1. CINTA OLIMPIADE
LULU ge-er. Malam minggu kemarin dia maksa
ikut Lupus pergi.
“Bawalah daku pergi, Pus. Ke mana aja...”
rujuknya. Gombal sekali. Lupus jelas jadi rada
bingung. Wong mau ngapel kok malah disuruh bawa adik?
“Kamu ngapain ikut? Pingin tau orang pacaran ya?”
Lulu tak menjawab. Tetap aja maksa ingin ikut.
“Pokoknya saya harus keluar rumah!”
Gila, anak ini memang keras kepala. Segala
keinginannya harus dituruti. Tapi keinginan untuk
keluar malam bukan hal yang biasa direwelinnya.
Tiap malam minggu, dia jarang terlihat keluar
rumah. Malah mendekam di kamar sambil asyik
dengan boneka-bonekanya. Tak pernah mau kalau
diajak teman-temannya kelayapan. Apalagi ke
diskotek. Padahal remaja seusia dia, sudah
termasuk wajar kalau mulai suka gila-gilaan di
luar rumah.
Jadi kali ini pasti ada apa-apanya.
“Iya, ya? Ada apa-apanya, ya? Ayo, terus terang
aja. Apa kamu udah kepingin pacaran? Udah
kepingin belajar keluar malam? Hati-hati lho,
nanti masuk angin. Kasihan ibu kalau besoknya
disuruh ngeroki kamu?” ledek Lupus.
Lulu tetap diam. Kali ini dia malah maksa ibunya.
“Ayo dong, bu, sekali-sekali kita pergi. makan-
makan kek, ke diskotek kek...”
Ibunya melotot. Wong sudah tua kok diajak ke
diskotek?
“Nggak apa-apa, bu. Sekalian nyari jodoh. Siapa
tau aja ibu masih laku.”
“Hus! Tapi ibu memang mau pergi, dan kamu
nggak bakalan mau ikut. Itu lho, tante Neli kan
lagi di Jakarta. Dia menginap di rumah Oom Prap.
Ibu mau ke sana. Gimana, mau ikut?”
“Ikut!” jawab Lulu mantap. Lupus mendadak
mengorek-ngorek kupingnya. Apa nggak salah
denger nih? Kok Lulu mau-mauan ketemu Tante
Neli yang cerewet banget itu? Ini sudah jelas.
Pasti ada yang kurang beres. Belakangan baru terbongkar.
Ternyata dia lagi dikejar-kejar cowok.
Dan cowok itu sudah janji mau datang malam minggu ini,
meski Lulu sudah menolak keras. Dan itulah, akhirnya
Lulu terpaksa harus melarikan diri. Tetapi setelah
puas dalam pelariannya, dan kembali malam harinya,
ternyata tak seorang pun yang datang. Sang pembantu
yang mengatakan hal ini. Kontan aja Lupus ngakak.
“Hulu...., ge-er. Makanya jangan girang dulu!”
“Sial, siapa yang girang?” maki Lulu garang
“Ayo, sudah malam. Jangan berantem lagi,” seru
ibunya dari ruang tengah.
***
Dan ternyata besok Minggunya pagi-pagi sekali
saat kokok ayam jago belum lagi reda, cowok
yang mengejar-ngejar Lulu itu datang. Lulu tak
bisa menghindar, karena saat itu dia lagi asyik
nyiram bunga di taman depan rumah.
“Maaf, dik Lulu, tadi malam saya nggak bisa
datang,” sapa cowok itu sopan sekali. Lulu tak
bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mengambil
ancang-ancang untuk melarikan diri. Diam
terpaku di tempat. Lupus yang mengintip dari
jendela tidak bisa menahan tawa. “ Cieee....,
mesra ni yeee...!” teriaknya keras.
Lulu kaget dan menoleh dengan sengit.
Cowoknya juga. Bujubune, pantesan aja Lulu
begitu menghindarinya. Ternyata cowok yang
ngejar-ngejar itu tipe cowok zaman rikiplik.
Kadaluwarsa. Berkacamata tebal, bibir tebal,
muka tebal (maksudnya nggak kenal malu, gitu!),
sisiran rapi mengkilap. Pokoknya cocok jadi
bapak idela.
“Hei, Lulu, kok temennya diangguri aja? Ajak
masuk dong!” teriak Lupus lagi. Sekali lagi Lulu
mendelik sewot. Dan ketika cowok itu lewat dekat
jendela kamar Lupus, dia memberi salam dan
mengangguk hormant. Lupus jadi nyengir, kayak
kuda.
Tapi tipe cowok itu memang tipe cowok nekat.
Dia dengan rela duduk sopan menunggu berjam-
jam saat Lulu lagi ngambek, nggak mau keluar
atau berlagak lagi pergi. Lulu sering memaksa
Lupus untuk menemui atau menemani cowok itu
kalau dia datang. Seperti malam minggu depannya
ketika makhluk itu muncul lagi.
“Pus, sana gih temenin si Pinokio itu. Saya males,
ngomongnya kayak bapak-bapak. Tentang masa
depan melulu. Ih sebel! Sana cepetan. Atau
bilangin saya lagi sakit perut...!”
“Wah sori, lu. Saya lagi sibuk!” sahut Lupus yang
lagi asyik jaipongan gila-gilaan diiringi lagi
Zoolook-nya Jean Michel Jarre di kamarnya.
Lulu makin empet.
Dan cowok itu makin nekat. Kini datangnya suka
bawa buah-buahan. Pisang, jeruk, apel, anggur.
Wah, pokoknya segala macam deh. Lupus yang
doyan makan itu, jelas keenakan. Dia yang tukang
ngabisin semuanya. Sedangkan Lulu tak
menyentuh sedikit-dikit acan.
“Idih, haram menikmati barang suapan!” maki
Lulu ketus.
Lupus acuh saja. Tetapi sebenarnya dia kasihan
juga kalau adiknya jadi nggak tenang begitu.
Serba ketakutan. Meski sebetulnya bukan pertama
kali buat dia untuk kenal cowok secara dekat.
Dulu Lulu pernah kelihatan akrab dengan cowok
teman sekolahnya. Tampangnya..., ya lumayanlah
daripada kejeduk tembok. Lulu juga kelihatannya
ngasih respons yang baik untuk cowok itu. Tapi
kencan pertamanya berantakan gara-gara
keisengan Lupus. Nggak tau apa karena Lupus
keki sebab saat itu dia belum punya, atau memang
lagi nakal-nakalnya (biasa, cowok!), yang jelas
secara diam-diam dia meletakkan tip kecil
miliknya di dekat kursi depan di mana mereka berdua
nge-date. Secara otomatis, tip yang
biasanya dipakai buat wawancara itu merekam
semua percakapan Lulu dengan cowoknya. Dan
bisa dibayangkan, betapa malunya Lulu ketika
besok paginya Lupus memutar ulang hasil
rekaman yang penuh rayuan-rayuan gombal itu di
depan seluruh keluarga. Lulu ngamuk berat. Dia
langsung mengacak-acak tempat tidur. Dan sejak
saat itu tak pernah terdengar lagi kisah kasih
tentang Lulu dengan cowok manapun. Sampai
kejadian sekarang ini.
Makanya Lupus kasihan. Sebetulnya dia benar-
benar nggak mau memperalat adiknya untuk
menikmati hasil-hasil suapan itu. Dia hanya
berprinsip seperti dulu : nggak mau ngecewain
orang yang ngasih makanan. Tapi kalau ada
maksud-maksud dibalik itu semua ya entar dulu.
Bagaimanapun mengkomersilkan adik sendiri
adalah perbuatan yang kurang baik. Oleh karena
itu, pada suatu pagi, saat mereka berdua selalu
bersama-sama berjalan ke tempat pemberhentian
bis yang jauh, saat udara masih begitu bersih dan
segar, saat bulan masih tersisa di barat (wi, puitis
ni yel...), Lupus menawarkan jasanya untuk bicara
dari hati ke hati dengan cowok nekat itu. Sebagai
sesama remaja, sesama cowok. Asal saja Lulu
punya alasan yang tepat untuk menolak cintanya.
“Bilang aja saya masih ingin belajar. Masih nggak
mau terganggu oleh hal-hal seperti itu dan
selebihnya bisa kamu karang sendiri. Kan kamu
bisaan kalo bohong!” sahut Lulu.
“Sialan! Tapi kamu memang serius masih mau
konsentrasi ke pelajaran kan?”
“Iya dong! Kan sebentar lagi saya ujian esempe.”
Dan sorenya Lupus langsung ke rumah cowok itu.
Datang dengan sopan dan penuh kekeluargaan.
Sehingga cowok itu pun bisa mengerti.
Jawabannya pun terdengar sopan sekali, “Saya
mengerti. Okehlah kalau memang belum saatnya
bagi dia, saya akan menunggu. Sampai kapan pun.
Sampai dia merasa siap. Sampai dia menyadari
betapa saya sangat mencintainya. Kamu tau,
biasanya cowok sekarang itu pandai mengobral
cinta, sehingga membuat derita pada sang cewek.
Tapi saya tidak. Cinta saya pada Lulu adalah
ibarat api olimpiade yang tak kunjung padam...!”
Lupus hanya manggut-manggut. Bukannya ngerti,
tapi ngantuk diceramahi begitu. Tapi dia toh
senang, berarti masalahnya telah beres. Dan Lulu
pun senang mendengar usahanya berhasil. Sebab
sejak saat itu si pinokio itu tak pernah datang lagi.
***
Tapi Lulu tetaplah Lulu. Makhluk aneh yang
Lupus pun tak bisa mengerti keinginannya. Sejak
kejadian itu, dia sering melamun. Bengong
sendirian di depan rumahnya. Lupus jadi curiga,
apa adiknya telah kena pelet. Satu dua kali Lupus
tanyai, adiknya nggak mau ngaku, tapi akhirnya
dia buka mulut juga.
“Aneh, saya kok jadi mikirin si Pinokio itu. Saya
kasihan. Dia telah begitu baik. Setelah ini berakhir
saya baru mikir bahwa semua kata-katanya itu
benar. Kata-kata yang selalu dia ucapkan kala dia
datang kemari. Dia begitu penuh perhatian. Kamu
tau. Pus, kalau saya butuh sesuatu, dak tak sengaja
saya ucapkan di depan dia, besoknya dia sati
membawa barang yang saya butuhkan. Buku
pelajaran, rapido, cat air... dan saya jadi mersa
hutang budi. Merasa dosa telah mengecewakan
dia. Saya kasihan. Saya kok jahat, ya? Padahal
bisa saja saya belajar mencintainya.”
Lupus tertegun.
“Enggak, Lu. Kamu salah kalau kamu memulai
mencintai seseorang dari rasa kasihan. Kamu akan
menyesal. Percaya deh. Oke, untuk beberapa saat
kamu bisa mencintainya. Tapi selanjutnya kamu
akan merasa terjebak. Ingin melepaskan diri tapi
nggak bisa. Kamu masih terlalu kecil, Lu, untuk
serius pacaran seperti itu. Kamu masih butuh
banyak mencoba. Seseorang itu untuk memilih
pilihan yang tepat, butuh menjajaki beberapa calon.
Kita kan tak mungkin bisa menilai satu
yang terbaik tanpa membandingkannya dengan
yang lain. Makannya, Lu, kamu nggak salah.
Teruskan aja menuruti apa kata hatimu. Dengan
begitu kamu kan akan matang sendiri.”
“Kamu emang pinter berkicau, Pus!” ledek Lulu
gembira.
***
Lupus terbangun ketika matahari sudah mulai
tinggi. Dia kaget dan langsung menyambar
handuk untuk cepat-cepat mandi. Mandinya juga
ala koboi. Asal cibang-cibung. Tapi ini
mendingan, dia pernah saking nggak sabarannya,
langsung jebur ke bak mandi.
Setelah berpakaian seadanya, dia duduk di meja
makan untuk menghabiskan roti dan susunya. Saat
itu Lulu sudah siap pamit. Lupus memaki, “kamu
kok jahat gitu, Lu. Nggak bangunin saya. Kenapa
sih?”
Lulu cuwek. Setelah cium tangan sama ibunya dia
ngeloyor ke depan.
“Eeeee... tungguin dong. Saya hampir kelar nih!”
teriak Lupus sambil meneguk susunya. Mulutnya
sampai belepotan. Tapi Lulu tetap ninggalin. Dan
ketika Lupus menyusul ke depan, dia tertegun. Di
situ Lulu sudah siap duduk di boncengan motor
seorang cowok kece. Masih muda. Dan cowok itu
mengangguk pada Lupus sebelum pergi. Lupus
terbengong-bengong di pinggir jalan. Pantesan aja
Lulu ninggalin. Dan dia pun dengan lesu
menelusuri jalan. All alone. Tanpa seorang teman.
Di tikungan jalan, dia bertemu dengan seorang
cewek yang asyik sendirian dengan motor
bebeknya. Lupus pun dengan semangat
menyetopnya.
“Eh, ikutan dong sampai ke depan!” sahut Lupus.
“Enak aja. Lu pikir gue tukang ojek!” maki cewek
itu dan langsung tancap gas. Meninggalkan Lupus
yang memaki-maki tak keruan.
2. MEMBURU BINTANG
Aji masih berkutet di kamarnya. Bolak-balik
mencobai semua bajunya. Yang kuning, hijau,
putih... dan semua. Bolak-balik ke kaca. Dan kini,
dengan baju kotak-kotak biru, dia seperti tak
mengenali siapa yang di kaca. Siapa ya? Pikirnya
norak. Soalnya jadi lain. Kece banget! Sementara
Lupus yang keki kelamaan menunggu di luar,
nggak sabar langsung melongokkan kepalanya ke
jendela. Dan terbengong-bengong melihat Aji
yang tak berkedip mengagumi dirinya sendiri di kaca.
“Duileee... muka kayak perabotan lenong gitu aja
ngaca terus. Lama bener sih, ditunggui juga!” maki Lupus.
“Cerewet. Hampir kelar nih. Ngiri ya kalo saya kelihatan kece?”
“Cepetan deh, kita berangkat. Kan harus ke Hai
dulu pinjam tip kecil.”
Aji mengangguk dan langsung menyambar
kameranya. Dia sudah janjian mau diajak Lupus
wawancara penyanyi yang baru naik daun. Kece
banget. Makanya baik aji maupun Lupus benar-
benar menjaga penampilan. Jangan sampai mengecewakan.
Setelah mengeluarkan pick-up-nya yang rada
kadaluwarsa, Aji dan Lupus langsung bertolak ke
kantor Hai. Menitipkan kartu pengenal pada
resepsionis yang kece, dan langsung naik ke lantai
tiga. Di sana suasananya masih seperti biasa.
Rame. Ada yang asyik senam pagi, ada juga yang
lagi terbengong berat nyari inspirasi. Semua
anggota komplet, kecuali beberapa orang yang diculik
dengan paksa untuk menggarap majalah baru.
Lupus langsung menuju ke bangkunya. Dan di
sana, dia hampir menginjak Tia kecil yang sibuk
buka-buka majalah di lantai. Buset, anak ini
memang kecil sekali bodinya. Apalagi kalo lagi
jongkok begitu, nyaris menghilang di balik
tumpukan majalah-majalah. Bapaknya tega juga,
masih kecil begitu kok sudah disuruh kerja? Tapi
kalo diledek begitu, dia suka ngamuk dan
langsung mengeluarkan KTP-nya. Ke mana-
mana, termasuk kalau mau nonton film 17 tahun
ke atas, dia memang selalu bawa-bawa KTP.
Supaya pada percaya kalau dia itu umurnya sudah
lumayan banyak. Soalnya dia sering ditolak
masuk bioskop, nggak boleh ikutan nonton film
orang gede. Malah disuruh pulang, cuci kaki dan
langsung bobok. Tapi ada enaknya, kalau ke
mana-mana dia ini simpel sekali. Bisa berdiri
tanpa membungkuk kalau metro mini-nya penuh,
bisa dengan mudah menyusup ke bawah kolong
kalau lagi main petak umpet, de el el. Dan ke
mana-mana dia selalu membawa bekal dan termos
plastik buat minum. Persis anak TK. Tapi dia itu
orangnya baik kok. Suka bagi-bagi makanan ke
orang. Apalagi kalau kamu iseng muji begini
padanya,” Eh, kamuu rada tinggikan deh
sekarang...” Wah, pasti kamu langsung dikasih
coklat. Coba aja. Tapi dia itu paling takut kalau
duduk di meja. Soalnya pernah lagi enak-enakan
duduk, ditawar orang. Dikira boneka pajangan.
Abis lucu sekali.
Ya, itulah sedikit cerita tentang Tia kecil. Buat
ngasih gambaran aja, supaya kamu bisa
ngebayangin kalau dia itu ternyata lebih besar dari
jempol kaki kamu.
Setelah menyiapkan segala macam yang
diperlukan, termasuk minta film gratis dari mbak
Sri. Lupus slonong boy pergi. Dan sempat mampir
sebentar ke mejanya Mas Wendo yang
belakangan menghilang entah ke mana. Mejanya
nampak seperti biasa. Berantakan. Saingan sama
rambutnya. Dan kunjungan Lupus ke mejanya itu
bukannya karena kangen, lama nggak ketemu bos-
nya itu, tapi karena di mejanya ada sekantong tahu
goreng. Siapa tau bisa dirojer, gitu.
“Halo, Mas, lama nggak kelihatan. Sibuk ngurus
sandiwara tipi, ya?” sahut Lupus manis,
sementara tangannya bergerilya. Menyusup
masup ke kantong tahu. Mas Wendo belakangan
ini memang aktif di televisi. Ngajarin anak kecil
bikin puisi dengan stil sok serius, tawa bikin
beberapa naskah film seri tivi. Seperti ACI. Tapi
bedanya dia dengan Michael Landon – yang juga
dikenal dengan serial-serial tivinya. Mas Wendo
orangnya jauh lebih rendah hati. Kalau Michael
Landon suka ke-ge-er-an untuk melibatkan
dirinya sebagai tokoh utama cerita yang
diproduksinya; jadi bapak ideal, jadi malaikat
penolong, dan sebagainya! Tapi kalau Mas
Wendo cukup puas Cuma jadi tukang pukul bel
sekolah.... hehehe. (Eh, jangan bilang-bilang ke
dia ya, entar ngamuk..., atau malah suka?)
“Kamu mau wawancara siapa, Lup?”
“Itu... atlet angkat besi,” jawab Lupus
sembarangan. Sebab kalau dia jujur ngaku mau
wawancara artis penyanyi yang kece, Mas Wendo
suka maksa kepingin ikut. Kan repot ngurusnya
nanti.
Lupus langsung cabut. Hasil kunjungannya ke
meja bos-nya itu, yah lumayanlah. Sempat
mengantongi beberapa tahu goreng dan cemilan-
cemilan ringan lainnya buat sekedar ngisi perut.
Dan di bawah, ketika baru keluar dari kompleks
perkantoran, sempat ketemu Gun Saratoga.
Fotografer muda Hai yang lagi ngejepret anak-
anak sekolah yang kece-kece dari atas sepeda
balapnya. Dia emang termasuk doyan daun muda.
Pacarannya aja sama anak SMP. Dan bakat jepret-
menjepretnnya memang terlihat dari kecil. Umur
10 tahun, dia sudah hobi menjepret capung pake
karet; lalu umur 15 tahun meningkat menjepret
mangga pake katapel. Dan kini, dai boleh bangga
bisa menjepret pake kamera beneran. Itulah Gun.
Setelah ber-hai-hai (bukan promosi,
lho!) sebentar dengannya, Lupus langsung
melesat bersama Aji ke rumah sang artis.
Rumahnya lumayan jauh. Di pinggiran kota. Rada
ndeso.
***
Dan kini Lupus dan Aji sudah berdiri di depan
pagar yang tinggi. Rumahnya tampak begitu
besar. Sementara di pagar depan tertulis ‘Awas
anjing galak; jangan berdiri dekat pagar!’ Lupus
langsung melompat mundur. Wong dia paling
takut sama anjing. Makannya dia tidak pernah
berani lari pagi di kompleks perumahannya.
Banyak anjing. Soalnya dia kurus. Suka dikejar-
kejar anjing. Dikira tulang.
“Kamu aja yang masuk, Ji!” perintah Lupus.
“Enak aja. Emangnya saya tumbal? Kita tekan bel
aja. Masak sih nggak ada belnya?”
“Iya. Lagi pula belum tentu beneran ada
anjingnya. Siapa tau Cuma nakut-nakutin aja!”
Akhirnya setelah baca Bismillah, mereka
memencet bel yang tersembunyi di balik
rerimbunan tanaman yang merambat di pagar.
Terdengar suara anjing menggonggong dari balik
pagar. Lupus langsung melompat mundur.
“Tenang, Pus. Wartawan kok penakut amat?”
ledek Aji.
Beberapa saat kemudian, ada kepala yang muncul
dari pagar yang tinggi.
“Hei, anak kecil, ngapain di situ? Mau mainin bel
ya?” bentaknya galak.
Lupus keki berat dikatain mau mainin bel.
“Saya wartawan, tau! Saya mau ketemu Evita
Fanny. Artis penyanyi itu. Di sini kan rumahnya?
Dan ini teman saya Aji. Dia fotografer
profesional!” sahut Lupus lantang. Orang itu
memandang ke arah Lupus dari ujung kaki sampai
ujung rambut. Seolah kurang percaya. Juga
kepada Aji yang dibilang fotografer prof itu. Dia
curigation. Kok fotografer Cuma bawa kamera
yang serba otomatis? Sekali jepret jadi, tanpa
mengubah jarak, diafragma, de el el. Wah, pasti
ada yang kurang beres.
“Evita lagi pergi! Dia sibuk terus. Kapan-kapan
aja datang lagi!”
“Wah bohong! Saya tadi udah janjian sama dia
via telepon. Dan dia ada di rumah!” sahut Lupus
ngebohong. Soalnya sungguh mati, dia tak tau
nomor telepon Evita. Tapi dia juga yakin Evita
pasti ada. Dia sudah biasa dibohongi macam
begitu. Biasa, artis yang lagi naik daun memang
suka jual mahal. Padahal wartawan penting lho,
buat menunjang karier mereka.
“Tapi dia mau pergi. Ada rekaman di studio!”
Balas orang itu lagi.
“Kamu tau nggak apa persamaan saya sama
kamu?” sahut Lupus lagi.
“Apaan memang?”
“Sama-sama tukang bohong. Makanya sesama
tukang bohong dilarang saling membohongi!”
“Sialan jadi kamu juga bohong ya? Kamu pasti
bukan wartawan! Kok masih kecil begitu? Mana
kartu Pers-nya?”
Lupus langsung merogoh kantung celananya.
Tapi..., oh, God! Kartu itu ternyata tertinggal di
meja tugasnya di kantor. Bener-bener sial!
“Eh, saya lupa bawa. Tapi beneran kok saya
wartawan!”
Orang itu tersenyum sinis. “Nah, anak-anak, kalau Cuma
mau minta tanda tangan, lewat surat aja. Sekarang kalian
boleh pulang...” sahutnya dan langsung menghilang di balik pagar.
Lupus cepat-cepat berteriak, “ Hei, tunggu! Saya
bener-bener wartawan, kok! Kalau nggak
percaya, telepon aja ke majalah Hai. Serius!!”
Tapi makhluk itu sudah menghilang. Tinggal
Lupus dan Aji yang saling berpandangan.
3. EVITA FANNY
Lupus dan Aji masih berada di depan rumah artis
penyanyi Evita Fanny. Benar-benar tak tau apa
yang harus dilakukan lagi. Meski Lupus sudah
lumayan sering wawancara begini, tapi toh dia
masih belum bisa santai. Malah sering kedapatan
lagi dorong-dorongan atau ber-suit-ria sama
temannya untuk menentukan siapa yang masuk
duluan. Kan malu-maluin banget tuh! Tapi ya
nggak apa-apa. Lupus nggak pernah putus asa
Cuma karena hal-hal yang begitu. Segalanya kan
bisa saja karena biasa kalau kita sering
melakukannya.
“Kita bikin keributan aja di sini, nanti kan mereka
pada keluar!” sahut Lupus kumat gilanya.
“Gila lu, nanti kalau diciduk polisi gimana?”
“Emangnya kita teroris? Maksud saya, kita Cuma
mengadakan aksi unjuk perasaan, gitu!”
“Kamu kalau sudah nekat memang gawat, Pus!
Terus, ngapain dong?”
“Misalnya kita tekan bel terus-terusan. Kan lama-
lama mereka kesal lalu keluar. Nyamperin kita
atau malah ngusir kita. Tapi nggak apa-apa.
Namanya juga orang usaha. Kan nggak ada
salahnya!”
“Iya, ya.”
Dan mereka pun secara bergantian menekan bel.
Berulang-ulang. Ada suara anjing yang
menggonggong lagi. Sampai akhirnya wajah
seram yang tadi muncul lagi di balik pagar yang
ke tinggi. Siap menyemprotkan amarahnya. Tapi
Lupus cepat-cepat menyapa, “Assalamualaikum!
Kayaknya kita pernah ketemu deh. Kapan, ya? O
ya, beberapa menit yang lalu. Apa khabar? Gini
lho, saya dari majalah...”
“Bosen! Kalian ini belum pernah mendapat
pelajaran ya? Sudah pernah merasakan gimana
enaknya digigit si Pleki?”
“Belum. Siapa itu? Bapak kamu ya?”
“Sialan! Kalian benar-benar kurang ajar!”
bentaknya marah sambil melompat turun. Tapi
baru orang itu membuka pintu pagar, ada suara
yang memanggil. Terpaksa marahnya tertunda
dan langsung tergopoh-gopoh menghampiri si
pemanggil.
“Bang Kerpa, tolong siapkan mobil saya. Saya
mau ke studio setengah jam lagi. Tolong barang-
barang belanjaan tadi pagi diturunin dulu,” sahut
si pemanggil yang ternyata Evita itu.
“Baik Nona.”
“O ya, kamu ngapain naik-naik terus ke pagar
macam tadi? Pacaran sama babu sebelah, ya?”
“Oh, anu, Nona....itu ada dua pemuda kecil.
Ngakunya sih wartawan yang mau wawancara.
Tapi nggak ada kartu pers-nya. Ya udah, saya usir
saja. Tapi kok ya nekat anak itu!”
“Ya, Nona, dan dua pemuda kecil yang manis-
manis itu adalah kami sendiri!” tiba-tiba ada suara
sopan menyambung dari belakang Bang Kerpa.
Bang Kerpa langsung menoleh kaget! “Hei, kurang ajar.
Bagaimana kamu bisa masuk kemari? Loncat pagar, ya?”
“Bagaimana? Mudah. Siapa yang suruh pintu
pagar itu ditinggal tanpa terkunci barusan,
sementara anjing kamu itu asyik mengejar-ngejar
kucing sampai keluar pekarangan rumah...,”
jawab Lupus kalem.
Bang Kerpa langsung kaget, dan cepat-cepat
memburu keluar. Memanggil-manggil anjingnya.
Meninggalkan Lupus dan Aji berhadapan dengan
Evita Fanny.
Lupus tak berkedip. Penyanyi ini memang masih
muda. Paling-paling baru sekitar 17 tahun.
Wajahnya, bukan main. cakep banget. Dengan
bibir yang tipis tapi seksi, mata yang indah bagai
kucing, kulit tubuh yang kuning langsat. Wah,
emang nggak salah kalau dia jadi artis penyanyi.
Dengan penampilan yang serba sempurna untuk
seorang gadis remaja, siapa sih yang enggak betah
memandangi berjam-jam?
Lupus langsung kasih angka sembilan untuknya.
"Situ siapa?" tanya Evita pelan. Suaranya, wah.
Bikin dek-dekan.
"Di sini Lupus dan Aji. Dari majalah remaja. Di
situ siapa?" balas Lupus.
"Oo..., kalian wartawan, toh?"
"Iya, hebat ya?"
"Kok masih kecil? Wartawan bo'ongan ya? Mana
kartu pers kalian?"
"Justru itu, ketinggalan. Tapi kalau tak percaya,
boleh deh telepon ke redaksi Hai. .. . "
"Oke deh, saya percaya. Terus kalian mau apa?"
"Wawancara. Boleh, kan?"
"Tapi saya mau pergi. Kalian toh belum bikin janji. "
"Sudah, kok!"
"Kapan? Saya kok belum dikasih tau?"
"Lima menit yang lalu. Tadi lho, waktu pesuruh
kamu yang cowok itu dengan noraknya naik-naik
ke atas pagar...."
"Ah. T api bolehlah kalau kalian memaksa. cuma,
sebentar aja, ya? Yuk masuk!"
Dengan langkah ringan, Lupus dan Aji berjalan masuk.
Di ruang tamu, suasananya cukup membuat
keduanya terkesima. Satu set mewah kursi tamu
besar warna biru, dengan karpet yang bagai
rumput manila terhampar megah. Dipadukan
dengan hiasan-hiasan dinding yang serba biru,
menyejukkan suasana. Sementara foto close-up
Evita Fanny terpampang megah di dinding
sebelah kiri. Di atas barang-barang antik yang
disusun rapi. Dari dalam mengalun lembut musik
instrumentalia yang kebetulan Lupus kenai
judulnya, Cantabile. Lagu yang menarik, dan
Lupus dulu sering mendengar ayahnya
memainkan lagu itu lewat gitar klasiknya.
Nggak nyangka, selera musik Evita boleh juga.
Padahal kalau dibandingkan dengan lagu-lagu
yang sering dibawakannya yang berlirik dan
bernada amat cengeng itu, wah, kontras sekali.
Lupus serasa memasuki ruang istana.
"Ayo, silakan duduk. Kok pada berdiri begitu?"
Lupus tersentak. Ya, dia tadi lagi ngelamun. Kok
ada orang yang begini kaya. Dia jadi ingat sama
teman-teman seperjuangannya di kantor.
Kayaknya jadi jauuuh sekali. Mereka-mereka itu
walau suka ngaku orang kaya, tapi kalau lapar
malah pada tiduran di kolong meja. Sambil berharap
semoga setelah bangun nanti rasa
laparnya hilang. Kan bisa menghemat uang
makan. Tapi ya tak apa. Malah memudahkan
kalau mau bikin puisi atau cerita yang sedih-
sedih. Nggak usah sulit-sulit mengkhayal. Tinggal
tulis aja pengalaman pribadinya, beres!
Sedang Evita kan sulit kalau mau bikin cerita
sedih. Butuh penghayatan luar biasa. Tapi lupakan
dulu hal itu. Kita lihat saja Lupus yang lagi sedikit
panas dingin karena diliatin terus oleh Evita yang
manis. Nggak tau kenapa, dia memang suka grogi
begitu kalau diliatin cewek cakep.
Dengan kaku, Lupus mengeluarkan tip dan
secarik kertas yang berisi daftar pertanyaan. Evita
tergelitik untuk melirik apa yang tertulis di balik
daftar penanyaan. Maka dengan sedikit paksa, dia
merebut secarik kertas itu.
"Lihat deh. Boleh, kan?"
"Eh, jangan...," Lupus kaget, tapi Evita sudah
merebutnya. "Itu daftar pertanyaan kok. Saya
bikin supaya nggak lupa. Soalnya terus terang,
saya kalo lagi grogi suka lupa apa yang mau
ditanya. Balikin dong...."
Evita cuwek. Sambil mengernyitkan kening
membaca kertas itu. Lalu senyum-senyum sendiri.
Lupus jadi curiga.
"Kamu mau wawancara atau mau belanja? Kok
isinya ada ikan asin satu kilo, cabe rawit tiga biji,
jengkol sepuluh biji, permen karet..."
Lupus langsung merebut dan membacanya. Oh,
God! Ternyata dia salah keluarin. Itu catatan
belanja yang dititipkan ibunya tadi pagi. Dengan
wajah kayak traffic light; merah kuning ijo, dia
buru-buru mengantonginya. Diganti secarik kertas
yang lain. Yang isinya beneran daftar pertanyaan.
"Sekarang kamu duduk aja di situ, saya yang
nanyain dari sini. Oke?" balas Lupus keki. Evita
tertawa lepas. Keakraban baru saja terjadi.
"Tapi ingat, waktunya nggak lama lho. Saya mau pergi!" .
Interviu pun berlangsung dengan akrab. Sampai
suatu ketika, Evita merasa harus pergi. Dengan
sedikit berat, dia pun bangkit. Lupus cepat-cepat
menahannya, "Eh, jangan repot-repot!"
"Lho? Saya mau ganti baju, kok. Saya kan mau pergi. ..."
"Ooo, kirain mau bikinin minum...."
"Ya ampun, saya lupa. Kalian haus, ya?"
"Ah enggak. cuma saya mikir, kok samaan sama
di rumah ya? Kalau ada tamu dari jauh suka lupa
nyuguhin minum. Padahal kan mungkin saja tamu
itu merasa haus setelah berjalan begitu jauh. Iya
nggak, Ji?" celoteh Lupus sambil melirik ke arah
Aji yang hampir mati kehausan.
Lagi-Iagi Evita ketawa. Dia cepat-cepat
menyiapkan minuman.
***
Dan Evita ternyata artis yang baik. Dia menawari
Lupus dan Aji ikut ke studio sambil melanjutkan
wawancaranya di jalan. Di sana Evita cerita
banyak. Tentang tiga albumnya yang direkam
dalam waktu singkat. Tentang kasetnya yang laku
keras. Tentang bonus mobil yang dia dapat.
Pokoknya semua.
Buat artis penyanyi, dia memang memiliki
segalanya. Meski lagu-lagunya hampir setipe;
tentang kecengengan cinta, tapi suaranya tidak
mengecewakan. Padahal banyak anggapan yang
mengatakan penyanyi pop sekarang cuma modal
tampang doang, tapi Evita merupakan
pengecualian. Karena dia punya vokal dan penghayatan
yang baik buat lagu-lagu komersil yang dibawakannya.
Sebaik-baiknya lagu pop, kalau tidak didukung
penghayatan dan vokal yang sempurna, tak akan
berhasil. Omong kosong buat yang mengatakan
untuk jadi penyanyi cuma modal tampang doang.
Setinggi-tingginya teknik studio yang bisa meno-
long vokal sang artis, tidak akan membantu
banyak. Paling jadinya seperti komet. Muncul
sebentar, ngetop, lalu menghilang. Tak terkenang.
Ini yang ingin Lupus tekankan pada Evita.
Penyanyi ini sangat berbakat. Tapi kenapa begitu
sering mengeluarkan album yang senada? Apa
mau pakai aji mumpung seperti yang lainnya,?
"Seharusnya kamu lebih selektif, Vita. Batasi
pengeluaran album kamu. Kamu punya vokal
yang baik. Saya sering lihat kamu nyanyi lagu-
lagu daerah di tivi. Di situ kelihatan sekali
kemampuan vokal kamu. Bukan sekadar penyanyi
pop murahan. Kalau kamu lebih jarang
mengeluarkan album, kamu bisa mengikat fans
kamu. Membuat mereka penasaran menunggu
terbitnya album-album kamu yang berikutnya.
Dan dengan sedikit variasi, mereka tak mudah
bosan. Dan kamu nggak bakalan cepat
dicampakkan fans kamu yang merasa bosan
karena kamu keseringan mengeluarkan album
yang senada. Kamu jangan mau dikerjain para
produser yang cuma mau mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya, tanpa memikirkan nasib
kamu setelah itu. Mereka mudah saja mencari
penyanyi baru. Sedang kamu apa? Itulah, Vita.
Makanya, ngapain sekarang ke studio? Lebih baik
kita ke fried chicken atau ke mana, gitu.
Ngomongin masalah ini. Kamu jangan seperti
mesin. Disuruh ke studio, disodori lagu, lalu
langsung menyanyikannya hanya dengan
mempelajari sebentar tanpa kamu dikasih
kesempatan memilih lagu yang cocok buat
karakter vokal kamu. Buat selera kamu. Eh, sori.
Saya kok jadi cerewet banget, ya? Tapi gimana
kamu aja deh. Mau ke fried chicken atau ke studio..."
Evita terdiam. Makhluk yang duduk di
sampingnya ini memang kelewat banyak omong,
kayak tukang obat. Apa emang begitu ya, kalau
wartawan ngerayu minta traktir?
"Kamu mau no dong atau mau nyulik saya?"
sahut Vita galak.
"Dua-duanya. Tapi tebusannya nggak berat. Fried
chicken!"
Dan Lupus kegirangan setengah mati ketika
Volvo Evita berbelok ke fried chicken.
***
Beberapa hari kemudian, Lupus sudah berada di
kantor redaksi lagi. Dia lagi excited banget karena
baru dapat telepon dari Evita. Gimana nggak
senang, Evita meneleponnya dalam keakraban.
"Meski saya kadang ragu apa kamu ini wartawan
gadungan atau wartawan beneran, atau malah
tukang obat yang buka praktek liar, tapi saya kok
ya mikirin juga apa yang kamu bilang. Thanks.
Saya suka kamu merhatiin saya kayak gitu. Saya
udah batalin jadwal rekaman dalam waktu dekat
ini. Bos memang marah dan kaget, tapi lama-lama
dia pasti ngertiin saya. Sebab saya ingin dia yang
butuh saya, bukan saya yang butuh dia. Saya udah
minta untuk menyeleksi lagu, menyeleksi
aransemen. Kalo kamu mau tau, saya sendiri di
rumah nggak pernah nyetel lagu-Iagu saya. Kamu
denger sendiri kan waktu ke rumah? Saya
memang nggak pernah bangga pada lagu-lagu
saya sendiri selama ini. Sekali lagi trims berat
buat kamu. Kapan mau maen ke rumah lagi?"
Itulah. Makanya Lupus jadi senyum-senyum
terus. Seriang Mas Veven yang baru masuk tadi
langsung menodongnya dengan teka-teki orisinal
karyanya sendiri, "Ayo, apa bahasa Indonesianya:
Mother goes to the market?"
"Apaan, ya? Nggak tau tuh!" sahut Lupus (pura-
pura) nggak tau. "Belanja ni yee...," jawabnya girang setengah
mati. Soalnya jarang-jarang teka-tekinya nggak
bisa ketebak Lupus.
Atau juga seriang Mas Wendo yang lagi disalamin
temen-temennya gara-gara nongol di tivi dalam
acara FFI. "Ah, apalah aninya orang seperti saya
ini...," sahutnya ngerendahin diri, ninggiin mutu.
Tapi yang Lupus heran, sejak saat itu Aji nggak
pernah kelihatan lagi. Pun di sekolahnya. Sebab
Aji memang teman sekolah, cuma lain kelas.
Padahal dia kan teman seperjuangan sewaktu
wawancara Evita. Maka besoknya Lupus khusus
mencari dia ke kelas-kelas. Dan ketemu lagi
mojok di kantin. Tetap dalam stil cuwek walau
Lupus kelihatan menghampiri. Lupus jadi inget
Iwan yang redaktur musik di Hai. Doi juga cuwek
berat kalau lagi dengerin walkman. Dipanggilin
nggak nyaut-nyaut! Ada kebakaran juga cuwek aja.
"Halo, Ji, kamu sakit ya? Kok nggak pernah
keliatan?" tegur Lupus ramah. Aji malah
melengos. Lupus jelas heran. Setelah diusut-usut,
ternyata dia sempat keki karena waktu itu Lupus
akrab banget dengan Evita. Dia sampai tak
dikasih kesempatan ikutan ngobrol. Padahal kan
dia udah dandan rapi banget.
Lupus jadi ketawa.
"Aduh, Aji, kamu cemburu ya? Apa kamu pikir
saya naksir dia? Wah, jangan mimpi dong. Saya
cukup tau diri kok. Apa enaknya sih pacaran
dengan artis terkenal kayak gitu? Bikin tekanan
batin aja. Kita kan belum terbiasa dengan gaya
hidup mereka. Yang easy come easy go itu. Wah,
mending jangan deh. Lagian belum tentu dia bisa
terbuka sama saya kayak gini kalau dia jadi pacar saya. "
"Jadi mendingan seperti sekarang. Saya cuma
bikin laporan yang bagus buat majalah. Masa sih
persahabatan kita bisa puttlS cuma karena hal-hal
yang sepele kayak gini, Ji? Lupakan semuanya, Ji,
kita kembali seperti dulu. cari bintang baru lagi
yang cakep, terus kita wawancara sama-sama lagi.
Siapa tau yang berikutnya jodoh kamu. Hehehe....
Gimana? Asyik, kan? Petualangan begini penting
lho untuk mengenal beberapa karakter cewek-
cewek. Jadi kalau udah dapet pacar kayak gitu
nggak kaget lagi. Satu hal yang harus kita jaga,
jangan mudah ge-er kalau ada orang-orang seperti
itu nampak memberi perhatian yang lebih kepada
kita. Karena kan belum tentu dia naksir kita. Iya, nggak?"
Aji bangkit. Memandang tersenyum ke arah
Lupus. Lalu meninju perutnya dengan pelan.
Keduanya pun tertawa keras berbarengan.
4. PHK
Pasalnya ya karena si Lupus. Makhluk itu selama
ini memang dikenal sebagai 'teman tetap' Poppi.
Kadang jajan di kantin sama-sama, ngerjain temen
sekelas sama-sama, bikin pe-er sama-sama atau
juga ngejar layangan putus yang kadang nyasar ke
lapangan kalau lagi pelajaran olahraga.
Pokoknya kompak deh! Apalagi kalau lagi musim
ulangan. Tapi belakangan ini Lupus jarang masuk.
Jarang maen ke rumah Poppi. Meski memang
tidak pernah rutin malam Minggu apel, tapi nggak
biasanya sampai tiga kali berturut-turut seperti
kali ini. Poppi memang maklum sama sifat Lupus
yang angin-anginan. Yang nggak bisa dipegang
buntut-buntutnya. Sebagai cewek, dia udah begitu
cukup pengertian. Tapi Lupusnya ini, kok ya
nggak sadar-sadar. Selalu bikin keki.
Seperti waktu Ruri, cewek yang doyan nggosip
itu, sibuk nggosip tentang dirinya sendiri (Kok
ada ya orang yang begitu?). Ke sana ke sini
memamerkan foto close-up yang katanya
cowoknya yang baru, "Newcomer. Baru semalem
resmi jadi pacar saya yang ketujuh," katanya
bangga. Dadanya sampai membusung (eh, nggak jorok,
lho!). Lupus yang datang ke kelas belakangan, tak
luput kena pameran foto tunggal tersebut.
"Kece nggak, Pus?" Ruri berkata penuh semangat.
"Siapa sih? Penyanyi dangdut, ya?" tanya Lupus serius.
Ruri jelas keki berat.
SUATU kali dalam hidupmu, pernahkah kamu
merasa begitu sepi? Membuka jendela kamar kala
semuanya terlelap dalam mimpi, dan merasa
sendirian di tengah alam semesta yang begitu luas?
Pernahkah? Pernahkah kamu merasa begitu benci kepada tawa
anak-anak kecil yang bermain di halaman sebelah
rumahmu? Sehingga lagu terindah bagimu
hanyalah gesekan angin pada pucuk-pucuk
cemara dan rontoknya daun-daun kering di musim
kemarau? Nah, ketauan. Kalau begitu kamu pasti lagi
frustasi. Ngaku aja. Samaan kok sama Poppi.
Poppi ini belakangan memang sering uring-
uringan kayak gitu. Kerjanya seharian, kalo
enggak dengerin kaset-kaset model Patah Hatinya
Rachmat Kartolo (enggak usah berlagak mikir,
kamu pasti apal lagunya. Eh, kita nggak nuduh
lho, cuma nebak aja!), ya nyoret-nyoretin buku
harian. Atau bengong berat kayak seniman
keabisan inspirasi. N ggak napsu makan, nggak
napsu bobok, dan yang paling gawat, jadi segen mandi.
Tapi sebetulnya nggak bakalan segawat ini kalo
nggak ada gosip yang mengatakan bahwa Lupus
punya cewek lagi. Nggak jelas pacaran sama
siapa, tapi desas-desus itu memang lagi ngetop.
Ada yang bilang sama artis penyanyi kondang
Evita Fanny; ada yang bilang sama anak kelas
satu yang baru:
Poppi tadinya nggak begitu mudah percaya, tapi
bukti-bukti memang ada. Dua hari yang lalu, anak
itu memang masuk. Dengan santainya menaruh
tas di bangku, lalu kelayapan keluar kelas lagi.
Sama sekali tak menyapa Poppi yang duduk
dengan manis di bangkunya. Sibuk ngeceng ke
kelas-kelas baru.
Poppi jelas panas. Buntut-buntutnya ya seperti
tadi itu. Samaan sama kamu. Suka ngelamun
sendirian. Kenapa ya, cowok itu cenderung nggak
setia? Apa karena di dunia ini memang lebih
banyak cewek, sehingga cowok leluasa pacaran
dengan lebih dari satu cewek? Biar adil, kebagian
semua, begitu? Ih, amit-amit. Itu pendapat gila.
Nggak berperikewanitaan. Lebih baik cewek-
cewek nggak usah pacaran sama sekali. Lagi
pula, apa sih hebatnya Lupus itu? Kalau mau saya
bisa aja mendapat sejuta 'lupus' lain yang lebih
dan dirinya, batin Poppi.
Memang benar. Poppi toh cantik. Dengan
rambutnya yang lebat itu, banyak cowok yang
enggak tahan untuk tidak melirik beberapa detik
kepadanya. Terus kenapa Poppi jadi begitu
frustasi hanya karena Lupus?
Itulah cima.
Poppi sudah terlanjur menyukai semua yang ada
pada diri Lupus. Orang yang lebih baik atau lebih
cakep dari Lupus itu banyak. Jalan-jalan di pasar
swalayan, kamu bisa menemukan makhluk kayak
begitu sepuluh biji. T api ibarat barang tiruan,
yang sama ya luarnya aja. Isinya tetap nggak ada
yang se-qualified Lupus (taela!). Maksudnya
sifatnya, tingkah lakunya, lengkap sama gaya-
gayanya yang rada norak. Juga sikapnya yang
penuh perhatian, walau kadang bikin keki.
Gimana nggak penuh perhatian? Dia bisa begitu
sopan di depan orang tua Poppi. Bukan sopan
yang dibuat-buat, tapi nampak wajar. Di samping
juga sering membawakan mereka oleh-oleh.
Jarang-jarang lho, ada cowok yang begitu
memperhatikan calon mertuanya kayak gitu. Pun
ketika lebaran kemarin, dia dengan serius ngomong
sama Poppi, "Pop, sayang sekali untuk
lebaran kali ini, rejeki saya nggak begitu banyak.
T api biar deh, demi kamu saya ngalah aja. Saya
rela, lebaran kali ini biar calon mertua kamu aja
yang saya kasih hadiah...."
Poppi yang tadinya udah siap-siap untuk terharu,
jadi keki banget.
Di samping itu, Lupus juga ngetop sekali. Fans-
nya bukan hanya di lingkungan sekolah dia aja,
tapi juga melimpah ke luar sekolah. Buktinya
kalau dia turun dari bis sepulang sekolah, histeria
massa selalu terjadi. Puluhan abang-abang becak
dengan semangat '45 menarik-narik bajunya.
Bukan minta tanda tangan, cuma mau menawari
(dengan sedikit paksa) Lupus untuk naik
becaknya.
Lupus juga termasuk anak yang susah dikerjain.
Padahal dia hobi banget ngerjain orang. Sampai
pernah suatu ketika anak-anak cowok di kelasnya
kompakan untuk sekali-sekali ngerjain Lupus.
Mereka semua ngumpul di toilet. Mengatur
strategi penjebakan.
"Kita kunci aja di WC. Dia kan hobi banget ke
belakang. Beberapa dari kita memantau ke mana
dia pergi. Begitu masuk wc, kita kunci dari luar.
Biarkan beberapa saat sampai dia mabok dulu.
Setuju?"
Agak sadis memang, tapi toh pada setuju. wc di
sekolah Lupus memang rada sulit dibuka dari
dalam, tapi dengan mudah dikunci dari luar.
Tinggal mengaitkan engsel kuncinya, beres!
Namun ketika mereka baru selesai berembuk,
sampai bela-belain menahan bau yang ngujubileh
itu biar nggak ketauan, tiba-tiba Lupus keluar dari
wc sambil cengengesan. "Hayo, mau merencana
kan usaha pembunuhan ya?"
Teman-temannya yang mengira aman berembuk
di toilet itu, jelas pada keki berat. Usaha mereka
jadi gatot. Gagal total.
Itu hanya sebagian keunikan Lupus. Belum lagi
kisah gombal Lupus waktu nonton film sama
Poppi. Dia kelupaan ninggalin Poppi di bioskop
sendirian. Langsung pulang aja. Soalnya nggak
biasa nonton bareng cewek sih. Di tengah jalan
dia baru sadar, ketika merasa ada yang kurang
beres.
Tapi sabar itu memang ada batasnya. Saling
pengertian itu bisa jalan kalau ada kesadaran dari
dua belah pihak. Poppi sudah menjalankan semua
itu dengan baik. Tinggal Lupus yang belum. Jadi
kenapa harus menyesal putus dengan dia? Poppi
malah harus bersyukur, karena dia tau kejelekan-
kejelekan Lupus lebih awal. Sebelum segalanya
terlambat. Dan cinta itu tidak buta. Justru
sebaliknya, kita harus melihat kepribadian pacar
kita sampai yang terkecil.
Saya bisa berbuat seperti Lupus! tekad Poppi.
Maka, Poppi pun mencampakkan foto Lupus yang
lagi nyengir di atas meja belajarnya. Lalu duduk
di depan kaca, dan mencoba menyisir rambutnya
yang kusut. Di sana, dia seakan menemukan
dirinya sendiri. Dirinya yang baru. Dengan
semangat baru.
Dan besoknya, dia langsung menolak ketika mau
diamar ke sekolah, "Enggak, Pa. Saya mau naik
bis aja. Sekali-sekali kan boleh. Pingin seperti
teman-teman. "
Bapaknya jelas heran. Soalnya baru sekali ini
Poppi nggak mau diantar ke sekolah. Tapi Poppi
memang punya alasan yang nggak boleh diketahui
orang tuanya. Dia sering denger cerita, orang yang
naik kendaraan umum itu lebih enteng jodoh
ketimbang yang diantar jemput. Soalnya,
kemungkinan ketemu orang yang belum dikenal
lebih besar daripada diantar supir sendiri. Apalagi
pada jam-jam sekolah, kala bis kota seperti bis
sekolah saja. Berisi anak-anak sekolah dari segala
jenis.
Poppi belum pernah merasakan itu. Makanya ia
begitu ingin. Dia juga tau kalo Lupus itu sering
kenalan dengan cewek-cewek lain di bis. Seperti
gosip yang menyebar itu, yang mengatakan bahwa
Lupus kenal sama cewek baru kelas satu itu di bis.
Katanya rumah ceweknya itu dekat dengan rumah
Lupus. Suka naik bis bareng-bareng.
Jadi kenapa Poppi nggak coba begitu?
"Tapi sekolah kamu kan jauh, Pop? Harus dua
kali naik bis?" bapaknya mencoba membujuk.
"Nggak apa-apa."
"Kalau ada tukang copet atau apa begitu?"
"Nggak takut."
Dan pagi itu, jalanlah Poppi sendirian ke tempat
pemberhentian bis. Menunggu metro-mini jurusan
Blok M. Tapi Poppi bener-bener nggak nyangka
kalau pada jam-jam sekolah begini bis-bis pada
penuh semua. Sarat dengan penumpang, yang
bukan anak sekolah aja. Tapi kuli-kuli bangunan,
orang kantoran atau juga inem-inem yang mau ke
pasar. Poppi yang tak mau menanggung rekiso eh,
risiko terlambat, langsung saja menyetop metro-
mini walau sarat dengan penumpang. Metro itu
langsung berhenti. Sejenak Poppi terpana di
tempat. Gimana cara masuknya? Kok penuh
banget?
"Ayo, Neng, .cepat! Kosong kok di dalam," rayu
kondektur itu sambil menarik-narik tangan Poppi.
Sementara di bangku belakang, sederetan anak
muda bersorak-sorak menggodanya. Dia stil
cuwek.
Poppi naik ke tangga. Dari belakang, kondektur
yang kurang ajar itu mendorong-dorong dia.
Memaksanya untuk masuk lebih ke dalam lagi. A-
duh . orang kok udah kayak sarden aja? Dijejel-
jejelin. Mana atap metro itu rendah sekali.
Terpaksa Poppi berdiri sambil membungkuk.
Berbaur dengan keringat-keringat orang lainnya.
Dan ia keki banget, karena cowok-cowok yang
kebagian duduk, nggak mau berdiri untuk
memberikan kursinya kepada Pppi. Malah asyik
baca buku teks sekolah. Sial, apa ini yang
namanya emansipasi?
Tapi pemuda itu ya nggak bisa disalahkan. Dia
toh nggak mungkin bela-belain ngasih duduk buat
Poppi, untuk kemudian ikutan berbungkuk-ria
bersama para penumpang lainnya. Kan pegel
sekali tuh. Mana biasanya metro itu jalannya
kayak keong. Pelan banget. Nggak puas-puasnya
cari penumpang lain. Poppi jadi nyesel. Ternyata
naik bis umum tak seindah yang dia bayangkan.
Gimana bisa cari jodoh dengan keadaan kelipet-
lipet begini? Apa karena belum biasa aja? Untung
hari masih pagi. Saat orang baru pada mandi, dan
belum berkeringat. Coba kalo nanti siang. Idih!
POPPI jadl nyesel tadi pesan kalo siang nanti
nggak usah dijemput.
***
Tapi usaha untuk membalas sakit hatinya tidak
kandas sampai di situ. Tak seperti biasanya, Poppi
menerima ajakan Fadly yang memang sering
menggodanya. Nonton bersama, ke diskotik
bersama; ke restoran mewah bersama. Kencan
dengan Fadly memang lebih enak. Dia lebih
banyak tau tentang tempat-tempat yang biasa
dikunjungi remaja. Yang sebelumnya nggak
pernah dikunjungi Poppi. Tetapi tetap, Poppi
merasa ada yang kurang. Saban malam, dia masih
sering merasa sendiri lagi. Kebahagiaan itu
memang hadir saat dia berjalan-jalan dengan
Fadly. Tetapi setelah itu, dia seperti dikembalikan
kepada dunianya yang sepi. Merasa sendiri lagi di
waktu malam. Aneh, biasanya nggak begini kok.
Dia bener-bener nggak bisa membohongi dirinya
sendiri, kalau kadang-kadang saat malam telah
larut-dia rindu pingin ketemu Lupus. Pingin
ngobrol-ngobrol dengannya. Pingin jalan-jalan
lagi menelusuri pusat pertokoan. Jalan sama
Lupus banyak seninya. Maka malam itu Poppi
sudah nggak tahan lagi.
Dia buat surat yang panjang sekali buat Lupus.
Menanyakan kebenaran gosipnya dengan anak-
anak baru di kelas satu. a ya, Lupus sekarang
sudah naik ke kelas dua.
***
Di suatu pagi yang dini, Lupus terlihat
menghampiri Poppi yang sendirian di kantin sepi.
Anak-anak banyak yang belum datang. Memang -
sudah diatur begitu kok, supaya suasananya lebih
mesra.
"Hai, Pop, saya udah terima surat kamu. Hebat.
Ternyata kamu berbakat jadi pengarang novelet,"
sapa Lupus begitu dekat. Poppi membuang muka.
Tapi, oh God, dia rindu suara jelek Lupus itu.
"Dan sekarang terbongkar bukan skandal-skandal
mu dengan para bintang-bintang baru itu? Iya?"
sahut Poppi ketus.
"Hei, you have no right to say like that to me!"
Lupus jadi serius.
"0, yes I do!" Poppi nggak mau kalah, "Ngaku aja.
Beritanya sudah menyebar kok. Kamu pacaran
sama artis Evita itu, sama anak kelas satu atau
sama anaknya ibu kantin yang di Bandung. Iya,
kan? Apa sih yang kurang dari saya selama ini?
Saya sudah cukup pengertian, cukup sabar,
cukup... apa lagi ya?"
"Cukup kasih sayang...."
"Ya, betul. Cukup kasih sayang. Terus apa lagi
yang kamu tuntut, he?"
"Enggak ada. Saya nggak nuntut apa-apa kok.
Cuma kamu lupa, pacaran itu juga harus pake
rasio dong. Pake pikiran yang matang.
Kedewasaan."
"Lho, apa kamu anggap saya ini nggak punya
rasio?"
"Punya, tapi ketutup emosi kamu. Coba aja kamu
pikir, mana sempat saya pacaran dengan gadis
sebanyak itu. Sama kamu aja, saya udah sering
kerepotan. Saya kan meski masih sampingan,
udah kerja juga. Coba-coba belajar cari duit.
Hampir seluruh waktu luang saya tersita untuk
kerjaan saya di majalah. Wawancara, nulis berita,
les Inggris, melukis, belum lagi kalau di kampung
ada kondangan. Kan rugi sekali kalau enggak
datang.
"Jadi mana sempat? Dan semua itu saya lakukan
demi kamu., Demi masa depan saya...."
Poppi jadi diam. Tapi toh belum puas, "Lalu,
ngapain kamu setiap masuk sekolah sering
ngeceng ke kelas-kelas satu heh? Pokoknya saya
minta PHK!"
"Apa itu PHK?"
"Putus Hubungan Kekasih."
"Aduh, Poppi, kamu kok sempit amat pikirannya?
Saya ke kelas satu itu juga dalam rangka tugas.
Kali ini saya mau nulis abis-abisan tentang posma
sekolah. Yang meski dilarang, tapi masih juga
ada. Dan sebetulnya tujuannya kan baik. Buat
menjalin keakraban, asal tidak disalahgunakan.
Itulah, makanya saya bolak-balik ke kelas satu.
Minta pendapat dari masing-masing mereka.
Kamu ngerti kan sekarang?"
Poppi diam.
"Sebetulnya saya sedih banget nggak ketemu-
ketemu kamu. Apalagi saya tau kamu belakangan
ini sering pergi sama Fadly. Iya, kan?" Lupus
berkata sedih.
Kali ini Poppi benar-benar terharu. "Kamu
cemburu ya, Pus?" "Iya. "
"Lupus..., sebetulnya saya nggak mau begitu.
Saya cuma cari kompensasi aja. Abis kamu juga
sih gara-garanya. T api sekarang saya percaya kok
sama kamu...," suara Poppi makin pelan. Dan
mereka saling membisu.
Suasana haru itu terganggu ketika seorang gadis
masuk ke kantin. Celingak-celinguk ke dalam.
Dan matanya bersinar ketika melihat Lupus.
"Eh, Kakak namanya Lupus ya?" sahut gadis itu
kemudian.
Lupus mengangguk heran.
"Aduh, dari tadi dicariin. Ini lho, ada titipan surat
dari Wida. Tau, kan? Yang anak kelas satu itu.
Katanya balesan surat Kakak yang kemarin....”
Poppi langsung melotot ke arah Lupus.
"Eh, sabar, Pop. Sabar. Namanya juga orang
usaha. .. kan boleh. Sabar dong kamunya. Siapa
tau isinya ditolak...."
Tapi Poppi langsung pergi meninggalkan Lupus.
Tinggal Lupus yang kerepotan seharian merayu Poppi.. ..
5. Ngritik Ni Ye...
PPS, Posma, Plonco, Mapram, Mapras atau apa
kek namanya, persetan!
Gini ya, sebetulnya saya masih nggak ngerti apa
yang bisa ditarik dan didapat dari program kuno
norak tersebut. Coba apa? Apa hikmah pelajaran
yang didapat dari itu semua? Terus terang, saya
antipati dengan yang begituan itu. Hanya orang-
orang yang bodo aja yang mau terjebak ikut
gituan' Beneran. Saya heran, kok ya selama ini
ada orang yang mau ngikut program gituan. Apa
sih SMA Merah Putih' itu? Kayak lembaga yang
gimanaaa gitu. Mau masuk aja harus ikut PPS,
Posma, Mapram, Mapras, Plonco, dsb, dst, dll....
Padahal pas udah jadi pelajar beneran juga belum
temu serius belajar. Nggak terus jadi hebat, kuat
mental, tahan cobaan, dsb! Kebanyakan malesnya.
Sekolah cuma buat formalitas, iseng-iseng
daripada nganggur. Numpang bercanda, nggosip,
nampang, cari perhatian, nyombong... wah,
macem-macem deh. Iya, kan? Hayo, ngaku aja.
Makanya, buat apa ikutan program tersebut?
Apalah artinya jika setelah itu kita masih bersikap
childish. Kekanak-kanakan. Apa tujuan program
itu diadakan! Jawaban dari mereka-mereka adalah
(sudah pasti) klise, "Begini, soalnya agar para
siswa nantinya cinta pada sekolah 1m, mentalnya
kuat. Ini kan sebagai tes mental. Sebagai cobaan.
Supaya begini agar nanti begitu...."
Gombal!
Ketahuilah bahwa tes mental yang sebenarnya ada
pada kehidupan yang sedang kita jalani.
Bagaimana kita menghadapi segala cobaan yang
menerpa diri kita. Itu baru namanya tes mental!
Bukan seperti Posma, Mapras, Plonco..., yang
begini sih apaan. Norak! Yang ada di kegiatan
tersebut cuma sandiwara belaka. Kepura-puraan
yang nggak lucu. Permainan orang-orang
frustrasi, gila hormat, gila perhatian, kompensasi
negatif..., pokoknya nggak sehat sama sekali.
Apa sih yang mau ditunjukin oleh mereka-mereka
sebagai panitia program tersebut? Memerintah ini
dan itu, marah-marah, membentak-bentak orang
tanpa alasan yang jelas (pura-pura galak ni ye...).
Emangnya main drama? Atau mungkin mereka
adalah para seniman gagal? Bisa jadi.
Tapi, apa nggak ada cara yang lebih manusiawi?
Terutama kalau di universitas-universitas. Ih! Kan
ada penataran P4 sebagai gantinya itu semua.
Jangan dikira orang-orang yang digojlok .itu nggak
sakit hati, lho! Mereka kan juga manusia, bukan robot.
Ada juga yang bilang sebagai perkenalan antara
para senior dengan murid baru. Kayaknya kalau
cuma sebagai perkenalan nggak perlu pake
guling-gulingan di tanah, push-up, muka
dicoreng-coreng kayak Hiawata (kalo nggak tau
Hiawata, Humpa-pa juga boleh!)
Demi Tuhan, dari kecil saya nggak punya cita-cita
untuk diperlakukan seperti itu. Udah gitu seharian
lagi. Kadang sampai malam (katanya!).
Coba bayangkan, bagaimana kalau sampai ada
yang pingsan lalu koit. Mungkin saya terlalu
berlebihan dan emosional dalam melihat masalah
ini, tapi bukan tak mungkin hal itu terjadi.
Soalnya daya tahan orang kan nggak sama.
Terutama yang cewek-cewek. Coba bayangkan,
bagaimana perasaan orang tua mereka jika anak
yang diharapkan untuk jadi 'orang', meninggal
hanya gara-gara ikut Posma. Saya bukan
mengada-ada nih. Emang bener ada. Adda aja!
Adalah bohong alias nonsense bahwa Posma itu
untuk menambah keakraban antara para senior
dengan siswa baru (sok akrab ah!). Kalau mau
akrab, kenapa nggak kenalan aja secara baik-baik
dalam suasana damai dan bersahabat. Kan lebih
simpatik dan beradab, ya nggak? Percaya deh,
program 'pembantaian' itu sungguh nggak sehat.
Cuma menimbulkan rasa tak senang, rasa
dendam, rasa permusuhan dan rasa-rasa antipati.
Pokoknya yang bersifat negatif.
Bayangkan, udah uang sekolah masuk SMA ini
mahal, ikut Posma (bayar uang formulir juga),
disiksa.... Wah! Tapi kok pada nurut aja? Aneh
tapi nyata. Berontak dong! Kita kan di negara ini
punya hak untuk bersuara. Bebas. Merdeka. Hak -
untuk tidak diperlakukan semena-mena. Sesuai
dengan UUD '45 pasal 28 dan pasal 27 ayat 2
(Cie... hapal ni ye...). .
Jika saja saya nantinya mengalami hal-hal seperti
tersebut di atas dan untuk itu saya diberi sertifikat
Posma/PPS, saya akan bakar kertas sialan itu.
Fortunately, I didn't have such a disgusting,
miserable and useless thing. Because I didn't and
I'll never participate in an uncivilized program for
the rest of my life. Honest! (Yang masih susah
menangkap arti kata-kata ini, atau emang nggak
ngerti sama sekali, bunuh diri aja mendingan.:..)
Sembilan dari sepuluh dokter yang saya minta
pendapatnya mengatakan bahwa Posma tidak baik
dan sangat tidak sehat bagi perkembangan mental.
Memperlemah daya hidup. Dengan kata lain,
hanya orang-orang idiot sajalah yang mau
mengikuti, dan hanya orang-orang yang
berpenyakit jiwa sajalah yang terlibat sebagai panitia.
Bener. It's okay? Mudah-mudahan selebaran ini
bisa jadi input buat kita. Agar mata hati kita jadi
terbuka. Abu Nidal.
***
Itulah selebaran yang beredar tadi pagi. Ditempel
di tembok-tembok, di papan pengumuman atau di
kantin. Dan tentu saja para panitia Mapras seperti
ditempeli tai kodok wajahnya. Marah, malu,
kesal. Tapi siapa yang mengedarkan selebaran
gelap itu? Yang meminjam nama teroris jebolan
PLO itu? Gila, penulis gelap itu benar-benar mau
cari setori.
Bisa ditebak, Andang-lah yang paling
kebingungan dengan beredarnya selebaran gelap
tersebut. Soalnya, dia yang paling ambisius
mengadakan program Mapras itu.
Kemarin-kemarin, dia memang nampak (sok)
sibuk sekali ngurusin pembentukan panitia. Walau
bukan ketua OSIS, tapi semangatnya melebihi
semangat kaum pejuang angkatan '45. Waktu ada
rapat panitia, bicaranya berapi-api. Kayak uler
naga. Makanya, kini dia bingung sekali. Dengan cepat,
dia mengumpulkan para anak buahnya dalam
rapat gelap seusai sekolah.
"Bagaimana ini? Semua bisa berantakan.
Bagaimana mungkin kita bisa kecolongan kayak
gini. Kalian tau semua, pamflet itu sudah tersebar
ke mana-mana. Semua anak baru pasti sudah
membaca. Dan bagaimana kalau mereka
terpengaruh dan mengadakan aksi protes? Huh,
sial. Pasti ada oknum yang nggak suka sama
rencana kita bikin Mapras. Memang sih, kegiatan
kayak begini nggak boleh lagi. Tapi yang
namanya tradisi nggak boleh hilang dong!"
Andang nyerocos.
Teman-temannya cuma manggut-manggut aja.
Lupus juga. Lagi nggak interes sama kicauan
Andang. Dia ngamuk berat. Ini kan jamnya orang
tidur siang. Mending kalau rapatnya ada
konsumsi. Huh!
Tapi kamu nggak tau masalahnya, ya? Gini. Si
Andang, dengan rekomendasi dari ketua OSIS
terpilih jadi ketua program Mapras. Kegiatan ini
sendiri secara tertulis sebetulnya tidak boleh. Pun
di universitas-universitas. Diganti dengan yang
lebih mendidik, seperti P4, kebersihan kelas, dan
sebagainya! Tapi, seperti biasa, apa yang tertulis
tidak selalu cocok dengan kenyataannya. Apalagi
SMA Merah Putih ini bukan sekolah negeri. Jadi
peraturan bisa sedikit lain dengan negeri. Dan
Mapras itu sudah mentradisi di setiap tahun ajaran
baru. Nggak berat sih, nggak kayak di universitas
swasta. Tapi ya yang namanya Mapras, tetap saja
nyebelin. Jadi nggak adil dong kalau tahun ini
program gelap itu ditiadakan. Makanya anak-anak
kelas dua dan tiga ngotot mau mengadakan
Mapras. Sedangkan guru-guru cuma angkat bahu
saja, memaklumi acara yang sudah mentradisi ini.
Tapi kalau anak-anak kelas satunya berontak,
berarti mengancam kelangsungan jalannya
kegiatan tersebut. Beneran. Soalnya secara resmi,
anak-anak senior tak punya izin dari kepala sekolah.
Makanya mereka sekarang kebingungan. .
"Ayo dong, gimana jalan keluarnya. Apa kita
harus mencari siapa yang membuat dan
menyebarkan pamflet tersebut? Ayo dong. Ada
pendapat nggak? Lupus, kamu kok dari tadi diem
melulu. Gimana nih wartawan kita...."
Lupus cuma menggaruk-garuk rambutnya dengan
males. Dia di samping ngantuk memang lagi sedih
banget. Gara-gara di- PHK sama ceweknya,
Poppi. Jadi sama sekali nggak lagi mood untuk
ngasih ide. Andang pun melemparkan pertanyaan
kepada anak lainnya. Di situ ada Irvan, Boim
playboy duren tiga, Andy, Roni, bahkan Ruri
biang gosip yang cerewet. Tumben, kali ini Ruri
nggak banyak omong. Mungkin lagi sakit gigi.
Tapi kompensasinya jadi kentut melulu. Sudah
tiga anak jadi korban, dan pindah tempat duduk.
Nggak mau dekat-dekat dia lagi.
Rapat pun semakin ramai ketika ketua OSIS
muncul. Anak-anak lain juga mulai berdatangan.
Membahas kemungkinan siapa yang membuat
pamflet itu. Membahas jalan keluar yang
ditempuh. Ketika mereka saling berdebat, Lupus
jadi suntuk. Secara diam-diam dia menyelinap
keluar.
Dia memang kurang suka acara begituan.
Mending jajan, terus pulang.
***
Sampai keesokan harinya, mereka para senior
belum menemukan jalan keluar yang baik. Juga
siapa penulis selebaran gelap itu. Meski sudah
dipastikan ada dua kemungkinan; anak baru atau
justru seorang senior yang nggak setuju
diadakannya acara tersebut.
Cuma Lupus yang kelihatan tak peduli. Ketika bel
istirahat, dia duduk sendirian dibelakang kantin.
Menikmati bihun goreng yang dibungkus daun.
Secara iseng membaca selebaran
yang konon membuat heboh itu. Sebagian
memang sudah dirobek, tapi secara misterius bisa
muncul kembali.
Lupus membaca dengan saksama. Hm, boleh
juga, gumamnya. Tapi tiba-tiba dia menemukan
sesuatu. Sesuatu yang mungkin bisa mengungkap
kan rahasia si penulis gelap tersebut. Ini pasti
bikinan anak baru. Yang nggak setuju diadakan
Mapras. Karena di beberapa bagian, dia
menyebutkan bahwa dia belum pernah mengikuti
Mapras. Dan meski tampak berusaha
menghilangkan identitas, emosinya menunjukkan
emosi seorang cewek. Ditambah beberapa kalimat
berbahasa Inggris yang kelihatan nge-prof. Aha,
dengan data-data ini masak nggak bisa
menemukan siapa penulisnya?
***
Lupus sama sekali tak mengira kalau yang
namanya Rina itu orangnya kecil, lembut dan
ehm, manis. Anak itu begitu pucat dan ketakutan
ketika sadar bahwa rahasianya telah terbongkar.
"Nggak sulit, tadinya cuma menebak aja. Saya
melihat ada tiga petunjuk. Pamflet itu
menunjukkan kelincahan, emosi, dan kemampuan
berbahasa Inggris si penulis. Tak banyak yang
memiliki tiga kelebihan seperti itu. Maka saya
pergi ke kantor administrasi sekolah. Melihat
semua data anak kelas satu. Kamu mungkin ingat,
ketika baru masuk sekolah setiap siswa
diharuskan menyerahkan biografi singkat beserta
prestasi yang pernah diraih, untuk memudahkan
penyaluran pelajaran ekstrakurikuler. Iya, kan?
Dan di situ saya membaca namamu. Rina.
Prestasi: juara mengarang berbahasa Inggris yang
diadakan oleh UNICEF. Nah, klop sudah. Hanya
kamu yang memenuhi tiga petunjuk itu. Ditambah
lagi alamat rumahmu dekat dengan sekolah. Itu
memudahkan kamu untuk menempel pamflet di
malam hari. Dan sekaligus memudahkan saya
mencari rumahmu.
"Ngomong-ngomong, jago juga Inggris-mu.
Belajar di mana? Pernah ke luar negeri, ya?"
tanya Lupus panjang lebar.
Rina tak menjawab. Dia masih tampak ketakutan.
"Tap... tapi, Kak, saya tidak... eh, maksud saya,
saya cuma melampiaskan rasa kesal saya. Saya
benci sekali acara mapras-maprasan seperti itu."
"Kenapa?"
Dia tak segera menjawab. Seperti menimbang-
nimbang dulu. Lupus tetap menunggu.
"Karena Kakak saya. Dia cedera waktu ikut
Mapras di universitasnya. Ketika itu dia disuruh
membawa balon gas yang banyak ke atas gedung
untuk dilepaskan. Tiba-tiba ada seorang panitia
yang merokok. Apinya mengenai balon tersebut.
Seketika meledak. Wajah kakak saya terbakar.
Terpaksa dirawat di rumah sakit. Siapa yang
menanggung risiko kalau begini?"
Lupus tercekat. Dia melihat mata Rina berair.
Dia sendiri sebetulnya kurang suka pada acara
tersebut. Apalagi kalau mendengar cerita-cerita
orang lain yang tampak sadis. Pantas saja Rina
begitu menentang mapras di SMA Merah Putih.
"Tapi kamu lupa, Rin, itu kan di universitas. Dan
kini juga mulai dilarang kalau sampai keterlaluan.
Itu juga bukan disengaja. Nah, untuk SMA kita,
nggak terlalu berat kok. Paling membersihkan
halaman, kelas, dan-yeah, dibentak-bentak sedikit.
Kamu tau, Rin, masa-masa perkenalan sekolah itu
adalah masa yang paling berkesan buat kita,
sebagai remaja. Saat kita merasa senasib, nggak
beda kaya atau miskin. Sama-sama dicabut
haknya. Pokoknya berkesan deh, meski kalau
disuruh mengulangi... wah. Amit-amit. Ogah.
Saya juga tadinya benci sekali. Tapi pas malam terakhir,
di mana kita semua bikin acara ke luar
kota, wah- rasanya terharu sekali. Rugi deh, kalau
nggak pernah ngerasain."
Dan beberapa hari kemudian, Mapras itu sendiri
tetap dilaksanakan. Kep-sek berbaik hati
menurunkan izin resminya, sehingga anak-anak
kelas satu mau nggak mau harus ikut. Tentu saja
Lupus tetap merahasiakan identitas Rina,
sehingga ketika Mapras itu berlangsung, para
panitia sudah melupakan selebaran tersebut.
Lupus kini sedang sibuk mencari-cari Rina di
antara para siswa baru yang dikuncir lima
rambutnya. Maksudnya, siswa cewek, gitu. Semua
siswa baru itu sedang mendapat tugas meminta
tanda tangan para senior sebanyak-banyaknya.
Tentu saja para senior jadi serasa bintang film
ngetop, dikejar-kejar untuk dimintai tanda tangan.
Hm, Rina bener juga. Anak-anak senior memang
lagi pada norak. Apalagi Boim. Dengan
kampungannya dia menyuruh setiap siswa baru
merayunya untuk mendapatkan satu tanda tangan.
"Lupuuuus..." panggilan nyaring di kejauhan
mengagetkannya. Lupus menoleh, eh... itu dia si
Rina. Berlari-lari kecil ke arahnya sambil tertawa
senang.
"Trims ya, kamu nggak ngadu soal selebaran itu.
Bayangin aja kalau para senior tau. Wah, saya
bakalan dikerjain. O ya, minta tanda tangannya
dong, Kak Lupus."
Lupus tersenyum sambil memberikan sepuluh
tanda tangan di buku Rina.
Dan ketika Mapras berakhir, semua siswa baru
berkumpul membentuk lingkaran api unggun.
Udara malam dingin menggigit. Tapi kehangatan
menyelimuti masing-masing siswa. Irvan, tampak
lengket dengan salah satu siswa baru. Boim juga
begitu. Apalagi Andang. Wih, mesra. Maka nggak
salah kalau Lupus pun berdiri berdekatan dengan
Rina.
Semua menyanyikan lagu Auld Lang Syne.
Tapi sebetulnya lagu itu lebih pantas Lupus
nyanyikan untuk Poppi, bukan untuk Rina. Dan
kayaknya sekarang sudah jelas, apa arti Mapras
bagi mereka semua. Ya, apa lagi sih kalo bukan
cari jodoh. He he he....
6. Permen. Karet
PERNAH sakit gigi?
Kalau mau tau rasanya, tanya aja sama Lupus.
Sekarang ini dia lagi uring-uringan banget nggak
bisa tidur gara-gara sakit gigi. Rasanya,
ngujubileh! Senut-senut kayak disetrum listrik
ribuan watt. Kalau disuruh milih, Lupus lebih mau
sakit hati daripada sakit gigi. Kalau sakit hati kan
setidak-tidaknya bisa cuwek. Nggak usah
dipikirin, walau hatinya dongkol. Tapi kalau sakit
gigi? Gimana bisa cuwek? Tidur aja nggak bisa.
Padahal segala macam obat sudah dicoba. Dari
ramuan tradisional macam minum air garam,
menetesi gigi dengan getah daun kemboja, sampai
minum antibiotika, tetap aja terasa sakit.
Dasar penyakit nggak tau diri. Padahal kan ini sda
leat jam dua belas malam. Waktunya orang lain
tertidur nyenyak. Mbok ya ditunda dulu
dilanjutkan besok pagi. Kasihan kan si Lupus
nggak bisa tidur. Mana besok pagi ada ulangan
lagi.
Tapi Lupus memang bandel juga sih. Kebanyakan
makan permen karet atau makanan yang manis-
manis lainnya. Makanya nggak heran kalau
giginya jelek banget. Pada bolong-bolong. (Tapi
nggak kuning, lho. Dia cukup rajin gosok gigi
kok. Sehari tiga kali.)
Sebetulnya tadi siang, waktu Lupus mengeluh
terus karena sakit gigi, ibunya sudah menyuruh ke
dokter gigi. Tapi Lupus ogah. Dia paling alergi
pergi ke dokter. Ngeri ngeliat alat kedokteran yang
tajem-tajem. "Serasa menyerahkan diri
untuk dibantai!" tolaknya.
Dan akibatnya sekarang? Semaleman dipaksa
begadang. Rasanya pingin banget dia teriak keras-
keras. Habis keki, kok yang lain bisa-bisanya
tertidur lelap. Apalagi si Lulu, adiknya.
Ngoroknya terdengar saingan dengan suara
kodok-kodok di luar. Sinkron banget. Seolah
ngeledek Lupus. Hampir-hampir aja Lupus punya
niat jahat membunyikan weker antiknya yang bisa
ngebangunin orang sekelurahan. Biar pada ikutan
bangun.
Besoknya, Lupus belum mau ke dokter. Dia masih
berharap rasa sakitnya akan hilang sendiri.
"Kan sesuatu itu nggak ada yang abadi...,"
kilahnya. Tapi sampai sepulang sekolah, penyakit
itu masih betah mengidap di giginya yang kecil -
kecil.
"Mungkin kamu jarang sikat gigi...,” cetus Boim
kala mereka barengan pulang sekolah.
"Enak aja nuduh! Kamu barangkali yang kayak
gitu...!" sahut Lupus kesal.
Di rumah, Lulu juga berbaik hati menghiburnya.
Coba-coba cerita yang lucu-lucu. Tapi Lupus
nggak ketawa sedikit pun.
"Jangan coba-coba ngelucu ya, di kala orang lain
kesusahan! Nggak bakalan sukses!" bentak Lupus
sewot.
"Siapa bilang? Kamu aja yang nggak punya sense
of humor yang tinggi. Khadafi aja waktu
negaranya dibom Amerika sempet- ngelawak
juga. Nggak kayak kamu, baru sakit segitu aja
bingungnya kayak orang kebakaran jenggot...."
Lupus mengernyitkan alisnya. "Kok kamu tau?
Baca di mana?"
"Iya. Waktu itu dia langsung ngirim surat sama
Reagan. Isinya singkat, 'Ngebom ni ye...' "
Lupus jadi setengah mati menahan senyum.
Tapi malamnya dia benar-benar kapok. Dan
bersumpah akan ke dokter gigi besok pagi.
Whatever will be, will be. Mau dicabut kek, dibor
ek, atau. skadar dikritik, '0, Lupus, betapa
Jeleknya gigimu....' Terserah!
Dan besoknya, pagi-pagi, dia sudah nongkrong di
rumah sakit. Di poliklinik gigi. Menunggu dengan
pasrah sampai seorang suster memanggil namanya
dan menyuruh masuk.
"Silakan lho, jangan malu-malu...," kata suster itu
genit.
Lupus mencibir sewot.
Dan di dalam, dia diinterogasi dengan pertanyaan-
pertanyaan norak. Seperti, 'Sering sikat gigi?';
'Punya sikat gigi berapa di rumah?'; 'Odolnya
pake merek apa?', Apa suka gosok gigi pake batu
bata?'; and so on.
Sampai akhirnya, "Oke deh, saya periksa gigi
kamu. Silakan duduk di kursi periksa itu."
Lupus nurut. Dan sempat bergidik melihat alat-
alat pembantai yang berjejer di hadapannya.
Sementara dokter cewek itu memakai penutup
hidung (itu lho, kayak orang mau dioperasi), dan
menyiapkan alat-alat pemeriksa dibantu oleh
suster. Lupus jadi rada tersinggung. Dikata
mulutnya bau banget apa, sampe perlu pakai tutup
hidung segala.
Dokter itu lalu menyuruh Lupus membuka mulut
lebar-lebar.
"Ck, ck, ck..., giginya jelek amat? Kamu pasti
suka makan makanan yang manis-manis, ya?"
Lupus sudah mengira bakalan dikritik begitu.
Makanya dia tabah.
"Ya, Dokter. Saya suka sekali makan permen
karet, coklat."
"Kayak anak kecil aja. Makanya giginya pada
bolong-bolong begini. Kenapa sih kamu suka
yang manis-manis ?"
"Kan biar tambah manis.... "
Dokter itu ketawa ngakak.
"Oke deh. Sekarang siap-siap aja. Giginya mau
saya tambal. Soalnya kalau terasa sakit, nggak
boleh dicabut. Lagian, selama masih bisa
diselamatkan nggak usah dicabut dulu. Jadi tahan
aja. Nggak sakit kok. Paling cuma ngilu sedikit.
Siap?"
Lupus langsung menutup matanya rapat-rapat.
***
Siang itu Lupus lagi tertidur dengan nyenyaknya,
ketika Lulu membangunkan.
"Bangun, Pus, itu ada temen kamu di depan."
"Aaaah, siapa sih? Tamu kok nggak tau waktu. Ini
kan saatnya tidur siang.... Suruh pulang aja deh.
Saya ngantuk banget...," keluh Lupus malas.
Dia memang sudah dua hari ini kurang tidur.
Sekarang giliran bisa tidur, dibangunin.
"Apa-apaan sih kamu? Kayak artis aja."
"Tapi salahnya sendiri datang pada Jam tidur.... "
"Jam tidur? Sekarang sudah setengah lima, tau!
Udah sore. Sana cepet temuin. Kasian kan datang
dari jauh. Cewek lagi...."
"Hah? Cewek?" Lupus langsung melompat turun.
"Kok nggak bilang dari tadi? Kece nggak?"
"Liat aja sendiri. Ogut mau mandi."
Lupus langsung nyerobot ke kamar mandi. Cuci
muka dulu dan sikat gigi bersih-bersih. Lalu -
berjalan ke depan.
"Eh, kamu. Kok tumben datang?" sapa Lupus
begitu melihat Rina duduk termalu-malu di teras
rumah.
"Iya. Eng... saya abis dari rumah sodara di ujung
gang sana. Kebetulan lewat sini. Jadi ya mampir
aja. Saya juga nggak bisa lama, kok. Ditungguin
Mama. Saya cuma mau ngasih bingkisan ini. Buat
kamu. Mau, kan?"
"Buat saya?" Lupus terheran-heran menerima
bungkusan itu.
"Iya. Y uk deh, saya pulang dulu...."
"Eh, tunggu. Eng, kok cepet-cepet banget?"
"Abis ditungguin. sih. Sampe ketemu deh di
sekolah. Yuk!"
"O... iya deh. Makasih banyak, ya?"
Rina tersenyum malu, lalu gadis kecil itu berlari
ke arah mobil yang berhenti di depan. Sesaat
sebelum pergi, dia melambaikan tangannya.
Lupus membalas dengan senyumnya yang lebar.
Mimpi apa ya dia?
Lupus segera membuka bingkisannya. Ada
secarik kertas yang jatuh. Berwarna biru muda.
Warna favorit Lupus. Lupus segera
memungutnya, dan membaca.
"Buat Kak Lupus,
Kebetulan tadi saya jalan-jalan di pasar
swalayan, dan saya melihat sekotak permen karet
dalam kemasan yang manis terpampang di sana.
Saya jadi ingat kamu. Kamu yang suka mengulum
permen karet kalau pulang sekolah. Makanya,
saya ingin sekali membelikannya untuk kamu.
Supaya kamu senang.
Sekarang permen karet itu sudah berada di
tanganmu. Untuk sekadar nyenengin saya, mau
kan kamu memakannya? Sampai abis juga boleh.
Nanti saya kasih lagi deh.
Salam manis,
Rina. "
Lupus nggak tau harus ngomong apa. Mau senang
atau, malah sebel. Senangnya karena dia memang
naksir si Rina waktu Mapras kemarin itu.
Sebelnya, ya... kamu kan tau sendiri, saat ini dia
baru sembuh dari sakit gigi. Masak disuruh makan
permen karet? Satu kotak, lagi.
Tapi siapa sih yang bisa mengukur kekuatan
cinta? Apalagi cinta yang baru saja tumbuh. Maka
tanpa berpikir panjang, sore itu dia asyik
mengulum permen karet lagi. Demi menebus
dosa, karena dia telah keduluan Rina dalam
menyatakan perasaannya. Dan juga supaya Rina
nggak kecewa. Dia sama sekali nggak peduli
sama nasihat dokter untuk tidak memakan permen
karet lagi.
Dan malamnya, sekali lagi Lupus nggak bisa
tidur. Giginya kumat lagi. Senut-senut kayak
kesetrum. Tapi Lupus nggak sedih lagi. Sebab kali
ini, meski nggak bisa tidur, ada yang bisa
dipikirin.
Dan kadang, sakit gigi itu enak juga lho....
7. Ketika Hujan Turun Lagi
CUACA di luar gelap. Angin bertiup kencang. Ini
menandakan sudah tiba musim hujan. Karena di
luar memang sedang turun hujan (nenek-nenek
juga tau!). Dan air menggenang di mana-mana. Di
lapangan olahraga, di dekat perpustakaan, dan
yang paling gila-gilaan di bak WC sekolah. Di
sana penuh sekali.
Juga di jalanan kecil menuju jalan besar. Air got
sudah melimpah ke jalanan. Banjir. Padahal hujan
turun belum lama. Dan tadi pagi, waktu Lupus
berangkat sekolah, cuaca belum nampak
mendung. Masih cerah. Tapi kini, air menggenang
di mana-mana.
Betapa suburnya alam Indonesia.
Tapi Lupus tidak bersyukur. Karena dia terpaksa
harus menanti hujan reda, untuk dapat pulang
tanpa kehujanan. Bikin kesel aja. Tapi apa boleh
buat? Terpaksa dia dengan sabarnya bersandar di
dinding sekolah. Sambil mengulum permen karet
yang rasanya udah ngujubileh pait.
Habis bayangin aja, sudah satu jam lebih dia
mengulum, belum dibuang-buang juga. Soalnya
dia memang lagi krisis ekonomi. Duitnya kini
cuma cukup untuk ongkos pulang. Mana perut
lapar, lagi.
Sementara teman-temannya yang lain ada yang
masih asyik di kantin. Makan bakso hangat sambil
menunggu hujan reda. Ada juga yang masih asyik
di kelas. Sibuk dengan pe-er yang ditugaskan buat
besok. Tapi tak banyak. Kebanyakan dari anak-
anak SMA Merah Putih sudah pada pulang.
Dijemput atau pakai kendaraan yang biasa mereka
bawa. Ada juga yang nekat hujan-hujanan.
Lupus tidak termasuk yang mana-mana. Tidak
juga yang nekat melawan hujan. Bukannya takut
sakit, tetapi dia sedang membawa pulang tugas
gambar yang akan dikumpulkan besok. Kalau
sampai basah kan nggak lucu juga. Soalnya tadi
aja dia mati-matian ngerjainnya. Memproyeksikan
berbagai bentuk bidang, kayak arsitektur
amatiran. Makanya Lupus nggak mau gambarnya
basah. "Halo, Pus, nggak pulang?" tiba-tiba si Boim
hadir di depannya. Lupus menggeleng.
"Kenapa? Takut kehujanan? Hu... sama aer aja
takut. Kalau mau jadi seorang yang penuh
kharisma kayak saya ini, hal-hal sepele begini tak
akan menjadi halangan. Apa kamu takut kalau
kehujanan nanti rambut kamu jadi basah? Nggak
bisa nge-duran-duran kayak gitu lagi? Itulah,
kalau ketampanan yang kauperoleh bukan
ketampanan alami kayak saya. Biar kebasahan,
rambut kucluk begini, tetap aja kece. Iya nggak?
Lihat, saya berani menentang badai sekalipun!"
sahut Boim sambil dengan mantap berjalan ke
arah hujan.
".:..Dan kau tau, Pus," tambah Boim lagi, “Boim -
sebagai playboy paling top sejagat - tau betul
bagaimana cara menarik perhatian cewek. kamu
lihat Svida yang berteduh dekat warung nasi di
sana itu? Nah, ini saat yang tepat untuk
mengalahkan hatinya yang sekeras karang. Sebab
sebenarnya di dalam tasku ada payung. Nah,
kamu nggak nyangka, kan? Tapi, biarlah saya
tidak pakai payung itu. Saya akan khusus
membawakan untuk Svida. Dia pasti terharu
sekali melihat pengorbanan saya. Basah-basahan
demi membela dia supaya enggak kehujanan.
"Dan kamu tau, Pus," kali ini bicaranya jadi
mendadak pelan, Sambil mendekatkan
moncongnya ke telinga Lupus. Buset baunya!
Dipandangnya Lupus lekat-lekat. "Seorang cewek
biasanya berprinsip lebih baik pacaran dengan
cowok yang mencintainya, walau ia sendiri
sebenarnya tidak mencintai cowok itu. Dan
cowok, lebih baik mencintai cewek yang ia cintai,
kalau cewek itu tidak mencintainya. Nah, prinsip
itu yang saya terapkan saat ini. Sebagai konsep
ke-playboy-an saya. That's true. That's love!
Kamu setuju pada pendapat itu?"
"Setuju,” sahut Lupus mantap. "Saya juga lebih
baik pacaran dengan cewek yang saya cintai,
walau cewek itu mencintai saya mati-matian!"
Boim manggut-manggut. Lalu dengan langkah
bak panglima perang, dia berjalan menerjang
hujan, menuju sang ratu Svida berteduh.
Meninggalkan Lupus yang bersandar sendirian
lagi. Dan dia sempat menangkap bayangan yang
menatapnya lewat balik kaca Corona biru tua
yang perlahan lewat di depannya. Poppi. Lupus
segera tersenyum lucu. Tapi eks ceweknya itu
segera membuang muka. Ya, nasib! Lupus pun
langsung membuang pandangan pada anak-anak
kecil yang asyik bermain bola di lapangan becek
di luar pekarangan sekolah.
Semen tara hujan kian deras.
"H'ai, Lupus! Tak adakah keinginan di hatimu
untuk meninggalkan tempat yang menjemukan
ini?" tiba-tiba terdengar suara cempreng dari
sampingnya. Lupus kaget setengah mati. Tapi
tanpa menoleh pun, dia tau siapa kali ini yang
datang. Siapa lagi kalau bukan Gusur, seniman
kesasar anak bahasa itu ? Yang kalo ngomong
selalu sok nyastra. Biar dikata kayak Rendra. Ya,
dia memang rendramania sekali. Ke mana-mana
selalu bawa tas koper yang isinya penuh puisi-
puisi ciptaannya yang katanya akan laku
dipublikasikan sekian abad kemudian. "Soalnya
puisi-puisi saya adalah puisi yang jauh melangkah
ke depan. Yang baru bisa dinikmati oleh orang-
orang masa depan," kilahnya suatu ketika, tetap
membawa koper.
Teman-temannya banyak yang bilang dia itu
seniman gagal. T api nggak juga tuh. Dia ternyata
cukup sukses juga. Buktinya setiap ada perayaan
hari besar, dia selalu dipanggil tampil ke depan
untuk membacakan puisi karyaI1ya. Kalau sudah
begitu, kardus-kardus bekas teh botol dan
pembungkus makanan pada berseliweran di udara.
Menyemarakkan suasana. Tinggal Gusurnya yang
sibuk tunggang-langgang ke balik panggung.
Berlagak mau ke wc.
Yang lucu lagi, dia tuh orangnya suka sok akrab.
Kalau lagi jalan (biasanya suka terbungkuk-
bungkuk dan terbatuk-batuk), dia dengan sok akrabnya
menyapa setiap orang yang dia jumpai.
Menurutnya, setiap orang yang dijumpai adalah
para penggemarnya. Perutnya juga rada gendut
(katanya biar lebih mirip Rendra), kadang
menyebabkan ritsluiting celananya sulit tertutup
rapi. Sehingga nggak jarang udelnya piknik ke
mana-mana.
Di rumahnya dia juga jarang pake baju. Sering
ber-tarsan-ria. 'Biar dibilang seksi, ya? Dan kini,
makhluk ajaib ini sudah berada di sampingnya.
"Hayolah, Pus, berlalu. Kupikir badai prahara ini
kan lama menyelimuti!" bujuknya lagi. Tapi
Lupus diam saja. Cuwek malah. Dan Gusur makin
gigih.
"Lihatlah halimun hitam di sana," katanya lagi
dengan gaya bak Gatotkaca hendak terbang. "Ia
akan datang lagi dengan selaksa ancamannya!"
Lupus makin cuwek. Dia berlagak buang muka.
Berlagak asyik memandangi anak-anak yang
bermain bola. Tapi matanya tetap mengerling.
Dan seniman ini terus ngocol. Tetap nyastra.
"Wahai, Lupus, ketahuilah, jarum-jarum hujan
yang jatuh adalah irama alam semesta. Ia
mengajakmu berdansa." (Waktu ngomong begini,
si Gusur turun berputar-putar seperti orang balet.
Bisa dibayangin sendiri deh, gimana orang yang
bulat begitu ber-balet-ria. Lupus setengah mati
menahan senyum. "Maka, mari kita berlalu. Basah
tak jadi apa. Daripada di sini sendiri disiksa
berjuta derita. Dingin, resah, dan di dalam
perutmu cacing-cacing protes menuntut haknya
(lapar, maksudnya!)."
Lupus jadi mendelik sewot. Dikata cacingan apa?
Saat mendelik itu dia baru sadar bahwa makhluk
yang membujuk Lupus untuk pulang aja meski
hujan, nampak begitu aneh. Pakaiannya itu lho -
lengkap banget. Jas anti aer, lengkap dengan
payung kecil yang sekaligus topi. Itu lho, yang
biasa dipakai pedagang kaki lima kalau lagi
kepanasan. Yang ada head-bandnya ala Bjorn
Borg dan dipakai di kepala. (Tau, kan? Kalau
nggak tau berarti kamu lebih norak dari si Gusur.)
Udah gitu, payungnya warna full-color lagi.
Merah, kuning, ijo, biru, pink. Warna-warna yang
menyolok.
Wah, kentara sekali noraknya. Wong sekolah kok
sempat-sempatnya bawa payung kayak gitu., Biar
top kali! Tapi barangkali aja sebagai seniman, dia
punya indra keenam. Punya inner feeling. Lha
buktinya, kok tau-taunya sih bakal turun hujan.
Pake siap bawa payung topi segala ke sekolah.
Selanjutnya, karena bujukannya terhadap Lupus
nggak digubris sedikit pun, lama-lama dia sebel
sendiri. Dengan judes, dia membuang muka,
menghindar delikan sewot dari Lupus. Lalu
akhirnya pulang sendirian. Wah, lagaknya. Pake
ngingsot segala. Padahal di depan banjir sudah
mulai meninggi. Semata kaki. Tapi sebelum
makhluk itu berlalu, sempet juga ia berkicau.
Masih tetap nyastra. "Tak kumengerti, apa yang
membuatmu terpaku di situ. Atau kau takut?
Ketahuilah, ketakutan adalah belenggu diri yang
menyesatkan. Karena itu, Pus, bukan salahku
andai dikau kutinggalkan. Kita berdiri di dunia
kita masing-masing. Kau pengecut, aku berani.
Selamat tinggal, Lupus, hujan telah memanggilku
dengan iramanya yang sangat merdu. O, rinai
hujan, 'ku rindu lumat dalam dekapmu!" ujarnya.
Kemudian dia sendiri semakin jauh. Berjalan
tanpa kerepotan meski kostum yang dikenakan
nampak complicated sekali. Tingkahnya seperti
biasa. Terbungkuk-bungkuk. Sementara bibirnya
tetap monyong. Habis sial-siul terus sih.
Kini Lupus sendiri lagi. Makin segen pulang
walau hujan mulai sedikit mereda. Perutnya
semakin melilit dengan dingin yang menggigit.
"Hai, Lupus, belum pulang?" Kali ini ada suara
lembut menyapa. Lupus menoleh. N ah, ini! Ini
baru teman yang menyenangkan, batin Lupus
ketika melihat Anggi yang datang. "Belum, Gi.
Abis hujan terus. Kamu dari mana?"
"Dari kantin. Tapi di sana berisik banget. Nggak
betah. Mendingan pulang aja. Tapi masih hujan,
ya? Padahal nanti so're saya mau latihan gitar!"
Beberapa saat kemudian, mereka pun terlibat pada
percakapan yang mengasyikkan. Sambil menanti
hujan reda. Deket cewek cakep begini, laparnya
jadi hilang.
Tiba-tiba sebuah charade putih berhenti tepat di
depan mereka berdua. Dari balik jendela, muncul
wajah Tejo, anak kelas tiga. Dia tersenyum manis
kepada Anggi.
"Mau pulang? Ayo saya anterin. Daripada
kedinginan di situ."
Anggi kelihatan ragu. Dia menatap Lupus, seperti
minta pertimbangan.
"Ayo, tunggu apa lagi? Mau tunggu hujan
berhenti? Wah, sampe besok subuh juga nggak
bakalan berhenti-berhenti."
Lupus berbisik pelan, "Jangan mau ikut anak
kelas tiga itu, Gi. Nanti kamu diculik, lho!"
Tapi Tejo terus memaksa. Akhirnya Anggi nurut.
"Tapi ajak teman saya ini juga, ya?" pinta Anggi.
Tejo melirik dikit pada Lupus. Lirikan tak
bersahabat. "Ya, bolehlah.... Dia turun di mana?"
"Eh-enggak usah. Makasih aja deh. Saya bisa
pulang sendiri, kok!" sahin Lupus cepat-cepat.
Anggi pun naik, setelah ber-auld Lang syne sama
Lupus. Sedang Tejo tak mengatakan apa-apa.
Langsung duduk di charade-nya dan tancap gas.
Meninggalkan cipratan air di muka Lupus.
"Dodol!!!" teriak Lupus keki. Udah nyulik teman
dengan paksa, nggak tau diri, lagi!
***
Hati Lupus masih dongkol ketika bis Grogol yang
ditumpanginya berjalan perlahan, karena jalanan
di situ banjir. Lalu lintas macet total. Mobil-mobil
yang nggak waterproof udah mogok berat.
Walhasil para pengendaranya terpaksa kemping di
jalanan. Nggak bisa pulang. Lupus rada bersyukur
juga karena bis yang ditumpanginya masih bisa
jalan terus, meski pelan banget.
Lupus memandang ke luar. Tiba-tiba dia melihat
charade putihnya Tejo sedang terbenam air. Tak
bisa bergerak sedikit pun. Di dalamnya, Tejo lagi
sibuk ngerayu Anggi yang ngambek, karena
pulangnya malah jadi terlambat. Anggi dengan
kesal turun, dan berlari ke arah bis yang
ditumpangi Lupus. Meninggalkan Tejo yang
masih kebingungan dengan mobilnya.
Lupus jadi ngakak. Apalagi ketika melihat sepatu
dan baju Anggi jadi basah kuyup ketika naik ke
bis Lupus. Sebab hujan yang tadi agak reda, kini
turun lagi.
"Wah, kamu kok basah-basahan begini, Gi? Nanti
sakit, lho!" goda Lupus ketika Anggi berdiri di
dekatnya.
"Jangan ngeledek!" Anggi cemberut.
Sementara di luar hujan masih turun. Dan di
tengah jalan: Lupus sempat melihat Gusur, si
seniman itu, basah kuyup karena kejebur got. Lha
iya, abis kalo banjir got-gotnya kan jadi nggak
kelihatan. Dan kamu tau, seniman ini memang
paling grasa-grusu kalo jalan. Pokoknya asal
tancap gas aja. Dan akhirnya ia dimakan
keyakinannya sendiri.
Lupus nggak bisa menahan ketawa lagi. Dia
ngakak keras sekali. Sampai orang-orang sebis
memandang curiga padanya. Tapi Lupus tak
peduli.
8. Pergi Berenang SETIAP hari Jumat, SMA Merah Putih, tempat
Lupus yang kesohor itu (he he he, katanya lho!)
sekolah, mengadakan kegiatan renang. Praktis
hari itu menjadi hari yang istimewa buat mereka.
Bayangkan saja, gimana nggak asyik kalau pada
saat itu semua siswa, dari berbagai kelas yang se-
lifting sama Lupus, bisa saling bertemu. Berenang
sama-sama, bermain kejar-kejaran di air. Dan Pak
Kurdi, guru olahraga mereka yang kalau ngajar
lagaknya kayak Triman Srimulat, menjadi pelatih
mereka. Eh, beneran lho, kalau dia lagi kebetulan
ngajar teori olahraga di kelas, tangan sebelahnya
selalu berkacak pinggang, sementara kepalanya
suka goyang-goyang ke kanan ke kiri. Lucu
sekali, kayak boneka India. Mungkin dia emang
nggak bakat ngajar. Bisanya cuma senam pagi
doang di lapangan. Sehingga kalau lagi
membelakangi murid, Lupus dan beberapa teman-
temannya suka iseng ikut menggoyang-
goyangkan kepalanya ngikutin dia. Tapi dianya
cuwek aia, nggak pernah marah. Atau emang
nggak tau? Entahlah, yang pasti dia tuh kayaknya
orangnya happy terus. Nggak pernah sedih.
Dan biasanya tiap selesai sholat Jumat di sekolah,
anak-anak tidak langsung pulang. Melainkan
makan di kantin, mengobrol, sambil menunggu
berangkat ke kolam renang. Lupus beserta
beberapa rekannya sudah punya rencana dengan
Gusur, anak bahasa yang sableng itu. Mau main
polo air. Tapi dari tadi ditunggu-tunggu Gusurnya
belum dateng juga. Padahal bis sekolah yang
membawa mereka ke kolam renang sudah ready
to go. Wah, menyebalkan sekali.
"Ke mana seniman sableng itu!" maki Andang
kesal. "Janjinya kan mau ngumpul di sini!"
"Wah, dia nggak tau kali kalau menunggu itu
adalah pekerjaan yang paling menyebalkan. Kalau
bukan dia yang pegang bolanya, sebodo amat!
Kita tinggalin aja!" lanjut Boim.
Yang lain cuma mengangguk-angguk. Dan mau
tak mau mereka terpaksa harus menyamper ke
rumah Gusur, yang kebetulan memang tak jauh
dari sekolah. Lupus yang lagi segen jalan
(maunya naik kapal terbang 'kali!), jelas memaki-
maki, Si Gusur dari dulu memang kepingin jadi
orang penting. Tapi caranya itu yang selalu salah!
Di panas terik memari, mereka pun bersama-sama
jalan sehat ke rumah Gusur. Dan setibanya di
rumah Gusur, anak-anak menemui kesebalan yang
sempurna. Seperti' biasa, seniman ini cuma
bercawat doang kalo di rumah. Tak peduli ada
tamu atau tidak. Yang punya pikiran ngeres, kali
udah ngebayangin yang enggak-enggak aja. Tapi
sebetulnya seniman ini lagi sakral. Umung aja dia
itu cowok. Kalo .cewek barangkali udah hamil
melulu... (hus!). Sementara perutnya yang rada
gendut itu dipertontonkan ke mana-mana. Buset,
kayak tari perut aja. Anak-anak jadi sebel.
"Halo, teman-teman sejawat, angin apa rupanya
yang membawa kalian begitu kompak datang ke
padepokanku?" sapanya tanpa dosa sambil
memegang secarik kertas di tangan kirinya.
Rambutnya yang mulai gondrong, tumbuh gila-
gilaan di kepala, di atas bibir, dagu, ketiak dan...
di bagian yang kayaknya rada kurang sopan
disebutkan di sini. (Kalau tetap penasaran kirim
surat aja ke saya, nanti saya kasih tau!)
Pertanyaan sok polos itu tentu membuat Lupus
makin mangkel. Kontan aja Lupus nyap-nyap.
Memaki Gusur yang tidak menepati janji datang
ke sekolah. Tapi jawaban Gusur cukup membuat
Lupus dan teman-temannya melongo.
"Daku memang pernah merasa meletakkan janji
pada kalian, namun lihatlah, sejenak lagi sajak
masterpiece-ku bakal lahir. Dan itu lebih penting
dari segalanya. Maka persetan dengan janji-janji
yang pernah kulontarkan kepada kalian!"
Duile, kekinya anak-anak nggak ketulungan lagi!
Udah capek-capek nyamperin, ternyata yang
disamper cuwek-cuwek aja. Malah sekarang
tangannya diacungkm ke atas dengan kertas yang
melambai-lambai, sementara wajahnya dibuang ke
belakang. Mirip Rendra lagi baca puisi.
Lupus yang keki jadi penasaran merebut kertas yang
dipegang Gusur. Bujubune, isinya sebuah puisi
yang berjudul, Wanita adalah Dusta!
Konon makhluk yang satu ini memang rada
dingin terhadap cewek. Sok frigid, gitu! Di
sekolah umpamanya, teman-teman yang lain udah
pada pacaran, eh dia sih masih tetap sendiri.
Kayak lagunya Dian Piesesha. Dia pernah bilang,
perempuan di matanya hanya menduduki
peringkat kesekian setelah sajak dan sebagainya.
Yeah, maklumlah, dia memang seniman. Tapi
Lupus tau banget, kalau Gusur ini belum pacaran,
bukan berarti dia nggak kepingin. Lha
masalahnya, mana ada cewek yang betah sama
dia? Yang kalau nerima tamu, nggak peduli
cewek atau cowok, cuma bercawat, yang kalau
ngomong sablengnya minta ampun, semen tara
jenggotnya yang aduhai, itu lebih mirip jenggot
bandot ketimbang... Oma Irama. Lagian
pengetahuan umumnya paling sekitar sajak-sajak
dan nama-nama penyair doang, sementara cewek
satu sekolahnya kan lebih suka ngomongin artis,
grup band barat, dan segala yang berbau modern.
Jelas nggak nyambung dong!
"Kamu jangan norak dong, Sur! Di sana kan kita
bisa main sama anak-anak, ngeceng cewek-cewek
yang lagi berenang. Bodinya itu lho, kan pada
asyik-asyik!" cetus Boim.
"Wanita? Huh-sudah kubilang, wanita itu adalah
belenggu kreativitas. Dan sajak-sajakku bukan
konsumsi cinta kasih murahan, tetapi sajak yang
melenting jauh ke masa depan. Jadi buat apa? Ya
nggak cocok jika kehidupan kepenyairanku saat
ini dimasuki oleh makhluk berjenis wanita!"
katanya tetap sombong. Dan itu jelas bo-ong.
Sebab Lupus yakin, kalau aja ada cewek yang
nekat mau sama dia, kontan diterima. Gimana
enggak? Kalau lagi tidur dia suka ngigo kepingin
punya cewek. Nah Lo, nggak bisa mungkir lagi
dia.
Kadang orang yang suka ngigo macam Gusur itu
kan enggak bisa menyembunyikan rahasianya.
Dan di kamarnya kalau mau tau, banyak ditempeli
foto-foto cewek kece teman-temannya. Lupus
pernah masuk ke kamarnya dan memergoki. Dan
kalau sudah begitu dia suka bilang sendiri, cewek
adalah sumber inspirasi.
Tapi kini, kala teman-temannya menjemputnya,
dia menunjukkan sikap jual mahalnya kepada
wanita. Berlagak nggak mau ikut. Sok cuwek. Sok
antipati. Sok dingin. Tapi memang semua
temannya mengira sang seniman ini rada kurang
respek terhadap wanita. Menganggap lebih
mementingkan sajak-sajaknya daripada cewek.
Selama ini dia emang nggak pernah ikut renang
dengan alasan tersebut. Pendek kata, biar Brooke
Shield naksir dia, dia nggak bakalan bergeming.
Apa bener tuh?
"Sikap yang bikin orang penasaran itu memang
patut kamu pertahankan, Sur. Biar nggak berkesan
murahan. Agak tahan harga, gitu! Sebagai
seniman kamu memang harus punya sikap. Jangan
mudah terpengaruh!" kata Lupus setengah
meledek.
Gusur malah makin mengangguk-angguk.
"Tapi buat orang-orang yang diobral aja belum
tentu laku, buat apa pake tahan harga segala?"
lanjut Lupus, disertai wajah dongkol dari Gusur.
Tapi akhirnya dengan berat, Gusur pun ikutan
anak-anak ke kolam renang. Supaya tetap
mengesankan bahwa dia tak begitu berminat,
jalannya dibikin segontai mungkin. Duile....
***
Lupus sendiri, kalau enggak mengingat ancaman
guru olahraga, rasanya segen ikut-ikut berenang.
bukan apa-apa, badannya yang selembar itu sering
jadi bahan ledekan teman-temannya. Makanya dia
nggak berani lama-lama berada di atas kolam
renang. Begitu masuk, langsung jebur. Soalnya
pernah kejadian, lagi asyik-asyiknya berjemur di sisi
kolam renang (ceritanya biar kayak orang barat, gitu!),
ada ibu-ibu yang langsung aja
kepingin nyuci bajunya di dada Lupus. Dikira
papan cucian. Wah, Lupus dongkol setengah mati.
"Pus, kamu sih tinggal dikasih garam, lalu
dijemur, jadi deh ikan asin...." begitu anak-anak
suka ngatain. Sialan nggak tuh!
Tapi kali ini Lupus cukup cuwek. Begitu bis
memasuki pekarangan parkir kolam renang, anak-
anak mulai berhamburan turun. Berlomba-lomba
memasuki pintu masuk yang sempit. Lalu
langsung masuk ke ruang ganti baju dan penitipan
barang. Beberapa menit kemudian, mereka semua
sudah berada di kolam renang. Yang paling seru
sih ngeliatin perlengkapan renangnya si Gusur.
Buset tuh anak, tadi ngakunya segen berenang,
tapi ternyata kini bawa masker, sepatu katak, dan
alat-alat menyelam lainnya. Lengkap deh, kayak
penyelam-penyelam mutiara. Dan kerjaannya dari
tadi ya menyelam terus. Ngintipin bodi cewek
dari bawah air. Kayaknya semuanya itu memang
sudah dipersiapkan dan direncanakan dari rumah.
Sementara anak-anak yang lain mulai ramai
bermain polo air, kejar-kejaran. Tak seorang pun
yang mempedulikan Pak Kurdi yang sibuk teriak-
teriak melatih bagaimana cara renang yang baik.
Kayaknya semua teori yang diajarkan di kelas,
selalu tak pernah berfungsi buat mereka. Karena
setibanya di kolam renang, mereka semua punya
gaya berenang yang seragam. Gaya berenang di
kali. Yang penting bisa ngambang dan jalan.
Beberapa menit kemudian, Lupus mulai jenuh
bermain polo air. Dia langsung naik ke atas
kolam. Ceritanya mau latihan loncat indah. Maka
dengan gaya 'bak Tarsan kota, pakai teriak
'auoooo...' segala, dia langsung meloncat ke
kolam. Tapi entah karena salah perhitungan atau
memang nggak bakat renang, walhasil dadanya
duluan yang menampar permukaan air. Wih,
sakitnya! Tapi bukan Lupus namanya kalau begitu
mudah menyerah. Maka sekali lagi dia naik ke
tepian kolam. Tapi belum sempat melompat,
seseorang mendorongnya dari belakang. Begitu
cepat, sehingga Lupus kaget, dan tulang
keringnya terbentur keras di tepi kolam. Lupus
meringis kesakitan sambil terjatuh ke dalam kolam.
Dengan susah payah dia naik ke atas kolam, dan
memandang sekelilingnya. Siapa tadi yang begitu
nakal telah mendorongnya? Tapi tak seorang pun
yang patut dicurigai, karena masing-masing lagi
asyik sibuk dengan permainannya. Dengan
terpincang-pincang, Lupus pun mengambil
handuknya dan beristirahat di bangku kosong.
Sebentar kemudian, dia melihat Anto, anak
pendiam itu duduk di bangku atas sambil asyik
dengan kekerannya (atau istilah kerennya teleskop
binokular). Dia memang nggak pernah ikut
berenang. Katanya takut kena air. Kayak kambing
aja. Kebalikan dari Lupus. Lupus kalau melihat
air bawaannya kepingin berenang melulu.
Keturunan bebek kali.
Si Anto ini dari tadi kerjaannya memang
meneropong cewek-cewek yang lagi berenang.
Dari Jumat ke Jumat, saat anak -anak yang
lainnya pada asyik berenang, dia malah asyik
mengatur strategi untuk mengintip. Gila bener
anak itu! pikir Lupus. Makanya kalo orang
pendiem itu kadang memang patut dicurigai.
Apalagi yang sok frigid macam si Gusur. Pura-
pura dingin, pura-pura menolak, nggak taunya...
hehehehe, di kolam renang pada ketauan
belangnya. Mending kayak Lupus yang terus
terang begitu.
Lupus dengan terpincang-pincang segera
menghampiri bangku Anto.
"Eh, kamu lihat nggak Siapa yang tadi ngejorokin
saya ke kolam?" tanya Lupus agak penasaran.
"Jangan nuduh dong! Emangnya saya tau.”
"Duile, ditanya begitu aja." Lupus jadi keki.
Tapi keduanya mulai asyik bergantian
meneropong. Sampai akhirnya Anto punya usul bagus.
"Kita ke ruang ganti baju cewek yuk? Asyik lho,
bisa ngintip!"
"Idih! Kalo ketauan gimana?"
"Ah, enggak bakalan deh. Ayo. Mau nggak?"
Lupus nurut. Dan ternyata di sana udah ada Boim,
Gusur, Andy, dan Irvan. Buset, kalah cepat
rupanya. .
Tapi mereka semua belum berani masuk.
"Kamu aja, Pus, masuk duluan.. Kamu kan kurus,
bisa dengan aman bersembunyi di pilar-pilar
tanpa kelihatan. Cepetan!" Boim merayu.
Lupus yang dasarnya memang suka nekat, mau
aja disuruh. Dengan lagak bak teroris profesional,
dia menyusup masuk ke dalam kamar ganti.
Tapi sedetik kemudian anak-anak di luar mulai
ribut, "Bahaya! Sekelompok anak kelas sosial
datang!" pekik Anto. Mereka pun berlarian ke
segala penjuru. Tinggal Lupus yang panik, berdiri
berada di ruang ganti cewek. Tak ada jalan lain,
dia pun langsung masuk ke salah satu kamar ganti
terdekat. Dan mengunci pintu dari dalam rapat-
rapat.
Terdengar suara cewek-cewek di luar. Berteriak-
teriak ribut sekali. Sambil berebut masuk ke
kamar ganti baju di sebelah kanan dan kiri.
Kamar ganti baju itu seperti WC- WC bioskop.
Bagian bawahnya agak terbuka, Lupus hampir
menahan napas tak berani berkata-kata.
"Hm, rupanya ada yang duluan masuk ke sini, ya?
Halo, siapa di dalam? Yanti, ya? Ikutan masuk
dong!" terdengar suara seorang cewek di luar
menggedor-gedor pintu kamar ganti yang ada
Lupusnya. Tentu saja kalau bukan dalam suasana
gawat begini, Lupus dengan senang hati mau
membukakan pintu untuk mengajak cewek itu
masuk. Tapi sekarang? Dalam suasana gawat
begini, mana berani? Bisa-bisa diteriaki gadis-
gadis sekelurahan. Makanya Lupus tetap diam.
Lama sekali. Canda-canda itu belum reda juga.
Dan Lupus belum berani keluar. Sibuk komat-
kamit baca doa. Boro-boro deh mau ngintipin
cewek yang ganti baju. Ngomong aja nggak
sanggup. Itulah, niat-niat yang nakal pasti nggak
pernah diridhoi Tuhan. Lupus mulai mengutuki
teman-temannya yang di luar. Yang bisa berlari
dengan aman. Sedang dia terjebak di dalam.
Sudah lebih dari lima orang mengetuk-ngetuk
pintu Lupus, tapi Lupus belum berani bergerak.
"Siapa sih yang di dalam? Lama amat? Lagi nge-
bom ya? Jangan di situ dong!"
Sampai akhirnya suasana jadi sepi. Lupus dengan
menajamkan pendengarannya mulai membuka
pintu perlahan. Tapi suara bisikan dari kamar
sebelah cukup membuatnya kaget dan menutup
pintu kembali dengan cepat.
"... Jadi kamu tadi yang ngejorokin si Lupus ke
kolam? Kok gitu sih?" terdengar suara pelan dari
sebelah.
"Sst... jangan bilang siapa-siapa, ya? Saya malu.
Saya tadinya iseng aja mau godain anak lucu itu.
Tapi nggak taunya malah jadi celaka. Sedih deh.
Saya kasihan melihatnya jadi terpincang-pincang
begitu. Tapi, saya juga nggak berani minta maaf
saat itu. Takut dianya marah lalu membenci saya.
Gimana ya sekarang cara minta maafnya? Tadi
saya cari-cari dia sudah nggak ada di kolam
renang. Barangkali langsung pulang, karena
kakinya sakit. Wah, saya menyesal sekali!"
terdengar suara cewek yang satunya. "Itulah,
makanya kalo bercanda jangan
keterlaluan. Dan harusnya kamu bisa berjiwa
besar. Mengakui kesalahanmu. Mengakui
kesalahan memang perbuatan yang paling berat.
Korban perasaan, harga diri. Tapi percayalah,
kalau terbiasa untuk berani mengakui
kesalahanmu, nantinya kamu akan menjadi
seorang yang berjiwa besar!"
Dia pun mengintip! O... Dewi dengan Ani. Siapa
di antara mereka yang mendorongnya ke kolam?
***
Hening sejenak. T api tak lama, terdengar lagi
suara cewek itu. "Oke deh, saya akan coba. Yuk,
keluar. Udah pada pergi semua tuh!" Dan
kemudian terdengar pintu dibuka, disertai
langkah-langkah kaki yang berjalan menjauh.
Lupus jadi penasaran, ingin tau siapa yang
berbicara tadi.
Lupus saat itu lagi asyik dengan bakso panasnya
di tukang jualan yang pada mangkal di sekitar
halaman kolam renang. Semen tara anak-anak
yang lainnya juga asyik dengan jajanannya
masing-masing. Hanya Gusur yang bagai
pengamen murahan, berpindah-pindah dari satu
gerobak ke gerobak lainnya. Bukannya mau
nyanyi, tapi nyomotin bakso orang yang lagi
meleng.
Saat itu pula Dewi duduk di sebelah Lupus.
Lupus pura-pura cuwek. Jadi ini toh makhluk
yang tadi ngejorokin dia ke kolam. Hm, ceritanya
dia mau minta maaf.
"Saya kirain kamu udah pulang. Gimana kakimu
tadi? Masih sakit?"
"Ooo, masih dong. Barangkali tulangnya patah.
Soalnya sampe nggak bisa dibawa jalan tuh!"
"Ah? Segawat itukah?" Dewi terkejut.
"Ya, mungkin saja. Soalnya benturannya keras
sekali. Eh, kamu tau nggak siapa yang
ngejorokin?"
Dewi diam. Hatinya kecut.
"Kalau saya ketemu orangnya, awas saja!" suara
Lupus mengancam.
"Eh... mau kamu apakan? Diajak berantem?"
"Ya, kalau saya berani. Hehehe. ... Eh,
tampangmu kok aneh begitu? Ada apa?"
"Ah, enggak!" Dewi menjawab cepat. Sementara
tangannya sibuk meremas-remas sapu tangannya.
Gelisah sekali dia. Lupus hampir geli menahan
ketawa.
"Harusnya orang itu cukup berjiwa besar untuk
mengakui kesalahannya. Saya benci melihat
orang-orang yang pengecut!" Lupus seperti
menggumam.
Dewi makin kecut, lalu berdiri hendak pergi.
"Hei, mau ke mana?" tahan Lupus cepat-cepat.
"Tentu saja kalau kamu yang berbuat saya nggak
benci. Suka, malah."
Dewi terkejut dan memandang heran kepada
Lupus.
"Kamu tau?"
"Makanya, jadilah orang yang berjiwa besar.
Untung saja saya yang kamu rugikan. Kalau orang
lain ?"
Dewi tersenyum.
"Dan bagaimana dengan kamu? Apakah kamu
cukup berjiwa besar mengakui kesalahan kamu
menyelinap masuk ke kamar ganti cewek?"
Gantian Lupus yang kaget. "Eh, kamu kok tau?"
"Apa sih yang saya nggak tau? Ayo, saya bilangin
cewek kamu ya...."
"Eh, jangan!" Lupus pun langsung mengejar Dewi
yang berlari menjauh. Saat itu sakit di kakinya
hilang seketika.
9. Sirik Lu!
PALING keki punya temen yang suka sirik. Yang
cenderung ngiri kalau ngeliat orang lain sukses.
Yang selalu merasa terganggu kalau ada orang
lain hidup senang. Nggak sulit kok menandai
orang sirik macam begitu. Kalau misalnya kamu
merasa terganggu ngeliat kucing tidur nyenyak di
pinggir jalan, sehingga bawaannya kepingin
menendang kucing itu jauh-jauh, atau kalau kamu
merasa jengkel ngeliat dua orang temanmu
bergandengan tangan dengan akrabnya
menyeberangi jalan raya depan sekolah, tandanya
kamu berbakat jadi orang sirik.
Dan celakanya, Lupus punya temen yang kayak
begitu. Sekelas, lagi. Namanya Andy. Dia itu
kalau udah nyirikin orang, buset deh, setan pun
sampai ngeri dengan kesirikannva. Bayangin aja,
dia tahan enam jam berturut-turut ngatain orang
lain. Kayaknya dia yang paling sempurna sendiri.
Orang lain dianggap nggak ada yang sempurna.
Gimana nggak nyebelin tuh!
"Saya sering baca tulisanmu, Pus. Terutama
cerpen-cerpenmu. Dan saya sering merasa
bingung sendiri, apa redakturnya nggak salah pilih
tuh? Bayangin aja, saya sama sekali nggak bisa
memetik apa-apa dari tulisan-tulisan yang kamu
buat. Apa yang bisa kamu berikan lewat tulisan-
tulisanmu itu? Semuanya nol besar!" suatu pagi
Andy sudah mulai cari setori lagi.
Lupus yang dasarnya memang nggak mau kalah,
kontan aja berkomentar, "Jangan kamu tanyakan
apa yang bisa saya berikan lewat tulisan saya
kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang bisa kamu
berikan kepada tulisan saya. Wasalam."
Andy makin sirik.
Tapi ya biarin aja. Ngeladeni orang sirik sama aja
dengan menjelaskan mekanika sama tukang
becak. Sia-sia aja. Jadi ya emang nggak perlu
diacuhin. Makin dipikirin, makin suka dianya.
Mendingan kayak Lupus itu. Dia nggak pernah
tersinggung kalo disirikin orang. Cuma kadang-
kadang aja dia jadi rada susah tidur siang. Itu juga
bukan karena mikirin, tapi ya emang nggak
ngantuk aja.
Dan Andy memang paling klop kalau sudah
ketemu sama Ruri. Sama-sama suka sirik. Kalau
mereka berdua sudah ngomong, wah seru sekali.
Kayak dengerin siaran pertandingan sepak bola di
radio. Nggak ketauan lagi deh, mana yang bo'ong,
mana yang jujur. Dan biasanya bisa berlangsung
lama sekali. Kadang kalau hari sudah terlalu larut,
dan mereka merasa perlu tidur sejenak, mereka
baru berhenti nggosip dengan janji besok hari,
pagi-pagi sekali, mereka akan meneruskan
obrolannya. Mereka kadang duduk sebangku di
depan tempat duduk Lupus. Dan kalau pas
pelajaran menggambar, yang memang agak santai.
mereka sering kedapetan lagi asyik nggosip.
Lupus suka iseng ikutan nguping.
Biasanya Ruri yang memulai, "Eh. kamu ternyata
bener, Dy, saya nggak nyangka kalau Wulan yang
berwajah lebar itu mempergunakan kecantikan
wajahnya untuk memikat oom-oom bermobil
mewah."
"Lho, abis kamu kira untuk apa? Untuk main
bola? Yang bener aja dong. Mana muat? Kalau
untuk lapangan golf, ya mungkin saja bisa. Asal
mukul bolanya jangan keras-keras. Tapi
ngomong-ngomong, gimana kalau untuk landasan
pesawat terbang aja? Kan asyik tuh, nggak usah
jauh-jauh ke Cengkareng kalau mau ke luar
negeri," Lupus nyeletuk dari belakang.
Mereka berdua cuwek aja. Udah tau adat Lupus.
Malah meneruskan obrolannya, "Saya nggak bisa
membayangkan, kok ada orang yang
mempergunakan kecantikan wajahnya hanya
untuk itu...."
"Saya juga tidak. Masak iya ada orang yang
mengira wajah selebar Wulan untuk lapangan
sepak bola?"
Andy dan Ruri kesal, dan menoleh berbarengan.
"Yang lucu boleh pulang!" bentak Ruri.
Lupus juga sebel sama tingkah Ruri. Kalau lagi
berolahraga di sekolah, dia suka memakai kaus
yang tanpa lengan (itu lho model kaus you can
see). Geli ngeliatnya. Apalagi pas giliran senam
yang pakai angkat-angkat tangan segala. Lupus
pernah secara nggak sengaja berdiri dekat-dekat
Ruri yang lagi asyik bersenam-ria pake kaus you
can see. Kontan aja Lupus kehilangan napsu
makannya tujuh hari tujuh malam. Shock berat
dia!
"Dasar anak-anak esema ini pada kuno semua.
Nggak tau kemajuan zaman. Nggak tau mode.
Masak pakai kaus you can see aja pada shock!”
gerutu Ruri suatu ketika.
"Bukannya pada ketinggalan zaman. Cuma kamu
aja yang mungkin nggak tau kalau sekarang ada
model kaus yang lebih moderen lagi dari itu. Dan
kayaknya cocok buat kamu. Kenapa nggak coba?"
jawab Lupus.
"O ya? Kaus model apa itu?"
"You can see everything...."
***
Tapi toh Lupus sempet keder juga karena
kesirikan Andy. Pasalnya ketika Rina, cewek
yang kini memang intim dengan Lupus, mogok
nggak mau ikutan lomba baca puisi. Padahal
biasanya Rina begitu tabah, keras kepala, dan
berani. Seperti ketika ngritik Mapras waktu itu.
Dan kini ceritanya Rina mau ikutan lomba baca
puisi ulang tahun SMA Merah Putih. Lupus sudah
menjanjikan mau bikinin puisinya, tapi mendadak
Rina mengundurkan diri.
"Abis gimana nggak kesel? Si Andy dan beberapa
temennya ngatain saya terus!" Rina manyun.
"Ah, masak omongan Andy aja ditanggapin?
Orang kan memang lebih gampang ngeliat
kesalahan orang lain, daripada kesalahan sendiri.
Apa kamu pikir dia lebih bagus baca puisinya
daripada kamu?"
Tak pelak, Lupus pun perlu berjuang setengah
mati ngerayu Rina untuk tetap ikut lomba baca
puisi. Soalnya, katanya, Lupus udah terlanjur
bikin puisinya. Dan dia memang nggak bisa kalau
harus membawakannya sendiri ke panggung di
depan orang-orang. Bukannya grogi, tapi dia
emang nggak suka aja jadi bahan tontonan.
"Serasa topeng monyet," katanya. Tapi untuk
memberi kan puisinya kepada Gusur, seniman
sableng itu, juga nggak mungkin. Lha dia kalau
baca puisi kan kebanyakan improvisasinya.
Katanya biar lebih menjiwai isi puisi itu, tapi
jadinya malah seperti nonton topeng monyet
beneran. Nggak seru ah.
Tapi untunglah, rayuan Lupus berhasil. Lupus pun
berjanji akan memberikan puisi beberapa saat
sebelum lomba. Soalnya sekarang masih belum
jadi.
***
Sehari sebelum lomba dimulai, kala Lupus
menyerahkan puisinya, Rina marah-marah.
"Apa-apaan nih? Kok bikin puisinya norak
banget? Nggak mau ah!"
"Lho, ini bagus, Rin. Ini puisi yang jujur. Nggak
dibuat-buat. Langsung dari inner feeling saya.
Dan kamu harus selalu percaya pada inner feeling.
Soalnya dia nggak pernah bohong. Gimana?
Nama kamu sudah terdaptar lho!"
"Ah, kamu selalu membuat saya terjepit....”
Dan lomba baca puisi pun dimulai Rina tampil
sebagai peserta kelima. Puisinya tampak aneh
sendiri. Dan tentu saja mendapat teriakan-teriakan
dari para penonton. Apalagi ditambah dengan
penampilan Rina yang kayak orang kedinginan.
Gemeteran.
Kala rembulan dipagut malam
Hatiku resah digulung bimbang
(Baru dua baris pertama, penonton sudah teriak -
teriak dengan serunya, wooooo....)
Kusendiri termenung diam
Menanti kekasih tak kunjung datang
(Teriakan semakin seru, ada yang tertawa gila-
gilaan. )
Uhu uhu hu..., dengarlah tangisku, Dinda
Betapa pilu mengalun sunyi
(Tak disangka, semua penonton ikut-ikutan
menangis dengan serunya. Ngeledekin Rina tentu
saja. Suasana jadi kayak orang berkabung. )
Kama hanya dikau pujaan Kanda
Yang datang di setiap mimpi
0, Mas Gatotkaca
Bawalah daku melayang padanya
Daripada di sini kubersimbah air mata
Teriakan makin seru, Rina jadi nangis beneran.
Dia berlari ke belakang. Lupus yang memanggil-
manggil tak digubrisnya.
"Wah, selamat ya, Rin. Kamu sukses," sambut
Lupus ceria.
"Sukses apa? Kamu bikin saya malu. Puisi itu,
saya kan udah bilang, isinya norak. T api kenapa
kamu maksa saya untuk membacanya? Biar saya
diketawain anak-anak satu sekolah ya? Begitu?"
Rina terisak-isak.
"Lho, tapi kamu kan yang paling mendapat
sambutan hangat? Jangan pernah berpikir bahwa
penilaian juri, atau orang-orang ahli lainnya
adalah mutlak benar. Justru penilaian yang
sesungguhnya ada pada penonton. Bagaimana
mereka begitu ikut terbawa, sehingga histeria
massa terjadi. Dan kamu kan sudah mendapatkan
itu? Iya nggak? Makanya jangan nangis dong."
"Ah, kamu sok tau! Saya benci. Pokoknya
musuhan!"
"Aduh, Rin,. jangan gitu dong. Beneran deh, saya
lebih rela kehilangan duit gocapan daripada
kehilangan kamu. Sumpah. Demi Tuhan."
Rina makin sengit.
***
Bisa ditebak, pas pengumuman pemenang,
puisinya Lupus tewas dengan sukses. Dan bisa
ditebak pula, siapa yang paling bersuka cita
dengan kegagalan Lupus. Siapa lagi kalau bukan
Andy. Dia langsung nyamperin Lupus.
"Nah, apa lagi komentar Anda, Pus? Apa yang
bisa diharapkan dari puisi norak kamu itu?
Yang hampir bisa ditulis oleh tukang becak sekalipun
kala dia sedang kasmaran. Puisi cengeng,
murahan, tai kucing. Kenyataan berbicara.
Puisimu kalah. Masuk nominasi pun enggak. Tapi
kalau kamu kirim ke majalah, pasti deh dimuat.
Huh, permainan macam apa pula ini? Terbukti
skandal-skandalmu. Gimana? Masih mau
membela diri?"
"Membela diri? Untuk apa? Saya justru ingin
berterima kasih padamu, karena saya anggap Rina
bisa sukses dengan puisi itu. Terbukti, dia mampu
memancing histeria massa. Iya nggak? Dan
belakangan ini saya emang lagi nyari-nyari kamu.
Mau bilang terima kasih. Soalnya puisi yang
dibaca Rina itu kan puisi karya kamu. Masak lupa
sih? Saya menemukannya di buku Rina yang
kamu pinjem waktu dulu itu. Bagus lho, puisinya.
Kamu ada bakat. Sayang waktu itu Rina nggak tau
dan nggak membacanya, jadi misi kamu untuk
mendapatkannya gagal total. Tapi lepas dari itu,
saya nggak ngira, kamu ada bakat bikin puisi
juga. Teruskan aja bakatmu itu, Dy...."
Wajah Andy mendadak merah padam. Pantesan
aja saya pernah baca puisi itu sebelumnya, pikir
Andy gelisah. Dan ketika Lupus hendak pergi,
Andy menahannya.
"Eh..., tapi apa Rina tau kalau itu puisi saya?"
tanya Andy cemas.
Lupus tersenyum, "Jangan kuatir, dia tak bisa
memaafkanmu lagi...."
10. Met Ultah Ya, Pus....
JAM tujuh pagi.
Lupus terjaga dari tidurnya, dan kaget setengah
mati ketika mendapatkan hari telah siang. Oh,
God, terlambat lagi! Padahal jam pertama nanti
ada ulangan fisika. Dan semalam, Lupus bela-
belain belajar sampai mitnait. Makanya sekarang
terlambat bangun. Padahal sebelum tidur, dia
sudah memasang weker ajaibnya agar bisa
terbangun pukul enam pagi. Dan weker itu
memang berbunyi, dan Lupus ya juga terbangun.
Tapi cuma sebentar. Cuma untuk mematikan
weker yang berisik banget itu untuk kemudian
menerus kan tidur.
Jadi buat apa memasang weker?
"Ya buat membangunkan saya yang tertidur,
untuk kemudian mematikan bunyi weker tersebut.
Masa nggak tau, sih? Setelah itu mau tidur lagi
kek, atau mau langsung cibang-cibung, ya
terserah saya dong!" begitu kira-kira jawaban
Lupus.
Tapi siapa yang mau disalahkan? Saat itu di luar
memang turun hujan dengan derasnya. Membuat
udara menjadi begitu dingin. Begitu enak untuk
menarik kembali selimut tebal dan meneruskan
tidur. Seandainya sekolah sudah berakhir, dan
semua anak sekolah bisa bangun siang-siang
alangkah senangnya!
Dan Lupus. sempat keki juga. Soalnya sebelum
tidur tadi malam, dia sempat menempelkan kertas
besar di pintu kamarnya, nulis pesan buat Lulu
agar dibangunkan pagi-pagi. Tapi kenyataannya
adiknya itu tidak membangunkan. Ke mana
makhluk sialan itu? Lupus segera membuka pintu
kamarnya dan melongo membaca tulisan gede di
bawah pesan yang ditulisnya semalam. 'Bangun,
Pus, hari sudah siang. Katanya mau berangkat
pagi - Lulu.'
"Luluuuuu....!" teriak Lupus keras-keras.
Pembantunya yang sedang membersihkan kamar
sebelah, sampai tunggang langgang ketakutan.
Kaget berat doi!
"Apaan sih pagi-pagi teriak-teriak begitu!" Lulu
muncul sambil makan roti. Mulutnya belepotan
coklat. "Kamu kan tau, bukan begini cara ngebangunin
orang!" sahut Lupus dongkol sambil menarik
kertas yang ditempel di pintu.
"Habis, siapa suruh pintunya dikunci! Saya udah
gedor-gedor, tapi kamunya nggak bangun-
bangun!"
Lupus pun dengan cepat masuk kamar mandi.
Mandi sebentar, lalu langsung berpakaian.
Beberapa saat kemudian, dia sudah siap dengan
tas sekolahnya. Mau langsung cabut. Lulu yang
saat itu masuk siang, menahannya, "Eh, Pus,
minum dulu dong kopinya. Biar nggak ngantuk.
Saya lho tadi yang bikin. Spesial untuk kamu.
Coba bayangkan, betapa baiknya saya...."
Lupus langsung menyambar kopi yang disodorkan
Lulu dan meminumnya.
"Bah-rasanya kayak air sabun!" sahut Lupus
sambil menjulurkan lidahnya.
"Sialan!"
Dan dengan tergesa-gesa Lupus langsung mencari
becak di depan gang.
****
Tapi memang kalau orang lagi sial, biasanya ya
keterusan sialnya. Buktinya sekarang bis yang
menuju sekolah Lupus belum datang juga.
Padahal sudah jam tujuh seperempat. Hanya ada
waktu seperempat jam lagi untuk tidak terlambat.
Mana guru fisika Lupus galak sekali. Namanya
Pangribuan (bisa ditebak senditi deh, orang mana
dia itu. Yang jelas bukan orang Jawa, lho!). Tapi
anak-anak biasa memanggilnya dengan sebutan
keren, Mister Punk. Orangnya tinggi, gede, item,
dan kagak kece. Kalau marah, suaranya bisa
menggelegar kayak halilintar. Sementara matanya
seperti mata elang, menatap dari balik dahinya
yang menonjol. Wah, pokoknya kayak
Fankeinstein deh! Nggak ada anak murid yang
berani ngelawak dalam pelajaran dia.
Dan kini Lupus malah terlambat masuk. Ulangan
lagi.
Tok-tok-tok. Terdengar suara ketukan di pintu
kelas.
"Mazuk!" perintah tegas dari Mr. Punk hampir
mengagetkan seluruh siswa yang asyik dengan
soal-soal fisikanya.
Kepala Lupus muncul dari balik pintu. Diikuti
oleh pandangan seisi kelas. Lupus tersenyum
lebar, tapi Mr. Punk tidak. Dia malah melirik ke
jam tangannya. Jam delapan lewat dikit. Betapa
nekatnya anak yang satu ini. Biasanya kalau
murid sudah terlambat setengah jam dari bel
masuk, tidak akan berani masuk ke kelas. Dan Mr.
Punk yakin, jam tangannya tidak meleset, meski
biasanya kadang memang telat beberapa menit.
Tapi setidak-tidaknya tadi pagi, sebelum
berangkat mengajar, dia sudah mencocokkan jam
tangannya dengan tetangga sebelah. Jadi nggak
mungkin salah lihat.
"Maaf, Pak, saya terlambat. Habis lalu lintas
macet...," kata Lupus malu-malu.
"Hm, lalu lintaz tak pernah macet. Kau pazti
bohong. Yang macet itu pazti mobilnya. Tapi
zudahlah. Ziapa namamu? Lupuz, ya?"
Mr. Punk memang selalu menyebut huruf 's'
dengan bunyi 'z'. Mungkin di kampungnya jarang
ada es. Makanya item begitu. Haus melulu.
"Ya, Pak. Nama saya Lupus."
"Ya, zudahlah. Cepat .duduk zana dan kerjakan
zoal ulanganmu yang di papan tuliz itu. Ingat.
waktunya tidak banyak. Itu kan zalahmu zendiri
..”
Lupus segera mengambil tempat duduk dan mulai
mengerjakan soal-soal ulangan itu.
Jam 08.20. Lupus masih kebingungan menekuni soal-soal
ulangan fisika. Baru satu dari empat soal yang
diberikan yang dapat dikerjakan dengan baik.
Sisanya, masih tanda tanya besar. Sialan, padahal
semua rumus itu semalem sudah dihapalkan. Tapi,
kok lupa lagi? Mana mata rasanya sepet banget.
Nggak bisa terbuka lebar.
Lupus mencoba mencari bantuan ke
sekelilingnya. Matanya berputar-putar bak maling
profesiona!. Hampir semua anak lagi asyik
dengan contekannya. Ada yang terselip di lipatan
lengan baju, ada yang di balik rok, ada yang nekat
di balik kertas ulangan. Tetapi, tetap aja wajahnya
menunjukkan kebingungan. Karena fisika
memang pelajaran paling menyebalkan. Sudah
tahu rumusnya, belum tentu bisa mengerjakan.
Makanya Lupus suka kagum berat sama Einstein
yang jago fisika itu.
Pilihan pun jatuh ke tetangga sebelah. Saat itu
Herumoko, yang duduk di sebelah, sedang asyik
dengan contekannya.
"Her, tukeran dong kertas jawabannya. Saya baru
ngerjain nomer satu dan tiga. Kamu yang lain
bisa?" bisik Lupus pelan.
Heru. mengangguk, dan transaksi pun
berlangsung. Tapi, seperti sudah dibilangin tadi,
kalau orang lagi sial, memang suka keterusan
sialnya.
Dan Mr. Punk pun melihat transaksi tadi.
Langsung aja nyamperin bangku Lupus yang di
belakang. Sementara Heru sudah ketakutan
setengah mati.
"Nah, zekarang saya mau tanya. Bagaimana
caranya kertaz ulangan Heru biza tranzmigrazi
kemari? Apa kau pikir kertaz itu biza pindah
dengan zendirinya?" tanya Mr. Punk galak.
"Tentu saja tidak. Anda kan tak hendak
mengatakan bahwa kertas ini bisa ngungsi dengan
sendirinya karena tertiup angin. Sebab di sini
kebetulan memang tak banyak angin, " sahut
Lupus berusaha tenang. Padahal, tau sendiri,
jempolnya aja sampai mengerut ketakutan.
"Nah, yukurlah kalau kau zadar akan hal itu. Dan
kau tentu tahu hukuman apa yang akan
kauterima? Oke, zilakan keluar. The sooner the
better. "
Memang tak ada jalan lain. Lupus pun terpaksa
keluar. Tak ada gunanya protes. Kamu tau,
seorang guru itu punya kekuasaan absolut di
kelas.
Di luar,. Lupus jadi mendadak ngetop. Anak kelas
sebelah yang kebetulan lagi kosong pelajaran,
langsung mengerumuninya. Langsung
menanyakan soal-soal mana yang keluar. Sebab
setelah kelas Lupus, kelas sebelahlah yang
kebagian ulangan. Lupus jadi kebingungan
sendiri. Ditarik ke sana kemari.
"Kamu jago juga, Pus. Bisa keluar duluan," puji
Lia kagum.
Lupus cuma mengangguk-angguk.
“Kalau gitu, kasih tau dong jawabnya sekalian,
biar nanti saya nggak bingung lagi...," rayu Lia.
"Aduh, gimana, ya? Kalau abis ulangan begini,
pikiran saya suka mendadak suntuk. Nggak bisa
mikir yang berat-berat. Jadi ya sori aja, ya?"
Lia. cemberut, dan yang mengerubungi Lupus
makin banyak.
"Leave me alone...," keluh Lupus sambil lari ke
kantin.
***
Pas keluar main kedua, Lupus pun menghadap
Mr. Punk di ruang guru. Ceritanya mau minta
grasi supaya diperbolehkan ikut ulangan susulan.
"Hm, bolehlah. Tapi lain kali jangan nyontek lagi,
ya?" kata Mr. Punk tegas. Lupus mengangguk.
Dan ketika pelajaran terakhir, Lupus sendirian
berada di kantor. Mengerjakan soal ulangan yang
tadi. Suasana di ruang guru itu memang sepi,
karena semua guru sibuk mengajar.
Dan saat Lupus lagi mati-matian menyelesaikan
soal-soal ulangannya, tiba-tiba seorang pesuruh
masuk. Membawa tumpukan kertas ke meja Mr.
Punk. Lupus yang lagi ngerjain soal di meja besar,
segera menyapanya, "Eh, Pak. Bapak bawa apaan
tuh?"
"Enggak tau nih. Kertas-kertas titipan Pak
Pangaribuan. Katanya disuruh disimpan di
mejanya.”
"Oo..., kertas hasil ulangan, ya? Taruhnya di sini
aja, Pak. Saya memang yang dipesan
menjaganya," kata Lupus ramah. Padahal kamu
tau, Lupus pasti bohong. T api bapak pesuruh itu
memang nggak tau. Makanya dia nurut aja. Lalu
ngeloyor keluar.
Lupus langsung memeriksa kertas-kertas jawaban
ulangan tersebut. Hm, bekas ulangan anak kelas
sebelah! Lupus segera mempelajari kertas
jawaban anak terpintar. Kebetulan masalah yang
diberikan sama, hanya soalnya dibikin agak
berbeda sedikit. Maka dalam waktu beberapa
menit saja, dia sudah bisa menemukan
penyelesaian soal-soal ulangannya. Huh, ternyata
kali ini nasib saya lagi mujur. Nggak sial melulu,
batinnya.
Maka dia pun cepat-cepat membereskan
tumpukan kertas jawaban yang diobrak-abriknya.
Dan merapikannya di bangku Mr. Punk. Setelah
itu, dia kembali ke mejanya. Pura-pura asyik
mengerjakan sambil menunggu Mr. Punk
kembali.
Jam 12.00.
Mr. Punk memasuki ruangan guru. Mendapatkan
Lupus yang tertidur di bangku pojok dengan
asyiknya. Lupus memang ngantuk sekali setelah
semalaman belajar.
"Hei, Lupuz. Bangunlah kau! Apa kau zudah
mengerjakan zemuanya?"
Lupus langsung terbangun, dan buru-buru
menyerahkan kertas jawabannya sambil meminta
maaf karena ketiduran.
Mr. Punk memeriksa semua jawaban yang
dikerjakan Lupus. Lalu mengangguk-ngangguk
sambil tersenyum. "Hm, baguslah. Ternyata kau
pintar juga, ya? Kenapa tadi kau nyontek? Itulah
kalau orang tidak punya percaya diri. . .. "
Lupus langsung tersenyum girang.
"Nah, kalau begitu kau toh tak keberatan
menolong zaya, kan? Zaya ada perlu zebentar
dengan Bapak Kepala. Tolong kau perikza hazil-
hazil ulangan teman-temanmu yang menumpuk di
zana. Biza, kan? Zaya percaya lah pada
kemampuanmu!"
Lupus terkejut, dan hendak protes.
"Tapi, Pak, ini kan sudah waktunya pulang...“
"Alaaah, zebentar zaja, kok. Buat orang-orang
zepintar kau itu kan mudah zaja. Paling beberapa
menit lah. Oke, zelamat bekerja. Terima kazih
banyak zebelumnya."
Lalu Mr. Punk pun keluar dari ruang guru itu.
Meninggalkan Lupus dengan setumpuk
kerjaannya. Lupus habis memaki-maki. Goblok,
kenapa tadi kertas jawabannya dibikin betul
semua? Wah, akhirnya kesialan itu datang terus.
Padahal dia tadi sudah punya rencana sepulang
sekolah mau beli sepatu kets baru di Blok M.
Udah capek-capek ngumpulin duit, terpaksa
ditunda lagi. Ini memang hari tersial buat Lupus.
Hari Senin sialan! Dan Lupus nggak akan pernah lupa.
***
Jam 12.45.
Lupus berjalan gontai memasuki kelasnya yang
nampak sepi. Busyet, buku-bukunya masih
berantakan di bangkunya. Tasnya juga. Lupus jadi
mengutuki teman-temannya yang nggak solider.
Ninggalin semua barangnya tanpa terurus. Lupus
pun melangkah masuk. Membenahi buku-
bukunya yang berantakan. Lalu memasuk-
masukkannya ke dalam tas. Tak sengaja matanya
tertumbuk pada tulisan besar di papan tulis:
BUAT LUPUS, SELAMAT ULANG TAHUN.
Lalu suara sorakan terdengar dari seluruh jendela.
Lupus kaget setengah mati. Dan dari balik
bangku, balik pintu, balik jendela, bermunculan
Boim, Svida, Poppi, Ruri, Andang, Anto, Irvan,
dan semua teman sekelasnya. Bersorak-sorak,
"Horee... horee.... Ulang tahun ni ye."
Lupus jadi terharu sekali. Ya, Tuhan, dia sendiri
lupa kalau dia ulang tahun hari itu. Ya, dia
memang pelupa. Tapi semua temannya nggak
lupa. Dan Lupus yakin, ibunya dan adiknya pasti
sedang menyiapkan surprise besar buatnya setiba
dari sekolah nanti.
"Selamat ya, Pus! Makan-makan dooong!"
mereka pada berebutan mengucapkan selamat.
Lupus jadi sibuk menghapus air matanya yang
nekat mengalir. Ya, saya akan mentraktir semua
anak. Biarlah nggak jadi beli sepatu kets yang
diidamkan. Yang penting semuanya harus
berbahagia hari ini, batin Lupus.
Dan surpraise terbesar terjadi ketika Poppi datang
membawa kue ulang tahun yang besar. Yang
bertuliskan nama Lupus.
"Selamat ulang tahun, Lupus. Kita bersahabat lagi
sekarang...."
Lidah Lupus terasa kelu. Tak bisa mengucapkan
apa-apa. Hanya matanya yang menatap penuh
haru. Dan tangannya yang kecil menyambut
uluran tangan Poppi.
"Ya, Poppi. Kita sekarang bersahabat lagi. Tak
ada yang lebih indah dari itu...."
Anak-anak pun bersorak-sorak riang.
"Kita ke mana nih makannya?" sahut Boim.
"Ke rumah saya aja. Siapa tau ibu saya sudah
menyiapkan makanan yang banyak, " jawab
Lupus.
Semua setuju.
Dan Mr. Punk muncul di pintu. Terheran - heran
melihat anak-anak kelas Lupus belum pada
pulang. Malah pada sibuk bersorak-sorak.
"Hei, ada apa ini?"
"Ini lho, Pak. Lupus kita ulang tahun," sahut
Svida riang.
"Ha? Makan bezar rupanya kita. Kupikir ada
kapal meledak. Rupanya kawan kita ulang tahun.
Zelamat ya, Puz."
Lupus menyambut ucapan selamat dari Mr. Punk.
Dan mereka pun berduyun-duyun ke rumah
Lupus. Irvan dan Roni sudah menyiapkan dua
mini-bis. Semua ikut, tak terkecuali Mr. Punk. -
Semua bernyanyi gembira sepanjang jalan, meski
duduk berjejalan serasa sarden.
***
Di rumah, ibu Lupus tak mengira bakal
kedatangan tamu sebanyak itu. Makanya makanan
yang memang dipersiapkan untuk ultah Lupus
kurang. Lupus segera menyuruh Lulu, yang
kebetulan bolos sekolah, membeli makanan di
restoran terdekat. Lupus memberikan semua uangnya.
Dan siang itu Lulu berlari-lari ke restoran. Selalu
deh, kalau seseorang itu lagi happy, pasti ada
orang lain yang merasa sedih. Ya si Lulu itu.
Bayangkan, siang-siang panas-panas begini asyik
jogging ke restoran.
Tapi Lulu rela. Dia senang bisa memberikan
sesuatu kepada kakaknya yang tercinta di hari
bahagianya. Met uhah ya, Pus...
LULU ge-er. Malam minggu kemarin dia maksa
ikut Lupus pergi.
“Bawalah daku pergi, Pus. Ke mana aja...”
rujuknya. Gombal sekali. Lupus jelas jadi rada
bingung. Wong mau ngapel kok malah disuruh bawa adik?
“Kamu ngapain ikut? Pingin tau orang pacaran ya?”
Lulu tak menjawab. Tetap aja maksa ingin ikut.
“Pokoknya saya harus keluar rumah!”
Gila, anak ini memang keras kepala. Segala
keinginannya harus dituruti. Tapi keinginan untuk
keluar malam bukan hal yang biasa direwelinnya.
Tiap malam minggu, dia jarang terlihat keluar
rumah. Malah mendekam di kamar sambil asyik
dengan boneka-bonekanya. Tak pernah mau kalau
diajak teman-temannya kelayapan. Apalagi ke
diskotek. Padahal remaja seusia dia, sudah
termasuk wajar kalau mulai suka gila-gilaan di
luar rumah.
Jadi kali ini pasti ada apa-apanya.
“Iya, ya? Ada apa-apanya, ya? Ayo, terus terang
aja. Apa kamu udah kepingin pacaran? Udah
kepingin belajar keluar malam? Hati-hati lho,
nanti masuk angin. Kasihan ibu kalau besoknya
disuruh ngeroki kamu?” ledek Lupus.
Lulu tetap diam. Kali ini dia malah maksa ibunya.
“Ayo dong, bu, sekali-sekali kita pergi. makan-
makan kek, ke diskotek kek...”
Ibunya melotot. Wong sudah tua kok diajak ke
diskotek?
“Nggak apa-apa, bu. Sekalian nyari jodoh. Siapa
tau aja ibu masih laku.”
“Hus! Tapi ibu memang mau pergi, dan kamu
nggak bakalan mau ikut. Itu lho, tante Neli kan
lagi di Jakarta. Dia menginap di rumah Oom Prap.
Ibu mau ke sana. Gimana, mau ikut?”
“Ikut!” jawab Lulu mantap. Lupus mendadak
mengorek-ngorek kupingnya. Apa nggak salah
denger nih? Kok Lulu mau-mauan ketemu Tante
Neli yang cerewet banget itu? Ini sudah jelas.
Pasti ada yang kurang beres. Belakangan baru terbongkar.
Ternyata dia lagi dikejar-kejar cowok.
Dan cowok itu sudah janji mau datang malam minggu ini,
meski Lulu sudah menolak keras. Dan itulah, akhirnya
Lulu terpaksa harus melarikan diri. Tetapi setelah
puas dalam pelariannya, dan kembali malam harinya,
ternyata tak seorang pun yang datang. Sang pembantu
yang mengatakan hal ini. Kontan aja Lupus ngakak.
“Hulu...., ge-er. Makanya jangan girang dulu!”
“Sial, siapa yang girang?” maki Lulu garang
“Ayo, sudah malam. Jangan berantem lagi,” seru
ibunya dari ruang tengah.
***
Dan ternyata besok Minggunya pagi-pagi sekali
saat kokok ayam jago belum lagi reda, cowok
yang mengejar-ngejar Lulu itu datang. Lulu tak
bisa menghindar, karena saat itu dia lagi asyik
nyiram bunga di taman depan rumah.
“Maaf, dik Lulu, tadi malam saya nggak bisa
datang,” sapa cowok itu sopan sekali. Lulu tak
bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mengambil
ancang-ancang untuk melarikan diri. Diam
terpaku di tempat. Lupus yang mengintip dari
jendela tidak bisa menahan tawa. “ Cieee....,
mesra ni yeee...!” teriaknya keras.
Lulu kaget dan menoleh dengan sengit.
Cowoknya juga. Bujubune, pantesan aja Lulu
begitu menghindarinya. Ternyata cowok yang
ngejar-ngejar itu tipe cowok zaman rikiplik.
Kadaluwarsa. Berkacamata tebal, bibir tebal,
muka tebal (maksudnya nggak kenal malu, gitu!),
sisiran rapi mengkilap. Pokoknya cocok jadi
bapak idela.
“Hei, Lulu, kok temennya diangguri aja? Ajak
masuk dong!” teriak Lupus lagi. Sekali lagi Lulu
mendelik sewot. Dan ketika cowok itu lewat dekat
jendela kamar Lupus, dia memberi salam dan
mengangguk hormant. Lupus jadi nyengir, kayak
kuda.
Tapi tipe cowok itu memang tipe cowok nekat.
Dia dengan rela duduk sopan menunggu berjam-
jam saat Lulu lagi ngambek, nggak mau keluar
atau berlagak lagi pergi. Lulu sering memaksa
Lupus untuk menemui atau menemani cowok itu
kalau dia datang. Seperti malam minggu depannya
ketika makhluk itu muncul lagi.
“Pus, sana gih temenin si Pinokio itu. Saya males,
ngomongnya kayak bapak-bapak. Tentang masa
depan melulu. Ih sebel! Sana cepetan. Atau
bilangin saya lagi sakit perut...!”
“Wah sori, lu. Saya lagi sibuk!” sahut Lupus yang
lagi asyik jaipongan gila-gilaan diiringi lagi
Zoolook-nya Jean Michel Jarre di kamarnya.
Lulu makin empet.
Dan cowok itu makin nekat. Kini datangnya suka
bawa buah-buahan. Pisang, jeruk, apel, anggur.
Wah, pokoknya segala macam deh. Lupus yang
doyan makan itu, jelas keenakan. Dia yang tukang
ngabisin semuanya. Sedangkan Lulu tak
menyentuh sedikit-dikit acan.
“Idih, haram menikmati barang suapan!” maki
Lulu ketus.
Lupus acuh saja. Tetapi sebenarnya dia kasihan
juga kalau adiknya jadi nggak tenang begitu.
Serba ketakutan. Meski sebetulnya bukan pertama
kali buat dia untuk kenal cowok secara dekat.
Dulu Lulu pernah kelihatan akrab dengan cowok
teman sekolahnya. Tampangnya..., ya lumayanlah
daripada kejeduk tembok. Lulu juga kelihatannya
ngasih respons yang baik untuk cowok itu. Tapi
kencan pertamanya berantakan gara-gara
keisengan Lupus. Nggak tau apa karena Lupus
keki sebab saat itu dia belum punya, atau memang
lagi nakal-nakalnya (biasa, cowok!), yang jelas
secara diam-diam dia meletakkan tip kecil
miliknya di dekat kursi depan di mana mereka berdua
nge-date. Secara otomatis, tip yang
biasanya dipakai buat wawancara itu merekam
semua percakapan Lulu dengan cowoknya. Dan
bisa dibayangkan, betapa malunya Lulu ketika
besok paginya Lupus memutar ulang hasil
rekaman yang penuh rayuan-rayuan gombal itu di
depan seluruh keluarga. Lulu ngamuk berat. Dia
langsung mengacak-acak tempat tidur. Dan sejak
saat itu tak pernah terdengar lagi kisah kasih
tentang Lulu dengan cowok manapun. Sampai
kejadian sekarang ini.
Makanya Lupus kasihan. Sebetulnya dia benar-
benar nggak mau memperalat adiknya untuk
menikmati hasil-hasil suapan itu. Dia hanya
berprinsip seperti dulu : nggak mau ngecewain
orang yang ngasih makanan. Tapi kalau ada
maksud-maksud dibalik itu semua ya entar dulu.
Bagaimanapun mengkomersilkan adik sendiri
adalah perbuatan yang kurang baik. Oleh karena
itu, pada suatu pagi, saat mereka berdua selalu
bersama-sama berjalan ke tempat pemberhentian
bis yang jauh, saat udara masih begitu bersih dan
segar, saat bulan masih tersisa di barat (wi, puitis
ni yel...), Lupus menawarkan jasanya untuk bicara
dari hati ke hati dengan cowok nekat itu. Sebagai
sesama remaja, sesama cowok. Asal saja Lulu
punya alasan yang tepat untuk menolak cintanya.
“Bilang aja saya masih ingin belajar. Masih nggak
mau terganggu oleh hal-hal seperti itu dan
selebihnya bisa kamu karang sendiri. Kan kamu
bisaan kalo bohong!” sahut Lulu.
“Sialan! Tapi kamu memang serius masih mau
konsentrasi ke pelajaran kan?”
“Iya dong! Kan sebentar lagi saya ujian esempe.”
Dan sorenya Lupus langsung ke rumah cowok itu.
Datang dengan sopan dan penuh kekeluargaan.
Sehingga cowok itu pun bisa mengerti.
Jawabannya pun terdengar sopan sekali, “Saya
mengerti. Okehlah kalau memang belum saatnya
bagi dia, saya akan menunggu. Sampai kapan pun.
Sampai dia merasa siap. Sampai dia menyadari
betapa saya sangat mencintainya. Kamu tau,
biasanya cowok sekarang itu pandai mengobral
cinta, sehingga membuat derita pada sang cewek.
Tapi saya tidak. Cinta saya pada Lulu adalah
ibarat api olimpiade yang tak kunjung padam...!”
Lupus hanya manggut-manggut. Bukannya ngerti,
tapi ngantuk diceramahi begitu. Tapi dia toh
senang, berarti masalahnya telah beres. Dan Lulu
pun senang mendengar usahanya berhasil. Sebab
sejak saat itu si pinokio itu tak pernah datang lagi.
***
Tapi Lulu tetaplah Lulu. Makhluk aneh yang
Lupus pun tak bisa mengerti keinginannya. Sejak
kejadian itu, dia sering melamun. Bengong
sendirian di depan rumahnya. Lupus jadi curiga,
apa adiknya telah kena pelet. Satu dua kali Lupus
tanyai, adiknya nggak mau ngaku, tapi akhirnya
dia buka mulut juga.
“Aneh, saya kok jadi mikirin si Pinokio itu. Saya
kasihan. Dia telah begitu baik. Setelah ini berakhir
saya baru mikir bahwa semua kata-katanya itu
benar. Kata-kata yang selalu dia ucapkan kala dia
datang kemari. Dia begitu penuh perhatian. Kamu
tau. Pus, kalau saya butuh sesuatu, dak tak sengaja
saya ucapkan di depan dia, besoknya dia sati
membawa barang yang saya butuhkan. Buku
pelajaran, rapido, cat air... dan saya jadi mersa
hutang budi. Merasa dosa telah mengecewakan
dia. Saya kasihan. Saya kok jahat, ya? Padahal
bisa saja saya belajar mencintainya.”
Lupus tertegun.
“Enggak, Lu. Kamu salah kalau kamu memulai
mencintai seseorang dari rasa kasihan. Kamu akan
menyesal. Percaya deh. Oke, untuk beberapa saat
kamu bisa mencintainya. Tapi selanjutnya kamu
akan merasa terjebak. Ingin melepaskan diri tapi
nggak bisa. Kamu masih terlalu kecil, Lu, untuk
serius pacaran seperti itu. Kamu masih butuh
banyak mencoba. Seseorang itu untuk memilih
pilihan yang tepat, butuh menjajaki beberapa calon.
Kita kan tak mungkin bisa menilai satu
yang terbaik tanpa membandingkannya dengan
yang lain. Makannya, Lu, kamu nggak salah.
Teruskan aja menuruti apa kata hatimu. Dengan
begitu kamu kan akan matang sendiri.”
“Kamu emang pinter berkicau, Pus!” ledek Lulu
gembira.
***
Lupus terbangun ketika matahari sudah mulai
tinggi. Dia kaget dan langsung menyambar
handuk untuk cepat-cepat mandi. Mandinya juga
ala koboi. Asal cibang-cibung. Tapi ini
mendingan, dia pernah saking nggak sabarannya,
langsung jebur ke bak mandi.
Setelah berpakaian seadanya, dia duduk di meja
makan untuk menghabiskan roti dan susunya. Saat
itu Lulu sudah siap pamit. Lupus memaki, “kamu
kok jahat gitu, Lu. Nggak bangunin saya. Kenapa
sih?”
Lulu cuwek. Setelah cium tangan sama ibunya dia
ngeloyor ke depan.
“Eeeee... tungguin dong. Saya hampir kelar nih!”
teriak Lupus sambil meneguk susunya. Mulutnya
sampai belepotan. Tapi Lulu tetap ninggalin. Dan
ketika Lupus menyusul ke depan, dia tertegun. Di
situ Lulu sudah siap duduk di boncengan motor
seorang cowok kece. Masih muda. Dan cowok itu
mengangguk pada Lupus sebelum pergi. Lupus
terbengong-bengong di pinggir jalan. Pantesan aja
Lulu ninggalin. Dan dia pun dengan lesu
menelusuri jalan. All alone. Tanpa seorang teman.
Di tikungan jalan, dia bertemu dengan seorang
cewek yang asyik sendirian dengan motor
bebeknya. Lupus pun dengan semangat
menyetopnya.
“Eh, ikutan dong sampai ke depan!” sahut Lupus.
“Enak aja. Lu pikir gue tukang ojek!” maki cewek
itu dan langsung tancap gas. Meninggalkan Lupus
yang memaki-maki tak keruan.
2. MEMBURU BINTANG
Aji masih berkutet di kamarnya. Bolak-balik
mencobai semua bajunya. Yang kuning, hijau,
putih... dan semua. Bolak-balik ke kaca. Dan kini,
dengan baju kotak-kotak biru, dia seperti tak
mengenali siapa yang di kaca. Siapa ya? Pikirnya
norak. Soalnya jadi lain. Kece banget! Sementara
Lupus yang keki kelamaan menunggu di luar,
nggak sabar langsung melongokkan kepalanya ke
jendela. Dan terbengong-bengong melihat Aji
yang tak berkedip mengagumi dirinya sendiri di kaca.
“Duileee... muka kayak perabotan lenong gitu aja
ngaca terus. Lama bener sih, ditunggui juga!” maki Lupus.
“Cerewet. Hampir kelar nih. Ngiri ya kalo saya kelihatan kece?”
“Cepetan deh, kita berangkat. Kan harus ke Hai
dulu pinjam tip kecil.”
Aji mengangguk dan langsung menyambar
kameranya. Dia sudah janjian mau diajak Lupus
wawancara penyanyi yang baru naik daun. Kece
banget. Makanya baik aji maupun Lupus benar-
benar menjaga penampilan. Jangan sampai mengecewakan.
Setelah mengeluarkan pick-up-nya yang rada
kadaluwarsa, Aji dan Lupus langsung bertolak ke
kantor Hai. Menitipkan kartu pengenal pada
resepsionis yang kece, dan langsung naik ke lantai
tiga. Di sana suasananya masih seperti biasa.
Rame. Ada yang asyik senam pagi, ada juga yang
lagi terbengong berat nyari inspirasi. Semua
anggota komplet, kecuali beberapa orang yang diculik
dengan paksa untuk menggarap majalah baru.
Lupus langsung menuju ke bangkunya. Dan di
sana, dia hampir menginjak Tia kecil yang sibuk
buka-buka majalah di lantai. Buset, anak ini
memang kecil sekali bodinya. Apalagi kalo lagi
jongkok begitu, nyaris menghilang di balik
tumpukan majalah-majalah. Bapaknya tega juga,
masih kecil begitu kok sudah disuruh kerja? Tapi
kalo diledek begitu, dia suka ngamuk dan
langsung mengeluarkan KTP-nya. Ke mana-
mana, termasuk kalau mau nonton film 17 tahun
ke atas, dia memang selalu bawa-bawa KTP.
Supaya pada percaya kalau dia itu umurnya sudah
lumayan banyak. Soalnya dia sering ditolak
masuk bioskop, nggak boleh ikutan nonton film
orang gede. Malah disuruh pulang, cuci kaki dan
langsung bobok. Tapi ada enaknya, kalau ke
mana-mana dia ini simpel sekali. Bisa berdiri
tanpa membungkuk kalau metro mini-nya penuh,
bisa dengan mudah menyusup ke bawah kolong
kalau lagi main petak umpet, de el el. Dan ke
mana-mana dia selalu membawa bekal dan termos
plastik buat minum. Persis anak TK. Tapi dia itu
orangnya baik kok. Suka bagi-bagi makanan ke
orang. Apalagi kalau kamu iseng muji begini
padanya,” Eh, kamuu rada tinggikan deh
sekarang...” Wah, pasti kamu langsung dikasih
coklat. Coba aja. Tapi dia itu paling takut kalau
duduk di meja. Soalnya pernah lagi enak-enakan
duduk, ditawar orang. Dikira boneka pajangan.
Abis lucu sekali.
Ya, itulah sedikit cerita tentang Tia kecil. Buat
ngasih gambaran aja, supaya kamu bisa
ngebayangin kalau dia itu ternyata lebih besar dari
jempol kaki kamu.
Setelah menyiapkan segala macam yang
diperlukan, termasuk minta film gratis dari mbak
Sri. Lupus slonong boy pergi. Dan sempat mampir
sebentar ke mejanya Mas Wendo yang
belakangan menghilang entah ke mana. Mejanya
nampak seperti biasa. Berantakan. Saingan sama
rambutnya. Dan kunjungan Lupus ke mejanya itu
bukannya karena kangen, lama nggak ketemu bos-
nya itu, tapi karena di mejanya ada sekantong tahu
goreng. Siapa tau bisa dirojer, gitu.
“Halo, Mas, lama nggak kelihatan. Sibuk ngurus
sandiwara tipi, ya?” sahut Lupus manis,
sementara tangannya bergerilya. Menyusup
masup ke kantong tahu. Mas Wendo belakangan
ini memang aktif di televisi. Ngajarin anak kecil
bikin puisi dengan stil sok serius, tawa bikin
beberapa naskah film seri tivi. Seperti ACI. Tapi
bedanya dia dengan Michael Landon – yang juga
dikenal dengan serial-serial tivinya. Mas Wendo
orangnya jauh lebih rendah hati. Kalau Michael
Landon suka ke-ge-er-an untuk melibatkan
dirinya sebagai tokoh utama cerita yang
diproduksinya; jadi bapak ideal, jadi malaikat
penolong, dan sebagainya! Tapi kalau Mas
Wendo cukup puas Cuma jadi tukang pukul bel
sekolah.... hehehe. (Eh, jangan bilang-bilang ke
dia ya, entar ngamuk..., atau malah suka?)
“Kamu mau wawancara siapa, Lup?”
“Itu... atlet angkat besi,” jawab Lupus
sembarangan. Sebab kalau dia jujur ngaku mau
wawancara artis penyanyi yang kece, Mas Wendo
suka maksa kepingin ikut. Kan repot ngurusnya
nanti.
Lupus langsung cabut. Hasil kunjungannya ke
meja bos-nya itu, yah lumayanlah. Sempat
mengantongi beberapa tahu goreng dan cemilan-
cemilan ringan lainnya buat sekedar ngisi perut.
Dan di bawah, ketika baru keluar dari kompleks
perkantoran, sempat ketemu Gun Saratoga.
Fotografer muda Hai yang lagi ngejepret anak-
anak sekolah yang kece-kece dari atas sepeda
balapnya. Dia emang termasuk doyan daun muda.
Pacarannya aja sama anak SMP. Dan bakat jepret-
menjepretnnya memang terlihat dari kecil. Umur
10 tahun, dia sudah hobi menjepret capung pake
karet; lalu umur 15 tahun meningkat menjepret
mangga pake katapel. Dan kini, dai boleh bangga
bisa menjepret pake kamera beneran. Itulah Gun.
Setelah ber-hai-hai (bukan promosi,
lho!) sebentar dengannya, Lupus langsung
melesat bersama Aji ke rumah sang artis.
Rumahnya lumayan jauh. Di pinggiran kota. Rada
ndeso.
***
Dan kini Lupus dan Aji sudah berdiri di depan
pagar yang tinggi. Rumahnya tampak begitu
besar. Sementara di pagar depan tertulis ‘Awas
anjing galak; jangan berdiri dekat pagar!’ Lupus
langsung melompat mundur. Wong dia paling
takut sama anjing. Makannya dia tidak pernah
berani lari pagi di kompleks perumahannya.
Banyak anjing. Soalnya dia kurus. Suka dikejar-
kejar anjing. Dikira tulang.
“Kamu aja yang masuk, Ji!” perintah Lupus.
“Enak aja. Emangnya saya tumbal? Kita tekan bel
aja. Masak sih nggak ada belnya?”
“Iya. Lagi pula belum tentu beneran ada
anjingnya. Siapa tau Cuma nakut-nakutin aja!”
Akhirnya setelah baca Bismillah, mereka
memencet bel yang tersembunyi di balik
rerimbunan tanaman yang merambat di pagar.
Terdengar suara anjing menggonggong dari balik
pagar. Lupus langsung melompat mundur.
“Tenang, Pus. Wartawan kok penakut amat?”
ledek Aji.
Beberapa saat kemudian, ada kepala yang muncul
dari pagar yang tinggi.
“Hei, anak kecil, ngapain di situ? Mau mainin bel
ya?” bentaknya galak.
Lupus keki berat dikatain mau mainin bel.
“Saya wartawan, tau! Saya mau ketemu Evita
Fanny. Artis penyanyi itu. Di sini kan rumahnya?
Dan ini teman saya Aji. Dia fotografer
profesional!” sahut Lupus lantang. Orang itu
memandang ke arah Lupus dari ujung kaki sampai
ujung rambut. Seolah kurang percaya. Juga
kepada Aji yang dibilang fotografer prof itu. Dia
curigation. Kok fotografer Cuma bawa kamera
yang serba otomatis? Sekali jepret jadi, tanpa
mengubah jarak, diafragma, de el el. Wah, pasti
ada yang kurang beres.
“Evita lagi pergi! Dia sibuk terus. Kapan-kapan
aja datang lagi!”
“Wah bohong! Saya tadi udah janjian sama dia
via telepon. Dan dia ada di rumah!” sahut Lupus
ngebohong. Soalnya sungguh mati, dia tak tau
nomor telepon Evita. Tapi dia juga yakin Evita
pasti ada. Dia sudah biasa dibohongi macam
begitu. Biasa, artis yang lagi naik daun memang
suka jual mahal. Padahal wartawan penting lho,
buat menunjang karier mereka.
“Tapi dia mau pergi. Ada rekaman di studio!”
Balas orang itu lagi.
“Kamu tau nggak apa persamaan saya sama
kamu?” sahut Lupus lagi.
“Apaan memang?”
“Sama-sama tukang bohong. Makanya sesama
tukang bohong dilarang saling membohongi!”
“Sialan jadi kamu juga bohong ya? Kamu pasti
bukan wartawan! Kok masih kecil begitu? Mana
kartu Pers-nya?”
Lupus langsung merogoh kantung celananya.
Tapi..., oh, God! Kartu itu ternyata tertinggal di
meja tugasnya di kantor. Bener-bener sial!
“Eh, saya lupa bawa. Tapi beneran kok saya
wartawan!”
Orang itu tersenyum sinis. “Nah, anak-anak, kalau Cuma
mau minta tanda tangan, lewat surat aja. Sekarang kalian
boleh pulang...” sahutnya dan langsung menghilang di balik pagar.
Lupus cepat-cepat berteriak, “ Hei, tunggu! Saya
bener-bener wartawan, kok! Kalau nggak
percaya, telepon aja ke majalah Hai. Serius!!”
Tapi makhluk itu sudah menghilang. Tinggal
Lupus dan Aji yang saling berpandangan.
3. EVITA FANNY
Lupus dan Aji masih berada di depan rumah artis
penyanyi Evita Fanny. Benar-benar tak tau apa
yang harus dilakukan lagi. Meski Lupus sudah
lumayan sering wawancara begini, tapi toh dia
masih belum bisa santai. Malah sering kedapatan
lagi dorong-dorongan atau ber-suit-ria sama
temannya untuk menentukan siapa yang masuk
duluan. Kan malu-maluin banget tuh! Tapi ya
nggak apa-apa. Lupus nggak pernah putus asa
Cuma karena hal-hal yang begitu. Segalanya kan
bisa saja karena biasa kalau kita sering
melakukannya.
“Kita bikin keributan aja di sini, nanti kan mereka
pada keluar!” sahut Lupus kumat gilanya.
“Gila lu, nanti kalau diciduk polisi gimana?”
“Emangnya kita teroris? Maksud saya, kita Cuma
mengadakan aksi unjuk perasaan, gitu!”
“Kamu kalau sudah nekat memang gawat, Pus!
Terus, ngapain dong?”
“Misalnya kita tekan bel terus-terusan. Kan lama-
lama mereka kesal lalu keluar. Nyamperin kita
atau malah ngusir kita. Tapi nggak apa-apa.
Namanya juga orang usaha. Kan nggak ada
salahnya!”
“Iya, ya.”
Dan mereka pun secara bergantian menekan bel.
Berulang-ulang. Ada suara anjing yang
menggonggong lagi. Sampai akhirnya wajah
seram yang tadi muncul lagi di balik pagar yang
ke tinggi. Siap menyemprotkan amarahnya. Tapi
Lupus cepat-cepat menyapa, “Assalamualaikum!
Kayaknya kita pernah ketemu deh. Kapan, ya? O
ya, beberapa menit yang lalu. Apa khabar? Gini
lho, saya dari majalah...”
“Bosen! Kalian ini belum pernah mendapat
pelajaran ya? Sudah pernah merasakan gimana
enaknya digigit si Pleki?”
“Belum. Siapa itu? Bapak kamu ya?”
“Sialan! Kalian benar-benar kurang ajar!”
bentaknya marah sambil melompat turun. Tapi
baru orang itu membuka pintu pagar, ada suara
yang memanggil. Terpaksa marahnya tertunda
dan langsung tergopoh-gopoh menghampiri si
pemanggil.
“Bang Kerpa, tolong siapkan mobil saya. Saya
mau ke studio setengah jam lagi. Tolong barang-
barang belanjaan tadi pagi diturunin dulu,” sahut
si pemanggil yang ternyata Evita itu.
“Baik Nona.”
“O ya, kamu ngapain naik-naik terus ke pagar
macam tadi? Pacaran sama babu sebelah, ya?”
“Oh, anu, Nona....itu ada dua pemuda kecil.
Ngakunya sih wartawan yang mau wawancara.
Tapi nggak ada kartu pers-nya. Ya udah, saya usir
saja. Tapi kok ya nekat anak itu!”
“Ya, Nona, dan dua pemuda kecil yang manis-
manis itu adalah kami sendiri!” tiba-tiba ada suara
sopan menyambung dari belakang Bang Kerpa.
Bang Kerpa langsung menoleh kaget! “Hei, kurang ajar.
Bagaimana kamu bisa masuk kemari? Loncat pagar, ya?”
“Bagaimana? Mudah. Siapa yang suruh pintu
pagar itu ditinggal tanpa terkunci barusan,
sementara anjing kamu itu asyik mengejar-ngejar
kucing sampai keluar pekarangan rumah...,”
jawab Lupus kalem.
Bang Kerpa langsung kaget, dan cepat-cepat
memburu keluar. Memanggil-manggil anjingnya.
Meninggalkan Lupus dan Aji berhadapan dengan
Evita Fanny.
Lupus tak berkedip. Penyanyi ini memang masih
muda. Paling-paling baru sekitar 17 tahun.
Wajahnya, bukan main. cakep banget. Dengan
bibir yang tipis tapi seksi, mata yang indah bagai
kucing, kulit tubuh yang kuning langsat. Wah,
emang nggak salah kalau dia jadi artis penyanyi.
Dengan penampilan yang serba sempurna untuk
seorang gadis remaja, siapa sih yang enggak betah
memandangi berjam-jam?
Lupus langsung kasih angka sembilan untuknya.
"Situ siapa?" tanya Evita pelan. Suaranya, wah.
Bikin dek-dekan.
"Di sini Lupus dan Aji. Dari majalah remaja. Di
situ siapa?" balas Lupus.
"Oo..., kalian wartawan, toh?"
"Iya, hebat ya?"
"Kok masih kecil? Wartawan bo'ongan ya? Mana
kartu pers kalian?"
"Justru itu, ketinggalan. Tapi kalau tak percaya,
boleh deh telepon ke redaksi Hai. .. . "
"Oke deh, saya percaya. Terus kalian mau apa?"
"Wawancara. Boleh, kan?"
"Tapi saya mau pergi. Kalian toh belum bikin janji. "
"Sudah, kok!"
"Kapan? Saya kok belum dikasih tau?"
"Lima menit yang lalu. Tadi lho, waktu pesuruh
kamu yang cowok itu dengan noraknya naik-naik
ke atas pagar...."
"Ah. T api bolehlah kalau kalian memaksa. cuma,
sebentar aja, ya? Yuk masuk!"
Dengan langkah ringan, Lupus dan Aji berjalan masuk.
Di ruang tamu, suasananya cukup membuat
keduanya terkesima. Satu set mewah kursi tamu
besar warna biru, dengan karpet yang bagai
rumput manila terhampar megah. Dipadukan
dengan hiasan-hiasan dinding yang serba biru,
menyejukkan suasana. Sementara foto close-up
Evita Fanny terpampang megah di dinding
sebelah kiri. Di atas barang-barang antik yang
disusun rapi. Dari dalam mengalun lembut musik
instrumentalia yang kebetulan Lupus kenai
judulnya, Cantabile. Lagu yang menarik, dan
Lupus dulu sering mendengar ayahnya
memainkan lagu itu lewat gitar klasiknya.
Nggak nyangka, selera musik Evita boleh juga.
Padahal kalau dibandingkan dengan lagu-lagu
yang sering dibawakannya yang berlirik dan
bernada amat cengeng itu, wah, kontras sekali.
Lupus serasa memasuki ruang istana.
"Ayo, silakan duduk. Kok pada berdiri begitu?"
Lupus tersentak. Ya, dia tadi lagi ngelamun. Kok
ada orang yang begini kaya. Dia jadi ingat sama
teman-teman seperjuangannya di kantor.
Kayaknya jadi jauuuh sekali. Mereka-mereka itu
walau suka ngaku orang kaya, tapi kalau lapar
malah pada tiduran di kolong meja. Sambil berharap
semoga setelah bangun nanti rasa
laparnya hilang. Kan bisa menghemat uang
makan. Tapi ya tak apa. Malah memudahkan
kalau mau bikin puisi atau cerita yang sedih-
sedih. Nggak usah sulit-sulit mengkhayal. Tinggal
tulis aja pengalaman pribadinya, beres!
Sedang Evita kan sulit kalau mau bikin cerita
sedih. Butuh penghayatan luar biasa. Tapi lupakan
dulu hal itu. Kita lihat saja Lupus yang lagi sedikit
panas dingin karena diliatin terus oleh Evita yang
manis. Nggak tau kenapa, dia memang suka grogi
begitu kalau diliatin cewek cakep.
Dengan kaku, Lupus mengeluarkan tip dan
secarik kertas yang berisi daftar pertanyaan. Evita
tergelitik untuk melirik apa yang tertulis di balik
daftar penanyaan. Maka dengan sedikit paksa, dia
merebut secarik kertas itu.
"Lihat deh. Boleh, kan?"
"Eh, jangan...," Lupus kaget, tapi Evita sudah
merebutnya. "Itu daftar pertanyaan kok. Saya
bikin supaya nggak lupa. Soalnya terus terang,
saya kalo lagi grogi suka lupa apa yang mau
ditanya. Balikin dong...."
Evita cuwek. Sambil mengernyitkan kening
membaca kertas itu. Lalu senyum-senyum sendiri.
Lupus jadi curiga.
"Kamu mau wawancara atau mau belanja? Kok
isinya ada ikan asin satu kilo, cabe rawit tiga biji,
jengkol sepuluh biji, permen karet..."
Lupus langsung merebut dan membacanya. Oh,
God! Ternyata dia salah keluarin. Itu catatan
belanja yang dititipkan ibunya tadi pagi. Dengan
wajah kayak traffic light; merah kuning ijo, dia
buru-buru mengantonginya. Diganti secarik kertas
yang lain. Yang isinya beneran daftar pertanyaan.
"Sekarang kamu duduk aja di situ, saya yang
nanyain dari sini. Oke?" balas Lupus keki. Evita
tertawa lepas. Keakraban baru saja terjadi.
"Tapi ingat, waktunya nggak lama lho. Saya mau pergi!" .
Interviu pun berlangsung dengan akrab. Sampai
suatu ketika, Evita merasa harus pergi. Dengan
sedikit berat, dia pun bangkit. Lupus cepat-cepat
menahannya, "Eh, jangan repot-repot!"
"Lho? Saya mau ganti baju, kok. Saya kan mau pergi. ..."
"Ooo, kirain mau bikinin minum...."
"Ya ampun, saya lupa. Kalian haus, ya?"
"Ah enggak. cuma saya mikir, kok samaan sama
di rumah ya? Kalau ada tamu dari jauh suka lupa
nyuguhin minum. Padahal kan mungkin saja tamu
itu merasa haus setelah berjalan begitu jauh. Iya
nggak, Ji?" celoteh Lupus sambil melirik ke arah
Aji yang hampir mati kehausan.
Lagi-Iagi Evita ketawa. Dia cepat-cepat
menyiapkan minuman.
***
Dan Evita ternyata artis yang baik. Dia menawari
Lupus dan Aji ikut ke studio sambil melanjutkan
wawancaranya di jalan. Di sana Evita cerita
banyak. Tentang tiga albumnya yang direkam
dalam waktu singkat. Tentang kasetnya yang laku
keras. Tentang bonus mobil yang dia dapat.
Pokoknya semua.
Buat artis penyanyi, dia memang memiliki
segalanya. Meski lagu-lagunya hampir setipe;
tentang kecengengan cinta, tapi suaranya tidak
mengecewakan. Padahal banyak anggapan yang
mengatakan penyanyi pop sekarang cuma modal
tampang doang, tapi Evita merupakan
pengecualian. Karena dia punya vokal dan penghayatan
yang baik buat lagu-lagu komersil yang dibawakannya.
Sebaik-baiknya lagu pop, kalau tidak didukung
penghayatan dan vokal yang sempurna, tak akan
berhasil. Omong kosong buat yang mengatakan
untuk jadi penyanyi cuma modal tampang doang.
Setinggi-tingginya teknik studio yang bisa meno-
long vokal sang artis, tidak akan membantu
banyak. Paling jadinya seperti komet. Muncul
sebentar, ngetop, lalu menghilang. Tak terkenang.
Ini yang ingin Lupus tekankan pada Evita.
Penyanyi ini sangat berbakat. Tapi kenapa begitu
sering mengeluarkan album yang senada? Apa
mau pakai aji mumpung seperti yang lainnya,?
"Seharusnya kamu lebih selektif, Vita. Batasi
pengeluaran album kamu. Kamu punya vokal
yang baik. Saya sering lihat kamu nyanyi lagu-
lagu daerah di tivi. Di situ kelihatan sekali
kemampuan vokal kamu. Bukan sekadar penyanyi
pop murahan. Kalau kamu lebih jarang
mengeluarkan album, kamu bisa mengikat fans
kamu. Membuat mereka penasaran menunggu
terbitnya album-album kamu yang berikutnya.
Dan dengan sedikit variasi, mereka tak mudah
bosan. Dan kamu nggak bakalan cepat
dicampakkan fans kamu yang merasa bosan
karena kamu keseringan mengeluarkan album
yang senada. Kamu jangan mau dikerjain para
produser yang cuma mau mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya, tanpa memikirkan nasib
kamu setelah itu. Mereka mudah saja mencari
penyanyi baru. Sedang kamu apa? Itulah, Vita.
Makanya, ngapain sekarang ke studio? Lebih baik
kita ke fried chicken atau ke mana, gitu.
Ngomongin masalah ini. Kamu jangan seperti
mesin. Disuruh ke studio, disodori lagu, lalu
langsung menyanyikannya hanya dengan
mempelajari sebentar tanpa kamu dikasih
kesempatan memilih lagu yang cocok buat
karakter vokal kamu. Buat selera kamu. Eh, sori.
Saya kok jadi cerewet banget, ya? Tapi gimana
kamu aja deh. Mau ke fried chicken atau ke studio..."
Evita terdiam. Makhluk yang duduk di
sampingnya ini memang kelewat banyak omong,
kayak tukang obat. Apa emang begitu ya, kalau
wartawan ngerayu minta traktir?
"Kamu mau no dong atau mau nyulik saya?"
sahut Vita galak.
"Dua-duanya. Tapi tebusannya nggak berat. Fried
chicken!"
Dan Lupus kegirangan setengah mati ketika
Volvo Evita berbelok ke fried chicken.
***
Beberapa hari kemudian, Lupus sudah berada di
kantor redaksi lagi. Dia lagi excited banget karena
baru dapat telepon dari Evita. Gimana nggak
senang, Evita meneleponnya dalam keakraban.
"Meski saya kadang ragu apa kamu ini wartawan
gadungan atau wartawan beneran, atau malah
tukang obat yang buka praktek liar, tapi saya kok
ya mikirin juga apa yang kamu bilang. Thanks.
Saya suka kamu merhatiin saya kayak gitu. Saya
udah batalin jadwal rekaman dalam waktu dekat
ini. Bos memang marah dan kaget, tapi lama-lama
dia pasti ngertiin saya. Sebab saya ingin dia yang
butuh saya, bukan saya yang butuh dia. Saya udah
minta untuk menyeleksi lagu, menyeleksi
aransemen. Kalo kamu mau tau, saya sendiri di
rumah nggak pernah nyetel lagu-Iagu saya. Kamu
denger sendiri kan waktu ke rumah? Saya
memang nggak pernah bangga pada lagu-lagu
saya sendiri selama ini. Sekali lagi trims berat
buat kamu. Kapan mau maen ke rumah lagi?"
Itulah. Makanya Lupus jadi senyum-senyum
terus. Seriang Mas Veven yang baru masuk tadi
langsung menodongnya dengan teka-teki orisinal
karyanya sendiri, "Ayo, apa bahasa Indonesianya:
Mother goes to the market?"
"Apaan, ya? Nggak tau tuh!" sahut Lupus (pura-
pura) nggak tau. "Belanja ni yee...," jawabnya girang setengah
mati. Soalnya jarang-jarang teka-tekinya nggak
bisa ketebak Lupus.
Atau juga seriang Mas Wendo yang lagi disalamin
temen-temennya gara-gara nongol di tivi dalam
acara FFI. "Ah, apalah aninya orang seperti saya
ini...," sahutnya ngerendahin diri, ninggiin mutu.
Tapi yang Lupus heran, sejak saat itu Aji nggak
pernah kelihatan lagi. Pun di sekolahnya. Sebab
Aji memang teman sekolah, cuma lain kelas.
Padahal dia kan teman seperjuangan sewaktu
wawancara Evita. Maka besoknya Lupus khusus
mencari dia ke kelas-kelas. Dan ketemu lagi
mojok di kantin. Tetap dalam stil cuwek walau
Lupus kelihatan menghampiri. Lupus jadi inget
Iwan yang redaktur musik di Hai. Doi juga cuwek
berat kalau lagi dengerin walkman. Dipanggilin
nggak nyaut-nyaut! Ada kebakaran juga cuwek aja.
"Halo, Ji, kamu sakit ya? Kok nggak pernah
keliatan?" tegur Lupus ramah. Aji malah
melengos. Lupus jelas heran. Setelah diusut-usut,
ternyata dia sempat keki karena waktu itu Lupus
akrab banget dengan Evita. Dia sampai tak
dikasih kesempatan ikutan ngobrol. Padahal kan
dia udah dandan rapi banget.
Lupus jadi ketawa.
"Aduh, Aji, kamu cemburu ya? Apa kamu pikir
saya naksir dia? Wah, jangan mimpi dong. Saya
cukup tau diri kok. Apa enaknya sih pacaran
dengan artis terkenal kayak gitu? Bikin tekanan
batin aja. Kita kan belum terbiasa dengan gaya
hidup mereka. Yang easy come easy go itu. Wah,
mending jangan deh. Lagian belum tentu dia bisa
terbuka sama saya kayak gini kalau dia jadi pacar saya. "
"Jadi mendingan seperti sekarang. Saya cuma
bikin laporan yang bagus buat majalah. Masa sih
persahabatan kita bisa puttlS cuma karena hal-hal
yang sepele kayak gini, Ji? Lupakan semuanya, Ji,
kita kembali seperti dulu. cari bintang baru lagi
yang cakep, terus kita wawancara sama-sama lagi.
Siapa tau yang berikutnya jodoh kamu. Hehehe....
Gimana? Asyik, kan? Petualangan begini penting
lho untuk mengenal beberapa karakter cewek-
cewek. Jadi kalau udah dapet pacar kayak gitu
nggak kaget lagi. Satu hal yang harus kita jaga,
jangan mudah ge-er kalau ada orang-orang seperti
itu nampak memberi perhatian yang lebih kepada
kita. Karena kan belum tentu dia naksir kita. Iya, nggak?"
Aji bangkit. Memandang tersenyum ke arah
Lupus. Lalu meninju perutnya dengan pelan.
Keduanya pun tertawa keras berbarengan.
4. PHK
Pasalnya ya karena si Lupus. Makhluk itu selama
ini memang dikenal sebagai 'teman tetap' Poppi.
Kadang jajan di kantin sama-sama, ngerjain temen
sekelas sama-sama, bikin pe-er sama-sama atau
juga ngejar layangan putus yang kadang nyasar ke
lapangan kalau lagi pelajaran olahraga.
Pokoknya kompak deh! Apalagi kalau lagi musim
ulangan. Tapi belakangan ini Lupus jarang masuk.
Jarang maen ke rumah Poppi. Meski memang
tidak pernah rutin malam Minggu apel, tapi nggak
biasanya sampai tiga kali berturut-turut seperti
kali ini. Poppi memang maklum sama sifat Lupus
yang angin-anginan. Yang nggak bisa dipegang
buntut-buntutnya. Sebagai cewek, dia udah begitu
cukup pengertian. Tapi Lupusnya ini, kok ya
nggak sadar-sadar. Selalu bikin keki.
Seperti waktu Ruri, cewek yang doyan nggosip
itu, sibuk nggosip tentang dirinya sendiri (Kok
ada ya orang yang begitu?). Ke sana ke sini
memamerkan foto close-up yang katanya
cowoknya yang baru, "Newcomer. Baru semalem
resmi jadi pacar saya yang ketujuh," katanya
bangga. Dadanya sampai membusung (eh, nggak jorok,
lho!). Lupus yang datang ke kelas belakangan, tak
luput kena pameran foto tunggal tersebut.
"Kece nggak, Pus?" Ruri berkata penuh semangat.
"Siapa sih? Penyanyi dangdut, ya?" tanya Lupus serius.
Ruri jelas keki berat.
SUATU kali dalam hidupmu, pernahkah kamu
merasa begitu sepi? Membuka jendela kamar kala
semuanya terlelap dalam mimpi, dan merasa
sendirian di tengah alam semesta yang begitu luas?
Pernahkah? Pernahkah kamu merasa begitu benci kepada tawa
anak-anak kecil yang bermain di halaman sebelah
rumahmu? Sehingga lagu terindah bagimu
hanyalah gesekan angin pada pucuk-pucuk
cemara dan rontoknya daun-daun kering di musim
kemarau? Nah, ketauan. Kalau begitu kamu pasti lagi
frustasi. Ngaku aja. Samaan kok sama Poppi.
Poppi ini belakangan memang sering uring-
uringan kayak gitu. Kerjanya seharian, kalo
enggak dengerin kaset-kaset model Patah Hatinya
Rachmat Kartolo (enggak usah berlagak mikir,
kamu pasti apal lagunya. Eh, kita nggak nuduh
lho, cuma nebak aja!), ya nyoret-nyoretin buku
harian. Atau bengong berat kayak seniman
keabisan inspirasi. N ggak napsu makan, nggak
napsu bobok, dan yang paling gawat, jadi segen mandi.
Tapi sebetulnya nggak bakalan segawat ini kalo
nggak ada gosip yang mengatakan bahwa Lupus
punya cewek lagi. Nggak jelas pacaran sama
siapa, tapi desas-desus itu memang lagi ngetop.
Ada yang bilang sama artis penyanyi kondang
Evita Fanny; ada yang bilang sama anak kelas
satu yang baru:
Poppi tadinya nggak begitu mudah percaya, tapi
bukti-bukti memang ada. Dua hari yang lalu, anak
itu memang masuk. Dengan santainya menaruh
tas di bangku, lalu kelayapan keluar kelas lagi.
Sama sekali tak menyapa Poppi yang duduk
dengan manis di bangkunya. Sibuk ngeceng ke
kelas-kelas baru.
Poppi jelas panas. Buntut-buntutnya ya seperti
tadi itu. Samaan sama kamu. Suka ngelamun
sendirian. Kenapa ya, cowok itu cenderung nggak
setia? Apa karena di dunia ini memang lebih
banyak cewek, sehingga cowok leluasa pacaran
dengan lebih dari satu cewek? Biar adil, kebagian
semua, begitu? Ih, amit-amit. Itu pendapat gila.
Nggak berperikewanitaan. Lebih baik cewek-
cewek nggak usah pacaran sama sekali. Lagi
pula, apa sih hebatnya Lupus itu? Kalau mau saya
bisa aja mendapat sejuta 'lupus' lain yang lebih
dan dirinya, batin Poppi.
Memang benar. Poppi toh cantik. Dengan
rambutnya yang lebat itu, banyak cowok yang
enggak tahan untuk tidak melirik beberapa detik
kepadanya. Terus kenapa Poppi jadi begitu
frustasi hanya karena Lupus?
Itulah cima.
Poppi sudah terlanjur menyukai semua yang ada
pada diri Lupus. Orang yang lebih baik atau lebih
cakep dari Lupus itu banyak. Jalan-jalan di pasar
swalayan, kamu bisa menemukan makhluk kayak
begitu sepuluh biji. T api ibarat barang tiruan,
yang sama ya luarnya aja. Isinya tetap nggak ada
yang se-qualified Lupus (taela!). Maksudnya
sifatnya, tingkah lakunya, lengkap sama gaya-
gayanya yang rada norak. Juga sikapnya yang
penuh perhatian, walau kadang bikin keki.
Gimana nggak penuh perhatian? Dia bisa begitu
sopan di depan orang tua Poppi. Bukan sopan
yang dibuat-buat, tapi nampak wajar. Di samping
juga sering membawakan mereka oleh-oleh.
Jarang-jarang lho, ada cowok yang begitu
memperhatikan calon mertuanya kayak gitu. Pun
ketika lebaran kemarin, dia dengan serius ngomong
sama Poppi, "Pop, sayang sekali untuk
lebaran kali ini, rejeki saya nggak begitu banyak.
T api biar deh, demi kamu saya ngalah aja. Saya
rela, lebaran kali ini biar calon mertua kamu aja
yang saya kasih hadiah...."
Poppi yang tadinya udah siap-siap untuk terharu,
jadi keki banget.
Di samping itu, Lupus juga ngetop sekali. Fans-
nya bukan hanya di lingkungan sekolah dia aja,
tapi juga melimpah ke luar sekolah. Buktinya
kalau dia turun dari bis sepulang sekolah, histeria
massa selalu terjadi. Puluhan abang-abang becak
dengan semangat '45 menarik-narik bajunya.
Bukan minta tanda tangan, cuma mau menawari
(dengan sedikit paksa) Lupus untuk naik
becaknya.
Lupus juga termasuk anak yang susah dikerjain.
Padahal dia hobi banget ngerjain orang. Sampai
pernah suatu ketika anak-anak cowok di kelasnya
kompakan untuk sekali-sekali ngerjain Lupus.
Mereka semua ngumpul di toilet. Mengatur
strategi penjebakan.
"Kita kunci aja di WC. Dia kan hobi banget ke
belakang. Beberapa dari kita memantau ke mana
dia pergi. Begitu masuk wc, kita kunci dari luar.
Biarkan beberapa saat sampai dia mabok dulu.
Setuju?"
Agak sadis memang, tapi toh pada setuju. wc di
sekolah Lupus memang rada sulit dibuka dari
dalam, tapi dengan mudah dikunci dari luar.
Tinggal mengaitkan engsel kuncinya, beres!
Namun ketika mereka baru selesai berembuk,
sampai bela-belain menahan bau yang ngujubileh
itu biar nggak ketauan, tiba-tiba Lupus keluar dari
wc sambil cengengesan. "Hayo, mau merencana
kan usaha pembunuhan ya?"
Teman-temannya yang mengira aman berembuk
di toilet itu, jelas pada keki berat. Usaha mereka
jadi gatot. Gagal total.
Itu hanya sebagian keunikan Lupus. Belum lagi
kisah gombal Lupus waktu nonton film sama
Poppi. Dia kelupaan ninggalin Poppi di bioskop
sendirian. Langsung pulang aja. Soalnya nggak
biasa nonton bareng cewek sih. Di tengah jalan
dia baru sadar, ketika merasa ada yang kurang
beres.
Tapi sabar itu memang ada batasnya. Saling
pengertian itu bisa jalan kalau ada kesadaran dari
dua belah pihak. Poppi sudah menjalankan semua
itu dengan baik. Tinggal Lupus yang belum. Jadi
kenapa harus menyesal putus dengan dia? Poppi
malah harus bersyukur, karena dia tau kejelekan-
kejelekan Lupus lebih awal. Sebelum segalanya
terlambat. Dan cinta itu tidak buta. Justru
sebaliknya, kita harus melihat kepribadian pacar
kita sampai yang terkecil.
Saya bisa berbuat seperti Lupus! tekad Poppi.
Maka, Poppi pun mencampakkan foto Lupus yang
lagi nyengir di atas meja belajarnya. Lalu duduk
di depan kaca, dan mencoba menyisir rambutnya
yang kusut. Di sana, dia seakan menemukan
dirinya sendiri. Dirinya yang baru. Dengan
semangat baru.
Dan besoknya, dia langsung menolak ketika mau
diamar ke sekolah, "Enggak, Pa. Saya mau naik
bis aja. Sekali-sekali kan boleh. Pingin seperti
teman-teman. "
Bapaknya jelas heran. Soalnya baru sekali ini
Poppi nggak mau diantar ke sekolah. Tapi Poppi
memang punya alasan yang nggak boleh diketahui
orang tuanya. Dia sering denger cerita, orang yang
naik kendaraan umum itu lebih enteng jodoh
ketimbang yang diantar jemput. Soalnya,
kemungkinan ketemu orang yang belum dikenal
lebih besar daripada diantar supir sendiri. Apalagi
pada jam-jam sekolah, kala bis kota seperti bis
sekolah saja. Berisi anak-anak sekolah dari segala
jenis.
Poppi belum pernah merasakan itu. Makanya ia
begitu ingin. Dia juga tau kalo Lupus itu sering
kenalan dengan cewek-cewek lain di bis. Seperti
gosip yang menyebar itu, yang mengatakan bahwa
Lupus kenal sama cewek baru kelas satu itu di bis.
Katanya rumah ceweknya itu dekat dengan rumah
Lupus. Suka naik bis bareng-bareng.
Jadi kenapa Poppi nggak coba begitu?
"Tapi sekolah kamu kan jauh, Pop? Harus dua
kali naik bis?" bapaknya mencoba membujuk.
"Nggak apa-apa."
"Kalau ada tukang copet atau apa begitu?"
"Nggak takut."
Dan pagi itu, jalanlah Poppi sendirian ke tempat
pemberhentian bis. Menunggu metro-mini jurusan
Blok M. Tapi Poppi bener-bener nggak nyangka
kalau pada jam-jam sekolah begini bis-bis pada
penuh semua. Sarat dengan penumpang, yang
bukan anak sekolah aja. Tapi kuli-kuli bangunan,
orang kantoran atau juga inem-inem yang mau ke
pasar. Poppi yang tak mau menanggung rekiso eh,
risiko terlambat, langsung saja menyetop metro-
mini walau sarat dengan penumpang. Metro itu
langsung berhenti. Sejenak Poppi terpana di
tempat. Gimana cara masuknya? Kok penuh
banget?
"Ayo, Neng, .cepat! Kosong kok di dalam," rayu
kondektur itu sambil menarik-narik tangan Poppi.
Sementara di bangku belakang, sederetan anak
muda bersorak-sorak menggodanya. Dia stil
cuwek.
Poppi naik ke tangga. Dari belakang, kondektur
yang kurang ajar itu mendorong-dorong dia.
Memaksanya untuk masuk lebih ke dalam lagi. A-
duh . orang kok udah kayak sarden aja? Dijejel-
jejelin. Mana atap metro itu rendah sekali.
Terpaksa Poppi berdiri sambil membungkuk.
Berbaur dengan keringat-keringat orang lainnya.
Dan ia keki banget, karena cowok-cowok yang
kebagian duduk, nggak mau berdiri untuk
memberikan kursinya kepada Pppi. Malah asyik
baca buku teks sekolah. Sial, apa ini yang
namanya emansipasi?
Tapi pemuda itu ya nggak bisa disalahkan. Dia
toh nggak mungkin bela-belain ngasih duduk buat
Poppi, untuk kemudian ikutan berbungkuk-ria
bersama para penumpang lainnya. Kan pegel
sekali tuh. Mana biasanya metro itu jalannya
kayak keong. Pelan banget. Nggak puas-puasnya
cari penumpang lain. Poppi jadi nyesel. Ternyata
naik bis umum tak seindah yang dia bayangkan.
Gimana bisa cari jodoh dengan keadaan kelipet-
lipet begini? Apa karena belum biasa aja? Untung
hari masih pagi. Saat orang baru pada mandi, dan
belum berkeringat. Coba kalo nanti siang. Idih!
POPPI jadl nyesel tadi pesan kalo siang nanti
nggak usah dijemput.
***
Tapi usaha untuk membalas sakit hatinya tidak
kandas sampai di situ. Tak seperti biasanya, Poppi
menerima ajakan Fadly yang memang sering
menggodanya. Nonton bersama, ke diskotik
bersama; ke restoran mewah bersama. Kencan
dengan Fadly memang lebih enak. Dia lebih
banyak tau tentang tempat-tempat yang biasa
dikunjungi remaja. Yang sebelumnya nggak
pernah dikunjungi Poppi. Tetapi tetap, Poppi
merasa ada yang kurang. Saban malam, dia masih
sering merasa sendiri lagi. Kebahagiaan itu
memang hadir saat dia berjalan-jalan dengan
Fadly. Tetapi setelah itu, dia seperti dikembalikan
kepada dunianya yang sepi. Merasa sendiri lagi di
waktu malam. Aneh, biasanya nggak begini kok.
Dia bener-bener nggak bisa membohongi dirinya
sendiri, kalau kadang-kadang saat malam telah
larut-dia rindu pingin ketemu Lupus. Pingin
ngobrol-ngobrol dengannya. Pingin jalan-jalan
lagi menelusuri pusat pertokoan. Jalan sama
Lupus banyak seninya. Maka malam itu Poppi
sudah nggak tahan lagi.
Dia buat surat yang panjang sekali buat Lupus.
Menanyakan kebenaran gosipnya dengan anak-
anak baru di kelas satu. a ya, Lupus sekarang
sudah naik ke kelas dua.
***
Di suatu pagi yang dini, Lupus terlihat
menghampiri Poppi yang sendirian di kantin sepi.
Anak-anak banyak yang belum datang. Memang -
sudah diatur begitu kok, supaya suasananya lebih
mesra.
"Hai, Pop, saya udah terima surat kamu. Hebat.
Ternyata kamu berbakat jadi pengarang novelet,"
sapa Lupus begitu dekat. Poppi membuang muka.
Tapi, oh God, dia rindu suara jelek Lupus itu.
"Dan sekarang terbongkar bukan skandal-skandal
mu dengan para bintang-bintang baru itu? Iya?"
sahut Poppi ketus.
"Hei, you have no right to say like that to me!"
Lupus jadi serius.
"0, yes I do!" Poppi nggak mau kalah, "Ngaku aja.
Beritanya sudah menyebar kok. Kamu pacaran
sama artis Evita itu, sama anak kelas satu atau
sama anaknya ibu kantin yang di Bandung. Iya,
kan? Apa sih yang kurang dari saya selama ini?
Saya sudah cukup pengertian, cukup sabar,
cukup... apa lagi ya?"
"Cukup kasih sayang...."
"Ya, betul. Cukup kasih sayang. Terus apa lagi
yang kamu tuntut, he?"
"Enggak ada. Saya nggak nuntut apa-apa kok.
Cuma kamu lupa, pacaran itu juga harus pake
rasio dong. Pake pikiran yang matang.
Kedewasaan."
"Lho, apa kamu anggap saya ini nggak punya
rasio?"
"Punya, tapi ketutup emosi kamu. Coba aja kamu
pikir, mana sempat saya pacaran dengan gadis
sebanyak itu. Sama kamu aja, saya udah sering
kerepotan. Saya kan meski masih sampingan,
udah kerja juga. Coba-coba belajar cari duit.
Hampir seluruh waktu luang saya tersita untuk
kerjaan saya di majalah. Wawancara, nulis berita,
les Inggris, melukis, belum lagi kalau di kampung
ada kondangan. Kan rugi sekali kalau enggak
datang.
"Jadi mana sempat? Dan semua itu saya lakukan
demi kamu., Demi masa depan saya...."
Poppi jadi diam. Tapi toh belum puas, "Lalu,
ngapain kamu setiap masuk sekolah sering
ngeceng ke kelas-kelas satu heh? Pokoknya saya
minta PHK!"
"Apa itu PHK?"
"Putus Hubungan Kekasih."
"Aduh, Poppi, kamu kok sempit amat pikirannya?
Saya ke kelas satu itu juga dalam rangka tugas.
Kali ini saya mau nulis abis-abisan tentang posma
sekolah. Yang meski dilarang, tapi masih juga
ada. Dan sebetulnya tujuannya kan baik. Buat
menjalin keakraban, asal tidak disalahgunakan.
Itulah, makanya saya bolak-balik ke kelas satu.
Minta pendapat dari masing-masing mereka.
Kamu ngerti kan sekarang?"
Poppi diam.
"Sebetulnya saya sedih banget nggak ketemu-
ketemu kamu. Apalagi saya tau kamu belakangan
ini sering pergi sama Fadly. Iya, kan?" Lupus
berkata sedih.
Kali ini Poppi benar-benar terharu. "Kamu
cemburu ya, Pus?" "Iya. "
"Lupus..., sebetulnya saya nggak mau begitu.
Saya cuma cari kompensasi aja. Abis kamu juga
sih gara-garanya. T api sekarang saya percaya kok
sama kamu...," suara Poppi makin pelan. Dan
mereka saling membisu.
Suasana haru itu terganggu ketika seorang gadis
masuk ke kantin. Celingak-celinguk ke dalam.
Dan matanya bersinar ketika melihat Lupus.
"Eh, Kakak namanya Lupus ya?" sahut gadis itu
kemudian.
Lupus mengangguk heran.
"Aduh, dari tadi dicariin. Ini lho, ada titipan surat
dari Wida. Tau, kan? Yang anak kelas satu itu.
Katanya balesan surat Kakak yang kemarin....”
Poppi langsung melotot ke arah Lupus.
"Eh, sabar, Pop. Sabar. Namanya juga orang
usaha. .. kan boleh. Sabar dong kamunya. Siapa
tau isinya ditolak...."
Tapi Poppi langsung pergi meninggalkan Lupus.
Tinggal Lupus yang kerepotan seharian merayu Poppi.. ..
5. Ngritik Ni Ye...
PPS, Posma, Plonco, Mapram, Mapras atau apa
kek namanya, persetan!
Gini ya, sebetulnya saya masih nggak ngerti apa
yang bisa ditarik dan didapat dari program kuno
norak tersebut. Coba apa? Apa hikmah pelajaran
yang didapat dari itu semua? Terus terang, saya
antipati dengan yang begituan itu. Hanya orang-
orang yang bodo aja yang mau terjebak ikut
gituan' Beneran. Saya heran, kok ya selama ini
ada orang yang mau ngikut program gituan. Apa
sih SMA Merah Putih' itu? Kayak lembaga yang
gimanaaa gitu. Mau masuk aja harus ikut PPS,
Posma, Mapram, Mapras, Plonco, dsb, dst, dll....
Padahal pas udah jadi pelajar beneran juga belum
temu serius belajar. Nggak terus jadi hebat, kuat
mental, tahan cobaan, dsb! Kebanyakan malesnya.
Sekolah cuma buat formalitas, iseng-iseng
daripada nganggur. Numpang bercanda, nggosip,
nampang, cari perhatian, nyombong... wah,
macem-macem deh. Iya, kan? Hayo, ngaku aja.
Makanya, buat apa ikutan program tersebut?
Apalah artinya jika setelah itu kita masih bersikap
childish. Kekanak-kanakan. Apa tujuan program
itu diadakan! Jawaban dari mereka-mereka adalah
(sudah pasti) klise, "Begini, soalnya agar para
siswa nantinya cinta pada sekolah 1m, mentalnya
kuat. Ini kan sebagai tes mental. Sebagai cobaan.
Supaya begini agar nanti begitu...."
Gombal!
Ketahuilah bahwa tes mental yang sebenarnya ada
pada kehidupan yang sedang kita jalani.
Bagaimana kita menghadapi segala cobaan yang
menerpa diri kita. Itu baru namanya tes mental!
Bukan seperti Posma, Mapras, Plonco..., yang
begini sih apaan. Norak! Yang ada di kegiatan
tersebut cuma sandiwara belaka. Kepura-puraan
yang nggak lucu. Permainan orang-orang
frustrasi, gila hormat, gila perhatian, kompensasi
negatif..., pokoknya nggak sehat sama sekali.
Apa sih yang mau ditunjukin oleh mereka-mereka
sebagai panitia program tersebut? Memerintah ini
dan itu, marah-marah, membentak-bentak orang
tanpa alasan yang jelas (pura-pura galak ni ye...).
Emangnya main drama? Atau mungkin mereka
adalah para seniman gagal? Bisa jadi.
Tapi, apa nggak ada cara yang lebih manusiawi?
Terutama kalau di universitas-universitas. Ih! Kan
ada penataran P4 sebagai gantinya itu semua.
Jangan dikira orang-orang yang digojlok .itu nggak
sakit hati, lho! Mereka kan juga manusia, bukan robot.
Ada juga yang bilang sebagai perkenalan antara
para senior dengan murid baru. Kayaknya kalau
cuma sebagai perkenalan nggak perlu pake
guling-gulingan di tanah, push-up, muka
dicoreng-coreng kayak Hiawata (kalo nggak tau
Hiawata, Humpa-pa juga boleh!)
Demi Tuhan, dari kecil saya nggak punya cita-cita
untuk diperlakukan seperti itu. Udah gitu seharian
lagi. Kadang sampai malam (katanya!).
Coba bayangkan, bagaimana kalau sampai ada
yang pingsan lalu koit. Mungkin saya terlalu
berlebihan dan emosional dalam melihat masalah
ini, tapi bukan tak mungkin hal itu terjadi.
Soalnya daya tahan orang kan nggak sama.
Terutama yang cewek-cewek. Coba bayangkan,
bagaimana perasaan orang tua mereka jika anak
yang diharapkan untuk jadi 'orang', meninggal
hanya gara-gara ikut Posma. Saya bukan
mengada-ada nih. Emang bener ada. Adda aja!
Adalah bohong alias nonsense bahwa Posma itu
untuk menambah keakraban antara para senior
dengan siswa baru (sok akrab ah!). Kalau mau
akrab, kenapa nggak kenalan aja secara baik-baik
dalam suasana damai dan bersahabat. Kan lebih
simpatik dan beradab, ya nggak? Percaya deh,
program 'pembantaian' itu sungguh nggak sehat.
Cuma menimbulkan rasa tak senang, rasa
dendam, rasa permusuhan dan rasa-rasa antipati.
Pokoknya yang bersifat negatif.
Bayangkan, udah uang sekolah masuk SMA ini
mahal, ikut Posma (bayar uang formulir juga),
disiksa.... Wah! Tapi kok pada nurut aja? Aneh
tapi nyata. Berontak dong! Kita kan di negara ini
punya hak untuk bersuara. Bebas. Merdeka. Hak -
untuk tidak diperlakukan semena-mena. Sesuai
dengan UUD '45 pasal 28 dan pasal 27 ayat 2
(Cie... hapal ni ye...). .
Jika saja saya nantinya mengalami hal-hal seperti
tersebut di atas dan untuk itu saya diberi sertifikat
Posma/PPS, saya akan bakar kertas sialan itu.
Fortunately, I didn't have such a disgusting,
miserable and useless thing. Because I didn't and
I'll never participate in an uncivilized program for
the rest of my life. Honest! (Yang masih susah
menangkap arti kata-kata ini, atau emang nggak
ngerti sama sekali, bunuh diri aja mendingan.:..)
Sembilan dari sepuluh dokter yang saya minta
pendapatnya mengatakan bahwa Posma tidak baik
dan sangat tidak sehat bagi perkembangan mental.
Memperlemah daya hidup. Dengan kata lain,
hanya orang-orang idiot sajalah yang mau
mengikuti, dan hanya orang-orang yang
berpenyakit jiwa sajalah yang terlibat sebagai panitia.
Bener. It's okay? Mudah-mudahan selebaran ini
bisa jadi input buat kita. Agar mata hati kita jadi
terbuka. Abu Nidal.
***
Itulah selebaran yang beredar tadi pagi. Ditempel
di tembok-tembok, di papan pengumuman atau di
kantin. Dan tentu saja para panitia Mapras seperti
ditempeli tai kodok wajahnya. Marah, malu,
kesal. Tapi siapa yang mengedarkan selebaran
gelap itu? Yang meminjam nama teroris jebolan
PLO itu? Gila, penulis gelap itu benar-benar mau
cari setori.
Bisa ditebak, Andang-lah yang paling
kebingungan dengan beredarnya selebaran gelap
tersebut. Soalnya, dia yang paling ambisius
mengadakan program Mapras itu.
Kemarin-kemarin, dia memang nampak (sok)
sibuk sekali ngurusin pembentukan panitia. Walau
bukan ketua OSIS, tapi semangatnya melebihi
semangat kaum pejuang angkatan '45. Waktu ada
rapat panitia, bicaranya berapi-api. Kayak uler
naga. Makanya, kini dia bingung sekali. Dengan cepat,
dia mengumpulkan para anak buahnya dalam
rapat gelap seusai sekolah.
"Bagaimana ini? Semua bisa berantakan.
Bagaimana mungkin kita bisa kecolongan kayak
gini. Kalian tau semua, pamflet itu sudah tersebar
ke mana-mana. Semua anak baru pasti sudah
membaca. Dan bagaimana kalau mereka
terpengaruh dan mengadakan aksi protes? Huh,
sial. Pasti ada oknum yang nggak suka sama
rencana kita bikin Mapras. Memang sih, kegiatan
kayak begini nggak boleh lagi. Tapi yang
namanya tradisi nggak boleh hilang dong!"
Andang nyerocos.
Teman-temannya cuma manggut-manggut aja.
Lupus juga. Lagi nggak interes sama kicauan
Andang. Dia ngamuk berat. Ini kan jamnya orang
tidur siang. Mending kalau rapatnya ada
konsumsi. Huh!
Tapi kamu nggak tau masalahnya, ya? Gini. Si
Andang, dengan rekomendasi dari ketua OSIS
terpilih jadi ketua program Mapras. Kegiatan ini
sendiri secara tertulis sebetulnya tidak boleh. Pun
di universitas-universitas. Diganti dengan yang
lebih mendidik, seperti P4, kebersihan kelas, dan
sebagainya! Tapi, seperti biasa, apa yang tertulis
tidak selalu cocok dengan kenyataannya. Apalagi
SMA Merah Putih ini bukan sekolah negeri. Jadi
peraturan bisa sedikit lain dengan negeri. Dan
Mapras itu sudah mentradisi di setiap tahun ajaran
baru. Nggak berat sih, nggak kayak di universitas
swasta. Tapi ya yang namanya Mapras, tetap saja
nyebelin. Jadi nggak adil dong kalau tahun ini
program gelap itu ditiadakan. Makanya anak-anak
kelas dua dan tiga ngotot mau mengadakan
Mapras. Sedangkan guru-guru cuma angkat bahu
saja, memaklumi acara yang sudah mentradisi ini.
Tapi kalau anak-anak kelas satunya berontak,
berarti mengancam kelangsungan jalannya
kegiatan tersebut. Beneran. Soalnya secara resmi,
anak-anak senior tak punya izin dari kepala sekolah.
Makanya mereka sekarang kebingungan. .
"Ayo dong, gimana jalan keluarnya. Apa kita
harus mencari siapa yang membuat dan
menyebarkan pamflet tersebut? Ayo dong. Ada
pendapat nggak? Lupus, kamu kok dari tadi diem
melulu. Gimana nih wartawan kita...."
Lupus cuma menggaruk-garuk rambutnya dengan
males. Dia di samping ngantuk memang lagi sedih
banget. Gara-gara di- PHK sama ceweknya,
Poppi. Jadi sama sekali nggak lagi mood untuk
ngasih ide. Andang pun melemparkan pertanyaan
kepada anak lainnya. Di situ ada Irvan, Boim
playboy duren tiga, Andy, Roni, bahkan Ruri
biang gosip yang cerewet. Tumben, kali ini Ruri
nggak banyak omong. Mungkin lagi sakit gigi.
Tapi kompensasinya jadi kentut melulu. Sudah
tiga anak jadi korban, dan pindah tempat duduk.
Nggak mau dekat-dekat dia lagi.
Rapat pun semakin ramai ketika ketua OSIS
muncul. Anak-anak lain juga mulai berdatangan.
Membahas kemungkinan siapa yang membuat
pamflet itu. Membahas jalan keluar yang
ditempuh. Ketika mereka saling berdebat, Lupus
jadi suntuk. Secara diam-diam dia menyelinap
keluar.
Dia memang kurang suka acara begituan.
Mending jajan, terus pulang.
***
Sampai keesokan harinya, mereka para senior
belum menemukan jalan keluar yang baik. Juga
siapa penulis selebaran gelap itu. Meski sudah
dipastikan ada dua kemungkinan; anak baru atau
justru seorang senior yang nggak setuju
diadakannya acara tersebut.
Cuma Lupus yang kelihatan tak peduli. Ketika bel
istirahat, dia duduk sendirian dibelakang kantin.
Menikmati bihun goreng yang dibungkus daun.
Secara iseng membaca selebaran
yang konon membuat heboh itu. Sebagian
memang sudah dirobek, tapi secara misterius bisa
muncul kembali.
Lupus membaca dengan saksama. Hm, boleh
juga, gumamnya. Tapi tiba-tiba dia menemukan
sesuatu. Sesuatu yang mungkin bisa mengungkap
kan rahasia si penulis gelap tersebut. Ini pasti
bikinan anak baru. Yang nggak setuju diadakan
Mapras. Karena di beberapa bagian, dia
menyebutkan bahwa dia belum pernah mengikuti
Mapras. Dan meski tampak berusaha
menghilangkan identitas, emosinya menunjukkan
emosi seorang cewek. Ditambah beberapa kalimat
berbahasa Inggris yang kelihatan nge-prof. Aha,
dengan data-data ini masak nggak bisa
menemukan siapa penulisnya?
***
Lupus sama sekali tak mengira kalau yang
namanya Rina itu orangnya kecil, lembut dan
ehm, manis. Anak itu begitu pucat dan ketakutan
ketika sadar bahwa rahasianya telah terbongkar.
"Nggak sulit, tadinya cuma menebak aja. Saya
melihat ada tiga petunjuk. Pamflet itu
menunjukkan kelincahan, emosi, dan kemampuan
berbahasa Inggris si penulis. Tak banyak yang
memiliki tiga kelebihan seperti itu. Maka saya
pergi ke kantor administrasi sekolah. Melihat
semua data anak kelas satu. Kamu mungkin ingat,
ketika baru masuk sekolah setiap siswa
diharuskan menyerahkan biografi singkat beserta
prestasi yang pernah diraih, untuk memudahkan
penyaluran pelajaran ekstrakurikuler. Iya, kan?
Dan di situ saya membaca namamu. Rina.
Prestasi: juara mengarang berbahasa Inggris yang
diadakan oleh UNICEF. Nah, klop sudah. Hanya
kamu yang memenuhi tiga petunjuk itu. Ditambah
lagi alamat rumahmu dekat dengan sekolah. Itu
memudahkan kamu untuk menempel pamflet di
malam hari. Dan sekaligus memudahkan saya
mencari rumahmu.
"Ngomong-ngomong, jago juga Inggris-mu.
Belajar di mana? Pernah ke luar negeri, ya?"
tanya Lupus panjang lebar.
Rina tak menjawab. Dia masih tampak ketakutan.
"Tap... tapi, Kak, saya tidak... eh, maksud saya,
saya cuma melampiaskan rasa kesal saya. Saya
benci sekali acara mapras-maprasan seperti itu."
"Kenapa?"
Dia tak segera menjawab. Seperti menimbang-
nimbang dulu. Lupus tetap menunggu.
"Karena Kakak saya. Dia cedera waktu ikut
Mapras di universitasnya. Ketika itu dia disuruh
membawa balon gas yang banyak ke atas gedung
untuk dilepaskan. Tiba-tiba ada seorang panitia
yang merokok. Apinya mengenai balon tersebut.
Seketika meledak. Wajah kakak saya terbakar.
Terpaksa dirawat di rumah sakit. Siapa yang
menanggung risiko kalau begini?"
Lupus tercekat. Dia melihat mata Rina berair.
Dia sendiri sebetulnya kurang suka pada acara
tersebut. Apalagi kalau mendengar cerita-cerita
orang lain yang tampak sadis. Pantas saja Rina
begitu menentang mapras di SMA Merah Putih.
"Tapi kamu lupa, Rin, itu kan di universitas. Dan
kini juga mulai dilarang kalau sampai keterlaluan.
Itu juga bukan disengaja. Nah, untuk SMA kita,
nggak terlalu berat kok. Paling membersihkan
halaman, kelas, dan-yeah, dibentak-bentak sedikit.
Kamu tau, Rin, masa-masa perkenalan sekolah itu
adalah masa yang paling berkesan buat kita,
sebagai remaja. Saat kita merasa senasib, nggak
beda kaya atau miskin. Sama-sama dicabut
haknya. Pokoknya berkesan deh, meski kalau
disuruh mengulangi... wah. Amit-amit. Ogah.
Saya juga tadinya benci sekali. Tapi pas malam terakhir,
di mana kita semua bikin acara ke luar
kota, wah- rasanya terharu sekali. Rugi deh, kalau
nggak pernah ngerasain."
Dan beberapa hari kemudian, Mapras itu sendiri
tetap dilaksanakan. Kep-sek berbaik hati
menurunkan izin resminya, sehingga anak-anak
kelas satu mau nggak mau harus ikut. Tentu saja
Lupus tetap merahasiakan identitas Rina,
sehingga ketika Mapras itu berlangsung, para
panitia sudah melupakan selebaran tersebut.
Lupus kini sedang sibuk mencari-cari Rina di
antara para siswa baru yang dikuncir lima
rambutnya. Maksudnya, siswa cewek, gitu. Semua
siswa baru itu sedang mendapat tugas meminta
tanda tangan para senior sebanyak-banyaknya.
Tentu saja para senior jadi serasa bintang film
ngetop, dikejar-kejar untuk dimintai tanda tangan.
Hm, Rina bener juga. Anak-anak senior memang
lagi pada norak. Apalagi Boim. Dengan
kampungannya dia menyuruh setiap siswa baru
merayunya untuk mendapatkan satu tanda tangan.
"Lupuuuus..." panggilan nyaring di kejauhan
mengagetkannya. Lupus menoleh, eh... itu dia si
Rina. Berlari-lari kecil ke arahnya sambil tertawa
senang.
"Trims ya, kamu nggak ngadu soal selebaran itu.
Bayangin aja kalau para senior tau. Wah, saya
bakalan dikerjain. O ya, minta tanda tangannya
dong, Kak Lupus."
Lupus tersenyum sambil memberikan sepuluh
tanda tangan di buku Rina.
Dan ketika Mapras berakhir, semua siswa baru
berkumpul membentuk lingkaran api unggun.
Udara malam dingin menggigit. Tapi kehangatan
menyelimuti masing-masing siswa. Irvan, tampak
lengket dengan salah satu siswa baru. Boim juga
begitu. Apalagi Andang. Wih, mesra. Maka nggak
salah kalau Lupus pun berdiri berdekatan dengan
Rina.
Semua menyanyikan lagu Auld Lang Syne.
Tapi sebetulnya lagu itu lebih pantas Lupus
nyanyikan untuk Poppi, bukan untuk Rina. Dan
kayaknya sekarang sudah jelas, apa arti Mapras
bagi mereka semua. Ya, apa lagi sih kalo bukan
cari jodoh. He he he....
6. Permen. Karet
PERNAH sakit gigi?
Kalau mau tau rasanya, tanya aja sama Lupus.
Sekarang ini dia lagi uring-uringan banget nggak
bisa tidur gara-gara sakit gigi. Rasanya,
ngujubileh! Senut-senut kayak disetrum listrik
ribuan watt. Kalau disuruh milih, Lupus lebih mau
sakit hati daripada sakit gigi. Kalau sakit hati kan
setidak-tidaknya bisa cuwek. Nggak usah
dipikirin, walau hatinya dongkol. Tapi kalau sakit
gigi? Gimana bisa cuwek? Tidur aja nggak bisa.
Padahal segala macam obat sudah dicoba. Dari
ramuan tradisional macam minum air garam,
menetesi gigi dengan getah daun kemboja, sampai
minum antibiotika, tetap aja terasa sakit.
Dasar penyakit nggak tau diri. Padahal kan ini sda
leat jam dua belas malam. Waktunya orang lain
tertidur nyenyak. Mbok ya ditunda dulu
dilanjutkan besok pagi. Kasihan kan si Lupus
nggak bisa tidur. Mana besok pagi ada ulangan
lagi.
Tapi Lupus memang bandel juga sih. Kebanyakan
makan permen karet atau makanan yang manis-
manis lainnya. Makanya nggak heran kalau
giginya jelek banget. Pada bolong-bolong. (Tapi
nggak kuning, lho. Dia cukup rajin gosok gigi
kok. Sehari tiga kali.)
Sebetulnya tadi siang, waktu Lupus mengeluh
terus karena sakit gigi, ibunya sudah menyuruh ke
dokter gigi. Tapi Lupus ogah. Dia paling alergi
pergi ke dokter. Ngeri ngeliat alat kedokteran yang
tajem-tajem. "Serasa menyerahkan diri
untuk dibantai!" tolaknya.
Dan akibatnya sekarang? Semaleman dipaksa
begadang. Rasanya pingin banget dia teriak keras-
keras. Habis keki, kok yang lain bisa-bisanya
tertidur lelap. Apalagi si Lulu, adiknya.
Ngoroknya terdengar saingan dengan suara
kodok-kodok di luar. Sinkron banget. Seolah
ngeledek Lupus. Hampir-hampir aja Lupus punya
niat jahat membunyikan weker antiknya yang bisa
ngebangunin orang sekelurahan. Biar pada ikutan
bangun.
Besoknya, Lupus belum mau ke dokter. Dia masih
berharap rasa sakitnya akan hilang sendiri.
"Kan sesuatu itu nggak ada yang abadi...,"
kilahnya. Tapi sampai sepulang sekolah, penyakit
itu masih betah mengidap di giginya yang kecil -
kecil.
"Mungkin kamu jarang sikat gigi...,” cetus Boim
kala mereka barengan pulang sekolah.
"Enak aja nuduh! Kamu barangkali yang kayak
gitu...!" sahut Lupus kesal.
Di rumah, Lulu juga berbaik hati menghiburnya.
Coba-coba cerita yang lucu-lucu. Tapi Lupus
nggak ketawa sedikit pun.
"Jangan coba-coba ngelucu ya, di kala orang lain
kesusahan! Nggak bakalan sukses!" bentak Lupus
sewot.
"Siapa bilang? Kamu aja yang nggak punya sense
of humor yang tinggi. Khadafi aja waktu
negaranya dibom Amerika sempet- ngelawak
juga. Nggak kayak kamu, baru sakit segitu aja
bingungnya kayak orang kebakaran jenggot...."
Lupus mengernyitkan alisnya. "Kok kamu tau?
Baca di mana?"
"Iya. Waktu itu dia langsung ngirim surat sama
Reagan. Isinya singkat, 'Ngebom ni ye...' "
Lupus jadi setengah mati menahan senyum.
Tapi malamnya dia benar-benar kapok. Dan
bersumpah akan ke dokter gigi besok pagi.
Whatever will be, will be. Mau dicabut kek, dibor
ek, atau. skadar dikritik, '0, Lupus, betapa
Jeleknya gigimu....' Terserah!
Dan besoknya, pagi-pagi, dia sudah nongkrong di
rumah sakit. Di poliklinik gigi. Menunggu dengan
pasrah sampai seorang suster memanggil namanya
dan menyuruh masuk.
"Silakan lho, jangan malu-malu...," kata suster itu
genit.
Lupus mencibir sewot.
Dan di dalam, dia diinterogasi dengan pertanyaan-
pertanyaan norak. Seperti, 'Sering sikat gigi?';
'Punya sikat gigi berapa di rumah?'; 'Odolnya
pake merek apa?', Apa suka gosok gigi pake batu
bata?'; and so on.
Sampai akhirnya, "Oke deh, saya periksa gigi
kamu. Silakan duduk di kursi periksa itu."
Lupus nurut. Dan sempat bergidik melihat alat-
alat pembantai yang berjejer di hadapannya.
Sementara dokter cewek itu memakai penutup
hidung (itu lho, kayak orang mau dioperasi), dan
menyiapkan alat-alat pemeriksa dibantu oleh
suster. Lupus jadi rada tersinggung. Dikata
mulutnya bau banget apa, sampe perlu pakai tutup
hidung segala.
Dokter itu lalu menyuruh Lupus membuka mulut
lebar-lebar.
"Ck, ck, ck..., giginya jelek amat? Kamu pasti
suka makan makanan yang manis-manis, ya?"
Lupus sudah mengira bakalan dikritik begitu.
Makanya dia tabah.
"Ya, Dokter. Saya suka sekali makan permen
karet, coklat."
"Kayak anak kecil aja. Makanya giginya pada
bolong-bolong begini. Kenapa sih kamu suka
yang manis-manis ?"
"Kan biar tambah manis.... "
Dokter itu ketawa ngakak.
"Oke deh. Sekarang siap-siap aja. Giginya mau
saya tambal. Soalnya kalau terasa sakit, nggak
boleh dicabut. Lagian, selama masih bisa
diselamatkan nggak usah dicabut dulu. Jadi tahan
aja. Nggak sakit kok. Paling cuma ngilu sedikit.
Siap?"
Lupus langsung menutup matanya rapat-rapat.
***
Siang itu Lupus lagi tertidur dengan nyenyaknya,
ketika Lulu membangunkan.
"Bangun, Pus, itu ada temen kamu di depan."
"Aaaah, siapa sih? Tamu kok nggak tau waktu. Ini
kan saatnya tidur siang.... Suruh pulang aja deh.
Saya ngantuk banget...," keluh Lupus malas.
Dia memang sudah dua hari ini kurang tidur.
Sekarang giliran bisa tidur, dibangunin.
"Apa-apaan sih kamu? Kayak artis aja."
"Tapi salahnya sendiri datang pada Jam tidur.... "
"Jam tidur? Sekarang sudah setengah lima, tau!
Udah sore. Sana cepet temuin. Kasian kan datang
dari jauh. Cewek lagi...."
"Hah? Cewek?" Lupus langsung melompat turun.
"Kok nggak bilang dari tadi? Kece nggak?"
"Liat aja sendiri. Ogut mau mandi."
Lupus langsung nyerobot ke kamar mandi. Cuci
muka dulu dan sikat gigi bersih-bersih. Lalu -
berjalan ke depan.
"Eh, kamu. Kok tumben datang?" sapa Lupus
begitu melihat Rina duduk termalu-malu di teras
rumah.
"Iya. Eng... saya abis dari rumah sodara di ujung
gang sana. Kebetulan lewat sini. Jadi ya mampir
aja. Saya juga nggak bisa lama, kok. Ditungguin
Mama. Saya cuma mau ngasih bingkisan ini. Buat
kamu. Mau, kan?"
"Buat saya?" Lupus terheran-heran menerima
bungkusan itu.
"Iya. Y uk deh, saya pulang dulu...."
"Eh, tunggu. Eng, kok cepet-cepet banget?"
"Abis ditungguin. sih. Sampe ketemu deh di
sekolah. Yuk!"
"O... iya deh. Makasih banyak, ya?"
Rina tersenyum malu, lalu gadis kecil itu berlari
ke arah mobil yang berhenti di depan. Sesaat
sebelum pergi, dia melambaikan tangannya.
Lupus membalas dengan senyumnya yang lebar.
Mimpi apa ya dia?
Lupus segera membuka bingkisannya. Ada
secarik kertas yang jatuh. Berwarna biru muda.
Warna favorit Lupus. Lupus segera
memungutnya, dan membaca.
"Buat Kak Lupus,
Kebetulan tadi saya jalan-jalan di pasar
swalayan, dan saya melihat sekotak permen karet
dalam kemasan yang manis terpampang di sana.
Saya jadi ingat kamu. Kamu yang suka mengulum
permen karet kalau pulang sekolah. Makanya,
saya ingin sekali membelikannya untuk kamu.
Supaya kamu senang.
Sekarang permen karet itu sudah berada di
tanganmu. Untuk sekadar nyenengin saya, mau
kan kamu memakannya? Sampai abis juga boleh.
Nanti saya kasih lagi deh.
Salam manis,
Rina. "
Lupus nggak tau harus ngomong apa. Mau senang
atau, malah sebel. Senangnya karena dia memang
naksir si Rina waktu Mapras kemarin itu.
Sebelnya, ya... kamu kan tau sendiri, saat ini dia
baru sembuh dari sakit gigi. Masak disuruh makan
permen karet? Satu kotak, lagi.
Tapi siapa sih yang bisa mengukur kekuatan
cinta? Apalagi cinta yang baru saja tumbuh. Maka
tanpa berpikir panjang, sore itu dia asyik
mengulum permen karet lagi. Demi menebus
dosa, karena dia telah keduluan Rina dalam
menyatakan perasaannya. Dan juga supaya Rina
nggak kecewa. Dia sama sekali nggak peduli
sama nasihat dokter untuk tidak memakan permen
karet lagi.
Dan malamnya, sekali lagi Lupus nggak bisa
tidur. Giginya kumat lagi. Senut-senut kayak
kesetrum. Tapi Lupus nggak sedih lagi. Sebab kali
ini, meski nggak bisa tidur, ada yang bisa
dipikirin.
Dan kadang, sakit gigi itu enak juga lho....
7. Ketika Hujan Turun Lagi
CUACA di luar gelap. Angin bertiup kencang. Ini
menandakan sudah tiba musim hujan. Karena di
luar memang sedang turun hujan (nenek-nenek
juga tau!). Dan air menggenang di mana-mana. Di
lapangan olahraga, di dekat perpustakaan, dan
yang paling gila-gilaan di bak WC sekolah. Di
sana penuh sekali.
Juga di jalanan kecil menuju jalan besar. Air got
sudah melimpah ke jalanan. Banjir. Padahal hujan
turun belum lama. Dan tadi pagi, waktu Lupus
berangkat sekolah, cuaca belum nampak
mendung. Masih cerah. Tapi kini, air menggenang
di mana-mana.
Betapa suburnya alam Indonesia.
Tapi Lupus tidak bersyukur. Karena dia terpaksa
harus menanti hujan reda, untuk dapat pulang
tanpa kehujanan. Bikin kesel aja. Tapi apa boleh
buat? Terpaksa dia dengan sabarnya bersandar di
dinding sekolah. Sambil mengulum permen karet
yang rasanya udah ngujubileh pait.
Habis bayangin aja, sudah satu jam lebih dia
mengulum, belum dibuang-buang juga. Soalnya
dia memang lagi krisis ekonomi. Duitnya kini
cuma cukup untuk ongkos pulang. Mana perut
lapar, lagi.
Sementara teman-temannya yang lain ada yang
masih asyik di kantin. Makan bakso hangat sambil
menunggu hujan reda. Ada juga yang masih asyik
di kelas. Sibuk dengan pe-er yang ditugaskan buat
besok. Tapi tak banyak. Kebanyakan dari anak-
anak SMA Merah Putih sudah pada pulang.
Dijemput atau pakai kendaraan yang biasa mereka
bawa. Ada juga yang nekat hujan-hujanan.
Lupus tidak termasuk yang mana-mana. Tidak
juga yang nekat melawan hujan. Bukannya takut
sakit, tetapi dia sedang membawa pulang tugas
gambar yang akan dikumpulkan besok. Kalau
sampai basah kan nggak lucu juga. Soalnya tadi
aja dia mati-matian ngerjainnya. Memproyeksikan
berbagai bentuk bidang, kayak arsitektur
amatiran. Makanya Lupus nggak mau gambarnya
basah. "Halo, Pus, nggak pulang?" tiba-tiba si Boim
hadir di depannya. Lupus menggeleng.
"Kenapa? Takut kehujanan? Hu... sama aer aja
takut. Kalau mau jadi seorang yang penuh
kharisma kayak saya ini, hal-hal sepele begini tak
akan menjadi halangan. Apa kamu takut kalau
kehujanan nanti rambut kamu jadi basah? Nggak
bisa nge-duran-duran kayak gitu lagi? Itulah,
kalau ketampanan yang kauperoleh bukan
ketampanan alami kayak saya. Biar kebasahan,
rambut kucluk begini, tetap aja kece. Iya nggak?
Lihat, saya berani menentang badai sekalipun!"
sahut Boim sambil dengan mantap berjalan ke
arah hujan.
".:..Dan kau tau, Pus," tambah Boim lagi, “Boim -
sebagai playboy paling top sejagat - tau betul
bagaimana cara menarik perhatian cewek. kamu
lihat Svida yang berteduh dekat warung nasi di
sana itu? Nah, ini saat yang tepat untuk
mengalahkan hatinya yang sekeras karang. Sebab
sebenarnya di dalam tasku ada payung. Nah,
kamu nggak nyangka, kan? Tapi, biarlah saya
tidak pakai payung itu. Saya akan khusus
membawakan untuk Svida. Dia pasti terharu
sekali melihat pengorbanan saya. Basah-basahan
demi membela dia supaya enggak kehujanan.
"Dan kamu tau, Pus," kali ini bicaranya jadi
mendadak pelan, Sambil mendekatkan
moncongnya ke telinga Lupus. Buset baunya!
Dipandangnya Lupus lekat-lekat. "Seorang cewek
biasanya berprinsip lebih baik pacaran dengan
cowok yang mencintainya, walau ia sendiri
sebenarnya tidak mencintai cowok itu. Dan
cowok, lebih baik mencintai cewek yang ia cintai,
kalau cewek itu tidak mencintainya. Nah, prinsip
itu yang saya terapkan saat ini. Sebagai konsep
ke-playboy-an saya. That's true. That's love!
Kamu setuju pada pendapat itu?"
"Setuju,” sahut Lupus mantap. "Saya juga lebih
baik pacaran dengan cewek yang saya cintai,
walau cewek itu mencintai saya mati-matian!"
Boim manggut-manggut. Lalu dengan langkah
bak panglima perang, dia berjalan menerjang
hujan, menuju sang ratu Svida berteduh.
Meninggalkan Lupus yang bersandar sendirian
lagi. Dan dia sempat menangkap bayangan yang
menatapnya lewat balik kaca Corona biru tua
yang perlahan lewat di depannya. Poppi. Lupus
segera tersenyum lucu. Tapi eks ceweknya itu
segera membuang muka. Ya, nasib! Lupus pun
langsung membuang pandangan pada anak-anak
kecil yang asyik bermain bola di lapangan becek
di luar pekarangan sekolah.
Semen tara hujan kian deras.
"H'ai, Lupus! Tak adakah keinginan di hatimu
untuk meninggalkan tempat yang menjemukan
ini?" tiba-tiba terdengar suara cempreng dari
sampingnya. Lupus kaget setengah mati. Tapi
tanpa menoleh pun, dia tau siapa kali ini yang
datang. Siapa lagi kalau bukan Gusur, seniman
kesasar anak bahasa itu ? Yang kalo ngomong
selalu sok nyastra. Biar dikata kayak Rendra. Ya,
dia memang rendramania sekali. Ke mana-mana
selalu bawa tas koper yang isinya penuh puisi-
puisi ciptaannya yang katanya akan laku
dipublikasikan sekian abad kemudian. "Soalnya
puisi-puisi saya adalah puisi yang jauh melangkah
ke depan. Yang baru bisa dinikmati oleh orang-
orang masa depan," kilahnya suatu ketika, tetap
membawa koper.
Teman-temannya banyak yang bilang dia itu
seniman gagal. T api nggak juga tuh. Dia ternyata
cukup sukses juga. Buktinya setiap ada perayaan
hari besar, dia selalu dipanggil tampil ke depan
untuk membacakan puisi karyaI1ya. Kalau sudah
begitu, kardus-kardus bekas teh botol dan
pembungkus makanan pada berseliweran di udara.
Menyemarakkan suasana. Tinggal Gusurnya yang
sibuk tunggang-langgang ke balik panggung.
Berlagak mau ke wc.
Yang lucu lagi, dia tuh orangnya suka sok akrab.
Kalau lagi jalan (biasanya suka terbungkuk-
bungkuk dan terbatuk-batuk), dia dengan sok akrabnya
menyapa setiap orang yang dia jumpai.
Menurutnya, setiap orang yang dijumpai adalah
para penggemarnya. Perutnya juga rada gendut
(katanya biar lebih mirip Rendra), kadang
menyebabkan ritsluiting celananya sulit tertutup
rapi. Sehingga nggak jarang udelnya piknik ke
mana-mana.
Di rumahnya dia juga jarang pake baju. Sering
ber-tarsan-ria. 'Biar dibilang seksi, ya? Dan kini,
makhluk ajaib ini sudah berada di sampingnya.
"Hayolah, Pus, berlalu. Kupikir badai prahara ini
kan lama menyelimuti!" bujuknya lagi. Tapi
Lupus diam saja. Cuwek malah. Dan Gusur makin
gigih.
"Lihatlah halimun hitam di sana," katanya lagi
dengan gaya bak Gatotkaca hendak terbang. "Ia
akan datang lagi dengan selaksa ancamannya!"
Lupus makin cuwek. Dia berlagak buang muka.
Berlagak asyik memandangi anak-anak yang
bermain bola. Tapi matanya tetap mengerling.
Dan seniman ini terus ngocol. Tetap nyastra.
"Wahai, Lupus, ketahuilah, jarum-jarum hujan
yang jatuh adalah irama alam semesta. Ia
mengajakmu berdansa." (Waktu ngomong begini,
si Gusur turun berputar-putar seperti orang balet.
Bisa dibayangin sendiri deh, gimana orang yang
bulat begitu ber-balet-ria. Lupus setengah mati
menahan senyum. "Maka, mari kita berlalu. Basah
tak jadi apa. Daripada di sini sendiri disiksa
berjuta derita. Dingin, resah, dan di dalam
perutmu cacing-cacing protes menuntut haknya
(lapar, maksudnya!)."
Lupus jadi mendelik sewot. Dikata cacingan apa?
Saat mendelik itu dia baru sadar bahwa makhluk
yang membujuk Lupus untuk pulang aja meski
hujan, nampak begitu aneh. Pakaiannya itu lho -
lengkap banget. Jas anti aer, lengkap dengan
payung kecil yang sekaligus topi. Itu lho, yang
biasa dipakai pedagang kaki lima kalau lagi
kepanasan. Yang ada head-bandnya ala Bjorn
Borg dan dipakai di kepala. (Tau, kan? Kalau
nggak tau berarti kamu lebih norak dari si Gusur.)
Udah gitu, payungnya warna full-color lagi.
Merah, kuning, ijo, biru, pink. Warna-warna yang
menyolok.
Wah, kentara sekali noraknya. Wong sekolah kok
sempat-sempatnya bawa payung kayak gitu., Biar
top kali! Tapi barangkali aja sebagai seniman, dia
punya indra keenam. Punya inner feeling. Lha
buktinya, kok tau-taunya sih bakal turun hujan.
Pake siap bawa payung topi segala ke sekolah.
Selanjutnya, karena bujukannya terhadap Lupus
nggak digubris sedikit pun, lama-lama dia sebel
sendiri. Dengan judes, dia membuang muka,
menghindar delikan sewot dari Lupus. Lalu
akhirnya pulang sendirian. Wah, lagaknya. Pake
ngingsot segala. Padahal di depan banjir sudah
mulai meninggi. Semata kaki. Tapi sebelum
makhluk itu berlalu, sempet juga ia berkicau.
Masih tetap nyastra. "Tak kumengerti, apa yang
membuatmu terpaku di situ. Atau kau takut?
Ketahuilah, ketakutan adalah belenggu diri yang
menyesatkan. Karena itu, Pus, bukan salahku
andai dikau kutinggalkan. Kita berdiri di dunia
kita masing-masing. Kau pengecut, aku berani.
Selamat tinggal, Lupus, hujan telah memanggilku
dengan iramanya yang sangat merdu. O, rinai
hujan, 'ku rindu lumat dalam dekapmu!" ujarnya.
Kemudian dia sendiri semakin jauh. Berjalan
tanpa kerepotan meski kostum yang dikenakan
nampak complicated sekali. Tingkahnya seperti
biasa. Terbungkuk-bungkuk. Sementara bibirnya
tetap monyong. Habis sial-siul terus sih.
Kini Lupus sendiri lagi. Makin segen pulang
walau hujan mulai sedikit mereda. Perutnya
semakin melilit dengan dingin yang menggigit.
"Hai, Lupus, belum pulang?" Kali ini ada suara
lembut menyapa. Lupus menoleh. N ah, ini! Ini
baru teman yang menyenangkan, batin Lupus
ketika melihat Anggi yang datang. "Belum, Gi.
Abis hujan terus. Kamu dari mana?"
"Dari kantin. Tapi di sana berisik banget. Nggak
betah. Mendingan pulang aja. Tapi masih hujan,
ya? Padahal nanti so're saya mau latihan gitar!"
Beberapa saat kemudian, mereka pun terlibat pada
percakapan yang mengasyikkan. Sambil menanti
hujan reda. Deket cewek cakep begini, laparnya
jadi hilang.
Tiba-tiba sebuah charade putih berhenti tepat di
depan mereka berdua. Dari balik jendela, muncul
wajah Tejo, anak kelas tiga. Dia tersenyum manis
kepada Anggi.
"Mau pulang? Ayo saya anterin. Daripada
kedinginan di situ."
Anggi kelihatan ragu. Dia menatap Lupus, seperti
minta pertimbangan.
"Ayo, tunggu apa lagi? Mau tunggu hujan
berhenti? Wah, sampe besok subuh juga nggak
bakalan berhenti-berhenti."
Lupus berbisik pelan, "Jangan mau ikut anak
kelas tiga itu, Gi. Nanti kamu diculik, lho!"
Tapi Tejo terus memaksa. Akhirnya Anggi nurut.
"Tapi ajak teman saya ini juga, ya?" pinta Anggi.
Tejo melirik dikit pada Lupus. Lirikan tak
bersahabat. "Ya, bolehlah.... Dia turun di mana?"
"Eh-enggak usah. Makasih aja deh. Saya bisa
pulang sendiri, kok!" sahin Lupus cepat-cepat.
Anggi pun naik, setelah ber-auld Lang syne sama
Lupus. Sedang Tejo tak mengatakan apa-apa.
Langsung duduk di charade-nya dan tancap gas.
Meninggalkan cipratan air di muka Lupus.
"Dodol!!!" teriak Lupus keki. Udah nyulik teman
dengan paksa, nggak tau diri, lagi!
***
Hati Lupus masih dongkol ketika bis Grogol yang
ditumpanginya berjalan perlahan, karena jalanan
di situ banjir. Lalu lintas macet total. Mobil-mobil
yang nggak waterproof udah mogok berat.
Walhasil para pengendaranya terpaksa kemping di
jalanan. Nggak bisa pulang. Lupus rada bersyukur
juga karena bis yang ditumpanginya masih bisa
jalan terus, meski pelan banget.
Lupus memandang ke luar. Tiba-tiba dia melihat
charade putihnya Tejo sedang terbenam air. Tak
bisa bergerak sedikit pun. Di dalamnya, Tejo lagi
sibuk ngerayu Anggi yang ngambek, karena
pulangnya malah jadi terlambat. Anggi dengan
kesal turun, dan berlari ke arah bis yang
ditumpangi Lupus. Meninggalkan Tejo yang
masih kebingungan dengan mobilnya.
Lupus jadi ngakak. Apalagi ketika melihat sepatu
dan baju Anggi jadi basah kuyup ketika naik ke
bis Lupus. Sebab hujan yang tadi agak reda, kini
turun lagi.
"Wah, kamu kok basah-basahan begini, Gi? Nanti
sakit, lho!" goda Lupus ketika Anggi berdiri di
dekatnya.
"Jangan ngeledek!" Anggi cemberut.
Sementara di luar hujan masih turun. Dan di
tengah jalan: Lupus sempat melihat Gusur, si
seniman itu, basah kuyup karena kejebur got. Lha
iya, abis kalo banjir got-gotnya kan jadi nggak
kelihatan. Dan kamu tau, seniman ini memang
paling grasa-grusu kalo jalan. Pokoknya asal
tancap gas aja. Dan akhirnya ia dimakan
keyakinannya sendiri.
Lupus nggak bisa menahan ketawa lagi. Dia
ngakak keras sekali. Sampai orang-orang sebis
memandang curiga padanya. Tapi Lupus tak
peduli.
8. Pergi Berenang SETIAP hari Jumat, SMA Merah Putih, tempat
Lupus yang kesohor itu (he he he, katanya lho!)
sekolah, mengadakan kegiatan renang. Praktis
hari itu menjadi hari yang istimewa buat mereka.
Bayangkan saja, gimana nggak asyik kalau pada
saat itu semua siswa, dari berbagai kelas yang se-
lifting sama Lupus, bisa saling bertemu. Berenang
sama-sama, bermain kejar-kejaran di air. Dan Pak
Kurdi, guru olahraga mereka yang kalau ngajar
lagaknya kayak Triman Srimulat, menjadi pelatih
mereka. Eh, beneran lho, kalau dia lagi kebetulan
ngajar teori olahraga di kelas, tangan sebelahnya
selalu berkacak pinggang, sementara kepalanya
suka goyang-goyang ke kanan ke kiri. Lucu
sekali, kayak boneka India. Mungkin dia emang
nggak bakat ngajar. Bisanya cuma senam pagi
doang di lapangan. Sehingga kalau lagi
membelakangi murid, Lupus dan beberapa teman-
temannya suka iseng ikut menggoyang-
goyangkan kepalanya ngikutin dia. Tapi dianya
cuwek aia, nggak pernah marah. Atau emang
nggak tau? Entahlah, yang pasti dia tuh kayaknya
orangnya happy terus. Nggak pernah sedih.
Dan biasanya tiap selesai sholat Jumat di sekolah,
anak-anak tidak langsung pulang. Melainkan
makan di kantin, mengobrol, sambil menunggu
berangkat ke kolam renang. Lupus beserta
beberapa rekannya sudah punya rencana dengan
Gusur, anak bahasa yang sableng itu. Mau main
polo air. Tapi dari tadi ditunggu-tunggu Gusurnya
belum dateng juga. Padahal bis sekolah yang
membawa mereka ke kolam renang sudah ready
to go. Wah, menyebalkan sekali.
"Ke mana seniman sableng itu!" maki Andang
kesal. "Janjinya kan mau ngumpul di sini!"
"Wah, dia nggak tau kali kalau menunggu itu
adalah pekerjaan yang paling menyebalkan. Kalau
bukan dia yang pegang bolanya, sebodo amat!
Kita tinggalin aja!" lanjut Boim.
Yang lain cuma mengangguk-angguk. Dan mau
tak mau mereka terpaksa harus menyamper ke
rumah Gusur, yang kebetulan memang tak jauh
dari sekolah. Lupus yang lagi segen jalan
(maunya naik kapal terbang 'kali!), jelas memaki-
maki, Si Gusur dari dulu memang kepingin jadi
orang penting. Tapi caranya itu yang selalu salah!
Di panas terik memari, mereka pun bersama-sama
jalan sehat ke rumah Gusur. Dan setibanya di
rumah Gusur, anak-anak menemui kesebalan yang
sempurna. Seperti' biasa, seniman ini cuma
bercawat doang kalo di rumah. Tak peduli ada
tamu atau tidak. Yang punya pikiran ngeres, kali
udah ngebayangin yang enggak-enggak aja. Tapi
sebetulnya seniman ini lagi sakral. Umung aja dia
itu cowok. Kalo .cewek barangkali udah hamil
melulu... (hus!). Sementara perutnya yang rada
gendut itu dipertontonkan ke mana-mana. Buset,
kayak tari perut aja. Anak-anak jadi sebel.
"Halo, teman-teman sejawat, angin apa rupanya
yang membawa kalian begitu kompak datang ke
padepokanku?" sapanya tanpa dosa sambil
memegang secarik kertas di tangan kirinya.
Rambutnya yang mulai gondrong, tumbuh gila-
gilaan di kepala, di atas bibir, dagu, ketiak dan...
di bagian yang kayaknya rada kurang sopan
disebutkan di sini. (Kalau tetap penasaran kirim
surat aja ke saya, nanti saya kasih tau!)
Pertanyaan sok polos itu tentu membuat Lupus
makin mangkel. Kontan aja Lupus nyap-nyap.
Memaki Gusur yang tidak menepati janji datang
ke sekolah. Tapi jawaban Gusur cukup membuat
Lupus dan teman-temannya melongo.
"Daku memang pernah merasa meletakkan janji
pada kalian, namun lihatlah, sejenak lagi sajak
masterpiece-ku bakal lahir. Dan itu lebih penting
dari segalanya. Maka persetan dengan janji-janji
yang pernah kulontarkan kepada kalian!"
Duile, kekinya anak-anak nggak ketulungan lagi!
Udah capek-capek nyamperin, ternyata yang
disamper cuwek-cuwek aja. Malah sekarang
tangannya diacungkm ke atas dengan kertas yang
melambai-lambai, sementara wajahnya dibuang ke
belakang. Mirip Rendra lagi baca puisi.
Lupus yang keki jadi penasaran merebut kertas yang
dipegang Gusur. Bujubune, isinya sebuah puisi
yang berjudul, Wanita adalah Dusta!
Konon makhluk yang satu ini memang rada
dingin terhadap cewek. Sok frigid, gitu! Di
sekolah umpamanya, teman-teman yang lain udah
pada pacaran, eh dia sih masih tetap sendiri.
Kayak lagunya Dian Piesesha. Dia pernah bilang,
perempuan di matanya hanya menduduki
peringkat kesekian setelah sajak dan sebagainya.
Yeah, maklumlah, dia memang seniman. Tapi
Lupus tau banget, kalau Gusur ini belum pacaran,
bukan berarti dia nggak kepingin. Lha
masalahnya, mana ada cewek yang betah sama
dia? Yang kalau nerima tamu, nggak peduli
cewek atau cowok, cuma bercawat, yang kalau
ngomong sablengnya minta ampun, semen tara
jenggotnya yang aduhai, itu lebih mirip jenggot
bandot ketimbang... Oma Irama. Lagian
pengetahuan umumnya paling sekitar sajak-sajak
dan nama-nama penyair doang, sementara cewek
satu sekolahnya kan lebih suka ngomongin artis,
grup band barat, dan segala yang berbau modern.
Jelas nggak nyambung dong!
"Kamu jangan norak dong, Sur! Di sana kan kita
bisa main sama anak-anak, ngeceng cewek-cewek
yang lagi berenang. Bodinya itu lho, kan pada
asyik-asyik!" cetus Boim.
"Wanita? Huh-sudah kubilang, wanita itu adalah
belenggu kreativitas. Dan sajak-sajakku bukan
konsumsi cinta kasih murahan, tetapi sajak yang
melenting jauh ke masa depan. Jadi buat apa? Ya
nggak cocok jika kehidupan kepenyairanku saat
ini dimasuki oleh makhluk berjenis wanita!"
katanya tetap sombong. Dan itu jelas bo-ong.
Sebab Lupus yakin, kalau aja ada cewek yang
nekat mau sama dia, kontan diterima. Gimana
enggak? Kalau lagi tidur dia suka ngigo kepingin
punya cewek. Nah Lo, nggak bisa mungkir lagi
dia.
Kadang orang yang suka ngigo macam Gusur itu
kan enggak bisa menyembunyikan rahasianya.
Dan di kamarnya kalau mau tau, banyak ditempeli
foto-foto cewek kece teman-temannya. Lupus
pernah masuk ke kamarnya dan memergoki. Dan
kalau sudah begitu dia suka bilang sendiri, cewek
adalah sumber inspirasi.
Tapi kini, kala teman-temannya menjemputnya,
dia menunjukkan sikap jual mahalnya kepada
wanita. Berlagak nggak mau ikut. Sok cuwek. Sok
antipati. Sok dingin. Tapi memang semua
temannya mengira sang seniman ini rada kurang
respek terhadap wanita. Menganggap lebih
mementingkan sajak-sajaknya daripada cewek.
Selama ini dia emang nggak pernah ikut renang
dengan alasan tersebut. Pendek kata, biar Brooke
Shield naksir dia, dia nggak bakalan bergeming.
Apa bener tuh?
"Sikap yang bikin orang penasaran itu memang
patut kamu pertahankan, Sur. Biar nggak berkesan
murahan. Agak tahan harga, gitu! Sebagai
seniman kamu memang harus punya sikap. Jangan
mudah terpengaruh!" kata Lupus setengah
meledek.
Gusur malah makin mengangguk-angguk.
"Tapi buat orang-orang yang diobral aja belum
tentu laku, buat apa pake tahan harga segala?"
lanjut Lupus, disertai wajah dongkol dari Gusur.
Tapi akhirnya dengan berat, Gusur pun ikutan
anak-anak ke kolam renang. Supaya tetap
mengesankan bahwa dia tak begitu berminat,
jalannya dibikin segontai mungkin. Duile....
***
Lupus sendiri, kalau enggak mengingat ancaman
guru olahraga, rasanya segen ikut-ikut berenang.
bukan apa-apa, badannya yang selembar itu sering
jadi bahan ledekan teman-temannya. Makanya dia
nggak berani lama-lama berada di atas kolam
renang. Begitu masuk, langsung jebur. Soalnya
pernah kejadian, lagi asyik-asyiknya berjemur di sisi
kolam renang (ceritanya biar kayak orang barat, gitu!),
ada ibu-ibu yang langsung aja
kepingin nyuci bajunya di dada Lupus. Dikira
papan cucian. Wah, Lupus dongkol setengah mati.
"Pus, kamu sih tinggal dikasih garam, lalu
dijemur, jadi deh ikan asin...." begitu anak-anak
suka ngatain. Sialan nggak tuh!
Tapi kali ini Lupus cukup cuwek. Begitu bis
memasuki pekarangan parkir kolam renang, anak-
anak mulai berhamburan turun. Berlomba-lomba
memasuki pintu masuk yang sempit. Lalu
langsung masuk ke ruang ganti baju dan penitipan
barang. Beberapa menit kemudian, mereka semua
sudah berada di kolam renang. Yang paling seru
sih ngeliatin perlengkapan renangnya si Gusur.
Buset tuh anak, tadi ngakunya segen berenang,
tapi ternyata kini bawa masker, sepatu katak, dan
alat-alat menyelam lainnya. Lengkap deh, kayak
penyelam-penyelam mutiara. Dan kerjaannya dari
tadi ya menyelam terus. Ngintipin bodi cewek
dari bawah air. Kayaknya semuanya itu memang
sudah dipersiapkan dan direncanakan dari rumah.
Sementara anak-anak yang lain mulai ramai
bermain polo air, kejar-kejaran. Tak seorang pun
yang mempedulikan Pak Kurdi yang sibuk teriak-
teriak melatih bagaimana cara renang yang baik.
Kayaknya semua teori yang diajarkan di kelas,
selalu tak pernah berfungsi buat mereka. Karena
setibanya di kolam renang, mereka semua punya
gaya berenang yang seragam. Gaya berenang di
kali. Yang penting bisa ngambang dan jalan.
Beberapa menit kemudian, Lupus mulai jenuh
bermain polo air. Dia langsung naik ke atas
kolam. Ceritanya mau latihan loncat indah. Maka
dengan gaya 'bak Tarsan kota, pakai teriak
'auoooo...' segala, dia langsung meloncat ke
kolam. Tapi entah karena salah perhitungan atau
memang nggak bakat renang, walhasil dadanya
duluan yang menampar permukaan air. Wih,
sakitnya! Tapi bukan Lupus namanya kalau begitu
mudah menyerah. Maka sekali lagi dia naik ke
tepian kolam. Tapi belum sempat melompat,
seseorang mendorongnya dari belakang. Begitu
cepat, sehingga Lupus kaget, dan tulang
keringnya terbentur keras di tepi kolam. Lupus
meringis kesakitan sambil terjatuh ke dalam kolam.
Dengan susah payah dia naik ke atas kolam, dan
memandang sekelilingnya. Siapa tadi yang begitu
nakal telah mendorongnya? Tapi tak seorang pun
yang patut dicurigai, karena masing-masing lagi
asyik sibuk dengan permainannya. Dengan
terpincang-pincang, Lupus pun mengambil
handuknya dan beristirahat di bangku kosong.
Sebentar kemudian, dia melihat Anto, anak
pendiam itu duduk di bangku atas sambil asyik
dengan kekerannya (atau istilah kerennya teleskop
binokular). Dia memang nggak pernah ikut
berenang. Katanya takut kena air. Kayak kambing
aja. Kebalikan dari Lupus. Lupus kalau melihat
air bawaannya kepingin berenang melulu.
Keturunan bebek kali.
Si Anto ini dari tadi kerjaannya memang
meneropong cewek-cewek yang lagi berenang.
Dari Jumat ke Jumat, saat anak -anak yang
lainnya pada asyik berenang, dia malah asyik
mengatur strategi untuk mengintip. Gila bener
anak itu! pikir Lupus. Makanya kalo orang
pendiem itu kadang memang patut dicurigai.
Apalagi yang sok frigid macam si Gusur. Pura-
pura dingin, pura-pura menolak, nggak taunya...
hehehehe, di kolam renang pada ketauan
belangnya. Mending kayak Lupus yang terus
terang begitu.
Lupus dengan terpincang-pincang segera
menghampiri bangku Anto.
"Eh, kamu lihat nggak Siapa yang tadi ngejorokin
saya ke kolam?" tanya Lupus agak penasaran.
"Jangan nuduh dong! Emangnya saya tau.”
"Duile, ditanya begitu aja." Lupus jadi keki.
Tapi keduanya mulai asyik bergantian
meneropong. Sampai akhirnya Anto punya usul bagus.
"Kita ke ruang ganti baju cewek yuk? Asyik lho,
bisa ngintip!"
"Idih! Kalo ketauan gimana?"
"Ah, enggak bakalan deh. Ayo. Mau nggak?"
Lupus nurut. Dan ternyata di sana udah ada Boim,
Gusur, Andy, dan Irvan. Buset, kalah cepat
rupanya. .
Tapi mereka semua belum berani masuk.
"Kamu aja, Pus, masuk duluan.. Kamu kan kurus,
bisa dengan aman bersembunyi di pilar-pilar
tanpa kelihatan. Cepetan!" Boim merayu.
Lupus yang dasarnya memang suka nekat, mau
aja disuruh. Dengan lagak bak teroris profesional,
dia menyusup masuk ke dalam kamar ganti.
Tapi sedetik kemudian anak-anak di luar mulai
ribut, "Bahaya! Sekelompok anak kelas sosial
datang!" pekik Anto. Mereka pun berlarian ke
segala penjuru. Tinggal Lupus yang panik, berdiri
berada di ruang ganti cewek. Tak ada jalan lain,
dia pun langsung masuk ke salah satu kamar ganti
terdekat. Dan mengunci pintu dari dalam rapat-
rapat.
Terdengar suara cewek-cewek di luar. Berteriak-
teriak ribut sekali. Sambil berebut masuk ke
kamar ganti baju di sebelah kanan dan kiri.
Kamar ganti baju itu seperti WC- WC bioskop.
Bagian bawahnya agak terbuka, Lupus hampir
menahan napas tak berani berkata-kata.
"Hm, rupanya ada yang duluan masuk ke sini, ya?
Halo, siapa di dalam? Yanti, ya? Ikutan masuk
dong!" terdengar suara seorang cewek di luar
menggedor-gedor pintu kamar ganti yang ada
Lupusnya. Tentu saja kalau bukan dalam suasana
gawat begini, Lupus dengan senang hati mau
membukakan pintu untuk mengajak cewek itu
masuk. Tapi sekarang? Dalam suasana gawat
begini, mana berani? Bisa-bisa diteriaki gadis-
gadis sekelurahan. Makanya Lupus tetap diam.
Lama sekali. Canda-canda itu belum reda juga.
Dan Lupus belum berani keluar. Sibuk komat-
kamit baca doa. Boro-boro deh mau ngintipin
cewek yang ganti baju. Ngomong aja nggak
sanggup. Itulah, niat-niat yang nakal pasti nggak
pernah diridhoi Tuhan. Lupus mulai mengutuki
teman-temannya yang di luar. Yang bisa berlari
dengan aman. Sedang dia terjebak di dalam.
Sudah lebih dari lima orang mengetuk-ngetuk
pintu Lupus, tapi Lupus belum berani bergerak.
"Siapa sih yang di dalam? Lama amat? Lagi nge-
bom ya? Jangan di situ dong!"
Sampai akhirnya suasana jadi sepi. Lupus dengan
menajamkan pendengarannya mulai membuka
pintu perlahan. Tapi suara bisikan dari kamar
sebelah cukup membuatnya kaget dan menutup
pintu kembali dengan cepat.
"... Jadi kamu tadi yang ngejorokin si Lupus ke
kolam? Kok gitu sih?" terdengar suara pelan dari
sebelah.
"Sst... jangan bilang siapa-siapa, ya? Saya malu.
Saya tadinya iseng aja mau godain anak lucu itu.
Tapi nggak taunya malah jadi celaka. Sedih deh.
Saya kasihan melihatnya jadi terpincang-pincang
begitu. Tapi, saya juga nggak berani minta maaf
saat itu. Takut dianya marah lalu membenci saya.
Gimana ya sekarang cara minta maafnya? Tadi
saya cari-cari dia sudah nggak ada di kolam
renang. Barangkali langsung pulang, karena
kakinya sakit. Wah, saya menyesal sekali!"
terdengar suara cewek yang satunya. "Itulah,
makanya kalo bercanda jangan
keterlaluan. Dan harusnya kamu bisa berjiwa
besar. Mengakui kesalahanmu. Mengakui
kesalahan memang perbuatan yang paling berat.
Korban perasaan, harga diri. Tapi percayalah,
kalau terbiasa untuk berani mengakui
kesalahanmu, nantinya kamu akan menjadi
seorang yang berjiwa besar!"
Dia pun mengintip! O... Dewi dengan Ani. Siapa
di antara mereka yang mendorongnya ke kolam?
***
Hening sejenak. T api tak lama, terdengar lagi
suara cewek itu. "Oke deh, saya akan coba. Yuk,
keluar. Udah pada pergi semua tuh!" Dan
kemudian terdengar pintu dibuka, disertai
langkah-langkah kaki yang berjalan menjauh.
Lupus jadi penasaran, ingin tau siapa yang
berbicara tadi.
Lupus saat itu lagi asyik dengan bakso panasnya
di tukang jualan yang pada mangkal di sekitar
halaman kolam renang. Semen tara anak-anak
yang lainnya juga asyik dengan jajanannya
masing-masing. Hanya Gusur yang bagai
pengamen murahan, berpindah-pindah dari satu
gerobak ke gerobak lainnya. Bukannya mau
nyanyi, tapi nyomotin bakso orang yang lagi
meleng.
Saat itu pula Dewi duduk di sebelah Lupus.
Lupus pura-pura cuwek. Jadi ini toh makhluk
yang tadi ngejorokin dia ke kolam. Hm, ceritanya
dia mau minta maaf.
"Saya kirain kamu udah pulang. Gimana kakimu
tadi? Masih sakit?"
"Ooo, masih dong. Barangkali tulangnya patah.
Soalnya sampe nggak bisa dibawa jalan tuh!"
"Ah? Segawat itukah?" Dewi terkejut.
"Ya, mungkin saja. Soalnya benturannya keras
sekali. Eh, kamu tau nggak siapa yang
ngejorokin?"
Dewi diam. Hatinya kecut.
"Kalau saya ketemu orangnya, awas saja!" suara
Lupus mengancam.
"Eh... mau kamu apakan? Diajak berantem?"
"Ya, kalau saya berani. Hehehe. ... Eh,
tampangmu kok aneh begitu? Ada apa?"
"Ah, enggak!" Dewi menjawab cepat. Sementara
tangannya sibuk meremas-remas sapu tangannya.
Gelisah sekali dia. Lupus hampir geli menahan
ketawa.
"Harusnya orang itu cukup berjiwa besar untuk
mengakui kesalahannya. Saya benci melihat
orang-orang yang pengecut!" Lupus seperti
menggumam.
Dewi makin kecut, lalu berdiri hendak pergi.
"Hei, mau ke mana?" tahan Lupus cepat-cepat.
"Tentu saja kalau kamu yang berbuat saya nggak
benci. Suka, malah."
Dewi terkejut dan memandang heran kepada
Lupus.
"Kamu tau?"
"Makanya, jadilah orang yang berjiwa besar.
Untung saja saya yang kamu rugikan. Kalau orang
lain ?"
Dewi tersenyum.
"Dan bagaimana dengan kamu? Apakah kamu
cukup berjiwa besar mengakui kesalahan kamu
menyelinap masuk ke kamar ganti cewek?"
Gantian Lupus yang kaget. "Eh, kamu kok tau?"
"Apa sih yang saya nggak tau? Ayo, saya bilangin
cewek kamu ya...."
"Eh, jangan!" Lupus pun langsung mengejar Dewi
yang berlari menjauh. Saat itu sakit di kakinya
hilang seketika.
9. Sirik Lu!
PALING keki punya temen yang suka sirik. Yang
cenderung ngiri kalau ngeliat orang lain sukses.
Yang selalu merasa terganggu kalau ada orang
lain hidup senang. Nggak sulit kok menandai
orang sirik macam begitu. Kalau misalnya kamu
merasa terganggu ngeliat kucing tidur nyenyak di
pinggir jalan, sehingga bawaannya kepingin
menendang kucing itu jauh-jauh, atau kalau kamu
merasa jengkel ngeliat dua orang temanmu
bergandengan tangan dengan akrabnya
menyeberangi jalan raya depan sekolah, tandanya
kamu berbakat jadi orang sirik.
Dan celakanya, Lupus punya temen yang kayak
begitu. Sekelas, lagi. Namanya Andy. Dia itu
kalau udah nyirikin orang, buset deh, setan pun
sampai ngeri dengan kesirikannva. Bayangin aja,
dia tahan enam jam berturut-turut ngatain orang
lain. Kayaknya dia yang paling sempurna sendiri.
Orang lain dianggap nggak ada yang sempurna.
Gimana nggak nyebelin tuh!
"Saya sering baca tulisanmu, Pus. Terutama
cerpen-cerpenmu. Dan saya sering merasa
bingung sendiri, apa redakturnya nggak salah pilih
tuh? Bayangin aja, saya sama sekali nggak bisa
memetik apa-apa dari tulisan-tulisan yang kamu
buat. Apa yang bisa kamu berikan lewat tulisan-
tulisanmu itu? Semuanya nol besar!" suatu pagi
Andy sudah mulai cari setori lagi.
Lupus yang dasarnya memang nggak mau kalah,
kontan aja berkomentar, "Jangan kamu tanyakan
apa yang bisa saya berikan lewat tulisan saya
kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang bisa kamu
berikan kepada tulisan saya. Wasalam."
Andy makin sirik.
Tapi ya biarin aja. Ngeladeni orang sirik sama aja
dengan menjelaskan mekanika sama tukang
becak. Sia-sia aja. Jadi ya emang nggak perlu
diacuhin. Makin dipikirin, makin suka dianya.
Mendingan kayak Lupus itu. Dia nggak pernah
tersinggung kalo disirikin orang. Cuma kadang-
kadang aja dia jadi rada susah tidur siang. Itu juga
bukan karena mikirin, tapi ya emang nggak
ngantuk aja.
Dan Andy memang paling klop kalau sudah
ketemu sama Ruri. Sama-sama suka sirik. Kalau
mereka berdua sudah ngomong, wah seru sekali.
Kayak dengerin siaran pertandingan sepak bola di
radio. Nggak ketauan lagi deh, mana yang bo'ong,
mana yang jujur. Dan biasanya bisa berlangsung
lama sekali. Kadang kalau hari sudah terlalu larut,
dan mereka merasa perlu tidur sejenak, mereka
baru berhenti nggosip dengan janji besok hari,
pagi-pagi sekali, mereka akan meneruskan
obrolannya. Mereka kadang duduk sebangku di
depan tempat duduk Lupus. Dan kalau pas
pelajaran menggambar, yang memang agak santai.
mereka sering kedapetan lagi asyik nggosip.
Lupus suka iseng ikutan nguping.
Biasanya Ruri yang memulai, "Eh. kamu ternyata
bener, Dy, saya nggak nyangka kalau Wulan yang
berwajah lebar itu mempergunakan kecantikan
wajahnya untuk memikat oom-oom bermobil
mewah."
"Lho, abis kamu kira untuk apa? Untuk main
bola? Yang bener aja dong. Mana muat? Kalau
untuk lapangan golf, ya mungkin saja bisa. Asal
mukul bolanya jangan keras-keras. Tapi
ngomong-ngomong, gimana kalau untuk landasan
pesawat terbang aja? Kan asyik tuh, nggak usah
jauh-jauh ke Cengkareng kalau mau ke luar
negeri," Lupus nyeletuk dari belakang.
Mereka berdua cuwek aja. Udah tau adat Lupus.
Malah meneruskan obrolannya, "Saya nggak bisa
membayangkan, kok ada orang yang
mempergunakan kecantikan wajahnya hanya
untuk itu...."
"Saya juga tidak. Masak iya ada orang yang
mengira wajah selebar Wulan untuk lapangan
sepak bola?"
Andy dan Ruri kesal, dan menoleh berbarengan.
"Yang lucu boleh pulang!" bentak Ruri.
Lupus juga sebel sama tingkah Ruri. Kalau lagi
berolahraga di sekolah, dia suka memakai kaus
yang tanpa lengan (itu lho model kaus you can
see). Geli ngeliatnya. Apalagi pas giliran senam
yang pakai angkat-angkat tangan segala. Lupus
pernah secara nggak sengaja berdiri dekat-dekat
Ruri yang lagi asyik bersenam-ria pake kaus you
can see. Kontan aja Lupus kehilangan napsu
makannya tujuh hari tujuh malam. Shock berat
dia!
"Dasar anak-anak esema ini pada kuno semua.
Nggak tau kemajuan zaman. Nggak tau mode.
Masak pakai kaus you can see aja pada shock!”
gerutu Ruri suatu ketika.
"Bukannya pada ketinggalan zaman. Cuma kamu
aja yang mungkin nggak tau kalau sekarang ada
model kaus yang lebih moderen lagi dari itu. Dan
kayaknya cocok buat kamu. Kenapa nggak coba?"
jawab Lupus.
"O ya? Kaus model apa itu?"
"You can see everything...."
***
Tapi toh Lupus sempet keder juga karena
kesirikan Andy. Pasalnya ketika Rina, cewek
yang kini memang intim dengan Lupus, mogok
nggak mau ikutan lomba baca puisi. Padahal
biasanya Rina begitu tabah, keras kepala, dan
berani. Seperti ketika ngritik Mapras waktu itu.
Dan kini ceritanya Rina mau ikutan lomba baca
puisi ulang tahun SMA Merah Putih. Lupus sudah
menjanjikan mau bikinin puisinya, tapi mendadak
Rina mengundurkan diri.
"Abis gimana nggak kesel? Si Andy dan beberapa
temennya ngatain saya terus!" Rina manyun.
"Ah, masak omongan Andy aja ditanggapin?
Orang kan memang lebih gampang ngeliat
kesalahan orang lain, daripada kesalahan sendiri.
Apa kamu pikir dia lebih bagus baca puisinya
daripada kamu?"
Tak pelak, Lupus pun perlu berjuang setengah
mati ngerayu Rina untuk tetap ikut lomba baca
puisi. Soalnya, katanya, Lupus udah terlanjur
bikin puisinya. Dan dia memang nggak bisa kalau
harus membawakannya sendiri ke panggung di
depan orang-orang. Bukannya grogi, tapi dia
emang nggak suka aja jadi bahan tontonan.
"Serasa topeng monyet," katanya. Tapi untuk
memberi kan puisinya kepada Gusur, seniman
sableng itu, juga nggak mungkin. Lha dia kalau
baca puisi kan kebanyakan improvisasinya.
Katanya biar lebih menjiwai isi puisi itu, tapi
jadinya malah seperti nonton topeng monyet
beneran. Nggak seru ah.
Tapi untunglah, rayuan Lupus berhasil. Lupus pun
berjanji akan memberikan puisi beberapa saat
sebelum lomba. Soalnya sekarang masih belum
jadi.
***
Sehari sebelum lomba dimulai, kala Lupus
menyerahkan puisinya, Rina marah-marah.
"Apa-apaan nih? Kok bikin puisinya norak
banget? Nggak mau ah!"
"Lho, ini bagus, Rin. Ini puisi yang jujur. Nggak
dibuat-buat. Langsung dari inner feeling saya.
Dan kamu harus selalu percaya pada inner feeling.
Soalnya dia nggak pernah bohong. Gimana?
Nama kamu sudah terdaptar lho!"
"Ah, kamu selalu membuat saya terjepit....”
Dan lomba baca puisi pun dimulai Rina tampil
sebagai peserta kelima. Puisinya tampak aneh
sendiri. Dan tentu saja mendapat teriakan-teriakan
dari para penonton. Apalagi ditambah dengan
penampilan Rina yang kayak orang kedinginan.
Gemeteran.
Kala rembulan dipagut malam
Hatiku resah digulung bimbang
(Baru dua baris pertama, penonton sudah teriak -
teriak dengan serunya, wooooo....)
Kusendiri termenung diam
Menanti kekasih tak kunjung datang
(Teriakan semakin seru, ada yang tertawa gila-
gilaan. )
Uhu uhu hu..., dengarlah tangisku, Dinda
Betapa pilu mengalun sunyi
(Tak disangka, semua penonton ikut-ikutan
menangis dengan serunya. Ngeledekin Rina tentu
saja. Suasana jadi kayak orang berkabung. )
Kama hanya dikau pujaan Kanda
Yang datang di setiap mimpi
0, Mas Gatotkaca
Bawalah daku melayang padanya
Daripada di sini kubersimbah air mata
Teriakan makin seru, Rina jadi nangis beneran.
Dia berlari ke belakang. Lupus yang memanggil-
manggil tak digubrisnya.
"Wah, selamat ya, Rin. Kamu sukses," sambut
Lupus ceria.
"Sukses apa? Kamu bikin saya malu. Puisi itu,
saya kan udah bilang, isinya norak. T api kenapa
kamu maksa saya untuk membacanya? Biar saya
diketawain anak-anak satu sekolah ya? Begitu?"
Rina terisak-isak.
"Lho, tapi kamu kan yang paling mendapat
sambutan hangat? Jangan pernah berpikir bahwa
penilaian juri, atau orang-orang ahli lainnya
adalah mutlak benar. Justru penilaian yang
sesungguhnya ada pada penonton. Bagaimana
mereka begitu ikut terbawa, sehingga histeria
massa terjadi. Dan kamu kan sudah mendapatkan
itu? Iya nggak? Makanya jangan nangis dong."
"Ah, kamu sok tau! Saya benci. Pokoknya
musuhan!"
"Aduh, Rin,. jangan gitu dong. Beneran deh, saya
lebih rela kehilangan duit gocapan daripada
kehilangan kamu. Sumpah. Demi Tuhan."
Rina makin sengit.
***
Bisa ditebak, pas pengumuman pemenang,
puisinya Lupus tewas dengan sukses. Dan bisa
ditebak pula, siapa yang paling bersuka cita
dengan kegagalan Lupus. Siapa lagi kalau bukan
Andy. Dia langsung nyamperin Lupus.
"Nah, apa lagi komentar Anda, Pus? Apa yang
bisa diharapkan dari puisi norak kamu itu?
Yang hampir bisa ditulis oleh tukang becak sekalipun
kala dia sedang kasmaran. Puisi cengeng,
murahan, tai kucing. Kenyataan berbicara.
Puisimu kalah. Masuk nominasi pun enggak. Tapi
kalau kamu kirim ke majalah, pasti deh dimuat.
Huh, permainan macam apa pula ini? Terbukti
skandal-skandalmu. Gimana? Masih mau
membela diri?"
"Membela diri? Untuk apa? Saya justru ingin
berterima kasih padamu, karena saya anggap Rina
bisa sukses dengan puisi itu. Terbukti, dia mampu
memancing histeria massa. Iya nggak? Dan
belakangan ini saya emang lagi nyari-nyari kamu.
Mau bilang terima kasih. Soalnya puisi yang
dibaca Rina itu kan puisi karya kamu. Masak lupa
sih? Saya menemukannya di buku Rina yang
kamu pinjem waktu dulu itu. Bagus lho, puisinya.
Kamu ada bakat. Sayang waktu itu Rina nggak tau
dan nggak membacanya, jadi misi kamu untuk
mendapatkannya gagal total. Tapi lepas dari itu,
saya nggak ngira, kamu ada bakat bikin puisi
juga. Teruskan aja bakatmu itu, Dy...."
Wajah Andy mendadak merah padam. Pantesan
aja saya pernah baca puisi itu sebelumnya, pikir
Andy gelisah. Dan ketika Lupus hendak pergi,
Andy menahannya.
"Eh..., tapi apa Rina tau kalau itu puisi saya?"
tanya Andy cemas.
Lupus tersenyum, "Jangan kuatir, dia tak bisa
memaafkanmu lagi...."
10. Met Ultah Ya, Pus....
JAM tujuh pagi.
Lupus terjaga dari tidurnya, dan kaget setengah
mati ketika mendapatkan hari telah siang. Oh,
God, terlambat lagi! Padahal jam pertama nanti
ada ulangan fisika. Dan semalam, Lupus bela-
belain belajar sampai mitnait. Makanya sekarang
terlambat bangun. Padahal sebelum tidur, dia
sudah memasang weker ajaibnya agar bisa
terbangun pukul enam pagi. Dan weker itu
memang berbunyi, dan Lupus ya juga terbangun.
Tapi cuma sebentar. Cuma untuk mematikan
weker yang berisik banget itu untuk kemudian
menerus kan tidur.
Jadi buat apa memasang weker?
"Ya buat membangunkan saya yang tertidur,
untuk kemudian mematikan bunyi weker tersebut.
Masa nggak tau, sih? Setelah itu mau tidur lagi
kek, atau mau langsung cibang-cibung, ya
terserah saya dong!" begitu kira-kira jawaban
Lupus.
Tapi siapa yang mau disalahkan? Saat itu di luar
memang turun hujan dengan derasnya. Membuat
udara menjadi begitu dingin. Begitu enak untuk
menarik kembali selimut tebal dan meneruskan
tidur. Seandainya sekolah sudah berakhir, dan
semua anak sekolah bisa bangun siang-siang
alangkah senangnya!
Dan Lupus. sempat keki juga. Soalnya sebelum
tidur tadi malam, dia sempat menempelkan kertas
besar di pintu kamarnya, nulis pesan buat Lulu
agar dibangunkan pagi-pagi. Tapi kenyataannya
adiknya itu tidak membangunkan. Ke mana
makhluk sialan itu? Lupus segera membuka pintu
kamarnya dan melongo membaca tulisan gede di
bawah pesan yang ditulisnya semalam. 'Bangun,
Pus, hari sudah siang. Katanya mau berangkat
pagi - Lulu.'
"Luluuuuu....!" teriak Lupus keras-keras.
Pembantunya yang sedang membersihkan kamar
sebelah, sampai tunggang langgang ketakutan.
Kaget berat doi!
"Apaan sih pagi-pagi teriak-teriak begitu!" Lulu
muncul sambil makan roti. Mulutnya belepotan
coklat. "Kamu kan tau, bukan begini cara ngebangunin
orang!" sahut Lupus dongkol sambil menarik
kertas yang ditempel di pintu.
"Habis, siapa suruh pintunya dikunci! Saya udah
gedor-gedor, tapi kamunya nggak bangun-
bangun!"
Lupus pun dengan cepat masuk kamar mandi.
Mandi sebentar, lalu langsung berpakaian.
Beberapa saat kemudian, dia sudah siap dengan
tas sekolahnya. Mau langsung cabut. Lulu yang
saat itu masuk siang, menahannya, "Eh, Pus,
minum dulu dong kopinya. Biar nggak ngantuk.
Saya lho tadi yang bikin. Spesial untuk kamu.
Coba bayangkan, betapa baiknya saya...."
Lupus langsung menyambar kopi yang disodorkan
Lulu dan meminumnya.
"Bah-rasanya kayak air sabun!" sahut Lupus
sambil menjulurkan lidahnya.
"Sialan!"
Dan dengan tergesa-gesa Lupus langsung mencari
becak di depan gang.
****
Tapi memang kalau orang lagi sial, biasanya ya
keterusan sialnya. Buktinya sekarang bis yang
menuju sekolah Lupus belum datang juga.
Padahal sudah jam tujuh seperempat. Hanya ada
waktu seperempat jam lagi untuk tidak terlambat.
Mana guru fisika Lupus galak sekali. Namanya
Pangribuan (bisa ditebak senditi deh, orang mana
dia itu. Yang jelas bukan orang Jawa, lho!). Tapi
anak-anak biasa memanggilnya dengan sebutan
keren, Mister Punk. Orangnya tinggi, gede, item,
dan kagak kece. Kalau marah, suaranya bisa
menggelegar kayak halilintar. Sementara matanya
seperti mata elang, menatap dari balik dahinya
yang menonjol. Wah, pokoknya kayak
Fankeinstein deh! Nggak ada anak murid yang
berani ngelawak dalam pelajaran dia.
Dan kini Lupus malah terlambat masuk. Ulangan
lagi.
Tok-tok-tok. Terdengar suara ketukan di pintu
kelas.
"Mazuk!" perintah tegas dari Mr. Punk hampir
mengagetkan seluruh siswa yang asyik dengan
soal-soal fisikanya.
Kepala Lupus muncul dari balik pintu. Diikuti
oleh pandangan seisi kelas. Lupus tersenyum
lebar, tapi Mr. Punk tidak. Dia malah melirik ke
jam tangannya. Jam delapan lewat dikit. Betapa
nekatnya anak yang satu ini. Biasanya kalau
murid sudah terlambat setengah jam dari bel
masuk, tidak akan berani masuk ke kelas. Dan Mr.
Punk yakin, jam tangannya tidak meleset, meski
biasanya kadang memang telat beberapa menit.
Tapi setidak-tidaknya tadi pagi, sebelum
berangkat mengajar, dia sudah mencocokkan jam
tangannya dengan tetangga sebelah. Jadi nggak
mungkin salah lihat.
"Maaf, Pak, saya terlambat. Habis lalu lintas
macet...," kata Lupus malu-malu.
"Hm, lalu lintaz tak pernah macet. Kau pazti
bohong. Yang macet itu pazti mobilnya. Tapi
zudahlah. Ziapa namamu? Lupuz, ya?"
Mr. Punk memang selalu menyebut huruf 's'
dengan bunyi 'z'. Mungkin di kampungnya jarang
ada es. Makanya item begitu. Haus melulu.
"Ya, Pak. Nama saya Lupus."
"Ya, zudahlah. Cepat .duduk zana dan kerjakan
zoal ulanganmu yang di papan tuliz itu. Ingat.
waktunya tidak banyak. Itu kan zalahmu zendiri
..”
Lupus segera mengambil tempat duduk dan mulai
mengerjakan soal-soal ulangan itu.
Jam 08.20. Lupus masih kebingungan menekuni soal-soal
ulangan fisika. Baru satu dari empat soal yang
diberikan yang dapat dikerjakan dengan baik.
Sisanya, masih tanda tanya besar. Sialan, padahal
semua rumus itu semalem sudah dihapalkan. Tapi,
kok lupa lagi? Mana mata rasanya sepet banget.
Nggak bisa terbuka lebar.
Lupus mencoba mencari bantuan ke
sekelilingnya. Matanya berputar-putar bak maling
profesiona!. Hampir semua anak lagi asyik
dengan contekannya. Ada yang terselip di lipatan
lengan baju, ada yang di balik rok, ada yang nekat
di balik kertas ulangan. Tetapi, tetap aja wajahnya
menunjukkan kebingungan. Karena fisika
memang pelajaran paling menyebalkan. Sudah
tahu rumusnya, belum tentu bisa mengerjakan.
Makanya Lupus suka kagum berat sama Einstein
yang jago fisika itu.
Pilihan pun jatuh ke tetangga sebelah. Saat itu
Herumoko, yang duduk di sebelah, sedang asyik
dengan contekannya.
"Her, tukeran dong kertas jawabannya. Saya baru
ngerjain nomer satu dan tiga. Kamu yang lain
bisa?" bisik Lupus pelan.
Heru. mengangguk, dan transaksi pun
berlangsung. Tapi, seperti sudah dibilangin tadi,
kalau orang lagi sial, memang suka keterusan
sialnya.
Dan Mr. Punk pun melihat transaksi tadi.
Langsung aja nyamperin bangku Lupus yang di
belakang. Sementara Heru sudah ketakutan
setengah mati.
"Nah, zekarang saya mau tanya. Bagaimana
caranya kertaz ulangan Heru biza tranzmigrazi
kemari? Apa kau pikir kertaz itu biza pindah
dengan zendirinya?" tanya Mr. Punk galak.
"Tentu saja tidak. Anda kan tak hendak
mengatakan bahwa kertas ini bisa ngungsi dengan
sendirinya karena tertiup angin. Sebab di sini
kebetulan memang tak banyak angin, " sahut
Lupus berusaha tenang. Padahal, tau sendiri,
jempolnya aja sampai mengerut ketakutan.
"Nah, yukurlah kalau kau zadar akan hal itu. Dan
kau tentu tahu hukuman apa yang akan
kauterima? Oke, zilakan keluar. The sooner the
better. "
Memang tak ada jalan lain. Lupus pun terpaksa
keluar. Tak ada gunanya protes. Kamu tau,
seorang guru itu punya kekuasaan absolut di
kelas.
Di luar,. Lupus jadi mendadak ngetop. Anak kelas
sebelah yang kebetulan lagi kosong pelajaran,
langsung mengerumuninya. Langsung
menanyakan soal-soal mana yang keluar. Sebab
setelah kelas Lupus, kelas sebelahlah yang
kebagian ulangan. Lupus jadi kebingungan
sendiri. Ditarik ke sana kemari.
"Kamu jago juga, Pus. Bisa keluar duluan," puji
Lia kagum.
Lupus cuma mengangguk-angguk.
“Kalau gitu, kasih tau dong jawabnya sekalian,
biar nanti saya nggak bingung lagi...," rayu Lia.
"Aduh, gimana, ya? Kalau abis ulangan begini,
pikiran saya suka mendadak suntuk. Nggak bisa
mikir yang berat-berat. Jadi ya sori aja, ya?"
Lia. cemberut, dan yang mengerubungi Lupus
makin banyak.
"Leave me alone...," keluh Lupus sambil lari ke
kantin.
***
Pas keluar main kedua, Lupus pun menghadap
Mr. Punk di ruang guru. Ceritanya mau minta
grasi supaya diperbolehkan ikut ulangan susulan.
"Hm, bolehlah. Tapi lain kali jangan nyontek lagi,
ya?" kata Mr. Punk tegas. Lupus mengangguk.
Dan ketika pelajaran terakhir, Lupus sendirian
berada di kantor. Mengerjakan soal ulangan yang
tadi. Suasana di ruang guru itu memang sepi,
karena semua guru sibuk mengajar.
Dan saat Lupus lagi mati-matian menyelesaikan
soal-soal ulangannya, tiba-tiba seorang pesuruh
masuk. Membawa tumpukan kertas ke meja Mr.
Punk. Lupus yang lagi ngerjain soal di meja besar,
segera menyapanya, "Eh, Pak. Bapak bawa apaan
tuh?"
"Enggak tau nih. Kertas-kertas titipan Pak
Pangaribuan. Katanya disuruh disimpan di
mejanya.”
"Oo..., kertas hasil ulangan, ya? Taruhnya di sini
aja, Pak. Saya memang yang dipesan
menjaganya," kata Lupus ramah. Padahal kamu
tau, Lupus pasti bohong. T api bapak pesuruh itu
memang nggak tau. Makanya dia nurut aja. Lalu
ngeloyor keluar.
Lupus langsung memeriksa kertas-kertas jawaban
ulangan tersebut. Hm, bekas ulangan anak kelas
sebelah! Lupus segera mempelajari kertas
jawaban anak terpintar. Kebetulan masalah yang
diberikan sama, hanya soalnya dibikin agak
berbeda sedikit. Maka dalam waktu beberapa
menit saja, dia sudah bisa menemukan
penyelesaian soal-soal ulangannya. Huh, ternyata
kali ini nasib saya lagi mujur. Nggak sial melulu,
batinnya.
Maka dia pun cepat-cepat membereskan
tumpukan kertas jawaban yang diobrak-abriknya.
Dan merapikannya di bangku Mr. Punk. Setelah
itu, dia kembali ke mejanya. Pura-pura asyik
mengerjakan sambil menunggu Mr. Punk
kembali.
Jam 12.00.
Mr. Punk memasuki ruangan guru. Mendapatkan
Lupus yang tertidur di bangku pojok dengan
asyiknya. Lupus memang ngantuk sekali setelah
semalaman belajar.
"Hei, Lupuz. Bangunlah kau! Apa kau zudah
mengerjakan zemuanya?"
Lupus langsung terbangun, dan buru-buru
menyerahkan kertas jawabannya sambil meminta
maaf karena ketiduran.
Mr. Punk memeriksa semua jawaban yang
dikerjakan Lupus. Lalu mengangguk-ngangguk
sambil tersenyum. "Hm, baguslah. Ternyata kau
pintar juga, ya? Kenapa tadi kau nyontek? Itulah
kalau orang tidak punya percaya diri. . .. "
Lupus langsung tersenyum girang.
"Nah, kalau begitu kau toh tak keberatan
menolong zaya, kan? Zaya ada perlu zebentar
dengan Bapak Kepala. Tolong kau perikza hazil-
hazil ulangan teman-temanmu yang menumpuk di
zana. Biza, kan? Zaya percaya lah pada
kemampuanmu!"
Lupus terkejut, dan hendak protes.
"Tapi, Pak, ini kan sudah waktunya pulang...“
"Alaaah, zebentar zaja, kok. Buat orang-orang
zepintar kau itu kan mudah zaja. Paling beberapa
menit lah. Oke, zelamat bekerja. Terima kazih
banyak zebelumnya."
Lalu Mr. Punk pun keluar dari ruang guru itu.
Meninggalkan Lupus dengan setumpuk
kerjaannya. Lupus habis memaki-maki. Goblok,
kenapa tadi kertas jawabannya dibikin betul
semua? Wah, akhirnya kesialan itu datang terus.
Padahal dia tadi sudah punya rencana sepulang
sekolah mau beli sepatu kets baru di Blok M.
Udah capek-capek ngumpulin duit, terpaksa
ditunda lagi. Ini memang hari tersial buat Lupus.
Hari Senin sialan! Dan Lupus nggak akan pernah lupa.
***
Jam 12.45.
Lupus berjalan gontai memasuki kelasnya yang
nampak sepi. Busyet, buku-bukunya masih
berantakan di bangkunya. Tasnya juga. Lupus jadi
mengutuki teman-temannya yang nggak solider.
Ninggalin semua barangnya tanpa terurus. Lupus
pun melangkah masuk. Membenahi buku-
bukunya yang berantakan. Lalu memasuk-
masukkannya ke dalam tas. Tak sengaja matanya
tertumbuk pada tulisan besar di papan tulis:
BUAT LUPUS, SELAMAT ULANG TAHUN.
Lalu suara sorakan terdengar dari seluruh jendela.
Lupus kaget setengah mati. Dan dari balik
bangku, balik pintu, balik jendela, bermunculan
Boim, Svida, Poppi, Ruri, Andang, Anto, Irvan,
dan semua teman sekelasnya. Bersorak-sorak,
"Horee... horee.... Ulang tahun ni ye."
Lupus jadi terharu sekali. Ya, Tuhan, dia sendiri
lupa kalau dia ulang tahun hari itu. Ya, dia
memang pelupa. Tapi semua temannya nggak
lupa. Dan Lupus yakin, ibunya dan adiknya pasti
sedang menyiapkan surprise besar buatnya setiba
dari sekolah nanti.
"Selamat ya, Pus! Makan-makan dooong!"
mereka pada berebutan mengucapkan selamat.
Lupus jadi sibuk menghapus air matanya yang
nekat mengalir. Ya, saya akan mentraktir semua
anak. Biarlah nggak jadi beli sepatu kets yang
diidamkan. Yang penting semuanya harus
berbahagia hari ini, batin Lupus.
Dan surpraise terbesar terjadi ketika Poppi datang
membawa kue ulang tahun yang besar. Yang
bertuliskan nama Lupus.
"Selamat ulang tahun, Lupus. Kita bersahabat lagi
sekarang...."
Lidah Lupus terasa kelu. Tak bisa mengucapkan
apa-apa. Hanya matanya yang menatap penuh
haru. Dan tangannya yang kecil menyambut
uluran tangan Poppi.
"Ya, Poppi. Kita sekarang bersahabat lagi. Tak
ada yang lebih indah dari itu...."
Anak-anak pun bersorak-sorak riang.
"Kita ke mana nih makannya?" sahut Boim.
"Ke rumah saya aja. Siapa tau ibu saya sudah
menyiapkan makanan yang banyak, " jawab
Lupus.
Semua setuju.
Dan Mr. Punk muncul di pintu. Terheran - heran
melihat anak-anak kelas Lupus belum pada
pulang. Malah pada sibuk bersorak-sorak.
"Hei, ada apa ini?"
"Ini lho, Pak. Lupus kita ulang tahun," sahut
Svida riang.
"Ha? Makan bezar rupanya kita. Kupikir ada
kapal meledak. Rupanya kawan kita ulang tahun.
Zelamat ya, Puz."
Lupus menyambut ucapan selamat dari Mr. Punk.
Dan mereka pun berduyun-duyun ke rumah
Lupus. Irvan dan Roni sudah menyiapkan dua
mini-bis. Semua ikut, tak terkecuali Mr. Punk. -
Semua bernyanyi gembira sepanjang jalan, meski
duduk berjejalan serasa sarden.
***
Di rumah, ibu Lupus tak mengira bakal
kedatangan tamu sebanyak itu. Makanya makanan
yang memang dipersiapkan untuk ultah Lupus
kurang. Lupus segera menyuruh Lulu, yang
kebetulan bolos sekolah, membeli makanan di
restoran terdekat. Lupus memberikan semua uangnya.
Dan siang itu Lulu berlari-lari ke restoran. Selalu
deh, kalau seseorang itu lagi happy, pasti ada
orang lain yang merasa sedih. Ya si Lulu itu.
Bayangkan, siang-siang panas-panas begini asyik
jogging ke restoran.
Tapi Lulu rela. Dia senang bisa memberikan
sesuatu kepada kakaknya yang tercinta di hari
bahagianya. Met uhah ya, Pus...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar