanya…”
“Namaku Kemala. Apakah nama itu tidak bagus?”
“Bagus sekali. Sebagus orangnya…” jawab Nandang.
Perempuan cantik itu tertawa perlahan. “Kau pemuda
pandai memuji dan merayu. Pantas perempuan itu tergila-
gila padamu meski sudah jadi istri orang. Sekarang jawab
pertanyaanku tadi.”
Nandang tak bisa menjawab.
“Apa wajahku lebih buruk dari istri Sentot. Apa tubuhku
lebih jelek dari perempuan kekasih gelapmu itu?”
Nandang harus mengakui bahwa wajah perempuan di
depannya jauh lebih cantik dari Sarti, juga potongan
tubuhnya begitu indah dan sangat menggiurkan. Namun
tetap saja dia tidak mau menjawab.
“Kau tidak mau membagi kebahagiaan itu padaku?” Si
cantik bertanya lagi sambil mengusap kepala binatang di
sampingnya.
“Dengar, aku…”
“Sudahlah! Tak usah banyak bicara lagi!” Si cantik
menghentikan usapannya pada kepala srigala besar di
sampingnya lalu berkata. “Datuk, lakukan tugasmu…”
Sepasang mata srigala ini membersitkan sinar merah
mengerikan. Bersamaan dengan itu dari mulutnya keluar
suara lolongan panjang.  Nandang merasakan nyawanya
seperti terbang dan lututnya bergetar goyah. Sebelum
sempat dia melakukan sesuatu tiba-tiba srigala besar itu
sudah melompat dan menerkamnya. Nandang berteriak
keras. Tapi suara teriakan itu putus begitu kaki kanan
srigala yang berkuku panjang menyambar lehernya. Batang
leher Nandang koyak besar mengerikan. Tulang lehernya
patah. Darah menyembur muncrat!
Di atas bangku panjang di bawah pohon Sarti setengah  
terlompat ketika mendengar suara lolongan binatang dari
arah pohon salak. Lalu menyusul suara teriakan orang.
“Itu Nandang…” kata Sarti dalam hati. Mukanya men–
dadak pucat. Cepat-cepat dia menutupi tubuhnya dengan
kain panjang lalu dengan dada berdebar dia melangkah ke
arah pohon salak ke jurusan mana tadi lenyapnya
Nandang.
“Nandang… Nandang…”  memanggil Sarti. Tak ada
jawaban. “Nandang kau di mana…?” Sarti sampai di dekat
pohon salak lalu memandang perkeliling. Tiba-tiba satu
jeritan keras keluar dari mulut Sarti. Kedua matanya
seperti hendak tanggal dari rongganya. Hanya beberapa
langkah di hadapannya menggeletak tubuh Nandang.
Tubuh tanpa pakaian itu bergelimang darah penuh luka
cabik-cabik. Wajahnya hampir tak bisa dikenali lagi. Salah
satu matanya mencuat keluar, hidungnya tanggal dan
mulutnya sobek. Di lehernya ada luka terbuka yang masih
mengucurkan darah!
Sarti membalikkan tubuh untuk melarikan diri dalam
ketakutannya. Namun di hadapannya tiba-tiba saja muncul
seekor binatang besar menghadangnya dengan mulut
berlumuran darah terbuka  mengerikan. Kedua matanya
seperti bara api menyala! Untuk kedua kalinya Sarti men–
jerit. Dia melangkah mundur ketakutan. Kakinya terseran–
dung akar pohon yang menonjol di atas tanah. Tubuhnya
jatuh terduduk. Srigala besar melangkah mendekati. Saat
itulah dalam takutnya Sarti melihat ada sosok seorang
perempuan cantik melangkah di belakang srigala besar itu.
“Tolong… tolong…!” jerit Sarti.
“Perempuan serakah! Tak ada yang bakal bisa meno–
longmu!” Si cantik di belakang srigala berkata. “Sudah
punya suami tak cukup bagimu! Masih mau main gila
dengan lelaki lain! Apa kau kira hanya kau satu-satunya
perempuan yang hidup di dunia ini?!”
“Tolong! Siapa kau…?!” teriak Sarti.
“Datuk, bunuh perempuan itu!”
Mendengar perintah itu srigala besar meraung panjang  
lalu menerkam tubuh Sarti. Perempuan ini masih sempat
menjerit sekali lagi. Lalu suara jeritannya lenyap, bertukar
dengan suara tubuh yang dicabik-cabik srigala itu.
Sosok tubuh Sarti terbujur di tanah dalam keadaan
hancur koyak mengerikan. Si cantik bernama Kemala yang
rambutnya tergerai lepas ke bahu sesaat memperhatikan
tubuh itu tanpa bergeming. Lalu dia berkata pada binatang
di depannya.
“Datuk, kau boleh pergi sekarang. Kita bertemu lagi tiga
puluh hari di muka. Tepat pada saat purnama tiga belas
hari muncul di langit.”
Srigala bermata merah itu memutar tubuhnya lalu
merunduk seperti menyembah. Setelah menggereng keras
binatang ini melompat ke kiri dan lenyap dalam kegelapan
malam.
Tempat itu kini kembali sunyi senyap. Di langit rembu–
lan masih tampak seindah sebelumnya. Hanya kini ada
awan hitam bergerak menutupi.
Perempuan yang tinggal seorang diri di tempat itu
terdengar menghela nafas panjang. Lalu diusapnya wajah–
nya dua kali berturut-turut dan tinggalkan tempat itu
bersamaan dengan bertiupnya angin malam yang dingin.  
WIRO SABLENG
PURNAMA BERDARAH
6
STRI Gandar Seto tidak bisa memicingkan matanya
sementara suaminya sudah tertidur ngorok di sebelah–
nya. Pikiran perempuan ini masih mengingat pada
ketegangan yang terjadi antara dia dan suaminya di satu
pihak dan dengan puteri mereka Ratih Kiranasari. Setelah
bolak-balik beberapa kali  akhirnya perempuan ini turun
dari tempat tidur. Di luar kamar dia termenung sesaat
sebelum kemudian melangkah menuju kamar tidur anak–
nya. Dia tahu Ratih telah mengunci kamar itu dari dalam.
Tetapi entah mengapa dia tidak mengetuk pintu melainkan
langsung membukanya. Agak heran ternyata dia menda–
patkan pintu kamar tidak dikunci. Perempuan ini masuk ke
dalam. Kamar berada dalam keadaan gelap. Namun caha-
ya rembulan yang menyeruak masuk lewat lobang angin
cukup membantu hingga dia dapat melihat keadaan seisi
kamar. Di atas ranjang sama sekali tidak ada sosok tubuh
puterinya!
“Ke mana anak itu…?” bertanya istri Perwira Tinggi ini
dalam hati. Diperiksanya kamar sekali lagi. Setelah mema–
stikan Ratih tidak ada dalam kamar, perempuan ini cepat
keluar. Dia memeriksa seluruh rumah. Anak gadisnya tetap
tidak ditemukan. Dia segera menuju ke pintu depan, mem–
buka dan melihat ke luar. Penjaga di pintu gerbang tampak
tertidur pulas. Penjaga yang biasa meronda tidak kelihatan.
Perempuan ini tidak dapat lagi menahan rasa khawatirnya.
Setengah berlari dia masuk ke dalam kamar, membangun–
kan suaminya dan memberitahu kalau puteri mereka
lenyap entah ke mana.
“Jangan-jangan dia telah diculik pemuda asing itu Pak-
I
ne!” kata istri Gandar Seto.
Gedung kediaman Perwira Tinggi itu menjadi heboh.
Semua pengawal dipanggil. Setelah dimaki habis-habisan
mereka diperintahkan untuk segera mencari Ratih Kirana–
sari. Namun orang-orang itu termasuk Gandar Seto sendiri
tidak tahu harus mencari ke mana. Tejo si kusir tua jadi
bingung. Malam itu sebelumnya putri majikannya itu telah
menemuinya dan menanya apakah dia tahu di mana ber–
adanya pemuda bernama Wiro.  “Kini kalau dia tiba-tiba
lenyap jangan-jangan dia mencari pemuda itu. Den Ayu
Ratih, kenapa senekad itu dirimu…”
Gerak gerik kusir tua yang tidak seperti biasanya itu
terlihat oleh Gandar Seto. Perwira Tinggi ini jadi curiga. Dia
menghampiri orang tua ini dan berkata. “Pak Tejo, sikapmu
agak lain kulihat. Aku rasa kau tahu apa yang terjadi
dengan anakku… Selain kami orang tuanya kau adalah
orang yang paling dekat dengan Ratih. Apa yang kau
ketahui Pak Tejo?!”
“Saya… saya tidak tahu…” Kusir tua itu bukan saja jadi
gugup tetapi juga mulai ketakutan.
Saat itu tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda.
“Ada orang datang!” seru seorang pengawal.
Semua orang yang ada di depan gedung sama
berpaling ke arah pintu gerbang. Seekor kuda ditunggangi
dua orang memasuki halaman dan sampai di tangga depan
gedung. Semua orang karuan saja jadi terkejut. Karena
yang duduk di sebelah belakang adalah Ratih Kiranasari
sendiri, sedang di sebelah depan yang memegang tali
kekang kuda adalah seorang pemuda tak dikenal beram–
but gondrong.
Gandar Seto melompat. Dengan cepat dipegangnya
pinggang puterinya lalu diturunkannya ke tanah. Sepasang
matanya memperhatikan sekujur tubuh anaknya mulai dari
rambut sampai ke kaki.
“Ratih, kau tidak apa-apa? Kau barusan dari mana?!”
Gadis itu tak menjawab. Ibunya sudah sampai pula di
tempat itu, memeluknya lalu membimbingnya ke dekat  
tangga gedung. Gandar Seto kini membelalak memandang
pada si gondrong yang masih duduk di atas kuda dan yang
bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kau siapa?!” bentak Perwira Tinggi itu keras sekali.
Wiro segera turun dari punggung kuda. Dia membung–
kuk dengan sikap hormat. “Saya Wiro. Saya…” jawab
Pendekar 212. Belum sempat dia meneruskan ucapannya
Gandar Seto sudah mendamprat.
“Jadi kau pemuda gelandangan yang…”
“Ayah! Jangan menghina dia!” Tiba-tiba terdengar
teriakan Ratih Kiranasari.
Perwira Tinggi itu melotot  ke arah anaknya. Hampir
terlompat makian dari mulutnya. Dengan suara bergetar
dia berkata. “Kau membelanya! Benar rupanya kau me–
nyukai pemuda ini! Anak tak tahu diri. Memberi malu orang
tua!” Gandar Seto berpaling pada Wiro. “Berani kau main
gila dengan anakku! Kau bawa anakku di malam buta lalu
kau kembalikan lagi dengan cara seperti ini! Benar-benar
kurang ajar! Kupecahkan kepalamu!”
Gandar Seto melompat ke hadapan Wiro.
“Perwira, biar saya jelaskan dulu…” kata Wiro.
Namun jotosan Perwira Tinggi itu sudah menghantam
pipi kanannya lebih dulu.
Bukkk!
Wiro terjajar dan terpuntir  ke belakang. Pipi kanannya
tampak memar merah dan bengkak. Ratih Kiranasari
berteriak dan lari dari pegangan ibunya. Dia cepat meme–
gang pinggang ayahnya ketika lelaki ini hendak menghajar
Wiro kembali.
“Jangan, Ayah! Jangan pukul dia! Dia yang menolong
saya…”
“Menolongmu? Dia? Si gelandangan ini? Apa yang
sebenarnya terjadi anakku?! Dia membawamu dari rumah
ini lalu kau bilang dia menolongmu!”
“Tidak, saya pergi dari rumah mau saya sendiri. Saya
tidak sadar apa yang saya lakukan. Ketika dia menemui
saya, saya tergolek di sebuah pondok di pinggiran Desa  
Gedangan. Dia lalu membawa saya pulang ke mari…”
“Ceritamu tidak masuk akal! Kau mengarang! Kau pasti
telah diguna-gunainya hingga bisa keluar malam-malam
untuk menemuinya! Pemuda jahanam! Apa yang telah kau
lakukan pada anak gadisku?!”
Gandar Seto mendorong Ratih Kiranasari ke samping
lalu dia menyerbu Wiro dengan ganas. Si gadis menjerit
keras. Dia melompat di antara ayahnya dan Pendekar 212.
Wiro tahu betul serangan yang dilancarkan oleh Perwira
Tinggi itu bukan serangan main-main atau hanya sekedar
melampiaskan kemarahan. Tetapi merupakan serangan
ganas yang bisa membunuhnya karena jelas dirasakannya
serangan itu disertai tenaga dalam tinggi. Di Kotaraja siapa
yang tidak kenal dengan Perwira Tinggi Gandar Seto yang
dijuluki Manusia Besi. Dia dikabarkan memiliki aji kesak–
tian yang jika dikeluarkan akan merubah sekujur tubuhnya
menjadi sekeras dan seatos besi. Apa saja yang kena
gebuk atau tendangannya pasti akan hancur binasa,
termasuk tubuh manusia jika kena dihantamnya! Dan kini
agaknya dia telah mengeluarkan aji kesaktiannya itu untuk
menyerang Wiro yang dianggapnya telah melakukan
sesuatu yang memalukan atas diri puterinya.
Ratih yang sudah tahu akan ilmu yang dimiliki ayahnya
itu dan takut Wiro akan mendapat celaka cepat mengha–
langi. Kedua tangannya dirangkulkannya ke tubuh ayahnya
sehingga Perwira Tinggi itu kini jadi sulit bergerak.
“Anak setan! Lepaskan rangkulanmu!” teriak Gandar
Seto. “Atau kepalamu ikut aku pecahkan saat ini juga!”
“Jangan ayah! Dia tidak bersalah! Dia tidak melakukan
apa-apa! Dia menemukan saya dalam keadaan setengah
sadar lalu membawa saya ke mari!”
“Anak setan! Siapa percaya ucapanmu!” Gandar Seto
menggerakkan tubuhnya tapi Ratih pun mengencangkan
rangkulannya hingga lelaki itu tidak bisa berbuat banyak
selain membentak dan memaki habis-habisan.
“Wiro! Pergilah! Lari cepat!” teriak Ratih. Gadis ini
khawatir dia tidak bisa bertahan lama sebelum ayahnya  
melemparkannya ke tanah.
Pendekar 212 sesaat masih tertegak di tempat itu.
Pipinya yang memar masih sakit. Tapi hatinya lebih sakit
lagi diperlakukan dan dihina semena-mena seperti itu.
“Pengawal! Jangan biarkan bangsat ini lari! Tangkap
dia!” teriak Gandar Seto sambil berusaha melepaskan diri
dari pelukan puterinya. Delapan orang pengawal segera
menyerbu ke arah Wiro.
“Wiro! Lari!” teriak Ratih sekali lagi.
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Lalu sekali
lompat saja dia sudah berada di atas punggung kuda.
Namun empat orang pengawal masih sempat mengejarnya.
Pengawal kelima malah sudah merangkul leher kuda
tunggangannya. Di saat itu pula Gandar Seto hampir dapat
melepaskan diri dari pelukan anak gadisnya.
Wiro gerakkan kaki kiri menendang salah seorang
pengawal yang coba menarik pinggangnya. Orang ini
terjungkal dan tergelimpang di tanah sambil menjerit-jerit
kesakitan. Pengawal yang coba menahan lari kuda dengan
merangkul leher binatang itu dihantamnya dengan satu
pukulan ke atas batok kepalanya hingga melosoh jatuh dan
pingsan dengan mata melotot. Ketika kudanya mulai
bergerak, seorang pengawal lagi berusaha menghalangi
sambil membabatkan sebilah  golok pendek. Wiro jambak
rambut orang ini lalu menyeretnya sampai belasan lang–
kah. Di satu tempat orang ini dihempaskannya ke tanah.
Begitu jatuh, kaki kiri kuda sebelah belakang menginjak
dadanya. Terdengar suara berderak patahnya tulang-tulang
iga. Pengawal ini menjerit pendek lalu diam entah pingsan
entah mati.
“Kejar!” teriak Gandar Seto marah sekali. Beberapa
orang pengawal segera menyiapkan kuda. Namun gerakan
mereka tertahan ketika di kejauhan terdengar suara ken–
tongan dipukul orang dari arah selatan. Lalu disahuti oleh
kentongan lain dari jurusan berbeda. Malam yang tadinya
sepi ini kini jadi ramai oleh suara kentongan.
“Anak kurang ajar!” hardik Gandar Seto marah. Tangan  
kanannya melayang dan, plakk! Tamparannya mendarat di
pipi Ratih Kiranasari yang sampai saat itu masih memeluki
tubuhnya. Darah kelihatan mengucur di sela bibirnya sebe–
lah kiri. Perlahan-lahan gadis ini lepaskan pegangannya
lalu melangkah pergi. Sang ayah seperti sadar apa yang
telah dilakukannya cepat mengejar, namun saat itu ada
dua orang penunggang kuda memasuki halaman. Begitu
sampai di hadapan Gandar Seto keduanya melompat turun
dan menjura. Salah seorang dari mereka berkata.
“Perwira, kami dari Desa Gedangan. Kepala Desa
meng–Zutus kami untuk memberikan laporan. Satu hal
mengerikan telah terjadi di desa kami…”
“Apa yang terjadi di desamu?!” tanya Gandar Seto
dengan rahang menggembung tanda menahan amarah.
“Seorang pemuda desa bernama Nandang ditemukan
mati dalam keadaan muka dan tubuh tercabik-cabik. Di
samping mayatnya tergeletak mayat Sarti, istri penduduk
desa bernama Sentot. Keadaannya sama. Mati dengan
tubuh koyak-koyak mengerikan…”
“Gila!” teriak Gandar Seto.
Orang desa yang satu lagi terdengar menambahkan.
“Tubuh Nandang dan Sarti ditemukan tanpa pakaian sama
sekali…”
Gandar Seto kepalkan kedua tinjunya. Kepalanya
mendongak. Di langit tak sengaja dia melihat rembulan
empat belas hari. Di mata Perwira Tinggi ini, bulan purna–
ma yang begitu indah terlihat seperti sebuah bola api yang
mengerikan. Sekilas kembali terbayang kematian mengeri–
kan yang terjadi malam kemarin atas diri bawahannya
Randu Wulung dan Rumini, sepasang pengantin yang
sangat malang itu. Semua mereka menemui kematian
dengan cara yang sama! Biadab mengerikan!
“Jangan-jangan pemuda gondrong bernama Wiro itu
yang melakukannya…” desis Gandar Seto.
Ucapan yang meskipun perlahan ini ternyata masih
sempat terdengar oleh Ratih Kiranasari yang saat itu
sesenggukan tenggelam dalam pelukan ibunya. Si gadis  
mengangkat kepalanya. Lalu berkata, “Ayah! Kau sungguh
keterlaluan! Kini kau menuduh pemuda itu sebagai
pembunuh Nandang dan Sarti!”
Amarah Gandar Seto menggelegak kembali. Dengan
langkah-langkah besar dia mendekati puterinya. Tangan
kanannya diangkat siap untuk menampar lagi. Namun kali
ini Perwira Tinggi ini masih bisa menguasai dirinya. Perla–
han-lahan tangannya diturunkan kembali. Dia memandang
berkeliling. Begitu dia melihat kusir tua Tejo, dia segera
berkata. “Siapkan kudaku!  Kita harus menemui Patih
Kerajaan malam ini juga! Keamanan Kotaraja terancam.
Dua pembunuhan terjadi dua malam berturut-turut!
Seorang pemuda gelandangan yang sangat aku curigai
gentayangan bebas! Aku yakin dia makhluk jahatnya yang
melakukan pembunuhan-pembunuhan itu!”  
WIRO SABLENG
PURNAMA BERDARAH
7
ENDEKAR 212 Wiro Sableng menatap wajah kusir tua
yang basah oleh keringat itu beberapa saat lalu sam–
bil menggaruk kepala dia berkata, “Kotaraja dan
tempat-tempat ramai lainnya tidak aman bagiku sekarang
ini Pak Tua. Perwira Tinggi Gandar Seto kabarnya telah
mengeluarkan perintah untuk mencari dan menangkap
diriku hidup atau mati! Gila! Aku dituduh sebagai pembu–
nuh sepasang pengantin Randu Wulung dan Rumini. Lalu
aku juga dikatakan yang menghabisi pemuda sesat Nan–
dang dan Sarti di Gedangan. Edan!”
“Anak muda, harap kau jangan marah. Apa betul bukan
kau yang membunuh keempat orang itu?”
Kedua mata Pendekar 212 memandang mendelik. “Pak
Tua, kalau bukan kau yang bicara begitu sudah kubetot
lepas lidahnya…”
“Jangan marah padaku Wiro. Itulah anggapan semua
orang di Kotaraja dan sekitarnya saat ini. Atau mungkin…”
“Mungkin apa?” tanya Pendekar 212 jadi tambah
jengkel.
“Perwira Tinggi majikanku juga punya anggapan semua
korban itu mati akibat koyakan binatang buas. Lalu dia
ingat pada cerita puterinya tentang srigala yang ditemukan
di Hutan Jati Mundu. Jangan-jangan srigala itu binatang
peliharaanmu…”
“Itu lebih gila! Lebih edan!” kata Wiro.
“Kalau tidak mengapa binatang buas itu begitu jinak
padamu, anak muda…?”
“Itu yang aku tidak mengerti,” jawab Wiro sambil garuk-
garuk kepala. Lalu dia berkata, “Saat ini aku tidak lebih
P
dari seorang buronan. Tapi belum ada seorang petugas
pun dari Kotaraja mengetahui kalau aku ada di sini. Kau
berhasil mencari dan menemukanku, Pak Tua. Sungguh
hebat! Sekarang katakan apa keperluanmu.”
“Terus terang, aku disuruh oleh Den Ayu Ratih. Dia ingin
bertemu dengan kau malam ini…”
“Hemmm…” Wiro kembali garuk-garuk kepala.
“Kau harus menemuinya Wiro. Dia merindukan dirimu
tanda dia benar-benar menyukaimu. Katanya sudah satu
minggu lebih dia tidak melihatmu…”
Wiro mengusap pipi kanannya yang masih kelihatan
bengkak akibat jotosan Gandar Seto tempo hari.
“Anak muda, aku tahu kau tentu sangat membenci
ayahnya karena telah memukulmu. Lebih dari itu dia juga
telah menuduhmu dan menjadikan dirimu sebagai seorang
buronan. Namun jangan kau melihat semua itu. Den Ayu
Ratih memerlukanmu.”
“Baiklah Pak Tua. Di mana aku harus menemuinya?”
tanya Pendekar 212.
“Kau tahu reruntuhan Candi Blorok di timur desa
Tumpakrejo?”
Wiro berpikir sebentar lalu mengangguk.
“Den Ayu Ratih akan datang ke sana. Tepat pada perte–
ngahan malam…”
“Sendirian?”
“Aku minta menemaninya. Tapi dia bersikeras akan
datang seorang diri…”
“Baiklah. Aku akan menunggu di Candi Blorok,” kata
Wiro.
Tejo si kusir tua tersenyum. Sebelum pergi dia memberi
hormat dan berkata. “Anak muda, kau orang baik. Kalau
kau nanti memang berjodoh dengan puteri majikanku itu
nasibku tentu akan tambah baik…”
***
Di langit tak ada bulan. Bintang pun cuma ada satu  
dua. Malam gelap, sunyi dan dingin. Bangunan Candi
Blorok yang beberapa bagiannya sudah runtuh tampak
menghitam angker dalam kegelapan malam. Satu baya–
ngan putih berkelebat di belakang candi lalu lenyap dalam
kegelapan dan tahu-tahu dia sudah berada di pelataran
candi sebelah dalam. Sesaat dia memandang berkeliling.
Setelah memastikan tak ada orang lain di tempat itu, dia
lalu pergi duduk di atas sebuah arca tanpa kepala.
“Memang lebih baik biar  aku yang menunggu,” kata
orang ini dalam hati. Dia memandang ke langit di atasnya.
“Belum tengah malam,” dia kembali membatin. Lalu
pikirannya mengelana jauh. “Walaupun gadis itu menyu–
kaiku setengah mati dan aku memang ada rasa senang
padanya, tapi untuk berjodoh dengan dirinya… Ah! Ini satu
hal yang berat. Bahkan tidak mungkin. Apa yang akan
dibicarakannya malam ini? Kalau dia merayuku dengan
kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya dan aku tidak
bisa bertahan bisa celaka diriku!” Orang yang duduk di atas
arca buntung ini lalu garuk-garuk kepala. Gerakannya
terhenti ketika tiba-tiba dia mendengar ada suara derap
kaki kuda di kejauhan. Makin lama suara itu makin keras
tanda semakin dekat dan memang mengarah ke candi di
mana dia berada.
Orang itu bangkit dari arca yang didudukinya. Di sam–
ping kiri candi dilihatnya mendatangi seorang penunggang
kuda. “Ah, dia datang…” Orang ini menarik nafas lega dan
tersenyum. Namun kemudian kedua matanya menyipit dan
senyumnya lenyap. “Eh, bukan  dia. Penunggang kuda itu
seorang lelaki, bukan Ratih…” Orang ini melangkah ke
dinding candi sebelah kiri agar bisa melihat lebih jelas.
Begitu dia mengenali penunggang kuda itu parasnya jadi
berubah oleh rasa kejut. “Astaga! Itu Perwira Tinggi Gandar
Seto! Bagaimana dia bisa tiba-tiba muncul di tempat ini?!
Jangan-jangan…”
Orang yang datang menunggang kuda coklat memang
adalah Perwira Tinggi Gandar Seto. Dari pakaian ringkas
yang dikenakannya serta sebilah golok besar yang terselip  
di pinggangnya jelas kalau kedatangannya ke tempat itu
bukan suatu kebetulan belaka. Dan ini segera terbukti.
Setelah hentikan kudanya di depan Candi Blorok, Perwira
Tinggi itu lalu berteriak.
“Manusia buronan bernama Wiro! Lekas serahkan diri!
Kau sudah terkurung! Jangan harap bisa lolos!”
Murid Eyang Sinto Gendeng yang memang adalah orang
yang berada dalam Candi Blorok seperti disentakkan.
Kedua matanya membesar ketika memandang berkeliling.
Dari kegelapan di seputar bangunan candi muncul banyak
sekali orang. Jumlah mereka  tidak kurang dari seratus.
Sebagian menunggang kuda. Kebanyakan dari mereka
mengenakan pakaian pasukan kerajaan.
“Kurang ajar! Aku dijebak!” maki Pendekar 212 dengan
kedua tangan terkepal. Dia kembali memperhatikan kea–
daan di sekelilingnya. Di samping Perwira Tinggi Seto kini
dilihatnya berjejer enam orang penunggang kuda. Empat di
antara mereka adalah perwira-perwira muda Kerajaan yang
dari sikap mereka jelas memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Murid Eyang Sinto Gendeng tidak begitu mengkhawatirkan
kehadiran empat perwira muda itu maupun puluhan praju–
rit yang telah mengurung seantero bangunan Candi Blorok.
Yang dirisaukannya selain si Perwira Tinggi sendiri terlebih
lagi adalah dua orang yang berada di kiri kanannya. Orang
di sebelah kiri seorang nenek berambut putih jarang,
berkulit hitam. Sekilas tampangnya seperti Eyang Sinto
Gendeng. Di keningnya ada sebuah benjolan hampir
menyerupai tanduk pendek. Bibirnya sumbing hingga
seluruh gigi atasnya yang masih utuh berwarna hitam
tonggos kelihatan menjorok ke luar, menjijikkan. Di tangan
kirinya nenek ini memegang sebuah pendupaan berisi bara
api menyala dan menabur asap kelabu berbau aneh.
Pendupaan itu tentu saja panas sekali tetapi si nenek
memegangnya tenang-tenang saja seperti memegang
sebuah kayu.
Pendekar 212 mengingat-ingat. “Kalau aku tidak salah
duga nenek berbibir sumbing itu dikenal dengan julukan  
Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. Kepandaian silat–
nya tidak seberapa. Tetapi pendupaan di tangan kirinya itu
telah membuat dirinya menjadi momok nomor satu dan
ditakuti di tanah Jawa ini!”  Lalu dalam hati Wiro memaki-
maki dirinya sendiri habis-habisan yang telah berlaku
bodoh hingga sampai tertipu dan terjebak di tempat itu.
“Kusir tua keparat itu, dia ternyata ular kepala dua!”
Wiro mengalihkan perhatiannya pada kakek berpakaian
merah yang menunggangi kuda di sebelah kanan Perwira
Tinggi Gandar Seto. Kepalanya yang gundul sengaja dicat
merah. Ketika menyeringai kelihatan gigi-giginya juga dicat
merah. “Si Bayangan Api…”  desis Wiro. “Aneh, mengapa
jago-jago tingkat tinggi ini bisa bergabung dengan orang-
orang Kerajaan?” pikir Wiro lagi.
Murid Eyang Sinto Gendeng ini tidak tahu bahwa secara
diam-diam Gandar Seto telah melakukan penyelidikan atas
dirinya. Dari beberapa sumber dia kemudian mengetahui
bahwa pemuda bernama Wiro itu sebenarnya adalah Wiro
Sableng yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212. Menyadari siapa sebenarnya
orang buronannya maka itulah sebabnya Gandar Seto
membawa serta si Bayangan Api dan Iblis Sumbing Pem–
bawa Pendupa Maut, ditambah dengan empat orang
perwira muda berkepandaian tinggi dan puluhan prajurit.
Beberapa orang di Kotaraja yang kenal siapa adanya
Pendekar 212 tidak menyetujui cara Gandar Seto yang
langsung melakukan pencarian terhadap Wiro. Mereka
mengusulkan agar menghubungi Sinto Gendeng terlebih
dahulu di Gunung Gede karena mereka tidak bisa percaya
begitu saja kalau murid nenek sakti itu kini telah menjadi
orang jahat dan melakukan pembunuhan keji di beberapa
tempat. Namun Gandar Seto dapat meyakinkan Patih
Kerajaan bahwa tindakannya adalah benar dan harus
cepat dilaksanakan sebelum pemuda buronan itu kembali
melakukan pembunuhan lagi. Di samping itu Gandar Seto
juga menyimpan dendam tertentu terhadap Pendekar 212.
Dia menganggap pemuda ini juga menjadi biang racun  
yang hendak menjerat puterinya.
“Pendekar 212 Wiro Sableng!” teriak Gandar Seto.
“Apakah kau nyatanya begini pengecut tidak berani
menyerahkan diri?!”
Wiro tentu saja terkejut ketika orang menyebut gelar
dan nama panjangnya. “Dari mana keparat ini tahu siapa
diriku,” katanya dalam hati dan masih tetap berlindung di
balik dinding candi.
Dari atas kudanya Perwira Tinggi Gandar Seto kembali
berteriak. “Pendekar 212! Jika kau tidak mau menyerah–
kan diri maka aku akan menyerbu ke dalam candi!”
“Sialan! Dia benar-benar tahu kalau aku berada di
tempat ini!” maki murid Eyang Sinto Gendeng. Sambil
mengalirkan tenaga dalam ke tangan kanan akhirnya dia
keluar dari balik dinding dan melangkah menuruni bagian
depan Candi Blorok. Tiga langkah dari depan reruntuhan
tangga Pendekar 212 berhenti. Dia memandang pada
Gandar Seto dan bertanya.
“Aku sudah berada di hadapanmu. Katakan apa keper–
luanmu Perwira Tinggi!”
“Kau yang harus mengatakan apa kau mau ditangkap
hidup-hidup dengan tubuh utuh atau ingin menyerahkan
diri setelah sekujur tubuhmu mulai dari kepala sampai ke
kaki kami cincang lumat!” Gandar Seto menjawab dengan
pelipis bergerak-gerak dan rahang menggembung tanda
dia mulai mendekati puncak amarahnya.
“Perwira, kau ingin menangkap dan mencincang diriku!
Katakan apa salahku!”
Gandar Seto keluarkan suara mendengus. “Lagakmu
sungguh hebat! Kau membunuh secara keji empat orang
tak berdosa. Kau bahkan menculik puteriku…”
“Tuduhan dusta! Kau punya bukti kalau aku yang mem–
bunuh empat orang itu? Kau juga punya bukti bahwa aku
menculik puterimu? Padahal puterimu sendiri mengatakan
aku tidak menculiknya. Aku menemuinya dalam keadaan
setengah sadar di dekat Gedangan!”
Perwira Tinggi itu menggerakkan tangannya. Empat  
orang perwira muda melompat turun dari kuda masing-
masing, langsung mengurung Pendekar 212.
“Manusia iblis ini tidak boleh dibiarkan hidup lebih
lama. Cincang sampai lumat!” perintah Gandar Seto
kemudian.
Empat golok besar mengeluarkan suara berseresetan
begitu dicabut dari sarungnya. Tanpa menunggu lebih lama
keempat perwira muda yang mengurung menyerbu Wiro.
Empat bilah golok besar berkelebat dalam kegelapan
malam.
Murid Eyang Sinto Gendeng berteriak keras. Lututnya
ditekuk. Tubuhnya merunduk.  Bersamaan dengan itu dia
hantamkan kedua tangannya ke depan. Dua orang perwira
muda berteriak kesakitan. Tubuh mereka mencelat mental
lalu terhampar di tanah. Megap-megap sebentar setelah itu
pingsan tak berkutik lagi.
Dua bilah golok lagi datang membabat dari belakang.
Murid Eyang Sinto Gendeng jatuhkan diri ke tanah. Tiba-
tiba tubuh itu membalik sambil kaki kanan menendang.
Terdengar dua kali suara bergedebukan. Dua perwira muda
yang tadi menyerang dari belakang sama-sama menjerit.
Yang satu langsung roboh begitu tulang kering kaki kirinya
patah dihantam tendangan Wiro. Satunya lagi mencelat
lalu terkapar di tanah dengan perut pecah. Nyawanya tidak
ketolongan lagi!
Selagi Wiro bergerak bangkit, Gandar Seto yang sudah
gatal tangan menarik tali kekang kudanya. Binatang ini
melompat ke depan ke arah Wiro. Bersamaan dengan itu
Perwira Tinggi lepaskan satu pukulan jarak jauh. Serang–
kum angin menderu menyambar Pendekar 212 membuat
tubuhnya bergetar keras. Dia merasakan seperti ada
sebuah jaring yang tak kelihatan membungkus tubuhnya.
Sebelum dirinya menjadi tidak berdaya, Wiro jatuhkan
tubuh ke tanah lalu berguling ke kiri guna menghindari
injakan empat kaki kuda tunggangan Gandar Seto. Ketika
Perwira Tinggi itu berusaha memutar kudanya dan hendak
menyerang kembali, Pendekar 212 untuk pertama kalinya  
lepaskan serangan balasan. Dia berlaku cerdik. Dia tidak
menghantam ke arah Gandar  Seto. Yang ditujunya justru
kuda tunggangan Perwira Tinggi itu. Kuda betina ini
meringkik keras sewaktu angin pukulan jarak jauh yang
dilepaskan Wiro melabrak  rusuknya. Tubuhnya terhuyung
ke kiri. Selagi penunggangnya berusaha mengendalikan
kuda itu, Wiro kembali menghajar dengan pukulan sakti
berikutnya yaitu Benteng Topan Melanda Samudera.
Angin sederas topan prahara membuat kawasan di
sekitar Candi Blorok jadi bergetar. Gandar Seto dan kuda–
nya terhempas ke kiri. Sebelum binatang ini jatuh tersung–
kur Perwira Tinggi itu sudah lebih dulu melompat ke udara.
Gerakannya melompat disertai dengan gerakan mencabut
golok besar di pinggang. Begitu dia menukik, tubuhnya
kelihatan melesat ke arah Wiro. Senjata di tangannya
menyambar ganas. Yang diincar adalah batang leher murid
Sinto Gendeng itu!
Untuk kesekian kalinya Wiro terpaksa jatuhkan diri.
Hanya kali ini gerakan mengelak itu disertai dengan tenda–
ngan kaki ke arah tangan lawan yang memegang senjata.
Kraakk!
Terdengar suara patahan tulang begitu kaki kanan Wiro
menghajar lengan Gandar Seto. Perwira Tinggi ini menjerit
keras. Goloknya terlepas mental sedang tangan kanannya
kelihatan mengambai-ambai!
Semua orang yang ada di tempat itu tentu saja sangat
terkejut menyaksikan apa yang terjadi. Gandar Seto yang
dikenal dengan julukan Manusia Besi, memiliki tubuh atos
tak mempan senjata tajam, kini ternyata mengalami hari
naas. Kena diciderai hingga patah lengan kanannya! Iblis
Sumbing diam-diam merasa tidak enak sedang si Baya–
ngan Api sesaat tampak tertegun. Mereka jadi berpikir.
Rupanya nama besar Pendekar 212 bukan satu nama
kosong belaka!
Beberapa orang perajurit cepat bergerak hendak
menolong Perwira Tinggi yang cidera itu. Namun saat itu
kakek berpakaian dan berkepala botak merah sudah  
mendahului. Sekali dia berkelebat turun dari kudanya,
tubuhnya berubah laksana sambaran api. Di lain kejap
tahu-tahu dia sudah merangkul Gandar Seto yang kemu–
dian dibawanya ke tempat yang lebih aman.
“Harap kau tidak bergerak dari tempat ini Perwira.
Kulihat cideramu cukup parah!” kata si Bayangan Api. “Biar
aku yang akan menangkap pemuda itu. Aku akan meng–
hajarnya sampai lumat lebih dulu sebelum kuhabisi
nyawanya…”
Ketika dia hendak melangkah mendekati Wiro, nenek
berjuluk Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut sudah
memajukan kudanya seraya berkata. “Sobatku, kau jaga
saja perwira itu. Biar aku yang menangani kecoak satu ini!”
Lalu sambil meninggikan tangannya yang memegang
pendupaan, nenek itu mengarahkan kudanya mendekati
Wiro. “Manusia bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar
212 murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede! Apa kau
sudah tahu kalau nyawamu hanya tinggal beberapa
kejapan lagi?”
Karena mulutnya sumbing maka kata-kata yang
diucapkannya terdengar lucu dan sulit dimengerti Wiro.
Seumur-umur baru kali itu  dia mendengar orang sumbing
bicara. Maka pemuda ini pun berkata.
“Nek, kalau bicara biar betul. Jangan telo seperti orok!
Aku tidak mengerti apa yang  kau ucapkan!” Brengseknya
waktu bicara ini Wiro sengaja menirukan suara si nenek
yang tidak karuan! Tentu saja hal ini membuat Iblis Sum–
bing Pembawa Pendupa Maut menjadi marah setengah
mati. Tangan kirinya yang memegang pendupaan diturun–
kan sejajar bahu. Kepulan asap kelabu berbau aneh
semakin menggebubu.
Tiba-tiba dari mulut yang sumbing itu keluar suara pekik
menggidikkan. Bersamaan dengan itu tangan kanannya
bergerak. Tahu-tahu dari tangan si nenek ada lima buah
senjata rahasia berbentuk paku menyambar ke arah murid
Sinto Gendeng.
Dari sinar redup hitam yang keluar dari lima buah  
senjata rahasia itu Wiro segera maklum kalau senjata-
senjata terbang itu mengandung racun jahat. Maka dia
segera menghantam dengan pukulan  Tameng Sakti
Menerpa Hujan. Lima senjata rahasia berbentuk paku
mencelat bermentalan. Tapi si nenek justru malah tertawa
nyaring. Kepalanya merunduk seperti hendak mencium
Wiro. Pendupaan di tangan kirinya didekatkan ke mulut.
Wiro kirimkan satu jotosan kilat ke lambung lawan yang
masih berada di atas punggung kudanya ini. Tapi tiba-tiba
sekali si nenek meniup. Asap kelabu berbau aneh
menyambar ke arah muka Wiro. Murid Sinto Gendeng
cepat menutup jalan nafasnya dan berusaha melompat
menjauhi. Namun terlambat! Hawa aneh yang keluar dari
asap kelabu itu telah lebih dahulu menyusup memasuki
hidung dan mulutnya. Saat itu juga Wiro merasakan kepala
dan kedua matanya menjadi sangat berat. Sekujur anggota
badannya terasa lemah. Dia seperti amblas ke dalam
sebuah lobang gelap dan tidak sadarkan diri lagi. Jatuh
tergelimpang di depan kaki kuda tunggangan Iblis Sumbing
Pembawa Pendupa Maut.
Nenek tua ini tertawa mengekeh lalu memandang pada
si Bayangan Api. “Kau tunggu apa lagi sahabatku? Lekas
ringkus pemuda itu. Kita bawa ke hadapan Patih Kerajaan
agar dia segera dijatuhi hukuman mati. Atau ada yang akan
mempesianginya saat ini juga?!”
“Aku yang akan menghabisinya!” kata Gandar Seto lalu
dengan susah payah berusaha berdiri. “Pinjami golokmu!”
katanya pada seorang prajurit yang tegak di sampingnya.
“Dimas Gandar. Tak perlu susah-susah. Biar kuseret
pemuda keparat ini ke hadapanmu!” kata si Bayangan Api
pula. Lalu dicekalnya salah satu pergelangan kaki Wiro.
Tubuh pemuda itu kemudian diseretnya ke hadapan si
Perwira Tinggi. Rahang Gandar Seto tampak menggem–
bung. Matanya berkilat. Golok  yang di tangan kiri digeng–
gamnya erat-erat. Begitu sosok Wiro dilemparkan di hada–
pannya, dengan bergegas Perwira Tinggi ini ayunkan
senjatanya ke arah batang leher Pendekar 212!  
WIRO SABLENG
PURNAMA BERDARAH
8
URID Sinto Gendeng hanya bisa terima nasib. Dia
menghadapi kematian dengan sepasang mata
tidak berkesip sementara golok di tangan kiri
Gandar Seto membabat deras ke bawah. Sesaat lagi bagi–
an tajam dari senjata itu akan menebas putus batang
lehernya tiba-tiba entah dari mana munculnya satu baya–
ngan berkelebat. Gerakan tubuhnya mengeluarkan angin
deras. Tubuh Gandar Seto tahu-tahu terjajar sampai tiga
langkah. Dari mulutnya keluar seruan pendek disusul
dengan terlepas mentalnya  golok yang ada di tangan
kirinya!
“Manusia kurang ajar! Siapa kau?!” teriak Perwira
Tinggi itu. Ketika dia dan semua orang yang ada di situ
memandang ke depan, mereka menyaksikan satu peman–
dangan yang sulit dipercaya!
Seorang gadis berpakaian hijau gelap tegak di tengah
kalangan perkelahian dengan memanggul tubuh Pendekar
212 di bahu kirinya. Pandangannya tampak bengis tetapi
kebengisan ini tidak melenyapkan kecantikan wajahnya.
“Ada bidadari nyasar dan ikut campur urusan kita…”
kata si Bayangan Api lalu tertawa mengekeh.
“Siapa kau?’“ Gandar Seto kembali membentak.
“Mengapa kau menginginkan pemuda itu?!” ikut mem–
bentak Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut.
Lalu si Bayangan Api menimbrung kembali. “Apa hubu–
nganmu dengan Pendekar 212?!”
Gadis di tengah kalangan menyeringai sinis.
“Siapa aku kalian tak layak bertanya. Mengapa aku
inginkan pemuda ini bukan urusan kalian. Apa hubunganku
M
dengan dirinya perlu apa kalian mengetahui?!”
“Gadis cantik! Lagakmu sombong banget!” kata si
Bayangan Api sambil usap-usap kepalanya yang gundul
dan dicat merah itu. Mata kirinya dikedipkan berkali-kali.
“Dengar, berikan pemuda itu pada kami!”
“Untuk apa?!” tanya gadis cantik itu.
“Kau tak layak bertanya!” jawab si Bayangan Api lalu
tertawa mengekeh. Kedua tangannya diulurkan ke depan.
“Lekas serahkan pemuda itu padaku! Atau aku akan
mengambilnya bersama-sama tubuhmu sekaligus!”
“Tua bangka buruk berkepala seperti pantat monyet!”
bentak si gadis yang memanggul Wiro. “Kalau kau merasa
mampu coba kau rampas pemuda ini dariku!”
Tampang si Bayangan Api jadi tampak merah seperti
udang rebus. “Gadis yang masih bau pupuk! Rupanya kau
tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa hingga bicara
kurang ajar seenaknya!”
“Aku cukup tahu siapa kau! Gelarmu si Bayangan Api.
Kau mengerjakan apa saja asal dibayar. Seperti tadi aku
bilang, kepala botakmu yang merah sama dengan pantat
monyet.”
Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Yang tertawa
ternyata adalah Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut.
“Kau gadis kocak! Celotehmu enak didengar. Aku mulai
suka denganmu. Gadis jelita, apakah kau juga tahu siapa
diriku?” Sambil berkata begitu nenek berbibir sumbing
yang keningnya ada benjolan seperti tanduk ini melangkah
mendekati si gadis. Yang didekati tenang saja seolah tidak
takut sama sekali.
“Kau minta aku menerangkan siapa dirimu?!” Gadis di
tengah kalangan sunggingkan senyum. “Aku mulai dengan
usiamu nenek tua! Umurmu saat ini kalau aku tidak salah
duga sudah hampir tujuh puluh! Benar?!”
“Eh, kau benar!” jawab si nenek dan diam-diam merasa
heran.
“Kau datang dari Madura, mencari makan di tanah
Jawa. Betul?!”  
“Ah, kau juga betul!” jawab Iblis Sumbing mangkel tapi
tambah heran.
“Kau dijuluki orang Iblis  Sumbing Pembawa Pendupa
Maut!”
“Kau gadis hebat. Pasti kau seorang tokoh persilatan
baru yang mulai naik daun!” Memuji si nenek.
“Apa sudah cukup penjelasanku tentang dirimu?!”
“Eh!” Si nenek jadi agak tersentak. Kini dia mulai
merasa tidak enak. “Apa lagi yang kau ketahui tentang
diriku?”
“Banyak!”
“Misalnya?”
“Bukan misalnya. Tapi nyatanya! Kau mau dengar?”
“Bilang saja!”
“Kau tidak bakalan malu nantinya?!”
“Gadis sialan! Malu? Mengapa musti malu?!”
Si gadis perdengarkan suara tertawa panjang. “Baiklah,
akan kukatakan apa adanya. Bibirmu sumbing bukan cacat
dari lahir. Seorang musuh merobek bibirmu itu!”
“Astaga!” Si nenek terkejut dalam hati. “Siapa gadis ini
sebenarnya. Mengapa dia tahu banyak tentang diriku?”
“Orang itu membuatmu cacat dalam satu perkelahian.
Gara-gara kau menculik anak gadisnya. Betul…?”
Wajah buruk Iblis Sumbing berubah gelap. “Cukup!
Hentikan ocehanmu! Sekarang serahkan pemuda itu
padaku dan lekas minggat dari sini!”
“Ha… ha…! Sekarang kau takut sendiri mendengar
ocehanku. Padahal aku belum selesai! Aku tahu kau
bangsa perempuan yang tidak suka pada lawan jenismu.
Karena itu seumur-umur kau tidak pernah kawin! Kau lebih
suka bercinta dengan perempuan…”
“Gadis sundal haram jadah! Biar kurobek mulut
kotormu!” Iblis Sumbing menggembor lalu tangan kirinya
tiba-tiba berkelebat ke arah muka si gadis. Yang diserang
tundukkan kepala dan pukulkan tangan kanannya untuk
menangkis. Karena menganggap enteng, si nenek tidak
berusaha menghindari terjadinya bentrokan lengan.  
Bukkk!
Gadis jelita yang memanggul tubuh Wiro merasakan
lengannya bergetar keras. Sebaliknya Iblis Sumbing kelu–
arkan jerit kesakitan. Tangannya seperti dipukul besi. Rasa
sakit pada lengannya itu menjalar ke seluruh tubuh hingga
dia terhuyung-huyung sampai tiga langkah. Marah dan
malu membuat si nenek jadi kalap.
Didahului oleh satu teriakan dahsyat si nenek melom–
pat ke depan. Pendupaan di tangan kirinya diturunkan ke
muka. Asap kelabu mengepul deras. Lalu dia meniup kuat-
kuat, Wusss!
Asap kelabu yang menebar bau aneh dan sangat
berbahaya menderu ke muka si gadis, langsung masuk ke
rongga hidung dan mulutnya. Sesaat dia tampak seperti
kelagapan. Iblis Sumbing tertawa panjang. Sekejapan lagi
gadis ini akan tidak berdaya, limbung lalu jatuh seperti apa
yang telah terjadi dengan pemuda yang barusan ditolong–
nya.
Tetapi alangkah terkejutnya si nenek ketika melihat
gadis di hadapannya itu bukannya jatuh malah dari mulut–
nya terdengar suara tawa panjang menimpali suara tawa–
nya sendiri! Selagi perempuan tua ini dibungkus rasa kaget
tiba-tiba si gadis runcingkan mulutnya dan meniup asap
kelabu yang mengepul keluar dari dalam pendupaan.
Wusss!
Kepulan asap itu kini berhembus deras ke arah si
pemilik pendupaan. Senjata makan tuan!
Iblis Sumbing menjerit keras. Kedua matanya terasa
perih dan karena dia barusan membuka mulut begitu lebar,
kepulan asap serta merta memenuhi mulutnya terus
memasuki rongga-rongga pernafasan. Akibatnya tak
tertolong lagi. Sekujur tubuhnya menjadi lemas. Mata dan
kepalanya terasa berat. Sesaat kemudian tak ampun lagi
tubuhnya amblas jatuh ke tanah.
Kakek bergelar si Bayangan  Api cepat menolong Iblis
Sumbing sementara Gandar Seto melompat ke arah gadis
yang memanggul Wiro sambil berteriak pada anggota  
pasukannya untuk bantu menyerang. Puluhan perajurit
berserabutan melakukan penyerangan. Gadis yang jadi
bulan-bulanan serangan tertawa nyaring. Tubuhnya tiba-
tiba mencelat ke atas. Sungguh luar biasa ilmu meringan–
kan tubuhnya. Sulit sekali dicari orang pandai yang mampu
melompat setinggi itu sambil membawa beban manusia di
bahunya!
“Kejar! Jangan biarkan dia melarikan diri!” teriak
Gandar Seto.
Beberapa perajurit melemparkan golok dan tombak
mereka. Tetapi tak satu pun yang mengenai sasaran,
“Keparat! Seharusnya aku membawa serta pasukan
panah!” maki Gandar Seto. Dalam keadaan salah satu
tangannya patah begitu rupa Perwira Tinggi ini mencoba
menyusul melompat ke atas sambil lepaskan satu pukulan
tangan kosong. Tapi hantamannya luput. Sosok tubuh si
gadis dilihatnya berkelebat turun ke arah kiri candi.
“Biar aku yang mengejar!” Di bawah sana terdengar
suara teriakan si Bayangan Api. Seperti angin dia berkele–
bat ke samping kiri Candi Blorok. Dia masih sempat meli–
hat bayangan si gadis. Serta merta kakek ini lepaskan
pukulan sakti. Tapi serangannya hanya menghantam
pinggiran candi. Bangunan yang kena hantam ini hancur
berserakan.
“Gadis keparat! Apa kau kira bisa lolos dari tanganku!”
kertak si Bayangan Api. Tidak percuma dia mendapat gelar
seperti itu. Sekali dia bergerak tubuhnya tenyap dan hanya
bayangan merah tertinggal di  belakangnya. Saat itu dia
sudah berada di bagian candi yang lain. Di satu tempat
gelap dia kembali melihat bayangan orang yang dikejarnya.
Dengan geram orang tua berkepala botak ini keruk saku
pakaian merahnya. Setengah lusin senjata rahasia berupa
panah-panah kecil berwarna merah melesat dalam kege–
lapan malam meninggalkan cahaya merah panjang seperti
nyala api di ekornya.
“Pasti kena!” kata si Bayangan Api penuh yakin karena
selama ini tidak ada yang bisa  lolos dari serangan senjata  
rahasianya itu. Ia berkelebat menyusul ke arah lesatan
senjatanya, Tapi dia jadi terperangah dan berseru kaget
ketika tiba-tiba dari depan dilihatnya ada satu gelombang
angin dahsyat yang membuat lima panah merah yang tadi
dilepaskannya berbalik dan menghantam ke arah dirinya
sendiri pada lima sasatan yang sulit dielakkan!
“Perempuan celaka. Kurang ajar!” maki si Bayangan Api
panjang pendek. Dia jatuhkan  diri ke tanah. Tiga anak
panah lewat di atas tubuhnya. Anak panah ke empat
menembus leher pakaiannya. Anak panah ke lima menan–
cap di bahu kirinya. Si botak tua ini menjerit kesakitan!  
WIRO SABLENG
PURNAMA BERDARAH
9
AWA aneh berasal dari asap kelabu pendupaan Iblis
Sumbing yang membuat Pendekar 212 jadi lumpuh
tak berdaya perlahan-lahan keluar dari rongga
hidungnya setiap dia bernafas. Perlahan-lahan pula dia
mulai sadar dan ingat apa yang telah dialaminya. Dalam
keadaan masih lemas dia hanya bisa berdiam diri di atas
panggulan bahu kiri perempuan yang melarikannya. Wiro
berusaha melihat wajah orang yang menolongnya itu tapi
tak berhasil.
“Kuharap saja tuan penolongku ini bukan seorang
nenek sakti berwajah menyeramkan,” kata Wiro dalam
hati. “Bau tubuhnya harum semerbak. Ilmu larinya tinggi
sekali. Dia memiliki tenaga luar biasa. Siapa perempuan ini
sebenarnya?” Wiro coba mengingat-ingat. “Mungkin
Pandansuri, anak angkat mendiang Raja Rencong Dari
Utara? Tak mungkin dia berada sejauh ini sampai ke tanah
Jawa. Barangkali Anggini,  murid Dewa Tuak…” Wiro
berusaha memutar kepalanya agar dapat melihat wajah
perempuan yang memanggulnya. Tapi masih susah.
“Anggini selalu mengenakan pakaian ungu. Agaknya bukan
dia. Astaga! Jangan-jangan  Dewi Bunga Mayat!” Wiro
kembali mengingat lebih dalam. “Ah, bukan dia. Dewi
Bunga Mayat selalu berkebaya putih dan mengenakan kain
panjang. Tubuhnya menebar harum bunga kenanga. Yang
mendukungku ini memiliki wewangian semerbak yang tak
pernah aku baui sebelumnya. Tapi, rasa-rasanya…”
Selagi berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba Wiro merasakan
orang yang memanggulnya menghentikan larinya. Lalu
perlahan-lahan tubuhnya diturunkan, dibaringkan di atas
H
tanah. Wiro tidak perdulikan di mana dia berada. Yang
dilakukannya saat itu adalah segera melihat wajah orang di
sampingnya itu. Hati sang pendekar jadi berdebar. Kedua
matanya membesar dan mulutnya berdecak melihat bahwa
orang yang menolongnya ternyata seorang gadis muda
berwajah cantik. Dia mengenakan baju ringkas warna biru.
Seperti mendapat kekuatan Wiro bangkit dan duduk di
tanah. Karena si gadis bersimpuh di sebelahnya maka
tubuh dan wajah mereka berada begitu dekat. Sepasang
mata bening sang dara memandang tak berkedip padanya.
“Gadis cantik tuan penolong. Aku tidak tahu harus
berterima kasih bagaimana. Kalau aku boleh tahu siapa
kau ini adanya?”
Gadis di samping Wiro tersenyum mendengar ucapan
itu.
“Tolong menolong adalah satu keharusan dalam dunia
persilatan. Memberitahu siapa diriku bukan satu keha–
rusan,” berkata sang dara.
Wiro tertawa lebar. “Ah,  bagaimana aku akan meng–
ingat budi orang. Kalau namanya saja aku tidak tahu… Dan
aku bukan cuma berhutang budi. Tapi nyawa. Kau telah
menyelamatkan diriku dari nenek bermulut sumbing itu.”
“Sudah, hal itu tidak perlu diingat-ingat lagi. Yang
penting sekarang kau sudah selamat. Dan aku harus
segera meninggalkan tempat ini.”
Wiro memandang berkeliling. Ternyata dia dan gadis
penolongnya itu berada di puncak sebuah bukit kecil.
Ketika dilihatnya si gadis hendak berdiri, cepat Wiro
memegang tangannya. Untuk sesaat lamanya kedua orang
ini saling berpandangan.
“Sahabatku yang cantik. Sebelum pergi beritahu siapa
namamu. Dan katakan apa yang harus kulakukan untuk
membalas kebaikanmu.”
Gadis itu masih menatap Wiro beberapa jurus lamanya
lalu berkata. “Aku bisa memberikan seribu nama padamu.”
“Kalau begitu sebutkanlah. Siapa tahu aku bisa meng–
hafalnya,” jawab Wiro sambil menahan tawa.  
“Kau cerdik dalam kelucuanmu Pendekar 212!”
“Eh, dia tahu siapa diriku!” membatin Wiro.
“Namaku Kemala. Panggil aku dengan nama itu.”
“Namamu indah, wajahmu cantik. Aku benar-benar
seperti kedatangan bidadari.” Wiro lalu lepaskan pega–
ngannya pada tangan si gadis. “Terima kasih. Aku akan
mengingat nama itu sepanjang zaman. Kalau saja aku bisa
bertemu lagi kelak…”
“Pendekar 212. Ada satu cara jika kau memang ingin
membalas budi kebaikanku.”
“Katakanlah.”
“Temui seorang gadis bernama Ratih Kiranasari. Dia
menyukaimu. Bukan cuma suka  tapi juga cinta. Bawa dia
ke mana kau pergi. Ambil dia jadi istrimu…”
Murid Eyang Sinto Gendeng  jadi melengak. Perlahan-
lahan dia bangkit berdiri. Gadis bernama Kemala juga
berdiri. Keduanya berdiri berhadap-hadapan.
“Permintaanmu terlalu berat. Tidak mungkin kupenuhi.
Bagaimana kau bisa tahu…”
“Kabulkan saja harapanku. Sekarang aku harus pergi,”
kata sang dara.
“Tunggu!” ujar Wiro. “Aku bisa memenuhi permintaan–
mu menemui puteri Perwira Tinggi itu. Tapi aku tak mung–
kin membawanya ke mana aku pergi. Apa lagi mengambil–
nya jadi istri. Orang gelandangan macam aku ini…”
Gadis di hadapan Wiro maju selangkah. “Kalau dengan
aku, kau mau…?!” Wiro jadi salah tingkah dan garuk-garuk
kepala. Dia tak bisa menjawab. Jantungnya berdetak keras
membuat debaran pada dadanya.
Kemala berdiri sangat dekat di hadapannya. Dia dapat
merasakan hembusan nafas gadis cantik itu. Si gadis
berjingkat. Tubuhnya kini hampir sama tinggi dengan
Pendekar 212. Kedua tangannya digelungkan di belakang
leher Wiro. Kepalanya diangkat. Sesaat kemudian bibirnya
menempel di permukaan bibir Wiro. Ketika sang pendekar
memberikan reaksi, Kemala mengecup bibir pemuda itu
penuh nafsu. Wiro siap merangkul dan balas melumat bibir  
yang membara itu. Namun dia hanya merangkul angin.
Kemala secara luar biasa cepatnya berkelebat pergi. Di
satu tempat dia berhenti lalu mengusap wajahnya dua kali.
Setelah itu dia pun lenyap dari tempat itu.
Di atas puncak bukit itu kini hanya Pendekar 212
seorang diri tenggelam dalam kegelapan malam.
Wiro termangu sambil garuk-garuk kepala. “Ilmunya luar
biasa. Kecupannya membuat aku seperti mau gila. Gadis
aneh. Muncul menolong secara aneh. Perginya juga aneh.
Sebelum pergi meninggalkan pesan aneh! Gila! Bagaimana
aku harus kawin dengan puteri Perwira Tinggi itu? Ayahnya
saja benci setengah mati padaku. Ingin membunuhku! Ah!
Bagaimana ini! Daripada kawin biar aku menanggung dosa
mungkir janji! Melanggar pesan orang! Kalau dengan dia
sih… ah!” Wiro tidak meneruskan ucapannya.
***
Tepat tigapuluh hari berlalu sejak kematian mengerikan
menimpa diri Sarti dan Nandang di Desa Gedangan, pagi
hari itu Kotaraja digemparkan oleh peristiwa pembunuhan
yang bentuk serta keadaannya sama dengan yang dialami
Sarti dan Nandang serta Randu Wulung dan Rumini. Kor–
ban kali ini adalah puteri sulung seorang bangsawan yang
baru melangsungkan perkawinan selama tiga bulan di
mana sang isteri berada dalam keadaan hamil muda.
Keduanya ditemukan telah jadi mayat dalam kamar tidur.
Sekujur muka serta badan luka dicabik-cabik mengerikan.
Perwira Tinggi Gandar Seto didampingi oleh Iblis
Sumbing Pembawa Pendupa Maut serta si Bayangan Api
pagi itu juga segera menemui Patih Kerajaan. Tangan
kanannya yang patah tampak dibalut dan masih belum
begitu sembuh.
Tanpa banyak basa basi dan peradatan segala, Perwira
Tinggi itu langsung saja bicara menyangkut masalah besar
yang telah menggemparkan Kotaraja itu.
“Paman Patih, ini adalah kali yang ketiga sepasang  
orang yang sedang berkasih-kasihan menemui ajal. Dibu–
nuh secara keji dan kejam. Saya meminta izinmu untuk
melakukan sesuatu…!”
Patih kerajaan mengusap janggut putihnya. “Apa yang
hendak kau lakukan Dimas Gandar?”
“Saya akan memperbanyak menyebar mata-mata di
seluruh negeri. Si pembunuh harus segera dibekuk batang
lehernya! Kalau tidak pasti korban-korban berikutnya akan
segera menjadi mangsa si pembunuh biadab itu!”
Patih kerajaan mengangguk. “Aku setuju sekali mak–
sudmu itu Dimas Gandar. Kalau aku tidak salah ingat,
bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau sudah tahu
siapa orangnya. Yaitu seorang pendekar sesat bernama
Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212? Bukti perbuatan jahatnya masih tampak pada tangan
kananmu yang cidera.”
Paras Perwira Tinggi Gandar Seto tampak menjadi
kemerahan.
“Betul sekali Paman Patih. Pencarian atas dirinya tetap
kami lakukan… Hanya saja  saya mulai merasa adanya
sedikit keraguan. Jangan-jangan bukan dia pelakunya.”
“Semua urusan kuserahkan padamu Dimas Gandar.
Kalaupun bukan dia orangnya, apakah kau tidak bermak–
sud menangkap pemuda itu? Bagaimanapun juga dia telah
mencelakaimu. Dan pernah menculik puterimu.”
Gandar Seto terdiam.
“Bagaimana keadaan puterimu sekarang Dimas Gan–
dar?” Patih kerajaan mengalihkan pembicaraan setelah
melihat sang perwira seperti tertekan tidak enak.
“Ratih Kiranasari ada dalam keadaan baik-baik saja
Paman Patih. Terima kasih atas perhatianmu.”
Patih tua itu mengangguk. Dia memandang pada dua
orang yang ikut menemani bawahannya itu lalu berkata.
“Kulihat kau membawa serta dua orang sahabat berke–
pandaian tinggi yang bisa diandalkan. Lalu apa sulitnya
menangkap si pembunuh biadab dan mencari Pendekar
212 Wiro Sableng?”  
Karena Gandar Seto tak bisa menjawab maka si
Bayangan Api lalu membuka mulut. “Seperti Paman Patih
ketahui kami bertiga pernah menjebaknya di Candi Blorok.
Tapi kita lihat saja hasilnya. Pendekar 212 bukan seorang
pendekar tingkat bawah. Kami memang berniat untuk
memburunya sampai kapan pun. Namun sekali ini kami
tidak saja harus mengandalkan kepandaian tapi juga
kecerdikan. Apalagi tiga kali pembunuhan itu kami rasa
ada sisi keanehannya di balik kekejaman dan kekejian
nyata yang kita lihat.”
“Hem… aneh bagaimana maksudmu?” tanya Patih
Kerajaan,
“Tiga kali pembunuhan terjadi atas diri lelaki perem–
puan yang merupakan pasangan saling berkasih sayang,
walau satu pasang yaitu Nandang dan Sarti merupakan
pasangan sesat memalukan. Lalu hal lain yang kami per–
hatikan, ketiga pembunuhan itu terjadi pada setiap bulan
purnama. Selanjutnya kematian mereka dalam cara yang
sama yaitu mati seperti dicabik-cabik binatang buas.
Menurut beberapa orang yang mengetahui, menjelang saat
terjadinya peristiwa mengerikan itu terdengar seperti suara
lolongan anjing! Hal lain, Den Ayu Ratih, puteri Perwira
Tinggi Gandar Seto mengatakan pernah melihat seekor
srigala berkeliaran di Hutan Jati Mundu. Bukan mustahil
binatang ini pembunuhnya. Tapi dia tidak seorang diri.
Pasti ada yang memelihara dan memerintahkannya. Kami
bertiga tadinya yakin Pendekar 212 yang memelihara
binatang buas itu. Namun seperti tadi yang dikatakan
Perwira Tinggi Gandar Seto, kami mulai merasa ragu. Apa
benar dia terlibat dalam semua pembunuhan itu atau
tidak.”
“Segala keanehan akan tetap terpendam aneh. Semua
hal yang bersifat rahasia akan tetap tidak terungkap jika
kita tidak memecah dan mengungkapkannya. Oleh karena
itu sekali lagi aku katakan,  kalian bertiga aku tugaskan
untuk menyingkap keanehan  dan misteri ini, menangkap
pelakunya. Entah dia itu seekor binatang buas, seorang  
manusia atau punsetan iblis! Jika kalian merasa masih
kurang kuat, aku bersedia  menghimpun beberapa orang
pandai lagi untuk membantu…”
“Terima kasih atas petunjuk Paman Patih,” kata Gandar
Seto pula. “Biarlah kami bertiga dulu meneruskan pengu–
sutan. Bilamana dirasakan perlu akan tenaga tambahan
kami tentu akan memberitahu Paman Patih. Sekarang
kami bertiga mohon diri…”
Patih Kerajaan berdiri dari kursinya lalu mengantarkan
ketiga orang itu sampai ke pintu.  
WIRO SABLENG
PURNAMA BERDARAH
10
ALAM sebelum pagi yang menggemparkan itu.
Seorang berpakaian biru gelap berlari kencang dari
jurusan timur. Dari rambutnya yang riap-riapan
jelas dia adalah seorang perempuan. Hampir dia sampai ke
pinggiran Kotaraja di kawasan timur itu tiba-tiba perempu–
an ini hentikan larinya. Cahaya rembulan tiga belas hari
menimpa kepala dan tubuhnya. Ternyata perempuan ini
adalah seorang gadis muda berwajah cantik jelita.
Si gadis menoleh ke belakang. Lalu memandang berke–
liling. “Jelas tadi kurasa ada seseorang mengikuti. Tapi
tahu-tahu dia lenyap seperti ditelan bumi. Biar kupancing.”
Gadis itu melanjutkan larinya kembali. Sambil berlari
dia memasang telinganya tajam-tajam. Sekitar duapuluh
langkah berlari telinganya kembali menangkap ada sese–
orang membayang-bayanginya dari belakang. Di satu
tempat kembali gadis ini hentikan larinya lalu membalik
dan hantamkan tangan kanannya ke jurusan di mana dia
merasa pasti beradanya orang yang mengikutinya.
Wuuuttt!
Angin pukulan yang deras bersiuran di kegelapan
malam.
Braaak!
Sebatang pohon waru kecil patah dan tumbang dengan
suara berisik. Hanya itu yang terdengar lalu sepi lagi. Tak
ada suara orang menjerit atau mengeluh kesakitan terkena
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi
yang tadi dilepaskan si gadis. Dengan jengkel gadis itu
memutar tubuh hendak melanjutkan perjalanan. Tapi dia
jadi melengak kaget ketika tiba-tiba di hadapannya ter–
M
dengar suara menggemuruh seperti deburan ombak. Lalu
entah dari mana asal muasalnya tahu-tahu di hadapan si
gadis berdiri seorang pemuda berdestar hitam. Wajahnya
tampan tapi kedua telinganya lancip mencuat ke atas serta
berbulu seperti telinga seekor anjing hutan atau srigala.
Sepasang bola matanya bercahaya biru dalam kegelapan
malam. Sesaat si gadis tampak tercekat. Namun dia
segera dapat menguasai dirinya. Dalam hati dia membatin.
“Seperti perjanjian yang dikatakan Eyang Srigala Karang
ternyata dia memang datang… Bagaimana aku menolak–
nya…”
“Gadis bernama Kemala. Kau pernah melihat diriku.
Apa kau masih mengenali…?”
“Aku mengenali,” jawab si gadis yang ternyata Kemala
adanya.
“Katakan siapa diriku!” Pemuda bertelinga srigala dan
bermata biru memerintah.
“Kau Datuk Putra. Pendatang dari dunia gelap. Pengu–
asa rimba belantara alam gaib hitam…”
“Bagus! Kau ternyata tidak lupa siapa diriku. Tapi
apakah kau juga ingat perjanjian yang kau buat dengan
Eyang Srigala Karang?”
Kemala terdiam.
“Jawab pertanyaanku Kemala!”
“Sebetulnya aku tidak punya perjanjian apa-apa dengan
orang tua itu. Tapi dia memang mengatakan sesuatu
tentang dirimu. Bahwa kau kelak akan muncul kalau aku
sudah melakukan tiga kali pembunuhan…”
“Memang betul begitu. Tapi apa kau juga ingat apa
yang harus kau lakukan untukku?”
Kembali Kemala tak bisa menjawab.
Pemuda bermata biru yang disebut dengan nama Datuk
Putra tersenyum. “Perjanjian yang kau buat dengan Eyang
Srigala Karang mengikat dirimu dengan diriku. Sekarang
ikuti aku…” katanya. Lalu membalikkan diri dan melangkah
pergi.
Kemala memperhatikan.  
Gadis ini terkejut ketika dia melihat bahwa Datuk Putra
bukan melangkah di rimba belantara atau di satu kawasan
tepi Kotaraja yang penuh semak belukar. Tapi pemuda
bermata biru itu dilihatnya melangkah menaiki tangga
panjang yang berlapiskan permadani biru indah sekali. Di
kiri kanan jalan berderet bunga-bunga aneka warna yang
menyebar bau harum semerbak. Datuk Putra melangkah
perlahan, menaiki anak tangga satu demi satu. Di depan
sana kelihatan sebuah bangunan besar berbentuk istana,
terang benderang bermandikan cahaya putih kebiruan,
hijau dan merah lembayung.
Kemala mengedipkan kedua matanya berulang kali.
Bahkan kemudian mengusapnya. Apa yang dilihatnya
memang satu kenyataan. Dia tidak bermimpi. Dan entah
apa yang mendorongnya, gadis ini menggerakkan kedua
kakinya. Selangkah demi selangkah mengikuti Datuk Putra
menaiki tangga menuju pirttu yang terbuka dari bangunan
berbentuk istana.
Di depan pintu Datuk Putra tampak menghentikan
langkahnya lalu memutar tubuh, berpaling ke arah Kemala
yang saat itu baru saja menjejakkan kedua kakinya di anak
tangga teratas.
“Kekasihku, masuklah…” terdengar Datuk Putra berka–
ta sambil membuat gerakan tangan yang mempersilahkan
Kemala masuk ke dalam istana.
Otak si gadis walaupun sangat terpukau dengan suasa–
na sekelilingnya tapi masih bisa bekerja baik. “Kekasih–
ku…? Dia memanggil aku kekasih…? Apa sebenarnya yang
hendak dilakukannya padaku?” Lalu kembali Kemala ingat
akan ucapan Eyang Srigala Karang beberapa bulan lalu.
“Setiap setelah tiga kali melakukan pembunuhan pada tiga
malam purnama, seorang pemuda yang memiliki sepasang
telinga panjang ke atas seperti srigala akan muncul di
kamar tidurmu. Kau harus melayani pemuda ini, memenu–
hi apa yang dimintanya termasuk bermesraan dengan–
nya… kau tak boleh menolak. Tak layak membantah. Itu
syarat yang tidak bisa dirobah!”  
“Masuklah…” Datuk Putra kembali mempersilahkan
seraya membungkuk dengan sikap hormat seorang
pangeran mempersilahkan tuan puteri. Perlahan-lahan
Kemala melangkah memasuki pintu besar istana. Datuk
Putra mengikutinya dari belakang. Ruangan besar di balik
pintu itu ternyata adalah sebuah kamar yang luar biasa
indahnya. Di lantai terhampar permadani tebal dan lembut.
Di dinding tirai aneka warna menghias. Di tengah ruangan
terletak sebuah tempat  tidur yang rangka-rangkanya
berwarna kuning berkilauan seolah terbuat dari emas. Bau
ruangan itu benar-benar luar biasa harumnya.
“Kau harus melayani pemuda ini, memenuhi apa yang
dimintanya termasuk bermesraan dengannya…”  Kembali
terngiang suara Eyang Srigala Karang di kedua telinga
Kemala. Bulu kuduk gadis ini  jadi merinding. Dia memba–
likkan diri hendak menuju ke pintu dan segera mening–
galkan tempat itu. Namun tiba-tiba saja dua daun pintu
besar itu bergerak dan menutup dengan cepat, menimbul–
kan suara keras.
“Kemala, tak ada yang perlu ditakutkan. Menurut
perjanjian seharusnya aku datang ke kamar tidurmu.
Tetapi sekarang kita malah berada di suatu tempat yang
maha indah. Mengapa harus  takut? Jangan sia-siakan
waktu. Kita punya kesempatan bersenang-senang sampai
sebelum matahari terbit.”
“Datuk Putra, apa yang hendak kau lakukan?”
“Ah, merdu sekali suaramu menyebut namaku.” kata
pemuda bertelinga srigala dan bermata biru itu. “Kita ke–
mari dan berada di tempat ini untuk memenuhi perjanjian.
Nah mendekatlah padaku agar kita bisa bermesraan…”
“Aku tidak sudi…” kata Kemala seraya melangkah
mundur mendekati pintu.
Datuk Putra tersenyum. Kedua tangannya bergerak
menanggalkan kancing-kancing pakaiannya. Dia menatap
pada Kemala dengan pandangan mesra lalu berkata.
“Kekasihku, ikuti apa yang aku lakukan. Buka pakaianmu.”
“Tidak…!” jawab Kemala. Di hadapannya dilihatnya  
Datuk Putra benar-benar membuka seluruh pakaiannya.
Sesaat kemudian selagi dia berada dalam keadaan takut
dan jijik menyaksikan pemandangan di depannya, tiba-tiba
Datuk Putra melompat ke arahnya. Dari tenggorokkannya
terdengar suara menggembor seperti suara srigala. Sekali
terkam saja tubuh Kemala sudah berada dalam pelukan–
nya.
“Tidak! Lepaskan!” teriak si gadis. Kedua tangan Datuk
Putra bergerak. Kemala menjerit. Entah bagaimana kedua
tangan pemuda itu tahu-tahu berhasil menanggalkan
pakaian atasnya hingga Kemala kini berada dalam keada–
an polos di sebelah atas. Sepasang tangan Datuk Putra kini
bergerak ke bawah. Saat itu rasa takut Kemala berubah
menjadi amarah. Gadis ini gerakkan tubuhnya. Dua
tangannya ikut bekerja.
Tubuh Datuk Putra tiba-tiba mental ke atas. Selagi
tubuh pemuda ini mengapung jatuh, Kemala gerakkan
tangan kanannya. Serangkum angin menderu dahsyat
menghantam ke arah dada Datuk Putra. Pemuda bermata
biru ini membuat gerakan jungkir balik di udara. Lalu
tubuhnya melesat ke kiri. Sekali lagi tubuhnya berputar lalu
di lain kejap pemuda ini sudah tegak di sudut kamar yang
luas itu. Dia berpaling ke atas ketika terdengar suara ber–
gemuruh. Pukulan tangan kosong yang dilepaskan Kemala
menghantam tembok ruangan sebelah atas kiri hingga
hancur berantakan dan kini kelihatan sebuah lobang di
dinding itu.
“Kekasihku, tidak kusangka kau mempunyai ilmu
kepandaian begitu tinggi. Tentunya akan lebih sedap
bermesraan dengan orang secantik dan sepandaimu ini…”
Sambil berkata begitu Datuk Putra melangkah mende–
kati Kemala. Wajahnya tampak begitu mesra. Tapi begitu
dia hanya satu langkah saja lagi dari hadapan si gadis tiba-
tiba dari mulutnya keluar suara lolongan dahsyat. Bersa–
maan dengan itu luar biasa cepatnya tangan kanannya
melesat menghantam ke batok kepala Kemala!
“Manusia ingkar janji! Pecah kepalamu!” bentak Datuk  
Putra.
Suara lolongan yang dahsyat membuat Kemala sesaat
jadi tercekat. Untung gadis ini cepat menguasai diri dan
sadar bahaya maut yang mengancam. Dengan cepat
tangan kirinya dipukulkan melintang ke atas.
Bukkk!
Dua lengan saling beradu sampai menimbulkan suara
keras. Kemala merasakan lengan kirinya seperti dipukul
dengan besi. Sesaat tubuhnya tergontai-gontai. Sebaliknya
Datuk Putra tampak menyeringai. Tubuh atau lengannya
tidak bergeming sedikit pun. Namun tiba-tiba seringainya
lenyap seperti direnggut setan. Lengan kanannya yang tadi
beradu keras dengan lengan kiri Kemala tiba-tiba terasa
panas seperti disengat bara api. Sengatan ini menjalar ke
seluruh tubuhnya dengan cepat, membuat getaran yang
menyakitkan laksana disayat pisau berapi. Datuk Putra
cepat kerahkan tenaga dalam untuk melindungi diri dan
menumpas rasa sakit. Namun baru saja dia hampir berha–
sil menguasai diri tiba-tiba  tinju kanan Kemala menderu
menghantam lambungnya.
Datuk Putra menjerit keras. Tubuhnya terlontar ke
belakang, menghantam dinding ruangan dengan keras.
“Gadis iblis!” desis Datuk Putra seraya bangkit berdiri.
“Kau bukan saja mengingkari janji, tapi berani berbuat
kurang ajar. Melakukan kesalahan besar!” Datuk Putra
melolong keras. Kedua tangannya diangkat ke atas. Ter–
nyata kedua tangan itu telah berubah menjadi dua kaki
depan srigala. Kuku-kukunya mencuat keluar mengerikan.
“Kau akan mati dengan tubuh tercabik-cabik. Seperti
kau membunuh korban-korbanmu!” Sekali lagi Datuk Putra
melolong. Wajahnya yang tampan mendadak berubah
menjadi seperti seekor srigala. Mulutnya membuka lebar.
Lidahnya terjulur dan gigi-giginya tampak besar runcing,
taringnya mencuat mengerikan.
“Makhluk iblis! Kau kira aku takut padamu!” hardik
Kemala. Begitu Datuk Putra yang kepala dan kakinya telah
berubah jadi srigala itu mengembor dan menerkamnya, si  
gadis angkat kedua tangannya ke atas lalu serentak dido–
rongkan ke depan.
Wuttt! Wuuuttt!
Dua larik gelombang angin yang mengeluarkan sinar
hitam keluar dari telapak tangan Kemala kiri kanan. Tubuh
Datuk Putra terangkat ke atas begitu dua larik cahaya
hitam itu menghantam tubuhnya. Dari mulutnya keluar
suara raungan keras lalu tampak ada cairan merah meng–
alir dari sela-sela lidah dan giginya! Makhluk manusia
berkepala srigala ini jatuh terkapar di lantai. Hanya sesaat
karena di lain kejap dia cepat berdiri. Kepala dan kedua
tangannya kembali ke bentuk semula.
“Gadis laknat! Aku tidak main-main lagi. Serahkan
dirimu atau kau mati saat ini juga!” berkata Datuk Putra.
Daun telinganya yang seperti srigala bergerak-gerak.
“Aku mau lihat apa kau benar-benar bisa membunuh–
ku!” jawab Kemala lalu gadis ini tertawa panjang. Mukanya
yang cantik membersitkan sinar bengis.
“Kalau begitu terimalah kematianmu saat ini juga!” kata
Datuk Putra. Kedua matanya yang biru memandang tak
berkedip. Ditujukan tepat-tepat pada Kemala. Tiba-tiba
cahaya biru pada kedua bola matanya menjadi terang
benderang. Di lain saat dua larik sinar biru keluar menderu
dari sepasang mata pemuda dari alam gaib itu.
Wusss!
Wusss!
Kemala sempat terpekik. Lalu cepat menghindar.
Dua larik sinar biru menderu dan menghantam Kemala.
Masih setengah jalan gadis ini sudah dapat merasakan
hawa sangat panas yang keluar dari kedua sinar angker itu.
Didahului oleh satu bentakan garang tubuh Kemala
terangkat ke atas lalu seperti melayang tubuh ini berkele–
bat ke kiri. Dua larik sinar dahsyat menderu lewat di sam–
ping kepala si gadis, terus menghantam dinding ruangan
besar. Kain tirai menjadi hangus dan api mulai berkobar di
ruangan itu. Di belakang kain tirai, dinding ruangan hancur
berkeping-keping.  
“Kepandaianmu tinggi, ilmumu bagus!” memuji Kemala.
“Sayang kau kurang cepat!” Lalu gadis ini balas menghan–
tam dengan tangan kanannya. Serangkum cahaya hitam
yang membersitkan bau menggidikkan menderu meng–
hantam Datuk Putra. Pemuda ini terbanting ke dinding.
Tubuhnya sebelah kanan jelas tampak hangus, namun tak
ada bau daging terbakar pertanda dia memang bukan
makhluk manusia adanya! Tiba-tiba dia menggerang lalu
berdiri sambil memandang beringas ke arah Kemala.
“Kau kira aku sudah kalah? Kau kira kau bisa membu–
nuh diriku? Ha… ha… ha… Nyawamu ada di tanganku
Kemala!” Selangkah demi selangkah Datuk Putra maju
mendekati Kemala.
“Makhluk iblis keparat!” maki Kemala dalam hati. Lalu
dia berbisik. “Datuk, Datuk, Datuk datanglah cepat. Kau
kutugaskan untuk membunuh makhluk ini!”
Tiba-tiba ada suara menggelegar di atas atap bangu–
nan. Menyusul menerobosnya satu sosok panjang ber–
warna coklat. Sesaat kemudian seekor srigala besar yang
kuku-kuku kaki depan dan mulutnya berselemotan darah
mendekam di samping Kemala. Sepasang matanya
mengeluarkan sinar merah laksana bara api.
“Datuk, bunuh makhluk di depanmu! Cabik-cabik
tubuhnya!”
Srigala yang dipanggil dengan nama Datuk itu mengge–
reng keras. Punggungnya naik ke atas. Kedua kakinya
dijulurkan ke depan sedang kepalanya merunduk. Binatang
ini siap menerkam Datuk Putra.
Melihat hal ini Datuk Putra cepat membentak.
“Datuk! Kau berada di bawah kekuasaan Eyang Srigala
Karang. Orang tua itu berada dalam kekuasaanku! Kau
haras tunduk padaku! Jangan dengar perintah gadis
keparat itu!”
Datuk Srigala menggereng. Binatang dari alam gaib ini
tampak seperti bimbang. Melihat hal ini Kemala cepat
berkata.
“Datuk! Kau berada di bawah kekuasaanku! Tidak ada  
yang berhak memerintahmu selain aku! Jalankan apa yang
aku katakan! Bunuh Datuk Putra!”
Mendengar ini Sang Datuk kembali keluarkan suara
menggereng. Lalu melolong panjang. Sesaat kemudian
tubuhnya melompat ke arah Datuk Putra.
“Datuk! Jangan! Pergi! Bunuh gadis itu!” teriak Datuk
Putra. Tapi tak ada gunanya. Datuk srigala tidak patuh
padanya. Sesuai perintah Kemala binatang jejadian itu
mulai mencabik dan mengoyak Datuk Putra mulai dari
kepala sampai ke kaki. Hanya dalam waktu beberapa
kejapan saja tubuh pemuda itu sudah hancur luluh dikoyak
dan dicabik Datuk srigala. Satu keanehan dilihat Kemala.
Walau tubuh Datuk Putra cabik dan koyak, namun tidak
ada setetes darah pun keluar dari luka-luka mengerikan di
tubuhnya itu!
Dari mulut Datuk Putra terdengar suara seperti air
mendidih lalu bersamaan dengan lenyapnya suara itu
terlihat kepulan asap membungkus sosoknya. Setelah itu
tubuh yang dibungkus asap itu terangkat ke atas, melayang
di udara dan lenyap lewat dinding kamar yang jebol.
Bersamaan dengan lenyapnya tubuh Datuk Putra terjadi
lagi satu keanehan. Bangunan besar berupa istana megah
itu tiba-tiba saja lenyap. Kemala dapatkan dirinya berada di
satu daerah liar penuh semak belukar di kawasan timur
Kotaraja.
“Eh, aku berada di tempat sebelumnya aku tadi ber–
ada…” kata gadis itu dalam hati. Dia menoleh ke samping
ketika mendengar suara gerengan halus. Dilihatnya Datuk
Srigala mendekam di tanah di sampingnya. Kemala meng–
usap kepala binatang ini. “Datuk, kini tak ada lagi yang
menguasai kita. Kotaraja berada dalam genggaman kita.
Kerajaan berada dalam kekuasaan kita. Bahkan tanah
Jawa ini! Kita bisa berbuat sesuka apa yang kita maui. Aku
bisa mendapatkan pemuda mana saja yang aku sukai.
Namun… Kau tahu Datuk, hanya ada satu pemuda yang
mengikat lubuk hatiku… Di  manakah dia berada saat
ini…?” Kemala terdiam sejurus.  
Datuk Srigala melunjurkan kepalanya di atas kedua
kaki depannya lalu menggereng halus. Kemala kembali
mengusap kepala binatang ini. “Kau boleh pergi sekarang
Datuk. Ingat, besok malam bulan purnama hari empat
belas kau akan kupanggil lagi. Korban kita sekali ini bukan
manusia sembarangan. Seorang pangeran yang main gila
dengan istri seorang perajurit!”
Datuk Srigala kedip-kedipkan matanya. Perlahan-lahan
dia bangkit berdiri, lalu sekali berkelebat binatang ini pun
lenyap di kegelapan malam.  
WIRO SABLENG
PURNAMA BERDARAH
11
EDUNG kediaman Perwira  Tinggi Gandar Seto
diselimuti kegelapan dan kesunyian. Di pintu
gerbang memang ada tiga orang pengawal berjaga-
jaga. Namun sikap mereka santai-santai saja dan sesekali
terdengar suara gelak tawa ketiganya. Dengan mudah Wiro
melompati tembok sam–ping yang tidak seberapa tinggi.
Begitu memasuki halaman dalam dia cepat menyelinap di
antara pohon-pohon pisang,  lalu bergerak mendekati
sebuah jendela. Dia tahu betul ini adalah jendela kamar
tidur Ratih Kiranasari. Sesaat Wiro hendak mengetuk
jendela itu, tahu-tahu entah dari mana datangnya, muncul
saja dua orang pengawal yang rupanya sedang melakukan
perondaan.
“Pencuri tengik! Berani kau hendak mencuri di rumah
Perwira Tinggi Kerajaan?!” Salah seorang dari dua
pengawal membentak.
Kawannya tanpa banyak menunggu langsung meng–
hunjamkan ujung golok ke perut Wiro. “Jebol lambungmu
pencuri tak tahu diuntung!”
Murid Eyang Sinto Gendeng keluarkan suara siulan dari
mulutnya. Tangannya kiri kanan bergerak. Saat itu juga dua
pengawal merasakan tubuh mereka menjadi kaku. Sekujur
badan tak kuasa digerakkan lagi. Mulutpun seperti terkunci
tak mampu mengeluarkan suara lagi. Keduanya telah kena
ditotok oleh sang pendekar. Wiro memandang kedua orang
pengawal itu dengan tersenyum sambil meletakkan telun–
juk tangan kirinya di atas bibir.
“Kalian berdua tenang-tenang saja di sini. Aku tak
begitu suka diganggu.” kata Wiro pula lalu kembali mende–
G
kati jendela. Sekali lagi  dia hendak mengetuk, namun
sekali lagi pula gerakannya tertahan. Dari samping ter–
dengar suara seseorang menegur.
“Kalau Den Ayu Ratih Kiranasari yang kau cari, dia tidak
ada dalam kamar itu…”
Wiro berpaling. Yang menegur ternyata Tejo. Kusir tua
itu berdiri di hadapannya. Wiro ingat akan perbuatan kusir
tua ini beberapa waktu yang lalu hingga dia terjebak dan
hampir tertangkap oleh Perwira Tinggi Gandar Seto kalau
tidak ditolong oleh Kemala si gadis misterius. Mengingat
hal itu ingin sekali Wiro menampar orang tua ini.
“Sekali ini apakah kau bicara sungguhan Pak Tua? Kau
menjebakku beberapa waktu lalu. Ingat?”
“Saya bekerja mencari makan di sini, anak muda. Saya
terpaksa melakukan hal itu karena diperintahkan oleh
majikan saya Perwira Tinggi Gandar Seto…”
“Apakah dia juga yang memerintahkan untuk mengata–
kan bahwa anak gadisnya tidak ada di kamarnya malam-
malam buta begini?” tanya Wiro.
“Sekali ini saya tidak bicara dusta, anak muda. Di
rumah hanya ada istri majikan saya saja seorang diri. Para
pembantu sudah tidur di kamar masing-masing.”
“Hem… sedang ke mana majikanmu Pak Tua?”
“Saya tidak tahu ke mana. Tapi tadi begitu malam tiba
saya lihat Perwira Tinggi Gandar Seto dijemput oleh bebe–
rapa orang. Dua di antara mereka adalah nenek berbibir
sumbing dan kakek berkepala botak merah. Lalu ada
seorang kakek tinggi kurus yang selalu mempermainkan
sebuah bola besi yang ada rantainya dan bergerigi…”
“Yang bermulut sumbing itu pastilah Iblis Sumbing
Pembawa Pendupa Maut dan kakek botak niscaya si
Bayangan Api.”
“Saya tidak tahu jelas gelaran kedua orang itu. Namun
saya rasa memang mereka.”
“Ke mana orang-orang itu pergi?” tanya Wiro.
“Saya tidak tahu pasti. Tapi saya mendengar mereka
menyebut-nyebut nama seorang pangeran…”  
“Pangeran? Pangeran mana? Pangeran siapa?”
“Kalau saya tidak salah dengar mereka menyebut nama
Pangeran Rono Kuworo. Mereka kemudian meninggalkan
gedung ini, mengambil jalan ke arah barat.”
“Lalu apakah Den Ayu Ratih Kiranasari juga ikut
bersama rombongan orang-orang itu?”
Kusir tua Tejo menggeleng. “Inilah yang saya tidak
mengerti. Saya hanya melihat secara kebetulan. Ketika
hendak keluar minta rokok pada pengawal, saya lihat Den
Ayu Ratih melompat keluar dari jendela. Sebetulnya saya
hendak menegur apa yang tengah dilakukannya. Tapi dia
keburu berlalu. Jangan-jangan dia menyelinap keluar untuk
mencarimu, anak muda…”
Wiro jadi garuk-garuk kepala. “Apa yang harus kulaku–
kan sekarang? Ke mana harus mencari gadis itu?” pikir
murid Sinto Gendeng dalam hati. Akhirnya ditinggalkannya
tempat itu dan berlari menuju ke barat.
***
Rumah kayu di tengah ladang itu diselimuti kegelapan.
Cahaya bulan purnama empat belas hari yang cukup
terang tidak mampu menerobos pohon beringin berdaun
lebat yang tumbuh di sebelah rumah.
Di tempat gelap, di balik serumpunan semak belukar
empat orang mendekam tanpa bergerak tanpa bersuara.
Setelah berada di tempat itu cukup lama, salah seorang
dari mereka mulai resah dan bosan berdiam diri terus-
terusan. Dia berbisik, “Mungkin sekali orang yang kita
tunggu tidak datang malam ini…”
Orang di sebelahnya balas berbisik. “Aku yakin dia akan
datang. Mungkin sebentar lagi. Soalnya seorang prajuritnya
mendengar jelas pesan yang  disampaikan lewat seorang
temannya.”
“Kita tunggu saja. Jika pembunuh keji itu memang
masih gentayangan di sekitar sini, pasti dia akan muncul
melakukan niat terkutuknya…”  
“Berhenti berbicara. Aku mendengar suara kaki kuda
mendatangi!”
Orang-orang yang tadi bicara segera menutup mulut.
Memang betul. Saat itu terdengar suara derap kaki kuda
mendatangi dari kejauhan. Tak lama kemudian di balik
sebatang pohon cempedak hutan kelihatan muncul
sesosok tubuh berpakaian hitam bersama kuda tunggang–
annya. Di bawah pohon orang  ini berhenti sebentar. Keli–
hatannya dia seperti tengah memperhatikan suasana.
Ketika dirasakannya semua serba aman, maka dia turun
dari kuda lalu menuntun binatang itu ke arah rumah kayu.
Di satu tempat dia menambatkan kudanya pada sebatang
pohon kecil lalu melangkah ke bagian belakang rumah.
Perlahan-lahan dia mengetuk pintu belakang.
“Pangeran…?”
Dari dalam rumah terdengar suara perempuan perlahan
sekali.
“Betul. Lekas bukakan pintu…”
“Tunggu, saya akan nyalakan lampu minyak dulu.”
“Jangan bodoh. Jangan nyalakan lampu. Buka saja
pintunya,” kata lelaki di pintu belakang.
Pintupun kemudian terbuka. Lelaki tadi menyelinap
lenyap ke dalam rumah.
“Gelap sekali Pangeran, bukankah lebih baik menya–
lakan lampu minyak?” Parempuan di dalam rumah mem–
buka mulut.
“Sebenarnya aku tidak suka ada penerangan di dalam
sini. Tapi baiklah. Aku sudah lama tidak melihat kecantikan
parasmu dan keindahan tubuhmu…”
Lalu sebuah lampu minyak  dinyalakan. Sinarnya kecil
dan redup sekali. Tetapi orang yang dipanggil dengan
sebutan pangeran sudah dapat melihat jelas perempuan di
hadapannya. Langsung saja dia memeluk dan menciumi
perempuan itu.
“Aku hampir gila tidak melihatmu sekian lama. Banyak
sekali pekerjaanku di Kotaraja…”
“Bagaimana dengan suami saya, Pangeran?”  
“Kau tak usah khawatir. Sesuai permintaanmu, usulan–
ku menaikkan pangkatnya jadi prajurit kepala telah dika–
bulkan Pimpinan Pasukan di Kotaraja…”
“Saya mengucapkan terima kasih Pangeran. Saya
sudah menyiapkan ranjang untuk kita berdua…”
“Bagus. Kau seharusnya pantas menjadi selir seorang
pangeran sepertiku. Bukan istri seorang prajurit…”
“Tapi bukankah saya sudah bersedia untuk menjadi
milik Pangeran selama-lamanya?” Perempuan itu mem–
bawa masuk lampu minyak ke  dalam kamar. Lelaki tadi
mengikutinya. Begitu masuk ke dalam kamar lelaki ini
terus saja merebahkan diri  di atas ranjang. Setelah me–
nyantelkan lampu minyak di dinding kamar perempuan itu
berdiri di tepi ranjang, Satu demi satu dia menanggalkan
pakaiannya. Terakhir sekali dia membuka gelungan sang–
gulnya hingga rambutnya yang panjang hitam tergerai lepas
di depan dadanya. Melihat kepada raut wajah dan bentuk
tubuh perempuan ini paling tinggi usianya sekitar duapuluh
tahun dan belum pernah melahirkan. Sedang orang yang
dipanggil dengan sebutan pangeran berusia hampir enam–
puluh. Rambut dan janggut serta kumisnya telah putih.
“Mulailah Arini…” bisik pangeran itu seraya mengusap
tubuh perempuan yang tegak di samping tempat tidur.
Dari mulut perempuan bernama Arini tiba-tiba terde–
ngar suara nyanyian. Nyanyian itu terdengar merdu walau–
pun perlahan. Sambil menyanyi dia menggerakkan tangan,
kaki dan pinggul dan sesekali dadanya seperti seorang
penari. Kedua mata sang Pangeran terbuka lebar. Dia
sudah berulang kali menyaksikan hal ini. Tapi dia tak
pernah bosan dan inilah yang membuatnya selalu tergila-
gila pada perempuan muda istri seorang prajurit yang
malam itu tengah menjalankan  tugas di Kotaraja. Sambil
mendengar suara nyanyian halus dan tarian yang memba–
kar darahnya itu, sang Pangeran mulai menanggalkan
pakaiannya.
Di luar rumah, di balik semak belukar. Terdengar suara
rutuk perlahan. “Memang gila! Tidak kusangka Pangeran  
Rono Kuworo begini mesum  pekertinya. Isterinya sudah
tiga. Gundiknya tidak terbilang. Masih saja dia menyem–
patkan diri menggauli isteri orang lain…”
“Pangeran itu mungkin tidak salah…” jawab kawan di
sebelahnya.
“Tidak salah bagaimana maksudmu? Jelas dia melaku–
kan perbuatan kotor! Kau kira apa yang dikerjakannya
malam-malam begini mendatangi perempuan itu?!”
“Saya bilang Pangeran itu tidak salah. Yang salah
adalah istri prajurit itu. Mengapa dia terlalu cantik dan
menggiurkan begitu rupa…”
“Sudahlah, kenapa bertengkar! Kalian kira kita ini ber–
ada di tempat apa?” Seorang di antara mereka menengahi.
“Semua diam. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi.
Kuharap semua sesuai dengan rencana…”
Baru saja orang yang satu ini berkata begitu tiba-tiba di
kejauhan terdengar suara lolongan srigala, panjang meng–
gidikkan. Empat orang di balik semak belukar sempat
tercekat. Salah seorang dari mereka berbisik. “Makhluk
pembunuh itu tidak berapa jauh dari sini. Kita tunggu saja
dan bersiaplah.”
Di atas sebatang pohon tak jauh dari rumah kayu di
mana Pangeran Rono Kuworo dan Arini tengah bergelung-
gelung di atas tempat tidur, tanpa setahu empat orang
yang sembunyi di balik semak belukar, dalam kegelapan
mendekam seorang berpakaian serba putih. Seperti empat
orang yang ada di balik semak itu, diapun telah sempat
menyaksikan apa yang terjadi di bawah sana. Lalu dia
mengambil sikap menunggu dan tersentak ketika telinga–
nya mendengar suara lolongan srigala di kejauhan.
Di atas sebatang pohon lain, diam-diam mendekam
pula sesosok tubuh gemuk luar biasa sambil mengipasi
wajahnya yang selalu berkeringatan dengan sehelai kipas
lipat dari kertas. Mulutnya tidak berhenti komat kamit
menggeragot sebuah mangga hutan. Begitu mangga habis
dimakannya kini tinggal bijinya. Sambil cengar cengir
seorang diri di atas pohon, si gendut yang mengenakan  
baju serta celana terbalik ini dan memakai sebuah peci
hitam kupluk kebesaran di kepalanya memandang berke–
liling. Dia menimbang-nimbang apakah akan melemparkan
biji mangga itu pada salah seorang yang bersembunyi di
balik semak belukar di bawah sana atau pada pemuda
berpakaian putih gondrong yang mendekam di atas pohon
dekat rumah kayu. Si gendut ini akhirnya memilih orang
yang di atas pohon. Tangannya yang memegang biji mang–
ga bergerak melempar. Gerak lemparannya seperti acuh
tak acuh saja. Tapi begitu melesat biji mangga itu laksana
terbang menderu ke arah sasaran. Orang di atas pohon
terkejut dan mengeluh kesakitan ketika biji mangga meng–
hantam keningnya. Dia hendak menyumpah panjang
pendek tapi cepat menutup mulutnya. Padahal empat
orang itu di bawah sana sudah sempat mendengar
keluhannya tadi.
“Bangsat sialan! Siapa yang menyambit keningku!”
Di bawah sana, di balik semak belukar empat orang
yang bersembunyi saling pandang. “Aku mendengar suara
seperti orang mengeluh kesakitan…”
“Betul,” menyahuti kawan di sebelahnya. “Datangnya
dari atas sana…” Dia lalu menunjuk ke atas pohon besar di
belakangnya.
“Diam semua! Tidak kalian dengar suara lolongan
makhluk hantu dan derap kaki kuda yang semakin mende–
kat?!” ujar lelaki ke tiga yang memegang bola besi.
Dalam kegelapan malam tiba-tiba terasa ada angin
menderu. Sesaat kemudian dekat rumah kayu kelihatan
dua sosok makhluk. Sinar bulan purnama tidak menyentuh
sosok tubuh itu. Namun empat orang yang ada di balik
semak belukar dan dua orang yang mendekam di atas
pohon dapat melihat dengan jelas siapa adanya makhluk-
makhluk itu.
“Lihat!” bisik salah seorang dari empat orang di balik
semak-semak. Suaranya bergetar.
“Astaga…” Menyahuti yang lain. “Aku belum buta. Aku
mengenali sekali. Perempuan muda itu adalah orang yang  
tempo hari menolong Pendekar 212 ketika hendak ku–
tabas batang lehernya! Jadi dia rupanya biang bahalanya…”
“Dia membawa seekor srigala besar bermata seperti
bara api. Mengerikan. Pasti binatang itu yang jadi suruhan–
nya dalam melakukan pembunuhan!”
Di atas pohon orang berpakaian putih seperti tak per–
caya akan pemandangannya.
“Kemala… Ah! Kalau tidak melihat sendiri tidak percaya
aku! Dia datang bersama binatang itu. Dia pemilik srigala
penyebar maut itu…?”
Di bawah sana gadis yang tegak di samping srigala
besar dengan mulut dan kaki depan penuh lumuran darah
sesaat memandang berkeliling. Tidak seperti biasanya kali
ini dia tiba-tiba saja merasa tidak enak.
“Seperti ada makhluk-makhluk lain di sekitar sini…”
Katanya dalam hati. Dia memandang lagi ke sekitarnya.
Tak kelihatan apa atau siapapun. Lalu tangan kanannya
mengusap kepala srigala itu.
“Datuk, jalankan tugasmu. Bunuh kedua manusia
mesum di dalam rumah itu!”
Srigala besar itu menggereng. Kepalanya mendongak
ke atas. Mulutnya terbuka dan lidahnya menjulur. Sepa–
sang matanya membersitkan sinar merahnya bara api yang
angker sekali. Tiba-tiba binatang ini menggereng sekali lagi.
Lebih keras. Lalu tubuhnya melesat ke depan. Dinding
rumah yang terbuat dari kayu laksana sehelai kertas tipis
saja. Hancur berantakan kena seruduknya. Sesaat kemu–
dian di dalam rumah terdengar pekik jerit Pangeran Rono
Kuworo dan Arini mengerikan sekali. Lalu sunyi!
Dari dinding rumah yang jebol kelihatan keluar srigala
tadi. Moncong dan kedua kaki depannya kelihatan berlu–
mur darah mengerikan. Binatang ini berhenti di samping si
gadis.
“Bagus Datuk. Kau menjalankan tugasmu dengan baik.
Sekarang mari kita tinggalkan tempat ini!” kata si gadis
pula.
Pada saat itulah empat orang yang bersembunyi di balik  
semak belukar, kalau tadi mereka seolah terpukau oleh
apa yang terjadi, kini mereka seperti disentakkan dan
sama-sama melompat keluar!
“Makhluk-makhluk iblis! Kali  ini kalian tidak bisa lolos
lagi!” Satu dari empat orang itu membentak.
Srigala besar menggereng. Si gadis terkejut dan cepat
memandang berkeliling. Empat orang telah mengurungnya.
Tiga di antara mereka segera dikenalinya. Yang seorang
yaitu kakek kurus tinggi yang memegang bola besi berantai
tidak diketahuinya siapa adanya.
“Tiga cecunguk tidak tahu diri! Pelajaranku tempo hari
rupanya tidak membuat kalian kapok! Kalian berani
muncul lagi, malah membawa seorang kawan!”
Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut menggembor
lalu berkata. “Perempuan  durjana! Kau dan binatang
peliharaanmu hanya bisa hidup sampai malam ini! Dosa
kalian sudah lewat dari takaran! Cuma kematian satu-
satunya penebus dosa-dosamu!”
Si gadis yaitu Kemala tertawa perlahan. “Nenek
sumbing, bicarapun kau belum pandai, mau menghabisi
kami pula. Tua bangka tidak tahu diri! Nanti kujejali lagi
mulutmu dengan asap pendupaan yang kau bawa itu!”
Lelaki yang tangannya diikat kain mendengus. Dia
bukan lain adalah Perwira Tinggi Gandar Seto. “Iblis
perempuan! Ajalmu tak lama lagi! Sebelum mampus lekas
katakan mengapa kau membunuhi orang-orang itu?”
“Ah, kau tentunya Perwira Tinggi Gandar Seto!” jawab
Kemala. “Dengar Perwira. Aku memberi keampunan bagi
jiwamu. Lekas tinggalkan tempat ini! Tiga kawanmu tak
perlu kau perdulikan. Mereka memang layak mampus di
tempat ini! Malam ini juga!”
Dua orang di samping Gandar Seto tentu saja merasa
tersinggung. Kakek-kakek yang memegang bola besi dan
dikenal dengan julukan si Pelumat Jagat berbisik pada
kakek botak di sebelahnya. “Bayangan Api, kucing betina
itu sepertinya tidak memandang sebelah mata pada kita.
Untung wajahnya cantik. Kalau dia bisa melayaniku barang  
semalaman mungkin bisa  kukurangi hukuman bagi
dirinya…”
Celakanya apa yang dikatakan kakek tinggi kurus itu
terdengar oleh Kemala. Maka gadis ini pun melotot.
“Tua bangka cabul! Kau sama saja dengan lelaki-lelaki
lain! Sudah bau tanah masih saja hendak mengumbar
nafsu! Kau layak mati pertama sekali!”
“Bagus, aku mau tahu bagaimana rasanya mati di
tangan gadis secantikmu. Tapi eh…! Apa betul kau masih
gadis, masih perawan? He… he… he!
“Keparat! Terima kematianmu!” teriak Kemala. Gadis
ini melompat ke depan. Tangan kanannya menderu ke
arah kepala si kakek kurus. Yang diserang tak tinggal diam.
Bola besi bergerigi dan berantai di tangan kanannya
menyapu ke depan.
Wuuuttt!
Bola besi itu lenyap dan kini hanya kelihatan sinar
hitam disertai angin dingin menggidikkan. Si gadis terkejut
ketika merasa ada sesuatu menyambar ke atas lehernya.
Dengan cepat dia tinjukan tangan kirinya.
Buukkk! Byuuurrr!
Kemala tersurut satu langkah. Tangan kirinya merah
dan lecet. Gadis ini tampak menahan rasa kagetnya. Tapi
yang lebih terkejut adalah kakek bergelar si Pelumat Jagat.
Dia melompat mundur sampai tiga langkah. Parasnya ber–
ubah putih. Di tangan kanannya kini dia hanya memegang
rantai. Bola besinya ternyata hancur lebur dihantam
pukulan tangan kiri Kemala!
“Celaka! Jangan-jangan gadis ini bukan manusia biasa.
Tapi makhluk jejadian yang memiliki ilmu hitam! Kalau
tidak segera dihabisi bisa berabe!” Lalu dia berpaling pada
tiga kawannya. “Para sahabat! Tak perlu sungkan! Lekas
keroyok gadis dajal ini!”
Mendengar seruan si Pelumat Jagat, Gandar Seto
segera hunus golok besar dengan tangan kiri sedang Iblis
Sumbing Pembawa Pendupa sudah lebih dulu melompat
sambil meniupkan asap pendupaannya. Kali ini dia tidak  
mengandalkan asap pendupaan yang mengandung hawa
aneh tapi tidak mempan terhadap si gadis, melainkan dia
meniup untuk melesatkan jarum-jarum beracun yang ada
di atas bara api! Begitu dia meniup selusin jarum merah
membara menderu ke arah Kemala. Si Bayangan Api tidak
tinggal diam, dia melompat ke dalam kalangan pertem–
puran setelah terlebih dulu melepaskan lima senjata raha–
sia berupa anak panah berwarna merah!
Kemala tampaknya tenang-tenang saja melihat empat
serangan pengeroyok itu.  Sebaliknya orang berpakaian
putih di atas pohon tidak dapat lagi menahan diri melihat
bahaya yang mengancam si gadis. Sambil lepaskan satu
pukulan sakti dia melompat turun dari atas pohon!
“Pukulan Sinar matahari!” teriak si Bayangan Api ketika
dia melihat ada suara menggemuruh disertai berkiblatnya
sinar putih perak menyilaukan.
Empat pengeroyok cepat melompat mundur.
Bummm!
Sinar pukulan yang menebar hawa sangat panas itu
menghantam tanah hingga terbongkar. Bumi laksana
dilanda lindu. Semua yang menyerang tersentak mundur
dan semua senjata yang dipakai untuk menyerbu mental
ke udara bersama batu dan pasir serta tanah yang beter–
bangan. Di tanah kini kelihatan sebuah lobang besar!
“Ha… ha! Seorang sahabat telah membuat liang kubur
bagi kalian! Siapa yang mau masuk lebih dahulu?!” berseru
Kemala. Memandang ke samping dilihatnya Pendekar 212
Wiro Sableng tegak dengan kaki terpentang, menatap ke
arah empat orang yang mengurung.
“Dicari-cari tidak bertemu. Sekarang malah datang
sendiri! Dua tangkapan sekaligus! Besar nian rejeki kita?”
kata Gandar Seto begitu melihat Pendekar 212 berada di
tempat itu.
“Sudah kuduga, pemuda keparat ini punya hubungan
tertentu dengan gadis iblis  ini! Ternyata betul! Sayang
seorang pendekar sakti mandraguna yang disegani dalam
dunia persilatan ternyata berkomplot dengan gadis pem–
bunuh!” membuka mulut Si Bayangan Api.
“Kalian orang tua-tua terserah mau bilang apa. Tapi aku
tidak sudi melihat empat orang tokoh silat mengeroyok
seorang gadis!”
“Yang kami keroyok bukan gadis biasa. Tapi gadis iblis!”
jawab Gandar Seto. “Kau mau menolongnya? Berarti ber–
siaplah untuk mampus!”
“Kalian tidak mampu melawannya. Ilmunya jauh berada
di atas kalian. Jangan jadi  orang-orang tolol. Pergi dari
tempat ini. Jangan ganggu sahabatku ini!”
“Ternyata kau pun memang sudah benar-benar sesat
seperti iblis betina itu! Kawan-kawan mari kita berjibaku
menyingkirkan sepasang iblis ini!” teriak si Bayangan Api.
Keempat orang itu siap hendak menyerbu kembali. Wiro
segera keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212.
“Wiro, tunggu!” tiba-tiba Kemala berseru.
“Kemala, tinggalkan tempat  ini cepat. Biar aku yang
melayani empat tua bangka ini!” ujar Pendekar 212.
“Mengapa kau atau aku harus mencapaikan diri meng–
hadapi orang-orang ini? Biar Datuk yang membereskan
mereka?” kata Kemala pula seraya melangkah mendekati
srigala besar. Tangan kanannya mengusap kepala binatang
itu yang segera menggereng dan dongakkan kepalanya.
“Kemala, aku ingin kau tidak melakukan pembunuhan
lagi. Aku akan coba menyadarkan keempat orang itu. Aku
minta agar kau segera meninggalkan tempat ini!”
Si gadis hendak membantah tapi melihat air muka
Pendekar 212 dia menjadi bimbang. Akhirnya dia berkata
perlahan. “Datuk, mari kita pergi..”
Srigala yang tadi tampak buas kini kelihatan ikut jinak.
Dia membalikkan diri mengikuti langkah tuannya. Tapi baru
satu langkah bergerak tiba-tiba dari atas pohon melayang
turun sebuah benda bulat berputar-putar, lalu bluk! Se-
orang pemuda berbadan gendut buntak, bermuka bulat
yang selalu keringatan tahu-tahu tegak menghadang di
depan Kemala dan Datuk Srigala. Di tangan kanan pemuda
gendut itu ada sebuah kipas lipat dari kertas yang dikipas-
kipaskannya kian kemari. Kepalanya disungkup dengan
sebuah peci hitam kupluk.
“Gadis dan srigala, kalian tidak boleh pergi dulu sebe–
lum kalian kubebaskan dari sekapan iblis pembawa ilmu
hitam!”
“Gendut keparat! Siapa kau yang berani menghadang
jalanku?!” bentak Kemala sementara srigala di sampingnya
mulai kelihatan beringas.
“Aku seorang sahabat. Pemuda yang kau sukai itu juga
sahabatku! Kepercayaan pada sahabat adalah di atas
segala-galanya!”
“Gendut! Aku tak kenal dirimu, apa lagi menjadi saha–
batmu!” bentak Kemala.
Si gendut tertawa. “Persahabatan itu tidak selalu harus
saling kenal…”
Kemunculan pemuda gendut berpeci kupluk dan
mengenakan pakaian terbalik  ini membuat Wiro terkejut.
Beberapa waktu yang lalu dia muncul secara tiba-tiba
seperti saat ini untuk menyelamatkan seorang gadis. Kini
dia muncul kembali dan berkata hendak membebaskan
Kemala dan srigala itu dari sekapan iblis! “Si gendut ini
ngaco atau bagaimana…?” kata Wiro pula. Selagi dia
berpikir-pikir seperti itu dari samping tiba-tiba sekali si
Bayangan Api dan si Pelumat Jagat telah bergerak menye–
rangnya. Dari jurusan lain Gandar Seto dan Iblis Sumbing
juga ikut bergerak menghantam ke arah Kemala.
Si gendut tampak jengkel sekali. Setelah memaki
panjang pendek dia melompat mundur. “Manusia-manusia
tolol! Kalian semua mencari kematian secara sia-sia!”  
WIRO SABLENG
PURNAMA BERDARAH
12
I BAYANGAN Api walau memiliki kepandaian silat
tinggi namun dia tidak membawa senjata. Memang
dia membekal senjata rahasia berupa panah-panah
merah tapi dalam perkelahian jarak pendek begitu rupa
senjata rahasia itu tidak mungkin dipergunakan. Hal yang
sama juga terjadi dengan si Pelumat Jagat. Bola besi yang
merupakan senjata andalannya telah dihancurkan oleh
Kemala. Sebenarnya kedua tokoh silat ini menghadapi
Pendekar 212 dengan setengah hati. Apalagi saat itu murid
Eyang Sinto Gendeng sudah langsung keluarkan senjata
mustikanya yaitu Kapak Maut Naga Geni 212. Setiap
senjata ini dibabatkan atau  dibacokkan terdengar suara
bergemuruh laksana ribuan tawon mengamuk. Sinar panas
putih menyilaukan yang keluar dari kedua mata kapak
membuat dua lawannya menjadi semakin ciut nyali
masing-masing. Karena tak berani mendekat kedua kakek
ini berusaha menggempur dengan pukulan-pukulan tangan
kosong jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Si
Pelumat Jagat sesekali bertindak curang, coba menyerang
dari belakang. Namun semua serangan lawan dibuat men–
tal oleh sambaran-sambaran Kapak Maut Naga Geni 212.
Setelah menggempur habis-habisan sampai limabelas
jurus gerakan si Bayangan Api tidak lagi secepat kilat dan
tubuhnya tidak lagi laksana bayangan merah. Begitu juga si
Pelumat Jagat gerakan-gerakannya menjadi lamban. Kedua
kakek ini mulai main mata, saling memberi isyarat bahwa
lebih baik mereka kabur saja dari tempat itu. Begitu ada
kesempatan keduanya menyerang gencar secara kilat lalu
satu menghambur ke kiri, satunya lagi ke arah kanan.
S
Murid Eyang Sinto Gendeng cepat hendak hantamkan
pukulan  Sinar Matahari ke arah si Pelumat Jagat dan
lepaskan jarum-jarum rahasia dari mulut kapak ke arah si
Bayangan Api namun setelah berpikir maksudnya itu
segera dibatalkan. Sebenarnya buat apa mengejar orang-
orang itu dan mencelakai mereka. Keduanya pasti hanya–
lah menjalankan tugas untuk menumpas kejahatan
Kemala. Dan dia sudah menyaksikan sendiri tadi bagai–
mana si gadis memerintahkan srigala peliharaannya
membunuh Pangeran Rono Kuworo serta istri prajurit yang
serong itu. Meski dia belum menyaksikan mayat kedua
orang itu, namun seperti kejadian yang sudah-sudah dua
orang di dalam rumah pasti menemui ajal dengan tubuh
tercabik-cabik.
Wiro putar tubuh memperhatikan perkelahian yang
terjadi antara Kemala yang dikeroyok oleh Iblis Sumbing
dan Perwira Tinggi Gandar Seto. Baik Gandar Seto maupun
Iblis Sumbing sangat bernafsu untuk dapat menghabisi
lawannya saat itu juga. Si nenek berulang kali tiupkan asap
kelabu dari pendupaan yang ada di tangan kirinya. Tujuan–
nya bukan untuk membuat lawan menjadi lemas oleh hawa
yang keluar dari dalam asap. Dari perkelahian pertama
sebelumnya dia sudah tahu Kemala memiliki ilmu kebal
yang tak sanggup ditembus oleh asap pendupaannya.
Karenanya asap itu ditiup untuk menghalangi pemanda–
ngan lawan sehingga dia bisa bergerak leluasa dalam
melancarkan serangan-serangan. Tetapi Kemala bukan
lawan yang mudah dikecoh. Setelah mengambil sikap
bertahan selama sepuluh jurus tiba-tiba gadis ini berseru.
“Datuk! Lekas kau hajar nenek bermulut sumbing itu.
Jangan diberi ampun! Aku akan melayani Perwira Kerajaan
ini!”
Mendengar ucapan tuannya itu srigala besar mengge–
reng keras. Kedua matanya memancarkan sinar membara.
Didahului oleh suara meraung yang menggidikkan binatang
ini kemudian melompat ke  arah Iblis Sumbing Pembawa
Pendupa Maut. Si nenek yang menganggap remeh  
serangan binatang ini pergunakan kaki kirinya untuk
menendang.
Bukkk!
Tendangan kaki kanan Iblis Sumbing Pembawa Pendu–
pa Maut memang tepat mengenai bagian dada srigala
bermata api. Binatang ini mencelat sampai dua tombak.
Tapi apa yang dialami si nenek sendiri membuat pemuda
gendut berkopiah kupluk dan juga Pendekar 212 jadi
merinding. Si nenek terdengar menjerit setinggi langit. Kaki
kanannya sebatas paha sampai ke betis ternyata telah
koyak lebar dan dalam. Meskipun gelap tapi tulang tung–
kainya masih bisa terlihat jelas. Pendupaan di tangan
kirinya jatuh. Belum sempat benda ini menyentuh tanah
tiba-tiba srigala itu kembali menyerbunya dengan ganas.
Raungan si nenek tertindih oleh suara raungan binatang
itu. Leher Iblis Sumbing tampak robek. Urat-uratnya
mencuat putus dan darah menyembur. Dadanya terkuak
menyebulkan tulang-tulang iganya. Lalu di sebelah bawah
perutnya robek membusai semua isi yang ada di dalamnya!
Pemuda gendut mengeluarkan suara mau muntah
menyaksikan kejadian itu. Murid Eyang Sinto Gendeng
mengerenyit sambil menutup mulut dengan tangan kiri
sementara tengkuknya merinding dingin. Dia sempat
tertunduk ngeri. Ketika dia mengangkat kepalanya kem–
bali, sekujur tubuh si nenek sudah tak bisa dikenali lagi!
“Gusti Allah!” seruan itu keluar dari mulut Perwira Tinggi
Gandar Seto begitu dia sempat melihat apa yang terjadi
atas diri Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. Sekujur
tubuhnya bergetar hebat dan tiba-tiba saja dia seperti tidak
punya tulang belulang lagi, lemas dan ketakutan setengah
mati.
“Perwira, aku memberi kesempatan padamu. Jika kau
tidak segera minggat dari sini aku akan suruh binatang itu
mengoyak tubuhmu!” kata Kemala pula dengan panda–
ngan mata tak berkedip.
“Jangan! Jangan!” Hanya itu ucapan yang bisa dikeluar–
kan oleh Gandar Seto. Lalu dia memutar tubuh dan lari  
meninggalkan tempat itu secepat yang bisa dilakukannya.
Kemala menarik nafas dalam. Dia memandang
berkeliling. Pandangannya  bertemu dengan pandangan
Pendekar 212 yang saat itu melangkah mendekatinya
dengan wajah seolah tak percaya.
“Kemala…” desis Wiro begitu dia sampai di hadapan si
gadis.
“Wiro, kini kau tahu siapa diriku. Kau pasti amat
menyesal. Kau hendak melakukan sesuatu terhadapku?”
meluncur kata-kata itu dari mulut Kemala.
Wiro menggeleng lalu menggaruk kepala. “Aku… aku
tak tahu harus bicara apa.  Harus melakukan apa. Terus
terang memang aku tidak menyangka…”
Si gadis tampak tersenyum. “Apakah kau sudah mene–
mui Ratih Kiranasari, gadis yang mencintaimu itu?”
“Eh! Tunggu dulu!” Tiba-tiba pemuda gendut yang sejak
tadi asyik menyaksikan jalannya perkelahian berseru. “Aku
mau bicara!”
“Gendut tak tahu diri! Jangan campuri urusan kami!”
sentak Kemala.
“Sobatku, lebih baik kau dengarkan kata-katanya,” ujar
Wiro pula pada si gendut berkopiah kupluk
“Busyet! Kau yang harus mendengarkan aku Wiro?!
Jangan sampai terjebak! Kau tak tahu siapa adanya gadis
ini!” menjawab si gendut.
“Eh! Apa maksudmu?” tanya Wiro pada si gendut lalu
berpaling pada Kemala dan kembali menoleh pada pemu–
da gemuk di hadapannya itu.
Kemala sendiri saat itu mendadak berubah wajahnya.
Dia memandang ke arah bulan purnama empat belas hari
di langit. Mulutnya terbuka. “Datuk, lekas kau bunuh
pemuda gendut itu!”
Srigala bermata api meraung keras. Tubuhnya merun–
duk. Si gendut melompat mundur seraya berseru pada
Wiro. “Sobat! Lekas kau berikan padaku batu hitam
pasangan Kapak Naga Geni 212! Cepat!”
Srigala besar itu semakin merunduk. Kedua kaki  
depannya tenggelam ke dalam tanah tanda dia hendak
membuat satu terkaman yang hebat luar biasa.
“Wiro lekas! Berikan padaku batu hitam keramat
pasangan Kapak Naga Geni 212!” teriak si gendut sekali
lagi.
Dalam heran dan bingungnya tentu saja Wiro tidak
memenuhi permintaan si gendut itu. Tiba-tiba srigala besar
melesat ke depan. Si gemuk menjerit kalang kabut lalu lari
lintang pukang selamatkan diri ke balik pohon beringin
besar. Walaupun gerakannya  terlihat lamban dan benar-
benar seperti orang ketakutan tetapi anehnya si gendut ini
ternyata berhasil lolos dari terkaman srigala.
Melihat serangannya gagal binatang ini menggereng
marah. Dia membalik dan kembali menyerang. Kali ini si
gendut melompat ke atas.  Kedua tangannya menangkap
akar gantung besar pohon beringin. Tubuhnya yang gendut
digoyangnya. Hebat sekali,  tubuh yang beratnya hampir
150 kati itu berayun-ayun lalu melesat ke depan. Terkaman
srigala lewat setengah jengkal di bawah selangkangannya!
Si gendut menjerit. Pegangannya dilepaskan dari akar
gantung. Tubuhnya jatuh melesat tepat ke arah Wiro.
Kedua orang ini sama-sama jatuh bergedebukan di tanah,
bergulingan beberapa kali lalu tampak si gendut berdiri
lebih dahulu. Ketika Wiro berdiri pula dilihatnya si gendut
memegang sebuah benda hitam di tangan kanannya. Wiro
cepat meraba pinggangnya. Astaga! Batu hitam empat
persegi pasangan Kapak Naga Geni 212 yang selalu
disimpannya di balik pinggang pakaian telah lenyap. Benda
itu kini berada dalam genggaman si gendut berpeci kupluk!
“Gendut sialan! Kau hendak berbuat apa dengan batu
mustika itu! Lekas kembalikan!” teriak Wiro dan hendak
melompat untuk merampas batu hitam miliknya.
“Sahabat, sabar dulu! Justru hanya benda ini yang
mampu menolong srigala jejadian itu bebas dari ilmu
hitam, dari sekapan iblis! Juga hanya batu mustika ini yang
sanggup membebaskan sebagian pengaruh iblis dalam diri
Kemala!”  
“Aku tidak mengerti maksudmu!” teriak Wiro masih
marah.
“Kalau kau belum mengerti makanya lihat saja!” jawab
si gendut. Lalu dia melangkah ke arah srigala bermata api
yang kembali hendak menerkamnya. Dengan cepat si
gendut ini acungkan ke depan batu mustika hitam di
tangan kanannya. Terjadilah hal yang aneh. Raungan
srigala mendadak berubah kuncup dan kini mengecil tak
ubah seperti suara seekor anjing yang ketakutan dimarahi
tuannya. Binatang ini bersurut sambil rundukkan kepala–
nya. Tiba-tiba ada sinar merah melesat dari kedua mata–
nya, menyerang ke arah si gendut. Orang yang diserang
cepat menangkis dengan batu hitam di tangannya. Dua
larik sinar merah tadi kelihatan bergetar keras lalu mem–
balik dan laksana masuk menembus ke dalam ke dua
mata srigala. Binatang ini  meraung panjang. Tubuhnya
tertelungkup di tanah. Perlahan-lahan tubuh itu tampak
dibungkus oleh kepulan asap  hitam berbau amis. Ketika
asap hitam sirna, di tanah hanya kelihatan seonggok
tulang belulang putih, membujur rapi seperti ruas-ruas
tulang srigala.
“Datuk…!” jerit Kemala ketika menyaksikan apa yang
terjadi. Dia memburu hendak menjatuhkan diri di atas
tumpukan tulang belulang itu.
“Jangan!” teriak si gendut seraya mendorongkan tangan
kirinya. Serangkum angin deras menyambar membuat
gerakan tubuh Kemala tertahan lalu perlahan-lahan terjajar
mundur. Baru saja dia menjauh sejarak tiga langkah tiba-
tiba terdengar letusan-letusan keras. Tulang belulang di
tanah bermentalan kian kemari lalu lenyap tak berbekas
seperti asap dihembus angin malam!
Kemala memutar tubuhnya ke arah si gendut. Sepa–
sang matanya membersitkan sinar pembunuhan. Kedua
tangannya diangkat ke atas.
“Kau… Kau membunuh Datuk. Sekarang kau harus jadi
pengiring kematiannya!” Kemala menjerit panjang. Suara
jeritannya hampir menyerupai lolongan srigala. Tiba-tiba  
tubuhnya melesat ke arah si gendut. Melihat hal ini si
gendut cepat angkat tangannya yang memegang batu
mustika hitam milik Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti
kesilauan Kemala menutupi kedua matanya dengan
tangan kiri. Tapi terlambat. Sebagian cahaya rembulan
yang memantul di atas batu hitam berbalik menembus
kedua matanya. Gadis ini menjerit. Sekali ini suara jeritan–
nya asli suara jeritan manusia. Lalu tubuhnya jatuh terka–
par di tanah! Si gendut menarik nafas lega. Dia keluarkan
kipas kertasnya lalu mengipasi muka dan lehernya yang
basah oleh keringat!
“Kemala!” teriak Wiro seraya berlari dan jatuhkan
dirinya di samping gadis itu.
Ketika Wiro meletakkan kepala Kemala di atas pang–
kuannya dan membelai kening gadis itu, dia merasakan
seseorang meletakkan sesuatu di atas kepalanya. Wiro
memegang benda yang diletakkan itu lalu berpaling.
Si gendut tegak di sampingnya. Sambil menyeringai dia
berkata. “Sahabat, aku telah menyelamatkan gadis itu dari
sekapan ilmu iblis. Ketahuilah, batu hitam yang kau miliki
itu adalah raja-diraja penolak segala ilmu hitam. Kau
memilikinya selama bertahun-tahun, tapi tak pernah tahu
bagaimana memanfaatkannya. Gadismu itu kini sudah
selamat. Tapi baru setengahnya. Yang setengah lagi hanya
kau yang bisa melakukannya…”
Wiro pegang benda di atas kepalanya. Ternyata si
gendut tadi telah meletakkan batu hitam mustika miliknya
seenaknya saja di atas kepalanya. Cepat-cepat Wiro
memasukkan batu itu ke balik pakaiannya. Ketika dilihat–
nya si gendut hendak pergi, Pendekar 212 cepat bangkit
dan berkata.
“Gendut! Jangan pergi dulu! Aku perlu petunjukmu!
Katamu gadis itu baru selamat setengahnya. Yang
setengah lagi aku harus melakukannya. Melakukan apa?
Bagaimana?”
“Kau lihat wajah gadis itu?”
“Tentu saja aku melihatnya!”  
“Cantik sekali bukan?!”
“Bujang Gila Tapak Sakti!” teriak Wiro menyebut nama
si gendut. “Bukan saatnya kau bergurau!”
“Siapa yang bergurau?!” sahut si gendut pula. “Jelas
gadis itu cantik. Tapi itu bukan parasnya yang asli!”
“Eh! Apa maksudmu?”
“Sobatku. Biar aku tolong kau sekali lagi. Tadi kukata–
kan dia baru tertolong setengah. Kini kutambah seper–
empat lagi. Yang seperempatnya kau yang melakukan!
Setuju?”
Karena bingung Wiro mengatakan setuju saja.
Si gendut yang bergelar Bujang Gila Tapak Sakti tertawa
mengekeh. “Ingat sobat, janji harus kau penuhi. Kau harus
menyempurnakan pelepasan sekapan iblis yang seper–
empat lagi!”
Habis berkata begitu si gendut ini betulkan letak peci–
nya lalu duduk di samping tubuh Kemala. Kedua telapak
tangannya diusapkan satu sama lain. Lama-lama kedua
tangan itu tampak menjadi sangat merah dan mengeluar–
kan asap putih yang menimbulkan hawa sangat dingin. Si
gendut membungkuk. Dengan  hati-hati kedua tangannya
yang dingin itu diusapnya ke sekujur wajah Kemala.
Kedua mata Pendekar 212 membeliak besar ketika
melihat apa yang terjadi. Di bawah cahaya bulan purnama
empat belas hari dilihatnya perlahan-lahan, sedikit demi
sedikit wajah Kemala berubah. Ketika si gendut meng–
angkat tangannya dan wajah telah sempurna perubahan–
nya, murid Eyang Sinto Gendeng jadi ternganga lebar.
Kerongkongannya tersekat dan lidahnya seolah kelu. Dia
hanya mampu mengeluarkan suara desis perlahan.
“Ratih Kiranasari…”
Gadis yang tergeletak di tanah itu memang Ratih
Kiranasari adanya!
Perlahan-lahan Bujang Gila Tapak Sakti bangkit berdiri.
Dia memegang bahu Pendekar 212 lalu berkata. “Tinggal
seperempat lagi sobatku. Itu kau punya pekerjaan. Gadis
itu akan pingsan tak sadarkan diri seumur-umurnya  
bilamana kau tidak menolongnya!”
“Katakan bagaimana cara  aku menolongnya!” jawab
Wiro pula.
“Sesuai janji kau tidak akan mengelak atau mencari
dalih!”
“Tidak!”
“Kau tahu Kemala menyukai dirimu?”
Wiro mengangguk.
“Sekarang kau lihat sendiri Kemala ternyata adalah
Ratih Kiranasari.”
“Pantas… pantas dia menyuruh aku menemui Ratih.
Ternyata orangnya sama. Dia-dia juga…” Wiro garuk-garuk
kepala. “Aku ingat sekarang. Bau harum tubuh Kemala
sama dengan wanginya tubuh Kiranasari”
Bujang Gila Tapak Sakti tersenyum. “Sobatku, sekarang
kau dengar baik-baik. Ratih Kiranasari akan sadar dari
pingsannya jika kau menggauli dirinya…”
Paras Pendekar 212 karuan saja menjadi berubah
merah. Matanya melotot. “Gendut, kau jangan bergurau!”
“Aku tidak bergurau sobatku. Ini persoalan hidup atau
mati seseorang. Gadis itu telah terlanjur terjebak dalam
ilmu hitam. Semua gara-gara tidak ada satu pemuda pun
yang mau mencintai dan bersedia dijadikan suaminya.
Dalam dirinya muncul dendam. Dendam ini tak dapat
dikuasainya hingga dirinya terjebak dalam ilmu hitam. Dia
harus membunuh setiap orang yang sedang berkasih-
kasihan. Ingat, tiga perempat kehidupan dunia hitamnya
telah musnah. Kini tinggal yang seperempat. Obatnya yang
aku katakan tadi…”
“Gila!”
“Ini bukan gila! Hanya itu satu-satunya jalan penangkal
ilmu hitam agar keluar dari tubuhnya. Aku akan pergi agar
kau bisa melakukan apa yang aku katakan!”
“Tunggu!” kata Wiro seraya cepat memegang tangan si
gendut.
“Tunggu apa lagi sobatku?” tanya Bujang Gila Tapak
Sakti.  
“Bagaimana, hemmm… Bagaimana kalau kau saja yang
melakukannya?!”
Si gendut tertawa terpingkal-pingkal. “Sobatku, aku sih
mau-mau saja. Tapi tidak bakalan mempan! Dia akan
tertolong kalau digauli oleh  lelaki yang dicintainya. Nah,
aku tahu sekali gadis itu mencintaimu. Bukan aku si gajah
bunting ini! Nah, carilah tempat yang baik agar kau benar-
benar senang melaksanakannya.”
Habis berkata begitu Bujang Gila Tapak Sakti tepuk-
tepuk bahu Wiro. Pendekar 212 geleng-gelengkan kepala.
Dipandanginya wajah Ratih Kiranasari sementara dirasa–
kannya si gendut masih terus menepuk-nepuk bahunya.
“Gendut,” kata Wiro seraya berpaling pada orang yang
tegak di sebelahnya.
Astaga! Ternyata si gendut itu tak ada lagi di samping–
nya. Tetapi anehnya tepukan-tepukan tangannya masih
terasa di bahunya! Sadarlah Wiro kalau sebenarnya Bujang
Gila Tapak Sakti itu sudah lama meninggalkan tempat itu.
Dengan kesaktiannya dia bisa membuat tepukan-tepukan
tangan di bahu sang pendekar padahal dirinya sudah
berada di tempat lain!
Cahaya bulan purnama semakin terang. Wajah Ratih
Kiranasari semakin jelas kelihatan dan tampak bertambah
cantik. Dirinya seolah seorang bidadari yang sedang ter–
tidur lelap. Perlahan-lahan Wiro mengangkat tubuh gadis
itu.
“Bujang Gila Tapak Sakti!” katanya. “Kalau ternyata kau
menipu diriku, akan kucari kau sampai ke langit ke tujuh
sekali pun!”
TAMAT

Tidak ada komentar: