14. Sepasang Iblis Betina
1
MATAHARI yang tadi bersinar amat terik kinin sinarnya itu pupus di telan awan hitam yang datang berarak dari arah timur. Sesaat kemudian langitpun mendung hitam. Hujan rintik-rintik mulai turun disertai sambaran kilat dan gelegar guntur. Sekali lagi kilat menyabung. Sekali lagi pula guntur
menggelegar membuat seantero bumi bergetar. Dan hujan rintik-rintik kini
berganti dengan hujan lebat. Demikian lebatnya hingga tak beda seperti dicurahkan saja layaknya dari atas langit. Sekejap saja segala apa yang ada di
bumi menjadi basah. Laut menggelombang, sungai menderas arusnya, sawah-sawah
tergenang air. Selokan-selokan kecil banjir.
Di antara semua itu bertiup angin dingin yang mencucuk sampai ke tulang-tulang sungsum.
Di kala setiap orang berada di tempat kediamarn masing-masing, di kala semua orang
berusaha mencari tempat berteduh guna menghindari hujar; lebat itu, maka di samping sebuah
bukit batu kelihatanlah dua sosok bayangan kuning berkelebat lari dengan amat cepatnya.
Seolah-olah kedua orang itu tidak memperdulikan lebatnya hujan, tidak mengacuhkan deras
dinginnya tiupan angin. Juga sama sekali tidak mau ambil perhatian terhadap batu-batu licin yang
mereka lompati dalam lari mereka yang laksana terbang cepatnya.
Dan adalah lebih mengherankan lagi karena kedua orang berpakaian kuning itu nyatanya dua
orang gadis cantuk jelita. Dari paras mereka yang hampir bersamaan itu jelas keduanya
bersaudara atau satu kakak satu adik. Saat itu mereka berhenti di satu bagian bukit yang terjal.
Pakaian mereka yang bagus dan panjang menjela sudah basah kuyup oleh siraman air hujan.
Demikian pula rambut hitam panjang yang tersanggul rapi di atas kepala masing-masing. Pakaian
MATAHARI yang tadi bersinar amat terik kinin sinarnya itu pupus di telan awan hitam yang datang berarak dari arah timur. Sesaat kemudian langitpun mendung hitam. Hujan rintik-rintik mulai turun disertai sambaran kilat dan gelegar guntur. Sekali lagi kilat menyabung. Sekali lagi pula guntur
menggelegar membuat seantero bumi bergetar. Dan hujan rintik-rintik kini
berganti dengan hujan lebat. Demikian lebatnya hingga tak beda seperti dicurahkan saja layaknya dari atas langit. Sekejap saja segala apa yang ada di
bumi menjadi basah. Laut menggelombang, sungai menderas arusnya, sawah-sawah
tergenang air. Selokan-selokan kecil banjir.
Di antara semua itu bertiup angin dingin yang mencucuk sampai ke tulang-tulang sungsum.
Di kala setiap orang berada di tempat kediamarn masing-masing, di kala semua orang
berusaha mencari tempat berteduh guna menghindari hujar; lebat itu, maka di samping sebuah
bukit batu kelihatanlah dua sosok bayangan kuning berkelebat lari dengan amat cepatnya.
Seolah-olah kedua orang itu tidak memperdulikan lebatnya hujan, tidak mengacuhkan deras
dinginnya tiupan angin. Juga sama sekali tidak mau ambil perhatian terhadap batu-batu licin yang
mereka lompati dalam lari mereka yang laksana terbang cepatnya.
Dan adalah lebih mengherankan lagi karena kedua orang berpakaian kuning itu nyatanya dua
orang gadis cantuk jelita. Dari paras mereka yang hampir bersamaan itu jelas keduanya
bersaudara atau satu kakak satu adik. Saat itu mereka berhenti di satu bagian bukit yang terjal.
Pakaian mereka yang bagus dan panjang menjela sudah basah kuyup oleh siraman air hujan.
Demikian pula rambut hitam panjang yang tersanggul rapi di atas kepala masing-masing. Pakaian
yang basah itu melekat ketat ke tubuh mereka hingga jelas kelihatan membayang keluar potongan
badan mereka yang bagus ramping.
Keduanya memandang berkeliling. Mata mereka yang tajam berusaha menembus tabir hujan
dan kabut yang tebal.
"Heran," kata salah seorang dari mereka. "Kemana kaburnya pemuda itu…."
"Kalau dia sampai bertemu dengan lain orang, dan menuturkan apa yang diketahuinya
tentang diri kita sebelum kita berhasil merungkusnya, celakalah kita, kakak!"
Gadis baju kuning yang dipanggilkan kakak menggigit bibirnya. Di wajahnya yang bulat
telur itu jelas terlihat rasa cemas yang amat sangat.
"Kurasa dia belum lari jauh, adikku. Mari!"
Maka kedua gadis itupun berkelebat dan di lain kejap sudah lenyap dari tempat itu.
Kemudian kelihatan keduanya berlari cepat di dalam lebatnya hujan ke arah kaki bukit sebelah
timur. Meski tiupan angin keras sekali memampasi lari mereka, namun itu tidak mengurangi
kecepatan lari masing-masing! Di kaki bukit keduanya melompati sebuah anak sungai. Kilat tiba-
tiba menyambar lagi. Gadis baju kuning yang berlari di sebelah belakang berseru, "Kakak!
Tunggu!"
"Hai ada apakah, Dewi?" tanya gadis yang lari di depan seraya menghentikan larinya dan
berbalik!
"Waktu kilat menyambar tadi, kulihat di sebelah sana ada sebuah pondok. Siapa tahu ..."
"Mari kita selidiki,"ujar sang kakak yang bernama Nilamaharani sambil menarik lengan
adiknya yang bernama Nilamahadewi.
Dalam waktu yang singkat kedua gadis itu telah sampai di pondok yang tadi terlihat di
kejauhan dalam terangnya sembaran kilat. Di ambang pintu pondok yang tertutup berdiri seorang
tua berkerudung kain sarung yang telah kumal dan apak baunya.
Si orang tua kelihatan terkejut sekali karena tahu-tahu di hadapannya berdiri dua orang gadis
berparas jelita.
"Ka . . . kalian . . . siapa?" tanya orang tua ini gugup. Dia kawatir kalau dua gadis itu bukan
manusia sungguhan.
Bukannya menjawab, sebaliknya Nilamahadewi bertanya membentak, "Orang tua! Apa kau
lihat seorang pemudi baju putih lewat di sini?"
"Ti .., tidak," jawab si orang tua masih gugup.
"Jangan dusta!" Nilamaharani membentak dengan melototkan kedua matanya. "Sungguh aku tidak dusta . . . ".
"Kita geledah pondoknya!" kata Nilamaharani lalu menggerakkan tangan kirinya dan si
orang tua terpelanting jatuh.
"Jangan!" seru orang tua itu. Dia cepat berbangkit dan hendak menghalangi.
"Tua bangka tidak tahu diri!" bentak Nilamaharani dan menendang pinggul si orang tua
hingga mencelat mental dan melingkar pingsan di halaman pondok di bawah siraman hujan lebat.
Dengan kakinya yang lain Nilamaharani menendang pintu pondok hingga bobol. Begitu
pintu hancur dan terpentang lebar sesosok tubuh berpakaian putih kelihatan menghambur lewat
jendela samping.
"Itu dia!" teriak Nilamahadewi.
"Kau mau lari ke mana hah?" ujar Nilamaharani seraya mengulurkan tangannya mencekal
leher pakaian si pemuda. Tapi pemuda ini lebih cepat lagi. Dengan satu gerakan kilat dia
membungkuk lalu memutar larinya ke lain jurusan. Tapi justru dia salah tindak karena arah
larinya itu memapasi Nilamahadewi yang datang dari samping. Kini dia terkurung di tengah-
tengah.
"Kalian ini manusia-manusia macam apakah?!" si pemuda berkata dengan suara keras.
"Sesudah menipu aku kalian inginkan jiwaku pula!" Pemuda ini berumur sekitar dua puluh tahun.
Wajahnya cakap dan kulitnya kuning.
Nilamaharani tertawa bergumam. Ada bayangan yang aneh di balik tawanya itu. Dan
bayangan aneh ini membuat si pemuda merasa ngeri.
"Orang muda, jangan banyak mulut. Sudah menjadi ketentuan bahwa kau harus mati di
tangan kami!"
"Tapi aku tidak punya kesalahan apa-apa terhadap kalian. Bahkan aku telah turutkan
kemauan kalian. Tapi ketika aku tahu bahwa kalian ..."
"Plaak!"
"Heh, kuat juga kau ya?!" kata Nilamaharani. Dia melompat, membungkuk menangkap
salah satu kaki si pemuda lalu melemparkan pemuda itu ke arah sebatang pohon waru. Tak
ampun lagi kepala pemuda itu hancur, otaknya berhamburan. Nyawanya putus sebelum tubuhnya
jatuh melingkar di akar pohon!
"Baru lega hatiku sekarang," kata Nilamaharani. Di betulkannya gelungan rambutnya. Dia
berpaling pada adiknya dan saat itu Nilamahadewi berkata.
"Mari kita tinggalkan tempat ini." Keduanya segera meninggalkan tempat tersebut tapi belum jauh tiba-tiba Nilamaharani
menghentikan larinya.
"Astaga!"
"Ada apa?" tanya Nilamahadewi.
"Orang tua itu."
"Kenapa dia?"
"Mungkin pemuda itu telah membuka rahasia padanya."
"Kalau begitu …" ujar Nilamahadewi seraya membalikkan tubuh. Sesaat kemudian dia
sudah berada kembali di depan pondok.
"Lekas bereskan dia, adikku. Aku sudah tak tahan dinginnya udara gila ini!"
Nilamahadewi tak perlu disuruh dua kali. Dia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.
Kepala orang tua yang masih menggeletak pingsan itu ditendangnya hingga rengkah.
badan mereka yang bagus ramping.
Keduanya memandang berkeliling. Mata mereka yang tajam berusaha menembus tabir hujan
dan kabut yang tebal.
"Heran," kata salah seorang dari mereka. "Kemana kaburnya pemuda itu…."
"Kalau dia sampai bertemu dengan lain orang, dan menuturkan apa yang diketahuinya
tentang diri kita sebelum kita berhasil merungkusnya, celakalah kita, kakak!"
Gadis baju kuning yang dipanggilkan kakak menggigit bibirnya. Di wajahnya yang bulat
telur itu jelas terlihat rasa cemas yang amat sangat.
"Kurasa dia belum lari jauh, adikku. Mari!"
Maka kedua gadis itupun berkelebat dan di lain kejap sudah lenyap dari tempat itu.
Kemudian kelihatan keduanya berlari cepat di dalam lebatnya hujan ke arah kaki bukit sebelah
timur. Meski tiupan angin keras sekali memampasi lari mereka, namun itu tidak mengurangi
kecepatan lari masing-masing! Di kaki bukit keduanya melompati sebuah anak sungai. Kilat tiba-
tiba menyambar lagi. Gadis baju kuning yang berlari di sebelah belakang berseru, "Kakak!
Tunggu!"
"Hai ada apakah, Dewi?" tanya gadis yang lari di depan seraya menghentikan larinya dan
berbalik!
"Waktu kilat menyambar tadi, kulihat di sebelah sana ada sebuah pondok. Siapa tahu ..."
"Mari kita selidiki,"ujar sang kakak yang bernama Nilamaharani sambil menarik lengan
adiknya yang bernama Nilamahadewi.
Dalam waktu yang singkat kedua gadis itu telah sampai di pondok yang tadi terlihat di
kejauhan dalam terangnya sembaran kilat. Di ambang pintu pondok yang tertutup berdiri seorang
tua berkerudung kain sarung yang telah kumal dan apak baunya.
Si orang tua kelihatan terkejut sekali karena tahu-tahu di hadapannya berdiri dua orang gadis
berparas jelita.
"Ka . . . kalian . . . siapa?" tanya orang tua ini gugup. Dia kawatir kalau dua gadis itu bukan
manusia sungguhan.
Bukannya menjawab, sebaliknya Nilamahadewi bertanya membentak, "Orang tua! Apa kau
lihat seorang pemudi baju putih lewat di sini?"
"Ti .., tidak," jawab si orang tua masih gugup.
"Jangan dusta!" Nilamaharani membentak dengan melototkan kedua matanya. "Sungguh aku tidak dusta . . . ".
"Kita geledah pondoknya!" kata Nilamaharani lalu menggerakkan tangan kirinya dan si
orang tua terpelanting jatuh.
"Jangan!" seru orang tua itu. Dia cepat berbangkit dan hendak menghalangi.
"Tua bangka tidak tahu diri!" bentak Nilamaharani dan menendang pinggul si orang tua
hingga mencelat mental dan melingkar pingsan di halaman pondok di bawah siraman hujan lebat.
Dengan kakinya yang lain Nilamaharani menendang pintu pondok hingga bobol. Begitu
pintu hancur dan terpentang lebar sesosok tubuh berpakaian putih kelihatan menghambur lewat
jendela samping.
"Itu dia!" teriak Nilamahadewi.
"Kau mau lari ke mana hah?" ujar Nilamaharani seraya mengulurkan tangannya mencekal
leher pakaian si pemuda. Tapi pemuda ini lebih cepat lagi. Dengan satu gerakan kilat dia
membungkuk lalu memutar larinya ke lain jurusan. Tapi justru dia salah tindak karena arah
larinya itu memapasi Nilamahadewi yang datang dari samping. Kini dia terkurung di tengah-
tengah.
"Kalian ini manusia-manusia macam apakah?!" si pemuda berkata dengan suara keras.
"Sesudah menipu aku kalian inginkan jiwaku pula!" Pemuda ini berumur sekitar dua puluh tahun.
Wajahnya cakap dan kulitnya kuning.
Nilamaharani tertawa bergumam. Ada bayangan yang aneh di balik tawanya itu. Dan
bayangan aneh ini membuat si pemuda merasa ngeri.
"Orang muda, jangan banyak mulut. Sudah menjadi ketentuan bahwa kau harus mati di
tangan kami!"
"Tapi aku tidak punya kesalahan apa-apa terhadap kalian. Bahkan aku telah turutkan
kemauan kalian. Tapi ketika aku tahu bahwa kalian ..."
"Plaak!"
"Heh, kuat juga kau ya?!" kata Nilamaharani. Dia melompat, membungkuk menangkap
salah satu kaki si pemuda lalu melemparkan pemuda itu ke arah sebatang pohon waru. Tak
ampun lagi kepala pemuda itu hancur, otaknya berhamburan. Nyawanya putus sebelum tubuhnya
jatuh melingkar di akar pohon!
"Baru lega hatiku sekarang," kata Nilamaharani. Di betulkannya gelungan rambutnya. Dia
berpaling pada adiknya dan saat itu Nilamahadewi berkata.
"Mari kita tinggalkan tempat ini." Keduanya segera meninggalkan tempat tersebut tapi belum jauh tiba-tiba Nilamaharani
menghentikan larinya.
"Astaga!"
"Ada apa?" tanya Nilamahadewi.
"Orang tua itu."
"Kenapa dia?"
"Mungkin pemuda itu telah membuka rahasia padanya."
"Kalau begitu …" ujar Nilamahadewi seraya membalikkan tubuh. Sesaat kemudian dia
sudah berada kembali di depan pondok.
"Lekas bereskan dia, adikku. Aku sudah tak tahan dinginnya udara gila ini!"
Nilamahadewi tak perlu disuruh dua kali. Dia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.
Kepala orang tua yang masih menggeletak pingsan itu ditendangnya hingga rengkah.
*** 2
HUTAN Bintaran terkenal sebagai hutan yang banyak binatang perburuannya. Mulai dari kelinci
sampai pada rusa-rusa muda yang amat jinak. Karena itulah Adipati-adipati di Jawa Tengah dan
setiap orang yang gemar berburu, kerap kali melakukan perburuan di hutan tersebut.
Sekali waktu putera Adipati Muntilan bersama dua orang pembantunya berangkat ke hutan
Bintaran untuk berburu. Menjelang tengah hari mereka telah berhasil membunuh tiga ekor
kelinci, menjebak hidup-hidup seekor tupai berbulu merah. Tepat sewaktu matahari mencapai
titik tertingginya, putera Adipati itu duduk melepaskan lelahnya di tepi sebuah telaga.
"Sejuk sekali air telaga ini," kata putera Adipati itu sambil merendamkan kedua kakinya ke
dalam air telaga. "Telaga apakah ini namanya paman?"
Salah seorang pembantu yang sudah agak lanjut usianya menjawab, "Kalau saya tidak salah,
ini Telaga Puteri Intan Dewi." Lalu dituturkannya sedikit cerita tentang sampai bagaimana telaga
itu diberi nama demikian.
Baru saja pembantu itu menyelesaikan ceritanya, di tepi telaga yang terletak di seberang
mereka muncullah seekor anak rusa. Binatang ini memandang kian kemari lalu melangkah lebih
dekat ke tepi telaga dan mencelupkan mulutnya ke dalam air.
Cepat-cepat Aryo Darmo, putera Adipati Muntilan itu, mengambil busurnya. Ketika anak
panah hendak dilepaskannya, selintas pikiran timbul dalam hatinya. Anak rusa itu bagus sekali
bulunya. Coklat berbintik-bintik putih besar-besar. Hatinya pun tak tega untuk membunuh
binatang itu. Karena kelihatannya anak rusa ini cukup jinak, maka Aryo Damar akhirnya
memutuskan untuk menangkapnya hidup-hidup.
Aryo Darmo berdiri dan mengambil jalan memutar. Sesaat kemudian dia sudah mengendap-
endap di belakang anak rusa itu. Pemuda ini pernah belajar ilmu silat dari ayahnya. Karenanya
dia bisa bergerak cepat. Begitulah, ketika tinggal beberapa langkah lagi, Aryo Darmo laksana
seekor harimau melompat menerkam anak rusa itu.
Tapi si anak rusa lebih cepat lagi. Dengan gesit dia melompat ke samping hingga Aryo
Darmo menangkap angin. Kalau dia tidak mempergunakan kedua tangannya untuk jungkir balik
pasti tubuhnya akan terjun ke dalam telaga! Yang membuat Aryo Darmo menjadi penasaran ialah anak rusa itu tidak lari jauh, tapi
berdiri sekitar enam tujuh langkah dari hadapannya, memandang kepadanya dengan mengendip-
endipkan sepasang matanya, seolah-olah menantang putera Adipati Muntilan itu untuk
menangkapnya. Untuk kedua kalinya Aryo Darmo melompat. Hampir pemuda ini berhasil
menangkap tengkuk binatang itu, si anak rusa melompat binal dan lari ke dekat serumpun semak
belukar yang terletak sepuluh langkah dari si pemuda.
"Sialan!" maki Aryo Darmo dengan kesal. "Kau mau lari ke mana hah?! Kau musti dapat
kutangkap hidup-hidup!" Maka dikejarnya binatang itu.
Demikianlah kejar mengejar terjadi hingga tanpa disadari Aryo Darmo telah berada jauh
dalam rimba belantara yang lebat. Penuh lelah dan juga kesal pemuda ini akhirnya mendudukkan
dirinya di satu akar pohon. Sewaktu dia memandang ke kiri dilihatnya anak rusa tadi berdiri pula
tak berapa jauh darinya dan mengedip-ngedipkan sepasang matanya. Ini membuat hati Aryo
Darmo tambah kesal.
"Binatang celaka! Kalau tak dapat kutangkap hidup-hidup bangkaimupun tak jadi apa!" Lalu
dicabutnya kerisnya dan dilemparkannya ke arah binatang itu.
Si anak rusa yang rupanya tahu bahaya, siang-siang sudah melompat berpindah tempat
hingga keris yang dilemparkan luput dan menancap di sebatang pohon.
Benar-benar kini Aryo Darmo menjadi naik darah. "Binatang celaka! Ke manapun akan
kukejar kau!" Setelah mengambil kerisnya dikejarnya kembali anak rusa itu. Dengan demikian
semakin jauhlah dia masuk ke dalam rimba belantara yang lebat. Sementara itu tanpa setahu
Aryo Darmo, dua pasang rata sejak tadi mengikuti gerak geriknya.
Di satu tempat yang agak gelap karena rapatnya pohon-pohon dan semak belukar yang
tumbuh tiba-tiba anak rusa yang dikejar Aryo Darmo lenyap dari pemandangan. Pemuda ini
menghentikan larinya dan memandang berkeliling. Kemudian didengarnya suara lengking
binatang itu. Di lain kejap pemuda ini menjadi terkejut sewaktu di hadapannya muncul dua orang
dara jelita berpakaian kuning. Salah seorang dari mereka memegang anak rusa yang sejak tadi di
kejar-kejarnya.
"Saudara, apakah kau menginginkan binatang ini?" tanya dara yang memegang rusa. Di
bibirnya terlukis sekuntum senyum.
"Betul," jawab Aryo Darmo. Lalu tanyanya, "Kalian berdua siapa? Kenapa berada dalam
rimba belantara begini rupa?"
"Aku Nilamaharani dan ini adikku Nilamahadewi," jawab sang dara masih dengan senyumnya yang memikat, "Kalau kami berikan anak rusa ini padamu, sebagai gantinya kau mau
berikan apa?"
"Ah, kau baik sekali saudari. Beri tahu di mana rumahmu, kelak akan kusuruh orang-
orangku untuk mengantarkan baju-baju bagus dan perhiasan-perhiasan indah kepada kalian
berdua, Eh, kalian ini kakak beradik, bukan?"
Nilamaharani mengangguk. "Tempat kediaman kami mungkin sukar dicari oleh orang-orang
suruhanmu. Kecuali kalau kau tak berkeberatan ikut bersama kami untuk mengetahuinya."
"Tentu saja aku tidak keberatan," jawab Aryo Darmo. Sudah barang tentu mana ada pemuda
yang ; menolak begitu saja ajakan dara berparas secantik ' Nilamaharani itu?
"Tapi", kata Nilamahadewi, "tempat kami buruk, hanya sebuah goa batu".
"Itu bukan soal", sahut Aryo Darmo.
"Kalau begitu kau peganglah anak rusa ini dan mari kita berangkat", kata Nilamaharani pula.
Aryo Darmo menerima anak rusa yang diberikan Nilamaharani lalu ketiganyapun
meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan mereka tak hentinya bercakapcakap. Demikian
gernbiranya Aryo Darmo dapat berkenalan dengan dua dara jelita itu hingga boleh dikatakan dia
hampir tak perduli dengan si anak rusa. Kalau saja anak rusa itu bukan ditangkap dan diberikan
oleh Nilamaharani, mungkin sudah sejak tadi-tadi dilepas dilemparkannya.
Mereka tiba di luar rimba belantara. Di hadapan mereka kini terbentang satu daerah
berbukit-bukit. Kedua dara itu berlari menuju ke sebuah bukit di sebelah barat, diikuti oleh Aryo
Darmo. Memperhatikan cara lari kedua dara kakak beradik itu maklumlah si pemuda bahwa
keduanya orang-orang berilmu. Dengan mengandalkan ilmu lari yang diajarkan ayahnya,
dicobanya menyamai lari keduanya, namun siasia belaka. Dan diam-diam Aryo Darmo jadi
tambah tertarik pada dara-dara ini.
Setibanya di lereng bukit yang di tuju. Nilamaharani menyibakkan serumpun semak belukar
lebat. Maka kelihatanlah sebuah goa batu yang amat, bersih dan luas.
"Inilah tempat kediaman kami. Harap kau jangan . . . ".
"Ah, tempat kalian bersih dan bagus", kata
Aryo Darmo memotong. Lalu setelah dipersilahkan dia pun masuk. Ruangan yang
dimasukinya harum semerbak, diterangi oleh sebuah pelita aheh yaitu sepotong kayu yang
ujungnya berapi dan memancarkan sinar kehijauan, tertancap kedinding. Ternyata di situ ada dua
buah ruangan dan keduanya sama sekali tidak seperti ruangan dalam goa.
"Silahkan duduk", kata Nilamaharani. Ketika Aryo Darmo duduk membelakanginya, dara ini mengedipkan matanya pada adiknya.
Melihat isyarat ini Nilamahadewi berkata, "Saudara kau duduklah terus. Aku hendak keluar
sebentar"
Aryo Darmo mengangguk. Belum sempat dia bertanyakan mau ke mana gadis itu,
Nilamahadewi sudah lenyap di mulut goa. Aryo Darmo tinggal sendirian di ruangan itu karena
sebelumnya Nilamaharani sudah masuk ke ruangan yang satu lagi.
Pemuda ini memandang berkeliling. Kemudian pandangannya di tujukan pada pelita kayu
aneh yang tertancap di dinding. Dia tak habis mengerti bagaimana ada sepotong kayu yang
dibakar terang begitu rupa tanpa habis-habisnya yang apinya mengeluarkan sinar kehijauan dan
berbau harum pula. Selagi dia memperhatikan begitu rupa dilihatnya sinar api tiba-tiba mengecil.
Sebaliknya bau harum bertambah-tambah, membuat pemuda ini merasa adanya aliran hawa aneh
di dalam darah di sekujur tubuhnya. Semakin lama semakin santar juga bau harum itu dan detik
demi detik Aryo Darmo semakin terangsang dibuatnya.
Dari ruangan dalam Nilamaharani muncul. Aryo Darmo berpaling dan… Untuk beberapa
saat lamanya nafasnya terasa terhenti. Kedua matanya menyipit. Lalu cepat-cepat dipalingkannya
kepalanya. Terdengar suara tertawa kecil. Dan Nilamaharani melangkah ke hadapan pemuda itu.
Aryo Darmo masih memandang ke jurusan lain, tak berani melihat kepada dara ini.
Sewaktu Nilamaharani muncul tadi, bukan saja nafas pemuda itu serasa terhenti tapi dadanya
ikut berdebar dan darahnya bergejolak. Betapakan tidak! Dara itu telah berganti pakaian dengan
sehelai pakaian sutera kuning yang amat tipis hingga jelas kelihatan potongan tubuh dan pakaian
dalamnya. Senyum yang dilayangkannyapun lain dan aneh. Ini dirasakan betul oleh Aryo Darmo,
membuat rangsangan aneh yang menjalari tubuh pemuda itu semakin menjadi-jadi.
"Kau melamun agaknya, saudara Aryo," ujar Nilamaharani.
Pemuda itu memalingkan kepalanya sedikit. "Adikmu pergi ke manakah?" tanya putera
Adipati Muntilan itu.
"Ah, dia kenapa dipikirkan? Biar saja dia pergi ke manapun tak usah kita ributkan."
Aryo Darmo terdiam. Dia tak mengerti mengapa si dara harus bicara begitu.
"Aku telah menyediakan minuman untukmu di ruangan dalam," kata Nilamaharani.
"Terima kasih. Kenapa musti susah??"
"Jangan pakai peradatan segala. Mari kita masuk ke dalam," ajak Nilamaharani.
Aryo Darmo hendak menjawab agar minuman itu dibawa saja ke tempat itu. Namun
sebelum itu terucapkan Nilamaharani telah menarik lengannya dan membawanya masuk ke ruangan dalam. Di ruangan ini ada pelita kayu yang aneh yang sinarnya lebih suram dari ruangan
sebelumnya. Segala sesuatunya kelihatan samar-samar. Dan dalam kesamar-samaran itu Aryo
Darmo masih dapat melihat kalau saat itu dirinya dibawa ke arah sebuah pembaringan.
"Maharani, apakah maksudmu membawaku ke sini?" tanya Aryo Darmo dengan suara
bergetar.
"Aryo, kau tahu apa maksudku", jawab Nilamaharani berbisik ke telinga si pemuda hingga
hembusan nafasnya terasa hangat di pipi Aryo Darmo. Kemudian pemuda ini merasakan lengan
kiri sang dara melingkar di pinggangnya.
"Maharani kau …"
Ucapan itu tidak terteruskan oleh Aryo Darmo karena saat itu Nilamaharani mendekatkan
parasnya ke wajahnya dengan amat berani. Kemudian dirasakannya bibir gadis itu menempel di
atas bibirnya.
"Maharani, aku …"
Lagi-lagi Aryo Darmo tak bisa meneruskan kalimatnya. Kedua lututnya goyah,karena
diberati tubuh gadis itu. Akhimya keduanya terguling ke atas pembaringan.
"Kau tahu apa maksudku, Aryo. Kau laki-laki, aku perempuan. Jangan jadi orang bodoh!"
"Tapi …"
"Tidak ada tapi-tapian Aryo."
Dan sikap malu serta pikir panjang Aryo Darmo cukup cuma sampai di situ. Laksana seekor
ular besar yang kelaparan pemudaa itu menggeliat atas pembaringan dan nmerangkul tubuh
Nilamaharani sekeras-kerasnya seperti mau melunyahkan dara itu sampai ke tulang-tulangny.
Desau nafas panas dan tertawa berguman Nilamaharani membakar darah Aryo Darmo, membuat
dia berlaku lebih berani lagi. Pada puncak keberanian yang dilakukan Aryo Darmo, tiba-tiba
terdengarlah suara teriakan pemuda itu laksana geledek.
"Maharani, kau ... !"
Teriakan yang menggetarkan empat dinding ruangan itu dibarengi pula dengan pekik
Nilamaharani.
Aryo Darmo tidak menunggu lebih lama. Disambamya pakaiannya lalu melompat dari
pembaringan.
"Aryo! Kembali!" teriak Nilamaharani.
Mana pemuda itu mau kembali! Apa yang dilihat dan diketahuinya tak akan membuat dia
kembali meski didepannya saat itu, menghadang setan kepala sepuluh sekalipun! Malah pemuda ini memaki beringas.
"Manusia keparat! Terkutuklah kau jadi puntung neraka!" Dia terus menghambur ke pintu
goa.
Tapi baru saja dia berada di luar, di sampingnya terdengar satu suara bentakan,
"Pemuda bangsat! Kau berani bermulut kotor terhadap saudaraku. Terimalah kematianmu!"'
"Wuuut"!
Selarik angin deras menyambar ke arah Arya Darmo!
sampai pada rusa-rusa muda yang amat jinak. Karena itulah Adipati-adipati di Jawa Tengah dan
setiap orang yang gemar berburu, kerap kali melakukan perburuan di hutan tersebut.
Sekali waktu putera Adipati Muntilan bersama dua orang pembantunya berangkat ke hutan
Bintaran untuk berburu. Menjelang tengah hari mereka telah berhasil membunuh tiga ekor
kelinci, menjebak hidup-hidup seekor tupai berbulu merah. Tepat sewaktu matahari mencapai
titik tertingginya, putera Adipati itu duduk melepaskan lelahnya di tepi sebuah telaga.
"Sejuk sekali air telaga ini," kata putera Adipati itu sambil merendamkan kedua kakinya ke
dalam air telaga. "Telaga apakah ini namanya paman?"
Salah seorang pembantu yang sudah agak lanjut usianya menjawab, "Kalau saya tidak salah,
ini Telaga Puteri Intan Dewi." Lalu dituturkannya sedikit cerita tentang sampai bagaimana telaga
itu diberi nama demikian.
Baru saja pembantu itu menyelesaikan ceritanya, di tepi telaga yang terletak di seberang
mereka muncullah seekor anak rusa. Binatang ini memandang kian kemari lalu melangkah lebih
dekat ke tepi telaga dan mencelupkan mulutnya ke dalam air.
Cepat-cepat Aryo Darmo, putera Adipati Muntilan itu, mengambil busurnya. Ketika anak
panah hendak dilepaskannya, selintas pikiran timbul dalam hatinya. Anak rusa itu bagus sekali
bulunya. Coklat berbintik-bintik putih besar-besar. Hatinya pun tak tega untuk membunuh
binatang itu. Karena kelihatannya anak rusa ini cukup jinak, maka Aryo Damar akhirnya
memutuskan untuk menangkapnya hidup-hidup.
Aryo Darmo berdiri dan mengambil jalan memutar. Sesaat kemudian dia sudah mengendap-
endap di belakang anak rusa itu. Pemuda ini pernah belajar ilmu silat dari ayahnya. Karenanya
dia bisa bergerak cepat. Begitulah, ketika tinggal beberapa langkah lagi, Aryo Darmo laksana
seekor harimau melompat menerkam anak rusa itu.
Tapi si anak rusa lebih cepat lagi. Dengan gesit dia melompat ke samping hingga Aryo
Darmo menangkap angin. Kalau dia tidak mempergunakan kedua tangannya untuk jungkir balik
pasti tubuhnya akan terjun ke dalam telaga! Yang membuat Aryo Darmo menjadi penasaran ialah anak rusa itu tidak lari jauh, tapi
berdiri sekitar enam tujuh langkah dari hadapannya, memandang kepadanya dengan mengendip-
endipkan sepasang matanya, seolah-olah menantang putera Adipati Muntilan itu untuk
menangkapnya. Untuk kedua kalinya Aryo Darmo melompat. Hampir pemuda ini berhasil
menangkap tengkuk binatang itu, si anak rusa melompat binal dan lari ke dekat serumpun semak
belukar yang terletak sepuluh langkah dari si pemuda.
"Sialan!" maki Aryo Darmo dengan kesal. "Kau mau lari ke mana hah?! Kau musti dapat
kutangkap hidup-hidup!" Maka dikejarnya binatang itu.
Demikianlah kejar mengejar terjadi hingga tanpa disadari Aryo Darmo telah berada jauh
dalam rimba belantara yang lebat. Penuh lelah dan juga kesal pemuda ini akhirnya mendudukkan
dirinya di satu akar pohon. Sewaktu dia memandang ke kiri dilihatnya anak rusa tadi berdiri pula
tak berapa jauh darinya dan mengedip-ngedipkan sepasang matanya. Ini membuat hati Aryo
Darmo tambah kesal.
"Binatang celaka! Kalau tak dapat kutangkap hidup-hidup bangkaimupun tak jadi apa!" Lalu
dicabutnya kerisnya dan dilemparkannya ke arah binatang itu.
Si anak rusa yang rupanya tahu bahaya, siang-siang sudah melompat berpindah tempat
hingga keris yang dilemparkan luput dan menancap di sebatang pohon.
Benar-benar kini Aryo Darmo menjadi naik darah. "Binatang celaka! Ke manapun akan
kukejar kau!" Setelah mengambil kerisnya dikejarnya kembali anak rusa itu. Dengan demikian
semakin jauhlah dia masuk ke dalam rimba belantara yang lebat. Sementara itu tanpa setahu
Aryo Darmo, dua pasang rata sejak tadi mengikuti gerak geriknya.
Di satu tempat yang agak gelap karena rapatnya pohon-pohon dan semak belukar yang
tumbuh tiba-tiba anak rusa yang dikejar Aryo Darmo lenyap dari pemandangan. Pemuda ini
menghentikan larinya dan memandang berkeliling. Kemudian didengarnya suara lengking
binatang itu. Di lain kejap pemuda ini menjadi terkejut sewaktu di hadapannya muncul dua orang
dara jelita berpakaian kuning. Salah seorang dari mereka memegang anak rusa yang sejak tadi di
kejar-kejarnya.
"Saudara, apakah kau menginginkan binatang ini?" tanya dara yang memegang rusa. Di
bibirnya terlukis sekuntum senyum.
"Betul," jawab Aryo Darmo. Lalu tanyanya, "Kalian berdua siapa? Kenapa berada dalam
rimba belantara begini rupa?"
"Aku Nilamaharani dan ini adikku Nilamahadewi," jawab sang dara masih dengan senyumnya yang memikat, "Kalau kami berikan anak rusa ini padamu, sebagai gantinya kau mau
berikan apa?"
"Ah, kau baik sekali saudari. Beri tahu di mana rumahmu, kelak akan kusuruh orang-
orangku untuk mengantarkan baju-baju bagus dan perhiasan-perhiasan indah kepada kalian
berdua, Eh, kalian ini kakak beradik, bukan?"
Nilamaharani mengangguk. "Tempat kediaman kami mungkin sukar dicari oleh orang-orang
suruhanmu. Kecuali kalau kau tak berkeberatan ikut bersama kami untuk mengetahuinya."
"Tentu saja aku tidak keberatan," jawab Aryo Darmo. Sudah barang tentu mana ada pemuda
yang ; menolak begitu saja ajakan dara berparas secantik ' Nilamaharani itu?
"Tapi", kata Nilamahadewi, "tempat kami buruk, hanya sebuah goa batu".
"Itu bukan soal", sahut Aryo Darmo.
"Kalau begitu kau peganglah anak rusa ini dan mari kita berangkat", kata Nilamaharani pula.
Aryo Darmo menerima anak rusa yang diberikan Nilamaharani lalu ketiganyapun
meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan mereka tak hentinya bercakapcakap. Demikian
gernbiranya Aryo Darmo dapat berkenalan dengan dua dara jelita itu hingga boleh dikatakan dia
hampir tak perduli dengan si anak rusa. Kalau saja anak rusa itu bukan ditangkap dan diberikan
oleh Nilamaharani, mungkin sudah sejak tadi-tadi dilepas dilemparkannya.
Mereka tiba di luar rimba belantara. Di hadapan mereka kini terbentang satu daerah
berbukit-bukit. Kedua dara itu berlari menuju ke sebuah bukit di sebelah barat, diikuti oleh Aryo
Darmo. Memperhatikan cara lari kedua dara kakak beradik itu maklumlah si pemuda bahwa
keduanya orang-orang berilmu. Dengan mengandalkan ilmu lari yang diajarkan ayahnya,
dicobanya menyamai lari keduanya, namun siasia belaka. Dan diam-diam Aryo Darmo jadi
tambah tertarik pada dara-dara ini.
Setibanya di lereng bukit yang di tuju. Nilamaharani menyibakkan serumpun semak belukar
lebat. Maka kelihatanlah sebuah goa batu yang amat, bersih dan luas.
"Inilah tempat kediaman kami. Harap kau jangan . . . ".
"Ah, tempat kalian bersih dan bagus", kata
Aryo Darmo memotong. Lalu setelah dipersilahkan dia pun masuk. Ruangan yang
dimasukinya harum semerbak, diterangi oleh sebuah pelita aheh yaitu sepotong kayu yang
ujungnya berapi dan memancarkan sinar kehijauan, tertancap kedinding. Ternyata di situ ada dua
buah ruangan dan keduanya sama sekali tidak seperti ruangan dalam goa.
"Silahkan duduk", kata Nilamaharani. Ketika Aryo Darmo duduk membelakanginya, dara ini mengedipkan matanya pada adiknya.
Melihat isyarat ini Nilamahadewi berkata, "Saudara kau duduklah terus. Aku hendak keluar
sebentar"
Aryo Darmo mengangguk. Belum sempat dia bertanyakan mau ke mana gadis itu,
Nilamahadewi sudah lenyap di mulut goa. Aryo Darmo tinggal sendirian di ruangan itu karena
sebelumnya Nilamaharani sudah masuk ke ruangan yang satu lagi.
Pemuda ini memandang berkeliling. Kemudian pandangannya di tujukan pada pelita kayu
aneh yang tertancap di dinding. Dia tak habis mengerti bagaimana ada sepotong kayu yang
dibakar terang begitu rupa tanpa habis-habisnya yang apinya mengeluarkan sinar kehijauan dan
berbau harum pula. Selagi dia memperhatikan begitu rupa dilihatnya sinar api tiba-tiba mengecil.
Sebaliknya bau harum bertambah-tambah, membuat pemuda ini merasa adanya aliran hawa aneh
di dalam darah di sekujur tubuhnya. Semakin lama semakin santar juga bau harum itu dan detik
demi detik Aryo Darmo semakin terangsang dibuatnya.
Dari ruangan dalam Nilamaharani muncul. Aryo Darmo berpaling dan… Untuk beberapa
saat lamanya nafasnya terasa terhenti. Kedua matanya menyipit. Lalu cepat-cepat dipalingkannya
kepalanya. Terdengar suara tertawa kecil. Dan Nilamaharani melangkah ke hadapan pemuda itu.
Aryo Darmo masih memandang ke jurusan lain, tak berani melihat kepada dara ini.
Sewaktu Nilamaharani muncul tadi, bukan saja nafas pemuda itu serasa terhenti tapi dadanya
ikut berdebar dan darahnya bergejolak. Betapakan tidak! Dara itu telah berganti pakaian dengan
sehelai pakaian sutera kuning yang amat tipis hingga jelas kelihatan potongan tubuh dan pakaian
dalamnya. Senyum yang dilayangkannyapun lain dan aneh. Ini dirasakan betul oleh Aryo Darmo,
membuat rangsangan aneh yang menjalari tubuh pemuda itu semakin menjadi-jadi.
"Kau melamun agaknya, saudara Aryo," ujar Nilamaharani.
Pemuda itu memalingkan kepalanya sedikit. "Adikmu pergi ke manakah?" tanya putera
Adipati Muntilan itu.
"Ah, dia kenapa dipikirkan? Biar saja dia pergi ke manapun tak usah kita ributkan."
Aryo Darmo terdiam. Dia tak mengerti mengapa si dara harus bicara begitu.
"Aku telah menyediakan minuman untukmu di ruangan dalam," kata Nilamaharani.
"Terima kasih. Kenapa musti susah??"
"Jangan pakai peradatan segala. Mari kita masuk ke dalam," ajak Nilamaharani.
Aryo Darmo hendak menjawab agar minuman itu dibawa saja ke tempat itu. Namun
sebelum itu terucapkan Nilamaharani telah menarik lengannya dan membawanya masuk ke ruangan dalam. Di ruangan ini ada pelita kayu yang aneh yang sinarnya lebih suram dari ruangan
sebelumnya. Segala sesuatunya kelihatan samar-samar. Dan dalam kesamar-samaran itu Aryo
Darmo masih dapat melihat kalau saat itu dirinya dibawa ke arah sebuah pembaringan.
"Maharani, apakah maksudmu membawaku ke sini?" tanya Aryo Darmo dengan suara
bergetar.
"Aryo, kau tahu apa maksudku", jawab Nilamaharani berbisik ke telinga si pemuda hingga
hembusan nafasnya terasa hangat di pipi Aryo Darmo. Kemudian pemuda ini merasakan lengan
kiri sang dara melingkar di pinggangnya.
"Maharani kau …"
Ucapan itu tidak terteruskan oleh Aryo Darmo karena saat itu Nilamaharani mendekatkan
parasnya ke wajahnya dengan amat berani. Kemudian dirasakannya bibir gadis itu menempel di
atas bibirnya.
"Maharani, aku …"
Lagi-lagi Aryo Darmo tak bisa meneruskan kalimatnya. Kedua lututnya goyah,karena
diberati tubuh gadis itu. Akhimya keduanya terguling ke atas pembaringan.
"Kau tahu apa maksudku, Aryo. Kau laki-laki, aku perempuan. Jangan jadi orang bodoh!"
"Tapi …"
"Tidak ada tapi-tapian Aryo."
Dan sikap malu serta pikir panjang Aryo Darmo cukup cuma sampai di situ. Laksana seekor
ular besar yang kelaparan pemudaa itu menggeliat atas pembaringan dan nmerangkul tubuh
Nilamaharani sekeras-kerasnya seperti mau melunyahkan dara itu sampai ke tulang-tulangny.
Desau nafas panas dan tertawa berguman Nilamaharani membakar darah Aryo Darmo, membuat
dia berlaku lebih berani lagi. Pada puncak keberanian yang dilakukan Aryo Darmo, tiba-tiba
terdengarlah suara teriakan pemuda itu laksana geledek.
"Maharani, kau ... !"
Teriakan yang menggetarkan empat dinding ruangan itu dibarengi pula dengan pekik
Nilamaharani.
Aryo Darmo tidak menunggu lebih lama. Disambamya pakaiannya lalu melompat dari
pembaringan.
"Aryo! Kembali!" teriak Nilamaharani.
Mana pemuda itu mau kembali! Apa yang dilihat dan diketahuinya tak akan membuat dia
kembali meski didepannya saat itu, menghadang setan kepala sepuluh sekalipun! Malah pemuda ini memaki beringas.
"Manusia keparat! Terkutuklah kau jadi puntung neraka!" Dia terus menghambur ke pintu
goa.
Tapi baru saja dia berada di luar, di sampingnya terdengar satu suara bentakan,
"Pemuda bangsat! Kau berani bermulut kotor terhadap saudaraku. Terimalah kematianmu!"'
"Wuuut"!
Selarik angin deras menyambar ke arah Arya Darmo!
***
3
3
DENGAN sebat Aryo Darmo melompat ke samping sehingga serangan mendadak yang
berbahaya itu berhasil dielakkannya. Ketika dia berpaling satu serangan lagi melesat ke arahnya
dan untuk kedua kalinya berhasil dikelitnya.
"Manusia laknat! Tentunya kau juga sama terkutuknya dengan kakakmu!" bentak Aryo
Darmo.
Habis membentak begitu dengan tak kalah hebat dia mengirimkan serangan balasan berupa
satu tendangan ke uluhati lawannya yang bukan lain Nilamahadewi adanya!
Serangan maut itu dengan mudah dapat dielakkan oleh si dara yang kemudian melancarkan
serangan balasan yang amat berbahaya. Terlambat sedikit saja pastilah kepala Aryo Darmo akan
dihantam satu jotosan keras. Pemuda itu menjadi tercekat hatinya. Dari gerakan serangan serta
angin pukulan lawan dia tahu bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang lebih, bahkan jauh lebih
tinggi darinya. Pada dasarnya bukan hal itu yang membuat Aryo Darmo merasa takut dan ngeri.
Tapi apa yang diketahui dan yang telah dilihatnya beberapa saat yang lalulah membuat pemuda
ini kemudian tak mau lagi melayani Nilamahadewi, tapi terus memutar tubuh dan lari
meninggalkan tempat tersebut.
"Adikku jangan biarkan bangsat itu kabur!" terdengar teriakan Nilamaharani dari sibakan
semak belukar di mulut goa.
"Tentu saia kakakku!" sahut Nilamahadewi. Dengan mempergunakan ilmu lompat lihay'
yang bernama "katak sakti melompati gunung" maka tubuhnya melesat tinggi ke udara dan, di
lain saat sudah berada beberapa tombak di hadapan Aryo Darmo.
"Tubuh kasarmu boleh pergi, tapi nyawamu tinggalkan di sini," kata Nilamahadewi dengan
seringai buruk.
"Perempuan dajal! Kau kira aku takut padamu?" sentak Aryo Darmo. Tubuhnya berkelebat
melancarkan satu pukulan tangan kosong dari jarak delapan langkah. Sebelum pukulan tangan
kosong tersebut sampai, dia membuat satu lompatan sebat dan tahutahu tangan kirinya telah
menderu ke batok kepala Ni lamahadewi.
"Uh! Jurus "angin berhembus pintu menutup" yang begini buruk hendak kau andalkan?!"
kata Nilamahadewi dengan tertawa mongejek. Dan memang dengan amat mudah gadis itu
berhasil mengelakkan serangan yang dilancarkan Aryo Darmo. Penuh penasaran si pemuda
mengirimkan serangan susulan yang bernama "empat dewa murka". Serangan ini
mempergunakan kedua tangan dan kaki yang digerakkan susul menyusul dan kehebatannya
cukup membuat kagum karena tubuh Aryo Darmo dalam menyerang itu hanya tinggal bayang-
bayang saja.
"Jurus empat dewa murka!" seru Nilamaharani yang datang dari belakang dengan
mengeluarkan suara dari hidung. Sekali tangannya bergerak, serangkum angin menderu dahsyat.
Aryo Darmo terpaksa membatalkan setengah bagian terakhir dari serangannya sewaktu
dirasakannya hawa dingin meniup punggungnya. Dengan cepat dia melompat ke samping, tapi
masih kurang cepat. Pukulan lawan menyerempet bahu serta lengan kirinya. Aryo merasakan
bagian tubuhnya yang tersambar angin amat dingin itu menjadi kaku tegang tak bisa digerakkan
lagi sedang hawa dingin mencucuk menyembilu membuat gigi-giginya bergemeletakan!
"Celaka!", keluh pemuda itu dalam hati. Keringat dingin memercik dikeningnya. Kedua dara
berbaju kuning sementara itu hanya beberapa langkah saja di hadapannya dan sama-sama siap
melancarkan serangan terakhir yang mematikan.
"Sreet!"
Aryo Darmo menggerakkan tangannya mencabut sebilah keris bereluk tujuh dari
pinggangnya. Sinar jingga keluar dari badan senjata itu tanda benda tersebut bukan senjata
sembarangan.
"Kalau kau punya sepuluh keris, cabutlah sekaligus!" kata Nilamaharani mengejek.
Aryo Darmo mengertakkan rahang.
"Perempuan terkutuk! Matilah bersama kesombongan dan kebejatanmu!" teriak pemuda itu
lalu dengan cepat mengirimkan serangan ganas.
Sinar jingga berkiblat berputar-pubat bukan saja menyambar ke arah Nilamaharani tapi juga
sekaligus ke arah Nilamahadewi. Untuk daerah sekitar Muntilan, permainan keris Aryo Darmo
sudah terkenal hebat di samping ayahnya sendiri. Tapi hari itu kehebatannya tidak dipandang
sebelah matapun oleh kedua dara berbaju kuning itu. Bahkan dengan senyum mengejek mereka
maju mendekat lalu melesat di antara sambaran keris dan di lain kejap terdengarlah dua kali suara
bergedebuk yang dibarengi dengan jeritan Aryo Darmo.
Pemuda itu tersungkur di tanah. Tubuhnya bergerak-gerak beberapa kali lalu diam tak
berkutik lagi untuk selama-lamanya.
Nilamaharani menarik nafas lega.
"Apakah dua orang bujang-bujangnya yang ada di tepi telaga perlu kita bunuh pula, kakak?"
bertanya Nilamahadewi.
"Kurasa tak perlu. Mereka tak tahu apa-apa," jawab Nilamahadewi sambil memperhatikan
tubuh Aryo Darmo, pelipis kirinya rengkah sedang bahu kanannya hancur. "Pemuda tolol," desis
gadis itu. "Aku katakan padanya akan menyelamatkan dirinya dari kematian bila dia melakukan
apa yang aku mau. Tapi dia kabur dari kamar itu ...!"
Nilamahadewi tak berkata apa-apa. Dia tahu sekalipun putera Adipati itu menuruti kehendak
kakaknya, kelak dia tetap akan dibunuh juga. Akhirnya ketika dilihatnya kakaknya berlalu dari
situ diapun mengikuti,
berbahaya itu berhasil dielakkannya. Ketika dia berpaling satu serangan lagi melesat ke arahnya
dan untuk kedua kalinya berhasil dikelitnya.
"Manusia laknat! Tentunya kau juga sama terkutuknya dengan kakakmu!" bentak Aryo
Darmo.
Habis membentak begitu dengan tak kalah hebat dia mengirimkan serangan balasan berupa
satu tendangan ke uluhati lawannya yang bukan lain Nilamahadewi adanya!
Serangan maut itu dengan mudah dapat dielakkan oleh si dara yang kemudian melancarkan
serangan balasan yang amat berbahaya. Terlambat sedikit saja pastilah kepala Aryo Darmo akan
dihantam satu jotosan keras. Pemuda itu menjadi tercekat hatinya. Dari gerakan serangan serta
angin pukulan lawan dia tahu bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang lebih, bahkan jauh lebih
tinggi darinya. Pada dasarnya bukan hal itu yang membuat Aryo Darmo merasa takut dan ngeri.
Tapi apa yang diketahui dan yang telah dilihatnya beberapa saat yang lalulah membuat pemuda
ini kemudian tak mau lagi melayani Nilamahadewi, tapi terus memutar tubuh dan lari
meninggalkan tempat tersebut.
"Adikku jangan biarkan bangsat itu kabur!" terdengar teriakan Nilamaharani dari sibakan
semak belukar di mulut goa.
"Tentu saia kakakku!" sahut Nilamahadewi. Dengan mempergunakan ilmu lompat lihay'
yang bernama "katak sakti melompati gunung" maka tubuhnya melesat tinggi ke udara dan, di
lain saat sudah berada beberapa tombak di hadapan Aryo Darmo.
"Tubuh kasarmu boleh pergi, tapi nyawamu tinggalkan di sini," kata Nilamahadewi dengan
seringai buruk.
"Perempuan dajal! Kau kira aku takut padamu?" sentak Aryo Darmo. Tubuhnya berkelebat
melancarkan satu pukulan tangan kosong dari jarak delapan langkah. Sebelum pukulan tangan
kosong tersebut sampai, dia membuat satu lompatan sebat dan tahutahu tangan kirinya telah
menderu ke batok kepala Ni lamahadewi.
"Uh! Jurus "angin berhembus pintu menutup" yang begini buruk hendak kau andalkan?!"
kata Nilamahadewi dengan tertawa mongejek. Dan memang dengan amat mudah gadis itu
berhasil mengelakkan serangan yang dilancarkan Aryo Darmo. Penuh penasaran si pemuda
mengirimkan serangan susulan yang bernama "empat dewa murka". Serangan ini
mempergunakan kedua tangan dan kaki yang digerakkan susul menyusul dan kehebatannya
cukup membuat kagum karena tubuh Aryo Darmo dalam menyerang itu hanya tinggal bayang-
bayang saja.
"Jurus empat dewa murka!" seru Nilamaharani yang datang dari belakang dengan
mengeluarkan suara dari hidung. Sekali tangannya bergerak, serangkum angin menderu dahsyat.
Aryo Darmo terpaksa membatalkan setengah bagian terakhir dari serangannya sewaktu
dirasakannya hawa dingin meniup punggungnya. Dengan cepat dia melompat ke samping, tapi
masih kurang cepat. Pukulan lawan menyerempet bahu serta lengan kirinya. Aryo merasakan
bagian tubuhnya yang tersambar angin amat dingin itu menjadi kaku tegang tak bisa digerakkan
lagi sedang hawa dingin mencucuk menyembilu membuat gigi-giginya bergemeletakan!
"Celaka!", keluh pemuda itu dalam hati. Keringat dingin memercik dikeningnya. Kedua dara
berbaju kuning sementara itu hanya beberapa langkah saja di hadapannya dan sama-sama siap
melancarkan serangan terakhir yang mematikan.
"Sreet!"
Aryo Darmo menggerakkan tangannya mencabut sebilah keris bereluk tujuh dari
pinggangnya. Sinar jingga keluar dari badan senjata itu tanda benda tersebut bukan senjata
sembarangan.
"Kalau kau punya sepuluh keris, cabutlah sekaligus!" kata Nilamaharani mengejek.
Aryo Darmo mengertakkan rahang.
"Perempuan terkutuk! Matilah bersama kesombongan dan kebejatanmu!" teriak pemuda itu
lalu dengan cepat mengirimkan serangan ganas.
Sinar jingga berkiblat berputar-pubat bukan saja menyambar ke arah Nilamaharani tapi juga
sekaligus ke arah Nilamahadewi. Untuk daerah sekitar Muntilan, permainan keris Aryo Darmo
sudah terkenal hebat di samping ayahnya sendiri. Tapi hari itu kehebatannya tidak dipandang
sebelah matapun oleh kedua dara berbaju kuning itu. Bahkan dengan senyum mengejek mereka
maju mendekat lalu melesat di antara sambaran keris dan di lain kejap terdengarlah dua kali suara
bergedebuk yang dibarengi dengan jeritan Aryo Darmo.
Pemuda itu tersungkur di tanah. Tubuhnya bergerak-gerak beberapa kali lalu diam tak
berkutik lagi untuk selama-lamanya.
Nilamaharani menarik nafas lega.
"Apakah dua orang bujang-bujangnya yang ada di tepi telaga perlu kita bunuh pula, kakak?"
bertanya Nilamahadewi.
"Kurasa tak perlu. Mereka tak tahu apa-apa," jawab Nilamahadewi sambil memperhatikan
tubuh Aryo Darmo, pelipis kirinya rengkah sedang bahu kanannya hancur. "Pemuda tolol," desis
gadis itu. "Aku katakan padanya akan menyelamatkan dirinya dari kematian bila dia melakukan
apa yang aku mau. Tapi dia kabur dari kamar itu ...!"
Nilamahadewi tak berkata apa-apa. Dia tahu sekalipun putera Adipati itu menuruti kehendak
kakaknya, kelak dia tetap akan dibunuh juga. Akhirnya ketika dilihatnya kakaknya berlalu dari
situ diapun mengikuti,
***
Ketika mayat Aryo Darmo diusung oleh dua orang pembantunya memasuki halaman
Kadipaten Muntilan, saat itu Adipati Muntilah Jala Wisena tengah mengadakan pembicaraan
dengan beberapa orang Lurah. Tentu saja mereka terkejut bukan main melihat dua orang
pembantu Kadipaten muncul membawa usungan.
Jala Wisena yang di masa mudanya dikenal sebagai "Orang Gagah Dari Muntilan" berdiri
dari kursinya.
"Ada apa? Siapa yang kalian bawa ini?" tanya Adipati itu dan sebelum kedua pembantu
tersebut menjawab sudah disingkapkannya daun-daun pisang yang menutupi sosok tubuh di atas
usungan kayu.
"Anakku!" teriak Jala Wisena menggelegar keras sewaktu dilihatnya siapa yang menjadi
mayat dan menggeletak di atas usungan itu. Empat orang Lurah yang hadir di situ bagai terpaku
di tempat masing-masing karena terkejut dan ngeri melihat kepala putera Adipati mereka yang
rengkah bergelimang darah.
"Apa yang telah terjadi?! Lekas katakan apa yang terjadi?!" tanya Jala Wisena.
"Kami sendiri tidak tahu, Adipati", jawab salah seorang pembantu.
Marahlah Jala Wisena mendengar jawaban itu. "Tidak tahu bapak moyangmu! Anakku pergi
berburu bersama kalian!". Satu tamparan kemudian melayang kepipi pembantu itu membuat dia
hampir terjerongkang di lantai.
"Ayo kau! Lekas beri keterangan atau mau kehajar pula?!" bentak Jala Wisena pada
pembantu yang satu lagi.
"Benar Adipati, memang kami berdua mengantarkan Raden Aryo Darmo berburu ke hutan
Bintaran. Sesampainya di Telaga Intan Dewi kami berhenti dan pada waktu itu muncullah seekor
anak rusa. Raden Aryo menyuruh kami menunggu di tepi telaga sedang dia sendiri pergi
menangkap anak rusa itu. Karena lama ditunggu-tunggu dia tidak kunjung kembali kami jadi
kawatir lalu pergi mencarinya. Ketika kami temui dia, Raden Aryo terhantar di tanah dalam
keadaan sudah tak bernafas."
"Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan terkutuk begini rupa?!"
"Mungkin sekali dia telah dihadang perampok, Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Di sekitar Bintaran sama sekali tak pemah ada perampok, bahkan malingpun tidak!" jawab
Jala Wisena. Kemudian matanya tertuju pada jari manis tangan kanan anaknya. Di jari manis
pemuda itu masih kelihatan sebentuk cincin emas berbatu hijau. Ini satu pertanda bahwa Aryo
Darmo bukan dibunuh oleh perampok.
"Barangkali musuh lama yang membalaskan dendam kesumat," kata seorang Lurah pula.
"Boleh jadi," sahut Jala Wisena dengan mengeretakkan geraham-gerahamnya. "Tapi
seingatku anakku tak pemah punya musuh atau silang sengketa dengan lain orang." Kemudian
dia berpaling pada pembantu tadi dan berkata, "Antarkan aku ke tempat kau menemui mayatnya.
Aku akan selidiki apa yang sebenarnya telah . . . ".
Adipati Muntilan itu tak sempat meneruskan kata-katanya karena dari pintu ruangan dalam
terdengar jerit istrinya yang kemudian lari ke arah mayat puteranya yang masih menggeletak di
atas usungan. Ratap tangis istrinya membuat hati Adipati Muntilan ini laksana disayat-sayat dan
di lain pihak gelora amarahnya semakin membara. Sesudah jenazah anaknya dibawa masuk dan
istrinya dapat dipertenang maka bersama keempat orang Lurah dan diantar oleh seorang
pembantunya berangkatlah Adipati Jala Wisena menuju ke hutan Bintaran.
"Di sinilah saya menemukan mayat Raden Aryo, Adipati" kata pembantu Kadipaten bila-
mana mereka sampai di tempat yang dituju.
Adipati Jala Wisena memperhatikan keadaan di tempat itu. Noda-noda darah kelihatan jelas.
Semak-semak banyak yang rubuh tanda di situ telah terjadi perkelahian. Kemudian sepasang
mata Adipati Muntilan ini terbentur pada sebuah benda yang segera diambilnya. Benda itu adalah
keris milik puteranya. Sambil menimang-nimang senjata itu Adipati ini berpikir-pikir. Dia yakin
sekali kalau di situ telah terjadi perkelahian. Tapi antara anaknya dengan siapa? Perampok sudah
jelas bukan. Di samping itu dia tahu anaknya memiliki kepandaian yang cukup bisa diandalkan.
Jika dia kalah dalam perkelahian dan menemui kematian, nyatalah lawannya seorang yang
berilmu tinggi. Mungkin sekali daerah sekitar situ tempat kediamannya seorang sakti yang tak
mau tempatnya dikotori oleh orang luaran hingga akhirnya si orang sakti memergoki puteranya
dan membunuh pemuda itu.
Bersama kelima orang itu Adipati Jala Wisena kemudian menyelidiki daerah yang banyak
bukitbukitnya itu. Dia berhenti di satu tempat di mana, dengan jelas dilihatnya bekas-bekas tapak
kaki. Di tempat ini agaknya juga telah terjadi perkelahian. Dia memandang berkeliling dan tak
melihat hal-hal lain yang mencurigakan. Namun baik Adipati Jala Wisena maupun empat orang
Lurah serta pembantu Kadipaten itu, tak seorangpun yang menyadari kalau saat itu mereka
tengah menjadi incaran dua pasang mata yang tersembunyi di balik semak belukar lebat.
"Bagaimana pendapatmu?" tanya pemilik salah sepasang mata itu yang bukan lain adalah
Nilamahadewi adanya.
"Adipati tua ini tampangnya boleh juga. Tapi terlalu banyak orang begini pasti sia-sia. Atau
mungkin kau mau mencoba?"
"Kau pancinglah yang lain-lainnya. Aku sendiri nanti akan menipu Adipati itu,
membawanya ke goa masuk lewat jalan belakang".
Setelah berunding maka kedua gadis itupun masuk ke dalam goa kembali sementara di luar
sana Adipati Jala Wisena masih terus menyelidik tempat sekitar situ dengan seksama.
Sepeminum teh berlalu . . . .
"Kita selidiki tempat lain . . . ", kata Jala Wisena setengah putus asa.
Baru saja Adipati Muntilan itu bergerak hendak meninggalkan tempat itu bersama
rombongannya mendadak entah dari mana datangnya melesatlah sebuah benda putih di hadapan
mereka dan menyangsang di serumpunan semak belukar. Jala Wisena cepat mengambil benda itu
yang temyata adalah segulungan kertas. Ketika dibuka, di bagian dalam gulungan terdapat tulisan
yang berbunyi:
Kadipaten Muntilan, saat itu Adipati Muntilah Jala Wisena tengah mengadakan pembicaraan
dengan beberapa orang Lurah. Tentu saja mereka terkejut bukan main melihat dua orang
pembantu Kadipaten muncul membawa usungan.
Jala Wisena yang di masa mudanya dikenal sebagai "Orang Gagah Dari Muntilan" berdiri
dari kursinya.
"Ada apa? Siapa yang kalian bawa ini?" tanya Adipati itu dan sebelum kedua pembantu
tersebut menjawab sudah disingkapkannya daun-daun pisang yang menutupi sosok tubuh di atas
usungan kayu.
"Anakku!" teriak Jala Wisena menggelegar keras sewaktu dilihatnya siapa yang menjadi
mayat dan menggeletak di atas usungan itu. Empat orang Lurah yang hadir di situ bagai terpaku
di tempat masing-masing karena terkejut dan ngeri melihat kepala putera Adipati mereka yang
rengkah bergelimang darah.
"Apa yang telah terjadi?! Lekas katakan apa yang terjadi?!" tanya Jala Wisena.
"Kami sendiri tidak tahu, Adipati", jawab salah seorang pembantu.
Marahlah Jala Wisena mendengar jawaban itu. "Tidak tahu bapak moyangmu! Anakku pergi
berburu bersama kalian!". Satu tamparan kemudian melayang kepipi pembantu itu membuat dia
hampir terjerongkang di lantai.
"Ayo kau! Lekas beri keterangan atau mau kehajar pula?!" bentak Jala Wisena pada
pembantu yang satu lagi.
"Benar Adipati, memang kami berdua mengantarkan Raden Aryo Darmo berburu ke hutan
Bintaran. Sesampainya di Telaga Intan Dewi kami berhenti dan pada waktu itu muncullah seekor
anak rusa. Raden Aryo menyuruh kami menunggu di tepi telaga sedang dia sendiri pergi
menangkap anak rusa itu. Karena lama ditunggu-tunggu dia tidak kunjung kembali kami jadi
kawatir lalu pergi mencarinya. Ketika kami temui dia, Raden Aryo terhantar di tanah dalam
keadaan sudah tak bernafas."
"Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan terkutuk begini rupa?!"
"Mungkin sekali dia telah dihadang perampok, Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Di sekitar Bintaran sama sekali tak pemah ada perampok, bahkan malingpun tidak!" jawab
Jala Wisena. Kemudian matanya tertuju pada jari manis tangan kanan anaknya. Di jari manis
pemuda itu masih kelihatan sebentuk cincin emas berbatu hijau. Ini satu pertanda bahwa Aryo
Darmo bukan dibunuh oleh perampok.
"Barangkali musuh lama yang membalaskan dendam kesumat," kata seorang Lurah pula.
"Boleh jadi," sahut Jala Wisena dengan mengeretakkan geraham-gerahamnya. "Tapi
seingatku anakku tak pemah punya musuh atau silang sengketa dengan lain orang." Kemudian
dia berpaling pada pembantu tadi dan berkata, "Antarkan aku ke tempat kau menemui mayatnya.
Aku akan selidiki apa yang sebenarnya telah . . . ".
Adipati Muntilan itu tak sempat meneruskan kata-katanya karena dari pintu ruangan dalam
terdengar jerit istrinya yang kemudian lari ke arah mayat puteranya yang masih menggeletak di
atas usungan. Ratap tangis istrinya membuat hati Adipati Muntilan ini laksana disayat-sayat dan
di lain pihak gelora amarahnya semakin membara. Sesudah jenazah anaknya dibawa masuk dan
istrinya dapat dipertenang maka bersama keempat orang Lurah dan diantar oleh seorang
pembantunya berangkatlah Adipati Jala Wisena menuju ke hutan Bintaran.
"Di sinilah saya menemukan mayat Raden Aryo, Adipati" kata pembantu Kadipaten bila-
mana mereka sampai di tempat yang dituju.
Adipati Jala Wisena memperhatikan keadaan di tempat itu. Noda-noda darah kelihatan jelas.
Semak-semak banyak yang rubuh tanda di situ telah terjadi perkelahian. Kemudian sepasang
mata Adipati Muntilan ini terbentur pada sebuah benda yang segera diambilnya. Benda itu adalah
keris milik puteranya. Sambil menimang-nimang senjata itu Adipati ini berpikir-pikir. Dia yakin
sekali kalau di situ telah terjadi perkelahian. Tapi antara anaknya dengan siapa? Perampok sudah
jelas bukan. Di samping itu dia tahu anaknya memiliki kepandaian yang cukup bisa diandalkan.
Jika dia kalah dalam perkelahian dan menemui kematian, nyatalah lawannya seorang yang
berilmu tinggi. Mungkin sekali daerah sekitar situ tempat kediamannya seorang sakti yang tak
mau tempatnya dikotori oleh orang luaran hingga akhirnya si orang sakti memergoki puteranya
dan membunuh pemuda itu.
Bersama kelima orang itu Adipati Jala Wisena kemudian menyelidiki daerah yang banyak
bukitbukitnya itu. Dia berhenti di satu tempat di mana, dengan jelas dilihatnya bekas-bekas tapak
kaki. Di tempat ini agaknya juga telah terjadi perkelahian. Dia memandang berkeliling dan tak
melihat hal-hal lain yang mencurigakan. Namun baik Adipati Jala Wisena maupun empat orang
Lurah serta pembantu Kadipaten itu, tak seorangpun yang menyadari kalau saat itu mereka
tengah menjadi incaran dua pasang mata yang tersembunyi di balik semak belukar lebat.
"Bagaimana pendapatmu?" tanya pemilik salah sepasang mata itu yang bukan lain adalah
Nilamahadewi adanya.
"Adipati tua ini tampangnya boleh juga. Tapi terlalu banyak orang begini pasti sia-sia. Atau
mungkin kau mau mencoba?"
"Kau pancinglah yang lain-lainnya. Aku sendiri nanti akan menipu Adipati itu,
membawanya ke goa masuk lewat jalan belakang".
Setelah berunding maka kedua gadis itupun masuk ke dalam goa kembali sementara di luar
sana Adipati Jala Wisena masih terus menyelidik tempat sekitar situ dengan seksama.
Sepeminum teh berlalu . . . .
"Kita selidiki tempat lain . . . ", kata Jala Wisena setengah putus asa.
Baru saja Adipati Muntilan itu bergerak hendak meninggalkan tempat itu bersama
rombongannya mendadak entah dari mana datangnya melesatlah sebuah benda putih di hadapan
mereka dan menyangsang di serumpunan semak belukar. Jala Wisena cepat mengambil benda itu
yang temyata adalah segulungan kertas. Ketika dibuka, di bagian dalam gulungan terdapat tulisan
yang berbunyi:
"Kalau ingin tahu siapa pembunuh puteramu, suruhlah orang-orangmu ke Telaga Intan Dewi, Kau
sendiri harus pergi ke sebelah barat."
sendiri harus pergi ke sebelah barat."
Jala Wisena memperlihatkan surat itu pada keempat Lurah. Untuk beberapa lamanya mereka
saling berpandangan dan diam dalam jalan pikiran masing-masing.
"Kalau bukan seorang yang berilmu tinggi pasti tak bakal sanggup melemparkan gulungan
surat ini," kata Jala Wisena.
"Saya khawatir ini hanyalah tipuan belaka Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Mungkin," sahut Adipati Muntilan lalu berpikir sejenak. "tetapi mungkin pula petunjuk dari
seorang yang tak mau memperlihatkan diri." Dan setelah menimbang lebih dalam akhirnya laki-
laki itu memutuskan untuk mengikuti petunjuk dalam surat tersebut. Keempat Lurah itu beserta
pembantunya disuruhnya pergi ke jurusan telaga sedang dia sendiri menuju ke barat.
Menuju ke bagian barat berarti meninggalkan kaki-kaki bukit dan masuk kembali ke hutan
Bintaran sebelah timur. Daerah ini di selimuti kegelapan karena sinar matahari boleh dikatakan
tak dapat menembus lebatnya pohon-pohon dan semak belukar yang tumbuh di sana.
Belum jauh dia memasuki bagian hutan tersebut tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara teriakan
perempuan minta tolong. Cepat Jala Wisena menuju ke arah datangnya teriakan itu. Seorang dara
jelita berpakaian kuning dilihatnya terhampar di bawah sebatang pohon besar. Mukanya pucat
pasi dan membayangkan rasa takut yang amat sangat. Pakaian kuningnya tersingkap demikian
rupa hingga jelas kelihatan pahanya yang putih mulus.
"Gadis muda, apakah yang terjadi?", tanya Adipati Muntilan seraya memapah gadis itu
berdiri. Diam-diam dia amat mengagumi kejelitaan paras si gadis.
"Sa . . . satu makh . . . makhluk aneh hendak menyergapku," jawab gadis itu seraya bangun
dan membetulkan pakaiannya yang tersingkap.
"Bagaimana sampai kau tersesat ke dalam rimba belantara ini?"
"Aku . . . aku mengejar kupu-kupu ... aduh! Kakiku sakit sekali!". Gadis itu kelihatan
terhuyung-huyung hendak jatuh. Adipati Jala Wisena cepat menopangnya.
"Rumahmu jauhkah dari sini?".
"Tidak . . . tak berapa jauh. Tapi .... kakiku terkilir dan sakit sekali. Tak bisa berjalan. Oh ....
tolonglah!"
"Mari kuantarkan kau ke tempatmu", kata Jala Wisena lalu dipapahnya pinggang gadis itu
dan diajaknya berjalan. Tapi si gadis lagi-lagi mengeluh kesakitan.
"Aku tak bisa berjalan. Sakit sekali. Tolonglah dukung .... aaa."
Adipati dari Muntilan itu jadi serba salah. Tidak ditolong gadis itu kelihatannya menderita
sekali. Ditolongnya berarti dia harus mendukung tubuh gadis itu dan ini membuat hatinya
berdebar dan darah dalam tubuhnya mengalir lebih cepat dari biasanya.
"Aduh .... tolonglah," terdengar lagi gadis pakaian kuning itu mengeluh.
Akhirnya Jala Wisena tak bisa berbuat lain daripada mendukung si gadis dan membawanya
ke sebuah tempat di kaki bukit yang ditunjukkan.
"Melangkahlah ke pohon beringin itu," kata gadis baju kuning.
Jala Wisena melangkah ke pohon yang dimaksudkan.
"Tolong tarik akar gantung yang berdempetan di sebelah kanan."
Jala Wisena melakukan lagi apa yang dikatakan si gadis. Aneh! Begitu dua buah akar
gantung yang berdempetan ditariknya maka terdengar suara berderak dan batang pohon beringin
di hadapannya yang sebelah bawah kelihatan terbuka sebuah pintu. Si gadis menyuruhnya masuk.
Dengan heran dan penuh tidak mengerti Jala Wisena masuk ke dalam. Pintu di belakangnya
kemudian tertutup dengan sendirinya. Jala Wisena seorang yang banyak pengalaman dalam dunia
persilatan. Tak syak lagi dia bahwa gadis itu adalah murid seorang sakti yang diam di tempat
tersebut.
Jala Wisena menuruni sebuah tangga batu. Mereka sampai di satu pelataran yang luasnya
cuma satu kali satu meter dan di hadapan pelataran itu terdapat sebuah tangga yang menuju ke
sebuah pintu yang terbuka. Sinar terang menyeruak dari ruangan di belakang pintu tersebut.
"Itu tempatku," kata gadis yang didukungnya.
Jala Wisena menaiki anak tangga demi anak tangga dan akhirnya sampai diambang pintu
yang terbuka. Hampir tidak percaya laki-laki ini sewaktu melihat ruangan yang amat bagus di
hadapannya. Ruangan itu adalah sebuah kamar lengkap dengan pembaringan.
"Baringkan aku di tempat tidur itu," pinta si baju kuning.
Adipati Muntilan membaringkan gadis tersebut diatas tempat tidur.
"Terima kasih," kata gadis itu sambil melontarkan satu senyum yang mempesona.
"Gadis, kau ini siapakah sebenamya dan tinggal dengan siapa di sini?" tanya Adipati Jala
Wisena.
"Sebelum aku menjawab, sudilah kau yang telah menolongku memberi tahu siapa kau
adanya," kata gadis itu pula, padahal sesungguhnya dia sudah tahu betul siapa adanya Jala
Wisena.
"Aku Jala Wisena, Adipati Muntilan."
"Astaga!" si gadis kelihatan terkejut. "Aku telah berlaku lancang menyuruhmu seenaknya.
Tidak tahunya kau seorang berpangkat tinggi harapkan sudi memaafkan kelancanganku Adipati."
Jala Wisena tertawa kecil.
"Bagaimana Adipati sampai berada di hutan Bintaran?"
Jala Wisena tak segera menjawab. Akhirnya dia berkata juga, "Aku tengah mencari
seseorang."
"Siapa?"
"Pembunuh puteraku".
Bola mata gadis yang terlentang di tempat tidur itu membesar dan bertambah bagus
kelihatannya.
"Bau apakah ini?" tanya Jala Wisena sewaktul hidungnya dihambur bau harum semerbak.
Dia memandang berkeliling karena dirasakannya kamar itu bertambah suram dari sewaktu mula-
mula dia memasukinya. Pandangannya sampai pada sebuah lampu aneh yang terbuat dari kayu
yang ditancapkan ke dinding kamar.
"Duduklah di tepi tempat tidur ini, Adipati." Jala Wisesa memalingkan kepalanya. "Terima
kasih" katanya. "Aku harus pergi sekarang".
"Kenapa terburu-buru? Aku berjanji akan membantu mencari pembunuh puteramu. . . "
Karena sebelumnya yakin bahwa gadis itu adalah murid seorang sakti maka tentu dia dan
gurunya kenal baik seluk beluk daerah sekitar bebukitan di situ dan hutan Bintaran.
"Tadi kau katakan ada makhluk aneh yang hendak menyergapmu. Makhluk apa gerangan?"
"Tubuhnya tinggi besar, mukanya amat mengerikan karena ditumbuhi tanduk dan giginya
besat-besar merupakan taring. Ngeri sekali ... Tak mau aku mengingat-ingatnya Adipati. Kuharap
kau jangan bertanyakan tentang makhluk itu lagi ...."
"Kau tentu tak tinggal sendirian di sini ...."
"Betul, tapi sudah sejak lama guruku pergi bertapa dan sampai saat ini masih belum
kembali."
"Siapakah gurumu?" tanya Jala Wisena.
"Sayang aku dipesan untuk tidak memberitahukannya kepada siapapun," jawab gadis itu.
Dia menggerakkan tubuhnya sedikit dan pakaiannya di sebelah bawah tersingkap membuat
betis dan sebagian pahanya menyembul keluar.
"Sejak beliau pergi, aku sendirian di sini. Semuanya serba sepi, Adipati. Tak ada kawan
untuk penghibur hati.
Sementara itu Jala Wisena merasakan ada hawa aneh yang mengungkungi dirinya. Aliran
darahnya tidak seperti biasanya. Akhir diputuskannya untuk pergi dari situ.
"Sebelum aku pergi kuharap kau sudi memberi tahu namamu."
"Namaku Nilamahadewi…"
"Baiklah, sampai bertemu lagi Nila … "
"Tunggu, jangan pergi dulu!" ujar gadis itu seraya bangkit dan duduk di tepi tempat tidur.
"Aku harus menyuguhkan minuman untukmu."
"Ah, tak usah pakai segala macam peradatan Nila!"
"Tapi …" Nilamahadewi berdiri dengan terhuyung-huyung. .
"Kau mau ke mana, sebaiknya berbaring saja agar sakit kakimu lekas sembuh," kata Adipadi
Jala Wisena seraya hendak memegang bahu Nilamahadewi karena dilihatnya gadis itu hampir
jatuh terjerembab.
Namun sebelum tangannya memegang bahu itu tiba-tiba tangan si gadis menyelinap dalam
satu gerakan totokan yang lihay. Tak ampun lagi sekujur tubuh Jala Wisena menjadi kaku
tegang!
"Nila, apa-apaan ini?!" seru Jala Wisena.
Nila Mahadewi tertawa mengikik. Tangannya bergerak kembali dan untuk selanjutnya
Adipati itu tak bisa membuka suara lagi karena urat lehernya sudah kena ditotok! Dalam keadaan
tak berdaya Jala Wisena dibaringkan di atas tempat tidur. Sepasang mata Adipati Muntilan ini
membeliak besar sewaktu dilihat dan dirasakannya jari-jari tangan Nilamahadewi satu demi satu
membuka pakaian yang melekat ditubuhnya!
saling berpandangan dan diam dalam jalan pikiran masing-masing.
"Kalau bukan seorang yang berilmu tinggi pasti tak bakal sanggup melemparkan gulungan
surat ini," kata Jala Wisena.
"Saya khawatir ini hanyalah tipuan belaka Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Mungkin," sahut Adipati Muntilan lalu berpikir sejenak. "tetapi mungkin pula petunjuk dari
seorang yang tak mau memperlihatkan diri." Dan setelah menimbang lebih dalam akhirnya laki-
laki itu memutuskan untuk mengikuti petunjuk dalam surat tersebut. Keempat Lurah itu beserta
pembantunya disuruhnya pergi ke jurusan telaga sedang dia sendiri menuju ke barat.
Menuju ke bagian barat berarti meninggalkan kaki-kaki bukit dan masuk kembali ke hutan
Bintaran sebelah timur. Daerah ini di selimuti kegelapan karena sinar matahari boleh dikatakan
tak dapat menembus lebatnya pohon-pohon dan semak belukar yang tumbuh di sana.
Belum jauh dia memasuki bagian hutan tersebut tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara teriakan
perempuan minta tolong. Cepat Jala Wisena menuju ke arah datangnya teriakan itu. Seorang dara
jelita berpakaian kuning dilihatnya terhampar di bawah sebatang pohon besar. Mukanya pucat
pasi dan membayangkan rasa takut yang amat sangat. Pakaian kuningnya tersingkap demikian
rupa hingga jelas kelihatan pahanya yang putih mulus.
"Gadis muda, apakah yang terjadi?", tanya Adipati Muntilan seraya memapah gadis itu
berdiri. Diam-diam dia amat mengagumi kejelitaan paras si gadis.
"Sa . . . satu makh . . . makhluk aneh hendak menyergapku," jawab gadis itu seraya bangun
dan membetulkan pakaiannya yang tersingkap.
"Bagaimana sampai kau tersesat ke dalam rimba belantara ini?"
"Aku . . . aku mengejar kupu-kupu ... aduh! Kakiku sakit sekali!". Gadis itu kelihatan
terhuyung-huyung hendak jatuh. Adipati Jala Wisena cepat menopangnya.
"Rumahmu jauhkah dari sini?".
"Tidak . . . tak berapa jauh. Tapi .... kakiku terkilir dan sakit sekali. Tak bisa berjalan. Oh ....
tolonglah!"
"Mari kuantarkan kau ke tempatmu", kata Jala Wisena lalu dipapahnya pinggang gadis itu
dan diajaknya berjalan. Tapi si gadis lagi-lagi mengeluh kesakitan.
"Aku tak bisa berjalan. Sakit sekali. Tolonglah dukung .... aaa."
Adipati dari Muntilan itu jadi serba salah. Tidak ditolong gadis itu kelihatannya menderita
sekali. Ditolongnya berarti dia harus mendukung tubuh gadis itu dan ini membuat hatinya
berdebar dan darah dalam tubuhnya mengalir lebih cepat dari biasanya.
"Aduh .... tolonglah," terdengar lagi gadis pakaian kuning itu mengeluh.
Akhirnya Jala Wisena tak bisa berbuat lain daripada mendukung si gadis dan membawanya
ke sebuah tempat di kaki bukit yang ditunjukkan.
"Melangkahlah ke pohon beringin itu," kata gadis baju kuning.
Jala Wisena melangkah ke pohon yang dimaksudkan.
"Tolong tarik akar gantung yang berdempetan di sebelah kanan."
Jala Wisena melakukan lagi apa yang dikatakan si gadis. Aneh! Begitu dua buah akar
gantung yang berdempetan ditariknya maka terdengar suara berderak dan batang pohon beringin
di hadapannya yang sebelah bawah kelihatan terbuka sebuah pintu. Si gadis menyuruhnya masuk.
Dengan heran dan penuh tidak mengerti Jala Wisena masuk ke dalam. Pintu di belakangnya
kemudian tertutup dengan sendirinya. Jala Wisena seorang yang banyak pengalaman dalam dunia
persilatan. Tak syak lagi dia bahwa gadis itu adalah murid seorang sakti yang diam di tempat
tersebut.
Jala Wisena menuruni sebuah tangga batu. Mereka sampai di satu pelataran yang luasnya
cuma satu kali satu meter dan di hadapan pelataran itu terdapat sebuah tangga yang menuju ke
sebuah pintu yang terbuka. Sinar terang menyeruak dari ruangan di belakang pintu tersebut.
"Itu tempatku," kata gadis yang didukungnya.
Jala Wisena menaiki anak tangga demi anak tangga dan akhirnya sampai diambang pintu
yang terbuka. Hampir tidak percaya laki-laki ini sewaktu melihat ruangan yang amat bagus di
hadapannya. Ruangan itu adalah sebuah kamar lengkap dengan pembaringan.
"Baringkan aku di tempat tidur itu," pinta si baju kuning.
Adipati Muntilan membaringkan gadis tersebut diatas tempat tidur.
"Terima kasih," kata gadis itu sambil melontarkan satu senyum yang mempesona.
"Gadis, kau ini siapakah sebenamya dan tinggal dengan siapa di sini?" tanya Adipati Jala
Wisena.
"Sebelum aku menjawab, sudilah kau yang telah menolongku memberi tahu siapa kau
adanya," kata gadis itu pula, padahal sesungguhnya dia sudah tahu betul siapa adanya Jala
Wisena.
"Aku Jala Wisena, Adipati Muntilan."
"Astaga!" si gadis kelihatan terkejut. "Aku telah berlaku lancang menyuruhmu seenaknya.
Tidak tahunya kau seorang berpangkat tinggi harapkan sudi memaafkan kelancanganku Adipati."
Jala Wisena tertawa kecil.
"Bagaimana Adipati sampai berada di hutan Bintaran?"
Jala Wisena tak segera menjawab. Akhirnya dia berkata juga, "Aku tengah mencari
seseorang."
"Siapa?"
"Pembunuh puteraku".
Bola mata gadis yang terlentang di tempat tidur itu membesar dan bertambah bagus
kelihatannya.
"Bau apakah ini?" tanya Jala Wisena sewaktul hidungnya dihambur bau harum semerbak.
Dia memandang berkeliling karena dirasakannya kamar itu bertambah suram dari sewaktu mula-
mula dia memasukinya. Pandangannya sampai pada sebuah lampu aneh yang terbuat dari kayu
yang ditancapkan ke dinding kamar.
"Duduklah di tepi tempat tidur ini, Adipati." Jala Wisesa memalingkan kepalanya. "Terima
kasih" katanya. "Aku harus pergi sekarang".
"Kenapa terburu-buru? Aku berjanji akan membantu mencari pembunuh puteramu. . . "
Karena sebelumnya yakin bahwa gadis itu adalah murid seorang sakti maka tentu dia dan
gurunya kenal baik seluk beluk daerah sekitar bebukitan di situ dan hutan Bintaran.
"Tadi kau katakan ada makhluk aneh yang hendak menyergapmu. Makhluk apa gerangan?"
"Tubuhnya tinggi besar, mukanya amat mengerikan karena ditumbuhi tanduk dan giginya
besat-besar merupakan taring. Ngeri sekali ... Tak mau aku mengingat-ingatnya Adipati. Kuharap
kau jangan bertanyakan tentang makhluk itu lagi ...."
"Kau tentu tak tinggal sendirian di sini ...."
"Betul, tapi sudah sejak lama guruku pergi bertapa dan sampai saat ini masih belum
kembali."
"Siapakah gurumu?" tanya Jala Wisena.
"Sayang aku dipesan untuk tidak memberitahukannya kepada siapapun," jawab gadis itu.
Dia menggerakkan tubuhnya sedikit dan pakaiannya di sebelah bawah tersingkap membuat
betis dan sebagian pahanya menyembul keluar.
"Sejak beliau pergi, aku sendirian di sini. Semuanya serba sepi, Adipati. Tak ada kawan
untuk penghibur hati.
Sementara itu Jala Wisena merasakan ada hawa aneh yang mengungkungi dirinya. Aliran
darahnya tidak seperti biasanya. Akhir diputuskannya untuk pergi dari situ.
"Sebelum aku pergi kuharap kau sudi memberi tahu namamu."
"Namaku Nilamahadewi…"
"Baiklah, sampai bertemu lagi Nila … "
"Tunggu, jangan pergi dulu!" ujar gadis itu seraya bangkit dan duduk di tepi tempat tidur.
"Aku harus menyuguhkan minuman untukmu."
"Ah, tak usah pakai segala macam peradatan Nila!"
"Tapi …" Nilamahadewi berdiri dengan terhuyung-huyung. .
"Kau mau ke mana, sebaiknya berbaring saja agar sakit kakimu lekas sembuh," kata Adipadi
Jala Wisena seraya hendak memegang bahu Nilamahadewi karena dilihatnya gadis itu hampir
jatuh terjerembab.
Namun sebelum tangannya memegang bahu itu tiba-tiba tangan si gadis menyelinap dalam
satu gerakan totokan yang lihay. Tak ampun lagi sekujur tubuh Jala Wisena menjadi kaku
tegang!
"Nila, apa-apaan ini?!" seru Jala Wisena.
Nila Mahadewi tertawa mengikik. Tangannya bergerak kembali dan untuk selanjutnya
Adipati itu tak bisa membuka suara lagi karena urat lehernya sudah kena ditotok! Dalam keadaan
tak berdaya Jala Wisena dibaringkan di atas tempat tidur. Sepasang mata Adipati Muntilan ini
membeliak besar sewaktu dilihat dan dirasakannya jari-jari tangan Nilamahadewi satu demi satu
membuka pakaian yang melekat ditubuhnya!
***
Matahari telah condong ke barat. Empat orang Lurah dan seorang pembantu Kadipaten
Muntilan yang sejak tadi berada di tepi Telaga Puteri Intan Dewi mulai merasa gelisah.
"Jangan-jangan kita sudah kena tipu," kata salah seorang dari mereka.
"Bagaimana kalau kita kembali saja ke tempat tadi?" mengusulkan yang lain.
Akhirnya kelimanya meninggalkan telaga tersebut dan kembali ke tempat di mana mereka
telah berpisah dengan Adipati Jala Wisena. Tapi…
"Gusti Allah!" jerit salah seorang Lurah yang; berada di paling depan. Langkahnya terhenti,
demikian juga langkah yang lain-lainnya. Namun itu cuma seketika karena kelimanya kemudian
berhamburan ke hadapan tubuh Adipati Jala Wisena yang menggeletak di tanah tanpa pakaian
dengan muka hancur tak bernyawa lagi!
Muntilan yang sejak tadi berada di tepi Telaga Puteri Intan Dewi mulai merasa gelisah.
"Jangan-jangan kita sudah kena tipu," kata salah seorang dari mereka.
"Bagaimana kalau kita kembali saja ke tempat tadi?" mengusulkan yang lain.
Akhirnya kelimanya meninggalkan telaga tersebut dan kembali ke tempat di mana mereka
telah berpisah dengan Adipati Jala Wisena. Tapi…
"Gusti Allah!" jerit salah seorang Lurah yang; berada di paling depan. Langkahnya terhenti,
demikian juga langkah yang lain-lainnya. Namun itu cuma seketika karena kelimanya kemudian
berhamburan ke hadapan tubuh Adipati Jala Wisena yang menggeletak di tanah tanpa pakaian
dengan muka hancur tak bernyawa lagi!
***
4
4
DESA tembilangan merupakan satu desa yang subur makmur dan penduduknya hidup tenteram.
Hari itu boleh dikatakan seluruh penduduk bersenang hati karena nanti malam akan diadakan
pesta besar di rumah Kepala Desa yaitu pesta perkawinan anak laki-lakinya yang tertua dengan
seorang gadis desa yang berwajah ayu, berkulit hitam manis.
Di halamaw depan telah di bangun sebuah panggung untuk tempat pertunjukan wayang
golek. Hiburan semacarn ini jarang terjadi di desa itu. Karena itulah senang hati penduduk jadi
bertambah-tambah. Meskii pertunjukan itu beberapa jam lagi baru akan dimulai tapi telah banyak
orang—terutama anak-anak—yang berkumpul di sekitar panggung.
Kira-kira sepeminuman teh sesudah bedug magrib ditabuh orang maka kelihatanlah
penduduk desa Tembilangan dan desa-desa tetangga datang, berbondong-bondong menghadiri
pesta perkawinan itu. Tak ada seorang tamupun yang tak memuji kecantikan pengantin
perempuan. Dan tak ada seorang tamupun yang tidak merasa kagum akan kegagahan wajah
pengantin laki-laki. Seperti pinang dibelah dua, satu bulan satu matahari, demikianlah orang-
orang memberikan perumpamaan.
Sementara itu di atas panggung, ki dalang telah mulai menjalankan tugasnya. Malam itu
sengaja dipilihnya cerita pewayangan yang termasyhur yaitu cerita Bharatayuda. Semua orang
menonton dengan penuh perhatian.
Semakin larut malam, semakin asyik cerita yang dibawakan oleh ki dalang. Suasana tegang
terjadi sewaktu Werkudara atau yang dikenal dengan panggilan Bima yaitu salah seorang dari
lima bersaudara Pandawa, muncul ke tengah kancah perang saudara itu, berhadapan dengan
tokoh Kurawa yang tak asing lagi yakni Duryudana atau Suyudana.
"Yoy Suyudana! Ambillah gadamu. Mari kita bertempur!" kata Bima.
Suyudana menggereng. "Memang saat inilah yang aku tunggu-tunggu, Werkudara!"
Maka kedua orang itupun berhadap-hadapanlah dengan, masing-masing memegang sebuah
gada di tangan. Sebelum ki dalang melanjutkan kisah pewayangan yang penuh ketegangan itu
tiba-tiba berkelebatlah dua bayangan kuning di atas kepalanya yang dibarengi dengan ucapan
persis seperti yang diucapkan ki dalang tadi yaitu, "Memang saat inilah yang aku tunggu--
tunggu...!"
Tentu saja semua orang jadi terkejut. Ki dalang menghentikan penuturannya. Semua
memandang ke hadapan panggung di mana berdiri dua orang dara berbaju kuning yang parasnya
cantik sekali. Untuk sejenak lamanya suasana sunyi sepi. Sunyi sepi yang tidak enak.
"Ah, tamu-tamu dari manakah yang datang dengan menirukan ucapanku?" bertanya ki
dalang.
Salah seorang dara berpakaian kuning tertawa panjang sedang yang satu lagi beliakkan
matanya dan membentak. "Tutup mulutmu! Kami tak ada urusan dengan kau!"
Kebopamenang, Kepala Desa yang mengadakan pesta perkawinan berdiri dari kursinya dan
melangkah ke hadapan dara-dara jelita itu.
"Gadis-gadis cantik, siapa gerangan kalian? Mengapa datang dengan cara begini rupa?"
"Kebopamenang, kau kembalilah ke tempatmu! Kami tak punya urusan dengan kau!" si dara
yang di samping kanan menjawab.
Tentu saja ucapan itu membuat merah parasnya si kepala desa, apalagi dara itu tadi terang-
terangan menyebut namanya seenaknya saja padahal dia telah berusia lebih dari enam puluh!
"Ada urusan atau tidak nyatanya kau dan kawanmu telah mengganggu jalannya pesta
perkawinan ini," kata Kebopamenang pula.
"Oh, begitu."
"Ya! Dan karena aku juga merasa tak ada urusan dengan kalian berdua, kuharap kalian suka
angkat kaki dari sini!"
Kedua gadis itu tertawa panjang-panjang.
"Ketahuilah! Kami berdua utusan orang-orang Kurawa, datang ke sini untuk mengambil
pengantin laki-laki!"
"Jangan membanyol tak karuan di sini!" sentak Kebopamenang.
"Eh, siapa yang membanyol?!" ujar si dara yang di sebelah kiri.
"Dengar! Ini bukan perjamuannya orang-orang gila! Pergilah dari sini!"
"Mulutmu keliwat sembrono, Kebopamenang! Aku Nilamahadewi akan memberi sedikit
pelajaran padamu!"
Habis berkata begitu, entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu "plaak"! Sebuah tamparan
menghantam mulut si kepala desa hingga bibirnya pecah dan sebuah giginya tanggal!
"Gadis keparat!" teriak Kebopamenang marah bukan main. Tangan kanannya yang
membentuk tinju laksana kilat dipukulkan ke batok kepala Nilamahadewi.
"Tua bangka tolol! Pergilah ke atas panggung sana!" seru Nilamahadewi. Kedua tangannya
digerakkan ke muka. Begitu lengan si kepala desa berhasil ditangkapnya terus diputar dan sesaat
kemudian tubuh kepala desa itu benar-benar dilempar melayang ke atas panggung, melabrak
sebagian wayang-wayang golek lalu terus menubruk ki dalang hingga suasana di atas panggung
jadi hiruk centang perentang!
Semua orang kaget bukan main. Beberapa diantaranya ada yang maju ke muka untuk
memberi hajaran pada gadis-gadis yang berani berlaku kurang ajar itu. Tapi! Apa yang hendak
mereka lakukan itu tidak kesampaian. Sebaliknya mereka menjadi tambah kaget bukan main
karena saat itu kedua gadis berpakaian kuning tadi sudah tidak ada! Dan lebih lebih kaget lagi
karena pengantin laki-lakipun lenyap dari pelaminan sedang pengantin perempuan tampak
menjerit-jerit!
"Kalian mau bawa ke mana aku?!" tanya pemuda yang dilarikan itu. Tubuhnya berada di
atas bahu kiri Nilamaharani dan dalam keadaan tertotok. Namanya Mahesa Munggul. Dialah
pemuda yang menjadi menantu kepala desa Kebopamenang yang kini dilarikan oleh
Nilamaharani dan adiknya.
"Jangan kawatir, kau tak akan kehilangan masa pengantin barumu, Mahesa Munggul …"
"Aku tak kenal kau dari mana kau tahu namaku? Apa maksudmu melarikan diriku?!"
Nilamaharani tertawa.
"Kau tidak mengenal aku itu tidak perlu! Malam pengantin baru kelak bakal kau temui
bersamaku ...". Kembali Nilamaharani hendak tertawa tapi tak jadi karena adiknya memotong
dengan ilmu penyusupan suara,
"Kakakku! Jangan bicara terlalu ceroboh seperti itu!"
"Apa maksud malam pengantin baru bersamamu itu!" kembali Mahesa Munggul
mengajukan pertanyaan. Meskipun dirinya dipanggul oleh seorang dara jelita serta ucapan dara
itu bisa membuat hati seorang pemuda bergelora, tapi saat itu Mahesa Munggul merasa sangat
tidak enak.
"Sudahlah, kau jangan banyak tanya!" kata Nilamaharani pula.
Tak lama kemudian Mahesa Munggul melihat dirinya di bawa masuk menyeruak sebuah
semak belukar. Dia heran sekali karena sesudah itu ternyata dia memasuki sebuah ruangan yang
diterangi dengan sebuah pelita aneh. Belum habis rasa herannya itu dia sudah dibawa pula
memasuki satu kamar bagus dan dirinya dibaringkan di atas tempat tidur yang empuk.
Bau harum yang aneh dan merangsang menabur hidung pemuda itu. Dilihatnya api pelita di
dalam ruangan bertambah kecil sedang bau rarum yang merangsang makin bertambah-tambah.
"Lepaskan totokan di tubuhku," Mahesa Munggul berkata dengan suara keras. Dia merasa
heran kemana perginya dara baju kuning yang satu lagi.
Sebaiknya Nilamaharani melontarkan senyum memikat dan duduk di tepi tempat tidur. Di
pegangnya lengan pemuda itu dan berkata,
"Dengar Mahesa. Kalau kau bersikap menurut akan kuselamatkan jiwamu. Kalau kau keras
kepala…"
"Kau mau berbuat apa terhadapku?!"
"Ah, jangan bicara membentak begitu padaku, Mahesa…" kata Nilamaharani. Tiba-tiba
dibungkukkannya kepalanya. Bibirnya menyentuh bibir pemu,da itu.
Seorang pemuda sudah barang tentu tak akan menolak jika dicium oleh dara jelita seperti
Nilamaharani. Tapi di saat itu Mahesa Munggul merasakan satu keanehan yang mendirikan bulu
tengkuknya.
Nilamaharani tertawa kecil. Nafasnya jelas memburu dan memanasi wajah Mahesa
Munggul. Diciumnya lagi pemuda itu dengan penuh nafsu sedang tangannya merayap ke bawah
pinggang. Jika saja Mahesa Munggul saat itu tidak berada dalam keadaan ditotok mungkin dia
sudah melompat dari atas tempat tidur itu!
"Gadis hina dina! Lekas kau lepaskan totokankul" teriak Mahesa Munggul menggeledek.
Nilamaharani tertawa lagi, tertawa lagi dan tangannya menjalar semakin berani... semakin
berani hingga sekujur tubuh Mahesa Munggul menggeletar dilanda rangsangan yang tak pemah
dirasakannya sebelumnya. Ketika Nilamaharani melepaskan totokan di tubuhnya, pemuda ini
sudah lupa daratan den lupa segala apa yang dimarah dan dingerikannya. Dengan keberingasan
seorang pemuda yang ditelan nafsu birahi, ditariknya tubuh Nilamaharani ke atas tempat tidur,
Dipeluknya ketat-ketat laksana seekor ular menggelung hendak meramuk mangsanya. Gadis itu
tertawa dan menggeliat-liat. Sementara itu pelita kayu yang menancap di dinding detik demi
detik semakin kecil dan suram hingga akhirnya ruangan itu menjadi gelap. Hal ini tidak
terperhatikan lagi oleh Mahesa Munggul yang benaknya sudah tertutup nafsu.
Hari itu boleh dikatakan seluruh penduduk bersenang hati karena nanti malam akan diadakan
pesta besar di rumah Kepala Desa yaitu pesta perkawinan anak laki-lakinya yang tertua dengan
seorang gadis desa yang berwajah ayu, berkulit hitam manis.
Di halamaw depan telah di bangun sebuah panggung untuk tempat pertunjukan wayang
golek. Hiburan semacarn ini jarang terjadi di desa itu. Karena itulah senang hati penduduk jadi
bertambah-tambah. Meskii pertunjukan itu beberapa jam lagi baru akan dimulai tapi telah banyak
orang—terutama anak-anak—yang berkumpul di sekitar panggung.
Kira-kira sepeminuman teh sesudah bedug magrib ditabuh orang maka kelihatanlah
penduduk desa Tembilangan dan desa-desa tetangga datang, berbondong-bondong menghadiri
pesta perkawinan itu. Tak ada seorang tamupun yang tak memuji kecantikan pengantin
perempuan. Dan tak ada seorang tamupun yang tidak merasa kagum akan kegagahan wajah
pengantin laki-laki. Seperti pinang dibelah dua, satu bulan satu matahari, demikianlah orang-
orang memberikan perumpamaan.
Sementara itu di atas panggung, ki dalang telah mulai menjalankan tugasnya. Malam itu
sengaja dipilihnya cerita pewayangan yang termasyhur yaitu cerita Bharatayuda. Semua orang
menonton dengan penuh perhatian.
Semakin larut malam, semakin asyik cerita yang dibawakan oleh ki dalang. Suasana tegang
terjadi sewaktu Werkudara atau yang dikenal dengan panggilan Bima yaitu salah seorang dari
lima bersaudara Pandawa, muncul ke tengah kancah perang saudara itu, berhadapan dengan
tokoh Kurawa yang tak asing lagi yakni Duryudana atau Suyudana.
"Yoy Suyudana! Ambillah gadamu. Mari kita bertempur!" kata Bima.
Suyudana menggereng. "Memang saat inilah yang aku tunggu-tunggu, Werkudara!"
Maka kedua orang itupun berhadap-hadapanlah dengan, masing-masing memegang sebuah
gada di tangan. Sebelum ki dalang melanjutkan kisah pewayangan yang penuh ketegangan itu
tiba-tiba berkelebatlah dua bayangan kuning di atas kepalanya yang dibarengi dengan ucapan
persis seperti yang diucapkan ki dalang tadi yaitu, "Memang saat inilah yang aku tunggu--
tunggu...!"
Tentu saja semua orang jadi terkejut. Ki dalang menghentikan penuturannya. Semua
memandang ke hadapan panggung di mana berdiri dua orang dara berbaju kuning yang parasnya
cantik sekali. Untuk sejenak lamanya suasana sunyi sepi. Sunyi sepi yang tidak enak.
"Ah, tamu-tamu dari manakah yang datang dengan menirukan ucapanku?" bertanya ki
dalang.
Salah seorang dara berpakaian kuning tertawa panjang sedang yang satu lagi beliakkan
matanya dan membentak. "Tutup mulutmu! Kami tak ada urusan dengan kau!"
Kebopamenang, Kepala Desa yang mengadakan pesta perkawinan berdiri dari kursinya dan
melangkah ke hadapan dara-dara jelita itu.
"Gadis-gadis cantik, siapa gerangan kalian? Mengapa datang dengan cara begini rupa?"
"Kebopamenang, kau kembalilah ke tempatmu! Kami tak punya urusan dengan kau!" si dara
yang di samping kanan menjawab.
Tentu saja ucapan itu membuat merah parasnya si kepala desa, apalagi dara itu tadi terang-
terangan menyebut namanya seenaknya saja padahal dia telah berusia lebih dari enam puluh!
"Ada urusan atau tidak nyatanya kau dan kawanmu telah mengganggu jalannya pesta
perkawinan ini," kata Kebopamenang pula.
"Oh, begitu."
"Ya! Dan karena aku juga merasa tak ada urusan dengan kalian berdua, kuharap kalian suka
angkat kaki dari sini!"
Kedua gadis itu tertawa panjang-panjang.
"Ketahuilah! Kami berdua utusan orang-orang Kurawa, datang ke sini untuk mengambil
pengantin laki-laki!"
"Jangan membanyol tak karuan di sini!" sentak Kebopamenang.
"Eh, siapa yang membanyol?!" ujar si dara yang di sebelah kiri.
"Dengar! Ini bukan perjamuannya orang-orang gila! Pergilah dari sini!"
"Mulutmu keliwat sembrono, Kebopamenang! Aku Nilamahadewi akan memberi sedikit
pelajaran padamu!"
Habis berkata begitu, entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu "plaak"! Sebuah tamparan
menghantam mulut si kepala desa hingga bibirnya pecah dan sebuah giginya tanggal!
"Gadis keparat!" teriak Kebopamenang marah bukan main. Tangan kanannya yang
membentuk tinju laksana kilat dipukulkan ke batok kepala Nilamahadewi.
"Tua bangka tolol! Pergilah ke atas panggung sana!" seru Nilamahadewi. Kedua tangannya
digerakkan ke muka. Begitu lengan si kepala desa berhasil ditangkapnya terus diputar dan sesaat
kemudian tubuh kepala desa itu benar-benar dilempar melayang ke atas panggung, melabrak
sebagian wayang-wayang golek lalu terus menubruk ki dalang hingga suasana di atas panggung
jadi hiruk centang perentang!
Semua orang kaget bukan main. Beberapa diantaranya ada yang maju ke muka untuk
memberi hajaran pada gadis-gadis yang berani berlaku kurang ajar itu. Tapi! Apa yang hendak
mereka lakukan itu tidak kesampaian. Sebaliknya mereka menjadi tambah kaget bukan main
karena saat itu kedua gadis berpakaian kuning tadi sudah tidak ada! Dan lebih lebih kaget lagi
karena pengantin laki-lakipun lenyap dari pelaminan sedang pengantin perempuan tampak
menjerit-jerit!
"Kalian mau bawa ke mana aku?!" tanya pemuda yang dilarikan itu. Tubuhnya berada di
atas bahu kiri Nilamaharani dan dalam keadaan tertotok. Namanya Mahesa Munggul. Dialah
pemuda yang menjadi menantu kepala desa Kebopamenang yang kini dilarikan oleh
Nilamaharani dan adiknya.
"Jangan kawatir, kau tak akan kehilangan masa pengantin barumu, Mahesa Munggul …"
"Aku tak kenal kau dari mana kau tahu namaku? Apa maksudmu melarikan diriku?!"
Nilamaharani tertawa.
"Kau tidak mengenal aku itu tidak perlu! Malam pengantin baru kelak bakal kau temui
bersamaku ...". Kembali Nilamaharani hendak tertawa tapi tak jadi karena adiknya memotong
dengan ilmu penyusupan suara,
"Kakakku! Jangan bicara terlalu ceroboh seperti itu!"
"Apa maksud malam pengantin baru bersamamu itu!" kembali Mahesa Munggul
mengajukan pertanyaan. Meskipun dirinya dipanggul oleh seorang dara jelita serta ucapan dara
itu bisa membuat hati seorang pemuda bergelora, tapi saat itu Mahesa Munggul merasa sangat
tidak enak.
"Sudahlah, kau jangan banyak tanya!" kata Nilamaharani pula.
Tak lama kemudian Mahesa Munggul melihat dirinya di bawa masuk menyeruak sebuah
semak belukar. Dia heran sekali karena sesudah itu ternyata dia memasuki sebuah ruangan yang
diterangi dengan sebuah pelita aneh. Belum habis rasa herannya itu dia sudah dibawa pula
memasuki satu kamar bagus dan dirinya dibaringkan di atas tempat tidur yang empuk.
Bau harum yang aneh dan merangsang menabur hidung pemuda itu. Dilihatnya api pelita di
dalam ruangan bertambah kecil sedang bau rarum yang merangsang makin bertambah-tambah.
"Lepaskan totokan di tubuhku," Mahesa Munggul berkata dengan suara keras. Dia merasa
heran kemana perginya dara baju kuning yang satu lagi.
Sebaiknya Nilamaharani melontarkan senyum memikat dan duduk di tepi tempat tidur. Di
pegangnya lengan pemuda itu dan berkata,
"Dengar Mahesa. Kalau kau bersikap menurut akan kuselamatkan jiwamu. Kalau kau keras
kepala…"
"Kau mau berbuat apa terhadapku?!"
"Ah, jangan bicara membentak begitu padaku, Mahesa…" kata Nilamaharani. Tiba-tiba
dibungkukkannya kepalanya. Bibirnya menyentuh bibir pemu,da itu.
Seorang pemuda sudah barang tentu tak akan menolak jika dicium oleh dara jelita seperti
Nilamaharani. Tapi di saat itu Mahesa Munggul merasakan satu keanehan yang mendirikan bulu
tengkuknya.
Nilamaharani tertawa kecil. Nafasnya jelas memburu dan memanasi wajah Mahesa
Munggul. Diciumnya lagi pemuda itu dengan penuh nafsu sedang tangannya merayap ke bawah
pinggang. Jika saja Mahesa Munggul saat itu tidak berada dalam keadaan ditotok mungkin dia
sudah melompat dari atas tempat tidur itu!
"Gadis hina dina! Lekas kau lepaskan totokankul" teriak Mahesa Munggul menggeledek.
Nilamaharani tertawa lagi, tertawa lagi dan tangannya menjalar semakin berani... semakin
berani hingga sekujur tubuh Mahesa Munggul menggeletar dilanda rangsangan yang tak pemah
dirasakannya sebelumnya. Ketika Nilamaharani melepaskan totokan di tubuhnya, pemuda ini
sudah lupa daratan den lupa segala apa yang dimarah dan dingerikannya. Dengan keberingasan
seorang pemuda yang ditelan nafsu birahi, ditariknya tubuh Nilamaharani ke atas tempat tidur,
Dipeluknya ketat-ketat laksana seekor ular menggelung hendak meramuk mangsanya. Gadis itu
tertawa dan menggeliat-liat. Sementara itu pelita kayu yang menancap di dinding detik demi
detik semakin kecil dan suram hingga akhirnya ruangan itu menjadi gelap. Hal ini tidak
terperhatikan lagi oleh Mahesa Munggul yang benaknya sudah tertutup nafsu.
***
Sebuah gerobak barang yang memuat segala macam sayur mayur meluncur di jalan buruk
yang menuju ke desa Tembilangan. Saat itu pagi had. Udara sepanjang jalan terasa segar.
Gerobak itu dikemudikan oleh seorang laki-laki separuh baya. Di sampingnya duduk seorang
anak laki-laki empat belas tahun.
"Menurut ayah, apakah anak kepala desa yang jadi pengantin itu dilarikan oleh makhluk
jadi-jadian yang menyaru gadis cantik?"
"Aku tidak tahu, nak. Tapi apa yang terjadi ini benar-benar luar biasa. Sejak malam tadi
seluruh penduduk ikut membantu mencari Mahesa Munggul, dan sampai pagi ini pemuda itu
masih belum berhasil ditemukan…"
"Kemungkinan… jangan-jangan dia sudah dibunuh, ayah."
"Huss! Mulutmu enak saja bicara begitu!" kata ayah si anak.
Tapi baru saja dia berkata demikian tiba-tiba kuda penarik gerobak yang dikemudikannya
meringkik keras dan menaikkan kedua kaki depannya hingga gerobak sayur itu hampir saja
terbalik bersama isi-isinya.
Laki-laki perngemudi gerobak dan anaknya melompat dari atas gerobak. Di tengah jalan
beberapa langkah di hadapan mereka tergelimpangan sesosok tubuh laki-laki yang tidak
mengenakan pakaian barang selembar benangpun. Sekujur tubuhnya penuh dengan benjat benjut
bekas pukulan. Dengan langkah gemetar, pengemudi gerobak sayur itu mendekati sesosok tubuh
di tengah jalan itu. Meski sebagian besar muka orang yang terhantar di tengah jalan itu rusak
serta dilumuri darah tapi pengemudi gerobak masih bisa mengenali siapa dia adanya. Bahkan
anak laki-lakinya yang juga mengenali berteriak,
"Ay… ayah! Ini adalah Mahesa Munggul! Anak kepala desa kita!"
yang menuju ke desa Tembilangan. Saat itu pagi had. Udara sepanjang jalan terasa segar.
Gerobak itu dikemudikan oleh seorang laki-laki separuh baya. Di sampingnya duduk seorang
anak laki-laki empat belas tahun.
"Menurut ayah, apakah anak kepala desa yang jadi pengantin itu dilarikan oleh makhluk
jadi-jadian yang menyaru gadis cantik?"
"Aku tidak tahu, nak. Tapi apa yang terjadi ini benar-benar luar biasa. Sejak malam tadi
seluruh penduduk ikut membantu mencari Mahesa Munggul, dan sampai pagi ini pemuda itu
masih belum berhasil ditemukan…"
"Kemungkinan… jangan-jangan dia sudah dibunuh, ayah."
"Huss! Mulutmu enak saja bicara begitu!" kata ayah si anak.
Tapi baru saja dia berkata demikian tiba-tiba kuda penarik gerobak yang dikemudikannya
meringkik keras dan menaikkan kedua kaki depannya hingga gerobak sayur itu hampir saja
terbalik bersama isi-isinya.
Laki-laki perngemudi gerobak dan anaknya melompat dari atas gerobak. Di tengah jalan
beberapa langkah di hadapan mereka tergelimpangan sesosok tubuh laki-laki yang tidak
mengenakan pakaian barang selembar benangpun. Sekujur tubuhnya penuh dengan benjat benjut
bekas pukulan. Dengan langkah gemetar, pengemudi gerobak sayur itu mendekati sesosok tubuh
di tengah jalan itu. Meski sebagian besar muka orang yang terhantar di tengah jalan itu rusak
serta dilumuri darah tapi pengemudi gerobak masih bisa mengenali siapa dia adanya. Bahkan
anak laki-lakinya yang juga mengenali berteriak,
"Ay… ayah! Ini adalah Mahesa Munggul! Anak kepala desa kita!"
***
5
5
DI PUNCAK-PUNCAK dan lereng-lereng bukit sejak pagi tadi kelihatan berkelebat kian
kemari satu makhluk kuning. Dari jauh kelihatannya seperti seekor burung raksasa yang tengah
mencari-cari mangsa untuk pengisi perutnya. Tapi bila didekati temyata dia bukan lain seorang
manusia juga adanya yaitu seorang nenek-nenek berjubah kuning. Dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh serta ilmu larinya yang hebat dia berkelebat kian ke mari seolah-olah ada
sesuatu yang sedang diselidik dan dicarinya.
Dengan terbungkuk-bungkuk dia berdiri di puncak sebuah bukit yang paling tinggi lalu
memandang berkeliling.
"Heran," katanya dalam hati, "seluruh bukit bahkan sampai ke hutan Bintaran telah
kuselidik. Tapi di mana kedua murid murtad itu berada?"
Nenek-nenek ini memandang lagi berkeliling. Matanya yang hampir putih dan kabur itu
lebih tajam dari mata seekor burung elang. Tapi ketajaman yang dimilikinya kali ini tak berdaya
untuk menjalankan tugasnya.
Sampai rembang petang, bahkan sampai matahari tenggelam dan siang berganti malam,
nenek-nenek itu masih juga berkelebat kian ke mari. Namun akhirnya dia tahu apa yang
dilakukannya itu adalah sia-sia belaka. Maka dia kembali ke puncak bukit ang paling tinggi dan
duduk bersila disitu bersemedi.
Sewaktu bintang gumintang mulai bersembulan di angkasa raya, sewaktu rembulan tampak
memunculkan dirinya di langit biru maka dari puncak bukit yang paling tinggi itu terdengarlah
suara nyanyian yang menggema ke seluruh penjuru bahkan menyejak masuk ke dalam hutan
Bintaran membuat urung-burung hantu yang tadinya mengeluarkan suara yang menegakkan bulu
roma kini diam gelisah.
Seluruh bebukitan dan hutan belantara, seluruh epekatan malam serta siuran angin dingin,
telah dicengkam oleh suara nyanyian itu.
kemari satu makhluk kuning. Dari jauh kelihatannya seperti seekor burung raksasa yang tengah
mencari-cari mangsa untuk pengisi perutnya. Tapi bila didekati temyata dia bukan lain seorang
manusia juga adanya yaitu seorang nenek-nenek berjubah kuning. Dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh serta ilmu larinya yang hebat dia berkelebat kian ke mari seolah-olah ada
sesuatu yang sedang diselidik dan dicarinya.
Dengan terbungkuk-bungkuk dia berdiri di puncak sebuah bukit yang paling tinggi lalu
memandang berkeliling.
"Heran," katanya dalam hati, "seluruh bukit bahkan sampai ke hutan Bintaran telah
kuselidik. Tapi di mana kedua murid murtad itu berada?"
Nenek-nenek ini memandang lagi berkeliling. Matanya yang hampir putih dan kabur itu
lebih tajam dari mata seekor burung elang. Tapi ketajaman yang dimilikinya kali ini tak berdaya
untuk menjalankan tugasnya.
Sampai rembang petang, bahkan sampai matahari tenggelam dan siang berganti malam,
nenek-nenek itu masih juga berkelebat kian ke mari. Namun akhirnya dia tahu apa yang
dilakukannya itu adalah sia-sia belaka. Maka dia kembali ke puncak bukit ang paling tinggi dan
duduk bersila disitu bersemedi.
Sewaktu bintang gumintang mulai bersembulan di angkasa raya, sewaktu rembulan tampak
memunculkan dirinya di langit biru maka dari puncak bukit yang paling tinggi itu terdengarlah
suara nyanyian yang menggema ke seluruh penjuru bahkan menyejak masuk ke dalam hutan
Bintaran membuat urung-burung hantu yang tadinya mengeluarkan suara yang menegakkan bulu
roma kini diam gelisah.
Seluruh bebukitan dan hutan belantara, seluruh epekatan malam serta siuran angin dingin,
telah dicengkam oleh suara nyanyian itu.
Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita
Diam sebentar, terdengar suata helaan nafas panjang, lalu untuk kedua kalinya kembali
terdengar suara nyanyian itu.
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita
Diam sebentar, terdengar suata helaan nafas panjang, lalu untuk kedua kalinya kembali
terdengar suara nyanyian itu.
"Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita
Dari pagi sampai malam
Delapan penjuru sudah kuperiksa
Entah di mana mereka berada
Namun aku tak putus asa
Yang salah yang jahat dan kotor
Pasti akan musnah
Karena isi dunia ini punya Tuhan Yang Kuasa
Kalau kini belum bertemu
Kelak nanti akan kutemu
Kebenaran akan datang
Hukum akan jatuh
Namun masih ada satu jalan
Jika dua murid murtad datang minta ampun
Hukuman Tuhan pasti akan lebih ringan ...."
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita
Dari pagi sampai malam
Delapan penjuru sudah kuperiksa
Entah di mana mereka berada
Namun aku tak putus asa
Yang salah yang jahat dan kotor
Pasti akan musnah
Karena isi dunia ini punya Tuhan Yang Kuasa
Kalau kini belum bertemu
Kelak nanti akan kutemu
Kebenaran akan datang
Hukum akan jatuh
Namun masih ada satu jalan
Jika dua murid murtad datang minta ampun
Hukuman Tuhan pasti akan lebih ringan ...."
Demikianlah sampai larut malam suara nyanyian itu masih juga terus terdengar dari puncak
bukit diulang-ulang dari baris pertama sampai baris terakhir.
Menjelang dinihari, di sebuah tempat rahasia di salah satu bukit dua orang gadis berpakaian
kuning duduk saling pandang. Mereka adalah Milamaharani dan adiknya Nilamahadewi.
"Aku yakin suara nyanyian yang bergema sejak permulaan malam tadi adalah suara guru.
Bagaimana pendapatmu? Apa yang harus kita lakukan?" bertanya Nilamahadewi kepada
kakaknya.
Nilamaharani merenung sejenak. Lalu katanya:
"Kita tunggu saja. Lambat laun dia tentu akan letih sendiri dan pergi meninggalkan tempat
ini."
Sang adik menggeleng.
"Kita sama tahu sifat guru," katanya "sekali dia melakukan sesuatu sampai kapanpun tak
akan dihentikannya sebelum berhasil!".
"Dia tak tahu tempat rahasia kita ini."
"Tapi aku yakin sekali bahwa dia sudah mengetahui yang kita diami di daerah berbukit-bukit
ini. Sampai berapa lama kita bisa menunggu di sini? Sampai mati kelaparan karena kehabisan
makanan?".
Apa yang dikawatirkan oleh adiknya itu cukup disadari oleh Nilamaharani.
"Memang kita tak bisa bertahan selamanya di sini. Namun sekali kita keluar, dia pasti
melihat kita. Dan celakalah kita!"
Nilamahadewi tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" tanya kakaknya.
"Kata-kata yang kau ucapkan menunjukkan bahwa kau takut terhadapnya. Sekecil itukah
nyalimu?"
Paras Nilamaharani kelihatan menjadi merah. Dia berdiri dengan cepat.
"Sejak dilahirkan aku bukan bangsa manusia pengecut! Sekalipun ada sepuluh Ni Mindi
Julurkbalen di luar sana aku tidak takut! Mari keluar!"
Nilamahadewi memegang lengan kakaknya. "Jangan terburu kesusu, kakakku. Kita tunggu
sampai matahari terbit…
"Selagi di luar gelap siapa tahu kita bisa lolos," kata Nilamaharani pula.
"Ah, lagi-lagi kau menunjukkan kepengecutanmu!"
"Sudah diam! Baik aku akan turut ucapanmu!" bentak Nilamaharani.
Sementara itu di luar sana masih terdengar terus suara nyanyian. "Hidup sebatang kara ....
penuh sedih dan derita…
bukit diulang-ulang dari baris pertama sampai baris terakhir.
Menjelang dinihari, di sebuah tempat rahasia di salah satu bukit dua orang gadis berpakaian
kuning duduk saling pandang. Mereka adalah Milamaharani dan adiknya Nilamahadewi.
"Aku yakin suara nyanyian yang bergema sejak permulaan malam tadi adalah suara guru.
Bagaimana pendapatmu? Apa yang harus kita lakukan?" bertanya Nilamahadewi kepada
kakaknya.
Nilamaharani merenung sejenak. Lalu katanya:
"Kita tunggu saja. Lambat laun dia tentu akan letih sendiri dan pergi meninggalkan tempat
ini."
Sang adik menggeleng.
"Kita sama tahu sifat guru," katanya "sekali dia melakukan sesuatu sampai kapanpun tak
akan dihentikannya sebelum berhasil!".
"Dia tak tahu tempat rahasia kita ini."
"Tapi aku yakin sekali bahwa dia sudah mengetahui yang kita diami di daerah berbukit-bukit
ini. Sampai berapa lama kita bisa menunggu di sini? Sampai mati kelaparan karena kehabisan
makanan?".
Apa yang dikawatirkan oleh adiknya itu cukup disadari oleh Nilamaharani.
"Memang kita tak bisa bertahan selamanya di sini. Namun sekali kita keluar, dia pasti
melihat kita. Dan celakalah kita!"
Nilamahadewi tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" tanya kakaknya.
"Kata-kata yang kau ucapkan menunjukkan bahwa kau takut terhadapnya. Sekecil itukah
nyalimu?"
Paras Nilamaharani kelihatan menjadi merah. Dia berdiri dengan cepat.
"Sejak dilahirkan aku bukan bangsa manusia pengecut! Sekalipun ada sepuluh Ni Mindi
Julurkbalen di luar sana aku tidak takut! Mari keluar!"
Nilamahadewi memegang lengan kakaknya. "Jangan terburu kesusu, kakakku. Kita tunggu
sampai matahari terbit…
"Selagi di luar gelap siapa tahu kita bisa lolos," kata Nilamaharani pula.
"Ah, lagi-lagi kau menunjukkan kepengecutanmu!"
"Sudah diam! Baik aku akan turut ucapanmu!" bentak Nilamaharani.
Sementara itu di luar sana masih terdengar terus suara nyanyian. "Hidup sebatang kara ....
penuh sedih dan derita…
***
Sewaktu sang surya menyingsing di ufuk timur, dari puncak bukit yang paling tinggi di
daerah itu, nenek-nenek berjubah kuning yang telah menyanyi sepanjang malam, melihat dua
buah titik kuning d lereng sebuah bukit yang terletak jauh di sebelah barat.
"Nah . . . . nah . . . , nah .... Akhirnya dua murid murtad itu keluar juga dari persembunyian
mereka," berkata si nenek dalam hati. Kerut-kerut keriput diwajahnya kelihatan bertambah
banyak dua kali dari sebelumnya sedang sepasang matanya yang mengabur memantulkan sinar
aneh. Tanpa membuang tempo lagi nenek-nekek ini segera berdiri dan menggerakkan kedua
kakinya. Kelihatannya sepasang kakinya yang kurus kering itu cuma melangkah biasa. Tapi
hebatnya dalam waktu yang singkat dia sudah berada jauh dari puncak bukit di mana dia berada
sebelumnya.
Laksana seekor burung walet, nenek-nenek itu "terbang" ke jurusan terlihatnya dua titik
kuning tadi.
"Murid-murid murtad! Jangan kalian melarikan diri!" si nenek tiba-tiba berteriak. Hebat
sekali, suaranya menggema ke seantero bebukitan laksana suara guntur mendera daerah itu!
"Ni Mindi Jalurkbalen! Buka matamu lebar-lebar! Kami sama sekali tidak melarikan diri!"
Nenek-nenek yang bernama Ni Mindi Jalurkbalen membeliakkan matanya karena rasa kaget
yang tidak terperikan. Suara teriakan balasan itu tak kalah kerasnya dengan teriakannya tadi.
"Tenaga dalamnya sudah jauh pesat! Pantas dia bisa berbuat seenak waduknya," kata Ni
Mindi Jalurkbalen. Di samping itu dia menjadi marah sekali karena bekas muridnya itu berani-
beranian menyebut namanya secara kurang ajar! Dipercepatnya larinya. Di lain ketika pada
akhirnya Ni Mindi Jalurkbalen dan Nilamaharani serta Nilamahadewi saling bertemu dipuncak
sebuah bukit sementara sang surya sudah muncul keseluruhannya, menerangi jagat.
Untuk beberapa lamanya Ni Mindi Jalurkbalen berdiri dengan mulut menganga dan mata
membeliak. Kemudian terdengarlah kumandang suara tertawanya.
"Nah .... nah .... nah ! Sungguh lucu! Sungguh aneh! Sudah terbalikkah dunia ini? Atau iblis
menipu mataku?".
"Tua renta tak tahu diri! Hentikan tawamu!" sentak Nilamaharani.
"Kurang ajar! Berani kau membantah gurumu?!"
"Mengapa tidak? Dan kalau kau tak lekas angkat kaki dari sini jangan menyesal umurmu
cuma sampai hari ini!"
"Hem, begitu?! Jangan keliwat sombong murid-murid laknat! Tadinya masih kusediakan
sedikit pengampunan bagi kalian. Tapi setelah melihat kekurang ajaran dan kesombongan kalian
jangan harapkan belas kasihanku!"
"Siapa yang butuh belas kasihanmu?!", tukas Nilamahadewi.
Ni Mindi Jalurkbalen mengertakkan rahangnya. Untuk seketika pipinya yang kempot
kelihatan menggembung.
"Sebelum hukuman kujatuhkan, jawab dulu satu pertanyaanku!" berkata nenek-nenek itu.
"Kenapa kalian jadi seperti ini? Apakah kalian sudah gila?!"
"Betul!" jawab Nilamaharani. "Kami memang sudah pada gila. Demikian gilanya hingga
memutuskan bahwa nenek buruk macammu ini sebaiknya dilenyapkan saja dari muka bumi
karena merusak pemandangan!"
"Betul-betul murtad! Betul-betul murtad! Kalian mampuslah!", teriak Ni Mindi Jalurkbalen
lalu memukulkan kedua tangannya ke arah dua kakak beradik itu!
Dua gelombang sinar hijau menderu dahsyat!
daerah itu, nenek-nenek berjubah kuning yang telah menyanyi sepanjang malam, melihat dua
buah titik kuning d lereng sebuah bukit yang terletak jauh di sebelah barat.
"Nah . . . . nah . . . , nah .... Akhirnya dua murid murtad itu keluar juga dari persembunyian
mereka," berkata si nenek dalam hati. Kerut-kerut keriput diwajahnya kelihatan bertambah
banyak dua kali dari sebelumnya sedang sepasang matanya yang mengabur memantulkan sinar
aneh. Tanpa membuang tempo lagi nenek-nekek ini segera berdiri dan menggerakkan kedua
kakinya. Kelihatannya sepasang kakinya yang kurus kering itu cuma melangkah biasa. Tapi
hebatnya dalam waktu yang singkat dia sudah berada jauh dari puncak bukit di mana dia berada
sebelumnya.
Laksana seekor burung walet, nenek-nenek itu "terbang" ke jurusan terlihatnya dua titik
kuning tadi.
"Murid-murid murtad! Jangan kalian melarikan diri!" si nenek tiba-tiba berteriak. Hebat
sekali, suaranya menggema ke seantero bebukitan laksana suara guntur mendera daerah itu!
"Ni Mindi Jalurkbalen! Buka matamu lebar-lebar! Kami sama sekali tidak melarikan diri!"
Nenek-nenek yang bernama Ni Mindi Jalurkbalen membeliakkan matanya karena rasa kaget
yang tidak terperikan. Suara teriakan balasan itu tak kalah kerasnya dengan teriakannya tadi.
"Tenaga dalamnya sudah jauh pesat! Pantas dia bisa berbuat seenak waduknya," kata Ni
Mindi Jalurkbalen. Di samping itu dia menjadi marah sekali karena bekas muridnya itu berani-
beranian menyebut namanya secara kurang ajar! Dipercepatnya larinya. Di lain ketika pada
akhirnya Ni Mindi Jalurkbalen dan Nilamaharani serta Nilamahadewi saling bertemu dipuncak
sebuah bukit sementara sang surya sudah muncul keseluruhannya, menerangi jagat.
Untuk beberapa lamanya Ni Mindi Jalurkbalen berdiri dengan mulut menganga dan mata
membeliak. Kemudian terdengarlah kumandang suara tertawanya.
"Nah .... nah .... nah ! Sungguh lucu! Sungguh aneh! Sudah terbalikkah dunia ini? Atau iblis
menipu mataku?".
"Tua renta tak tahu diri! Hentikan tawamu!" sentak Nilamaharani.
"Kurang ajar! Berani kau membantah gurumu?!"
"Mengapa tidak? Dan kalau kau tak lekas angkat kaki dari sini jangan menyesal umurmu
cuma sampai hari ini!"
"Hem, begitu?! Jangan keliwat sombong murid-murid laknat! Tadinya masih kusediakan
sedikit pengampunan bagi kalian. Tapi setelah melihat kekurang ajaran dan kesombongan kalian
jangan harapkan belas kasihanku!"
"Siapa yang butuh belas kasihanmu?!", tukas Nilamahadewi.
Ni Mindi Jalurkbalen mengertakkan rahangnya. Untuk seketika pipinya yang kempot
kelihatan menggembung.
"Sebelum hukuman kujatuhkan, jawab dulu satu pertanyaanku!" berkata nenek-nenek itu.
"Kenapa kalian jadi seperti ini? Apakah kalian sudah gila?!"
"Betul!" jawab Nilamaharani. "Kami memang sudah pada gila. Demikian gilanya hingga
memutuskan bahwa nenek buruk macammu ini sebaiknya dilenyapkan saja dari muka bumi
karena merusak pemandangan!"
"Betul-betul murtad! Betul-betul murtad! Kalian mampuslah!", teriak Ni Mindi Jalurkbalen
lalu memukulkan kedua tangannya ke arah dua kakak beradik itu!
Dua gelombang sinar hijau menderu dahsyat!
***
6
6
PUKULAN yang dilepaskan Ni Mindi Jalurkbalen adalah pukulan "kelabang ijo" yang amat
berbahaya. Sekali salah satu bagian tubuh tersambar ilmu pukulan itu kontan sekujur badan akan
matang hijau dan orangnya akan mati detik itu juga. Jangankan manusia, satu batu karang yang
atospun akan hancur dilanda pukulan tersebut!
Dengan mengeluarkan suara tertawa mengejek seakan-akan mereka hanya menghadapi
seorang lawan bangsa kroco, Nilamaharani dan adiknya melompat ke samping lalu dengan cepat
mendorongkan tangan kanan masing-masing ke arah guru mereka!
Wuss!
Wuss!
Dua larik sinar hijau yang lebih pekat dan lebih keras menyambar si nenek.
Ni Mindi Jalurkbalen terkejut bukan main.
Jelas ilmu pukulan yang dilancarkan bekas kedua muridnya itu adalah ilmu pukulan
"kelabang ijo" juga yang dulu memang pernah diajarkannya kepada mereka. Tetapi mengapa
pukulan-pukulan kelabang ijo mereka luar biasa dahsyatnya padahal sewaktu melepaskan
pukulan kelabang ijo tadi Ni Mindi Jalurkbalen telah mengerahkan hampir tiga perempat tenaga
dalamnya!
"Kalau tidak mendapat gemblengan dari seorang sakti lainnya niscaya mereka tak bakal
dapat meyakini ilmu pukulan itu sedemikian luar biasa hebatnya," membatin Ni Mindi
Jalurkbalen.
Segera seluruh tenaga dalamnya dialirkan seluruhnya ke tangan hingga perbawa pukulan
kelabang hijaunya lebih dahsyat dari semula!
Sewaktu pukulan-pukulan kelabang ijo itu saling bentrokan, terdengarlah suara ledakan yang
amat dahsyat. Langit di atas mereka laksana mau runtuh, puncak bukit bergetar, liang telinga
masingmasing menjadi pengang untuk beberapa ketika lamanya.
Ni Mindi Jalurkbalen terhuyung satu langkah ke belakang sedang di depannya Nilamaharani
dan Nilamahadewi tertawa gelak-gelak.
"Begitulah jadinya kalau seorang nenek-nenek tua mau jual tampang memamerkan ilmu
pukulan kelabang ijo yang belum sempurna!", kata Nilamaharani menggejek.
Ni Mindi Jalurkbalen mengertakan rahangnya. Kalau saja geraham darn gigi-giginya masih
menumbuhi gusinya pastilah dari mulutnya saat itu keluar suara berkeretakan saking geramnya.
"Murid-murid murtad! Sekalipun kau punya sepuluh kepala seratus kesaktian, jangan kira
aku tak sanggup memusnahkan kalian!", teriak Ni Mindi Jalurkbalen. Lalu laksana seekor burung
walet dia melompat ke muka. Dua tangan terkembang ke samping. Perlu diketahui bahwa dalam
dunia persiatan nenek-nenek ini dikenal dengan julukan "Si Walet Sakti" karena jurus-jurus dan
gerakan silatnya kebanyakan hampir bersamaan dengan gerakan seekor burung walet.
"Jurus walet meminta jiwa yang hendak dipamerkan?!" ejek Nilamahadewi ketika melihat
gerakan yang dibuat gurunya itu.
"Ini bukan jurus apa-apa, murid murtad! Tapi jurus kematianmu! Nah, mampuslah!"
Tubuh Ni Mindi Jalurkbalen lenyap dari hadapan kedua gadis itu dan sesaat kemudian dua
buah kepalan laksana palu godam menderu ke arah batok kepala Nilamaharani dan
Nilamahadewi!
Dua kepala merunduk secepat kilat. Dua lengan berkelebat ke udara! Terdengarlah suara
beradunya lengan kiri kanan Ni Mindi Jalurkbalen dengan lengan murid-muridnya. Dan
terdengar pula keluhan pendek nenek-nenek itu sewaktu merasakan lengannya sakit bukan main.
Dia jungkir balik di udara. Sambil jungkir balik begitu Si Walet Sakti mengeruk jubah kuningnya
dan dikejap itu menderulah dua lusin benda kuning sebesar uang ringgit berbentuk bulan sabit,
menyerang kedua kakak beradik itu dari dua belas jurusan!
Selama malang melintang di dunia persilatan kalau bukan tokoh-tokoh lihay, jarang sekali
orang yang sanggup mengelit atau menangkis lemparan senjata rahasia itu. Namun hari ini untuk
kesekian kalinya Ni Mindi Jalurkbalen dibikin kaget karena dengan mengebutkan lengan-lengan
pakaiannya, kedua lawannya berhasil membuat mental duapuluh empat senjata rahasia yang amat
diandalkannya itu! Tergetarlah kini hati si nenek. Namun sudah barang tentu ia tak akan
meninggalkan tempat itu walau bagaimanapun juga.
"Ni Mindi Jalurkbalen," kata Nilamaharani dengan menyunggingkan senyum sinis, "Apakah
kau masih belum sadar bahwa kau betul-betul seorang nenek-nenek yang tak layak hidup lebih
lama di dunia ini?"
"Iblis dajal! Makan ini!" teriak Si Walet Sakti dengan amarah menggelegak.
Terdengar suara mendesing dan sebuah besi hitam yang ujungnya diganduli lima buah kaitan
sepanjang tiga jengkal melesat ke mulut Nilamaharani.
Yang diserang terkejut karena sebelumnya tak pernah mengetahui kalau gurunya memiliki
senjata dahsyat itu. Dengan satu gerakan aneh gadis ini membantingkan dirinya ke samping.
Tubuhnya menjungkir kepala ke bawah kaki ke atas dan salah satu kakinya dengan cepat
kemudian menendang batang besi tempat mencantelnya lima kaitan itu.
"Jurus iblis menendang rembulan!" seru Ni Mindi Jalurkbalen ketika dia melihat dan
mengenali gerakan yang dibuat Nilamaharani. Saking kagetnya dia sampai tak sempat lagi
menarik pulang senjatanya. Kalau saja senjata itu tidak dipegangnya dengan erat niscaya terlepas
sewaktu tendangan Nilamaharani menghantam batang besi dengan kerasnya, membuat batang
besi itu bengkok.
"Murid dajal! Jadi kalian telah menuntut pelajaran pada Iblis Penggoncang Bumi hah?!"
Nilamaharani tertawa tinggi, begitu juga adiknya.
"Nah . . . nah ... nah! Bagus! Pantas kelakuan kalian seperti dia selagi muda! Pantas kalian
jadi manusia-manusia binal terkutuk macam begini. Pantas kalian berubah menjadi…"
"Anjing tua! Tutup mulutmu!" bentak Nilamahadewi. Dia menjentikkan tangan kanannya
dan segulung angin padat sebesar kepalan, laksana sebuah batu melesat ke mulut Ni Mindi
Jalurkbalen, membuat nenek-nenek itu tak meneruskan ucapannya dan lekas-lekas melompat ke
samping.
"Kakakku!" kata Nilamahadewi. "Mari lekas kita lenyapkan tua renta sialan ini sebelum dia
bicara yang bukan-bukan."
Dua gadis itu berkelebat cepat dan menggempur Ni Mindi Jalurkbalen dengan serangan-
serangan beruntun yang amat cepatnya. Nenek-nenek yang telah berumur puluhan tahun itu
mulai merasakan tekanan kurungan yang berbahaya. Jurus demi jurus dirinya semakin terdesak.
"Celaka! Celaka diriku! Celaka dunia persilatan kalau aku tak behasil membunuh manusia-
manusia nista ini! Lebih baik aku mati bersama-sama mereka!" kata Ni Mindi Jalurkbalen. Saat
itu dia sudah bertempur hampir dua ratus jurus. Jubah kuningnya sudah banyak yang bobol robek
kena sambaran jari-jari atau jotosan lawan. Sekujur tubuhnya sakit, dua buah tulang iganya patah
sedang di lain pihak kedua lawannya kelihatan masih segar bugar!
"Sepasang Iblis Betina!" seru Ni Mindi Jalurkbalen menyebut nama julukan kedua muridnya
yang murtad itu. "Mari kita sama-sama ke neraka!"
Dari dalam saku jubahnya dikeluarkannya sebuah bola berwarrra kuning lalu secepat kilat
dibantingkannya ke tanah. Terdengar suara ledakan dan di saat itu seluruh puncak bukit tertutup
oleh asap kuning yang pekat!
"Dewi! Tutup jalan pemafasanmu dan lekas lari!" teriak Nilamaharani.
Kedua gadis itu menutup jalan pernafasannya lalu meninggalkan tempat itu dengan cepat. Di
belakang mereka terdengar suara tertawa Ni Mindi Jalurkbalen.
"Kalian mau lari ke mana? Tubuh kalian sudah kena asap wesi kuning! Jangan harap umur
kalian lebih panjang dari sepeminum tehl".
Ucapan itu ditutup dengan suara batuk-batuk si nenek. Benda yang dipecahkannya tadi
adalah sebuah bola kuning yang berisi racun wesi kuning yang amat jahat. Jangankan tercium,
sedikit saja kulit bersentuhan dengan racun yang meresap dalam asap tersebut, niscaya sekujur
kulit akan menjadi cacat dan orangnya akan menemui kematian dalam tempo sepeminuman teh
dengan keadaan tubuh yang mengerikan karena kulitnya mengelupas. Dengan mengeluarkan
senjata pembunuh yang dahsyat itu Ni Mini Jalurkbalen telah memutuskan untuk bunuh diri dan
sekaligus yakin bahwa kedua muridnya yang murtad tupun ikut menemui ajal. Namun sampai
matinya nenek-nenek yang bergelar Si Walet Sakti ini tidak nengetahui bahwa maksudnya itu
menemui kegagalan. Pengorbanannya sia-sia belaka!
Dengan mempergunakan ilmu lompatan "katak sakti melompati gunung", Nilamaharani dan
adiknya berhasil keluar dari kepungan asap beracun. Begitu keluar dari bahaya maut tersebut
mereka menyaksikan bagaimana pakaian yang mereka pakai robe krobek akibat asap beracun
sedang kulit mereka melepuh, mengelupas merah laksana binatang dikuliti dan sakitnya tidak
terperikan.
"Percepat larimu, Dewi!" seru Nilamaharani. "Kalau kita terlambat sampai ke goa celakalah
kita!"
"Obat pemusnah racun itu masih kau simpan di tempat dulu?" tanya Nilamahadewi.
Suaranya bergetar oleh kekawatiran dan karena menahan sakit yang menyelimuti sekujur
tubuhnya.
"Hem…" jawab Nilamaharani berguman. Meski ilmunya lebih tinggi satu tingkat dari
adiknya namun dia tidak sanggup menahan rasa sakit akibat racun wesi kuning.
Tak lama kemudian keduanya sampai di goa rahasia tempat kediaman mereka. Nilamaharani
masuk ke dalam kamar. Dengan kuku jarinya yang panjang runcing dicungkilnya batu mar-mar
pada dinding sebelah kanan kamar. Terlihatlah sebuah benda hitam berbentuk tombo! Gadis ini
menekan tombol itu dan sesaat kemudian dinding di samping, kiri terbuka secara aneh. Pada
celah yang terbuka itu kelihatanlah sebuah ruangan berkotak-kotak seperti sebuah lemari.
Semuanya ada tiga kotak. Pada kotak sebelah bawah terdapat setumpukan pakaian dan perhiasan,
kotak kedua berbagai macam senjata, sedang kotak teratas bersusun berbagai macam botol.
Nilamaharani berjingkat dan setelah meneliti susunan botol-botol yang ada di kotak teratas,
lalu di ambilnya dua buah botol. Botol pertama berisi cairan berwarna kuning muda, botol yang
satu lagi berisi cairan kuning tua dan kental.
Sementara itu tanpa di suruh Nilamahadewi telah menyiapkan empat gelas air putih.
Kakaknya kemudian menuangkan masing-masing tiga tetes cairan kuning muda ke dalam dua
buah gelas, lalu diaduk rata-rata dan diteguk sampai habis oleh kedua gadis itu. Rasa sakit yang
menyelubungi mereka dengan serta merta berangsur lenyap. Kini tinggal kulit tubuh yang masih
mengelupas merah mengerikan. Tiga tetes cairan kuning pekat kemudian dimasukkan ke dalam
dua buah gelas dan diaduk rata. Kedua gadis itu kemudian melangkah ke sudut kamar sebelah
kiri. Nilamaharani menginjak sebuah batu mar-mar di lantai dan di sampingnya terbukalah
sebuah lobang yang merupakan tangga menuju ke sebuah kolam yang bagus sekali. Dua gelas air
yang telah dicampur dengan obat kuning pekat dimasukkan ke dalam kolam. Kelihatanlah dua
gelungan asap membumbung ke langit-langit ruangan, baunya anyir.Tanpa menunggu lebih lama
dua kakak beradik itu menceburkan dirinya ke dalam gulungan asap kuning tersebut.
Beberapa saat kemudian asap kuning itupun sirna. Kini kelihatanlah kedua orang gadis itu
dalam keadaan basah kuyup. Tapi ajaib, sekujur kulit tubuh mereka yang tadi terkelupas merah
kini telah kembali seperti sediakala!
Mereka melompat dari dalam kolam.
"Untung sekali guru kita Iblis Penggoncang Bumi memberikan obat-obat itu tempo hari.
Kalau tidak tamatlah riwayat kita ...." kata Nilamahadewi.
"Jangan keburu berbesar hati!" potong kakaknya. "Kita masih belum keluar dari bahaya
maut! Kita harus bersemedi selama tiga hari untuk mengeluarkan sisa-sisa racun wesi kuning dari
paru-paru kita!"
Kedua gadis itu naik ke tingkat atas kembali. Setelah memasukkan botol-botol obat dan
menutup celah yang merupakan lemari itu, maka keduanya mencari tempat untuk mulai
bersemedi selama tiga hari. Begitulah dahsyatnya racun wesi kuning. Bagaimana dengan Ni
Mindi Jalurkbalen? Orang tua yang malang ini terpaksa meregang nyawa di puncak bukit tanpa
mengetahui bahwa pengorbanan yang dilakukannya adalah sia-sia belaka.
berbahaya. Sekali salah satu bagian tubuh tersambar ilmu pukulan itu kontan sekujur badan akan
matang hijau dan orangnya akan mati detik itu juga. Jangankan manusia, satu batu karang yang
atospun akan hancur dilanda pukulan tersebut!
Dengan mengeluarkan suara tertawa mengejek seakan-akan mereka hanya menghadapi
seorang lawan bangsa kroco, Nilamaharani dan adiknya melompat ke samping lalu dengan cepat
mendorongkan tangan kanan masing-masing ke arah guru mereka!
Wuss!
Wuss!
Dua larik sinar hijau yang lebih pekat dan lebih keras menyambar si nenek.
Ni Mindi Jalurkbalen terkejut bukan main.
Jelas ilmu pukulan yang dilancarkan bekas kedua muridnya itu adalah ilmu pukulan
"kelabang ijo" juga yang dulu memang pernah diajarkannya kepada mereka. Tetapi mengapa
pukulan-pukulan kelabang ijo mereka luar biasa dahsyatnya padahal sewaktu melepaskan
pukulan kelabang ijo tadi Ni Mindi Jalurkbalen telah mengerahkan hampir tiga perempat tenaga
dalamnya!
"Kalau tidak mendapat gemblengan dari seorang sakti lainnya niscaya mereka tak bakal
dapat meyakini ilmu pukulan itu sedemikian luar biasa hebatnya," membatin Ni Mindi
Jalurkbalen.
Segera seluruh tenaga dalamnya dialirkan seluruhnya ke tangan hingga perbawa pukulan
kelabang hijaunya lebih dahsyat dari semula!
Sewaktu pukulan-pukulan kelabang ijo itu saling bentrokan, terdengarlah suara ledakan yang
amat dahsyat. Langit di atas mereka laksana mau runtuh, puncak bukit bergetar, liang telinga
masingmasing menjadi pengang untuk beberapa ketika lamanya.
Ni Mindi Jalurkbalen terhuyung satu langkah ke belakang sedang di depannya Nilamaharani
dan Nilamahadewi tertawa gelak-gelak.
"Begitulah jadinya kalau seorang nenek-nenek tua mau jual tampang memamerkan ilmu
pukulan kelabang ijo yang belum sempurna!", kata Nilamaharani menggejek.
Ni Mindi Jalurkbalen mengertakan rahangnya. Kalau saja geraham darn gigi-giginya masih
menumbuhi gusinya pastilah dari mulutnya saat itu keluar suara berkeretakan saking geramnya.
"Murid-murid murtad! Sekalipun kau punya sepuluh kepala seratus kesaktian, jangan kira
aku tak sanggup memusnahkan kalian!", teriak Ni Mindi Jalurkbalen. Lalu laksana seekor burung
walet dia melompat ke muka. Dua tangan terkembang ke samping. Perlu diketahui bahwa dalam
dunia persiatan nenek-nenek ini dikenal dengan julukan "Si Walet Sakti" karena jurus-jurus dan
gerakan silatnya kebanyakan hampir bersamaan dengan gerakan seekor burung walet.
"Jurus walet meminta jiwa yang hendak dipamerkan?!" ejek Nilamahadewi ketika melihat
gerakan yang dibuat gurunya itu.
"Ini bukan jurus apa-apa, murid murtad! Tapi jurus kematianmu! Nah, mampuslah!"
Tubuh Ni Mindi Jalurkbalen lenyap dari hadapan kedua gadis itu dan sesaat kemudian dua
buah kepalan laksana palu godam menderu ke arah batok kepala Nilamaharani dan
Nilamahadewi!
Dua kepala merunduk secepat kilat. Dua lengan berkelebat ke udara! Terdengarlah suara
beradunya lengan kiri kanan Ni Mindi Jalurkbalen dengan lengan murid-muridnya. Dan
terdengar pula keluhan pendek nenek-nenek itu sewaktu merasakan lengannya sakit bukan main.
Dia jungkir balik di udara. Sambil jungkir balik begitu Si Walet Sakti mengeruk jubah kuningnya
dan dikejap itu menderulah dua lusin benda kuning sebesar uang ringgit berbentuk bulan sabit,
menyerang kedua kakak beradik itu dari dua belas jurusan!
Selama malang melintang di dunia persilatan kalau bukan tokoh-tokoh lihay, jarang sekali
orang yang sanggup mengelit atau menangkis lemparan senjata rahasia itu. Namun hari ini untuk
kesekian kalinya Ni Mindi Jalurkbalen dibikin kaget karena dengan mengebutkan lengan-lengan
pakaiannya, kedua lawannya berhasil membuat mental duapuluh empat senjata rahasia yang amat
diandalkannya itu! Tergetarlah kini hati si nenek. Namun sudah barang tentu ia tak akan
meninggalkan tempat itu walau bagaimanapun juga.
"Ni Mindi Jalurkbalen," kata Nilamaharani dengan menyunggingkan senyum sinis, "Apakah
kau masih belum sadar bahwa kau betul-betul seorang nenek-nenek yang tak layak hidup lebih
lama di dunia ini?"
"Iblis dajal! Makan ini!" teriak Si Walet Sakti dengan amarah menggelegak.
Terdengar suara mendesing dan sebuah besi hitam yang ujungnya diganduli lima buah kaitan
sepanjang tiga jengkal melesat ke mulut Nilamaharani.
Yang diserang terkejut karena sebelumnya tak pernah mengetahui kalau gurunya memiliki
senjata dahsyat itu. Dengan satu gerakan aneh gadis ini membantingkan dirinya ke samping.
Tubuhnya menjungkir kepala ke bawah kaki ke atas dan salah satu kakinya dengan cepat
kemudian menendang batang besi tempat mencantelnya lima kaitan itu.
"Jurus iblis menendang rembulan!" seru Ni Mindi Jalurkbalen ketika dia melihat dan
mengenali gerakan yang dibuat Nilamaharani. Saking kagetnya dia sampai tak sempat lagi
menarik pulang senjatanya. Kalau saja senjata itu tidak dipegangnya dengan erat niscaya terlepas
sewaktu tendangan Nilamaharani menghantam batang besi dengan kerasnya, membuat batang
besi itu bengkok.
"Murid dajal! Jadi kalian telah menuntut pelajaran pada Iblis Penggoncang Bumi hah?!"
Nilamaharani tertawa tinggi, begitu juga adiknya.
"Nah . . . nah ... nah! Bagus! Pantas kelakuan kalian seperti dia selagi muda! Pantas kalian
jadi manusia-manusia binal terkutuk macam begini. Pantas kalian berubah menjadi…"
"Anjing tua! Tutup mulutmu!" bentak Nilamahadewi. Dia menjentikkan tangan kanannya
dan segulung angin padat sebesar kepalan, laksana sebuah batu melesat ke mulut Ni Mindi
Jalurkbalen, membuat nenek-nenek itu tak meneruskan ucapannya dan lekas-lekas melompat ke
samping.
"Kakakku!" kata Nilamahadewi. "Mari lekas kita lenyapkan tua renta sialan ini sebelum dia
bicara yang bukan-bukan."
Dua gadis itu berkelebat cepat dan menggempur Ni Mindi Jalurkbalen dengan serangan-
serangan beruntun yang amat cepatnya. Nenek-nenek yang telah berumur puluhan tahun itu
mulai merasakan tekanan kurungan yang berbahaya. Jurus demi jurus dirinya semakin terdesak.
"Celaka! Celaka diriku! Celaka dunia persilatan kalau aku tak behasil membunuh manusia-
manusia nista ini! Lebih baik aku mati bersama-sama mereka!" kata Ni Mindi Jalurkbalen. Saat
itu dia sudah bertempur hampir dua ratus jurus. Jubah kuningnya sudah banyak yang bobol robek
kena sambaran jari-jari atau jotosan lawan. Sekujur tubuhnya sakit, dua buah tulang iganya patah
sedang di lain pihak kedua lawannya kelihatan masih segar bugar!
"Sepasang Iblis Betina!" seru Ni Mindi Jalurkbalen menyebut nama julukan kedua muridnya
yang murtad itu. "Mari kita sama-sama ke neraka!"
Dari dalam saku jubahnya dikeluarkannya sebuah bola berwarrra kuning lalu secepat kilat
dibantingkannya ke tanah. Terdengar suara ledakan dan di saat itu seluruh puncak bukit tertutup
oleh asap kuning yang pekat!
"Dewi! Tutup jalan pemafasanmu dan lekas lari!" teriak Nilamaharani.
Kedua gadis itu menutup jalan pernafasannya lalu meninggalkan tempat itu dengan cepat. Di
belakang mereka terdengar suara tertawa Ni Mindi Jalurkbalen.
"Kalian mau lari ke mana? Tubuh kalian sudah kena asap wesi kuning! Jangan harap umur
kalian lebih panjang dari sepeminum tehl".
Ucapan itu ditutup dengan suara batuk-batuk si nenek. Benda yang dipecahkannya tadi
adalah sebuah bola kuning yang berisi racun wesi kuning yang amat jahat. Jangankan tercium,
sedikit saja kulit bersentuhan dengan racun yang meresap dalam asap tersebut, niscaya sekujur
kulit akan menjadi cacat dan orangnya akan menemui kematian dalam tempo sepeminuman teh
dengan keadaan tubuh yang mengerikan karena kulitnya mengelupas. Dengan mengeluarkan
senjata pembunuh yang dahsyat itu Ni Mini Jalurkbalen telah memutuskan untuk bunuh diri dan
sekaligus yakin bahwa kedua muridnya yang murtad tupun ikut menemui ajal. Namun sampai
matinya nenek-nenek yang bergelar Si Walet Sakti ini tidak nengetahui bahwa maksudnya itu
menemui kegagalan. Pengorbanannya sia-sia belaka!
Dengan mempergunakan ilmu lompatan "katak sakti melompati gunung", Nilamaharani dan
adiknya berhasil keluar dari kepungan asap beracun. Begitu keluar dari bahaya maut tersebut
mereka menyaksikan bagaimana pakaian yang mereka pakai robe krobek akibat asap beracun
sedang kulit mereka melepuh, mengelupas merah laksana binatang dikuliti dan sakitnya tidak
terperikan.
"Percepat larimu, Dewi!" seru Nilamaharani. "Kalau kita terlambat sampai ke goa celakalah
kita!"
"Obat pemusnah racun itu masih kau simpan di tempat dulu?" tanya Nilamahadewi.
Suaranya bergetar oleh kekawatiran dan karena menahan sakit yang menyelimuti sekujur
tubuhnya.
"Hem…" jawab Nilamaharani berguman. Meski ilmunya lebih tinggi satu tingkat dari
adiknya namun dia tidak sanggup menahan rasa sakit akibat racun wesi kuning.
Tak lama kemudian keduanya sampai di goa rahasia tempat kediaman mereka. Nilamaharani
masuk ke dalam kamar. Dengan kuku jarinya yang panjang runcing dicungkilnya batu mar-mar
pada dinding sebelah kanan kamar. Terlihatlah sebuah benda hitam berbentuk tombo! Gadis ini
menekan tombol itu dan sesaat kemudian dinding di samping, kiri terbuka secara aneh. Pada
celah yang terbuka itu kelihatanlah sebuah ruangan berkotak-kotak seperti sebuah lemari.
Semuanya ada tiga kotak. Pada kotak sebelah bawah terdapat setumpukan pakaian dan perhiasan,
kotak kedua berbagai macam senjata, sedang kotak teratas bersusun berbagai macam botol.
Nilamaharani berjingkat dan setelah meneliti susunan botol-botol yang ada di kotak teratas,
lalu di ambilnya dua buah botol. Botol pertama berisi cairan berwarna kuning muda, botol yang
satu lagi berisi cairan kuning tua dan kental.
Sementara itu tanpa di suruh Nilamahadewi telah menyiapkan empat gelas air putih.
Kakaknya kemudian menuangkan masing-masing tiga tetes cairan kuning muda ke dalam dua
buah gelas, lalu diaduk rata-rata dan diteguk sampai habis oleh kedua gadis itu. Rasa sakit yang
menyelubungi mereka dengan serta merta berangsur lenyap. Kini tinggal kulit tubuh yang masih
mengelupas merah mengerikan. Tiga tetes cairan kuning pekat kemudian dimasukkan ke dalam
dua buah gelas dan diaduk rata. Kedua gadis itu kemudian melangkah ke sudut kamar sebelah
kiri. Nilamaharani menginjak sebuah batu mar-mar di lantai dan di sampingnya terbukalah
sebuah lobang yang merupakan tangga menuju ke sebuah kolam yang bagus sekali. Dua gelas air
yang telah dicampur dengan obat kuning pekat dimasukkan ke dalam kolam. Kelihatanlah dua
gelungan asap membumbung ke langit-langit ruangan, baunya anyir.Tanpa menunggu lebih lama
dua kakak beradik itu menceburkan dirinya ke dalam gulungan asap kuning tersebut.
Beberapa saat kemudian asap kuning itupun sirna. Kini kelihatanlah kedua orang gadis itu
dalam keadaan basah kuyup. Tapi ajaib, sekujur kulit tubuh mereka yang tadi terkelupas merah
kini telah kembali seperti sediakala!
Mereka melompat dari dalam kolam.
"Untung sekali guru kita Iblis Penggoncang Bumi memberikan obat-obat itu tempo hari.
Kalau tidak tamatlah riwayat kita ...." kata Nilamahadewi.
"Jangan keburu berbesar hati!" potong kakaknya. "Kita masih belum keluar dari bahaya
maut! Kita harus bersemedi selama tiga hari untuk mengeluarkan sisa-sisa racun wesi kuning dari
paru-paru kita!"
Kedua gadis itu naik ke tingkat atas kembali. Setelah memasukkan botol-botol obat dan
menutup celah yang merupakan lemari itu, maka keduanya mencari tempat untuk mulai
bersemedi selama tiga hari. Begitulah dahsyatnya racun wesi kuning. Bagaimana dengan Ni
Mindi Jalurkbalen? Orang tua yang malang ini terpaksa meregang nyawa di puncak bukit tanpa
mengetahui bahwa pengorbanan yang dilakukannya adalah sia-sia belaka.
***
7
DI MALAM yang gelap gulita tanpa bintang tanpa rembulan, hanya angin malam yang bertiup
menyilir dingin, kelihatan satu sosok bayangan hitam berkelebat gesit di luar tembok kota-raja.
Dia sampai di tembok sebelah tenggara. Tanpa suara dan tanpa diketahui oleh lima orang
pengawal yang ada di situ, sosok tubuh itu melompat ke atas tembok yang tingginya enam
tombak, dari situ terus melompat turun memasuki kotaraja, melompat dari satu pohon ke lain
pohon, dari satu atap rumah ke lain atap rumah sampai akhirnya tak lama kemudian dia sudah
berada di wuwungan Istana!
Siapakah manusia yang demikian hebat ilmu mengentengi tubuhnya hingga sanggup
melompat di atas atap dan dari pohon ke pohon begitu rupa? Untuk menjawab pertanyaan itu kita
harus kembali pada tiga hari sebelumnya.. . .
Di sebuah kampung kecil bernama Sukablabak yang terletak setengah hari perjalanan dari
Muntilan, pada tengah malam yang kelam pekat, dalam sebuah pondok berdinding kayang
beratap rumbia duduklah seorang laki-laki bertubuh kecil, bermuka cekung. Dia memelihara
kumis yang tebal melintang berkeluk ke atas. Demikian tebalnya dia punya kumis hingga amat
tidak pantas dibandingkan dengan mukanya yang kecil cekung. Sepasang matanya yang besar
senantiasa tak bisa diam, berputar-putar ke segenap , penjuru pondok. Jelas ini menandakan rasa
ketidaksabaran menyamaki dirinya.
"Ini sudah lewat tengah malam, Pandemang. Kenapa dia masih belum muncul?" laki-laki
berkumis melintang itu bertanya pada seorang yang bertubuh tinggi besar di sampingnya
bertampang keras kasar. Di pinggangnya kiri kanan tersisip masing-masing sebilah golok empat
persegi besar macam golok pejagal temak. Rambutnya gondrong, memelihara kumis serta
berewok.
"Mungkin dia mendapat halangan, Pangeran," jawab orang bertubuh tinggi besar bernama
Pandemang. "Tapi percayalah, dia pasti datang menepati janjinya. Bukankah kita sudah
memberikan uang serta perhiasan banyak padanya?"
"Bukan kita, tapi aku!" tukas si kumis melintang yang dipanggilkan Pangeran itu.
"Ya, aku," kata Pandemang pula.
"Aku, aku, bukan aku kau!" berkata lagi Pangeran itu.
"Ya, maksud hamba Pangeran," kata Pandemang. Hatinya kesal. Tapi dia sudah tahu dan
terbiasa dengan sifat sang Pangeran yang seperti itu, keras, kepala, lekas marah dan tak boleh
bicara salah terhadapnya hadapnya meski kebanyakan dia sendiri yang tidak mengerti dimaksud
orang.
"Aku tunggu sampai sepeminuman teh lagi," kata Pangeran itu, "kalau dia masih belum
datang, terpaksa kubatalkan rencana semula. Dan kau Pandemang, kau harus minta kembali uang
serta perhiasan itu padanya
"Ah .... ah .... ah .... ! Aku sejak dari tadi sudah berada di sini, Pangeran Ranablambang!"
tiba-tiba terdengar satu suara.
Ranablambang dan Pandemang sama-sama berbalik dengan cepat dan astaga! Orang yang
mereka tunggu-tunggu temyata sudah duduk menjelepok enak-enakan di sudut pondok di
belakang mereka dan tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok itu menjadi bergetar.
"Bagaimana kau bisa masuk ke sini tanpa tahu kami?" tanya Ranablambang heran. Pangeran
ini dan juga Pandemang bukanlah orang-orang yang tidak tahu ilmu silat dan kesaktian. Telinga
dan mata mereka sudah terlatih baik. Tapi nyatanya orang yang mereka tunggu sudah nyelonong
masuk ke pondok itu tanpa mereka ketahui!
Si baju hitam menghentikan gelak tawanya dan menunjuk ke atas. "Lewat atap itu," katanya
menjawab pertanyaan Pangeran Ranablambang seraya menunjuk ke atap pondok. Dan ketika
sang Pangeran serta Pandemang memandang ke atas kelihatanlah bagaimana atap pondok itu
sudah berlobang besar!
Pangeran Ranablambang jadi melengak.
"Tak percuma kau digelari Dewa Maling Baju Hitam," katanya kemudian.
Si baju hitam kembali memperdengarkan suara tertawanya lalu berdiri dengan perlahan-
lahan.
"Sebaiknya kita mulai saja dengan urusan kita Pangeran. Nah, katakanlah apa maumu yang
sebenarnya menyuruh aku datang ke mari."
Pangeran Ranablambang melangkah lebih dekat ke hadapan laki-laki berpakaian hitam itu
lalu berkata dengan amat pelahan. "Aku ingin kau mengambil Tombak Trisula dari kamar Sri
Baginda d Istana . . . . "
"Tombak Trisula?!" ujar Dewa Maling.
"Sst…jangan bicara keliwat keras!" ujar Pangeran Ranablambang. "Kau harus berhasil Dewa
Maling. Tombak itu sangat kubutuhkan agar aku bisa menduduki singgasana. Karena memasuki
Istana tidak gampang, apalagi senjata itu di simpan di satu tempat rahasia di dalam kamar Sri
Baginda."
"Kau tunjukkan saja tempat rahasia itu, aku pasti berhasil mengambil senjata yang kau
inginkan," kata Dewa Maling pula.
"Jangan menganggap remeh orang-orang di Istana," kata Ranablambang mendesis. "Kau
dengarlah penjelasanku. Tiga langkah dari pintu kamar Sri Baginda terdapat sebuah lampu kuna
yang terbuat dari perak, tergantung di dinding pada sebuah paku besar. Tekanlah paku itu tiga
kali berturut-turut maka dinding kamar yang terletak di depan lampu itu yaitu pada bagian atas
kepala peraduan Baginda akan terbuka dan di dalamnya ada sebuah lemari besi. Lemari ini tidak
mempunyai kunci tapi hanya akan terbuka bila kau menekan sebuah tombol merah di bagian
samping kanannya. Di bagian ini terdapat dua belas buah tombol merah. Ingat, yang harus kau
tekan ialah tombol merah yang kesembilan dari tepi muka lemari. Bila tombol itu sudah kau
tekan—cukup satu kali tekan saja—maka pintu lemari besi akan terbuka dan di dalamnya kau
dapat melihat Tombak Trisula itu. Tapi sekali-kali jangan kau segera mengambilnya. Begitu
lemari terbuka, akan terdengar, suara mendesis halus. Tunggu sampai desis itu berhenti, dan terus
tunggu sampai sebuah tombol putih muncul dengan sendirinya di bagian atas lemari sebelah
dalam. Sesudah itu baru kau bisa mengambil Tombak Trisula. Dan sebelum pergi jangan lupa
"Tunggu dulu!" bisik Dewa Maling Baju Hitam. Dan detik itu pula tubuhnya melesat
menembus lobang atap dan lenyap di luar sana.
"Ada apa?!", seru Pangeran Ranablambang dan Pandemang terkejut. Keduanya cepat
membuka pintu dan melompat keluar. Mereka melihat Dewa Maling berlari laksana terbang ke
jurusan selatan.
"Kalian tunggu saja di pondok!" masih terdengar suara Dewa Maling di kejauhan sebelum
tubuhnya lenyap ditelan kepekatan gelap malam.
Pangeran Ranablambang dan pembantu kepercayaannya cuma bisa saling pandang penuh
tanda tanya di dalam hati masing-masing. Yang mereka lakukan tidak lain hanyalah tetap
menunggu di pondok tersebut sebagaimana yang dipesankan oleh Dewa Maling Baju Hitam.
Hampir tiga kali peminuman teh barulah Dewa Maling kembali dan segera dihujani
pertanyaan oleh Pangeran Ranablambang serta Pandemang begitu mereka masuk ke pondok.
"Waktu kau memberi keterangan tadi," kata Dewa Maling, "aku melihat bayangan seseorang
di atas atap sana. Aku melompat ke atas tapi aneh begitu sampai di luar, orang itu lenyap! Aku
tak percaya kalau pemandangan telah menipuku. Karenanya seluruh daerah ini kuselidik, tapi
tetap bangsat itu tak berhasil kutemui!".
"Mungkin sekali dia mata-mata Mahapatih," kata Pandemang.
Ketiga orang itu berdiam diri beberapa lamanya… Kemudian kelihatan Pangeran
Ranablambang menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin", katanya, "tak seorang mata-mata
kerajaanpun yang sanggup naik ke atas atap itu tanpa kita ketahui. Apalagi dengan hadirnya
Dewa Maling di sini!"
"Kurasa mungkin aku salah lihat", kata Dewa, Maling. Maksudnya berkata demikian ialah
agar mereka jangan terlibat lebih lama dalam segala macam dugaan itu. Meski hatinya sendiri
kurang enak, Dewa Maling kemudian berkata. "Lanjutkanlah keteranganmu, Pangeran."
"Sesudah tombol putih muncul di dalam lemari sebelah atas kau baru boleh mengambil
Tombak Trisula itu. Dan sebelum pergi jangan lupa untuk menekan lebih dulu tombol putih itu."
"Pangeran," kata Dewa Maling Baju Hita pula, "jika kau tahu dengan jelas seluk beluk
penyimpanan senjata tumbal kerajaan itu, mengapa tidak kau sendiri yang mencurinya?"
Pangeran Ranablambang memuntir-muntir kumisnya yang tebal melintang lalu tertawa
pelahan. "Masing-masing kita sudah ditakdirkan punya pekerjaan dan tugas sendiri-sendiri."
katanya. Yang sebenarnya ialah dia tak mempunyai nyali untuk melakukan hal itu karena Istana
penuh dijaga oleh pengawal-pengawal klas satu dan hulubalang-hulubalang istimewa yang
berilmu tinggi. Di atas semua itu Mahapatih Jayengrono adalah yang berbahaya. Sekali saja dia
gugup dan membuat kesalahan dalam melakukan pencurian itu pasti tamatlah riwayatnya.
"Perlu aku ingatkan padamu, Dewa Maling. Istana penuh dengan orang-orang berkepandaian
tinggi, terutama Mahapatih Jayengrono. Jangan kau salah tindak karena Istana terutama kamar
Sri Baginda penuh dengan alat-alat rahasia".
"Sri Baginda bagaimana?"
"Dia tak perlu kau kawatirkan. Dia tengah mengadakan perjalanan ke daerah."
"Baik, tapi apa yang kulakukan ini musti ada ubi ada talasnya Pangeran," kata Dewa Maling
pula.
"Kau tak perlu kawatir!" kata Pangeran Ranaolambang. Dari dalam sabuknya
dikeluarkannya sebuah kantong kulit dan diajukannya ke hadapan Dewa Maling.
"Terima ini. Limapuluh keping uang emas. Kelak jika kau sudah berhasil menjalankan apa
yang aku perintahkan, kau bakal mendapat jabatan tinggi dalam Istana!".
Dewa Maling tersenyum. Disambutnya kantong uang itu. Disimpannya di balik pakaian
hitamnya.
"Kalau Tombak Trisula sudah berada di tanganku, ke mana musti kuantar?"
Pangeran Ranablambang mengatakan nama tempat maka sesaat kemudian ketiga orang itu
meninggalkan pondok tersebut.
Pangeran Ranablambang adalah putera Sri Baginda yang memerintah Kesultanan Surakerto
pada masa itu. Sebenarnya dia tidak boleh memakai gelar atau sebutan Pangeran karena dia cuma
seorang putera dari salah satu selir Sri Baginda. Namun dengan penuh congkak dan ketinggian
hati Ranablambang telah mempredikatkan dirinya dengan sebutan itu. Dasar orang tak tahu
diuntung, meski dia tak punya hak untuk menggantikan Sri Baginda, namun di hatinya sudah
sejak lama bergejolak niat untuk menduduki singgasana. Maka ketika diketahuinya bahwa setiap
pewaris takhta kerajaan harus menerima Tombak Trisula sebagai syahnya dia menjadi Raja,
segera diaturnya rencana untuk mencuri senjata tumbal kerajaan itu. Untuk melakukannya sendiri
Ranablambang tidak bernyali meski dia memiliki kepandaian yang tinggi. Maka melalui seorang
pembantu kepercayaannya yakni Pandemang, disuruhnyalah laki-laki itu menemui seorang tokoh
silat golongan hitam yang dikenal dengan nama gelaran Dewa Maling Baju Hitam.
menyilir dingin, kelihatan satu sosok bayangan hitam berkelebat gesit di luar tembok kota-raja.
Dia sampai di tembok sebelah tenggara. Tanpa suara dan tanpa diketahui oleh lima orang
pengawal yang ada di situ, sosok tubuh itu melompat ke atas tembok yang tingginya enam
tombak, dari situ terus melompat turun memasuki kotaraja, melompat dari satu pohon ke lain
pohon, dari satu atap rumah ke lain atap rumah sampai akhirnya tak lama kemudian dia sudah
berada di wuwungan Istana!
Siapakah manusia yang demikian hebat ilmu mengentengi tubuhnya hingga sanggup
melompat di atas atap dan dari pohon ke pohon begitu rupa? Untuk menjawab pertanyaan itu kita
harus kembali pada tiga hari sebelumnya.. . .
Di sebuah kampung kecil bernama Sukablabak yang terletak setengah hari perjalanan dari
Muntilan, pada tengah malam yang kelam pekat, dalam sebuah pondok berdinding kayang
beratap rumbia duduklah seorang laki-laki bertubuh kecil, bermuka cekung. Dia memelihara
kumis yang tebal melintang berkeluk ke atas. Demikian tebalnya dia punya kumis hingga amat
tidak pantas dibandingkan dengan mukanya yang kecil cekung. Sepasang matanya yang besar
senantiasa tak bisa diam, berputar-putar ke segenap , penjuru pondok. Jelas ini menandakan rasa
ketidaksabaran menyamaki dirinya.
"Ini sudah lewat tengah malam, Pandemang. Kenapa dia masih belum muncul?" laki-laki
berkumis melintang itu bertanya pada seorang yang bertubuh tinggi besar di sampingnya
bertampang keras kasar. Di pinggangnya kiri kanan tersisip masing-masing sebilah golok empat
persegi besar macam golok pejagal temak. Rambutnya gondrong, memelihara kumis serta
berewok.
"Mungkin dia mendapat halangan, Pangeran," jawab orang bertubuh tinggi besar bernama
Pandemang. "Tapi percayalah, dia pasti datang menepati janjinya. Bukankah kita sudah
memberikan uang serta perhiasan banyak padanya?"
"Bukan kita, tapi aku!" tukas si kumis melintang yang dipanggilkan Pangeran itu.
"Ya, aku," kata Pandemang pula.
"Aku, aku, bukan aku kau!" berkata lagi Pangeran itu.
"Ya, maksud hamba Pangeran," kata Pandemang. Hatinya kesal. Tapi dia sudah tahu dan
terbiasa dengan sifat sang Pangeran yang seperti itu, keras, kepala, lekas marah dan tak boleh
bicara salah terhadapnya hadapnya meski kebanyakan dia sendiri yang tidak mengerti dimaksud
orang.
"Aku tunggu sampai sepeminuman teh lagi," kata Pangeran itu, "kalau dia masih belum
datang, terpaksa kubatalkan rencana semula. Dan kau Pandemang, kau harus minta kembali uang
serta perhiasan itu padanya
"Ah .... ah .... ah .... ! Aku sejak dari tadi sudah berada di sini, Pangeran Ranablambang!"
tiba-tiba terdengar satu suara.
Ranablambang dan Pandemang sama-sama berbalik dengan cepat dan astaga! Orang yang
mereka tunggu-tunggu temyata sudah duduk menjelepok enak-enakan di sudut pondok di
belakang mereka dan tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok itu menjadi bergetar.
"Bagaimana kau bisa masuk ke sini tanpa tahu kami?" tanya Ranablambang heran. Pangeran
ini dan juga Pandemang bukanlah orang-orang yang tidak tahu ilmu silat dan kesaktian. Telinga
dan mata mereka sudah terlatih baik. Tapi nyatanya orang yang mereka tunggu sudah nyelonong
masuk ke pondok itu tanpa mereka ketahui!
Si baju hitam menghentikan gelak tawanya dan menunjuk ke atas. "Lewat atap itu," katanya
menjawab pertanyaan Pangeran Ranablambang seraya menunjuk ke atap pondok. Dan ketika
sang Pangeran serta Pandemang memandang ke atas kelihatanlah bagaimana atap pondok itu
sudah berlobang besar!
Pangeran Ranablambang jadi melengak.
"Tak percuma kau digelari Dewa Maling Baju Hitam," katanya kemudian.
Si baju hitam kembali memperdengarkan suara tertawanya lalu berdiri dengan perlahan-
lahan.
"Sebaiknya kita mulai saja dengan urusan kita Pangeran. Nah, katakanlah apa maumu yang
sebenarnya menyuruh aku datang ke mari."
Pangeran Ranablambang melangkah lebih dekat ke hadapan laki-laki berpakaian hitam itu
lalu berkata dengan amat pelahan. "Aku ingin kau mengambil Tombak Trisula dari kamar Sri
Baginda d Istana . . . . "
"Tombak Trisula?!" ujar Dewa Maling.
"Sst…jangan bicara keliwat keras!" ujar Pangeran Ranablambang. "Kau harus berhasil Dewa
Maling. Tombak itu sangat kubutuhkan agar aku bisa menduduki singgasana. Karena memasuki
Istana tidak gampang, apalagi senjata itu di simpan di satu tempat rahasia di dalam kamar Sri
Baginda."
"Kau tunjukkan saja tempat rahasia itu, aku pasti berhasil mengambil senjata yang kau
inginkan," kata Dewa Maling pula.
"Jangan menganggap remeh orang-orang di Istana," kata Ranablambang mendesis. "Kau
dengarlah penjelasanku. Tiga langkah dari pintu kamar Sri Baginda terdapat sebuah lampu kuna
yang terbuat dari perak, tergantung di dinding pada sebuah paku besar. Tekanlah paku itu tiga
kali berturut-turut maka dinding kamar yang terletak di depan lampu itu yaitu pada bagian atas
kepala peraduan Baginda akan terbuka dan di dalamnya ada sebuah lemari besi. Lemari ini tidak
mempunyai kunci tapi hanya akan terbuka bila kau menekan sebuah tombol merah di bagian
samping kanannya. Di bagian ini terdapat dua belas buah tombol merah. Ingat, yang harus kau
tekan ialah tombol merah yang kesembilan dari tepi muka lemari. Bila tombol itu sudah kau
tekan—cukup satu kali tekan saja—maka pintu lemari besi akan terbuka dan di dalamnya kau
dapat melihat Tombak Trisula itu. Tapi sekali-kali jangan kau segera mengambilnya. Begitu
lemari terbuka, akan terdengar, suara mendesis halus. Tunggu sampai desis itu berhenti, dan terus
tunggu sampai sebuah tombol putih muncul dengan sendirinya di bagian atas lemari sebelah
dalam. Sesudah itu baru kau bisa mengambil Tombak Trisula. Dan sebelum pergi jangan lupa
"Tunggu dulu!" bisik Dewa Maling Baju Hitam. Dan detik itu pula tubuhnya melesat
menembus lobang atap dan lenyap di luar sana.
"Ada apa?!", seru Pangeran Ranablambang dan Pandemang terkejut. Keduanya cepat
membuka pintu dan melompat keluar. Mereka melihat Dewa Maling berlari laksana terbang ke
jurusan selatan.
"Kalian tunggu saja di pondok!" masih terdengar suara Dewa Maling di kejauhan sebelum
tubuhnya lenyap ditelan kepekatan gelap malam.
Pangeran Ranablambang dan pembantu kepercayaannya cuma bisa saling pandang penuh
tanda tanya di dalam hati masing-masing. Yang mereka lakukan tidak lain hanyalah tetap
menunggu di pondok tersebut sebagaimana yang dipesankan oleh Dewa Maling Baju Hitam.
Hampir tiga kali peminuman teh barulah Dewa Maling kembali dan segera dihujani
pertanyaan oleh Pangeran Ranablambang serta Pandemang begitu mereka masuk ke pondok.
"Waktu kau memberi keterangan tadi," kata Dewa Maling, "aku melihat bayangan seseorang
di atas atap sana. Aku melompat ke atas tapi aneh begitu sampai di luar, orang itu lenyap! Aku
tak percaya kalau pemandangan telah menipuku. Karenanya seluruh daerah ini kuselidik, tapi
tetap bangsat itu tak berhasil kutemui!".
"Mungkin sekali dia mata-mata Mahapatih," kata Pandemang.
Ketiga orang itu berdiam diri beberapa lamanya… Kemudian kelihatan Pangeran
Ranablambang menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin", katanya, "tak seorang mata-mata
kerajaanpun yang sanggup naik ke atas atap itu tanpa kita ketahui. Apalagi dengan hadirnya
Dewa Maling di sini!"
"Kurasa mungkin aku salah lihat", kata Dewa, Maling. Maksudnya berkata demikian ialah
agar mereka jangan terlibat lebih lama dalam segala macam dugaan itu. Meski hatinya sendiri
kurang enak, Dewa Maling kemudian berkata. "Lanjutkanlah keteranganmu, Pangeran."
"Sesudah tombol putih muncul di dalam lemari sebelah atas kau baru boleh mengambil
Tombak Trisula itu. Dan sebelum pergi jangan lupa untuk menekan lebih dulu tombol putih itu."
"Pangeran," kata Dewa Maling Baju Hita pula, "jika kau tahu dengan jelas seluk beluk
penyimpanan senjata tumbal kerajaan itu, mengapa tidak kau sendiri yang mencurinya?"
Pangeran Ranablambang memuntir-muntir kumisnya yang tebal melintang lalu tertawa
pelahan. "Masing-masing kita sudah ditakdirkan punya pekerjaan dan tugas sendiri-sendiri."
katanya. Yang sebenarnya ialah dia tak mempunyai nyali untuk melakukan hal itu karena Istana
penuh dijaga oleh pengawal-pengawal klas satu dan hulubalang-hulubalang istimewa yang
berilmu tinggi. Di atas semua itu Mahapatih Jayengrono adalah yang berbahaya. Sekali saja dia
gugup dan membuat kesalahan dalam melakukan pencurian itu pasti tamatlah riwayatnya.
"Perlu aku ingatkan padamu, Dewa Maling. Istana penuh dengan orang-orang berkepandaian
tinggi, terutama Mahapatih Jayengrono. Jangan kau salah tindak karena Istana terutama kamar
Sri Baginda penuh dengan alat-alat rahasia".
"Sri Baginda bagaimana?"
"Dia tak perlu kau kawatirkan. Dia tengah mengadakan perjalanan ke daerah."
"Baik, tapi apa yang kulakukan ini musti ada ubi ada talasnya Pangeran," kata Dewa Maling
pula.
"Kau tak perlu kawatir!" kata Pangeran Ranaolambang. Dari dalam sabuknya
dikeluarkannya sebuah kantong kulit dan diajukannya ke hadapan Dewa Maling.
"Terima ini. Limapuluh keping uang emas. Kelak jika kau sudah berhasil menjalankan apa
yang aku perintahkan, kau bakal mendapat jabatan tinggi dalam Istana!".
Dewa Maling tersenyum. Disambutnya kantong uang itu. Disimpannya di balik pakaian
hitamnya.
"Kalau Tombak Trisula sudah berada di tanganku, ke mana musti kuantar?"
Pangeran Ranablambang mengatakan nama tempat maka sesaat kemudian ketiga orang itu
meninggalkan pondok tersebut.
Pangeran Ranablambang adalah putera Sri Baginda yang memerintah Kesultanan Surakerto
pada masa itu. Sebenarnya dia tidak boleh memakai gelar atau sebutan Pangeran karena dia cuma
seorang putera dari salah satu selir Sri Baginda. Namun dengan penuh congkak dan ketinggian
hati Ranablambang telah mempredikatkan dirinya dengan sebutan itu. Dasar orang tak tahu
diuntung, meski dia tak punya hak untuk menggantikan Sri Baginda, namun di hatinya sudah
sejak lama bergejolak niat untuk menduduki singgasana. Maka ketika diketahuinya bahwa setiap
pewaris takhta kerajaan harus menerima Tombak Trisula sebagai syahnya dia menjadi Raja,
segera diaturnya rencana untuk mencuri senjata tumbal kerajaan itu. Untuk melakukannya sendiri
Ranablambang tidak bernyali meski dia memiliki kepandaian yang tinggi. Maka melalui seorang
pembantu kepercayaannya yakni Pandemang, disuruhnyalah laki-laki itu menemui seorang tokoh
silat golongan hitam yang dikenal dengan nama gelaran Dewa Maling Baju Hitam.
***
8
DENGAN mengandalkan ilmu lari serta ilmu meringankan tubuhnya ditambah dengan pakaian
hitam dan kegelapan malam yang turut membantunya, dengan mudah pada akhirnya Dewa
Maling sudah berada di atas wuwungan Istana. Meski dia sudah diberi tahu jelas setiap liku-liku
Istana dan tempat penyimpanan Tombak Trisula, namun dia tak mau memandang enteng orang-
orang yang ada di dalam Istana. Terutama Mahapatih Jayengrono yang berumur setengah abad
lebih itu, ilmu kepandaiannya tak bisa dibuat main!
Dari tempatnya berada saat itu Dewa Maling dapat melihat kira-kira lima puluh orang
pengawal tingkat rendah berada di sekeliling Istana. Kemudian ditambah lagi dengan dua puluh
hulubalang yang berkepandaian tinggi.
"Berabe juga," kata Dewa Maling dalam hati. Tapi dia sudah mempunyai akal. Laksana
seekor burung walet dia melompat ke satu bagian yang gelap di halaman samping Istana. Dengan
mengendap-endap didekatinya seorang pengawal. Sekali totok saja pengawal itu sudah tak
berdaya. Di tempat gelap di bukanya pakaian pengawal itu lalu setelah membuka pakaiannya
pula, dengan cepat dikenakannya pakaian si pengawal.
Di tangga Istana di temuinya seorang hulubalang. Setelah menjura pada hulubalang itu dia
berkata, "Mapatih Jayengrono mengharapkan kedatangan hulubalang dengan segera karena ada
satu urusan penting."
Karena yang menyampaikan pesan itu seorang bawahannya tentu saja sang hulubalang tidak
menaruh curiga.
"Di mana Mapatih berada?"
"Ikutilah saya," jawab si pengawal alias Dewa Maling.
Maka hulubalang itupun mengikuti pengawal tersebut. Sampai di tempat gelap Dewa Maling
tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan secepat kilat menotok pangkal leher sang hulubalang.
Dalam keadaan tak berdaya hulubalang itu dilucutinya pakaiannya. Dengan menyamar sebagai
seorang hulubalang, dengan mudah Dewa Maling memasuki Istana, langsung menuju di mana
terletaknya kamar Sri Baginda.
Di pintu kamar berdiri dua orang hulubalang berkepandaian tinggi. Dewa Maling tidak takuti
mereka. Tetapi membuat kekerasan sama saja dengan mengundang datangnya bahaya. Dengan
langkah gagah Dewa Maling sampai di hadapan kedua hulubalang itu.
"Kalian bersiap-siaplah. Sebentar lagi Mapatih Jayengrono akan datang ke sini menggeledah
kamar Sri Baginda," kata Dewa Maling.
Kedua hulubalang itu heran. Salah seorang dari mereka bertanya, "Memangnya ada
apakah?"
"Kau yang mengawal kamar ini apa masih belum tahu? Betul-betul keterlaluan kalian! Apa
saja yang kalian buat di sini?".
Semakin heran kedua hulpbalang itu dan mereka bertanya lagi: "Ada apakah?!". .
"Seorang jahat di ketahui telah menyelinap masuk ke dalam kamar ini!" kata Dewa Maling
pula. "Apa?!" ujar dua hulubalang terkejut hampir bersamaan.
"Manusia-manusia tolol! Kalian tidur saja di sini! Lihatlah pintu di belakang kalian yang
terbuka itu!"
Mendengar ucapan itu kedua hulubalang tersewt serentak membalikkan tubuh. Begitu
mereka ke dalam. Dengan cepat kemudian pintu kamar diutupkan kembali.
Sesuai dengan keterangan Pangeran Ranablambang, tiga langkah di sebelah kanan pintu,
pada dinding tergantunglah sebuah lampu dari perak bakar berukir-ukir bagus sekali buatannya.
Dewa Maling Baju Hitam menekan paku besar di mana lampu itu tergantung, tiga kali berturut-
turut. Di belakangnya erdengar suara barang bergerak. Ketika dia berpaling ilihatnya dinding
kamar di atas kepala peraduan Sri Baginda terbuka dan tampaklah sebuah lemari besi. Cepat
Dewa Maling melangkah ke hadapan lemari. Di telitinya sejenak lalu dilihatnya deretan tombol-
tombol merah di samping kanan lemari besi itu, emuanya ada 12 buah.
Dengan hati-hati Dewa Maling menekan tombol merah yang kesembilan dari sebelah muka
lemari. Ia menunggu dengan berdebar. Lalu dilihatnya pintu lemari terbuka dan di dalamnya
tampaklah sebuah tombak pendek yang ujungnyz bercabang tiga. Sinar senjata mustika tumbal
kerajaan itu bukan saja menerangi seluruh lemari, tapi jugz menyeruak sampai•ke muka Dewa
Maling, menyilaukan mata laki-laki ini.
Sewaktu pintu lemari besi itu terbuka, terde ngarlah suara mendesis. Begitu suara mendesis
pada bagian atas lemari sebelah dalam muncullah sebuah tombol putih. Inilah saat di mana Dewa
Maling harus mengambil Tombak Trisula diulurkannya tangannya mengambil senjata mustika
tumbal kerajaan itu.
Pada saat Dewa Maling mengambil Tombak Trisula, di luar kamar dua orang hulubalang
sampai di hadapan pintu. Setiap dua jam sekali, hulubalang-hulubalang yang mengawal pintu
kamar Sri Baginda selalu diganti. Tentu saja kedua hulubalang ini terheran melihat kamar itu
tiada berpengawal sama sekali.
"Ke mana hulubalang-hulubalang yang seharusnva ada di sini?!" tanya salah seorang dari
mereka.
"Aku kawatir ada sesuatu yang tidak beres. Kau menyelidiklah ke ujung gang sebelah sana,
aku akan memeriksa kamar Sri Baginda".
Dengan cepat hulubalang yang satu itu membuka pintu kamar. Di dalam kamar, Dewa
Maling yang bertelinga tajam telah mendengar percakapan kedua hulubalang itu. Maka dengan
cepat dia menyelinap di samping pintu sebelah kiri. Sewaktu pintu terbuka tubuhnya tertutup oleh
daun pintu. Dan selangkah lagi hulubalang itu masuk ke dalam kamar DewaMaling
mengayunkan tinjunya ke batok kepala hulubalang itu. Dengan mengeluarkan keluhan pendek si
hulubalang tersungkur di lantai.
Dewa Maling cepat keluar dari kamar itu.
Tapi…!
Wutt…!
Angin keras menyambar perutnya. Dia terkejut bukan main dan terpaksa. melompat ke
belakang mencari selamat. Yang menyerangnya ternyata adalah hulubalang yang tadi di
sangkanya telah jatuh pingsan.
"Kurang ajar! Makan ini!" kertak Dewa Maling lalu mengirimkan satu tendangan ke dada
lawan.
"Sret"!
Si hulubalang mencabut pedangnya dan memapas kaki Dewa Maling dengan senjata itu.
Mau tak mau Dewa Maling terpaksa menarik pulang kakinya kembali. Dengan beringas dia
melompat dan dari atas mengirimkan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. Namun lagi-lagi
lawannya sanggup berkelit. Angin pukulan menghantam lantai kamar. Permadani yang menutupi
lantai itu robek bertaburan sedang lantai batu pualam hancur berkeping-keping dan seantero
kamar bergetar laksana di goncang lindu!
Si hulubalang begitu mengelak dengan sigap melancarkan serangan. Pedangnya berkiblat
empat kali berturut-turut!
"Setan alas!" maki Dewa Maling penasaran. Tangan kanannya yang memegang Tombak
Trisula digerakkan.
"Trang!"
Pedang di tangan si hulubalang patah dua. Hulubalang itu berseru kaget dan lekas melompat
ke belakang. Namun lebih cepat dari gerakannya itu, Tombak Trisula meluncur menusuk
dadanya. Hulubalang tersebut mengeluh pendek. Sesudah itu tubuhnya terguling di atas
permadani dengan tiga lobang luka di dadanya!
Di luar terdengar suara langkah-langkah kaki mendatangi. Dewa Maling menuju ke pintu
dengan cepat. Justru pada saat itu hulubalang-hulubalang Istana yang berkepandaian tinggi
tengah memasuki Antu kamar. Tanpa pikir panjang Dewa Maling memegang daun pintu dan
membantingkannya. Tiga orang hulubalang tak keburu mengelak. Dada dan tubuh mereka
dihantam daun pintu dengan kerasnya. Ketiganya kontan roboh tak sadarkan diri dengan hidung
masing-masing bercucuran darah!
Sewaktu Mapatih Jayengrono dan lima orang hulubalang sampai di kamar tersebut, Dewa
Maling sudah melarikan diri lewat jendela.
"Jaga dengan ketat seluruh tembok kotaraja!" kata Mapatih Jayengrono. Sehabis memberi
perintah itu dia segera melompati jendela dan lenyap. Jayengrono berumur setengah abad lebih.
Dalam ilmu dan kesaktian dia termasuk golongan tokoh-tokoh yang disegani. Otaknya yang
cerdik segera dapat menarik kesimpulan bahwa seorang maling tingkat tinggi pastilah tidak akan
melarikan diri lewat jalan biasa. Karenanya, begitu tiba di halaman samping Istana, Jayengrono
tak ayal lagi segera melompat ke atas wuwungan. Apa yang diduganya ternyata tidak meleset.
Begitu dia menginjakkan kakinya di atas wuwungan, pada ujung atap Istana sebelah utara
dilihatnya dalam kegelapan berkelebat sesosok tubuh berpakaian hulubalang. Sebelumnya
Mapatih Jayengrono sudah diberi tahu bahwa pencuri yang menyusup ke dalam Istana itu
menyamar atau berpakaian sebagai seorang hulubalang!
Dengan mengertakkan geraham, Mapatih ini segera lari di sepanjang atap mengejar maling
tersebut.
Sementara itu sambil lari dilihatnya belasan hulubalang dan puluhan pengawal-pengawal
tingkat tinggi telah bertebar berjaga-jaga di setiap sudut. Dapat dipastikan bahwa si pencuri tak
akan bisa lolos begitu saja!
Sewaktu Mapatih Jayengrono sampai di ujung atap sebelah utara Istana, dia jadi amat
penasaran karena orang yang dikejarnya lenyap tiada bekas. Di bawah dilihatnya dua orang
hulubalang dan sembilan pengawal klas satu berjaga-jaya.
"Tak mungkin pencuri itu lolos dari sini tanpa diketahui orang-orang di bawah sana", kata
Jayengrono dalam hati. "Pasti dia bersembunyi di sekitar sini."
Baru saja sang patih kerajaan berpikir begitu, di ujung barat di dengamya suara hiruk pikuk
dan seruan, "Api! Api!"
Ketika Jayengrono berpaling ke barat, benar saja, dilihatnya atap Istana tenggelam dalam
kobaran api.
"Pengawal-pengawal klas II dan klas III lekas padamkan api! Yang lain-lain tetap di tempat!
Ini adalah pancingan musuh!" teriak Jayengrono dengan suara lantang mengandalkan tenaga
dalam hingga terdengar ke segala pejuru.
Dengan matanya yang tajam Jayengrono memandang teliti ke segenap penjuru, terutama ke
tempat-tempat yang gelap.
"Heran, ke mana perginya maling itu." kata sang patih pada dirinya sendiri. Lalu berserulah
dia, "Maling edan! Sebaiknya menyerahlah! Kau sudah terkurung, tak mungkin bisa kabur!".
Baru saja Mapatih Jayengrono berseru demikian, mendadak di bawahnya terdengar teriakan,
"Itu dia malingnya! Lekas kejarl Itu dia malingnya .... lekas kejar!"
Tak ayal lagi para hulubalang dan pengawal-pengawal yang ada di situ segera ikut mengejar.
Mapatih Jayengrono segera pula hendak menggerakkan kakinya. Tapi sekilas pikiran timbul
dalam benaknya yang cerdik dan berpengalaman. Dia tetap ditempatnya dan memandang ke
bawah dengan seksama. Dari tempatnya berdiri itu jelas dilihatnya hulubalang yang tadi berteriak
dan menunding sambil berlari, memperlambat larinya hingga akhirnya dia tinggal seorang diri di
belakang!
"Pasti dia bangsatnya!" kertak Jayengrono. Tanpa membuang tempo lagi dia melompat ke
bawah. Selagi tubuhnya melayang di udara, mendadak tampak belasan benda berkilauan
menyambar kearahnya. Temyata hulubalang dibawah sana telah melemparkan senjata-senjata
rahasia kepada sang patih.
"Maling besar! Jangan harap kau bisa lolos hidup-hidup dari sini!", teriak Javengrono.
Tangan kirinya dipukulkan kelawan. Belasan senjata rahasia yang menyerangnya berpelantingan.
Di bawahnya terdengar kekehan si hulubalang yang memang bukan lain adalah Dewa
Maling adanya.
"Jayengrono, kau memang cerdik. Kejar dan tangkaplah aku!".
Dewa Maling Baju Hitam berkelebat ke tembok Istana yang saat itu sudah tak dijaga lagi
karena hulubalang-hulubalang dan para pengawal telah berlarian mengejar "maling" yang tadi
diteriakinya!
"Ayo kejar aku!" tantang Dewa Maling kembali begitu dia menginjakkan kakinya di atas
tembok.
Sebagai jawaban, sambil melesat mengejar, Mapatih Djajengrono melepaskan satu pukulan
tangan kosong yang hebat. Tembok Istana hancur berantakan, tapi Dewa Maling sudah lenyap
dari situ. Hanya suara kekehannya terdengar di pohon besar di luar tembok Istana.
"Kurang ajar! Kau mau lari ke mana bah?!" kertak Jayengrono dan segera menyusul. Kedua
orang itu untuk beberapa lamanya saling kejar mengejar di atas atap-atap rumah penduduk dan
kemudian, untuk kedua kalinya Jayengrono kehilangan orang kejarannya itu di sebelah timur
Kotaraja.
Ke mana pulakah lenyapnya Dewa Maling saat itu? Sesungguhnya dia tak berada iauh dari
sang patih kerajaan Dengan mengandalkan ilmunya yang dinamakan "cecak merayap di atap",
Dewa Maling laksana seekor cecak "menempelkan" dirinya di bawah ujung atap rumah
penduduk yang gelap!
Sewaktu dilihatnya patih itu pergi ke jurusan lain segera Dewa Maling bergerak kejurusan
yang berlawanan dan akhirnya sampai di temook Kotaraja yang dikawal ketat. Para pengawal
yang bertugas di sini disamping berjaga-jaga mereka juga asyik membicarakan tentang
menyusupnya seorang maling lihay yang berhasil mencuri senjata mustika tumbal kerajaan.
Dewa Maling tidak takutkan pengawal-pengawal ini malah dengan sikap keren dia melangkah ke
hadapan mereka dan membentak,
"Kalian kunyuk-kunyuk dogol semua! Kawan-kawan kalian bertempur mati-matian di depan
mesjid mengeroyok maling penyusup! Kalian enak-enakan ngobrol di sini! Lekas bantu mereka!
Biar aku yang berjaga-jaga di tempat ini!"
Mendengar bentakan yang menggeledek itu, tanpa curiga dan banyak tanya para pengawal
dan hulubalang-hulubalang yang ada di situ segera lari menuju ke tempat di mana dikatakan
terjadi pertempuran hebat.
"Dasar manusia-manusia tolol!" ujar Dewa Maling penuh geli. Kemudian segera
dilompatinya tembok tinggi batas kerajaan dan dalam tempo yang singkat dia sudah lenyap di
kegelapan malam.
Namun belum lagi sepeminuman teh berlalu Dewa Maling merasa ada seseorang yang
mengejarnya di belakang. Dan belum sempat dia memalingkan kepala, satu bentakan nyaring
terdengar sejarak sepuluh tombak di belakangnya.
"Jangan harap kau bisa kabur seenaknya, bangsat pencuri!"
9
hitam dan kegelapan malam yang turut membantunya, dengan mudah pada akhirnya Dewa
Maling sudah berada di atas wuwungan Istana. Meski dia sudah diberi tahu jelas setiap liku-liku
Istana dan tempat penyimpanan Tombak Trisula, namun dia tak mau memandang enteng orang-
orang yang ada di dalam Istana. Terutama Mahapatih Jayengrono yang berumur setengah abad
lebih itu, ilmu kepandaiannya tak bisa dibuat main!
Dari tempatnya berada saat itu Dewa Maling dapat melihat kira-kira lima puluh orang
pengawal tingkat rendah berada di sekeliling Istana. Kemudian ditambah lagi dengan dua puluh
hulubalang yang berkepandaian tinggi.
"Berabe juga," kata Dewa Maling dalam hati. Tapi dia sudah mempunyai akal. Laksana
seekor burung walet dia melompat ke satu bagian yang gelap di halaman samping Istana. Dengan
mengendap-endap didekatinya seorang pengawal. Sekali totok saja pengawal itu sudah tak
berdaya. Di tempat gelap di bukanya pakaian pengawal itu lalu setelah membuka pakaiannya
pula, dengan cepat dikenakannya pakaian si pengawal.
Di tangga Istana di temuinya seorang hulubalang. Setelah menjura pada hulubalang itu dia
berkata, "Mapatih Jayengrono mengharapkan kedatangan hulubalang dengan segera karena ada
satu urusan penting."
Karena yang menyampaikan pesan itu seorang bawahannya tentu saja sang hulubalang tidak
menaruh curiga.
"Di mana Mapatih berada?"
"Ikutilah saya," jawab si pengawal alias Dewa Maling.
Maka hulubalang itupun mengikuti pengawal tersebut. Sampai di tempat gelap Dewa Maling
tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan secepat kilat menotok pangkal leher sang hulubalang.
Dalam keadaan tak berdaya hulubalang itu dilucutinya pakaiannya. Dengan menyamar sebagai
seorang hulubalang, dengan mudah Dewa Maling memasuki Istana, langsung menuju di mana
terletaknya kamar Sri Baginda.
Di pintu kamar berdiri dua orang hulubalang berkepandaian tinggi. Dewa Maling tidak takuti
mereka. Tetapi membuat kekerasan sama saja dengan mengundang datangnya bahaya. Dengan
langkah gagah Dewa Maling sampai di hadapan kedua hulubalang itu.
"Kalian bersiap-siaplah. Sebentar lagi Mapatih Jayengrono akan datang ke sini menggeledah
kamar Sri Baginda," kata Dewa Maling.
Kedua hulubalang itu heran. Salah seorang dari mereka bertanya, "Memangnya ada
apakah?"
"Kau yang mengawal kamar ini apa masih belum tahu? Betul-betul keterlaluan kalian! Apa
saja yang kalian buat di sini?".
Semakin heran kedua hulpbalang itu dan mereka bertanya lagi: "Ada apakah?!". .
"Seorang jahat di ketahui telah menyelinap masuk ke dalam kamar ini!" kata Dewa Maling
pula. "Apa?!" ujar dua hulubalang terkejut hampir bersamaan.
"Manusia-manusia tolol! Kalian tidur saja di sini! Lihatlah pintu di belakang kalian yang
terbuka itu!"
Mendengar ucapan itu kedua hulubalang tersewt serentak membalikkan tubuh. Begitu
mereka ke dalam. Dengan cepat kemudian pintu kamar diutupkan kembali.
Sesuai dengan keterangan Pangeran Ranablambang, tiga langkah di sebelah kanan pintu,
pada dinding tergantunglah sebuah lampu dari perak bakar berukir-ukir bagus sekali buatannya.
Dewa Maling Baju Hitam menekan paku besar di mana lampu itu tergantung, tiga kali berturut-
turut. Di belakangnya erdengar suara barang bergerak. Ketika dia berpaling ilihatnya dinding
kamar di atas kepala peraduan Sri Baginda terbuka dan tampaklah sebuah lemari besi. Cepat
Dewa Maling melangkah ke hadapan lemari. Di telitinya sejenak lalu dilihatnya deretan tombol-
tombol merah di samping kanan lemari besi itu, emuanya ada 12 buah.
Dengan hati-hati Dewa Maling menekan tombol merah yang kesembilan dari sebelah muka
lemari. Ia menunggu dengan berdebar. Lalu dilihatnya pintu lemari terbuka dan di dalamnya
tampaklah sebuah tombak pendek yang ujungnyz bercabang tiga. Sinar senjata mustika tumbal
kerajaan itu bukan saja menerangi seluruh lemari, tapi jugz menyeruak sampai•ke muka Dewa
Maling, menyilaukan mata laki-laki ini.
Sewaktu pintu lemari besi itu terbuka, terde ngarlah suara mendesis. Begitu suara mendesis
pada bagian atas lemari sebelah dalam muncullah sebuah tombol putih. Inilah saat di mana Dewa
Maling harus mengambil Tombak Trisula diulurkannya tangannya mengambil senjata mustika
tumbal kerajaan itu.
Pada saat Dewa Maling mengambil Tombak Trisula, di luar kamar dua orang hulubalang
sampai di hadapan pintu. Setiap dua jam sekali, hulubalang-hulubalang yang mengawal pintu
kamar Sri Baginda selalu diganti. Tentu saja kedua hulubalang ini terheran melihat kamar itu
tiada berpengawal sama sekali.
"Ke mana hulubalang-hulubalang yang seharusnva ada di sini?!" tanya salah seorang dari
mereka.
"Aku kawatir ada sesuatu yang tidak beres. Kau menyelidiklah ke ujung gang sebelah sana,
aku akan memeriksa kamar Sri Baginda".
Dengan cepat hulubalang yang satu itu membuka pintu kamar. Di dalam kamar, Dewa
Maling yang bertelinga tajam telah mendengar percakapan kedua hulubalang itu. Maka dengan
cepat dia menyelinap di samping pintu sebelah kiri. Sewaktu pintu terbuka tubuhnya tertutup oleh
daun pintu. Dan selangkah lagi hulubalang itu masuk ke dalam kamar DewaMaling
mengayunkan tinjunya ke batok kepala hulubalang itu. Dengan mengeluarkan keluhan pendek si
hulubalang tersungkur di lantai.
Dewa Maling cepat keluar dari kamar itu.
Tapi…!
Wutt…!
Angin keras menyambar perutnya. Dia terkejut bukan main dan terpaksa. melompat ke
belakang mencari selamat. Yang menyerangnya ternyata adalah hulubalang yang tadi di
sangkanya telah jatuh pingsan.
"Kurang ajar! Makan ini!" kertak Dewa Maling lalu mengirimkan satu tendangan ke dada
lawan.
"Sret"!
Si hulubalang mencabut pedangnya dan memapas kaki Dewa Maling dengan senjata itu.
Mau tak mau Dewa Maling terpaksa menarik pulang kakinya kembali. Dengan beringas dia
melompat dan dari atas mengirimkan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. Namun lagi-lagi
lawannya sanggup berkelit. Angin pukulan menghantam lantai kamar. Permadani yang menutupi
lantai itu robek bertaburan sedang lantai batu pualam hancur berkeping-keping dan seantero
kamar bergetar laksana di goncang lindu!
Si hulubalang begitu mengelak dengan sigap melancarkan serangan. Pedangnya berkiblat
empat kali berturut-turut!
"Setan alas!" maki Dewa Maling penasaran. Tangan kanannya yang memegang Tombak
Trisula digerakkan.
"Trang!"
Pedang di tangan si hulubalang patah dua. Hulubalang itu berseru kaget dan lekas melompat
ke belakang. Namun lebih cepat dari gerakannya itu, Tombak Trisula meluncur menusuk
dadanya. Hulubalang tersebut mengeluh pendek. Sesudah itu tubuhnya terguling di atas
permadani dengan tiga lobang luka di dadanya!
Di luar terdengar suara langkah-langkah kaki mendatangi. Dewa Maling menuju ke pintu
dengan cepat. Justru pada saat itu hulubalang-hulubalang Istana yang berkepandaian tinggi
tengah memasuki Antu kamar. Tanpa pikir panjang Dewa Maling memegang daun pintu dan
membantingkannya. Tiga orang hulubalang tak keburu mengelak. Dada dan tubuh mereka
dihantam daun pintu dengan kerasnya. Ketiganya kontan roboh tak sadarkan diri dengan hidung
masing-masing bercucuran darah!
Sewaktu Mapatih Jayengrono dan lima orang hulubalang sampai di kamar tersebut, Dewa
Maling sudah melarikan diri lewat jendela.
"Jaga dengan ketat seluruh tembok kotaraja!" kata Mapatih Jayengrono. Sehabis memberi
perintah itu dia segera melompati jendela dan lenyap. Jayengrono berumur setengah abad lebih.
Dalam ilmu dan kesaktian dia termasuk golongan tokoh-tokoh yang disegani. Otaknya yang
cerdik segera dapat menarik kesimpulan bahwa seorang maling tingkat tinggi pastilah tidak akan
melarikan diri lewat jalan biasa. Karenanya, begitu tiba di halaman samping Istana, Jayengrono
tak ayal lagi segera melompat ke atas wuwungan. Apa yang diduganya ternyata tidak meleset.
Begitu dia menginjakkan kakinya di atas wuwungan, pada ujung atap Istana sebelah utara
dilihatnya dalam kegelapan berkelebat sesosok tubuh berpakaian hulubalang. Sebelumnya
Mapatih Jayengrono sudah diberi tahu bahwa pencuri yang menyusup ke dalam Istana itu
menyamar atau berpakaian sebagai seorang hulubalang!
Dengan mengertakkan geraham, Mapatih ini segera lari di sepanjang atap mengejar maling
tersebut.
Sementara itu sambil lari dilihatnya belasan hulubalang dan puluhan pengawal-pengawal
tingkat tinggi telah bertebar berjaga-jaga di setiap sudut. Dapat dipastikan bahwa si pencuri tak
akan bisa lolos begitu saja!
Sewaktu Mapatih Jayengrono sampai di ujung atap sebelah utara Istana, dia jadi amat
penasaran karena orang yang dikejarnya lenyap tiada bekas. Di bawah dilihatnya dua orang
hulubalang dan sembilan pengawal klas satu berjaga-jaya.
"Tak mungkin pencuri itu lolos dari sini tanpa diketahui orang-orang di bawah sana", kata
Jayengrono dalam hati. "Pasti dia bersembunyi di sekitar sini."
Baru saja sang patih kerajaan berpikir begitu, di ujung barat di dengamya suara hiruk pikuk
dan seruan, "Api! Api!"
Ketika Jayengrono berpaling ke barat, benar saja, dilihatnya atap Istana tenggelam dalam
kobaran api.
"Pengawal-pengawal klas II dan klas III lekas padamkan api! Yang lain-lain tetap di tempat!
Ini adalah pancingan musuh!" teriak Jayengrono dengan suara lantang mengandalkan tenaga
dalam hingga terdengar ke segala pejuru.
Dengan matanya yang tajam Jayengrono memandang teliti ke segenap penjuru, terutama ke
tempat-tempat yang gelap.
"Heran, ke mana perginya maling itu." kata sang patih pada dirinya sendiri. Lalu berserulah
dia, "Maling edan! Sebaiknya menyerahlah! Kau sudah terkurung, tak mungkin bisa kabur!".
Baru saja Mapatih Jayengrono berseru demikian, mendadak di bawahnya terdengar teriakan,
"Itu dia malingnya! Lekas kejarl Itu dia malingnya .... lekas kejar!"
Tak ayal lagi para hulubalang dan pengawal-pengawal yang ada di situ segera ikut mengejar.
Mapatih Jayengrono segera pula hendak menggerakkan kakinya. Tapi sekilas pikiran timbul
dalam benaknya yang cerdik dan berpengalaman. Dia tetap ditempatnya dan memandang ke
bawah dengan seksama. Dari tempatnya berdiri itu jelas dilihatnya hulubalang yang tadi berteriak
dan menunding sambil berlari, memperlambat larinya hingga akhirnya dia tinggal seorang diri di
belakang!
"Pasti dia bangsatnya!" kertak Jayengrono. Tanpa membuang tempo lagi dia melompat ke
bawah. Selagi tubuhnya melayang di udara, mendadak tampak belasan benda berkilauan
menyambar kearahnya. Temyata hulubalang dibawah sana telah melemparkan senjata-senjata
rahasia kepada sang patih.
"Maling besar! Jangan harap kau bisa lolos hidup-hidup dari sini!", teriak Javengrono.
Tangan kirinya dipukulkan kelawan. Belasan senjata rahasia yang menyerangnya berpelantingan.
Di bawahnya terdengar kekehan si hulubalang yang memang bukan lain adalah Dewa
Maling adanya.
"Jayengrono, kau memang cerdik. Kejar dan tangkaplah aku!".
Dewa Maling Baju Hitam berkelebat ke tembok Istana yang saat itu sudah tak dijaga lagi
karena hulubalang-hulubalang dan para pengawal telah berlarian mengejar "maling" yang tadi
diteriakinya!
"Ayo kejar aku!" tantang Dewa Maling kembali begitu dia menginjakkan kakinya di atas
tembok.
Sebagai jawaban, sambil melesat mengejar, Mapatih Djajengrono melepaskan satu pukulan
tangan kosong yang hebat. Tembok Istana hancur berantakan, tapi Dewa Maling sudah lenyap
dari situ. Hanya suara kekehannya terdengar di pohon besar di luar tembok Istana.
"Kurang ajar! Kau mau lari ke mana bah?!" kertak Jayengrono dan segera menyusul. Kedua
orang itu untuk beberapa lamanya saling kejar mengejar di atas atap-atap rumah penduduk dan
kemudian, untuk kedua kalinya Jayengrono kehilangan orang kejarannya itu di sebelah timur
Kotaraja.
Ke mana pulakah lenyapnya Dewa Maling saat itu? Sesungguhnya dia tak berada iauh dari
sang patih kerajaan Dengan mengandalkan ilmunya yang dinamakan "cecak merayap di atap",
Dewa Maling laksana seekor cecak "menempelkan" dirinya di bawah ujung atap rumah
penduduk yang gelap!
Sewaktu dilihatnya patih itu pergi ke jurusan lain segera Dewa Maling bergerak kejurusan
yang berlawanan dan akhirnya sampai di temook Kotaraja yang dikawal ketat. Para pengawal
yang bertugas di sini disamping berjaga-jaga mereka juga asyik membicarakan tentang
menyusupnya seorang maling lihay yang berhasil mencuri senjata mustika tumbal kerajaan.
Dewa Maling tidak takutkan pengawal-pengawal ini malah dengan sikap keren dia melangkah ke
hadapan mereka dan membentak,
"Kalian kunyuk-kunyuk dogol semua! Kawan-kawan kalian bertempur mati-matian di depan
mesjid mengeroyok maling penyusup! Kalian enak-enakan ngobrol di sini! Lekas bantu mereka!
Biar aku yang berjaga-jaga di tempat ini!"
Mendengar bentakan yang menggeledek itu, tanpa curiga dan banyak tanya para pengawal
dan hulubalang-hulubalang yang ada di situ segera lari menuju ke tempat di mana dikatakan
terjadi pertempuran hebat.
"Dasar manusia-manusia tolol!" ujar Dewa Maling penuh geli. Kemudian segera
dilompatinya tembok tinggi batas kerajaan dan dalam tempo yang singkat dia sudah lenyap di
kegelapan malam.
Namun belum lagi sepeminuman teh berlalu Dewa Maling merasa ada seseorang yang
mengejarnya di belakang. Dan belum sempat dia memalingkan kepala, satu bentakan nyaring
terdengar sejarak sepuluh tombak di belakangnya.
"Jangan harap kau bisa kabur seenaknya, bangsat pencuri!"
9
PADA WAKTU prajurit-prajurit pengawal dan para hulubalang lari secepatnya menuju ke
mesjid, mereka berpapasan dengan Mapatih Jayengrono.
"Kalian mau ke mana?!" tanya sang patih heran.
"Di depan mesjid tengah terjadi pertempuran, Maling yang mencuri Tombak Trisula sedang
dikeroyok. Kami kesana untuk memberikan bantuan", menerangkan salah seorang hulubalang.
Heranlah Mapatih Jayengrono. Dia barusan lewat menyelidik di depan mesjid dan di sana
tak terjadi keributan apa-apa, apalagi pertempuran.
"Kalian telah kena tipu!" kata Jayengrono pula. "Dari siapa kalian tahu ada pertempuran di
depan mesjid?"
"Seorang hulubalang klas satu mengatakannya pada kami!"
"Kalian tolol semual," bentak sang patih gusar bukan main.
Diikuti oleh pengawal-pengawal serta hulubalang-hulubelang itu dia segera menuju ke
tembok timur.
"Mana dia?!" tanya Jayengrono dengan mata membeliak.
"Tadi . . . , tadi . . . . dia bilang akan berjaga-jaga di si…"
"Plaak!"
Tamparan Patih Jayengrono mendarat di pipi hulubalang itu hingga ucapannya yang
tergagap-gagap ketakutan terputus sampai di situ.
Setelah memaki habis-habisan, tanpa membuang tempo sang patih segera melompati tembok
kerajaan dan lenyap dari pemandangan orang-orang tersebut.
Kurang dari sepeminuman teh dia berlari, didepannya dilihatnya seorang berpakaian
hulubalang berlari dengan sebat sekali. Nyatalah orang itu memiliki ilmu lari yang lihay dan di
samping itu, Jayengrono merasa gembira karena inilah manusia yang dicari-carinya. Mahapatih
yang berumur setengah abad lebih ini segera mengerahkan pula ilmu larinya yang tak kalah hebat
dan dalam tempo singkat dia berhasil mendekati orang yang dikejarnya dalam jarak sepuluh
tombak. Maka mebentaklah dia,
"Jangan harap kau bisa kabur seenaknya, bangsat pencuri!"
Orang yang lari di depan terkejut dan memalingkan kepalanya. Ternyata dia memanglah
Dewa Maling Baju Hitam.
"Jayengrono! Kau keliwat setia mengikutiku terus-terusan. Aku akan beri hadiah atas
kesetiaanmu itu! Ini terimalah!" kata Dewa Maling. Lalu dalam jarak kurang dari delapan tombak
dia menghantamkan tangan kanannya ke belakang.
Mapatih Jayengrono yang tengah lari kencang tak punya kesempatan untuk menangkis,
dengan serta merta membuang diri ke samping kiri.
Wuss!
Angin pukulan lawan lewat di sampingnya, keras dan panas bukan main.
"Braak!
Angin pukulan yang lewat terus menghantam sebuah pohon besar. Bukan saja pohon itu
menjadi hangus hitam sampai ke ranting-rantingnya tetapi juga tumbang dengan mengeluarkan
suara bergemuruh.
"Kau berkelit dari seranganku, Jayengrono! Berarti kau masih mau hidup. Kalau mau terus
bernafas kunasihatkan padamu agar kembali ke Kotaraja!"
Mahapatih Jayengrono mendengus. Dalam jarak sedekat itu kini dia bisa melihat jelas wajah
si pencuri. Hatinya terkejut. Tak di sangkanya yang melarikan Tombak Trisula itu adalah Dewa
Maling Baju Hitam, seorang tokoh pencuri yang terkenal lihay di dunia persilatan. Pantas saja dia
sanggup melarikan senjata tumbal kerajaan itu.
"Sebelum kuterima nasihatmu, kau dengar dulu nasihatku!" menjawab Jayengrono. "Lekas
serahkan kembali Tombak Trisula. Dan kepalamu itu akan selamat dari kehancuran!"
Dewa Maling tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Patih itu.
"Kau jauh dari sarangmu, Mapatih! Kalau bicara jangan kelewat sombong!"
"Lekas kembalikan Tombak Trisula itu!"
"Silahkan ambil sendiri!" sahut Dewa Maling Baju Hitam seenaknya dan sambil menimang-
nimang Tombak Trisula yang dipegangnya di tangan kiri.
Mapatih Jayengrono gusar bukan main. Namun dia tak segera turun tangan. Ada beberapa
hal yang harus diketahuinya. Pertama, meski Dewa Maling terkenal sebagai pencuri klas wahid
yang tak ada bandingannya di dunia persilatan namun bagaimana dia bisa berhasil mencuri
Tombak Trisula sedang senjata mustika itu di simpan di tempat yang paling tersembunyi dan
penuh dengan senjata-senjata rahasia yang mengancam jiwa setiap orang yang berani meng-
ambilnya secara sembarangan?
Hal kedua yang ingin diketahui oleh Mapatih Jayengrono ialah apakah ada seseorang yang
bersembunyi di belakang pencuri itu dan sekaligus memberi tahu seluk beluk penyimpanan
Tombak Trisula, dengan kata lain seorang telah memperalat Dewa Maling Baju Hitam!
"Dewa Maling, untuk apa olehmu Tombak Trisula tumbal kerajaan itu? Sekalipun kau
memilikinya jangan harap kau bakal bisa menjadi Raja!"
Kembali Dewa Maling tertawa gelak-gelak.
"Aku mau jadi raja atau mau jadi setan pelayangan, itu bukan urusanmu, Mapatih!"
sahutnya.
"Jika kau mau mengembalikan senjata itu dan menerangkan siapa orang yang berdiri di
belakangmu, aku akan bikin habis persoalan. Dan di samping itu aku akan berikan hadiah besar
untukmu."
"Sudahlah Mapatih. Kau kembalilah ke Kotaraja. Kenapa memusingkan benda yang bukan
milik bapak moyangmu?"
Marahlah Mapatih Jayengrono.
"Aku bertanggung jawab atas segala apa yang terjadi di Kerajaan!" katanya. "Kalau kau
tetap keras kepala, jangan harap kau bakal melihat matahari pagi!"
"Kalau begitu kau yang sebetuinva buru-buru inginkan mati, Jayengrono! Marilah kutolong
kau mencari jalan ke neraka!". Habis berkata begitu Dewa Maling Baju Hitam
melompat dan menyerang dengan mempergunakan Tombak Trisula. Senjata mustika
bermata tiga itu menusuk sebat ke dada Mapatih Jayengrono.
"Trang!"
Bunga api berpercikan.
Dewa Maling Baju Hitam kaget bukan main. Dia hampir tak melihat kapan lawannya itu
mencabut pedang yang tergantung di pinggang kirinya dan tahu-tahu senjata itu sudah berada di
tangannya, dipakai untuk menangkis serangan Tombak Trisula! Memang dalam ilmu pedang,
Mapatih Jayengrono memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Pada umur tigapuluh lima tahun dia
sudah dijuluki sebagai "Raja Pedang Dari Pajang" dan kini dalam umur setengah abad lebih
ternyata ilmu kepandaiannya semakin tinggi!
Meski Dewa Maling terkejut bukan main, tapi sang patihpun tak kurang kagetnya. Sewaktu
bentrokan senjata tadi, lengannya tergetar keras dan kesemutan. Bahkan ketika ditelitinya salah
satu bagian mata pedangnya telah rompal akibat beradu dengan Tombak Trisula!
Melihat betapa ampuhnya senjata mustika yang dipakai tumbal kerajaan itu, Patih
Jayengrono maklum bahwa saat itu dia tak boleh membuang-buang waktu. Maka begitu
mwyerang dia segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat dan selama ini
menggetarkan dunia persilatan di Jawa Tengah!
Di lain pihak Dewa Maling memaklumi pula bahwa dalam ilmu silat bersenjata dia hanya
akan sanggup melayani Raja PPdang Dari Pajang itu dalam tempo yang singkat. Untuk itu dia
harus mengandalkan kegesitan atau mengusahakan menghantam pedang lawan dengan Tombak
Trisula, atau cepat-cepat angkat kaki dari situ dengan mempergunakan tipu muslihat! Namun
meski bagaimanapun kegusaran yang ada di hati Dewa Maling membuat laki-laki ini
memutuskan untuk melayani terlebih dulu sang patih sampai beberapa puluh jurus. Demikianlah
maka kedua orang berilmu tinggi itu saling bertempur dengan hebatnya dalam gelapnya malam.
Dua puluh jurus berlalu. Saat itu Dewa Maling sudah berada di bawah angin. Serangan
pedang lawan datang bertubi-tubi, kadang-kadang mencurah laksana air hujan.
"Bangsat tua ini lihay betul!", maki Dewa Maling Baju Hitam dalam hati. Dalam keadaan
begitu rupa dia melompat menjauhkan diri seperti orang yang hendak mengambil langkah seribu.
"Mau lari ke mana, manusia jahat?!", bentak Mapatih Jayengrono. Lalu dengan satu gerakan
kilat memburu melompat dan mengirimkan dua bacokan ganas. Namun sekali ini sang patih telah
tertipu.
Gerakan yang dibuat oleh Dewa Maling tadi sama sekali bukan untuk melarikan diri, tapi
justru untuk memancing lawan. Sewaktu Jayengrono melompat ke arahnya dengan
membacokkan pedang, laksana seekor kelinci dengan gesit Dewa Maling melompat ke samping
lalu menyelinapkan satu tusukan tombak ke bagian tubuh sebelah bawah lawan yang tidak
terjaga.
Karena bacokannya mengenai tempat kosong dengan sendirinya serangan balasan Dewa
Maling membahayakan sekali bagi Jayengrono. Derigan sebat patih ini membabatkan pedangnya
ke bawah karena dalam posisi begitu rupa cara itulah satu-satunya bagi dia untuk dapat
menyelamatkan jiwanya! Justru memang inilah yang di kehendaki oleh lawannya.
Melihat lawan membabatkan senjata ke bawah, Dewa Maling dengan keras memukulkan
Tombak Trisula ke atas menyongsong senjata lawan! Raja Pedang Dari Pajang terkejut namun
kasip. Tak ada kesempatan lagi untuk menghindarkan bentrokan senjata tersebut.
"Trang!"
Pedang di tangan Mapatih Jayengrono patah dua. Jayengrono cepat melompat mundur
sedang di hadapannya Dewa Maling tertawa mengekeh, tangan kanan memelintangkan Tombak
Trisula di depan dada sedang tangan kiri bertolak pinggang.
"Jayengrono! Sayang kau terlalu keras kepala! Sudah ditakdirkan bahwa kau tak bakal
melihat matahari esok pagi!".
Dewa Mating menerjang ke muka.
Tombak Trisula berkiblat menderu. Jayengrono berusaha menangkis sedapat-dapat nya
dengan sisa patahan pedang yang masih ada di tangannya sedang tangan kiri melepaskan satu
pukulan tangan kosong yang dahsyat. .
"Keparat!" maki Dewa Maling karena dia tak menyangka kalau lawan yang sudah tak
berdaya itu masih memiliki pukulan sakti yang hampir saja menghantam dirinya kalau dia tidak
lekas-lekas menyingkii dan memaksanya membatalkan serangan mautnya tadi!
"Walau bagaimanapun kau tak bakal bisa membawa lari Tombak Trisula itu, pencuri jahat!"
kata Jayengrono yang masih besar nyalinya meski kini sudah bertangan kosong.
Dewa Maling berkomat-kamit. Dalam marahnya dia merasa sudah cukup lama melayani
patih Pajang itu. Dari dalam baju hitamnya yang terlindung oleh pakaian hulubalang
dikeluarkannya sebuah benda hijau berbentuk suling. Dengan kedua tangan terpentang
Jayengrono menunggu waspada. Senjata di tangan kiri lawan merupakan senjata aneh baginya.
Tiba-tiba Dewa Maling meletakkan salah satu ujung benda hijau berbentuk suling itu di ujung
bibirnya dan meniup. Satu suara melengking tajam menusuk anak telinga menggema di
keheningan malam. Asap hijau yang ditaburi manik-manik merah menyala mencurah ke arah
Jayengrono. Dalam kagetnya patih Pajang ini tak sempat lagi menyingkir. Begitu asap hijau
bertabur manik-manik merah menyambar hidungnya, patih ini terbatuk-batuk, dari tenggo-
rokannya terdengar suara seperti mau muntah. Kedua lututnya goyah dan akhirnya tubuhnya
tergelimpang pingsan.
Dewa Maling Baju Hitam tertawa perlahan. "Jayengrono, kalau aku tidak membunuhmu
sekarang bukan berarti aku memiliki belas kasihan tefiadapmu! Racun jahat yang ada dalam
tubuhmu akan membuat kau menderita batuk darah seumur hidup! Dirimu akan tersiksa, dan itu
jauh lebih jahat dari pada kematian!"
Kembali Dewa Maling tertawa perlahan. Kemudian dengan memboyong Tombak Trisula,
dia berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.Kira-kira Dewa Maling sudah berlalu sejauh
seratus tombak, satu bayangan putih entah dari mans datangnya tahu-tahu sudah berada di tempat
itu. Melihat sosok tubuh patih Jayengrono yang terhampar di tanah, orang ini memaki.
"Sialan, aku terlambat!"
10
mesjid, mereka berpapasan dengan Mapatih Jayengrono.
"Kalian mau ke mana?!" tanya sang patih heran.
"Di depan mesjid tengah terjadi pertempuran, Maling yang mencuri Tombak Trisula sedang
dikeroyok. Kami kesana untuk memberikan bantuan", menerangkan salah seorang hulubalang.
Heranlah Mapatih Jayengrono. Dia barusan lewat menyelidik di depan mesjid dan di sana
tak terjadi keributan apa-apa, apalagi pertempuran.
"Kalian telah kena tipu!" kata Jayengrono pula. "Dari siapa kalian tahu ada pertempuran di
depan mesjid?"
"Seorang hulubalang klas satu mengatakannya pada kami!"
"Kalian tolol semual," bentak sang patih gusar bukan main.
Diikuti oleh pengawal-pengawal serta hulubalang-hulubelang itu dia segera menuju ke
tembok timur.
"Mana dia?!" tanya Jayengrono dengan mata membeliak.
"Tadi . . . , tadi . . . . dia bilang akan berjaga-jaga di si…"
"Plaak!"
Tamparan Patih Jayengrono mendarat di pipi hulubalang itu hingga ucapannya yang
tergagap-gagap ketakutan terputus sampai di situ.
Setelah memaki habis-habisan, tanpa membuang tempo sang patih segera melompati tembok
kerajaan dan lenyap dari pemandangan orang-orang tersebut.
Kurang dari sepeminuman teh dia berlari, didepannya dilihatnya seorang berpakaian
hulubalang berlari dengan sebat sekali. Nyatalah orang itu memiliki ilmu lari yang lihay dan di
samping itu, Jayengrono merasa gembira karena inilah manusia yang dicari-carinya. Mahapatih
yang berumur setengah abad lebih ini segera mengerahkan pula ilmu larinya yang tak kalah hebat
dan dalam tempo singkat dia berhasil mendekati orang yang dikejarnya dalam jarak sepuluh
tombak. Maka mebentaklah dia,
"Jangan harap kau bisa kabur seenaknya, bangsat pencuri!"
Orang yang lari di depan terkejut dan memalingkan kepalanya. Ternyata dia memanglah
Dewa Maling Baju Hitam.
"Jayengrono! Kau keliwat setia mengikutiku terus-terusan. Aku akan beri hadiah atas
kesetiaanmu itu! Ini terimalah!" kata Dewa Maling. Lalu dalam jarak kurang dari delapan tombak
dia menghantamkan tangan kanannya ke belakang.
Mapatih Jayengrono yang tengah lari kencang tak punya kesempatan untuk menangkis,
dengan serta merta membuang diri ke samping kiri.
Wuss!
Angin pukulan lawan lewat di sampingnya, keras dan panas bukan main.
"Braak!
Angin pukulan yang lewat terus menghantam sebuah pohon besar. Bukan saja pohon itu
menjadi hangus hitam sampai ke ranting-rantingnya tetapi juga tumbang dengan mengeluarkan
suara bergemuruh.
"Kau berkelit dari seranganku, Jayengrono! Berarti kau masih mau hidup. Kalau mau terus
bernafas kunasihatkan padamu agar kembali ke Kotaraja!"
Mahapatih Jayengrono mendengus. Dalam jarak sedekat itu kini dia bisa melihat jelas wajah
si pencuri. Hatinya terkejut. Tak di sangkanya yang melarikan Tombak Trisula itu adalah Dewa
Maling Baju Hitam, seorang tokoh pencuri yang terkenal lihay di dunia persilatan. Pantas saja dia
sanggup melarikan senjata tumbal kerajaan itu.
"Sebelum kuterima nasihatmu, kau dengar dulu nasihatku!" menjawab Jayengrono. "Lekas
serahkan kembali Tombak Trisula. Dan kepalamu itu akan selamat dari kehancuran!"
Dewa Maling tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Patih itu.
"Kau jauh dari sarangmu, Mapatih! Kalau bicara jangan kelewat sombong!"
"Lekas kembalikan Tombak Trisula itu!"
"Silahkan ambil sendiri!" sahut Dewa Maling Baju Hitam seenaknya dan sambil menimang-
nimang Tombak Trisula yang dipegangnya di tangan kiri.
Mapatih Jayengrono gusar bukan main. Namun dia tak segera turun tangan. Ada beberapa
hal yang harus diketahuinya. Pertama, meski Dewa Maling terkenal sebagai pencuri klas wahid
yang tak ada bandingannya di dunia persilatan namun bagaimana dia bisa berhasil mencuri
Tombak Trisula sedang senjata mustika itu di simpan di tempat yang paling tersembunyi dan
penuh dengan senjata-senjata rahasia yang mengancam jiwa setiap orang yang berani meng-
ambilnya secara sembarangan?
Hal kedua yang ingin diketahui oleh Mapatih Jayengrono ialah apakah ada seseorang yang
bersembunyi di belakang pencuri itu dan sekaligus memberi tahu seluk beluk penyimpanan
Tombak Trisula, dengan kata lain seorang telah memperalat Dewa Maling Baju Hitam!
"Dewa Maling, untuk apa olehmu Tombak Trisula tumbal kerajaan itu? Sekalipun kau
memilikinya jangan harap kau bakal bisa menjadi Raja!"
Kembali Dewa Maling tertawa gelak-gelak.
"Aku mau jadi raja atau mau jadi setan pelayangan, itu bukan urusanmu, Mapatih!"
sahutnya.
"Jika kau mau mengembalikan senjata itu dan menerangkan siapa orang yang berdiri di
belakangmu, aku akan bikin habis persoalan. Dan di samping itu aku akan berikan hadiah besar
untukmu."
"Sudahlah Mapatih. Kau kembalilah ke Kotaraja. Kenapa memusingkan benda yang bukan
milik bapak moyangmu?"
Marahlah Mapatih Jayengrono.
"Aku bertanggung jawab atas segala apa yang terjadi di Kerajaan!" katanya. "Kalau kau
tetap keras kepala, jangan harap kau bakal melihat matahari pagi!"
"Kalau begitu kau yang sebetuinva buru-buru inginkan mati, Jayengrono! Marilah kutolong
kau mencari jalan ke neraka!". Habis berkata begitu Dewa Maling Baju Hitam
melompat dan menyerang dengan mempergunakan Tombak Trisula. Senjata mustika
bermata tiga itu menusuk sebat ke dada Mapatih Jayengrono.
"Trang!"
Bunga api berpercikan.
Dewa Maling Baju Hitam kaget bukan main. Dia hampir tak melihat kapan lawannya itu
mencabut pedang yang tergantung di pinggang kirinya dan tahu-tahu senjata itu sudah berada di
tangannya, dipakai untuk menangkis serangan Tombak Trisula! Memang dalam ilmu pedang,
Mapatih Jayengrono memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Pada umur tigapuluh lima tahun dia
sudah dijuluki sebagai "Raja Pedang Dari Pajang" dan kini dalam umur setengah abad lebih
ternyata ilmu kepandaiannya semakin tinggi!
Meski Dewa Maling terkejut bukan main, tapi sang patihpun tak kurang kagetnya. Sewaktu
bentrokan senjata tadi, lengannya tergetar keras dan kesemutan. Bahkan ketika ditelitinya salah
satu bagian mata pedangnya telah rompal akibat beradu dengan Tombak Trisula!
Melihat betapa ampuhnya senjata mustika yang dipakai tumbal kerajaan itu, Patih
Jayengrono maklum bahwa saat itu dia tak boleh membuang-buang waktu. Maka begitu
mwyerang dia segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat dan selama ini
menggetarkan dunia persilatan di Jawa Tengah!
Di lain pihak Dewa Maling memaklumi pula bahwa dalam ilmu silat bersenjata dia hanya
akan sanggup melayani Raja PPdang Dari Pajang itu dalam tempo yang singkat. Untuk itu dia
harus mengandalkan kegesitan atau mengusahakan menghantam pedang lawan dengan Tombak
Trisula, atau cepat-cepat angkat kaki dari situ dengan mempergunakan tipu muslihat! Namun
meski bagaimanapun kegusaran yang ada di hati Dewa Maling membuat laki-laki ini
memutuskan untuk melayani terlebih dulu sang patih sampai beberapa puluh jurus. Demikianlah
maka kedua orang berilmu tinggi itu saling bertempur dengan hebatnya dalam gelapnya malam.
Dua puluh jurus berlalu. Saat itu Dewa Maling sudah berada di bawah angin. Serangan
pedang lawan datang bertubi-tubi, kadang-kadang mencurah laksana air hujan.
"Bangsat tua ini lihay betul!", maki Dewa Maling Baju Hitam dalam hati. Dalam keadaan
begitu rupa dia melompat menjauhkan diri seperti orang yang hendak mengambil langkah seribu.
"Mau lari ke mana, manusia jahat?!", bentak Mapatih Jayengrono. Lalu dengan satu gerakan
kilat memburu melompat dan mengirimkan dua bacokan ganas. Namun sekali ini sang patih telah
tertipu.
Gerakan yang dibuat oleh Dewa Maling tadi sama sekali bukan untuk melarikan diri, tapi
justru untuk memancing lawan. Sewaktu Jayengrono melompat ke arahnya dengan
membacokkan pedang, laksana seekor kelinci dengan gesit Dewa Maling melompat ke samping
lalu menyelinapkan satu tusukan tombak ke bagian tubuh sebelah bawah lawan yang tidak
terjaga.
Karena bacokannya mengenai tempat kosong dengan sendirinya serangan balasan Dewa
Maling membahayakan sekali bagi Jayengrono. Derigan sebat patih ini membabatkan pedangnya
ke bawah karena dalam posisi begitu rupa cara itulah satu-satunya bagi dia untuk dapat
menyelamatkan jiwanya! Justru memang inilah yang di kehendaki oleh lawannya.
Melihat lawan membabatkan senjata ke bawah, Dewa Maling dengan keras memukulkan
Tombak Trisula ke atas menyongsong senjata lawan! Raja Pedang Dari Pajang terkejut namun
kasip. Tak ada kesempatan lagi untuk menghindarkan bentrokan senjata tersebut.
"Trang!"
Pedang di tangan Mapatih Jayengrono patah dua. Jayengrono cepat melompat mundur
sedang di hadapannya Dewa Maling tertawa mengekeh, tangan kanan memelintangkan Tombak
Trisula di depan dada sedang tangan kiri bertolak pinggang.
"Jayengrono! Sayang kau terlalu keras kepala! Sudah ditakdirkan bahwa kau tak bakal
melihat matahari esok pagi!".
Dewa Mating menerjang ke muka.
Tombak Trisula berkiblat menderu. Jayengrono berusaha menangkis sedapat-dapat nya
dengan sisa patahan pedang yang masih ada di tangannya sedang tangan kiri melepaskan satu
pukulan tangan kosong yang dahsyat. .
"Keparat!" maki Dewa Maling karena dia tak menyangka kalau lawan yang sudah tak
berdaya itu masih memiliki pukulan sakti yang hampir saja menghantam dirinya kalau dia tidak
lekas-lekas menyingkii dan memaksanya membatalkan serangan mautnya tadi!
"Walau bagaimanapun kau tak bakal bisa membawa lari Tombak Trisula itu, pencuri jahat!"
kata Jayengrono yang masih besar nyalinya meski kini sudah bertangan kosong.
Dewa Maling berkomat-kamit. Dalam marahnya dia merasa sudah cukup lama melayani
patih Pajang itu. Dari dalam baju hitamnya yang terlindung oleh pakaian hulubalang
dikeluarkannya sebuah benda hijau berbentuk suling. Dengan kedua tangan terpentang
Jayengrono menunggu waspada. Senjata di tangan kiri lawan merupakan senjata aneh baginya.
Tiba-tiba Dewa Maling meletakkan salah satu ujung benda hijau berbentuk suling itu di ujung
bibirnya dan meniup. Satu suara melengking tajam menusuk anak telinga menggema di
keheningan malam. Asap hijau yang ditaburi manik-manik merah menyala mencurah ke arah
Jayengrono. Dalam kagetnya patih Pajang ini tak sempat lagi menyingkir. Begitu asap hijau
bertabur manik-manik merah menyambar hidungnya, patih ini terbatuk-batuk, dari tenggo-
rokannya terdengar suara seperti mau muntah. Kedua lututnya goyah dan akhirnya tubuhnya
tergelimpang pingsan.
Dewa Maling Baju Hitam tertawa perlahan. "Jayengrono, kalau aku tidak membunuhmu
sekarang bukan berarti aku memiliki belas kasihan tefiadapmu! Racun jahat yang ada dalam
tubuhmu akan membuat kau menderita batuk darah seumur hidup! Dirimu akan tersiksa, dan itu
jauh lebih jahat dari pada kematian!"
Kembali Dewa Maling tertawa perlahan. Kemudian dengan memboyong Tombak Trisula,
dia berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.Kira-kira Dewa Maling sudah berlalu sejauh
seratus tombak, satu bayangan putih entah dari mans datangnya tahu-tahu sudah berada di tempat
itu. Melihat sosok tubuh patih Jayengrono yang terhampar di tanah, orang ini memaki.
"Sialan, aku terlambat!"
10
ORANG berpakaian putih itu membungkuk di samping tubuh Jayengrono. Wajah sang patih
kelihatan membiru sedang dari sela bibirnya keluar busa kental dan leher bengkak
menggembung.
"Racun jahat," kata orang berpakaian putih dalam hati. Telapak tangan kanannya di tekankan
ke perut Jayengrono sedang jari-jari tangan kiri mencengkeram leher patih itu. Sesaat kemudian-
kelihatan tubuh Jayengrono menggeliat, lalu melejang-lejang. Dari mulutnya semakin banyak
keluar busa dan kini busa itu berwarna kehijauan. Kemudian terdengar perutnya menggereok dan
sang patih muntah dua kali berturut-turut.
Orang berpakaian putih merasa lega melihat manusia yang ditolongnya muntah. Dia
maklum, kalau Jayengrono tidak muntah begitu rupa, niscaya nyawa sang patih tak mungkin di
selamatkannya. Tapi dia tahu bahwa sampai di situ keselamatan Jayengrono masih belum
terjamin sepenuhnya. Setelah mengalirkan hawa panas dan hawa dingin ke dalam aliran darah
sang patih lalu diambilnya dua butir obat dan dimasukkannya ke dalam mulut patih itu. Setelah
yaktn bahwa kini tak ada lagi racun jahat yang mengendap dalam tubuh atau jalan nafas
Jayengrono, laki-laki berpakaian putih itu sebelum meninggalkan tempat tersebut dengan jari-jari
tangan kanannya menggurat tanah membuat tulisan.
Sementara seisi Istana Pajang heboh oleh tercurinya Tombak Trisula serta lenyap tak
diketahui ke mana perginya Mapatih Jayengrono, malam yang dingin telah berganti dengan
siang, fajar telah menyingsing di timur.
Tubuh Mapatih Jayengrono yang selama beberapa jam terhantar di tanah kelihatan bergerak.
Sepasang matanya membuka perlahan. Akhirnya patih ini siuman dan duduk menjelepok di
tanah. Mula-mula dia heran menyaksikan di mana dia berada saat itu. Namun bila dia ingat apa
yang telah terjadi barulah dia sadar. Dia memandang berkeliling dan pada waktu itulah
pandangannya membentur pada barisan-barisan tulisan yang tertera di tanah di ujung kakinya.
kelihatan membiru sedang dari sela bibirnya keluar busa kental dan leher bengkak
menggembung.
"Racun jahat," kata orang berpakaian putih dalam hati. Telapak tangan kanannya di tekankan
ke perut Jayengrono sedang jari-jari tangan kiri mencengkeram leher patih itu. Sesaat kemudian-
kelihatan tubuh Jayengrono menggeliat, lalu melejang-lejang. Dari mulutnya semakin banyak
keluar busa dan kini busa itu berwarna kehijauan. Kemudian terdengar perutnya menggereok dan
sang patih muntah dua kali berturut-turut.
Orang berpakaian putih merasa lega melihat manusia yang ditolongnya muntah. Dia
maklum, kalau Jayengrono tidak muntah begitu rupa, niscaya nyawa sang patih tak mungkin di
selamatkannya. Tapi dia tahu bahwa sampai di situ keselamatan Jayengrono masih belum
terjamin sepenuhnya. Setelah mengalirkan hawa panas dan hawa dingin ke dalam aliran darah
sang patih lalu diambilnya dua butir obat dan dimasukkannya ke dalam mulut patih itu. Setelah
yaktn bahwa kini tak ada lagi racun jahat yang mengendap dalam tubuh atau jalan nafas
Jayengrono, laki-laki berpakaian putih itu sebelum meninggalkan tempat tersebut dengan jari-jari
tangan kanannya menggurat tanah membuat tulisan.
Sementara seisi Istana Pajang heboh oleh tercurinya Tombak Trisula serta lenyap tak
diketahui ke mana perginya Mapatih Jayengrono, malam yang dingin telah berganti dengan
siang, fajar telah menyingsing di timur.
Tubuh Mapatih Jayengrono yang selama beberapa jam terhantar di tanah kelihatan bergerak.
Sepasang matanya membuka perlahan. Akhirnya patih ini siuman dan duduk menjelepok di
tanah. Mula-mula dia heran menyaksikan di mana dia berada saat itu. Namun bila dia ingat apa
yang telah terjadi barulah dia sadar. Dia memandang berkeliling dan pada waktu itulah
pandangannya membentur pada barisan-barisan tulisan yang tertera di tanah di ujung kakinya.
Kembalilah ke Istana.
Tentang Tombak Trisula tak usah dikawatirkan.
Mudah-mudahan dapat kukembalikan dalam waktu yang singkat.
Tentang Tombak Trisula tak usah dikawatirkan.
Mudah-mudahan dapat kukembalikan dalam waktu yang singkat.
Pendekar 212.
Pendekar 212," desis Jayengrono. Dia tak pernah kenal orang itu tapi di seluruh Jawa
Tengah namanya sudah tersohor sebagai seorang pendekar berusia muda yang amat tinggi ilmu
silat serta kesaktiannya, yang bertualang dari situ daerah ke daerah lain menjalankan tugas
membela kebenaran dan keadilan, menolong siapa saja yang tertindas dan mendapat bahaya.
Kemudian Jayengrono ingat pula bagaimana Dewa Maling Baju Hitam telah meniupkan
racun jahat kepadanya hingga dia roboh pingsan. Tentu Pendekar 212 itulah yang telah
menolongnya. Perlahan-lahan Jayengrono berdiri. Dendam kesumatnya terhadap Dewa Maling
amat besar, tapi dia tak bisa berbuat suatu apa selain berharap bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng
benar-benar bisa mengambil dan mengembalikan tombak tumbal Kerajaan itu. Dengan harapan
itulah Jayengrono meninggalkan tempat tersebut dan kembali ke Istana Pajang.
Pendekar 212," desis Jayengrono. Dia tak pernah kenal orang itu tapi di seluruh Jawa
Tengah namanya sudah tersohor sebagai seorang pendekar berusia muda yang amat tinggi ilmu
silat serta kesaktiannya, yang bertualang dari situ daerah ke daerah lain menjalankan tugas
membela kebenaran dan keadilan, menolong siapa saja yang tertindas dan mendapat bahaya.
Kemudian Jayengrono ingat pula bagaimana Dewa Maling Baju Hitam telah meniupkan
racun jahat kepadanya hingga dia roboh pingsan. Tentu Pendekar 212 itulah yang telah
menolongnya. Perlahan-lahan Jayengrono berdiri. Dendam kesumatnya terhadap Dewa Maling
amat besar, tapi dia tak bisa berbuat suatu apa selain berharap bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng
benar-benar bisa mengambil dan mengembalikan tombak tumbal Kerajaan itu. Dengan harapan
itulah Jayengrono meninggalkan tempat tersebut dan kembali ke Istana Pajang.
***
Kira-kira setengah hari perjalanan dari Pajang terdapatlah sebuah lembah liar. Dulunya
lembah ini adalah sebuah lembah subur. Tapi sewaktu banjir melanda daerah itu, segala
kesuburan lembah tersebut ikut tersapu. Bahkan sebuah kuil yang terdapat di situ ikut menjadi
korban, hampir keseluruhannya diterjang banjir. Kini sisa-sisa kuil tersebut masih berdiri
meskipun sudah tak beratap lagi dan dinding-dinding sebagian besar hanya tinggal sepotong-
sepotong.
Boleh dikatakan sejak lembah itu berubah menjadi lembah liar, tak seorang manusiapun
yang datang ke sana. Namun di hari itu adalah aneh karena di depan bekas-bekas runtuhan kuil
kelihatan dua ekor kuda besar tengah merumput. Terlindung di balik reruntuhan tembok kuil
berdiri dua orang laki-laki.
Yang satu bertubuh kecil bermuka cekung. Kumisnya tebal melintang. Yang seorang lagi
kebalikannya berbadan besar tegap. Mereka berdua adalah Pangeran Ranablambang dan
pembantu kepercayaannya yaitu Pandemang.
"Aku kawatir kalau-kalau si Dewa Maling gagal mencuri tombak itu," kata Pangeran
Ranablambang.
"Mana mungkin, Pangeran. Dia seroang cerdik, punya seribu akal dan berilmu tinggi pula,"
menyahut Pandemang seraya mengusap-usap dagunya yang lebat ditumbuhi berewok.
"Tapi dia bisa saja silap, lupa akan seluk beluk mengambil senjata itu."
"Percayalah Pangeran, Dewa Maling pasti berhasil mengambil Tombak Trisula. Kalau tidak
percuma dia mendapat julukan hebat begitu rupa."
Untuk beberapa lamanya Pangeran Ranablambang tak berkata apa-apa sampai pada akhirnya
di tepi lembah dilihatnya satu titik hitam muncui mendatang dengan cepat.
"Itu dia," kata Pangeran Ranablambang gembira.
Pandemang memandang ke arah yang ditunjuk. Titik hitam itu semakin dekat dan ternyata
memang dia adalah Dewa Maling Baju Hitam yang telah menanggalkan pakaian hulubalangnya.
"Bagaimana? Berhasil?!" pertanyaan itu cepat-cepat diajukan oleh Pangeran Ranablambang
pada Dewa Maling begitu Dewa Maling sampai di hadapannya.
"Beres Pangeran! Beres!" jawab Dewa Maling dengan tertawa lebar.
Gembiralah Pangeran Ranablambang. Dia tertawa lebih lebar dari Dewa Maling lalu
menepuk-nepuk bahu Dewa Maling dan bertanya, "Mana keluarkanlah. Berikan padaku cepat."
Dari balik pakaian hitamnya Dewa Maling mengeluarkan senjata tumbal kerajaan itu dan
menyerahkannya pada Pangeran Ranablambang. Setelah meneliti benda itu sebentar lalu sang
pangeran cepat-cepat menyimpannya di balik pakaiannya.
"Mari Dewa Maling, kau bakal mendapat hadiah besar dariku," kata Pangeran
Ranablambang. Dia melangkah kekudanya. Dari dalam sebuah kantong kulit yang tergantung di
leher binatang itu dikeluarkannya dua buah kantong kain. "Yang ini berisi barang-barang
perhiasan, emas dan batu-batu permata. Kantong yang satu ini berisi uang! Terimalah!"
Dewa Maling cepat mengulurkan tangan menyambut hadiah besar itu. Setelah menyimpan
baik-baik kedua kantong tersebut maka bertanyalah dia.
"Bagaimana dengan janjimu hendak mengangkat aku jadi orang berpangkat di Istana?"
Ranablambang tersenyum.
"Kau tak usah kawatir Dewa Maling. Segera takhta Kerajaan sudah berada di tanganku
pangkat apapun yang kau inginkan pasti kuberi. Sekarang rencana kita itu masih cukup panjang
untuk diwujudkan meski Tombak Trisula sudah berada di tangan kita ...."
"Apalagi yang harus kita laksanakan, Pangeran?" bertanya Dewa Maling.
"Pertama-tama kita harus melenyapkan Mapatih Jayengrono .... ".
Dewa Maling tertawa gelak-gelak.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Pangeran Ranablambang heran.
"Soal diri Mapatih Jayengrono, kau tak usah khawatir, Pangeran! Tak usah kawatir! Dia
sudah kubikin beres!"
"Maksudmu?!"
Dewa Maling lalu menerangkan pertempurannya dengan Jayengrono dan bagaimana dia
pada akhirnya berhasil merobohkan tokoh tinggi Istana Pajang itu.
Bukan main gembiranya Ranablambang. Berkali-kali dipujinya Dewa Maling.
"Kalau begitu", kata sang pangeran pula, "malam ini juga aku sudah bisa menggerakkan
balatentara Surabaya untuk menggempur Istana!"
Ranablambang mengangguk-angguk kemudian katanya. "Dengar Dewa Maling. Pasukan-
pasukan akan memasuki Kotaraja dari pintu selatan. Sebelum itu beberapa orangku yang ada di
dalam Kotaraja akan menimbulkan kebakaran. Kau sendiri terserah apakah mau ikut
menggempur bersama-samaku atau datang seorang diri
"Karena ada sedikit urusan, biarlah aku datang seorang diri, Pangeran ...." jawab Dewa
Maling.
"Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu di Kotaraja malam ini!"
"Sampai ketemu," balas Dewa Maling lalu meninggalkan tempat itu.
Sesudah Dewa Maling lenyap dikejauhan Pangeran Ranablambang dan Pandemang naik ke
kuda masing-masing.
"Apa kataku, Pangeran," berkata Pandemang. "Dewa Maling pasti berhasil mendapatkan
Tombak Trisula itu!"
Pangeran Ranablambang tak berkata apa-apa melainkan menepuk pinggul kudanya agar lari
lebih kencang.
"Agar lebih cepat sebaiknya kita ambil jalan memotong saja Pandemang," kata Pangeran
Ranablambang.
"Baik, Pangeran", menyetujui si pembantu. Maka kedua orang itupun membelok memasuki
sebuah jalan kecil. Pangeran Ranablambang di sebelah depan sedang pembantunya mengikut dari
belakang.
Ada kira-kira sepeminuman teh mereka menempuh jalan liar kecil itu sewaktu di depan
mereka terdengar suara siulan membawakan lagu tak teratur dan tak menentu nadanya, tiada beda
dengan anak-anak yang baru pandai bersiul. Yang anehnya suara siulan itu masuk ke telinga
kedua penunggang kuda dan menggetarkan gendang-gendang telinga mereka.
"Siapa pula yang berada di daerah liar dan bersiul begitu rupa?", ujar Pangeran
Ranablambang pada Pandemang.
"Ada kelainan dalam suara siulan ini, Pangeran." memperingatkan Pandemang.
"Aku juga merasakan", kata Pangeran Ranablambang dan mulai memperlambat lari
kudanya. "Karena itu bersikap waspadalah, Pandemang."
Setelah dua kali peminuman teh jauhnya mereka menempuh jalan kecil itu rasa heran
semakin bertambah. Betapakah tidak, sudah sejauh itu tetap mereka masih belum juga memapasi
atau melihat orang yang bersiul sedang suara siulan tetap santar datangnya dari sebelah muka!
"Seorang biasa tak mungkin dapat bersiul seaneh ini," membatin Ranablambang. Dirabanya
pinggangnya untuk memastikan bahwa Tombak Trisula masih berada di situ.
Setelah satu kali peminuman teh lagi berlalu bertanyalah Pangeran Ranablambang.
"Bagaimana Pandemang, apakah kita teruskan juga menempuh jalan kecil ini?"
"Terserah Pangeran. Menurut hamba sebaiknya kita kembali saja."
"Tapi sudah jauh begini kepalang tanggung," kata Ranablambang. Dia berpikir sejenak lalu.
"Biar kita teruskan saja. Aku kepingin tahu siapa manusianya yang bersiul itu."
Maka keduanyapun memacu kuda masing-masing kembali.
Tak selang berapa lama di hadapan mereka tampaklah seseorang duduk di tepi jalan,
bersandar ke sebatang pohon. Kedua kakinya diulurkan ke depan. Orang inilah yang tengah asyik
bersiul-siul seenaknya. Bahkan ketika Pangeran Ranablambang dan Pandemang sampai di tempat
itu, dia terus saja bersiul-siul, seolah-olah tidak pernah tahu atau tidak perduli akan kehadiran
kedua penunggang kuda itu.
"Hanya seorang pemuda tolol gila, kiranya Pandemang. Kukira siapa!" kata Ranablambang
pada pembantunya.
Pandemang juga jadi mendongkol ketika menyaksikan orang yang bersiul itu adalah seorang
pemuda berpakaian putih, bertampang tolol dan berambut gondrong.
"Orang edan, minggirlah! Beri kami jalan!" membentak Pandemang.
Di bentak demikian rupa si pemuda bukannya hentikan siulan, malah semakin
memperkencangnya hingga baik Pangeran Ranablambang maupun Pandemang terpaksa menutup
jalan pendengaran masing-masing agar telinga mereka tidak menjadi sakit pengang!
"Pemuda hina dina!" bentak Pandemang lagi penuh marah, "berani kau bersikap kurang ajar
terhadap kami! Kupecahkan kepalamu!"
Pandemang melompat dari kudanya. Tinjunya yang keras besar laksana palu godam
diayunkan ke kepala pemuda itu.
lembah ini adalah sebuah lembah subur. Tapi sewaktu banjir melanda daerah itu, segala
kesuburan lembah tersebut ikut tersapu. Bahkan sebuah kuil yang terdapat di situ ikut menjadi
korban, hampir keseluruhannya diterjang banjir. Kini sisa-sisa kuil tersebut masih berdiri
meskipun sudah tak beratap lagi dan dinding-dinding sebagian besar hanya tinggal sepotong-
sepotong.
Boleh dikatakan sejak lembah itu berubah menjadi lembah liar, tak seorang manusiapun
yang datang ke sana. Namun di hari itu adalah aneh karena di depan bekas-bekas runtuhan kuil
kelihatan dua ekor kuda besar tengah merumput. Terlindung di balik reruntuhan tembok kuil
berdiri dua orang laki-laki.
Yang satu bertubuh kecil bermuka cekung. Kumisnya tebal melintang. Yang seorang lagi
kebalikannya berbadan besar tegap. Mereka berdua adalah Pangeran Ranablambang dan
pembantu kepercayaannya yaitu Pandemang.
"Aku kawatir kalau-kalau si Dewa Maling gagal mencuri tombak itu," kata Pangeran
Ranablambang.
"Mana mungkin, Pangeran. Dia seroang cerdik, punya seribu akal dan berilmu tinggi pula,"
menyahut Pandemang seraya mengusap-usap dagunya yang lebat ditumbuhi berewok.
"Tapi dia bisa saja silap, lupa akan seluk beluk mengambil senjata itu."
"Percayalah Pangeran, Dewa Maling pasti berhasil mengambil Tombak Trisula. Kalau tidak
percuma dia mendapat julukan hebat begitu rupa."
Untuk beberapa lamanya Pangeran Ranablambang tak berkata apa-apa sampai pada akhirnya
di tepi lembah dilihatnya satu titik hitam muncui mendatang dengan cepat.
"Itu dia," kata Pangeran Ranablambang gembira.
Pandemang memandang ke arah yang ditunjuk. Titik hitam itu semakin dekat dan ternyata
memang dia adalah Dewa Maling Baju Hitam yang telah menanggalkan pakaian hulubalangnya.
"Bagaimana? Berhasil?!" pertanyaan itu cepat-cepat diajukan oleh Pangeran Ranablambang
pada Dewa Maling begitu Dewa Maling sampai di hadapannya.
"Beres Pangeran! Beres!" jawab Dewa Maling dengan tertawa lebar.
Gembiralah Pangeran Ranablambang. Dia tertawa lebih lebar dari Dewa Maling lalu
menepuk-nepuk bahu Dewa Maling dan bertanya, "Mana keluarkanlah. Berikan padaku cepat."
Dari balik pakaian hitamnya Dewa Maling mengeluarkan senjata tumbal kerajaan itu dan
menyerahkannya pada Pangeran Ranablambang. Setelah meneliti benda itu sebentar lalu sang
pangeran cepat-cepat menyimpannya di balik pakaiannya.
"Mari Dewa Maling, kau bakal mendapat hadiah besar dariku," kata Pangeran
Ranablambang. Dia melangkah kekudanya. Dari dalam sebuah kantong kulit yang tergantung di
leher binatang itu dikeluarkannya dua buah kantong kain. "Yang ini berisi barang-barang
perhiasan, emas dan batu-batu permata. Kantong yang satu ini berisi uang! Terimalah!"
Dewa Maling cepat mengulurkan tangan menyambut hadiah besar itu. Setelah menyimpan
baik-baik kedua kantong tersebut maka bertanyalah dia.
"Bagaimana dengan janjimu hendak mengangkat aku jadi orang berpangkat di Istana?"
Ranablambang tersenyum.
"Kau tak usah kawatir Dewa Maling. Segera takhta Kerajaan sudah berada di tanganku
pangkat apapun yang kau inginkan pasti kuberi. Sekarang rencana kita itu masih cukup panjang
untuk diwujudkan meski Tombak Trisula sudah berada di tangan kita ...."
"Apalagi yang harus kita laksanakan, Pangeran?" bertanya Dewa Maling.
"Pertama-tama kita harus melenyapkan Mapatih Jayengrono .... ".
Dewa Maling tertawa gelak-gelak.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Pangeran Ranablambang heran.
"Soal diri Mapatih Jayengrono, kau tak usah khawatir, Pangeran! Tak usah kawatir! Dia
sudah kubikin beres!"
"Maksudmu?!"
Dewa Maling lalu menerangkan pertempurannya dengan Jayengrono dan bagaimana dia
pada akhirnya berhasil merobohkan tokoh tinggi Istana Pajang itu.
Bukan main gembiranya Ranablambang. Berkali-kali dipujinya Dewa Maling.
"Kalau begitu", kata sang pangeran pula, "malam ini juga aku sudah bisa menggerakkan
balatentara Surabaya untuk menggempur Istana!"
Ranablambang mengangguk-angguk kemudian katanya. "Dengar Dewa Maling. Pasukan-
pasukan akan memasuki Kotaraja dari pintu selatan. Sebelum itu beberapa orangku yang ada di
dalam Kotaraja akan menimbulkan kebakaran. Kau sendiri terserah apakah mau ikut
menggempur bersama-samaku atau datang seorang diri
"Karena ada sedikit urusan, biarlah aku datang seorang diri, Pangeran ...." jawab Dewa
Maling.
"Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu di Kotaraja malam ini!"
"Sampai ketemu," balas Dewa Maling lalu meninggalkan tempat itu.
Sesudah Dewa Maling lenyap dikejauhan Pangeran Ranablambang dan Pandemang naik ke
kuda masing-masing.
"Apa kataku, Pangeran," berkata Pandemang. "Dewa Maling pasti berhasil mendapatkan
Tombak Trisula itu!"
Pangeran Ranablambang tak berkata apa-apa melainkan menepuk pinggul kudanya agar lari
lebih kencang.
"Agar lebih cepat sebaiknya kita ambil jalan memotong saja Pandemang," kata Pangeran
Ranablambang.
"Baik, Pangeran", menyetujui si pembantu. Maka kedua orang itupun membelok memasuki
sebuah jalan kecil. Pangeran Ranablambang di sebelah depan sedang pembantunya mengikut dari
belakang.
Ada kira-kira sepeminuman teh mereka menempuh jalan liar kecil itu sewaktu di depan
mereka terdengar suara siulan membawakan lagu tak teratur dan tak menentu nadanya, tiada beda
dengan anak-anak yang baru pandai bersiul. Yang anehnya suara siulan itu masuk ke telinga
kedua penunggang kuda dan menggetarkan gendang-gendang telinga mereka.
"Siapa pula yang berada di daerah liar dan bersiul begitu rupa?", ujar Pangeran
Ranablambang pada Pandemang.
"Ada kelainan dalam suara siulan ini, Pangeran." memperingatkan Pandemang.
"Aku juga merasakan", kata Pangeran Ranablambang dan mulai memperlambat lari
kudanya. "Karena itu bersikap waspadalah, Pandemang."
Setelah dua kali peminuman teh jauhnya mereka menempuh jalan kecil itu rasa heran
semakin bertambah. Betapakah tidak, sudah sejauh itu tetap mereka masih belum juga memapasi
atau melihat orang yang bersiul sedang suara siulan tetap santar datangnya dari sebelah muka!
"Seorang biasa tak mungkin dapat bersiul seaneh ini," membatin Ranablambang. Dirabanya
pinggangnya untuk memastikan bahwa Tombak Trisula masih berada di situ.
Setelah satu kali peminuman teh lagi berlalu bertanyalah Pangeran Ranablambang.
"Bagaimana Pandemang, apakah kita teruskan juga menempuh jalan kecil ini?"
"Terserah Pangeran. Menurut hamba sebaiknya kita kembali saja."
"Tapi sudah jauh begini kepalang tanggung," kata Ranablambang. Dia berpikir sejenak lalu.
"Biar kita teruskan saja. Aku kepingin tahu siapa manusianya yang bersiul itu."
Maka keduanyapun memacu kuda masing-masing kembali.
Tak selang berapa lama di hadapan mereka tampaklah seseorang duduk di tepi jalan,
bersandar ke sebatang pohon. Kedua kakinya diulurkan ke depan. Orang inilah yang tengah asyik
bersiul-siul seenaknya. Bahkan ketika Pangeran Ranablambang dan Pandemang sampai di tempat
itu, dia terus saja bersiul-siul, seolah-olah tidak pernah tahu atau tidak perduli akan kehadiran
kedua penunggang kuda itu.
"Hanya seorang pemuda tolol gila, kiranya Pandemang. Kukira siapa!" kata Ranablambang
pada pembantunya.
Pandemang juga jadi mendongkol ketika menyaksikan orang yang bersiul itu adalah seorang
pemuda berpakaian putih, bertampang tolol dan berambut gondrong.
"Orang edan, minggirlah! Beri kami jalan!" membentak Pandemang.
Di bentak demikian rupa si pemuda bukannya hentikan siulan, malah semakin
memperkencangnya hingga baik Pangeran Ranablambang maupun Pandemang terpaksa menutup
jalan pendengaran masing-masing agar telinga mereka tidak menjadi sakit pengang!
"Pemuda hina dina!" bentak Pandemang lagi penuh marah, "berani kau bersikap kurang ajar
terhadap kami! Kupecahkan kepalamu!"
Pandemang melompat dari kudanya. Tinjunya yang keras besar laksana palu godam
diayunkan ke kepala pemuda itu.
***
11
11
"PANDEMANG! Tahan dulu," seru Pangeran Ranablambang.
Mau tak mau mendengar seruan itu Pandemang menghentikan gerakannya. Dia berpaling
dan bertanya heran.
"Mungkin dia tuli, Pandemang. Hingga tak mendengar ucapan kita!"
"Sekalipun tuli tapi dia tokh tidak buta, Pangeran!"
Ranablambang mengambil sekeping uang perak. Sambil melemparkan uang itu ke depan
kaki pemuda yang duduk di tanah dia berkata,
"Pemuda, kalau kau hanya seorang pengemis, ambillah uang itu dan menyingkirlah lekas!"
Si pemuda menghentikan siulannya. Sebagai ganti dari mulutnya kini keluar suara tertawa
membahak, membuat dua ekor kuda yang ada di situ menjadi gelisah dan mengeluarkan suara
ringkikan ketakutan.
"Apa kata hamba, Pangeran! Pemuda ini memang pantas diberi hajaran!" kata Pandemang.
Ranablambang kali ini juga sudah menjadi gusar sehingga sewaktu pembantunya itu kembali
mengayunkan tangan memukul kepala si pemuda, dia tak menghalangi lagi.
"Braak!"
Suara itu dibarengi dengan keluhan tinggi Pandemang. Entah kapan si pemuda bergerak,
tahu-tahu pukulan Pandemang meleset dan menghantam pohon di belakangnya hingga patah dan
tumbang dengan mengeluarkan suara berisik. Pandemang sendiri mengeluh kesakitan. Tinju
kanannya kelihatan merah lecet. Dan ini membuat laki-laki itu naik ke kepala amarahnya. Masih
dengan mengandalkan tangan kosong Pandemang menerjang ke muka menyerbu si pemuda
berpakaian putih.
Yang diserang ganda tertawa lalu berkelit ke samping. Setiap serangan yang dilancarkan
oleh Pandemang tak satupun mengenai sasarannya. Ini membuat Pandemang semakin naik pitam
sedang lawannya terus menerus tertawa mengejek. Akhirnya Pandemang tak menunggu lebih
lama lagi. Dua bilah golok besar yang senantiasa tergantung di pinggangnya kiri kanan
dicabutnya. Sesaat kemudian sepasang senjata itu laksana hujan mencurah menderu-deru ke arah
pemuda berbaju putih. Dalam keadaan begitu rupa si pemuda tak bisa main-main seperti tadi lagi.
Dia musti bertindak cepat kalau tidak mau dapat celaka. Didahului oleh suara siulan yang
melengking tinggi laksana mau merobek gendang-gendang telinga, pemuda itu berkelebat. Di
lain kejap tubuhnya lenyap menjadi bayangbayang dan Pandemang kini bingung sendiri karena
tak dapat melihat di mana lawannya berada.
"Buuk!"
Pandemang berteriak kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan hampir jatuh
menelungkup karena satu pukulan keras mendarat di punggungnya. Untung saja pukulan itu
hanya mengandalkan tenaga kasar, kalau disertai tenaga dalam niscaya Pandemang akan konyol
detik itu juga. Dengan beringas Pandemang membalikkan tubuh. Dua bilah goloknya membacok
susul menyusul namun lagi-lagi dia hanya menyerang tempat kosong. Sebelum dia dapat
memastikan di mana musuhnya berada, satu pukulan lagi mendarat di ulu hatinya. Pandemang
mengeluh pendek. Perutnya mual seperti mau muntah. Ketika satu tamparan menghajar mukanya,
tak ampun lagi laki-laki bertubuh besar tinggi ini terhuyung nanar dan menggeletak pingsan di
tanah!
Untuk beberapa lamanya Pangeran Ranablambang tertegun heran di atas punggung kudanya.
Dia tahu betul tingkat ilmu kepandaian Pandemang. Tidak sembarang orang bisa
mengalahkannya, apalagi secepat dan secara main-main seperti yang dilakukan si pemuda.
"Pemuda rambut gondrong! Siapakah kau sebetulnya?" bertanya Ranablambang.
"Aku adalah Ranablambang!", jawab pemuda itu seenaknya dengan cengar cengir, lalu
meneruskan. "Anak seorang gundik yang ingin menjadi raja! Yang telah mencuri Tombak Trisula
tumbal kerajaan!".
Merahlah paras Ranablambang. Dihunusnya kerisnya dari balik pinggang. Lalu dengan
gerakan enteng melompat turun dari punggung kuda. Selagi tubuhnya melayang di udara dia
sudah mengirimkan satu serangan yang hebat membuat pemuda rambut gondrong terpaksa buru-
buru menyingkir. Sesaat kemudian terjadilah pertarungan yang seru di jalan kecil itu. Ternyata
Ranablambang lebih tinggi ilmu silatnya dari Pandemang. Gerakan-gerakannya gesit.
Serangannya cepat sebat. Tiap-tiap ilmu silat yang dimainkannya licik dan berbahaya. Kalau saja
lawannya tidak hati-hati dan berpengalaman mungkin sudah sejak tadi tadi dia mendapat celaka.
Tiga puluh jurus berlalu. Meski berada di atas angin Ranablambang masih belum berhasil
untuk merobohkan lawannya. Untuk mempercepat maksudnya mempecundangi lawan pada jurus
ketigapuluh-dua Pangeran ini mengeluarkan Tombak Trisula. Dengah keris di tangan kiri dan
tombak Trisula di tangan kanan dia melanjutkan menggempur si pemuda.
"Ha . . . ha ... ! Senjata curian yang hendak kau andalkan Pangeran! Sungguh keterlaluan!"
ejek pemuda rambut gondrong. Sambil berkelit dijangkaunya golok besar milik Pandemang.
Dengan satu gerakan yang sebat, golok itu disapukannya terdepan. Ranablambang mengelak
cepat dan dari samping mengirimkan satu tusukan keras dengan Tombak Trisula. Tapi dia kaget
karena lawannya tak ada lagi di tempat semula. Dalam kebingungan begitu rupa satu benda keras
menghantam kepalanya sebelah belakang. Sang Pangeran mengeluh pendek. Pemandangan
mandangan berbinar-binar. Tanah yang dipijaknya, laksana amblas dan sesaat kemudian dia
tergelimpang pingsan menyusul Pandemang.
Pemuda berambut gondrong tertawa perlahan. Diambilnya Tombak Trisula dari genggaman
Ranablambang; lalu diselipkannya di pinggang di balik bajunya.
Mau tak mau mendengar seruan itu Pandemang menghentikan gerakannya. Dia berpaling
dan bertanya heran.
"Mungkin dia tuli, Pandemang. Hingga tak mendengar ucapan kita!"
"Sekalipun tuli tapi dia tokh tidak buta, Pangeran!"
Ranablambang mengambil sekeping uang perak. Sambil melemparkan uang itu ke depan
kaki pemuda yang duduk di tanah dia berkata,
"Pemuda, kalau kau hanya seorang pengemis, ambillah uang itu dan menyingkirlah lekas!"
Si pemuda menghentikan siulannya. Sebagai ganti dari mulutnya kini keluar suara tertawa
membahak, membuat dua ekor kuda yang ada di situ menjadi gelisah dan mengeluarkan suara
ringkikan ketakutan.
"Apa kata hamba, Pangeran! Pemuda ini memang pantas diberi hajaran!" kata Pandemang.
Ranablambang kali ini juga sudah menjadi gusar sehingga sewaktu pembantunya itu kembali
mengayunkan tangan memukul kepala si pemuda, dia tak menghalangi lagi.
"Braak!"
Suara itu dibarengi dengan keluhan tinggi Pandemang. Entah kapan si pemuda bergerak,
tahu-tahu pukulan Pandemang meleset dan menghantam pohon di belakangnya hingga patah dan
tumbang dengan mengeluarkan suara berisik. Pandemang sendiri mengeluh kesakitan. Tinju
kanannya kelihatan merah lecet. Dan ini membuat laki-laki itu naik ke kepala amarahnya. Masih
dengan mengandalkan tangan kosong Pandemang menerjang ke muka menyerbu si pemuda
berpakaian putih.
Yang diserang ganda tertawa lalu berkelit ke samping. Setiap serangan yang dilancarkan
oleh Pandemang tak satupun mengenai sasarannya. Ini membuat Pandemang semakin naik pitam
sedang lawannya terus menerus tertawa mengejek. Akhirnya Pandemang tak menunggu lebih
lama lagi. Dua bilah golok besar yang senantiasa tergantung di pinggangnya kiri kanan
dicabutnya. Sesaat kemudian sepasang senjata itu laksana hujan mencurah menderu-deru ke arah
pemuda berbaju putih. Dalam keadaan begitu rupa si pemuda tak bisa main-main seperti tadi lagi.
Dia musti bertindak cepat kalau tidak mau dapat celaka. Didahului oleh suara siulan yang
melengking tinggi laksana mau merobek gendang-gendang telinga, pemuda itu berkelebat. Di
lain kejap tubuhnya lenyap menjadi bayangbayang dan Pandemang kini bingung sendiri karena
tak dapat melihat di mana lawannya berada.
"Buuk!"
Pandemang berteriak kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan hampir jatuh
menelungkup karena satu pukulan keras mendarat di punggungnya. Untung saja pukulan itu
hanya mengandalkan tenaga kasar, kalau disertai tenaga dalam niscaya Pandemang akan konyol
detik itu juga. Dengan beringas Pandemang membalikkan tubuh. Dua bilah goloknya membacok
susul menyusul namun lagi-lagi dia hanya menyerang tempat kosong. Sebelum dia dapat
memastikan di mana musuhnya berada, satu pukulan lagi mendarat di ulu hatinya. Pandemang
mengeluh pendek. Perutnya mual seperti mau muntah. Ketika satu tamparan menghajar mukanya,
tak ampun lagi laki-laki bertubuh besar tinggi ini terhuyung nanar dan menggeletak pingsan di
tanah!
Untuk beberapa lamanya Pangeran Ranablambang tertegun heran di atas punggung kudanya.
Dia tahu betul tingkat ilmu kepandaian Pandemang. Tidak sembarang orang bisa
mengalahkannya, apalagi secepat dan secara main-main seperti yang dilakukan si pemuda.
"Pemuda rambut gondrong! Siapakah kau sebetulnya?" bertanya Ranablambang.
"Aku adalah Ranablambang!", jawab pemuda itu seenaknya dengan cengar cengir, lalu
meneruskan. "Anak seorang gundik yang ingin menjadi raja! Yang telah mencuri Tombak Trisula
tumbal kerajaan!".
Merahlah paras Ranablambang. Dihunusnya kerisnya dari balik pinggang. Lalu dengan
gerakan enteng melompat turun dari punggung kuda. Selagi tubuhnya melayang di udara dia
sudah mengirimkan satu serangan yang hebat membuat pemuda rambut gondrong terpaksa buru-
buru menyingkir. Sesaat kemudian terjadilah pertarungan yang seru di jalan kecil itu. Ternyata
Ranablambang lebih tinggi ilmu silatnya dari Pandemang. Gerakan-gerakannya gesit.
Serangannya cepat sebat. Tiap-tiap ilmu silat yang dimainkannya licik dan berbahaya. Kalau saja
lawannya tidak hati-hati dan berpengalaman mungkin sudah sejak tadi tadi dia mendapat celaka.
Tiga puluh jurus berlalu. Meski berada di atas angin Ranablambang masih belum berhasil
untuk merobohkan lawannya. Untuk mempercepat maksudnya mempecundangi lawan pada jurus
ketigapuluh-dua Pangeran ini mengeluarkan Tombak Trisula. Dengah keris di tangan kiri dan
tombak Trisula di tangan kanan dia melanjutkan menggempur si pemuda.
"Ha . . . ha ... ! Senjata curian yang hendak kau andalkan Pangeran! Sungguh keterlaluan!"
ejek pemuda rambut gondrong. Sambil berkelit dijangkaunya golok besar milik Pandemang.
Dengan satu gerakan yang sebat, golok itu disapukannya terdepan. Ranablambang mengelak
cepat dan dari samping mengirimkan satu tusukan keras dengan Tombak Trisula. Tapi dia kaget
karena lawannya tak ada lagi di tempat semula. Dalam kebingungan begitu rupa satu benda keras
menghantam kepalanya sebelah belakang. Sang Pangeran mengeluh pendek. Pemandangan
mandangan berbinar-binar. Tanah yang dipijaknya, laksana amblas dan sesaat kemudian dia
tergelimpang pingsan menyusul Pandemang.
Pemuda berambut gondrong tertawa perlahan. Diambilnya Tombak Trisula dari genggaman
Ranablambang; lalu diselipkannya di pinggang di balik bajunya.
***
Para pengawal di pintu gerbang Kotaraja sebelah timur terkejut dan juga heran sewaktu
menyaksikan seorang pemuda asing dengan menunggangi kuda membawa dua sosok tubuh yang
diletakkan di atas punggung seekor kuda gandengan. Kejut serta keheranan mereka bertambah
lagi bilamana mengenali bahwa dua orang yang ada di punggung kuda gandengan itu adalah
Pangeran Ranablambang dan pembantunya yang bernama Pandemang.
"Bukalah pintu gerbang!", kata si pemuda.
Di saat itu selusin pengawal sudah mengurung pemuda ini, bersiap-siap untuk
menangkapnya.
"Turun dari kuda dan serahkan dirimu lekas!" kata pemimpin pengawal.
Si pemuda memaki dalam hati.
"Para pengawal! Kalian tidak tahu apa-apa! Karena itu jangan banyak bacot! Lekas buka
pintu gerbang! Aku harus menghadap Mapatih Jayengrono selekasnya!"
"Katakan dulu siapa kau! Kotaraja berada dalam keadaan darurat! Tidak sembarang orang
boleh masuk! Apa lagi kau datang membawa Pangeran Ranablambang beserta pembantunya
dalam keadaan begini rupa!"
"Bicaramu keren amat, sobat!" ujar si pemuda rambut gondrong. "Sekali kuadukan pada
Mapatih Jayengrono pasti kau bakal mendapat hukuman!"
"Tak perlu mengancam! Lekas serahkan dirimu!"
"Kalian mau buka pintu gerbang ini atau tidak!" bentak si pemuda kesal.
"Sompret! Berani membentak!" damprat kepaIa pengawal lalu melompat untuk
menyentakkan kaki pemuda itu. Namun sebelum maksudnya kesampaian si pemuda telah lebih
dulu menghantamkan tumitnya ke dada kepala prajurit itu hingga tubuhnya mencelat mental dan
jatuh duduk di tanah!
Melihat itu sepuluh prajurit pengawal segera menghunus pedang masing-masing dan
mengeroyok si pemuda sementara seorang prajurit pengawal lainnya menyelinap masuk ke
Kotaraja guna melaporkan kejadian itu pada atasannya.
Ketika lima orang hulubalang sampai ke tempat itu, mereka amat terkejut menyaksikan
bagaimana sepuluh prajurit pengawal berhamparan di depan pintu gerbang. Ada yang merintih
kesakitan, ada yang menggeletak pingsan sedang pemuda rambut gondrong masih tetap berada di
punggung kuda dengan senyum-senyum kecil seolah-olah tak ada terjadi apa-apa di situ!
"Orang gendeng!" bentak salah seorang hulubalang. Diikuti oleh orang kawannya dia segera
mencabut pedangnya membabat ke depan! Lima senjata maut berkelebat kencang!
"Tahan!" terdengar satu bentakan memerintah keras.
Lima hulubalang kerajaan menghentikan gerakan mereka. Yang datang adalah seorang laki-
laki yang sudah berumur tapi masih kelihatan gagah. Melihat orang ini, pemuda rambut gondrong
segera melompat turun dari atas kudanya dan menjura hormat seraya berkata:
"Mapatih Jayengrono… aku yang rendah datang untuk menepati janji yang kutulis malam
tadi."
Mula-mula Jayengrono keheran-heranan atas ucapan pemuda yang tak dikenal itu. Namun
bila dia ingat apa yang dialaminya semalam, segera dia sadar.
"Apakah kau Pendekar 212 ...?" sang patih bertanya.
"Betul, Mapatih," jawab si pemuda yang ternyata adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Wiro Sableng.
Jayengrono memandang berkeliling pada para hulubalang dan pengawal-pengawal pintu
gerbang yang mulai siuman. "Kalian ceroboh semua! Tidak mengenali siapa adanya pemuda ini!
Dialah yang menyelamatkan Pajang! Yang datang untuk mengembalikan Tombak Trisula yang
telah dicuri itu!"
Tentu saja semua prajurit dan hulubalang yang ada di situ menjadi kaget bukan main. Mana
mereka menyangka kalau, si pemuda berambut gondrong bertampang tolol itu adalah Pendekar
212 Wiro Sableng yang selama ini sangat terkenal dalam dunia persilatan. Dengan cepat mereka
membuka pintu gerbang Kotaraja lebar-lebar.
Jayengrono membawa Wiro Sableng ke gedung Kepatihan. Begitu duduk berhadap-hadapan
Jayengrono segera bertanya. "Pendekar, apakah kau berhasil mendapatkan kembali Tombak
Trisula?"
Wiro Sableng mengangguk. Dari balik baju putihnya dikeluarkannya Tombak Trisula.
Jayengrono menerima senjata itu. Setelah menelitinya sebentar, berserulah Mapatih Pajang itu.
"Ini Tombak Trisula palsu!"
Wiro Sableng terkejut dan tersentak dari kursinya.
"Bagaimana Mapatih tahu ...?" tanya Pendekar 212.
"Sepintas lalu memang kelihatan seperti yang asli," kata Jayengrono. "Tapi jika diperhatikan
akan kentara sinarnya redup dan buatannya kasar! Kalau kau tak percaya lihat aku buktikan!"
Jayengrono mengambil sebilah pedang pajangan yang tergantung di dinding ruangan itu.
Dengan pedang itu kemudian ditetaknya Tombak Trisula! Tombak tersebut langsung terpotong
dua!
"Lihat!" kata Jayengrono pula. "Pedang mustika milikkupun tak mungkin bisa memapas
Tombak Trisula. Ini hanya sebilah pedang biasa sanggup memotongnya jadi dua!"
"Kalau begitu aku telah tertipu!" kata Wiro Sableng sambil menggaruk-garuk kepalanya
yang berambut gondrong. Dan di dalam hati pemuda ini memaki setengah mati.
"Aku tak salahkan kau, Pendekar 212." berkata Mapatih Jayengrono, "sebelumnya kau tak
pernah melihat Tombak Trisula yang asli . . . . ". Setelah saling berdiam diri beberapa lamanya
bertanyalah Jayengrono. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Sebaiknya bawa masuk Ranablambang dan pembantunya. Kita bisa tanyai mereka,"
menganjurkan Wiro.
Jayengrono menyetujui anjuran itu. Lalu kedua orang tersebutpun di bawa masuk ke ruangan
itu tanpa dilepaskan totokan di tubuh masing-masing.
"Pangeran Ranablambang," kata Mapatih Jayeiigrono yang masih mau menyebut "pangeran"
terhadap pengkhianat itu, "karena kedokmu sudah terbuka tak ada gunanya. kau bersembunyi-
sembunyi lagi. Jawablah setiap pertanyaanku dengan jujur. Di mana Tombak Trisula yang asli
kau sembunyikan?!"
"Apa?!"
"Di mana Tombak Trisula yang asli kau sembunyikan?" mengulang Jayengrono.
Ranablambang yang bermuka kecil tekung itu memandang tepat-tepat pada Jayengrono, lalu
pada potongan-potongan tombak yang menggeletak di lantai ruangan dan akhirnya berkata, "Aku
tidak mengerti maksudmu".
"Kau lihat potongan senjata itu? Bentuknya persis seperti Tombak Trisula tapi adalah
palsu!"
"Palsu atau tidak itu bukan urusanku, Mapatih!" kata Ranablambang pula.
"Kau telah menyuruh Dewa Maling Baju Hitam untuk mencuri senjata tumbal kerajaan itu.
Ketika kau kutangkap tombak tersebut ada padamu dan temyata palsu. Kau atau si pencurikah
yang telah menukarnya dengan yang palsu?" yang berkata ini adalah Wiro Sableng.
"Orang gendeng, aku tidak ada urusan denganmu! Aku tidak sudi menjawab pertanyaan
orang gila!"
Wiro Sableng tertawa perlahan dan menjawab. "Bagaimanapun gilanya diriku, tapi aku tidak
segilamu, Ranablambang. Seluruh Pajang tahu kalau kau cuma anak seorang gundik. Tapi
mengapa menyebut diri sebagai pangeran. Dan lebih dari itu berhasrat hendak jadi raja pula!
Mana yang lebih gila, aku atau kau?!"
Merahlah muka Ranablambang mendengar ucapan itu.
"Lekas beritahu di mana Tombak Trisula yang asli!" sentak Jayengrono.
"Aku tidak tahu!"
"Jangan berdalih, Pangeran!"
"Kalau dia tak mau menjawab secara baik-baik, aku ada cara yang paling bagus untuk
membuatnya bicara, Mapatih," kata Wiro pula.
"Mapatih," membuka suara Pandemang. "Pangeran Ranablambang tidak berdusta. Dia betul-
betul tidak tahu apa yang kau maksudkan dengan Tombak Trisula asli dan yang palsu".
"Lantas apa yang kau ketahui, orang gagah?" tanya Wiro Sableng.
"Bangsat rendah, kelak aku akan memenggal batang lehermu!", kata Pandemang mendesis.
"Sebelum kau memenggal lehernya, kau musti selamatkan dulu kau punya batang leher
sendiri! Ayo katakan apa yang kau ketahui!" bentak Jayengrono.
"Aku tak mau bicara!" jawab Pandemang.
"Baik, tak apa", kata sang patih pula. Dipanggilnya beberapa orang hulubalang lalu di
suruhnya jebloskan kedua orang itu ke dalam penjara.
"Aku mempunyai dugaan, Mapatih", kata Wiro Sableng begitu dia tinggal berdua dengan
Jayengrono.
"Dugaan apa?"
"Mungkin sekali Dewa Maling Baju Hitamlah yang punya pekerjaan. Dicurinya Tombak
Trisula yang asli lalu kepada Ranablambang diserahkannya yang palsu . . . .".
"Dugaanmu bukan mustahil," ujar Mapatih Jayengrono. "Bisakah kau membantuku kembali
untuk mendapatkan Tombak Trisula yang asli itu?".
Sebagai jawaban Wiro Sableng berdiri lalu berkata, "Akan aku usahakan, Mapatih."
"Usahakanlah sebelum Sri Baginda kembali dari daerah. Kalau tidak aku bisa berabe!"
"Jangan kawatir Mapatih, mudah-mudahan berhasil." kata Wiro Sableng. Meskipun ruangan
itu mempunyai pintu untuk keluar masuk tapi pemuda ini dengan seenaknya memilih jendela
untuk jalan lewat meninggalkan ruangan tersebut.
menyaksikan seorang pemuda asing dengan menunggangi kuda membawa dua sosok tubuh yang
diletakkan di atas punggung seekor kuda gandengan. Kejut serta keheranan mereka bertambah
lagi bilamana mengenali bahwa dua orang yang ada di punggung kuda gandengan itu adalah
Pangeran Ranablambang dan pembantunya yang bernama Pandemang.
"Bukalah pintu gerbang!", kata si pemuda.
Di saat itu selusin pengawal sudah mengurung pemuda ini, bersiap-siap untuk
menangkapnya.
"Turun dari kuda dan serahkan dirimu lekas!" kata pemimpin pengawal.
Si pemuda memaki dalam hati.
"Para pengawal! Kalian tidak tahu apa-apa! Karena itu jangan banyak bacot! Lekas buka
pintu gerbang! Aku harus menghadap Mapatih Jayengrono selekasnya!"
"Katakan dulu siapa kau! Kotaraja berada dalam keadaan darurat! Tidak sembarang orang
boleh masuk! Apa lagi kau datang membawa Pangeran Ranablambang beserta pembantunya
dalam keadaan begini rupa!"
"Bicaramu keren amat, sobat!" ujar si pemuda rambut gondrong. "Sekali kuadukan pada
Mapatih Jayengrono pasti kau bakal mendapat hukuman!"
"Tak perlu mengancam! Lekas serahkan dirimu!"
"Kalian mau buka pintu gerbang ini atau tidak!" bentak si pemuda kesal.
"Sompret! Berani membentak!" damprat kepaIa pengawal lalu melompat untuk
menyentakkan kaki pemuda itu. Namun sebelum maksudnya kesampaian si pemuda telah lebih
dulu menghantamkan tumitnya ke dada kepala prajurit itu hingga tubuhnya mencelat mental dan
jatuh duduk di tanah!
Melihat itu sepuluh prajurit pengawal segera menghunus pedang masing-masing dan
mengeroyok si pemuda sementara seorang prajurit pengawal lainnya menyelinap masuk ke
Kotaraja guna melaporkan kejadian itu pada atasannya.
Ketika lima orang hulubalang sampai ke tempat itu, mereka amat terkejut menyaksikan
bagaimana sepuluh prajurit pengawal berhamparan di depan pintu gerbang. Ada yang merintih
kesakitan, ada yang menggeletak pingsan sedang pemuda rambut gondrong masih tetap berada di
punggung kuda dengan senyum-senyum kecil seolah-olah tak ada terjadi apa-apa di situ!
"Orang gendeng!" bentak salah seorang hulubalang. Diikuti oleh orang kawannya dia segera
mencabut pedangnya membabat ke depan! Lima senjata maut berkelebat kencang!
"Tahan!" terdengar satu bentakan memerintah keras.
Lima hulubalang kerajaan menghentikan gerakan mereka. Yang datang adalah seorang laki-
laki yang sudah berumur tapi masih kelihatan gagah. Melihat orang ini, pemuda rambut gondrong
segera melompat turun dari atas kudanya dan menjura hormat seraya berkata:
"Mapatih Jayengrono… aku yang rendah datang untuk menepati janji yang kutulis malam
tadi."
Mula-mula Jayengrono keheran-heranan atas ucapan pemuda yang tak dikenal itu. Namun
bila dia ingat apa yang dialaminya semalam, segera dia sadar.
"Apakah kau Pendekar 212 ...?" sang patih bertanya.
"Betul, Mapatih," jawab si pemuda yang ternyata adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Wiro Sableng.
Jayengrono memandang berkeliling pada para hulubalang dan pengawal-pengawal pintu
gerbang yang mulai siuman. "Kalian ceroboh semua! Tidak mengenali siapa adanya pemuda ini!
Dialah yang menyelamatkan Pajang! Yang datang untuk mengembalikan Tombak Trisula yang
telah dicuri itu!"
Tentu saja semua prajurit dan hulubalang yang ada di situ menjadi kaget bukan main. Mana
mereka menyangka kalau, si pemuda berambut gondrong bertampang tolol itu adalah Pendekar
212 Wiro Sableng yang selama ini sangat terkenal dalam dunia persilatan. Dengan cepat mereka
membuka pintu gerbang Kotaraja lebar-lebar.
Jayengrono membawa Wiro Sableng ke gedung Kepatihan. Begitu duduk berhadap-hadapan
Jayengrono segera bertanya. "Pendekar, apakah kau berhasil mendapatkan kembali Tombak
Trisula?"
Wiro Sableng mengangguk. Dari balik baju putihnya dikeluarkannya Tombak Trisula.
Jayengrono menerima senjata itu. Setelah menelitinya sebentar, berserulah Mapatih Pajang itu.
"Ini Tombak Trisula palsu!"
Wiro Sableng terkejut dan tersentak dari kursinya.
"Bagaimana Mapatih tahu ...?" tanya Pendekar 212.
"Sepintas lalu memang kelihatan seperti yang asli," kata Jayengrono. "Tapi jika diperhatikan
akan kentara sinarnya redup dan buatannya kasar! Kalau kau tak percaya lihat aku buktikan!"
Jayengrono mengambil sebilah pedang pajangan yang tergantung di dinding ruangan itu.
Dengan pedang itu kemudian ditetaknya Tombak Trisula! Tombak tersebut langsung terpotong
dua!
"Lihat!" kata Jayengrono pula. "Pedang mustika milikkupun tak mungkin bisa memapas
Tombak Trisula. Ini hanya sebilah pedang biasa sanggup memotongnya jadi dua!"
"Kalau begitu aku telah tertipu!" kata Wiro Sableng sambil menggaruk-garuk kepalanya
yang berambut gondrong. Dan di dalam hati pemuda ini memaki setengah mati.
"Aku tak salahkan kau, Pendekar 212." berkata Mapatih Jayengrono, "sebelumnya kau tak
pernah melihat Tombak Trisula yang asli . . . . ". Setelah saling berdiam diri beberapa lamanya
bertanyalah Jayengrono. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Sebaiknya bawa masuk Ranablambang dan pembantunya. Kita bisa tanyai mereka,"
menganjurkan Wiro.
Jayengrono menyetujui anjuran itu. Lalu kedua orang tersebutpun di bawa masuk ke ruangan
itu tanpa dilepaskan totokan di tubuh masing-masing.
"Pangeran Ranablambang," kata Mapatih Jayeiigrono yang masih mau menyebut "pangeran"
terhadap pengkhianat itu, "karena kedokmu sudah terbuka tak ada gunanya. kau bersembunyi-
sembunyi lagi. Jawablah setiap pertanyaanku dengan jujur. Di mana Tombak Trisula yang asli
kau sembunyikan?!"
"Apa?!"
"Di mana Tombak Trisula yang asli kau sembunyikan?" mengulang Jayengrono.
Ranablambang yang bermuka kecil tekung itu memandang tepat-tepat pada Jayengrono, lalu
pada potongan-potongan tombak yang menggeletak di lantai ruangan dan akhirnya berkata, "Aku
tidak mengerti maksudmu".
"Kau lihat potongan senjata itu? Bentuknya persis seperti Tombak Trisula tapi adalah
palsu!"
"Palsu atau tidak itu bukan urusanku, Mapatih!" kata Ranablambang pula.
"Kau telah menyuruh Dewa Maling Baju Hitam untuk mencuri senjata tumbal kerajaan itu.
Ketika kau kutangkap tombak tersebut ada padamu dan temyata palsu. Kau atau si pencurikah
yang telah menukarnya dengan yang palsu?" yang berkata ini adalah Wiro Sableng.
"Orang gendeng, aku tidak ada urusan denganmu! Aku tidak sudi menjawab pertanyaan
orang gila!"
Wiro Sableng tertawa perlahan dan menjawab. "Bagaimanapun gilanya diriku, tapi aku tidak
segilamu, Ranablambang. Seluruh Pajang tahu kalau kau cuma anak seorang gundik. Tapi
mengapa menyebut diri sebagai pangeran. Dan lebih dari itu berhasrat hendak jadi raja pula!
Mana yang lebih gila, aku atau kau?!"
Merahlah muka Ranablambang mendengar ucapan itu.
"Lekas beritahu di mana Tombak Trisula yang asli!" sentak Jayengrono.
"Aku tidak tahu!"
"Jangan berdalih, Pangeran!"
"Kalau dia tak mau menjawab secara baik-baik, aku ada cara yang paling bagus untuk
membuatnya bicara, Mapatih," kata Wiro pula.
"Mapatih," membuka suara Pandemang. "Pangeran Ranablambang tidak berdusta. Dia betul-
betul tidak tahu apa yang kau maksudkan dengan Tombak Trisula asli dan yang palsu".
"Lantas apa yang kau ketahui, orang gagah?" tanya Wiro Sableng.
"Bangsat rendah, kelak aku akan memenggal batang lehermu!", kata Pandemang mendesis.
"Sebelum kau memenggal lehernya, kau musti selamatkan dulu kau punya batang leher
sendiri! Ayo katakan apa yang kau ketahui!" bentak Jayengrono.
"Aku tak mau bicara!" jawab Pandemang.
"Baik, tak apa", kata sang patih pula. Dipanggilnya beberapa orang hulubalang lalu di
suruhnya jebloskan kedua orang itu ke dalam penjara.
"Aku mempunyai dugaan, Mapatih", kata Wiro Sableng begitu dia tinggal berdua dengan
Jayengrono.
"Dugaan apa?"
"Mungkin sekali Dewa Maling Baju Hitamlah yang punya pekerjaan. Dicurinya Tombak
Trisula yang asli lalu kepada Ranablambang diserahkannya yang palsu . . . .".
"Dugaanmu bukan mustahil," ujar Mapatih Jayengrono. "Bisakah kau membantuku kembali
untuk mendapatkan Tombak Trisula yang asli itu?".
Sebagai jawaban Wiro Sableng berdiri lalu berkata, "Akan aku usahakan, Mapatih."
"Usahakanlah sebelum Sri Baginda kembali dari daerah. Kalau tidak aku bisa berabe!"
"Jangan kawatir Mapatih, mudah-mudahan berhasil." kata Wiro Sableng. Meskipun ruangan
itu mempunyai pintu untuk keluar masuk tapi pemuda ini dengan seenaknya memilih jendela
untuk jalan lewat meninggalkan ruangan tersebut.
***
12
SEHABIS meninggalkan kuil tua di lembah liar itu, Dewa Maling Baju Hitam tak hentinya
merasa geli dalam hati akan kebodohan pangeran Ranablambang yang telah kena ditipunya.
Di samping ahli mencuri, Dewa Maling adalah seorang licik yang teramat jahat hatinya. Begitu
Tombak Trisula berada di tangannya segera dia pergi ke seorang tukang tempa dan disuruhnya
membuat sebuah tombak yang bentuknya persis seperti Tombak Trisula yang asli. Kemudian
Tombak Trisula yang palsu itulah yang diserahkannya pada Ranablambang.
"Dasar tolol!", kata Dewa Maling dalam hati, "kini aku punya kesempatan untuk jadi Raja
Pajang! Jadi Raja Pajang! Jadi Raja, bukan main!".
Saking gembira dan geli akan ketololan Ranablambang di puncak sebuah bukit Dewa
Maling tertawa gelak-gelak seorang diri.
"Orang gila dari manakah yang tertawa disiang bolong begini rupa!" satu suara tinggi mem-
bentak. Dua sosok bayangan bekelebat!
Dewa Maling Baju Hitam terkejut, menghentikan tawanya dan memandang berkeliling.
Berubahlah paras Dewa Maling Baju Hitam sewaktu melihat dua orang gadis berjubah
kuning berdiri dikiri kanannya. Siapa yang tak kenal dengan Sepasang Iblis Betina yang berparas
cantik tapi berhati lebih kejam dari iblis?!
Untuk menghilangkan rasa terkejut dan kegentaran hatinya Dewa Maling buru-buru menjura
hormat dan berkata.
"Ah, Sepasang Iblis Betina kiranya. Harap dimaafkan kalau suara tertawaku mengganggu
ketenteraman kalian. Tapi hari ini aku benar-benar gembira…"
"Apa yang menyebabkan kau gembira?" tanya Nilamaharani.
"Anu . . . . hem .... aku menemukan sebuah kantung berisi perhiasan", jawab Dewa Maling
dan sesudah itu laki-laki ini memaki ketololannya dalam hati. Mengapa dia harus menjawab
begitu rupa?
Bukankah seribu jawaban lainnya bisa diberikannya. Hatinya tercekat sewaktu Nilamaharani
bertanya lagi. "Mana coba kulihat kantung itu!"
Dengan masih memaki dalam hati Dewa Maling mengeluarkan kantung yang
dimaksudkannya lalu diserahkannya pada Nilamaharani. Si gadis memeriksa isi kantung itu.
Ternyata memang isinya perhiasan.
"Nasibmu memang beruntung, Dewa Maling. Namun sayang benda ini bukan rejekimu.
Iblis-iblis di neraka telah menentukan agar perhiasan ini diserahkan padaku!".
Berubahlah paras Dewa Maling.
"Ah, rupanya memang demikian" kata Dewa Maling, "tapi lebih cocok lagi kalau perhiasan
itu kita bagi dua saja …"
"Tutup mulut licikmu!" Nilamahadewi menukas. "Sekarang ayo lekas serahkan Tombak
Trisula yang asli kepadaku!"
Dewa Maling Baju Hitam laksana disengat kalajengking. Dia undur beberapa langkah lalu
tertawa.
"Kau bicara apakah, Iblis Betina?"
Nilamahadewi balas tertawa tapi penuh kesinisan. Dan gadis ini kemudian membentak. "Kau
jangan berpura-pura pilon! Jangan berlagak tidak tahu! Ayo lekas serahkan Tombak Trisula itu!"
Nilamahadewi mengulurkan tangan kanannya.
"Tombak Trisula? Tombak Trisula apa …? Aku betul-betul tidak mengerti!" kata Dewa
Maling masih berpura-pura sedang hatinya tambah tidak enak. Naga-naganya bahaya perselisihan
tak mungkin lagi dihindarkan. Walau bagaimanapun dia tak bakal menyerahkan Tombak Trisula
tersebut. Yang membuat dia heran ialah bagaimana Iblis berbaju kuning ini mengetahui bahwa
Tombak Trisula tumbal Kerajaan yang asli ada padanya!
Nilamahadewi mendengus dan pandangan matanya berubah angker.
"Tombak Trisula yang kau curi dari Istana Pajang! Ayo, kau masih mau dusta?!"
"Oh ... sungguh telingamu tajam sekali, sungguh matamu terang sekali!" sahut Dewa Maling
pula sambil memainkan senyum. "Jika tombak tersebut yang kau maksudkan, sayang telah
kuserahkan pada Pangeran Ranablambang karena dialah yang menyuruh aku untuk mencurinya."
"Dan sebagai upahnya kau dihadiahi perhiasa dalam kantong tadi bukan? Yang kau katakan
kau temui di tengah jalan?!" ujar Nilamaharani.
Nilamahadewi menimpali. "Terhadap lain orang kau boleh bicara dusta! Tapi terhadap kami
awas!"
"Sungguh mati Tombak Trisula sudah kuserahkan pada Pangeran Ranablambang.
Pembantunya yang bernama Pandemang menyaksikan sendiri hal itu", kata Dewa Maling masih
mempertahankan kedustaannya sedapat-dapatnya.
Nilamahadewi tertawa tinggi.
"Memang… memang telah kau serahkan pada si Ranablambang, tapi bukan tombak Trisula
yang asli, melainkan yang palsu!".
Berobahlah paras Dewa Maling Baju Hitam. Tanpa membuang tempo lagi dia berkata,
"Maafkan aku Sepasang Iblis Betina. Karena masih ada lain urusan aku mohon diri!"
Habis berkata begitu Dewa Maling Baju Hitam cepat-cepat hendak berlalu. Tapi…
"Eeee … ee... ee! Mau ke mana Dewa Maling?! Apa kau tidak punya telinga? Mana Tombak
Trisula itu?!" tanya Nilamahadewi dan cepat menghadang jalan Dewa Maling.
"Maaf Iblis Betina, aku tak bisa bicara panjang lebar lagi. Jika kau inginkan Tombak Trisula,
mintalah langsung pada Pangeran Ranablambang."
"Kurang ajar! Masih berani mempermainkan aku!" teriak Nilamahadewi marah. Dia
menerjang ke depan seraya mendorongkan telapak tangan kirinya.
Serangkum angin keras menyambar ke dada Dewa Maling Baju Hitam. Yang diserang cepat
berkelit, menjatuhkan diri lalu berguling aneh di tanah dan sesaat kemudian dia sudah berada
lima belas tombak jauhnya dari kedua dara berbaju kuning itu!
"Caramu lari boleh juga! Tapi jangan harap bisa kabur mentah-mentah dari hadapanku!"
kertak Nilamahadewi. Dengan mempergunakan ilmu lompatan yang disebut "katak sakti
melompati gunung", tubuhnya laksana terbang di udara dan sesaat kemudian sudah menghadang
di hadapan Dewa Maling Baju Hitam.
Kaget Dewa Maling Baju Hitam bukan alang kepalang. Tahu bahwa pertempuran tak dapat
dihindar dan untuk laripun tak mungkin, begitu berhadap-hadapan Dewa Maling segera
mengirimkan satu tendangan ke uluhati Nilamahadewi. Serangan ini dengan mudah bisa dikelit
oleh Nilamahadewi namun dia terperdaya. Tendangan yang dilancarkan lawan hanyalah tipuan
belaka karena di saat dia bergerak mengelak, satu jotosan keras dari samping kiri hampir saja
meremukkan batok kepalanya kalau dari jurusan lain kakaknya tidak datang membantu!
"Dasar iblis! Beraninya main keroyok!" bentak Dewa Maling marah dan penasaran.
"Kau berani memaki, bagus! Kupuntir lehermu!" teriak Nilamaharani.
"Majulah kalian berdua! Aku tidak takut!" jawab Dewa Maling Baju Hitam. Baru saja dia
berkata begitu selarik sinar berkilauan menyambar membuat kedua lawannya tersentak kaget dan
mundur!
Temyata Dewa Maling Baju Hitam telah mengeluarkan Tombak Trisula dan dengan senjata
itu menyerang kedua lawannya. Karena Tombak Trijula adalah senjata sakti yang tak bisa dibuat
main maka Nilamaharani dan adiknya harus berlaku hati-hati. Masih untung tombak mustika itu
berada di tangah lawan seperti Dewa Maling, kalau di tangan seorang lawan yang jauh lebih
tinggi kelihayannya pasti mereka akan mengalami kesulitan. Menghadapi Dewa Malingpun saat
itu keduanya tak mau bertindak gegabah.
Tombak Trisula di tangan Dewa Maling bersiut-siut laksana hujan mencurah. Sepasang Iblis
Betina bergerak gesit. Hanya bayangan warna baju mereka yang kuning kini yang kelihatan
berkelebat kian kemari. Dewa Maling mempercepat putaran serahgannya. Dia tahu dirinya berada
di atas angin dan kedua lawan tak berani maju mendekatinya.
Enam jurus berlalu.
Tiba-tiba terdengar suara dua pekik yang keras dan menegakkan bulu roma. Di saat itu pula
bayangan-bayangan kuning lenyap dari hadapan Dewa Maling. Sepasang Iblis Betina laksana
gaib. Dewa Mating berlaku cerdik. Dia tak mau menghentikan putaran tombak yang sekaligus
melindungi tubuhnya. Sambil terus berbuat begitu sepasang matanya berputar memandang
berkeliling dengan tajam. Sebelum dia berhasil mengetahui di mana kedua lawannya berada
mendadak setiup angin dingin berhembus keras dari samping kiri.
Dewa Maling terkejut. Tombak Trisula hampir saja terlepas dari tangan kanannya. Namun
dia selamat dari pukulan "es iblis" yang amat berbahaya yang telah dilepaskan oleh Nilamaharani
dari atas cabang pohon di sebelah kiri sana. Sebenarnya tombak mustika itulah yang telah
menyelamatkan Dewa Maling. Kalau hanya mengandalkan kekuatannya sendiri mungkin dia
sudah mendapat celaka saat itu.
Baru terlepas dari bahaya maut itu, Dewa Maling dibikin kaget lagi oleh kiblatan sinar
kuning yang datang dari samping kanan. Sekali lagi Tombak Trisula dibabatkannya. Meskipun
kali ini untuk kedua kalinya dia berhasil menyelamatkan diri namun Dewa Maling menjadi
gugup sewaktu dari depan dan dari belakang kembali setiup angin dingin luar biasa menyambar
dan dari depan selarik sinar kuning menderu. Hanya ada dua jalan untukc menyelamatkan diri
dari dua serangan ganas meminta jiwa itu.
Pertama memutar Tombak Trisula. Namun ini masih memberi kesempatan salah satu
serangan akan melanda tubuhnya Dewa Maling yaitu bila gerakannya menangkis kalah cepat
dengan perbawa dua serangan tersebut. Cara kedua ialah dengan melompat ke atas! Dan cara
inilab memang yang paling baik. Tanpa membuang tempo lagi Dewa Maling menjejakkan kedua
kakinya. Sambil memutar Tombak Trisula di sekeliling tubuhnya, Dewa Maling melesat ke udara
setinggi tujuh tombak.
"Buk"!
Satu pukulan keras menghantam bahu kanan Dewa Maling. Tulang selangkanya patah
remuk. Jerit Dewa Maling setinggi langit. Ketika dia terguling di tanah dan bangun dengan
tertatih-tatih baru disadarinya bahwa Tombak Trisula tak ada lagi dalam genggaman tangan
kanannya!. Dia memandang ke depan. Senjata mustika itu kini dilihatnya berada di tangan
Nilamaharani yang berdiri dengan bertolak pinggang dan menyunggingkan senyum mengejek!
Dewa Maling menggerutu setengah mati! Pada waktu dia melompat ke udara tadi. Nilamaharani
yang berada di belakangnya tanpa diperhitungkan lagi oleh Dewa Maling, telah menyusupkan
satu pukulan tapi tangan yang keras dan sekaligus berhasil merampas Tombak Trisula dari tangan
Dewa Maling.
"Manusia-manusia haram jadah," maki Dewa Maling secara menggerakkan tangan
mengeluarkan senjatanya yakni sebuah suling berwarna hijau, dan mendekatkannya ke bibir.
Sebelum Dewa Maling meniup senjata itu, Nilamaharani telah menyerbu dengan Tombak
Trisula!
"Keparat!", maki Dewa Maling. Dia terpaksa melompat jauh dan sejak detik itu tak punya
kesempatan lagi untuk mempergunakan suling hijaunya karena setiap saat dia dibikin sibuk oleh
serangan Tombak Trisula yang menderu ditambah pula dengan pukulan-pukulan tangan kosong
Nilamahadewi yang ikut bantu kakaknya!
"Kalau aku bertahan terus, lama-lama aku bisa mampus percuma di sini," membatin Dewa
Maling Baju Hitam.
Sambil mengelakkan satu tusukan tombak yang dilancarkan Nilamaharani, dengan gerakan
yang tidak kelihatan oleh kedua lawannya, Dewa Maling mengambil sebuah benda sebesar tutup
botol berwarna hitam.
"Betina-betina edan!" teriak Dewa Maling Baju Hitam kemudian. "Jika kalian benar-benar
lihay, tangkislah senjata rahasiaku ini!"
Lalu dengan tangan kirinya Dewa Maling Baju Hitam melemparkan benda tersebut.
Nilamaharani juga menyangka bahwa benda hitam itu betul-betul satu senjata rahasia, tak ayal
lagi segera menyapu dengan Tombak Trisula.
Begitu benda hitam dan Tombak risula beradu, terdengar suara letupan dan asap hitam yang
amat tebal bertebar dengan cepatnya di seluruh tempat, menghalangi pemandangan mata yang
bagaimanapun tajamnya.
"Kurang ajar! Kita tertipu!" seru Nilamaharani. Dan betul saja. Ketika asap hitam lenyap,
Dewa Maling Baju Hitampun tak tampak lagi mata hidungnya di situ!
merasa geli dalam hati akan kebodohan pangeran Ranablambang yang telah kena ditipunya.
Di samping ahli mencuri, Dewa Maling adalah seorang licik yang teramat jahat hatinya. Begitu
Tombak Trisula berada di tangannya segera dia pergi ke seorang tukang tempa dan disuruhnya
membuat sebuah tombak yang bentuknya persis seperti Tombak Trisula yang asli. Kemudian
Tombak Trisula yang palsu itulah yang diserahkannya pada Ranablambang.
"Dasar tolol!", kata Dewa Maling dalam hati, "kini aku punya kesempatan untuk jadi Raja
Pajang! Jadi Raja Pajang! Jadi Raja, bukan main!".
Saking gembira dan geli akan ketololan Ranablambang di puncak sebuah bukit Dewa
Maling tertawa gelak-gelak seorang diri.
"Orang gila dari manakah yang tertawa disiang bolong begini rupa!" satu suara tinggi mem-
bentak. Dua sosok bayangan bekelebat!
Dewa Maling Baju Hitam terkejut, menghentikan tawanya dan memandang berkeliling.
Berubahlah paras Dewa Maling Baju Hitam sewaktu melihat dua orang gadis berjubah
kuning berdiri dikiri kanannya. Siapa yang tak kenal dengan Sepasang Iblis Betina yang berparas
cantik tapi berhati lebih kejam dari iblis?!
Untuk menghilangkan rasa terkejut dan kegentaran hatinya Dewa Maling buru-buru menjura
hormat dan berkata.
"Ah, Sepasang Iblis Betina kiranya. Harap dimaafkan kalau suara tertawaku mengganggu
ketenteraman kalian. Tapi hari ini aku benar-benar gembira…"
"Apa yang menyebabkan kau gembira?" tanya Nilamaharani.
"Anu . . . . hem .... aku menemukan sebuah kantung berisi perhiasan", jawab Dewa Maling
dan sesudah itu laki-laki ini memaki ketololannya dalam hati. Mengapa dia harus menjawab
begitu rupa?
Bukankah seribu jawaban lainnya bisa diberikannya. Hatinya tercekat sewaktu Nilamaharani
bertanya lagi. "Mana coba kulihat kantung itu!"
Dengan masih memaki dalam hati Dewa Maling mengeluarkan kantung yang
dimaksudkannya lalu diserahkannya pada Nilamaharani. Si gadis memeriksa isi kantung itu.
Ternyata memang isinya perhiasan.
"Nasibmu memang beruntung, Dewa Maling. Namun sayang benda ini bukan rejekimu.
Iblis-iblis di neraka telah menentukan agar perhiasan ini diserahkan padaku!".
Berubahlah paras Dewa Maling.
"Ah, rupanya memang demikian" kata Dewa Maling, "tapi lebih cocok lagi kalau perhiasan
itu kita bagi dua saja …"
"Tutup mulut licikmu!" Nilamahadewi menukas. "Sekarang ayo lekas serahkan Tombak
Trisula yang asli kepadaku!"
Dewa Maling Baju Hitam laksana disengat kalajengking. Dia undur beberapa langkah lalu
tertawa.
"Kau bicara apakah, Iblis Betina?"
Nilamahadewi balas tertawa tapi penuh kesinisan. Dan gadis ini kemudian membentak. "Kau
jangan berpura-pura pilon! Jangan berlagak tidak tahu! Ayo lekas serahkan Tombak Trisula itu!"
Nilamahadewi mengulurkan tangan kanannya.
"Tombak Trisula? Tombak Trisula apa …? Aku betul-betul tidak mengerti!" kata Dewa
Maling masih berpura-pura sedang hatinya tambah tidak enak. Naga-naganya bahaya perselisihan
tak mungkin lagi dihindarkan. Walau bagaimanapun dia tak bakal menyerahkan Tombak Trisula
tersebut. Yang membuat dia heran ialah bagaimana Iblis berbaju kuning ini mengetahui bahwa
Tombak Trisula tumbal Kerajaan yang asli ada padanya!
Nilamahadewi mendengus dan pandangan matanya berubah angker.
"Tombak Trisula yang kau curi dari Istana Pajang! Ayo, kau masih mau dusta?!"
"Oh ... sungguh telingamu tajam sekali, sungguh matamu terang sekali!" sahut Dewa Maling
pula sambil memainkan senyum. "Jika tombak tersebut yang kau maksudkan, sayang telah
kuserahkan pada Pangeran Ranablambang karena dialah yang menyuruh aku untuk mencurinya."
"Dan sebagai upahnya kau dihadiahi perhiasa dalam kantong tadi bukan? Yang kau katakan
kau temui di tengah jalan?!" ujar Nilamaharani.
Nilamahadewi menimpali. "Terhadap lain orang kau boleh bicara dusta! Tapi terhadap kami
awas!"
"Sungguh mati Tombak Trisula sudah kuserahkan pada Pangeran Ranablambang.
Pembantunya yang bernama Pandemang menyaksikan sendiri hal itu", kata Dewa Maling masih
mempertahankan kedustaannya sedapat-dapatnya.
Nilamahadewi tertawa tinggi.
"Memang… memang telah kau serahkan pada si Ranablambang, tapi bukan tombak Trisula
yang asli, melainkan yang palsu!".
Berobahlah paras Dewa Maling Baju Hitam. Tanpa membuang tempo lagi dia berkata,
"Maafkan aku Sepasang Iblis Betina. Karena masih ada lain urusan aku mohon diri!"
Habis berkata begitu Dewa Maling Baju Hitam cepat-cepat hendak berlalu. Tapi…
"Eeee … ee... ee! Mau ke mana Dewa Maling?! Apa kau tidak punya telinga? Mana Tombak
Trisula itu?!" tanya Nilamahadewi dan cepat menghadang jalan Dewa Maling.
"Maaf Iblis Betina, aku tak bisa bicara panjang lebar lagi. Jika kau inginkan Tombak Trisula,
mintalah langsung pada Pangeran Ranablambang."
"Kurang ajar! Masih berani mempermainkan aku!" teriak Nilamahadewi marah. Dia
menerjang ke depan seraya mendorongkan telapak tangan kirinya.
Serangkum angin keras menyambar ke dada Dewa Maling Baju Hitam. Yang diserang cepat
berkelit, menjatuhkan diri lalu berguling aneh di tanah dan sesaat kemudian dia sudah berada
lima belas tombak jauhnya dari kedua dara berbaju kuning itu!
"Caramu lari boleh juga! Tapi jangan harap bisa kabur mentah-mentah dari hadapanku!"
kertak Nilamahadewi. Dengan mempergunakan ilmu lompatan yang disebut "katak sakti
melompati gunung", tubuhnya laksana terbang di udara dan sesaat kemudian sudah menghadang
di hadapan Dewa Maling Baju Hitam.
Kaget Dewa Maling Baju Hitam bukan alang kepalang. Tahu bahwa pertempuran tak dapat
dihindar dan untuk laripun tak mungkin, begitu berhadap-hadapan Dewa Maling segera
mengirimkan satu tendangan ke uluhati Nilamahadewi. Serangan ini dengan mudah bisa dikelit
oleh Nilamahadewi namun dia terperdaya. Tendangan yang dilancarkan lawan hanyalah tipuan
belaka karena di saat dia bergerak mengelak, satu jotosan keras dari samping kiri hampir saja
meremukkan batok kepalanya kalau dari jurusan lain kakaknya tidak datang membantu!
"Dasar iblis! Beraninya main keroyok!" bentak Dewa Maling marah dan penasaran.
"Kau berani memaki, bagus! Kupuntir lehermu!" teriak Nilamaharani.
"Majulah kalian berdua! Aku tidak takut!" jawab Dewa Maling Baju Hitam. Baru saja dia
berkata begitu selarik sinar berkilauan menyambar membuat kedua lawannya tersentak kaget dan
mundur!
Temyata Dewa Maling Baju Hitam telah mengeluarkan Tombak Trisula dan dengan senjata
itu menyerang kedua lawannya. Karena Tombak Trijula adalah senjata sakti yang tak bisa dibuat
main maka Nilamaharani dan adiknya harus berlaku hati-hati. Masih untung tombak mustika itu
berada di tangah lawan seperti Dewa Maling, kalau di tangan seorang lawan yang jauh lebih
tinggi kelihayannya pasti mereka akan mengalami kesulitan. Menghadapi Dewa Malingpun saat
itu keduanya tak mau bertindak gegabah.
Tombak Trisula di tangan Dewa Maling bersiut-siut laksana hujan mencurah. Sepasang Iblis
Betina bergerak gesit. Hanya bayangan warna baju mereka yang kuning kini yang kelihatan
berkelebat kian kemari. Dewa Maling mempercepat putaran serahgannya. Dia tahu dirinya berada
di atas angin dan kedua lawan tak berani maju mendekatinya.
Enam jurus berlalu.
Tiba-tiba terdengar suara dua pekik yang keras dan menegakkan bulu roma. Di saat itu pula
bayangan-bayangan kuning lenyap dari hadapan Dewa Maling. Sepasang Iblis Betina laksana
gaib. Dewa Mating berlaku cerdik. Dia tak mau menghentikan putaran tombak yang sekaligus
melindungi tubuhnya. Sambil terus berbuat begitu sepasang matanya berputar memandang
berkeliling dengan tajam. Sebelum dia berhasil mengetahui di mana kedua lawannya berada
mendadak setiup angin dingin berhembus keras dari samping kiri.
Dewa Maling terkejut. Tombak Trisula hampir saja terlepas dari tangan kanannya. Namun
dia selamat dari pukulan "es iblis" yang amat berbahaya yang telah dilepaskan oleh Nilamaharani
dari atas cabang pohon di sebelah kiri sana. Sebenarnya tombak mustika itulah yang telah
menyelamatkan Dewa Maling. Kalau hanya mengandalkan kekuatannya sendiri mungkin dia
sudah mendapat celaka saat itu.
Baru terlepas dari bahaya maut itu, Dewa Maling dibikin kaget lagi oleh kiblatan sinar
kuning yang datang dari samping kanan. Sekali lagi Tombak Trisula dibabatkannya. Meskipun
kali ini untuk kedua kalinya dia berhasil menyelamatkan diri namun Dewa Maling menjadi
gugup sewaktu dari depan dan dari belakang kembali setiup angin dingin luar biasa menyambar
dan dari depan selarik sinar kuning menderu. Hanya ada dua jalan untukc menyelamatkan diri
dari dua serangan ganas meminta jiwa itu.
Pertama memutar Tombak Trisula. Namun ini masih memberi kesempatan salah satu
serangan akan melanda tubuhnya Dewa Maling yaitu bila gerakannya menangkis kalah cepat
dengan perbawa dua serangan tersebut. Cara kedua ialah dengan melompat ke atas! Dan cara
inilab memang yang paling baik. Tanpa membuang tempo lagi Dewa Maling menjejakkan kedua
kakinya. Sambil memutar Tombak Trisula di sekeliling tubuhnya, Dewa Maling melesat ke udara
setinggi tujuh tombak.
"Buk"!
Satu pukulan keras menghantam bahu kanan Dewa Maling. Tulang selangkanya patah
remuk. Jerit Dewa Maling setinggi langit. Ketika dia terguling di tanah dan bangun dengan
tertatih-tatih baru disadarinya bahwa Tombak Trisula tak ada lagi dalam genggaman tangan
kanannya!. Dia memandang ke depan. Senjata mustika itu kini dilihatnya berada di tangan
Nilamaharani yang berdiri dengan bertolak pinggang dan menyunggingkan senyum mengejek!
Dewa Maling menggerutu setengah mati! Pada waktu dia melompat ke udara tadi. Nilamaharani
yang berada di belakangnya tanpa diperhitungkan lagi oleh Dewa Maling, telah menyusupkan
satu pukulan tapi tangan yang keras dan sekaligus berhasil merampas Tombak Trisula dari tangan
Dewa Maling.
"Manusia-manusia haram jadah," maki Dewa Maling secara menggerakkan tangan
mengeluarkan senjatanya yakni sebuah suling berwarna hijau, dan mendekatkannya ke bibir.
Sebelum Dewa Maling meniup senjata itu, Nilamaharani telah menyerbu dengan Tombak
Trisula!
"Keparat!", maki Dewa Maling. Dia terpaksa melompat jauh dan sejak detik itu tak punya
kesempatan lagi untuk mempergunakan suling hijaunya karena setiap saat dia dibikin sibuk oleh
serangan Tombak Trisula yang menderu ditambah pula dengan pukulan-pukulan tangan kosong
Nilamahadewi yang ikut bantu kakaknya!
"Kalau aku bertahan terus, lama-lama aku bisa mampus percuma di sini," membatin Dewa
Maling Baju Hitam.
Sambil mengelakkan satu tusukan tombak yang dilancarkan Nilamaharani, dengan gerakan
yang tidak kelihatan oleh kedua lawannya, Dewa Maling mengambil sebuah benda sebesar tutup
botol berwarna hitam.
"Betina-betina edan!" teriak Dewa Maling Baju Hitam kemudian. "Jika kalian benar-benar
lihay, tangkislah senjata rahasiaku ini!"
Lalu dengan tangan kirinya Dewa Maling Baju Hitam melemparkan benda tersebut.
Nilamaharani juga menyangka bahwa benda hitam itu betul-betul satu senjata rahasia, tak ayal
lagi segera menyapu dengan Tombak Trisula.
Begitu benda hitam dan Tombak risula beradu, terdengar suara letupan dan asap hitam yang
amat tebal bertebar dengan cepatnya di seluruh tempat, menghalangi pemandangan mata yang
bagaimanapun tajamnya.
"Kurang ajar! Kita tertipu!" seru Nilamaharani. Dan betul saja. Ketika asap hitam lenyap,
Dewa Maling Baju Hitampun tak tampak lagi mata hidungnya di situ!
***
13
13
SETELAH berhasil menyelamatkan diri dari kematian di tangan Sepasang Iblis Betina dan
mengobati lukanya, dalam hati Dewa Maling Baju Hitam timbullah dendam kesumat untuk
menuntut balas. Di samping itu dia bertekat bulat untuk mendapatkan Tombak Trisula kembali.
Namun disadarinya bahwa kedua hal itu tak mungkin terlaksana kalau hanya dengan
mengandalkan dirinya sendiri. Untuk itu Dewa Maling Baju Hitam segera menemui beberapa
orang kawan satu alirannya. Maka sewaktu hari menjelang malam, bersama orang-orang itu dia
berunding di satu pondok, mengatur rencana batas dendam dan merampas Tombak Trisula.
Mereka berjumlah empat orang, termasuk Dewa Maling sendiri. Di samping kanan Dewa
Maling duduk seorang laki-laki bertubuh kecil pendek atau lebih tepat kalau di katakan katai. Si
katai ini berkepala botak licin berkilat berlawanan dengan kepalanya yang licin plontos itu,
mukanya penuh ditumbuhi berewok atau cambang bawuk yang meranggas liar karena tak pernah
dicukur. Siapakah adanya pemuda ini?
Dia adalah Warok Kate, seorang pemimpin rampok jahat yang bersarang di hutan Jatiluwak.
Ilmunya tinggi karena dulu dia adalah seorang murid pertapa sakti yang kemudian menyeleweng
jadi orang jahat. (Mengenai Warok Kare ini bacalah jilid ke 1 cersil : Pedang Sakti Keris Ular
Mas; karangan Bastian)
Orang kedua yang duduk di sebelah kiri Dewa Maling Baju Hitam ialah seorang laki-laki
yang cuma punya satu mata. Matanya yang sebelah kanan hanya merupakan rongga hitam yang
mengerikan. Seperti Warok Kare, diapun memelihara berewok yang teramat lebat. Tampangnya
bukan saja seram tapi juga bengis kejam. Dia bernama Baraka Seta, yang mendapat julukan
Buaya Mata Satu Dari Kali Progo karena bersama beberapa anak buahnya dia sejak lama menjadi
buaya sungai yang ditakuti. Siapa atau perahu mana saja yang melewati Kali Progo, pastilah,
akan dirampok dan para penumpangnya dibunuh dengan semena-mena sekalipun mereka
menyerahkan barang-barang secara sukarela.
Orang ketiga duduk di depan Maling Baju Hitam. Tubuhnya kurus tinggi, wajahnya
senantiasa pucat macam orang mau, mati besok sedang sepasang matanya selalu saja berair. Dia
mengenakan jubah ,' ungu gelap. Namun tak satu orangpun yang tahu.
Dia dikenal dengan nama gelaran yaitu Setan Ungu Muka Pucat. Manusia ini bukan bangsa
maling atau perampok ataupun buaya air. Namun dia merupakan seorang tokoh golongan hitam
yang banyak hubungan rapat dengan orang-orang jahat.
"Nah, kalian sudah tahu jelas siapa musuh yang bakal kita hadapi. Kedua Iblis Betina itu
memang sakti dan berkepandaian tinggi. Tapi dengan tipu daya serta jumlah kita yang berempat
ini masakan keduanya bisa berkutik?!"
"Memang, aku sendiri punya dendam kesumat terhadap mereka sejak tiga bulan lewat," kata
Buaya Mata Satu Kali Progo.
"Nah, apalagi kalau begitu! Dendam kesumat apakah?" tanya Dewa Maling pula.
"Suatu hari anak buahku merampok habis-habisan sebuah perahu dagang di muara Kali
Progo. Tahu-tahu muncullah kedua iblis haram jadah itu mempreteli hasil rampokan mereka.
Anak buahku melawan. Lima orang dibunuh mentah-mentah, seorang masih sanggup melarikan
diri dengan jalan menyelam di sungai secara diam-diam lalu melaporkan kejadian itu kepadaku.
Sewaktu aku mendatangi muara sungai, bangsat-bangsat betina itu sudah kabur bersama barang-
barang rampokan!"
Sunyi sejenak, lalu terdengar Warok Kate bertanya. "Kapan kita akan mendatangi tempat
mereka?"
"Malam ini juga, Warok. Lebih cepat lebih baik!" jawab Dewa Maling Baju Hitam.
"Sret"!
Warok Kate mencabut golok besar dipinggangnya. Sambil meraba-raba bagian yang amat
tajam dari senjata itu dan sambil menyeringai dia berkata,
"Tenanglah, golok! Malam ini kau bakal minum darah segar! Lalu dengan tertawa mengekeh
disarungkannya senjata tersebut ke tempatnya kembali.
"Mari kita berangkat", kata Dewa Maling Baju Hitam seraya berdiri.
Sebelum tiga orang lainnya sempat ikut berdiri dari ambang pintu terdengar suara menegur.
"Seorang tamu datang, masakan tuan rumah hendak pergi begitu saja? Sungguh tak ada
peradatan!"
Dewa Maling Baju Hitam terkejut. Dia saling pandang seketika dengan ketiga kambratnya
lalu memandang ke pintu dan membentak.
"Siapa di luar?!"
"Seorang tamu".
"Siapa nama dan datang dari mana?" tanya Dewa Maling lagi. Sambil bertanya begitu
diberikannya isyarat pada Warok Kate untuk keluar lewat pintu belakang dan menyelidik.
"Aku datang dari Kotaraja." terdengar sahutan si tamu malam yang masih berada di luar
pondok. "Aku diutus oleh Mapatih Jayengrono untuk bicara empat mata dengan kau, Dewa
Maling."
Dewa Maling memberi isyarat sekali lagi dan kini Buaya Mata Satu. Dari Kali Progo serta
Setan Ungu Muka Pucat keluar pula meninggalkan tempat itu hingga Dewa Maling tinggal
seorang diri.
"Sebelum kuizinkan kau masuk, sebutkan dulu kau punya nama!" kata Dewa Maling.
"Amat pentingkah namaku bagimu, Dewa Maling?!"
"Penting atau tidak aku harus tahu! Lekas katakan!"
"Namaku Wiro Sableng!"
Bagai dipakukan kedua kakinya ke lantai pondok demikianlah terkejutnya Dewa Maling
Baju Hitam. Dia memandang berkeliling dan diam-diam merasa menyesal mengapa telah
menvuruh ketiga kambratnya meninggalkan pondak hingga dia tinggal sendirian di situ dalam
kekhawatiran yaitu setelah mendengar orang di luar pondok menyebutkan namanya.
"Pendekar 212 Wiro Sableng!" kata Dewa Maling pula. "Aku tidak menyangka kalau kau
ada hubungan dengan Mapatih Jayengrono. Ada perlu apakah kau mencariku?"
"Aku sudah bilang ingin bicara empat mata dengan kau."
"Kau tak usah kawatir pembicaraan kita akan didengar orang. Tiga kawanku sudah kusuruh
pergi. Masuklah!" kata Dewa Maling dan diam-diam dikeluarkannya seruling hijau yang berisi
racun jahat lalu menunggu Wiro Sableng di depan pintu. Begitu si tamu masuk akan segera
disemburnya dengan racun tersebut.
Di luar pondok, Warok Kate dan Buaya Mata Satu Dari Kali Progo serta Setan Ungu Muka
Pucat merasa amat heran. Meskipun dia jelas mendengar percakapan antara Dewa Maling dengan
tamu yang mengaku bernama Wiro Sableng itu, tapi ketiganya sama sekali tidak melihat
Pendekar 212 Wiro Sableng!
Sementara itu di dalam pondok Dewa Maling sudah siap-siap dengan suling hijaunya yang
beracun. Dia tersentak seperti disengat kala sewaktu tahu-tahu dibelakangnya terdengar suara
orang menegur.
"Ah! Aku tak tahu kalau kau menunggu di pintu depan. Harap maafkan karena aku masuk
lewat pintu belakang!"
Dewa Maling menoleh. Seorang pemuda berambut gondrong dilihatnya berdiri menutupkan
pintu sambil menyeringai kepadanya.
"Kau .... kau Pendekar 212 Wiro Sableng?" tanya Dewa Maling.
Pemuda itu menggaruk kepalanya lalu mengangguk.
Selama ini Dewa Maling hanya mendengar nama dan kehebatan Pendekar 212 Wiro Sableng
dan tak pernah melihat orangnya. Kini berhadapan dengan pemuda berambut gondrong dan
bertampang seperti orang dogol itu mana dia mau percaya kalau pemuda itulah Pendekar 212
Wiro Sableng? Rasa ngeri yang sebelumnya menyungkup diri Dewa Maling dengan serta merta
lenyap. Dan suaranyapun kembali garang, beringas.
"Katakan urusanmu!"
Wiro Sableng melangkah beberapa tindak lalu baru menjawab.
"Urusanku sedikit sekali, Dewa Maling. Hanya dengan tiga patah kata."
"Bilang!"
"Kembalikan Tombak Trisula!"
Sepasang bola mata Dewa Maling memandang menyorot pada pemuda di hadapannya.
"Betul kau di utus oleh Jayengrono?" Wiro mengangguk.
Dewa Maling tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok bergetar.
"Aneh!" kata Dewa Maling pula. "Seorang pendekar yang selama ini ditakuti dan
menggetarkan dunia persilatan kiranya hanya kacung buruk seorang Patih belaka!"
Di ejek demikian rupa Pendekar 212 Wiro Sableng bukannya marah malah ikut tertawa
gelak-gelak hingga Dewa Maling merasa bagaimana lantai pondok yang dipijaknya jadi bergetar
keras!
"Kacung atau apapun kau bilang yang penting lekas serahkan padaku Tombak Trisula!" kata
Wiro kemudian setelah menghentikan tawanya.
"Aku kawatir senjata itu tidak kau sampaikan pada sang patih, tapi kau boyong sendiri!" ujar
Dewa Maling pula.
Wiro menyeringai.
"Lekas serahkan apa yang kuminta!"
"Tombak Trisula sudah kuberikan pada Ranablambang. Patih itu menipumu. Tentu dia
bermaksud mengadu domba kau dengan aku!"
Wiro tertawa lalu berkata, "Trisula yang kau berikan pada Pangeran khianat itu adalah yang
palsu! Mana yang asli?"
"Hem, rupanya kau tahu juga mana asli mana palsu. Dengar sobat, jika aku terangkan yang
sebenarnya padamu apakah kau mau segera angkat kaki dari sini!"
"Belum tentu."
"Jangan keras kepala! Sepuluh macammu bisa kuhantam sekaligus!" ancam Dewa Maling.
"Dua puluh macammu sanggup kulabrak dalam satu jurus!" balas Wiro seenaknya.
"Trisula yang asli telah dirampas oleh Sepasang Iblis Betina." kata Dewa Maling dengan
geram. "Sekarang angkat kaki dari hadapanku!"
"Jangan bicara bohong, Dewa Maling!" memperingatkan Wiro Sableng.
Saat itu pintu belakang dan pintu depan pondok terbuka. Warok Kate dan Buaya Mata Satu
berdiri di belakang Pendekar 212 sedang dari pintu depan masuk Setan Ungu Muka Pucat.
Seraya menutupkan pintu Setan Ungu Muka Pucat berkata:
"Manusia keras kepata macam dia ini pantasnya diberi hajaran saja, Dewa Maling!"
Wiro Sableng mengeluarkan suara bersiul dan menggoyangkan kepalanya pada Setan Ungu
Muka Pucat lalu berkata.
"Manusia muka sepucat kain kafan! Untung kau membuka mulut bicara! Kalau tidak pasti
aku sudah menyangka kau adalah mayat hidup!" Habis berkata begitu Wiro Sableng tertawa
gelak-gelak.
"Bedebah!" bentak Setan Ungu Muka Pucat dengan amat marah. Darahnya naik ke kepala
tapi parasnya masih tetap saja pucat pasi. Dia maju ke muka. Dengan jari-jari tangannya yang
berkuku panjang hendak dicengkeramnya muka Pendekar 212. Namun gerakannya itu terhenti
oleh seruan Dewa Maling Baju Hitam.
"Jangan kesusu, sobatku! Kalau dia mau bergabung dengan kita, kita ampunkan jiwanya."
Dewa Maling berpaling pada Wiro dan bertanya. "Bagaimana? Kau bersedia ikut kami ke tempat
Sepasang Iblis Betina guna merampas Tombak Trisula?!"
"Siapa sudi?!" sahut Wiro tegas. "Kau bangsat manusia licik. Juga kawan-kawanmu yang
tiga ini. Dan aku tetap yakin bahwa senjata mustika itu ada padamu!"
"Kalau begitu mampuslah bersama keyakinanmu itu!" bentak satu suara di belakang
Pendekar 212. Satu benda kemudian terdengar bersiur ke arah pemuda ini.
Tanpa menoleh, dari suara sambaran angin Wiro Sableng dapat mengetahui bahwa yang
menyerangnya dari belakang adalah Warok Kate. Dengan cepat pemuda itu bergerak ke kanan.
Bila dirasakannya senjata lawan lewat, secepat kilat dia berbalik dan menendangkan kaki
kanannya. Maka terdengarlah keluh kesakitan Warok Kate. Golok besar yang dipakainya untuk
menyerang terlepas mental sedang lengannya sakit bukan main akibat tendangan lawan!
"Kalau mau menyerang, dari depan, sobat! Bukan secara licik seperti itu!"
Kini terbukalah mata semua orang yang ada di situ. Warok Kate seorang kepala rampok
berilmu tinggi dan luas pengalaman. Bagaimana dia bisa dihajar hanya dalam satu gebrakan
saja?! Rupanya nama Wiro Sableng yang digelari Pendekar 212 tidak kosong belaka!
"Kawan-kawan! Mari kita kermus bangsat kurang ajar ini!" teriak Dewa Maling Baju Hitam.
Dengan senjatanya yang berbentuk suling hijau dia mengirimkan satu tusukan ke dada Pendekar
212.
Kalau tadi dia merencanakan untuk menyembur muka pemuda itu dengan racun senjata
tersebut, kini hal itu tak berani dilakukannya karena khawatir akan mencelakakan kawan sendiri.
Tusukan yang dilancarkan Dewa Maling adalah satu tusukan kilat yang berbahaya. Namun
tidak demikian mudah untuk merobohkan murid Eyang Sinto Gendeng dengan satu kali serangan
kilat itu. Sambil berkelit Wiro menerpa ke arah Setan Ungu Muka Pucat yang hendak
membokongnya dari samping.
"Buk!"
Dua kepalan sama-sama beradu.
Setan Ungu Muka Pucat terkejut dan menggigit bibir agar keluh kesakitan tidak keluar dari
mulutnya. Tubuhnya terhuyung dan ketika diperhatikan ternyata kulit tangannya telah lecet
merah! Melihat ini Setan Ungu Muka Pucat segera mengeluarkan senjatanya yakni sebuah tasbih
berwarna ungu. Sementara itu Buaya Mata Satu Dari Kali Progo telah pula mencabut pedang
besar sedang Warok Kate setelah mengambil senjatanya yang tadi terlepas, terus pula menyerbu.
Dalam pondok yang sempit itu dengan tangan kosong Pendekar 212 dikeroyok oleh empat tokoh
silat golongan hitam yang berkepandaian tinggi. Wiro tahu adalah gila kalau dia menghadapi
keempat lawannya dengan terus mengandalkan tangan kosong. Dalam dua atau tiga jurus pasti
tubuhnya akan kena "disate" senjata-senjata lawan. Karena dia tak bisa menggerakkan tangan
untuk melepaskan pukulan pukulan sakti maka tanpa membuang waktu lagi pemuda ini segera
mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dan balik pinggangnya. Sinar putihpun berkiblat!
"Awas Kapak Naga Geni 212!" seru Setan Ungu Muka Pucat memberi ingat kawan-
kawannya.
Peringatan itu tak ada gunanya karena sesaat kemudian terdengar suara "cras" yang
dibarengi dengan pekik Baraka Seta atau Buaya Mata Satu Dari Kali Progo. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang, dada mandi darah. Tersandar ke dinding pondok dan akhirya
roboh ke lantai tanpa. berkutik lagi.
Kekalapan Dewa Maling Baju Hitam melihat kematian kambratnya membuat dia melupakan
keselamatan kawan-kawannya yang masih hidup. Dehgan serta merta ditiupnya sulingnya. Sinar
hijau bertabur manik-manik merah menyembur ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro sudah
maklum betapa jahatnya racun dalam sinar itu, dengan serta merta menyapukan Kapak Naga
Geni 212 ke kiri. Keseluruhan sinar hijau dan manik-manik merah tersapu ke kiri di mana Setan
Ungu Muka Pucat berada. Tak ampun lagi begitu racun tersebut tercium olehnya, Setan Ungu
Muka Pucat terbatuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya terdengar suara seperti mau muntah.
Tubuhnya tergelimpang. Mukanya berubah biru sedang dari sela bibir membasahi ludah.
"Dewa Maling! Tindakanmu gegabah sekali!" teriak Warok Kate yang jadi penasaran
melihat Setan Ungu Muka Pucat yang tak mungkin diselamatkan lagi jiwanya. "Terpaksa
kubatalkan niat untuk ikut bersamamul Kau bertempurlah seorang diri melawan pemuda itu!".
Habis berkata demikian Warok Kate memutar tubuh dan melabrak pintu pondok, lenyap di
kegelapan malam. Melihat ini lumerlah nyali Dewa Maling Baju Hitam. Segera pula dia memutar
tubuh. Tapi Wiro Sableng mana mau memberi kesempatan lari pada yang satu ini. Sebelum
Dewa Maling mencapai pintu, Kapak Naga Geni 212 telah membabat putus salah satu kakinya.
Dewa Maling terbanting di tanah dan menjerit-jerit kesakitan.
"Kalau kau terangkan di mana Tombak Trisula yang asli, aku akan selamatkan jiwamu." kata
Wiro.
"Setan alas! Aku sudah bilang senjata itu dirampas oleh Sepasang Iblis Betina ....!"
"Di mana tempat kediaman mereka?"
"Tanyalah sama setan neraka!" jawab Dewa Maling. Racun Kapak Naga Geni 212 masuk ke
jantungnya dan detik itu juga manusia inipun meregang nyawa! Wiro menggeledah pakaian
Dewa Maling. Tombak Trisula tak ditemuinya.
mengobati lukanya, dalam hati Dewa Maling Baju Hitam timbullah dendam kesumat untuk
menuntut balas. Di samping itu dia bertekat bulat untuk mendapatkan Tombak Trisula kembali.
Namun disadarinya bahwa kedua hal itu tak mungkin terlaksana kalau hanya dengan
mengandalkan dirinya sendiri. Untuk itu Dewa Maling Baju Hitam segera menemui beberapa
orang kawan satu alirannya. Maka sewaktu hari menjelang malam, bersama orang-orang itu dia
berunding di satu pondok, mengatur rencana batas dendam dan merampas Tombak Trisula.
Mereka berjumlah empat orang, termasuk Dewa Maling sendiri. Di samping kanan Dewa
Maling duduk seorang laki-laki bertubuh kecil pendek atau lebih tepat kalau di katakan katai. Si
katai ini berkepala botak licin berkilat berlawanan dengan kepalanya yang licin plontos itu,
mukanya penuh ditumbuhi berewok atau cambang bawuk yang meranggas liar karena tak pernah
dicukur. Siapakah adanya pemuda ini?
Dia adalah Warok Kate, seorang pemimpin rampok jahat yang bersarang di hutan Jatiluwak.
Ilmunya tinggi karena dulu dia adalah seorang murid pertapa sakti yang kemudian menyeleweng
jadi orang jahat. (Mengenai Warok Kare ini bacalah jilid ke 1 cersil : Pedang Sakti Keris Ular
Mas; karangan Bastian)
Orang kedua yang duduk di sebelah kiri Dewa Maling Baju Hitam ialah seorang laki-laki
yang cuma punya satu mata. Matanya yang sebelah kanan hanya merupakan rongga hitam yang
mengerikan. Seperti Warok Kare, diapun memelihara berewok yang teramat lebat. Tampangnya
bukan saja seram tapi juga bengis kejam. Dia bernama Baraka Seta, yang mendapat julukan
Buaya Mata Satu Dari Kali Progo karena bersama beberapa anak buahnya dia sejak lama menjadi
buaya sungai yang ditakuti. Siapa atau perahu mana saja yang melewati Kali Progo, pastilah,
akan dirampok dan para penumpangnya dibunuh dengan semena-mena sekalipun mereka
menyerahkan barang-barang secara sukarela.
Orang ketiga duduk di depan Maling Baju Hitam. Tubuhnya kurus tinggi, wajahnya
senantiasa pucat macam orang mau, mati besok sedang sepasang matanya selalu saja berair. Dia
mengenakan jubah ,' ungu gelap. Namun tak satu orangpun yang tahu.
Dia dikenal dengan nama gelaran yaitu Setan Ungu Muka Pucat. Manusia ini bukan bangsa
maling atau perampok ataupun buaya air. Namun dia merupakan seorang tokoh golongan hitam
yang banyak hubungan rapat dengan orang-orang jahat.
"Nah, kalian sudah tahu jelas siapa musuh yang bakal kita hadapi. Kedua Iblis Betina itu
memang sakti dan berkepandaian tinggi. Tapi dengan tipu daya serta jumlah kita yang berempat
ini masakan keduanya bisa berkutik?!"
"Memang, aku sendiri punya dendam kesumat terhadap mereka sejak tiga bulan lewat," kata
Buaya Mata Satu Kali Progo.
"Nah, apalagi kalau begitu! Dendam kesumat apakah?" tanya Dewa Maling pula.
"Suatu hari anak buahku merampok habis-habisan sebuah perahu dagang di muara Kali
Progo. Tahu-tahu muncullah kedua iblis haram jadah itu mempreteli hasil rampokan mereka.
Anak buahku melawan. Lima orang dibunuh mentah-mentah, seorang masih sanggup melarikan
diri dengan jalan menyelam di sungai secara diam-diam lalu melaporkan kejadian itu kepadaku.
Sewaktu aku mendatangi muara sungai, bangsat-bangsat betina itu sudah kabur bersama barang-
barang rampokan!"
Sunyi sejenak, lalu terdengar Warok Kate bertanya. "Kapan kita akan mendatangi tempat
mereka?"
"Malam ini juga, Warok. Lebih cepat lebih baik!" jawab Dewa Maling Baju Hitam.
"Sret"!
Warok Kate mencabut golok besar dipinggangnya. Sambil meraba-raba bagian yang amat
tajam dari senjata itu dan sambil menyeringai dia berkata,
"Tenanglah, golok! Malam ini kau bakal minum darah segar! Lalu dengan tertawa mengekeh
disarungkannya senjata tersebut ke tempatnya kembali.
"Mari kita berangkat", kata Dewa Maling Baju Hitam seraya berdiri.
Sebelum tiga orang lainnya sempat ikut berdiri dari ambang pintu terdengar suara menegur.
"Seorang tamu datang, masakan tuan rumah hendak pergi begitu saja? Sungguh tak ada
peradatan!"
Dewa Maling Baju Hitam terkejut. Dia saling pandang seketika dengan ketiga kambratnya
lalu memandang ke pintu dan membentak.
"Siapa di luar?!"
"Seorang tamu".
"Siapa nama dan datang dari mana?" tanya Dewa Maling lagi. Sambil bertanya begitu
diberikannya isyarat pada Warok Kate untuk keluar lewat pintu belakang dan menyelidik.
"Aku datang dari Kotaraja." terdengar sahutan si tamu malam yang masih berada di luar
pondok. "Aku diutus oleh Mapatih Jayengrono untuk bicara empat mata dengan kau, Dewa
Maling."
Dewa Maling memberi isyarat sekali lagi dan kini Buaya Mata Satu. Dari Kali Progo serta
Setan Ungu Muka Pucat keluar pula meninggalkan tempat itu hingga Dewa Maling tinggal
seorang diri.
"Sebelum kuizinkan kau masuk, sebutkan dulu kau punya nama!" kata Dewa Maling.
"Amat pentingkah namaku bagimu, Dewa Maling?!"
"Penting atau tidak aku harus tahu! Lekas katakan!"
"Namaku Wiro Sableng!"
Bagai dipakukan kedua kakinya ke lantai pondok demikianlah terkejutnya Dewa Maling
Baju Hitam. Dia memandang berkeliling dan diam-diam merasa menyesal mengapa telah
menvuruh ketiga kambratnya meninggalkan pondak hingga dia tinggal sendirian di situ dalam
kekhawatiran yaitu setelah mendengar orang di luar pondok menyebutkan namanya.
"Pendekar 212 Wiro Sableng!" kata Dewa Maling pula. "Aku tidak menyangka kalau kau
ada hubungan dengan Mapatih Jayengrono. Ada perlu apakah kau mencariku?"
"Aku sudah bilang ingin bicara empat mata dengan kau."
"Kau tak usah kawatir pembicaraan kita akan didengar orang. Tiga kawanku sudah kusuruh
pergi. Masuklah!" kata Dewa Maling dan diam-diam dikeluarkannya seruling hijau yang berisi
racun jahat lalu menunggu Wiro Sableng di depan pintu. Begitu si tamu masuk akan segera
disemburnya dengan racun tersebut.
Di luar pondok, Warok Kate dan Buaya Mata Satu Dari Kali Progo serta Setan Ungu Muka
Pucat merasa amat heran. Meskipun dia jelas mendengar percakapan antara Dewa Maling dengan
tamu yang mengaku bernama Wiro Sableng itu, tapi ketiganya sama sekali tidak melihat
Pendekar 212 Wiro Sableng!
Sementara itu di dalam pondok Dewa Maling sudah siap-siap dengan suling hijaunya yang
beracun. Dia tersentak seperti disengat kala sewaktu tahu-tahu dibelakangnya terdengar suara
orang menegur.
"Ah! Aku tak tahu kalau kau menunggu di pintu depan. Harap maafkan karena aku masuk
lewat pintu belakang!"
Dewa Maling menoleh. Seorang pemuda berambut gondrong dilihatnya berdiri menutupkan
pintu sambil menyeringai kepadanya.
"Kau .... kau Pendekar 212 Wiro Sableng?" tanya Dewa Maling.
Pemuda itu menggaruk kepalanya lalu mengangguk.
Selama ini Dewa Maling hanya mendengar nama dan kehebatan Pendekar 212 Wiro Sableng
dan tak pernah melihat orangnya. Kini berhadapan dengan pemuda berambut gondrong dan
bertampang seperti orang dogol itu mana dia mau percaya kalau pemuda itulah Pendekar 212
Wiro Sableng? Rasa ngeri yang sebelumnya menyungkup diri Dewa Maling dengan serta merta
lenyap. Dan suaranyapun kembali garang, beringas.
"Katakan urusanmu!"
Wiro Sableng melangkah beberapa tindak lalu baru menjawab.
"Urusanku sedikit sekali, Dewa Maling. Hanya dengan tiga patah kata."
"Bilang!"
"Kembalikan Tombak Trisula!"
Sepasang bola mata Dewa Maling memandang menyorot pada pemuda di hadapannya.
"Betul kau di utus oleh Jayengrono?" Wiro mengangguk.
Dewa Maling tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok bergetar.
"Aneh!" kata Dewa Maling pula. "Seorang pendekar yang selama ini ditakuti dan
menggetarkan dunia persilatan kiranya hanya kacung buruk seorang Patih belaka!"
Di ejek demikian rupa Pendekar 212 Wiro Sableng bukannya marah malah ikut tertawa
gelak-gelak hingga Dewa Maling merasa bagaimana lantai pondok yang dipijaknya jadi bergetar
keras!
"Kacung atau apapun kau bilang yang penting lekas serahkan padaku Tombak Trisula!" kata
Wiro kemudian setelah menghentikan tawanya.
"Aku kawatir senjata itu tidak kau sampaikan pada sang patih, tapi kau boyong sendiri!" ujar
Dewa Maling pula.
Wiro menyeringai.
"Lekas serahkan apa yang kuminta!"
"Tombak Trisula sudah kuberikan pada Ranablambang. Patih itu menipumu. Tentu dia
bermaksud mengadu domba kau dengan aku!"
Wiro tertawa lalu berkata, "Trisula yang kau berikan pada Pangeran khianat itu adalah yang
palsu! Mana yang asli?"
"Hem, rupanya kau tahu juga mana asli mana palsu. Dengar sobat, jika aku terangkan yang
sebenarnya padamu apakah kau mau segera angkat kaki dari sini!"
"Belum tentu."
"Jangan keras kepala! Sepuluh macammu bisa kuhantam sekaligus!" ancam Dewa Maling.
"Dua puluh macammu sanggup kulabrak dalam satu jurus!" balas Wiro seenaknya.
"Trisula yang asli telah dirampas oleh Sepasang Iblis Betina." kata Dewa Maling dengan
geram. "Sekarang angkat kaki dari hadapanku!"
"Jangan bicara bohong, Dewa Maling!" memperingatkan Wiro Sableng.
Saat itu pintu belakang dan pintu depan pondok terbuka. Warok Kate dan Buaya Mata Satu
berdiri di belakang Pendekar 212 sedang dari pintu depan masuk Setan Ungu Muka Pucat.
Seraya menutupkan pintu Setan Ungu Muka Pucat berkata:
"Manusia keras kepata macam dia ini pantasnya diberi hajaran saja, Dewa Maling!"
Wiro Sableng mengeluarkan suara bersiul dan menggoyangkan kepalanya pada Setan Ungu
Muka Pucat lalu berkata.
"Manusia muka sepucat kain kafan! Untung kau membuka mulut bicara! Kalau tidak pasti
aku sudah menyangka kau adalah mayat hidup!" Habis berkata begitu Wiro Sableng tertawa
gelak-gelak.
"Bedebah!" bentak Setan Ungu Muka Pucat dengan amat marah. Darahnya naik ke kepala
tapi parasnya masih tetap saja pucat pasi. Dia maju ke muka. Dengan jari-jari tangannya yang
berkuku panjang hendak dicengkeramnya muka Pendekar 212. Namun gerakannya itu terhenti
oleh seruan Dewa Maling Baju Hitam.
"Jangan kesusu, sobatku! Kalau dia mau bergabung dengan kita, kita ampunkan jiwanya."
Dewa Maling berpaling pada Wiro dan bertanya. "Bagaimana? Kau bersedia ikut kami ke tempat
Sepasang Iblis Betina guna merampas Tombak Trisula?!"
"Siapa sudi?!" sahut Wiro tegas. "Kau bangsat manusia licik. Juga kawan-kawanmu yang
tiga ini. Dan aku tetap yakin bahwa senjata mustika itu ada padamu!"
"Kalau begitu mampuslah bersama keyakinanmu itu!" bentak satu suara di belakang
Pendekar 212. Satu benda kemudian terdengar bersiur ke arah pemuda ini.
Tanpa menoleh, dari suara sambaran angin Wiro Sableng dapat mengetahui bahwa yang
menyerangnya dari belakang adalah Warok Kate. Dengan cepat pemuda itu bergerak ke kanan.
Bila dirasakannya senjata lawan lewat, secepat kilat dia berbalik dan menendangkan kaki
kanannya. Maka terdengarlah keluh kesakitan Warok Kate. Golok besar yang dipakainya untuk
menyerang terlepas mental sedang lengannya sakit bukan main akibat tendangan lawan!
"Kalau mau menyerang, dari depan, sobat! Bukan secara licik seperti itu!"
Kini terbukalah mata semua orang yang ada di situ. Warok Kate seorang kepala rampok
berilmu tinggi dan luas pengalaman. Bagaimana dia bisa dihajar hanya dalam satu gebrakan
saja?! Rupanya nama Wiro Sableng yang digelari Pendekar 212 tidak kosong belaka!
"Kawan-kawan! Mari kita kermus bangsat kurang ajar ini!" teriak Dewa Maling Baju Hitam.
Dengan senjatanya yang berbentuk suling hijau dia mengirimkan satu tusukan ke dada Pendekar
212.
Kalau tadi dia merencanakan untuk menyembur muka pemuda itu dengan racun senjata
tersebut, kini hal itu tak berani dilakukannya karena khawatir akan mencelakakan kawan sendiri.
Tusukan yang dilancarkan Dewa Maling adalah satu tusukan kilat yang berbahaya. Namun
tidak demikian mudah untuk merobohkan murid Eyang Sinto Gendeng dengan satu kali serangan
kilat itu. Sambil berkelit Wiro menerpa ke arah Setan Ungu Muka Pucat yang hendak
membokongnya dari samping.
"Buk!"
Dua kepalan sama-sama beradu.
Setan Ungu Muka Pucat terkejut dan menggigit bibir agar keluh kesakitan tidak keluar dari
mulutnya. Tubuhnya terhuyung dan ketika diperhatikan ternyata kulit tangannya telah lecet
merah! Melihat ini Setan Ungu Muka Pucat segera mengeluarkan senjatanya yakni sebuah tasbih
berwarna ungu. Sementara itu Buaya Mata Satu Dari Kali Progo telah pula mencabut pedang
besar sedang Warok Kate setelah mengambil senjatanya yang tadi terlepas, terus pula menyerbu.
Dalam pondok yang sempit itu dengan tangan kosong Pendekar 212 dikeroyok oleh empat tokoh
silat golongan hitam yang berkepandaian tinggi. Wiro tahu adalah gila kalau dia menghadapi
keempat lawannya dengan terus mengandalkan tangan kosong. Dalam dua atau tiga jurus pasti
tubuhnya akan kena "disate" senjata-senjata lawan. Karena dia tak bisa menggerakkan tangan
untuk melepaskan pukulan pukulan sakti maka tanpa membuang waktu lagi pemuda ini segera
mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dan balik pinggangnya. Sinar putihpun berkiblat!
"Awas Kapak Naga Geni 212!" seru Setan Ungu Muka Pucat memberi ingat kawan-
kawannya.
Peringatan itu tak ada gunanya karena sesaat kemudian terdengar suara "cras" yang
dibarengi dengan pekik Baraka Seta atau Buaya Mata Satu Dari Kali Progo. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang, dada mandi darah. Tersandar ke dinding pondok dan akhirya
roboh ke lantai tanpa. berkutik lagi.
Kekalapan Dewa Maling Baju Hitam melihat kematian kambratnya membuat dia melupakan
keselamatan kawan-kawannya yang masih hidup. Dehgan serta merta ditiupnya sulingnya. Sinar
hijau bertabur manik-manik merah menyembur ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro sudah
maklum betapa jahatnya racun dalam sinar itu, dengan serta merta menyapukan Kapak Naga
Geni 212 ke kiri. Keseluruhan sinar hijau dan manik-manik merah tersapu ke kiri di mana Setan
Ungu Muka Pucat berada. Tak ampun lagi begitu racun tersebut tercium olehnya, Setan Ungu
Muka Pucat terbatuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya terdengar suara seperti mau muntah.
Tubuhnya tergelimpang. Mukanya berubah biru sedang dari sela bibir membasahi ludah.
"Dewa Maling! Tindakanmu gegabah sekali!" teriak Warok Kate yang jadi penasaran
melihat Setan Ungu Muka Pucat yang tak mungkin diselamatkan lagi jiwanya. "Terpaksa
kubatalkan niat untuk ikut bersamamul Kau bertempurlah seorang diri melawan pemuda itu!".
Habis berkata demikian Warok Kate memutar tubuh dan melabrak pintu pondok, lenyap di
kegelapan malam. Melihat ini lumerlah nyali Dewa Maling Baju Hitam. Segera pula dia memutar
tubuh. Tapi Wiro Sableng mana mau memberi kesempatan lari pada yang satu ini. Sebelum
Dewa Maling mencapai pintu, Kapak Naga Geni 212 telah membabat putus salah satu kakinya.
Dewa Maling terbanting di tanah dan menjerit-jerit kesakitan.
"Kalau kau terangkan di mana Tombak Trisula yang asli, aku akan selamatkan jiwamu." kata
Wiro.
"Setan alas! Aku sudah bilang senjata itu dirampas oleh Sepasang Iblis Betina ....!"
"Di mana tempat kediaman mereka?"
"Tanyalah sama setan neraka!" jawab Dewa Maling. Racun Kapak Naga Geni 212 masuk ke
jantungnya dan detik itu juga manusia inipun meregang nyawa! Wiro menggeledah pakaian
Dewa Maling. Tombak Trisula tak ditemuinya.
***
14
MENURUT keterangan yang didapat oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, tempat kediaman
Sepasang Iblis Setina terletak di daerah berbukit-bukit di seberang hutan Bintaran. Lima hari
mengadakan penyelidikan dia samasekali tak berhasil menemukan sarang kedua gadis jahat
tersebut. Selama ini Wiro telah mendengar perbuatan-perbuatan kejam yang pernah dilakukan
oleh Sepasang Iblis Betina. Ada hal yang mengherankannya, kenapa justru laki-laki muda dan
yang bertampang gagah yang selalu menjadi korban kedua gadis tersebut?
Hari keenam berlalu. Wiro Sableng memutuskan bila sampai hari ketujuh dia masih belum
berhasil menemukan kedua orang yang dicarinya itu, dia akan meninggalkan tempat tersebut dan
mencari keterangan lain yang lebih jelas mengenai mereka.
Demikianlah pada pagi hari ketujuh itu Wiro Sableng baru saja selesai mandi di dalam
Telaga Puteri Intan Dewi yang terletak di hutan Bintaran sewaktu sepasang kaki putih mulus
dilihatnya melangkah lembut di antara semak-semak jauh di hadapannya. Pemuda itu cepat naik
ke darat dan mengenakan pakaiannya, lalu menunggu dengan tenang.
Namun ketenangan hati pendekar muda ini hanya sejenak. Dadanya berdebar sewaktu
pemilik kaki yang bagus tadi muncul di balik sepatang pohon besar. Ternyata dia adalah seorang
dara berparas cantik sekali. Wiro mengingat-ingat beberapa orang gadis cantik yang pemah
ditemuinya. Namun harus diakuinya bahwa yang satu ini adalah yang paling cantik yang pernah
dilihatnya. Gadis ini mengenakan pakaian berbentuk jubah pendek berwama biru tua berbunga-
bunga kuning. Di tangan kirinya ada sebuah kendi besar. Dara ini kelihatan terkejut dan
menghentikan langkahnya sewaktu sepasang matanya yang bersinar beradu pandang dengan
Pendekar 212.
"Di pagi yang segar, bertemu dengan seorang dara jelita. sungguh indah sekali rasanya hidup
ini ...." kata Pendekar 212 laksana seorang penyair. Dia tersenyum.
"Nona, siapakah kau?" tanya Wiro Sableng seraya melangkah mendekati si gadis. Sang
gadis undur beberapa tindak. Wiro tertawa.
"Kau datang ke sini tentu untuk mengambil air. Ambillah. Dan kau tak usah perduli aku
kalau memang tak sudi bicara atau takut padaku. Aku tak akan mengganggumu." Pemuda ini
membalikkan badan dan merapikan pakaiannya. Di dengarnya gadis itu melangkah ke tepi telaga.
Lalu didengamya suara kendi dimasukkan ke dalam air telaga. Sewaktu Wiro Sableng berpaling,
dilihatnya gadis itu memandang tepat-tepat padanya. Si gadis membuang muka sewaktu
pandangan mereka saling bentur.
"Kalau dilihat membuang muka. Orang melengah memperhatikan ..." kata Wiro dalam hati.
Kemudian tanpa acuhkan gadis itu dia melangkah pergi. Adalah satu hal yang membuat dia
terkejut sewaktu di dengamya gadis itu berseru. "Saudara, tunggu .... !"
Wiro Sableng berpaling. "Ada apakah?"
"Kau jangan jalan ke arah sana...."
"Eh… Terima kasih atas nasihatmu. Kalau aku boleh tanya memangnya kenapa ....?" tanya
Wiro.
"Daerah sebelah sana berbahaya." jawab si gadis seraya bangkit dari tepi telaga karena kendi
yang di isinya telah penuh dengan air.
"Hem, begitu? Banyak binatang liarnya?" tanya Wiro lagi.
"Bukan." jawab si gadis. "Di situ daerah kediaman dua gadis jahat."
Wiro Sableng melangkah ke hadapan si gadis. "Darimana kau tahu?"
"Aku tahu apa yang terjadi di sini dari guruku. Beliau yang menceritakan".
"Siapa nama gurumu?" tanya Wiro lagi.
"Maaf, tak bisa kuberi tahu."
"Kau tahu betul tempat kediamannya Sepasang Iblis Betina itu?"
Si gadis menggeleng. "Tapi percayalah…" katanya. "mereka sering muncul di jurusan yang-
tadi hendak kau tempuh."
"Kau dan gurumu tinggal di sekitar sini?"
"Ya. Setiap hari aku ke sini mengambil air." Wiro Sableng hendak menanyakan sesuatu tapi
tak jadi. Di belakangnya, kira-kira lima tombak jauhnya, di dengamya suara gemerisik ranting-
ranting. Dia berpaling dengan cepat lalu melompat ke jurusan ranting dan semak belukar. Jelas
dilihatnya bayangan kuning berkelebat. Namun aneh ketika dia sampai di situ bayangan tersebut
lenyap laksana ditelan bumi. Wiro ingat pada keterangan yang diterimanya yaitu bahwa Sepasang
Iblis Betina senantiasa mengenakan jubah kuning. Bukan mustahil bayangan kuning tadi adalah
bayangan salah seorang dari mereka. Dengan perlahan-lahan dia kembali menemui si gadis. Di
lihatnya gadis ini berdiri menggigil dengan muka pucat.
"Tak usah kawatir. Tak ada apa-apa...." kata Wiro menenangkan.
"Waktu aku bicara tadi, sekelebatan kulihat sesosok tubuh berbaju kuning. Aku takut sekali,
saudara. Pasti dia! Pasti gadis jahat itu ...."
"Kau ditipu pemandanganmu sendiri, nona." kata Wiro meski hatinya sendiri tidak enak.
"Aku sudah memeriksa tempat sekitar situ. Tak ada siapa-siapa."
"Aku harus kembali cepat-cepat. Tapi ... tapi, aku takut pulang sendirian."
"Mari kuantar." kata Wiro Sableng pula.
Tanpa banyak cerita lagi kedua orang itu mening galkan tempat tersebut. Tak selang berapa
lamanya, dihadapan serumpun semak belukar lebat gadis itu berhenti. Dengan tangan kanannya
disibakkannya semak-semak tersebut lalu berpaling pada Wiro dan berkata,
"Masuklah!"
"Tempat tinggalmu di sini ....?"
Jawaban si gadis tak terdengar. Wiro menyetuak di antara semak-semak lalu masuk ke
dalam. Dia melangkah mengikuti gadis itu menyusuri sebuah lorong batu yang bersih dan bagus
hingga akhirnya sampai di sebuah ruangan besar yang diterangi oleh sebuah pelita aneh. Pelita itu
merupakan sebuah kayu hijau yang ditancapkan di dinding ruangan. Bau harum aneh menyentuh
penciuman Wiro Sableng. Dia memandang berkeliling. Ruangan itu indah sekali. Si gadis
menyuruhnya duduk.
Berada sendirian di dalam ruangan itu Wiro merasakan ada kelainan dengan aliran darahnya:
Untuk beberapa lamanya diperhatikannya pelita aneh di dinding yang dilihatnya semakin redup
cahayanya sedang bau harum semakin mempengaruhi dirinya. Darahnya menyentak-nyentak dan
nafasnya memburu panas. Semua ini menimbulkan tanda bahaya dalam hati Wiro: Segera
dikerahkannya tenaga dalam dan ditutupnya penciumannya.
Selang beberapa ketika si gadis muncul kembali. Dia mengenakan pakaian yang sama
dengan sebelumnya namun kali ini kelihatan lebih tipis hingga sinar lampu yang redup sekalipun
sanggup merambas memperlihatkan sekujur tubuhnya. Sepasang mata Pendekar 212 Wiro
Sableng menyipit.
"Gurumu mana…?" tanya Wiro.
"Aku lupa mengatakan sesuatu tentang guruku," kata gadis itu seraya duduk di hadapan
Pendekar 212.
"Ada apa dengan dirinya?"
"Dia kejam sekali. Sejak aku dewasa tak pernah boleh berhubungan dengan laki-laki. Kau
tentu tahu bagaimana perasaan seorang dara yang sudah menginjak alam dewasa seperti aku
ini...."
"Aku mengerti…" sahut Wiro, "tapi mengapa gurumu bertindak demikian?"
"Aku sendiri tidak tahu . . . . ", jawab gadis itu sambil menundukkan kepala.
"Gurumu melarang kau berhubungan dengan laki-laki. Lantas kenapa kau berani membawa
aku ke mari?"
"Beliau sedang bertapa. Lusa baru kembali."
"Hem . . . . ", gumam Wiro. Seorang gadis cantik, berpakaian tipis menggiurkan dan
menyatakan perasaannya tentang kerinduan terhadap seorang laki-laki kepada seorang laki-laki.
Aliran darah Wiro Sableng semakin menggelora panas. Denyut nadinya tambah cepat. Dan di
antara ke semua itu perasaan adanya bahaya semakin besar. Dia ingat bagaimana dulu dia
tenggelam dalam pelukan tubuh telanjang seorang dara yang kemudian dara itu ternyata hendak
merenggut jiwanya. Apakah gadis yang satu inipun hendak berbuat begitu pula.
"Eh, kau masih belum menerangkan namamu." Kata Wiro memecah kesunyian di antara
mereka.
"Sebutkan namamu dulu," sahut si gadis merajuk.
"Aku Wiro."
Si gadis mengangkat kepalanya. "Wiro apa?" tanyanya.
"Wiro Sableng."
Meski bibir si gadis merekahkan senyum namun sepasang mata Wiro Sableng tak bisa
ditipu. Pada bola-bola mata gadis di hadapannya itu ada pantulan sinar aneh saat itu dan genta
tanda bahaya semakin keras mengumandang di telinganya, menyuruhnya berhati-hati.
"Namamu sendiri siapa, nona . . . . ?", tanya Wiro setelah dia mempertenang diri sementara
itu jalan pemafasan hidungnya masih terus ditutup.
"Nilamaharani . . . . ", kata gadis itu menyebutkan namanya.
"Nama bagus," puji Wiro. Lalu dilihatnya gadis itu berdiri dan sinar pelita hijau kembali
merambasi tubuhnya yang bagus.
"Aku sudah menyiapkan minuman di dalam. Mari masuk ke ruang sana, Wiro," kata
Nilamaharani. Nafasnya menghembus panas di wajah Pendekar 212.
Wiro berdiri dan mengikuti gadis itu. "Jika ini adalah satu tipuan nona …." kata murid
Eyang Sinto Gendeng ini dalam hati, "kau bakal mampus percuma."
Ruangan yang mereka masuki juga diterangi oleh pelita aneh bersinar redup. Satu-satunya
perabotan yang ada di situ hanyalah sebuah tempat tidur. Bagian kepala tempat tidur yang bagus
berseperai kuning itu berbentuk meja panjang di mana terletak dua buah cangkir. Wiro merasa
tidak enak begitu melihat wama seperai di hadapannya, namun seolah-olah tak ada apa-apa
dengan tenang dia duduk di tepi terlipat tidur sewaktu Nilamaharani mempersilahkannya. Meski
saat itu perasaan adanya bahaya semakin keras namun sebegitu jauh Wiro Sableng belum
mengetahui siapa sebenarnya dara jelita yang bernama Nilamaharani itu.
"Silahkan minum, Wiro!" kata Nilamaharani sambil menyerahkan salah satu cangkir ke
tangan Pendekar 212. Kaki kirinya di pangkukan di atas kaki kanan hingga betis dan pahanya
yang putih tersingkap menantang.
Wiro Sableng mendekatkan bibir cangkir ke bibimya. Matanya melihat cairan teh wangi
yang ada dalam cangkir itu berwama aneh, agak berminyak-minyak di sebelah atasnya. Dia yakin
minuman itu telah dicampur dengan racun jahat namun selama Kapak Naga Geni 212 masih
tersisip di pinggangnya, selama senjata ampuh penangkal segala macam racun itu masih ada
padanya, dia tidak takut racun jahat apapun di atas dunia ini.
Tanpa ragu-ragu diteguknya teh itu sampai habis. Perutnya terasa hangat. Kemudian dari
gagang Kapak Naga Geni 212 dirasakannya hawa dingin menyelusup ke dalam perutnya. Untuk
beberapa ketika dia merasa seperti digelitik kemudian segala sesuatunya seperti biasa kembali.
Hawa dari Kapak Naga Geni 212 telah punahkan racun jahat dalam perutnya!
"Tehmu enak sekali dan terima kasih." kata Wiro waktu mengembalikan cangkir kepada
Nilamaharani. Untuk beberapa lamanya kedua orang itu berdiam diri.
"Wiro…"
"Hem…?"
"Dapatkah kau membayangkan bagaimana jadinya jika satu aliran arus sungai terus menerus
dibendung…?"
"Pertanyaanmu agak aneh," sahut Wiro. "Tapi memang aku bisa membayangkan".
"Dapat pula kau bayangkan bagaimana akibatnya?".
"Air akan naik dan lambat laun walau bagaimanapun kuatnya bendungan pasti akan meledak
pecah."
Nilamaharani menganggukkan kepalanya.
"Itulah yang terjadi selama ini dengan diriku, Wiro. Guruku melarang aku berhubungan
dengan laki-laki. Melarang ... melarang dan akhirnya sewaktu aku berhadapan dengan seorang
laki-laki, dengan seorang pemuda macammu ini, aku tidak tahan Wiro. Mungkin ini adalah
ucapan yang tidak pantas tapi aku benar-benar tidak tahan…"
Wiro Sableng menggeser duduknya sewaktu Nilamaharani menangis tersedu-sedu.
"Kau seorang yang suka berterus-terang," kata Pendekar 212 pula seraya memegang bahu
gadis itu. Betapa lembutnya daging tubuhnya. "Aku senang pada orang yang bersifat seperti itu."
"Kau senang pada diriku, Wiro?"
"Ya."
"Oh…"
Nilamaharani menjatuhkan kepalanya kepada Pendekar 212 dan dirangkulnya pemuda itu
erat-erat. Wiro mengelus punggung gadis ini. Perlahan-lahan dibukanya jalan pernafasannya.
Terciumlah betapa harumnya rambut Nilamaharani. Diciumnya kepala gadis itu.
Tiba-tiba dengan kebinalan seorang gadis yang telah berubah laksana seekor singa
kelaparan, Nilamaharani merangkul tubuh Wiro dan menggulingkannya di pembaringan.
"Kau harus melakukannya untukku, Wiro. Kau harus melakukannya untukku..." Sepasang
kaki Nilamaharani melejang-lejang, menggapai di sela-sela kaki Wiro Sableng. Nafasnya
membara.
Untuk sekejap Wiro Sableng lupa diri. Nafsunya menggelora. Kedua tangannya
menggerayang di atas tubuh si gadis. Tapi tiba-tiba laksana disengat ratusan kalajengking secara
sekaligus. Wiro Sableng tersentek dari atas pembaringan. Matanya memandang membelalak pada
tubuh Nilamaharani yang terbaring di atas tempat tidur yang saat itu hampir tiada tertutup lagi!
"Manusia dajal hina dina! Jadi .., jadi kau adalah seorang laki-laki ...?! Gila! Terkutuk!"
teriak Wiro Sableng.
Nilamaharani memekik marah. Dia melompat hendak menangkap tubuh pemuda itu dengan
kedua tangannya yang terpentang lebar. Tapi Wiro membantingkannya ke dinding. Untuk kedua
kalinya Nilamaharani memekik dan yang sekali ini dari kedua tangannya menyambar dua larik
sinar kuning.
"Pukulan es iblis!" seru Wiro. "Jadi kau salah seorang dari Sepasang Iblis Betina, hah?"
Nilamaharani memekik lagi macam kuda meringkik. Wiro mengangkat tangan kanannya dan
secepat kilat memukul ke muka. Sinar putih bertabur dan ruangan itu menggelegar sewaktu
pukulan sinar matahari yang dilepaskan Wiro berhantaman dengan pukulan "es iblis" yang
dilancarkan Nilamaharani.
"Pendekar 212, takdir sudah menentukan bahwa riwayatmu berakhir di tempat ini!"
"Manusia banci keparat. Dosamu tujuh kali lebih besar dari pelacur! Mampuslah!" teriak
Wiro seraya melepaskan pukulan sinar matahari sekali lagi.
"Wutt"!
Satu sinar yang menyilaukan memapas pukulan sinar matahari. Satu benda bermata tiga
hampir saja menyambar leher pemuda itu kalau dia tidak lekas-lekas melompat ke belakang.
Ketika dia memandang ke depan di samping Nilamaharani yang saat itu sudah mengenakan
pakaian, berdiri seorang gadis berjubah kuning yang parasnya secantik Nilamaharani. Dan di
tangannya tergenggam sebuah tombak bermata tiga. Tombak Trisula! Senjata mustika inilah yang
telah memapas musnah pukulan sinar matahari Wiro tadi!
"Bergundal baju kuning!" bentak Wiro. "Kau tentunya juga seorang laki-laki seperti dajal
satu ini…"
"Tutup mulut kotormu, bangsat!" teriak si jubah kuning yang memang adalah
Nilamahadewi. Dia menerjang ke muka seraya melancarkan satu tusukan dengan Tombak
Trisula. Di lain pihak Nilamaharani menyusul dengan satu serangan pukulan sakti yang hebat.
Satu teriakan dahsyat keluar dari mulut Pendekar 212.
Terdengar suara menggaung. Sinar putih berkiblat dan "trang"!
Tombak Trisula di tangan Nilamahadewi terlepas mental.
"Kakak! Pemuda ini bukan tandingan kita! Lekas lari lewat jalan rahasia!" seru
Nilamahadewi pada kakaknya. Kedua "gadis" itu lari ke sudut ruangan dan sama-sama menekan
dua buah tombol rahasia. Dua buah pintu terbuka dan keduanya segera menghambur masuk ke
pintu itu. Namun Pendekar 212 lebih cepat lagi. Tubuhnya laksana terbang. Dari mulutnya keluar
suara suitan nyaring dan Kapak Naga Geni 212 membabat ke muka. Kedua kakak adik itu
menjerit dan tergelimpang di mulut pintu rahasia. Pinggang masing-masing hampir putus dilanda
Kapak Naga Geni 212. Untuk seketika mereka masih kelihatan bergerak-gerak sesudah itu kaku
tegang untuk selama-lamanya.
Pendekar 212 Wiro Sableng membungkuk mengambil Tombak Trisula yang tercampak di
lantai sementara Kapak Naga Geni sudah disisipkannya ke balik pakaian putihnya. Dia
melangkah mendekati mayat Nilamahadewi. Dengan ujung Tombak Trisula disingkapkannya
jubah kuning sebelah bawah "gadis" itu.
"Edan!" maki Pendekar 212. "Dia juga lakilaki! Sialan!"
Tanpa menunggu lebih lama lagi Wiro Sableng keluar meninggalkan tempat itu. Sepasang
Iblis Betina telah menemui ajalnya. Dan Tombak Trisula harus segera diserahkannya pada
Mapatih Jayengrono di Istana Pajang.
Sepasang Iblis Setina terletak di daerah berbukit-bukit di seberang hutan Bintaran. Lima hari
mengadakan penyelidikan dia samasekali tak berhasil menemukan sarang kedua gadis jahat
tersebut. Selama ini Wiro telah mendengar perbuatan-perbuatan kejam yang pernah dilakukan
oleh Sepasang Iblis Betina. Ada hal yang mengherankannya, kenapa justru laki-laki muda dan
yang bertampang gagah yang selalu menjadi korban kedua gadis tersebut?
Hari keenam berlalu. Wiro Sableng memutuskan bila sampai hari ketujuh dia masih belum
berhasil menemukan kedua orang yang dicarinya itu, dia akan meninggalkan tempat tersebut dan
mencari keterangan lain yang lebih jelas mengenai mereka.
Demikianlah pada pagi hari ketujuh itu Wiro Sableng baru saja selesai mandi di dalam
Telaga Puteri Intan Dewi yang terletak di hutan Bintaran sewaktu sepasang kaki putih mulus
dilihatnya melangkah lembut di antara semak-semak jauh di hadapannya. Pemuda itu cepat naik
ke darat dan mengenakan pakaiannya, lalu menunggu dengan tenang.
Namun ketenangan hati pendekar muda ini hanya sejenak. Dadanya berdebar sewaktu
pemilik kaki yang bagus tadi muncul di balik sepatang pohon besar. Ternyata dia adalah seorang
dara berparas cantik sekali. Wiro mengingat-ingat beberapa orang gadis cantik yang pemah
ditemuinya. Namun harus diakuinya bahwa yang satu ini adalah yang paling cantik yang pernah
dilihatnya. Gadis ini mengenakan pakaian berbentuk jubah pendek berwama biru tua berbunga-
bunga kuning. Di tangan kirinya ada sebuah kendi besar. Dara ini kelihatan terkejut dan
menghentikan langkahnya sewaktu sepasang matanya yang bersinar beradu pandang dengan
Pendekar 212.
"Di pagi yang segar, bertemu dengan seorang dara jelita. sungguh indah sekali rasanya hidup
ini ...." kata Pendekar 212 laksana seorang penyair. Dia tersenyum.
"Nona, siapakah kau?" tanya Wiro Sableng seraya melangkah mendekati si gadis. Sang
gadis undur beberapa tindak. Wiro tertawa.
"Kau datang ke sini tentu untuk mengambil air. Ambillah. Dan kau tak usah perduli aku
kalau memang tak sudi bicara atau takut padaku. Aku tak akan mengganggumu." Pemuda ini
membalikkan badan dan merapikan pakaiannya. Di dengarnya gadis itu melangkah ke tepi telaga.
Lalu didengamya suara kendi dimasukkan ke dalam air telaga. Sewaktu Wiro Sableng berpaling,
dilihatnya gadis itu memandang tepat-tepat padanya. Si gadis membuang muka sewaktu
pandangan mereka saling bentur.
"Kalau dilihat membuang muka. Orang melengah memperhatikan ..." kata Wiro dalam hati.
Kemudian tanpa acuhkan gadis itu dia melangkah pergi. Adalah satu hal yang membuat dia
terkejut sewaktu di dengamya gadis itu berseru. "Saudara, tunggu .... !"
Wiro Sableng berpaling. "Ada apakah?"
"Kau jangan jalan ke arah sana...."
"Eh… Terima kasih atas nasihatmu. Kalau aku boleh tanya memangnya kenapa ....?" tanya
Wiro.
"Daerah sebelah sana berbahaya." jawab si gadis seraya bangkit dari tepi telaga karena kendi
yang di isinya telah penuh dengan air.
"Hem, begitu? Banyak binatang liarnya?" tanya Wiro lagi.
"Bukan." jawab si gadis. "Di situ daerah kediaman dua gadis jahat."
Wiro Sableng melangkah ke hadapan si gadis. "Darimana kau tahu?"
"Aku tahu apa yang terjadi di sini dari guruku. Beliau yang menceritakan".
"Siapa nama gurumu?" tanya Wiro lagi.
"Maaf, tak bisa kuberi tahu."
"Kau tahu betul tempat kediamannya Sepasang Iblis Betina itu?"
Si gadis menggeleng. "Tapi percayalah…" katanya. "mereka sering muncul di jurusan yang-
tadi hendak kau tempuh."
"Kau dan gurumu tinggal di sekitar sini?"
"Ya. Setiap hari aku ke sini mengambil air." Wiro Sableng hendak menanyakan sesuatu tapi
tak jadi. Di belakangnya, kira-kira lima tombak jauhnya, di dengamya suara gemerisik ranting-
ranting. Dia berpaling dengan cepat lalu melompat ke jurusan ranting dan semak belukar. Jelas
dilihatnya bayangan kuning berkelebat. Namun aneh ketika dia sampai di situ bayangan tersebut
lenyap laksana ditelan bumi. Wiro ingat pada keterangan yang diterimanya yaitu bahwa Sepasang
Iblis Betina senantiasa mengenakan jubah kuning. Bukan mustahil bayangan kuning tadi adalah
bayangan salah seorang dari mereka. Dengan perlahan-lahan dia kembali menemui si gadis. Di
lihatnya gadis ini berdiri menggigil dengan muka pucat.
"Tak usah kawatir. Tak ada apa-apa...." kata Wiro menenangkan.
"Waktu aku bicara tadi, sekelebatan kulihat sesosok tubuh berbaju kuning. Aku takut sekali,
saudara. Pasti dia! Pasti gadis jahat itu ...."
"Kau ditipu pemandanganmu sendiri, nona." kata Wiro meski hatinya sendiri tidak enak.
"Aku sudah memeriksa tempat sekitar situ. Tak ada siapa-siapa."
"Aku harus kembali cepat-cepat. Tapi ... tapi, aku takut pulang sendirian."
"Mari kuantar." kata Wiro Sableng pula.
Tanpa banyak cerita lagi kedua orang itu mening galkan tempat tersebut. Tak selang berapa
lamanya, dihadapan serumpun semak belukar lebat gadis itu berhenti. Dengan tangan kanannya
disibakkannya semak-semak tersebut lalu berpaling pada Wiro dan berkata,
"Masuklah!"
"Tempat tinggalmu di sini ....?"
Jawaban si gadis tak terdengar. Wiro menyetuak di antara semak-semak lalu masuk ke
dalam. Dia melangkah mengikuti gadis itu menyusuri sebuah lorong batu yang bersih dan bagus
hingga akhirnya sampai di sebuah ruangan besar yang diterangi oleh sebuah pelita aneh. Pelita itu
merupakan sebuah kayu hijau yang ditancapkan di dinding ruangan. Bau harum aneh menyentuh
penciuman Wiro Sableng. Dia memandang berkeliling. Ruangan itu indah sekali. Si gadis
menyuruhnya duduk.
Berada sendirian di dalam ruangan itu Wiro merasakan ada kelainan dengan aliran darahnya:
Untuk beberapa lamanya diperhatikannya pelita aneh di dinding yang dilihatnya semakin redup
cahayanya sedang bau harum semakin mempengaruhi dirinya. Darahnya menyentak-nyentak dan
nafasnya memburu panas. Semua ini menimbulkan tanda bahaya dalam hati Wiro: Segera
dikerahkannya tenaga dalam dan ditutupnya penciumannya.
Selang beberapa ketika si gadis muncul kembali. Dia mengenakan pakaian yang sama
dengan sebelumnya namun kali ini kelihatan lebih tipis hingga sinar lampu yang redup sekalipun
sanggup merambas memperlihatkan sekujur tubuhnya. Sepasang mata Pendekar 212 Wiro
Sableng menyipit.
"Gurumu mana…?" tanya Wiro.
"Aku lupa mengatakan sesuatu tentang guruku," kata gadis itu seraya duduk di hadapan
Pendekar 212.
"Ada apa dengan dirinya?"
"Dia kejam sekali. Sejak aku dewasa tak pernah boleh berhubungan dengan laki-laki. Kau
tentu tahu bagaimana perasaan seorang dara yang sudah menginjak alam dewasa seperti aku
ini...."
"Aku mengerti…" sahut Wiro, "tapi mengapa gurumu bertindak demikian?"
"Aku sendiri tidak tahu . . . . ", jawab gadis itu sambil menundukkan kepala.
"Gurumu melarang kau berhubungan dengan laki-laki. Lantas kenapa kau berani membawa
aku ke mari?"
"Beliau sedang bertapa. Lusa baru kembali."
"Hem . . . . ", gumam Wiro. Seorang gadis cantik, berpakaian tipis menggiurkan dan
menyatakan perasaannya tentang kerinduan terhadap seorang laki-laki kepada seorang laki-laki.
Aliran darah Wiro Sableng semakin menggelora panas. Denyut nadinya tambah cepat. Dan di
antara ke semua itu perasaan adanya bahaya semakin besar. Dia ingat bagaimana dulu dia
tenggelam dalam pelukan tubuh telanjang seorang dara yang kemudian dara itu ternyata hendak
merenggut jiwanya. Apakah gadis yang satu inipun hendak berbuat begitu pula.
"Eh, kau masih belum menerangkan namamu." Kata Wiro memecah kesunyian di antara
mereka.
"Sebutkan namamu dulu," sahut si gadis merajuk.
"Aku Wiro."
Si gadis mengangkat kepalanya. "Wiro apa?" tanyanya.
"Wiro Sableng."
Meski bibir si gadis merekahkan senyum namun sepasang mata Wiro Sableng tak bisa
ditipu. Pada bola-bola mata gadis di hadapannya itu ada pantulan sinar aneh saat itu dan genta
tanda bahaya semakin keras mengumandang di telinganya, menyuruhnya berhati-hati.
"Namamu sendiri siapa, nona . . . . ?", tanya Wiro setelah dia mempertenang diri sementara
itu jalan pemafasan hidungnya masih terus ditutup.
"Nilamaharani . . . . ", kata gadis itu menyebutkan namanya.
"Nama bagus," puji Wiro. Lalu dilihatnya gadis itu berdiri dan sinar pelita hijau kembali
merambasi tubuhnya yang bagus.
"Aku sudah menyiapkan minuman di dalam. Mari masuk ke ruang sana, Wiro," kata
Nilamaharani. Nafasnya menghembus panas di wajah Pendekar 212.
Wiro berdiri dan mengikuti gadis itu. "Jika ini adalah satu tipuan nona …." kata murid
Eyang Sinto Gendeng ini dalam hati, "kau bakal mampus percuma."
Ruangan yang mereka masuki juga diterangi oleh pelita aneh bersinar redup. Satu-satunya
perabotan yang ada di situ hanyalah sebuah tempat tidur. Bagian kepala tempat tidur yang bagus
berseperai kuning itu berbentuk meja panjang di mana terletak dua buah cangkir. Wiro merasa
tidak enak begitu melihat wama seperai di hadapannya, namun seolah-olah tak ada apa-apa
dengan tenang dia duduk di tepi terlipat tidur sewaktu Nilamaharani mempersilahkannya. Meski
saat itu perasaan adanya bahaya semakin keras namun sebegitu jauh Wiro Sableng belum
mengetahui siapa sebenarnya dara jelita yang bernama Nilamaharani itu.
"Silahkan minum, Wiro!" kata Nilamaharani sambil menyerahkan salah satu cangkir ke
tangan Pendekar 212. Kaki kirinya di pangkukan di atas kaki kanan hingga betis dan pahanya
yang putih tersingkap menantang.
Wiro Sableng mendekatkan bibir cangkir ke bibimya. Matanya melihat cairan teh wangi
yang ada dalam cangkir itu berwama aneh, agak berminyak-minyak di sebelah atasnya. Dia yakin
minuman itu telah dicampur dengan racun jahat namun selama Kapak Naga Geni 212 masih
tersisip di pinggangnya, selama senjata ampuh penangkal segala macam racun itu masih ada
padanya, dia tidak takut racun jahat apapun di atas dunia ini.
Tanpa ragu-ragu diteguknya teh itu sampai habis. Perutnya terasa hangat. Kemudian dari
gagang Kapak Naga Geni 212 dirasakannya hawa dingin menyelusup ke dalam perutnya. Untuk
beberapa ketika dia merasa seperti digelitik kemudian segala sesuatunya seperti biasa kembali.
Hawa dari Kapak Naga Geni 212 telah punahkan racun jahat dalam perutnya!
"Tehmu enak sekali dan terima kasih." kata Wiro waktu mengembalikan cangkir kepada
Nilamaharani. Untuk beberapa lamanya kedua orang itu berdiam diri.
"Wiro…"
"Hem…?"
"Dapatkah kau membayangkan bagaimana jadinya jika satu aliran arus sungai terus menerus
dibendung…?"
"Pertanyaanmu agak aneh," sahut Wiro. "Tapi memang aku bisa membayangkan".
"Dapat pula kau bayangkan bagaimana akibatnya?".
"Air akan naik dan lambat laun walau bagaimanapun kuatnya bendungan pasti akan meledak
pecah."
Nilamaharani menganggukkan kepalanya.
"Itulah yang terjadi selama ini dengan diriku, Wiro. Guruku melarang aku berhubungan
dengan laki-laki. Melarang ... melarang dan akhirnya sewaktu aku berhadapan dengan seorang
laki-laki, dengan seorang pemuda macammu ini, aku tidak tahan Wiro. Mungkin ini adalah
ucapan yang tidak pantas tapi aku benar-benar tidak tahan…"
Wiro Sableng menggeser duduknya sewaktu Nilamaharani menangis tersedu-sedu.
"Kau seorang yang suka berterus-terang," kata Pendekar 212 pula seraya memegang bahu
gadis itu. Betapa lembutnya daging tubuhnya. "Aku senang pada orang yang bersifat seperti itu."
"Kau senang pada diriku, Wiro?"
"Ya."
"Oh…"
Nilamaharani menjatuhkan kepalanya kepada Pendekar 212 dan dirangkulnya pemuda itu
erat-erat. Wiro mengelus punggung gadis ini. Perlahan-lahan dibukanya jalan pernafasannya.
Terciumlah betapa harumnya rambut Nilamaharani. Diciumnya kepala gadis itu.
Tiba-tiba dengan kebinalan seorang gadis yang telah berubah laksana seekor singa
kelaparan, Nilamaharani merangkul tubuh Wiro dan menggulingkannya di pembaringan.
"Kau harus melakukannya untukku, Wiro. Kau harus melakukannya untukku..." Sepasang
kaki Nilamaharani melejang-lejang, menggapai di sela-sela kaki Wiro Sableng. Nafasnya
membara.
Untuk sekejap Wiro Sableng lupa diri. Nafsunya menggelora. Kedua tangannya
menggerayang di atas tubuh si gadis. Tapi tiba-tiba laksana disengat ratusan kalajengking secara
sekaligus. Wiro Sableng tersentek dari atas pembaringan. Matanya memandang membelalak pada
tubuh Nilamaharani yang terbaring di atas tempat tidur yang saat itu hampir tiada tertutup lagi!
"Manusia dajal hina dina! Jadi .., jadi kau adalah seorang laki-laki ...?! Gila! Terkutuk!"
teriak Wiro Sableng.
Nilamaharani memekik marah. Dia melompat hendak menangkap tubuh pemuda itu dengan
kedua tangannya yang terpentang lebar. Tapi Wiro membantingkannya ke dinding. Untuk kedua
kalinya Nilamaharani memekik dan yang sekali ini dari kedua tangannya menyambar dua larik
sinar kuning.
"Pukulan es iblis!" seru Wiro. "Jadi kau salah seorang dari Sepasang Iblis Betina, hah?"
Nilamaharani memekik lagi macam kuda meringkik. Wiro mengangkat tangan kanannya dan
secepat kilat memukul ke muka. Sinar putih bertabur dan ruangan itu menggelegar sewaktu
pukulan sinar matahari yang dilepaskan Wiro berhantaman dengan pukulan "es iblis" yang
dilancarkan Nilamaharani.
"Pendekar 212, takdir sudah menentukan bahwa riwayatmu berakhir di tempat ini!"
"Manusia banci keparat. Dosamu tujuh kali lebih besar dari pelacur! Mampuslah!" teriak
Wiro seraya melepaskan pukulan sinar matahari sekali lagi.
"Wutt"!
Satu sinar yang menyilaukan memapas pukulan sinar matahari. Satu benda bermata tiga
hampir saja menyambar leher pemuda itu kalau dia tidak lekas-lekas melompat ke belakang.
Ketika dia memandang ke depan di samping Nilamaharani yang saat itu sudah mengenakan
pakaian, berdiri seorang gadis berjubah kuning yang parasnya secantik Nilamaharani. Dan di
tangannya tergenggam sebuah tombak bermata tiga. Tombak Trisula! Senjata mustika inilah yang
telah memapas musnah pukulan sinar matahari Wiro tadi!
"Bergundal baju kuning!" bentak Wiro. "Kau tentunya juga seorang laki-laki seperti dajal
satu ini…"
"Tutup mulut kotormu, bangsat!" teriak si jubah kuning yang memang adalah
Nilamahadewi. Dia menerjang ke muka seraya melancarkan satu tusukan dengan Tombak
Trisula. Di lain pihak Nilamaharani menyusul dengan satu serangan pukulan sakti yang hebat.
Satu teriakan dahsyat keluar dari mulut Pendekar 212.
Terdengar suara menggaung. Sinar putih berkiblat dan "trang"!
Tombak Trisula di tangan Nilamahadewi terlepas mental.
"Kakak! Pemuda ini bukan tandingan kita! Lekas lari lewat jalan rahasia!" seru
Nilamahadewi pada kakaknya. Kedua "gadis" itu lari ke sudut ruangan dan sama-sama menekan
dua buah tombol rahasia. Dua buah pintu terbuka dan keduanya segera menghambur masuk ke
pintu itu. Namun Pendekar 212 lebih cepat lagi. Tubuhnya laksana terbang. Dari mulutnya keluar
suara suitan nyaring dan Kapak Naga Geni 212 membabat ke muka. Kedua kakak adik itu
menjerit dan tergelimpang di mulut pintu rahasia. Pinggang masing-masing hampir putus dilanda
Kapak Naga Geni 212. Untuk seketika mereka masih kelihatan bergerak-gerak sesudah itu kaku
tegang untuk selama-lamanya.
Pendekar 212 Wiro Sableng membungkuk mengambil Tombak Trisula yang tercampak di
lantai sementara Kapak Naga Geni sudah disisipkannya ke balik pakaian putihnya. Dia
melangkah mendekati mayat Nilamahadewi. Dengan ujung Tombak Trisula disingkapkannya
jubah kuning sebelah bawah "gadis" itu.
"Edan!" maki Pendekar 212. "Dia juga lakilaki! Sialan!"
Tanpa menunggu lebih lama lagi Wiro Sableng keluar meninggalkan tempat itu. Sepasang
Iblis Betina telah menemui ajalnya. Dan Tombak Trisula harus segera diserahkannya pada
Mapatih Jayengrono di Istana Pajang.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar