Selasa, 31 Januari 2012

022.PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA

PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA
LEMBAH MERAK HIJAU yang terletak di propinsi
Ciat-kang merupakan sebuah lembah subur
dengan pemandangan yang indah. Lebih-lebih
karena di sebelah timur lembah ini terdapat daerah
persawahan yang luas dan pada saat itu padi yang
ditanam telah masak menguning hingga kemanapun
mata memandang, seolah-olah hamparan permadani
emaslah yang kelihatan. Bila angin bertiup, padi-padi
masak menguning itu bergoyang melambai-lambai
mengalun lemah gemulai
    Dipagi yang cerah ini diantara desau  tiupan
angin lembah yang segar terdengarlah suara tiupan
seruling  yang  merdu sekali. Barang siapa yang
mendengarnya, pastilah akan tertegun dan mema-
sang telinga baik-baik menikmati suara seruling itu.
Siapakah gerangan yang meniup seruling tersebut?
Tentunya seorang seniman pandai yang dapat meng-
gambarkan keindahan pemandangan alam sekitar-
nya lewat hembusan napas yang disalurkannya ke
dalam lobang seruling.
    Tetapi adalah diiuar dugaan  karena kenyataan-
nya si peniup seruling bukanlah seorang seniman,
bukan pula seorang dewasa. Melainkan seorang
anak gembala yang baru berusia tujuh tahun dan
duduk di atas punggung seekor kerbau besar tegap
berbulu bersih dan berkilat.
    Perlahan-lahan kerbau besar itu melangkah me-
nyusur tepi sawah, memasuki lembah Merak Hijau,
kemudian mendaki bibir lembah di sebelah selatan.
Di atas punggungnya bocah berusia tujuh tahun itu
demikian asyiknya meniup seruling hingga dia tidak
perduli lagi ke mana pun kerbaunya membawanya.
    Akan tetapi  ketika  binatang itu sampai di atas
lembah sebelah selatan serta rnerta  si bocah meng-
hentikan permainan serulingnya. Mulutnya ternganga
dan sepasang matanya yang bening melotot begitu
dia menyaksikan pemandangan di hadapannya. Dua
sosok tubuh yang hanya merupakan bayang-bayang
hitam dan  putih  dilihatnya berkelebat hebat, terlibat
dalam suatu perkelahian yang gencar dan seru.
    Adalah aneh... memikir anak itu...
begini indah dan segar, ada orang berkelahi. Mem-
perhatikan  dengan  mata  tak  berkesip  lama-lama
membuat si bocah menjadi pusing sendiri. Beberapa
kali dia memejamkan matanya, dibuka kembali, di-
pejamkan  lagi, dibuka lagi. Ketika dia  membuka
sepasang  matanya  untuk  yang  kesekian kalinya,
dilihatnya bayangan hitam mendesak bayangan pu-
tih dan tahu-tahu satu tendangan dahsyat dilancar-
kan oleh sosok tubuh bayangan hitam. Tapi bayang-
an putih dapat mengelak. Tendangan maut  itu tak
sengaja terus melabrak kepala kerbau yang ditung-
gangi anak tadi.
    Terdengar  lenguhan keras.  Kerbau besar itu
mencelat sampai beberapa tombak, angsrok di ta-
nah, mati  dengan kepala  pecah. Anak  lelaki tadi
terpelanting dan  nyangsrang dalam semak-semak.
Pakaiannya habis koyak-koyak dan kulitnya  baret
luka-luka.  Tapi  suling Kesayangannya  masih ter-
genggam di tangan kanannya. Dengan susah payah
dia keluar dari semak-semak itu sambil mengomel
marah ketika mengetahui apa yang terjadi dengan
kerbau tunggangannya.
    Di depan sana  akibat kejadian yang tak  di-
sangka-sangka itu, dua orang yang tadi berkelahi
mati-matian sama melompat  mundur.  Perkelahian
terhenti dan keduanya memandang ke arah si bocah
dan kerbaunya.
    Kini barulah anak lelaki itu dapat melihat dengan
jelas sosok tubuh dan tampak kedua bayangan hitam
dan putih tadi.
    Di depan sebelah kanan tegak seorang kakek-
kakek berjubah hitam berkepala botak plontos yang
kilat-kilat  ditimpa sinar matahari. Sepasang alisnya
tebal, kumisnya jarang tapi tebal-tebal dan panjang.
Tampangnya persis seperti anjing air!
    Di sebelah kiri berdiri pula seorang kakek-kakek
berpakaian putih. Rambutnya panjang putih meriap
bahu. Dia memelihara kumis serta janggut lebat yang
juga berwana putih. Sepasang matanya meman-
dang tajam pada bocah  yang memegang  suling
sedang kulit  keningnya berkerut  seolah-olah  dia
tengah memikirkan sesuatu.
    Meskipun tadi hanya melihat bayangannya saja.
namun bocah pengembara itu yakin kakek berjubah
hitam itulah yang telah melepaskan tendangan hing-
ga mematikan kerbaunya. Bocah ini memang mem-
punyai dasar watak yang berani. Dengan mata me-
lotot dan air  muka  menunjukkan  kemarahan  dia
membentak pada kakek jubah hitam :
    “Tua bangka botak! Kau telah membunuh ker-
bauku! Aku pasti akan dirajam oleh majikanku! Kau
harus menggantinya kalau tidak...."
    Seumur hidupnya baru kali itu kakek berjubah
hitam dimaki begitu rupa oleh seorang lain. apalagi
anak-anak yang  masih ingusan pula! Tentu  saja
darahnya naik ke kepala
    "Pergi kau dari sini. kalau tidak kepalamu akan
kupecahkan seperti binatang itu!"
    "Tidak! Kau harus ganti dulu kerbau yang mati itu!'
    "Bocah sundal! Kau mampuslah!' teriak kakek
jubah hitam marah sekali. Tangan kanannya dipukul-
kan ke depan. Serangkum angin menderu dahsyat.
Jangankan seorang anak kecil seperti pengembala
itu, batu karang atos sekalipun kalau sampai dilabrak
pukulan jarak jauh yang berkekuatan tenaga dalam
Suar biasa itu pasti akan hancur lebur.
    Tapi sebelum pukulan tangan kosong itu meng-
hantam anak gembala, dari samping menderu angin
pukulan lain, menggempur angin pukulan yang per-
tama hingga berantakan dan punah!
    Ternyata kakek berpakaian  putihlah yang telah
menolong bocah itu!
    Si anak yang tidak sadar kalau dirinya baru saja
terlepas dari bahaya maut. dengan marah mengang-
kat sulingnya tinggi-tinggi  dan lari  ke arah kakek
berjubah hitam.
    "Tua bangka botak! Kugebuk kau dengan suling-
ku kalau kau tak mau ganti kerbau yang mati!"
    Anak yang  berani ini  tidak menyadari sama
sekali kalau perbuatannya itu bakal merenggut nya-
wa sendiri karena dalam kemarahannya kakek jubah
hitam memang sudah berniat membunuh anak itu.
Tapi lagi-lagi  orang tua  berpakaian putih  menye-
lamatkannya  Sekali bergerak, kakek yang  satu ini
tahu-tahu sudah telah mencengkram kerah pakaian
bocah itu dan menariknya ke tempat yang aman!
    "Budak! Keberanianmu luar biasa dan  menga-
gumkanku! Tapi si kepala botak itu bukan lawanmu!T
Biar aku yang mewakilimu untuk menggebuknya!'
    Sesaat  anak gembala  itu terdiam. Kemudian
dengan merengut dia berkata : "Kalian tua-tua bang-
ka tak tahu  diri.-Berkelahi macam anak-anak!"
    Kakek berjanggut putih tertawa gelak gelak. Tapi
sebaliknya si jubah hitam kepala botak membentak
garang dan  menyerbu. Kembali kedua orang ini ber-
tempur hebat Kembali tubuh mereka menjadi  bayang-
bayang hitam putih dan kembali pula si bocah  menjadi
sakit mata dan pening kepalanya menyaksikan. Namun
dia memaksakan untuk memperhatikan kejadian hebat
itu sambi! tiada hentinya berteriak : Janggut putih, ayo
kau hajar kepala botak pembunuh kerbauku itu! Sikat!
Pecahkan kepalanya seperti dia memecahkan kepala
binatang gembalaanku!"
    Teriakan-teriakan anak  ini seolah-olah memberi
semangat pada kakek berpakaian pulih, sebaliknya
membuat si botak jadi penasaran setengah  mati!
    Dari batik jubah hitamnya si botak ini keluarkan
senjatanya  berupa tongkat kayu berwarna hitam
legam dan memancarkan sinar menggidikkan. Sete-
lah bertempur hampir dua ratus jurus ternyata  dia
tak dapat merubuhkan lawan dengan iangan kosong
maka kini dengan senjata itu dia berharap bakai
dapat mengalihkan kakek janggut putih.
    Diiain pihak lawannya begitu melihat musuh  pe-
gang senjata tidak pula menunggu lebih lama, segera
keluarkan senjatanya yakni sebatang tombak pendek
terbuat dari baja putih yang kedua ujungnya bercagak.
    Sesaat  kemudian keduanya sudah bertempur
kembali dengan hebatnya. Kini bayangan pakaian
mereka yang  putih dan hitam dibuntali oleh  sinar
dari senjata masing-masing dan menderu-deru  de-
ngan dahsyatnya.
    Bocah gembala yang berdiri jauh dari tempat itu
merasakan bagaimana sambaran kedua senjata ter-
sebut membuat lututnya guyah dan tubuhnya ber-
getar menggigil Terpaksa dia  menjauh sampai satu
tombak dari kalangan pertempuran sementara mata
dan kepalanya semakin  sakit menyaksikan.
    Dalam satu gebrakan hebat kakek janggut putih
berhasil mendesak lawan dan setelah mengirimkan
tusukan-tusukan gencar ke arah tawan tiba-tiba  ro-
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 6
bah gerakan tongkatnya dengan satu kemplangan
yang tidak terduga.
    Kakek botak berseru kaget. Buru-buru dia melin-
tangkan senjatanya di atas kepala. Tombak baja dan
tongkat  kayu  mustika beradu dengan keras, me
ngeluarkan suara nyaring. Tongkat  kayu mental
patah dua sedang tombak baja terlepas dari tangan
kakek janggut  putih! Nyatalah kedua kakek-kakek
itu sama tangguh meskipun si janggut putih unggul
sedikit dari lawannya.
    Selagi kakek janggut putih  melompat meng-
ambil tongkatnya, si kepala botak rangkapkan dua
tangan di depan dada, kaki terkembang  dan kedua
matanya  dipejamkan. Mulutnya  komat-kamit.  Dari
ubun-ubun kepalanya mengepul asap hitam. Kemu-
dian terdengar kekehannya.
    "Manusia keparat! Jangan harap kali ini kau bisa
bernapas lebih  lama!"
    Kepulan-kepulan asap hitam  itu sedetik kemu-
dian berobah menjadi delapan buah  tangan  yang
amat besar, berbulu dan berkuku-kuku panjang lak-
sana cakar burung  garuda  dan mulai menggapai-
gapai  ke arah kakek janggut putih.
    "Ilmu hoatsut!" teriak si janggut putih dengan
wajah berobah. (Hoatsut ilmu  sihir hitam). Hatinya
tercekat. Segala macam  senjata sakti dan ilmu silat
hebat  bagaimana pun dia tidak gentar. Tapi meng-
hadapi ilmu siluman mau tak mau hatinya berdebar
juga. Dia mengambil keputusan nekad.  Menghajar
si kepala botak itu lebih dulu sebelum ilmu hitamnya
melancarkan  serangan.  Dengan  memutar tombak
bajanya  sekeliling tubuh,  dia menyusup  diantara
kepulan asap hitam!
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 7
    AKAN TETAPI  SEBELUM tongkat baja berkepala dua
itu mampu mendekati kakek jubah hitam  sampai jarak  
tiga jengkal, tiba-tiba delapan buah tangan mengerikan
telah berserabutan menyerang kakek janggut putih!
    Si kakek tersentak dan buru-buru menghindarkan
diri. Tapi empat tangan berkuku panjang itu masih
memburunya dengan ganas. Si kakek kiblatkan tombak
bajanya, sekaligus melabrak empat buah tangan  yang  
menyerang. Aneh, meskipun jelas dia berhasil
menghantam empat tangan mengerikan itu namun  
tombaknya  lewat begitu  saja seolah-olah menghantam
udara kosong! Dan  dalam pada itu salah satu tangan
tersebut telah berkelebat dengan cepat dan bret!
    Pakaian  dibagian dada  si kakek robek besar.
Kuku-kuku yang panjang masih sempat membuat
baret daging dadanya  dan kontan orang tua ini
merasakan tubuhnya panas dingin. Buru-buru  dia
salurkan tenaga dalamnya kebagian dada yang  ce-
dera dan rasa sakit panas dingin berangsur-angsur
berkurang.
    Dalam pada itu di depan sana kakek jubah hitam
kembali keluarkan suara tawa mengekeh dan dela-
pan tangan siluman kembali menyerbu!
    Kakek janggut putih maklum bahwa segala  pu-
kulan sakti dan tombaknya tak akan mampu meng
hadapi ilmu sihir yang ganas itu. Dia hanya sanggup
bertahan dengan mengandalkan ginkangnya yang
sudah amat tinggi. Tapi sampai berapa lama dia bisa
berbuat begitu? Seratus, dua ratus atau katakanlah
sampai tiga ratus jurus di muka?  Dalam umurnya
yang sudah demikian lanjut, apakah dia mampu
melaksanakannya?  Cepat atau  lambat  dia  bakal
celaka juga! Hal ini  membuat dia nekad dan meng-
amuk dengan hebat. Tapi ilmu siluman musuh betul-
betul luar biasa. Dalam tempo beberapa jurus saja
dia sudah didesak habis-habisan!
    Bocah penggembala yang mengharapkan agar
kakek janggut putih bisa  menghajar si botak yang
telah membunuh kerbaunya itu, jadi kecewa dan
penasaran  ketika menyaksikan  bagaimana  justru
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 8
kakek janggut putih itu terdesak hebat bahkan ter-
ancam jiwanya karena saat itu beberapa kali tangan-
tangan iblis berkuku panjang telah memukul dan
mencakar  tubuhnya hingga  dalam tempo singkat
kakek ini mandi darah akibat luka-luka yang diderita-
nya!
    Dengan marah anak laki-laki itu mulai mengum-
pulkan batu-batu sebesar kepalan dan  melempari
kakek jubah hitam dari belakang. Tapi semua batu-
batu yang  dilemparkan jangankan  mengenai, men-
dekati tubuhnya saja pun  tidak karena batu-batu  itu
mental kembali akibat hawa sakti  yang keluar dari
tubuh si jubah hitam kepala botak!
    Hebatnya kakek janggut putih itu  meskipun
sadar bahwa dirinya bakal celaka dan kematiannya
sudah ditentukan saat itu, namun dia  masih saja
bertahan dan  melawan mati-matian, sama sekali
tidak mau menyerah apalagi lari selamatkan dirinya!
    Melihat keadaan kakek berjanggut putih itu dan
khawatir kalau  tangan-tangan siluman itu bakal me-
nyerangnya pula, timbullah rasa takut dalam diri anak
penggembala. Tetapi anehnya dia sama  sekali tidak
pula melarikan diri dari  tempat ini.  Malah untuk
menghilangkan rasa takut itu, anak  ini ambil se-
rulingnya dan  mulai meniup.  Lagu yang  dimain-
kannya  sama sekali tak menentu.  Rasa takut dan
khawatir melihat keselamatan si kakek janggut putih
terancam membuat tiupan serulingnya melengking-
lengking tak karuan. Tetapi  justru tiupan seruling
inilah  yang  mendadak sontak merubah  keadaan di
dalam kalangan perkelahian  hidup mati  itu!
    Delapan tangan iblis yang  mengerikan  kini ke-
lihatan berserabutan dalam gerakan-gerakan kacau.
semakin lama semakin mengecil akhirnya berubah
menjadi asap hitam. Kakek  jubah hitam tersentak
kaget.  Dia berkeras memusatkan  pikirannya  guna
mengumpulkan kekuatan  bathin yang tercerai berai
namun tak berhasil bahkan tangan-tangan siluman
itu telah berubah jadi kepulan  asap hitam dan lenyap.
    "Celaka!" seru kakek botak ini. Dia buka kedua
matanya justru  disaat itu musuhnya yang telah luka
parah  laksana  banteng terluka mengamuk  melihat
perubahan yang mendadak dan adanya kesempatan
untuk  menyerang, tanpa tunggu lebih lama lancar-
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 9
kan gerakan mematikan yang bernama  "Joan hun-ki-
gwat" atau "menyusup awan mengambil  rembu-
lan."     
    Tongkat baja bermata dua itu menusuk laksana
kilat ke dada si jubah hitam dan tanpa dapat dielak-
kan lagi tepat menembus jantungnya hingga tanpa
suara sedikit pun kakek berkepala botak itu minggat
nyawanya ketika itu juga!
    Melihat si pembunuh kerbaunya mati, anak gem-
bala tadi bersorak gembira dan jingkrak-jingkrakan.
    "Syukur! Mampuslah pembunuh kerbau! Baru
aku puas sekarang!" Tapi bila ingat apa  yang akan
dikatakannya nanti pada majikannya akan ini lantas
jadi termenung murung.
    Sementara itu si janggut putih yang tubuhnya
penuh luka-luka,  dalam keadaan megap-megap se-
gera bersila di tanah. Atur jalan  darah  dan napas
serta salurkan  hawa sakti tenaga dalam keseluruh
bagian tubuhnya. Beberapa saat  kemudian  dia ke-
luarkan dua macam obat yakni beberapa butir pel
dan sebungkus obat bubuk. Pel itu ditelannya sam-
pai habis sedang obat bubuk dituangkannya pada
luka-luka sekujur tubuhnya. Kemudian kembali dia
bersila. Sekitar seperminuman teh berlalu. Perlahan-
lahan  orang tua ini membuka kedua  matanya dan
berdiri. Meski kini dia telah  selamat dari kematian
namun kesehatannya  belum  pulih keseluruhannya.
ternyata  cakar dari jari-jari  tangan siluman yang
telah membuat dia cedera itu mengandung racun
yang berbahaya. Untung  saja  dia  membawa per-
sediaan obat,  kalau tidak meskipun dia berhasil
membunuh musuh namun racun, yang mengendap
bukan mustahil bakal membuat dia menemui ajalnya
pula dalam satu dua  hari dimuka.
    Orang tua ini kemudian ingat pada anak gembala
itu  yang kini tengah duduk termangu-mangu  di
bawah sebatang pohon. Meskipun kerbau gembala-
annya mati bukan karena kesalahannya dan si pem-
bunuh sudah pula menemui ajal namun majikannya
pasti tak mau  perduli. Masih mending  kalau dia
diberhentikan dari pekerjaan, kalau disuruh ganti?
    Selagi dia termenung sudah begitu rupa tiba-tiba
satu bayangan  putih berkelebat. Dia merasakan
tengkuk pakaiannya  dicekal orang  dan  kemudian
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 10
dirasakannya tubuhnya  laksana  terbang. Meman-
dang ke samping ternyata dia telah  dipanggul oleh
kakek berjanggut putih dan membawa lari dengan
kecepatan yang luar biasa, membuat dia gamang
dan ngeri.
    "Orang tua kau mau bawa aku ke mana?!" seru
si bocah dengan suara gemetar.
    "Budak... kau diam  sajalah. Tak usah banyak
tanya!"
    "Tapi aku harus kembali pada majikanku. Mem-
beri tahu tentang kerbau yang mati itu...."
    Si kakek tertawa.
    Kau anak baik yang tahu apa artinya tanggung
jawab. Tapi lupakan saja majikanmu dan kerbaumu
itu!  Persetan! Potongan tubuh dan  ruas tulangmu
kulihat bagus sekali!  Sayang... sayang kalau disia-
siakan! Aku akan bawa  kau ke puncak  Liongsan!
Kau dengar? Puncak Liongsan!"
    "Aku... aku...."
    Si kakek mempercepat larinya dan kerena ngeri
si bocah tak berani lagi banyak bicara, malah kini
dia pejamkan kedua matanya. Tanpa sadar akhirnya
dia tertidur di atas pundak kakek yang membawanya
"terbang" itu!
    Siapakah adanya kakek berambut putih ini?
Siapa pula musuh berjubah hitam itu dan apa tuju-
annya sampai anak  gembala tersebut hendak di-
bawanya ke puncak Gunung Naga yang selama ini
dianggap angker dan jarang didatangi oleh manusia?
    Kakek-kakek jubah hitam yang menemui ajalnya
itu dalam dunia persilatan di daratan Tongkok dike-
nal dengan julukan angker Raja Setan Gunung Utara
atau Pak-san Kwi-ong. Pada masa itu diantara tokoh-
tokoh  silat golongan hitam  yang  sesat  Pak-san
Kwi-ong dianggap tokoh terlihay dan secara tidak
resmi dijadikan sebagai  pimpinan. Dengan sendiri-
nya dia  menjadi musuh nomor wahid dari orang
persilatan golongan putih.
    Sekitar tiga tahun  yang lalu  antara  Pak-san
Kwi-ong dengan kakek-kakek  janggut putih yang
membawa  lari anak gembala tadi, telah terjadi ben-
trokan. Dalam perkelahian satu lawan satu yang seru
dan berlangsung seratus jurus, kakek janggut putih
berhasil mengalahkan Pak-san Kwi-ong. Kekalahan
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 11
bibit pangkal dendam kesumat sakit hati. Selama
tlya tahun Pak-san Kwi-ong melatih diri  memper-
dalam ilmu silat, tenaga dalam dan gingkangnya.
Disamping itu dia meyakini pula satu ilmu baru yakni
ilmu hitam atau sihir. Setelah dia merasa  cukup
sanggup untuk melakukan penuntutan balas, maka
dicarinyalah kakek janggut putih tadi. Ternyata Pak-
sa n Kwi-ong memang berhasil menghadapi musuh
besarnya itu, bahkan ilmu hitamnya dia hampir saja
dapat membunuh  lawan.  Namun tiada disangka-
sangka, ilmu sihirnya musnah berantakan  hanya
karena tiupan seruling bocah penggembala kerbau.
Dan akhirnya secara penasaran dia terpaksa serah-
kan jiwanya pada musuh!
    Lalu siapa pulakah kakek janggut putih itu?
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 12
      KALAU SEBELUMNYA  telah dijelaskan bahwa Pak-
san Kwi-ong  merupakan tokoh silat golongan hitam
yang paling tinggi ilmu silat dan kesetiaannya  pada
masa itu, maka  dari golongan putih  boleh dikatakan
kakek janggut  putih itulah yang  menjadi tokoh kelas  
wahidnya.  Dia dikena! dengan nama Kiat Bo Hosiang,
berusia 70 tahun dan bergelar Sin-jiu Thung ong atau
Raja Tongkat Tangan Sakti.
    Meskipun Kiat Bo Hosiang teiah dianggap se-
bagai jago nomor satu pada  masa itu, namun tokoh-
tokoh persilatan  bukan tidak  mengetahui bahwa
sesungguhnya masih ada seorang tokoh yang luar
biasa  kesaktiannya, yang  sukar bahkan tak ada
tandingnya diseluruh Tiongkok. Namun  sudah sejak
lama orang ini mengundurkan diri dari urusan dunia-
wi dan di mana beradanya sekarang tak seorang pun
yang mengetahui. Cuma diketahui bahwa tokoh luar
biasa itu adalah Suheng atau kakak seperguruan dari
Kiat Bo Hosiang. Namanya Ik Bo Hosiang dan sudah
berusia lebih dari 80 tahun, bergelar Kim-Bong-Kiam-
Khek atau Pendekar Pedang Pelangi Emas. Diduga
hanya Kiat Bo Hosiang sendirilah yang  mengetahui
di mana suhengnya itu berada.
    Sementara itu  diketahui pula bahwa Ik Bo Ho-
siang  mempunyai dua  orang  pembantu rnasing-
masing berusia 60 tahun yang kepandaiannya hanya
satu tingkat saja di bawah kepandaian Kiat Bo
Hosiang. Jika baru  pembantunya saja sudah me-
miliki kepandaian tinggi demikian rupa, maka dapat
dibayangkan betapa luar biasanya Ik Bo Hosiang
sendiri.
    Sebagaimana lazimnya yang terjadi dikalangan
kangouw, tokoh silat berkepandaian tinggi itu biasa
mempunyai sifat sifat yang aneh. Sifat ini tidak pula
terlepas dari diri  Ik Bo Hosiang. Namun keanehannya
ini sudah melampaui batas-batas yang dianggapnya
wajar hingga banyak orang yang berpendapat bahwa
kakek sakti itu tidak sehat pikirannya alias berotak
miring atau setengah gila! Cuma untuk menyatakan
pendapat atau anggapan itu secara terang-terangan
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 13
tentu saja tak satu pun  yang berani karena kalau
sampai terdengar oleh Ik Bo Hosiang, maka itu sama
saja dengan mengundang "penyakit".
    Setelah lari  hampir seratus iie dan siang telah
berganti dengan malam,  Kiat Bo Hosiang baru ber-
henti. Anak kecil yang didukungnya  ternyata telah
tertidur. Perlahan-lahan bocah ini dibaringkannya di
tanah. Dia sendiri kemudian  menelan beberapa pil
obat lalu duduk bersila di tanah. Mengatur jalan nafas
dan peredaran darah serta mengalirkan tenaga da-
lam ke bagian tubuh yang baru saja sembuh dari
pada racun jahat ilmu siluman Pak-san Kwi-ong.
Beberapa saat kemudian kembali dia melanjutkan
perjalanan, lari dalam gelapnya malam persis seperti
setan yang berkelebat gentanyangan.
    Menjelang pagi  Kiat Bo  Hosiang istirahat dan
tidur sebentar dan bila matahari terbit dia menerus-
kan perjalanan kembali.'
    Seringai gembira tersungging di mulutnya ketika
di hadapannya  terlihat  Gunung Naga (Liongsan)
yang menjulang tinggi. Penduduk disekitar tempat
itu menganggap gunung itu angker, tak satu orang
pun  berani mendekati kaki gunung. Tapi Kiat Bo
Hosiang seperti orang tak perduli, dan terus mendaki
gunung yang menjulang ini.  Sampai  pertengahan
lereng jalan yang menuju puncak gunung masih mu-
dah ditempuh dan tidak berbahaya. Tapi selewatnya
pertengahan lereng, pepohonan dan semak belukar
mulai rapat. Ular-ular pohon kelihatan membelit dan
bergelantungan di  mana-mana. Sekali seseorang
kena dipatuk, pasti dalam waktu dua atau tiga menit
nkan mati akibat bisanya yang jahat!
    Kiat Bo Hosiang nampaknya tidak  perduli akan
binatang-binatang itu. Bahkan ular-ular itu sendirilah
yang menjauh ketakutan karena dengan kesaktian-
nya yang tinggi tubuh kakek ini mengeluarkan hawa
panas  yang membuat takut ular-ular dalam hutan,
sama sekali tidak mengganggu bocah penggembala
yang sampai saat ini masih tertidur nyenyak di atas
pundak kirinya!
    Selewatnya  pertengahan lereng, perjalanan be-
tul betul sulit dan berbahaya.  Di mana-mana meng-
hilang batu-batu karang raksasa runcing menjulang
langit,  licin berlumut lembab.  Disela batu-batu ka-
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 14
rang Ini membentang jurang-jurang terjal yang gelap
sedang kabut bertebar menutupi pemandangan!
    Akan tetapi hebatnya, seolah-olah dia berlari di
jalan yang rata dan seperti sepasang matanya dapat
menembus tebalnya  kabut,  kakek  sakti Kiat Bo
Hosiang terus saja lari seenaknya.  Melompat dari
atas batu  karang  yang satu  ke batu karang yang
lainnya; melayang di atas jurang-jurang maut hingga
akhirnya sampai di puncak Uongsan!
    Saat itu di  salah satu puncak Liongsan yang
dingin, dua orang tua berpakaian  putih-putih asyik
bermain tioki  (catur). Yang pertama berambut putih
berbadan  pendek. Usianya sekitar  60  tahun dan
dikenal dengan nama  Toa Sin Hosiang. Yang se-
orang lagi  kurus tinggi, bermuka hitam juga berusia
sekitar 60 tahun. Keduanya bukan  lain adalah pem-
bantu-pembantu Ik Bo Hosiaig yang  berkepandaian
tinggi itu.
    Sementara  orang  menyebut  mereka sebagai
pembantu  Ik Bo Hosiang karena memang sebegitu
jauh tokoh berkepandaian luar biasa itu tak pernah
mengangkat mereka sebagai  murid, sekalipun se
gala kepandaian silat yang diperdapat  dari Ik Bo
Hosiang sendiri. Disamping itu mereka dari  sejak
dulu memang bertugas  melayani dan  memenuhi
apa apa keperluan Ik Bo Hosiang.
    Seperti telah  diterangkan sebelumnya  Ik Bo
Hosiang mempunyai  sifat-sifat aneh yang boleh
diKatakan seperti kurang sehat pikiran. Keanehan ini
dengan sendirinya menular pula pada kedua
pembantunya,  meskipun tidak segawat Ik Bo Hosiang
sendiri.
    Demikianlah, selagi asyik main tioki dan ketika
Toa Sin Hosiang baru saja hendak membunuh salah
satu bidak lawan, tiba-tiba Lo Sam Hosiang  meng-
goyangkan kepalanya dan berkata : "Heh ada orang
datang!"
    Toa Sin  Hosiang juga sudah mendengar. Se-
saat keduanya saling memandang heran. Memang
sudah sejak lama sekali tak pernah ada orang luar
yang naik ke puncak Liongsan. Jika hari itu ada
orang yang datang ini merupakan suatu yang luar
biasa.
    Baru saja Lo Sam Hosiang bicara maka  berke-
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 15
lebat satu bayangan  putih dan tahu-tahu di  depan
mereka sudah tegak seorang kakek-kakek berpakai-
an,  janggut, kumis dan rambut serba putih. Di pun-
daknya kirinya tidur nyenyak seorang bocah lelaki
berusia 7 tahun.
    Begitu melihat siapa adanya kakek ini, secepat
kilat kedua pembantu Ik Bo Hosiang jatuhkan diri
dan berlutut hormat.
    "Ah sungguh tak dinyana kalau puncak Liongsan
hari ini akan  kedatangan tetamu yang  bukan lain
adalah susiok kami sendiri!" (Susiok - paman guru).
Yang berkata ini adalah Lo Sam Hosiang.
    Sang tetamu yang tentu saja sudah dapat diduga
yakni  Kiat Bo Hosiang adanya menyeringai.
    Apakah  saudaraku Ik Bo Hosiang ada?'
    "Tentu saja ada. Sudah sejak 20 tahun beliau tak
pernah meninggalkan puncak Liongsan ini “ men-
jawab Lo Sam Hosiang.
    Sementara itu Toa Sin Hosiang bertanya dengan
hormat: "Apakah susiok baik-baik saja selama ini?"
    "Tentu... tentu saja."
     Eh. susiok. Siapakah bocah yang kau bawa ini?"
kembali Toa Sin Hosia-ig bertanya. Lo Sarn Hosiang
pun kepingin pula mengetahui.
    "Siapa namanya pun aku tidak tahu,  aku cuma
kenal dia adalah anak gembala!
    Selama  belasan tahun Kiat Bo  Hosiang tak
pernah datang dan sekali muncul membawa seorang
anak lelaki tentu saja ini mengherankan kedua pem-
bantu Ik Bo Hosiang itu.
    "Sekarang lekas kalian beri tahu pada suhengku
itu bahwa aku  ingin bertemu  dengan dia untuk
utusan penting!
    Sekilas dua pembantu \k Bo Hosiang saling lirik.
Lalu  memperhatikan bocah di  atas  bahu susiok
mereka dan  memperhatikan pula pakaian Kiat Bo
Hosiang  yang  robek-robek serta guratan-guratan
panjang pada kulit dadanya.
    "Hai kalian berdua tunggu apa lagi? Cepat beri
tahu!"
    Saat  itu  dua pembantu Ik Bo Hosiang sudah
bangkit dan berdiri  kembali.
   "Maaf susiok,"  Toa  Sin memberikan jawaban.
Sebelumnya suhu  telah berpesan untuk tidak di-
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 16
ganggu. Jelasnya siapapun yang datang  beliau se-
kaii-kali tak boleh diganggu karena saat ini sedang
bersemedi."
   "Sekalipun  yang datang aku, sute-nya?!"
    "Sekalipun susiok harap dimaafkan," sahut Toa
Sin.
    Kiat Bo Hosiang mendungak ke langit lalu ter-
tawa gelak-gelak. Karena memiliki  tenaga  dalam
yang luar biasa, dengan sendirinya  suara tawanya
dahsyat sekali!
    Dua pembantu Ik Bo Hosiang terheran-heran.
Keduanya saling pandang. Dan karena mereka me-
mang kurang beres jalan pikirannya maka lantas saja
keduanya ikut tertawa gelak-gelak. Puncak Gunung
Naga itu seolah-olah bergetar dilanda  gelombang
suara tertawa tiga manusia sakti ini!
    Tiba-tiba Kiat Bo Hosiang  hentikan tawanya.
Parasnya berobah kelam membesi. Sepasang mata-
nya membeiiak dan dari mulutnya keluar bentakan
garang.
    "Kalian  berdua  kacung-kacung  rendah  berani
melarang aku  Sin-jiu Thung-ong untuk menemui
suheng-ku sendiri?!"
    Serta meria dua pembantu ini hentikan pula tawa
mereka. Toa Sin menyahut: "Bukan kami melarang,
susiok. Tapi suhu sendiri  yang berpesan begitu.
Kami pembantu-pembantu yang rendah cuma me-
nuruti perintan."
    Persetan dengan segala pesan dan perintah!
Aku tidak rnengenal segala aturan yang  dibuat oleh
suhumu yang berotak miring itu!"
    "Ah, susiok keliwat menghina. Suhu sama sekali
tidak miring otaknya. Cuma  sedikit kurang sehat
pikirannya," kata Lo Sam Hosiang.
    "Otak miring dan tidak sehat pikiran adalah sama
saja, goblok! Dasar gurunya gila, muridnya sinting.
Sekarang menyingkirlah kalian. Aku mau lewat."
    "Mau lewat ke mana, susiok?" bertanya Toa Sin
macam orang tolol.
    "Pendek! Jangan bikin aku marah.  Lekas me-
nyingkir atau kau bakal menerima gebukan dariku!"
Kiat  Bo Hosiang sudah  tak dapat lag! menahan
marahnya.
    "Ah, susiok. Kau tentu tahu  kami ini  bukan
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 17
anak-anak yang harus digebuk. Kami  sudah  tua
bangka dan  menjalankan perintah dengan segala
tanggung jawab dan akibatnya."
    Kiat Bo Hosiang menyeringai.
    "Jadi kalian kacung-kacung geblek berani ku-
rang ajar pada paman guru sendiri ya! Bagus, mari
kuberi sedikit pelajaran!"
    Habis berkata begitu Kiat Bo Hosiang kebutkan
ujung lengan bajunya yang  lebar.  Satu gelombang
angin menggebu dengari dahsyatnya. Toa Sin dan
Lo Sam bagusnya sudah berlaku waspada dan buru-
buru menghindar  ke  samping. Namun tak  urung
sambaran angin pukulan itu masih membuat mereka
terhuyung-huyung  ke belakang.
    “Susiok,  kau pun nyatanya  sinting! Hendak me-
nurunkan tangan  jahat terhadap pembantu-pem-
bantu suhengmu. Tapi jangan kira kami takut! Demi
tugas, setan  kepala seratus pun kami bakal hadapi!
Dan kau nyatanya  cuma punya satu kepala!" Yang
bicara begitu adalah si pendek Toa Sin Hosiang yang
memang lebih keblinger dari pada rekannya. Bahkan
kemudian dia tertawa-tawa seenaknya.
    Kutuk serapah menyembur dari mulut Kiat Bo
Hosiang dan langsung saja menerjang ke arah Toa Sin!
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 18
       MESKIPUN cuma pembantu-pembantu dari Ik Bo  
Hosiang namun dua  orang tua dari Liongsan itu
memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi. Jika
diukur maka kepandaian mereka rata-rata  hanya satu
tingkat saja dibawah kepandaian Kiat Bo Hosiang.
Kalau saat itu mereka maju  berbarengan dengan
sendirinya  Kiat  Bo Hosiang akan terdesak dan kalah.
Namun ada  beberapa hal yang membuat Kiat Bo lebih
unggul dari kedua lawannya.
    Pertama sebagai  pembantu-pembantu  Ik  Bo
Hosiang kedua kakek  itu  boleh dikatakan  jarang
sekali turun gunung  hingga tidak banyak  peng-
alaman dalam pertempuran. Sekalipun memiliki ke-
pandaian tinggi namun kurang pengalaman  meru-
pakan hal yang ikut menentukan. Kedua, sepasang
kakek-kakek dari Liongsan itu dikarenakan otaknya
yang miring menganggap bahwa mustahil sute dan
suhu mereka sendiri akan mau menurunkan tangan
jahat  terhadap mereka. Karenanya mereka ber-
tempur seperti main-main saja dan sambil tertawa-
tawa haha-hihi! Ketiga, sampai saat itu Kiat  Bo
Hosiang masih memanggul tubuh anak gembala di
atas pundak kirinya hingga  dua kakek dari Liongsan
tidak mau menyerang dengan terlalu buas karena
khawatir akan mencelakai bocah itu.
    Pertempuran  dua  lawan satu itu berlangsung
sampai seratus jurus. Pembantu-pembantu Kiat Bo
Hosiang mulai terdesak. Tiba-tiba salah seorang dari
mereka keluarkan satu teriakan keras dan serta merta
permainan silat dua kakek ini menjadi berobah. Kiat
Bo Hosiang menjadi kaget.  Sebagai sute dari Ik Bo
Hosiang dia tahu betul setiap jurus ilmu  silat dari
kakak seperguruannya. Namun permainan silat yang
dikeluarkan oleh  dua lawannya saat itu aneh dan
tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Apakah si Ik Bo
Itu sudah menciptakan ilmu baru  tanpa setahuku,
demikian Kiat Bo Hosiang  membathin. Dan  lebih
terkejut lagi begitu merasakan bagaimana permainan
silat dua lawannya itu kini menekan setiap gerakan
yang dibuatnya!
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 19
    "Tua bangka-tua bangka Liongsan, jadi kalian
hendak pamer dan andalkan ilmu  silat kalian yang
baru? Bagus!  Aku mau lihat sampai di mana kehe-
batan kalian!" berseru Kiat Bo Hosiang dengan pe-
nasaran. Dari balik pinggang pakaiannya dia segera
keluarkan senjatanya yang ampuh yakni tongkat baja
yang ujung-ujungnya bercabang dua. Dengan tong-
kat di tangan kanan dan bahu kiri masih mendukung
bocah penggembala Kiat Bo Hosiang yang bergelar
Hln jiu Tlmng-ong atau Raja Tongkat Tangan Sakti
Itu mengamuk hebat. Tubuhnya lenyap terbungkus
muai senjatanya  dalam tempo  singkat dia sudah
mendesak lawannya dengan hebat!
    Haik Toa  Sin maupun Lo Sam Hosiang sama-sama
kaget melihat serangan-serangan ganas yang
mematikan oleh susiok mereka itu. Permainan silat
mereka mulai kacau.
    "Susiok, kami ini kau anggap musuh-
musuhmukah?!" berseru keras Lo Sam Hosiang.
    "Tutup  mulutmu  manusia muka pantat dandang!"
tukas Kiat Bo dan tongkatnya dengan ganas
menderu ke arah kakek muka hitam dari gunung
Naga itu. Dan krak!
    Lo Sam Hosiang menjerit. Dia melompat keluar
dari  kalangan pertempuran  sambil pegangi lengan
kiri yang kuntal-kantil kerena tulangnya telah patah!
    "Susiok, kau sudah gilakah," teriak  Toa Sin
namun kakek yang satu ini pun  segera pula men-
dapat bagiannya. Kalau kawannya patah tulang le-
ngan maka dia sendiri remuk tulang kakinya sebelah
kanan dan berguling di tanah sambil merintih. Tapi
dasar gila, sekali dia masih  bisa juga tertawa haha-
hihi!
    "Tua bangka-tua bangka tak tahu untung! Masih
bagus tidak kepala kalian yang kuremukkan! Lain
kali  suhu  kalian harus memberi pelajaran  sopan
santun pada  kalian! Bagaimana menghormat se-
orang paman guru!"
    "Paman guru sableng macammu mana  patut
dihormati!" teriak Toa Sin lalu menunggingkan pan-
tatnya dan kemudian kentut! Untung saja Kiat  Bo
Hosiang sudah tidak lagi ada di tempat itu. Kalau
tidak kakek ini pastilah  akan marah  setengah mati
dihina begitu rupa!
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 20
    Dengan beberapa  kali lompatan kilat Kiat  Bo
Hosiang telah sampai  ke puncak Liongsan.  Anak
pengembara yang ada di bahu kirinya masih tertidur
nyenyak tanpa sadar apa yang telah terjadi
sebelumnya!
    Kiat Bo melangkah menuju ke sebuah pondok
kayu  Dia tak  perlu susah-susah masuk ke dalam
pondok mencari suhengnya karena Ik Bo Hosiang
ditemuinya di  halaman samping tengah bersemedi
dengan cara yang luar biasa!
    Ik Bo Hosiang bersemedi di atas sebuah batu
hitam, kaki lurus ke atas  sedang kepala di sebelah
bawah, pada batu hitam  itu. Tubuhnya tak sedikit
pun bergerak sedang dua tangannya dirangkapkan
dldepan dada.  Janggut dan kumis putihnya  yang
panjang, menjulai menutup wajah dan  sepasang
matanya.
    Diam-diam Kiat Bo menjadi kagum juga melihat
nira bersemedi suhengnya ini. Dia yakin betul di
antara tokoh tokoh silat terkemuka di Tiongkok saat
itu hanya kakak seperguruannyalah yang sanggup
melakukan hal  itu.
    Kalau tadi Kiat  Bo ingin buru-buru menemui
suhengnya, kini setelah bertemu dia jadi serba salah
bagaimana  harus  membangunkannya. Tiba-tiba anak
yang didukungnya menggeliat dan terbangun.
membuka matanya bocah ini terheran-heran melihat
di  mana dia berada. Dan  lebih heran lagi ketika
menyaksikan Ik Bo Hosiang yang bersemedi kaki ke
utas kepala ke  bawah.
    “Hai. patung atau manusiakah ini?!" si bocah
berseru lantas turun  dari  pundak Kiat Bo Hosiang.
    "Aku sendiri tidak tahu, budak. Coba kau tarik
 keras-keras janggutnya. Jika dia manusia tentu dia
 akan  menjerit kesakitan.  Tapi  kalau patung  pasti
 diam  saja!"  Berkata Kiat  Bo yang  nyatanya  telah
 mendapat akal bagaimana  harus  membangunkan
 suhengnya.
    Bocah penggembala mendekati Ik Bo Hosiang
 yang disangkanya patung. Tangan kanannya diulur-
 kan untuk menarik janggut orang tua itu. Tapi men-
 dadak terjadi hal yang mengejutkan si bocah, ter-
 masuk pula  Kiat Bo  Hosiang. Ketika tangan itu
 hampir hendak menjenggut  jenggot, tiba-tiba jang-
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 21
 gut panjang putih itu bergerak dan sesaat kemudian
 tahu-tahu lengan anak itu terlibat erat!
    "Hai!" si anak kaget. Dia gerakkan tangan kirinya,
 namun tangan  yang satu ini pun  kemudian  kena
 dilibat. Bagaimana pun kerasnya dia berusaha be-
 rontak  untuk melepaskan kedua tangannya tetapi
 sia-sia saja!
    "Suheng! Kau bangunlah!" Kiat Bo Hosiang ber-
 seru. Jika janggut-janggutnya bisa bergerak pasti Ik
 Bo Hosiang  sudah jaga dari samadinya,  demikian
 Kiat Bo berpikir.
    Tiba-tiba si anak menjerit karena kedua lengan-
 nya terasa sakit dan dilain kejap tahu-tahu tubuhnya
telah terpental ke arah Kiat  Bo Hosiang. Kakek ini
 melenggak  kaget, untung masih  sempat dia me-
 nangkap tubuh si bocah, kalau tidak pasti akan jatuh
dengan keras di  atas sebuah  batu besar. Untuk
sesaat Kiat Bo Hosiang tertegun bengong. Membuat
mental seseorang dengan  menggerakkan janggut
yang tentunya dialiri tenaga dalam betul-betul me-
rupakan satu hal yang amat luar biasa. Dan itulah
yang telah dilakukan oleh suhengnya!
    "Kiat Bo! Belasan tahun kau tak muncul, begitu
unjuk tampang kau hanya mengganggu ketenteram-
an puncak Liongsan ini saja!" terdengar suara halus
yang bukan lain adalah suara  Ik Bo Hosiang. Me-
mandang ke depan Kiat Bo melihat suhengnya  itu
sudah duduk tenang-tenang di atas batu hitam di
atas mana sebelumnya dia bersemedi.-Sepasang
mata Ik Bo memandang tajam pada adik seperguru-
annya. Pandangan ini terasa seolah-olah menembus
dada dan jantung Kiat Bo.
    "Ah suheng," menyahut Kiat Bo setelah terlebih
dahulu menjura.  "Bukan maksudku untuk meng-
ganggu ketenteraman di puncak Liongsan ini. Tapi
aturan yang dibuat oleh kacung-kacungmulah  yang
telah memaksaku berlaku keras...."
    "Kekerasan itu memang harus ada. Tapi  pada
waktu-waktu tertentu dan pada orang-orang tertentu.
Kekerasan yang dilakukan secara sembarangan ada-
lah satu kejahatan. Lo Sam dan Toa Sin memang
kacung-kacung tak berharga. Tapi betapa pun di
puncak Liongsan ini mereka adalah tuan rumah yang
harus dihormati oleh setiap tamu, siapa  pun dia
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 22
adanya. Di sini, di puncak Liongsan ini tuan rumah
yang membuat aturan, bukan orang luar!"
    Paras Kiat Bo kelihatan bersemu merah  men-
dengar kata-kata keras suhengnya itu.
    "Sekarang katakan apa keperluanmu datang ke
mari."
    "Budak itu, suheng...."
    "Aku tidak tanya budak itu! Aku tanya keperlu-
anmu!" menukas Ik Bo Hosiang tanpa menoleh atau
melirik pada penggembala yang tegak di samping
sutenya.
    "Begini suheng..." lalu  Kiat Bo menerangkan
peristiwa perkelahiannya dengan Pak-san Kwi-ong
(Raja Setan Gunung Utara). "Jelas sekali, jika tidak
ada bocah penggembala yang pandai meniup su-
ling ini niscaya bukan saja aku kalah, malah jiwaku
akan melayang di tangan Pak-san Kwi-ong. Aku
berhutang nyawa pada budak ini dan  wajib mem-
balasnya!"
    Memang betul apa yang dikatakan oleh Kiat Bo
Hosiang. Ketika berkelahi melawan Pak-san Kwi-ong
yang mengeluarkan  ilmu hoatsut (sihir),  Kiat Bo
Hosiang hampir-hampir saja menemui ajal jika saat
itu di tempat tersebut  tidak ada anak penggembala
yang memainkan sulingnya. Padahal suara tiupan
seruling itu  mengganggu pemusatan  pikiran dan
bathin yang menjadi dasar dari kehebatan ilmu sihir
Pak-san Kwi-ong.
    "Aku tidak tertarik pada ceritamu." Tidak tertarik
padamu ataupun budak tukang angon kerbau  itu!
Nah  sekarang  silahkan angkat  kaki  dari puncak
Liongsan ini!"
    "Suheng...I"
    Tapi Ik Bo Hosiang tidak perdulikan  lagi sutenya
itu, malah seenaknya dia membuka mulut dan me-
nyanyi:
    Puncak Liongsan tinggi sekali
    Tapi lebih tinggi akal dan budi
    Laut Selatan hijau dan dalam sekali
    Namun lebih dalam perasaan hati sanubari
    Yang tinggi gampang jatuh
    Yang dalam sukar diselam
    Akal dan budi terkadang tak berguna
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 23
    Jika perasaan lebih menggelora.
    Ik Bo Hosiang mengulang sekali lagi lagu itu.
Dilain pihak, bocah penggembala yang mendengar
merasa nyanyian itu cukup  merdu dan terus saja
keluarkan sulingnya, meniup benda itu mengiringi
nyanyian si kakek.  Mengetahui  nyanyiannya  ada
yang mengiringi Ik  Bo Hosiang lantas saja meng-
ulang-ulang nyanyian sampai empat kali  berturut-
turutl
    Tiba-tiba tokoh aneh dari Liongsan ini hentikan
nyanyiannya,  mendongak ke langit dan tertawa
gelak-gelak. Si bocah yang sedang asyik-asyiknya
meniup suling merasakan lututnya goyah oleh suara
tertawa itu dan sesaat kemudian dia pun terhuyung
jatuh ke tanah. Kiat Bo Hosiang sendiri pun jika tidak
lekas-lekas mengerahkan tenaga dalamnya pasti
akan menggeletar sekujur tubuhnya oleh kehebatan
suara tertawa suhengnya  itu!
    "Budak, siapakah namamu dan apa she-mu?!"
Ik Bo Hosiang tiba-tiba ajukan pertanyaan.
    "kakek nyanyianmu bagus sekali. Kenapa ber-
henti?!"
    "Budak kurang  ajar! Ditanyai malah menyuruh
orang menyanyi. Apa kau kira kau ini biduan sandi-
wara keliling?!" Ik Bo Hosiang membentak. Tiba-tiba
berkelebat jungkir-balik. Sedetik kemudian kepala-
nya sudah terletak  di atas batu di  mana dia tadi
bersemedi dan kaki lurus-lurus ke atas! "Hai budak!
Kenapa kau menghentikan  tiupan sulingmu! Ayo
lekas mainkan lagi!"
    "Apa kau kira aku ini tukang tiup suling sandi-
wara  keliling?!" si bocah ngambek  dan  balik me-
nyindir Ik Bo Hosiang. Kiat Bo Sang khawatir kalau-
kalau suhengnya bakai kumat otak miringnya
marah mendengar kata-kata si bocah itu, buru-buru
saja membuka mulut.
    Suheng, kau tahu aku telah berhutang  nyawa
padanya! Hutang dalam bentuk apa pun harus di-
bayar. Kau saksikan  sendiri keadaan  budak  ini.
Potongan tubuh dan susunan ruas-ruas tulangnya
amat  baik. Rasanya sulit mencari bocah seperti dia
di delapan penjuru angin Tiongkok. Sebetulnya aku
berniat untuk mengambilnya jadi  murid. Tapi kau
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 24
tahu sendiri. Sejak aku mengambil Li Bwe Hun jadi
murid tunggalku, aku sudah bersumpah untuk tidak
akan mengambil murid lain lagi dalam keadaan atau
alasan apapun juga. Memikir sampai saat ini kau
sendiri tidak pernah mempunyai murid yarig sebe-
narnya bisa disebut murid,  dan  sekaligus  untuk
membalas hutang nyawaku padanya, maka kuharap
kau sudi mengambil bocah ini menjadi muridmu!'
    "Enak  betul bicaramu.  Kiat Bo!"  tukas Ik Bo
Hosiang. "Anak penggembala yang tidak tahu asal-
usulnya, tak dikenal bapak moyangnya, tak  tahu
juntrungannya, eh tahu-tahu kau minta aku meng-
ambilnya  jadi murid! Kau sudah gila  atau otakmu
memang sudah rengat?"
    "Suheng, kau bisa lihat sendiri. Anak ini lain dari
yang lain...."
    "Apanya yang  lain?  Dia  bertangan, berkaki,
punya mata dua, hidung satu, mulut  satu,  telinga
dua.... Itu  kau bilang lain. Ah sute! Kau rupanya
betul-betul sudah gila! Kasihan...!"
    "Suheng, aku memohon padamu...!"
    "Kau keblinger, Kiat Bo. Bagaimana kalau kemu-
dian hari bocah itu mengecewakan aku?!"
    "Kau boleh bunuh aku, suheng!"
    "Buset! Dua tiga bulan  di muka mungkin kau
sudah lebih dulu mampus! Apakah aku harus meng-
gali kuburmu lalu membunuhmu? Gila kau sute!"
    Lama-lama berdebat begitu rupa  Kiat Bo Ho-
siang yang memang punya watak lekas jengkel jadi
penasaran juga. Dia berkata: "Sudahlah suheng, jika
kau tak sudi aku pun tak memaksa!"
    "Dan aku pun tidak mengemis untuk jadi murid-
mu!" menimpali si bocah.
    "Bocah kurang ajar! Aku tidak  bicara dengan-
mu!" hardik Ik Bo Hosiang. "Hai, kau  masih belum
menerangkan nama dan she-mu!"
    "Namaku Thian Ong, she Song. Dan sekarang
aku akan angkat kaki dari sini!" Anak penggembala
itu berpaling pada  Kiat Bo  Hosiang dan berkata:
"Kakek, kau punya tanggung jawab membawaku ke
mari. Sekarang kau  punya kewajiban membawaku
turun dari tempat memuakkan ini!"
    "Budak edan! Orang hendak membalas budi
malah bersikap konyol!" bentak Kiat  Bo Hosiang.
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 25
    "Aku  tak perlu segala balas budi. Kalaupun...."
    "Thian Ong anak kurang  ajar, kau mendekatlah
ke mari," tiba-tiba Ik Bo Hosiang memanggil. Tapi si
bocah tak mau datang. Namun satu hawa aneh yang
keluar dari tubuh si kakek  menyedotnya  hingga
tubuhnya terseret sampai ke hadapan orang itu. Aku
sudah lihat susunan tubuhmu dari luar, tapi  belum
pada bagian-bagian  yang tertutup. Sekarang tang-
galkan seluruh pakaianmu. Telanjang!"
    Kiat  Bo Hosiang diam-diam merasa gembira
mendengar kata-kata suhengnya itu. Tapi sebaliknya
bocah  yang bernama Song Thian Ong berkata
marah: "Kakek, kau betul-betul sudah gila, menyuruh
orang  telanjang! Kau saja telanjang sendiri!"
    "Anak kurang ajar!  Kualat kau!" teriak  Ik  Bo
Hosiang.  Dia mengulurkan kedua tangannya. Bret....
Bret.... Bret! Maka robeklah seluruh  pakaian Thian
Ong hingga dia kini telanjang bulat. "Hem bagus....
Kau memang boleh!" Dan habis berkata begitu Ik Bo
Hosiang mencekal tengkuk Thian Ong, melempar-
kannya ke  udara, menyambutnya dengan  kedua
kakinya, lalu dengan kaki-kaki itu tubuh Thian Ong
dipentalkan kembali ke atas, disambut lagi, dipen-
talkan lagi demikian seterusnya. Anehnya Thian Ong
tidak merasa  sakit barang sedikit pun. Tapi rasa
gamang membuat dia ngeri. Dan anak ini tak henti-
hentinya menjerit.
    Selagi Ik  Bo  Hosiang mempermainkan Thian
Ong seperti itu seolah-olah anak ini adalah sebuah
bola, tiba-tiba datanglah Lo Sam Hosiang  dan Toa
Sin Hosiang. Masing-masing mereka telah membalut
lengan dan kaki  yang cidera serta mengganjalnya
dengan potongan kayu. Menyaksikan guru mereka
"bermain-main" begitu rupa keduanya tertawa gelak-
gelak.
    "Suhu," seru Toa Sin, "apakah kami berdua boleh
Ikut main bersamamu?"
    Sebagai jawaban Ik Bo Hosiang  berseru: "Pen-
dek, kau sambutlah!" Dan tahu-tahu tubuh Thian Ong
sudah melesat ke arah Toa Sin Hosiang. Dan kakek-
kakek ini dengan gembira menyambut tubuh  yang
terlempar itu dengan kaki kirinya. Tubuh Thian Ong
melayang ke arah Lo Sam Hosiang. Dengan gembira
kakek yang seorang ini  menyambut pula dengan
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 26
tendangan. Tubuh Thian Ong kembali lagi melayang
ko arah Ik Bo Hosiang. Begitulah seterusnya. Tiga
kakek-kakek keblinger dari gunung  Naga  itu  telah
asyik dengan permainan "bolanya". Tidak perduli lagi
akan jerit ketakutan si bocah. Apalagi terhadap Kiat
Bo Hosiang.
    Kiat Bo Hosiang yang menyaksikan hal itu cuma
bisa geleng-geleng  kepala. "Gila dasar manusia
manusia gila!" katanya dalam hati. Namun diam-diam
dia gembira sekalipun suhengnya tidak mengatakan
apakah dia mau mengambil Song Thian Ong menjadi
muridnya,  namun secara tidak langsung. Dengan
cara  main  bola" seperti itu, Ik Bo Hosiang telah
menyatakan bahwa dia berkenan dengan bocah itu.
   Dengan senyum puas Kiat Bo Hosiang  ber-
kelebat pergi meninggalkan puncak Liongsan.
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 27
      DUA BELAS TAHUN kemudian.... Pada permulaan
abad ke XV daratan Tiongkok sebelah utara jatuh ke
dalam cengkeraman bangsa mongol. Penjajahan oleh
bangsa manapun juga atas bangsa  lain  pastilah  
mendatangkan penderitaan. Dan yang  paling  
sengsara  seperti  biasanya ialah rakyat jelata.
        Di mana-mana kaum penjajah yang  berkuasa
melakukan pemerasan, perkosaan, penindasan dan
seribu satu macam tindakan sewenang-wenang lain-
nya.
        Pemerintah Tiongkok di selatan yang pada masa
itu beribu kota di Nanking tidak bisa berbuat apa-apa
menghadapi kaum penjajah. Selain selatan memang
memiliki balatentara dan persenjataan lemah, roda
pemerintahan pun sudah kacau-balau centang-
perentang.  Mulai  dari kaisar  sampai  pada pejabat-
pejabat yang terendah di desa-desa sibuk memupuk
kekayaan, harta dan uang, tanah dan sawah. Dalam
pada  itu  mereka  terlena pula dalam bujuk rayu
perempuan-perempuan cantik  hingga mana pula akan  
terpikir untuk  membebaskan negeri di utara dari
tangan penjajah Mongol.
        Pedih sakitnya penderitaan yang melanda, lambat
laun merupakan cambuk bagi rakyat jelata untuk
bersatu dan secara diam-diam menyusun kekuatan.
     Kekuatan  tersebut dibagi dua. Yang pertama untuk
menghantam kaum penjajah di  utara dan  kedua
untuk menyingkirkan pejabat-pejabat pemerintahan
yang korup, keji sewenang-wenang dan sebagainya.
Pada  masa itu bukan  rahasia lagi kalau gerakan
rakyat yang menderita ini secara diam-diam dibantu
oleh orang-orang kangouw sehingga akibat yang
ditimbulkannya makin hari makin hebat dan mem-
buat kaum penjajah merasa terancam.
    Namun tidak jarang pula rakyat yang berjuang
itu menemui nasib malang. Yaitu bilamana mereka
dihantam oleh pasukan Mongol berjumlah besar atau
diserang dan ditangkap oleh balatentara Kaisar dari
selatan. Pemimpin-Pemimpin mereka digantung di
tempat terbuka, prajurit-prajurit yang tak lain adalah
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 28
rakyat jelata biasa dibunuh secara massal!
    Gerakan rakyat yang ingin membebaskan negeri
mereka dari penindasan bangsa Mongol serta sekali-
gus mengikis para pejabat Pemerintah yang korup
dan memeras, dengan sendirinya menghadapi dua
lawan berat. Korban dan kerugian lebih banyak jatuh
dikalangan  mereka, namun demikian semangat per-
juangan mereka tak kunjung  padam. Jangankan
orang lelaki yang sudah dewasa, bahkan anak-anak
belasan tahun dan kaum wanita pun ikut turun  ke
dalam  kancah peperangan  tanpa rasa takut sama
sekali!
    Pada suatu  hari di bulan  kelima, malapetaka
telah pula  menimpa serombongan pasukan  rakyat
yang berjumlah 50 orang yang pada saat itu berada
di sebuah kaki bukit. Tanpa setahu pemimpin pasu
kan, salah seorang diantara  anggotanya adalah
mata-mata. Pemerintah  selatan yang berhasil me-
nyusup. Selagi pasukan itu tengah  beristirahat di'
kaki bukit, diam-diam mata-mata tadi meninggalkan
tempat tersebut, langsung menuju tempat rahasia di
mana telah menunggu satu kelompok pasukan Pe-
merintah yang terdiri dari lebih seratus orang
    Dalam waktu singkat pasukan rakyat  yang te-
ngah istirahat itu telah terkurung. Dan ketika mereka
diserbu dengan sendirinya  mereka tidak  berdaya.
Sedapat-dapatnya mereka mempertahankan diri dan
berjuang mati-matian. Namun jumlah lawan dua kali
lipat disamping itu serangan datangnya mendadak
sekali.
    Dalam waktu sebentar  saja dua puluh  orang
anggota pasukan rakyat  gugur. Komandan pasukan
seorang lelaki separuh baya bernama Pouw Keng In
berteriak kepada anak buahnya untuk lari menye-
lamatkan diri dan membiarkan dia sendiri  mengha-
dapi pasukan Pemerintah. Tekadnya biar  dia mati
asal sisa-sisa anak buahnya masih bisa diselamat-
kan. Akan tetapi mana  ada  diantara mereka  yang
mau mengikuti perintah  Pouw Keng In. Malah pasu-
kan rakyat itu  bertempur makin hebat hingga 10
orang lagi  diantara mereka menjadi korban.
    "Bunuh semua anjing-anjing pemberontak ini.
Tangkap komandannya hidup-hidup!" teriak koman-
dan  pasukan Pemerintah.  Dia menyeringai  puas
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 29
melihat bagaimana musuh porak-poranda  dan ber-
guguran satu demi satu dalam waktu yang cepat.
Dan pandangan matanya rakyat yang berjuang itu
tak lebih dari pada anjing, yang dapat dibunuh secara
sewenang-wenang,
    Pada saat yang gawat bagi pasukan rakyat itu.
dimana Pauw Keng In sendiri sudah luka parah dan
mandi darah, tiba-tiba berkelebatah satu bayangan
hijau disertai gulungan sinar coklat. Terdengar pekik
susul-menyusui. Dalam waktu amat cepat enam
anggota pasukan Pemerintah telah menjadi korban,
ada yang pecah kepalanya, remuk dada. bobol perut
dan sebagainya.
    Tentu saja pasukan Pemerintah terkejut sekali
terutama Komandannya.  PasuKan rakyat  pun tak
kurang kagetnya. Namun karena menduga ada orang
kangouw yang telah turun tangan membantu mereka
meskipun mereka beium melihat jelas siapa adanya
orang itu karena saking cepatnya gerakannya maka
kembali  mereka jadi bersemangat dan menempur
iawan berjumlah besar itu dengan hebatnya.
    "Iblis dari mana  yang berani mencari mati di
sini?!" berteriak Komandan prajurit Pemerintan. Na-
manya Cu Lay Seng. Berbadan tinggi tegap bermata
sedikit juling dan punya tampang garang, lengkap
dengan kumis melintang serta cambang bawuk.
    Bayangan hijau yang mengamuk tidak menya-
huti malah berkelebat makin cepat. Delapan orang
lagi pasukan Pemerintah berjungkalan mati! Kawan-
Kawannya yang lain  jadi gentar dan tak berani
  didekati bayangan hijau itu. Sebaliknya kelengah-
an mereka itu merupakan sasaran baik bagi prajurit-
prajurit rakyat hingga banyak diantara mereka ber-
hasil ditewaskan
    "Setan alas."  maki Cu La i Seng marah sekali.
Saat itu dia masih duduk di atas punggung kudanya.
Dengan  tangan kanan dirampasnya pedang anak
buahnya yang terdekat. Perlu diketahui Cu Lay Seng
ini seorang yang amat lihay dalam ilmu menyam-
bitkan berbagai macam senjata. Sekali  tangannya
mencari sasaran pastilah tak akan melesat! Begitu
tangan kanannya memegang pedang segera senjata
ini dilemparkan dan melesat deras ke arah bayangan
hijau yang tengah memporak-porandakan pasukan
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 30
Pemerintah.
    Cu Lay Seng sudah dapat membayangkan ba-
gaimana tubuh bayangan hijau itu akan tertembus
oleh pedang yang dilemparkannya. Namun alangkah
kagetnya Komandan pasukan ini sewaktu menyak-
sikan  senjata yang dilemparkannya itu malah di-
tangkap oleh lawan dengan tangan  kirinya. Dan
dengan memegang senjata ini di tangan kirinya si
bayangan hijau mempergunakannya untuk memba-
bat musuh kian kemari hingga dalam waktu singkat
makin banyaklah anggota pasukan Pemerintah yang
tewas.
    Cu Lay Seng maklum kini bahwa dia berhadapan
dengan  seorang  lawan yang berkepandaian amat
tinggi dan memiliki gingkang luar biasa  hingga dia
sendiri sampai saat itu tidak dapat jelas melihat siapa
adanya bayangan hijau itu.
    "Mundur semua", teriak Cu Lay Seng.
    Prajurit-Prajurit Pemerintah yang  memang su-
dah sejak tadi-tadi merasa ngeri, tanpa disuruh dua
kali terus saja melompat mundur. Di pihak pasukan
rakyat Pouw Keng ln  memberi isyarat  agar  anak
buahnya tidak terus memburu musuh. Dia sendiri
yang saat  itu terluka parah, amat kagum  melihat
kehebatan bayangan hijau. Dengan dipapah oleh
seorang anak buahnya dia menyaksikan apa  yang
terjadi selanjutnya.
    Saat itu Cu La y Seng telah melompat turun dari
kudanya dengan  satu gerakan  enteng tahu-tahu
sudah berada lima langkah di hadapan bayangan
hijau. Dan ketika bayangan hijau ini menghentikan
gerakannya yang  luar  biasa cepatnya itu,  Cu Lay
Seng dan semua orang yang ada di situ jadi melotot
dan ternganga. Mereka semua melengak kaget! Be-
tapa tidak!  Si bayangan  hijau yang kini tegak tak
bergerak di tengah kalangan pertempuran itu nyata-
nya adalah seorang gadis berparas elok jelita. Ram-
butnya hitam panjang dan digelung di atas kepala
dengan  sepasang cambang  halus meliuk dikedua
pipinya! Menurut perkiraan paling banyak gadis ini
baru berusia sekitar 17 tahun. Secantik dan semuda
itu sudah  memiliki kepandaian yang hebat, siapa
orang yang menyaksikan tak akan melengak kaget?
    "Nona,  kau telah  menurunkan tangan ganas
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 31
terhadap prajurit-prajurit Kaisar. Terpaksa aku harus
menangkapmu dan membawamu ke Kotaraja!" ber-
kata Cu Lay Seng dengan nada keren dan keras.
    "Aku?!  Kau mau menangkap aku...?" si gadis
menjawab lalu tertawa merdu sekali.
    "Kuharap kau tidak mengadakan perlawanan
dan menyerah dengan suka rela," berkata lagi Cu
Lay Seng.
    "Begundal penjilat pantat kaisar!" tiba-tiba gadis
hijau membentak marah. Wajahnya merah dan justru
dalam keadaan marah ini dia kelihatan tambah  can-
tik. Jika kau bilang aku menurunkan tangan jahat
terhadap prajurit-prajurit Kaisar, lantas  kau yang
telah membunuhi rakyat jelata pantas disebut  apa-
kah?!  Dosamu besar sekali Komandan! Sebaiknya
kaulah yang lekas menyerah dan cepat berlutut minta
ampun di hadapan Thian. Karena kalau kau terlalu
banyak mulut, aku tak segan-segan mengirimmu ke
akhirat!"
    Cu Lay Seng tertawa sinis. Dia telah menyaksikan
kehebatan gadis itu, tapi jangan kira dia merasa takut.  
Selain  memiliki  ilmu tinggi dia sudah  berpengalaman
luas. Kalau baru gadis binal begini saja kenapa musti
jerih? Demikian dia menganggap enteng.
   "Jika kau tak mau  menyerah secara  baik-baik,
jangan salahkan kalau aku  menurunkan tangan
kasar," Cu Lay Seng mengeluarkan ancaman yang
disambut oleh sang nona dengan tertawa mengejek.
   "Majulah! Aku mau lihat sampai dimana kehe-
batan  segala manusia pepesan macam kau!"
   Dimaki "pepesan kosong" begitu rupa di hadap-
an sekian banyak orang dan anak buahnya sendiri
betul-betul merupakan  penghinaan luar biasa  bagi
Cu Lay Seng. Dengan didahului bentakan dahsyat.
Komandan pasukan ini meloncat sebat ke arah nona
berbaju  hijau dan saat  itu juga berkiblatlah sinar
putih menyilaukan. Inilah sinai senjata di tangan Cu
Lay Seng yaitu sebuah ruyung perak.
    "Nona baju hijau!"  Pouw Keng In  Komandan
pasukan rakyat berseru.  Kau hati-hatilah dia lihay
sekali!"
    Memang Pouw Keng In mengetahui  betul kalau
Cu Lay Seng berkepandaian tinggi. Dibandingkan
dengan dirinya masih ketinggalan jauh. Meskipun
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 32
tadi dia sudah menyaksikan kehebatan  si nona
namun tetap saja dia khawatir. Karena  kalau sampai
Cu Lay Seng menang bukan saja dia dan  seluruh
anggota pasukannya akan dibunuh, tetapi nasib si
nona pun akan jauh lebih buruk. Pouw Keng In cukup
mengenal kebejatan para anggota pasukan Kaisar
pada masa  itu, apalagi  Komandan-komandan  me-
reka.
    Tapi nona baju  hijau justru malah  tertawa men-
dengar peringatan itu. Dia menjura pada Pouw Keng
in dan berkata: "Terima kasih atas peringatanmu.
Kau lihat sajalah bagaimana aku menghajar manusia
kecoak yang tidak berguna ini."
    Sambil  menjura tadi dengan tak acuh nona itu
gerakkan tongkat kayu di tangan kanannya ke atas
Cu  Lay  Seng yang saat  itu  tengah  melancarkan
serangan hebat menjadi amat terkejut ketika tiba-tiba
dirasakannya ada sambaran angin dingin menderu
ke arah lengannya. Komandan yang berpengalaman
ini segera maklum kalau lawannya memiliki tenaga
dalam yang jauh lebih  lihay dari dia  Karenanya
secepat kilat Cu Lay Seng robah gerakannya,  batal-
kan serangan pertama dan menyusul dengan serang-
an ruyung ke arah kaki sang nona.
   Tapi lawan ternyata sudah mengetahui  lebih
dulu  gerakannya. Karena begitu ruyung perak me-
nyamber ke bawah si nona segera  melintangkan
tongkat kayunya ke arah yang sama
   Selain  tak  menyangka  kalau lawan akan me-
nolong gerakannya seperti  itu.  Cu Lay Seng pun
kelewat yakin bahwa ruyung peraknya lebih ampuh.
Karenanya dia tidak berusaha menghindarkan ben-
trokan senjatanya dengan tongkat lawan yang hanya
terbuat dari kayu  coklat.
   Tapi apa yang terjadi kemudian  membuat  Cu
Lay Seng berseru tegang dengan muka  pucat. Pada
saat bentrokan senjata terjadi ruyung perak di tangan
Komandan  itu  patah  dua  dan mencelat  mental!
Sedang tongkat kayu yang dianggap remeh oleh Cu
Lay Seng ternyata tidak cacat barang sedikit pun.
   Dalam keadaan sang Komandan masih  kaget
begitu rupa nona  baju hijau  yang sampai saat itu di
tangan kirinya masih memegang pedang yang tadi
dilemparkan oleh Cu Lay Seng sudah memburu ke
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 33
depan kirimkan satu tebasan kilat. Dan cras ! Cu  Lay
Seng menjerit  keras. Darah  mancur  dari tangan
kanannya yang kini sudah terbabat putus!
   "Sekarang lekaslah kau menghadap  Tuhan  untuk
mempertanggung jawabkan dosa-dosamu.'' berseru
si nona  seraya tusukkan pedang di tangan kirinya
tepat ke jantung si Komandan.
    Hanya satu senti saja lagi ujung  pedang akan
menembus dada Cu Lay Seng tiba-tiba terdengar
bentakan marah:
    "Bwe Hun!  Lagi-lagi kau! Lagi -lagi kau!"
    Satu bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu
pedang di tangan kiri sang dara terdorong ke sam-
ping selamatlah Cu Lay Seng dari kematian!
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 34
     NONA BERBAJU HIJAU  palingkan muka dan
berubahlah parasnya. Lalu gadis ini cepat jatuhkan diri,
berlutut pada seorang kakek-kakek berpakaian putih
yang tegak dihadapannya.
    "Suhu...!"
    "Bwe Hun. Berapa kali aku sudah bilang jangan
melakukan pengacauan! Jangan berani menentang
alat-alat kerajaan!" si  kakek berkata dengan nada
keras.
    "Suhu, murid sama sekali tidak mengacau, tidak
menentang siapapun.  Murid hanya  ingin mengikis
kejahatan, kekejaman dan ketidak adilan dari muka
bumi ini!"
    "Dengan jalan membunuh seenakmu?!"
    "Orang-orang  jahat  dan  se-wenang-wenang
macam mereka layak dibunuh. Dan perjuangan rak-
yat untuk membebaskan tanah air dari kaum pen-
jajah dan penindasan bangsa sendiri wajib dibantu!"
    "Bwe Hun! Kau masih hijau dan tidak tahu
banyak artinya perjuangan.  Sekarang  lekas angkat
kaki dari sini.  Lain kali  jika  aku memergoki kau
melakukan perbuatan begini, aku  akan jatuhkan
hukuman berat padamu! Kau dengar?!"
    Si nona yang bernama  Li Bwe Hun gelengkan
kepalanya dan sikapnya gagah ketika menjawab:
"Suhu hukuman berat bagiku  bukan apa-apa. Tapi
yang aneh  adalah perbuatan Suhu  sendiri. Kau
menetap si utara, ditengah-tengah bangsa Mongol
dalam kemewahan luar biasa. Tapi tanpa menyadari
bahwa  Suhu sebenarnya telah diperalat oleh kaum
penjajah untuk menindas  bangsa sendiri! Sebagai
murid aku...."
    Belum sempat  Li Bwe Hun meneruskan kata-
katanya itu satu tamparan telah mendarat di pipinya,
membuat gadis itu terhuyung  ke  belakang  satu
langkah. Keseluruhan wajahnya menjadi merah me-
ngetam. Bukan karena sakit tapi karena tak percaya
kalau suhunya sendiri-yang telah mendidik dan me-
rawati selama belasan  tahun -  tega-menamparnya
seperti  itu dihadapan  sekian  banyak mata! Betul
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 35
suhunya telah berubah  sejak masuk ke dalam bujuk
rayu bangsa Mongol!
    "Sekali lagi kau  berani bicara lancang seperti itu
kubunuh kau Bwe Hun!"
    "Suhu, aku tidak takut mati di tanganmu! Aku
lebih rela mati dari pada  menjadi  murid Kiat Bo
Hosiang yang kenyataannya adalah seorang peng-
khianat bangsa dan negara!"
    Cu Lay Seng, Pouw Keng In dan semua orang
yang ada di situ sama-sama kaget mendengar siapa
adanya  nama kakek di hadapan mereka saat itu.
Ternyata Kiat Bo Hosiang, tokoh silat utama yang
boleh dikatakan tak ada tandingnya untuk masa itu
diseluruh penjuru Tiongkok!
    Baik Komandan pasukan Kaisar maupun  Ko-
mandan pasukan rakyat masing-masing merasa ge-
lisah dan berdebar.  Karena kini di hadapan mereka
berdiri tokoh silat berkepandaian tinggi yang sejak
beberapa waktu belakangan ini  telah membantu
kaum penjajah Mongol. Jadi sekaligus merupakan
musuh besar pasukan rakyat dan juga Pemerintah!
    Sepasang bola mata Kiat Bo Hosiang  berkilat-
kilat dan laksana dikobari api mendengar kata-kata
muridnya itu. Dia  menggerung dahsyat dan ber-
teriak: "Li Bwe Huni Mulai hari ini aku bukan gurumu
lagi! Kau murid kualat! Murtad! Kau harus serahkan
seluruh ilmu yang kau dapat dariku!"
    Habis berteriak demikian Kiat Bo Hosiang lantas
kirimkan satu serangan berupa totokan ke arah jalan
darah kian le hiat di dada dan jalan darah gi hay hiat
di punggung muridnya. Dua totokan ini bukan merupa-
kan totokan maut akan tetapi amat berbahaya. Jika
totokan-totokan  itu  sampai menemui  sasarannya,
pembuluh-pembuluh darah di tubuh Li Bwe Hun akan
menjadi rusak. Dan yang paling hebat akibatnya ialah
bahwa dia akan kehilangan seluruh  ilmu kepandai-
annya bahkan akan menderita gagu seumur hidup!
    Bwe Hun kaget sekali melihat bagaimana suhu-
nya melancarkan totokan yang jahat  itu. Kini nyata
kalau gurunya memang sudah gelap mata dan tidak
tedeng aling-aling untuk  menurunkan tangan jahat.
Bagusnya dia berlaku waspada hingga cepat meng-
hindar selamatkan diri.
    Melihat serangan dapat dikelit, Kiat Bo  Hosiang
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 36
jadi penasaran. Kembali  dia menyerbu dengan se-
rangan-serangan kilat secara berantai. Dan setiap
serangan senantiasa diserta totokan-totokan jahat
tadi. Sampai belasan jurus dimuka kakek-kakek sakti
ini walaupun membuat sibuk muridnya namun masih
belum sanggup merobohkan, ini membuat kemarah-
annya semakin meluap!
    "Perempuan sialan! Menyesal aku mengambil-
mu jadi murid! Menyesal aku mewarisi segala macam
ilmu kepandaian padamu!" teriak Kiat Bo Hosiang
berulang kali.
    "Aku malah seribu kali lebih menyesal dan malu
karena memiliki suhu jahat dan pengkhianat macam-
mu! Dan jangan lupa, aku tak pernah meminta untuk
dijadikan murid! Kau yang menculik aku dari tangan
orang tuaku!"
    "Murtad!  Laknat!  Kubunuh  kau sekalian  biar
puas hatiku!" Maka Kiat Bo Hosiang lantas mem-
pergencar  serangannya. Tubuhnya hanya tinggal
bayangan putih saja lagi, mengurung Bwe Hun dari
segala penjuru. Untuk menghadapi kehebatan suhu-
nya terpaksa gadis ini kerahkan pula seluruh kepan-
daiannya. Karena masing-masing pihak mengetahui
betul jurus-jurus  silat yang dimainkan, termasuk
tipu-tipu dan kelemahan-kelemahannya  maka de-
ngan sendirinya pertempuran itu penuh ketegangan
dan seru sekali. Dalam hal Lweekang memang Bwe
Hun masih berada di bawah suhunya. Namun dalam
memainkan ilmu silat tangan kosong dan kegesitan
dia tidak kalah! Sampai seratus  jurus dimuka  Kiat
Bo Hosiang masih belum bisa berbuat apa-apa!
    Bagaimanakah asal  mulanya sampai Kiat Bo
Hosiang bentrokan dan hendak membunuh  murid
nya sendiri! Dan apakah betul tokoh silat golongan
putih itu menjadi kaki tangan penjajah Mongol?
    Seperti sudah sama dimaklumi jarang  sekali
manusia yang betul-betul dapat membebaskan diri
dari daya tarik keindahan hidup di dunia yang seribu
satu macam ragamnya itu. Salah seorang diantara-
nya adalah Kiat Bo Hosiang. Selagi dia masih mem-
beri pelajaran silat pada Li Bwe Hun. Kiat Bo yang
memang mempunyai dasar watak suka akan hidup
mewah di dunia dan disamping itu lemah iman dalam
menghadapi perempuan cantik, telah terjebak dalam
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 37
bujuk rayu orang-orang Mongol.
    Kepadanya diberikan sebuah gedung besar bak
istana layaknya di Undur  Khan. Harta benda dan
uang berlimpah ruah. Disamping itu tak lupa pula
perempuan-perempuan cantik yang dia tinggal pilih
saja berganti-ganti setiap hari. Semua ini membuat
Kiat Bo Hosiang lupa segala-galanya. Dan diam-diam
orang Mongol  mulai memperalatnya.  Memang ba-
nyak gunanya tokoh lihay ini oleh  kaum penjajah.
Pertama, jika Kiat Bo  berada dalam  genggaman
mereka  berarti  tak akan  ada bahaya  dari pihak
Pemerintah Tiongkok ataupun dari pergerakan rak-
yat karena memang masa itu Kiat Bo seorang tokoh
sakti yang ditakuti oleh  pihak Mongol. Kedua Kiat
Bo bisa dipergunakan untuk menghadapi orang-
orang Pemerintah dan rakyat.  Dan kenyataannya
memang Kiat Bo Hosiang telah berhasil mematahkan
perlawanan-perlawanan  yang   dibangkitkan  oleh
bangsanya sendiri.
    Disatu pihak Kiat Bo mendapat imbal kehidupan
yang mewah penuh kesenangan namun dilain pihak
dia menjadi momok kebencian rakyat dan  juga
Pemerintah Tiongkok. Salah satu dari  orang yang
membencinya ialah muridnya  sendiri  Li Bwe Hun
yang telah digemblengnya selama lebih dari sepuluh
tahun.
    Gadis yang baru meningkat usia 17 ini begitu
memulai  pengelanaannya di dunia kangouw telah
dihadapkan dengan kenyataan pahit yaitu gurunya
ternyata adalah seorang  pengkhianat yang menjada
kaki  tangan  penjajah  Mongol  dan  diperalat  untuk
menghancurkan rakyat serta Pemerintahnya sendiri!
Sedangkan dia sendiri yang walaupun  masih  muda
tapi dapat membedakan mana yang betul dan  mana
yang salah, telah memilih  untuk berpihak perjuangan
rakyat tertindas. Karenanya dalam petualangannya,
gadis ini berulang kali membantu pasukan rakaat dan
disamping itu setiap dia mendengar ada pejabat-
pejabat Pemerintah di daerah-daerah yang berlaku keji
serta semena-mena, pastilah dia turun tangan  untuk
menghukum pejabat itu. Sekali dua diberi peringatan,
tapi bila masih tidak mau insyaf, Bwe Hun tak segan-
segan untuk menebas batang lehernya.
    Dalam melakukan  hai  yang dianggapnya se-
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 38
bagai tugas kewajiban itu tentu saja Bwe Hun men-
dapat tantangan dan menghadapi lawan-lawan  berat.
Dan salah satu diantaranya adalah gurunya sendiri
yakni Kiat Bo Hosiang. Sebelumnya Kiat Bo Hosiang
telah memberi peringatan keras pada muridnya itu
untuk tidak ikut campur dalam kekalutan yang ber-
kecamuk akhir-akhir ini. Namun Bwe Hun tak mau
perduli karena dia  yakin  apa yang dilakukannya
adalah benar. Dia sadar ilmu kepandaian yang di-
milikinya bukanlah untuk membuat dia menjadi beo
atau berlepas tangan ataupun melakukan perbuatan-
perbuatan yang salah, tapi justru guna menolong
orang-orang yang tertindas,  untuk kebaikan dan
membela keadilan serta kebenaran. Dan  nyatanya
hari ini kembali dia dipergoki oleh subangnya ketika
membela pasukan rakyat yang hendak dimusnahkan
oleh pasukan Pemerintah Tiongkok dibawah Koman-
dannya yang bernama Cu Lay Seng!
    Sekali ini  Kiat Bo Hosiang sudah jauh tersesat
hingga dia mempunyai tekad keji untuk mencelaka-
kan muridnya sendiri, membuat Bwe Hun menjadi
cacat seumur hidupnya. Akan tetapi karena sampai
begitu jauh dia masih belum sanggup menyerangkan
dua totokan ganas  itu  ke tubuh muridnya yang
dianggapnya murtad laknat, disamping itu ucapan-
ucapan  Bwe Hun  betul-betul membuat dia gelap
mata,  maka dalam  sesatnya Kiat Bo memutuskan
untuk membunuh saja gadis itu!
    Li Bwe Hun tersirap darahnya ketika melihat
tiba-tiba suhunya  mengeluarkan senjatanya yang
hebat  yakni tongkat baja yang kedua ujungnya ber-
cagak.
    "Suhu...! Orang-orang  Mongol betul-betul telah
membuat kau jadi buta mata dan hati serta pikiran!
Insyaflah Suhu!" berseru Bwe Hun.
    Tapi seruan itu justru membuat Kiat Bo Hosiang
jadi semakin naik pitam. Tongkat bajanya berkiblat.
Sinar putih menderu-deru menyilaukan. Bwe Hun
terpaksa keluarkan tongkat kayu coklatnya yang tadi
telah diselipkannya di pinggang.
    Namun dalam ilmu permainan tongkat, Bwe Hun
yang di mata Cu Lay Seng serta Pouw Keng In sudah
amat  luar biasa,  dihadapan Kiat  Bo Hosiang dia
hanya sanggup bertahan sampai 5 jurus. Selewatnya
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 39
5 jurus, setelah tongkatnya dibabat patah oleh suhu-
nya, dia segera terdesak hebat. Kegesitannya tiada
berarti untuk menyelamatkan  diri dari  dua ujung
tongkat yang terus-menerus menyambar. Beberapa
bagian pakaiannya telah  robek  disambar senjata
sang suhu dan agaknya dalam dua jurus dimuka
gadis ini akan menemui kematian secara mengenas-
kan. Menyaksikan  ini semua  orang jadi gelisah.
Lebih~lebih ketika satu-satu sodokan ujung tongkat
bersarang di dada Bwe Hun,  membuat gadis ini
terpekik dan roboh terguling di tanah. Darah kental
mengalir disela bibirnya.
    "Sekarang kau mampuslah, murid celaka!" teriak
Kiat Bo Hosiang seraya melompat  dan tusukkan
ujung tongkatnya ke leher Bwe Hun.
    "Tua bangka keji!" tiba-tiba terdengar bentakan.
"Kau yang lebih dulu layak mampus!"  Dua orang
berkelebat ke depan. Ternyata adalah Cu Lay Seng
dan Pouw Keng In!"
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 40
      BAGAIMANA pula sampai  kedua  Komandan
pasukan yang tadinya saling bermusuhan dan
bertempur itu kini bersatu menyerbu Kiat Bo
Hosiang? Ada beberapa hal yang membuat mereka
tiba-tiba saja turun tangan dalam keadaan yang kritis
itu tanpa memperduiikan keadaan dan tingkat kepan-
daian mereka sendiri. Pertama bagaimana  pun juga
Li Bwe Hun merupakan nona penolong bagi Pouw
Keng In sewaktu tadi dia luka  parah menghadapi
pasukan Pemerintah di bawah pimpinan  Cu Lay
Seng. Kedua, baik Cu Lay Seng maupun Pouw Keng
In tahu, yaitu jika Bwe Hun sampai kalah, maka Kiat
Bo Hosiang pasti  akan membasmi mereka  pula.
Karena itu sebelum si nona celaka lebih baik mereka
lekas-lekas turun tangan menolong. Ketiga Cu Lay
Seng seolah-olah sadar bahwa  apa yang terjadi di
negerinya selama ini memang membawa penderita-
an bagi rakyat jelata.  Dan dia merasa berdosa telah
melakukan pembasmian ganas terhadap rakyat yang
selama ini berjuang.
   Akan tetapi,  meski dibantu oleh dua orang Ko-
mandan pasukan yang gagah berani Itu,  keadaan
Bwe  Hun tidak lebih baik Malah setelah membantu
dua  jurus, Cu Lay Seng dan Pouw Keng In mulai
terdesak. Melihat ini Cu Lay Seng segera berteriak,
memerintah pada anak buahnya untuk mengeroyok.
Demikian pula Pouw Keng In. Kini Kiat Bo Hosiang
dikurung  oleh lebih dari tujuh orang  dengan Bwe
Hun, Lay Seng dan  Keng ln sebagai pelopornya.
Namun keadaan  bukannya  lebih  menguntungkan
Bwe Hun dan kawan-kawan, malah jalannya pertem-
puran jadi sembrawutan-
    Tongkat baja di tangan Kiat Bo Hosiang mulai
minta korban. Jerit sakit dan erang kematian ter-
dengar setiap tongkatnya  berkiblat. Kemudian Cu
Lay Seng menenun  ajalnya  pula dengan  kepala
pecah. Satu jurus kemudian menyusul Pouw Keng
In. Sesudah kedua orang ini roboh anggota-anggota
pasukan  yang  mengeroyok  menjadi kecut.  Keba-
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 41
nyakan diantara mereka segera melarikan diri hingga
pada akhirnya Li  Bwe Hun yang hanya mengandal-
kan tangan kosong,  tinggal sendirian menghadapi
suhunya. Dan boleh dikatakan ajalnya di depan mata
kini!
    Disaat tongkat baja Kiat Bo Hosiang menderu-
deru untuk menamatkan riwayat muridnya sendiri
tiba-tiba terdengarlah tiupan seruling yang keras tapi
merdu Li Bwe Hun yang tahu ajalnya sudah di depan
matanya sama sekali tidak perduli dengan suara itu,
lain halnya dengan  Kiat Bo Hosiang, Serta merta
kakek ini melompat dari kalangan pertempuran dan
berpaling ke arah datangnya suara suling itu
    Dan kelihatanlah satu pemandangan aneh tapi
juga luar biasa. Seorang pemuda berpakaian gom-
brang mengaitkan kaki kirinya pada cabang sebuah
pohon yang tinggi hingga dia tergantung-gantung
dengan kaki ke atas kepala ke bawah. Sambil ber
gantung dia meniup  seruling dan ayun-ayunkan
tubuhnya mengikuti irama seruling itu. Lagu yang
dimainkannya adalah lagu ketika 12 tahun yang lalu
Kiat Bo  Hosiang hampir menerima kematian waktu
bertempur melawan Pak-san Kwi-ong! Meskipun kini
telah berlalu demikian lama namun Kiai Bo  Hosiang
tak bisa pangling.  Pasti inilah bocah penggembala
yang tempo hari telah menolongnya dan yang telah
dibawanya ke puncak Liongsan untuk diserahkan
pada suhengnya. Ternyata  kini dia telah  dewasa.
Tapi tingkahnya yang muncul secara aneh itu diam-
diam membuat Kiat Bo Hosiang merasa kurang enak.
Ah, pastilah dia telah pula mewariskan  sifat gila
suhengku! Demikian  Kiat Bo Hosiang membathin
lalu dia berseru :
    "Thian Ong Kau!  Ayo lekas turun!'
    Pemuda berpakaian gornbrong yang berayun-
ayun di cabang pohon sambil meniup suling  itu
memang adalah Song Thian Ong, bocah penggem-
bala  yang 12 tahun yang lalu dibawa oleh Kiat  Bo
kepada  suhengnya di puncak Liongsan!  Selama
bertahun-tahun menerima pelajaran ilmu silat dari
seorang sinting seperti Ik Bo Hosiang dan berada
diantara  pembantu-pembantunya  yang   berotak
miring  pula yakni  Toa Si  Hosiang dan  Lo  Sam
Hosiang, maka selain telah memiliki ilmu kepandaian
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 42
yang hebat  luar biasa, ternyata pemuda  itu juga
mewarisi sifat-sifat keblinger  suhu serta dua  pem-
bantu suhunya itu!
    "Hai Thlan Ong. Turunlah! Apa kau tak kenal aku
lagi? Aku Kiat Bo Hosiang yang dulu membawamu
ke puncak Liongsan. Kau boleh panggil aku susiok!'
    Tapi anehnya Thian Ong bukannya turun malah
terus  saja  mainkan serulingnya. Seolah-olah dia
tidak mendengar suruan susioknya itu. Sementara
Itu  Li  Bwe Hun yang  begitu mendengar bahwa
pemuda aneh di atas pohon yang tentunya berke-
pandaian tinggi adalah  murid keponakan dari Kiat
Bo Hosiang, menyadari betapa makin sulit keduduk-
annya.  Barusan dia hampir  menemui kematian
menghadapi Kiat Bo Hosiang  seorang diri.  Kini
ditambah munculnya murid keponakan suhunya,
pastilah tak ada harapan baginya untuk selamatkan
diri. Karenanya selagi kakek itu lengah berseru seru
memanggil Thian Ong. tanpa tunggu lebih lama lagi
Li Bwe Hun segera berkelebat kabur. Tapi dari atas
pohon tiba-tiba terdengar seruan:
    "Nona  baju  hijau kau mau ke  mana? Kenapa buru-
buru?  Aku  belurn  puas  melihat  kecantikan
wajahmu!' hampir tak kelihatan Thian Ong jentikkan
jari  telunjuk tangan  kirinya secara acuh tak acuh.
Inilah satu ilmu menotok jarak jauh yang amat lihay
dan jarang terlihat dalam dunia persilatan di Tiong-
kok selama 40 tahun belakangan ini! Dan di bawah
sana tahu-tahu Li Bwe Hun merasakan kedua kakinya
Kaku tak sanggup untuk dibawa lari. Sekujur tubuh-
nya menjadi kaku tak bisa digerakkan barang sedikit
pun. Malah  bersuara pun dia tak sanggup!
    Kiat Bo Hosiang yang menyaksikan ha! itu diam-
diam merasa terkejut. Dia sudah mengetahui kelihay
an  suhengnya.  Tetapi adalah hampir  tak dapat
dipercaya  kaiau  murid  suhengnya sehebat  ini;
karena dia sendiri pun telah meyakini ilmu menotok
jarak  jauh itu selama  10 tahun dan tak kunjung
berhasil mencapai kesempurnaannya.
    "Thian Ong!" Kenapa kau masih belum mau
memberi hormat padaku?!"
    Sebagai jawaban tiba-tiba terdengarlah nyanyian
dari atas pohon :
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 43
    Menghormati memang satu kewajiban,
    Dari vang muda kepada yang tua.
    Kehormatan adalah satu yang berharga.
    Terkadang lebih berharga dari nyawa,
    Tetapi menghormat harus melihat orang dan tempat,
    Karena terkadang si penghormat bisa jadi penjilat,
    Apakah wajib menghormat seorang pengkhianat,
    Apakah wajib menghormat seorang sesat,
    Apakah wajib menghormat penindas dan pembunuh
rakyat?
    Ataukah penghormatan itu satu hal yang bisa
dipaksakan?
    Siapakah  orangnya yang bisa  membendung
arus sungai Yangtse menuju laut?
    Siapakah  orangnya yang bisa memindahkah
puncak gunung Thaysan?
    Sekaiipun, seorang Kaisar yang gila hormat?
    Mendengar nyanyian itu berubahlah paras Kiat
 Bo Hosiang. Jelas semua syair dalam nyanyian yang
 dibawakan oleh Thian Onq tadi merupakan sindiran
 langsung atas dirinya. Tetapi dengan  berpura-pura
 tidak tahu,  Kiat Bo Hosiang tertawa geiak-gelak lalu
 berkata; "Bagua sekali nyanyianmu  itu, Thian Ong!
 Rupanya kau betul-betul telah mewarisi kepandaian
 suhumu, lahir dan bathin!"
    Baru saja Kiat Bo Hosiang habis berkata demi-
 kian, kembali terdengar Song Thian  Ong bernyanyi:
    Lahir dan bathin dua hal yang berbeda,
    Karenanya sering tidak sama dan serupa,
    Malah kerap bertolak belakang,
    Yang satu memalsukan yang lainnya,
    lahir bagus belum tentu batinnya baik,
    Bathin baik belum tentu lahirnya bagus,
    Di luar  kebijaksanaan di dalam mungkin culas,
    Di luar  culas di dalam mungkin  bijaksana.
    Menipu diri sendiri berarti  tolol,
    Menipu orang lain berarti jahat,
    Menghormat orang lain adalah wajib,
    Minta keliwat dihormat adalah otak rengat!
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 44
    Kalau tadi Kiat 3o Hosiang masih bisa menahan
rasa dongkolnya maka kini sesudah sindiran Thian
Ong berterang-terangan  begitu  rupa, marahlah
kakek-kakek ini. Langsung dia  membentak:
    "Thian Ong! Apakah kau begitu berani bicara
 lancang dan menghina terhadap susiokmu sendiri?!"
    Dan jawaban Thian Ong lagi lagi berupa nyanyian
yang membuat hati Kiat Bo Hosiang laksana bara
panas.
    Lancang adalah perbuatan salah,
    Tetapi masih bisa diperbaiki.
    Tak ada yang terhina kalau semua bersih,
    Kekotoran itulah yang perlu diperbaiki,
    Hinanya si miskin hal yang lumrah.
    Tapi hinanya mereka yang tersesat harus  cepat
diperbaiki,
    Sudah tiba saatnya bertobat,
    Sudah tiba saatnya mengambil pikiran  sehat,
    Atau apakah mau menunggu hari kiamat?
    Tiba-tiba Kiat Bo Hosiang lepaskan satu  pukulan
tangan kosong ke arah batang pohon di mana  Thian
bergelantungan  seenaknya Brak! Batang pohon be-
sar itu patah, lalu tumbang dengan suara gemuruh.
Suara gemuruh  ini disertai gelak tertawanya  Thian
Ong. Tubuhnya  sesaat terlihat membuat beberapa
kali putaran mengelilingi cabang pohon, lalu lenyap
dan tahu-tahu sudah berada di hadapan  Kiai Bo
Hosiang. Di depan susioknya ini, Thian Ong meman-
dang dengan kening berkernyit dan salah  satu ta-
ngan diletakkan  di atas alis, seolah-olah dia tengah
memperhatikan sesuatu yang jauh dikesilauan sinar
matahari. Ditambah dencan bajunya serta celananya
yang gombrang sekali, maka sikap pemuda ini betul
menggelikan. Anggota-anggota pasukan kerajaan
dan pasukan rakyat yang masih ada di situ meskipun
tercekat tegang namun tak  dapat menahan  suara
tertawa masing-masing. Bwe Hun sendiri pun kalau
saja  tidak dalam  keadaan tertotok pastilah akan
tertawa pula cekikikan.
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 45
    "Ah, Susiok! Kau rupanya! Kukira siapa!" tiba-
tiba Thian Ong berkata begitu, seolah-olah baru tahu
kalau orang  di depannya adalah susioknya!  Tentu
saja  Kiat Bo Hosiang jengkel setengah mati  diper-
lakukan seperti itu.
    "Anak  setan!  Kalau  kau tidak  berlutut  minta
ampun atas semua kekurang ajaranmu ini, niscaya
aku akan menjatuhkan hukuman berat padamu!"
    Air muka Song Thian Ong mendadak berubah
pucat dan sikapnya seolah-olah orang yang ketakut-
an setengah mati  mendengar ancaman susioknya
itu. Tiba-tiba dia jatuhkan diri berlutut.
    Anehnya begitu  kedua lututnya  menyentuh ta-
nah itu jadi melesak dan merupakan lubang besar.
Dan  tubuh Thian Ong lantas roboh jatuh. Tapi dia
bangun kembali, melangkah ke bagian tanah yang
rata lalu jatuhkan berlutut lagi. Namun begitu  kedua
lututnya mencium  tanah hal seperti tadi terjadi lagi.
Tanah itu melesak dalam, tubuhnya kembali jatuh.
Hal ini berkali-kali dilakukan Thian Ong dan pada
akhirnya dia berdiri terbungkuk-bungkuk di hadapan
susioknya seraya berkata:
     “Mohon  maafmu, Susiok. Semua tanah di sini
tak ada yang rata. Hingga setiap aku berlutut terus
jatuh. Aku tak dapat menghormatimu secara sem-
purna!"
    Paras Kiat Bo Hosiang berubah mengejam. Dia
tahu betul semua yang dilakukan Thian Ong itu
bukanlah penghormatan melainkan kesengajaan un-
tuk mengejek mempermainkannya. Dan sekaligus
hendak menyombongkan kehebatan tenaga dalamnya
karena saat itu semua tanah di tempat itu telah
penuh dengan lobang-lobang dalam bekas hantam-
an lutut  Thian Ong! Tadipun Kiat Bo Hosiang me-
rasakan  betapa setiap kedua lutut pemuda itu me-
nyentuh  tanah, tanah jadi bergetar keras!
    "Thian Ong keparat! Yang tak tahu membalas
budi! Kalau bukan aku yang membawamu pada Ik
Bo Hosiang mana mungkin kau berkepandaian sakti
mandraguna dan berilmu silat tinggi!  Dan  sekarang
ilmu itu yang hendak kau obral di depanku!"
    "Ah,  Susiok, budi yang bagaimanakah  yang kau
bicarakan ini? Apakah orang menanam budi untuk
mengharap suatu pamrih dikemudian hari seperti
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 46
yang kau lakukan saat ini dalam kesempatanmu?"
Thian Ong tertawa gelak dan sampai saat  itu masih
saja tegak terbungkuk-bungkuk. Susiok sekarang ini
zaman edan, banyak orang-orang sinting macam aku
ini,  tapi tidak  berbahaya.  Yang berbahaya ialah
orang-orang pandai tapi yang mempergunakan ke-
pandaiannya untuk berbuat segala kesesatan yang
gila! Karenanya jika kau tidak buru-buru keluar dari
kesesatan itu, kau pasti akan dicap gila! Ketahuilah,
aku diminta oleh suhu untuk membawamu ke jalan
yang benar!"
    "Bangsat rendah! Kau rupanya sudah lupa asal.
Anak gembala jembel hina dina hendak memberi
nasihat pelajaran kepadaku! Ingusmupun kau belum
mampu menyekanya!"
    "Ah, kau salah susiok! Apakah kau lihat saat ini
aku sedang ingusan? Celaka, matamu rupanya su-
dah mulai buram!"
    Saat itu Kiat Bo Hosiang  sudah tak dapat lagi
membendung  kemarahannya.  Dia berteriak dahsyat
dan gerakan tangan kanannya ke pinggang. Dilain
kejap berkiblatlah sinar putih  menyilaukan ke arah
Thian Ong.
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 47
     TERNYATA Kiat Bo Hosiang telah menyerang murid
suhengnya itu dengan senjatanya yang paling dahsyat
yakni tongkat baja yang ujung-ujungnya bercagak dua.
    Sebelumnya  12 tahun yang  lewat Thian  Ong
telah menyaksikan kehebatan tongkat tersebut, bah-
kan tadi pun Kiat Bo Hosiang telah  memperguna-
kannya melawan musuh-musuh tangguh serta  hen-
dak dipakai membunuh muridnya sendiri. Dan kini
senjata yang sama dipergunakan pula untuk meng-
hadapi Thian Ong. Dalam waktu singkat pemuda itu
telah terkurung sinar tongkat namun dasar gendeng
dia masih saja tertawa-tawa.
    Penasaran  Kiat Bo Hosiang segera robah per-
mainan tongkatnya. Kini  senjata itu bergerak lebih
cepat dan suaranya menderu dahsyat. Selama 10
jurus dimuka Thian Ong masih melayani serangan-
serangan susioknya  dengan tangan  kosong  dan
melancarkan serangan balasan dengan mengandal-
kan kebutan-kebutan ujung lengan pakaiannya yang
gombrangi Karena tenaga dalamnya yang luar biasa
angin yang keluar  dari ujung-ujung  lengan pakai-
annya itu sanggup membuat mental  tongkat di ta-
ngan Kiat Bo setiap senjata itu mendekati Thian Ong.
Namun selewatnya 10 jurus pemuda itu mulai ke-
repotan. Saat ini Kiat Bo Hosiang telah keluarkan
ilmu tongkatnya yang terhebat dan bernama  "sin
eng-thunghoat" atau ilmu tongkat garuda sakti.
    Serangan tongkat datang bertubi-tubi dan tidak
beda seperti burung garuda yang menyambar-nyam-
bar keseluruh bagian tubuh Thian Ong. Kadang-
kadang menukik seperti  hendak mematuk  kepala-
nya,  kadang-kadang pula menusuk tajam ke perut
atau  dada dan tak jarang berkelebat menggempur
tubuhnya sebelah bawah!
    Diam-diam dalam marah dan penasarannya Kiat
Bo Hosiang  mengagumi  pemuda ganteng  itu. Se-
lama ini jarang sekali dia mengeluarkan ilmu tongkat-
nya dalam jurus-jurus yang lihay itu, bahkan ketika
menghadapi dua pembantu-pembantu suhengnya di
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 48
puncak Liongsan 12 tahun silam dia sama. sekali
tidak mengeluarkannya. Kini menghadapi murid dari
suhengnya ternyata dia terpaksa harus keluarkan
kepandaiannya yang paling diandalkan itu! Meski-
pun Thian Ong kelihatan terdesak tapi nyatanya si
pemuda masih sanggup melayani sin-eng thonghoat
sampai sepuluh  jurus.  Padahal tokoh-tokoh silat
ternama yang pernah dihadapinya, paling bantar dua
jurus sudah pasti konyol  di tangannya!
    Mendapati kenyataan bahwa susioknya kini ber-
hasil mendesaknya dengan ilmu tongkatnya yang
amat lihay, Song Thian  Ong  anehnya malah per-
dengarkan suara tertawa  gelak-gelak.
    "Bret!" ujung tongkat menyambar robek  dada
pakaian Thian Ong. Sedikit saja tongkat itu lebih ke
depan dengan  pasti dada pemuda ini akan kena
dilabrak hancur!
    "Tertawalah terus pemuda sedeng!" teriak Kiat
Bo Hosiang. "Sebentar jagi perutmu yang akan ku-
robek!"
    "Enak betul! Kamu musti ganti dulu bajuku yang
robek Tua bangka sesat!" balas berteriak Thian Ong.
Lalu sambil tertawa gelak-gelak dia jungkir balik di
udara tiga kali berturut-turut. Bagi orang yang tidak
berpengalaman, saat lawan berjungkir balik seperti
itu amat empuk untuk dijadikan sasaran serangan
mematikan. Tapi Kiat  Bo Hosiang yang sudah ber-
ilmu amat tinggi dan berpengalaman  luas,  serta
mengetahui pula sedikit seluk beluk ilmu suhengnya,
mengerti  betul adalah bahaya  besar jika dia me-
lancarkan serangan saat itu.
    Setelah jungkir balik Thian Ong melayang turun
dengan kemudian kedua tangan menuju tanah lebih
dahulu. Sedetik kemudian dia  sudah tegak  lurus
dengan kepala menempel tanah sedang kedua kaki
dikeataskan. Kakinya  yang di ke ataskan ini mem-
buat gerakan aneh dan mendatangkan siuran angin
keras. Kadang-kadang turun naik seperti orang me-
ngayuh. Sesekali menendang-nendang dengan dah-
syatnya, lalu berganti pula berputar-putar. Dan lebih
keblingernya lagi, sambil membuat gerakan  aneh
dengan kedua kakinya itu, Thian  Ong  keluarkan
serulingnya lalu mulai meniup  lagu-lagu yang  tak
karuan. Terkadang  merdu lembut, terkadang  me-
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 49
lengking-lengking menyakitkan telinga.
    Melihat bagaimana  tingkah Thian Ong dalam
pertempuran itu yang seolah-olah mengejek mem
permainkannya, semakin mendidihlah amarah Kiat
Bo Hosiang. Dia teringat pada masa 12 tahun yang
lalu ketika dia  membawa Thian Ong ke puncak
Liongsan lalu suhengnya dan dua orang pembantu-
pembantunya  membuat Thian Ong seperti bola,
ditendang kian kemari dari satu  kaki ke kaki lain
sedang main-main mereka tegak dengan kepala di
bawah kaki ke atas!
    "Pemuda keparat! Asalmu jembel tukang angon
kerbau! Kenapa kini keliwat sombong?!" teriak Kiat
Bo Hosiang. Lalu menyerbu dengan tongkatnya. Tapi
serta merta saja dia tersurut kembali. Ternyata gerak-
an-gerakan kedua kaki Thian Ong yang aneh itu
merupakan benteng  pertahanan  yang kokoh dan
sekaligus dapat menjalankan serangan berbahaya!
    Tapi Kiat Bo Hosiang masih jauh dari rasa gentar.
Meski dia tak dapat menyerang lawan dari sebelah
atas namun  matanya yang  tajam segera melihat
bahwa ilmu silat aneh Thian  Ong itu memiliki kele-
mahan di sebelah bawah. Jika  dia  melancarkan
serangan yang hebat antara pinggang  sampai  ke
bagian kepala lawan yang saat itu menempel di tanah
pastilah dia akan berhasil  merobohkan Thian Ong,
sekurang-kurangnya membuat cidera pemuda  itu!
    Maka setelah menunggu kesempatan yang baik,
tiba-tiba Kiat Bo Hosiang  membuat gerakan yang
bernama "sin-eng-tian-ci" atau garuda sakti pentang
sayap.  Kaki kirinya melesat menghantam ke  arah
selangkangan Thian Ong sedang dalam detik yang
sama  tongkat  bajanya  menunjuk  deras  ke  arah
tenggorokan  si pemuda. Memang  dua serangan
yang dilancarkan  oleh Kiat  Bo Hosiang sekali ini
betul-betul luar biasa. Dua-duanya sulit dikelit saking
cepatnya dan disamping itu merupakan serangan
maut total! Kiat Bo Hosiang yakin salah satu dari
serangan itu pasti akan mengenai sasarannya, ter
utama tusukan tongkat ke arah leher.
    Tetapi adalah kecele kalau Kiat  Bo  berpikir
demikian.  Didahului oleh lengkingan seruling yang
ditiup gila-gilaan kerasnya tiba-tiba tubuh Thian Ong
sebatas pinggang ke kaki melejit ke samping. Ini
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 50
membuat serangan kaki kiri Kiat Bo hanya mengenai
tempat kosong.
    Disaat yang sama suling di tangan Thian Ong
tiba-tiba membeset laksana kilat dan bret! Robeklah
pakaian putih kakek-kakek itu di sebelah dada.
    Kiat Bo Hosiang kaget sekali. Dia cepat membuat
gerakan untuk menjatuhkan tubuhnya yang sete-
ngah melayang itu dari lawan. Namun masih kurang
lekas karena saat itu tubuh Thian Ong sudah melejit
lurus kembali dan tahu-tahu satu tendangan sudah
mendepak  pantat si  kekek! Tak ampun  Kiat  Bo
Hosiang mencelat mental sampai satu tombak. Un-
tung saja  meskipun  otaknya agak keblinger Song
Thian Ong tidak bermaksud jahat terhadap paman
gurunya itu, kalau tidak pastilah tendangan tadi akan
membuat Kiat Bo Hosiang celaka, sekurang-kurang-
nya cacat  seumur hidup.
    Dilain  pihak sambil tertawa haha hihi, Thian Ong
bergerak jungkir  balik dan  berdiri  di atas kedua
 kakinya kembali.
    "Susiok! Harap maafkan aku. Kalau saja aku tahu
 pantatmu  itu  sudah tak ada lagi dagingnya alias
 tulang  melulu, pastilah aku tak  akan  menendang
 pantatmu itu!"
    "Anjing jadah!" maki  Kiat Bo Hosiang  meng-
 geledek. "Aku mengadu jiwa denganmu!" Lalu kakek
 ini secara menerjang ke depan. Namun gerakannya
 terhenti karena saat itu mendadak terdengar suara
 tawa bergelak :
    "Kiat  Bo Hosiangl Ada berapa nyawakah kau
 punya hingga hendak mengadu jiwa dengan pemuda
 itu?! Apa kau tak malu sudah dipermainkan  begitu
 rupa?!"
    Kiat Bo Hosiang mengeram macam harimau
 menggerang.  Di sekitarnya tiba-tiba saja sisa-sisa
 pasukan Kaisar dan pasukan rakyat yang tadi asyik
 menonton pertempuran hebat luar  biasa yang tak
 pernah mereka saksikan sebelumnya, pada lari ber-
 serabutan, ketakutan seolah-olah melihat setan ke-
 pala sebelas!
    Li Bwe Hun  dan Thian Ong jadi terheran-heran
 sementara Kiat Bo Hosiang cepat memutar kepala
 ke arah datangnya seruan dan suara tertawa bergelak
tadi. Memandang ke jurusan itu mendadak wajahnya
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 51
 yang beringas gemas kelihatan  gembira dan dia
tertawa lebar.  Kakek ini lalu menjura.
    "Ah, kiranya Pengho lo-enghiong. Kukira  siapal
 Bagus sekali kau datang dan dapat membantu aku
 meringkus pemuda pengacau ini!"
    "Cuma meringkusnya?"
    "Eh... tidak! Membunuhi" sahut Kiat Bo Hosiang
pula. "Aku tidak  malu-malu meminta bantuanmu
untuk mengirimnya ke akhirat!"
    Terdengar suara tertawa  kembali. "Ahoi! Se-
orang tokoh ternama yang katanya  paling lihay di
seluruh Tionggoan hari ini tidak mampu untuk meng-
hadapi seorang pemuda otak miring! Percuma saja
kami orang-orang Mongol memeliharamu, memberi-
kan uang dan harta berlimpah, gedung mewah serta
perempuan cantik. Nyatanya kau sama sekali tidak
berguna bagi kami!"
    Merahlah paras Kiat Bo Hosiang mendengar
kata-kata itu. Namun kali ini kenyataannya dia mati
kutu!
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 52
     SAAT itu di hadapannya Kiat Bo Hosiang berdiri
seorang  kakek kakek berambut  pirang dan bermuka  
merah  macam  kepiting  rebus. Tubuhnya kurus tinggi
dan dia mengenakan jubah biru gelap. Dialah tokoh
kelas wahid dari Mongol yang dikenal dengan nama
Pengho.  Dibandingkan dengan Kiat Bo Hosiang
ilmunya memang jauh lebih tinggi.
    Di samping Pengho tegak pula seorang berpa-
kaian rombeng dekil, kurus kering dan bungkuk. Dia
memegang sebuah tongkat  di  tangan kiri  untuk
menopang tubuhnya yang bungkuk  tak seimbang
itu. Orang kedua ini adalah kawan kental Pengho,
bernama  Wanglie dan bergelar Pengemis  Sakti Ta-
ngan Kidal, dan merupakan  salah seorang tokoh-
tokoh ternama  berasal dari Tibet.
    Orang ketiga yang datang bersama dua tokoh
terdahulu itu ialah seorang pendek bermata juling
yang mukanya tembam selalu  berkeringat. Yang
hebat dari menusia ini ialah sepasang lengannya
yang panjang sekali, hampir menyentuh ke tanah.
Dia juga  seorang tokoh  lihay dari Mongol, yang
kepandaiannya masih satu tingkat di atas Kiat Bo
Hosiang. Nama aslinya tak ada yang tahu. Dia dikenal
dengan gelar Sepasang Tangan Perenggut Jiwa!
    Dengan  hadirnya  gembong-gembong  besar
pihak Mongol ini, tak heranlah kenapa sisa pasukan
Pemerintah dan rakyat kontan ambil langkah seribu
begitu melihat dan mengenali mereka!
    Li Bwe Hun yang saat itu masih tertegak me-
matung dan tak bisa bersuara karena masih tertotok,
yang juga  mengenali siapa adanya ketiga manusia
itu,  diam-diam terkejut dan  mengeluh. Dia sudah
dapat menduga walau betapapun lihaynya pemuda
berpakaian gombrong itu pastilah akan kalah jika
menghadapi  Pengho, apalagi jika dikeroyok ber-
sama-sama!
    Sambil rangkapkan  tangan  di muka  dada,
Pengho  berpaling pada  Thian  Ong dan  geleng-
geleng kepala.
    Hanya seorang pemuda gendeng begini kau tak
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 53
sanggup menghadapinya? Betul? Memalukan, Kiat
Bo!"
    "Dia memang sedeng,  Pengho Loenghiong,"
sahut Kiat Bo Hosiang dengan muka merah. "Tapi
kunasihatkan jangan terlalu  dianggap  remeh. Dia
adalah murid suhengku Ik Bo Hosiang dari Liong-
san!"
    "Cuma muridnya saja? Itu toh lebih memalukan,
Kiat Bo! Bagaimana lagi  kalau suhunya yang jadi
pengacau. Tentu kau sudah modar!" ejek  Pengho
pula. Memang pada masa  itu  bukan rahasia lagi
kalau orang-orang asli Mongol kurang menyenangi
bangsa Han  yang dipelihara oleh  Kaisar  Mongol
secara mewah berlebih-lebihan untuk mengharap-
kan  imbal kepandaiannya  dalam mencengkeram
Tiongkok.  Seolah-olah  pada  kalangan orang-orang
Mongol sendiri tidak ada tokoh-tokohnya yang lihay.
Dalam pada Itu perlakuan Kaisar Mongol terhadap
orang-orang Han  (Tiongkok)  kelihatan  menyolok
berlebih-lebihan.
    Ejekan Pengho tadi membuat  dada Kiat  Bo
Hosiang panas dingin bergetar. Tapi dia tak bisa
berbuat lain dari pada berdiam diri.
    Pengho berpaling pada  Sepasang Tangan Pe-
renggut Jiwa. Diantara mereka bertiga memang yang
satu ini paling rendah ilmunya tapi dibandingkan
dengan Kiat Bo Hosiang masih lebih tinggi satu
tingkat.
    "Sobatku Perenggut Jiwa, apakah kau bersedia
mengotorkan  tanganmu  membunuh  monyet baju
gombrang yang katanya adalah murid dari Ik  Bo
Hosiang?!"
    Si  muka tembam Sepasang Tangan Parenggut
Jiwa menyeringai dan basahkan bibir dengan ujung
lidah. Dia  melirik dengan matanya yang juling  ke
arah Li Bwe Hun, kemudian berpaling pada Kiat  Bo
Hosiang.
    "Kiat  Bo-Lo Jianpwe, apakah  aku ingin aku
membunuh murid  suhengmu ini?" bertanya si Pe-
renggut Jiwa.
    "Betul, lakukanlah cepat!" sahut Kiat Bo Hosiang.
    Si Perenggut Jiwa goyangkan kepalanya ke arah
Kiat Bo Hosiang dan berkata lagi: "Nona cantik  ini
kalau aku tak salah adalah muridmu, bukan?"
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 54
    Kiat Bo Hosiang mengangguk.
    "Ada satu syarat, Lotjianpwe. Jika aku ingin aku
turun tangan, upahnya kau harus hadiahkan nona
muridmu itu padaku!" Sepasang Tangan Perenggut
Jiwa  memang seorang tokoh silat Mongol yang
terkenal hidung belang. Habis berkata demikian dia
melirik pada Bwe Hun,  leletkan  lidah lalu tertawa
mengekeh.
    Tiba-tiba suara tawanya itu ditimpali lebih hebat
oleh suara seorang  lainnya ternyata  adalah Song
Thian Ong!  Dan  mendengar suara  pemuda itu,
Pengho kernyitkan kening, Pengemis  Sakti Tangan
Kidal mendongak ke langit sedang si Perenggut Jiwa
tertegun! Mereka sama terkesiap mendapatkan ba-
gaimana suara tertawa Thian Ong itu mereka rasakan
membuat tanah bergetar.
    Masing-masing saling  pandang sesaat,  kemu-
dian Pengho berbisik: "Hanya pemuda edan macam
dia apa pula artinya tak perlu ditakutkan!"
    Sepasang Tangan Perenggut Jiwa menggaruk
lalu berpaling pada Kiat Bo Hosiang.
    "Bagaimana  Lotjianpwe?"
    Kiat Bo  Hosiang  memang sudah miring jalan
pikirannya, ditambah pula saat itu dia disungkup
amarah serta malu luar biasa. Karenanya menceplos
saja jawabannya:
    "Terserah padamu kau  mau buat  apa atas diri
gadis laknat itu! Tadipun aku hendak membunuhnya!"
    Mendengar jawaban ini si Perenggut Jiwa ternyata
puas.
    "Ah rejekimu besar nian hari ini, Sobat," berkata
Pengho seraya menepuk bahu hambratnya itu.
    Si Perenggut Jiwa basahi bibirnya dengan ujung
lidah. Sambil mengedipkan matanya yang  juling
pada Li Bwe Hun dia  berkata : "Nonaku, kau tung-
gulah sebentar. Saksikanlah bagaimana aku meng-
hajar pemuda gila itu. Kemudian kita berdua ting-
galkan  tempat ini, pergi bersenang-senang di atas
ranjang."
    Li Bwe Hun benar-benar tak menyangka kalau
hati gurunya demikian bejatnya. Tapi apakah daya-
nya? Harapannya  satu-satunya kini terletak pada
Song Thian Ong. Dapatkah  pemuda berotak miring
ini mengalahkan si Perenggut Jiwa? Kalaupun dapat
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 55
lantas apakah dia mampu pula melawan Pengemis
Sakti Tangan Kidal serta Pengho? Bagaimana kalau
orang-orang itu kemudian mengeroyoknya? Betapa-
pun lihaynya pemuda murid Ik Bo Hosiang itu namun
adalah mustahil dia akan sanggup menghadapi mu-
suh-musuh tangguh demikian rupa. Dan ini berarti
celakalah dirinya sendiri!
    "Ah,  mengapa  Tuhan  tidak  mencabut  saja
nyawaku saat ini!" keluh Li Bwe Hun dalam hati dan
air mata mulai menggenangi pelupuk-pelupuk mata-
nya.
    Dalam pada itu dengan mengumbar suara ter-
tawa mengekeh si Perenggut Jiwa melangkah men-
dekati Thian Ong. Sebaliknya  Thian Ong tampak
acuh tak acuh, malah membelakangi musuh yang
datang  mendekat itu, berpaling menghadap Kiat Bo
Hosiang dan dengan  jari telunjuk tangan kirinya
diacungkannya tepat ke hidung orang tua ini.
    "Tua bangka sedengl Kau betul lebih sinting dari
manusia edan manapun di dunia ini. Hatimu bejat
dan keji. Bukannya memberi hajaran malah menye-
rahkan  bulat-bulat tubuh  dan kehormatan  murid
sendiri pada si pendek juling ini!"
    Paras  Kiat Bo Hosiang jadi  merah saga. Dia
membentak: "Tutup mulutmu Bwe Hun bukan murid-
ku lagi! Kau hadapi saja  musuh si Pendekar Pe-
renggut Jiwa untuk menerima  mampusmu!"
    "Kaulah yang lebih dulu layak mampus!" teriak
Thian Ong, lalu  menggebrak tanah  dengan kaki
kirinya hingga tanah itu  tenggelam  sampai satu
jengkal. Tubuhnya berkelebat ke depan melancarkan
hantaman satu pukulan tangan kosong yang hebat
namun saat itu  belakangnya terdengar deru  yang
deras. Ternyata  Sepasang  Tangan Perenggut Jiwa
telah ulurkan kedua tangannya dan dalam gerakan
kilat siap untuk menangkap batang leher Thian Ong
yang telah lengah membelakangi. Sekali leher itu
kena tertangkap nyawa murid Ik Bo Hosiang  yang
agak berotak miring itu pastilah tak akan tertolong!
    Memang sesuai  dengan  gelarnya yaitu Se-
pasang  Tangan  Perenggut Jiwa  maka tokoh silat
Mongol  bermata juling  itu memang  memiliki se-
pasang  tangan  yang  luar  biasa  hebatnya. Selain
cepat dalam gerakan  juga memiliki kekuatan atos
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 56
dan ampuh.
    Baik Kiat Bo Hosiang maupun Wanglie (Pe-
ngemis  Sakti  Tangan Kidal) serta  Pengho sudah
dapat memastikan  bahwa dengan  sekali gerakan
kilat saja dan saat lawan dalam keadaan lengah, si
Perenggut Jiwa betul-betul akan  dapat merenggut
lepas nyawa Thian Ong.
    Pada saat itu, ketika merasakan sambaran angin
di belakangnya,  Song Thian Ong  maklum kalau
dirinya tengah diserang orang secara pengecut. Dia
menggerendeng dan rundukkan tubuh sedikit sambil
memutar dan serentak dengan itu tangan kirinya
yang tadi dipergunakan untuk menuding hidung Kiat
Bo  Hosiang kini dipakainya sebagai kemplangan
menebas ke arah datangnya serangan!
    Buk!
    Terdengar suara bergedebukan yang  keras ke-
tika lengan kiri Thian Ong beradu  dengan lengan
kanan si Perenggut Jiwa.
    Tokoh lihay dari Mongol ini merasakan tubuhnya
terbanting ke kiri sampai empat langkah tapi lengan-
nya sama sekali  tidak cedera bahkan terasa  sakit
pun tidak!  Inilah kehebatan ilmu kebal sepasang
tangan yang dimilikinya. Padahal  jangankan manu-
sia, batang pohon pun kalau sampai kena digebuk
lengan Thian Ong yang berisi kekuatan tanaga-dalam
luar biasa itu, pastilah akan remuk berantakan!
    Kini Pengho dan Pengemis Sakti Tangan Kidal,
lebih-lebih si  Perenggut Jiwa sendiri baru terbuka
matanya. Meskipun jago silat dari Mongol ini tidak
cidera namun tubuhnya yang terlempar sampai se-
jauh empat langkah itu cukup membuktikan bahwa
Thian  Ong meskipun gendeng tapi betul-betul tak
bisa dibuat main.  Padahal sesungguhnya murid Ik
Bo Hosiang dari Gunung Naga itu hanya membuat
gerakan acuh tak  acuh dan tidak pula disertai ke-
kuatan tenaga dalam yang berarti)
    Walau dia tidak apa-apa, namun Perenggut Jiwa
merasa malu sekali karena lawan gila yang diang-
gapnya remeh dan gila itu ternyata tak dapat diberes-
kannya dalam satu gebrakan saja.
    Didahului dengan  bentakan galak dia  sengaja
keluarkan  jurus silatnya yang terlihay untuk me-
nebus  rasa malunya  yakni jurus yang  bernama
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 57
siang-lui-guisan'  atau  sepasang  petir membelah
gunung!
    Kehebatan jurus ini memang luar biasa. Sepasang
tangan si Perenggut Jiwa kini hanya merupakan ba-
yangan sinar putih dan mengeluarkan suara keras
setiap serangan dilancarkan. Tampaknya Thian Ong
kerepotan dibuatnya meskipun dia sudah lancarkan
serangan balasan dengan kebutan  ujung lengan pa-
kaiannya yang gombrong. Semakin lama pertempuran
semakin seru. Tiba-tiba Thian Ong membentak nyaring
dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas, turun lagi
dengan kaki ke atas kepala ke bawah.
    Pemuda ini agaknya merobah permainan silat-
nya dan mengeluarkan ilmu yang tadi telah diper-
gunakannya dalam menghadapi Kiat Bo. Namun
setiap tendangan yang dilancarkannya selalu dapat
dikelit atau ditangkis oleh tangan si Perenggut Jiwa.
    Thian  Ong jadi penasaran.  Dia  jungkir balik
kembali dan kini mainkan jurus silat baru. Memang,
si Siperenggut Jiwa jadi terdesak hebat namun
sekalipun tubuhnya terbanting atau tercelat mental
selama dia masih sanggup mempergunakan sepa-
sang  tangannya yang benar-benar ampuh  untuk
menangkis maka  dia sama  sekali tak mengalami
cidera. Lama-lama Thian Ong jadi  beringas.
    Murid Ik Bo Hosiang ini mencak-mencak macam
orang kemasukan setan. Tapi setiap tangannya dige-
rakkan,  menghamburlah pukulan-pukulan ganas
yang dialiri tenaga dalam tinggi. Berkali-kali si Pe-
renggut Jiwa jatuh bangun dihantam pukulan tangan
kosong itu. Akan tetapi karena dia selalu memper-
gunakan kedua lengannya untuk menangkap maka
setiap jatuh dia cepat bangun kembali dan balas
menyerang!
    20 jurus berlalu. Si Perenggut Jiwa kelihatan
mandi  keringat, pakaian kusut masai dan  muka
celemongan karena  berulang  kali jatuh atau  ter-
guling-guling di tanah. Sebaliknya Thian Ong masih
biasa saja, hanya suara menggerendeng tak hentinya
keluar dari mulutnya. Selagi dia berpikir-pikir bagai-
mana  dapat merobohkan lawan yang memiliki se-
pasang tangan laksana benteng baja itu, tibat-tiba
terdengarlah siulan nyaring menusuk telinga yang
disusul dengan suara orang menyanyi.
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 58
20 jurus berlalu percuma
Hanya karena serangan membabi buta
Dua tangan memang laksana benteng baja
Untuk apa diserang menghabiskan tenaga?
    Semua orang yang ada di situ terkejut, termasuk
Thian Ong. Pemuda ini melompat mundur dan men-
dongak ke atas pohon, dari arah mana suara orang
menyanyi itu datang. Pada cabang sebuah pohon
tampak duduk seorang pemuda asing tak  dikenal,
rambutnya gondrong  dan mulutnya penuh berisi
buah apel yang digerogotinya.
    Melihat pemuda di atas pohon, Thian Ong tiba-
tiba tertawa bergelak.
    "Gondrong! Tampangmu tolol dan lagakmu juga
edan seperti aku! Jika kau merasa berkawan dengan
aku, silahkan turun beri petunjuk!"
    Tapi orang di atas pohon tidak mau turun, malah
kembali bersiul-siul lalu menyanyi lagi:
Segala sesuatunya tidak sempurna
Otakmu tidak seluruhnya gila
Pergunakan bagian yang tidak gila
Untuk menduga dan mereka
Bahwa tidak seluruhnya sekeras baja
Diantara yang keras ada yang lemah
Pada kelemahan terdapat kelembutan
Dan kelembutan pangkal celaka.
    Orang di atas pohon kunyah terus buah  apel
dalam mulutnya lalu garuk-garuk kepala. Thian Ong
ikut-ikutan garuk-garuk kepalanya. Dia memandang
lagi pada si gondrong di atas pohon, lalu tertawa.
    "Aku  mengerti... aku  mengerti sekarang cihuy
terima kasih! Kau memang kawanku, memang sobat
ku! Cihuyl" Thian Ong kelihatan girang sekali dan
sampai-sampai dia membuat gebrakan jungkir balik
di udara  beberapa kali. Begitu kakinya menginjak
tanah kembali, langsung dia menuding si pendek
Perenggut Jiwa dan berkata keras.
    "Mata juling,  ayo kita bertempur lagi." Lalu dia
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 59
berpaling pada  Pengho, Pengemis Sakti  Tangan
Kidal dan Kiat Bo Hosiang. "Manusia-manusia pen-
jajah,  sekarang  kalian lihat bagaimana aku akan
merobohkan jagomu ini dalam satu jurus!'
    Thian Ong tertawa lagi gelak-geiak. Selagi dia
tertawa begini si  Perenggut Jiwa menyerbunya de-
ngan hebat. Serangannya datang bertubi-tubi selama
lima jurus. Di jurus keenam, Thian Ong melakukan
pembalasan. Dia lancarkan  serangan ganas dengan
tangan kiri ke arah batok kepala Thian Ong demikian
rupa hingga tak  bisa dikelit dan mau tak mau si
Perenggut Jiwa harus pergunakan lengannya untuk
menangkis. "Buk!"
    Lagi-lagi  sepasang  lengan mereka   beradu.
Namun disaat yang sama Thian Ong kirimkan jotosan
selusupan ke arah perut lawan. Dan perut si Pereng-
gut Jiwa tidaklah mempunyai ilmu kebal seperti yang
dimiliki kedua lengannya. Manusia  ini menjerit se-
tinggi langit ketika tubuhnya terlempar empat meter,
menggeletak tak  berkutik  lagi,  mati dengan perut
bobol!
    "Terima kasih! Terima kasih! Terima kasih saha-
batku?" teriak Thian Ong berulang kali sambil jing-
krak-jingkrakan lalu melesat ke cabang pohon di
mana pemuda gondrong yang makan buah apel itu
nongkrong.
    "Eh, apakah kau doyan apel, Sahabatku!" berkata
si gondrong.
    "Thian Ong manggut-manggut,  lantas saja di
keruk saku pakaian si gondrong dan sambar dua
buah apel. Keduanya sambil tertawa-tawa kemudian
asyik  mengunyah buah-buah apel  itu  seolah-oleh
tidak perduli di mana mereka berada,  seolah-oleh
tidak ada terjadi apa-apa di situ!"
    "Manusia-manusia sinting!  Gila!" maki Pengho
dengan mata mendelik dan meludah ke tanah.
    "Kalau tidak karena diberi tahu oleh si gondrong
itu kambrat kita si Perenggut Jiwa tak bakal mati di
tangannya 'Pengho Lo enghiong, apakah kau kenal
siapa bangsat gila yang berambut gondrong itu?"
    "Tak pernah kuketahui siapa dia adanya. Mung-
kin  sute atau  suheng dari keparat  bernama Thian
Ong itu?"
    Kiat  Bo Hosiang  gelengkan  kepala. Ik  Bo
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 60
Hosiang tak pernah mengambil murid lain dari pada
Thian Ong bocah  penggembala hina dina itu. Pemu-
da yang gondrong ini jelas bukan orang Han!"
    Sementara itu di atas  pohon saking girangnya
Thian Ong begitu tenggak habis dua buah apel lantas
keluarkan serulingnya  dan tiup benda  itu  keras
membawakan lagu gembira.
    "Ah  Sobat! Kau ternyata pandai sekali  main
suling. Boleh aku  ikut menimpali?!"  bertanya si
gondrong.
    "Tentu, tentu saja!" sahut Thian  Ong gembira
sambil ongkang-ongkang kaki. "Silahkan! Silahkan!"
    Si gondrong merogoh pinggang pakaiannya se-
saat kemudian terlihatlah sinar menyilaukan. Ter-
nyata pemuda ini keluarkan sebuah  senjata ber-
bentuk kapak bermata dua yang pada mata-matanya
yang menyilaukan itu tertera angka 212. Kapak aneh
ini gagangnya terbuat dari gading dengan ukiran
kepala  naga pada sebelah bawahnya, sedangkan
pada batang gagang  terdapat lobang-lobang. Dan
ketika pemuda ini tempelkan bibirnya ke bibir naga-
nagaan lantas meniup, maka membersitlah  suara
lengkingan seperti tiupan seruling,  dahsyat luar
biasa.
    Kiat Bo Hosiang, Pengho dan Pengemis Sakti
Tangan Kidal merasakan telinga masing-masing ber-
getar sakit.  Buru-buru  mereka tutup indera pen-
dengaran. Tapi dada  masing-masing masih saja
terasa bergetar. Hebat sekali. Sungguh belum pernah
mereka menyaksikan dan mendengar tiupan-tiupan
suling yang demikian luar biasa hingga. Menggetar-
kan tanah yang mereka pijak dan mempengaruhi
mereka. Pengho, sebagai orang yang  paling  tinggi
ilmunya tahu betul kalau saja dia dan kawan-kawan-
nya masih merupakan jago silat kelas rendah pasti-
lah telinga masing-masing telah rusak berdarah
mendengar tiupan suling yang luar  biasa karena
disertai aliran tenaga dalam dahsyat itu!
    "Merdu sekali! Merdu sekali!" teriak Thian Ong.
Lalu tiup  sulingnya lebih keras.
    Pengho tokoh silat kelas wahid dari Mongol tak
dapat lagi menahan  kejengkelannya.  Amarahnya
meluap karena dia merasa seolah dipermainkan . Di
samping itu Thian Ong harus  mati untuk menebus
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 61
nyawa si Perenggut Jiwa yang telah dibunuhnya!
    "Thian Ong  pemuda  keparat!  Turunlah  untuk
menerima  kematian!"  teriak Pengho menggelegar
diantara hiruk-pikuknya tiupan-tiupan suling.
    Tapi Thian Ong dan juga si gondrong tidak ambil
perduli malah kini ongkang-ongkang kaki dan terus
meniup suling  masing-masing dalam  lagu  tanpa
nada tak karuan!
    Mendidihlah amarah Pengho tokoh dari Mongol
ini angkat tangan kanannya dan menghantam  ke
atas pohon!
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 62
     SATU gelombang sinar hitam menggebu ke arah
cabang pohon di mana Thian Ong dan pemuda
gondrong yang bukan  lain  adalah Wiro Sableng si
Pendekar 212 tengah duduk ongkang-ongkang kaki
enak-enakan sambil tiup suling.
    Terdengar suara keras hancurnya cabang pohon
serta rontoknya dedaunan yang  kemudian disusul
oleh tumbangnya pohon besar itu.
    Tapi suara tiupan dua suling sama  sekali tidak
berhenti dan baik Wiro maupun Thian Ong tidaklah
menemui celaka dihantam pukulan sakti tadi karena
sebagai orang-orang berkepandaian tinggi tentu saja
mereka tahu bahaya  dan  siang-siang  sudah  ber-
kelebat turun ke tanah. Begitu sampai di tanah enak
saja mereka duduk menjelepok dan terus memain-
kan suling!
    Kiat Bo Hosiang melengak, Pengemis Sakti Ta-
ngan  Kidal  naik turun tenggorokannya  sedang
Pengho Lio Bwe  Hun yang saat itu masih  berada
dalam keadaan tertotok meskipun hatinya  cemas
setengah mati namun melihat tingkah dua pemuda
yang agaknya sama-sama  keblinger itu dalam hati
jadi tertawa geli. Menghadapi tiga tokoh silat begitu
lihay keduanya masih saja gila-gilaan, padahal maut
sudah di depan mata!
    "Thian Ong manusia keparat. Lekas ke sini untuk
menerima kematian!" teriak Pengho.
    "Ah,  di sini  banyak pengganggu. Bagaimana
kalau kita main suling di tempat lain saja?" ujar Thian
Ong seraya hentikan permainannya dan masukkan
sulingnya ke balik pinggang pakaiannya yang gom
brong. Wiro pun hentikan permainannya, masukkan
Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya.
    "Mari!" kata Wiro pula seraya berdiri  mengikuti
Thian Ong.
    "Bangsa!,  kau mau pergi  ke mana?'" teriak
Pengho lalu berpaling pada Pengemis Sakti Tangan
kidal dan memerintah : "Bunuh dia!"
    Pengemis  Sakti Tangan Kidal mendongak ke
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 63
langit lalu tertawa melengking?  Terima kasih
Pengho - twako, memang aku sudah lama tak mem-
bunuh orang. Hari ini tanganku yang sudah gatai
akan dapat bagian!"
    Sambil melintangkan tongkat  kayu yang dipe-
gangnya di tangan kiri, Pengemis Sakti Tangan Kidal
maju mendekati Thian Ong.
    "Thian Ong,  kaum ditakdirkan mampus di ta-
nganku. Nah, bersiaplah untuk mati!"
    "Eh, Sobat,"  ujar Thian Ong sambil  menepuk
bahu Wiro. "Lagak kakek-kakek bungkuk itu seperti
malaikat  maut saja. Apakah  begini tampangnya
malaikat maut!"
    Wiro  garuk-garuk kepala.
    "Entahlah, aku pun belum pernah melihat. Tapi
aku yakin malaikat maut tampangnya lebih cakepan
dari tua bangka keriputan ini' sahut Wiro pula sambil
cengar-cengir.
    Kedua anak geblek itu lantas tertawa terpingkal-
pingkal.
    Wut!
    Entah  kapan dia bergerak tahu-tahu tongkat di
tangan kiri Pengemis  Sakti Tangan Kidal sudah
membabat ganas ke batok kepala Thian Ong.  Mes-
kipun tadi kelihatannya  acuh tak acuh namun begitu
diserang murid Kiat Bo Hosiang ini ternyata waspada
sekali. Secepat kilat dia jatuhkan diri, kedua tangan
lebih dulu mencapai tanah. Sesaat kemudian kedua
kakinya telah melancarkan serangan balasan.  Satu
mendepak ke arah perut sedang lainnya menendang
ke tenggorokan lawan. Namun tingkat kepandaian
si kakek bungkuk ini lebih tinggi dari si Perenggut
Jiwa.  Ilmu tongkatnya lebih  lihay dari  Kiat Bo
Hosiang.  Dua serangan  itu  dikelitkannya dengan
mudah, bahkan kini  tongkat di tangan kirinya me-
nyapu-nyapu dahsyat sekali.
    Song Thian Ong dalam  tingkahnya yang gila-
gilaan itu beberapa kali hampir kena dihantam sen-
jata lawan. Dan masih saja dia bertingkah aneh yang
bukan-bukan sambil tak lupa mengejek dan mencaci
maki lawannya sehingga Wanglie  alias  Pengemis
Sakti Tangan Kidal penasaran setengah mati.
    Dengan matanya yang tajam dan pengalaman
luas, Pengho si tokoh utama di  Mongol segera
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 64
melihat bahwa sesungguhnya  Thian Ong memiliki
dasar ilmu silat yang iebih hebat dari Pengemis Sakti
Tangan Kidal. Buktinya sampai 20 jurus di muka
pemuda ini masih melayani tokoh lihay yang berasal
dari Tibet itu dengan tangan kosong! Cuma karena
tingkahnya  yang aneh dan gila-gilaan itulah  yang
membuat dia seolan-olah tak mau menurunkan ta-
ngan jahat dan hanya ingin mempermainkan musuh.
    "Kiat Bo Hosiang! Kau bantulah Pengemis Sakti!'
berseru Pengho setelah  20 jurus lagi berlalu tanpa
kambratnya itu  bisa melakukan  sesuatu terhadap
Thian Ong.
    Kiat Bo Hosiang cabut tongkat  bajanya  dan
menyerbu ke dalam kalangan pertempuran.
    "Curangi" teriak Wiro marah.
    "Orang  asingi Tutup mulutmu!' sentak Pengho.
"Kau tak ada hak mencampuri urusan orang lain!
Lekas angkat kaki  dari  sini kaiau tidak ingin ku-
gebuk!"
    "Eit enak betui memerintah orang. Kau kira aku
ini kacungmukah?!  Makan  ini!" teriak Wiro sambil
keluarkan sisa satu buah apel dari dalam sakunya.
buah ini dilemparkannya dengan  sebat. Pengho
bergerak cepat  tapi dia kecele karena Wiro sama
sekali tidak  menyerangnya, melainkan melemparkan
buah apel itu ke arah Li Bwe Hun yang masih tegak
tak berdaya karena  ditotok.
    "Buk!"
    Buah apel itu mencerai tepat di tengkuk Li Bwe
Hun. Totokan yang sejak tadi  menguasai si gadis
serta merta  buyar karena memang disitulah sebelum-
nya Thian Ong  teiah menotok Bwe Hun yakni se-
waktu gadis ini  hendak  melarikan diri dari Kiat Bo
Hosiang yang hendak membunuhnya.
    "Nona, tadi kau telah diselamatkan oleh pemuda
itu. Sekarang bantulah dia!" seru Wiro.
    Li Bwe Hun katupkan bibirnya rapat-rapat. Ke-
mudian  seolah-olah  patuh, dia  memungut  sebilah
golok milik bekas seorang  prajurit  Kerajaan  dan
tanpa banyak bicara terus ke kalangan pertempuran!
    Sebenarnya Wiro merasa yakin kalau Thian Ong
tak akan mudah dikalahkan sekalipun dikeroyok dua
orang oleh Pengemis Sakti Tangan Kidal dan susiok-
nya sendiri. Namun  Pendekar 212 ini yang sudah
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 65
gatal tangan ingin ikut bertempur, diam diam men-
dapat akal  Maka dilepaskannya totokan  Bwe Hun
lalu disuruhnya gadis ini membantu Thian Ong.
Mendapat bantuan ini dengan sendirinya Thian Ong
semakin sulit untuk dirobohkan malah kebalikannya
dua lawannyalah kini  yang berada dalam kedudukan
sulit!
    Dan hal ini diketahui oleh Pengho si tokoh lihay
dari Mongol. Sebenarnya dia tidak perlu mengkha-
watirkan keselamatan Kiat Bo Hosiang. bahkan dia
ingin sekali kakek-kakek bangsa Han yang sejak
lama dibencinya itu mampus saat itu juga.  Namun
dia sama sekali tak ingin kalau kambratnya dari Tibet
yakni Pengemis Sakti Tangan Kidal sampai  celaka.
Maka tak menunggu lebih lama lagi, Pengho segera
menyerbu  pula ke  dalam  kancah  pertempuran.
Justru inilah yang dikehendaki Wiro!
    "Tua bangka bermuka kepiting  rebus!" teriak
Wiro memaki Pengho yang memang  memiliki tam-
pang merah seperti kepiting  rebus. "Aku lawanmu,
jangan main keroyok!
    Mendengar  makian itu dan melihat Wiro ber-
kelebat ke arahnya serta  merta Pengho lepaskan
pukulan saktinya  yang tadi telah  dikeluarkannya
waktu menyerang Wiro dan Thian Ong di atas pohon.
    Sinar hitam  menderu ganas ke arah Pendekar
212. Wiro kaget  juga karena tak menyangka begitu
mulai  berkelahi  lawan sudah lancarkan serangan
pukulan sakti itu. Memang Pengho tak mau kepalang
tanggung menghadapi lawan yang sudah diduganya
tidak berkepandaian rendah itu. Apalagi karena pe-
tunjuk  Wirolah sampai Thian Ong berhasil mem-
bunuh si Perenggut Jiwa. Dengan sendirinya den-
dam serta kebencian  bertumpuk jadi kemarahan
yang bukan alang  kepalang.
    Wiro keluarkan siulan melengking lalu lepaskan
pukulan sinar matahari ke depan. Sedangkan sinar
putih panas dan  menyilaukan bergemuruh memapas
sinar hitam serangan Pengho.
    Bumi terasa bergetar ketika dua pukulan sakti
itu bentrokan di  udara dengan mengeluarkan suara
yang hebat! Tubuh Pengho terhuyung sampai lima
langkah ke belakang sedang tangan kanannya sam-
pai sebatas pangkal bahu terasa  sakit berdenyut-
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 66
denyut. Diiain pihak sepasang kaki Pendekar 212
Wiro Sableng melesak sampai setengah jengkal dan
tubuhnya bergetar.
    Paras Pengho berubah pucat. Sebagai tokoh
kelas satu di seluruh Mongol baru kali ini dia meng-
alami bentrokan pukulan sakti yang hebat. Jelas
sudah bahwa pemuda rambut gondrong itu memiliki
kepandaian luar biasa dan agaknya tidak berada di
sebelah bawah sobatnva si orang Han yaitu Song
Thian Ong.
    "Celaka! Naga-naganya aku bakal mendapat ke-
sulitan!" membathin Pengho dengan hati tidak enak.
Dan dia semakin tak enak lagi ketika melihat bagai-
mana kambratnya Pengemis Sakti lengan Kidal yang
membantu Kiat Bo Hosiang berada dalam keadaan
terdesak, bahkan sesaat kemudian Thian Ong yang
mempergunakan  serulingnya  sebagai senjata  dan
mainkan jurus-jurus silat aneh  berhasil  memukul
mental  tongkat kayu Pengemis Sakti!
    "Tahan, seru Pengho tiba-tiba seraya melompat
menjauhi Wiro. "Sobatku Pengemis Sakti, kurasa
cukup  sudah  kita main-main  dengan orang-orang
ini.  Kita masih ada urusan lain yang lebih penting
harus diselesaikan. Iain hari saja kita layani mereka
kembali. Mari!"
    Pengemis Sakti Tangar» Kidal yang maklum apa
arti  kata-kata Pengho itu dsn menyadari pula keada-
an mereka yang sulit bahkan bakal celaka jika bicara
lagi  segera  meninggalkan tempat itu menyusu!
Pengho yang telah berkelahi pergi lebih dulu tanpa
memperdulikan Kiat Bo Hosiang.
    Kiat Bo Hosiang yang ditinggal sendirian, sesaat
jadi tertegun. Hendak menyusul  kabur keadaannya
terjepit  antara Thian Ong dan Bwe Hun. Dan saat itu
sambil  menyeringai Thian Ong datang mendekati.
    Kasihan kau tak mempunyai kesempatan kabur,
susiok ku yang sesat. Dan lebih kasihan lagi karena
suhu telah berpesan bahwa jika seseorang sesat tak
mau insaf dan tobat adalah layak untuk dibunuh'"
    Sebagai penutup kata-katanya Thian Ong lantas
kirimkan tusukan dengan serulingnya ke arah dada
Kiat Bo Hosiang. Orang tua ini agak gugup. Meskipun
dia sempat berkelit tapi  tak urung bahunya masih
kena keserempet hingga dagingnya terkelupas. De-
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 67
ngan menggembor marah Kiat Bo Hosiang  mengi-
rimkan serangan balasan. Tongkat bajanya bersuit
suit mengeluarkan sinar putih.
    Tapi bagaimana pun juga tingkat kepandaian
Kiat Bo Hosiang tidak mampu menghadapi murid
keponakannya itu. Kalau dalam pertempuran sebe-
lumnya Thian Ong banyak mengejek dan main-main,
maka kini jurus silat yang dikeluarkannya betul-betu!
aneh dan tidak main-main lagi. Setelah perkelahian
berlangsung empat  jurus tiba-tiba pendekar aneh
berbaju gombiong dari Gunung Naga ini berteriak:
"Awas tongkat!"
    Baru saja kata-katanya itu berakhir, tahu-tahu
tongkat baja di  tangan Kiat Bo Hosiang  sudah
terlepas kena dirampas.
    "Lihat suling/' terdengar lagi seruan Thian Ong.
Dan detik Itu pula suling di tangannya telah menyam-
bar ke arah leher si kakek tanpa sempat berkelit lagi.
Kiat Bo Hcsfanu hanya bisa mendelik kaget melihat
datangnya maut.
    Sedetik lagi suling  itu akan menusuk amblas
leher Kiat Bo Hosieng tiba-tiba terdengar teriakan
Bwe Hun :
    "Tahan! Jangan bunuh dia!"
    Thian Ong tersentak heran. Masih untung dia
sempat ubah arah tusukan sulingnya hingga benda
ini hanya menyambar robek bahu pakaian Kiat Bo
Hosiang.
    "Eh, apa-apaan  kau Nona Li?!" bertanya Thian
Ong. Sedang Wiro juga heran  sambil garuk-garuk
kepala.
    Yang paling heran tentu saja Kiat Bo Hosiang.
Seharusnya dia sudah menemui ajal saat itu.
    "Nona, tadi kau  hendak dibunuhnya dan malah
mencoba pula untuk menamatkan riwayatnya. Seka-
rang kenapa kau mencegah aku membuat dia ko-
nyol?!" bertanya kembali Thian Ong. "Ingat, manusia
sesat  pengkhianat semacam  ini amat berbahaya.
Ular berkepala dua seperti dia harus dibunuh!"
    "Betapa pun sesat dan jahatnya, dia tetap adalah
suhuku," jawab Bwe Hun dengan suara bergetar.
    Kiat Bo Hosiang terkesiap.  Dadanya  berdebar
dan wajahnya pucat. Apakah sebenarnya kehendak
Bwe Hun bekas muridnya itu? Hendak membalasnya
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 68
atau hendak turun tangan sendiri membunuhnya?
    "Suhu!" tiba-tiba Bwe Hun melangkah ke depan
gurunya. "Kurasa kau masih bisa diperbaiki. Kurasa
kau masih bisa  keluar dari segala macam comberan
busuk yang kau renangi selama ini. Jika kau sadar
dan berjanji untuk  kembali ke  jalan yang  benar,
kurasa murid suhengmu ini pasti akan mengampuni-
mu. Bagaimana...."
    Semakin pucat wajah Kiat Bo Hosiang. Tiba-tiba
saja sepasang matanya berkaca-kaca. "Tak mung-
kin," desisnya. "Aku telah terlalu jauh dalam ke-
sesatan. Aku pengkhianat paling terkutuk. Kau bu-
nuhlah aku sekarang. Aku.tak akan melawan. Thian
Ongl Bwe Hun! Bunuh aku sekarang juga!" Si kakek
lalu jatuhkan diri dan buang tongkat bajanya, me-
nangis tersedu-sedu.
    "Suhu, tak ada dosa yang tak berampun. Kalau-
pun kau merasa telah berbuat dosa dan kesalahan
besar kurasa masih  ada jalan untuk  menebusnya.
Yaitu bersama-sama kami memusnahkan kaum pen-
jajah Mongol yang selama ini mendatangkan mala-
petaka."
    "Itu betul!" seru Thian Ong  yang tiba-tiba saja
kasihan melihat susioknya itu.
    "Tapi syaratnya satu," menyelinap Wiro.  "Asal
jangan dia  menipu kita. Kalau  tidak  bisa  berabe
seumur-umur!"
    "Kalau... kalau kalian memang bersedia mem-
berikan pengampunan dan ingin berjuang bersama,
aku rasa memang inilah  kesempatan bagiku untuk
menebus dosa...."
    "Berdirilah  suhu, mari kita atur rencana," kata
Bwe Hun  pula seraya  memegang  bahu Kiat Bo
Hosiang dan memungut senjata  kakek ini.
    Menurut Kiat  Bo Hosiang yang paling tahu seluk
beluk kekuatan pasukan Mongol, adalah sulit untuk
menumpas habis pasukan-pasukan Mongol  yang
kuat dan  banyak  disekitar perbatasan. Sebenarnya
bala tentara Mongol bukanlah apa-apa jika  saja
mereka bisa memusnahkan pusat dan orang-orang
yang mengatur semua kekuatan itu, yang sekaligus
menjadi pengatur dari segala kegiatan penjajahan.
Pusat kekuatan dan pengaturan ini terletak di  kota
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 69
Ansi, tak berapa jauh dari perbatasan. Di sini terdapat
sebuah gedung besar yang merupakan markas dari
pada tokoh-tokoh Mongol, terdiri dari "arsitek" dan
"pelaksana" pejajahan. Mereka adalah orang-orang
yang berkepandaian silat tinggi, diantaranya Pengho
sebagai kepala dan wakil Raja Mongol, lalu seorang
jenderal bernama Karfi Khan, kemudian Penghu,
sute dari Pengho, ditambah dengan Pengemis Sakti
Tangan Kidal dan kira-kira selusin perwira-perwira
tinggi yang lihay.
    "Terus terang saja, sebelumnya aku pun menjadi
salah seorang diantara mereka di sana.  Namun
syukur kalian telah membuka kedua  mataku.  Jika
kita sanggup mengobrak-abrik markas  mereka itu
dan membunuh semua tokoh yang ada di situ kukira
hancurlah induk  kekuatan kaum penjajah Mongol.
Balatentara Mongol yang banyak tak ada artinya. Tak
lebih dari serombongan anak ayam yang kehilangan
induk. Dalam pada itu aku tahu betul bahwa prajurit-
prajurit Mongol telah muak dengan peperangan apa-
lagi  kekejaman-kekejaman yang  lewat  batas  ke-
manusiaan yang  selama ini diperlihatkan oleh  pim-
pinan mereka. Cuma satu hal yang  diperhatikan,
markas tokoh-tokoh Mongol banyak alat rahasianya!"
    Sesaat semua orang terdiam setelah mendengar
keterangan Kiat Bo Hosjang itu.
    "Bagaimana...?" Bwe Hun bertanya.
    "Kita menyerbu ke sana!" Thian Ong menyahut.
    "Betul, kita menyerbu ke sana! ujar Wiro pula.
    'Bagus!  Sebaiknya  kita berangkat sekarang
juga!" kata Kiat Bo Hosiang dan disetujui oleh semua
orang. Maka keempat menusia berkepandaian tinggi
itu pun berkelebat meninggalkan tempat itu. Kalau
tadi di tempat itu suasananya hiruk-pikuk maka kini
jadi sunyi tapi tetap saja mengerikan karena di sana
sini bertebaran puluhan mayat.
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 70
      SETELAH  melakukan perjalanan yang cukup sulit
hampir  selama dua  minggu akhirnya mereka sampai
juga diluar kota Ansi. Kota ini adalah kota Kerajaan
Tiongkok pertama yang direbut oleh bangsa Mongol
sewaktu pecah perang. Karena terletak di daerah yang
kini dikuasai bangsa Mongol maka  suasananya tenang
dan aman,  tak banyak prajurit-prajurit  yang kelihatan
berkeliaran. Namun adalah berbahaya bagi Thian Ong,
Wiro dan Bwe Hun untuk memperlihatkan diri dan
memasuki kota pada siang hari sekalipun mereka
bersama Kiat Bo Hosiang yang oleh penduduk
setempat  dianggap sebagai salah satu tokoh pimpinan
bangsa Mongol. Maka  mereka mengatur  rencana dan
baru pada malam hari rencana itu akan dijalankan.
    Bila senja berganti dengan malam, gedung besar
yang menjadi markas para tokoh Mongol kelihatan
terang dan tenang. Di pintu depan lima orang penga-
wal asyik bercakap-cakap sedang lainnya melakukan
perondaan sekeliling tembok halaman. Tadi sudah
dikatakan bahwa keadaan kota Ansi aman, namun
untuk gedung penting seperti markas itu tentu saja
harus mendapat pengawal yang cukup terjamin.
    Di dalam gedung, pada sebuah ruangan besar
empat belas orang kelihatan duduk mengelilingi
meja.  Mereka adalah Pengho di kepala meja, Jen-
deral Karfi Khan di kepala meja yang lain, lalu Penghu
 sutenya Pengho, Wanglie alias Pengemis Sakti Ta-
ngan Kidal ditambah 10 orang perwira tinggi bangsa
 Mongol.
    Satu jam yang lalu Pengho dan Pengemis Sakti
 baru  saja kembali dan  langsung  mengumpulkan
 orang-orang itu untuk mengadakan pembicaraan.
 Yang jelas tentu saja Pengho menuturkan apa yang
telah  terjadi  dua minggu lalu  antara dia dan murid
 Ik Bo Hosiang.
    "Pemuda itu lihay sekali dan yang lebih bahaya
 adalah konconya, seorang pemuda asing berambut
 gondrong," berkata Pengho.
    "Bagaimana dengan Kiat Bo Hosiang?" bertanya
 Jenderal Karfl Khan.
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 71
    "Entahlah,  kami tinggalkan saja dia sendirian.
 Mungkin sudah mampus di tangan muridnya sendiri
 atau si keparat Thian Ong itu," menyahuti Pengemis
 Sakti.
    "Bagiku lebih baik dia mampus. Aku tak begitu
 senang padanya," kata Pengho pula blak-blakan.
    Setelah membicarakan susunan dan keadaan
 pasukan  Mongol di  beberapa tempat di selatan,
 Pengho kemudian berkata: "Dengan adanya penga-
 cau-pengacau seperti Thian Ong dan pemuda asing
 serta  gadis murid  Kiat Bo Hosiang  itu  pasti  akan
 banyak mempengaruhi keadaan  kita. Dalam per-
jalanan kemari  aku dan Pengemis Sakti telah mem-
 bicarakan rencana untuk mendatangkan beberapa
tokoh utama Tibet guna membantu kita. Kalau sam-
pai Ik  Bo Hosiang sendiri turun tangan keadaan kita
 akan semakin sulit. Kita basmi dulu tiga kurcaci itu,
 soal Ik Bo baru kita urus kemudian. Dengan ratusan
 pasukan dan dipimpin oieh tokoh-tokoh lihay seperti
 kita masakan Ik Bo Hosiang tak dapat kita gusur dan
 puncak Longsan?! AKU hanya menunggu persetuju-
 an dari para hohan di sini saja.'  (Hohan = orang
 gagah).
     Kurasa semua kita di sini dengan  menyetujui
 rencana  Pengho  lo  enghiong  dan  Wanglie  lo
 enghiong." menjawab Jenderal Karfi Khan.
    "Terima kasih kalau begitu aku  dan Pengemis
 Sakti akan berangkat bes....
    Pengho  tak meneruskan kata-katanya karena
 saat  itu matanya  melihat alat rahasia yang terletak
 di dinding bergerak-gerak.
    Ada orang di atas genteng! Semua siap!" seru
 Pengho.
    Orang-orang yang ada dalam ruangan pertemu-
 an itu  serta merta melompat dari  kursi masing-
 masing  dan hunus  senjata  Pada  saat itu pintu
 ruangan tiba-tiba terbuka dan muncullah Kiat  Bo
 Hosiang.
    "Eh, bukankah kau  sudah mampus  di tangan
murid keponakanmu!" Pengho berseru kaget.
    "Belum,  masih belum Pengho  lo  enghiong,"
sahut Kiat  Bo Hosiang.
    "Jadi kau berhasil lolos dari kepungan tiga orang
muda lihay itu?!"  Pengemis Sakti kini yang ajukan
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 72
pertanyaan.
   Sebelum Kiat  Bo Hosiang sempat  menjawab
Pengho  kembali buka  mulut: "Apakah kau  masih
 punya muka untuk kembali kemari?!"
    "Ah soal muka tak perlu kita bicarakan. Mukamu
 atau muka siapapun di  ruangan ini tidak lebih baik
 dari mukaku!"
    "Wah kau bicara keren amat Kiat Bo Hosiang!"
 tukas Jenderal Karfi Khan. Sementara Pengho me-
 lirik pada alat rahasia di dinding yang sampai saat
 itu  masih kelihatan bergerak sedikit.
    "Ketahuilah aku datang bukan sebagai Kiat Bo
 Hosiang  yang dulu. Selama ini kalian orang-orang
 Mongol telah memperdayaiku, membujuk dan me-
 rayu hingga aku lupa daratan dan menindas, me-
 musnahkan bangsa sendiri!"
    "Kiat Bo Hosiang! Kau bicara apakah! Dan apa
 maumu sebenarnya," membentak Pengho.
    "Kalian kaum  penjajah terkutuk hari ini  harus
 bertanggung jawab atas  kejahatan dan kekejian apa
 yang telah kalian  lakukan terhadap tanah air dan
 bangsaku!" Habis  berkata begitu Kiat bo Hosiang
 lantas cabut tongkat bajanya lalu berseru: "Kawan-
 kawan silahkan turuni"
    Serentak dengan itu terdengar suara ribut di atas
atap. Loteng ruangan tiba-tiba bobol dan tiga sosok
tubuh melayang turun  dalam gerakan yang  sebat
 luar biasa!
    "Kurang ajar!' teriak  Pengho. Dia sudah maklum
siapa-siapa adanya tiga  manusia yang masuk me-
nerobos itu karenanya segera  saja dia hantamkan
kedua tangannya  ke atas. Dua larik sinar  hitam
menderu memapaki Thian Ong, Bwe Hun dan Wiro
Sableng yang tengah melayang di udara.
    Terdengar suara tertawa Thian Ong disusul de-
ngan berjumpalitannya tubuh pemuda Ini ke kiri dan
laksana seekor naga dia  menukik ke arah  Pengho
sambil lancarkan satu jotosan. Tokoh dari Mongol
ini cepat membuang diri ke samping  hingga serang-
an lawan mengenai tempat kosong.
    Di atas sana pukulan sinar hitam Pengho telah
menghancur leburkan atap ruangan sementara Pen-
dekar 212 Wiro Sableng yang membalas  dengan
pukulan sinar matahari telah membuat lantai ruangan
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 73
hangus retak-retak, ubinnya pecah bermentalan!
    "Bangsat!" memaki Pengho. "Penghu! Kau dan
Jenderal Karfi Khan hadapi murid gila Ik Bo Hosiang
itu. Wanglie locianpwe kau pimpin lima perwira tinggi
menghadapi bangsat berambut gondrong. Aku sen-
diri akan  mencincang  bangsat pengkhianat ular
kepala dua Kiat Bo Hosiang. Yang lain-lainnya lekas
kepung gadis binal baju  hijau itu!"
    Pengho sengaja mencari lawan dan menghadapi
Kiat Bo Hosiang karena  dia merasa jerih terhadap
Thian Ong apalagi Wiro Sableng.
    Di  dalam ruangan  besar  yang sudah porak
poranda itu maka terjadilah pertempuran yang amat
seru!
    Dengan sebilah pedang berwarna ungu, Pengho
mengamuk yang  dilayani oleh Kiat  Bo Hosiang
dengan tongkat bajanya. Namun hanya lima jurus
saja Kiat Bo Hosiang segera terdesak hebat!
    Li Bwe Hun yang menghadapi lima pengeroyok
tidak mendapat kesulitan. Meski pengeroyok-penge-
royoknya terdiri dari perwira-perwira berkepandaian
tinggi namun dengan mainkan jurus-jurus ilmu tong-
kat yang dikuasainya dengan sempurna dalam tem-
po enam jurus saja sudah membuat lima pengeroyok
bergeletakan mandi darah.
    Pada saat gadis ini hendak menolong suhunya
yang tengah didesak hebat oleh Pengho, tiba-tiba
dari pintu menyerbulah selusin pengawal dipimpin
oleh  seorang perwira tinggi. Terpaksa  Bwe  Hun
menghadapi  mereka lebih dahulu.  Setelah meng-
amuk hampir sepuluh jurus dan membuat lawan
roboh satu demi satu, sisa yang masih hidup ambil
langkah seribu, maka Bwe Hun menerjang ke depan
membantu suhunya.
   Dalam keadaan terdesak tadi, Kiat Bo Hosiang
telah keluarkan ilmu tongkat yang paling hebat yaitu
ilmu tongkat garuda sakti atau "sin-eng thunghoat".
Namun Pengho yang jauh lebih tinggi tingkat kepan-
daiannya hanya dua tiga jurus saja dibikin repot oleh
ilmu tongkat itu. Dilain saat pedangnya sudah meng-
gebu-gebu kembali melabrak ke arah  lawan dan di
satu kesempatan berhasil membabat bahu kiri Kiat
Bo Hosiang hingga putus  buntung  dan darah me-
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 74
nyerbu!
   "Suhu!" seru Bwe Hun. Dengan  kalap gadis ini
menyerbu  ke arah Pengho  sementara  Kiat  Bo
Hosiang menotok bahunya  di beberapa tempat hing-
ga darah berhenti  memancur kemudian  dengan
gagah berani kembali dia menghadapi Pengho, bahu
membahu dengan muridnya.
    "Bagus! Kalian datang berdua! Hingga aku tak
susah-susah membunuh guru dan murid sekaligus!"
seru Pengho dengan seringai  maut lalu kiblatkan
pedang  ungunya menghadapi dua lawan yang dia
yakin dapat dirobohkan dalam waktu singkat.
    Thian Ong  yang dikeroyok oleh jago-jago lihay
yakni Penghu (adik dari Pengho) dan Jenderal Kaili
Khan untuk beberapa lamanya dibikin repot.  Hal ini
terutama karena dia sesekali masih saja kejangkitan
penyakit keblingernya  hingga  menghadapi  lawan
lebih banyak mempermainkan dan mengejek. Tetapi
ketika satu hantaman dari Penghu mendarat di dada-
nya dan membuat dia kesakitan, pemuda sinting
aneh ini baru sadar. Serta merta dia cabut sulingnya
dan keluarkan jurus-jurus ilmu silat aneh dari Liong-
san yang dipelajarinya selama  12  tahun dari Ik  Bo
Hosiang!
    Menghadapi ilmu silat yang tak pernah dilihatnya
sebelumnya, dengan sendirinya Penghu serta Jen-
deral Karfi Khan kebingungan.  Betapapun lihaynya
mereka  namun jurus demi jurus  keduanya mulai
terdesak. Dalam hebatnya kecamuk pertempuran itu
tiba-tiba  Thian  Ong  keluarkan pekik nyaring. Se-
rentak dengan  itu tubuhnya berkelebat lenyap dan
tahu-tahu terdengarlah pekik Penghu.
    Tubuhnya  mencelat lima langkah.  Keningnya
kelihatan berlubang dan mengucurkan darah. Sekali
lagi adik dari Pengho ini berteriak mengerikan lalu
roboh. Thian Ong  telah menghantam  keningnya
dengan  suling  hingga  berlobang  dan membuat
nyawanya lepas.
    Melihat adiknya mati Pengho menggembor ma-
rah. Tubuhnya berkelebat dalam amukan yang hebat
dan sesaat kemudian dia berhasil merobohkan Kiat
Bo  Hosiang. Kakek ini terjungkal  dihantam ten-
dangannya   dan  selagi  sempoyongan  pedang
Pengho cepat menebas lehernya hingga Kiat Bo mati
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 75
dengan kepala menggelinding!
    Li Bwe Hun terpekik  ngeri melihat kematian
suhunya itu. Dengan kalap tanpa mempertimbang-
kan lagi  kemampuan sendiri dia menyerbu Pengho
seorang  diri. Tapi sekali Pengho gerakkan pedang-
nya maka patah mentallah pedang di tangan si nona.
Dilain saat  senjata Pengho membacok ganas ke
kepala si nona  tanpa dapat  dikelit lagi ataupun
ditangkis oleh Bwe Hun.
    Disaat yang kritis itu tahu-tahu melesat sesosok
tubuh antara kepala Bwe Hun dan pedang Pengho
yang tengah turun dengan deras. Pengho melengak
kaget. Dia tidak tahu tubuh siapa yang dilemparkan
karena saking cepatnya lemparan dan di samping
itu dia tak dapat pula menahan turunnya pedangnya.
    "Cras!"
    Pedang Pengho membacok tepat di pertengah-
an tubuh yang terlempar. Terdengar jeritan,  tubuh
itu terhampar ke lantai tak  berkutik lagi dengan
pinggang terbabat putus.  Ketika  diperhatikan ter-
nyata dia bukan lain adalah Wanglie alias Pengemis
Sakti Tangan Kidal! Bwe Hun sendiri selamat dan
tertegun sedang  Pengho dengan muka pucat ber-
paling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat
itu asyik "menggebuki" perwira-perwira Mongol yang
tengah mengeroyoknya!
    Apakah sebenarnya yang telah terjadi?
    Seperti diketahui sebelumnya Pengemis Sakti
Tangan Kidal bersama dengan lima perwira tinggi
Mongol telah mengeroyok Wiro. Kenyataannya lima
perwira ini adalah lebih lihay dari lima perwira lain
yang mengeroyok Bwe Hun hingga dipimpin  oleh
Pengemis Sakti mereka sempat membuat Wiro ka-
lang kabut. Namun setelah keluarkan jurus-jurus silat
yang dipelajarinya dari Pendekar Pedang  Akhirat
Long-sam-kun  maka dalam satu gebrakan saja dia
berhasil merobohkan dua perwira tinggi. Ketika dia
menendang mental  perwira  yang ketiga matanya
yang tajam menyaksikan bagaimana Pengho tengah
melancarkan satu bacokan ganas ke arah kepala
Bwe Hun tanpa si gadis bisa berkata apa-apa.
    Di saat yang sama Pengemis Sakti Tangan Kidal
kirimkan satu sodokan dengan tongkat kayunya ke
arah ulu hati Wiro. Dengan mainkan jurus bernama
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 76
"lo-han-ciang-yau" atau malaikat menundukkan silu-
man, Wiro sambar lengan kiri  Pengemis Sakti dan
tarik demikian rupa hingga tubuh kakek itu berputar
di  atas kepalanya lalu dilempar ke arah Pengho.
Seperti yang diperhitungkan  oleh Wiro dan malang
bagi Pengemis Sakti,  tubuh kakek-kakek itu ter-
lempar tepat antara kepala  dan bacokan pedang
hingga tak ampun lagi pedang di tangan Pengho
menghantamnya tepat di pinggang I
    Wiro tertawa gelak-gelak. "Pengho! Apakah kau
sudah gila membacok mati kawan sendiri?!" ejek
pendekar sableng ini lalu tertawa gelak-gelak. Se-
mentara Thian Ong mendengar suara tertawa  kam-
bratnya  itu ikut-ikutan pula tertawa dan  membuat
gerakan yang bernama "koay-liong-hoan-in"  atau
naga aneh berjumpalitan. Tubuhnya seperti terjung-
kal kaki ke atas kepala ke bawah. Kaki menendang
ke muka lawan dan begitu lawan mengelak tahu-tahu
suling di tangan kanan memburu  dengan cepat.
Terdengarlah jerit kematian Jenderal Karfi Khan
sewaktu perutnya kena dikoyak oleh Suling Thian
Ong hingga ususnya berbusaian keluar!
    Dengan matinya  Jenderal Karfi Khan  maka kini
Pengho jadi tinggal sendirian. Dan mau tak mau ini
membuat nyalinya lumer. Tanpa tunggu lebih  lama
dia segera melompat ke pintu.
    Wiro memburu disusul oleh Thian Ong.
    "Biang racun anjing penjajah kau mau kabur ke
mana!" teriak Thian Ong.
    Saat itu, sebelum keluar ruangan  menghambur
lari, Pengho masih sempat  pergunakan tangannya
untuk memutar sebuah tapel (ukiran  kayu) kepala
manusia di  dinding  dekat  pintu. Serta merta ter-
dengarlah suara mendesir di Seantero ruangan.
    "Awas senjata rahasia!" teriak  Wiro  memper-
ingatkan.
    "Lekas tiarap!" seru Thian Ong.
    Wiro, Thian Ong dan Bwe Hun segera jatuhkan
diri di lantai ruangan.  Detik itu pula dari empat
tembok ruangan yang dilapisi kayu melesatlah se-
ratus  pisau  terbang berwarna hijau gelap. Bagai-
manapun lihaynya seseorang, jika berdiri di tengah
ruangan pastilah tak bakal  dapat menyelamatkan
jiwanya!
PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA 77
    Begitu serangan  pisau terbang berhenti, Wiro
cepat melompat ke atas atap yang bobol. Dia sampai
di sana dalam waktu yang tepat karena masih sempat
melihat bayangan Pengho berkelebat di balik atap
gedung sebelah kiri. Wiro  segera memburu  dan
dalam waktu singkat berhasil menyusul  pentolan
kelas  wahid gembong penjahat itu.
    Pengho sadar dia tak akan bisa menang meng-
hadapi Pendekar 212, tapi lari  pun tak  mungkin.
Apalagi waktu itu berkelebat pula dua bayangan di
atas genteng yakni Thian Ong dan Bwe Hun. Dan si
nona  belum apa-apa lantas saja sudah menyerang-
nya dengan sebuah golok besar yang diketahuinya
adalah milik  Jenderal Karfi Khan.
    Tak ada  hal lain  yang bisa dilakukan Pengho
daripada melawan mati-matian.  Sebenarnya dalam
tingkat ilmu  kepandaian jelas sekali Bwe Hun jauh
tertinggal dari tokoh kelas satu Mongol itu. Namun
saat itu Pengho bertempur dalam pikiran kacau balau
takut dan gugup. Pikirannya tak terpusat karena dia
senantiasa mengintai kelengahan lawan untuk me-
larikan diri.  Dalam pada itu Thian Ong  dan Wiro
meskipun tidak langsung turut  pula ambil bagian
dalam pertempuran.
    Setiap Pengho mendesak Bwe Hun atau lancar-
kan serangan berbahaya maka tahu-tahu pantatnya
ditendang oleh Thian Ong dari belakang. Terkadang
Wiro menjambak rambutnya atau  menarik turun
celananya. Sambil berbuat begitu kedua  pemuda
sableng itu tertawa-tawa tiada henti.
    Akhirnya  dalam  keadaan penasaran,  Pengho
pergunakan pedangnya untuk tusuk  dadanya sen-
diri! Tokoh utama dari Mongol  ini roboh, terguling
dari atas genteng, jatuh ke tanah dengan  pedang
masih menancap di dadanya!
    Penyerbuan  Thian Ong,  Wiro Sableng,  Li Bwe
Hun serta Kiat Bo Hosiang ke markas besar pentolan-
pentolan tertinggi penjajah di Ansi itu betul-betul
menggemparkan baik empat kalangan Pemerintah
Mongol maupun Pemerintah Tiongkok.
    Kalau  orang Mongol merasa sangat terpukul
maka pihak Tiongkok jadi mendapat semangat. Ribu-
an tentara Tiongkok  dua  minggu kemudian me-
nyerbu ke perbatasan.
mendiang Kiat Bo Hosiang. Jika markas  sumber
kekuatan penjajah itu dihancurkan maka balatentara
Mongol meskipun berjumlah  besar namun tak lebih
dari anak-anak  ayam yang  kehilangan  induknya.
Seluruh kekuatan Mongol disapu bersih dan bumi
Tiongkok bebas lepas dari  kaum  penjajah yang
selama ini telah mendatangkan 1001 macam  keseng-
saraan di kalangan rakyat.  Namun agaknya tugas
Song Thian Ong dan Li Bwee Hun  masih belum
selesai karena di selatan masih banyak pemimpin-
pemimpin yang tak tahu diri yang perlu disingkirkan.
Sementara Pendekar 212 Wiro Sableng terus pula
melakukan petualangannya.
TAMAT

Tidak ada komentar: