Selasa, 31 Januari 2012

02.Kok Jadi Sama Kamu?

Kok Jadi Sama Kamu?

Tak pernah terpikir dalam benak Nina bisa terjadi seperti ini.
Acara pertemuan empat matanya dengan rekan kerjanya dari cabang lain, yang mestinya membahas job desk berkaitan dengan aplikasi baru di kantor, tanpa sengaja bisa membantunya menguak kedok pria yang sudah membuatnya mabuk kepayang dan terjerat cinta buta, Damar.
Hari itu awalnya biasa saja....
Nina dan Dino mengobrol sambil makan makanan cepat saji di salah satu food court. Tak hanya membahas tentang aplikasi, namun juga saling curhat suka duka kerja di kantor cabang masing-masing.
Biasanya, mereka hanya berkomunikasi lewat telpon atau SMS, tapi kali ini mereka menyempatkan untuk ketemuan langsung. Sekalian refreshing. Jam kerja selama 11-12 jam di kantor, begitu menyita waktu mereka. Hidup rasanya seperti hanya berkutat di rumah-kantor, rumah-kantor. Jadi apa salahnya ada pertemuan ini. Meeting directly, face to face.
Well, meeting and dating, at the same time, hehehe. Mereka sempat bercanda ke arah situ. Niat awal mereka untuk sekedar meeting, tapi kok rasa-rasanya jadi kayak kencan, cuman berdua...
Dino asik buat temen ngobrol dan curhat.
Lama-lama, Nina jadi ngerasa aneh dengan perasaannya. Dia cinta sama Damar, tapi masak dia juga suka dengan Dino? ANEH. ITU ANEH.
Ahhh... ngga usah dipikirin! Itu hanya pemikiran-pemikiran hasil godaan syaiton. Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah... batin Nina.
Hampir tiga jam mereka berdiskusi di food court. Lalu Nina menawarkan Dino ke toko buku Gramed. Dino menyetujuinya.
Sambil berjalan berdampingan dan mengobrol, tanpa sengaja Nina melihat pemandangan sepasang dua sejoli berjalan bersama seperti dirinya dengan Dino. Si prianya sungguh dikenal oleh Nina. Dia langsung shock! Kakinya rasanya jadi lemas. Hatinya terasa begitu perih... Dia tak sanggup berpura-pura untuk meneruskan tujuan mereka mengunjungi toko buku.
“Ayo, balik yuk!”
“Hhh?”
“Kita balik aja...”
“Lho, ngga jadi ke Gramed?”
Nina menggelengkan kepala, “He’em!”
Dino melemparkan ekspresi heran.
“Kenapa?”
“Besok-besok aja ya?” jawab Nina asal, “Kepalaku pusing...” bohongnya.
“Oke. Oke,... ayo balik,” tanggap Dino.
Sebenarnya, dia masih menyimpan keheranan. Raut wajah Nina bukan seperti orang sakit, melainkan seperti sedih atau kecewa. Perubahannya begitu mendadak. Kontras dengan beberapa menit sebelumnya.
Mengapa matanya mendadak berkaca? Ada apa? Hati Dino bertanya-tanya,
Ketika berjalan menuju parkir motor, Nina banyak diam.
Dino makin bingung. Kok tiba-tiba Nina jadi kayak gini? Padahal tadi begitu ceria dan antusias. Apa ada kata-katanya yang salah dan menyinggung perasaannya? Bahkan Nina membatalkan tujuan ke Gramed. Bukankah mula-mulanya justru dia yang mengajaknya mampir ke sana? Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Alasan sakit kepalanya seperti dibuat-buat...
Dino tidak tahu bahwa Nina juga sedang mikir, bukan mikirin Dino, tapi mikirin pria yang jalan ama cewek cantik tadi.
Nina cemburu berat! Sakit hati! Kecewa! Kesal! Jelas-jelas tangan pria itu melingkar di bahu cewek itu. Bikin beteee!!!
Nina tak mungkin ada perasaan seperti itu jika pria yang dilihatnya tadi bukanlah Damar. Oh, tidak. Dia masih tak percaya Damar tega melakukan itu. Kenapa dia memberi harapan indah jika sudah menjadi milik orang lain? KENAPA?! KENAPA?!
Dino berusaha memulai pembicaraan lagi, tapi Nina nggak connect.
“Maaf ya, No, aku lagi ngga konsen...” ungkapnya lirih.
“Kamu nggak apa-apa?”
Nina hanya menggelengkan kepala.
“Kok tiba-tiba jadi sedih sih?”
“Maaf ya...”
Dino terdiam dan menyimpan seribu tanda tanyanya.
Dalam perjalanan, Nina diam seribu bahasa.
Dino tambah bingung.
“Nin...” panggilnya.
“Iya?”
“Kamu nggak papa bener?”
“He’em...”
“Pusingnya sakit banget?”
Nina jadi merasa bersalah pada Dino. Dino nggak tahu apa-apa.
“Tenang aja...”
“Kok diem aja sih...?”
“Dino, ajak aku ke suatu tempat agar aku bisa nangis sepuasnya!”
Tanpa banyak bertanya lagi, Dino mengajak Nina ke tempat nongkrong muda-mudi. Di hari kerja begitu, ternyata tidak terlalu ramai seperti biasanya.
“Waduh, kok nangis...”
Nina tidak menghiraukannya. Dia menangis sambil menutup mata dengan kedua tangannya. Senggugukan tangisnya malah makin kencang.
“Kamu kenapa sih? Oke, oke, nangis dulu, baru cerita, ya?”
Nina mengangguk ringan.
Sampai satu jam kemudian...
Tangis Nina reda, hanya tersisa senggugukannya dan hidungnya jadi seperti pilek. Lalu Nina menceritakan keadaannya. Dan hubungannya dengan Damar.
"Sebulanan ini, kami... ya gitu deh, pendekatan. Aku bahkan berinisiatif maju duluan,... karena Damar tipe cowok yang... yah, sulit ditaklukkan, dan unpredictable."
Dino mengangguk-angguk, "Cowok kayak gitu bikin gemes dan penasaran, ya? Cool, tapi fleksibel."
Makin Dino menunjukkan empatinya, makin Nina terbuka.
"Kalo diajak ngomong, nyambung. Aku jadi betah lama-lama ngobrol sama dia. Jadi gitu deh...."
Terus saja Nina bercerita.
Seiring berjalannya waktu, Nina merasa gayung bersambut.
Setelah Damar mengetahui isi hatinya, mereka pun menjadi akrab. Mereka biasa SMS-an, sering telpon-telponan, dan kadang jalan bareng.
Nina sempat optimis akan mengakhiri status jomblonya sebentar lagi. Tapi Damar ngga kunjung nembak.
Untuk beberapa lama, Nina tetap sabar menanti. Sampai kemudian harapan indah itu pupus, yaitu setelah Nina melihat pemandangan menyebalkan tadi.
“Siapa tahu bukan ceweknya?”, Dino menyela.
“Bukan ceweknya? Kalo bukan, kenapa pake meluk bahunya? Adik, kakak, temen? Masa kayak gitu? Apa kamu juga kayak gitu ke temen cewekmu, atau ke adik-kakak cewek kamu?”
Dino terdiam beberapa detik, “Tanyain aja, Damar. Biar pasti.”
“Aku udah SMS, nanya dia lagi dimana, tapi belum dibales. Lha apalagi kalo aku nanya dia lagi sama siapa.”
“Telpon?”
“Ngga mungkin diangkat.”
“Coba aja.”
“Aku udah males, Dino....”
“Berapa sih nomer hape-nya?”
“Kamu mau ngapain?”
“Kamu pengen tahu kan cewek yang sama dia tadi itu siapa?”
Akhirnya Nina memberikan nomor HP Damar.
Dino mencoba menelepon beberapa kali, hingga akhirnya diangkat Damar. Loudspeaker-nya dia nyalakan supaya Nina ikut mendengar.
“Halo, assalamu’ alaikum...”
“Walaikum salam...”
“Ini benar Damar?”
“Iya. Maaf, ini siapa?”
“Ini Dino...”
“Dino?”
“Iya, Dino...”
“Dino siapa ya?”
“Dino, kakaknya Nina.”
Nina agak membelalakan matanya.
“Kakaknya Nina? Kakak kandung?”
“Masak kakak pungut? Maaf ya,... Mas, tahu nggak ya, sekarang Nina dimana? Saya ada perlu. Penting.”
Nina makin melotot.
Gile, dapet inspirasi skenario darimana nih anak?
“Lho kok tanya saya, Mas?”
“Mmm... Kamu kan temen deketnya? Siapa tahu....”
“Sebentar-sebentar, setahu saya, Nina ngga punya kakak.”
“Mas Damar kan temen baiknya, masak nggak tahu tentang saya?”
“Waduh, tapi soal Nina saya nggak tahu. Mas, saya juga ngga tahu dia sekarang dimana.”
“Lho? Dia kan sering jalan sama kamu!”
“Saya benar-benar nggak tahu, Mas.”
“Sekarang posisi kamu dimana?”
“Saya sedang di luar. Di mall.”
“Sama Nina, kan?”
“Ngga, Mas. Ini saya sama cewek saya.”
Dino melemparkan tatapan penuh arti pada Nina.
Nina mengangguk-angguk.
Entah kenapa, perasaan cemburu, sakit hati, dan kecewa jadi sirna. Nina nggak peduli lagi, Damar keluar sama siapapun juga. Saat ini, yang sedang ia rasakan adalah kekaguman pada cowok di hadapannya.
“Tolong ya, jangan mempermainkan perasaan orang, apalagi wanita. Sama aja kamu menyakiti perasaan ibu kamu sendiri. Ibu kamu juga seorang wanita. Jika kamu tidak ingin menyakiti perasaan ibu kamu, jangan sakiti perasaan wanita lain.”
Nina tak bisa melepaskan pandangan pada Dino. Kenapa jadi timbul rasa simpatik padanya? Kata-kata Dino barusan so sweet... dan menyentuh....
Di sisi sana, Damar terdiam.
“Mengerti Mas Damar?”
“Hmm... ya, ya.”
Nina tertawa tanpa suara ketika mendengar suara Damar yang tunduk pada Dino, seperti seorang anak yang sedang dinasihati orang tuanya.
“Eh, ini dia yang saya cari-cari!” sahut Dino dengan memandang Nina, “Nina, kamu kemana aja? Kamu ini bikin kuatir deh!” celoteh Dino pura-pura kesel. Beberapa saat, dia abaikan Damar di ujung telepon.
Nina terperanjat. Apa-apaan ini?
“Ayo ngomong!” bibir Damar berucap tanpa bersuara.
Nina cepat mengerti maksudnya.
“Lho, aku kan habis keluar sama temen kantor! Aku kan udah pamit!”
Nina mengikuti alur skenario Dino.
Damar mendengarkan suara Nina di ujung telponnya.
“Lain kali pamit sama aku juga! Aku benar-benar kuatir, Nina! Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk sama kamu…” pungkas Dino terdengar sungguh-sungguh.
Nina bengong beberapa detik.
Nina dan Dino saling tukar pandang.
“A-apa...?” Nina tidak tahu harus menanggapi apa.
“Lain kali pamit ya sama aku kalo mau keluar-keluar...” ulang Dino singkat.
“Oke...” jawab Nina berat.
“Ya udah Mas Damar, terima kasih. Maaf ya mengganggu kencannya, silakan dilanjutkan.”
“Oh, iya. Oke, ngga papa.”
Damar tertegun di ujung telepon. Kekasihnya yang menarik-narik lengannya dan bertanya-tanya, tidak digubris dari tadi.
“Wassalamualaikum!!” ucap Dino ramah dan bersemangat. Begitu kontras dengan sikap marah-marahnya tadi.
“Wa’alaikum salam.”
Damar seperti terhipnotis. Dia bahkan tidak bisa marah. Tanda tanya besar di benaknya membuatnya tak sanggup mencerna apa terjadi. Dia merasa seperti dipermainkan, tapi ngga bisa marah ataupun komplain.
Komunikasi terputus.
“Selesai! Clear, kan?” ujar Dino ringan.
Nina termangu memandangi Dino.
“Kenapa? Mau bilang terima kasih?”
“Dino...” Nina tak bisa mengutarakan lewat kata-kata. Dia hanya tertawa kecil.
Lalu keduanya sama-sama terdiam beberapa saat.
“Eh, tadi kata-katanya dapet ilham darimana?”
“Kata-kata yang mana? Tadi kan aku ngomong banyak...”
“Tentang perasaan wanita itu sama dengan perasaan ibu...”
“Oh... itu! Itu...” Dino memutar otak, “Ya memang begitu.”
“Itu kata-katamu sendiri?”
“Hmm.. nggak...,” Dino memberi jeda dua detik, ”nggak salah maksudnya...” lanjutnya.
Nina tertawa. “Itu... so sweet...”
“Hmm yeah... se-'so sweet' kamulah...” ceplos Dino.
Nina tergelak. Dia jadi lupa akan patah hatinya. Sekarang rasanya jadi seperti jatuh hati lagi… ANEH. ITU ANEH.
Dino terus saja tertawa lepas.
Ketawanya itu terdengar seksi di telinga Nina.
“Makasih ya, udah ngehibur aku... Thanks, so much!”
“Sama-sama...”
Mereka beradu pandang.
“Nina?”
“Iya?”
“Maaf jika aku harus bilang ini ketika kamu patah hati.”
“Bilang apa?”
“Aku rasanya memang suka sama kamu...”
Nina tergelak.
“Kok ketawa sih?”
“Karena aku ngerasa aneh...”
“Aneh gimana?”
“Ya aneh. Aku lagi patah hati, tapi kok masih bisa ngerasa bahagia sih...” terang Nina, “Kayaknya karena ada kamu...”
Dino tertawa. “Terus?”
“Terus apanya?”
“Ya kita...”
“Hahaha...” Nina malah ketawa lagi.
“Mau ngga jadian?” tanya Dino.
“Dino? Kamu ngga takut jadi pelarianku setelah patah hati...?”
“Aku ingin menyembuhkan lukamu setelah patah hati... Karena itu izinkan aku jadi cowok kamu...”
Nina mencari ketulusan kata-kata lewat mata Dino.
“Beri aku waktu ya?”
“Bukan masalah…”
“Hmm.. Kok jadi sama kamu, ya?”
(Lulu)

Tidak ada komentar: