47. Serikat Setan Merah
SATU
Pendekar 212 Wiro Sableng duduk seperti dihenyakkan di bangku panjang itu.
Perutnya kenyang sekali dan kantuknya mendadak saja muncul tak tertahankan.
Matanya terasa berat dan sebentar-sebentar dia menguap lebar.
“Aneh, kenapa aku jadi mengantuk seperti ini. Dan sekujur tubuhku terasa
letih…..” membatin sang pendekar, lalu dia garuk-garuk kepalanya. Seharusnya dia
sudah membayar makan dan minuman yang disantapnya sejak tadi, tetapi entah
mengapa dia masih saja duduk di rumah makan besar itu. Setiap saat matanya
menatap pada cangkir tanah berisi minuman. Semakin dipandangnya minuman itu
semakin besar hasratnya untuk mereguk. Dan buktinya dia sudah menghabiskan tiga
cangkir besar.
“Minuman apa ini. Harum, manis. Tuak aneh…… Jangan-jangan minuman ini
yang membuat mataku mengatuk…….” Diangkatnya cangkir tanah itu lalu
didekatkannya ke hidungnya. Ketika dia mencium minuman itu dalam-dalam
memang terasa seperti ada hawa aneh yang ikut masuk ke dalam hidungnya dan terus
menjalar ke tenggorokan. Bersamaan dengan itu kedua matanya menjadi tambah berat.
Tapi saat itu pula hasratnya untuk meneguk tuak itu tidak tertahankan.
Gluk….gluk….gluk. Beberapa kali teguk saja minuman itu amblas ke dalam
perutnya. Baru saja cengkir tanah diletakkannya di atas meja dari samping terdengar
pelayan menegur.
“Tuaknya tambah den……?”
Wiro berpaling. Pelayan perempuan ini! Tadi waktu masuk tampangnya jelek,
tapi kini mengapa kelihatan begitu cantik menawan? “Ini pasti pengaruh tuak keparat
itu…..!” ujar Wiro dalam hati. “Pasti pemilik kedai menaruh sesuatu dalam minuman
ini. Bangsat…..!” Wiro memaki dalam hati. Dia memandang lagi pada pelayan di
sampingnya yang siap mengisi cangkir tanah dengan tuak baru. Tangan kanan sang
pendekar bergerak hendak memegang tangan si pelayan. Namun murid Eyang Sinto
Gendeng dari Gunung Gede ini masih dapat menguasai diri. Dia menggeleng seraya
berkata “Cukup. Perutku sudah kenyang dan rasa hausku sudah lepas…… Sebentar
lagi aku akan pergi…..”
“Ah mengapa begitu buru-buru, den? Kelihatannya raden ini keletihan dan
mengantuk. Jika ingin istirahat, di belakang ada kamar untuk berbaring-baring…..”
“Hem….. begitu?” ujar Wiro. Dalam hatinya dia mulai menduga-duga janganjangan
rumah makan besar ini di sebelah belakangnya merangkap rumah bordil alias
tempat pelacuran!
“Bagaimana, raden hendak istirahat dulu? Saya punya banyak teman yang
cantik-cantik yang pandai memijat raden hingga segar bugar kembali…..” berkata
pelayan di samping Wiro.
“Tak meleset dugaanku……” kata Wiro dalam hati. Kembali dia menggeleng.
“Sudah, kau layani saja tamu-tamu yang lain….” Kata Wiro pula. Ketika pelayan
berlalu Wiro memandang ke kanan. Di ujung bangku panjang di sampingnya duduk
seorang lelaki separuh baya berbelangkon dan berpakaian bagus. Orang ini duduk
dengan satu tangan menopang dagunya. Kedua matanya setengah terpejam, kepala
dan tubunya tergontai-gontai. Jelas dia juga tengah dilanda kantuk setelah makan
kenyang dan minum banyak.
BASTIAN TITO 2
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pelayan yang tadi menawarkan tuak pada Wiro melangkah mendekati orang
ini lalu menepuk-nepuk bahunya dengan keras hingga dia tergagap dan tersentak
bangun.
“Bapak….. Kalau kau sudah kenyang dan puas minum sebaiknya segera
membayar dan pergi saja! Masih banyak tamu lain yang butuh tempat duduk di sini!”
kata si pelayan dengan kasar.
Ditegur begitu itu orang tersebut tampak seperti sadar diri dan buru-buru
mengeluarkan koceknya lalu menyerahkan sejumlah uang. Si pelayan mengambil
uang itu dengan kasar. Lalu dengan muka cemberut dia berkata “Uang sejumlah ini
mana cukup membayar semua makanan dan minuman yang kau habiskan! Ayo bayar
lebih banyak….”
Sang tamu seperti mau membantah. Tapi mukanya yang kuyu dan keadaanya
yang mengantuk itu membuat dia seperti tak berdaya menampik. Dan ketika si
pelayan enak saja menarik kocek uang itu dari tangannya, dia seperti pasrah saja. Lalu
berdiri dari bangku dan dengan langkah terhuyung-huyung berjalan ke pintu diikuti
pandangan galak dan tampang cemberut si pelayan. Bahkan terdengar suara memaki
“Tamu tolol! Makan sebakul minum segentong, mau membayar se-upil!” lalu pelayan
itu membalikkan tubuh menuju ke sudur rumah makan di mana duduk seorang lelaki
berpakaian serba hitam, berbadan gemuk dengn muka selalu berminyak tapi garang.
Kepada lelaki ini si pelayan menyerahkan kocek uang. Yang menerima
tertawa lebar dan menepuk-nepuk bahu si pelayan. Lalu tampak dia memandang ke
pintu dan cepat-cepat berdiri ketika melihat ada seorang tamu masuk. Sebelum
meninggalkan tempatnya si baju hitam ini masih sempat berbisik pada pelayan tadi.
“Dengar, untuk tamu yang satu ini jangan kau berikan tuak yang dibubuhi obat itu.
Dan jangan kau berani meminta bayaran!”
Si pelayan mengangguk tanda mengerti. Orang berpakaian hitam cepat
melangkah ke pintu menyambut tamunya. Wiro berpaling mengikuti langkah si
gemuk. Ahai! Ternyata tamu yang disambut oleh lelaki pemilik rumah makan itu
adalah seorang dara cantik jelita berkulit putih mengenakan pakaian tingkas berwarna
merah. Kepalanya diikat dengan sehelai sapu tangan kecil berwarna merah pula.
“Sungguh satu kehormatan besar dara ayu berkenan singgah dan bersantap di
rumah makan saya yang buruk ini. Silahkan….silahkan masuk…..”
Pemilik rumah makan itu menjura dalam-dalam. Sang dara tampak seperti
kikuk menerima sambutan itu. Dua orang tamu yang duduk di sebuah meja tengah
menunggu pesanan mereka tiba-tiba saja dibentak oleh pemilik kedai.
“Sampean berdua silahkan duduk di pojok sana! Ada tamu penting yang akan
duduk di sini!”
“Tapi….. kami sudah dulu duduk di sini. Dan sudah pesan!” sahut salah
seorang tamu dengan nada marah.
“Manusia tidak tahu diri!” hardik pemilik rumah makan. “Aku tidak butuh
uangmu! Kalau tidak suka silahkan keluar!” lalu pemilik kedai tangkap pinggang
tamunya itu, mengangkatnya dan melemparkannya ke sudut ruangan dimana terletak
sebuah bangku panjang. Melihat gelagat yang tidak baik ini orang yang satu cepatcepat
berdiri, menghampiri kawannya yang tersandar ke dinding rumah makan lalu
menarik tangannya. Keduanya keluar dari tempat itu sambil menggerutu.
Dengan sehelai serbet besar pemilik kedai bersihkan meja dan kursi lalu dia
berpaling pada dara berpakaian merah yang masih tertegak di ambang pintu, menjura
dan berkata “Silahkan duduk di sini rara ayu…. Mari. Hidangan lezat dan minuman
nikmat segera saya suruh siapkan . Silahkan duduk…..”
BASTIAN TITO 3
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Walaupun disambut dengan penghormatan yang membuatnya kikuk itu, tapi
sang dara tampak sangat tenang. Tanpa ada perubahan pada wajahnya apalagi
tersenyum, dia melangkah dan duduk di kursi yang disediakan. Pemilik rumah makan
kembali menjura lalu cepat-cepat masuk ke dalam.
Wiro garuk-garuk kepalanya. Adanya “bunga” jelita dalam rumah makan itu
membuat kantuknya tiba-tiba saja lenyap. Dan dalam hati pemuda ini bertanya-tanya
siapa gerangan adanya dara cantik berpakaian merah itu. puteri seorang petinggi
Kerajaan atau puteri seorang Pangeran atau anak gadis seorang hartawan? Tapi
mengapa seorang diri dan caranya mengenakan pakaian ringkas seperti itu hanyalah
kebiasaan orang-orang persilatan.
“Pssst……” Wiro keluarkan suara mendesis untuk menarik perhatian sang
dara. Tapi si baju merah menolehpun tidak. Wiro menyengir seraya garuk-garuk
kepala. Ketika dia memandang berkeliling pemuda ini jadi keheranan karena saat itu
dilihatnya satu demi satu para tamu yag ada di tempat itu meninggalkan rumah makan.
Yang masih setengah makan bahkan cepat-cepat mencuci tangan lalu pergi. Selagi
berpikir-pikir apa yang sebenarnya terjadi di tempat itu Wiro melihat pelayan
perempuan keluar dari ruangan dalam bersama seorang kawannya. Mereka masingmasing
membawa sebuah nampan besar berisi penuh makanan dan minuman. Di
belakang kedua pelayan ini berjalan si gemuk pemilik rumah makan.
“Luar biasa! Makanan yang dihidangkan begitua banyak, serba lezat dan cepat.
Siapa sebenarnya gadis baju merah ini. Kalau dia salah serang kawan yang dikatakn
pelayan itu sebagai gadis-gadis yang pandai memijat, hemmmm…… Menyesal aku
kalau tidak sempat berkenalan dengannya!” Begitu Wiro berpikir-pikir dalam hati.
Wiro memperhatikan makanan yang dihidangkan di atas meja dengan penuh
hormat lalu pemilik rumah makan membungkuk-bungkuk mempersilahkan tamunya
mulai bersantap.
Tanpa menoleh, tanpa perubahan pada wajahnya dara berbaju merah segera
saja menyantap hidangan dimulai dengan meneguk minuman sementara pemilik
rumah makan pergi duduk di sudut ruangan dan dua pelayan tegak tak jauh dari
tempat itu, menunggu kalau-kalau ada yang harus dilakukan……
Wiro batuk-batuk beberapa kali. Si gemuk berpaling. Saat itulah pemilik kedai
ini menyadari kalau di situ masih ada duduk seorang tamu. Serta merta dia berdiri
menghampiri Wiro.
“Tamu tak tahu diri. Lekas minggat dari tempat ini. Tapi bayar dulu makanan
dan minumanmu!”
Tentu saja Wiro terheran-heran diperlakukan seperti itu. “Ada keanehan
terjadi di tempat ini sejak si jelita itu muncul! Siapa sih dia?!” ujar Wiro masih tetap
duduk di bangku panjang malah kini kaki kanannya dinaikkan seenaknya.
Melihat hal ini pmilik rumah makan jadi marah sekali. “Bayar dan pergi!”
teriaknya seraya mendorong bahu Wiro. Pendekar kita tidak melawan, karena itu
waktu di dorong tubuhnya langsung jatuh terduduk di lantai rumah makan.
Berpura-pura bodoh Wiro bengkit berdiri sambil tepuk-tepuk pantat celananya.
“Kalau sampeyan suruh pergi ya aku pergi,” kata Wiro pula. “Tapi aku tidak
mau bayar!”
“Patah lehermu berani tak membayar!” mengancam pemilik rumah makan
sambil mengulurkan kedua tangannya bersikap hendak mencekik.
Tenang dan enak saja Wiro menjawab. “Kawan yang duduk di sampingku tadi
sudah membayari makanan dan minumanku. Bukankah pelayanmu itu telah
merampok seluruh isi koceknya tadi?!” Lalu dia kembali duduk di bangku.
BASTIAN TITO 4
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Paras si gemuk itu tampak berubah. Rahangnya menggembung dan
gerahamnya terdengar bergemeletakan.
“Kowe memang minta mampus!” kertaknya. Tangan kananya yang
membentuk tinju langsung diayunkan ke kepala Wiro.
Tentu saja Pendekar 212 tidak mau kepalanya dijadikan bulan-bulanan jotosan
lawan. Tubuhnya yang duduk di pertengahan bangku panjang tiba-tiba meluncur ke
ujung kiri. Keseimbangan pada bangku lenyap dan bangku panjang itu tempat
mencuat ke atas, tepat pada saat tinju pemilik rumah makan sampai.
Bukk! Tinju itu menghantam kayu bangku.
Langsung si gemuk terpekik. Tangan kanannya bengkak merah, tulang jari
kelingkingnya bahkan patah!
“Pemuda haram jadah!” teriak pemilik rumah makan. Kaki kanannya
menendang, namun saat itu Wiro Sableng sudah melompat ke pintu dan lenyap!
Sambil mengerenyit menahan sakit pemilik kedai mendatangi dara berbaju
merah, membungkuk berulang kali lalu berkata. “Mohon maaf kalau santap siangmu
terganggu oleh pemuda kurang ajar tadi….”
Sesaat gadis itu melirik ke arah tangan kanan lelaki gemuk di hadapannya.
Lalu tanpa berkata apa-apa dia meneruskan makan. Selesai makan dia mengeluarkan
sejumlah uang dan meletakkannya di atas meja. Melihat hal ini si pemilik rumah
makan cepat mendatangi. Seraya membungkuk dia berkata. “Rara, aku Kecak Ronggo
yang rendah mana berani menerima pembayaran darimu. Simpan kembali uang itu
rara. Segala perlindungan yang diberikan padaku sudah cukup membuat aku
berhutang budi seumur hidup. Ambil kembali uang itu rara. Saya tidak berani
menerimanya…..”
Gadis berbaju merah mengangkat kepalanya sedikit menatap tampang Kecak
Ronggo, lalu tanpa berkata apa-apa dia berdiri dari kursinya, membalikkan tubuh dan
bergegas menuju ke pintu. Sampai di luar dia langsung naik ke atas punggung seekor
kuda putih.
“Ah, celaka aku! Celaka aku!” ujar Kecak Ronggo berulang kali. Uang di atas
meja diambilnya lalu dia lari ke pintu ssambil berteriak-teriak. “Rara, jangan! Ambil
uang ini kembali…..” Tapi sampai di pintu gadis berbaju merah itu sudah memacu
kudanya menuju ujung jalan. Kecak Ronggo masih terus berteriak-teriak memanggil
sambil acungkan tangan kirinya yang memegang uang. Namun sang dara lenyap di
kejauahn. Ketika pemilik rumah makan itu hanya bisa berdiri bengong tiba-tiba dari
samping berkelebat satu tangan dan tahu-tahu uang yang ada dalam genggamannya
lenyap. Ketika dia berpaling ke kiri dia mendengar satu suara siulan, di lain saat
dilihatnya pemuda berambut gondrong tadi tahu-tahu sudah berada di atas kuda coklat.
“Berani kau mengambil uang itu! Pemuda rampok! Kau tak tahu siapa gadis
berbaju merah itu! Orang-orangnya pasti akan mencincangmu sampai lumat!”
Dari atas punggung kuda Pendekar 212 menyeringai seraya timang-timang
uang yang dirampasnya dari Kecak Ronggo. Kudanya di putar dengan cepat.
Binatang itu sudah melompat dan lari jauh ketika Kecak Ronggo coba mengejar.
BASTIAN TITO 5
DUA
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kuda putih yang ditumpangi dara berpakaian merah itu larinya sebat sekali.
Bagaimanapun Wiro menggebrak kuda coklatnya tetap saja dia tidak mampu
mengejar. Ketika memasuki daerah berbukit-bukit yang di kiri kanannya diapit oleh
rimba belantara tak begitu lebat, murid Sinto Gendeng itu mulai mencari akal. Di satu
daerah ketinggian dia dapat melihat bahwa jalan yang ditempuh sang dara akan
menikung di sebuah penurunan maka dia harus memotong dengan membelok ke
kanan memasuki hutan.
Ketika Wiro mencapai tikungan di penurunan itu dan menunggu, dia menjadi
heran karena orang yang ditunggunya tak kunjung muncul. Padahal dia sudah
memperhitungkan masak-masak kalau kudanya pasti sampai lebih dulu di tempat itu
karena tadi dia menempuh jalan memotong yang lebih dekat jadi lebih cepat.
Pendekar kita jadi garuk-garuk kepala. Melihat kenyataan ini semakin besar hasratnya
untuk mengetahui siapa adanya dara berbaju merah itu.
Wiro memutuskan menunggu lagi sampai beberapa saat. Ketika yang ditunggu
tetap tak kunjung muncul denan penasaran pendekar ini akhirnya menepuk pinggul
kuda coklat dan meneruskan perjalanan. Belum seratus langkah menunggangi
kudanya, tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik. Wiro berpaling ke kanan, ke arah
bagian bukit yang agak gundul. Di atas sebuah batu besar yang rata tampak seekor
kuda putih dengan kepala mendongak ke langit dan meringkik beberapa kali.
“Itu kudanya! Tapi di mana orangnya…..?” ujar Wiro. Dia memandang
berkeliling, tetap saja tidak melihat sang dara berpakaian merah. “Dia pasti
bersembunyi di satu tempat dan saat ini pasti memperhatikan gerak gerikku!” pikir
Wiro pula. Maka sambil bersiul-siul kecil dia mendaki bukit menuju batu besar
tempat kuda putih berada. Sampai di situ kuda putih itu kembali meringkik. Wiro
melompat turun dari kudanya, menghampiri kuda puih dan mengelus-elus bulu tebal
di leher binatang ini.
“Tenang sobatku. Tenang. Tak ada apa-apa di tempat ini. Mana tuanmu yang
cantik jelita itu…..” kata Wiro seraya memandang berkeliling mencari-cari.
“Ah, di situ dia rupanya…..!” Pendekar 212 Wiro Sableng akhirnya
menemukan juga si gadis. Saat itu si baju merah ini tengah membasuh kedua tangan
dan mukanya di sebuah mata air jernih yang membentuk kolam kecil dengan dasar
batu batuan hitam. Tidak menunggu lebih lama lagi Wiro segera menuju ke mata air
itu.
Pendekar kita membuka pembicaraan dengan suatu pujian. “Saudari, kuda
putihmu itu hebat sekali. Larinya kencang luar biasa!”
Yang ditegur diam saja, berpalingpun tidak. Terus saja sang gadis membasuh
mukanya dengan air yang jernih dan sejuk itu. Murid Eyang Sinto Gendeng garukgaruk
kepala. “Jangan-jangan gadis ini tuli dan bisu.” Pikirnya. “Waktu di rumah
makan tadi, tak sepotong katapun keluar dari mulutnya ……” memikir begitu Wiro
ikut berjongkok di tepi mata air dan membasuh kedua tangan serta mukanya pula,
seperti yang dilakukan si gadis.
Karena sampai sekian lama gadis itu tidak mengacuhkan kehadirannya di sana,
Wiro lalu keluarkan uang logam milik si gadis yang diambilnya dari Kecak Ronggo si
pemilik rumah makan. Uang logam itu diletakkannya di atas sebuah batu dekat kaki si
baju merah. Sang dara hanya melirik sesaat lalu meneruskan mencuci mukanya.
BASTIAN TITO 6
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kemudian perlahan-lahan dia berdiri sambil mengeringkan wajahnya dengan sehelai
sapu tangan.
Wiro ambil kembali uang yang diletakkannya di atas batu, menimangnimangnya
beberapa kali lalu mendehem.
“Saudari, itu uang milikmu yang dikembalikan oleh pemilik rumah makan.
Mengapa kau tak mau mengambilnya…..?” bertanya Wiro.
Si gadis tidak menjawab malah melangkah menuju ke kudnya. Wiro jadi
geleng-geleng kepala. Kalau orang memang tidak suka diajak bicara, apalagi
berkenalan diapun tak akan memaksa. Semula uang di atas batu hendak diambilnya.
Tapi karena jengkel dibiarkannya saja. Sambil melangkah menuju ke kudanya sendiri
dia berkata setengah menggerendang.
“Sayang dan kasihan. Cantik-cantik begitu ternyata tuli dan bisu…..!”
Baru saja Wiro berkata demikian tiba-tiba terdengar suara bentakan dari
samping.
“Siapa yang tuli! Siapa yang bisu?!”
“Eh!” Wiro tergagap kaget. Dia berpaling. Yang membentak adalah gadis
berbaju merah itu. “Astaga!”
“Astaga apa?!” kembali si gadis menghardik dengan mata mmbeliak.
“Jadi……?”
“Jadi apa?!”
“Ternyata kau tidak tuli. Juga tidak bisu! Maafkan diriku yang menyangka
keliru. Habis sejak kulihat pertama kali di rumah makan itu, tidak sepotong suarapun
keluar dari mulutmu…….!”
“Katakan mengapa kau mengejar dan mengikutiku?!” sang dara bertanya.
Kedua matanya tidak berkedip.
“Aku tidak bermaksud buruk,” sahut Wiro pula.
“Mana mungkin!” tukas si gadis. “Kenalpun tidak, lalu mengikuti diriku.
Mengejar dengan mengambil jalan memotong! Kau mau membegalku?!”
Wiro tertawa lebar dan garuk-garuk kepala. “Jangan menduga seperti itu. aku
hanya ingin tahu dirimu sebenarnya. Waktu di rumah makan kulihat pemilik rumah
makan menyambutmu secara istimewa. Para tamu ketakutan dan cepat-cepat
meninggalkan tempat itu. yang tak mau pergi dilempar oleh Kecak Ronggo. Lalu
kulihat hidangan luar biasa diberikan padamu. Dan waktu kau mau bayar, pemilik
kedai menolaknya dengan ketakutan. Jika kau bukan seorang luar biasa pasti tidak
demikian perlakuan orang. Nah itu saja yang ingin kuketahui…..”
“Siapa percaya pada keteranganmu. Ada dua macam orang jahat di dunia
ini….” berkata si gadis.
“Maksudmu?” tanya Wiro.
“Yang pertama, mereka yang memperlihatkan kejahatannya secara terus
terang. Langsug. Misal bangsa maling dan rampok. Yang kedua yang berkedok purapura
jadi orang baik. Kaku kurasa temasuk orang yang kedua!”
Wiro menggeleng. “Dugaanmu meleset. Aku buka orang jahat. Juga bukan
orang baik. Saudari, kulihat kau tidak begitu suka terhadapku. Lebih baik aku pergi
saja. Maafkan kalau aku telah mengganggu diri dan waktumu…..”
Si gadis melirik pada uang logam yang tadi diletakkan Wiro di atas batu.
“Sebelum pergi harap kau ambil uang di atas batu itu. Paling tidak penambah
bekalmu dalam perjalanan……”
Dari nada ucapan sang dara Wiro maklum kalau kata-kata itu bukan
menunjukkan rasa kebaikan, tapi bermaksud menghinanya. Maka diapun menjawab
BASTIAN TITO 7
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Terima kasih. Aku tidak butuh uangmu. Berikan saja pada pengemis. Mereka lebih
membutuhkan dariku….”
Habis berkata begitu Wiro lantas melangkah pergi. Baru saja dia hendak naik
ke atas punggung kudanya, dari lereng bukit sebelah kiri tiba-tiba terdengar derap
kaki kuda. Wiro berpaling. Dia melihat empat lelaki penunggang kuda mendatangi
tempat dia dan si gadis berada dengan cepat. Sesaat kemudian keempat orang ini
sudah berada di depan gadis itu. keempatnya mengenakan pakaian serba merah,
membekal pedang dan golok. Mereka memandang dengan curiga ke arah Wiro lalu
berpaling pada si gadis dan serentak menjura memberi penghormatan.
“Tidak disangka bertemu dengan kawan segolongan di tempat ini. Apakah
saudari berada di sekitar sini dalam rangka persiapan pertemuan besar di puncak
Bukit Batu Merah…..?’
Gadis yang ditanya diam saja kemudian mengangkat bahu dan tak beranjak
dari tempatnya berdiri. Sebaliknya saat itu Wiro yang tadi hendak naik ke kudanya
kini melangkah ke dekat mata air, lalu duduk di atas batu di mana masih terletak uang
logam milik gadis berpakaian merah itu.
Karena yang ditanya tak menjawab, tentu saja keempat orang itu merasa tidak
enak. Yang berkumis dan berjanggut pendek berpaling ke arah Wiro. Saat itu
Pendekar 212 tampak duduk di atas batu sambil cengar-cengir dan menimang-nimang
uang logam di tangan kanannya.
“Saudari, apakah pemuda berotak miring itu mengganggumu?” si kumis
bertanya.
Daru berbaju merah melirik ke arah Wiro. Lalu tiba-tiba saja dia menjawab.
“Betul! Dia sejak tadi menggangguku! Bahkan mengikuti perjalananku! Pemuda
kurang ajar! Sinting tak tahu diri!”
“Eh……!” Wiro melengak kaget mendengar kata-kata si gadis.
Sebaliknya si kumis berbaju merah terdengar berkata. “Kawan, tak usah
kawatir. Biar aku memberi pelajaran sopan santun pada pemuda geblek itu. kau
inginkan dia hanya disiksa atau langsung dibikin mati?!”
Mendengar kata-kata itu sang dara jelas tampak agak kaget. Tapi sesaat
kemudian dia menjawab “Terserah padamu dan kawan-kawan! Saat ini aku harus
melanjutkan perjalanan!”
“Silahkan melanjutkan perjalanan saudari. Kita akan berjumpa lagi di Bukit
Batu Merah pada hari kelima bulan kelima! Pemuda ini serahkan padaku dn temanteman.
Selamat jalan!”
Gadis berbaju merah tertawa lebar. Dia berpaling pada Wiro. Sambil
melangkah ke kudanya dia berkata. “Rasakan olehmu sekarang! Itu akibat kalau suka
mengintili perempuan! Habis awakmu!” Sang dara lalu keluarkan suara tertawa dan
melompat ke punggung kudanya lalu menghambur tinggalkan tempat itu. Tinggal kini
Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat ini tengah didatangi oleh lelaki berkumis dan
berjanggut pendek. Orang ini melangkah dengan muka galak dan tangan kanan
terkepal!
BASTIAN TITO 8
TIGA
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pendekar 212 masih saja tenang-tenang duduk di atas batu sambil menimangnimang
uang logam dengn tangan kanannya. Merasa dianggap enteng amarah lelaki
berkumis dan berjanggut pendek menjadi menggelegak.
Wuuuutttt!
Kepalan tangan kanan yang keras terdengar menderu mengeluarkan angin
tanda jotosan yang dilakukan penuh marah itu disertai kekuatan tenaga luar yang
dahsyat.
Tiga orang berpakaian serba merah yang masih berada di atas kuda masingmasing
tampak heran dan kaget ketika melihat kawan mereka si kumis melintir ke kiri
lalu sempoyongan hampir terbanting ke tanah! Sementara itu pemuda yang tadi
hendak dijotosnya tetap saja duduk di atas batu sambil cengar-cengir dan masih
menimang-nimang uang logam!
“Keparat! Kau berani mempermainkanku!” orang berkumis membentak marah
sekali.
Tiga kawannya melompat dari atas kuda, langsung mengurung murid Sinto
Gendeng.
Apa sebenarnya yang terjadi? Ketika si kumis melayangkan tinjunya untuk
menghantam muka Wiro, pendekar kita miringkan kepalanya sedikit hingga tinju
orang lewaT seujung kuku di pipi kanannya. Karena pukulan yang mengerahkan
tenaga luar yang keras itu tidak mengenai sasarannya, si kumis kehilangan
keseimbangan oleh dorongan kekuatannya sendiri. Akibatnya tubuhnya terhuyung
deras hampir terpelanting jatuh!
“Sangaji, rupanya pemuda gila ini tidak tahu kita ini siapa! Beritahu saja agar
dia tidak bersikap lebih kurang ajar!” salah seorang kawan si kumis membuka mulut.
“Kau saja yang memberi tahu Galut!” jawab si kumis sambil menggulung
lengan baju merahnya tanda dia siap untuk menghajar kembali si gondong di
hadapannya.
Orang yang bernama Galut melangkah ke hadapan Wiro dan berkata “Pemuda
gila! Kowe tahu tengah berhadapan dengan siapa kau saat ini? Kowe tahu siapa kami
ini? Dan kowe tahu siapa gadis yang tadi berani kau ganggu?!”
Wiro goleng-golengkan kepala lalu menyahut “Siapa kalian mana aku tahu!
Dan aku tidak merasa mengganggu gadis tadi!” jawab Wiro polos.
Si kumis yang bernama Sangaji langsung melompat dan layangkan tinjunya.
Tapi kawannya Galut cepat menahan dan berkata pada Wiro dengan suara bergetar.
“Kami adalah anggota-anggota Serikat Setan Merah! Gadis itu salah satu anggota
kami! Dan kau berani berlaku kurang ajar terhadap anak buah Serikat Setan Merah!
Sungguh berani mati!”
“Serikat Setan Merah!” seru Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia belum pernah
mendengar nama perkumpulan itu. Namun di hadapan keempat orang yang tidak
dikenalnya itu dia menyahuti “Nama Serikat Setan Merah memang sudah lama
kudengar! Tapi apakah kalian sadar tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!”
“Anjing kurap!” teriak Sangaji marah besar. “Katakan siapa dirimu!”
Wiro menyeringai. Dia memandangi keempat orang itu satu persatu. Tangan
kanannya masih menimang-nimang mata uang. Tiba-tiba mata uang itu
dilemparkannya tingg-tinggi ke udara. Lalu ketika mata uang mulai jatuh ke bawah
dia menengadahkan kepalanya. Uang logam tepat jatuh di mata kirinya. Dengan
BASTIAN TITO 9
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
tangan kirinya Wiro usap uang logam dan matanya. Ketika tangannya diangkat uang
logam itu telah lenyap dari atas mata kirinya.
“Uang logam itu telah kubikin amblas ke dalam mata kiriku!” ujar Pendekar
212 lalu tertawa gelak-gelak.
“Bangsat! Kau kira bisa menipu kami?! Uang itu kau sembunyikan dalam
genggaman tangan kirimu!” salah seorang anggota Serikat Setan Merah berseru.
Rupanya dia telah memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Wiro.
Wiro kembali tertawa bergelak. Dia buka tangan kirinya yang tergenggam.
Ternyata uang logam itu tak ada dalam genggamannya.
“Pemuda keparat! Jangan coba mengalihkan urusan dengan ilmu sulap
picisan!” teriak Sangaji.
Wiro tersenyum lebar. Lalu berkata “Kalian kulihat begitu bagga menyebut
diri sebagai anggota-anggota Serikat Setan Merah! Ilmu kalian tentu tidak rendah.
Tapi di mana uang logam itu berada kalian tak mampu mengetahuinya. Sungguh
memalukan! Berlagak punya nama besar tapi sebenarnya goblok!”
“Kurang ajar! Berani kau menghina kami!” teriak Galut.
“Sabar! Jangan cepat naik darah sobat!” ujar Wiro. “Uang logam itu kini
berada dalam saku baju kirimu Galut!”
Meskipun sangat marah dan tidak percaya tapi Galut mengeruk juga saku
bajunya. Ketika tangannya meraba ke dalam saku, astaga! Uang itu ternyata memang
ada dalam saku itu dan perlahan-lahan dikeluarkannya. Tiga orang kawannya tentu
saja tampak terheran-heran. Tapi Sangaji cepat berkata. “Permainan sulapmu cukup
bagus! Tapi itu tidak membuat kami mengampuni segala kekurang ajaranmu!” Habis
berkata begitu Sangaji melompat untuk mengirimkan jotosan ke arah jantung Wiro.
Tapi lagi-lagi Galut mencegahnya.
“Orang ini tak bakalan lolos dari tangan kita Sangaji. Biarkan dulu dia kita
beri kesempatan untuk menerangkan siapa dia adanya! Ayo gondrong! Lekas katakan
siapa dirimu!”
Wiro masukkan uang logam ke saku pakaian lalu tegak berdiri sambil letakkan
kedua tangan di pinggang. “Aku adalah Ketua Serikat Setan Putih! Ketua Serikat
Setan Merah adalah adik seperguruanku! Nah, setelah tahu siapa aku, apakah masih
berani berlaku kurang ajar tidak mau segera berlutut minta ampun?!”
“Penipu besar bermulut busuk! Siapa percaya omonganmu!” teriak Galut.
“Ketua kami tidak pernah menerangkan kalau punya kakak seperguruan yang
memimpin Serikat Setan Putih! Galut! Mari kita ganyang pemuda sedeng ini!”
Maka Sangaji dan Galut langsung menyerbu Pendekar 212. Wiro sudah
maklum kalau orang-orang yang menyerangnya bukan saja memiliki tenaga luar yang
hebat tapi juga membekal tenaga dalam. Maka cepat-cepat dia menyingkir dengan
melompat ke kiri. Begitu turun kaki kanannya sengaja menginjak mata air hingga air
muncrat dan dengan deras memercik di muka Sangaji dan Galut.
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Pemuda iblis! Aku bersumpah membunuhmu!” teriak Sangaji lalu dorongkan
tangan kanannya ke depan. Inilah tanda dia tengah melancarkan pukulan tangan
kosong yang mengandung tenaga dalam. Murid Sinto Gendeng cepat selamatkan diri
sebelum tubuhnya tersambar angin pukulan lawan. Namun saat itu dari samping
serangan Galut berupa jotosan datang menyusup dengan cepat ke bahu kiri Pendekar
212.
Buukkkkk!
Pukulan yang tanpa kekuatan tenaga dalam itu menghantam bahu Wiro
dengan keras. Pendekar 212 terjajar ke kanan. Sebaliknya saat itu terdengar pekik
BASTIAN TITO 10
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Galut. Orang ini tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangan kanannya. Jari-jari
tangannya tampak gembung merah dan lecet sedang tulang pegelangan tangannya
lepas dari persendian. Tangan kanan Galut sebatas lengan ke bawah tampak terguntaiguntai
dan sakitnya yang bukan main membuat Galut mengeluh tinggi berulang kali.
Ketika Wiro terjajar ke kanan akibat pukulan Galut tadi, kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh Sangaji. Kedua tangannya di dorong ke depan. Pelipis dan
rahangnya menggembung.
“Kunyuk ini mengerahkan seluruh tenaga dalamnya!” kata Wiro dalam hati.
Diapun langsung menyalurkan tenaga dalam dari perut ke tangan kanan lalu angkat
telapak tangan itu ke atas menyambuti serangan lawan.
Dua angin menderu menghantam ke arah Wiro tetapi tertahan begitu
membentur serangkum angin yang keluar dari telapak tangan Pendekar 212. Perlahanlahan
Wio dorongkan telapak tangan kanannya ke depan. Sangaji terkejut ketika
merasakan ada satu kekuatan dahsyat laksana satu tembok batu mendorong tubuhnya
ke belakang. Dia coba bertahan dengan sekuat tenaga tapi kedua lututnya menjadi
goyah, tubuhnya bergetar dan dadanya mendenyut sakit.
“Celaka!” keluh Sangaji. Dia berseru keras lalu melompat setinggi dua tombak
menghindari gempuran kekuatan dahsyat yang seperti hendak merontokkan tulang
belulangnya. Dari atas Sangaji membuat gerakan menukik, tubuhnya berkelebat ke
arah Wiro. Saat itu di tangan kanannya sudah tergenggam sebilah golok. Senjata ini
menderu keras, membabat ke arah leher Pendekar 212!
Serangan yang dilancarkan Sangaji memang hebat dan bagus untuk disaksikan.
Tubuhnya laksana seekor burung walet menyambar mengsanya. Tapi kehebatan
serangan ini tidak ditunjang oleh gerakan yang cepat, padahal gerakan cepat adalah
dasar kesempurnaan setiap jurus silat.
Golok menyambar di atas kepala Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu senjata
lawan lewat kedua tangan Wiro melesat ke atas. Sangaji terkejut ketika disadarinya
pergelangan tangannya telah dicengkeram lawan namun tidak ada kesempatan
baginya untuk melepaskan diri. Tahu-tahu tubuhnya sudah dibetot keras ke samping.
Tak ampun lagi tubuh Sangaji terlempar sejauh beberapa tombak, begitu jatuh ke
tanah langsung berguling-guling!
Dalam keadaan tubuh dan pakaian serta muka babak belur Sangaji berusaha
berdiri. Goloknya lepas mental entah kemana. Dia berpaling pada kedua kawannya
yang tegak terkesiap lalu berteriak marah. “Kalian menunggu sampai aku dan Galut
mampus dulu baru membantu?!”
Dua anggota Serikat Setan Merah yang dibentak seekan tersadar. Keduanya
segera menghunus senjata masing-masing yakni golok dan pedang pendek lalu
langsung menyerang Wiro. Satu dari samping kanan, satunya dari sebelah kiri.
Karena masih segar bugar belum cidera serangan dua anggota Serikat Setan Merah ini
tampak sebat dan berbahaya. Wiro tak mau berlaku ayal. Dia segera berkelebat cepat
untuk hindari diri. Tubuhnya bergerak ke kiri, berpindah ke kanan, membalik dan
tahu-tahu kaki kanannya melesat menghantam dagu salah seorang penyerang. Tak
ampun lagi orang ini terpental, tergelimpang di tanah dalam keadaan pingsan dan
mulut berdarah! Kawannya yang satu lagi nampak panik tapi masih berusaha
menyerbu dengan menusukkan pedangnya ke perut Wiro.
Pendekar 212 tendang siku penyerangnya dengan kaki kiri.
Terdengar suara berderak disertai jeritan setinggi langit.
Pedang pendek terlepas mental ke udara. Anggota Serikat Setan Merah
mundur menjauhi Wiro. Mukanya tampak mengerenyit pucat. Akhirnya dia tersandar
pada sebuah lamping batu sambil pegangi tangan kanannya yang patah!
BASTIAN TITO 11
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro memandang berkeliling sambil bertolak pinggang.
“Serikat Setan Merah!” katanya sambil mencibir. “Dari sikap dan tindak
tanduk kalian aku tahu kalian bukanlah manusia-manusia dari perkumpulan baikbaik!
Hari ini aku hanya memberi pelajaran secukupnya. Tapi lain kali jika kalian
masih berani bertindak sewenang-wenang dengan mengandalkan nama komplotan
kalian, kalian akan kuhajar babak belur lalu kutelanjangi hingga kalian bukan lagi
sebagai Setan Merah tapi Setan Telanjang!”
Wiro mendengus lalu melangkah mendekati kudanya. Sebelum berlalu masih
sempat didengarkannya Sangaji berteriak. “Pemuda keparat! Kami tidak akan
melupakan apa yang terjadi hari ini! kami akan mencarimu untuk membuat
perhitungan! Jangan harap kau akan bisa bernafas jika bertemu kami sekali lagi!”
“Manusia sombong! Urusi dulu muka dan pakaianmu yang compang camping
berkelukuran tanah!” sahut Wiro pula lalu gebrakkan kuda coklatnya dan tinggalkan
tempat itu.
Sesaat setelah meninggalkan bukit dimana Wiro kini harus menghadapi empat
orang lelaki berseragam merah, dara penunggang kuda putih yang juga berpakaian
serba merah sebenarnya merasa heran. Mengapa rombongan empat orang itu begitu
menghormatinya, memanggil dirinya sebagai kawan segolongan lalu menyebutnyebut
pertemuan di Bukit Batu Merah tanggal lima bulan kelima. Apa arti semua
ini? dia menghubungkan pula dengan kejadian di rumah makan sebelumnya. Lalu
ingat pada pemuda gondrong berpakain putih itu . Siapa pula pemuda ini sebenarnya.
Mengapa dia mengikuti dirinya. Semua pertanyaan itu belum terjawab dan sulit akan
terjawab kalau dia tidak menyelidiki sendiri. Perlahan-lahan sang dara hentikan
kudanya. Dia berpikir-pikir beberapa ketika. Akhirnya dia putar kembali
tunggangannya itu dan memacunya menuju bebukitan dimana tadi dia berada. Dari
balik sebuah batu yang terlindung oleh semak belukar, gadis berbaju merah ini
memperhatikan apa yang terjadi. Semua yang berlangsung di situ disaksikannya
dengan terheran-heran. Terlebih-lebih ketika dilihatnya begaimana Wiro
memperhatikan keempat lelaki berseragam yang mengaku anggota-anggota Serikat
Merah lalu menghajar mereka satu demi satu!
“Pemuda itu agaknya tidak berotak miring…..” membatin sang dara.
“Kepandaiannya luar biasa. Ada keanehan pada dirinya. Mungkin dia sengaja
menyembunyikan kehebtan dirinya di balik sikap yang konyol seperti orang geblek
begitu? Ah, peduli apa aku dengan dirinya.” Akhirnya gadis ini memutar kudanya dan
tinggalkan tempat itu.
BASTIAN TITO 12
EMPAT
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kuda putih itu berlari kencang meninggalkan kepulan debu jalaan di belakangnya.
Bagaimanapun dara berpakaian merah itu tidak ingin mengingat-ingat apa yang
disaksikannya di bukit gundul tadi namun tetap saja apa yang terjadi terbayang di
pelupuk matanya. Sesekali dia tampak tersenyum ketika ingat bagaimana pemuda
berambut gondrong itu mempermainkan empat anggota Sereikat Setan Merah dengan
permainan uang logamnya.
“Ah, baru tiga hari aku turun gunung, banyak keanehan yang kutemui di
tengah jalan!” berkata sang dara dalam hati. Dia mengusap leher kuda tunggangannya
seraya berkata. “Ayo, Putih, percepat larimu! Kita harus sampai di Solotigo sebelum
matahari terbenam!”
Seakan mengerti ucapan penunggangnya kuda putih itu keluarkan suara
meringkik kecil lalu percepat larinya.
“Bagus! Kau memang kuda yang baik!” memuji sang dara.
Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba binatang tunggangannya meringkik
panjang lalu hentikan lari sambil angkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Jika saja
sang dara tidak cepat bergayut pada lehernya, pastilah dia akan jatuh terpelanting ke
tanah.
“Tenang Putih! Apa yang kau takutkan…..?!” ujar gadis berpakaian merah
seraya mengusap-usap leher kuda putihnya. Perlahan-lahan kudanya melangkah ke
depan. Di balik sebuah tikungan pada jalan yang akan dilalui sang dara,
membelintang sebuah pohonn besar. Untung saja kuda tunggangannya memiliki
perasaan tajam sehingga meskipun pohon itu berada di tikungan jalan yang belum
kelihatan tapi binatang ini telah mengetahui adanya bahaya dan langsung
menghentikan larinya.
“Hemmmm….. Ada yang sengaja menghadang perjalanan kita……” bisik
sang dara pada kuda putihnya. Lalu dia melompat turun. Baru saja sang dara
menjejakkan kedua kakinya di tanah dari balik semak belukar yang mengapit jalan
tanah itu tiba-tiba berlompatan enam orang yang tak satupun dikenal oleh si gadis.
Orang pertama seorang kakek berpakain compang-camping, berambut kotor
acak-acakan. Di tangan kanannya dia memegang sebatang tongkat yang terbuat dari
sejenis akar pohon. Berbeda dengan keadaan si kakek, lima orang lain yang
mengurung tempat itu adalah empat orang pemuda dan seorang pemudi. Mereka
semua mengenakan pakaian biru muda dan rata-rata bertampang gagah sedang si
gadis yang memakai baju biru tua, memiliki wajah jelita berkulit putih mulus.
Si kakek berbaju compang camping menuh tambalan tertawa mengekeh tapi di
balik tawanya itu jelas dia menyimpan satu kemarahan besar karena sepasang
matanya tampak berkilat-kilat.
“Anak-anak, akhirnya kita temui juga salah seorang dari mereka!” berkata si
kakek. “Lekas kalian ringkus dia kemudian kita tanyai!”
“Dan jika dia tidak mau memberitahu dimana Griyati berada, habisi saja
nyawanya!” Yang menimpali kata-kata si kakek adalah dara berbaju biru tua.
Lalu empat pemuda dan satu gadis yang melakukan pengurungan itu tanpa
menunggu lebih lama segera menyerbu dara berbaju merah.
“Tunggu!” si baju merah berseru. “Apa-apaan ini?! Aku tidak kenal kalian.
Mengapa hendak meringkus diriku?!”
BASTIAN TITO 13
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Si kakek tertawa lalu mendengus. “Tiga hari lalu kalian orang-orang Serikat
Setan Merah menyerbu tempat kediaman kami karena kami tidak mau bergabung
dengan kalian! Lalu kalian membunuh beberapa anak muridku! Juga menculik Griyati,
muridku paling muda dan paling kami sayangi! Kini kami bisa menghadangmu,
apakah kami akan menyia-nyiakan kesempatan?! Kau dengar sendiri! Jika kau tidak
memberitahu di mana Griyati berada, apalagi kalau sampai gadis itu mengalami
cidera, kaupun akan kami cincang sebagai pembalasan dan kepalamu kami
pancangkan di tengah pasar di Solotigo agar semua anggota Serikat Setan Merah
mengetahui dan tidak berani lagi melakukan kejahatan seenak perutnya!”
“Orang tua, aku kasihan pada dirimu!” kata dara berpakaian merah sambil
gelengkan kepala. “Tapi kau dan murid-muridmu salah sangka. Aku bukan anggota
Serikat Setan Merah. Aku juga tidak tahu di mana muridmu bernama Griyati itu
berada!”
Lima murid orang tua berpakaian compang-camping mendengus dan unjukkan
muka berang. Si kakek sendiri tertawa perlahan. “Biasa begitu,” katanya. “Setelah
terkurung dan tak bisa lolos, seseorang selalu berusaha mencari jalan menyelamatkan
diri dengan mengatakan seribu kebohongan!”
“Terserah pada kalian untuk percaya atau tidak! Aku sudah bilang aku bukan
anggota segala macam Serikat Setan atau Serikat Iblis. Aku tidak tahu di mana murid
perempuanmu berada! Sekarang beri jalan. Orang tua harap kau perintahkan muridmuridmu
menyeret pohon itu ke tepi agar aku bisa lewat!”
“Gadis setan!” teriak dara berbaju biru tua. Dia mendahului keempat saudara
seperguruannya menyerang si baju merah. Perkelahian satu lawan lima tidak
terhindarkan lagi. Dalam waktu singkat si baju merah segera terdesak hebat. Tapi
gadis itu tampak tenang sekali. Penuh percaya diri dia hadapi kelima pengeroyoknya
dengna tabah. Gerakannya tampak lembut. Tapi di balik kelembutan itu terdapat satu
kekuatan yang dahsyat. Dan kelembutan itu sendiri bisa berubah secara tiba-tiba
menjadi gerakan yang sangat cepat serta tidak terduga.
Setelah lebih dari enam jurus didesak habis-habisan, si baju merah keluarkan
seruan nyaring. Tubuhnya berkelebat seperti lenyap. Kini hanya bayangan pakaian
merahnya saja yang tampak bergerak kian kemari.
Kakek bertongkat akar pohon terkesiap ketika dia mendengar salah seorang
muridnya keluarkan jerit kesakitan lalu tampak tubuhnya terhuyung sambil pegangi
perut. Tendangan dara berbaju merah rupanya telah menghantam perutnya hingga dia
terpaksa keluar dari kalangan perkelahian dan duduk di tepi jalan menahan sakit. Si
kakek cepat mendatangi untuk menolong muridnya yang cidera itu tapi gerakannya
tertahan ketika sekali lagi dia mendengar jeritan muridnya. Belum sempat dia
berpaling memutar kepala, satu sosok tubuh mencelat ke arahnya, lalu tergelimpang
di tanah sambil mengerang kesakitan. Mata kiri murid kedua yang jadi korban tampak
bengkak merah. Mau tak mau orang tua itu jadi tercekat dan memandang ke arah
kelanagan perkelahian.
Kalau tadi si baju merah kena didesak hebat maka kini di mana dia hanya
menghadapi tiga orang pengeroyok, serangan-serangan balasannya tidak tertahankan
lagi. Korban ketiga adalah murid perempuan si kakek. Si baju merah berhasil
menjambak rambutnya hingga sanggulnya terlepas. Bagitu rambut gadis ini tergerai,
si baju merah menariknya kuat-kuat lalu membantingkannya ke tanah.
Dara berbaju biru tua terpekik kesakitan. Masih untung dia sanggup
mengimbangi tubuh hingga tidak jatuh punggung ke tanah. Degnan rambut masih
terurai, penuh amarah gadis ini kembali melompat untuk menyerbu!
BASTIAN TITO 14
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Sarti!” seru si kakek. “Mundurlah. Tolong dua saudaramu yang cidera!” lalu
sambil melangkah terbungkuk-bungkuk orang tua ini mendekati kelangan perkelahian.
Kembali dia berseru. “Kalian berdua juga mundur! Biar aku yang menghadapi gadis
binal ini!”
Dua murid si kakek yang masih berusaha menghadapi si baju merah dengan
muka merah karena malu cepat-cepat melompat mundur. Salah seorang dari mereka
masih sempat menjura dan berkata. “Guru, maafkan kami tidak bisa meringkusnya!”
“Sudah, menjauh sana! Apa sih sulitnya meringkus tikus bau pesing seperti
gadis ini…..?!” ujar si kakek pula.
Mendengar dirinya disebut “gadis binal” lalu “tikus bau pesing” dara berbaju
merah menjadi marah dan balas mendamprat. “Tua bangka bau tahi kuda! Majulah
lebih dekat biar kusumpal mulutmu yang lancang itu dengan kepalan!”
Si kakek tertawa pendek. Tanpa bilang apa-apa lagi dia langsung putar
tongkatnya. Gerakannya biasa-biasa saja. Tapi tahu-tahu ujung tongkat telah menusuk
ke arah tengorakannya. Si gadis sampai keluarkan pekikan kaget dan buru-buru
melompat mundur. Tapi tongkat si kakek kembali memburunya. Setiap kali dia
melompat atau membuat gerakan mengelak. Ujung tongkat itu selalu bergerak
menghadangnya. Begitu kejadian terus menerus hingga lama-lama si gadis menjadi
kewalahan!
Selagi keadaan si baju merah terdesak seperti iu tiba-tiba terdengar suara
orang tertawa di atas pohon. Yang tengah berkelahi tentu saja tidak berani palingkan
kepala. Tapi empat murid si kakek serentak berpaling dan mendongak ke tas sebuah
pohon. Di atas sebatang cabang yang tingginya sekitar tiga tombak dari tanah, tampak
duduk seorang pemuda berpakaian putih tertawa-tawa sambil menggeragoti sebatang
tebu.
“Perkelahian seru!” ujar pemuda di atas pohon. “Kucing tua melawan cerurut
merah! Ha……ha……ha! Tentu saja kucing tua yang bakal menang! Tapi kalau
cerurut merah mau pakai akal, pasti kucing tua itu bisa dibuat tak berdaya!
Ha…..ha……ha…….!”
Kakek tua itu marah sekali dirinya disebut sebagai kucing tua. Begitu juga
sang dara baju merah yang dikatakan sebagai cerurut merah. Empat murid si kakek
memandang melotot penuh marah pada pemuda di atas pohon tapi mereka tidak
berani melakukan sesuatu selagi guru mereka terlihat berkelahi dengna gadis berbaju
merah itu.
Karena ingin menyelesaikan perkelahian dengan cepat lalu memberi pelajaran
pada orang yang menyebutnya kucing tua, si kakek putar tongkat akarnya dengan
cepat. Kini makin terdesaklah si baju merah.
“Hai! Tidak juga kau pergunakan akalmu cerurut merah! Atau kau memang
sudah kehabisan akal! Kalau begitu biar aku memberikan petunjuk!” terdengar
pemuda di atas pohon berucap. “Cerurut merah, lekas kau masuk ke balik semak
belukar di tepi jalan di belakangmu! Tongkat butut kucing tua itu pasti tak akan
banyak gunanya dan kau akan lebih leluasa menghadapinya!”
Meskipun tidak suka diperintah orang, namun petunjuk yang diterima dalam
keadaan terdesak begitu rupa mau tak mau diikuti juga oleh si gadis berbaju merah.
Dia melompat ke balik semak belukar. Si kakek memburu. Tapi seperti yang
dikatakan orang di atas pohon di dalam semak belukar yang lebat begitu rupa tongkat
di tangan orang tua itu tidak bisa berbuat banyak. Setiap dia hendak memukul atau
membabat, rerantingan dan semak belukar menghalangi gerakan tongkatnya. Jika dia
coba menusuk. Lengan dan tangan pakaiannya tertahan oleh semak-semak!
BASTIAN TITO 15
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Kurang ajar! Siapa yang berani ikut campur urusan orang?!” bentak si kakek
marah. Dia berpaling ke arah pohon di belakangnya. Begitu melihat pemuda yang
duduk di cabang pohon sambil mengunyah-ngunyah tabu orang tua ini menjadi sangat
jengkel. “Pemuda lancang! Kau tetap di situ! Jangan lari! Setelah gadis ini kuringkus,
giliranmu akan kugebuk kuberi pelajaran!”
Pemuda di atas pohon tertawa. “Orang tua!” serunya membalas. “Mengapa
berlaku tolol! Dara itu bilang dia bukan anggota Serikat Setan Merah! Juga tidak tahu
di mana muridmu bernama Griyati itu berada! Mengapa masih ingin meringkusnya?
Eh….. jangan-jangan kau punya maksud lain! Kau naksir pada gadis itu ya?
Ha….ha…..ha! Tua bangka tak tahu diri. Seharusnya kau berkaca dulu sebelum
punya pikiran seperti itu!”
“Mulutmu kotor! Aku bersumpah akan merobek mulutmu itu! Jangan lari!
Aku akan selesaikan urusanku dengan gadis ini!” teriak si kakek.
“Biar kami yang menghajar pemuda lancang bermulut keji itu, guru!” kata
salah seorang murid si kakek.
“Tidak, kau dan saudara-saudaramu awasi saja dia jangan sampai lari! Nanti
aku sendiri yang akan menghajarnya!”
Sebenarnya si kakek itu sudah maklum siapapun adanya pemuda di atas pohon
itu, kalau kehadirannya tidak seorangpun sempat mengetahui sebelumnya, pastilah dia
memiliki kepandaian tinggi. Karena ada rasa kawatir dalam hatinya, itulah sebabnya
si kakek memperingati kelima muridnya untuk tidak bertindak mendahului.
Ketika tadi si kakek berpaling dan bicara dengan pemuda di atas pohon,
kesempatan ini dipergunakan pula oleh dara berbaju merah untuk melirik ke atas
pohon.
“Ah, dia rupanya!” kata sang dara dalam hati ketika mengenali siapa adanya
orang di atas pohon. Pemuda itu bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang
sebelumnya ditemuinya di kedai dan beberapa waktu lalu dijebaknya hingga harus
menghadapi empat orang anggota-anggota Serikat Merah!
Si kakek berpaling kembali kepada dara baju merah yang berada di balik
semak belukar. Rahangnya mengembung. “Apa kau kira akan bisa berlindung terus di
balik semak belukar hah?!” kertaknya.
“Kakek bau! Kau tak bakal menang menghadapiku! Bagaimana kalau kau
melayani dulu kacungku yang di atas pohon sana! Kalau kau bisa mengalahkannya
maka aku akan menyerahkan diri tanpa perlawanan padamu!”
“Gadis edan!” maki Wiro dengan suara tertahan dan melengak jengkel. “Enak
saja dia menyebutku kacungnya! Lagi-lagi dia hendak pergunakan otak liciknya!
Sebelumnya aku dijebak hingga harus berkelahi dengan empat lelaki berpakaian serba
merah itu! Kini dia hendak mengadu aku dengan kakek berpakain compang camping
itu! Sungguh cerdik!”
“Hemm…… jadi monyet gondrong di atas pohon itu adalah kacungmu
ya…..?!” kakek bertongkat akar pohon manggut-manggut. “Aku lebih suka
menggebuk tuannya lebih dulu, urusan dengan kacungmu itu biar kuselesaikan nanti!”
Habis berkata begitu si kakek selipkan tongkatnya di ketiak kiri lalu dia membungkuk.
Apa yang dilakukan orang tua itu sungguh luar biasa! Dengan kedua tangannya dalam
gerakan yang cepat dia mencabuti semak belukar yang ada di tempat itu hingga dalam
waktu singkat semak belukar yang tadi menjadi perlindungan bagi sang dara kini
rambas dan tempat itu jadi terbuka. Dalam marahnya rupanya si kakek merasa tak ada
jalan lain untuk dapat mencapai dan megnalahkan si gadis selain harus merambas
semak belukar yang ada di sekitar situ.
BASTIAN TITO 16
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Ha….ha…..ha! Cerurut merah! Kemana kau hendak sembunyi sekarang?!”
kekeh si kakek lalu tangan kanannya bergerak dan tongkat akar kayunya kembali
berkiblat. Kali ini tampaknya dia tidak mau membuang waktu lagi karena serangan
tongkatnya bukan saja cepat luar biasa tapi gerakan yang dibuatnya merupakan
gerakan-gerakan ganas mematikan. Rupanya orang tua ini tidak perduli apakah dia
bisa meringkus sang dara dalam keadaan hidup atau mati!
Beberapa kali terdengar dara berbaju merah keluarkan suara pekikan karena
tongkat lawan hampir menusuk tubuh atau memukul kepalanya. Serangan tongkat
yang laksana curahan mati-matian.
Breetttt!
Bahu pakaian sang dara robek. Kulit bahunya tergaris perih. Gadis ini
meringis kesakitan. Tiba-tiba dia keluarkan keritan keras dan pukulkan tangan
kanannya ke arah lawan. Serangkum sinar kelabu menggebubu, membuat si kakek
kaget sekali dan buru-buru menyingkir. Sinar kelabu lewat di depan dadanya yang
menebar hawa dingin. Kakek berpakaian compang camping itu kiblatkan tongkat
kayunya ke atas. Tongkat itu tergetar keras tapi sinar kelabu langsung musnah. Di saat
yang sama ujung tongkat menyambar deras dan cepat ke arah tonggorakan si baju
merah.
Serangan tongkat lawan sekali ini sama sekali tidak terduga oleh sang dara
baju merah. Tapi dia menyangka bahwa pukulan tangan kosongnya yang mengandung
aji kesaktian yang selama ini selalu menjadi andalannya pasti akan membuat lawan
roboh, paling tidak mental dan menderita cidera berat. Tapi pukulan bernama “awan
kelabu” itu ternyata mampu dielakkan si kakek. Tercekat oleh kegagalan pukulan
saktinya, sang dara jadi bertindak lengah. Dan dalam kelengahan yang hanya
sepersekian kejapan mata itulah ujung tongkat lawan menusuk ke arah lehernya tanpa
dia mempunyai kesempatan untuk berkelit ataupun menangkis!
“Cerurut merah! Mengapa tusukan tongkat butut begitu saja kau tak sanggup
mengelakkan……?!” terdengar suara Pendekar 212 dari atas pohon. Lalu sebuah
benda sepanjang dua jengkal melesat ke bawah, menghantam ujung tongkat di tangan
si kakek.
Traak!
Benda yang menghanam tongkat kayu itu patah dua dan ternyata adalah
batangan tebu. Tongkat di tangan si kakek sendiri tergetar keras dan si orang tua
sempat terjajar satu langkah. Telapak tangannya terasa panas.
Terkejut dan marah si baju compang camping ini bukan kepalang. Terkejut
karena menyadari lemparan batang tebu itu bukanlah lemparan biasa dan yang
melemparkannya jelas adalah pemuda di atas pohon sana. Marah karena ujung
tongkatnya yang seharusnya akan menusuk paling tidak merobek daging leher dara
berbaju merah akibat lemparan tebu tadi jadi meleset sampai tiga jengkal!
“Setan alas” teriak orang tua itu sementara si baju merah cepat melompar
mundur dengan wajah pucat! Saat itu dia punya kesempatan untuk melompat ke
punggung kuda putihnya dan tinggalkan tempat itu. Namun hal itu tidak dilakukannya
karena dia ingin melihat apa yang kini bakal terjadi antara si kakek dengan si
gondrong.
BASTIAN TITO 17
LIMA
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Didahului oleh suara menggembor keras seperti harimau terluka kakek berpakaian
compang camping melompat ke atas cabang di mana Pendekar 212 duduk berjuntai.
Tubuhnya laksana terbang. Tongkat akar kayu di tangan kanannya berputar laksana
titiran, mengeluarkan angin deras sekali hingga daun-daun pohon rontok berjatuhan.
Jelas kakek ini menggerakkan tongkatnya disertai tenaga dalam penuh.
Trak….trak….traaakkkk!
Cabang pohon yang diduduki Wiro patah berkeping-keping. Tapi si kakek
terdengar berseru kaget. Yang diharapkannya ialah patah tulang belulang si pemuda
berambut gondrong tapi yang dihantamnya ternyata hanyalah cabang pohon . Kemana
pemuda itu lenyapnya?!
Sebenarnya, ketika orang tua itu melesat ke cabang pohon , Pendekar 212
sendiri justru membuat gerakan menjatuhkan diri ke bawah, berjungkir balik di udara
lalu melompat ke tanah dan turun tepat di samping dara berbaju merah! Dan dasar
konyolnya murid Sinto Gendeng ini, ketika melompat turun dia tidak hanya sekedar
melompat saja, tapi tangan kanannya secara jahil menarik celana si kakek ke bawah.
Celakanya yang punya diri tidak menyadari apa yang terjadi. Begitu mendapatkan
Wiro tak ada lagi di atas pohon, dia langsung melompat turun dan ketika tegak di
tanah celananya masih dalam keadaan melorot ke bawah hingga tentu saja anggota
tubuhnya yang paling rahasia terpampang dengan jelas.
“Guru!” tiga orang anak murid si orang tua berseru hampir berbaregan
sementara Sarti si murid perempuan berpaling dengan muka jengah!
Di lain pihak, begitu melompat ke samping si baju merah Wiro tertawa lebar
dan menjura seraya menegur “Saudari, kita berjumpa lagi. Apa kabarmu saat ini…..?”
Kalau sebelumnya sang dara memang tidak menyukai Wiro, kini setelah
dirinya diselamatkan dari serangan maut tadi mau tak mau sikapnya jadi berubah.
Apalagi dilihatnya tingkah laku dan segala perbuatan si pemuda yang konyol itu
membuat tertawa geli dalam hati.
“Aku baik-baik saja, saudara!” si gadis menjawab. “Terima kasih kau telah
menyelamatkan diriku!”
Wiro kembali tersenyum lebar. Sambil garuk-garuk kepalanya dia berkata
“Saudari, omong-omong apa kau ada melihat seekor burung gagak kesasar di sekitar
sini……?!”
Si baju merah sebenarnya sudah tahu apa yang terjadi yaitu apa yang
dilakukan oleh Wiro terhadap kakek berpakaian rombeng. Jika saat itu bukan tengah
menghadapi perkelahian mungkin dia sudah tertawa terpingkal-pingkal. Sambil
melengos dari pemandangan menusuk mata di hadapannya dia menjawab. “Tak ada
kulihat burung gagak kesasar di sekitar sini saudara. Yang kulihat hanya seekor
burung hantu!”
Mendengar ucapan si gadis Wiro tertawa gelak-gealk. Sang dara baju
merahpun tak dapat menahan tawanya lalu ikut tertawa terpingkal-pingkal. Kudanya
tertawa sampai mengeluarkan air mata.
Karena orang tua itu masih belum juga sadar apa yang terjadi atas dirinya
maka salah seorang muridnya melompat ke hadapan gurunya dan menunjuk ke bawah.
Ketika orang tua itu menoleh ke arah yang ditunjuk pada tubuhnya di bawah perut,
barulah dia sadar apa yang terjadi!
BASTIAN TITO 18
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Bangsat rendah! Manusia kurang ajar! Penghinaan ini harus kau balas dengan
nyawa busukmu!” teriak kakek itu marah. Cepat-cepat dia tarik celananya ke atas lalu
melompat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Lima orang muridnya yang merasa
terhina oleh perlakuan itu ikut menyerbu. Salah seorang dari mereka berkelebat
sambil berteriak “Guru! Izinkan kami menghancurkan tulang belulangnya!”
Kalau sebelumnya si orang tua melarang murid-muridnya untuk ikut campur,
kini dalam kemarahannya yang meluap dan rasa malu yang amat sangat dia tidak
perdulikan lagi. Makin cepat dia bisa menghajar si gondrong kurang ajar itu makin
puas hatinya! Maka enam orang disaat yang sama serentak menyerbu Pendekar 212
Wiro Sableng.
Gerakan enam penyerang itu sebat sekali. Entah kapan murid-murid orang tua
itu mengeluarkan senjata masing-masing, tahu-tahu Wiro melihat enam buah
bayangan tongkat berkiblat ke arahnya, menggebuk dan menusuk ke arah enam
bagian tubuh, dua diantaranya menyambar ke arah kepala! Melihat serangan yang
bukan main-main ini, Pendekar 212 yang tadi masih cengar cengir, kini cepat
bergerak. Sebelum dia sempat melakukan sesuatu dari samping terdengar bentakan
perempuan.
“Manusia-manusia curang! Beraninya kalian main keroyok! Jaga kepala
kalian!”
Bersamaan dengan itu satu bayangan merah menyambar dari arah kanan
sedang dari samping kiri menderu sinar abu-abu menebar hawa dingin. Melirik ke
samping Wiro saksikan bahwa yang membentak bukan lain adalah dara berbaju merah
jelita itu. Di tangan kanannya dia memegang secarik kain merah yang tadinya
merupakan kain ikat kepalanya. Dengan kain inilah dia memapasi serangan enam
tongkat sedang dalam waktu yang bersamaan tangan kirinya ikut bekerja melepaskan
pukulan sakti bernama “awan kelabu”
Dua orang pemuda yang berada di jurusan sambaran pukulan sakti sang dara
cepat menghindar. Berarti dua pengeroyok tak dapat meneruskan serangannya. Ujung
kain merah di tangan sang dara berkelebat menyambar ke arah kepala empat
pengeroyok lainnya.
Tak…..tak…..tak…..tak! terdengar suara berdetak empat kali berturut-turut
ketika ujung kain beradu dengan ujung tongkat kayu di tangan lawan. Lalu menyusul
suara kain robek. Kemudian suara seruan tertahan dara berbaju merah. Di saat yang
bersamaan terdengar pula keluhan salah seorang penyerang.
Wiro melihat semua yang terjadi dengan cepat. Dua ujung tongkat kayu murid
kakek berpakaian compang camping tampak hancur. Murid ketiga kelihatan
terhuyung mundur sambil pegangi keningnya yang mengucurkan darah akibat
hantaman ujung kain merah. Orang ini adalah yang sebelumnya sudah babak belur
mata kirinya kena jotosan. Tapi sang dara sendiri tidak berada dalam keadaan
menguntungkan. Malah keadaan kini berbalik membahayakan dirinya. Dua ujung
tongkat, satu milik si kakek dan satunya milik muridnya berhasil menjepit ujung kain
merah yang jadi senjata dara berbaju merah. Ketika dua tongkat itu sama ditarik
dengan keras, bukan saja kain merah menjadi robek, tapi tersentak lepas dari tangan
pemiliknya. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah. Selagi dara baju merah terkesiap
kaget sambil imbangi tubuh, tiga tongkat kayu datang menghantam. Sang dara masih
bisa berkelit dari serangan tongkat di sebelah kanan, tapi yang datang dari depan yaitu
tusukan tongkat si kakek dan yang menggeprak dari samping kiri tak kuasa
dihindarinya. Dalam waktu sekejap saja perutnya akan tertambus tusukan tongkat
yang datang dari depan sedang tongkat yang meyambar dari samping kiri sudah dapat
dipastikan akan menggebuk hancur pangkal bahunya!
BASTIAN TITO 19
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dalam keadaan yang sangat berbahaya itu tiba-tiba menderu suara seperti
tawon mengamuk disertai berkiblatnya sinar putih menyilaukan dan menghamparnya
hawa panas!
Si kakek masih sanggup untuk menahan teriakan kekagetan, tapi wajahnya
yang pucat tak dapat disembunyikan. Dia melompat mundur sambil melotot pandangi
tongkat akar kayunya yang kini hanya tinggal kutungan sepanjang dua jengkal.
Tangannya sendiri terasa seperti kesemutan dan ada hawa panas aneh yang membuat
persendian tangan kanan itu seperti kaku. Cepat-cepat dia menekan beberapa bagian
tangannya seraya kerahkan tenaga dalam. Di samping kirinya dilihatnya salah seorang
muridnya terkapar jatuh di tanah dengan muka seputih kertas. Tongkatnya patah dua
dan mentak entah kemana.
Dara berbaju merah yang tadi merasakan seperti sudah copot jantungnya, kini
menjadi lega begitu menyadari dirinya baru saja lolos dari bahaya maut walau
tengkuknya terasa dingin.
Memandang ke depan kakek dan murid-muridnya melihat pemuda gondrong
berpakaian putih itu tegak dengan kaki terkembang dan kedua tangan bersilang di
depan dada. Tangan yang kanan memegang sebuah senjata berupa kapak bermata dua
yang memancarkan sinar menyilaukan. Pada masing-masin mata kapak jelas kelihatan
tertera tiga rangkaian angka yaitu angka 212.
“Apakah benar aku berhadapan dengan orang yang menyandang gelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212……?” terdengar si kakek berucap seolah-olah
tidak percaya. Lima muridnya, dua diantaranya yang mengalami cidera tampak
terkejut mendengar kata-kata guru mereka, memandang dengan mata besar ke arah
Wiro. Seperti juga sang guru mereka sama-sama tidak mempercayai kalau pemuda
gondrong di hadapan mereka itu adalah Pendear 212 Wiro Sableng.
Wiro menyeringai. “Aku dilahirkan hanya membawa nama. Soal segala
macam gelar itu adalah urusan orang-orang persilatan yang tolol!” berucap murid
Sinto Gendeng itu.
“Hemmmmm…… kau betul pendekar. Orang-orang rimba persilatan
terkadang bersifat tolol! Satu di antaranya adalah kau sendiri!”
“Siapa menyangka, pendekar yang selama ini punya nama besar dan dikenal
sebagai tokoh dari golongan putih, pembela kebenaran penegak keadilan, penolong
orang-orang yang lemah dan tertindas, tahu-tahu kini kulihat berkomplot dengan
orang-orang Serikat Setan Merah!” menjawab si kakek dengan rahang menggembung
dan mata membeliak.
Wiro tertawa gelak-gelak lalu berkata. “Aku tidak munafik mengakui diriku
memang tolol. Tapi kupikir kau jauh lebih tolol. Juga lima muridmu yang tidak mau
mempergunakan akal dan pikiran hingga mau ikut-ikutan jadi orang tolol seperti
gurunya!” Lima murid si orang tua tampak jadi beringas tapi mereka tak berani
bergerak ataupun melakukan sesuatu. “Gadis sahabatku ini sudah mengatakan
sejujurnya bahwa dia bukan anggota Serikat Setan Merah, tapi kau dan muridmuridmu
tetap saja menuduhnya sebagai anggota komplotan itu! Lalu menyerangnya,
mengeroyok! Ingin membunuhnya! Juga hendak membunuhku! Apa itu tidak tolol?!
Apakah kau bisa membuktikan bahwa dia memang anggota Serikat Setan Merah
itu…….?”
“Dia mengenakan pakaian dan ikat kepala seeba merah. Seragam setiap
anggota Serikat Setan Merah!”
Wiro berpaling pada dara berbaju merah di sampingnya lalu geleng-gelengkan
kepala. Ketika dia menggeser kedua kakinya dan menggerakkan tangan kanan yang
BASTIAN TITO 20
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
memegang kapak, si kakek dan murid-muridnya bergerak mundur menajuhi seolaholah
bersiap-siap menjaga segala kemungkinan.
“Orang tua, harap maafkan diriku kalau aku bilang ucapanmu tadi jelas-jelas
menunjukkan kebodohanmu! Jika ada kambing atau anjing diberi pakaian serba
merah, menurut jalan pikiranmu yang tolol itu tentu kau akan menuduh binatangbinatang
itu sebagai anggota Serikat Setan Merah…….!”
Paras si kakek tampak mejadi merah di tempelak ucapan Wiro tadi. Dia
berpaling pada kelima muridnya lalu berkata. “Mari kita tinggalkan tempat ini…..”
lalu pada Wiro dia berkata. “Apa yang terjadi hari ini akan kusampaikan pada
pertemuan para tokoh silat golongan putih bulan dua belas yang akan datang! Kau tak
bakal bisa lari dari hukuman yang bakal dijatuhkan, pendekar sesat!”
“Tunggu dulu!” seru Wiro ketika si kakek dan murid-muridnya hendak berlalu.
“Aku dan sahabatku ini tidak mengetahui apa dan siapa adanya Serikat Setan Merah
itu. dapatkan kau memberi penjelasan……?!”
“Jangan pura-pura tidak tahu!” bentak gadis bebraju biru tua bernama Sarti.
Tapi sang guru cepat menimpali. “Ada baiknya kuterangkan padamu anak
muda! Serikat Setan Merah merupakan komplotan pemeras dan penganiaya rakyat.
Mereka merampok dan membunuh siapa saja yang tidak mau menyerahkan uang atau
harta sesuai dengan aturan yang mereka buat! Lebih keji dari itu mereka menculik
istri dan anak gadis orang! Komplotan biadab ini baru muncul beberapa bulan saja!
Tapi kejahatan dan angkara murka yang mereka lakukan telah lewat takaran! Selangit
tembus!”
“Dan komplotan itulah yang hendak kau lindungi! Pendekar macam apa kau!”
ikut membentak murid perempuan si kakek dengan wajah beringas. “Nama besarmu
yang selama ini disegani di delapan penjuru angin ternyata tidak lebih dari seorang
pendekar busuk! Kau menjadi kaki tangan komplotan yang membunuh saudarasaudara
seperguruanku! Kau berkomplot degnan manusia-manusia laknat yang
menculik Griyati, saudara seperguruanku! Sungguh rendah sekali perbuatanmu!”
Wiro menyeringai dan kedipkan mata kirinya pada si baju biru lalu berkata “Murid
dan guru sama saja tololnya!” gerendeng sang pendekar.
“Hai!” tiba-tiba dara berbaju merah berkata “Jika kalian masih penasaran
silahkan datang ke Bukit Batu Merah pada hari kelima bulan kelima. Di situ akan
diadakan pertemuan rahasia para anggota Serikat Setan Merah. Kalian akan melihat
apakah kami ini memang orang-orang yang kalian tuduhkan itu!”
Murid perempuan si kakek tampak mencibir, lalu dia menarik lengan gurunya.
Bersama empat murid lainnya mereka bergerak tinggalkan tempat itu.
“Sebelum pergi, harap kau suka memberitahu siapa dirimu adanya, orang
tua!” berkata Wiro.
Meski sangat marah dan dendam besar, kakek berpakaian compang camping
menjawab juga. “Aku tua bangka buruk ini adalah Pengemis Budiman…..!”
Wiro Sableng terkejut “Jadi kau! Ah…….”
Murid Sinto Gendeng tidak sempat meneruskan kata-katanya karena si orang
tua dan lima muridnya sudah meninggalkan tempat itu.
“Kau kenal orang tua itu?” bertanya dara baju merah.
“Tidak,” wahut Wiro sambil menggeleng. “Tapi saudara tuanya aku kenal
baik. Dia seorang bergelar Si Segala Tahu. Kalau pengemis tua itu sempat
mengadukan tindak-tandukku, pati bisa terjadi kesalah pahaman…..” Wiro berpaling
pada dara jelita ini. “Tadi kau menyuruh mereka pergi ke bukit Batu Merah, apakah
kau juga berniat pergi ke sana…..?”
BASTIAN TITO 21
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Yang ditanya mengangguk. “Aku merasa ada baiknya melakukan
penyelidikan. Bagaimana caranya itu urusan nani…..”
“Aku juga berminat melakukan hal itu,” kata Wiro pula. “Namun untuk
sementara kurasa kau perlu mengganti pakaian merahmu agar tidak menimbulkan
urusan baru!”
“Itu soal mudah! Aku memang membekal sehelai pakaian warna kuning…..”
“Sekarang kemanakah tujuanmu?” tanya Wiro.
“Solotigo,” jawab sang dara. “Apa kau bermaksud hendak mengikutiku
lagi….”
Wiro tersenyum lebar. “Aku berjanji tidak akan menguntit kemana kau pergi.
Asal kau mau memberitau namamu”
“Panggil aku Kemala…..” jawa sang dara.
“Kemala……” mengulang Wiro. “Namamu bagus….. Sebagus orangnya.”
Saat itu sang dara berbaju merah sudah melompat ke atas kuda putihnya. Wiro
tak mau tertinggal, cepat-cepat dia melompat ke punggung uda coklatnya dan
mengejar Kemala.
BASTIAN TITO 22
ENAM
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Saat itu matahari telah condong ke barat. Kemala memacu kuda utihnya menuju
bukit kecil di sebelah timur. Gadis ini tahu bahwa di balik bukit itu terdaat sebuah
sungai. Dan sepanjang sungai pada kaki bukit terletak desa Kalimukus yang terkenal
sebagai desa subur. Penduduknya hidup dari mata pencaharian bercocok tanam,
memelihara tambak ikan serta beternak. Kira-kira setangah hari perjalanan dari desa
itu, ke arah barat terletak Solotigo, kota yang menjadi tujuan Kemala.
“Tak mungkin aku sampai di Solotigo sebelum malam tiba…..” berkata
Kemala dalam hati. “Agaknya lebih baik bermalam saja di Kalimukus. Besok pagi
baru berangkat ke Solotigo…..”
Di lereng bukit Kemala menoleh ke belakang. Kuda coklat bersama
penunggangnya yaitu Wiro Sabelng masih terus mengikutinya terpisah beberapa belas
tombak. Dia berusaha mencari akal bagaimana dapat meloloskan diri dari pemuda iut.
Namun niatnya itu tidak dilakukannya karena ketika dia mencapai puncak bukit, di
bawah sana dia melihat satu pemandangan yang mengejutkan.
Desa Kalimukus tampak hanya tinggal tumpukan malapetaka belaka. Rumahrumah
penduduk musnah dalam kobaran api. Asap mengepul hitam ke udara. Dari
atas bukit tampak orang-orang berlarian di antara ternak yang berhamburan ketakutan
kian kemari.
“Itu bukan kebakaran biasa! Desa itu seperti sengaja dibakar!” Satu suara
terdengar di samping Kemala. Berpaling ke kiri sang dara dapatkan Pendekar 212
Wiro Sableng bersama kuda coklatnya sudah berada di sampingnya. Kemala tak
menjawab. Wiro letakkan tangan kirinya di atas kening untuk menghidarkan silaunya
sinar matahari. “Astaga! Aku melihat ada beberapa sosok tubuh tergantung! Satu di
pohon. Dua lainnya di pintu rumah yang sedang terbakar!” Wiro gebrak pinggul
kudanya. Kuda coklat itu menghambur ke depan lalu berlari kencang menuruni bukit
menuju desa yang dilamun api. Kemala cepat mengikuti. Begitu keduanya sampai di
desa yang terbakar itu apa yang tadi mereka saksikan dari kejauhan di atas bukit, kini
terpampang lebih jelas dan mengerikan.
Beberapa sosok mayat bergelimpangan di tepi jalan, di halaman rumah, di tepi
kali. Tubuh mereka penuh bekas bacokan senjata tajam. Lalu di beberapa tempat
terdengar suara erangan orang-orang yang tergelimpang dalam keadaan luka-luka.
Suara lenguh sapi yang ketakutan dan embik kambing bercampur baur dengan
gaduhnya suara ayam serta itik yang berhamburan kian kemari, jadi satu dengan jerit
pekik penduduk yang berlarian dalam kekalutan. Kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang perempuan dan laki-laki tua serta anak-anak.
Ketika Kemala muncul bersama Wiro, beberapa orang penduduk lari menjauh
ketakutan. Seorang di antaranya berteriak. “Mereka datang lagi! Mereka datang lagi!
Lari! Selamatkan diri kalian! Selamatkan anak-anak……!”
Wiro kerenyitkan kening. “Kemala….. Orang-orang itu ketakutan
melihatmu!” ujar Wiro.
“Ada yang tidak beres!” manyahuti Kemala. Dia melompat turun dari atas
kuda. Menghadang seorang lalki tua yag lari ka belik rumah sambil mendukung
seorang anak perempuan lalu mencekal tangannya.
“Demi Tuhan! Jangan bunuh! Jangan bunuh diriku……! Jangan bunuh
cucuku!” lelaki tua itu menjerit berulang kali sambil berusaha melepaskan pegangan
Kemala.
BASTIAN TITO 23
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Tidak ada yang akan membunuhmu atau mengganggu cucumu! Lekas
katakan apa yang terjadi……..!” berseru Kemala.
Si kakek tampak melotot lalu kembali menjerit dan meronta-ronta. “Manusia
macam apa kau ini!” Orang tua itu berkata dengan suara gemetar dan tubuh
menggeletar. “Setelah kau dan kawan-kawanmu membunuh, merampok dan menculik
masih bisa bertanya apa yang terjadi?! Mengapa kau kembali? Apa masih belum puas
membakari rumah-rumah kami?! Apa masih murang jarahan yang kalian rampas?!”
“Orang tua, kami baru saja sampai di desa ini. siapa yang melakukan
perampokan dan pembunuhan serta penculikan itu?!” Wiro ikut bicara.
“Ya, lekas katakan siapa yang melakuan pembakaran di tempat ini?!”
menyambung Kemala.
Orang tua itu tidak menyahut. Dia mengereahkan seluruh tenaganya lalu
menarik kuat-kuat hingga pegangan Kemala terlepas. “Manusia iblis! Dosamu tidak
berampun! Kutukan Tuhan akan datang atas dirimu dan komplotanmu!” habis berkata
begitu orang tua itu lari meninggalkan Wiro dan Kemala. Si gadis hendak mengejar.
Tapi Wiro mencegah dan memberi isyarat agar mengikutinya. Di pintu depan dua
buah rumah yang terbakar mereka melihat dua sosok tubuh digantung. Salah satu di
antaranya mulai dijilat kobaran api. Lalu tak berapa jauh dari tempat itu sosok tubuh
ketiga tampak digantung pada cabang sebuah pohon, kaku ke atas kepala ke bawah.
Wajah orang yang tergantung ini tertutup lumuran darah yang masih mengucur dari
luka besar di batang lehernya.
Tiab-tiba Wiro mendengar suara berdesing. Dia cepat membungkuk
menyambar potongan kayu dan melemparkannya ke belakang. Terdengar suara
berdentrangan. Ketika berpaling ke belakang Kemala sempat melihat bagaimana
potongan kayu itu menghantam mental sebatang tombak yang semula melesat ke arah
punggungnya!
“Kurang ajar! Siapa yang berani membokong?!” teriak Kemala matrah. Dia
melihat satu sosok berpakaian hitam berkelebat menghilang di balik reruntuhan
rumah besar yang masih diamuk kobaran api. Tanpa tunggu lebih lama si gadis yang
diikuti Wiro cepat mengejar. Orang berpakaian hitam itu ternyata adalah seorang
pemuda yang lengan kirinya luka parah hampir putus sedang kepalanya di bagian
kening tampak koyak. Darah yang mengucur membasahi mukanya sehingga kelihatan
menggidikkan.
“Kau masih bisa bertahan hidup! Tapi jika tidak segera memberi tahu
mengapa kau hendak membunuhku, kupatahkan batang lehermu saat ini juga!”
mengancam Kemala.
“Kau apakan diriku aku tidak takut! Kau dan orang-orangmu membunuh
ayahku! Istriku kalian culik! Bunuh! Ayo bunuh!” Pemuda itu tiba-tiba berteriak
seperti gila. Lalu tubuhnya tersungkur jatuh, lemah karena terlalu banyak darah yang
mengucur dari luka di tangan dan keningnya.
“Siapa yang kau maksudkan dengan kalian?!” membentak Kemala.
Pemuda yang terduduk di tanah menyeringai. Dia mengeluarkan tangan
hendak mencakar muka Kemala tapi tubuhnya yang terlalu lemah membuat dia tidak
mampu menggerakkan tangan kanannya. “Perempuan iblis…. Kau masih bisa purapura
bertanya. Memang belasan mayat yang kalian bunuh tidak bisa memberi
kesaksian. Kepala desa dan dua pamong desa yang kalian gantung tidak bisa bicara!
Tapi aku Gentolo menyaksikan sendiri apa yang kau lakukan bersama komplotanmu
Serikat Setan Merah!”
“Ah!” Kemala mengeluarkan seruan tertahan sementara Wiro kepalkan tangan.
BASTIAN TITO 24
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Saudara, kau salah sangka. Kawanku ini bukan anggota komplotan Serikat
Setan Merah. Hanya kebetulan saja dia mengenakan pakaian marah!” berkata Wiro.
Lalu dia menotok beberapa bagian tubuh si pemuda hingga darah berhenti mengucur.
Wiro juga salurkan tenaga dalam dingin ke tubuh Gentolo. Kalau tadi pemuda malang
ini merasakan tubuhnya lemah dan panas, kini ada hawa sejuk yang membuat dia
sanggup bertahan.
“Saudara, mengapa orang-orang Serikat Setan Merah melakukan keganasan
ini……?” bertanya Kemala.
“Tanyakn sendiri pada pimpinanmu!”sahut Gentolo. “Aku tidak percaya kau
bukan anggota Serikat Setan Merah! Mengapa kau tidak membunuhku saja saat ini!
Jika kau biarkan aku hidup, aku bersumpah menuntut balas! Menabas batang lehermu,
mencincang mayatmu!”
“Jangan jadi orang tolol!” bentak Wiro. “Jika kawanku ini anggota komplotan
biadab itu, sudah sejak tadi kepalamu menggelinding di tanah! Ayo jelaskan mengapa
orang-orang Serikat Setan Merah berbuat seganas ini?!”
“Ya! Juga siapa mereka sebenarnya?!” menyambung Kemala.
Gentolo mula-mula tak mau membuka mulut. Namun akhirnya dia bicara juga.
“Siapa mereka aku tidak tahu! Tidak ada seorangpun yang tahu….. Yang kami tahu
mereka mula-mula muncul dan bertindak selaku pelindung di desa ini. untuk itu
penduduk harus membayar apa yang mereka sebut uang perlindungan. Dan bukan
uang saja, mereka juga meminta harta atau ternak atau hasil ladang seenaknya.
Lambat laun jumlah yang mereka minta semakin banyak hingga penduduk tidak
mampu untuk memberikan. Lalu mereka mulai bertindak keras. Memaksa dan
menghajar siapa saja yang tidak mau memberikan apa yang mereka minta! Ketika
banyak penduduk yang mencoba melawan, mereka membunuhi orang-orang desa
seperti membunuh lalat saja! Kekeian mereka bukan cuma sampai di situ! Anggota
Serikat Setan Merah juga menculik anak gadis atau istri orang! Mereka melakukan
kejahatan bukan cuma di desa ini saja tapi juga di banyak kampung dan desa…….!”
“Sejak pertama mereka muncul mengapa kalian tidak melaporkan ke
Kadipaten……?” tanya Kemala pula.
Gentolo menyeringai pahit. “Setiap yang melapor mengalami nasib
mengerikan. Hari ini melapor, besok ditemui mati terkapar seperti anjing di tengah
jalan. Tubuhnya penuh bacokan atau tusukan benda tajam!”
“Kemala, kau ingat pada rombongan-rombongan orang-orang berpakaian
merah yang kita temui di bukit beberapa waktu lalu……?” tanya Wiro.
Kemala mengangguk. “Mereka pasti orang-orang Serikat Setan Merah! Dua di
antaranya bernama Sangaji dan Galut! Kau kenal dua nama itu……?’
Gentolo menggeleng. “Mereka bisa punya seribu nama, seribu muka……”
“Ada keanehan yang tidak ku mengerti,” kata Wiro seraya garuk-garuk kepala.
“Orang-orang Serikat Setan Merah berani melakukan kejahatan secara terangterangan.
Gentayangan di siang bolong! Apa betul aparat Kadipaten tidak mengetahui
macam begini bahkan seharusnya sudah sampai ke Kotaraja!”
“Memang sebelumnya pernah ada dua kali serombongan pasukan dari
Kotaraja melakukan pengejaran dan penyergapan. Tapi orang-orang Serikat Setan
Merah cepat sekali menghilang sebelum pasukan sampai…….” Menjelaskan Gentolo.
Kemala berpaling pada Wiro dan berkata. “Kita harus mengurus mayat-mayat
yang malang itu, menolong penduduk yang cidera……”
“Hanya kita berdua apa kau kita bakalan sanggup melakukan itu?” ujar Wiro.
BASTIAN TITO 25
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Gentolo! Kau harus menolong memanggil penduduk yang kabur! Mereka
harus kembali kemari untuk membantu kami……!” berkata Kemala. Lalu tangan
lelaki muda bernama Gentolo itu ditariknya disuruhnya berdiri.
“Wiro…….” Kata Kemala menyebut nama sang pendekar untuk pertama
kalinya. “Salah seorang lelaki berpakaian merah yang kita temui di bukit mengatakan
tentang pertemuan hari kelima bulan kelima di Bukit Batu Merah. Aku memutuskan
untuk datang ke sana! Aku bersumpah untuk membasmi manusia-manusia laknat itu!
Aku bersumpah menghancurkan Serikat Setan Merah sampai ke akar-akarnya!”
Kemala mengepalkan tangan kanannya dan meninju-ninjukan ke telapak tangan
kirinya.
“Kalau begitu, akupun ikut bersumpah sepertimu!” ujar Wiro seraya
mengangkat tangan kanannya ke atas. Lalu dia melanjutkan ucapannya. “Tapi
sebelum segala sumpah dilaksanakan, sebaiknya kau tukar dulu baju merahmu itu!
semua orang ketakutan melihatmu karena menyangka kau anggota Serikat Setan
Merah! Kecuali aku…. Ha….ha…..ha……ha…..! Adalah tolol kalau takut melihat
gadis secantik dirimu ha…ha….ha…..!”
BASTIAN TITO 26
TUJUH
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Adipati Suro Kenanga duduk mendengarkan apa yang disampaikan pembantunya
bernama Martobiru itu lalu menganggukkan kepala dan berkata. “Aku membenarkan
apa yang kau lakukan itu Marto. Jika tidak begitu eadaan bisa berbahaya bagi kita.
Harap kau memberitahu pada kawan-kawan agar mereka memasang telinga
mementang mata, menyirap kabar atau gerakan apa saja yang sewaktu-waktu bisa
terjadi……”
“Akan saya lakukan Adipati. Selanjutnya perlu juga saya beritahukan…..”
“Cukup sampai di sini dulu Marto. Ada orang datang……” memotong Suro
Kenanga.
Martobiru berdiri dari kursi lalu meninggalkan serambi depan Kadipaten
Solotigo yang berlantai batu mar-mar mengkilap itu. Sesaat sang Adipati masih tetap
duduk di kursinya, memperhatikan dua penunggang kuda menambatkan tunggangan
masing-masing lalu berbicara dengan seorang pengawal. Pengawal ini kemudian
mengantarkan kedua tamu tersebut menuju gedung Kadipaten.
Suro Kenanga tidak mengenali kedua tamunya. Yang berjalan di sebelah
depan adalah seorang gadis cantik jelita berpakaian kuning, rambutnya yang hitam
berkilat dikuncir di belakang kepala. Langkahnya ringan dan gerak geriknya
menjelaskan pada sang Adipati bahwa gadis ini adalah seorang dari rimba persilatan.
Di belakang sang dara melangkah seorang pemuda gondrong, tampangnya seperti
orang tolol dan celangak celinguk sambil sesekali menyengir.
“Gedung Kadipaten ini luar biasa bagusnya! Tak pernah au melihat gedung
sebagus ini sebelumnya!” terdengar pemuda gondrong itu berkata sambil berhenti
sejenak dan memandangi bagian depan gedung mulai dari atap sampai ke tangannya
yang berkilat.
Dara berpakaian kuning melangkah menaiki tangga, lalu berhenti di ujung
serambi dan membungkuk pada Suro Kenanga yang duduk di kursi.
“Apakah saya berhadapan dengan Adipati Solotigo, Raden Suro Kenanga?”
Suro Kenanga bangkit dari duduknya, menatap wajah gadis yang menegurnya
itu sesaat lalu menjawab “Benar, aku Suro Kenanga, Adipati Solotigo. Siapa dirimu,
apa maksud kedatanganmu ke mari?”
Sang dara tersenyum, membuat Adipati jadi terheran.
“Rupanya paman lupa pada saya…..?” ujar si gadis pula.
“Eh, siapa kau ini sebenarnya gadis manis. Aku seperti……” Suro Kenanga
memijit-mijit keningnya. “Kau……kau……” dia menunjuk-nunjuk tapi tak berhasil
mengingat atau mengenali siapa adanya gadis di hadapannya itu.
Maka si gadis langsung berkata. “Saya Kemala, anak tunggal Suro Abang,
kakak kandung Adipati sendiri!”
Adipati itu seperti terlonjak dari lantai. “Astaga! Ya Tuhan! Kau rupanya!
Keponakan sendiri aku sampai tidak mengenali!”
Kedua orang itu sama melangkah mendekati lalu saling rangkul. Adipati Suro
kenanga mengelus dan menepuk-nepuk bahu sang dara berulang kali.
Di dekat tangga, pemuda berambut gondrong menggaruk kepalanya beberapa
kali. Dalam hati dia menggerendeng. “Keponakan sih keponakan. Tapi jangan main
peluk lama-lama begitu……”
“Kemala, terakhir sekali aku melihatmu sembilan, mungkin sepuluh tahun yan
lalu. Ketika ayahmu mampir dalam perjalanan mengantarkanmu ke Kaliurang. Kau
BASTIAN TITO 27
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
masih begitu kecil waktu itu. dan sekarang sudah beubah menjadi seorang gadis
cantik jelita! Jangan salahkan kalau tadi aku tidak bisa mengenalimu! Parasmu mirip
ibumu. Eh, apakah kedua orang tuamu ada baik-baik, Kemala……?”
“Saya belum sempat kembali pulang, paman. Baru saja turun gunung dilepas
Ki Ageng Kuncoro Bekti……..”
“Ah, rupanya jadi juga kau berguru pada orang tua sakti itu! Ilmumu tentu
sudah setinggi langit saat ini!” Suro Kenanga tampak gembira sekali mendengar
penjelasan keponakannya itu.
“Tak ada ilmu paling tinggi di dunia ini paman, kecuali ilmunya Gusti Allah,”
menyahuti Kemala.
“Bagus! Aku suka mendengar ucapanmu itu, bukan saja kau memperlihatkan
kerendahan hati dan ketinggian budi. Tapi kau juga memperlihatkan tasa takwa dan
iman pada Tuhan Yang Maha Kuasa! Sekarang kau akan kuajak masuk ke dalam
menemui bibimu……. Eh, siapa pemuda yang datang bersamamu itu…..?”
“Dia sahabat saya paman. Namanya Wiro,” menerangkan Kemala.
Mendengar orang memperkenalkan dirinya, Wiro Sableng maju ke hadapan
Adipati Solotigo itu dan menjura dalam-dalam. Sang Adipati membalas
penghormatan itu dengan anggukkan kepala.
“Mari Kemala, kita temui bibimu…..” kata Adipati kemudian setelah memberi
isyarat pada Wiro agar duduk di kursi serambi depan itu.
Sambil melangkah Kemala berkata “Dalam perjalanan kemari kami menemui
malapetaka besar menimpa sebuah desa di selatan Solotigo…….”
Adipati Suro Kenanga meraba dagunya dan hentikan langkah. “Malapetaka
apa maksudmu? Bencana alam….?’
“Bukan paman, Desa itu, Desa Kalimukus diserbu perampok. Rumah
penduduk dibakari, mereka bukan saja dijarah harta bendanya tapi juga di bunuh.
Kepala desa bersama dua pembantunya digantung secara keji! Para penjahat itu juga
menculik anak gadis dan istri orang……!”
“Desa Kalimukus berada dalam wilayah Kadipaten Solotigo!” ujar Suro
Kenanga pula. “Bagaimana mungkin tidak ada satu orang aparatkupun yang datang
memberikan laporan?! Kurang ajar! Ada yang tidak beres! Perampok-perampok
memang banyak merajalela akhir-akhir ini di seluruh silayah selatan. Malah mereka
berani muncul di sekitar Kotaraja…..”
“Tapi mereka bukan perampok-perampok biasa paman……..”
“Maksudmu Kemala…..?” tanya Suro Kenanga.
“Mereka adalah penjahat-penjahat yang selalu muncul dengan pakaian
seragam merah. Mereka tergabung dalam komplotan yang dinamakan Serikat Setan
Merah dan mereka berani muncul secara terang-terangan. Saya dan sahabat saya
bahkan sempat bertemu dengan beberapa orang diantara mereka. Kalau saat itu saya
tahu bahwa mereka adalah manusia-manusia baiadab sebuas apa yang mereka
lakukan terhadap penduduk Kalimukus, saya tak akan memberi kesempatan hidup
pada mereka!”
Adipati Suro Kenanga menghela nafas panjang. “Nama Serikat Setan Merah
memang sudah sejak beberapa bulan ini aku dengar. Pasukan Kadipaten, bahkan
serombongan dari Kotaraja pernah mengejar dan mengepung mereka. Tapi mereka
berhasil meloloskan diri……!”
“Itu satu pertanda bahwa mereka mempunyai jaringan yang rapi, mempunyai
mata-mata di mana-mana….. Orang-orang seperti kita harus dapat menangkap
pemimpinnya dan membawanya ke tiang gantungan atau mencincangnya di hadapan
rakyat banyak!”
BASTIAN TITO 28
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Adipati Suro Kenanga tersenyum. Sambil memegang bahu keponakannya dia
berkata. “Aku bangga punya keponakan yang bicara dan punya jiwa besar sepertimu,
Kemala. Darah ksatria sudah benar-benar mengalir dalam tubuhmu…….. Tapi
ketahuilah, kedatanganmu kemari adalah untuk bergembira karena sekian tahun kita
tak pernah bertemu. Selanjutnya kau harus cepat-cepat menuju Kejaten, menemui
kedua orang tuamu. Sejak ayahmu mampir sembilan tahun lalu di sini, dia belum
pernah datang lagi. Kau harus cepat-cepat menemui mereka. Ayah ibumu pasti sudah
sangat rindu padamu…….”
“Memang benar kata paman. Saya harus cepat-cepat kembali ke Kejaten. Tapi
ada satu hal yang akan saya lakukan sebelum pulang…..”
“Hem…..apa pula itu Kemala? Apa yang hendak kau lakukan?!” bertanya
Suro Kenanga.
“Ada kabar rahasia bahwa pada hari kelima bulan lima Serikat Setan Merah
akan mengadakan pertemuan besar di Bukit Batu Merah. Saya dan sahabat saya tu
akan muncul di sana. Saya yakin banyak para pendekar golongan putih yang juga
akan muncul di sana……”
“Jika kau muncul di sana, apa yang akan kau lakukan Kemala?”
“Saya akan mengobrak abrik pertemuan itu. Menangkap pimpinan mereka.
Menyerahkannya pada Kerajaan, kalau tidak mungkin menangkapnya hidup-hidup
maka akan saya cincang di situ juga!”
“Anak hebat!” memuji Suro Kenanga. “Tapi kau harus berpikir panjang dan
hati-hati keponakanku. Jika Serikat Setan Merah adalah satu komplotan besar berarti
mereka mempunyai orang-orang cabang atas yang memiliki kepandaian tinggi. Dan
jumlah mereka pasti tidak sedikit. Jika keteranganmu itu betul, biar urusan Serikat
Setan Merah itu serahkan saja padaku.” Suro Kenanga lalu melirik ke arah Wiro lalu
bertanya “Kemala, apakah temanmu yang seperti orang tolol dan sebentar-sebentar
menggaruk kepala itu adalah juga orang persilatan……?”
Kemala mengangguk. “Tampang dan geriknya memang begitu paman. Tapi
dia bukan pemuda sembarangan. Paman pernah mendengar seorang bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212? Dialah orangnya!”
Paras Adipati Solotigo itu tampak berubah. Lalu dia tersenyum. “Kemala!
Lupakan dulu segala macam urusan dengan Serikat Setan Merah itu. mari temui
bibimu…….”
BASTIAN TITO 29
DELAPAN
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karena sahabat dari Kemala maka malam itu Wiro diberikan sebuah kamar yang
bagus di sebuah bangunan berbentuk joglo kecil di halam belakang gedung Kadipaten.
Dasar orang rimba persilatan, pendekar itu merasa risih tidur di dalam kamar tersebut.
Sepanjang malam dia tak bisa memicingkan mata. Lampu minyak dipadamkannya
namun teteap saja dia tak bisa tidur. Akhirnya diam-diam sang pendekar keluar dari
kamar. Keluarnyapun tidak lewat pintu melainkan melalui jendela.
Saat itu lewat tengah malam. Udara di luar dingin. Pendekar 212 duduk di
sebuah bangku batu yang terletak dalam taman kecil di belakang gedung. Seluruh
gedung diselimuti kesunyian dan gelap. Wiro duduk mendekam seperti patung batu.
Ketika dia hendak bangkit berdiri untuk masuk kembali ke dalam kamar, saat itulah
dia melihat ada dua bayangan manusia muncul dari balik tembok belakang lalu
melompat masuk ke dalam halaman belakang gedung. Meskipun tempat sekitar situ
gelap namun Wiro dapat melihat kedua orang yang menyelinap masuk itu
mengenakan pakaian dan ikat kepala merah.
“Anggota-anggota Serikat Setan Merah!” desis Wiro tak pelak lagi. “Berani
benar mereka menyusup ke tempat kediaman Adipati! Mau merampok?! Heran…..
mana pengawal gedung? Tak satupun kelihatan batang hidungnya! Dua bedebah ini
harus dibekuk hidup-hidup biar diketahui siapa dedengkot mereka! Tapi sebelum
dibekuk biar kuhajar dulu sampai babak belur!”
Wiro segera bergerak bangkit. Menyusup ke tempat yang lebih gelap,
memintas gerakan dua orang di sebelah sana dari arah kiri. Tapi gerakan Pendekar
212 segera terhenti ketika dilihatnya dua orang berpakaian merah itu melangkah cepat
justru ke arah kamar tidurnya. Di tangan masing-masing kini tampak terhunus sebilah
golok panjang.
“Heh….. apa tujuan mereka sebenarnya?” tanya Wiro dalam hati dan terus
memperhatikan.
Dua penyusup itu tidak menuju ke pintu kamar melainkan menyelinap ke
samping ke arah jendela kamar. Jendela yang memang tidak terkunci itu dengan
mudah mereka buka. Keduanya lalu melompat masuk ke dalam kamar. Wiro bergerak
cepat ke arah pintu kamar dan menunggu di sana sambil rangkapkan kedua tangan d
depan dada.
Di dalam kamar terdengar suara “Keparat! Kamar ini kosong!”
“Kemana perginya manusia itu?!” suara lain menyahuti.
Sesaat kemudian pintu kamar terbuka, menyusul ucapan orang yang membuka
pintu itu dari dalam. “Tak mungkin dia pergi begitu saja. Pasti ada di sekitar sini…..”
“Aku ada di depanmu kisanak!” Wiro Sableng yang tegak di depan pintu
membuka mulut membuat orang ayang tadi bicara tersentak kaget sebelu sempat
bersurut mundur satu jotosan mendera mata kanannya! Orang ini melolong kesakitan,
tubuhnya seperti dibanting ke belakang lalu roboh di lantai kamar. Goloknya telah
lebih dulu berdentrangan jatuh di lantai. Dia tak kuasa berdiri lagi. Matanya sebelah
kanan bengkak lebam dan mengucurkan darah. Kawannya walaupun kaget tapi bisa
cepat menguasai keadaan. Golok panjang di tangannya segera menderu dibabatkan ke
arah kepala murid Sinto Gendeng.
Wuuuuuuttttt!!
Sambaran golok deras dan dingin. Membuat Wiro terkejut dan sadar si baju
merah yang satu ini memiliki kepandaian yang tidak sembarangan. Cepat-cepat dia
BASTIAN TITO 30
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
rundukkan kepala. Begitu senjata lewat berdesir di atas kepalanya, Wiro susupkan
satu sodokan ke arah perut penyerang. Namun golok panjang itu tiba-tiba membalik
ke bawah, memapas dengan ganas.
“Edan!” maki Wiro. Dia membuang diri ke samping seraya dorongkan tangan
kiri, melepaskan pukulan tangan kosong yang disertai tenaga dalam. Orang yang
memegang golok tampak tergontai-gontai. Tangannya yang membacok seperti kaku,
dan dia berusaha menahan diri dari dorongan keras angin pukulan yang dilepaskan
Wiro. Sesaat kemudian tanagn kanannya yang tadi tampak kaku tiba-tiba mampu
bergerak kembali. Kini ujung golok ditusukkan ke arah dada Wiro.
“Ah, yang satu ini tidak sembarangan!” membatin Wiro seraya menggeser
kuda-kuda kedua kakinya ke samping lalu secepat kilat pukulkan tangan kiri untuk
menghantam sambungan siku lawan.
Ternyata si pemegang golok tidak bodoh. Dia seperti sudah membaca gerakan
Wiro. Dengan memutar kedudukan lengannya maka pukulan Wiro berhasil dikelit
sebaliknya golok di tangan kanannya menggelicir ke atas. Kalau tadi menusuk ke arah
dada maka kini bagian ujung dan tajam dari senjata itu melesat menyambar bahu
kanan.
Breeett!
Buuukk!!
Dua suara itu disusul dengan suara berkerontangannya golok jatuh ke lantai.
Bahu kanan pakaian putih Pendekar 212 robek besar. Wiro melompat mundur
dengan paras berubah. Terlambat saja dia mengatur gerakan tidak dapat tidak
bahunya pasti akan putus, paling tidak luka parah. Di depannya orang berbaju merah
tampak tersandar ke tiang bangunan sambil pegangi dadanya yang sesak. Dadanya
sakit bukan main. Mukanya tampak pucat. Dia terbatuk dua kali, bukan ludah yang
keluar tapi darah yang membersit dari mulutnya.
“Manusia jahanam……!” merutuk orang itu. tiba-tiba kaki kanan bergerak
menendang goloknya yang tercampak di lantai. Ini bukan satu tendangan biasa karena
begitu ditendang golok tersebut mencelat dengan bagian tajamnya melesat lebih dulu
ke arah Wiro, tidak beda seperti sebilah tombak yang dilemparkan.
Wiro berseru kaget dan marah, membuat lompatan untuk selamatkan diri.
Golok menderu lewat, menancap di tiang bangunan. Ketika Pendekar 212 hendak
mengebrak ke depan, orang beraju merah itu ternyata sudah melarikan diri melompati
tembok. Wiro lepaskan pukulan tanagn kosong “kunyuk melempar buah”. Satu
gelombang angin menderu dahsyat menghantam bagian atas tembok hingga hancur
berantakan. Tapi orang yang diarah berhasil meloloskan diri dan lenyap dalam
kegelapan.
“Apa yang terjadi di sini?!” satu bentakan keras menggeledak terdengar. Wiro
berpaling. Yang membentak adalah Adipati Suro Kenanga yang datang bersama tiga
orang pengawal. Wiro menggoyangkan kepalanya ke arah lelaki berpakaian merah
yang menggeletak di lantai dengan mata kanan mengucurkan darah.
“Dua anggota Serikat Setan Merah berusaha menyusup ke sini…..”
menjelaskan Wiro. Lalu dia membungkuk dan menarik kaki orang itu, menyeretnya
ke luar kamar yang lebih terang agar sang Adipati dapat melihat lebih jelas.
“Kurang ajar! Benar-benar berani mampus!” rutuk Suro Kenanga marah.
“Manusia seperi ini tidak pantas dibiarkan hidup!” lalu tiba-tiba sekali sang Adipati
merampas tombak yang berada dalam genggaman salah seorang pengawalnya.
“Tunggu! Jangan dibunuh dulu!” seru Wiro mencegah.
BASTIAN TITO 31
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tapi tombak itu sudah dihunjamkan oleh Adipati Solotigo ke dada lelaki yang
terkapar di lantai. Tepat di arah jantungnya. Orang ini membeliakkan matanya besarbesar
lalu nyawanya putus tiada suara keluar dari mulutnya.
“Sayang……sayang…..” kata Wiro berulang kali seraya garuk-garuk
kepalanya. “Kalau saja dia bisa dibiarkan hidup sesaat, pasti bisa dikorek keterangan
di mana markas mereka dan siapa pemimpin mereka. Sialnya lagi, yang satu tadi
sempat melarikan diri!” Pendekar 212 kembali garuk-garuk kepalanya.
BASTIAN TITO 32
SEMBILAN
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Bukit Batu Merah terletak di kaki timur gunung Merbabu, merupakan satu bukit
tandus yang hanya ditumbuhi semak belukar liar, diselang seling oleh bebatuan
berwarna merah. Pernah serombongan petani dari desa terdekat mencoba membuka
semak belukar itu untuk bercocok tanam. Tapi apa yang ditanam di sana tak pernah
bisa tumbuh, mati. Karena itulah tak pernah lagi ada orang yang mau pergi mendaki
bukit itu.
Hari itu hari kelima di bulan lima. Kalau tadi dikatakan tidak pernah ada orang
ang naik ke atas bukit maka hari itu adalah aneh, sejak pagi-pagi sekali tampak
belasan orang datang dari pelbagai penjuru mendaki naik menuju puncak bukit. Ada
yang brelari atau berjalan cepat. Tapi ada pula yang melangkah santai seperti tengah
berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan di bawah kaki bukit dan kaki gunung.
Yang menarik perhatian ialah bahwa semua orang yang menuju puncak bukit itu
mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna merah.
Hari lima bulan lima. Itulah hari yang ditentukan oleh Serikat Setan Merah
sebagai hari pertemuan seluruh anggota dan pimpinan mereka.
Di puncak Bukit Batu Merah sebelah timur tampak dibangun sebuah
panggung kecil. Di atas panggung terdapat tiga buah kursi besar dan lima kursi keil
yang dibuat dari potongan-potongan batang kelapa. Di depan panggung , diantara
semak belukar liar terdapat bangku-bangku panjang dalam jumlah banyak, juga
terbuat dari batang-batang kelapa. Di ujung deretan kursi-kursi itu berdiri tiga orang
berpakaian merah darah, menyandang golok di pinggang. Ketiganya bertindak
sebagai penerima tamu.
Setiap tamu yang datang dipersilahkan ambil tempat duduk. Yang paling dulu
datang diberikan tempat di deretan bangku sebelah depan, tetapi banyak tamu yang
memilih duduk di bagian tengah atau sebelah belakang.
Dari arah selatan lereng Bukit Batu Merah dua orang berpakaian merah berlari
cepat menuju puncak bukit. Yang pertama seorang nenek berambut putih, bersarung
tangan dan berkasut kain keras. Di ikat pinggang pakaiannya tersisip sebatang tongkat
bambu kuning sebesar ibu jari sepanjang sepuluh jengkal. Mendampinginya adalah
seorang kakek yang juga berambut putih. Seperti si nenek dia juga membekal
sebatang tongkat bambu kuning dengan besar dan panjang yang sama. Kedua tangan
dan kakinya juga mengenakan sarung serta kasut kain keras. Dari cara berlarinya si
kakek jelas bahwa salah satu kakinya pincang. Meskipun demikian larinya bukan
main cepatnya hingga berulang kali si nenek tertinggal di belakang.
“Wiro!” tiba-tiba si nenek berseru. Yang diserunya tentu saja kakek pincang di
depannya. Yang bukan lain memang adalah murid Sinto Gendeng, Pendekar Kapak
maut Naga Geni 212 Wiro Sableng! “Aku benar-benar jengkel dengan semua
penyamaran ini! Kepalaku terasa gatal oleh jelaga berwarna putih ini. Mukaku terasa
kaku oleh kanji dicampur bedak tebal! Benar-benar konyol!”
Wiro memperlambat larinya lalu menyahuti “Lebih bagus konyol begini dari
pada mati konyol! Kau tahu apa yang kita lakukan ini adalah memasuki sarang
harimau! Sekali mereka mengenali kita, bisa berabe urusannya!”
“Ah, ternyata kau sepengecut itu!” ujar si nenek.
“Kemala, jangan sok jadi orang jago kalau hanya mencari penyakit!” tukas
Wiro Sabelng pula. “Penyamaran ini adalah satu-satunya jalan agar kita bisa
menyusup masuk ke tempat pertemuan! Wajahmu dan tampangku sudah cukup
BASTIAN TITO 33
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dikenal oleh beberapa orang anggota Serikat Setan Merah ang kita temui di bukit
tempo hari! Kau mungkin akan disambut dengan segala penghormatan! Tapi aku,
belum dipersilahkan duduk mungkin sudah mereka jegal lebih dulu! Lagi pula ada
alasanku mengapa kita harus menyamar begini rupa….”
Si nenek ternyata adalah Kemala, keponakan Adipati Suro Kenanga dari
Solotigo, murid Ki Ageng Kuncoro Bekti dari Ungaran!
“Katakan apa alasanmu itu.” sang dara berkata.
“Tak dapat kukatakan sekarang!”
“Hemm….. Mengapa begitu?” tanya Kemala penasaran.
“Aku takut terlalu lancang menduga-duga yang tidak karuan. Tapi sejak
kejadian ada orang yang hendak membunuhku malam itu, aku punya firasat, janganjangan…….”
Wiro tak meneruskan ucapannya.
Kemala tambah penasaran. “Jangan-jangan apa?!”
“Sudahlah, kita sudah sampai. Ingat, dalam segala hal aku yang akan mewakili
bicara. Kau harus mengunci mulut rapat-rapat. Aku kawatir kau kesalahan omong
atau keterlepasan bicara. Kedok kita bisa terbuka. Kau mengerti……?’
“Hamba mengerti Pangeran Sableng!” jawab Kemala pula.
“Kau anak bagus! Aku senang kau mau mengikuti usulku pura-pura pulang ke
Kejaten dan bilang pada pamanmu bahwa kau tidak punya niat menghadiri pertemuan
Serikat Setan Merah……”
Keduanya sampai di puncak buki tempat pertemuan. Tiga orang penerima
tamu segera menyabut mereka. Salah seorang diantaranya segera mereka kenali yaitu
si kumis dan janggut pendek bernama Sangaji. Di wajahnya masih tampak bekasbekas
hajaran Wiro tempo hari.
“Sepasang nenek dan kakek gagah! Atas nama Pimpinan, kemi mengucapkan
selamat datang di Bukit Batu Merah. Tempat pertemuan yang bakal mencatat sejarah
dalam dunia persilatan…..” Sangaji selaku tuan rumah menyampaikan kata-kata
sambutan.
Lupa pada perjanjiannya, Kemala lengsung saja ajukan pertanyaan. “Siapakah
pimpinan kalian…..?”
Wiro cepat menginjak kaki gadis itu seraya berkata. “Maksud nenek peot
pacarku ini apakah kami boleh mengambil tempat duduk. Berlari jauh mendaki bukit
benar-benar sangat melelahkan…….!”
“Ah, jadi nenek ini adalah pacarmu kakek gagah. Pasti kalian sudah lama
berpacaran!” Sangaji berkata. Mulutnya tersenyum tapi matanya mengawasi kedua
orang itu dengan tajam.
“Sudah…. Memang sudah lama kami pacaran. Dan ssstttt…..” Wiro melirik
ke kiri dan ke kanan, seolah-olah takut ada orang lain mendengar apa yang akan
dikatakannya. “Kalian mau tahu. Kami pacaran sejak masih muda hingga tua bangka
begini rupa. Kami …… kami bukan pacaran. Tapi juga kumpul kebo!
Ha…ha…ha….” Wiro tertawa gelak-gelak.
“Hik…hik….hik!” Kemala ikut-ikutan tertawa.
Sangaji dan kawan-kawannya juga turut tertawa gelak-gelak. “Kalian kakek
dan nenek hebat!” Sangaji memuji. Lalu meneruskan “Sesuai peraturan sebelum
kalian mengambil tempat duduk, harap memberi tahu siapa nama atau gelar kalian!”
“Ah, sungguh kami tua bangka tidak tahu peradatan. Sudah diundang orang
tapi lupa memperkenalkan diri!” menyahuti Wiro. Lalu dia memberi isyarat pada
Kemala. Keduanya kemudian membungkuk dalam-dalam lalu Wiro berkata. “Kami
dua tua bangka yang sudah bau tanah ini biasa dipanggil dengan gelaran Sepasang
BASTIAN TITO 34
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tua Bangka Bertongkat Bambu Kuning. Lihat, senjata kami memang adalah sebatang
tongkat bambu!”
Sambil berkata begitu Wiro cabut tongkat bambunya dari pinggang. Entah
kapan dia menggerakkan tangan tahu-tahu tongkat itu sudah menyusup di ketiak salah
seorang anggota Serikat Setan Merah yang ada di samping Sangaji. Orang ini sempat
tersentak kaget. Wiro tarik kembali tongkat bambunya lalu mendekatkan ujung
bambu yang tadi terselip di ketiak orang itu ke arah hidungnya.
“Hueekkk…..! Ketiakmu bau amat!” kata Pendekar itu setelah lebih dulu
keluarkan suara seperti orang muntah. Si nenek tertawa cekikikan lalu tarik tangan si
kakek dan mencari tempat duduk di antara para tamu.
“Sepasang tua bangka gila!” maki anggota Serikat Setan Merah yang tadi
ketiaknya sempat disusupi tongkat bambu.
“Mereka bukan manusia-manusia gila!” menyahuti Sangaji. “Ketika keduanya
tertawa gelak-gelak, lewat mulut mereka yang terbuka aku dapat melihat barisan gigigigi
mereka. Tapi dan utuh, tak ada satupun yang ompong! Tua bangka seumur
mereka mana mungkin punya gigi seperti itu?! Beri tahu Kepala Keamanan, awasi
kedua orang itu dengan ketat! Bilamana pertemuan selesai jangan izinkan keduanya
pergi. Kita harus memeriksa mereka. Kalau perlu menelanjanginya!”
Anggota Serikat Setan Merah yang diperintahkan segera tinggalkan tempat itu.
Semakin tinggi baiknya sang surya semakin banyak para tamu mendatangi
tempat pertemuan di Bukit Batu Merah itu. Wiro dan Kemala duduk pada deretan
bangku kayu keenam di barisan sebelah kanan. Memandang berkeliling sesaat, Wiro
kemudian berbisik pada Kemala. “Aku melihat Pengemis Budiman di deretan kursi
paling belakang baris sebelah kiri. Dia membawa beberapa orang muridnya. Kakek
ini benar-benar berani mati, datang ke sarang macan tanpa menyamar!”
“Dia lebih menunjukkan jiwa kesatria dari pada kita!” tukas Kemala.
Wiro hendak menyahuti. Tapi terpaksa batalkan ucapannya karena tiba-tiba
terdengar suara seperti bunyi gong. Keras, menggema dan menggaung panjang di
seantero puncak bukit. Pada saat itu tampak seorang lelaki separuh baya, berpakaian
dan berikat kepala merah darah melangkah naik ke atas panggung. Di belakangnya
menyusul seorang lelaki yang juga mengenakan pakaian merah. Namun orang ini
menutupi wajahnya dengan sebuah kantong kain berwarna merah yang diberi
berlobang pada bagian mata dan bawah hidung.
Begitu sampai di atas panggung, orang pertama berbalik menghadap ke arah
para tetamu yang duduk di bangku-bangku panjang lalu mengangkat tangan kanannya
dengan telapak terkembang. Pada saat itulah Wiro segera mengenali orang ini. dia
berbisik pada Kemala. “Bangsat yang mengangkat tangan itu aku ingat betul. Dia
salah seorang yang menyusup ke kamar tidurku tapi kemudian sempat melarikan
diri….” Wiro masih hendak bicara panjang tapi orang di atas panggung terdengar
kembali berseru.
“Saudara-saudara para tetamu orang-orang gagah yang kami hormati, selamat
datang di Bukit Batu Merah, selamat dan berbahagia berada di antara kamu orangorang
Serikat Setan Merah! Sesuai dengan rencana semula, hari ini akan dijadikan
bersejarah bagi dunia persilatan. Hanya sayang seribu kali sayang, pertemuan ini
dicemari oleh menyusupnya tamu-tamu yang datang ke tempat ini dengan hati buruk
dan maksud busuk! Menyadari suasana ini maka acara pertemuan terpaksa ditunda
beberapa saat. Atas nama Pimpinan Serikat Setan Merah, para tetamu yang merasa
BASTIAN TITO 35
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
membawa maksud jahat dan hendak menimbulkan kekacauan dipersilahkan
menunjukkan diri. Pemimpin, harap sudi memberi aba-aba……”
Orang yang kepalanya ditutup kain mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi
lalu berseru. “Aku memberi kesempatan sampai sepuluh hitungan! Jika di antara para
tamu tak ada yang mau menyerahkan diri, terpaksa kami menurunkan tangan keras!
Bahkan hukuman pancung!”
Wiro dan Kemala saling berpandangan sesaat.
“Aku rasa-rasa mengenali suara orang berkedok kain itu…..” bisik Kemala.
“Tunggu dulu!” tiba-tiba di bawah panggung ada orang yang berteriak seraya
bangkit dari duduknya. Ternyata dia adalah Si Pengemis Budiman! “Soal pancung
memancung bisa kita bicarakan kemudian. Aku minta agar kau sudi memperkenalkan
diri dan memperlihatkan wajahmu yang tersembunyi di balik kantong kain itu!”
Lelaki pendamping Pemimpin Seikat Setan Merah menjawab ucapan itu
dengan kata-kata. “Di tempat ini kami yang membuat peraturan! Para tetamu tidak
layak menyampaikan kehendak yang bukan-bukan! Orang tua harap beritahu siapa
kau adanya! Katakan nama atau gelarmu!”
“Orang memanggilku Pengemis Budiman. Beberapa waktu lalu anggotaanggota
Serikat Setan Merah menyerbu perguruanku tanpa alasan tanpa lantaran!
Kalian membunuh beberapa orang murid-muridku dan menculik murid perempuanku
bernama Griyati!”
Langsung suasana di tempat itu menjadi gaduh. Orang di atas panggung
mengangkat tangannya. Lalu dia berkata dengan suara lantang “Orang-orang kami
memang sengaja melakukan itu. Karena kau dan murid-muridmu bukan saja bicara
kotor tentang Serikat kami, tapi juga menolak memberikan uang perlindungan serta
membangkang tak mau bergabung dengan kami!”
“Siapa sudi bergabung dengan iblis-iblis macam kalian! Aku Pengemis
Budiman datang untuk menuntut balas! Hutang darah bayar darah, hutang nyawa
bayar nyawa! Katakan di mana Griyati?!” Bersamaan dengan berakhirnya ucapan
orang tua itu enam orang berpakaian merah segera bangkit di kiri kanan Pengemis
Budiman. Lalu secara bersamaan, dengan gerakan cepat mereka membuka pakaian
merah yang mereka kenakan. Di balik pakaian merah itu kelihatanlah pakaian si
kakek yang compang-camping, lalu pakaian enam muridnya yang berwarna biru
muda.
“Bagus! Kalian sudah menunjukkan diri masing-masing! Sekarang atas izin
Pemimpin aku akan menunjukkan jalan kematian bagi kalian bertujuh! Para tetamu
dan para sahabat tolong dijaga agar tujuh pengacau itu tidak seorangpun sempat
melarikan diri!”
Habis berkata begitu orang ini keluarkan suitan keras. Di sekitar panggung
tiba-tiba saja muncul mengepung hampir lima puluh orang anggota Serikat Setan
Merah, rata-rata bertampang liar dan buas!
“Bunuh ketujuh orang itu!” Pemimpin Serikat Setan Merah berteriak dari
balik kain penutup kepalanya. Dia berpaling ke arah Wiro dan Kemala lalu sambil
menunjuk dia kembali berteriak
“Bunuh juga kakek dan nenek itu!”
BASTIAN TITO 36
SEPULUH
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Celaka! Dia dan orang-orang Serikat Setan Merah sudah tahu penyamaran
kita!” berbisik Kemala.
“Tenang saja!” balas berbisik Wiro lalu dia berdiri. Kemala ikut bangkit.
Terdengar suara berkerontangan ketika lima puluh pengepung tempat
pertemuan sama-sama mencabut senjata masing-masing yaitu sebilah golok panjang!
“Siapkan pukulan sakti yang mengeluarkan cahaya abu-abu itu…..” berkata
Wiro.
“Mana mungkin kita menghadapi bangsat-bangsat bergolok sebanyak ini!”
“Tak ada yang tidak mungkin di dunia termasuk di puncak bukit ini!” sahut
Wiro.
Baru saja dia berkata begitu, di atas panggung lelaki pendamping pimpinan
Serikat Setan Merah berseru. “Saudara-saudara para tetamu yang terhormat! Ini saat
kita menunjukkan bakti pada Perserikatan! Bantu kami menghancurkan kaum
penyusup!”
Melihat hal ini Pendekar 212 Wiro Sableng kembali berbisik “Kau tetap di
sini. Aku harus membuat gebrakan!” Murid Sinto Gendeng ini kerahkan tenaga
dalamnya hingga suaranya menggelegar ketika dia berteriak. “Para orang gagah rimba
persilatan! Jika kalian masih menjunjung kebenaran mari bergabung bersama kami
dan Pengemis Budiman untuk menghancurkan komplotan keji Setan Merah ini!”
Diantara para tamu memang hanya merupakan undangan biasa saja yang
bukan merupakan anggota Serikat Merah. Meski banyak dari mereka sangat
membenci segala apa yang telah dilakukan Serikat bejat itu namun sebagai tamu
mereka merasa sungkan, hingga hanya ada dua orang saja yang berdiri lalu melompat
ke dekat Wiro tegak. Habis berteriak begitu Wiro melompat ke atas bangku kayu
yang kosong, dari sini dia melesat ke atas panggung melewati kepala para tetamu. Di
saat tubuhnya melesat di udara, terdengar suara mendengung laksana ribuan tawon
mengamuk. Cahaya putih menyilaukan berkiblat disertai menyambarnya hawa panas.
Semua orang yang duduk cepat rundukkan kepala bahkan ada yang bertiarap.
Beberapa diantara anggota Serikat Setan Merah yang baru bersiap-siap untuk
menyerbu dan terkena sambaran cahaya panas menyilaukan itu langusng terjengkang
dan roboh dengan bagian tubuh hangus melepuh!
Ketika Wiro mendarat di atas panggung, orang banyak melihat “kakek” itu
tegak berdiri dengan kaki terpentang. Di tangan kanannya ada seuah senjata
berbentuk kapak bermata dua.
“Kapak Maut Naga Geni 212!” terdengar beberapa mulut yang mengenali
berseru. Tapi sekaligus mereka terheran-heran. Bagaimana senjata mustika dunia
persilatan yang ditakuti dan diketahui milik Pendekar 212 Wiro Sabelgn kini berada
di tangan si kakek yang tidak dikenal?!
“Tua bangka pengacau! Siapa kau sebenarnya!” bentak Pimpinan Serikat
Setan Merah sementara pendampingnya bersurut keder dua langkah.
Si kakek mengumbar suara tertawa. Tangan kirinya merengut ke wajahnya
beberapa kali. Kanji kering yang menutupi wajahnya terkelupas. Kini kelihatanlah
mukanya yang asli.
“Kau!” teriak pemimpin Serikat Setan Merah terkejut. Dia langsung berpaling
ke arah si nenek yang tegak diantara para tamu. “Jangan-jangan…..”
BASTIAN TITO 37
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Semua dengar!” teriak Wiro. “Aku berusaha mencegah pertumpahan darah
dan ingin menangkap manusia biang racun ini hidup-hidup. Tapi siapa ingin mencari
mati silahkan maju!” Wiro melambaikan tangan kirinya ke arah Pengemis Budiman
dan berseru. “Kakek sahabatku, apakah kau dan murid-muridmu sudah siap?!”
“Kami sudah siap dari tadi! Hanya saja kalau kau inginkan bangsat itu hiduphidup,
aku lebih suka mencincang tubuhnya sampai lumat!” menjawab Pengemis
Budiman yang meskipun senang melihat pendekar konyol berkepandaian tinggi ini
berada di pihanya tapi diam-diam dia masih mendendam atas perbuatan Wiro tempo
hari yang mempermalukannya di depan murid-muridnya sendiri yaitu menarik
celananya hingga auratnya yang terlarang tersingkap jelas!
“Boronowo! Kau tunggu apa lagi! Lekas bunuh pengacau satu ini! yang lainlain
cincang pendekar Budiman bersama murid-muridnya! Bunuh siapa saja yang
berani menantang Serikat Setan Merah!”
Yang berteriak adalah pemimpin Serikat Setan Merah yang sampai saat ini
masih menyembunyikan kepala wajahnya di balik kain merah.
Orang di atas panggung yang bernama Boronowo, yang merupakan tangan
kanan sang pemimpin dan sekaligus menjabat sebagai Kepala Keamanan Serikat
Setan Merah sesaat tampak ragu. Tentu saja hatinya merasa kecut karena malam
ketika dia hendak melakukan pembunuhan atas diri Wiro Sabelng, murid Sinto
Gendeng itu telah menghajarnya hingga mutah darah dan terluka parah di dalam.
Sampai saat itu luka dalamnya masih belum sembuh. Dadanya kerap kali sesak dan
setiap bernafas dalam dan panjang terasa mendenyut sakit. Saat itu dia lebih suka
berada di tempat lain. Tapi di atas panggung dan diperintah begitu rupa mana
mungkin bagi Boronowo untuk menghindar. Maka mau tak mau dai lalu loloskan
goloknya karena memang ilmu golok adalah kepandaian yang paling diandalkannya.
Di samping itu untuk membentengi diri tenaga dalamnya langsung di alirkan di
tangan kiri. Boronowo membuka serangan dengan satu bentakan keras sambil
membabatkan senjatanya ke pinggang Pendekar 212 Wiro Sableng!
Di bagian lain, lima puluh anggota Serikat Setan Merah ditambah beberapa
tokoh persilatan yang tersesat masuk bergabung dengan komplotan itu sudah bergeark
pula menyerbu Pendekar Budiman dan enam muridnya yang dibantu oleh beberapa
orang persilatan yang memang sengaja datang untuk membuat perhitungan dengan
Serikat Setan Merah. Si “nenek” Kemala yang ada di antara orang-orang itu tentu saja
menjadi sasaran serangan pula. Tanpa tunggu lebih lama gadis ini hantamkan kedua
tangannya ke depan.
Wusssss!
Wusssss!
Dua gelombang sinat abu-abu yang menghampar hawa dingin menggebu ke
arah para penyerang. Empat orang anggota Serikat Setan Merah berteriak keras.
Tubuh mereka terpental sampai dua tombak lalu roboh terjengkang di tanah tanpa
mampu bergerak lagi. Masing-masing menjadi kaku dan sekujur tubuh terasa dingin
laksana dibungkus es! Rahang mereka menggembung, geraham bergemelatakan.
Akhirnya keempat orang ini menemui ajal dengan muka mengkerut dan mulut
menganga.
Betapapun tingginya tingkat kepandaian Kemala, namun dikeroyok oleh lebih
sepuluh orang lawan membuat gadis ini serta merta terdesak hebat. Dengan nekad dia
merampas golok salah seorang anggota Serikat Setan Merah. Lalu dengan golok di
tangan kanan dan tongkat bambu kuning di tangan kiri, gadis ini mengamuk. Dua
orang rebah mandi darah. Namun serangan bukannya berkurang. Empat orang lagi
datang menyerbu hingga kini ada dua belas orang yang mengeroyok sang dara,
BASTIAN TITO 38
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kemudian di tambah lagi oleh seorang tokoh silat bertubuh bungkuk yang merangsak
dengan sebuah senjata berbentuk celurit besar. Kembali murid Ki Ageng Kuncoro
Bekti ini terdesak hebat.
Pendekar Budiman dan enam muridnya serta tiga tokoh silat yang ikut
membantunya saat itu harus menghadapi gempuran lebih dari tiga puluh orang
anggota Serikat Setan Merah. Dua diantara mereka adalah Sangaji dan Galut.
Pendekar budiman mengamuk dengan senjatanya yaitu tongkat akar pohon.
Benda ini berkelebat kian kemari, menggebuk dan menusuk. Dua korban pertama
segara menjadi korban si kakek. Satu pecah kepalanya, satu lagi ambrol perutnya
ditembus ujung tongkat! Namun seperti juga Kemala, keadaan pendekar tua dan
murid-muridnya itu segera terjepit dalam kurungan para pengeroyok.
Si kakek kertakkan rahang. Tongkatnya diputar secara aneh hingga berubah
seperti sebuah titiran. Terdengar pekik di sana sini. Korban jatuh lagi di pihak anggota
Serikat Setan Merah. Tapi salah seorang murid Pendekar Budiman saat itu tidak
mampu loloskan diri dari satu serangan serentak yang dilancarkan tiga orang anggota
komplotan serta seorang tokoh silat golongan hitam. Tubuhnya terkutung di bagian
bahu kiri, roboh mandi darah. Lalu selagi dia mengerang kesakitan satu tusukan golok
menembus lehernya!
Pendekar Budiman menggembor marah menyaksikan kematian muridnya itu.
tongkat akar kayu terus di putar sementara tangan kirinya dengan cepat menyusup ke
balik pakaian. Begitu dikeluarkan langsung dihantamkan ke depan. Terdengar suara
berdesing sewaktu selusin paku halus menderu di udara. Lima anggota Serikat Setan
Merah terpekik. Tujuh lainna masih sempat melihat melesatnya senjata rahasia itu
lalu cepat-cepat jatuhkan diri cari selamat.
Meski banyak dari kawan-kawan mereka sudah menemui ajal tapi anggotaanggota
Serikat Setan Merah benar-benar nekad. Mereka terus merangksek dan entah
darimana munculnya tahu-tahu ada sepuluh lagi orang berpakaian merah memasuki
ajang pertempuran.
BASTIAN TITO 39
SEBELAS
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kembali ke atas panggung. Ketika golok lawan menyambar ke arah pinggangnya
Wiro sengaja tidak menangkis dengan Kapak Naga Geni 212. Dia hindarkan serangan
orang dengan melompat ke samping. Begitu serangannya luput, Boronowo langsung
susul dengan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun
pengerahan tenaga dalam yang begitu besar membuat luka dalamnya yang masih
belum sembuh menjadi kambuh kembali. Dadanya langsung menyesak sakit! Tapi
orang ini berlaku nekad! Dalam keadaan begitu rupa dia masih berusaha lepaskan
pukulan.
Wuuuuuttt!
Angin deras menerpa ke arah Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng ini balas
menangkis dengan pukulan tangan kosong yaitu tangan kiri. Sang pendekar tampak
tergontai-gontai sebaliknya Boronowo terjajar beberapa langkah. Dari sela bibirnya
kelihatan ada darah mengucur yang kemudian diludahkannya ke bawah panggung.
Tangan kirinya diangkat memegangi dada.
“Kucing buduk!” Wiro berkata seenaknya. “Jika kau mau memerintahkan
anak-anak buahmu menghentikan perkelahian, akan kuampuni selembar nyawamu!”
“Setan alas! Bangsat rendah!” menyumpah Boronowo. “Kalau malam itu aku
tak dapat membunuhmu, saat ini jangan harap nyawa anjingmu bisa lolos dari
tanganku!”
Lalu dia melompat ke depan. Goloknya berputar ganas dan aneh. Rupanya dia
tengah mengeluarkan jurus-jurus ilmu goloknya yang paling hebat. Wiro merasa
seperti ada selusin golok mencurah ke arah tubuhnya mulai dari kepala sampai ke
pinggang. Murid Sinto Gendeng dipaksa harus bergerak cepat untuk selamatkan diri.
Dia melompat kian kemari namun tubuhnya seperti satu magnit yang menarik senjata
lawan. Golok itu terus mengikuti kemana dia bergerak.
Breet……brrreeeeeettt!
Pakaian Pendekar 212 robek besar di bagian dada dan perut. Wiro melompat
jauh sambil meringis kecut. Tengkuknya terasa dingin. Baru sekali ini dia
menghadapi orang memiliki ilmu golok begitu luar biasa! Karenanya ketika
Boronowo kembali menyerbunya tanpa tunggu lebih lama murid Sinto Gendeng
angkat tangan kanannya.
Terdengar suara menggaung disertai berkilatnya sinar putih perak
menyilaukan.
Traang!
Golok di tangan Boronowo patah dua dan terpental lepas dari tangannya.
Bersamaan dengan itu tubuhnya jatuh duduk di lantai panggung. Tangan kanannya
terasa kaku dan panas. Dia berusaha bangkit tapi belum lagi tubuhnya terangkat satu
tendangan melabrak dadanya! Tubuh Boronowo tercampak ke bawah panggung,
bergulingan beberapa kali lalu terhenti di depan serumpun semak belukar liar.
Buuukk!
Satu pukulan keras menghajar tengkuk Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng
tersungkur ke puanggung. Pangkal lehernya seperti patah dan sakitnya bukan main.
Tapi kemarahan pendekar inipun bukan olah-olah. Sambil gulingkan diri ke kiri dia
menyaksikan pemimpin Serikat Setan Merah siap menghujamkan sebuah senjata
berbentuk tombak pendek ke arah perutnya!
BASTIAN TITO 40
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Setan Merah keparat! Beranimu membokong dari belakang! Rasakan kapak
Naga Geni 212 ini!” teriak Wiro marah. Setangah berlutut dia hantamkan senjata
mustikanya ke depan, menyongsong tusukan tombak. Untuk kedua kalinya ditempat
itu terdengar suara berdentrangan. Tombak di tangan pemimpin Serikat Setan Merah
patah tiga dan patahannya mencelat ke udara. Pemiliknya sendiri tampak sudah
melompat dengan muka pucat. Sekujur tangan kanannya terasa panas sekali!
“Sudah saatmu membuka kain penutup kepala itu! Perlihatkan tampangmu
manusia setan!” ujar Wiro seraya melangkah mendekati. Yang didekati tiba-tiba
membuka tangan kirinya dan melemparkan sesuatu yang sejak tadi dipegangnya.
Wuss!
Terdengar suara mendesis keras. Saat itu juga panggung itu terbungkus oleh
asap tebal berwarna kebiruan, membuat pemandangan Pendekar 212 jadi terhalang,
pemimpin Serikat Setan Merah ini segea melompat dari panggung, berkelebat ke arah
kiri!
Kalau di atas panggung Wiro tidak dapat melihat kemana lenyapnya lawannya,
lain halnya dengan orang-orang yang brada jauh di bawah panggung. Hampir semua
orang diantaranya Kemala dan Pendekar Budiman, sempat melihat kearah mana
kaburnya pimpinan Serikat Setan Merah itu. Merasa tidak ada gunanya meneruskan
perkelahian, apalagi dia dalam keadaan terdesak pula maka Kemala yang sampai saat
itu masih berada dalam penyamaran sebagai seorang “nenek” keluarkan bentakan
keras, menghantam dengan bambu serta golok rampasan yang ada di kedua tangannya.
Begitu lawan tersibak, kesempatan ini dipergunakan si gadis untuk menyelinap keluar
dari kalangan perkelahian dan lari ke jurusan timur.
Sambil lari Kemala berteriak “Wiro ikuti aku! Bangsat itu lari ke arah lereng
timur!”
Dalam keadaan terbatuk-batuk keluar dari kepungan asap lalu melompat ke
jurusan di mana dilihatnya Kemala berkelebat. Hal yang sama juga dilakukan
Pendekar Budiman begitu mendengar teriakan Kemala. Jauh-jauh datang untuk
menuntut balas malah ada anak muridnya yang sudah jadi korban maka kalau sampai
kehilangan musuh besarnya itu, dia akan mati penasaran! Di lain pihak, mengetahui
bahwa pimpinan mereka melarikan diri, apalagi setelah menyaksikan matinya
Boronowo, para anggoa Serikat Setan Merah menjadi patah semangat kalau tak mau
dikatakan putus nyali. Semuanya memilih melarikan diri. Mereka berserabutan ke
berbagai penjuru Bukit Batu Merah itu.
Ternyata pemimpin Serikat Setan Merah yang melarikan diri tidak memiliki
ilmu lari yang bisa menyelamatkan dirinya. Dalam waktu sebentar saja Kemala
berhasil mengejarnya, lalu Wiro dan terakhir menyusul Pendekar Budiman.
“Manusia setan! Permainanmu berakhir saat ini! cepat kau buka kain merah
penutup kepalamu! Atau aku yang membukanya bersama-sama batang lehermu!”
berkata Wiro sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 di depan dada.
Sepasang mata di balik kain merah itu tampak melotot ketakutan. Dia melirik
ke kiri dan ke kanan.
“Jangan harap bisa lolos dari tangan kami!” membentak Pendekar Budiman.
“Lekas katakan di mana muridku Griyati kau sekap!”
“Kalau….. kalau kuberi tahu di mana gadis itu berada, kalian harus berjanji
untuk tidak membunuhku dan membiarkan aku pergi!” berkata pemimpin Serikat
Setan Merah.
Kemala melengak kaget ketika mendengar suara pemimpin Serikat Setan
Merah. Sebelumnya dia hanya mendengar dari kejauhan. Berada sedekat seperti saat
BASTIAN TITO 41
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
itu dia seperti mengenali suara orang iu. Tiba-tiba degnan kecepatan seperti kilat
Kemala melompat ke depan. Tangan kirinya menyambar dan……..!
“Paman Suro Kenanga!” teriak Kemala ketika kain pembunkus kepala
pemimpin Serikat Setan Merah berhasil direnggutnya dan dia serta Wiro dan
Pendekar Budiman kini dapat melihat jelas kepala serta wajah orang itu! “Aku tidak
bermimpi……” desis Kemala seraya menggosok-gosok kedua matanya. Ketika ingat
kalau saat itu dia masih menyamar sebagai nenek, dengan tangan kirnya Kemala
menanggalkan topeng kanji yang menutupi wajahnya.
“Kemala, keponakanku….. Aku sudah duga. Memang kau rupanya…..” Suro
Kenanga merasakan lututnya seperti goyah, akhirnya dia terduduk di tanah. Wiro dan
Pendekar Budiman tertegak bengong. Tapi di lain kejap orang tua berpakaian
compang camping itu sudah melompat ke depan dan menekankan ujung tongkat akar
kayunya ke tonggorokan adipati Solotigo itu. Sekali dia menekan menusukkan maka
tertembuslah leher sang Adipati.
“Lekas katakan di mana murid perempuanku! Atau kubunuh kau saat ini
juga!” mengancam Pendekar Budiman dengan suara bergetar menahan amarah dan
dendam kesumat.
“Paman…..!” berseru Kemala. “Bagaimana ini bisa terjadi! Benar kau menjadi
pemimpin komplotan orang-orang jahat yang menamakan Serikat Setan Merah
itu…..?!”
“Kau melihat sendiri Kemala, memang begitu kenyataannya…..” jawab Suro
Kenanga dengan suara perlahan dan sekujur tubuh kuyu. “Dosaku keliwat besar!
Silahkan kalian membunuhku saat ini juga!”
“Bangsat! Kau harus mengatakan lebih dulu di mana murid perempuanku!”
teriak Pendekar Budiman.
“Muridmu berada dalam keadaan aman. Tidak kurang suatu apa. Tak ada yang
menyentuh dirinya atau menodainya…..”
“Aku tidak bisa percaya kata-katamu Adipati laknat! Sebelum aku melihat
sendiri keadaan muridku!” sentak Pendekar Budiman lalu menekankan ujung kayu ke
leher Suro Kenanga hingga Adipati ini meringis kesakitan.
“Aku bersumpah tidak mendustaimu. Muridmu berada di ruang bawah
bangunan berbentuk candi di halaman belakang gedung Kadipaten………”
Pendekar Budiman kembali hendak membentak tetap Kemala lebih dulu
membuka mulut “Paman, saya tak habis mengerti dan sangat menyesalkan. Mengapa
kau melakukan semua ini…..”
Sepasang mata Suro Kenanga tampak berkaca-kaca. “Aku ……aku
melakukannya karena butuh sejumlah besar uang dan harta…..”
“Uang dan harta…..? Untuk apa paman?!” tanya Kemala.
“Aku harus menyediakan dan memberikan uang serta harta atau apa saja yang
berharga pada seseorang di Kotaraja. Jumlahnya terlalu besar dan aku tak sanggup
mendapatkannya kecuali melakukan pemerasan dan penindasan terhadap rakyat.
Merampas dan merampok. Ketika keadaanku terancam, aku terpaksa memerintahkan
orang-orangku melakukan kejahatan itu. lambat laun mereka berubah menjadi
penjahat beneran. Lalu menyusup segala macam maling dan penjarah! Jumlah mereka
jadi tambah banyak. Aku tak sanggup lagi mengendalikan mereka….. Ah Gusti Allah.
Dosaku terlalu besar dan berat!”
“Paman, kau belum mengatakan untuk apa uang dan harta itu? Lalu kepada
siapa kau berikan?” bertanya Kemala
BASTIAN TITO 42
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Uang dan harta itu sebagai suapan agar aku tetap menduduki jabatan Adipati
seumur hidup. Kepada siapa aku memberikannya tak mungkin aku beri tahu. Ya
Tuhan…. Aku sadar aku ini gila jabatan. Gila kekuasaan…..”
Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Sebelumnya dia memang sudah bercuriga
bahwa pemimpin Serikat Setan Merah itu adalah Suro Kenanga. Dia tidak mau
memberi tahukannya pada Kemala. Takut kesalahan. Ternyata dugaanya tidak
meleset!
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya Wiro meminta pendapat
Pendekar Budiman.
Tapi orang tua itu tidak membuka mulut. Yang menjawab adalah Kemala.
“Paman, kami terpaksa membawamu ke Kadipaten, terus ke Kotaraja. Tak ada
jalan lain. Mudah-mudahan Sri Baginda mengurangi hukuman bagimu….”
Suro Kenanga menggelengkan kapala. “Berjalan jauh-jauh ke Kotaraja hanya
untuk mendapat tiang gantungan. Kalau aku harus mati menebus dosa-dosaku, lebih
baik mati di tempat ini saja. Sekarang!”
Tiba-tiba sekali Suro Kenanga menarik dan menghujamkan keras-keras ke
lehernya sendiri tongkat akar kayu milik Pendekar Budiman yang sejak tadi
menempel di lehernya!
Darah muncrat. Kemala berteriak. Pendekar Budiman dan Wiro terkesiap
kaget. Perlahan-lahan kedua tangan yang memegang kencang tongkat kayu itu
terkulai lemas dan jatuh ke samping. Pendekar Budiman tak berani menarik
tongkatnya. Ketika senjata andalannya itu dilepasnya, sosok tubuh Adipati Suro
Kenanga yang sudah jadi mayat itu langsung jatuh terlentang di tanah. Lereng bukit
itu sesunyi di pekuburan. Hanya suara isak tangis Kemala yang terdengar di antara siliran angin yang berhembus.
TAMAT
SATU
Pendekar 212 Wiro Sableng duduk seperti dihenyakkan di bangku panjang itu.
Perutnya kenyang sekali dan kantuknya mendadak saja muncul tak tertahankan.
Matanya terasa berat dan sebentar-sebentar dia menguap lebar.
“Aneh, kenapa aku jadi mengantuk seperti ini. Dan sekujur tubuhku terasa
letih…..” membatin sang pendekar, lalu dia garuk-garuk kepalanya. Seharusnya dia
sudah membayar makan dan minuman yang disantapnya sejak tadi, tetapi entah
mengapa dia masih saja duduk di rumah makan besar itu. Setiap saat matanya
menatap pada cangkir tanah berisi minuman. Semakin dipandangnya minuman itu
semakin besar hasratnya untuk mereguk. Dan buktinya dia sudah menghabiskan tiga
cangkir besar.
“Minuman apa ini. Harum, manis. Tuak aneh…… Jangan-jangan minuman ini
yang membuat mataku mengatuk…….” Diangkatnya cangkir tanah itu lalu
didekatkannya ke hidungnya. Ketika dia mencium minuman itu dalam-dalam
memang terasa seperti ada hawa aneh yang ikut masuk ke dalam hidungnya dan terus
menjalar ke tenggorokan. Bersamaan dengan itu kedua matanya menjadi tambah berat.
Tapi saat itu pula hasratnya untuk meneguk tuak itu tidak tertahankan.
Gluk….gluk….gluk. Beberapa kali teguk saja minuman itu amblas ke dalam
perutnya. Baru saja cengkir tanah diletakkannya di atas meja dari samping terdengar
pelayan menegur.
“Tuaknya tambah den……?”
Wiro berpaling. Pelayan perempuan ini! Tadi waktu masuk tampangnya jelek,
tapi kini mengapa kelihatan begitu cantik menawan? “Ini pasti pengaruh tuak keparat
itu…..!” ujar Wiro dalam hati. “Pasti pemilik kedai menaruh sesuatu dalam minuman
ini. Bangsat…..!” Wiro memaki dalam hati. Dia memandang lagi pada pelayan di
sampingnya yang siap mengisi cangkir tanah dengan tuak baru. Tangan kanan sang
pendekar bergerak hendak memegang tangan si pelayan. Namun murid Eyang Sinto
Gendeng dari Gunung Gede ini masih dapat menguasai diri. Dia menggeleng seraya
berkata “Cukup. Perutku sudah kenyang dan rasa hausku sudah lepas…… Sebentar
lagi aku akan pergi…..”
“Ah mengapa begitu buru-buru, den? Kelihatannya raden ini keletihan dan
mengantuk. Jika ingin istirahat, di belakang ada kamar untuk berbaring-baring…..”
“Hem….. begitu?” ujar Wiro. Dalam hatinya dia mulai menduga-duga janganjangan
rumah makan besar ini di sebelah belakangnya merangkap rumah bordil alias
tempat pelacuran!
“Bagaimana, raden hendak istirahat dulu? Saya punya banyak teman yang
cantik-cantik yang pandai memijat raden hingga segar bugar kembali…..” berkata
pelayan di samping Wiro.
“Tak meleset dugaanku……” kata Wiro dalam hati. Kembali dia menggeleng.
“Sudah, kau layani saja tamu-tamu yang lain….” Kata Wiro pula. Ketika pelayan
berlalu Wiro memandang ke kanan. Di ujung bangku panjang di sampingnya duduk
seorang lelaki separuh baya berbelangkon dan berpakaian bagus. Orang ini duduk
dengan satu tangan menopang dagunya. Kedua matanya setengah terpejam, kepala
dan tubunya tergontai-gontai. Jelas dia juga tengah dilanda kantuk setelah makan
kenyang dan minum banyak.
BASTIAN TITO 2
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pelayan yang tadi menawarkan tuak pada Wiro melangkah mendekati orang
ini lalu menepuk-nepuk bahunya dengan keras hingga dia tergagap dan tersentak
bangun.
“Bapak….. Kalau kau sudah kenyang dan puas minum sebaiknya segera
membayar dan pergi saja! Masih banyak tamu lain yang butuh tempat duduk di sini!”
kata si pelayan dengan kasar.
Ditegur begitu itu orang tersebut tampak seperti sadar diri dan buru-buru
mengeluarkan koceknya lalu menyerahkan sejumlah uang. Si pelayan mengambil
uang itu dengan kasar. Lalu dengan muka cemberut dia berkata “Uang sejumlah ini
mana cukup membayar semua makanan dan minuman yang kau habiskan! Ayo bayar
lebih banyak….”
Sang tamu seperti mau membantah. Tapi mukanya yang kuyu dan keadaanya
yang mengantuk itu membuat dia seperti tak berdaya menampik. Dan ketika si
pelayan enak saja menarik kocek uang itu dari tangannya, dia seperti pasrah saja. Lalu
berdiri dari bangku dan dengan langkah terhuyung-huyung berjalan ke pintu diikuti
pandangan galak dan tampang cemberut si pelayan. Bahkan terdengar suara memaki
“Tamu tolol! Makan sebakul minum segentong, mau membayar se-upil!” lalu pelayan
itu membalikkan tubuh menuju ke sudur rumah makan di mana duduk seorang lelaki
berpakaian serba hitam, berbadan gemuk dengn muka selalu berminyak tapi garang.
Kepada lelaki ini si pelayan menyerahkan kocek uang. Yang menerima
tertawa lebar dan menepuk-nepuk bahu si pelayan. Lalu tampak dia memandang ke
pintu dan cepat-cepat berdiri ketika melihat ada seorang tamu masuk. Sebelum
meninggalkan tempatnya si baju hitam ini masih sempat berbisik pada pelayan tadi.
“Dengar, untuk tamu yang satu ini jangan kau berikan tuak yang dibubuhi obat itu.
Dan jangan kau berani meminta bayaran!”
Si pelayan mengangguk tanda mengerti. Orang berpakaian hitam cepat
melangkah ke pintu menyambut tamunya. Wiro berpaling mengikuti langkah si
gemuk. Ahai! Ternyata tamu yang disambut oleh lelaki pemilik rumah makan itu
adalah seorang dara cantik jelita berkulit putih mengenakan pakaian tingkas berwarna
merah. Kepalanya diikat dengan sehelai sapu tangan kecil berwarna merah pula.
“Sungguh satu kehormatan besar dara ayu berkenan singgah dan bersantap di
rumah makan saya yang buruk ini. Silahkan….silahkan masuk…..”
Pemilik rumah makan itu menjura dalam-dalam. Sang dara tampak seperti
kikuk menerima sambutan itu. Dua orang tamu yang duduk di sebuah meja tengah
menunggu pesanan mereka tiba-tiba saja dibentak oleh pemilik kedai.
“Sampean berdua silahkan duduk di pojok sana! Ada tamu penting yang akan
duduk di sini!”
“Tapi….. kami sudah dulu duduk di sini. Dan sudah pesan!” sahut salah
seorang tamu dengan nada marah.
“Manusia tidak tahu diri!” hardik pemilik rumah makan. “Aku tidak butuh
uangmu! Kalau tidak suka silahkan keluar!” lalu pemilik kedai tangkap pinggang
tamunya itu, mengangkatnya dan melemparkannya ke sudut ruangan dimana terletak
sebuah bangku panjang. Melihat gelagat yang tidak baik ini orang yang satu cepatcepat
berdiri, menghampiri kawannya yang tersandar ke dinding rumah makan lalu
menarik tangannya. Keduanya keluar dari tempat itu sambil menggerutu.
Dengan sehelai serbet besar pemilik kedai bersihkan meja dan kursi lalu dia
berpaling pada dara berpakaian merah yang masih tertegak di ambang pintu, menjura
dan berkata “Silahkan duduk di sini rara ayu…. Mari. Hidangan lezat dan minuman
nikmat segera saya suruh siapkan . Silahkan duduk…..”
BASTIAN TITO 3
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Walaupun disambut dengan penghormatan yang membuatnya kikuk itu, tapi
sang dara tampak sangat tenang. Tanpa ada perubahan pada wajahnya apalagi
tersenyum, dia melangkah dan duduk di kursi yang disediakan. Pemilik rumah makan
kembali menjura lalu cepat-cepat masuk ke dalam.
Wiro garuk-garuk kepalanya. Adanya “bunga” jelita dalam rumah makan itu
membuat kantuknya tiba-tiba saja lenyap. Dan dalam hati pemuda ini bertanya-tanya
siapa gerangan adanya dara cantik berpakaian merah itu. puteri seorang petinggi
Kerajaan atau puteri seorang Pangeran atau anak gadis seorang hartawan? Tapi
mengapa seorang diri dan caranya mengenakan pakaian ringkas seperti itu hanyalah
kebiasaan orang-orang persilatan.
“Pssst……” Wiro keluarkan suara mendesis untuk menarik perhatian sang
dara. Tapi si baju merah menolehpun tidak. Wiro menyengir seraya garuk-garuk
kepala. Ketika dia memandang berkeliling pemuda ini jadi keheranan karena saat itu
dilihatnya satu demi satu para tamu yag ada di tempat itu meninggalkan rumah makan.
Yang masih setengah makan bahkan cepat-cepat mencuci tangan lalu pergi. Selagi
berpikir-pikir apa yang sebenarnya terjadi di tempat itu Wiro melihat pelayan
perempuan keluar dari ruangan dalam bersama seorang kawannya. Mereka masingmasing
membawa sebuah nampan besar berisi penuh makanan dan minuman. Di
belakang kedua pelayan ini berjalan si gemuk pemilik rumah makan.
“Luar biasa! Makanan yang dihidangkan begitua banyak, serba lezat dan cepat.
Siapa sebenarnya gadis baju merah ini. Kalau dia salah serang kawan yang dikatakn
pelayan itu sebagai gadis-gadis yang pandai memijat, hemmmm…… Menyesal aku
kalau tidak sempat berkenalan dengannya!” Begitu Wiro berpikir-pikir dalam hati.
Wiro memperhatikan makanan yang dihidangkan di atas meja dengan penuh
hormat lalu pemilik rumah makan membungkuk-bungkuk mempersilahkan tamunya
mulai bersantap.
Tanpa menoleh, tanpa perubahan pada wajahnya dara berbaju merah segera
saja menyantap hidangan dimulai dengan meneguk minuman sementara pemilik
rumah makan pergi duduk di sudut ruangan dan dua pelayan tegak tak jauh dari
tempat itu, menunggu kalau-kalau ada yang harus dilakukan……
Wiro batuk-batuk beberapa kali. Si gemuk berpaling. Saat itulah pemilik kedai
ini menyadari kalau di situ masih ada duduk seorang tamu. Serta merta dia berdiri
menghampiri Wiro.
“Tamu tak tahu diri. Lekas minggat dari tempat ini. Tapi bayar dulu makanan
dan minumanmu!”
Tentu saja Wiro terheran-heran diperlakukan seperti itu. “Ada keanehan
terjadi di tempat ini sejak si jelita itu muncul! Siapa sih dia?!” ujar Wiro masih tetap
duduk di bangku panjang malah kini kaki kanannya dinaikkan seenaknya.
Melihat hal ini pmilik rumah makan jadi marah sekali. “Bayar dan pergi!”
teriaknya seraya mendorong bahu Wiro. Pendekar kita tidak melawan, karena itu
waktu di dorong tubuhnya langsung jatuh terduduk di lantai rumah makan.
Berpura-pura bodoh Wiro bengkit berdiri sambil tepuk-tepuk pantat celananya.
“Kalau sampeyan suruh pergi ya aku pergi,” kata Wiro pula. “Tapi aku tidak
mau bayar!”
“Patah lehermu berani tak membayar!” mengancam pemilik rumah makan
sambil mengulurkan kedua tangannya bersikap hendak mencekik.
Tenang dan enak saja Wiro menjawab. “Kawan yang duduk di sampingku tadi
sudah membayari makanan dan minumanku. Bukankah pelayanmu itu telah
merampok seluruh isi koceknya tadi?!” Lalu dia kembali duduk di bangku.
BASTIAN TITO 4
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Paras si gemuk itu tampak berubah. Rahangnya menggembung dan
gerahamnya terdengar bergemeletakan.
“Kowe memang minta mampus!” kertaknya. Tangan kananya yang
membentuk tinju langsung diayunkan ke kepala Wiro.
Tentu saja Pendekar 212 tidak mau kepalanya dijadikan bulan-bulanan jotosan
lawan. Tubuhnya yang duduk di pertengahan bangku panjang tiba-tiba meluncur ke
ujung kiri. Keseimbangan pada bangku lenyap dan bangku panjang itu tempat
mencuat ke atas, tepat pada saat tinju pemilik rumah makan sampai.
Bukk! Tinju itu menghantam kayu bangku.
Langsung si gemuk terpekik. Tangan kanannya bengkak merah, tulang jari
kelingkingnya bahkan patah!
“Pemuda haram jadah!” teriak pemilik rumah makan. Kaki kanannya
menendang, namun saat itu Wiro Sableng sudah melompat ke pintu dan lenyap!
Sambil mengerenyit menahan sakit pemilik kedai mendatangi dara berbaju
merah, membungkuk berulang kali lalu berkata. “Mohon maaf kalau santap siangmu
terganggu oleh pemuda kurang ajar tadi….”
Sesaat gadis itu melirik ke arah tangan kanan lelaki gemuk di hadapannya.
Lalu tanpa berkata apa-apa dia meneruskan makan. Selesai makan dia mengeluarkan
sejumlah uang dan meletakkannya di atas meja. Melihat hal ini si pemilik rumah
makan cepat mendatangi. Seraya membungkuk dia berkata. “Rara, aku Kecak Ronggo
yang rendah mana berani menerima pembayaran darimu. Simpan kembali uang itu
rara. Segala perlindungan yang diberikan padaku sudah cukup membuat aku
berhutang budi seumur hidup. Ambil kembali uang itu rara. Saya tidak berani
menerimanya…..”
Gadis berbaju merah mengangkat kepalanya sedikit menatap tampang Kecak
Ronggo, lalu tanpa berkata apa-apa dia berdiri dari kursinya, membalikkan tubuh dan
bergegas menuju ke pintu. Sampai di luar dia langsung naik ke atas punggung seekor
kuda putih.
“Ah, celaka aku! Celaka aku!” ujar Kecak Ronggo berulang kali. Uang di atas
meja diambilnya lalu dia lari ke pintu ssambil berteriak-teriak. “Rara, jangan! Ambil
uang ini kembali…..” Tapi sampai di pintu gadis berbaju merah itu sudah memacu
kudanya menuju ujung jalan. Kecak Ronggo masih terus berteriak-teriak memanggil
sambil acungkan tangan kirinya yang memegang uang. Namun sang dara lenyap di
kejauahn. Ketika pemilik rumah makan itu hanya bisa berdiri bengong tiba-tiba dari
samping berkelebat satu tangan dan tahu-tahu uang yang ada dalam genggamannya
lenyap. Ketika dia berpaling ke kiri dia mendengar satu suara siulan, di lain saat
dilihatnya pemuda berambut gondrong tadi tahu-tahu sudah berada di atas kuda coklat.
“Berani kau mengambil uang itu! Pemuda rampok! Kau tak tahu siapa gadis
berbaju merah itu! Orang-orangnya pasti akan mencincangmu sampai lumat!”
Dari atas punggung kuda Pendekar 212 menyeringai seraya timang-timang
uang yang dirampasnya dari Kecak Ronggo. Kudanya di putar dengan cepat.
Binatang itu sudah melompat dan lari jauh ketika Kecak Ronggo coba mengejar.
BASTIAN TITO 5
DUA
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kuda putih yang ditumpangi dara berpakaian merah itu larinya sebat sekali.
Bagaimanapun Wiro menggebrak kuda coklatnya tetap saja dia tidak mampu
mengejar. Ketika memasuki daerah berbukit-bukit yang di kiri kanannya diapit oleh
rimba belantara tak begitu lebat, murid Sinto Gendeng itu mulai mencari akal. Di satu
daerah ketinggian dia dapat melihat bahwa jalan yang ditempuh sang dara akan
menikung di sebuah penurunan maka dia harus memotong dengan membelok ke
kanan memasuki hutan.
Ketika Wiro mencapai tikungan di penurunan itu dan menunggu, dia menjadi
heran karena orang yang ditunggunya tak kunjung muncul. Padahal dia sudah
memperhitungkan masak-masak kalau kudanya pasti sampai lebih dulu di tempat itu
karena tadi dia menempuh jalan memotong yang lebih dekat jadi lebih cepat.
Pendekar kita jadi garuk-garuk kepala. Melihat kenyataan ini semakin besar hasratnya
untuk mengetahui siapa adanya dara berbaju merah itu.
Wiro memutuskan menunggu lagi sampai beberapa saat. Ketika yang ditunggu
tetap tak kunjung muncul denan penasaran pendekar ini akhirnya menepuk pinggul
kuda coklat dan meneruskan perjalanan. Belum seratus langkah menunggangi
kudanya, tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik. Wiro berpaling ke kanan, ke arah
bagian bukit yang agak gundul. Di atas sebuah batu besar yang rata tampak seekor
kuda putih dengan kepala mendongak ke langit dan meringkik beberapa kali.
“Itu kudanya! Tapi di mana orangnya…..?” ujar Wiro. Dia memandang
berkeliling, tetap saja tidak melihat sang dara berpakaian merah. “Dia pasti
bersembunyi di satu tempat dan saat ini pasti memperhatikan gerak gerikku!” pikir
Wiro pula. Maka sambil bersiul-siul kecil dia mendaki bukit menuju batu besar
tempat kuda putih berada. Sampai di situ kuda putih itu kembali meringkik. Wiro
melompat turun dari kudanya, menghampiri kuda puih dan mengelus-elus bulu tebal
di leher binatang ini.
“Tenang sobatku. Tenang. Tak ada apa-apa di tempat ini. Mana tuanmu yang
cantik jelita itu…..” kata Wiro seraya memandang berkeliling mencari-cari.
“Ah, di situ dia rupanya…..!” Pendekar 212 Wiro Sableng akhirnya
menemukan juga si gadis. Saat itu si baju merah ini tengah membasuh kedua tangan
dan mukanya di sebuah mata air jernih yang membentuk kolam kecil dengan dasar
batu batuan hitam. Tidak menunggu lebih lama lagi Wiro segera menuju ke mata air
itu.
Pendekar kita membuka pembicaraan dengan suatu pujian. “Saudari, kuda
putihmu itu hebat sekali. Larinya kencang luar biasa!”
Yang ditegur diam saja, berpalingpun tidak. Terus saja sang gadis membasuh
mukanya dengan air yang jernih dan sejuk itu. Murid Eyang Sinto Gendeng garukgaruk
kepala. “Jangan-jangan gadis ini tuli dan bisu.” Pikirnya. “Waktu di rumah
makan tadi, tak sepotong katapun keluar dari mulutnya ……” memikir begitu Wiro
ikut berjongkok di tepi mata air dan membasuh kedua tangan serta mukanya pula,
seperti yang dilakukan si gadis.
Karena sampai sekian lama gadis itu tidak mengacuhkan kehadirannya di sana,
Wiro lalu keluarkan uang logam milik si gadis yang diambilnya dari Kecak Ronggo si
pemilik rumah makan. Uang logam itu diletakkannya di atas sebuah batu dekat kaki si
baju merah. Sang dara hanya melirik sesaat lalu meneruskan mencuci mukanya.
BASTIAN TITO 6
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kemudian perlahan-lahan dia berdiri sambil mengeringkan wajahnya dengan sehelai
sapu tangan.
Wiro ambil kembali uang yang diletakkannya di atas batu, menimangnimangnya
beberapa kali lalu mendehem.
“Saudari, itu uang milikmu yang dikembalikan oleh pemilik rumah makan.
Mengapa kau tak mau mengambilnya…..?” bertanya Wiro.
Si gadis tidak menjawab malah melangkah menuju ke kudnya. Wiro jadi
geleng-geleng kepala. Kalau orang memang tidak suka diajak bicara, apalagi
berkenalan diapun tak akan memaksa. Semula uang di atas batu hendak diambilnya.
Tapi karena jengkel dibiarkannya saja. Sambil melangkah menuju ke kudanya sendiri
dia berkata setengah menggerendang.
“Sayang dan kasihan. Cantik-cantik begitu ternyata tuli dan bisu…..!”
Baru saja Wiro berkata demikian tiba-tiba terdengar suara bentakan dari
samping.
“Siapa yang tuli! Siapa yang bisu?!”
“Eh!” Wiro tergagap kaget. Dia berpaling. Yang membentak adalah gadis
berbaju merah itu. “Astaga!”
“Astaga apa?!” kembali si gadis menghardik dengan mata mmbeliak.
“Jadi……?”
“Jadi apa?!”
“Ternyata kau tidak tuli. Juga tidak bisu! Maafkan diriku yang menyangka
keliru. Habis sejak kulihat pertama kali di rumah makan itu, tidak sepotong suarapun
keluar dari mulutmu…….!”
“Katakan mengapa kau mengejar dan mengikutiku?!” sang dara bertanya.
Kedua matanya tidak berkedip.
“Aku tidak bermaksud buruk,” sahut Wiro pula.
“Mana mungkin!” tukas si gadis. “Kenalpun tidak, lalu mengikuti diriku.
Mengejar dengan mengambil jalan memotong! Kau mau membegalku?!”
Wiro tertawa lebar dan garuk-garuk kepala. “Jangan menduga seperti itu. aku
hanya ingin tahu dirimu sebenarnya. Waktu di rumah makan kulihat pemilik rumah
makan menyambutmu secara istimewa. Para tamu ketakutan dan cepat-cepat
meninggalkan tempat itu. yang tak mau pergi dilempar oleh Kecak Ronggo. Lalu
kulihat hidangan luar biasa diberikan padamu. Dan waktu kau mau bayar, pemilik
kedai menolaknya dengan ketakutan. Jika kau bukan seorang luar biasa pasti tidak
demikian perlakuan orang. Nah itu saja yang ingin kuketahui…..”
“Siapa percaya pada keteranganmu. Ada dua macam orang jahat di dunia
ini….” berkata si gadis.
“Maksudmu?” tanya Wiro.
“Yang pertama, mereka yang memperlihatkan kejahatannya secara terus
terang. Langsug. Misal bangsa maling dan rampok. Yang kedua yang berkedok purapura
jadi orang baik. Kaku kurasa temasuk orang yang kedua!”
Wiro menggeleng. “Dugaanmu meleset. Aku buka orang jahat. Juga bukan
orang baik. Saudari, kulihat kau tidak begitu suka terhadapku. Lebih baik aku pergi
saja. Maafkan kalau aku telah mengganggu diri dan waktumu…..”
Si gadis melirik pada uang logam yang tadi diletakkan Wiro di atas batu.
“Sebelum pergi harap kau ambil uang di atas batu itu. Paling tidak penambah
bekalmu dalam perjalanan……”
Dari nada ucapan sang dara Wiro maklum kalau kata-kata itu bukan
menunjukkan rasa kebaikan, tapi bermaksud menghinanya. Maka diapun menjawab
BASTIAN TITO 7
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Terima kasih. Aku tidak butuh uangmu. Berikan saja pada pengemis. Mereka lebih
membutuhkan dariku….”
Habis berkata begitu Wiro lantas melangkah pergi. Baru saja dia hendak naik
ke atas punggung kudanya, dari lereng bukit sebelah kiri tiba-tiba terdengar derap
kaki kuda. Wiro berpaling. Dia melihat empat lelaki penunggang kuda mendatangi
tempat dia dan si gadis berada dengan cepat. Sesaat kemudian keempat orang ini
sudah berada di depan gadis itu. keempatnya mengenakan pakaian serba merah,
membekal pedang dan golok. Mereka memandang dengan curiga ke arah Wiro lalu
berpaling pada si gadis dan serentak menjura memberi penghormatan.
“Tidak disangka bertemu dengan kawan segolongan di tempat ini. Apakah
saudari berada di sekitar sini dalam rangka persiapan pertemuan besar di puncak
Bukit Batu Merah…..?’
Gadis yang ditanya diam saja kemudian mengangkat bahu dan tak beranjak
dari tempatnya berdiri. Sebaliknya saat itu Wiro yang tadi hendak naik ke kudanya
kini melangkah ke dekat mata air, lalu duduk di atas batu di mana masih terletak uang
logam milik gadis berpakaian merah itu.
Karena yang ditanya tak menjawab, tentu saja keempat orang itu merasa tidak
enak. Yang berkumis dan berjanggut pendek berpaling ke arah Wiro. Saat itu
Pendekar 212 tampak duduk di atas batu sambil cengar-cengir dan menimang-nimang
uang logam di tangan kanannya.
“Saudari, apakah pemuda berotak miring itu mengganggumu?” si kumis
bertanya.
Daru berbaju merah melirik ke arah Wiro. Lalu tiba-tiba saja dia menjawab.
“Betul! Dia sejak tadi menggangguku! Bahkan mengikuti perjalananku! Pemuda
kurang ajar! Sinting tak tahu diri!”
“Eh……!” Wiro melengak kaget mendengar kata-kata si gadis.
Sebaliknya si kumis berbaju merah terdengar berkata. “Kawan, tak usah
kawatir. Biar aku memberi pelajaran sopan santun pada pemuda geblek itu. kau
inginkan dia hanya disiksa atau langsung dibikin mati?!”
Mendengar kata-kata itu sang dara jelas tampak agak kaget. Tapi sesaat
kemudian dia menjawab “Terserah padamu dan kawan-kawan! Saat ini aku harus
melanjutkan perjalanan!”
“Silahkan melanjutkan perjalanan saudari. Kita akan berjumpa lagi di Bukit
Batu Merah pada hari kelima bulan kelima! Pemuda ini serahkan padaku dn temanteman.
Selamat jalan!”
Gadis berbaju merah tertawa lebar. Dia berpaling pada Wiro. Sambil
melangkah ke kudanya dia berkata. “Rasakan olehmu sekarang! Itu akibat kalau suka
mengintili perempuan! Habis awakmu!” Sang dara lalu keluarkan suara tertawa dan
melompat ke punggung kudanya lalu menghambur tinggalkan tempat itu. Tinggal kini
Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat ini tengah didatangi oleh lelaki berkumis dan
berjanggut pendek. Orang ini melangkah dengan muka galak dan tangan kanan
terkepal!
BASTIAN TITO 8
TIGA
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pendekar 212 masih saja tenang-tenang duduk di atas batu sambil menimangnimang
uang logam dengn tangan kanannya. Merasa dianggap enteng amarah lelaki
berkumis dan berjanggut pendek menjadi menggelegak.
Wuuuutttt!
Kepalan tangan kanan yang keras terdengar menderu mengeluarkan angin
tanda jotosan yang dilakukan penuh marah itu disertai kekuatan tenaga luar yang
dahsyat.
Tiga orang berpakaian serba merah yang masih berada di atas kuda masingmasing
tampak heran dan kaget ketika melihat kawan mereka si kumis melintir ke kiri
lalu sempoyongan hampir terbanting ke tanah! Sementara itu pemuda yang tadi
hendak dijotosnya tetap saja duduk di atas batu sambil cengar-cengir dan masih
menimang-nimang uang logam!
“Keparat! Kau berani mempermainkanku!” orang berkumis membentak marah
sekali.
Tiga kawannya melompat dari atas kuda, langsung mengurung murid Sinto
Gendeng.
Apa sebenarnya yang terjadi? Ketika si kumis melayangkan tinjunya untuk
menghantam muka Wiro, pendekar kita miringkan kepalanya sedikit hingga tinju
orang lewaT seujung kuku di pipi kanannya. Karena pukulan yang mengerahkan
tenaga luar yang keras itu tidak mengenai sasarannya, si kumis kehilangan
keseimbangan oleh dorongan kekuatannya sendiri. Akibatnya tubuhnya terhuyung
deras hampir terpelanting jatuh!
“Sangaji, rupanya pemuda gila ini tidak tahu kita ini siapa! Beritahu saja agar
dia tidak bersikap lebih kurang ajar!” salah seorang kawan si kumis membuka mulut.
“Kau saja yang memberi tahu Galut!” jawab si kumis sambil menggulung
lengan baju merahnya tanda dia siap untuk menghajar kembali si gondong di
hadapannya.
Orang yang bernama Galut melangkah ke hadapan Wiro dan berkata “Pemuda
gila! Kowe tahu tengah berhadapan dengan siapa kau saat ini? Kowe tahu siapa kami
ini? Dan kowe tahu siapa gadis yang tadi berani kau ganggu?!”
Wiro goleng-golengkan kepala lalu menyahut “Siapa kalian mana aku tahu!
Dan aku tidak merasa mengganggu gadis tadi!” jawab Wiro polos.
Si kumis yang bernama Sangaji langsung melompat dan layangkan tinjunya.
Tapi kawannya Galut cepat menahan dan berkata pada Wiro dengan suara bergetar.
“Kami adalah anggota-anggota Serikat Setan Merah! Gadis itu salah satu anggota
kami! Dan kau berani berlaku kurang ajar terhadap anak buah Serikat Setan Merah!
Sungguh berani mati!”
“Serikat Setan Merah!” seru Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia belum pernah
mendengar nama perkumpulan itu. Namun di hadapan keempat orang yang tidak
dikenalnya itu dia menyahuti “Nama Serikat Setan Merah memang sudah lama
kudengar! Tapi apakah kalian sadar tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!”
“Anjing kurap!” teriak Sangaji marah besar. “Katakan siapa dirimu!”
Wiro menyeringai. Dia memandangi keempat orang itu satu persatu. Tangan
kanannya masih menimang-nimang mata uang. Tiba-tiba mata uang itu
dilemparkannya tingg-tinggi ke udara. Lalu ketika mata uang mulai jatuh ke bawah
dia menengadahkan kepalanya. Uang logam tepat jatuh di mata kirinya. Dengan
BASTIAN TITO 9
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
tangan kirinya Wiro usap uang logam dan matanya. Ketika tangannya diangkat uang
logam itu telah lenyap dari atas mata kirinya.
“Uang logam itu telah kubikin amblas ke dalam mata kiriku!” ujar Pendekar
212 lalu tertawa gelak-gelak.
“Bangsat! Kau kira bisa menipu kami?! Uang itu kau sembunyikan dalam
genggaman tangan kirimu!” salah seorang anggota Serikat Setan Merah berseru.
Rupanya dia telah memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Wiro.
Wiro kembali tertawa bergelak. Dia buka tangan kirinya yang tergenggam.
Ternyata uang logam itu tak ada dalam genggamannya.
“Pemuda keparat! Jangan coba mengalihkan urusan dengan ilmu sulap
picisan!” teriak Sangaji.
Wiro tersenyum lebar. Lalu berkata “Kalian kulihat begitu bagga menyebut
diri sebagai anggota-anggota Serikat Setan Merah! Ilmu kalian tentu tidak rendah.
Tapi di mana uang logam itu berada kalian tak mampu mengetahuinya. Sungguh
memalukan! Berlagak punya nama besar tapi sebenarnya goblok!”
“Kurang ajar! Berani kau menghina kami!” teriak Galut.
“Sabar! Jangan cepat naik darah sobat!” ujar Wiro. “Uang logam itu kini
berada dalam saku baju kirimu Galut!”
Meskipun sangat marah dan tidak percaya tapi Galut mengeruk juga saku
bajunya. Ketika tangannya meraba ke dalam saku, astaga! Uang itu ternyata memang
ada dalam saku itu dan perlahan-lahan dikeluarkannya. Tiga orang kawannya tentu
saja tampak terheran-heran. Tapi Sangaji cepat berkata. “Permainan sulapmu cukup
bagus! Tapi itu tidak membuat kami mengampuni segala kekurang ajaranmu!” Habis
berkata begitu Sangaji melompat untuk mengirimkan jotosan ke arah jantung Wiro.
Tapi lagi-lagi Galut mencegahnya.
“Orang ini tak bakalan lolos dari tangan kita Sangaji. Biarkan dulu dia kita
beri kesempatan untuk menerangkan siapa dia adanya! Ayo gondrong! Lekas katakan
siapa dirimu!”
Wiro masukkan uang logam ke saku pakaian lalu tegak berdiri sambil letakkan
kedua tangan di pinggang. “Aku adalah Ketua Serikat Setan Putih! Ketua Serikat
Setan Merah adalah adik seperguruanku! Nah, setelah tahu siapa aku, apakah masih
berani berlaku kurang ajar tidak mau segera berlutut minta ampun?!”
“Penipu besar bermulut busuk! Siapa percaya omonganmu!” teriak Galut.
“Ketua kami tidak pernah menerangkan kalau punya kakak seperguruan yang
memimpin Serikat Setan Putih! Galut! Mari kita ganyang pemuda sedeng ini!”
Maka Sangaji dan Galut langsung menyerbu Pendekar 212. Wiro sudah
maklum kalau orang-orang yang menyerangnya bukan saja memiliki tenaga luar yang
hebat tapi juga membekal tenaga dalam. Maka cepat-cepat dia menyingkir dengan
melompat ke kiri. Begitu turun kaki kanannya sengaja menginjak mata air hingga air
muncrat dan dengan deras memercik di muka Sangaji dan Galut.
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Pemuda iblis! Aku bersumpah membunuhmu!” teriak Sangaji lalu dorongkan
tangan kanannya ke depan. Inilah tanda dia tengah melancarkan pukulan tangan
kosong yang mengandung tenaga dalam. Murid Sinto Gendeng cepat selamatkan diri
sebelum tubuhnya tersambar angin pukulan lawan. Namun saat itu dari samping
serangan Galut berupa jotosan datang menyusup dengan cepat ke bahu kiri Pendekar
212.
Buukkkkk!
Pukulan yang tanpa kekuatan tenaga dalam itu menghantam bahu Wiro
dengan keras. Pendekar 212 terjajar ke kanan. Sebaliknya saat itu terdengar pekik
BASTIAN TITO 10
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Galut. Orang ini tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangan kanannya. Jari-jari
tangannya tampak gembung merah dan lecet sedang tulang pegelangan tangannya
lepas dari persendian. Tangan kanan Galut sebatas lengan ke bawah tampak terguntaiguntai
dan sakitnya yang bukan main membuat Galut mengeluh tinggi berulang kali.
Ketika Wiro terjajar ke kanan akibat pukulan Galut tadi, kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh Sangaji. Kedua tangannya di dorong ke depan. Pelipis dan
rahangnya menggembung.
“Kunyuk ini mengerahkan seluruh tenaga dalamnya!” kata Wiro dalam hati.
Diapun langsung menyalurkan tenaga dalam dari perut ke tangan kanan lalu angkat
telapak tangan itu ke atas menyambuti serangan lawan.
Dua angin menderu menghantam ke arah Wiro tetapi tertahan begitu
membentur serangkum angin yang keluar dari telapak tangan Pendekar 212. Perlahanlahan
Wio dorongkan telapak tangan kanannya ke depan. Sangaji terkejut ketika
merasakan ada satu kekuatan dahsyat laksana satu tembok batu mendorong tubuhnya
ke belakang. Dia coba bertahan dengan sekuat tenaga tapi kedua lututnya menjadi
goyah, tubuhnya bergetar dan dadanya mendenyut sakit.
“Celaka!” keluh Sangaji. Dia berseru keras lalu melompat setinggi dua tombak
menghindari gempuran kekuatan dahsyat yang seperti hendak merontokkan tulang
belulangnya. Dari atas Sangaji membuat gerakan menukik, tubuhnya berkelebat ke
arah Wiro. Saat itu di tangan kanannya sudah tergenggam sebilah golok. Senjata ini
menderu keras, membabat ke arah leher Pendekar 212!
Serangan yang dilancarkan Sangaji memang hebat dan bagus untuk disaksikan.
Tubuhnya laksana seekor burung walet menyambar mengsanya. Tapi kehebatan
serangan ini tidak ditunjang oleh gerakan yang cepat, padahal gerakan cepat adalah
dasar kesempurnaan setiap jurus silat.
Golok menyambar di atas kepala Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu senjata
lawan lewat kedua tangan Wiro melesat ke atas. Sangaji terkejut ketika disadarinya
pergelangan tangannya telah dicengkeram lawan namun tidak ada kesempatan
baginya untuk melepaskan diri. Tahu-tahu tubuhnya sudah dibetot keras ke samping.
Tak ampun lagi tubuh Sangaji terlempar sejauh beberapa tombak, begitu jatuh ke
tanah langsung berguling-guling!
Dalam keadaan tubuh dan pakaian serta muka babak belur Sangaji berusaha
berdiri. Goloknya lepas mental entah kemana. Dia berpaling pada kedua kawannya
yang tegak terkesiap lalu berteriak marah. “Kalian menunggu sampai aku dan Galut
mampus dulu baru membantu?!”
Dua anggota Serikat Setan Merah yang dibentak seekan tersadar. Keduanya
segera menghunus senjata masing-masing yakni golok dan pedang pendek lalu
langsung menyerang Wiro. Satu dari samping kanan, satunya dari sebelah kiri.
Karena masih segar bugar belum cidera serangan dua anggota Serikat Setan Merah ini
tampak sebat dan berbahaya. Wiro tak mau berlaku ayal. Dia segera berkelebat cepat
untuk hindari diri. Tubuhnya bergerak ke kiri, berpindah ke kanan, membalik dan
tahu-tahu kaki kanannya melesat menghantam dagu salah seorang penyerang. Tak
ampun lagi orang ini terpental, tergelimpang di tanah dalam keadaan pingsan dan
mulut berdarah! Kawannya yang satu lagi nampak panik tapi masih berusaha
menyerbu dengan menusukkan pedangnya ke perut Wiro.
Pendekar 212 tendang siku penyerangnya dengan kaki kiri.
Terdengar suara berderak disertai jeritan setinggi langit.
Pedang pendek terlepas mental ke udara. Anggota Serikat Setan Merah
mundur menjauhi Wiro. Mukanya tampak mengerenyit pucat. Akhirnya dia tersandar
pada sebuah lamping batu sambil pegangi tangan kanannya yang patah!
BASTIAN TITO 11
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro memandang berkeliling sambil bertolak pinggang.
“Serikat Setan Merah!” katanya sambil mencibir. “Dari sikap dan tindak
tanduk kalian aku tahu kalian bukanlah manusia-manusia dari perkumpulan baikbaik!
Hari ini aku hanya memberi pelajaran secukupnya. Tapi lain kali jika kalian
masih berani bertindak sewenang-wenang dengan mengandalkan nama komplotan
kalian, kalian akan kuhajar babak belur lalu kutelanjangi hingga kalian bukan lagi
sebagai Setan Merah tapi Setan Telanjang!”
Wiro mendengus lalu melangkah mendekati kudanya. Sebelum berlalu masih
sempat didengarkannya Sangaji berteriak. “Pemuda keparat! Kami tidak akan
melupakan apa yang terjadi hari ini! kami akan mencarimu untuk membuat
perhitungan! Jangan harap kau akan bisa bernafas jika bertemu kami sekali lagi!”
“Manusia sombong! Urusi dulu muka dan pakaianmu yang compang camping
berkelukuran tanah!” sahut Wiro pula lalu gebrakkan kuda coklatnya dan tinggalkan
tempat itu.
Sesaat setelah meninggalkan bukit dimana Wiro kini harus menghadapi empat
orang lelaki berseragam merah, dara penunggang kuda putih yang juga berpakaian
serba merah sebenarnya merasa heran. Mengapa rombongan empat orang itu begitu
menghormatinya, memanggil dirinya sebagai kawan segolongan lalu menyebutnyebut
pertemuan di Bukit Batu Merah tanggal lima bulan kelima. Apa arti semua
ini? dia menghubungkan pula dengan kejadian di rumah makan sebelumnya. Lalu
ingat pada pemuda gondrong berpakain putih itu . Siapa pula pemuda ini sebenarnya.
Mengapa dia mengikuti dirinya. Semua pertanyaan itu belum terjawab dan sulit akan
terjawab kalau dia tidak menyelidiki sendiri. Perlahan-lahan sang dara hentikan
kudanya. Dia berpikir-pikir beberapa ketika. Akhirnya dia putar kembali
tunggangannya itu dan memacunya menuju bebukitan dimana tadi dia berada. Dari
balik sebuah batu yang terlindung oleh semak belukar, gadis berbaju merah ini
memperhatikan apa yang terjadi. Semua yang berlangsung di situ disaksikannya
dengan terheran-heran. Terlebih-lebih ketika dilihatnya begaimana Wiro
memperhatikan keempat lelaki berseragam yang mengaku anggota-anggota Serikat
Merah lalu menghajar mereka satu demi satu!
“Pemuda itu agaknya tidak berotak miring…..” membatin sang dara.
“Kepandaiannya luar biasa. Ada keanehan pada dirinya. Mungkin dia sengaja
menyembunyikan kehebtan dirinya di balik sikap yang konyol seperti orang geblek
begitu? Ah, peduli apa aku dengan dirinya.” Akhirnya gadis ini memutar kudanya dan
tinggalkan tempat itu.
BASTIAN TITO 12
EMPAT
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kuda putih itu berlari kencang meninggalkan kepulan debu jalaan di belakangnya.
Bagaimanapun dara berpakaian merah itu tidak ingin mengingat-ingat apa yang
disaksikannya di bukit gundul tadi namun tetap saja apa yang terjadi terbayang di
pelupuk matanya. Sesekali dia tampak tersenyum ketika ingat bagaimana pemuda
berambut gondrong itu mempermainkan empat anggota Sereikat Setan Merah dengan
permainan uang logamnya.
“Ah, baru tiga hari aku turun gunung, banyak keanehan yang kutemui di
tengah jalan!” berkata sang dara dalam hati. Dia mengusap leher kuda tunggangannya
seraya berkata. “Ayo, Putih, percepat larimu! Kita harus sampai di Solotigo sebelum
matahari terbenam!”
Seakan mengerti ucapan penunggangnya kuda putih itu keluarkan suara
meringkik kecil lalu percepat larinya.
“Bagus! Kau memang kuda yang baik!” memuji sang dara.
Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba binatang tunggangannya meringkik
panjang lalu hentikan lari sambil angkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Jika saja
sang dara tidak cepat bergayut pada lehernya, pastilah dia akan jatuh terpelanting ke
tanah.
“Tenang Putih! Apa yang kau takutkan…..?!” ujar gadis berpakaian merah
seraya mengusap-usap leher kuda putihnya. Perlahan-lahan kudanya melangkah ke
depan. Di balik sebuah tikungan pada jalan yang akan dilalui sang dara,
membelintang sebuah pohonn besar. Untung saja kuda tunggangannya memiliki
perasaan tajam sehingga meskipun pohon itu berada di tikungan jalan yang belum
kelihatan tapi binatang ini telah mengetahui adanya bahaya dan langsung
menghentikan larinya.
“Hemmmm….. Ada yang sengaja menghadang perjalanan kita……” bisik
sang dara pada kuda putihnya. Lalu dia melompat turun. Baru saja sang dara
menjejakkan kedua kakinya di tanah dari balik semak belukar yang mengapit jalan
tanah itu tiba-tiba berlompatan enam orang yang tak satupun dikenal oleh si gadis.
Orang pertama seorang kakek berpakain compang-camping, berambut kotor
acak-acakan. Di tangan kanannya dia memegang sebatang tongkat yang terbuat dari
sejenis akar pohon. Berbeda dengan keadaan si kakek, lima orang lain yang
mengurung tempat itu adalah empat orang pemuda dan seorang pemudi. Mereka
semua mengenakan pakaian biru muda dan rata-rata bertampang gagah sedang si
gadis yang memakai baju biru tua, memiliki wajah jelita berkulit putih mulus.
Si kakek berbaju compang camping menuh tambalan tertawa mengekeh tapi di
balik tawanya itu jelas dia menyimpan satu kemarahan besar karena sepasang
matanya tampak berkilat-kilat.
“Anak-anak, akhirnya kita temui juga salah seorang dari mereka!” berkata si
kakek. “Lekas kalian ringkus dia kemudian kita tanyai!”
“Dan jika dia tidak mau memberitahu dimana Griyati berada, habisi saja
nyawanya!” Yang menimpali kata-kata si kakek adalah dara berbaju biru tua.
Lalu empat pemuda dan satu gadis yang melakukan pengurungan itu tanpa
menunggu lebih lama segera menyerbu dara berbaju merah.
“Tunggu!” si baju merah berseru. “Apa-apaan ini?! Aku tidak kenal kalian.
Mengapa hendak meringkus diriku?!”
BASTIAN TITO 13
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Si kakek tertawa lalu mendengus. “Tiga hari lalu kalian orang-orang Serikat
Setan Merah menyerbu tempat kediaman kami karena kami tidak mau bergabung
dengan kalian! Lalu kalian membunuh beberapa anak muridku! Juga menculik Griyati,
muridku paling muda dan paling kami sayangi! Kini kami bisa menghadangmu,
apakah kami akan menyia-nyiakan kesempatan?! Kau dengar sendiri! Jika kau tidak
memberitahu di mana Griyati berada, apalagi kalau sampai gadis itu mengalami
cidera, kaupun akan kami cincang sebagai pembalasan dan kepalamu kami
pancangkan di tengah pasar di Solotigo agar semua anggota Serikat Setan Merah
mengetahui dan tidak berani lagi melakukan kejahatan seenak perutnya!”
“Orang tua, aku kasihan pada dirimu!” kata dara berpakaian merah sambil
gelengkan kepala. “Tapi kau dan murid-muridmu salah sangka. Aku bukan anggota
Serikat Setan Merah. Aku juga tidak tahu di mana muridmu bernama Griyati itu
berada!”
Lima murid orang tua berpakaian compang-camping mendengus dan unjukkan
muka berang. Si kakek sendiri tertawa perlahan. “Biasa begitu,” katanya. “Setelah
terkurung dan tak bisa lolos, seseorang selalu berusaha mencari jalan menyelamatkan
diri dengan mengatakan seribu kebohongan!”
“Terserah pada kalian untuk percaya atau tidak! Aku sudah bilang aku bukan
anggota segala macam Serikat Setan atau Serikat Iblis. Aku tidak tahu di mana murid
perempuanmu berada! Sekarang beri jalan. Orang tua harap kau perintahkan muridmuridmu
menyeret pohon itu ke tepi agar aku bisa lewat!”
“Gadis setan!” teriak dara berbaju biru tua. Dia mendahului keempat saudara
seperguruannya menyerang si baju merah. Perkelahian satu lawan lima tidak
terhindarkan lagi. Dalam waktu singkat si baju merah segera terdesak hebat. Tapi
gadis itu tampak tenang sekali. Penuh percaya diri dia hadapi kelima pengeroyoknya
dengna tabah. Gerakannya tampak lembut. Tapi di balik kelembutan itu terdapat satu
kekuatan yang dahsyat. Dan kelembutan itu sendiri bisa berubah secara tiba-tiba
menjadi gerakan yang sangat cepat serta tidak terduga.
Setelah lebih dari enam jurus didesak habis-habisan, si baju merah keluarkan
seruan nyaring. Tubuhnya berkelebat seperti lenyap. Kini hanya bayangan pakaian
merahnya saja yang tampak bergerak kian kemari.
Kakek bertongkat akar pohon terkesiap ketika dia mendengar salah seorang
muridnya keluarkan jerit kesakitan lalu tampak tubuhnya terhuyung sambil pegangi
perut. Tendangan dara berbaju merah rupanya telah menghantam perutnya hingga dia
terpaksa keluar dari kalangan perkelahian dan duduk di tepi jalan menahan sakit. Si
kakek cepat mendatangi untuk menolong muridnya yang cidera itu tapi gerakannya
tertahan ketika sekali lagi dia mendengar jeritan muridnya. Belum sempat dia
berpaling memutar kepala, satu sosok tubuh mencelat ke arahnya, lalu tergelimpang
di tanah sambil mengerang kesakitan. Mata kiri murid kedua yang jadi korban tampak
bengkak merah. Mau tak mau orang tua itu jadi tercekat dan memandang ke arah
kelanagan perkelahian.
Kalau tadi si baju merah kena didesak hebat maka kini di mana dia hanya
menghadapi tiga orang pengeroyok, serangan-serangan balasannya tidak tertahankan
lagi. Korban ketiga adalah murid perempuan si kakek. Si baju merah berhasil
menjambak rambutnya hingga sanggulnya terlepas. Bagitu rambut gadis ini tergerai,
si baju merah menariknya kuat-kuat lalu membantingkannya ke tanah.
Dara berbaju biru tua terpekik kesakitan. Masih untung dia sanggup
mengimbangi tubuh hingga tidak jatuh punggung ke tanah. Degnan rambut masih
terurai, penuh amarah gadis ini kembali melompat untuk menyerbu!
BASTIAN TITO 14
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Sarti!” seru si kakek. “Mundurlah. Tolong dua saudaramu yang cidera!” lalu
sambil melangkah terbungkuk-bungkuk orang tua ini mendekati kelangan perkelahian.
Kembali dia berseru. “Kalian berdua juga mundur! Biar aku yang menghadapi gadis
binal ini!”
Dua murid si kakek yang masih berusaha menghadapi si baju merah dengan
muka merah karena malu cepat-cepat melompat mundur. Salah seorang dari mereka
masih sempat menjura dan berkata. “Guru, maafkan kami tidak bisa meringkusnya!”
“Sudah, menjauh sana! Apa sih sulitnya meringkus tikus bau pesing seperti
gadis ini…..?!” ujar si kakek pula.
Mendengar dirinya disebut “gadis binal” lalu “tikus bau pesing” dara berbaju
merah menjadi marah dan balas mendamprat. “Tua bangka bau tahi kuda! Majulah
lebih dekat biar kusumpal mulutmu yang lancang itu dengan kepalan!”
Si kakek tertawa pendek. Tanpa bilang apa-apa lagi dia langsung putar
tongkatnya. Gerakannya biasa-biasa saja. Tapi tahu-tahu ujung tongkat telah menusuk
ke arah tengorakannya. Si gadis sampai keluarkan pekikan kaget dan buru-buru
melompat mundur. Tapi tongkat si kakek kembali memburunya. Setiap kali dia
melompat atau membuat gerakan mengelak. Ujung tongkat itu selalu bergerak
menghadangnya. Begitu kejadian terus menerus hingga lama-lama si gadis menjadi
kewalahan!
Selagi keadaan si baju merah terdesak seperti iu tiba-tiba terdengar suara
orang tertawa di atas pohon. Yang tengah berkelahi tentu saja tidak berani palingkan
kepala. Tapi empat murid si kakek serentak berpaling dan mendongak ke tas sebuah
pohon. Di atas sebatang cabang yang tingginya sekitar tiga tombak dari tanah, tampak
duduk seorang pemuda berpakaian putih tertawa-tawa sambil menggeragoti sebatang
tebu.
“Perkelahian seru!” ujar pemuda di atas pohon. “Kucing tua melawan cerurut
merah! Ha……ha……ha! Tentu saja kucing tua yang bakal menang! Tapi kalau
cerurut merah mau pakai akal, pasti kucing tua itu bisa dibuat tak berdaya!
Ha…..ha……ha…….!”
Kakek tua itu marah sekali dirinya disebut sebagai kucing tua. Begitu juga
sang dara baju merah yang dikatakan sebagai cerurut merah. Empat murid si kakek
memandang melotot penuh marah pada pemuda di atas pohon tapi mereka tidak
berani melakukan sesuatu selagi guru mereka terlihat berkelahi dengna gadis berbaju
merah itu.
Karena ingin menyelesaikan perkelahian dengan cepat lalu memberi pelajaran
pada orang yang menyebutnya kucing tua, si kakek putar tongkat akarnya dengan
cepat. Kini makin terdesaklah si baju merah.
“Hai! Tidak juga kau pergunakan akalmu cerurut merah! Atau kau memang
sudah kehabisan akal! Kalau begitu biar aku memberikan petunjuk!” terdengar
pemuda di atas pohon berucap. “Cerurut merah, lekas kau masuk ke balik semak
belukar di tepi jalan di belakangmu! Tongkat butut kucing tua itu pasti tak akan
banyak gunanya dan kau akan lebih leluasa menghadapinya!”
Meskipun tidak suka diperintah orang, namun petunjuk yang diterima dalam
keadaan terdesak begitu rupa mau tak mau diikuti juga oleh si gadis berbaju merah.
Dia melompat ke balik semak belukar. Si kakek memburu. Tapi seperti yang
dikatakan orang di atas pohon di dalam semak belukar yang lebat begitu rupa tongkat
di tangan orang tua itu tidak bisa berbuat banyak. Setiap dia hendak memukul atau
membabat, rerantingan dan semak belukar menghalangi gerakan tongkatnya. Jika dia
coba menusuk. Lengan dan tangan pakaiannya tertahan oleh semak-semak!
BASTIAN TITO 15
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Kurang ajar! Siapa yang berani ikut campur urusan orang?!” bentak si kakek
marah. Dia berpaling ke arah pohon di belakangnya. Begitu melihat pemuda yang
duduk di cabang pohon sambil mengunyah-ngunyah tabu orang tua ini menjadi sangat
jengkel. “Pemuda lancang! Kau tetap di situ! Jangan lari! Setelah gadis ini kuringkus,
giliranmu akan kugebuk kuberi pelajaran!”
Pemuda di atas pohon tertawa. “Orang tua!” serunya membalas. “Mengapa
berlaku tolol! Dara itu bilang dia bukan anggota Serikat Setan Merah! Juga tidak tahu
di mana muridmu bernama Griyati itu berada! Mengapa masih ingin meringkusnya?
Eh….. jangan-jangan kau punya maksud lain! Kau naksir pada gadis itu ya?
Ha….ha…..ha! Tua bangka tak tahu diri. Seharusnya kau berkaca dulu sebelum
punya pikiran seperti itu!”
“Mulutmu kotor! Aku bersumpah akan merobek mulutmu itu! Jangan lari!
Aku akan selesaikan urusanku dengan gadis ini!” teriak si kakek.
“Biar kami yang menghajar pemuda lancang bermulut keji itu, guru!” kata
salah seorang murid si kakek.
“Tidak, kau dan saudara-saudaramu awasi saja dia jangan sampai lari! Nanti
aku sendiri yang akan menghajarnya!”
Sebenarnya si kakek itu sudah maklum siapapun adanya pemuda di atas pohon
itu, kalau kehadirannya tidak seorangpun sempat mengetahui sebelumnya, pastilah dia
memiliki kepandaian tinggi. Karena ada rasa kawatir dalam hatinya, itulah sebabnya
si kakek memperingati kelima muridnya untuk tidak bertindak mendahului.
Ketika tadi si kakek berpaling dan bicara dengan pemuda di atas pohon,
kesempatan ini dipergunakan pula oleh dara berbaju merah untuk melirik ke atas
pohon.
“Ah, dia rupanya!” kata sang dara dalam hati ketika mengenali siapa adanya
orang di atas pohon. Pemuda itu bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang
sebelumnya ditemuinya di kedai dan beberapa waktu lalu dijebaknya hingga harus
menghadapi empat orang anggota-anggota Serikat Merah!
Si kakek berpaling kembali kepada dara baju merah yang berada di balik
semak belukar. Rahangnya mengembung. “Apa kau kira akan bisa berlindung terus di
balik semak belukar hah?!” kertaknya.
“Kakek bau! Kau tak bakal menang menghadapiku! Bagaimana kalau kau
melayani dulu kacungku yang di atas pohon sana! Kalau kau bisa mengalahkannya
maka aku akan menyerahkan diri tanpa perlawanan padamu!”
“Gadis edan!” maki Wiro dengan suara tertahan dan melengak jengkel. “Enak
saja dia menyebutku kacungnya! Lagi-lagi dia hendak pergunakan otak liciknya!
Sebelumnya aku dijebak hingga harus berkelahi dengan empat lelaki berpakaian serba
merah itu! Kini dia hendak mengadu aku dengan kakek berpakain compang camping
itu! Sungguh cerdik!”
“Hemm…… jadi monyet gondrong di atas pohon itu adalah kacungmu
ya…..?!” kakek bertongkat akar pohon manggut-manggut. “Aku lebih suka
menggebuk tuannya lebih dulu, urusan dengan kacungmu itu biar kuselesaikan nanti!”
Habis berkata begitu si kakek selipkan tongkatnya di ketiak kiri lalu dia membungkuk.
Apa yang dilakukan orang tua itu sungguh luar biasa! Dengan kedua tangannya dalam
gerakan yang cepat dia mencabuti semak belukar yang ada di tempat itu hingga dalam
waktu singkat semak belukar yang tadi menjadi perlindungan bagi sang dara kini
rambas dan tempat itu jadi terbuka. Dalam marahnya rupanya si kakek merasa tak ada
jalan lain untuk dapat mencapai dan megnalahkan si gadis selain harus merambas
semak belukar yang ada di sekitar situ.
BASTIAN TITO 16
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Ha….ha…..ha! Cerurut merah! Kemana kau hendak sembunyi sekarang?!”
kekeh si kakek lalu tangan kanannya bergerak dan tongkat akar kayunya kembali
berkiblat. Kali ini tampaknya dia tidak mau membuang waktu lagi karena serangan
tongkatnya bukan saja cepat luar biasa tapi gerakan yang dibuatnya merupakan
gerakan-gerakan ganas mematikan. Rupanya orang tua ini tidak perduli apakah dia
bisa meringkus sang dara dalam keadaan hidup atau mati!
Beberapa kali terdengar dara berbaju merah keluarkan suara pekikan karena
tongkat lawan hampir menusuk tubuh atau memukul kepalanya. Serangan tongkat
yang laksana curahan mati-matian.
Breetttt!
Bahu pakaian sang dara robek. Kulit bahunya tergaris perih. Gadis ini
meringis kesakitan. Tiba-tiba dia keluarkan keritan keras dan pukulkan tangan
kanannya ke arah lawan. Serangkum sinar kelabu menggebubu, membuat si kakek
kaget sekali dan buru-buru menyingkir. Sinar kelabu lewat di depan dadanya yang
menebar hawa dingin. Kakek berpakaian compang camping itu kiblatkan tongkat
kayunya ke atas. Tongkat itu tergetar keras tapi sinar kelabu langsung musnah. Di saat
yang sama ujung tongkat menyambar deras dan cepat ke arah tonggorakan si baju
merah.
Serangan tongkat lawan sekali ini sama sekali tidak terduga oleh sang dara
baju merah. Tapi dia menyangka bahwa pukulan tangan kosongnya yang mengandung
aji kesaktian yang selama ini selalu menjadi andalannya pasti akan membuat lawan
roboh, paling tidak mental dan menderita cidera berat. Tapi pukulan bernama “awan
kelabu” itu ternyata mampu dielakkan si kakek. Tercekat oleh kegagalan pukulan
saktinya, sang dara jadi bertindak lengah. Dan dalam kelengahan yang hanya
sepersekian kejapan mata itulah ujung tongkat lawan menusuk ke arah lehernya tanpa
dia mempunyai kesempatan untuk berkelit ataupun menangkis!
“Cerurut merah! Mengapa tusukan tongkat butut begitu saja kau tak sanggup
mengelakkan……?!” terdengar suara Pendekar 212 dari atas pohon. Lalu sebuah
benda sepanjang dua jengkal melesat ke bawah, menghantam ujung tongkat di tangan
si kakek.
Traak!
Benda yang menghanam tongkat kayu itu patah dua dan ternyata adalah
batangan tebu. Tongkat di tangan si kakek sendiri tergetar keras dan si orang tua
sempat terjajar satu langkah. Telapak tangannya terasa panas.
Terkejut dan marah si baju compang camping ini bukan kepalang. Terkejut
karena menyadari lemparan batang tebu itu bukanlah lemparan biasa dan yang
melemparkannya jelas adalah pemuda di atas pohon sana. Marah karena ujung
tongkatnya yang seharusnya akan menusuk paling tidak merobek daging leher dara
berbaju merah akibat lemparan tebu tadi jadi meleset sampai tiga jengkal!
“Setan alas” teriak orang tua itu sementara si baju merah cepat melompar
mundur dengan wajah pucat! Saat itu dia punya kesempatan untuk melompat ke
punggung kuda putihnya dan tinggalkan tempat itu. Namun hal itu tidak dilakukannya
karena dia ingin melihat apa yang kini bakal terjadi antara si kakek dengan si
gondrong.
BASTIAN TITO 17
LIMA
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Didahului oleh suara menggembor keras seperti harimau terluka kakek berpakaian
compang camping melompat ke atas cabang di mana Pendekar 212 duduk berjuntai.
Tubuhnya laksana terbang. Tongkat akar kayu di tangan kanannya berputar laksana
titiran, mengeluarkan angin deras sekali hingga daun-daun pohon rontok berjatuhan.
Jelas kakek ini menggerakkan tongkatnya disertai tenaga dalam penuh.
Trak….trak….traaakkkk!
Cabang pohon yang diduduki Wiro patah berkeping-keping. Tapi si kakek
terdengar berseru kaget. Yang diharapkannya ialah patah tulang belulang si pemuda
berambut gondrong tapi yang dihantamnya ternyata hanyalah cabang pohon . Kemana
pemuda itu lenyapnya?!
Sebenarnya, ketika orang tua itu melesat ke cabang pohon , Pendekar 212
sendiri justru membuat gerakan menjatuhkan diri ke bawah, berjungkir balik di udara
lalu melompat ke tanah dan turun tepat di samping dara berbaju merah! Dan dasar
konyolnya murid Sinto Gendeng ini, ketika melompat turun dia tidak hanya sekedar
melompat saja, tapi tangan kanannya secara jahil menarik celana si kakek ke bawah.
Celakanya yang punya diri tidak menyadari apa yang terjadi. Begitu mendapatkan
Wiro tak ada lagi di atas pohon, dia langsung melompat turun dan ketika tegak di
tanah celananya masih dalam keadaan melorot ke bawah hingga tentu saja anggota
tubuhnya yang paling rahasia terpampang dengan jelas.
“Guru!” tiga orang anak murid si orang tua berseru hampir berbaregan
sementara Sarti si murid perempuan berpaling dengan muka jengah!
Di lain pihak, begitu melompat ke samping si baju merah Wiro tertawa lebar
dan menjura seraya menegur “Saudari, kita berjumpa lagi. Apa kabarmu saat ini…..?”
Kalau sebelumnya sang dara memang tidak menyukai Wiro, kini setelah
dirinya diselamatkan dari serangan maut tadi mau tak mau sikapnya jadi berubah.
Apalagi dilihatnya tingkah laku dan segala perbuatan si pemuda yang konyol itu
membuat tertawa geli dalam hati.
“Aku baik-baik saja, saudara!” si gadis menjawab. “Terima kasih kau telah
menyelamatkan diriku!”
Wiro kembali tersenyum lebar. Sambil garuk-garuk kepalanya dia berkata
“Saudari, omong-omong apa kau ada melihat seekor burung gagak kesasar di sekitar
sini……?!”
Si baju merah sebenarnya sudah tahu apa yang terjadi yaitu apa yang
dilakukan oleh Wiro terhadap kakek berpakaian rombeng. Jika saat itu bukan tengah
menghadapi perkelahian mungkin dia sudah tertawa terpingkal-pingkal. Sambil
melengos dari pemandangan menusuk mata di hadapannya dia menjawab. “Tak ada
kulihat burung gagak kesasar di sekitar sini saudara. Yang kulihat hanya seekor
burung hantu!”
Mendengar ucapan si gadis Wiro tertawa gelak-gealk. Sang dara baju
merahpun tak dapat menahan tawanya lalu ikut tertawa terpingkal-pingkal. Kudanya
tertawa sampai mengeluarkan air mata.
Karena orang tua itu masih belum juga sadar apa yang terjadi atas dirinya
maka salah seorang muridnya melompat ke hadapan gurunya dan menunjuk ke bawah.
Ketika orang tua itu menoleh ke arah yang ditunjuk pada tubuhnya di bawah perut,
barulah dia sadar apa yang terjadi!
BASTIAN TITO 18
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Bangsat rendah! Manusia kurang ajar! Penghinaan ini harus kau balas dengan
nyawa busukmu!” teriak kakek itu marah. Cepat-cepat dia tarik celananya ke atas lalu
melompat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Lima orang muridnya yang merasa
terhina oleh perlakuan itu ikut menyerbu. Salah seorang dari mereka berkelebat
sambil berteriak “Guru! Izinkan kami menghancurkan tulang belulangnya!”
Kalau sebelumnya si orang tua melarang murid-muridnya untuk ikut campur,
kini dalam kemarahannya yang meluap dan rasa malu yang amat sangat dia tidak
perdulikan lagi. Makin cepat dia bisa menghajar si gondrong kurang ajar itu makin
puas hatinya! Maka enam orang disaat yang sama serentak menyerbu Pendekar 212
Wiro Sableng.
Gerakan enam penyerang itu sebat sekali. Entah kapan murid-murid orang tua
itu mengeluarkan senjata masing-masing, tahu-tahu Wiro melihat enam buah
bayangan tongkat berkiblat ke arahnya, menggebuk dan menusuk ke arah enam
bagian tubuh, dua diantaranya menyambar ke arah kepala! Melihat serangan yang
bukan main-main ini, Pendekar 212 yang tadi masih cengar cengir, kini cepat
bergerak. Sebelum dia sempat melakukan sesuatu dari samping terdengar bentakan
perempuan.
“Manusia-manusia curang! Beraninya kalian main keroyok! Jaga kepala
kalian!”
Bersamaan dengan itu satu bayangan merah menyambar dari arah kanan
sedang dari samping kiri menderu sinar abu-abu menebar hawa dingin. Melirik ke
samping Wiro saksikan bahwa yang membentak bukan lain adalah dara berbaju merah
jelita itu. Di tangan kanannya dia memegang secarik kain merah yang tadinya
merupakan kain ikat kepalanya. Dengan kain inilah dia memapasi serangan enam
tongkat sedang dalam waktu yang bersamaan tangan kirinya ikut bekerja melepaskan
pukulan sakti bernama “awan kelabu”
Dua orang pemuda yang berada di jurusan sambaran pukulan sakti sang dara
cepat menghindar. Berarti dua pengeroyok tak dapat meneruskan serangannya. Ujung
kain merah di tangan sang dara berkelebat menyambar ke arah kepala empat
pengeroyok lainnya.
Tak…..tak…..tak…..tak! terdengar suara berdetak empat kali berturut-turut
ketika ujung kain beradu dengan ujung tongkat kayu di tangan lawan. Lalu menyusul
suara kain robek. Kemudian suara seruan tertahan dara berbaju merah. Di saat yang
bersamaan terdengar pula keluhan salah seorang penyerang.
Wiro melihat semua yang terjadi dengan cepat. Dua ujung tongkat kayu murid
kakek berpakaian compang camping tampak hancur. Murid ketiga kelihatan
terhuyung mundur sambil pegangi keningnya yang mengucurkan darah akibat
hantaman ujung kain merah. Orang ini adalah yang sebelumnya sudah babak belur
mata kirinya kena jotosan. Tapi sang dara sendiri tidak berada dalam keadaan
menguntungkan. Malah keadaan kini berbalik membahayakan dirinya. Dua ujung
tongkat, satu milik si kakek dan satunya milik muridnya berhasil menjepit ujung kain
merah yang jadi senjata dara berbaju merah. Ketika dua tongkat itu sama ditarik
dengan keras, bukan saja kain merah menjadi robek, tapi tersentak lepas dari tangan
pemiliknya. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah. Selagi dara baju merah terkesiap
kaget sambil imbangi tubuh, tiga tongkat kayu datang menghantam. Sang dara masih
bisa berkelit dari serangan tongkat di sebelah kanan, tapi yang datang dari depan yaitu
tusukan tongkat si kakek dan yang menggeprak dari samping kiri tak kuasa
dihindarinya. Dalam waktu sekejap saja perutnya akan tertambus tusukan tongkat
yang datang dari depan sedang tongkat yang meyambar dari samping kiri sudah dapat
dipastikan akan menggebuk hancur pangkal bahunya!
BASTIAN TITO 19
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dalam keadaan yang sangat berbahaya itu tiba-tiba menderu suara seperti
tawon mengamuk disertai berkiblatnya sinar putih menyilaukan dan menghamparnya
hawa panas!
Si kakek masih sanggup untuk menahan teriakan kekagetan, tapi wajahnya
yang pucat tak dapat disembunyikan. Dia melompat mundur sambil melotot pandangi
tongkat akar kayunya yang kini hanya tinggal kutungan sepanjang dua jengkal.
Tangannya sendiri terasa seperti kesemutan dan ada hawa panas aneh yang membuat
persendian tangan kanan itu seperti kaku. Cepat-cepat dia menekan beberapa bagian
tangannya seraya kerahkan tenaga dalam. Di samping kirinya dilihatnya salah seorang
muridnya terkapar jatuh di tanah dengan muka seputih kertas. Tongkatnya patah dua
dan mentak entah kemana.
Dara berbaju merah yang tadi merasakan seperti sudah copot jantungnya, kini
menjadi lega begitu menyadari dirinya baru saja lolos dari bahaya maut walau
tengkuknya terasa dingin.
Memandang ke depan kakek dan murid-muridnya melihat pemuda gondrong
berpakaian putih itu tegak dengan kaki terkembang dan kedua tangan bersilang di
depan dada. Tangan yang kanan memegang sebuah senjata berupa kapak bermata dua
yang memancarkan sinar menyilaukan. Pada masing-masin mata kapak jelas kelihatan
tertera tiga rangkaian angka yaitu angka 212.
“Apakah benar aku berhadapan dengan orang yang menyandang gelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212……?” terdengar si kakek berucap seolah-olah
tidak percaya. Lima muridnya, dua diantaranya yang mengalami cidera tampak
terkejut mendengar kata-kata guru mereka, memandang dengan mata besar ke arah
Wiro. Seperti juga sang guru mereka sama-sama tidak mempercayai kalau pemuda
gondrong di hadapan mereka itu adalah Pendear 212 Wiro Sableng.
Wiro menyeringai. “Aku dilahirkan hanya membawa nama. Soal segala
macam gelar itu adalah urusan orang-orang persilatan yang tolol!” berucap murid
Sinto Gendeng itu.
“Hemmmmm…… kau betul pendekar. Orang-orang rimba persilatan
terkadang bersifat tolol! Satu di antaranya adalah kau sendiri!”
“Siapa menyangka, pendekar yang selama ini punya nama besar dan dikenal
sebagai tokoh dari golongan putih, pembela kebenaran penegak keadilan, penolong
orang-orang yang lemah dan tertindas, tahu-tahu kini kulihat berkomplot dengan
orang-orang Serikat Setan Merah!” menjawab si kakek dengan rahang menggembung
dan mata membeliak.
Wiro tertawa gelak-gelak lalu berkata. “Aku tidak munafik mengakui diriku
memang tolol. Tapi kupikir kau jauh lebih tolol. Juga lima muridmu yang tidak mau
mempergunakan akal dan pikiran hingga mau ikut-ikutan jadi orang tolol seperti
gurunya!” Lima murid si orang tua tampak jadi beringas tapi mereka tak berani
bergerak ataupun melakukan sesuatu. “Gadis sahabatku ini sudah mengatakan
sejujurnya bahwa dia bukan anggota Serikat Setan Merah, tapi kau dan muridmuridmu
tetap saja menuduhnya sebagai anggota komplotan itu! Lalu menyerangnya,
mengeroyok! Ingin membunuhnya! Juga hendak membunuhku! Apa itu tidak tolol?!
Apakah kau bisa membuktikan bahwa dia memang anggota Serikat Setan Merah
itu…….?”
“Dia mengenakan pakaian dan ikat kepala seeba merah. Seragam setiap
anggota Serikat Setan Merah!”
Wiro berpaling pada dara berbaju merah di sampingnya lalu geleng-gelengkan
kepala. Ketika dia menggeser kedua kakinya dan menggerakkan tangan kanan yang
BASTIAN TITO 20
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
memegang kapak, si kakek dan murid-muridnya bergerak mundur menajuhi seolaholah
bersiap-siap menjaga segala kemungkinan.
“Orang tua, harap maafkan diriku kalau aku bilang ucapanmu tadi jelas-jelas
menunjukkan kebodohanmu! Jika ada kambing atau anjing diberi pakaian serba
merah, menurut jalan pikiranmu yang tolol itu tentu kau akan menuduh binatangbinatang
itu sebagai anggota Serikat Setan Merah…….!”
Paras si kakek tampak mejadi merah di tempelak ucapan Wiro tadi. Dia
berpaling pada kelima muridnya lalu berkata. “Mari kita tinggalkan tempat ini…..”
lalu pada Wiro dia berkata. “Apa yang terjadi hari ini akan kusampaikan pada
pertemuan para tokoh silat golongan putih bulan dua belas yang akan datang! Kau tak
bakal bisa lari dari hukuman yang bakal dijatuhkan, pendekar sesat!”
“Tunggu dulu!” seru Wiro ketika si kakek dan murid-muridnya hendak berlalu.
“Aku dan sahabatku ini tidak mengetahui apa dan siapa adanya Serikat Setan Merah
itu. dapatkan kau memberi penjelasan……?!”
“Jangan pura-pura tidak tahu!” bentak gadis bebraju biru tua bernama Sarti.
Tapi sang guru cepat menimpali. “Ada baiknya kuterangkan padamu anak
muda! Serikat Setan Merah merupakan komplotan pemeras dan penganiaya rakyat.
Mereka merampok dan membunuh siapa saja yang tidak mau menyerahkan uang atau
harta sesuai dengan aturan yang mereka buat! Lebih keji dari itu mereka menculik
istri dan anak gadis orang! Komplotan biadab ini baru muncul beberapa bulan saja!
Tapi kejahatan dan angkara murka yang mereka lakukan telah lewat takaran! Selangit
tembus!”
“Dan komplotan itulah yang hendak kau lindungi! Pendekar macam apa kau!”
ikut membentak murid perempuan si kakek dengan wajah beringas. “Nama besarmu
yang selama ini disegani di delapan penjuru angin ternyata tidak lebih dari seorang
pendekar busuk! Kau menjadi kaki tangan komplotan yang membunuh saudarasaudara
seperguruanku! Kau berkomplot degnan manusia-manusia laknat yang
menculik Griyati, saudara seperguruanku! Sungguh rendah sekali perbuatanmu!”
Wiro menyeringai dan kedipkan mata kirinya pada si baju biru lalu berkata “Murid
dan guru sama saja tololnya!” gerendeng sang pendekar.
“Hai!” tiba-tiba dara berbaju merah berkata “Jika kalian masih penasaran
silahkan datang ke Bukit Batu Merah pada hari kelima bulan kelima. Di situ akan
diadakan pertemuan rahasia para anggota Serikat Setan Merah. Kalian akan melihat
apakah kami ini memang orang-orang yang kalian tuduhkan itu!”
Murid perempuan si kakek tampak mencibir, lalu dia menarik lengan gurunya.
Bersama empat murid lainnya mereka bergerak tinggalkan tempat itu.
“Sebelum pergi, harap kau suka memberitahu siapa dirimu adanya, orang
tua!” berkata Wiro.
Meski sangat marah dan dendam besar, kakek berpakaian compang camping
menjawab juga. “Aku tua bangka buruk ini adalah Pengemis Budiman…..!”
Wiro Sableng terkejut “Jadi kau! Ah…….”
Murid Sinto Gendeng tidak sempat meneruskan kata-katanya karena si orang
tua dan lima muridnya sudah meninggalkan tempat itu.
“Kau kenal orang tua itu?” bertanya dara baju merah.
“Tidak,” wahut Wiro sambil menggeleng. “Tapi saudara tuanya aku kenal
baik. Dia seorang bergelar Si Segala Tahu. Kalau pengemis tua itu sempat
mengadukan tindak-tandukku, pati bisa terjadi kesalah pahaman…..” Wiro berpaling
pada dara jelita ini. “Tadi kau menyuruh mereka pergi ke bukit Batu Merah, apakah
kau juga berniat pergi ke sana…..?”
BASTIAN TITO 21
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Yang ditanya mengangguk. “Aku merasa ada baiknya melakukan
penyelidikan. Bagaimana caranya itu urusan nani…..”
“Aku juga berminat melakukan hal itu,” kata Wiro pula. “Namun untuk
sementara kurasa kau perlu mengganti pakaian merahmu agar tidak menimbulkan
urusan baru!”
“Itu soal mudah! Aku memang membekal sehelai pakaian warna kuning…..”
“Sekarang kemanakah tujuanmu?” tanya Wiro.
“Solotigo,” jawab sang dara. “Apa kau bermaksud hendak mengikutiku
lagi….”
Wiro tersenyum lebar. “Aku berjanji tidak akan menguntit kemana kau pergi.
Asal kau mau memberitau namamu”
“Panggil aku Kemala…..” jawa sang dara.
“Kemala……” mengulang Wiro. “Namamu bagus….. Sebagus orangnya.”
Saat itu sang dara berbaju merah sudah melompat ke atas kuda putihnya. Wiro
tak mau tertinggal, cepat-cepat dia melompat ke punggung uda coklatnya dan
mengejar Kemala.
BASTIAN TITO 22
ENAM
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Saat itu matahari telah condong ke barat. Kemala memacu kuda utihnya menuju
bukit kecil di sebelah timur. Gadis ini tahu bahwa di balik bukit itu terdaat sebuah
sungai. Dan sepanjang sungai pada kaki bukit terletak desa Kalimukus yang terkenal
sebagai desa subur. Penduduknya hidup dari mata pencaharian bercocok tanam,
memelihara tambak ikan serta beternak. Kira-kira setangah hari perjalanan dari desa
itu, ke arah barat terletak Solotigo, kota yang menjadi tujuan Kemala.
“Tak mungkin aku sampai di Solotigo sebelum malam tiba…..” berkata
Kemala dalam hati. “Agaknya lebih baik bermalam saja di Kalimukus. Besok pagi
baru berangkat ke Solotigo…..”
Di lereng bukit Kemala menoleh ke belakang. Kuda coklat bersama
penunggangnya yaitu Wiro Sabelng masih terus mengikutinya terpisah beberapa belas
tombak. Dia berusaha mencari akal bagaimana dapat meloloskan diri dari pemuda iut.
Namun niatnya itu tidak dilakukannya karena ketika dia mencapai puncak bukit, di
bawah sana dia melihat satu pemandangan yang mengejutkan.
Desa Kalimukus tampak hanya tinggal tumpukan malapetaka belaka. Rumahrumah
penduduk musnah dalam kobaran api. Asap mengepul hitam ke udara. Dari
atas bukit tampak orang-orang berlarian di antara ternak yang berhamburan ketakutan
kian kemari.
“Itu bukan kebakaran biasa! Desa itu seperti sengaja dibakar!” Satu suara
terdengar di samping Kemala. Berpaling ke kiri sang dara dapatkan Pendekar 212
Wiro Sableng bersama kuda coklatnya sudah berada di sampingnya. Kemala tak
menjawab. Wiro letakkan tangan kirinya di atas kening untuk menghidarkan silaunya
sinar matahari. “Astaga! Aku melihat ada beberapa sosok tubuh tergantung! Satu di
pohon. Dua lainnya di pintu rumah yang sedang terbakar!” Wiro gebrak pinggul
kudanya. Kuda coklat itu menghambur ke depan lalu berlari kencang menuruni bukit
menuju desa yang dilamun api. Kemala cepat mengikuti. Begitu keduanya sampai di
desa yang terbakar itu apa yang tadi mereka saksikan dari kejauhan di atas bukit, kini
terpampang lebih jelas dan mengerikan.
Beberapa sosok mayat bergelimpangan di tepi jalan, di halaman rumah, di tepi
kali. Tubuh mereka penuh bekas bacokan senjata tajam. Lalu di beberapa tempat
terdengar suara erangan orang-orang yang tergelimpang dalam keadaan luka-luka.
Suara lenguh sapi yang ketakutan dan embik kambing bercampur baur dengan
gaduhnya suara ayam serta itik yang berhamburan kian kemari, jadi satu dengan jerit
pekik penduduk yang berlarian dalam kekalutan. Kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang perempuan dan laki-laki tua serta anak-anak.
Ketika Kemala muncul bersama Wiro, beberapa orang penduduk lari menjauh
ketakutan. Seorang di antaranya berteriak. “Mereka datang lagi! Mereka datang lagi!
Lari! Selamatkan diri kalian! Selamatkan anak-anak……!”
Wiro kerenyitkan kening. “Kemala….. Orang-orang itu ketakutan
melihatmu!” ujar Wiro.
“Ada yang tidak beres!” manyahuti Kemala. Dia melompat turun dari atas
kuda. Menghadang seorang lalki tua yag lari ka belik rumah sambil mendukung
seorang anak perempuan lalu mencekal tangannya.
“Demi Tuhan! Jangan bunuh! Jangan bunuh diriku……! Jangan bunuh
cucuku!” lelaki tua itu menjerit berulang kali sambil berusaha melepaskan pegangan
Kemala.
BASTIAN TITO 23
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Tidak ada yang akan membunuhmu atau mengganggu cucumu! Lekas
katakan apa yang terjadi……..!” berseru Kemala.
Si kakek tampak melotot lalu kembali menjerit dan meronta-ronta. “Manusia
macam apa kau ini!” Orang tua itu berkata dengan suara gemetar dan tubuh
menggeletar. “Setelah kau dan kawan-kawanmu membunuh, merampok dan menculik
masih bisa bertanya apa yang terjadi?! Mengapa kau kembali? Apa masih belum puas
membakari rumah-rumah kami?! Apa masih murang jarahan yang kalian rampas?!”
“Orang tua, kami baru saja sampai di desa ini. siapa yang melakukan
perampokan dan pembunuhan serta penculikan itu?!” Wiro ikut bicara.
“Ya, lekas katakan siapa yang melakuan pembakaran di tempat ini?!”
menyambung Kemala.
Orang tua itu tidak menyahut. Dia mengereahkan seluruh tenaganya lalu
menarik kuat-kuat hingga pegangan Kemala terlepas. “Manusia iblis! Dosamu tidak
berampun! Kutukan Tuhan akan datang atas dirimu dan komplotanmu!” habis berkata
begitu orang tua itu lari meninggalkan Wiro dan Kemala. Si gadis hendak mengejar.
Tapi Wiro mencegah dan memberi isyarat agar mengikutinya. Di pintu depan dua
buah rumah yang terbakar mereka melihat dua sosok tubuh digantung. Salah satu di
antaranya mulai dijilat kobaran api. Lalu tak berapa jauh dari tempat itu sosok tubuh
ketiga tampak digantung pada cabang sebuah pohon, kaku ke atas kepala ke bawah.
Wajah orang yang tergantung ini tertutup lumuran darah yang masih mengucur dari
luka besar di batang lehernya.
Tiab-tiba Wiro mendengar suara berdesing. Dia cepat membungkuk
menyambar potongan kayu dan melemparkannya ke belakang. Terdengar suara
berdentrangan. Ketika berpaling ke belakang Kemala sempat melihat bagaimana
potongan kayu itu menghantam mental sebatang tombak yang semula melesat ke arah
punggungnya!
“Kurang ajar! Siapa yang berani membokong?!” teriak Kemala matrah. Dia
melihat satu sosok berpakaian hitam berkelebat menghilang di balik reruntuhan
rumah besar yang masih diamuk kobaran api. Tanpa tunggu lebih lama si gadis yang
diikuti Wiro cepat mengejar. Orang berpakaian hitam itu ternyata adalah seorang
pemuda yang lengan kirinya luka parah hampir putus sedang kepalanya di bagian
kening tampak koyak. Darah yang mengucur membasahi mukanya sehingga kelihatan
menggidikkan.
“Kau masih bisa bertahan hidup! Tapi jika tidak segera memberi tahu
mengapa kau hendak membunuhku, kupatahkan batang lehermu saat ini juga!”
mengancam Kemala.
“Kau apakan diriku aku tidak takut! Kau dan orang-orangmu membunuh
ayahku! Istriku kalian culik! Bunuh! Ayo bunuh!” Pemuda itu tiba-tiba berteriak
seperti gila. Lalu tubuhnya tersungkur jatuh, lemah karena terlalu banyak darah yang
mengucur dari luka di tangan dan keningnya.
“Siapa yang kau maksudkan dengan kalian?!” membentak Kemala.
Pemuda yang terduduk di tanah menyeringai. Dia mengeluarkan tangan
hendak mencakar muka Kemala tapi tubuhnya yang terlalu lemah membuat dia tidak
mampu menggerakkan tangan kanannya. “Perempuan iblis…. Kau masih bisa purapura
bertanya. Memang belasan mayat yang kalian bunuh tidak bisa memberi
kesaksian. Kepala desa dan dua pamong desa yang kalian gantung tidak bisa bicara!
Tapi aku Gentolo menyaksikan sendiri apa yang kau lakukan bersama komplotanmu
Serikat Setan Merah!”
“Ah!” Kemala mengeluarkan seruan tertahan sementara Wiro kepalkan tangan.
BASTIAN TITO 24
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Saudara, kau salah sangka. Kawanku ini bukan anggota komplotan Serikat
Setan Merah. Hanya kebetulan saja dia mengenakan pakaian marah!” berkata Wiro.
Lalu dia menotok beberapa bagian tubuh si pemuda hingga darah berhenti mengucur.
Wiro juga salurkan tenaga dalam dingin ke tubuh Gentolo. Kalau tadi pemuda malang
ini merasakan tubuhnya lemah dan panas, kini ada hawa sejuk yang membuat dia
sanggup bertahan.
“Saudara, mengapa orang-orang Serikat Setan Merah melakukan keganasan
ini……?” bertanya Kemala.
“Tanyakn sendiri pada pimpinanmu!”sahut Gentolo. “Aku tidak percaya kau
bukan anggota Serikat Setan Merah! Mengapa kau tidak membunuhku saja saat ini!
Jika kau biarkan aku hidup, aku bersumpah menuntut balas! Menabas batang lehermu,
mencincang mayatmu!”
“Jangan jadi orang tolol!” bentak Wiro. “Jika kawanku ini anggota komplotan
biadab itu, sudah sejak tadi kepalamu menggelinding di tanah! Ayo jelaskan mengapa
orang-orang Serikat Setan Merah berbuat seganas ini?!”
“Ya! Juga siapa mereka sebenarnya?!” menyambung Kemala.
Gentolo mula-mula tak mau membuka mulut. Namun akhirnya dia bicara juga.
“Siapa mereka aku tidak tahu! Tidak ada seorangpun yang tahu….. Yang kami tahu
mereka mula-mula muncul dan bertindak selaku pelindung di desa ini. untuk itu
penduduk harus membayar apa yang mereka sebut uang perlindungan. Dan bukan
uang saja, mereka juga meminta harta atau ternak atau hasil ladang seenaknya.
Lambat laun jumlah yang mereka minta semakin banyak hingga penduduk tidak
mampu untuk memberikan. Lalu mereka mulai bertindak keras. Memaksa dan
menghajar siapa saja yang tidak mau memberikan apa yang mereka minta! Ketika
banyak penduduk yang mencoba melawan, mereka membunuhi orang-orang desa
seperti membunuh lalat saja! Kekeian mereka bukan cuma sampai di situ! Anggota
Serikat Setan Merah juga menculik anak gadis atau istri orang! Mereka melakukan
kejahatan bukan cuma di desa ini saja tapi juga di banyak kampung dan desa…….!”
“Sejak pertama mereka muncul mengapa kalian tidak melaporkan ke
Kadipaten……?” tanya Kemala pula.
Gentolo menyeringai pahit. “Setiap yang melapor mengalami nasib
mengerikan. Hari ini melapor, besok ditemui mati terkapar seperti anjing di tengah
jalan. Tubuhnya penuh bacokan atau tusukan benda tajam!”
“Kemala, kau ingat pada rombongan-rombongan orang-orang berpakaian
merah yang kita temui di bukit beberapa waktu lalu……?” tanya Wiro.
Kemala mengangguk. “Mereka pasti orang-orang Serikat Setan Merah! Dua di
antaranya bernama Sangaji dan Galut! Kau kenal dua nama itu……?’
Gentolo menggeleng. “Mereka bisa punya seribu nama, seribu muka……”
“Ada keanehan yang tidak ku mengerti,” kata Wiro seraya garuk-garuk kepala.
“Orang-orang Serikat Setan Merah berani melakukan kejahatan secara terangterangan.
Gentayangan di siang bolong! Apa betul aparat Kadipaten tidak mengetahui
macam begini bahkan seharusnya sudah sampai ke Kotaraja!”
“Memang sebelumnya pernah ada dua kali serombongan pasukan dari
Kotaraja melakukan pengejaran dan penyergapan. Tapi orang-orang Serikat Setan
Merah cepat sekali menghilang sebelum pasukan sampai…….” Menjelaskan Gentolo.
Kemala berpaling pada Wiro dan berkata. “Kita harus mengurus mayat-mayat
yang malang itu, menolong penduduk yang cidera……”
“Hanya kita berdua apa kau kita bakalan sanggup melakukan itu?” ujar Wiro.
BASTIAN TITO 25
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Gentolo! Kau harus menolong memanggil penduduk yang kabur! Mereka
harus kembali kemari untuk membantu kami……!” berkata Kemala. Lalu tangan
lelaki muda bernama Gentolo itu ditariknya disuruhnya berdiri.
“Wiro…….” Kata Kemala menyebut nama sang pendekar untuk pertama
kalinya. “Salah seorang lelaki berpakaian merah yang kita temui di bukit mengatakan
tentang pertemuan hari kelima bulan kelima di Bukit Batu Merah. Aku memutuskan
untuk datang ke sana! Aku bersumpah untuk membasmi manusia-manusia laknat itu!
Aku bersumpah menghancurkan Serikat Setan Merah sampai ke akar-akarnya!”
Kemala mengepalkan tangan kanannya dan meninju-ninjukan ke telapak tangan
kirinya.
“Kalau begitu, akupun ikut bersumpah sepertimu!” ujar Wiro seraya
mengangkat tangan kanannya ke atas. Lalu dia melanjutkan ucapannya. “Tapi
sebelum segala sumpah dilaksanakan, sebaiknya kau tukar dulu baju merahmu itu!
semua orang ketakutan melihatmu karena menyangka kau anggota Serikat Setan
Merah! Kecuali aku…. Ha….ha…..ha……ha…..! Adalah tolol kalau takut melihat
gadis secantik dirimu ha…ha….ha…..!”
BASTIAN TITO 26
TUJUH
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Adipati Suro Kenanga duduk mendengarkan apa yang disampaikan pembantunya
bernama Martobiru itu lalu menganggukkan kepala dan berkata. “Aku membenarkan
apa yang kau lakukan itu Marto. Jika tidak begitu eadaan bisa berbahaya bagi kita.
Harap kau memberitahu pada kawan-kawan agar mereka memasang telinga
mementang mata, menyirap kabar atau gerakan apa saja yang sewaktu-waktu bisa
terjadi……”
“Akan saya lakukan Adipati. Selanjutnya perlu juga saya beritahukan…..”
“Cukup sampai di sini dulu Marto. Ada orang datang……” memotong Suro
Kenanga.
Martobiru berdiri dari kursi lalu meninggalkan serambi depan Kadipaten
Solotigo yang berlantai batu mar-mar mengkilap itu. Sesaat sang Adipati masih tetap
duduk di kursinya, memperhatikan dua penunggang kuda menambatkan tunggangan
masing-masing lalu berbicara dengan seorang pengawal. Pengawal ini kemudian
mengantarkan kedua tamu tersebut menuju gedung Kadipaten.
Suro Kenanga tidak mengenali kedua tamunya. Yang berjalan di sebelah
depan adalah seorang gadis cantik jelita berpakaian kuning, rambutnya yang hitam
berkilat dikuncir di belakang kepala. Langkahnya ringan dan gerak geriknya
menjelaskan pada sang Adipati bahwa gadis ini adalah seorang dari rimba persilatan.
Di belakang sang dara melangkah seorang pemuda gondrong, tampangnya seperti
orang tolol dan celangak celinguk sambil sesekali menyengir.
“Gedung Kadipaten ini luar biasa bagusnya! Tak pernah au melihat gedung
sebagus ini sebelumnya!” terdengar pemuda gondrong itu berkata sambil berhenti
sejenak dan memandangi bagian depan gedung mulai dari atap sampai ke tangannya
yang berkilat.
Dara berpakaian kuning melangkah menaiki tangga, lalu berhenti di ujung
serambi dan membungkuk pada Suro Kenanga yang duduk di kursi.
“Apakah saya berhadapan dengan Adipati Solotigo, Raden Suro Kenanga?”
Suro Kenanga bangkit dari duduknya, menatap wajah gadis yang menegurnya
itu sesaat lalu menjawab “Benar, aku Suro Kenanga, Adipati Solotigo. Siapa dirimu,
apa maksud kedatanganmu ke mari?”
Sang dara tersenyum, membuat Adipati jadi terheran.
“Rupanya paman lupa pada saya…..?” ujar si gadis pula.
“Eh, siapa kau ini sebenarnya gadis manis. Aku seperti……” Suro Kenanga
memijit-mijit keningnya. “Kau……kau……” dia menunjuk-nunjuk tapi tak berhasil
mengingat atau mengenali siapa adanya gadis di hadapannya itu.
Maka si gadis langsung berkata. “Saya Kemala, anak tunggal Suro Abang,
kakak kandung Adipati sendiri!”
Adipati itu seperti terlonjak dari lantai. “Astaga! Ya Tuhan! Kau rupanya!
Keponakan sendiri aku sampai tidak mengenali!”
Kedua orang itu sama melangkah mendekati lalu saling rangkul. Adipati Suro
kenanga mengelus dan menepuk-nepuk bahu sang dara berulang kali.
Di dekat tangga, pemuda berambut gondrong menggaruk kepalanya beberapa
kali. Dalam hati dia menggerendeng. “Keponakan sih keponakan. Tapi jangan main
peluk lama-lama begitu……”
“Kemala, terakhir sekali aku melihatmu sembilan, mungkin sepuluh tahun yan
lalu. Ketika ayahmu mampir dalam perjalanan mengantarkanmu ke Kaliurang. Kau
BASTIAN TITO 27
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
masih begitu kecil waktu itu. dan sekarang sudah beubah menjadi seorang gadis
cantik jelita! Jangan salahkan kalau tadi aku tidak bisa mengenalimu! Parasmu mirip
ibumu. Eh, apakah kedua orang tuamu ada baik-baik, Kemala……?”
“Saya belum sempat kembali pulang, paman. Baru saja turun gunung dilepas
Ki Ageng Kuncoro Bekti……..”
“Ah, rupanya jadi juga kau berguru pada orang tua sakti itu! Ilmumu tentu
sudah setinggi langit saat ini!” Suro Kenanga tampak gembira sekali mendengar
penjelasan keponakannya itu.
“Tak ada ilmu paling tinggi di dunia ini paman, kecuali ilmunya Gusti Allah,”
menyahuti Kemala.
“Bagus! Aku suka mendengar ucapanmu itu, bukan saja kau memperlihatkan
kerendahan hati dan ketinggian budi. Tapi kau juga memperlihatkan tasa takwa dan
iman pada Tuhan Yang Maha Kuasa! Sekarang kau akan kuajak masuk ke dalam
menemui bibimu……. Eh, siapa pemuda yang datang bersamamu itu…..?”
“Dia sahabat saya paman. Namanya Wiro,” menerangkan Kemala.
Mendengar orang memperkenalkan dirinya, Wiro Sableng maju ke hadapan
Adipati Solotigo itu dan menjura dalam-dalam. Sang Adipati membalas
penghormatan itu dengan anggukkan kepala.
“Mari Kemala, kita temui bibimu…..” kata Adipati kemudian setelah memberi
isyarat pada Wiro agar duduk di kursi serambi depan itu.
Sambil melangkah Kemala berkata “Dalam perjalanan kemari kami menemui
malapetaka besar menimpa sebuah desa di selatan Solotigo…….”
Adipati Suro Kenanga meraba dagunya dan hentikan langkah. “Malapetaka
apa maksudmu? Bencana alam….?’
“Bukan paman, Desa itu, Desa Kalimukus diserbu perampok. Rumah
penduduk dibakari, mereka bukan saja dijarah harta bendanya tapi juga di bunuh.
Kepala desa bersama dua pembantunya digantung secara keji! Para penjahat itu juga
menculik anak gadis dan istri orang……!”
“Desa Kalimukus berada dalam wilayah Kadipaten Solotigo!” ujar Suro
Kenanga pula. “Bagaimana mungkin tidak ada satu orang aparatkupun yang datang
memberikan laporan?! Kurang ajar! Ada yang tidak beres! Perampok-perampok
memang banyak merajalela akhir-akhir ini di seluruh silayah selatan. Malah mereka
berani muncul di sekitar Kotaraja…..”
“Tapi mereka bukan perampok-perampok biasa paman……..”
“Maksudmu Kemala…..?” tanya Suro Kenanga.
“Mereka adalah penjahat-penjahat yang selalu muncul dengan pakaian
seragam merah. Mereka tergabung dalam komplotan yang dinamakan Serikat Setan
Merah dan mereka berani muncul secara terang-terangan. Saya dan sahabat saya
bahkan sempat bertemu dengan beberapa orang diantara mereka. Kalau saat itu saya
tahu bahwa mereka adalah manusia-manusia baiadab sebuas apa yang mereka
lakukan terhadap penduduk Kalimukus, saya tak akan memberi kesempatan hidup
pada mereka!”
Adipati Suro Kenanga menghela nafas panjang. “Nama Serikat Setan Merah
memang sudah sejak beberapa bulan ini aku dengar. Pasukan Kadipaten, bahkan
serombongan dari Kotaraja pernah mengejar dan mengepung mereka. Tapi mereka
berhasil meloloskan diri……!”
“Itu satu pertanda bahwa mereka mempunyai jaringan yang rapi, mempunyai
mata-mata di mana-mana….. Orang-orang seperti kita harus dapat menangkap
pemimpinnya dan membawanya ke tiang gantungan atau mencincangnya di hadapan
rakyat banyak!”
BASTIAN TITO 28
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Adipati Suro Kenanga tersenyum. Sambil memegang bahu keponakannya dia
berkata. “Aku bangga punya keponakan yang bicara dan punya jiwa besar sepertimu,
Kemala. Darah ksatria sudah benar-benar mengalir dalam tubuhmu…….. Tapi
ketahuilah, kedatanganmu kemari adalah untuk bergembira karena sekian tahun kita
tak pernah bertemu. Selanjutnya kau harus cepat-cepat menuju Kejaten, menemui
kedua orang tuamu. Sejak ayahmu mampir sembilan tahun lalu di sini, dia belum
pernah datang lagi. Kau harus cepat-cepat menemui mereka. Ayah ibumu pasti sudah
sangat rindu padamu…….”
“Memang benar kata paman. Saya harus cepat-cepat kembali ke Kejaten. Tapi
ada satu hal yang akan saya lakukan sebelum pulang…..”
“Hem…..apa pula itu Kemala? Apa yang hendak kau lakukan?!” bertanya
Suro Kenanga.
“Ada kabar rahasia bahwa pada hari kelima bulan lima Serikat Setan Merah
akan mengadakan pertemuan besar di Bukit Batu Merah. Saya dan sahabat saya tu
akan muncul di sana. Saya yakin banyak para pendekar golongan putih yang juga
akan muncul di sana……”
“Jika kau muncul di sana, apa yang akan kau lakukan Kemala?”
“Saya akan mengobrak abrik pertemuan itu. Menangkap pimpinan mereka.
Menyerahkannya pada Kerajaan, kalau tidak mungkin menangkapnya hidup-hidup
maka akan saya cincang di situ juga!”
“Anak hebat!” memuji Suro Kenanga. “Tapi kau harus berpikir panjang dan
hati-hati keponakanku. Jika Serikat Setan Merah adalah satu komplotan besar berarti
mereka mempunyai orang-orang cabang atas yang memiliki kepandaian tinggi. Dan
jumlah mereka pasti tidak sedikit. Jika keteranganmu itu betul, biar urusan Serikat
Setan Merah itu serahkan saja padaku.” Suro Kenanga lalu melirik ke arah Wiro lalu
bertanya “Kemala, apakah temanmu yang seperti orang tolol dan sebentar-sebentar
menggaruk kepala itu adalah juga orang persilatan……?”
Kemala mengangguk. “Tampang dan geriknya memang begitu paman. Tapi
dia bukan pemuda sembarangan. Paman pernah mendengar seorang bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212? Dialah orangnya!”
Paras Adipati Solotigo itu tampak berubah. Lalu dia tersenyum. “Kemala!
Lupakan dulu segala macam urusan dengan Serikat Setan Merah itu. mari temui
bibimu…….”
BASTIAN TITO 29
DELAPAN
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karena sahabat dari Kemala maka malam itu Wiro diberikan sebuah kamar yang
bagus di sebuah bangunan berbentuk joglo kecil di halam belakang gedung Kadipaten.
Dasar orang rimba persilatan, pendekar itu merasa risih tidur di dalam kamar tersebut.
Sepanjang malam dia tak bisa memicingkan mata. Lampu minyak dipadamkannya
namun teteap saja dia tak bisa tidur. Akhirnya diam-diam sang pendekar keluar dari
kamar. Keluarnyapun tidak lewat pintu melainkan melalui jendela.
Saat itu lewat tengah malam. Udara di luar dingin. Pendekar 212 duduk di
sebuah bangku batu yang terletak dalam taman kecil di belakang gedung. Seluruh
gedung diselimuti kesunyian dan gelap. Wiro duduk mendekam seperti patung batu.
Ketika dia hendak bangkit berdiri untuk masuk kembali ke dalam kamar, saat itulah
dia melihat ada dua bayangan manusia muncul dari balik tembok belakang lalu
melompat masuk ke dalam halaman belakang gedung. Meskipun tempat sekitar situ
gelap namun Wiro dapat melihat kedua orang yang menyelinap masuk itu
mengenakan pakaian dan ikat kepala merah.
“Anggota-anggota Serikat Setan Merah!” desis Wiro tak pelak lagi. “Berani
benar mereka menyusup ke tempat kediaman Adipati! Mau merampok?! Heran…..
mana pengawal gedung? Tak satupun kelihatan batang hidungnya! Dua bedebah ini
harus dibekuk hidup-hidup biar diketahui siapa dedengkot mereka! Tapi sebelum
dibekuk biar kuhajar dulu sampai babak belur!”
Wiro segera bergerak bangkit. Menyusup ke tempat yang lebih gelap,
memintas gerakan dua orang di sebelah sana dari arah kiri. Tapi gerakan Pendekar
212 segera terhenti ketika dilihatnya dua orang berpakaian merah itu melangkah cepat
justru ke arah kamar tidurnya. Di tangan masing-masing kini tampak terhunus sebilah
golok panjang.
“Heh….. apa tujuan mereka sebenarnya?” tanya Wiro dalam hati dan terus
memperhatikan.
Dua penyusup itu tidak menuju ke pintu kamar melainkan menyelinap ke
samping ke arah jendela kamar. Jendela yang memang tidak terkunci itu dengan
mudah mereka buka. Keduanya lalu melompat masuk ke dalam kamar. Wiro bergerak
cepat ke arah pintu kamar dan menunggu di sana sambil rangkapkan kedua tangan d
depan dada.
Di dalam kamar terdengar suara “Keparat! Kamar ini kosong!”
“Kemana perginya manusia itu?!” suara lain menyahuti.
Sesaat kemudian pintu kamar terbuka, menyusul ucapan orang yang membuka
pintu itu dari dalam. “Tak mungkin dia pergi begitu saja. Pasti ada di sekitar sini…..”
“Aku ada di depanmu kisanak!” Wiro Sableng yang tegak di depan pintu
membuka mulut membuat orang ayang tadi bicara tersentak kaget sebelu sempat
bersurut mundur satu jotosan mendera mata kanannya! Orang ini melolong kesakitan,
tubuhnya seperti dibanting ke belakang lalu roboh di lantai kamar. Goloknya telah
lebih dulu berdentrangan jatuh di lantai. Dia tak kuasa berdiri lagi. Matanya sebelah
kanan bengkak lebam dan mengucurkan darah. Kawannya walaupun kaget tapi bisa
cepat menguasai keadaan. Golok panjang di tangannya segera menderu dibabatkan ke
arah kepala murid Sinto Gendeng.
Wuuuuuuttttt!!
Sambaran golok deras dan dingin. Membuat Wiro terkejut dan sadar si baju
merah yang satu ini memiliki kepandaian yang tidak sembarangan. Cepat-cepat dia
BASTIAN TITO 30
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
rundukkan kepala. Begitu senjata lewat berdesir di atas kepalanya, Wiro susupkan
satu sodokan ke arah perut penyerang. Namun golok panjang itu tiba-tiba membalik
ke bawah, memapas dengan ganas.
“Edan!” maki Wiro. Dia membuang diri ke samping seraya dorongkan tangan
kiri, melepaskan pukulan tangan kosong yang disertai tenaga dalam. Orang yang
memegang golok tampak tergontai-gontai. Tangannya yang membacok seperti kaku,
dan dia berusaha menahan diri dari dorongan keras angin pukulan yang dilepaskan
Wiro. Sesaat kemudian tanagn kanannya yang tadi tampak kaku tiba-tiba mampu
bergerak kembali. Kini ujung golok ditusukkan ke arah dada Wiro.
“Ah, yang satu ini tidak sembarangan!” membatin Wiro seraya menggeser
kuda-kuda kedua kakinya ke samping lalu secepat kilat pukulkan tangan kiri untuk
menghantam sambungan siku lawan.
Ternyata si pemegang golok tidak bodoh. Dia seperti sudah membaca gerakan
Wiro. Dengan memutar kedudukan lengannya maka pukulan Wiro berhasil dikelit
sebaliknya golok di tangan kanannya menggelicir ke atas. Kalau tadi menusuk ke arah
dada maka kini bagian ujung dan tajam dari senjata itu melesat menyambar bahu
kanan.
Breeett!
Buuukk!!
Dua suara itu disusul dengan suara berkerontangannya golok jatuh ke lantai.
Bahu kanan pakaian putih Pendekar 212 robek besar. Wiro melompat mundur
dengan paras berubah. Terlambat saja dia mengatur gerakan tidak dapat tidak
bahunya pasti akan putus, paling tidak luka parah. Di depannya orang berbaju merah
tampak tersandar ke tiang bangunan sambil pegangi dadanya yang sesak. Dadanya
sakit bukan main. Mukanya tampak pucat. Dia terbatuk dua kali, bukan ludah yang
keluar tapi darah yang membersit dari mulutnya.
“Manusia jahanam……!” merutuk orang itu. tiba-tiba kaki kanan bergerak
menendang goloknya yang tercampak di lantai. Ini bukan satu tendangan biasa karena
begitu ditendang golok tersebut mencelat dengan bagian tajamnya melesat lebih dulu
ke arah Wiro, tidak beda seperti sebilah tombak yang dilemparkan.
Wiro berseru kaget dan marah, membuat lompatan untuk selamatkan diri.
Golok menderu lewat, menancap di tiang bangunan. Ketika Pendekar 212 hendak
mengebrak ke depan, orang beraju merah itu ternyata sudah melarikan diri melompati
tembok. Wiro lepaskan pukulan tanagn kosong “kunyuk melempar buah”. Satu
gelombang angin menderu dahsyat menghantam bagian atas tembok hingga hancur
berantakan. Tapi orang yang diarah berhasil meloloskan diri dan lenyap dalam
kegelapan.
“Apa yang terjadi di sini?!” satu bentakan keras menggeledak terdengar. Wiro
berpaling. Yang membentak adalah Adipati Suro Kenanga yang datang bersama tiga
orang pengawal. Wiro menggoyangkan kepalanya ke arah lelaki berpakaian merah
yang menggeletak di lantai dengan mata kanan mengucurkan darah.
“Dua anggota Serikat Setan Merah berusaha menyusup ke sini…..”
menjelaskan Wiro. Lalu dia membungkuk dan menarik kaki orang itu, menyeretnya
ke luar kamar yang lebih terang agar sang Adipati dapat melihat lebih jelas.
“Kurang ajar! Benar-benar berani mampus!” rutuk Suro Kenanga marah.
“Manusia seperi ini tidak pantas dibiarkan hidup!” lalu tiba-tiba sekali sang Adipati
merampas tombak yang berada dalam genggaman salah seorang pengawalnya.
“Tunggu! Jangan dibunuh dulu!” seru Wiro mencegah.
BASTIAN TITO 31
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tapi tombak itu sudah dihunjamkan oleh Adipati Solotigo ke dada lelaki yang
terkapar di lantai. Tepat di arah jantungnya. Orang ini membeliakkan matanya besarbesar
lalu nyawanya putus tiada suara keluar dari mulutnya.
“Sayang……sayang…..” kata Wiro berulang kali seraya garuk-garuk
kepalanya. “Kalau saja dia bisa dibiarkan hidup sesaat, pasti bisa dikorek keterangan
di mana markas mereka dan siapa pemimpin mereka. Sialnya lagi, yang satu tadi
sempat melarikan diri!” Pendekar 212 kembali garuk-garuk kepalanya.
BASTIAN TITO 32
SEMBILAN
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Bukit Batu Merah terletak di kaki timur gunung Merbabu, merupakan satu bukit
tandus yang hanya ditumbuhi semak belukar liar, diselang seling oleh bebatuan
berwarna merah. Pernah serombongan petani dari desa terdekat mencoba membuka
semak belukar itu untuk bercocok tanam. Tapi apa yang ditanam di sana tak pernah
bisa tumbuh, mati. Karena itulah tak pernah lagi ada orang yang mau pergi mendaki
bukit itu.
Hari itu hari kelima di bulan lima. Kalau tadi dikatakan tidak pernah ada orang
ang naik ke atas bukit maka hari itu adalah aneh, sejak pagi-pagi sekali tampak
belasan orang datang dari pelbagai penjuru mendaki naik menuju puncak bukit. Ada
yang brelari atau berjalan cepat. Tapi ada pula yang melangkah santai seperti tengah
berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan di bawah kaki bukit dan kaki gunung.
Yang menarik perhatian ialah bahwa semua orang yang menuju puncak bukit itu
mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna merah.
Hari lima bulan lima. Itulah hari yang ditentukan oleh Serikat Setan Merah
sebagai hari pertemuan seluruh anggota dan pimpinan mereka.
Di puncak Bukit Batu Merah sebelah timur tampak dibangun sebuah
panggung kecil. Di atas panggung terdapat tiga buah kursi besar dan lima kursi keil
yang dibuat dari potongan-potongan batang kelapa. Di depan panggung , diantara
semak belukar liar terdapat bangku-bangku panjang dalam jumlah banyak, juga
terbuat dari batang-batang kelapa. Di ujung deretan kursi-kursi itu berdiri tiga orang
berpakaian merah darah, menyandang golok di pinggang. Ketiganya bertindak
sebagai penerima tamu.
Setiap tamu yang datang dipersilahkan ambil tempat duduk. Yang paling dulu
datang diberikan tempat di deretan bangku sebelah depan, tetapi banyak tamu yang
memilih duduk di bagian tengah atau sebelah belakang.
Dari arah selatan lereng Bukit Batu Merah dua orang berpakaian merah berlari
cepat menuju puncak bukit. Yang pertama seorang nenek berambut putih, bersarung
tangan dan berkasut kain keras. Di ikat pinggang pakaiannya tersisip sebatang tongkat
bambu kuning sebesar ibu jari sepanjang sepuluh jengkal. Mendampinginya adalah
seorang kakek yang juga berambut putih. Seperti si nenek dia juga membekal
sebatang tongkat bambu kuning dengan besar dan panjang yang sama. Kedua tangan
dan kakinya juga mengenakan sarung serta kasut kain keras. Dari cara berlarinya si
kakek jelas bahwa salah satu kakinya pincang. Meskipun demikian larinya bukan
main cepatnya hingga berulang kali si nenek tertinggal di belakang.
“Wiro!” tiba-tiba si nenek berseru. Yang diserunya tentu saja kakek pincang di
depannya. Yang bukan lain memang adalah murid Sinto Gendeng, Pendekar Kapak
maut Naga Geni 212 Wiro Sableng! “Aku benar-benar jengkel dengan semua
penyamaran ini! Kepalaku terasa gatal oleh jelaga berwarna putih ini. Mukaku terasa
kaku oleh kanji dicampur bedak tebal! Benar-benar konyol!”
Wiro memperlambat larinya lalu menyahuti “Lebih bagus konyol begini dari
pada mati konyol! Kau tahu apa yang kita lakukan ini adalah memasuki sarang
harimau! Sekali mereka mengenali kita, bisa berabe urusannya!”
“Ah, ternyata kau sepengecut itu!” ujar si nenek.
“Kemala, jangan sok jadi orang jago kalau hanya mencari penyakit!” tukas
Wiro Sabelng pula. “Penyamaran ini adalah satu-satunya jalan agar kita bisa
menyusup masuk ke tempat pertemuan! Wajahmu dan tampangku sudah cukup
BASTIAN TITO 33
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dikenal oleh beberapa orang anggota Serikat Setan Merah ang kita temui di bukit
tempo hari! Kau mungkin akan disambut dengan segala penghormatan! Tapi aku,
belum dipersilahkan duduk mungkin sudah mereka jegal lebih dulu! Lagi pula ada
alasanku mengapa kita harus menyamar begini rupa….”
Si nenek ternyata adalah Kemala, keponakan Adipati Suro Kenanga dari
Solotigo, murid Ki Ageng Kuncoro Bekti dari Ungaran!
“Katakan apa alasanmu itu.” sang dara berkata.
“Tak dapat kukatakan sekarang!”
“Hemm….. Mengapa begitu?” tanya Kemala penasaran.
“Aku takut terlalu lancang menduga-duga yang tidak karuan. Tapi sejak
kejadian ada orang yang hendak membunuhku malam itu, aku punya firasat, janganjangan…….”
Wiro tak meneruskan ucapannya.
Kemala tambah penasaran. “Jangan-jangan apa?!”
“Sudahlah, kita sudah sampai. Ingat, dalam segala hal aku yang akan mewakili
bicara. Kau harus mengunci mulut rapat-rapat. Aku kawatir kau kesalahan omong
atau keterlepasan bicara. Kedok kita bisa terbuka. Kau mengerti……?’
“Hamba mengerti Pangeran Sableng!” jawab Kemala pula.
“Kau anak bagus! Aku senang kau mau mengikuti usulku pura-pura pulang ke
Kejaten dan bilang pada pamanmu bahwa kau tidak punya niat menghadiri pertemuan
Serikat Setan Merah……”
Keduanya sampai di puncak buki tempat pertemuan. Tiga orang penerima
tamu segera menyabut mereka. Salah seorang diantaranya segera mereka kenali yaitu
si kumis dan janggut pendek bernama Sangaji. Di wajahnya masih tampak bekasbekas
hajaran Wiro tempo hari.
“Sepasang nenek dan kakek gagah! Atas nama Pimpinan, kemi mengucapkan
selamat datang di Bukit Batu Merah. Tempat pertemuan yang bakal mencatat sejarah
dalam dunia persilatan…..” Sangaji selaku tuan rumah menyampaikan kata-kata
sambutan.
Lupa pada perjanjiannya, Kemala lengsung saja ajukan pertanyaan. “Siapakah
pimpinan kalian…..?”
Wiro cepat menginjak kaki gadis itu seraya berkata. “Maksud nenek peot
pacarku ini apakah kami boleh mengambil tempat duduk. Berlari jauh mendaki bukit
benar-benar sangat melelahkan…….!”
“Ah, jadi nenek ini adalah pacarmu kakek gagah. Pasti kalian sudah lama
berpacaran!” Sangaji berkata. Mulutnya tersenyum tapi matanya mengawasi kedua
orang itu dengan tajam.
“Sudah…. Memang sudah lama kami pacaran. Dan ssstttt…..” Wiro melirik
ke kiri dan ke kanan, seolah-olah takut ada orang lain mendengar apa yang akan
dikatakannya. “Kalian mau tahu. Kami pacaran sejak masih muda hingga tua bangka
begini rupa. Kami …… kami bukan pacaran. Tapi juga kumpul kebo!
Ha…ha…ha….” Wiro tertawa gelak-gelak.
“Hik…hik….hik!” Kemala ikut-ikutan tertawa.
Sangaji dan kawan-kawannya juga turut tertawa gelak-gelak. “Kalian kakek
dan nenek hebat!” Sangaji memuji. Lalu meneruskan “Sesuai peraturan sebelum
kalian mengambil tempat duduk, harap memberi tahu siapa nama atau gelar kalian!”
“Ah, sungguh kami tua bangka tidak tahu peradatan. Sudah diundang orang
tapi lupa memperkenalkan diri!” menyahuti Wiro. Lalu dia memberi isyarat pada
Kemala. Keduanya kemudian membungkuk dalam-dalam lalu Wiro berkata. “Kami
dua tua bangka yang sudah bau tanah ini biasa dipanggil dengan gelaran Sepasang
BASTIAN TITO 34
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tua Bangka Bertongkat Bambu Kuning. Lihat, senjata kami memang adalah sebatang
tongkat bambu!”
Sambil berkata begitu Wiro cabut tongkat bambunya dari pinggang. Entah
kapan dia menggerakkan tangan tahu-tahu tongkat itu sudah menyusup di ketiak salah
seorang anggota Serikat Setan Merah yang ada di samping Sangaji. Orang ini sempat
tersentak kaget. Wiro tarik kembali tongkat bambunya lalu mendekatkan ujung
bambu yang tadi terselip di ketiak orang itu ke arah hidungnya.
“Hueekkk…..! Ketiakmu bau amat!” kata Pendekar itu setelah lebih dulu
keluarkan suara seperti orang muntah. Si nenek tertawa cekikikan lalu tarik tangan si
kakek dan mencari tempat duduk di antara para tamu.
“Sepasang tua bangka gila!” maki anggota Serikat Setan Merah yang tadi
ketiaknya sempat disusupi tongkat bambu.
“Mereka bukan manusia-manusia gila!” menyahuti Sangaji. “Ketika keduanya
tertawa gelak-gelak, lewat mulut mereka yang terbuka aku dapat melihat barisan gigigigi
mereka. Tapi dan utuh, tak ada satupun yang ompong! Tua bangka seumur
mereka mana mungkin punya gigi seperti itu?! Beri tahu Kepala Keamanan, awasi
kedua orang itu dengan ketat! Bilamana pertemuan selesai jangan izinkan keduanya
pergi. Kita harus memeriksa mereka. Kalau perlu menelanjanginya!”
Anggota Serikat Setan Merah yang diperintahkan segera tinggalkan tempat itu.
Semakin tinggi baiknya sang surya semakin banyak para tamu mendatangi
tempat pertemuan di Bukit Batu Merah itu. Wiro dan Kemala duduk pada deretan
bangku kayu keenam di barisan sebelah kanan. Memandang berkeliling sesaat, Wiro
kemudian berbisik pada Kemala. “Aku melihat Pengemis Budiman di deretan kursi
paling belakang baris sebelah kiri. Dia membawa beberapa orang muridnya. Kakek
ini benar-benar berani mati, datang ke sarang macan tanpa menyamar!”
“Dia lebih menunjukkan jiwa kesatria dari pada kita!” tukas Kemala.
Wiro hendak menyahuti. Tapi terpaksa batalkan ucapannya karena tiba-tiba
terdengar suara seperti bunyi gong. Keras, menggema dan menggaung panjang di
seantero puncak bukit. Pada saat itu tampak seorang lelaki separuh baya, berpakaian
dan berikat kepala merah darah melangkah naik ke atas panggung. Di belakangnya
menyusul seorang lelaki yang juga mengenakan pakaian merah. Namun orang ini
menutupi wajahnya dengan sebuah kantong kain berwarna merah yang diberi
berlobang pada bagian mata dan bawah hidung.
Begitu sampai di atas panggung, orang pertama berbalik menghadap ke arah
para tetamu yang duduk di bangku-bangku panjang lalu mengangkat tangan kanannya
dengan telapak terkembang. Pada saat itulah Wiro segera mengenali orang ini. dia
berbisik pada Kemala. “Bangsat yang mengangkat tangan itu aku ingat betul. Dia
salah seorang yang menyusup ke kamar tidurku tapi kemudian sempat melarikan
diri….” Wiro masih hendak bicara panjang tapi orang di atas panggung terdengar
kembali berseru.
“Saudara-saudara para tetamu orang-orang gagah yang kami hormati, selamat
datang di Bukit Batu Merah, selamat dan berbahagia berada di antara kamu orangorang
Serikat Setan Merah! Sesuai dengan rencana semula, hari ini akan dijadikan
bersejarah bagi dunia persilatan. Hanya sayang seribu kali sayang, pertemuan ini
dicemari oleh menyusupnya tamu-tamu yang datang ke tempat ini dengan hati buruk
dan maksud busuk! Menyadari suasana ini maka acara pertemuan terpaksa ditunda
beberapa saat. Atas nama Pimpinan Serikat Setan Merah, para tetamu yang merasa
BASTIAN TITO 35
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
membawa maksud jahat dan hendak menimbulkan kekacauan dipersilahkan
menunjukkan diri. Pemimpin, harap sudi memberi aba-aba……”
Orang yang kepalanya ditutup kain mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi
lalu berseru. “Aku memberi kesempatan sampai sepuluh hitungan! Jika di antara para
tamu tak ada yang mau menyerahkan diri, terpaksa kami menurunkan tangan keras!
Bahkan hukuman pancung!”
Wiro dan Kemala saling berpandangan sesaat.
“Aku rasa-rasa mengenali suara orang berkedok kain itu…..” bisik Kemala.
“Tunggu dulu!” tiba-tiba di bawah panggung ada orang yang berteriak seraya
bangkit dari duduknya. Ternyata dia adalah Si Pengemis Budiman! “Soal pancung
memancung bisa kita bicarakan kemudian. Aku minta agar kau sudi memperkenalkan
diri dan memperlihatkan wajahmu yang tersembunyi di balik kantong kain itu!”
Lelaki pendamping Pemimpin Seikat Setan Merah menjawab ucapan itu
dengan kata-kata. “Di tempat ini kami yang membuat peraturan! Para tetamu tidak
layak menyampaikan kehendak yang bukan-bukan! Orang tua harap beritahu siapa
kau adanya! Katakan nama atau gelarmu!”
“Orang memanggilku Pengemis Budiman. Beberapa waktu lalu anggotaanggota
Serikat Setan Merah menyerbu perguruanku tanpa alasan tanpa lantaran!
Kalian membunuh beberapa orang murid-muridku dan menculik murid perempuanku
bernama Griyati!”
Langsung suasana di tempat itu menjadi gaduh. Orang di atas panggung
mengangkat tangannya. Lalu dia berkata dengan suara lantang “Orang-orang kami
memang sengaja melakukan itu. Karena kau dan murid-muridmu bukan saja bicara
kotor tentang Serikat kami, tapi juga menolak memberikan uang perlindungan serta
membangkang tak mau bergabung dengan kami!”
“Siapa sudi bergabung dengan iblis-iblis macam kalian! Aku Pengemis
Budiman datang untuk menuntut balas! Hutang darah bayar darah, hutang nyawa
bayar nyawa! Katakan di mana Griyati?!” Bersamaan dengan berakhirnya ucapan
orang tua itu enam orang berpakaian merah segera bangkit di kiri kanan Pengemis
Budiman. Lalu secara bersamaan, dengan gerakan cepat mereka membuka pakaian
merah yang mereka kenakan. Di balik pakaian merah itu kelihatanlah pakaian si
kakek yang compang-camping, lalu pakaian enam muridnya yang berwarna biru
muda.
“Bagus! Kalian sudah menunjukkan diri masing-masing! Sekarang atas izin
Pemimpin aku akan menunjukkan jalan kematian bagi kalian bertujuh! Para tetamu
dan para sahabat tolong dijaga agar tujuh pengacau itu tidak seorangpun sempat
melarikan diri!”
Habis berkata begitu orang ini keluarkan suitan keras. Di sekitar panggung
tiba-tiba saja muncul mengepung hampir lima puluh orang anggota Serikat Setan
Merah, rata-rata bertampang liar dan buas!
“Bunuh ketujuh orang itu!” Pemimpin Serikat Setan Merah berteriak dari
balik kain penutup kepalanya. Dia berpaling ke arah Wiro dan Kemala lalu sambil
menunjuk dia kembali berteriak
“Bunuh juga kakek dan nenek itu!”
BASTIAN TITO 36
SEPULUH
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Celaka! Dia dan orang-orang Serikat Setan Merah sudah tahu penyamaran
kita!” berbisik Kemala.
“Tenang saja!” balas berbisik Wiro lalu dia berdiri. Kemala ikut bangkit.
Terdengar suara berkerontangan ketika lima puluh pengepung tempat
pertemuan sama-sama mencabut senjata masing-masing yaitu sebilah golok panjang!
“Siapkan pukulan sakti yang mengeluarkan cahaya abu-abu itu…..” berkata
Wiro.
“Mana mungkin kita menghadapi bangsat-bangsat bergolok sebanyak ini!”
“Tak ada yang tidak mungkin di dunia termasuk di puncak bukit ini!” sahut
Wiro.
Baru saja dia berkata begitu, di atas panggung lelaki pendamping pimpinan
Serikat Setan Merah berseru. “Saudara-saudara para tetamu yang terhormat! Ini saat
kita menunjukkan bakti pada Perserikatan! Bantu kami menghancurkan kaum
penyusup!”
Melihat hal ini Pendekar 212 Wiro Sableng kembali berbisik “Kau tetap di
sini. Aku harus membuat gebrakan!” Murid Sinto Gendeng ini kerahkan tenaga
dalamnya hingga suaranya menggelegar ketika dia berteriak. “Para orang gagah rimba
persilatan! Jika kalian masih menjunjung kebenaran mari bergabung bersama kami
dan Pengemis Budiman untuk menghancurkan komplotan keji Setan Merah ini!”
Diantara para tamu memang hanya merupakan undangan biasa saja yang
bukan merupakan anggota Serikat Merah. Meski banyak dari mereka sangat
membenci segala apa yang telah dilakukan Serikat bejat itu namun sebagai tamu
mereka merasa sungkan, hingga hanya ada dua orang saja yang berdiri lalu melompat
ke dekat Wiro tegak. Habis berteriak begitu Wiro melompat ke atas bangku kayu
yang kosong, dari sini dia melesat ke atas panggung melewati kepala para tetamu. Di
saat tubuhnya melesat di udara, terdengar suara mendengung laksana ribuan tawon
mengamuk. Cahaya putih menyilaukan berkiblat disertai menyambarnya hawa panas.
Semua orang yang duduk cepat rundukkan kepala bahkan ada yang bertiarap.
Beberapa diantara anggota Serikat Setan Merah yang baru bersiap-siap untuk
menyerbu dan terkena sambaran cahaya panas menyilaukan itu langusng terjengkang
dan roboh dengan bagian tubuh hangus melepuh!
Ketika Wiro mendarat di atas panggung, orang banyak melihat “kakek” itu
tegak berdiri dengan kaki terpentang. Di tangan kanannya ada seuah senjata
berbentuk kapak bermata dua.
“Kapak Maut Naga Geni 212!” terdengar beberapa mulut yang mengenali
berseru. Tapi sekaligus mereka terheran-heran. Bagaimana senjata mustika dunia
persilatan yang ditakuti dan diketahui milik Pendekar 212 Wiro Sabelgn kini berada
di tangan si kakek yang tidak dikenal?!
“Tua bangka pengacau! Siapa kau sebenarnya!” bentak Pimpinan Serikat
Setan Merah sementara pendampingnya bersurut keder dua langkah.
Si kakek mengumbar suara tertawa. Tangan kirinya merengut ke wajahnya
beberapa kali. Kanji kering yang menutupi wajahnya terkelupas. Kini kelihatanlah
mukanya yang asli.
“Kau!” teriak pemimpin Serikat Setan Merah terkejut. Dia langsung berpaling
ke arah si nenek yang tegak diantara para tamu. “Jangan-jangan…..”
BASTIAN TITO 37
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Semua dengar!” teriak Wiro. “Aku berusaha mencegah pertumpahan darah
dan ingin menangkap manusia biang racun ini hidup-hidup. Tapi siapa ingin mencari
mati silahkan maju!” Wiro melambaikan tangan kirinya ke arah Pengemis Budiman
dan berseru. “Kakek sahabatku, apakah kau dan murid-muridmu sudah siap?!”
“Kami sudah siap dari tadi! Hanya saja kalau kau inginkan bangsat itu hiduphidup,
aku lebih suka mencincang tubuhnya sampai lumat!” menjawab Pengemis
Budiman yang meskipun senang melihat pendekar konyol berkepandaian tinggi ini
berada di pihanya tapi diam-diam dia masih mendendam atas perbuatan Wiro tempo
hari yang mempermalukannya di depan murid-muridnya sendiri yaitu menarik
celananya hingga auratnya yang terlarang tersingkap jelas!
“Boronowo! Kau tunggu apa lagi! Lekas bunuh pengacau satu ini! yang lainlain
cincang pendekar Budiman bersama murid-muridnya! Bunuh siapa saja yang
berani menantang Serikat Setan Merah!”
Yang berteriak adalah pemimpin Serikat Setan Merah yang sampai saat ini
masih menyembunyikan kepala wajahnya di balik kain merah.
Orang di atas panggung yang bernama Boronowo, yang merupakan tangan
kanan sang pemimpin dan sekaligus menjabat sebagai Kepala Keamanan Serikat
Setan Merah sesaat tampak ragu. Tentu saja hatinya merasa kecut karena malam
ketika dia hendak melakukan pembunuhan atas diri Wiro Sabelng, murid Sinto
Gendeng itu telah menghajarnya hingga mutah darah dan terluka parah di dalam.
Sampai saat itu luka dalamnya masih belum sembuh. Dadanya kerap kali sesak dan
setiap bernafas dalam dan panjang terasa mendenyut sakit. Saat itu dia lebih suka
berada di tempat lain. Tapi di atas panggung dan diperintah begitu rupa mana
mungkin bagi Boronowo untuk menghindar. Maka mau tak mau dai lalu loloskan
goloknya karena memang ilmu golok adalah kepandaian yang paling diandalkannya.
Di samping itu untuk membentengi diri tenaga dalamnya langsung di alirkan di
tangan kiri. Boronowo membuka serangan dengan satu bentakan keras sambil
membabatkan senjatanya ke pinggang Pendekar 212 Wiro Sableng!
Di bagian lain, lima puluh anggota Serikat Setan Merah ditambah beberapa
tokoh persilatan yang tersesat masuk bergabung dengan komplotan itu sudah bergeark
pula menyerbu Pendekar Budiman dan enam muridnya yang dibantu oleh beberapa
orang persilatan yang memang sengaja datang untuk membuat perhitungan dengan
Serikat Setan Merah. Si “nenek” Kemala yang ada di antara orang-orang itu tentu saja
menjadi sasaran serangan pula. Tanpa tunggu lebih lama gadis ini hantamkan kedua
tangannya ke depan.
Wusssss!
Wusssss!
Dua gelombang sinat abu-abu yang menghampar hawa dingin menggebu ke
arah para penyerang. Empat orang anggota Serikat Setan Merah berteriak keras.
Tubuh mereka terpental sampai dua tombak lalu roboh terjengkang di tanah tanpa
mampu bergerak lagi. Masing-masing menjadi kaku dan sekujur tubuh terasa dingin
laksana dibungkus es! Rahang mereka menggembung, geraham bergemelatakan.
Akhirnya keempat orang ini menemui ajal dengan muka mengkerut dan mulut
menganga.
Betapapun tingginya tingkat kepandaian Kemala, namun dikeroyok oleh lebih
sepuluh orang lawan membuat gadis ini serta merta terdesak hebat. Dengan nekad dia
merampas golok salah seorang anggota Serikat Setan Merah. Lalu dengan golok di
tangan kanan dan tongkat bambu kuning di tangan kiri, gadis ini mengamuk. Dua
orang rebah mandi darah. Namun serangan bukannya berkurang. Empat orang lagi
datang menyerbu hingga kini ada dua belas orang yang mengeroyok sang dara,
BASTIAN TITO 38
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kemudian di tambah lagi oleh seorang tokoh silat bertubuh bungkuk yang merangsak
dengan sebuah senjata berbentuk celurit besar. Kembali murid Ki Ageng Kuncoro
Bekti ini terdesak hebat.
Pendekar Budiman dan enam muridnya serta tiga tokoh silat yang ikut
membantunya saat itu harus menghadapi gempuran lebih dari tiga puluh orang
anggota Serikat Setan Merah. Dua diantara mereka adalah Sangaji dan Galut.
Pendekar budiman mengamuk dengan senjatanya yaitu tongkat akar pohon.
Benda ini berkelebat kian kemari, menggebuk dan menusuk. Dua korban pertama
segara menjadi korban si kakek. Satu pecah kepalanya, satu lagi ambrol perutnya
ditembus ujung tongkat! Namun seperti juga Kemala, keadaan pendekar tua dan
murid-muridnya itu segera terjepit dalam kurungan para pengeroyok.
Si kakek kertakkan rahang. Tongkatnya diputar secara aneh hingga berubah
seperti sebuah titiran. Terdengar pekik di sana sini. Korban jatuh lagi di pihak anggota
Serikat Setan Merah. Tapi salah seorang murid Pendekar Budiman saat itu tidak
mampu loloskan diri dari satu serangan serentak yang dilancarkan tiga orang anggota
komplotan serta seorang tokoh silat golongan hitam. Tubuhnya terkutung di bagian
bahu kiri, roboh mandi darah. Lalu selagi dia mengerang kesakitan satu tusukan golok
menembus lehernya!
Pendekar Budiman menggembor marah menyaksikan kematian muridnya itu.
tongkat akar kayu terus di putar sementara tangan kirinya dengan cepat menyusup ke
balik pakaian. Begitu dikeluarkan langsung dihantamkan ke depan. Terdengar suara
berdesing sewaktu selusin paku halus menderu di udara. Lima anggota Serikat Setan
Merah terpekik. Tujuh lainna masih sempat melihat melesatnya senjata rahasia itu
lalu cepat-cepat jatuhkan diri cari selamat.
Meski banyak dari kawan-kawan mereka sudah menemui ajal tapi anggotaanggota
Serikat Setan Merah benar-benar nekad. Mereka terus merangksek dan entah
darimana munculnya tahu-tahu ada sepuluh lagi orang berpakaian merah memasuki
ajang pertempuran.
BASTIAN TITO 39
SEBELAS
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kembali ke atas panggung. Ketika golok lawan menyambar ke arah pinggangnya
Wiro sengaja tidak menangkis dengan Kapak Naga Geni 212. Dia hindarkan serangan
orang dengan melompat ke samping. Begitu serangannya luput, Boronowo langsung
susul dengan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun
pengerahan tenaga dalam yang begitu besar membuat luka dalamnya yang masih
belum sembuh menjadi kambuh kembali. Dadanya langsung menyesak sakit! Tapi
orang ini berlaku nekad! Dalam keadaan begitu rupa dia masih berusaha lepaskan
pukulan.
Wuuuuuttt!
Angin deras menerpa ke arah Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng ini balas
menangkis dengan pukulan tangan kosong yaitu tangan kiri. Sang pendekar tampak
tergontai-gontai sebaliknya Boronowo terjajar beberapa langkah. Dari sela bibirnya
kelihatan ada darah mengucur yang kemudian diludahkannya ke bawah panggung.
Tangan kirinya diangkat memegangi dada.
“Kucing buduk!” Wiro berkata seenaknya. “Jika kau mau memerintahkan
anak-anak buahmu menghentikan perkelahian, akan kuampuni selembar nyawamu!”
“Setan alas! Bangsat rendah!” menyumpah Boronowo. “Kalau malam itu aku
tak dapat membunuhmu, saat ini jangan harap nyawa anjingmu bisa lolos dari
tanganku!”
Lalu dia melompat ke depan. Goloknya berputar ganas dan aneh. Rupanya dia
tengah mengeluarkan jurus-jurus ilmu goloknya yang paling hebat. Wiro merasa
seperti ada selusin golok mencurah ke arah tubuhnya mulai dari kepala sampai ke
pinggang. Murid Sinto Gendeng dipaksa harus bergerak cepat untuk selamatkan diri.
Dia melompat kian kemari namun tubuhnya seperti satu magnit yang menarik senjata
lawan. Golok itu terus mengikuti kemana dia bergerak.
Breet……brrreeeeeettt!
Pakaian Pendekar 212 robek besar di bagian dada dan perut. Wiro melompat
jauh sambil meringis kecut. Tengkuknya terasa dingin. Baru sekali ini dia
menghadapi orang memiliki ilmu golok begitu luar biasa! Karenanya ketika
Boronowo kembali menyerbunya tanpa tunggu lebih lama murid Sinto Gendeng
angkat tangan kanannya.
Terdengar suara menggaung disertai berkilatnya sinar putih perak
menyilaukan.
Traang!
Golok di tangan Boronowo patah dua dan terpental lepas dari tangannya.
Bersamaan dengan itu tubuhnya jatuh duduk di lantai panggung. Tangan kanannya
terasa kaku dan panas. Dia berusaha bangkit tapi belum lagi tubuhnya terangkat satu
tendangan melabrak dadanya! Tubuh Boronowo tercampak ke bawah panggung,
bergulingan beberapa kali lalu terhenti di depan serumpun semak belukar liar.
Buuukk!
Satu pukulan keras menghajar tengkuk Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng
tersungkur ke puanggung. Pangkal lehernya seperti patah dan sakitnya bukan main.
Tapi kemarahan pendekar inipun bukan olah-olah. Sambil gulingkan diri ke kiri dia
menyaksikan pemimpin Serikat Setan Merah siap menghujamkan sebuah senjata
berbentuk tombak pendek ke arah perutnya!
BASTIAN TITO 40
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Setan Merah keparat! Beranimu membokong dari belakang! Rasakan kapak
Naga Geni 212 ini!” teriak Wiro marah. Setangah berlutut dia hantamkan senjata
mustikanya ke depan, menyongsong tusukan tombak. Untuk kedua kalinya ditempat
itu terdengar suara berdentrangan. Tombak di tangan pemimpin Serikat Setan Merah
patah tiga dan patahannya mencelat ke udara. Pemiliknya sendiri tampak sudah
melompat dengan muka pucat. Sekujur tangan kanannya terasa panas sekali!
“Sudah saatmu membuka kain penutup kepala itu! Perlihatkan tampangmu
manusia setan!” ujar Wiro seraya melangkah mendekati. Yang didekati tiba-tiba
membuka tangan kirinya dan melemparkan sesuatu yang sejak tadi dipegangnya.
Wuss!
Terdengar suara mendesis keras. Saat itu juga panggung itu terbungkus oleh
asap tebal berwarna kebiruan, membuat pemandangan Pendekar 212 jadi terhalang,
pemimpin Serikat Setan Merah ini segea melompat dari panggung, berkelebat ke arah
kiri!
Kalau di atas panggung Wiro tidak dapat melihat kemana lenyapnya lawannya,
lain halnya dengan orang-orang yang brada jauh di bawah panggung. Hampir semua
orang diantaranya Kemala dan Pendekar Budiman, sempat melihat kearah mana
kaburnya pimpinan Serikat Setan Merah itu. Merasa tidak ada gunanya meneruskan
perkelahian, apalagi dia dalam keadaan terdesak pula maka Kemala yang sampai saat
itu masih berada dalam penyamaran sebagai seorang “nenek” keluarkan bentakan
keras, menghantam dengan bambu serta golok rampasan yang ada di kedua tangannya.
Begitu lawan tersibak, kesempatan ini dipergunakan si gadis untuk menyelinap keluar
dari kalangan perkelahian dan lari ke jurusan timur.
Sambil lari Kemala berteriak “Wiro ikuti aku! Bangsat itu lari ke arah lereng
timur!”
Dalam keadaan terbatuk-batuk keluar dari kepungan asap lalu melompat ke
jurusan di mana dilihatnya Kemala berkelebat. Hal yang sama juga dilakukan
Pendekar Budiman begitu mendengar teriakan Kemala. Jauh-jauh datang untuk
menuntut balas malah ada anak muridnya yang sudah jadi korban maka kalau sampai
kehilangan musuh besarnya itu, dia akan mati penasaran! Di lain pihak, mengetahui
bahwa pimpinan mereka melarikan diri, apalagi setelah menyaksikan matinya
Boronowo, para anggoa Serikat Setan Merah menjadi patah semangat kalau tak mau
dikatakan putus nyali. Semuanya memilih melarikan diri. Mereka berserabutan ke
berbagai penjuru Bukit Batu Merah itu.
Ternyata pemimpin Serikat Setan Merah yang melarikan diri tidak memiliki
ilmu lari yang bisa menyelamatkan dirinya. Dalam waktu sebentar saja Kemala
berhasil mengejarnya, lalu Wiro dan terakhir menyusul Pendekar Budiman.
“Manusia setan! Permainanmu berakhir saat ini! cepat kau buka kain merah
penutup kepalamu! Atau aku yang membukanya bersama-sama batang lehermu!”
berkata Wiro sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 di depan dada.
Sepasang mata di balik kain merah itu tampak melotot ketakutan. Dia melirik
ke kiri dan ke kanan.
“Jangan harap bisa lolos dari tangan kami!” membentak Pendekar Budiman.
“Lekas katakan di mana muridku Griyati kau sekap!”
“Kalau….. kalau kuberi tahu di mana gadis itu berada, kalian harus berjanji
untuk tidak membunuhku dan membiarkan aku pergi!” berkata pemimpin Serikat
Setan Merah.
Kemala melengak kaget ketika mendengar suara pemimpin Serikat Setan
Merah. Sebelumnya dia hanya mendengar dari kejauhan. Berada sedekat seperti saat
BASTIAN TITO 41
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
itu dia seperti mengenali suara orang iu. Tiba-tiba degnan kecepatan seperti kilat
Kemala melompat ke depan. Tangan kirinya menyambar dan……..!
“Paman Suro Kenanga!” teriak Kemala ketika kain pembunkus kepala
pemimpin Serikat Setan Merah berhasil direnggutnya dan dia serta Wiro dan
Pendekar Budiman kini dapat melihat jelas kepala serta wajah orang itu! “Aku tidak
bermimpi……” desis Kemala seraya menggosok-gosok kedua matanya. Ketika ingat
kalau saat itu dia masih menyamar sebagai nenek, dengan tangan kirnya Kemala
menanggalkan topeng kanji yang menutupi wajahnya.
“Kemala, keponakanku….. Aku sudah duga. Memang kau rupanya…..” Suro
Kenanga merasakan lututnya seperti goyah, akhirnya dia terduduk di tanah. Wiro dan
Pendekar Budiman tertegak bengong. Tapi di lain kejap orang tua berpakaian
compang camping itu sudah melompat ke depan dan menekankan ujung tongkat akar
kayunya ke tonggorokan adipati Solotigo itu. Sekali dia menekan menusukkan maka
tertembuslah leher sang Adipati.
“Lekas katakan di mana murid perempuanku! Atau kubunuh kau saat ini
juga!” mengancam Pendekar Budiman dengan suara bergetar menahan amarah dan
dendam kesumat.
“Paman…..!” berseru Kemala. “Bagaimana ini bisa terjadi! Benar kau menjadi
pemimpin komplotan orang-orang jahat yang menamakan Serikat Setan Merah
itu…..?!”
“Kau melihat sendiri Kemala, memang begitu kenyataannya…..” jawab Suro
Kenanga dengan suara perlahan dan sekujur tubuh kuyu. “Dosaku keliwat besar!
Silahkan kalian membunuhku saat ini juga!”
“Bangsat! Kau harus mengatakan lebih dulu di mana murid perempuanku!”
teriak Pendekar Budiman.
“Muridmu berada dalam keadaan aman. Tidak kurang suatu apa. Tak ada yang
menyentuh dirinya atau menodainya…..”
“Aku tidak bisa percaya kata-katamu Adipati laknat! Sebelum aku melihat
sendiri keadaan muridku!” sentak Pendekar Budiman lalu menekankan ujung kayu ke
leher Suro Kenanga hingga Adipati ini meringis kesakitan.
“Aku bersumpah tidak mendustaimu. Muridmu berada di ruang bawah
bangunan berbentuk candi di halaman belakang gedung Kadipaten………”
Pendekar Budiman kembali hendak membentak tetap Kemala lebih dulu
membuka mulut “Paman, saya tak habis mengerti dan sangat menyesalkan. Mengapa
kau melakukan semua ini…..”
Sepasang mata Suro Kenanga tampak berkaca-kaca. “Aku ……aku
melakukannya karena butuh sejumlah besar uang dan harta…..”
“Uang dan harta…..? Untuk apa paman?!” tanya Kemala.
“Aku harus menyediakan dan memberikan uang serta harta atau apa saja yang
berharga pada seseorang di Kotaraja. Jumlahnya terlalu besar dan aku tak sanggup
mendapatkannya kecuali melakukan pemerasan dan penindasan terhadap rakyat.
Merampas dan merampok. Ketika keadaanku terancam, aku terpaksa memerintahkan
orang-orangku melakukan kejahatan itu. lambat laun mereka berubah menjadi
penjahat beneran. Lalu menyusup segala macam maling dan penjarah! Jumlah mereka
jadi tambah banyak. Aku tak sanggup lagi mengendalikan mereka….. Ah Gusti Allah.
Dosaku terlalu besar dan berat!”
“Paman, kau belum mengatakan untuk apa uang dan harta itu? Lalu kepada
siapa kau berikan?” bertanya Kemala
BASTIAN TITO 42
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Uang dan harta itu sebagai suapan agar aku tetap menduduki jabatan Adipati
seumur hidup. Kepada siapa aku memberikannya tak mungkin aku beri tahu. Ya
Tuhan…. Aku sadar aku ini gila jabatan. Gila kekuasaan…..”
Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Sebelumnya dia memang sudah bercuriga
bahwa pemimpin Serikat Setan Merah itu adalah Suro Kenanga. Dia tidak mau
memberi tahukannya pada Kemala. Takut kesalahan. Ternyata dugaanya tidak
meleset!
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya Wiro meminta pendapat
Pendekar Budiman.
Tapi orang tua itu tidak membuka mulut. Yang menjawab adalah Kemala.
“Paman, kami terpaksa membawamu ke Kadipaten, terus ke Kotaraja. Tak ada
jalan lain. Mudah-mudahan Sri Baginda mengurangi hukuman bagimu….”
Suro Kenanga menggelengkan kapala. “Berjalan jauh-jauh ke Kotaraja hanya
untuk mendapat tiang gantungan. Kalau aku harus mati menebus dosa-dosaku, lebih
baik mati di tempat ini saja. Sekarang!”
Tiba-tiba sekali Suro Kenanga menarik dan menghujamkan keras-keras ke
lehernya sendiri tongkat akar kayu milik Pendekar Budiman yang sejak tadi
menempel di lehernya!
Darah muncrat. Kemala berteriak. Pendekar Budiman dan Wiro terkesiap
kaget. Perlahan-lahan kedua tangan yang memegang kencang tongkat kayu itu
terkulai lemas dan jatuh ke samping. Pendekar Budiman tak berani menarik
tongkatnya. Ketika senjata andalannya itu dilepasnya, sosok tubuh Adipati Suro
Kenanga yang sudah jadi mayat itu langsung jatuh terlentang di tanah. Lereng bukit
itu sesunyi di pekuburan. Hanya suara isak tangis Kemala yang terdengar di antara siliran angin yang berhembus.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar